2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan Menurut Walgito (2002), pengetahuan (knowledge) adalah mengenal suatu obyek baru yang selanjutnya menjadi sikap terhadap obyek tersebut apabila pengetahuan itu disertai oleh kesiapan untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan tentang obyek itu. Seseorang jika mempunyai sikap tertentu terhadap suatu obyek, itu berarti orang tersebut telah mengetahui tentang obyek tersebut. Koentjaraningrat (1990) menyebutkan bahwa pengetahuan adalah unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa seorang manusia yang sadar, secara nyata terkandung dalam otaknya. Hal ini berarti pengetahuan berhubungan dengan jumlah informasi yang dimiliki oleh seseorang. Lakhan dan Sharma (2010), menambahkan bahwa pengetahuan adalah kemampuan untuk memperoleh, mempertahankan, dan menggunakan informasi, gabungan pemahaman, ketajaman dan keterampilan. Pengetahuan dapat didefinisikan sebagai ingatan mengenai sesuatu yang bersifat spesifik atau umum, metode atau proses, pola, susunan, dan keadaan (Kibler et al. 1981). Hal tersebut selaras dengan pernyataan Winkel (1987) bahwa pengetahuan merupakan ingatan tentang hal-hal yang pernah dipelajari baik itu berbentuk fakta, kaidah, prinsip, ataupun metode. Pengetahuan yang tersimpan dalam ingatan ini digali pada saat diperlukan melalui bentuk mengingat (recall) atau mengenal kembali (recognition). Supriyadi (1993) menyatakan bahwa pengetahuan merupakan sekumpulan informasi yang dipahami, yang diperoleh melalui proses belajar selama hidup dan dapat digunakan sewaktu-waktu sebagai alat penyesuaian diri sendiri maupun lingkungan. Pengetahuan seorang individu dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemampuan, keperluan, pengalaman, dan tingkat mobilitas materi informasi dalam lingkungannya. Pengetahuan didapatkan individu baik melalui proses belajar, pengalaman, atau media elektronika yang kemudian disimpan dalam memori individu. Pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman langsung maupun yang berasal dari pengalaman orang lain memungkinkan seseorang untuk memahami suatu masalah yang dihadapinya (Idris 1982). Pengetahuan seseorang dapat berkembang sesuai dengan kemampuan, keperluan, pengalaman, dan tingkat mobilitas materi informasi di dalam lingkungannya. Sumber pengetahuan seseorang dapat berasal dari berbagai macam proses belajar baik yang bersifat formal maupun yang non-formal (Supriyadi 1993). Menurut Azemi (2010), tanpa adanya pengetahuan seseorang tidak akan mempunyai dasar pegangan untuk mengambil sebuah keputusan dan menentukan suatu tindakan terhadap masalah yang dihadapinya. Secara garis besar pengetahuan dibagi menjadi 5 tingkat, yaitu: a. Tahu (know) Hanya sebagai memanggil memori yang telah dipelajari sebelumnya, yang termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
4
b. Memahami (comprehension) Suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang suatu objek yang diketahui dan dapat menginterpretasi materi tersebut dengan benar. Seseorang yang telah paham terhadap suatu objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, dan meramalkan terhadap objek yang sudah dipelajari. c. Aplikasi (application) Kemampuan seseorang untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya. d. Analisis (analysis) Suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu materi atau objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti menggambarkan, membedakan, dan mengelompokan. e. Sintesis (synthesis). Suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan beberapa bagian ke dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru, dengan kata lain ada kemampuan untuk membina suatu formulasi yang baru sebagai hasil dari gabungan beberapa formulasi yang telah ada. Pengetahuan akan dibatasi pada pengetahuan mengenai fakta atau informasi yang diketahui dan berhubungan dengan aspek dalam pengelolaan higiene pangan. Ehiri dan Morris (1996) dalam penelitiannya mengenai edukasi dan pelatihan praktik higiene pada orang yang menangani makanan mendapatkan hasil bahwa, perilaku atau praktik individu bergantung pada pengetahuannya.
2.2 Sikap Pengertian sikap menurut Rakhmat (2001) adalah sebagai berikut: 1. Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi obyek, ide, situasi, atau nilai tertentu. 2. Sikap mempunyai daya dorong dan motivasi. 3. Sikap relatif lebih menetap. 4. Sikap mengandung aspek evaluatif. 5. Sikap dapat timbul dari pengalaman, tidak dibawa sejak lahir tapi merupakan hasil belajar, sehingga sikap dapat diperkuat atau diubah. Gerungan (1996) menyebutkan bahwa manusia tidak dilahirkan dengan pandangan ataupun perasaan tertentu, tapi sikap tersebut dibentuk sepanjang perkembangaannya. Sikap tersebut menyebabkan manusia akan bertindak secara khas terhadap obyek tertentu, oleh karena itu: 1. Sikap tidak dibawa sejak manusia dilahirkan, melainkan dibentuk atau dipelajarinya sepanjang perkembangan manusia tersebut dalam hubungan dengan obyeknya. 2. Sikap dapat mengalami perubahan, oleh karena itu sikap dapat dipelajari. 3. Obyek sikap dapat merupakan satu hal tertentu, tapi juga dapat merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut. 4. Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan.
5
5. Sikap tidak berdiri sendiri tapi mengandung relasi tertentu terhadap suatu obyek. Beberapa ahli psikologi lainnya menyatakan bahwa pengertian sikap harus dipertimbangkan dari segi komponen penyusunnya. Komponen penyusun ini meliputi komponen kognisi, afeksi, dan perilaku. Komponen kognisi berkenaan dengan sistem keyakinan individu mengenai obyek sikap. Komponen afeksi mencakup arah dan intensitas dari penilaian individu atau perasaan yang dialami terhadap obyek sikap. Komponen perilaku merupakan kecenderungan untuk bertindak menurut cara tertentu terhadap objek sikap (Feldman 1985). Mar’at (1981) menyebutkan bahwa sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap obyek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap obyek tersebut, selanjutnya memberikan nilai terhadap stimulus dalam bentuk baik atau buruk, positif atau negatif, menyenangkan atau tidak menyenangkan, setuju atau tidak setuju kemudian sebagai potensi reaksi terhadap obyek sikap. Menurut Azwar (2003) sikap terbentuk dari pengalaman, melalui proses belajar. Pengalaman yang dimaksud adalah tentang obyek yang menjadi respon evaluasi dari sikap. Proses belajar dalam pengalaman adalah sebagai peningkatan pengetahuan individu terhadap obyek sikap. Proses belajar tersebut didapat melalui interaksi dengan pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan agama, serta pengaruh faktor emosional. Azwar (2003) mengemukakan berbagai metode dan teknik telah dikembangkan oleh para ahli untuk mengungkap sikap manusia dan memberikan interpretasi yang valid. Pengungkapan sikap manusia dilakukan dengan beberapa metode, antara lain: (1) observasi perilaku, (2) penanyaan langsung, dan (3) pengungkapan langsung. Observasi perilaku dilakukan dengan cara memperhatikan perilaku seseorang, sebab perilaku merupakan salah satu indikator sikap dari seseorang. Perilaku seseorang hanya akan konsisten dengan sikap bila dalam kondisi dan situasi yang memungkinkan. Penanyaan langsung dilakukan dengan cara menanyakan secara langsung kepada responden untuk mengetahui sikap seseorang terhadap suatu hal. Asumsi yang mendasari metode ini adalah bahwa individu merupakan orang yang paling tahu mengenai dirinya sendiri dan seseorang akan mengemukakan secara terbuka apa yang dirasakannya. Metode ketiga dilakukan dengan cara mengungkapkan langsung yang dapat dilakukan secara tertulis dengan cara meminta responden menjawab secara langsung suatu pernyataan sikap tertulis dengan memberi tanda “sangat setuju”, “setuju”, “tidak tahu”, “tidak setuju”, dan “sangat tidak setuju”. Penyajian dan pemberian respon yang dilakukan secara tertulis memungkinkan individu untuk menyatakan sikap secara lebih jujur. Penelitian Wilcock et al. (2004) mengenai pengetahuan, sikap, dan perilaku konsumen pangan menyatakan bahwa sikap konsumen dapat dipengaruhi dan memprediksi suatu perilaku. Penelitian ini juga menyoroti berbagai macam sikap konsumen terhadap keamanan pangan. Perbedaan diantara konsumen tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk faktor demografi, status sosial, dan ekonominya.
6
2.3 Praktik Praktik (practice) adalah kebiasaan bertindak yang menunjukkan tabiat seseorang yang terdiri dari pola-pola tingkah laku yang digunakan oleh individu dalam melakukan kegiatannya. Lebih jauh dikatakan bahwa praktik itu terjadi karena adanya penyebab (stimulus), motivasi, dan tujuan dari tindakan itu (Arif 1995). Praktik dianggap sebagai hasil interaksi antara faktor-faktor yang terdapat di dalam diri sendiri (karakteristik individu) dan faktor luar (faktor eksternal). Proses interaksi itu sendiri terjadi pada kesadaran atau pengetahuan seseorang (Sarwono 2002). Praktik (B) adalah fungsi (f) karakteristik individu (P) dan lingkungan (E), sehingga jika dirumuskan menjadi seperti berikut: B = f (P,E) (Azwar 2003). Pola praktik seseorang bisa saja berbeda antara satu dengan yang lainnya, tapi untuk proses terjadinya adalah mendasar bagi semua individu, yakni dapat terjadi karena disebabkan, digerakkan, dan ditunjukkan pada sasaran (Kast dan Rosenzweig 1995). Azemi (2010) mengemukakan bahwa suatu sikap belum tentu terwujud secara otomatis dalam suatu praktik, untuk mewujudkannya menjadi perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan. Praktik terdiri atas beberapa tingkatan, yaitu: a. Persepsi (perception) Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan praktik yang akan diambil. b. Respon terpimpin (guided respons) Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh. c. Mekanisme (mechanism) Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis ataupun sesuatu itu sudah menjadi kebiasaannya. d. Adaptasi (adaptation) Suatu praktik yang sudah berkembang baik yang mana artinya praktik itu sudah dimodifikasinya oleh sendiri tanpa mengurangi kebenaran dari praktik tersebut.
2.4 Studi Knowledge, Attitude, and Practice (KAP) Studi knowledge, attitude, and practice (KAP) merupakan suatu studi representatif dari suatu populasi yang bersifat spesifik yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi tentang apa yang diketahui, dipercayai, dan dilakukan terkait dengan suatu topik tertentu. Data yang diperoleh dari studi KAP adalah dengan menggunakan kuisioner yang disusun secara terstruktur. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif tergantung dari desain dan tujuan studi tersebut. Data dari hasil studi akan sangat bermanfaat untuk membantu merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi dari suatu kegiatan serta mencari pemecahannya untuk memperbaiki kualitas dan aksesibilitas pelayanan/program (WHO 2008). Studi KAP terfokus pada evaluasi perubahan terhadap pengetahuan, sikap, dan perilaku sebagai respon dari suatu hubungan tertentu, demonstrasi, ataupun
7
edukasi. Studi KAP sudah digunakan di berbagai belahan dunia selama 40 tahun terakhir pada aspek kesehatan masyarakat, sanitasi, perencanaan keluarga, dan program-program lainnya (Kaliyaperumal 2004). Studi KAP mengukur tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik pada suatu komunitas yang berfungsi juga untuk mengetahui tingkat pendidikan komunitas tersebut. Studi KAP juga merupakan sebuah studi yang representatif pada populasi yang spesifik untuk mengumpulkan apa yang diketahui, diyakini, dan dilakukan pada komunitas tersebut. Studi ini juga menjelaskan pengetahuan dan sikap responden mengenai topik tertentu dan bagaimana komunitas tersebut mempraktikannya (WHO 2008). Studi KAP didasari pada anggapan adanya hubungan antara pengetahuan, sikap, dan praktik yang akan berpengaruh satu sama lain. Tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang menentukan sikap dan praktiknya. Sikap juga dapat mempengaruhi praktik dan keterbukaannya untuk memperoleh pengetahuan yang baru (Blalock 2008). Pengetahuan, sikap, dan praktik yang dimiliki oleh food handler merupakan faktor utama dalam kejadian keracunan yang disebabkan oleh makanan, sehingga dengan melihat tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik yang dimiliki oleh food handler dalam mempersiapkan, mendistribusikan, dan menjual produk makanannya dapat memudahkan untuk mengontrol tingkat keamanan pangannya (Pirsaheb et al. 2010).
2.5 Higiene Pangan Definisi higiene pangan menurut Codex Alimentarius Commission (CAC) (2011) adalah semua kondisi dan tindakan yang diperlukan untuk menjamin keamanan dan kelayakan makanan pada semua tahap dalam rantai makanan. Manusia merupakan sumber potensial mikroorganisme patogen seperti Staphylococcus aureus, Salmonella sp., dan Clostridium perfringens. Food handler merupakan sumber utama pembawa penyakit yang dapat menyebabkan foodborne disease. Beberapa sumber cemaran yang penting diantaranya: hidung, mulut, telinga, rambut, luka terbuka, tangan, dan perhiasan yang dipakai (Longree 1972). Kesalahan penanganan oleh food handler sering mengakibatkan kejadian foodborne disease. Sebagian besar penyakit yang ditimbulkan adalah diare dan yang lebih parahnya dapat menyebabkan hepatitis. Kebiasan pribadi (personal habit) dalam mengolah makanan merupakan sumber penting dalam kontaminasi makanan. Sumber kontaminasi pada makanan dari tangan food handler bersifat sangat potensial selama jam kerja. Kebiasaan tangan (hand habits) dari food handler mempunyai andil yang sangat besar dalam peluang melakukan perpindahan kontaminan dari manusia ke makanan. Kebiasaan tangan ini dikaitkan dengan pergerakan-pergerakan yang dilakukan tangan yang tidak disadari maupun disadari, seperti menggaruk kulit, menggosok hidung, menyentuh rambut, atau menyentuh pakaian (Jenie 1988). Selain itu, pengetahuan dan keterampilan mengenai pengolahan pangan yang baik harus dimiliki food handler, sehingga program pelatihan diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan food handler (Ansari et al. 2010).
8
2.6 Foodborne Disease Foodborne disease adalah penyakit yang ditimbulkan akibat mengonsumsi makanan atau minuman yang sudah tercemar. Foodborne disease disebabkan oleh berbagai macam jenis mikroorganisme yang bersifat patogen atau zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan manusia yang sudah mengontaminasi makanan. Makanan yang berasal dari hewan ataupun tumbuhan sangat berpotensi sebagai media pembawa mikroorganisme yang menyebabkan penyakit pada manusia (WHO 2011). Foodborne diseases merupakan permasalahan kesehatan yang sering dijumpai di masyarakat dan menjadi penyebab signifikan menurunnya produktivitas ekonomi. Foodborne disease juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang meluas dan terus meningkat jumlah kasusnya baik di negaranegara maju maupun negara-negara berkembang (Sharif dan Al-Malki 2010). Salah satu perhatian dari aspek keamanan pangan dan kesehatan masyarakat terhadap pangan yang berasal dari hewan adalah penyakit hewan yang dapat ditularkan melalui produk-produk asal hewan ke manusia atau dikenal sebagai foodborne zoonosis. Foodborne zoonosis didefinisikan sebagai infeksi pada manusia yang ditularkan melalui pangan yang berasal dari hewan yang sudah terinfeksi sebelumnya. Beberapa contoh penyakit ini sudah dikenal lama, seperti antraks yang ditularkan melalui daging sapi, kambing, domba, atau kerbau; sistiserkosis atau taeniasis yang ditularkan melalui daging babi; atau toksoplasma yang ditularkan melalui daging kambing atau domba (Lukman 2009). Insidensi global dari foodborne disease sulit untuk diestimasi, tetapi pernah dilaporkan pada tahun 2005 sekitar 1.8 juta orang meninggal akibat terserang diare. Foodborne disease sepertinya akan terus meningkat secara global pada beberapa tahun terakhir, hal ini berkaitan dengan perubahan drastis pada produksi hewan, industrialisasi produksi hewan, produksi missal dalam pengolahan dan produksi pangan, globalisasi perdagangan pangan, dan peningkatan jumlah wisatawan dari seluruh dunia. Faktor-faktor tersebut telah meningkatkan pentingnya foodborne disease (Sharif dan Al-Malki 2010). Lebih dari 250 macam foodborne disease telah dideskripsikan. Sebagian besar merupakan penyakit yang disebabkan oleh berbagai macam bakteri, virus, dan parasit yang terdapat pada makanan. Penyakit lainnya adalah keracunan yang disebabkan oleh racun berbahaya atau zat kimia yang sudah mencemari makanan, contohnya kapang. Dua dasawarsa terakhir ini atau terhitung dari tahun 1990 foodborne disease muncul sebagai masalah penting dan terus berkembang dan kesehatan masyarakat dan ekonomi di beberapa negara (Signorini dan FloresLuna 2010).