DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA -----------
RISALAH RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM KOMITE III DPD RI DENGAN NARASUMBER MASA SIDANG III TAHUN SIDANG 2015-2016 DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
I.
KETERANGAN
1. 2. 3.
Hari Tanggal Waktu
: : :
Selasa 8 Maret 2016 09.41 WIB–12.06 WIB
4. 5.
Tempat Pimpinan Rapat
: :
R. Rapat 2C 1. Drs. Hardi Selamat Hood (Ketua Komite III) 2. Fahira Idris, SE (Wakil Ketua Komite III) 3. Ir. Abraham Liyanto (Wakil Ketua Komite III)
6.
Acara
:
Pembahasan terkait Rancangan Undang-Undang tentang Tanggung Jawab Sosial (CSR) dengan: 1. Drs. Mulyadi, Ph. D. (Univ. Gajah Mada); 2. Maria Radyati, Ph. D. (Univ. Trisakti)
7. 8.
Hadir Tidak hadir
: :
Orang Orang
II. JALANNYA RAPAT: RAPAT DIBUKA PUKUL 09.41 WIB
PIMPINAN RAPAT: FAHIRA IDRIS, S.E., M.H. (WAKIL KETUA KOMITE III) Bismillaahirrahmaanirrahiim. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi. Salam sejahtera buat kita semua. Yang saya hormati Bapak-Ibu Anggota Komite III DPD RI, yang kami hormati Bapak Drs. Mulyadi, PH. D., pakar CSR dari Universitas Gajah Mada, yang kami hormati Bapak Pudyardono Prajarto SH., SE., MM. Pakar CSR dari Universitas Trisakti, dan hadirin yang berbahagia. Mengawali Rapat Dengar Pendapat Umum Komite III DPD RI pada pagi hari ini, marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan perkenan-Nya kita semua dapat menghadiri rapat pagi ini dalam keadaan sehat walafiat. Sebelum kami membuka RDPU kali ini, terlebih dahulu mari kita berdoa menurut agama dan kepercayaan Bapak-Ibu sekalian, agar kegiatan pada pagi hari ini dapat berjalan dengan baik serta memberikan hasil yang bermanfaat bagi kita semua dalam menjalankan tugas-tugas konstitusional kita. Berdoa dimulai. Selesai Yang terhormat Bapak-Ibu Anggota Komite III DPD RI, para narasumber, dan hadirin yang kami hormati dengan mengucapkan bismillahirrahmanirrahiim, pada hari ini Selasar tanggal 8 Maret 2016, Rapat Dengar Pendapat Umum Komite III dalam rangka pendalaman materi penyusunan RUU tentang CSR sebagai usul inisiatif Komite III DPD RI saya buka dan terbuka untuk umum. KETOK 1X Sebagaimana undangan yang telah disampaikan oleh sekretariat kepada Bapak-Ibu Anggota Komite III dan tamu undangan, bahwa pada hari ini Komite III DPD RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum dalam rangka pendalaman materi penyusunan RUU tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) sebagai usul inisiatif Komite III DPD RI dan di tengah-tengah kita telah hadir yang terhormat Bapak Drs. Mulyadi, Ph.D., Pakar CSR dari Universitas Gajah Mada dan Bapak Pudyardono Prajarto, SH., SE., MM., pakar CSR dari Univeristas Trisakti. Yang terhormat Bapak-Ibu Anggota Komite III DPD RI, para narasumber, dan hadirin yang kami hormati. Relasi perusahaan dan masyarakat Indonesia telah banyak mengalami perubahan pola hubungan seiring perubahan sosial dan politik yang terjadi sejak kejatuhan orde baru tahun 1998 dan juga proses desentralisasi tahun 1999. Pengaruh perubahan politik tampak dalam pola relasi perusahaan dan masyarakat lokal dalam industri ekstraktif, seperti pada perusahaan tambang minyak, gas, dan energi panas bumi. Persepsi negatif masyarakat lokal terhadap perusahan tambang muncul karena perusahaan tidak memiliki komitmen terhadap perbaikan kehidupan masyarakat lokal sehingga lahirlah bermacam konflik tambang seperti yang terjadi pada PT. Newmont di Sumbawa dan Sulawesi Utara, PT. Freeport di Papua, Rio Tinto di Kalimantan, Chevron di Kalimantan Selatan, BP di Papua, Inko di Sulawesi, Arutmin di Kalimantan Selatan, Star Energi di Jawa Barat, dan banyak kasus konflik lainnya. Untuk menyelesaikan hal ini perusahaan RDPU KOMITE III DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2015-2016 SELASA, 8 FEBRUARI 2016
1
memanfaatkan program CSR untuk membangun komunikasi sosial politik dengan masyarakat lokal. Dalam konteks ini CSR di Indonesia memiliki ragam makna dan fungsi. Pertama implementasi CSR bermakna taat dan patuh terhadap Pasal 74 UndangUndang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas serta Undang-Undang nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Kedua, implementasi CSR memiliki efek keekonomian berupa peningkatan image perusahaan dan kinerja sosial perusahaan yang pada akhirnya memberi dampak positif terhadap harga saham perusahaan. Terlebih prestasi dalam pelaksanaan CSR bisa dijadikan strategi dagang perusahaan dalam meningkatkan coorporate branding. Ketiga, kesuksesan program CSR mempunyai pengaruh dalam pengingkatan kesejahteraan masyarakat lokal dengan menekan kesenjangan sosial dan ekonomi. Keempat, program CSR dapat meningkatkan legitimasi sosial, tidak hanya izin operasi tetapi dalam bentuk dukungan masyarakat lokal terhadap kehadiran dan aktifitas perusahaan. Perusahaan tambang, minyak dan gas harus memiliki social responsibility terhadap masyarakat lokal karena perusahaan tersebut sejatinya sedang melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam yang ada di lingkungan mereka sehingga kerap kali terjadi konflik yang berulang di sektor pertambangan ini. Untuk menyelesaikan masalah tersebut tidak ada lagi jalan, kecuali perusahaan harus merestorasi rasa keadilan dan kesetaraan masyarakat lokal yang terkena dampak langsung dari eksploitasi tambang mereka melalui CSR. Atas dasar itulah Komite III DPD RI pada hari ini mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum guna memperoleh informasi dan pandangan dari narasumber, terkait dengan penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan sehingga diharapkan dari hasil pertemuan hari ini, kami mendapatkan gambaran bagaimana RUU ini dapat diimplementasikan dan dapat diterima oleh semua pihak. Dimana CSR bukan hanya sebagai kewajiban sebuah perusahaan, melainkan bagaimana merubah paradigma bahwa CSR adalah sebuah kebutuhan bagi perusahaan. Yang terhormat Bapak-Ibu Anggota Komite III DPD RI, para narasumber dan hadirin yang kami hormati. Demikianlah pengantar singkat kami, untuk menyingkat waktu selanjutnya kami persilakan para narasumber untuk menyampaikan paparannya silakan. PEMBICARA: Drs. MULYADI, Ph.D./PAKAR CSR UGM (NARASUMBER) Selamat pagi Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Salam sejahtera buat kita semua. Saya kira maaf, tapi sebelumnya yang terhormat Ibu Pimpinan Rapat dan Bapak-Ibu Anggota DPD RI, juga para hadirin yang saya muliakan. Saya kira ini kesempatan yang cukup baik untuk, apakah suara saya bisa didengar? Maaf saya, saya kira kalau ada kabelnya, jadi saya kira ini kesempatan yang cukup baik untuk membicarakan mengenai bagaimana CSR atau yang sering kita dengar tanggung jawab sosial itu harus dikelola dan harus diatur karena banyak alasan sebenarnya. Yang pertama karena memang di tataran yang operasional masih ada beberapa pertanyaan besar terkait dengan pengelolaan CSR dan terutama juga aspek hukumnya dan yang kedua saya kira tadi sudah disebut juga oleh Pimpinan Rapat bahwa isu CSR ini memiliki banyak makna. Ada makna politik bagi beberapa politisi dan juga penumpang gelap dalam isu ini dan juga ada makna ekonomi, terutama sekali sebenarnya bagi masyarakat lokal yang berada di sekitar perusahaan. Saya mengucapkan terima kasih sekali karena saya diberi kesempatan untuk menceritakan pengalaman saya. Saya kira mungkin ini ceritanya saling belajar, bukan barangkali mungkin saya bukan pakar tapi karena kebetulan saya sempat
RDPU KOMITE III DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2015-2016 SELASA, 8 FEBRUARI 2016
2
belajar duluan karena sebenarnya kalau di Indonesia isu CSR ini kan booming-nya tahun 2000 atau pasca mendekati tahun 2000. Nah ketika itu kan sekjen PBB meminta para perusahaan, CEO perusahaan besar untuk terlibat dalam penyelesaian masalah kemiskinan. Masalahnya pada saat itu seperti yang sampaikan Ibu Pimpinan Rapat, di Indonesia sedang ada, sedang dalam proses menuju ke arah sistem politik yang baru, pasca bapak presiden Soeharto yang harus lengser ketika itu sehingga memang kondisinya memang suasana politiknya memang sedang sedang agak sedikit tidak mapan dan euphoria politik itu terlihat disitu. Oleh karena itu, ketika itu sebenarnya sampai awal-awal tahun-tahun 2000 itu agak gelisah sebenarnya teman-teman dari perusahaan ini karena tidak tahu apa yang harus dia lakukan CSR. Jadi CSR ini atau tanggung jawab sosial ini kan sesuatu yang ketika itu bagi para perusahaan, pemilik perusahan itu sesuatu yang di luar dari bayangannya. Kebiasaannya cari profit, biasanya cari keuntungan, dia harus memikir masalah sosial dan masalah politik yang dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat sehingga tidak tahu apa yang harus dilakukan tapi pada saat yang sama ketika itu ada seruan dari PBB. Beberapa pemerintah pun kemudian mengikuti saran dari sekjen PBB dan kemudian mengaturnya. Nah ketika itu sampai tahun tahun 2005, 2006, 2007 itu masih gelisah. Nah saya pertama kali belajar tentang CSR itu waktu itu tahun 2003. Ketika itu dapat dana dari UNDP untuk me-review kegiatan CSR di Indonesia. Kebetulan yang dilihat itu perusahaan tambang karena dananya terbatas harus dipilih yang dua kasus, yaitu Riau dan Kalimantan Timur, tapi itu sudah mulai tahun 2003, jauh hari sebelum Undang-Undang PT yang mengatur tentang CSR itu diundangkan tahun 2007, dan seperti yang saya bayangkan, yang kita temui dilapangan sebenarnya lebih merupakan program-program community development. Ya nanti kalau kita lihat CSR itu kan aspeknya ada hak asasi manusia, ada penghargaan hak asasi manusia, ada anti-korupsi, ada cinta lingkungan dan sebagainya, tetapi ketika itu baru sebatas itu. Kegelisahan dari teman-teman perusahaan itu mulai lebih keras lagi pada tahun 2007, menjelang pengesahan Undang-Undang Perseroan Terbatas. Itu karena ketika itu yang muncul adalah sekitar 3 – 5% dari total keuntungan itu harus disumbangkan oleh perusahaan untuk program CSR. Waktu itu pertanyaannya, apakah program itu akan, dana itu akan dikelola perusahaan atau diserahkan pada negara ditingkat pusat? Nah yang saya dengar waktu itu gonjangganjingnya adalah karena dana itu akan diserahkan di pemerintah pusat. Saya tidak bisa cerita detail disini karena ada beberapa pejabat kementerian yang sudah menyiapkan itu, sudah menyiapkan lembaga tertentu untuk untuk mengelola seandainya rencana itu terjadi, dan kemudian muncullah UU PT yang menyinggung CSR hanya satu pasal. Itu sudah sudah mulai lebih gundah lagi teman-teman di perusahaan swasta. Waktu itu saya sempat me-review di Kompas, 2 – 3 minggu setelah disahkan, itu saya sempat nulis di Kompas dan pertama yang kemudian saya pertanyakan di Kompas itu adalah apakah itu harus disentralisasi atau dikelola dilevel perusahaan? Kalau disentralisasikan kemudian dikelola oleh pemerintah pusat, kalau dikelola oleh perusahaankan dia akan mengelola program itu dan berhadapan langsung dengan masyarakat yang dirugikan disekitar perusahaan tersebut. Kalau perusahaan minyak seperti yang Ibu sebut-sebut tadi misalnya New Mount di Nusa tenggara itu ribut, kan yang ribut disana, bukan orang Jakarta yang, karena yang terkena langsung dari dampak itu, sehinggakan yang berhadapan sehari-hari kan sebenarnya perusahaan itu. Nah ketika uang itu kemudian di bawa ke Jakarta, apa yang harus dia lakukan ketika berhadapan dengan dampak lingkungan yang dia buat sendiri karena dampak lingkungan itu mencemari sawahnya, mencemari sungainya, dan sebagainya. Yang kedua, yang waktu itu saya pertanyakan adalah apakah itu wajib atau voluntary atau sukarela? Kalau wajib berarti boleh diatur dalam hukum, kalau sukarela ya di audit saja, istilahnya sosial audit ya, nanti yang akan kita bicarakan juga disini, tapi yang unik adalah RDPU KOMITE III DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2015-2016 SELASA, 8 FEBRUARI 2016
3
pasca saya nulis di Kompas itu, beberapa petinggi, orang nomor 1, nomor 2 dari beberapa perusahaan besar kontak saya, orang kadin level tinggi juga kontak saya, mengajak untuk membicarakan ini seharusnya bagaimana dikelola program ini dan meminta agar saya turut membantu untuk mengawal sampai munculnya PP. Nah tapi waktu PP itu disahkan kebetulan saya pas berada di tempat yang lain untuk semedi 4 tahun di Australia untuk program doktor saya. Oleh karena itu, karena isunya sangat sensitif, isunya sangat dan bermanfaat untuk masyarakat lokal ini memang perlu dipikirkan. Jadi saya setuju untuk dipikirkan, hanya saja karena isu ini sensitif, menurut saya memang persiapannya memang harus, menurut saya ya, perlu secermat mungkin karena saya yakin begitu stakeholders ini mendengar isu ini, saya kira responnya bisa kita pilahkan dalam banyak hal. Dari mulai yang setuju sampai yang menolak. Oleh karena itu penyusunan naskah akademis, riset, sebelumnya saya kira perlu perlu betul-betul dipertimbangkan karena yang saya tahu di masyarakat, ada beberapa teman yang berusaha untuk menempatkan dirinya sebagai auditor, menempatkan dirinya sebagai lembaga yang bisa me-review, yang sebenarnya intinya, ending-nya adalah ya, kita tahu maknanya apa, makna ekonominya bagi orang yang menempatkan diri seperti itu. Ada beberapa kementerian juga yang sudah sudah melakukan kegiatan-kegiatan mirip seperti yang kita sebut nanti sosial audit, yang oleh karena itu, ini memang perlu, intinya perlu dipersiapkan secara secara matang. Saya menyiapkan beberapa slide persentasi yang akan saya sampaikan, ini hanya sebagai pemicu dari diskusi saja. Saya kira tidak harus tentang itu, tetapi ini saya cerita tentang beberapa data diitingkat global dan dari situ kita bisa melihat beberapa pengalaman yang terjadi di negara yang lain. Artinya kalau kita belajar dari negara yang lain dan sebagian besar sudah melakukan sesuatu, mungkin kalau kita melakukan hal yang sama “kesalahan” itu, kalau misalnya dianggap salah, tidak terlalu besar walaupun kita memang harus melihat konteks lokalnya. Jadi, mohon maaf saya punya waktu berapa menit? Supaya saya bisa menyesuaikan diri. 30 menit ya, saya sudah gunakan lima menit, tinggal 20 menit waktu saya. Jadi dari gambar ini kita bisa melihat sebenarnya, ditingkat internasional itu ada beberapa pola pengelolaan tentang program C SR. Yang pertama itu, sepenuhnya diatur oleh sektor privat itu sendiri yang kedua ada keterlibatan pemerintah di situ, dan yang ketiga adalah kombinasi dari keduanya, dan yang keempat sedang berkembang, tetapi tidak begitu jelas dia berada dimana. Nah dari situ yang paling besar sebenarnya, lebih banyak ada dikombinasi antara yang dikelola oleh pemerintah dan swasta dan Indonesia juga ada di situ. Jadi, mohon maaf ini, saya kira yang warnanya hijau agak sedikit kebiruan tua ini, saya kira disitu program CSR itu dikelola secara bersama-sama antara koorporasi dengan kerjasama dengan pemerintah. Nah ini yang ingin saya sampaikan ini sebenarnya adalah hasil survei yang dilakukan oleh KPMG, survei ini dilakukan di 41 negara. Jadi ini survei yang menurut saya prestisius karena dilakukan dibanyak negara dan di setiap negara itu diambil 100 sampel dari perusahaan-perusahaan terbesar, dan dari situ kita bisa melihat bahwa ada kegiatan yang harus dilakukan oleh perusahaan yang terkait dengan kegiatan CSR itu. Disitu disebut sebagai pelaporan CSR, pelaporan tanggung jawab sosial. Maksudnya adalah setiap perusahaan yang berada negara-negara itu diharapkan membuat laporan kegiatan tanggung jawab sosial yang dilakukan. Artinya sebenarnya, terlepas caranya bagaimana CSR itu diatur di situ dan saya tidak bisa cerita detail-nya satu persatu tentang negara ini, tetapi ada beberapa negara yang mengalami peningkatan laporannya, tapi ada juga yang yang tidak mengalami peningkatan pelaporannya. Nah yang unik dari survei yang dilakukan oleh KPMG itu ada beberapa istilah yang digunakan, yang pertama adalah keberlanjutan atau sustainability. Jadi mereka ketika menyusun laporan itu, istilah yang digunakan belum tentu sepenuhnya itu mengunakan RDPU KOMITE III DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2015-2016 SELASA, 8 FEBRUARI 2016
4
istilah CSR. Jadi ada yang diantara mereka yang menamakan CSR itu adalah sustainability atau keberlanjutan. Ada yang menamakan CSR, ada yang menamakan tanggung jawab perusahaan, ada yang menamakan pembangunan yang berkelanjutan, ada yang menamakan kewarganegaraan perusahaan atau coorporate citizenship dan beberapa hal yang lain, tetapi yang paling banyak disitu, kalau kita lihat persentasenya adalah ada pada sustainabillity CSR, hanya nomor 2 sebesar 25% yang lain kita bisa liat detailnya. Artinya sebenarnya, konsep tidak harus menggunakan CSR, kalau kita menghendaki konsep yang lain saya kira tidak ada masalah tetapi yang paling penting sebenarnya adalah kesesuaian dengan situasi politik, ekonomik, sosial dan budaya yang ada di Indonesia. Saya kira itu yang penting untuk disampaikan. Nah ini 40 negara itu, Indonesia berada di sini, maaf ini tulisannya tidak begitu jelas. Jadi ini survei di 41 negara tadi dan di sini membandingkan pelaporan yang dilakukan oleh 410 perusahaan di Tahun 2011 dan 2013. 40 negara itu ada disitu, di-list di bawahnya, nah Indonesia ada disitu. Nah di tahun 2011, Indonesia itu masih sangat kecil, masih sangat hampir nol, jadi tidak banyak perusahaan yang membuat pelaporan itu, tetapi di tahun 2013 dia sudah termasuk ke dalam 5 besar disitu. Nah ini ini sebenarnya bisa menjawab pertanyaan juga dari kerangka acuan yang ditanyakan, mengapa keterlibatan perusahaan di Indonesia untuk program CSR itu tidak begitu besar? Apakah besar atau kecil, kan ada pertanyaan yang seperti itu. Nah oleh karena itu, sebenarnya sangat bergantung dari definisi CSR yang kita gunakan, kalau CSR Reporting ini adalah bagian dari program CSR, sudah besar pelaporannya, bahkan termasuk 5 besar dari 410 perusahaan di 41 negara itu termasuk yang cukup besar. Walaupun kita masih bisa mempertanyakan sebenarnya metode surveinya dan indikator besar kecilnya, tetapi kalau kita menerima data ini sebagai hal yang benar karena tidak ada penjelasan yang detail dari survei ini, kita masih bisa mempertanyakan itu, tetapi paling tidak disitu, minimal kita tahu bahwa reporting itu sudah dilakukan. Nah ini sekarang berkembang itu adalah reporting atau pelaporan CSR itu menggunakan global reporting inisiatif. Di banyak negara menggunakan metode dan datanya ada seperti ini, ini yang paling banyak itu di Korea Utara dan di Indonesia termasuk agak belakangan yaitu di, Indonesia saya kira posisinya ada disini. Saya akan lompati saja beberapa slide. Nah data-data yang saya sampaikan ditingkat global tadi sebenarnya menunjukkan kegiatan-kegiatan yang selama ini dilakukan oleh banyak perusahaan ditingkat internasional dan dalam kaitannya dengan program CSR, terlepas kita setuju atau tidak, nanti kita lihat apakah kita perlu atau tidak dengan apa yang dilakukan mereka, sebagian besar dari mereka itu menggunakan pengaturan CSR, itu diatur dengan cara menyusun laporan tahunan yang kemudian harus diserahkan kepada lembaga yang dianggap punya kapasitas untuk mereview itu. Nah model kontrolnya seperti apa, pengelolaan programnya seperti apa, bagaimana itu diatur, apakah wajib setiap program harus dilakukan dan periodisasinya seperti apa, saya kira itu nanti bisa kita lihat satu persatu. Nah saya tidak akan cerita tentang konsep CSR, atau definisi tanggung jawab sosial, tetapi dari beberapa definisi tanggung jawab sosial itu, sebenarnya ada beberapa kata kunci. Kata kuncinya yang pertama adalah komitmen, yang kedua adalah konsep, yang ketiga adalah berbagai pemikiran atau pertimbangan, yang keempat adalah langsung menunjuk tanggung jawab dan yang kelima, oh ini sama dengan yang pertama tadi, yaitu komitmen. Nah kalau kita bicara tentang bagaimana mengatur suatu kebijakan atau mengatur suatu program, kata kunci ini menjadi sangat penting karena tanggung jawab itu, konsep tanggung jawab di sini, di ISO 26000, ini satu gerakan yang dilakukan oleh banyak organisasi, semacam organisasi, civil society, bukan hanya perusahaan maksud saya, dia juga menerjemahkan CSR ini sebagai tanggung jawab. Tanggung jawab ini memiliki implikasi yang berbeda dengan komitmen. Apalagi dengan konsep disini misalnya karena siapa yang bisa dapat mengatur komitmen untuk diatur RDPU KOMITE III DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2015-2016 SELASA, 8 FEBRUARI 2016
5
sebagai satu dalam satu aturan hukum, apalagi konsep, ini lebih abstrak lagi, tapi tanggung jawab sudah mulai terlihat sebenarnya. Nah kalau di sini ada kata kuncinya itu adalah kewajiban, itu lebih masuk akal lagi untuk di ke satu yang mengatur di situ sehingga pilihan pilihan konsep utama didalam definisi ini akan sangat mempengaruhi apakah CSR itu bisa diatur atau tidak karena misalnya kita mengatakan bahwa saya punya komitmen yang tinggi untuk membantu orang miskin yang lewat setiap hari di depan rumah saya gitu. Komitmen kan masih baru ada di dalam ke hati dan dan pikiran sehingga kan angan-angan gitu mungkin ya, sehingga itu tidak bisa diatur, tetapi kalau ini sebagai kewajiban. Bahwa seseorang harus wajib hukumnya untuk membantu orang miskin yang minta makan setiap hari ke rumahnya, misalnya maka kalau tidak memberi makan dipersalahkan sehingga implikasinya berbeda. Nah ini saya kira bagian yang cukup penting kalau kita bicara tentang konsep dan isu dalam CSR yaitu cakupan CSR itu seharusnya apa saja? Nah sebenarnya ada banyak perusahaan yang sudah punya code of conduct dan code of conduct itu terkait dengan program CSR itu sebagian dari mereka sudah langsung menyangkut isu-isu tertentu. Nah yang sekarang lagi banyak dilihat orang sebenarnya salah satu isu yang dicakup dalam konsep CSR itu, minimal kalau di level global paling tidak ada dua, yang pertama UN Global Compact karena berada di bawah PBB dan yang satu itu adalah ISO 26000 tadi, yang saya katakan. Nah kalau di ISO 26000 itu ada beberapa isu yang dicakup, yang pertama itu adalah penghargaan pada hak asasi manusia, yang ketiga adalah labour practice atau di lembaga yang lain biasa sebut juga kadang-kadang dengan hubungan industrial, atau industrial relation atau labour relation hubungan perburuhan, yang ketiga adalah environment atau lingkungan, yang keempat adalah fair operating practice ini kadang-kadang juga ada yang menyebutnya sebagai anti-korupsi, yang ke berikutnya adalah penghargaan pada hak konsumen atau consumer issue dan yang berikutnya yang sering, paling banyak dilakukan selama ini adalah community development. Nah sebenarnya kalau Bapak-bapak, Ibu-ibu lihat ini semua, sebenarnya ada yang selalu menempel dalam kehidupan setiap hari perusahaan, yang tidak harus diprogramkan dalam CSR pun memang setiap hari menyinggung disitu sehingga bagi perusahaan bukan sesuatu yang baru. Nah itu mungkin bisa kita lihat yang pertama adalah hubungan industrial yang kedua adalah penghargaan pada hak konsumen, dan yang ketiga adalah lingkungan. Hubungan industrial saya kira tidak bisa dipisahkan karena dalam proses produksi perusahaan selalu berhubungan dengan kegiatan karyawan atau buruh. Lingkungan saya kira seperti yang dikatakan oleh Pimpinan Rapat tadi katakan, ada beberapa perusahaan yang ketika dia beroperasi membuat pencemaran lingkungan. Bukan hanya pencemaran, kadangkadang, Yogya ini yang sedang marak terjadi, banyak investor ditolak di Yogya, terutama sekali yang ditolak itu adalah hotel dan apartemen. Mengapa demikian karena kalau ada apartemen dan ada hotel, mereka meyakini bahwa sumur air, sumur air tanah itu sulit didapat sehingga dampak lingkungan itu belum tentu pencemaran, tetapi sumber daya - sumber daya yang ada di dalam bumi ini, atau ada di kulit bumi ini ini bisa rusak atau bisa berkurang. Nah berikutnya adalah penghargaan pada hak konsumen. Saya kira karena perusahaan membuat produk dan produk itu dibeli oleh konsumen saya kira dengan sendirinya dia akan selalu berhubungan. Nah yang di luar dari kebiasaan atau kehidupan perusahaan, ada banyak sebenarnya, community development, penghargaan pada hak asasi manusia, anti-korupsi dan iya saya kira itu. Yang pertama, mereka dalam kegiatan kesehariannya tidak langsung berhubungan dengan itu dan yang kedua, kadang-kadang kegiatannya melanggar dari apa yang kita sebut ini tadi. Bagi negara-negara yang sudah mapan itu pelanggaran hak atau pelecehan hak tenaga kerja atau masyarakat disekitar perusahaan saya kira akan sangat besar sekali respon dari masyarakat di negara berkembang terkait dengan pelecehan, misalnya hak asasi manusia. Nah ini yang kadang membuat perusahaan jadi bertanya-tanya apakah memang mereka bisa masuk ke isu itu. Nah ini sebenarnya warnanya berbeda kalau di-slide RDPU KOMITE III DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2015-2016 SELASA, 8 FEBRUARI 2016
6
saya, yang penghargaan pada hak asasi manusia, hubungan industrial, lingkungan dan anti korupsi, ini aspek yang dicakup oleh UN Global Compact. UN Global Compact itu lembaga berada di bawah PBB yang khusus mengurusi tentang CSR. Artinya kalau kita mau coba lihat, empat isu ini, menjadi isu yang sangat penting menurut mereka untuk dicakup dalam konsep CSR. Pertanyaannya apakah Indonesia mau seperti itu? Saya kira bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Iyanya mungkin karena itu memang dianggap isu-isu yang vokal, tapi juga pada saat yang sama belum tentu itu yang paling kita butuhkan. Setelah itu, ada juga diantara mereka yang concern pada isunya tentang MDG’s. Jadi ada beberapa perusahaan yang mengatakan bahwa program CSR-nya itu mendukung MDG’s. Demikian juga untuk yang mendukung sustainable development goal. Saya akan lompati ini beberapa. Masuk pada regulasi. Jadi didalam literatur tentang CSR, ada banyak literatur yang mengatakan bahwa CSR itu perlu untuk diatur. Nah variasi model pengaturannya yang saya temukan selama ini, dari beberapa literatur yang saya baca, ada tiga. Yang pertama membagi model pengaturannya itu adalah sukarela atau voluntary dan wajib, itu nanti secara detail kita bisa bicarakan satu persatu. Yang kedua beberapa perusahaan, ya intinya kalau kita lihat sebenarnya ini bisa dibagi menjadi dua besar, hanya beda konsep saja, sebenarnya sama yang voluntary ini sukarela, yang mandatori wajib. Demikian juga yang self regulation ini lebih longgar dan memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk mengelolanya sendiri, miripmirip juga dengan sukarela. Sementara yang prescriptif regulation ini negara mengatur betul secara detail. Nah yang mirip dengan voluntary atau self regulation pada tipe yang ketiga itu adalah yang refleksif. Sementara yang lain itu tipenya mengatur dengan cukup kuat juga. Nah ini beberapa contoh tadi yang sudah ditanyakan juga oleh Bu Ambar tentang beberapa contoh negara mengelola program CSR. Misalnya Australia, itu membuat aturannya cukup longgar. Jadi setiap perusahaan yang masuk ke dalam list bursa saham di Australia itu diwajibkan untuk menyusun laporan tahunan CSR. Nah isu yang dicakup ini sama juga tadi terkait dengan membandingkan dengan apa yang dicakup oleh UN Global Compact tadi dan ISO 26000, itu disini adalah lingkungan, kesehatan, perindustrial, dan hak asasi manusia. Inggris juga begitu yang berada di dalam list bursa saham, diwajibkan dengan hal yang dan isunya adalah lingkungan, hubungan industrial, dan relasi perusahaan dengan komunitas lokal. Nah apa pun bentuk dari regulasi itu, kalau coba kita lihat sebagian dari mereka seperti yang saya katakan dari awal itu mengarahnya adalah ke model pengaturan dengan cara CSR reporting tadi. Jadi sebagian dari literatur mengatakan bahwa sebaiknya CSR itu diatur tetapi sebenarnya cara mengaturnya yang longgar saja. Jadi serahkan pada perusahaan, jadi CSR reporting modelnya. Disini ada beberapa slide saya menjelaskan tentang sosial audit itu apa? CSR Reporting itu seperti apa perkembangannya, kaya apa? Saya jelaskan di sini. Saya tidak bisa detail masuk disitu, tetapi intinya di sekitar 5-6 slide itu saya menceritakan apa definisi sosial audit dan CSR Reporting, perkembangannya seperti apa, mengapa itu yang dilakukan. Saya tidak akan masuk disitu detail. Ini bagian slide saya yang terakhir adalah beberapa isu yang sensitif didalam UndangUndang CSR dan PP CSR dan tantangannya. Jadi ada beberapa hal yang menurut saya cukup sensitif untuk dilihat dalam PP dan UU CSR itu. Yang pertama CSR itu diatur di bawah Undang-Undang PT sehingga waktu saya menjadi konsultan beberapa lembaga internasional dan saya bertemu dengan perusahaan internasional, multinational coorporation, dia mengatakan sebenarnya kami sudah baik menjalankan program community develompent ini. Mengapa kami baik? Kami bukan PT, PT itu kan yang dibuat di Indonesia, itu yang pertama. Yang kedua, waktu kami mengadakan workshop di UGM kami mengundang perusahaanRDPU KOMITE III DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2015-2016 SELASA, 8 FEBRUARI 2016
7
perusahaan di Jawa dan kami kumpulkan dan sebagian mereka mengatakan “kami bukan PT Pak, kami CV, Pak.” Jadi sebenarnya bagi kami, kami tidak harus menjalankan itu. Jadi ada banyak kelemahan, ketika kita memaksa, ketika pemerintah mengatakan anda harus melakukan ini dan itu, mereka masih bisa berargumen. Yang kedua aspeknya tidak begitu jelas sebenarnya. Saya langsung saja masuk ke beberapa, yang dicakup itu tidak begitu jelas kalau di UN Global Compact ISO 26000 tadi jelas apa yang harus dilakukan, tapi di PP CSR dan UU PT itu tidak begitu jelas apa yang seharusnya dikerjakan. Yang berikutnya adalah yang paling sering menimbulkan masalah itu adalah besaran anggaran. Besaran anggaran itu ditulis, misalnya program CSR harus dianggarkan berdasarkan asas atau memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Nah, kepatutan dan kewajaran ini interpretasinya bisa macam-macam. Begitu dibuat perda, pemerintah daerah pun bisa menginterpretasikan yang berbeda-beda, besarannya harus seberapa, perusahaan juga bisa melakukan menginterpretasikan yang berbeda juga, padahal seharusnya satu Undang-Undang peraturan hukum yang jelas, peraturan hukum yang baik itu yang ada hanya hitam dan putih. Kalau ada wilayah abu-abu, wilayah abu-abu ini sumber dari munculnya kegiatan yang ilegal sebenarnya. Oleh karena itu seharusnya, satu aturan hukum itu harus jelas, cuma masalahnya adalah tidak mudah untuk menentukan berapa persennya itu dan itu harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Harus dilakukan satu studi yang kuat untuk bisa mengatakan bahwa sebaiknya anggaran itu sekian persen dari total keuntungan. Saya hanya perlu waktu sekitar 2 menit lagi. Nah ini juga isu yang lain adalah bahwa termasuk tumpang tindih. Jadi sebelum UU CSR itu diundangkan sebenarnya UU Migas juga sudah mengatur bahwa setiap perusahaan yang melakukan eksplorasi dan sudah melakukan kontrak karya dan melakukan eksplorasi maka perusahaan itu sebenarnya sudah wajib menjalankan program community development. Ini sebenarnya bagian community development ini part of the CSR program under the, di bawahnya konsep yang dikeluarkan oleh ISO 26000. Jadi sebenarnya aturannya macam-macam, aturan yang lebih problematik sebenarnya adalah bahwa CSR ini bisa ditarik kemana saja. Kesannya karena uangnya ada terus kemudian dianggap luwes. Misalnya, ini tumpang tindih dengan seperti yang saya katakan tadi UU Migas, UU Penanganan Fakir Miskin, dan aturan lainnya. Misalnya, ini kalau saya tidak salah, penanganan fakir miskin, sumber pendanaan dalam penanganan fakir miskin meliputi, ini poin yang C adalah, dana yang disisihkan dari perusahaan perseroan. Memang tidak tertulis di situ CSR, tapi kita sama-sama tahu itu apa maksudnya, ini yang pertama. Yang kedua pada tahun 2012 itu ada perpres atau inpres kalau saya tidak salah, itu mengatakan bahwa untuk pencapaian, percepatan MDG’s maka salah satu sumber dananya bisa diambilkan dari CSR. Saya kira ini satu poin lagi, kemungkinan masalah yang muncul adalah bahwa Indonesia ini sudah disentralisasi dan kita paham semua bahwa pemerintah daerah itu punya variasi yang berbeda-beda, dari sumber pendapatan PAD-nya, dari kapasitasnya, dari seberapa banyak perusahaan yang ada disitu karena variasinya cukup banyak, bagaimana mereka menginterpretasikan PP itu bisa bervariasi, maka ada banyak kemungkinan bahwa peraturan yang berlaku berbeda-beda dan cara memperlakukan perusahaan juga berbedabeda yang kemungkinan nanti akan menambah rumitnya pengelolaan CSR itu. Terutama sekali kalau dikaitkan dengan penganggaran dana CSR tadi. Saya kira ini yang bisa saya sampaikan karena saya juga sudah di-warning 5 menit lagi, mohon maaf kalau ada kurang lebihnya. Baik saya kira sekali lagi ini adalah pemicu untuk disini saja, saya kira diskusi juga tidak harus sepenuhnya mengikuti apa yang saya sampaikan disini. Waktu saya kembalikan kembali kepada Pimpinan Rapat, terima kasih.
RDPU KOMITE III DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2015-2016 SELASA, 8 FEBRUARI 2016
8
PIMPINAN RAPAT: FAHIRA IDRIS, S.E., M.H. (WAKIL KETUA KOMITE III) Terimakasih. Kita beri applause dulu untuk Pak Mulyadi. Selanjutnya kami persilakan kepada Bapak Budi Hardono. 30 menit, terima kasih. PEMBICARA: BUDI HARDONO/ PAKAR CSR UNIVERSITAS TRISAKTI (NARASUMBER) Baik, terima kasih. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Salam sejahtera buat kita semuanya. Sekali lagi kami dari MM CSR Trisakti mengucapkan terimakasih kepada Bapakbapak dan Ibu dari DPD RI, Komite III. Perlu saya sampaikan bahwa saat ini Pimpinan kami diundang sedang berada di Israel Bu, lagi ada riset disana, kebetulan beliau dipercaya oleh Komisi Uni-Eropa melakukan program CSR selama satu bulan. Jadi kalau, ibarat, boleh saya sampaikan, saya ini kayak saya ban serep Bu. Kalau ban utama ada tidak terpakai, tapi kalau pas tidak ada baru dipakai Bu. Baik terima kasih Bapak dan Ibu semuanya, saya perlu memperkenalkan diri, saya adalah Pak Doni kalau nama lengkapnya agak susah Bu ya, Budiarno Prajarto. Kebetulan saya sehari-hari sebagai salah satu direktur di MM CSR, CCT adalah lembaga riset center atau thinktank lahirnya MM CSR. Saat ini MM CSR alhamdulillah sudah masuki batch ke17 dan kami alhamdulillah juga baru menjadi satu-satunya program S2 untuk dibidang CSR di Indonesia bahkan di South Asia Pacific Ya Bu, ya. Jadi CCT berdiri tahun 2001 kita mendapatkan funding dari front fondation untuk membuat sebuah program studi, saat ini kita punya dua program studi yaitu di MM CSR dan MM CAI. Perlu saya sampaikan, nama saya Doni kemudian, di sebelah kiri saya ini ada tim kami Mas Rio, beliau adalah Manager Sustainability, yang pojok adalah Mas Bonifascius, beliau juga alumni dari MM CSR semuanya Bu. Oke kita mulai saja bahwa saat ini CCT ini under Trisakti University itu susunan organisasinya. Saya senang sekali Bu dan Bapak-bapak semuanya kenapa CSR menjadi satu topic, kalau boleh saya analogikan, saat ini CSR menjadi isu yang hot. Hot bukan berarti panas Bu ya tapi hot itu ya maaf adalah “seksi” Bu. Kenapa “seksi” Bapak-Ibu semuanya? Karena saking seksinya lebih dari 30 pemerintah daerah sudah bikin perda CSR, 31 lah sekarang Bu karena saking seksinya itu tentang CSR itu sendiri dan ini kenapa terjadi karena memang landasan berpikir dari teman-teman di pemerintah daerah itu memang tidak ada acuan pastinya. Kalau kita mengacu pada lex specialis derogat legi generalis, acuan perundang-undangan di atas itu belum spesifik sekali, termasuk tadi sudah disampaikan oleh Pak Mulyadi ada satu qoute atau statement yang menyatakan bahwa besaran anggaran itu, saya setuju harus dianggarkan, tapi besarannya itu berdasarkan asas kepatutan dan kewajaran. Patut ini menurut siapakan tidak jelas, patut menurut pemerintah daerah, patut menurut perusahaan sendiri, patut menurut shareholder atau patut menurut masyarakat? Ini yang belum jelas. Jadi inilah yang perlu kita bahas dengan penuh kehati-hatian serta riset yang mendalam ya Pak Mul ya, supaya nanti output-nya atau result dari nantinya insya Allah terwujud Undang-Undang CSR itu benar-benar bisa mengayomi semua stakeholder Bu ya karena didalam CSR, rujukan kami adalah ISO 26000 dari 7 core subject itu ada satu paling besar itu organization government. Ini beda dengan good coorporate government, kalau organization government itu toh lebih fokus pada stakeholder, kalau good coorporate government fokus pada shareholders. Kenapa CSR ini penting sekali karena CSR menurut kami adalah salah satu cara atau salah satu konsep yang harus dilakukan untuk memitigasi risiko. Risiko ada dua Bu, risiko RDPU KOMITE III DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2015-2016 SELASA, 8 FEBRUARI 2016
9
positif dan risiko negatif. Jadi kalau CSR dilakukan dengan konstruktif yang benar, terstruktur, serta dilakukan dengan cara yang bijak yang pasti akan bisa meminimalkan risiko negatif dan bisa memaksimalkan risiko positif. Risiko negatif, nah ini salah satunya adalah kalau misalkan bisnis instruction dari masyarakat atau dari stakeholder dan sebagainya. Ini sering dialami oleh teman-teman di lapangan sedangkan risiko pastinya yang dicapai oleh perusahaan adalah image karena apa Bu, basically kita harus tahu bahwa korporasi atau perusahaan ya niat awalnya, tadi profit. Lah kepatutan mereka yang utama adalah membayar pajak, CSR adalah simbion jadi kalau menurut saya kita bicara tentang CSR ini adalah ranah etis, ranah etical Bu. Oke selanjutnya, seperti halnya Pak Mulyadi tadi Bu, bahwa kami banyak sekali, sampai dengan sekarang ini lebih dari 30 tahun definisi tentang, terdapat dinamika diskusi tentang definisi CSR yang baku, jadi lebih dari 30 tahun, Bu. Tadi Pak Mul menyebutkan ada namanya coorporate citizenship sustainability, itu benar sekali. Saat ini definisi CSR itu yang kita adopt di Indonesia, khususnya di MM CSR ini adalah merujuk pada definisi yang ditetapkan oleh ISO 26000, yang sudah diratifikasi lebih dari 117 negara di dunia. Jadi begini Bu, 117 negara lebih, tapi harus dibedakan, bedanya ISO 26000 dengan ISO 9000, 14000, atau 18000 adalah kalau yang ISO 9000, itu standarisasi ya 91 itu adalah standarisasi, 14000 tentang lingkungan juga standarisasi. Kalau ISO 26000 itu guidance Bu Karena apa? Kalau distandarkan, sangat luar biasa nanti effort-nya. Kenapa? Standar di daerah Pulau Jawa saja, kita bicara soal konsep Indonesia, akan beda dengan di Pulau Sumatera, dengan Indonesia bagian timur, even di Pulau Jawa saja Bu kearifan lokal itu harus benar-benar diperhatikan, kalau distandarkan sagat berbahaya sekali dan boleh kami sampaikan, kami ulang sekali lagi bahwa global aggrement pada social responsibility atau CSR menurut ISO 26000 adalah yang paling penting adalah bentuk tanjung jawab dari organisasi. Disini tidak sebutkan adalah perusahaan atau koorperasi tapi organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitas, ini jelas Bu ranahnya. Dari keputusan dan aktivitasnya terhadap sosial atau society dan lingkungan yang dilakukan dengan transparan melalui perilaku yang etis. Ini untuk berkontribusi terhadap pembangunan yang berkelanjutan. Jadi disini jelas bu bahwa tanggung jawab atas organisasi terhadap dampak atas keputusan dan aktivitas, tidak impact dari operasional saja tapi dari keputusan saja Bu. Itu jelas diatur dalam ISO 26000. Selanjutnya, kenapa sih saat ini banyak sekali global trend terhadap Sustainability atau CSR karena harus diakui Bu, suka dan tidak suka, perusahaan di Indonesia kalau tidak ikut dia akan ketinggalan dalam bisnis global. Contohnya, katakanlah di bidang plantation atau perkebunan sudah ada RSPO, kemudian di perbankan ada green banking, kemudian ada lagi di industri properti ada green building dan sebagainya. Ini sudah menjadi sebuah kesadaran Bu atau niat dari perusahaan tersebut, tanpa harus dipaksa pun dia harus harus ikut dalam trend tersebut, tidak hanya untuk ikut-ikutan karena ini salah satu syarat oleh komunitas global. Contohnya saya sampaikan disini kemarin kami punya teman Bu perusahaan di Jawa Tengah, di Semarang, dia tiba-tiba menghubungi saya minta dibuatkan program CSR waktu itu bulan Oktober dan harus selesai bulan Desember dan dananya luar biasa sekali. Dari bulan Januari sampai bulan Agustus, dia cuma paling banter nyumbang kambing untuk katakanlah Idul adha, sunatan masal, sembako, begitu saja, tiba-tiba bulan Oktober, dia minta kami untuk mendesain sebuah program CSR dan besarnya 1 miliar dan harus habis bulan Desember. Saya kaget, loh tiba-tiba datang dari mana, kok ada malaikat mana dia tiba-tiba muncul dengan dengan niat begitu bagusnya. Ternyata dia dipaksa oleh, jadi dia dapat kontrak yang sangat besar dari perusahaan Eropa, jangka waktunya panjang, nilainya luar biasa tapi mereka mensyaratkan, buyer itu harus melakukan CSR dan harus diaudit. Jadi intinya sekarang perusahaan di Indonesia sadar bahwa ternyata buyer mereka
RDPU KOMITE III DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2015-2016 SELASA, 8 FEBRUARI 2016
10
konsumer global itu mensyaratkan salah satu untuk bisa kontrak itu melakukan CSR. Itu satu case-nya. Selanjutnya selama kami melakukan riset dari Tahun 2008 sampai Tahun 2015 kemarin, kita mempunyai kesimpulan Bu bahwa CSR adalah bukan, CSR is not the way you distributed profit. Jadi CSR bukan salah satu cara untuk bagi-bagi keuntungan, tetapi CSR adalah, CSR is the way you made profit kenapa? Bisa saya jelaskan sedikit karena CSR itu harus holistik. Sebagaimana tadi sudah disampaikan oleh Pak Mulyadi, di dalam ISO 26000 ada 7 core subject. 7 core tersebut 1 subject yang mengingkat keenam-enamnya adalah governance atau tata kelola yang baik. Bahkan dari 7 core subject dalam ISO 26000 tersebut hanya 1, hanya 1 sekali lagi yang ke eksernal spesifik yaitu community involvement development. 6 core subject lainnya itu justru ke internal, tentang bisnis itu sendiri. Yang pertama adalah governance, kedua adalah labour practises ada, kemudian consumer issues, kemudian tentang human right, kemudian tentang environment, dan satu lagi tentang fair operating practices, jadi bagaimana mereka melakukan sebuah bentuk bisnis yang fair. Ini bisa kita lihat Bapak-Ibu semuanya, bahwa CSR tidak hanya dimulai kepada eksternal, entah bagaimana dia memutuskan begitu, pokoknya dari awal dia memutuskan pakai bahan material apa saja itu sudah CSR. Contohnya misalkan dia memutuskan bahwa untuk produksi raw material mereka menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan atau katakanlah supllier mereka, dia hanya menerima barang untuk produksi yang disuplai oleh perusahaan yang sudah melakukan CSR, salah satunya tidak mempekerjakan anak dibawah umur, ada kesetaraan gender, atau tidak melanggar hak asasi. Jadi kalau perusahaan sebagai supllier tersebut melakukan pelanggaran terhadap hak asasi, dia tidak terima barangbarangnya. Jadi dari keputusannya sudah jelas bahwa kami hanya menerima produk-produk yang sudah kami verifikasi, sebab kami adalah melakukan CSR, tidak melanggar aturan karena tadi kami jelaskan bahwa salah satu dari CSR adalah complay terhadap law regulation. Kemudian contoh berikutnya adalah di dalam manufaktur, proses produksi sendiri apakah dia green building, green factory, atau dia melakukan, katakanlah mempunyai, mengambil ambil air dari sungai, dikembalikan lagi dengan baku mutu yang jelas yang sudah memenuhi syarat-syarat dari BPLHD dan sebagainya, itu untuk proses produksinya sendiri. Kemudian distribusinya, saya punya pengalaman terhadap salah stau perusahaan di Indonesia Bu karena dia sadar bahwa produk dia harus didistribusikan seluruh Indonesia, dia menghitung Bu jumlah armadanya itu berapa ribu yang digunakan, dan dia menghitung karbon foot print-nya, dia hitung perkilometer. Setiap hari itu satu armada, dia hitung berapa kilometer untuk mendistribusi produk-produknya, dia hitung. Dari sekian armada dia hitung kemudian dia kompilasikan dalam bentuk rupiah dan dia melakukan penanaman pohon di daerah Sumatera, daerah Aceh, itu ada Pak itu dalam distribusinya. Kemudian ke customer dia juga tahu bahwa produk-produk kami itu hanya boleh dikonsumsi oleh katakanlah, maaf misalkan 17 tahun keatas, dia jelas ada clear, ada perhatian semuanya. Jadi di sini bisa dijelaskan bahwa CSR adalah bukan sekedar bagaimana perusahaan mendonasikan uangnya atau keuntungannya tapi dari secara holistic, dari awal supply kepada customer dia melakukan CSR. Jadi bisa kami simpulkan untuk definisi CSR itu sendiri, ada dua ranah pengertian. Yang pertama adalah pengertian CSR dari ranah filosofisnya, yaitu dari teori etikal. Yang pertama adalah bagaimana dia complay terhadap law regulation, kemudian memelihara keseimbangan antara kerugian dan manfaat yang dihasilkan dari bisinisnya. Artinya secara singkat CSR bagaimana cara memaksimalkan efek positif, meminimalkan efek negative. Contoh paling gampang saja Bu, tanpa saya menyebut sebuah perusahaan, contohnya saja disepanjang Jalur Pantura kita lihat sebuah perusahaan besar di Indonesia melakukan tanam pohon, kalau kita ke Pantura pasti tahu siapa perusahaan tersebut. Padahal kalau secara RDPU KOMITE III DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2015-2016 SELASA, 8 FEBRUARI 2016
11
etikanya, produk dia sangat menganggu kesehatan, harusnya dibikin rumah sakit gratis dong, tapi kalau dia bikin rumah sakit gratis, sama juga mendelegitimasi perusahaan dia, artinya produk dia justru merusak kesehatan. Artinya kita tidak bisa memisahkan Bu, kita harus pintar-pintar bahwa kita harus bisa meminimalkan risiko negative, maksimalkan risiko positif. Kemudian dari segi ranah pragmatis adalah aktivitas secara holistik yang terintegrasi sebagai bagian dari management. Inilah yang kami sebut dengan CSR secara holistic Terkait dengan regulasi CSR yang berada di Indonesia, sesuai dengan tadi Pak Mulyadi sudah sampaikan, bahwa regulasi tentang CSR mengacu pada Undang-Undang nomor 60 tahun 2007 yang mana Bu, untuk undang-undang ini tahun 2007, tapi PP-nya baru release-nya tahun 2012. Ada 5 tahun yang menjadi jeda betapa susahnya Pak ya menentukan anggaran yang wajar waktu itu berapa, dan itu PP tidak ada statement yang spesifik Bu terkait dengan jumlah besaran anggaran itu tidak ada dan perlu kami sampaikan bahwa direktorat MM CSR, termasuk salah satu tim, waktu itu melakukan judisial review terhadap pasal nomor 74 ini. Selanjutnya regulasi terkait CSR lainnya adalah tentang Undang-Undang nomor 25 tentang Penanaman Modal, di sini jelas Bu dari BKPM itu ada namanya LKPM, bahwa seluruh penanam modal di Indonesia wajib melaporkan kegiatan CSR-nya melalui LKPM, baik triwulan maupun enam bulan, itu ada. Kemudian peraturan dibawahnya ada tentang BUMN, yaitu menteri negara kementerian BUMN nomor Per.05 tahun 2007 yang sudah diperbaharui peraturan nomor 409 tahun 2015 tentang PKBL. Kalau PKBL ini beda dengan CSR. Jadi PKBL ini bagian dari CSR karena apa dana dari PKBL jelas, besarnya adalah 4% dari keuntungan, sedangkan dana CSR merujuk pada Undang-Undang nomor 40 tahun 2007 adalah dianggarkan. Artinya kalau ada analogi paling sederhana saja Bu, di kelas kami itu CSR adalah tangan kanan memberi, tangan kiri mencatat, mulut menyuarakan. Kenapa tangan memberi? Karena harus ada inisiatif memberikan, kenapa tangan kiri mencatat? Karena itu duit, duit perusahaan harus ada pertanggungjawabannya, harus ada transparansinya, harus ada akuntabilitasnya, bahkan harus dihitung, seberapa besarkah feedback bagi perusahaan itu. Kemudian mulut menyuarakan kenapa? Karena kami bukan bukan dinas sosial, basically perusahaan itu adalah lembaga yang mencari profit sehingga dia harus dapat. Lah profitnya apa? Salah satunya adalah image. Tadi bapak bilang, bentuk mengkomunikasikan itu macam-macam, salah satu adalah melalui SR atau Sustainability Reporting menurut acuan GR Report. Selanjutnya ruang lingkup TJS menurut ISO 26000 sudah saya jelaskan lagi ada 7 tata kelola dan sebagainya. Nah ini adalah CSR menurut ruang lingkup dan kompleksitasnya. CSR yang pertama adalah kepatuhan terhadap hukum dan regulasi. Jadi kalau perusahaan atau kooperasi sudah melakukan semua hal terkait dari investasinya maupun operasionalnya sesuai dengan hukum-hukum dan perundangan yang berlaku, dimana dia beroperasi itu bagian awal dari CSR-nya atau tahap pertama. Tahap kedua adalah philantrophy, ini yang sering terjadi di Indonesia Bu, jadi kebanyakan CSR adalah berupa donasi-donasi atau kedermawanan. Kemudian yang ketiga yaitu adalah community development, nah inilah jadi kemasyarakat itu ketiga. Yang keempat adalah internalisasi eksternalitas di perusahaan menganggarkan untuk dampak negatifnya, untuk diberikan kepada masyarakat, yang kelima adalah CSR logistic, yang keenam adalah creating atau menciptakan sustainability lively hood atau kemandirian dimasyarakat, ini penting Bu, karena apa? Masyarakat bisa mandiri pada saat perusahaan itu sudah pergi dari tempat dia beroperasi. Selanjutnya, ini adalah CSR life cycle, teori yang kami, ini di kelas kita samakan bahwa CSR itu adalah dari mulai awal, sampai dengan adanya termination. Bahwa harus ada exist strateginya dari CSR tidak, jadi begini Bu, yang berkelanjutan atau sustainable ini bukan programnya CSR-nya berkelanjutan, tapi impact-nya yang berkelanjutan, kalau programnya itu terus menerus yang programnya tidak ada impact-nya.
RDPU KOMITE III DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2015-2016 SELASA, 8 FEBRUARI 2016
12
Selanjutya ini salah kaprah CSR menurut teori di tempat kami, atau di pimpinan kami, yang salah CSR adalah bagi-bagi uang, bukan, yang benar adalah CSR bukan cara yang tadi sudah saya sampaikan, kemudian CSR dapat dilakukan oleh pihak ketiga. Yang benar adalah harus di desain dilakukan dan dipimpin oleh perusahaan, akan tetapi didalam pelaksanaannya sebaiknya ber-partner atau bermitra dengan pihak ketiga, bisa organisasi bisa universitas, konsultan, pemerintah, maupun masyarakat. Tadi project owner adalah perusahaan itu sendiri. Kemudian yang salah adalah anggaran, tidak diminta oleh pihak lain, yang benar adalah hanya perusahaan yang bersangkutan yang mempunyai hak penuh atas anggaran CSR karena harus perusahaan mertanggungjawabkan Bu ya bagaimana penggunaan dana CSR tersebut. Saya mencoba menjawab pertanyaan yang dikirim dari Komite III, yang pertama adalah apa yang menjadi permasalahan keengganan koorperasi terlibat dalam CSR? Sebenarnya Bu, kalau melihat perkembangan tadi, Pak Mul sudah bilang bahwa dari dulu itu sudah ada cuma enggak signifikan. Sekarang jadi banyak Pak ya, rank ke-5 sudah sangat signifikan perkembangannya ya Bu. Bahkan mereka tidak enggan-enggan kalau dipaksa malah Bu dengan Perda-perda yang ada itu mereka malah enggan. Jadi dengan melakukan CSR yang positif, impact-nya itu bisa yang pertama meningkatkan citra perusahaan, yang kedua memperkuat branding-nya, mengembangkan kerja sama dengan stake holder, yang keempat membedakan perusahaan dengan pesaing, jadi ini strategis CSR itu Bu, jadi bisa untuk daya saing dari perusahaan itu sendiri, kemudian menghasilkan inovasi dan pembelajaran untuk meningkatkan pengaruh perusahaan, kemudian membuka akses untuk investasi. Ini kita lihat di Indonesia sudah ada setrika hati indeks bahwa CRS harus dilaporkan bagi perusahaan yang list di BI dan yang ketujuh adalah impact-nya untuk meningkatkan harga saham. Kemudian yang kedua adalah bagaimana implementasi CSR selama ini, apakah ada potensi duplikasi dan atau tumpang tindih program dengan kegiatan serupa di pemerintahan yang dikelola oleh kementerian sosial? Kita jawab potensi ada tumpang tindihnya Bu karena apa? Karena kurangnya komunikasi dan koordinasi di daerah-daerah. Banyak sekali forumforum komunikasi CSR di daerah tapi maaf semangatnya masih sifatnya fulling fun harusnya dalam ini regulator atau pemerintah bisa memberikan database, seharusnya karena sebagusbagusnya pelaksanaan harus dilakukan oleh perusahaan itu sendiri. Yang kedua adalah program CSR merupakan startegi perusahaan dalam menjalankan operasional. Jadi perusahaan punya hak penuh atas bagaimana, dan apa, serta bagaimana melakukan CSR-nya itu sendiri. Dan yang ketiga adalah sebaiknya CSR diprioritaskan, dilakukan, di wilayah ring satu dan dilakukan untuk mengembangkan potensi dalam konteks wilayah operasional, bukan dengan hanya dalam bentuk infrastruktur yang sering terjadi bu di salah satu kabupaten Jawa Barat Bu, bupatinya sangat concern sama CSR. Mereka melakukan program CSR bedah rumah, mereka minta pada beberapa korperasi tetapi masalahnya adalah korperasi tersebut itu ada di alamatnya di kecamatan A tapi program CSR nya ada di kecamatan Z sana yang dia tidak tahu bahwa itu bagian dari korperasinya. Itu jadi masalah, ini kreatif tapi mungkin salah sasaran. Selanjutnya adalah bagaimana pola CSR yang dilakukan oleh korperasi selama ini apakah berdampak strategis dan signifikan terhadap pemberantasan kemiskinan dan pemberdayaan masyakat? Absolutly iya Bu, tapi masyarakat yang mana? Yang jelas harus diingat Bu, bahwa karyawan juga merupakan masyakat bagi perusahaan. Bahwa CSR holistik tidak cuma ke eksternal, tapi juga dimulai dari internal. Saya beri contoh Bu, dulu ada perusahaan besar, salah satu BUMN di Indonesia, melakukan peresmian program CSRnya dengan mengundang lebih dari 100 wartawan tv lokal, tv nasional, diundang. Mereka melakukan program CSR dengan bentuk peresmian penanaman pohon, 10.000 pohon tapi 3 hari setelah peresmian, 3.000 karyawannya berdemo besar-besaran di kantor pusat karena RDPU KOMITE III DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2015-2016 SELASA, 8 FEBRUARI 2016
13
mereka fokus pada eksternal saja, harusnya dimulai dari internal dan internal dalam hal ini karyawannya juga merupakan masyarakat pusat perusahaan. Kemudian yang keempat, bagaimana regulasi mengenai CSR selama ini, adakah persoalan harmonisasi antara peraturan perundang-undangan mengingat baik dipusat maupun di daerah dapat menerbitkan regulasi terkait CSR? Permasalahannya Bu, di daerah itu acuannya bukan Undang-Undang 40, tapi Undang-Undang tentang Otonomi, bahkan kami kemarin sempat ke Jawa Timur, mereka punya inisiatif yang cukup, mungkin ada Ibu Emilia Contessa harusnya dari Jawa Timur, mereka ini bisa tidak kalau dana CSR itu masuk PAD kabupaten? Itu tidak bisa Bu. Jadi semangatnya sebenarnya semangat yang luar biasa untuk melakukan CSR, seharusnya disini regulator Bu, harusnya Perda-Perda itu memfasilitasi saja Bu. Mungkin boleh memberikan informasi atau database atau need assesment bagi perusahaan bilamana perusahaan itu kebingungan melakukan CSR yang tepat. Selanjutnya, regulasi sifatnya memaksa, saya sampaikan sudah, adakah keinisiatifan dari pemerintah selama ini terhadap koorperasi yang berinovasi dan memiliki kontribusi terhadap pelaksanaan program CSR? Kalau berupa reward banyak Bu, award-award banyak. Kemsos ada, menko perekonomian juga mengadakan CSR Award sebatas award, kalau KLH jelas, kan ada proper, itu fokus di community development atau SR tapi itu sifatnya hanya award. Kalau kami mengusulkan sebaiknya ada, memang seharusnya ada, istilahnya ada apresiasilah dari pemerintah sebagai regulator kepada pelaku CSR yang sudah melakukan CSR yang diaudit tadi, diaudit oleh lembaga independen secara baik dan benar dan bisa dikoordinasikan secara tepat. Misalkan katakanlah kemudahaan administrasi Bu karena beberapa pemda sudah mengatakan untuk menarik investasi, dia mau memberikan perda yang kalau kamu CSR, kami akan memberikan kemudahan investasi di daerah, itu yang tepat. Kemudian yang keenam, terakhir, apakah sasaran dan ruang lingkup yang harus dilakukan dalam penyusunan RUU tentang CSR? Sama dengan Pak Mulyadi, setuju sekali, yang jelas harus tepat definisinya Pak ya, supaya pemahaman atau CSR awareness itu sama dari seluruh stakeholder, tidak cuma dari pemerintah saja karena selama ini yang menjadi gap adalah bedanya pemahaman atau bedanya awareness terhadap CSR itu sendiri. Kemudian CSR ini bukan hanya dilakukan oleh perusahaan, tapi organisasi itu juga melakukan CSR. Yang terakhir adalah karena CSR memang ranah etika sehingga penyusunan RUU seharusnya lebih menekan isi padahal adalah pemahaman yang kemudian adalah ruang lingkup serta panduan-panduan saja Bu, jangan kearah teknis yang terlalu dalam. Melihat bersarnya anggaran sebenarnya jangan. Kalau PKBL jelas karena memang pemegang saham BUMN adalah pemerintah, dalam hal ini adalah menteri negara BUMN, dia berhak mengatur kalau itu. Selanjutnya bisa ditampilkan ini Bu, gambar-gambar contoh-contoh bahwa CSR itu kalau dilakukan dengan tepat dan benar bisa menjadi socialization to average kalua mereka salah Bu, jadi kalau bisa yang tidak melakukan CSR, biarkan hukum atau peraturan perundang-undangan yang terkait yang menghukumnya, kan sudah ada. Misalnya sudah ada undang-undang lingkungan, kalau dia mempekerjakan anak dibawah umur sudah ada undang-undang perlindungan anak. Jadi jangan sampai lah Bu ada, kemarin kami juga dipanggil menjadi narasumber disalah satu DPRD, dia mengatakan dengan tegas dari kami, boleh tidak kalau punishment? Oh nggak Pak sudah ada aturan lain yang mengatur karena CSR tidak hanya sekedar melakukan donasi, dari A sampai Z dalam operasi sudah melakukan CSR. Yang kedua ini ada tantangannya Bu, banyak sekali masyarakat-masyarakat yang minta, merasa bahwa dana CSR itu adalah hak masyarakat, sudah ada, dan bagaimana cara persepsi company ya Bu ya, bahwa sebenarnya company itu perusahaan itu bukan ATM Bu karena apa? Selama ini itu terkait dengan CSR ini perusahaan dirasa sebagai mesin ATM dan RDPU KOMITE III DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2015-2016 SELASA, 8 FEBRUARI 2016
14
kartu ATM-nya adalah proposal ya, jadi itu. Itu yang sangat berbahaya dan bagaimana begitu kita lihat seperti layaknya bayi yang sangat baby sekali, terima kasih atas donasi CSR-nya, tapi ini sangat berbahaya sekali Bu karena perusahaan kalau misalnya, katakanlah yang penting kamu donasikan, dia mendonasikan CSR-nya tapi dia tidak melakukan sasaran yang benar, sangat berbahaya. Artinya dia sekedar yang penting saya sudah sesuai dengan perdanya atau himbauan dari bupati, saya kasih dana CSR-nya, tapi internal dia, atau aktifitas dia malah merusak lingkungan itu yang berbahaya. Yang terakhir bagaimana kita harus mengerti Bu, bahwa perusahaan bukan sebagai ATM, i am not your ATM. Saya kira itu yang bisa kami sampaikan di waktu yang terbatas ini. Semoga bisa jadi manfaat buat kita semuanya, terutama buat Bapak-Ibu dari Anggota Komite III terima kasih. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. PIMPINAN RAPAT: FAHIRA IDRIS, S.E., M.H. (WAKIL KETUA KOMITE III) Wa’alaikumsalam. Kita beri applause dulu untuk Pak Doni, terima kasih banyak untuk Pak Mulyadi dan Pak Doni atas paparannya yang luar biasa. Sebelum kita beranjak ke diskusi izinkan saya memperkenalkan dulu Bapak-Ibu Anggota Komite III. Dari sisi kiri yang pertama, yang terhormat Ibu Hj. Suriati Armaiyn Senator dari Maluku Utara, di sebelah kanan yang terhormat, Ibu Novita Anakota, Senator dari Maluku. Selanjutnya yang kedua, yang terhormat Bapak Bahar Buasan, Senator dari Babel, yang ketiga yang terhormat Bapak Ir. Stefanus Ban Liaw, Senator dari Sulawesi Utara dan disebelah kanan ada yang terhomat Ibu Baiq Diyah Ratu Ganefi, SH, Senator dari NTB, saya sendiri Fahira Idris dari DKI Jakarta. Baiklah kami persilakan kepada Bapak-Ibu Anggota Komite III yang ingin bertanya atau ingin menanggapi dari yang telah disampaikan oleh para narasumber. Kami persilakan Ibu Novita, ya silakanlah Ibu Novita. PEMBICARA: NOVITA ANAKOTTA, S.H., M.H. (MALUKU) Baik terima kasih. Pimpinan yang saya hormati, para narasumber, serta Bapak-Ibu Anggota Komite III. Sehubungan dengan tugas kami untuk membuat suatu RUU yang berhubungan dengan CSR, saya mohon pandangan daripada narasumber, pertama menyangkut apakah perlu diakomodir pasal yang berhubungan dengan perlukah dialokasikan berapa besar yang harus diberikan CSR dari masing-masing perusahaan? Misalnya sekian persen dari keuntungan apakah itu perlu dituangkan dalam RUU yang berhubungan CSR. Kemudian yang kedua apakah perlu karena berdasarkan paparan para narasumber bahwa bentuk-bentuk CSR itu kan bermacammacam, jadi kadang-kadang masyarakat pun salah kaprah dengan hal-hal tersebut, maupun dengan pemprov maupun Pemda setempat. Untuk itu apakah menurut para narasumber perlukah diakomodir pasal yang berhubungan dengan bentuk-bentuk CSR yang wajib diberikan sesuai dengan bidang kerja dari masing-masing perusahaan. Misalnya kalau perusahaan yang berhubungan dengan alam misalnya, itu berarti sustainable itu perlu sekali, tetapi kalau misalnya perusahaan jasa misalnya, tapi mempunyai keuntungan yang juga cukup luar biasa, menurut saya kan berarti bentuk-bentuk CSR-nya itu pasti menurut saya harus berbeda, begitu. Jadi apakah perlu dibuat bentuk-bentuk dari CSR tersebut? Kemudian yang ketiga apakah perlu juga di akomodir menyangkut dengan locus daripada CSR tersebut dalam hal ini perusahaannya ada di sini, sementara CSR yang diminta ada masyarakat tapi jauh daripada tempat perusahaan tersebut berada. Terima kasih.
RDPU KOMITE III DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2015-2016 SELASA, 8 FEBRUARI 2016
15
PIMPINAN RAPAT: FAHIRA IDRIS, S.E., M.H. (WAKIL KETUA KOMITE III) Terima kasih Ibu Novita, yang selanjutnya yang terhormat Ibu Hj. Suriati Armaiyn PEMBICARA: Hj. SURIATI ARMAIYN (MALUKU UTARA) Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat siang. Pimpinan Rapat yang saya hormati, Bapak-bapak penyampai materi yang saya hormati. Tadi yang disampaikan Pak Mulyadi, bahwa potensi munculnya masalah di daerah, kami adalah utusan daerah di sini, persepsi dan kapasitas pemerintah daerah yang berbeda sehingga menghasilkan variasi perda CSR yang cukup kompleks. Menurut Bapak bagaimana cara untuk bisa merubah keputusan pemerintah daerah sehingga kami nanti dalam reses juga bisa menyampaikan hal-hal tersebut. Terima kasih. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. PIMPINAN RAPAT: FAHIRA IDRIS, S.E., M.H. (WAKIL KETUA KOMITE III) Wa’alaikumsalam. Terima kasih yang selanjutnya yang terhormat Bapak Ir. Stefanus. PEMBICARA: Ir. STEFANUS BAN LIAW (SULUT) Terima kasih Ibu Pimpinan, narasumber yang saya hormati, dan teman-teman Anggota DPD, bahkan staf ahli. Yang pasti ketika kami di daerah, bukan hanya di daerah kami di provinsi Sulawesi Utara tapi juga di daerah teman-teman ketika kita berdiskusi, muncul satu permasalahan tentang implementasi CSR ini. Disatu pihak masyarakat yang ada di sekitar perusahaan, katakanlah perusahaan tambang, tidak mendapatkan dampak positif dari implementasi CSR dari perusahaan tersebut, demikianpun dengan pemerintah daerah karena dijumpai dalam implementasi perusahaan kepada masyarakat disekitar ini, seakan-akan tidak berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat karena kalau perusahaan terbatas seperti dalam undangundang ini dikenal dengan program kemitraan atau bina lingkungan. Apalagi ketika di satu daerah itu perusahaan itu hanya cabang, induknya berada di Jakarta katakan demikian, sehingga ketika di-sharing ditanyakan selalu dijawab bahwa kami hanya melaksanakan silakan berkoordinasi dengan induk kami yang ada di Jakarta, sehingga dari berbagai permasalahan ini maka sebagai DPD ini muncul Rancangan Undang-Undang inisiatif ini untuk menyusun Rancangan Undang-Undang ini. Supaya benar-benar berpihak kepada pemerintah daerah, berpihak kepada masyarakat yang ada disekitar perusahaan tersebut, tetapi juga dibuat sedemikian rupa, supaya tidak membebani kepada perusahaan yang nantinya akan mengimplementasikan CSR demikian pun dengan regulasi lainnya. Ada hal yang perlu kami mendapatkan informasi, masukan, tanggapan dari narasumber, kira-kira strategi atau bentuk bagaimana supaya CSR ini menyenangkan semua pihak, baik perusahannya. pemerintah pusat, pemerintah daerah, bahkan masyarakat di sekitar. Sebab kalau implementasi CSR itu benar-benar implementasikan, pasti tidak terjadi seperti di Freeport, tidak ada demonstrasi masyarakat sekitar karena tidak mendapatkan dampak positif dari pemberlakuan CSR ataupun program bina lingkungan dan kemitraan. RDPU KOMITE III DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2015-2016 SELASA, 8 FEBRUARI 2016
16
Apakah itu seperti ditanyakan oleh Ibu Novita tadi? Dari keuntungan persentasenya keuntungan perusahaan? Apakah itu memang sudah menjadi bagian dari program perusahaan, berapapun keuntungannya yang penting untuk tahun ini kami sisihkan sekian dana atau dari presentasi biaya produksi? Kami ingin mendapatkan masukkan, pandangan dari para narasumber. Kemudian apakah memungkinkan seluruh dana CSR dari perusahaanperusahaan di Indonesia dikembalikan seutuhnya kepada masyarakat dalam bentuk pengingkatan sumber daya manusia? Katakanlah ada pelatihan-pelatihan keterampilan dan seterusnya karena terkesan selama inikan hanya seakan-akan memberikan apa ikan, tidak memberikan apa pancing dan seterusnya sehingga masyarakat dibodohkan, yang penting karena ada misalnya kegiatan keagamaan kita memberikan sembako dan seterusnya, ada sunatan masal dan seterusnya atau ada proposal karena natal dan seterusnya, yang kita mau supaya masyarakat disekitar ini pada suatu waktu menuju pada kemandiriannya. Supaya benar-benar dampak dari CSR ini. Kemudian Pak Narasumber kami pun ingin mendapatkan informasi, masukan kirakira bagaimana strategi agar perusahaan enggan dan tidak enggan, maksudnya tidak enggan, terlibat dalam CSR karena banyak perusahaan terkesan masih enggan untuk terlibat didalam implementasi CSR ini. Kemudian kira-kira apa penyebab dan mengapa potensi duplikasi itu tumpang tindih program terjadi antara pemerintahan dan perusahaan CSR tersebut? Bagaimanakah sebaiknya sudah saya sudah tanya tadi tentang CSR, barangkali demikian Ibu Pimpinan. Terima kasih. PIMPINAN RAPAT: FAHIRA IDRIS, S.E., M.H. (WAKIL KETUA KOMITE III) Terima kasih Pak Stefanus. Sebelum saya berajak kepertanyaan yang berikutnya, izinkan saya memperkenalkan satu senator, yaitu yang terhormat Bapak Kh. Ahmad Sadeli Karim dari Banten. Silakan Pak. Langsung tanya? Ya Silakan Ibu Baiq, setelah Pak Kyai. PEMBICARA: KH. AHMAD SADELI KARIM, LC (BANTEN) Bismillaahirrahmaanirrahiim. Maaf tadi macet di Kebun Jeruk, waduh macetnya setengah mati dua jam, Karang Tengah itu haduh, Saya dari Banten Pak, Ahmad Sadeli Karim, Pak. Tentu adalah industri besar dan ringan sampai dari semenjak Cilegon sampai ke Tanggerang ya, itu luar biasa ya. Memang masalah, sebetulnya bukan masalah CSR ya ini sebenarnya masalah sosial sekitar daripada perusahaan inikan sebenarnya dampak lingkunganlah ya. Harusnya bahwa ketika kemudian sumber daya manusia sekitar itu juga kurang begitu ya sehingga karyawan itu ada disitu, inikan juga ada kecemburuannya begitu. Kemudian ketika kemudian juga ketika pembukaan sih besar, ketika sudah jadi tidak ingat lagi sama masyarakat. Pada sekali doang ketika pembukaan, sesudah itu mereka lupa kepada masyarakat ya kadang kala karena saya pernah, kepala desa itu ke saya curhat waktu saya reses itu Pak. Mereka ngasih ke polisi itu 20 motor katanya, ke kami hanya tong sampah itu, tong bekas kan inikan jadi mendahulukan, padahal itu kami sekitar sini tidak ada apa-apanya. Itu saya cek ke mereka. Nah ini kan sebenarnya tadi Bapak berdua juga yang pernyataan yang terakhir sepertinya memang bagaimana agar upaya perusahaan aman, masyarakat senang,tidak ada masalah, kan begitu sebenarnya itu inginnya CSR seperti itu, bagaimana CSR itu, dan CSR itu suatu keharusan. Sebenarnya perusahaan siapapun kalau dia ingin baik, harus baik sama masyarakat sekelilingnya kan ya, harus begitu kan. Kita berumah tangga harus baik, kalau tetangganya tidak baik bagaimana kan pasti ada hal yang tidak diinginkan ada pencurian, ada apa, pakai kekerasan juga mungkin kalau memang orang sudah tidak senang ya, apalagi di Banten kadang kekerasan lebih kuat. Apalgi kemarin PT Mayora di Pandeglang, gara-gara sebagian RDPU KOMITE III DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2015-2016 SELASA, 8 FEBRUARI 2016
17
di kasih, sebagian tidak, itu Kyai Mamuk, ada beberapa orang di Kapolda demonstrasi ya, mungkin baca di koran ya. Nah ini sebenarnya kenapa karena mungkin bagiannya tidak sama gitu, mungkin karena mungkin yang satu dikasih, satu tidak. Inikan pendekatannya mungkin ada pendekatan yang kurang. Jadi sebenarnya ini mestinyakan sebuah perusahaan itu ketika mau masuk ke satu daerah, dia kan harus harus social maping, bukan hanya daerah saja, tapi social maping juga ini dan seperti itu mestinya begitu kan sehingga dia investasi aman, kan gitu aman dan kemudian sumber dayanya ada segala macam. Nah ini sebenarnya kita inginkan seperti itu, kenapa kita regulasi ingin sertifikasi, hanya memang, mungkin apakah mereka ngerti apa, seperti apa gitu ya. Nah ini ya kalau mungkin itu investasi sebenarnya, investasi dari beberapa perusahaan agar supaya dia lancar. Ini di Bojonegara itu daerah yang banyak batu-batu besar ya, seperti itu Pak, apalagi di Cikande tapi memang ada sebagian, memang ada seperti itu. Di Cikande itu ada, jadi dia limbahnya itu diberikan sama masyarakat, masyarakat mengolahnya kemudian mereka buat sekolah dengan limbah itu, jual limbah, kemudian mereka anak orang-orang itu masuk dia kerja sama dengan perusahaan sehingga keluar sekolah ini masuk ke situ. Bagus sebenarnya seperti itu, ada di daerah Kibin kalau tidak salah, seperti itu tapi beberapa daerah itu masih belum Pak, seperti kemarin saya ada pabrik limbah di Jawilan itu, itu 50 meter limbah berat, limbah kimia gitu, jadi masyarakat seperti itu, dimusuhi, saya datang akhirnya saya bela, akhirnya ditutup sekarang itu pabrik limbah itu karena saya turun tangan, artinya bahwa ini sebenarnya kalau mereka baik-baik sama masyarakat, artinya limbahnya ada di sana. Kemudian satu-satu saja Pak, kalau dia datang dengan dokter, dia ngobatin, sebetulnya jadi tidak usah berupa materi, tidak juga, kadang kala ada perusahaan yang dia ngundang ulama setiap hari Jum'at, kumpulin berkat itu juga sebenarnya CSR itu, tidak harus artinya berupa materi tapi ada hal komunikasi yang baik antara, tapi diprogram pasti ada dana sih, tapi kan tidak mungkin tidak harus besar itu begitu, tapi ini mungkin, terima kasih. PIMPINAN RAPAT: FAHIRA IDRIS, S.E., M.H. (WAKIL KETUA KOMITE III) Terima kasih. Lanjut kepada yang terhormat Ibu Baiq Diyah Ratu Ganefi. PEMBICARA: BAIQ DIYAH RATU GANEFI, S.H. (NTB) Terima kasih Pimpinan. Bapak-Ibu sekalian, Bapak narasumber, tadi saya dengarnya cesar-cesar begitu bukannya CSR Bu. Bapak-Ibu, dan para narasumber, jadi sebenarnya ini adalah pandangan Bapak-bapak terhadap RUU yang akan kami sampaikan, CSR. Mungkin di sini perlu dipertegas Pak adalah sanksi, ada satu sanksi yang memang betul, kalau saya dengar teman-teman ini, tadi kita juga di daerah sama Pak ketika CSR-nya PT New Mount itu mau dikeluarkan maka perdebatan di sana, apakah masuk ke dalam kas daerah, apakah masuknya kemana? Kemudian dibuatlah salah satu bahwa CSR-nya nanti ditaruh saja di New Mount. Bagaimana cara pencairannya? Maka SKPD masyarakat, pemerintah daerah kabupaten/kota selingkar tambang itulah yang akan membuat proposal. Itu membingungkan untuk, terutama kami DPD ikut mengawasi bagaimana mungkin itu dikeluarkan berdasarkan proposal? Siapa yang menyetujui? Siapa yang melayakkan proposal itu? Mungkin perlu sanksi bahwa apabila nantinya satu lingkar tambang atau lingkar apa yang ada di provinsi kabupaten/kota tersebut maka perlu pengaturan, tadi teman-teman juga sudah bicarakan pengaturan, tapi jangan lagi diaturnya nanti mungkin Pak, tidak lagi secara atau sukarela tetapi CSR itu bahwa wajib diberikan atau sekian persen nanti mungkin pandangan Bapak-bapak kepada pemerintah, terutama adalah kabupaten yang mempunyai lingkar tambang, mereka punya masyarakat lingkar tambang. RDPU KOMITE III DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2015-2016 SELASA, 8 FEBRUARI 2016
18
Kalau sudah habis kontraknya maka yang akan berpengaruh, berdampak adalah masyarakat sekitar tambang itu maka perlu juga dibuatkan sanksi bahwa apabila mereka habis kontrak maka masyarakat lingkar tambang itulah yang harus diperhatikan. Kenapa saya berbicara masalah kewajiban, kalau dibilang sukarela nanti dia bisa bilang, oh saya cuman untungnya segini ini saja, yang saya keluarkan apakah kemungkinan kalau dipatok, kemudian mereka terbuka? Kita juga tak tahu apakah terbuka atau tidak masalah laporannya ini, tetapi ada patokan-patokan bahwa kita secara kasat mata bisa melihat, oh PT A ini hasilnya sekian, misalnya seperti itu tapi yang saya pertegas disini adalah bahwa sanksi kepada perusahaanperusahaan ini harus dipertegas. Jadi pandangan Bapak sebagai yang narasumber ini perlu mungkin pemikiran-pemikiran supaya kami juga bisa nanti dipertahankan. Kemudian yang kedua Bapak, bahwa dihalaman 10 Bapak Purdiadono, banyaknya regulasi yang ada saat ini masih bersifat memaksa, namun belum membangun kesadaran dan partisipasi dari pemangku kepentingan. Masih adanya persoalan harmonisasi mengingat banyaknya perda yang timbul di masing-masing daerah. Nah ini perlu juga perda-perda ini mungkin di dalam pandangan-pandangan Bapak, apakah kemudian perda-perda ini perlu dikeluarkan, misalnya dari provinsi, mengeluarkan padahalnya perusahaan itu berada di kabupaten, misalnya seperti itu, ini akan tumpang tindih. Kemudian pembagiannya, nantinya seperti apa ini juga sangat bermasalah di daerah. Jadi mungkin Bapak-bapak bisa memberikan kami gambaran, sanksinya itu seperti apa. Demikian Pimpinan, terima kasih. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. PIMPINAN RAPAT: FAHIRA IDRIS, S.E., M.H. (WAKIL KETUA KOMITE III) Wa’alaikumsalam Bu Baiq. Terima kasih, mungkin saya satu sedikit tambahan saja Pak. Tadikan kalau Bapak menceritakan bahwa sudah 30 tahun kita tidak bisa mendefinisikan begitu, tapi kami dari Komite III berharap dari Bapak itu nanti keluar satu definisi betul-betul yang sekiranya mumpuni dan memang cocok untuk Indonesia, tapikan tadi Bapak juga mengatakan bahwa ini kan kita merujuk kepada definisi di ISO 26000 yang sudah diratifikasi oleh 117 negara dan Bapak mengungkapkan bahwa ini adalah merupakan guidance bukan standarisasi. Nah tapi kalau guidance mungkin nanti takutnya saya agak sulit karena memang kalau untuk RUU memang harusnya betul-betul yang standar atau yang bisa merupakan standarisasi nantinya tapi mungkin pada saat implementasi di daerahnya mungkin itu bisa menjadikan guidance karena sesuai dengan kearifan lokal daerah masing-masing. Terus kemudian juga mungkin selama ini kalau yang saya lihat Pak ya, saya kebetulan dari dapil Jakarta, tapi saya lihat pelaksanaan CSR di Jawa Barat itu termasuk yang menurut saya baik begitu karena saya melihat bahwa yang mengelola adalah perusahaan jadi kemudian Pemprov setahu saya kemudian akan meng-annouce unit-unit daerah yang perlu untuk diberikan CSR, misalnya pembangunan sekolah dan lain-lain. Terus tadi Bapak mengatakan bahwa kalau minimal harus di lingkungan yang terdekat, tidak boleh misalnya kantornya di sini kemudian dia memberikan di daerah lain, tetapi apa yang terjadi pada misalnya kalau lingkupnya provinsi, kan memang mau tidak mau kan dia jauh begitu, atau tidak bisa selalu dekat, atau mungkin ada standarisasi misalnya kalau yang dekat minimal apanya mungkin, sungainya harus terjaga dan lain sebagainya. Terus misalnya kalau berupa pembangunan fisik, apakah bisa untuk di daerah yang mungkin agak lebih jauh dari pada lokasi ininya mereka, terima kasih. Oleh karena itu saya ucapkan terima kasih kepada Bapak-Ibu Anggota Komite III. Sekarang kami persilakan kepada narasumber untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi. Terima kasih. Bergantian saja nanti silakan, Pak iya boleh.
RDPU KOMITE III DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2015-2016 SELASA, 8 FEBRUARI 2016
19
PEMBICARA: BUDI HARDONO/ PAKAR CSR UNIVERSITAS TRISAKTI (NARASUMBER) Baik, terima kasih kepada Ibu Pimpinan dan Bapak-bapak dan Ibu anggota DPD. Saya mengucapkan selain terima kasih atas apresiasinya yang mendalam tentang CSR itu sendiri, kalau tidak mulai dari kita sendiri, ya tidak akan selesai-selesai. Jadi begini Bu, kami tetap commit bahwa sebaik-baiknya anggaran CSR itu diputuskan oleh perusahaan itu sendiri karena kalau sampai ini terjadi Bu, di dunia ini cuma kemarin India pernah Bu, kemudian mereka pemerintah meng-cut. Hanya satu di dunia Bu yang menstandarkan untuk dana, salah satu India saja tapi yaitu 5% tapi sekarang sudah dihapus peraturan itu sendiri. Kalau yang 4% dari keuntungan itu karena BUMN Bu, yaitu PKBL itu mah wajib, itu KPI nya orang CSR di BUMN adalah menyalurkan dana PK dan BL yang diambil dari keuntungan maksimal 4%. Itu jelas, itu auditable, itu yang pertama. Kemudian untuk pasal yang detail Bu ya, sayalebih setuju kalau nantinya ini kan berupa Undang-Undang, artinya UndangUndang sebagai suatu bentuk perundangan-undangan yang tertinggi di Indonesia yang akan di ada turun-turunannya di daerah-daerah, sebaiknya harus bisa ada mutual benefit bagi seluruh all stake holder, pemerintah, korporasi dan masyarakat pada khususnya sehingga CSR sebagai bentuk-bentuk kontribusi dari korporasi atau organisasi dalam berkontribusi dalam pembangunan nasional yang berkelanjutan. Saya kira Bu, kalau saya boleh usulkan lebih baik berupa panduan-panduan. Kalau tadi Bu Novita bilang, saya setuju karena di daerah di Banten ada itu Perdanya Bu, itu hanya katakanlah, boleh katakanlah untuk pengembangan manusia, untuk lingkungan, jelas, tapi kalau besarnya tidak, hanya di statement saja bidang-bidang yang sudah dilakukan untuk CSR daerah yang berada di lokasi itu adalah lingkungan, kemudian kesehatan Ibu dan anak, HIV AIDS itu boleh Bu. Itu kaya panduan istilahnya, oh jangan Bu, kalau besarannya, sebenarnya jangan karena kita harus tahu filosofi dasar karena maaf, kalau terkait dengan investasi nanti, kalau diwajibkan saya setuju. Diwajibkan melakukan CSR karena tanpa diwajibkan Bu sekarang ini CSR sudah menjadi suatu pintu, menjadi pintu bagi socialization to operate bagi perusahaan. Tadi Bapak, saya agak tektok Pak ya, di daerah New Mount atau di daerah Manado atau mana ada tambang saja, mereka yang akan CSR Bu. Otomatis dana dia akan besar untuk melakukan, untuk menutup, coverage operasional adanya banyak bisnis intruption dari masyarakat, ada demo, ada penutupan. Ini kalau dia tidak melakukan CSR yang baik, otomatis kan masyarakat di sekitarnya tidak akan menerima itu. Jadi saya kira diwajibkan dan disesuaikan panduan-panduan saja atau ruang lingkupnya boleh. Sekali lagi kalau besarannya, kami mohon maaf, kami tidak sepakat dengan statement tersebut. Kemudian, berlanjut Bu, lanjut ya terkait dengan cara merubah keputusan pemda Bu ya, tadi Bu Armaiyn. Saat ini banyak sekali Bu, kami juga banyak nih, saya ada contoh-contoh perdaperda CSR, ini kami banyak nih, dari Bupati Jombang, ada nomornya, Bupati Sidoarjo, Bupati Tanggerang, Gubernur Jambi, Jawa barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, terakhir itu 2014 Kalimantan timur ada semua ini Bu. PIMPINAN RAPAT: FAHIRA IDRIS, S.E., M.H. (WAKIL KETUA KOMITE III) Yang paling bagus daerah mana Pak CSR-nya? Perdanya PEMBICARA: BUDI HARDONO/ PAKAR CSR UNIVERSITAS TRISAKTI (NARASUMBER) Kalau sebaiknya perdanya, istilahnya mau mendorong atau memfasilitasi perusahaan supaya melakukan CSR, memprioritaskan didaerahnya itu jauh lebih bagus Bu. Tadi Bapak RDPU KOMITE III DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2015-2016 SELASA, 8 FEBRUARI 2016
20
Edi kan ada pertanyaan, suka buat alasan, saya ngeles.com. Oh saya kan cabang saja Pak, aturan semua dari pusat terkait dengan CSR. Saya kira harus diakui Pak, kalau tambangkan sudah ada peraturan tentang dana bagi hasil antara pemerintah daerah, itu sudah salah satu tools atau salah satu perangkat yang untuk bisa meng-cover supaya ada buat dana daerah, dana perimbangan kan ada. Terkait dengan CSR Pak, sebaiknya, terkait dengan izin-izin lokal itu boleh Pak, misalnya katakanlah yang tidak terkait dengan izin dari pusat, izin daerah itu insentif saja, lakukan dong, kemarin saya dapat pertanyaan Bu, dari salah satu provinsi harusnya dia itu dong CD-nya ke daerah kita karena dia disini bahkan plant yang terbesar adalah di daerah tersebut, ini wajib yang ini. Jadi dia harus memprioritaskan di ring satunya itu sendiri, dan ingat yang harus dilakukan adalah sesuai dengan need assesment bukan wants, karena yang terjadi tadi proposal banyak banget karena kalau sudah ada, katakanlah diwajibkan itu, maaf Bu ya, masalah kita sudah terlalu kreatif Bu untuk mengajukan proposal itu. Kalau perlu kami sampaikan, bahwa saya pernah dipanggil juga dari Komisi VIII DPR RI tahun 2013, juga penyusunan RUU CSR Bu, tahun 2013. Saya juga dipanggil, itu bahkan ada satu pasal yang pasal horor waktu itu, bahwa salah satu peruntukan dana CSR, kebetulan pasal juga adalah pasal nomor 13 adalah untuk menyumbangkan kampanye partai politik. Wah itu kita langsung, dan sekarang saya tidak tahu nasibnya sekarang dimana itu RUU tersebut. Jadi itu ya Bu ya, kalau untuk cara mengubah Bu, sebaiknya inisiasi adanya forum dialog, atau forum kemitraan CSR. Ini sudah terjadi banyak Bu di Tangerang Selatan, di Jawa Barat, artinya adalah pemerintah sebagai regulator tahu bahwa kamu tuh beroperasi di sini loh tolong kalau sudah selesai di ring satumu ini ada kesempatan yang lain ditempat lain, lebih membutuhkan, meskipun jarak jauh, tapi hanya masukkan saja, istilahnya, bukan memaksa harus kesana, karena apa? Kembali ke tadi Bu, untuk image karena, tadi Pak Wahyu sudah sampaikan seluruh aktivitas CSR terkait dengan pelaksanaan, jumlah dananya, kemudian impact-nya, ada sosial audit ya Pak ya, dan itu kalau dikomunikasikan dengan tepat, itu justru meningkatkan profit. Meningkatkan profit itu ada dua kan, profit yang sifatnya tangible mungkin kenaikkan saham, profit yang intangible, image. Kemudian ya, kemudian istilahnya kedermawanan dari perusahaan tersebut jadi masyur dan sebagainya dan itu perlu diukur. Kemudian yang ketiga, cara tadi Pak ya, saya jawab, perlunya ada forum komunikasi Pak antara pemda dengan perusahaan. Forum komunikasi atau forum kemitraan CSR dan ini sudah banyak Bu dilakukan oleh beberapa pemda-pemda di Indonesia tapi sekali lagi ya Bu ya bukan untuk fulling fund. Artinya jangan state, kalau misalkan kemarin itu ada pertanyaan, Pak saya ada dana CSR, tapi saya tidak tahu bagaimana cara melakukan CSR karena kami tidak punya SDM. Dana ada Bu dari pusat, dia dapat anggaran besarnya sekian, tapi tidak punya SDM yang mumpuni untuk melakukan CSR, dia takut kalau dia tersendiri ke masyarakat, ya tadi impact-nya jadi ATM, ada ketergantungan makanya dia, adanya forum ini menjadi salah satu pintu yang memberikan bantuan, supporting atau aksesnya ini kepada perusahaan untuk melakukan CSR di daerah dia tempat beroperasi, bilamana dia punya anggarannya tapi perusahaan tersebut tidak mempunyai SDM yang cukup kredibel. Kemudian mengenai tadi Pak, bidang SDM. Tadi kita lihat Pak, didalam ISO 26000 itu, ada tujuh core subject Pak dan itu sangat-sangat terkait dengan kredibilitas ataupun kompetensi dari SDM itu sendiri karena ingat Pak, CSR bukan programnya yang sustainable tapi impact-nya, yaitu butuh pengembangan manusia sehingga masyarakat ataupun local community bisa mandiri sehingga tidak tergantung lagi pada perusahaan. Pada saat perusahaan itu, katakanlah sudah habis masa izin tambangnya, mereka sudah mandiri. Jadi pasti ada, sebenarnya di-statement boleh, training, predikat, dan itu ada dalam ISO 26000 training kemudian fairness dalam karir itu salah satu aspek dalam ISO 26000. Kemudian strateginya yaitu tadi kalau saya mengusulkan, ya itu tadi cukup diberikan dorongan Pak dari RDPU KOMITE III DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2015-2016 SELASA, 8 FEBRUARI 2016
21
perda-perda tersebut, terutama dari kerjasama dengan biasanya dengan dinas kemsos biasanya Bu dengan di daerah itu. Biasa terjadi tumpang tindih karena program kalau di kesos kan ada APBD ya, jadi sudah ada, tapi tiba-tiba tidak dikomunikasikan kepada perusahaan sehingga ada benturan, atau temuan program yang sama. Ini saya punya pengalaman Bu, disalah satu kabupaten di Kalimantan Timur itu, ada forum namanya musrembang. Dimusrembang tersebut perusahaan diundang Bu, jadi program CSR-mu apa saja rencanamu, program dari pemerintah apa? Dipanggil itu mereka, jadi itu lah ya supaya ada forum itu, forum kemitraan atau forum dialog itu sangat tepat sekali, untuk mendorong ada booster-nya itu. Supaya tidak terjadi duplikasi maupun CSR yang tidak tepat sasaran, misalkan begini Bu. Di kabupaten itu ada program namanya STBM, sanitasi masyarakat berbasis, sanitasi berbasis masyarakat itu ya, itu ternyata problem dari dinas kesehatan itu katakanlah dia cuma 2 kelurahan, lah perusahaan punya dialihkan, oh kamu kelurahan, kalau dari dinsos itu adalah kelurahan A dan B, mungkin yang perusahaan kurang C, jadi harus ada alur komunikasi yang kuat, dan alur koordinasi sehingga CSR antara korperasi dengan pemda menjadi sebuah sinergi, menjadi sebuah sesuatu sinergitas yang menjadikan mutual benefit antara stakeholder. Kemudian tadi kalau masalah sosial, kebetulan kami juga, kemarin baru selesai minggu yang lalu Bu kami dengan Pansus Perdasesnya dari Banten, tadi Bapak tepat sekali Bapak, memang harusnya harusnya adalah mereka itu mengutamakan, memprioritaskan dengan komunitasnya seputarnya dahulu. Jangan sampai tidak terjadi mutual benefit atau mutual relationship antara perusahaan dengan komunitas disekitarnya karena ini, begini Bu ya, sudah menjadi by nature Bu ya kalau perusahaan tidak melakukan hubungan yang baik dengan sekitar otomatically pasti ada resitensi dari masyarakat sekitar. Kemudian tadi kena sanksi bu ya. Sanksi dipertegas, saya kira sanksi sudah tegas Bu, aspek CSR melalui dari hulu ke ke hilir, apapun sudah ada sanksinya. Jadi misalkan katakanlah lingkungan, sudah ada Undang-Undang Lingkungan Bu, katakanlah dia mempekerjakan anak dibawah umur, sudah ada Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, kemudian katakanlah dari pajak internal sudah ada dari pajak. Jadi sebenarnya kalau masalah punishment sudah ada perintah atau perangkat perundangan, sudah mencakup dari seluruh operasional perusahaan, katakanlah saja Bu, perusahaan tidak memiliki izin dari setempat, dia tidak dapat namanya izin HO, dia tidak dapat, dia tidak bisa beroperasi, itu ada impactnya, impact full itu. Jadi dari mulai dia berinvestasi saja, sudah jelas, oh tadi Pak, strateginya misalkan begini Pak ya, di dalam perda atau forum CSR boleh ada panduan terkait dengan pemberdayaan masyarakat lokal tadi, jangan sampai perusahaan di Sulawesi dia cabang Jakarta Pak, katakanlah karyawannya sudah 1000, yang 900 orang dari Jawa Tengah atau Jawa Timur karena dekat, itu boleh pak sebaik-sebaiknya menyertakan kearifan lokal di dalam panduan CSR di daerah. Patut sekali Bu, artinya yang sifatnya tidak melanggar peraturan yang di atasnya boleh, artinya adalah bahwa dia diarahkan sebaiknya memang ke sini. Kalau untuk berkontribusi terhadap pembangunan masyarakat lokal itu. Kemudian tadi Ibu tadi bahwa sanksi, kenapa bu? CSR itu tadi saya sebutkan bahwa CSR menjadi salah satu solusi memitigasi risiko. Contohnya gini saja, kita ambil salah satu perusahaan di NTB, Newmont Bu katakanlah perusahaan A, baru lagilah, tentang sumber daya alam. Pada saat dia datang ke sana, dia harus sadar dong. Saya istilahnya dalam bahasa Jerman-nya kulonuwun gitu ya, ketok pintu ya. Harusnya dia sadar bahwa bagaimana cara CSR yang baik supaya saya dapatkan social license to operate. Oh saya punya kebijakan makanya CSR dimulai dari keputusan, dampak dari keputusan, mungkin dari atas, dari top level manajemen di kantor pusat. Oke kamu buka di NTB, saya minta termin pertama kau bina masyarakat NTB untuk rekrut. Kami pernah melakukan Bu, salah satu perusahaan di Feni Haltim di Halmahera Timur Bu, memanggil kami untuk melakukan need assessment. Jadi mereka minta pokoknya, Pak Doni, saya minta data berapa jumlah tenaga produktif di RDPU KOMITE III DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2015-2016 SELASA, 8 FEBRUARI 2016
22
kecamatan tersebut, pertama. Kedua, setelah kecamatan, di kabupaten berapa ada sekolah, ada atau tidak. Jadi itu data Bu untuk memitigasi risiko, ternyata memang kami temui Bu di kelurahan tersebut yang lulus SMA cuma 4 orang, padahal perusahaan yang akan beroperasi tersebut menggunakan high tech sehingga kami melebar ke kecamatan lain, terkumpul 17 anak, berikan CSR training melalui BLK, merangkul BLK untuk menjadikan tenaga terdidik, tetapi 17 tidak signifikan Bu, yang dibutuhkan lebih dari 100 sehingga ambilah dari tetangga dekat dari Sulawesi kemudian dari Kalimantan ataupun dari Jawa. Ini penting sekali pada saat mereka datang bekerja ada tuntutan dari masyarakat lokal, kita sudah punya data valid, kami butuh yang kualifikasi kami adalah yang high tech ini karena masih awal kami mau set up mesin dulu. Kami belum butuh tenaga yang sifatnya kasar, belum. Data yang valid ini menjadi data yang paling penting dalam melakukan CSR sehingga yang dibutuhkan adalah sesuai dengan needs assesment, bukan wants, sesuai kebutuhan masyarakat ya itu juga penting buat korporasi Bu, tidak hanya korporasi, terus istilahnya CSR menjadi istilahnya dosa tidak berampun, jasa tidak terhitung Bu, jangan sampai dia sudah melakukan CSR banyak tapi tidak dihitung jasanya, tapi sekali dia melakukan salah di-bully sedemikian rupa. PEMBICARA: BAIQ DIYAH RATU GANEFI, S.H. (NTB) Interupsi Pimpinan. Jadi Pak supaya lebih jelas saya, bisa tidak CSR ini dimasukkan misalnya, di dalam karenakan kita mendengar tadi Bapak kan sekarang masuk memberikan bantuan gitu, bisakah CSR itu diberikan ke dimasukkan dalam kas daerah misalnya, seperti itu didalam karena kita tidak tahu berapa, kalau orang, nanti organisasi-organisasi atau proposal yang dimasukkan kemudian pada saat kita bertanya, pemerintah kabupaten misalnya, oh saya sudah memberikan kepada a, b, c, d itu kan juga nantinya tumpang tindih yang Bapak sampaikan tadi. Misalnya, ada kemungkinan tidak, entah ditaruh di mana uang ini, misalnya seperti itu Pak. PEMBICARA: BUDI HARDONO/ PAKAR CSR UNIVERSITAS TRISAKTI (NARASUMBER) Sepanjang kami meneliti di Indonesia, tidak ada Bu yang masuk kas daerah, tetapi ada sebuah forum kemitraan yang dibentuk oleh pemerintah daerah yang dia memfasilitasi saja karena CSR, project CSR owner is coorporate. Jadi hanya pelaksananya saja, dia bisa bermitra Bu, menggandeng BLK, atau pemda setempat. Katakanlah pengembangan ikan lele, atau pengembangan pertanian, dia bisa menggandeng suku dinas pertanian atau perikanan. Saya kira itu Ibu. PIMPINAN RAPAT: FAHIRA IDRIS, S.E., M.H. (WAKIL KETUA KOMITE III) Terima kasih Pak Doni. Silakan Pak Mulyadi. PEMBICARA: BUDI HARDONO/ PAKAR CSR UNIVERSITAS TRISAKTI (NARASUMBER) Ini satu lagi Bu, tadi pertanyaan Ibu Pimpinan mengenai kalau dia besar Bu ya? Saya kira itu bisa sekali Bu karena cakupan perusahaan, katakanlah sebesar Pertamina pun sudah cakupan multinasional, jadi dia bias Bu. Bahkan kemarin saya juga, tim kami sampai ke pulau terpencil di ujung pulau Madura Bu, namanya Pulau Poteran, hanya untuk melakukan CSR dari perusahaan yang berbasis di Jakarta karena itu strategis, jadi karena memang dia sudah, katakanlah sudah, di sini sudah cukup, cakupan di Jakarta cukup, dia perlu namanya RDPU KOMITE III DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2015-2016 SELASA, 8 FEBRUARI 2016
23
beyond untuk sifatnya adalah image tadi Bu. Bahwa dia peduli terhadap lingkungan di Pulau Poteran dia melakukan pembinaan rumput laut di Pulau Poteran di Madura PIMPINAN RAPAT: FAHIRA IDRIS, S.E., M.H. (WAKIL KETUA KOMITE III) Terima kasih. Silakan Pak Mulyadi. PEMBICARA: Drs. MULYADI, Ph.D./PAKAR CSR UGM (NARASUMBER) Terima kasih. Ada banyak pertanyaan menarik yang penting untuk didiskusikan, sebagian sudah di jawab oleh Pak Doni. Mohon maaf saya tadi harus, harus. Jadi untuk yang pertama terkait dengan apakah perlu diakomodir berapa besaran anggaran? Pertanyaan ini sebenarnya sangat terkait dengan model aturan CSR yang diadopsi oleh suatu negara. Tadi saya menggambarkan ada 3 pola, adopsi peraturan CSR pola, yang pertama adalah voluntary dan mandatory, yang kedua self regulation dan preskriptif, yang ketiga adalah formal, ada substantif dan yang satu, ada refleksi. Sebenarnya intinya dari ketiga itu bisa disebut satu pro pada perusahaan, satu lagi pro pada negara. Yang pro pada negara itu artinya memberikan kewenangan kepada negara sepenuhnya, mengatur apapun yang dilakukan oleh perusahaan itu. Itu negara menganggap bahwa negara wajib mengelola itu karena apapun yang terjadi distribusi kesejahteraan yang ada di masyarakat itu harus merata, ada yang ke perusahaan ada yang ke masyarakat, ada juga yang ke negara. Yang satu pro kepada perusahaan, berikanlah sepenuhnya kelonggaran kepada perusahaan untuk mengelola program itu. Jadi kalau seperti itu ya serahkan kepada perusahaan. Nah pertanyaannya kita mau pakai yang mana itu? Karena setiap pilihan itu punya, punya peraturan sendiri. Kalau kita memilih yang pro pada perusahaan sudah serahkan besaran anggaran, serahkan kepada perusahaan. Nah kalau kita mengikuti yang pro pada negara, negara bisa menentukan sampai apapun, bagaimana mengelola program seperti tadi pertanyaan apakah mau dibawa pusat atau dibawa ke perusahaan? Tetap diserahkan kepada perusahaan untuk otoritas pemerintah yang menentukan bahwa implikasinya nanti seperti apa, itu lain soal, karena kalau negara terlalu besar intervensinya dan kebetulan intervensinya itu kurang baik, implikasinyakan kemudian inventasi akan berkurang. Bisa dibayangkan itu kalau setiap pemda bikin perda dan perdanya itu memaksa semua, saya kira tidak-tidak akan banyak perusahaan yang berada di situ, risih dia ada disitu. Nah oleh karena itu, perlu dipertimbangkan itu, memang ada kelemahan dan kelebihannya. Kalau yang kedua bukan yang pro kepada perusahaan bukan berarti tidak ada, tidak ada cacatnya karena kelonggaran seperti itu ya pada satu sisi, dia akan juga lebih akomodatif pada kepentingan masyarakat lokal karena semuanya diserahkan pada, pada disentralisasi dilevel perusahaan, tetapi kalau tidak ada trust disitu, kepercayaan publik kepada perusahaan tidak bisa jalan. Semuanya akan nuntut. Nah pertanyaan ini kesannya sangat tekhnis tetapi tidak mudah dijawab kalau situasinya ekstrim karena ada trust besar dan tidak ada trust sama sekali begitu. Nah sebenarnya kalau saya sangat suka ada alternatif ketiga, yaitu ada perpaduan di antara ini dan yang satu lagi. Nah tapi inipun juga masih jadi pertanyaan, yang relevan untuk di pilih apakah yang dikiri atau yang dikanan atau yang di tengah? Dan untuk itulah maka kemudian riset itu menjadi sangat penting. Mungkin kalau kita meyakini bahwa trust dimasyarakat kurang sehingga negara juga sedikit banyak perlu campur tangan maka kalau seandainya dianggap perlu untuk menentukan anggaran, harus dilakukan riset yang sangat detail yang akurat, berapa persen yang dianggap bisa memenuhi kebutuhan masyarakat dan pemerintah tetapi juga tidak memberatkan perusahaan sehingga ini harus, harus relevan harus kontekstual. Policy dianggap baik kalau policy itu relevan kalau tidak relevan pasti akan ditolak banyak orang, itu saya kira jawaban saya. RDPU KOMITE III DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2015-2016 SELASA, 8 FEBRUARI 2016
24
Yang kedua, apakah perlu diakomodir bentuk-bentuk yang sesuai dengan yang bidang kerjanya. Saya setuju dengan yang disampaikan oleh Pak Doni tadi. Pak Doni mengatakan bahwa yang disampaikan oleh Pak yang dari Senator dari Banten tadi, Pak Ahmad Sadeli ya, itu mengatakan istilah social mapping, Pak Doni mengatakan istilahnya need assessment, jadi social mapping dan need assesment ini untuk mengetahui kebutuhan kebutuhan masyarakat. Jadi ini ada kaitannya dengan kata kunci relevan tadi, relevan itukan sesuai kebutuhan. Jadi sepanjang itu relevan boleh-boleh saja, kalau tidak ya jangan dipaksakan, itu jadi dan untuk itu juga maka ke program yang baik selalu memerlukan pengecekan dulu di lapangan. Apakah yang dibutuhkan masyarakat dengan cara social mapping atau penilaian kebutuhan? Apakah perlu diakomodir lokasi program CSR, tadi juga sudah dijawab Pak Doni dan saya setuju. Yang paling penting untuk dipikirkan itu adalah yang terkena dampak dari kegiatan operasi perusahaan itu, atau istilahnya eksternalitas. Eksternalitas itukan perusahaan mengadakan kegiatan yang menghasilkan keuntungan, atau dapat dampak baiknya perusahaan dan dengan partner kerjanya, tetapi masyarakat yang tidak terlibat disitu itu dapat getahnya. Begitu enggak dapat nangkanya, tapi dapat getahnya, gak enak semua begitu. Nah itu harus, harus dipikirkan untuk itu dan kalau dengan cara berpikir begitu, itu sebenarnya diwajibkan itu, boleh diwajibkan karena memang itu tanggungjawab yang harus, dilakukan oleh perusahaan karena dia menciptakan kerugian. Eksternalitas itu ada yang baik, ada yang buruk. Yang baik ya memang, memang itu yang diharapkan, kalau buruk itu harus diinternalisasi. Nah itu yang penting, bahwa nanti kemudian ada kegiatan CSR yang lain boleh-boleh saja. Misalnya membuat beasiswa untuk semua orang miskin diseluruh Indonesia, apakah itu boleh? Boleh tapi apakah itu yang pertama? Ya jangan dulu, yang pentingkan yang kena dampak buruk tadi, seperti istilahnya Pak Doni tadi ring satu. Ibu Hj. Armaini tadi menanyakan tentang problem di pemerintah daerah lokal. Jadi begini Ibu kalau saya membayangkan PP CSR ini berusaha untuk menepatkan ditengah tadi. Jadi pada satu sisi kegiatan itu didesentralisasi di perusahaan tapi pada saat yang sama pemerintah juga mengatur, bahwa harus ada anggaran, harus para pelaporan. Anggaran itu bagian dari anggaran perusahaan secara keseluruhan, diperhitungkan, misalnya juga itu dilakukan di level direksi, itukan mengatur agak rinci. Nah masalahnya, beberapa aturan itu, begitu itu diatur tapi beberapa hal itu, menurut saya tidak cukup konsisten. Dia mengatur termasuk mengatur anggaran, tetapi begitu mengatur anggaran seharusnya detail anggaran itu diatur karena dia sudah terlanjur mengatur, dan itu artinya negara memposisikan diri boleh melakukan intervensi. Kalau aturan itu ada bagian-bagian tertentu yang bisa di interpretasikan oleh sekian banyak orang dan interpretasi itu tidak seperti yang dikehendaki oleh negara, disitu muncul persoalan. Nah masalahnya kapasitas pemda untuk membuat perda itu beda-beda. Saya kemarin diminta untuk me-review beberapa rancangan perda dan saya agak kaget. Kagetnya misalnya, yang pertama, dari tata cara menyusun saja sudah keliru. Misalnya saya temukan satu perda itu ternyata kalau dimasukkan di internet, itu ternyata kata-kata yang sama itu sudah dijumpai di perda yang lain. Artinya tinggal copy masukkan ke situ, copy yang pertama itu melanggar aturan kode etik tulisan, yang kedua belum tentu yang dilakukan di daerah yang lain itu relevan di daerah itu. Yang kedua yang latah terjadi adalah bahwa setiap daerah itu punya forum CSR. Nah kadang-kadang forum CSR itu diketuai oleh elit lokal nah ini, ini yang juga, juga tidak nyambung dengan aturan undang-undangnya. Jadi kemudian karena program CSR itu desentralisasi di level perusahaan, perusahaan boleh melakukan maka forum itu boleh melakukan review terhadap program itu, itu dengan sendirinya, ini terjadi di beberapa Perda, tapi waktu itu setelah saya bolak-balik, saya cek, forum itu tidak digaji. Pada satu sisi namanya forum, itu forum boleh tidak digaji, tetapi kalau forum itu, jadi kesalahan dengan istilah forum itu dua. Yang pertama, dia boleh melakukan review, misalnyakan forum itukan sangat cair, kalaupun mau melakukan review mestinya itu satu tim khusus, bukan forum. Nah karena dia tidak digaji, RDPU KOMITE III DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2015-2016 SELASA, 8 FEBRUARI 2016
25
dia melakukan kegiatan, kalau dia naik mobil dia pakai bensin ke lapangan, kalau dia pakai sepeda motor, sepeda motor pun juga pakai bensin, kalau di ngojek dia juga pakai uang untuk ngojek. Uangnya mau dari mana? Nah karena ada banyak wilayah abu-abu maka kemudian kesempatan abu-abu itu bisa saja, saya tidak mengatakan bahwa semua forum korup tidak begitu, tetapi itu memberi peluang. Jadi saya langsung mengatakan kalau posisinya begitu, harus digaji. Gajinya dari mana ya kalau itu, itu poin yang lain, bias jadi dari pemda, bisa saja dari apapun, tetapi harus digaji karena kalau tidak, itu wilayah abu-abu. Jadi poin saya, variasi itu sangat besar dan kalau Pemda itu tidak cukup baik mengelola, seperti yang saya katakan tadi, intervensinya merugikan salah satu pihak yang memang itu terlalu banyak memunculkan wilayah abu-abu dan memungkinkan ada banyak kegiatan ilegal disitu, saya kira kok akan banyak perusahaan yang rugi, nanti pemda sendiri yang rugi. Ada banyak hal yang nanti saya bisa jelaskan ke Ibu, tapi saya kira makan waktu banyak. Pak Stefanus tadi menanyakan beberapa strategi untuk menyenangkan semua pihak, tadi sudah disinggung oleh pak Doni. Ada modal yang sudah dikelola oleh pemda, forum barangkali satu satu hal, tapi ada model lain yang mereka sebut sebagai multi stake holder. Multi stake holder itu melibatkan NGO, Pemda, Universitas dan politisi, idenya baik, tapi belum tentu praktiknya begitu. Ini sudah terjadi di beberapa pemda dan enggak juga bisa jalan. Nah oleh karena itu, sebenarnya seperti yang saya katakan tadi, masalahnya yang terjadi adalah bahwa ada banyak wilayah abu-abu yang membuat ketika forum itu dibentuk pun sebenarnya wilayah abu-abu itu juga digunakan. Sebagian dari, maaf ya, politisi yang yang terlibat disitu kemudian menggunakan itu seperti bagian dari itu, sehingga memang ya sebenarnya ide baik, tetapi siapa yang terlibat disitu itu juga menjadi penting. Siapa saja yang ada disitu dan bagaimana kontrolnya, saya kira, nah SDM atau tidak, saya kira tadi jawabannya adalah kesesuaian. Kalau itu sesuai dengan, dengan need assessment, saya kira apapun bias dilakukan, strategi, saya kira kalau anggaran tadi sudah disebut, mengapa ada duplikasi? Begini, contoh kasus begini, ini contoh riil, ini waktu itu hasil sensus mengatakan bahwa Kulonprogo di DIY di sana itu termasuk daerah yang paling miskin. Biasanya yang paling miskin itu rebutan antara Gunung kidul dan Kulonprogo, tidak bagus tapi rebutan karena memang biasanya DIY itu ada 5, Kota Jogjakarta, Sleman, Bantul, Gunung Kidul, Kulonprogo, ini yang selalu di paling belakang ini dua-duanya ini, Gunung kidul dan Kulon progo makanya saya sering katakan sering berebut untuk yang paling miskin. Nah ketika Kulonprogo itu termasuk paling buruk, ketika itu bupatinya itu, dengan dengan link dan kontak yang dia punya, kemudian dia mengadakan jumpa pers, bukan hanya jumpa pers dan kemudian mengadakan pertemuan dengan perusahaan dan meminta perusahaan untuk menyelenggarakan program CSR disitu. Baik itu, tetapi saya sendiri menyayangkan karena dia sudah terlanjur mengundang, seharusnya dia, dia petakan, kita punya masalah kemiskinan seperti ini dan kita punya program seperti ini yang kita bias, dan kita bisa danai seperti ini. Andai Bapak-bapak dan Ibu-ibu itu mau memberikan sumbangan dana kepada kami, maka yang belum bisa kami pegang, yang belum bisa kami danai, itu seharusnya Bapak-bapak dan Ibu-ibu bisa lakukan, begitu caranya. Bagaimana kita bisa koordinasikan, jadi ada pemetaan masalah dan pemetaan bagaimana menyelenggarakan kegiatan itu bersama-sama dan pemetaan siapa yang mau mendanai yang mana, tapi praktiknya tidak begitu. Praktiknya, satu perusahaan satu desa, apa programnya silakan, jadi sangat mungkin di desa itu sudah ada program pemerintah sebelumnya, tumpang-tindih begitu. Nah masalahnya program kemiskinan di Indonesia, itu dibawah TNP2K, itu ada puluhan program yang kalau kita tanya saja kepada masyarakat, anda bulan kemarin terima program dari mana? Belum tentu tahu karena jumlah programnya terlalu banyak. Nah ini punya risiko yang besar Pak untuk terjadinya duplikasi karena pemerintah sendiri sebenarnya belum bisa memetakan apa yang bisa dilakukan dan apa yang perlu dikerjakan portaback private partnership itukan sebenarnya, esensinya ada di situ. RDPU KOMITE III DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2015-2016 SELASA, 8 FEBRUARI 2016
26
Sanksi tadi sudah disinggung oleh Pak Doni dan saya setuju, intinya aspek-aspek didalam program CSR itu sebenarnya sudah menjadi concern dari lembaga yang lain. Jadi untuk aspek ketenagakerjaan atau hubungan industrial, sebenarnya sebagian dari itu menggunakan cut of conduct-nya yang sudah dijalankan oleh ILO dan cut of conduct yang dijalankan oleh ILO itu sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, sehingga kalau melanggar itu, dengan sendirinya dapat sanksi dari situ. HAM juga begitu, lingkungan hidup juga begitu, bahwa apakah ada saksi atau tidak, yaitu tadi kadang-kadang perusahaan itu juga punya kedekatan dengan para pembuat kebijakan, para pengambil keputusan dibidang hukum sehingga kadang-kadang seharusnya mendapatkan sanksi tapi prakteknya tidak, tapi secara normatif sudah diatur. Bahwa prakteknya tidak disitu, wilayah abu-abunya tadi sangat luas sehingga yang terjadi kadang-kadang tidak seperti yang kita bayangkan. Saya kira ini yang saya catat dari beberapa pertanyaan itu. Waktu saya kembalikan ke Ibu Pimpinan Rapat. PIMPINAN RAPAT: FAHIRA IDRIS, S.E., M.H. (WAKIL KETUA KOMITE III) Ya kita beri applause dulu untuk para narasumber. Terima kasih banyak kepada para narasumber kita yang luar biasa atas penjelasannya yang telah diberikan. Dengan demikian kita telah menyelesaikan agenda rapat Dengar Pendapat Umum pada hari ini, maka dengan mengucapkan hamdallah kita akhiri Rapat Dengar Pendapat Umum Komite III DPD RI tentang RUU CSR. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kita semua. Ada satu pantun untuk Bapak-bapak sekalian dan Ibu-ibu. Minum vitamin CDR supaya sehat, agar kita semua selalu siap rapat. Semoga RUU CSR tuntas cepat, agar masyarakat dapat manfaat. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
RAPAT DITUTUP PUKUL 12.06 WIB
RDPU KOMITE III DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2015-2016 SELASA, 8 FEBRUARI 2016
27