Nomor :
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA -----------
RISALAH EXPERT MEETING KOMITE III DPD RI DENGAN NARASUMBER MASA SIDANG III TAHUN SIDANG 2015-2016
I.
KETERANGAN
1. 2. 3.
Hari Tanggal Waktu
: : :
Selasa 12 April 2016 09.48 WIB - Selesai
4. 5.
Tempat Pimpinan Rapat
: :
R.Sidang 2 C 1. Drs. Hardi Selamat Hood (Ketua Komite III) 2. Fahira Idris, SE (Wakil Ketua Komite III) 3. Ir. Abraham Liyanto (Wakil Ketua Komite III)
6.
Acara
:
Expert meeting dengan tema Permasalahan Sistem Pembukuan di Indonesia menghadirkan: 1. Priyo Utomo (CEO Group of Retail and Publishing Kompas Gramedia)
7.
Hadir
:
2. Helvy Tiana Rosa (Penulis) Orang
8.
Tidak hadir
:
Orang
II. JALANNYA RAPAT : RAPAT DIBUKA PUKUL 09.48 WIB
PEMBICARA : RADEN MUHAMMAD MIHRADI, S.H., M.H. (MODERATOR) Baik. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi. Salam sejahtera bagi kita semua. Alhamdulillah wa syukurilah wassholatu wassalamu 'ala sayyidina Muhammad. Marilah kita panjatkan puji syukur ke Ilahi Rabbi karena hari ini kita bisa hadir dalam kegiatan expert meeting yang sangat penting dan strategis membahas terkait dengan usulan DPR tentang RUU Perbukuan. Dan kita memahami bahwa isu perbukuan ini adalah isu yang sangat kompleks dan penting karena buku adalah jendela ilmu dan peradaban kita memang masih bersoal terkait dengan buku. Dan problem perbukuan itu banyak hal, dari mulai soal harga kertas, keberpihakan pemerintah, royalti, jaringan penerbitan dan sebagainya yang tentu saja nanti akan kita diskusikan. Telah hadir narasumber yang sangat kompeten, termasuk juga yang saya kagumi juga. Yang pertama adalah Mba Helvy Tiana Rosa, M.Hum., beliau adalah penulis, pendiri komunitas Forum Lingkar Pena, dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta, dan instansi Universitas Negeri Jakarta. Lahir di Medan, 2 April 1970. Alamat Jalan Rasamala nomor 169 RT.01 RW.08, Beji, Depok. Pendidikan terakhir S2 Fakultas Ilmu Budaya UI, ketua umum Forum Lingkar Pena, anggota komisi sasta Dewan Kesenian Jakarta dari 2003 – 2006, anggota komite seni budaya Majelis Ulama Indonesia sampai sekarang, anggota Majelis Sastra Asia Tenggara sampai dengan sekarang. Penulis lebih dari 50 buku, dosen fakultas bahasa dan seni Universitas Negeri Jakarta, produser film. Ini kelihatannya lengkap mewakili dari narasumber. Berikan applause kepada narasumber. Narasumber kedua adalah Pax Benendanto, general manager dari Gramedia. Sebuah penerbitan besar tentu saja Indonesia lahir Jakarta 4 Juni 1969 alamat Jl. Utan Kayu nomor 73 Jakarta Timur. Pendidikan S1 UI, riwayat organisasi sekarang adalah ketua Bidang Buku Umum dan Perguruan Tinggi dari Ikkapi. Berikan applause juga kepada narasumber kita yang kedua. Kepada para narasumber kami perkenalkan beberapa yang hadir mewakili Indonesia ini. Yang pertama adalah Ibu Fahira Idris, S.E., M.H. Beliau Senator dari provinsi DKI Jakarta, yang berikutnya Bapak Pendeta Charles Simaremare, S.Th., M.Si beliau Senator dari Provinsi Papua, kemudian Bapak Muhammad Rakhman, S.E., Senator dari provinsi Kalteng. Berikutnya adalah Bapak H. Habib Hamid Abdullah dari Kalsel, tadi ada ya, kemudian Bapak KH. Muhammad Syibli Sahabuddin S.Ag., M.Ag provinsi Sulbar, takut salah disebutkan. Berikutnya adalah Bapak H. Abdurrahman Abubakar Bahmid, LC, Senator dari Gorontalo.Kemudian dr. Delis Julkarson Hehi dari provinsi Sulteng dan Senator Novita Anakotta, S.H., M.H dari provinsi Maluku. Demikian mungkin yang hadir. Senator yang lain mungkin menyusul dan ada satu lagi yang lupa Bapak KH. Muslihuddin Abdurrasyid, LC., M.Pdi Senator provinsi Kalimantan Timur. Ini semata-mata karena moderatornya grogi Bu. Baik untuk kesempatan pertama silakan kepada Mba
EXPERT MEETING KOMITE III DPD RI MS III TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER SELASA, 12 APRIL 2016
1
PEMBICARA : HELVY TIANA ROSA (NARASUMBER) Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi Bapak-Ibu yang saya hormati. Terima kasih, saya senang sekali bisa didengar hari ini oleh Bapak-Ibu sekalian, ini merupakan satu kehormatan yang luar biasa bagi saya mewakili masyarakat Indonesia. Ada beberapa persoalan sistem perbukuan di Indonesia dan saya akan mencoba untuk menyorotinya dari mata penulis, terkait dengan tanggapan juga terhadap RUU Pembukuan. Ada banyak persoalan sistem perbukuan di Indonesia bagi penulis. Yang paling utama adalah tentu saja menyangkut honor atau royalti dari penciptaan karya. Setahu saya selama ini ada tiga cara selama ini, setahu saya, dari pengalaman saya menulis buku sejak tahun sejak tahun 1990-an sampai sekarang, itu ternyata royalti penulis yang saya tahu, dari banyak penerbit rata-rata ya, rata-rata, nanti kita punya narasumber dari penerbit yang mungkin bisa, bisa menyampaikan ini juga. Rata-rata saya tahu 7 - 12,5% tentu saja mungkin ada penulis tertentu yang sangat dihargai oleh penerbit mungkin ya mendapat lebih dari itu, ya tapi ratarata penulis bahkan ada penerbit yang sangat besar. Saya mengambil angka ini dari Mizan ya, itu masih memberlakukan 7% loh untuk penulis, 7 sampai 12,5% dari harga buku. Nah kedua dengan cara membeli putus sebuah karya. Jadi sebuah karya tulis ini dibeli oleh penerbit dengan cara putus, itu harganya itu bikin nangis karena hanya 1 juta sampai sekitar 25 juta rupiah untuk satu buku, tapi lagi-lagi tergantung penulisnya, mungkin kalau penulisnya Andrea Hirata barangkali atau Dewi Lestari barangkali pengecualian, saya kurang tahu, tapi rata-rata yang saya tahu dari para penulis karena saya membuat sebuah komunitas penulis Bapak-Ibu, yang Anggotanya sekitar 100.000 orang di seluruh Indonesia namanya Forum Lingkar Pena. Saya buat tahun 1997 dan hingga hari ini kami punya komitmen untuk melahirkan satu orang penulis setiap minggu, di seluruh Indonesia, dan dia menjadi penulis kalau dia pada saat itu sudah menembus penerbit nasional. Nah sekarang makin banyak penulis Indonesia termasuk yang lahir dari Forum Lingkar Pena dan ini adalah hasil tanya jawab saya dengan mereka. Jadi rata-rata seperti itu, ada sih beberapa penerbit baru yang berani memberikan 20% tapi jarang sekali dan sangat tergantung pada nama penulisnya, begitu ya. Jadi membeli putus. Nah yang paling tidak masuk akal menurut saya adalah cara ketiga, dimana penulis ingin menerbitkan karyanya dan penerbit meminta bayaran dari penulis. Itu terjadi. Itu saya enggak ngerti Pak, tapi itu terjadi Pak ya. Jadi dia ingin memberikan pemikirannya untuk masyarakat Indonesia, dia ingin menerbitkan karyanya, nah tapi dia harus bayar ke penerbitnya. Nah ini juga saya lihat dari teman-teman dosen yang ingin karyanya diterbitkan, mereka harus membayar, 10 juta, 20 juta untuk karyanya diterbitkan. Ini menurut saya sangat menggelikan, sangat menggelikan tapi itu terjadi. Nah jadi saran saya sebenarnya menyangkut rentang pembayaran ini, ini bisa dirumuskan dan diatur dalam Undang-Undang sehingga selain para penulis merasa dihargai, ini akan memacu semangat untuk terus menghasilkan karya-karya berkualitas. Bukan hanya bagi bangsa kita tapi bagi dunia. Kemudian persoalan berikutnya dari sisi penulis adalah menyangkut pajak buku hingga pajak penulis. Saya punya anak Bapak-Ibu yang menulis bukunya pada usia 8 tahun. Anak saya namanya Abdurrahman Faiz, dulu dia dikenal ketika dia menulis surat untuk Presiden Megawati pada tahun 2004. Nah Faiz ini adalah pelopor dari buku seri, kecil-kecil punya karyanya Mizan. Dia bukunya terbit ketika dia usia 8 tahun dan ketika bukunya terbit dia kaget ketika menerima royalti karena dipotong pajak 15% pada waktu itu, dipotong pajak, jadi kaget. Dia bilang begini “bunda aku kan anak kecil?” Anak kecil nulis buku, aku ingin berbagi kecerdasanku ingin berbagi kepada teman-teman kecilku aku sudah membagi dan menulis buku itu, menurut dia itu sampai botak sariawan. Artinya susah, mikir, tapi masa aku harus bayar pajak? Aku sudah memberi, aku harus bayar pajak? EXPERT MEETING KOMITE III DPD RI MS III TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER SELASA, 12 APRIL 2016
2
Jadi bayangkan, anak saya umur 8 tahun, jadi penulis dan dia harus bayar pajak? Ini menurut saya pajak terhadap penulis memang harusnya dihapus, tidak perlu ada gitu karena sudah ada pajak buku, ada pajak penulis pula. Jadi sudah memberi ilmu, masih dibebani pajak dan ini anak kecil yang seharusnya tidak punya beban untuk pajak ya, anak kecil umur 8 tahun masih harus dipotong. Waktu dipotong, “Bunda aku dipotong 850.000 untuk pajak.” Itu dia kaget. Ini bisa menjadi bahan renungan kita semua, di luar itu pajak buku juga relatif tinggi. Saya bicara sama teman-teman di IKAPI Pak, itu ada yang bilang dari mulai 2 jenis macam pajak Pak, sampai 8 jenis pajak. Artinya ada pajak tinta, ada pajak kertas, ada pajak macammacam dIbuku, nanti mungkin di penerbit, nanti dari penerbit akan lebih jelas itu sehingga harga buku menjadi lebih tinggi. Mungkin dalam hal ini kita bisa mencontoh India, dimana harga buku di India sangat murah, sangat murah, luar biasa gitu karena tidak dibebani pajak. Nah persoalan pajak di dunia penerbitan ini akhirnya mempengaruhi harga buku. Buku-buku yang bagus secara isi dan kemasan itu rata-rata mahal, bahkan tidak terbeli masyarakat luas. Nah persoalan keempat itu adalah menyangkut hak cipta. Jadi plagiasi, satu, persoalan plagiasi masih menjadi persoalan besar bangsa ini. Jadi banyak sekali buku yang beredar Bapak-Ibu yang merupakan hasil copy paste dari satu, dua buku atau tiga buku, kemudian menjadi buku baru ya. Nah ini bagaimana cara kita mengaturnya supaya bisa meminimalisir dan menindak para plagiator ini, sanksi tegas ya maksud saya, baik buku-buku umum maupun buku pendidikan. Nah kemudian yang berikutnya adalah bagaimana persoalan hak cipta nih Bapak-Ibu. Misalnya saya, saya bikin buku judulnya buku remaja ini, judulnya “Ketika Mas Gaga Pergi,” nah, untuk bisa mendapatkan hak cipta saya, saya harus mendaftarkan ke HAKI. Saya berpikir begini bagaimana caranya hanya dengan ISBN penulis, secara otomatis hak cipta sudah kembali, sudah ke penulis hanya dengan ISBN, ketika dicek ISBN nya sudah, sehingga tidak harus ke HAKI mengurus ini itu untuk hak ciptanya, ini akan sangat mempermudah dan menghargai penulis gitu. Jadi kita mudah saja untuk memperlihatkan secara ISBN, oke HAKI-nya sudah milik dia, ada ISBN-nya itu akan sangat mempermudah. Itu sih mimpi saya Bapak-Ibu untuk hak cipta karena saya belum mendaftarkan beberapa buku saya ke HAKI gitu dan memang agak rumit prosedurnya, tidak mudah juga untuk mendaftarkan ke HAKI. Yang kelima pembajakan buku Bapak-Ibu. Tadi ada plagiasi, kemudian ini pembajakan. Saya mengalami buku saya dibajak di Malaysia, sebelumnya karya Buya Hamka itu banyak sekali dibajak, kalau dibajak itu artinya pengarangnya tetap Buya Hamka tapi diterbitkan di Malaysia tanpa melalui prosedur yang legal begitu ya, dijual. Nah saya mengalami sendiri buku saya diterbitkan di Malaysia dengan nama nama orang lain. Ada seorang doktor dari universiti Malaya namanya Ahmad Faris Muda, dia memplagiat karya saya, plek gitu satu buku, kemudian dia katakan itu sebagai karya dia. Ketika ada pertemuan sastrawan Asia Tenggara, saya bertemu dengan sastrawan disana dan mereka bilang ada loh yang menulis seperti Helvy, begitu saya lihat, loh inikan naskah saya, nah saya mesti kemana ini? Ketika saya mau menempuh jalur hukum di sana, ternyata tidak mudah dan biayanya mahal sekali, padahal ini adalah hak intelektual saya. Saya waktu itu hanya penerbit itu untuk meminta maaf melalui lima media nasional di Malaysia dan lima media nasional di Indonesia tapi saya enggak punya semacam law enforcement atau saya enggak punya kekuatan untuk memaksa mereka seperti itu. Akhirnya ya sudah seperti itu saja, itu ada dua atau tiga buku saya, bukan dibajak, tapi diplagiat kemudian diterbitkan. Kemudian persoalan yang lain adalah bagaimana agar karya para penulis Indonesia berkualitas bisa dengan mudah diakses, bukan hanya di dalam negeri, juga di luar negeri, diterjemahkan minimal ke dalam bahasa Inggris. Misalnya begini, saya mengajar sastra di Fakultas Bahasa Dan Seni Universitas Negeri Jakarta, ketika saya membaca karya para pemenang nobel misalnya Bapak-Ibu ya, itu ternyata pengalaman membaca saya, karyaEXPERT MEETING KOMITE III DPD RI MS III TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER SELASA, 12 APRIL 2016
3
karya para pemenang Nobel tidak lebih baik daripada karya-karya Mukhtar Lubis, daripada karya-karya Pramoedya Ananta Toer, daripada karya-karya Danarto, Arifin Senor, Rendra, Budhidharma maupun Putu Jaya, karya-karya mereka tidak lebih bagus, tetapi karya-karya mereka yang mendapat penghargaan. Jadi, alangkah baiknya, menurut saya barangkali mungkin karya-karya para pengarang kita lebih unggul daripada karya para pemenang nobel, walaupun kita tahu pemenang nobel mungkin politis ya, kita tahu itu ada sisi politisnya tapi penerjemahan dan upaya mengglobalkan karya penulis Indonesia, atau karya sastrawan atau penulis kita sehingga bisa mewarnai dunia dan turut ambil bagian dalam berbagai spirit humanisme universal itu menjadi PR kita bersama. Jadi siapa yang berhak untuk mengglobalkan tulisannya, mengglobalkan karyanya, harusnya Indonesia bisa mengambil peranan itu juga sebagai bangsa yang besar. Nah, tapi sebaliknya juga kita bisa mencontoh Jepang. Bagaimana Jepang menerjemahkan buku-buku berkualitas, iptek, maupun sosbud dan kemudian digratiskan untuk kecerdasan bangsanya, jadi penerjemahan buku-buku berkualitas dari luar negeri itu dimudahkan dan kemudian digratiskan buku-buku itu atau diberi harga murah sehingga mudah diakses oleh masyarakat, itu yang saya lihat waktu saya ke Jepang seperti itu BapakIbu. Wah, buku yang baru terbit di Amerika begitu tahu-tahu sudah ada terjemahannya dalam bahasa Jepang dan buku itu tentang iptek yang mereka butuhkan langsung dan mudah diakses oleh para mahasiswa seperti itu. Nah kemudian catatan saya adalah sudah saatnya juga Indonesia sebagai bangsa yang besar berani memberikan award ditingkat internasional untuk buku-buku Indonesia terbaik dan buku-buku dari luar negeri yang terbaik. Selama ini kita hanya bangga kalau ada karya Indonesia yang mendunia, diterjemahkan atau kemudian bisa dapat penghargaan, tapi kenapa kita sebagai bangsa yang besar tidak bisa membuat satu award yang bergengsi di duni, yang diberikan oleh pemerintah Indonesia untuk penulis didalam negeri maupun penulis di luar negeri. Saya kira ini akan keren sekali. Thailand itu sudah lama memberikan hadiah sastra, kerajaan Thailand itu memberikan hadiah sastra untuk sastrawan-sastrawan di Asia Tenggara. Setiap dua tahun sekali mereka memilih, tingkatnya Asia Tenggara, tapi kita di tingkat Asia Tenggara pun belum ada. Jadi ini ini keren banget kalau kita punya ya. Yang terakhir ancaman dari era digital, bukan ancaman sih sebenarnya, peluang, tantangan juga dari era digital. Saya sedang bikin film Bapak-Ibu, ini film yang kedua yang saya mau buat, ketika kami ingin membuat cd musik, ternyata toko cd semua sekarang sudah tidak ada dan semua hanya semua lagu bisa di-download. Baik di iTunes maupun diluar itu bisa di download. Nah akhirnya apa, cd dijual di toko ayam, restoran ayam, CFC, KFC atau Kentucky, atau di Alfamidi seperti itu kira-kira ya. Nah itu terjadi juga sebentar lagi pada buku. Jadi kita harus lihat bahwa yang kita maksud buku memang, di Rancangan UndangUndang ini memang adalah buku, yang bukan hanya berwujud buku tapi juga elektronik tadi. Nah sekarang bagaimana caranya bisa mengatur itu semua dengan seksama, dengan baik begitu karena sekarang kalau buku memang banyak orang lebih nyaman membaca buku membaca buku daripada membaca di gadget atau di android, itu susah, sakit matanya kita. Tetapi untuk generasi kedepan, mungkin mereka lebih nyaman men-download saja bukunya. Nah apakah harga bukunya harus sama nih? Harga buku yang dibeli atau di download seperti itu, itu juga mesti ada regulasinya yang jelas begitu, tapi yang jelas ke depan, saya kira akan menurun percetakan buku ini, penerbitan buku dalam bentuk cetak. Saya kira akan sangat menurun nantinya, walaupun tidak bisa hilang Insya Allah tidak akan hilang ya Pak ya, ada orang-orang tertentu yang akan terus menulis buku. Apalagi dari sisi nostalgia ya Pak ya, begitu tapi ini memang, memang dahsyat bahwa ke depan, generasi kita membuat bukubuku tidak lagi banyak dicetak. Nah kita harus siap-siap tuh, seperti musik tadi Pak mengalami hal-hal seperti itu. Saya kemarin ketemu sama dari Direktur Sony Music, Pak
EXPERT MEETING KOMITE III DPD RI MS III TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER SELASA, 12 APRIL 2016
4
Toto, dia bilang Mba Helvy, kita sekarang sudah jadi kayak managemen artis, sudah bukan cd lagi begitu, hati-hati Pak jangan sampai nanti penerbit jadi manajemen penulis. Oke singkat kata, ini terakhir dari saya. Ada dua kesimpulan, dua hal penting yang harus menjadi ruh dalam rancangan Undang-Undang Sisbud ini. Satu melindungi dan menguntungkan para pembuat karya, bukan hanya penulis di sini, termasuk ilustrator layouter dan sebagainya, penerjemah dan sebagainya, ya Pak ya, jadi melindungi dan menguntungkan para pembuat karya. Wujudnya bisa dengan mengurangi pajak memberikan insentif dan apresiasi material maupun nonmaterial terhadap penciptaan karya dan melindungai terhadap pembajakan. Dua menyehatkan dan mengembangkan ekosistem perbukuan. Dimana di alamnya ada pencipta karya ada penerbit intermediares atau distributor, importir dan elemen terkait kemudian regulator atau pembuat, termasuk penegak peraturannya Pak. Penegak peraturannya ini siapa nanti terhadap pembajakan dan sebagainya? Kemudian juga terhadap penikmat karya. Mungkin itu masukan-masukan, yang, ada catatan-catatan kecil dari saya nanti kita bisa diskusi lebih lanjut. Terima kasih Bapak-Ibu atas kesempatannya. Wabillahitaufik walhidayah Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. PEMBICARA : RADEN MUHAMMAD MIHRADI, S.H., M.H. (MODERATOR) Terima kasih kepada Mba Helvy yang sudah dengan jernih dan bernas memaparkan poin-poin yang sangat strategis persoalan tentang sistem perbukuan. Sebelum dilanjutkan ke narasumber berikutnya, ada Anggota yang hadir juga yaitu Ibu Hj. Daryati Uteng S.E., M.M dari provinsi Jambi Senator. Yang berikutnya Senator KH. Ahmad Sadeli Karim LC dari provinsi Banten. Baik selanjutnya kepada Pak Pax dipersilakan. PEMBICARA : PAX BENEDANTO (NARASUMBER) Selamat siang. Bapak-Ibu yang terhormat, senang sekali bisa hadir di sini. Ini kesempatan yang langka, tapi sebelum saya memulai, saya minta maaf dulu Bapak, ini Pak Priyo yang diundang, CEO kami tidak bisa hadir, jadi saya yang mewakili, kebetulan juga ada jajaran direksi juga sedang ada acara lain, sebagian juga ada acara di “London Book Fair”. Saya akan coba menjelaskan dalam kapasitas tentu, terutama sebagai penerbit walaupun saya mewakili Gramedia di sini, terutama sebagai penerbit karena saya lihat dari daftar pertanyaannya, TOR-nya itu juga termasuk distributor. Sejauh yang akan saya tahu, saya akan coba jelaskan, itu hal yang pertama. Hal yang kedua, kebetulan saya juga di Ikapi jadi baru empat bulan ini, termasuk pengurus pusat di Ikapi, jadi saya juga akan mencoba menjelaskan dari sisi organisasi penerbit Indonesia. Melanjutkan penjelasan Ibu Helvy, itu saya akan memperlihatkan satu dokumen di Ikapi yang disiapkan akhir tahun lalu. Ini kita sebutnya renstra penerbit Indonesia, Ikapi. Nah di dalam renstra ini sebetulnya secara bagus permasalahan-permasalahan apa yang lingkupi dunia penerbitan Indonesia. Saya coba bacakan karena saya tidak mencantumkan dalam dalam paper saya. Pertama adalah regulasi, seperti yang disampaikan tadi sebagian oleh Bu Helvy, hal yang kedua itu adalah bahan baku, hal yang ketiga adalah kualitas, kualitas disini menyangkut terutama penulis dan kemudian juga sampai lanjutan-lanjut. Hal yang keempat adalah kuantitas karena dari segi jumlah, jumlah buku dibandingkan dengan jumlah masyarakat Indonesia jelas adalah sangat minim. Hal yang kelima adalah tata niaga.
EXPERT MEETING KOMITE III DPD RI MS III TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER SELASA, 12 APRIL 2016
5
Soal tata niaga perbukuan, kalau hal ini bisa dibilang distribusi, kalau di toko buku retail, penerbit-penerbit buku umum itu dibandingkan dengan wilayah kita, itu sangat minim. Kami menghitung Gramedia sendiri hanya punya toko buku 104 toko dari Sabang sampai Merauke. Kalau di hitung toko buku besar lainnya itu termasuk Gunung Agung, Kharisma, dan segala macam tidak lebih dari 200 kami perkirakan, 200 sampai 250 yang termasuk change store. Kalau dijumlah total mungkin dengan agen-agen lebih dari 1.000, bayangkan itu ada di Sabang sampai Merauke itu hal yang terutama juga. Hal yang keenam adalah lembaga perbukuan, ini menyangkut selain Ikapi, Dewan Buku, Puskurbuk dan segala macam hal. Yang ketujuh ini pr lama sekali, kita itu budaya baca tulis, soal literasi dan literasi kita itu harus bicara litrasi dasar, carlistung, bukan, sementara kita menghadapi literasi digital, literasi informasi yang luar biasa. Jadi lompatanlompatan ini yang kita hadapi. Nomer delapan tekhnologi. Tekhnologi tentu kita sudah tahu, tekhnologi informasi nomer sembilan adalah efek dan akibat. Efek dan akibat ini kira-kira konten dari buku. Kemarin sempat ramai soal misalnya buku yang mengandung, entah itu sara, pornografi dan segala macam. Ini rumusan IKAPI, sembilan soal yang melingkupi industri buku. Nah kalau memang berkenan jadi bisa saya tinggal nanti untuk dipelajari oleh Pak Dewan karena mungkin tidak perlu kita nanti bahas satu-satu untuk, itu satu hal. Hal yang kedua, yang saya bawa juga bahan ini pelengkap, bahan referensi, mudah-mudahan juga Anggota juga, Dewan juga sudah tahu, ini kami sebagian, kebetulan saya waktu itu ikut dalam satu forum, waktu sebelum pembentukan badan ekonomi kreatif, jadi sebelum Pak Triawan itu dipilih dan terbentuk Bekraf, itu kami dari 16 sektor industri kreatif itu berkumpul dan mengidentifikasi masalah potensi dan rekomendasi bahkan. Yang tempo hari sudah disampaikan Pak Jokowi bahkan. Tentu teman-teman industri di Bekraf ini salah satu pegangannya adalah ini, karena ini masukan dari para pelaku. Di sini selain indentifikasi masalah, potensi juga termasuk rekomendasi. Jadi ada dua dokumen ini yang saya bawa, yang kemudian bisa dibahas lebih jauh untuk melengkapi diskusi kita. Secara umum saya coba akan sampaikan dalam presentasi saya, saya sudah bawa bahan, ini saya coba rangkum sedikit, inilah gambaran, gambaran indutri penerbit Indonesia dari sisi penerbit. Jadi kalau mau disimpulkan sebaran ini, ini data Ikapi, data Ikapi 2014 kalau tidak salah, kota besar, jadi industri buku itu adalah fenomena kota besar, dari sebarannya saja kalau boleh dibilang, tambah lagi, seperti industri lain fenomena di Jawa ya Bu. Di Jawa kalau boleh dibilang, ini kebetulan DPD di sini, di Jawa itulah industri buku seperti juga industri lain. Jadi intinya adalah ketimpangan yang luar biasa, kalau kita bicara tentang informasi dan segala macam harusnya ini menyebar, ini dari sisi penerbit. Hal yang sama kira-kira dari sisi outlet, dari sisi distribusi. Jadi distribusi terutama yang saya, saya sampaikan adalah buku-buku untuk buku-buku umum ya, kalau buku-buku sekolah ini ada jalur lain, nah mungkin memang kita harus, ini memang terdaftar, terdaftar di IKAPI ya, mungkin ada juga penerbit-penerbit yang tidak terdaftar, kami hanya mungkin yang terdaftar, tapi umumnya penerbit-penerbit yang sudah agak mapan itu dalam dalam Ikapi biasanya karena, karena disitu itu kita bisa sharing, bisa mendapat informasi yang cukup banyak. Inilah yang pertama. Hal yang kedua, ini gambaran umum persoalan-persoalan kita yang kita hadapi, yang sangat jelas adalah buku memang belum menjadi kebutuhan primer, kalah. Bahkan menurut saya tersier pun tidak, kalah dengan dengan pulsa. Dengan harga 50.000 orang akan sayang atau untuk membeli buku, timbang beli pulsa, padahal buku, oke itu belum jadi apresiasi dan disitu kalau kita lihat potensi jumlah penerbit dan jumlah penulis dan penerbit relatif cukup banyak, walaupun dia tersebar penyebarannya kurang, kurang memadai untuk itu Indonesia. Kemajuan teknologi mendorong pertumbuhan self publisher, nah ini satu lagi mungkin juga tidak akan muncul penerbit-penerbit kecil, justru yang mereka menerbitkan sendiri, ini EXPERT MEETING KOMITE III DPD RI MS III TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER SELASA, 12 APRIL 2016
6
fenomena-fenomena yang muncul hari ini. Penerbit kelas medium di Indonesia banyak, dari sisi pasar, 2007 sampai 2012 itu tumbuh, masih tumbuh tumbuh 6% tapi 3 tahun terakhir industri buku retail, kembali saya menyebut ini retail, retail di toko buku untuk buku-buku umum itu stagnan, bahkan cenderung turun. Problem terbesar hari ini penerbit yang dihadapi adalah inventori yang luar biasa. Ini adalah inventory yang luar biasa, jadi kira-kira kalau gambaran bottleneck yang luar biasa sehingga kemudian tidak hanya umur hidup, life cycle kira-kira sekarang, hari ini 3 sampai 6 bulan. Jadi cepat sekali dia diganti, kalau kecuali dia buku-buku hebat, buku-buku laku, dia akan terus dipajang. Ini bisa dimaklumi karena namanya pengusaha retail, tentu akan menghitung space. Ya seperti hukum ekonomi biasa, tapi itulah, itulah yang terjadi gambaran-gambarannya. Nah, hari ini bisnis pengembangan konten yang juga disampaikan Bu Helvy tadi, masuk ke film, ke digital bahkan apps, games dan segala macam itu juga sudah mulai terbuka. Belum menjadi suatu industri yang mapan, tapi sudah mulai masuk kesana ini gambaran-gambaran umum. Kembali lagi, ini kira-kira gambaran juga, sebarannya, memang medium yang, yang terbanyak. Nah dari profesi yang terlibat kira-kira ini. Jadi penulis itu boleh dibilang satu bagian, tentu bagian yang terpenting dari industri ini, tapi ada bagianbagian yang lain. Nah memang secara tidak langsung, nanti juga selain itu juga nanti ada distribusi dan segala macam ini yang juga kita selalu perhitungkan secara biaya-biaya karena, karena kami menerima, penerbit nerima naskah dan kemudian diolah, itu penggambarannya. Nah saya akan masuk langsung kepermasalahan-permasalahan supaya ini langsung kita bisa ada tindakan lebih lanjut. Dilihat dari industrinya sendiri, kita akan dari sisi rantai produksinya, kalau dilihat penulis yang berkualitas itu masih sedikit. Jadi banyak, jumlah penulis luar biasa termasuk penulis muda tapi yang disebut berkualitas itu masih sedikit, berkualitas dari sisi naskah terutama kalau penerbit menilai pertama-tama, dan yang biasanya berkaitan dia dengan, walaupun tidak langsung, berkaitan dengan sales-nya, dengan penjualan di toko buku dan hal yang kedua itu adalah yang disebut agen naskah. Karena kami juga sudah mulai, penerbit-penerbit sudah mulai menjual rights ke luar negeri, tapi belum, belum menjadi bisnis yang luar biasa, masih kecil sekali, tapi sudah mulai dIbuka, terutama dengan tahun lalu kita menjadi guest of honor di Frankfrut Book Fair itu membuka peluang luar biasa dan dukungan pemerintah juga luar biasa sebetulnya di Frankfrut Book Fair kemarin dan hari ini Komite Buku Nasional juga masih terbentuk. Oke dan kemudian industri penerbitan sendiri memang melihat dari sisi kuantitas secara umum, dibanding kualitas konten. Ini penerbit sendiri memang hari ini, boleh dibilang ingin survive jadi memilih tentu buku-buku yang pertama-tama, dia terserap di pasar timbang sesuatu yang ilmu pengetahuan dan segala macam yang sangat kuat. Karena tadi saluransalurannya juga sangat terbatas, idealnya adalah ditengah-tengah ya, Bu, ya. Idealnya, ada disisi jadi dikonten itu bagus, dari sisi sales itu bagus, itu harapan semua penerbit, harapan semua penerbit. Kemudian dari sisi proses penyuntingan juga kami melihat, sdm-nya juga belum. Nah kembali lagi penulis, penerbit, soal HAKI, nah ini juga memang salah satu problem terbesar industri kreasi. Dari sisi produksi, sudah tadi disampaikan, harga bahan baku mentah, inflasi berkait dengan pajak, mesin juga terkait. Kalau kami tanya ke percetakan juga selalu juga karena mereka bahan baku, mesin, dan segala macam. Kaitannya jadi rantai, rantai nilai. Dari sisi distribusi, seperti yang saya sampaikan tadi, toko di kota besar dan pengangkutan. Jadi pengangkutannya sendiri, masih hari ini, masih buku fisik. Jadi pengangkutannya juga luar biasa. Saya pikir ini terjadi di semua sektor industri. Penjualan, penjualan, ruang promosi dan pameran masih sangat mahal, ini penerbit mengalami gitu. Dari sisi yang lain, walaupun sudah mulai ada, sudah mulai hubungan yang intens antara pemerintah terutama dalam hal ini yang berkait dengan perbukuan itu kemdikbud, terutama EXPERT MEETING KOMITE III DPD RI MS III TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER SELASA, 12 APRIL 2016
7
untuk promosi Bu. Untuk promosi, untuk tadi penerjemahan, rights dan segala macam dari luar negeri dan juga untuk kesempatan mengajak penulis untuk ke dunia internasional dan segala macam. Kalau ditanggungkan kepada penerbit, Bu Helvy bisa menghitung itu. Ini dari sisi pendukung yang lain, itu tadi dari sisi pendukung industri, tadi seperti yang disampaikan Ibu Helvy, penghargaan pemerintah terhadap karya penulis dan juga kinerja penerbit. Jadi dari sisi itu, itu juga belum, terutama penulis menurut saya, awardaward dan segala macam untuk buku terbaik karena itu yang juga, sebetulnya itu bakal menghidupkan industri ini. Yang penting lainnya adalah badan kritik yang standar. Standar kalau kita bilang buku berkualitas itu seperti apa? Itu hari ini memang standarnya sumir. Ini dia. Dari sisi yang lain pengarsipan, itu masih rendah, perpustakaan dan segala macam, jadi kait-mengait dengan yang lain, seperti sistem. Yang lain lagi pendidikan, formal maupun informal ini seperti disampaikan. Nah ini juga, jadi kira-kira ini masukannya, ini yang sudah mulai di Ikapi juga kami juga sudah mulai, apa yang akan menjadi sasaran-sasaran strategis. Bagaimana menghadapi persoalan itu? Kira-kira bersama karena saya pikir ini tidak mungkin hanya diserahkan begitu saja, tapi kita melihat bersama. Ini usul yang sudah mulai kelihatan begitu dan tampaknya juga sudah mulai ada komunikasi yang bagus Bapak-Ibu sekalian. Derivatifnya memang tantangan, tantangan berikutnya, hari ini kita memang sudah berhadapan dengan ini, bukan hanya buku cetak, tapi kita sebut juga konten dan begitu masuk konten, tentu sudah nyambung ya. Saya pikir, ya saya tak tau ya mungkin model yang lain, pengusaha Gojek dan ini, dengan gaya yang lain, teknologi informasi yang dahsyat yang mungkin kita sudah tidak tahu lagi, tapi ini yang kita siapkan betul. Tadi Bu Helvy bilang, walaupun kami melihat, mungkin agak panjang ketimbang negara-negara lain Eropa, Amerika terutama, untuk buku cetak, tapi kami sebagai penerbit sudah mulai mempersiapkan itu. Oke ini seperti apa monitisasinya industri ini, betul tadi, kira-kira royalti, kalau kami di Gramedia, itu selalu menyarankan untuk royalti. Karena royalti ini sebenarnya tidak ada cost sharing, dalam pengertian ditanggung sebelumnya tapi bila ada keuntungan dan dicetak terus dan terutama rights, terutama hak cipta, karena hak cipta dipegang oleh penulis dan berlaku seumur hidup. Seumur hidup tambah 50 tahun setelah meninggal seperti UndangUndang Rights. Ini memang soal angka royalti ini tentu dengan banyak perhitungan, dengan terutama tadi pracetak dan nanti sampai ke distribu, dan tentu ada risiko yang kita selalu hitung disini, tapi kita mengupayakan selalu bagaimana buku ini terus hidup jadi dia akan dicetak ulang. Dari sisi, kalau dia menjadi digital, ini kemungkinan-kemungkinan pemasukkannya, ini juga sudah digambarkan pengembangan, model pengembangannya pada waktu kita FGD untuk persiapan Bekraf. Saya pikir sebetulnya ini, kalau ini bisa jalan itu sebetulnya menarik, jadi model-model pengembangan ini jadi saya langsung saja, ini model pengembangan berikut, tapi kembali lagi, model pengembangan ini memang lebih mudah dIbuat dalam flowchart ketimbang dalam perjalanannya begitu kira-kira, pada waktu eksekusi karena disitu melibatkan begitu banyak pihak begitu. Begitu kira-kira pandangan singkat saya semoga bermanfaat, terima kasih. PEMBICARA : RADEN MUHAMMAD MIHRADI, S.H., M.H. (MODERATOR) Terima kasih pada narasumber. Berikan applause. Saya pernah bertemu salah seorang penerbit dan dia doanya begini, semoga kalau Bapak menerbitkan buku jangan best seller karena bisa dibajak katanya. Itu kaya kasus buku Miriam Budiardjo, Pengantar Ilmu Politik itu sudah tidak dicetak lagi oleh Gramedia tapi terus bajakannya ada, sampai dIbuat edisi revisi ya kalau tidak salah ya oleh para putraputranya Prof. Miriam. EXPERT MEETING KOMITE III DPD RI MS III TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER SELASA, 12 APRIL 2016
8
Baik silakan Bapak-Ibu sekalian, Bapak Senator ya, Pak Kyai untuk menyampaikan pemaparannya. PEMBICARA : KH. AHMAD SADELI KARIM, LC (BANTEN) Terima kasih Moderator. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Yang saya hormati rekan-rekan Senator, pembicara, Ibu yang banyak memberikannya pada seorang anak ini, keluarga juga dari produser. Sebenarnya membaca itu kan jendela dunia, jadi dengan membaca gitu dikatakan oleh Allah, saya sebagai muslim, pertama kali orang harus membaca dan saya rasa anak-anak juga sebenarnya sekarang sudah mulai banyak, timbul, ingin membaca. Karena begini, rutinitas pekerjaan gitu ya kaya kita, juga anak-anak juga rutinitas belajar, ya mungkin ada refreshing itu perlu gitu. Tergantung orangnya, mungkin dia ingin politik, ya mungkin dia pedagang dan mungkin hal-hal lain yang bersifat ekonomi gitu kan. Anak-anak kan apa yang bisa menjadi hobinya, memang macam-macam anak-anak, kalau anak saya misalnya kalau dibawa ke toko buku dia baca itu, nongkrong lama tapi yang dibacanyakan itu, memang ini, memang bukubuku Ibu ini banyak dibaca anak-anak gitu ya. Nah kalau bisa ini buku-buku seperti itu harus diperbanyak, terutama untuk mengisi kekosongan psikologis, ingin apa yang diinginkan. Walaupun juga banyak buku-buku yang komik-komik yang dari Jepang juga itukan, dia refreshing sifatnya, anak itu kan banyak, macam-macam, tapi yang penting bahwa saya lihat anak-anak itu, majalah-majalah sekarang itu senang ya. Banyak yang sudah, kalau dia sudah ke Gramedia atau ke toko buku, Pak tolong beli buku ini, buku ini, buku ini karena begini digital juga itu kan pertama capai kan, cepat capai karena diakan perlu sinar dan ke mata kita. Saya rasa juga enggak bagus kalau kita baca buku di gadget atau di hp, atau dimana, tidak bagus juga buat kesehatan mata dan tidak santai, lain kita ketika kita baca sambil duduk santai di pinggir kolam atau kita atau dimanapun ya diatas misalnya teras rumah sambil melihat ini, sambil ada hawa dingin kan enak bukunya dibaca, kan gitu. Sebenarnya buku itu masih diminati, masih bagus, persoalannya adalah, pertama adalah memang tadi itu, kekurangan penulis yang baik, yang kita inginkan gitu ya pertama. Ada banyak terjemahan, saya terus terang, buku saya selemari itu, tapi juga waktu yang tidak, ini kita milih buku yang mana kira-kira mau kita pilih karena waktu kita yang memang sulit kalau kita yang orang tua, kalau anak-anak kan mungkin bisa. Pertama memang penulis ini yang handal yang kira-kira bisa memberikan apa yang diinginkan oleh masyarakat. Seperti misalnya komik-komik. Kenapa komik-komik itukan? Sebenarnya kan komik-komit itu ada yang tidak jelas kemana arahnya kan tapi kalau misalnya ada penulis yang punya punya misi, punya visi yang baik, saya kira itu sebenarnya bisa gitu ini menjadikan anak-anak senang dengan buku. Misalnya seperti itu, ya apakah buku roman, apakah buku novel, bisa apa saja. Nah penerbit itu juga memang kadangkala saya lihat, misalnya di bandara ya. Itu buku-buku Inggris semua, apa ya Bu yang sering kita, itu enggak ada buku kita disitu, buku yang terus terang saja, bagaimana kita mau baca buku kita, kan kita kesal kan sejam nunggu, kan sejam sebelum penerbangan sejam harus sudah datang kan, kita baca hp itu kan capai, terus terang saja ya capai, kita baca karena dia harus sinar. Karena itu sebenarnya seperti Gramedia kenapa gak bisa masuk ke Garuda, ke bandara gitu, saya jadi ini betul, yang ada itu Inggris saya enggak hobi, cari bahasa Arab saya bisa, enggak ada yang bahasa Arab tapi Inggris terus terang saya kurang ya, saya terus terang saja ya, ya kan manusia lain-lain, itu sebenarnya. Pertama masalah adalah penuli, kedua adalah masalah penerbit. Kalau bisa, seperti Garuda, Soekarno Hatta, harus ada itu Gramedia, atau perusahaan lain ya, yang artinya bisa EXPERT MEETING KOMITE III DPD RI MS III TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER SELASA, 12 APRIL 2016
9
kita membaca ataupun kita membeli buku, cari Tempo saja sudah kadang-kadang bandara itu. Ini hal-hal yang memang kesulitan kita, karena gini, waktu kita kan sempit ya kaya apalagi kita ini orang sIbuk. Jadi ketika waktu ada senggang itu, kita mau baca membuka ini juga capai, perlu utamanya ditempat-tempat di bandara misalnya, juga ditempat lain apakah itu di mall atau dimana. Saya rasa itu penting ya dan saya sangat apresiasi dengan Ibu juga penerbit yang sudah membukakan, menyediakan ruang untuk kita bisa baca. Hanya itulah tadi. Mudah-mudahan dengan Undang-Undang yang kita akan buat itu, RUU ini akan bisa memberikan, pemerintah paling tidak, ikut serta gitu. Pemerintah itu harus peduli, karena inikan masalah kecerdasan bangsa, kan ini amanat UUD 1945, mencerdaskan bangsa, bukan hanya pendidikan formal, perlu juga masalah, karena pendidikan itu bukan masalah bahkan hanya lewat-lewat nulis tapi juga baca, nah itu buku penting saya rasa. Terima kasih. PEMBICARA : RADEN MUHAMMAD MIHRADI, S.H., M.H. (MODERATOR) Terima kasih Pak KH. Ahmad Sadeli, kemudian Ibu Novita, kemudian Ibu Daryati, atau Ibu Daryati dulu, jangan sampai sulit Bu, silakan Bu Daryati. PEMBICARA : Hj. DARYATI UTENG S, SE., MM (JAMBI) Karena sudah lebih sepuh ya. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi dan salam sejahtera buat kita semua. Yang saya hormati, Pimpinan dan seluruh Senator yang saya banggakan dan yang saya hormati, saya banggakan pula disini Bapak Benedanto ya? Dengan Ibu Helvy Tiana Rosa. Hadirin-hadirat yang dimuliakan oleh Allah. Ibu, mungkin ini dengan Bapak, kita memang lihat fenomena sekarang ini, buku-buku memang diharapkan, kita dengan membaca ya. Kita itu anak-anak, ataupun orang tua, kita membaca yang tadi disampaikan oleh Bapak Kyai bahwa dengan membaca itu adalah jendela dunia. Namun tentunya, kami ingin tanya ke, mungkin Bapak dari penerbit ya, mengenai buku-buku yang melanggar nilai-nilai budaya dan agama. Apakah tidak diseleksi ya? Kan ada buku yang melanggar budaya dan agama, contohnya ada buku-buku yang ada dengan cerita-cerita, contohnya ada gambar orang tua, ayah memukul Ibunya didepan anaknya, ada yang seperti itu bukunya itu Pak. Terus juga ada ini, apa gambar yang pemerkosaan ya yang seperti itu. Nah bagaimana dengan masalah-masalah tersebut kan, itu tentunya harus diseleksi, dan juga di sini adalah tentunya mungkin apakah saya harus tanya ke pemerintah atau kepada siapa di sini? Jadi bagaimana menindak tegas terhadap penulis atau penerbit dan sebagainya yang merusak nilai-nilai dan merusak moral masyarakat dan paham-paham sesat contohnya seperti pornografi, LGBT dan lain-lain. Itu yang saya tanyakan. Terima kasih. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. PEMBICARA : RADEN MUHAMMAD MIHRADI, S.H., M.H. (MODERATOR) Berikutnya Ibu Novita. PEMBICARA : NOVITA ANAKOTTA, S.H., M.H. (MALUKU) Baik. Yang saya hormati Ibu Helvy dan Bapak Benedanto. EXPERT MEETING KOMITE III DPD RI MS III TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER SELASA, 12 APRIL 2016
10
Yang pertama, yang saya minta masukan terkait dengan RUU Perbukuan, tadi Ibu mengeluh mengenai royalti yang Ibu terima, yang sebagian besar penulis terima. Oke, oh hebat Bu, dari kira-kira 7% sampai 12% ya. Menurut Ibu royalti yang layak untuk penulis itu sebaiknya berapa %? Pertama. Kemudian yang kedua, menurut Ibu, tadi ada tiga cara, cara yang kira-kira yang sesuai dengan kondisi penulis dan keadaan di Indonesia, khususnya kepada penulis itu baiknya cara yang mana? Kemudian yang ketiga, berhubungan dengan pajak, baik dari pajak penulis maupun pajak penerbit, kira-kira dari penerbit sendiri berapa %, begitupun dari penulis kira-kira berapa %? Kemudian yang terakhir kira-kira menurut penulis maupun penerbit apakah standar buku yang berkualitas menurut penulis dan penerbit itu seperti apa? Kemudian sejauh mana IKAPI dan penulis itu bersinergi? Terima kasih. PEMBICARA : RADEN MUHAMMAD MIHRADI, S.H., M.H. (MODERATOR) Baik untuk termin awal atau, ada lagi dr. Delis sebelum dIbuka diskusi PEMBICARA : dr. DELIS JULKARSON HEHI, MARS (SULTENG) Iya terima kasih moderator. Ibu Materi dan rekan-rekan Senator yang saya hormati. Hari ini kita mendapat pengayaan dalam sektor perbukuan walaupun hanya dua narasumber kita yang hadir pada hari ini, tapi ini sudah mewakili dari yang dikatakan lima pilar perbukuan Indonesia. Yaitu mewakili penulis, mewakili penerbit, mewakili percetakan, sekaligus mewakili distributor juga, karena ada gramedia disitu, lengkaplah. Kami ini mewakili pembaca, pilar kelima dari perbukuan ya. Jadi lengkap hari ini. Iya Ibu Helvy juga dari Lingkar Pena mewakili penulis sekaligus penerbit juga ya. Jadi terima kasih untuk beberapa pokok-pokok pikiran yang menjadi sumbangan dari mewakili penulis maupun mewakili penerbit, percetakan sekaligus distributor yang telah, IKAPI, disampaikan tadi, kami bisa mendapat poin-poin secara garis besarnya. Memang tadi, sudah beberapa hal sudah ditanyakan oleh Ibu Novita, yang kedua juga adalah mengenai perlindungan hak cipta yang telah ditekankan itu. Nah Bu, saya hanya ingin bertanya saja karena ada juga disini penerbit sekaligus penulis, saya melihat sering beberapa kali ke kampus dan ke sekolah-sekolah banyak potensipotensi penulis muda kita. Nah kesulitan mereka itu, mereka seringkali bertanya bagaimana sih cara menulis yang benar dan bisa diterbitkan itu? Nah seringkali mereka bisa menulis tetapi ternyata mentok disitu tidak bisa diterbitkan. Jadi pertanyaan saya mungkin seberapa pentingkah pelatihan penulisan itu di apakah itu perlu masuk dalam kurikulum misalnya Undang-Undang ini nantinya, dalam rangka mendorong minat dan kemampuan menulis yang baik bagi generasi muda kita dan para penulis-penulis kita. Walaupun kita tahu bahwa rumus untuk menulis yang baik itu hanya menulis dan menulis katanya. Yang kedua, dari pihak penerbit ini Pak, bagaimana lagi supaya tulisan itu bisa diterbitkan Pak, tanpa yang tadi Ibu harus katakan, saya tidak harus membayar misalnya. Ini jurusnya begitu loh Pak, dari perspektif penerbit. Oh kami kalau lihat seperti ini, wah ini langsung kami terbitkan, langkahnya. Ya itu mungkin Pak, dua pertanyaan yang, karena saya sendiri juga bingung Bu. Hari ini lagi tulis buku juga, outline-nya lengkap, ini ya bingung saya mau tulis, terus bagaimana sih supaya bisa buku itu bisa masuk ke Gramedia Pak ya, walaupun misalnya diterbitkan oleh penerbit lain misalnya, tapi bisa masuk ke store-nya Gramedia? Iya terima kasih Pak. Curi ilmu saya sekalian Pak.
EXPERT MEETING KOMITE III DPD RI MS III TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER SELASA, 12 APRIL 2016
11
PEMBICARA : RADEN MUHAMMAD MIHRADI, S.H., M.H. (MODERATOR) Pak Pendeta Carles silakan. PEMBICARA : Pdt. CARLES SIMAREMARE, S.Th., M.Si (PAPUA) Terima kasih. Bapak Moderator dan yang saya hormati para narasumber, Bapak-Ibu Anggota Komite III yang berbahagia. Berulang kali kita patut menyampaikan rasa syukur hari ini walaupun topik kita sangat langka diperbincangkan di tengah-tengah kegiatan kita selama ini tetapi saya merasa ini sesuatu yang amat penting. Bapak narasumber dan juga Ibu yang kami hormati, saya ingin bertanya sebenarnya yang mirip Pak Dokter ini, tapi memanglah biasa Pak Dokter mendahului terus. Iya begini Pak Penerbit, kalau seperti yang disampaikan Pak Dokter tadi, kalau kita lihat kampus-kampus atau perguruan-perguruan kita banyak menghasilkan orangorang yang hebat, tentu diajar, dididik oleh para dosen, para pakar yang ahli, termasuk tesis, disertasi yang di tulis para mahasiswa-mahasiswa kita, itu sangat, menurut saya sangat penting karena dapat menghasilkan buku-buku yang berkualitas, tetapi mengapa selama ini penerbit jarang menggunakan produk dari perguruan tinggi untuk menjadi sebuah buku? Ini kendalanya dimana? Karena terus terang kami mendengar dan menerima masukan dari mereka, mereka ingin supaya tulisan-tulisan mereka itu bisa diterbitkan tetapi kendalanya tadi kadang diminta harus bayar begitu. Apa indikator yang sebenarnya penerbit buat sehingga tulisan itu masuk kategori berkualitas? Malah baru-baru ini kami mendengar info tanggal 3 Maret yang lalu, ada sebuah universitas di Makasar memusnahkan rIbuan karya ilmiah baik itu berupa skripsi, desertasi yang sebenarnya disimpan di perpustakaan. Jadi kita amat heran kalau karya-karya seperti sudah tidak lagi mendapat tempat di sebuah perguruan tinggi. Lama-lama nanti orang akan menganggap tulisan disertasi, tesis ini sekedar memenuhi persyaratan akademik saja. Nah oleh karena itu mungkin peran dari penerbit untuk masuk ke perguruan tinggi sekaligus mendorong, memberi semangat baru kepada ilmuwan-ilmuwan kita untuk mengkaryakan pikirannya lewat tulisan. Mungkin itu harapan kami Pak. Terima kasih. PEMBICARA : RADEN MUHAMMAD MIHRADI, S.H., M.H. (MODERATOR) Iya berikutnya Ibu Fahira, dipersilakan. PEMBICARA : FAHIRA IDRIS, S.E. (DKI JAKARTA) Bismillahirrahmanirrahiim. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Kepada yang saya sayangi sahabat saya. Ini Ibu Helvy sahabat saya, Bapak-Ibu. Nanti Insya Allah saya mau bikin nobar-nya untuk anak-anak Jakarta Film “Ketika Mas Gaga Pergi” dan juga kepada Pak Pax, selamat datang dan terima kasih inside-nya Pak. Memang harus kita akui ya bahwa minat baca di Indonesia ini masih sangat rendah, bahkan UNESCO di tahun 2011 pernah mengukur bahwa indeks tingkat pembaca Indonesia itu hanya 0,001%. Artinya, itu miris sekali ya, satu orang dari 1.000 penduduk itu yang baca artinya. Nah saat ini kita memang ingin sekali betul-betul bekerja keraslah ya untuk, agar RUU ini segera lahir. Nah oleh karena itu nanti mungkin misalnya ada beberapa yang belum terjawab disini saya mohon berkenaan Mba Helvy dan Pak Pax juga bisa ada ide-ide yang mungkin belum tersampaikan bisa diemail kepada kami. EXPERT MEETING KOMITE III DPD RI MS III TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER SELASA, 12 APRIL 2016
12
Pertama yang saya ingin masukkan adalah terkait sanksi. Kan kalau Undang-Undang itu kan pasti harus ada sanksi, contoh ada sedikit pengalaman agak sedikit buruk ya Pak mungkin dengan Gramedia, beberapa tahun yang lalu ya, mungkin 3 tahun apa 2 tahun yang lalu yang saat saya membredel buku yang ada konten LGBT anak-anak itu. Nah karena kita belum ada Undang-Undangnya, bukan berarti saya mau menghukum Gramedia ya, tapi misalnya itu terjadi lagi, kan waktu itu juga pernah terjadi penerbit buku, seorang motivator bahkan ya motivator psikologi, yang dia menyuruh orang untuk pacaran secara bebas, itu penulisnya ada di Kepri, itu juga pernah saya ini juga, urus juga cuma memang disini urusannya waktu itu ke polisi ya. Untuk nantinya kira-kira terkait sanksi ini saya butuh masukan bagusnya seperti apa sih? Plus juga sama dengan Ibu Daryati Uteng tadi, artinya buku, kalau film kan ada lembaga sensor ya, kalau buku kan sudah tidak ada lagi nih ceritanya, ceritanya kan begitu, nah tapi apa ya upaya kita begitu ya? IKAPI itu ada peran tidak sih supaya nantinya mungkin buku yang kalau saya kan concern di anak-anak ya, yang konten LGBT untuk anak-anak, atau untuk konten yang ya terutama untuk dibawah umur lah ya, kalau untuk dewasa kan kita tidak terlalu pikiran ya. Nah itu seperti apa sih begitu? Terus kemudian aspek apa saja yang berbeda dalam sistem kertas dan digital ya? Khususnya berkaitan dengan royalti penulis dan penerbit. Nah terus kemudian pertanyaan selanjutnya adalah permasalahan mendasar apa saja sih yang harus diselesaikan segera ini dalam penerbitan RUU ini? Kemudian bagaimana kira-kira solusi atas kesejangan daerah dan kota besar bagi pemerataan tumbuhnya penulis. Inikan belum sama sekali merata nih, baru saya rasa, mungkin Pulau Jawa lah ya paling gemuk. Terus kemudian berkaitan dengan pelanggaran hak cipta yang terjadi di luar negeri plagiat yang itu, seperti yang dialami Mba Helvy itu. Apa masukannya untuk Undang-Undang Perbukuan ini? Terus kemudian didalam Undang-Undang ini saya juga memang berharap begitu ya, tadi mungkin di ruangan itu, tadi, saya punya ide bagaimana negara atau dia punya suatu kekuatan gerakan begitu ya, Bapak atau Ibu angkat literasi sehingga sebetulnya kan bukubuku yang ada dipercetakan itukan juga banyak ada yang tersisa ya? Saya tidak tahu sistemnya bagaimana sih, ada buku-buku yang sebetulnya banyak dan tersisa tidak Pak? Biasanya kalau sudah diterbitkan, apakah buku-buku yang, apakah buku-buku itu sebetulnya bisa kemudian dIbuat paket kemudian dijual kepada Bapak-Ibu angkat dan kemudian disebar keseluruh wilayah Indonesia karena problematik kita ini adalah, jangan bicara Papua, Jakarta saja Pak, saya ini setiap pergi ke konstituen, kita tidak punya perpustakaan. Saya pikir ya Allah, ini di Jakarta, bagaimana teman-teman saudara kita yang ada di timur sana begitu. Nah terus kemudian saya juga minta ide Mba Helvy dan Bapak bagaimana sih sistem perbukuan yang baik di Indonesia, bagaimana, apa saja hak dan kewajiban dari pemprov, industri dan atau stakeholder lainnya? Terus bagaimana pendapat Bapak-Ibu mengenai dewan perbukuan yang independen? Nah ini bagaimana ini nih? Artinya apakah IKAPI bisa sebagai itu begitu ya yang bertanggungjawab langsung kepada presiden untuk melaksanakan sistem perbukuan ini dan karena kalau komposisinya kan idealnya misalnya ada unsur di pemerintah begitu ya. Tiga unsur penulis minimal, penerbit, percetakan, distributor, masyarakat, pustakawan. Nah ini bagaimana pendapat Bapak? Inikan saya dapat masukan dari konstituen tentang dewan perbukuan yang independen ini. Kira-kira logis atau tidak? Mungkin dari saya cukup. Terima kasih. PEMBICARA : RADEN MUHAMMAD MIHRADI, S.H., M.H. (MODERATOR) Baik pemikiran-pemikiran yang luar biasa yang nanti akan ditanggapi oleh para narasumber dari mulai hulu sampai hilir terkait dengan penerbitan dan banyak juga untuk dua narasumber. Yang pertama mungkin Mba Helvy, mungkin bisa memaparkan dan cukup banyak juga terkait soal royalti, terkait cetak mana yang mau terbit, pajak, standar buku, EXPERT MEETING KOMITE III DPD RI MS III TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER SELASA, 12 APRIL 2016
13
termasuk juga mungkin kiat-kiat menjadi penulis disini yang bisa diterbitkan. Selain yang terakhir-terakhir tadi jawabannya. PEMBICARA : HELVY TIANA ROSA (NARASUMBER) Iya, banyak banget, nanti kita berbagi ya Pak. Iya mungkin yang mengenai royalti yang layak ini dari Ibu Novita. Terima kasih Ibu. Kalau ditanya berapa royalti yang layak bagi penulis, menurut saya minimal 30%, kalau tidak 40%, 30%, menurut saya itu cukup fair 30% tidak tahu kalau menurut penerbit, penerbit langsung, sedih langsung ya 30%. Saya terakhir royalti saya bukan di Gramedia sih, dipenerbit lain saya minta 25% sudah. Saya tidak mau lagi dibayar 10%, 12,5%, dikasih karena penerbitnya adik saya Pak, Asma Nadia, maka saya tidak lagi diterbitkan di Mizan Pak. Saya bilang sama Asma Nadia, buku saya ini laku Pak, buku seperti "Ketika Mas Gagah Pergi" itu sekali cetak 20.000, sekali cetak, itu diminta oleh Gramedia waktu itu saya tidak berikan karena apa? Karena adik saya adalah seorang penerbit Asma Nadia. Jadi dia bilang tidak, jadi dia tidak, dia memperlakukan kepada semua penulisnya seperti itu, jadi saya bilang oke, saya terbitkan di tempat adik tapi saya mau bukan hanya saya tapi penulis-penulis yang berkualitas kamu kasih 25%, bisa tidak? "ehmmm baiklah, kita coba" dan akhirnya dia bisa, karena bukunya dia juga sangat memilih buku yang menurut dia bisa laku. Jadi cukup fair, marketable bagus, dan laku, dan kemudian penulisnya mau jalan, mau ngider Bu. Seperti saya, setiap saya keliling Indonesia saya bawa sendiri kok Bu buku saya dan saya promokan buku saya, itu juga membantu penerbit dan penerbit tidak bayar saya apa-apa. Saya datang, saya bawa buku saya seperti itu. Tidak maksudnya, artinya ini saya misalnya diterbitkan oleh adik saya, atau saya bawa buku saya yang diterbitkan di Gramedia, itu keliling, saya jual seperti itu. Jadi pertemuan-pertemuan off air dengan pembaca itu juga membantu. Ya jadi kalau ditanya berapa royalti menurut saya 30%, 30% ya. Kalau, dan ini juga tadi Bapak sudah menyinggung tentang penerbitan online. Teman saya Oli, itu dia itu membuat nulisbuku.com. Ini adalah satu wadah untuk penulis-penulis pemula, ataupun penulis yang sudah profesional untuk bisa menerbitkan buku secara cepat. Jadi teman saya ini bikin situs namanya nulisbuku.com dan kami itu hanya tinggal menyediakan naskah, kami boleh membuat layoutnya sendiri, membuat sampulnya sendiri dengan menyewa orang atau mereka sediakan, bayarnya juga tidak mahal, kita boleh cetak hanya 1 buku, 2 buku, 3 buku, 5 buku,100 buku tergantung permintaan. Jadi buku akan dicetak sesuai dengan kalau pembelinya mau mencetak buku itu. Nah ini yang mulai banyak berkembang, bukan hanya nulisbuku.com tapi saya kira mulai berkembang. Nah tapi ada dua hal akibat ini yang pertama adalah semua orang bisa menerbitkan buku tanpa seleksi, akhirnya apa? Kita bukan hanya dapat konten-konten berkualitas tapi juga yang sampah, mohon maaf konten-konten sampah, karena tidak ada seleksi yang penting dia mau diterbitkan, oke diterbitkan bisa begitu bayar. Bayarnya ya bayar untuk pas dicetak nanti begitu. Jadi akhirnya tidak ada seleksi ya Pak, tidak ada kurator disitu hanya, editor pun tidak ada, karena kita sudah menyediakan naskah yang sudah kita edit. Jadi plus minus, disatu sisi penulis makin banyak, tapi tadi konten jadi tidak berkualitas. Nah ini juga mungkin perlu ada pengaturan sendiri menurut saya. Kalau pajak, menurut saya sebagai penulis ya Bu, menurut saya penulis tidak layak untuk dibebankan pajak karena penulis dia memberikan pemikirannya, sumbangan pemikirannya untuk bangsa ini, untuk masyarakat dan menurut saya pekerjaan sebagai penulis ini, kalaupun ada pajaknya harus benar-benar minimal. Sudah makanya, maksudnya royalti yang didapat sekarang sudah dipotong pajak, jadi kalau 30% dipotong pajak masih tidak apa-apa menurut saya, tapikan selama ini, sudahlah 10% dipotong pajak pula begitu EXPERT MEETING KOMITE III DPD RI MS III TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER SELASA, 12 APRIL 2016
14
dan kalau kita ngambil di penerbit, itu Gramedia misalnya ngasihnya 20%, kalau kita dibawah itupun, kalau kita 100 keatas ya Pak 20% begitu. Saya dengan penerbit Gramedia tidak bisa negokan 20%, okelah, tapi kalau dengan adik saya, saya bilang saya minta 50% saya tidak mau dikasih segitu, saya penulisnya. Kalau saya ambil lebih dari 100 saya minta 50% seperti itu. Untung adik saya, bisa seperti itu tapi dia harus fair, dia harus memperlakukan kepada semua penulis lain bukan hanya kepada kakaknya dan itu dia coba lakukan. Nah paling tidak menurut saya kalau penulisnya ngambil, walaupun dibawah 100 paling tidak dikasihlah 30%, dikasilah 30 % begitu, bisa diatur ya Pak? Hehe. Standar buku berkualitas. Ini buku apa dulu? Kalau buku teks pelajaran kita punya puskurbuk yang memang, saya sendiri juga beberapa kali masuk tim untuk menyeleksi bukubuku teks pelajaran dan itu parah. Buku teks pelajaran kita, ketika saya baca, misalnya buku tentang sastra,kalau saya kebanyakan baca buku sastra ya Bu ya, buku-buku bahasa begitu, itu kalau tidak boleh saya bilang mungkin, kalau tidak ada lembaga seperti Puskurbuk, itu mengerikan yang bisa diterbitkan dengan bebas. Isinya, Mba Fahira isinya juga mengerikan, dari mulai, bagaimana bisa buku pribahasa Pak, tapi nanti pribahasanya itu terkait dengan hal-hal yang perlu pornografi, tapi untuk pembelajaran begitu, seperti itu, itu mengerikan. Jadi alhamdulillah ada puskurbuk dan kemudian mereka memanggil beberapa orang yang menurut mereka bisa menjadi korektor atau memberi masukan terhadap buku-buku itu, apakah buku layak diterbitkan atau tidak. Kemudian tadi saya mau menanggapi soal literasi dulu Pak. Seperi tadi Bapak bilang, menurut saya di bandara kita itu bukan hanya harus ada toko buku Pak, tapi pojok literasi, pojok literasi, bukan buku yang kita bayar beli, itu boleh, tapi kalau setiap bandara kita punya pojok literasi itu dahsyat, pojok baca. Jadi literasi dalam artian yang luas ya, kemudian ya semacam pojok baca seperti ini, itu keren banget. Jadi sambil menunggu, anak-anak kita bisa membaca, bisa ini dan pelabuhan bandara apapun. Nah saya sudah mulai dimasyarakat, di rumah saya, itu menggerakkan satu komunitas Forum Lingkar Pena yang kami membuat rumah baca, namanya rumah cahaya (rumah baca dan hasilkan karya) dimana di rumah baca itu anak-anak bukan hanya membaca, tetapi bagaimana mereka dibimbing untuk menghasilkan karya, termasuk menjadi penulis. Nah ini ada sekitar sekitar hampir 1.000 rumah cahaya, rumah baca dan hasilkan karya. Kalau adik saya Asma Nadia, dia punya 1.500 rumah baca Asma Nadia di seluruh Indonesia sampai ke Palestina dia punya, rumah baca Asma Nadia. Nah tapi kalau di rumah cahaya ini Bu, kita kasih pelatihan menulis, terutama untuk anak-anak dhuafa secara free secara gratis, karena tingkat peradaban suatu bangsa diukur dari berapa banyak orang yang membaca dan menulis di negeri itu. Jadi kita ingin tingkat peradaban kita tinggi. Nah itu yang coba di satu sisi ada lembaga-lembaga, organisasi-organisasi masyarakat non-profit seperti Forum Lingkar Pena, kemudian Gola Gong dengan rumah dunianya, kemudian ada akademi berbagi, ada komunitas-komunitas lain. Saya kira ini kita bisa bersinergi dengan pemerintah, masyarakat tidak tinggal diam menunggu untuk menghasilkan penulis, untuk menghasilkan karya. Kita tidak hanya menunggu pemerintah tapi dari masyarakat muncul kesadaran terutama di kalangan anak-anak muda, oke kalau gitu kita buat pelatihan-pelatihan menulis, kalau kita bicara pelatihan menulis, kita buat pelatihan-pelatihan menulis. Kita buat workshop-workshop gratis. Saya sendiri membuat workshop penulisan Pak, itu macam-macam. Kalau untuk anak-anak dhuafa, anak-anak kolong jembatan, free tapi kalau eksekutif seperti Bapak-Ibu pasti bayar kan dan nanti subsidi silang, akhirnya subsidi silang untuk membiayai anak-anak seperti itu. Itu yang dilakukan misalnya di komunitas saya, Forum Lingkar Pena yang ada di 34 Provinsi di Indonesia, seperti itu. Ya jadi tadi kalau soal bagaimana kita menyiapkan, ya jadi untuk pelatihan penulisan kalau menurut saya Pak, tadi Pak dokter bilang itu menarik untuk dimasukkan ke kurikulum karena gini dan harus diatur. Jadi kalau di negara-negara, saya pernah Pak ya waktu saya ke EXPERT MEETING KOMITE III DPD RI MS III TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER SELASA, 12 APRIL 2016
15
beberapa negara di Eropa ya Pak, itu saya lihat bagaimana kemampuan menyampaikan pendapat, baik secara lisan maupun tulisan di kalangan anak-anak elementary school, anakanak SD itu, mereka itu kok bisa gitu, lancar, saya tanya apa? Ternyata pelajaran menulis, menulis itu bukan jadi ekstrakurikuler, tapi masuk ke kurikulum sejak SD, sejak SD. Anak saya umur 9 tahun Pak, sekarang lagi bikin novel 9 tahun loh Pak, dan di sekolahnya itu ada jurnal, ada jurnal di sekolahnya. Jadi jurnal yang ditulis harian dan itu melatih dia untuk menulis, tidak internasional school tapi memang sekolah swasta. Kalau saya berpikir kalau minimal harus ada ekstrakurikuler menulis atau kalau tidak, kalau yang saya lihat itu Pak, dia di negara lain itu bukan hanya menulis, tapi bercerita sehingga anak-anak itu biasa untuk menyampaikan pendapat secara lisan. Ini kemampuan literasi baik itu bercerita secara lisan, menyampaikan secara lisan maupun secara tulisan kan ada semacam pendapat, kalau orang pintar menulis biasanya tidak pintar bicara, orang yang pintar berbicara biasanya tidak pintar menulis, seharusnya tidak, kemampuan berbahasa itu harusnya bisa dua-duanya gitu. Nah termasuk kalau kita, ngomong soal pelajaran di sekolah Pak, kenapa pelajaran Bahasa Indonesia kita justru anak-anaknya nilainya lebih rendah daripada pelajaran Bahasa Inggris. Ternyata guru-guru bahasa Indonesia kita itu banyak yang tidak menyenangkan. Jadi misalnya kaya membosankan, masuk ke kelas, kelas 3 SD misalnya, diajarin mengarang, kemudian ayo kita semua mengarang pergi ke rumah nenek dan anak saya dulu pernah nangis, saya tidak mau pergi ke rumah nenek karena oma saya tinggalnya di kamar saya, di samping kamar saya, jadi dipaksa. Waktu itu saya ingat, anak saya Fais kelas 3 SD Bu, waktu itu disuruh menulis disuruh berlIbur ke rumah nenek, tapi dia menulis Indonesia di mataku tahun 2070. Itu gurunya tidak bisa menerima. Nah karena pemaksaan-pemaksaan dan kemudian gurunya juga tidak menguasai, menyuruh anak-anak menulis puisi, tapi dia tidak bisa menulis puisi, menyuruh anak-anak menulis cerita tapi dia tidak bisa menulis cerita, akhirnya apa? Anak-anak bete untuk pelajaran bahasa Indonesia dan mereka itu tidak suka pelajaran Bahasa Indonesia, padahal itu pelajaran yang paling menyenangkan, paling menyenangkan seharusnya. Nah ini juga mungkin bisa menjadi bahan untuk kita bersama, bagaimana pengetahuan berbahasa ketika kita di sekolah pelajaran linguistik dan lainnya ternyata tidak menunjang keterampilan kita dalam bekerja. Yang diperlukan itu kecakapan berbahasa, kecakapan menulis, justru itu yang jarang diajarkan di Bahasa Indonesia. Yang diajarkan malah fonem, fonetik apa yang tidak penting. Nah itu di dalam kurikulum kita, menurut saya pelajaran Bahasa Indonesia, atau pelajaran bahasa apapun terutama Bahasa Indonesia harusnya bisa membawa kepada dua hal itu. Kemampuan untuk bercakap-cakap, lisan maupun tulisan, itu yang tidak ada justru di pelajaran Bahasa Indonesia. Anak-anak disuruh menghafal subjek, predikat, objek, kalau gak ada objek salah, tidak ada predikatnya salah dan sebagainya ya seperti itu fonem, fonetik. Itu kurikulum kita memang harus diubah Pak tapi terkait dengan buku nanti jangan sampai setiap tahun buku kita berubah Pak. Buku kita itu berubah setiap tahun sehingga kakak kelasnya yang baru itu, masih tidak bisa dipakai gitu, dan setiap satu buku, satu kelas misalnya untuk kelas 2, 1 mata pelajaran bisa dan dibebankan kepada orangtua, kepada siswa itu juga harus betul-betul kita atur ya. Nah kalau kita bikin Undang-Undang tentu harus ada sanksinya, persoalannya siapa yang akan menegakkan sanksi ini? Itu juga jadi pertanyaan saya Bu Fahira ketika saya membaca Rancangan Undang-Undang kita, nanti siapa yang akan menegakkan sanksi-sanksi ini? Banyak sekali pelanggaran dalam dunia perbukuan Indonesia. Bagaimana kita menjamin bahwa dengan adanya Undang-Undang ini masalah itu bisa selesai. Terkait dengan dewan perbukuan itu juga harus hati-hati karena akan memicu permasalahan sendiri lagi nanti, tapi saya kira kalau memang orang-orangnya mumpuni dan bisa mempercepat dan bisa memperlancar sosialisasi Undang-Undang ini ke masyarakat dan sebagainya saya kira menarik adanya dewan perbukuan itu. Jadi kalau untuk sanksi saya juga lagi mau tanya ini EXPERT MEETING KOMITE III DPD RI MS III TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER SELASA, 12 APRIL 2016
16
kira-kira bagaimana cara menegakkan soalnya ini ada sanksi pidana, saya lihat kan sanksi pidana sampai dengan satu miliar dan sebagainya, nah ini harus ada. Solusi kesenjangan dengan daerah. Betul di daerah-daerah itu sama sekali untuk untuk mendapatkan buku itu susah betul, saya kira Uni Fahira, saya senang sekali lho kalau memang bapak angkat, ibu angkat, literasi itu bisa, bisa diterapkan secara nasional. Seperti orang tua asuh begitu, itu menarik sekali, bisa turut mengatasi ini. Di daerah buku-buku memang kalau tidak dibantu oleh SDM-SDM yang muncul dari masyarakat, memang lama sekali, buku yang sudah diterbitkan 6 bulan baru bisa masuk di daerah dan sebagainya. Tidak semuanya beruntung punya toko buku seperti Gramedia yang lebih lebih cepat di sana. Nah ini juga, kesenjangan itu memang ada. Kalau di komunitas kepenulisan seperti kami, kami saling tukar buku Uni, jadi ada misalnya, oh kami di daerah butuh buku ini belum sempat baca, oh kalau begitu dari cabang Jakarta kita akan kirim buku-buku apa yang mau dibaca kalau kita bisa download dan itu ada e-book nya oke, tapi kalau tidak ya kita kirimkan, kita saling seperti itu, karena komunitas, dan bisa saling pinjam di komunitas itu. Jadi komunitaskomunitas penulisan, komunitas-komunitas literasi ini di daerah menjadi penting, dan setahu saya ada gerakan literasi sekolah yang digagas oleh Depdiknas sekarang. Saya juga tergabung di-whatsapp grupnya gitu gerakan literasi sekolah. Nah ini juga memikirkan bagaimana buku-buku itu bisa merata, termasuk menyediakan pojok-pojok literasi tadi. Tadi Dewan Perbukuan, oke saya kira, saya sudah semua ya. Nah kalau tulisan yang baik itu seperti apa, tentu tergantung jenisnya dan tergantung segmennya. Kalau kita menulis di majalah “Femina” dengan menulis di Majalah “Ummi” pasti berbeda kan segmennya. Begitu juga buku, kita mau menulis buku apa dulu? Dengan bahasa seperti apa? Untuk usia berapa dan sebagainya ya, tapi saya kira setiap penerbit mereka punya supervisi naskah yang akan melihat naskah ini cukup baik, layak dan sebagainya. Sensor terhadap buku agak menyeramkan sebenarnya, karena itu membuat kita tidak bisa berkreasi lebih lepas gitu, tapi bagaimana kita menjaga supaya supervisi naskah di masing-masing penerbit ini memang bekerja dan melihat itu secara general gitu karena kalau ada sensor buku nanti agak, agak polemik lagi ya, tapi intinya bagaimana kita dengan hati nurani dan kemudian memang ada peraturan-peraturan yang dibuat, kebijakan IKAPI saya kira Pak, IKAPI saya kira. Kalau tadi kata Bapak ada komunitas perbukuan apa yang baru Bapak bilang Komite Perbukuan Nasional? Kalau Komite Perbukuan Nasional dibandingkan Dewan Perbukuan bagaimana Pak? Oh nempel di diknas, ini kan kita ada komite perbukuan nasional nih Uni, lanjutan Frankfurt itu ya, komite perbukuan ya yah. PEMBICARA : PAX BENEDANTO (NARASUMBER) Dia nempel di diknas dan itu lanjutan terutama, tempo hari kan kita memilih bukubuku yang layak untuk tampil di internasional, yang tahun lalu di Frankfrut. Nah, ini tampaknya dilanjutkan dinamakan itu. PEMBICARA : HELVY TIANA ROSA (NARASUMBER) Nah ini mungkin nanti perlu clear mungkin sebagian dari orang disana, tugastugasnya apa. PEMBICARA : RADEN MUHAMMAD MIHRADI, S.H., M.H. (MODERATOR) Baik terima kasih kepada Mba Helvy. Sebelum ke para narasumber yang dari Gramedia tentu saja saya memperkenalkan dulu, ada Senator Ir. H. Aziz Qahar Mudzakar dari Provinsi Sulawesi Selatan. Silakan kepada Pak Pax. EXPERT MEETING KOMITE III DPD RI MS III TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER SELASA, 12 APRIL 2016
17
PEMBICARA : PAX BENEDANTO (NARASUMBER) Terima kasih kesempatannya Pak Moderator. Saya ini tambah kagum sama Mba Helvy, saya dengar penjelasannya. Saya pikir kalau nanti ada award Mba, kalau nanti ada award untuk penulis, untuk ini saya rasa Mba Helvy salah satu yang harus. Terutama tadi, usulnya untuk memperjuangkan nasib penulis. Ini dia, oke saya memang akan memulai dari situ karena ini yang paling hangat tadi kan gitu memang royalti. Angka royalti bagaimana muncul angka royalti? Bagaimana kita menilai 30%, 20%, 10% dan ini ini bukan untuk kita berdebat tapi kira-kira begini, kalau kita melihat. Yang terbesar itu terutama didistribusi, rabat ya istilahnya, kita menyebutnya rabat, biaya terbesar dari dari buku itu terutama didistribusi. Distribusi ini peran biasanya distributor, dalam industri buku itu ada distributor, di dibawah distributor ada toko-toko buku. Nah umumnya di sini yang terserap itu sekitar 40 sampai 50 dari harga buku. Kita waktu menghitung komposisi itu, itu berangkat dari situ bu 40 sampai 50 % kalau kita besar sekali itu ada di situ ya, distributor. Jadi kira-kira gampangnya, penerbit taruh di gudang distributor, habis itu dia yang bertanggungjawab untuk memasarkan sampai mendistribusikan kemudian kita mendapat laporan sebagai penerbit, itu 40 sampai 50 %, itu berlaku sama. Yang kedua, kemudian cetak, cetak tentu. Cetak ini memakan 20 % kami di penerbit punya rule of tam itu 5 kali harga cetak itu, itu hitungan paling bodoh dalam upaya penerbit mungkin Mba Helvy juga sudah tahu itu 5 kali. Jadi 20% sudah dimakan dipercetakan, yang lain tentu adalah pracetak, pracetak, kerja editor tadi. Naskah harus dibaca oleh penerbit karena kejadian ini bisa macam-macam bukan hanya typo atau salah cetak atau dan segala macam, tadi konten, kandungan konten. Jadi penerbit yang bertanggungjawab pasti dia akan membaca dari A sampai Z nya, dari halaman satu sampai halaman ini, termasuk waktu direvisi pasti akan di baca lagi oleh staf editor. Nah itu kira-kira kami menginikan 5% Bu, itu kecil sekali, kalau di dalam, di dalam ininya itu termasuk, di dalamnya ada layout, tadi sampai segala macam. Promosi itulah hal yang paling terkecil yang kita lakukan, itu kira-kira 2,5% disitu. Hal yang lain ada pajak Bu, disitu akan dibebankan adalah PPn ya, kalau tadi di penulis itu PPh. Nah, jadi ada PPn, ada kami kena PPn itu 10%, itu dari segi jumlah berapa sisanya? Jadi 50, 25, 10 pajak. Kira-kira sisa berapa Bu? 75-80 kira-kira kan? Yes kalau 30% untuk penulis, kami mensubsidi saya akan pindah profesi nanti, segera belajar sama Bu Helvy intinya. Itu, poinnya, poin dari kami tarik menarik itu di situ keuntungan penerbit itu apa? Kalau cetak ulang. Kalau dia cetak banyak, karena angka 20% tadi dia bisa turun kalau tirasnya meningkat. Angkanya bu Helvy tadi 20.000, 30.000 itu itu angka yang ekonomis sekali, tapi kami harus berhadapan dengan... PEMBICARA : HELVY TIANA ROSA (NARASUMBER) Tidak semua pelusi ya. PEMBICARA : PAX BENEDANTO (NARASUMBER) Ya, jadi 30 % inception-lah, jadi ini supaya kita sama-sama paham lah dalam industri ini bagaimana, karena terus terang, saya dipenerbit itu lebih ke redaksi, editor. Jadi tahu persis, kerja yang disebut tadi gagasan itu luar biasa ya, saya tahu persis, saya tahu persis dan dan saya pikir cita-cita editor adalah entah jadi penulis, entah jadi apa gitu jadi kira-kira di bidang kreatif itu juga. Jadi kira-kira macam itu yang akan, itu satu hal untuk, untuk bagaimana kemudian dengan memang kalau kita bisa memotong biaya distribusi, itu yang luar biasa dan kemudian pajak karena untuk ke royalti penulis, sebelum PPh ada PPn dulu EXPERT MEETING KOMITE III DPD RI MS III TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER SELASA, 12 APRIL 2016
18
Bu. Ya jadi harga jual dia sudah kepada PPn akan kena ini, jadi pajak bertingkat karena problem, kalau ditanya problem kembali lagi, tadi Bu Fahira tadi tanya apa yang paling didepan mata. Ini mungkin juga sudah cukup bagus kalau bisa ada keputusan disitu, tapi kami di dunia penerbitan tahu persis, presiden berganti, pemerintah berganti, anggota dewan juga berganti, eksekusinya, terakhir itu IKAPI berjumpa dengan Pak JK dan sudah menyampaikan ini bahkan berapa angka, berapa ini, persis seperti pertanyaan Ibu. Berapa tadi, berapa maunya, maunya itu kan harus kita berhitung dari segala sisi. Oh itu penulis tetap dimasukan rentang ya, 7 – 10 ini untuk penulis ya dan terutama pajak ya. Kalau ini tentu, ketentuan ini kan ketentuan yang berlaku didalam sistem begitu kan, kalau dengan hubungan dengan pemerintah dengan anggota dewan tentu lebih dikebijakan gitu ya. Nah apakah dikebijakan tentu regulasi ini apakah mencantumkan regulasi? Itu dia sistemnya ini terbuka dan fair saya dukung akan ada ini yang sehat kok ya dengan sendirinya. Semua akan akan ada yang sehat, ini berangkat dari perhitungan dan pajak ya. Hal yang lain mengenai sistem perbukuan yang sebutlah ideal, yang menyangkut hal tadi, sanksi, dimana letak dewan perbukuan kalau mengenai ini. Bu Fahira, IKAPI sendiri sudah menyiapkan Bu Fahira soal, sampai pertanyaan misalnya apakah dewan, apakah badan, gitu ya. Jadi sudah sampai lebih jauh dan fungsinya dan bagaimana dia berjalan, hubungannya dan segala macam itu, memang tampaknya sudah ada kajian, saya pikir dalam waktu tidak terlalu lama, ini bisa bisa dikirimkan begitu. Oke Bu Fahira, nanti saya akan sampaikan ke pusat pusat untuk lebih lanjut soal itu, termasuk mengenai sanksi. Saya pikir, saya sendiri terus terang belum mempelajari jauh mengenai UndangUndang Perbukuan ini sendiri, jadi tidak bisa memberi tanggapan lebih tajam, tapi by feeling, saya menginikan seperti media lain Bapak. Jadi artinya pers, mungkin kita bisa mengacu semacam dengan pers, pers itu sensorship sendiri, juga self sensorship-nya ada di institusi pers, melekat didalamnya dan ada Undang-Undang Pers dan ada dewan pers. Bagaimana sanksi itu berjalan? Ada kode etik, tambah lagi kan ininya kira-kira, bagaimana ininya bisa berjalan, kita bisa belajar dari ini ketimbang misalnya badan sensor film karena tiap fim atau setiap bahan itu di baca, itu yang karena mungkin juga tidak mungkin karena jumlah buku, banyak ya, nanti siapa yang akan membacan. Mungkin pers yang bisa mendekati, saya hanya bisa mengatakan lebih jauh untuk membuka itu. Itu yang berkait dengan kebijakan lalu mengenai bagaimana dia tumbuh, industri ini tumbuh? Saya pikir, saya tadi sudah bicara di ruangan secara informal dengan Bu Fahira soal sinergi. Tidak bisa industri berjalan sendiri, pemerintah juga tidak mungkin jalan sendiri, penulis juga tidak mungkin bisa jalan sendiri. Semua harus jalan. Saya melihat peluangnya ada di gerakan literasi sekolah, gerakan literasi nasional yang hari ini lagi ramai dibicarakan, termasuk gerakan 15 menit membaca, dia sebagai gerakan. Kalau disambungkan lagi gerakan orang tua asuh Bu untuk literasi itu luar biasa, tapi ada payung, ada payung. Pejuang literasinya banyak, angka 1500, luar biasa, tanpa diminta, volunteer, volunteerismn. Nah bagaimana volunteerismn ini dikelola. Itu juga mungkin persoalan, mungkin bukan persoalan Bu ya, potensi sebetulnya. Saya melihat dari sisi gerakan literasi nasional, gerakan literasi sekolah, gerakan literasi masyarakat yang diinisiatori oleh diknas, dikbud, itu saya pikir poin bagus. Tadi saya, kalau kita kawal bersama ini luar biasa karena ada, ada ini pribadi juga ya kelihatannya Pak Anies ya, kan biasanya begitu ya ada ada gairah-gairah passion-passion pribadi terhadap program itu, seberapa dia menjadi penting, kami dari penerbit, kami dari IKAPI menunggu sebetulnya, ayo dengan senang hati. Dengan senang hati, salah satu yang segera kami minta adalah, oke gerakan 15 menit membaca. Pertanyaannya Pak Anies, jelas sekali, bukunya opo? Tolong dong IKAPI bikin daftarnya, inilah yang segera dalam sebulan dua bulan ini kami menampilkan, membuat daftar itu, ini loh daftarnya, kami dari IKAPI, termasuk buku-buku yang harus lolos secara puskurbuk tadi. Lolos dalam arti tadi, tidak boleh dia dari sisi SARA dan segala macam. EXPERT MEETING KOMITE III DPD RI MS III TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER SELASA, 12 APRIL 2016
19
Itu secara umum saya rangkum, untuk pertanyaan-pertanyaan tadi dan segala macam. Nah yang saya mau jawab sekarang sebagai penerbit, adalah tips menulis dan segala macam. Itu menarik Mas, jadi kalau dari sisi penerbit itu selalu akan ada dua bicara. Soal konten, konten ini artinya bercerita tentang apa, bagaimana dia diungkapkan, sebetulnya itu saja. Aktual tidak aktual, kena tidak, siapa yang kira-kira kira-kira akan menjadi pembaca, itu pertanyaan-pertanyaan umum yang disampaikan didalam, waktu kita menilai naskah. Pertanyaan umum, jadi misalnya Bapak, Pak Dokter, tadi Pak Dokter pertanyaan misalnya saya punya naskah, saya ini, pertanyaan kami akan begitu Pak. Konteksnya apa, bagaimana dia ini. Jadi pertanyaan-pertanyaan umum. Siapa kira-kira pembacanya, misalnya begini, misalnya, Pak, wah saya ini dalam pengalaman, misalnya, saya bahas sedikit ya Pak ya. Misalnya pengalaman menjadi Senator, saya buka buka A, B, C, D, menarik, menarik gitu kan, misalnya A, B, C, D, ada sesuatu yang relevan, dia aktual, dia inspiring. Nah ini tambah lagi nanti. Nah bahasa dan segala macam itu, how to delivery kalau kami selalu meinikan belajar dari para penulis hebat-hebat ini, story telling apapun itu harus story telling, sepelik apapun story telling karena pada dasarnya, kita ceritakan, senang didongengin, story telling itu diupayakan. Jadi dia ditulis dengan, itu jadinya, jadi pertanyaan-pertanyan itu, tentu-tentu nanti akan ada lebih teknis, kami akan semakin, seperti jurnalistik Pak. Jurnalistik kan, semakin dia sembunyikan semakin menarik, semakin diakhir, semakin penasaran. Nah kemudian ada rambu-rambu ya gitu kan, tidak mencemarkan nama baik, tidak ini, tapi kan kami sama saja, media kan selalu hidup dengan begitu. Nah tadi pertanyaan Bapak pendeta ya, kampus bagaimana? Betul Pak, itu sumber yang luar biasa sebagai pengetahuan tapi kembali pertanyaannya tadi, kalau bahasa kami di Gramedia, adorable. Kami harus menyeimbangkan itu, jadi kami akan bertanya pada yang punya naskah itu, oke good, isinya luar biasa, kalau pembacanya ini hanya orang kampus, hanya kolega anda, berapa dia dicetak? Gitu kan, kami akan bertanya seperti itu. Mungkin 500, oke 500 maka harganya segini loh tidak boleh rugi, ya kan kami sebagai ini tidak boleh rugi, ya kan kami sebagai ini tidka boleh rugi, itu pertanyaannya. Kami biasanya akan membuka, oke persis sama seperti tipsnya, ini bagus, tapi bisa tidak ya dia menjadi bacaan yang lebih luas, supaya, kecuali misalnya “Dasar-Dasar Ilmu Politik” Bu Miriam Budihardjo, itu klasik, penerbit manapun mau, penerbit manapun mau itu, klasik. Jadi kirakira begitu, nah kami penerbit umum tentunya bekerjasama dengan perguruan tinggi, university press karena university press pertama-tama dia adalah menerbitkan isinya. Jadi siapa pembacanya? Pembacanya ya kampus, jadi cocoklah. Nah tadi kita harus menyamakan dia disitu, kasus-kasus bayar, biasanya bermula dari yang barusan saya sampaikan. Bermula dari, jadi artinya fakta-fakta tadi diungkapkan, lalu begitu, kalau buku ini persis seperti ini, dengan kerangka pemikiran apa, angka-angka teori, apalagi kalau itu teknik Pak, lebih ini lagi Pak gimana? Kami berharap misalnya coba, ada penulis teknik dunia yang hari ini menjadi mega-mega best seller Steven Hawking, Sangkakala Waktu itu, penerbitnya hanya bilang begini, oke saya terbitkan tapi tidak boleh ada satu angka, karena begitu ada satu angka itu akan mengurangi sekian sejumlah pembaca. Itu kan, itu kalau terjadi siapapun penerbitnya, bahkan saya jamin, bahkan dipenerbit silakan, monggo dengan senang hati, saya membuka diri kira-kira Pak. Jadi di sana kita bermain, nah kaki, entah bagaimana ya, kaki penerbit mungkin agak berbeda dengan industri lain. Kaki penerbit buku itu selalu kaya ada dibebani idealisme tinggi, tadi buku itu adalah jendela dunia. Saya hari pertama saya masuk saja kayanya saya sudah dicekokin gitu ‘jendela dunia sebelah mana?’ Maksud saya itu nilai yang sudah tertanam dalam dunia penerbit, tapi apa fakta-fakta hari men-challange itu. Jadi bagaimana kita survive dengan, dan seluruh situasi yang berubah. Jadi sama tetap begitu bisa ketemu itu kita akan jalan, itu Pak, saya rasa cukup ya Pak. Terima kasih.
EXPERT MEETING KOMITE III DPD RI MS III TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER SELASA, 12 APRIL 2016
20
PEMBICARA : RADEN MUHAMMAD MIHRADI, S.H., M.H. (MODERATOR) Baik kita berikan applause kepada dua narasumber ini yang sangat luar biasa. Intinya kalau sistem perbukuan betul-betul ditata, direformasi seperti tadi dijaringan distribusi dipangkas untuk lebih efisien kemudian perpajakan dikurangi, itu mungkin kesimpulan, intinya. Itu akan membantu menyehatkan buku menjadi lebih terjangkau, penulisnya juga semakin sejahtera. PEMBICARA : HELVY TIANA ROSA (NARASUMBER) Mungkin sebelum ditutup satu lagi Pak. Masukan mungkin untuk peruntukan buku ya. Jadi gini kalau di negara-negara maju, setahu saya buku-buku yang sangat dewasa itu ada peruntukannya, tempatnya. Jadi tidak disebar sembarangan, ada tempat yang tidak bisa dijangkau anak-anak. Di toko-toko buku kita tidak seperti itu loh. Itu anak-anak SMP apa gitu dengan mudah melihat buku-buku gitu. Ada beberapa misalnya buku sastra yang menurut saya tidak layak dikonsumsi anak SMP, misalnya seperti itu, tapi mereka tahu bagian-bagian mana yang kalau saya ke Gramedia bagian itu pasti lecek-lecek mereka lihat, karena itu bisa dijangkau. Nah ini bagaimana kita membuat satu sistem supaya samalah, di negara-negara maju juga seperti itu gitu ada peruntukan buku, jenjang usia, dan sebagainya dibelakang buku barangkali atau bagaimana dan kemudian penempatannya di toko buku, itu diatur. Saya kira itu bisa jadi salah satu perhatian kita juga, makasih, takut lupa. PEMBICARA : RADEN MUHAMMAD MIHRADI, S.H., M.H. (MODERATOR) Baik, terima kasih dan demikianlah karena waktu juga ini, inginnya sampai besok mungkin diskusi kita. Kita applause dulu untuk semuanya. Wabillahitaufik walhidayah Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
RAPAT DITUTUP PUKUL 12.03 WIB
EXPERT MEETING KOMITE III DPD RI MS III TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER SELASA, 12 APRIL 2016
21