BAB VIII. PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 8.1. Pilihan Pengelolaan Mengacu pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan kewenangan kepada daerah dalam melakukan pengelolaan kawasan pesisir dan laut sejauh 12 mil untuk provinsi dan 4 miluntuk kabupaten, maka daerah Alor sebagai daerah yang memiliki wilayah laut, diberi kewenangan untuk melakukan konservasi dan mengatur sumberdaya alam di tingkatdaerah sebagaimana tercantum dalam pasal 18:1 Undangundang No.32 tahun 2004. Kewenangantersebut meliputi: eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut(18:3a), pengaturan administrasi (18:3b), pengaturan tata ruang (18:3c), danpenegakan hukum (18:3d).Hal ini merupakan peluang bagi Kabupaten Alor untuk menetapkan kawasan konservasi perairan dan melakukan pengaturan pengelolaan KKPD Kabupaten Alor sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah. 8.1.1. Pengelolaan Kolaborasi Kepentingan
Melibatkan
Para
Pemangku
Model pengelolaan kawasan konservasi yang dipilih untuk dikembangkan dalampengelolaan KKPD Kabupaten Alor adalah pengelolaan berbasis masyarakat dengan pendekatan adaptive collaborative management (ACM).Pendekatan adaptive collaborative management (ACM)adalah suatu proses yang bertujuan mendorong para pemangku kepentingan untuk bekerja sama dalam merencanakan, melaksanakan, mengamati, dan mengambil pelajaran dari pelaksanaan rencana mereka di masa lalu (Kusumanto et al, 2001). Pengelolaan dengan pendekatan kolaborasi membutuhkan kerjasama dari semua para pemangku kepentingan yang bersentuhan langsung dan/atau tidak langsung terhadap kawasan KKPD Kabupaten Alor.Oleh karena itu, kebijakan dalam penetapan KKPD Kabupaten Alor dan penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan KKPD dilakukan melalui konsultasi publik yang melibatkan seluruh para pemangku kepentingan (stakeholders) mulai tingkat desa hingga tingkat kabupaten.
Proses pengelolaan sumberdaya di KKPD Kabupaten Alor mengikuti serangkaian tahap atau langkah yang berbentuk siklus kebijakan yang dimulai dengan (1). identifikasi isu, (2). persiapan program, (3). adopsi program, persetujuan dan pendanaan, (4). implementasi atau pelaksanaan, dan (5). pemantauan (monitoring) dan evaluasi. Masing-masing langkah dalam proses ini saling terkait dan saling mendukung. Satu siklus pengelolaan hingga tahap pemantauan dan evaluasi disebut satu generasi pengelolaan sumberdaya pesisir terpadu berlangsung selama 5 tahun.Oleh karena itu, evaluasi program kerja tahunan sebagaimana disajikan pada BAB VII dokumen ini, dilakukan setiap 5 tahun sekali dengan memperhatikan capaian program jangka pendek setiap tahunnya. Mengacu pada kebijakan pewilayahan perairan melalui sistem zonasi, maka sebagai suatu bagian dari langkahlangkah pengelolaan dan perlindungan sumber daya laut, pengembangan dan pengelolaan wilayahakan dikembangkan disesuaikan dengan potensi sumber daya lokal dan ramah lingkungan dengan melibatkan peran aktif masyarakat. Keterlibatan aktif masyarakat secara luas merupakan inti penting dalam sistem pengelolaan dalam sumber daya laut. Untuk itu, masyarakat yang kehidupannya tergantung dengan sumber daya ini perlu diberdayakan baik pada level perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasannya. 8.1.2. Pengelolaan Adaptif Secara teoritik pemberdayaan (empowerment) masyarakat sebagai salah satu stakeholders dalam pengelolaan KKPD Kabupaten Alor, dapat diartikan sebagai upaya untuk menguatkan masyarakat dengan cara memberikan motivasi dan dorongan kepada masyarakat agar menggali potensi dirinya dan berani bertindak untuk memperbaiki kualitas hidupnya salah satu cara untuk memperbaiki kualitas hidupnya diantaranya adalah melibatkan mereka untuk berpartisipasi aktif dalam pengelolaan lahan pesisir. Partisipasi ini tidak hanya sekedar mendukung programprogram pemerintah, tetapi sebagai kerjasama antara masyarakat dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan programprogram pengelolaan di kawasan konservasi.
Kegiatan pengelolaan KKPD Kabupaten Alor bertujuan untuk menjamin keberlanjutan pengusahaan dan pemanfaatan kawasan dan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan di dalam kawasan.Dengan demikian, pengelolaan berkelanjutan kawasan ini dapat tercapai sebagaimana yang diharapkan, melalui pemeliharaan sistem ekologi dan pemanfaatan yang lestari untuk jangka panjang. Keberlanjutan pemanfaatan lestari jangka panjang sangat bergantung pada (1) ketersediaan informasi berkaitan dengan keanekaragaman dan tingkat kelestarian sumberdaya alam, (2) pola pemanfaatan secara bersama baik atas wilayah laut sebagai wilayah fisik dan juga sumberdaya alam yang ada, dan (3) kebijakan pengelolaan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Alor. Ketersediaan tiga komponen yang dibutuhkan untuk menciptakan kemampuan para pemangku kepentingan dalam memberikan respon terhadap perubahan yang terjadi setiap satuan waktu. Kaitannya dengan kecepatan memberikan respon terhadap perubahan, maka beberapa metode dan teknik yang digunakan untuk menentukan tiga komponen perlu dilakukan melalui kegiatan pemantauan yang adaptif.Pengelolaan adaptif merupakan suatu cara bagi para pemangku kepentingan untuk mengambil langkah secara bertanggung jawab ketika menghadapi perubahan dan selanjutnya berdasarkan kemampuan dan kewenangan yang dimiliki secara bersama-sama menetapkan sebuah keputusan. Pendekatan ini memungkinkan dilakukannya perbaikan sesuaikebutuhan melalui proses yang berulangulang sebagaimana disajikan pada Gambar 8.1
Gambar 8.1
Proses berulang-ulang dalam adaptif di KKPD Kabupaten Alor
pengelolaan
Proses pengelolaan adaptif dimulai dengan refleksi untuk mengidentifikasi permasalahan mendasar, peluang, dan pokok persoalan. Hasil refleksi kemudian diangkat sebagai faktor yang penting untuk dipertimbangkan dalam perencanaan, diikuti dengan tindakan nyata untuk mencapai tujuan pengelolaan. Pada saat membuat perencanaan, para pengelola juga harus merancang bagaimanapara pemangku kepentingan akan memantau apakah rencana tersebut dapat memenuhi tujuan dan apakah rencana itu efektif. 8.1.3. Partisipasi Masyarakat Kelembagaan
dalam
Pengelolaan
dan
Sifat kelembagaan KKPDutamanya berbasiskan pemerintah. Namun dengan melihat situasi dan kondisi KKPDsaat ini, dibeberapa tempat serta pembelajaran dari keberhasilan beberapa kelembagaandalam mengelola sebuah kawasan konservasi, maka kelembagaan KKPD dapatdikembangkan melalui kemitraan antara pemerintah dengan para pihak. Kemitraan dengan masyarakat sekitar dalam bentuk kolaborasi, dimana terjadipembagian wewenang, peran dan tanggung jawab pengelolaan dengan masyarakatjuga bisa menjadi pilihan bentuk kelembagaan.Namun demikian, bentukkelembagaan ini membutuhkan prakondisi dari semua pihak.Upaya penyadaranmasyarakat harus dilakukan untuk membangun semangat kerjasama yang salingmembutuhkan dan menguntungkan hingga terbentuk adanya kesadaran bersamadari semua pihak.Agenda bersama harus terbangun sebelum kemitraan dijalankan,yang pada akhirnya harus mampu didorong menjadi kegiatan nyata dilapangan yangdilakukan secara kemitraan. Evaluasi berkala terhadap kemitraan juga harus secarateratur untuk pembelajaran dan perbaikan bersama. Pola kemitraan yang samadapat diterapkan dengan pihak swasta. Masyarakat sebagai salah satu stakeholders yang bersinggungan langsung dengan kawasan konservasi, perlu dilibatkan secara langsung dalam proses perencanaan, implementasi dan montoring serta evaluasi. Pelibatan masyarakat, selain meningkatkan efisiensi pelaku pengelolaan kawasan, juga berimplikasi pada penekanan biaya pengelolaan.
Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan KKPD Kabupaten Alor adalah salah satu kebijakan yang digunakan untuk menjamin keberlanjutan pengelolaan dan kelestarian kawasan konservasi.Implementasi keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi secara jelas diuraikan pada BAB VII.Program Pengelolaan Kawasan Konservasidi dalam dokumen ini, yang tercermin dalam bentuk program jangka pendek. Keterlibatan masyarakat juga telah dilakukan untuk pewilayahan perairan melalui sistem zonasi, perumusan isuisu strategis dan penyusunan program jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang pengelolaan KKPD Kabupaten Alor yang dilakukan melalui konsultasi publik.Keberhasilan pencapaian program kerja jangka pendek dilakukan melalui evaluasi program setiap 5 tahun yang dilakukan oleh lembaga pengelola yang diantaranya terdiri atas perwakilan masyarakat. 8.1.4. Pengusahaan dan Pemanfaatan Kawasan Konservasi Pengusaahaan dan pemanfaatan kawasan konservasi adalah upaya pengelolaan yang memberikan peluang untuk mendatangkan sejumlah nilai dan memberikan nilai untuk kehidupan masyarakat melalui pemanfaatan potensi jasa(baik berupa jasa penyediaan/provisioning services, pengaturan/regulating services, maupun budaya/cultural services) yang diberikan olehfungsi ekosistem dengan tidak merusak dan mengurangi fungsi pokok ekosistem tersebut. Kawasan konservasi perairan daerah (KKPD) Kabupaten Alor memiliki potensi sumberdaya alam dan lingkungan yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan usaha dan/atau kegiatan diantaranya perikanan, pariwisata, perindustrian dan pendidikan.Adapun tujuanpengelolaan jasa lingkungan perairan adalah untuk mewujudkankemanfaatan jasa lingkungan perairan secara menyeluruh, terpadu,berkelanjutan dan berwawasan lingkungan untuk sebesar-besar kemakmuranrakyat.Fungsi jasa lingkungan perairan bagi kehidupan manusia dan mahluk hiduplainnya banyak sekali seperti sumber air, sumber keanekaragaman spesies dan ekosistemnya, sehingga harusdilindungi dan dijaga kelestariannya, ditingkatkan fungsi dan kemanfaatannyasecara optimal bagi kesejahteraan masyarakat.
Pengusahaan dan pemanfaatan KKPD Kabupaten Alor dalam bidang perikanan dilakukan mengacu pada Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, sedangkanpengusahaan dan pemanfaatan kawasan konservasi untuk pengembangan wisata alam dilakukan mengacu pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Keanekaragaman hayati dan Ekosistemnya.Mengacu pada tujuan pemanfaatan kawasan perairan tersebut, ditetapkan azas pengelolaan pemanfaatan jasa lingkungan perairan daerahmengacu pada teknik pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam (Departemen Kehutanan, 2008) dapat dijelaskansebagai berikut : 1) Keseimbangan nilai-nilai sosial, ekonomi, dan lingkungan, mengandung pengertian bahwa pemanfaatan jasa lingkungan harus memperhatikan nilai-nilai sosial, ekonomi dan lingkungan secara seimbang dan serasi. 2) Kemanfaatan umum, mengandung pengertian bahwa pemanfaatan jasa lingkungan perairan mengutamakan kemanfaatan bagi kepentingan umum sebagai prioritas utama. Pelayanan dalam kaitan kepentingan pemanfaatan jasa lingkungan diletakan pada kepentingan umum sesuai dengan prioritasnya serta tidak memihak pada satu pelayanan tertentu, memperhatikan keseimbangan dalam memberikan pelayanan kepentingan sosial dan komersial, membantu perwujudan iklim usaha yang kondusif, dan menghindari praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. 3) Keterpaduan dan keserasian, mengandung pengertian bahwa pemanfaatan jasa lingkungan perairan dilakukan dengan memperhatikan keterpaduan dan keserasian antara berbagai kepentingan yang mencakup aspek perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, pengawasan, dan evaluasi terhadap penyelenggaraan pemanfaatan fungsi jasa lingkungan yang berada dan berasal dari kawasan perairan. 4) Kelestarian, mengandung pengertian bahwa pemanfaatan jasa lingkungan perairan dilakukan secara berkelanjutan dengan tanpa mengganggu kelestarian fungsi kawasan perairan dan bertujuan untuk memperoleh manfaat optimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan tersebut harus dapat menjamin ketersediaan jasa lingkungan secara kuantitas dan kualitas untuk kepentingan pada masa kini maupun yang akan datang.
5) Keadilan, mengandung pengertian bahwa pengelolaan dan pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan perairan dilakukan secara proporsional sesuai dengan kebutuhan/kepentingan masyarakat serta diupayakan untuk dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat di seluruh wilayah yang mendapatkan pelayanan pemanfaatan jasa lingkungan perairan baik yang berada di dalam maupun di sekitar perairan. 6) Partisipatif,mengandung pengertian bahwa dalam penyelenggaraan pemanfaatan jasa lingkungan perairan dilakukan berbasis peran serta masyarakat dan para pihak sejak pemikiran awal sampai dengan pengambilan keputusan, maupun pelaksanaan kegiatan yang mencakup tahapan perencanaan, pembangunan, peningkatan, operasi, pemeliharaan, dan rehabilitasi. Partisipatif tersebut mempersyaratkan adanya rasa saling mempercayai, keterbukaan, rasa tanggungjawab, dan mempunyai rasa ketergantungan (interdependency) di antara sesama para pihak (stakeholders). Masingmasing stakeholder harus jelas kedudukan dan tanggung jawab yang harus diperankan, serta yang juga cukup penting dalam pemanfaatan jasa lingkungan perairan adanya distribusi pembiayaan dan keuntungan yang proporsional di antara pihak-pihak yang berkepentingan. 7) Profesional, mengandung pengertian bahwa pemanfaatan jasa lingkungan perairan mampu dilaksanakan sesuai tugas-tugas pengelolaan pemanfaatan jasa lingkungan perairan (perencanaan, pembangunan,O&P sistem), mengembangkan secara berkelanjutan sistem pengelolaan pemanfaatan jasa lingkungan perairan yang adaptif sesuai dengan tuntutan perkembangan, serta mampu memberikan pelayanan yang handal dan responsif terhadap tuntutan pelanggan/para pihak yang memerlukannya. 8) Kemandirian, mengandung pengertian bahwa pemanfaatan jasa lingkungan perairan secara bertahap tidak tergantung sepenuhnya pada pembiayaan Pemerintah baik melalui Anggaran Negara atau Anggaran Daerah untuk pembiayaan pelayanan bagi pemanfaat yang komersial dan tidak komersial, kecuali dalam batasan tertentu yang ditujukan bagi kepentingan sosial, kesejahteraan dan keselamatan umum, menumbuhkan partisipasi swasta dan masyarakat melalui kerjasama pengelolaan pemanfaatan jasa lingkungan berdasar kaidah-kaidah pengusahaan yang sehat. 9) Transparansi,mengandung pengertian bahwa pemanfaatan jasa lingkungan perairan dilakukan secara
terbuka dengan kewajiban menyediakan informasi kepada publik, serta publik mendapatkan akses informasi guna mengetahui perkembangan dan pelaksanaan kegiatan pengelolaan pemanfaatan jasa lingkungan perairan tersebut. 10) Akuntabilitas publik, mengandung pengertian bahwa pemanfaatan jasa lingkungan perairan harus mampu mempertanggung-jawabkan kinerja dan tindakan pengelolaan kepada publik dan para pihak yang berkepentingan sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Berdasarkan asas pemanfataan kawasan konservasi maka perlu diperhatikan beberapa komponen dalam usaha dan pemanfaatan kawasan antara lain: 1) Ijin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan ( IUJPL) adalah bentuk ijin usaha yang diberikan kepada perorangan dan atau badan hukum untuk dapat melakukan pemanfaatan pengusahaan jasa lingkungan yang berada di dalam kawasan perairan atau ekosistem tertentu. 2) Surat Izin Usaha Perikanan, yang selanjutnya disebut SIUP, adalah izin tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi yang tercantum dalam izin tersebut. 3) Surat IzinPenangkapan Ikan, yang selanjutnya disebut SIPI, adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari SIUP. 4) Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan, yang selanjutnya disebut SIKPI, adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan pengangkutan ikan. 5) Pembayaran jasa lingkunganmerupakan pemberian penghargaan berupa pembayaran, kemudahan, keringanan kepada pelaku pengelolapenghasil jasa lingkungan dari suatu kawasan perairan, lahan atau ekosistem. 6) Jenis Pembayaran Jasa Lingkungandapat berupa: dana kompensasi/insentif, dana konservasi, dan dana-dana lainnya untuk kepentingan pengelolaan, rehabilitasi, dan pemberdayaan masyarakat di sekitar perairan atau ekosistem tertentu. 7) Dana Konservasididefinisikan sebagai sumber dana inovative untuk membiayai konservasi lingkungan baik berasal dari investasi langsung pemerintah dalam bentuk dana publik (direct government investment), investasi swasta secara sukarela (voluntary private investment),
investasi swasta secara beregulasi (regulated private investment), dan investasi swasta berbasis masyarakat (market). 8.1.5 Pengawasan (Siswasmas)
dan
Pengamanan
Kawasan
Konservasi
Kawasan konservasi perairan daerah (KKPD) Kabupaten Alor memiliki potensi untuk dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan.Kompleksitas pemanfaatan tersebut selanjutnya perlu diatur, dan dipantau guna mengatur kegiatan pemanfaatan dan menjaga kelestarian sumberdaya alam dan ekosistemnya.Tekanan dan ancaman perusakan habitat dan turunnya kualitas keragaman hayati dan sumber daya lainnya yang ada di dalam kawasan tidak dapat sepenuhnya diimbangi dengan usaha pengamanan yang dijalankan dalam beberapa tahun terakhir (DKP Kabupaten Alor, 2009). Mengacu pada petunjuk teknik pemantauan kawasan perairan Kabupaten Alor (DKP Kabupaten Alor, 2009), terdapat beberapa hal yang harus di waspadai sebagai potensi sumber ancaman pelestarian di Kabupaten Alor adalah sebagai berikut: a) Tidak pahamnya pengguna sumberdaya tentang kerugian yang ditimbulkan oleh kegiatan perikanan yang merusak dan pemanfaatan yang berlebih. b) Tidak pahamnya masyarakat tentang manfaat dari (Kawasan Konservasi Laut) KKL sebagai suatu alat pengelolaan perikanan untuk menjamin adanya perikanan yang lestari. c) Belum ada koordinasi yang kuat antara instansi pemerintah dan satuan keamanan yang ada khususnya dalam kebijakan dan kewenangan pengamanan di dalam kawasan perairan Kabupaten Alor. Berdasarkan catatan dan pengamatan yang dilakukan oleh instansi terkait di lapangan, terdapat beberapa tipe pelanggaran dan sumber gangguan yang perlu mendapat perhatian, yaitu: a) Pemanfaatan sumber daya dan perikanan yang merusak (bom dan bius); b) Perburuan biota laut yang dilindungi; c) Pemanfaatan sumberdaya tanpa perizinan yang sah atau penyalahgunaan perizinan; d) Tumpang tindihnya kewenangan dalam pengelolaan kawasan yang menimbulkan ketidakpastian peraturan/hukum bagi banyak kalangan.
Mengacu pada laporan mekanisme pendanaan berkelanjutan KKPDKabupaten Alor (Preliminary Study),dan berdasarkan kemungkinan lokasi Usulan Wilayah Larang Ambil yangtercantum dalam gambar tersebut, maka diusulkan beberapa skenario operasisebagai berikut: 1)
Didirikan 4 Pos Jaga yang wilayah kerjanya diharapkan dapat mencakup seluruh Usulan Wilayah Larang Ambil. Ke empat pos itu diusulkan untuk didirikan pada titiktitik sebagai berikut: a) Baranusa, Pulau Pantar untuk melakukan pengawasan terhadap Wilayah Larang Ambil di wilayah teluk Blang-merang, Pulau Ba-tang dan sekitarnya, desa Lamma dan pulau Marisa. b) Puntaru, Pulau Pantar untuk melakukan pengawasan terhadap Wilayah Larang Ambil di wilayah Pulau Rusa, Pulau Kambing , desa Kalondama Barat, Lamma dan wilayah Puntaru sendiri. c) Pantai Sebanjar, pulau Aloruntuk melakukan pengawasan terhadap Wilayah Larang Ambil di wilayah utara selat pantar, yang meliputi wilayah ujung timur laut dari Pulau Pantar hingga Pulai Sika ditimur laut Kalabahi. d) Desa Margeta, Pulau Aloruntuk melakukan pengawasan terhadap Wilayah Larang Ambil di wilayah selatan selat pantar, yang meliputi sepanjang garis pantai desa Margeta.
2)
Didirikan pusat komando yang menjadi pusat kendali dari kegiatan operasi KKPDAlor di kota Kalabahi, Alor.Masing-masing pos jaga diperlengkapi dengan sebuah speedboat kecil (+/- 4 m x 1.75 m) dengan 2 x 60HP outboard engine untuk membantu kegiatan patrol rutin, monitoring dan operasional sehari hari.
3)
Satu speedboat ukuran sedang dengan 2 x 115HP outboard engine tersedia di pusat komando di Kalabahi untuk mendukung kegiatan patroli yang membutuhkan respon cepat, monitoring dan membantu kegiatan lain yang membutuhkan speedboat dengan ukuran yang lebih besar dari yang tersedia di masing masing pos jaga
Masyarakat telah mulai menyadari bahwa keterlibatan mereka dalam kegiatan pengawasan sangat diperlukan. Berdasarkan hasil kesepakatan dengan masyarakat yang telah diinisiasi oleh WWF Solor Alor Project pada Oktober 2012, program kegiatan berkaitan dengan pengawasan yang disepakati meliputi: 1)
Pembagian wilayah pengawasan (sektor pengawasan)
2) 3)
Sosialisasi dan kampanye anti kegiatan merusak Pembentukan tim monitoring dan pengamanan mulai tingkat desa hingga kabupaten 4) Melakukan patroli laut dan darat 5) Pengembangan sarana dan prasarana (komunikasi dan pos pegawasan dan personil) 6) Mengembangkan kemitraan dengan pendekatan individu, keagamaan dan kerjasama media cetak dan elektronik 7) Koordinasi lintas sektor di Kabupaten Alor 8) Pembentukan dan penguatan kelompok masyarakat di tingkat desa 9) Membangun kesepakatan konservasi partisipatif 10) Penyusunan protokol pengawasan partisipatif 11) Pelatihan sumberdaya manusia yang melakukan pemantauan dan pengawasan 12) Melakukan rapat kerja terjadwal setiap enam bulan sekali Model pemantauan dan pengawasan yang direncanakan untuk dikembangkan di kawasan konservasi sebagai berikut: 1) 2) 3)
Patroli di laut dan di darat. Patroli bersifat partisipatif dengan menekankan pada keterlibatan masyarakat melalui kelompok pengawas masyarakat. Sosialisasi dan kampanye bekerjasama dengan media cetak dan elektronik.
Pengawasan dan pengamanan KKPD Kabupaten Alor tidak terlepas dari tersedianya sarana dan prasarana penunjang.Lokasi pengamanan KKPD Kabupaten Alor disajikan pada Gambar 8.2
Gambar 8.2
Lokasi Pengamanan KKPD Kabupaten Alor
8.1.6 Kelembagaan dan Kebijakan Pengelolaan Kelembagaan Rencana Pengelolaan harus dijalankan sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan dalam rencana pengelolaan 20-tahun, rencana pengelolaan 5-tahun, maupun rencana kerja tahunan. Rencana kerja tersebut akan dilaksanakan oleh suatu badan atau institusi pengelola kawasan. Pengelolaan kawasan bisa dilakukan oleh satu instansi tertentu, atau gabungan dari beberapa instansi, bahkan bisa terdiri dari sistem perwakilan berbagai komponen masyarakat. Dalam sejarah perkembangan pengelolaan sumberdaya maupun kawasan konservasi, Indonesia berpengalaman menjalankan dua sistem yang berbeda, ialah: model pengelolaan kawasan berbasis masyarakat, dan model pengelolaan berbasis pada pemerintah formal. Adapun Landasan hukum terkait dengan penetapan KKPD dan pembentukankelembagaan KKPD di daerah terdiri dari: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 17 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER/30/MEN/2010 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan;
Kelembagaan Pengelola KKPD Alor adalah lembaga yang mekanisme pengelolaannyabertujuan untuk menjamin keberlanjutan pengelolaan KKPD Kabupaten Alor.Pilihan bentuk kelembagaan disesuaikan dengan kemungkinan pendanaan dan pengaturan sumberdaya manusia yang ada di Kabupaten Alor dengan mengacu pada beberapa aturan dan perundangan yang ada. Mengacu pada pedoman teknis penyiapan kelembagaan kawasan konservasi laut daerah (DKP, 2008), terdapat
beberapa prinsip yang perlu dikembangkan pada semuah kelembagaan KKP diantaranya sebagai berikut: 1) 2)
3)
4)
Memiliki visi dan misi yang jelas.Dengan visi dan misi yang jelas, sebuah organisasi akan dapat disusun sesuai dengan tuntutan kebutuhan. Bersikap fleksibel dan adaptif.Perubahan merupakan sesuatu yang konstan. Oleh karena itu organisasi harus fleksibel dan adaptif, artinya organisasi harus mampu mengikuti setiap perubahan yang terjadi terutama perubahan yang diakibatkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbentuk flat atau datar.Sebagai organisasi yang langsung bersentuhan dengan masyarakat dan pengelolaan sumberdaya alam, maka organisasi hendaknya lebih berbentuk flat atau datar. Hal ini berarti struktur organisasinya tidak perlu terdiri dari banyak tingkatan atau hirarki. Dengan demikian proses pengambilan keputusan dan pelayanan akan cepat. Menerapkan strategi ”Learning Organization”.Organisasi mau tidak mau harus berhadapan dengan perubahan yang sangat cepat. Dalam suasana tersebut diperlukan organisasi yang mampu mentransformasikan dirinya untuk menjawab tantangan-tantangan dan memanfaatkan kesempatan yang timbul akibat perubahan tersebut. Organisasi yang cepat belajar akan mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan yang terjadi.
Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007, pasal 15, ayat 1 dan 2 menyebutkanKKP yang telah ditetapkan dikelola oleh Pemerintah atau pemerintahdaerah sesuai dengan kewenangannya, sedangkan pengelolaannya dilakukanoleh satuan unit organisasi pengelola sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya pada pasal 18Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 juga menyebutkan bahwa Pemerintah ataupemerintah daerah dalam mengelola KKP dapat melibatkan masyarakatmelalui kemitraan antara unit organisasi pengelola dengan kelompokmasyarakat dan / atau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakatadat, korporasi, lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi.Berdasarkan peraturan ini maka unit organisasi pengelola dalammelakukan pengelolaan sebuah KKLD dapat bermitra dengan berbagai pihak Bahwa pembentukan kelembagaan KKPD dimaksudkan agar pengelolaan KKPDAlor dapat berjalan secara efisien, efektif
dan transparan yang didukung dengan kemampuan, kebutuhan dan potensi pada Kawasan Konservasi Perairan Daerah. Pengelolaan KKPD Alorakandilaksanakan oleh sebuah lembaga pengelola dalam kedudukan sebagai lembaga non structural.Badan Pengelola KKPD Alor dibentuk dilakukan agar dapat memberi kontribusi bagi pembangunan daerah khususnya pengelolaan KKPD. Prinsip kerja lembaga ini kolaboratif dan profesional sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan para pemangku kepentingan yang ikut bersinergi dalam pengelolaan kawasan konservasi demi mencapai tujuan yang diharapkan bersama. Pendanaan untuk pelaksanaan program / kegiatan terkait dengan pengelolaan KKPD serta operasional Badan Pengelola KKPD Alor dapat berasal dari pendapatan (PerMendagri No. 61 Tahun 2007, pasal 60) adalah jasa layanan, hibah, Hasil kerjasama dengan pihak lain, APBD, APBN, dan lain-lain pendapatan yang sah. Adapun struktur organisasi BadanPengelolaan KKPD Alor disajikan pada Gambar dibawah ini .
Gambar 8.3 Struktur Badan Pengelola KKPD Alor Sebagai lembaga kolaborasi, Badan Pengelola KKPD Alor mempunyai tugas pokok menetapkan kebijakan, program dan rencana kebutuhan anggaran, mengkoordinasikan,
mengevaluasi dan mengawasi kegiatan pengelolaan KKPD secara berkelanjutan. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud tersebut diatas, maka bandan pengelolamenyelenggarakan fungsi : a. pelaksanaan, penataan, pengelolaan dan pemanfaatan KKPD; b. pengembangan pedoman pemetaan kawasan dan pembuatan peta tematik; c. pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan sumberdaya alam dan manusia; d. pelaksanaan monitoring dan pendataan sumberdaya laut; e. pelaksanaan pengelolaan perikanan berkelanjutan; f. pelaksanaan penyuluhan, komunikasi, informasi dan edukasi; g. pelaksanaan koordinasi dengan instansi terkait; h. pelaksanaan telaahan potensi, kajian ilmiah, pengembangan alternatif mata pencaharian; i. pelaksanaan pengawasan rutin terhadap potensi sumberdaya alam; j. pelaksanaan pengamanan bersama dalam KKPD; k. pelaksanaan pengelolaan dan akses pendanaan KKPD; l. pemberian rekomendasi pengelolaan KKPD; m. pelaksanaan evaluasi terhadap kegiatan pengelolaan KKPD; dan n. penyusunan laporan laporan bulanan dan tahunan pengelolaan KKPD. Dalam melaksanakan tugasnya, Badan Pengelola KKPD Alor wajib melakukan hubungan kerja dengan menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi, adaptif dan kolaboratif baik dalam lingkungan sendiri, Satuan Kerja Perangkat Daerah, Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Perguruan Tinggi, Masyarakat, LSM dan pihak swasta.Hal ini dilakukan agar lembaga ini dapat menjadi contoh pengelolaan kawasan yang professional. 8.1.7 PendanaanBerkelanjutan (Sustanaible Financial) Kegiatan pengelolaan KKPD Kabupaten Alor selain memerlukan kelembagaan dan kebijakan pengembangan kelembagaan, pendanaan merupakan komponen terpenting kedua setelah kelembagaan dan kebijakan. Menurut Widodo (2011), salah satu tantangan terbesar terhadap masa depan dari sebuah pengelolaan kawasan konservasi adalah
ketersediaan dana secara berkelanjutan yang dapat menjamin upaya konservasi berjalan efektif. Saat ini hampir seluruh kawasan konservasi di Indonesia, baik ditingkat nasional maupun daerah, sangat bergantung pada bantuan dana dari pemerintah pusat & lembaga donor asing, baik sebagaipelengkap dari alokasi dana pemerintah daerah atau bahkan sebagai komponen utama pendanaan.Ketergantungan pada bantuan dari lembaga donor asing tersebutmenjadi salah satu ancaman terbesar terhadap keberlanjutan kegiatan konservasisecara nyata di lapangan di sebuah kawasan konservasi karena bantuan danatersebut hampir selalu bersifat jangka pendek. Beberapa lembaga donor menyadariketerbatasan tersebut sehingga banyak diantaranya mulai mensyaratkan adanyakejelasan dari masa depan investasi lingkungan yang tertanamkan didalam bantuanmereka dalam bentuk kemampuan lembaga penerima dana untuk memilikikemandirian dimasa mendatang dengan pendanaan yang berkelanjutan.Keberlanjutan pendanaan KKPD dapat didefinisikan sebagai berikut“Kemampuanuntuk menjaga kestabilan dan kecukupan sumberdana dalam waktu yang tidakterbatas, serta mengalokasikan dalam kerangka waktu dan format yang digariskan,untuk menutupi seluruh biaya dari KKPDbaik biaya langsung maupun tidaklangsung dan juga untuk memastikan KKPD di kelola secara efektif dan efisien”Dengan demikian pencapaian pendanaan bekelanjutan merupakan syarat umumkeberlangsungan pengelolaan KKPD yang efektif. 8.1.7.1 Sumber-sumber Pendanaan Pola kemitraan dengan masyarakat sekitar memiliki sisi yang berbeda dalam halpembiayaan.Hal tersebut sangat bergantung pada sejauh mana dan dalam peranapa masyarakat ikut terlibat dalam kegiatan konservasi kawasan.Dalam beberapakasus, dimana tingkat keterlibatan masyarakat di dalam kegiatan konservasi begitutinggi, tingkat ancaman lokal menurun tajam dan dengan sendirinya efektifitas dariaktivitas pengamanan kawasan konservasi mengalami kenaikan yang cukup berarti. Hal tersebut memberi pengaruh positif terhadap biaya pengamanan kawasankonservasi tersebut dimana patrol dilakukan secara lebih selektif sehinggapenghematan biaya secara langsung dapat dirasakan dari penurunan biaya operasipengamanan kawasan. Tingginya rasa memiliki terhadap proseskonservasi didalam masyarakat berimplikasi
pada kemungkinan untuk menghindari tingginya biaya penyadaranmasyarakat yang terkadang tanpa disadari menjadi salah satu komponen biaya yangcukup besar dari sebuah kawasan konservasi. Mengandalkan sumber dana dari satu sumber sangatlah riskan, untuk itu diperlukanmekanisme peningkatan pemasukan dana lainnya. Mekanisme tersebut dapat dibagidalam 3 tingkatan yaitu Internasional, Nasional dan Lokal (United Nations Atlas ofthe Ocean 2005 dalam Widodo, 2012). Sumber-sumber dana yang tersedia dan berpeluang untuk diakses adalah sebagai berikut: 1) Tingkat Internasional, meliputi: a) Multilateral Development Banks. b) Hibah dan donasi, beberapa dana berasal daria agen lembaga multilateral donor, NGO, Yayasan, swasta dan industrial. c) Dana lingkungan, dana ini berperan penting untuk mendukung pengelolaan KKLD Alor dalam waktu panjang. 2) Tingkat Nasional, meliputi: a) Dana yang diperoleh dari pemerintah, sebagai komitmen melindungi sumberdaya alam dan mensejahterakan masyarakt. b) Pemasukan dari Pajak. c) Biaya masuk kawasan wisata KKPD Alor. d) Proyek-proyek khusus pemerintah. e) Investasi dari swasta. f) Pemasukan dari industri perikanan. 3) Tingkat Lokal, meliputi: a) Inisiative masyarakat setempat b) Penjualan pelayanan sumberdaya alam c) Pemasukan dari pariwisata Untuk menyiapkan Pendanaan yang bekelanjutan dari Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) di Kabupaten Alor maka di simpulkan dibutuhkan 2 strategi sebagaimana disajikan pada Tabel 8.1.
Tabel 81.
Strategi Pendanaan Berkelanjutan KKPD Kabupaten Alor
Strategi Sumber Dana Sumber Dana dari
Peluang Pendanaan dari Pemerintah yang
Ancaman Dana Dari pemerintah
Strategi Pemerintah
Donasi dari perorangan, yayasan, sektor swasta danlembaga donor internasional
Conservation Trust Fund
Peluang Ancaman berasal dari alokasi terkadang terbatas anggaran dan tidak (APBN/APBD) mencukupi untuk dipandang lebih mendanai kegiatan bekelanjutan supaya berjalan daripada sumber cukup efektif. dana dari donor Dana juga bisa Internasional karena terancam dengan biasanya tersedia program atau dalam jangka waktu prioritas lainnya di yang lama sehingga tingkat nasional sesuai untuk maupun daerah digunakan sebagai atau juga oleh pendanaan dari kondisi ekonomi pengeluaran rutin. maupun politik. Donasi dan Bersifat jangka pendampingan oleh pendek dan lembaga nirlaba kemungkinan (WWF Solor Alor terjadi pergantian Project) masih sangat prioritas dari mungkin berlanjut lembaga donor. untuk kurun waktu Beberapa bantuan 2-3 tahun ke depan dari donor bersifat dengan kemungkinan mengikat dan upaya penggalangan dikhususkan untuk dana yang cukup kegiatan tertentu berarti untuk sehingga kegiatan mendanai proses lainnya tidak perancanaan dan memiliki kecukupan perencanaan serta dana. investasi di Terkadang perangkat keras di mensyaratkan tahap awal adanya dana pendamping (matching fund) yang belum tentu bisa terpenuhi Dengan estimasi Harus memenuhi biaya rutin sebesar beberapa faktor Rp. 2.85 – 3 miliar kunci diantaranya : dibutuhkan dana a) Adanya tujuan dan sekitar Rp. 60 miliar sasaran yang jelas (USD 6.4 dan terukur juta@USD1=Rp.9000) b) Kelembagaan dan sebagai Trust Fund team manajemen dengan asumsi dana yang solid dan kuat
Strategi
Penggunaan pajak, retribusi untuk upaya perlindungan seperti karcis masuk kedalam kawasan, biaya ijin masuk untuk rekreasi, pungutan dari hasil perikanan, biaya tambahan untuk kapal pesiar dan hotel, biaya royalti dan lain lain Pendapatan dari Pengembanga n Usaha
Peluang disimpan didalam negeri dalam bentuk dengan tingkat bunga sesuai bunga deposito jangka panjang sekitar (+/6% atau 5% efektif rate setelah pajak). Kesempatan penggalangan dana dalam jumlah tersebut, meskipun tidak mudah, masih dimungkinkan dalam jangka panjang Berbagai jenis pajak dan pungutan tambahan masih memungkinkan dilakukan dengan payung hukum dan kelembagaan uang jelas.
Ancaman c) Dukungan dan keterlibatan yang kuat dari masyarakat dan pemerintah, terutama pemerintah daerah d) Tertib administrasi dan keuangan
Potensi pengembangan kegiatan usaha di KKLD Alor terutama disektor pariwisata (wisata bahari, wisata budaya maupun wisata alam lainnya) masih sangat besar
Perlu adanya infrastruktur dasar sebagai pendukung seperti sarana transportasi darat, udara serta laut yang bisa diandalkan Dukungan
Kewenangan pemerintah daerah untuk masing masing jenis pajak dan pungutan mesti diperjelas Diperlukan pengelolaan yang baik dan proses yang transparan Perlu kehati-hatian dalam penentuan jumlah pungutan terutama yang berkaitan dengan kunjungan wisata karena jumlah yang tidak masuk akal dengan sendirinya akan mengurangi jumlah wisatawan
Strategi
Peluang Ancaman dan kesem-patan masyarakat dan pelibatan sektor pemerintah daerah swasta dalam terhadap investasi pengem-bangan dari luar daerah usaha masih sangat dimungkinkan Desain Program pengelolaan KKLD (dipengaruhi oleh kompleksitas masalah dan luasan area) Penataan dan Dengan belum Kelembagaan Penguatan terbentuknya status disusun dengan Kelembagaan kelembagaan dari dasar untuk pengelolaan KKLD, memuaskan penataan dan semua pihak pengua-tan dengan kelembagaan bisa mengakomodasi dilakukan dengan semua leluasa dengan kepentingan tanpa mengevaluasi melihat potensi, pilihan dari masalah, tingkat beberapa model kerawanan dan yang ada. Pembentukan Bentuk kelembagaan yang kelembagaan juga berlarut larut, merupakan hal yang pada mendasar guna akhirnya menjadi menjamin agenda utama dari keberlanjutan KKLD dibanding pengelolaan. dengan upaya konservasi secara Kelembagaan yang nyata di lapangan akan kuat akan memperkuat posisi Biaya yang tawar dan membengkak memberikan dalam proses manfaat pembentukan pengelolaan yang kelembagaan , berkelanjutan yang mestinya bisa disalurkan untuk pendanaan kegiatan / investasi nyata dilapangan Pelibatan Bersamaan dengan Tingginya biaya Masyakat penataan dan kompensasi penguatan pengganti bagi kelembagaan, masyarakat yang pelibatan terlibat di kegiatan
Strategi
Pelibatan Masyakat
Peluang masyarakat dalam kegiatan pengelolaan kawasan konservasi laut harus didorong secara nyata. Dengan kenyataan bahwa hampir seluruh kawasan KKLDAlor bersinggungan langsung dengan masya-rakat, maka pelibatan masyarakat yang diwa-dahi dengan benar akan memberi keuntungan baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak secara lang-sung dapat dirasakan dalam peningkatan efektifitas dari kegiatan patroli dimana tingkat kerawanan yang berasal dari masyarakat sekitar menurun secara tajam. Penghematan biaya juga terjadi dari biaya operasional kegiatan patrol dan dukungan publik tentang KKLD meningkat tajam
Ancaman konservasi Tingkat keahlian dan profesionalisme yang rendah dari anggota masyarakat dalam kegiatan konservasi secara nyata dilapangan Harapan berlebih dari masyarakat yang idak mampu direspon secara tepat
8.1.7.2 Proyeksi Penyusunan Biaya berdasarkan Beberapa Asumsi Dasar Berkaitan dengan rencana pengelolaan KKPD Kabupaten Alor, telah dilakukan kajian mengenai nilai rupiah yang diperlukan
dalam pengelolaan kawasan.Menurut hasil kajian tersebut (Widodo, 2011), untuk mendapatkan gambaran jangka menengah dan jangka panjang daripembiayaan KKPD Alor, maka perhitungan proyeksi keuangan dilakukan dengankurun waktu selama 10 tahun. Berdasarkan asumsiasumsi dasar diatas,pengeluaran rutin per tahun diprediksikan rata-rata berkisar 3,57 Miliar rupiah,dengan biaya terbesar sejumlah 5,17 Miliar rupiah ditahun ke tujuh dan biayaterendah sebesar 2,7 miliar ditahun kedua Tabel 8.2).
Tabel 8.2
Ringkasan Pengeluaran berdasarkan Pengelom-pokan Biaya (dalam jutaan )
Sumber: Mekanisme Pendanaan Berkelanjutan KKPD Kabupaten Alor Pasokan bahan pendukung,yang didominasi oleh biayabahan bakar untuk operasispeedboat, merupakanpengeluaran terbesarsepanjang tahun denganrata rata sebesar 31% atau0,88 miliar rupiah dari totalbiaya rutin. Biaya gajimerupakan komponenterbesar berikutnya denganrata-rata sebesar 27% atau0,79 Miliar rupiah, disusuloleh biaya perjalanan, pertemuan dan pelatihan dengan rata-rata 26% atau 0,76Miliar rupiah. Ketiga biaya tersebut diatas merupakan komponen biaya utama dariKKPD
Alor dengan jumlah total sebesar 84% atau 2,45 Miliar. Biaya konsultan dankontraktor (rata-rate 8% atau 0,24 Miliar) dianggarkan untuk biaya konsultan yangakan melakukan penelitian lapangan untuk pemijahan ikan (SpawningAggregation survey atau SPAG) , survey kondisi karang (reef health survey) sertapenelitian ekologi (ecological survey). Mengingat SPAG dan Reef Health surveyhanya dilakukan setiap 2 tahun sekali dan ecological survey dilakukan setiap 4tahun sekali, maka skenario outsourcing dirasa lebih masuk akal daripadamembangun kapasitas teknis didalam organisasi. Pengeluaran pembangunan mencakup semua pengeluaran untuk membiayaiproses pembangunan dari KKLD Alor.Sebagian besar pengeluaran terjadi di limatahun pertama, namun ada beberapa biaya pembangunan, terutama biayapertemuan, yang perlu diulang setelah tahun kelima sehubungan denganpergantian anggota dewan kolaborasi atau pergantian pemerintah daerah.Ringkasan pengeluaran untuk pembangunan di KKPD Kabupaten Alor disajikan pada Tabel 8.3 Tabel 8.3
Ringkasan Pengeluaran berdasarkan Pengelompokan Biaya (dalam jutaan )
Sumber: Mekanisme Pendanaan Berkelanjutan KKLD Kabupaten Alor
Berbagai penelitian awal dengan memakai tenaga ahli lepas, terutama penelitianyang menyangkut kondisi awal dari lingkungan ekosistem, biologi dan kondisisosioekonomi masyarakat, dianggarkan didalam kelompok biaya konsultan dankontraktor selama lima tahun berturutturut. Hasil dari penelitian-penelitiantersebut diharapkan dapat menjadi data dasar (baseline data) dari tahappenyusunan perencanaan pengelolaan.Sejalan dengan itu, berbagai pertemuanyang menyangkut rancangan, perencanaan pengelolaan dan kelembagaan jugadiadakan selama kurun waktu 5 tahun pertama. Pengeluaran untuk mediakomunikasi juga berjalan sejalan dengan masa persiapan dan perencanaan untukmendukung proses tersebut.Investasi awal dalam perangkat keras dianggarkan di tahun pertama. Empatspeedboat dengan mesin tempel 4 strokes 2 x 60 PK dianggarkan untukkebutuhan di empat pos jaga dan satu speedboat dengan mesin temple 4 strokes2 x 115 PK dianggarkan untuk pos komando di Kalabahi. Dengan adanyapembagian pos jaga yang mencakup wilayah yang relatif merata untuk setiappos-nya, dimana masing masing pos jaga mampu mengamankan wilayahnyasecara efektif hanya dengan speedboat, maka operasi pengamanan laut dengankapal kayu tidak lagi dianggarkan dalam model operasi ini. Perlengkapanpendukung seperti perlengkapan radio, pembangkit listrik tenaga matahari sertaperlengkapan lainnya juga dianggarkan pada tahun pertama sedangkanpemasangan mooring bouy dan marker untuk tapal batas dianggarkan di tahun keenam setelah proses perancangan tapal batas diselesaikan dan disetujui olehsemua pihak. Beberapa penggantian perlengkapan seperti penggantiankendaraan dan komputer dikantor juga dianggarkan di tahun kelima, sedangkan pembelian perlengkapan selam dianggarkan di tahun ke empat.Pengeluaran keseluruhan merupakan jumlah total dari pengeluaran rutin danpengeluaran pembangunan, sebagaimana disajikan pada Tabel 8.4
Tabel 8.4
Ringkasan Pengeluaran berdasarkan Pengelompokan Biaya (dalam jutaan )
Sumber: Mekanisme Pendanaan Berkelanjutan KKLD Kabupaten Alor 8.1.8 Pemberdayan Alternatif
Masarakat
Melalui
Mata
Pencarian
Pemberdayaan masyarakat melalui mata pencarian alternatif perlu dilakukan guna mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya dan biota yang berasosiasi di kawasan konservasi. Kegiatan awal yang perlu dilakukan adalah pengkajian mata pencaharian alternatif sedemikian sehingga sumber daya di kawasan konservasi dapat terjaga kelestariannya dan meningkatkan pendapatan masyarakat.Potensi dan karakteristik desa yang bervariasi, maka mata pencaharian penduduk yang berpotensi dikembangkan juga berbeda–beda. Oleh sebab itu pengembangan mata pencaharian alternatif (MPA) harus diidentifikasi, dikaji dari aspek teoritis, ekonomi, kelestarian lingkungan (ekologis) dan sosial budaya masyarakat sehingga layak dikembangkan di lokasi/desa setempat. Berdasarkan hasil penggalian informasi yang telah dilakukan dalam rencana penyusunan dokumen rencana pengelolaan KKPD Kabupaten Alor, masyarakat menyadari bahwa hasil tangkapan telah menunjukkan penurunan jumlah apabila dibadingkan dengan 10 tahun yang lalu. Berkurangnya hasil tangkapan tersebut disadari oleh masyarakat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya meningkatnya kerusakan lingkungan sebagai akibat dari penangkapan dengan menggunakan bom, kurangnya fasilitas penangkapan yang dimiliki oleh nelayan, dan terbatasnya akses permodalan,
serta pengetahuan yang minim tentang pengolahan hasil perikanan. Guna meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai penunjang kegiatan perikanan, khususnya di kawasan konservasi, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan, melalui Pusat Pelatihan Kelautan dan Perikanan, sebagai salah satu instansi yang bertanggung jawab terhadap pengembangan kualitas sumberdaya manusia kelautan dan perikanan berupaya mengatasi permasalahan tersebut dengan menyelenggarakan berbagai paket Pelatihan Mata Pencaharian Alternatif Bagi Nelayan di Musim Paceklik di berbagai kawasan di Indonesia sesuai wilayah kerja Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan lingkup Pusat Pelatihan KP (DKP, 2012). Diantara paket pelatihan tersebut adalah paket pelatihan mata pencaharian alternatif yang terdiri dari 4 jenis pelatihan sebagai berikut: 1) 2) 3) 4)
Pelatihan Industrialisasi Usaha Perikanan Angkatan I Bidang Teknologi Hasil Perikanan Pelatihan Industrialisasi Usaha Perikanan Angkatan II Bidang Budidaya Perikanan Pelatihan Industrialisasi Usaha Perikanan Angkatan III Bidang Kerajinan Kulit Kerang Pelatihan Peningkatan Kehidupan Nelayan Angkatan I Bidang Permesinan Perikanan
Adapun manfaat yang pelatihan ini adalah: 1) 2)
3) 4)
8.1.9
diharapkan
setelah
mengikuti
Nelayan/wanita nelayan mampu memproduksi kerajinan tangan dengan memanfaatkan kulit kerang yang selama ini menjadi limbah. Wanita nelayan mampu meningkatkan nilai tambah ikan dengan cara mengolah bahan mentah ikan menjadi bahan baku yang siap olah seperti; baso ikan, otak-otak, pempek dan lain-lain. Nelayan mampu memproduksi ikan lele melalui kegiatan budidaya pembesaran ikan lele. Nelayan dapat mengurangi biaya perawatan dan perbaikan mesin, bahkan membuka usaha perbengkelan untuk mesin/motor temple maupun diesel. Peningkatan Kapasitas SDM dan Kerjasama
Beberapa aspek sebagai prasyarat terkelolaanya kawasan konservasi perlu mendapat perhatian oleh berbagai pihak.Satu diantara beberapa prasyarat tersebut adalah ketersediaan
sumberdaya manusia (SDM), baik dalam bentuk jumlah (kuantitas) maupun kapasitas atau kemampuan (kualitas). Kasasiah (2011) menyatakan bahwa terdapat beberapa cara untuk menghitung berapa kebutuhan jumlah ideal pegawai/pengelola kawasan konservasi. Cara yang paling sederhana adalah dengan menggunakan rasio yang selama ini digunakan untuk menghitung jumlah kebutuhan pegawai pengelola suatu kawasan taman nasional, dimana 1 orang pegawai setara untuk mengelola maksimum luasan kawasan 1.000 Hektar. Dengan demikian untuk pengelolaan KKPD Kabupaten Alor dibutuhkan sekitar 400 orang pegawai. Terlepas dari kebutuhan jumlah optimal pegawai sebagaimana perhitungan sederhana tersebut, tantangan yang juga tak kalah penting adalah strategi yang akan dipilih untuk menyiapkan sumberdaya manusia yang ada agar memiliki kemampuan/skill serta kompetensi yang memadai untuk dapat melaksanakan fungsi-fungsi pengelolaan KKPD dengan efektif, perlu menjadi perhatian. Guna mencukupi persyaratan keahlian pengelolaan KKPD Kabupaten Alor, maka model peningkatan kapasitas sumberdaya manusia yang dirancang oleh Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI), Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisisr dan Pulau-pulau Kecil (Ditjen. KP3K), Kementerian Kelautan dan Perikanan dapat dijadikan bahan pertimbangan. Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI), Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisisr dan Pulau-pulau Kecil (Ditjen. KP3K), Kementerian Kelautan dan Perikanan dapat dijadikan bahan pertimbanganbekerjasama dengan Pusat Pelatihan Badan Pelatihan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (Puslat BPSDMKP) dan National Oceanic and Atmospheric Administration, USA (NOAA) serta didukung oleh konsorsium Coral Triangle Support Partnership (CTSP) dalam kerangka implementasi program USAID-CTI, tengah mengembangkan suatu model pelatihan(capacity building) terpadu bagi para pengelola/calon pengelola kawasan konservasi perairan, yang dikenal dengan sebutan Capacity Building on MPA. Model ini dirancang terintegrasi mulai dari penyiapan kurikulum dan modul-modul pelatihan secara berjenjang dan berstandar, sertifikasi kompetensi bagi para pengelola/calon pengelola KKP, sampai pada pengembangan jejaring pembelajaran (learning network) bagi para pengelola, pakar, praktisi, dan pemerhati bidang konservasi perairan di tanah air. Salah satu terobosan penting yang patut diapresiasi dari kerja bersama ini adalah bahwa pusat-pusat pendidikan dan pelatihan yang berada di bawah BPSDMKP, Kementerian Kelautan dan Perikanan yang tersebar di seluruh Indonesia dijadikan sebagai
pusat bagi penyelenggaraan pelatihan dan sekaligus sebagai simpul kegiatan pengembangan kapasitas para pengelola kawasan konservasi, disamping juga diselenggarakan di beberapa Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Ditjen KP3K, serta pusat-pusat pelatihan yang selama ini dikelola oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mitra, semisal Coral Triangle Center. Langkah selanjutnya adalah upaya untuk sertifikasi atas kompetensi yang dimiliki oleh para pengelola/calon pengelola kawasan konservasi. Dari berbagai pelatihan yang disusun secara berjenjang, para peserta pelatihan diberikan suatu sertifikat sebagai pengakuan atas kompetensi yang telah dimiliki. Sertifikat kompetensi ini tentu saja akan menjadi salah satu bahan pertimbangan para pengambil keputusan bagi seseorang untuk menempati kedudukan (jabatan) atau fungsi tertentu dalam kelembagaan pengelola suatu Kawasan Konservasi Perairan. Sejalan dengan upaya standardisasi kurikulum dan modul, penyiapan para pelatih (trainers) sekaligus mentor bagi pelaksanaan pelatihan bidang konservasi yang telah direncanakan bersama juga terus dilakukan. Para calon pelatih dilatih terlebih dahulu melalui Training of Trainers (ToT) dengan materi dasardasar konservasi atau lebih umum dikenal sebagai Marine Protected Area (MPA)-101.Peserta training terdiri dari para staf atau pegawai yang berasal dari kabupaten/kota yang telah memiliki Kawasan Konservasi Perairan Daerah; UPT Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) dan UPT Loka Kawasan Konservasi Perairan Nasional (LKKPN); dan para staf Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan. Dengan demikian diharapkan para pegawai yang telah dilatih memiliki pengetahuan dan kemampuan yang memadai untuk kemudian dipersiapkan sebagai pengelola KKP di daerah. Langkah selanjutnya adalah tindak lanjut para peserta pelatihan dengan pemberian pelatihan tingkat lanjutan (advance) dengan ragam materi yang lebih detail dan spesifik. Kegiatan pendampingan merupakan komponen pengembangan kapasitas SDM yang juga penting untuk diimplementasikan.Pengembangan upaya sinergitas kerja bersama para tenaga ahli NOAA dan CTSP yang secara intensif senantiasa memberikan bantuan keahlian dan dukungan pendanaan bagi kegiatan-kegiatan pelatihan yang dilaksanakan.Demikian halnya, tempat penyelenggaraan pelatihannya pun dilaksanakan secara bergilir di seluruh Balai Diklat di bawah koordinasi Puslat BPSDMKP.Melalui upaya pendampingan seperti ini, kita bisa berharap akan terjadi transfer pengetahuan (transfer of knowledge), sekaligus internalisasi program pelatihan bidang konservasi khususnya di BPSDMKP sebagai lembaga yang
bertanggung jawab dalam penyelenggaraan program-program peningkatan kapasitas secara berkelanjutan dan terinstitusi. MPA Learning Network atau Jejaring Pembelajaran Pengelolaan KKP merupakan suatu forum atau wadah jejaring diantara para pengelola kawasan, praktisi, pakar, pemerhati dan aktivis konservasi untuk dapat saling berkomunikasi dan berbagi pengalaman dan pembelajaran terkait dengan pengelolaan KKP yang baik. Jejaring ersebut dikembangkan degan harapan akan tercipta aliran komunikasi yang konstruktif dan terkoordinasi pada simpul-simpul institusi terkait yang telah disepakati. MPA Learning Network bukanlah suatu bentuk institusi baru tetapi lebih merupakan suatu media yang diharapkan mampu menjembatani komunikasi dan transfer of knowledge diantara para pemangku kepentingan untuk mendukung pengelolaan KKP yang lebih baik. 8.2 Pemantauan dan Evaluasi Biologi Pemantauan dan evaluasi dilakukan untuk mengkaji dan menilai efektivitas dan efisiensi pelaksanaan kegiatan pengelolaan KKPD Kabupaten Alor.Hasil kegiatan pemantauan dan evaluasi selanjutnya dijadikan bahan pertimbangan untuk melanjutkan rencana program bersama yang telah ada apabila hasilnya sesuai dengan capaian yang tertuang dalam strategi dan kebijakan pengelolaan. Penggantian program dan metode pelaksanaan sangat dimungkinkan manakala capaian belum sesuai dengan target dan/atau bahkan tidak mencapai target yang telah ditetapkan. Pemilihan metode pelaksanaan sangat dimungkinkan dengan memperhatikan perkembangan dinamika dan kearifan lokal masyarakat, dan ilmu pengetahuan. 8.2.1
Pemantauan Biota Laut (terumbu karang, padang lamun, dan eksotik, pemijahan ikan) Mengacu pada indikator pemantauan dan evaluasi rencana pengelolaan KKPD Kabupaten Alor, khususnya pada ekosistem dan sumberdaya hayati di dalam kawasan, pemantauan dilakukan berdasarkan metode dan teknik yang sesuai dan mudah dipahami serta bersifat implementatif. Dengan demikian, keseluruhan stakeholders yang memiliki tugas dan tanggungjawab melakukan pemantauan dan evaluasi ekosistem dan biota laut, setidaknya memiliki kemampuan dasar dalam melakukan pemantauan dan evaluasi. Apabila belum tersedia sumberdaya manusia untuk melakukan hal tersebut, maka mekanisme kerjasama dengan perguruan tinggi dan/atau institusi yang memiliki
bidang tugas melakukan pemantauan ekosistem dan biota laut dapat dipilih sebagai alternatif pelaksanaan kegiatan tersebut. 8.2.2 Pemantauan Terumbu Karang Secara nasional kebijakan pengelolaan terumbu karang telah diatur dalamsebuah Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor :38/MEN/2004 tentangPedoman Umum Pengelolaan Terumbu Karang. Mengacu pada peraturan tersebut, dinyatakan bahwa terumbu karang merupakan bagian dari sumberdaya alam di wilayahpesisir yang pengelolaannya tidak terlepas dari pengelolaan sumberdaya lainnyaseperti hutan mangrove dan padang lamun. Oleh karena itu kebijakan nasionalpengelolaan terumbu karang harus memperhatikan dan menggunakan pendekatanmenyeluruh dan terpadu.Selain itu pengelolaan terumbu karang juga harusmempertimbangkan pelaksanaan desentralisasi. Salah satu usaha untuk meminimalkan usaha untuk pemeliharaan dan kelangsungan hidup terumbu karang adalah melakukan pemantauan ekosistem terumbu karang dan kontrol kegiatanpariwisata dengan memberi wawasan bahwa terumbu karang merupakan asetyang tidak dapat dinilai dengan uang (Dahuri et al., 1996). 8.2.1.1 Pemantauan Kondisi Terumbu Karang dengan Metode Transek Garis Pemantauan kondisi terumbu karang di KKPD Kabupaten Alor dilakukan dengan metode survei.Survei dilakukan untuk menggambarkan kondisi terumbu karang yang tersaji dalam bentuk struktur komunitas.Data yang dikumpulkan meliputi persentase tutupan karang hidup, persentase tutupan karang mati, jumlah marga, jumlah jenis, jumlahkoloni, ukuran koloni, kelimpahan, frekuensi kehadiran, bentuk pertumbuhan, indekskeanekaragaman jenis (Suharsono, 1994). Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data kondisi terumbu karang adalah metode Line Intercept Transect (LIT). Transek garis(Line Intercepts Transect/ LIT) digunakan pula untuk menilai, menaksir kerapatan/keberadaan komunitas bentik dari terumbu karang. selain itu digunkan pula untukmemperkirakan luasan penutupan terumbu karang dalam sebuah stasiun sampling.
Penggolongan/ pengelompokan struktur komunitas karang dilakukan denganmenggunakan kategori bentuk tumbuh (lifeform) dengan melihat morphologi tutupankarang hidup, karang mati, bentuk substrat (pasir, lumpur), alga dan keberadaan biotalain.Spesifikasi karang yang diharapkan dicatat adalah berupa bentuk tumbuh karang(lifeform). Keahlian pengamat akan memungkinkan dan membolehkan untukmencatat dan mengindetifikasi spesies karang hingga tingkat genus atau spesies(UNEP, 1993). Masing-masing kategori karang dicatat oleh penyelam (diver) yang berenangdi sepanjang garis (pita ukur) yang melewati permukaan karang pada dasar perairanlaut dengan kedalaman 5 7 meter untuk setiap stasiun sampling.Pemilihan lokasisurvei memenuhi persyaratan keterwakilan komunitas karang di suatu pulau.Peralatan yang dibutuhkan dalam survei ini adalah rol meter/ pita ukur,peralatan scuba, alat tulis bawah air dan kapal. Garis transek dimulai dari kedalaman10 meterdimana masih ditemukan terumbu karang batu (± 10 m) sampai di daerah pantaimengikuti pola kedalaman garis kontur.Sampling silang dilakukan pada tiga kedalaman yaitu 5 m dan 7 m, tergantungkeberadaan karang pada lokasi di masing-masing kedalaman.Panjang transekdigunakan 50 m yang penempatannya sejajar dengan garis pantai pulau. 8.2.1.2 Pemantauan Kondisi Terumbu Karang dengan Metode Manta Tow Metode Manta Tow adalah suatu teknik pengamatan terumbu karang dengan carapengamat di belakang perahu kecil bermesin dengan menggunakan tali sebagai penghubungantara perahu dengan pengamat (Gambar 5.16). Dengan kecepatan perahu yang tetap danmelintas di atas terumbu karang dengan lama tarikan 2 menit, pengamat akan melihatbeberapa obyek yang terlintas serta nilai persentase penutupan karang hidup (karang kerasdan karang lunak) dan karang mati.Untuk tambahan informasi yang menunjangpengamatan ini, dapat pula diamati dan dicatat persen penutupan pasir dan patahan karangserta obyek lain (Kima, Diadema dan Acanthaster) yang terlihat dalam lintasan pengamatan. Prosedur umum Manta Tow adalah sebagai berikut: 1)
Pengamat ditarik di antara rataan terumbu karang dan tubir (reef edge)dengan kecepatan
yang tetap yaitu antara 3‐5 km/jam atau seperti orang yang berjalanlambat. Bila ada faktor lain yang menghambat seperti arus perairan yang kencang makakecepatan perahu dapat ditambah sesuai dengan tanda dari si pengamat yang berada dibelakang perahu. 2)
Pengamatan terumbu karang dilakukan selama 2 menit, kemudianberhenti beberapa saat untuk memberikan waktu bagi pengamat mencatat data beberapakategori yang terlihat selama 2 menit pengamatan tersebut ke dalam tabel data yangtersedia di papan manta.
3)
Setelah mendapat tanda dari pengamat maka pengamatan dilanjutkan lagi selama 2 menit, begitu seterusnya sampai selesai pada batas lokasi terumbu karang yang diamati.
4)
Dalam pengamatan penutupan karang (keras, lunak, dan mati) dan kondisi substrat (pasir, rubble dan berbatu), pengisian data untuk penutupan karang sebaiknya menggunakan persentase. Hal ini untuk memudahkan pengamat dalam menentukan masing‐masing tutupan karang.
5)
Pengamat harus memperhatikan total persen dari penjumlahan tutupan karang ditambah dengan pasir dan tutupan lainnya jangan sampai melebihi 100 % (Gambar 5.18c-d).
6)
Pengisian data‐data ke atas tabel data tergantung kepada tujuan pengamatan itu sendiri. Tabel data pada tersebut merupakan contoh sederhana untukpengamatan terumbu karang yang bertujuan untuk mengetahui tutupan karang keras,karang lunak, dan karang mati yang dapat menggambarkan kondisi terumbu karang secaraumum.
7)
Apabila pengamatan ditujukan untuk mengetahui informasi lain dari terumbu sepertikelimpahan bintang laut berduri, patahan‐patahan karang, hamparan pasir, spong, kima,alga, dan biota terumbu karang lainnya maka tabel data tersebut dapat dimodifikasi sesuai dengan keperluan pengamatan.
8.2.1.3 Pemantauan Parameter Lingkungan pada Ekosistem Terumbu Karang dan Analisis Data Kondisi Terumbu Karang Parameter fisik lingkungan yang diamati dan di analisis adalah parameteryang berpengaruh dan sebagai pembatas terhadap terumbu karang.Data tentangkondisi kualitas perairan yang terdiri dari beberapa parameter tersebut menggunakandata sekunder yang diperoleh dari hasil survey sebelumnya di wilayah kawasan yang telah dilakukan oleh berbagai institusi baik pemerintah dan non pemerintah.Beberapa parameter yang di analisis adalahkecerahan, salinitas, suhu, kecepatan arus, substrat dasar perairan dan kedalaman/topografi batimetri perairan di kawasan konservasi.Apabila memungkinkan, pengukuran secara langsung parameter lingkungan dapat juga dilakukan secara bersamaan dengan kegiatan pemantauan kondisi terumbu karang. Kegiatan lanjutan yang dilakukan setelah data kondisi karang diperoleh adalah analisis data untuk mendapatkan nilai persentase tutupan karang/percent cover (UNEP, 1993). Analisis data dilakukan dengan penghitungan sebagai berikut:
Dimana: ni= persentase penutupan karang hidup li = panjang karang berdasarkan pertumbuhan L = panjang transek garis
bentuk
Menurut Dahl (1978) dalam UNEP (1993), Sukmara et.al., (2001) nilaipersentase penutupan, sebagai penduga kondisi terumbu karang dapat dikategorikanadalah : a) b) c) d) e)
Kategori Kategori Kategori Kategori Kategori
Sangat Jelek : 0 - 10 % Jelek : 11 - 30 % Sedang : 31 - 50 % Baik : 51 - 75 % Sangat Baik : 76 - 100 %)
Selanjutnya hasil pengolahan data kondisi terumbu karang dan data sekundertentang parameter fisik lingkungan dianalisis dan dibahas dan dilaporkan
sebagai hasil pemantauan denganmengacu pada berbagai referensi dan literatur pustaka. 8.2.2 Pemantauan Mangrove Pengukuran distribusi mangrove dilakukan dengan menggunakan linetransek yang dilakukan dengan cara membuat garis tegak lurus garis pantai yangmasing-masing transek dibuat plot-plot atau petak petak yang berukuran 10 x 10meter untuk pohon-pohon berdiameter lebih dari 10 cm.Pengukuran distribusi mangrove dilakukan dengan menggunakan linetransek yang dilakukan dengan cara membuat garis tegak lurus garis pantai yangmasing-masing transek dibuat plot-plot atau petak petak yang berukuran 10 x 10meter untuk pohon-pohon berdiameter lebih dari 10 cm. Kemudian dicari NilaiPenting yang merupakan penjumlahan dari kerapatan relatif (KR), frekwensirelatif (FR) dan dominasi relatif (DR). untuk memperoleh nilai kerapatan relatif,frekwensi relatif, dominasi relatif menggunakan rumus dari Mueller et.al., (1974). Data yang telah dikumpulkan, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan beberapa rumus sebagai berikut: 1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8.2.3 Pemantauan Biota Langka dan Eksotik Biota langka dan eksotik memiliki area ruaya/migrasi yang sangat luas.Kondisi ini menyebabkan adanya kemungkinan biota-biota tersebut melintasi KKPD Kabupaten Alor, baik hanya untuk tinggal sementara dan/atau menjadikan kawasan sebagai jalur perlintasan migrasi biota tersebut. Pemantauan biota langka dan eksotik tersebut dapat dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi dari para nelayan, wisatawan dan/atau hasil pengamatan dari nahkoda kapal yang melintasi kawasan tersebut. Cara lain yang dapat dilakukan adalah pemantauan yang dilakukan secara bersamaan dengan kegiatan pemantauan pemijahan ikan dan pemantauan pola pemanfaatan sumberdaya perairan. Metode pemantauan biota langka dan eksotik pada kawasan konservasi perairan daerah Kabupaten Alor menggunakan metode sebagaimana Protokol Pemantauan Insidental di Kabupaten Alor (Pemda Kabupaten Alor dan WWF Solor-Alor Project, 2012).Monitoring pengamatan insidental dilakukan karena beberapa alasan sebagai berikut: 1)
2)
3)
Setasea dan duyung merupakan mamalia laut yang dilindungi dan bisa menjadi atraksi yang menarik untuk kegiatan pariwisata alam. Pengetahuan terhadap jalur migrasi setasea dan duyung bisa menjadi informasi dasar untuk pengembangan wisata ’whale watching’ Walaupun belum dilindungi secara hukum, binatang pari manta merupakan binatang yang ‟excotic‟ dan flagshipyang akhir-akhir ini terancam mengalami kepunahan karena tekanan penangkapan yang berlebihan. Adanya kebutuhan akan informasi mengenai ketahan karang menghadapi ancaman pemutihan karang secara global. Kegiatan monitoring ini diharapkan dapat berkontribusi dalam pemahaman tentang ketahanan dan ketangguhan karang di Kabupaten Alor.
Tujuan dari kegiatan monitoring pengamatan insidental adalah: 1)
Memberikan informasi pada pihak pengelola dan masyarakat Kabupaten Alor, tentang pengaruh pengelolaan terhadap eksistensi jalur migrasi dari setasea, manta dan menjelaskan terjadinya bleaching dalam skala luas.
2) 3)
4)
Membantu pengambil keputusan untuk mengevaluasi apakah pengelolaan telah berjalan efektif, khususnya perlindungan terhadap jalur migrasi setasea dan manta Kegiatan monitoring ini juga bertujuan untuk meningkatkan frekuensi kehadiran pengelola kawasan perairan Kabupaten Alor, dengan demikian dapat mencegah pengguna sumberdaya untuk melakukan pelanggaran pemanfaatan sumberdaya di Kabupaten Alor. Hasil dari monitoring pengamatan insidental bisa digunakan sebagai informasi penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman berbagai pihak
Untuk melakukan monitoring pengamatan insidental pengamat perlu mengenal species dan tingkah laku dari paus, lumba-lumba, duyung dan manta. Paling tidak, observer perlu mempelajari photo dan tingkah laku dari spesies yang akan diamati mengacu pada beberapa referensi (Carwadine, M (1995); Eye witness handbook: Whales, dolphins and purpoises; The visual guide to all world‟s cetaceans; Dorling Kindersley LTd. New Yorkdalam Pemda Kabupaten Alor dan Wwf Solor Alor Project, 2012).Pada awal kegiatan monitoring, observer perlu dilengkapi dengan foto dari semua paus, lumba-lumba, duyung dan manta yang umum ditemukan di Indonesia. 8.2.4 Pemantauan Daerah Pemijahan Ikan Pemantauan daerah pemijahan ikan di KKPD Kabupaten Alor dilakukan mengacu pada buku Panduan Pemantauan Pemijahan Ikan (Spawning Aggregations/SPAGs) di Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kabupaten Alor (Pemda Kabupaten Alor dan Wwf Solor Alor Project, 2012).. Mengacu pada panduan pemantauan pemijahan ikan, terdapat 12 jenis ikan karang yang merupakan target utama dalam perdagangan dan juga menjadi indikator bila suatu suatu tempat atau lokasi di perairan menjadi lokasi pemijahan ikan karang, dan bisa dengan adanya indikator jenis ikan karang, upaya pengelolaan dan pencegahan akibat penangkapan berlebih (over exploitation) dapat dilakukan. Pemantauan daerah-daerah pemijahan adalah komponen yang sangat penting dalam suatu sistem pengelolaan di kawasan konservasi perairan (KKPD) Kabupaten Alor.
8.2.4.1 Metode Pengumpulan Data Pemilihan lokasi, berdasarkan data dan/atau informasi dari nelayan lokal dan dikonfirmasi oleh ahli dan staf lapangan adalah langkah awal pemantauan pemijahan ikan.Tahapan selanjutnya adalah melakukan pemantauan pemijahan pada lokasi yang telah dipilih dengan metode sensus bawa air (Under Water Visual Censusatau disingkat UVC).Metode sensus bawa air mengharuskan dua orang penyelam untuk menyelam secara berpasangan. Kegiatan pemantaun daerah pemijahan memerlukan dua orang penyelam bersertifikat (minimal level Advance).Keseluruhan harus memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi 12 jenis ikan yang menjadi target monitoring Spag‟s ini. Kelompok ikan target tersebut yaitu ; Variola Louti, Cephalopolis miniata, Cephalopolis urodeta, Nasohexacanthus, Macolor macularis, Lutjanus bohar, Plectorhinchus polytaenia, Plotorhincus lineatus, Epinephulus fuscoguttatus, Epinephelus polyphekadion, Plectropomus areolatus, Gnathodentex aurolineatus, Epinephelus fuscoguttatus, E. Plectropomus areolatus, Plectropomus areolatus dan Lutjanus bohar.P Penyelam pertama bertugas melakukan penghitung jumlah masing-masing jenis ikan: Epinephelus fuscoguttatus, E. polyphekadion dan Plectropomus areolatus serta Lutjanus bohar.Penyelam kedua melakukan perhitungan panjang ketiga jenis ikan dan mencatat tingkah laku pemijahan (berkelompok atau aggregation, berpasangan atau courtship, bunting atau gravid, dan memijah atau spawning). Formulir A2 dicetak pada kertas anti air dan ditempelkan pada sebuah roll-slate, yang terbuat dari pipa PVC diameter 11 cm (4.5 inci) dengan panjang 30 cm (Petdkk 2005dalam Pemda Kabupaten Alor dan WWF Solor Alor Project, 2012).Untuk pencatatan dibawah air menggunakan pensil 2B yang diikatan dengan seutas tali pada lubang kecil di ujung roll-slate. Ketrampilan tambahan bagi kelompok yang bertugas melakukan pemantauan pemijahan ikan adalah menguasai program microsoft excel database, menghitung total jumlah dan rata-rata panjang, menyajikan data dalam bentuk grafik dan menyusun laporan. Peralatan dan bahan yag diperlukan untuk kegiatan pemantauan ini adalah:
1) 2) 3) 4)
Kapal kayu >5 GT,yang dapat membawa minimal 2 orang penyelam. Peralatan selam: 2 set alat selam. 5 tabung selam (penyelam harus membawa pelampung tanda dan peluit). bahan survey: roll slate, formulir isian lapang dari bahan kertas tahan air, GPS tangan. peralatan keselamatan: radio, dan perlengkapan pertolongan pertama pada kecelakaan (PPPK).
8.2.4.2 Metode Analisis Data Data yang di kumpulkan di analisa secara statistik untuk mendapatkan hasil-hasil sebagai berikut: -
-
-
-
Menghitung rata-rata jumlah ikan per spesies per periode tertentu yang ditemukan pada masingmasing lokasi pemijahan ikan. Penghitungan ini dilakukan untuk menentukan lokasi yang paling layak untuk dilakukan pemantauan selanjutnya. Penghitungan rata-rata jumlah ikan dilakukan berdasarkan klas ukuran (20-110 cm) per periode tertentu yang ditemukan pada lokasi pemijahan. Menyajikan hasil pengamatan dalam bentuk grafik kecenderungan penurunan jumlah ikan per spesies per lokasi berdasarkan periode waktu yang berbeda. Menyajikan kecenderungan pergeseran klas ukuran panjang per spesies per lokasi berdasarkan periode waktu yang berbeda.
8.2.5 Pemantauan Biologi untuk Menilai Kesehatan Terumbu Karang dan Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Pengelolaan kawasan konservasi perairan daerah (KKPD) Kabupaten Alor dikembangkan dengan terlebih dahulu membagi kawasan menjadi beberapa zona berdasarkan potensi yang ada, dan dilakukan secara pertisipatif dengan melibatkan para stakeholders. Tujuan pengelolaan dengan pembagian zona di kawasan konservasi tersebut adalah sebagai dasar penyusunan rencana pengelolaan untuk melindungi keanekaragamanhayati, kesehatan karang dan populasi jenis ikan penting.Mengacu pada tujuan tersebut, dipandang perlu untuk mengadopsi metode dan tata cara pemantauan biologiyang jelas dan adaptif. Tujuan pemantauan tersebut adalah untuk menilaikeberhasilan rencanazonasi KKPD Kabupaten Alor untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut dan untukmenyediakan suatu dasar bagi pengelolaan adaptif. Kesehatan terumbu karang perlu dipantau dengan mengggunakan parameter biologi perlu dilakukan mengingat terumbu karang merupakan salah satu habitat penting di kawasan konservasi perairan daerah.Struktur komunitas bentik(karang, invertebrata lainnya dan alga) dan komunitas ikan digunakan sebagaiukuran kesehatan terumbu karang. Pemantauan biologi untuk menilai kesehatan terumbu karang di KKPD Kabupaten Alor dikembangkan mengacu pada panduan metode pemantauan biologi untuk menilai kesehatan terumbu karang dan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi laut di Indonesia (TNC, 2009).Hasil dari pemantauan kesehatan terumbu karang ini dapat digunakan sebagaidata dasar penilaian suatu wilayah, dan jika dilakukan berulang kali denganmenggunakan metode yang sama atau yang setara, maka dapat memberikaninformasi mengenai efektivitas KKL dalam hal sebagai berikut: a) Melindungi kesehatan dan keanekaragaman hayati dari komunitas bentik, b) Mempertahankan atau meningkatkan kelimpahan, ukuran dan biomassaikan karang, khususnya jenis yang menjadi target nelayan lokal ataukomersial. Selain ancaman-ancaman pembangunan di daerah pesisir, kegiatan perikananyang merusak lingkungan dan penangkapan yang berlebih, ada pula ancamanyang serius dan meningkat dalam jangka waktu panjang bagi terumbu karangIndonesia, yaitu perubahan iklim.Oleh karena itu, saat ini diperlukan metode-metodepemantauan baru yang tidak hanya menilai kondisi terumbu karang saatini, tetapi juga menilai daya pulih terumbu karang terhadap perubahan iklim danancaman-ancaman lainnya. Guna mengakomodasi segala perubahan dalam penilaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi perairan daerah, Kelompok kerja IUCN untukPerubahan Iklim dan Terumbu Karang telah mengembangkan metode baruuntuk menilai daya pulih terumbu karang (IUCN 2009, Green dan Bellwood, inpress dalam TNC, 2009). Metode berkaitan erat dengan metodeyang dikembangkan oleh IUCN tersebut, dan oleh sebab itu metode ini dapatdengan mudah dimodifikasi untuk menggabungkan pengukuran-pengukurandaya pulih ini di masa mendatang.
8.2.5.1 Prosedur dan komponen yang dirancang dalam kegiatan pemantauan TNC (2009) melaporkan, rancangan pengambilan data pada pemantauan ini dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut: 1.
Zona Perlindungan vs Zona Pemanfaatan. Untuk menentukan efektivitas dari rencana zonasi KKL, harus dilakukan seleksilokasi-lokasi dalam jumlah yang banyak dalam zona pengelolaan yang berbeda-beda.Rancangan pengambilan data berfokus padapengukuran perbedaan antara zona inti, zona perlindungan (larang masuk dan/atau larangtangkap) dan zona pemanfaatan pareiwisata bahari, dan zona perikanan berkelanjutan.
2.
Terumbu Karang. Untuk mengetahui perbedaan antara zona perlindungan dan zona pemanfaatan,penting untuk melakukan perbandingan lokasi-lokasi yang memiliki karakteristikyang sama, khususnya daerah terumbu yang terbuka (exposure) dan lerengterumbu (slope) (yaitu tipe terumbu karang yang sama). Kegiatan ini perlu dilakukan dengan mengacu pada beberapa pertimbangan sebagai berikut: a)
b)
c)
Ini dikarenakan terumbukarang yang terbuka dan lereng yang berbeda memiliki tipe karang dankomunitas ikan yang berbeda pula. Oleh karena itu, sangat penting untukmengukur perbedaan antara zona perlindungan dan zona pemanfaatan, tidakhanya perbedaan alamiah antara tipetipe terumbu karang yang berbeda(contohnya terumbu terbuka (exposed) vs terumbu terlindungi (sheltered). Pemantauan harus distandardisasi pada satu atau duatipe terumbu karang utama. Umumnya, habitat yang bagus untuk mengambildata adalah di bagian lereng terumbu luar (outer reef slopes) pada terumbukarang yang terbuka (bukan pada kanal, terusan terumbu ataupun terumbu yangterlindungi).
d)
e)
f)
Habitat ini secara konsisten ada di hampir semua daerah terumbukarang, dan merupakan tempat yang memiliki keanekaragaman dan kelimpahantertinggi untuk jenis-jenis perikanan penting dan ikan-ikan karang lainnya dapatjuga dijumpai. Akan tetapi, jika lereng terumbu luar bukanlah habitat yang umumdi sebuah KKL atau muncul kesulitan untuk mengambil data karena cuaca atauarus yang kuat, maka dapat dipertimbangkan untuk melakukan pemantauanpada tipetipe habitat lainnya. Pada banyak KKL, tipe-tipe terumbu telah diidentifikasi selama Penilaian Ekologisecara Cepat (Rapid Ecological Assessments) dan hasilnya dapat digunakanuntuk membantu mengarahkan rancangan pengambilan data. Tim lapanganharus mendiskusikan rancangan pengambilan data bersama ilmuwan terumbukarang sebelum menyelesaikan rencana pengambilan data akhir mereka.
8.2.5.2 Pemilihan Lokasi Pemantauan Lokasi pemantauan adalah hal terpenting berikutnya yang perlu dilakukan dalam kegiatan penilaian kesehatan terumbu karang dan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi.TNC (2009) menyatakan bahwa di dalam KKL, pemantauan harus dilakukan pada banyak lokasi dandilakukan menyebar secara luas untuk memastikan tercakupnya kondisigeografis yang baik dari wilayah studi tersebut.Setelah tipe habitat dipilih, lokasilokasidalam tipe habitat harus diseleksi setelah melakukan survei umum diwilayah tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan snorkelingataumanta tow untuk memastikan bahwa lokasi tersebut mewakili tipe dan zonaterumbu yang ada (English et al. 1997dalam TNC, 2009), dan ada tempat yang cocok untukmelakukan program pemantauan. Survei ikan dan bentik akan dilakukan padalokasi-lokasi yang sama. Survei ikan membutuhkan wilayah yang paling luasyaitu minimal
700m untuk habitat yang sama – 300m untuk transek sabuk dan400m untuk timed swims. 8.2.5.3 Metode Survei Lapangan untuk Komunitas Ikan Metode sensus visual di bawah air merupakan metode yang paling efektif untukmemantau ikan-ikan terumbu karang, khususnya di lokasi yang jauh/terpencil(Choat dan Pears 2003). Populasi ikan terumbu karang (difokuskan pada jenisperikanan penting) disurvei dengan mengggunakan metode sensus visual dibawah air seperti yang dijelaskan oleh English et al. (1997), Wilkinson et al. (2003),Choat dan Pears (2003), Hill dan Wilkinson (2004) dan Sweatman et al. (2005) danGreen dan Bellwood, in press. Transek sabuk digunakan karena memiliki ketelitian yang tinggi, dan sesuai untukpemantauan dengan berbagai tujuan (perikanan dan ketangguhan) dan karenatransek ini dapat dilewati berkali-kali untuk menghitung jenis yang berbeda (Greendan Bellwood, in press).Metode ini merupakan teknik yang paling efektif untukmemantau sebagian besar ikan-ikan karang yang sesuai dengan teknik sensusvisual. Walaupun demikian, jika memungkinkan, transek harus dikombinasikandengan metode long swim, yang memberikan hasil yang lebih teliti untukmengestimasi kelimpahan dan biomassa jenisjenis yang besar, yang memilikitingkat mobilitas yang tinggi dan distribusinya cenderung jarang dan berkelompok(khususnya hiu, ikan kerapu besar, ikan napoleon dan ikan kakatua) (Choat dan Pears 2003) (TNC, 2009). Untuk keperluan analisis data, maka daftar jenis ikan target/penting harus dibuat untuk KKPD Kabupaten Alor.Jenis tersebut harus termasuk jenis yang menjadi target nelayan lokal/komersial,jenis yang dapat di-identifikasi secara akurat oleh pengamat,jenis yang sesuai untuk penghitungan menggunakan sensus visual dibawah air, yaitu jenis yang terlihat sangat jelas (menyolok), dan jenis terumbu karang yang umum ditemukan di lokasi tersebut dan di tipeterumbu yang disurvei (bukan jenis pelagis yang memiliki mobilitas tinggiseperti ikan tuna dan kembung).
Jika tim lapangan sudah sangat ahli dalam mengidentifikasi ikan, maka jenisherbivora dan atau kelompok-kelompok fungsional harus dimasukkan dalamdaftar ikan seperti ditulis dalam Green dan Bellwood, in press karena herbivorememainkan peran yang sangat penting bagi kesehatan dan daya pulih karang.Daftar jenis ikan untuk long swim merupakan suatu sub-bagian dari jenis yangtercatat dalam transek (Lampiran 2 dalam TNC, 2009). Jika hanya ada satupengamat, maka mereka harus berfokus pada semua hiu (semua jenis), pari manta (Manta sp.) dan pari burung (Aetobatus narinari).ikan napoleon (Cheilinus undulatus), empat jenis ikan kakatua besar yang terdaftar (Bolbometapon muricatum,Cetoscarus bicolor, Chlorurus frontalis dan Chlorurus microrhinus), kerapu, dansemua jenis ikan kuwe (trevally).Jika ada pengamat kedua, maka mereka harus berfokus pada menghitung danmengestimasi panjang dari ikan kakap besar (large snappers) dan golongan ikanlencam (lethrinids), khususnya jenis yang bergerombol (schooling) sepertiLujanus bohar dan Macolor niger yang jumlahnya bisa melimpah. 8.2.5.4 Metode Survei Lapangan untuk Komunitas Bentik MetodePoint-Intercept Transect (PIT) digunakan untuk mengukur tutupan invertebrata bentik yang menetap (sesil), alga dan tipe substrat (karang keras dan lunak, sponge, alga makro), karena sifatnya yang cepat, efisien dan memberikan estimasi yang bagus untuk tutupan komunitas bentik (Hill dan Wilkinson 2004). Metode ini telah digunakan secara luas di Kepulauan Pasifik, termasuk Samoa and Kepulauan Solomon (Green 1996, 2002, Hughes 2006, Hamilton et al. 2007 dalam TNC, 2009). Survei dilakukan dengan beberapa catatan sebagai berikut: 1)
Pengamat berenang di sepanjang transek pertama berukuran 3 x 50m yang diletakkan oleh tim ikan karang (lihat penjelasan sebelumnya) dan mencatat dengan segera kategori bentuk pertumbuhan di bawah meteran pada interval 0,5 m sepanjang transek, dimulai pada 0,5 m dan berakhir pada 50 m (100 titik per meteran = total 300 titik).
2)
3)
4)
5)
Jika meteran tidak berada tepat pada atau langsung di atas karang, maka dapat dipilih titik yang berada pada lereng terumbu pada kedalaman yang sama dan segera disesuaikan dengan posisi titik pada meteran yang ada di lereng terumbu (dengan menutup mata anda dan menggunakan sebuah penggaris untuk memilih titiknya). Jika tim pemantauan lokal dapat mengidentifikasi genus karang secara akurat, maka sebaiknya genus karang dicatat bersama dengan bentuk pertumbuhannya. Hal ini penting karena beberapa genus, seperti Porites, Acropora, dapat memiliki lebih dari satu bentuk pertumbuhan. Data dicatat langsung ke lembar data yang telah dicetak di atas kertas tahan air. Pada saat survei telah selesai dilakukan pada kedalaman 10 m, tim survei komunitas bentik akan mengambil kembali meteran (total 5 meteran). Pengambilan data pada habitat tambahan (tubir terumbu/lereng terumbu di daerah dangkal), dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: a) Jika waktu dan sumberdaya masih memungkinkan, penyelam dapat naik ke lereng terumbu di kedalaman 4 m dan mengulangi metode survei dengan tiga transek berukuran 50 m. Hal ini karena komunitas karang pada kedalaman 4 dan 10 m biasanya agak berbeda dan memiliki respon yang berbeda terhadap ancamanancaman seperti pemutihan karang dan bintang laut mahkota berduri. b) Jika terumbu karang berkelompok maka terumbu karang yang disurvei sangat bervariasi/berkelompok, sehingga dipandang perlu untuk meningkatkan jumlah transek menjadi 4 atau 5, tidak hanya 3.
8.2.5.5 Proses dan Analisis Data Analisis data merupakan tahap akhir untuk menarasikan data yang telah dikumpulkan.Analisis data yang dimaksud dalam pemantauan ini adalah kelimpahan dan biomassa ikan, dan komunitas
bentik.Beberapa hal berkaitan dengan analisis data tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1)
Kelimpahan dan Biomassa Ikan Kedua pengamat ikan bertanggung jawab untuk menganalisa data dan membuat laporan. Semua hasil dimasukkan ke dalam lembar kerja excel oleh pengamat pada hari yang sama dengan pelaksanaan survei (jika memungkinkan). Jika hal ini tidak memungkinkan, pengamat harus melihat kembali lembar data di hari yang sama dengan pelaksanaan survei dan memastikan bahwa hasilnya jelas (jenis, kelimpahan dan ukuran) sehingga data yang akan dimasukkan dapat dipercaya. Pada saat data dimasukkan ke dalam lembar kerja excel, perlu diperiksa kesalahankesalahan yang ada (error) sebelum dilanjutkan ke analisa data. Penghitungan dan estimasi ukuran ikan karang akan dikonversi ke nilai rata-rata (+ standard error) kepadatan dan biomassa di setiap lokasi untuk: Masing-masing jenis individu untuk ikan karang berukuran besar dan rentan (khususnya hiu, Cheilinus undulatus and Bolbometapon muricatum) Semua jenis ikan penting yang digabungkan Masing-masing famili dari jenis ikan penting Masing-masing kelompok fungsional herbivora (Green dan Bellwood, in press dalam TNC, 2009). Penting untuk dicatat bahwa jika individu ikan karang berukuran besar (>40 cm TL) dihitung menggunakan metode transek dan long swim, maka untuk analisa data harus digunakan hasil-hasil dari metode long swim (bukan metode transek), sebab metode long swim memberikan estimasi yang paling akurat untuk kelimpahan individu berukuran besar dari jenis ini (Choat dan Spears 2003 dalam TNC, 2009). Namun, jika tidak menggunakan long swim, maka dapat digunakan penghitungan individu berukuran besar dari metode transek, meskipun metode ini tidak
se-akurat metode long swim, dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut: Untuk setiap lokasi, jumlah individu per unit pengambilan data (transek atau long swim) akan dikonversi ke nilai rata-rata kepadatan (per hektar, atau ha) menggunakan rumus: kepadatan per ha = (jumlah individu per unit sampling ÷ luasan unit sampling dalam m²) x 10.000. Untuk setiap lokasi, estimasi ukuran akan dikonversi ke estimasi biomassa dengan menggunakan hubungan panjang-berat yang diketahui untuk setiap jenis, dengan menggunakan rumus W = aLb seperti yang dijelaskan dalam Kulbicki et al (2005). Di mana: W = berat ikan dalam gram (g); L = panjang ikan – fork length (FL) dalam cm; dan a dan b adalah nilai konstan yang dihitung untuk setiap jenis atau genus. Nilai rata-rata biomassa dapat dihitung untuk setiap metode menggunakan rumus: biomassa per ha = (biomassa per unit sampling ÷ areal unit sampling dalam m²) x 10.000. Perlu diingat bahwa estimasi panjang tubuh untuk banyak jenis ikan secara visual di bawah air umumnya didasarkan pada panjang total (TL), yang memang lebih mudah untuk diukur dibandingkan fork length (FL). Namun demikian, hubungan panjang-berat untuk biomassa umumnya tergantung pada FL. Untuk jenis yang memiliki ekor yang membulat atau persegi, FL dan TL sama saja. Tetapi untuk jenis dengan ekor seperti garpu (forked tails), TL harus dikonversi ke FL untuk mengukur biomassa. Apabila rasio konversi yang detil untuk jenis lokal tidak tersedia, maka digunakan estimasi: FL adalah sekitar 90% dari TL untuk sebagian besar jenis ikan berekor seperti garpu (forked tails)
(Kulbicki pers. comm.). Selain itu, karena menggunakan kategori ukuran, maka panjang ikan yang digunakan untuk estimasi biomassa harus merupakan nilai tengah (mid value) untuk setiap kategori ukuran (misalnya gunakan 12,5 cm untuk kategori ukuran 10 – 15 cm). Pendekatan ini mungkin menghasilkan kesalahan (error), tetapi secara umum masih relatif bisa diterima jika dihubungkan dengan estimasi ukuran di bawah air, yang merupakan sumber terbesar terjadinya kesalahan dalam metode ini. Mengingat estimasi ukuran di bawah air ini sangat bergantung pada pelatihan penyelam, pengamat harus memastikan bahwa mereka telah terlatih dengan baik sebelum melakukan setiap periode sensus. 2)
Komunitas Bentik Jika memungkinkan, semua hasil survei akan dimasukkan ke dalam lembar data excel oleh pengamat pada hari yang sama survei dilakukan (lihat catatan kaki). Jika tidak memungkinkan, pengamat perlu melihat kembali lembar data pada hari yang sama dengan pelaksanaan survei dan memastikan bahwa hasil-hasil tersebut jelas sehingga data yang dimasukkan nanti dapat dipercaya. Pada saat data dimasukkan ke dalam lembar data excel, data tersebut perlu dilihat lagi untuk memeriksa kesalahan yang ada, sebelum dilanjutkan ke analisa data. Tutupan setiap kategori bentuk pertumbuhan (atau genus), begitu pula semua karang yang digabungkan, semua alga makro yang digabungkan dan invertebrata bentik yang digabungkan, dihitung dengan mengkonversi jumlah titiktitik yang dicatat ke persentase setiap kategori bentuk pertumbuhan pada setiap transek. Di mana persentase tutupan setiap kategori = (jumlah titik dalam kategori ÷ total jumlah titik dalam transek) x 100.
Struktur komunitas (keanekaragaman bentuk pertumbuhan biotik) dihitung menggunakan Indeks Shannon Wiener (H). Di mana H = - Σ p(i) ln p(i); and Σ adalah jumlah dari semua kategori, p(i) adalah perbandingan dari total gabungan (assemblage) pada kategori ke-i (the ith category) dan ln adalah simbol dari logaritma alami. Persentase total dari tutupan karang dan bentuk pertumbuhan bentik dominan harus diringkaskan dalam bentuk grafik yang dapat dibuat menggunakan Excel. Masing-masing pengamat akan: Menghitung semua individu jenis yang ada di daftar dan kelompok ukuran dalam areal transek, dari substrat karang hingga permukaan air, dan mengestimasi ukuran dari semua ikan yang dihitung. Untuk ikan dengan ukuran 10-35cm, setiap ikan dibagi menjadi kategori ukuran. Idealnya, digunakan interval kategori ukuran 5 cm (seperti 10 -15, 15 – 20 cm dst), tetapi jika pelatihan terbatas, maka kita dapat menggunakan interval ukuran 10 cm. Untuk ikan yang memiliki panjang lebih dari 35 cm – panjang total dari setiap ikan diukur mendekati cm terdekat. Mencatat langsung semua data ke lembar data 8.2.6 Pemantauan sumberdaya perikanan Pemantauan sumberdaya perikanan terdapat 6 (enam) indikator utama, yakni: (1) Ukuran ikan, (2) Komposisi spesies, (3) Proporsi ikan yuana (juvenile) yang ditangkap, (4) Endangered species, Threatened species, dan Protected species (ETP), (6) Catch per unit effort (CPUE) baku, dan (7) Range collapse sumberdaya ikan. 1. UKURAN IKAN 1.1.
Definisi dan Unit Indikator
Ukuran ikan atau biasa disebut dengan istilah morfometrik merupakan bentuk pengukuran yang dapat mencakup beberapa bagian, yaitu panjang total
(TL), panjang standar (SL), dan panjang cagak (FL). Ukuran panjang total (TL) diukur mulai dari bagian terdepan moncong/bibir (premaxillae) hingga bagian ujung ekor. Panjang standar (SL) diukur mulai dari bagian terdepan moncong/bibir (premaxillae) hingga pertengahan pangkal sirip ekor (pangkal sirip ekor bukan berarti sisik terakhir karena sisik-sisik tersebut biasanya memanjang sampai ke sirip ekor.Adapun panjang cagak (fork length) diukur dimulai dari bagian terdepan mulut ikan hingga percabangan sirip ekor yang membagi sirip ekor bagian atas dan bagian bawah (Gambar 1).Unit yang digunakan pada indikator ukuran ini satuan ukuran panjang yaitu dapat berupa centimeter (cm) atau meter (m).Penggunaan ukuran panjang dalam riset-riset biologi perikanan umumnya menggunakan SL dikarenakan tidak dipengaruhi oleh perubahan atau kerusakan secara fisik pada bagian sirip ekor. Namun untuk keperluan praktis di lapangan, orang sering menggunakan panjang total (TL), tetapi syaratnya adalah morfologo sirip harus dalam keadaan baik dan utuh. Adapun panjang cagak (FL) tercatas digunakan pada ikan-ikan yang bentuk siripnya bercagak.
Panjang standar (SL) Panjang cagak (FL) Panjang total (TL) Gambar 8.4 Variasi metode pengukuran panjang ikan yakni panjang standar (SL), panjang cagak (FL), dan panjang total (TL).
1.2.
Tujuan dan interpretasi indikator
Tujuan dari pengambilan data ukuran ikan baik ukuran panjang total (TL) maupun panjang standar (SL) adalah untuk mengetahui ukuran panjang ikan sebagai data untuk analisis frekuensi panjang (length frequency analysis). Berdasarkan data indikator tersebut dapat diinterpretasikan parameter koefisien pertumbuhan (k), dan dengan mengetahui data suhu perairan, dapat diduga mortalitas total (M) (Pauly, 1987). Selanjutnya akan dapat diduga laju eksploitasi dari suatu unit stok. Jika terjadi penurunan nilai ukuran ikan secara temporal maka mengindaksikan terjadinya kecenderungan tangkap lebih (overfishing) pada perairan tersebut.(Jackson et al., 2001; Orensanz et al., 1998).Berdasarkan data tersebut juga dapat dilakukan eksplorasi hubungan antara laju eksploitasi dengan keragaan reproduksi seperti yang terjadi di Pantai Utara dan Pantai Selatan Jawa (Ernawati & Kamal, 2010).Sebagai catatan, bahwa data panjang ikan yang diukur sebaiknya merepresentasikan semua kelas ukuran. 1.3.
Metode pengumpulan data indikator
Data yang diperlukan pada indikator ukuran ikan ialah data morfometrik ikan yaitu berupa panjang total (TL) atau panjang standar (SL) dalam satuan centimeter ataupun meter. Metode kuantitatif yang digunakan untuk pengumpulan data indikator ini adalah dengan metode sampling secara langsung terhadap ikan hasil tangkapan dengan cara mengukur secara langsung spesies yang menjadi objek pengamatan menggunakan penggaris berskala. Pengambilan data ukuran secara langsung dapat dilakukan secara harian maupun bulanan tergantung jenis ikan yang diamati. Selain itu, secara kualitatif, dapat juga dilakukan pengambilan data melalui metode survei yang dilakukan melalui pendekatan purposive sampling, yakni dengan menghubungi dan mewawancarai responden yang dianggap memiliki informasi dan pengetahuan yang luas tentang perkembangan hasil tangkapan ikan di perairan yang sedang diamati. Pertanyaan harus dibuat sedemikian rupa sehingga bisa menangkap esensi trend ukuran ikan: “Apakah ukuran rata-rata ikan yang ditangkap semakin kecil dalam X tahun terakhir?”
Sampel responden dipilih sedemikian rupa sehingga bisa mewakiliki kelompok umur yang diinginkan, sesuai dengan berapa lama rentang waktu analisis kita ke belakang.Frekuensi survei untuk mendapatkan data indikator tersebut sebaiknya dilakukan setiap tahun. 1.4.
Metode analisis kuantitatif data indikator
Penentuan ukuran morfometrik ikan (TL dan SL) didasarkan pada metode kuantitatif dan kualitatif. Pada penentuan data secara kuantitatif digunakan metodeLength Frequency Analysis (LFA). Analisis frekuensi panjang digunakan untuk menentukan kelompok ukuran ikan yang didasarkan kepada anggapan bahwa frekuensi panjang individu dalam suatu spesies dengan kelompok umur yang sama akan bervariasi mengikuti sebaran normal (Effendie 1997). Panjang ikan dapat ditentukan dengan mudah dan cepat dilapangan, karena panjang ikan dari umur yang sama cenderung membentuk suatu distribusi normal sehingga umurnya dapat ditentukan dari distribusi frekuensi panjang melalui analisis kelompok umur. Kelompok umur bisa diketahui dengan mengelompokan ikan dalam kelas-kelas panjang dan menggunakan modus panjang kelas tersebut untuk mewakili panjang kelompok umur. Distribusi frekuensi panjang didapatkan dengan menentukan selang kelas, nilai tengah kelas, dan frekuensi dalam setiap kelompok panjang. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: 1. Menentukan nilai minimum dan nilai maksimum dari seluruh data panjang total ikan 2. Dengan melihat hasil pengamatan frekuensi pada setiap selang kelas panjang ikan ditetapkan jumlah kelas dan interval kelas 3. Menentukan niliai limit bawah kelas bagi selang kelas yang pertama dan kemudian limit atas kelas. Limit atas kelas didapatkan dengan menambahkan lebar kelas pada limit bawah kelas 4. Mendaftarkan pada semua limit kelas untuk setiap selang kelas 5. Menentukan nilai tengah kelas bagi masingmasing kelas dengan merata-ratakan limit kelas 6. Menentukan frekuensi bagi masing-masing selang kelas
Data frekuensi panjang yang telah ditentukan dalam masing-masing kelas, diplotkan dalam sebuah grafik untuk melihat jumlah distribusi normalnya.Dari grafik tersebut dilihat jumlah puncak yang menggambarkan jumlah kelompok umur yang ada.Pergeseran distribusi frekuensi panjang menggambarkan jumlah kelompok umur yang ada (kohort).Bila terjadi pergeseran modus distribusi frekuensi panjang berarti terdapat lebih dari satu kohort.Bila terdapar lebih dari satu kohort, maka dilakukan pemisahan distribusi normal. Metode yang dapat digunakan untuk memisahkan distribusi normal adalah metode Bhattacharya (1967) dengan bantuan program FISAT II (Sparre & Venema 1999) Penentuan kriteria parameter secara kualitatif untuk indikator ukuran ikan, dilakukan dengan menggunakan pendekatan skoring yang sederhana, yakni memakai skor Likert berbasis ordinal 1,2,3. Penentuan nilai skor dilakukan dengan prinsip bahwa semakin kecil trend nilai ukuran, maka nilai skor indikator ini diberi nilai rendah. Nilai skor 1 diberikan untuk trend ukuran rata-rata ikan yang ditangkap semakin kecil, sedangkan nilai skor 2 diberikan untuk trend ukuran relatif tetap, dan nilai skor 3 diberikan untuk trend ukuran semakin besar 1.5.
Metode analisis kualitatif data indikator
Analisis kualitatif terhadap terhadap parameter ukuran ikan diambil dari hasil wawancara dengan nelayan yang pengambilan sampelnya sudah dirancang sedemikian rupa sehingga mewakili rentang waktu analisis. Pengetahuan lokal tentang trend ukuran ikan rata-rata merupakan bagian dari traditional ecological knowledge atau TEK (khasanah pengetahuan tradisional lokal) yang jika metode pengambilan sampelnya dirancang secara apik dan terstruktur, maka akan bisa memberikan wawasan yang kaya untuk mendukung manajemen perikanan. Salah satu contoh hasil wawancara keadaan stok ikan yang menggunakan pengetahuan responden (TEK) adalah studi yang dilakukan oleh Lozano-Montes et al. (2008) di Teluk California terhadap status stok ikan di teluk tersebut sebagaimana yang ditampilkan di Gambar 2 di bawah ini. Jumlah jawaban nelayan diplotkan terhadap kelompok umur nelayan (dalam hal ini, dibagi menjadi tiga generasi: nelayan tua, nelayan paruh baya, dan
nelayan muda) dan dilakukan analisis statistik sederhana (Chi-squared Test) untuk melihat signifikansi sebaran hasilnya.
Gambar 8.5.Jumlah daerah penangkapan ikan yang sudah berkurang jumlah ikannya (depleted) di Teluk California, menurut hasil wawancara dengan 49 nelayan (Lozano-Montes et al., 2008). Perbedaan antara jumlah daerah penangkapan ikan yang dilaporkan oleh tiga generasi responden bernilai signifikan secara statistik (X2 [2] = 12.75, P < 0.005) yang menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan terhadap konsidi ekologi (shifting ecological baselines) di wilayah tersebut. Garis vertikal menunjukkan simpangan baku dari nilai rata-rata (standard deviation of the mean). Grafik ini merupakan ilustrasi semata terhadap manfaat pengetahuan lokal yang digali secara terstruktur dari wawancara untuk menganalisis kondisi stok ikan tertentu, baik dari segi statusnya maupun variabel lainnya. Dimasukkan ke laporan ini atas izin dari Dr Hector Lozano-Montes, CSIRO, Australia, selaku lead author dari studi yang diterbitkan di paper ini.
2. KOMPOSISI SPESIES NON ETP (Endangered, Threatened and Protected) 2.1.
Definisi dan unit indikator
Komposisi spesies merupakan ukuran biomassa spesies tertentu yang menjadi target penangkapan dan spesies yang bukan target penangkapan terhadap jumlah seluruh hasil tangkapan dari suatu alat tangkap. Penentuan komposisi ini hanya berlaku untuk alat tangkap pukat udang (shrimp trawl) dan pancing tuna (long line) di perikanan skala besar (industry-based). Pukat udang adalah jenis jaring berbentuk kantong dengan sasaran tangkapannya udang. Jaring dilengkapi sepasang (2 buah) papan pembuka mulut jaring (otter board) dan Turtle Excluder Device/TED, tujuan utamanya untuk menangkap udang dan ikan dasar (demersal), yang dalam pengoperasiannya menyapu dasar perairan dan hanya boleh ditarik oleh satu kapal motor. Sedangkan Rawai tuna (long line) adalah alat penangkap ikan berupa serangkaian tali temali yang terdiri dari tali utama (terbuat dari polyester atau kuralon) yang pada setiap jarak 50-55 meter terpasang tali cabang yang panjangnya 20-25 meter (terbuat dari bahan yang sama tetapi dengan diameter lebih kecil), yang ujungnya dikatkan pancing berumpan ikan (pancin nomer 3-5 atau diameter pancing 2-3mm). Umpan dapat berupa ikan segar atau hidup. Satuan rawai tuna menggunakan satuan basket. Dalam satu basket rawai tuna terpasang 5-20 pancing yang kedua ujung tali utama dipasang pelampung besar dengan tali pelampung sepanjang 20-30 meter. Umumnya satu unit rawai tuna mempunyai 1000-2000 pancing. Rawai tuna termasuk dalam klasifikasi rawai hanyut (drift long line). Pengoprasiannya dengan cara menebarkan rawai secara mendatar atau horisontal dan dihanyutkan secara bebas di perairan lapisan dalam, sekitar 100300 meter di bawah permukaan air sesuai dengan lapisan renang jenis ikan tuna sasaran tangkap, selama jangka waktu tertentu. Dengan demikian unit indikator untuk menentukan komposisi spesies target penangkapan terhadap hasil tangkapan secara keseluruhan ialah (ton, kg, %).
2.2.
Tujuan dan interpretasi indikator
Tujuan dari penentuan indeks komposisi spesies ialah untuk mengetahui komposisi spesies ikan dan nonikan yang menjadi target penangkapan dan yang bukan target penangkapan atau dengan kata lain non target (bycatch). Penentuan proporsi ikan tersebut dilakukan terhadap hasil tangkapan suatu alat tangkap di daerah yang diamati. Interpretasi indikator untuk nilai komposisi spesies yaitu dengan melihat tingkat selektifitas alat tangkap yang digunakan untuk menangkap stock ikan. Jika hasil tangkapan dari suatu alat tangkap didapati spesies non target (bycatch) proporsinya lebih tinggi dibandingkan dengan ikan yang menjadi target penangkapan, menunjukan bahwa alat tangkap tersebut tidak selektif. 2.3.
Metode pengumpulan data indikator
Pengumpulan data untuk indikator komposisi spesies dapat dilakukan dengan dua cara: (1) secara kuantitatif, dan (2) secara kualitatif. Untuk pengumpulan data secara kuantitatif, ada beberapa cara yang bisa dilakukan, diantaranya yaitu dengan melakukan observasi secara langsung (sampling) untuk melihat jumlah ikan baik yang merupakan spesies target dan non target (bycath) dari hasil tangkapan suatu alat tangkap. Kemudian dapat juga menggunakan logbook (setiap kali penangkapan) untuk melihat data hasil tangkapan. Adapun secara kualitatif, data bisa dikumpulkan melalui pendekatan purposive sampling, yakni dengan menghubungi dan mewawancarai responden yang dianggap memiliki informasi dan pengetahuan yang luas tentang perkembangan hasil tangkapan ikan di perairan yang sedang diamati.Pertanyaan yang bisa dirancang untuk mendapatkan informasi ini adalah: “Apakah proporsi ikan target Bapak/Ibu lebih banyak dari ikan non-target dalam X tahun terakhir?” Frekuensi survei untuk mendapatkan data indikator tersebut sebaiknya dilakukan setiap tahun. .
2.4.
Metode analisis kuantitatif data indikator
Pada penentuan indikator komposisi spesies non-ETP, bila dilakukan secara kuantitatif, maka analisis dilakukan dengan membuat data komposisi (persentase) spesies target dan non target dari hasil tangkapan keseluruhan untuk setiap alat tangkap (shrimp trawl dan long line). Penyajian data hasil tangkapan dapat pula disajikan dalam bentuk grafik. Sebagai acuan, di dalam sistem sertifikasi MSC (Marine Stewardship Council), telah ditetapkan bahwa batasan by-catch yang bisa ditolerir untuk jenis ikan secara umum adalah 10% dari total tangkapan (Imam Musthofa, WWF Indonesia, pers. comm., 10 Nopember 2011). 2.5.
Metode analisis kualitatif data indikator
Penyajian data komposisi spesies secara kualitatif didapat dari hasil interview terhadap nelayan. Kemudian menentukan komposisi dan proporsi ikan target hasil tangkapan dan ikan non-target dalam X tahun terakhir. Dengan kriteria nilai poin sebagai berikut: - 1 = Apabila proporsi ikan target lebih sedikit, - 2 = Apabila proporsi ikan target sama dengan nontarget, dan - 3 = Apabila proporsi ikan target lebih banyak. 3. PROPORSI IKAN YUWANA (JUVENILE) YANG DITANGKAP 3.1.
Definisi dan unit indikator
Ikan yuana (juvenile) merupakan ukuran suatu tahap dalam pertumbuhan ikan yang belum masuk kategori ukuran dewasa (mature).Unit satuan yang digunakan untuk indikator proporsi ikan yuana (juvenile) yang ditangkap ialah (ton, kg, % proporsi) yang dibandingkan dengan biomasa ikan secara keseluruhan dari hasil tangkapan untuk setiap alat tangkap pada perairan tertentu yang diamati. 3.2.
Tujuan dan interpretasi indikator
Tujuan dari indikator ini ialah untuk mengetahui proporsi ikan yuana (juvenile) yang ditangkap terhadap hasil tangkapan dari suatu alat tangkap tertentu.
Sehingga interpretasi indikator tersebut ialah proporsi ikan yang ditangkap pada ukuran juvenil dapat menggambarkan ukuran mata jaring suatu alat tangkap yang digunakan.dengan demikian jika ikan ukuran yuana (juvenile) pada setiap penangkapan memiliki proporsi yang lebih besar, mengindikasikan bahwa ukuran mata jaring yang digunakan terlalu kecil dan perlu disesuaikan kembali dengan ukuran ikan yang sudah dewasa (mature). 3.3.
Metode pengumpulan data indikator
Pengumpulan data untuk indikator proporsi ikan yuana (juvenile) dapat dilakukan dengan metode sampling yaitu melihat proporsi ikan berdasarkan ukuran ikan.Hal tersebut untuk melihat biomasa ikan yang masih berukuran yuana (juvenile) yang ditangkap, sehingga dapat diketahui proporsi ikan yuana (juvenile) terhadap ikan hasil tangkapan dari suatu alat tangkap.Selain itu, dapat juga melalui pendekatan purposive sampling, yakni dengan menghubungi dan mewawancarai responden yang dianggap memiliki informasi dan pengetahuan yang luas tentang perkembangan hasil tangkapan ikan di perairan yang sedang diamati. Frekuensi survei untuk mendapatkan data indikator tersebut sebaiknya dilakukan setiap tahun. 3.4.
Metode analisis data indikator
Metode yang digunakan untuk analisis proporsi ikan yuwana (juvenile) ialah dengan membuat data komposisi (persentase) spesies yang termasuk ukuran yuwana dari hasil tangkapan berdasarkan alat tangkap tertentu, baik dalam bentuk tabel maupun grafik. Penentuan kriteria dari proporsi ikan yuwana (juvenile) dari hasil tangkapan keseluruhan ialah sebagai berikut: 1 = banyak sekali (> 60%) 2 = banyak (30 - 60%) 3 = sedikit (<30%) 4. ENDANGERED SPECIES, THREATENED SPECIES, AND PROTECTED SPECIES (ETP) 4.1.
Definisi dan unit indikator
Definisi Endangered species, Threatened species, and Protected Species berdasarkan kategori IUCN Red List adalah: Endangered (EN) atau Genting species yaitu
kategori yang diterapkan pada takson yang tidak termasuk dalam Critically endangered namun mengalami resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dan dimasukkan ke dalam kategori Extinct in the Wild jika dalam waktu dekat tindakan perlindungan yang cukup berarti tidak dilakukan. Dalam keadaan demikian suatu takson termasuk dalam kategori Endangered species pada yakni populasi berkurang sebagai akibat dari salah satu keadaan dimana dari hasil pengamatan, diduga disimpulkan atau dicurigai paling sedikit terjadi penurunan sebanyak 50% selama 10 tahun terakhir atau tiga generasi atau satu waktu diantara keduanya yang lebih lama berdasarkan salah satu hal berikut (IUCN, 2001): a. Observasi Langsung b. Indeks kepadatan yang tepat bagi takson dengan populationviability analysis? c. Penurunan wilayah yang ditempati, luas wilayah keberadaan dan kualitas habitat d. Tingkat eksploitasi (aktual) saat ini dan kemungkinan eksploitasi (di masa depan) e. Pengaruh takson introduksi, persilangan, patogen, polutan, kompetitor dan parasit. Threatened species yaitu spesies yang tidak termasuk kategori Critically endangered, endangered, maupun Vulnerable, namun memiliki peluang yang besar, atau sewaktu-waktu dapat masuk kategori Threatened species. Sedangkan Protected Species ialah species yang karena keberadaannya di alam sudah kritis atau hampir punah maka dilindungi oleh undang-undang dalam hal pemanfaatannya (IUCN, 2001) Unit indikator yang digunakan pada indicator Endangered species, Threatened species, and Protected Species (ETP) ini adalah densitas spesies tersebut di perairan yang diamati (individu/m2). 4.2.
Tujuan dan interpretasi indikator
Tujuan dari indikator Endangered species, Threatened species, and Protected Species (ETP) ini ialah untuk melihat dampak yang ditimbulkan terhadap spesies ETP akibat kegiatan penangkapan dengan alat tertentu di sebuah wilayah. Interpretasi indikator ETP ini adalah jika sebuah kegiatan penangkapan memberikan dampak negatif terhadap spesies ETP (yakni: ada
spesies ETP yang tertangkap sebagai by-catch maupun ditangkap sebagai target), maka kegiatan penangkapan tersebut bersifat tidak sustainable dan memiliki skor yang rendah. 4.3.
Metode pengumpulan data indikator
Data yang diperlukan untuk indikator kategori Endangered species, Threatened species, and Protected Species (ETP) adalah data jumlah hasil tangkapan kapal yang termsuk pada kategori kategori Endangered species, Threatened species, and Protected Species berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa terdapat 7 jenis ikan (pisces), dan kategori IUCN Red List (http://www.iucnredlist.org/),. Data dapat diperoleh dari data sekunder (yakni: laporan dinas kelautan dan perikanan setempat, statistik perikanan tangkap setempat, dan log book penangkapan ikan dari nelayan setempat) dan data primer (yakni: melakukan wawancara dengan nelayan untuk mendapatkan informasi tentang jenis ikan hasil tangkapan berdasarkan jenis alat penangkapan ikan dan kelompok ukuran kapal yang ada yang ada). Selain itu, juga dilakukan observasi langsung di perairan yang diamati untuk melihat trend jumlah populasi ikan yang termasuk kategori Endangered species, Threatened species, and Protected Species berdasarkan metode survey yang sama dengan metode survey dengan ikan karang Metode yang digunakan untuk pengumpulan data indikator ini adalah dengan metode survei. Survei untuk mendapatkan data atau informasi tentang ikan yang termasuk kategori Endangered species, Threatened species, and Protected Species berdasarkan jenis alat penangkapan ikan dan kelompok ukuran kapal yang ada, dilakukan dengan pendekatan purposive sampling, yakni pemilihan sampel dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan responden yang akan diwawancarai dianggap memiliki informasi yang cukup tentang produksi hasil tangkapan ikannya. Frekuensi survei untuk mendapatkan data atau informasi tersebut sebaiknya dilakukan secara tahunan. 4.4.
Metode analisis data indikator
Metode yang digunakan untuk menganalisis data yang dihasilkan dari pengamatan biota Endangered species, Threatened species, and Protected Species agar lebih
memstikan ialah dengan membandingkan ikan hasil tangkapan dengan daftar organisme yang masuk IUCN serta Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa terdapat 7 jenis ikan (pisces). Kemudian dulakukan analisis komposisi hasil tangkapan ikan yang ternmasuk kategori Endangered species, Threatened species, and Protected Species secara tahunan agar dapat terlihat trend jumlah populasi spesies ETP yang ditangkap / tertangkap. Kriteria yang digunakan untuk memberikan penilaian terhadap penangkapan pada suatu perairan ialah dengan poin sebagai berikut: 1= banyak (> 3 ekor) tangkapan spesies ETP 2= sedikit (1 - 3 ekor) tangkapan spesies ETP 3 = tidak ada (0 ekor) spesies ETP yang tertangkap Tabel 8.4 Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa terdapat 7 jenis ikan (pisces) dilindungi undang-undang, berikut perbaikan nama latin spesies sesuai dengan analisis taksonomi terkini (sumber: www.fishbase.org).
Nama Ilmiah
No
Nama Indonesia
nama ilmiah
Ikan
1
Homaloptera gymnogaster
Selusur Maninjau
2
Latimeria chalumnae
Ikan raja laut
3
Notopterus spp.
Belida Jawa, Lopis Jawa (semua jenis Notopterus)
4
Perbaika n terha dap
Pritis spp.
dari
genus
Pari Sentani, Hiu Sentani (semua jenis dari genus Pritis)
5
Puntius microps
Wader goa
6
Scleropages formasus
Peyang malaya, Tangkelasa
7 8
Scleropages jardini
Arowana Irian, Peyang Irian, Kaloso
Anthiphates spp.
Akar bahar, Koral hitam (semua jenis dari genus Anthiphates)
Mollusca 1
Birgus latro
Ketam kelapa
2
Cassis cornuta
Kepala kambing
3
Charonia tritonis
Triton terompet
Hippopus hippopus
Kima tapak kuda, Kima kuku beruang
4 5
Hippopus porcellanus
Kima Cina
6
Nautilus popillius
Nautilus berongga
7
Tachipleus gigas
Ketam tapak kuda
8
Tridacna crocea
Kima kunia, Lubang
9
Tridacna derasa
Kima selatan
10 Tridacna gigas
Kima raksasa
11 Tridacna maxima
Kima kecil
12 Tridacna squamosa
Kima sisik, Kima seruling
13 Trochus niloticus
Troka, Susur bundar
14 Turbo marmoratus
Batu laga, Siput hijau
Mamalia 1
Genusnya musculus
apa? Paus biru
2
Genusnya physalu
apa? Paus bersirip
3
Genusnya apa? Paus bongkok novaeangliae
4
Dugong dugon
Duyung
5
Tachypleus gigas
Ketam tapak kuda
6
Paus dan lumba-lumba (semua spesies dari ordo cetacea)
7
Lumba-lumba air laut (semua jenis dari famili Dolphinidae)
8
Paus berparuh (semua jenis dari famili Ziphiidae) Reptil Dermochelys coriacea
Penyu belimbing
1 2
Caretta caretta
Penyu tempayan
3
Chelonia mydas
Penyu hijau
Eretmochelys imbricata
Penyu sisik
4
Lepidodhelys olivacea
Penyu ridel
5
CATCH PER UNIT EFFORT (CPUE) BAKU 4.5.
Definisi dan unit indikator
Catch per unit effort (CPUE) didefinisikan sebagai laju tangkap perikanan per tahun yang diperoleh dengan menggunakan data time series, minimal selama lima (5) tahun. Effort atau upaya penangkapan ikan didefinisikan sebagai jumlah waktu yang dihabiskan untuk menangkap ikan di wilayah perairan tertentu.Satuan yg lebih cocok untuk mengukur effort adalah waktu yang benar-benar dihabiskan untuk mengoperasikan alat penangkapan ikan atau lamanya waktu alat penangkapan ikan beroperasi aktif di dalam
air.Namun, unit yang paling umum digunakan untuk satuan effort adalah trip.Trip merupakan istilah yang dipergunakan untuk menyatakan satuan waktu yang dipakai dalam melakukan penangkapan ikan dan kemudian kembali ke pangkalan. Penentuan banyaknya trip penangkapan satu jenis unit penangkapan ikan dalam setahun adalah dengan memperhitungkan bahwa dalam satu tahun unit penangkapan tersebut secara total beroperasi berapa banyak. Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah trip per tahun bagi unit penangkapan ikan di Indonesia adalah faktor kondisi cuaca dan musim, ketersediaan bahan bakar minyak (BBM), dan ketersediaan dana operasional/logistik. Semakin panjang series waktu yang digunakan semakin tajam prediksi yang diperoleh. Cara perhitungannya adalah dengan cara membagi total hasil tangkapan dengan total effort standard. CPUE tertinggi diperoleh jika beberapa nelayan menangkap ikan dalam jumlah banyak dimana penangkapan masih menyisakan ikan yang cukup untuk bereproduksi, berkembang dan mempertahankan tangkapan untuk masa yang datang. Situasi seperti ini merupakan salah satu target pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. CPUE menurun apabila ikan yang tertangkap sudah berkurang dan ikan-ikan berebut untuk bereproduksi/berkembang. Situasi ini disebabkan oleh banyaknya nelayan melakukan penangkapan dalam waktu yang lama atau banyak nelayan yang menggunakan alat tangkap untuk memperoleh ikan paling banyak dan paling cepat beraktifitas Sayangnya para nelayan cenderung terus menangkap ikan karena mereka masih ingin memperoleh pendapatan dan karena harga ikan meningkat sebab mengalami kelangkaan di pasar. Peningkatan harga ini biasanya menyebabkan nelayan harus melaut ke area penangkapan yang baru atau menambah jumlah alat tangkap atau panjang jaring yang diperlukan untuk mendapatkan hasil yang sama. Pada situasi seperti ini rata-rata hasil tangkapan per unit usaha (CPUE) menurun dengan cepat karena nelayan meningkatkan kemampuan menangkap ikan dengan menambah usaha penangkapan dengan cepat dan mengganti alat tangkap yang memiliki ukuran mata jaring yang lebih kecil sehingga mustahil ikan terlepas dari penangkapan dan bisa bereproduksi. Oleh sebab itu CPUE bisa menurun pada titik dimana nelayan terpaksa memburu
ikan-ikan yang tersisa untuk kehidupannya namun siasia yang dapat membuat persediaan ikan semakin kurang dan hampir punah hingga tidak dapat menangkap lagi bahkan hal seperti ini bisa menyebabkan kondisi suatu area akan lebih buruk. Satuan yang digunaka untuk unit indikatoe CPUE ialah (ton/trip). Satuan upaya baku (standard effort) yang paling banyak dipakai didalam analisis CPUE (Catch Per Unit Effort, Hasil tangkap per unit upaya) adalah trip penangkapan. Trip merupakan istilah yang dipergunakan untuk menyatakan satuan waktu yang dipakai dalam melakukan penangkapan ikan dan kemudian kembali ke pangkalan (fishing port). Namun demikian, berhubung trip itu sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti kondisi cuaca dan musim, ketersediaan bahan bakar minyak (BBM), serta ketersediaan dana operasional/logistik, maka nilai effort yang diperoleh dari hasil perhitungan dengan unit trip semata antar berbagai alat tangkap tidak bisa secara langsung dibandingkan untuk analisis, karena satu sama lain belum tentu sama besaran nilai tripnya (misalnya: trip satu hari perahu pukat udang/trawl di Laut Arafura menggunakan kekuatan motor dan BBM yang lebih besar daripada trip satu hari perahu pukat cincin Ikan Lemuru di Selat Bali). Penggunaan nilai nominal jumlah kapal atau perahu sebagai unit effort pun tidak bisa digunakan, karena kekuatan kapal alat tangkap tertentu pada waktu 10 atau 20 tahun yang lalu tidak akan sama dengan kekuatan kapal alat tangkap yang sama di tahun 2011, di mana perkembangan teknologi sudah banyak berperan. Salah satu indikator unit upaya baku (standard effort) yang banyak digunakan di dalam analisis CPUE adalah kekuatan mesin kapal/perahu (PK, Paardekracht, atau HP, Horsepower) yang digunakan kapal/perahu dalam sebuah trip. Sejalan dengan waktu biasanya kekuatan kapal atau perahu nelayan bertambah PKnya. Jika kita menggunakan PK untuk penghitungan standard effort maka perkembangan atau evolusi perikanan akan lebih mudah untuk dideteksi didalam analisis. Unit effort yang digunakan untuk ini adalah PK-hari/tahun, dimana:
Nilai „PK‟ didapat dari jumlah total PK mesin yang digunakan oleh kapal penangkap ikan tersebut didalam kegiatan penangkapannya. Jika dalam
melakukan kegiatan penangkapannya, digunakan dua kapal sekaligus, sebagaimana contohnya perahu slerek/pukat cincin Ikan Lemuru di Selat Bali, maka dihitung total semua PK untuk satu unit kapal/perahu; Contoh: perahu slerek di Selat Bali terdiri dari dua unit perahu: (1) perahu jaring (di tahun 2004 menggunakan 4 mesin, masing-masing 30 PK/mesin, total 120 PK), dan (2) perahu ikan (di tahun 2004 menggunakan 3 mesin, masingmasing 30 PK/mesin, total 90 PK). Dengan demikian, pada tahun 2004 satu unit perahu Slerek di Selat Bali berkekuatan 120 + 90 PK = 210 PK.
Nilai „hari‟ menunjukkan jumlah total hari trip yang dilakukan oleh kapal atau perahu tersebut dalam jangka waktu satu bulan; Contoh: jumlah rata-rata hari trip melaut bagi satu unit perahu Slerek di Selat Bali pada tahun 2004 adalah 15 hari dalam satu bulan.
Parameter „tahun‟ dipenuhi dengan cara mengalikan nilai effort per bulan dengan angka dua-belas (jumlah bulan dalam satu tahun). Contoh: dengan demikian, nilai rata-rata upaya baku (standard effort) untuk satu unit perahu Slerek Ikan Lemuru di Selat Bali pada tahun 2004 adalah: 210 PK x 15 hari x 12 bulan = 37.800 PKhari/tahun. Untuk mengetahui total rata-rata standard effort perikanan Slerek di Selat Bali pada tahun 2004, kita tinggal mengalikan angka 37.800 PKhari/tahun dengan jumlah semua unit perahu Slerek yang benar-benar beroperasi secara aktual (tidak hanya catatan statistik jumlah perahu) di Selat Bali pada tahun 2004.
Untuk menentukan CPUE, maka kita tinggal mencari data hasil tangkapan ikan (dalam unit ton) yang diperoleh dalam satuan unit effort di atas.Dengan demikian besaran CPUE adalah “ton/PK-hari/tahun”.
4.6.
Tujuan dan interpretasi indikator
Kuatnya biomass sebagai biomass,
hubungan antara CPUE dengan status stok ikan, membuat CPUE banyak dipakai pengganti atau proxy untuk parameter manakala data biomass tidak ada.
Tujuan menggunakan indikator perhitungan Catch per unit effort (CPUE) ialah untuk mengetahui trend perubahan status stok ikan perikanan yang ingin kita amati dari waktu ke waktu. Trend CPUE yang menunjukkan kecenderung menurun, bisa dijadikan sebagai indikasi bahwa telah terjadi kecenderungan yang berdampak negatif terhadap stok ikan yang dimaksud, atau bahkan kecenderungan overfishing. 4.7.
Metode pengumpulan data indikator
4.7.1 Data yang tergantung kepada data tangkapan (fisheries dependent data) Data yang diugunakan adalah data statistik resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah berdasarkan datadata tangkapan yang dikumpulkan dari setiap tempat pendaratan ikan.Data ini harus memuat data hasil tangkapan per upaya tangkap (lihat CPUE). Berhubung CPUE Baku ini ditentukan sebagai Killer Indicator di domain SDI ini, maka satu hal yang perlu ditanyakan di dalam wawancara/survey adalah tingkat CPUE minimum yang masih bisa menguntungkan bagi nelayan yang bersangkutan untuk melaut. Tentunya secara operasionalnya di dalam wawancara yang ditanyakan adalah: “Pada tingkat tangkapan minimum berapa ton (atau kwintal, kilogram, keranjang, bakul, dsb.)usaha Bapak/Ibu masih menguntungkan?” Jika berat ikan digambarkan dengan unit proxy, misalnya keranjang; maka tentu perlu dicari tahu berat rata-rata dari setiap keranjang yang biasa digunakan nelayan.Informasi tangkapan minimum ini kemudian dikonversi menjadi nilai CPUE. Informasi yang diperoleh dari pertanyaan ini bisa dijadikan sebagai acuan kasar untuk BEP (break even point) dari usaha penangkapan ikan tersebut. Manakala trend CPUE berada di bawah nilai minimum ini, maka secara umum bisa dianalisis bahwa sebagian besar nelayan akan merugi dan
berpotensi untuk tangkap tersebut.
berhenti
melaut
dengan
alat
Metode yang digunakan untuk pengumpulan data indikator ini adalah dengan metode survei. Survei untuk mendapatkan data atau informasi tentang jumlah hasil tangkapan maksimum untuk setiap kelompok jenis alat penangkapan ikan dan kelompok ukuran kapal yang ada, dilakukan dengan pendekatan purposive sampling, yakni pemilihan sampel dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan responden yang akan diwawancarai dianggap memiliki informasi yang cukup tentang produksi hasil tangkapan ikannya. Frekwensi survei untuk mendapatkan data atau informasi tersebut sebaiknya dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dalam setahun. Hal ini perlu dilakukan dengan mempertimbangkan musim penangkapan ikan dan juga untuk memperoleh data atau informasi terkait Catch per uniteffort yang lengkap. Data yang diperlukan untuk indikator Catch per uniteffort (CPUE) adalah data jumlah hasil tangkapan kapal berdasarkan kelompok jenis alat penangkapan ikan dan kelompok ukuran kapal yang ada, data jumlah trip untuk setiap kelompok jenis alat penangkapan ikan dan kelompok ukuran kapal yang ada, dan data hasil tangkapan maksimum dari setiap kelompok jenis alat penangkapan ikan dan kelompok ukuran kapal yang ada. Data dapat diperoleh dari data sekunder (yakni: laporan dinas kelautan dan perikanan setempat, statistik perikanan tangkap setempat, dan log book penangkapan ikan dari nelayan setempat) dan data primer (yakni: melakukan wawancara dengan nelayan untuk mendapatkan informasi tentang jumlah tangkapan maksimum untuk kelompok jenis alat penangkapan ikan dan kelompok ukuran kapal yang ada yang ada). 4.7.2 Data yang tidak tergantung kepada tangkapan (fisheries independent data)
data
Data ini berdasarkan data hasil survey langsung baik dengan melakukan upaya tangkapan yang menggunakan kapal riset atau hasil wawancara. Data jenis ini juga sering menggunakan data yang bersumber kepada hasil penelitian pada stadia awal kehidupan ikan/early life stages (Heath, 1994).
4.8.
Metode analisis data indikator
Analisis terhadap CPUE Baku dilakukan dengan melihat trend CPUE tersebut dari waktu ke waktu (time series).Perhitungan CPUE dilakukan pada setiap alat tangkap (sesuai contoh di atas) dan hasilnya diplotkan ke dalam grafik untuk melihat trendnya dari tahun ke tahun. Skor untuk penilaian indikator CPUE Baku ini bisa dilakukan dengan melihat pola trendnya dan jika dibutuhkan, analisis regresi bisa dilakukan untuk melihat signifikansi dari kemiringan (slope) trend CPUE Balu tersebut. Pemberian skor terhadap trend CPUE Baku ini adalah: 1 = Trend CPUE Baku menurun tajam 2 = Trend CPUE Baku menurun sedikit 3 = Trend CPUE Baku relatif stabil atau bahkan meningkat Informasi yang diperoleh dari pertanyaan tentang tingkat CPUE minimum berapa yang masih bisa menguntungkan akan membantu evaluator untuk melihat gambaran kelayakan ekonomi (economic viability) dari kegiatan perikanan tersebut. 5. RANGE COLLAPSE SUMBERDAYA IKAN 5.1.
Definisi dan unit indicator
Range collapse adalah suatu fenomena yang umum terjadi pada stok ikan jika stok ikan yang bersangkutan mengalami kondisi overfishing. Secara teknis, range collapse didefinisikan sebagai “a rapid reduction of spatial area occupied by a fish stock” (Pitcher, T.J., pers. comm.) – yakni pengurangan drastis wilayah/ruang spasial ekosistem laut yang biasanya dihuni oleh stok ikan tertentu. Untuk menentukan ada tidak range collapse ini, maka indikator yang paling mudah adalah melihat apakah terjadi indikasi terhadap semakin sulitnya mencari lokasi penangkapan ikan (fishing ground), karena secara spasial, wilayah penangkapan ikan menjadi semakin jauh dari lokasi fishing ground sebelumnya. Unit yang digunakan untuk indikator range collapse sumberdaya ikan ialah dilihat berdasarkan hasil tangkapan per upaya (CPUE) secara temporal dari tahun ke tahun serta seberapa jauh jarak tempuh (mil
atau km) untuk setiap kali trip penangkapan ikan dibandingkan jarak pada tahun-tahun sebelumnya. 5.2.
Tujuan dan interpretasi indikator
Tujuan dari pengamatan indikator range collapse sumberdaya ikan ini adalah untuk melihat dampak yang ditimbulkan terhadap sumberdaya ikan akibat peningkatan tekanan penangkapan ikan (fishing pressure). Sumberdaya ikan yang mengalami range collapse akan semakin “sulit” untuk ditangkap karena telah terjadi “penyusutan” secara spasial dari biomassa stok ikan yang bersangkutan. Adapun faktor iklim (misalnya El Niño, La Niña, dan kenaikan suhu laut) dan faktor oseanografi (misalnya upwelling) yang juga bisa memberikan dampak yang sama terhadap stok ikan, tidak masuk di dalam pertimbangan indikator ini. 5.3.
Metode pengumpulan data indikator
Secara langsung, indikator range collapse harus dianalisis dengan pemodelan kuantitatif yang mungkin implementasinya di lapangan kurang memungkinkan.Namun demikian, secara tidak langsung, proxy terhadap range collapse bisa dilihat dari seberapa sulitnya atau jauhnya nelayan untuk mencari ikan. Informasi proxy terhadap range collapse bisa diambil dengan beberapa cara: (1) survei, (2) catatan jarak tempuh (mil atau km) ke fishing ground di dalam logbook, dan (3) wawancara dengan nelayan. Pengumpulan data yang mana nantinya ditujukan untuk analisis kuantitatif, bisa dilakukan dengan pemetaan perubahan spasial dari lokasi daerah penangkapan ikan secara time-series, diantaranya melalui survei akustik atau community mapping. Adapun jika metode pengumpulan data untuk analisis kuantitatif tidak bisa dilakukan, maka data bisa dikumpulkan untuk analisis kualitatif melalui wawancara (secara purposive sampling) dengan pertanyaan sebagai berikut: “Apakah ada indikasi bahwa mencari daerah penangkapan ikan menjadi semakin sulit/jauh?” Cakupan terhadap proxy indikator range collapse juga bisa dilihat dari seberapa banyak ikan (ton atau kg) yang bisa ditangkap untuk satuan jarak tempuh atau
upaya penangkapan yang sama.Frekuensi survei untuk mendapatkan data atau informasi tersebut sebaiknya dilakukan secara tahunan. 5.4.
Metode analisis data indikator
Metode yang digunakan untuk analisis dapat dilakukan secara kuantitatif berdasarkan hasil pemetaan perubahan spasial dari lokasi daerah penangkapan ikan secara time-series, diantaranya melalui survei akustik atau community mapping. Hasil pemetaan bisa dianalisis berdasarkan perubahan jarak ke lokasi fishing ground dan pemberian skoring.Adapun hasil wawancara untuk melihat apakah ada indikasi bahwa semakin sulit/ jauh dalam hal mencari daerah penangkapan ikan (fishing ground) dipergunakan untuk proses analisis kualitatif, dimana jawaban responden dikelompokan menjadi tiga kelompok sesuai dengan kriteria skoring: 1 = semakin sulit; 2 = relatif tetap; 3 = semakin mudah 8.2.7 Pemantauan Lingkungan Pemantauan lingkungan dalam dokumen ini, secara khusus meliputi kegiatan analisis kualitas air sebagai dasar pemantauan.Karakteristik perairan yang akan diukur, saat ini sering dikenal dengan parameter. Parameter kualitas air yang umumnya diukur terbagi atas tiga jenis. Ketiga jenis parameter tersebut antara lain adalah parameter fisika, kimia dan biologi. Parameter fisika terdiri atas temperatur, warna, aroma, kecerahan, kekeruhan, daya hantar listrik, total padatan terlarut dan total padatan tersuspensi. Parameter kimia tediri atas oksigen terlarut, biological oxygen deman, chemical oxygen demand, alkalinitas, kesadahan, total bahan organik, sulfida, sulfat, nitrogen, phosphat, silika, besi dan salinitas, sedangkan parameter biologi terdiri atas plankton, bentos dan perifiton (Hariyadi dkk., 1992). Perairan merupakan salah satu lingkungan hidup yang didiami oleh berbagai jenis biota akuatik yang saling berinteraksi.Daya dukung lingkungan perairan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh sangat besar terhadap kehidupan biota yang mendiami perairan tersebut.Berbeda dengan biota terestrial, sebagian dan/atau secara keseluruhan siklus hidup biota akuatik berada di air dan
keseluruhan metabolisme serta fisiologi biota tersebut dipengaruhi oleh karakteristik air. Oleh sebab itu, sedikit perubahan karakteristik atau kualitas perairan oleh berbagai aktivitas akan mempengaruhi kondisi biota akuatik tersebut. Perairan, sama halnya dengan udara, memiliki sifat cepat berubah, terutama pada perairan yang tidak tergenang. Segala bentuk usaha dan/atau kegiatan yang dilakukan disekitar wilayah perairan dan/atau pada daerah yang relatif jauh dari wilayah tersebut, secara langsung maupun tidak langsung memberikan dampak yang berbeda terhadap kualitas perairan.Oleh karena itu, penentuan instrumen/parameter dan inepretasi kondisi perairan membutuhkan ketrampilan yang baik, baik dalam penentuan parameter maupun penggunaan peralatan serta intepretasi hasil pengamatan. Kegiatan pemantauan kualitas air dapat dilakukan secara terjadwal dan/atau secara bersamaan ketika dilakukan pemantauan ekosistem dan sumberdaya ikan. Parameter kualitas air KKPD Kabupaten Alor sebagai bagian dari pemantauan lingkungan adalah sebagai berikut: 1) Parameter fisika, meliputi: Suhu. Satuan suhu umumnya dinyatakan dalam derajat celsius. Pengukuran suhu perairan pada kedalaman tetentu menggunakan reversing thermometer, thermophone, atau thermistor (APHA, 1976 dalam Effendi, 2000) dan dilakukan secara insitu. Pengukuran suhu perairan disamping menggunakan thermometer, juga dapat dilakukan dengan menggunakan DO-meter yang didalamnya telah diperuntukkan juga untuk pengukuran suhu. Pada umumnya, pengukuran suhu dengan thermometer memiliki akurasi yang lebih tinggi mengingat, DO-meter sering mengalami perubahan apabila beberapa komponen di dalamnya telah menunjukkan kondisi yang tidak sesuai. Kekeruhan. Kekeruhan suatu perairan memiliki hubungan yang erat dengan kandungan padatan tersuspensi. Secara umum, kekeruhan suatu perairan sangat dipengaruhi oleh plankton dalam berbagai jenis, pasir, lumpur, dan bahan-bahan organik. Pengukuran kekeruhan dilakukan dengan menggunakan Turbidity meter, dengan satuan kekeruhan JTU (Jackson Turbidity Unit), FTU (Formazin Turbidity Unit) atau NTU (Nephelometric Turbidity Unit). Satuan pengukuran sangat
ditentukan oleh alat yang digunakan pada saat pengukuran dilakukan. Padatan tersuspensi total (TSS). Padatan tersuspensi, yang juga dikenal sebagai Total Suspended Solid (TDS) adalah keseluruhan bahanbahan tersuspensi yang tidak larut dalam air. Bahan-bahan tersebut tertahan pada kertas Millipore dengan ukuran pori-pori 0,45 µm. Cara penentuan TSS sering digabungkan dengan penentuan Total Desolved Solid (TDS) atau total padatan yang terlarut dalam air (Haryadi dkk., 1992).
2) Parameter kimia, meliputi:
Oksigen terlarut. Oksigen terlarut, secara sederhana, didefinisikan sebagai okesigen yang terlarut pada perairan. Sama halnya organisme terestrial, organisme akuatik membutuhkan oksigen untuk aktivitas hidupnya. Pengukuran oksigen terlarut di perairan dilakukan dengan menggunakan DO-meter dan/atau penentuan oksigen secara titrimeter dilakukan dengan metoda standar Winkler atau juga metoda Iodometeri. Biological Oxygen Demand (BOD) merupakan oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik yang ada di perairan.COD menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi secara kimiawi bahan organik, baik yang bisa didegradasi secara biologis maupun yang sukar didegradasi secara biologis, menjadi CO2 dan H2O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang diperlukan dalam mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988). Kadar garam (salinitas), dikenal dengan salinitas, padatan total di dalam air setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida telah diganti oleh klorida dan semua bahanbahan organik telah dioksidasi. Pengukuran kadar garam menggunakan hand refraktometer. pH (derajad keasaman). Pengukuran pH dilakukan pada aktivitas ion H+, dengan rumus pH=-Log [H+}, dimana [H+] adalah aktivitas ion H+. pH>7 dinyatakan sebagai basa, dan pH<7 dinyatakan sebagai asam. Pengukuran pH air dapat dilakukan dengan menggunakan kertas lakmus dan pH meter.
3) Parameter biologi yang diamati berupa plankton.