DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45/DPD RI/III/2012-2013 TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KEINSINYURAN
JAKARTA 2013
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45/DPD RI/III/2012-2013 TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KEINSINYURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
: a. bahwa profesi keinsinyuran merupakan salah satu profesi yang dibutuhkan dalam rangka mendukung pembangunan secara terencana dan berkelanjutan; b. bahwapenyelenggaraan pengaturan profesi keinsinyuran diarahkan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat akan adanya dasar hukum yang mengatur praktek keinsinyuran secara lebih sistemik dan profesional; c. bahwaberdasarkan perkembangan kemajuan pembangunan teknologi, maka profesi keinsinyuran dinilai penting dalam memberikan perlindungan dan jaminan bagi insinyur yang akan mengimplementasi ilmunya dalam pembangunan nasional; d. bahwa salah satu kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan; pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; e. bahwa berdasarkan ketentuan pada huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d diatas, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia melalui Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sesuai dengan lingkup tugasnya telah menyusun Pandangan dan Pendapat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Keinsinyuran; f. bahwa pandangan dan pendapat sebagaimana dimaksud pada huruf e telah disampaikan dan diputuskan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sebagai Pandangan dan Pendapat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan UndangUndang tentang Keinsiyuranuntuk disampaikan dalam pembicaraan Tingkat I bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah; g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f, perlu menetapkan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Pandangan dan Pendapat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Keinsinyuran;
33
Mengingat
: 1. 2.
3.
4. 5.
Menetapkan
:
PERTAMA
:
KEDUA
:
KETIGA
:
Pasal 22D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043); Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043); Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia; Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/ DPD/2007tentang Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke-10 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Masa Sidang III Tahun Sidang 2012-2013 Tanggal 26 Februari 2013
MEMUTUSKAN: KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANGUNDANG TENTANG KEINSIYURAN. Pandangan dan Pendapat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Keinsinyuransebagai bahan pembahasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Pemerintah. Isi dan rincian pandangan dan pendapat sebagaimana dimaksud dalam diktum PERTAMA, merupakan lampiran yang tidak terpisahkan dari keputusan ini. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal26Februari 2013 DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA Ketua,
H. IRMAN GUSMAN, SE.,MBA
34
Wakil Ketua,
Wakil Ketua,
GKR. HEMAS
DR. LAODE IDA
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
LAMPIRAN KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45/DPD RI/III/2012-2013 PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG RUU TENTANG KEINSINYURAN I.
PENDAHULUAN Sesuai dengan ketentuan Pasal 22D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta memperhatikan Peraturan Tata Tertib DPD RI, maka pada hari ini, DPD RI menyampaikan Pandangan dan Pendapat,mengenai RUU tentang Keinsinyuran kepada DPR RI, sebagaimana surat undangan DPR RI, Nomor : ________________ tentang Rapat Kerja dalam rangka Pembahasan Tingkat I RUU tentang Keinsinyuran. Dalam hal penyampaian pandangan dan pendapat, DPD RI, telah membentuk tim kerja untuk mendalami substansi dan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam RUU tentang Keinsinyuran. RUU Keinsinyuran harus menjadi landasan hukum (ius contituendum) profesi insinyur, dengan tujuan memberikan kepastian hukum (legally binding) dan kerangka aturan (regulatory framework). Negara memiliki kepentingan untuk mengatur praktek profesi keinsinyuran sehingga pengguna jasa dan produk keinsinyuran, baik publik maupun swasta mendapatkan kepastian layanan. Bahwa RUU tentang Keinsinyuran harus menempatkan kepentingan nasional dan daerah di atas segala-segalanya. RUU tentang Keinsinyuran, tidak dirancang untuk kepentingan liberalisasi dan atas tekanan berbagai pihak, termasuk dan tidak terbatas pada kekuatan regionalisme dan traktat-traktat internasional. Kepentingan utama RUU ini harus dapat memberikan kontribusi, baik langsung maupun tidak langsung terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi, menjaga keberlanjutan pembangunan dan memperkuat ketahanan nasional yang bertumpu pada kemampuan para insinyur Indonesia. Dalam hal perlindungan atau proteksi, DPD RI menyadari bahwa proteksi tidak dapat begitu saja di terapkan, selain karena bertentangan dengan organisasi perdagangan dunia, proteksi juga dapat menyebabkan welfare loss atau hilangnya suatu nilai ekonomi dalam jangka panjang. Meskipun daya saing (persaingan sehat) adalah pilihan terbaik, namun, dalam prakteknya, semua Negara di dunia masih menerapkan proteksi. Oleh karena itu, kedua pilihan kebijakan (proteksi dan daya saing), harus ditempatkan sebagai kombinasi kebijakan yang bersifat komplemeter (saling melengkapi). Atas dasar berbagai kepentingan dan pertimbangan yang disebutkan pada bagian pendahuluan ini, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dengan ini menyatakan dukungannya dan menyambut baik RUU tentang Keinsinyuran yang merupakan RUU Usul Inisiatif DPR RI.
II.
PANDANGAN DAN PENDAPAT UMUM A. Pandangan dan Pendapat Umum DPD RI terhadap RUU tentang Keinsinyuran Setelah melakukan kajian dan pembahasan secara komprehensif terhadap RUU tentang Keinsinyuran, yang merupakan RUU inisiatif DPR RI, maka DPD RI menyampaikan Pandangan dan Pendapat, sebagai berikut:
35
1. Konsideran DPD RI berpandangan, dalam rangka memberikan penekanan terhadap tugas, fungsi dan kewenangan DPD RI dalam pembahasan rancangan undangundang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam; dan sumber daya ekonomi lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, sebagaimana diamanatkan undang-undang, maka DPD RI berpendapat, dalam RUU tentang Keinsinyuran, perlu mencantumkan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 dan DPD RI dalam Dasar Hukum atau dalam konsideran ‘Mengingat’, karena secara tegas di nyatakan dalam UUD 1945. 2. Judul Terkait dengan judul RUU, yaitu ”keinsinyuran” , DPD RI berpandangan bahwa makna ”keinsinyuran”, telah merefleksikan secara keseluruhan terhadap berbagai hal yang diatur dalam setiap pasal RUU ini. Dalam hal pemberian judul RUU, DPD RI berpendapat, penamaan judul ”RUU tentang keinsinyuran” adalah tepat. Dengan pemberian judul RUU tentang Keinsinyuran, maka hal-hal yang diatur dalam RUU ini dapat diperluas cakupannya. Seperti diketahui, hal-hal yang terkait dengan prasarana, sarana dan objek pekerjaan terkait struktur dan rekayasa sistem lainnya, yangtelah diatur secara jelas dalam UU, seperti UU tentang jasa konstruksi dan UU tentang bangunan gedung dianggap tidak cukup mendefinisikan segala kompleksitasnya dan pengembangan keinsinyuran. B. Pandangan dan Pendapat DPD terhadap Bab/Pasal dan Muatan Materi Rancangan Undang-Undang
1. BAB I TENTANG KETENTUAN UMUM
Dalam pasal (2) disebutkan definisi insinyur, yaitu orang yang berporfesi di bidang keinsiyuran. DPD RI berpandangan bahwa, definisi insinyur sebagaimana disebutkan dalam pasal (2), bersifat umum dan tidak menjelaskan secara spesifik profesi insinyur. Padahal, terdapat berbagai bidang profesi insinyur di Indonesia. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat, definisi insinyur harus diberi batasan, bersifat spesifik dan khusus.Selain itu, DPD RI berpendapat, terdapat banyak hal di dalam pasal-pasal RUU ini perlu didefinisikan dan dicantumkan dalam bab ketentuan umum meliputi antara lain definisi tentang pendidikan profesi, standar kompetensi, registrasi dan sertifikasi. 2. BAB II ASAS DAN TUJUAN DPD RI berpandangan, RUU tentang Keinsinyuran, selain tidak memberi batasan dan pengertian yang jelas dalam bab ketentuan umum, juga tidak memberikan ruang lingkup yang jelas di dalam bab tentang asas dan tujuan. Dalam hal ini, DPD RI berpendapat untuk menghindari pembentukan peraturan perundangan sejenis di kemudian hari dan untuk menerapkan asas efektifitas dan efisiensi dalam suatu pembentukan peraturan perundangan, maka perlu ditambahkan ruang lingkup pada bab II, sehingga dapat memberikan batasan yang jelas, subjek dan profesi keahlian yang dilingkupinya. Hal ini terkait erat Pemerintah sebagai pemangku kepentingan dengan berbagai kementerian teknis yang terkait dengan profesi insinyur. Di sisi lainnya, DPD RI berpendapat perlunya menambahkan asas ketahanan nasional, untuk merefleksikan pemihakan terhadap peningkatan SDM nasional dalam proses pembangunan nasional. 3. BAB III TENTANG SYARAT INSINYUR Pada pasal (4) tidak disebutkan syarat pemberian gelar profesi insinyur, DPD RI berpandangan bahwa, dalam RUU ini perlu ditambahkan klausul tentang program pendidikan profesi, sebagaiamana program pendidikan profesi lainnya, yang diatur dalam Undang-Undang Perguruan Tinggi, seperti, pendidikan profesi dokter, pendidikan profesi notaris, pendidikan profesi advokat dan pendidikan profesi akuntan. Dalam pada itu, DPD RI berpendapat untuk mencantumkan secara jelas, pasal terkait syarat memperoleh gelar insinyur dan program pendidikan profesi insinyur. Kewenangan penyelenggaran program pendidikan profesi didasarkan pada UU tentang Perguruan Tinggi atau kementerian teknis yang sesuai dengan spesifikasi keahlian dan berkoordinasi dengan organisai profesi. DPD RI berpendapat, pasal-pasal dalam RUU tentang Keinsinyuran perlu disinkronisasikan dengan UU tentang Pendidikan Tinggi, UU tentang Ketenagakerjaan dan UU sektor yang menjadi pengguna utama insinyur.
36
4. BAB IV SERTIFIKASI, REGISTRASI DAN IZIN KERJA
DPD RI berpandangan bahwa, RUU Keinsinyuran belum memuat klausul tentang standar layanan profesi. Bahwa, salah satu hal pokok yang perlu diatur secara lebih spesifik adalah standardisasi pelayanan karena terkait erat dengan daya saing dan kompetensi dari suatu jasa profesi insinyur. standardisasi layanan berimplikasi erat dengan mutu dan kualitas insinyur untuk dapat bersaing secara internasional. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat, untuk menambahkan bab tersendiri yang memuat tentang Standardisasi layanan. Pengaturan secara jelas mengenai standardisasi layanan dapat mencegah praktik keinsinyuran dari suatu malapraktik. Terkait lembaga sertifikasi profesi yang memberikan sertifikasi kompetensi kerja sebagai standar kompetensi insinyur, sebagaima dijelaskan dalam angka (2) pasal 5, bab III, juga tidak disebutkan kelembagaan secara spesifik. Apakah kelembagaan yang dimaksud adalah kelembagaan pendidikan tinggi, organisasi profesi atau kelembagaan yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengamatkan pembentukan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Dalam hal ini, DPD RI berpendapat untuk mencantumkan kelembagaan secara jelas. Kelembagaan profesi dapat diberikan kepada organisasi profesi, berkoordinasi dengan BNSP dan pemangku kepentingan lainnya. Pertimbangan pemberian kepada organisasi profesi didasarkan pada asas profesionalitas, asas keberlanjutan dan standar profesi yang telah lama dikembangkan dalam organisasi profesi insinyur Indonesia. Demikian pula dengan definisi kelembagaan profesi dapat diperjelas dalam bab tentang ketentuan umum. Dalam hal registrasi, sebagaimana disebutkan dalam pasal 6, perlu diberi penjelasan dan definisi. Selain itu, prinsip-prinsip registrasi harus memuat persyaratan, prosedur, masa berlaku, penggunaan dan penyalahgunaan dan lembaga yang menerima registrasi dalam rangka penyusunan basis data keinsinyuran. Terkait izin kerja, DPD RI berpandangan bahwa untuk memberi kepastian hukum dan menghindari resiko perselisihan di kemudian hari, izin kerja untuk setiap insinyur dikeluarkan oleh Pemerintah melalui kementerian, terkait profesi keahlian seorang insinyur. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat, lembaga pemberi izin kerja adalah Pemerintah dan Pemerintah Daerah. DPD RI berpandangan bahwa, pengaturan insinyur asing sebagaimana dijelaskan dalam bagian keempat – bab IV, harus memenuhi ketentuan ketenagakerjaan dan tidak menghilangkan kesempatan bagi insinyur Indonesia. Terkait insinyur asing, DPD RI berpendapat bahwa, perlu dirumuskan sanksi. Sanksi antara lain dapat diberikan, jika insinyur asing atau perusahaan yang mempekerjakan insinyur asing, tidak melakukan alih ilmu pengetahuan dan teknologi serta melanggar kode etik insinyur. Di segi lainnya, DPD RI berpendapat, perlunya klausul yang jelas mengenai proporsi penggunaan insinyur Indonesia, baik dari sisi kuatitas maupun remunerasi. Selain itu, DPD RI berpendapat kelembagaan pengelolaan sertifikasi, registrasi dan izin kerja harus lebih spesifik dan memiliki semangat de-birokratisasi (single window). Sistem pembiayaan sertifikasi harus terhindar dari conflict of interest untuk mencegah praktek “suap menyuap”, gratifikasi dan pemanfaatan peluang dan kesempatan untuk meraih keuntungan yang dikenal dengan istilah moral hazard. 5. BAB V PENGEMBANGAN PROFESI Terkait pengembangan profesi insinyur, yang mengamanahkan bahwa pengembangan profesi diselenggarakan berdasarkan suatu standar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (pasal 14 angka 4), dalam pandangan DPD RI, pasal ini dapat menimbulkan kerancuan, sebab tidak secara khusus merujuk ke suatu peraturan perundang-undangan atau badan penyelenggara standar profesi insinyur. Sebagaimana di ketahui, terdapat lebih dari satu badan pemerintah atau swasta yang dapat menyelenggarakan standardisasi yang masing-masing mempunyai kekuatan hukum berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan. Dalam kaitan pengembangan profesi insinyur, DPD RI berpendapat, Bab tentang pengembangan profesi sebaiknya mengatur mekanisme, tata cara, standar yang jelas dan badan/lembaga yang ditunjuk untuk itu. 6. BAB VI HAK DAN KEWAJIBAN Dalam bab tentang hak dan kewajiban, DPD RI berpandangan bahwa, hal penting yang belum dimuat dalam bab ini adalah hak untuk menyatakan pendapat. DPD RI berpendapat, sebagai insinyur, berhak membuat pernyataan
37
dan pendapat atas sebuah peristiwa keinsinyuran yang dilindungi oleh undang-undang dan tidak dapat dihukum karena pendapatnya sejauh tidak melanggar peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme tersendiri dalam hal menyatakan pendapat. 7. BAB VII ORGANISASI INSINYUR Dalam pandangan DPD RI, RUU tentang Keinsinyuran tidak memuat secara jelas tata kelola dan kelembagaan. Padahal, bab kelembagaan termasuk unsur penting dalam pembentukan suatu perundangan. Kelembagaan, baik yang terkait dengan organisasi profesi, maupun hubungannya dengan pemangku kepentingan lainnya, antara lain: Pemerintah dan Pemerintah Daerah perlu diatur secara lebih spesifik mengenai pembentukan dan mekanisme kerjanya agar tidak terjadi tumpangtindih kelembagaan di kemudian hari. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat bahwa, judul bab VII diganti dengan bab kelembagaan. Bab kelembagaan harus memuat secara jelas unsur-unsur yang terkait di dalamnya, antara lain, Pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya. DPD RI berpendapat Kelembagaan juga penting didefinsikan dalam bab ketentuan umum. Selain itu, mekanisme dan pembentukan kelembagaan perlu diatur dalam klausul tersendiri. Dalam bab kelembagaan, juga perlu di atur tentang lembaga yang melaksanakan pengawasan. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat pentingnya pengaturan tentang kode etik dan lembaga dewan kehormatan secara lebih luas. Mekanisme pengawasan kelembagaan dapat dilaksanakan oleh dewan kehormatan atau dewan etik, baik untuk memberikan sanksi kepada setiap malapraktek yang dilakukan oleh profesi insinyur yang merugikan kepentingan umum, maupun memberikan perlindungan kepada profesi insinyur. Sebagaimana diketahui, profesi insinyur terkait langsung dengan kepentingan publik. Selain itu, untuk menghindari tumpangtindih kelembagaan, perlu dipertimbangkan membetuk Dewan Insinyur Indonesia yang dibentuk oleh asosiasi profesi di bidang keinsinyuran dengan unsur kementerian teknis masing-masing. 8. BAB VIII PEMBINAAN JASA KEINSINYURAN DPD RI berpandangan bahwa, dalam bab pembinaan tidak dijelaskan bagaimana pembinaan di selenggarakan ,begitupula dengan penanggungjawabnya tidak disebutkan secara spesifik. DPD RI berpandangan bahwa pembinaan profesionalisme sangat dibutuhkan dengan pemberian sertifikasi secara berjenjang. Sertifikasi berjenjang dilakukan melalui evaluasi dan assessment yang ketat, dalam rangka menghasilkan insinyur yang kompoten dan berdaya saing tinggi. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat bahwa, dalam rangka pembinaan jasa keinsinyuran, perlu dibuat rumusan yang lebih jelas dengan menyebutkan tahapan, mekanisme, penjenjangan, dan penanggungjawab. Selain itu, DPD RI berpendapat, urgensi pembinaan diperlukan untuk meningkatkan daya saing insinyur, menjaga integritas, kredibilitas dan profesionalisme insinyur. 9. BAB IX KETENTUAN PIDANA Terkait sanksi seperti dijelaskan dalam pasal 13 secara berturut-turut, bahwa penentapan sanksi yang selanjutnya diatur dalam peraturan pemerintah (PP), dalam pandangan DPD RI, bahwa sanksi tidak dapat diatur dalam ketentuan perundangan setingkat PP. UU tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan mengamanahkan bahwa sanksi diatur dalam bab tersendiri dari suatu undang-undang. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat, sanksi diatur secara khusus dalam bab ketentuan pidana atau dalam klausul tersendiri dalam RUU ini. 10. BAB XI KETENTUAN PENUTUP DPD RI berpandangan, bab ketentuan penutup yang umumnya menyatakan bahwa: “semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan undang-undang ini harus sudah dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan”, belum sepenuhnya dapat memberikan kepastian hukum dalam pemberlakuan suatu undang-undang. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat, untuk menghindari pasal “kosong” dalam setiap penjelasan pasal-pasal yang mengamanatkan suatu Peraturan Pemerintah (PP) dan untuk efektifitas pemberlakuan suatu undang-undang,maka hal tersebut tidak cukup di atur dalam ketentuan penutup. DPD RI berpendapat, untuk memberikan suatu kepastian hukum, seharusnya pasal yang mengamanahkan PP dijelaskan pula dalam pasal berikutnya, yang menyatakan bahwa, peraturan pemerintah terkait pasal yang bersangkutan harus pula dimuat klausul jangka
38
waktu penyelesainnya, sehingga Pemerintah memiliki batas waktu untuk menyelesaikan suatu PP. Jika Pemerintah tidak memenuhi tenggat waktu yang dimaksud, Pemerintah dapat disebut melanggar Undang-Undang. III. KESIMPULAN 1. Bahwa setelah melakukan kajian dan analisis terhadap substansi RUU tentang Keinsinyuran, maka, DPD RI dengan ini menyatakan pendapat, bahwa RUU Keinsinyuran yang merupakan RUU usul inisiatif DPR RI, dapat diteruskan ke tahapan pembahasan selanjutnya dengan mempertimbangkan secara seksama atas Pandangan dan Pendapat DPD RI. Hal-hal lain yang belum termuat dalam struktur RUU ini ,menjadi catatan penting untuk diperhatikan baik oleh Pemerintah, DPD RI maupun DPD RI untuk proses penyempurnaan pada tahapan pembahasan selanjutnya. 2. Demikian Pandangan dan Pendapat DPD RI tentang RUU Keinsinyuran, semoga Tuhan YME senantiasa memberikan petunjuknya dalam setiap upaya untuk memajukan bangsa dan Negara. IV. PENUTUP Demikianlah Pandangan dan Pendapat DPD RI terhadap RUU tentang Keinsinyuran, semoga Tuhan YME senantiasa memberikan petunjuk-Nya bagi setiap upaya kita semua untuk kemajuan bangsa dan Negara. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal Februari 2013
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA Ketua,
H. IRMAN GUSMAN, SE.,MBA Wakil Ketua,
Wakil Ketua,
GKR. HEMAS
DR. LAODE IDA
39