DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20/DPD RI/I/2013-2014 TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERINDUSTRIAN
JAKARTA 2013
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20/DPD RI/I/2013-2014 TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang tertib, adil, makmur, dan sejahtera serta membangun manusia Indonesia seutuhnya, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; b. bahwa untuk mencapai industri yang maju perlu mengarahkan pembangunan industri yang mampu berdaya saing dalam era globalisasi, dengan mengutamakan kepentingan nasional, kemandirian, berorientasi pada kerakyatan dan nilai-nilai luhur budaya bangsa; c. bahwa landasan dan tujuan pembangunan ekonomi nasional adalah untuk tercapainya struktur ekonomi yang kokoh yang di dalamnya terdapat kemampuan dan kekuatan industri yang maju sebagai motor penggerak ekonomi yang didukung oleh kekuatan dan kemampuan sumber daya yang tangguh serta memberikan kepastian hukum dan berdaya guna bagi dunia industri dan masyarakat; d. bahwa salah satu kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; e. bahwa berdasarkan ketentuan pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d diatas, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia melalui Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sesuai dengan lingkup tugasnya telah menyusun Pandangan dan Pendapat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perindustrian; f. bahwa pandangan dan pendapat sebagaimana dimaksud pada huruf e telah disampaikan dan diputuskan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sebagai Pandangan dan Pendapat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan UndangUndang tentang Perindustrian untuk disampaikan dalam pembahasan bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah; g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, perlu menetapkan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Pandangan
961
Mengingat
:
1. 2.
3.
4. 5.
Menetapkan
:
PERTAMA
:
KEDUA
:
KETIGA
:
dan Pendapat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perindustrian; Pasal 22D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043); Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043); Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia; Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/ DPD/2007tentang Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke-6 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Masa Sidang I Tahun Sidang 2013-2014 Tanggal 25 Oktober 2013
MEMUTUSKAN: KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANGUNDANG TENTANG PERINDUSTRIAN. Pandangan dan Pendapat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perindustrian sebagai bahan pembahasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Pemerintah. Isi dan rincian pandangan dan pendapat sebagaimana dimaksud dalam diktum PERTAMA, merupakan lampiran yang tidak terpisahkan dari keputusan ini. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 Oktober 2013 DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA Ketua,
H. IRMAN GUSMAN, SE.,MBA
962
Wakil Ketua,
Wakil Ketua,
GKR. HEMAS
DR. LAODE IDA
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
________________________________________________________________________ PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RUU TENTANG PERINDUSTRIAN I.
Pendahuluan A. Sesuai dengan ketentuan Pasal 22D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta memperhatikan Peraturan Tata Tertib DPD RI, maka pada hari ini, DPD RI menyampaikan Pandangan dan Pendapat, mengenai RUU tentang Perindustrian kepada DPR RI, pada Rapat Kerja dalam rangka Pembahasan Tingkat I RUU tentang Perindustrian. B. Dalam hal penyampaian pandangan dan pendapat ini, DPD RI telah membentuk tim kerja untuk mendalami substansi dan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam RUU tentang Perindustrian. Dengan demikian, RUU Perindustrian diharapkan dapat menjadi landasan hukum (ius contituendum) yang kuat, berkepastian hukum (legally binding), berkerangka aturan yang jelas (regulatory framework) dan berdimensi spasial yang panjang, sehingga RUU Perindustrian tidak hanya dipakai dalam kurun waktu yang pendek seperti berbagai UU yang mengalami perubahan dalam rentang waktu yang relatif singkat, namun memiliki legacy industry (warisan industri) yang berjangka panjang. C. Bahwa RUU tentang Perindustrian harus menempatkan kepentingan nasional dan daerah di atas segala-segalanya. RUU tentang Perindustrian, tidak boleh bersifat sektoral dan dirancang atas tekanan perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement) yang agresif dilakukan oleh Pemerintah RI, termasuk dan tidak terbatas pada kekuatan regionalisme, globalisasi dan traktat-traktat internasional. Kepentingan utama RUU ini, harus dapat memberikan kontribusi, baik langsung maupun tidak langsung terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat yang merata, melindungi produk dan industri nasional-daerah, menjaga keberlajutan pembangunan dan memperkuat ketahanan nasional yang bertumpu pada kemampuan dan daya saing industri dalam negeri yang tangguh, untuk berkompentisi baik di tingkat regional maupun global dalam pola non - zero - sum game. D. Dalam hal perlindungan atau proteksi industri dalam negeri, DPD RI menyadari bahwa proteksi tidak dapat begitu saja di terapkan, selain karena bertentangan dengan organisasi perdagangan dunia seperti yang telah disepakati dan ditandangani oleh Indonesia baik di tingkat global (WTO), tingkat regional (Asean) dan pada tingkat antarnegara dalam bentuk partnership agreement, proteksi juga dapat menyebabkan welfare loss atau hilangnya suatu nilai ekonomi kesejahteraan dalam jangka panjang yang menyebabkan tergerusnya nilai-nilai produktivitas industri dalam negeri yang dapat menghilangkan nilai tambah produksi dan mempengaruhi daya saing industri atau competitiveness. Meskipun daya saing (persaingan sehat) adalah pilihan terbaik, namun, dalam prakteknya, semua Negara di dunia masih menerapkan proteksi. Oleh karena itu, DPD RI menempatkan kedua pilihan kebijakan, baik kebijakan tentang proteksi maupun kebijakan tentang daya saing industri, harus ditempatkan sebagai kombinasi kebijakan yang bersifat komplemeter (saling melengkapi) dalam rangka menjaga stabilitas industri dalam negeri. E. Atas dasar berbagai kepentingan dan pertimbangan yang disebutkan pada bagian pendahuluan ini, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dengan ini, menyampaikan pandangan dan pendapat atas RUU tentang Perindustrian.
963
F. DPD RI menyampaikan pandangan dan pendapat ini, terutama yang terkait langsung dan tidak langsung dengan industri di daerah. Selain fokus pada kepentingan pertumbuhan industri di daerah yang bersifat strategis, pandangan dan pendapat ini, juga memuat beberapa substansi pokok dalam rangka penyempurnaan penyusunan RUU Perindustrian yang terkait dengan sejumlah isu global yang potensial menekan daya saing industri dalam negeri dan perlu mendapatkan perhatian serius, melalui dukungan kebijakan industri nasional yang reformatif, meliputi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 (MEA 2015), agenda global mengenai industri hijau, standardisasi produk industri, serta implementasi sejumlah perjanjian perdagangan bebas, yang pada gilirannya dapat membawa Indonesia menjadi negara industri baru yang tangguh pada tahun 2025 dan tidak terperangkap dalam status middle income trap atau perangkap Negara berpendapatan menengah. G. Selain agenda global yang disebutkan pada bagian F di atas, hal-hal yang terkait dengan kepentingan industri di daerah, yang perlu disampaikan dan mendapatkan perhatian, antara lain adalah: (i) lembaga pembiayaan industri di daerah (pasal 21); (ii) infrastruktur kawasan industri di daerah (BAB III); (iii) tanggung jawab pemerintah daerah dalam melakukan peningkatan kemampuan pengembangan teknologi industri (pasal 24); (iv) peran pemerintah daerah (pasal 24 ayat 2); (v) kewilayahan industri kaitannya dengan sentra industri dan ekonomi lokal (pasal 36 bag. Keempat); (vi) pembagian tugas pemerintah dan pemerintah daerah dalam ketersediaan infrastruktur industri (pasal 39); dan (vii) kapasitas kelembagaan pemerintah daerah (pasal 49 ayat 3) dll. II.
Pandangan dan Pendapat DPD RI terhadap RUU Tentang Perindustrian Setelah melakukan kajian dan pembahasan secara komprehensif terhadap RUU tentang Perindustrian, yang merupakan RUU inisiatif Pemerintah RI, maka DPD RI menyampaikan Pandangan dan Pendapat, sebagai berikut: A. B agian K onsideran DPD RI berpandangan, dalam rangka memberikan penekanan terhadap tugas, fungsi dan kewenangan DPD RI dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam; dan sumber daya ekonomi lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, sebagaimana diamanatkan undang-undang, maka DPD RI berpendapat, dalam RUU Perindustrian, perlu mencantumkan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 dan DPD RI dalam Dasar Hukum atau dalam konsideran ‘Mengingat’, karena secara tegas di nyatakan dalam UUD 1945 dan telah diperkuat melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 tentang Peningkatan Peran DPD RI. Pada bagian konsideran lainnya dalam RUU Perindustrian, yang mendeskripsikan tujuan pembangunan nasional yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang tertib, adil, makmur, dan sejahtera, dalam pandangan DPD RI, tujuan RUU ini harus diberikan penekanan pada peningkatan kesejahteraan. DPD RI berpendapat, industri yang maju tidak menjamin atau membuat masyarakat tertib, namun sebaliknya, etos kerja yang menjadi bagian dari sumber daya manusia yang berpengetahuan, berkualitas dan berketertiban yang tinggi yang mampu mendorong industri yang kuat. B. B ab I tentang K etentuan U mum & A sas Ketentuan Umum Dalam bab ketentuan umum disebutkan berbagai definisi industri, DPD RI berpandangan bahwa pengertian industri harus dipertegas baik dalam pengertian yang luas maupun dalam pengertian yang lebih sempit. Definisi industri harus meliputi kegiatan manufaktur, utilitas, listrik, gas dan air minum serta konstruksi dan tidak hanya membatasi pada proses input menjadi output, tetapi juga mempertimbangkan faktor total produksi yang membentuk daya saing industri. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat, definisi industri harus diperluas pemaknaannya. Selain perluasan pengertian industri, DPD RI berpendapat, terdapat banyak hal di dalam pasal-pasal RUU Perindustrian yang perlu didefinisikan dan dicantumkan dalam bab ketentuan umum meliputi antara lain definisi tentang industri strategis, definisi industri hulu, definisi industri hilir, definisi perwilayahan industri, definisi sumber daya industri, definisi produk dan industri dalam negeri, dan definisi industri nasional dan definisi industri daerah. Asas DPD RI berpandangan, asas pemerataan persebaran dalam RUU ini, harus diberi penekanan sebab industri nasional masih didominasi di pulau Jawa, sebagian Sumatera dan Bali (SJB). Fakta bahwa skala ekonomi nasional, 80% ditopang oleh ekonomi Sumatera, Jawa dan Bali dengan dalil bahwa produk domestik bruto dikontribusikan oleh SJB dan 70% industri nasional tersebar di Jawa dan 20% sisanya di Sumatera dan 10 % di
964
wilayah selain Sumatera dan Jawa, maka asas pemerataan persebaran perlu mendapat perhatian serius. DPD RI berpendapat, untuk mendapatkan pemerataan dan persebaran ekonomi, maka pemerataan industri tidak dapat dikalkulasi dan dipertimbangkan hanya dengan perspektif matematika ekonomi saja, karena jika dasarnya perhitungan ekonomi semata, maka terlalu sulit untuk mendapatkan pemerataan pembangunan industri. DPD RI berpendapat, persebaran dan pemerataan harus lebih didasarkan pada sentimen NKRI untuk berkehendak dan bersama-sama menyatakan suatu tingkat kesejahteraan bersama yang selama ini terabaikan karena pertimbangan ekonomi saja. Di sisi lainnya, DPD RI berpendapat perlunya menambahkan asas daerah selain asas nasional, sebab selama ini asas nasional pada kenyataannya hanya menyasar Jawa, sebagian Sumatera dan Bali. DPD RI berpendapat, saatnya mengembangkan industri nasional dan daerah secara bersamaan berbasis asas pemerataan dan persebaran industri di seluruh daerah di Indonesia. Inklinasi pemerataan dan persebaran industri kontraproduktif dengan asas pemerataan dan persebaran industri yang tercantum dalam RUU ini. C. B ab II tentang P embangunan S umber D aya I ndustri Sumber Daya Manusia Dalam pandangan DPD RI, pembangunan sumberdaya manusia di sektor industri perlu memperhatikan standar kompetensi kerja yang wajib bagi sumberdaya manusia di sektor industri. Kebutuhan sumberdaya manusia dengan standar kompetensi kerja, dibutuhkan untuk memenuhi sumberdaya industri yang profesional dan sesuai dengan kebutuhan industri (linkage), dalam rangka mengantisipasi ketatnya persaingan dalam Masyarakat Ekonomi Asean 2015 dan menyesuaikan aturan industri dalam perjanjian perdagangan dunia (WTO). DPD RI berpendapat, kualitas dan kompetensi SDM bidang industri saat ini, belum terstandardisasi dan kualitasnya pun belum merata, sehingga dibutuhkan adanya jaminan bahwa kualitas SDM di sektor industri harus lebih merata dan lebih berkualitas dengan mendorong, antara lain peningkatan balai latihan kerja dan pusat-pusat pendidikan dan pelathan di daerah yang diposisikan sebagai bagian dari investasi SDM bidang industri. Dengan demikian, pada pasal 7 ayat (5) perlu ditambahkan ketentuan mengenai standar kompetensi sumberdaya manusia di sektor industri menjadi ”Ketentuan lebih lanjut mengenai standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri”. Sumber Daya Alam dan Kawasan Industri Selanjutnya pada bagian kelima dalam BAB II, yang menjelaskan tentang pemanfaatan sumberdaya alam untuk pembangunan kawasan industri, DPD RI berpandangan, pengembangan kawasan industri kini hanya terpusat di pulau Jawa, sementara daerah potensial yang kaya sumberdaya alam di luar pulau jawa masih banyak yang belum tereksploitasi dengan baik. Dalam hal pengembangan kawasan industri, DPD RI berpendapat bahwa, RUU ini perlu mengatur secara khusus agar sektor swasta, Pemerintah dan Pemerintah Daerah bersedia dan menjamin pengembangan kawasan industri di luar pulau jawa. Hal ini dapat dijalankan dengan terlebih dahulu membangun infrastruktur industri sebagai syarat utamanya, antara lain pembangunan infrastruktur jalan dan infrastruktur dasar lainnya seperti listrik dan sumber energi primer lainnya sebagai input dari industri. Selain pengembangan kawasan industri berbasis sumberdaya alam, DPD RI berpendapat, dalam Bab ini diperlukan harmonisasi penggunanan lahan untuk kawasan industri terkait dengan peta dasar dan tematik di Badan Informasi Geospasial dan pedoman perubahan tataguna fungsi lahan oleh Kementerian Kehutanan RI untuk menghindari penyalahgunaan dan tumpangtindih tataguna lahan di daerah dengan memperhatikan rencana tataruang dan wilayah. Sumber Pembiayaan Industri Untuk mengakomodasi berbagai aspirasi masyarakat di daerah, yang diperoleh dari temuan pada kunjungan kerja di daerah, yaitu terkait dengan terbatasnya aksesibilitas pembiayaan industri kecil menengah di daerah, DPD RI berpandangan bahwa kemudahan pembiayaan sangat diperlukan untuk memenuhi permodalan industri kecil menengah di daerah. Namun pada kenyataannya, pembentukan lembaga pembiayaan yang diamanatkan oleh suatu UU, seringkali tidak optimal seperti lembaga pembiayaan ekspor yang bekerja mirip dan sebangun dengan lembaga keuangan konvensional. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat sebagaimana disebutkan dalam pasal 21 “Dalam rangka pembiayaan kegiatan industri, dapat dibentuk lembaga pembiayaan pembangunan industri”, haruslah memberikan perlakuan khusus kepada industri kecil menengah di daerah dengan memberikan sukubunga yang juga relatif lebih kecil dari suku bunga perbankan konvensional. Faktanya seluruh lembaga pembiayaan, baik dalam yurisdiksi
965
UU Bank Indonesia maupun yurisdiksi UU Lembaga Pembiayaan Ekspor, menerapkan suku bunga dan peraturan yang sama dengan lembaga pembiayaan konvensional. Dengan demikian, DPD RI berpendapat bahwa lembaga pembiayaan industri harus dikelola secara berbeda dengan prinsip-prinsip pembiayaan perbankan pada umumnya. Perbedaan itu terletak pada perlakuan, sistem dan suku bunganya, yang harus secara tegas diatur dalam suatu perundang-undangan tersendiri. D. B ab iii P embangunan S arana & P rasarana I ndustri Pada bab ini, yang mendapat perhatian dari DPD RI adalah mengenai standardisasi industri yang diatur dalam bagian ketiga BAB III. Dalam pandangan DPD RI yang diperoleh dari kunjungan kerja di daerah, ditemukan benturan antara Standar Nasional Indonesia (SNI) dan kebijakan mutu internasional yang diatur dalam International Organization for Standardization (ISO). Beberapa industri kecil telah mendapatkan standar ISO namun belum memiliki SNI atau sebaliknya. Selain benturan sertifikasi mutu mengenai standardisasi industri, sertifikasi dan standardisasi juga berbiaya tinggi yang dapat menekan nilai tambah produksi terutama industri kecil menengah. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat RUU ini harus memperjelas kedudukan ISO dan menempatkan pengakuan SNI sebagai satu-satunya standardisasi mutu yang diakui di Indonesia dan memberi gambaran yang jelas mengenai sertifikasi dan standardisasi ISO. Persyaratan dan pedoman teknis SNI tidak boleh menghambat industri terutama industri kecil dan menengah yang merupakan industri unggulan di daerah. Di segi lainnya dalam bab III ini, yang menjadi perhatian DPD RI adalah teknologi industri untuk mengembangkan nilai tambah industri terutama industri di daerah. DPD RI berpandangan, teknologi tidak cukup untuk dikembangkan, namun harus lebih fokus pada penguasaan dan keahlian dalam mengembangkan dan menggunakan teknologi. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat, dalam pasal 24, Pemerintah tidak hanya bertanggungjawab meningkatkan kemampuan pengembangan teknologi industri, sehingga pasalnya harus dirubah menjadi “peningkatan kemampuan pengembangan teknologi industri” menjadi “mengembangkan teknologi industri dan melakukan peningkatan kemampuan penguasaan dan penggunaan teknologi industri”. Selain penambahan frasa penguasaan atas penggunaan teknologi pada pasal 24, DPD RI berpendapat pula, perlunya mempertimbangkan aspek kemampuan dan penguasaan, tidak hanya menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat namun juga harus menjadi tanggungjawab Pemerintah Daerah. E. B ab I v P emberdayaan I ndustri Terkait pemberdayaan industri, DPD RI berpandangan bahwa penguasaan kapasitas kelembagaan melalui penelitian dan riset industri sebagaimana disebutkan pada pasal 50, perlu memperhatikan industri unggulan, industri kecil dan menengah di daerah yang berfokus pada pengembangan inovasi dan produk unggulan daerah, berorientasi ekspor dan bernilai tambah. Dalam pada itu, DPD RI berpendapat, penelitian hendaknya dikembangkan sesuai dengan potensi daerah (klaster industri) dan keunggulan industri di daerah dan mengarahkan prioritas pada pemberdayaan industri kecil menengah di daerah yang memiliki nilai tambah industri. Selain inovasi dan pengembangan industri unggulan di daerah, DPD RI berpendapat pula, bahwa pentingnya diatur dalam bab ini, mengenai pencegahan penguasaan dalam usaha industri, sebagaimana tampak dalam perkembangan industri nasional yang seringkali mempraktekkan monopoli dan kartel dalam berbagai macam bentuk penguasaan pasar. Hal ini dapat berakibat pada tertekannya industri kecil menengah di daerah. Pada bagian lain yang juga menjadi perhatian DPD RI, yaitu tentang industri hijau (Pasal 51). DPD RI berpandangan bahwa industri hijau tidak dapat ditempatkan sebagai sektor dan subsektor industri. Industri hijau lebih merupakan gagasan dan paradigma “lingkungan hidup” atau paradigma pembangunan yang menempatkan sisisisi keseimbangan dan keberlanjutan. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat bahwa tidak tepat menempatkan suatu paradigma keberlanjutan industri yang dalam RUU ini, yang kemudian diatur dalam satu subsektor dan satu pasal saja, yang selanjutnya disebut sebagai industri hijau. Industri hijau merupakan paradigma pembangunan berkelanjutan yang memuat segi-segi sosial, ekonomi dan lingkungan sekaligus, baik di dalam pertumbuhan industri yang bersifat kuantitatif maupun yang bersifat kualitatif. F. B ab V P erizinan Dalam konteks perizinan yang lebih umum, DPD RI berpandangan bahwa, perlu mencermati permasalahan mendasar terkait izin setelah berlakunya otonomi daerah. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat menjadi penting memberi batas tegas kewenangan
966
perizinan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dalam RUU ini. Konsep perizinan harus diarahkan dalam rangka menciptakan kemudahan perizinan, sederhana (satu pintu), jangka waktu penyelesaiannya tidak lama serta berbiaya murah, terutama izin bagi industri unggulan daerah. Tampak dalam temuan kunjungan kerja, industri CPO di sebagian wilayah Kalimantan, yaitu perizinan melalui rantai birokrasi yang panjang meliputi kewenangan dinas perkebunan dan dinas perindustrian dan perdagangan. Dalam kasus perizinan lain, terdapat pula kewenangan dinas kehutanan untuk industri berbahan baku hasil hutan. Masalah perizinan adalah bagian dan tahapan institusionaliasi dan pelembagaan yang tidak sempurna. G. B ab V i R encana I nduk P embangunan I ndustri N asional Dalam hal rencana induk pembangunan industri nasional (RIPIN) yang dijabarkan dalam pasal 78, DPD RI berpandangan, terdapat berbagai rencana induk yang telah digariskan dan ditetapkan oleh Pemerintah RI antara lain dokumen rencana induk percepatan pembangunan Indonesia (MP3EI). Oleh karena itu, DPD RI berpendapat bahwa RIPIN harus bersesuaian dan sejalan dalam alur MP3EI karena merupakan bagian yang tak terpisahkan dari MP3EI. Selain MP3EI, terdapat pula peraturan presiden RI Nomor 28 Tahun 2008 mengenai Kebijakan Industri Nasional. Semua dokumen induk tersebut hendaknya bersesuaian dan tidak tumpangtindih satu dengan yang lainnya dalam suatu visi industri Indonesia yang tangguh. H. B ab V ii U rusan P emerintahan D i B idang I ndustri & P eran M asyarakat Urusan Pemerintahan Di Bidang Industri Terkait urusan Pemerintahan, DPD RI berpandangan bahwa terdapat struktur-struktur Pemerintahan baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama sama memiliki hak dan kewajiban dalam urusan Pemerintahan sektor industri seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UKM dan Pemerintah Daerah. Dalam hal urusan Pemerintahan di bidang industri, DPD RI berpendapat, agar dihindari kebijakan yang saling bertentangan, sebagaimana diketahui bahwa, seringkali koordinasi dan konektivitis kelembagaan tidak terlihat, karena ego sektoral departemen. Selain pentingnya koordinasi, RUU ini harus pula mengatur porsi BUMN dan BUMD dalam pengembangan industri. Di banyak Negara industri maju seperti Korea Selatan, pengembangan industri nasionalnya dilakukan secara terpadu dengan menempatkan BUMN dan BUMD sebagai jangkar industri. Jangkar industri diperlukan untuk menekan biaya dan menciptakan pasar yang potensial baik dalam maupun luarnegeri. Di segi lainnya, perlu pula mencermati pasal 81 dalam RUU ini, hal mana sepanjang frasa disebutkan Menteri terkait. DPD RI berpendapat, perlu penegasan apakah yang dimaksud dalam pasal 81 tersebut adalah Kementerian Perindustrian atau Kementerian lain, yang, baik langsung maupun tidak langsung berkelindan dengan bidang industri seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Pertanian atau Badan Koordinasi Penanaman Modal. Peran Masyarakat Pada bagian lain dalam bab ini disebutkan mengenai peran masyarakat. Terkait peran masyarakat seperti dijabarkan dalam pasal 83, DPD RI berpandangan bahwa yang merupakan bagian terpenting dari peran masyarakat adalah feedback atau umpan balik yang memberi dampak positif kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat, perlu menambahkan pasal tentang pemberdayaan masyarakat terutama di sekitar kawasan industri, sehingga dampak industri secara positif memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat sekitar kawasan industri. I. B ab V iii K omite K etahanan D aya S aing I ndustri Terkait dengan pembentukan Komite Ketahanan Daya Saing Industri, DPD RI berpandangan bahwa, tampak dalam deretan pembentukan UU baik yang diinisiasi oleh DPR RI maupun yang diinisiasi oleh Pemerintah RI selalu diikuti oleh klausul pembentukan sejenis dewan dan komite. Pada prakteknya, kebiasaan membentuk dewan-dewan atau komite-komite baru tersebut, tidak secara efektif bekerja dan mengakibatkan ekstraksi kelembagaan yang berujung pada inefisiensi birokrasi, tumpang tindih kelembagaan dan kewenangan serta berbiaya tinggi dan menekan anggaran Negara. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat, pembentukam komite ketahanan daya saing industri harus mempertimbangkan sisi anggaran Negara dan efektifitas kelembagaannya. Selain membebani anggaran Negara dan diragukan efektfitasnya, daya saing industri juga tidak terletak pada ekstraksi kelembagaan seperti pembentukan komite daya saing industri, tetapi daya saing industri lebih banyak bertumpu pada sejumlah faktor (endowment factor) seperti sumberdaya manusia yang berpengetahuan, teknologi dan modal yang mendorong inovasi, riset dan produktivitas untuk mewujudkan nilai tambah industri sebagai faktor total produksi yang mempengaruhi daya saing industri.
967
J. B ab X ii K etentuan P idana DPD RI berpandangan, terkait ketentuan pidana telah banyak diatur dalam ketentuan UU lain terutama KUHAP. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat ketentuan pidana sebaiknya disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku misalnya sanksi dan ketentuan dalam UU Perdagangan dan ketentuan lain yang telah mengatur dan telah ada sebelumnya. K. B ab X iv K etentuan P enutup DPD RI berpandangan, bab ketentuan penutup yang umumnya mendalilkan bahwa: “semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan undangundang ini harus sudah dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak UndangUndang ini diundangkan”, belum sepenuhnya dapat memberikan kepastian hukum dalam pemberlakuan suatu undang-undang. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat, lembaga legislasi DPD RI dan DPR RI, baik secara bersama sama maupun secara sendiri sendiri, harus mengawasi dan memantau kinerja Pemerintahan dalam penetapan suatu Peraturan Pemerintah. Selain pengawasan, perlu dipertimbangkan sanksi kepada Pemerintah RI di bidang industri, jika amanat pasal 94 dalam RUU ini tidak dijalankan sesuai dengan tenggat waktu yang ditetapkan yaitu paling lama dua tahun. III. Kesimpulan A. Bahwa setelah melakukan kajian dan analisis terhadap substansi RUU tentang Perindustrian, maka, DPD RI dengan ini menyatakan, bahwa RUU Perindustrian yang merupakan RUU usul inisiatif Pemerintah RI, untuk dapat diteruskan ke tahapan pembahasan selanjutnya baik secara mutatis mutandis maupun dengan mentaati peraturan tentang pembentukan perundang-undangan dengan mempertimbangkan secara seksama atas Pandangan dan Pendapat yang telah disampaikan oleh DPD RI. Hal-hal lain yang belum termuat dalam struktur RUU ini, menjadi catatan penting untuk diperhatikan baik oleh Pemerintah, DPD RI maupun DPD RI untuk proses penyempurnaan pada tahapan pembahasan selanjutnya. B. Demikian Pandangan dan Pendapat DPD RI tentang RUU Perindustrian, semoga Tuhan YME senantiasa memberikan petunjuk dalam setiap upaya untuk memajukan bangsa dan Negara tercinta ini. Jakarta, 25 Oktober 2013 DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA Ketua,
H. IRMAN GUSMAN, SE.,MBA
968
Wakil Ketua,
Wakil Ketua,
GKR. HEMAS
DR. LAODE IDA