10.5 Pengelolaan Kaw asan Konservasi Perairan (KKP) Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan ialah strategi yang tersusun atas berbagai aksi tindak (action plan) yang diarahkan untuk mencapai tujuan jangka panjang suatu kawasan konservasi. Pencapaian tujuan dari pengelolaan kawasan konservasi hanya bisa terlihat dalam jangka panjang. Sedangkan kalender kegiatan biasanya berumur satu tahun. Oleh karena itu, rencana pengelolaan kawasan konservasi biasanya dibagi dalam 3 (tiga) kategori: rencana pengelolaan jangka panjang, rencana pengelolaan jangka menengah dan rencana pengelolaan jangka pendek. Rencana pengelolaan jangka pendek sering disebut rencana kerja tahunan (RKT) sesuai dengan kalender proyek pada umumnya. Rencana jangka menengah ialah tata waktu pencapaian antara jangka pendek dengan jangka panjang. Umumnya rencana pengelolaan jangka panjang dibuat untuk berlaku dalam waktu 25 tahun. Sedangkan rencana jangka menengah berlaku untuk periode 5 (lima) tahun. Namun tata waktu ini bukan ketentuan baku, tergantung dari tujuan dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan konservasi.
10.5.1 Pendekatan Proses pengelolaan atau manajemen Kawasan Konservasi Perairan, seperti pada umumnya, bisa dibedakan dalam 5 (lima) langkah berurutan, ialah: batasan kerja konservasi kawasan, pembuatan strategi konservasi dalam bentuk rencana pengelolaan, implementasi, monitoring capaian sukses, dan adaptasi strategi sebagai bentuk pengelolaan yang adaptif (Gambar 10.6). Proses awal dimulai dari batasan kerja pengelolaan. Namun secara keseluruhan, semua proses merupakan kesatuan yang utuh dan bersifat siklik. Hasil monitoring selalu bisa digunakan untuk evaluasi dan penyempurnaan. Semua proses ini harus dilakukan dan didokumentasikan dalam rencana pengelolaan. Jadi, rencana pengelolaan mencakup dokumentasi semua proses dalam pengelolaan kawasan konservasi secara utuh, dari awal sampai akhir satu tahapan siklus pengelolaan, baik dalam jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Batasan kerja proyek pengelolaan terdiri dari tim penyusun strategi dan rencana pengelolaan, deskripsi kawasan konservasi dan target konservasi. Kata “proyek” diartikan sebagai suatu set aksi yang dilakukan oleh sekelompok orang atau organisasi untuk mencapai tujuan atau sasaran konservasi yang sudah didefinisikan dengan jelas. Skala kisaran proyek bisa bervariasi dari sebuah usaha masyarakat lokal untuk melindungi terumbu karang di depan desa sampai pada usaha yang dilakukan pemerintah untuk mengelola sebuah Taman Nasional Perairan yang luasnya mencapai ribuah ha. Target didefinisikan sebagai seperangkat spesies, komunitas, habitat dan/atau sistem ekologi yang dipilih untuk mewakili kawasan yang ingin dikonservasi. Target merupakan dasar untuk menentukan sasaran, tindakan dan mengukur keberhasilan usaha konservasi. Sebagai contoh, sebuah target konservasi ialah terumbu karang. Keberhasilan usaha konservasi ditentukan jika tingkat kesehatan habitat terumbu karang semakin baik. Dengan cara yang sedikit berbeda, keberhasilan usaha konservasi bisa ditentukan dari keberhasilan menurunkan ancaman terhadap target (terumbu karang) – dengan menurunnya ancaman terhadap target, secara otomatis tingkat kesehatan target (terumbu karang) akan meningkat.
364
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
Gambar 10.6. Rangkaian pendekatan atau proses yang sering digunakan dalam penyusunan dokumen rencana pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (Sumber: diadaptasi dari Foundation of Success, The Nature Conservancy, 2007). Strategi ialah rangkaian aksi yang luas, dirancang untuk melindungi target konservasi, menurunkan (mengatasi) ancaman dan/atau membangun kapasitas. Istilah strategi secara spesifik digunakan sebagai payung untuk menjelaskan tindakan atau aksi konservasi. Strategi konservasi secara praktis diterjemahkan sebagai dokumen rencana pengelolaan. Sebagai contoh, zonasi ialah suatu strategi untuk mengurangi tekanan penangkapan namun memberikan peluang kepada nelayan secara terbatas untuk tetap melakukan penangkapan pada tempat-tempat yang telah ditentukan. Ketika program konservasi mulai dijalankan, pengelola juga melakukan kegiatan monitoring. Monitoring sukses ialah kegiatan koleksi informasi atau data yang dibutuhkan untuk menunjukkan bahwa strategi sudah mencapai sasaran atau tidak – data atau informasi yang dikumpulkan merupakan indikator yang kuat tentang keberhasilan strategi. Hasil monitoring menjadi informasi bagi pengelola untuk melakukan evaluasi terhadap strategi konservasi. Jika hasil monitoring tidak menunjukkan hasil yang memuaskan, strategi pengelolaan bisa diadaptasi atau disempurnakan agar bisa mencapai sasaran konservasi secara efektif. Dengan metode ini, rangkaian pengelolaan dimulai lagi secara siklik.
10.5.2 Rencana Pengelolaan Kaw asan Konservasi Perairan 10.5.2.1 Tahapan Proses – Model PHKA Gambar 10.7. Menyajikan contoh tahapan proses pembuatan rencana pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan ketentuan dari PHKA. Pada tahap awal, perencana harus mempertimbangkan tiga hal utama, ialah: kondisi kawasan saat ini, praktek pengelolaan kawasan saat ini dan rencana pembangunan wilayah. Ketiga faktor tersebut dianalisis untuk mendapatkan peluang dan hambatan yang mungkin akan dihadapi dalam setiap strategi konservasi. Dari kondisi riil 365
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
tersebut, perencana menentukan tujuan atau sasaran dari pengelolaan kawasan dalam jangka waktu tertentu dan menentukan perangkat hukum yang akan digunakan dalam pengelolaan kawasan. Hasil akhir ialah suatu strategi konservasi jangka panjang, berupa dokumen Rencana Pengelolaan 25tahun. Dari dokumentersebut, dibuat rencana kerja 5-tahun dan rencana kerja tahunan (RKT). Semua sasaran dalam rencana kerja jangka pendek selalu diarahkan untuk mencapai tujuan jangka panjang (25 tahun) yang telah ditetapkan.
Gambar 10.7. Tahapan dalam proses penyelesaian Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (25tahun) kawasan konservasi berdasarkan ketentuan PHKA (Sumber: Alder et al., 1994). Penyusunan rencana pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, seperti disajikan pada Gambar 10.7, memperhatikan beberapa ketentuan dasar sebagai berikut: •
366
Tim kerja multi-sektor – kawasan konservasi selalu berada dalam wilayah propinsi atau kabupaten tertentu dan PHKA selalu mempertimbangkan rencana pembangunan wilayah regional maupun daerah. Oleh karena itu tim kerja yang mempersiapkan rencana pengelolaan kawasan akan terdiri dari instansi pemerintah yang berbeda, dari tingkat pusat Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
•
•
•
•
maupun daerah. Rencana Pengelolaan 25 tahun Taman Nasional Komodo ditanda tangani bersama oleh Bupati Manggarai dan Gubernur Nusa Tenggara Timur; Tim multi-disiplin – penyusunan rencana pengelolaan kawasan konservasi memerlukan anggota tim dari keahlian yang berbeda. Penilaian kondisi kawasan saat ini, paling tidak memerlukan ahli dari biologi dan ekologi secara bersama. Dalam menyusun strategi konservasi, perencana juga akan melibatkan ahli dibidang hukum dan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi Integrasi aturan zonasi ke dalam rencana pengelolaan – dokumen rencana pengelolaan mencakup strategi yang sangat luas. Zonasi ialah salah satu strategi yang harus diintegrasikan dalam rencana pengelolaan kawasan secara keseluruhan Identifikasi hambatan – rencana pengelolaan disusun karena adanya ancaman terhadap kawasan konservasi. Strategi konservasi dibuat untuk menurunkan ancaman dan/atau meningkatkan status kesehatan kawasan; Identifikasi peluang – strategi konservasi (rencana aksi) selalu memperhatikan kemanpuan sumber daya seperti jumlah dan kapasitas pengelola, pendanaan dan keberlanjutan pengelolaan dalam jangka panjang.
10.5.2.2 Perangkat Lunak Miradi Sejak awal tahun 2000an, pemerintah bersama organisasi non-pemerintah (LSM) telah berhasil mengidentifikasi suatu pola standar (standard lexicon) dalam menyusun rencana pengelolaan kawasan. Tahapan proses dalam penyusunan rencana pengelolaan pada dasarnya terdiri dari: (1) tentukan taget konservasi, (2) identifikasi ancaman langsung terhadap target konservasi, (3) analisis sumber ancaman dan penentuan prioritas ancaman (threat rating), (4) kembangkan strategi dan rencana aksi untuk menurunkan ancaman dan/atau meningkatkan status kesehatan target konservasi, dan (5) tentukan perangkat monitoring untuk mengukur keberhasilan strategi. Target didefinisikan sebagai seperangkat spesies, komunitas dan/atau sistem ekologi yang dipilih untuk mewakili dan mencakup keanekaragaman hayati atau sumber daya di dalam kawasan yang ingin dikonservasi. Target merupakan dasar untuk menentukan sasaran-sasaran, melaksanakan tindakan-tindakan konservasi, dan mengukur keefektifan konservasi. Secara teori, dan diharapkan secara praktis di tingkat lapang, target konservasi akan menjamin perlindungan semua keanekaragaman hayati (perikanan) yang ada dalam bentang alam fungsional suatu kawasan konservasi. Ancaman atau threat didefinisikan sebagai sebuah agen (bahan hampiran) atau faktor yang secara langsung menurunkan satu atau lebih target konservasi. Sebagai contoh, penangkapan berlebih ialah ancaman terhadap terumbu karang yang menjadi target untuk dikonservasi. Penangkapan berlebih bisa disebut sebagai ancaman terhadap target ikan yang menjadi tujuan penangkapan nelayan. Sumber ancaman ialah tindakan atau peristiwa yang didorong oleh manusia, yang mendasari atau menyebabkan adanya satu atau lebih ancaman langsung (direct threat). Sebagai contoh, harga ikan karang yang tinggi termasuk sebagai sumber ancaman, yang mendorong nelayan untuk melakukan penangkapan secara berlebih atau menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan (dan mengancam target konservasi).
367
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
Strategy ialah serangkaian tindakan luas yang dirancang untuk memulihkan kesehatan (viabilitas) target, mengurangi ancaman (threat), dan/atau meningkatkan kapasitas pengelolaan. Strategi biasanya digunakan sebagai payung untuk menjelaskan seperangkat tindakan konservasi tertentu. Sebagai contoh zonasi ialah salah satu strategi untuk membatasi penangkapan secara berlebih pada wilayah tertentu di dalam kawasan. Aturan zonasi dilakukan melalui tahapan tindakan atau aksi yang disebut aksi konservasi. Monitoring ialah kegiatan pemantauan yang dilakukan secara berulang untuk menilai dampak keberhasilan tindakan konservasi dalam mengurangi ancaman atau meningkatkan status kesehatan target konservasi. Sebagai contoh misalnya, mengukur tingkat kesehatan Terumbu Karang yang dilakukan setiap tahun atau setiap dua tahun sekali. Jika dalam periode tertentu, tingkat kesehatan terumbu karang meningkat, dia digunakan sebagai indikator bahwa program atau tindakan konservasi sudah berada pada jalan (track) yang sesuai. Sebaliknya, tindakan konservasi dikatakan belum berhasil. Berbagai instansi mengembangkan prinsip dasar ini dengan pendekatan dan metode yang berbeda-beda. Sampai tahun 2002, paling tidak, ada dua kawasan konservasi di Indonesia (Taman Nasional Komodo dan Taman Nasional Lore Lindu) yang menerapkan metode ini. Rencana Pengelolaan 25-tahun Taman Nasional Wakatobi yang dilakukan pada tahun 2007-2008 juga menggunakan pendekatan ini dengan cara yang berbeda. Untuk menghindari berbagai variasi tersebut, praktisi konservasi bersama pemerintah membentuk tim yang disebut Conservation Measure Partnership (CMP). Sistem kemitraan ini berhasil menyusun program standar terbuka (open standard) dalam menyusun rencana pengelolaan kawasan konservasi. Program standar terbuka tersebut dituliskan dalam bentuk perangkat lunak yang disebut Miradi. Miradi tersedia dalam bentuk free-ware yang bisa diunduh melalui www.miradi.org.
10.5.3 Tim Pengelola Kaw asan Pada akhirnya, rencana pengelolaan harus dijalankan sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan dalam rencana pengelolaan 25-tahun, rencana pengelolaan 5-tahun, maupun rencana kerja tahunan. Rencana kerja tersebut akan dilaksanakan oleh suatu badan atau institusi pengelola kawasan. Pengelolaan kawasan bisa dilakukan oleh satu instansi tertentu, atau gabungan dari beberapa instansi, bahkan bisa terdiri dari sistem perwakilan berbagai komponen masyarakat. Dalam sejarah perkembangan pengelolaan sumber daya maupun kawasan konservasi, Indonesia berpengalaman menjalankan dua sistem yang berbeda, ialah: model pengelolaan kawasan berbasis masyarakat, dan model pengelolaan berbasis pada pemerintah formal. Ketika suatu kawasan konservasi berada pada lokasi yang terisolasi dan sulit dijangkau oleh pemerintah, masyarakat lokal akan membuat kesepakatan melalui aturan non-formal untuk mengelola pemanfaatan sumber daya berbasis masyarakat (community-based management). Contoh ini sudah kita diskusikan sebelumnya, termasuk diantaranya ialah: Sasi Laut di Maluku dan Papua, Nyale di Sumba, Awig-Awig di Lombok atau Panglima Laot di Aceh. Sistem pengelolaan kawasan konservasi yang berkembang saat ini di Indonesia ialah berbasis pada pemerintah. Hal ini tertuang dalam Undang Undang Dasar 1945, Pasal 33 (3), sebagai berikut: bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun demikian, pemerintah secara bertahap mulai menyerahkan sebagian urusan pengelolaan sumber daya kepada Pemerintah Daerah maupun masyarakat.
368
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
Sejak 30 tahun yang lalu, sistem pengelolaan sumber daya berkembang dan mengarah pada konsep alternatif yang disebut pengelolaan secara bersama. Model ini sering disebut dengan istilah co-management atau collaborative management, kolaborasi kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam maupun konservasi kawasan. Kolaborasi, pada banyak teks, didefinisikan sebagai usaha untuk berbagi wewenang dan tanggung jawab antara pemerintah dengan masyarakat berkepentingan dalam pengelolaan sumber daya maupun kawasan konservasi. Tingkatan dalam kolaborasi ini akan berbeda-beda, sesuai dengan kondisi lokal dan dinamika antara pemerintah dan masyarakat berkepentingan. Masing-masing tingkatan dicirikan berdasarkan besarnya atau intensitas interaksi diantara kedua pihak. Gambar 10.8. Menyajikan berbagai tingkatan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya atau kawasan konservasi. Pada bagian sebelah kiri menggambarkan sistem pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah (state-base management). Sedangkan pada bagian kanan menunjukkan sistem pengelolaan yang dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat (community-base management). Sedangkan ruang diantaranya menunjukkan intensitas kolaborasi dalam pengelolaan sumber daya. Jika intensitas interaksi lebih banyak berada di sebelah kiri, artinya sistem kolaborasi lebih condong didominasi oleh pmerintah. Sedangkan interaksi yang mengarah ke bagian kanan condong lebih didominasi oleh masyarakat. Jadi kolaborasi ialah suatu kompromi dalam berbagi tanggung jawab dan wewenang. Inisiatif kolaborasi harus dimulai oleh pihak penguasa (pemerintah). Intensitas kolaborasi yang paling awal dimulai dari tingkat penyampaian informasi oleh pemerintah kepada masyarakat tentang rencana atau ketentuan dalam pengelolaan sumber daya. Intensitas kedua ialah pelibatan masyarakat melalui konsultasi, demikian selanjutnya. Semakin banyak indikator tersebut (Gambar 10.8) terpenuhi, semakin tinggi instensitas pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan. Demikian sebaliknya.
Gambar 10.8. Berbagai tingkatan kolaborasi antara sistem yang berbasis pada pemerintah dan berbasis masyarakat (Sumber: diadopsi dari Pomeroy & Berkes, 1997) 369
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
Akhir-akhir ini Pemerintah memulai inisiatif untuk melakukan pengelolaan kawasan secara kolaboratif bersama para pihak. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/04 tentang kolaborasi pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Dalam peraturan tersebut, pemerintah merasa perlu untuk melakukan sistem kolaborasi untuk meningkatkan kualitas pengelolaan kawasan konservasi. Pengelolaan kolaborasi ini sudah mulai dicobakan pada tingkat implementasi. Contoh yang bisa dilihat ialah Taman Nasional Bunaken dengan membentuk Dewan Pengelola Taman Nasional Bunaken (DPTNB), Taman Nasional Gede Pangrango, Taman Nasional Bukit Dua Belas dan Taman Nasional Komodo. Pengelola kawasan konservasi yang menggunakan sistem kolaborasi akan terdiri dari beberapa instansi yang bergabung secara bersama dalam berbagi tanggung jawab dan wewenang. Sebagai contoh ialah alternatif Dewan Pengelola (Komodo Collaborative Management Board) yang pernah diajukan untuk Taman Nasional Komodo. Pengelola kawasan konservasi terdiri dari perwakilan para pihak berkepentingan atau stakeholder, sebagai berikut: perwakilan DitJen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Jakarta, Kepala Balai Taman Nasional (BTN), perwakilan pihak swasta (PT. Putri Naga Komodo), Bupati Manggarai Barat sebagai perwakilan Pemerintah Daerah dan satu orang perwakilan dari masyarakat pengguna kawasan. Dewan pengelola bergabung untuk menentukan garis besar kegiatan yang akan dilakukan selama setahun ke depan. Masing-masing perwakilan mempunyai satu suara dalam menentukan arah kebijakan dan kegiatan di dalam taman nasional. Pelaksanaan program di tingkat lapang dibedakan menjadi dua, ialah: pengelolaan kawasan (penegakan aturan zonasi, monitoring dan penyuluhan) dan pengelolaan eko-wisata. Pengelolaan konservasi kawasan dilakukan oleh pihak taman nasional yang sudah sangat berpengalaman dalam menjalankan kegiatan konservasi. Sedangkan pengelolaan eko-wisata dan mekanisme pendanaan jangka panjang menjadi tanggung jawab pihak swasta (PT. Putri Naga Komodo) yang diharapkan bisa berperan secara profesional. Dalam pelaksanaan konservasi dan ekowisata, masyarakat akan bersinggungan dengan aturan konservasi dan kepuasan dalam pelaksanaan eko-wisata. Ketidak puasan ini bisa diselesaikan dalam tiga tahap (grieven mechanisms). Pada tahap pertama, masyarakat bisa menyelesaikan konflik pada tingkat lapang dengan masing-masing petugas yang bertanggung jawab langsung dalam bidangnya. Jika tidak puas, pengguna atau masyarakat bisa menyampaikan nota protes langsung kepada pihak BTN. Jika hal ini juga tidak memuaskan, masyarakat bisa menyampaikan nota ketidak puasan ini melalui perwakilan di tingakt Dewan Pengelola. Dengan sistem ini masing-masing pihak akan terwakili dan berbagai pihak bisa saling berinteraksi dan saling memperbaiki untuk meningkatkan kualitas pengelolaan kawasan konservasi (Gambar 10.9)
370
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
Gambar 10.9. Bentuk alternatif kolaborasi pengelolaan kawasan konservasi yang pernah diajukan sebagai alternatif untuk Taman Nasional Komodo.
10.5.4 Monitoring Sukses Monitoring ialah suatu pengamatan yang dilakukan secara berulang, dengan metode yang sama, dengan tujuan untuk mengukur perubahan yang terjadi sebagai dampak dari kegiatan atau aksi pengelolaan. Parameter monitoring harus bisa menjamin bahwa perubahan yang terjadi merupakan dampak dari aksi konservasi, bukan oleh faktor lain, selain aksi konservasi. Namun menentukan parameter yang akan dimonitor harus efektif – tidak semua parameter harus dimonitor, dengan memperhatikan tenaga dan dana yang tersedia untuk keperluan ini. Sebagai contoh, pengelolaan suatu kawasan konservasi ditujukan untuk mengurangi tekanan penangkapan di wilayah larang-ambil, ialah pada lokasi penangkapan ikan (fishing ground) nelayan. Kegiatan monitoring ialah dengan mencatat jumlah Crown-Of-Thorn (COT) setiap 6 (enam) bulan sekali. Strategi monitoring seperti ini jelas tidak sesuai dengan tujuan pengelolaan kawasan.
10.5.4.1 Tujuan Monitoring Secara umum, tujuan utama dari monitoring ialah sebagai berikut: •
Memberikan informasi agar pengelolaan bisa adaptif,
•
Mengukur kinerja pengelolaan.
•
Menunjukkan keberadaan pengelola di lapangan
Memberikan informasi tentang pengelolaan – pengelolaan suatu Kawasan Konservasi Perairan hanya efektif bila didasarkan pada pengetahuan yang tepat tentang bagaimana manusia mempengaruhi keberadaan sumber daya di dalam kawasan. Pengukuran ancaman, rancangan strategi dan pengukuran untuk menurunkan berbagai ancaman, memerlukan informasi yang terkini 371
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
tentang: siapa yang melakukan apa, dimana dan kapan di dalam kawasan. Informasi ini hanya akan dapat diperoleh melalui monitoring secara berkala. Misalnya, monitoring pemanfaatan sumber daya dapat menunjukkan tipe atau jenis perikanan yang baru berkembang di dalam suatu kawasan. Aktifitas ini memerlukan reaksi pengelola secara cepat dan tepat untuk menghindari berkurangnya stok ikan. Jika aktifitas yang baru ini bisa mempengaruhi perikanan, strategi pengelolaan harus bisa adaptif dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di tingkat lapang. Mengukur kinerja: pengelola kawasan harus bisa menunjukkan kepada publik bahwa dana pengelolaan kawasan memang sudah dimanfaatkan secara efektif. Selain tanggung jawab secara akunting, pengelola juga akan berhadapan dengan audit secara programatik. Sebagai contoh, apabila pengelola bermaksud untuk mengurangi tekanan penangkapan di wilayah larang-ambil, hal ini tidak hanya ditunjukkan dari frekuensi atau jumlah patroli petugas saja. Pengelola juga harus bisa membuktikan bahwa jumlah orang yang menangkap ikan pada wilayah larang-ambil sudah mengalami penurunan, atau dengan kata lain, jumlah pelanggaran sudah mengalami penurunan. Mempertahankan keberadaan petugas pengelola di tingkat lapang: kegiatan monitoring juga membantu untuk menunjukkan keberadaan pengelola pada tingkat lapang. Hal ini akan mengurangi kemungkinan pengguna kawasan untuk melakukan hal-hal yang melanggar aturan pengelolaan. Jika keberadaan pengelola relatif rendah, maka kecenderungan pelanggaran tentu saja akan meningkat tanpa diketahui oleh pengelola.
10.5.4.2 Jenis Monitoring Seperti telah disebutkan, jenis kegiatan monitoring sangat beragam. Namun pada dasarnya kegiatan ini bisa dibedakan dalam 4 (empat) kategori, ialah: (1) monitoring biologi atau ekologi, (2) monitoring sosial-ekonomi, (3) monitoring pola pemanfaatan sumber daya, dan (4) monitoring insidental. Beberapa kegiatan monitoring ada yang bisa mengukur dampak dari aksi pengelolaan secara langsung. Jenis monitoring lainnya hanya bisa mengukur dampak aksi konservasi setelah beberapa lama. Sebagai contoh, suatu aksi konservasi ialah patroli dan penegakan aturan wilayah larang-ambil. Untuk itu, pengelola kawasan melakukan patroli wilayah larang-ambil secara teratur, misalkan 2 hari setiap periode 10 hari. Sebelum patroli diterapkan, petugas mencatat sekitar 10 nelayan menangkap ikan dalam setiap 1 ha wilayah larang-ambil. Pada waktu yang ditentukan, kegiatan patroli dan penegakan aturan mulai diterapkan. Bersama itu, petugas juga mengamati nelayan yang beroperasi di wilayah larang-ambil. Jika jumlah ini berkurang maka aksi konservasi bisa dikatakan berdampak langsung terhadap perubahan di dalam kawasan. Sebaliknya, kegiatan patroli tidak langsung berdampak positif terhadap peningkatan jumlah dan ukuran ikan di dalam wilayah larang-ambil.
A. Monitoring Dampak Langsung Sejak tahun 1996, Taman Nasional Komodo mempunyai fasilitas (speedboat), tenaga (bantuan kepolisian) dan dana yang mencukupi untuk melakukan patroli rutin di laut. Sebelumnya, kegiatan patroli hanya dilakukan di darat dan dipusatkan pada pos-pos Jagawana yang berjumlah 8 (delapan) unit di seluruh kawasan. Petugas mencatat (memonitor) jumlah suara ledakan bom ikan yang dilakukan di laut dan terdengar dari pos jaga. Mereka mencatat rata-rata antara 13 – 20 kali suara bom ikan yang terjadi setiap bulannya (Gambar 10.10). 372
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
Pada akhir bulan Mei 1996, pengelola taman nasional memutuskan untuk memulai patroli rutin dengan petugas kepolisian. Setiap pengguna alat tangkap yang tidak ramah lingkungan (bom dan potas) langsung ditindak dan dikenakan sanksi hukum oleh petugas. Hal ini menimbulkan dampak yang cukup besar pada tingkat pengguna atau nelayan. Pengguna alat yang tidak ramah lingkungan merasa dirugikan dan menyampaikan nota protes kepada pengelola kawasan. Selain itu, beberapa nelayan melakukan perlawanan di tingkat lapang. Namun nota ini harus dikalahkan dengan dasar hukum (UU No. 9 tahun 1985 tentang perikanan, dan UU No. 5 tahun 1990). Polisi menyatakan argumentasi bahwa penangkapan ikan dengan menggunakan alat tidak ramah lingkungan dilarang pada seluruh wilayah perairan di Indonesia. Sebagian nelayan secara sembunyisembunyi masih berusaha untuk melakukan operasi dengan resiko terkena sanksi jika ketahuan petugas. Pada tahun 2000, Dinas Perikanan Kabupaten Manggarai menyampaikan Surat Edaran yang melarang penggunaan bom dan kompresor hookah pada seluruh wilayah perairan Manggarai, terutama Taman Nasional Komodo. Surat edaran ini memperkuat polisi untruk mengambil tindakan yang diperlukan dan nelayan pengguna bom ikan semakin terbatas. Petugas pos jagawana terus mencatat (melakukan aktifitas monitoring) jumlah suara bom ikan yang terdengar dari pos jaga. Hasil monitoring disajikan pada Gambar 10.10. Jumlah insiden penggunaan bom ikan langsung menurun, dan hal ini dipastikan sebagai dampak langsung dari aksi konservasi berupa patroli rutin di dalam wilayah larang-ambil. Hasil analisis ini telah dilaporkan oleh pengelola kepada pihak atasan untuk menunjukkan dampak langsung dari aksi konservasi. Grafik di bawah merupakan contoh pembelajaran tentang bagaimana monitoring bisa menunjukkan perubahan yang terjadi di dalam kawasan.
Gambar 10.10. Hasil dari program monitoring sumber daya, menunjukkan efektifitas pengelolaan. Jagawanana atau Polis i Hutan. Jagawana memonitor pemanfaatan s umber daya oleh nelayan pengguna bom ikan dengan mencatat frekuensi suara bom ikan yang terdengar dari pos jaga di darat. Setelah menerapkan program patroli pengamanan gerak cepat, insiden pengeboman ikan berkurang secara nyata. Grafik ini menunjukkan pesan yang kuat dalam efektifitas program konse rvasi kawasan kepada masyarakat dan pihak te rkait.
373
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
B. Monitoring Biologi Monitoring biologi termasuk didalamnya kegiatan pemantauan lingkungan dan habitat yang mengalami perubahan sebagai dampak dari aksi atau kegiatan konservasi. Sebagai contoh, jika kegiatan patroli bisa menurunkan kejadian bom ikan yang dilakukan masyarakat nelayan, hal ini tentu saja akan berdampak positif dengan meningkatnya tutupan karang hidup di dalam kawasan. Namun perlu disadari bahwa peningkatan ini tidak akan terjadi secara langsung dalam waktu yang relatif pendek. Terumbu karang membutuhkan waktu selama beberapa tahun untuk pulih. Untuk itu, pengelola kawasan Taman Nasional Komodo melakukan inisiatif untuk mengukur tutupan karang keras setiap dau tahun sekali. Hasil analisis disajikan pada Gambar 5.9 (lihat juga pada Bab V sebelumnya). Hasil kegiatan monitoring karang selama 8 tahun menunjukkan indikasi bahwa tutupan karang keras di dalam kawasan (wilayah larang-ambil) mengalami peningkatan. Pada awal patroli dijalankan, tutupan karang keras hidup mencapai sekitar 15%. Setelah 8 (delapan) tahun program konservasi, tutupan karang keras telah meningkat menjadi sekitar 26%. Program patroli dinyatakan berhasil dan memberikan dampak pada perubahan biologi yang terjadi di dalam kawasan. Namun hal ini baru diketahui sekitar 8 (delapan) tahun kemudian, dari saat aksi konservasi mulai dijalankan. Pada tahun 1998, pengelola kawasan juga melakukan monitoring terhadap jumlah induk ikan karang yang melakukan pemijahan pada waktu-waktu tertentu. Jenis kegiatan ini disebut monitoring SPAGs (Spawning Aggregation Sites). Hasil monitoring disajikan pada Gambar 10.11. Selama periode 5 (lima) tahun, jumlah induk ikan karang ternyata mengalami penurunan, sebagai indikasi terjadinya penangkapan berlebih (over-fishing) terhadap populasi induk ikan karang. Penangkapan berlebih dilakukan secara bersama, baik oleh alat tangkap destruktif (tidak ramah lingkungan dan ilegal) maupun oleh alat tangkap yang diijinkan beroperasi di dalam kawasan. Hasil monitoring (Gambar 10.10) menunjukkan bahwa pengelola kawasan telah berhasil melarang penggunaan alat tangkap destruktif (bom dan racun sianida melalui penggunaan kompresor hookah). Namun, pengelola kawasan belum berhasil menghindari kawasan dari usaha pengambilan berlebih yang dilakukan oleh nelayan dengan alat tangkap legal.
374
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
Gambar 10.11. Jumlah populasi induk ikan karang pada lokasi pemijahan ikan yang dimonitor dalam periode 1998 – 2003 (Sumber: Pet et. al., 2005)
C. Monitoring Pem anfaatan Sum ber daya Monitoring Pemanfaatan Sumber daya (MPS) didefinisikan sebagai suatu kegiatan dimana suatu tim melakukan survei lapang pada suatu daerah tertentu untuk mengetahui apa tipe-tipe pemanfaatan sumber daya yang ada, kapan, dimana, dan oleh siapa. ‘Pemanfaatan sumber daya’ pada konteks ini diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya laut yang dapat diperbarui (alam hayati), termasuk pemanfaatan ekstraktif (penangkapan ikan, pengambilan batu karang, dll) dan pemanfaatan non-ekstraktif (pariwisata, pendidikan, dll). Memonitor pemanfaatan sumber daya bisa dilakukan secara in-situ, ialah pengamatan yang dilakukan di tempat peristiwa tersebut terjadi. Monitoring pemanfaatan juga bisa dilakukan secara ex-situ, misalnya melalui analisis data dari tempat pelelangan ikan. Secara khusus, tim lapang akan menggunakan perahu/speed boat untuk mengelilingi suatu area, mewawancarai nelayan dan pengguna lainnya yang ditemui di laut ketika sedang menangkap ikan atau melakukan aktifitas, beristirahat atau melintasi kawasan untuk pindah tempat. Kegiatan keliling ini akan diulangi secara berkala (misalnya, setiap minggu atau setiap bulan) untuk mendapatkan kecenderungan (perubahan berdasarkan waktu). Monitoring pemanfaatan sumber daya juga bisa dilakukan dengan menggunakan pesawat terbang mini. Dari atas pesawat, petugas mencatat jenis perahu, alat tangkap (jika memungkinkan) dan jumlah perahu yang berada di suatu tempat tertentu. Monitoring pemanfaatan sumber daya seringkali dikombinasikan dengan kegiatan patroli pengamanan atau penegakan aturan pemanfaatan sumber daya. Sesungguhnya, patroli 375
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
pengamanan dapat dianggap sebagai suatu monitoring pemanfaatan sumber daya yang lebih spesifik, dikhususkan pada metode pemanfaatan sumber daya yang melanggar aturan hukum, ilegal. Dalam catatan protokol monitoring, petugas Taman Nasional Komodo melakukan monitoring pemanfaatan sumber daya selama 2 (dua) hari dalam 10 hari. Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan speedboat, terutama mengelilingi kawasan (wilayah larang-ambil). Waktu yang dibutuhkan untuk mengelilingi kawasan dalam satu rute monitoring ialah dua hari. Salah satu hasil analisis data monitoring disajikan pada Gambar 10.12. Secara jelas petugas menunjukkan nelayan dari desa tertentu (Pulau Mesa) terkonsentrasi melakukan penangkapan ikan di wilayah Gili Lawa laut dan Pulau Padar Utara dengan menggunakan kompresor hookah – lokasi penangkapan ditandai dengan warna putih. Hasil monitoring ini sangat bermanfaat bagi pengelola untuk segera melakukan respon cepat. Kedua lokasi yang disebut di atas ialah termasuk tempat potensial pemijahan ikan karang. Alat tangkap kompresor sudah dilarang oleh pemerintah untuk digunakan terutama di dalam kawasan Taman Nasional Komodo. Pengelola kawasan Taman Nasional bisa memerintahkan petugas lapang untuk melakukan konsentrasi patroli yang lebih intensif pada kedua wilayah yang menjadi target penangkapan nelayan. Sebagai ringkasan, strategi konservasi ditujukan untuk mengurangi ancaman dan/atau meningkatkan status kesehatan target konservasi. Strategi konservasi terdiri dari berbagai aksi konservasi di tingkat lapang. Semua aksi konservasi yang tersusun dalam rencana pengelolaan harus dievaluasi untuk menjamin bahwa kegiatan tersebut menuju pada sasaran konservasi (mengurangi ancaman atau meningkatkan status kesehatan target konservasi). Alat evaluasi tersebut tercakup dan diukur dalam kegiatan monitoring. Kegiatan monitoring harus menjamin bahwa setiap perubahan yang terjadi di dalam kawasan merupakan dampak dari aksi konservasi, bukan oleh faktor lain.
Gambar 10.12
376
Hasil analisis monitoring pola pemanfaatan sumber daya di dalam kawasan Taman Nasional Komodo. Nelayan dari Pulau Mesa (Misa) melakukan konsentrasi penangkapan pada dua wilayah tertentu (tanda lingkaran putih) dengan menggunakan alat kompresor hookah
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
Bahan Bacaan Utam a: Froese, R., & D. Pauly. 2011. FishBase: World Wide Web Electronic Publication. www.fishbase.org, version (02/2011). Pet, J. S., P.J. Mous, A.H. Muljadi, Y.J. Sadovy, & L. Squire (2005). Aggregations of Plectropomus Areolatus and Epinephelus Fuscoguttatus (Groupers, Serranidae) in the Komodo National Park, Indonesia: Monitoring and Implications for Management. Environmental Biology of Fishes 74: 209-218. Salm, R. V., J. Clark, & R. Siirila. 2000. Marine and Coastal Protected Areas: A guide for planners and managers. Washington DC, IUCN., xxi + 371pp.
Ringkasan: 1. Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia saat ini lebih merupakan kebutuhan dari pada komitmen terhadap ketentuan global untuk melindungi keanekaragaman hayati laut. Jelaskan alasan yang mendukung hal ini. 2. Keberhasilan dalam pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan sangat berpeluang untuk mendapatkan bonus berupa alternatif mata pencaharian baru yang timbul dari keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi. Apa peluang alternatif tersebut, berikan alasan; 3. Jelaskan arti kriteria keterwakilan (representativeness) sebagai salah satu kriteria dalam seleksi kawasan. Apa alasan kriteria ini menjadi dasar dalam seleksi kawasan? 4. Kolaborasi (co-management) ialah salah satu sistem dalam pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan. Apa yang dimaksud dengan kolaborasi dalam konteks ini? Sebutkan beberapa contoh kolaborasi dalam praktek pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia; 5. Sebutkan alasan yang paling kuat untuk melakukan program monitoring sebagai bagian dari rencana pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan 6. Dalam setiap diskusi tentang stakeholder, kita sering melupakan salah satu pihak yang terlibat dalam pengelolaan kawasan konservasi. Mereka sering disebut sebagai suara para pihak yang diam atau tidak bersuara. Siapakah yang dimaksud dengan stakeholder ini? 7. Ada tiga prinsip dasar yang sebaiknya dipertimbangkan dalam seleksi calon kawasan konservasi. Sebutkan dan jelaskan masing-masing prinsip dasar tersebut. 8. Monitoring biologi menjadi alat ukur sukses atau kegagalan program konservasi. Hal ini bisa dilihat dari tingkat kesehatan (viabilitas) dari target konservasi. Berikan dua contoh monitoring biologi yang menunjukkan sukses dari program konservasi. 9. Gambarkan proses penetapan suatu kawasan konservasi dengan menggunakan sistem yang dikembangkan oleh PHKA. Bagaimana proses akomodasi pelibatan masyarakat dalam sistem ini? 10. Buatlah sebuah contoh badan pengelola kawasan konservasi dengan model kolaborasi berbagai pihak. 377
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan