TAHAPAN MENUJU PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN (KKP) DI INDONESIA [Makalah bahan diskusi pada kegiatan Focused-Group Discussion di Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pasuruan, tertanggal 20 Juli 2011]
Oleh: D.G.R. Wiadnya Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – UB Malang, Jl. Veteran Malang 65145 Kontak:
[email protected] Saran sitasi :
Wiadnya, D.G.R., 2011. Tahapan menuju perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan (KKP) di Indonesia. Focus Gorup Discussion tertanggal 20 Juli 2011, di DKP Pasuruan. FPIK-UB Malang, 12hal.
Abstrak: Makalah membahas definisi, tujuan, sejarah perkembangan dan tata urutan pengelolaan KKP di Indonesia. KKP ialah wilayah di laut yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Pada awalnya KKP dibangun sebagai bagian dari komitmen pemerintah kepada masyarakat global untuk melindungi sebagian keanekaragaman hayati, termasuk yang ada di laut. Hal ini dicetuskan melalui UU No. 5 tahun 1990 dan UU no. 5 tahun 1994. Dengan tujuan mempertahankan keberlanjutan perikanan tangkap, pemerintah juga memandang perlu untuk membangun sistem KKP di Indonesia, yang tertuang dalam UU No. 31 tahun 2004 dan PP No. 60 tahun 2007. Selanjutnya, makalah membahas 9 (sembilan) langkah tata urutan dalam proses pengelolaan KKP.
1 Terminologi kawasan konservasi peraran Mengacu pada pedoman IUCN, organisasi dunia yang mewadahi konservasi, Protected Area (PA) ialah sebuah wilayah geografi yang jelas, dikenal, ditujukan dan dikelola, dengan aturan legal atau cara lain yang efektif, untuk mencapai tujuan jangka panjang konservasi alam, terkait dengan jasa yang disediakan ekosistem bersama nilai budaya lainnya. Protected area (PA) di Indonesia diterjemahkan sebagai Kawasan Konservasi (KK), istilah yang secara resmi digunakan pada penjelasan Undang Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Berdasarkan tempatnya, kawasan konservasi bisa dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu KK yang berada di darat dan KK yang meliputi wilayah perairan. Beberapa KK di Indonesia bisa mempunyai kedua wilayah (darat dan laut) sekaligus. Sebagai contoh misalnya, ialah: Taman Nasional Komodo dan Taman Nasional Bali Barat. Khusus untuk kawasan konservasi di wilayah perairan, IUCN menggunakan terminologi Marine Protected Area (MPA). Namun tidak ada istilah khusus yang digunakan untuk menunjukkan kawasan konservasi yang di darat, selain protected area. Artinya, PA ialah istilah umum untuk menjelaskan kawasan konservasi, namun juga berarti kawasan konservasi yang ada di darat. Sementara MPA 1
Tahapan dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan (KKP) di Indonesia
digunakan untuk menjelaskan PA di wilayah perairan, terutama laut. Pada kasus seperti Taman Nasional (TN) Komodo atau TN Bali Barat, penggunaan istilah disesuaikan dengan konteks atau subjek yang menjadi fokus pembahasan. Marine Protected Area (MPA) ialah terminologi yang paling umum, global dan paling banyak diadopsi oleh baik institusi pemerintah maupun non-pemerintah (LSM), untuk menggambarkan suatu kawasan konservasi di wilayah perairan. Hal ini dimungkinkan karena istilah tersebut tertulis dalam IUCN. Namun selain MPA, kita juga sering membaca beberapa istilah lain yang mirip atau diaplikasikan untuk tujuan yang hampir sama. Terminologi tersebut diantaranya termasuk marine sanctuaries, fish sanctuary, marine reserves, fish-habitat protection, parks, heritage areas, nature monuments, fish refugees, endangered critical habitats, fisheries closures atau sejenisnya. Indonesia menggunakan berbagai istilah dan nomenklatur untuk menjelaskan terminologi umum dari Marine Protected Area (MPA). Departemen Kehutanan, melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, menggunakan istilah Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Perlindungan Alam (KPA). Dari dua kategori kawasan konservasi ini kita mengenal istilah Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam. Batasan lebih detail tentang masing-masing kategori kawasan konservasi ini disajikan pada Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang KSA dan KPA. Konservasi sumber daya alam hayati didefinisikan sebagai usaha pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Definisi ini sangat jelas menyiratkan keinginan untuk membuat keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya pada satu sisi dengan keinginan menjaga agar sumber daya hayati tetap tersedia dan bisa dinikmati oleh generasi yang akan datang secara berkelanjutan. Selain terminologi resmi yang diintroduksi pemerintah, pada tingkat lapang juga tejadi usaha-usaha untuk melindungi wilayah perairan, terutama di laut. Usaha ini lebih banyak diinisiasi oleh Lembaga Non Pemerintah (LSM) dengan melibatkan masyarakat lokal dan dengan bantuan hibah dari lembaga asing maupun donor perseorangan. Pada awal pertengahan tahun 1990an masyarakat Desa Blongko, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, mencetuskan istilah Daerah Perlindungan Laut (DPL). DPL didefinisikan sebagai kawasan di laut (terumbu karang, lamun dan bakau) yang dikelola dan dilindungi melalui keputusan desa untuk mempertahankan keunikan, keindahan, produktifitas atau rehabilitasi suatu kawasan. Aturan utama dari DPL adalah melarang segala bentuk kegiatan ekstraktif, seperti pengambilan atau penangkapan ikan. Sedangkan kegiatan non-ekstraktif seperti snorkeling atau menyelam masih bisa dilakukan dengan memperhatikan dampak minimal pada kawasan. Proyek ini didukung secara bersama oleh Pemerintah Kabupaten Minahasa, Proyek Pesisir (CRMP), USAID dan bantuan teknis dari University of Rhode Island. Dengan luas total kawasan mencapai 6 ha, DPL Blongko mengadopsi konsep DPL di Apo Island, Filipina (Kasmidi et. al., 1999). Pada awal tahun 2000an, DitJen Perikanan Tangkap, melalui projek yang didanai bersama dengan ADB, menduplikasi konsep DPL pada lima lokasi berbeda: Bengkalis (Riau), Tegal (Jawa Tengah) Prigi dan Muncar (Jawa Timur) dan Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat). Ukuran DPL bervariasi antara 12 – 280 ha (ADB, 2008). Pengelolaan DPL dilakukan oleh masyarakat bersama pemerintah desa, sedangkan pengawasan terhadap aturan DPL dilakukan melalui badan POKMASWAS (Kelompok Masyarakat Pengawas). Sayangnya, dokumentasi dampak keberhasilan DPL yang berukuran sedikit lebih besar dari DPL Blongko belum sempat disajikan selama aktifitas projek sehingga sulit untuk mengambil pembelajaran dari ke-lima lokasi DPL tersebut. Sejak tahun 2003, beberapa LSM internasional, seperti The Nature Conservancy (TNC), WWF dan Conservation International (CI) memperkenalkan istilah Kawasan Perlindungan Laut (KPL) dengan ukuran yang relatif lebih besar (Wiadnya et. al., 2005a; 2005b). Contoh kasus yang 2
Tahapan dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan (KKP) di Indonesia
digunakan adalah Taman Nasional Komodo (± 120.000 ha), Taman Nasional Wakatobi (± 1,2 juta ha) dan Taman Nasional Teluk Cendrawasih (± 1,4 juta ha). KPL yang berukuran relatif besar diharapkan akan memberikan dampak nyata terhadap perlindungan keanekaragaman hayati dan peningkatan perikanan di sekitar (luar) kawasan (mekanisme spill-over dan export larvae). Kementerian Kelautan dan Perikanan (sebelumnya Departemen Kelautan dan Perikanan) juga memperkenalkan istilah Kawasan Konservasi Laut (KKL) untuk definisi yang hampir sama dengan KPL maupun DPL. Istilah penamaan atau terminologi ini sering menjadi perdebatan pada diskusi Komisi Nasional Konservasi Laut (KomNas KoLaut) yang dibentuk oleh Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Melalui Undang-Undang No. 32 tahun 2004, Pemerintah Daerah di Indonesia mendapat wewenang dan bertanggung jawab dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan (Pasal 18, Ayat 3). Kewenangan dan tanggung jawab ini memungkinkan untuk munculnya istilah baru dalam nomenklatur KKP. Istilah yang sering dipakai adalah kawasan konservasi laut daerah (KKLD). Sampai saat ini, ada beberapa KKLD yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Bupati setempat. Beberapa contoh diantaranya adalah KKL Berau (Propinsi Kalimantan Timur), KKLD Raja Ampat (Propinsi Papua Barat) dan KKP Nusa Penida, Kabupaten Klungkung (Propinsi Bali). Dengan tujuan untuk pengelolaan perikanan berkelanjutan, pemerintah memberlakukan Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, sebagai pembaruan dari ketentuan sebelumnya (Undang-Undang No. 9 tahun 1985). Pada ketentuan ini pemerintah memperkenalkan istilah suaka perikanan (Pasal 7, ayat 1) dan konservasi ekosistem (Pasal 13, ayat 1) sebagai alat pengelolaan perikanan. Dari ketentuan dalam Undang-Undang No. 31 tahun 2004, dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 tahun 2007 tentang konservasi sumber daya ikan (KSDI). Melalui PP No. 60 tahun 2007, pemerintah memperkenalkan istilah kawasan konservasi perairan (KKP) sebagai terminologi umum dari berbagai istilah sebelumnya. Batasan KKP dibuat mengacu pada istilah umum yang ditetapkan oleh IUCN tentang MPA. Sampai saat ini, di Indonesia paling tidak, terdapat 8 istilah atau terminology berbeda tentang kawasan konservasi di wilayah perairan, ialah: kawasan perlindungan laut (KPL), kawasan konservasi laut (KKL), kawasan konservasi perairan (KKP), daerah perlindungan laut (DPL), kawasan konservasi laut daerah (KKLD), suaka perikanan, kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan perlindungan alam (KPA). Sebagian dari istilah tersebut belum terdefinisikan secara jelas (KPL, KKL, KKLD, suaka perikanan), ada yang sudah terdefinisikan walaupun tidak mempunyai konsekuensi hukum (DPL), maupun yang sudah didefinisikan melalui perangkat hukum yang jelas (KSA, KPA dan KKP). Namun definisi dari berbagai istilah tersebut secara tersirat hampir sama, mengacu pada definisi dari istilah Marine Protected Area (MPA) yang dibuat oleh IUCN.
2 Definisi Menurut definisi IUCN, Marine Protected Area (MPA) dinyatakan sebagai wilayah perairan termasuk flora, fauna, corak budaya dan sejarah yang berkaitan, dilindungi secara hukum maupun cara lain yang efektif, untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan di sekitarnya (Kelleher, 1999). Untuk mengurangi penggunaan kata-kata asing, istilah umum yang dipakai pada makalah ini, sebagai terjemahan langsung dari MPA ialah kawasan konservasi perairan. KKP merupakan istilah yang digunakan dalam PP No. 60 tahun 2007, didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Makalah ini menggunakan istilah KKP hanya sebagai konsistensi. Walaupun demikian, istilah lain juga bisa digunakan untuk menjelaskan hal-hal yang lebih spesifik. Istilah DPL misalnya, bisa digunakan secara spesifik untuk memberikan ketegasan terhadap suatu KKP yang dikelola oleh masyarakat lokal (community-based MPA management). KPA dan KSA merupakan bentuk KKP yang secara hukum dikelola oleh Kementerian Kehutanan, melalui instansi di bawah DitJen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA). Sedangkan KKLD mengacu 3
Tahapan dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan (KKP) di Indonesia
pada jenis KKP yang dikelola oleh Pemerintah Propinsi atau Pemerintah Kabupaten / Kota Madya, sesuai dengan mandat dalam UU No. 32 tahun 2004. Dari definisi tersebut di atas, paling tidak ada lima (5) prinsip dasar yang perlu diperhatikan dari batasan KKP, ialah: a. Adanya wilayah perairan tertentu dengan batas-batas (delineasi) yang jelas, walaupun membuat tanda batas di wilayah perairan termasuk pekerjaan yang agak sulit. Sebagai contoh, Taman Nasional Komodo, memiliki batas wilayah perairan yang tetap dengan total luas mencapai ± 120.000 ha; b. Wilayah perairan tersebut mempunyai ciri atau karakteristik tertentu yang akan memberikan manfaat positif dalam usaha perlindungan keanekaragaman hayati atau tujuan lain yang terkait (seperti peningkatan kesehatan stok perikanan tangkap, pariwisata, bentang alam atau sejenisnya). Terumbu karang yang sehat ialah salah satu karakteristik yang sering dijadikan pertimbangan dalam memilih suatu wilayah sebagai KKP; c. Harus ada aturan pembatasan yang sangat jelas, boleh tertulis atau kebiasaan yang tidak tertulis yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. UU No. 5 tahun 1990 bersama PP No. 68 tahun 1998, UU No. 31 tahun 2004 bersama PP No. 60 tahun 2007 ialah contoh aturan tertulis tentang MPA di Indonesia. Sedangkan Sasi Laut, Awig-Awig dan Panglima Laot ialah contoh dari aturan tidak tertulis tentang perlindungan laut; d. Keberadaan KKP harus diakui secara luas dengan adanya sistem tata kelola (governance) yang jelas. Pengelola KKP bisa murni dari pemerintah, murni oleh masyarakat maupun kemitraan diantara keduanya (co-management) e. Aturan tersebut pada point (c), ditegakkan dan dipatuhi oleh semua orang, tanpa kecuali, serta terdapat sanksi mengikat bagi pelanggar aturan. Pernah terjadi, seorang yang beberapa kali ketahuan melakukan pencurian rusa dari suatu wilayah Taman Nasional, dikenakan hukuman penjara sampai 10 tahun. Setiap KKP mempunyai aturannya tersendiri, yang bisa berbeda dengan KKP lainnya. Beberapa KKP mempunyai aturan yang sangat ketat, melarang semua bentuk kegiatan ekstraktif (pengambilan) pada seluruh wilayah KKP. Bahkan ada KKP yang membatasi jumlah kunjungan (visitasi) atau bahkan melarang kegiatan visitasi kecuali untuk penelitian dan monitoring. KKP lainnya memberikan ijin untuk memasuki wilayah KKP, asalkan tidak melakukan kegiatan ekstraktif (menangkap ikan atau mengambil tanaman dari dalam kawasan). Namun ada juga KKP yang membolehkan beberapa kegiatan ekstraktif terbatas pada sebagian kecil dari wilayah KKP. Bahkan, bisa saja suatu KKP dibagi dalam wilayah-wilayah, masing-masing dengan peruntukkan berbeda. Pembagian wilayah peruntukan dalam KKP sering disebut dengan istilah zonasi.
3 Tujuan pembentukan KKP Beberapa dokumen menyatakan bahwa cikal bakal Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu sudah terbentuk sekitar tahun 1975. Pada saat yang sama pemerintah juga mempersiapkan pembentukan Taman Nasional Bunaken, Sulawesi Utara. Awalnya, KKP dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan keutuhan keanekaragaman hayati perairan. Tujuan pembentukan KKP ialah untuk melindungi keanekaragaman hayati dengan cara melindungi habitat atau tempat hidupnya. Selama periode ini (sebelum tahun 1980an), Kawasan Konservasi (termasuk KKP) sering kali dipandang sebagai gagasan yang kering, tidak mempunyai visi yang jelas. Aturan konservasi tidak terdokumentasikan dengan baik, petugas tidak melaksanakan penegakan aturan konservasi dengan baik dan masyarakat bersifat netral terhadap kawasan konservasi. Sejak awal tahun 1980an pemerintah bersama masyarakat mulai merasakan dampak ekstraksi secara berlebihan (over-fishing). Di laut, nelayan merasakan terjadinya over-fishing atau 4
Tahapan dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan (KKP) di Indonesia
penangkapan berlebih, yang menyebabkan penurunan hasil tangkapan nelayan. Di darat, masyarakat mengalami gangguan kekeringan, tanah longsor dan banjir akibat penebangan hutan secara berlebihan. Pada tahun 1992, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan resolusi perlindungan keanekaragaman hayati sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan. Belakangan, Konvensi yang dilakukan di Rio de Jeneiro, Brasil tersebut terkenal dengan UNCBD (United Nation Convention on Biological Diversity). Indonesia meratifikasi UNCBD dua tahun kemudian, melalui UU No. 5 tahun 1994. Sejak saat itu, pemerintah dan masyarakat mulai memandang kawasan konservasi sebagai salah satu metode dalam pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Selain untuk melindungi keanekaragaman hayati, beberapa KKP juga dibentuk dengan tujuan untuk mempertahankan perikanan secara berkelanjutan. Pada awal tahun 2000an, FAO mulai memberikan peringatan kepada pemerintah bangsabangsa di dunia bahwa total produksi perikanan laut sudah mengalami stagnasi. Dalam pidatonya pada tahun 2004, Kofi Annan, SekJen PBB ketika itu, menyatakan 75% dari stok sumber daya perikanan dunia dieksploitasi pada laju di atas kemampuan stok untuk melakukan pemulihan, yang berakibat pada penangkapan berlebih. Sebagai negara dengan produksi perikanan laut urutan ketiga terbesar di dunia, Indonesia juga mengalami kondisi yang hampir sama. Kompilasi beberapa studi tentang status stok sumber daya perikanan menunjukkan gambaran yang menyedihkan (Wiadnya et. al., 2005a). Dari 129 kesimpulan hasil penelitian, 82 kesimpulan diantaranya menyatakan bahwa sumber daya perikanan Indonesia berada pada kondisi tangkap penuh (fullyexploited) atau tangkap lebih (over-exploited). Beberapa pihak mulai merasakan kawasan konservasi sebagai suatu kebutuhan yang mendesak yang harus segera dilakukan. Kalau tidak, masyarakat pesisir akan segera kehilangan satu diantara beberapa sumber mata pencaharian, dari penangkapan ikan. Pada jaman dulu, secara tidak sadar dan tidak sengaja, nenek moyang kita telah mempunyai kawasan konservasi perairan. KKP ketika itu bisa dibayangkan sebagai tempat-tempat di laut yang karena keterbatasan manusia, dibiarkan tidak terjamah dan tidak diganggu. Masyarakat hanya memanfaatkan sebagian kecil wilayah di laut karena kemampuan teknologi eksplorasi yang masih terbatas. Jika terjadi penangkapan berlebih pada daerah yang dieksploitasi, akan segera terjadi pergantian stok baru (replenishment) dari lokasi yang tidak terjamah tersebut, melalui proses limpasan atau spill-over dan ekspor larva atau telur. Perkembangan teknologi dan pertambahan penduduk mendesak KKP alam tersebut sehingga jumlah dan luasnya semakin mengecil. Sebaliknya, lahan eksploitasi semakin luas, kemampuan replenishment semakin kecil, penangkapan berlebih menjadi fenomena yang semakin umum, kelangkaan spesies ikan secara sekuensial dimulai dari jenis yang harganya paling tinggi dan lokasi dengan kondisi alam yang masih asli semakin sulit didapat. Pada kondisi dimana sumber daya alam di laut sudah semakin terbatas sementara tekanan eksploitasi terus meningkat, perlindungan kawasan menjadi jawaban yang perlu segera dilakukan. Namun pengembangan KKP selalu mendapat penolakan yang kuat dari masyarakat, terutama di Indonesia. Kebutuhan yang selalu mendesak dan alternatif mata pencaharian ialah dua alasan utama penolakan terhadap KKP. Tragedi milik umum (tragedy of common) juga merupakan dalih yang paling ampuh untuk melakukan penundaan pengembangan KKP. Pembentukan suatu KK atau KKP, pada awalnya, bertujuan hanya untuk melindungi keanekaragaman hayati. Dengan berkembangan ilmu pengetahuan, perubahan kondisi ekologi dan status pemanfaatan sumber daya hayati, suatu KK bisa mempunyai fungsi atau tujuan ganda, selain perlindungan keanekaragaman hayati. Diantara tujuan tersebut, ialah: a. b. c. d. e. f. 5
Penelitian ilmiah dan ilmu pengetahuan Perlindungan terhadap alam liar / hutan belantara Perlindungan & pengawetan keanekaragaman spesies dan genetik Mempertahankan jasa-jasa lingkungan Melindungi corak budaya dan bentang alam yang spesifik Wisata dan rekreasi Tahapan dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan (KKP) di Indonesia
g. Pendidikan h. Pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungannya secara berkelanjutan i. Memelihara atribut budaya atau tradisi
4 Sejarah perkembangan kawasan konservasi di Indonesia Sejarah kawasan konservasi di Indonesia bisa dibedakan ke dalam 4 (empat) periode, ialah: (1) pra-kolonial; (2) periode kolonial Belanda, (3) periode kemerdekaan, dan (4) periode reformasi. Kawasan konservasi selama periode kolonial sudah hampir dilupakan saat ini. Anehnya peninggalan kawasan konservasi jaman pra-kolonial bisa bertahan walaupun tanpa aturan tertulis dan tanpa pengukuhan melalui aturan formal oleh pemerintah. Sebaliknya, banyak kawasan konservasi formal yang dibangun selama masa kemerdekaaan dan era reformasi tidak dipatuhi oleh masyarakat. Bahkan, pada kondisi sebagian dari kawasan tersebut sudah dijaga oleh aparat keamanan yang terlatih. Pada jaman pra-kolonial, konservasi tumbuh dari dua tipe warisan perilaku yang berbeda. Perilaku pertama ialah adanya tempat-tempat yang dikeramatkan (sakral) yang tidak boleh diganggu oleh siapapun. Aturan ini terbentuk dengan sendirinya dan dipatuhi oleh masyarakat di sekitarnya. Setiap orang yang bertamu ke dalam suatu wilayah, biasanya akan bertanya tentang kondisi desa, termasuk perilaku (tabu) yang tidak boleh dilakukan dan tempat-tempat yang tidak boleh didatangi (keramat). Jika hal ini dilanggar, warga desa akan segera menegur dan bahkan ketakutan karena sudah terjadi pelanggaran aturan, yang mereka patuhi secara turun temurun. Di laut, lokasi ini sekarang sering disebut dengan istilah “fish sanctuary”. Dia berpeluang menjadi KKP alami, dan melalui mekanisme spill-over serta ekspor-larva, memperbaharui (replenish) perikanan tangkap di sekitarnya. Di Blitar Jawa Timur, ada suatu lokasi bernama Telaga Rambut Monte yang sampai sekarang dikeramatkan oleh penduduk sekitarnya sebagai tempat yang terlarang – Rambut Monte ialah sebuah telaga sumber yang berukuran sekitar 400 m2. Di dalam telaga terdapat beberapa jenis ikan, yang paling unik ialah ikan Sengkaring, Tor douronensis (Valenciennes, 1842). Tanpa aturan formal, ikan sengkaring tetap terjaga di dalam telaga, sementara ikan yang sama tidak ditemukan di daerah lain, di sekitarnya. Tabu atau pantangan ialah suatu pelarangan sosial yang kuat terhadap kata, benda, tindakan, atau orang yang dianggap tidak diinginkan oleh suatu kelompok, budaya, atau masyarakat. Pelanggaran tabu biasanya tidak dapat diterima dan dapat dianggap menyerang. Menghindar dari perilaku tabu inilah yang kemungkinan menjadi kata kunci keberhasilan kawasan konservasi yang terbangun sejak jaman pra-kolonial di Indonesia. Perilaku kedua ialah adanya kesepakatan di dalam masyarakat, antara kepala kelompok dengan anggota kelompok, untuk melindungi suatu wilayah dengan segala isinya. Perilaku ini tumbuh dari keinginan bersama, bukan dari pandangan tabu. Kepala kelompok mendapat wewenang untuk mengawasi dan menegakkan aturan, termasuk menentukan hukuman terhadap pelanggaran aturan konservasi. Pada beberapa kasus, sanksi sosial sudah ditentukan dalam kesepakatan. Beberapa contoh dari kawasan konservasi yang kita kenal sampai saat ini ialah Sasi Laut di Maluku dan Papua, Panglima Laot di Aceh, Awig-Awig di Bali dan Lombok, atau Nyale di Sumba. Masyarakat Nusa Penida Bali, pernah mempunyai aturan Awig-Awig tentang perlindungan terumbu karang. Masyarakat sepakat untuk melarang perdagangan terumbu karang ke luar desa. Untuk kepentingan membangun rumah sendiri, anggota masyarakat dalam desa berhak untuk mengambil karang di laut. Jika anggota masyarakat menjual karang keluar desa, dia akan dikenakan hukuman sosial – bekerja sosial di Balai Desa (Bale Banjar) selama 20 hari. Kepatuhan masyarakat 6
Tahapan dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan (KKP) di Indonesia
pada tipe kawasan konservasi seperti ini masih cukup kuat, walaupun belakangan mulai berkurang. Kunjungan ke beberapa wilayah Sasi Laut maupun Panglima Laot menunjukkan eksistensi dari aturan di dalam kawasan. Sayangnya, sistem ini tidak mendapatkan penguatan yang optimal dari pemerintah. Pada jaman kolonail Belanda, inisiatif konservasi bisa berasal dari individu maupun pemerintah. Pada tahun 1714 Cornelis Chastelein menulis surat wasiat untuk menyerahkan sebidang tanah/hutan di Depok, kepada pengikutnya. Namun hutan tersebut harus dilindungi sebagai kawasan konservasi untuk menjaga kesimbangan lingkungan di sekitarnya. Sebagai gantinya, Chastelein memberikan sebidang tanah lainnya dan bisa dimanfaatkan oleh pengikutnya. Pengikut Chastelein, sekarang mendirikan Lembaga Cornelis Chastelein (LCC) untuk mengenang jasa Chastelein. Pada tahun 1889, Direktur Lands Plantentuin (sekarang menjadi Kebun Raya Bogor), mengusulkan kawasan hutan Cibodas untuk dilindungi, untuk kepentingan penelitian. Kawasan ini diperluas pada tahun 1925, mencakup Pengunungan Gede dan Pangrango. Sekarang, kawasan tersebut menjadi Taman Nasional Gede Pangrango, kawasan yang bertujuan untuk melindungi persediaan air di wilayah perkotaan (Jakarta). Pada tahun 1932, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan Natuur Monumenten Ordonatie atau Ordonasi Cagar Alam dan Suaka Margasatwa. Sejak saat itu konservasi secara hukum mulai diterapkan. Namun kawasan konservasi selalu berada di darat, sementara pengetahuan dan kemajuan di bidang pesisir dan kelautan sangat jauh tertinggal. Pada era kemerdekaan, Pemerintah Indonesia (Departemen Kehutanan) bekerja sama dengan Pemerintah Kerajaan Belanda untuk membangun sekolah khusus bagi praktisi konservasi di Indonesia. Sekolah ini disebut School of Environment and Conservation Management (SECM) yang berlokasi di Bogor. Lulusan dari SECM inilah yang pada umumnya menjadi pengelola hampir semua kawasan konservasi di Indonesia. Namun mulai tahun 1994, SECM harus ditutup oleh Pemerintah Indonesia karena anggaran yang terbatas. Pada saat yang sama jumlah dan luas kawasan konservasi terus meningkat, dan sebagian dari lulusan SECM saat ini sudah mengalami purna tugas. Setelah periode kekosongan selama hampir 13 tahun, Pemerintah Indonesia mulai merasakan pentingnya SECM dan bekerja sama dengan Pemerintah Korea untuk membuka kembali sekolah tersebut. SECM dianggap sangat berhasil dalam mendidik tenaga praktisi dan pengelola kawasan konservasi di Indonesia. Keberadaan SECM sangat mewarnai kualitas pengelolaan kawasan konservasi dalam era kemerdekaan. Namun pendididkan lebih difokuskan untuk keperluan kehutanan atau kawasan konservasi di darat, dengan tujuan utama perlindungan keanekaragaman hayati. Spesialist dalam bidang kawasan konservasi perairan diduga jauh tertinggal dibandingkan dengan komponen daratan. Sebelum era reformasi, ada beberapa inisiatif masyarakat desa pesisir untuk melindungi wilayah di laut dengan tujuan memperbaiki perikanan. Istilah yang paling umum digunakan ketika itu ialah Daerah Perlindungan Laut (DPL). Inisiatif ini didukung oleh beberapa proyek, seperti Coastal resource Management Project (CRMP). Contoh dari DPL yang cukup berhasil ialah Blongko, Talise, Bentenan dan Tumbak di Sulawesi Utara. Semua aktifitas pengelolaan kawasan dilakukan oleh masyarakat, yang didorong oleh proyek dan instansi pemerintah daerah. Inisiatif ini kemudian dikembangkan oleh beberapa program berikutnya, seperti COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program).
7
Tahapan dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan (KKP) di Indonesia
Pada awal era reformasi, terjadi beberapa perubahan dalam bidang hukum dan perundangan. Reformasi hukum tersebut juga terjadi dalam bidang konservasi. Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 ialah peraturan pertama yang memberi wewenang pengelolaan kawasan konservasi perairan kepada insitusi selain Departemen Kehutanan. Pada saat yang sama, melalui Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, Pemerintah Daerah mendapat wewenang untuk mengelola kawasan konservasi. Selanjutnya, melalui Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007, Pemerintah memberikan kewenangan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mengelola kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Jadi, pada era reformasi, Pemerintah Indonesia telah menetapkan 3 (tiga) jenis Undang-Undang terkait dengan kawasan konservasi. Sedangkan dalam era kemerdekaan (1945 – 2000), Pemerintah hanya menetapkan satu undangundang tentang konservasi selama 55 tahun. Pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia tampaknya dimulai dari darat, seperti umumnya daerah-daerah lain di dunia. Pada periode penjajahan Belanda, penetapan kawasan konservasi selalu dilakukan di darat. Pendidikan konservasi pada era kemerdekaan (SECM) juga lebih banyak difokuskan untuk masalah-masalah kehutanan di darat. Laut menjadi wilayah yang hampir dilupakan untuk kepentingan konservasi. Dengan meningkatnya teknologi penangkapan ikan, sebagian besar habitat dan sumber daya ikan mengalami degradasi akibat penangkapan berlebih dan tidak ramah lingkungan. Setelah tahun 2000, era reformasi, beberapa inisiatif termasuk pengembangan kebijakan konservasi dimulai ke arah laut. Dari sejarah perkembangan kawasan konservasi, Indonesia tampaknya sedang berada dalam proses mencari bentuk menuju pengelolaan kawasan konservasi yang efektif. Oleh karena itu, ada baiknya kalau kita mempelajari pengalaman dari proses pembentukan beberapa kawasan konservasi di luar Indonesia. Pembelajaran yang sesuai bisa kita gunakan dan adopsi untuk perbaikan sistem yang sudah berkembang sampai saat ini.
5 Tata urutan pengelolaan KKP di Indonesia Standard Lexicon (pakem) dalam tata urutan pengelolaan kawasan konservasi perairan umumnya terdiri dari 9 (sembilan) tahapan sebagai berikut: a) b) c) d) e) f) g) h) i)
Seleksi calon kawasan konservasi perairan (KKP) Penetapan/deklarasi KKP secara formal Penentuan tata batas KKP Zonasi di dalam kawasan Rencana pengelolaan KKP Pembentukan Badan Pengelola KKP Implementasi pengelolaan KKP Monitoring Keberhasilan pengelolaan Pengelolaan adaptif
Seleksi calon kawasan ialah satu dari sekian banyak elemen dalam proses pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan secara keseluruhan. Kawasan konservasi ditujukan untuk mencapai satu atau beberapa tujuan utama dari pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Oleh karena itu, sistem Kawasan Konservasi Perairan seharusnya menjadi bagian integral dari rencana pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu. Rencana pengelolaan kawasan konservasi tidak bisa dibuat secara
8
Tahapan dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan (KKP) di Indonesia
terpisah dari tujuan yang lebih besar. Oleh karena itu, seleksi calon Kawasan Konservasi Perairan harus memperhatikan rencana pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Jika memungkinkan, seleksi calon kawasan konservasi lebih baik dilakukan secara nasional dibandingkan dengan sistem yang terpisah secara individu. Paling tidak, dia dilakukan pada wilayah regional tertentu atau satuan bentang laut yang lebih kecil. Dengan sistem ini, lebih memungkinkan untuk menyusun kawasan konservasi melalui jejaring (network) yang akan berdampak lebih baik dibandingkan kawasan yang terpisah secara individu. Seleksi calon kawasan juga menghargai inisiatif lokal. Dalam implementasi, kawasan yang berasal dari inisiatif lokal umumnya akan mendapat dukungan yang lebih kuat. Oleh karena itu, sistem nasional juga memperhatikan inisiatif yang berkembang dari pemerintah atau masyarakat lokal. Kategori kawasan bisa dibedakan berdasarkan fungsi dan tujuan utama pengelolaan. Inisiatif lokal ini kemungkinan termasuk dalam salah satu kategori yang dibutuhkan dalam sistem nasional. Ringkasnya, seleksi calon kawasan harus mempertimbangkan tiga hal pokok, ialah: keberadaan sistem pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terintegrasi dalam suatu wilayah; seleksi calon kawasan sebaiknya menggunakan sistem nasional atau unit regional maupun kesatuan unit bentang alam tertentu; dan mempertimbangkan atau menghargai insiatif lokal. Proses penetapan kawasan sering kali membutuhkan waktu yang jauh lebih lama dari tata waktu yang dijadwalkan sebelumnya. Pengalaman setiap kawasan akan berbeda antara kawasan satu dengan yang lainnya. Kondisi pilitik, dukungan dari masyarakat dan kebutuhan bersama merupakan kombinasi faktor yang sulit untuk diramalkan dan ditentukan dalam tata waktu penetapan. Fish Habitat Area (FHA) di Negara Bagian Queensland Australia, hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari 18 bulan. Hal ini terjadi karena dukungan masyarakat dan kebutuhan akan kawasan. Sebagian besar masyarakat pengguna ialah pemancing rekreasi. Di dalam wilayah FHA, kegiatan memancing tidak dilarang menurut aturan pengelolaan. Pada kondisi seperti ini, deklarasi FHA akan cepat mendapat dukungan dari masyarakat pengguna. Kawasan Konservasi Laut Daerah Raja Ampat membutuhkan waktu sampai 4 (empat) tahun sampai proses penetapan. Kawasan Nusa Penida di Bali bahkan membutuhkan waktu sampai 7 (tujuh) tahun sebelum ditunjuk oleh Bupati sebagai Kawasan Konservasi Perairan. Secara keseluruhan proses-proses persiapan terdiri dari: identifikasi stakeholder (para pihak), training tentang manfaat kawasan konservasi, pembentukan panitia pengarah, training panitia pengarah, pembuatan rencana sosialisasi, implementasi sosialisasi, penelusuran hukum dan kebijakan serta penunjukkan melalui Peraturan Bupati. Oleh karena itu, pengalaman dari suatu lokasi tidak bisa dijadikan acuan untuk diterapkan pada lokasi yang lain. Masing-masing lokasi kawasan mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dengan lokasi lainnya. Pada kondisi di Indonesia saat ini, proses penetapan Kawasan Konservasi Perairan sebaiknya memperhatikan paling tidak 4 (empat) hal sebagai berikut: ketentuan hukum formal yang akan digunakan sebagai dasar; pelibatan para pihak dalam proses penetapan; pengakuan dan dukungan dari sebagian besar pengguna; dan dokumentasi semua proses penetapan secara lengkap. Batas terluar suatu Kawasan Konservasi Perairan biasanya diukur dengan dua cara. Cara pertama dan detail ialah dengan menentukan titik koordinat melalui GPS (Geographical Positioning System). Sistem ini dibutuhkan untuk penyelesaian peta yang akan dicantumkan pada surat penetapan kawasan. Metode kedua ialah dengan memilih tanda-tanda alam di lapang yang mudah dikenali, tanpa menggunakan alat bantu seperti tersebut di atas. Tanda-tanda alam ini bisa berupa 9
Tahapan dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan (KKP) di Indonesia
taka (karang), pulau kecil atau tanda lainnya. Jika memungkinkan tanda batas dibuat secara permanen, seperti pemasangan pelampung. Pengalaman lapang menunjukkan bahwa pelampung sering tidak efektif karena tidak berusia lama. Langkah yang sangat penting setelah penetapan kawasan ialah menyelesaikan zonasi, sebagai bagian dari rencana pengelolaan kawasan. Zonasi ialah usaha untuk membagi seluruh kawasan ke dalam ruang-ruang untuk peruntukan berbeda sesuai dengan fungsi dan tujuan pembentukan kawasan konservasi. Proses penyusunan zonasi pada dasarnya terdiri dari 4 (empat) langkah utama, ialah: penentuan tujuan kawasan, penentuan parameter yang mendukung tujuan kawasan, penggunaan teknik zonasi yang sesuai dan negosiasi atau kompromi dengan para pihak, terutama pengguna kawasan. Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan ialah strategi yang tersusun atas berbagai aksi tindak (action plan) yang diarahkan untuk mencapai tujuan jangka panjang suatu kawasan konservasi. Pencapaian tujuan dari pengelolaan kawasan konservasi hanya bisa terlihat dalam jangka panjang. Sedangkan kalender kegiatan biasanya berumur satu tahun. Oleh karena itu, rencana pengelolaan kawasan konservasi biasanya dibagi dalam 3 (tiga) kategori: rencana pengelolaan jangka panjang, rencana pengelolaan jangka menengah dan rencana pengelolaan jangka pendek. Rencana pengelolaan jangka pendek sering disebut rencana kerja tahunan (RKT) sesuai dengan kalender proyek pada umumnya. Rencana jangka menengah ialah tata waktu pencapaian antara jangka pendek dengan jangka panjang. Umumnya rencana pengelolaan jangka panjang dibuat untuk berlaku dalam waktu 25 tahun. Sedangkan rencana jangka menengah berlaku untuk periode 5 (lima) tahun. Namun tata waktu ini bukan ketentuan baku, tergantung dari tujuan dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan konservasi. Pada akhirnya, rencana pengelolaan harus dijalankan sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan dalam rencana pengelolaan 25-tahun, rencana pengelolaan 5-tahun, maupun rencana kerja tahunan. Rencana kerja tersebut akan dilaksanakan oleh suatu badan atau institusi pengelola kawasan. Pengelolaan kawasan bisa dilakukan oleh satu instansi tertentu, atau gabungan dari beberapa instansi, bahkan bisa terdiri dari sistem perwakilan berbagai komponen masyarakat. Dalam sejarah perkembangan pengelolaan sumberdaya maupun kawasan konservasi, Indonesia berpengalaman menjalankan dua sistem yang berbeda, ialah: model pengelolaan kawasan berbasis masyarakat, dan model pengelolaan berbasis pada pemerintah formal. Ketika suatu kawasan konservasi berada pada lokasi yang terisolasi dan sulit dijangkau oleh pemerintah, masyarakat lokal akan membuat kesepakatan lokal (disebut aturan) untuk mengelola pemanfaatan sumber daya berbasis masyarakat (community-based management). Contoh ini sudah kita diskusikan sebelumnya, termasuk diantaranya ialah: Sasi Laut di Maluku dan Papua, Nyale di Sumba, Awig-Awig di Lombok atau Panglima Laot di Aceh. Sistem pengelolaan kawasan konservasi yang berkembang saat ini di Indonesia ialah berbasis pada pemerintah. Hal ini tertuang dalam Undang Undang Dasar 1945, Pasal 33 (3), sebagai berikut: bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun demikian, pemerintah secara bertahap mulai menyerahkan sebagian urusan pengelolaan sumberdaya kepada Pemerintah Daerah maupun masyarakat. Sejak 30 tahun yang lalu, sistem pengelolaan sumber daya berkembang dan mengarah pada konsep alternatif yang disebut pengelolaan secara bersama. Model ini sering disebut dengan istilah co-management atau collaborative management, kolaborasi kewenangan dalam pengelolaan 10
Tahapan dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan (KKP) di Indonesia
sumberdaya alam maupun konservasi kawasan. Kolaborasi, pada banyak teks, didefinisikan sebagai usaha untuk berbagi wewenang dan tanggung jawab antara pemerintah dengan masyarakat berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya maupun kawasan konservasi. Tingkatan dalam kolaborasi ini akan berbeda-beda, sesuai dengan kondisi lokal dan dinamika antara pemerintah dan masyarakat berkepentingan. Masing-masing tingkatan dicirikan oleh besarnya atau intensitas interaksi diantara kedua pihak. Monitoring ialah suatu pengamatan yang dilakukan secara berulang, dengan metode yang sama, dengan tujuan untuk mengukur perubahan yang terjadi sebagai dampak dari kegiatan atau aksi pengelolaan. Parameter monitoring harus bisa menjamin bahwa perubahan yang terjadi merupakan dampak dari aksi konservasi, bukan oleh faktor lain, selain aksi konservasi. Namun menentukan parameter yang akan dimonitor harus efektif – tidak semua parameter harus dimonitor, dengan memperhatikan tenaga dan dana yang tersedia untuk keperluan ini. Sebagai contoh, pengelolaan suatu kawasan konservasi ditujukan untuk mengurangi tekanan penangkapan di wilayah larang-ambil, ialah pada lokasi penangkapan ikan (fishing ground) nelayan. Kegiatan monitoring ialah dengan mencatat jumlah Crown-Of-Thorn (COT) setiap 6 (enam) bulan sekali. Strategi monitoring seperti ini jelas tidak sesuai dengan tujuan pengelolaan kawasan.
6 Kesimpulan Indonesia sebenarnya mempunyai pengalaman yang cukup panjang dalam pengelolaan KKP – Sasi Laut, Awig-Awig, Nyale dan Panglima Laot ialah beberapa model pengelolaan KKP yang masih bertahan sampai sekarang. Sejak tahun 1992, Pemerintah Indonesia menyatakan komitmen kepada dunia global untuk melindungi sebagian keanekaragaman hayati termasuk laut. Secara hukum, hal ini terjadi melalui UU No. 5 tahun 1994 tentang Ratifikasi UNCBD. Melalui UU No. 31 tahun 2004 dan PP No. 60 tahun 2007 pemerintah merasakan perlunya mengembangkan KKP di Indonesia untuk mempertahankan keberlanjutan perikanan tangkap. Tata urutan dalam pengelolaan KKP di Indonesia umumnya terdiri dari 9 (sembilan) langkah sebagai berikut: (1) seleksi calon KKP, (2) penetapan/deklarasi, (3) penentuan tata batas, (4) zonasi di dalam kawasan, (5) rencana pengelolaan, (6) pembentukan badan pengelola, (7) implementasi rencana pengelolaan, (8) monitoring keberhasilan pengelolaan, dan (9) pengelolaan adaptif. Melalui tahapan ini, kawasan konservasi perairan di Indonesia diharapkan bisa berkembang, untuk mengurangi tangkap lebih dan tangkapan destruktif serta perlindungan keanekaragaman hayati laut
Daftar Pustaka ADB (2008). Indonesia: Coastal Community Development and Fisheries Resources Management Project. Completion Report, Asian Development Bank: 94. Kasmidi, M., A. Ratu, E. Armada, J. Mintahari, I. Maliasar, D. Yanis, F. Lumolos, N. Mangampe, P. Kapena, & M. Mongkol (1999). Rencana Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut dan Pembangunan Sumberdaya Wilayah Pesisir Desa Blongko, Kecamatan Tenga, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Minahasa, University of Rhode Island, Coastal Resources Center, Narragansett, Rhode Island, USA & Bappeda Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, Indonesia: 59. Kelleher, G., & A. Phillips (1999). Guidelines for Marine Protected Areas. Gland, Switzerland and Cambridge, UK., IUCN: XX IV+107pp. 11
Tahapan dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan (KKP) di Indonesia
Wiadnya, D. G. R., & T. Soekirman (2007). Terlalu banyak kapal mengejar sedikit ikan. Gatra: 2. Wiadnya, D. G. R., & T. Soekirman (2007). Too many boats chasing, catching too few fish. The Jakarta Post. Jakarta, Indonesia: 3. Wiadnya, D. G. R., P.J. Mous, R. Djohani, M.V. Erdmann, A. Halim, M. Knight, L. Pet-Soede, & J.S. Pet (2005). "Marine capture fisheries policy formulation and the role of marine protected areas as tool for fisheries management in Indonesia." Mar. Res. Indonesia 30: 34-45. Wiadnya, D. G. R., R. Djohani, M.V. Erdmann, A. Halim, M. Knight, P.J. Mous, J. Pet, & L. Pet-Soede (2005). "Kajian kebijakan pengelolaan perikanan tangkap di Indonesia: menuju pembentukan kawasan perlindungan laut." Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 11(3): 6577.
12
Tahapan dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan (KKP) di Indonesia