DAYA SAING, HAMBATAN NON-TARIF DAN FAKTORFAKTOR YANG MEMENGARUHI EKSPOR KAYU LAPIS INDONESIA KE NEGARA TUJUAN EKSPOR
KARTIKA RAHMA SARI
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Daya Saing, Hambatan Non-Tarif dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Kayu Lapis Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, 25 April 2014 Kartika Rahma Sari NIM H14100049
i
ABSTRAK KARTIKA RAHMA SARI. Daya Saing, Hambatan Non-Tarif dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Kayu Lapis Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama. Dibimbing oleh WIDYASTUTIK Kayu lapis merupakan salah satu produk hasil hutan Indonesia yang potensial. Hal tersebut ditunjukkan dengan produktivitas kayu lapis nasional yang paling besar diantara produk hasil hutan lainnya. Produktivitas yang tinggi mendorong peningkatan ekspor. Namun dengan semakin berkurangnya hambatan tarif, hambatan non-tarif mulai memengaruhi kinerja perdagangan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis daya saing kayu lapis Indonesia di negara tujuan pada tahun 2010-2012 menggunakan metode RCA, menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ekspor kayu lapis pada tahun 2001-2011 menggunakan gravity model, dan menghitung hambatan non-tarif kayu lapis Indonesia di negara tujuan. Data yang digunakan adalah data sekunder tahunan yang diperoleh dari UN Comtrade, CEPII, IMF, UNCTAD dan TRAINS. Hasil perhitungan RCA menunjukkan daya saing kayu lapis Indonesia di negara tujuan cukup kuat. Hasil estimasi gravity model menunjukkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ekspor kayu lapis Indonesia yaitu GDPriil Indonesia dan negara tujuan, IHK Indonesia dan negara tujuan, jarak ekonomi, nilai tukar dan krisis keuangan tahun 2010. Hasil perhitungan hambatan non-tarif menunjukkan negara Uni Eropa seperti Inggris dan Belgia memiliki hambatan non-tarif paling besar. SVLK untuk legalitas produk kayu diindikasikan sebagai cara untuk menghadapi hambatan non-tarif yang ada di negara tujuan ekspor. Kata kunci : Hambatan non-tarif, gravity model, RCA, volume ekspor ABSTRACT KARTIKA RAHMA SARI. Competitiveness, Non-Tariff Barriers and The Affecting Factors of Indonesia Plywood Export to The Main Export Destination Countries. Supervised by WIDYASTUTIK Plywood is one of Indonesian potential forest product.This is indicated by the national productivity of plywood is the greatest among the other forest products. The high productivity of plywood would increase the export volume. However, the lower tariff barrier the higher non-tariff barrier in trade. Based on this fact, the objectives of this research are : to analyze competitiveness of Indonesian plywood toward destination countries in 2010-2012 using RCA method, to analyze the factors which affect Indonesia plywood export in 20012011 using gravity model, and to calculate the value of non-tariff barrier of Indonesian plywood in destination countries. The secondary data which use in this research are from UN Comtrade, CEPII, IMF, UNCTAD and TRAINS. The result of RCA calculation shows the strong competitiveness Indonesian plywood. The gravity model result shows affecting factors of plywood export are real GDP, CPI, economic distance, exchange rate, and financial global crisis in 2010. Meanwhile, the result of calculation shows EU countries such as United Kingdom and Belgium have the largest value of non-tariff barrier. SVLK (Indonesia timber product legality) is indicated as one solution of Indonesian government to face non-tariff barrier in export destination countries. Keywords :export volume, gravity model, non-tariff barriers, RCA JEL Classification : F02, F12, F13, F14
ii
DAYA SAING, HAMBATAN NON-TARIF DAN FAKTORFAKTOR YANG MEMENGARUHI EKSPOR KAYU LAPIS INDONESIA KE NEGARA TUJUAN EKSPOR UTAMA
KARTIKA RAHMA SARI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
iii
iv
Judul Skripsi : Daya Saing, Hambatan Non-Tarif dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Kayu Lapis Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama Nama : Kartika Rahma Sari NIM : H14100049
Disetujui oleh
Widyastutik, M.Si Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir.Dedi Budiman Hakim, M.Ec Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
v
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul skripsi ini adalah “Daya Saing, Hambatan Non-Tarif dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Kayu Lapis Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama” dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Ibu Widyastutik, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan motivasi secara teknis maupun teoritis. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Ibu Dr. Tanti Novianti, S.P, M.Si selaku dosen penguji utama dan Ibu Laily Dwi Arsyianti, MA selaku dosen komisi pendidikan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah R. Yebby Daryoso, ibu Titik Rianingsih, adik Bakhtiar Rahmat Darmawan serta seluruh keluarga, atas doa dan dukungannya. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu Ekonomi, keluarga besar Ilmu Ekonomi angkatan 47, keluarga Jaika 4 Mba Hidayah, Mba Nurul, Friskafianti, Nur Aini, Dhini Nova, teman berbagi suka dan duka dalam penyusunan skripsi ini Uke Tri Evasari dan Brilia Wulantika, teman sebimbingan Nadiah, Riana, Raditya, dan Zulfi, sahabat Hipo Rd. Heni, Putri, Ni Putu, Dian, Laili, Arti, Fazri, Alfin, Amalia, Erlangga, Dwiki serta kepada teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Mei 2014 Kartika Rahma Sari
vi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
8
Tujuan Penelitian
11
Manfaat Penelitian
11
Ruang Lingkup Penelitian
12
TINJAUAN PUSTAKA
12
METODE PENELITIAN
23
Jenis dan Sumber Data
23
Analisis Keunggulan Komparatif
23
Spesifikasi Model
24
Perhitungan Hambatan Non-Tarif
26
GAMBARAN UMUM
26
HASIL DAN PEMBAHASAN
32
Perkembangan Daya Saing Ekspor Kayu Lapis di Negara Tujuan Ekspor
32
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Volume Ekspor Kayu Lapis Indonesia
34
Perhitungan Hambatan Non-Tarif di Negara Tujuan Ekspor dan Kaitannya dengan SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu)
37
PENUTUP
43
Kesimpulan
43
Saran
43
DAFTAR PUSTAKA
45
LAMPIRAN
48
RIWAYAT HIDUP
62
vii
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Tarif komoditi kayu lapis Indonesia HS 2007 tahun 2012 Jumlah, kapasitas dan produksi industri primer tahun 2011 Data, satuan, simbol dan sumber data Volume ekspor kayu lapis Indonesia ke negara tujuan ekspor utama tahun 2001-2011 Gross domestic product berdasarkan harga konstan 2005 tahun 20012011 Consumer price indexIndonesia dan negara tujuan ekspor utama tahun 2001-2011 Nilai tukar rupiah terhadap masing-masing negara tujuan ekspor utama tahun 2001-2011 Tarif komoditi kayu lapis Indonesia di negara tujuan ekspor utama tahun 2001-2011 Indeks daya saing kayu lapis Indonesia di negara tujuan ekspor utama Indonesia periode 2010-2012 Hasil estimasi variabel yang berpengaruh terhadap volume ekspor kayu lapis Indonesia Periode 2001-2011 Nilai hambatan non-tarif kayu lapis Indonesia di negara tujuan ekspor utama
7 10 23 27 28 29 30 31 32 34 39
DAFTAR GAMBAR 1 Lima negara tujuan ekspor produk hasil hutan terbesar Indonesia tahun 2008-2012 2 Volume ekspor kayu lapis Indonesia tahun 1992-2012 3 Pertumbuhan ekspor kayu lapis Indonesia tahun 1992-2012 4 Share total nilai ekspor kayu lapis Indonesia terhadap total nilai ekspor perdagangan Indonesia tahun 2008-2012 5 Sepuluhnegara tujuan ekspor utama kayu lapis Indonesia tahun 20012012 6 Dampak keseimbangan parsial akibat pemberlakuan tarif 7 Dampak pemberlakuan kuota impor 8 Kerangka pemikiran
2 3 4 5 6 13 14 22
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6
Hasil estimasi fixed effect model dengan pembobotan SUR (Seemingly Unrelated Regressions) Uji normalitas Uji multikolinearitas Uji hausman Random effect model Uji chow
48 49 49 49 50 51
viii
7 8 9
Output data model ekspor kayu lapis Indonesia ke sembilan negara tujuan ekspor utama 53 Output ekspor aktual dan potensial kayu lapis Indonesia ke sembilan negara tujuan ekspor utama 57 Output RCA (Revealed Comparative Advantage) 61
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan luas hutan tropis terbesar ketiga setelah Brazil dan Republik Kongo di dunia. Luas hutan tropis Indonesia diperkirakan mencapai 109 juta hektar. Dengan luasan tersebut, Indonesia memiliki peringkat pertama di Asia Pasifik dan tak heran apabila Indonesia juga disebut sebagai salah satu paru-paru dunia dengan banyak keragaman kekayaan hayati yang dimiliki (World Wild Foundation 2009). Pada kehidupan sehari-hari, hutan memiliki tiga peran penting. Pertama, hutan berperan sebagai penghasil barang dan jasa. Barang yang dihasilkan dari sumberdaya hutan dapat berupa Hasil Hutan Kayu (HHK) dan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Sedangkan jasa yang dihasilkan dari ekosistem hutan yaitu sebagai penyedia sumber mata air, pembentukan iklim mikro, penyerapan karbon (carbon sequestration) dan pemandangan alam yang menarik. Kedua, sumberdaya hutan berperan sebagai penopang sistem kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Masyarakat lokal yang tinggal dan menetap disekitar hutan memandang bahwa hutan menjadi sumber mata pencaharian. Hal tersebut dikarenakan hutan menjadi tempat untuk mencari nafkah dengan memanfaatkan hasil hutan berupa kayu, rotan, madu dan ikan sekaligus sebagai sarana peribadatan masyarakat setempat (Colfer et al. 2001 dalam laporan puslitsosek Kementerian Kehutanan 2010). Ketiga, hutan berperan sebagai sistem penyangga kehidupan. Sebagai penyangga kehidupan, hutan membentuk dan mempertahankan fungsi-fungsi ekologis seperti menjaga keberlangsungan rantai makanan dan kehidupan aneka makhluk hidup flora dan fauna hutan agar tercipta keseimbangan dan keberlanjutan ekosistem hutan. Adanya ketiga peran sumberdaya hutan tersebut, hutan dapat berperan sebagai penjaga siklus makanan beragam makhluk hidup, pengatur tata air dan pencegah banjir, pengendali erosi, pencegah intrusi air laut, pemelihara kesuburan tanah dan pembentuk kondisi udara yang bersih (Kementerian Kehutanan 2010). Pada skala Asia Tenggara, hutan tropis Indonesia memiliki lebih dari 400 spesies dipterocarp atau jenis kayu komersial yang paling berharga. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kayu tropis, bambu dan mebel rotan terbesar di dunia (Kementerian Perdagangan 2013). Melihat potensi besar tersebut, tidak salah apabila pemerintah Indonesia menjadikan produk sektor kehutanan sebagai salah satu sektor yang mampu menghasilkan komoditi utama untuk perdagangan yaitu produk hasil hutan salah satunya adalah kayu (World Bank 1994). Di awal pemerintahan orde baru pada tahun 1970, untuk menunjang pembangunan ekonomi pemerintah mengandalkan sektor kehutanan. Produk hasil hutan yang diekspor pada mulanya hanya berupa kayu bulat atau kayu log ke negara tujuan utama saat itu adalah negara-negara yang memiliki industri kayu lapis seperti Jepang, Korea Selatan, Singapura dan Taiwan.Pada periode 1980-an komoditi migas mengalami penurunan laju ekspor akibat dari turunnya harga minyak dunia. Sehingga langkah strategis yang dilakukan pemerintah pada saat
2
itu ialah merubah orientasi ekspor yang semula lebih condong ke sektor migas menjadi ke sektor non-migas. Pada tahun 1985, pemerintah Indonesia menghentikan penuh ekspor kayu bulatnya (Murniarsih 2008). Peraturan tersebut menyebabkan bermunculannya industri kayu olahan seperti kayu lapis, kayu gergajian, dan lain-lain di Indonesia dan terus berkembang pesat serta memberikan kontribusi besar terhadap devisa negara. Pada era 2000-an, terdapat lima negara tujuan utama produk hasil hutan Indonesia. Jepang, Cina, Amerika Serikat, Korea Selatan dan Australia adalah negara-negara tujuan ekspor utama produk hasil hutan Indonesia (Kementerian Perdagangan 2013). Pada rentang tahun 2008 hingga tahun 2012, Jepang masih mendominasi permintaan produk hasil hutan Indonesia. Kemudian disusul Cina, Amerika Serikat, Korea Selatan dan Australia. Selain untuk memenuhi permintaan dalam negerinya, negara-negara tersebut memerlukan bahan baku berupa produk hasil hutan Indonesia untuk industri furnitur yang dikembangkan dalam negerinya. Negara-negara tersebut juga memberlakukan kebijakan re-ekspor terhadap produk hasil hutan yang didatangkan dari Indonesia.
Sumber : Kemendag (2013) Gambar 1 Lima negara tujuan ekspor produk hasil hutan terbesar Indonesia tahun 2008-2009 Pada perdagangan produk hasil hutan Indonesia kayu lapis (plywood) cukup mendominasi. Bahkan kayu lapis menjadi salah satu komoditi unggulan produk hasil hutan dalam ekspor nonmigas Indonesia. Pada tahun 1990-an merupakan masa keemasan kayu lapis Indonesia karena nilai ekspornya yang tiap tahun kian meningkat. Kayu lapis juga pernah menjadi satu-satunya komoditi Indonesia di pasar internasional yang berubah dari pasar pembeli (Buyer’s Market) menjadi pasar penjual (Seller’s Market) dan pada tahun 1992 Indonesia menjadi negara pengekspor kayu lapis terbesar di dunia (Triastuti 1992). Sejak tahun 1992 hingga tahun 2012, ekspor kayu lapis Indonesia mengalami fluktuasi. Pada tahun 1992 dan 1993, volume ekspor kayu lapis Indonesia mencapai 9.7 juta m3 dan 9.6 juta m3. Penurunan volume ekspor yang signifikan mulai terjadi pada tahun 1994 namun kembali mengalami peningkatan
3
pada tahun 1995 hingga 1997. Akan tetapi, penurunan ekspor kembali terjadi pada tahun 1998 hingga tahun 2000 (lihat Gambar 2). Pada periode 1994-1998 jumlah volume ekspor kayu olahan Indonesia mencapai 90 persen dari perdagangan kayu dunia sehingga sempat menjadi yang terbesar di dunia mengungguli Brazil sebagai pemilik hutan tropis yang lebih besar daripada Indonesia dan Malaysia yang juga mengembangkan industri pengolahan kayu.
Sumber : FAO (2013) Gambar 2 Volume ekspor kayu lapis Indonesia tahun 1992-2012 Pada tahun 2002, volume ekspor kayu lapis kembali menurun. Penurunan ini merupakan penurunan yang cukup drastis pada volume ekspor kayu lapis Indonesia, (lihat Gambar 2), pada tahun 2002 volume ekspor kayu lapis Indonesia mencapai 5.5 juta m3 menurun di tahun 2003 menjadi 2.1 juta m3. Volume ekspor kayu lapis Indonesia terus mengalami fluktuasi. Pada tahun 2007 hingga tahun 2009 terjadi penurunan volume ekspor sedangkan di tahun 2010 volume ekspor kayu lapis Indonesia mulai meningkat kembali. Tren menurun kembali terjadi di tahun 2011 dan kembali meningkat di tahun 2012. Kenaikan dan penurunan yang terjadi pada volume ekspor kayu lapis Indonesia, erat kaitannya dengan peraturan dan kebijakan yang diterapkan di sektor kehutanan. Penyebab dari menurunnya kinerja ekspor industri kayu lapis pada periode setelah 1998 yaitu dibukanya kembali ekspor untuk kayu bulat di tahun 1998 sebagai akibat dari kerjasama Indonesia dengan IMF untuk pemulihan kondisi perekonomian pasca-krisis pada saat itu dalam bentuk Letter of Intent (LOI). Salah satu isi dari perjanjian yang telah disepakati tersebut adalah dibukanya kembali ekspor kayu bulat yang pernah dilarang sejak tahun 1985. Bentuk nyata dari kesepakatan ini yaitu dengan dikeluarkannya keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan tahun 1998 tentang ketentuan ekspor kayu bulat. Tentu saja kebijakan tersebut memiliki dampak negatif terhadap industri pengolahan kayu nasional. Sejalan dengan perkembangan volume ekspor, pertumbuhan ekspor kayu lapis Indonesia juga mengalami fluktuasi. Namun perkembangan pertumbuhan ekspor kayu lapis Indonesia pada rentang tahun 1992 hingga tahun 2012, memiliki pertumbuhan yang negatif meskipun pada tahun-tahun tertentu seperti tahun 2000,
4
2004, 2010 dan 2012 memiliki pertumbuhan positif (lihat Gambar 3). Naik turunnya pertumbuhan ekspor kayu lapis Indonesia, turut memperlihatkan produktivitas industri kayu lapis nasional. Setelah terjadinya krisis 1997 dan kerjasama Indonesia-IMF yang cenderung mengurangi ketersediaan bahan baku kayu lapis nasional, berdampak pada penurunan produktivitas industri kayu lapis nasional.
Sumber : FAO (2013) Gambar 3 Pertumbuhan ekspor kayu lapis Indonesia tahun 1992-2012 Ketentuan ekspor kayu bulat berdampak buruk bagi industri pengolahan kayu nasional karena mengurangi nilai tambah produk kayu. Selain itu ekspor kayu bulat juga berdampak pada rendahnya penyerapan tenaga kerja di sektor kehutanan sehingga industri lanjutannya menjadi sulit untuk berkembang. Akibatnya, pemerintah melalui Menteri Kehutanan dan Menteri Perindustrian serta Perdagangan mengeluarkan Keputusan Bersama untuk memberlakukan kembali kebijakan penghentian ekspor kayu bulat pada tahun 2001. Akan tetapi, pada periode berikutnya tren pertumbuhan cenderung negatif bahkan sulit untuk memiliki pertumbuhan yang setara dengan tahun-tahun sebelum terjadinya krisis moneter pada tahun 1997. Selain itu guncangan krisis global yang diakibatkan dari adanya krisis keuangan di negara-negara Eropa yang terjadi pada tahun 2010 berdampak pula pada penurunan volume ekspor kayu lapis Indonesia.Pada tahun 2012 industri kayu lapis nasional memperlihatkan tren pertumbuhan yang positif sehingga akan memberikan optimisme terhadap industri kayu lapis nasional di masa mendatang. Penurunan ekspor kayu lapis Indonesia yang sangat signifikan pada tahun 2002 ke 2003 diakibatkan oleh adanya penurunan pasokan bahan baku.Kementerian Lingkungan Hidup mencatat dan memprediksi terdapat lebih dari 51 juta m3 per tahun kayu bulat diproduksi dari hasil aktivitas pencurian kayu. Perkiraan tersebut didasarkan pada data yang menyatakan bahwa produksi kayu bulat yang legal dari berbagai lokasi tebangan kayu di hutan-hutan Indonesia di tahun 2002 sebanyak 12 juta m3. Sedangkan kebutuhan bahan baku aktual untuk industri perkayuan Indonesia di tahun 2002 sebesar 63 juta m3 (Kementerian
5
Lingkungan Hidup 2003). Perhitungan persentase menunjukkan bahwa 80 persen konsumsi kayu bulat sebagai bahan industri perkayuan Indonesia berasal dari kayu curian (Kementerian Lingkungan Hidup 2003). Oleh sebab itu, pemerintah memberlakukan kebijakan pengetatan izin usaha untuk pengelolaan hasil hutan terutama kayu. Tujuan utama dari kebijakan tersebut adalah mengurangi penebangan liar (illegal logging) dari perusahaan-perusahaan penyedia bahan baku pengolahan kayu. Akan tetapi, kebijakan tersebut justru berdampak pada menurunnya produktivitas industri kayu lapis Indonesia pada tahun 2003 dengan volume ekspor hanya sebesar 2.1 juta m3, artinya produktivitas kayu lapis untuk ekspor Indonesia akibat berkurangnya jumlah bahan baku mengalami penurunan hingga 62.1 persen di tahun 2003. Pada tahun 2008 hingga tahun 2012, total nilai ekspor kayu lapis sendiri mencapai 11 persen dari total nilai ekspor non-migas Indonesia di rentang tahun yang sama (lihat Gambar 4). Jumlah share tersebut relatif tergolong besar untuk sebuah produk turunan terhadap total ekspor non-migas Indonesia secara keseluruhan. Oleh sebab itu, kayu lapis layak mendapat perhatian ketika terjadi penurunan volume ekspor yang drastis akibat adanya penurunan produksi dari dalam negeri sebagai bentuk akibat yang terjadi dari menurunnya bahan baku yang digunakan dalam pengolahan industri kayu lapis Indonesia.
Sumber : BPS (2013) Gambar 4 Share total nilai ekspor kayu lapis Indonesia terhadap total nilai ekspor perdagangan Indonesia tahun 2008-2012 Pada rentang tahun 2001 hingga tahun 2012 pasar Jepang masih mendominasi sebagai negara tujuan ekspor kayu lapis Indonesia dengan proporsi 45 persen dari total seluruh ekspor kayu lapis Indonesia kesepuluh negara tujuan utama apabila dibandingkan dengan negara yang terkenal akan industri furniturnya seperti Cina (10 persen) dan Korea Selatan (8 persen). Amerika Serikat juga menjadi salah satu dari sepuluh negara tujuan ekspor utama Indonesia. Pada rentang 2001 hingga 2012, pasar Amerika Serikat mampu menampung ekspor kayu lapis Indonesia sebesar 9 persen dari total seluruh ekspor kayu lapis Indonesia kesepuluh negara tujuan utama ekspor dan lebih tinggi dibandingkan dengan Taiwan (8 persen) dan Korea Selatan (8 persen). Negara Timur Tengah yang termasuk dalam 10 negara utama tujuan ekspor kayu
6
lapis Indonesia adalah Saudi Arabia sebesar 7 persen dan Uni Emirat Arab sebesar 5 persen dari total seluruh ekspor kayu lapis Indonesia kesepuluh negara tujuan utama. Negara Uni Eropa yang termasuk dalam sepuluh negara utama tujuan ekspor kayu lapis Indonesia adalah Belgia dan Inggris yang memiliki proporsi yang sama pada ekspor kayu lapis nasional sebesar 3 persen lebih besar daripada Singapura sebesar 2 persen (lihat Gambar 5).
Sumber : UN COMTRADE (2013) diolah Gambar 5 Sepuluh negara tujuan ekspor utama kayu lapis Indonesia tahun 2001-2012 Pada penelitian Dwiprabowo (2009) menyebutkan bahwa Indonesia bersama dengan Malaysia menjadi produsen produk hasil olahan kayu di pasar dunia terutama untuk kayu lapis keras tropik (tropical hardwood plywood) selama bertahun-tahun. Puncaknya di tahun 1992 ekspor kayu lapis Indonesia mencapai volume ekspor tertinggi hingga 9.7 juta m3. Angka tersebut menunjukkan Indonesia pada tahun 1992 mendominasi perdagangan kayu lapis di pasar dunia. Akan tetapi, pada tahun-tahun berikutnya volume ekspor Indonesia cenderung menurun, bahkan menurun drastis pada tahun 2003 (lihat Gambar 2). Meskipun pada perkembangannya, Malaysia pada tahun tersebut volume ekspor kayu lapis masih berada di bawah Indonesia. Namun yang terjadi Malaysia cenderung mengalami peningkatan secara konsisten pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 2004, volume ekspor Malaysia mampu melampaui volume ekspor kayu lapis Indonesia, sehingga pada tahun tersebut Malaysia mulai menggeser posisi Indonesia sebagai pengekspor kayu lapis dominan di pasar dunia. Setelah kalah bersaing dengan Malaysia, Indonesia harus berupaya keras untuk mengembalikan dominansi tersebut. Persoalan daya saing industri kayu lapis nasional menjadi semakin parah melihat bahwa bahan baku industri kayu lapis Malaysia juga berasal dari Indonesia sejak era reformasi dan otonomi daerah, yang dilakukan baik legal maupun ilegal serta melakukan impor dari negara lain. Sedangkan selain untuk memenuhi kebutuhan pasar Malaysia, kayu bulat Indonesia juga menjadi bahan baku industri pengolahan kayu di Cina (Dwiprabowo 2009). Hal ini dapat diartikan bahwa tidak adanya kemampuan dari Indonesia untuk mempertahankan pasokan bahan baku ke industri kayu lapis
7
dalam negeri namun justru berpindah di luar negeri. Semakin banyaknya kayu bulat Indonesia yang diselundupkan di luar negeri memberikan indikasi bahwa semakin banyak penebangan liar (illegal logging) yang terjadi di Indonesia. Pada situasi perdagangan yang menuju masa kebebasan perdagangan kini, telah banyak kesepakatan yang disetujui untuk diadakannya pembebasan hambatan perdagangan (Free Trade Area). Di wilayah Asia Tenggara, negaranegara ASEAN telah membuat kesepakatan perdagangan regional kawasan ASEAN yaitu ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang telah disepakati pada tahun 2003. Pada kesepakatan tersebut, negara-negara ASEAN sepakat untuk mencapai target bea masuk dengan tingkat tarif 0 persen minimal 60 persen dari Inclusion List di tahun 2003. Secara bertahap pada tahun 2007, bea masuk dengan tingkat 0 persen minimal 80 persen dari Inclusion List, dan pada tahun 2010 seluruh tarif bea masuk dengan tingkat tarif 0 persen harus sudah 100 persen untuk anggota ASEAN (Kementerian Keuangan 2013). Kondisi tersebut menjadi peluang sekaligus tantangan bagi masing-masing negara untuk meningkatkan daya saing produknya. Ketika tingkat tarif diberbagai negara diturunkan secara berarti melalui serangkaian negosiasi perdagangan multilateral, jumlah dan peranan berbagai bentuk hambatan perdagangan non-tarif justru melonjak (Salvatore 1997). Pergeseran bentuk hambatan perdagangan tersebut memberikan dampak terhadap perdagangan komoditi bilateral dan multilateral. Bukti dari pergeseran hambatan perdagangan tersebut ditunjukkan dari data perdagangan komoditi kayu lapis Indonesia dalam forum perdagangan internasional WTO (World Trade Organization). Tabel 1 menunjukkan bahwa Indonesia sudah tidak lagi memiliki hambatan tarif dalam lingkup kawasan ASEAN, ASEAN-China dan ASEAN-Republik Korea. Tabel 1 Tarif Komoditi Kayu Lapis Indonesia HS 2007 Tahun 2012 Tipe Tarif
Deskripsi
Tarif (%)
Jenis Tarif
2
Tarif MFN
10
Ad Valorem
30
Tarif ASEAN FTA
0
Ad Valorem
31
Tarif ASEAN-China FTA
0
Ad Valorem
32
Tarif ASEAN-Republik of Korea FTA
0
Ad Valorem
33
Tarif ASEAN-India FTA
7
Ad Valorem
Sumber : WTO (2013)
Pada implementasinya, terdapat beberapa peraturan teknis dikeluarkan oleh World Trade Organization (WTO) dalam GATT (General Agreement on Tarrif and Trade) terkait hambatan non-tarifseperti larangan terhadap tindakan dumping (diskriminasi harga secara internasional), larangan terhadap hambatan perdagangan teknis (technical barrier to trade), pengutamaan keselamatan produk (safeguard), larangan terhadap isu pemberian subsidi yang berlebihan dari pemerintah terhadap eksportir (subsidies and countervailing measures), peraturan pemerintah suatu negara dalam menjaga keamanan makanan, kesehatan hewan dan tumbuhan (sanitary and phytosanitary), serta kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah dan non-pemerintah dalam kegiatan perdagangan yang didalamnya termasuk kegiatan ekspor dan impor produk atau komoditi. Untuk
8
komoditi kayu termasuk kayu lapis, negara-negara konsumen cenderung menerapkan hambatan perdagangan berupa hambatan teknis terkait dengan persyaratan kelayakan ekspor produk kehutanan. Negara-negara konsumen juga melihat peraturan yang diterapkan oleh negara produsen kayu terkait dengan keselamatan produk tumbuhan. Peraturan-peraturan teknis yang digunakan dalam menetapkan aturan hambatan non-tarif berbeda dengan standar yang ditetapkan untuk hambatan nontarif diberbagai negara. Standar tersebut ditetapkan dan diawasi langsung oleh International Organization for Standarization (ISO). Penetapan standar secara internasional ini ditujukan untuk menjadi pedoman negara-negara dalam menetapkan peraturan teknis terkait kebijakan non-tarif. Salah satu standar yang ditetapkan tersebut tercantum dalam ISO 14000 mengenai standar pengelolaan lingkungan secara internasional. Selain karena hambatan tarif yang mulai sedikit demi sedikit diturunkan antarnegara, isu-isu perdagangan dimunculkan sebagian besar ditujukan terutama untuk eksportir dari negara-negara berkembang seperti Indonesia. Hambatan nontarif diberlakukan oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa dengan motif untuk melindungi produk-produk dalam negerinya, meningkatkan kualitas produk dan melindungi hak konsumen. Serangkaian regulasi atau kebijakan pun diberlakukan oleh pemerintah masing-masing negara terkait dalam kegiatan ekspor dan impor produk atau komoditi suatu negara (World Trade Organization 2013). Oleh sebab itu, pada penelitian ini akan dibahas lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang dapat memengaruhi ekspor kayu lapis Indonesia dan juga seberapa besar hambatan non-tarif yang diberlakukan oleh negara tujuan ekspor utama Indonesia. Rumusan Masalah Kesadaran masyarakat dunia yang semakin tinggi akan kualitas suatu produk menjadi tolok ukur penting dalam permintaan dan penawaran produk skala dunia. Ukuran kualitas produk saat ini tidak hanya dilihat dari cakupan pasar komoditi tersebut di pasar internasional melainkan keseluruhan proses produksi komoditi tersebut hingga sampai ditangan konsumen. Adanya perkembangan teknologi yang semakin pesat menjadikan informasi semakin tak terbatas sehingga tingkat transparansi produksi suatu komoditi semakin diperhitungkan. Hingga tahun 2002 peredaran kayu ilegal baik domestik maupun internasional semakin merajalela. Situasi ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di Filipina, Laos, Myanmar, Thailand, Vietnam dan beberapa negara Benua Afrika. Namun tetap saja Indonesia menjadi sasaran negara Benua Amerika dan Uni Eropa yang menjadikan Indonesia sebagai hotspot pembalakan liar (Rustiningsih 2013). Pada negosiasi perdagangan internasional, kayu dan produk turunannya turut menjadi sorotan tajam terkait dengan isu hambatan perdagangan yang ramai diperbincangkan. Hal ini terkait dengan masalah lingkungan dan juga keamanan produk yang dihasilkan oleh aktivitas pengolahan kayu. Isu illegal logging, illegal trading, pencemaran lingkungan serta ketidakamanan produk menjadi pokok bahasan utama negara-negara produsen kayu dunia beserta negara konsumen. Indonesia memiliki pengaruh besar terhadap perdagangan kayu internasional.
9
Alasannya Indonesia merupakan salah satu negara dengan luas hutan terbesar di dunia dan juga memiliki volume ekspor yang tinggi akan produk hasil hutan (International Tropical Timber Organization 2006). Pada tahun 2001, Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan tingkat Menteri antar negara di Bali. Pada pertemuan tersebut melahirkan Deklarasi Bali mengenai Penegakan Hukum dan Tata Kelola Kehutanan (Forest Law Enforcement Governance and Trade/FLEGT). Selanjutnya pada tahun 2002 diadakan sidang ITTO (International Tropical Timber Organization) ke-32 yang diadakan di Bali yang membahas isu globalisasi di bidang kehutanan. Sebagai produsen kayu dunia, Indonesia bersama negara-negara Benua Afrika, Amerika Latin dan juga negara-negara Asia Pasifik lainnya berkomitmen untuk mengharmonisasikan kebijakan sesuai dengan panduan internasional mengenai ketersediaan pasokan kayu tropis secara berkelanjutan. Akan tetapi negara-negara produsen dihadapkan pada permasalahan lain yaitu semakin maraknya praktek illegal logging dan illegal trading kayu dan produk kayu dalam upaya untuk meningkatkan perdagangan kayu internasional. Adanya kerjasama internasional dalam hal ini dibutuhkan untuk membantu mencegah dan mengatasi permasalahan tersebut. Jalan keluar yang disepakati bersama dari hasil pertemuan negara produsen dan konsumen kayu dunia tersebut yaitu menghendaki adanya sebuah sertifikasi kehutanan yang mendorong adanya sertifikasi pula terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh sektor kehutanan (International Tropical Timber Organization 2006). Perdebatan mengenai penerapan sertifikasi tersebut kembali terjadi, negara-negara produsen menghendaki proses sertifikasi tersebut dilakukan secara bertahap. Sedangkan negara-negara konsumen yang umumnya merupakan negaranegara maju menginginkan sertifikasi tersebut dapat segera diterapkan (International Tropical Timber Organization 2006). Hingga pada akhirnya di beberapa negara-negara konsumen sertifikasi legalitas produk kehutanan merupakan hal yang harus dipenuhi agar produk kehutanan negara lain dapat masuk di pasar negara yang bersangkutan dan dipergunakan secara massal oleh masyarakat. Selain keharusan mengembangkan sertifikasi legalitas tersebut, pengelolaan hutan juga menjadi sorotan. Seperti misalnya, peristiwa kebakaran hutan yang terjadi di Riau pada tahun 2013. Kejadian tersebut menimbulkan asap yang tebal yang tidak hanya mengganggu aktivitas warga domestik tetap juga hingga ke Malaysia dan Singapura (Muhardi 2014) dan kembali terulang pada bulan Maret 2014. Propinsi Riau kembali diliputi oleh asap tebal akibat dari kebakaran hutan yang terjadi dan sempat mengganggu jadwal penerbangan setempat (Ali 2014). Kenyataan tersebut tentu saja membawa dampak buruk bagi gambaran pengelolaan hutan Indonesia di mata dunia internasional. Akibatnya, pemasaran kayu ekspor Indonesia semakin lama semakin kurang baik. Penolakan demi penolakan kayu olahan asal Indonesia oleh beberapa negara importir menjadi peringatan besar bagi para produsen kayu domestik. Seperti misalnya, kasus fumigasi kayu Indonesia oleh Australia dan Amerika Serikat sebagai salah satu negara tujuan produk hasil hutan Indonesia. Kayu lapis Indonesia mendapat sorotan dunia internasional karena harus beberapa kali difumigasi ulang akibat adanya serangga pada produk kayu tersebut (Kementerian Perdagangan 2012). Sekalipun kapasitas produksi kayu olahan relatif besar yang didominasi oleh kayu lapis (lihat Tabel 2) dan memiliki pasar yang besar namun daya saing produk
10
Indonesia tergolong rendah. Dampak lanjutan yang terjadi dengan adanya kejadian tersebut adalah menurunnya kesejahteraan produsen kayu domestik. Tabel 2 Jumlah, Kapasitas dan Produksi Industri Primer Tahun 2011 No 1 2 3 4 5
Produk Kayu lapis LVL Veneer Kayu gergajian Chip Total
Jumlah (unit)
Kapasitas (m3)
137 12 79 250 26 506
12 001 815 531 750 2 601 045 6 296 396 43 754 296 65 652 302
Produksi (m3) 3 204 707.52 812 343.01 907 118.69 1 778 435.25
Sumber : Direktorat Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan (2012)
Akibat dari beragam isu dan permasalahan tersebut mengakibatkan negaranegara konsumen memunculkan persyaratan bukti legalitas kayu internasional. Seperti misalnya, Amerika Serikatdengan Amandemen Lacey Act, Uni Eropa dengan EU Timber Regulation, Australia dengan Prohibition Bill dan Jepang dengan Green Konyuho (Sudharto 2012). Tuntutan dari pasar internasional tersebut menjadi sebuah hambatan perdagangan non-tarif yang diberlakukan oleh negara-negara konsumen terhadap negara-negara produsen kayu ditengah isu penurunan tarif yang mulai diberlakukan secara bertahap oleh masing-masing negara. Menanggapi tuntutan tersebut, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kehutanan bekerjasama dengan beberapa pihak (baik instansi teknis maupun LSM lingkungan) berusaha merumuskan sistem pemanfaataan hutan lestari. Hasil rumusan tersebut menghasilkan suatu kesepakatan kebijakan kehutanan melalui pemberlakuan verifikasi terhadap kayu yang beredar di pasar (Rustiningsih 2013) atau yang lebih dikenal dengan Sertifikat Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) merupakan sistem pelacakan kayu yang disusun secara multistakeholder kehutanan untuk memastikan legalitas sumber kayu yang beredar dan diperdagangan di Indonesia. Proses pembahasan SVLK telah mulai dilakukan oleh Kementerian Kehutanan dan instansi terkait dengan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat pada tahun 2003 dan berakhir tahun 2009. Diawali pada tahun 2003, proses pembahasan mengenai batasan atau definisi kayu legal telah dilakukan. Kata sepakat akan definisi tersebut tercapai pada tahun 2007 dan Indonesia mulai menggelar negosiasi kesepakatan kemitraan sukarela dengan Uni Eropa (Forest Law Enforcement Governance and Trade/FLEGT-VPA) (Rustiningsih 2013). Pada tahun 2009 pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P-38/Menhut-II/2009 tentang standar dan pedoman penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari dan verifikasi legalitas kayu pada pemegang izin atau pada hutan hak. Peraturan tersebut merupakan landasan hukum mengenai sistem verifikasi legalitas kayu atau SVLK. Peraturan ini resmi diberlakukan sejak tahun 2009. Pada Bulan April 2011, Indonesia dan Uni Eropa menyepakati FLEGTVPA dan mengakui sistem verifikasi ini terpercaya sebagai jaminan kayu legal Indonesia dan tanggal 4 Mei 2011 masing-masing negara telah menandatangani perjanjian kemitraan sukarela tersebut. Akhir tahun 2011, peraturan tersebut kembali disempurnakan dengan peraturan Menteri KehutananNo. P-68/MenhutII/2011 (Rustiningsih 2013).
11
Penyempurnaan kembali dilakukan terhadap kebijakan tersebut, pada 1 Januari 2013 dengan diberlakukannya Peraturan Menteri Perdagangan No. 64/mdag/per/10/2012 tentang ketentuan ekspor produk industri kehutanan, maka SVLK terhadap kayu dan produk kayu Indonesia yang akan diekspor mulai diberlakukan. Secara bertahap ketentuan SVLK diberlakukan terhadap beberapa komoditi produk kehutanan. Melalui Permenhut No. P-68/Menhut-II/2011, industri primer dan integrasinya seperti sawnmill dan kayu lapis (plywood) sudah harus bersertifikat legal pada Desember 2012 atau selambatnya satu tahun sejak berlakunya Permenhut No. P-68/Menhut-II/2011 (Rustiningsih 2013). Pada proses ekspor komoditi atau produk kehutanan, dokumen V-legal menjadi dokumen penjamin bahwa kayu yang akan diekspor telah dilakukan verifikasi dengan mekanisme SVLK yang diwajibkan sebagai dokumen pelengkap kepabeanan. Adanya pemberlakuan peraturan dan kebijakan ini diharapkan mampu memperbaiki citra pengelolaan industri kehutanan Indonesia di dunia internasional. Selain itu secara umum dengan adanya kebijakan ini diharapkan mampu meningkatkan daya saing kayu dan produk olahan kayu Indonesia di pasar internasional. Tujuan akhir yang ingin dicapai dari keseluruhan peraturan tersebut adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat yang bekerja di sektor perkayuan Indonesia. Adapun secara garis besar permasalahan yang akan dijelaskan lebih lanjut dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana daya saing kayu lapis Indonesia di negara utama tujuan ekspor? 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi ekspor kayu lapis Indonesia ? 3. Seberapa besar hambatan non-tarif (NTBs) pada ekspor kayu lapis Indonesia ? Tujuan Berdasarkan penjabaran pada bagian latar belakang dan rumusan masalah, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menganalisis daya saing komoditi kayu lapis Indonesia di negara utama tujuan ekspor. 2. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja ekspor kayu lapis Indonesia. 3. Menghitung hambatan non-tarif (NTBs) pada ekspor kayu lapis Indonesia. Manfaat Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang memengaruhi ekspor kayu lapis Indonesia serta nilai hambatan non-tarif yang dihadapi oleh Indonesia terkait kayu lapis di negara tujuan ekspor utama adalah sebagai berikut : 1. Sebagai bahan referensi dan rujukan pelaku usaha industri pengolahan kayu lapis nasional dalam memahami serta menentukan kebijakan perusahaan terkait dengan kebijakan perdagangan non-tarif yang diberlakukan. 2. Sebagai bahan rujukan dan pertimbangan pada proses penelitian berikutnya.
12
3.
Sebagai wacana kalangan masyarakat umum untuk memahami keterkaitan hambatan perdagangan terhadap kinerja ekspor dan perkembangan daya saing suatu komoditi. Ruang Lingkup & Keterbatasan Penelitian
Fokus penelitian ini adalah arus perdagangan volume ekspor komoditi kayu lapis terhadap negara-negara utama tujuan ekspor kayu lapis Indonesia. Pada penelitian ini akan diestimasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ekspor kayu lapis Indonesia dan dihitung nilai hambatan non-tarif yang diberlakukan negara-negara utama tujuan ekspor kayu lapis Indonesia, serta menganalisis perkembangan daya saing kayu lapis di negara tujuan ekspor utama. Negaranegara myang menjadi objek dalam penelitian ini yaitu Jepang, Cina, Amerika Serikat, Korea Selatan, Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Belgia, Inggris dan Singapura. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data peride 2001 hingga tahun 2011 dengan kode HS produk kayu lapis yang digunakan adalah HS digit 4 yaitu 4412 (plywood, veneer and laminated wood). Perkembangan RCA dianalisis selama periode 2010-2012 menggunakan nomenclature code HS 2007. Pengkombinasian antara data negara tujuan ekspor dan data tahun observasi yang terbatas dilakukan agar analisis dapat menjawab permasalahan pada penelitian ini. Oleh sebab itu, pengolahan data dilakukan menggunakan metode data panel. TINJAUAN PUSTAKA Definisi dan Ketentuan Teknis Kayu Lapis Kayu lapis atau plywood adalah suatu bentuk papan buatan yang diperoleh dengan merekatkan satu atau lebih venir pada dua sisi dari satu venir inti atau kayu solid dengan arah serat saling bersilangan satu sama lain. Tujuan dari arah serat venir yang dibuat saling bersilangan tegak lurus tersebut adalah untuk meratakan kekuatan dari kayu lapis ini(Sofyan et al.1984). Kementerian perdagangan (2012) mengeluarkan peraturan terkait dengan kayu lapis Indonesia yang dapat diekspor ke luar negeri. Peraturan tersebut yaitu peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia nomor 64/MDAG/PER/10/2012 mengenai kriteria teknis yang digunakan untuk menentukan produk industri kehutanan tertentu yang dapat diekspor. Pada peraturan tersebut disebutkan bahwa kayu lapis sebagai produk kayu olahan yang dihasilkan dari penggabungan kepingan kayu ke arah penampang lebar dengan cara dikempa (di press) menggunakan perekat, dengan ketentuan luas penampang masing-masing keping tidak lebih dari 4mm2 atau tidak lebih dari 6 mm2. Sebagai komoditi atau produk yang diperdagangkan secara internasional, kayu lapis memiliki kode komoditi yang dikenal dengan kode Harmonized System. Adanya kode tersebut akan memudahkan dalam mencari literatur maupun data yang dibutuhkan terkait dengan komoditi tersebut. Pada penelitian ini kode kayu lapis yang digunakan adalah 4412. Kode HS 4412 adalah kode produk HS 4 digit dengan nomenclature product code HS 2007. Artinya kode 44 merupakan kode untuk komoditi kayu sedangkan 12 merupakan kode urut kayu lapis, venir dan kayu lembaran yang diperdagangkan.Peraturan Menteri Perdagangan No. 64
13
Tahun 2012, ekspor produk industri kehutanan wajib dilengkapi dengan dokumen V-legal sebagai bentuk pemberlakuan kebijakan SVLK kecuali terhadap produk industri kehutanan pada HS kelompok C. Pada penggolongan HS ekspor produk kehutanan, kayu lapis tergolong dalam HS kelompok A dengan rentang HS 4412.31.00.00 sampai dengan 4412.99.00.90 (Kementerian Perdagangan 2013). Hambatan Tarif dan Non-Tarif Adanya pemberlakuan tarif terhadap kegiatan perdagangan internasional suatu negara memiliki dampak terhadap keseimbangan permintaan dan penawaran barang dalam hal ini suatu komoditi di sebuah negara. Berdasarkan analisis keseimbangan parsial yang dikemukakan oleh Salvatore (1996), dapat terlihat adanya dampak yang ditimbulkan sebagai akibat dari pemberlakuan tarif yang dilakukan oleh sebuah negara kecil yang memiliki keterbatasan kemampuan negara dalam mempengaruhi harga secara internasional sehingga harus menerima harga-harga yang berlaku dipasar internasional dan kaitannya dengan output domestik yang dapat dihasilkannya. Secara grafis dampak tersebut dapat terlihat sebagai berikut. Px S x E P2
Sf + T Sf
P1
A Q1
B Q2
C Q3
D
D x
QX
Q4
Sumber : Salvatore (1996) Gambar 6 Dampak keseimbangan parsial akibat pemberlakuan tarif Pada Gambar 6 Dx dan Sx menggambarkan kurva permintaan dan penawaran komoditi X suatu negara. Apabila negara tersebut sama sekali tidak mengadakan hubungan perdagangan internasional, maka keseimbangan akan terjadi pada titik E. Ketika negara tersebut melakukan perdagangan internasional, maka negara menikmati komoditi tersebut dengan harga yang lebih murah yaitu di P1 sehingga konsumsinya akan meningkat menjadi Q4 dengan Q1 merupakan produksi domestiknya sedangkan sisanya adalah produk impor. Garis Sf menggambarkan kurva penawaran komoditi tersebut dari luar negeri yang elastis tidak terbatas. Ketika negara tersebut memberlakukan hambatan tarif berupa tarif ad valorem terhadap komoditi yang diimpor, maka harga akan menjadi naik ke P2. Sehingga konsumen di negara tersebut menurunkan tingkat konsumsinya menjadi Q3 dengan Q2 merupakan produksi domestiknya. Garis Sf + T
14
merupakan kurva penawaran komoditi dari luar negeri yang baru setelah memperhitungkan adanya tarif pada komoditi tersebut. Krugman dan Obstfeld (2004) menjelaskan tarif dapat meningkatkan harga barang di negara pengimpor dan menurunkan harga barang tersebut di negaranegara pengekspor. Akibatnya kalangan konsumen di negara pengimpor merugi dan konsumen di negara pengekspor beruntung. Sedangkan produsen di negara pengimpor memperoleh keuntungan dan produsen di negara pengekspor mengalami kerugian. Besar kecilnya keuntungan yang diperoleh bergantung pada kemampuan instrumen tarif yang dikenakan oleh suatu negara dalam menurunkan harga ekspor luar negeri. Krugman dan Obstfeld (2004) juga menjelaskan hal tersebut bergantung pada kekuatan ekonomi suatu negara. Apabila suatu negara memiliki kekuatan ekonomi yang kecil sehingga pengaruhnya terhadap perekonomian dunia terbatas maka pengenaan tarif justru akan menurunkan kesejahteraan . Salvatore (1996) menjelaskan tepatnya sejak berakhirnya perang dunia kedua, khususnya di sektor manufaktur, pemerintah dari berbagai negara lebih suka dan terbiasa melindungi industri-industri domestik dengan memberlakukan berbagai macam hambatan non-tarif. Pada prakteknya, kebanyakan pemerintah melakukan campur tangan dalam kegiatan perdagangan internasional menggunakan kebijakan instrumen kebijakan lainnya untuk menyembunyikan motif proteksi atau sekedar mengecoh negara lain.Hasil perundingan GATT pada Putaran Uruguay dalam Salvatore (1996) menjelaskan bahwa terdapat kesepakatan mengenai jenis-jenis hambatan non-tarif yang menjadi masalah dalam perdagangan internasional, antara lain yaitu : 1. Kuota impor Kuota impor dapat digunakan untuk melindungi sektor industri domestik tertentu. Hambatan non-tarif ini sering digunakan untuk melindungi neraca pembayaran suatu negara. Seperti misalnya di negara maju digunakan untuk melindungi sektor pertanian dan di negara berkembang untuk melindungi sektor manufakturnya. Adanya pemberlakuan tersebut berdampak pada keseimbangan perdagangan suatu negara yang dapat terlihat pada Gambar 7. Px ($) Sx
P2 P1
G’ G
J’
E
H’
M Q1
K
H
J N
B
D’x Dx
Q2
Sumber : Salvatore (1996) Gambar 7 Dampak pemberlakuan kuota impor
Qx
15
Gambar 7 menunjukkan bahwa Dx dan Sx masing-masing adalah kurva penawaran untuk komoditi X suatu negara. Pada kondisi perdagangan bebas, harga yang berlaku adalah harga dunia yakni Px = P1($). Apabila negara tersebut memberlakukan kuota impor (Q2-Q1) (JH), maka akan mengakibatkan kenaikan harga menjadi Px = P2($) dan konsumsi akan turun menjadi Q2, sedangkan Q1 merupakan produk domestik dan lainnya adalah produk impor. Pemberlakuan kuota impor akan menambah konsumsi dari G’J’ dan G’H’ yang merupakan produksi domestik. 2. Pembatasan Ekspor Secara Sukarela Pembatasan ekspor secara sukarela mendorong negara pengimpor mendorong atau memaksa negara lain untuk mengurangi ekspornya secara sukarela. Permintaan tersebut dilakukan bersamaan dengan ancaman hambatan perdagangan yang lebih keras. Tujuan dari adanya tindakan tersebut adalah untuk melindungi sektor tertentu yang dikhawatirkan menurun akibat dari adanya produk impor. Ukuran lainnya yang menjadi hambatan non-tarif yaitu keselamatan produk (safeguard). Keselamatan produk merupakan proteksi yang dilakukan oleh suatu negara akibat banyaknya produk impor yang masuk. Adanya impor tersebut dianggap sebagai ancaman serius yang membahayakan industri domestik sehingga negara-negara anggota WTO melakukan kebijakan pembatasan volume impor. Selain melakukan pembatasan volume impor, langkah yang ditempuh oleh negara yang merasa terancam dengan berbagai produk impor dapat memaksa negara pengekspor untuk membayar kompensasi sebagai akibat dari dampak yang ditimbulkan pada industri domestik negara tujuan ekspor (World Trade Organization 2013). 3. Subsidi Ekspor Bentuk subsidi ekspor yang diberikan oleh negara kepada perusahaan-perusahaan untuk meningkatkan ekspor. Bentuk subsidi tersebut dapat dalam bentuk pinjaman ekspor. Hal ini sebenarnya disepakati untuk dilarang dalam perdagangan internasional. Antisipasi dari negara pengimpor dengan adanya kecurangan ini yaitu dengan menetapkan pajak atau tarif pada barang yang diduga memperoleh subsidi ekspor dari pemerintahnya. Isu pemberian subsidi yang yang berlebihan (subsidies and countervailing measures) juga menjadi ukuran hambatan tarif yang dikeluarkan oleh WTO dalam perjanjiaan GATT. Tujuan dari adanya larangan ini yaitu untuk mencegah terjadinya kasus kecurangan pada perdagangan internasional. Seperti misalnya terdapat praktek peningkatan pemberian subsidi dari pemerintah yang berlebihan sehingga dapat menimbulkan peningkatan daya saing yang berlebihan pula. Larangan ini ditujukan lebih kepada pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk menghindari bentuk-bentuk kecurangan dalam bersaing di pasar internasional. 4. Hambatan Birokrasi Pada praktek perdagangan internasional, terkadang pemerintah negara ingin membatasi impor tanpa mengumumkan secara formal. Pemerintah suatu negara memberlakukan pengetatan terhadap standar
16
kesehatan, keamanan dan prosedur pabeanan sehingga menjadi hambatan yang sangat penting dalam perdagangan. Cara tersebut terkadang cukup efisien untuk mengurangi impor suatu barang dari negara lain. Hambatan perdagangan teknis (technical barrier to trade) menjadi salah satu ukuran hambatan non-tarif yang dikeluarkan oleh WTO. Pada beberapa tahun terakhir jumlah peraturan teknis dan standar yang berlaku di beberapa negara meningkat secara signifikan. Peningkatan ini terlihat dari semakin tingginya standar kehidupan di seluruh dunia. Permintaan konsumen akan keselamatan dan produk dengan kualitas tinggi juga mendorong adanya peningkatan standar tersebut. Alasan lain yang menguatkan adanya peningkatan peraturan teknis dan standar produk juga disebabkan oleh adanya isu seperti permasalahan air yang semakin berkurang, udara dan polusi tanah yang akhirnya mendorong masyarakat modern untuk menggunakan produk ramah lingkungan (World Trade Organization 2013). 5. Kartel Internasional Kartel dibentuk sebagai sebuah organisasi produsen tertentu yang anggotanya terdiri dari beberapa negara. Pembentukan kartel bertujuan untuk membatasi output dan mengendalikan kegiatan ekspor sehigga dapat digunakan untuk memaksimalkan keuntungan bagi negara-negara tertentu. Praktek ini menjadi merugikan bagi negara konsumen karena harus membeli produk yang terbatas dengan harga relatif mahal.Perjanjian GATT/WTO tahun 1994 juga menyebutkan bahwa kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah dan non-pemerintah dalam kegiatan perdagangan yang didalamnya termasuk kegiatan ekspor dan impor produk atau komoditi. Beberapa hal yang disebutkan oleh WTO sebagai ukuran hambatan non-tarif yang diberlakukan tentu menjadi hambatan dan tantangan tersendiri bagi Indonesia sebagai negara sedang berkembang untuk selain meningkatkan kuantitas juga meningkatkan kualitas produk atau komoditi yang dihasilkan terutama untuk komoditas utama dan komoditas potensial Indonesia. 6. Tindakan Anti-Dumping Tindakan ini merupakan langkah-langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah di suatu negara sebagai tanggapan terhadap adanya keluhan atau pengaduan dari produsen domestiknya yang disebabkan karena perusahaan asing tertentu menjual komoditinya dengan harga dibawah biaya produksi atau lebih murah dibanding harga jual di pasar negara asalnya.Dumping secara umum adalah diskriminasi harga secara internasional. Keadaan tersebut terjadi ketika harga produk atau komoditi yang dijual di negara importir lebih rendah dibandingkan harga produk atau komoditi di pasar domestik negara eksportir. Adanya dumping dalam jangka panjang akan menyebabkan kerugian pada negara tujuan ekspor. Alasannya tidak selamanya negara pengekspor akan memberikan harga murah pada negara tujuan ekspor. Setelah negara tujuan ekspor terlanjur bergantung pada negara pengekspor, maka negara pengekspor akan menaikkan harga produk atau komoditinya. Hal ini yang menyebabkan kerugian pada negara tujuan
17
ekspor sehingga kebijakan dumping pada perdagangan menjadi sesuatu hal yang dilarang. 7. Sanitasi dan Fitosanitasi Ukuran hambatan non-tarif lainnya yang menjadi sorotan dalam perjanjian GATT/WTO yaitu peraturan pemerintah suatu negara dalam menjaga keamanan makanan, kesehatan hewan dan tumbuhan (sanitary and phytosanitary). Negara-negara anggota WTO membuat kesepakatan ini pada Kongres WTO putaran Doha tahun 2001 (World Trade Organization 2013). Tujuan adanya larangan ini adalah untuk melindungi hak-hak konsumen akan produk yang dikonsumsi dan juga untuk melindungi produk-produk yang dihasilkan oleh produsen domestik. Pada prakteknya, ukuran standar kualitas yang tinggi produk dari suatu negara menjadi pendorong bagi negara lain untuk memperbaiki kualitas produknya sehingga tetap mampu bersaing di negara tujuan ekspornya. 8. Standar Lingkungan Isu standar lingkungan yang semakin gencar dibahas dan telah diberlakukan oleh negara-negara maju berdampak pada perdagangan negara-negara berkembang. Standar lingkungan yang diberlakukan di negara-negara maju dikhawatirkan menjadi hambatan perdagangan tersendiri bagi negara-negara berkembang khususnya pengaruhnya terhadap kinerja ekspor. Sementara, bagi negara maju standar lingkungan tersebut seringkali digunakan untuk tujuan tidak langsung yaitu untuk melindungi industri-industri dalam negerinya (Verbruggen et al. 1995). Permasalahan lingkungan menjadi bahasan tersendiri dalam kesepakatan internasional terkait dengan isu kelangkaan dan nilai ekonomi dari sumberdaya alam yang semakin menurun. Selain itu, standar lingkungan menjadi bahasan penting dalam dunia perdagangan manakala diindikasikan adanya ketidakmampuan pasar dalam mengatasi permasalahan kelangkaan sumberdaya alam(Verbruggen et al. 1995). Permasalahan tersebut menunjukkan adanya ketidaksempurnaan pasar serta gagalnya kebijakan yang dibentuk terkait dengan lingkungan. Masyarakat global modern memandang bahwa dengan menggunakan fasilitas lingkungan secara berkelanjutan mampu memberikan peluang yang baik untuk generasi selanjutnya. Secara formal dan intitusional, perjanjian lingkungan multilateral (MEAs) merumuskan terkait dengan kerjasama pemerintah berbagai negara tentang kebijakan lingkungan yang diterapkan (Holtby et al.2007). Konsep Daya Saing Berkaitan dengan perdagangan internasional komoditi atau produk, daya saing menjadi tolak ukur resistensi komoditi atau produk di pasar internasional. Porter (2009) menyebutkan bahwa daya saing adalah produktivitas yang dihasilkan oleh suatu bangsa menggunakan sumberdaya manusia, modal dan juga sumberdaya alam yang tersedia. Secara garis besar, daya saing sebuah industri bukan hanya sekedar untuk melakukan persaingan dalam meningkatkan
18
kesejahteraan tetapi juga untuk dapat bersaing pada sesama industri-industri sejenis. Oleh sebab itu daya saing menjadi sebuah ukuran komparatif suatu negara dalam spesialisasi komoditi atau produk yang diperdagangkan. Daya saing menjadi salah satu kriteria yang menentukan keberhasilan suatu negara dalam perdagangan internasional. Konsep keunggulan komparatif menjadi ukuran daya saing (keunggulan) potensial (Simatupang 1991 dalam Oktaviani et al. 2009). Hal tersebut menunjukkan bahwa suatu komoditi yang memiliki keunggulan komparatif juga memiliki efisiensi secara ekonomi. Metode Revealed Comparative Advantage menjadi alat ukur daya saing suatu kegiatan pada kondisi perekonomian aktual. Negara yang memiliki keunggulan komparatif menunjukkan bahwa negara tersebut memiliki keunggulan baik dalam potensi alam, penguasaan teknologi, maupun kemampuan managerial dalam kegiatan yang bersangkutan (Oktaviani et al. 2009). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor (Pendekatan Gravity Model) Alat analisis yang digunakan untuk menganalisa perdagangan bilateral antar negara adalah model data panel dengan pendekatan gravity model. Pada dasarnya model ini merupakan adaptasi dari model gravitasi yang dikemukakan oleh Sir Isaac Newton. Model tersebut berkembang sesuai dengan kebutuhannya dalam berbagai disiplin ilmu salah satunya adalah ekonomi. Pada disiplin ilmu ekonomi, model ini diperkenalkan dan dikembangkan oleh Jan Timbergen pada tahun 1962. Sehingga pada akhirnya model tersebut dapat digunakan dalam menganalisis perdagangan internasional antarnegara. Model gravitasi menerangkan mengenai interaksi dari banyak negara. Model umum dari pendekatan gravity model dalam ekonomi melibatkan beberapa variabel penting seperti GDPriil atau GNIriil dan juga jarak antar kedua tempat yang bersangkutan.Pada penelitian ini model perdagangan dibentuk dari variabel GDP riil negara Indonesia dan GDP riil 9 negara tujuan utama ekspor kayu lapis Indonesia, jarak ekonomi, indeks harga konsumen Indonesia, populasi penduduk negara tujuan ekspor, nilai tukar riil indonesia terhadap masing-masing negara tujuan serta variabel non-ekonomi yang berpengaruh terhadap volume ekspor yakni peristiwa krisis pada tahun 2010. Secara umum variabel GDP riil baik dari negara eksportir maupun negara tujuan ekspor memiliki korelasi yang positif terhadap perkembangan perdagangan suatu negara. Menurut Mankiw (2007), GDP riil merupakan ukuran pendapatan total setiap orang dalam perekonomian yang disesuaikan dengan tingkat harga di suatu negara. Sehingga apabila GDP riil negara pengekspor meningkat maka produktivitas akan komoditi atau produk yang dihasilkan juga meningkat sehingga akan turut memengaruhi peningkatan ekspor suatu komoditi atau produk. Sedangkan apabila GDP riil negara tujuan ekspor meningkat maka konsumsi negara tujuan akan produk atau komoditi dari negara eksportir semakin meningkat sehingga turut meningkatkan ekspor negara eksportir. Jarak antar negara merupakan faktor yang penting dalam kontribusi perdagangan karena dapat mempengaruhi biaya transportasi. Jarak dalam gravity model merupakan proksi untuk biaya transportasi (Thangavelu 2010). Jarak yang digunakan dalam penelitian ini adalah jarak ekonomi yang diperoleh dari perhitungan perkalian GDP nominal negara tujuan dengan jarak geografis negara
19
yang bersangkutan. Hasil dari perkalian tersebut dibagi kembali dengan GDP nominal negara eksportir. Penggunaan jarak ekonomi dilakukan pada model ini untuk menghindari adanya matriks singular pada model ini yang diakibatkan karena nilai yang konstan dari jarak geografis negara eksportir dan negara tujuan ekspor tiap tahunnya. Berkaitan dengan perdagangan bilateral antar negara, apabila jarak antar negara semakin dekat maka biaya transportasi dalam perdagangan dapat semakin berkurang sehingga ekspor akan semakin meningkat. Sedangkan sebaliknya, apabila jarak antar negara semakin jauh maka biaya transportasi yang dikeluarkan akan semakin besar sehingga akan menurunkan ekspor suatu negara (Thangavelu 2010). Salah satu ukuran variabel utama makroekonomi yang digunakan dalam model ini adalah indeks harga konsumen (CPI). Indeks harga konsumen adalah indeks yang mengukur seluruh tingkat harga dari berbagai harga produk atau komoditi serta jasa yang digunakan oleh masyarakat. Indeks ini hanya mengukur harga barang dan jasa yang dibeli oleh konsumen (Mankiw 2007). Oleh sebab itu jika indeks harga konsumen Indonesia meningkat maka tingkat konsumsi produk atau komoditi cenderung meningkat yang berarti harga produk atau komoditi mengalami penurunan di dalam negeri sehingga berdampak pada ekspor yang semakin menurun. Perdagangan internasional erat kaitannya dengan nilai tukar mata uang antarnegara. Secara umum nilai tukar mata uang antarnegara (kurs) merupakan tingkat harga yang telah disepakati oleh penduduk kedua negara untuk saling melakukan perdagangan. Nilai tukar yang berpengaruh terhadap produk atau komoditi antarnegara adalah nilai tukar riil. Pada nilai tukar riil dapat terlihat tingkat harga produk atau komoditi dari suatu negara untuk produk atau komoditi yang sama di negara lain. Oleh sebab itu menurut Mankiw (2007) nilai tukar riil terkadang disebut sebagai term of trade. Dampak dari naik turunnya nilai tukar antarnegara menyebabkan naik turun pula terhadap neraca perdagangan negara. Apabila nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara tujuan ekspor naik, artinya rupiah mengalami depresiasi sehingga ekspor dari Indonesia terhadap negara tujuan ekspor akan meningkat. Sebaliknya, apabila nilai tukar rupiah menurun terhadap mata uang negara tujuan maka rupiah mengalami apresiasi terhadap mata uang negara tujuan sehingga ekspor ke negara tujuan akan turun. Sehingga dapat terlihat bahwa nilai tukar Indonesia terhadap negara tujuan ekspor memiliki hubungan positif terhadap ekspor kayu lapis nasional. Krisis keuangan global pada tahun 2010 menjadi variabel dummy dalam model penelitian ini. Secara global krisis multidimensional akibat dari krisis Yunani di Benua Eropa turut mengguncang perdagangan dunia. Hal tersebut terjadi pada perdagangan komoditi atau produk dengan mitra dagang yang berasal dari Benua Eropa. Negara-negara lain yang merupakan mitra dagang dari Benua Eropa juga terkena imbas dari adanya krisis tersebut. Sehingga pada akhirnya juga berpengaruh terhadap ekspor Indonesia terhadap negara-negara tersebut. Penelitian Empiris Ekspor Kayu Lapis dan Hambatan Non-Tarif Beberapa penelitian yang terkait dengan produk kayu lapis dan hambatan non-tarif (NTBs) dirangkum dalam pembahasan sebagai berikut : Penelitian yang dilakukan oleh Arifin (1985) tentang ekspor kayu lapis Indonesia ke Amerika
20
Serikat dan Singapura dari sisi pemasaran bertujuan untuk menganalisis pemasaran ekspor kayu lapis Indonesia ke Amerika Serikat dan Singapura. Metode yang digunakan menggunakan analisis regresi berganda dengan membandingkan antara dua model yaitu model regresi untuk Singapura dan Amerika Serikat. Variabel yang digunakan pada model untuk pasar Singapura yaitu harga kayu lapis di Singapura, harga ekspor yang dikeluarkan oleh pemerintah, nilai tukar rupiah terhadap dolar Singapura dan harga eceran kayu lapis dalam negeri. Sedangkan untuk pasar Amerika Serikat variabel yang digunakan yaitu harga kayu lapis di Amerika Serikat, harga ekspor yang dikeluarkan oleh pemerintah, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan harga eceran kayu lapis dalam negeri. Berdasarkan hasil analisis regresi yang dilakukan diketahui bahwa ekspor kayu lapis Indonesia dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah terhadap masing-masing mata uang negara tujuan ekspor, harga kayu lapis di dalam negeri dan harga patokan ekspor. Peranan kebijaksanaan perdagangan luar negeri terhadap perkembangan kayu lapis Indonesia di pasar dunia diteliti oleh Triastuti (1992). Pada penelitian tersebut digunakan variabel-variabel yaitu volume dan nilai ekspor kayu lapis Indonesia ke pasar dunia tahun 1977-1991, volume dan nilai ekspor kayu lapis Indoesia ke pasar Jepang, USA, dan Kanada, volume perdagangan kayu lapis dalam negeri, harga penerimaan ekspor kayu lapis pasar Jepang, USA dan Kanada, harga penerimaan ekspor kayu lapis Indonesia di pasar dunia, harga eceran kayu lapis di Jakarta, indeks harga perdagangan besar ekspor kayu lapis Indonesia, indeks harga kayu lapis di pasar dunia dan indeks harga perdagangan besar kayu lapis Indonesia menurut jenis barang. Untuk pasar dunia, variabel yang signifikan terhadap volume ekspor kayu lapis yaitu harga penerimaan ekspor kayu lapis Indonesia, kebijakan BPB (Badan Pemasaran Bersama), kebijakan kuota ekspor, serta interaksi kebijakan kuota ekspor dan harga penerimaan ekspor kayu lapis. Bagi pasar USA dan Kanada variabel yang signifikan adalah harga eceran kayu lapis, kebijakan BPB (Badan Pemasaran Bersama), kebijakan kuota ekspor, interaksi kebijakan kuota ekspor dan harga penerimaan ekspor kayu lapis ke pasar USA dan Kanada. Sedangkan untuk pasar Jepang yaitu kebijakan kuota ekspor serta interaksi kebijakan kuota ekspor dan harga penerimaan ekspor kayu lapis. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Thangavelu (2010) mengenai hambatan non-tarif, integrasi dan pertumbuhan ekspor seluruh komoditi baik jasa maupun barang di ASEAN memperlihatkan bahwa penurunan hambatan perdagangan non-tarif memiliki pengaruh yang signifikan secara positif terhadap kinerja perdagangan ASEAN. Hambatan non-tarif dihitung berdasarkan rata-rata indeks yang digunakan seperti indeks dari efisiensi pelabuhan, lingkungan kepabeanan, lingkungan peraturan dan infrastruktur sektor jasa. Pada penelitian ini digunakan pendekatan gravity model dengan variabel-variabel yaitu GDP riil negara eksportir dan importir, populasi negara eksportir dan importir, jarak geografis, hambatan non-tarif yang diukur dari indeks efisiensi pelabuhan, pelaksanan kebijakan, prosedur kepabeanan dan infrastruktur, dummy batas negara dan bahasa, dummy perjanjian perdagangan bebas, dan dummy kebijakan perdagangan regional. Sedangkan Trabelsi (2013) melakukan penelitian mengenai hambatan perdagangan non-tarif yang diberlakukan untuk perdagangan komoditi pertanian di wilayah Eropa bagian tengah dengan fokus pada negara-negara kawasan
21
Mediterania Tenggara dan negara-negara Uni Eropa. Hambatan non-tarif dihitung dari selisih indeks restriksi tarif perdagangan dan indeks restriksi perdagangan secara keseluruhan, indeks restriksi tarif perdagangan, dengan dummy bahasa dan batas negara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hambatan non-tarif yang diberlakukan untuk impor di sektor pertanian meliputi standar perlindungan lingkungan yang bertujuan untuk melindungi kesehatan manusia, binatang, dan tanaman. Hasil estimasi menunjukkan bahwa hambatan non-tarif memiliki pengaruh yang negatif terhadap perdagangan produk pertanian. Penelitian ini menggunakan pendekatan gravity model cross section pada dua titik tahun yaitu 1996 dan 2008. Variabel-variabel yang digunakan yaitu GDP riil negara importir dan eksportir, jarak geografis antar ibukota negara importir dan eksportir. Walsh (2006) menghitung persamaan tarif yang berdampak pada hambatan non-tarif di perdagangan jasa. Persamaan yang digunakan menggunakan impor potensial dan prediksi impor pada tingkat perdagangan bebas yang disepakati. Prediksi impor tersebut didasarkan pada perhitungan gravity model impor. Perhitungan non-tarif menggunakan ukuran relatif pada rasio perdagangan negara yang menjadi benchmark dalam perhitungan ini. Negara yang menjadi benchmark adalah negara yang memiliki hambatan perdagangan impor yang paling rendah. Sedangkan elastisitas substitusi yang digunakan nilainya sebesar 1.95. Penggunaan elastisitas substitusi menunjukkan tingkat kepekaan nilai hambatan non-tarif terhadap perdagangan. Kerangka Pemikiran Indonesia merupakan salah satu penghasil kayu tropis terbaik dunia. Semenjak adanya larangan dari pemerintah Indonesia terkait ekspor kayu bulat, industri kayu olahan Indonesia mulai berkembang. Sebagai salah satu produk kayu olahan, produktivitas kayu lapis mendominasi produk hasil hutan Indonesia. Di pasar internasional, kayu lapis Indonesia dihadapkan pada hambatan perdagangan baik tarif maupun non-tarif. Adanya kesepakatan penurunan tarif dari organisasi perdagangan dunia (WTO) mendorong negara-negara diberbagai belahan dunia meningkatkan hambatan non-tarifnya seperti hambatan perdagangan teknis, isu sanitasi dan fitosanitasi serta isu standar lingkungan terkait dengan komoditi kayu lapis. Selain itu, hambatan perdagangan tersebut dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap kinerja perdagangan kayu lapis Indonesia.Pada penelitian ini, metode RCA (Revealed Comparative Advantage) digunakan untuk menganalisis daya saing kayu lapis Indonesia di negara tujuan ekspor utama. Estimasi variabel independen terhadap variabel dependen dengan gravity model akan menunjukkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ekspor kayu lapis Indonesia ke negara tujuan ekspor utamanya. Sedangkan hasil estimasi koefisien variabel independen dari gravity model tersebut digunakan dalam perhitungan hambatan non-tarif yang merujuk pada penelitian Walsh (2008). Sehingga secara keseluruhan dari hasil perhitungan dan estimasi yang diperoleh menjadi acuan untuk menentukan rekomendasi kebijakan terkait dengan strategi pengembangan ekspor industri kayu lapis Indonesia di negara tujuan ekspor utama. Garis besar kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat terlihat pada Gambar 8.
22
Gambar 8 Kerangka Pemikiran
23
METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder, yang meliputi data kuantitatif tahunan dan sekunder pada rentang waktu 2001-2011. Data dalam penelitian ini adalah data volume dan nilai ekspor kayu lapis Indonesia ke negara tujuan, data Gross Domestic Product, data jarak antar negara Indonesia dengan negara tujuan ekspor utama, indeks harga konsumen dan nilai tukar Indonesia ke negara tujuan ekspor utama. Negara yang dimaksud dalam studi empiris ini adalah sembilan negara tujuan utama ekspor kayu lapis yaitu Jepang, Cina, Amerika Serikat, Korea Selatan, Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Inggris, Belgia dan Singapura. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan aplikasi Microsoft Excel 2007 dan Eviews 6. Tabel 3 Data, satuan, simbol dan sumber data Variabel Volume ekspor Nilai ekspor GDP riil Indonesia GDP riil negara tujuan Jarak Indeks harga konsumen negara tujuan Indeks harga konsumen Indonesia Nilai tukar Indonesia ke negara tujuan
Tarif
Satuan
Simbol
Sumber
Ton US$ US$ US$ Km -
Xijt X GDPriil it GDPriil jt JE ijt CPI jt
UN Comtrade UN Comtrade Worldbank Worldbank CEPII IMF
-
CPI it
IMF
Yen, Yuan, US$, Won, Riyal, Dirham, Euro, Poundsterling, SDR Persen
Er ijt
UNCTAD
T jt
TRAINS
Keterangan : Worldbank, UN Comtrade, CEPII, IMF, UNCTAD, TRAINS periode 2001-2011
Analisis Keunggulan Komparatif Daya saing kayu lapis Indonesia di negara tujuan ekspor utama dihitung dengan metode RCA (Revealed Comparative Advantage). Alat ukur ini diperkenalkan oleh Balassa pada tahun 1965. Rasio RCA yang dihasilkan dari perhitungan model RCA akan menunjukkan kemampuan daya saing komoditi pada proses perdagangan internasional. Adanya perhitungan ini, apabila nilai RCA yang diperoleh lebih dari satu maka dapat diketahui negara Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam komoditi kayu lapis di negara tujuan ekspor utama. Namun sebaliknya apabila nilainya lebih kecil dari satu maka komoditi kayu lapis Indonesia memiliki daya saing yang rendah di negara tujuan ekspor utama. Adapun rumus RCA yang digunakan dalam perhitungan ini adalah sebagai berikut.
24
Dimana : RCAij = Nilai daya saing kayu lapis Indonesia Xij = Nilai ekspor kayu lapis negara Indonesia (US$) Xit = Total ekspor negara Indonesia (US$) Xj = Nilai ekspor kayu lapis di seluruh dunia (US$) Xt = Total ekspor seluruh produk dunia (US$) Nilai daya saing suatu komoditi hasil dari perhitungan metode RCA memiliki dua alternatif penafsiran, yaitu : 1. Nilai RCA > 1, maka suatu negara memiliki keunggulan komparatif di atas rata-rata dunia sehingga dapat diartikan komoditi tersebut memiliki daya saing kuat. 2. Nilai RCA < 1, maka suatu negara memiliki keunggulan komparatif di bawah rata-rata dunia sehingga dapat diartikan komoditi tersebut memiliki daya saing yang rendah. Spesifikasi Model Nilai hambatan perdagangan non-tarif (NTBs) dapat diperoleh menggunakan perhitungan estimasi koefisien dari model data panel dengan pendekatan gravity model. Model ini diperkenalkan oleh Jan Tinbergen pada tahun 1962. Teori ini didasarkan pada teori gravitasi Newton mengenai tarikmenarik antar suatu wilayah yang diukur dengan jarak dan juga kondisi perdagangan suatu negara yang diukur dengan GDP negara serta beberapa variabel terkait lainnya. Secara umum, gravity model dapat terlihat pada persamaan berikut.
Keterangan : = Volume ekspor (ton) Ai = Konstanta = GDP negara Indonesia (US$) = GDP negara tujuan ekspor (US$) = Jarak antar negara (km) = Parameter yang diestimasi Pada penelitian ini, model data panel dengan pendekatan gravity model menggunakan variabel utama GDP, jarak ekonomi, nilai tukar Indonesia ke negara tujuan ekspor, dan indeks harga konsumen. Variabel GDP menggunakan data GDP riil yang berdasarkan tahun dasar 2005, sementara nilai tukar yang digunakan adalah nilai tukar riil uang diperoleh dari perhitungan nilai tukar nominal Indonesia terhadap negara utama tujuan ekspor kayu lapis Indonesia dikalikan dengan rasio indeks harga konsumen. Persamaan model ekspor kayu lapis Indonesia adalah sebagai berikut.
25
Keterangan : Xijt α GDPriil it GDPriil jt JE ijt CPI it CPI jt ER ijt
Dkrisis T jt ε ijt
= Volume ekspor (ton) = Konstanta = GDP riil negara Indonesia (US$) = GDP riil negara tujuan ekspor utama (US$) = Jarak ekonomi Indonesia ke negara tujuan ekspor (km) = Indeks harga konsumen negara Indonesia = Indeks harga konsumen negara tujuan ekspor utama = Nilai tukar riil Indonesia ke negara utama tujuan ekspor (yen, yuan, dolar USA, won, riyal, dirham, euro, poundsterling dan dolar SNG) = dummy krisis keuangan tahun 2010 = Tarif (persen) = Error
Persamaan transformasi logaritma untuk gravity model pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
Keterangan : Xijt α GDPriil it GDPriil jt JE ijt CPI it CPI jt ER ijt Dkrisis Tjt ε ijt
= Volume ekspor (persen) = Konstanta = GDP riil negara Indonesia (persen) = GDP riil negara tujuan ekspor utama (persen) = Jarak ekonomi Indonesia ke negara tujuan ekspor (persen) = Indeks harga konsumen negara Indonesia = Indeks harga konsumen negara tujuan ekspor utama = Nilai tukar riil Indonesia ke negara utama tujuan ekspor (persen) = dummy krisis keuangan tahun 2010 = Tarif (persen) = Error
Model analisis ini menjelaskan ketergantungan antara variabel independen dan variabel dependen. Variabel independen akan menjelaskan pengaruhnya terhadap variabel dependen melalui nilai yang dimiliki. Penentuan variabelvariabel independen pada model didasarkan pada teori-teori yang telah ada dan disesuaikan dengan hipotesis yang akan dicapai. Penggunaan jarak ekonomi bertujuan untuk menghindari adanya matriks singular pada model. Jarak ekonomi diperoleh berdasarkan perhitungan dari Karlinda (2012) sebagai berikut.
26
∑ Keterangan : JEijt JGij ∑ GDPit
= Jarak ekonomi negara i terhadap negara j pada tahun t = Jarak geografis negara i terhadap negara j (Km) = Total GDP negara j pada periode observasi (US$) = GDP negara j pada tahun t (US$) Perhitungan Hambatan Non-Tarif
Secara keseluruhan analisis dengan menggunakan model ini bertujuan untuk menghitung hambatan non-tarif ekspor kayu lapis Indonesia di negaranegara utama tujuan ekspor kayu lapis Indonesia. Nilai hambatan non-tarif negara-negara utama tujuan ekspor kayu lapis Indonesia didasarkan pada perbandingan volume ekspor aktual dengan volume ekspor potensial dengan memberikan pangkat per elastisitas substitusi komoditi terkait. Secara umum rumus dalam menentukan hambatan non-tarif berdasarkan Walsh (2008) yaitu (
⁄ ⁄
⁄
)
Keterangan : Tij Xjak
= Hambatan non-tarif negara untuk komoditi i = Volume ekspor aktual masing-masing negara tujuan ekspor (ton) Xjpot = Volume ekspor potensial masing-masing negara tujuan ekspor (ton) Xbak = Volume ekspor aktual negara benchmark perdagangan kayu lapis Indonesia (ton) Xbpot = Volume ekspor potensial negara benchmark perdagangan kayu lapis Indonesia (ton) e = Elastisitas substitusi kayu lapis Indonesia dengan kayu tropis lainnya yang diperoleh hasil penelitian Arunanondchai (2010) dan menunjukkan elastisitas substitusi kayu lapis bernilai 1.9 Elastisitas substitusi produk digunakan untuk melihat seberapa besar pengaruh yang diberikan oleh adanya hambatan perdagangan terhadap kinerja neraca perdagangan. GAMBARAN UMUM Perkembangan Ekspor Kayu Lapis di Negara Tujuan Ekspor Utama Berdasarkan Tabel 4 pada periode 2001 hingga tahun 2011 perkembangan volume ekspor kayu lapis Indonesia ke negara tujuan ekspor secara keseluruhan mengalami penurunan. Di negara Jepang penurunan yang signifikan terjadi pada
27
periode 2004 ke 2005, dengan persentase sebesar 16.1 persen. Pada tahun 2009, volume ekspor kayu lapis Indonesia ke Cina mengalami penurunan hingga mencapai 36.4 persen. Sedangkan untuk Amerika Serikat dan Korea Selatan, penurunan yang signifikan terjadi pada tahun 2008 secara berurutan sebesar 23.1 persen dan 10.4 persen. Tabel 4 Volume ekspor kayu lapis Indonesia ke negara tujuan ekspor utama tahun 2001-2011 Volume Ekspor juta m3 Negara / Tahun
Jepang
Cina
Amerika Serikat
Korea Selatan
Saudi Arabia
Uni Emirat Arab
Belgia
Inggris
Singapu -ra
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
1561313 1485894 1161133 1057510 887645 831039 674148 562963 529797
209204 216340 287557 247118 173612 138973 125117 121022 76961
363954 361887 254095 211474 193646 151806 116996 89978 86707
138987 439758 302571 165614 138256 159298 110620 99075 90031
124200 120925 188460 97295 101745 141898 73292 97631 80653
129877 118823 119855 95336 98054 119046 104344 111471 55579
146255 92860 89677 53677 40643 32833 35617 43022 30462
180950 137505 66179 62055 40186 18171 18734 19303 12935
75074 72622 80337 35035 28903 23743 18223 29448 28267
2010
610315
146297
119998
82033
214036
85658
35443
14255
36251
2011
664202
282827
92039
84202
172313
48288
28024
16284
42812
Sumber : UN Comtrade (2013)
Di pasar Timur Tengah seperti Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab, penurunan volume ekspor yang signifikan terjadi pada tahun 2004. Pada tahun tersebut, volume ekspor kayu lapis Indonesia ke Saudi Arabia menurun sebesar 48.4 persen sementara ke Uni Emirat Arab menurun sebesar 20.5 persen. Pada tahun-tahun berikutnya, volume ekspor kayu lapis Indonesia di kedua negara tersebut meningkat dan kembali mengalami penurunan di Saudi Arabia pada tahun 2007 sebesar 48.3 persen. Sedangkan di Uni Emirat Arab penurunan sebesar 50.1 persen terjadi pada tahun 2009. Negara-negara Uni Eropa yang menjadi tujuan ekspor utama kayu lapis Indonesia adalah Belgia dan Inggris. Secara keseluruhan di kedua negara tersebut, penurunan mulai terlihat di awal periode tahun 2000-an. Volume ekspor kayu lapis Indonesia ke Belgia mulai menurun sejak tahun 2002 sebesar 36.5 persen. Sementara di Inggris penurunan terjadi sejak tahun 2003 dengan persentase penurunan mencapai 51.9 persen. Pada tahun-tahun berikutnya volume ekspor kayu lapis Indonesia ke Belgia cenderung mengalami penurunan hingga pada tahun 2011 volume ekspor kayu lapis Indonesia ke Belgia sebesar 28 024 juta m3. Sama seperti Belgia, di Inggris pada tahun-tahun berikutnya volume ekspor kayu lapis cenderung mengalami penurunan dan pada tahun 2011 volume ekspor kayu lapis Indonesia ke Inggris sebesar 16 284 juta m3. Penurunan volume ekspor kayu lapis Indonesia ke Singapura terjadi tahun 2004 sebesar 56.4 persen dan semakin menurun di tahun-tahun berikutnya. Hingga tahun 2007 volume ekspor kayu lapis Indonesia ke Singapura menurun sebesar 23.2 persen dan meningkat hingga tahun 2011 menjadi 42 812 m3.
28
28
Tabel 5 Gross domestic product berdasarkan harga konstan 2005 tahun 2001-2011 GDP juta US$ Negara / Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Indonesia
Jepang
Cina
Amerika Serikat
Korea Selatan
Saudi Arabia
1.404E+09 1.617E+09 1.839E+09 1.853E+09 1.804E+09 2.017E+09 2.149E+09 2.147E+09 2.097E+09 2.546E+09 2.81E+09
3.92E+10 3.81E+10 4.19E+10 4.6E+10 4.57E+10 4.41E+10 4.45E+10 5.01E+10 5.23E+10 5.84E+10 6.38E+10
1.3E+10 1.42E+10 1.56E+10 1.72E+10 1.93E+10 2.23E+10 2.67E+10 3.21E+10 3.56E+10 3.97E+10 4.55E+10
1.17E+11 1.19E+11 1.22E+11 1.27E+11 1.31E+11 1.34E+11 1.37E+11 1.36E+11 1.33E+11 1.36E+11 1.38E+11
5.59E+09 6.19E+09 6.68E+09 7.27E+09 8.45E+09 9.53E+09 1.03E+10 8.88E+09 7.69E+09 9.03E+09 9.76E+09
1.7E+09 1.7E+09 1.84E+09 2E+09 2.15E+09 2.27E+09 2.4E+09 2.6E+09 2.65E+09 2.85E+09 3.09E+09
Sumber : Worldbank (2013)
Uni Emirat Arab 1.78E+09 1.82E+09 1.98E+09 2.17E+09 2.28E+09 2.5E+09 2.58E+09 2.67E+09 2.62E+09 2.58E+09 2.68E+09
Belgia
Inggris
2.53E+09 2.7E+09 3.26E+09 3.7E+09 3.77E+09 3.91E+09 4.39E+09 4.74E+09 4.37E+09 4.24E+09 4.55E+09
1.623E+10 1.728E+10 1.957E+10 2.264E+10 2.321E+10 2.414E+10 2.715E+10 2.475E+10 1.989E+10 1.997E+10 2.117E+10
Singapura
948108761 950581702 994754596 1.116E+09 1.235E+09 1.362E+09 1.556E+09 1.669E+09 1.764E+09 1.969E+09 2.209E+09
29
Perkembangan GDP Indonesia dan Negara Tujuan Ekspor Utama Tabel 5 menunjukkan perkembangan GDP riil negara Indonesia dan negara tujuan ekspor mengalami peningkatan pada rentang 2001 hingga tahun 2011. Nilai GDP riil yang paling besar adalah Amerika Serikat. Sementara, negara dengan GDP riil yang besar lainnya yaitu Jepang dan Cina. GDP riil Inggris dan Korea Selatan memiliki berada dibawah GDP riil Cina. Hal tersebut terlihat pada tahun 2011 GDP riil negara Inggris mencapai US$ 21 miliar dan Korea Selatan sebesar US$ 9 miliar sedangkan GDP riil Cina mencapai US$ 45 miliar. Posisi GDP riil Indonesia berada dibawah negara Belgia, Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab namun masih berada diatas GDP riil Singapura. Negara Jepang menunjukkan peningkatan yang signifikan tiap tahunnya. Pada tahun 2011 GDP riil negara Jepang mencapai US$ 63 miliar meningkat dari tahun sebelumnya yang bernilai sebesar US$ 58 miliar. Dengan nilai GDP riil yang semakin meningkat secara signifikan tersebut, maka tidak mengherankan apabila volume ekspor kayu Indonesia ke Jepang menjadi volume ekspor kayu lapis yang paling besar. GDP riil Amerika Serikat, Jepang dan Cina yang besar dan meningkat setiap tahunnya menunjukkan potensi pasar yang besar bagi kayu lapis Indonesia. Sama seperti ketiga negara tersebut, negara-negara tujuan ekspor lainnya juga memiliki potensi pasar yang besar dengan GDP riil besar yang dimiliki oleh negara tersebut. Peningkatan GDP riil masing-masing negara pada tiap tahun menunjukkan bahwa peningkatan ukuran perekonomian suatu negara. Perkembangan CPI Indonesia dan Negara Tujuan Ekspor Utama Perkembangan indeks harga konsumen menunjukkan perkembangan tingkat daya beli oleh konsumen di Indonesia sebagai eksportir maupun di negara tujuan ekspor utama sebagai importir. Tabel 6 menunjukkan di negara Indonesia indeks harga konsumen pada rentang 2001 hingga tahun. Indeks harga konsumen di negara Jepang menunjukkan angka yang fluktuatif. Pada tahun 2002 mengalami penurunan menjadi 98.434 dan pada tahun 2005 menjadi sebesar 97.847. Pada tahun-tahun berikutnya, indeks harga konsumen di negara Jepang mengalami peningkatan hingga tahun 2011 mencapai 101.798. Tabel 6 Consumer Price Index Indonesia dan Negara Tujuan Ekspor Utama CPI Negara / Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Indonesia
Jepang
Cina
Amerika Serikat
Korea Selatan
Saudi Arabia
Uni Emirat Arab
Belgia
Inggris
Singapura
111.502 124.657 133.101 141.169 155.933 176.366 187.245 205.519 222.507 239.099
99.315 98.434 98.141 98.141 97.847 98.141 98.141 99.684 100.563 101.798
99.879 99.292 101.992 105.284 106.723 108.893 116.116 121.359 128.034 133.01
102.817 104.457 106.858 109.708 113.41 117.069 120.415 125.502 127.817 130.045
104.067 106.941 110.7 114.675 117.833 120.475 123.528 129.458 134.636 138.675
98.862 99.09 99.671 100.025 100.657 102.983 107.213 119.49 131.447 141..993
102.736 105.743 109.085 114.564 121.652 132.932 147.721 166.74 184.693 199.689
102.438 104.033 105.022 107.059 110.034 112.328 115.817 120.508 123.099 125.499
101.182 102.47 103.867 105.236 107.411 109.882 112.46 116.711 120.138 122.541
101.014 100.62 101.109 102.799 103.285 104.29 106.475 113.424 117.111 119.663
30
2011
253.234
103.353
137.58
132.773
142.835
151.974
214.06
127.946
124.992
121.907
Sumber : IMF (2013)
Indeks harga konsumen di Cina menunjukkan peningkatan di tiap tahunnya. Peningkatan tersebut juga terjadi di negara-negara tujuan ekspor lainnya dan adanya peningkatan tersebut menunjukkan daya beli yang kuat dari konsumen negara tujuan ekspor terhadap produk yang dibeli dari Indonesia. Pada tahun 2011 di negara Cina indeks harga konsumen mencapai 137.58 sedangkan di Amerika Serikat pada tahun tersebut sebesar 132.773. Negara Korea Selatan dan Saudi Arabia memiliki indeks harga konsumen sebesar 142.835 dan 151.974 pada tahun 2011. Negara Uni Emirat Arab memiliki indeks harga konsumen sebesar 214.06 pada tahun 2011 dan menjadi indeks harga konsumen paling tinggi pada tahun tersebut. Sementara negara Belgia, Inggris dan Singapura secara berurutan memiliki nilai 127.946; 124.992 dan 121.907. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Masing-Masing Negara Tujuan Ekspor Utama Tabel 7 menunjukkan perkembangan nilai tukar rupiah riil terhadap masingmasing negara tujuan ekspor utama. Secara keseluruhan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara tujuan ekspor mengalami peningkatan artinya rupiah menguat pada nilai tukar mata uang negara tujuan ekspor. Nilai tukar yang menguat tersebut membawa dampak negatif bagi kinerja ekspor kayu lapis Indonesia. Nilai tukar rupiah terhadap dirham Uni Emirat Arab pada tabel menunjukkan peningkatan pada rentang tahun 2001 hingga tahun 2011. Tabel 7 Nilai tukar rupiah terhadap masing-masing negara tujuan ekspor utama tahun 2001-2011 Nilai Tukar Negara / Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Jepang (yen)
Cina (yuan)
0.0133 0.0171 0.0183 0.0174 0.0181 0.0228 0.0245 0.0219 0.0199 0.0226 0.0222
0.0009 0.0011 0.0012 0.0012 0.0012 0.0014 0.0013 0.0012 0.0011 0.0013 0.0014
Amerika Serikat (dolar USA) 0.00010 0.00012 0.00015 0.00014 0.00014 0.00016 0.00017 0.00017 0.00017 0.00020 0.00022
Korea Selatan (won)
Saudi Arabia (riyal)
0.1348 0.1566 0.1670 0.1577 0.1396 0.1526 0.1540 0.1803 0.2031 0.2192 0.2240
0.00041 0.00050 0.00058 0.00059 0.00059 0.0007 0.00071 0.00066 0.00061 0.00069 0.00071
Uni Emirat Arab (dirham) 0.00038 0.00046 0.00052 0.00050 0.00048 0.00053 0.00050 0.00046 0.00042 0.00048 0.00049
Belgia (euro)
Inggris (poundsterling)
Singapura (dolar SNG)
0.00011 0.00013 0.00013 0.00011 0.00011 0.00014 0.00012 0.00012 0.00013 0.00016 0.00016
7.46E-05 8.72E-05 9.15E-05 8.2E-05 8.23E-05 9.52E-05 9.1E-05 9.88E-05 0.000114 0.000139 0.000144
0.00019 0.00024 0.00026 0.00025 0.00025 0.00029 0.00028 0.00026 0.00027 0.00030 0.00029
Sumber : UNCTAD (2013)
Nilai rupiah juga menguat terhadap dolar Singapura pada rentang tersebut. Nilai tukar rupiah terhadap yen Jepang pada rentang tahun 2001 hingga tahun 2011 juga menunjukkan peningkatan. Meskipun nilai tukar rupiah fluktuatif terhadap euro Belgia namun pada tahun 2009 mengalami peningkatan nilai tukar rupiah terhadap euro Belgia yang signifikan. Nilai tukar rupiah terhadap won
31
Korea Selatan juga mengalami fluktuasi dan memiliki tren naikyang signifikan mulai tahun 2007 hingga tahun 2011. Sedangkan untuk Inggris, nilai tukar rupiah terhadap poudsterling Inggris mengalami kenaikan mulai tahun 2007 dan kembali naik tahun 2010. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat tahun 2001 hingga tahun 2011 secara keseluruhan meningkat. Nilai tukar rupiah terhadap yuan Cina pada rentang 2001 hingga tahun 2011. Perkembangan Tarif Komoditi Kayu Lapis Indonesia di Negara Tujuan Ekspor Utama Tabel 8 menunjukkan perkembangan tarif impor yang diterapkan oleh negara tujuan ekspor utama produk kayu lapis Indonesia. Pada tabel terlihat masing-masing negara tujuan ekspor menerapkan tarif yang berbeda terkait dengan komoditi kayu lapis Indonesia. Pada awal tahun 2000-an Cina memiliki tarif impor paling besar diantara negara tujuan ekspor lainnya sebesar 12.67 persen,namun pada tahun-tahun berikutnya mengalami penurunan.Hingga tahun 2007 tarif impor di Cina untuk kayu lapis meningkat menjadi 7.66 persen sampai tahun 2011. Uni Emirat Arab juga menerapkan tarif impor yang cukup besar untuk kayu lapis Indonesia. Akan tetapi pada pelaksanaannya, tarif impor kayu lapis di Uni Emirat Arab memiliki nilai yang konstan dari tahun 2001 hingga tahun 2011 yaitu sebesar 8.33 persen. Sama seperti Uni Emirat Arab, Saudi Arabia juga memberlakukan tarif konstan sebesar 5 persen dari tahun 2001 hingga tahun 2011. Sementara sebagai sesama negara anggota ASEAN pada tahun 2001 hingga tahun 2011, Singapura konstan menerapkan tarif impor untuk kayu lapis Indonesia sebesar 3.33 persen. Tabel 8 Tarif komoditi kayu lapis Indonesia di negara tujuan ekspor utama tahun 2001-2011 Tarif (%) Negara / Tahun
Jepang
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
5.42 5.80 5.69 5.74 5.74 5.74 6.22 5.44 5.78 5.69 5.70
Cina
12.67 10.41 8.15 7.53 7.74 7.35 7.66 7.66 7.66 7.66 7.66
Amerika Serikat
Korea Selatan
Saudi Arabia
Uni Emirat Arab
Belgia
2.26 3.07 2.96 2.96 2.99 2.91 2.48 2.13 2.96 2.96 4.06
8 8 8 8 8 8 8 8 8.88 8.88 8.88
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
8.33 8.33 8.33 8.33 8.33 8.33 8.33 8.33 8.33 8.33 8.33
6.96 8.28 8.28 6.55 8.34 8.29 8.22 6.42 6.42 8.31 7.06
Inggris
Singapura
6.96 8.28 8.28 6.55 8.34 8.29 8.22 6.42 6.42 8.31 7.06
Sumber : TRAINS (2013)
Perkembangan tarif impor yang diberlakukan di negara Uni Eropa seperti Belgia dan Inggris dari tahun 2001 hingga tahun 2011 berfluktuasi. Nilai tarif yang sama di kedua negara tersebut disebabkan adanya kesepakatan bersama negara anggota Uni Eropa terkait kebijakan perdagangan baik untuk sesama
3.33 3.33 3.33 3.33 3.33 3.33 3.33 3.33 3.33 3.33 3.33
32
negara anggota Uni Eropa maupun untuk negara luar Uni Eropa. Pada tahun 2011, tarif impor kayu lapis Indonesia di negara Uni Eropa mengalami penurunan menjadi sebesar 7.06 persen. Pada tahun 2001 hingga tahun 2008, tarif impor kayu lapis Indonesia di Korea Selatan sebesar 8 persen, namun pada tahun 2009 hingga tahun 2011 meningkat menjadi 8.88 persen. Tarif impor kayu lapis Indonesia yang diberlakukan oleh Jepang juga berfluktuasi dari tahun 2001 hingga tahun 2011. Pada tahun 2011 tarif impor Jepang untuk komoditi kayu lapis dari Indonesia sebesar 5.70 persen. Tarif tersebut meningkat sebesar 0.01 persen dari tahun 2010. Fluktuasi perkembangan tarif kayu lapis di negara tujuan ekspor juga ditunjukkan di Amerika Serikat. Pada tahun 2001 hingga tahun 2010 sebagian besar tarif impor yang digunakan di Amerika Serikat sebesar 2.96 persen. Sementara di tahun 2011 tarif impor Amerika Serikat meningkat menjadi 4.06 persen. Kesepakatan mengenai penurunan tarif terkait hambatan perdagangan mulai terlihat di tahun 2011 meskipun belum seluruh negara menghilangkan atau menurunkan hambatan tarifnya. Indikasi dari dampak yang ditimbulkan dari kesepakatan tersebut adalah hambatan non-tarif yang lebih banyak diterapkan di berbagai negara. PEMBAHASAN Perkembangan Daya Saing Ekspor Kayu Lapis Indonesia di Negara Tujuan Ekspor Utama Pada perdagangan komoditi antar-negara, suatu negara memiliki ukuran daya saing tersendiri untuk produknya. Ukuran tersebut yang menentukan produk memiliki daya saing tinggi atau lemah terhadap produk sejenis yang juga ada di negara tersebut. Oleh sebab itu ukuran daya saing produk menjadi ukuran analisis komparatif produk di suatu negara. Tabel 9 menunjukkan hasil perhitungan RCA yang telah dilakukan untuk melihat daya saing kayu lapis Indonesia di negara tujuan ekspor utama kayu lapis Indonesia. Rata-rata nilai RCA menunjukkan bahwa di semua negara tujuan ekspor utama kayu lapis Indonesia memiliki daya saing yang tinggi (nilai RCA >1). Produk kayu lapis Indonesia memiliki daya saing yang cukup tinggi di negara Cina, Saudi Arabia, Uni Emirat Arabdan Belgia. Apabila dibandingkan dengan negara tujuan ekspor lainnya, indeks nilai RCA Indonesia di Cina (39.72; 38.26; 40.81) dan Saudi Arabia (44.15; 38.53; 32.66) lebih tinggi dibandingkan dengan negara tujuan ekspor lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa diantara negara tujuan ekspor utama lainnya, kayu lapis Indonesia memiliki daya saing yang tinggi di Cina dan Arab Saudi. Tabel 9 Indeks daya saing kayu lapis Indonesia HS 2007 di negara tujuan ekspor utama Indonesia periode 2010-2012 Tahun / Negara Jepang Cina Amerika Serikat Korea Selatan
2010
2011
2012
6.93 39.72 9.16
6.67 38.26 8.48
7.04 40.81 10.14
3.91
3.98
3.43
33
Saudi Arabia Uni Emirat Arab Belgia Inggris Singapura Rata-rata
44.15 29.55
38.53 19.26
32.66 16.64
27.78 8.25 3.70 19.24
23.67 12.74 3.58 17.24
19.32 13.51 3.42 16.33
Sumber : UN COMTRADE (2013) diolah
Pada tahun 2011 hingga tahun 2012 rata-rata indeks nilai RCA kayu lapis Indonesia di negara tujuan ekspor utama mengalami penurunan yaitu secara berurutan 19.24; 17.24; dan 16.33. Pada beberapa negara, penurunan ditunjukkan langsung oleh indeks nilai RCA yang menurun setiap tahun seperti di Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Belgia, dan Singapura. Sedangkan di Korea Selatan dan Inggris, penurunan ditunjukkan dari perubahan indeks nilai RCA kayu lapis di kedua negara tersebut. Tabel 9 menunjukkan bahwa meskipun indeks nilai RCA kayu lapis Indonesia di kedua negara tersebut meningkat, namun perubahan indeks di Inggris dan Belgia pada rentang tahun 2010 hingga 2012 mengalami penurunan. Indeks nilai RCA kayu lapis Indonesia di Jepang, Cina dan Amerika Serikat menurun pada tahun 2011, namun pada tahun 2012 dapat kembali meningkat. Penurunan nilai RCA kayu lapis Indonesia pada negara tujuan ekspor utama dapat diakibatkan oleh adanya krisis keuangan yang terjadi pada tahun 2010. Daya saing kayu lapis Indonesia yang tinggi di Cina dan Arab Saudi dipengaruhi oleh nilai ekspor kayu lapis Indonesia ke negara tersebut. Pada tahun 2010 nilai ekspor kayu lapis Indonesia ke Cina sebesar US$ 97 742.95 juta meningkat sebesar US$ 20 7975.43 juta pada tahun 2011 dan pada tahun 2012 kembali meningkat sebesar US$ 313 753.52 juta. Sedangkan di Arab Saudi, nilai ekspor kayu lapis Indonesia di tahun 2010 mencapai US$ 163 715.92 juta dan mengalami penurunan menjadi US$ 153 896.7 juta pada tahun 2011. Pada tahun 2012 nilai ekspor kayu lapis Indonesia ke Arab Saudi kembali meningkat menjadi US$ 162 372.7 juta. Besarnya nilai ekspor dan tingginya daya saing kayu lapis Indonesia ke Cina dan Arab Saudi menunjukkan bahwa kedua negara tersebut merupakan pasar potensial bagi kayu lapis Indonesia. Apabila dibandingkan dengan Cina dan Arab Saudi, indeks nilai RCA Jepang masih berada di bawah indeks nilai RCA kayu lapis kedua negara tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa meskipun Jepang memiliki volume ekspor kayu lapis terbesar dari Indonesia diantara negara tujuan ekspor lainnya, namun daya saing kayu lapis Indonesia di Jepang masih rendah apabila dibandingkan dengan Cina dan Arab Saudi. Rendahnya daya saing kayu lapis Indonesia di Jepang dapat diakibatkan oleh masuknya kayu lapis lain yang berasal dari negara pesaing industri kayu lapis Indonesia seperti Malaysia dan Cina di Jepang. Selain itu, kayu lapis Indonesia yang masih belum sepenuhnya memenuhi standar dan persyaratan teknis dari Jepang dan beberapa negara tujuan ekspor utama lainnya dapat menjadi penyebab rendahnya daya saing kayu lapis Indonesia. Sehingga untuk mempertahankan dan meningkatkan industri kayu lapis Indonesia di negara tujuan ekspor utama kayu lapis Indonesia, baik dari produsen kayu lapis domestik dan pemerintah perlu memiliki rencana dan kerangka kerja yang matang untuk meningkatkan daya saing produk kayu lapis Indonesia.
34
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Volume Ekspor Kayu Lapis Indonesia Tabel 10 menunjukkan hasil estimasi model faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ekspor kayu lapis Indonesia dari tahun 2001 hingga tahun 2011. Variabel-variabel yang digunakan pda model tersebut yaitu GDP riil Indonesia, GDP riil negara utama tujuan ekspor, jarak ekonomi Indonesia dengan negara tujuan, indeks harga konsumen negara Indonesia, indeks harga konsumen negara tujuan ekspor, nilai tukar Indonesia terhadap negara tujuan ekspor, tarif impor negara tujuan dan variabel non ekonomi krisiskeuangan tahun 2010. Model terbaik diperoleh pada pengolahan data panel pada Fixed Effect Model dengan melakukan pembobotan SUR (Seemingly Unrelated Regressions) pada cross section yang digunakan. Tabel 10 Hasil estimasi variabel yang berpengaruh terhadap volume ekspor kayu lapis Indonesia periode 2001-2011 Variabel GDPiriil(logGDPi riil) GDPjriil(logGDPj riil) JE (logDistijekonom) CPIi (logCPIi) CPIj (logCPIj) Dkrisis Erij (logErij) Tarif C R-squared Prob (F-statistic) R-squared Sum square resid
Koefisien
t-statistic
1.318051 4.046212 0.946884 6.375664 -0.147901 -2.364540 -4.045122 -22.49964 2.350624 9.490506 0.175906 5.819359 1.260692 9.534674 -0.000265 -0.022472 -19.820017 -2.982103 Weighted Statistics 0.979614 Sum square resid 0.000000 Durbin-Watson stat Unweighted Statistics 0.918116 Durbin-Watson stat 9.061787
Probabilitas 0.0001 0.0000 0.0204 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.9821 0.0038 94.54567 2.033754 1.142323
Berdasarkan Tabel 10 variabel yang berpengaruh terhadap volume ekspor kayu lapis Indonesia yaitu GDPriil Indonesia dan negara tujuan ekspor, jarak ekonomi, indeks harga konsumen Indonesia, indeks harga konsumen negara tujuan ekspor, krisis keuangan tahun 2010, dan nilai tukar rupiah terhadap masing-masing mata uang negara tujuan ekspor. Variabel-variabel tersebut memiliki nilai probabilitas kurang dari α 5 persen. Sedangkan tarif dari hasil estimasi menunjukkan tidak berpengaruh terhadap volume ekspor kayu lapis Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan dari probabilitasnya yang lebih dari α 5 persen. Nilai probabilitas F-statistik sebesar 0.000000 kurang dari α 5 persen artinya variabel-variabel yang digunakan pada model baik variabel ekonomi maupun variabel non-ekonomi berpengaruh nyata terhadap volume ekspor kayu lapis Indonesia dengan asumsi cateris paribus.Nilai R-squared yang diperoleh sebesar 0.979614 yang menunjukkan bahwa secara keseluruhan model dapat dijelaskan oleh variabel-variabel yang didalam model sebesar 97.9614 persen, sedangkan sisanya 2.0386 persen dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Nilai R-squared
35
yang tinggi dan hampir mendekati 100 persen menunjukkan bahwa secara keseluruhan model tersebut adalah model yang layak (fit) digunakan. Selain dari nilai R-squared yang besar, model yang layak (fit) untuk digunakan juga harus memenuhi syarat uji asumsi klasik agar model yang diperoleh bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimator). Pada hasil estimasi model nilai Sum squared resid weighted (94.54567) lebih besar daripada nilai Sum squared resid unweighted (9.061787). Oleh sebab itu, pada model diindikasikan terdapat masalah heteroskedastisitas namun karena model ini sudah dilakukan pembobotan menggunakan metode EGLS dengan pembobotan cross section SUR maka permasalahan heteroskedastisitas pada model dapat diabaikan. Pelanggaran yang harus dihindari pada model agar memenuhi syarat asumsi klasik dan dikategorikan sebagai model yang BLUE adalah terhindar dari masalah multikolinearitas. Hasil estimasi nilai korelasi antar variabel independen pada model kurang dari 0.80 (Lampiran 3). Artinya, tidak ada interaksi antar variabel independen pada model sehingga dapat disimpulkan tidak terdapat masalah multikolinearitas pada model. Model estimasi yang layak (fit) juga memiliki residual yang menyebar normal. Karena apabila tidak menyebar normal maka dapat diindikasikan bahwa dapat menyebabkan model menjadi tidak bias sehingga asumsi klasik agar model tersebut menjadi BLUE tidak terpenuhi. Hasil estimasi uji asumsi menunjukkan bahwa nilai probabilitas Jarque Bera (0.577603) lebih besar dari α 5 persen (Lampiran 2). Artinya berdasarkan uji tersebut, model estimasi volume ekspor kayu lapis Indonesia memiliki residual yang menyebar normal. Uji asumsi klasik lainnya yang harus dipenuhi untuk mendapatkan model yang layak (fit) adalah uji masalah autokorelasi pada model. Masalah autokorelasi dapat terdeteksi dari nilai Durbin Watson. Pada jumlah observasi 99 dengan jumlah 8 variabel independen pada α 5 persen, maka rentang yang tidak terdapat masalah autokorelasi yaitu du < nilai DW< 4-du. Nilai du (d upper) dan nilai dl (d lower) untuk uji autokorelasi diperoleh dari tabel Durbin Watson yang tersedia. Tabel 10 menunjukkan bahwa nilai Durbin Watson model estimasi volume ekspor kayu lapis Indonesia (2.033754) berada pada rentang du (1.8501) dan 4-du (2.1499). Artinya tidak terdapat masalah autokorelasi pada model estimasi volume ekspor kayu lapis Indonesia. Maka, berdasarkan hasil uji asumsi klasik yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa estimasi model volume ekspor kayu lapis Indonesia bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimator). Pengaruh GDP Indonesiadengan Volume Ekspor Kayu Lapis Indonesia Variabel GDP riil Indonesia menunjukkan secara signifikan berpengaruh positif terhadap volume ekspor kayu lapis Indonesia ke negara tujuan ekspor utama kayu lapis Indonesia. Pada hasil estimasi diketahui bahwa setiap kenaikan GDP riil Indonesia sebesar 1 persen maka volume ekspor kayu lapis Indonesia ke negara tujuan ekspor utama akan meningkat sebesar 1.3 persen dengan asumsi cateris paribus. Negara Indonesia merupakan eksportir kayu lapis ke negara tujuan ekspor utama kayu lapis. Pada pendekatan gravity model, GDP riil menunjukkan ukuran perekonomian dari suatu negara. Negara Indonesia dengan GDP riil yang besar menunjukkan kapasitas produksi yang besar dari negara tersebut (Yuniarti 2007). Semakin besar GDP riil negara eksportir maka semakin
36
besar pula produktivitas yang dihasilkan sehingga ekspor akan cenderung meningkat. Pengaruh GDP Negara Tujuan dengan Volume Ekspor Kayu Lapis Indonesia Sementara untuk GDP riil negara tujuan ekspor utama kayu lapis Indonesia menunjukkan ukuran pendapatan suatu negara. Tingkat pendapatan negara tujuan ekspor ini memiliki korelasi positif terhadap perdagangan antar-negara (Thangavelu 2010). Semakin besar GDP riil suatu negara menunjukkan bahwa tingkat pendapatan negara tersebut semakin besar, sehingga konsumsinya juga akan semakin meningkat. Hal tersebut memiliki korelasi positif terhadap volume ekspor di negara eksportir. Pada hasil estimasi diketahui bahwa setiap kenaikan GDP riil negara tujuan ekspor utama kayu lapis Indonesia meningkat sebesar 1 persen, maka akan meningkatkan volume ekspor kayu lapis Indonesia sebesar 0.95 persen dengan asumsi cateris paribus. Pengaruh Jarak Ekonomi dengan Volume Ekspor Kayu Lapis Indonesia Variabel jarak ekonomi antara Indonesia dengan negara tujuan ekspor utama kayu lapis Indonesia secara signifikan berpengaruh negatif terhadap volume ekspor kayu lapis Indonesia. Artinya peningkatan jarak ekonomi sebesar 1 persen akan menurunkan volume ekspor kayu lapis Indonesia ke negara tujuan ekspor utama kayu lapis Indonesia sebesar 0.15 persen dengan asumsi cateris paribus. Perhitungan jarak ekonomi yang digunakan memilliki komponen jarak geografis yang merupakan proksi dari biaya transportasi. Semakin jauh jarak negara tujuan ekspor utama kayu lapis Indonesia dapat menurunkan volume ekspor kayu lapis Indonesia karena biaya transportasi yang ditanggung menjadi lebih besar. GDP nominal yang digunakan dalam perhitungan jarak ekonomi pada estimasi model menunjukkan bahwa adanya pengaruh harga berlaku dari masing-masing negara terkait dengan biaya transportasi komoditi yang diperdagangkan. Pengaruh Indeks Harga Konsumen Indonesia dengan Volume Ekspor Kayu Lapis Indonesia Hasil estimasi model menunjukkan bahwa variabel indeks harga konsumen Indonesia memiliki pengaruh signifikan negatif terhadap volume ekspor kayu lapis Indonesia. Artinya, setiap terjadi peningkatan indeks harga konsumen di Indonesia sebesar 1 persen, maka volume ekspor kayu lapis Indonesia menurun sebesar 4.05 persen dengan asumsi cateris paribus. Hal tersebut dapat terjadi apabila terjadipeningkatan indeks harga konsumen Indonesia maka daya beli masyarakat Indonesia meningkat. Hal tersebut menunjukkan bahwa harga kayu lapis turun dan daya saing di dalam negeri meningkat sehingga dapat menurunkan ekspor kayu lapis Indonesia. Pengaruh Indeks Harga Konsumen Negara Tujuan dengan Volume Ekspor Kayu Lapis Indonesia Indeks harga konsumen negara tujuan memiliki pengaruh signifikan positif terhadap volume ekspor kayu lapis Indonesia. Artinya, setiap terjadi peningkatan indeks harga konsumen sebesar 1 persen maka volume ekspor kayu lapis Indonesia akan meningkat sebesar 2.35 persen dengan asumsi cateris paribus.
37
Peningkatan yang terjadi pada indeks harga konsumen di negara asing mengindikasikan bahwa daya beli konsumen asing terhadap kayu lapis Indonesia meningkat. Hal tersebut diakibatkan oleh adanya harga yang lebih murah sehingga daya saing kayu lapis Indonesia meningkat di negara tujuan. Dampak dari meningkatnya daya saing kayu lapis Indonesia di negara tujuan akan meningkatkan pula ekspor kayu lapis Indonesia ke negara tujuan ekspor tersebut. Pengaruh Nilai Tukar Rupiah terhadap Masing-Masing Negara Tujuan dengan Volume Ekspor Kayu Lapis Indonesia Variabel nilai tukar mata uang rupiah terhadap masing-masing negara tujuan ekspor utama kayu lapis Indonesia memiliki pengaruh signifikan secara positif terhadap volume ekspor kayu lapis Indonesia. Karena nilai tukar rupiah yang digunakan merupakan nilai tukar rupiah per masing-masing negara tujuan ekspor kayu lapis. Maka dapat diketahui bahwa untuk nilai tukar rupiah terhadap yen Jepang maka setiap terjadi kenaikan besaran nilai mata uang rupiah terhadap besaran yen atau rupiah terdepresiasi terhadap yen sebesar 1 persen maka volume ekspor kayu lapis Indonesia ke Jepang akan meningkat sebesar 1.26 persen dengan asumsi cateris paribus. Hal tersebut berlaku pula bagi nilai tukar Indonesia terhadap negara-negara tujuan ekspor utama lainnya. Pengaruh Krisis terhadap Volume Ekspor Kayu Lapis Indonesia Variabel non-ekonomi krisis keuangan Uni Eropa tahun 2010 berpengaruh terhadap volume ekspor kayu lapis Indonesia ke negara tujuan ekspor utama. Oleh sebab itu agar kayu lapis Indonesia tetap memiliki pasar yang besar dan berdaya saing tinggi di pasar internasional, pemerintah melakukan berbagai upaya seperti melakukan diversifikasi pasar dan inovasi produk. Tujuan dari upaya-upaya tersebut adalah untuk meningkatkan ekspor dan daya saing kayu lapis Indonesia di negaratujuan ekspor utama kayu lapis Indonesia. Pengaruh Kebijakan Tarif di Negara Tujuan Ekspor Utama terhadap Volume Ekspor Kayu Lapis Indonesia Kebijakan tarif yang diberlakukan oleh negara tujuan ekspor utama terkait komoditi kayu lapis tidak berpengaruh terhadap volume ekspor kayu lapis Indonesia. Hal tersebut sebagai akibat dari adanya kesepakatan penurunan tarif yang telah dinegosiasikan oleh seluruh negara di dunia dalam forum perdagangan bebas seperti WTO pada GATT tahun 1948. Hasil penelitian Departemen Kehutanan FAO menunjukkan bahwa adanya penurunan tarif pada produk kehutanan sebagai implikasi dari GATT putaran Tokyo tahun 1985 mampu meningkatkan penilaian kualitatif terhadap produk hasil hutan. Penilaian kualitatif tersebut dapat diartikan sebagai hambatan non-tarif yang diberlakukan dalam berbagai bentuk seperti misalnya kuota impor untuk komoditi kayu lapis di Uni Eropa dan Jepang. Perhitungan Hambatan Non-Tarif di Negara Tujuan Ekspor Utama dan Kaitannya Dengan SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) Perdagangan barang dan jasa lintas negara tidak secara penuh bebas keluar masuk batas suatu negara sekalipun dalam hubungan kerjasama yang sangat erat.
38
Negara-negara diberbagai belahan dunia menggunakan hambatan perdagangan untuk beberapa motif dan alasan tertentu. Motif dan alasan tersebut terkadang bertujuan untuk melindungi industri-industri dalam negeri dari saingan industri luar negeri. Tujuan lainnya untuk melindungi hak konsumen dari produk-produk berbahaya. Salah satu langkah yang dilakukan untuk melakukan hambatan perdagangan adalah dengan menerapkan prosedur kepabeanan yang rumit. Pada beberapa dekade hambatan tarif telah berkurang secara signifikan namun hambatan lainnya tetap. Dengan berkurangnya hambatan tarif tersebut mampu memberikan dorongan besar untuk kesejahteraan ekonomi global. Tarif yang diberlakukan untuk produk-produk pertanian rata-rata lebih tinggi daripada produk-produk industri meskipun tentu berbeda di tiap negara. Sebagian besar penerapan tarif diimbangi dengan penerapan kuota. Hasil penelitian dari OECD menunjukkan bahwa tarif produk pertanian di negara OECD lebih besar dari tarif sektor pertanian secara keseluruhan di negara OECD (Love et al. 2009). Meskipun kesepakatan penurunan tarif telah disepakati bersama oleh negaranegara dalam forum perdagangan WTO, namun beberapa masalah penerapan tarif masih muncul dan harus dihadapi oleh negara-negara sedang berkembang. Negara-negara berkembang seperti Indonesia menghadapi permasalahan baru dengan adanya penurunan tarif. Negara-negara maju cenderung menerapkan tarif puncak sebesar 15 persen atau lebih yang diterapkan untuk beberapa produk seperti tekstil, pakaian dan beberapa produk pertanian lainnya. Sedangkan produk lain dari negara berkembang seperti tembakau, kulit, kakao, kapas, kayu dan kertas sering menjadi subyek dari pemberlakuan eskalasi tarif dari negara-negara maju. Pada perdagangan internasional, hambatan non-tarif menjadi isu penting manakala hambatan tarif diturunkan dari tahun ke tahun berdasarkan kesepakatan masing-masing negara. Hal tersebut akhirnya menyebabkan adanya insentif sikap negara untuk menerapkan hambatan non-tarif. Pada perdagangan kayu lapis, Indonesia di awal tahun 1990-an mendominasi pasar kayu lapis. Namun, adanya hambatan non-tarif diindikasikan menjadi salah satu penyebab menurunnya ekspor kayu lapis Indonesia, oleh karena itu akan dihitung seberapa besar hambatan non-tarif (NTBs) yang dikenakan oleh negara tujuan ekspor Indonesia terhadap kayu lapis Indonesia. Perhitungan hambatan non-tarif memperlihatkan bahwa di beberapa negara tertentu yang sudah memberlakukan penurunan tarif terhadap kayu lapis Indonesia, cenderung menerapkan hambatan non-tarif. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai hambatan perdagangan untuk komoditi kayu lapis sebagian besar lebih 100 persen. Besarnya presentase tersebut menunjukkan bahwa masih banyak persyaratan serta regulasi yang harus dipenuhi terkait dengan ekspor kayu lapis Indonesia. Meskipun kayu lapis Indonesia memiliki daya saing di negara-negara tujuan ekspor utama, namun pada kenyataannya hambatan non-tarif tetap ada dan menjadi tantangan bagi negara eksportir seperti Indonesia.
39
Tabel 11 Nilai Hambatan Non-Tarif Kayu Lapis Indonesia di Negara Tujuan Ekspor Utama Negara Jepang China USA Korsel Saudi Arabia UEA Belgia UK Singapura
NTBs 100 251.19 406.17 191.75 187.16 230.97 344.16 532.56 413.59
Keterangan : nilai NTBs (dalam persentase)
Hasil perhitungan hambatan non-tarif pada komoditi kayu lapis Indonesia di negara-negara tujuan ekspor menunjukkan semakin besar nilai hambatan perdagangan maka akan semakin besar pula pengaruh terhadap kinerja perdagangan komoditi tersebut. Tabel 11 menunjukkan nilai hambatan non-tarif yang diberlakukan di masing-masing negara tujuan ekspor utama kayu lapis Indonesia. Nilai hambatan non-tarif terbesar untuk kayu lapis Indonesia diberlakukan oleh Inggris dengan rata-rata hambatan non-tarif sebesar 532.56 persen. Nilai tersebut menjadi nilai hambatan non-tarif terbesar diantara sembilan negara tujuan ekspor utama kayu lapis Indonesia. Tingginya hambatan non-tarif yang diberlakukan oleh Inggris akan memengaruhi produk kayu lapis Indonesia di Inggris. Nilai hambatan non-tarif yang tinggi tersebut menunjukkan bahwa Inggris sangat ketat dalam memproteksi industri dalam negerinya. Pada kenyataannya, meskipun daya saing produk kayu lapis Indonesia di Inggris cenderung meningkat dari tahun 2010 hingga tahun 2012 bukan berarti kayu lapis Indonesia bebas dalam hambatan non-tarif yang diberlakukan oleh negara yang bersangkutan. Ketatnya hambatan non-tarif yang diberlakukan terlihat dari adanya kebijakan atau regulasi yang mengikat terkait dengan komoditi yang diperdagangkan. Negara Uni Eropa lainnya yang juga menjadi salah satu negara tujuan ekspor kayu lapis Indonesia yaitu Belgia juga memiliki hambatan non-tarif yang relatif besar. Hasil perhitungan nilai hambatan non-tarif menunjukkan bahwa Belgia memiliki nilai 344.16 persen. Besarnya nilai hambatan non-tarif yang terdapat pada negaranegara Uni Eropa tersebut memperlihatkan bahwa negara-negara Uni Eropa memiliki hambatan non-tarif terbesar dibandingkan negara tujuan ekspor utama lainnya terkait dengan komoditi kayu lapis Indonesia. Indonesia dan Uni Eropa mengadakan perjanjian sukarela FLEGT-VPA terkait dengan hutan beserta produk yang dihasilkan. Pada perjanjian tersebut disepakati bahwa kayu beserta produk kayu Indonesia seperti kayu lapis harus memiliki lisensi keabsahan asal usul kayu dan produk kayu yang dihasilkan. Perjanjian tersebut bertujuan untuk meningkatkan tata kelola, transparansi dan penegakan hukum sektor kehutanan sehingga dapat dipastikan bahwa produksi kayu yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada implementasinya, FLEGT-VPA merupakan instrumen kebijakan yang melengkapi kesepakatan REDD (Reducing Emisions From Deforestation and Forest Degradation) (Kementerian Kehutanan 2011). Adanya FLEGT-VPA dapat
40
meningkatkan mekanisme penerapan REDD di masa mendatang sebab kesepakatan REDD yang digunakan untuk menciptakan insentif moneter demi menghentikan penggundulan hutan membutuhkan suatu legalitas mengenai hak pemilikan lahan, pemakaian serta kapasitas lahan yang digunakan untuk mencegah adanya pembalakan liar. Tujuan dari penandatanganan perjanjian Indonesia dan komisi Uni Eropa tersebut bagi Indonesia adalah agar dapat meningkatkan kinerja ekspor kayu lapis secara khusus juga kayu dan produk kayu lainnya secara keseluruhan. Selain itu, pemerintah Indonesia melalui Mutu Certification International melakukan kerjasama dengan lembaga FSC (Forest Standard Center) pada tahun 2004 untuk mengatasi permasalahan sertifikasi bidang kehutanan. Adanya kerjasama tersebut dapat menurunkan biaya sertifikasi sehingga menjadi lebih ekonomis. Nilai hambatan non-tarif hasil perhitungan menunjukkan bahwa Amerika Serikat memiliki hambatan non-tarif yang cukup besar pula bagi Indonesia dengan nilai 406.17 persen. Sama seperti negara-negara Uni Eropa, Amerika Serikat juga memiliki standar, kualifikasi serta kebijakan terhadap kayu dan produk kayu yang diekspor oleh Indonesia. Peraturan mengenai standarisasi tersebut tertuang dalam American Legal Lacey. Kebijakan Legal Lacey Act yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat memiliki tujuan utama untuk mencegah adanya peredaran produk kayu ilegal (Kementerian Kehutanan 2013). Adanya kebijakan yang diterapkan oleh Amerika Serikat tersebut berdampak pada volume ekspor kayu lapis Indonesia. Apabila Indonesia sebagai negara eksportir tidak tanggap dalam menghadapi hambatan non-tarif yang diberlakukan oleh Amerika Serikat, maka akan mengakibatkan penurunan pada kinerja ekspor kayu lapis Indonesia ke Amerika Serikat. Volume ekspor kayu lapis Indonesia ke negara Jepang menjadi volume ekspor yang terbesar diantara negara-negara tujuan ekspor utama kayu lapis Indonesia lainnya. Oleh sebab itu pada perhitungan nilai hambatan non-tarif, Jepang menjadi negara benchmark atau negara yang memiliki trade flow perdagangan kayu lapis Indonesia terbesar sehingga nilai hambatan non-tarif yang dihasilkan sebesar 100 persen. Sejak tahun 2006 Jepang memberlakukan sistem Green Purchasing Law yang mewajibkan instansi-instansi pemerintahannya membeli produk kayu legal (Kementerian Kehutanan 2011). Selain ada peraturan tersebut, sejak tahun 1990 Jepang menerapkan program Green Konyuho yang mensyaratkan adanya sertifikasi pelabelan ramah lingkungan terhadap semua produk kayu yang diekspor ke Jepang termasuk kayu lapis. Sertifikasi tersebut dipercayakan Jepang kepada Indonesia melalui PT Mutu Agung Lestari (MAL) yang sebelumnya dilakukan oleh petugas dari Japanese Agriculture Standard (JAS). Adanya sertifikasi yang sudah bisa dilakukan didalam negeri tersebut dapat menghemat waktu dan biaya untuk ekspor. Sebab Jepang menggunakan kayu lapis Indonesia dalam jumlah yang sangat besar untuk kebutuhan rekonstruksi pasca bencana fukushima tahun 2011dan persiapan penyelenggaraan Olimpiade 2020 (Noviani 2013). Oleh karena itu, adanya peluang pasar yang sangat besar tersebut, Indonesia harus beradaptasi dengan kebutuhan pasar produk kehutanan di Jepang sehingga mendorong peningkatan volume ekspor dan daya saing kayu lapis Indonesia di Jepang. Cina juga menjadi negara yang sangat potensial bagi pasar kayu lapis Indonesia. Pengembangan industri furnitur dan kayu olahan yang dikembangkan
41
di Cina, menjadikan negara ini membutuhkan bahan baku berupa kayu lapis.Selain itu, Cina juga mengembangkan industri re-ekspor kayu lapis. Oleh sebab itu Cina membutuhkan banyak bahan baku dalam industri kayunya dan Indonesia menjadi eksportir dalam menyediakan bahan baku tersebut. Besarnya pasar dan tingginya daya saing kayu lapis Indonesia, pada kenyataannya juga terkena dampak dari hambatan non-tarif yang diberlakukan di Cina. Nilai hambatan non-tarif dari hasil perhitungan menunjukkan angka 251.19 persen. Cina berkomitmen untuk industri perkayuan yang dikembangkan di Cina harus menggunakan bahan baku yang legal. Karena itu, Cina sebagai konsumen dan Indonesia sebagai produsen melakukan perjanjian bilateral terkait dengan kebijakan tersebut. Hal itu juga diperkuat pada tahun 2012 Indonesia sebagai salah satu negara ASEAN bersama Cina telah menyepakati pemberlakuan 0 persen tarif untuk komoditi kayu lapis. Korea Selatan merupakan salah satu negara tujuan ekspor utama kayu lapis Indonesia. Hasil perhitungan menunjukkan angka 191.75 persen memiliki arti besarnya hambatan non-tarif yang diberlakukan di Korea Selatan. Hambatan nontarif yang diberlakukan tersebut berkaitan dengan peraturan mengenai illegal logging dari asal bahan baku kayu lapis. Pada sisi lain pasar Korea Selatan adalah pasar kayu lapis Indonesia yang potensial. Oleh sebab itu untuk menyelaraskan kepentingan konsumen dan produsen, Indonesia dan Korea Selatan juga melakukan perjanjian bilateral terkait keabsahan kayu lapis Indonesia yang diekspor ke Korea Selatan. Negara-negara Timur Tengah yang menjadi tujuan ekspor utama kayu lapis Indonesia adalah Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa hambatan non-tarif yang diberlakukan di Arab Saudi (187.16 persen) lebih besar daripada Uni Emirat Arab (230.97 persen). Pada tahun 2009, Komite Akreditasi Nasional (KAN) melakukan penandatangan naskah kerjasama bilateral dengan Arab Saudi (Saudi Arabian Standard Organization/ SASO). Penandatanganan perjanjian bilateral tersebut dilakukan untuk mempererat hubungan teknis dan ekonomi melalui penghilangan atau pengurangan hambatan teknis perdagangan antarnegara (Komite Akreditasi Nasional 2013).Dampak dari perjanjian tersebut adalah adanya peningkatan ekspor Indonesia terutama untuk kayu lapis Indonesia yang terlihat dari nilai ekspor Indonesia yaitu US$ 284 804 juta ditahun 2010, meningkat menjadi US$ 311 341 juta ditahun 2011. Indonesia dan Singapura telah menyepakati pemberlakuan tarif 0 persen bersama dengan negara anggota ASEAN lainnya. Adanya ketetapan tersebut mengakibatkan masing-masing negara memprioritaskan terhadap hambatan nontarif. Hasil perhitungan menunjukkan Singapura memiliki nilai hambatan nontarif sebesar 413.59 persen. Nilai hambatan non-tarif cukup besar tersebut menunjukkan adanya hambatan perdagangan lainnya yang diterapkan oleh Singapura meskipun hambatan tarif telah sama-sama diturunkan menjadi 0 persen. Kayu lapis menjadi salah satu komoditi kehutanan Indonesia yang diekspor ke Singapura dalam jumlah besar. Namun pada kenyataannya, kayu lapis Indonesia masih memiliki hambatan non-tarif yang besar di Singapura, untuk itu pemerintah Indonesia dan Singapura dan negara-negara ASEAN lainnya mengadakan perjanjian terkait jaminan pasar kayu lapis dan kelestarian lingkungan. Kesepakatan dalam bentuk harmonisasi peraturan tersebut telah dilakukan dengan mengharmonisasikan sebanyak 28 standar produk kehutanan.
42
Sistem verifikasi legalitas kayu Indonesia yang telah disahkan untuk perdagangan domestik tahun 2009 serta untuk kegiatan perdagangan internasional pada Bulan Januari 2013 disepakati menjadi satu-satunya alat legalitas untuk produk hasil hutan Indonesia. Berbagai perjanjian bilateral dilakukan untuk menyelaraskan kepentingan Indonesia sebagai negara produsen dan negara mitra dagang sebagai konsumen. Inti dari penurunan tarif adalah adanya kebijakan proteksi perdagangan dari masing-masing negara. Berbagai tuntutan dilakukan oleh negara mitra dagang sebagai bentuk perlindungan konsumen dan kelayakan penggunaan produk. Sementara di pihak produsen membutuhkan sebuah kepastian pasar yang menjamin bahwa produk yang dihasilkan memiliki daya saing yang baik di negara mitra dagang. Dua kepentingan yang berbeda tersebut harus mendapatkan jalan tengah untuk menghubungkan kepentingan tersebut. Adanya SVLK yang sudah berlaku di Indonesia menjadi jalan keluar bagi tuntutan serta kebutuhan Indonesia sebagai negara produsen. SVLK yang diberlakukan di Indonesia perlahan mulai diakui oleh negara mitra dagang sebagai penunjuk legalitas kayu dari Indonesia yang sah. Negara-negara yang telah mengakui SVLK Indonesia adalah Amerika Serikat, negara-negara Uni Eropa termasuk didalamnya Belgia dan Inggris. Negara lainnya yang juga telah mengakui SVLK Indonesia adalah Jepang. Sementara untuk negara-negara tujuan ekspor utama lainnya masih dalam proses perundingan (Kementerian Kehutanan 2011). Pada masa mendatang, dengan adanya SVLK dapat memperbaiki sistem produksi kayu lapis Indonesia dari hulu hingga ke hilir. Proses SVLK yang harus mencantumkan secara detail asal kayu yang digunakan sebagai bahan bakuserta proses produksi hingga menjadi kayu lapis yang siap diekspor, menjadi satu sistem yang diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pasar secara keseluruhan. Akan tetapi, SVLK yang diterapkan saat ini masih memiliki biaya yang cukup mahal yaitu sekitar Rp 40 juta per sertifikasi. Hal tersebut tentu saja memberatkan industri produk kayu termasuk kayu lapis. Oleh sebab itu perlu adanya penambahan pembukaan laboratorium-laboratorium baru terkait dengan uji kelayakan dan keamanan kayu dan produk kayu Indonesia. Sehingga, dengan lebih banyak laboratorium yang sudah terakreditasi dan diakui oleh negara-negara tujuan ekspor utama biaya SVLK dapat lebih ekonomis dan tidak memberatkan industri kayu termasuk kayu lapis dalam negeri. Berbagai macam tuntutan negara tujuan ekspor utama kayu lapis Indonesia menjadi tantangan dalam mengembangkan SVLK. Tujuan utama SVLK yang diterapkan oleh pemerintah bagi produsen-produsen kayu domestik adalah untuk meningkatkan daya saing serta perluasan pasar bagi produk kayu Indonesia. Selain itu, SVLK juga merupakan instrumen yang dapat digunakan pemerintah untuk melindungi ketersediaan bahan baku baku industri produk kayu domestik. Sehingga Indonesia dapat secara kontinu meningkatkan produktivitasnya untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik maupun internasional. Isu dan kebijakankebijakan yang diterapkan di negara tujuan ekspor utama kayu lapis menjadi motivasi Indonesia untuk melakukan inovasi pada produk kayu lapis dengan cara melakukan diversifikasi produk serta peningkatan prosedur pembuatan kayu lapis. Tujuannya tentu adalah untuk meningkatkan kualitas serta kuantitas kayu lapis Indonesia yang akan berdampak positif terhadap kinerja ekspor kayu lapis Indonesia tidak hanya di negara tujuan ekspor utama tetapi juga di dunia.
43
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan serta tujuan dari penelitian ini maka kayu lapis Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang cukup tinggi di negara tujuan ekspor utama. Kayu lapis Indonesia memiliki daya saing yang sangat kuat di Cina dan Arab Saudi dibandingkan dengan negara-negara tujuan ekspor kayu lapis Indonesia lainnya. Krisis keuangan Uni Eropa pada tahun 2010 berdampak pada penurunana daya saing pada negara-negara tujuan ekspor utama kayu lapis Indonesia. Sedangkan di Jepang kayu lapis Indonesia memiliki daya saing yang berada dibawah posisi daya saing kayu lapis Indonesia di Cina dan Arab Saudi. Hasil estimasi menggunakan pendekatan gravity model diketahui bahwa GDP riil negara eksportir dan importir, jarak ekonomi antar negara eksportir dan importir, indeks harga konsumen negara eksportir dan importir, nilai tukar negara eksportir terhadap masing-masing negara importir, dankrisis keuangan Uni Eropa 2010 berpengaruh signifikan terhadap volume ekspor kayu lapis Indonesia. Namun, tarif tidak berpengaruh terhadap perubahan volume ekspor kayu lapis Indonesia. Variabel yang paling berpengaruh terhadap ekspor kayu lapis Indonesia dari hasil estimasi model adalah indeks harga konsumen Indonesia dengan nilai koefisien estimasi paling besar. Hasil perhitungan nilai hambatan non-tarif menunjukkan negara-negara Uni Eropa seperti Inggris dan Belgia memiliki hambatan non-tarif terbesar daripada negara-negara tujuan ekspor utama kayu lapis lainnya. Selain itu Amerika Serikat, Cina, Uni Emirat Arab, Singapura, Korea Selatan, Saudi Arabia dan Jepangjuga memiliki hambatan non-tarif yang besar terkait kayu lapis dari Indonesia. Isu illegal logging menjadi tumpuan dari adanya kebijakan perkayuan yang diterapkan oleh masing-masing negara tujuan ekspor kayu lapis Indonesia. Adanya tuntutan mengenai legalitas kayu lapis yang diekspor dari Indonesia oleh masing-masing negara tujuan ekspor melatarbelakangi diberlakukannya SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) di Indonesia. Pemberlakuan SVLK diindikasikan menjadi jalan tengah antara kepentingan Indonesia sebagai produsen dengan negara-negara konsumen kayu terutama komoditi kayu lapis. Perjanjian bilateral dan multilateral terkait dengan komoditi kayu mengedepankan legalitas keabsahan asal usul kayu yang diperdagangkan. Adanya SVLK yang telah diberlakukan sejak Januari 2013 diharapkan mampu meningkatkan kinerja industri kayu lapis nasional dari hulu hingga ke hilir. Selain itu dengan diberlakukannya SVLK diharapkan mampu meningkatkan kinerja ekspor kayu terutama kayu lapis Indonesia terhadap masing-masing negara tujuan ekspor. Optimisme tersebut perlahan mulai diperlihatkan dengan diakuinya SVLK Indonesia di tiga negara tujuan ekspor kayu lapis Indonesia yaitu Jepang, Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa. Saran Hasil penelitian menunjukkan besarnya hambatan non-tarif yang diterapkan negara mitra dagang Indonesia terhadap ekspor kayu lapis Indonesia. Terkait dengan hal tersebut saran dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
44
1. Konsistensi dalam pemberlakuan SVLK diperlukan untuk menjaga kepercayaan pasar serta bukti bahwa Indonesia berkomitmen untuk menjaga kelestarian lingkungan terutama dibidang kehutanan. Sehingga berbagai isu yang menyudutkan Indonesia dalam illegal logging dan illegal trading dapat diminimalisir bahkan dihilangkan. 2. Peningkatan jumlah laboratorium terakreditasi dan sudah diakui oleh negara tujuan ekspor utama terkait uji kelayakan serta keamanan produk kehutanan. Tujuannya agar biaya serta waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan ekspor dapat lebih efisien. 3. Peningkatan kerjasama bilateral dan multilateral digunakan untuk meningkatkan kinerja ekspor kayu lapis Indonesia melalui fasilitasi perdagangan berupa harmonisasi regulasi dan standar yang telah diterapkan baik di Indonesia maupun di masing-masing negara yang bersangkutan seperti yang telah dilakukan antar negara ASEAN untuk menyambut masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) 2015.
45
DAFTAR PUSTAKA Ali M. 2014. Api Musnahkan Kebun Karet, Kehidupan WargaTerancam. [Internet]. [diunduh 2014 Mar 1]. Tersedia pada :http://www.mongabay.co.id/tag/kebakaran-hutan/ Arifin B. 1985. Analisis Pemasaran Ekspor Kayu Lapis Indonesia ke Amerika Serikat dan Singapura [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Arunanondchai M. 2001. Trade Policy and The Welfare of Southeast-Asian Timber Exporters : Some Implications for Forest Resourses. Departement of Economics University of Warwick (UK). Baltagi BH. 2005. Econometric Analysis of Panel Data Third Edition. West Sussex (GB):John Wiley & Sons, Ltd Dwiprabowo H. 2009. Analisis Daya Saing Ekspor Panel-Panel Kayu Indonesia dan Malaysia [catatan penelitian]. Puslitsosek Dephut. 6(2):151-160. Firdaus M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. Bogor (ID): IPB Press Holtby K, Kerr W, Hobbs J. 2007. International Environmental Liability and Barriers to Trade. Massachusetts (US): Edward Elgar Publishing, Inc. [INTRACEN] International Trade Center. 2013. Non-Tariff Measures. [Internet]. [diunduh 2013 Nov 28]. Tersedia pada : http://www.intracen.org/itc/market-info-tools/non-tariff-measures/ [ITTO] International Tropical Timber Organization. 2006. International Tropical Timber Organization [ulasan] [KAN] Komite Akreditasi Nasional. 2013. Kerjasama SASO-Saudi Arabia. [Internet]. [diunduh 2014 Mar 26]. Tersedia pada : http://www.kan.or.id/?page_id=568&lag=id Karlinda F. 2012. Analisis Daya Saing dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Permintaan Ekspor Mutiara Indonesia. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [Kemendag] Kementerian Perdagangan. 2011. Kajian Kebijakan Mutu dan Standar Produk Ekspor Tertentu dalam Meningkatkan Daya Saing. Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri. [Kemendag] Kementerian Perdagangan. 2012. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 64/M-DAG/PER/10/2012. Jakarta (ID): Sekretariat Jenderal Kementerian Perdagangan. [Kemendag] Kementerian Perdagangan. 2013. Produk Hasil Hutan. [Internet]. [diunduh 2014 Jan 12]. Tersedia pada : http://inatrims.kemendag.go.id/id/product/detail/fores-products_9. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2010. Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan. [Internet]. [diunduh 2014 Jan 15]. Tersedia pada : http://www.forda-mof.org/files/RPI-25-Penguatantata-kelola-Indag1.pdf. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2011. Kesepakatan Kemitraan Sukarela FLEGT antara Indonesia dan Uni Eropa. Pusat Kerjasama Luar Negeri.
46
[Kemenkeu] Kementerian Keuangan. 2013. Asean Free Trade Area. [Internet]. [diunduh 2013 Des 12]. Tersedia pada : http://www.tarif.depkeu.go.id/others/?hi=AFTA [KemenLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2003. Penebangan Hutan dan Deforestasi: Fakta dan Angka. [Internet]. [diunduh 2013 Des 12]. Tersedia pada: http://www.menlh.go.id/penebangan-hutan-dandeforestasi-fakta-dan-angka/ Krugman PR, Obstfeld M. 2004. Ekonomi Internasional : Teori dan Kebijakan edisi kelima jilid satu. Jakarta (ID): Indeks. Love, Patrick, Lattimore R. 2009. Protectionism ? Tariffs and Other Barriers to Trade. OECD Publishing. Mankiw NG. 2007. Makroekonomi Edisi Keenam. Jakarta (ID):Erlangga Muhardi F. 2014. Kabut Asap Bencana yang Berulang. [Internet]. [diunduh 2014 Mar 1]. Tersedia pada : http://antarariau.com/berita/33834/-lipsus--kabut-asap-bencana-yang-berulang-Murniasih E. 2008. Determinan Pertumbuhan Produktivitas Faktor Total (TFP) Industri Kayu Lapis di Indonesia [skripsi]. Depok (ID). Universitas Indonesia Noviani A. 2013. Ekspor Kayu Lapis ke Jepang Melonjak Jelang Penaikan PPN. [Internet]. [diunduh 2014 Mar 26]. Tersedia pada: http://industri.bisnis.com/read/20131117/12/186936/ekspor-kayulapis-ke-jepang-melonjak-jelang-penaikan-ppn Oktaviani R, Novianti T, Widyastutik. 2009. Teori Kebijakan Perdagangan Internasional dan Aplikasinya di Indonesia Bagian I. Bogor (ID): Departemen Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor. Painte RE. 2008. Analisis Pengaruh Hambatan Tarif dan Non-Tarif di Pasar Uni Eropa Terhadap Ekspor Komoditas Udang Indonesia [skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Rustningsih H. 2013. Sistem Verfikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk Kayu Ekspor Indonesia. Pusdiklat Bea dan Cukai. Ramadhan A. 2009. Analisis Daya Saing Industri Furniture Rotan Indonesia [skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Salvatore D. 1996. Ekonomi Internasional Edisi Kelima Jilid 1. Jakarta (ID): Erlangga. Sofyan K, Ukman T, Hariadi, Elias. 1984. Penelitian terhadap Mutu dan Sifat Beberapa Merek Kayu Lapis Produksi dalam Negeri. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sudharto D. 2012. Kebijakan dan Strategi SVLK serta Sistem Pengakuannya dengan Negara-Negara Lain. Dirjen Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan. Thangavelu SM. 2010. Non-Tariff Barriers, Integration and Export Growth in ASEAN. Department of Economics National University of Singapore. Trabelsi I. 2013. Agricultural Trade Face to Non-Tarrif Barriers : A Gravity Model for The Euro-Med Area. JSSS. 3(1):20-32 Triastuti S. 1992. Peranan Kebijaksanaan Perdagangan Luar Negeri Terhadap Perkembangan Ekspor Kayu Lapis Indonesia di Pasar Dunia [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
47
Verbruggen H, Kuik O, Bennis M. 1995. Environmental Regulations as Trade Barriers for Developing Countries :Eco-labelling and the Dutch Cut Flower Industry. Amsterdam (NL): CREED. [WTO] World Trade Organization. 2013. Technical Information on Technical Barriers to Trade. [Internet]. [diunduh 2014 Jan 13]. Tersedia pada : http://www.wto.org/english/tratop_e/tbt_e/tbt_info_e.htm [WTO]World Trade Organization. 2013. Technical Information on Safeguard Measures. [Internet] [dinduh 2014 Jan 13]. Tersedia pada: http://www.wto.org/english/tratop_e/safeg_e/safeg_info_e.htm. [WTO] World Trade Organization. 2013. Sanitary and Phytosanitary Measures. [diunduh 2014 Jan 13]: http://www.wto.org/english/tratop_e/sps_e/sps_e.htm. [WTO] World Trade Organization. 2013. Subsidies and Countervailing Measures : Overview Agreement on Subsidies and Countervailing Measures Agreement. [diunduh 2014 Jan 13]: http://www.wto.org/english/tratop_e/scm_subs_e.htm. [WTO] World Trade Organization. 2013. State Trading Enterprises. [diunduh 2014 Jan 13]: http://www.wto.org/english/tratop_e/strata_e/strata_e.htm. [WWF] World Wild Foundation. 2009. Deforestasi. [diunduh 2014 Jan 15]: http://www.wwf.or.id/?10741/Deforestasi. Walsh K. 2006. Trade in Services : Does Gravity Hold ? A Gravity Model Approach to Estimating Barriers to Services Trade. Dublin (IE): Institute for International Integration Studies. Walsh K. 2008. Trade Services : Does Gravity Hold ?. Journal of World Trade. 42(2):315-334 Yuniarti D. 2007. Analisis Determinan Perdagangan Bilateral Indonesia Pendekatan Gravity Model. JEKP. 12(2):99-109
48
LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil estimasi fixed effect model dengan pembobotan SUR (Seemingly Unrelated Regressions) Dependent Variable: LOG(XIJ) Method: Panel EGLS (Cross-section SUR) Date: 04/21/14 Time: 11:57 Sample: 2001 2011 Periods included: 11 Cross-sections included: 9 Total panel (balanced) observations: 99 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable LOG(GDPIRIIL) LOG(GDPJRIIL) LOG(DISTIJEKON OM) LOG(CPII) LOG(CPIJ) DKRISISE LOG(ERIJ) TARIF C
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
1.318051 0.946884
0.325749 0.148515
4.046212 6.375664
0.0001 0.0000
-0.147901 -4.045122 2.350624 0.175906 1.260692 -0.000265 -19.82017
0.062550 0.179786 0.247682 0.030228 0.132222 0.011776 6.646372
-2.364540 -22.49964 9.490506 5.819359 9.534674 -0.022472 -2.982103
0.0204 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.9821 0.0038
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.979614 0.975636 1.073777 246.2738 0.000000
Mean dependent var -18.62230 S.D. dependent var 157.5583 Sum squared resid 94.54567 Durbin-Watson stat 2.033754
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.918116 9.061787
Mean dependent var Durbin-Watson stat
11.61454 1.142323
49
Lampiran 2 Uji normalitas 16
Series: Standardized Residuals Sample 2001 2011 Observations 99
14 12 10 8 6 4 2
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-5.41e-16 -0.049570 2.397263 -2.065900 0.982218 0.205568 2.688415
Jarque-Bera Probability
1.097736 0.577603
0 -2
-1
0
1
2
Lampiran 3 Uji multikolinearitas GDPi riil
GDPj riil
JE
CPIi
CPIj
Dkrisis
1.000000
-0.483415
-0.163076
0.110164
0.161289
0.071553
-0.483415
1.000000
0.625152
0.078630
-0.063604
0.089175
JE
-0.163076
0.625152
1.000000
-0.472752
-0.424097
-0.190510
CPIi
0.110164
0.078630
-0.472752
1.000000
0.634205
0.656367
0.058098
CPIj Dkrisis Erij
0.161289 0.071553 -0.192928
-0.063604 0.089175 -0.145661
-0.424097 -0.190510 -0.132084
1.000000 0.427414 0.101623
0.427414 1.000000 0.074548
0.101623 0.074548 1.000000
Tarif
-0.055668
-0.506347
- 0.340346
0.634205 0.656367 0.058098 0.038778
0.207752
0.053755
0.309704
GDPi riil GDPj riil
Erij 0.192928 0.145661 0.132084
Lampiran 4 Uji hausman Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: EQ06 Test cross-section random effects Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f.
Test Summary Cross-section random
0.000000
8
Prob. 1.0000
* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero. Cross-section random effects test comparisons: Variable
Fixed
Random Var(Diff.)
LOG(GDPIRIIL) 1.393444 -0.282452 LOG(GDPJRIIL) 0.907537 0.306093 LOG(DISTIJEKON -0.117734 -0.342490
0.435061 0.358341 0.109885
Prob. 0.0111 0.3150 0.4978
Tarif 0.055668 0.506347 0.340346 0.038778 0.207752 0.053755 0.309704 1.000000
50
OM) LOG(CPII) LOG(CPIJ) DKRISISE LOG(ERIJ) TARIF
-4.105178 -2.734366 2.554252 1.238665 0.211421 0.337846 1.140834 0.217561 -0.017898 -0.062921
0.173470 0.237765 0.001574 0.228971 0.000740
0.0010 0.0070 0.0014 0.0537 0.0980
t-Statistic
Prob.
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: LOG(XIJ) Method: Panel Least Squares Date: 04/22/14 Time: 10:14 Sample: 2001 2011 Periods included: 11 Cross-sections included: 9 Total panel (balanced) observations: 99 Variable
Coefficient
Std. Error
C LOG(GDPIRIIL) LOG(GDPJRIIL) LOG(DISTIJEKON OM) LOG(CPII) LOG(CPIJ) DKRISISE LOG(ERIJ) TARIF
-22.33064 1.393444 0.907537
19.66535 -1.135532 0.782977 1.779675 0.615468 1.474549
0.2595 0.0788 0.1442
-0.117734 -4.105178 2.554252 0.211421 1.140834 -0.017898
0.375664 -0.313403 0.548294 -7.487179 0.712763 3.583590 0.126494 1.671393 0.487179 2.341714 0.052909 -0.338288
0.7548 0.0000 0.0006 0.0985 0.0216 0.7360
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.918749 Adjusted R-squared 0.902895 S.E. of regression 0.331141 Sum squared resid 8.991677 Log likelihood -21.73330 F-statistic 57.95135 Prob(F-statistic) 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
11.61454 1.062658 0.782491 1.228118 0.962792 1.153271
Lampiran 5 Random Model Correlated Random EffectsEffect - Hausman Test Equation: EQ06
Dependent Variable: LOG(XIJ) Test cross-section random effects Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Chi-Sq. Date: 04/22/14 Time: 10:17 Test Summary Statistic Chi-Sq. d.f. Sample: 2001 2011 Cross-section random
0.000000
8
Prob. 1.0000
* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero. Cross-section random effects test comparisons: Variable
Fixed
Random
Var(Diff.)
Prob.
51
Periods included: 11 Cross-sections included: 9 Total panel (balanced) observations: 99 Swamy and Arora estimator of component variances Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LOG(GDPIRIIL) LOG(GDPJRIIL) LOG(DISTIJEKON OM) LOG(CPII) LOG(CPIJ) DKRISISE LOG(ERIJ) TARIF C
-0.282452 0.306093
0.421891 -0.669492 0.143037 2.139958
0.5049 0.0351
-0.342490 -2.734366 1.238665 0.337846 0.217561 -0.062921 24.74495
0.176744 -1.937779 0.356590 -7.668090 0.519872 2.382636 0.120112 2.812745 0.091499 2.377732 0.045376 -1.386651 11.85722 2.086909
0.0558 0.0000 0.0193 0.0060 0.0195 0.1690 0.0397
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
0.541230 0.331141
Rho 0.7276 0.2724
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.616705 0.582634 0.346433 18.10077 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
2.107029 0.536242 10.80142 0.975652
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.719072 31.08909
Mean dependent var Durbin-Watson stat
11.61454 0.338975
Lampiran 6 Uji Chow Redundant Fixed Effects Tests Equation: EQ06 Test cross-section fixed effects Effects Test Cross-section F Cross-section Chi-square
Statistic
d.f.
Prob.
7.324115 53.375789
(8,82) 8
0.0000 0.0000
Cross-section fixed effects test equation:
52
Dependent Variable: LOG(XIJ) Method: Panel Least Squares Date: 04/22/14 Time: 10:19 Sample: 2001 2011 Periods included: 11 Cross-sections included: 9 Total panel (balanced) observations: 99 Variable
Coefficient
LOG(GDPIRIIL) LOG(GDPJRIIL) LOG(DISTIJEKON OM) LOG(CPII) LOG(CPIJ) DKRISISE LOG(ERIJ) TARIF C
-1.445400 0.020360
0.147788 -9.780252 0.059580 0.341724
0.0000 0.7334
-0.357447 -2.019965 0.746703 0.349109 0.069051 -0.090821 55.47966
0.149412 -2.392369 0.309958 -6.516891 0.438811 1.701651 0.145692 2.396214 0.023937 2.884648 0.022063 -4.116393 3.677571 15.08595
0.0188 0.0000 0.0923 0.0186 0.0049 0.0001 0.0000
R-squared 0.860692 Adjusted R-squared 0.848309 S.E. of regression 0.413879 Sum squared resid 15.41666 Log likelihood -48.42120 F-statistic 69.50616 Prob(F-statistic) 0.000000
Std. Error
t-Statistic
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Prob.
11.61454 1.062658 1.160024 1.395944 1.255478 0.699496
53 53
Lampiran 7 Output data model ekspor kayu lapis Indonesia ke sembilan negara tujuan ekspor utama Eksportir Importir Tahun Xij GDPiriil GDPjriil Distijekonom Erij DkrisisE CPIi CPIj Tarif Indonesia Jepang 2001 1561313 1.4E+09 3.92E+10 72622.16 0.013297 0 111.502 99.315 5.415 2002 1485894 1.62E+09 3.81E+10 75888.4 0.017054 0 124.657 98.434 5.7975 2003 1161133 1.84E+09 4.19E+10 70207.37 0.018331 0 133.101 98.141 5.685 2004 1057510 1.85E+09 4.6E+10 64886.34 0.01741 0 141.169 98.141 5.735 2005 887645 1.8E+09 4.57E+10 66077.48 0.018099 0 155.933 97.847 5.735 2006 831039 2.02E+09 4.41E+10 69340.04 0.022818 0 176.366 98.141 5.735 2007 674148 2.15E+09 4.45E+10 69346.92 0.024578 0 187.245 98.141 6.215 2008 562963 2.15E+09 5.01E+10 62298.43 0.021971 0 205.519 99.684 5.4425 2009 529797 2.1E+09 5.23E+10 59997.92 0.019927 0 222.507 100.563 5.7825 2010 610315 2.55E+09 5.84E+10 54973.1 0.02268 1 239.099 101.798 5.69 2011 664202 2.81E+09 6.38E+10 51230.89 0.022296 1 253.234 103.353 5.7025 China 2001 209204 1.4E+09 1.3E+10 107369.2 0.000901 0 111.502 99.879 12.66667 2002 216340 1.62E+09 1.42E+10 97840.64 0.001116 0 124.657 99.292 10.40667 2003 287557 1.84E+09 1.56E+10 86683.12 0.001259 0 133.101 101.992 8.146667 2004 247118 1.85E+09 1.72E+10 73638.51 0.001242 0 141.169 105.284 7.533333 2005 173612 1.8E+09 1.93E+10 63025.95 0.001234 0 155.933 106.723 7.74 2006 138973 2.02E+09 2.23E+10 52431.25 0.00141 0 176.366 108.893 7.353333 2007 125117 2.15E+09 2.67E+10 40710.12 0.001342 0 187.245 116.116 7.656667 2008 121022 2.15E+09 3.21E+10 31457.07 0.001213 0 205.519 121.359 7.656667 2009 76961 2.1E+09 3.56E+10 28498.52 0.001143 0 222.507 128.034 7.656667 2010 146297 2.55E+09 3.97E+10 23984.94 0.001339 1 239.099 133.01 7.656667 2011 282827 2.81E+09 4.55E+10 19427.03 0.001356 1 253.234 137.58 7.656667 USA 2001 363954 1.4E+09 1.17E+11 166231.8 0.000106 0 111.502 102.817 2.256667 2002 361887 1.62E+09 1.19E+11 160858.9 0.000128 0 124.657 104.457 3.065
54 54
KorSel
Saudi Arabia
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2001 2002 2003 2004 2005
254095 211474 193646 151806 116996 89978 86707 119998 92039 138987 439758 302571 165614 138256 159298 110620 99075 90031 82033 84202 124200 120925 188460 97295 101745
1.84E+09 1.85E+09 1.8E+09 2.02E+09 2.15E+09 2.15E+09 2.1E+09 2.55E+09 2.81E+09 1.4E+09 1.62E+09 1.84E+09 1.85E+09 1.8E+09 2.02E+09 2.15E+09 2.15E+09 2.1E+09 2.55E+09 2.81E+09 1.4E+09
1.22E+11 1.27E+11 1.31E+11 1.34E+11 1.37E+11 1.36E+11 1.33E+11 1.36E+11 1.38E+11 5.59E+09 6.19E+09 6.68E+09 7.27E+09 8.45E+09 9.53E+09 1.03E+10 8.88E+09 7.69E+09 9.03E+09 9.76E+09 1.7E+09
1.62E+09 1.7E+09 1.84E+09 1.84E+09 1.85E+09 2E+09 1.8E+09 2.15E+09
153425.3 143867.6 134876.6 127455.3 121977 119988.2 122504.9 118079.1 113704.5 85439.07 74855.32 66967.78 59713.04 51027.61 45295.8 41088.32 46286.49 51688.51 42478.83 38683.2 68588.9 66574.02 58500.48 48513.98 38216.6
0.000145 0.000144 0.000142 0.000164 0.00017 0.000169 0.000168 0.000202 0.000217 0.134805 0.156623 0.167042 0.157731 0.139649 0.152603 0.154094 0.180384 0.203113 0.219268 0.224037 0.000412 0.000507 0.000584 0.000592 0.000598
0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0
133.101 141.169 155.933 176.366 187.245 205.519 222.507 239.099 253.234 111.502 124.657 133.101 141.169 155.933 176.366 187.245 205.519 222.507 239.099 253.234 111.502
106.858 109.708 113.41 117.069 120.415 125.502 127.817 130.045 132.773 104.067 106.941 110.7 114.675 117.833 120.475 123.528 129.458 134.636 138.675 142.835 98.862
2.9575 2.9575 2.985 2.9075 2.4825 2.125 2.9575 2.9575 4.056667 8 8 8 8 8 8 8 8 8.88 8.88 8.88 5
0 0 0 0
124.657 133.101 141.169 155.933
99.09 99.671 100.025 100.657
5 5 5 5
55
55
UEA
Belgium
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
141898 73292 97631 80653 214036 172313 129877 118823 119855 95336 98054 119046 104344 111471 55579 85658 48288 146255 92860 89677 53677 40643 32833 35617 43022 30462
2.02E+09 2.15E+09 2.15E+09 2.1E+09 2.55E+09 2.81E+09 1.4E+09 1.62E+09 1.84E+09 1.85E+09 1.8E+09 2.02E+09 2.15E+09 2.15E+09 2.1E+09 2.55E+09 2.81E+09 1.4E+09 1.62E+09 1.84E+09 1.85E+09 1.8E+09 2.02E+09 2.15E+09 2.15E+09 2.1E+09
2.27E+09 2.4E+09 2.6E+09 2.65E+09 2.85E+09 3.09E+09 1.78E+09 1.82E+09 1.98E+09 2.17E+09 2.28E+09 2.5E+09 2.58E+09 2.67E+09 2.62E+09 2.58E+09 2.68E+09 2.53E+09 2.7E+09 3.26E+09 3.7E+09 3.77E+09 3.91E+09 4.39E+09 4.74E+09 4.37E+09
33304.87 30181.15 24149.07 29253.49 23827.52 18749.05 52999.03 49859.83 44033.59 37040.01 30315.07 24652.28 21210.21 17390.85 20254.2 19050.1 15707.1 120313.6 115836.5 93948.89 80962.82 77601.33 73213.52 63711.25 57714.03 61875.56
0.0007 0.000716 0.000665 0.000611 0.000695 0.000712 0.000388 0.000465 0.000522 0.000506 0.000485 0.000532 0.000509 0.000467 0.000426 0.000484 0.000495 0.000119 0.000137 0.000131 0.000119 0.000117 0.000137 0.000129 0.00012 0.000125
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
176.366 187.245 205.519 222.507 239.099 253.234 111.502 124.657 133.101 141.169 155.933 176.366 187.245 205.519 222.507 239.099 253.234 111.502 124.657 133.101 141.169 155.933 176.366 187.245 205.519 222.507
102.983 107.213 119.49 131.447 141.993 151.974 102.736 105.743 109.085 114.564 121.652 132.932 147.721 166.74 184.693 199.689 214.06 102.438 104.033 105.022 107.059 110.034 112.328 115.817 120.508 123.099
5 5 5 5 5 5 8.333333 8.333333 8.333333 8.333333 8.333333 8.333333 8.333333 8.333333 8.333333 8.333333 8.333333 6.96 8.276667 8.276667 6.5525 8.336667 8.285 8.22 6.415 6.415
56
UK
Singapura
2010 2011 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
35443 28024 180950 137505 66179 62055 40186 18171 18734 19303 12935 14255 16284 75074 72622 80337 35035 28903 23743 18223 29448 28267 36251 42812
2.55E+09 2.81E+09 1.4E+09 1.62E+09 1.84E+09 1.85E+09 1.8E+09 2.02E+09 2.15E+09 2.15E+09 2.1E+09 2.55E+09 2.81E+09 1.4E+09 1.62E+09 1.84E+09 1.85E+09 1.8E+09 2.02E+09 2.15E+09 2.15E+09 2.1E+09 2.55E+09 2.81E+09
4.24E+09 4.55E+09 1.62E+10 1.73E+10 1.96E+10 2.26E+10 2.32E+10 2.41E+10 2.71E+10 2.48E+10 1.99E+10 2E+10 2.12E+10 9.48E+08 9.51E+08 9.95E+08 1.12E+09 1.24E+09 1.36E+09 1.56E+09 1.67E+09 1.76E+09 1.97E+09 2.21E+09
62559.73 57097.28 110975.6 101681.2 87894.82 74213.64 70999.44 66377.21 57686.57 61319.82 74644.47 72111.47 66486.41 187372.7 75710.58 73456.16 62724.51 55527.89 49331.28 40651.12 38329.52 35327.01 31574.92 27989.37
0.000158 0.000162 7.46E-05 8.72E-05 9.15E-05 8.2E-05 8.23E-05 9.52E-05 9.1E-05 9.88E-05 0.000114 0.000139 0.000144 0.000193 0.000238 0.000267 0.00026 0.000259 0.000293 0.00029 0.000264 0.000266 0.0003 0.000298
1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1
239.099 253.234 111.502 124.657 133.101 141.169 155.933 176.366 187.245 205.519 222.507 239.099 253.234 111.502 124.657 133.101 141.169 155.933 176.366 187.245 205.519 222.507 239.099 253.234
125.499 127.946 101.182 102.47 103.867 105.236 107.411 109.882 112.46 116.711 120.138 122.541 124.992 101.014 100.62 101.109 102.799 103.285 104.29 106.475 113.424 117.111 119.663 121.907
8.313333 7.063333 6.96 8.276667 8.276667 6.5525 8.336667 8.285 8.22 6.415 6.415 8.313333 7.063333 3.333333 3.333333 3.333333 3.333333 3.333333 3.333333 3.333333 3.333333 3.333333 3.333333 3.333333
57
57
Lampiran 8 Output ekspor aktual dan potensial kayu lapis Indonesia ke sembilan negara tujuan ekspor utama Eksportir Importir Tahun X aktual Jumlah X potensial Jumlah Indonesia Jepang
China
USA
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2001
1.56E+12 38967721704 1.49E+12 38208151049 1.16E+12 42100317802 1.06E+13 45962697263 8.88E+11 45655232642 8.31E+11 44364889628 6.74E+11 44926044712 5.63E+11 50288643919 5.3E+11 52291146276 6.1E+11 58604329354 6.64E+11 1.954E+13 64123017603 5.25492E+11 2.09E+11 15838125673 2.16E+11 17105337428 2.88E+11 18594733080 2.47E+11 20233580287 1.74E+11 22399401352 1.39E+11 25436931568 1.25E+11 29750113928 1.21E+11 34974714502 7.7E+10 38478240414 1.46E+11 42464798866 2.83E+11 2.025E+12 48071636765 3.13348E+11 3.64E+11 1.15666E+11
58 58
KorSel
Saudi Arabia
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2001
3.62E+11 1.17777E+11 2.54E+11 1.21063E+11 2.11E+11 1.25602E+11 1.94E+11 1.29771E+11 1.52E+11 1.33226E+11 1.17E+11 1.35653E+11 9E+11 1.35425E+11 8.67E+10 1.31953E+11 1.2E+11 1.3525E+11 9.2E+11 3.681E+12 1.37777E+11 1.41916E+12 1.39E+11 12109331380 4.4E+11 12817560632 3.03E+11 13430725993 1.66E+11 14138487626 1.38E+11 15405798555 1.59E+11 16579518625 1.11E+11 17449393830 9.91E+10 16258579488 9E+10 15278809572 8.2E+10 16696464898 8.42E+10 1.81E+12 17541687889 1.67706E+11 1.24E+11 10052081946 2002 1.21E+11 10202594961 2003 1.88E+11 10484397807 2004 9.73E+10 10783050722
59
59
UEA
Belgia
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
1.02E+11 11070404745 1.42E+11 11333352710 7.33E+10 11608579518 9.76E+10 11947248369 8.07E+10 12140754630 2.14E+11 12475665646 1.72E+11 1.412E+12 12855035046 1.24953E+11 1.3E+11 11761077408 1.19E+11 11950486708 1.2E+11 12250655503 9.53E+10 12578541676 9.81E+10 12826773642 1.19E+11 13188690373 1.04E+11 13413245006 1.11E+11 13642234564 5.56E+10 13750052967 8.57E+10 13853364398 4.83E+10 1.086E+12 14096454363 1.43312E+11 1.46E+11 14105708933 9.29E+10 14412121851 8.97E+10 15094059017 5.37E+10 15662658922 4.06E+10 15878035972 3.28E+10 16153885109 3.56E+10 16755564520 4.3E+10 17239645731
60
UK
Singapura
2009 2010 2011 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
3.05E+10 17037067625 3.54E+10 17057920206 2.8E+10 6.285E+11 17504086511 1.76901E+11 1.81E+11 28709234823 1.38E+11 29858188006 6.62E+10 32172171108 6.21E+10 35230194908 4.02E+10 35918562526 1.82E+10 36943165731 1.87E+10 39942775017 1.93E+10 37820870530 1.29E+10 33365996677 1.43E+10 33589012113 1.63E+10 5.866E+11 34873914512 3.78424E+11 7.51E+10 15874886618 7.26E+10 16025699348 8.03E+10 16215981252 3.5E+10 16479274060 2.89E+10 16740445442 2.37E+10 17009394826 1.82E+10 17341126052 2.94E+10 17596713359 2.83E+10 17835044358 3.63E+10 18178014979 4.28E+10 4.707E+11 18553586664 1.8785E+11
61
Lampiran 9 Output RCA (Revealed Comparative Advantage) Tahun Jepang China USA Korea Saudi UEA Belgia UK Singapura Arabia 2010 6.934109 39.7176021 9.156392 3.913148 44.14589 29.5512 27.78485 8.2457 3.704134 2011 6.67465 38.2627025 8.483655 3.984831 38.5271 19.26018 23.66828 12.7374 3.589712 2012 7.040471 40.8079358 10.13758 3.434927 32.65525 16.637 19.3208 13.50652 3.420595
61
62
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Kartika Rahma Sari lahir pada tanggal 2 Maret 1992 di Jember. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Bapak R. Yebby Daryoso dan Ibu Titik Rianingsih. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Ambulu pada tahun 2007. Pada tahun 2010 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Jember dan pada tahun tersebut penulis diterima di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di kegiatan kemahasiswaan, diantaranya sebagai sekretaris Divisi Life Academic by Learning and Education Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan (HIPOTESA) periode 2011-2012. Penulis juga aktif dalam kepanitiaan yang diselenggarakan oleh fakultas dan departemen yaitu sebagai panitia humas Sportakuler tahun 2011 dan 2012, serta panitia acara pada HIPOTESA Exhibition in Revolution tahun 2012. Selain aktif di kegiatan kemahasiswaan kampus, penulis juga aktif sebagai anggota Organisasi Mahasiswa Daerah Kabupaten Jember. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah memperoleh juara 3 dalam lomba karya tulis Youth Paper Competition yang diselenggarakan oleh BEM KM IPB tahun 2012.