11.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
K o n s e ~Dasar Linukunuan Permukiman Kota
Pengertian lingkungan, menurut Undang-undang Republik Indonesia no. 4 tahun 1982 "kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnyaw. Lingkungan secara sederhana adalah sesuatu yang ada di sekitar kita, meliputi semua benda serta semua kondisi yang ada di dalam ruang yang kita tempati (Amsyari, 1977; Supardi, 1984). di tiga kelompok :
Lingkungan dikategorikan menja-
(1) lingkungan fisik yaitu sesuatu di
sekitar kita, meliputi benda mati, seperti rumah, kendaraan, gunung, udara, air, dan lainnya, (2) lingkungan sosial ekonomi meliputi manusia dan aktivitasnya di sekitar kita, dan (3) lingkungan biologis yaitu sesuatu di sekitar kita yang berupa organisme hidup selain manusia. Hubungan timbal balik antara masyarakat benda hidup dan benda mati pada konsep lingkungan permukiman membentuk ekosistem permukiman. Permukiman menurut Sabari (1987), diartikan tempat tinggal atau yang berkaitan dengan tempat tinggal dan secara sempit berarti daerah tempat tinggal atau bangunan tempat tinggal.
Pada perkembangannya permukiman kota
lebih pesat kemajuannya dibandingkan permukiman
pedesaan,
disebabkan semua fasilitas dan
sarana terdapat di kota.
Ditinjau secara fisik maka lingkungan permukiman kota terdiri atas beberapa pokok penunjang lingkungan hidup, misalnya air, tanah, udara, vegetasi, manusia, rumah tinggal dan fasilitas umum.
Keadaan lingkungan permukiman
kota secara umum berbeda dengan lingkungan permukiman pedesqan. un a
2.2.
Pota denaan ~ualitasLinakunuan ~ermukiman
Kualitas lingkungan permukiman merupakan suatu kemampuan lingkungan permukiman untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Kualitas lingkungan permukiman kota dipengaruhi
oleh kondisi fisik dan non fisik. Kondisi fisik antara lain udara, air, tanah, rumah, jalan, kendaraan, dan kondisi non fisik terdiri atas faktor sosial, ekonomi budaya dan politik.
Pada tingkat awal wilayah permukiman
kota dengan jumlah penduduk yang sedikit, relatif memiliki kualitas lingkungan permukiman yang baik. Setelah berkembang dengan meningkatnya jumlah penduduk dan meningkatnya kebutuhan hidup, pemanfaatan sumberdaya meningkat dengan lahan terbatas menjadi salah satu sebab turunnya kualitas lingkungan permukimannya. Disisi lain kepadatan yang tinggi di daerah kota menjadi daya dorong penduduk berpindah ke pinggiran kota.
2.3. Teknik Penuinderaan Jauh
Teknik penginderaan jauh merupakan salah satu teknik yang akhir-akhir ini berkembang dengan pesat, terutama dalam bidang inventarisasi dan pemantauan sumberdaya alam, hasil kegiatan dalam bidang pertanian, areal transmigrasi atau pajak bumi dan bangunan.
Terapan teknik penginderaan
jauh dipergunakan sesuai tujuan penelitian, dan tingkat ketelitian yang diinginkan. Luas wilayah yang diamati amat menentukan jenis citra yang akan dipergunakan serta skala yang dibutuhkan. Secara ringkas untuk mengenal teknik peng inderaan jauh perlu mengetahui dasarnya. Penginderaan jauh menurut Lillesand (1979) diartikan sebagai ilmu, seni, untuk memperoleh informasi tentang obyek atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek yang diamati. Sedangkan Wiradisastra (1989), menyatakan adanya unsur teknik dalam memperoleh informasi obyek. Sehingga apabila pendapat kedua ahli di gabung menjadi satu, maka penginderaan jauh merupakan ilmu, seni, dan teknik untuk memperoleh informasi tentang obyek dengan jalan menganalisis data tanpa kontak dengan obyek yang diamati. Alat yang dimaksud adalah sensor yang diletakkan pada wahana yang berupa pesawat terbang, satelit atau wahana lainnya. Karena sensor dipasang jauh dari obyeknya, maka dibutuhkan tenaga yang dipancarkan atau di pantulkan oleh obyek agar bisa direkam oleh sensor. Dengan demikian citra atau foto udara merupakan gambaran permukaan bumi yang terekam oleh
sensor. Rekaman sensor yang berupa gambar atau angka dijital disebut data penginderaan jauh. Dalam penelitian ini digunakan peta foto udara yang berasal dari foto udara pankromatik (0,4
-
0,7 pm).
Ortofoto menurut Lillesand (1979) merupakan foto udara yang dibuat melalui proses rektifikasi diferensial, sehingga foto ini memiliki ukuran geometrik yang terkoreksi, dan jenis proyeksinya disebut ortogonal.
proyeksi
Ortofoto yang dilengkapi dengan keterangan
orientasi, skala, simbol serta nama tempat disebut peta foto.
Peta foto dipergunakan sebagai dasar penelitian,
untuk menilai kualitas lingkungan.
Bagi studi kota, peta
foto yang memiliki ketelitian geometrik dan planimetrik akan membantu memperoleh data yang lebih baik di samping memperjelas perolehan informasi mengenai kualitas lingkungan permukiman. Prinsip pengenalan obyek pada citra menurut Sutanto (1982) didasarkan pada karakteristik atau atribut pada citra.
Dalam interpretasi citra menurut Wiradisastra
(1989) terbagi atas beberapa tahap, yakni : tahap pemba-
caan foto, analisis foto dan interpretasi, sedangkan Lueder (1959), menyatakan bahwa dalam interpretasi foto dimulai dengan mengevaluasi bentuk-bentuk permukaan seperti vegetasi, bentuk lahan, barulah diikuti detil lain. Menurut Lillesand (1979) interpretasi foto udara membantu dalam studi kualitas perumahan.
Berbagai faktor yang
berpengaruh terhadap kualitas perumahan dapat dikenali
dari foto udara, sementara lainnya seperti kondisi interior bangunan tidak dapat langsung diinterpretasi.
Faktor-
faktor lingkungan yang dapat diinterpretasi dari foto udara termasuk di dalamnya ukuran rumah, jumlah rumah, kepadatan bangunan, halaman belakang dari bangunan, lebar jalan dan kondisi jalan, kondisi trotoir, ada tidaknya garasi dan jalan untuk mobil, vegetasi dan areal terbuka. 2.4.
m 't'an Pernah Dilakukan
Penilaian kualitas permukiman didasarkan pada pendekatan dari hubungan populasi penduduk dengan lahan pemukiman.
Makin besar jumlah populasi manusia semakin banyak
kebutuhan primer berupa sandang, pangan dan papan.
Untuk
mencapai kebutuhan masyarakat, manusia mengeksploitir sumberdaya yang ada, dengan mengorbankan lingkungan (Pawiro, 1979). Metivier et.al (1971) mengadakan penelitian di kota Lexington, mengenai kemiskinan dengan menggunakan kriteria kepadatan perumahan. Horton
(1974) menggunakan teknik
penginderaan jauh, menguji kualitas lingkungan perumahan dengan kriteria
meliputi lebar jalan, tempat parkir,
kelas jalan, dan bahaya lalu lintas. ~enelitianHorton (1974) dilakukan di kota Los Angeles Amerika. Howard et.al (1974) meneliti kualitas lingkungan perumahan kota Denver dengan menggunakan foto udara inframerah skala 1:6.000, dalam penilaian kualitas lingkungan menggunakan indikator
sebanyak 16 buah meliputi:
kondisi rumput, kondisi pohon
tepi jalan, perawatan jalan, lebar jalan, kondisi perumahan gang, kondisi kotoran di sekitar gang, lebar gang, tipe tempat tinggal, ukuran dan bentuk persil, ukuran dan bentuk rumah.
Camino (1969) meneliti lingkungan tempat
tinggal di kota Boston dan empat kota lainnya di Amerika Latin, dengan mengambil kriteria iklim, topografi, penggunaan lahan, kelompok pendapatan, bidang ekonomi dan demografi.
Pengamatan kualitas permukiman dari foto udara
dapat mengamati keragaman perujudan permukiman kota, kondisi peubah bervariasi tergantung lokasi penelitian dan hanya bisa dipergunakan foto udara skala besar. Veiga (1986) meneliti kota Pattaya dan Chonburry Thailand menilai kualitas permukiman dengan menggunakan indikator (1) kepadatan rumah, (2) ukuran bangunan, (3) tipe rumah, (4) aksesibilitas, ( 5 ) kondisi medan, dan ( 6 ) kenampakan individu dari foto, Sati (1987) menilai kualitas permukiman di kota Kampur (India), memanfaatkan foto udara dengan indikator adalah (1) kepadatan, (2) ukuran rumah, (3) tata letak, (4) sub bagian,
(5) sirkulasi, ( 6 ) lokasi, ( 7 )
kondisi sekitar, (8) aksesibilitas, dan (9) medan. Keupper (1987) menilai permukiman di kota Nairobi (Kenya) menggunakan foto udara, dengan indikator foto adalah (1) kepadatan, (2) aksesibilitas internal, ( 3 ) topografi, (4) ukuran bangunan, ( 5 ) jalur air dan listrik, ( 6 ) drainase, (7) pembuangan, dan (8) pusat ekonomi. Sebagaimana peneliti terdahulu yang memanfaatkan Agus
Djoko Santosa (1991) memanfaatkan peta foto udara untuk mengkaji kualitas lingkungan permukiman kota dengan 25 peubah yang terbagi 50% bisa diidentifikasi dari peta foto dan 50% yang lain dilacak di lapangan. Indikator kepadatan, ukuran rumah, pola rumah, dan panjang jalan diperlukan sebagai unit pemetaan. Penelitian lingkungan permukiman kota secara teristris pada saat ini belum bisa dilaksanakan dengan baik, terutama untuk kota Yogyakarta.
Program Peningkatan
Kampung (PPK) baru bisa terealisir sekitar 15% dari luas kampung yang ada di Yogyakarta (Direktorat Jenderal Cipta Karya, 1990), pada tahun 1993 meningkat menjadi 20%. Kriteria pemilihan kampung perintis ditetapkan dalam Program Peningkatan Kampung meliputi beberapa indikator : banjir, air minum, sanitasi, kesehatan,
pemakaian tanah
berencana, jalan masuk, umur kampung, sikap penduduk, kepadatan penduduk, pendapatan, lokasi, keadaan umum bangunan, sekolah dan akibat pengaruh
perbaikan
(Direktorat Jenderal Cipta Karya, 1979). Setelah diamati secara teliti ternyata pengujian kualitas lingkungan permukiman secara teristris maupun dengan foto udara belum pernah menterapkan "unit pemetaanw. K,U, P, dan J (kepadatan rumah, ukuran rumah, pola rumah, dan panjang jalan dalam tipe permukiman). Sebenarnya telah banyak ahli Amdal mencoba rnembuat kriteria mengenai dugaan dampak lingkungan seperti Leopold, Sorensen, Moore, Fisher dan Davis (Soeratmo, 1990),
tetapi tidak ada patokan pasti untuk setiap proyek yang dihadapi. Menurut Soeratno (1990) untuk menyusun indikator dibatasi oleh kaidah-kaidah sebagai berikut : 1) haruslah mempunyai kegunaan bagi pendugaan dampak, 2)
haruslah berguna bagi pemrakarsa, dan 3) haruslah berguna bagi pengambil keputusan,
Berdasar atas tiga patokan
tersebut, dalarn penelitian ini, dibuat peubah yang sekiranya bisa untuk menilai pendugaan dampak lingkungan permukiman kota berdasar atas beberapa sumber dari
Direktorat
Jenderal Cipta Karya (1979), Howard et-a1 (1974), dan Balai Teknik dan Kesehatan Lingkungan (1987). Hal baru yang diterapkan dalam penelitian adalah pemanfaatan peta foto udara 1 : 2.000. Dari peta foto ditentukan unit pemetaan berdasarkan kenampakan fisik (kepadatan rumah, ukuran rumah, polah rumah dan panjang jalan) hasilnya berupa peta unit pemetaan K t U, P dan J. Selanjutnya pada setiap Itunit pernetaanl1 dilakukan uji lapang untuk mendata peubah kualitas lingkungan permukiman (fisik, sosial dan ekonomi).
2.5. p ukiman d n Pe an Pertani n
Pertumbuhan jumlah penduduk di daerah perkotaan yang cepat, akan mempengaruhi perubahan wilayah kota. Kebutuhan penduduk akan lahan permukiman di daerah perkotaan yang tinggi atau'tidak diimbangi oleh tersedianya lahan, mengakibatkan terjadinya perpindahan penduduk ke daerah pinggiran kota dan pedesaan di sekitar kota. ~erpindahan
penduduk ke wilayah pinggiran kota dan pedesaan berakibat berubahnya penggunaan lahan pertanian. Perubahan penggunaan lahan baik di daerah kota maupun pinggiran kota, disebabkan oleh adanya gerakan perpindahan penduduk dari dalam kota ke luar kota dan gerakan perpindahan penduduk dari luar kota ke dalam kota. Gejala ini disebut dengan "kekuatan dinamis". Gerakan penduduk dari luar kota ke dalam kota, menjadi salah satu penyebab munculnya permukiman yang tidak terencana, fasilitasfasilitas
pendukung permukiman yang kurang, implikasinya
banyak permukiman
berkualitas
lingkungan tidak baik.
Perpindahan penduduk ke daerah pinggiran kota, menjadi salah satu sebab terjadinya perubahan fungsi penggunaan lahan pertanian menjadi lahan permukiman. Ditinjau dari aspek ekonomi sebenarnya perubahan penggunaan lahan pertanian pada dasarnya merugikan. Produksi hasil pertanian akan menurun, kerugian akan ditanggung oleh Pemerintah Daerah dalam memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduk di wilayahnya.