DINAMIKA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DAN STRATEGI PENGEMBANGANNYA DI KABUPATEN BOGOR
AHMAD SYAHRU MAULUDI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Dinamika Pengelolaan Hutan Rakyat dan Strategi Pengembangannya di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Ahmad Syahru Mauludi NIM E151100071
RINGKASAN AHMAD SYAHRU MAULUDI. Dinamika Pengelolaan Hutan Rakyat dan Strategi Pengembangannya di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh HARDJANTO dan YULIUS HERO. Usaha hutan rakyat telah berlangsung sejak lama dan tetap berjalan sampai saat ini. Tujuan penelitian ini untuk mengungkap perkembangan pengelolaan hutan rakyat dari masa ke masa dalam konteks kebijakan, praktek pengelolaan dan strategi pengembangannya di Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilaksanakan selama 7 bulan pada bulan Maret–September 2013. Perkembangan kebijakan pengelolaan hutan rakyat diperoleh dengan analisis isi dan kecenderungan terhadap dokumen/data sekunder yang memuat kebijakan pengelolaan hutan rakyat. Metode sejarah digunakan untuk mengidentifikasi perkembangan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bogor. Strategi pengembangan pengelolaan hutan rakyat dihasilkan dari analisis SWOT dan QSPM. Hasil penelitian perkembangan kebijakan pengelolaan hutan rakyat menunjukkan bahwa kegiatan “Gerakan Karang Kitri” (1952–1958) merupakan langkah awal pemerintah Indonesia dalam mendorong terbentuknya hutan rakyat terutama di Jawa. Gerakan ini bersifat instruksi agar masyarakat menanam bibit pohon pada lahan milik masyarakat (pekarangan) yang tidak produktif. Kegiatan utama penanaman yang bersifat instruksi berlanjut dengan kegiatan Deptan 001–022 (1966–1973), RAKGANTANG (1972–1975), Inpres Penghijauan (1974–1983), Sengonisasi (1988–1993), dan GERHAN (2003– 2007). Sedangkan kegiatan persemaian dan bantuan kredit sampai tahun 2007 merupakan kegiatan pendukung. Kegiatan persemaian yang menjadi kegiatan utama adalah Kebun Bibit Rakyat dimulai tahun 2010 sampai saat ini. Berdasarkan perkembangan pengelolaan hutan rakyat, keberadaan dudukuhan (tegakan pohon yang didominasi buah-buahan) di masa Orde Lama tidak mendorong munculnya industri kayu. Karena kebutuhan sehari-hari masyarakat hanya sebatas kayu bakar dan perumahan sederhana dan sudah terpenuhi dari dudukuhan. Program penghijauan tahun 1952 sampai tahun 1980an belum banyak mendorong masyarakat dalam usaha hutan rakyat. Meningkatnya harga kayu rakyat tahun 1990-an dan sengonisasi telah mendorong masyarakat untuk menanam sengon. Kemudian tahun 2000-an banyak lahan pertanian dan dudukuhan berubah menjadi hutan rakyat sengon karena usaha pertanian tidak lagi menguntungkan dan kebutuhan industri kayu yang semakin meningkat. Hal tersebut semakin menarik investor perorangan dan korparasi untuk melakukan kemitraan dengan petani dalam usaha produksi hutan rakyat. Berdasarkan hasil analisis SWOT dan QSPM dapat dirumuskan strategi pengembangan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bogor, yaitu: 1) Membangun pondasi ekonomi petani yang kuat dengan pola agroforestry; 2) Meningkatkan kapasitas kelompok petani dalam pengembangan komoditas unggulan pada lahan-lahan non produktif; 3) Pola pengembangan hutan rakyat melalui subsidi ini masih perlu dilakukan; dan 4) Meningkatkan peran pemerintah dalam memfasilitasi peningkatan kemitraan hutan rakyat dalam produksi hutan rakyat. Kata kunci: hutan rakyat, kebijakan, metode sejarah, strategi pengembangan
SUMMARY AHMAD SHAHRU MAULUDI. Dynamics of Community Forest Management and Development Strategies in the Bogor Regency. Supervised by HARDJANTO and YULIUS HERO. Community forest businesses have existed for a long time and are still running up to now. This research aims to expose the development s of community forest management in the course of time, in the context of policies, management practices and development strategies in the Bogor Regency. This research was conducted over seven months from March–September 2013. Developments of community forest management policies are obtained through content and tendency analyses of secondary documents/data which contain policies of community forest management. The historical method is used to identify the developments of community forest management in the Bogor Regency. Development strategies of community forest management are obtained through SWOT and QSPM analyses. Research findings of the development of community forest management policies indicate that activities of “Gerakan Karang Kitri”—Karang Kitri Movement (1952–1958) were the initial steps of the Indonesian Government in pushing for the establishment of community forests, especially on Java. This movement was in the form of an instruction so that the people would grow tree seedlings on community-owned fields (their own gardens) which were not productive. The main activity of planting based on instruction continued with actions from the Department of Agriculture 001-022 (1966–1973), Presidential Instruction on Greening (1974–1983), Sengon-ization (1988–1993) and GERHAN—Movement of Forest and Land Rehabilitation (2003–2007). Meanwhile, nursery activities and loan support until 2007 were auxiliary activities. Nursery activities, which was the main program of Kebun Bibit Rakyat (Community Seedling Gardens) started in 2010 and are continuing up to now. Based on community forest management developments, the existence of dudukuhan (the tree stands are dominated by fruit trees) during the Orde Lama (Old Order) period did not lead to the emergence of the wood industry, because he people’s daily needs were limited to firewood and simple housing, which were already fulfilled with dudukuhan. The greening program from 1952 to the 1980ies was not much to push the people towards community forest businesses. The price increase of community wood in the 1990-ies and the sengon-ization program stimulated the people to plant sengon trees (Parasarianthes falcataria). Then in the year 2000 and up, many agricultural fields and dudukuhan changed into sengon community forests, as the agricultural business was not profitable anymore and demand for wood industry was on the increase. This matter increasingly attracted individual investors and corporations to establish partnerships with farmers in the community forest business. Based on the SWOT and QSPM analyses, development strategies of community forest management in the Bogor Regency can be formulated as follows: 1) Develop a strong farmers economic foundation with the agro-forestry pattern; 2) Increase the capacity of farmers groups to develop prime commodities on non-productive land; 3) The pattern of community forest development through this subsidy is still to be done; and 4) Increase the Government’s role in facilitating an increase of community forest partnership in community forest production. Key words: community forests, policies, historical method, development strategies
©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DINAMIKA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DAN STRATEGI PENGEMBANGANNYA DI KABUPATEN BOGOR
AHMAD SYAHRU MAULUDI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr.Ir.Leti Sundawati, M.Sc.F.Trop.
Judul Tesis : Dinamika Pengelolaan Hutan Rakyat Pengembangannya di Kabupaten Bogor Nama : Ahmad Syahru Mauludi NIM : E151100071
dan
Strategi
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS Ketua
Dr. Ir. Yulius Hero, M.Sc.F.Trop. Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Tatang Tiryana, S.Hut, M.Sc.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 18 Juli 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 sampai dengan September 2013 yang berjudul Dinamika Pengelolaan Hutan Rakyat dan Strategi Pengembangannya di Kabupaten Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Hardjanto, MS dan Bapak Dr Ir Yulius Hero, MScFTrop selaku pembimbing, serta Ibu Dr Ir Leti Sundawati, MScFTrop yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Ida Manik dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, Bapak Demus Silaen, Bapak Arta Kasmin, dan Bapak Haerudin Penyuluh Kehutanan dari BKP5K Kabupaten Bogor, Bapak Dondi (Bagian Program BKP5K), Bapak Diding Suhardiwan, Bapak Nana Rusnawan, dan Bapak Beny dari BP2HP Wil VII, Bapak Maman S dari BPDAS Citarum Ciliwung, Bapak H. Sahir, Alm, Bapak Nurjen dan Bapak Odjim (Leuwi Batu Rumpin), Bapak Enjen (Jugalajaya Jasinga), H Halim (Parung Panjang), H. Encep (Gunung Bunder), Usa (Situ Udik) dan lain-lain yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, istri serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014 Ahmad Syahru Mauludi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL .......................................................................................... DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. DAFTAR AKRONIM .................................................................................... 1 PENDAHULUAN .................................................................................... Latar Belakang ......................................................................................... Perumusan Masalah ................................................................................... Tujuan Penelitian ....................................................................................... Manfaat Penelitian ..................................................................................... 2 METODOLOGI PENELITIAN ................................................................ Kerangka Pemikiran Penelitian ................................................................ Metode Penelitian ...................................................................................... Analisis Isi dan Kecenderungan ........................................................... Metode Sejarah ..................................................................................... Analisis Strategi Pengembangan .......................................................... 3 PERKEMBANGAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT ................................................................................... Kerangka Konsep Perkembangan Kebijakan Pengelolaan Hutan Rakyat Substansi Perkembangan Kebijakan Pengelolaan Hutan Rakyat .............. Tinjauan sebelum Kemerdekaan........................................................... Masa Orde Lama (1945–1965) ............................................................. Periode Direktorat Jenderal Kehutanan di Orde Baru (1966–1983) .... Periode Departemen Kehutanan di Orde Baru (1984–1997)................ Masa Reformasi (1998 – sekarang) ...................................................... Kecenderungan Kebijakan Pengelolaan Hutan Rakyat ............................. 4 PERKEMBANGAN PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT ................... Kerangka Konsep Perkembangan Pengelolaan Hutan Rakyat .................. Kelola Sumberdaya ................................................................................... Masa sebelum Kemerdekaan ............................................................... Masa Orde Lama (1945–1965) ............................................................. Periode Direktorat Jenderal Kehutanan di Orde Baru (1966–1983) .... Periode Departemen Kehutanan di Orde Baru (1984–1997)................ Masa Reformasi (1998 – sekarang) ...................................................... Kelola Produksi ......................................................................................... Masa sebelum Kemerdekaan ............................................................... Masa Orde Lama (1945–1965) ............................................................. Periode Direktorat Jenderal Kehutanan di Orde Baru (1966–1983) .... Periode Departemen Kehutanan di Orde Baru (1984–1997)................ Masa Reformasi (1998 – sekarang) ...................................................... Kelola Sosial.............................................................................................. Masa sebelum Kemerdekaan ............................................................... Masa Orde Lama (1945–1965) ............................................................. Periode Direktorat Jenderal Kehutanan di Orde Baru (1966–1983) .... Periode Departemen Kehutanan di Orde Baru (1984–1997)................ Masa Reformasi (1998 – sekarang) ......................................................
v vi vii vii 1 1 2 2 2 2 2 3 3 4 6 8 8 8 8 11 13 23 27 33 34 34 37 37 39 40 42 42 43 43 44 44 45 48 54 54 54 55 55 56
Kelola Ekologi .......................................................................................... Masa sebelum Kemerdekaan ............................................................... Masa Orde Lama (1945–1965) ............................................................ Periode Direktorat Jenderal Kehutanan di Orde Baru (1966–1983) .... Periode Departemen Kehutanan di Orde Baru (1984–1997) ............... Masa Reformasi (1998 – sekarang) ..................................................... 5 STRATEGI PENGEMBANGAN PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT .................................................................................................. Kerangka Konsep Strategi Pengembangan Pengelolaan Hutan Rakyat ... Identifikasi Faktor Berdasarkan Aspek Sumberdaya Lahan..................... Identifikasi Faktor Berdasarkan Aspek Produksi Hutan Rakyat .............. Identifikasi Faktor Berdasarkan Aspek Sosial Hutan Rakyat ................... Strategi Pengembangan Pengelolaan Hutan Rakyat ................................. SIMPULAN DAN SARAN........................................................................... SIMPULAN .............................................................................................. SARAN ..................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... LAMPIRAN .................................................................................................. RIWAYAT HIDUP .......................................................................................
57 57 58 58 58 59 60 60 60 63 64 67 70 70 70 71 76 84
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Kategori Responden ............................................................................. Matrik faktor internal dan eksternal ..................................................... Matriks QSPM ...................................................................................... Substansi kebijakan pengelolaan hutan rakyat ..................................... Luas DAS dan lahan kritis di Provinsi Jawa Barat .............................. Prosentase luas lahan kritis di Provinsi Jawa Barat ............................. Realisasi tanaman penghijauan DAS Ciliwung/Cisadane (Deptan 018) Realiasi ‘RAKGANTANG’ Provinsi Jawa Barat tahun 1972–1975 .. Program Bantuan Inpres Penghijauan (Penanaman) di Kab. Bogor .... Rencana dan Realisasi Penghijauan di Provinsi Jawa Barat ................ Hasil Pemeriksaan Realisasi Penghijauan di Kab. Bogor (Pelita III) .. Proyek pengembangan penghijauan dengan Pola Panawangan ........... Kegiatan Kelompok Penghijauan Seksi Pengembangan Hutan Rakyat Tahun 1996–1998 ......................................................... Kegiatan tanaman hutan rakyat dalam GERHAN 2005–2007 ............ Kerangka analisis perjalanan pengelolaan hutan rakyat ....................... Penggunaan lahan kering di Kabupaten Bogor tahun 1989–1989 ....... Perkembangan industri pengolahan kayu (primer dan sekunder) di Kabupaten Bogor.............................................................................. Unit usaha industri penggergajian tahun 2008 di Kabupaten Bogor .... Sortimen dan harga kayu Sengon sampai di industri ........................... Luas penggunaan lahan kering di Bogor di Kabupaten Bogor Tahun 2011 ........................................................................................... Jumlah lahan kritis menjadi peluang untuk dijadikan hutan rakyat di Kabupaten Bogor..............................................................................
4 6 7 8 15 16 16 17 19 20 21 22 26 30 36 46 51 52 53 61 62
22 Perkembangan komoditas unggulan kayu rakyat tahun 2005–2012 di Kabupaten Bogor ............................................................................. 23 Perkembangan kelembagaan pemerintah terkait hutan rakyat ............. 24 Banyaknya kelompok tani binaan penyuluh kehutanan Kab Bogor .... 25 Faktor strategis dalam pengembangan pengelolaan hutan rakyat ........ 26 Matriks analisis SWOT perumusan alternative strategi pengembangan pengelolaan hutan rakyat ............................................ 27 Prioritas strategi pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Bogor berdasarkan analisis QSPM .................................................................
64 65 66 67 68 69
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka Pemikiran Penelitian............................................................ 2 Perkembangan bentuk program/kegiatan pengelolaan hutan rakyat.... 3 Perkembangan sifat dari bentuk program/kegiatan pengelolaan hutan rakyat .......................................................................................... 4 Perkembangan penggunaan lahan hutan rakyat di Kabupaten Bogor.. 5 Perubahan luas hutan rakyat era reformasi di Kabupaten Bogor ......... 6 Perkembangan luas hutan rakyat yang tumbuh tanaman bambu dan berkayu di Kabupaten Bogor ............................................................... 7 Perkembangan produksi kayu rakyat di Kabupaten Bogor .................. 8 Skema pemasaran kayu rakyat di Kabupaten Bogor ........................... 9 Kerangka Analisis Strategi Pengembangan Hutan Rakyat .............
3 33 34 46 48 50 51 53 60
DAFTAR LAMPIRAN 1 Kebijakan pemerintah pada era Orde Lama. ................................... 2 Kebijakan pemerintah pada era Orde Baru........................................ 3 Target penyelenggaraan kebijakan GERHAN tingkat nasional ......
77 78 81
DAFTAR AKRONIM AIK Balitbang Pertanian BPS Kab. Bogor BRLKT Dephut Dishut Jabar Dishutbun Bogor
: : : : : : :
Akademi Ilmu Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Departemen Kehutanan Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bogor Diskop Perindag Bogor : Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor Distanhut Bogor : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor Ditjen : Direktorat Jenderal
Ditjen RRL Dit PT Dit RR FAO HGU KanwilhutJabar KOGM KTH P3RP DAS PHTA PLP PPN PPTK PRP Djabar RAKGANTANG UP-UPSA UUPA UUPK VOC
: Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan : Direktorat Penggunaan Tanah : Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi : Food and Agriculture Organization Of The United Nations : Hak Guna Usaha : Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Jawa Barat : Kegiatan Operasi Gerakan Makmur : Kelompok Tani Hutan : Proyek Perencanaan dan Pembinaan Reboisasi dan Penghijauan Daerah Aliran Sungai : Penyelamatan Hutan Tanah dan Air : Petugas Lapangan Penghijauan : Pekan Penghijauan Nasional : Percobaan Perusahaan Tanah Kering : Projek Reboisasi dan Penghidjauan Propinsi Djawa Barat : Gerakan Gandrung Tatangkalan (Gerakan Cinta Pepohonan) : Unit Percontohan Usaha Pelestarian Sumberdaya Alam : Undang-Undang Pokok Agraria : Undang-Undang Pokok Kehutanan : Vereenig-de Oots-Indische Compagnie
1
1
PENDAHULUAN Latar Belakang
Besarnya laju kerusakan hutan dan melemahnya dunia usaha sektor kehutanan berbasis hutan produksi 1 pada dasarnya merupakan potret sejarah panjang pengelolaan hutan di Indonesia. Dimulai jaman penguasaan para raja, kemudian penjajahan Belanda (1819–1942), dilanjutkan penguasaan Jepang (1942–1945) adalah masa suram pengelolaan hutan di Indonesia. Eksploitasi besar-besaran terjadi pada periode penguasaan Belanda dan Jepang untuk kepentingan ekonomi kerajaan Belanda dan sarana pendukung perang bagi Jepang pada waktu itu (Dephut 1986). Eksploitasi hutan terjadi juga pada masa orde baru dan masa reformasi. Berdasarkan catatan FAO (2010) Indonesia mengalami penurunan luas hutan terbesar ketiga setelah Brasil dan Australia selama tahun 2000–2010. Menurut Nurjaya (2005) penurunan luas tersebut terjadi karena kebijakan pemberian konsesi pengusahaan hutan yang tidak terbuka, tidak seletif, dan lemahnya aspek pengawasan dan penegakan hukum. Dalam kondisi keterpurukan kelestarian hutan produksi, usaha hutan rakyat yang telah berlangsung sejak lama tetap berjalan sampai saat ini. Bertahannya usaha hutan rakyat ini telah menjadi pembahasan banyak pihak. Sampai saat ini keberadaannya semakin diakui terutama di Pulau Jawa. Keberadaannya tidak semata-mata faktor alami antara komponen biofisik, tetapi karena adanya praktek pengelolaan hutan rakyat oleh masyarakat dan berbagai kebijakan pemerintah dalam penghijauan lahan milik (Mardikanto 1995). Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu Kabupaten yang memiliki potensi hutan rakyat cukup baik. Keberadaannya sebagai dampak dari kebijakan dan praktek pengelolaan hutan rakyat belum banyak terungkap. Studi dinamika pengelolaan hutan rakyat untuk mengungkap keberadaannya di masa lalu dan bagaimana perjalanan sejarah pengelolaan hutan rakyat sangatlah penting dilakukan. Kemudian, perkembangan pengelolaan hutan rakyat dari waktu ke waktu dalam konteks kelola produksi, sosial dan ekologi belum terungkap terutama terkait dengan kegiatan pengelolaan hutan yang ada di masyarakat. Semuanya itu penting untuk dilakukan penelusuran sejarah tentang praktek-praktek pengelolaan hutan rakyat oleh masyarakat. Selain itu, berbagai kebijakan yang telah mendorong praktek-praktek pengelolaan hutan rakyat oleh masyarakat merupakan hal yang tidak kalah penting untuk diungkap. Penelusuran sejarah ini merupakan salah satu upaya yang dapat membantu pengembangan hutan rakyat, terutama dalam menyusun strategi pengembangannya. Strategi ini ditujukan untuk pemerintah pusat dan daerah dalam pengembangan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bogor.
1
Hutan yang pengurusannya oleh negara dan diusahakan dalam bentuk hak pengusahaan hutan oleh perusahaan yang padat modal yaitu BUMN dan BUMS.
2
Perumusan Masalah Dalam perjalanannya pengelolaan hutan rakyat dihadapkan oleh perkembangan berbagai peristiwa (kebijakan dan non kebijakan) penting dari waktu ke waktu. Perkembangan peristiwa penting seperti perubahan program penghijauan, perubahan tataniaga kayu, krisis moneter, otonomi daerah merupakan faktor-faktor kebijakan dan non kebijakan yang telah membawa perubahan pengelolaan hutan rakyat. Keberadaan hutan rakyat yang saat ini semakin diakui merupakan hasil sejarah panjang pengelolaan hutan rakyat. Tidak bisa dipungkiri bahwa kebijakan pemerintah yang merupakan kebijakan publik dan adanya praktekpraktek pengelolaan hutan rakyat oleh masyarakat yang telah berlangsung cukup lama telah membawa dampak pada keberadaan hutan rakyat. Bagaimana gambaran perkembangan kebijakan terkait pengelolaan hutan rakyat, bagaimana perkembangan pengelolaan hutan rakyat dari waktu ke waktu, bagaimana merumuskan strategi pengembangannya merupakan pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi perkembangan isi substansi dan kecenderungan kebijakan terkait pengelolaan hutan rakyat, mengidentifikasi perkembangan pengelolaan hutan rakyat dari waktu ke waktu di Kabupaten Bogor dan merumuskan strategi pengembangan dan mengajukan rekomendasi strategi pilihan terhadap pengelolaan hutan rakyat ke depannya.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk para pembuat kebijakan dan pelaku usaha hutan rakyat sebagai media pembelajaran dan pemahaman praktek pengelolaan hutan dari masa lalu dan juga bermanfaat bagi peningkatkan pemahaman secara kualitatif tentang permasalahan pengelolaan hutan rakyat, guna membantu mencari solusi pengelolaan hutan rakyat yang ideal.
2 METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pikir Penelitian Secara nasional pemerintah melaksanakan program-program pembangunan hutan rakyat yang dimulai tahun 1950-an sampai sekarang dengan cara penanaman pohon di lahan milik. Program tersebut menurut Wirakusumah (1964) telah membantu mendorong usaha pengelolaan hutan rakyat. Oleh karena itu di Jawa terdapat dua bentuk hutan rakyat, yaitu hutan rakyat akibat dorongan progam pemerintah dan hutan rakyat hasil swadaya
3
masyarakat (Hardjanto 2003). Maka, dalam pembahasan ini, segala aktifitas usaha vegetatif kehutanan oleh pemerintah yang berada pada tanah milik merupakan kebijakan pengelolaan hutan rakyat.
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian. Perkembangan kebijakan pengelolaan hutan rakyat diperoleh dengan menggunakan analisis isi dan kecenderungan terhadap dokumen/data sekunder yang memuat tujuan kebijakan, program atau kegiatan pemerintah dan implementasi program/kegiatan terkait pengelolaan hutan rakyat dari tahun ke tahun dalam bentuk periodisasi. Bentuk periodisasi diawali periode tinjauan sebelum kemerdekaan, periode Orde Lama (1945–1966), periode Direktorat Jenderal Kehutanan di Orde Baru (1966–1983), periode Departemen Kehutanan di Orde Baru (1983–1997), masa reformasi (1998–sekarang). Metode sejarah digunakan untuk melihat perkembangan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bogor dari waktu ke waktu. Strategi pengembangan pengelolaan dihasilkan dari analisis SWOT dan QSPM.
Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 7 bulan (Maret – September 2013). Metode penelitian terbagi dalam tiga bagian, yaitu: 1) Analisis isi dan kecenderungan, 2) Metode sejarah dan 3) Analisis strategi pengembangan. Analisis Isi dan Kecenderungan Analisis isi menggunakan sumber data berupa buku dan artikel yang memuat tentang kebijakan terkait pengelolaan hutan rakyat. Menurut Eriyanto (2011) analisis isi dapat hanya menggambarkan secara detail deskripsi dari suatu
4
isi atau melakukan perbandingan antarwaktu dan antarsituasi yang berbeda. Desain analisis isi untuk menjaring data tentang 3 karakteristik subtansi kebijakan terkait pengelolaan hutan rakyat dari satu ke waktu yang lain. Substansi tersebut, yaitu: (1) Tujuan kebijakan, (2) Bentuk/metode program atau kegiatan (persemaian, penanaman, dan bantuan kredit) (3) Sifat program/kegiatan (instruksi, pemberdayaan masyarakat, kampanye, dan bantuan). Selanjutnya dilakukan analisis kecenderungan untuk melihat kecenderungan tujuan, bentuk dan sifat kebijakan pengelolaan hutan rakyat. Metode Sejarah Metode sejarah atau disebut juga metode penelitian sejarah memiliki empat tahapan, yaitu heuristik, kritik sumber sejarah, interpretasi dan historiografi (Pranoto 2010). 1. Heuristik (Pengumpulan Sumber) Heuristik (heuristic) berasal dari bahasa yunani heuristiken yang artinya mengumpulkan atau menemukan sumber. Jadi heuristik adalah mengumpulkan atau menemukan sejumlah materi sejarah yang tersebar dan teridentifikasi (Pranoto 2010). Selanjutnya menurut Pranoto (2010), sumber sejarah merupakan bahan penulisan sejarah yang mengandung evidensi (bukti) baik lisan maupun tertulis. Langkah awal yang dilakukan dalam penelusuran sejarah adalah mengumpulkan sumber sejarah yang relevan dan berhubungan dengan permasalahan penelitian berupa sumber tulisan dan lisan dan data yang dikumpulkan berbentuk data primer dan sekunder. Pengumpulan sumber tertulis menggunakan teknik studi literatur sebagai salah satu teknik dalam pengumpulan data. Data yang dikumpulkan berasal dari sumber buku, jurnal, disertasi, tesis, skripsi, dokumen, maupun artikel yang terkait permasalahan penelitian. Dalam proses ini, penelusuran sumber tertulis dilakukan di berbagai perpustakaan, instansi pemerintah pusat dan daerah seperti Kementerian Kehutanan, Dinas Pertanian dan Kehutanan (Distanhut) Kab. Bogor, Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyulahan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BKP5K) Kab. Bogor, Balai Pemantauan dan Pemanfaatan Hutan Produksi (BP2HP) Wilayah VII, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Citarum Ciliwung dan Perpustakaan Museum Manggala Wanabakti. Tabel 1 Kategori responden. Metode Jumlah Pengumpulan Responden (orang) Pelaku Usahaa snow ball 21 Informan kunci BPDAS, BP2HP, Distanhut, BKP5K snow ball 11 Informan Biasa Masyarakat sekitar hutan snow ball a Pelaku usaha (pemilik lahan, petani, buruh, tengkulak/pengumpul, pelaku industri). Jenis Responden
Kategori Pekerjaan
Pengumpulan sumber tidak tertulis atau sumber lisan dilakukan dengan metode wawancara. Sebelum kegiatan wawancara, terlebih dahulu dilakukan observasi di wilayah barat Kabupaten Bogor dengan merekam kegiatan yang relevan sebagai sumber data dan dilanjutkan kegiatan mencari narasumber yang akan diwawancara. Informasi dari kantor dinas kehutanan dan pertanian dan penyuluh kehutanan di Kabupaten Bogor untuk dapat dijadikan informan kunci dan informan biasa di tiap kecamatan sebagai sumber lisan dengan kategorisasi responden dapat dilihat pada Tabel 1. Jumlah responden ditentukan di lapangan
5
sesuai dengan kecukupan data dan informasi (efek bola salju bergulir/ snow ball effect). Teknik wawancara menggunakan instrumen terbuka atau semi terstruktur, yang artinya jawaban secara mendalam dari narasumber sesuai format kerangka pertanyaan yang telah ditetapkan. 2. Kritik (Verifikasi) Kritik sumber sejarah adalah upaya untuk mendapatkan otensitas dan kredibilitas sumber, sehingga sumber yang diperoleh dapat dipercaya (credible), penguatan saksi mata (eyewitnes), benar (truth), tidak dipalsukan (unfabricated) dan handal (reliable) (Pranoto 2010). Kritik sumber sejarah terdiri dari kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eskternal adalah usaha mendapatkan otensitas sumber dengan melakukan penelitian fisik terhadap suatu sumber. Kritik internal adalah kritik yang mengacu pada kredibilitas sumber artinya apakah isi dokumen ini terpercaya, tidak dimanipulasi, mengandung bias, dikecohkan, dan sebagainya (Pranoto 2010). Kritik sumber data dan informasi merupakan tahap lanjutan dari heuristik, dengan maksud melakukan proses penyelidikan kesesuaian, keterkaitan, dan keobjektifannya secara eskternal dan internal. Kritik sumber tertulis menggunakan kajian perbandingan antara sumber-sumber tertulis lainya. Adapun kritik terhadap sumber lisan dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1) Verifikasi usia dari sumber pada waktu periode tersebut berlangsung; 2) Verifikasi latar belakang narasumber, seperti apakah sesuai dengan peristiwa yang diceritakan, atau apakah terlibat langsung atau tidak langsung atau menurut orang lain; 3) Melihat kondisi kesehatan narasumber pada waktu tersebut, seperti hilang ingatan, pelupa, dan sebagainya. 4) Melihat tabiat/gelagat informan seperti apakah melakukan ‘gerakan tutup mulut’ dan ‘antipati’. Proses perbandingan antara sumber tertulis dengan sumber lisan merupakan tahapan selanjutnya. Tahapan ini bertujuan untuk memilah-milah data dan informasi sebagai fakta yang sesuai dengan permasalahan penelitian, sehingga membantu dalam proses selanjutnya yaitu interpretasi. 3. Interpretasi (Penafsiran) Interpretasi atau tafsir dilakukan untuk menghasilkan cerita sejarah dari fakta yang sudah dikumpulkan. Interpretasi dapat dilakukan dengan analesis dan sitensis (Pranoto 2010). Menganalesis sama dengan menguraikan setiap kejadian untuk diambil kesimpulan. Sitesis berbeda dengan anelisis, dimana menurut Pranoto (2010) sintesis adalah menyatukan kejadian-kejadian atau sebab-sebab sejarah. Dengan kata lain sintesis adalah pengelompokan faktor-faktor yang berbeda dihubungkan menjadi suatu kesimpulan Interpretasi dalam penelitian dilakukan dengan analisis untuk menjelaskan dan menjawab bagaimana gambaran perkembangan pengelolaan hutan rakyat dari waktu ke waktu di Kabupaten Bogor. 4. Historiografi Historiografi adalah tahap terakhir dari metode sejarah, yaitu tahap penulisan sejarah sesuai ketentuan sebuah karya ilmiah dengan kronologis bahasa yang menarik mengenai perjalanan sejarah pengelolaan hutan rakyat.
6
Analisis Strategi Pengembangan Tahapan analisis strategi pengembangan diawali dengan analisis strategi internal eksternal yang merupakan bagian dari analisis SWOT (Strenght, Weakness, Opportunity, Threat). Menurut Bungin (2011) analisis SWOT sering kali dimanfaatkan dalam penelitian kualitatif untuk menganalisis masalahmasalah administrasi, kebijakan publik, manajemen dan kinerja perusahaan. Hasil analisis faktor internal dan faktor eksternal dilanjutkan dengan analisis SWOT untuk merumuskan berbagai alternatif strategi. Strategi prioritas pengembangan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bogor diperoleh dari analisis QSPM (Quantitative Strategic Planning Matrix). 1. Analisis Faktor Strategi Internal Eksternal Analisis faktor strategis internal eksternal dilakukan untuk memperoleh nilai bobot dari masing-masing faktor untuk selanjutnya digunakan dalam matriks QSPM, dengan langkah sebagai berikut: a. Mengidentifikasi dan mengelompokkan faktor strategi dalam faktor internal dan eksternal. b. Menentukan derajat kepentingan relatif (bobot) setiap faktor. Penentuan bobot faktor internal dilakukan dengan memberikan penilaian atau pembobotan angka pada masing-masing faktor oleh 7 responden pemangku kebijakan. Penilaian angka pembobotan adalah sebagai berikut: 5 jika faktor “sangat penting”, 4 jika faktor “penting”, 3 jika faktor “biasa saja”, 2 jika faktor “kurang penting”, 1 jika faktor “tidak penting”. c. Rataan dari bobot dibandingkan dengan total bobot masing-masing faktor internal dan eksternal merupakan nilai bobot. d. Nilai bobot ini digunakan sebagai faktor tertimbang dalam analisis QSPM Tabel 2 Matrik faktor internal eksternal No.
Faktor Internal/ Eksternal Faktor kekuatan/ Peluang
R1
R2
R3
R4
R5
Bobot R6 R7
Rataan Bobot (a)
Nilai Bobot (b)=(a)/ ∑ (a)
1 2 3 … Faktor Kelemahan/ Ancaman 1 2 3 …
Total ∑ (a) Keterangan: R1, R2, …., R7 = pembobotan oleh responden 1, dan seterusnya
1.00
2. Analisis SWOT Analisis SWOT menghasilkan empat alternatif strategi yaitu: a. Strategi kekuatan-peluang. Strategi ini berusaha memanfaatkan kekuatan yang ada untuk merebut dan memanfaatkan peluang secara optimal. b. Strategi kekuatan-ancaman. Strategi ini berusaha untuk memanfaatkan kekuatan yang ada untuk menghadapai ancaman yang datang.
7
c. Strategi kelemahan-peluang. Strategi ini digunakan untuk memanfaatkan peluang yang ada untuk meminimalkan kelemahan yang dimiliki. d. Strategi kelemahan-ancaman. Strategi ini merupakan strategi defensif yang berusaha untuk meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman. 3. Analisis QSPM Tahap keputusan digunakan untuk menentukan strategi alternatif mana yang paling baik untuk dipilih dan teknik yang digunakan adalah QSPM. Tahapannya adalah: a. Memberikan bobot untuk setiap faktor internal dan eksternal. Bobot ini identik dengan yang digunakan dalam matriks IFE dan matriks EFE. Bobot dituliskan dalam kolom di sebelah kanan faktor sukses kritis internal dan eksternal. b. Memeriksa matriks SWOT dan mengidentifikasi alternatif strategi yang harus dipertimbangkan untuk diimplementasikan. Catat semua strategi ini di baris teratas dari matriks QSPM. c. Menetapkan nilai daya tarik (Attractiveness Score = AS) dan menentukan nilai yang menunjukkan daya tarik relatif dari setiap alternatif strategi. Nilai daya tarik ditetapkan dengan memeriksa setiap faktor internal dan eksternal satu per satu, dengan mengajukan pertanyaan, apakah faktor ini mempengaruhi strategi pilihan yang dibuat? Nilai daya tarik itu adalah 1 = tidak menarik, 2 = agak menarik, 3 = secara logis menarik, dan 4 = sangat menarik. d. Menghitung total nilai daya tarik (Total Attractiveness Score = TAS). Total nilai daya tarik ditetapkan sebagai hasil perkalian bobot dengan nilai daya tarik dalam setiap baris (Tabel 3). Total nilai daya tarik menunjukkan daya tarik relatif dari setiap strategi alternatif, hanya mempertimbangkan dampak dari faktor sukses kritis internal dan eksternal di baris tertentu. Semakin tinggi total nilai daya tarik, semakin menarik strategi alternatif itu. Tabel 3 Matriks QSPM No.
Faktor Strategi
Nilai Bobot (a)
Alt. Strategi 1 AS TAS (b) (c)=(a)x(b)
Alt. Strategi 2 AS TAS (b) (c)=(a)x(b)
Total∑ TAS1
Total∑ TAS2
AS (b)
dst TAS (c)=(a)x(b)
Kekuatan (Strenght) 1 2 3 … Kelemahan (Weakness) 1 2 3 … Peluang (Opportunity) 1 2 3 … Ancaman (Threat) 1 2 3 …
Total∑ TAS dst
8
3 PERKEMBANGAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT Kerangka Konsep Perkembangan Kebijakan Pengelolaan Hutan Rakyat Studi perkembangan kebijakan difokuskan pada implementasi kebijakan yang menyangkut hutan rakyat. Wahab (2004) mengutip penjelasan Daniel A. Mazmanian dan Paul A Sabatier tentang makna implementai kebijakan: memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan publik, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian. Berdasarkan pandangan tersebut maka implementasi kebijakan merupakan segala peristiwa dan kegiatan yang terjadi setelah kebijakan publik disahkan. Menurut Wahab (2004) segala peristiwa yang terjadi atau sedang berlangsung bukanlah terjadi secara alami, atau sebagai sesuatu yang terjadi karena proses yang normal, melainkan kebijakan publik (public policy) yang sesungguhnya telah memberikan warna terhadap berbagai peristiwa di sekitar kita disadari atau tidak, mengerti atau tidak. Berbekal analisis isi dan kecenderungan terhadap dokumen/artikel yang memuat kebijakan pengelolaan hutan rakyat, maka akan diuraikan khasanah baru dalam pengetahuan yang sebelumnya tidak pernah menjadi perhatian banyak pihak untuk mengungkapnya. Perkembangan atau perjalanan kebijakan pengelolaan hutan rakyat yang memuat tujuan/latar belakang, bentuk/metode, sifat, dan implementasinya serta kecenderungan kebijakan pengelolaan hutan rakyat dari waktu ke waktu dalam bentuk periodesasi. Periodesasi terbagi dalam masa sebelum kemerdekaan, Orde Lama (1945–1966), periode Direktorat Jenderal Kehutanan di Orde Baru (1966–1983), Periode Departemen Kehutanan di Orde Baru (1984–1997), masa Reformasi (1998–sekarang).
Subtansi Perkembangan Kebijakan Pengelolaan Hutan Rakyat Subtansi perkembangan kebijakan terkait pengelolaan hutan rakyat dapat diuraikan pada Tabel 4. Tabel 4 Substansi kebijakan pengelolaan hutan rakyata. Bentuk Program/ Kegiatan Instruksi
Pemberdayaan masyarakat
Kampanye
Bantuan
1. Tinjauan sebelum kemerdekaan Penjajahan Belanda & Jepang Untuk kepentingan ekonomi penjajah
Bantuan Kredit
Tujuan Kebijakan
Penanaman
Nama Kebijakan
Persemaian
Periode/Tahun
Sifat program/ kegiatan
-
-
-
-
-
-
-
9
Tabel 4 Substansi kebijakan pengelolaan hutan rakyata (lanjutan) Bentuk Program/ Kegiatan Instruksi
Pemberdayaan masyarakat
Kampanye
Bantuan
2. Masa Orde Lama Perang Kemerdekaan (1945–1950 Demokrasi Liberal (1950–1959) 1951-1955 PPTK Pencegahan erosi 1956 Arboy Day Pencegahan erosi 1952-1958 Gerakan Karang Pengendalian erosi &penanaman Kitri tanah kosong Demokrasi Terpimpin (1960–1965) 1961-1965 PPN I–V Kampanye Penghijauan 3. Periode Ditjen Kehutanan di Orde Baru Pra Pelita(1966–1969) 1966-1969 Deptan 001 Rehabilitasi DAS tanah kritis 1966 PPN VI Kampanye Penghijauan 1967 PPN VII Kampanye Penghijauan 1968 PPN VIII Kampanye Penghijauan Pelita I (1969–1973) 1969-1973 Deptan 002-022 Rehabilitasi DAS tanah kritis di luar kawasan hutan 1969-1973 PPN Kampanye Penghijauan 1972-1975 RAKGANTANG Penghijauan merata di Jawa Barat Pelita II (1974-1978) 1976-1978 Inpres Rehabilitasi DAS tanah kritis Penghijauan 1976-1978 PPN Kampanye Penghijauan Pelita III (1979-1983) 1979 Inpres Rehabilitasi DAS tanah kritis Penghijauan 1979 Inpres Rehabilitasi DAS tanah kritis Penghijauan 1980-1983 Inpres Rehabilitasi DAS tanah kritis dan Penghijauan peningkatan pendapatan masyarakat 1981-1983 Pilot Mendukung usaha swasembada Demontration pangan dan peningkatan partisipasi Farm masyarakat dalam penamanan Panawangan pohon 1979-1983 PPN Kampanye Penghijauan 4. Periode Depertamen Kehutanan di Orde Baru Pelita IV Penghijauan Rehabilitasi DAS tanah kritis dan (1984-1988) peningkatan pendapatan masyarakat Pelita V (1988-1993) 1988-1993 Sengonisasi Peningkatan pendapatan masyarakat dan pemenuhan bahan baku industri 1989-1990 Kredit Usaha Peningkatan pendapatan dan Tani Konservasi partisipasi masyarakat dalam penamanan pohon Pelita VI (1994-1997) 1994-1997 Kebun Bibit Pendukung pengembangan hutan Desa rakyat 1997 Kredit Usaha Peningkatan pendapatan masyarakat Hutan Rakyat
Bantuan Kredit
Tujuan Kebijakan
Penanaman
Nama Kebijakan
Persemaian
Periode/Tahun
Sifat program/ kegiatan
-
-
-
-
-
-
-
V
-
V V V
-
V -
-
-
V V V
-
V
-
V
-
V
-
-
-
V V V V
-
V -
-
V V V
-
-
V
-
V
-
-
-
V
V V
-
V
-
V -
-
V
-
V
V
-
-
V
-
-
V
V
V
-
V
V
-
-
V
V
-
V
V
-
-
V
V
-
V
V
-
-
V
V
-
V
V
-
-
-
V
-
-
V
V
V
-
V
V
-
-
-
V
-
V
V
-
-
-
-
V
-
V
-
V
-
-
-
-
V
-
-
-
-
V
-
-
-
V
-
-
-
V
10
Tabel 4 Substansi kebijakan pengelolaan hutan rakyata (lanjutan) Bentuk Program/ Kegiatan
2010sekarang 2010-sekarang
One Billian Indonesia Trees Kebun Bibit Rakyat
a
Bantuan
One Man One Tree
Kampanye
2008-2009
Pemberdayaan masyarakat
GNRHL/GERHAN
Instruksi
2005-2009
Peningkatan pendapatan masyarakat Kampanye pembinaan cinta lingkungan bagi anak-anak Peningkatan pendapatan masyarakat Rehabilitasi lahan kritis Kampanye penanaman pohon Kampanye penanaman pohon Peningkatan pendapatan masyarakat Rehabilitasi lahan kritis
-
V
-
-
V
-
V
-
V
-
-
-
V
-
-
V
-
V
-
V
V
-
V
-
-
-
V
-
-
V
-
-
-
V
-
V
V
-
-
V
-
V
Bantuan Kredit
5. Masa reformasi (1998-sekarang) 2001- 2004 Pembuatan dan pemeliahraan hutan rakyat 2004-2009 KMDN
Tujuan Kebijakan
Penanaman
Nama Kebijakan
Persemaian
Periode/Tahun
Sifat program/ kegiatan
Analisis isi dokumen yang memuat kebijakan pengelolaan hutan rakyat.
Tinjauan sebelum Kemerdekaan Pada masa VOC (Vereenig-de Oots-Indische Compagnie) 2 dan Pemerintahan Hindia Belanda di beberapa wilayah Indonesia, hutan banyak dibuka untuk dijadikan perkebunan rakyat (kopi, lada dan cengkeh) yang dari segi pengawetan tanah dilakukan secara gegabah (Kartasapoetra et al. 1987). Masa pendudukan Jepang terhadap sumberdaya hutan di wilayah Bogor diperkirakan mulai tahun 1942. Pembatasan akses penduduk lokal untuk memanfaatkan hutan diberlakukan di tiap daerah termasuk Bogor. Pembatasan akses warga pribumi dalam memanfaatkan hutan tidak serta merta meningkatnya tutupan hutan. Berdasarkan catatan yang ada, penebangan yang berlebihan telah dilakukan Jepang untuk mendukung kemenangan perang Jepang di Asia Timur (Dephut 1986) dan belum memasyarakatnya pemanfaatan penggarapan lahan dengan baik dan terpadu, menimbulkan peningkatan lahan kritis secara pesat (Djajapertjunda 2003). Soepardja (1991) menyatakan bahwa masa pendudukan Jepang mengalami sulitnya mendapatkan bahan bakar minyak, akibatnya tanaman lamtoro sebagai penguat teras digali sampai keakarnya, kemudian dijadikan pengganti bahan bakar minyak. Kondisi tersebut menimbulkan kerusakan pada sengkedan-sengkedan lahan serta mengancam terjadinya erosi yang cukup besar. Permasalahan erosi akibat degredasi hutan terjadi di mana-mana pada era 1930-an. Menurut DR. Ch. Coster diacu dalam Soepardja (1991) mengemukakan bahwa sejak 1931 perhatian dunia banyak tercurah pada 2
VOC memegang kendali eksploitasi hutan di Indonesia tahun 1650 – 1800, selanjutnya diganti oleh Jawatan Kehutanan yang dibentuk Belanda, namun sampai dengan 1930 masyarakat masih menyebut jawatan tersebut dengan sebutan kompeni/VOC. Karena para pemegang jabatan masih tetap orang-orang lama dan tetap pula melakukan cara-cara lama (Ricklefs 2005)
11
bahaya erosi yang terjadi di mana-mana, bahkan di seluruh dunia. Pada waktu tersebut, tanah yang menderita erosi di Yogyakarta, Surakarta dan Semarang mencapai 1.602.500 ha (Dephut 1986). Berdasarkan laporan survey dampak lingkungan Saguling oleh lembaga UNPAD bahwa tingkatan erosi selama periode 1911–1977 pada beberapa DAS di Jawa sebesar 0,25–9,0 mm/tahun. Balai Penyelidikan Bogor mengatakan tanah subur setebal 20 cm di daerah Yanlapa (Jasinga-Bogor) hanyut oleh erosi selama ± 60 tahun (Dephut 1986; Kartasapoetra et al. 1987). Artinya di wilayah Jasinga erosi secara besarbesaran sudah terjadi sejak tahun 1926-an. Angka yang lebih mengejutkan lagi, bahwa menurut Balai Penyelidikan Tanah diacu dalam Dephut (1966) sebelum masa perang, erosi menyebabkan hilangnya tanah sebanyak 5 ton/ha (tanah vulkanis) dan 65 ton/ha (formasi kapur) tiap tahun. Ini berarti di Jawa setiap tahun tidak kurang dari 200 juta ton tanah subur dihanyutkan ke dasar laut. Masa Orde Lama (1945 – 1965) Sepeningalan Jepang yaitu jaman perang kemerdekaan tahun 1945–1949 (Dephut 1986), pemerintah RI memberikan perhatian besar terhadap erosi ini terutama pada lahan-lahan kritis. Bangsa Indonesia pun dihadapkan pada keadaan hutan dan lahan yang memerlukan rehabilitasi berat, akibat pendudukan Jepang serta kondisi yang berat mempertahankan kemerdekaan dan memenangkan perjuangan melawan Belanda yang ingin menjajah kembali (Dephut 1986). Pendudukan kantor-kantor pemerintahan termasuk jawatan kehutanan oleh tentara Inggris yang diboncengi tentara Belanda selama 1945– 1949 berakibat pada tidak efektifnya pembangunan kehutanan. Menurut Kartasapoetra at al. (1987), Agresi Militer Belanda II (1948) menghentikan kegiatan pembangunan Waduk Lakbok (Jawa Barat) dalam usaha konservasi tanah dan air. Selanjutnya, satu-satunya pembangunan yang berhasil berkaitan dengan bidang konservasi tanah dan air adalah pembangunan waduk Sragen yang dapat diselesaikan tahun 1948. Melihat situasi tersebut Pemerintah RI mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 59 tahun 1948 tentang Militerisasi Jawatan Kehutanan dengan maksud pegawai kehutanan berperan aktif dalam perang gerilya melawan agresi Belanda II (Dephut 1986). Wilayah Bogor Barat adalah garis demarkasi pertahanan, selain dijadikan tempat dan markas pasukan tentara, sekaligus menjadi benteng pertahanan bagi daerah keresidenan Banten. Memasuki jaman Demokrasi Liberal (1950–1959), Kartasapoetra et al. (1987) dan Soepardja (1991) menyatakan bahwa pada tahun 1951–1955 dilaksanakan program Rencana Kesejahteraan Istimewa (RKI). RKI disusun oleh Kasimo cs, seorang kawakan Ajunct Landbouw Consulent. Realisasi RKI berupa Kegiatan Operasi Gerakan Makmur (KOGM) dalam usaha pencegahan tanah larut yang dilaksanakan oleh Jawatan Pertanian Rakyat. Metode kerja KOGM adalah pembuatan sengkedan dan persemaian untuk penghijauan dan Percobaan Perusahaan Tanah Kering (PPTK). Lahan untuk PPTK di Provinsi Jawa Barat sudah disiapkan, dan pengelolaannya oleh Dinas Pertanian Wilayah, karena tidak ada biaya dalam pelaksanaannya, lahan PPTK tersebut menjadi tidak jelas fungsinya dan menjadi terkatung-katung yang akhirnya berhenti tanpa menghasilkan apa-apa (Soepardja 1991).
12
Tidak hanya Jawatan Pertanian Rakyat, pada masa demokrasi liberal Jawatan Kehutanan pun mulai menasionalisasikan lahan kehutanan yang semula dikuasai Belanda. Selain usaha pemerintah dalam nasionalisasi pengelolaan hutan dan perkebunan eks Belanda, usaha pemerintah untuk penyelematan tanah tandus dan kritis dari tahun ke tahun merupakan kebijakan pokok pemerintah. Misalnya tahun 1956 pemerintah mencetuskan Arbor Day (hari keteduhan/pohon) pada Kongres Kehutanan di Bandung (Kartasapoetra et al. 1987; Soepardja 1991). Kegiatan-kegiatan pengawetan tanah dan air dirasa tidak cukup mengurangi aliran sungai di permukaan (runoff) dan erosi, karena masih banyaknya lahan-lahan yang kosong. Lahan-lahan kosong di wilayah Bogor banyak berasal dari lahan perkebunan teh yang ditinggalkan Belanda yang tidak dilanjutkan pengelolaannya. Selanjutnya untuk menyelenggarakan penanaman tanah-tanah kosong sebagai tindakan kearah pengendalian erosi, maka dengan surat Keputusan Menteri Pertanian tanggal 18 Nopember 1952 No. 113/Um/52 telah ditetapkan pembentukan “Panitia Karang Kitri” (Ponto 1954). Pelaksanaan dilakukan di Pulau Jawa. Panitia provinsi di Jawa diberi nama “Panitia Provinsi Karang Kitri” diketuai oleh Gubernur dan dibantu oleh wakil-wakil dari Jawatan Pertanian Rakyat. Panitia Karang Kitri Provinsi membentuk Panitia Tingkat Kabupaten dan seterusnya sampai pada tingkat kewedanaan dan Kecamatan. Karang Kitri dapat diartikan pekarangan (Karang) yang ditumbuhi bibit pohon (kitri) 3. Menurut Setiadiredja (1954) di Pulau Jawa terdapat suatu masyarakat daerah, yang bertani berdasarkan unit keluarga, terdiri dari sawah, tegal dan pekarangan. Selanjutnya di beberapa daerah di Pulau Jawa sawah adalah milik desa, tetapi pekarangan dan tegal adalah milik keluarga. Luas pekarangan di Pulau Jawa tahun 1950-an terdapat 20% dari seluruh tanah pertanian. Daerah yang penduduknya lebih banyak, luas pekarangan dapat mencapai 30–40% dari luas lahan pertanian, sehingga pekarangan merupakan bagian terpenting dari sistem pertanian. Jadi makna dari Gerakan Karang Kitri adalah untuk membangun kesadaran terhadap keluarga untuk menanami kembali pekarangan yang gundul. Dephut (1986) menyebutkan gerakan ini dilaksanakan secara gotong royong antara Jawatan Pertanian Rakyat dengan masyarakat yang melibatkan alim ulama, organisasi tani, wanita dan guru. Ruang lingkup kegiatan terdiri dari penyengkedan tanah-tanah miring, penanaman pohon ditanah gundul, pembibitan dari berbagai jenis pohon keras dan buah-buahan serta pemberian bibit kepada petani (Ponto 1954). Kegiatan Hasil gerakan tersebut secara fisik telah menanam pohon seluas 180.000 ha selama tahun 1956–1958 (Dephut 1986). Melalui gerakan inilah wilayah Bogor diperkenalkan dengan tanaman yang benama Sengon/Jeunjing dan masyarakat mulai mengenal metode jarak tanam. Tetapi, tidak diperoleh keterangan lebih lanjut tentang rincian luas dan lokasi kegiatan karang kitri di Kabupaten Bogor. Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria, menjadi dasar kebijakan dalam memelihara tanah 3
Kitri arti sebenarnya bibit kelapa. Dahulu secara tradisi kitri selalu ditanam pada pekarangan (lahan milik) dan kelapa itu sendiri merupakan pohon serba guna. Jadi istilah kitri dalam gerakan karang kitri digunakan sebagai simbolisasi terhadap bibit pohon yang memiliki manfaat serba guna.
13
termasuk menambah kesuburan dan mencegah kerusakannya. Menteri Pertanian (dr. Aziz Saleh) yang didukung oleh Menteri Koordinator Produksi (Mayor Jenderal Soeparjogi) dan atas gagasan Hatin Soedarma 4 melakukan gerakan “Penghijauan” (Dephut 1986). Gerakan “Penghijauan” merupakan terminologi baru dalam upaya rehabilitasi tanah kosong/tandus di luar hutan negara mengganti kebijakan gerakan “Karang Kitri”. Pekan Penghijauan I tahun 1961 dilaksanakan pada lahan bukan milik petani di tengah perkebunan teh Gunung Mas, Kabupaten Bogor (Dephut 1986). Pekan penghijauan ini dinilai berhasil dan dilanjutkan secara nasional. Pekan penghijauan selanjutnya pada jaman demokrasi terpimpin (1960–1965) adalah sebagai berikut (Dephut 1986): 1) Pekan Penghijauan II dilaksanakan di Gunung Kromong Cirebon - Jawa Barat (1962); 2) Penghijauan III di Gunungkidul DI Yogyakarta (1963); 3) Penghijauan IV dan V di Blitar - Jawa Timur (19641965). Sampai dengan kurun waktu sebelum Pelita I (1968–1973) luas ratarata penghijauan setiap tahunnya mencapai 30.000 ha (Dephut 1986). Wirakusumah (1964) menyatakan Gerakan Karang Kitri, greening movement (arbor day, pekan penghijauan), gerakan pertahanan tanah, dan KOGM (Lampiran 1) merupakan usaha pemerintah untuk menghijaukan tanah-tanah gundul yang berbentuk gerakan masal. Setiap tahunnya terutama setelah tahun 1950, usaha ini tidak sedikit uang yang telah dianggarkan. Usaha seperti ini menurut Wirakusumah (1964) disebut “dorongan gerakangerakan masal yang sudah terang akan membantu memadjukan gagasan hutan rakjat”. Periode Direktorat Jenderal Kehutanan di Orde Baru (1966–1983) Memasuki Orde Baru status Departemen Kehutanan 5 diubah menjadi Direktorat Jenderal Kehutanan di bawah Departemen Pertanian melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 170 tahun 1966 tentang Struktur Dasar Organisasi dan Bidang Tugas dari Departemen-departemen dalam Kabinet Ampera. Mengerucutnya Organisasi Kehutanan tidak lantas mengerucutkan pula ruang lingkup kegiatan kehutanan, tetapi semakin berkembang. Perkembangan ruang lingkup kegiatan kehutanan ini diiringi dengan meningkatnya aneka usaha kehutanan, kebutuhan hasil hutan dan jasa lingkungan. Sebagai landasan hukum dan dasar pengambilan kebijakan bidang kehutanan yang semakin berkembang, maka Pemerintah bersama DPR menetapkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. UU ini bersifat nasional menggantikan peraturan perundangan peninggalan kolonial Belanda yang beragam jenisnya 6. 4
Hatin Soedarma menjadi Pimpinan Direktorat Penggunaan Tanah Ditjen Kehutanan (1966–1971) dan Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Ditjen Kehutanan (1971–1975) (Dephut 1986). 5 Tahun 1964 Presiden Soekarno membentuk Kabinet Dwikora sekaligus membentuk Departemen Kehutanan. Kabinet ini hanya bertahan 14 bulan karena ada prahara G-30-S PKI tahun 1965. 6 Era Orde Lama peraturan tentang pengurusah hutan mengadopsi aturan belanda yang telah dibuat secara beragam. Aturan tersebut antara lain: (1) Agrarische Reglement diberlakukan di Sumatera Barat, Menado, Riau dan pulaupulau di sekitarnya, Bangka dan Belitung, Palembang, Jambi dan Bengkulu; (2) Ordonansi Perlindungan Hutan yang diberlakukan di Belitung, Palembang, Singkep, Lampung, dan Riau; (3) Peraturan Perladangan dan Reglemen Penebangan Kayu diberlakukan di Kalimantan. (4) Peraturan Panglong diberlakukan di Bengkalis, Indragiri, Lingga, Karimun, dan Tanjungpinang (Nurjaya 2005).
14
Keberadaan hutan rakyat yang sudah lama, baru diakui secara legal dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1967 dengan terminologi ‘hutan millik’. Pasal 2 berikut penjelesan UU tersebut menyatakan bahwa ‘Hutan milik’ ialah hutan yang tumbuh/ditanam di atas tanah yang dibebani hak milik, yang lazimnya disebut ‘hutan rakyat’. Selanjutnya pejelasan Pasal 11 menyatakan: Berhubung dengan fungsi sosial dari pada hutan, maka sudah sewajarnya bahwa pengurusan Hutan Milik dilakukan oleh pemiliknya dengan bimbingan dan atas pengawasan Menteri. Sesuai dengan fungsi sosial dari pada hutan, maka sudah barang tentu pengurusan dari pada Hutan Milik pun tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, sehingga salah urus terhadap Hutan Milik dapat dikenakan tuntutan hukum, baik di bidang Hukum Administrasi maupun di bidang Hukum Perdata atau Hukum Pidana, sesudah diberi peringatan secukupnya. Berdasarkan UU tersebut, campur tangan pemerintah dalam pengurusan hutan rakyat dipercayakan sepenuhnya kepada pemiliknya dan tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Pada awal masa Pra Pelita (1966–1969), fenomena kerusakan fisik tanah, banjir dan erosi masih menjadi dasar dalam kampanye/dorongandorongan gerakan massal rehabilitasi (penghijauan). Kerusakan fisik tanah ini menurut Dephut (1966) sebagai akibat pola pertanian lahan kering yang tidak baik khususnya di Pulau Jawa. Seluas 2.944.000 ha atau 37,4% dari luas Pulau Jawa merupakan pola pertanian lahan kering (Dephut 1966). Kondisi ini menurut Ir. J.H. de Haan 7 diacu dalam Dephut (1966) menyatakan bahwa tanah kering inilah yang luasnya tidak kurang dari 30% 8 luas P Jawa merupakan penyebab meluasnya banjir-banjir besar, pendangkalan sungaisungai dan muara, dan hanyutnya berbagai bangunan pengairan dan jembatan yang pernah terjadi di Pulau Jawa. Mengatasi hal tersebut, tentu saja kebijakan yang ada adalah masih melanjutkan kebijakan terdahulu yaitu dengan penghijauan dan reboisasi, walaupun pada masa Pra Pelita anggaran yang disediakan tidak banyak dan dikenal dengan nama Proyek Deptan 001 (Soepardja 1991). Sasaran proyek Deptan 001 adalah areal-areal kritis yang selalu terancam banjir (Dephut 1986). Pelaksanaan Proyek Deptan 001 dimulai tahun 1966 di DAS Pakem, DAS Wiroko dan DAS Kedaung yang berada di Kabupaten Wonogiri. Kemudian, dilanjutkan di daerah bekas keresidenan Surakarta sampai dengan tahun 1968. Memasuki Pelita I (1969–1973) tanah kosong 9 sering menjadi headline dalam surat-surat kabar, dan menjadi permasalahan areal pada jawatan/instansi/lembaga yang berkaitan, seperti Djawatan Pertanian, 7
Berdasarkan informasi yang ada, Ir. J.H. de Haan pada masa penjajahan Belanda adalah Kepala Biro der Landinrichting. 8 Sampai sekarang pernyataan Ir. J.H. de Haan menjadi acuan kebijakan mengenai luas hutan minimal 30% dari luas daratan. 9 Berbagai pihak/instansi memberikan arti dan pendapat berbeda tentang istilah tanah kosong (bare lands). Direktorat Land Use meninjau istilah tanah kosong dari segi kelestarian dalam pengusahaannya, jadi lebih berorientasi pada pengawetan tanah. Atas dasar inilah dipergunakan istilah tanah kritik (critical land) dan tidak kritik (Team survey AIK 1970). Sampai sekarang terminologi tanah kritik dan tidak kritik dipergunakan untuk kegiatan rehabilitasi/penghijauan, walaupun dengan definisi yang beragam pula.
15
Djawatan Perkebunan, Djawatan Kehutanan dan Direktorat Penggunaan Tanah Ditjen Kehutanan. Luas tanah kosong di Indonesia sangat beragam tergantung dari instansi/lembaga yang melakukan survey. Instansi yang berkompeten menyelenggarakan inventarisasi aspek kelestarian tanah adalah Instansi Land Use yang ternyata belum melakukan inventarisasi secara menyuluruh. Angka-angka pada Tabel 5 merupakan luas tanah kosong/kritik yang dijadikan dasar dalam proyek Deptan di Provinsi Jawa Barat (PRP Jabar 1971). Tabel 5 Luas DAS dan lahan kritis di Provinsi Jawa Barata DAS
Sub Das/ Anak Sungai
Cimanuk (Deptan 006)
Cimanuk, Cilanang, Cikaki, Ciwaringin, Cisanggarung
Citarum (Deptan 007)
Citarum, Cibuni, Cisadane, Cilamaya/Kalijati, Ciasem, dan Cipunagara Ciujung, Cikeruh,Cimandur, Ciliman, cibungur, cidano dan Kali Banten S. Cimandiri, Cidurian, Cikepuh, Cikarang,
Ciujung (Deptan 013) Cimandiri (Deptan 014) Ciliwung (Deptan 018) Citanduy (Deptan 015) Jumlah a Hasil ralat tabel
Cisadane, dan Ciliwung S. Citanduy, S. Ciwulan, dan Cimedang
Wilayah Garut, Sumedang dan Majalengka Bandung, Cianjur, dan Purwakarta Banten
Sukabumi, Bogor, dan Jakarta Tasikmalaya, dan Ciamis
Luas DAS (ha)
Luas Lahan Kritis (ha)
511.380
112.124
659.000
269.744
883.600
149.882
982.000 111.793 452.000 640.000
134.875
4.127.980
778.436
dalam PRP Jabar (1971)
Jika Tabel 5 diuraikan lebih lanjut, bahwa tanah kosong di atas tersebar pada tanah-tanah bekas perkebunan, tanah guntai 10 dan tanah milik yang sudah menurun kesuburannya. Pada areal perkebunan dan bekas perkebunan luas tanah kosong/kritik memiliki angka prosentase yang sangat besar (Tabel 6). Menurut Djawatan Perkebunan diacu dalam Team Survey AIK (1970), tanah kosong dalam perkebunan ialah tanah-tanah dimana pohon-pohon tua sedang dikonversikan dalam proses peremajaan (pergiliran tanaman dan permudaan tanaman). Lebih lanjut diuraikan besarnya nilai tanah kritik terjadi pada tanah bekas perkebunan (tanah perkebunan yang habis konsesinya dan dibagikan kepada rakyat, tanah huma, tanah penggembalaan, dan lain-lain). Fenomena tersebut menurut Team Survey AIK (1970) dapat dipahami bahwa pada kawasan bekas perkebunan umumnya struktur kepemilikan (ownership) sangat goyah, sehingga penggarapannya pun dilakukan secara ekstensif. Mempertegas uraian di atas bahwa pada petani yang benar-benar memiliki tanah secara sungguh-sungguh berusaha untuk mencapai daya kemampuan dari tanahnya (Team Survey AIK 1970), sehingga kelestarian 10
Pemilikan tanah pertanian secara absentee atau di dalam bahasa Sunda : “Guntai” yaitu pemilikan tanah yang letaknya di luar tempat tinggal pemiliknya. Pada umumnya tanah-tanah pertanian letaknya adalah di desa, sedang mereka yang memiliki tanah secara absentee/guntai umumnya bertempat tinggal di kota.
16
pengawetan tanah terjaga. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi ekstensifikasi usaha tani adalah suatu keadaan turun-temurun mengusahakan pertanian dalam skala kecil dan keterbatasan kemampuan mengelola areal yang cukup luas (lahan bekas perkebunan), yang berakibat pada usaha ekstensifikasi. Sehingga usaha-usaha penghijauan yang digagas belum mendapat kemajuan karena lemahnya sumber daya. Tabel 6 Prosentase luas lahan kritis di Provinsi Jawa Barata Luas DAS Luas Lahan Persentase (ha) Kritis (ha) (%) Milik Rakyat 511.380 112.124 18 Perkebunan dan bekas perkebunan 659.000 269.744 33 Kehutanan (kawasan hutan) 883.600 149.882 11 Jumlah 4.127.980 778.436 Status
a
Hasil ralat tabel dalam PRP Jabar (1971).
Namun demikian usaha-usaha penghijauan yang merupakan kebijakan pemerintah terus digalakan dan menjadi prioritas dalam anggaran/APBN. Kegiatan penghijauan ini termasuk dalam proyek Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Tanah Kritis dengan nomor code Proyek 1.1.2.1 dan sebagai Pimpinan Proyek adalah Direktorat Penggunaan Tanah Ditjen Kehutanan (Dit PT 1969; PRP Djabar 1971). Proyek ini merupakan lanjutan dari proyek Deptan 001 dengan daerah kerja berupa DAS yang lebih luas dengan nama proyek Deptan 002–021 (Dephut 1986) atau proyek Rehabilitasi DAS dan Tanah Kritis (Dit PT 1969). Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat mendapat delegasi sub proyek ini pada Tahun Anggaran 1970/1971 langsung dipegang oleh Kepala Djawatan Kehutanan Provinsi Djawa Barat selaku Pimpinan Sub Proyek (PRP Djabar 1971). Selanjutnya pada tahun anggaran 1971/1972 Pimpinan Sub Proyek Penghijauan tidak lagi oleh Jawatan Kehutanan, tetapi diganti organisasi yang berstatus proyek yang dianggap mampu bertanggung jawab penuh di lapangan. Organisasi proyek penghijauan di Provinsi Jawa Barat diberi nama Projek Reboisasi dan Penghijauan (disingkat; PRP) Provinsi Jawa Barat, pada waktu itu pimpinan proyek adalah Bp. Ir. Sambas Wirakusumah, M.Sc. Tabel 7 Realisasi tanaman penghijauan DAS Ciliwung/Cisadane (Deptan 018) Kecamatan/ Wilayah Leuwiliang Cibungbulang Ciampea Kedunghalang Cijeruk Cisarua Ciawi Bogor Timur Ciomas Jumlah a
Tahun Keterangan 1969a 1970a 1971a 1972a 1973b 583 543 331 - Jenis tanaman: 260 120 - sengon. 2.050 294 106 149 200 45 110 - 279,5 150 310 291 160 40 240 2.050 1.511 1.500 1200 1100
Dikutip dari Tabel Lampiran 42 dalam Jawatan Kehutanan Provinsi Jawa Barat (1973). Dikutip dari Tabel Lampiran 20 dalam Jawatan Kehutanan Provinsi Jawa Barat (1974).
b
17
Berdasarkan laporan Jawatan Kehutanan Provinsi Jawa Barat tahun 1973/1974, realisasi sub Proyek Penghijauan dari APBN selama kurun waktu Pelita I di Provinsi Jawa Barat adalah seluas 90.848 ha. Kegiatannya meliputi penghijauan massal, pengawetan tanah, unit contoh, geblong huma dan persemaian. Khusus Kabupaten Bogor tepatnya DAS Ciliwung melalui Proyek Deptan 018 telah dilakukan tanaman penghijauan seluas 7.361 ha (Tabel 7). Pada masa ini kegiatan proyek hanya diikuti oleh sebagian kecil masyarakat yang mempunyai lahan kritis yang terlantar dengan cara menanami lahan dengan tanaman jenis sengon dan sedikit buah-buahan. Proyek Penghijauan dari APBD Provinsi Jawa Barat dimulai tahun 1971. Dalam mempercepat proses penghijauan secara meluas dan merata, maka Gubernur Provinsi Jawa Barat Letjend (Purn.) H. Solihin Gautama Purwanegara (Solihin GP) menggagas proyek penghijauan APBD tahun 1972–1975 melalui Gerakan Gandrung Tatangkalan (RAKGANTANG) melalui Instruksi Gubernur No. 284/A-II/5/Instr/72 tgl 26 Oktober 1972 (Tabel 8). Tabel 8 Realisasi RAKGANTANG Provinsi Jawa Barat Tahun 1972–1975a. Kegiatan/ Jenis Tanaman PENANAMAN Turi Kapuk Albazia/Sengon Lamtoro Muncang Jambu Mede Penguat Teras Stump Pilot Proy Cengkeh Mangga Jeruk Buah-buahan lainnya Jumlah I
PERSEMAIAN Jeruk Mangga Cengkeh Buah-buahan lainnya a
1972/73
Tahun 1973/74 1974/75
1975/76
Km Km Ha Ha Ha Ha Ha Ha Ha phn Phn Phn Phn Km Ha Phn
67.005,81 ̶─ ̶─ ̶─ ̶─ ̶─ ̶─ ̶─ ̶─ ̶─ ̶─ ̶─ ̶─ 67.005,81 ̶─ ̶─
23.660,88 ̶─ ̶─ 4.429 1.950 823,33 4.753,50 ̶─ ̶─ ̶─ ̶─ ̶─ ̶─ 23.660,88 11.955,83 ̶─
20.000,00 ̶─ 440,4 3.216,02 ̶─ 201,23 1.781,07 ̶─ ̶─ 25.450 4.000 10.000 ̶─ 20.000,00 5.638,72 39.450
8.000,00 1.000,00 ̶─ 3.125 ̶─ ̶─ 875 100 100 41.000 22.000 13.000 119.000 9.000,00 4.200 195.000
118.666,69 1.000 440,4 10.770,02 1.950 1024,56 7.409,57 100 100 66.450 26.000 13.000 119.000 119.666,69 21794,55 234.450
ha phn ha phn ha ha phn
̶─ ̶─ ̶─ ̶─ ̶─ ̶─ ̶─
0,5 10.000 0,5 4.000 ̶─ ̶─ ̶─
0,5 13.000 1 22.000 0,5 1,5 119.000
0,5 15.000 1 23.000 0,5 1,5 75.000
1,5 38.000 2,5 49.000 1 3 194.000
Satuan
Jumlah
Sumber: Dihitung kembali dari Tabel dalam Soepardja (1991).
Metode kerja RAKGANTANG adalah pembuatan persemaian, penanaman (penghijauan), turinisasi 11, penyebaran benih dengan pesawat 11
Penanaman dengan jenis turi (Sesbania grandiflora) untuk ketinggian di bawah 500 m dpl (Jawatan Kehutanan Propinsi Jawa Barat 1973). Dipilih jenis turi dalam kegiatan rehabilitasi tersebut karena jenis ini memiliki kemampuan untuk mengikat nitrogen yang dapat menyuburkan tanah.
18
terbang khusus pegunungan yang gundul dan dua tahun terakhir pemberian insentif kepada petani dalam bentuk uang yang besarnya tiap hektar sangat terbatas. RAKGANTANG dilaksanakan di beberapa Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat termasuk Kabupaten Bogor. Berdasarkan catatan yang ada sampai dengan Desember 1972, di Kabupaten Bogor telah disebar 10.350 kg benih Maesopsis, dan 7.700 kg benih Turi (Jawatan Kehutanan Provinsi Jabar 1973). Berdasarkan informasi yang diperoleh pada tahun 1970-an, masyarakat Bogor telah memperoleh bantuan benih buah-baahan seperti Durian dan Alpukat. Mulai tahun anggaran 1976/1977 pada Pelita II (1974–1978) terdapat perubahan dalam organisasi keproyekan. Organisasi perencanaan proyek berubah, yang semula Proyek Reboisasi dan Penghijauan (PRP) DAS menjadi Proyek Perencanaan dan Pembinaan Reboisasi dan Penghijauan DAS (disingkat: P3RP-DAS). Kegiatan penghijauan mendapat tambahan pintu anggaran selain anggaran sektoral (Deptan), yaitu program bantuan (Inpres) penghijauan atau dikenal program penyelematan hutan, tanah dan air (PHTA) yang dimulai tahun 1976. Bantuan Inpres tersebut langsung diberikan kepada Kabupaten Daerah Tingkat II (Pasal 5 Inpres No. 8 Tahun 1976). Inpres no. 8 Tahun 1976 menyebutkan bahwa Program bantuan reboisasi diberikan pada Provinsi Daerah Tk I dan bantuan penghijauan diberikan pada Kabupaten Daerah Tk II. Metode penghijauan tidak jauh berbeda dari sebelumnya, yaitu pembuatan tanaman, pembuatan terasering, pemeliharaan tanaman, pembuatan persemaian dan pemeliharaan persemaian. Selain proyek penghijauan tersebut, dilakukan pula peningkatan penyuluhan kepada petani dengan mengangkat PLP (Petugas Lapangan Penghijauan) dengan daerah kerja satu orang per kecamatan. Tahun 1976 status kepegawaian petugas PLP di bawah P3RP DAS dan tahun 1977 di bawah proyek penghijauan Bupati. Selain pola penghijauan di atas dilakukan juga melalui penghijauan serentak melalui kegiatan Pekan Penghijauan Nasional (PPN) yang dilaksanakan setiap tahun sejak 1961. PPN ini meliputi kegiatan sebagai berikut: 1. Kampanye penyelematan hutan, tanah dan air melalui kegiatan penerangan dan penyuluhan kepada masyarakat. 2. Pelaksanaan penanaman pohon-pohonan secara massal yang diharapkan dapat dilakukan sampai di tingkat kecamatan di seluruh Indonesia. Pada Pelita II telah terealisasi penghijauan seluas 359.481 ha di Provinsi Jawa Barat dengan tingkat keberhasilan 52% (Ditjen Kehutanan 1979). Khusus di Kabupaten Bogor berdasarkan P3RP DAS Ciliwung-CisadaneCimandiri (1978/1979) dilaporkan bahwa telah terealisasi penghijauan (penanaman) jenis Albizia (Sengon) dan kaliandra seluas 2.018 ha (1977) dan seluas 5.888 ha (1978) dengan tingkat keberhasilan penghijauan 58,24%. Inpres penghijauan di Kabupaten Bogor pada perode ini tersebar di 14 kecamatan (Tabel 9). Berdasarkan informasi yang diperoleh pada periode Pelita II, di Kabupaten Bogor banyak tanah-tanah kosong yang terlantar milik perkebunan-perkebunan dan tanah milik perorangan yang bukan milik penduduk lokal yang ditinggalkan. Kondisi ini menurut P3RP DAS CiliwungCisadane-Cimandiri (1979) salah satu penyebab kurang berhasilnya program
19
penghijauan serta diperburuk dengan ketidakandalan data tanah kosong yang ada. Selanjutnya dilaporkan pula bahwa pembuatan persemaian yang terlalu singkat serta dukungan dana selalu terlambat dari pusat berakibat pada kuantitas dan kualitas bibit yang tidak baik. Tabel 9 Program Bantuan Inpres Penghijauan (penanaman) di Kab. Bogor 1977a 1978b Kecamatan Jenis Rencana Realisasi Jenis Rencana Realisasi Tanaman (ha) (ha) Tanaman (ha) (ha) Cariu Sengon 655 Sengon 630 600 Jonggol Sengon 600 600 Sengon 300 260 Cileungsi Sengon 405 Sengon 685 560 Citeureup Sengon 100 25 Sengon 900 625 Gunung Sindur Sengon 540 Sengon 166 166 Rumpin Sengon 150 100 Sengon 471 471 Jasinga Sengon 200 Sengon 839,5 811 Pasung Panjang Sengon 325 Sengon 604 476 Cigudeg Sengon 504,5 464,5 Gunung Putri Sengon 385 170 Sengon 470 204,5 Ciampea Sengon 50 50 Cibungbulang Sengon 170 99 Sengon 560 550 Ciawi Sengon 300 300 Cijeruk Sengon 350 210 Sengon 440 350 Leuwiliang Sengon 150 150 Jumlah 3.980 2.018 6.920 5.888 a Diolah dari Laporan Tahunan DAS Ciliwung-Cisadane-Cimandiri TA 1977/1978. b Diolah dari Laporan Tahunan P3RP DAS Ciliwung TA 1978/1979.
Kebijakan penghijauan pada Pelita III (1979–1983) tidak berbeda dari sebelumnya dalam organisasi pelaksana. Biaya dan fisik bantuan penghijauan dan reboisasi setiap tahunnya selalu meningkat dan ditentukan melalui Instruksi Presiden. Pada periode ini, Inpres Penghijauan terakhir melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 1983 tanggal 7 Mei 1983 tentang Bantuan Penghijauan dan Reboisasi Tahun 1983/1984. Sama dengan Inpres sebelumnya, bahwa Daerah Tingkat I (Provinsi) diberikan bantuan APBN untuk melaksanakan reboisasi dan pengadaan bibit reboisasi. Untuk daerah Tingkat II (Kabupaten) diberikan bantuan APBN untuk melaksanakan penghijauan dan pengadaan bibit penghijauan. Pada Pelita III lahan kritis di luar kawasan hutan masih menjadi isu penting bagi pemerintah dan menjadi dasar kebijakan penghijauan. Upaya rehabilitasi melalui penghijauan terus digalakan melalui Inpres penghijauan. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya lahan kritis di Jawa memiliki sejarah panjang. Seperti pada Blok Cirandu-Loa Desa Tamansari Kec. Ciomas (sekarang dimekarkan menjadi Kecamatan Taman Sari) pada tahun 1965 telah terjadi penebangan liar, sehingga hutan menjadi hancur. Pada tahun 1967– 1973 lahan kritis tersebut dijadikan perkebunan teh, cengkeh dan karet milik negara. Selajutnya pada periode 1980–1983 tidak ada lagi yang menggarap dan mengelola lahan tersebut, sehingga berupa lahan tidur yang penuh alangalang (Andriani 2008). Lahan-lahan eks perkebunan selalu menjadi penyebab besarnya angka-angka lahan kritis. Setelah sekian lama konsep hutan rakyat tertuang dalam penjelasan UU No.5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, maka di
20
Indonesia khususnya di Provinsi Jawa Barat pada periode ini (tepatnya mulai tahun 1980) pembangunan hutan rakyat menjadi bagian dari metode penghijauan, selain metode lama berupa penanaman pada lahan kritis diluar hutan negara. Program UP-UPSA (Unit Percontohan Usaha Pelestarian Sumberdaya Alam) juga dimulai pada tahun 1980-an. Program ini untuk merangsang areal dampak pembangunan hutan rakyat secara swadaya. Kegiatan UPSA menurut Hardjanto (2001b) yaitu: 1. Penanaman jenis pohon berkayu dengan jarak tanam 3 x 2 m pada kemiringan lahan lebih dari 40 %; 2. Penanaman jenis pohon berkayu dengan jarak 5 x 5 m dicampur dengan tanaman semusim (pangan) pada kemiringan lahan 25 – 40%; 3. Penanaman jenis pohon berkayu dan tanaman semusim, namun lebih dominan tanaman semusimnya pada kemiringan lahan kurang dari 25 %. Pembuatan hutan rakyat di Provinsi Jawa Barat melalui kegiatan penghijauan bersumber dari APBN dan APBD cenderung meningkat dari tahun ke tahun (Tabel 10). Berdasarkan Inpres Penghijauan No. 8 tahun 1980 tentang Bantuan Penghijauan dan Reboisasi tahun 1980/1981 dinyatakan bahwa pembuatan hutan rakyat adalah usaha pembuatan hutan di areal kritis milik rakyat yang diterlantarkan dengan menanam jenis kayu-kayuan seperti halnya pada reboisasi. Pembuatan hutan rakyat direncanakan atas persetujuan atau atas permintaan pemilik lahan yang bersangkutan, dan dilaksanakan dengan cara upah harian. Tabel 10 Rencana dan realisasi kegiatan penghijauan di Provinsi Jawa Barata Tahun Metode Penghijauan 1979 Penanaman 1980 Penanaman Pembuatan hutan rakyat 1981 Penanaman Pembuatan hutan rakyat 1982 Penanaman Pembuatan hutan rakyat Pembuatan UPSA 1983 Penanaman Pembuatan hutan rakyat Pembuatan UPSA a
Rencana (ha) 58.616,73 64.728,54 3.700,00 38.734,00 8.721,00 18.984,00 8.622,00 88 unit 14.211,00 11.867,00 188 unit
Realisasi (ha) 41.752,70 60.844,83 2.886,00 38.176,23 8.244,83 17.041,94 7.871,89 87 unit 10.339,92 8.374,54 181 unit
% 71,23 94,00 78,00 98,56 94,54 89,77 91,30 99,25 72,76 70,57 96,49
Sumber: Dihitung kembali dari tabel VI.1. dalam Kanwilhut Jabar (1986)
Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap realisasi penghijauan pada periode Pelita III, tercatat angka kegagalan yang relatif tidak sedikit di wilayah Kabupaten Bogor (Tabel 11). Angka-angka pada Tabel 11 memberikan gambaran bahwa pelaksanaan penghijauan khususnya pembangunan hutan rakyat belum memberikan hasil yang sebagaimana diharapkan. Sebanyak 46,67% pembangunan hutan rakyat mengalami kegagalan. Menurut informasi dari penyuluh kehutanan yang bertugas pada waktu itu, bibit yang ditanam banyak yang dicabut oleh masyarakat diganti oleh tanaman pangan, karena pohon yang sudah besar dari hasil penghijauan-
21
penghijauan sebelumnya tidak laku dipasaran 12. Jenis-jenis yang digemari pada waktu itu lebih pada jenis kayu keras seperti rasamala, puspa, dan nangka. Sedangkan jenis pohon penghijauan umumnya jenis fast growing species yang relatif lunak. Tabel 11 Hasil pemeriksaan realisasi penghijauan di Kab. Bogor (Pelita III). 1979a Kecamatan
Penanaman
1980b Pembuatan Hutan Penanaman Rakyat Ri Kegagalan Ri Kegagalan (ha) (ha) (ha) (ha) 202 64 43 4 120 56 325 26 594,5 44 -
Ri Kegagalan (ha) (ha) Cisarua 95 Cileungsi 140 90 Parung Panjang 59 Leuwiliang 85 Cibungbulang 103 17 Cijeruk 43 28 Ciampea 55 15 Cigudeg 255 185 424 Rumpin 243 70 Jasinga 345 248 Cariu 175 65 362 Jonggol 360 152 Ciawi 60 Gunung Putri Kedunghalang 219 Nanggung 574 Jumlah 2.018 372 3.342,5 a
16
-
-
183 14 41 50 24 -
-
-
56 64 610
120
56
Dikutip dari Tabel 11 dalam P3RP DAS Ciliwung-Cisadane-Cimandiri (1981). Dikutip dari Tabel 5 dalam P3RP DAS Ciliwung-Cisadane-Cimandiri (1982).
b
Pembuatan hutan rakyat yang menjadi gagasan pemerintah pada periode ini memiliki hambatan-hambatan pengembangannya di lapangan pada waktu itu, terutama dalam pengetahuan dan kebiasaan menanam bahan makanan. Hal tersebut terutama terjadi pada daerah yang penduduknya padat dan sumberdaya lahannya terbatas. Pada Pelita III menurut Alrasjid (1979) hutan rakyat merupakan hal yang baru bagi masyarakat serta pemikiran ke arah kemauan menanam pohon masih kurang. Sehingga campur tangan pemerintah masih harus dilakukan. Bahkan menurutnya, di negara-negara yang sudah berkembang partisipasi pemerintah dalam pembinaan hutan rakyat masih tetap dilakukan. Untuk mendukung usaha swasembada pangan di masyarakat, mengakomodasi keinginan bertani tanaman pangan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penanaman pohon secara swadaya, maka di Provinsi Jawa Barat dilaksanakan proyek pengembangan penghijauan dengan pola penawangan yang tersebar di beberapa Kabupaten di Provinsi Jawa Barat termasuk kabupaten Bogor (Tabel 12). Penghijauan pola panawangan merupakan Pilot Demontration Farm Panawangan. Proyek ini diawali tahun 12
Kutipan resume wawancara dari beberapa informan“....apabila belum diameter pohon sebesar kerbau, kayu tersebut belum laku di pasaran......itu pun jumlah permintaan pasarnya terbatas....”.
22
1980 dengan kegiatan survey, pengukuran, perencanaan dan kursus tani. Pengolahan lahan dilakukan penyengkedan. Pola penghijauan dengan komoditas padi, jagung, ubi kayu, kacang tanah, sorgum, jawawut kacang tunggak, dan domba. Tabel 12 Proyek pengembangan penghijauan dengan pola Panawangan a. Luas Proyek (ha)
Jumlah Peserta petani
Luas areal dampak (ha)
25
43
25
50
73
100
25
44
135
50
86
150
25
44
25
15
19
150
25
74
50
25
94
50
10
19
50
10
32
35
15
41
50
25
45
10
25
40
50
25
40
-
Jawa Barat 375 740 Dihitung kembali dari tabel VI.2. dalam Kanwilhut Jabar (1986).
880
Tahun
Kabupaten
1981
Purwakarta
Cianjur
Bogor
Bandung
1982
Purwakarta
Pandeglang
Sumedang
Garut
Sukabumi
Subang Bandung 1983 a
Lebak
Lokasi Proyek Blok Tegal Alun-alun Desa Pesawahan Kec. Pasawahan Blok Gunung Belang Desa Cidadap Kec. Campaka Blok Sukaresmi Desa Cipayung Kec. Cisarua Blok Cijapati Desa Cikancung Kecamatan Cikancung Blok Tegal Alun-alun Desa Pesawahan Kec. Pasawahan Blok Banjarsari Desa Ciseureuheun Kec. Cigeulis Blok Cigadung Desa Sukajadi Kec. Wado Blok Jalupang Desa Sekarwangi Kec. Banyuresmi Blok Cikoneng Desa Cibenda Kec. Ciemas Desa Cijangkar Kec. Nyalindung Desa Nagrak Kec. Nagrak Desa Cisampih Kec. Kalijati Desa Cikawari Kec. Cicadas Desa Sankanwangi Kec. Leuwidamar
Proyek penghijauan panawangan (Tabel 12) baru berjalan beberapa tahun, kemudian telah dihentikan Bappenas, maka hasil dari usaha dapat dirasakan oleh masyarakat yang terkena dampaknya, walaupun belum meluas. Besarnya areal dampak penghijauan di Kabupaten Bogor (Cisarua) dipengaruhi oleh beberapa hal: 1. Sebagian besar masyarakat sudah mengenal budidaya baik di lahan
23
2.
3.
kering atau basah, sehingga introduksi usahatani cepat diserap oleh masyarakat. Jenis tanaman penghijauan sangat cocok dengan selera masyarakat. Proyek ini mengutamakan tanaman pangan sehingga sesuai dengan keinginan masyarakat. Dihentikannya proyek membuat masyarakat (petani) Provinsi Jawa Barat yang gurem sangat berat untuk melaksanakan penyengkedan, sehingga petani yang lain tidak dapat merasakan kesempatan terhadap peningkatan produksi pangan dan income.
Masa Departemen Kehutanan di Orde Baru (1984–1998). Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 49 tahun 1983 tentang Susunan Organisasi Departemen dan Keputusan Presiden Nomor 45/M tahun 1983 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan IV, maka struktur organisasi pemerintah yang membidangi kehutanan berubah dari Direktorat Jenderal Kehutanan menjadi Departemen Kehutanan yang pada waktu itu dipimpin oleh Soejarwo (1983–1988). Seiring dengan perubahan organisasi Kementerian Kehutanan, maka sejak Desember 1983 organisasi perencana dan pembinaan reboisasi dan penghijauan yang semula berstatus proyek, berubah secara struktur organisasinya. Sejak Desember 1983 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 98/Kpts-II/1983 fungsi perencana dan pembina reboisasi dan penghijauan dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis yang diberi nama Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT) yang sebelumnya dilaksanakan oleh P3RP DAS. Kegiatan penghijauan pada periode IV (1984–1986) tidak jauh berbeda dari periode sebelumnya. Hanya saja pola pelaksanaannya dititikberatkan pada kelompok tani, penambahan dan peningkatan kemampuan petugas lapangan penghijauan (PLP) serta peningkatan pembangunan hutan rakyat di DAS Prioritas. Sebanyak 36 DAS dan 163 sub-DAS telah ditetapkan menjadi areal kerja penghijauan di seluruh Indonesia sebagaimana tertuang Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan dan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 19 Tahun 1994, Nomor 059/Kpts-II/1984, Nomor: 124/Kpts/1984 tentang Penanganan Konservasi Tanah dalam rangka Pengamanan Daerah Aliran Sungai Prioritas. Peraturan tersebut menjadi landasan dalam program Penyelamatan Hutan, Tanah dan air (PHTA) yang memuat di dalamnya proyek/kegiatan penghijauan. Kegiatan fisik penghijauan berupa pembuatan unit percontohan usahatani pelestarian sumberdaya alam (UPSA), pemberian bantuan bibit, pembuatan dam pengendali dan pembuatan tanaman hutan rakyat atau kebun rakyat. Program penyuluhan sebagai bagian dari proyek penghijauan terus meningkat. Pada periode ini sudah terdapat 8000 orang PLP tersebar di 36 DAS Prioritas (Kehutanan Indonesia 1987). Hasil penelitian Setiajati (2012) pada tahun 1980-an di Tenjo Kabupaten Bogor telah terbentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) atas dorongan PLP wilayah Bogor Barat. Kemudian KTH diberi kesempatan hak garap untuk mengelola tanah negara dengan status HGU 13, seperti pada kasus di Desa Pasir Jaya dan Tugu Jaya Kecamatan 13
HGU atau Hak Guna Usaha diberikan oleh pemerintah kepada pengusaha perkebunan untuk tanaman keras seperti karet, kopi, coklat, teh, kelapa sawit, dan lain-lain. Tanah yang dibebani
24
Cijeruk Kab. Bogor (Irawati 2000). Lanjutnya, kebijakan pemberian hak-hak garapan sangat disambut positif, karena selain mereka mendapatkan tanah garapan, mereka juga merasakan manfaat ekonomis dari pengusahaan hutan rakyat. Selain peningkatan program penyuluhan, telah dirintis suatu program Bimbingan Massal (BIMAS) Konservasi Lahan Kering yang bekerjasama dengan Sekretariat Badan Pengendali BIMAS Departemen Pertanian (Kehutanan Indonesia 1988). Namun tidak ada catatan-catatan mengenai keberhasilan mengenai proyek BIMAS Konservasi Lahan Kering. Menurut Soepardja (1991) proyek Bimas, Inmas, dan Insus sudah lama merupakan proyek peningkatan produksi pangan yang sudah dimulai pada Pelita II. Metode proyek tersebut adalah menggunakan metode penyuluhan dan metode perintah dan insentif. Proyek ini tercatat cukup berhasil menciptakan swasembada pangan pada akhir Pelita III. Metode perintah dan insentif cukup berhasil, karena teknologi yang diterapkan yakin akan memberi keuntungan kepada petani dan dirasakan langsung oleh petani. Memasuki Pelita V (1988–1993) kepemimpinan Departemen Kehutanan berubah dari Soedjarwo beralih kepada Ir. Hasrul Harahap. Pada masa ini program penghijauan terus dilanjutkan. Setelah sekian lama program penghijauan yang didominasi tanaman sengon dilaksanakan, kemudian sejak periode ini kayu sengon mulai memiliki nilai ekonomi yang baik. Melihat faktanya bahwa sengon cukup prosfektif dikembangkan, maka Ir. Hasrul Harahap mencanangkan program baru yang dikenal program Sengonisasi. Program ini disambut hangat oleh masyarakat pedesaan, karena sengon sudah dikenal dan sudah dikonsumsi oleh masyarakat pedesaan. Pengembangannya tidak hanya pada lahan milik rakyat, melainkan pada kawasan hutan negara (dikenal dengan Program Hutan Tanaman Industri/HTI). Berdasarkan Memori Menteri Kehutanan Masa Bakti 1988–1993 dikemukakan bahwa progran sengonisasi memiliki kendala yaitu turunnya anggaran terlambat, sehingga pada musim penghujan bibit belum siap tanam (Dephut 1993). Beberapa kendala lainnya menurut Effendy (1996), sebagai berikut: 1. Tidak semua lokasi cocok untuk tananaman sengon. Faktanya beberapa lokasi program sengonisasi berjalan lamban karena ketidaksesuaian tempat tumbuh. 2. Beberapa daerah tertentu sengon tidak sempat tumbuh baik, karena pada umur muda ditebang untuk dijadikan kayu bakar. 3. Sengonisasi secara homogen memberi peluang serangan hama dan penyakit ditambah sengon itu sendiri sangat rawan terhadap gangguan hama dan peyakit. Metode kegiatan diperluas tidak hanya pemberian bantuan bibit, juga pemberian Kredit Usahatani Konservasi untuk meningkatkan produksi pertanian, pengaturan tata air dan pelestarian lingkungan. Pemberian kredit bekerjasama dengan Bank Indonesia dan sebagai penyalur kredit adalah Bank Pembangunan Daerah (BPD). Pada acara Dengar Pendapat Komisi IV DPR-RI yang disajikan dalam Kehutanan Indonesia edisi Khusus Tahun 1993 HGU tetap milik negara, yang dalam waktu tertentu diizinkan untuk usaha perkebunan yang menjamin fungsi hidrologis.
25
menyebutkan bahwa pilot proyek Kredit Usahatani Konservasi (KUK) dimulai pada tahun 1989 di Kabupaten Karanganyar seluas 109,23 ha dan Cianjur seluas 919,99 ha. Pada tahun 1990 dikembangkan di 6 Provinsi, yaitu Sumatera Utara, Sumetara Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I.Yogyakarta dan Jawa Timur meliputi areal seluas 952,27 ha melibatkan 2.235 petani. Kredit yang disalurkan kepada petani telah kembali dengan lancar (Redaksi Kehutanan Indonesia 1993). Namun berdasarkan Buku Perstatistikan Kehutanan Jawa Barat Tahun 1996/1997 yang dikeluarkan oleh Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Provinsi Jawa Barat sampai dengan Juli 1997 pengembalian kredit baru sebesar Rp. 10.388.610,- dari Rp. 595.138.836,yang disalurkan atau sekitar 17,45% yang baru dikembalikan petani (Kanwilhut Jabar 1997). Artinya pada tahapan pilot proyek, KUK tersebut berjalan dengan baik, tetapi berdasarkan laporan statistik pada tahapan pelaksanaan khusus di Jawa Barat KUK tersebut tidak berjalan dengan baik. Sampai dengan Pelita V telah banyak terbentuk institusi pemerintah pusat di daerah terkait konservasi tanah yang menangani penghijauan, persuteraan alam, perlebahan, hutan rakyat, dan penyuluhan kehutanan. Adalah BRLKT sebagai institusi utama yang bertugas dalam bidang perencanaan, pembinaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan konservasi tanah. Selanjutnya Institusi penunjang seperti Balai Teknologi DAS, Balai Teknologi Reboisasi, Balai Teknologi Perbenihan, dan Balai Persuteraan Alam. Pembentukan Institusi tersebut diharapkan mempunyai fungsi dan tugas integrasi mulai tingkat pusat sampai tingkat DAS. Akan tetapi pada pelaksanaan di daerah terdapat ketimpangan dalam pelaksanaan proyek/kegiatan penghijauan, dimana pemerintah daerah hanya bertugas sebagai pelaksana, tanpa diikutsertakan dalam proses perencanaan dan evaluasi. Memasuki tahun 1994 pada Pelita VI (1994–1998), Djamaludin Suryohadikusumo selaku Menteri Kehutanan (1994–1998) menerbitkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 86/Kpts-II/94 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Pusat di bidang Kehutanan Kepada Pemerintah Daerah Tingkat II. Urusan Pemerintah Pusat yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II adalah sebagai berikut: 1) Penghijauan dan koservasi Tanah dan Air; 2) Persuteraan Alam; 3) Perlebahan; 3) Hutan Rakyat atau Hutan Milik; 4) Penyuluhan Kehutanan; 5) Penyerahan seluruh personil Cabang Sub RLKT, PLP (Petugas Lapangan Penghijauan), dan PKS (Penyuluh Kehutanan Spesialis) yang sampai penelitian ini berlangsung belum ada regenerasi Penyuluh Kehutanan di wilayah Kabupaten Bogor. Seiring dengan diserahkannya sebagian tugas bidang kehutanan kepada pemerintah Daerah, pada beberapa daerah termasuk Kabupaten Bogor yang telah siap melaksanakan tugas tersebut, kemudian membentuk Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah (PKT). Tugas pokok dan fungsi Dinas PKT mengacu kepada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 36 Tahun 1998 tentang Pembentukan Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) Dinas Kehutanan Kabupaten. Khusus menangani pengembangan hutan rakyat, juga telah dibentuk seksi pengembangan hutan rakyat pada Dinas PKT Di Kabupaten Bogor. Kegiatan yang nyata dari Seksi Pengembangan Hutan Rakyat adalah kegiatan penghijauan (Tabel 13).
26
Tabel 13 Kegiatan kelompok penghijauan Seksi Pengembagan Hutan Rakyat tahun 1996–1998 di Kabupaten Bogor a. No. 1. 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Kecamatan Tahun 1996 (ha) Tahun 1997 (ha) Nanggung 221 0 Leuwiliang 562 723 Cibungbulang 162 756 Pamijahan 0 0 Ciampea 0 0 Ciomas 0 0 Dramaga 0 0 Cijeruk 0 0 Caringin 319 821,5 Ciawi 516 0 Cisarua 0 266 Megamendung 0 394 Cariu 625 924,5 Jonggol 653 0 Cibinong 0 101 Sukaraja 0 0 Rumpin 0 0 Cigudeg 288 0 Jasinga 0 713 Tenjo 354 0 Jumlah Kab. Bogor 3.700 4.699 a Dikutip dari dari Tabel 4.6.3 dalam BPS Kab. Bogor (1998).
Tahun 1998 (ha) 473 10 0 15 15 384 10 473 0 389 518 619 0 10 1 507 429 509 15 0 4.377
Selain lanjutan program penghijauan untuk pengembangan hutan rakyat, juga dilaksanakan kegiatan pendukung yaitu pembuatan kebun bibit. Berdasarkan catatan yang ada sampai dengan Maret 1997 wilayah Sub BRLKT Ciujung-Ciliwung tepatnya wilayah Bogor terealisasi 7 unit kebun bibit. Pada akhir Pelita VI program diperluas tidak hanya memberikan bantuan bibit penghijauan/hutan rakyat, juga dicanangkan program Kredit Usaha Hutan Rakyat yang ketentuan dan tata cara penyalurannya ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 49/Kpts-II/1997 tentang Pendanaan dan Usaha Hutan Rakyat. Hal-hal yang konsepsual dalam keputusan ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk kepentingan skala ekonomi, hutan rakyat didefinisikan sebagai hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 hektar dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan atau jenis lainnya lebih dari 50 % dan atau pada tanaman tahun pertama dengan tanaman sebanyak minimal 500 tanaman tiap hektar. 2. Usaha Hutan Rakyat adalah usaha untuk mengelola hutan rakyat (Min 900 ha/unit usaha) berdasarkan asas ekonomi dan asas kelestarian lingkungan. 3. Kredit Usaha Hutan Rakyat adalah pinjaman dari dana reboisasi yang dipergunakan untuk pengembangan usaha hutan rakyat (untuk jangka waktu 11 tahun). 4. Peserta kredit usaha hutan rakyat adalah petani (kelompok tani) yang mempunyai minat, kemauan dan kemampuan untuk membangun hutan rakyat melalui Sistem Kredit Usaha Hutan Rakyat yang bekerja sama dengan Mitra Usaha, sebagai salah satu usaha perhutanan sosial dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat/petani. 5. Mitra Usaha Hutan Rakyat adalah koperasi atau Badan Usaha yang
27
membentuk usaha kemitraan dengan Peserta Kredit Usaha. Hasil penulusuran informasi yang diperoleh program kredit usaha hutan rakyat (KUHR) ini tidak berjalan dengan baik di Kabupaten Bogor. Mitra usaha hutan rakyat yang seharusnya koperasi atau badan usaha ternyata fiktif/tidak jelas alamatnya. Mitra usaha yang sudah menarik dananya tidak mengalokasikan anggarannya untuk pembangunan hutan rakyat. Akibatnya tidak ada satupun tanaman dari KUHR yang telah dihasilkan. Berdasarkan hasil Tim Evaluasi Kredit Usaha RLPS yang diacu dalam Wuryanto (2009) menyatakan bahwa permasalahan umum penyebab kredit macet dalam KUHR adalah sebagai berikut: 1. Kantor mitra usaha sebagian besar sudah pindah alamat dan tidak jelas keberadaannya. 2. Bank Pembangunan Daerah (BPD) hanya bertindak sebagai penyalur tanpa menanggung resiko apabila terjadi kredit macet. 3. Pembinaan kepada petani dari instansi terkait seperti BPDAS dan Dinas Kabupaten masih belum optimal. 4. Banyak lokasi KUHR yang mengalami kegagalan dalam tahap penanaman karena faktor bibit dan tanaman yang mengalami kebakaran. 5. Di beberapa lokasi KUHR untuk jenis kayu sengon dan bambu tidak laku di pasar atau harga jual yang rendah. 6. Prosentase keberhasilan tanaman rendah di bawah 30% mengakibatkan sulit mencapai produksi optimum. 7. Terdapat lahan KUHR yang telah berpindah tangan. Berdasarkan kajian aspek hukum, menurut Wuryanto (2009) terjadinya kredit macet KUHR banyak disebabkan oleh wanprestasi. Wanprestasi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Tidak ditepatinya isi perjanjian antara Departemen Kehutanan dan BPD, dalam hal persetujuan administrasi. 2. Tidak ditepatinya isi perjanjian antara Bank Penyalur (BPD) dengan petani peserta KUHR dalam hal penyaluran kredit. 3. Tidak ditepatinya isi perjanjian antara Petani peserta KUHR dengan Mitra Usaha dalam hal kerjasama penyelenggaraan KUHR. Penyelesaian melalui hukum terhadap kredit macet KUHR di Kabupaten Bogor sulit dilakukan oleh Departemen Kehutanan karena keberadaan mitra usaha tidak jelas, sehingga upaya Departemen Kehutanan dalam penyelesaian kredit macet mengalami jalan buntu. Untuk beberapa kasus ketidakjelasan ini tidak hanya terjadi pada mitra usaha melainkan pada kelompok tani hutan (Wuryanto 2009). Masa Reformasi (1998–sekarang). Krisis ekonomi yang berdampak pada krisis multidimensi mulai mencuat pada tahun 1997. Dampak yang mencolok terjadi pada tahun 1998 yaitu adanya pergantian kepemimpinan nasional termasuk dalam sektor kepemimpinan kehutanan. Pergantian kepemimpinan ini menandai berakhirnya masa orde baru berganti dengan masa reformasi. Pada masa transisi reformasi sering terjadi pergantian kepemimpinan nasional karena gejolak politik pada waktu itu. Diawali pada tahun 1998 Dr. Ir. Muslimin Nasution menjabat sebagai Menteri Kehutanan dan Perkebunan (1998–1999),
28
kemudian Dr. Ir. Nur Mahmudi Ismail, M.Sc. sebagai Menteri Muda Kehutanan (1999–2001), dan dilanjutkan oleh Marzuki Usman selaku Menteri Kehutanan (Maret–September 2001). Pada akhir masa jabatan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Muslimin Nasution, dikeluarkan UU No. 41 Tahun 1999 menggantikan UU Kehutanan yang lama, yaitu UU No. 5 Tahun 1967. Pada prinsipnya UU No. 41 Tahun 1999 terkait hutan rakyat tidak ada perubahan, hanya terminologi ‘hutan milik’ pada UU No. 5 Tahun 1967 berubah menjadi ‘hutan hak’ yang didefinisikan sama dan lazim disebut hutan rakyat. Sebelum dikeluarkannya UU No. 41 Tahun 1999, pada tahun 1998 urusan kehutanan pada daerah semakin bertambah dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 62 tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagain Urusan Pemerintahan Bidang Kehutanan Kepada Daerah. Berdasarkan PP tersebut dalam Pasal 5 menyebutkan bahwa: Kepala Daerah Tingkat II diserahkan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan sebagai berikut: 1) Penghijauan dan konservasi tanah dan air; 2) Persuteraan alam; 3) Perlebahan; 4) Pengelolaan hutan milik/hutan rakyat; 5) Pengelolaan hutan lindung; 6) Penyuluhan kehutanan; 7) Pengelolaan hasil hutan non kayu; 8) Perburuan tradisional satwa liar yang tidak dilindungi pada areal buru; 9) Perlindungan hutan; dan 10) Pelatihan keterampilan masyarakat di bidang kehutanan. PP ini menyatakan dengan jelas bahwa kewenangan pengelolaan hutan rakyat menjadi urusan pemerintah Kabupaten/Kota. Sejalan dengan hal tersebut, dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang menegaskan kembali mengenai kewenangan kewenangan bidang kehutanan di daerah. Adalah Pasal 11 ayat 1 UU No. 22 Tahun 1999 secara tegas menyatakan bahwa kehutanan menjadi kewenangan Kabupaten/Kota. Dalam aspek alokasi anggaran, dengan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sumbersumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi adalah (1) Pendapatan Asli Daerah (hasil pajak daerah, retribusi, dan lain-lain), (2) Dana Perimbangan yaitu penerimaan negara dari sektor kehutanan harus dibagi 80% untuk daerah (16% untuk Provinsi dan 64% untuk Kabupaten/kota) dan 15% untuk pemerintahan pusat, dan (3) penerimaan lain yang sah. Diperjelas kembali dalam Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan, bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) yang berasal dari 40% Dana Reboisasi (DR) disediakan pemerintah untuk membiayai kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang dilaksanakan oleh daerah. Pelaksanaan desentralisasi terkait bidang kehutanan efektif dimulai sejak 2001 pada era Menteri Muda Kehutanan Nur Mahmudi Ismail, yaitu pada saat dikeluarkannya pedoman DAK-DR tahun 2001 dimana kegiatan pengembangan hutan rakyat, pengembangan aneka usaha kehutanan, penghijauan dan konservasi tanah merupakan empat diantara kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang dapat dibiayai oleh DAK-DR. Sejak itu pula kewenangan pemerintah kabupaten bidang kehutanan semakin bertambah. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, banyak Dinas PKT karena bertambahnya lingkup tugasnya berubah menjadi Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Bogor
29
terbentuk tahun 2001 dan berakhir tahun 2004. Kegiatan vegetatif merupakan kegiatan rutin dinas kehutanan dan perkebunan Kabupaten Bogor berupa pembuatan dan pemeliharaan hutan rakyat yang berasal dari anggaran APBN dan APBD Kabupaten Bogor. Pembuatan hutan rakyat seluas 28 ha berasal dari APBD dan 2.027 ha dari APBN pada tahun 2003 (Dishutbun Bogor 2004). Selain Skema DAK-DR, pada tahun 2002 pemerintah pusat melaksanakan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di bawah komando Ditjen Rehabilitasi dan Perhutanan Sosial (RLPS), berdasarkan Keputusan Ditjen RLPS Nomor : 093/Kpts/V/2002 Tentang Pedoman Umum Pengelolaan Dana Reboisasi Bagian Pusat (60 %) Untuk Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Provinsi, Kabupaten/Kota Melalui Skema Dokumen Anggaran Tahun 2002. Lingkup kegiatan berdasarkan keputusan Ditjen RLPS tersebut adalah kegiatan reboisasi dan penghijauan. Kegiatan penghijauan mencakup berbagai kegiatan, sebagai berikut: 1. Pembangunan hutan hak (hutan rakyat) pada kawasan lindung yang tidak layak dibiayai melalui skema pinjaman; 2. Penghijauan lahan kritis DAS; 3. Rehabilitasi mangrove; 4. Pengembangan aneka usaha kehutanan yang tidak layak dibiayai melalui skema pinjaman; 5. Pembuatan tanaman pada kanan kiri sungai, sekitar mata air; dan 6. Pembangunan Huta Kota. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No, 22 Tahun 1999 telah memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur rumah tangga dan mengelola sumberdaya hutannya sendiri. Kebijakan pemerintah Kabupaten Bogor dalam pengelolaan hutan rakyat masih mengacu pada kebijakan-kebijakan pusat (Kementerian Kehutanan). Kementerian Kehutanan yang pada waktu itu dipimpin oleh Muhammad Prakosa menetapkan kebijakan terkait hutan rakyat melalui rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan. Kebijakan ini merupakan salah satu dari lima kebijakan prioritas Departemen Kehutanan dengan fokus kegiatan Rehablitasi Hutan dan Lahan (RHL). Maka sebagai tindak lanjut percepatan RHL pemerintah mencanangkan GN-RHL/GERHAN (Gerakan Nasional Rehablitasi Hutan dan Lahan) yang direncanakan selama lima tahun, dimulai tahun 2003 – 2007 dengan sasaran seluas 3.000.000 ha (Lampiran 3). Kegiatan vegetatif GERHAN di Kabupaten Bogor difokuskan pada kegiatan pembuatan tanaman hutan rakyat. Tahun 2003 dan 2004 pembuatan hutan rakyat dilaksanakan melalui anggaran APBN dan APBD Kabupaten Bogor. Tahun 2003 kegiatan pembuatan tanaman hutan rakyat di Kabupaten Bogor dilaksanakan seluas 2.027 Ha melalui APBN dan 28 ha melalui APBD. Tahun 2004 seluas 1.605 ha melalui APBN dan 40 ha melalui APBD. Berdasarkan hasil evaluasi kegiatan GERHAN tahun tanam 2004 oleh Distanhut Kab. Bogor, prosentase tumbuh tanaman berkisar 60% hingga 95% dengan rata-rata 74,25% (Distanhut 2005). Hasil identifikasi permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan GERHAN tahun 2003–2004 adalah rendahnya intensifikasi pengelolaan hutan rakyat hasil GERHAN disebabkan
30
hal-hal sebagai berikut: 1. Masih rendahnya ketertarikan masyarakat terhadap upaya penanggulangan lahan kritis, sehingga hasil tanam dibiarkan begitu saja. 2. Jenis tanaman yang tidak diminati masyarakat, sehingga proses penanaman tidak memenuhi ketentuan. 3. Banyak tanah guntai yang dimiliki oleh orang luar (Jakarta), sehingga petani hanya menanam, tanpa memiliki tanaman tersebut. 4. Kualitas bibit yang rendah. Hasil penelitian Andriani (2008) mengungkapkan bahwa rendahnya kualitas bibit disebabkan oleh keterlambatan proses distribusi bibit, penanganan bibit dalam proses pengangkutan dan bongkar kurang baik, lokasi tempat penampungan sementara bibit yang tidak memenuhi syarat, serta kurangnya perhatian petugas terhadap bibit yang ada. Ada yang berbeda pada pelaksanaan GERHAN tahun 2005–2007, yaitu adanya pola RHL yang terbagi dalam 4 jenis. Pertama, Pola RHL Insentif yaitu pola RHL dilaksanakan di luar kawasan hutan negara dengan memberikan bantuan sebagian biaya pembuatan tanaman sebagai insentif bagi masyarakat/kelompok tani guna lebih mendorong semangat untuk berpartisipasi yang tinggi dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan. Kedua, Pola RHL Subsidi/Biaya Penuh, yaitu Pola RHL yang dilaksanakan dengan dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah di dalam kawasan hutan negara (HP, HL dan HK) dan di luar kawasan hutan negara khusus untuk perlindungan daerah tangkapan air (catchment area, waduk, bendungan dan danau), serta rehabilitasi di daerah tertinggal yang pelaksanaannya perlu melibatkan unsur masyarakat di sekitarnya. Ketiga, Pola RHL Model, yaitu pembuatan percontohan teknik rehabilitasi/pengelolaan hutan dan lahan. Keempat, kegiatan pendukung untuk menunjang setiap pola pelaksanaan kegiatan GERHAN di Kabupaten/Kota dan Provinsi berupa bimbingan teknis, pengembangan kelembagaan, monitoring dan evaluasi, dan penilaian. Pola pengembangan hutan rakyat dalam program GERHAN selama tahun 2005–2007 di Kabupaten Bogor adalah pembuatan dan pengkayaan hutan rakyat dengan pola insentif, model hutan rakyat blockgrant, model hutan rakyat kemitraan, dan model hutan rakyat pada daerah rawan bencana dan pasca bencana (Tabel 14). Tabel 14 Kegiatan tanaman hutan rakyat dalam GERHAN 2005–2007 di Kabupaten Bogor. Pola RHL Pengkayaan hutan rakyat insentif Pembuatan hutan rakyat insentif Pembuatan model hutan rakyat Blockgrant Pembuatan model hutan rakyat kemitraan Pembuatan model hutan rakyat pada daerah rawan dan pasca bencana Jumlah
2005a 700 ha 500 ha 1.200 ha
2006a 25 ha 100 ha 200 ha 100 ha 75 ha 500 ha
2007b 400 ha 1.000 ha 1.400 ha
a
Dikutip dari tabel dalam Distanhut Bogor (2006) b Dikutip dari tabel dalam Distanhut Bogor (2008)
Kebijakan pembuatan tanaman hutan rakyat di Kabupaten Bogor tidak hanya melalui program GERHAN, tetapi gerakan penanaman serentak untuk
31
mengkampanyekan pentingnya menanam pohon. Kecil Menanam Dewasa Memanen (KMDN), One Man One Tree (OMOT), dan akhir-akhir ini yang sedang gencarnya mengkampenyekan One Billion Indonesian Trees (OBIT). KMDN dilaunching oleh MS Kaban (Menteri Kehutanan RI periode 2004–2009) tanggal 24 September 2005. KMDN adalah program pembinaan cinta lingkungan bagi anak-anak yang masih duduk di Sekolah Dasar yang pelaksanaannya diprioritaskan melalui kegiatan penanaman pohon dilokasi seperti di halaman rumah, kebun keluarga, halaman sekolah dan atau di tempat lainnya, dengan maksud untuk menumbuhkembangkan minat generasi muda terhadap kegiatan tanam menanam di lingkungan masing-masing. Tahun 2008, KMDM dimasukkan sebagai salah satu kategori Lomba Penghijauan dan Konservasi Alam (PKA) Wana Lestari. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.432 / Menhut – II/ 2012 tanggal 9 Agustus 2012 telah ditetapkan Penerima Penghargaan Wana Lestari bagi pemenang lomba Penghijauan dan konservasi Alam Wana Lestari tahun 2012 untuk terbaik I kategori KMDN yaitu SDS Madania Kabupaten Bogor. Pada pencanangan Hari Menanam Pohon Indonesia dan Bulan Menanam Nasional tanggal 28 Nopember 2008, Presiden R.I. mengamanatkan bahwa pada Tahun 2009 agar dilaksanakan Gerakan Menanam Satu Orang Satu Pohon (One Man One Tree), yaitu gerakan penanaman pohon seluruh penduduk Indonesia untuk menanam minimal satu orang satu pohon. Tahun 2009 telah dilaksanakan Program “One Man One Tree” dengan tempat yang berlokasi di Kampung Cihideung RT. 08/ 02, Desa Cipelang. Selebihnya dilaksanakan disemua wilayah RT sedesa Cipelang. Program tersebut dalam rangka upaya penghijauan lahan terutama di lahan-lahan kritis untuk mencegah terjadinya bencana longsor. Jumlah pohon yang ditanam sebanyak 3.150 pohon dan jenis pohon yang ditanam dalam program tersebut adalah pohon Mahoni 750 pohon, pohon Sukun 400 pohon, pohon Jati 350 pohon, pohon Suren 1.500 pohon dan pohon Gemelina sebanyak 150 pohon. Gerakan penanaman satu milya pohon (one billion Indonesia trees/OBIT). Gerakan ini pada dasarnya perubahan dari gerakan one man one tree. Gerakan OBIT dilaksanakan di 40 kecamatan Kabupaten Bogor. Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Bogor dalam kebijakan terkait hutan rakyat sebagian besar mengacu kepada kebijakan nasional. Namun, dalam rangka mengatur rumah tangganya sendiri dalam bidang kehutanan di daerah, maka tahun 2004 Pemda Kabupaten Bogor mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Kab. Bogor Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Usaha Kehutanan dan Usaha Perkebunan. Seiring dengan itu, tahun 2005 dibentuk Dinas Pertanian dan Kehutanan (Distanhut) Kabupaten Bogor berdasarkan Perda Kabupaten Bogor Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. Distanhut sendiri merupakan gabungan dari 3 instansi yaitu Dinas Pertanian (Distan), Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun), serta Kantor Informasi Penyuluhan Pertanian (KIPP). Tupoksi Distanhut Kabupaten Bogor bidang kehutanan tergambar dalam Perda Kabupaten Bogor Nomor 7 Tahun 2004. Perda tersebut efektif dilaksanakan tahun 2006 melalui Peraturan Bupati (Perbup) Kab. Bogor Nomor 3 tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor
32
Nomor 7 tahun 2004 tentang Pengelolaan Usaha Kehutanan dan Usaha Perkebunan. Pasal 23 Perda Kab. Bogor No. 7 tahun 2004 menyebutkan bahwa kegiatan usaha budidaya kehutanan di luar kawasan hutan harus mendapatkan izin Bupati. Selanjutnya Pasal 41 menyebutkan penerbitan izin usaha kehutanan dapat dikenakan retribusi. Berdasarkan informasi dari Laporan Koordinasi Peningkatan Pengembangan Pengelolaan Hutan Tahun 2010, dikemukan bahwa sejak diberlakukannya Perda No. 7 Tahun 2004, Pemda Kabupaten Bogor belum menerima usulan perijinan usaha kehutanan sebagaimana tertuang dalam Perda tersebut (Distanhut Bogor 2010). Selanjutnya dikemukan juga bahwa hal tersebut disebabkan oleh: (1) Substansi Perda belum menyentuh kebutuhan masyarakat dan (2) Belum sepenuhya berorientasi pada pro-poor, pro-job, pro-growth di Kabupaten Bogor. Berdasarkan kondisi tersebut, pihak Pemda Kabupaten Bogor (cq Distanhut Kab. Bogor) akan menyempurnakan Perda tersebut. Pada tahun-tahun ini usaha hutan rakyat semakin dikenal dan diakui kebereadaannya, sehingga pemerintah memberikan perhatian terhadap Penatausahaan hasil hutan rakyat, dimana kayu rakyat agar tidak diberlakukan sama halnya dengan kayu dari hutan negara. Terbitnya Permenhut Nomor: P.51/Menhut-II/2006 tentang Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) untuk Pengangkutan Hasil Hutan Kayu yang Berasal dari Hutan Hak merupakan jawaban pemerintah terhadap perlindungan kayu rakyat. Kemudian dalam Perda No. 7 tahun 2004 dan Perbup No. 3 Tahun 2006 mengatur kembali penatausahaan hasil hutan tersebut dan menambahkan bahwa dalam proses penebangannya harus mendapatkan izin Bupati untuk penebangan lebih dari 50 pohon dan izin kepala dinas untuk penebangan kurang dari 50 pohon. SKAU merupakan bentuk penyederhanaan SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan) menggantikan Keputusan Menteri Kehutanan No. 126/KPTS-II/2003 tentang Penatausahaan Hasil Hutan. SKAU merupakan dokumen angkutan kayu yang berasal dari hutan hak atau lahan masyarakat. Beberapa pengguna SKAU menerima kebijakan ini karena mudah dan berbiaya murah dalam pengurusannya. Tapi perlu diperhatikan pula keluhan masyarakat 14 tentang penggunaan SKAU. Keluhan ijin tebang rupanya di respon pemerintah pusat, dengan mengeluarkan Permenhut No. P.30/MenhutII/2012 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Hak. Adalah Pasal 2 Ayat 2 dari Permenhut tersebut menyatakan bahwa pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan pada hutan hak tidak perlu izin penebangan/pemungutan. Implementasi SKAU di lapangan mengalami banyak kendala, baik dalam hal teknis ketidaksesuaian peraturan dengan fakta di lapangan maupun dalam hal proses adopsi kebijakan oleh petani dan stakeholder lainnya. Kendala tersebut terungkap dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Rifa’i (2011) di Desa Jugalajaya Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor, dimana 14
Keluhan umum di masyarakat dan menjadi ungkapan adalah ‘tanah-tanah saya, ditanam dan dipelihara oleh saya, ditebang oleh saya dan dijual oleh saya, mengapa harus ijin tebang dan menggunakan dokumen SKAU.
33
petani dalam melakukan proses pengurusan dokumen SKAU menyerahkan sepenuhnya kepada pembeli. Metode GERHAN sampai tahun 2007 sebagai tindak lanjut dari program Rehabilitasi Lahan (RHL) dianggap kurang optimal. Karena mekanisme proyek masih dominan dalam aplikasinya di lapangan. Tidak cukup usaha tersebut Kementerian Kehutanan c.q. BPDAS membuat program Kebut Bibit Rakyat. Berdasarkan Permenhut Nomor P.24/Menhut-II/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kebun Bibit Rakyat dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat tani hutan rakyat melalui fasilitasi pemerintah dalam penyediaan bibit tanaman hutan dan jenis tanaman serbaguna (Multi Purpose Tree Species/MPTS). Pedoman tersebut mengatur pelaksanaan program KBR mulai tahap perencanaa, pelaksanaan dan evaluasi. Menurut Dewi (2013) kebijakan pelaksanaan Program KBR masih terdapat kecenderungan dominasi peran pemerintah dalam setiap kegiatan. Berdasarkan informasi dari BPDAS Citarum Ciliwung hanya 40% saja yang dimanfaatkan oleh masyarakat dari 100% program KBR yang turun tiap desa. Jumlah Kelompok Tani Hutan yang sudah memanfaatkan KBR sebanyak 24 unit dengan total bibit 960.000 batang.
Kecenderungan Kebijakan Pengelolaan Hutan Rakyat
4 3 2 1 1945 1948 1951 1954 1957 1960 1963 1966 1969 1972 1975 1978 1981 1984 1987 1990 1993 1996 1999 2002 2005 2008 2011
Jumlah Bentuk Program/Kegiatan
Kebijakan pengelolaan hutan rakyat dilatarbelakangi oleh banyaknya lahanlahan kosong/kritis pada lahan milik. Lahan tersebut menjadi perhatian besar pemerintah terhadap erosi yang terjadi. Masa orde lama sampai dengan masa awal Pelita III (1979) pemerintah masih mengganggap fenomena kerusakan fisik tanah, banjir dan erosi menjadi tujuan dalam mengambil kebijakan terkait pengelolaan hutan rakyat. Tahun 1980, tujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat melalui usaha hutan rakyat mulai digagas dalam kebijakan pengelolaan hutan rakyat. Sampai dengan saat ini tujuan rehabilitasi lahan kritis pada lahan milik dan peningkatan pendapatan masyarakat menjadi dasar kebijakan pengelolaan hutan rakyat.
Tahun Persemaian
Penanaman
Bantuan Kredit
Gambar 2 Perkembangan bentuk program/kegiatan pengelolaan hutan rakyat. Bentuk-bentuk program/kegiatan kebijakan pengelolaan hutan rakyat didominasi kegiatan penanaman (Gambar 2). Perhatian pemerintah terhadap masalah lahan kritis diwujudkan melalui penanaman yang bersifat instruksi dan
34
kampanye (Gambar 3). Munculnya bentuk persemaian dan bantuan kredit yang bersifat pemberdayaan masyarakat berupa Kredit Usaha Tani Konservasi (1989– 1990), Kebun Bibit Desa (1994–1997) dan KUHR (1997) tidak berjalan dengan baik, karena kegiatan tersebut tidak dapat mendorong kemandirian masyarakat dalam usaha hutan rakyat. Guna mempercepat rehabilitasi lahan kritis tahun 2003–2007 dilaksanakan program Gerhan dalam bentuk penanaman yang bersifat instruksi. Tahun 2010 dilaksanakan pemberdayaan masyarakat melalui program KBR dalam bentuk persemaian. Ada kecenderungan bahwa bentuk program/kegiatan berupa persemaian yang bersifat pemberdayaan akan terus dilakukan. Hal tersebut karena masyarakat sudah mulai gemar menanam untuk usaha hutan rakyat dan hanya perlu fasilitasi persemaian. Begitu juga dengan kegiatan yang bersifat kampanye penghijauan terus digalakan. Frekuensi Kebijakan
4 3 3 2 2 1 1 1945 1948 1951 1954 1957 1960 1963 1966 1969 1972 1975 1978 1981 1984 1987 1990 1993 1996 1999 2002 2005 2008 2011
Tahun Instruksi
Pemberdayaan Masyarakat
Kampanye
Bantuan
Gambar 3 Perkembangan sifat dari bentuk program/kegiatan pengelolaan hutan rakyat.
4 PERKEMBANGAN PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT Kerangka Konsep Perkembangan Pengelolaan Hutan Rakyat Sebelum menguraikan bagaimana potret perkembangan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bogor, perlu difahami mengenai konsep hutan rakyat itu sendiri. Konsep atau terminologi hutan rakyat di Indonesia dari persepektif sejarah pertama kali dituangkan dalam penjelasan UndangUndang No. 5 Tahun 1967 yang menyatakan bahwa ‘hutan rakyat’ adalah sebutan lain untuk yang berstatus hak milik. Sebutan lain menurut pembuat UU berbeda sebutan oleh masyarakat ada leuweung, pabangbon (hutan bambu), dudukuhan, talun dan sebagainya. Namun, sebelum istilah hutan rakyat masuk dalam UUPK No. 5 tahun 1967, istilah tersebut sudah banyak dipergunakan peneliti/akademisi dalam mengkaji sumberdaya hutan pada
35
lahan milik, seperti dalam judul skripsi-skripsi 15 Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (sekarang Fakultas Kehutanan IPB) berikut: (1) Hutan Rakjat di Tjitjurug (Irwan Achmad 1961), (2) Analisis Ongkos-ongkos dan Penghasilan Hutan Rakjat di Tjitjurug (Iwi Ijos Sumarta 1963), (3) Peranan Albizzia falcataria sebagai Tanaman Rakjat di Djawa Barat (Sadikin Djaja Pertjunda 1959), dan (4) Perkembangan Hutan Rakjat dan Pengaruhnja pada Kesempatan Kerdja di Tjitjurug (Sudjadi 1963). Selanjutnya Istilah hutan rakyat diadopsi kembali dalam UUPK No. 41 Tahun 1999 sebagai pengganti UUPK No. 5 Tahun 1967. Unsur-unsur hutan rakyat dalam materi penjelesan UUPK No 41 Tahun 1999 antara lain berisi: 1. Hutan yang diusahakan sendiri, bersama orang lain atau badan hukum. 2. Berada di atas tanah milik atau hak lain berdasarkan aturan perundangundangan. Definisi ‘hutan’ itu sendiri dalam UUPK No. 5 Tahun 1967 selanjutnya UUPK No. 41 tahun 1999 yang telah dibuat pakar dan lembaga senantiasa merujuk pada suatu kawasan atau tempat tertentu sebagai suatu ekosistem dan dominasi pohon. Sejalan dengan definisi hutan tersebut di atas, maka definisi hutan rakyat menekankan pada ekosistem dan pohon itu sendiri, dan hak (hak milik, hak guna usaha, dan lain-lain) yang tidak dikuasai oleh Negara. Hardjanto (2000) menegaskan bahwa hutan rakyat merupakan “hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karenanya hutan rakyat juga disebut hutan milik”. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 49/Kpts-II/1997 tentang Pendanaan dan Usaha Hutan Rakyat, menyatakan bahwa untuk kepentingan skala ekonomi dalam penyaluran kredit usaha hutan rakyat, maka hutan rakyat didefinisikan sebagai hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 hektar dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan atau jenis lainnya lebih dari 50 % dan atau pada tanaman tahun pertama dengan tanaman sebanyak minimal 500 tanaman tiap hektar. Pembatasan luasan minimal hutan rakyat sebesar 0,25 ha menjadi acuan BPDASPS Kementerian Kehutanan dalam memandang hutan rakyat. Berdasarkan definisi tersebut di atas tanpa ada batasan luasan, secara nasional pemerintah melaksanakan program-program pembangunan hutan rakyat yang dimulai tahun 1980-an sampai sekarang. Meskipun definisi tersebut menjadi perdebatan, sampai saat ini pengusahaan hutan di tanah milik diakui secara formal sebagai usaha hutan rakyat baik oleh pemerintah maupun kalangan akademisi tanpa batasan luas minimal. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini, yang dimaksud hutan rakyat adalah suatu sumberdaya hutan yang diusahakan oleh masyarakat pada lahan diluar hutan negara. Selanjutnya, diperlukan adanya ukuran-ukuran perkembangan pengelolaan hutan rakyat untuk menilai gambaran perkembangan kinerja pengelolaan hutan pada lahan milik. Konsep pengelolaan hutan rakyat/milik itu sendiri menurut Hardjanto (2003) seharusnya identik dengan pengelolaan hutan negara. Ini berarti pengelolaan hutan rakyat dapat didekati melalui ukuran-ukuran yang menjadi konsep dasar pengelolaan hutan yaitu bagaimana memanfaatkan hutan dalam jangka panjang dengan memperhatikan aspek 15
Arsip tidak ditemukan
36
ekonomi, ekologi dan sosial (Davis et al. 2001). Selanjutnya Davis et al. (2001) mengemukakan bahwa Indikator yang telah banyak digunakan untuk mengukur kondisi dan kinerja pengelolaan hutan adalah: (1) pertumbuhan pohon, (2) hasil kayu, (3) daya dukung masyarakat, (4) komposisi hutan, struktur hutan dan proses yang terjadi di dalam hutan, dan (5) habitat spesies tertentu. Indikator 1-3 digunakan untuk mengukur kelestarian ekonomi dan sosial, sedangkan indikator 4 dan 5 membantu mengukur kelestarian ekologi. Menurut Ngadiono (2004) untuk mewujudkan ketiga kelestarian hutan (kelestarian ekonomi, sosial dan ekologi), membutuhkan integrasi ketiga aspek manajemen, yaitu manajemen kawasan, manajemen hutan dan manajemen kelembagaan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa manajemen kawasan dimaksudkan agar tidak mendatangkan konflik kepentingan penggunaan lahan maupun konflik tumpang tindih kepemilikan areal. Kemudian, kaidah utama manajemen hutan lestari dapat dilihat pada aspek manajemen hutan, yaitu bagaimana kelola produksi, kelola ekologi dan kelola sosial sudah dijalankan. Ketiga, sejauh mana aspek manajemen kelembagaan yang berupa penataan organisasi dan sumberdaya manusia dan dukungan dana dilaksanakan. Perkembangan selanjutnya terkait manajemen hutan rakyat lestari di Indonesia telah dibangun oleh Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI) melalui skema sertifikasi PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) lestari dan FSC (Forest Stewardship Counsil) melalui skema sertifikasi SLIMF (Small and Low Intensity Managed Forest) (Hinrichs 2008). Ukuran kriteria dan indikator yang dikembangkan memiliki karakteristik kriteria dan indikator masing-masing yang bermuara pada sertifikasi kelestarian hutan rakyat melalui prinsip kelestarian fungsi ekologi, fungsi ekonomi (produksi) dan fungsi sosial. Hasil penelitian Hinrichs (2008) menunjukkan bahwa penerapan skema PHBM LEI telah membantu kejelasan status lahan dan menguatkan posisi masyarakat dalam pengelolaan hutan. Berangkat dari hal tersebut, maka kriteria dan indikator yang telah dikembangkan oleh LEI menjadi dasar penggalian sejarah pengelolaan hutan rakyat pada yang dibatasi pada dimensi manajemen kawasan, dan manajemen hutan. Berdasarkan hal tersebut, ditetapkanlah indikator pengelolaan hutan rakyat lestari, kemudian ditetapkan kerangka analisis deskriptif kesejarahan pengelolaan hutan rakyat (Tabel 15). Hasil analisis berupa kronologi sejarah dari zaman sebelum kemerdekaan, Orde Lama (1945–1966), periode Direktorat Jenderal Kehutanan pada masa Orde Baru (1966–1983), periode Departemen Kehutanan pada masa Orde Baru (1984–1997), masa reformasi (1998–sekarang). Tabel 15 Kerangka analisis perjalanan sejarah pengelolaan hutan rakyat. Aspek Manajemen Manajemen Kawasan
Kelola • Sumber daya
Indikator Kejelasan status dan batas lahan, konflik lahan dan mediasi konflik.
• •
Kerangka analisis deskriptif kesejarahan pengelolaan hutan rakyat Perkembangan status dan batas lahan Perkembangan sistem penguasaan lahan
37
Tabel 15 Kerangka analisis perjalanan sejarah pengelolaan hutan rakyat (lanjutan). Aspek Manajemen Manajemen Hutan
Indikator
Kelola • produksi
•
• • Kelola sosial
Kesinambungan kegiatan penanaman, pemeliharaan, penebangan, dan penjualan hasil hutan rakyat. Manajemen penanaman, pemeliharaan, penebangan Perubahan luas hutan rakyat. Tata niaga hasil hutan.
Pola hubungan sosial dalam pengelolaan hutan.
•
• • • • • •
Kelola ekologi
Sistem silvikultur yang tepat
•
Kerangka analisis deskriptif kesejarahan pengelolaan hutan rakyat Kesinambungan kegiatan penanaman, pemeliharaan, penebangan, dan penjualan hasil hutan rakyat. Perkembangan manajemen penanaman, pemeliharaan, dan penebangan, Perkembangan pasar dan tata niaga hasil hutan Perkembangan luas dan produksi hutan rakyat. Perkembangan industri pengolahan kayu. Perkembangan pengaturan sistem kemitraan pengelolaan hutan rakyat Perkembangan sistem upah dan pembagian tugas dalam kelompok tani. Perkembangan pola tanam
Kelola Sumber Daya Masa Sebelum Kemerdekaan Status dan batas lahan pada masa tersebut sangatlah jelas. Kejelasan tersebut tergambar masyarakat yang pada waktu itu tunduk dengan aturan yang dibuat VOC. VOC memetakan mana yang boleh digarap masyarakat mana yang tidak boleh. Pedagang Cina pun ikut andil dalam penguasaan tanah pertanian dan perkebunan dengan cara menyewa kepada VOC. Masyarakat Rumpin (Bogor) dahulu menyebutnya dengan ‘Tuan Tanah Gobang’, yaitu pedagang Cina yang menguasai lahan pertanian dan perkebunan di Bogor. Tuan Tanah Gobang membebaskan masyarakat untuk menggarap lahan tersebut dengan syarat harus membayar Cukai (sekarang pajak) kepada Tuan Tanah Gobang berupa bagi hasil komoditi pertanian sebesar 5:1 (lima untuk penggarap dan satu untuk cukainya). Tidak semua dikuasai oleh tuan tanah gobang, di wilayah Bogor bagian barat tepatnya kewedanaan Jasinga 16 pada masa tersebut perusahaan bentukan pemerintah Belanda mengelola sendiri usaha perkebunan karet. Sedangkan wilayah hulu Cibungbulang pemerintah Belanda fokus pada usaha minyak seureh, dan wilayah Bogor bagian Timur ditanami dengan perkebunan teh. Semua usaha pemerintah Belanda tersebut 16
Jasinga merupakan wilayah kewedanaan yang dipimpin oleh seorang Wedanan dan meliputi 3 (tiga) Kecamatan yaitu Kecamatan Jasinga, Kecamatan Parungpanjang dan Kecamatan Cigudeg.
38
diwakilkan oleh penguasa lokal (Bupati/Wedana/Asisten Wedana/Desa) dengan mempekerjakan penduduk pribumi. Ketika Pemerintah Belanda memasuki wilayah Bogor sekitar tahun 1900-an, sumberdaya pertanian dan sumberdaya alam lainnya diambil alih oleh pemerintah Belanda dari VOC termasuk tanah-tanah yang dikuasai oleh Tuan Tanah Gobang. Pemerintah Belanda menutup sumberdaya alam (pertanian) dari masyarakat. Masyarakat dilarang memanfaatkan/menggarap kebun walaupun hanya mengambil kayu bakar. Apabila dilakukan, maka pemerintah Belanda memenjarakannya selama empat hari. Buku yang ditulis Ricklefs (2005) mengemukakan secara finansial keterlibatan VOC lebih dari 2 abad mengeksploitasi sumberdaya alam Indonesia merupakan suatu kegagalan, karena investasi tenaga manusia dan dana untuk pertarungan menguasai sumberdaya alam di Indonesia sangatlah tidak sebanding dengan hasilnya terkecuali oknum-oknum yang telah mendapatkan kekayaan pribadi secara korup 17. Sehingga tidak heran pada daerah lain, menurut Kartasapoetra et al. (1987) beberapa perkebunan komersial (kopi, lada, cenkeh) dihancurkan oleh Belanda, karena orang pribumi dituduh mamanfaatkan komoditas komersial yang tidak termanfaatkan lagi oleh VOC. Ketidakrelaan Belanda terhadap orang pribumi memanfaatkan perkebunan dan kehutanan tersebut berlangsung cukup lama dan banyak orang pribumi meninggal karena kelaparan. Jadi semasa pendudukan kolonial Belanda sampai tahun 1930-an banyak lahan kering di wilayah Bogor yang berupa kebun campuran dibiarkan tanpa pengelolaan dan berkembang secara alami. Belanda sendiri pada waktu tersebut lebih fokus pada tanaman karet (Hevea brasiliensis) 18 terutama di wilayah Jasinga 19 dan menurut Ricklefs (2005) di Sumatera tanaman karet ini berkembang lebih pesat mengungguli Jawa. Masa pendudukan Jepang terhadap sumberdaya hutan di wilayah Bogor diperkirakan mulai tahun 1942. Kebijakan Belanda menutup sumberdaya hutan untuk dimanfaatkan orang pribumi, dilanjutkan oleh pemerintah Jepang terutama di daerah Rumpin. Masyarakat yang hendak mengelola dan memanfaatkan hutan/kebun ditangkap dan dipenjarakan selama tujuh hari. Penderitaan kaum pribumi di kewedanaan Jasinga terjadi dalam bentuk yang berbeda, dimana hasil panen harus disetorkan ke Jepang. Hasil panen tersebut banyak juga yang gagal. Kondisi tersebut membuat masyarakat terpaksa menjadi buruh perkebunan karet, dan sebagian warga lain terpaksa menjadi romusa (kerja paksa) untuk membangun lapangan terbang di Rumpin. “.......Penjajah Jepang lebih kejam dari Belanda, setiap petani yang menggarap dan memanfaatkan hasil hutan di wilayah Rumpin ditangkap dan dipenjara selama 7 hari.....ada juga romusa kebun karet dan membuat lapangan terbang.....(Pengakuan Bp. H Srm Usia lebih dari 90 tahun dan dibenarkan oleh 2 warga lainnya)”. 17
sistem tanam paksa (cultuustelsel) disinyalir menjadi salah satu hal yang dikorup. Pohon karet asli (ficus elastica) yang telah diusahakan mulai tahun 1864 dianggap tidak berhasil. 19 Meliputi Desa Setu, Pangradin, Sipak, Koleang, Curug dan desa Cikopomayak. Tanaman Karet peninggalan Belanda masih ada dan masih dimanfaatkan di wiilayah Desa Pangradin dan Desa Jugalajaya (sekarang desa pemekaran dari Desa Pangradin), beberapa bagian sudah ditebang dan ditanami kembali tanaman karet dan lainnya dikonversi menjadi tanaman sengon. 18
39
Pada masa sebelum kemerdekaan konsep kepemilikan (property) memang belum dikenal. Masyarakat menggarap apa yang masyarakat bisa garap dan diperbolehkan oleh penguasa (VOC, Belanda dan Jepang). Tanah yang tidak diakui oleh penguasa dapat digarap oleh masyarakat. Terdapat juga lahan yang digarap atas dasar sistem penguasaan tanah turun temurun, dimana dahulu diperoleh masyarakat dari membuka hutan dan semak-semak dengan luasan yang kecil-kecil. Pada masa itu belum dikenal jual beli, hanya ada sewa menyewa dari penguasa dengan cara bagi hasil panen. Berbeda dari kawasan kewedanaan Jasinga, Belanda lebih memilih kawasan perbukitan Rumpin untuk tidak digarap oleh penduduk lokal. Tidak ada keterangan yang jelas mengapa belanda melarang masyarakat menggarap tanah perbukitan Rumpin. Masyarakat memilih menggarap/atau memanfaatkan lahan yang dikuasai Belanda secara diam-diam demi memenuhi kebutuhan hidupnya, walaupun resikonya masuk penjara. Masa Orde Lama (1945 – 1965) Melalui Undang-Undang No.13 Tahun 1946, pemerintah menghapuskan hak-hak istimewa yang dimiliki para penguasa-penguasa lokal (desa) Tanahtanah masyarakat yang luas dipotong setengah (dengan kompensasi) dan didistribusikan pada para petani yang tidak memiliki tanah. Belum sempat menata pertanahan di Indonesia, pemerintah dihadapkan oleh agresi militer Belanda II. Tanggal 19 Desember 1948 Belanda menyerbu dan menduduki seluruh wilayah RI, sehingga berlangsung perang gerilya selama kurang lebih 8 bulan. Namun dibalik gejolak perang kemerdekaan, masyarakat Bogor mengalami uporia dalam pengelolaan sumberdaya hutan/kebun campuran yang semula diduduki oleh VOC (tuan tanah), Belanda dan Jepang. Masyarakat merasakan kegembiraan karena bebas memanfaatkan sumberdaya hutan untuk keperluan hidupnya, terutama masyarakat yang tidak memiliki lahan sawah. Berdasarkan kesaksian warga Rumpin, lahan sekitar 1.000 ha yang di klaim Belanda kemudian Jepang telah kembali dikelola oleh masyarakat dan banyak ditanami pohon durian. Konon menurut warga Rumpin, Durian yang terkenal dengan sebutan ‘Duren Parung’ (1970–1980) buahnya berasal dari Rumpin yang dipasarkan di Parung, karena tidak ada akses jembatan yang ke arah Jasinga, Leuwiliang dan Ciampea, sehingga pemasarannya terpusat di Parung. Memasuki jaman demokrasi liberal (1950–1959) Jawatan Kehutanan pun mulai berbenah karena kembalinya kedaulatan Jawatan Kehutanan dari tangan Belanda. Klaim-klaim terhadap lahan berhutan mulai dilakukan oleh Jawatan Kehutanan. Menurut masyarakat lahan yang dikuasai penjajah merupakan milik pemerintah (Jawatan Kehutanan). Masyarakat yang semula bebas menggarap kebun/hutan merasa direnggut kembali oleh bangsa sendiri. Pegawai Jawatan Kehutanan mengejar dan menangkap serta memenjarakan masyarakat yang berhuma/berkebun dan memanfaatkan lahan tersebut. Kejadian ini berlangsung cukup lama. Konflik tersebut terus berlangsung di wilayah Rumpin-Bogor, dimana masyarakat merasa tanaman kopi, cengkeh, dan buah-buahan adalah milik masyarakat karena pada masa VOC masyarakat yang menanam. Sedangkan Jawatan Kehutanan menganggap lahan tersebut milik Jawatan Kehutanan karena peninggalan Jawatan Kehutanan Belanda
40
dengan alasan proses nasionalisasi perusahaan peninggalan penjajah. Hingga pada tahun 1955, Tokoh masyarakat dan HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) bernegosiasi mulai dari tingkat kecamatan sampai pemerintah daerah. Tahun 1964 tokoh masyarakat dan HKTI tersebut bisa bertemu dengan Soedjarwo dan memprotes tindakan pegawai Jawatan Kehutanan. Soejarwo tidak membenarkan tindakan tersebut. Beliau mendapat laporan bahwa tanah tersebut merupakan lahan tandus/kritis yang tidak dimanfaatkan masyarakat, sehingga perlu dilakukan usaha pengawetan tanah dan air dengan cara dikelola pemerintah. Untuk membuktikannya Soedjarwo meninjau langsung ke lapangan (sekarang masuk wilayah Rumpin, Cigudeg, dan Parung Panjang), pada akhirnya Soejarwo memerintahkan agar lahan dimaksud bebas digarap oleh masyarakat dan tidak diganggu oleh Jawatan Kehutanan. Untuk lahan-lahan perkebunan teh dan karet di Bogor berdasarkan informasi yang diperoleh mulai diambil oleh pemerintah Indonesia (nasionalisasi) pada akhir era Presiden Soekarno sekitar tahun 1960-an. Pengelolaannya dilakukan oleh PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) dan beberapa perkebunan teh dikonversi menjadi perkebunan karet dan sawit. Mendasari kebijakan nasionalisasi penguasaan lahan tersebut adalah dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria atau dikenal UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria). Menurut Pasal 16 UUPA, sistem penguasaan tanah di Indonesia mengakui adanya berbagai hak yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain yang tidak termasuk hak-hak tersebut yang akan ditetapkan dalam undang-undang. Periode Direktorat Jenderal Kehutanan pada Masa Orde Baru (1966–1983) Berdasarkan UUPA No. 5 Tahun 1960 serta UUPK No. 5 tahun 1967, maka hutan milik (hutan rakyat) merupakan kepemilikan dengan hak yang paling penuh dan paling kuat yang bisa dimiliki atas tanah dan yang dapat diwariskan turun temurun. Dimana hak milik dapat dipindahkan kepada pihak lain. Tetapi hanya warga negara Indonesia (individu) yang bisa mendapatkan hak milik, sedangkan jika menyangkut korporasi maka pemerintah akan menentukan korporasi mana yang berhak mendapatkan hak milik atas tanah dan syarat yang harus dipenuhi oleh korporasi untuk mendapatkan hak ini. Ketentuan-ketentuan UUPA menampakkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat banyak, terutama golongan ekonomi lemah dengan mengutamakan pembangunan di bidang pertanian melalui usaha-usaha pemberdayaan rakyat tani. Sebagai contoh seperti tercantum dalam UUPA: a. Pasal 6: “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial” b. Pasal 7: “Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”. c. Pasal 17 ayat (3): “Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan........” Lahirnya Orde Baru 1965 tidak sempat melihat sejauh mana UUPA ini berpihak kepada rakyat. Berbeda dengan kebijakan Penguasa Orde Lama,
41
Penguasa Orde Baru mengutamakan pertumbuhan melalui pembangunan industri pengolahan bahan-bahan baku yang berasal dari impor. Pertumbuhan melalui pembangunan industri dengan jumlah modal yang cukup besar, yang hanya dipunyai oleh golongan ekonomi yang kuat, nasional dan asing. Maka dalam mengejar pembangunan pertumbuhan ekonomi pemerintah membuka peluang sebanyak mungkin investor dalam eksploitasi sumberdaya hutan melalui skema HPH dan industri pengolahannya. Stabilitas ekonomi dan politik Indonesia mulai stabil sekitar tahun 1970-an. Pada masa tersebut sistem penguasaan tanah pertanian sudah mulai berkembang ditandai dengan adanya praktek jual beli dan sewa. Petani yang memiliki kemampuan (emas, uang, hewan ternak) memiliki banyak akses (dengan cara: sewa, jual beli, gadai) untuk menggarap tanah yang lebih luas. Sedangkan petani miskin hanya dapat mengakses lahan dengan cara maparo (bagi hasil) dan buruh. Memasuki tahun 1980-an, usaha kehutanan mengalami masa keemasan. Kebutuhan bahan baku kayu baik untuk industri kecil sampai besar terpenuhi dari hutan negara (HPH, HTI, Perhutani). Apabila direfleksikan terhadap kondisi kebun campuran/hutan rakyat di wilayah Bogor, maka kondisi tersebut membuat pemilik kebun tersebut tidak mau mengusahakan kebunnya dan membiarkannya, karena menganggap keberadaan kayu pada kebunnya tidak bernilai sama sekali, akibat melimpahnya kayu dari luar Jawa. Hanya jika musim buah-buahan, masyarakat memanen buah dan menjualnya. Beberapa pemilik kebun yang yang tidak memiliki pohon buah-buahan dan kurang subur, masyarakat menjual kebun tersebut kepada tuan tanah lokal. Hal tersebut terjadi pada lahan yang kurang subur di wilayah Pamijahan dan Ciampea Atas dan Tenjolaya. Berikut hasil wawancara dengan ketua kelompok tani yang merupakan anak dari kepercayaan tuan tanah di Kecamatan Tenjolaya: “Kayu-kayu lokal tidak laku dijual, apalagi kayu jeunjing, harus sebesar kerbau baru bisa dijual....walaupun sudah sebesar kerbau, jika akses pengangkutan sulit,,,, pohon yang berdiameter besar dibiarkan saja sampai lapuk....” “masyarakat pemilik lokal mulai banyak menjual tanahnya kepada tuan tanah lokal tahun 1980-an di wilayah Pamijahan Atas, Gunung Malang dan Tenjolaya.... umumnya berada pada daerah yang berbatasan dengan TN Halimun Salak 20”. Akibat jual beli lahan oleh tuan tanah lokal, maka status lahan garapan di wilayah Cibungbulang, Pamijahan, Tenjolaya dan Ciampea mulai berimbang antara lahan milik sendiri dan milik orang lain, tetapi sebelumnya atau sekitar tahun 1960-an umumnya masyarakat menggarap lahan milik sendiri. Tidak semua milik orang lain bisa digarap oleh masyarakat, ada juga yang dibiarkan begitu saja. Berbeda dengan di wilayah Jasinga, pada tahun 1980-an banyak eks perkebunan digarap masyarakat walaupun dengan kemampuan seadanya. Di Kecamatan Tamansari pada periode 1980–1983 banyak lahan eks perkebunan tidak lagi digarap dan dikelola masyarakat, sehingga berupa lahan tidur yang penuh alang-alang (Andriani 2008). 20
Petikan hasil wawancara dengan ketua KTHR di Kecamatan Tenjolaya.
42
Struktur kepemilikan seperti di atas (arisan, jual beli, maro) sangatlah kuat. Petani yang benar-benar memiliki tanah secara sungguh-sungguh berusaha untuk mencapai hasil dan kemampuan dari tanahnya. Berbeda pada lahan garapan eks perkebunan, tanah guntai dan tanah milik yang sudah menurun kesuburannya. Umumnya tanah tersebut penggarapannya dilakukan secara ekstensif karena struktur kepemilikan yang sangat goyah. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi usaha ekstensifikasi menurut Team Survey AIK (1970) adalah suatu keadaan turun-temurun mengusahakan lahan skala kecil dan keterbatasan kemampuan mengelola areal yang cukup luas (bekas perkebunan), yang berakibat pada usaha ekstensifikasi. Periode Departemen Kehutanan di Orde Baru (1984–1997) Mulai dari Ditjen Kehutanan (1966–1983) sampai dengan masa Departemen Kehutanan (1984–1997) pada era Orde Baru, kebijakan terkait penguasaan lahan masih mengacu pada UUPA No. 5 tahun 1960. Walaupun pada aplikasinya keberpihakan kepada rakyat kecil belum terlihat. Masih ada masyarakat jadi buruh tani karena tidak memiliki lahan, sedangkan beberapa orang memiliki lahan dengan luas melebihi kewajaran. Kebijakan lain tentang HPH, mendorong ekstraksi kayu yang berlebihan pada hutan negara menimbulkan ketersediaan kayu hutan negara semakin berkurang. Industri pengolahan kayu yang tumbuh pesat menambah kesenjangan demand terhadap supply kayu. Disadari bahwa pemintaan (demand) atas bahan baku kayu untuk industri tidak lagi dapat dipenuhi oleh pasokan (supply) kayu dari hutan negara, maka mulai tahun 1990-an produksi hutan rakyat terutama dari Jawa dipergunakan untuk memenuhi pemintaan industri kayu. Iklim pasar kayu rakyat yang mulai membaik, membuat petani melirik hutan rakyat dan mengusahakannya untuk dijual kayunya. Masa Reformasi (1998–sekarang) Dampak krisis ekonomi yang nampak terhadap pola penguasaan lahan di wilayah Bogor Barat adalah semakin banyaknya pembeli tanah dari luar daerah untuk menginvestasikan pada tanah di pedesaan. Investor umumnya tinggal di Jakarta dan Kota Bogor, kemudian meninggalkan tanahnya begitu saja. Ada yang di pagar, ada yang dibebaskan untuk digarap oleh masyarakat. Contoh kasus yang terjadi di Desa Situ Udik, pemilik tanah memperbolehkan petani menggarap tanah, dengan catatan masyarakat tidak mengganggu pohon-pohon yang sudah ditanam sebelumnya. Ada juga yang menggarap dengan syarat PBB atas tanah tersebut dibayar oleh penggarap. Dapat dipastikan bahwa di daerah Tenjolaya, Pamijahan dan Cibungbulang lahanlahan kering yang ditanami tumbuhan berkayu (hutan rakyat) umumnya dimiliki oleh orang luar desa. Berdasarkan informasi dari informan, bahwa kepemilikan lahan tanah kering di wilayah hulu Bogor Barat banyak dimiliki oleh petinggi/matan petinggi negara serta beberapa perusahaan “X” yang masing-masing memiliki rata-rata lahan seluas 30 ha. Kondisi tersebut berbeda pada wilayah Jasinga, Parung Panjang, dan Cigudeg. Di wilayah ini kepemilikan tanah sebagian besar dimiliki oleh penduduk setempat. Status kepemilikan lahan oleh penduduk setempat umumnya menggunakan girik, sedangkan pemilik luar desa sudah
43
menggunakan sertifikat. Walaupun ada, sertifikat yang dimiliki penduduk setempat diperoleh dari program sertifikat gratis dari pemerintah setempat. Seperti yang terjadi di Kecamatan Jasinga tahun 2008, yaitu seluas ± 1.000 ha 21 lahan ex HGU PT. Perkebunan Jasinga 22 dihibahkan kepada masyarakat di 10 Desa (antara lain Desa Pangradin, Jugalajaya, Sipah, Soleang) wilayah Kecamatan Jasinga berikut sertifikatnya untuk masing-masing warga. Hasil konfirmasi kepada Pemerintah Daerah, kebijakan hibah dan sertifikasi tanah dimaksudkan untuk dapat memberdayakan petani lokal, serta sertifikat yang telah dimilikinya dapat diagunkan untuk modal kerja yang selalu dikeluhkeluhkan oleh petani karet rakyat karena kekurangan modal.
Kelola Produksi Masa Sebelum Kemerdekaan Jauh sebelum Belanda datang ke Bogor berdasarkan informasi dari warga Rumpin, masyarakat sekitar hutan hanya memanfaatkan hutan sebatas pada pengambilan kayu bakar dan kayu untuk bangunan rumah seadanya. Pola pertaniannya dengan cara berhuma di lahan kering, pohon-pohon di pelihara hanya sebatas untuk pelindung dan batas lahan. Selanjutnya ketika Belanda menguasai lahan-lahan kering di Rumpin, akses kelola untuk memanfaatkan hutan dibatasi oleh Belanda. Hanya yang mampu menyewa melalui tuan tanah yang berhak menggarapnya. Hal tersebut hanya terbatas pada lahan basah yang untuk tanaman pangan. Pada lahan kering, teknik “ngahuma” 23 atau berhuma sudah lama telah dilakukan masyarakat Rumpin. Masyarakat menanam tanaman pokok berupa tanaman pangan dan diselingi tanaman berkayu. Berbeda dengan wilayah Rumpin, di wilayah Jasinga Belanda memfokuskan pada perkebunan karet, sehingga banyak warga yang menjadi buruh tanaman karet tersebut. Pada saat itu juga pertama kali masyarakat diperkenalkan dengan teknik penanaman monokultur. Masyarakat mengenal teknik penanaman, pemeliharaan sampai pemanenan getah karet. Berdasarkan informasi yang diperoleh, proses pengentalan getah karet tradisional yang berada di Desa Jugalajaya dan Pangradin (Jasinga) merupakan teknologi warisan Belanda. Di luar lahan perkebunan, di Jasinga menurut Wirakusumah (1964) banyak lahan-lahan kering ditumbuhi dudukuhan 24, yaitu suatu campuran tidak teratur tegakan liar kayu-kayuan yang sebagian besar terdiri dari pohon 21
Kepala BPN Kabupaten Bogor, Drs. H. Muhammad Setia Budi, MM secara resmi menyerahkan sertifikat Hak Pakai lahan 100 hektar atas nama Pemerintah Kabupaten Bogor dan 5000 sertifikat atas nama warga di 10 desa se-Kecamatan Jasinga dengan luas lahan sekitar 1000 ha yang diperoleh dari hasil persengketaan dan musyawarah dengan PT. Perkebunan Jasinga selaku pemilik lahan. Sertifikat tersebut diterima secara simbolis oleh Bupati Bogor, H. Agus Utara Effendi, SIP pada tanggal 21 Januari 2008 di Pendopo Kabupaten Bogor (Humas PemKab Bogor) 22 PT. Perkebunan Jasinga mengelola tanah untuk usaha perkebunan karet seluas 2.426,9279 Ha berdasarkan Surat Keputusan dari Mendagri No. Sk.57/HGU/DA/1978 tanggal 3-8-1978 tentang pemberian HGU PT. PP Jasinga. Masa berlaku HGU tersebut telah berakhir pada tahun 1998. 23 Sebutan masyarakat Rumpin dalam usaha tani pada lahan kering. 24 Dudukuhan adalah istilah kebun campuran dalam bahasa sunda.
44
buah-buahan. Lanjutnya, tegakan tersebut merupakan tegakan alam dimana campur tangan manusia masih sangat terbatas. Keberadaan tegakan liar bagi pemiliknya memang memberikan penghasilan yang tidak sedikit, namun usaha yang intensif dalam mengoptimalkan penghasilan dari tegakan tersebut sangatlah kurang (Wirakusumah 1964). Pada masa itu, tidak ada informasi mengenai keberadaan industri pengolahan kayu. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan dudukuhan yang cukup banyak tidak memberikan dorongan munculnya industri pengolahan kayu. Warga lain selain Jasinga menyebut istilah dudukuhan dengan leuweung (hutan), warga boleh membuka huma (ladang), sawah, kebun, talun, mengambil rumput, mengambil kayu bakar dengan bebas. Hutan ini biasanya tidak jauh dari pemukiman penduduk dan belum ada informasi yang jelas tentang pembagian lahannya. Masa Orde Lama (1945–1965) Pada awal kemerdekaan sekitar tahun 1945–1950 merupakan masa di mana kebebasan petani (penduduk lokal) dalam menggarap lahan sangatlah luas. Hal tersebut karena penjajah sudah pergi dan Pemerintah Indonesia masih sibuk menata kelembagaannya. Hanya saja kesempatan tersebut tidak didukung oleh pengetahuan kelola produksi yang baik serta kondisi pasar tidak mendukung untuk usaha hutan rakyat. Tahun 1950-an menurut Wirakusumah (1964) gerakan-gerakan massal penanaman yang digagas mulai tahun 1952 di wilayah Jasinga telah mendorong kegiatan pengerjaan kayu. Itu pun masih terbatas pada kayu-kayu hasil gerakan penanaman pada lahan kosong, walaupun belum begitu berarti. Sebagian besar masyarakat menebangnya karena pohon dari hasil gerakan penanaman sangat mengganggu tanaman pangannya. Kondisi dudukuhan yang tertutup dan tidak teratur, menunjukan bahwa teknik pengelolaan hutan yang masih terbatas. Ditambah dengan masyarakat pada waktu itu, belum melihat keuntungan yang lebih dari tegakan-tegakan tersebut. Keuntungan yang diperoleh oleh masyarakat untuk menambah penghasilannya adalah dari pengusahaan karet rakyat. Kecamatan Jasinga merupakan daerah penghasil karet rakyat di Kabupaten Bogor yang sebagian besar produksinya berasal dari Desa Pangradin dan Desa Jugalajaya. Namun demikian tingkat produksi yang dihasilkan dari kebun karet rakyat tersebut masih rendah dan pengelolaannya masih sederhana dan kurangnya modal. Periode Direktorat Jenderal Kehutanan di Orde Baru (1966–1983) Kegiatan penghijauan yang di gagas di awal orde baru sampai tahun 1980 belum bisa menyadarkan masyarakat akan manfaat ekonomi dari pohon. Pohonpohon yang sudah ditanam dan tumbuh besar belum sepenuhnya dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, hanya sebatas pengambilan kayu bakar dan perumahan sederhana yang tercukupi dari kebun campuran. Sengon yang menjadi andalan tanaman penghijauan pada waktu itu belum bisa memberi manfaat langsung dan dibiarkan busuk begitu saja. Kebutuhan kayu bakar yang dominan pada periode ini masih bisa dicukup dari dudukuhan. Program kerakyatan yang saat itu menurut masyarakat sangat menyentuh kebutuhan masyarakat adalah swasembada cengkeh diakhir 1970 dengan cara
45
memperluas areal cengkeh (Balitbang Pertanian 2007). Saat cengkeh telah menjadi bahan baku rokok, kebutuhan cengkeh terus meningkat dan harga jual cengkeh yang relatif tinggi membuat penduduk setempat tertarik untuk mengembangkan cengkeh. Dudukuhan (kebun campuran dominasi buah-buahan) mengalami perubahan yaitu semakin banyaknya pohon cengkeh di areal dudukuhan. Tidak hanya di dudukuhan, sekitar tahun 1980-an setiap halaman rumah bisa dipastikan ada pohon cengkehnya. Fenomena ini terjadi juga pada lahan yang ditanami pohon karet. Pergeseran pengusahaan tanaman dari karet menjadi cengkeh khusus di wilayah Jasinga terjadi tidak hanya karena harga cengkeh yang membaik, melainkan oleh banyak pohon karet yang rusak karena tua dan terlambat peremajaan serta banyak diantaranya dijadikan kayu bakar (Agustinardi 1987) Seiring dengan perkembangan perkebunan cengkeh rakyat, perkembangan kayu rakyat mulai dirasakan masyarakat pada tahun sekitar 1980-an. Sejak berdirinya pengolahan kayu “Bekasi Teguh” tahun 1983 yang membutuhkan banyak bahan baku, banyak para tengkulak yang mencari kayu ke wilayah Ciampea, Leuwiliang dan Jasinga. Sejak itu pula masyarakat mulai merasakan (karasa) manfaat dari tanaman penghijauan. Masyarakat yang melihat (katingali) manfaat tersebut tergerak untuk ikut menanam pohon. Pada saat itu, jarak tanam pun mulai diperhatikan masyarakat untuk memperoleh diameter pohon yang besar, karena kayu-kayu dengan diameter kecil masih belum laku di pasar. Selain itu memberi kesempatan lebih lama terhadap tanaman pangan yang ditanam di sebelahnya. Penjarangan tidak dilakukan karena jarak tanam yang cukup jauh. Namun bagi petani dengan rata-rata kepemilikan lahan kecil usaha penghijauan dengan hutan rakyat kuranglah relevan, karena petani akan kehilangan tempat usahanya yang biasa digunakan untuk tanaman pangan. Periode Departemen Kehutanan di Orde Baru (1984–1997) Awal tahun 1980-an masyarakat semakin mengenal jarak tanam dan teknik penanaman pun dikenal dengan baik sejak mulai maraknya proyekproyek pemerintah berupa penghijauan tahun 1976 sampai 1980-an. Namun beberapa masyarakat masih tidak mau meninggalkan tanaman pangannya pada daerah yang subur, karena untuk kebutuhan sehari-hari. Sehingga pada awal periode ini hampir semua hutan rakyat memiliki pola kebun campuran, kecuali perkebunan karet. Pada daerah yang aksesibilitasnya sulit dan lahan marjinal umumnya ditanami hanya tanaman kayu itu pun hasil penanaman penghijauan dan sebagian kecil saja ditanami tanaman singkong secara swadaya yang berada di desa-desa Kecamatan Ciampea. Sejak mulai meningkatnya program pembangunan Hutan rakyat dari pemerintah tahun 1984, tahun 1990 pohon-pohon hasil tanaman tersebut mulai terbentuk hutan rakyat homogen, walaupun pada luasan yang relatif kecilkecil. Tanaman hasil swadaya masyarakat pun semakin ramai. Eksistensi hutan rakyat pada tahun 1980-an direspon Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai data subsektor tersendiri, terpisah dari subsektor hutan negara. Berdasarkan catatan BPS hutan rakyat di Kabupaten Bogor dari tahun 1989 sampai dengan 1998 mengalami fluktuasi (Gambar 4). Peningkatan terjadi dimulai tahun 1990 sampai dengan 1993 (Tabel 16 No. 9) saat program
46
sengonisasi Departemen Kehutanan dilaksanakan. Beberapa lahan kosong yang ditanami sengon dan serta pengkayaan hutan rakyat dengan tanaman sengon meningkatkan luas hutan rakyat pada periode tersebut. Tahun 1994 luasan hutan rakyat mengalami penurunan yang drastis. Hal tersebut karena pada tahun tersebut mulai banyak penebangan hutan rakyat. Hasil penelitian khairiyah (2012) di Kabupaten Bogor bagian barat menunjukkan angka penebangan yang tinggi pada tahun 1994 dan 1998. Hal tersebut menjadi penyebab penurunan luas hutan rakyat pada tahun tersebut.
Luas (ha)
40.000 30.000 20.000 Hutan Rakyat
10.000 1998
1997
1996
1994
1993
1992
1991
1990
1989
Tahun Sumber: diolah dari Kabupaten Bogor dalam Angka (BPS 1989-1998)
Gambar 4
Perkembangan penggunaan lahan (hutan rakyat) di Kabupaten Bogor
Untuk memperjelas pola penggunaan lahan di Kabupaten Bogor dan bagaimana perkembangan luasan hutan rakyat, maka Tabel 16 memperlihatkan perkembangan pola penggunaan lahan untuk hutan rakyat dari penggunaan lahan lainnya. Tabel 16 Penggunaan lahan kering di Kabupaten Bogor tahun 1989-1998a Penggunaan lahan Pekarangan/ lahan untuk bangunan dan halaman sekitarnya tegal/kebun Ladang/huma Pengembalaan /padang rumput Rawa-rawa (yang tidak ditanami) Tambak Kolam/tebat /empang Lahan kering yang sementara tak diusahakan lahan yang ditanami kayukayuan/ hutan rakyat b hutan negara perkebunan lain-lain Jumlah a
Luas (ha) 1989 43.852
1990 44.171
1991 44.526
1992 47.516
1993 57.041
1994 51.534
1996 54.321
1997 55.201
1998 55.417
53.010 11.141 411
56.577 11.394 374
30.650 7.401 251
51.419 14.011 251
62.404 12.362 362
54.676 10.914 244
60.796 15.477 1.065
62.576 816
67.328 849
70
-
-
-
-
-
-
-
-
7.255
1.249
1.125
1.125
1.564
2.012
2.504
3.167
3.238
1.489
1.657
1.575
1.575
1.643
2.649
1.448
1.395
422
15.193
20.850
36.728
36.728
29.802
16.009
13.320
24.478
15.457
79.241 45.972
51.353 42.586
58.742 33.742
63.264 36.803
59.270 33.416
46.795 31.564
44.002 32.792
42.942 32.331
42.914 27.259
7.125 264.759
5.948 236.159
9.890 224.630
9.890 262.582
9.283 267.147
15.705 232.102
14.144 239.869
14.567 237.473
24.832 237.716
Dikutip dari Kabupaten Bogor dalam angka dalam BPS (1989 – 1998) Luas hutan rakyat tersebut termasuk yang tanaman bambu (hasil konfimasi dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan).
b
47
Pada periode ini beberapa kebun campuran (dudukuhan) di wilayah Kabupaten Bogor bagian barat mulai dikonversi menjadi tanaman homogen yakni sengon, karena sebelumnya sudah ditebang untuk keperluan petani dan untuk memenuhi bahan baku penggergajian lokal. Penanaman sengon oleh masyarakat dilakukan karena menurut masyarakat kegiatan ini sangat murah, cukup menanam bibit sengon dari bantuan pemerintah dan membiarkan begitu saja sampai dewasa untuk dijadikan tabungan. Apabila luasan hutan rakyat dalam perkembangannya mengalami fluktuasi, tetapi lain halnya dengan komoditi cengkeh. Menurut Balitbang Pertanian (2007) komoditi cengkeh mengalami penurunan produksi sejak tahun 1996, sebagai akibat dari ketidakpastian harga. Lanjutnya, petani menjadi tidak mau memelihara cengkeh dan banyak ditebang dijadikan kayu bakar. Beberapa diantaranya ditanami tanaman sengon dan buah-buahan seperti manggis di wilayah Jasinga. Sedangkan harga sengon sejak tahun 1990 terus mengalami peningkatan. Menurut Effendy (1996) pada waktu tersebut kayu sengon sangat laku dijual demikian juga benih dan bibitnya. Lanjutnya, harga log sengon dapat mencapai Rp. 40.000,-/m3 dan pada kualitas terbaik dapat mencapai Rp. 90.000,-/m3 untuk konsumsi lokal. Sedangkan produk lain seperti laminating dapat mencapai US$ 380,-/m3 untuk pasar Jepang dan US$ 600,-/m 3 pasar Korea dan US$ 700,-/m3 pasar Itali. Permintaan yang tinggi ini dipengaruhi juga oleh kondisi hutan alam yang menurun produksinya. Selanjutnya, krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan 1997 berdampak pada seluruh lapisan aktivitas ekonomi, termasuk pada harga kayu meningkat relatif terhadap US$. Hardjanto (2001a) menyatakan usaha hutan rakyat dengan adanya krisis ekonomi justru menambah penghasilan karena harga kayu mulai pada tingkat petani mengalami peningkatan. Walaupun untuk petani di Pulau Jawa yang skalanya usahanya relatif kecil, tambahan penghasilan yang diperoleh tidak cukup untuk menutupi kenaikan harga kebutuhan sehari-hari Hardjanto (2001a). Menurut Tinambunan et al. (1995) program sengosisasi tahun 1990 sampai dengan menjelang masa krisis ekonomi tidak hanya di hutan rakyat tetapi pada hutan negara berbentuk HTI. Ketersediaan sengon yang besar dari HTI, membuat sengon dari hutan rakyat menjadi tidak berarti walapun pada waktu tersebut harganya cukup tinggi di pasaran. Meskipun memiliki pasar yang cukup baik secara nasional (internasional), tapi pada tingkat petani struktur pasarnya cenderung oligopsoni. Indikatornya adalah jumlah industri pengolahan kayu di Bogor Barat masih sedikit. Pembeli (pengumpul/tengkulak) jumlahnya hanya sedikit untuk satu kecamatan, sedangkan jumlah petani (penjual) kayu rakyat dalam satu desa relatif banyak. Kebijakan tata niaga hasil hutan pun pada waktu itu belum sepenuhnya pro rakyat. Dominasi Perum Perhutani dalam membuat kebijakan tercermin dalam bentuk tataniaga yang berlaku pada saat itu. Peredaran kayu rakyat yang ada selalu dicurigai milik Perum Perhutani. Legalitas angkutan pun seperti Daftar Pengangkutan, Pas Angkutan Kayu dan Hasil Hutan lainnya, SAKB dan DKB, SAKO hasil hutan baik dari Perum Perhutani atau non Perum Perhutani diterbitkan oleh petugas Perum Perhutani atau pejabat Dinas
48
Kehutanan setempat yang ditunjuk (Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 308/Kpts-II/93 tentang Tata Usaha Hasil Hutan Di Wilayah Jawa). Di lapangan proses perijinan berupa ijin tebang, penggunaan palu Tok, dan Pas angkutan dilakukan oleh Perum Perhutani tidak dari dinas kehutanan setempat serta pos-pos pemeriksaan pun dilakukan oleh Perum Perhutani.
20.000 15.000 10.000 5.000
Kabupaten Bogor Bogor Tengah Linear (Kabupaten Bogor)
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
Luas hutan rakyat (ha)a
Masa Reformasi (1998–sekarang) Secara umum perubahan perubahan luas lahan hutan rakyat mengalami tren peningkatan walaupun masih landai (Gambar 5). Perubahan dari dudukuhan (kebun campuran dominasi buah-buahan) menjadi monokultur dapat dilihat di beberapa wilayah Bogor. Hampir di semua lahan kebun campuran berubah menjadi tanaman monokultur berdasarkan observasi di Desa Pangradin dan Jugalajaya di Kecamatan Jasinga, Desa Leuwi Batu dan Desa Gobang di Rumpin. Kecuali pada wilayah Tenjolaya dan Pamijahan dimana tanah yang sudah dimiliki oleh pemilik luar daerah yang tidak ingin tanaman asalnya dirubah menjadi monokultur.
Tahun
Bogor Barat Bogor Timur
a
Sumber diolah dari Kabupaten Bogor dalam Angka (BPS 1999-2011) dan Monografi Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. Bogor (Distanhut 2005 – 2012). Luas hutan termasuk luas hutan bambu pada lahan milik.
Gambar 5 Perubahan luas hutan rakyat era reformasi di Kabupaten Bogor. Besarnya tekanan penduduk mengakibatkan hutan rakyat mengalami pergeseran menjadi penggunaan lain terjadi pada daerah terutama pada daerah kawasan wisata. Berdasarkan penelitian Pramono (2010) pada Das Cilwung hulu termasuk di dalamnya kawasan wisata Puncak Bogor, laju konversi lahan sangat erat kaitannya dengan kebutuhan sarana dan prasarana wisata seperti jalan, pertokoan, villa dan penginapan. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa luas konversi hutan rakyat terutama kebun campuran di kawasan puncak Bogor menjadi penggunaan lain selama 8 tahun (1995–2003) sebesar 225,90 ha/tahun. Tetapi di sisi lain tekanan jumlah penduduk, tekanan kebutuhan permukiman, pembangunan pusat bisnis, pasar dan lain di wilayah barat kabupaten bogor hanya berdampak pada penyempitan lahan pertanian bukan lahan hutan rakyat. Misalnya permukiman sepanjang jalan Sindang Barang dan Ciomas, Jungle, dan pasar modern Jasinga merupakan lahan irigasi dan pertanian. Pembangunan perumahan di daerah Bogor lebih mengarah pada lahan tidur, lahan perbukitan yang di gali pasirnya, tanah guntai yag ditinggalkan, dan HGU terjadilah ruslah dan sebagainya.
49
Berdasarkan informasi dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor bahwa data alih fungsi lahan sawah periode 2009–2010 sekitar 482 ha atau 241 ha per tahun. Perubahan luas hutan rakyat yang meningkat dipengaruhi pula oleh kondisi nilai produksi gabah kering tidak sepadan dengan biaya produksi. Usaha pertanian yang tidak lagi menguntungkan menyebabkan pergeseran lahan pertanian menjadi hutan rakyat sengon. Sengonisme menjadi trend diantara pola tanam hutan rakyat, seiring dengan dorongan GERHAN dari mulai tahun 2003–007 yang didominasi tanaman sengon. Rentang tahun 2003–2007 inilah banyak lahan pertanian berubah menjadi hutan rakyat sengon 25, walaupun angka pastinya tidak ada. Tahun 2007 berdasarkan informasi dari BPDAS Citarum-Ciliwung sekitar 150 ha sengon milik petani dan kemitraan terserang ulat kantong. Sedangkan hasil informasi dan observasi di wilayah Bogor bisa dipastikan hama ulat kantong ini terjadi di setiap petani sengon yang terjadi pada musim kemarau. Sebagian masyarakat yang traumatic menanam sengon kemudian menebang/menjualnya walaupun pada pohon berdiameter kurang dari 30 cm. Entah siapa yang mempromosikan tanaman Jabon, dimana pada waktu itu menjadi pilihan pasti dari sisi ketahanan terhadap penyakit sebagai pengganti tanaman sengon. Gembar gembor tanaman Jabon sebagai solusi ketahanan pohon dari hama hutan rakyat telah tertanam pada masyarakat. Tahun 2008 merupakan tahun pertama tanaman jenis Jabon di Kabupaten Bogor. Tahun pertama sampai dengan tahun kedua tanaman Jabon masih bagus, tetapi menginjak tahun ketiga mulai terserang hama. Menurut keterangan pihak BPDAS CitarumCiliwung, hama tersebut merupakan mutasi dari hama pohon-pohon atau inang-inang yang proses pengolahannya dengan cara land clearing. Pihak kehutanan (kementerian dan dinas) dan badan penyuluhan kehutanan tidak bisa memastikan bahwa spesifikasi Jabon ini sangat dipengaruhi ketinggian tempat dan kesesuaian lahan. Saat terjadi serangan hama pada Jabon tidak cepat dan kurang gencar memberikan pemahaman tentang hal tersebut. Traumatic masyarakat ini menyebabkan pergeseran pola pemanfaatan ke arah agroforestry, tidak ke arah pertanian murni bagi lahan-lahan yang dikelola secara intensif, hanya sebagian kecil saja kembali ke pertanian murni. Ada juga yang mengganti tanaman Jabon dan Sengon dengan Jati Putih (Gmelina sp). Berdasarkan informasi dari kelompok tani yang menyemaikan jati putih memaparkan bawah tanaman ini memiliki prospek yang cukup bagus dengan keunggulan antara lain: masa panen sama dengan sengon, tekstur kayu mirip jati, dan sifat mekanik kayu lebih baik dari sengon. Akan tetapi, permintaan kayu sengon yang banyak oleh penggergajian lokal, maka masih banyak yang mempertahankan tanaman sengon. Khusus tanaman jenis jati di Kabupaten Bogor hanya dikelola oleh KPWN. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa luas hutan rakyat mengalami fluktuasi dengan kecenderungan meningkat walapun masih bersifat landai. Sedangkan hutan bambu mengalami penurunan setiap tahunnya. Umumnya tanaman bambu tersebut di konversi menjadi tanaman 25
Informasi dari 3 orang penyuluh kehutanan.
50
berkayu, sehingga luas hutan rakyat (selain tanaman bambu) cenderung meningkat. Gambar 6 menjelaskan bagaimana posisi hutan milik dengan tanaman berkayu dan bambu. Penurunan luas tanaman bambu diakibatkan oleh eksploitasi bambu tanpa memperhitungkan kemampuan bambu untuk memulihkannya kembali. Sebut saja Desa Leuwibatu Kecamatan Rumpin, hampir 1000 batang per hari diangkut untuk memenuhi kebutuhan pasar bambu di Jakarta. Berdasarkan informasi dari kelompok tani Barokah (Leuwibatu-Rumpin), bahwa bulan September 2013, Tanjung Priuk-Jakarta membutuhkan bambu sekitar 40.000 batang untuk kebutuhan kontruksi bangunan. Sehingga sebagian besar pasar bambu terserap dari daerah tersebut. Begitu pula Desa Sukaharja Kecamatan Cijeruk yang dahulu (tahun 2000) mudah mendapatkan bambu dari lokal desa, sekarang (tahun 2013) sulit sekali mencari bambu. Bambu yang berada pada Toko Bangunan di Desa tersebut banyak dikirim dari luar Desa.
Luas Hutan (ha)
20000 15000 10000 5000 0 2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Tahun Bambu
Tanaman Berkayu
Total Luas
Expon. (Tanaman Berkayu)
Keterangan: Sumber BPS (1999 – 2012) dan Distanhut (2005 – 20012)
Gambar 6 Perkembangan luas hutan rakyat yang tumbuh tanaman bambu dan berkayu di Kabupaten Bogor. Umumnya permintaan pasar bambu dari luar Bogor seperti Jakarta. Sedangkan pasar kayu dari hutan rakyat lebih banyak permintaan dari pasar lokal. Yaitu untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan kayu lokal dan perusahaan bahan bangunan. Berdasarkan informasi dari Dinas Perdagangan, Perindustrian dan Koperasi Kabupaten Bogor, bahwa industri pengolahan hasil hutan baik primer atau sekunder mulai marak di Kabupaten Bogor tahun 2003 dan terus semakin bertambah unit pengolahannya dari tahun ke tahun terutama industri pengolahan kayu lanjutan. Bahan baku pegolahan kayu lanjutan tersebut berasal dari sawmill-sawmill kecil dan lebih menyukai kayu merahan (kayu dari jenis buah-buahan). Sedangkan kayu mahoni selain dari wilayah Bogor diperoleh juga dari dari wilayah Sukabumi. Kayu akasia yang berasal dari KPH Bogor (Parung Panjang) telah menjadi konsumsi penggergajian di wilayah Parung Panjang. Hasil dari penggergajian kayu merahan (buah-buahan, acasia, mahoni) tersebut selanjutnya menjadi bahan baku industri besar furniture (rangka spring bed) di tangerang. Industri tersebut lebih menyukai bahan baku kayu dengan warna kayu gelap. Jenis kayu sengon, aprika, mahoni dan campuran (buah-buahan) berdasarkan
51
perkembangan tujuh tahun terakhir (2005–2012) masih menjadi primadona dalam pengusahaannya. Produksi jenis komoditas hutan rakyat dari tahun 2005–2007 mengalami penurunan, dan mengalami trend peningkatan kembali dari tahun 2007–2012 (Gambar 7).
Produksi (m3)
60.000,00 50.000,00
Sengon
40.000,00
Jabon
30.000,00
Mahoni
20.000,00
Aprika
10.000,00
Jati
-
Campuran Total Produksi Tahun
Sumber diolah dari monografi Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor Tahun 2005–2012.
Gambar 7 Perkembangan produksi kayu rakyat di Kabupaten Bogor. Keberadaan hutan rakyat yang menghasilkan produk utama kayu rakyat disamping buah-buahan dan hasil hutan non kayu lainnya telah memberikan manfaat kepada petani sebagai produsen dan industri pengolahan kayu sebagai konsumen. Industri pengolahan kayu rakyat selain meningkatkan nilai tambah kayu juga berperan penting dalam menyerap tenaga kerja (Tabel 17). Nilai investasinya pun tidak sedikit, mencapai 334 miliyar rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa sistem upah dalam penggergajian cukup kompetitif. Berdasarkan survey di lapangan, unit usaha yang tidak beroperasi bukan karena tida ada bahan baku, tetapi karena ditinggalkan tenaga kerja. Masyarakat lebih mencoba mengadu nasib jadi pemikul tambang emas tradisional di Gunung Pongkor. Tabel 17 Perkembangan Industri pengolahan kayu (primer dan sekunder) di Kabupaten Bogora Skala Industri Total Menengah Besar Kecil Menengah Tahun Nilai Nilai Nilai Unit Tenaga Unit Tenaga Unit Tenaga Investasi b Investasi b Investasi b Usaha Kerja Usaha Kerja Usaha Kerja (Rp.1 juta) (Rp.1 juta) (Rp.1 juta) 2003 79 2.949 209.939 93 615 6.572 172 3.564 216.512 2004 80 4.331 214.839 95 644 6.920 175 4.975 221.759 2005 83 4.566 224.134 96 654 6.964 179 5.220 231.098 2006 85 4.777 226.849 98 676 7.182 183 5.453 234.031 2007 99 5.401 248.458 106 782 7.854 205 6.183 256.312 2008 112 7.559 288.123 185 861 7.623 297 8.420 295.746 2009 114 8.232 326.428 187 886 8.487 301 9.118 334.916 2010 115 8.282 315.262 191 1.316 8.385 306 9.598 323.648 2011 119 8.495 324.155 194 1.332 8.722 313 9.827 332.877 2012 120 8.522 325.125 197 1.353 8.901 317 9.875 334.027 a Sumber: Dikutip dari lampiran laporan Tahunan Bidang Perindustrian Tahun 2012 dalam Diskop Perindag (2012) b Mengalami pembulatan dalam jutaan.
52
Salah satu jenis industri pengolahan kayu rakyat yang menjadi ujung tombak dalam sistem usaha kayu rakyat adalah industri penggergajian atau disebut industri primer hasil hutan. Industri ini mengolah kayu berdiameter kecil sampai besar, dengan jenis dominan kayu sengon. Hasil sensus terakhir oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. Bogor tahun 2008 menyebutkan bahwa unit usaha industri penggergajian sebanyak 192 unit dengan total investasi mencapai 11 miliyar (Tabel 18). Tabel 18 Unit usaha industri penggergajian tahun 2008 di Kabupaten Bogora. Jml Unit Total nilai investasi Total tenaga kerja Total Kapasitas Usaha ( x Rp. 1 juta) yang terserap Jasinga 19 20.596 1.030 71 Rumpin 17 14.952 420 56 Jonggol 14 16.920 316 68 Leuwisadeng 13 10.256 775 107 Tanjungsari 12 14.900 778 63 Caringin 11 12.440 570 74 Pamijahan 10 5.909 385 41 Tamansari 10 12.710 825 71 Sukamakmur 10 11.880 221 44 Cariu 9 10.800 201 41 Ciawi 9 9.820 760 59 Cigudeg 9 18.260 1.960 112 Nanggung 9 16.160 1.835 97 Leuwiliang 8 5.760 455 73 Tenjo 6 4.560 100 15 Ciampea 4 1.704 120 11 Megamendung 4 3.960 155 24 Cibungbulang 3 4.320 250 24 Parung 3 3.338 140 19 Cijeruk 2 960 100 7 Dramaga 2 676 60 5 Parung Panjang 2 1.560 30 5 Rancabungur 2 3.281 65 13 Sukajaya 2 3.600 150 16 Cigombong 1 150 50 3 Gunung Sindur 1 156 15 2 Jumlah 192 209.628 11.766 1.121 Kecamatan
a
Diolah dari hasil sensus industri primer dalam Distanhut Kab Bogor (2008)
Bagi industri primer hasil hutan yang mengolah kayu berwarna terang, umumnya langsung digunakan oleh konsumen akhir berupa papan cor, palet, dan kaso. Bahan baku berasal dari hutan rakyat diperoleh melalui tengkulak atau pegawai industri primer sendiri yang mencarinya. Umumnya antara tengkulak dan industri telah menjadi rekanan jual beli bahan baku. Volume dan spesifikasi bahan baku yang diperjualbelikan sangat bergantung perjanjian yang dilakukan antara tengkulak (pedagang) dengan industri. Industri pengolahan dalam menjual produk-produk olahanannya umumnya
53
masyarakat memasarkan produknya sesuai pesanan, sedangkan kayu produk persediaan merupakan sortimen sisa atau tidak sesuai pesanan. Berdasarkan informasi yang diperoleh terdapat beberapa saluran pemasaran kayu rakyat (Gambar 8), diantaranya adalah: 1. Petani, industri primer hasil hutan, konsumen. 2. Petani, tengkulak, industri primer hasil hutan, konsumen. 3. Petani, tengkulak, industri primer hasil hutan, perusahaan bahan bangunan, konsumen. 4. Petani, tengkulak, industri primer hasil hutan, industri sekunder hasil hutan (luar Bogor), konsumen. 5. Petani, tengkulak, industri primer hasil hutan, kerajinan kusen dan meubel rumahan, konsumen. PETANI TENGKULAK
INDUSTRI PRIMER
INDUSTRI SEKUNDER
PERUSAHAAN BAHAN MEUBELER KONSUMEN
Gambar 8 Skema pemasaran kayu rakyat di Kabupaten Bogor. Sawmill sudah menjamur sampai ke desa. Setiap desa terdapat sawmill kecil. Pemilik sawmill-sawmill besar di pusat kecamatan Leuwisadeng misalnya, tiap pemilik memiliki sawmill kecil-kecil di desa, biasanya memiliki 2 sampai lima sawmill tiap pemilik. Kayu-kayu berdiamater kecil kurang dari 20 cm diolah di sawmill desa-desa, sedangkan diameter lebih dari 20 cm diolah di sawmill-sawmill besar yang berada di kecamatan leuwisadeng. Bagi hutan rakyat yang bukan kemitraan, daur butuh masih terjadi. Petani karena kebutuhan hidup yang mendesak, terpaksa harus menjual tegakan pohon kepada tengkulak walaupun diameternya masih di bawah rata-rata dan harganya lebih murah dari harga ditingkat sawmill. Posisi petani memang tidak berdaya. Sawmill kecil biasanya membeli kayu kepada petani dengan cara berhutang, dan akan dibayarkan apabila telah laku dipasar. Sehingga banyak petani yang menjual kepada tengkulak. Tabel 19 Sortimen dan harga kayu Sengon sampai di Industri. Diameter (cm) Harga Kayu (Rp.)/m3 Skala Industri
10 – 14
15 – 19
450.000 kecil
650.000 kecil
20 – 24 850.000 kecil
25 – 29
> 30
1.200.000 Kecil dan besar
1.600.000 Kecil dan besar
54
Kelola Sosial Masa Sebelum Kemerdekaan Pembahasan kelola sosial pada masa sebelum kemerdekaan diawali masa penguasaan tanah-tanah oleh VOC. Informasi yang diperoleh, di Rumpin VOC telah menarik sewa atas tanah milik yang dikuasainya. Disamping beberapa lahan dijualnya. Dibenarkan oleh Tauchid (2009) bahwa sistem landrente (sewa tanah) telah berlaku sejak zaman penguasaan raja, dilanjutkan VOC dan berakhir sampai dengan akhir tahun 1950. Berdasarkan uraian tersebut, kehidupan masyarakat khususnya dalam pengelolaan hutan sangat bergantung pada penguasa tanah yaitu VOC. Begitu pula pada pendudukan Jepang, tidak berbeda dengan pola yang diterapkan VOC/Belanda. Hubungan sosial antara penggarap dengan penguasa tanah merupakan hubungan kolonialisme. Pada jaman penjajahan baik masa kekuasaan VOC (Belanda) maupun Jepang, penguasaan lahan oleh penjajah merupakan kekuasaan yang membatasi ruang gerak masyarakat atas akses dan kontrol. Akibatnya proses pengelolaan hutan berjalan secara satu arah, yaitu demi kepentingan penjajah. Jika dilihat dari kacamata Popkin (1986) tentang hubungan Patron–Klien. Maka hubungan Patron (Penjajah) merupakan penekan kemajuan ekonomi para kliennya (pribumi) dengan membatasi akses klien. Patron hanya mencari keuntungan tenaga kerja yang murah. Sehingga Klien tidak akan pernah nyaman dalam posisi tersebut, sungguhpun hal tersebut merupakan pilihan rasional klien. Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya (BAB 3) produk kebijakan kolonial seperti land rent, tanam paksa dan sebagainya semakin menempatkan posisi masyarakat (petani) pada lapisan terbawah yang tidak memiliki akses apapun untuk memperbaiki nasibnya. Dorongan penjajah untuk menanam komoditi yang laku dipasar dunia menjadikan masyarakat tidak berbuat apaapa untuk pengelolaan lahan lainnya. Status sosial pun sangat berbeda antara penjajah (penguasa) dan dijajah (petani). Kondisi tersebut sangat berdampak usaha tanaman pangan. Banyak warga meninggal karena kekurangan pangan sebagai akibat tidak bisa bercocok tanam. Dalam usaha pengelolaan hutan, petani masih terbatas pada pemanfaatan kayu bakar dan kayu untuk bangunan rumah sendiri. Meskipun begitu, ketergantungan masyarakat terhadap hutan cukup tinggi. Masyarakat rela dikejar-kejar penjajah demi mendapatkan kayu bakar dan kayu untuk bangunan. Tidak ada informasi yang jelas mengapa sebagian hutan di Bogor (Rumpin, Cigudeg & Parung Panjang) tidak boleh di ambil kayu bakar oleh masyarakat. Bahkan penjajah pun tidak mengusahakannya (mengelolanya). Di satu sisi, wilayah Jasinga dijadikan sentra tanaman karet. Beberapa warga pun ikut menjadi tenaga kerja perkebunan karet tersebut. Masa Orde Lama (1945–1965) Memasuki kemerdekaan sekitar tahun 1945–1950 penjajah sudah tidak lagi menguasai sumberdaya hutan. Akses petani untuk memanfaatkan hutan mulai terbuka dan tidak ada lagi penjajah sebagai majikannya. Berdasarkan informasi dari masyarakat Jasinga pola pengelolaan lahan
55
yang unik terjadi di wilayah jasinga sudah sejak lama pada masa kemerdekaan dan berlangsung sampai dengan saat ini. Masyarakat menggarap lahan untuk ditanami/dikelola secara bergantian layaknya “sistem arisan”. Sitem ini dikenal juga di wilayah Cigudeg. Jika tidak sedang mendapat giliran menggarap, biasanya masyarakat pergi berdagang ke kota atau berkebun bagi yang memiliki aset kebun yang lain. Sistem arisan ini terjadi pada lahan warisan yang tidak dibagikan kepada ahli warisnya, tetapi dimiliki secara besama-sama diantara ahli waris berdasarkan kesepakatan ahli waris. Periode Direktorat Jenderal Kehutanan di Orde Baru (1966–1983) Pada sub sub bab sebelumnya telah diuraikan bahwa periode ini, dorongan ekonomi terhadap pengelolaan hutan rakyat untuk komoditas kayu rakyat belum menjadi kegiatan yang khusus. Kondisi dudukuhan yang masih lebat di wilayah Bogor bagian barat tidak serta merta bahwa pengelolaannya sudah baik. Melainkan usaha produksi (penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan) belum dilakukan dengan baik. Campur tangan manusia yang terbatas pada dudukuhan dapat diduga bahwa pengetahuan tentang pengelolaan hutan masih sangatlah rendah. Di lain sisi dorongan ekonomi yang besar terhadap perkebunan karet membuat masyarakat terkonsentrasi pada pengelolaan karet. Berdasarkan kondisi tersebut, pola hubungan sosial pengelolaan hutan belum terjalin antar masyarakat. Berbeda halnya dengan pengelolaan karet yang telah terjalin kerjasama pengelolaanya antar masyarakat setempat. Dukungan sosial pengelolaan (pemanfaatan) hutan hanya terbatas pada perempuan di keluarga. Perempuan tidak terlibat langsung dalam keseharian pemanfaatan hutan, tetapi wujudnya berupa pemberian informasi kapan harus mengambil kayu bakar. Jadi pada periode ini masyarakat masih berlomba-lomba dalam akses pada lahan subur (padi) dan karet. Karena padi dapat dijual, atau lahan subur dapat disewakan dan menjadi buruh/penyadap getah karet dapat menghasilkna uang. Sedangkan hutan (dudukuhan) masih melimpah potensinya, sehingga hutan tidak menjadi primadona dalam pengelolaannya. “..... Pada waktu itu kami masih bisa ambil kayu bakar seperlunya, karena tidak khawatir habis, warga lainpun melakukan hal yang sama......” (EJN 50 thn) Akhir periode ini pemerintah telah gencar mengkampanyekan penghijauan melalui Inpres Penghijauan dan Rakgantang. Namun masyarakat belum merespon dengan baik. Respon yang tersebut hanya pada penanaman saja, tidak ada pemeliharaan dan pengamanan terhadap tanaman penghijauan tersebut. Masyarakat hanya menerima perintah untuk menanam, dan masyarakat cukup senang karena mendapat upah dari menanam tersebut dan tidak tahu apa kegunaan tanaman tersebut bagi dirinya. Periode Departemen Kehutanan di Orde Baru (1984–1997) Pembuatan hutan rakyat yang menjadi gagasan dalam proyek pemerintah yang dimulai pada tahun 1980-an yang semula memiliki banyak hambatan terutama pengetahuan dan kebiasaan menanam bahan makanan, maka pada tahun 1984 masyarakat mulai sadar selain untuk subsistem (kayu bakar dan bahan bangunan sederhana) dapat juga dijadikan sumber penghasilan. Pembagian bibit sengon dan tanaman penghijauan lainnya mulai direspon
56
dengan baik, itu pun terbatas pada petani yang memiliki tanah marjinal yang belum ada tanamannya. Bagi masyarakat yang memiliki lahan yang subur dan akses terhadap hutan masih besar, pembagian bibit tanaman tidak berarti apaapa baginya. Hal senada terungkap dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Pribadi (2001), dimana sekitar tahun 1980–1996 potensi hutan rakyat yang dimiliki oleh desa-desa di kecamatan Caringin cukup melimpah dan mampu memenuhi kebutuhan bahan baku industri. Memasuki tahun 1990-an pasar kayu rakyat, khususnya sengon mulai diminati para industri pengolahan kayu. Hal tersebut menarik minat petani lokal yang tadinya enggan menanam menjadi minat menanam. Sampai dengan akhir periode ini, tidak ada hubungan sosial dalam kelola hutan rakyat. Semua petani hutan rakyat adalah berjalan sendiri-sendiri belum terjalin kerjasama. Jika pun ada kelompok tani, semuanya adalah kelompok tani tanaman pangan, palawija dan kelompok penyadap karet, kelompok tani bentukan proyek penghijauan. Masa Reformasi (1998 – sekarang) Memasuki krisis ekonomi pasar kayu rakyat semakin membaik, dimana permintaan kayu semakin meningkat ditambah pasokan kayu dari luar Jawa semakin berkurang. Masyarakat mulai ramai berkeinginan untuk menanam tanaman berkayu secara swadaya. Berdasarkan pengakuan penyuluh kehutanan di Bogor, bahwa dahulu sulit sekali menggerakan masyarakat untuk menanam pohon, apalagi untuk memberdayakan masyarakat untuk usaha hutan rakyat. Tapi sekarang sekitar tahun 2000-an masyarakat mencari sendiri bibitnya atau menyemaikan sendiri dan menanamnya, dengan alasan bahwa kayu yang dihasilkan mudah dijual. Hal ini sebagai akibat dari kebutuhan bahan baku industri yang meningkat. Kondisi di atas banyak menarik minat para investor, baik investor perorangan maupun investor yang bernaung dalam korparasi atau koperasi, seperti Perum Perhutani, BUMN Hijau, PGN (PT. Perusahaan Gas Negara), Antam dan Jati Unggul Nusantara sebagai bentuk CSR dan mencari keuntungan dengan cara kemitraan (sharing in dan sharing out). Pola hutan rakyat kemitraan umumnya berbentuk pola tanam homogen. Sampai saat ini hutan rakyat yang murni dikelola oleh pemilik dan penggarap lokal hanya sekitar 30% saja dan sisanya sekitar 70% merupakan hutan rakyat yang merupakan kemitraan dengan investor perorangan atau korporasi 26. Bentuk kemitraan hutan rakyat yang dijumpai dalam pengelolaannya bermacam-macam seperti: 1. Kemitraan dengan industri yang memberikan bibitnya saja secara cumacuma sebagai bentuk CSR. Terdapat juga CSR industri pengolahan yang mengikat, dimana hasil panennya harus dijual ke industri tersebut. Seperti yang dilakukan PT SGS (Sumber Graha Sejahtera) dengan spesifikasi bibit jenis Sengon, SGS akan menerima sebanyak-banyaknya log sengon untuk dijadikan vineer. SGS memiliki banyak jaringan kerja (mitra) berupa pengumpul-pengumpul kecil yang tersebar di wilayah Bogor, Tanggerang, Serang dan Lebak. Sehingga ditebang oleh siapapun bisa 26
Informasi dari seksi kelembagaan BPDAS Citarum Ciliwung
57
dipastikan kayu akan sampai di pabrik SGS karena harga tertinggi untuk diameter > 30 cm dimiliki SGS. Dapat disimpulkan tujuan kemitraan dari SGS adalah untuk mengamankan standing stock kayu sengon berukuran lebih dari 30 cm sebagai bahan baku. Pemberian bibit secara cuma-cuma kepada petani, maka dengan sendirinya standing stock sengon akan terjaga. 2. Kemitraan dengan KPWN dalam bentuk Jati Unggul Nusantara. Di Ciampea dijumpai kemitraan melalui wadah KPWN antara KPWN, Penggarap (petani), dan pemilik tanah (tanah negara c.q. TNI). 3. Di Jonggol terdapat yayasan yang mengemas lahan beserta pohon yang sudah ditanam, untuk ditawarkan kepada para investor atau menjual pohonnya saja. 4. PGN dan PT. Antam tahun 2010 dan 2011 melakukan kerjasama dengan Perhutani, Pemilik Tanah, Kelompok Tani Hutan Rakyat (KTHR) seluas ± 500 ha dengan proporsi Sharing ± 35% perhutani, 8% KTHR, 40% pemilik lahan, 15% investor, dan 2% desa. Dinamika Pergerakan hutan rakyat saat ini lebih pada alasan investasi yang pengelolaannya bermitra dan masing-masing berbagi peran dalam hal pemilik tanah, pemilik modal, dan penggarap. Alasan lain adalah petani menanam pohon untuk mengisi waktu luang dari kegiatan bertani. Di Kabupaten Bogor sendiri tidak ditemukan seorang petani yang mengurusi hanya hutan rakyat, karena hutan rakyat sendiri merupakan kegiatan sampingan para petani dalam mengisi waktu luangnya. Apabila ada petani yang hanya mengurusi hutan rakyat saja, bisa dipastikan merupakan anggota hutan rakyat kemitraan. Karena dalam memenuhi penghidupannya, petani tersebut memperoleh upah dari memelihara hutan rakyat kemitraan tersebut dari investor. Sedangkan petani yang tidak bermitra, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak mengandalkan dari hutan rakyat. Masyarakat bekerja di luar bertani atau menanam tanaman semusim atau menjadi buruh tani ditempat lain.
Kelola Ekologi Masa Sebelum Kemerdekaan Perkebunan karet di wilayah bogor yang dibangun pada masa VOC dan pemerintah Hindia Belanda memiliki arti penting dari aspek ekologi. Diduga bahwa telah terjadi pembukaan hutan alami di wilayah jasinga untuk dijadikan perkebunan karet tersebut 27. Karena menurut penduduk setempat, hanya hutanlah yang tidak dikuasai penjajah. Kecuali hutan campuran yang berada di wilayah Rumpin, tidak boleh sama sekali diakses oleh masyarakat. Dugaan kuat bahwa erosi yang besar-besaran setebal 20 cm di daerah Yanlapa (Jasinga-Bogor) selama ±60 tahun yang dikatakan Balai Penyelidikan Bogor dalam Dephut (1986) dan Kartasapoetra et al. (1987) sebagai akibat dari pola tanam monokultur tanaman karet. Periode pendudukan Jepang di Bogor tidak berlangsung lama. Tidak ada 27
Hasil komunikasi langsung dengan Kelompok Tani Hutan Rakyat Lebak Huni.
58
informasi dari masyarakat bogor mengenai bagaimana Jepang memperlakukan sumberdaya hutan di Bogor. Secara umum, selama pendudukan Jepang di Indonesia, tidak ada usaha rehabilitasi hutan. Sebagian besar terjadi degradasi akibat penebangan hutan jati untuk membiayai perang dan membiayai persediaan makanan bagi tentara Jepang (Dephut 1986). Masa Orde Lama (1945–1965) Pada periode ini kebiasaan mananam pohon dalam masyarakat hanya untuk tujuan peneduh, pelindung dari erosi dan sebagai batas pada lahan milik. Memasuki tahun 1950-an masyarakat tidak lagi hanya mengambil kayu bakar. Program pemerintah berupa gerakan penanaman pohon, telah mendorong masyarakat untuk ikut menanam, walaupun tingkat partisipasi yang rendah. Karena kebiasaan masyarakat menanam pohon hanya untuk tujuan peneduh, pelindung atau sebagai pembatas pada lahan milik. Disamping itu dudukuhan yang ada sudah cukup memenuhi kebutuhan akan kayu bakar. Tanaman andalan berupa padi dan palawijaya dengan pola selang seling tergantung tingkat kesuburan tanah. Tanah yang subur umumnya ditanam padi sebanyak dua sampai tiga kali daur, setelah itu diselingi dengan palawija. Pilihan-pilihan pola tanam tersebut dipengaruhi oleh kesusuaian lahan, kebiasaan/tradisi dan kebutuhan keluarga. Periode Direktorat Jenderal Kehutanan di Orde Baru (1966–1983) Pada awal perode ini dorongan tradisional/kebiasaan masih dominan yang mempengaruhi pola masyarakat menanam pohon. Dimulai tahun 1970 sampai akhir periode ini pemerintah terus menggalakan penanaman pohon. PLP berperan dalam adopsi teknik-teknik silvikultur mulai proses persemaian sampai penanaman. Berdasarkan informasi dari PLP 28, sampai tahun 1980-an penduduk desa umunya masih tergolong enggan menanam pohon. Beberapa tahun setelah penghijauan, masyarakat menganggap bahwa tanaman pohon yang tumbuh tidak menghasilkan. Ini sebagai penyebab keengganan masyarakat desa menanam pohon. Menanam pun terbatas hanya pada lahan terbatas dengan teknik seadanya untuk tujuan di luar ekonomi. Seperti di tanah pekarangan, tanah tegalan, pinggir pematang sawah, pinggir jalan, pagar pekarangan, dan pagar kebun. Selanjutnya anjuran sistem permudaan alami dari trubusan untuk menunjang kebutuhan kayu bakar pun sudah dilakukan. Tetapi tidak ada respon masyarakat mengenai hal itu. Periode Departemen Kehutanan di Orde Baru (1984–1997) Seiring dengan perkembangan pasar dan defisitnya bahan baku dari hutan alam. Pohon-pohon yang tumbuh alami dan hasil tanaman penghijauan pada lahan milik mulai ditebang untuk pasokan lokal, seperti kerajinan lokal untuk meubelair ringan (meja-kursi, rak buku dan lemari) Sejak 1990 melalui kegiatan sengonisasi, sub BRLKT ciliwung, tahun 1990 sengonisasi, masyarakat masih berpikir Talun (kebun campuran) atau dudukuhan yang cocok dengan kehidupan masyarakat. Didorong oleh UPSA 28
PLP (petugas lapangan penghijauan) sampai sekarang masih bergabung di BKP5K. Bagian barat Kabupaten Bogor ada 3 orang penyuluh kehutanan BKP5K berlatar belakang PLP.
59
melalui Instruksi Presiden penghijauan yang dilaksanakan setiap tahun dan berlangsung selama 15 tahun dengan jenis kayu sengon, maka program UPSA dan sengonisasi ini menarik minat masyarakat untuk melakukan kegiatan penanaman pohon (sengon) pada lahan-lahan yang kritis/marjinal, menurut masyarakat (masyarakat) kegiatan ini sangat murah, cukup menanam bibit sengon dari bantuan pemerintah dan membiarkan begitu saja sampai dewasa untuk dijadikan tabungan. Melalui peristiwa atau kegiatan sengonisasi dan UPSA tersebut, baru tahun 1990-an masyarakat mulai merubah pola menjadi berkeinginan untuk menanam sengon. Masa Reformasi (1998–sekarang) Industri mulai terbangun kebutuhan ekspor tinggi, kegiatan ekspor untuk memenuhi kebutuhan cor jalan dan bangunan tahun 2004 di asia, sehingga terbangunlah kebijakan hutan rakyat untuk hutan tanaman industri dengan pola tanaman yang homogen yaitu jenis sengon. Kebutuhan bahan baku industri yang meningkat terhadap kayu sengon banyak menarik minat para investor, baik investor perorangan maupun investor yang bernaung dalam corparasi atau koperasi. Seperti Perum Perhutani, BUMN Hijau, PGN atau Antam sebagai bentuk CSR dan berbagi keuntungan. Pola-pola hutan rakyat homogen sengon ini akhirnya hama-hama penyakit bermunculan dan menyerang tanaman utama (sengon). Resistensi hama terhadap obat-obat pembasmi hama berakibat pada perubahan pola-pola hutan rakyat. Para masyarakat tidak bermitra atau yang bermitra dengan para investor perorangan dan investor koorpari mulai beralih ke pola tempo dulu yang heterogen dan mengoptimalkan potensi dibawah tegakan tanaman pertanian seperti cabe, tomat, sayuran dan lain-lain. Pola ini yang disebut agroforestry. Pola ini pergerakannya masih sedikit. Masih banyak juga yang masih mempertahankan pola homogen. Pola homogen masih banyak diminati mayarakat masyarakat (petani hutan rakyat) yang tidak tersentuh oleh penyuluhan. Masyarakat yang tersentuh investor atau kemitraan masih sudah sedikit demi sedikit mengadopsi teknologi pengelolaan hutan seperti pemilihan bibit, jarak tanam optimal, lubang tanam, penjarangan dan pemeliharaan. Pengelolaan teras sering, penanaman mengikuti garis kontur hanya sebagian kecil saja dilakukan. Itu pun terbatas pada pengelolaan hutan rakyat kemitraan. Sedangkan petani hutan rakyat yang mandiri tetap mengelola hutan dengan tidak baik, seperti jarak tanam masih 1 x 1 meter dengan alasan pemanfaatan lahan, lubang tanam yang kurang dalam, tidak dilakukan penjarangan, selama pertumbuhan tidak dilakukan pemeliharaan sama sekali, alasan lain karena tanpa pemeliharaan pun pohon tersebut bisa tumbuh. Misalnya, terkait bibit sengon, masyarakat hanya mengenal ada bibit dari Jawa tengah Rp.10.000,- per ikat. Untuk wilayah bogor sendiri petaninya belum memahami bahwa untuk menghasilkan tegakan yang baik, diperoleh dari bibit yang bagus berkualitas. Secara umum penggunaan bibit yang berkualitas (bersertifikat) masih kurang di Kabupaten Bogor ini sekitar 10% menggunakan bibit bersertifikat 29. 29
Informasi dari Seksi Kelembagaan BPDAS Citarum Ciliwung
60
Sudah bisa dipastikan bahwa alasan utama pengelolaan hutan rakyat adalah karena alasa ekonomi. Pembangunan hutan rakyat karena alasan ekologi sangat kecil sekali di Kabupaten Bogor. Lokasi hutan rakyat karena alasan ekologi berada dekat pada areal konservasi dan perkebunan. Balai Taman Gunung Nasional Halimun Salak telah membentuk kader konservasi terhadap petani hutan rakyat dengan tujuan utama adalah untuk tetap menjaga lingkungan. Sedangkan pada lokasi dekat perkebunan sawit, hutan rakyat dijaga tegakannya agar ketersediaan air untuk perkebunan sawit tetap terjaga.
5 STRATEGI PENGEMBANGAN PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT Kerangka Konsep Strategi Pengembangan Pengelolaan Hutan Rakyat Analisis strategi pengembangan pengelolaan hutan rakyat diupayakan berada pada kerangka aspek sumberdaya lahan, aspek ekonomi/produksi dan aspek sosial. Kerangka analisis tersebut sebagaimana gambar berikut.
Gambar 9 Kerangka Analisis Strategi Pengembangan Hutan Rakyat. Identifikasi Faktor Berdasarkan Aspek Sumberdaya Lahan Tekanan jumlah penduduk, tekanan permukiman, pembangunan pusat bisnis, dan pasar tradisional di wilayah barat Kabupaten Bogor hanya berdampak pada penyempitan lahan pertanian bukan lahan hutan rakyat. Usaha pertanian yang tidak lagi menguntungkan tidak hanya berubah menjadi lahan pusat bisnis/perumahan, tetapi berubah juga menjadi lahan hutan rakyat. Lahanlahan kritis dan tidak produktif lainnya berubah menjadi lahan hutan rakyat sebagai akibat dari gerakan penghijauan oleh pemerintah atau swadaya. Sedangkan hasil penelitian Pramono (2010) menyatakan pergeseran hutan rakyat menadi penggunaan lain terjadi pada daerah kawasan wisata yaitu kawasan puncak dan sekitarnya sebagai akibat tekanan penduduk dan
61
kebutuhan wisata. Pergeseran kepemilikan usaha pun berubah. Adanya investor-investor perorangan yang tertarik untuk usaha hutan rakyat. Kepemilikan bersama pun mulai marak terjadi di Kecamatan Jasinga, Ciampe, Leuwiliang, Leuwisadeng dan Cigudeg. Ketertarikan investor untuk menanam hutan rakyat tidak hanya pada lahan-lahan yang biasa ditanami tanaman kayu tetapi pada lahan-lahan kering seperti tegal/kebun, ladang/huma, padang rumput, dan lahan kering yang tidak diusahakan (Tabel 20). Usaha hutan rakyat dengan pola kemitraan lebih baik daripada tidak bermitra. Posisi pemilik/petani/penggarap lebih jelas dan teroganisasi pengelolaan hutan. Prinsip-prinsip silvikultur pun diterapkan dengan baik. Sedangkan pola kemitraan petani dengan industri pengolahan kayu berupa kerjasama dalam pemasaran yang digagas oleh kementerian kehutanan melalui skema Kredit Usaha Kayu Rakyat (KUKR) tahun 1997 dianggap gagal. Tidak ada hutan rakyat yang terbentuk dari skema KUKR tersebut. Tabel 20 Luas penggunaan lahan kering di Kabupaten Bogor tahun 2011a Penggunaan lahan
Luas (ha) (%) 79.437 31,62 Hutan Negara 58.383 23,24 Tegal/kebun 16,36 Pekarangan/lahan untuk bangunan dan halaman sekitarnya 41.115 lahan yang ditanami kayu-kayuan/ hutan rakyat 21.564 8,58 21.239 8,45 Perkebunan 3.233 1,29 Ladang/huma 2.144 0,85 Kolam/tebat/empang 1.491 0,59 Lahan kering yang sementara tak diusahakan 899 0,36 Pengembalaan/padang rumput 76 0,03 Rawa-rawa (yang tidak ditanami) 0,00 Tambak 21.662 8,62 lain-lain 251.243 100,00 Jumlah a
Diolah dari Tabel 4.1.3 dalam BPS (2011)
Sedangkan wilayah hulu Kabupaten Bogor Bagian Barat banyak petani yang menjual lahannya ke orang Jakarta. Hal tersebut terjadi karena kondisi topografi yang berat dan kesulitan untuk pengolahan lahan ditambah krisis ekonomi tahun 1998 yang berdampak pada investasi para pemilik uang untuk hal yang bersifat pasif berupa tanah dan bangunan. Akhirnya banyak tanah guntai yang berada di wilayah Bogor seperti di Kecamatan Tenjolaya, Pamijahan, Cibungbulang dan Ciampea. Tanah-tanah tersebut luasannya relatif besar ± 30 ha dan ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya. Ada diantaranya yang digarap masyarakat untuk dijadikan hutan rakyat ataupun tanaman palawija. Kekhawatiran masyarakat muncul, jika sewaktu-waktu tanah tersebut diambil alih oleh pemiliknya dan masyarakat tidak diperbolehkan menggarapnya. Berdasarkan uraian tersebut di atas teridentifikasi bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan berdasarkan aspek sumberdaya lahan adalah sebagai berikut: 1. Jumlah penduduk yang semakin bertambah sebagai pengguna lahan untuk dijadikan permukiman dan sarana wisata dapat menjadi ancaman (threats)
62
berkurangnya luas lahan/hutan rakyat pada daerah-daerah wisata. 2. Lahan dengan topografi yang sulit banyak diantaranya petani menjual lahan tersebut kepada orang luar yang kemungkinan dipergunakan bukan untuk usaha kehutanan. Hal tersebut dapat menjadi ancaman (threats) alih fungsi lahan. 3. Jumlah luas lahan kritis di Kabupaten Bogor semakin berkurang sebagai akibat dari gerakan penanaman seperti penghijauan, Gerakan nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL/GERHAN), dan sebagainya. Selanjutnya lahan sawah yang tidak teririgasi dengan baik dan menjadi tidak produktif berpotensi menjadi kritis. Beberapa diantaranya beralih menanam tanaman sengon. Jumlah lahan kritis dan lahan kering lain tidak produktif yang masih luas (Tabel 20 & 21) menjadi peluang (opportunity) dalam pengembangan hutan rakyat. 4. Kepemilikan usaha bersama para investor cenderung pengelolaan hutan rakyat dilakukan secara intensif. Kondisi tersebut menjadi kekuatan (Strength) untuk memajukan usaha hutan rakyat. Tabel 21 Jumlah lahan kritis menjadi peluang untuk dijadikan hutan rakyat di Kabupaten Bogora. Kecamatan Klapanunggal Sukajaya Tanjungsari Sukaraja Jonggol Cigudeg Cariu Citeureup Gunung Sindur Gunung Putri Rumpin Sukamakmur Jasinga Tenjo Babakan Madang Leuwiliang Cijeruk Kemang Caringin Tamansari Megamendung Cibungbulang Tenjolaya Parung Panjang Ciawi Cigombong Cileungsi Leuwisadeng Pamijahan Ciseeng
Sangat Kritis 160,00 40,00 75,00 -
Luas Lahan Kritis (ha) Kritis agak Kritis Potensial Kritis 598,00 2.130,03 196,80 797,50 1.170,52 22,27 862,00 600,02 249,77 369,50 246,00 805,72 872,92 138,00 44,45 529,00 105,00 230,07 335,00 360,00 96,71 248,00 490,62 17,27 255,00 389,50 103,57 299,00 112,13 257,15 144,00 150,00 363,72 410,00 191,46 53,92 10,00 637,22 255,50 196,00 189,17 536,50 32,25 69,06 159,00 105,00 200,27 306,00 93,63 11,13 180,00 62,00 69,51 165,00 6,41 6,85 22,00 183,31 40,93 145,50 50,90 18,02 32,00 45,00 123,77 28,00 96,00 72,33 158,00 17,90 152,00 5,40 53,00 9,63 94,71 81,50 8,00 63,08 55,50 32,50 42,61 34,00 55,70 17,27 10,00 113,27
Total 2.924,83 1.990,29 1.711,79 1.421,22 1.055,37 1.024,07 791,71 755,89 748,07 668,28 657,72 655,38 647,22 640,67 637,81 504,27 410,76 311,51 253,26 246,24 214,42 200,77 196,33 175,90 157,40 157,34 152,58 130,61 106,97 123,27
63
Tabel 21
Jumlah lahan kritis menjadi peluang untuk dijadikan hutan rakyat di Kabupaten Bogora(lanjutan).
Kecamatan
Luas Lahan Kritis (ha) Sangat Kritis Kritis agak Kritis Potensial Kritis 45,50 35,50 18,81 Ciampea 92,50 Cibinong 86,65 Cisarua 10,00 61,40 Parung 26,50 14,35 22,15 Ciomas 23,00 12,23 25,02 Bojong Gede 24,00 11,80 17,27 Nanggung 13,00 Tajurhalang 0,44 Dramaga Rancabungur Total 275,00 8.415,01 7.143,49 4.378,57 a Diolah dari Monografi Pertanian dan Kehutanan Tahun 2009.
Total 99,81 92,50 86,65 71,40 63,00 60,25 53,07 13,00 0,44 20.212,07
Indentifikasi Faktor Berdasarkan Aspek Produksi Hutan Rakyat Perkembangan Produksi dan Industri Kayu Rakyat Perkembangan produksi hutan rakyat delapan tahun terakhir (Gambar 7) mengalami fluktuasi yang berarti. Tahun 2007 produksi kayu rakyat mengalami fluktuasi terendah, kemudian meningkat kembali pada tahun berikut berikutnya. Apabila dibandingkan dengan perkembangan luas hutan rakyat yang relatif stagnan (Gambar 5 dan 6), maka fluktuasi produski hutan rakyat tersebut terjadi karena pola daur yang tidak mempertimbangkan umur tebang yang optimal secara fisik. Kebutuhan petani yang tidak terduga dan perkembangan jumlah industri yang terus meningkat semakin memperpendek daur tebang. Kegiatan penyediaan bahan baku yang lebih menonjol daripada konsumsi industri atas bahan baku dan sebaliknya adanya dominansi konsumsi/kapasitas industri terhadap ketersediaan bahan baku yang sedikit menjadikan kegiatan usaha ini secara teknis mengalami ketimpangan. Tetapi, justru dengan adanya ketimpangan ini permintaan kayu untuk bahan baku industri yang meningkat semakin menambah daya tarik masyarakat untuk menanam kayu. Pasar yang baik untuk kayu rakyat menjadi peluang (opportunity) dalam pengembangan hutan rakyat. Daur yang pendek tidak akan pernah terjadi apabila masyarakat pemilik hutan masyarakat memiliki pondasi ekonomi yang baik. Kelemahan (weakness) pondasi ekonomi yang menyebabkan daur tebang yang pendek. Berdasarkan pengakuan pemilik pohon, hal tersebut dapat saja terjadi karena kebutuhan mendesak dan bujuk rayu para tengkulak (pedagang kayu) yang sering mendatangi pemilik pohon. Kalimat berikut yang selalu meggiurkan petani untuk menjual pohonnya walaupun umur belum mencapai optimal secara teknis maupun finasial. “Arek dikantongan moal tatangkalan teh (artinya: mau dijual cash tidak pohonnya)”
64
Perkembangan Komoditas Jenis Kayu Rakyat Berdasarkan informasi yang diperoleh dari data delapan tahun terakhir, terdapat lima komoditas jenis hutan rakyat yang merupakan primadona jenis komoditas hutan rakyat di Kabupaten Bogor (Tabel 22). Peringkat pertama komoditas Sengon, diikuti Afrika, kayu campuran (buah-buahan), mahoni, dan bambu. Jenis-jenis terebut merupakan lima dari 48 jenis andalan tanaman hutan rakyat di Jawa Barat (Widiarti dan Mindawati 2006). Tabel 22 Perkembangan komoditas unggulan kayu rakyat tahun 2005–2012 di Kabupaten Bogora Jumlah Produksi Tiap Tahun Jenis Komoditas Bambu (btg) 3
Sengon (m ) 3
Aprika (m ) 3
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2.495.634
2.476.084
2.334.132
1.984.176
1.582.101
682.858
367.846
180.532
20.515,41
16.022,38
6.572,36
15.585,11
18.795,43
8.703,63
7.618,78
8.177,12
11.208,38
8.847,01
3.051,52
3.578,39
6.759,62
10.707,49
10.707,49
9.691,34
Mahoni (m )
8.252,07
6.513,03
931,88
1.672,27
2.992,53
4.428,45
4.295,584
4.295,584
Campuran (m3)
5.555,51
3.919,77
828,5
1.760,52
2.765,63
6.263,15
6.263,15
28.641,69
41,88
41,88
4,46
10,87
4,46
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
45.573,25
35.344,07
11.388,72
22.607,16
31.317,67
30.102,72
28.885,004
50.805,734
Jati (m3) Jabon (m3) 3
Total Produksi (m )
a
Diolah dari Monografi Dinas Pertanian dan Kehutanan Tahun 2005-2012.
Sengon sebagai komoditas unggulan pertama merupakan tanaman yang sangat mudah dikelola dan tidak memerlukan perawatan yang intensif. Semua petani di Bogor yang tidak bermitra menyatakan bahwa tanaman jenis sengon hanya ditanam seadanya tanpa menerapkan teknik budi daya yang rumit. Pemeliharaan hanya terbatas pohon masih penyiangan lahan, itupun jika petani hendak ke hutan. Sampai sekarang hasilnya sudah tampak berupa kebun sengon yang cukup luas, dan beberapa petani ada yang mampu berangkat haji karena sengon. Terhadap tanaman jenis Jabon yang baru ditanam tahun 2010, petani merasa sedikit kecewa terhadap tanaman jabon ini. Karena industri pengolahan kayu kurang menyukai tanaman ini. Berdasarkan alasan tanaman andalan (primadona) di atas, maka lima komoditas yang telah dikembangkan menjadi kekuatan (strenght) untuk memajukan usaha hutan rakyat dengan alasan: pemilihan jenis pohon yang sudah berkembangan delapan tahun terakhir dan sesuai dari sisi tempat tumbuh serta diminati oleh pasar. Senada dengan hal tersebut menurut Jariyah dan Wahyuningrum (2008) bahwa yang menjadi daya tarik petani dalam pemilihan jenis pohon hutan rakyat di Jawa adalah mudah dipelihara dan ditanam. Indentifikasi Faktor Berdasarkan Aspek Sosial Dukungan kelembagaan hutan rakyat dari luar berkembang seiring dengan implementasi kebijakan pembangunan hutan rakyat (Tabel 23). Sampai saat ini terdapat 3 instansi pemerintah di Kabupaten Bogor yang berperang aktif dalam membangun pengelolaan hutan rakyat yaitu: Dinas
65
Pertanian dan Kehutanan, Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Peternakan, Perikanan dan Kehutanan (BKP5K) dan BPDAS Citarum Ciliwung. Kelembagaan pemerintah ini menjadi peluang (opportunity) dalam memajukan hutan rakyat di Kabupaten Bogor. Program pemerintah dalam memajukan hutan rakyat terus menerus dilakukan. Saat ini adalah pembuatan kebun bibit rakyat yang terus digulirkan melalui bantuan operasional persemaian. Pola subsidi pengembangan hutan rakyat dari pemerintah pusat berdasarkan informasi dari BPDAS akan terus dilakukan dalam rangka memperbaiki rusaknya daerah tadah (catchmenta area) DAS. Tabel 23 Perkembangan kelembagaan pemerintah terkait hutan rakyat. Periode Masa orde Lama (1945-1965) Ditjen Kehutanan (1966-1983)
Depertamen Kehutanan (1984-1997)
Masa Reformasi (1998sekarang)
Organisasi Pemerintah • Jawatan Pertanian Rakyat • Jawatan Kehutanan • Proyek Reboisasi dan Penghijauan (PRP) Propinsi Jawa Barat di bawah Jawatan Kehutanan (1966 -1976) • Proyek Penghijauan Jawatan Kehutanan Propinsi Jawa Barat (1972-1976) • Proyek Perencanaan dan Pembinaan Reboisasi dan Penghijauan (P3RP) DAS Cilwung-Cisadane-Cimandiri (1976-1983) • Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT) (1984-1994) • Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah Bogor (19952001)
• Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Bogor (20012004) • Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. Bogor (2005- sekarang) • BKP5K (2008- sekarang) • BPDAS Citarum–Ciliwung
Kegiatan • KOGM berupa pembuatan dan sengkedan dan persemaian untuk penghijauan dan PPTK (1951-1955) • Gerakan Karang Kitri (1956-1958) • PRP dengan nama Deptan 018 di DAS Ciliwung (APBN) (1971) • RAKGANTANG (APBD) • P3RP-DAS melaksanakann kegiatan Inpres Penghijauan penanaman (1976-1979) • P3RP-DAS melaksanakann kegiatan Inpres Penghijauan penanaman dan pembuatan hutan rakyat (19801983) • Bantuan Bibit, UPSA, Tanaman Hutan Rakyat (1984-1987) • Program Peningkatan penyuluhan PLP dan PKS (1984-1987) • BIMAN Konservasi Lahan kering (1984-1987) • Sengonisasi (1988-1983) • Penghijauan dalam pengembangan hutan rakyat (1995-1998) • KUHR (1997) • Pembuatan dan pemeliharaan hutan rakyat (2001-2004) • Gerhan (2005-2007) berupa perngkayaan, pembuatan hutan rakyat. • KBR (2010 – sekarang)
Dishutbun Kab. Bogor dan BKP5K petugas penyuluh terus mendorong dan membina petani untuk membentuk kelembagaan kelomok tani agar bantuan proyek penghijauan atau bantuan lainnya lebih tepat sasaran. Sampai dengan tahun 2003 telah terbentuk kelompok tani hutan sebanyak 385 unit yang beranggotakan 9.165 petani (Tabel 24). Kelompok tani hutan rakyat
66
terbentuk karena adanya dorongan program bantuan atau proyek dan sedikit sekali yang berasal dari inisiatif petani itu sendiri yaitu keinginan masyarakat atau petani untuk memperbaiki kehidupan ekonomi melalui usaha tani secara bersama-sama. Tabel 24 Banyaknya kelompok tani binaan penyuluh kehutanan Kab. Bogor. Tahun 2001 a Tahun 2002 b Tahun 2003 c No. Kecamatan KT Anggota KT Anggota KT Anggota (Unit) KT (orang) (Unit) KT (orang) (Unit) KT(orang) 1. Tenjo 4 80 9 233 9 220 2. Parung Panjang 4 80 11 284 11 260 3. Jasinga 6 120 5 115 8 210 4. Cigudeg 6 126 12 183 22 250 5. Sukajaya 7 128 5 70 4 85 6. Nanggung 11 332 4 130 12 300 7. Rumpin 10 380 7 195 7 175 8. Leuwiliang 19 40 14 155 23 575 9. Cibungbulang 4 80 2 20 2 45 10. Pamijahan 12 225 8 198 16 400 11. Ciampea 12 237 12 827 16 390 12. Leuwisadeng 13. Tenjolaya 14. Gunung Sindur 4 47 2 40 15. Parung 4 87 14 367 9 230 16. Ciseeng 2 43 10 105 2 40 17. Kemang 1 21 6 120 6 150 18. Rancabungur 4 115 7 257 6 160 19. Dramaga 12 237 8 170 8 200 20. Ciomas 9 192 7 126 2 40 21. Tamansari 5 92 14 172 20 500 22. Caringin 8 319 7 177 23 570 23. Cijeruk 16 336 6 132 6 150 24. Ciawi 3 60 5 130 15 360 25. Megamendung 10 170 6 140 6 150 26. Cisarua 8 128 4 102 4 85 27. Sukaraja 6 85 13 192 13 320 28. Citeureup 9 180 12 183 15 300 29. Babakan Madang 7 140 8 150 8 200 30. Cibinong 3 60 10 191 17 360 31. Bojong Gede 3 60 8 190 12 250 32. Tajurhalang 33. Cigombong 34. Gunung Putri 8 148 7 154 7 130 35. Cileungsi 8 249 18 365 18 450 36. Jonggol 8 280 7 154 14 360 37. Sukamakmur 8 200 8 305 17 580 38. Cariu 8 172 9 230 23 595 39. Klapanunggal 3 60 4 35 40. Tanjungsari Total 252 5.273 283 6.607 385 9.165 a Dikutip dari Tabel 4.6.2 dalam BPS Kab. Bogor (2001) b Data tahun 2002 semester 1 dikutip dari Tabel 4.6.2 dalam BPS Kab. Bogor (2002) c Dikutip dari Tabel 4.6.2 dalam BPS Kab. Bogor (2003)
Keberadaan kelembagaan petani hutan rakyat di atas terbentuk pada masa orde baru yang dominan sebagai bentuk mobiliasasi gerakan
67
penghijauan. Begitu pula saat ini, motivasi mereka berada di kelompok tani agar bisa mendapat bantuan dari pemerintah. Namun keberadaan kelompok tani dapat menjadi kekuatan (strenght) dalam hal: 1. Kerjasama pengadaan dan penggunaan sarana produksi. 2. Saling tukar menukar pengetahuann, keterampilan petani, Pembuatan dan pemeliharaan tanaman hutan rakyat serta Pengedalian hama dan penyakit. 3. Kerjasama dalam modal usaha, dan penjualan hasil. Hasil identifikasi faktor strategis dapat dikelompokan faktor internal dan eksternal sebagai berikut: Tabel 25 Faktor strategis dalam pengembangan pengelolaan hutan rakyat. No. S1 S2 S3 W1 W2 W3 W4 O1 O2 O3
T1 T2 T3
Faktor Strategi Faktor kekuatan (Strenght) Kepemilikan Usaha bersama para investor perorangan/corporate cenderung pengelolaan hutan rakyat secara intensif Lima komoditas unggulan (Sengon, Mahoni, Aprika, bambu, MPTS) yang sudah biasa dikembangkan di masyarakat dan diminati pasar di wilayah Bogor. Sudah banyak kelompok tani yang terbentuk Faktor Kelemahan (Weakness) Pondasi ekonomi petani yang menyebabkan daur tebang yang pendek Petani yang tidak bermitra bersama investor cenderung pengelolaannya belum intensif Usaha hutan rakyat hanya sampingan, sehingga tidak dikelola dengan baik Kepemilikan lahan yang relatif kecil-kecil Faktor Peluang (Opportunity) Jumlah lahan kritis dan lahan kering lain tidak tidak diusahakan yang masih luas Pasar kayu rakyat semakin meningkat Dukungan pemerintah melalui program penghijauan dan hutan rakyat terus bergulir dari tahun ke tahun Faktor Ancaman (Threat) Tekanan penduduk semakin meningkat untuk lahan permukiman Hutan rakyat di wilayah hulu Bogor barat banyak yang berada pada tanah guntai. Kurangnya regenerasi petani.
Strategi Pengembangan Pengelolaan Hutan Rakyat Berdasarkan faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam pengembangan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bogor yang telah teridentifikasi, maka dengan menggunakan analisis SWOT dapat dirumuskan 7 (tujuh) alternatif strategi terdiri dari: 1. 3 strategi yang merupakan gabungan faktor kekuatan-peluang (S-O). 2. 1 strategi yang merupakan gabungan faktor kelemahan-peluang (W-O). 3. 1 strategi yang merupakan gabungan faktor kelemahan-ancaman (W-T). 4. 2 strategi yang merupakan gabungan faktor kekuatan-ancaman (S-T). Secara rinci alternatif strategi pengembangan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bogor tersaji pada matriks SWOT pada Tabel 26.
68
Tabel 26 Matriks analisis SWOT perumusan alternatif strategi pengembangan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bogor. FAKTOR INTERNAL
FAKTOR EKSTERNAL
O.1 Jumlah lahan kritis dan lahan kering lain tidak produktif yang masih luas. O.2 Pasar kayu rakyat semakin membaik. O.3 Dukungan pemerintah dengan program penghijauan dan hutan rakyat
T.1 Tekanan penduduk semakin meningkat untuk lahan permukiman. T.2 Kecenderungan petani menjual lahan yang tidak diusahakan kepada orang luar yang kemungkinan dipergunakan bukan untuk usaha kehutanan, sehingga muncul tanah guntai dan kurangnya regenerasi petani.
Kekuatan = Strengh (S) S.1 Kepemilikan usaha bersama para investor cenderung pengelolaan hutan rakyat dilakukan secara intensif. S.2 Lima komoditas unggulan yang sudah biasa dikembangkan petani dan memiliki pasar yang baik. S.3 Kelompok tani yang sudah terbentuk merupakan kekuatan (Strenght) dalam kerjasama pengelolaan hutan rakyat dan memudahkan proses adopi teknologi produksi.
Strategi SO: 1. Meningkat peran pemerintah dalam memfasilitasi peningkatan kemitraan hutan rakyat dalam produksi hutan rakyat. 2. Meningkatkan kapasitas kelompok petani dalam pengembangan komoditas unggulan pada lahanlahan non produktif. 3. Meningkatkan dukungan pemerintah dalam program penghijauan pada tanah/lahan tidak produktif. Strategi ST: 1. Meningkatkan peran pemerintah dalam fasilitasi petani yang menggarap lahan di tanah guntai. 2. Meningkatkan peran pemerintah dalam penyuluhan untuk mencegah alih fungsi lahan dan adanya regerasi pengelolaan hutan rakyat
Kelemahan = Weakness (W) W.1 Pondasi ekonomi yang menyebabkan daur tebang yang pendek. W.2 Petani yang tidak bermitra cenderung pengelolaannya belum intensif. W.3 Usaha hutan rakyat hanya sampingan, sehingga tidak dikelola dengan baik. W.4 Kepemilikan lahan yang relatif kecilkecil Strategi WO: Membangun pondasi yang kuat dengan pola agroforestry
Strategi WT: Peningkatan pola hutan rakyat subsidi untuk meningkatkan minat dan kapasitas petani dalam pengelolaan hutan rakyat
Perumusan prioritas strategi pengembangan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bogor dengan menggunakan analisis QSPM. Analisis QSPM merupakan lanjutan dari analisis perumusan alternatif strategi dengan analisis SWOT. Strategi yang mempunyai total nilai kemenarikan relatif (Total Attractive Score/TAS) tertinggi merupakan prioritas strategi pembangunan hutan rakyat yang utama.
69
Hasil analisis QSPM dapat diketahui urutan prioritas strategi pengembangan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bogor seperti pada Tabel 27 berikut. Tabel 27 Prioritas strategi pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Bogor berdasarkan analisis QSPM. No 1.
a
Alternatif Strategi Meningkat peran pemerintah dalam memfasilitasi peningkatan kemitraan hutan rakyat dalam produksi hutan rakyat (strategi SO) 2. Meningkatkan kapasitas kelompok petani dalam pengembangan komoditas unggulan pada lahan-lahan non produktif (strategi SO) 3. Memanfaatkan dukungan pemerintah dalam program penghijauan pada tanah/lahan tidak produktif (strategi SO) 4. Membangun pondasi ekonomi petani yang kuat dengan pola Agroforestry (strategi WO). 5. Pola pengembangan hutan rakyat melalui subsidi seperti bantuan bibit dan operasional pemeliharaan (strategi WT) 6. Meningkatkan peran pemerintah dalam fasilitasi petani yang menggarap lahan di tanah guntai (strategi ST). 7. Meningkatkan peran pemerintah dalam penyuluhan untuk mencegah alih fungsi lahan dan kurangnya regenerasi pengelolaan hutan rakyat (strategi ST) TAS (total attractive score) hasil pengolahan.
TASa 6,54
Prioritas 4
6,73
2
6,52
5
6,79
1
6,55
3
6,25
6
6.11
7
Berdasarkan Tabel 27 dapat dirumuskan empat prioritas strategi pilihan pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Bogor, yaitu: 1. Membangun pondasi ekonomi petani yang kuat dengan pola agroforestry. Strategi ini memiliki nilai TAS tertinggi sebesar 6,79 artinya strategi in merupakan strategi prioritas pertama dalam pengembangan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bogor. Perumusan strategi ini menjadi strategi utama dalam pengembangan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bogor sangat tepat. Hal ini karena umumnya pondasi ekonomi petani sangatlah lemah, hal tersebut yang berakibat pada daur tebang yang tidak teratur. Pola agroforestry ini sudah diterapkan di beberapa wilayah di Kabupaten Bogor, walaupun komoditas utamanya masih tanaman pangan. Pola ini sangat baik untuk mendukung pendapatan petani jangka pendek dan panjang. Selain itu, dengan pola ini kegiatan bertani lebih intensif dan bukan menjadi kegiatan sampingan. Hal senada dikemukakan Hardjanto (2001b) bahwa intensitas pengelolaan dan perhatian petani terhadap usaha hutan rakyat dengan system agroforestry relatif lebih tinggi dibandingkan hanya terdiri tanaman kayu. 2. Meningkatkan kapasitas kelompok petani dalam pengembangan komoditas unggulan pada lahan-lahan non produktif. Berdasarkan alasan tanaman unggulan (primadona) di atas, maka pemilihan jenis pohon yang akan dikembangkan disesuaikan dengan 8 jenis tanaman hutan unggulan dari sisi kesesuaian tempat tumbuh dan primadona pasar kayu. Pemberdayaan kapasitas petani diarahkan agar pengelolaan lahan lebih intensif. Karena kualitas lahan yang baik akan memberikan respon pertumbuhan volume yang baik, sehingga petani dapat menebang pada umur yang lebih muda (Wahyuningrum 2008).
70
3.
4.
Pola pengembangan hutan rakyat melalui subsidi ini masih perlu dilakukan. Dengan cara partisipasi aktif dalam bimibingan teknis dan penyediaan kebutuhan sarana prasarana dalam usaha hutan rakyat, bantuan bibit dan operasional pemeliharaan. Meningkatkan peran pemerintah dalam memfasilitasi peningkatan kemitraan hutan rakyat dalam produksi hutan rakyat. Informasi peluang usaha hutan rakyat dan peluang pasar perlu difasilitasi pemerintah dalam rangka mengundang investor yang sebanyak-banyaknya. Sehingga kemitraan dalam pengelolaan hutan rakyat terus berkembang.
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kebijakan yang berperan penting dalam mendorong usaha pengelolaan hutan rakyat, yaitu Gerakan Karang Kitri (1952–1958), Deptan 001–022 (1966– 1973), RAKGANTANG (1972–1975), Inpres Penghijauan (1974–1983), Sengonisasi (1988–1993), GERHAN (2003–2007) dan KBR (2010 – sekarang). Kebijakan tersebut mengalami perubahan tujuan, bentuk dan sifat dari kebijakan tersebut. Secara umum kebijakan tersebut bertujuan untuk pengendalian erosi pada lahan milik, tetapi mulai tahun 1980 peningkatan pendapatan masyarakat mulai menjadi tujuan dalam kebijakan pengelolaan hutan rakyat. Bentuk implementasi dari tujuan tersebut masih didominasi dengan kegiatan penanaman yang bersifat instruksi. Berdasarkan aspek pengelolaan, hutan rakyat mengalami kedinamisan dari waktu ke waktu. Hal tersebut terlihat dari adanya perubahan-perubahan kepemilikan lahan, dudukuhan/kebun campuran menjadi monokultur, usaha sendiri menjadi kemitraan, dan terdapat komoditas jenis tertentu saja yang diusahakan. Berdasarkan hasil analisis SWOT dan analisis QSPM telah dirumuskan strategi-strategi pengembangan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bogor, sebagai berikut: 1) Membangun pondasi ekonomi petani yang kuat dengan pola agroforestry.; 2) Meningkatkan kapasitas kelompok petani dalam pengembangan komoditas unggulan pada lahan-lahan non produktif; 3) Pola pengembangan hutan rakyat melalui subsidi ini masih perlu dilakukan; 4) Meningkatkan peran pemerintah dalam memfasilitasi peningkatan kemitraan hutan rakyat dalam produksi hutan rakyat. Saran Hasil dari penelitian atau kajian perkembangan kebijakan dan pengelolaan hutan rakyat dapat menjadi masukan dan bahan pembelajaran bagi pemerintah pusat dan daerah dalam melaksanakan program pengembangan pengelolaan hutan rakyat. Strategi-strategi alternatif dan pilihan dapat menjadi bahan masukan bagi pemangku kebijakan dan bahan pertimbangan dalam merumuskan program dan kegiatan pengembangan pengelolaan hutan rakyat.
71
DAFTAR PUSTAKA Agustinardi BD. 1987. Sistem Pemasaran Karet Rakyat (Studi Kasus Model pada Perkebunan Karet Rakyat di Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) [skripsi]. Bogor (ID): Jurusan Ilmu-ilmu sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Alrasjid H. 1979. Pemilihan Jenis Tanaman Penghijauan untuk Pembangunan Hutan Rakyat. Kehutanan Indonesia. 8: 31-40. Andriani R. 2008. Model dan Skenario Rantai Nilai Pasokan bibit tanaman GNRHL pola block grant di Desa Tamansari, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. [Balitbang Pertanian] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Cengkeh. Jakarta (ID): Edisi Kedua. Balitbang Departemen Pertanian. [BPS Kab. Bogor] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 1998. Kabupaten Bogor Dalam Angka 1998. Bogor (ID): Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. ______. 2001. Kabupaten Bogor Dalam Angka 2001. Bogor (ID): Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. ______. 2002. Kabupaten Bogor Dalam Angka 2002. Bogor (ID): Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. ______. 2003. Kabupaten Bogor Dalam Angka 2003. Bogor (ID): Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Bungin MB. 2011. Penelitian Kualitatif. Edisi Kedua, Cetakan Kelima. Jakarta (ID): Kencana Prenada Media. Davis LS, Johnson KN, Bettinger PS, Howard TE. 2001. Forest Management:To Sustain Ecological, Economic, and Social Values. Fourth Edition. New York (US): McGraw-Hill Companies, Inc. [Dephut] Departemen Kehutanan. 1966. Perintjian Kebidjaksanaan dan Rentjana Kerdja Departemen Kehutanan: Reboisasi dan Penghidjauan. Bogor (ID): Departemen Kehutanan. _________. 1986. Sejarah Kehutanan Indonesia II–III Periode Tahun 1842– 1983. Jakarta (ID): Departemen Kehutanan. _________. 1993. Memori Menteri Kehutanan Masa Bakti 1988–1993. Buku Pendamping (4) Ditjen RRL. Jakarta (ID): Departemen Kehutanan. Dewi AK. 2013. Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi lahan pada Program Kebun Bibit Rakyat (KBR) di Desa Plukarran Kecamatan Gembong Kabupaten Pati [tesis]. Semarang (ID): Program Pascasarjana Magister Pembangunan wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro. [Dishut Jabar] Dinas Kehutanan Propinsi DT I Jawa Barat. 1975. Laporan dinas Kehutanan Propinsi Daerah Tngkat I Jawa Barat Tahun 1974/1975. Bandung (ID): Dishut Prop. DT I Jabar. [Dishutbun Bogor] Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bogor. 2004. Monografi Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bogor Tahun 2004. Bogor (ID): Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bogor.
72
[Diskop Perindag Bogor] Dinas Koperasi UKM Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor. 2012. Laporan Tahunan Bidang Perindustrian Tahun 2012. Bogor (ID): Dinas Koperasi UKM Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor. [Distanhut Bogor] Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. 2005. Monografi Pertanian dan Kehutanan Tahun 2005. Bogor (ID): Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. ______. 2006. Laporan Satuan Kerja Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL/GERHAN) Tahun 2006. Bogor (ID): Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. ______. 2006. Monografi Pertanian dan Kehutanan Tahun 2006. Bogor (ID): Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. ______. 2007. Monografi Pertanian dan Kehutanan Tahun 2007. Bogor (ID): Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. ______. 2008. Laporan Tahunan Kuasa Pengguna Anggaran Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) Tahun 2008. Bogor (ID): Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. ______. 2008. Monografi Pertanian dan Kehutanan Tahun 2008. Bogor (ID): Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. ______. 2009. Monografi Pertanian dan Kehutanan Tahun 2009. Bogor (ID): Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. ______. 2010. Monografi Pertanian dan Kehutanan Tahun 2010. Bogor (ID): Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. ______. 2010. Laporan Kegiatan Koordinasi Peningkatan Pengembangan Pengelolaan Hutan Tahun 2010. Bogor (ID): Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. ______. 2011. Monografi Pertanian dan Kehutanan Tahun 2011. Bogor (ID): Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. ______. 2012. Monografi Pertanian dan Kehutanan Tahun 2012. Bogor (ID): Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. [Dit PT] Direktorat Penggunaan Tanah. 1969. Pedoman Pelaksanaan Reboisasi dan Penghidjauan untuk Pelaksanaan Projek Rehabilitasi Daerah Pengaliran Sungai dan Tanah Kritis. Djakarta (ID): Direktorat Penggunaan Tanah, Ditdjen Kehutanan, Departemen Pertanian. [Dit RR] Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi. 1971. Laporan Nomor 4 Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi untuk Rapat Dinas Kehutanan Seluruh Indonesia (27 September – 1 Oktober 1971). Bogor (ID): Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi, Ditjen Kehutanan, Departemen Pertanian. [Ditjen Kehutanan] Direktorat Jenderal Kehutanan Departemen Pertanian. 1979. Statistik Kehutanan Indonesia. Bogor (ID): Ditjen Kehutanan Departemen Pertanian. [Ditjen RRL] Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. 1993. Memori Menteri Kehutanan Masa Bakti 1988–1993. Buku Pendamping (4) Ditjen RRL. Jakarta (ID): Ditjen RRL Departemen Kehutanan. Djajapertjunda S. 2003. Mengembangkan Hutan Milik di Jawa. Ramdan H, Suwandhi I, penyunting. Jatinagor (ID): Alqaprint Jatinangor.
73
Djawatan Kehutanan Propinsi Djawa Barat. 1972. Laporan Tahun 1971/1972 Projek Reboisasi dan Penghidjauan Propinsi Djawa Barat. Bandung (ID): Djawatan Kehutanan Propinsi Djawa Barat. Effendy HA. 1996. Pengusahaan Hutan Sengon: Sosok Pohon, Sengonisasi, Kedala dan Propek Pasarnya. Kehutanan Indonesia. 6:25-31. [FAO] Food and Agriculture Organization Of The United Nations. 2010. Global Forest Resources Assessment 2010. Rome: Food and Agriculture Organization Of The United Nations. Hardjanto. 2000. Beberapa Ciri Pengusahaan Hutan Rakyat di Jawa. Suharjito D, penyunting. Hutan Rakyat di Jawa Perannya dalam Perekonomian Desa. Bogor (ID): Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. ______. 2001a. Dampak Krisis Ekonomi dan Moneter Terhadap Usaha Usaha Kehutanan Masyarakat: Kayu Jati dan sengon di Jawa. Darusman D, editor. Resiliensi Kehutanan Masyarakat di Indonesia. Yogyakarta (ID): Debut Press. ______. 2001b. Kontribusi Hutan Rakyat Terhadap Pendapatan Rumah Tangga di Sub Das Cimanuk Hulu. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 7(2): 47-61. ______. 2003. Keragaan dan Pengembangan Usaha Kayu Rakyat di Jawa [disertasi]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. ______. 2006. Model Struktural Sistem Usaha Kayu Rakyat. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 7(2) : 57-68. Hinrichs A, Muhtaman DR, Irianto N. 2008. Sertifikasi Hutan Rakyat di Indonesia. Jakarta (ID): Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH. Irawati RH. 2000. Posisi Pendapatan Kayu Rakyat Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani (Studi Kasus di Kecamatan Ciawi,Caringin dan Cijeruk, Kabupaten Bogor) [skripsi]. Bogor (ID): Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Jawatan Kehutanan Propinsi Jawa Barat. 1973. Laporan Jawatan Kehutanan Propinsi Jawa Barat Tahun 1972/1973. Bandung (ID): Jawatan Kehutanan Propinsi Jawa Barat. ______. 1974. Laporan Jawatan Kehutanan Propinsi Jawa Barat Tahun 1973/1974. Bandung (ID): Jawatan Kehutanan Propinsi Jawa Barat. [Kanwilhut Jabar] Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Jawa Barat. 1986. Statistik Kehutanan Propinsi Jawa Barat Tahun 1985. Bandung (ID): Kanwil Propinsi Jawa Barat, Departemen Kehutanan. ______. 1997. Perstatistikan Kehutanan Propinsi Jawa Barat Tahun 1996/1997. Bandung (ID): Kanwil Propinsi Jawa Barat, Departemen Kehutanan. Kartasapoetra G, Kartasapoetra AG, Sutedjo MM. 1987. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Jakarta (ID): PT Bina Aksara. Kartodirdjo S. 1992. Pendekatan Ilmu sosial dalam Metodologi Sejarah. Pusposaputro S (editor). Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Kehutanan Indonesia. 1987. Pelaksanaan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Belum sepenuhnya Diatur oleh Undang-Undang. Kehutanan Indonesia. 26: 31-33. ______. 1988. Konservasi Tanah dalam Pengelolaan DAS. Kehutanan Indonesia. 28: 3-13.
74
Khairiyah A. 2012. Perkembangan Produksi Kayu Petani Hutan Rakyat Wilayah Bogor Barat Periode Sebelum 1945 sampai 2012 [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Mardikanto T. 1995. Aspek Sosial Ekonomi Pengusahaan Hutan Rakyat. Di dalam: Proceeding Seminar/diskusi Panel Pengembangan Hutan Rakyat; Bandung (ID): Direktorat Penghijauan dan Perhutanan sosial Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Dephut, Jakarta. Ngadiono. 2004. 35 Tahun Pengelolaan Hutan Indonesia: Refleksi dan Prospek. Bogor (ID): Yayasan Adi Sanggoro. Nurjaya IN. 2005. Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indonesia. Jurisprudence. 2 (1):35-55. Ponto SAS. 1954. Pemakaian dan Pemeliharaan Tanah. Almanak Pertanian 1954. Jakarta (ID): Badan Usaha Penerbit almanak Pertanian. Hlm 321-338. Popkin SL. 1986. Petani Rasional. Jakarta (ID): Yayasan Padamu Negeri. Pramono AA. 2010. Analisis Perubahan Nilai Ekonomi Lahan pada Konversi Hutan Rakyat di Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 7(3): 209 – 220. Pranoto SW. 2010. Teori dan Metodologi Sejarah. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu. Pribadi S. 2001. Kontribusi Hutan Rakyat dalam Penyediaan Bahan Baku Industri Pengeolahan Kayu Rakyat (Studi Kasus di Kecamatan Ciawi, Caringin, dan Cijeruk) [skripsi]. Bogor (ID): Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. [PRP Djabar] Projek Reboisasi dan Penghidjauan Propinsi Djawa Barat. 1971. Lampiran I Laporan Kegiatan Projek Penghidjauan Propinsi Djawa Barat. Bandung (ID): Projek Reboisasi dan Penghidjauan Propinsi Djawa Barat. [P3RP DAS Cilwung-Cisadane-Cimandiri] Proyek Perencanaan dan Pembinaan Reboisasi dan Penghijauan DAS Ciliwung-Cisadane-Cimandiri. 1978. Laporan Tahunan DAS Cilwung-Cisadane-Cimandiri Tahun Anggaran 1977/1978. Bogor (ID): P3RP DAS Ciliwung-Cisadane-Cimandiri. ______. 1979. Laporan Tahunan P3RP DAS Cilwung-Cisadane-Cimandiri Tahun Anggaran 1978/1979. Bogor (ID): P3RP DAS Ciliwung-CisadaneCimandiri. ______. 1981. Laporan Tahunan 1980/1981. Bogor (ID): P3RP DAS CiliwungCisadane-Cimandiri. ______. 1982. Laporan Hasil Pemeriksaan Tanaman Penghijauan Tahun 1980/1981 DAS Ciliwung, Cisadane, Cimandiri. Bogor (ID): P3RP DAS Ciliwung-Cisadane-Cimandiri. Ricklefs MC. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004. Wahono S, Bilfagih B, Huda H, Helmi M, Sutrisno J, Manadi S, Penerjemah; Syawie H, Ricklefs MC, penyunting. Jakarta (ID): Penerbit Serambi. Terjemahan dari: A History of Modern Indonesia Since c. 1200. Third Edition. Rifa’i IA. 2011. Respon Pelaku Usaha Hutan Rakyat Terhadap Kebijakan Surat Keterangan Asal Usul Kayu (Studi Kasus di Desa Jugalajaya Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor) [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Setiadiredja RS. 1954. Pekarangan dan Perkebunan Rakjat. Almanak Pertanian 1954. Jakarta (ID): Badan Usaha Penerbit almanak Pertanian. Hlm 214229.
75
Setiajati F. 2012. Sejarah Perkembangan Hutan Rakyat Wilayah Bogor Barat [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Suharjito D. 2000. Hutan Rakyat: Kreasi Budaya Bangsa. Suharjito D, penyunting. Hutan Rakyat di Jawa Perannya dalam Perekonomian Desa. Bogor: Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Sukandi T, Sumarhani, Murniati. 2002. Informasi Teknis Pola Wanatani (Agroforestry). Bogor (ID): Pusat Litbang hutan dan Konservasi Alam, Badan Litbang Kehutanan. Soepardja E. 1991. Penanganan Lahan Kritis dari Masa ke Masa. Bandung (ID): Penerbit Angkasa. Tauchid M. 2009. Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Yogyakarta (ID): STPN Press. [Team Survey AIK] Team Survey Akademi Ilmu Kehutanan. 1970. Hasil survey Tanah Kosong di Djawa Barat. Rimba Indonesia. 25 (1-2):42-56. Tinambunan Dj, Nasendi BD, Astana S. 1995. Pembahasan Program Pengembangan Usaha Hutan Rakyat (Suatu Tinjauan Sosio-Ekonomi dan Kelembagaan). Di dalam: Pengembangan Hutan Rakyat. Proceeding Seminar; Bandung (ID): Direktorat Penghijauan dan Perhutanan Sosial Ditjen RRL Dephut. Wahab SA. 2004. Analisis Kebijaksanaan;dari Formulasi ke Implementasi Kebijakasanaan Negara. Jakarta (ID): Edisi Kedua, Cetakan Keempat. Bumi Aksara. Wahyuningrum N. 2008. Pertumbuhan sengon (Paraserianthes falcataria) Berdasarkan Kondisi Fisik Lahan. Di dalam: Ginting AN, Rostiati T, Leksono B, Effendi R, Wibowo A, editor. Workshop Sintesa Hasil Penelitian Hutan Tanaman. Prosiding, 2008 Desember 19; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Hlm 299-306. Widiarti dan Mindawati N. 2006. Dasar Pemilihan Jenis Pohon Hutan Rakyat. Di dalam: Hendromono, Danu, Pramono AA, Putri KP, editor. Benih untuk Rakyat: Menghasilkan dan Menggunakan Benih Bermutu Secara Mandiri. 2006 Desember 4; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Badan Litbang Kehutanan. Hlm 39-54. Wirakusumah S. 1964. Menilai Usaha Swadaja Masjarakat dalam Membangun dan Membina Hutan Rakjat. Rimba Indonesia. 9 (3):55-65. Wuryanto I. 2009. Aspek Hukum dalam Perjanjian Kredit Usaha Hutan Rakyat antara Departemen Kehutanan dengan Kelompok Tani Hutan [tesis]. Yogyakarta (ID): Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
76
LAMPIRAN
Demokrasi Terpimpin (1960-1965)
Demokrasi Liberal (1950-1959)
KOGM
Perang Kemerdekaan (1945-1950)
Upaya mengkampenyekan kegiatan Penghijauan Upaya mengkampenyekan kegiatan Penghijauan Upaya mengkampenyekan kegiatan Penghijauan Upaya mengkampenyekan kegiatan Penghijauan Upaya mengkampenyekan kegiatan Penghijauan
Pekan Penghijauan II
Pekan Penghijauan III Pekan Penghijauan IV Pekan Penghijauan V
Penanaman pohon di lahan milik/pekarangan
Gerakan Karang Kitri
Pekan Penghijauan I
Hari Keteduhan/Pohon
Kegiatan operasi gerakan makmur dalam pembuatan sengkedan dan persemaian untuk penghijauan dan percobaan perusahaan tanah kering (PPTK) Usaha untuk konservasi tanah dan air
Pengertian
Arbor Day
Gerakan pertahanan tanah
Kebijakan
Periode
Lampiran 1 Kebijakan pemerintah pada era Orde Lama.
Departemen Kehutanan Departemen Kehutanan Departemen Kehutanan
Departemen Kehutanan
Dinas Pertanian Provinsi/ Kabupaten Departemen Kehutanan Gunung Mas, Kabupaten Bogor Gunung Kromong Cirebon Gunung Kidul DI Yogyakarta Blitar–Jawa Timur Blitar–Jawa Timur
Seluruh provinsi di Jawa
Jawa Barat Bandung
Jawatan Kehutanan
Sragen
Tidak terlaksana
Lokasi
-
Dinas Pertanian Provinsi/ Kabupaten
Pelaku
Tidak diketahui Tidak diketahui Tidak diketahui
Tidak diketahui
Tidak diketahui
180.000 ha
Tidak diketahui Tidak diketahui
1 unit
Tidak diketahui
Volume
1965
1964
1963
1962
1961
1952-1958
1956
1948
1948
Waktu Pelaksanaan 1948
Gerakan penanaman Gerakan penanaman Gerakan penanaman
Berhasil menghijaukan areal Gunung Mas Gerakan penanaman
Penanaman pohon seluas 180.000 ha
Pembangunan waduk Sragen Penghentian waduk Lokbok Penanaman serentak
Hasil Kegiatan Hanya sampai penyiapan dan pengolahan lahan kering
77
(19661969)
Pra Pelita
Periode
Pekan
Nasional VII
Penghijauan
Pekan
Nasional VI
Penghijauan
Pekan
Proyek Deptan 001
Kebijakan
Kegiatan yang diselenggarakan tiap tahun yang jatuh pada bulan Desember sebagai kampanye puncak dari kegiatan
Kegiatan yang diselenggarakan tiap tahun yang jatuh pada bulan Desember sebagai kampanye puncak dari kegiatan penghijauan VII
Kegiatan yang diselenggarakan tiap tahun yang jatuh pada bulan Desember sebagai kampanye puncak dari kegiatan penghijauan VI
Rehabilitasi tanah kritis di luar kawasan hutan melalui kegiatan penghijauan melalui gerakan massal
Pengertian
Lmapiran 2 Kebijakan pemerintah pada era Orde Baru.
Ditjen Kehutanan
Ditjen Kehutanan
Ditjen Kehutanan
Direktorat Penggunaan Tanah
Pelaku
Garut Jawa Barat
Gunung Tidar Kabupaten Magelang
Blonggong Kabupaten Wonogiri
DAS Pakem (Glonggong) DAS Wiroko (Tirtomoyo) DAS Kedaung Kabupaten bekas Karesidenan Surakarta
Lokasi
-
-
-
-
Volume
1968
1967
1966
1966-1969
Pelaksanaan
Waktu
Gerakan
Penanaman
Gerakan
penanaman
Gerakan
175.150 ha penghijauan dan 82.000 ha pengawetan tanah
Kegiatan
Hasil
78
(19791983)
Pelita III
(19741978)
Pelita II
(19691973)
Pelita I
Periode
Inpres Penghijauan di Provinsi Jawa barat
Program bantuan penghijauan atau dikenal program penyelematan hutan, tanah dan air yang diberikan kepada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat
Program bantuan penghijauan atau dikenal program penyelematan hutan, tanah dan air yang diberikan kepada Kabupaten Bogor
Gerakan Gandrung Tatangkalan berupa penghijauan secara merata di wilayah Jawa Barat
RAKGANTANG
Inpres Penghijauan di Kab Bogor
Rehabilitasi tanah kritis di luar kawasan hutan melalui kegiatan penghijauan di DAS Ciliwung Cisadane
penghijauan VIII
Pengertian
Proyek Deptan 018
Nasional VIII
Penghijauan
Kebijakan
P3RPDAS
CiliwungCisadane Cimandiri
P3RP DAS
Provinsi Jawa Barat
(PRP DAS)
Reboisasi dan Rehabilitasi
Direktorat
Pelaku
Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat
15 kecamatan di Kab. Bogor
Beberapa Kab./Kota di Jawa Barat termasuk Kab. Bogor
Leuwiliang, cibungbulang, ciampea, Kedunghalang, Cijeruk, Cisarua, Ciawi, Bogor Timur dan Ciomas
Lokasi
268 unit UPSA 27.377,26 ha hutan rakyat 168.155,62 ha penanaman
119.666,69 km turinisasi 21.794,55 ha tanaman 234.450 phn buah 7.906 ha tanaman sengon
Penanaman sengon seluas 7.361 ha
Volume
1979-1983
1977-1978
1972-1975
1969-1973
Pelaksanaan
Waktu
Pembangunan UPSA Penanaman pohon Pembangunan hutan ra
119.666,69 km turinisasi 21.794,55 ha tanaman 234.450 phn buah Penanaman pohon Hutan rakyat sengon
Penanaman sengon seluas 7.361 ha
Penanaman
Kegiatan
Hasil
79
(19881993)
Pelkita V
(19841988)
Pelkita IV
Periode
Kresit Usaha Tani Konservasi
Sengonisasi
Pemberian kredit usaha tani untuk meningkatkan produksi, pengaturan tata air dan pelestarian lingkungan
Program pemberian bibit sengon di lahan milik dan pengembangan HTI sengon untuk memenuhi bahan baku industri
Kegiatan dalam penyelematan hutan tanah dan air yang pola pelaksanaannya dititik beratkan pada kelompok tani dan pembentukan penyuluh lapangan penghijauan (PLP)
Penghijauan lahan dengan pola tanaman pangan dan bantuan ternak
Penghijauan pola Panawangan
Penghijauan
Program bantuan penghijauan atau dikenal program penyelematan hutan, tanah dan air yang diberikan kepada Kabupaten Bogor
Pengertian
Inpres Penghijauan di Kab Bogor
Kebijakan
Departemen Kehutanan petani
Departemen Kehutanan
Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah
Ditjen Kehutanan
CiliwungCisadaneCimandiri
P3RP DAS
Pelaku
Karang anyar Cianjur Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur
Seluruh Indonesia
36 DAS dan 163 Sub DAS di seluruh Indonesia
10 Kabupaten di Jawa Barat
16 kecamatan di Kab. Bogor
Lokasi
-
109,23 ha 919,99 ha 952,27 ha
8000 PLP Penghijauan di 36 DAS
375 ha
5.360,5 ha
Volume
1989 1989 1990
1988-1993
1984-1986
1981-1983
1979-1980
Pelaksanaan
Waktu
17,45% kredit yang dikembalikan petani (Kanwilhut Jabar 1997)
Disambut baik masyarakat
Pembangunan UPSA Penanaman pohon Pembangunan hutan rakyat
Meningkatkan produksi pangan dan pendapatan petani
Pembangunan UPSA Penanaman pohon Pembangunan hutan rakyat
Kegiatan
Hasil
80
(19941998)
Pelita VI
Periode
Pembuatan tempat persemaian biit ditiap desa
Kredit Usaha Hutan Rakyat dengan pola kemitraan antara petani dengan Industri pengolah kayu rakyat.
KUHR
Proyek penanaman pada lahan kritis dengan APBD
Pengertian
Kebun Bibit Desa
Pengembangan hutan rakyat
Kebijakan
BRLKT
Sub BRLKT Ciujung – Ciliwung
Dinas PKT Kab. Bogor
Pelaku
Bogor
Bogor
20 Kecamatan
Lokasi
Tidak diketahui
7 unit
46.576 ha
Volume
1997
Sampai dengan 1997
1996-1998
Pelaksanaan
Waktu
Kredit macet
Pembangunan 7 unit kebun bibit
Pembuatan hutan rakyat
Kegiatan
Hasil
81
Permenhut No. P.32/MenhutV/2005 tentang Penyelenggaraan dan sasaran kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2005
2005
2004
Kepmenhut No. 349/Kpts-II/2003 tentang Penyelenggaraan GERHAN dan Lokasi GERHAN Tahun 2003 dan Kepmenhut No. 369/Kpts-V/2003 tentang petunjuk Pelaksanaan GN RHL tahun 2003 Permenhut No. P.02/MenhutII/2004 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2004
2003
Tahun
Dasar Pelaksanaan
Penyediaan bibit Reboisasi Pembuatan tanaman hutan rakyat Rehabilitasi mangrove (5.075 ha) Penghijauan kota dan penanaman turus jalan Kegiatan konservasi tanah
a) b) c) d)
Reboisasi pada kawasan hutan Pembuatan hutan kota Penanaman turus jalan Pembuatan dan pengkayaan hutan rakyat pada daerah tertinggal.
2) Pola RHL Subsidi/Biaya Penuh.
a) Pembuatan hutan rakyat dan pengkayaan hutan rakyat. b) Rehabilitasi mangrove dan hutan pantai di luar kawasan hutan c) Penghijauan Lingkungan (Penyediaan bibit untuk masyarakat).
1) Pola RHL Insentif
1) 2) 3) 4) 5) 6)
1) Penyediaan bibit 2) Pembuatan tanaman reboisasi 3) Pembuatan tanaman hutan rakyat 4) Penanaman turus jalan Anyer-Panarukan 5) Pembuatan bangunan konservasi tanah.
Fokus kegiatan
Lampiran 3 Target penyelenggaraan kebijakan GERHAN tingkat nasional.
184 DAS 33 Provinsi, 420 Kabupaten/ Kota
141 DAS, 31 Provinsi, 372 Kabupaten/ Kota
29 DAS, 15 Provinsi, 145 Kabupaten/ Kota
Target Lokasi
284.920
217.532
315.080
277.393
Target Luas (ha) Kawasan Diluar hutan hutan negara negara 163.382 136.618
82
2007
2006
Tahun
Permenhut No. P. 81/MenhutV/2006 tentang Penyelenggaraan dan Sasaran Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2006 Permenhut No.P.25/MenhutII/2006 Tentang Pedoman Penilaian Pelaksanaan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan lahan (GNRHL/GERHAN) tahun 2003 dan 2004 Permenhut No. P.21/MenhutV/2007 tentang Penyelenggaraan Kegiatan GERHAN Tahun 2007
Dasar Pelaksanaan
Pola GERHAN sama dengan tahun 2005
Pola GERHAN sama dengan tahun 2005
3) Pola RHL Model a) Hutan rakyat pola block grant kepada kelompok tani b) Hutan rakyat pola kemitraan usaha c) Konservasi jenis tanaman langka/unggulan setempat dengan silvikultur intensif. d) Rehabilitasi areal berbatu hutan rakyat dengan sistem pot dan daerah bencana tanah longsor. e) Pengembangan tanaman jati Muna f) Rehabilitasi hutan dan lahan pada daerah tangkapan air (catchment area) dam, waduk, bendungan dan danau prioritas 4) Kegiatan pendukung: bimibingan teknis dan pengembangan kelembagaan petani. Pola GERHAN sama dengan tahun 2005
e) Rehabilitasi mangrove dan hutan pantai dalam kawasan hutan f) Pembuatan bangunan konservasi tanah
Fokus kegiatan
33 Provinsi, 431 Kabupaten/ Kota
Target Lokasi
372.040
26.205
527.960
33.795
Target Luas (ha) Kawasan Diluar hutan hutan negara negara
83
84
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Bogor tanggal 09 Februari 1978 sebagai anak keenam dari enam bersaudara pasangan H. Ahmad Syapei dan Hj. Cicin Kurniasih. Tahun 2006 penulis menikah dengan Rustini Wati, dan dikaruniai seorang putra yaitu Ahmad Farees Ahsan dan seorang putri yaitu Adrena Rafania Ahmad Pendidikan dasar ditempuh penulis di SDN Sukaharja 1 Bogor, pendidikan menengah pertama ditempuh penulis di SMPN 9 Bogor, dan pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMAN 4 Bogor. Tahun 2000, penulis menamatkan Strata 1 di Program Studi Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tahun 2010, penulis melanjutkan kuliah Strata 2 di Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) pada Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan Institut Pertanian Bogor, penulis menyelesaikan tesis dengan judul Dinamika Pengelolaan Hutan Rakyat dan Strategi Pengembangannya di Kabupaten Bogor di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS dan Dr. Ir. Yulius Hero, MSc. Tahun 2005 penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil pada Balai Sertifikasi Penguji Hasil Hutan Wilayah VII Jakarta (sekarang menjadi Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah VII Jakarta) sampai dengan tahun 2008. Tahun 2008 sampai dengan sekarang penulis bekerja pada Inspektorat Jenderal Kementerian Kehutanan.