ANALISIS SEBARAN LAHAN SAWAH YANG LAYAK DIPERTIMBANGKAN SEBAGAI LAHAN SAWAH BERKELANJUTAN DI KECAMATAN BLANAKAN, CIASEM, DAN PATOKBEUSI, KABUPATEN SUBANG
WIDA NINDITA
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Sebaran Lahan Sawah yang Layak Dipertimbangkan sebagai Lahan Sawah Berkelanjutan di Kecamatan Blanakan, Ciasem, dan Patokbeusi, Kabupaten Subang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2015 Wida Nindita NIM A14090007
ABSTRAK WIDA NINDITA. Analisis Sebaran Lahan Sawah yang Layak Dipertimbangkan sebagai Lahan Sawah Berkelanjutan di Kecamatan Blanakan, Ciasem, dan Patokbeusi, Kabupaten Subang. Dibimbing oleh ASDAR ISWATI dan DYAH RETNO PANUJU. Indonesia memiliki hamparan sawah luas dan sebagian besar penduduknya menjadikan nasi sebagai makanan pokok. Namun demikian, lahan sawah untuk memproduksi padi sebagian besar terkonversi lahan menjadi lahan terbangun. Fenomena tersebut melatarbelakangi pentingnya penelitian terhadap lahan sawah yang berpotensi untuk dipertahankan menjadi lahan sawah berkelanjutan. Penelitian dilakukan di Kecamatan Blanakan, Ciasem, dan Patokbeusi sebagai penghasil padi terbesar di Kabupaten Subang yang disebut sebagai wilayah segitiga emas. Aspek yang diteliti adalah kecenderungan perubahan penggunaan lahan sawah, minat bertani generasi penerus untuk menjadi petani, indeks pertanaman, produktivitas padi, peran sarana irigasi terhadap hasil panen, serta ketepatan tanam dan jadwal pembagian air. Beberapa metode yang digunakan dalam penelitian adalah (1) analisis regresi dan korelasi untuk mengetahui peranan irigasi dan faktor lain dalam peningkatan laju konversi lahan, (2) metode pohon keputusan untuk menganalisis minat bertani generasi penerus yang diduga terkait erat dengan tingkat pendidikan petani, (3) pemanfaatan indeks vegetasi yang diturunkan dari data satelit untuk memantau indeks pertanaman dan menduga produktivitas padi, serta (4) pendataan langsung di lapang dan klasifikasi sederhana untuk mengetahui pola hasil panen terhadap posisi lahan dari irigasi dan mengetahui sebaran spasial waktu tanam kaitannya dengan jadwal pembagian air. Berdasarkan hasil analisis korelasi dan regresi, faktor yang berpengaruh nyata terhadap luasan konversi lahan adalah panjang irigasi dan pertumbuhan penduduk. Keduanya berkorelasi positif dan berpengaruh nyata terhadap luas lahan. Indeks pertanaman di lokasi penelitian beragam, yaitu IP 100 hingga IP 250. Korelasi antara nilai EVI dengan produktivitas padi di lokasi penelitian adalah 0,26, artinya nilai EVI belum dapat digunakan untuk menduga produktivitas padi karena korelasinya lemah. Tidak ada pola khas yang terbentuk antara posisi lahan dari saluran irigasi dengan produktivitas padi. Nilai ragam kelas buffer irigasi yang tinggi dan selisih rataan yang rendah mematahkan asumsi bahwa jarak lahan dari saluran akan mempengaruhi besarnya produktivitas padi. Sebanyak 92,5% petani menanam padi pada tanggal yang tidak sesuai dengan jadwal pembagian air. Lahan sawah dengan prioritas 2 menjadi mayoritas pada lokasi penelitian, dengan luas wilayah 16.222,29 ha. Kata kunci: Irigasi, lahan sawah berkelanjutan, minat bertani, padi, perubahan penggunaan lahan.
ABSTRACT WIDA NINDITA. Distribution Analysis of Considered Paddy Field as Sustainable Paddy Field in Blanakan, Ciasem, and Patokbeusi Sub-district, Subang Regency. Supervised by ASDAR ISWATI and DYAH RETNO PANUJU Indonesia has an extensive arable land, and most Indonesians consume rice as their staple food. However, huge amount of paddy field has been converted into built-up area. Therefore, it is reasonable to research potential paddy land to be preserved as sustainable paddy field. Research was carried out in Blanakan, Ciasem, and Patokbeusi Sub-district, Subang Regency. This area was also called as the golden triangle of Subang. Aspects for analysis includes the tendency of paddy field conversion, the interest of next generation to be farmers, cropping intensity, rice productivity, the role of irrigation to rice yield, and the punctuality of planting time and water distribution schedule. Various methods used in this research were (1) regression and corelation analysis to discover effect of irrigation networks and other factors to the rate of land conversion, (2) regression tree models to analyze youth interest to be farmers which are assumed to relate to the educational degree of their parents, (3) the usage of vegetation index extracted from satellite imagery to monitor cropping index and to estimate rice yield, and (4) to collect and classify farmers information in understanding the pattern of yield data on field and its relation to the position of irrigation networks, and to know the spatial pattern of planting time and its relation to the water distribution schedule. The result show that factors affecting significantly the extension of land conversion are the length of irrigation networks and population growth. Both of those variables have positive correlation and significantly influencing the extension of land conversion. Cropping intensity varied from 100 to 250. Correlation of EVI and paddy yield is 0,26 means that EVI is somewhat unreliable to determine paddy yield. There is no typical pattern made of land position from irrigation networks and paddy productivity. High value range of irrigation buffer classes and low difference of average are defiant towards the assumption that distance between irrigation networks and paddy land will affect the yield of paddy. About 92,5% farmers have planting time which does not match with water distribution schedule. Paddy field with second priority is a majority on research area at 16.222,29 ha. Keywords: Irrigation, sustainable paddy field, farming interest, paddy, land use change.
ANALISIS SEBARAN LAHAN SAWAH YANG LAYAK DIPERTIMBANGKAN SEBAGAI LAHAN SAWAH BERKELANJUTAN DI KECAMATAN BLANAKAN, CIASEM, DAN PATOKBEUSI, KABUPATEN SUBANG
WIDA NINDITA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Judul Skripsi : Analisis Sebaran Lahan Sawah yang Layak Dipertimbangkan sebagai Lahan Sawah Berkelanjutan di Kecamatan Blanakan, Ciasem, dan Patokbeusi, Kabupaten Subang Nama : Wida Nindita NIM : A14090007
Disetujui oleh
Dr Ir Asdar Iswati, MS Pembimbing I
Dyah Retno Panuju, MSi Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir Baba Barus, Msc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2013 ini ialah lahan berkelanjutan, dengan judul Analisis Sebaran Lahan Sawah yang Layak Dipertimbangkan sebagai Lahan Sawah Berkelanjutan di Kecamatan Blanakan, Ciasem, dan Patokbeusi, Kabupaten Subang. Terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh pihak yang telah terlibat dalam penulisan karya ilmiah ini, terutama kepada: 1. Dr Ir Asdar Iswati, MS dan Dyah Retno Panuju, MSi selaku pembimbing atas segala nasehat, bimbingan, arahan, motivasi, kesabaran, dan keikhlasan yang telah diberikan selama proses penyelesaian karya ilmiah ini. 2. Bambang H. Trisasongko, MSc selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan, arahan, dan motivasi. 3. Ibunda Ratih Uttari serta seluruh keluarga atas motivasi dan kesabarannya. 4. Instansi-instansi di Kabupaten Subang, diantaranya Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Badan Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian Kecamatan Blanakan, Ciasem, dan Patokbeusi, Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan, Dinas Tata Ruang, Pemukiman, dan Kebersihan, Perum Jasa Tirta II, Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Subang, PT. Sang Hyang Seri Regional Subang, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi), Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Citarum Ciliwung, serta Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) atas kerjasama dalam memberikan informasi dan data yang diperlukan. 5. Penyuluh pertanian, kelompok tani, petani, masyarakat Kecamatan Blanakan, Ciasem, dan Patokbeusi terutama keluarga Bapak Asep, Eko Hari S, H. Edi, H. Nurjaman, serta seluruh pihak yang terlibat dalam pengumpulan data di lapangan atas kebersamaan, kerjasama, motivasi, dan keterbukaannya dalam memberikan informasi dan data yang diperlukan. 6. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan yang telah memberikan ilmu dan nasehat. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Januari 2015 Wida Nindita
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
2
Perubahan Penggunaan Lahan Sawah
3
Pemantauan Indeks Pertanaman dan Produktivitas Padi dengan Citra Satelit
5
Peran Irigasi dalam Penentuan Lahan Sawah Berkelanjutan
6
METODE
7
Tempat dan Waktu Penelitian
7
Bahan dan Alat
8
Pelaksanaan Penelitian
9
HASIL DAN PEMBAHASAN Kecenderungan Konversi Lahan berdasarkan Minat Bertani Generasi Penerus dan Laju Perubahan Penggunaan Lahan
27 27
Pemantauan Indeks Pertanaman dan Produktivitas Padi dengan Citra Satelit 31 Peran Irigasi dan Faktor Lain terhadap Kecenderungan Konversi Lahan Sawah dan Produktivitas Padi
35
Ketepatan Waktu Tanam Padi berdasarkan Jadwal Pembagian Air
40
Prioritas Lahan Sawah Berkelanjutan
42
SIMPULAN DAN SARAN
44
Simpulan
44
Saran
44
DAFTAR PUSTAKA
45
RIWAYAT HIDUP
54
DAFTAR TABEL 1
Bahan dan Sumber Data Sekunder
8
2
Spesifikasi Citra Satelit
8
3
Jenis Data, Teknik Analisis, dan Keluaran Data Penelitian
10
4
Kelas Panjang Irigasi
13
5
Kelas Konversi Lahan
13
6
Jumlah Sampel Setiap Desa
14
7
Spesifikasi Setiap Peubah dalam Analisis CART
18
8
Kriteria Prioritas Indeks Pertanaman Lahan
25
9
Kriteria Prioritas Ketepatan Waktu Tanam
25
10
Kriteria Prioritas Produktivitas Padi
26
11
Kriteria Prioritas Lahan Sawah Berkelanjutan berdasarkan Komponen Indeks Pertanaman, Ketepatan Waktu Tanam, dan Produktivitas Padi Karakteristik Petani berdasarkan Minat Generasi Penerusnya untuk Berusaha Tani Nilai EVI dan Produktivitas Padi Korelasi antara Nilai EVI dan Produktivitas Padi
12 13 14 15 16 17 18
Korelasi antar Peubah Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Sawah Hasil Analisis Regresi Berganda Perubahan Penggunaan Lahan Jarak Lahan dari Irigasi dan Rataan Produktivitas
26 30 34 34 36 38 40
19
Korelasi antara Jarak Lahan dari Irigasi dengan Produktivitas Padi Persentase Keterlambatan Tanam
40 42
20
Luasan Prioritas Lahan Sawah Berkelanjutan
43
DAFTAR GAMBAR 1
Lokasi Penelitian
7
2
Diagram Alir Penelitian
9
3
Diagram Alir Identifikasi Perubahan Penggunan Lahan Tahun 2010-2013 Lokasi Pengecekan Lapang Kecamatan (a) Blanakan, (b) Ciasem, dan (c) Patokbeusi Ilustrasi Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dengan Membandingkan Atribut Peta Penggunaan Lahan Tahun 2010 dan 2013
4 5
13 15
16
6
Diagram pohon keputusan CART
17
7 8
Diagram Alir Identifikasi Indeks Pertanaman dan Estimasi Produktivitas Padi Hubungan Nilai EVI dengan Umur Tanaman Padi
19 20
9
Lokasi Lahan PT. Sang Hyang Seri
21
10
Diagram Alir Analisis Faktor Penyebab Konversi Lahan
22
11
Diagram Alir Pola Produktivitas Padi terhadap Jarak dari Irigasi Diagram Alir Evaluasi Ketepatan Waktu Tanam Padi berdasarkan Jadwal Pembagian Air Diagram Alir Penentuan Prioritas Lahan Sawah Berkelanjutan Sebaran Perubahan Penggunaan Lahan di Lokasi Penelitian Grafik Luas Perubahan Penggunaan Lahan
12 13 14 15 16 17
18 19 20 21
22 23 24
Struktur Pohon Keputusan Faktor yang Mempengaruhi Minat Bertani Grafik EVI, kenampakan citra, dan foto lapang pada berbagai umur padi (a) tanam (20 hari), (b) keluar malai (60 hari), dan (c) menjelang panen (117 hari) Grafik EVI Tanaman Padi Varietas Ciherang PT. Sang Hyang Seri 9 Mei 2013-9 Mei 2014 Sebaran Ragam Indeks Pertanaman Keragaman Produktivitas Gabah di Lokasi Penelitian pada Musim (a) Kemarau (gadu), dan (b) Hujan (rendeng) (a) Box plot peubah panjang irigasi tiap kecamatan; (b) Box plot peubah pertumbuhan penduduk tiap kecamatan; (c) Box plot luas sawah per desa tiap kecamatan; (d) Box plot panjang jalan dan luas kepemilikan sawah tiap kecamatan; (e) Box plot jumlah keluarga petani; dan (f) Box plot luasan konversi lahan. Sebaran Irigasi dan Produktivitas Padi MT. Rendeng (Hujan) 2013/2014 Sebaran Ketepatan Waktu Tanam MT. Rendeng (Hujan) 2013/2014 Sebaran Prioritas Lahan Sawah Berkelanjutan
23 24 25 27 27 29
31 32 33 33
35 39 41 43
DAFTAR LAMPIRAN 1
Kuisioner Pemantauan Lahan Sawah Berkelanjutan di Kabupaten Subang
49
PENDAHULUAN Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok bagi mayoritas penduduk Indonesia, walaupun pada awalnya sebagian penduduk Indonesia di wilayah timur seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua mengonsumsi jagung, singkong, ubi, dan sagu (Hartini et al. 2005). Masyarakat yang awalnya mengonsumsi jagung dan ubi kayu sebagai makanan pokok mulai beralih mengonsumsi beras (Rachman dan Ariani 2008). Hal ini menyebabkan tingkat konsumsi beras penduduk Indonesia sejak tahun 1960 hingga 2007 meningkat sekitar 40 juta ton (Panuju et al. 2013). Ketergantungan penduduk Indonesia terhadap beras perlu diimbangi dengan ketersediaan beras yang cukup untuk menjamin ketahanan pangan. Ketersediaan beras ditentukan oleh tingkat produksi padi. Produksi padi Indonesia meningkat dalam kurun waktu 1961-2004, tetapi laju produktivitas padi menurun sejak tahun 1990 (Panuju et al. 2013). Sekitar 56% produksi padi dipenuhi dari Pulau Jawa, sehingga Pulau Jawa sangat berperan dalam menyangga produksi beras nasional (Malian et al. 2004). Namun demikian, Pulau Jawa memiliki indeks keberlanjutan ketersediaan beras yang paling rendah dari sisi ekologi dibandingkan wilayah lainnya di Indonesia. Hal ini disebabkan karena laju konversi sawah di Indonesia yang sebagian besar terjadi di Pulau Jawa, yaitu sebesar 61,57% (Nurmalina 2008). Hardjoamidjojo (1997) dalam penelitiannya menemukan bahwa telah terjadi penyusutan lahan sawah irigasi di Jawa Barat sebesar 17.678 ha sejak tahun 1988 hingga 1994. Verburg et al. (1999) juga menemukan bahwa dalam rentang tahun 1994-2010 terjadi penurunan luasan lahan sawah di wilayah pantai utara Jawa karena peningkatan konversi lahan sawah menjadi pemukiman, perkebunan, dan pertanian lahan kering. Lahan sawah irigasi potensial menjadi lahan perumahan karena datar, luas, memiliki kemudahan akses terhadap sumber air, dan memiliki saluran drainase sehingga biaya konstruksi lebih kecil (Azadi et al. 2010). Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengontrol laju konversi sawah salah satunya dengan menetapkan lahan sawah sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan. Mengingat pentingnya posisi Jawa Barat sebagai pusat produksi beras nasional dan di sisi lain ancaman konversi lahan sawah yang tinggi di wilayah tersebut, maka penelitian keberlanjutan lahan sawah di wilayah ini sangat penting dilakukan. Salah satu kabupaten di Jawa Barat yang potensial untuk penelitian ini adalah Kabupaten Subang. Kabupaten Subang berbatasan langsung dengan Kabupaten Kawarang yang memiliki tingkat perkembangan wilayah tinggi sebagai akibat dari urbanisasi (Firman 1997). Kabupaten Subang juga dilalui oleh jalur Pantura yang merupakan jalur utama arus ekonomi Jakarta-Cirebon (ButarButar 2012). Sebagai produsen padi tertinggi ketiga di Jawa Barat (BPS 2012) yang dilengkapi fasilitas irigasi teknis, Kabupaten Subang perlu menerapkan perlindungan terhadap lahan sawah. Secara lebih spesifik, penelitian dilakukan di Kecamatan Blanakan, Ciasem, dan Patokbeusi. Kecamatan Blanakan, Ciasem, dan Patokbeusi berada di wilayah
2 Pantura Subang dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Karawang di sebelah barat. Kecamatan Ciasem dilalui oleh jalur Pantura, sementara Kecamatan Blanakan dan Kecamatan Patokbeusi mengapit Kecamatan Ciasem di sebelah utara dan selatan. Ketiga Kecamatan tersebut hampir seluruhnya terhubung oleh jaringan irigasi teknis, kecuali 5,6% lahan sawah tadah hujan di Kecamatan Patokbeusi (BPS 2011). Pertimbangan lahan sawah berkelanjutan melalui kesesuaian lahan telah banyak dilakukan (Christina 2011; Barus et al. 2012b; Lestari 2014). Untuk membedakan dengan penelitian terdahulu, komponen penentu lahan sawah berkelanjutan dititikberatkan pada ketersediaan fasilitas irigasi. Analisis peran irigasi dalam mempengaruhi indeks pertanaman, produktivitas padi, dan waktu tanam dilakukan sebagai komponen dalam penentuan lahan sawah berkelanjutan. Laju konversi lahan sawah dan minat bertani generasi penerus digunakan sebagai informasi dasar untuk menganalisis kecenderungan konversi lahan sawah di lokasi penelitian.
Tujuan Penelitian Berdasarkan pertimbangan latar belakang sebagaimana dijabarkan di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1. mengestimasi kecenderungan konversi lahan melalui minat bertani generasi penerus dan laju perubahan penggunaan lahan; 2. mengidentifikasi indeks pertanaman dan estimasi produktivitas padi dengan menggunakan citra satelit; 3. menganalisis peran irigasi dan faktor lain terhadap kecenderungan konversi lahan sawah dan produktivitas padi; 4. menganalisis ketepatan waktu tanam padi berdasarkan jadwal pembagian air; 5. menentukan prioritas lahan sawah berkelanjutan.
TINJAUAN PUSTAKA Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Menurut UU No. 41/2009, lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah sebidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Lahan pertanian pangan yang ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dapat berupa: (a) lahan beririgasi, (b) lahan reklamasi rawa pasang surut dan nonpasang surut (lebak); dan/atau (c) lahan tidak beririgasi. Lahan pertanian pangan yang akan dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini adalah lahan beririgasi. “Perencanaan lahan pertanian pangan berkelanjutan menggunakan dasar pertumbuhan penduduk dan kebutuhan konsumsi pangan penduduk, pertumbuhan produktivitas, serta kebutuhan pangan nasional. Lahan pertanian pangan yang sudah ada dan lahan cadangan didasarkan atas kriteria kesesuaian lahan,
3 ketersediaan infrastruktur, penggunaan lahan, potensi teknis lahan, dan/atau luasan kesatuan hamparan lahan. Penetapan kawasan pertanian pangan berkelanjutan kabupaten/kota diatur dalam Peraturan Daerah mengenai rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota” (UU No. 41/2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan). Menurut Rustiadi dan Wafda (2008) penyediaan lahan pertanian berkaitan dengan kapasitas produksi pangan ditentukan oleh luas lahan produksi, produktivitas lahan, tingkat kebutuhan konsumsi pangan, laju luasan konversi, dan jumlah penduduk. Selain itu, menurut Barus et al. (2012b), kriteria penting untuk menetapkan lahan pertanian pangan berkelanjutan antara lain kriteria daya dukung fisik yang yang dapat diperoleh melalui evaluasi kemampuan atau kesesuaian lahan. Keberlangsungan aktifitas pertanian juga turut didukung oleh ketersediaan infrastruktur pendukung, diantaranya irigasi dan kelembagaan fisik. Untuk lahan sawah, infrastruktur utama yang diperlukan adalah data jaringan irigasi sekunder dan tersier, jalan usaha tani dan waduk. Beberapa data pendukung lain adalah penggilingan padi, wadah penyimpanan, dan pasar. Terdapat tiga komponen yang dipertimbangkan dalam penetapan lahan sawah berkelanjutan pada penelitian ini, yaitu: 1) kecenderungan konversi lahan dan keberlangsungan lahan melalui minat bertani generasi penerus. Pertanian berskala kecil dan bersifat padat karya membutuhkan peran generasi penerus untuk menjamin keberlanjutan lahan pertanian (White 2012). 2) Indeks pertanaman dan produktivitas padi. Intensitas pertanaman padi yang tinggi dibutuhkan untuk memasok produksi padi ke pasar (Hussain dan Hanjra 2004). Produktivitas padi yang tinggi juga dibutuhkan untuk memenuhi tingkat kebutuhan konsumsi pangan (Rustiadi dan Wafda 2008). 3) Ketepatan waktu tanam padi sesuai jadwal pembagian air. Lahan sawah sebaiknya ditanami sesuai rencana waktu tanam supaya penggunaan irigasi menjadi efisien (Harsoyo 2011).
Perubahan Penggunaan Lahan Sawah Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tata ruang, kawasan pertanian termasuk ke dalam kawasan budidaya, yaitu kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan. Kawasan pertanian lahan basah termasuk dalam lingkup kawasan budidaya pertanian. Kawasan pertanian lahan basah didefinisikan sebagai kawasan yang diperuntukkan bagi tanaman pangan lahan basah dimana pengairannya dapat diperoleh secara alamiah maupun teknis, dalam hal ini yang dimaksud adalah sawah. Perubahan penggunaan lahan sawah menjadi lahan nonsawah memiliki hubungan erat dengan ketahanan pangan yang menjadi landasan dibentuknya UU No. 41/2009 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Berbagai kriteria fisik seperti kesesuaian lahan, sarana irigasi, dan kriteria sosial ekonomi menjadi dasar implementasi peraturan tersebut. Namun demikian, kriteria yang bersifat dinamis seperti potensi lahan terkonversi belum diintegrasikan dengan baik walaupun merupakan tantangan dalam usaha mempertahankan lahan pangan tertentu (Barus et al. 2012a).
4 Sebagian besar penelitian perubahan penggunaan lahan sawah dilakukan pada daerah yang bersifat dinamis seperti suburban atau daerah pinggiran kota. Hasil simulasi Verburg et al. (1999), dalam rentang tahun 1994-2010 terjadi penurunan luasan lahan sawah di wilayah pantai utara Jawa karena peningkatan konversi lahan sawah menjadi pemukiman, perkebunan, dan pertanian lahan kering. Rustiadi dan Panuju (2002) dalam kajiannya juga menyatakan bahwa perubahan penggunaan lahan di daerah suburban sebagian besar adalah menjadi lahan terbangun yang berfungsi sebagai tempat tinggal. Kabupaten Subang terletak bersebelahan dengan Kabupaten Karawang yang merupakan pusat industri. Kedekatan lokasi tersebut diduga mempengaruhi laju perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Subang. Penelitian tentang konversi lahan di Kabupaten Subang telah dilakukan oleh Andalusia (2014) dan memperoleh hasil bahwa perubahan penggunaan lahan terbesar terjadi di bagian tengah, yaitu di Kecamatan Subang, Pabuaran, dan Pagaden. Kecamatan Blanakan tidak mengalami perubahan penggunaan lahan sawah, hanya terdapat perubahan penggunaan lahan dari kebun campuran menjadi lahan terbangun sebesar 1,76 ha. Sementara Kecamatan Ciasem mengalami perubahan lahan sawah menjadi lahan terbangun sebesar 11,12 ha. Seperti Kecamatan Ciasem, Kecamatan Patokbeusi hanya mengalami perubahan penggunaan lahan sawah menjadi lahan terbangun sebesar 8,02 ha. Andalusia (2014) menilai bahwa faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan sawah menjadi lahan terbangun adalah jarak lahan ke pusat kota, jenis tanah, dan pola ruang. Terdapat dua pendekatan besar untuk menelaah perubahan penggunaan lahan, yaitu pendekatan dengan pembandingan peta tematik yang dikenal dengan analisis Land Use/Land Cover Change (LUCC) dan pendekatan dengan prosedur statistika yang tidak melibatkan prosedur klasifikasi (Trisasongko et al. 2009). Pada penelitiannya, Trisasongko et al. (2009) menggunakan metode analisis Land Use/Land Cover Change (LUCC) untuk menganalisis perubahan penggunaan lahan. Verburg et al. (1999) juga menganalisis perubahan penggunaan lahan di Pulau Jawa pada tahun 1979-1994 dengan metode LUCC dan melakukan simulasi perubahan penggunaan lahan tahun 1994-2010 dengan metode CLUE (Conversion of Land Use and Its Effect). Verburg et al. (1999) menemukan bahwa penurunan luasan sawah tertinggi di Pulau Jawa terjadi di daerah pantai utara. Saefulhakim et al. (1999) menyimpulkan tiga faktor penting yang menentukan elastisitas dinamika perubahan penggunaan lahan, yaitu karakteristik fisik lahan, dinamika karakteristik sosial ekonomi wilayah internal, dan karakteristik interaksi spasial kegiatan ekonomi. Ilham et al. (2005) mengelompokkan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan menjadi tiga, yaitu faktor ekonomi, faktor sosial, dan peraturan pertanahan. Dalam kelompok aspek ekonomi, ditemukan bahwa rataan konversi lahan sawah berkorelasi negatif dengan pertumbuhan nilai tukar petani. Daya saing produk pertanian terutama padi dan harga lahan yang cenderung terus meningkat mendorong petani untuk menjual lahan sawahnya untuk beralih ke usaha lain. Sementara itu, aspek sosial yang menjadi pendorong konversi lahan sawah adalah perubahan perilaku dan cara pandang terhadap profesi petani, hubungan pemilik dengan lahan sebagai aset sosial, dan pemecahan lahan akibat sistem waris. Peraturan pertanahan sebagian besar berisi upaya mencegah alih fungsi lahan pertanian beririgasi teknis,
5 sehingga peluang alih fungsi lahan dari sawah irigasi teknis masih mungkin dilakukan.
Pemantauan Indeks Pertanaman dan Produktivitas Padi dengan Citra Satelit Pemantauan indeks pertanaman dan produktivitas padi dibutuhkan oleh perencana kebijakan untuk menyusun strategi ketahanan pangan (Son et al. 2014). Pemantauan indeks pertanaman dan produktivitas padi dapat dilakukan dengan menggunakan nilai indeks vegetasi dari citra satelit. Berbagai kajian menunjukkan bahwa indeks vegetasi digunakan untuk memahami fase pertumbuhan tanaman (Andriarini 2007; Panuju et al. 2009; Heidina 2010; Nuarsa et al. 2011; Cahyaningsih 2012; Kusumawardani et al. 2013; Dirgahayu et al. 2014; Son et al. 2014). Pengamatan fase pertumbuhan padi di lapang menjadi informasi penting untuk memahami kegunaan indeks vegetasi dan indeks pertanaman (Son et al. 2014). Menurut IRRI (2007), secara umum fase pertumbuhan padi terbagi menjadi dua, yaitu fase vegetatif dan generatif. Lamanya fase vegetatif bervariasi tergantung varietas padi, tetapi tetap berkisar antara 55-85 hari. Fase generatif padi digolongkan lagi menjadi fase reproduktif dan pemasakan. Tanaman padi membutuhkan 3-6 bulan untuk tumbuh dari benih hingga menjadi tanaman dewasa, bergantung pada varietas dan kondisi lingkungan. (Yoshida 1981). Varietas padi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu padi berumur pendek (short-duration varieties) yang dapat dipanen pada umur 105120 hari dan padi berumur panjang (long-duration varieties) yang dapat dipanen pada umur sekitar 150 hari (IRRI 2007). Varietas padi berumur 120 hari yang ditanam pada iklim tropis mengalami fase vegetatif selama 60 hari, 30 hari dalam fase reproduktif, dan 30 hari dalam fase pemasakan (Yoshida 1981). Perbedaan masa pertumbuhan (umur) ditentukan oleh lamanya fase vegetatif. Varietas berumur pendek memiliki fase vegetatif yang lebih singkat (IRRI 2007). Pemantauan fase pertumbuhan padi dengan menggunakan citra penginderaan jauh telah dilakukan oleh beberapa peneliti, diantaranya Andriarini (2007), yaitu pemantauan fase padi dengan menggunakan citra SPOT VEGETATION dan mendapatkan nilai Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) padi Ciherang pada masa tanam berkisar antara 0,17-0,26, masa vegetatif maksimum 0,48-0,79, dan masa panen 0,36-0,52. Hasil analisis NDVI padi oleh Cahyaningsih (2012) dengan citra ALOS AVNIR-2 (Advanced Land Observing Satellite Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type 2) menunjukkan hasil yang sama. Nilai NDVI ALOS AVNIR-2 meningkat pada fase vegetatif hingga padi berumur 90 hari. Setelah fase vegetatif, grafik NDVI mengalami penurunan. Dirgahayu et al. (2014) memanfaatkan nilai Enhanced Vegetation Index (EVI) Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) 8 harian untuk pemantauan fase pertumbuhan padi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa saat 60 hari setelah tanam nilai EVI maksimum mencapai lebih dari 0,4, sedangkan nilai EVI saat tanam kurang dari 0,25. Pemantauan fase pertumbuhan padi dengan menggunakan citra optik sebaiknya dilakukan pada musim kemarau. Panuju et al. (2009) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa data MODIS 8 harian masih belum mampu
6 menyediakan data untuk pemantauan tanaman padi terutama saat musim penghujan, karena tutupan awan belum dapat diatasi dengan prosedur koreksi. Nilai indeks NDVI maupun EVI berfluktuasi cukup besar karena adanya gangguan atmosfer. Pemantauan indeks pertanaman dengan NDVI dan EVI MODIS telah dilakukan oleh Son et al. (2014). Pada penelitiannya, Son et al. (2014) mengidentifikasi indeks pertanaman dari nilai maksimum NDVI maupun EVI yang terbentuk dalam rentang waktu 365 hari. Son et al. (2014) menyimpulkan bahwa perbedaan indeks pertanaman dipengaruhi oleh iklim lokal dan irigasi. Secara lebih mendalam, disebutkan bahwa lahan tadah hujan memiliki indeks pertanaman lebih rendah dibandingkan lahan beririgasi. Pendugaan produktivitas padi dengan nilai indeks vegetasi juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Produktivitas tanaman padi dengan nilai NDVI berkorelasi positif. Andriarini (2007) dalam penelitiannya menggunakan data SPOT VEGETATION mendapatkan nilai korelasi sebesar 0,93. Nuarsa et al. (2011) menggunakan data MODIS 8 harian dan mendapatkan nilai korelasi 0,92. Heidina (2010) melakukan pendugaan produktivitas padi dengan nilai NDVI dan EVI MODIS. Korelasi antara produktivitas padi dan nilai NDVI maupun EVI pada fase vegetatif (padi umur 27-74 hari) bernilai negatif. Nilai NDVI dan EVI MODIS pada fase vegetatif tidak dapat digunakan untuk menduga produktivitas padi. Korelasi positif ditunjukkan pada saat padi berumur 83-122 hari. Korelasi positif tertinggi antara nilai NDVI dan EVI dengan nilai produktivitas padi adalah pada saat padi berumur 91-98 hari. Pada umur 91-98 hari padi berada dalam fase vegetatif maksimum (tahap keluar malai) hingga awal fase generatif. Kusumawardani et al. (2013) juga menganalisis korelasi antara nilai EVI citra MODIS pada saat padi berumur 80-90 hari dengan produktivitas padi sawah di Kabupaten Lebak, Banten. Hasil korelasinya adalah sebesar 0,89. Selang umur saat padi keluar malai adalah yang paling baik untuk menduga produktivitas padi. Son et al. (2014) menyimpulkan bahwa pendugaan produktivitas padi dengan nilai EVI lebih akurat dibandingkan NDVI.
Peran Irigasi dalam Penentuan Lahan Sawah Berkelanjutan Sarana irigasi berperan besar dalam peningkatan peningkatan luas panen dan produksi padi. Indonesia yang semula menjadi pengimpor beras mampu berswasembada beras pada 1984 karena pembangunan sarana irigasi (Hardjoamidjojo 1997). Pada awal pembangunan fasilitas irigasi Jatiluhur, sebanyak tiga juta ton padi per-tahun atau setara 8% produksi nasional dan 48% produksi Jawa Barat dipenuhi oleh lahan sawah irigasi yang termasuk dalam Daerah Irigasi Jatiluhur (Masjihudi 2003). Lebih lanjut, Hardjoamodjojo (1997) menyatakan bahwa keberadaan sarana irigasi memungkinkan produksi padi yang lebih tinggi melalui peningkatan indeks pertanaman. Ketersediaan sarana irigasi mampu meningkatkan indeks pertanaman melalui penyediaan air (Naylor et al. 2007 dan Son et al. 2014). Sejak Perum Otorita Jatiluhur (sekarang Perum Jasa Tirta) dipisahkan dari Unit Pelaksana Teknis Proyek Irigasi Jatiluhur, Perum Jasa Tirta tidak lagi mendapat subsidi dari pemerintah untuk biaya eksploitasi dan pemeliharaan
7 prasarana pengairan. Biaya tersebut belum dapat dipenuhi oleh pendapatan dari tarif jual tenaga listrik dan pelayanan air baku. Ironisnya, inefisiensi irigasi yang merupakan rasio realisasi dan rencana pemberian air irigasi masih tinggi, yaitu 140%. Inefisiensi terjadi karena keterlambatan petani dalam mengolah tanah maupun menanam padi. Akibatnya, fungsi sarana dan prasarana irigasi semakin menurun (Masjihudi 2003). Untuk mempertahankan lahan sawah diperlukan sarana irigasi yang memadai untuk menyediakan air. Penyediaan air melalui sarana irigasi akan tercapai dan berkelanjutan jika sarana dan prasarana irigasi dikelola dengan baik. Pengelolaan sarana dan prasarana akan berjalan dengan baik bila terdapat biaya yang cukup untuk operasi dan pemeliharaan saluran irigasi. Perlu efisiensi air irigasi untuk mengurangi biaya operasional irigasi, sehingga biaya tersebut dapat dialokasikan untuk pemeliharaan sarana dan prasarana irigasi (Masjihudi 2003). Analisis ketepatan waktu tanam petani perlu dijadikan pertimbangan dalam penetaan lahan sawah berkelanjutan karena berhubungan dengan efisiensi air irigasi. Secara tidak langsung, ketepatan waktu tanam menjamin sarana dan prasarana irigasi berfungsi dengan baik.
METODE Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Blanakan, Ciasem, dan Patokbeusi Kabupaten Subang. Ketiga kecamatan merupakan bagian dari daerah Pantai Utara (pantura) Jawa Barat. Secara administratif wilayah Kecamatan Blanakan terbagi menjadi sembilan desa, Ciasem sembilan desa, dan Patokbeusi sepuluh desa. Wilayah penelitian berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Kecamatan Sukasari, Tambakdahan, dan Cikaum di sebelah timur, Kecamatan Pabuaran dan Purwadadi di sebelah selatan, serta Kabupaten Karawang di sebelah barat. Secara umum, wilayah penelitian disajikan dalam Gambar 1.
Gambar 1 Lokasi Penelitian
8 Analisis data dilakukan di Divisi Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan sejak bulan Juli 2013 sampai Juli 2014.
Bahan dan Alat Bahan dan sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian disajikan di dalam Tabel 1. Secara lebih rinci spesifikasi citra satelit yang digunakan disajikan dalam Tabel 2. Tabel 1 Bahan dan Sumber Data Sekunder No.
Bahan
Sumber Data
1.
Citra ALOS AVNIR-2 tahun 2010
Kerjasama Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA)
2.
Citra Landsat-8 tahun 2013
United States Geological Survey (USGS)
3.
Peta RTRW Kabupaten Subang
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kab. Subang
4.
Peta administrasi desa, peta jalan, dan peta sungai Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Citarum-Ciliwung RBI 1:25.000 Kabupaten Subang
5.
Peta RBI lembar Jatisari, Ciasem, Pabuaran, dan Purwadadi skala 1:25.000
Outlet Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), Divisi Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Institut Pertanian Bogor
6.
Citra IKONOS tahun 2009
Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W)
7.
Citra MODIS Terra MOD13Q1 tahun 2013-2014 Level 1 and Atmosphere Archive and Distribution System (LAADSWEB)
8.
Data tanggal tanam, tanggal panen, dan produksi padi musim tanam gadu (kemarau) 2013 dan rendeng (hujan) 2014
Kantor Regional I PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang
9.
Peta jaringan irigasi primer hingga sekunder Kabupaten Subang
Perum Jasa Tirta II Divisi III Kabupatan Subang
10.
Peta Golongan Tanam Musim Tanam Rendeng dan Gadu Tahun 2013-2014
Perum Jasa Tirta II Divisi III Kabupatan Subang
11.
Data potensi desa Tahun 2006 dan 2012
Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W)
Tabel 2 Spesifikasi Citra Satelit No.
Jenis Citra
Jumlah Scene
Tanggal Akuisisi
1.
Landsat-8
2
22 Juni 2013 dan 8 Juli 2013
Resolusi Spasial: 30x30m (pankromatik 15x15m) Temporal: 16 hari Spektral: 11 kanal (1)
2.
MODIS Terra (MOD13Q1)
23 (2013) dan 9 (2014)
1 Januari 2013 s/d 9 Mei 2014
Spasial : 250x250 m Temporal: 16 hari Spektral: 6 kanal (NDVI, EVI, blue, red, NIR, dan MIR) (2)
3.
ALOS AVNIR-2
1
18 November 2010
Spasial: 10x10 m Temporal: 46 hari Spektral: 4 kanal (3)
Spasial: 4x4 m (pankromatik 1x1m) Temporal: 3 hari Spektral: 5 kanal (4) .(1) http://landsat.usgs.gov/landsat8.php (diakses tanggal 1 Agustus 2013) .(2) https://lpdaac.usgs.gov/products/modis_products_table/mod13q1 (diakses tanggal 16 Desember 2014) .(3) www.eorc.jaxa.jp/ALOS/en/about/avnir2.htm (diakses 6 Januari 2015) .(4) Dial G, Bowen H, Gerlach F, Grodecki J, Oleszczuk R. 2003. IKONOS satellite, imagery, and products. Remote Sens. Enviro. 83: 23-36
4.
IKONOS
-
2009
9 Alat yang digunakan dalam penelitian adalah seperangkat komputer dengan perangkat lunak Microsoft Office 2010, ArcGIS 9.3, ArcView 3.2, ENVI 4.5, Statistica 7, Google Earth, Global Positioning System (GPS), dan kuesioner (Lampiran 1).
Pelaksanaan Penelitian Penentuan prioritas lahan sawah berkelanjutan merupakan tujuan utama dalam penelitian ini. Analisis perubahan penggunaan lahan sawah merupakan salah satu komponen penting dalam menentukan prioritas lahan sawah berkelanjutan. Data sebaran sawah serta laju perubahan penggunaan lahan perlu diidentifikasi agar penetapan lahan sawah prioritas bersesuaian dengan fenomena aktual. Lahan sawah terkini kemudian dianalisis lebih lanjut berdasarkan beberapa kriteria untuk menentukan prioritas lahan sawah berkelanjutan. Komponen ketepatan waktu tanam, indeks pertanaman, dan produksi padi menjadi penentu prioritas lahan sawah berkelanjutan. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 2. Citra Satelit ALOS AVNIR-2 2010
Citra Satelit Landsat-8 2013
Klasifikasi Penutupan Lahan
Klasifikasi Penutupan Lahan Pengecekan Lapang
Peta Perubahan Penutupan Lahan
Peta Perubahan Penggunaan Lahan
Sebaran dan Luasan Sawah tahun 2013
Pemantauan dengan MOD13Q1
Analisis Korelasi
Ketepatan Waktu Tanam
Gambar 2 Diagram Alir Penelitian
Jaringan Irigasi
Laju Perubahan Penggunaan Lahan Sawah
Produktivitas Padi
Data sekunder PT. SHS
Minat Bertani Generasi Penerus
Indeks Pertanaman
Pemantauan dengan MOD13Q1
Kuesioner Kepada Petani
Penentuan Prioritas Lahan Sawah Berkelanjutan
10 Pelaksanaan penelitian terbagi dalam lima tahap, yaitu (1) estimasi kecenderungan konversi lahan melalui minat bertani generasi penerus dan laju perubahan penggunaan lahan, (2) identifikasi indeks pertanaman dan produktivitas padi dengan menggunakan citra satelit, (3) analisis peran irigasi dan faktor lain terhadap kecenderungan konversi lahan sawah dan produktivitas padi, (4) analisis ketepatan waktu tanam padi berdasarkan jadwal pembagian air, dan (5) penentuan prioritas lahan sawah berkelanjutan. Secara lebih detil, jenis data yang digunakan, teknik analisis, dan keluaran disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3 Jenis Data, Teknik Analisis, dan Keluaran Data Penelitian No. 1.
2.
3.
Tujuan Penelitian Jenis Data Teknik Analisis Keluaran Estimasi kecenderungan konversi lahan melalui minat bertani generasi penerus dan laju perubahan penggunaan lahan a. Identifikasi perubahan penggunaan lahan tahun 2010 hingga 2013.
Citra ALOS AVNIR-2 2010, Landsat 8 2013, IKONOS 2010, Peta Dasar (jalan dan sungai 1:25.000), Peta Administrasi Kabupaten Subang, Peta RBI (lembar Jatisari, Ciasem, Pabuaran, dan Purwadadi) 1:25.000.
Penyiapan citra digital (Stack, fusi data, Mosaic, dan koreksi geometri), klasifikasi visual penutupan lahan, dan pengecekan lapang penggunaan lahan.
Peta perubahan penggunaan lahan tahun 2010-2013.
b. Analisis minat bertani generasi penerus.
Data Hasil Wawancara (usia, tingkat pendidikan, kepemilikan sawah, luas sawah yang dimiliki, jarak ke penggilingan, pasar, dan penyimpanan, akses jalan ke industri non-pertanian, dan minat bertani genersi penerus)
Analisis Pohon Keputusan
Analisis kriteria yang mempengaruhi minat bertani generasi penerus.
Identifikasi indeks pertanaman dan estimasi produktivitas padi dengan menggunakan citra satelit a. Identifikasi indeks pertanaman per tahun
Citra MOD13Q1 2013-2014, Data Hasil Wawancara (tanggal tanam dan tanggal panen), Data tanggal tanam PT. Sang Hyang Seri
Analisis deskriptif
Grafik EVI indeks pertanaman per tahun dan fase pertumbuhan padi.
b. Estimasi produktivitas padi
Citra MOD13Q1 2013-2014, Data Hasil Wawancara (produksi padi per tahun), Data produsi PT Sang Hyang Seri
Analisis deskriptif dan uji korelasi.
Koefisien korelasi dari model produksi padi dan EVI.
Analisis peran irigasi dan faktor lain terhadap kecenderungan konversi lahan sawah dan produktivitas padi a. Analisis peran irigasi dan faktor lain terhadap kecenderungan konversi lahan.
Peta Perubahan Penggunaan Lahan 2010-2013, Data Potensi Desa tahun 2006 dan 2012, Peta Jalan, dan Peta Jaringan Irigasi
Teknik analisis citra (clip, intersect, dissolve), Uji korelasi dan regresi linier berganda
Peran irigasi dan faktor lain terhadap kecenderungan konversi lahan sawah.
b. Analisis peran irigasi terhadap produktivitas padi.
Peta Irigasi primer-sekunder, Data Hasil Wawancara (produksi padi per musim)
Buffer, interpolasi, dan analisis deskriptif
Produktivitas padi pada berbagai kelas buffer irigasi.
4.
Analisis ketepatan waktu tanam padi berdasarkan jadwal pembagian air.
Peta Irigasi primer-sekunder, Peta Golongan Tanam, Data Hasil Wawancara (tanggal tanam dan tanggal panen),
Wawancara dan analisis deskriptif
Ketepatan waktu tanam padi berdasarkan jadwal pembagian air
5.
Penentuan prioritas lahan sawah berkelanjutan.
Hasil tujuan 1, 2, 3, dan 4.
Teknik intersect dan analisis deskriptif
Peta prioritas lahan sawah berkelanjutan
11
Penjelasan rinci mengenai teknik pelaksanaan penelitian yang digunakan dalam penelitian diuraikan menurut tahapannya dalam pembahasan berikut. Estimasi Kecenderungan Konversi Lahan melalui Minat Bertani Generasi Penerus dan Laju Perubahan Penggunaan Lahan Identifikasi Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2010 hingga 2013 Tahapan pertama yang dilakukan dalam identifikasi perubahan penggunaan lahan adalah klasifikasi penutupan/penggunaan lahan dari citra dua titik waktu. Dua buah citra yang digunakan untuk mengidentifikasi perubahan penggunaan lahan adalah ALOS AVNIR-2 tahun 2010 dan citra Landsat-8 tahun 2013. Citra ALOS AVNIR-2 memiliki resolusi spasial 10x10 m dengan empat kanal spektral. Citra ALOS AVNIR-2 yang didapatkan telah merupakan citra komposit warna asli sehingga tidak perlu dilakukan penggabungan kanal citra (layer stacking). Citra ALOS AVNIR-2 dikoreksi geometri terhadap peta jalan dan sungai RBI skala 1:25.000 dengan menggunakan empat titik kontrol (GCPGround Control Point). Citra Landsat-8 terdiri dari sebelas kanal yang terpisah, sehingga perlu dilakukan penggabungan kanal terlebih dahulu untuk mendapatkan citra komposit. Penggabungan kanal dilakukan untuk kanal 1 s/d 7 dan kanal 9. Kanal 10 dan 11 merupakan kanal thermal infrared (TIR) yang digunakan untuk memantau temperatur permukaan bumi. Kanal 10 dan 11 tidak digunakan karena tidak dibutuhkan dalam klasifikasi penutupan lahan. Kanal 8 dibedakan dengan kanal lainnya karena resolusi spasialnya berbeda, yaitu 15x15 meter. Setelah penggabungan kanal citra dilakukan, tahapan selanjutnya untuk citra Landsat-8 adalah melakukan fusi data. Fusi data merupakan suatu teknik penajaman citra dengan memanfaatkan kanal pankromatik yang resolusi spasialnya lebih tinggi. Tujuan dilakukannya fusi data adalah untuk mendapatkan citra komposit dengan ketajaman citra sesuai dengan resolusi spasial kanal pankromatik. Fusi data Landsat-8 dilakukan untuk mendapatkan citra yang resolusi spasialnya dapat dipadukan dan relatif lebih sepadan dengan citra ALOS AVNIR-2 untuk analisis perubahan penutupan lahan. Dalam kasus ini, citra Landsat-8 yang memiliki kanal cahaya tampak dan infrared 30x30 m akan dipertajam dengan kanal pankromatik (kanal 8) dengan resolusi spasial 15x15 meter. Sehingga dihasilkan citra komposit dengan resolusi spasial 15x15 meter. Fusi data dilakukan dengan metode principal component analysis (PCA). Metode PCA merupakan metode penajaman citra basis spektral yang mengganti komponen utama pertama citra dengan komponen spektral resolusi tinggi dari citra pankromatik (Jie-Lun 2014). Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan dalam melakukan fusi data, yaitu metode high saturation value (HSV), color normalized-spectral (CN-spectral), color normalized Brovey (CN-Brovey), PCA, dan Gram-Schmidt. Metode HSV menghasilkan citra yang lebih tajam dari citra awal, tetapi memberi informasi warna yang berbeda dengan citra awal (terjadi distorsi warna), hal yang sama juga terjadi pada hasil fusi dengan metode CN-spectral dan CN-Brovey (Yuhendra 2013). Berbeda dengan ketiga metode tersebut, metode PCA memperlihatkan kedekatan dengan warna citra
12 multispektral awal (Wandayani 2007). Metode Gram-Schmidt merupakan metode yang paling baik untuk melakukan penajaman citra dengan nilai akurasi paling tinggi (Yuhendra 2013). Namun demikian, waktu yang digunakan untuk melakukan proses penajaman dengan metode Gram-Schmidt akan lebih panjang. Pada penelitian ini, metode Gram-Schmidt tidak digunakan untuk fusi data karena terjadi kegagalan (error) saat proses fusi. Metode PCA tetap digunakan untuk fusi data karena metode tersebut adalah metode terbaik setelah Gram-Schmidt. Identifikasi perubahan penggunaan lahan dilakukan pada seluruh wilayah Kabupaten Subang, sehingga diperlukan teknik mosaik citra untuk menggabungkan dua potong citra Landsat-8 dengan posisi koordinat (path-row) berbeda. Mosaik citra dalam penelitian ini dilakukan untuk menggabungkan potongan citra Kabupaten Subang bagian utara dan selatan. Setelah mosaik citra, dilakukan koreksi geometri antara citra Landsat-8 dan citra ALOS-AVNIR-2 dengan menggunakan 20 GCP. Nilai root mean square error (RMSE) yang diperoleh adalah 1,41. Nilai ini menunjukkan tingkat ketepatan pada koreksi citra. Penyimpangan titik pada citra dengan kondisi aktual di lapang adalah sebesar 1,41 dikalikan ukuran piksel citra. Penyimpangan yang mungkin terjadi untuk citra Landsat-8 adalah sebesar 21,15 m, sedangkan untuk citra ALOS AVNIR_2 adalah 14,1 m. Landsat-8 diolah dengan perangkat lunak berbasis raster ENVI 4.5 selama tahap pre-processing (penyiapan data), diantaranya layer stacking, fusi data, dan mosaik citra. Koreksi geometri diakukan dengan perangkat lunak Arc-View 3.2. Setiap citra diklasifikasikan secara visual ke dalam enam kelas penutupan lahan, yaitu lahan sawah, tambak, tanaman pertanian lahan kering (TPLK), hutan, badan air, dan lahan terbangun. Lahan terbangun yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan tutupan lahan buatan yang bersifat permanen, seperti kawasan permukiman, perkantoran, industri, dan sebagainya. Sedangkan kelas TPLK mencakup tegalan dan kebun campuran. Pembagian kelas lahan terbangun dan TPLK tidak diklasifikasikan lebih lanjut mengingat fokus penelitian adalah lahan sawah. Klasifikasi menghasilkan data antara berupa peta penutupan lahan tahun 2010 dan tahun 2013. Metode untuk menganalisis perubahan penggunaan lahan dalam penelitian ini adalah dengan melihat perbedaan keterangan atribut setiap poligon pada peta penggunaan lahan Tahun 2010 dan 2013. Peta penggunaan lahan tahun 2010 diperoleh dari hasil klasifikasi penggunaan lahan citra ALOS AVNIR-2 tahun 2010 dan peta penggunaan lahan tahun 2013 dari hasil fusi dan klasifikasi citra Landsat-8 tahun 2013. Diagram alir identifikasi perubahan penggunaan lahan tahun 2010 hingga 2013 disajikan dalam Gambar 3. Setelah identifikasi perubahan penggunaan lahan dilakukan, langkah selanjutnya adalah pengecekan lapang peta penutupan lahan untuk membuat peta penggunaan lahan. Jumlah titik pengecekan lapang untuk setiap desa berbeda menurut luasan konversi lahan dan panjang irigasi. Luasan konversi lahan dan panjang irigasi dibagi menjadi enam kelas. Setiap desa termasuk dalam satu kelas panjang irigasi dan satu kelas konversi lahan. Penentuan jumlah titik cek lapang disajikan dalam Tabel 4, 5, dan 6.
13
an
B B
an Kanal 9 Kanal 1-7 dan d 1 (Low spatial d 1resolution multi band) 30x30m
Citra Landsat-8 Tahun 2013
Multispectral high spatial resolution 15x15m
Kanal 8 (High spatial resolution) 15x15m
Penajaman Citra dengan teknik fusi data (data fusion) Citra ALOS AVNIR-2 Tahun 2010
Citra Landsat-8 Tahun 2013 Komposit RGB (6-5-3)
Menggabungkan (Mosaic) Citra
Koreksi Geometri
Peta Jalan Peta Sungai
Citra Landsat-8 Tahun 2013 Terkoreksi
Citra ALOS-AVNIR-2 Tahun 2010 Terkoreksi
Interpretasi Visual
Peta Kerja + Kuesioner
Peta Penutupan Lahan Tahun 2010
Peta Penutupan Lahan Tahun 2013
Cek Lapang dan Wawancara
Penentuan Jumlah Titik Cek Lapang: Luas Konversi dan Panjang Irigasi setiap desa Peta Perubahan Penggunaan Lahan
Peta Penggunaan Lahan Tahun 2010
Peta Penggunaan Lahan Tahun 2013
Analisis Perubahan Penggunaan Lahan
Gambar 3 Diagram Alir Identifikasi Perubahan Penggunan Lahan Tahun 20102013 Tabel 4 Kelas Panjang Irigasi Panjang Irigasi Setiap Desa 424-2016 2017-3609 3610-5202 5203-6795 6796-8388 8389-9981
Kelas 1 2 3 4 5 6
Tabel 5 Kelas Konversi Lahan Luas Konversi Lahan Setiap Desa 0-6,03 6,04-12,06 12,07-18,09 18,10-24,12 24,13-30,15 30,16-36,18
Kelas 1 2 3 4 5 6
14 Tabel 6 Jumlah Sampel Setiap Desa Kombinasi Jumlah Sampel Desa Kelas Setiap Desa 11 Muara 3 13 Jayamukti 3 14 Langensari 3 22 Blanakan 3 23 Tanjungtiga 3 25 Cilamaya Hilir 3 44 Rawameneng 6 55 Rawamekar 9 66 Cilamaya Girang 9 22 Sukahaji 3 24 Ciasem Girang 3 25 Ciasem Baru 3 25 Ciasem Tengah 3 25 Ciasem Hilir 3 34 Sukamandijaya 3 36 Pinangsari 6 41 Jatibaru 6 43 Dukuh 6 11 Jatiragas Hilir 3 11 Rancaasih 3 12 Ciberes 3 21 Rancajaya 3 21 Rancamulya 3 21 Tanjungrasa Kidul 3 22 Gempolsari 3 31 Tambakjati 6 33 Tanjungrasa 3 52 Rancabango 9 Jumlah
Jumlah Sampel Setiap Kecamatan
42
36
39 117
Jumlah minimal titik pengecekan lapang untuk setiap desa sebanyak tiga titik dan jumlah maksimal sembilan titik. Jumlah total seluruh titik untuk pengecekan lapang adalah 117 titik. Bersamaan dengan pengecekan lapang untuk perubahan penggunaan lahan, dilakukan wawancara kepada petani tentang minat bertani generasi penerus dengaan daftar pertanyaan seperti pada Lampiran 1. Jumlah responden adalah sebanyak 117 responden, sesuai dengan jumlah titik pengecekan lapang. Lokasi pengecekan lapang disajikan pada Gambar 4.
15
(a)
(b)
16
(c) Gambar 4 Lokasi Pengecekan Lapang Kecamatan (a) Blanakan, (b) Ciasem, dan (c) Patokbeusi Analisis perubahan penggunaan lahan dilakukan untuk mengetahui sebaran dan luasan lahan yang berubah penggunaannya. Sebaran dan luasan perubahan penggunaan lahan diperoleh dengan membandingkan jenis penggunaan lahan pada peta penggunaan lahan tahun 2010 dan 2013. Jika isi kolom atribut penggunaan lahan tahun 2010 dan tahun 2013 pada poligon tersebut sama, maka poligon tersebut dinyatakan tidak mengalami perubahan penggunaan lahan. Jika isi kedua kolom tersebut berbeda, maka poligon tersebut mengalami perubahan penggunaan lahan. Analisis perubahan penggunaan lahan pada data atribut diilustrasikan seperti Gambar 5.
Gambar
5
Ilustrasi Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dengan Membandingkan Atribut Peta Penggunaan Lahan Tahun 2010 dan 2013
Kolom (field) LU_2010 pada data atribut menunjukkan interpretasi penggunaan lahan tahun 2010, kolom LU_2013 merupakan interpretasi penggunaan lahan tahun 2013, kolom LUC menunjukkan jenis perubahan, dan kolom LUAS_LUC menunjukkan luasan poligon dalam satuan hektar (ha).
17 Analisis Minat Bertani Generasi Penerus Pertanian berskala kecil dan bersifat padat karya membutuhkan peran generasi penerus untuk menjamin keberlanjutan lahan pertanian (White 2012). Namun demikian, minat generasi penerus semakin berkurang sehingga peluang konversi lahan sawah menjadi lahan nonsawah menjadi semakin tinggi. Analisis faktor yang mempengaruhi minat generasi penerus dibutuhkan sebagai komponen untuk mengetahui kecenderungan konversi lahan yang mengancam keberlanjutan lahan sawah di masa akan datang. Minat bertani generasi penerus dianalisis dengan menggunakan metode pohon keputusan. Seluruh contoh dari peubah penduga dan peubah tujuan merupakan hasil wawancara dengan para petani dan pengisian kuisioner pada saat pemantauan lapang. Peubah tujuan adalah minat bertani generasi penerus dan peubah penduga adalah usia petani, tingkat pendidikan petani, kepemilikan sawah, luas sawah yang dimiliki, jarak dari penyimpanan, penggilingan, dan pasar, serta keberadaan akses jalan raya ke pabrik tekstil. Perangkat lunak yang digunakan adalah Ms.Excel dalam tahap penyiapan data dan Statistica 7 untuk tahap eksplorasi data. Teknik pohon keputusan merupakan sebuah metode analisis data. Beragam teknik analisis pohon keputusan telah dikembangkan, diantaranya CART (Classification and Regression Trees), CHAID (Chi-Squared Automatic Interaction Detection), C4.5, QUEST (Quick, Unbiased and Efficient Statistical Tree), dan CRUISE (Classification Rule with Unbiased Interaction Selection and Estimation) (Erika et al. 2006; Panuju dan Trisasongko 2008). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pohon keputusan CART yang dikembangkan oleh Breiman et al. (1984). Metode CART menghasilkan suatu pohon klasifikasi jika peubah responnya kategorik, dan menghasilkan pohon regresi jika peubah responnya kontinu (Komalasari 2007). Metode CART digunakan karena peubah penduga yang dianalisis merupakan peubah kontinu dan kategorik. Bentuk dari diagram pohon keputusan disajikan dalam Gambar 6.
Gambar 6 Diagram pohon keputusan CART Pada Gambar 6 tersebut ditunjukkan A, B, dan C merupakan peubahpeubah penduga yang terpilih untuk menjadi simpul. A merupakan simpul induk, sementara B dan C merupakan simpul anak. C juga merupakan simpul akhir yang tidak bercabang lagi. Alpha (α) dan beta (β) merupakan nilai tengah antara dua nilai pengamatan peubah Xj secara berurutan.
18 Pada penelitian ini yang menjadi peubah tujuan adalah minat bertani generasi penerus. Peubah bebas kategorik adalah pendidikan petani, kepemilikan sawah petani, dan keberadaan akses jalan ke perusahaan. Peubah bebas kontinu adalah usia petani, luas kepemilikan sawah petani, jarak lahan ke penggilingan, jarak lahan ke tempat penyimpanan, dan jarak lahan ke pasar. Spesifikasi setiap peubah penduga dan peubah tujuan dtampilkan dalam Tabel 7. Tabel 7 Spesifikasi Setiap Peubah dalam Analisis CART Kode
Jenis
Kategori
Kategorik
Usia Pendidikan
Minat bertani generasi penerus Usia petani Tingkat pendidikan petani
Sawah milik
Kepemilikan sawah
Kategorik
Luas Penggilingan
Luas sawah yang dimiliki Jarak lahan sawah ke penggilingan Jarak lahan sawah ke tempat penyimpanan padi Jarak lahan sawah ke pasar Keberadaan akses jalan raya ke pabrik tekstil
Kontinu Kontinu
Ya. Berminat bertani, Tidak. Tidak berminat bertani a. SD, b. SLTP, c. SLTA, d. Diploma, e. Sarjana, f. Pascasarjana, g. Tidak pernah bersekolah 1. Memiliki sawah, 0. Tidak memiliki sawah -
Kontinu
-
Kontinu Kategorik
1. Ada akses, 0. Tidak ada akses
Minat Bertani
Penyimpanan Pasar Akses PT
Peubah
Kontinu Kategorik
Identifikasi Indeks Pertanaman dan Estimasi Produktivitas Padi dengan Menggunakan Citra Satelit Padi sebagai tanaman semusim memiliki dua fase pertumbuhan. Setiap fase terjadi dalam kurun waktu yang singkat sehingga dibutuhkan suatu teknologi yang mampu memantau fase pertumbuhan padi pada cakupan area yang luas. Menurut Panuju et al. (2009), aplikasi pemantauan padi yang memiliki siklus pertumbuhan sangat cepat membutuhkan konfigurasi deret waktu. Citra MODIS terra MOD13Q1 menyediakan konfigurasi deret waktu yang sesuai untuk pemantauan padi. Pada penelitian ini, pemantauan fase pertumbuhan padi dengan citra satelit dibutuhkan untuk mengidentifikasi indeks pertanaman dan mengestimasi produktivitas padi. Diagram alir analisis indeks pertanaman dan estimasi produktivitas padi disajikan pada Gambar 7. Indeks pertanaman padi diidentifikasi dari pola grafik EVI yang menggambarkan fase pertumbuhan vegetatif dan generatif padi. Jika dalam satu tahun terbentuk dua titik maksimum, maka diduga lahan tersebut ditanami padi sebanyak dua kali setahun. Titik pengamatan pada analisis indeks pertanaman padi ditambah dengan titik yang ditentukan secara acak untuk mengetahui nilai indeks pertanaman padi pada lahan yang masih belum terwakili. Grafik EVI memuat keterangan vigor tanaman yang ditunjukkan oleh tingkat kehijauan tanaman padi pada lokasi tertentu (Huete et al. 2002). Pada penelitian ini, grafik EVI memuat keterangan tentang kondisi hamparan tanaman padi yang terekam dalam satu piksel citra MODIS atau seluas 6,25 ha.
19
Identifikasi Indeks Pertanaman dengan Citra Satelit
MOD13Q1 (H28-V09) (9 MEI 2013-9MEI 2014) Proyeksi Sinusoid Pengubahan Proyeksi
MOD13Q1 (H28-V09) (9 MEI 2013-9 MEI 2014) Proyeksi UTM 48S Stack Data EVI berdasarkan Tanggal Data MOD13Q1 sesuai Urutan Tanggal (9 Mei 2013-9 Mei 2014)
Koordinat Cek Lapang Konversi titik cek lapang menjadi titik pengamatan pada citra (Region of Interest/ROI)
Peta Lahan yang Sesuai dengan Citra
Identifikasi indeks Pertanaman Padi
Grafik EVI
Tanggal Padi Keluar Malai (Heading)
Tanggal Tanam PT. Sang Hyang Seri Subang
Dijitasi Ulang Peta Lahan
Peta Lahan Swakelola PT. Sang Hyang Seri Subang
Gambar 7
Tanggal tanam pada titik pengamatan (ROI)
Ekstrak Data EVI
Pemilihan Titik Sampel (ROI)
Citra IKONOS 2009
Kuesioner dan Wawancara dengan Petani
Nilai EVI saat Padi Keluar Malai (Heading)
Analisis Korelasi
Data Produksi Padi Per-Blok Tanam PT. Sang Hyang Seri Subang
Estimasi Produktivitas Padi dengan Citra Satelit
Diagram Alir Identifikasi Indeks Pertanaman dan Estimasi Produktivitas Padi
Untuk membuat data seri waktu dan menganalisis pola grafik EVI, digunakan citra MOD13Q1 Tahun 2013-2014. Nilai EVI diekstrak dari hasi penggabungan citra dalam satu tahun dengan menggunakan persamaan berikut: - red N EV * + * red - . * blue +1 N = Nilai reflektan NIR = kanal 2 = Nilai reflektan biru = kanal 3
= Nilai reflektan merah = kanal 1 G = Gain factor = 2,5
** Huete A, Justice C, Leeuwen WV. 1999. MODIS Vegetation Index (MOD13) Algorithm Theoretical Basis Document. Arizona(US): Arizona Univ.
20 Nilai EVI juga dapat diekstrak dengan langsung menggunakan kanal EVI pada MOD13Q1. Berdasarkan hasil penumpukan citra MOD13Q1 kanal EVI selama satu musim tanam, diperoleh deret nilai EVI tanaman yang direpresentasikan dalam bentuk grafik (Gambar 8).
Gambar 8 Hubungan Nilai EVI dengan Umur Tanaman Padi Piksel yang digunakan untuk analisis nilai EVI dipilih dari citra dengan bantuan Region of Interest tool (ROI tool). Titik cek lapang dimanfaatkan sebagai ROI, sembilan piksel untuk setiap ROI. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan dari nilai EVI yang disajikan dan memperhalus tampilan grafik. Grafik EVI yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil ekstraksi nilai reflektan citra MODIS pada lahan swakelola PT. Sang Hyang Seri. Grafik EVI di lahan swakelola PT. Sang Hyang Seri layak dijadikan standar untuk memprediksi fase pertumbuhan padi karena pola yang ditunjukkan seragam untuk setiap lokasi. Jadwal tebar, tanam, dan panen PT. Sang Hyang Seri telah terarsip dengan jeda tanam maksimal dua minggu untuk setiap lahan dengan varietas sama yang jaraknya berdekatan. Hal ini sangat menguntungkan dalam hal jumlah ulangan ROI. Luas per-blok lahan PT. Sang Hyang Seri adalah 8-9 ha. Luasan blok sawah (lapangan) PT. Sang Hyang Seri bersesuaian dengan ukuran piksel citra MOD13Q1 yaitu 6,25 ha per piksel. Estimasi produktivitas padi dapat dihitung dari hubungan nilai EVI padi dengan produktivitas padi di lapang pada saat padi berumur 80-90 hari atau pada saat padi mulai keluar malai (Heidina 2010; Kusumawardani et al. 2013). Produktivitas padi setiap blok tanam diperoleh dari data laporan per-blok tanam PT. Sang Hyang Seri yang dilaporkan setiap musim tanam. Analisis korelasi dilakukan terhadap nilai EVI dari setiap lokasi contoh dengan produktivitas padi (ton/ha) setiap blok tanam PT. Sang Hyang Seri untuk menguji hipotesis hubungan antara dua peubah tersebut. Jika nilai koefisien korelasi semakin mendekati -1 atau 1, berarti hubungan antar kedua peubah tersebut cukup kuat. Sebaliknya, semakin mendekati 0, nilai korelasinya semakin lemah dan berarti semakin lemah hubungan antar kedua peubah. Dijitasi ulang lahan PT. Sang Hyang Seri dilakukan untuk mendapatkan peta lahan yang sesuai dengan citra yang digunakan. Setiap poligon blok tanam ditentukan titik tengahnya dengan menggunakan aplikasi feature to point pada perangkat lunak ArcGIS. Setiap titik yang menjadi pewakil dari blok tanam digunakan sebagai titik pengamatan. Gambar 9 menyajikan lokasi lahan swakelola PT. Sang Hyang Seri Regional Subang yang digunakan dalam analisis produktivitas padi.
21
Gambar 9 Lokasi Lahan PT. Sang Hyang Seri Nilai EVI diekstrak dengan menggunakan perangkat lunak ENVI 4.5 dan disimpan dalam format data teks (*.txt). Nilai EVI kemudian diolah dalam Ms.Excel untuk mendapatkan nilai EVI saat padi keluar malai. Selanjutnya dilakukan analisis korelasi antara nilai EVI saat padi keluar malai dengan produktivitas padi PT.Sang Hyang Seri untuk mengetahui hubungan antara nilai EVI dengan produktivitas padi di lahan. Jika korelasinya tinggi, artinya hubungan antar peubah tinggi dan nilai EVI dapat digunakan untuk mengestimasi produktivitas padi di lahan. Namun demikian, jika nilai korelasinya rendah, maka nilai EVI belum dapat digunakan untuk mengestimasi produktivitas padi di lahan. Analisis Peran Irigasi dan Faktor Lain terhadap Kecenderungan Konversi Lahan Sawah dan Produktivitas Padi Analisis Peran Irigasi dan Faktor Lain terhadap Kecenderungan Konversi Lahan Sawah Kecenderungan konversi lahan merupakan kriteria dinamis yang perlu diintegrasikan dengan penentuan prioritas lahan sawah berkelanjutan (Barus et al. 2012a). Peran irigasi merupakan faktor utama yang dianalisis hubungannya dengan kecenderungan konversi lahan sawah. Faktor lainnya digunakan sebagai pendukung, karena kecenderungan konversi lahan tidak hanya dipengaruhi oleh irigasi. Peranan irigasi dipelajari sebagai faktor utama karena irigasi diperlukan untuk memastikan ketersediaan air bagi pertumbuhan tanaman padi. Namun demikian, lahan sawah dengan sarana irigasi berpotensi untuk berubah penggunaannya menjadi lahan perumahan maupun indutri. Kemudahan akses terhadap sumber air dan drainase serta topografi lahan sawah yang datar meningkatkan potensi sawah irigasi menjadi lahan terbangun (Azadi et al. 2010). Selain keberadaan sarana irigasi, kecenderungan konversi lahan sawah dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk dan urbanisasi (Rahman 2010). Keberdaan infrastruktur jalan juga memberikan pengaruh besar pada penyebaran
22 perkotaan (Mahiny dan Clarke 2012), sehingga meningkatkan laju konversi lahan sawah. Untuk mengetahui peran irigasi dan faktor lain terhadap kecenderungan konversi lahan sawah dilakukan analisis korelasi dan regresi berganda. Diagram alir analisis peran irigasi dan faktor lain terhadap kecenderungan konversi lahan sawah disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10 Diagram Alir Analisis Faktor Penyebab Konversi Lahan Analisis peran irigasi dan faktor lain terhadap konversi lahan sawah dilakukan dengan menggunakan data spasial dan data atribut. Data spasial terdiri dari peta perubahan penggunaan lahan, peta jalan, peta administrasi desa, dan peta irigasi. Peta perubahan penggunaan lahan, peta jalan, dan peta irigasi dipotong dengan peta administrasi desa untuk menghasilkan data luas lahan terkonversi, luas sawah per-desa, total panjang jalan per-desa, dan total pajang irigasi perdesa. Data jumlah keluarga petani per-desa dan laju pertumbuhan penduduk merupakan data sekunder dari data potensi desa dan subang dalam angka. Data jumlah keluarga petani per-desa dan luas sawah per-desa diolah dengan operasi pembagian sederhana untuk menghasilkan data luas rata-rata kepemilikan sawah per-desa. Melalui serangkaian analisis tersebut, diperoleh peubah tujuan dan peubah penduga analisis korelasi dan regresi untuk mengetahui keterkaitan antar peubah dan mengidentifikasi faktor paling nyata mempengaruhi luas konversi lahan sawah. Koefisien korelasi hanya mengukur derajat asosiasi antar peubah,
23 kemudian menjelaskan kecenderungan umum berupa pola kenaikan atau penurunan nilai pada berbagai peubah. Terdapat tujuh peubah yang dilibatkan dalam uji regresi berganda. Peubah luas konversi (Y) merupakan peubah tak bebas yang nilainya diduga dipengaruhi oleh enam peubah bebas, yaitu panjang irigasi (v1), pertumbuhan penduduk (v2), dan panjang jalan (v3), luas sawah per desa (v4), jumlah keluarga petani (v5), dan luas rata-rata kepemilikan sawah (v6). Dalam proses estimasi, setiap peubah menghasilkan koefisien, yaitu koefisien panjang irigasi (b 1), pertumbuhan penduduk (b2), panjang jalan (b3), luas sawah per desa (b 4), jumlah keluarga petani (b5), dan luas rata-rata kepemilikan sawah (b 6), dengan intersep (konstanta) b0. Melalui analisis korelasi dan regresi akan diperoleh peubah yang berpengaruh nyata terhadap konversi lahan sawah. Analisis Peran Irigasi terhadap Produktivitas Padi Produktivitas padi di lahan sawah tertentu dapat memberikan informasi kelayakan lahan sawah untuk dipertahankan. Lahan dengan produktivitas tinggi perlu dipertahankan keberadaannya. Lahan sawah dengan produktivitas tinggi tersebar di daerah layanan irigasi, karena keberadaan jaringan irigasi dapat meningkatkan produktivitas padi (Hussain dan Hanjra 2004). Pola produktivitas padi berdasarkan jarak lahan dari sarana irigasi dianalisis untuk membuktikan asumsi bahwa sarana irigasi mempengaruhi produktivitas padi. Analisis hubungan posisi lahan dari saluran irigasi dengan produktivitas padi dilakukan dengan menggunakan data hasil wawancara. Diagram alir analisis pola produktivitas padi terhadap jarak dari irigasi disajikan pada Gambar 11. Kuesioner (Produksi Padi) Sebaran Titik Cek Lapang
Peta Sebaran Produktivitas
Multiple Buffer: 0-500 m 500-1000 m 1000-1500 m
Peta Saluran Irigasi
Hitung simpangan baku setiap kelas buffer Peta Sebaran Produktivitas berdasarkan Jarak dari Irigasi
Hitung rataan setiap kelas buffer
Peta Buffer Irigasi
Gambar 11 Diagram Alir Pola Produktivitas Padi terhadap Jarak dari Irigasi Perbedaan posisi lahan dari saluran irigasi diasumsikan akan mempengaruhi debit air irigasi yang mengairi lahan, dan debit air irigasi yang cukup akan mempengaruhi produksi yang dihasilkan pada lahan tersebut. Jika posisi lahan yang jauh dari irigasi mendapatkan pasokan air irigasi yang lebih sedikit, maka diduga produksi padi di lokasi tersebut akan lebih rendah dibandingkan dengan lahan yang berada dekat dengan saluran irigasi. Produktivitas padi yang diperoleh dari hasil wawancara dan pengisian kuesioner dipetakan berdasarkan letak lahan sawah responden. Saluran irigasi dipetakan menurut sketsa jaringan irigasi dari Perum Jasa Tirta II. Jaringan irigasi tersebut digunakan untuk membangun buffer jarak untuk membatasi wilayah 0500 m, 500-100 m, dan 1000-1500 m dari saluran irigasi.
24 Analisis keterkaitan antara posisi lahan dari irigasi dengan produktivitas padi dilakukan dengan menambah kolom (field) atribut pada setiap titik pengamatan. Untuk mengetahui keragaman data dan rataan setiap kelas jarak dari saluran, dilakukan analisis nilai simpangan baku dan rataan dari setiap kelas jarak terhadap saluran irigasi. Nilai rataan dan simpangan baku antar kelas kemudian dibandingkan untuk menyimpulkan pola produktivitas padi berdasarkan jarak dari irigasi. Analisis Ketepatan Waktu Tanam Padi berdasarkan Jadwal Pembagian Air Peta golongan tanam merupakan acuan yang seharusnya dirujuk oleh petani dalam penentuan waktu tanam karena berkaitan dengan jadwal pembagian air irigasi yang dilakukan oleh Perum Jasa Tirta II. Evaluasi ketepatan waktu tanam diawali dengan pembuatan peta golongan tanam yang mengacu pada peta rencana golongan tanam musim tanam (MT) Rendeng (Hujan) 2013/2014 dan MT. Gadu (Kemarau 1) 2014 yang dibuat oleh Perum Jasa Tirta. Waktu tanam dipetakan berdasarkan hasil pengecakan lapang dan wawancara. Diagram alir evaluasi ketepatan waktu tanam padi berdasarkan jadwal pembagian air disajikan pada Gambar 12. Klasifikasi ulang (Re-class): Peta Golongan Tanam (Peta jadwal pemberian air) Kuesioner (Waktu Tanam) + Peta sebaran Titik Cek Lapang
Peta Sebaran Waktu Tanam dan Jadwal Pemberian Air
Hitung selisih waktu tanam dan pemberian air (minggu)
Tidak Terlambat Terlambat 1-2 minggu Terlambat 3-4 minggu Terlambat >4 minggu
Peta sebaran kelas ketepatan tanam Persentase kelas ketepatan tanam
Peta Sebaran Waktu Tanam
Gambar 12 Diagram Alir Evaluasi Ketepatan Waktu Tanam Padi berdasarkan Jadwal Pembagian Air Evaluasi ketepatan waktu tanam dilakukan dengan menghitung selisih waktu tanam petani dengan jadwal pembagian air. Waktu tanam petani dikurangi dengan tanggal terakhir pada jadwal pembagian air MT. Hujan 2013. Klasifikasi sederhana dilakukan untuk mengelompokkan selisih waktu tanam dan jadwal pembagian air kedalam beberapa kelas, yaitu kelas petani yang tidak terlambat tanam, terlambat 1-2 minggu, terlambat 3-4 minggu, dan terlambat lebih dari 4 minggu. Setiap kelas berisi jumlah titik responden yang masuk dalam kategori tersebut dan persentasenya. Selanjutnya, dilakukan perbandingan antara jumlah titik responden yang menanam tepat waktu dan terlambat tanam. Data responden yang termasuk dalam wilayah PT. Sang Hyang Seri dan Balai Penelitian Tanaman Padi dieliminasi karena peta golongan tanam yang dibuat oleh PT. Jasa Tirta tidak mencakup wilayah tersebut.
25 Penentuan Prioritas Lahan Sawah Berkelanjutan Penentuan prioritas lahan sawah berkelanjutan ditentukan berdasarkan nilai indeks pertanaman, produktivitas padi, dan ketepatan waktu tanam. Indeks pertanaman dan produktivitas lahan mewakili aspek daya dukung lahan secara fisik. Ketepatan waktu tanam mewakili ketersediaan air irigasi dan perilaku tanam petani. Diagram alir penentuan prioritas lahan sawah berkelanjutan disajikan pada Gambar 13. Indeks Pertanaman setiap ROI
Produktivitas Padi setiap ROI
Ketepatan Waktu Tanam setiap ROI
Interpolasi (IDW)
Interpolasi (IDW)
Interpolasi (IDW)
Peta Sebaran Indeks Pertanaman
Peta Sebaran Produktivitas Padi
Peta Sebaran Ketepatan Waktu Tanam
Penentuan Prioritas Lahan Sawah berdasarkan Indeks Pertanaman
Penentuan Prioritas Lahan Sawah berdasarkan Prod. Padi
Penentuan Prioritas Lahan Sawah berdasarkan Ketepatan Waktu Tanam
Peta Prioritas Lahan Sawah berdasarkan Indeks Pertanaman
Peta Prioritas Lahan Sawah berdasarkan Produktivitas Padi
Peta Prioritas Lahan Sawah berdasarkan Ketepatan Waktu Tanam
Pembuatan Matriks Prioritas Lahan Sawah Berkelanjutan berdasarkan IP, Produktivitas padi, dan Ketepatan Waktu Tanam Peta Prioritas Lahan Sawah Berkelanjutan berdasarkan IP, Produktivitas Padi, dan Ketepatan Waktu Tanam
Gambar 13 Diagram Alir Penentuan Prioritas Lahan Sawah Berkelanjutan Setiap komponen tetapan lahan padi sawah berkelanjutan diklasifikasikan ke dalam dua kelas, yaitu prioritas 1 dan 2. Kriteria setiap komponen penentu prioritas lahan sawah berkelanjutan disajikan dalam Tabel 8 untuk komponen indeks pertanaman, Tabel 9 untuk ketepatan waktu tanam, Tabel 10 untuk produktivitas padi. Tabel 8 Kriteria Prioritas Indeks Pertanaman Lahan Kelas Indeks Pertanaman IP 100 IP 200 IP 250
Prioritas Prioritas 2 Prioritas 1 Prioritas 1
Pertimbangan penetapan prioritas indeks pertanaman didasarkan pada fakta bahwa mempertahankan lahan yang dapat ditanami 2 kali setahun atau lebih akan lebih menguntungkan dibandingkan mempertahankan lahan yang hanya dapat ditanami sekali setahun. Selain itu, pedoman teknis penetapan lahan pertanian berkelanjutan mempunyai syarat indeks pertanaman ≥ 200. Indeks pertanaman yang dimaksud adalah untuk padi dan tanaman pangan lainnya (hortikultura). Tabel 9 Kriteria Prioritas Ketepatan Waktu Tanam Kelas Ketepatan Waktu Tanam Tidak Terlambat Terlambat 1-2 minggu Terlambat 3-4 minggu Terlambat >4 minggu
Prioritas Prioritas 1 Prioritas 1 Prioritas 2 Prioritas 2
26 Ketepatan waktu tanam mewakili aspek irigasi dan perilaku petani yang berisi jeda/selisih antara jadwal pemberian air irigasi dengan waktu tanam petani. Data yang digunakan adalah data keterlambatan waktu tanam pada musim penghujan, sehingga keterlambatan yang terjadi dipengaruhi oleh ketidaksiapan petani dalam mempersiapkan lahan. Kriteria penetapan ketepatan waktu tanam prioritas 1 adalah waktu tanam yang tepat waktu dan terlambat 1-2 minggu; Prioritas 2 adalah waktu tanam yang terlambat 3-4 minggu dan > 4 minggu. Tabel 10 Kriteria Prioritas Produktivitas Padi Kelas Rataan Produktivitas Padi per-musim 0-2 ton 2,1-4 ton 4,1-6 ton 6,1-9 ton
Prioritas Prioritas 2 Prioritas 2 Prioritas 1 Prioritas 1
Data yang digunakan pada Tabel 10 adalah data produktivitas padi dari hasil wawancara dengan petani lokal. Kriteria penetapan produktivitas padi prioritas 1 adalah 4-9 ton/ha per-musim tanam; prioritas 2 adalah 0-4 ton/ha per-musim tanam. Kriteria prioritas lahan sawah berkelanjutan disusun berdasarkan kombinasi prioritas indeks pertanaman, ketepatan waktu tanam, dan produktivitas padi yang disajikan pada Tabel 11. Prioritas lahan sawah berkelanjutan dalam penelitian ini dibagi menjadi empat, yaitu prioriras 1, prioritas 2, cadangan 1, dan cadangan 2. Prioritas 1 jika indeks pertanaman, ketepatan waktu tanam, dan produktivitas padi adalah prioritas 1 (seluruh komponen prioritas 1). Prioritas 2 jika terdapat 1 komponen yang memiliki prioritas 2. Cadangan 1 jika terdapat dua komponen dengan prioritas 2. Sementara Cadangan 2 jika seluruh komponen merupakan prioritas 2. Penentuan prioritas lahan sawah berkelanjutan diutamakan untuk jenis tanaman padi sawah. Tabel 11 Kriteria Prioritas Lahan Sawah Berkelanjutan berdasarkan Komponen Indeks Pertanaman, Ketepatan Waktu Tanam, dan Produktivitas Padi Komponen Indeks Pertanaman Ketepatan Waktu Tanam Produktivitas Padi
Prioritas 1 P1
Kombinasi Prioritas 2 Cadangan 1 P1 P1 P2 P1 P2 P2
Cadangan 2 P2
P1
P2
P1
P1
P2
P1
P2
P2
P1
P1
P2
P1
P2
P2
P1
P2
Prioritas lahan sawah berkelanjutan yang telah ditetapkan berdasarkan kriteria yang telah disusun ditampilkan dalam bentuk peta. Dengan demikian, di wilayah penelitian dihasilkan peta yang menggambarkan sebaran lahan sawah yang dipertimbangkan untuk dipertahankan.
27
HASIL DAN PEMBAHASAN Kecenderungan Konversi Lahan berdasarkan Minat Bertani Generasi Penerus dan Laju Perubahan Penggunaan Lahan Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2010 hingga 2013 Hasil analisis sebaran lokasi perubahan penggunaan lahan disajikan pada Gambar 14 dan luas perubahan penggunaan lahan pada Gambar 15. Lokasi lahan yang berubah penggunaannya terletak cukup jauh dari pusat kecamatan, baik Kecamatan Ciasem maupun Patokbeusi. Perubahan lahan sawah menjadi TPLK di Desa Ciasem Tengah Kecamatan Ciasem merupakan satu-satunya perubahan penggunaan lahan yang dekat dengan jalur Pantura dan pasar Ciasem. Sebaran titik perubahan penggunaan lahan sawah lainnya tidak terpola, sehingga muncul asumsi bahwa perubahan penggunaan lahan tidak dipengaruhi oleh keberadaan infrastruktur jalan. Peranan infrastruktur jalan dalam mempengaruhi konversi lahan dijelaskan dalam subbab peran irigasi dan faktor lain terhadap kecendedrungan konversi lahan sawah.
Gambar 14 Sebaran Perubahan Penggunaan Lahan di Lokasi Penelitian 60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000 -
56,362 38,405
Sawah --> LT Sawah --> TPLK
38,744
1,460
Gambar 15 Grafik Luas Perubahan Penggunaan Lahan
4,820
28 Hasil analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa hanya terdapat total 13,97 ha daerah yang berubah penggunaan lahannya. Sebagian besar perubahan penggunaan lahan terjadi di Kecamatan Ciasem yang mencakup empat desa, yaitu Desa Dukuh, Jatibaru, Ciasem Tengah dan Pinangsari dengan luasan 10,13 ha, sisanya adalah di Kecamatan Patokbeusi yaitu di Desa Rancajaya dengan luasan 3,84 ha. Kecamatan Blanakan tidak mengalami perubahan penggunaan lahan. Kecamatan Ciasem dan Patokbeusi dilalui oleh jalur Pantura yang merupakan jalur utama pertumbuhan ekonomi di Jawa (Jakarta-Cirebon) (Butar-Butar 2012). Hal ini menyebabkan munculnya pusat-pusat perkembangan di sekitar jalur Pantura, sehingga banyak terjadi perubahan penggunaan lahan sawah menjadi non-sawah di Kecamatan Ciasem dan Patokbeusi. Kecamatan Blanakan memiliki jarak paling jauh dari jalur Pantura dibandingkan dengan Kecamatan Ciasem dan Patokbeusi, sehingga dinamika perubahan penggunaan lahannya rendah. Perubahan penggunaan lahan sawah menjadi lahan terbangun (LT) menyebar di tiga lokasi, yaitu Desa Rancajaya Kecamatan Patokbeusi, Desa Dukuh Kecamatan Ciasem, dan Desa Jatibaru Kecamatan Ciasem, dengan luasan berturut-turut adalah 3,84 ha, 3,87 ha, dan 0,14 ha. Perubahan terluas terjadi di Desa Dukuh. Perubahan penggunaan lahan sawah menjadi lahan terbangun di Desa Dukuh adalah karena perluasan dusun, yaitu bertambahnya jumlah pemukiman di Dusun Babakan Lojok. Perluasan dusun juga terjadi di Desa Jatibaru. Perubahan penggunaan lahan sawah menjadi lahan terbangun di Desa Rancajaya adalah karena menjadi komplek bangunan baru. Komplek bangunan baru tersebut berlokasi di jalan penghubung antara Dusun Buwer dan Dusun Mayasuta, Desa Rancajaya. Pemerintah melarang perubahan penggunaan lahan sawah menjadi lahan terbangun. Peraturan mengenai larangan perubahan penggunaan lahan sawah menjadi lahan terbangun diantaranya Keppres No.53/1989 tentang pelarangan pembangunan kawasan industri dengan alih fungsi lahan pertanian, Keppres No.33/1990 tentang pelarangan pemberian izin perubahan fungsi tanah basah dan pengairan beririgasi bagi kawasan industri, surat edaran SE MNA/KBPN 4012261/1994 tentang izin lokasi tidak boleh mengalihfungsikan sawah irigasi teknis, dan surat edaran SE MNA/KBPN 401-1851/1994 tentang pencegahan penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan non-pertanian. Perubahan penggunaan lahan dari lahan sawah menjadi TPLK terjadi di Desa Ciasem Tengah Kecamatan Ciasem seluas 5,63 ha dan Desa Pinangsari Kecamatan Ciasem seluas 0,48 ha. Perubahan penggunaan sawah menjadi TPLK terluas terjadi di Desa Ciasem Tengah. Perubahan lahan sawah menjadi TPLK merupakan perluasan lahan TPLK dari lahan TPLK yang telah ada karena kedua lokasi yang berubah penggunaan lahannya berbatasan langsung dengan penggunaan lahan TPLK. Pada rentang tahun 2010 hingga 2013, teridentifikasi perubahan penggunaan lahan dari sawah menjadi lahan terbangun yang lebih besar dari luasan sawah menjadi TPLK. Perubahan sawah menjadi lahan terbangun tidak terjadi secara langsung. Lahan sawah menjadi TPLK terlebih dahulu sebelum berubah menjadi lahan terbangun. Hanya digunakan dua titik tahun yang berbeda dalam pengamatan perubahan penggunaan lahan yaitu 2010 dan 2013, sehingga perubahan lahan sawah menjadi TPLK di lahan yang saat ini menjadi lahan terbangun tidak terdeteksi. Peluang perubahan lahan tersebut menjadi TPLK
29 adalah pada tahun 2011 atau 2012. Jika penelitian dipusatkan pada analisis perubahan penggunaan lahan, diperlukan rentang waktu yang lebih panjang untuk membuktian terjadinya perubahan penggunan lahan yang signifikan. Minat Bertani Generasi Penerus Analisis minat generasi penerus disajikan dalam diagram pohon keputusan CART (Gambar 16). Pohon keputusan memetakan alur klasifikasi minat bertani generasi penerus melalui peubah-peubah penduga yang menjadi simpul. Setelah seluruh peubah dimasukkan dalam operasi pohon keputusan CART, ternyata tidak semua peubah muncul menjadi simpul dalam pohon keputusan. Artinya, peubah yang tidak muncul dalam pohon keputusan dianggap tidak berpengaruh nyata dalam membedakan minat bertani generasi penerus. Sebanyak tiga dari delapan peubah penduga tidak muncul dalam diagram pohon keputusan. Peubah yang dimaksud adalah kepemilikan sawah, luasan sawah yang dimiliki, dan keberadaan akses jalan raya ke pabrik tekstil.
Gambar 16 Struktur Pohon Keputusan Faktor yang Mempengaruhi Minat Bertani Peubah pertama yang menjadi penentu minat bertani adalah tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan menjadi simpul induk dari seluruh pohon keputusan. Apabila pendidikan petani tinggi, penerusnya cenderung akan
30 memiliki tingkat pendidikan yang tinggi pula. Pada satu contoh responden, seorang petani dengan tingkat pendidikan akademi keperawatan memiliki penerus yang berprofesi sebagai dokter, sehingga penerusnya tidak berminat menjadi petani. Peubah kedua yang berpengaruh besar setelah tingkat pendidikan adalah usia petani. Peubah usia petani muncul sebanyak empat kali dan menjadi simpul kedua setelah peubah tingkat pendidikan. Petani dengan usia lanjut biasanya memiliki penerus yang usianya sudah cukup dewasa. Berdasarkan hasil observasi lapang ditemukan bahwa jika pendidikan petani dibawah jenjang SLTA dan telah berusia lanjut, penerusnya juga berprofesi sebagai petani. Peubah jarak pasar ke lahan berpengaruh lebih dominan dibandingkan peubah jarak penggilingan ke lahan karena percabangan pohon setelah simpul peubah jarak pasar ke lahan lebih banyak dibandingkan jarak penggilingan ke pasar. Peubah kelima yang juga berperan dalam mengkelaskan minat bertani generasi penerus adalah jarak lahan ke penyimpanan. Hasil klasifikasi kategori peubah penduga yang dianggap mempengaruhi minat bertani generasi penerus tidak hanya ditampilkan dalam pohon keputusan, tetapi juga dalam Tabel 12. Tabel 12 berisi karakteristik petani berdasarkan minat generasi penerusnya untuk berusaha tani merupakan penjabaran dari pohon keputusan yang telah dibuat. Tabel 12 Karakteristik Petani berdasarkan Minat Generasi Penerusnya untuk Berusaha Tani Minat
Ya
Pendidikan
Jarak ke Penyimpanan (m)
Usia
Jarak ke Pasar (m)
Jarak ke Penggilingan (m)
Bukan SLTA, SLTP, dan Diploma
36,5<=usia<=51
<=225
>3500
-
Bukan SLTP dan Diploma
36,5<usia<=51
225<jarak penyimpanan<=450
>2500
-
Bukan SLTP dan Diploma
36,5<usia<=51
<=450
>2500
-
Bukan SLTP dan Diploma
<36,5
>550
>6750
-
Bukan SLTP dan Diploma
36,5<usia<=58,5
-
1250<jarak ke pasar<=2500
-
SLTP
>36,5
-
-
<=1525
Bukan Diploma
<=36,5
-
-
-
Diploma
>57
-
-
-
SLTA
36,5<usia<=51
<=225
>3500
-
Bukan SLTP dan Diploma
36,5<usia<=51
<=225
2500<jarak ke pasar<=3500
-
Bukan SLTP dan Diploma
>36,5
>550
2500<jarak ke pasar<=6750
-
Bukan SLTP dan Diploma
>36,5
450<jarak penyimpanan<=550
>2500
-
Bukan SLTP dan Diploma
>36,5
-
<=1250
-
Bukan SLTP dan Diploma
>58,5
-
1250<jarak ke pasar<=2500
-
SLTP
>36,5
-
-
>1525
Diploma
<=57
-
-
-
Tidak
31 Pemantauan Indeks Pertanaman dan Produktivitas Padi dengan Citra Satelit Indeks Pertanaman Padi Siklus hidup tanaman semusim secara umum terbagi kedalam dua fase, yaitu fase vegetatif dan fase generatif (Yoshida 1981; IRRI 2007). Fase vegetatif ditunjukkan oleh peningkatan nilai EVI, sementara fase generatif ditunjukkan oleh penurunan nilai EVI (Panuju et al. 2009; Heidina 2010; Kusumawardani et al. 2013; Son et al. 2014). Grafik EVI dalam satu siklus tanaman padi berbentuk kuadratik (Kusumawardani et al. 2013; Son et al. 2014). Identifikasi indeks pertanaman membutuhkan pengetahuan membaca grafik EVI dan mengidentifikasi fase pertumbuhan padi dari grafik tersebut. Perbandingan nilai EVI pada grafik dengan fase pertumbuhan padi, kenampakan citra, dan foto pengecekan lapang disajikan pada Gambar 17. ( (b)
(
Vegetatif
Pemasakan
( (c)
(a)
Reproduktif
Gambar 17 Grafik EVI, kenampakan citra, dan foto lapang pada berbagai umur padi (a) tanam (20 hari), (b) keluar malai (60 hari), dan (c) menjelang panen (117 hari) Garis vertikal biru menandakan umur padi pada saat tanam, garis merah menandakan umur padi saat keluar malai, dan garis vertikal hijau menandakan umur padi pada saat panen. Titik awal pada grafik adalah padi berumur 0 hari (awal tebar). Nilai EVI dari awal tebar akan menurun pada hari ke-16 dan kembali meningkat hingga hari ke-20 saat padi awal tanam. Terhitung 60 hari sejak tanam (60 MST), padi akan mengalami masa keluar malai yang tampak sebagai titik tertinggi (puncak) pada grafik EVI. Sejak masa keluar malai hingga panen (120 MST) nilai EVI akan berkurang secara berangsur-angsur. Nilai EVI pada tanggal tebar untuk beragam varietas berkisar antara 0,1-0,3; tanggal tanam berkisar antara 0,1-0,26; keluar malai dengan nilai EVI 0,4-0,6; dan tanggal panen 0,17-0,3 (jika diasumsikan panen 120 hari). Grafik nilai EVI tanaman padi varietas Ciherang yang ditanam pada lahan PT. Sang Hyang Seri Subang selama setahun disajikan dalam Gambar 18.Varietas tersebut ditanam oleh mayoritas petani Subang. Pada Gambar 18, tampak bahwa lahan PT. Sang Hyang Seri yang dijadikan sampel analisis memiliki indeks pertanaman (IP) 200 yang ditunjukkan oleh
32 adanya dua titik maksimum dalam periode satu tahun. Kedua puncak dengan nilai EVI tertinggi menunjukkan puncak fase vegetatif yang juga dikenal sebagai saat padi keluar malai. Grafik yang relatif datar menunjukkan lahan dalam fase bera.
Gambar 18 Grafik EVI Tanaman Padi Varietas Ciherang PT. Sang Hyang Seri 9 Mei 2013-9 Mei 2014 Seperti digambarkan pada grafik, bulan Mei merupakan awal dari musim tanam kemarau 1. Pada awal tanam, lahan masih digenangi air, tanaman padi masih sangat kecil dan tidak terdeteksi oleh citra sehingga nilai EVI nya rendah. Nilai EVI akan meningkat secara nyata sejak tanaman mulai tumbuh, sampai dicapai vegetatif maksimum. Musim tanam kemarau 1 berakhir pada awal September yang ditunjukkan oleh grafik EVI yang mulai datar. Grafik EVI yang datar menunjukkan masa bera kering, dan lahan dibiarkan tanpa tanaman. Masa bera kering dimulai saat padi pada musim kemarau 1 selesai dipanen (bulan September) hingga pertengahan November, seperti tampak dalam grafik. Pertengahan November menjadi akhir dari masa bera kering dan penanda dimulainya musim tanam hujan yang diawali dengan pengolahan tanah. Pertengahan November hingga awal Februari merupakan masa vegetatif padi dalam musim tanam hujan, yang ditunjukkan oleh peningkatan nilai EVI yang signifikan. Fase vegetatif padi mencapai puncak pada awal bulan Februari, selanjutnya padi memasuki fase generatif. Sebagian besar masyarakat Subang menanam padi dengan IP 200, yaitu dua kali tanam padi dalam setahun pada musim tanam hujan dan kemarau 1. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Uchida (2010) bahwa lahan sawah di Jawa Barat ditanami padi sebanyak dua kali dalam satu musim. Uchida (2010) juga menyebutkan bahwa lahan sawah yang berada dekat dengan hulu irigasi menanam padi lebih awal dibandingkan daerah hilir irigasi. Berikut ditampilkan pula pemetaan indeks pertanaman yang diperoleh dari analisis terhadap grafik EVI yang terbentuk dari setiap ROI. Indeks pertanaman yang ditemukan di lokasi penelitian beragam, dari IP 100 hingga IP 250. Namun demikian, setelah dilakukan interpolasi terhadap titik-titik pengamatan, diperoleh sebaran indeks pertanaman yang hanya menampilkan wilayah dengan IP 200 dan 250. Hal ini terjadi karena hanya terdapat dua titik contoh untuk pengamatan IP 100. Gambar 19 menggambarkan sebaran ragam indeks pertanaman di lokasi pertanian. Pada Gambar 19 tampak bahwa hampir sebagian besar wilayah penelitian memiliki indeks pertanaman 200, yang artinya ditanam dua kali dalam setahun. Hanya sebagian kecil lokasi di bagian timur dan selatan yang memiliki indeks pertanaman 250. Lahan dengan indeks pertanaman 250 adalah lahan yang ditanam padi dua kali lalu dilanjutkan dengan tanam palawija pada musim kemarau kedua.
33
Gambar 19 Sebaran Ragam Indeks Pertanaman Produktivitas Padi Produktivitas padi pada lokasi penelitian beragam menurut varietas dan lokasi. Hasil analisis boxplot keragaman produktivitas padi di Kecamatan Blanakan, Ciasem, dan Patokbeusi disajikan pada Gambar 20. Musim Tanam Gadu (Kemarau) 2013
Musim Tanam Rendeng (Hujan) 2014
10 25%-75%
Non-Outlier Range
8
Outliers
7
8
6
7
5
Produktivitas (Ton/Ha)
Produktivitas (Ton/Ha)
9
Median Extremes
6 5 4
Median Extremes
25%-75%
Non-Outlier Range
Outliers
4 3 2
3
1
2
0 -1
1 Patokbeusi
Ciasem Kecamatan
(a)
Blanakan
Patokbeusi
Ciasem
Blanakan
Kecamatan
(b)
Gambar 20 Keragaman Produktivitas Gabah di Lokasi Penelitian pada Musim (a) Kemarau (gadu), dan (b) Hujan (rendeng) Terdapat perbedaan produktivitas gabah di ketiga kecamatan. Rata-rata produksi gabah di Kecamatan Blanakan adalah 4,3 ton/ha pada musim hujan dan 6,2 ton/ha pada musim kemarau 1, Kecamatan Ciasem 3,6 ton/ha pada musim hujan dan 6 ton/ha pada musim kemarau 1, sedangkan Kecamatan Patokbeusi 3,6 ton/ha pada musim hujan dan 5,3 pada musim kemarau 1.
34 Hasil panen pada musim hujan di ketiga kecamatan relatif lebih rendah dibandingkan musim kemarau 1. Hal ini disebabkan adanya wabah hama pada musim hujan tahun 2013. Kecamatan Blanakan produktivitasnya paling tinggi diantara ketiga kecamatan, diikuti oleh Kecamatan Ciasem dan Patokbeusi Hasil panen rakyat rata-rata relatif lebih tinggi (4-6 ton/ha) dibandingkan panen PT. Sang Hyang Seri (3-4 ton/ha). Namun demikian, data PT. Sang Hyang Seri lebih akurat untuk digunakan dalam menganalisis pola hubungan nilai EVI dengan produktivitas padi sawah. Nilai EVI dan produktivitas padi yang dijadikan contoh disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Nilai EVI dan Produktivitas Padi Blok Tanam L 21 L17 L15 L13 L18 L12
Produktivitas (ton/ha) 3,259 3,143 2,766 2,620 1,892 2,805
Nilai EVI (keluar malai) 0,465 0,350 0,571 0,353 0,363 0,419
Blok tanam yang dijadikan contoh hanya blok tanam dengan varietas padi Ciherang. Pemilihan blok tanam dengan varietas Ciherang adalah untuk menyesuaikan dengan varietas yang ditanam oleh mayoritas petani Subang. Blok tanam yang dipilih hanya blok tanam swakelola. Blok tanam swakelola memiliki data tanggal tebar, tanggal tanam, dan tanggal panen yang telah dicatat rapi sehingga mempermudah analisis. Produktivitas padi yang digunakan adalah pada musim tanam rendeng (hujan) tahun 2014. Korelasi antara nilai EVI dan Produktivitas padi disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Korelasi antara Nilai EVI dan Produktivitas Padi
Produktivitas (ton/ha) Nilai EVI (keluar malai)
Produktivitas (ton/ha) 1,00 0,26
Nilai EVI (keluar malai) 0,26 1,00
Hasil korelasi kedua peubah sangat rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Heidina (2010), yang menunjukkan bahwa korelasi antara nilai EVI MODIS terra dengan produktivitas padi adalah 0,8 pada umur padi 91-98 hari; 0,7 pada umur padi 99-106; dan mendekati 1 pada umur padi 107-114 hari. Hal ini karena pada musim tanam hujan tutupan awan sering terjadi dan mempengaruhi nilai EVI. Pemantauan padi dengan cira MODIS akan lebih baik jika dilakukan pada musim kemarau (Panuju et al. 2009). Selain itu, nilai korelasi yang rendah dapat disebabkan oleh adanya serangan hama atau banjir. Serangan hama menyebabkan malai yang terbentuk tidak menghasilkan padi, sedangkan banjir menyebabkan tanaman rebah dan produksi padi berkurang.
35 Peran Irigasi dan Faktor Lain terhadap Kecenderungan Konversi Lahan Sawah dan Produktivitas Padi Peran Irigasi dan Faktor Lain terhadap Kecenderungan Konversi Lahan Sawah Irigasi dan faktor lain dianalisis peranannya terhadap kecenderungan konversi lahan sawah. Ragam nilai panjang irigasi dan faktor lain yang digunakan dalam analisis kecenderungan konversi lahan disajikan dalam Gambar 21. 4,0
45000 Median Extremes
25%-75%
Non-Outlier Range
Outliers 3,5
40000
pertumbuhan penduduk
30000 25000 20000 15000
Non-Outlier Range
2,0 1,5 1,0 0,5 0,0
5000
-0,5 -1,0
0 blanakan
ciasem
blanakan
patokbeusi
ciasem
patokbeusi
Kecamatan
Kecamatan
(a)
(b) 50000
Median Extremes
25%-75%
Non-Outlier Range
Outliers
panjang jalan (m) Outliers Extremes luas rata-rata kepemilikan sawah (m2) Outliers Extremes
45000
1,6E7
40000
1,4E7 luas sawah per desa (m2)
Outliers
2,5
10000
1,8E7
25%-75%
3,0
35000
panjang irigasi (m)
Median Extremes
35000
1,2E7
30000
1E7
25000
8E6
20000 15000
6E6
10000
4E6 5000
2E6 blanakan
ciasem
0
patokbeusi
blanakan
Kecamatan
(c) 2200 2000
Median Extremes
25%-75%
ciasem
patokbeusi
Kecamatan
(d) Non-Outlier Range
60000
Outliers
Median 25%-75% Non-Outlier Range Ex tremes
50000
Outliers
1800 40000
1400
luas konversi (m2)
jumlah keluarga petani
1600
1200 1000 800
30000
20000
10000
600 400
0
200 -10000
0 blanakan
ciasem Kecamatan
(e)
patokbeusi
blanak an
c ias em
patokbeus i
Kec amatan
(f)
Gambar 21 (a) Box plot peubah panjang irigasi tiap kecamatan; (b) Box plot peubah pertumbuhan penduduk tiap kecamatan; (c) Box plot luas sawah per desa tiap kecamatan; (d) Box plot panjang jalan dan luas kepemilikan sawah tiap kecamatan; (e) Box plot jumlah keluarga petani; dan (f) Box plot luasan konversi lahan.
36 Gambar 21(a) menunjukkan keragaman data panjang irigasi setiap kecamatan. Ragam panjang irigasi tiap desa di Kecamatan Blanakan dan Ciasem cenderung sama, ditunjukkan oleh panjang kotak yang hampir sama. Sementara, panjang irigasi tiap desa di Kecamatan Patokbeusi memiliki keragaman terkecil. Kecamatan Ciasem memiliki total panjang irigasi tertinggi, terutama karena keberadaan Bendung Jengkol. Gambar 21(b) menunjukkan bahwa kecamatan Ciasem memiliki keragaman pertumbuhan penduduk paling tinggi, diikuti oleh Kecamatan Patokbeusi dan Blanakan. Distribusi data pertumbuhan penduduk di ketiga kecamatan menjulur ke kanan dan terdapat pencilan pada data di Kecamatan Patokbeusi. Gambar 21(c) menunjukkan bahwa Kecamatan Ciasem memiliki keragaman data luas sawah paling tinggi, diikuti oleh Kecamatan Patokbeusi dan Blanakan. Distribusi data luas sawah pada ketiga kecamatan menjulur ke kanan. Terdapat pencilan pada data luasan sawah di Kecamatan Blanakan. Gambar 21(d) menunjukkan luas kepemilikan sawah dan panjang jalan setiap kecamatan. Total panjang jalan terbesar adalah Kecamatan Ciasem, diikuti oleh Kecamatan Blanakan, dan Patokbeusi. Ragam luas panjang jalan terbesar adalah pada Kecamatan Ciasem. Luas rata-rata kepemilikan sawah terbesar adalah di Kecamatan Blanakan, diikuti oleh Kecamatan Ciasem, dan Patokbeusi. Ragam luas kepemilikan sawah terbesar adalah Kecamatan Blanakan, diikuti Ciasem, dan Patokbeusi. Gambar 21(e) menunjukkan bahwa jumlah keluarga petani tertinggi adalah di Kecamatan Ciasem, diikuti oleh Blanakan dan Patokbeusi. Ragam jumlah keluarga petani tertinggi juga terdapat pada Kecamatan Ciasem. Gambar 21(f) menunjukkan keragaman data luas konversi di Kecamatan Blanakan, Ciasem, dan Patokbeusi. Seluruh sampel data Kecamatan Blanakan bernilai nol. Luas konversi tertinggi adalah di Kecamatan Ciasem, sementara Kecamatan Patokbeusi hanya memiliki satu lokasi perubahan penggunaan lahan. Tingginya luas konversi lahan di Kecamatan Ciasem diduga berhubungan dengan keberadaan jaringan irigasi karena Kecamatan Ciasem memiliki total panjang irigasi terbesar. Dugaan tersebut dijelaskan dalam hasil analisis korelasi dan regresi. Hasil analisis korelasi terhadap peran irigasi dan faktor lain yang diduga mempengaruhi konversi lahan sawah ditampilkan pada Tabel 15. Tabel 15 Korelasi antar Peubah Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Sawah Panjang Irigasi (m) Panjang Irigasi (m) Pertumbuhan Penduduk Panjang Jalan (m) Luas Sawah Per-desa (m2) Jumlah Keluarga Petani Luas Rata-rata Kepemilikan Sawah (m2) Luas Konversi (m2)
1,00
Panjang Jalan (m)
Luas Sawah Per desa (m2)
Jumlah Keluarga Petani
-0,23
0,38
0,67
0,37
-0,03
0,17
1,00
-0,02
0,10
0,11
-0,21
0,44
1,00
0,60
0,25
-0,16
-0,17
1,00
0,20
0,16
-0,06
1,00
-0,70
0,24
1,00
-0,23
Pertumbuhan Penduduk
Luas Rata-rata Kepemilikan Sawah (m2)
Luas Konversi (m2)
1,00
37 Tabel 15 menunjukkan bahwa tidak ada peubah yang memiliki hubungan yang kuat dengan peubah luas lahan terkonversi. Koefisien korelasi yang menggambarkan pola keterkaitan satu-satu antar peubah menunjukkan bahwa seluruh peubah menghasilkan koefisien korelasi dengan luas konversi lahan kurang dari 0,5. Peubah yang berkorelasi positif tertinggi terhadap luas konversi lahan adalah pertumbuhan penduduk per tahun, dengan nilai 0,44. Jumlah keluarga petani dan panjang irigasi memiliki nilai korelasi positif yang lebih rendah, yaitu 0,24 dan 0,17. Peubah pertumbuhan penduduk pertahun, jumlah keluarga petani, dan panjang irigasi memiliki nilai korelasi positif, artinya penambahan satu unit satuan dari pertumbuhan penduduk, jumlah keluarga petani, dan panjang irigasi akan menyebabkan peningkatan luas konversi lahan. Semakin banyak jumlah penduduk, semakin banyak pula aktivitas yang dilakukan di daerah tersebut. Peningkatan aktivitas yang terjadi membutuhkan lahan untuk mendukung aktivitas tersebut. Jika lahan untuk melakukan aktivitas tidak tersedia, penduduk akan membuat lahan tertentu menjadi lokasi baru untuk beraktivitas dan terjadilah perubahan penggunaan lahan (Anggarani 2012). Peningkatan jumlah keluarga petani berkorelasi positif dengan luas konversi lahan karena peningkatan jumlah keluarga petani akan meningkatkan fragmentasi lahan di suatu lokasi. Walaupun korelasinya lemah, bertambahnya jumlah pemilik dari suatu luasan lahan tertentu akan memperkecil luas kepemilikan lahan. Luas lahan yang kecil akan menghasilkan keuntungan bertani yang kecil. Hal ini dapat menjadi landasan bagi pemilik lahan untuk merubah penggunaan lahan sawah menjadi non-sawah. Peningkatan panjang irigasi pada dasarnya untuk mempermudah petani mendapatkan sumber pengairan. Namun, peningkatan panjang irigasi terutama irigasi sekunder akan meningkatkan jumlah lahan terbangun. Hal ini disebabkan karena kebiasaan masyarakat membuat bangunan di dekat saluran irigasi, bahkan di tanggul irigasi yang merupakan tanah negara. Selain itu, pembuatan saluran irigasi baru cenderung akan mengorbankan lahan sawah, sehingga terjadi perubahan penggunaan lahan sawah menjadi saluran irigasi. Menurut Tabel 15, terdapat tiga peubah yang memiliki korelasi negatif dengan peubah luas konversi sawah, yaitu panjang jalan, luas sawah per desa, dan luas rata-rata kepemilikan sawah. Hal ini berarti peningkatan panjang jalan, luas sawah per desa, dan luas rata-rata kepemilikan sawah di suatu lokasi akan berakibat pada berkurangnya luasan konversi di lokasi tersebut. Pada umumnya peningkatan panjang jalan akan berimplikasi pada peningkatan luas konversi lahan (Butar-Butar 2012). Keberadaan infrastruktur jalan meningkatkan kemungkinan perubahan penggunaan lahan menjadi lahan pemukiman dan industri (Iacono dan Levinson 2009). Namun demikian, dalam penelitian ini peningkatan panjang jalan berbanding terbalik dengan luas lahan terkonversi. Hal ini diduga karena kondisi jalan yang tidak baik (rusak) tidak berpengaruh pada peningkatan luas konversi lahan. Karena kondisi jalan di Subang sebagian besar dalam kondisi rusak, hasil bumi dijual ke Kabupaten Karawang. Pusat Kabupaten Karawang lebih dekat dibandingkan dengan pusat Kabupaten Subang. Kendati demikian, bukan petani yang mendatangi Kabupaten Karawang untuk menjual hasil bumi. Tengkulak (pemborong hasil bumi) dari Karawang datang untuk membeli hasil bumi petani di Kecamatan Blanakan, Ciasem, dan Patokbeusi.
38 Penurunan luas sawah perdesa akan meningkatkan luas konversi lahan. Penurunan luas sawah berarti perubahan penggunaan lahan sawah menjadi lahan non-sawah. Penyusutan suatu penggunaan lahan akan berimplikasi pada peningkatan luasan lahan lainnya (Saefulhakim et al. 1999). Peningkatan luas rata-rata kepemilikan sawah akan berakibat pada penurunan luas konversi lahan. Semakin luas kepemilikan sawah akan meningkatkan produksi padi per rumah tangga petani. Implikasinya, pendapatan akan meningkat sehingga petani akan mempertahankan lahan sawah (Octiasari 2011). Hasil analisis regresi berganda terhadap peubah yang telah dianalisis korelasinya dalam Tabel 15 disajikan dalam Tabel 16. Unit dalam analisis regresi adalah desa, sehingga total jumlah unit analisis adalah 28 desa. Tabel 16 menunjukkan bahwa peubah yang nyata scara statistik mempengaruhi luas konversi lahan adalah panjang irigasi dan pertumbuhan penduduk. Jika nilai plevel peubah bebas <0,05 maka peubah tersebut dinilai berpengaruh nyata terhadap peubah konversi lahan. Nilai koefisien panjang irigasi adalah 1,02 dan nilai p-level 0,01. Sementara nilai koefisien pertumbuhan penduduk adalah 9519,50 dengan nilai p-level 0,002. Nilai galat baku yang tinggi menunjukkan keragaman jumlah penduduk yang tinggi antar desa-desa contoh. Nilai R dan R2 menunjukkan keeratan hubungan linier antara peubah bebas dengan fenomena konversi lahan. Semakin mendekati 1, maka hubungan antar peubah bebas dengan fenomena konversi lahan semakin erat. Pada kasus ini, nilai R2 adalah 0,469. Artinya, keragaman konversi lahan yang dapat dijelaskan oleh peubah-peubah yang digunakan dalam analisis regresi adalah sebesar 46,9%. Nilai F hitung adalah 3,092, sedangkan nilai Ftabel dengan derajat bebas (degree of freedom/dF) 6 dan 21 adalah 2,57. Artinya, peubah bebas secara bersama-sama berpengaruh nyata secara statistik terhadap peubah terikat, dalam hal ini luas konversi lahan. Nilai beta dan B merupakan nilai koefisien dari masing-masing peubah. Nilai beta merupakan koefisien peubah pada kondisi data ditransformasikan menjadi matriks normal, nilainya merupakan hasil standarisasi seluruh peubah yang diperoleh dari nilai korelasi. Intersep pada koefisien beta dianggap sama dengan nol. Nilai B merupakan nilai koefisien dari masing-masing peubah berdasarkan data asli. Pada persamaan regresi luas konversi lahan dengan koefisien nilai B, nilai intersep koefisien B adalah 2109,41. Tabel 16 Hasil Analisis Regresi Berganda Perubahan Penggunaan Lahan Jumlah Sampel = 28 desa Galat Baku = 11770,316 Keterangan Peubah
Beta
Intersep 0,697 Panjang irigasi (m) 0,661 Pertumbuhan penduduk -0,097 Panjang jalan (m) -0,564 Luas sawah per desa (m2) 0,096 Jumlah keluarga petani Luas rata-rata kepemilikan sawah (m2) 0,076
R = 0,685 R2 = 0,469 Std.Err. Beta 0,257 0,190 0,219 0,309 0,259 0,270
F = 3,092 df = 6,21 Std.Err. B t(21) p-level B 2109,413 10832,060 0,194 0,847 1,020 0,380 2,713 0,013 9519,501 2746,650 3,465 0,002 -0,155 0,350 -0,444 0,661 -0,002 0,000 -1,821 0,082 2,911 7,810 0,372 0,713 0,110 0,390 0,281 0,781
39 Berdasarkan hasil uji korelasi dan regresi, dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor yang berpengaruh nyata terhadap luasan konversi lahan di suatu lokasi adalah panjang irigasi dan pertumbuhan penduduk. Keduanya berkorelasi positif dan berpengaruh nyata terhadap luas lahan. Jumlah keluarga petani tidak berpengaruh nyata secara statistik terhadap luas konversi lahan pada uji regresi berganda, ditunjukkan oleh nilai p-level sebesar 0,73. Peran Irigasi terhadap Produktivitas Padi Saluran irigasi merupakan salah satu sarana yang menunjang kegiatan pertanian melalui pengadaan air. Perbedaan posisi lahan terhadap saluran irigasi diasumsikan akan mempengaruhi produktivitas padi pada lahan tersebut. Asumsi tersebut timbul karena jarak lahan dari irigasi berhubungan dengan ketersediaan air. Posisi lahan yang jauh dari saluran irigasi diasumsikan mendapat pasokan air yang lebih sedikit dibandingkan dengan lahan yang dekat dengan saluran irigasi. Hasil analisis terhadap asumsi tersebut ditampilkan pada Gambar 22 dan Tabel 17.
Gambar 22 Sebaran Irigasi dan Produktivitas Padi MT. Rendeng (Hujan) 2013/2014 Pada Gambar 22, tampak bahwa produktivitas lahan sangat beragam dan tidak terbentuk pola tertentu terhadap jarak dari irigasi. Terdapat beberapa titik lahan yang memiliki produktivitas tinggi walaupun letaknya jauh dari sarana irigasi, contohnya di bagian ujung utara Kecamatan Blanakan yang berbatasan dengan Kabupaten Karawang. Lahan tersebut memiliki produktivitas 5,7 ton/ha. Hal ini dapat terjadi jika terdapat sumber air lain yang dapat dimanfaatkan untuk mengairi lahan sawah, sehingga produktivitas padi tetap tinggi. Untuk membuktikan bahwa produktivitas padi tidak terpola berdasarkan jarak lahan dari irigasi, dilakukan analisis deskriptif untuk mengetahui ragam nilai dalam kelas dan membandingkan nilai rataan antar kelas.
40 Tabel 17 Jarak Lahan dari Irigasi dan Rataan Produktivitas Jarak Lahan dari Irigasi (m) 0-500 500-1000 1000-1500 >1500
Rataan Produktivitas (ton/ha) 3,8 3,8 4,9 3,7
Simpangan baku dan Jumlah Titik Pengamatan 1,25 (63) 1,64 (33) 0,69 (6) 0,89 (12)
Hasil analisis yang tercantum pada Tabel 17 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata dari rataan produktivitas antar kelas, kecuali pada kelas 1000-1500 m. Jumlah sampel setiap kelas berbeda, dengan jumlah sampel kelas 0500 m adalah 63 titik, kelas 500-1000 m sebanyak 33 titik, kelas 1000-1500 m sebanyak 6 titik, dan kelas >1500 sebanyak 12 titik. Perbedaan jumlah sampel karena tidak terdapat responden di titik cek lapang yang telah direncanakan, sehingga pengambilan contoh responden dilakukan di kelas irigasi lainnya yang masih berada di satu desa yang sama. Produktivitas padi pada lahan kelas 10001500 m paling tinggi dan ragam nilai dalam kelasnya paling kecil dibandingkan kelas lainnya. Ragam nilai produktivitas sampel tertinggi terdapat pada kelas 5001000 m. Selisih ragam antar kelas dan nilai ragam dalam kelas cukup tingggi, menunjukkan bahwa tidak ada pola khas yang terbentuk antara posisi lahan dari saluran irigasi dengan produktivitas padi. Nilai rataan produktifitas antar kelompok jarak lahan ke saluran irigasi yang relatif seragam menunjukkan bahwa asumsi produktivitas padi dipengaruhi oleh posisi lahan dari saluran irigasi tidak terbukti. Untuk memperkuat asumsi tersebut, dilakukan analisis korelasi terhadap jarak lahan dari irigasi dan produktivitas padi. Hasil analisis korelasi tersebut disajikan dalam Tabel 18. Tabel 18 Korelasi antara Jarak Lahan dari Irigasi dengan Produktivitas Padi Jarak Lahan dari Irigasi Produktivitas Padi 0,05 Jarak Lahan dari Irigasi 1,00 0,05 1,00 Produktivitas Padi
Nilai koefisien korelasi antara jarak irigasi dan produktivitas padi adalah 0,05. Artinya, korelasi kedua peubah tersebut sangat rendah. Produktivitas padi di suatu lahan tidak dipengaruhi oleh jarak lahan dari saluran irigasi.
Ketepatan Waktu Tanam Padi berdasarkan Jadwal Pembagian Air Setiap wilayah yang termasuk dalam daerah irigasi Jatiluhur diatur untuk memiliki jadwal tanam sesuai dengan jadwal pembagian air yang dilakukan oleh perum Jasa Tirta selaku penanggung jawab pengoperasian irigasi. Sejak tahun 2009, daerah irigasi Jatiluhur dibagi kedalam lima golongan tanam dengan tujuan efisiensi pemakaian air irigasi (Harsoyo 2011). Pembagian golongan menentukan perbedaan masa dimulainya pemberian air irigasi dengan selisih interval 15 hari antar golongan. Pemberian air irigasi pada masa tanam hujan golongan satu dimulai pada tanggal 1 Oktober hingga 15 Oktober, dilanjutkan golongan dua
41 pada 16 Oktober hingga 31 Oktober, dan seterusnya hingga tanggal 15 Desember sebagai akhir pemberian air irigasi pada masa tanam hujan. Pemberian air pada masa tanam kemarau 1 dimulai awal bulan Maret hingga pertengahan Mei. Sementara masa tanam palawija dimulai awal Juli hingga akhir Agustus. Informasi ketepatan waktu tanam penting untuk mengetahui kesiapan petani dari segi modal dan alat, serta memantau kondisi saluran irigasi. Berdasarkan keterangan responden, keterlambatan tanam di suatu lokasi dapat disebabkan oleh kondisi saluran irigasi yang rusak sehingga tidak tersedia air yang cukup untuk pengolahan tanah dan penanaman di waktu yang telah direncanakan. Keterlambatan juga dapat disebabkan oleh ketidaksiapan modal petani untuk membeli benih dan pupuk serta ketiadaan alat untuk mengolah tanah sehingga petani belum dapat menanam di waktu yang dijadwalkan. Dengan informasi ketepatan waktu tanam, dapat diketahui lokasi-lokasi yang membutuhkan pembenahan saluran irigasi, penguatan modal, dan bantuan alat pengolah tanah supaya lahan tersebut produktivitasnya tetap tinggi dan dapat dipertahankan sebagi lahan sawah berkelanjutan. Sebaran ketepatan waktu tanam yang disajikan pada Gambar 23 menunjukkan hasil identifikasi ketepatan waktu tanam beberapa titik cek lapang yang telah diobservasi pada musim tanam hujan 2013/2014.
Gambar 23 Sebaran Ketepatan Waktu Tanam MT. Rendeng (Hujan) 2013/2014 Jumlah titik responden yang diobservasi adalah 117 titik. Namun demikian, hanya 80 titik yang dianalisis. Sebanyak 37 titik pengamatan di wilayah PT. Sang Hyang Seri dan Balai Penelitian Tanaman Padi dieliminasi karena waktu tanam kedua wilayah tersebut tidak dipetakan oleh Jasa Tirta dalam peta golongan tanam. Titik-titik yang tampak dalam Gambar 23 menunjukkan selisih antara waktu tanam dengan jadwal pembagian air yang ditentukan oleh Perum Jasa Tirta. Keterlambatan tanam dengan selisih paling tinggi tampak tersebar di wilayah
42 bagian utara dan timur. Hanya enam responden yang melakukan penanaman tepat golongan tanam. Sebanyak 74 responden lainnya melakukan penanaman tidak sesuai dengan jadwal pembagian air (rencana waktu tanam). Persentase terbesar terdapat pada kriteria terlambat tanam lebih dari empat minggu, yaitu 42,5% atau sebanyak 34 titik responden. Hasil analisis lebih lanjut disajikan dalam Tabel 19. Tabel 19 Persentase Keterlambatan Tanam Keterlambatan Tanam Tidak terlambat Terlambat 1-2 minggu Terlambat 3-4 minggu Terlambat >4 minggu
Jumlah Titik Responden 6 21 19 34
Persentase (%) 7,50 26,25 23,75 42,50
Ketepatan waktu tanam dengan golongan tanam yang direncanakan sangat berhubungan dengan kesiapan petani dalam hal pengolahan tanah serta tersedianya benih dan pupuk. Kondisi sosial, tradisi, ketersediaan tenaga kerja, dan traktor di suatu daerah sangat menentukan lamanya pengolahan tanah. Menurut Tuong (1999), lamanya pengolahan tanah dapat disebabkan oleh kekurangan debit air pada saluran irigasi atau kondisi sosial ekonomi, seperti ketiadaan tenaga kerja dan alat untuk mengolah sawah. Apabila curah hujan tidak dapat memenuhi kebutuhan air, daerah di hilir irigasi akan mengalami keterlambatan tanam yang lebih panjang dari waktu tanam yang direncanakan (Uchida 2010). Menurut salah satu petani, kurangnya traktor yang dimiliki kelompok tani menghambat pengolahan tanah, sehingga harus meminjam kepada desa lain. Pada umumnya periode yang diperlukan setiap petakan sawah untuk pengolahan tanah (dari mulai air diberikan sampai siap tanam) adalah sekitar 30 hari. Petani yang telah menyedikan benih, pupuk, dan memulai mengolah tanah segera setelah air tersedia akan menanam sesuai dengan golongan tanam yang telah direncanakan, atau terlambat maksimal dua minggu. Namun jika persiapan tanam belum tersedia, akan lebih sukar untuk mengikuti golongan tanam yang telah direncanakan. Observasi ketepatan waktu tanam pada penelitian ini dilakukan pada musim tanam hujan. Petani yang menanam tidak sesuai rencana waktu tanam masih dapat berproduksi karena kebutuhan air juga dapat dipenuhi dari air hujan. Perlu analisis lebih lanjut yang dilakukan pada musim tanam kemarau, sehingga informasi yang diperoleh terkait ketersediaan air bagi lahan lebih akurat.
Prioritas Lahan Sawah Berkelanjutan Sebaran lahan padi sawah yang diprioritaskan untuk dilindungi disajikan pada Gambar 24. Prioritas lahan sawah dibedakan ke dalam prioritas 1, prioritas 2, cadangan 1, dan cadangan 2.
43
Gambar 24 Sebaran Prioritas Lahan Sawah Berkelanjutan Lahan sawah berkelanjutan Prioritas 1 tersebar di bagian tenggara dari daerah penelitian, salah satunya mencakup lahan milik PT. Sang Hyang Seri. Lahan sawah cadangan 1 dan 2, tersebar di sebelah utara, timur, dan selatan lokasi penelitian. Lahan sawah Prioritas 2 mendominasi lokasi penelitian dan tersebar hampir merata di seluruh lokasi, kecuali bagian tenggara. Lahan prioritas 1 memenuhi IP ≥ 200, produktivitas tinggi ≥ 4,1 ton/ha, dan waktu tanam sesuai rencana yang telah ditetapkan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kendala irigasi dan produksi padi di wilayah tersebut, sehingga sangat direkomendasikan untuk dipertahankan sebagai lahan sawah berkelanjutan. Lahan sawah prioritas 2 memiliki salah satu dari ketiga kriteria sebagai prioritas 2, yaitu IP < 200, produktivitas < 4 ton/ha, atau penanaman tidak sesuai rencana. Lahan sawah cadangan 1 hanya memiliki salah satu kriteria prioritas 1, dan lahan cadangan 2 memiliki kriteria prioritas 2 untuk masing-masing komponen. Luasan lahan sawah untuk masing-masing kelas prioritas disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Luasan Prioritas Lahan Sawah Berkelanjutan Kecamatan Blanakan Ciasem Patokbeusi Jumlah
Prioritas 1 (Ha) 0 2328,20 2693,55 5021,75
Kelas Prioritas Lahan Sawah Prioritas 2 (Ha) Cadangan 1 (Ha) Cadangan 2 (Ha) 4960,12 130,89 333,54 6044,28 119,69 198,14 5217,88 127,81 120,36 16222,29 378,39 652,04
Kategori prioritas terluas adalah lahan sawah dengan prioritas 2, yaitu 16.222,29 ha. Lahan sawah yang sangat direkomendasikan untuk dipertahankan adalah lahan dengan prioritas 1. Namun demikian, lahan sawah yang
44 direkomendasikan untuk dipertahankan sebagai lahan sawah berkelanjutan adalah lahan prioritas 1 dan 2, mengingat luasan prioritas 2 yang mendominasi lokasi penelitian. Penentuan prioritas lahan telah memenuhi sebagian dari seluruh syarat penetapan lahan berkelanjutan. Penelitian ini menitikberatkan pada peran irigasi sebagai infrastruktur dasar yang dibutuhkan oleh lahan sawah. Penentuan lahan berkelanjutan tidak mempertimbangkan aspek fisik seperti penelitian Ritung et al. (2008). Nilai indeks pertanaman dan kondisi eksisting lahan telah diperhitungkan, sesuai penelitian Rustiadi dan Wafda (2008). Namun demikian, komponen luas hamparan lahan sawah tidak diperhitungkan dalam penelitian.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil analisis data yang dilaksanakan dalam penelitian ini diperoleh beberapa simpulan penting, yaitu: 1. Secara umum konversi lahan di tiga kecamatan contoh relatif kecil. Kecamatan Ciasem memiliki konversi lahan sawah terluas dibandingkan Kecamatan Patokbeusi dan Blanakan. Pendidikan dan usia petani menjadi penentu utama yang mempengaruhi minat bertani generasi penerus. 2. Sebagian besar lahan sawah di lokasi penelitian memiliki indeks pertanaman 200 dan 250. Estimasi produktivitas padi dengan citra satelit menunjukkan korelasi yang rendah dengan produktivitas padi di lahan sawah. 3. Penambahan panjang irigasi dan pertumbuhan penduduk merupakan faktor yang berpengaruh nyata terhadap peningkatan luas konversi lahan sawah. 4. Produktivitas padi tidak tergantung pada jenis saluran irigasi yang mengairi lahan tersebut. Tercatat 92,5% titik responden yang melakukan penanaman padi di luar jadwal pemberian air yang mengindikasikan adanya masalah pada saluran irigasi, ketidaksiapan modal petani, maupun kurangnya alat pertanian. 5. Sebagian besar lahan termasuk dalam lahan dengan prioritas 2, dengan total luas sebesar 16.222,29 ha, sementara lahan prioritas 1 sebesar 5021,75 ha. Lahan dengan prioritas 1 tersebar pada bagian tenggara daerah penelitian, termasuk lahan milik PT. Sang Hyang Seri.
Saran Besarnya Indeks Pertanaman di lokasi penelitian yang relatif rendah membutuhkan perhatian dalam kaitannya dengan upaya pemerintah khususnya Kementerian Pertanian mencapai target IP 400. Perlu penelitian lebih lanjut terkait irigasi yang dilakukan pada musim tanam kemarau, agar peranan irigasi dalam mendukung kestabilan produksi pangan khususnya padi lebih dapat dipahami. Perlu komunikasi terpadu dari pihak
45 pemasok air irigasi (PT. Jasa Tirta II), aparat desa, dan petani supaya petani dapat menanam sesuai jadwal pembagian air dari pihak pemasok air irigasi. Komponen penentuan prioritas lahan sawah perlu ditambah, sehingga memenuhi syarat penentuan lahan berkelanjutan yang sesuai dengan aturan perundangan. Kelompok tani pemilik lahan sawah yang ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan perlu diberikan kemudahan akses modal/pinjaman untuk pembelian alat dan mesin pertanian, terutama traktor untuk mengurangi peluang keterlambatan pengolahan tanah karena ketiadaan alat.
DAFTAR PUSTAKA Andalusia K. 2014. Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan dan Kecukupan Usaha Tani di Kabupaten Subang. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Andriarini D. 2007. Identifikasi produksi padi dan penggunaan lahan di Kecamatan Blanakan, Kecamatan Ciasem, dan Kecamatan Patokbeusi Kabupaten Subang. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Anggarani A. 2012. Keterkaitan pertumbuhan penduduk dengan perubahan penggunaan lahan pertanian ke non-pertanian dan luas lahan kritis (studi kasus Kecaamatan Sukaraja dan Sukamakmur). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Azadi H, Ho P, Hasfiati L. 2010. Agricultural land conversion drivers: a comparison between less developed, developing, and develop countries. Land Degrad. Develop. Barus B, Panuju DR, Iman LS, Trisasongko BH, Gandasasmita K, Kusumo R. 2012a. Pemetaan potensi konversi lahan sawah dalam kaitan lahan pertanian berkelanjutan dengan analisis spasial. Makalah Seminar dan Kongres HITI X [Internet]. 2011 Des 6-8. Solo (ID): Universitas Negeri Sebelas Maret; [diunduh 2013 Feb 2]. Tersedia pada: http://bbarus.staff.ipb.ac.id/files/2012/ 08/paper-hiti_baba-barus.pdf Barus B, Panuju DR, Munibah K, Iman LS, Trisasongko BH, Widiana N, Kusumo R. 2012b. Model pemetaan sawah dan perlindungan lahan pertanian pangan dengan penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (model of rice field mapping and it’s protection using remote sensing and S). Seminar dan Ekspose Hasil Kegiatan dan Penelitian P4W LPPM-IPB [Internet]. 2012 Des 11.Bogor (ID): IPB; [diunduh 2013 Mei 15]. Tersedia pada: http://bbarus.staff.ipb.ac.id/files/2012/12/model-pemetaan-dan-perlindungan sawah-dgn-IJ-dan-SIG.pdf [BPS] Badan Pusat Statistik (ID). 2011. Subang dalam angka 2011. [Internet]. [diunduh 2013 Desember 14]. Tersedia pada: http://www.subang.go.id/sda.php [BPS] Badan Pusat Statistik (ID). 2012. Jawa Barat dalam angka 2012. [Internet]. [diunduh 2014 Oktober 12]. Tersedia pada: http://www.jabarprov.go.id/root/ dalamangka/dda2012.pdf Breiman L, Friedman JH, Olshen RA, Stone CJ. 1984. Classification and Regression Trees. Monterey (CA):Wadsworth & Brooks
46 Butar-Butar EGV. 2012. Analisis faktor-faktor konversi lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Cahyaningsih SW. 2012. Pemantauan fase pertumbuhan padi menggunakan sensor AVNIR dan PALSAR polarisasi penuh (studi kasus PT. Sang Hyang Seri, Subang). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Christina DR. 2011. Identifikasi lahan potensial untuk mndukung usulan perencanaan lahan pertanian pangan berkelanjutan (studi kasus di provinsi Jawa Barat). [tesis]. Bogor(ID):Institut Pertanian Bogor. Dirgahayu D, Noviar H, Anwar S. 2014. Model pertumbuhan tanaman padi di Pulau Sumatera menggunakan data EVI MODIS multitemporal. Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh 2014 [Internet]. 2014 April 21. Bogor (ID): IPB International Convention Center; [diunduh 2015 Jan 13]. Tersedia pada:http://sinasinderaja.lapan.go.id/wp-content/uploads/2014/06/ bukuprosiding_333-343.pdf Erika Y, Susetyo B, Alamudi A. 2006. Metode klasifikasi berstruktur pohon dengan algoritma CRUISE, QUEST, dan CHAID. Forum Statistika dan Komputasi. 11(1):20-28 Firman T. 1997. Land conversion and urban development in the Northern Region of West Java, Indonesia. Urban Studies 34(7):1027–1046. Hardjoamidjojo S. 1997. Peranan irigasi dan permasalahannya dalam swasembada beras di Indonesia. Bul. Keteknikan Pertanian.. 11(1):44-53 Harsoyo B. 2011. Analisis neraca air dan kekeringan di daerah tangkapan air dan daerah irigasi waduk Jatiluhur. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Hartini TNS, Padmawati RS, Lindholm L, Surjono A, Winkvist A. 2005. The importance of eating rice: changing food habits among pregnant Indonesian women during the economic crisis. Soc. Sci. Med. 61(2005): 199-210 Heidina F. 2010. Produksi dan Produktivitas Padi di Kecamatan Ciasem, Kabupaten Subang. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Huete A, Didan K, Miura T, Rodriguez ET, Gao X, Ferreira LG. 2002. Overview of the radiometric and biophysical performance of the MODIS vegetation indices. Remote Sens Environ.83:195– 213. Hussain I, Hanjra MA. 2004. Irrigation and poverty alleviation: review of the empirical evidence. Irig. And Drain. 53: 1-15 Iacono MJ, Levinson DM. 2009. Predicting land use change how much does transportation matter?. Transportation Research Record. 2119(2009): 130-136 Ilham N, Syaukat Y, Friyatno S. 2005. Perkembangan dan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah serta dampak ekonominya. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis. 5(2): 1-25 [IRRI] International Rice Research Institute (PH). 2007. Growth phases. [Internet]. [diunduh 2014 juni 20]. Tersedia pada: http://ricepedia.org/rice-as-a plant/growth-phases Jie-Lun C. 2014. Knowledge-based principal component analysis for image fusion. Appl. Math. Inf. Sci. 8(1L): 223-230 Komalasari WB. 2007. Metode pohon regresi untuk eksploratori data dengan peubah yang banyak dan kompleks. Inform Pert. 16(1):967-980 Kusumawardani R, Widjojo S, Nahib I. 2013. Inventarisasi produksi padi dengan menggunakan data citra MODIS di Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Globe. 15(1): 12-22
47 Lestari PD. 2014. Prioritas lahan sawah yang dilindungi di Kota Sukabumi, Jawa Barat. [skripsi]. Bogor(ID):Institut Pertanian Bogor. Mahiny AS, Clarke KC. 2012. Guiding SLEUTH land-use/land-cover change modeling using multicriteria evaluation: towards dynamic sustainable land-use planning. Environment and Planning B: Planning and Design. 39:925-944 Malian AH, Mardianto S, Ariani M. 2004. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi, konsumsi, dan harga beras serta inflasi bahan makanan. Jurnal Agro Ekonomi. 22(2):119-146 Masjihudi SH. 2003. Peningkatan efisiensi irigasi untuk keberlanjutan manfaat potensi sumberdaya air (kasus pengairan Jatiluhur) [Internet]. Pemanfaatan Air untuk Kesejateraan Rakyat. Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian; 2003 Agu 12. Jakarta (ID): [Tempat pertemuan tidak diketahui]. hlm 59-68; [diunduh 2014 Feb 2]. Naylor RL, Battisti DS, Vimont DJ, Falcon WP, Burke MB. 2007. Assessing risks of climate variability and climate change for Indonesian rice agriculture. Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A. 104(19): 7752–7757. Nuarsa IW, Nishio F, Hongo C. 2011. Relationship between rice spectral and rice yield using MODIS data. J Agric Sci. 3(2):80-88 Nurmalina R. 2008. Analisis indeks dan status keberlanjutan sistem ketersediaan beras di beberapa wilayah Indonesia. Jurnal AgroEkonomi. 26(1):47-79 Octiasari. 2011. Hubungan penguasaan lahan sawah dengan pendapatan usaha tani padi (studi kasus kelompok tani harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi). [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Panuju DR, Heidina F, Trisasongko BH, Tjahjono B, Kasno A, Syafril AHA. 2009. Variasi nilai indeks vegetasi MODIS pada siklus pertumbuhan padi. Jurnal Ilmiah Geomatika. 15(2):9-16. Panuju DR, Mizuno K, Trisasongko BH. 2013. The dynamics of rice production in Indonesia 1961–2009. J. Saudi Soc. Agric. Sci. 12(2013): 27–37 Panuju DR, Trisasongko BH. 2008. The use of statistical tree methods on rice field mapping. Jurnal Ilmiah Geomatika. 14(2): 41-50. Rachman HPS, Ariani M. 2008. Penganekaragaman konsumsi pangan di Indonesia: permasalahan dan implikasi untuk kebijakan dan program. Analisis Kebijakan Pertanian. 6(2): 140-154 Rahman S. 2010. Six decades of agricultural land use change in Bangladesh: effects on crop diversity, productivity, food availability and the environment, 1948–2006. Singapore Journal of Tropical Geography. 31 (2010):254–269 Ritung S, Hidayat, Wahyunto. 2008. Penyusunan peta lahan abadi 15 juta hektar lahan sawah dan 15 juta hektar lahan kering dan reforma agraria.Laporan akhir penelitian. Bogor(ID): Badan Penelitian Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Rustiadi E, Panuju DR. 2002. Spatial Pattern of Suburbanization and land Use Change Process: Case Study in Jakarta Suburb. Di dalam: Himiyama Y, Hwang M, Ichinose T, editor. Land Use Changes in Comparative Perspective. Enfield (USA): Science Publisher. 33-52. Rustiadi E, Wafda R. 2008. Urgensi pengembangan lahan pertanian pangan abadi dalam perspektif ketahanan pangan. Di dalam: Arsyad S, Ernan R, editor. Penyelamatan Tanah, Air, dan Lingkungan. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. 61-90
48 Saefulhakim S, Panuju DR, Rustiadi E, Suryaningtyas DT. 1999. Pengembangan model sistem interaksi antar aktifitas sosial ekonomi dengan perubahan penggunaan lahan. Lokakarya Pengaruh Parameterisasi dalam Studi Interaksi antara Aktifitas Sosial Ekonomi dan Perubahan Penggunaan Lahan dan Penutupan Lahan di Indonesia [Internet]. 1999 Nov 16. Jakarta (ID): Gedung BPPT; [diunduh 2013 Jun 7]. Tersedia pada:http://repository.ipb.ac.id/ antar bitstream/handle/123456789/24808/116-Pengembangan Model Sistem Interaksi Aktifitas Sosial Ekonomi dengan Perubahan Penggunaan. PDF?sequence =1. Son NT, Chen CF, Chen CR, Minh VQ, Trung NH. 2014. A comparative analysis of multitemporal MODIS EVI and NDVI data for large-scale rice yield estimation. Agricultural, Forest, and Meteorology.197(2014):52-64 Trisasongko BH, Panuju DR, Iman LOS, Anjani V, Harimurti, Ramly AF, Subroto H. 2009. Laporan penelitian analisis dinamika konveri lahan di sekitar jalur tol Cikampek. Publikasi Teknis DATIN Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Tuong TP. 1999. Productive water use in rice production: opportunities and limitations. J. Crop Prod. 2(2):241-264 Uchida S. 2010. Variation of paddy rice planted time in recent years for West Java in Indonesia observed by using MODIS data. 31st Asian Conference on Remote Sensing. 2010 Nov 1-5; Hanoi, (VN). hlm 172-177 Verburg P, Veldkamp T, Bouma J. 1999. Land use change under conditions of high population pressure, the case of Java. Global Environ. Change 9: 303–312. Wandayani A. 2007. Perbandingan Metode Brovey dan PCA dalam Fusi Citra Pankromatik dan Multispektral. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. White B. 2012. Agriculture and the generation problem: rural youth, employment and the future of farming. IDS Bulletin. 43(6):9-19 Yoshida S. 1981. Fundamentals of Rice Crop Science. Manila (PH):The International Rice Research Institute. Yuhendra. 2013. Comparative analysis the effect of fusion algorithm on high resolution images. Jurnal TEKNOIP. 1(1):1-5
49 Lampiran 1 Kuisioner Pemantauan Lahan Sawah Berkelanjutan di Kabupaten Subang PEMANTAUAN LAHAN SAWAH BERKELANJUTAN DI KABUPATEN SUBANG Form Data Dasar Kode Kuesioner Kabupaten : Subang
Tanggal Pengisian : …….. / …….. / 20….. Jam Mulai : ……….. Jam Berakhir : ………..
Kecamatan : ...................................... Desa
: ......................................
Koordinat-X : ...................................... Kode Enumerator: ……………………………......................... Kelas Kombinasi Irigasi & Konversi : ...........................
Koordinat-Y: .................................... Koordinat-Z: ..................................... Akurasi (m): ......................................
Identitas responden 1.
Nama
:
2.
Usia
:
3.
Pendidikan
:
4.
Jenis Kelamin
:
5.
Apakah aktif di Gapoktan
6.
Nama Kelompok Tani
7.
a. SD; b. SLTP; c. SLTA; d. Akademi; e. Sarjana f. Pascasarjana; g. Tidak pernah sekolah L/P 1=Ya; 0=Tidak Jika Ya, sebagai............
:
..........................
Berapakah jumlah anggota keluarga?
8. Berapa liter/kg beras dikonsumsi untuk satu keluarga per-hari?
:
..............................orang
:
................................liter/kg
9.
Apakah memiliki sawah milik?
:
1=Ya; 0=Tidak
10.
Apakah memiliki sawah garap?
:
1=Ya; 0=Tidak
Status Lahan 11. Luasan sawah yang dimiliki
: Milik .......... Ha ; Garap ............... Ha
dan/atau digarap 12. Apakah lokasi sawah milik
: 1=Ya ; 0=Tidak
mengumpul menjadi satu 13. Jika tidak, jumlah lokasi
:
................ blok
14. Total luas pemilikan sawah
:
15. Status Pemilikan Lahan
:
……………………… ha/ m2 Milik / sewa / garap / lainnya : ......................
(hamparan ini) 16. Luas (hamparan ini)
:
17. Jumlah petak dalam 1
:
………… ha/ m2 / bata/………….. (sebutkan jika satuan lainnya ) Konversi satuan lain ke m2, 1 satuan = ………………… m2 .......................................................
hamparan (persil) 18. Luas (petak ini)
:
19. Apakah menurut Bapak/Ibu lahan sawah milik/ garap relatif
:
………… ha/ m2 / bata/………….. (sebutkan jika satuan lainnya ) Konversi satuan lain ke m2, 1 satuan = …………… m2 Milik : 1=Ya; 0=Tidak Garap : 1=Ya; 0=Tidak
50 subur? 20. Kemiringan lereng lahan
:
............................... %
21. Jarak ke jalan terdekat
:
................................ m
22. Status jalan terdekat
:
Negara/provinsi/kabupaten/lokal (pilih salah satu)
23. Jarak ke fasilitas umum terdekat
:
................................ m, fasilitas : .........................................
24. Jarak ke pemukiman terdekat
:
................................ m
25. Jarak ke kota kecamatan
:
............................... km
26. Jarak ke kota kabupaten
:
............................... km
jenis
Irigasi 27. Apakah sawah beririgasi?
:
1=Ya..... lanjut ke Q27; Q36
28. Jika ya, jenis irigasi
:
1=teknis;2=semiteknis;3.sungai primer/sekunder/tersier/kuarter
29. Berapa jarak lahan sawah ke jaringan irigasi primer?
:
................................ m
30. Berapa jarak lahan sawah ke sungai?
:
................................ m
31. Kelembagaan Pengelolaan Air
:
Tidak ada/ada:...............................
32. Berapa Pembiayaan Iuran Irigasi?
:
Rp........................................
33. Iuran dibayarkan setiap
:
..................................minggu/bulan/panen/th
34. Apakah jaringan irigasi dirawat baik?
:
1=Ya; 0=Tidak
35. Siapa yang merawat?
:
1=Petani; 2=Aparat..............
36. Siapa yang mendanai perawatan?
:
1=petani; 2=pemerintah daerah; 3=pemerintah pusat
37. Berapa kali dalam setahun lahan sawah Bapak/Ibu ditanami?
0= Tidak...........Lanjut ke
Indeks Pertanaman 2= : 2x; 3=3x; 4=Lainnya.................................. .....................
38. Berapa kali tanam padi rata2 dalam setahun dari 3 tahun terakhir?
: 1= 1x; 2= 2x; 3=3x
39. Bagaimana pola tanam atau jenis komoditas di sawah dalam 2 tahun terakhir?
: Milik:............................................................. Garap:..............................................................
40. Apakah penanaman lahan monokultur?
: 1=Ya...... lanjut ke Q42; ke Q40
41. Jika tidak, sistem penanamannya
: ...............................
42. Penanaman padi bersamaan dengan tanaman apa saja?
43. Tanggal(Minggu-Bln) tanam
: Status Milik Garap : Status Milik Garap
0=Tidak......lanjut
Musim1
Musim2
Musim3
Musim1
Musim2
Musim3
51 44. Tanggal(Minggu-Bln) panen
: Status Milik Garap
45. Kalender tanam Jan
Feb
Musim1
Musim2
Musim3
Milik: :
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Des
Garap: Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Des
46. Berapa lama proses pemberaan?
: .....................................
47. Jika tanam padi lebih dari sekali dalam setahun, bagaimana produksi di musim ke 2 atau 3 musim tanam tsb?
1=sama : 2=berbeda, musim tanam bulan......... lebih baik dari musim tanam yang lain. Besar perbedaan produksi ...................... ton/kw/kg atau ........................%
48. Berapa rata-rata produktivitas padi dari lahan sawah milik/garap setiap kali panen?
: Status
Milik Garap
Musim1 .........ton/ kw/kg .........ton/ kw/kg
Musim2 .........ton/kw /kg .........ton/kw /kg
49. Apakah ada gejala perubahan hasil dalam 5 tahun terakhir?
: 1=Ya; 0=Tidak, tetap.
50. Perubahan menunjukkan kenaikan atau penurunan?
: 1. Naik; 2. Turun
Musim3 .........ton /kw/kg .........ton /kw/kg
51. Apa perubahan tersebut terkait hal berikut?
52. Dimana Bapak/Ibu membeli saprotan?
:
53. Dimana lokasi tempat pembelian tsb?
:
a. Hama : : 1=Ya; 0=Tidak b. Air : 1=Ya; 0=Tidak c. Pupuk : 1=Ya; 0=Tidak d. Lainnya: Sarana Produksi Pertanian 1=Kelompok tani; 2=KUD; 3=Toko saprotan; 4=Lainnya: .........................
1=Di wilayah desa; 2=di kota kecamatan; 3=ke kota kabupaten; 4=Lainnya: ..........................................
54. Apakah dalam 2 tahun terakhir pernah mengalami kelangkaan saprotan? 55. Apakah bapak/ibu mendapatkan bantuan saprotan dari dinas pertanian? 56. Apakah menjual hasil panen? 57. Jika sebagian atau seluruhnya dijual, siapa pembeli hasil panen? 58. Dimana lokasi tinggal pembeli? 59. Siapa yang menanggung
:
1=Ya; 0=Tidak Jika Ya; Jenis yang langka: 1=Pupuk..............;2=Obat pembasmi hama/gulma;3=Lainnya: .................................... : 1=Ya; 0=Tidak Jika Ya, jenis saprotan ....................................................... 0=Tidak : dijual, dikonsumsi sendiri; 1=Dijual sebagian ±…...............%; 2= dijual seluruhnya 1=Kelompok : tani; 2=KUD; 3=Tengkulak; 4=Pasar; 5=BULOG Lainnya: .................................................................... 1=di: wilayah desa; 2=di kota kecamatan........................ 3=di kota .........................; 4=Lainnya: ................................................................................ ........... 1=Petani; : 2=Pembeli; 3=Dibagi rata antara petani dan
52 biaya pengiriman
pembeli
60. Jarak sawah ke lokasi penggilingan
.......................... : m/km
61. Jarak sawah ke lokasi penyimpanan
.........................m/km :
62. Jarak sawah ke pasar
........................m/km :
Keberlanjutan lahan pertanian 63. Apakah Bapak/Ibu berniat menjual 1=Ya; : 0=tidak lahan sawah? 64. Jika ya, apa alasan keinginan menjual lahan sawah/tegal tersebut? 65. Jika memiliki lahan sawah, apakah Bapak/Ibu berniat mengalihgunakan lahan sawah? 66. Jika tidak, alasan mempertahankan lahan sawah 67. Jika akan mengalihgunakan penggunaan, rencananya digunakan untuk 68. Apakah pernah mendapatkan penjelasan tentang rencana pemerintah terkait lahan pertanian pangan berkelanjutan? 69. Apa yang bapak/ibu pahami tentang program tersebut?
1=Mencukupi : kebutuhan sehari-hari 2=Biaya sekolah anggota keluarga 3=Membangun tempat tinggal 4=Usaha lain ............................ 5=lainnya............................................ 1=Ya; : 0=Tidak
1=Warisan : dan amanah orang tua 2=Tidak memiliki keahlian lain 3=Larangan pemerintah 4=lainnya.................................. ...................................................................... :
1=Ya; : 0=Tidak
:
70. Jika disarankan oleh pemerintah untuk menanam padi atau tanaman pangan terus-menerus, apakah bersedia?
1=Ya; : 0=Tidak
71. Apakah putra/putri Bapak/Ibu tertarik bertani?
1=Ya; : 0=Tidak
72. Jika lahan sawah Bapak/Ibu ditetapkan sebagai penghasil padi utama di Subang apakah Bapak/ Ibu sepakat?
1=setuju; : 0=tidak setuju
73. Jika pemerintah hendak mendorong wilayah ini menjadi kawasan penghasil pangan utama, apa saja yang perlu difasilitasi?
a=Memberikan : kemudahan pinjaman modal? 1=Ya; 0=Tidak b=Menyediakan sarana produksi? 1=Ya; 0=Tidak c=Membangun jaringan irigasi? 1=Ya; 0=Tidak d=Memberikan penyuluhan ruitn? 1=Ya; 0=Tidak e=Memberikan pajak lahan pertanian lebih rendah? 1=Ya; 0=Tidak f=Menyediakan pasar produk pertanian yang mudah diakses petani? 1=Ya; 0=Tidak g=Membina kelembagaan petani (kelompok tani)? 1=Ya; 0=Tidak h=Perijinan lokasi diatur kembali agar tidak terlalu mudah? 1=Ya; 0=Tidak i=lainnya......................................................
53 Pembangunan Fasilitas Umum 74. Apakah ada fasilitas umum yang baru dibangun?
1=Ya : ; 0=Tidak
75. Sejak kapan fasilitas teresbut dibangun?
.................................. :
76. Luas lahan untuk fasilitas umum
................................... : m2
77. Jenis fasilitas yang dibangun
a. Sekolah; : b. Fas. Kesehatan; c.SPBU; d.Masjid; e. Lainnya: ............ ................................... : m
78. Jarak fasilitas umum ke lokasi permukiman penduduk 79. Jarak failitas umum ke lahan pertanian
................................... : m
54
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pamekasan, Madura pada tanggal 20 November 1991. Penulis merupakan putri tunggal dari Ibu Ratih Uttari. Penulis memulai pendidikan formal di SD Negeri Barurambat Kota I Pamekasan dan lulus tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri II Pamekasan dan lulus tahun 2006. Pada tahun 2009, penulis menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri I Pamekasan dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama masa perkuliahan penulis terlibat dalam kepengurusan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Forum for Scientific Studies (FORCES) IPB tahun 2009-2010, Leadership and Enterpreneurship School (LES) BEM KM IPB tahun 2009-2010, Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT) IPB tahun 2011-2012, dan Biro Lingkungan Hidup (BLH) Azimuth tahun 2011-sekarang. Penulis juga berkesempatan untuk terlibat dalam beberapa kepanitiaan, diantaranya pada acara Olimpiade Mahasiswa IPB tahun 2010, Pekan Olahraga Ilmu Tanah tahun 2010, Soil Art and Charity (SOILIDARITY) tahun 2011, Pekan Ilmiah Mahasiswa Ilmu Tanah Nasional tahun 2011, Seminar Nasional Ilmu Tanah 2012, Regional Workshop Water, Land, and Southeast Asia Food Sovereignty tahun 2012, serta 11th International Conference of East and SouthEast Asia Federation of Soil Science Societies (ESAFS) tahun 2013. Penulis aktif menjadi asisten praktikum beberapa mata kuliah di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, diantaranya mata kuliah Agrogeologi pada tahun 2012, Perencanaan Pengembangan Wilayah tahun 2013, Perencanaan Tata Ruang dan Penatagunaan Lahan tahun 2013, Geomorfologi dan Analisis Lanskap tahun 2013, serta Sistem Informasi Geografis tahun 2013. Penulis juga pernah berkesempatan menjadi pemateri dalam acara Seminar Nasional lmu Tanah 2012 dengan materi “Potensi Satelit emote Sensing ndonesia di Masa Mendatang”, poster partisipan dalam Seminar Nasional eomatika 2012 dengan judul poster “Analisis uang Terbuka Hijau Jakarta menggunakan Citra Satelit ALOS PALSA Polarisasi anda”, dan poster partisipan dalam The ASEAN Conference on Science and Technology 2014 Asean Science and Technology Week (ASTW) dengan judul poster “MOD S Time Series to Monitor Rice Plant Growth”.