2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Sumberdaya Perikanan Randall (1989) in Adrianto (2005) mengatakan bahwa sumberdaya dapat didefinisikan dalam arti luas sebagai segala sesuatu yang baik langsung maupun tidak langsung memiliki nilai untuk memenuhi kebutuhan manusia (anything that is directly or inderectly capable of satisfying human wants). Sedangkan menurut Graham and Berkes (1989) in Fauzi (2004), mendefinisikan sumber daya sebagai asset untuk pemenuhan utilitas manusia. Dalam pandangan ekonomi tradisional istilah sumberdaya digunakan untuk menyebut input dari sebuah fungsi produksi. Misalnya, sebuah fungsi produksi (Y) adalah fungsi dari sumberdaya kapital (K) dan tenaga kerja (L) atau Y= f (K, L), sehingga dapat dikatakan bahwa kapital dan tenaga kerja adalah sumberdaya. Sumberdaya kapital (capital resources) menunjuk pada kelompok sumberdaya yang digunakan untuk menciptakan proses produksi yang lebih efisien. Sementara sumberdaya tenaga kerja (labor resources) dimaksudkan sebagai kapasitas produktif dari manusia baik secara fisik maupun mental yang terkait dengan kemampuan untuk bekerja atau memproduksi suatu barang dan atau jasa. Selain kedua sumberdaya tersebut, sumberdaya alam (natural resources) merupakan salah satu sumberdaya penting dalam pandangan ekonomi. Sumberdaya alam (natural resources) adalah stok materi living maupun nonliving yang terdapat dalam lingkungan fisik dan secara potensial memiliki fungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Menurut Fauzi (2004), secara umum sumberdaya alam dapat digolongkan menjadi dua kategori besar yaitu (1) berdasarkan skala waktu pertumbuhannya dan (2) berdasarkan kegunaan akhir. Berdasarkan skala waktu pertumbuhan, sumberdaya alam yang berupa stok dan sumberdaya alam yang berbentuk flow (aliran). Sumberdaya alam stok memiliki ciri bahwa kuantitas dan kualitas sumberdaya alam bersifat ”given” oleh alam atau dengan kata lain tidak dapat diperbaharui (non-renewble resources). Walaupun demikian, ada beberapa jenis sumberdaya stok yang dapat didaur ulang seperti besi dan tembaga, sedangkan sumberdaya flow memiliki ciri utama dapat
18 diperbaharui (renewble resources). Sumberdaya alam jenis ini terdiri dari dua kelompok utama yaitu: memiliki titik kritis (carrying capacity) seperti sumberdaya ikan, hutan, dan sumberdaya alam yang tidak memiliki titik kritis seperti angin, pasang surut dan lain-lain (Fauzi 2004). Menurut Hussen (2000) in Adrianto (2005), ada 4 isu utama yang terkait dengan notasi ekonomi terhadap sumberdaya yakni; Pertama, sangat jarangnya sumberdaya kapital, tenaga kerja dan sumberdaya alam yang digunakan dalam konsumsi langsung tanpa modifikasi. Dalam konteks ini, sumberdaya sering dipakai sebagai faktor produksi untuk memproduksi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia, sehingga sumberdaya dipandang sebagai a means to an end, rather than ends in themselves. Kedua, bahwa dari uraian di atas dapat dikatakan
bahwa
notasi
ekonomi
terhadap
sumberdaya
adalah
murni
anthroposentris, yaitu bahwa nilai sumberdaya didefinisikan berdasarkan human needs dan tidak ada yang lain. Ketiga, bahwa sumberdaya dalam perspektif ekonomi adalah langka (scarce), yaitu bahwa terdapat keterbatasan kuantitas maupun kualitas sumberdaya. Keempat, menekankan bahwa sumberdaya dapat digunakan secara kombinasi. Solow (1986) in Fauzi (2004) menyebut hal ini sebagai fungible, yaitu sumberdaya yang satu dapat digantikan oleh sumberdaya yang lain. Sebagai contoh sumberdaya kapital (misal; mesin) dapat digantikan dengan sumberdaya tenaga kerja. Kondisi tersebut tampak pada dua pandangan besar terhadap sumberdaya alam yakni; pandangan konservatif atau sering pula disebut pandangan pesimistis atau yang lazim kita kenal dengan perspektif Malthusian, dan pandangan eksploitatif atau yang lazim dikenal dengan perspektif Ricardian. Perspektif Malthusian berpandangan bahwa resiko akan terkurasnya sumberdaya alam menjadi perhatian utama. Dengan demikian dalam pandangan ini sumberdaya alam harus dimanfaatkan secara hati-hati karena adanya faktor ketidakpastian terhadap apa yang akan terjadi pada sumberdaya alam untuk masa yang akan datang. Pandangan ini berangkat dari pemikiran Malthus yang dikemukakan pada tahun 1879 melalui publikasi ”Principle of Population”, dimana sumberdaya alam yang terbatas tidak akan mampu mendukung pertumbuhan penduduk yang
19 cenderung tumbuh secara eksponensial. Produksi dari sumberdaya alam akan mengalami apa yang disebut diminishing return dimana output perkapita akan mengalami kecenderungan yang menurun sepanjang waktu. Lebih jauh, perspektif Malthusian melihat bahwa ketika proses diminishing return ini terjadi, standar hidup juga akan menurun sampai ketingkat subsisten yang pada gilirannya akan mempengaruhi reproduksi manusia, sedangkan perspektif Ricardian melihat sumberdaya alam sebagai mesin pertumbuhan (engine of growth) yang mentransformasikan sumberdaya ke dalam “man-made capital” yang pada gilirannya akan menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dimasa mendatang. Keterbatasan suplai dari sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dapat disubstitusikan dengan cara intensifikasi (eksploitasi sumberdaya secara intensif) atau dengan cara ekstensifikasi (memanfaatkan sumberdaya yang belum dieksploitasi). Apabila sumberdaya mengalami kelangkaan, hal tersebut akan tercermin dalam dua indikator ekonomi, yakni meningkatnya harga output dan biaya ekstraksi per satuan output. Peningkatan harga output akibat terjadinya peningkatan biaya per satuan output, akan berakibat pada menurunnya permintaan terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam. Disisi lain, peningkatan harga output menimbulkan insentif kepada produsen sumberdaya alam untuk berupaya melakukan peningkatan suplai. 2.2 Sumberdaya Perikanan Madidihang (Thunnus albacares) 2.2.1
Klasifikasi dan Morfologi Madidihang (Thunnus albacares) Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan tuna Madidihang atau yellowfin
tuna sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Sub phylum : Vertebrata Thunnus Class : Teleostei Sub Class : Actinopterygii Ordo : Perciformes Sub Ordo : Scombroidae
20 Genus : Thunnus Species : Thunnus albacares Tubuh berukuran besar, berbentuk fusiform (torpedo), sedikit kompres dari sisi ke sisi. Jari-jari insang 26-34 pada lengkungan pertama. Memiliki dua sirip dorsal/punggung, sirip depan biasanya pendek dan terpisah oleh celah yang kecil dari sirip belakang. Mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) 8-10 finlet dibelakang sirip punggung dan sirip anal 7-10 finlets. Memiliki sirip pelvik yang kecil. Pada spesimen yang berukuran besar memiliki sirip dorsal kedua dan sirip anal yang sangat panjang, mencapai lebih dari 20% panjang cagak; sirip pektoralnya cukup panjang, biasanya lebih dari panjang sirip dorsal kedua biasanya 22-31% dari panjang fork. Sirip ekor bercagak agak ke dalam dengan jari-jari penyokong menutup seluruh ujung hipural. Sirip ekornya berbentuk sangat ramping dan terdiri dari 3 keel. Tubuhnya tertutup oleh sisik yang sangat kecil, berwarna biru tua dan agak gelap pada bagian atas tubuhnya. Sisik berukuran besar kadang berkembang namun jarang nampak. Tanda sisik yang berukuran besar membentuk semacam lingkaran disekeliling tubuh pada bagian belakang kepala, dan kemudian berkurang di bagian belakang sirip dorsal kedua. Madidihang berwarna biru tua gelap pada sisi belakang dan diatas tubuhnya dengan perut kuning atau perak. Sirip dorsal, sirip anal dan jari-jari sirip tambahan berwarna kuning menyala. Memiliki permukaan ventral hati yang cukup halus. Madidihang matanya kecil dan memiliki gigi berbentuk kerucut. Kantung renang terdapat pada jenis tuna ini.
21
Gambar 2 Ikan tuna Madidihang (Thunnus albacares) di PPP Pondokdadap. Madidihang adalah anggota dari albacore, bonito, makarel, dan tuna. Jenisjenis ikan tuna agak susah untuk dibedakan spesiesnya. Blackeye, blackfin, albacore, dan Madidihang memiliki bentuk yang mirip dan sering ditangkap bersama-sama. Karakteristik yang membedakan Madidihang dari spesies yang lain adalah sirip anal dan dorsal yang memanjang pada ukuran ikan yang besar. Madidihang merupakan ikan kedua terbesar dari spesies tuna yang ada. Madidihang dapat mencapai total panjang 2.8 meter dan berat maksimum 400 kg sehingga sangat populer. Umumnya memiliki panjang cagak 150 cm. Rata-rata umur ikan adalah 8 tahun. Tuna termasuk perenang cepat dengan kecepatan mencapai 80 km/jam dan terkuat di antara ikan-ikan yang berangka tulang. Mereka mampu membengkokkan siripnya lalu meluruskan tubuhnya untuk berenang cepat. Ikan ini memakan ikan kecil, krustacea, pelagik dan epipelagik moluska. Madidihang adalah makanan laut di seluruh dunia dan ancaman overfishing. Ikan ini enak untuk dimakan. Madidihang merupakan ikan komersial terpenting kedua dari beberapa jenis tuna. Kapasitas maksimum isi perut pada Madidihang dapat mencapai 7% dari berat tubuhnya. Ikan tuna setiap harinya dapat mencerna makanannya 15% dari berat tubuhnya. Ikan tuna yang mendiami daerah pantai biasanya memakan gerombolan ikan hidup (anchovies, sardines). Madidihang yang dewasa dapat bersifat kanibal.
22 2.2.2
Aspek Biologi, Habitat dan Prilaku Madidihang (Thunnus albacares) Beberapa istilah lain untuk jenis Madidihang adalah yellowfin-tuna
(Inggris) dan Thunnus albacares (latin). Salah satu ciri utama tuna Madidihang adalah garis berwarna kuning yang terdapat di sepanjang sisi kiri dan sisi kanan ikan tuna. Madidihang (Thunnus albacares) merupakan spesies cosmopolitan, terutama tersebar di perairan samudera di daerah tropis dan subtropis ( Collette dan Nauen
1983). Menurut Langley et al. (2009) di Samudera Hindia ukuran Madidihang yang tertangkap berkisar antara 30 cm to 180 cm (fork length), fase juvenil bergerombol dengan Cakalang (Katsuwonus pelamis) dan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus). Fase juvenil berada di permukaan atau lapisan campuran (mixed layer) (Marsac, 2001; Langley et al. 2009). Temperatur yang optimal untuk fase juvenil di Samudera Hindia adalah di atas 27°C (Conand dan Richards 1982), sedangkan fase dewasa berada di lapisan termoklin dengan suhu optimal berkisar 13-24°C dengan DO minimal 1 mg/l (Mohri dan Nishida 2000) dan menurut Haluan et al. (1991) di perairan ZEEI barat Sumatera suhu optimal untuk Madidihang tersebut berada pada suhu permukaan pada kisaran antara 2028°C. Menurut Gunarso (1996), suhu yang ideal untuk ikan tuna antara 26oC-
32oC, dan suhu yang ideal untuk melakukan pemijahan 28oC-29oC dengan salinitas 33%. Sedangkan menurut Jones dan Silas (1962) tuna hidup pada temperatur antara 16oC-30oC dengan temperatur optimum 28oC. Siklus hidup Madidihang menurut Fromentin dan Fonteneau (2001)
maksimal berumur 7.5 tahun, matang gonad berumur 2.8 tahun, dengan berat 25 kg dan panjang badan 105 cm (fork length), panjang maksimum 170 cm dengan berat 176 kg, sedangkan lama memijah (spawning duration) adalah 6 bulan/tahun. Dalam dokumen IUCN Redlist of Threatened Species (2011) tentang habitat dan ekologi Madidihang di Samudera Hindia, dinyatakan bahwa Madidihang hidup sekurang-kurangnya 7 tahun (Romanov dan Korotkova 1988), sementara di Pasifik Timur (Eastern Pacific) 4.8 tahun, di Pasifik Barat 6.5 tahun (Lehodey dan Leroy 1999), dan di Samudera Atlantik 8 tahun. Di Samudera Hindia Madidihang di tangkap pada ukuran antara 30-180 cm (IOTC, 2008). Daerah pemijahan di Samudera Hindia terjadi pada bulan Desember sampai bulan Maret di titik koordinat 0-10°C LS terutama pada 75° BB, namun di Bujur Timur belum diperoleh informasi yang pasti. Ukuran matang gonad untuk Madidihang tersebut
23 diduga terjadi pada saat berukuran 100 cm (IOTC, 2008). Sedangkan di Samudera Pasifik
yang mengindikasikan puncak pemijahan yang tinggi dan berulang-ulang disepanjang daerah ekuator adalah disekitar Filipina Selatan. Berkurangnya aktifitas pemijahan diantara ikan dewasa diduga karena menurunnya suhu permukaan air di daerah ini antara bulan Februari hingga Mei. Selain itu perubahan musim pemijahan Madidihang berkaitan dengan perubahan tanda-tanda iklim dan produktifitas lokal. Puncak musim dan area pemijahan dari Madidihang berada di sekitar daerah ekuator Pasifik Barat dan Tengah. Puncak pemijahan di bagian barat (135°E–165°E) diduga terjadi pada kuarter keempat dan pertama dan puncak pemijahan di dareah Pasifik Tengah (180-140W) terjadi pada kuarter kedua dan ketiga. Musim pemijahan disepanjang pulau Hawaii terjadi antara bulan April hingga Oktober dan puncaknya pada Juni, Juli dan Agustus, dimana ikan tuna Madidihang dewasa menjadi rentan tertangkap oleh pancing dan alat tangkap lain. Selama puncak pemijahan di musim panas yang pendek, lebih dari 85% dari Madidihang berhasil memijah. Sedangkan pada musim dingin Madidihang menghentikan aktifitas pemijahannya. Periode puncak memijah dari Madidihang umumnya di musim panas dan musim semi, namun umumnya masa memijah dapat terjadi sepanjang tahun. Madidihang merupakan ikan pelagis dan epi-pelagis yang menghuni lapisan atas perairan samudera di atas lapisan termoklin dan memiliki perilaku yang menyukai benda pengapung di perairan sehingga selalu berasosiasi dengan benda mengapung (Gooding and Magnuson 1967; Hunter and Mitchell 1967; Fonteneau 1993) dan benda bergerak lainnya pada saat beruaya, seperti kapal penangkap ikan (Fonteneau and Diouf 1994). Berdasarkan perilaku tuna tersebut, nelayan membuat benda mengapung buatan yang selanjutnya disebut rumpon (Hallier dan Gaertner 2008) dan keberadaan rumpon memegang peranan penting dalam perikanan tangkap dunia (Dagorn et al. 2001). Pergerakan vertikal dari Madidihang yang ditag (Cayré 1991) pada malam hari menghabiskan waktunya pada kedalaman berbeda yaitu di kedalaman antara 40-70 m, sementara siang hari berada pada kedalaman 70-110 m dan jarang sekali ke permukaan 0-10m. Pada waktu siang hari suhu yang ideal berkisar 24-27 C, sementara pada malam hari
24 berada di area lapisan campuran yang hangat dengan suhu di atas 27°C. Sedangkan di Teluk Mexico, menurut Weng et al. (2009) Madidihang memiliki kebiasaan untuk menghabiskan waktu 93.40% di lapisan campuran dan termoklin di atas 200 m, dan 72.0% di atas 50 m dari kolom air (mix layer). Pada malam hari 84.9% hidupnya berada di atas 50 m dan 59.3% pada siang hari dan hanya 10.7% di atas 50 m, 34.20% pada siang hari. Penelitian memperlihatkan bahwa meski Madidihang kebanyakan mengarungi lapisan kolom air 100 m teratas, dan relatif jarang menembus lapisan termoklin, namun ikan ini mampu menyelam jauh ke kedalaman laut. Seekor Madidihang yang diteliti di Samudra Hindia menghabiskan 85% waktunya di kedalaman kurang dari 75 m, namun tercatat tiga kali menyelam hingga kedalaman 578 m, 982 m dan yang paling ekstrem hingga 1.160 m (Brill et al. 1988).
2.2.3
Daerah Sebaran dan Produksi dan Status Stok Madidihang di Samudera Hindia Dalam konteks perdagangan, ikan tuna merupakan salah satu komoditas
ikan komersial paling besar, khusus dan berperanan penting dalam perdagangan ikan dunia (Collette dan Nauen 1983). Sebagai genus Thunnus dan keluarga Scombridae, tuna ditemukan dan tersebar di samudera daerah beriklim tropis dan sub tropis di dunia (Lee et al. 1999). Pada tahun 2009 (ISSF 2009) produksi ikan tuna dunia telah mencapai 4 juta ton per tahun. Produksi ikan tuna tersebut bersumber dari Samudera Pasifik sekitar 68%, Samudera Hindia sekitar 22% dan sisanya 10% dari Samudera Atlantik dan Laut Mediterania. Adapun komposisi ikan tuna yang tertangkap meliputi Madidihang 24%, big eye 10%, Albacore 5% dan sisanya Sirip Biru sekitar 1%. Tingginya produksi ikan tuna tersebut dipicu oleh berkembangnya alat tangkap jaring purse seine, sebagai salah satu alat alternatif baru selain alat tangkap pancing (hook and line) yang telah digunakan sejak tahun 1940 hingga pertengahan tahun 60-an. Hal ini memicu tingkat eksploitasi yang tinggi, yang akhirnya akan menyebabkan terjadi penurunan sumberdaya (stok) dihampir semua perairan lautan di dunia (FAO 2009). Pada
25 tahun 2009, sebanyak 80 negara di dunia melakukan kegiatan penangkapan ikan tuna sehingga penangkapan ikan tuna telah menjadi industri perikanan yang prospektif dan berperan sebagai sumber devisa negara dan sekaligus penyedia lapangan kerja (ISSF 2009). Penyebaran ikan tuna tersebut pada umumnya mengikuti penyebaran atau sirkulasi arus garis konvergensi diantara arus dingin dan arus panas yang merupakan daerah yang kaya akan organisme sebagai daerah fishing ground yang sangat baik untuk perikanan tuna. Sehingga dalam perikanan tuna pengetahuan tentang sirkulasi arus dan suhu sangat diperlukan, karena kepadatan populasi pada suatu perairan sangat berhubungan dengan arus dan suhu tersebut (Nakamura 1965). Penyebaran tuna di perairan Samudra Hindia meliputi daerah tropis dan sub tropis, penyebaran tuna ini terus berlangsung secara teratur di Samudra Hindia di mulai dari Pantai Barat Australia, sebelah selatan Kepulauan Nusa Tenggara, sebelah selatan Pulau Jawa, sebelah Barat Sumatera, Laut Andaman, di luar pantai Bombay, di luar pantai Ceylon, sebelah Barat Hindia, Teluk Aden, Samudra Hindia yang berbatasan dengan Pantai Somalia, Pantai Timur dan selatan Afrika (Jones dan Silas 1963). Sebaran tuna di Samudera Hindia menurut (Lee et al. 1983) berdasarkan distribusi spatialnya yang dianalisis dari hasil tangkapan bulanan nelayan Taiwan yang menggunakan alat tangkap long line dari tahun 1967 hingga tahun 1996 diperoleh tiga spesies tuna yang dominan, yaitu tuna Mata Besar (Thunnus obesus), Madidihang (Thunnus albacores) dan tuna Albacore (Thunnus alalunga). Menurut Uktolseja et al. (1987), penyebaran tuna di perairan Indonesia meliputi Samudra Hindia (perairan barat Sumatera, selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara), Perairan Indonesia bagian Timur (Laut Sulawesi, Maluku, Arafuru, Banda, Flores dan Selat Makassar) dan Samudra Pasifik (perairan Utara Irian Jaya). Madidihang merupakan spesies yang paling dominan ditangkap dari total produksi ikan tuna yang dihasilkan dari Samudera Hindia, Pada tahun 2009 produksi Madidihang yang dihasilkan adalah 281 000 ton, sementara Mata Besar dan Albacore, masing-masing 102 000 ton dan 40 500 ton. Produksi Madidihang
26 tersebut lebih rendah 11% dari hasil tangkapan pada tahun 2008 yaitu 311 910 ton. Apabila dibandingkan dengan produksi pada tahun 2004 (517 000 ton), produksi pada tahun 2009 tersebut mengalami penurunan sebesar 45%. Terjadinya penurunan tersebut diduga sebagai akibat meningkatnya permasalahan keamanan di perairan Somalia yaitu aktifitas bajak laut, yang berpengaruh terhadap kegiatan penangkapan ikan tuna. Hal ini ditunjukan dengan menurunnya kapasitas tangkap kapal-kapal tuna dari Eropa sebesar 25% dari tahun 2005-2008 dan mengalihkan area tangkapnya dari Samudera Hindia ke tempat lain. Dugaan ini diperkuat oleh perilaku yang sama dari kapal-kapal long line dari Jepang, Taiwan dan Korea secara bergantian kadang-kadang berpindah ke Samudera lain (ISSF, 2011). Adanya indikasi penurunan produksi Madidihang di perairan Samudera Hindia tersebut, selanjutnya pada pertemuan ke 15 Indian Organization Tuna Commission (IOTC) di Colombo, Sri Langka yang dilaksanakan pada tanggal 1822 Maret 2011 diantaranya menetapkan bahwa status stok Madidihang telah mengalami tangkap lebih (overexploited) atau mendekati tangkap lebih (close overexploited). Artinya hasil tangkapan mendekati atau melebihi dari tingkat MSY, yaitu 300 000 ton. Dengan demikian, maka untuk kepentingan pengelolaan maka direkomendasikan untuk pengendalian tekanan dari jumlah kapal yang beroperasi terutama kapal IUU fishing (Illegal Unreported and Un regulated), transhipment oleh kapal besar, pengendalian kapal purse seine dan dirumuskan kembali mengenai implementasi relosusi 10/01 yang direkomendasikan di Busan Korea pada bulan Maret 2010 tentang sistem kriteria pembagian alokasi quota Madidihang dan Mata Besar yang akan diimplentasikan pada tahun 2012 (IOTC, 2011). Berdasarkan pengkajian stok
pada tahun 2010 (revisi/update 2009)
diperoleh gambaran bahwa rasio hasil tangkapan terhadap MSY (The ratio of Fcurrent/FMSY) Madidihang di Samudera Hindia adalah 0.99 berarti masih mendekati masa tangkap lebih (close overexploited) karena berada dalam kisaran 0.85-139.
Dengan
demikian,
kondisi
tersebut
mengindikasikan
bahwa
overexploited akan terjadi baru pada beberapa tahun yang akan datang. Pada revisi tersebut diperoleh gambaran bahwa MSY Madidihang adalah 320 000 ton,
27 produksi tahun 2009 adalah 288 000 ton, rataan produksi dari tahun 2005-2009 adalah 371 000 ton, B/BMSY adalah 1.1 (rentang 0.93-1.25). Namun demikian, informasi tentang jumlah tangkapan pada MSY dan Total Allowable Catch (TAC) belum ada. Produksi tesebut diperoleh dari hasil tangkapan dengan gillnet sebesar 30%, purse seine pada rumpon 18% (by-cath: penyu dan hiu), long line 15% (bycatch: penyu, hiu dan burung), 12% dengan purse seine pada gerombolan ikan, dan 6% dengan menggunakan pole and line dengan by-cath yang belum diketahui (ISSF, 2011). Kondisi status stok Madidihang yang terjadi di Samudera Hindia tersebut nampaknya diacu oleh pemerintah Indonesia untuk menetapkan kondisi stok dan estimasi kelimpahan Madidihang yang ada di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Republik Indonesia yang dituangkan dalam surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2011. Hal ini terjadi mengingat Indonesia memiliki perairan ZEEI Samudera Hindia dengan WPP 572 (Samudera Hindia Barat Sumatera) dan 573 (Samudera Hindia Selatan Jawa). Kedua wilayah tersebut berada dalam wilayah pengelolaan perikanan tuna dunia dengan kode 71 (FA) 2007) yang tentunya tunduk pada peraturan yang dikeluarkan lembaga yang mengatur dalam pengelolaan tuna di Samudera Hindia, yaitu IOTC, karena Indonesia merupakan anggota dari organisasi tersebut. Berdasarkan surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 454 tahun 2011 yang tertuang dalam lampiran II Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor KEP.45/MEN/2011 dinyatakan bahwa status atau tingkat eksploitasi dari Madidihang tersebut telah mengalami tangkap penuh (Fully-exploited). Namun yang disayangkan bahwa kebijakan tersebut dikeluarkan tidak mengacu pada produksi Madidihang yang jelas. Estimasi Madidihang hanya diperoleh dari gambaran potensi ikan pelagis besar yang ada di WPP tersebut, seperti untuk WPP 572 adalah 164 800 ton dan 201 400 ton untuk WPP 573. Padahal menurut Nikijuluw (1986), musim penangkapan tuna di suatu perairan tidak sama dengan perairan yang lain. Hal ini ditunjukkan musim tangkap tuna di perairan Indonesia dapat dilakukan sepanjang tahun, walaupun hasil yang diperoleh berbeda dari musim ke musim dan bervariasi menurut lokasi penangkapan. Hal ini dikuatkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Kasma
28 et al. (2008) yang melaporkan bahwa di Samudera Hindia tertangkap empat jenis ikan tuna yaitu Madidihang/Yellowfin tuna (Thunnus albacares), Mata Besar/Bigeye tuna (Thunnus obesus), Southtern Bluefin tuna (Thunnus macoyii), dan Albacore (Thunnus alalunga), dimana sekitar 73% total hasil tangkapan adalah jenis tuna mata besar. Tuna mata besar, albacore, dan yellowfin tertangkap hampir sepanjang tahun, sedangkan Southern Bluefin tuna tidak tertangkap pada saat musim timur (northwest monsoon). Hal ini menunjukan bahwa kondisi status Madidihang yang ada di WPP Indonesia akan berbeda dengan Samudera Hindia yang berada di negara lain, terutama di Samudera Hindia bagian Barat (Western Indian Ocean) yang telah mengalami penangkapan jenuh.
2.3. Kondisi Hydro-ocenografi Perairan Samudera Hindia Selatan Jawa 2.3.1 Produktivitas Primer Di laut, khususnya laut terbuka, fitoplankton merupakan organisme autotrof utama yang menentukan produktivitas primer perairan. Produktivitas primer adalah jumlah bahan organik yang dihasilkan oleh organisme autotrof, yaitu organisme yang mampu menghasilkan bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan energi matahari. Produktivitas primer sering diestimasi sebagai jumlah karbon yang terdapat di dalam material hidup dan secara umum dinyatakan sebagai jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kuadrat kolom air per hari (g C/m2/hari) atau jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kubik per hari (g C/m3/hari) (Levinton 1982). Selain jumlah karbon yang dihasilkan, tinggi rendahnya produktivitas primer perairan dapat diketahui dengan melakukan pengukuran terhadap biomassa fitoplankton dan konsentrasi klorofil-a, dimana kedua metode ini dapat diukur secara langsung di lapangan (Valiela 1984). Produktivitas primer perairan sangat ditentukan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi produktivitas primer di laut adalah cahaya, nutrien, dan suhu (Valiela 1984; Parsons et al. 1984; Cloern et al.1995; Tomascik et al. 1997). Selain ketiga faktor tersebut, tingginya laju grazing dan sinking (Lehman, 1991) serta jenis fitoplankton (Heyman and Lundgren 1988) juga berperan dalam mendukung produktivitas primer perairan. Menurut Tubalawony (2007) di perairan selatan Jawa, konsentrasi klorofil-a bulanan rata- rata sekitar 0.2 mg m-3 sedangkan di selatan Bali-Sumbawa terjadi
29 peningkatan 75 konsentrasi (0.2–1.5 mg m-3) dengan daerah sebaran yang semakin meluas ke selatan. Pusat sebaran konsentrasi klorofil-a tertinggi berada di perairan selatan Bali. Selama musim timur, sebaran klorofil-a memperlihatkan peningkatan konsentrasi di sepanjang selatan Jawa – Sumbawa. Pada bulan Juni, di selatan Jawa. Hal ini dikuatkan oleh penelitian Kasma et al. (2008) yang 0
0
melaporkan bahwa nilai klorofil pada daerah dengan titik koordinat 07 - 21 LS dan 0
0
107 - 121 BT adalah 0,06 mg/m3 - 0,38 mg/m3. Koefisien relasi antara produktivitas primer dan ikan hasil tangkapan di daerah penelitian sangat kecil (r = 0.008), hal ini berarti bahwa jumlah ikan hasil tangkapan tidak dipengaruhi oleh nilai produktivitas primer perairan. Daerah penangkapan yang potensial untuk ikan tuna mata besar, Albakora, Madidihang, dan Southern Bluefin tuna di Samudera Hindia pada sekitar 0
0
0
0
koordinat 11 – 16 LS dan 106 – 121 BT dengan rentang nilai produktivitas primer yang 2
2
sama yaitu 73 mgC/m day sampai 732 mgC/m day.
2.3.2 Suhu Perairan Suhu secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap produktivitas primer di laut (Tomascik et al. 1997). Secara langsung, suhu berperan dalam mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesis. Tingginya suhu dapat meningkatkan laju maksimum fotosintesis (Pmax), sedangkan secara tidak langsung, suhu berperan dalam membentuk stratifikasi kolom perairan yang akibatnya dapat mempengaruhi distribusi vertikal fitoplankton. Dalam berperan sebagai faktor pendukung produktivitas primer di laut, suhu perairan berinteraksi dengan faktor lain seperti cahaya dan nutrien. Valiela (1984) mengatakan bahwa dalam kaitannya dengan produktivitas primer di laut, suhu lebih berperan sebagai kovarian dengan faktor lain dari pada sebagai faktor bebas. Sebagai contoh, plankton pada suhu rendah dapat mempertahankan konsentrasi pigmen-pigmen fotosintesis, enzim-enzim dan karbon yang besar. Ini disebabkan karena lebih efisiennya fitoplankton menggunakan cahaya pada suhu rendah dan laju fotosintesis akan lebih tinggi bila sel-sel fitoplankton dapat menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Perubahan laju penggandaan sel hanya pada suhu yang tinggi. Tingginya suhu memudahkan terjadinya menyerapan
30 nutrien oleh fitoplankton. Dalam kondisi konsentrasi fosfat sedang di dalam kolom perairan, laju fotosintesis maksimum akan meningkat pada suhu yang lebih tinggi. Grazing dan daya tenggelamnya fitoplankton dalam perairan juga berperan dalam menentukan tinggi rendahnya produktivitas primer perairan. Grazing fitoplankton oleh zooplankton atau nekton akan menurunkan kelimpahan fitoplankton dalam perairan. Tingginya grazing ditentukan oleh kelimpahan zooplankton. Zooplankton memiliki kelimpahan yang tinggi setelah puncak peledakan populasi fitoplankton. Menurut Levinton (1982), terjadinya kelimpahan zooplankton, kemungkinan karena waktu lag dalam produksi zooplankton
dan
grazing
standing
crop
fitoplankton
secara
gradual.
Tenggelamnya fitoplankton akan mengakibatkan terjadinya perubahan dalam distribusi fitoplankton secara vertikal. Laju tenggelam fitoplankton akan berkurang dengan meningkatnya densitas perairan. Kuatnya stratifikasi perairan terutama pada lapisan termoklin mengakibatkan fitoplankton yang tenggelam tidak dapat melewati lapisan termoklin (Tomascik et al. 1997). Hal inilah yang mengakibatkan tingginya produktivitas primer pada lapisan atas termoklin. Fitoplankton yang tenggelam hingga di bagian bawah lapisan eufotik akan sulit terangkat ke lapisan permukaan kecuali bila terjadi pergerakan vertikal massa air. Menurut Stewart (2002), penyebaran suhu pada permukaan laut membentuk suatu zona berdasarkan letak lintang. Semakin mendekati garis khatulistiwa (lintang rendah) suhu akan meningkat dan sebaliknya, suhu akan semakin menurun saat mendekati kutub (lintang tinggi). Penyebaran suhu di lapisan permukaan (surface layer) ditentukan oleh berbagai faktor, yaitu jumlah bahang yang diterima dan pengaruh meteorologi seperti angin, penguapan, hujan dan lain-lain. Secara vertikal suhu di lautan dibagi menjadi tiga zona (Bearman 2004), yaitu: (1) lapisan permukaan(homogeneous layer) yang merefleksikan suhu ratarata tiap lintang, (2) lapisan termoklin (thermocline layer), (3) lapisan dalam (deep layer) yang merefleksikan ciri khas asal massa air tiap lintang. Lapisan permukaan sering disebut sebagai lapisan homogen karena pada lapisan ini terjadi pengadukan massa air oleh angin, arus, dan pasang surut sehingga dapat mencapai
31 suhu yang seragam atau homogen. Pada daerah tropis pengadukan ini dapat mencapai kedalaman 50 m sampai 100 m dengan suhu berkisar 26 - 30 °C dan gradien tidak lebih dari 0.03 °C/m. Lapisan ini sangat dipengaruhi oleh musim dan letak geografis. Lapisan homogen di Laut Cina Selatan mencapai kedalaman 30 m sampai 40 m saat musim timur dan dapat bertambah saat musim barat, yaitu mencapai 70 m sampai 90 m sehingga mempengaruhi sirkulasi vertikal dari perairan (Wyrtki 1961; Gross 1990). Menurut Gross (1990), lapisan termoklin yang terbentuk di perairan tropis dapat mencapai ketebalan antara 100 m sampai 205 m dengan gradien suhu mencapai 0.1 ºC/m. Namun menurut Illahude (1978), lapisan termoklin secara lebih rinci dapat dibagi menjadi dua lapisan, yaitu lapisan termoklin atas (main thermocline) dan termoklin bawah (secondary thermocline). Pada termoklin atas suhu menurun lebih cepat dibandingkan dengan termoklin bawah. Rata-rata penurunan suhu di termoklin atas dapat mencapai 19 °C/200 m= 9.5 °C/100 m dan rata-rata penurunan suhu di termoklin bawah dapat mencapai 1.3 °C/100 m (Gross 1990; Illahude 1978). Lapisan dalam (deep layer) dapat mencapai kedalaman 2500 m dengan penurunan suhu yang sangat lambat. Gradien suhu mencapai 0.05 °C/100 m. Pada daerah tropis kisaran suhu di lapisan dalam adalah 2 °C sampai 4 °C (Illahude 1978).
2.3.3 Sistem Angin Muson Keadaan atmosfir dan perubahan tekanan yang terjadi di atas suatu perairan dan daratan sekitarnya sangat berpengaruh terhadap pola angin yang bertiup di atas suatu perairan. Interaksi yang erat antara udara dan laut tersebut mengakibatkan sirkulasi oseanis Samudera Hindia sangat berhubungan erat dengan sirkulasi angin muson yang bertiup di atas perairan tersebut. Webster (1987) in Clark et al. (1999) mengatakan bahwa mekanisme sirkulasi muson didasarkan oleh adanya gradien tekanan yang memotong khatulistiwa akibat perbedaan bahang dari daratan dan lautan sebagai dampak dari perputaran bumi,
32 dan perubahan kelembaban antara laut, atmosfir dan daratan. Perairan timur laut Samudera Hindia yang terletak di antara benua Asia dan Australia merupakan wilayah yang ideal untuk terjadinya angin muson. Berubahnya posisi matahari mengakibatkan terjadinya perubahan tekanan di kedua benua tersebut, dan pergerakan Equatorial Pressure Trough (EPT) dan berubahnya arah angin. Menurut Wyrtki (1961), EPT akan bergerak melewati khatulistiwa sebanyak dua kali dalam setahun. Angin muson yang bertiup di atas perairan barat Sumatera dan selatan Jawa - Sumbawa dicirikan oleh pembalikan arah angin permukaan secara musiman. Menurut Tchernia (1980), angin muson barat laut terjadi selama bulan Desember – Februari (musim barat) dan angin muson tenggara selama bulan Juni – Agustus (musim timur). Pada musim barat, di belahan bumi utara (daratan Asia) terjadi musim dingin dan di belahan bumi selatan (daratan Australia) terjadi musim panas. Pada saat ini, pusat tekanan tinggi berada di daratan Asia dan pusat tekanan rendah di daratan Australia. Keadaan ini menyebabkan angin bertiup dari daratan Asia menuju daratan Australia, dan sebaliknya terjadi pada saat musim timur. Pada bulan April – Mei dan Oktober – November, arah angin tidak menentu dan periode ini dikenal sebagai musim pancaroba awal tahun dan akhir tahun. Menurut Clark et al. (1999), di Samudera Hindia selama musim timur, angin bertiup dari belahan bumi selatan, akibatnya terjadi akumulasi kelembaban dan presipitasi yang tinggi di daratan Asia, sedangkan pada musim barat, angin kering bertiup dari daratan Asia Barat yang dingin ke Lautan Selatan yang panas. Perubahan angin muson di perairan barat Sumatera dan selatan Jawa - Sumbawa memiliki karakteristik yang sama dengan perairan Indonesia lainnya. Perubahan arah dan kekuatan angin yang bertiup di atas perairan mengakibatkan terjadinya perubahan dinamika di dalam perairan tersebut. Menurut Clark et al. (1999), kuatnya angin muson mengakibatkan meningkatnya transport Ekman, percampuran vertikal, dan tingginya bahang yang hilang akibat evaporasi sepanjang musim panas, sehingga mengakibatkan terjadinya pendinginan suhu permukaan perairan, dan sebaliknya bila angin menjadi lemah dimana percampuran vertikal massa air akan lemah dan bahang
33 yang hilang melalui evaporasi menjadi berkurang. Keadaan ini berdampak terhadap tingginya suhu permukaan perairan. 2.4 Karakteristik Armada dan Skala Usaha Perikanan Kegiatan perikanan tangkap di Indonesia, sampai saat ini masih didominasi oleh perikanan tangkap berskala kecil. Hal ini tergambarkan dari komposisi armada perikanan tangkapnya yang sebagian besar masih didominasi oleh usaha perikanan tangkap skala kecil yaitu sekitar 97.11%, untuk berskala kecil dan 2.89% berskala besar (KKP 2009). Adapun struktur armadanya, terdiri dari perahu motor tempel 233 530 unit (39.17%), perahu tanpa motor 205 460 unit (34.46%), dan kapal motor 157 240 unit atau 26.37%. Dari kapal motor yang ada tersebut, terbagi dalam kategori ukuran berdasarkan bobot tonase, yang meliputi kapal motor berukuran < 5 GT (69.70%), 5-10 GT (19.33%), dan sisanya berukuran anatara 10 GT sampai di atas 200 GT. Berdasarkan persentase dari komposisinya, maka disimpulkan bahwa perikanan tangkap Indonesia secara nasional masih rendah atau masih tradional, yang biasanya diikuti dengan kualitas teknologi dan sumberdaya manusia yang rendah pula. Alat tangkap yang digunakan dalam perikanan berskala kecil tersebut pada umumnya di masing-masing daerah relatif sama. Sebagai contoh di Manado untuk yang berukuran < 5GT menggunakan pancing selar (noru) dan pancing ulur (hand line), sedangkan yang berukuran < 30 GT purse seine (Mamuaya 2007). Demikian juga halnya di Pantai Utara Jawa, khsususnya di Jawa Tengah sebagian besar nelayannya menggunakan alat tangkap gill net, paying atau trammel net untuk kapal berukuran kurang dari 5 GT dan 5 - 10 GT, sedangkan untuk yang berukuran 10 - 20 GT menggunakan Cantrang, dan di atas 20 GT biasanya menggunakan purse seine dan gillnet (Hermawan 2006). Bobot tonase dan penggunaan mesin dalam kapal, di Indonesia dijadikan indikator untuk membedakan antara kelompok kapal tradisional atau kecil, menengah dan besar. Padahal menurut Smith (1983) pengelompokan tersebut bisa di lihat dari ukuran kapal, dan berdasarkan wilayah operasinya, sehingga bisa dikelompokan ke dalam perikanan pantai atau lepas pantai, artisanal atau
34 komersial. Hal ini dikuatkan oleh Charles (2001), yang berpendapat bahwa pengelompokan skala usaha dalam kegiatan perikanan tangkap harus dibedakan atas dasar perbedaan dari ukuran kapal, daerah penangkapan, yaitu jarak dari pantai
ke
lokasi
penangkapan
dan
berdasarkan
tujuan
produksinya.
Pengelompokan tersebut dilakukan melalui perbandingan perikanan skala kecil (small-scale fisheries) dengan perikanan skala besar (large-scale fisheries), walaupun diakuinya belum begitu jelas sehingga masih perlu dilihat dari berbagai aspek yang lebih spesifik. Asumsi dari Charles (2001) tersebut, selanjutnya digunakan sebagai acuan oleh Indian Ocean Tuna Commision (IOTC 2009) dalam penentuan jenis usaha perikanan tangkap, khsususnya di wilayah Samudera Hindia. Skala usaha kegiatan perikanan tangkap, khususnya yang beropersi di Samudera Hindia dikelompokkan atas tiga kategori, yaitu skala kecil, menengah dan besar, dengan ukuran masing-masing < 12 M, 12 - 24 M dan > 24 M. Penentuan skala usaha perikanan tangkap di Indonesia, berbeda dengan Malaysia yang membedakan antara bobot kapal, tipe alat tangkap, dan area penangkapan. Sedangkan di Hongkong dan Singapura, pengelompokan tersebut didasarkan kepada wilayah operasi, yaitu inshore dan offshore fisheries, sementara di negara Thailand perbedaannya berdasarkan tipe alat tangkap yang digunakan (Smith 1983). 2.5 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pengelolaan sumberdaya perikanan laut dihadapkan pada tantangan yang timbul karena faktor-faktor yang menyangkut perkembangan penduduk, perkembangan sumberdaya dan lingkungan, perkembangan teknologi dan ruang lingkup internasional. Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 2004 tentang perikanan bahwa yang dimaksud dengan perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Pengelolaan sumberdaya ikan dapat dimanfaatkan secara optimal dan berlangsung terus menerus, baik melalui kegiatan penangkapan maupun budidaya. Penangkapan ikan didefinisikan sebagai kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan di
35 perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah dan mengawetkannya. Pengelolaan perikanan adalah suatu proses yang terintegrasi mulai dari pengumpulan
informasi,
analisis,
perencanaan,
konsultasi,
pengambilan
keputusan, alokasi sumber dan implementasinya (with enforcement if need), dalam upaya menjamin kelangsungan produktivitas serta pencapaian tujuan pengelolaan (CCRF Guideline No.4). Sedangkan menurut Ditjen Perikanan (1999) pengelolaan sumberdaya perikanan merupakan suatu sistem yang terdiri dari 3 sub-sistem, yaitu : 1) Sub-sistem eksplorasi sumberdaya perikanan. Diharapkan akan dapat menjawab keterbatasan informasi, yang terkait dengan besarnya potensi sumberdaya perikanan yang tersedia menurut jenis dan penyebarannya yang dapat dituangkan dalam bentuk peta penyebaran, tata ruang wilayah, kawasan konservasi dan besarnya alokasi sumberdaya yang dapat dimanfaatkan pada periode waktu dan lokasi tertentu, Penyediaan sarana yang tercakup dalam subsistem eksplorasi diharapkan akan dapat mendukung rencana lokasi pemanfaatan sumberdaya, sejalan dengan penyebaran sumberdaya dan tata ruang wilayah, sehingga diperoleh suatu sistem jaringan prasarana yang memadai dan efisisen. 2) Sub-sistem pemanfaatan sumberdaya dan pembinaan usaha. Penanganan subsistem pemanfaatan sumberdaya perikanan diharapkan dapat mengembangkan usaha pemanfaatan sumberdaya yang produktif, mempunyai nilai tambah yang tinggi dan dapat memberikan jaminan pendapatan bagi para pelakunya, dalam rangka peningkatan kesejahteraan. Pemanfaatan sumberdaya dan pembinaan usaha dilakukan berdasarkan potensi sumberdaya wilayah yang tersedia dan didasarkan pada partisispasi dan keinginan masyarakat setempat sesuai dengan permintaan pasar. 3) Sub-sistem pengawasan dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya. Penanganan subsistem pengawasan dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya, diharapkan dapat memberikan jaminan bahwa pemanfaatan sumberdaya dilakukan secara efisien dan sesuai dengan ketentuan yang ada. Berjalannya subsistem ini akan dapat menekan pemborosan dan kehilangan akan sumberdaya perikanan, serta diharapkan akan dapat memberikan
36 jaminan terhadap keberlanjutan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha, untuk itu diperlukan keterpaduan antara lembaga pengawasan dan peningkatan koordinasi antara penegak hukum. Pengeloalan perikanan khususnya kegiatan produksi perikanan tangkap pada suatu wilayah perairan dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain: ketersediaan stok, tingkat upaya penangkapan, serta faktor lain termasuk mortalitas yang bersifat alamiah. Faktor-faktor produksi (tingkat upaya) yang telah ada merupakan faktor yang pengaruhnya paling besar (Monintja dan Zulkarnain 1995). Ketersediaan stok ikan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: kelahiran, pertumbuhan, kematian, emigrasi dan imigrasi ikan. Pertumbuhan pada tingkat individu dapat dirumuskan sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu, sedangkan pertumbuhan populasi, diartikan sebagai pertambahan jumlah. Faktor dalam dan luar yang mempengaruhi pertumbuhan diantaranya ialah jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, jumlah individu yang menggunakan makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut, faktor kualitas air, umur dan ukuran ikan serta kematangan gonad (Effendie 1997). Selain permasalahan aspek bio-ekologi dan tingkat upaya, aspek kebijakan sektor perikanan juga menjadi sangat penting. Kusumastanto (2002), menyatakan bahwa ketertinggalan sektor perikanan dan kelautan merupakan akibat dari adanya persoalan-persoalan yang bersifat struktural, terutama adanya kebijakan pembangunan pada masa orde baru yang cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi non-kelautan, padahal sektor mempunyai logika dan karakteristik pembangunan yang berbeda dengan sektor non-kelautan yang lebih berorientasi kedaratan (terresterial). Lebih jauh dinyatakan bahwa arah pembangunan yang mengarah pada output semata harus ditinggalkan dan dikembangkan pada pembangunan yang memberikan nilai tambah (added value), kesejahteraan rakyat, serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Pembangunan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Pengembangan jenis teknologi penangkapan ikan perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan
37 pembangunan umum perikanan. Adapun syarat-syarat pengembangan teknologi penangkapan ikan haruslah dapat, menyediakan kesempatan kerja yang banyak, menjamin pendapatan yang memadai bagi para tenaga kerja atau nelayan, menjamin jumlah produksi yang tinggi untuk menyediakan protein, mendapatkan jenis ikan komoditas ekspor atau jenis ikan yang biasa di ekspor serta tidak merusak kelestarian ikan. Menurut Fauzi (2004) untuk mengendalikan hal-hal tersebut, penerapan kebijakan konvensional yang sering digunakan antara lain pajak, baik pajak terhadap input maupun output perikanan, pembatasan entry (limited entry) maupun kuota, untuk mencapai tujuan pengelolaan perikanan yang rasional dan bertanggung jawab, sering menemui kegagalan. User fee atau fishing fee sebagai salah satu alternatif pengelolaan sumberdaya perikanan yang didasarkan pada cost-effective management, diharapkan menjadi stimulus bagi pengelolaan sumber daya perikanan yang lebih efektif, disamping tersedianya dana untuk pemeliharaan dan pengelolaan sumber daya perikanan. Pengelolaan sumberdaya perikanan perlu melakukan estimasi dengan validitas yang tinggi. Salah satu kompleksitas dalam pengelolaan perikanan di daerah tropis adalah umumnya ikan dicirikan oleh sifat multispesies dan usaha perikanan dicirikan oleh keragaman armada. Sistem perikanan terdapat tiga tipe utama interaksi antara komponen sistem multispesies/multiarmada yakni: 1) interaksi biologi, interaksi ekonomi dan interaksi teknis (FAO 1999). Lebih jauh King (1995) menyatakan bahwa tujuan utama pengelolaan perikanan adalah menjaga ketersediaan stok sumberdaya ikan. Pengelolaan perikanan modern perlu memasukkan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan dengan tujuan kesejateraan masyarakat pemanfaat (nelayan), efisiensi ekonomi, alokasi sumber daya dan menjaga kelestarian lingkungan.
2.6 Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Didasarkan pada tujuan utama pengelolaan sumberdaya berkelanjutan adalah pencapaian keuntungan secara maksimum dengan tetap menjaga
38 keberlangsungan ketersediaan sumberdaya sebagaimana tujuan pembangunan berkelanjutan yakni pembangunan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini tanpa menurunkan atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya (WCED 1987 in Dahuri 2003).
Selanjutnya
bahwa atas dasar definisi dari tujuan tersebut, pembangunan berkelanjutan mengandung tiga unsur (dimensi) utama yang meliputi dimensi ekonomi, ekologis dan sosial (Harris and Goodwin 2002 in Dahuri 2003). Prasyarat utama pembangunan berkelanjutan adalah tersedianya sumber daya (input) secara berkelanjutan. Menurut Heal (1998) in Fauzi (2004), konsep keberlanjutan ini paling tidak mengandung dua dimensi: Pertama adalah dimensi waktu karena keberlanjutan tidak lain menyangkut apa yang akan terjadi di masa mendatang. Kedua adalah dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem sumberdaya alam dan lingkungan. Untuk memenuhi ketersediaan sumberdaya (input) secara terus menerus, maka perhitungan-perhitungan lingkungan (environmental accounting) harus dimasukkan sebagai instrumen kebijakan. Dengan demikian maka pembangunan berkelanjutan dapat terwujud, sebagaimana yang dikatakan oleh Todaro and Smith (2003), bahwa suatu proses pembangunan baru dapat dikatakan berkesinambungan apabila total stok modal jumlahnya tetap atau meningkat dari waktu ke waktu. Hal penting yang terkandung secara implisit dalam pernyataan tersebut adalah kenyataan bahwa pertumbuhan ekonomi di masa mendatang dan kualitas kehidupan umat manusia secara keseluruhan sangat ditentukan oleh kualitas lingkungan hidup yang ada pada saat ini. Sektor perikanan dan kelautan merupakan salah satu sektor yang memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi, khususnya di negaranegara berkembang seperti Indonesia. Selain sebagai sumber protein utama bagi kurang lebih 230 juta penduduk Indonesia, sektor perikanan dan kelautan juga merupakan sumber penghasilan dan lapangan pekerjaan bagi sebagian besar masyarakat. Sektor perikanan dan kelautan juga berperan penting dalam penerimaan devisa melalui perdagangan internasional (global trade). Sutikno dan Maryunani (2006), menyatakan sumberdaya perikanan sebagai salah satu sumber daya alam yang bersifat dapat diperbaharui
39 (renewable), dalam hal pengelolaannya memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati. Disamping itu, model pengusahaan sumberdaya perikanan selama ini dikenal dengan open access yang memberikan anggapan bahwa sumberdaya perikanan laut tidak bertuan, sehingga dengan demikian siapa saja, kapan saja serta berapapun jumlah yang manpu dieksploitasi itulah menjadi hak mereka. Kondisi yang demikian akan mengarah pada rezim pengolaan tanpa kepemilikan (open acces). Menurut FAO (1999) bahwa pengelolaan perikanan sangat penting memperhatikan aspek-aspek ekologis (lingkungan) seperti perikanan tangkap ramah lingkungan (friendly fishing method), model pembudidayaan ikan dan udang
yang memperhatikan aspek-aspek lingkungan sebagaimana
yang
disyaratkan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) . Aspek-aspek keberlanjutan tersebut menjadi sangat penting terutama ketika dikaitkan dengan dampak yang ditimbulkan dari model pengelolaan unsustainable seperti tangkap lebih (overfishing), sebagai akibat dari tidak adanya regulasi penangkapan ikan seperti batas jumlah tangkapan (qouta), hak kepemilikan (property rights) yang tidak jelas serta minimnya pengawasan. Metode penangkapan ikan dengan bom dan cyanida, serta metode pembukaan lahan budidaya melalui konversi hutan mangrove adalah model-model pengelolaan yang kurang mengedepankan aspek-aspek keberlanjutan. Selain itu aktivitas ekonomi di darat (upland), pengeboran minyak dan pengerukan pasir laut serta laut menjadi jalur transportasi yang padat, akan berpotensi untuk memberikan tekanan yang semakin besar kepada laut, sehingga dampak tersebut berakibat terhadap terjadinya degradasi dan depresiasi sumberdaya alam. Model-model pengelolaan perikanan dan kelautan yang diterapkan kemudian menjadi sangat penting. Pengalokasian sumberdaya yang jelas efisien dan merata serta sustain akan menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan. Indikator-indikator pengelolaan serta alat-alat evaluasi (tools analysis) yang digunakan akan menentukan seberapa besar keuntungan yang diperoleh masyarakat nelayan baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen.
40 Pengambilan kebijakan terhadap pengelolaan sumberdaya, dengan prinsip keberpihakan terhadap masyarakat (nelayan) adalah hal yang utama. Pengaturan dan pengalokasian sumber daya secara efisien dan merata akan sangat menentukan keberhasilan program. Pengaturan property rights (hak kepemilikan), adalah salah satu upaya dalam optimalisasi potensi sumber daya yang berkelanjutan. Selain itu eksternalitas dan masalah terhadap lingkungan juga perlu dimasukkan dalam perhitungan ekonomi sumberdaya perikanan berkelanjutan. Pengaturan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan perlu dilakukan, mengingat sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya public goods (barangbarang publik), sehingga dalam pengelolaannya menjadi open access dan milik bersama (common property). Pengelolaan sumberdaya yang demikian oleh Garret Hardin akan mengarah pada the tragedy of commons, (tragedi milik bersama). Selain itu sifat sumberdaya perikanan yang meskipun dapat pulih (renewable) akan tetapi sangat bergantung pada daya dukung lingkungan (carrying capacity), sehingga memerlukan ketelitian dalam pengelolaannya. Menurut Gordon (1954) in Fauzi (2004) bahwa sumberdaya ikan pada umumnya bersifat open access. Tidak seperti sumberdaya alam lainnya, seperti pertanian dan peternakan yang sifat kepemilikannya jelas, sumberdaya ikan relatif bersifat terbuka. Gordon selanjutnya menyatakan bahwa tangkap lebih secara ekonomi (economic overfishing) akan terjadi pada perikanan yang tidak terkontrol ini. Mengacu pada contoh dua tipe akses yang berbeda, yakni akses terbuka (open access) dan akses terbatas (limited access). Konsep keberlanjutan paling tidak mengandung dua dimensi: Pertama, adalah dimensi waktu karena keberlanjutan tidak lain menyangkut apa yang akan terjadi di masa mendatang. Kedua, adalah dimensi interaksi antara sistem ekonomi, sumber daya alam dan lingkungan (Heal 1998 in Fauzi 2004). Perikanan tangkap merupakan aktivitas ekonomi yang unik bila dibandingkan dengan aktivitas lain. Hal ini berkaitan dengan kondisi sumberdaya ikan dan laut itu sendiri, yang seringkali dianggap sebagai common pool resources. Selain itu, perikanan tangkap ini biasanya dikelola pada kondisi open access, yang menyebabkan sulitnya pengendalian faktor input, sehingga akhirnya
41 sulit untuk mengukur seberapa besar kapasitas perikanan yang dialokasikan di suatu wilayah perairan. Dalam kondisi ini, sulit bagi kita untuk mengetahui apakah perikanan dalam keadaan kelebihan kapasitas (over capacity), atau di bawah kapasitas (under capacity) atau telah efisien? Kegagalan dalam pengukuran kapasitas perikanan inilah yang menyebabkan kita kesulitan mengatasi masalah eksternalitas (Fauzi dan Anna 2005). Selain itu, pengelolaan sumber daya perikanan secara berkelanjutan harus pula memperhatikan keterkaitan aspek ekologis, aspek ekonomi dan aspek sosial. Ketiga aspek tersebut saling terkait. Aspek ekologis merupakan pendekatan kelestarian ekologi dan menurut Keraf (2002) disebut ekologi berkelanjutan bila memiliki sasaran mempertahankan dan melestarikan ekologi dan seluruh kekayaan bentuk bentuk kehidupan didalamnya. Pembangunan perikanan berkelanjutan juga harus memperhatikan kompleksitas dalam pengelolaannya. Bagaimana suatu aktivitas pembangunan akan berdampak terhadap lingkungan. Konsep keberlanjutan kemudian akan menjadi sangat penting. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan
ekosistem
alamiah
sedemikian
rupa,
sehingga
kapasitas
fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia tidak rusak. Dalam kaitannya dengan aktivitas pembangunan perikanan dan konsep keberlanjutan, menurut Bengen (2004) bahwa akan terdapat tiga opsi yakni: 1) aktivitas pembangunan yang tidak berdampak negatif sama sekali terhadap lingkungan, 2) aktivitas yang hanya sedikit dampak negatifnya dan 3) aktivitas yang menimbulkan perubahan besar terhadap lingkungan.