DAMPAK PERUBAHAN SISTEM PEMERINTAHAN DESA TERHADAP PENGELOLAAN SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN DI PEDESAAN MALUKU
VENDA JOLANDA PICAL
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan judul Dampak Perubahan Sistem Pemerintahan Desa Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Pedesaan Maluku adalah benar-benar asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Bogor, Mei 2007
Venda Jolanda Pical NIM C 561030071
ABSTRAK VENDA JOLANDA PICAL. Dampak Perubahan Sistem Pemerintahan Desa Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Pedesaan Maluku. Dibimbing oleh JOHN HALUAN, M. FEDI A. SONDITA dan VICTOR P.H. NIKIJULUW. Sistem pemerintahan di Indonesia mengalami perubahan melalui beberapa kebijakan. Hal ini berpengaruh terhadap sistem pemerintahan desa yang berdampak terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku. Penelitian ini bertujuan menganalisis dampak perubahan sistem pemerintahan desa terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku. Unit pengamatan dalam penelitian ini adalah desa, dan ada 61 desa yang di teliti. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, kuesioner observasi lapangan dan catatan harian. Sejumlah perubahan sistem pemerintahan desa yang diamati meliputi: sistem pemerintahan, kepala pemerintahan, struktur pemerintahan, lembaga eksekutif, lembaga legislatif, lembaga yudikatif dan pelaksana pengelolaan perikanan di desa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sasi laut sampai saat ini masih tetap dilaksanakan dan mulai diaktifkan kembali pada rezim otonomi daerah. Perubahan sistem pemerintahan desa memberikan pengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat dan juga berpengaruh terhadap kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku. Walupun demikian tidak ada perbedaan kinerja antara desa sasi laut dengan desa non sasi laut. Beberapa kebijakan yang disarankan adalah, sasi perlu dipertahankan dan direvitalisasi; perlunya penguatan dan pemberdayaan kelembagaan pemerintahan desa dalam melaksanakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat melalui proses pembinaan dan pendidikan secara berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan efektivitas pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan oleh masyarakat. Kata kunci : Pemerintahan desa, sumberdaya kelautan dan perikanan, pengelolaan berbasis masyarakat, sasi, Maluku
ABSTRACT VENDA JOLANDA PICAL. The Impact of the Changes on Village Government System on the Marine and Fisheries Resources Management in Molucca Villages. Under the Supervision of JOHN HALUAN, M.FEDI A. SONDITA and VICTOR P.H. NIKIJULUW. The governance system in Indonesia has been changed several regulations. Such change has influenced village-level government system which in turn can affect marine and fisheries management in Molluca villages. The Objectives of this research were to analyse the impact of changes in village government system on the management of fisheries resources in Molluca villages. The observation unit of the study was village; there were 61 villages studied. Data were collected through some interviews, field observation, and diary notes. Some observed changes in the village government system included government system, head of government, government structure, executive, legislative, and judicative components, and practices in the management of the fisheries resources accessible to the villagers. The revealed existence of a community–based resources management locally called sasi; the sasi has been reactivated to promote local governance on resource management. Change in village government has affected performance of village level management. However, there was no significant difference in the management performance between sasi and non sasi villages. Some policies are proposed to maintain and revitalize the sasi as and effective village level management system. These include strengthening village-based institution by supporting and empowering the human resources through educational process and community engagement in sustainable development practices. Keywords : village government, marine and fisheries resources, community-based management, sasi, Molluca
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
DAMPAK PERUBAHAN SISTEM PEMERINTAHAN DESA TERHADAP PENGELOLAAN SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN DI PEDESAAN MALUKU
VENDA JOLANDA PICAL
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Judul Disertasi : Dampak Perubahan Sistem Pemerintahan Desa terhadap Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Pedesaan Maluku Nama
: Venda Jolanda Pical
NIM
: C 561030071
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. John Haluan, MSc Ketua
Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, MSc Anggota
Dr. Ir.Victor P.H. Nikijuluw, MSc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. John Haluan, MSc
Tanggal Ujian :
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus
PRAKATA Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa atas karunia dan anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan disertasi ini. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2005 sampai dengan bulan September 2006, adalah Dampak Perubahan Sistem Pemerintahan Desa Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Pedesaan Maluku. Penulis mengucapkan terima kasih serta penghargaan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. John Haluan, MSc sebagai ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, MSc dan Bapak Dr. Ir.Victor P.H. Nikijuluw, MSc sebagai anggota komisi pembimbing atas arahan, motivasi, kritikan dan saran perbaikan selama proses pembimbingan sampai pada penyelesaian studi Doktor. Terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Daniel Monintja atas arahan, bimbingan dan saran yang berguna untuk penyelesaian studi Doktor ini. Terima kasih kepada bapak Dr.Ir. Budy Wiryawan, MSc sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup begitu juga kepada Dr. Ir. Alex Retraubun MSc dan Dr. Ir. Rilus Kinseng MA sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka atas waktu dan kesempatan menguji, serta telah memberikan perhatian dan berbagai masukan berupa saran dan kritik demi penyempurnaan disertasi ini. Terimakasih disampaikan kepada Pemerintah Provinsi Maluku atas bantuan biaya penelitian dan berbagai fasilitas selama melakukan penelitian. Terima kasih kepada pimpinan dan staf Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku, Kota Ambon, Kabupaten Maluku Tengah dan Seram Bagian Barat atas bantuan, kerjasama dan fasilitas. Terima kasih khusus kepada Lin Mayaut, Egi Puttilehalat, Ir. Butje Haurissa dan Ir. Ronny Salenussa atas bantuan dalam pelaksanaan pengumpulan data di lapangan. Terima kasih kepada Bapak Ir. John Randa MSc atas segala bantuannya. Terima kasih kepada Ir. Yan Masrikat, MSi, Ir. Fonny Risamasu MSi, Ir. Gybert Mamuaya MSc, Ir. Tri Wiji Nurani, MSi, Ir Yahyah MSi, Ir. Hafids Olii, MSi dan rekan-rekan TKL 2003 lainnya atas kerjasama dan persahabatan yang baik. Terimakasih yang tulus dan penghargaan kepada orangtuaku Papi dan Mami (almarhumah), kakakku Febry dan Usi Adry, begitu juga adikku Feldy dan Rahel dan kedua keponakanku Vita dan Gita atas dukungan moril dan material, serta doanya. Terimakasihku juga kepada papa Boe yang telah tiada. Terimakasih juga bagi saudara-saudaraku Bu Joshua Joseph sekeluarga, Usi Nona Litamahuputty-Joseph sekeluarga, Usi Noke Lekahena-Joseph sekeluarga, Bu Benny Joseph sekeluarga, Usi Popi Mangundap-Joseph sekeluarga dan Tety LoppiesJoseph sekeluarga atas dukungan moril serta doanya. Akhirnya ungkapan terima kasih yang tiada terhingga juga penulis sampaikan kepada suami tercinta Dr. Ir. Godlief Joseph MSi dan ke dua anak tersayang Joy Alphason Magistro Joseph dan JEAN Joseph atas segala perhatian dan kasih sayang, pengorbanan dan doa yang senantiasa dipanjatkan kepada Tuhan Yesus. Tuhan kiranya memberkati semua orang yang turut terlibat dalam keberhasilan studi saya ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Mei 2007 Venda Jolanda Pical
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 1 Desember 1967 sebagai anak ke dua dari pasangan Rudolph Fredrik Pical dan Jacoba Maria Suzana Tetelepta. Pendidikan sarjana di tempuh di Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan Universitas Pattimura Ambon, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 1994, penulis diterima di Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan pada Program Pascasarjana IPB dengan biaya TMPD dan menamatkannya pada tahun 1997. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana IPB pada tahun 2003 dengan mendapat beasiswa BPPS dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan.
DAFTAR ISTILAH
Baeleo
:
Rumah adat, tempat musyawarah adat
Badati
:
Sistem tanggung bersama untuk sesuatu kegiatan
Buka Sasi
:
Periode musim penangkapan ikan
Fusu
:
Kearifan tradisional dalam pengelolaan sumberdaya alam di Ternate (Maluku Utara)
Kapitan
:
Pemimpin Perang
Kepala Soa
:
Pemimpin suatu bagian dalam negeri yang terdiri dari beberapa marga
Kewang
:
Suatu kelompok organisasi yang diangkat secara adat melalui proses musyawarah Saniri Negeri Lengkap (pimpinan desa) yang dilakukan di dalam rumah adat yaitu Baeleo, yang ber-tugas memeriksa, mengawasi, dan mengamankan petuanan negeri/desa, yang meliputi wilayah darat, perairan, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk kehidupan dan penghidupan penduduknya, berdasarkan pranata sasi.
Maano
:
Sistem bagi hasil dalam melaksanakan suatu aktivitas seperti memetik cengkeh
Makan Pasuri
:
Menikmati hasil-hasil kebun,hutan secara bersamasama warga kampung atau negeri yang memiliki ikatan sejarah atau kekeluargaan.
Marinyo
:
Orang yang bertanggung jawab untuk mengkomunikasikan keputusan pemerintah negeri (Raja) kepada staf pemerintahan negeri maupun kepada masyarakat
Mata rumah
:
Marga/Famili
Masohi
:
Suatu aktivitas tolong-menolong yang dilakukan oleh masyarakat untuk menyelesaikan suatu kegiatan
Pemerentah negeri
:
Sistem pemerintahan desa di Maluku yang berbasis adat
Petuanan negeri
:
Suatu kawasan darat dan laut milik pemerintahan negeri
Saniri Negeri Besar
:
Badan Yudikatif yang terdiri dari Saniri Rajapatti, Saniri Negeri Lengkap dan semua warga masyarakat pria dewasa yang berumur 18 tahun ke atas
Saniri Negeri Lengkap
:
Badan Legislatif yang terdiri atas anggota saniri, tua adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, Kewang, Marinyo, Kapitan, Tuan Negeri dan Tuan Tanah.
Saniri Rajapatti
:
Badan eksekutif yang terdiri dari Raja dan Kepala Soa
Sasi
:
Larangan pengambilan sumberdaya alam tertentu baik darat maupun laut tanpa ijin yang secara ekonomis bermanfaat bagi masyarakat.
Siboboso game
:
Kearifan tradisional dalam pengelolaan sumberdaya alam di Sidangoli, Taliabu, dan Kepulauan Sula.
Tuan Negeri
:
Pemimpin pelaksana adat dalam negeri
Tutup sasi
:
Periode penutupan penangkapan ikan.
Yot huwear
:
Kearifan tradisional dalam pengelolaan sumberdaya alam di Maluku Tenggara
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
………………………....……………………………..
xi
DAFTAR GAMBAR ………………………...…………………………… xiii DAFTAR LAMPIRAN ……………………....…………………………… xvi 1 PENDAHULUAN …………………….....……………………………
1
1.1 Latar Belakang
…………………….......……………………………..
1
1.2 Ruang Lingkup Penelitian ......................................................................
7
1.3 Perumusan Masalah ...............................................................................
8
1.4 Kerangka Pemikiran Penelitian ……....……….......…………………..
9
1.5 Tujuan Penelitian ………………...……......…………………………..
10
1.6 Manfaat Penelitian …………………….......………………………….
11
1.7 Hipotesis Penelitian ………...……………....………………………….
11
2 TINJAUAN PUSTAKA …...………………………………………….
13
2.1 Kajian terhadap Sistem Pemerintahan Desa di Maluku .......................
13
2.2 Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan …......................…..
19
2.3 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat
….............
25
2.4 Sasi sebagai Bentuk Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat (PSPBM) di Maluku ………..............……...……………
27
2.5 Penelitian Sasi Terdahulu …………………………..………………..
32
2.6 Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
…….........…….
35
……………………….......…………..
39
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian …....…………………...………………
39
3.2 Metode Sampling ……….........……………………………………….
39
3.3 Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data …........…………………..
41
3.4 Analisis Data
……………………………………...…………………
43
3.4.1 Analisis deskriptif kualitatif ...............................................................
43
3.4.2 Uji Friedman ……………….……………………………………….
44
3.4.3 Uji Mann – Whitney ………………………………………………..
46
3 METODOLOGI PENELITIAN
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
..........................................................
Kondisi Umum Wilayah Penelitian
4.1.1 Kota Ambon
49
…………..………..…………
49
...................................................................................
51
4.1.2 Kabupaten Maluku Tengah
..............................................................
56
4.1.3 Kabupaten Seram Bagian Barat .........................................................
60
4.2
Perubahan Sistem Pemerintahan Desa …………….........……………
64
4.3
Keberadaan Sasi Laut pada Rezim Otonomi Daerah ..........................
79
4.4
Dampak Pengaruh Perubahan Sistem Pemerintahan Desa terhadap Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Berbasis Masyarakat …..................................................................................
91
4.5
Dampak Pengaruh Perubahan Sistem Pemerintahan Desa terhadap Kinerja Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Pedesaan Maluku …..................................................................... 100
4.6
Kinerja Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan pada Desa Sasi Laut dan Desa Non Sasi Laut ......................................... 129
5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan
.......................................................... 135
....................................................................................... 135
5.2 Saran ................................................................................................... 136
DAFTAR PUSTAKA …………………….………………………………. 130 LAMPIRAN
…………………………………………………………….. 138
DAFTAR TABEL Halaman 1 Ruang lingkup penelitian
……………………………………………
8
2 Jenis data berdasarkan tujuan penelitian ............................……………
41
3 Analisis data berdasarkan tujuan penelitian .............................................
48
4 Nama kabupaten, ibukota serta jumlah kecamatan dan desa di Maluku ………………………………………………………………
50
5 Nama kecamatan, luas, jumlah desa dan kelurahan di Kota Ambon
…
51
6 Perkembangan jenis alat tangkap dan armada tangkap di Kota Ambon tahun 2002-2004 ….......................……………………
54
7 Potensi dan jumlah tangkapan sumberdaya perikanan di Kota Ambon tahun 2004 ……………….........………………………
56
8 Nama kecamatan, luas, nama ibukota serta jumlah desa dan kelurahan di Kabupaten Maluku Tengah …................…………………
57
9 Nama kecamatan, luas, serta jumlah desa dan dusun di Kabupaten Seram Bagian Barat .................................................................................
61
10 Sistem pemerintahan desa pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah …………............……………………………
65
11 Keberadaan sasi di pedesaan Maluku .....................................................
80
12 Lokasi desa sasi laut ……....……....................................................…..
81
13 Daftar harga beberapa komoditi sumberdaya perikanan yang disasikan di pasar Kota Ambon tahun 2005 .........................................................
84
14 Peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan tidak tertulis …...................................................................................…
86
15 Peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat secara tertulis …........……...................................
87
16 Peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara tertulis tentang sanksi .............................................................................
88
17 Pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah …...........
91
18 Kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah .........…. 101 19 Jumlah nelayan /petani ikan di Provinsi Maluku periode 1994-2001 ……………….........………………………………. 106
20 Perkembangan perahu/kapal perikanan di Provinsi Maluku periode 1994-2001 ….........……………………………………………. 107 21 Perkembangan unit penangkapan ikan di Provinsi Maluku periode 1994 -2001 …........…………………………………………….. 107 22 Perkembangan produksi perikanan di Provinsi Maluku menurut cabang usaha periode 1994-2001 ……...........………………. 126 23 Kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada desa sasi laut dan desa non sasi laut ...................................................... 130
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran penelitian
………………….........……………..
12
2 Skema rezim pengelolaan sumberdaya perikanan ……....….........……
28
3 Metode gugus bertahap dalam teknik pengambilan sampel ..................
40
4 Struktur organisasi pemerintahan Negeri Ameth, Kabupaten Maluku Tengah ....................................................................
67
5 Struktur organisasi pemerintahan Desa Tuhaha, Kabupaten Maluku Tengah .....................................................................
73
6 Struktur organisasi pemerintahan Negeri Titawai, Kabupaten Maluku Tengah .....................................................................
76
7 Acara pelantikan lembaga-lembaga adat di Negeri Nalahia …...........…
83
8 Kondisi kegiatan pelatihan di Maluku Tengah, 2003 .............................
90
9 Pola perubahan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah …........………………………
92
10 Pola perubahan kinerja efisiensi pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah …......................……........ 103 11 Pola perubahan kinerja pemerataan dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah ........................................ 105 12 Jenis pekerjaan masyarakat selain nelayan di Maluku Tengah, 2003 ..................................................................................................… 110 13 Pola perubahan kinerja keberlanjutan sosial ekonomi masyarakat di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah ….................................................……........ 111 14 Kondisi perumahan masyarakat di Maluku Tengah, 2003 ................… 113 15 Perkembangan pendapatan nelayan/orang/tahun di Maluku .................. 114 16 Kondisi sarana pendidikan masyarakat di Maluku Tengah, 2003 ........ 114 17 Kondisi sarana perdagangan masyarakat di Maluku Tengah, 2003 ...... 115 18 Kondisi sarana ekonomi masyarakat di Maluku Tengah, 2003 ............ 115
19 Kondisi sarana telekomunikasi di Maluku Tengah, 2003 ...................... 116 20 Kondisi sarana kesehatan di Maluku Tengah, 2003 .............................. 116 21 Kondisi sarana jalan di Maluku Tengah, 2003 ...................................... 117 22 Kondisi sarana pelabuhan di Maluku Tengah, 2003 ............................. 117 23 Pola perubahan kinerja keberlanjutan biologi sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah ........................................ 120 24 Penyebab kerusakan lingkungan perairan di Maluku Tengah, 2003 ….. 121 25 Kondisi terumbu karang di Maluku Tengah, 2003 ................................ 122 26 Kondisi hutan manggrove di Maluku Tengah, 2003 .............................. 123 27 Kondisi padang lamun di Maluku Tengah, 2003 ................................... 123 28 Alat tangkap tradisional ……….......…………………………………. 125 29 Alat tangkap modern …........………………………………………….. 127 30 Pola perubahan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada desa sasi laut dan desa non sasi laut di pedesaan Maluku pada rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah ................................. 131
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Lokasi penelitian
.............................................................................. 149
2 Provinsi Maluku ................................................................................. 150 3. Kuesioner 1 …………......................………………………………. 151 4 Kuesioner 2 ....................................................................................... 152 5 Kuesioner 3 ....................................................................................... 156 6 Daftar pertanyaan wawancara ............................................................. 159 7 Hasil inventarisasi sasi di pedesaan Maluku ........................................ 161 8 Hasil inventarisasi peraturan perikanan .............................................. 163 9 Rekapitulasi data pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah .................................................................................... 165 10 Urutan kerja uji Friedman untuk perubahan sistem pemerintahan desa terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat ........................................................................................ 167 11 Analisis perubahan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah ..................................................................................... 168 12 Rekapitulasi data efisiensi pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah ................................................................... 169 13 Rekapitulasi data pemerataan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah ................................................................... 171 14 Rekapitulasi data keberlanjutan sosial ekonomi pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah ............................. 173 15 Rekapitulasi data keberlanjutan biologi pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah ............................................... 175 16 Urutan kerja uji Friedman untuk perubahan sistem pemerintahan desa terhadap kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat ........................................................... 177 17 Analisis perubahan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah .............................................. 178
18 Kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada desa sasi laut dan desa non sasi laut ............................................................ 179 19 Urutan kerja uji Mann –Whitney pada rezim sentralisasi .................. 186 20 Urutan kerja uji Mann-Whitney pada rezim otonomi daerah .............. 189
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan merupakan isu penting saat ini baik di tingkat internasional maupun nasional. Hal ini disebabkan karena kondisi perikanan di dunia menunjukkan bahwa permintaan dan jumlah konsumen ikan sebagai bahan pangan dan juga untuk keperluan industri semakin hari semakin meningkat, seiring dengan lajunya pertumbuhan penduduk dunia, meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang gizi ikan yang menyehatkan, menguatkan, mencerdaskan serta semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi informasi dan industri perikanan dunia, sementara disisi lain ada tendensi bahwa sumberdaya ikan mengalami deplesi. Sumberdaya perikanan dunia cenderung menurun karena dieksploitasi terus menerus. Kondisi perikanan di Samudera Hindia cenderung menurun baik dari hasil tangkapan longline maupun laju pancing (hook rate). Bobot individu tuna cenderung menurun dari 37 kg/ekor tahun 1973 menjadi 25 kg/ekor tahun 2002. Demikian pula laju pancing yang menurun dari 2,16 ekor per mata pancing tahun 1973 menjadi 0,74 ekor per 100 mata pancing tahun 2002. Kecenderungan menurun juga terjadi pada sumberdaya udang di Laut Arafura. Hasil tangkapan di dominasi oleh rajungan yang mencapai 80 persen dari total hasil tangkapan udang dan krustasea lainnya. Dominasi udang jerbung juga bergeser ke udang dogol. Juga telah terjadi penurunan ukuran udang dari rata-rata 10-30 ekor per kg menjadi 35-60 ekor per kg. Kecenderungan serupa juga terjadi pada sumberdaya ikan demersal di Laut Cina Selatan. Ukuran dari tiga species ikan demersal juga mengecil; peperek (Leiognathus splendens), bawal putih (Pampus argenteus), dan manyung (Arius thalasinus)
pada tahun 1975 memiliki panjang maksimum
masing-masing 15 cm. 31 cm, dan 31 cm pada 2002 menyusut menjadi 10 cm, 20 cm, dan 20 cm. Kelimpahan stok juga merosot, dari 2,36 ton/km2 (1975) menjadi 0,58 ton/km2 (2002). Kecenderungan penurunan yang sama juga terjadi atas laju tangkap, yakni dari 7,312 ton/unit alat tangkap baku/tahun pada 1991 menjadi 4,495 ton/unit alat tangkap baku pada 2000. (LIPI 2003). Demikian juga halnya seperti hasil evaluasi Food and Agricultural Organization (FAO) yang menunjukkan bahwa sumberdaya ikan dunia cenderung telah
2
dimanfaatkan secara penuh, khusus untuk wilayah perairan Pasifik Barat Tengah dengan kode 71, Samudera Hindia Timur dengan kode 57, Pasifik Barat Daya dengan kode 81 dan Pasifik Barat laut dengan kode wilayah 61 (Nikijuluw, 2005). Wilayah perairan dengan kode 71 dan 57, adalah perairan Indonesia, secara agregat telah mencapai puncak pemanfaatannya. Kawasan Barat dan Selatan Indonesia adalah bagian dari wilayah dengan kode 71 sedangkan kawasan Timur dan Utara Indonesia adalah bagian dari wilayah dengan kode 57. Hasil evaluasi ini menunjukkan bahwa apabila pemanfaatan sumberdaya perikanan yang terus menerus dilakukan secara tidak terkendali, maka akan terjadi over eksploitasi sumberdaya perikanan tersebut. Untuk itu, perlu dilakukan berbagai upaya pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan. Indonesia sebagai suatu negara kepulauan, dengan lautan yang lebih luas dibandingkan dengan daratan, memiliki potensi sumberdaya perikanan yang cukup besar. Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) memperkirakan potensi sumberdaya perikanan sebesar 6,4 juta ton/tahun dan ting-kat pemanfaatannya diperkirakan telah mencapai 63,5 % (Pusat Riset Perikanan Tangkap, 2001). Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa secara nasional sumberdaya perikanan diseluruh perairan telah mencapai tingkat pemanfaatan yang cukup tinggi atau hampir jenuh. Berdasarkan kenyataan ini, maka pengelolaan
sumberdaya
perikanan di Indonesia sangat perlu dilakukan. Penanggung jawab utama dalam melaksanakan pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia adalah Pemerintah. Hal tersebut seperti tertuang dalam UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia pasal 4, bahwa seluruh sumber kekayaan alam yang terdapat di dalam perairan Indonesia adalah di bawah kedaulatan negara republik Indonesia. Untuk itu, Pemerintah memiliki hak dan tanggung jawab utama dalam mengelola dan mengawasi pemanfaatan sumberdaya perikanan. Otoritas pengelola sumberdaya perikanan oleh pemerintah ini didasarkan juga pada UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan, bahwa pengelolaan perikanan dilakukan oleh pemerintah yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Di Indonesia, pengelolaan potensi sumberdaya perikanan secara efisien dan berkelanjutan belum dikelola secara baik bagi kelangsungan hidup dan
3
kesejahteraan rakyat, sehingga pemerintah
masih terus mencari
dan
menyempurnakan cara-cara yang tepat untuk diterapkan (Wagey, 2003). Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia, terasa sangat sulit dilakukan oleh pemerintah. Ada berbagai faktor kendala yang menyebabkan sulitnya pengelolaan oleh pemerintah, yaitu antara lain terbatasnya tenaga, dana, dan fasilitas dalam mengawasi pelaksanaan pengelolaan sumber daya perikanan di wilayah perairan Indonesia yang sangat luas. Selain itu, pemerintah kurang memahami masalah yang dihadapi masyarakat ditingkat daerah, rendahnya legitimasi pemerintah pusat yang berkaitan langsung dengan masyarakat, serta lambatnya proses transformasi kebijakan yang diambil di tingkat pusat ke dalam bentuk kebijakan aplikatif di tingkat daerah. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pemerintah kemudian mendelegasikan wewenang dan tanggung jawabnya kepada pemerintah daerah atau kepada masyarakat. Dengan demikian
pemerintah daerah kini memiliki
otonomi secara khusus di dalam mengelola sumberdaya perikanan yang ada di dalam wilayahnya untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya dan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).
Otonomisasi pemerintahan
daerah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan ini merupakan salah satu bentuk aplikatif dari penerapan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Daerah Maluku sebagai daerah kepulauan dan dikelilingi oleh lautan maka memiliki potensi yang besar di bidang perikanan dan kelautan. Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang terbesar terdapat di Laut Banda dengan sediaan stok sebanyak 208.588 ton dan potensi lestari sebanyak 104.299 ton per tahun. Persediaan stok Laut Arafura sebanyak 50 770 ton per tahun. Ketersediaan potensi sumberdaya perikanan di perairan Maluku memberikan indikasi bahwa perlu dilakukan pengelolaan sumberdaya perikanan secara baik sehingga sektor perikanan dapat memberikan kontribusi yang besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pendapatan asli daerah (PAD) Maluku. Pada tahun 2005 PAD Provinsi Maluku dari sektor perikanan adalah sebesar Rp.5 510 963 919.78 terdiri atas retribusi hasil perikanan sebesar Rp. 5 510 885 030.78 dan dari Ijin Usaha Perikanan (IUP) adalah sebesar Rp. 78 889 040. Dibandingkan dengan PAD tahun
4
2004 yaitu sebesar Rp. 3 200 000 000,- maka terlihat bahwa peningkatan PAD sekitar 71.9 persen. Selain memiliki potensi sumberdaya alam laut, Maluku juga memiliki potensi sumberdaya alam darat yang cukup potensial seperti : cengkeh, pala, sagu, coklat, kopi, kelapa dan lain sebagainya. Dengan memiliki potensi ini, dahulu Maluku terkenal dengan sebutan pulau rempah-rempah yang banyak diincar oleh para saudagar dari luar negeri antara lain Cina, Portugis, Inggris dan Belanda di sekitar abad ke 14, 15 dan 16 (Nanere, 1996). Kondisi dan potensi sumberdaya alam tersebut di atas sangat menentukan corak dan karakteristik sosial budaya masyarakat Maluku dan kehidupan ekonominya sebagai petani dan nelayan. Dalam rangka pembangunan perikanan dan kelautan di Provinsi Maluku secara terarah dan sistimatis maka Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku telah
menetapkan rencana strategis tahun 2005-2008.
Visi pembangunan
kelautan dan perikanan Provinsi Maluku adalah terwujudnya pembangunan kelautan dan perikanan berbasis ekosistim kepulauan dengan memanfaatkan IPTEK, sebagai pilar utama dalam peningkatan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat. Misi pembangunannya adalah : (1)
Mewujudkan otonomi daerah di laut secara nyata dan bertanggung jawab
(2)
Menjadikan sektor kelautan dan perikanan sebagai sumber mata pencaharian utama dari masyarakat Maluku
(3)
Menciptakan sumberdaya manusia perikanan yang berkualitas, kreatif, pro aktif dan berdaya saing
(4)
Meningkatkan
pengelolaan
potensi
sumberdaya
kelautan
dan
perikanan secara berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat (5)
Menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi investor perikanan
(6)
Memanfaatkan IPTEK dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, serta
(7)
Meningkatkan kontribusi kelautan dan perikanan bagi perekonomian daerah dan kesejahteraan masyarakat.
5
Berdasarkan visi dan misi tersebut maka disusun strategi, program dan kegiatan. Salah satu program yang direncanakan adalah revitalisasi kelembagaan lokal dan kearifan tradisional dengan sasaran kegiatan adalah: (1)
Mengidentifikasi potensi kelembagaan lokal dan kearifan tradisional yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan
(2)
Pemberian penghargaan (coastal award) bagi masyarakat
(3)
Penguatan kelembagaan lokal dan
(4)
Penguatan ekonomi masyarakat (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku, 2005).
Perencanaan program ini sangat berarti karena pedesaan Maluku memiliki kelembagaan lokal serta kearifan tradisional dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Kearifan tradisional ini memiliki sebutan yang berbedabeda. Di sekitar Maluku Tengah disebut “sasi”, di Maluku Tenggara di sebut “yot - huwear”, di Ternate disebut “fusu”, di Sidangoli, Taliabu dan Kepulauan Sula disebut “siboboso game”, (LKMD, 1994). Namun sebutan sasi, umumnya lebih dikenal secara luas. Kearifan tradisional ini pernah mendapatkan penghargaan lingkungan hidup nasional (Hadiah Kalpataru) pada tahun 1986 dan kemudian menjadi sorotan dan perhatian dari berbagai pihak baik secara nasional maupun internasional seiring dengan berkembangannya isu community-based fisheries managament. Keberadaan sasi sudah ada sejak dulu kala baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini sesuai dengan laporan Andamari et al., (1991) bahwa sasi di Desa Nolloth Kecamatan Saparua Kabupaten Maluku Tengah, sudah berlangsung sejak sebelum pendudukan Belanda, tidak berfungsi selama masa penjajahan jepang dan kemudian berfungsi lagi pada tahun 1969 hingga kini. Selain itu, Nikijuluw (1994) juga mengemukakan bahwa pada bulan Januari 1913 ditandatangani dokumen tertulis tentang aturan sasi di Desa Paperu, Kecamatan Saparua Kabupaten Maluku Tengah oleh Saniri Negeri (Pemerintah Desa) yang berlaku selama periode tahun 1913-1922. Sasi dilaksanakan oleh masyarakat desa di bawah pengawasan lembaga sasi yang disebut Kewang. Kewang merupakan suatu korps polisi negeri yang dipilih
6
dan diangkat oleh suatu rapat Saniri Negeri Lengkap (pimpinan desa) yang bertugas memeriksa, mengawasi, dan mengamankan petuanan negeri/desa, yang meliputi wilayah darat, perairan, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk kehidupan dan penghidupan penduduknya, berdasarkan pranata sasi (Ohorella 1994). Dalam pelaksanaannya, Kewang bertanggung jawab terhadap Saniri Negeri (Pemerintahan desa) termasuk di dalamnya Raja sebagai kepala pemerintahan negeri dan sebagai kepala adat. Berdasarkan hal tersebut di atas maka pelaksanaan sasi memiliki keterkaitan dengan lembaga-lembaga adat pada sistem pemerintahan negeri Pada rezim orde baru, sistem pemerintahan negeri mengalami perubahan menjadi sistem pemerintahan desa dengan adanya pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1979. Dasar penerbitan UU tersebut adalah pelaksanaan UU No.5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dan penerapan ketetapan MPR No IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Perubahan tersebut dilakukan dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok negara dan dalam rangka membina kesatuan bangsa, maka hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dikembangkan atas dasar keutuh-an negara kesatuan dan diarahkan pada pelaksanaan otonomi daerah yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah, dan dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi, memperkuat pemerintah desa, agar makin mampu
menggerakkan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan dan menyelenggarakan administrasi desa yang makin luas dan efektif. Sejak berlakunya UU No. 5 Tahun 1979 berlaku satu struktur pemerintahan desa secara seragam di seluruh Indonesia dan bertujuan untuk memudahkan pelaksanaan pemerintahan, pengawasan dan pembinaan atas desa-desa di seluruh Indonesia. Dengan diterapkannya UU tersebut maka di pedesaan Maluku terjadi perubahan sistem pemerintahan desa dari sistem pemerintahan negeri ke sistem pemerintahan desa. Kondisi ini terus berlangsung sampai kemudian pada rezim reformasi pemerintah menerbitkan UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian di revisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Adapun
7
dampak dari penerapan UU tersebut adalah adanya perubahan sistem pemerintahan desa dikembalikan menjadi sistem pemerintahan negeri. Perubahan sistem pemerintahan desa yang telah berlangsung selama ini merupakan suatu fenomena yang menarik karena diduga memiliki dampak terhadap perubahan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku. Dapat dikatakan bahwa berhasil tidaknya pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku tergantung dari fungsi dan peranan
sistem
pemerintahan desa yang berlaku. Hasil kajian terhadap penelitian-penelitian sasi terdahulu maka pengamatan penelitian tersebut dilakukan pada periode sebelum diterapkannya rezim otonomi daerah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Aspek-aspek pola perubahan pengelolaan perikanan pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah belum dikaji dalam penelitian-penelitian sebelumnya. Saran dan rekomendasi penelitian di atas adalah menyusun suatu program ko-manajemen baik di tingkat desa maupun di tingkat kabupaten. Hal-hal inilah yang menjadi bahan masukan bagi penelitian ini.
1.2 Ruang Lingkup Penelitian Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini adalah pada tiga rezim pemerintahan desa yaitu rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah. (1) Rezim adat yaitu periode sebelum berlaku UU No.5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Pada periode ini sistem pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan dilakukan oleh masyarakat (2) Rezim sentralisasi yaitu periode berlakunya UU No.5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Pada periode ini pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan bersifat sentralistik begitu juga dengan sistem pemerintahan desa (3) Rezim otonomi daerah yaitu periode berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada periode ini terjadi suatu proses perubahan dalam
8
pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan dari sistem sentralistik menjadi desentralistik. Sistem pemerintah desa telah dikembalikan pada sistem pemerintahan negeri. Dengan demikian maka pelaksanaan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat sebagai bagian dari sistem pemerintahan negeri menjadi perhatian dan mulai diaktifkan kembali. Adapun ruang lingkup penelitian diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Ruang lingkup penelitian No.
Rezim
Periode
Sebelum pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 5 Tahun 1979
1
Adat
2
Sentralisasi Setelah pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 5 Tahun 1979
3
Otonomi daerah
Pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004
Sistem Sistem Pemerintahan Pengelolaaan Sumberdaya Desa Perikanan Berbasis Negeri masyarakat
Desa, dan kombinasi antara desa dan negeri
Sentralistik Pengelolaan Perikanan
Negeri
Otonomisasi Pengelolaan perikanan
1.3 Perumusan Masalah Permasalahan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Bagaimana perubahan sistem pemerintahan desa pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah (2) Sejauhmana keberadaan sasi pada rezim otonomi daerah (3) Bagaimana dampak pengaruh perubahan sistem pemerintahan desa terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah (4) Bagaimana dampak pengaruh perubahan sistem pemerintahan desa terhadap kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di
9
pedesaan Maluku pada rezim adat rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah (5) Apakah ada perbedaan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan
pada desa sasi laut dan desa non sasi laut pada rezim
sentralisasi dan rezim otonomi daerah
1.4 Kerangka Pemikiran Penelitian Maluku merupakan provinsi kepulauan yang terdiri dari sekitar 559 pulau, dimana dari jumlah pulau tersebut ada beberapa pulau yang tergolong besar sisanya adalah
pulau-pulau sedang dan pulau-pulau kecil (Bappeda Maluku,
2004). Sebagai daerah$ kepulauan maka luas wilayah Maluku sebagian besarnya terdiri dari laut.
Dengan luas laut yang besar tersebut maka perairan Maluku
memiliki potesi sumberdaya perikanan yang besar Adapun potensi perikanan laut Maluku dapat disebutkan sebagai berikut: ikan pelagis kecil 682 000 ton/tahun, tongkol 27 900 ton/tahun, tuna 50 165 ton/tahun, ikan dasar 97 200 ton/tahun, ikan karang, udang 18 000 ton/tahun, rumput laut standing coop adalah 720 ton/km2 dengan potensi produksi 25 800 ton, cumi-cumi 100 000-125 000 ton/tahun, lobster 786 ton/tahun, tenggiri 30 348 ton/tahun, juga terdapat 969 jenis kerang-kerangan dan yang mempunyai nilai ekonomis penting adalah 13 jenis siput dan 21 jenis kerang. Walaupun potensi sumberdaya perikanan yang cukup besar, namun produksi perikanan di Maluku masih relatif kecil. Pada tahun 2002, tercatat produksi dan tingkat pemanfaatan potensi adalah
sebagai berikut:
cakalang 9 443.4 ton (+11 %), tuna 7 728.6 ton (+15 %) dan udang 5 856.4 ton (+32.5 %). Perairan Maluku juga memiliki potensi area untuk pengembangan budidaya laut dengan perkiraan sebagai berikut: mutiara 924 ha., lola 1 000 ha., teripang 3 100 ha., rumput laut 2 500 ha., dan ikan 2 950 ha. Potensi inipun belum banyak yang dimanfaatkan (Bappeda Maluku, 2004). Berdasarkan karakteristik wilayah Maluku sebagai daerah kepulauan yang di dominasi oleh laut maka masyarakat Maluku memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam baik laut maupun darat. yang dikenal sebagai sasi. Pelaksanaan sasi oleh masyarakat diawasi oleh Kewang dan Raja sebagai lembaga-lembaga adat yang terdapat dalam sistem pemerintahan negeri.
10
Dengan potensi sumberdaya perikanan yang besar dan memiliki kearifan tradisonal dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan tersebut namun sampai saat ini pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di Maluku belum dilaksanakan secara optimal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ada berbagai faktor yang berpengaruh terhadap hal tersebut, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal, antara lain: kondisi biofisik sumberdaya perikanan, teknologi alat tangkap, pasar, pemegang kepentingan, kelembagaan dan organisasi pengelolaan perikanan. Sedangkan faktor eksternal, antara lain: migrasi serta mobilitas penduduk, perubahan komposisi usia penduduk, perkembangan perdagangan, pergantian sistem pemerintahan yang membuat struktur pemerintahan desa (lokal) ikut juga berubah (Nikijuluw, 2002). Salah satu faktor eksternal yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah perubahan sistem pemerintahan desa. Menurut Kissya (2000), Novaczek et al. (2001) dan Nikijuluw (2002)
bahwa perubahan struktur pemerintahan desa
menyebabkan melemahnya pelaksanaan sasi di pedesaan Maluku. Hal ini berarti bahwa perubahan sistem pemerintahan desa yang berlaku akan memberi dampak terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku. Kerangka pemikiran penelitian digambarkan sebagai berikut (Gambar 1).
1.5 Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian adalah menganalisis dampak perubahan sistem pemerintahan desa terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku. Tujuan khusus penelitian adalah: (1) Mendeskripsikan perubahan sistem pemerintahan desa pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah (2) Menginventarisasi keberadaan sasi pada rezim otonomi daerah (3) Menganalisis dampak pengaruh perubahan sistem pemerintahan desa terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat
11
(4) Menganalisis dampak pengaruh perubahan sistem pemerintahan desa terhadap kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku (5) Menganalisis perbedaan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada desa sasi laut
dan desa non sasi laut pada rezim
sentralisasi dan rezim otonomi daerah.
1.6 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: (1) Masyarakat pedesaan di Maluku terutama dalam membenahi dan menata pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat yang berkelanjutan (2) Pemerintah daerah Maluku guna mengkaji kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan dalam rangka pengembangan usaha perikanan tangkap di pedesaan Maluku (3) Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku guna menunjang visi dan misi pembangunan perikanan Maluku terutama pelaksanaan program revitalisasi kelembagaan lokal dan kearifan tradisional (4) Pemerintah pusat sebagai bahan informasi ilmiah tentang dampak perubahan sistem pemerintahan desa terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku
1.7 Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian disusun sebagai berikut: (1) Perubahan sistem pemerintahan desa berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat di pedesaan Maluku (2) Perubahan sistem pemerintahan desa berpengaruh terhadap kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku (3) Ada perbedaan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada desa sasi laut dan desa non sasi laut pada rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah
12
Provinsi Kepulauan Daerah Maluku
Potensi Perikanan
Faktor Internal Pengelolaan Perikanan belum optimal
Sistem sasi
Rezim Adat Rezim Sentralisasi Rezim Otonomi daerah
Faktor Eksternal
Sistem Pemerintahan Desa
Kebijakan tentang Pemerintahan Daerah : UU No. 5 Thn 1974 UU No. 5 Thn 1979 UU No. 22 Thn 1999 UU No. 32 Thn 2004
Perubahan Pemerintahan Desa Keberadaan sasi Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat
Pola Perubahan
Kinerja Pengelolaan Perikanan Kinerja Pengelolaan Perikanan pada Desa Sasi Laut dan Desa Non Sasi Laut
Perumusan Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Pedesaan Maluku pada Rezim Otonomi Daerah
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian Keterangan: = Penjelasan = Dipengaruhi oleh = Memiliki hubungan
= Mempengaruhi
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Terhadap Sistem Pemerintahan Desa di Maluku Sebelum adanya kebijakan pemerintah mengatur sistem pemerintahan desa secara nasional maka desa-desa yang telah lama ada sebagai kesatuan-kesatuan hukum adat yang bersifat teritorial maupun genelogis, beraneka ragam bentuk dan coraknya, masing-masing daerah memiliki ciri-cirinya sendiri, misalnya: Jawa Barat (kampung), Aceh (Gampong), Tapanuli (Huta atau Kuta), Sumatera Selatan (Marga), Maluku (Negorij), Makasar (Gaukay) dan sebagainya (Siwalette (2005). Masyarakat adat hampir terdapat di semua daerah dan di banyak negara. Pengertian masyarakat adat terdiri dari lima pengertian yaitu (1) penduduk asli suatu daerah, (2) sekelompok orang yang mempunyai bahasa, tradisi, budaya dan agama yang berbeda dengan kelompok
yang lebih dominan (3) selalu
diasosiasikan dengan beberapa tipe kondisi ekonomi masyarakat, (4) ketururunan masyarakat pemburu, nomadik, peladang berpindah, (5) masyarakat dengan hubungan sosial
yang menekankan pada kelompok, pengambilan keputusan
melalui kesepakatan, serta
pengelolaan sumberdaya secara berkelompok
(Ansaka,2006). Di Indonesia, peraturan yang mengatur sistem pemerintahan adat adalah warisan dari peraturan Belanda (Siwalette, 2005) dimana eksistensi desa adat di akui dan di atur dalam pasal 18 UUD 1945 (Sama et al., 2001). Sistem pemerintahan adat di Maluku dikenal dengan pemerintah negeri dan umumnya berlaku di Pulau Ambon, dan Kabupaten Maluku Tengah yang dulu; dimana Kabupaten Seram Bagian Barat
masih termasuk di dalamnya.
Pemerintah negeri adalah merupakan basis masyarakat adat dan memiliki batasbatas wilayah darat dan laut yang jelas yang disebut “petuanan negeri”, dan sistem pemerintahan yang bersifat geneologis atau berdasarkan garis keturunan. Susunan organisasi pemerintahan negeri adalah warisan dari pemerintahan Belanda dimana sistem hukum adat ini ditetapkan dalam keputusan landraad Amboina No.14/1919; disebutkan bahwa pemerintah negeri adalah ‘regent en de kepala soa’s. Selanjutnya di dalam keputusan landraad Amboina No.30/1919 disebutkan bahwa ‘negorij bestuur’ adalah regent en de kepala-kepala soa, yang berarti bahwa pelaksanaan pemerintahan negeri dilaksanakan oleh Raja dan
14
Kepala Soa (Siwalette, 2005). Raja dipilih berdasarkan garis keturunan dari marga/famili tertentu yang disebut mata rumah dan ditentukan oleh Saniri Negeri Lengkap berdasarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan.
Jadi dalam sistem
pemerintahan negeri di Maluku, alokasi dan distribusi kekuasaan pada dasarnya bersifat tertutup, karena hanya berlangsung melalui mata rumah (Pariela, 2005). Selain Raja, ada beberapa jabatan adat yang di tentukan berdasarkan garis keturunan dari marga/famili tertentu yang disebut mata rumah,seperti Kapitan, Marinyo, Tuan Negeri, Tuan Tanah dan Kepala Kewang. Oleh karena itu, di dalam masyarakat adat, setiap marga/famili atau mata rumah telah mengetahui posisi dan jabatannya dalam struktur pemerentah negeri sehingga setiap orang yang ditentukan dan terpilih dalam jabatannya pada struktur pemerintah negeri sangat ditokohkan oleh masyarakat. Lembaga-lembaga adat yang terdapat dalam struktur pemerintahan negeri memiliki fungsi dan peranan yang sangat besar terhadap kelangsungan pembangunan masyarakat.
Lembaga-lembaga adat ini
sangat dihormati, dipatuhi dan dihargai oleh masyarakat terhadap berbagai hal seperti dalam pengambilan keputusan, penyelesaian sengketa batas tanah dan petuanan, pelantikan Raja, serta pelaksanaan upacara-upacara adat (Anonimous, 2001). Dalam pelaksanaan pembangunan pada sistem pemerentah negeri di Maluku maka ada beberapa pranata yang merupakan aturan-aturan mengenai suatu aktivitas masyarakat yang dilaksanakan yaitu tradisi tolong menolong dan tradisi menjaga ketertiban sosial serta pelestarian sumberdaya alam. Tradisi tolong menolong seperti : masohi. badati, maano, dan makan pasuri. Masohi. yaitu suatu aktivitas tolong menolong
yang dilakukan oleh masyarakat
untuk
menyelesaikan suatu kegiatan pembangunan fisik baik di dalam negeri, maupun di dalam kelompok warga masyarakat ataupun secara pribadi untuk jangka waktu tertentu yang telah di tetapkan bersama. Tujuan masohi adalah untuk membantu meringankan pekerjaan. Contohnya adalah kegiatan pembangunan rumah adat (Baileo), rumah ibadah (gereja dan masjid), pembangunan rumah tinggal, pembuatan jalan dan sebagainya. Badati adalah sistem tanggung bersama sebuah kegiatan yang dilakukan seseorang. Maano adalah sistem bagi hasil (biasanya cengkeh atau sagu), hal ini karena si pemilik kurang tenaga untuk memetik hasil
15
maka dia meminta tolong anggota masyarakat lain untuk memetiknya dengan mendapat imbalan dari hasil yang dipetik sesuai kesepakatan. Makan pasuri yakni menikmati hasil-hasil kebun, hutan secara bersama-sama kampung atau negeri yang memiliki ikatan
sejarah
warga-warga
atau kekeluargaan
(Sahusilawane, 2005). Dalam menjamin ketertiban sosial serta pelestarian sumberdaya alam maka ada kearifan tradisional yang diartikan dalam simbol-simbol khusus sebagai tanda larangan yang dikenal dengan sasi. Sasi mengandung pengertian tentang larangan pengambilan sumberdaya tertentu tanpa ijin dalam jangka waktu tertentu yang secara ekonomis bermanfaat bagi masyarakat (Bailey dan Zerner, 1992). Makna sasi adalah larangan bagi anak negeri dan orang luar untuk mengambil sesuatu yang berkaitan dengan
sumber-sumber daya alam baik darat maupun laut.
Tujuan sasi adalah supaya sumberdaya alam dapat dimanfaatkan secara baik dan benar dan dapat berlangsung terus menerus setiap waktu dari generasi ke generasi berikutnya. Lembaga adat yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan sasi adalah Kewang. Kewang adalah suatu kelompok organisasi yang diangkat secara adat melalui proses musyawarah yang dilakukan di dalam rumah adat yaitu Baeleo. Kepala Kewang dan Wakil Kepala Kewang diangkat dan ditentukan berdasarkan garis keturunan dari marga/famili tertentu atau yang disebut mata rumah. Sedangkan anggota Kewang atau pembantu Kewang diangkat dari warga masyarakat yang ada di dalam wilayah Soa.
Sebagai suatu organisasi maka
Kewang memiliki struktur organisasi dan mempunyai tugas dan tanggung jawab serta memiliki peraturan-peraturan Kewang sebagai dasar dan pedoman dalam melaksanakan tugasnya. Tugas Kewang adalah mengawasi dan mengontrol pelaksanaan sasi untuk tanaman-tanaman di hutan dan di kebun serta daerah sasi di laut terhadap berbagai sumberdaya perikanan yang memiliki nilai ekonomi yang penting dan merupakan kesepakatan bersama antara masyarakat dengan pemerintah negeri. Tujuan pengawasan dan pengontrolan Kewang ini adalah supaya setiap sumberdaya yang disasikan baik di hutan, kebun dan laut dapat memberi hasil yang baik pada waktu panen. Bagi masyarakat yang melanggar aturan-aturan sasi yang telah ditetapkan oleh Kewang dengan persetujuan Raja dan pemerintah negeri, yaitu dengan melakukan pencurian ataupun pengrusakkan
16
terhadap sumberdaya yang disasikan maka akan diberi sanksi oleh Kewang. Oleh karena itu, Kewang memiliki fungsi dan peranan yang sangat besar terhadap pengelolaan sumberdaya alam dalam pemerintah negeri dan juga berperan dalam mengawasi “hak ulayat negeri” (darat dan laut) terhadap pengaruh aktivitas dari luar. Pada sistem pemerintahan negeri, maka cara pelaksanaan sasi dilaksanakan secara adat oleh Raja sebagai kepala adat dan Kewang sebagai pengontrol dan pengawas sasi dan dihadiri oleh seluruh staf pemerintah negeri dan masyarakat. Oleh karena itu maka sebagai bagian dari ketentuan adat maka pelaksanaan sasi ada memiliki aturan-aturan tertentu yaitu; acara tutup dan buka sasi, dan tanda sasi. Hal ini merupakan suatu rangkaian dalam pelaksanaan sasi dimana pelaksanaan sasi tersebut berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh masing-masing pemerintah negeri di Maluku. Pelaksanaan sistem sasi ini juga menyangkut hak eksklusif pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat desa dimana dengan hak ini orang dari luar desa tidak diperkenankan untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Pada beberapa desa yang lain, hak eksklusif ini dapat dialihkan kepada orang luar desa sejauh mereka mau menggunakan teknologi yang serupa dengan yang digunakan oleh masyarakat setempat yaitu dimana alat tersebut tidak merusak lingkungan dan sumberdaya alam serta membayar sejumlah uang tertentu sebagai ganti hak yang telah diberikan kepada pemerintah negeri.
Kawasan hak eksklusif ini dikenal dengan nama petuanan negeri.
Petuanan darat yang di sasi merupakan suatu kawasan pertanian yang disebut dusun, yaitu suatu kawasan pertanian-kehutanan yang khas di Maluku dimana terdapat diversifikasi tanaman dan usaha yakni berupa tanaman hutan, tanaman tahunan, tanaman pangan dan tanaman hortikultura serta ternak (Nanere, 1996). Sedangkan petuanan laut yang disasi adalah suatu kawasan perairan di depan desa atau yang masih merupakan teritorial desa biasanya berupa perairan dangkal, atol, teluk atau selat (Nikijuluw, 2002). Oleh karena itu, pada sistem pemerintahan negeri, sasi merupakan salah satu sumber pendapatan negeri dan pendapatan masyarakat.
17
Pada sistem pemerintahan Orde Baru diterbitkan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan kemudian dikeluarkan ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menegaskan bahwa: dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok negara dan dalam rangka membina kesatuan bangsa, maka hubungan yang serasi
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
dikembangkan atas dasar keutuhan negara kesatuan dan diarahkan pada pelaksanaan otonomi daerah yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah, dan dilaksanakan bersamasama dengan dekonsentrasi, maka memperkuat pemerintah desa, agar makin mampu menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan menyelenggarakan administrasi desa yang makin luas dan efektif.
Berdasarkan hal
tersebut maka diterbitkannya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang bertujuan untuk meyeragamkan sistem pemerintahan desa desa di Indonesia untuk memudahkan pelaksanaan pemerintahan, pengawasan dan pembinaan (Siwalette, 2005).
Sejak berlakunya UU tersebut
maka mulai berlaku satu
struktur pemerintahan desa secara seragam diseluruh Indonesia. Penerapan dari UU No. 5 Tahun 1979 membuat perubahan-perubahan yang cukup mendasar dan berpengaruh terhadap kelangsungan kehidupan sosial ekonomi dan politik di tingkat desa. Dimana lembaga-lembaga adat mendapatkan penyesuaian untuk masuk ke dalam struktur pemerintahan desa berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979. Struktur organisasi pemerintahan desa terdiri dari kepala desa, sekretaris desa, lembaga musyawarah desa (LMD), kepala-kepala urusan dan kepala dusun. Pelaksanaan dan penerapan UU No. 5 Tahun 1979 di Provinsi Maluku diberlakukan dengan dikeluarkannya Instruksi Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Maluku No.Inst.08/GMAL/1980 yang mengatur tentang Struktur Pemerintahan Desa di Maluku yang sesuai berdasarkan pasal 3 UU No. 5 Tahun 1979 bahwa pemerintahan desa terdiri atas kepala desa, lembaga musyawarah desa (LMD) dimana dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh perangkat desa yang terdiri atas sekretariat desa (sekertaris desa dan kepala-kepala urusan) dan kepala-kepala dusun.
Dalam instruksi Gubernur Maluku itu dijelaskan bahwa LMD dalam
struktur pemerintahan desa terdiri dari pemuka-pemuka masyarakat yang harus
18
diambil dari kalangan adat, agama, kekuatan sosial-politik dan golongan profesi yang ada di desa. Golongan profesi adalah unsur-unsur instansi penting dalam desa
yang peranannya turut menunjang pembangunan desa, misalnya guru,
pimpinan KUD, pimpinan Puskesmas dan lainnya (Siwalette, 2005). Selanjutnya untuk badan Saniri Negeri yang ada atau badan lainnya (lembaga adat), atau yang disebut dengan nama lain, fungsi dan peranannya dapat dipersamakan dengan LMD menurut peraturan daerah, secara bijaksana akan disesuaikan susunan dan tata kerjanya menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan daerah. Pembentukan LMD dimufakatkan oleh kepala desa dengan pemuka-pemuka masyarakat di desa yang bersangkutan dengan memperhatikan usaha menyalurkan perwujudan demokrasi Pancasila secara nyata. Penjabaran lebih lanjut adalah yang termuat dalam Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1981 tentang Susunan Organisasi dan Tata Cara Kerja Pemerintahan Desa, dikatakan bahwa LMD berada di bawah kepala desa. LMD sebagai bagian dari pemerintahan desa merupakan lembaga permusyawaratan atau permufakatan yang anggotanya terdiri atas kepala-kepala dusun, pimpinan-pimpinan lembaga kemasyarakatan dan pemuka-pemuka masyarakat. Jumlah anggota LMD paling sedikit 9 orang dan paling banyak 15 orang, tidak termasuk ketua dan sekretaris yang dijabat oleh kepala desa dan sekretaris desa (Siwalette, 2005). Penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Menteri ini untuk konteks Maluku maka dikeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Maluku No. 410.24-71/081981 tanggal 12 Juni 1981 bahwa struktur pemerintahan desa yang selama ini dikenal dengan lembaga pemerintahan adat seperti Raja dan badan-badan Saniri Negeri lainnya masih diakui sepanjang struktur pemerintahan adat tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Oleh karena itu, maka di desa-desa yang dulunya merupakan negeri umumnya struktur pemerintahan desanya adalah kombinasi dari dua sistem pemerintahan desa yang ada. Pada sistem pemerintahan reformasi maka diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pengaturan tentang desa terdapat pada Bab XI pasal 111 ayat (1) dan (2) yang mengatakan bahwa pengaturan lebih lanjut tentang desa ditetapkan dalam peraturan daerah kabupaten sesuai dengan pedoman umum yang ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan Undang-Undang
19
ini. Peraturan daerah, sebagaimana di maksud dalam pada ayat (1), wajib megakui dan menghormati hak asal-usul dan adat istiadat desa. Menurut Siwalette (2005) bahwa substansi dari klausal pasal tersebut memberikan implikasi yang bisa signifikan terhadap kemungkinan perubahan struktur dan penyelenggaraan desa ke depan, dalam hal ini akan terdapat sekurang-kurangnya tiga bentuk perubahan sebagai berikut; perubahan dalam pembuatan regulasi dimana yang semula, ditetapkan oleh pemerintah pusat dan berlaku secara nasional, akan dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah daerah dan berlaku secara lokal; perubahan menyangkut besaran dominasi peran; yang semula, desa didominasi oleh institusi birokrasi, ke depan sangat mungkin akan didominasi oleh institusi-institusi masyarakat.
Perubahan berkenan dengan bentuk; yang semula
bentuk desa
praktis seragam, ke depan sangat mungkin menjadi beragam sesuai dengan aspirasi dan karakteristik lokal. Dalam perkembangannya maka UU No. 22 Tahun 1999 direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Adapun substansi dari UU ini adalah pemerintah daerah diberikan kewenangan dan tanggung jawab secara otonom untuk mengatur daerahnya untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya dan pendapatan asli daerah (PAD). Penerapan UU No.32 Tahun 2004 semakin memperkuat pemerintah Provinsi Maluku untuk mengakomodir aspirasi masyarakat untuk kembali ke sistem pemerintahan negeri. Oleh karena itu pada tanggal 19 Agustus 2005 dijadikan suatu momentum bagi pemerintah daerah Maluku bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Provinsi Maluku untuk menyatakan secara resmi oleh Gubernur Maluku bahwa sistem pemerintahan desa kembali pada sistem pemerintahan negeri.
2.2 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Kondisi perikanan dunia diperhadapkan pada suatu keadaan yang dilematis. Di satu pihak, hasil tangkapan yang didaratkan menunjukkan hasil yang sangat besar namun pada sisi yang lain, sejumlah stok ikan perairan dekat pantai (coastal waters) dan perairan pantai (inshore) yang menipis karena di tangkap secara berlebihan (overfished) (Widodo, 2003). Selain itu, sementara produksi ikan telah meningkat namun suplai ikan pangan yakni ikan untuk konsumsi manusia telah secara nyata menurun. Kenyaatan seperti ini telah menimbulkan
20
kesadaran dan kepedulian negara-negara di dunia untuk mengarahkan komunitas dunia untuk mengadopsi sejumlah instrumen dan inisatif internasional yang ditujukan untuk keperluan konservasi dan pengelolaan sumberdaya hayati serta preservasi dan perlindungan atas lingkungan akuatik. Instrumen dan inisiatif internasional utama yang mengarahkan berbagai isu kritis yang relevan dengan perikanan adalah sebagai berikut : (1) United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 (2) Konferensi dunia Perikanan untuk Pengelolaan dan Pembangunan Perikanan FAO 1984 (FAO World Fisheries Conference on Fisheries Management and Development, 1984) (3) Deklarasi Cancun 1992 mengenai penangkapan ikan yang bertanggung jawab (responsible fishing) (4) UNCED atau Earth Summit di Rio Janeiro, Juni 1992 (5) Code of Conduct for Responsible Fisheries (Kode Etik bagi Perikanan yang Bertanggung jawab) 1995 Beberapa dari instrumen dan inisiatif ini telah diberlakukan secara legal, sedang lainnya di susun dan ditegakkan sebagai dasar dan panduan yang ditujukan untuk membantu menyusun langkah-langkah kebijaksanaan bagi pemerintahpemerintah pada tingkat nasional, sub regional dan global (Widodo, 2003). Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), telah mengamanatkan kepada negara-negara di dunia untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara bertanggung jawab. Prinsip-prinsip untuk pengelolaan sumberdaya perikanan secara bertanggung jawab di antaranya meliputi: (1) Pelaksanaan hak menangkap ikan disertai dengan upaya konservasi (2) Pengelolaan perikanan berasaskan pada mempertahankan kualitas, keanekaragaman hayati dan keberlanjutan (3) Pengembangan armada sesuai dengan kemampuan reproduksi sumber daya (4) Perumusan kebijakan perikanan berdasarkan bukti-bukti ilmiah (5) Pengelolaan sumberdaya (precautionary approach)
berdasarkan pada prinsip kehati-hatian
21
(6) Pengembangan alat penangkapan yang selektif dan aman terhadap sumberdaya (7) Mempertahankan nilai kandungan nutrisi ikan pada keseluruhan proses produksi (8) Perlindungan terhadap lahan kehidupan nelayan, serta (9) Penegakan hukum melalui penerapan monitoring, controling and surveillance (MCS) (FAO, 1995).
Kebijakan di bawah CCRF diharapkan dapat memberikan tempat yang memadai bagi nelayan tradisional sehingga kesejahteraan mereka dapat ditingkatkan.
Melalui pendekatan tersebut, diharapkan kesadaran nelayan tradisional
dalam memelihara dan menjaga kelestarian sumberdaya perikanan dapat pula berkembang (Suseno, 2004). Konsep pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia mengacu pada UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Pengertian pengelolaan perikanan adalah semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan dan implementasi serta penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lainnya yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati (Lembaran Negara RI, 2004). Pengertian ini hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Cochrane (2002) bahwa pengelolaan perikanan adalah proses yang terpadu dari pengumpulan informasi, melakukan analisis, membuat perencanaan, melakukan konsultasi, pengambilan keputusan, menentukan alokasi sumberdaya serta perumusan dan pelaksanaan, bila diperlukan menggunakan penegakkan hukum dari aturan dan peraturan yang mengendalikan kegiatan perikanan dengan tujuan untuk menjamin keberlanjutan produksi dari sumberdaya dan tercapainya tujuan perikanan lainnya. Dari kedua pengertian pengelolaan perikanan tersebut, maka hakekat pengelolaan perikanan sebenarnya adalah pengelolaan terhadap tingkah laku manusia yang memanfaatkan sumberdaya perikanan tersebut seperti yang dikemukakan oleh
22
Nikijuluw (2002) bahwa pengelolaan terhadap manusia adalah pengaturan tingkah laku mereka dalam hal pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya. Adapun tujuan utama pengelolaan sumberdaya ikan adalah untuk: (1) Menjaga kelestarian produksi (2) Meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial para nelayan dan (3) Memenuhi keperluan industri yang memanfaatkan produksi tersebut (Widodo dan Nurhakim, 2002; Murdiyanto, 2004). Secara eksplisit dapat di katakan bahwa hakekat tujuan pengelolaan perikanan ini adalah suatu upaya perikanan yang berkelanjutan yaitu pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan dan hasil-hasilnya demi untuk kesejahteraan hidup masyarakat baik pada saat ini maupun yang akan datang. Pengelolaan sumberdaya perikanan selalu diperhadapkan dengan banyaknya permasalahan yang kompleks karena dipengaruhi oleh banyak faktor baik yang internal maupun ekstenal. Untuk itu, menurut Charles (2001) paradigma pembangunan perikanan harus dipandang sebagai suatu sistem yang terdiri dari komponen-komponen yang saling terkait dan saling berinteraksi dalam batasanbatasan tertentu untuk mencapai tujuan pembangunan perikanan yang diharapkan. Sebagai suatu sistem maka komponen-komponen sistem
perikanan adalah
sebagai berikut : (1) Sistem alam, yang terdiri dari : ikan, ekosistem dan lingkungan biofisik (2) Sistem manusia, yang terdiri : nelayan, sektor pasca panen dan konsumen, rumah tangga nelayan dan masyarakat, sosial/ekonomi/ lingkungan budaya. (3) Sistem pengelolaan perikanan, yang terdiri : kebijakan dan perencanaan perikanan, pengelolaan perikanan, pengembangan perikanan dan penelitian perikanan (Charles, 2001). Ketiga komponen sistem tersebut terdapat elemen-elemen sistem yang saling berinteraksi dan mempengaruhi satu dengan yang lain. Selain itu, ketiga komponen itu dipengaruhi juga oleh kekuatan ekternal yang turut berinteraksi bagi kelangsungan sistem tersebut. Pengelolaan perikanan merupakan bagian dari komponen sistem pengelolaan (management system) yang saling berinteraksi dengan elemen kebijakan dan perencanaan, penelitian serta pengembangan
23
perikanan. Hal ini berarti bahwa pengelolaan perikanan memiliki keterkaitan yang erat dengan aspek kebijakan dan perencanaan serta penelitian dan pengembangan perikanan. Selain itu, pengelolaan perikanan juga memiliki keterkaitan dengan aspek sumberdaya perikanan itu sendiri dan lingkungannya serta manusia yang memanfaatkan sumberdaya tersebut. Adapun beberapa pokok isu yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan menurut Dahuri (2001) adalah: (1) Pemanfaatan sumberdaya kelautan masih jauh dari optimal (2) Adanya perbedaan kepentingan yang cenderung menjurus ke konflik kepentingan antar sektor serta pemegang kepentingan lainnya (3) Lemahnya peraturan perundangan dalam hal pengaturan pengelolaan sumberdaya perikanan (4) Kerusakan habitat akibat pengelolaan yang tidak terkendali (5) Masih minimnya peranan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan mengakibatkan masih kurang tersentuhnya usaha perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat (6) Adanya potensi konflik antar daerah yang berbatasan (7) Masih kurangnya data dan informasi potensi sumberdaya kelautan (8) Belum adanya rencana tata ruang pesisir, lautan dan pulau-pulau kecil (9) Kerusakan fisik habitat ekosistem pesisir (10) Overeksploitasi sumberdaya hayati laut (11) Pencemaran; konflik penggunaan ruang (12) Rendahnya kualitas sumberdaya manusia (13) Keterbatasan dana (14) Kurangnya koordinasi dan kerjasama antar pelaku pembangunan kawasan pesisir (15) Lemahnya penegakkan hukum serta (16) Kemiskinan masyarakat pesisir Isu-isu pokok pengelolaan tersebut ternyata telah menjadi sorotan dari berbagai pihak baik secara nasional maupun internasional yang memiliki kepentingan di dalam mengembangkan pembangunan perikanan secara berkelanjutan.
24
Pengelolaan sumberdaya perikanan pada hakekatnya adalah inti dari proses pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Adapun indikator keberlanjutan dapat dilihat dari berbagai komponen. Pembangunan perikanan berkelanjutan menurut Charles (2001) didasarkan pada empat dasar
komponen yaitu;
keberlanjutan ekologi, keberlanjutan sosial-ekonomi, keberlanjutan masyarakat dan keberlanjutan kelembagaan. Komponen keberlanjutan ini digambarkan dalam bentuk segitiga keberlanjutan yang
membentuk dasar suatu kerangka untuk
penilaian keberlanjutan yaitu: keberlanjutan ekologi, keberlanjutan sosioekonomi dan keberlanjutan masyarakat. Di antara ketiga komponen keberlanjutan yang membentuk segitiga keberlanjutan tersebut maka komponen keempat yaitu keberlanjutan kelembagaan berada ditengah-tengahnya dimana keberlanjutan kelembagaan merupakan suatu proses akumulasi dari ketiga komponen keberlanjutan serta adanya saling hubungan di antara komponen-komponen tersebut. Kriteria keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan menurut Ostrom (1994) adalah sistem pengelolaan sumberdaya yang dapat dinilai dari sisi sikap masyarakat untuk menjaga lingkungan dan sumberdaya (stewardship) dan kelenturan (resilience) sistem. Selanjutnya Ostrom (1994) mengajukan indikator keberlanjutan lainnya, yaitu kesesuaian atau kecocokan antara pemegang kepentingan atau semua pihak yang terlibat langsung dalam pelaksanaan suatu sistem. Menurut Novaczek et al. (2001) faktor kunci yang menentukan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan adalah kerjasama dan persepsi yang sama dari semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan baik manajer maupun pengguna sumberdaya. Selanjutnya Novaczek et al.
(2001)
membagi kriteria keberlanjutan perikanan dalam pengamatannya terhadap kinerja sasi di Maluku menjadi keberlanjutan sosial dan keberlanjutan biologi. Keberlanjutan sosial
meliputi : tradisi aksi bersama, kesejahteraan keluarga,
pendapatan, keharmonisan masyarakat dan pembahasan tentang masalah-masalah desa. Keberlanjutan biologi meliputi : kondisi kesehatan sumberdaya dan hasil tangkapan. Suatu sistem dikatakan berkinerja baik
secara sosial jika sistem
tersebut dapat mempertahankan tradisi aksi kolektif, meningkatkan kesejahteraan keluarga dan pendapatan, menjaga keharmonisan masyarakat serta memberikan
25
ruang bagi masalah-masalah lokal untuk dipecahkan secara bersama. Sementara itu, sistem dikatakan berkelanjutan secara biologi apabila kesehatan sumberdaya dan hasil tangkapan ikan tetap baik.
2.3 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat Pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat (PSPBM) dapat didefinisikan sebagai suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat
untuk mengelola sumberdaya perikanannya
sendiri dengan terlebih dahulu mendefinisikan kebutuhan dan keinginan, tujuan serta aspirasinya (Nikijuluw, 2002). Proses pemberian tanggung jawab ini disadari bahwa masyarakat lebih mengetahui keberadaan dan potensi sumberdaya perikanan yang dimilikinya sehingga masyarakat diharapkan dapat mengelola sumberdaya perikanan tersebut berdasarkan tujuan-tujuan yang telah disepakatinya bersama berdasarkan kebutuhan dan keinginannya. Adapun tujuan yang diharapkan dari pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat pada hakekatnya adalah
supaya sumberdaya perikanan
dapat dimanfaatkan secara hati-hati dan terus menerus oleh masyarakat baik untuk masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang. Adapun implikasi dari hal ini adalah apabila pemanfaatan sumberdaya perikanan yang dilakukan secara hati-hati dilakukan oleh masyarakat maka akan adanya aliran manfaat yang dirasakan terus-menerus sepanjang tahun. Dengan adanya aliran manfaat seperti ini, nilai sekarang (present value) sumberdaya ikan semakin besar. Sebaliknya, jika penangkapan ikan dilaksanakan secara tidak benar, pemulihan stok tidak akan terjadi dan aliran manfaat yang diperoleh hanya pada saat yang singkat sehingga present value sumberdaya ikan berkurang (Nikijuluw, 2002). Pengelolaan sumberdaya perikanan
berbasis masyarakat berupaya untuk
mencari jawaban terhadap masalah utama lewat partisipasi aktif dan bermakna dari masyarakat
wilayah pesisir.
Istilah berbasis dapat diartikan
bahwa
pengguna utama sumberdaya yaitu masyarakat haruslah menjadi pengelola yang baik terhadap sumberdaya mereka. Strategi ini berbeda dengan strategi pengelolaan lain yang bersifat terpusat, yang program kegiatannya berasal dari
26
tingkat atas, atau kurang/tidak melibatkan masyarakat pengguna sumberdaya. (Tulungen et al., 2002) Dua komponen penting keberhasilan pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat adalah : (1) Konsensus yang jelas dari tiga pelaku utama, yaitu pemerintah, masyarakat pesisir dan peneliti (sosial, ekonomi dan sumberdaya). (2) Pemahaman yang mendalam dari masing-masingpelaku utama akan peran dan tanggung jawabnya dalam mengimplementasikan program pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat (Dahuri, 2003). Pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat dapat dilembagakan melalui tiga cara: (1) Pemerintah beserta masyarakat mengakui praktek-praktek pengelolaan sumberdaya perikanan yang selama ini dilakukan masyarakat secara turun-temurun dan merupakan adat atau budaya dianut selama ini. (2) Pemerintah dan masyarakat menghidupkan kembali atau merevitalisasi adat dan budaya masyarakat dalam mengelola sumberdaya perikanan. Adat dan budaya tersebut barangkali telah hilang atau tidak digunakan lagi karena berubahnya zaman dan waktu. Meski demikian, masyarakat dan pemerintah menyadari bahwa adat dan budaya itu perlu dihidupkan lagi karena ternyata hilangnya adat dan budaya tersebut tidak membuat masyarakat makin sejahtera dan bahagia. (3) Pemerintah memberikan tanggung jawab sepenuhnya dan wewenang pengelolaan sumberdaya kepada masyarakat (Nikijuluw, 2002). Secara mendasar, pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat harus mampu memecahkan dua persoalan utama yang secara luas telah diketahui khalayak umum, yaitu : (1) Masalah sumberdaya hayati (misalnya, tangkap lebih, penggunaaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, kerusakan ekosistem
serta
konflik antara nelayan tradisional dan industri perikanan modern), dan (2) Masalah lingkungan yang mempengaruhi kesehatan keanekaragaman hayati laut (misalnya, berkurangnya daerah mangrove dan padang lamun
27
sebagai daerah pembesaran sumberdaya perikanan, penurunan kualitas air, pencemaran, dsb. Dahuri, 2003). Pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat dapat terlaksana jika masyarakat lokal mampu memanfaatkan potensi alam, budaya, dan infrastruktur yang ada. Oleh karena itu, masyarakat perlu memahami dan sadar akan potensi serta kendala yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut mereka. Indikator pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat adalah untuk mempertahankan biodiversitas, melindungi identitas sosial masyarakat, konsistensi dengan budaya lokal, dan konsistensi dengan aspirasi lokal (Nikijuluw, 2002).
2.4 Sasi sebagai Bentuk Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat (PSPBM) di Maluku Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat yang dilaksanakan oleh masyarakat pedesaan Maluku yang keberadaannya sudah ada sejak dulu kala, dikenal dengan sebutan sasi
Sasi berasal dari kata Sanksi (Witness)
yang
mengandung pengertian tentang larangan pengambilan sumber daya alam tertentu tanpa ijin dalam jangka waktu tertentu yang secara ekonomis bermanfaat bagi masyarakat (Bailey and Zerner, 1992). Untuk mengetahui keberadaan sasi sebagai salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat maka terlebih dahulu harus memahami sistematika rezim pengelolaan sumberdaya perikanan
yang berlaku di
Indonesia, seperti yang dikemukakan oleh Nikijuluw (2005) yang tertera pada Gambar 2. Sumberdaya perikanan
Indonesia dalam kerangka perspektif nasional
adalah res communes atau ada pemiliknya seperti yang tertuang dalam UUD 1945 bahwa bumi dan air serta seluruh kekayaan alam yang dikandung di dalamnya adalah milik negara.
Dengan demikian maka sumberdaya perikanan adalah
properti negara (state property) dimana pemerintah bertanggung jawab dalam mengelola sumberdaya perikanan itu. Menurut UU No. 32 Tahun 2004, pengelolaan sumberdaya perikanan oleh negara dilakukan pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten atau kota. Tanggung jawab pemerintah yaitu
28
pada perairan ZEE serta laut teritorial di atas 12 mil. Dengan demikian maka maka pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan ini adalah rezim sentralistik.
Common Pool Wadah bersama
Res communes Properti Bersama
Res Nullius Tanpa Pemilik
Defacto tanpa Pemilik Akses Terbuka
Properti Masyarakat
Properti Pemerintah
Properti Swasta De Facto & De Jure Tanpa pemilik
Laissez-faire Kepemerintahan Masyarakat Open Competition Berbasis masyarakat
Non tradisional
Neo Tradiosional
Non indegenous
Kepemerintahan Negara Kepemerintahan internasional
Tradisional Sentralisasi
indegenous
Dekonsentrasi
Diatur oleh mekanisme dan Regulasi Pasar
Desentralisasi
Delegasi
Devolusi
Swastanisasi
Gambar 2 Skema rezim pengelolaan sumberdaya perikanan ( Nikijuluw, 2005) Tanggung jawab pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yaitu pada perairan teritorial hingga 12 mil dari garis pantai. Dengan demikian maka rezim pengelolaan sumberdaya perikanan yang berlaku di perairan hingga 12 mil ini adalah rezim desentralistik. Selain kedua bentuk rezim tersebut, di beberapa daerah yang masih kuat adat dan budaya lokalnya, berlaku juga rezim properti masyarakat yaitu pengelolaan sumberdaya perikanan oleh masyarakat. Keberadaan rezim ini umumnya berdasarkan hak ulayat laut (territorial use rihgts), dan hak asli (indigenous rights) yang dimiliki oleh penduduk asli setempat (indigenous people) yang memanfaatkan sumberdadaya secara arif dengan menggunakan pengetahuan dan teknologi lokal (indigenous knowledge and technologies). Dalam jumlah yang terbatas di beberapa lokasi, hak pengelolaan sumberdaya per-
29
ikanan oleh pemerintah diberikan juga kepada perusahaan swasta atau individu. Umumnya perusahaan atau individu menggunakan haknya untuk masuk dan memanfaatkan wilayah tertentu dalam kegiatan penangkapan atau budidaya ikan. Dalam hubungan ini maka perusahaan atau individu tidak bertindak sebagai pemilik (owner) tetapi pengguna (user) sumberdaya perikanan (Nikijuluw, 2005). Konsep dasar pengelolaan sumberdaya perikanan properti masyarakat adalah pengaturan pemanfaatan dan pemeliharaan sumberdaya ikan dimana masyarakat atau komunitas setempat mengambil tanggung jawab utama dalam pengelolaan sumberdaya. Model pengelolaan ini menempatkan masyarakat setempat sebagai pihak yang diberi tanggung jawab dan wewenang oleh pemerintah dalam porsi yang cukup berarti (significant) untuk melakukan pengaturan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayahnya.
Masyarakat dalam hal ini
adalah
sekelompok orang atau komunitas di daerah pantai yang mempunyai tujuan yang sama yaitu memanfaatkan sumberdaya ikan dengan mengambil hasil laut di wilayah perairan pantai untuk memenuhi kebutuhannya dan sebagai mata pencahariannya (Murdiyanto, 2004). Berdasarkan Gambar 2 di atas maka pengelolaan sumberdaya perikanan properti masyarakat terdiri dari non tradisional, neo tradisional, dan tradisional. Pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat (PSPBM) tradisional adalah pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat yang keberadaannya berdasarkan adat budaya serta praktik-praktik yang lazim atau telah ada di masyarakat sejak lama. Dengan kata lain, PSPBM tradisional umumnya merupakan adat istiadat atau tradisi yang masih di pegang dan dianut oleh masyarakat. Sementara itu, PSPBM yang keberadaannya karena sengaja dilahirkan berdasarkan aturan-aturan baru yang ditetapkan masyarakat sendiri atau karena difasilitasi pemerintah di kenal dengan PSPBM neo tradisional. PSPBM tradisional umumnya berdasarkan aturan-aturan tidak tertulis sehingga penyebaran informasi tentang aturan-aturan itu dilaksanakan secara verbal, ditransfer dari generasi tua ke muda. Revitalisasi PSPBM tradisional ini menyangkut aturan-aturan tidak tertulis yang dibuat menjadi aturan-aturan tertulis meskipun masih tetap informal. PSPBM neo tradiosional biasanya tertulis dengan baik karena dibuat berdasarkan perkembangan dan kristalisasi gagasan dari pihak pemerintah dan masyarakat.
30
Meskipun demikian, karena tidak atau belum dijadikan sebagai suatu aturan formal pemerintah sehingga masih disebut sebagai PSPBM neo tradisional. Biasanya PSPBM muncul karena adanya pengetahuan baru yang dimiliki masyarakat yang relevan dan mampu menjawab masalah yang mereka hadapi. Kelahiran PSPBM neo tradisional umumnya melalui proses penyadaran masyarakat yang dilakuikan oleh pihak luar yang lebih mengerti
persoalan yang
dihadapi masyarakat. Umumnya pihak luar ini adalah lembaga sosial atau pendamping masyarakat yang tinggal dan hidup bersama masyarakat. (Nikijuluw, 2002).
Berdasarkan uraian di atas maka sasi digolongkan sebagai PSPBM
tradisional. Ada dua bentuk sasi yaitu sasi darat dan sasi laut. Sasi darat yaitu meliputi semua jenis tanaman yang memiliki nilai ekonomi, seperti kelapa, pala, cengkeh, sagu, coklat, jeruk. Demikian juga sasi laut, seperti : lola, teripang, rumput laut, karang, pasir dan berbagai jenis ikan lainnya. Nikijuluw (2002) mengkaji sistem pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat di pedesaan Maluku khususnya di Pulau Saparua, memperlihatkan bahwa sistem pengelolaan tersebut memiliki tujuan, kaedah, pelaksanaan, superstruktur organisasi (Nikijuluw, 2002). Tujuan sasi adalah melindungi tradisi, meningkatkan pendapatan desa, melindungi lingkungan dan mencegah sumberdaya dimanfaatkan oleh orang lain. Kaedah sasi adalah : melarang mengambil lola, batu laga, tiram, akar bahar, teripang, capingcaping dan semua jenis ikan pada musim tutup sasi, penangkapan ikan pada saat musim buka sasi, alat tangkap ikan pada saat buka sasi adalah jala, bagan tancap, dan pancing tangan, daerah sasi adalah perairan depan desa dan sepanjang desa hingga kedalaman air 25 meter. Pelaksanaan buka sasi dilaksanakan oleh pemerintah desa sedangkan aturan sasi diatur secara tertulis dengan keputusan desa, aturan dilaksanakan oleh pemerintah desa sedangkan pengawasan pelaksanaan aturan sasi oleh polisi desa (Kewang). Pelaksanaan sasi laut dilakukan dengan cara menutup musim dan daerah penangkapan ikan. Untuk itu, masyarakat desa tidak diizinkan menangkap ikan selama periode tertentu di kawasan perairan ini. Periode penutupan penangkapan ikan dikenal dengan nama tutup sasi (closed season) sementara itu, periode musim penangkapan ikan dikenal dengan sebutan buka sasi (opened season).
31
Pelaksanaan sasi juga menyangkut hak penangkapan ikan oleh masyarakat desa, dimana orang luar desa tidak boleh menangkap ikan. Pada beberapa desa, hak penangkapan ini dapat dialihkan kepada pihak luar desa sejauh mereka menggunakan alat tangkap yang serupa digunakan oleh masyarakat setempat, selain itu, alat tangkap tersebut tidak merusak lingkungan dan sumberdaya ikan. Kawasan perairan yang di sasi adalah perairan di depan desa atau yang masih merupakan daerah teritorial desa, biasanya berupa perairan dangkal, atol, teluk atau selat (Nikijuluw, 2002). Sasi sangat berkaitan dengan peran dan struktur lembaga adat, hal ini karena keberadaan sasi dahulu kala berada dalam kehidupan masyarakat adat
yang
memiliki lembaga-lembaga adat yang mengatur norma-norma masyarakat. Salah satu lembaga adat adalah Kewang yang memainkan peranan yang sangat penting dalam pengelolaan sumberdaya alam di desa. Lembaga ini mengalami kehilangan peranan setelah adanya UU No. 5 Tahun 1979 dimana lembaga ini tidak mendapat tempat dalam struktur pemerintahan desa. Seiring dengan berjalannya waktu dan berkembangnya kondisi sosial, ekonomi dan teknologi maka dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat
di pedesaan Maluku saat ini telah banyak
mengalami perubahan. Novaczek et al. (2001) menyatakan bahwa, sebagai suatu pranata (institution), sasi tidak statis tetapi mengalami perubahan sesuai waktu. sasi dan budaya adat sangat mudah dipengaruhi dan lemah dari waktu ke waktu yang mencerminkan dampak dari kolonialisme, peperangan, perkembangan ekonomi dan perubahan sosial. Perubahan sasi yang nampak terlihat adalah di sebagian pedesaan sudah tidak ada
lagi pelaksanaan
sasi laut
seperti terlihat di Pulau Ambon dan
kabupaten Maluku Tengah (Novaczek et al., 2001). Perubahan-perubahan ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain karena hak pemanfaatan sumberdaya ikan oleh masyarakat setempat
telah dilelang bagi pihak luar masyarakat
(Bandjar, 1998). Selanjutnya Bandjar (1998) menyatakan
bahwa dengan pe-
rubahan aturan sasi yakni pemanfaatan oleh masyarakat kepada pemanfaatan oleh pengontrak mengakibatkan terputusnya akses masyarakat terhadap sumberdaya yang disasikan. Hal ini berdampak negatif terhadap masyarakat setempat, baik di-
32
lihat dari aspek sosial, politik, ekonomi dan lingkungan. Menurut Kissya (2000), salah satu faktor penyebab perubahan yang melemahkan pelaksanaan sasi adalah karena hilangnya kewenangan dan peranan lembaga Kewang yang bertanggung jawab dalam pengaturan pengelolaan sumberdaya. Selain itu, aturan-aturan sasi tidak tertulis dengan baik dan selalu ditransformasikan dari generasi ke generasi melalui cerita orang tua. (Novaczek et al,. 2001). Perubahan sasi juga disebabkan karena adanya peningkatan populasi manusia, mobilitas penduduk dan peningkatan pembangunan desa yang cukup tinggi (Norimarna, 1998). Walaupun telah mengalami perubahan-perubahan dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat di pedesaan Maluku, namun persepsi masyarakat terhadap pelaksanaan sasi laut khususnya
di Pulau
Saparua adalah masih baik. Hal ini berarti bahwa masyarakat setempat masih merasakan dampak manfaat dari pelaksanaan sasi bagi kelangsungan hidup masyarakat secara sosial ekonomi. Walaupun mereka sadar akan pengaruh faktorfaktor internal maupun eksternal yang sulit dikontrol oleh masyarakat itu sendiri. Novaczek et al. (2001) membandingkan desa-desa sasi dan tidak disasi di Maluku Tengah, menyimpulkan bahwa umumnya keberlanjutan sosial lebih baik pada desa-desa sasi sedangkan untuk keberlanjutan ekonomi lebih baik pada desadesa yang tidak sasi. Keberlanjutan sosial yang dimaksud dilihat pada kehidupan masyarakat yang lebih harmoni, melakukan aktifitas secara bersama-sama dan mendiskusikan tentang isu-isu desa.
Dari keberlanjutan ekonomi, tingkat
pendapatan masyarakat untuk desa-desa yang disasi tidaklah lebih baik dari desadesa yang tidak sasi.
2.5 Penelitian Sasi Terdahulu Novaczek et al. (2001) mengevaluasi pelaksanaan sasi di desa-desa Maluku Tengah. Indikator-indikator yang diukur bersifat non ekonomi yaitu : efisiensi, keberlanjutan sosial, keberlanjutan biologi dan pemerataan. Dengan indikator tersebut disimpulkan bahwa kinerja pengelolaan sumberdaya perikanan pantai melalui sasi di Maluku Tengah ternyata tidak lebih baik dibandingkan dengan pelaksanaan pada beberapa tahun sebelumnya. Persepsi masyarakat untuk kinerja sasi pada masa lalu adalah lebih baik dibandingkan dengan waktu sekarang ini.
33
Pembentukan proses persepsi ini tentunya sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor baik yang internal maupun eksternal masyarakat. Saad (2003) mengkaji struktur kepemimpinan dan kewenangan masyarakat hukum adat dalam hubungannya dengan hak ulayat laut di berbagai tempat di wilayah Indonesia Timur. Salah satu contoh kasus ialah lembaga Kewang di Maluku. Struktur organisasi Kewang di Desa Haruku terdiri dari kepala Kewang darat, kepala Kewang laut, pembantu (sekel), dua orang sekretaris, seorang bendahara dan beberapa
orang anggota. Kepala Kewang darat dan
kepala
Kewang laut saling melengkapi namun dari sisi kedudukannya maka kepala Kewang darat lebih tinggi. Tugas kepala Kewang darat adalah mengatur tugas pengawasan anggota Kewang, memimpin rapat Kewang, mengadakan koordinasi dengan Raja (kepala desa) mengenai waktu tutup dan buka sasi, serta memimpin upacara penutupan dan pembukaan sasi, memberikan hukuman atau denda terhadap pelanggaran sasi serta melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan pelaksanaan tutup dan buka sasi, seperti meletakan tanda sasi. Gambaran tentang struktur kepemimpinan beserta kewenangannya pada masyarakat hukum adat tersebut menunjukkan bahwa masyarakat hukum adat dan institusi kepemimpinannya hingga kini masih tetap hidup meskipun selama ini telah diintervensi oleh sistem pemerintahan formal
dalam bentuk perundang-undangan tentang
desa. Batas wilayah hak ulayat laut di Desa Haruku tercermin dari petuanan laut yang disebut labuhan desa. Batas labuhan berupa garis imajiner yang ditarik dari batas petuanan darat, sedangkan ke arah laut sampai pada perbatasan antara laut dangkal dengan laut dalam. Di dalam wilayah labuhan, terdapat juga wilayah yang pada waktu tertentu ditutup atau dilarang dieksploitasi, meskipun oleh anak negeri sendiri kecuali dengan alat-alat dan jenis ikan tertentu. Wilayah yang demikian itu disebut dengan labuhan sasi. Labuhan sasi di Desa Haruku terbagi manjadi dua bagian, yaitu labuhan sasi laut dan labuhan sasi ikan lompa. Batas labuhan sasi laut di sebelah Utara adalah garis imajiner yang ditarik dari sudut balai desa bagian Utara sepanjang 200 meter ke arah laut, dan sebelah Selatan sampai ke Tanjung Wairusi, yaitu Tanjung yang berada di dekat Fort Newzeland. Diperkirakan panjang labuhan sasi laut ini mencapai 600 meter. Batas labuhan sasi ikan lompa yakni Tanjung Wairusi ke Selatan sampai Tanjung Hi-i dengan
34
panjang sekitar 1500 meter dan lebar ke arah laut 200 meter. Eksklusivitas wilayah labuhan sasi laut disebabkan
wilayah tersebut merupakan daerah
mobilitas ikan lompa (Trisina baelama) dan ikan make. Penutupan wilayah ini agar sumberdaya perikanan yang ada dapat mencapai hasil yang optimal, sehingga ketika saatnya dibuka untuk dieksploitasi hasilnya cukup untuk dibagikan kepada seluruh warga masyarakat desa Haruku.
Selama masa penutupan wilayah,
masyarakat dilarang mengeksploitasi sumberdaya perikanan kecuali dengan alat tangkap tertentu. Bandjar (1998) mengkaji tentang peran sasi
laut dalam pengelolaan
sumberdaya hayati laut terhadap masyarakat pesisir di Maluku. Dinamika sasi menunjukkan bahwa lembaga-lembaga setempat dengan mudah dipengaruhi oleh pemilik modal perseorangan/kelompok sehingga merubah peraturan-peraturan sasi yang mengakibatkan tersingkirnya hak dan manfaat dari penduduk setempat. Dengan perubahan aturan sasi yakni pemanfaat oleh masyarakat kepada pemanfaatan oleh pengontrak mengakibatkan terputusnya akses masyarakat terhadap sumberdaya perikanan yang di sasi. Hal ini berdampak negatif terhadap masyarakat setempat. baik dilihat dari aspek sosial, politik, ekonomi maupun lingkungan. Thorburn (1998) meneliti tentang penerapan sasi pada pengelolaan lola (Topshell,Trochus niloticus) pada desa-desa di bagian Pantai Timur Pulau Kei Besar, Kabupaten Maluku Tenggara.
Lola merupakan salah satu pendapatan
utama penduduk Kei hingga kini dan pendapatan daerah Maluku Tenggara. Penerapan hukum dan peraturan yang tidak konsistensi ditambah dengan kolusi serta kepentingan pribadi dari berbagai kelompok yang terlibat di dalamnya secara bersama-sama telah mengancam kelestarian baik kelembagaan sasi maupun flora dan fauna yang dikelola dengan berhasil dan secara berkesinambungan di wilayah ini. Dalam klasifikasi flora dan fauna yang dilindungi tidak tercantum hal-hal yang berkaitan dengan keberadaan dan pengembangan sistem pengelolaan bersama yang dapat dilaksanakan serta saling menguntungkan, dimana sistem ini mampu memenuhi kepentingan pihak-pihak terkait dan menerapkan kebijakan yang berlaku dalam masyarakat setempat dan instansi pemerintah sesuai dengan kemampuan masyarakat setempat, pedagang dan industri.
35
Arifin and Pradina (1998) yang dikutip Dahuri (2003) mengkaji tentang pengelolaan sumberdaya siput lola di Maluku. Hasil kajiannya memperlihatkan bahwa perkembangan produksi perikanan lola tidak sesuai dengan gambaran umum tentang suksesnya sistem sasi dalam mengatur sumberdaya alam. Jumlah cangkang lola yang didaratkan dari hasil buka sasi selama 13 tahun dan produksi hipotetik jika asumsinya lola dipanen setiap tahun menunjukkan bahwa produksi lola cenderung menurun. Hal ini menunjukkan bahwa sistem sasi belum cukup baik untuk mempertahankan perikanan lola secara berkelanjutan. Ada empat faktor yang menyebabkan kegagalan perikanan lola, yaitu : (1) Lemahnya informasi dasar tentang aspek biologi lola, seperti kebiasaan makan, siklus reproduksi dan tingkat permulaan dewasa (2) Kuatnya ekonomi pasar yang menyebabkan keterpaksaan para pemimpin adat untuk membuka sasi sesering mungkin (3) Pertambahan penduduk yang tinggi (rata-rata 2,1 % per tahun) (4) Pengambilan lola secara illegal
Belajar dari kasus di atas, strategi pengelolaan sumberdaya hayati dengan hanya mengedepankan sistem tradisional belum cukup memecahkan masalah. Oleh sebab itu, sistem ini harus diintegrasikan dengan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan biologi sumberdaya alam dan didukung oleh kebijakan pemerintah daerah setempat. Perikanan lola sistem sasi masih mungkin bertahan di masa yang akan datang jika aspek-aspek biologi lola telah dikuasai, batas minimum yang diijinkan untuk di panen, dan program pengelolaan bersama (comanagement) di tingkat desa atau kabupaten diterapkan dengan baik.
2.6 Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tugas mengelola dan menata pemanfaatan sumberdaya perikanan merupakan sesuatu hal yang sulit dilakukan oleh pemerintah pusat sendiri. Hal ini disebabkan antara lain : kekurangan personel; kekurangan dana;
kekurangan
fasilitas; rendahnya legitimasi pemerintah pusat yang berkaitan langsung dengan masyarakat; kurangnya pemahaman pemerintah pusat terhadap masalah yang dihadapi masyarakat; lambatnya proses transformasi kebijakan yang diambil di
36
tingkat pusat ke dalam bentuk kebijakan aplikatif di tingkat daerah. Dengan berbagai alasan tersebut maka desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan perlu dilaksanakan. Arti penting dari desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan
adalah pemerintah daerah lebih diberdayakan untuk mengelola
sumberdaya perikanan dimana konsep pembangunan yang akan dilaksanakan dirumuskan melalui pendekatan dari bawah (bottom-up approach), dengan memanfaatkan sistem norma dan adat istiadat setempat (Dahuri, 2003). Desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan secara hukum tertuang dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Ada beberapa hal pokok yang penting dalam melaksanakan desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan yaitu : (1) Kualitas sumberdaya manusia (2) Partisipasi masyarakat (3) Penegakan hukum yang melibatkan lembaga-lembaga masyarakat dan (4) Ketersediaan dana untuk peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan peningkatan infrastruktur wilayah (Saad, 2001). Hal ini menjadi sangat penting karena persoalan yang muncul pada desentralisasi tidak dapat dipisahkan dari sentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan pada masa lalu yang telah menimbulkan banyak masalah, termasuk di dalamnya kerusakan sumberdaya pesisir dan lautan serta terpinggirnya pelakupelaku usaha lokal. Sistem sentralistik tidak mengakui adanya pluralisme hukum termasuk pengakuan terhadap eksistensi hukum adat atau hak ulayat laut yang secara riil efektif di masyarakat. Desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan pada hakekatnya adalah sebagai penyerahan kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab secara sistematis dan rasional dari pemerintah kepada masyarakat. Meskipun demikian namun pemerintah perlu bekerjasama atau berkoloborasi dengan masyarakat
dalam
wujud saling membagi wewenang, kekuasaan dan tanggung jawab. Oleh karena itu sistem desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan adalah merupakan suatu bentuk ko-manajemen perikanan antara pemerintah dan masyarakat (Pomeroy and Williams, 1994). Konsekuensinya, sistem pengelolaan perikanan adalah sistem yang melibatkan masyarakat dan pemerintah bertanggung secara
37
bersama-sama dalam melakukan proses dan tahapan pengelolaan sumberdaya perikanan. Jadi inti ko-manajemen adalah adanya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat lokal. Adapun manfaat yang ingin dicapai melalui ko-manajemen
perikanan
adalah status pengelolaan perikanan yang lebih tepat, lebih efisien serta lebih adil dan merata. Selain itu, ko-manajemen merupakan jalan ke arah terwujudnya pembangunan berbasis masyarakat dan merupakan cara untuk mewujudkan proses pengambilan keputusan secara desentralisasi. Tujuan ko-manajemen juga adalah untuk mencapai visi dan tujuan nelayan lokal serta mengurangi konflik antar nelayan melalui proses demokrasi partisipatif (Nikijuluw, 2002). Ko-manajemen pengelolaan sumberdaya perikanan akan berbeda-beda dan hal ini sangat tergantung pada kondisi spesifik dari suatu wilayah. Untuk itu Mc Cay (1993) and Berkes (1994) yang dikutip Novaczek et al. (2001), telah menyusun suatu hirarki penilaian ko-manajemen yang merupakan gabungan dua pendekatan yaitu pengelolaan berbasis pemerintah dan pengelolaan berbasis masyarakat. Ada 10 tingkatan dalam hirarki ko-manajemen tersebut, yaitu : (1) Pemberitahuan (2) Konsultasi (3) Kerjasama (4) Komunikasi (5) Pertukaran informasi (6) Pengawasan hukum (7) Aksi kerjasama (8) Rekanan (9) Kontrol masyarakat dan (10) Koordinasi antar daerah Adanya hirarki ko-manajemen karena terdapat berbagai kemungkinan proses pengambilan keputusan
yang melibatkan masyarakat lokal dan
pemerintah. Hirarki ko-manajemen ini menggambarkan bahwa bila suatu tanggung jawab dan wewenang masyarakat rendah pada suatu bentuk komanajemen maka tanggung jawab dan wewenang pemerintah akan tinggi.
38
Sebaliknya
bila tanggung jawab dan wewenang masyarakat tinggi, maka
tanggung jawab dan wewenang pemerintah rendah. Beberapa kunci keberhasilan ko-manajemen pengelolaan sumberdaya perikanan dikemukakan oleh Pomeroy and Williams (1994) yang dikutip (Zamani dan Darmawan, 2001) adalah : (1) Batas-batas wilayah yang jelas (2) Kejelasan keanggotaan (3) Keterikatan dalam kelompok (4) Manfaat harus lebih besar dari biaya (5) Pengelolaan yang sederhana (6) Legalisasi dari pengelolaan (7) Kerjasama dan kepemimpinan dalam masyarakat (8) Desentralisasi dan pendelegasian wewenang (9) Koordinasi antara pemerintah dengan masyarakat dan (10) Pengetahuan, kemampuan dan kepedulian masyarakat.
Ko-manajemen perikanan akan berjalan dengan baik apabila di tingkat masyarakat telah ada suatu bentuk sistem manajemen pengelolaan sumberdaya perikanan oleh masyarakat, hal ini menjadi embrio bagi terjadinya proses penerapan ko-manajemen tersebut. Berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan ini, maka ko-manajemen merupakan salah satu alternatif pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan di Maluku pada rezim otonomi daerah. Hal ini disebabkan karena di tingkat masyarakat lokal pedesaan Maluku
telah memiliki sistem
tersebut. Untuk itu, perlu mendapat perhatian untuk dikembangkan ke arah yang lebih baik lagi.
3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian yang dimulai dari penjajakan, studi pustaka, pembuatan proposal, penelitian lapangan, pengolahan data dan penulisan disertasi adalah dari bulan Januari 2005 sampai dengan bulan September 2006. Pengumpulan data di lapangan dilaksanakan dari bulan Juli sampai dengan bulan Desember 2005. Tempat penelitian adalah di Kota Ambon, Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Seram Bagian Barat, yang meliputi beberapa pulau yaitu Pulau Ambon, Pulau Saparua, Pulau Nusalaut, Pulau Haruku dan Pulau Seram (Lampiran 1).
3.2 Metode Sampling Provinsi Maluku secara geografis merupakan daerah kepulauan, untuk itu akan terasa sulit untuk mendapatkan kerangka sampel dari semua unsur-unsur yang terdapat dalam populasi tersebut. Penentuan pengambilan sample untuk lokasi penelitian adalah dengan menggunakan metode purposive sample atau secara sengaja dengan
mempunyai beberapa alasan dan pertimbangan tertentu
antara lain: (1) Desa yang dipilih merupakan desa-desa pesisir (2) Desa-desa yang mempunyai aktivitas perikanan (3) Memiliki kesamaan dalam sosial budaya dan struktur masyarakat dalam konteks pola hubungan berdasarkan kekuasaan di dalam masyarakat. (4) Terbatasnya dana penelitian
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode gugus bertahap yaitu melalui tahap-tahap tertentu berdasarkan wilayah-wilayah yang ada (Singarimbun dan Effendi 1989). Teknik pengambilan sampel gugus bertahap dilakukan, seperti diperlihatkan pada Gambar 3.
40
Populasi Sampling I (Kabupaten) Sampel I (Beberapa Kabupaten) Populasi Sampling II (Kecamatan dalam Kabupaten terpilih) Sampel II (Beberapa Kecamatan)
Populasi Sampling III (Desa-desa dalam Kec. Terpilih) Sampel III (Desa yang di teliti)
Keterangan: = Dipilih secara purposive = Terdiri dari = Dipilih secara acak (random) Gambar 3 Metode gugus bertahap dalam teknik pengambilan sampel (1) Populasi sampling pertama, terdiri dari semua kabupaten, kemudian dipilih secara purposive beberapa kabupaten, sebagai sampel pertama. (2) Sampel pertama dijadikan sebagai populasi sampling ke dua yang terdiri dari beberapa kecamatan dalam kabupaten yang terpilih. Kemudian beberapa kecamatan terpilih tersebut sebagai sampel ke dua. (3) Sampel kedua disebut sebagai populasi sampling ketiga, yang terdiri dari beberapa desa dari kecamatan yang terpilih. Selanjutnya pemilihan desa ditentukan secara acak (random) untuk selanjutnya dijadikan sebagai sampel ke tiga (4) Unsur sampling yang ketiga inilah yang akan diselidiki sebagai unsur penelitian Berdasarkan metode dan teknik pengambilan sampel tersebut di atas maka ada 61 desa yang terpilih yaitu: 22 desa di Kota Ambon, 37 desa di Maluku Tengah dan 2 desa di Seram Bagian Barat. 61 desa ini terdiri dari 53 desa adat dan 8 desa bukan desa adat.
Desa adat mewakili
desa yang mengalami
41
perubahan akibat pelaksanaan UU No.5 Tahun 1979 sedangkan desa bukan adat adalah mewakili desa yang terbentuk akibat pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1979. 3.3 Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan berdasarkan tujuan penelitian ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 Jenis data berdasarkan tujuan penelitian No. Tujuan Penelitian Perubahan sistem 1 pemerintahan desa
Jenis Data Sistem pemerintahan desa : Nama wilayah adiministratif, Kepala pemerintahan, Cara pemilihan, kewenangan, Struktur organisasi, Lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, pelaksana pengelolaan perikanan
Sumber Data - Wawancara - Kuesioner - Kantor Desa - Studi Pustaka
2
Keberadaan sasi pada rezim otonomi daerah
Keberadaan sasi, bentuk sasi, ketersediaan aturan perikanan, bentuk aturan perikanan
- Wawancara - Kuesioner - Studi Pustaka
3
Perubahan pengelolaan perikanan berbasis masyarakat
Perencanaan : Tujuan pengelolaan , keterlibatan organisasi, tingkat partisipasi masyarakat Pengorganisasian : Tugas pokok dan fungsi organisasi Pengarahan : Motivasi dan arahan Fungsi Pengawasan
- Kuesioner
4
Perubahan kinerja pengelolaan perikanan
Efisiensi : Pengambilan keputusan, Kesempatan masyarakat, Kepatuhan.masyarakat Pemerataan : Tingkat aksesibilitas, Kepemilikkan alat, kesamaan ekonomi. Keberlanjutan Sosek : Kebersamaan, tingkat kesejahteraan, kerukunan Keberlanjutan biologi : Kondisi sumberdaya perikanan Kondisi hasil tangkapan
- Kuesioner - Statistik Perikanan Maluku Tengah - Indentifikasi potensi
5
Kinerja pengelolaan perikanan pada desa sasi laut dan desa non sasi laut
Efisiensi Pemerataan Keberlanjutan Sosial Ekonomi Keberlanjutan biologi
- Kuesioner - Statistik Perikanan Maluku Tengah - Indentifikasi potensi
42
Ada dua teknik pengumpulan data yaitu pengumpulan data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer menggunakan beberapa cara yaitu: (1) Wawancara secara mendalam (in depth interview) Wawancara dilakukan dengan menggunakan lembaran pertanyaan yang telah disusun secara terstruktur serta sistematis sesuai dengan tema penelitian. Wawancara khusus untuk mendapatkan data struktur pemerintahan desa, data keberadaan sasi, data perubahan pengelolaan perikanan berbasis masyarakat dan data perubahan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku. Wawancara dilakukan terhadap para pelaku (stakeholders) yang terlibat dalam penelitian ini, yaitu: kepala desa dan stafnya, tokoh adat, tokoh masyarakat dan nelayan. Selain itu wawancara juga di lakukan terhadap tokoh budaya daerah Maluku, kepala Dinas Perikanan Kabupaten dan Kotamadya Ambon dengan beberapa stafnya, pakar perikanan, pakar sosiologi dan pakar hukum adat di Maluku. (2) Kuesioner Kuisioner terdiri dari : Inventarisasi sasi dan lokasi desa sasi, perubahan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah, begitu pula dengan perubahan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah (Lampiran 3-6). Pelaksanaan pengumpulan data dilakukan oleh empat orang enumerator yang sebelumnya telah dilakukan bimbingan dan latihan. Pertanyaan pada kuesioner disusun berdasarkan variabel penelitian sedangkan jawaban responden di tulis pada lembaran jawaban yang dibuat seperti anak tangga yang tersusun dari angka 1 sampai 10 dimana angka 1 adalah keadaan yang terjelek dan angka 10 menunjukkan keadaan yang terbaik. Klasifikasi responden adalah responden yang berumur sekitar lima puluh tahun sampai enam puluh lima tahun, dengan asumsi bahwa responden telah mengalami masa periode pergantian sistem pemerintahan desa pada rezim adat, rezim sentralisasi maupun rezim otonomi daerah.
43
Adapun jumlah responden dari 61 desa adalah 257 orang dimana pada masing-masing desa berkisar antara 3-5 orang yang merupakan perwakilan dari staf pemerintahan desa/tokoh masyarakat, Kewang (untuk desa sasi laut), nelayan dan masyarakat. (3) Observasi Lapangan dan Catatan Harian Observasi lapangan dilakukan untuk melihat langsung fakta-fakta di lapangan yang kemudian dilanjutkan dengan membuat catatan harian yang merupakan tulisan yang dibuat secara sistematis untuk mendokumentasikan hasil penelitian pada studi lapangan yang mencakup catatan fakta tentang seluruh faktafakta yang diperoleh dilapangan. Pengumpulan data sekunder diperoleh dari buku statistik meliputi: Kota Ambon Dalam Angka Tahun 2004, Maluku Tengah Dalam Angka Tahun 2004, Buku Tahunan Statistik Perikanan Provinsi Maluku Tahun 2003, Hasil identifikasi dan inventarisasi potensi kelautan dan perikanan Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2003. Selain itu, melalui hasil-hasil penelitian terdahulu, jurnal, dan tulisan-tulisan yang relevan dengan tema penelitian ini.
3.4 Analisis Data Ada beberapa pendekatan analisis yang akan digunakan untuk menjawab tujuan penelitian yang telah dikemukakan. 3.4.1 Analisis deskriptif kualitatif Analisis digunakan untuk desa
menganalisis perubahan sistem pemerintahan
pada rezim adat, sentralisasi dan otonomi daerah yang berkaitan dan
memberi pengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku.
Selain itu, analisis ini digunakan juga untuk menganalisis
keberadaan sasi sebagai bentuk pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat di Maluku pada rezim otonomi daerah. Analisis dekskripsi kualitatif
mengacu pada Miles dan Huberman (1992) yaitu dengan tahapan
reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi.
44
3.4.2 Uji Friedman Uji Friedman adalah salah satu alat statistik non parametrik yang digunakan untuk analisis varians dua arah untuk menguji variabel-variabel yang diamati. Adapun formula umum Uji Friedman dikutip dari Daniel (1990) adalah sebagai berikut :
⎡ ⎛ k ⎞⎤ ⎜ ⎟⎥ ⎢ 2 ⎜ χ 2 = ⎢12 / nk ( k + 1) Rj ⎟ ⎥ − 3 n ( k + 1) ⎜ ⎟⎥ ⎢ ⎜ ⎟⎥ ⎢⎣ ⎝ j =1 ⎠⎦
∑
Keterangan:
χ 2 = Statistik uji n = Jumlah variabel Rj = Jumlah peringkat pada rezim ke -j k = Jumlah rezim 12 = Konstanta 3 = Konstanta
Uji Friedman digunakan untuk menganalisis pengaruh perubahan sistem pemerintahan desa terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat. Dimana ada tiga kategori rezim pemerintahan desa yang di amati yaitu : rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah. Variabel pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat , yang diamati adalah: Perencanaan: (1) tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan (2) keterlibatan organisasi dalam perencanaan pengelolaan perikanan (3) tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan Pengorganisasian: (4) tugas pokok dan fungsi organisasi pengelolaan sumberdaya perikanan Pengarahan: (5) Motivasi dan arahan Pengawasan: (6) Fungsi pengawasan
45
Dengan jumlah variabel pengelolaan n = 6 dan jumlah rezim k = 3 maka formula Uji Friedman disederhanakan dengan persamaan sebagai berikut:
⎞ ⎛ 3 ⎟ ⎜ 1 R j 2 ⎟ − 72 χ2 = ⎜ ⎟ 6⎜ ⎟ ⎜ j =1 ⎠ ⎝
∑
Adapun urutan kerja uji Friedman tersebut di atas diperlihatkan pada Lampiran 11. Uji Friedman digunakan juga untuk menganalisis
pengaruh perubahan
sistem pemerintahan desa terhadap kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku. Ada tiga kategori rezim pemerintahan desa yang diamati adalah: rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah. Variabel kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku, yang diamati adalah : Efisiensi : (1) Pengambilan keputusan nelayan dalam pengelolaan perikanan (2) Kesempatan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan (3) Kepatuhan masyarakat terhadap peraturan perikanan Pemerataan : (4) Tingkat aksesibilitas terhadap sumberdaya perikanan (5) Kepemilikan alat tangkap (6) Tingkat kesamaan ekonomi Keberlanjutan sosial ekonomi : (7) Kebersamaan masyarakat dalam kegiatan perikanan (8) Tingkat kesejahteraan rumah tangga (9) Kerukunan nelayan Keberlanjutan biologi : (10) Kondisi kesehatan sumberdaya perikanan (11) Kondisi hasil tangkapan sumberdaya perikanan.
46
Dengan jumlah variabel kinerja n = 11 dan jumlah rezim k = 3 maka formula Uji Friedman disederhanakan dengan persamaan sebagai berikut:
⎛ 3 ⎜ 1 ⎜ χ2 = R j2 11 ⎜ ⎜ j =1 ⎝
∑
⎞ ⎟ ⎟ − 132 ⎟ ⎟ ⎠
Adapun urutan kerja uji Friedman tersebut di atas diperlihatkan pada Lampiran 16.
3.4.3 Uji Mann-Whitney Uji Mann-Whitney adalah salah satu alat statistik non parametrik untuk menguji hipotesis Ho tentang kesamaan parameter-parameter lokasi dengan ukuran sampel yang tidak sama. Formula
populasi
Uji Mann Whitney untuk
menganalisis perbedaan kinerja pengelolaan sumberdaya perikanan desa sasi laut dan non sasi laut pada rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah, dikutip dari Daniel (1990) adalah sebagai berikut :
Τ=
S − J (J + 1) 2
Keterangan: T = Statistik Uji S = Jumlah peringkat terbesar untuk salah satu kategori lokasi J = Jumlah variabel kinerja pengelolaan perikanan pada salah satu kategori lokasi Adapun kategori lokasi adalah desa sasi laut dan desa non sasi laut, sedangkan variabel kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku yang diamati adalah:
47
Efisiensi: (1)
Pengambilan keputusan nelayan dalam pengelolaan perikanan
(2)
Kesempatan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan
(3)
Kepatuhan masyarakat terhadap peraturan perikanan
Pemerataan: (4)
Tingkat aksesibilitas terhadap sumberdaya perikanan
(5)
Kepemilikan alat tangkap
(6)
Tingkat kesamaan ekonomi
Keberlanjutan sosial ekonomi: (7)
Kebersamaan masyarakat dalam kegiatan perikanan
(8)
Tingkat kesejahteraan rumah tangga
(9)
Kerukunan nelayan
Keberlanjutan biologi: (10) Kondisi kesehatan sumberdaya perikanan (11) Kondisi hasil tangkapan sumberdaya perikanan.
Adapun urutan kerja Uji Mann-Whitney adalah sebagai berikut: (1)
Buatkan rata-rata per variabel pada rezim sentralisasi untuk desa sasi laut dan desa non sasi laut
(2)
Gabungkan variabel-variabel tersebut
(3)
Urutkan data tersebut dari terkecil hingga terbesar
(4)
Berikan peringkatnya
(5)
Pisahkan antara desa sasi laut dan desa non sasi laut
(6)
Jumlahkan perikatnya
(7)
Masukkan ke rumus
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 19 dan 20.
48
Adapun analisis data berdasarkan tujuan penelitian disusun pada Tabel 3. Tabel 3 Analisis data berdasarkan tujuan penelitian No. Tujuan Penelitian 1 Perubahan sistem pemerintahan desa
Analisis Data Deskriptif kualitatif
2
Keberadaan sasi pada rezim otonomi daerah
Deskripsi kualitatif
3
Perubahan pengelolaan perikanan berbasis masyarakat
Uji Friedman
4.
Perubahan kinerja pengelolaan perikanan
Uji Friedman
5
Perbandingan kinerja pengelolaan perikanan pada desa sasi laut dan non sasi laut
Uji Mann-Whitney
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi UmumWilayah Penelitian Daerah Maluku dengan ibukota Ambon merupakan salah satu provinsi dari negara kesatuan Republik Indonesia yang
terletak di kawasan timur. Luas
2
wilayah daerah Maluku 581.376 km , terdiri dari luas daratan 54.185 km2 dan lautan 527.191 km2. Maluku merupakan provinsi kepulauan yang terdiri dari sekitar 559 pulau, dimana dari jumlah pulau tersebut ada beberapa pulau yang tergolong besar di antaranya adalah Pulau Seram seluas 18.625 km2, Pulau Buru seluas 9.000 km2, Pulau Yamdena seluas 5.085 km2, dan Pulau Wetar seluas 3.624 km2 (Bappeda Maluku, 2004).
Sisanya adalah pulau-pulau sedang dan
pulau-pulau kecil antara lain, Pulau Ambon, Kepulauan Lease, Kepulauan Banda, Kepulauan Gorom dan Watubela, Pulau Manepa, Pulau Kelang, Pulau Buano dan pulau-pulau kecil lainnya (Lampiran 2). Secara geografis daerah Maluku terletak di antara 20 30’ - 90 LS dan 1340 1360 BT dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: di sebelah Utara berbatasan dengan Laut Seram, di sebelah Selatan berbatasan dengan Lautan Indonesia dan Laut Arafura, di sebelah Timur berbatasan dengan Pulau Irian/Provinsi Papua dan di sebelah Barat berbatasan dengan Pulau Sulawesi/Laut Sulawesi (BPS, Provinsi Maluku 2005). Secara administratif, Provinsi Maluku kini telah terjadi pemekaran menjadi Provinsi Maluku dan Maluku Utara yang tertuang dalam UU No. 46 Tahun 1999 b. Setelah pemekaran provinsi, diikuti kemudian dengan pemekaran beberapa kabupaten/kota
sehingga jumlah kabupaten/kota
telah bertambah dari tiga
menjadi delapan, yaitu: Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB), Kabupaten Maluku Tenggara (Malra), Kabupaten Maluku Tengah (Malteng), Kabupaten Buru, Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), dan Kota Ambon (Tabel 4). Kondisi daerah Maluku sebagai daerah kepulauan dimana masyarakat tersebar dan bermukim di pulau-pulau, menyebabkan adanya perbedaan karakter sosial budaya antara masyarakat di suatu pulau dengan pulau lainnya. Bahkan
50
semakin jauh jarak fisik antar pulau, maka derajat perbedaan karakter semakin tinggi.
Tabel 4 Nama kabupaten, ibukota serta jumlah kecamatan dan desa di Maluku No
Kabupaten
Ibukota
Jumlah Kecamatan 17
Jumlah Desa 188
1.
Maluku Tenggara Barat (MTB)
Saumlaki
2.
Maluku Tenggara (Malra)
Tual
8
235
3.
Maluku Tengah (Malteng)
Masohi
19
320
4.
Buru
Namlea
5
62
5.
Kepulauan Aru
Aru
3
119
6.
Seram Bagian Barat (SBB)
Piru
4
87
7.
Seram Bagian Timur (SBT)
Bula
4
56
8.
Kota Ambon
Ambon
3
50
63
1117
Total Sumber : Maluku Dalam Angka 2004
Karakter Masyarakat Maluku Tenggara berbeda dengan masyarakat Maluku Tenggara Barat berbeda juga dengan masyarakat di Maluku Tengah (Ambon, Buru, Maluku Tengah, Seram Bagian Barat dan Seram Bagian Timur). Perbedaan karakter masyarakat tersebut pada dasarnya menunjukkan bahwa eksistensi masyarakat Maluku bersifat multi kultur - polietnik.
Walaupun demikian, struk-
tur masyarakat di Maluku memiliki unsur-unsur yang relatif sama dalam konteks pola hubungan berdasarkan distribusi kekuasaan di dalam masyarakat terutama dalam sistem pemerintahan desa (Pariela, 2005). Secara spesifik wilayah penelitian meliputi Kota Ambon, Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Seram Bagian Barat. Adapun karakteristik umum wilayah penelitian dibawah ini.
51
4.1.1 Kota Ambon Letak geografis Kota Ambon berada pada posisi 30- 40 LS dan 1280- 290 BT. Batas wilayah Kota Ambon adalah sebagai berikut: sebelah Utara dengan petuanan Desa Hitu, Hila, Kaitetu Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah, sebelah Selatan dengan Laut Banda, sebelah Timur dengan petuanan Desa Suli Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah dan sebelah Barat dengan petuanan desa Hatu, Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah. Luas wilayah Kota Ambon adalah 377 km2 atau 2/5 dari luas wilayah Pulau Ambon. Luas wilayah daratan adalah 359,45 km2 sedangkan luas wilayah perairan adalah 405,4 km2. Adapun pembagian wilayah secara administratif terlihat pada Tabel 5. Tabel 5 Nama kecamatan, luas, jumlah desa dan kelurahan di Kota Ambon Nama Kecamatan
Luas
1. Teluk Ambon Baguala
158.79 km2
2. Sirimau
112.31 km2
9
10
88.35 km2
16
2
30
17
3. Nusaniwe
Total 359.45 km2 Sumber : Kota Ambon Dalam Angka, 2004
Jumlah Jumlah Desa Kelurahan 5 5
Jumlah penduduk di Kota Ambon dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 terus mengalami kenaikan sekitar 5.26%.
Pada Tahun 2004 jumlah
penduduk berjumlah 257.774 orang yang terdiri dari 129.583 laki-laki (50.27 %) dan 128 191 perempuan (49.73 %). Kepadatan penduduk di Kota Ambon sebesar 717 jiwa per km2 dan terkonsentrasi pada Kecamatan Nusaniwe dan Sirimau yang merupakan jantung dari berbagai aktivitas perkantoran baik pemerintah maupun swasta, aktivitas pendidikan dari tingkat Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi, kesehatan, aktivitas pasar dan perekonomian lainnya. Pertumbuhan ekonomi Kota Ambon dapat diketahui dari laju pertumbuhan produk regional domestik bruto (PRDB). Tahun 2003 PRDB Kota Ambon adalah sebesar Rp.1 364 983 260 000,- bila dibandingkan dengan PRDB tahun 2002 maka mengalami peningkatan sebesar 6.88 %. Sektor pertanian yang meliputi
52
tanaman pangan, peternakan dan perikanan merupakan salah satu dari sembilan sektor yang memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap PRDB Kota Ambon. Oleh karena itu, sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki peranan yang strategis dalam pertumbuhan ekonomi Kota Ambon. Berdasarkan kondisi geografisnya serta kemampuan lahan maka
usaha
pertanian rakyat yang didominasi oleh tanaman palawija dan tanaman hortikultura yang mengalami perkembangan. Produksi tanaman palawija di Kota Ambon tahun 2004 tercatat ubi kayu 4 707.00 ton meningkat sebesar 3.42 %, ubi jalar 439.89 ton meningkat sebesar 18.98 %, jagung 193.3 ton meningkat sebesar 21.89 %, sedangkan kacang tanah 74.75 ton menurun sebesar 1.64 % bila dibandingkan dengan tahun 2003. Produksi tanaman hortikultura di Kota Ambon tahun 2003 adalah buah-buahan 1 636.10 ton naik sebesar 3.72 % dan bumbubumbuan 90.57 % turun 40.75 % sedangkan sayur-sayuran 4 586.25 ton naik 1.92 % dari tahun 2002 (BPS, Kota Ambon 2004). Populasi ternak pada tahun 2004 adalah: ternak besar yaitu sapi sebanyak 622 ekor, ternak kecil yaitu kambing sebanyak 653 ekor dan babi 1 883 ekor, unggas yaitu itik 687 ekor, ayam pedaging 27 609 ekor dan ayam kampung 39 840 ekor. Jumlah populasi ternak yang ada jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan data pemotongan ternak. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah ternak yang dipotong untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kebanyakan dari ternak impor. Secara ekologis perairan pesisir Kota Ambon dibagi atas empat wilayah ekologis: (1) Teluk Ambon Bagian Dalam (TABD) dicirikan oleh daerah teluk semi tertutup yang relatif tenang dan digolongkan dalam salah satu bentuk perairan estuari, bermuara beberapa sungai besar dan kecil, serta didominasi oleh komunitas lamun dan bakau yang dipisahkan dengan Teluk Ambon Luar oleh ambang Galala-Poka yang sempit (2) Teluk Ambon Bagian Luar (TAL) dicirikan oleh daerah teluk yang berbentuk corong dan terbuka kearah Barat pulau Ambon denagn kondisi perairan yang relatif dinamis karena masih dipengaruhi oleh masa air laut Banda, didominasi oleh komunitas terumbu karang
53
(3) Teluk Ambon Baguala (TB) dicirikan oleh daerah teluk yang berbentuk corong dan terbuka kearah Timur Pulau Ambon dengan kondisi perairan yang relatif dinamis karena masih dipengaruhi oleh massa air air laut Banda, didominasi oleh komunitas terumbu karang (4) Pesisir Selatan Kota Ambon (PSKA) merupakan daerah terbuka yang sangat dinamis karena dipengaruhi langsung oleh massa air Laut Banda, dengan tipe pantai berbatu yang didominasi oleh komunitas algae (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku, 2004)
Berdasarkan aspek ekologis tersebut maka jenis komoditi perikanan Kota Ambon dibagi dalam tujuh golongan besar dengan potensi dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Adapun potensi sumberdaya perikanan di perairan Kota Ambon adalah sebesar 474 500 ton per tahun. Sedangkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan adalah sebesar 379 600 ton per tahun. Pemanfaatan sumberdaya perikanan adalah sebesar 10 249.6 ton dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Hal ini berarti bahwa peluang pengembangan perikanan masih 97.3 %.(Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ambon, 2005) Adapun jumlah rumah tangga perikanan (RTP) di Kota Ambon pada tahun 2004 adalah sebanyak 3 359 RT dan bila dibandingkan dengan tahun 2003 maka terjadi kenaikan sebesar 1.45 %. Pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kota Ambon setiap tahun menunjukkan adanya peningkatan seperti terlihat pada perkembangan jumlah alat tangkap dan kapal perikanan dari tahun 2002-2004 (Tabel 6). Tabel 6 menggambarkan bahwa sebagian besar nelayan menggunakan jenis alat tangkap yang didominasi oleh hand line sebanyak 1 968 unit, jaring insang sebanyak 491 dan jaring angkat sebanyak 303 unit dimana untuk ketiga jenit alat tangkap ini memiliki jumlah yang sama di tahun 2003. Sedangkan jenis atau ukuran armada perikanan tangkap didominasi oleh perahu tanpa motor terutama perahu jukung dan perahu kecil. Jumlah perahu jukung adalah sebanyak 1 286 yang mana setiap tahun mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan tahun 2003 yaitu sebesar
142.2 % begitu pula dengan perahu kecil mengalami
peningkatan sebesar 175.3 %. Untuk semua jenis perahu tanpa motor dan motor
54
tempel dari tahun ke tahun mengalami peningkatan lain halnya dengan perahu kapal motor untuk ukuran 1-10 GT mengalami penurunan sekitar 37,2% sedangkan untuk ukuran 20-30 GT dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2004 tidak mengalami perkembangan dimana berjumlah 16 kapal. Hal ini merupakan suatu kenyataan bahwa produktivitas nelayan di Kota Ambon masih tergolong rendah. Namun secara perlahan ada peningkatan dalam usaha perikanan yang dapat dilihat pada peningkatan armada tangkap.
Tabel 6 Perkembangan jenis alat tangkap dan armada tangkap di Kota Ambon tahun 2002-2004 Jenis Alat Tangkap Pukat Pantai Pukat Cincin Jaring Insang Jaring Angkat Hand Line Lainnya(Bubu,panah,rawai,jala, tanggu dan rumpon)
Jumlah / Tahun (Unit) 2002 2003 2004 4 4 5 36 36 20 303 303 303 491 491 9 1968 1968 501 315 291 226
Jenis /Ukuran Armada Perahu Tanpa Motor 1286 531 200 - Perahu Jukung 501 182 72 - Perahu Kecil 227 36 25 - Perahu Sedang 52 16 16 - Perahu Besar Motor tempel 95 234 284 Kapal Motor 284 452 192 - 1-10 GT - 11-19 GT 16 16 16 - 20-30 GT Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ambon, 2004
Adapun volume pemasaran ikan segar melalui tempat pelelangan di Kota Ambon pada tahun 2004 di dominasi oleh jenis ikan layang (Decapterus spp) sebanyak 1 124.58 ton kemudian ikan tongkol (Scrombidae) sebanyak 346.05 ton dan ikan ikan cakalang (skipjack) sebanyak 316.43 ton. Nilai produksi ikan segar melalui tempat pelelangan ikan di Kota Ambon pada tahun 2004 adalah di dominasi oleh ikan cakalang yaitu sebesar Rp. 1 582 150 000.- dimana menga-
55
lami peningkatan sebesar 143.97 % dari tahun 2003 kemudian diikuti dengan ikan layang sebesar Rp.1 237 038 000.- yang mengalami peningkatan sebesar 77.14 % dari tahun 2003 (Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ambon, 2004). Perkembangan produksi perikanan menurut jenis ikan pada ketiga kecamatan di Kota Ambon menunjukkan bahwa produksi ikan terbesar adalah di Kecamatan Nusaniwe sebesar 5 215.50 ton dimana mengalami peningkatan sebesar 3.51% dari tahun 2003. Jenis ikan yang diproduksi didominasi oleh ikan cakalang sebanyak 1 582.17 ton dan ikan layang 1 124.58 ton. Begitu pula pada nilai produksi yang terbesar ada di Kecamatan Nusaniwe sebesar Rp. 17 706 969 000 menurun 7.36% dibandingkan nilai tahun 2003. Nilai produksi terbesar adalah pada jenis ikan cakalang sebesar Rp. 7 910 850 ton dan ikan tuna yaitu sebesar Rp. 4 037 810 000.- (Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ambon, 2004). Produk pengolahan perikanan di Kota Ambon adalah ikan asap dan ikan beku. Jenis ikan yang paling banyak digunakan untuk pengasapan ikan adalah cakalang dan tongkol, ikan beku terbanyak adalah udang, cakalang dan tuna. Berdasarkan gambaran umum perkembangan alat tangkap yang digunakan masyarakat nelayan dengan potensi sumberdaya perikanan di Kota Ambon di atas, maka masih perlu diadakan upaya-upaya pengembangan pembangunan perikanan yang optimal sehingga dapat menjawab tujuan pengembangan perikanan antara lain yaitu meningkatkan produksi, meningkatkan ekspor, meningkatkan pendapatan nelayan, meningkatkan konsumsi ikan, meningkatan pendapatan daerah Kota Ambon, serta memperluas lapangan kerja bagi masyarakat. Pemanfaatan sumberdaya perikanan sangat perlu ditunjang dengan sarana dan prasarana perikanan yang tersedia seperti pelabuhan perikanan dan cold storage.
Sarana pelabuhan di Kota Ambon sebanyak enam pelabuhan yaitu
terdiri dari PPN, PPI, PT Usaha Mina, PT Nusantara Fishery, PT Maprodin dan PT Segara Mulia Sejahtera. Kepemilikkan sarana pelabuhan di dominasi oleh pihak swasta. Sedangkan jumlah cold storage di Kota Ambon adalah sebanyak lima unit yaitu, PT Usaha Mina, Fa Sanu, PT Nusantara, PT Morela, PT Segara Mulia Sejahtera dimana kepemilikannya juga oleh pihak swasta dan jumlahnya masih sangat relatif sedikit.
56
Produksi perikanan laut di Kota Ambon tahun 2004 terbanyak adalah jenis cakalang sebanyak 3 164.33 ton dimana mengalami peningkatan sebesar 70.75 % dari tahun 2003, kemudian layang sebanyak 2 249.16 ton yang mengalami peningkatan sebesar 70.73 % dari tahun 2003, diikuti tongkol sebanyak 1 790.24 ton lebih meningkat sebesar 76.65 % dari tahun 2003 dan tuna sebanyak 1 153.66 ton dimana mengalami peningkatan sebesar 297.89 % dari tahun 2003. Hal ini menunjukkan bahwa potensi sumberdaya perikanan di Kota Ambon cukup tinggi. Adapun potensi dan jumlah produksi di perairan Kota Ambon terlihat pada Tabel 7. Tabel 7 Potensi dan jumlah tangkapan sumberdaya perikanan di Kota Ambon tahun 2004 Jenis
Potensi Potensi JTB Produksi (Ton/Tahun) (Ton/Tahun) (Ton) 6 108 83 300 Pelagis Besar 104 100 3 665.9 105 600 Pelagis Kecil 132 000 11.1 7 400 9 300 Demersal 0.4 300 400 Udang 6.8 100 100 Cumi-Cumi 457.2 2 000 2 500 Ikan Karang 0.2 180 900 226 100 Ikan Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ambon, 2004
Persentasi (%) 0.073 0.035 0.0015 0.0013 0.068 0.0228 0.0000011
4.1.2 Kabupaten Maluku Tengah Secara geografis batas wilayah Kabupaten Maluku Tengah adalah sebelah Utara dengan Laut Seram, sebelah selatan dengan Laut Banda, sebelah Barat dengan Kabupaten Seram Bagian Barat dan sebelah Timur dengan Kabupaten Seram Bagian Timur. Luas wilayah
Kabupaten Maluku Tengah seluruhnya
kurang lebih 275 907 km2 yang terdiri dari luas laut 264 311.43 km2 dan luas daratan 11 595.57 km2.
Kabupaten Maluku Tengah merupakan suatu wilayah
kepulauan dimana pulau-pulau yang tersebar adalah Pulau Haruku, Pulau Saparua, Pulau Nusalaut, Kepulauan Banda, Pulau Seram dan pulau-pulau-pulau kecil serta sebagian Pulau Ambon. Secara administratif pembagian wilayah Kabupaten Maluku Tengah, sebagaimana terlihat pada Tabel 8.
57
Jumlah penduduk Kabupaten Maluku Tengah tahun 2004 tercatat sebesar 349 974 jiwa yang terdiri dari laki-laki 173 923 (50.56 %) dan perempuan 170 051 (49.44 %). Kepadatan penduduk tiap km2 adalah sebanyak 30 jiwa dan ratarata tiap rumah tangga di Kabupaten Maluku Tengah adalah 5 orang. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran penduduk tidak merata di wilayah ini baik dari kepadatan dan rata-rata penduduk per rumah tangga (BPS Maluku Tengah, 2004). Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Maluku Tengah dapat diketahui dari laju pertumbuhan produk regional domestik bruto (PRDB). Sektor pertanian yang meliputi
tanaman pangan, peternakan dan perikanan merupakan sektor terbesar
dari sembilan sektor yang memberikan kontribusi terhadap PRDB Kabupaten Maluku Tengah. Tahun 2003 PRDB Kabupaten Maluku Tengah adalah sebesar Rp.979 223 330,- bila dibandingkan dengan tahun 2002 maka mengalami peningkatan sebesar 5.57 %. Oleh karena itu sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki peranan yang strategis dalam pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Maluku Tengah. Sebagian besar penduduk di Kabupaten Maluku Tengah bekerja di sektor pertanian sekitar 59.64 % sektor kedua terbesar dalam menyerap tenaga kerja (BPS Maluku Tengah, 2004). Tabel 8 Nama kecamatan, luas, nama ibukota serta jumlah desa dan kelurahan di Kabupaten Maluku Tengah Nama Kecamatan 1. Banda 2. Tehoru 3. Amahai 4. Masohi 5. Teon Nila Serua 6. Saparua 7. Nusalaut 8. Pulau Haruku 9. Salahutu 10. Leihitu 11. Seram Utara
Luas 172.00 km2 534.22 km2 1 739.07 km2 37.30 km2 24.28 km2 176.50 km2 32.50 km2 150.00 km2 151.82 km2 232.10 km2 8 345.78 km2
Nama Ibukota Banda Naira Tehoru Amahai Masohi Waipia Saparua Ameth Pelauw Tulehu Hila Wahai
Total 11 595.57 km2 Sumber : Maluku Tengah Dalam Angka, 2004
Jumlah Desa 10 20 18 18 17 7 11 6 16 38 161
Jumlah Kelurahan
1 5
6
58
Rata-rata produksi komoditi tanaman pangan yang paling besar di Maluku Tengah adalah ubi kayu, ubi jalar, padi sawah dan jagung. Produksi ubi kayu terbesar adalah di Kecamatan Saparua dan Kecamatan Haruku sedangkan produksi ubi jalar dominan di Kecamatan Teon Nila Serua dan Amahai sedangkan produksi padi sawah maupun padi ladang terpusat di Kecamatan Seram Utara. Komoditi tanaman perkebunan yang ada di Kabupaten Maluku Tengah adalah kelapa, cengkeh, pala, coklat dan jambu mente. Pada tahun 2004, tanaman cengkeh masih mendominasi dibandingkan dengan komoditi lainnya yang diikuti dengan komoditi kelapa, coklat dan pala.
Sedangan dari luas dan produksi
komoditi di dominasi oleh kelapa, cengkeh dan coklat (BPS, Maluku Tengah 2004). Produksi ternak yang paling banyak di Kabupaten Maluku Tengah adalah unggas, babi, kambing dan sapi. Sedangkan jenis ternak yang dipotong adalah unggas yang mecakup ayam buras. itik dan babi. Pada tahun 2004, produksi hasil ternak dan unggas adalah telur ayam kampung yang memiliki nilai produksi cukup tinggi (BPS, Maluku Tengah 2004). Dilihat dari geografisnya wilayah Kabupaten Maluku Tengah yang dikelilingi oleh lautan dan memiliki banyak pulau-pulau kecil maka tentunya memiliki perairan yang sangat potensial bagi sektor perikanan. Jumlah RTP di tahun 2004 adalah 9 097 dan kebanyakan di Kecamatan Leihitu sebanyak 2.568 RTP tangkap, Kecamatan Pulau Haruku sebanyak 1 538 RTP dan Kecamatan Saparua sebanyak 1 495. Jumlah nelayan tangkap pada tahun 2004 adalah sebanyak 15 523 dan kebanyakan berada di Kecamatan Leihitu Pulau Ambon. Adapun kelompok usaha perikanan pada tahun 2004 yang terbanyak adalah kelompok penangkapan yaitu sebanyak 1 058. Dibandingkan dengan usaha perikanan lainnya maka usaha perikanan tangkap lebih dominan tapi bersifat tradisional. Hal ini dapat dilihat pada armada penangkapan yang terbanyak digunakan adalah perahu tanpa motor terutama jukung sebanyak 5 483 unit yang terdapat di Kecamatan Leihitu. Perahu tanpa motor berkuran kecil banyak terdapat di Kecamatan Pulau Haruku yaitu sebanyak 550 unit. Perahu tanpa motor berukuran sedang banyak terdapat di Kecamatan Leihitu yaitu sebanyak 626 unit. Penggunaan motor tempel oleh nelayan banyak terdapat di Kecamatan Leihitu yaitu sebanyak 277 unit begitupun
59
juga dengan katinting sebanyak 462 unit. Perahu kapal motor dengan ukuran 1 10 GT kebanyakan terdapat di Kecamatan Banda yaitu sebanyak 142 unit, untuk ukuran 11 - 19 GT kebanyakan terdapat di Kecamatan Saparua yaitu sebanyak 6 unit dan ukuran 20 - 30 GT kebanyakan terdapat di Kecamatan Salahutu yaitu sebanyak 9 unit begitu juga ukuran 35 - 50 GT yaitu sebanyak 3 unit. Jenis alat perikanan yang paling banyak digunakan adalah pancing tonda sebanyak 3 841 unit, pancing ulur sebanyak 3 067 unit, pancing tegak sebesar 2 419 unit dan kebanyakan terdapat di Kecamatan Leihitu sedangkan jaring insang hanyut sebanyak 1 106 unit kebanyakan terdapat di Kecamatan Saparua yaitu sebanyak 423 unit (Dinas Perikanan dan Kelautan Maluku Tengah, 2004) Produksi hasil perikanan didominasi oleh perikanan laut sebesar 37 729.9 ton dan terdapat di Kecamatan Leihitu sebesar 9 679.0 ton demikian pula dengan nilai produksi perikanan di dominasi oleh perikanan laut sebesar Rp.72 092.575.dan terdapat di Kecamatan Leihitu sebesar Rp. 24 746 825 000.- (Dinas Perikanan dan Kelautan Maluku Tengah, 2004). Adapun produksi perikanan berdasarkan jenis ikan di Kabupaten Maluku Tengah tahun 2004 adalah di dominasi, ikan layang sebesar 5 011.8 ton, tembang/make sebesar 4 176.0 ton, cakalang sebesar 3 244.1 ton, selar/kawalinya sebesar 3.060 ton, lencam/sikuda sebesar 2 696.2 ton, tongkol sebesar 2 504.7 ton, teri sebesar 2 093.7 ton, tuna sebesar 2 081.1 ton, kembung/lema sebesar 1 277.0 ton dan kemudian diikuti dengan ikan lainnya. Nilai produksi perikanan laut yang terbesar adalah dari jenis ikan layang sebesar Rp 10 023 800 000.- cakalang sebesar Rp. 9 732 300 000.- dan jenis ikan lainnya sebesar Rp. 9 305 400 000.- lencam/sikuda sebesar Rp. 8 088 600 000.Sebagian besar produk perikanan dikonsumsi oleh masyarakat sebesar 78.61 % sedangkan jenis ikan yang paling banyak dieksport adalah jenis ikan layang, cakalang dan tuna (BPS Maluku Tengah, 2004). Produksi ikan laut hasil olahan di Kabupaten Maluku Tengah terbanyak adalah olahan kering yang didominasi oleh cakalang sebanyak 152.5 ton dan nilai produksinya sebesar Rp.762 500 000.- sedangkan olahan asap atau yang dikenal dengan ikan asar adalah dari cakalang sebanyak 95.7 ton dan nilai produksi sebesar Rp. 287 100 000.- Jenis ikan yang diekspor adalah layang dan cakalang
60
sedangkan antar pulau adalah tongkol dan cakalang (Dinas Perikanan dan Kelautan Maluku Tengah, 2004). Pendapatan rata-rata nelayan per kapita per tahun adalah Rp. 3 723 643.5 dimana yang terbanyak adalah di Kota Masohi. Sedangkan rata-rata pendapatan nelayan per bulan adalah Rp. 310 303.6 dan per harinya adalah Rp. 10 343.40.(Dinas Perikanan dan Kelautan Maluku Tengah, 2004). Pendapatan nelayan per bulan di Kabupaten Maluku Tengah tergolong masih sangat rendah bila di bandingkan dengan upah minimum provinsi (UMP)
untuk sektor-sub sektor
sesuai SK Gubernur No. 138 Tahun 2004, dimana untuk sektor perikanan per bulan adalah sebesar Rp. 530 000 apabila dirinci lebih maka untuk penangkapan biota laut adalah sebesar Rp. 635 000 per bulan sedangkan untuk budidaya biota laut adalah sebesar Rp. 560 000 per bulannya. Untuk itu diperlukan berbagai upaya untuk peningkatan pendapatan nelayan di Kabupaten Maluku Tengah.
4.1.3 Kabupaten Seram Bagian Barat Kabupaten Seram Bagian Barat merupakan salah satu daerah pemekaran di wilayah Provinsi Maluku berdasarkan UU No. 40 Tahun 2003. Sebagai kabupaten baru maka dilakukan berbagai upaya dalam perencanaan pembangunan dalam berbagai sektor. Oleh karena itu salah satu kendala adalah sulitnya memperoleh informasi dan data statistik tentang Kabupaten Seram Bagian Barat. Secara geografis letak Kabupaten Seram Bagian Barat sebagai berikut: sebelah Utara dengan Laut Seram, sebelah Selatan dengan Laut Banda, sebelah Barat dengan Laut Buru dan sebelah Timur dengan Kabupaten Maluku Tengah. Luas Kabupaten Seram Bagian Barat adalah 53 148 km2 yang terdiri dari luas daratan 4 090 km2 (7.69%) dan luas lautan adalah 49 058 km2 (92.31%). Secara adminstratif pembagian wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat, terlihat pada Tabel 9.
61
Tabel 9 Nama kecamatan, luas, serta jumlah desa dan dusun di Kabupaten Seram Bagian Barat Nama Kecamatan 1. Seram Barat 2. Kairatu 3. Taniwel 4. Huamual Belakang
Luas 702 km2 1 439 km2 1 496 km2 453 km2
Total 4.090 km2 Sumber : Bapeda Seram Barat, 2005
Jumlah Desa 12 29 34 14 89
Jumlah Dusun 38 59 2 31 130
Jumlah penduduk Kabupaten Seram Bagian Barat tahun 2004 adalah 148.988 jiwa yang terdiri dari laki-laki 75 115 (50.42%) dan perempuan 73 873 (49.58%). Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Seram Bagian Barat sampai dengan bulan Juli 2005 tercatat sebesar 3.19% dan PRDB adalah 358 848 atas harga konstan dan 1 171 691.450 atas harga berlaku (1.73%) (Bappeda Seram Barat, 2005). Berdasarkan letak geografisnya yang dikelilingi oleh laut maka lautan memegang peranan yang penting dalam pembangunan di Kabupaten Seram Bagian Barat. Adapun potensi unggulan dari sektor perikanan adalah dari jenis pelagis besar, pelagis kecil, ikan hias, mollusca, crustacea, demersal dan udang. Sedangkan perikanan budidaya adalah kerapu, lobster, rumput laut, teripang, mutiara dan kerang-kerangan. RTP Kabupaten Seram Bagian Barat pada tahun 2004 berjumlah 7 284 RTP tangkap dimana mengalami peningkatan sebesar 17.03% dari tahun 2003 dan berada di Kecamatan Seram Bagian Barat, diikuti oleh RTP kolam berjumlah 87 terdapat di Kecamatan Kairatu, dan RTP budidaya berjumlah 205 terdapat di Kecamatan Waesala dimana mengalami peningkatan sebesar 89.8% dari tahun 2003. Dengan demikian maka jumlah nelayan di dominasi oleh nelayan tangkap adalah 10 834 mengalami peningkatan sebesar 10.57% dari tahun 2003. Peningkatan jumlah nelayan yang cukup berarti adalah nelayan budidaya dimana pada tahun 2004 berjumlah 510 mengalami peningkatan sebesar 235.53 % dari tahun 2003.
Kelompok usaha perikanan didominasi oleh kelompok usaha
62
perikanan tangkap sebanyak 118 terdapat di Kecamatan Waesala sedangkan jumlah anggota kelompok nelayan yang terbanyak adalah di Kecamatan Seram Barat berjumlah 1 120 nelayan (Dinas Perikanan dan Kelautan SBB, 2005). Armada penangkapan yang digunakan untuk melakukan usaha perikanan adalah didominasi oleh perahu tanpa motor dibandingkan dengan motor tempel dan perahu kapal motor. Untuk jenis perahu tanpa motor didominasi oleh jukung dimana pada tahun 2004 berjumlah 4 877 unit, mengalami peningkatan sebesar 2.07 % dari tahun 2003. Untuk jenis motor tempel didominasi oleh katinting dimana di tahun 2004 berjumlah 1 551 unit, mengalami peningkatan sebesar 3.74 % dari tahun 2003. Untuk perahu kapal motor didominasi oleh kapal motor berukuran 1 -10 GT dimana pada tahun 2004 berjumlah 90 yang sama dengan tahun 2003 sedangkan untuk kapal motor ukuran 11 - 19 GT adalah 7 unit dan mengalami penurunan menjadi 5 unit pada tahun 2004. Jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Seram Bagian Barat adalah didominasi oleh pancing ulur berjumlah 3 729 unit, pancing tegak sebanyak 3 171 unit, bubu sebanyak 1 471 unit dan garpu,tombak dan lainnya berjumlah 1 336 unit. Rata-rata alat tangkap ini mengalami peningkatan dari tahun 2003 namun yang paling menonjol adalah pancing ulur sebanyak 3,41 % (Dinas Perikanan dan Kelautan SBB,2005). Dari armada dan jenis alat tangkap yang digunakan oleh masyarakat nelayan di Kabupaten Seram Bagian Barat maka terlihat bahwa usaha perikanan yang dilakukan masih bersifat tradisional. Untuk itu perlu ada upaya untuk pengembangan usaha perikanan tangkap yang disertai dengan pembinaan kepada masyarakat nelayan supaya dapat mengadopsi teknologi perikanan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup nelayan . Produksi perikanan di Kabupaten Seram Bagian Barat pada tahun 2004 didominasi oleh perikanan laut yaitu sebesar 10 753.6 ton dimana bila dibandingkan dengan produksi di tahun 2003 mengalami peningkatan sebesar 27.53%. Jenis komoditi perikanan laut yang diproduksi pada tahun 2004 adalah dari jenis pelagis kecil sebesar 7 765.5 ton, demersal sebesar 1 818.9 ton dan pelagis besar sebesar 1 040.3 ton. Jenis pelagis kecil yang diproduksi adalah ikan terbang/make (Sardinela sp) sebesar 1 875.0 ton kemudian layang (Decapterus ruselli) sebesar 1 642.0 ton. Untuk jenis demersal adalah dari lencam/sikuda (Lethrinus lentjam)
63
sebesar 550.6 ton dan kerapu (Epinephelus sp) sebesar 260.5 ton. Untuk pelagis besar yaitu cakalang (Katsuwonus pelamis) sebesar 520.6 ton dan tuna (Thunnus albacore) sebesar 325.5 ton. Adapun nilai produksi yang tertinggi dari jenis-jenis ikan di atas adalah layang (Decapterus ruselli) pada tahun 2004 bernilai Rp. 3 284 000 000.- (Dinas Perikanan dan Kelautan SBB, 2005). Jenis komoditi ikan yang diekspor adalah cakalang, tuna dan kerapu hidup sedangkan komoditi yang dijual antar pulau adalah jenis ikan layang sebanyak 400.5 kg senilai Rp.1 201 500 000,- dan cakalang sebanyak 3 200 kg senilai Rp.960 000 000.- (Dinas Perikanan dan Kelautan SBB, 2005). Pemanfaatan produksi perikanan yang dikonsumsi oleh masyarakat di Kabupaten Seram Bagian Barat adalah berasal dari produksi perikanan laut sebesar 8 738.1 dimana mengalami peningkatan sebesar 2.04% dari tahun 2003. Rata-rata pendapatan per kapita nelayan per tahun di Kabupaten Seram Bagian Barat di tahun 2004 adalah sebesar Rp. 1 013 901.- sedangkan pendapatan per bulannya adalah Rp. 84.492.- kemudian per hari adalah sebesar Rp. 2 816,Dengan demikian maka pendapatan nelayan per bulan di Kabupaten Seram Bagian Barat tergolong masih sangat rendah bila dibandingkan dengan upah minimum provinsi (UMP) untuk sektor-sub sektor sesuai SK Gubernur No. 138 Tahun 2004, dimana untuk sektor perikanan per bulan adalah sebesar Rp. 530 000 apabila dirinci lebih maka untuk penangkapan biota laut adalah sebesar Rp. 635 000 per bulan sedangkan untuk budidaya biota laut adalah sebesar Rp. 560 000 per bulannya. Untuk itu diperlukan upaya untuk peningkatan pendapatan nelayan antara lain pengembangan armada dan jenis alat tangkap
dan pem-
bangunan sarana dan prasarana perikanan tangkap lainnya. Selain sektor perikanan sebagai sektor andalan maka sektor pertanian juga memegang peranan yang sangat strategis untuk pembangunan mengingat Kabupaten Seram Bagian Barat mempunyai tipologi lahan dataran tinggi, dataran sedang (100 - 400 m di atas permukaan laut) dan dataran rendah sehingga hampir semua komoditi pertanian dapat dikembangkan. Potensi unggulan perkebunan adalah vanili, cengkeh, kopi, kakao,kelapa dan jambu mete. Potensi unggulan dari pertanian tanaman pangan adalah padi sawah, jagung dan tanaman hortikultura seperti sayur-sayuran, buah-buahan dan tanaman hias. Di bidang
64
peternakan potensi unggulan yang dikembangkan adalah sapi, kambing, ayan dan babi. Di bidang kehutanan potensi unggulan yang dikembangkan adalah minyak kayu putih, minyak lawang, aren, sagu, kayu manis dan gaharu. Potensi hasil lautan dan hasil hutan yang melimpah ruah masih belum dapat dimanfaatkan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah karena terbatasnya sarana dan prasarana dan juga karena terbatasnya sumberdaya manusia yang berkualitas dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia. Sekitar 59.54% masyarakat di Kabupaten Seram Bagian Barat dikategorikan sebagai penduduk miskin dan karena itu penyakit gisi buruk dan busung lapar juga melanda daerah ini. Salah satu penyakit yang bersifat endemik adalah penyakit malaria. Sarana dan prasarana kesehatan juga belum memadai dimana belum ada memiliki rumah sakit umum dimana selama ini pelayanan kesehatan masyarakat dilayani oleh 12 puskesmas dan 47 puskesmas pembantu (Bappeda Seram Barat, 2005). Ada berbagai permasalahan yang dihadapi dalam melaksanakan pembangunan antara lain adalah masih banyak daerah yang terisolir karena belum ada akses jalan. Ketersediaan sarana dan prasarana masih sangat terbatas. Transportasi yang sulit terutama daerah pegunungan dan pulau-pulau. Sarana komunikasi telepon dan radio antar kecamatan dengan ibukota kecamatan masih sangat terbatas dalam jumlah maupun kapasitasnya. Sarana listrik sangat terbatas dalam waktu pelayanannya.
Terbatasnya ruang perkantoran untuk pe-
nyelenggaraan pemerintah guna pelayanan publik. Oleh karena itu sebagai kabupaten baru sedang diupayakan membangun infrastruktur ekonomi seperti pasar dan infrastruktur pelayanan publik lainnya yang dapat menunjang kegiatan pembangunan(Bappeda Seram Bagian Barat, 2005).
4.2 Perubahan Sistem Pemerintahan Desa Hasil analisis deskriptif terhadap perubahan sistem pemerintahan desa di Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah diperlihatkan pada Tabel 10.
65
Tabel 10 Sistem pemerintahan desa pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah Variabel Sistem pemerintahan
Rezim Adat Negeri
Kepala Raja Pemerintahan
Rezim Sentralisasi Desa
Rezim Otonomi Daerah Negeri
Kepala Desa
Raja
Cara Pemilihan Kepala pemerintahan
Tertutup (Berdasarkan garis keturunan)
Terbuka
Tertutup (Berdasarkan garis keturunan )
Kewenangan kepala pemerintahn
Kepala Pemerintahan dan kepala adat
Kepala Pemerintahan
Kepala Pemerintahan dan kepala adat
Struktur Raja Organisasi Kepala Soa Pemerintahan Saniri Negeri
Kepala Desa Lembaga Musyawarah Desa Sekretaris Bendahara
Raja Sekretaris Bendahara Kepala Soa
Lembaga Eksekutif
Raja dan Kepala Soa
Kepala Desa
Raja
Lembaga Legislatif
Saniri Negeri Lengkap : Tua Adat Tokoh Agama dan Masyarakat Kewang Kapitang Marinyo Tuan Tanah dan Tuan Negeri
Lembaga Musyawarah Desa : Pemuka Masyarakat, Kalangan Adat Tokoh Agama Orsospol, Gol.Profesi
Saniri Negeri : Tua Adat Tokoh Agama dan Masyarakat Kewang Kapitang Marinyo Tuan Tanah dan Tuan Negeri
Lembaga Yudikatif
Saniri Negeri Besar
Lembaga Musyawarah Desa
Saniri Negeri Besar
Pelaksana Pengelolaan Perikanan
Raja dan Kewang
-
Raja dan Kewang
66
Secara detail, perubahan sistem pemerintahan desa pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah dapat dijelaskan sebagai berikut: Sistem pemerintahan desa pada rezim adat Sistem pemerintahan desa di Maluku pada rezim adat dikenal dengan “Pemerentah Negeri” dan umumnya berlaku di Pulau Ambon, dan Kabupaten Maluku Tengah yang dulu; dimana Kabupaten Seram Bagian Barat
masih
termasuk di dalamnya. Pemerintah negeri adalah merupakan basis masyarakat adat dan memiliki batas-batas wilayah darat dan laut yang jelas yang disebut “petuanan negeri”, dan sistem pemerintahan yang bersifat geneologis atau berdasarkan garis keturunan. Apabila dihitung periode sistem pemerintahan desa pada rezim adat di Indonesia yang dimulai sejak pemberlakuan UUD 1945 sampai pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa maka telah berlangsung sekitar di atas 30 tahun. Pada rezim adat, setiap negeri memiliki stuktur organisasi pemerintahan negeri. Susunan pemerintahan negeri adalah warisan dari pemerintahan Belanda dimana sistem hukum adat ini ditetapkan dalam keputusan landraad Amboina No.14/1919; disebutkan bahwa pemerintah negeri adalah ‘regent en de kepala soa’s. Selanjutnya di dalam keputusan landraad Amboina No.30/1919 disebutkan bahwa ‘negorij bestuur’ adalah regent en de Kepala-Kepala Soa, yang berarti bahwa pelaksanaan pemerintahan negeri di laksanakan oleh Raja dan KepalaKepala Soa (Siwalette,2005). Adapun salah satu struktur organisasi pemerintah negeri dari Negeri Ameth di Kecamatan Nusalaut Kabupaten Maluku Tengah, dapat dilihat pada Gambar 4. Pada gambar tersebut terlihat terlihat bahwa Raja dan kepala Soa merupakan pelaksana pemerintahan negeri. Ini yang dikenal dengan sebutan Badan Saniri Rajapatti yang terdiri dari Raja dan Kepala Soa. Badan ini merupakan badan eksekutif dibawah pimpinan Raja. Raja, adalah pemegang pemerintah negeri yang bertindak juga sebagai kepala adat dalam memimpin acara-acara adat. Raja berkewajiban untuk memelihara hukum dan adat, kesatuan dan ketentraman negeri, melaksanakan administrasi negeri seperti perkawinan, pembagian warisan, dan lain-lain. Dalam melaksanakan tugasnya ini maka Raja dibantu oleh juru tulis yang bertugas sebagai pembantu Raja dalam
67
melaksanakan administrasi negeri dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Juru Tulis berfungsi dalam melaksanakan surat-menyurat, kearsipan dan laporan. SANIRI BESAR
SANIRI RAJAPATI
RAJA
ANGGOTA MASYARAKAT (ANAK NEGERI)
SANIRI NEGERI
ANGGOTA SANIRI
KEPALA SOA
SANIRI NEGERI LENGKAP
Gambar 4 Struktur organisasi pemerintahan Negeri Ameth, Kabupaten Maluku Tengah Keterangan :
= Terdiri dari
Kepala Soa, diangkat oleh anak-anak Soa yang bertugas membantu Raja dalam melaksanakan pemerintahan negeri apabila Raja tidak ditempat.
Kepala
Soa diberi kewenangan untuk menggantikan Raja dalam melaksanakan tugas pemerintahan negeri
di dalam melayani
kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Sebagai pemimpin dari suatu bagian di dalam negeri yang terdiri dari beberapa marga maka Kepala Soa juga berfungsi untuk menampung dan menyalurkan aspirasi serta pendapat masyarakat yang ada dalam wilayah kekuasaan “Soa”nya. Kepala soa juga berperan sebagai kepala adat yang melaksanakan tugas dari Raja untuk melangsungkan acara kawin adat khususnya dalam menerima harta kawin yang diberikan dari mempelai pria kepada pemerintah negeri.
68
Di samping Saniri Rajapati ada Saniri Negeri yang merupakan kumpulan wakil-wakil Soa yaitu suatu kelompok masyarakat yang terdiri dari beberapa marga atau “matarumah”(adat) yang memilih dan mengangkat salah satu anggotanya sebagai wakil pada Saniri Negeri dan 1 orang sebagai Kepala Soa. Di dalam pelaksanaan pemerintahan negeri, maka dikenal ada badan legislatif yang dikenal dengan sebutan Saniri Negeri Lengkap. Saniri Negeri Lengkap terdiri dari: anggota Saniri, para tua-tua adat dan tokoh-tokoh masyarakat
yang
berpengaruh
seperti
guru,
pegawai,
tokoh
agama
(pendeta/imam), Kewang; penjaga keamanan desa dan pengawas hutan dan laut, Kapitan; pemimpin perang;
Marinyo; orang yang bertanggung jawab untuk
mengkomunikasikan keputusan pemerintah (Raja) kepada staf pemerintah negeri maupun kepada masyarakat; Tuan Negeri sebagai pemimpin pelaksana adat dalam negeri, dan Tuan Tanah. Tugas Saniri Negeri Lengkap adalah menentukan kebijaksanaan dan mengeluarkan peraturan-peraturan bersama dengan Saniri Rajapatti. Saniri Rajapatti dalam melaksanakan sesuatu hal yang penting di negeri akan berkonsultasi terlebih dahulu dengan Saniri Negeri Lengkap untuk meminta persetujuannya. Pimpinan Saniri Negeri Lengkap ini adalah Raja, namun selain bertugas sebagai badan legislatif maka
Saniri Negeri Lengkap juga
bertugas untuk memilih Raja menurut tatacara yang berlaku. Ada badan musyawarah negeri yang di kenal dengan sebutan Saniri Negeri Besar yang berperan sebagai
badan yudikatif. Saniri Negeri Besar bertugas
menyelenggarakan rapat lengkap yang bersifat terbuka antara Saniri Rajapatti dan Saniri Negeri Lengkap dan semua warga masyarakat pria
dewasa yang
berumur 18 tahun ke atas. Rapat ini dilaksanakan 1 tahun sekali biasanya di awal tahun atau pada akhir tahun dan berlangsung di rumah adat yang di sebut Baeleo dan dipimpin oleh Raja. Bila melihat kedudukan struktur organisasi pemerintahan negeri pada Gambar 4, maka Raja adalah merupakan orang yang pertama dan sangat memegang penting di dalam sistem pemeritahan negeri. Raja memiliki kapasitas dan fungsi sebagai pimpinan badan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Akan tetapi dengan kapasitas dan fungsi tersebut Raja tidak memiliki kekuasaan mutlak dalam
69
menjalankan
tugasnya
dan
dalam pengambilan
keputusan,
Raja
harus
mempertimbangkan pendapat dari badan Saniri Negeri. Lembaga-lembaga adat yang terdapat dalam struktur Pemerintahan Negeri adat ini memiliki fungsi dan peranan yang sangat besar terhadap kelangsungan pembangunan masyarakat. Lembaga-lembaga adat ini sangat dihormati, dipatuhi dan dihargai oleh masyarakat terhadap berbagai hal seperti dalam pengambilan keputusan, penyelesaian sengketa batas tanah dan petuanan, pelantikan Raja, serta pelaksanaan upacara-upacara adat (Anonimous, 2001) . Dalam pelaksanaan pembangunan desa pada rezim adat di Maluku maka ada beberapa pranata yang mengatur tentang pengelolaan
sumberdaya alam,
menjaga ketertiban sosial serta tradisi tolong menolong dalam masyarakat yang dikenal dengan sebutan sasi, masohi. badati, maano, dan makan pasuri. Dalam pengelolaan
sumberdaya alam serta menjamin ketertiban sosial
maka ada kearifan tradisional yang diartikan dalam simbol-simbol khusus sebagai tanda larangan yang dikenal dengan sasi. Sasi mengandung pengertian tentang larangan pengambilan sumberdaya tertentu tanpa ijin dalam jangka waktu tertentu yang secara ekonomis bermanfaat bagi masyarakat (Bailey dan Zerner, 1992). Makna sasi adalah larangan bagi anak negeri dan orang luar untuk mengambil sesuatu yang berkaitan dengan sumber-sumber daya alam baik darat maupun laut. Tujuan sasi adalah supaya sumberdaya alam dapat dimanfaatkan secara baik dan benar dan dapat berlangsung terus menerus setiap waktu dari generasi ke generasi berikutnya.
Lembaga adat yang bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan sasi adalah Kewang. Kewang adalah suatu kelompok organisasi yang diangkat secara adat melalui proses musyawarah yang dilakukan di dalam rumah adat yaitu Baeleo. Kepala Kewang dan Wakil Kepala Kewang diangkat dan ditentukan berdasarkan garis keturunan dari marga/famili tertentu atau yang disebut
mata rumah. Sedangkan anggota Kewang atau pembantu Kewang
diangkat dari warga masyarakat yang ada di dalam wilayah Soa. Sebagai suatu organisasi maka Kewang memiliki struktur organisasi dan mempunyai tugas dan tanggung jawab serta memiliki peraturan-peraturan Kewang sebagai dasar dan pedoman dalam melaksanakan tugasnya. Tugas Kewang adalah mengawasi dan mengontrol pelaksanaan sasi untuk tanaman-tanaman di hutan dan di kebun serta
70
daerah sasi di laut terhadap berbagai sumberdaya perikanan yang memiliki nilai ekonomi yang penting dan merupakan kesepakatan bersama antara masyarakat dengan pemerintah negeri. Tujuan pengawasan dan pengontrolan Kewang ini adalah supaya setiap sumberdaya yang disasikan baik di hutan, kebun dan laut dapat memberi hasil yang baik
pada waktu panen.
Bagi masyarakat yang
melanggar aturan-aturan sasi yang telah ditetapkan oleh Kewang dengan persetujuan Raja dan pemerintah negeri, yaitu dengan melakukan pencurian ataupun pengrusakkan terhadap sumberdaya yang disasikan maka akan diberi sanksi oleh Kewang. Oleh karena itu, Kewang memiliki fungsi dan peranan yang sangat besar terhadap pengelolaan sumberdaya alam dalam pemerintah negeri dan juga berperan dalam mengawasi “hak ulayat Negeri” (darat dan laut) terhadap pengaruh aktivitas dari luar. Pada rezim adat, maka cara pelaksanaan sasi dilaksanakan secara adat oleh Raja sebagai kepala adat dan Kewang sebagai pengontrol dan pengawas sasi dan dihadiri oleh seluruh staf pemerintah negeri dan masyarakat.
Oleh karena itu maka sebagai bagian dari ketentuan adat maka
pelaksanaan sasi ada memiliki aturan-aturan tertentu yaitu; acara tutup dan buka sasi, dan tanda sasi. Hal ini merupakan suatu rangkaian dalam pelaksanaan sasi dimana pelaksanaan sasi tersebut berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh masing-masing pemerintahan negeri. Berdasarkan jenis sumberdaya yang disasikan maka bentuk sasi ada dua yaitu sasi darat dan sasi laut. Sumberdaya di hutan dan kebun yang disasikan adalah seperti kelapa, pala, cengkeh, sagu, coklat, buah-buahan seperti jeruk nenas,manggadan sebagainya. Sedangkan sumberdaya perikanan yang disasi adalah seperti : lola, batu laga, teripang, caping-caping, ikan hias, rumput laut, karang, pasir dan berbagai jenis ikan lainnya. Pelaksanaan sistem sasi ini juga menyangkut hak eksklusif pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat desa dimana dengan hak ini orang dari luar desa tidak diperkenankan untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Pada beberapa desa yang lain, hak eksklusif ini dapat dialihkan kepada orang luar desa sejauh mereka mau menggunakan teknologi yang serupa dengan yang digunakan oleh masyarakat setempat yaitu dimana alat tersebut tidak merusak lingkungan dan sumberdaya alam serta membayar sejumlah uang tertentu sebagai ganti hak yang telah diberikan kepada pemerintah negeri. Kawasan hak eksklusif
71
ini dikenal dengan nama Petuanan Negeri. Petuanan di darat yang di sasi merupakan suatu kawasan pertanian yang disebut dusun, yaitu suatu kawasan pertanian-kehutanan yang khas di Maluku dimana terdapat diversifikasi tanaman dan usaha yakni berupa tanaman hutan, tanaman tahunan, tanaman pangan dan tanaman hortikultura serta ternak (Nanere, 1996). Sedangkan petuanan laut yang disasi adalah suatu kawasan perairan di depan desa atau yang masih merupakan teritorial desa biasanya berupa perairan dangkal, atol, teluk atau selat (Nikijuluw,2002).
Oleh karena itu, pada sistem pemerintahan adat sasi
merupakan salah satu sumber pendapatan negeri dan pendapatan masyarakat. Masohi. yaitu suatu aktivitas tolong menolong yang dilakukan oleh masyarakat untuk menyelesaikan suatu kegiatan pembangunan fisik baik di dalam negeri, maupun di dalam kelompok warga masyarakat ataupun secara pribadi untuk jangka waktu tertentu yang telah di tetapkan bersama. Tujuan masohi adalah untuk membantu meringankan pekerjaan.
Contohnya adalah kegiatan
pembangunan rumah adat (Baileo), rumah ibadah (gereja dan masjid), pembangunan rumah tinggal, pembuatan jalan dan sebagainya. Badati adalah sistem tanggung bersama sebuah kegiatan
yang dilakukan
seseorag. Maano adalah sistem bagi hasil (biasanya cengkeh atau sagu), hal ini karena si pemilik kurang tenaga untuk memetik hasil maka dia meminta tolong anggota masyarakat lain untuk memetiknya dengan mendapat imbalan dari hasil yang dipetik sesuai kesepakatan. kebun, hutan secara bersama-sama
Makan pasuri yakni menikmati hasil-hasil warga-warga kampung atau negeri yang
memiliki ikatan sejarah atau kekeluargaan (Sahusilawane, 2005). Pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut di atas ini diberikan tanggung jawab oleh Raja kepada Kepala Soa dengan demikian maka dalam melaksanakan masohi dikoordinir oleh Kepala-Kepala Soa.
Selanjutnya Kepala Soa akan meng-
gerakkan anak-anak Soa di dalam wilayah kekuasaannya untuk bekerja dan berpartisipasi penuh dalam kegiatan pembangunan yang sedang dilaksanakan. Dalam pelaksanaan pekerjaan pembangunan fisik melalui masohi, maka semua anggota masyarakat diharuskan turut berpartisipasi dalam pekerjaan tersebut karena mereka dikontrol dan diawasi oleh Kepala soa dan Raja. Raja sebagai pemimpin masyarakat bersikap tegas dalam memberi hukuman dan sanksi
72
terhadap warga masyarakat yang tidak mematuhi aturan pemerintah negeri. Oleh karena ketegasan dan kewibawaan Raja, maka semua warga masyarakat tanpa memandang bulu, semuanya tunduk dan patuh terhadap segala perintah Raja. Itulah yang dapat dilihat dari peranan Raja dan staf pemerintah negeri dalam melaksanakan pembangunan. Sistem pemerintahan desa pada rezim sentralisasi Pada rezim sentralisasi yang dimulai dengan diterapkannya UU No. 5 Tahun 1979 maka sistim pemerintahan negeri mengalami perubahan menjadi sistem pemerintahan desa. Selain itu, terjadi pembentukan desa-desa baru yang dulunya merupakan bagian wilayah kekuasan dari suatu negeri
yang mengakibatkan
sebagian dari luas wilayah kekuasaan suatu negeri menjadi berkurang. Desa baru yang dibentuk ini bukanlah merupakan desa adat sehingga sistem pemerintahan desanya mengikuti UU No. 5 Tahun 1979. Sedangkan negeri yang merupakan basis masyarakat adat mengalami perubahan nama menjadi desa akan tetapi sistem pemerintahan desanya merupakan perpaduan antara sistem pemerintahan negeri dengan sistem pemerintahan desa. Periode sistem pemerintahan desa bila dihitung sejak dikeluarkannya UU No.5 Tahun 1979 sampai dengan pemberlakukan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada rezim reformasi adalah sekitar 20 tahun. Penerapan UU No. 5 Tahun 1979 membuat perubahan-perubahan yang cukup mendasar dan berpengaruh terhadap kelangsungan kehidupan sosial ekonomi dan politik di tingkat pemerintahan desa.
Perubahan ini disebabkan karena keinginan
pemerintah pusat untuk menyeragamkan struktur pemerintahan desa yang selama itu berbeda-beda antar daerah dan untuk memudahkan pelaksanaan pemerintahan, pengawasan dan pembinaan atas desa-desa di seluruh Indonesia. Perubahan yang nampak terlihat adalah pada struktur organisasi pemerintahan desa. Adapun salah satu struktur organisasi pemerintah desa dari Desa Tuhaha di Kecamatan Saparua Kabupaten Maluku Tengah, dapat dilihat pada Gambar 5. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979, struktur organisasi
pemerintahan desa terdiri dari kepala desa,
sekretaris desa, Lembaga Musyawarah Desa (LMD), kepala-kepala urusan dan kepala dusun.
73
KEPALA DESA
LMD
SEKRETARIS
KEPALA URUSAN
KEPALA DUSUN
KEPALA DUSUN
RW
RW
RW
RW
RT
RT
RT
RT
KEPALA DUSUN
RW RT
KEPALA DUSUN
RW
RW
RW
RT
RT
RT
Gambar 5 Struktur organisasi pemerintahan Desa Tuhaha, Kabupaten Maluku Tengah Keterangan:
= Staf Pembantu Tugas
Setiap unit organisasi mempunyai tugas pokok dan fungsi masing-masing, yaitu sebagai berikut : Kepala desa. a.
Kepala desa berkedudukan sebagai alat pemerintahan desa dan pelaksana pemerintah desa.
b.
Tugas pokok kepala desa adalah untuk menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri, menjalankan urusan pemerintah, pembangunan dan pembinaan masyarakat, dan menumbuhkan serta mengembangkan semangat gotong royong masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan desa.
74
c.
Fungsi kepala desa adalah untuk melaksanakan kegiatan dalam rangka penyelenggaraan
urusan rumah tangganya, menggerakkan partisipasi
masyarakat dalam wilayah desanya, melaksanakan tugas dari pemerintah daerah, melaksanakan kegiatan dalam penyelenggaraan
ketentraman
masyarakat, melaksanakan kegiatan dalam rangka urusan pemerintahan lainnya. Lembaga Musyawarah Desa (LMD) a.
LMD berkedudukan sebagai wadah menyelenggarakan permusyawaratan/ permufatan yang ada di desa
b.
LMD menampung dan menyalurkan aspirasi dan pendapat
c.
Fungsi LMD nyusunan
adalah menyampaikan
bahan masukan/input bagi pe-
keputusan desa dengan masyarakat dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan desa Sekretaris desa a.
Sekretaris desa berkedudukan sebagai unsur staf pembantu kepala desa dan memimpin sekretariat desa
b.
Tugas sekretaris
desa adalah menjalankan administrasi pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan di desa serta memberikan pelayanan administrasi kepada kepala desa c.
Fungsi sekretaris desa adalah melaksanakan urusan surat menyurat, kearsipan dan laporan, melaksanakan urusan keuangan, administrasi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, melaksanakan tugas dan fungsi kepala desa apabila kepala desa berhalangan melaksanakan tugastugasnya
Kepala Urusan a.
Kedudukan kepala urusan adalah unsur pembantu sekretaris desa dalam bidang tugasnya
b.
Kepala urusan mempunyai tugas menjalankan kegiatan sekretaris desa di bidang tugasnya
c.
Fungsi kepala urusan adalah melaksanakan kegiatan urusan pembangunan, kesejahteraan, keuangan dan umum sesuai dengan bidang tugasnya masingmasing, memberikan pelayanan administrasi terhadap kepala desa
75
Kepala Dusun a.
Kepala dusun berkedudukan sebagai unsur pelaksana tugas kepala desa di wilayah kerjanya
b.
Tugas
kepala
dusun
adalah
menjalankan
kegiatan
pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan serta ketentraman di wilayah kerjanya, melaksanakan kebijaksanaan kepala desa
Meskipun secara yuridis, struktur pemerintahan desa terdiri dari kepala desa, LMD dan aparat desa, akan tetapi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa terdapat lembaga lain yang secara struktural tidak termasuk dalam struktur pemerintahan desa, namun secara fungsional merupakan bagian
dari sistem
pemerintahan desa. Lembaga tersebut adalah Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No.28 Tahun 1989. LKMD adalah organisasi masyarakat yang tumbuh dari, oleh dan untuk masyarakat
yang ada di setiap desa.
Ketua LKMD adalah kepala desa.
Keanggotaan LKMD biasanya dipilih dari unsur tiga tungku yaitu terdiri atas tokoh agama,
tokoh pendidikan dan tokoh masyarakat.
LKMD merupakan
wadah pelaksana dari berbagai program dan kegiatan pembangunan masyarakat desa melalui seksi-seksi yang ada. Kepala desa adalah merupakan penguasa tunggal di desa baik pada struktur pemerintahan desa tetapi juga pada organisasi sosial kemasyarakatan di desa. Kekuasaan kepala desa yang demikian besar itu dalam sistem demokrasi dan sistem pemerintahan yang sentralistis itu dikontrol dan dikendalikan agar tidak menyimpang dari peraturan yang berlaku dimana kepala desa bertanggung jawab kepada Camat. Sistem pemerintahan desa pada rezim otonomi daerah Pada rezim otonomi daerah yang dimulai setelah diterapkannya UU No. 22 Tahun 1999, sistem pemerintahan desa mengalami perubahan yaitu dikembalikan menjadi sistem pemerintahan negeri.
Nama wilayah administratif berubah
dari desa menjadi negeri demikian pula struktur organisasi pemerintahannya. Adapun struktur organisasi pemerintahan negeri pada rezim otonomi daerah pada
76
Negeri Titawai Kecamatan Nusalaut Kabupaten Maluku Tengah
ditunjukkan
pada Gambar 6.
RAJA
SANIRI NEGERI
SEKRETARIS
KEPALA SOA Kepala Urusan Pembangunan
KEPALA SOA Kepala Urusan Pemerintahan
BENDAHARA
KEPALA SOA Kepala Urusan Umum
KEPALA SOA Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat
Gambar 6 Struktur organisasi pemerintahan Negeri Titawai, Kabupaten Maluku Tengah Keterangan:
= Staf pembantu tugas
Gambar 6 menunjukkan bahwa ada perbedaan struktur organisasi pemerintahan desa pada rezim otonomi daerah dengan sistem pemerintahan desa pada rezim sentralisasi.
Kepala desa diganti menjadi Raja, LMD menjadi Saniri
Negeri, dan kepala-kepala urusan menjadi Kepala Soa. Apabila dibandingkan dengan sistem pemerintahan desa pada rezim adat maka terlihat bahwa hampir memiliki kesamaan dimana lembaga-lembaga adat telah di akomidir kembali dalam struktur pemerintahan desa. Akan tetapi dalam melaksanakan tugas maka terdapat perbedaan dimana Raja berfungsi sebagai kepala pemerintahan negeri dan kepala adat sedangkan Kepala Soa berfungsi sebagai kepala urusan pembangunan. Kedudukan kepala urusan adalah unsur pembantu Raja dalam bidang tugasnya. Fungsi kepala urusan adalah melaksanakan kegiatan urusan pembangunan, kesejahteraan, keuangan dan umum sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. Saniri Negeri sebagai badan legislatif terdiri dari para tokoh
77
adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, Kewang, Marinyo, Tuan Tanah, dan Tuan Negeri. Berdasarkan hasil analisis perubahan sistem pemerintahan desa pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah maka hal ini menunjukkan bahwa kebijakan- kebijakan pemerintah tentang Pemerintahan Daerah selama ini telah memberikan perubahan-perubahan dalam sistem pemerintahan desa yang meliputi tugas, pokok dan fungsi kepemimpinan, struktur organisasi. Perubahan ini turut membawa pengaruh terhadap pelaksanaan pembangunan di pedesaan termasuk di dalamnya pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat. Hal ini juga menunjukkan bahwa kondisi dan permasalahan setiap daerah itu sangat berbeda-beda dan tidak mudah untuk menyeragamkan sistem pemerintahan desa di seluruh Indonesia dengan mengingat berbagai norma dan tradisi masyarakat dalam melaksanakan
kegiatan pembangunan di daerah
pedesaan. Solihin (2004) mengatakan bahwa sentralistik pemerintahan selama ini telah membawa begitu banyak masalah seperti, eksternalitas di kegiatan perikanan tangkap dan telah membunuh keberadaan partisipasi masyarakat lokal dalam melakukan penge-lolaan kegiatan perikanan tangkap. Selain itu, dikatakan juga oleh Kusumastanto (2003) bahwa sistem pemerintahan sentralistik yang sudah berlangsung selama 32 tahun terbukti telah menghancurkan sumberdaya alam. Sebab secara ekonomi-politik sistem pemerintahan sentralistik terbukti membawa kecenderungan buruk yakni (1) politik yang tidak demokratis; (2) korupsi;(3) rent seeking activities yang memperburuk social welfare loss bagi masyarakat dan (4) moral hazard yaitu bertindak dengan sema-mena dan mengabaikan aspirasi masyarakat.
Oleh karena itu maka pilihan otonomi daerah merupakan suatu
mekanisme yang ingin mendekatkan pemerintah dengan masyarakatnya dengan tujuan agar masyarakat terlibat dalam proses penyelenggaraan negara, politik, sosial, ekonomi, budaya serta penguasaan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang seharusnya tidak perlu dijalankan oleh negara. Untuk konteks Maluku, sistem pemerintahan desa pada rezim otonomi daerah memberikan kemungkinan perubahan struktur dan penyelenggaraan desa ke depan sangat mungkin sesuai dengan aspirasi dan karakteristik lokal. Dimana sistem pemerintahan desa dikembalikan pada sistem pemerintahan negeri.
78
Supardal et al. (2005) mengatakan bahwa dengan UU No. 22 Tahun 1999 dimungkinkan adanya perbedaaan menyangkut nama kelembagaan desa yang ada. Dengan demikian nilai-nilai lokal, tradisi, adat istiadat dimunculkan kembali selama masyarakat menganggap akan mendukung efektivitas dan efisiensi pemerintahan dan pembangunan desa. Semangat untuk melaksanakan adat kini mulai mewarnai kehidupan dinamika masyarakat Maluku sehingga timbul keinginan dari masyarakat untuk kembali memberlakukan sistem adat. Keinginan masyarakat ini bergulir seiring dengan kondisi daerah Maluku yang semakin hari semakin kondusif dan karena adanya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 yang dapat mengakomidir aspirasi masyarakat tersebut. Perubahan-perubahan dan pembenahan di tingkat desa khususnya desa adat mulai terjadi dengan mulai mempersiapkan sistem pemerintahan negeri.
Pada desa-desa adat yang tadinya mengalami
perubahan dengan sistem pemerintahan desa sehingga terjadi elaborasi dalam struktur pemerintahan desa, mulai menfungsikan lembaga-lembaga adat yang selama ini terabaikan karena tidak terakomodir lewat UU No. 5 Tahun 1979. Aspirasi masyarakat untuk melakukan perubahan-perubahan ke arah sistem pemerintahan negeri akhirnya diakomodir oleh pemerintah daerah untuk dibuat sebagai suatu peraturan daerah sehingga dapat diberlakukan di seluruh wilayah Maluku sesuai dengan aturan-aturan yang telah dibuat oleh perwakilan masyarakat di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Maluku. Dalam sistem pemerintahan desa, pimpinan desa adalah merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam mengerakkan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan. Raja sebagai pemimpin desa dan juga pemimpin adat telah diberlakukan kembali. kedudukan dan peranan Raja turut memberikan pengaruh yang besar terhadap pembangunan masyarakat pedesaan. Hal ini disebabkan karena Raja ditentukan berdasarkan garis keturunan tertentu dan hal ini telah diketahui dan dipahami oleh masyarakat adat sehingga kedudukan Raja sangat dihormati dan disegani. Pariela (2005) mengatakan bahwa di dalam sistem politik tradisional masyarakat di Maluku, alokasi dan distribusi kekuasaan pada dasarnya bersifat tertutup, karena hanya berlangsung melalui mata rumah. Jadi dalam tatanan tradisional masyarakat di Maluku, status sosial seseorang diperoleh berdasarkan
kelahiran
79
(ascribed status) di dalam suatu mata rumah tertentu, dan berperan
sesuai
kedududukan mata rumah yang bersangkutan dalam sistem politik
lokal.
Pergantian kepemimpinan Raja diatur secara turun-temurun. Mengingat kedudukan dan peranan Raja sebagai tokoh masyarakat dan juga tokoh adat maka Raja memiliki kemampuan untuk menggerakkan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan termasuk di dalamnya pengelolaan sumber daya perikanan di desanya. Hanafi (1987) mengatakan bahwa tokoh adat/tokoh masyarakat
adalah orang-orang-orang yang memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi orang lain.
Tokoh adat adalah pemimpin dalam masyarakat
dimana mereka menjadi panutan, pembimbing dan tempat bertanya bagi masyarakat sehingga sebagai pemimpin mereka sering berinteraksi dengan masyarakat dan di dalam interaksi tersebut pengetahuan, wawasan dan kearifan yang mereka miliki akan ditransfer kepada masyarakat. Oleh karena itu maka pada rezim otonomi daerah dimana pelaksanaan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan adalah Raja dan Kewang maka diharapkan dapat berjalan dengan baik. Untuk itu maka Raja dan Kewang sangat perlu untuk diberdayakan untuk memahami pelaksanaan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat secara baik dan benar.
Mengingat kondisi dan permasalahan
masyarakat yang telah mengalami perkembangan dan perubahan selain itu juga kondisi sumberdaya perikanan yang juga telah mengalami banyak perubahan. Sehingga pelaksanaan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat yang dikenal dengan sasi, bukan hanya merupakan suatu tradisi adat masyarakat saja tetapi merupakan suatu hal yang sangat perlu dilaksanakan untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat dan juga untuk menambah pendapatan desa dalam rangka pengembangan pembangunan sarana dan prasarana desa.
4.3 Keberadaan Sasi Laut pada Rezim Otonomi Daerah Hasil inventarisasi keberadaan sasi yang dilakukan pada 61 desa di Pulau Ambon, Pulau Saparua, Pulau Nusalaut, Pulau Haruku, dan Pulau Seram diperlihatkan pada Lampiran 7. Hasil ini menunjukkan bahwa dari 61 desa yang
80
diinventarisir ternyata pelaksanaan sasi adalah di atas 50 % yaitu terdiri dari sasi darat terdapat pada 45 desa, sasi darat dan laut terdapat pada 16 desa (Tabel 11).
Tabel 11 Keberadaan sasi di pedesaan Maluku No 1
2a
2b
Variabel
Jumlah
Proporsi
(Desa)
(%)
Sasi Darat
45
74
Sasi Darat + Sasi Laut
16
26
Ada Aturan
48
79
Tidak Ada Aturan
13
21
Tertulis
21
44
Tidak Tertulis
27
56
Bentuk Sasi :
Ketersediaan Aturan Perikanan :
Bentuk Aturan :
Hasil ini menunjukkan bahwa walaupun telah terjadi pergantian rezim pemerintahan desa namun sasi laut sebagai bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat masih tetap ada sampai saat ini. Keberadaan sasi laut ini tentunya disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat desa setempat. Novaczek et al. (2001) menyatakan bahwa, sebagai suatu pranata, sasi tidak statis tetapi mengalami perubahan sesuai waktu. Sasi dan budaya adat sangat mudah dipengaruhi dan lemah dari waktu ke waktu yang mencerminkan dampak dari kolonialisme, peperangan, perkembangan ekonomi dan perubahan sosial. Hasil ini juga memperlihatkan bahwa tidak semua desa adat melaksanakan sasi. Dari 53 desa adat yang di teliti ternyata 8 desa adat di antaranya tidak melaksanakan sasi baik sasi darat maupun sasi laut. Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa di sebagian desa-desa adat telah hilang tradisi sasi dalam masyarakat adat. Hilangnya sasi pada desa-desa adat antara lain disebabkan antara lain karena perubahan struktur pemerintahan desa akibat pemberlakuan UU No.5 Tahun 1979 dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan desa. Hal ini seperti dikatakan oleh Nikijuluw (2002) Novaczek et al. (2001) dan Kissya (2000)
81
bahwa perubahan struktur pemerintahan desa menyebabkan lemahnya pelaksanaan sasi di pedesaan Maluku. Keberadaan sasi pada desa-desa adat adalah karena kemauan dan itikad Raja atau kepala desa untuk mempertahankan tradisi sasi sebagai bagian dari adat dan ditunjang dengan pengetahuannya dalam pengelolaan dan pemanfaaatan lingkungan hidup untuk kesejahteraan masyarakat. Keberadaan dan pelaksanaan sasi baik sasi darat maupun sasi laut terbanyak terdapat di Pulau Saparua, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah. Adapun lokasi desa sasi laut diperlihatkan pada Tabel 12.
Tabel 12 Lokasi desa sasi laut No
Desa
Pulau
Kecamatan
Kabupaten/Kota
1
Paperu
Saparua
Saparua
Maluku Tengah
2
Ihamahu
Saparua
Saparua
Maluku Tengah
3
Itawaka
Saparua
Saparua
Maluku Tengah
4
Noloth
Saparua
Saparua
Maluku Tengah
5
Ouw
Saparua
Saparua
Maluku Tengah
6
Ulath
Saparua
Saparua
Maluku Tengah
7
Sirisori Islam
Saparua
Saparua
Maluku Tengah
8
Ameth
Nusalaut
Nusalaut
Maluku Tengah
9
Sameth
Haruku
Haruku
Maluku Tengah
10
Pelauw
Haruku
Haruku
Maluku Tengah
11
Hulaliu
Haruku
Haruku
Maluku Tengah
12
Haruku
Haruku
Haruku
Maluku Tengah
13
Makariki
Seram
Amahai
Maluku Tengah
14
Rutong
Ambon
Baguala
Kota Ambon
15
Tengah-Tengah
Ambon
Salahutu
Kota Ambon
16
Tulehu
Ambon
Salahutu
Kota Ambon
Hasil ini menunjukkan bahwa desa-desa di Pulau Saparua masih kuat mempertahankan dan melestarikan nilai serta tradisi budaya sasi.
Hal ini
disebabkan karena desa-desa di Pulau Saparua adalah merupakan desa adat dan mayoritas masyarakat yang mendiami desa tersebut adalah masyarakat adat. Oleh karena itu sebagai bagian dari adat dan tradisi maka sasi masih tetap dipertahan-
82
kan dan dilestarikan. Hal ini sesuai dengan Ginting (1998) yang menyatakan bahwa sasi, ondoafi dan sejenisnya berada dalam satu pulau kecil, tergantung dari karakteristik klan, atau suku yang mendominasi desa tersebut. Di Kabupaten Maluku Tengah khususnya di Pulau Saparua ada dua sistem penyelenggaraan sasi yaitu (1) sasi negeri (sasi adat) dan sasi gereja. Perbedaan pokok di antara dua sistem penyelenggaraan tersebut adalah pada penyelenggara kesepakatan tradisional tersebut. Penyelenggaraan sistem sasi negeri adalah Kewang dan Raja sedangkan penyelengaraan sasi gereja adalah pihak gereja dan pemerintah desa. Di Pulau Saparua dan Pulau Ambon, sasi gereja ditujukan kepada sasi buah-buahan milik pribadi sedangkan sasi negeri ditujukan pada sumber-sumber alam yang menjadi milik komunal seperti sasi laut. Dari hasil pengamatan di lapangan terhadap kedua sistem penyelenggaraan sasi ini maka umumnya penyelengaraan sasi darat adalah sasi gereja
yaitu pihak gereja
(Pendeta dan Majelis Jemaat) dan pemerintahan desa. Sedangkan penyelengaraan sasi laut adalah sasi negeri yaitu Kewang dan Raja. Sasi gereja adalah merupakan salah satu wujud perubahan sistem penyelenggaraan sasi karena tidak berfungsinya Kewang secara baik. Hasil inventarisasi sasi laut, menunjukkan adanya perkembangan sasi yang berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Hasil ini dapat dibandingkan dengan hasil inventarisasi sasi yang dilakukan oleh Novaczek et al. (2001) pada tahun 1997. Dilaporkan bahwa pada tahun 1997 di Pulau Nusalaut yang terdiri dari tujuh desa tidak ada pelaksanaan sasi laut. Namun sekarang, salah satu negeri di Pulau Nusalaut yaitu Negeri Ameth Kecamatan Nusalaut Kabupaten Maluku Tengah telah memberlakukan sasi laut sesuai dengan Surat Keputusan Negeri Ameth Kecamatan Nusalaut Kabupaten Maluku Tengah No.1 Tahun 2005 tentang sasi adat bagi siput lola dan teripang. Begitupun juga terjadi di Negeri Halaliu Kecamatan Haruku Kabupaten Maluku Tengah. Tidak ada sasi laut pada tahun 1997, tetapi sekarang dilaksanakan sasi laut sejak diberlakukannya Surat Keputusan Raja Negeri Hulaliu No.140/02/XII/ 2003 tentang Pengangkatan Kepala Kewang, Wakil, Bendahara dan Anggota Kewang pada Tanggal 28 Desember 2003. Perkembangan selanjutnya adalah pada Tanggal 4 Oktober 2005 telah dilakukan pelantikan lembaga-lembaga adat yaitu Kepala Soa, Saniri Negeri dan
83
Kewang di Negeri Nalahia Kecamatan Nusalaut Kabupaten Maluku Tengah, seperti terlihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Acara pelantikan lembaga-lembaga adat di Negeri Nalahia
Gambar di atas menunjukkan bahwa pelaksanaan sasi pada rezim otonomi daerah diperkirakan akan semakin bertambah pelaksanaannya dengan diaktifkan kembali Kewang sebagai lembaga pelaksana pengelolaan sumberdaya alam. Berdasarkan hasil wawancara pada desa-desa sasi, maka jenis sumberdaya darat yang disasi adalah: kelapa, cengkeh, pala, coklat, nenas, jeruk, sagu. Sedangkan sumberdaya laut yang disasi adalah: karang, batu hitam, pasir, teripang, lola, caping-caping, ikan hias, bakau, ikan lompa, make dan jenis-jenis ikan lain di sekitar pesisir pantai. Jenis sumberdaya yang disasikan ini, memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari nilai harga untuk beberapa jenis sumberdaya perikanan yang di sasi di pasar Kota Ambon. Adapun harga beberapa komoditi sumberdaya perikanan, diperlihatkan pada Tabel 13.
84
Tabel 13
Daftar harga beberapa komoditi sumberdaya perikanan yang disasikan , di pasar Kota Ambon, tahun 2005
Sumberdaya Perikanan
Nama Ilmiah
Ukuran
Siput Lola
Trochus niloticus
4 – 4.9
Rp.
Siput Lola
Trochus niloticus
5 – 5.9
Rp. 20 000
Siput Lola
Trochus niloticus
>6
Rp. 43 000
Teripang Pasir
Holothuroidea scabra
40
Rp. 600 000
Teripang Susu
Holothuroidea nobilis
35
Rp. 250 000
Teripang Nenas
Thelenota ananas
35
Rp. 200 000
Caping-caping
Pinctada margaritifera
20
Rp. 15 000
Rumput Laut
Euchema sp
25
Rp.
(cm)
Harga Pedagang Pengumpul (kg) 5 000
5 000
Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai harga sumberdaya perikanan tertinggi adalah teripang dan terendah adalah rumput laut dan siput lola ukuran kecil. Hal ini berindikasi bahwa apabila pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan oleh masyarakat melalui sasi dapat dilaksanakan secara baik maka tentu dapat meningkatkan tingkat pendapatan masyarakat pedesaan. Oleh karena itu, pelaksanaan sasi perlu dipertahankan dan direvitalisasikan dalam model pengelolaan perikanan berbasis masyarakat yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berkembang saat ini di masyarakat pedesaan.
Menurut
Kusumastanto (2003) dalam otonomi daerah, otonomi termasuk di wilayah laut merupakan peluang besar terjadinya redefinisi dan reorientasi pembangunan, asalkan pemerintah daerah memiliki kapasitas dan komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah dan memiliki wawasan yang jelas mengenai perlindungan
sumberdaya kelautan dan perikanan. Namun dari ke-
semuanya itu diperlukan adanya perombakkan yang mendasar dalam rezim open acces atas sumberdaya perikanan dan pengaturan property right dimana hak atas sumberdaya perikanan seharusnya dikembalikan
kepada masyarakat
karena
sumberdaya tersebut dijadikan sumber penghidupan yang berkelanjutan bagi mereka.
Untuk itu maka
pemerintah perlu segera memperkuat
kapasitas
masyarakat dalam mengelola sumberdaya perikanannya dengan mempersiapkan
85
kebijakan yang mendorong kemandirian masyarakat dimana secara ekonomi politik mensyaratkan adanya pengakuan terhadap communal property right. Persyaratan ini akan menekan pemerintah daerah mematuhi tugas dan kewajibannya dalam meningkatkan kapasitas masyarakat lokal untuk mengaktualisasikan institusi-institusi sosial budaya dan ekonomi guna mendukung aktualisasi rezim communal property right atas sumberdaya perikanan. Berdasarkan hal tersebut maka untuk pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat melalui sasi di pedesaan Maluku di rezim otonomi daerah ini maka diperlukan adanya kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat dengan bercermin dari kegagalan dan keberhasilan sistem tersebut sebagai suatu pranata sosial yang sudah ada dan berkembang dalam masyarakat. Menurut Satria et al. (2002) pranata sosial yang mencerminkan
kearifan
tradisional dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan merupakan kekuatan daerah, untuk itu dalam desentralisasi daerah tidak perlu lagi menyusun formula pengelolaan sumberdaya perikanan sebaliknya daerah hanya melengkapi formula dalam merekonstruksi modal sejarah tersebut menjadi modal sosial yang riil sehingga menjadi sesuatu yang kontributif dalam mempercepat implementasi UU Pemerintahan Daerah. Dengan demikian maka pelaksanaan sasi perlu mendapat perhatian pemerintah daerah Maluku sehingga dapat di pakai sebagai model pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan
berbasis masyarakat
Selanjutnya model ini dapat diimplementasikan di seluruh wilayah Maluku sebagai salah satu bentuk dalam penerapan pelaksanaan pembagunan perikanan berbasis masyarakat di otonomi daerah. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah melakukan gerakan mengkampanyekan sasi sebagai wujud sosialisasi kepada masyarakat luas yang intinya adalah memberikan informasi tentang pentingnya pelaksanaan sasi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Dampak dari gerakan kampanye sasi adalah adanya perubahan secara kognitif, afektif dan psikomotorik dalam masyarakat pedesaan terutama “generasi baru” sehingga menjadi sadar, mengerti, memahami dan mau berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan sasi secara berkelanjutan. Hasil inventarisasi terhadap peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di 61 desa menunjukkan bahwa
ada dua bentuk peraturan
yaitu
86
peraturan secara tertulis dan tidak tertulis.
Hasil observasi di lapangan
menunjukkan bahwa sebagian besar desa memiliki peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, namun kebanyakan dari peraturan tersebut tidak tertulis tetapi merupakan kesepakatan musyawarah desa dan selanjutnya diinformasikan oleh pemerintah desa ke masyarakat melalui pemberitahuan desa atau melalui pertemuan-pertemuan kelompok di desa. Jenis peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan tidak tertulis, diperlihatkan pada Tabel 14.
Tabel 14 Peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan tidak tertulis di pedesaan Maluku, tahun 2005 Jenis peraturan •
Pembersihan pantai untuk hari-hari besar
•
Larangan pengambilan karang, batu, pasir laut dan galian C
•
Larangan untuk menebang pohon bakau
•
Larangan untuk membuang sampah dan limbah ke pantai dan sungai
•
Larangan membom dan meracuni ikan
•
Larangan untuk bekerja di daerah bakau
•
Larangan untuk menarik jaring redi di dekat pantai
•
Menjaga kawanan ikan
•
Larangan untuk tambat perahu sembarangan tempat
•
Operasi purse seine harus 1 mil dari pantai
•
Menjaga pantai dari abrasi
•
Larangan untuk mencemarkan laut
•
Larangan pengeringan pantai
•
Larangan untuk membuang jaring di dekat pelabuhan
Peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan tidak tertulis memiliki konsekuensi tertentu, dimana tidak semua masyarakat mengetahui dan memahami peraturan tersebut secara baik terutama penduduk pendatang. Akibatnya terjadi banyak ketidakpatuhan terhadap peraturan tersebut. Oleh karena itu, sebaiknya peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang
87
telah ada pada masyarakat lokal di tingkat desa perlu dilembagakan dalam suatu aturan formal yang mengikat
sehingga dapat menjadi pedoman serta arah
pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku. Peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara tertulis umumnya ada pada desa-desa yang aktif melaksanakan sasi laut, seperti terlihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat secara tertulis pada desa sasi laut, tahun 2005 No
Variabel
1
Tujuan
2
Jenis sumberdaya kelautan dan perikanan yang disasi
3
Larangan
Aturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan • Meningkatkan pendapatan desa • Melindungi sumberdaya kelautan dan perikanan • Mencegah pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan oleh orang luar • Lola, Batu laga, Caping-caping, Teripang, Bakau, Karang, Kawanan ikan, Ikan hias, Batu kerikil, Pasir, Batu hitam besar. • Menyelam mengambil Lola dan Teripang. • Menangkap ikan dengan jaring di laut atau pada waktu air surut, bagi masyarakat di luar desa. • Mengambil dan menangkap ikan hias di laut atau di air surut • Menangkap ikan dengan bahan peledak (bom), obat bore dan yang dapat merusakkan biota laut. Ketentuan ini berlaku bagi anggota masyarakat desa maupun yang bukan. • Setelah buka sasi maka kesempatan diberikan untuk mengambil hasil hanya 1 minggu. • Setiap anak negeri diberi kesempatan untuk mengambil hasil dengan ketentuan memiliki surat ijin dari Raja dengan pengawasan Kewang, senilai Rp.5000,- per lembar surat ijin dan berlaku hanya satu hari. • Tidak dibenarkan mengambil Lola dengan ukuran di bawah 6 cm, • Menangkap ikan dengan menggunakan pukat Karoro • Mengambil pasir pantai tanpa izin pemilik dusun di pesisir pantai
88
Tabel tersebut menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan sasi diatur tentang tujuan sasi, jenis alat tangkap yang dipergunakan, jenis sumberdaya kelautan dan perikanan yang dilindungi, pelarangan penggunaan bom dan bahan beracun lainnya yang dapat merusakkan sumberdaya kelautan dan perikanan dan lingkungannya serta pengaturan terhadap larangan bagi warga masyarakat dari luar untuk memanfaatkan sumber daya perikanan secara sembarangan. Selain itu, dibuat aturan tentang sanksi bagi masyarakat yang melanggar peraturan sasi, seperti terlihat pada Tabel 16. Tabel 16 Peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara tertulis tentang sanksi di desa sasi laut, tahun 2005
Sanksi
Jenis pelanggaran Masyarakat
Aparat Desa /Kewang
Pengambilan Lola
Rp. 25 000/buah
Rp. 50 000/buah
Pengambilan Batu laga
Rp. 50 000/buah
Rp. 100 000/buah
Pengambilan Caping-caping
Rp. 10 000/buah
Rp. 20 000/buah
Pengambilan Teripang
Rp. 10 000/buah
Rp. 20 000/buah
Batu kerikil, pasir dan batu hitam besar
Rp. 50 000
Rp. 100 000
Peraturan sasi pada beberapa desa/negeri di atas di buat oleh Kewang serta mendapat persetujuan Raja dan dikirim tembusannya kepada Bupati, Camat dan kepolisian sektor (Polsek) setempat. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjalin suatu kerjasama dalam bentuk manajemen pengelolaan perikanan antara masyarakat lokal dengan pemerintah daerah yang disebut ko-manajemen. Komanajemen perikanan adalah pembagian atau pendistribusian tanggungjawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya perikanan. Defenisi ko-manajemen ini menyiratkan bahwa kerjasama antar pemerintah dan masyarakat merupakan inti ko-manajemen. Menurut Nikijuluw, (2002) ko-manajemen perikanan terdiri dari beberapa bentuk pola kemitraan serta derajat pembagian wewenang dan tanggung jawab antara masyarakat dan
89
pemerintah. Berdasarkan derajat tanggung jawab dan wewenang yang dimiliki maka terbentuk suatu hirarki rentang ko-manajemen. Menurut Pomeroy and Berkes (1997) yang dikutip Nikijuluw (2002) terdapat 10 bentuk ko-manajemen yaitu : (1) Masyarakat hanya memberikan informasi kepada pemerintah dan informasi tersebut digunakan sebagai bahan perumusan manajemen (2) Masyarakat dikonsultasi oleh pemerintah (3) Masyarakat dan pemerintah saling bekerjasama (4) Masyarakat dan pemerintah saling berkomunikasi (5) Masyarakat dan pemerintah saling bertukar informasi (6) Masyarakat dan pemerintah saling memberi nasihat dan saran (7) Masyarakat dan pemerintah melakukan kegiatan atau aksi bersama (8) Masyarakat dan pemerintah bermitra (9) Masyarakat melakukan pengawasan terhadap peraturan yang dibuat oleh pemerintah (10) Masyarakat lebih berperan dalam melakukan koordinasi antar lokasi atau antar daerah dan hal tersebut didukung oleh pemerintah. Berdasarkan bentuk ko-manajemen ini maka pelaksanaan sasi di pedesaan Maluku dapat digolongkan sebagai bentuk ko-manajemen pada tingkatan ketiga yaitu masyarakat dan pemerintah saling bekerjasama. Walaupun begitu, dengan adanya kesadaran dari masyarakat lokal untuk membuat peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan merupakan embrio terjadinya penerapan komanajemen ke arah yang diharapkan. Bentuk ko-manajemen yang ideal adalah pemerintah dan masyarakat merupakan mitra yang sejajar yang bekerja sama untuk melaksanakan semua tahapan dan tugas proses pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Menurut Pomeroy and Williams (1994) yang dikutip oleh Zamani dan Darmawan
(2001) bahwa penerapan ko-manajemen
akan
berbeda-beda dan tergantung pada kondisi spesifik dari suatu wilayah, maka komanajemen hendaknya tidak dipandang
sebagai strategi tunggal
untuk
menyelesaikan seluruh problem dari pengelolaan sumberdaya pesisir. Tetapi lebih dipandang sebagai alternatif pengelolaan yang sesuai untuk situasi dan lokasi tertentu. Untuk itu pemerintah perlu memperkuat kapasitas masyarakat
90
dalam mengelola sumberdayanya. kebijakan yang mendorong
Salah satu cara adalah
mempersiapkan
kemandirian masyarakat (Kusumastanto, 2003),
diantaranya adalah peningkatan kapasitas lembaga-lembaga lokal sebagai pengelola sumberdaya perikanan melalui pelaksanaan kegiatan pembinaan dan pelatihan kepada masyarakat terutama nelayan secara khusus dan pemangku kepentingan lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku. Adapun kondisi kegiatan pelatihan masyarakat pedesaan Maluku berdasarkan hasil inventarisasi Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tengah tahun 2003 terlihat pada Gambar 8.
Gambar tersebut menunjukkan bahwa kondisi
kegiatan pembinaan dan pelatihan di bidang perikanan masih tergolong rendah dibandingkan dengan tanaman pangan dan kesehatan.
35
Persentase
30 25 20 15 10 5 0 Perikanan
Pertanian Tanaman Pangan
Perkebunan
Kehutanan
Koperasi
Kesehatan
Bidang
Gambar 8 Kondisi kegiatan pelatihan di Maluku Tengah, 2003
Untuk itu maka kegiatan-kegiatan pelatihan di bidang perikanan perlu untuk ditingkatkan dan dilakukan secara baik, terus menerus dan berkelanjutan sehingga dapat memberikan perubahan pengetahuan, sikap mental masyarakat yang dapat mendorong timbulnya partisipasi aktif masyarakat dan berbagai pemangku kepentingan lainnya terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku secara lebih baik
91
4.4
Dampak Pengaruh Perubahan Sistem Pemerintahan Desa terhadap Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Berbasis Masyarakat Pengujian hipotesis untuk mengetahui pengaruh perubahan sistem
pemerintahan desa terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat dilakukan dengan menggunakan uji Friedman. Hasil statistik menunjukkan bahwa χ2 hitung adalah 12 yang kemudian dibandingkan dengan χ2 tabel dengan tingkat kepercayaan 95 % adalah 5.991. Hasil ini memperlihatkan bahwa χ2 hitung > χ2 tabel, dengan demikian maka hipotesis Ho ditolak dan menerima hipotesis H1 yaitu bahwa
perubahan sistem pemerintahan desa
berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat di pedesaan Maluku. Hasil analisis pengaruh perubahan sistem pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah di perlihatkan pada Tabel 17.
Tabel 17 Pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah Variabel pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat
Sistem Pemerintahan Desa Rezim adat
Rezim sentralisasi
Rezim otonomi daerah
Perencanaan : Tujuan Pengelolaan
10.0 ±0
7.9 ±3.65
9.3 ±1.48
Keterlibatan Organisasi
9.7 ±0.48 2.9 ±1.86
8.4 ±1.36
Tingkat Partisipasi
8.9 ±0.85 2.8 ±1.73
7.6 ±1.36
Tugas Pokok dan Fungsi 9.5 ±0.73 3.3 ±1.67 Organisasi
7.5 ±0.89
Pengorganisasian :
Pengarahan : Motivasi dan Arahan
9.6 ±0.63 4.4 ±1.89
7.4 ±1.20
Fungsi Pengawasan
9.3 ±0.78 5.3 ±1.45
6.4 ±1.50
Total
9.5
7.4
4.3
92
Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai variabel pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat adalah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pada rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Untuk itu maka pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat di pedesaan Maluku pada rezim adat adalah lebih baik. Indikator pertama dari perencanaan adalah tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat. Hasil penelitian pada Tabel 17 menunjukkan bahwa nilai tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat adalah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pada rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Oleh karena itu tujuan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat lebih baik. Adapun pola perubahannya menunjukkan adanya penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi dan kemudian mengalami peningkatan dari rezim sentralisasi ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 9. 11 10 9
Peringkat
8 7
Tujuan Pengelolaan
6
Keterlibatan Organisasi Masyarakat Partisipasi Masyarakat
5
Tugas Pokok dan Fungsi Organisasi
4
Motivasi dan Arahan Fungsi Pengawasan
3 2 1 0 Adat
Sentralisasi
Otonomi Daerah
Rezim
Gambar 9 Pola perubahan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah
93
Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat, peranan dan fungsi Kewang berjalan dengan baik dimana masyarakat adat patuh terhadap pelaksanaan sasi sebagai bagian dari adat istiadat sehingga nampak pada tujuan pengelolaan sasi dapat dilaksanakan dengan baik. Hal ini dapat dilihat pada peraturan khusus mengenai sasi di Desa Itawaka Kecamatan Saparua Kabupaten Maluku Tengah, yang menyatakan bahwa cara yang dinilai paling efektif dalam upaya perlindungan dan pelestarian sumberdaya alam dalam petuanan negeri adalah penerapan ketentuan adat dalam mengatur tertib penggunaan sumberdaya hutan maupun laut yakni sasi, yang bertujuan menjaga, mengawasi dan melestarikan sumberdaya alam baik di darat maupun di laut. Berdasarkan tujuan tersebut di atas maka ada tiga unsur pokok dari pelaksanaan sasi yaitu : menjaga, mengawasi dan melestarikan sumberdaya alam. Dengan tiga unsur pokok tersebut maka sumber daya alam dapat terus dimanfaatkan secara baik dan teratur baik pada waktu saat ini maupun pada waktu yang akan datang. Tujuan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat seperti sasi ini sangat berkaitan dengan pembangunan perikanan yang berkelanjutan yaitu upaya sadar dan berencana dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya perikanan agar bisa dimanfaatkan secara terus menerus baik untuk saat ini maupun untuk masa yang akan datang. Penetapan tujuan pelaksanaan sasi telah berlangsung lama sejak dulu dan ini tidak mengalami suatu proses perubahan dari waktu ke waktu karena tujuan ini sudah sangat dipahami oleh masyarakat adat. Pada rezim sentralisasi, dimana Kewang tidak memiliki peranan dan fungsi secara baik dan diikuti dengan perkembangan penduduk
yang diikuti dengan perkembangan
sosial ekonomi masyarakat maka tujuan pengelolaan perikananpun tidak berjalan dengan baik.
Pada rezim otonomi daerah dimana Kewang mulai diaktifkan
kembali dan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya maka mulai nampak ada perubahan yang membaik. Selain itu, yang memotivasi desa untuk melaksanakan sasi kembali adalah karena bantuan subsidi pembangunan desa yang diberikan oleh pemerintah selama ini mengalami penurunan jumlahnya sehingga sekarang setiap desa harus aktif mengelola potensi sumberdaya alamnya untuk kepentingan pembangunan desa.
94
Indikator kedua dalam variabel perencanaan adalah keterlibatan kelompok/ organisasi masyarakat dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat. Hasil penelitian pada Tabel 17 menunjukkan bahwa nilai keterlibatan organisasi atau kelompok masyarakat dalam pengelolaan sumber daya perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat
adalah lebih tinggi
dibandingan dengan nilai pada rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah.
Dengan demikian maka keterlibatan kelompok/organisasi masyarakat
dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat adalah lebih baik. Adapun pola perubahannya menunjukkan adanya penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi dan kemudian mengalami peningkatan dari rezim sentralisasi ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 9. Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat, penyusunan tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat melalui sasi, melibatkan berbagai pihak seperti perangkat desa, kelompok nelayan, dan kelompok masyarakat lainnya yang terhimpun dalam organisasi Kewang. Sedangkan pada rezim sentralisasi dimana tujuan pengelolaan tidak mengalami perubahan dan tidak berfungsinya Kewang secara baik maka terlihat kurang adanya keterlibatan kelompok /organisasi masyarakat dalam menyusun kembali tujuan pengelolaan perikanan. Pada rezim otononomi daerah terlihat ada perubahan yang membaik karena mulai berfungsinya kembali Kewang sehingga tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat mulai dirumuskan kembali untuk kepentingan pembangunan desa dan masyarakat. Indikator ketiga dari variabel perencanaan adalah tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat. Hasil penelitian pada Tabel 17 menunjukkan bahwa nilai tingkat partisipasi masyarakat pada rezim adat
adalah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pada
rezim
sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat.pada rezim adat adalah lebih baik. Adapun pola perubahannya menunjukkan adanya penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi dan kemudian mengalami peningkatan dari rezim
95
sentralisasi ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 9. Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat menunjukkan keadaan dimana masyarakat lebih mentaati peraturan perikanan, lebih aktif dalam pertemuanpertemuan yang membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan perikanan serta turut aktif dalam pengambilan keputusan pengelolaan perikanan. Pada rezim sentralisasi tingkat partisipasi masyarakat rendah, disebabkan karena pengaruh perubahan sistem pemerintahan desa yang diikuti dengan perkembangan penduduk dan peningkatan kebutuhan sosial ekonomi lainnya. Pada rezim otonomi daerah, terjadi adanya perubahan ke arah peningkatan yang disebabkan karena berubahnya sistem pemerintahan desa ke sistem adat, selain itu faktor yang penting adalah adanya tingkat kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan sebagai sarana untuk ke-langsungan hidup masyarakat. Hasil penelitian pada Tabel 17 menunjukkan bahwa nilai tugas pokok dan fungsi lembaga pelaksana pengelolaan perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat adalah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Hal itu berarti bahwa tugas pokok dan fungsi lembaga pengelolaan perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat lebih baik. Adapun pola perubahannya menunjukkan adanya penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi dan kemudian mengalami peningkatan dari rezim sentralisasi ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 9. Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat, lembaga pengelolaan perikanan berbasis masyarakat yang disebut Kewang memiliki struktur organisasi yang sederhana dan hampir sama strukturnya di semua desa sasi. Struktur organisasi Kewang adalah terdiri dari : Kepala Kewang, Pakter (Wakil Kepala Kewang) dan anggota Kewang.
Salah satu
struktur organisasi Kewang di desa Itawaka
Kecamatan Saparua Kabupaten Maluku Tengah, adalah sebagai berikut : Ketua/Pakter, sekertaris, Bendahara, Hubmas, Kepala Kewang Hutan, Kepala Kewang Tanah 1 Ha dan Pelindung/Penasihat. Kepengurusan Kewang diangkat melalui suatu musyawarah adat.
Khusus untuk Kepala Kewang dan Pakter
ditentukan berdasarkan keturunan. Dari gambaran struktur organisasi ini maka terlihat ada pembagian tugas dan tanggung jawab serta wewenang dari Kewang
96
dalam menjalankan perannya dalam pengelolaan sumberdaya alam di pedesaan Maluku. Salah satu peraturan tertulis dari desa Itawaka tentang tugas dan tanggung jawab Kewang yaitu sebagai berikut : mengawasi seluruh hasil-hasil yang terdapat di daratan maupun di lautan yang merupakan potensi desa sebagai sumber pendapatan desa yang ada dalam lingkungan petuanan desa. Selain itu, mengawasi luas areal serta batas-batas petuanan desa, menjaga kelestarian lingkungan hidup, penghijauan tanah-tanah kritis, mencegah penebangan-penebangan liar yang dapat berakibat fatal bagi sumber air. Tugas dan wewenang Kewang di Negeri Hulaliu Kecamatan Haruku Kabupaten Maluku Tengah adalah: (1) Membuat
peraturan
menyangkut
perlindungan
terhadap
potensi
kekayaan darat dan laut yang mempengaruhi hayat hidup orang banyak. (2) Membuat ketentuan tata tertib menyangkut sikap dan perilaku positif, yang mendukung norma-norma budaya dan adat dalam masyarakat. (3) Mengadakan pengawasan rutin untuk mencegah pelanggaran dan tindakan pengrusakan terhadap hasil-hasil hutan dan lautan, serta dipatuhinya ketentuan yang telah ditetapkan. (4) Mengambil tindakan dan sanksi bagi para pelanggar dalam rangka penegakkan hukum tanpa pandang bulu. Adapun tugas dan tanggung jawab Kewang ini memiliki tujuan supaya hasilhasil sumberdaya alam baik di darat maupun di laut dapat dilindungi dan tetap terjamin kelestariannya. Hasil penelitian pada Tabel 17 menunjukkan bahwa nilai motivasi dan arahan dari lembaga pengelolaan perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat adalah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pada rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Hal ini berarti bahwa motivasi dan arahan dari lembaga pengelolaan perikanan berbasis masyarakat yang disebut Kewang pada rezim adat adalah lebih baik. Adapun pola perubahannya menunjukkan adanya penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi dan mengalami peningkatan dari rezim sentralisasi ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 9.
Pola perubahan ini disebabkan
karena pada rezim adat, Raja dan Kewang selalu melakukan motivasi dan arahan kepada masyarakat untuk melaksanakan sasi sebagai suatu bagian dari tradisi adat
97
istiadat yang harus dilestarikan dan dipertahankan untuk keberlangsungan hidup masyarakat. Dampak yang dirasakan masyarakat terhadap pelaksanaan sasi yang berjalan dengan baik adalah pemberian insentif kepada Kewang secara sukarela. Pemberian insentif ini tidak tertulis dalam peraturan pelaksanaan sasi tetapi dilaksanakan atas kesadaran masyarakat sendiri. Pada rezim sentralisasi, dimana peranan dan fungsi Raja dan Kewang tidak berjalan dengan baik maka motivasi dan arahan kurang diberikan kepada masyarakat. Pada rezim otonomi daerah mulai nampak terjadi perubahan dengan dikembalikannya sistem pemerintahan adat dimana Raja dan Kewang mulai berperan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat. Hasil penelitian pada Tabel 17 menunjukkan bahwa nilai fungsi pengawasan pada rezim adat adalah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pada rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Hal ini berarti bahwa fungsi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga pengelolaan perikanan dan perangkat desa pada rezim adat berjalan lebih baik. Adapun pola perubahannya menunjukkan adanya penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi dan kemudian mengalami peningkatan dari rezim sentralisasi ke rezim adat, seperti terlihat pada Gambar 9. Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat, Kewang dalam melaksanakan fungsi pengawasan memiliki
sejumlah
peraturan
dan
sanksi.
Dalam
melaksanakan
fungsi
pengawasannya anggota-anggota Kewang dipimpin oleh Kepala Kewang melakukan patroli secara bergiliran sesuai dengan wilayah kerjanya. Jika pada saat berpatroli tersebut, mendapatkan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota masyarakat maka ditangkap dan dihadapkan ke Raja dan Saniri Negeri. Berdasarkan tingkat pelanggarannya maka Raja atau Saniri Negeri menjatuhkan sanksi kepada yang bersangkutan berupa denda berupa uang. Pada jaman dahulu jika pelanggar tidak dapat membayar denda, maka akan dihukum dengan cara dililiti dengan daun kelapa muda dan diarak keliling kampung dengan meneriakan kata-kata agar orang lain tidak meniru perbuatan atau kesalahannya itu. Pada rezim sentralisasi, fungsi pengawasan mengalami penurunan di sebabkan karena tidak berperan dan berfungsinya Raja dan Kewang secara baik. Pada rezim otonomi daerah, fungsi pengawasan mengalami perubahan yang lebih baik karena berfungsi kembali
98
sistem pemerintahan adat dan adanya kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Dengan memperhatikan hasil penelitian tentang dampak perubahan sistem pemerintahan desa terhadap pengelolaan perikanan berbasis masyarakat yang telah dijelaskan di atas menunjukkan bahwa nilai total semua variabel pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat memiliki nilai yang tinggi pada rezim adat sehingga pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat adalah lebih baik.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh
Novaczek et al. (2001) bahwa persepsi masyarakat untuk kinerja sasi pada masa lalu adalah lebih baik dibandingkan dengan waktu sekarang ini. Berdasarkan pola perubahan yang diamati pada semua variabel maka terlihat pada rezim otonomi daerah terjadi adanya pening-katan nilai namun belumlah sama seperti pada rezim adat.
Untuk itu maka pada rezim otonomi daerah ini perlu sekali untuk
membenahi
berbagai hal terutama pimpinan desa dan lembaga pengelolaan
perikanan berbasis masyarakat dalam melaksanakan fungsi-fungsi pengelolaan sumberdaya perikanan yang mencakup perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan.
Perencanaan merupakan proses dasar dimana
manajemen memutuskan tujuan dan cara mencapainya. Perencanaan dalam suatu organisasi adalah esensial, karena dalam kenyataannya perencanaan memegang peranan lebih dibanding fungsi-fungsi manajemen lainnya sedangkan fungsifungsi pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan
sebenarnya hanya me-
laksanakan keputusan-keputusan perencanaan (Handoko, 2003).
Partisipasi
masyarakat merupakan syarat penting dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan, dimana keikutsertaan masyarakat akan membawa dampak positif karena mereka akan memahami berbagai permasalahan yang muncul serta memahami keputusan akhir yang akan diambil.
Hal ini sesuai dengan yang di-
kemukakan oleh Purnomowati (2001) bahwa dalam proses perencanaan maka pada hakekatnya perlu melibatkan masyarakat untuk mengakomodasi kebutuhan, aspirasi dan konsern dari masyarakat. Akan tetapi dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang merupakan bagian dari pembangunan desa maka tentunya memiliki berbagai masalah yang dihadapi yaitu antara lain: pertama, rendahnya mutu sumberdaya
99
manusia, ke-dua, belum optimal lembaga
pemerintahan desa dan lembaga
musyawarah desa dalam menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, ketiga terbatasnya jangkauan pelayanan lembaga perekonomian dalam mendukung usaha ekonomi desa dan ke-empat, belum meratanya prasarana dan sarana sosial ekonomi dalam melayani kebutuhan masyarakat desa (Haeruman, 1997). Berdasarkan hal tersebut, dalam rangka meningkatkan pengelolaan sumberdaya perikanan di rezim otonomi daerah maka peranan pimpinan desa dan organisasi atau lembaga lokal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat di tingkat desa perlu diperhatikan dan diberdayakan. Adapun salah satu upaya adalah melalui pendidikan. Hal ini disebabkan karena pimpinan desa dan organisasi atau lembaga pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat merupakan alat dan sarana penting untuk melaksanakan fungsi-fungsi pengelolaan perikanan yang telah diuraikan di atas.
Hal ini
seperti yang dikemukakan oleh Nomleni et al. (2005) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi reformasi birokrasi lokal adalah (1) pendidikan baik pendidikan formal maupun non formal, (2) kompetensi yaitu kemampuan dan penguasaan bidang pekerjaan secara optimal dan kemampuan aparatur untuk beradaptasi dengan perubahan dan tuntutan
lingkungan eksternal yang berkaitan dengan
peningkatan kualitas pelayanan dan (3) sosial budaya.
Selanjutnya menurut
Setyaningsih et al. ( 2003) bahwa lembaga lokal yang didirikan oleh masyarakat pada prinsipnya akan berjalan secara optimal apabila memenuhi empat hal yang harus terpenuhi sebagai strategi pemberdayaan masyarakat. Empat hal tersebut adalah: sistem norma, kelakuan berpola, personil pendukung dan fasilitas pendukung. Sasi sebagai pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat di Maluku menurut Nikijuluw (1994) memiliki sistem norma atau kaedah selain itu juga ada tujuan, pelaksanaan dan superstruktur organisasi. Oleh karena itu apabila pelaksanaan sasi dapat dikelola secara benar maka akan berjalan dengan baik dan merupakan salah satu strategi dalam pemberdayaan masyarakat pedesaan.
100
4.5 Dampak Pengaruh Perubahan Sistem Pemerintahan Desa terhadap Kinerja Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Pedesaan Maluku Hasil pengujian hipotesis untuk mengetahui dampak pengaruh perubahan sistem pemerintahan desa terhadap kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku dilakukan dengan menggunakan Uji Friedman. Hasil statistik
menunjukkan bahwa χ2 hitung adalah 9.556 kemudian diban-
dingkan dengan χ2 tabel dengan tingkat kepercayaan 95 % adalah 5.991. Hasil ini memperlihatkan bahwa χ2 hitung > χ2 tabel sehingga hipotesis Ho ditolak dan menerima H1 yaitu perubahan sistem pemerintahan desa berpengaruh terhadap kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku. Adapun variabel kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang di amati diperlihatkan pada Tabel 18. Indikator kinerja efisiensi yang pertama adalah pengambilan keputusan oleh nelayan terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Indikator ini berhubungan dengan
bagaimana
pendapat nelayan
terhadap masalah
pengelolaan perikanan. Hasil penelitian pada Tabel 18 menunjukkan bahwa nilai pengambilan keputusan nelayan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan pada rezim adat lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pada rezim sentralisasi maupun rezim otonomi daerah. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa pengambilan keputusan nelayan dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada rezim adat adalah lebih baik. Adapun pola perubahannya adalah mengalami penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi dan kemudian mengalami peningkatan dari rezim sentralisasi ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 10. Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat masyarakat pada umumnya dan nelayan pada khususnya lebih taat terhadap lembaga adat yaitu Raja dan Kewang yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Sehingga nelayan turut terlibat dan aktif dalam pengambilan keputusan pada pertemuanpertemuan adat yang dilaksanakan oleh pemerintah negeri/desa yang dipimpin oleh Raja yang didampingi oleh Kewang.
101
Tabel 18 Kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah Kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan
Rezim Adat
Rezim Sentralisasi
Rezim Otonomi Daerah
7.0 ±0.73
4.8 ±1.01
6.5 ±0.96
9.9 ±0
9.9 ±0.93
9.1 ±0.69
5.3 ±0.75
5.9 ±0.91
Tingkat aksesibilitas terhadap sumberdaya perikanan
10.0 ±0
10.0 ±0
10.0 ±0
Keragaman alat tangkap
7.4 ±2.80
5.5 ±1.56
4.1 ±2.09
Tingkat kesamaan ekonomi
6.9 ±2.07
5.8 ±1.41
5.4 ±2.09
Kebersamaan masyarakat dalam kegiatan perikanan
9.1 ±0.61
7.3 ±0.92
6.4 ±1.39
Tingkat kesejahteraan rumah tangga
4.6 ±1.32
6.8 ±0.76
7.9 ±0.61
Kerukunan nelayan
8.6 ±1.77
7.3 ±0.84
6.4 ±1.10
Kondisi umum sumberdaya perikanan
9.8 ±0.41
6.1 ±0.98
5.3 ±1.51
Kondisi hasil tangkapan sumberdaya perikanan
8.8 ±0.65
6.4 ±1.07
5.4 ±1.23
Total
8.4
6.8
6.6
Efisiensi : Pengambilan keputusan nelayan
Kesempatan masyarakat 10.0 ±0 dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan Kepatuhan masyarakat terhadap peraturan perikanan Pemerataan :
Keberlanjutan Sosial Ekonomi :
Keberlanjutan Biologi :
102
Pada rezim sentralisasi dimana Raja dan Kewang kurang memiliki peranan dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, sehingga nelayan kurang berpartisipasi dan tidak aktif dalam pengambilan keputusan terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Sedikit adanya perubahan pengambilan keputusan masyarakat pada rezim otonomi daerah, disebabkan karena lembagalembaga adat mulai diaktifkan kembali dan masyarakat sudah mulai sadar dan punya kepedulian terhadap pentingnya pengelolaan sumberdaya perikanan bagi kelangsungan hidup mereka. Indikator kinerja efisiensi yang kedua adalah kesempatan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan. Indikator ini berhubungan dengan bagaimana kesempatan masyarakat dalam memanfaatkan atau menggunakan sumber daya perikanan. Hasil penelitian pada Tabel 18 menunjukkan bahwa nilai kesempatan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan pada ketiga rezim memiliki nilai yang sama.
Hal itu berarti bahwa walaupun terjadi
pergantian sistem pemerintahan desa tetapi tidak membawa pengaruh terhadap kesempatan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan. Sampai saat ini masyarakat masih bebas untuk menangkap ikan atau hasil laut lainnya. Untuk itu maka tidak ada mengalami pola perubahan, seperti terlihat pada Gambar 10. Kebebasan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan apabila tidak dikelola dengan baik maka akan membawa pengaruh yang cukup besar terhadap menurunnya potensi dan kondisi dan kesehatan sumberdaya perikanan. Indikator kinerja efisiensi yang ketiga adalah kepatuhan masyarakat terhadap peraturan pengelolaan perikanan. Indikator ini berhubungan dengan bagaimana masyarakat memiliki ketaatan atau kepatuhan terhadap peraturan pengelolaan sumberdaya perikanan yang berlaku. Hasil penelitian pada Tabel 18 menunjukkan bahwa nilai kepatuhan masyarakat terhadap peraturan perikanan pada rezim adat adalah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pada rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan
bahwa kepatuhan masyarakat terhadap peraturan perikanan pada rezim adat adalah lebih baik.
Peringkat
103
11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Pengambilan Keputusan Nelayan dalam Pengelolaan Perikanan Kesempatan Masyarakat dalam Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Kepatuhan Masyarakat Terhadap Peraturan Perikanan Adat
Sentralisasi
Otonomi Daerah
Rezim
Gambar 10 Pola perubahan kinerja efisiensi pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah Adapun pola perubahannya adalah mengalami penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi dan kemudian mengalami peningkatan dari rezim sentralisasi ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 10. Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat, peraturan pengelolaan sumberdaya perikanan yang telah ditetapkan oleh Raja selaku pemimpin adat dan dilaksanakan oleh Kewang
memiliki
sanksi adat yang kuat dan mengikat sehingga membuat
masyarakat adat tunduk dan patuh terhadap peraturan perikanan tersebut. Selain itu, karena masyarakat yang tinggal menetap di desa tersebut mayoritas adalah masyarakat adat itu sendiri. Sebaliknya pada rezim sentralisasi terjadi penurunan karena tidak berfungsinya Raja dan Kewang secara baik. Selain itu, banyak terjadi mobilisasi penduduk di mana umumnya penduduk berusia muda ke luar desa
untuk merantau, sekolah dan mencari kehidupan yang lebih baik.
Di
samping itu juga, banyak masuknya pendatang dari luar daerah yang kebanyakan tinggal dan mendiami dusun-dusun, di pesisir pantai bahkan di gunung-gunung. Kondisi ini yang membuat terjadinya pembauran dan perubahan sosial ekonomi di masyarakat. Pada rezim otonomi daerah, kepatuhan masyarakat terhadap peraturan perikanan mulai menunjukkan peningkatan karena sistem pemerintahan
104
negeri telah diberlakukan kembali dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat mulai diperhatikan dan diaktifkan. Indikator kinerja pemerataan yang pertama adalah tingkat aksesibilitas terhadap sumberdaya perikanan.
Indikator ini berhubungan dengan biaya atau
ongkos yang harus dibayarkan seseorang supaya bisa menangkap ikan dan hasil laut lainnya.
Hasil penelitian pada Tabel 18 menunjukkan bahwa nilai tingkat
aksesibilitas masyarakat terhadap sumberdaya perikanan pada rezim adat lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pada rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa tingkat aksesibilitas masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan pada rezim adat lebih baik. Adapun pola perubahannya adalah mengalami penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi dan bahkan ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 11. Pola perubahan ini ini disebabkan karena pada rezim adat, untuk menangkap ikan dan hasil laut lainnya masyarakat ataupun nelayan tidak membayarkan apapun ke desa. Namun dengan bertambahnya waktu dan semakin bertambahnya penduduk yang diikuti
dengan peningkatan kebutuhan-kebutuhan
ekonominya maka pemerintah desa kini mulai melakukan pengaturan pengelolaan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan baik secara formal maupun non formal yang bertujuan untuk menjaga daerah pesisir pantai dan juga untuk peningkatan pendapatan desa dan juga masyarakat. Indikator kinerja pemerataan yang kedua adalah kepemilikan alat tangkap. Indikator ini berhubungan dengan bagaimana
keadaan kepemilikkan sarana
produksi perikanan seperti alat tangkap, kapal dan motor ikan dan berkaitan dengan pembagian keuntungan.
Hasil penelitian pada Tabel 18 menunjukkan
bahwa nilai kepemilikkan alat penangkapan ikan pada rezim adat adalah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pada rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa kepemilikkan alat penangkapan ikan pada rezim adat adalah lebih baik. Adapun pola perubahannya adalah mengalami penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi bahkan ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 11.
105
Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat hampir semua masyarakat memiliki alat penangkapan ikan yang sama berupa alat penangkapan ikan secara sederhana atau tradisional yaitu berupa perahu, jaring, pancing dan serok. Selain itu, usaha penangkapan ikan bukan sebagai mata pencarian utama tetapi berupa usaha subsisten dengan mata pencarian lain sehingga usaha tersebut hanya cukup untuk memenuhi keperluan sehari-hari saja. Pada rezim sentralisasi dimana telah terjadi peningkatan jumlah penduduk dan banyak masuknya pendatang maka banyak terjadi perubahan-perubahan sosial ekonomi. Salah satu perubahan dalam masyarakat nelayan adalah berkembangnya alat penangkapan yang lebih modern yang diadopsi dari penduduk pendatang. Selain itu, usaha perikanan tangkap bukan lagi merupakan usaha subsisten tapi telah berubah menjadi mata pencaharian utama. Faktor lain yang turut mendorong beralihnya usaha perikanan sebagai mata pencarian utama adalah karena terbatasnya lahan di
Peringkat
darat. 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Tingkat Aksesibilitas terhadap Sumberdaya Perikanan Kepemilikan Alat Tangkap Tingkat Kesamaan Ekonomi Masyarakat
Adat
Sentralisasi
Otonomi Daerah
Rezim
Gambar 11 Pola perubahan kinerja pemerataan dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah Dengan memiliki usaha perikanan sebagai mata pencarian utama maka nelayan telah memiliki manajemen usaha yang mengatur sistem keuangan usaha secara proporsional sebagai wujud dari pembagian keuntungan usaha. Adapun peningkatan jumlah nelayan di Maluku dapat di lihat pada Tabel 19.
106
Tabel 19 Jumlah nelayan/petani ikan di Provinsi Maluku periode 1994-2001 No.
Thn
Perikanan Laut
Perairan
Tangkap
Budidaya
Umum
Perikanan Darat Budidaya Air Tawar
Jumlah BAP
(Orang)
Kolam
Keramba
Sawah
Tambak
1.
1994
89.522
55
262
645
-
-
27
90.511
2.
1995
91.267
55
270
390
-
-
27
92.009
3.
1996
91.472
55
267
390
-
-
30
92.214
4.
1997
91.882
55
507
390
-
-
30
92864
5.
1998
93.225
55
507
350
-
-
30
94.167
6.
1999
80.377
55
507
400
-
-
30
81.369
7.
2000
56.121
66
164
107
-
-
18
56.476
8.
2001
61.763
345
271
221
-
-
103
62.701
655.629
789
2.755
2893
-
-
295
662.311
Total
Sumber : Statistik Perikanan Maluku, 2003
Tabel ini memperlihatkan adanya peningkatan jumlah nelayan dari tahun ke tahun namun mengalami perubahan di tahun 1999 karena saat itu kondisi daerah Maluku mengalami konflik kemanusiaan sehingga mengalami penurunan jumlah nelayan maupum usaha perikanan yang cukup signifikan. Namun kini terjadi peningkatan kembali karena kondisi dan keadaan daerah Maluku yang telah aman dan terkendali. Pada rezim sentralisasi maupun otonomi daerah, pemerintah sebagai manajer pengelolaan sumberdaya perikanan melakukan berbagai upaya pemberdayaan masyarakat nelayan untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Berbagai upaya yang dilakukan adalah pembinaan dan pelatihan usaha perikanan, penyuluhan dan penyaluran paket teknologi perikanan tangkap maupun budidaya yang berdampak terhadap peningkatan usaha perikanan yang diikuti dengan perkembangan peningkatan armada dan alat tangkap, seperti terlihat pada Tabel 20.
107
Tabel 20 Perkembangan perahu/kapal perikanan di Provinsi Maluku periode 1994-2001 (Buah) No 1 2 3
KATEGORI Perahu tanpa motor Perahu motor tempel Kapal motor < 5 GT 5-10 GT - 10-20 GT - 20-30 GT - 30-50 GT - 50-100 GT - 100-200 GT > 200 GT Total
1994 32.266 2.217 1.072 395 183 228 71 33 14 105 42 35.555
1995 32.610 2.271 2.142 396 186 226 106 58 19 107 44 36.023
1996 32.654 2.297 1.159 397 188 235 100 60 21 109 49 36.110
T A H U N 1997 1998 33.041 32.700 2.396 2.381 1.271 1.227 423 415 206 190 238 238 133 130 42 60 45 24 132 112 54 57 36.233 36.710
1999 32.973 2.593 1.306 463 226 211 133 42 45 132 54 36.872
2000 23.010 1.423 938 372 106 221 8 102 96 33 25.371
2001X) 244.272 16.025 9.003 3.051 1.296 2.658 283 435 916 364 269.300
Sumber : Statistik Perikanan Maluku, 2003
Tabel di atas menunjukkan bahwa armada penangkapan di Maluku masih di dominasi oleh perahu tanpa motor namun di sisi lain
telah terjadi
perkembangan armada penangkapan yang lebih besar dan modern. Selain berkembangnya armada penangkapan maka jenis alat tangkapan perikananpun mengalami perkembangan (Tabel 21). Tabel 21 Perkembangan unit penangkapan ikan di Provinsi Maluku periode 1994-2001 No 1. 2. 3 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11 12 13
Jenis Alat Pukat Udang Pukat Payang Pukat pantai Pukat Cincin Jaring Insang Jaring Angkut Pancing Huhate Rawai Perangkap Alat pengumpul Muro – Ami Lain - lain Total
1994 164 765 514 8.246 3.629 24.337 616 4.529 2.731 2.037 14 3.982
1995 165 771 525 9.683 3.658 20.791 669 4.580 3.356 1.850 11 6.486
1996 168 769 530 9.745 3.576 20.840 679 4.592 3.425 1.882 10 6.538
51.564
52.545
52.754
TAHUN 1997 1998 174 175 770 767 540 538 9.882 9.775 3.637 3.661 21.209 20.837 737 702 4.653 4.730 3.549 3.389 2.116 1.893 9 11 6.378 6.517 52.995
53.654
1999 179 125 608 639 10.197 3.226 19.328 496 3.268 3.368 1.120 7 4.460 47.021
2000 107 125 364 383 6.118 1.935 11.596 297 1.960 2.020 672 4 4.107
2001 x) 107 125 364 383 6.124 1.937 11.607 297 1.962 2.022 673 4 4.116
Jumlah 1.239 375 5.178 4.052 69.770 25.259 150.545 4.493 30.274 23.860 12.243 70 42.584
29.688
29.721
369.942
Sumber : Statistik Perikanan Maluku, 2003
Tabel ini menunjukkan bahwa alat penangkapan ikan didominasi oleh pancing dan jaring insang. Dalam hubungannya dengan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan di Maluku maka perkembangan
108
armada dan alat tangkap perikanan perlu di kaji lebih lanjut yang berkaitan dengan kondisi dan potensi sumberdaya perikanan di Maluku. Indikator kinerja pemerataan yang ketiga adalah tingkat kesamaan ekonomi masyarakat. Indikator ini berhubungan dengan pembagian pendapatan masyarakat di desa sehubungan dengan perbedaan tingkat ekonomi.
Hasil penelitian
pada Tabel 16 menunjukkan bahwa nilai tingkat kesamaan ekonomi pada masyarakat pada rezim adat adalah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pada rezim adat maupun pada rezim otonomi daerah. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa tingkat kesamaan ekonomi masyarakat pada rezim adat adalah lebih baik. Adapun pola perubahannya adalah mengalami penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi bahkan ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 11. Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat, kondisi jumlah penduduk masih sedikit dan ketersediaan sumberdaya alam baik darat dan laut cukup banyak sehingga dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan.
Sumberdaya alam yang dimaksud adalah
seperti komoditi cengkeh, pala, coklat, sagu, kelapa, buah-buahan, umbi-umbian dan lain-lainnya.
Cengkeh pada saat itu merupakan jenis komoditi primadona
masyarakat pedesaan Maluku karena selain memiliki potensi yang sangat besar tetapi juga memiliki nilai harga jual yang tinggi. Oleh karena itu masyarakat adat yang memiliki dusun-dusun cengkeh akan memiliki pendapatan yang cukup tinggi sehingga kondisi kehidupan ekonomi masyarakat adalah lebih baik. Salah satu indikator yang dapat dilihat adalah banyaknya anak-anak dalam keluarga yang dapat disekolahkan ke tingkat yang lebih tinggi dan ke luar desa bahkan ke luar daerah sehingga berhasil dan mendapatkan pekerjaan yang baik. Selain itu juga dengan hasil cengkeh banyak dilakukan pembangunan rumah dan memiliki perabotan rumah tangga yang lebih baik. Pada rezim sentralisasi dimana harga cengkeh mengalami penurunan yang sangat drastis, terjadi peningkatan jumlah penduduk dan masuknya pendatang sehingga banyak terjadi banyak perkembangan pembangunan dan mulai terbatasnya lahan di darat.
Oleh karena itu maka
masyarakat mulai mengalihkan perhatian dari usaha cengkeh dan menaruh perhatian pada laut sebagai sumber mata pencaharian hidup yaitu sebagai nelayan
109
murni.
Padahal sebelumnya, usaha menangkap ikan di laut dilakukan oleh
masyarakat hanyalah merupakan usaha subsisten dengan mata pencaharian lain di darat. Pada rezim ini, pemerintah menggalakkan pembangunan perikanan dengan melakukan berbagai upaya baik pelatihan maupun pemberian bantuan teknologi alat tangkap, teknologi pengolahan pasca panen maupun pemberian modal bagi masyarakat nelayan yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan hidupnya.. Akan tetapi dari berbagai bentuk upaya tersebut di atas seringkali mengalami kegagalan di mana masyarakat nelayan tetap terbelenggu dengan belitan kemiskinan. Menurut Pical (1997) bahwa tingkat adopsi teknologi masyarakat terhadap pengolahan hasil-hasil perikanan di pedesaan Maluku Tengah adalah masih rendah dan berada pada tingkat sadar. Hal ini disebabkan karena kurangnya pendampingan
terhadap
masyarakat nelayan maupun
keterlibatan pimpinan desa dalam membantu meningkatkan kesadaran dan minat masyarakat dalam usaha perikanan.
Oleh karena itu pendampingan terhadap
masyarakat nelayan terutama dalam usaha perikanan harus terus digalakkan dan dikembangkan serta dilakukan secara berkelanjutan. Hal ini disebabkan karena usaha perikanan merupakan usaha yang sangat berisiko, membutuhkan modal besar, ketangguhan dan keuletan dalam bekerja.
Apalagi saat ini kondisi
sumberdaya perikanan di sekitar pedesaan sudah mulai berkurang dan daerah penangkapan ikan sudah jauh dari desa sehingga membutuhkan alat penangkapan ikan yang lebih besar dan modern. Untuk itu bagi masyarakat yang memiliki “jiwa” ke laut akan mempunyai usaha perikanan yang baik dan memiliki taraf hidup yang baik. Namun satu hal yang turut mempengaruhi adalah manajemen usaha perikanan karena disadari bahwa kegagalan usaha perikanan di masyarakat nelayan salah satu faktornya adalah lemahnya faktor manajemen usaha perikanan. Di samping masyarakat melakukan aktivitas perikanan tetapi ada juga melakukan usaha-usaha lainnya.
Salah satu yang dilihat di lapangan adalah
berkembangnya usaha “home industri” berupa pembuatan kue olahan atau penganan dari sagu seperti Bagea dan Serut dari Desa Ihamahu dan usaha Sempe berupa perabotan rumah tangga yang terbuat dari tanah liat di Desa Ouw, di Pulau Saparua. Fenomena lain adalah berkembangnya usaha ojek motor antara desa yaitu di Pulau Saparua, Pulau Haruku dan di Seram Bagian Barat. Hal ini
110
sesuai dengan hasil inventarisasi dan identifikasi potensi sumberdaya perikanan di Maluku Tengah tahun 2003. Adapun jenis pekerjaan masyarakat pada desa-desa penelitian dapat di lihat pada Gambar 12. Pada rezim otonomi daerah terjadi penurunan karena kondisi masyarakat Maluku yang baru saja pulih dari konflik kemanusiaan yang turut berdampak terhadap sosial ekonomi masyarakat terutama pekerjaan masyarakat. Untuk itu diharapkan usaha perikanan sebagai salah satu sektor andalan di Maluku dapat dikembangkan menjadi lebih baik. Terutama setelah sistem adat telah diaktifkan kembali maka pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat di tingkat pedesaan harus dilakukan secara baik untuk peningkatan pendapatan dan kesejahteraan hidup masyarakat nelayan.
Lain-Lain 70 60
Persentase
50 40 30 20 10
(o ra ng ) B ur uh
ik
Be ca k
(o ra ng )
(o ra ng ) O je k P en ar
(o ra ng )
Tu ka ng
S op ir
P et an i( or An an gk g) ut an La ut (o ra ng P ) er tu ka ng an (o ra ng ) A BK
(o ra ng )
(o ra ng )
P ed ag an g
Sw as ta
K ar ya w an
P N S
(S el ai n
G ur u)
(o ra ng )
0
Jenis Pekerjaan
Gambar 12 Jenis pekerjaan masyarakat selain nelayan di Maluku Tengah, 2003 Indikator kinerja keberlanjutan sosial ekonomi yang pertama adalah kebersamaan masyarakat dalam kegiatan perikanan. Indikator ini berhubungan dengan kegiatan bersama dalam masyarakat terutama dalam bidang perikanan seperti timba laor dan bameti yaitu mencari siput (bia) yang dilakukan pada waktu dan musim tertentu. Hasil penelitian pada Tabel 18 menunjukkan bahwa nilai kebersamaan masyarakat dalam kegiatan perikanan pada rezim adat adalah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pada rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa
111
kebersamaan masyarakat dalam kegiatan perikanan pada rezim adat adalah lebih baik. Adapun pola perubahannya menunjukkan adanya penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi bahkan ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 13. Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat kehidupan masyarakat adat memiliki kebersamaan dan rasa toleransi yang tinggi dalam melakukan berbagai aktivitas termasuk didalamnya kegiatan perikanan. Kegiatan perikanan yaitu
seperti pembersihan pantai, tradisi timba laor yaitu suatu
kegiatan masyarakat yang di lakukan secara bersama-sama untuk mengambil suatu jenis cacing laut yang disebut laor pada waktu dan musim tertentu yaitu di antara bulan bulan Maret dan bulan April setiap tahun. Selain itu masyarakat sering melakukan kegiatan bameti yaitu suatu aktivitas mencari sumberdaya perikanan tertentu pada waktu air surut dan kegiatan ini sering dilakukan pada waktu musim paceklik ikan. Aktivitas bersama ini yaitu dalam membuat perahu, menjahit jaring, menaikkan dan menurunkan perahu dikala selesai melaut dan lain-lain.
10 9 8 Kebersamaan Masyarakat dalam Kegiatan Perikanan
Peringkat
7 6
Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Kerukunan Nelayan
5 4 3 2 1 0 Adat
Sentralisasi
Otonomi Daerah
Rezim
Gambar 13 Pola perubahan keberlanjutan sosial ekonomi masyarakat di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah
112
Di samping kegiatan bersama dalam di bidang perikanan maka ada juga suatu tradisi masyarakat pedesaan untuk bergotong royong dalam melaku-kan suatu pekerjaan yang disebut dengan masohi, seperti membangun rumah, petik cengkeh, tebang sagu, membangun tempat ibadah dan rumah adat. Tradisi-tradisi ini berada dalam tatanan kelembagaan adat sehingga masyarakat sangat pro aktif dalam menjalankan tradisi ini. Namun dengan perubahan sistem pemerintahan desa pada rezim sentralisasi dimana nilai-nilai adat mulai berkurang peranannya maka kebersamaan masyarakat dalam kegiatan perikanan juga mulai menurun. Kebersamaan masyarakat tersebut diatas bertujuan untuk membantu, menolong dan meringankan suatu pekerjaan yang dilakukan secara sukarela oleh masyarakat dengan tidak ada imbalan ataupun upah apapun. Kondisi saat ini telah berubah dimana untuk membantu pekerjaan seseorang harus diberi upah.yang sesuai dan ada proses tawar menawar untuk melakukan suatu pekerjaan. Dapat dikatakan bahwa nilai-nilai kebersamaan dalam bermasyarakat di pedesaan mulai menurun cenderung lebih pada kepentingan pribadi.
Menurunnya nilai-nilai tradisi ini
salah satu faktornya disebabkan karena hilangnya kelembagaan adat. Di samping itu peningkatan jumlah penduduk dan berbagai kebutuhan-kebutuhan sosial ekonominya merupakan salah satu faktor yang juga turut mempengaruhi kebersamaan masyarakat.
Di sadari bahwa memang perubahan sistem
pemerintahan desa ke sistem pemerintahan negeri, tidak dapat serta merta dapat berubah kembali seperti semula tetapi membutuhkan suatu proses yang cukup panjang. Namun berdasarkan hasil pengamatan di sejumlah negeri yang sudah mulai mengaktifkan lembaga-lembaga adat maka terlihat
bahwa tatanan
kelembagaan adat dalam mengatur sosial kemasyarakatan termasuk di-dalamnya tradisi dalam kebersamaan masyarakat sudah diaktifkan dan diefek-tifkan kembali ke arah yang lebih baik. Indikator kinerja keberlanjutan sosial ekonomi yang kedua adalah tingkat kesejahteraan rumah tangga. Indikator ini berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Hasil penelitian pada Tabel 18 memperlihatkan bahwa nilai tingkat kesejahteraan rumah tangga masyarakat pedesaan pada rezim otonomi daerah adalah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rezim sentralisasi maupun pada rezim adat. Berdasar-
113
kan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan rumah tangga di pedesaan Maluku pada rezim otonomi daerah adalah lebih baik. Adapun pola perubahannya menunjukkan adanya peningkatan dari rezim adat ke rezim sentralisasi bahkan ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 13. Pola perubahan ini disebabkan karena kesadaran masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah semakin baik. Salah satu indikator yang dapat di pakai untuk melihat tingkat kesejahteraan rumah tangga adalah kondisi perumahan masyarakat. Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian bahwa di atas sekitar 50 persen perumahan penduduk memiliki rumah permanen dan semi permanen sedangkan sisanya masih merupakan perumahan kumuh. Hal ini sesuai dengan hasil inventarisasi dan identifikasi potensi sumberdaya perikanan di Maluku Tengah, 2003 seperti terlihat pada Gambar 14.
60
50
Persentase
40
30
20
10
0
Permanen
Semi Permanen
Kumuh
Jenis bangunan perumahan
Gambar 14 Kondisi perumahan masyarakat di Maluku Tengah, 2003 Berdasarkan data di atas maka dapat dikatakan bahwa kondisi kesejahteraan rumah tangga masyarakat menunjukkan keadaan hidup yang semakin membaik. Salah satu faktor yang juga turut mempengaruhi kondisi kesejahteraan rumahtangga masyarakat adalah tingkat pendapatan masyarakat. Tingkat pendapatan nelayan per tahun di Maluku menunjukkan adanya peningkatan yang cukup besar dari tahun ke tahun, seperti terlihat pada Gambar 15.
114
Jumlah (Rp)
1350000 1300000 1250000 1200000 1150000 1100000 1050000 1000000 950000 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001*)
Periode
Gambar 15 Perkembangan pendapatan nelayan/orang/tahun di Maluku Perkembangan kondisi tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan di pedesaan Maluku terutama di Maluku Tengah adalah adanya pembangunan berbagai sarana dan prasarana sosial ekonomi dalam masyarakat seperti, sarana pendidikan, sarana perdagangan, sarana perekonomian, sarana telekomunikasi, sarana pelabuhan, sarana kesehatan, dan sarana jalan. Adapun kondisi sarana dan prasarana sosial ekonomi masyarakat di Maluku Tengah dapat di lihat pada Gambar berikut ini :
70
60
Persentase
50
40
30
20
10
0
TK
SD/Madrasah
SLTP/Sanawiah
SMU/Aliayah
Jenis Sekolah
Gambar 16 Kondisi sarana pendidikan masyarakat di Maluku Tengah, 2003
115
100 90 80
Persentase
70 60 50 40 30 20 10 0
Toko
Kios
Rumah Makan
Pasar
Jenis sarana perdagangan
Gambar 17
Kondisi sarana perdagangan masyarakat di Maluku Tengah, 2003
50
45
40
Persentase
35
30
25
20
15
10
5
0
Bank
Koperasi
Kantor Pos
Jenis sarana ekonomi
Gambar 18 Kondisi sarana ekonomi masyarakat di Maluku Tengah, 2003
116
i 45
40
35
Persentase
30
25
20
15
10
5
0
Wartel
Telepon
Stasiun Satelit
HT
SSB
Jenis sarana telekomunikasi
Gambar 19 Kondisi sarana telekomunikasi di Maluku Tengah, 2003
80
70
60
Persentase
50
40
30
20
10
0
Rumah Sakit
Puskesmas
Posyandu/KB
Jenis sarana kesehatan
Gambar 20 Kondisi sarana kesehatan di Maluku Tengah, 2003
117
80
70
60
Persentase
50
40
30
20
10
0
Aspal
Sirtu
Tanah
Setapak Semen
Jenis jalan
Gambar 21 Kondisi sarana jalan di Maluku Tengah, 2003
60
50
Persentase
40
30
20
10
0
Dermaga Beton
Dermaga Kayu Jenis dermaga
Gambar 22 Kondisi sarana pelabuhan di Maluku Tengah, 2003
118
Dengan memperlihatkan beberapa Gambar di atas maka hal ini menunjukkan bahwa kondisi sarana prasarana di kabupaten Maluku Tengah cukup tersedia. Namun hal ini masih perlu untuk dikembangkan dan dilengkapi dengan lebih baik lagi mengingat daerah Maluku Tengah yang cukup luas dan terdiri dari pulaupulau. Diharapkan dengan adanya pembentukan Kabupaten Seram Bagian Barat dan Seram Bagian Timur maka pembangunan sarana dan prasarana sosial ekonomi masyarakat dapat dikembangkan kearah yang lebih baik sesuai dengan situasi dan kondisi serta karakteristik wilayah sehingga dapat menunjang kesejahteraan masyarakat. Indikator kinerja keberlanjutan sosial ekonomi yang ketiga adalah kerukunan nelayan. Indikator ini berhubungan dengan keadaan kerukunan di antara nelayan dalam melakukan aktivitas perikanan. Hasil penelitian pada Tabel 18 menunjukkan bahwa nilai kerukunan nelayan dalam melakukan aktivitas perikanan pada rezim adat adalah lebih tinggi dibandingkan dengan rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa kerukunan nelayan dalam melakukan aktivitas perikanan pada rezim adat adalah lebih baik. Adapun pola perubahannya menunjukkan adanya penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi bahkan ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 13. Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat kerukunan nelayan dalam melakukan aktivitas perikanan lebih baik karena hampir semua nelayan tidak ada perbedaan dalam kepemilikkan alat tangkap seperti perahu, jaring dan pancing dimana kondisi semua nelayan hampir sama.
Selain itu,
karena potensi sumberdaya perikanan di pesisir pantai pedesaan juga masih baik Sehingga tidak ada rasa persaingan yang dapat memicu konflik antar nelayan. Pada rezim sentralisasi, dimana terjadi perkembangan jumlah nelayan yang diikuti dengan berkembangnya armada dan alat tangkap yang lebih besar dan modern maka terjadi persaingan antar nelayan. Seperti contohnya, perkembangan alat tangkap purse seine dimana usaha penangkapan ikan dilakukan secara berkelompok dan membutuhkan lebih banyak tenaga kerja serta memiliki aturan manajemen usaha.
Apabila manajemen usaha perikanan ini tidak dilakukan
secara baik oleh manajer yang biasanya adalah pemilik purse seine, seperti
119
pembagian hasil usaha, maka akan dapat menimbulkan konflik nelayan baik antar nelayan maupun dengan manajer itu sendiri. Hal seperti ini yang biasanya menjadi pemicu konflik di antara masyarakat nelayan. Untuk mengatasi hal tersebut di atas maka manajemen usaha perikanan perlu dilakukan secara baik dan adanya keterbukaan dalam informasi dan komunikasi antara masyarakat nelayan. Selain itu, masalah sosial lain yang sering terjadi dalam masyarakat umumnya terutama nelayan adalah masalah minuman keras. Ada suatu kebiasaan bagi nelayan bahwa sebelum pergi ke laut dimana akan berhadapan dengan tantangan ombak dan angin maka perlu minum sedikit minuman keras untuk menghilangkan rasa takut dan pusing. Kondisi ini memang sering dilakukan, namun apabila kebiasaan ini tidak terkontrol dan dilakukan secara berlebihan maka akan menimbulkan masalah keributan, perkelahian, kekacauan yang negatif dan merugikan.
yang berdampak terhadap hal-hal
Pada rezim adat, cara-cara penyelesaian konflik
dapat cepat diselesaikan dengan mengacu pada tatanan kelembagaan adat. Kewang berfungsi sebagai penjaga keamanan desa dan masyarakat sehingga konflik yang terjadi dalam masyarakat akan lebih cepat diselesaikan dan masyarakat menjadi rukun kembali. Sebaliknya pada rezim sentralisasi mengalami penurunan kerukunan nelayan dalam aktivitas perikanan disebabkan karena kelembagaan adat tidak berfungsi secara baik. Pada rezim otonomi daerah walaupun secara statistik tidak berbeda jauh dengan rezim sentralisasi namun berdasarkan hasil pengamatan di beberapa negeri yang sudah menjalankan aturanaturan adat terlihat bahwa kondisi kerukunan nelayan dalam beraktivitas perikanan sudah semakin membaik. Indikator kinerja keberlanjutan biologi yang pertama adalah kondisi kesehatan sumberdaya perikanan. Indikator ini berhubungan dengan keadaan umum sumberdaya laut yang menunjukkan keadaan alam dan lingkungan sumberdaya perikanan. Hasil penelitian pada Tabel 16 menunjukkan nilai kondisi kesehatan sumberdaya perikanan pada rezim adat adalah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pada rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa kondisi kesehatan sumberdaya perikanan pada rezim adat adalah lebih baik.
120
Adapun pola perubahannya menunjukkan adanya penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi bahkan ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada
Peringkat
Gambar 23.
11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Kondisi Umum Sumberdaya Perikanan Kondisi Hasil Tangkapan S b d
Adat
Sentralisasi
Otonomi Daerah
Rezim
Gambar 23 Pola perubahan kinerja keberlanjutan biologi sumberdaya perikanan di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat kondisi kesehatan sumberdaya perikanan berada dalam kondisi yang lebih baik. Kondisi tersebut didukung dengan adanya peraturan pemerintah negeri adat yang mengatur tentang penjagaan wilayah pesisir. Kewang sebagai salah satu perangkat adat mempunyai peranan penting dalam mengawasi pelaksanaan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Menurut hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat ataupun nelayan, mereka mengatakan bahwa pada rezim adat, wilayah pesisir di pedesaan sangat subur sekali dimana kondisi perairan sangat bersih dan jernih dan banyak terdapat pohon-pohon bakau yang memungkinkan banyak ikan dengan berbagai jenis dan ukurannya. Di samping itu, terdapat berbagai jenis siput, kerang-kerangan, teripang, bunga-bunga karang, rumput laut dan berbagai jenis sumberdaya perikanan lainnya. yang dapat dimanfaatkan masyarakat
sebagai
pengganti ikan pada masa tidak musim ikan. Hal ini juga karena armada dan alat tangkap yang digunakan masyarakat pada saat itu masih sangat sederhana yaitu berupa perahu tanpa motor, pancing dan jaring.
121
Pada rezim sentralisasi, terjadi banyak perubahan yang disebabkan karena peningkatan jumlah penduduk, peningkatan jumlah nelayan dan usaha perikanan yang diikuti dengan bertambahnya jumlah armada dan alat perikanan tangkap sebagai upaya pemerintah untuk meningkatkan usaha perikanan masyarakat nelayan di pedesaan. Pada rezim sentralisasi ini diperhadapkan dengan suatu kondisi yang dilematis dimana di satu pihak berkembangnya usaha perikanan tangkap sedangkan di pihak yang lain kondisi kesehatan perairan yang semakin menurun akibat tingkah laku manusia dalam pemenuhan kebutuhannya, seperti menebang pohon bakau untuk dijadikan bahan bakar dan bahan bangunan demikian juga pengambilan karang dan pasir. Selain itu, masyarakat juga suka membom dan meracuni ikan sebagai salah satu cara alternatif yang cepat untuk mendapatkan ikan, pencemaran
dari bahan bakar yang di pergunakan oleh
armada tangkap ataupun pembuangan sampah sembarangan, dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan hasil inventarisasi dan identifikasi potensi sumberdaya perikanan di Maluku Tengah, 2003, seperti terlihat pada Gambar 24.
120
Persentase
100 80
Ya
60
Tidak 40 20 0
Bom (Bahan Peledak)
Bius
Pengambilan Pengambilan Penebangan lain-Lain Karang Pasir Laut Bakau (Bore/Strom)
Penyebab kerusakan lingkungan perairan
Gambar 24 Penyebab kerusakan lingkungan perairan di Maluku Tengah, 2003 Gambar ini menunjukkan bahwa penyebab kerusakkan lingkungan pesisir pantai yang tertinggi adalah pengambilan pasir laut dan karang laut dam diikuti dengan penggunaan bom dan pembiusan.
122
Meskipun terjadi penurunan kondisi kesehatan sumberdaya perikanan di wilayah pesisir namun berdasarkan hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pada umumnya daerah-daerah pesisir terutama di Pulau Saparua, Pulau Haruku dan Pulau Nusalaut masih memiliki keadaan sumberdaya perikanan yang tergolong masih baik yang
dapat diamati dari jenis dan ukuran ikan yang
tertangkap oleh nelayan. Hal ini juga sesuai dengan hasil inventarisasi dan identifikasi potensi sumberdaya perikanan di Kabupaten Maluku Tengah, 2003 bahwa kondisi terumbu karang, pandang lamun dan hutan mangrove sekitar diatas 50 % masih berada dalam kategori baik, seperti terlihat pada Gambar di bawah ini.
80
70
60
Persentase
50
40
30
20
10
0
Baik
Rusak
Reboisasi
Kondisi terumbu karang
Gambar 25 Kondisi terumbu karang di Maluku Tengah, 2003
123
120
100
Persentase
80
60
40
20
0
Baik
Rusak
Reboisasi
Kondisi hutan manggrove
Gambar 26 Kondisi hutan manggrove di Maluku Tengah, 2003
90 80 70
Persentase
60 50 40 30 20 10 0
Baik
Rusak
Reboisasi
Kondisi padang lamun
Gambar 27 Kondisi padang lamun di Maluku Tengah, 2003
124
Kondisi terumbu karang, hutan manggrove dan padang lamun merupakan salah satu indikator kesuburan perairan. Untuk itu berdasarkan Gambar di atas maka perlu adanya upaya dari berbagai pihak baik dari masyarakat lokal maupun pemangku kepentingan lainnya yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di pedesaan Maluku untuk terus menjaga dan mengelola sumberdaya perikanan secara lebih baik ke depan untuk kepentingan semua pihak. Untuk itu maka pada rezim otonomi daerah saat ini diharapkan lembaga sasi harus turut terlibat secara aktif terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat yang dapat menjaga kelestarian sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Indikator kinerja keberlanjutan biologi yang kedua adalah hasil tangkapan ikan. Indikator ini berhubungan dengan jumlah hasil penangkapan sumberdaya perikanan oleh masyarakat. Hasil penelitian pada Tabel 18 menunjukkan bahwa nilai hasil tangkapan ikan pada rezim adat adalah lebih tinggi dibandingkan dengan
nilai pada rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa hasil tangkapan ikan pada rezim adat adalah lebih baik Adapun pola perubahannya menunjukkan adanya penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi bahkan ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 23. Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat ketersediaan sumberdaya perikanan sangat banyak sehingga orang dengan mudah menangkapnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat dan nelayan, mereka mengatakan bahwa pada rezim adat ketersediaan ikan dan sumberdaya perikanan lainnya sangat banyak dan beraneka macam serta berada di dekat sekitar 10 sampai 15 meter di wilayah pesisir desa mereka sehingga dengan mudah untuk menangkapnya terutama pada saat musim ikan.
Alat tangkap yang sering
digunakan adalah merupakan alat tangkap tradisional yaitu pancing, jaring dengan menggunakan perahu tanpa mesin. Selain itu digunakan alat perangkap ikan seperti bubu selanjutnya ada juga yang menggunakan bagan, seperti terlihat pada Gambar 28.
125
Gambar 28 Alat tangkap tradisional
Peralatan tangkap ini sangat sederhana dan terbuat dari bahan-bahan yang mudah di dapat di sekitar lingkungan desa.
Hasil tangkapan ikan dengan
menggunakan alat tangkap tersebut di atas pada waktu rezim adat adalah cukup banyak selain itu daerah operasi penangkapan ikan tidak jauh dari desa. Hasil tangkapan ini cukup untuk keperluan makan setiap hari, apabila ada kelebihan ikan maka akan diolah dan diawetkan dengan cara yang sederhana seperti ikan asin kering dan ikan asap.
Pada rezim sentralisasi dimana pemerintah mulai
menggalakan pemberdayaan masyarakat nelayan dengan memberikan bantuan peralatan dan armada tangkap di desa-desa yang potensial perikanan tangkap, maka terlihat bahwa hasil usaha perikanan tangkap semakin hari semakin bertambah. Oleh karena itu dengan adanya peningkatan armada dan alat tangkap perikanan maka terjadi peningkatan produksi perikanan.
Hal ini sesuai dengan
perkembangan produksi perikanan Maluku pada periode tahun 1994 – 2001 pada Tabel 22.
126
Tabel 22 Perkembangan produksi perikanan di Provinsi Maluku menurut cabang usaha periode 1994-2001 (Ton) Perikanan Laut No
Penangkapan
Budidaya
Perairan Umum
243.484,1 258.107,7 315.696,1 329.147,2 361.799,0 343.539,3 285.336,1 322.448,4
0.148 0.213 0.267 0.109 0.091 0.091 0.054 0.070
26,3 18,3 10,6 8,7 10,1 9,0 12,7 13,4
11,1 6,7 4,9 4,2 3,9 4,8 1,8 2,7
---------
---------
10,9 8,2 131,4 159,6 203,9 170,5 134,2 138,5
243.532.548 258.141.113 315.843.267 329.319.809 362.016.991 343.777.691 285.484.854 322.603.070
2.459.611,9
1.043
109,1
40,1
--
--
957,2
2.460.719.343
Tahun
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001x)
1 2 3 4 5 6 7 8 Total
Perikanan Darat Budidaya Air tawar Kolam Karamba Sawah
B.A.P Tambak
Jumlah
Catatan : x) Angka Sementara
Sumber : Laporan Tahun Dinas Perikanan dan Kelautan, 2003.
Data statistik perikanan ini menunjukkan bahwa produksi perikanan Maluku menunjukkan adanya peningkatan dari tahun ke tahun. Meningkatnya hasil tangkapan disebabkan karena berkembangnya alat penangkapan ikan. Dengan semakin berkembangnya alat tangkap ikan secara lebih modern maka daerah operasi penangkapan ikan adalah lebih jauh di luar wilayah pesisir pedesaan. Adapun alat tangkap modern dapat dilihat pada Gambar 29.
127
Gambar 29 Alat tangkap modern
Di samping berkembangnya alat tangkap maka berkembang juga usaha perikanan tangkap dan pengolahan hasil perikanan. Berkembangnya
alat pe-
ngumpul ikan baik yang dimiliki oleh perusahaan perikanan nasional, asing maupun nelayan tradisional seperti rumpon, sero, dan bagan yang diletakan di depan wilayah perairan desa sehingga banyak ikan yang sudah terkonsentrasi dan bergerak serta berlindung pada alat pengumpul ikan tersebut. Hal ini yang merupakan salah satu faktor penyebab menurunnya jumlah hasil tangkapan di daerah perairan desa. Secara real di lapangan menunjukkan bahwa kondisi jumlah hasil penangkapan sumberdaya perikanan di wilayah perairan pedesaan semakin hari semakin menurun. Masyarakat nelayan yang memiliki keterbatasan armada dan alat tangkap dan juga modal maka akan sangat terasa sulit untuk mendapatkan ikan di sekitar wilayah perairan desa. Kondisi seperti ini yang sering memicu masyarakat untuk melakukan cara-cara yang dekstruktif sepeti membom dan meracuni ikan yang berakibat pada menurunnya kondisi kesehatan sumberdaya perikanan. Penurunan jumlah hasil tangkapan sumberdaya perikanan di wilayah perairan pedesaan merupakan suatu realitas dimana upaya pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan harus perlu ditata kembali secara baik untuk
128
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pada rezim otonomi daerah, dimana
masyarakat lokal diberi tanggung jawab dan wewenang untuk mengelola sumberdaya perikanan di wilayah perairan mereka maka diharapkan penerapan pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat melalui lembaga-lembaga adat dapat memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan perikanan yang berkelanjutan di wilayah perairan pedesaan Maluku. Dengan memperhatikan hasil penelitian tentang dampak perubahan sistem pemerintahan desa terhadap kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku yang telah dijelaskan di atas menunjukkan bahwa perubahan sistem pemerintahan desa memberikan pengaruh terhadap semua variabel kinerja pengelolaan perikanan yaitu meliputi : efisiensi, pemerataan dan keberlanjutan. Nilai total efisiensi, pemerataan dan keberlanjutan menunjukkan bahwa pada rezim adat lebih tinggi dibandingkan dengan rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Menurut Nikijuluw (2002) bahwa faktor kunci yang menentukan kinerja pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan adalah semua pihak yang terlibat. baik manajer maupun pengguna sumberdaya yang dapat bekerjasama serta memiliki persepsi dan pemahaman yang sama. Oleh karena itu pada rezim otonomi daerah perlu dilakukan berbagai upaya untuk dapat meningkatkan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku. Pimpinan desa dan lembaga pengelolaan perikanan adalah merupakan manejer pengelolaan perikanan dan masyarakat sebagai pengguna sumberdaya perikanan dipedesaan harus turut berpartisipasi dalam melaksanakan pengelolaan perikanan sebagai bagian dari pembangunan desa. Menurut Kurniantara et al. (2005), tinggi rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : (1) Basis informasi yang kuat (2) Kepemimpinan desa (3) Peranan organisasi lokal (4) Peranan pemerintah desa.
129
Dengan demikian peranan kepemimpinan desa sangat penting artinya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan. Hal ini bisa ditempuh melalui peningkatan pengetahuan melalui pendidikan non formal secara kontinyu sehingga dapat meningkatkan kualitasnya. Menurut Saat (2001) bahwa beberapa hal pokok dalam melaksanakankan otonomi daerah
pengelolaan
sumberdaya perikanan adalah : (1) Kualitas sumberdaya manusia (2) Partisipasi masyarakat (3) Penegakan hukum yang melibatkan lembaga-lembaga masyarakat dan (4) Ketersediaan dana untuk peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan untuk peningkatan infrastruktur wilayah. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka untuk meningkatkan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada rezim otonomi daerah, faktor-faktor ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah daerah Maluku. 4.6
Kinerja Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan pada Desa Sasi Laut dan Desa Non Sasi Laut Untuk menganalisis perbedaan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan
dan perikanan pada desa sasi laut dan desa non sasi laut
adalah dengan
menggunakan Uji Mann-Whitney. Hasil statistik menunjukkan bahwa nilai T = 55 yang kemudian dibandingkan dengan nilai T tabel dengan selang kepercayaan Wα/2 - W1-α/2 = 24 - 76 menunjukkan bahwa T hitung = 55 yaitu masih berada dalam selang kepercayaan 24 -76. Untuk itu maka hipotesis H1 ditolak dan menerima hipotesis H0 yaitu bahwa tidak ada perbedaan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada desa sasi laut dengan desa non sasi laut pada rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah.
Adapun indikator kinerja
pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada desa sasi laut dan desa non sasi laut, diperlihatkan pada Tabel 23.
130
Tabel 23
Kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada desa sasi laut dan desa non sasi laut
Kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan
Desa Sasi Laut
Desa Non Sasi Laut
Rezim Rezim Sentralisasi Otonomi Daerah
Rezim Rezim Sentralisasi Otonomi Daerah
Pengambilan Keputusan
4.5 ±0.89
6.2 ±0.91
4.9 ±1.02
6.5 ±0.96
Kesempatan Masyarakat
9.9 ±0.5
9.9 ±0.5
9.9 ±0.74
9.9 ±1.03
Kepatuhan Masyarakat
5.1 ±0.62
5.3 ±0.79
5.8 ±0.87
Efisiensi
6.3 ±0.95
Pemerataan Tingkat Aksesibilitas
10 ±0
10 ±0
10 ± 0
10 ±0
Keragaman Alat Tangkap
6.4 ±1.03
5.1 ±1.81
5.3 ±1.64
3.9 ±2.17
Kesamaan Ekonomi
5.6 ±1.41
5.1 ±2.34
5.8 ±1.40
5.5 ±2.0
Kebersamaan Masyarakat
7.5 ±1.10
6.8 ±1.53
7.2±0.83
6.3 ±1.33
Tingkat Kesejahteraan
7.1 ±0.81
7.9 ±0.62
6.7±0.74
7.9 ±0.61
Kerukunan Nelayan
7.6 ±0.62
7.0 ±0.89
7.1±0.86
6.2 ±1.10
Kondisi Sumberdaya
6.3 ±0.93
6.1 ±1.57
6.1±1.00
5.0 ±1.39
Hasil Tangkapan
6.8 ±0.86
5.9 ±1.29
6.2 ±1.10
5.2 ±1.15
Total
6.2
6.7
6.8
Keberlanjutan Sosial Ekonomi
Keberlanjutan Biologi
6.6
131
Adapun pola perubahannya menunjukkan keadaan yang hampir sama antara desa sasi laut dan desa non sasi laut pada rezim sentralisasi maupun rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 30.
Peringkat
10 9 8 7 6
Desa Sasi Laut Desa Non Sasi Laut
5 4 3 2 1 0 Sentralisasi
Otonomi Daerah Rezim
Gambar 30 Pola perubahan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada desa sasi laut dan desa non sasi laut di pedesaan Maluku pada rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah Hasil ini memberikan arti bahwa desa sasi pada rezim sentralisasi tidak melakukan fungsi-fungsi pengelolaan perikanan secara baik sehingga memiliki kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang dengan desa non sasi.
tidak berbeda
Diketahui bahwa pelaksanaan fungsi pengelolaan
perikanan berbasis masyarakat di pedesaan Maluku dilakukan oleh pimpinan desa (Raja) dan lembaga pengelolaan perikanan (Kewang). Mereka memiliki peranan dan tanggung jawab yang cukup besar dalam pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat. Namun pada rezim sentralisasi kewenangan dan peranan Raja dan Kewang ini mengalami perubahan-perubahan yang sesuai dengan situasi dan kondisi sistem pemerintahan desa yang berlaku dan juga dengan perkembangan masyarakat dan perkembangan sosial ekonomi lainnya. Hasil ini juga memiliki keterkaitan dengan hasil analisis sebelumnya di atas bahwa perubahan sistem pemerintahan desa memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat dipedesaan Maluku. Telah ditunjukkan pada Gambar 9 bahwa pola perubahan pengelolaan perikanan berbasis masyarakat terlihat adanya penurunan yang cukup signifikan
132
dari rezim adat ke rezim sentralisasi. Dengan demikian hal ini berdampak terhadap pelaksanaan kinerja pengelolaan perikanan berbasis masyarakat di pedesaan Maluku. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Novaczek et al. (2001) dan Harkes (2006) yang membandingkan desa-desa sasi dan tidak disasi di Maluku Tengah. Umumnya keberlanjutan sosial lebih baik pada desa-desa sasi sedangkan untuk keberlanjutan ekonomi lebih baik pada desa-desa yang tidak sasi. Hal ini juga dikemukakan oleh Arifin dan Pradina (1998) yang dikutip Dahuri (2003) bahwa sistem sasi belumlah cukup baik untuk mempertahankan perikanan lola secara berkelanjutan di Maluku. Ada empat faktor penyebabnya yaitu : (1) lemahnya informasi dasar tentang aspek biologi lola , seperti kebiasaan makan, siklus reproduksi dan tingkat permulaan dewasa (2) kuatnya ekonomi pasar yang menyebabkan keterpaksaan para pemimpin adat untuk membuka sasi sesering mungkin, (3) pertambahan penduduk yang tinggi (rata-rata 2.1 % per tahun ) dan (4) pengambilan lola secara illegal. Oleh sebab itu belajar dari kasus di atas, strategi pengelolaan sumberdaya perikanan dengan hanya mengedepankan sistem tradisional belum cukup memecahkan masalah. Oleh sebab itu, sistem ini harus diintegrasikan dengan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan biologi sumberdaya alam dan didukung oleh kebijakan pemerintah daerah setempat. Perikanan lola sistem sasi masih mungkin bertahan di masa yang akan datang jika aspek-aspek biologi lola telah dikuasai, batas minimum yang diijinkan untuk di panen, dan program pengelolaan bersama (co-management) di tingkat desa atau kabupaten diterapkan dengan baik. Faktor lain yang turut menyebabkan kinerja pengelolaan perikanan desa sasi pada rezim sentralistik tidak mengalami perbedaaan dengan desa non sasi adalah adalah karena sistem pengelolaan perikanan pada rezim sentralisasi bersifat sentralistik dimana terjadi eksternal kegiatan tangkap yang akhirnya mengabaikan kearifan tradisional oleh masyarakat lokal dalam pengelolaan perikanan berbasis masyarakat. Hal-hal seperti ini yang diduga menyebabkan kinerja pengelolaan perikanan pada desa sasi di rezim sentralisasi tidak berbeda dengan desa non sasi. Pada rezim otonomi daerah, hasil statistik di atas juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kinerja pengelolaan antara desa sasi laut dan desa non sasi
133
laut. Apabila di lihat dari sisi waktu pemberlakuan otonomi daerah di Maluku yaitu sejak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 maka jumlah waktu pelaksanaan pengelolaan perikanan pada rezim otonomi daerah di Maluku masih terlalu singkat tidak sebanding dengan pelaksanaan pengelolaan perikanan di rezim sentralisasi. Periode sistem pemerintahan desa apabila dihitung sejak dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1979 sampai dengan pemberlakukan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada rezim reformasi maka sekitar 20 tahun. Dalam rentang waktu yang cukup lama dan begitu banyak mengalami perubahan dalam semua aspek maka pada rezim otonomi daerah yang masih sangat singkat ini maka tentunya mulai secara perlahan melakukan pembenahanpembenahan baik di tingkat pemerintahan maupun masyarakat. Dalam penerapan UU No. 22 Tahun 1999, daerah Maluku pada saat itu sedang mengalami konflik kerusuhan dan
tragedi kemanusiaan yang telah
menghancurkan sendi-sendi
kehidupan, akibatnya roda pemerintahan dan perekonomian daerah tidak dapat berjalan dengan baik. Dengan kondisi demikian namun penerapan UU No. 22 Tahun 1999 di sambut baik dan merupakan suatu berkat bagi pemerintah daerah Maluku karena dapat mengatur secara baik administrasi pemerintahan daerah baik di tingkat provinsi, di tingkat kabupaten/kota bahkan sampai pada tingkat desa. Semangat untuk melaksanakan adat mulai mewarnai kehidupan dinamika masyarakat Maluku seiring dengan kondisi daerah Maluku yang semakin hari semakin kondusif. Dalam membenahi manejemen pemerintahan di rezim otonomi daerah maka UU No. 22 Tahun 1999 kemudian mengalami revisi menjadi UU. No 32 Tahun 2004. Hal ini semakin dapat mengakomidir aspirasi masyarakat untuk kembali menjalankan
tradisi-tradisi
adat terutama
dalam pengelolaan
perikanan.
Berdasarkan hasil inventarisasi sasi di atas telah di sebutkan bahwa ada peningkatan pelaksanaan sasi laut seiiring dengan diaktifkannya kembali lembaga -lembaga adat seperti Kewang. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan di rezim otonomi daerah maka terasa perlu untuk kembali melihat keberhasilan sasi pada rezim adat dan juga melihat tidak efektifnya sasi pada rezim sentralisasi.
sehingga dapat menjadi pelajaran yang berharga dalam
peningkatan kinerja pengelolaan perikanan di pedesaan Maluku.
134
Berdasarkan hal tersebut di atas
maka pelaksanaan sasi harus lebih
diefektifkan terutama oleh pimpinan desa dan lembaga pengelolaan perikanan sehingga dapat memberikan nilai manfaat secara ekonomi kepada masyarakat. Selain itu, perlu juga didukung oleh kebijakan pemerintah daerah Maluku dan . peningkatan kegiatan pendidikan baik formal maupun non formal dan peningkatan pelaksanaan pengelolaan perikanan bersama dalam bentuk ko-manajemen di tingkat desa yang diterapkan dengan baik.
5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan (1) Dengan adanya berbagai kebijakan pemerintah tentang pemerintahan daerah termasuk di dalamnya pemerintahan desa maka telah memberikan perubahan terhadap sistem pemerintahan desa di Maluku yang meliputi: nama wilayah administrasi, kepala pemerintahan, struktur pemerintahan, lembaga eksekutif, lembaga legislatif, lembaga yudikatif dan pelaksana pengelolaan perikanan di desa. (2) Keberadaan sasi laut sebagai bentuk pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat sampai saat ini masih tetap hidup di pedesaan Maluku dan mulai mengalami peningkatan sejalan dengan dikembalikannya sistem pemerintahan negeri dan terbentuknya lembagalembaga adat seperti Kewang, Saniri Negeri, Kepala Soa. (3) Perubahan sistem pemerintahan desa memberikan pengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat di pedesaan Maluku. Variabel pengelolaan terdiri atas perencanaan meliputi: tujuan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan,
keterlibatan
organisasi dalam perencanaan pengelolaan perikanan, tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan; pengorganisasian meliputi tugas pokok dan fungsi organisasi pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan; pengarahan meliputi motivasi dan arahan; pengawasan meliputi
fungsi pengawasan memiliki nilai yang
lebih tinggi pada rezim adat. Oleh karena itu maka sistem pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat adalah lebih baik dibandingkan dengan rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. (4) Perubahan sistem pemerintahan desa memberikan pengaruh terhadap kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku. Variabel efisiensi yang terdiri atas: pengambilan keputusan nelayan dalam pengelolaan perikanan, dan kepatuhan masyarakat terhadap peraturan perikanan, memiliki nilai lebih tinggi pada rezim adat dan mengalami penurunan pada rezim sentralisasi dan kemudian mengalami
136
peningkatan pada rezim otonomi daerah sedangkan variabel kesempatan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan memiliki nilai yang sama pada ketiga rezim. Variabel Pemerataan yang terdiri atas: kepemilikan alat tangkap dan tingkat kesamaan ekonomi memiliki nilai yang lebih tinggi pada rezim adat dan terus mengalami penurunan dari rezim sentralisasi ke rezim otonomi daerah sedangkan tingkat aksesibilitas terhadap sumberdaya perikanan memiliki nilai yang hampir sama pada ketiga rezim.
Kebersamaan masyarakat dalam kegiatan perikanan dan
kerukunan nelayan yang merupakan variabel keberlanjutan sosial ekonomi mengalami penurunan sedangkan tingkat kesejahteraan rumahtangga masyarakat
mengalami
adanya peningkatan.
Kondisi kesehatan
sumberdaya perikanan dan kondisi hasil tangkapan perikanan sebagai variabel keberlanjutan biologi mengalami penurunan. (5) Tidak ada perbedaan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan antara desa sasi laut dengan desa non sasi laut baik pada rezim sentralisasi maupun rezim otonomi daerah, untuk variabel efisiensi, pemerataan dan keberlanjutan sosial ekonomi serta keberlanjutan biologi. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan sistem sasi di pedesaan Maluku belum dilaksanakan secara baik dan benar sehingga diharapkan pada rezim otonomi daerah dapat direvitalisasikan kembali sehingga mampu memberikan kontribusi terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku.
5.2
Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas maka dapat dibuat
saran berupa rumusan kebijakan tentang pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan di pedesaan Maluku pada rezim otonomi daerah, sebagai berikut: (1) Sasi sebagai bentuk pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat di pedesaan Maluku terutama di desa-desa adat, perlu untuk dipertahankan dan direvitalisasi secara lebih baik yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat pedesaan di rezim
137
otonomi daerah ini.
Sehingga dapat digunakan
sebagai sarana
komunikasi interaktif budaya lokal, nasional dan global. Untuk itu Kewang sebagai lembaga pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di desa-desa adat perlu ditingkatkan kapasitasnya. (2) Perlu dilaksanakan pembentukan Daerah Perlindungan Laut berbasis masyarakat (DPL) di tingkat desa khususnya di desa-desa non sasi. DPL meliputi terumbu karang, mangrove, padang lamun atau habitat lainnya secara sendiri atau bersama-sama yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan biota laut, dan pengelolaannya dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah,
masyarakat
dan
pihak
lain,
dalam
merencanakan,
melaksanakan, memantau dan mengevaluasi pengelolaannya. (3) Perlu dibentuknya lembaga
pengelolaan sumberdaya kelautan dan
perikanan berbasis masyarakat di desa-desa yang bukan merupakan desa adat. Lembaga pengelola ini terdiri dari kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat seperti kelompok nelayan, kelompok pedagang ikan, kelompok pengolah ikan, dan pemuda-pemuda desa.
Lembaga
pengelola perikanan dibentuk oleh pimpinan desa dalam suatu musyawarah desa dan merupakan keputusan Desa serta mendapat persetujuan Camat dan Bupati setempat.
Lembaga pengelolaan
perikanan ini berada dalam pengawasan LKMD sebagai wadah pelaksana dari berbagai program dan kegiatan yang dilaksanakan bagi pembangunan masyarakat desa. (4) Perlu dilakukan kegiatan survey untuk mengidentifikasi potensi sumberdaya perikanan di tingkat desa dalam kaitannya dengan penetapan
jenis
sumberdaya
perikanan
ekonomi
penting
yang
dilindungi. Di samping itu juga untuk perlu ditentukan batas-batas wilayah pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di tingkat desa. Untuk itu perlu dilakukan kerjasama antara staf peneliti perikanan laut dan masyarakat setempat, dengan melibatkan juga Dinas Perikanan dan Kelautan serta dinas terkait lainnya melalui pendekatan PRA (Partisipatory Rural Appraisal).
138
(5) Perlunya penguatan dan pemberdayaan kelembagaan pemerintahan desa terutama pimpinan desa (Raja) dan lembaga pengelolaan perikanan berbasis masyarakat (Kewang) sebagai pelaksana dan pengawas pengelolaan perikanan di desa serta masyarakat lokal. Upaya ini dilakukan melalui proses pembinaan dan pembelajaran secara teratur dan terus menerus yang dilaksanakan dari berbagai pihak yang berkompeten. Cara pembinaan dan pembelajaran adalah dengan melaksanakan metode pendidikan luar sekolah seperti penyuluhan, dengan menggunakan metode dan strategi yang cocok dengan sasaran yang dididik atau dibina.
Pembinaan ini memerlukan adanya kerjasama dan
keterlibatan berbagai pihak seperti Badan Perencana Daerah Maluku, Perguruan Tinggi, Dinas Perikanan dan Kelautan, serta dinas-dinas terkait lainnya serta Lembaga Perbankan, dan berbagai instansi lain yang berkepentingan dengan
pembangunan pedesaan di Maluku.
Tujuan yang diharapkan dari pembinaan melalui pendidikan ini adalah adanya perubahan peningkatan pengetahuan, menumbuhkan kesadaran dan minat masyarakat serta perubahan sikap mental dan ketrampilan dari pimpinan desa (Raja), lembaga pengelolaan perikanan berbasis masyarakat (Kewang) maupun masyarakat pedesaan terutama nelayan dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya perikanan secara lebih arif dan bijaksana. Kegiatan konkrit seperti peningkatan pengetahuan masyarakat tentang nilai ekonomi dan manfaat dari sumberdaya perikanan di sekitar perairan desa.
Kegiatan ini bertujuan supaya
masyarakat desa dapat mengerti dan mengetahui nilai manfaat dan nilai ekonomi dari suatu sumberdaya perikanan di sekitar wilayah perairan mereka, sehingga dengan demikian sikap masyarakat dapat berubah untuk dapat mau mengelola dan memanfaatkan sumberdaya perikanan secara baik untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. (6) Perlu ada tenaga-tenaga pendamping masyarakat yang dikelola oleh pemerintah daerah bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Tenaga pendamping masyarakat perlu dididik dan dilatih oleh
139
tenaga-tenaga professional pada bidang masing-masing. Tujuannya adalah supaya tenaga-tenaga pendamping dalam masyarakat pedesaan memiliki pengetahuan yang praktis terhadap masalah-masalah yang ada dalam
masyarakat terutama yang berkaitan dengan pengelolaan
sumberdaya kelautan dan perikanan.
Tenaga pendamping memiliki
peranan dan kedudukan yang cukup besar dalam masyarakat, yaitu antara lain sebagai : motivator, inspirator dan fasilitator, dimana tenaga pendamping tersebut harus menjadi jembatan penghubung antara pemerintah yang diwakilinya dengan masyarakat lokal, baik dalam hal menyampaikan inovasi atau kebijakan-kebijakan yang harus diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat
maupun
untuk menyampaikan
umpan balik atau tanggapan masyarakat kepada pemerintah. Dengan peranan dan kedudukan tersebut maka tenaga pendamping dapat bekerja dengan baik yaitu mampu menjalankan kebijakan pemerintah
yang
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di lain pihak mereka mendapatkan kepercayaan oleh masyarakat. (7) Perlu dibuat secara tertulis dan sistematis peraturan-peraturan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat di setiap desa. Peraturan-peraturan tersebut adalah merupakan keputusan desa dalam suatu musyawarah desa.dan selanjutnya disetujui oleh Camat, Kepolisian dan Bupati setempat sehingga lebih memperkuat keputusan musyawarah desa
Hal ini sebagai dasar dan pedoman bagi
masyarakat desa dalam melaksanakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat. (8) Perlu melaksanakan sanksi dan tindakan hukuman yang tegas dan keras dari pimpinan desa maupun dari lembaga pengelolaan perikanan di tingkat desa terhadap setiap orang baik masyarakat lokal maupun masyarakat luar desa yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan pengelolaan perikanan di tingkat desa yang telah ditetapkan. (9) Perlu
ada
terbentuknya
suatu
forum
komunikasi
pengelolaan
sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat dalam suatu kawasan atau pulau sebagai media pertemuan, informasi dan
140
pembelajaran bagi anggota organisasi pengelola perikanan, pimpinan desa dan masyarakat. Forum ini difasilitasi oleh Camat setempat dan diselenggarakan setiap tiga bulanan. Dalam forum ini akan dibicarakan berbagai permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di setiap desa dan berusaha untuk mencari jalan keluar yang terbaik untuk kelangsungan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat di desa. Pada forum ini akan dihadiri oleh Lembaga Swadaya Masyarakat yang memiliki keterkaitan terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat, Perguruan Tinggi serta staf Dinas Perikanan dan Kelautan tingkat kabupaten/kota. (10) Perlu adanya peningkatan kerjasama antara pemerintah daerah dan masyarakat lokal dalam bentuk ko manajemen. Ko-manajemen sebaiknya dibina dan ditingkatkan sampai pada tingkat keseimbangan antara masyarakat lokal dengan pemerintah
sehingga ada tanggung
jawab dan peranan yang sama dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di tingkat desa.
Pemerintah daerah seharusnya lebih
proaktif dan merespons upaya pengelolaan perikanan yang telah dilakukan oleh masyarakat lokal di tingkat desa dengan melakukan berbagai hal yang lebih konkrit seperti melakukan kegiatan monitoring dan pengawasan secara teratur dan berkelanjutan. (11) Perlu dilaksanakan dan digalakkan pertemuan-pertemuan ilmiah tentang pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat di daerah Maluku sebagai sarana pertemuan, informasi, komunikasi dan pendidikan bagi berbagai pemangku kepentingan pembangunan perikanan di pedesaan Maluku. Untuk itu maka diperlukan kerjasama antara berbagai pihak untuk menyelenggarakan pertemuan-pertemuan ilmiah ini yaitu: Pemerintah Daerah Maluku, Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi, perusahaan perikanan serta Departemen Kelautan dan Perikanan. Pertemuan ilmiah ini sebaiknya dilaksanakan setiap tahun bertempat di Kota Ambon atau di kabupaten-kabupaten yang ada.
Dengan adanya pertemuan ilmiah ini maka diharapkan
141
pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku semakin serius untuk diperhatikan dan dilaksanakan dengan lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA Andamari, R;Subagiyo; S.H. Talaohu (1991). Panen Lola (Trochus niloticus) di Desa Nolloth, Pulau Saparua dengan sistim Sasi. Jurnal Penelitian Perikanan Laut.hal.31-36 Adiwibowo,S. 2001. Pranata Sosial Masyarakat Pesisir. Makalah Prosiding Pelatihan untuk Pelatih, Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. hal 40-42. Agusta I, 1998. Cara Mudah Menggunakan Metode Kualitatif pada Sosiologi Pedesaan. Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial, Institut Pertanian Bogor. 64 hal. Anonimous, 2001. Profil Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Negeri Ameth Pulau Nusalaut Kabupaten Maluku Tengah. Pemerintah dan Masyarakat Negeri Ameth dengan Yayasan Hualopu Atas Dukungan BSP-Kemala. 97 hal. Ansaka D. 2006. Kearifan Masyarakat Adat dalam Tradisi Konservasi Di Cagar Alam Cyclops. [thesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 93 hal. Arifin,Z., P. Pradina, A.H. Purnomo. 1998. A Case Study on the Tradisional Trochus (Trochus niloticus) Fishery in the Maluku region, Indonesia. In Proceedings of the North Pacific Symposium on Invertebrate Stock Assessment and Management (G.S. Jamieson and A. Campbell,Eds) Can. Spec. Publ.Fih.Aquat. Sci.125pp. 401-406. Badan Perencanaan Daerah Maluku, 2004. Informasi Daerah Maluku. http://www/malukuprov.go.id Januari 2005. Badan Perencanaan Daerah Maluku, 2005. Informasi Daerah Maluku. http://www/malukuprov.go.id Maret 2005. Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tengah, 2004. Maluku Tengah Dalam Angka. 520 hal. Badan Pusat Statistik Kota Ambon, 2004. Kota Ambon Dalam Angka. 360 hal. Bailey, C and C. Zerner 1992. Local Management of Fisheries Resources in Indonesia: Opportunities and constraints, in Pollnac,R.B.,C.Bailey and A.Poernomo (eds) Contribution to Fishery Development Policy in Indonesia Central Institute for Fisheries, Min.of Agriculture,Jakarta,Indonesia. hal 1-17.
143
Bandjar, H. 1998. Suatu Studi Tentang Peran “ Sasi Laut” Dalam Pengelolaan Dan Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Laut Terhadap Masyarakat Pesisir Di Maluku. [thesis]. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 118 hal. Berkes, F. 1994. Co-management:Bridging the Two Solitudes. In Northern Perspectives.hal 18-20. Charles, A.T. 2001. Sustainable Fishery Systems. Saint Mary’s University Halifax, Nova Scotia, Canada.370 hal. Cochrane, K.L. 2002. A Fishery Manager’s Guidebook. Management Measures and Their Application. FAO, Fisheries Technical Paper No. 424 Rome, FAO .231p Dahuri, R. 2001. Pemahaman Wilayah Pesisir Dalam Kerangka Penata Ruang Sebagai Alat Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Bahan Seminar. Departemen Kelautan Dan Perikanan. Dahuri, R. 2003. Berkelanjutan
Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.412 hal.
Daniel W. W.1990. Applied Nonparametric Statistics. Second Edition. PWSKENT Publising Company. Boston. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku, 2004. Rencana Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Wilayah Kota Ambon. Dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian Universitas Pattimura Ambon. hal III -1 – III 75. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tengah, 2004. Inventarisasi dan Identifikasi potensi Perikanan dan Kelautan di Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2003. Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ambon 2004. Ambon. hal 164-172.
Statistik Perikanan Kota
Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ambon, 2005. Pengelolaan dan Pemanfaatan Potensi Sumberdaya Perikanan Di Perairan Kota Ambon Dengan Berbagai Prospek Pengembangan dan Permasalahannya. Makalah.7 hal. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku, 2005. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku. Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional ”Inovasi Teknologi Pertanian Berwawasan Agribisnis Mendukung Pengembangan Pertanian Wilayah Kepulauan” yang Dilaksanakan di BPTP Maluku -Ambon, 22-23 November 2005. 9 hal.
144
FAO. 1995. Tatalaksana Untuk Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries). Food and Agriculture Organization of United Nations. Roma. 45 hal. FAO, 1997. Fisheries Management (Pengelolaan Perikanan) FAO Technical Guidelines For Responsible Fisherie. Food And Agricultural Organization of United Nations. Rome.93 hal. Ginting S. P. 1998. Konflik Pengelolaan Sumberdaya Kelautan di Sulawesi Utara Dapat Mengancam Kelestarian Pemanfaatannya. Jurnal Pesisir dan Lautan Volume 1. No 2.hal. 30 – 39. Haeruman H.J.S. 1997. Strategi Kebijakan Dan Program Pembangunan Masyarakat Desa. Jurnal Mimbar Sosek Volume 10 Nomor 2: Agustus. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.hal.29-37. Hanafi, A. 1987. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Disarikan dari Karya E.M. Rogers dan F.F. Shoemaker (1971), Usaha Nasional Surabaya. Handoko. H.T. 2003 . Manajemen. Edisi 2. Penerbit BPFE, Yogyakarta.410 hal. Harian Kompas. Kamis 6 Januari,2005. Struktur Pemerintahan di Kembalikan ke Adat. hal 13. Harkes I. H.T. 2006. Fisheries Co-Management, The Role Of Local Institutions and Decentralisation in South Asia. With Specific Reference To Marine Sasi In Central Maluku Indonesia. UFB GrafiMedia. 313 hal. Kissya, E. 2000. Sasi Sebagai Pedoman dan Cara Anak Negeri Haruku Mengelola Kawasan Pesisir. Makalah Prosiding Konperensi Nasional II pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia.hal B-90 – B98. Kurniantara, Pratikno. 2005. Partisipasi Masyarakat Timbulharjo dalam Pembangunan Desa Di Awal Penerapan Otonomi Desa. Sosiosains, 18 (2) April. Jurnal Berkala Penelitian Pascasarjana Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. hal 311-323. Kusumastanto, T. 2003. Ocean Policy Membangun Negeri Bahari Di Era Otonomi Daerah. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta. 160 hal. Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku (LKDM), 1994. Sekapur Sirih Pranata Adat dan Korps Kewang . Ambon, Maluku. Lembaran Negara Republik Indonesia. 1985. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan. hal 813-825.
145
Lembaran Negara Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Penerbit CV. Ekojaya. Jakarta. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). 2003. Hasil Riset DKP dan LIPI : Stok Ikan Dunia Kian Merosot. Sumber : http://www.suarapembaruan.com/News/2003/12/07/index.html. September 2004. Mc Cay,B. 1993. Management Regimes. Beijer Discussion Paper Series No. 38 Beijer Institute of Ecological Economics. The Royal Swedish Academy of Sciences. Miles, M.B. dan A.M. Hubermen. 1992. Analisa Data Kualitatif. Penerbit Universitas Indonesia. 491 hal. Murdiyanto, B. 2004. Project. 200 hal.
Jakarta.
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai. COFISH
Nanere, J.L. 1996. Pertanian Di Maluku Pasca Tahun 2000. Makalah dalam Seminar dan Kongres I Ikatan Alumni Fakultas Pertanian Unpatti Dalam Rangka Dies Natalis ke XXXIII dan Home Coming Day. 17 hal Nikijuluw, V.P. 1994. Sasi Sebagai Suatu Pengelolaan Sumberdaya Berdasarkan Komunitas (PSBK) Di Pulau Saparua, Maluku. Jurnal Penelitian Perikanan Laut Nomor 93 Tahun 1994. Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta. hal 79-92. Nikijuluw, V.P. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R) dengan PT Pustaka Cidesindo, Jakarta. 254 hal. Nikijuluw, V.P. 2005. Politik Ekonomi Perikanan. Bagaimana dan Kemana Bisnis Perikanan. PT. Fery Agung Corporation (Feraco), Jakarta.314.hal Nomleni N., C Lay dan M. Muschab.2005. Reformasi Birokrasi Lokal (Studi Kasus di Sekretariat Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan. Sosiosains 18 (3) Juli. Jurnal Berkala Penelitian Pascasarjana Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. hal 559- 577. Norimarna, M.K.J.,1998. Rekomendasi Kebijakan Co-management Perikanan ICLARM 1998 Maluku, Indonesia. Novaczek, I., I H.T. Harkes, J.Sopacua, M. D.D. Tatuhey., 2001. An Institutional Analysis of Sasi Laut in Maluku, Indonesia. ICLARM - The World Fish Center. Penang, Malaysia.327 hal.
146
Ostrom, E. 1994. Self Organizing Resource regimes: A Brief Report on a Decade of Policy Analysis. The Common Property Resource Digest. 31 hal. Pariela, T. D. 2005. Sistim Politik Lokal Masyarakat di Maluku dan Dinamikanya. Makalah Disampaikan pada Seminar Budaya Maluku tanggal 26 Juli 2005 dalam Rangka Peringatan HUT I Provinsi Maluku ke 60. 7 hal. Pical, V.J. 1997. Tahapan Adopsi Teknologi Pengolahan Ikan Oleh Wanita Perdesaan (Kasus di Kabupaten Maluku Tengah ). [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.83 hal. Pomeroy, R.S. and M.J. Williams. 1994. Fisheries Co-management and Smallscale Fisheries: A Policy Brief. Fisheries Co-management Project. ICLARM. 15 hal. Purnomowati, R. 2001. Kajian Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat (Kasus Desa Pemongkong, Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur, NTB). [thesis].Bogor Program Pascasarjana Instutut Pertanian Bogor. 124 hal. Pusat Riset Perikanan Tangkap, Balai Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP), Departemen Kelautan dan Perikanan, (2001) Pengkajian Stok Ikan Di Perairan Indonesia, Jakarta. Saad,S. 2001. Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Laut. Makalah. Disampaikan pada Lokakarya Regional Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Laut.7 hal. Saad, S. 2003. Politik, Hukum Perikanan Indonesia. Lembaga Sentra Pemberdayaan Masyarakat, Jakarta.199 hal. Sahusilawane, F. 2005. Eksplorasi dan Revitalisasi Nilai-Nilai Tradisional Budaya Maluku Untuk Pengembangan Masyarakat. Makalah Disampaikan pada Seminar Budaya Maluku tanggal 26 Juli 2005 dalam Rangka Peringatan HUT I Provinsi Maluku ke 60. 12 hal. Sama, I. N. dan H.Poerwanto. 2001. Implikasi Kehadiran Desa Dinas Terhadap Pranata Adat di Bali (Desa Adat Kesiman, Denpasar Timur, Kotamadya Denpasar). Jurnal Sosiohumanika Vol 14 No. 2 Mei 2001.hal 279-292. Satria, A., A. Umbari, A. Fauzi, A. Purbayanto, E. Sutarto, I. Muchsin, I. Muflikhati, M. Karim, S. Saad, W. Oktariza, Z. Imran 2002. Acuan Singkat Menuju Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pusat Kajian Agraria IPB, Partnership for Governance Reform in Indonesia , dengan PT Pustaka Cidesindo, Jakarta.206 hal.
147
Setyaningsih Endang Rahayu, Partini. 2003. Lembaga Lokal Sebagai Strategi Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan. Sosiohumanika 16 A Nomor 1, Januari. Jurnal Berkala Penelitian Pascasarjana Ilmu-Ilmu Sosial Humaniora, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. hal 183-190. Singarimbun, M dan S. Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. LP3ES, Jakarta.336 hal. Siwalette, J. D. 2005. Peran Tokoh Adat Dalam Perubahan Struktur Pemerintah Desa (Studi Kasus Di Desa Allang Pulau Ambon, Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku). [thesis].Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.98 hal. Solihin, A. 2004. Desentralisasi Kelautan dan Kesejahteraan Nelayan. Cakrawala TNI AL. Supardal, Purwo S. (2005). Pemaknaan Desa Terhadap Good Governance Di Desa Wiladeg. Sosiosains 18 (2) April. Jurnal Berkala Penelitian Pascasarjana Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. hal 341-358. Suseno, 2004. Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap, Kasus Pantai Utara Jawa Tengah. [disertasi].Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sudaryatie, A. Armawi, Dafri Agussalim, 2003. Jurnal Sosiohumanika Vol.16A No. 1 Januari 2003. Institut Pertanian Bogor.hal 243-247. Swastha B dan I. Sukotjo. 1995. Pengantar Bisnis Modern (Pengantar Ekonomi Perusahaan Modern). Penerbit Liberty, Yogyakarta. Thorburn, C.C. 1998. Sasi Lola (Trochus niloticus) in the Key Island Molluccas : An Endangered Coastal Resource Management Tradition. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia. Volume 1 No. 2 Tahun 1998. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB Bogor. hal 15-29. Tulungen, J.J., T.G. Bayer, B.R.Crawford, M.Dimpudus, M.Kasmidi, C.Rotinsulu, A.Sukmara dan N. Tangkilisan.2002.Panduan Pembentukan dan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis-Masyarakat. CRC Technical Report Nomor 2236. Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dan Univesity of Rhode Island, Coastal Resources Center, Narragansett Rhode Island, USA.77 hal. Undang-Undang Pokok Pemerintahan di Daerah dan Pemerintahan Desa. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979. Penerbit Pustaka Tinta Mas Surabaya.
148
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Penerbit Pustaka Tinta Mas Surabaya. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Penerbit Ekojaya Jakarta. hal 145-218 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Penerbit Fokusmedia Bandung. Wagey, T. 2003. Mengelola Ikan Secara Bertanggung Jawab. Kompas, 19 November 2003. hal 4. Widodo, J. 2003. Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Di Perairan ZEE Indonesia dan Sekitarnya. Balai Riset Perikanan Laut Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta.37 hal. Widodo. J. dan Nurhakim 2002. Konsep Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Makalah Seminar. Disampaikan dalam Training of Trainers on Fisheries Resources Management. Zamani N.P. dan Darmawan. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu Berbasis Masyarakat. Prosiding. Pelatihan untuk Pelatih, Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. hal 47-60.
LAMPIRAN
151
Lampiran 1 Lokasi penelitian
-3.0°LS Kotania
PETA PULAU AMBON LEASE DAN SERAM BARAT
PIRU
Talaga
Tatinang
Tanunu Alang Asude Ariate
Waesalah
P.Seram
Tanahgoyang Ani
Awaiya
Kaibobu
-3.2°LS
Waesarisa
Liang
Loki
Mani
P.Kassa
Kelapamiring
Waraka
Makariki
Samasuru
Kairatu
MASOHI AMAHAI
Seriawan
Sepa
Souhuku
Seriholu
Luhu Iha Kulur
Rutah
Keterangan :
Hualooi Tumalehu Latu
Rumakai
Sungai Garis Pantai
Kamariang Tihulale
Liaela
Selat
Daratan
Seram
Waeputih
Waeyase
Morela Mamala Hitu
Hila
Tulehu
Wakat Waiheru
P.Ambon
Paso
Suli
Kailola Kabau Rohmoni
Pia
P.Haruku Sameth Haruku Oma
Htv Besar Tawiri Hatu
Bt.Merah
Aboru Wasu
Amahusu
Liliboi Eri Seilale
Seri
Porto
Akoon
Titawai Abubu
P.Nusalaut
Peta Indeks
Hukurila
Airlow Latuhalat
-3.8°LS 127.9°BT
128.1°BT
Desa sampel dengan jenis Sasi : Sasi Darat dan Laut Sasi Darat Tidak ada sasi
Sila NalahiaAmeth Leinitu
P.Molana
Naku Kilang
Laut Banda
Tiouw Saparua Haria Siri Islam Paperu Siri Ama Ulath Ouw Booi
Hutumuri Rutong Lehari
AMBON
Laha
P.Saparua
Hulaliu
Lateri Poka Lata Rmh tiga Halong Galala Waiame Htv Kecil
Asilulu
Alang
P.Pombo
Tengah-tengah
Ureng
Larike Wakasihu
Waai
Ori Kariu
Desa
Noloth Itawaka Ihamahu Mahu Tuhaha
Kulur Pelauw
Liang
Negri lima
20
Wasia
Hulung
Said
10
Hatusua Rumahreat
-3.6°LS
0
Kilometer
Sanahu
Teluk Piru
-3.4°LS
10
Teluk Elpaputih
Waesamu
128.3°BT
128.5°BT
128.7°BT
128.9°BT
Sumber: - Atlas Maluku, LSEM, Utrecht. 1998. Skala 1:700.000 - Peta P.Seram dan Sekitarnya. BAKOURTANAL 2000. Skala 1:1.500.000
Lampiran 2 Provinsi Maluku
152
Lampiran 3 Kuesioner 1
INVENTARISASI SASI DAN LOKASI DESA PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN BERBASIS MASYARAKAT TAHUN 2005 No. Kuesioner
: ...........................
Tanggal Wawancara
: ...........................
Nama Pewawancara
: ...........................
1. IDENTITAS LOKASI Nama Desa
: .............................................
Kecamatan
: .............................................
Kabupaten
: .............................................
2. SASI 1. Apakah desa ini mempunyai sasi ? 1. Ya (Lanjutkan ke pertanyaan 3)
2. Tidak
2. a. Apakah desa ini pernah punya sasi ? 1. Ya
2. Tidak
b. Jika ya, kapan sasi hilang (tahun persis atau asosiasi dengan kejadian lain )? ............................................................................ c. Mengapa ? ........................................................................................................................ .......................................................................................................................... 3. a. Apakah desa mempunyai sasi Negeri/adat? 1. Ya.
2. Tidak
b. Apakah desa mempunyai sasi Gereja? 1. Ya.
2. Tidak
c. Apakah desa mempunyai sasi Mesjid? 1. Ya.
2. Tidak
153
d. Apakah desa mempunyai jenis sasi yang lain ? 1. Ya.
2. Tidak
4. a. Apakah desa mempunyai sasi saat ini ? 1. Ya.
2. Tidak
b. Apakah desa mempunyai sasi sungai/kali ? 1. Ya.
2. Tidak
c. Apakah desa mempunyai sasi laut ? 1. Ya.
2. Tidak
3. ATURAN PERIKANAN 1. Apakah desa mempunyai aturan-aturan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat ? 1. Ya.(Lanjutkan ke pertanyaan berikut)
2. Tidak
2. Sebutkan jenis aturan-aturan tersebut ? ................................................................................................... ................................................................................................... 3. Apakah aturan tersebut tertulis ? 1. Ya. 2. Tidak
154
Lampiran 4
Kuesioner 2
PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN BERBASIS MASYARAKAT DI PEDESAAN MALUKU PADA REZIM ADAT, REZIM SENTRALISASI DAN REZIM OTONOMI DAERAH TAHUN 2005 __________________________________________________________________ I. Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 1. Tujuan Pengelolaan SDP Angka 1 menunjukkan keadaan dimana tidak ada tujuan pengelolaan SDP Angka 10 menunjukkan keadaan dimana tujuan pengelolaan adalah untuk mempertahankan adat tradisi, meningkatkan pendapatan desa, meningkatkan pendapatan masyarakat dan menjaga kelangsungan SDP. Rezim Adat =
Rezim Sentralisasi=
Rezim Otonomi Daerah=
2. Keterlibatan kelompok/organisasi masyarakat dalam perencanaan pengelolaan SDP Angka 1 menunjukkan keadaan dimana tidak ada keterlibatan kelompok atau organisasi masyarakat dalam penyusunan tujuan pengelolaan SDP. Angka 10 menunjukkan keadaan dimana penyusunan tujuan pengelolaan SDP melibatkan perangkat desa, kelompok nelayan, dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Rezim Adat =
Rezim Sentralisasi=
Rezim Otonomi Daerah=
3. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan SDP Angka 1 menunjukkan keadaan dimana masyarakat tidak mentaati peraturanperaturan SDP, tidak aktif dalam pertemuan perikanan serta tidak turut dalam pengambilan keputusan pengelolaan SDP. Angka 10 menunjukkan keadaan dimana masyarakat mentaati peraturan SDP, aktif dalam pertemuan-pertemuan perikanan dan turut dalam pengambilan keputusan pengelolaan SDP. Rezim Adat =
Rezim Sentralisasi=
Rezim Otonomi Daerah=
155
II. Pengorganisasian 1. Tugas Pokok dan Fungsi Organisasi Pengelolaan SDP Angka 1 menunjukkan bahwa organisasi pengelolaan tidak merencanakan tujuan pengelolaan, tidak mengkoordinir organisasi, tidak mengawasi jalannya program pengelolaan, dan tidak mengevaluasi program pengelolaan. Angka 10 menunjukkan tugas pokok dan fungsi organisasi pengelolaan SDP yaitu: untuk merencanakan tujuan pengelolaan, mengkoordinir organisasi, mengawasi jalannya program pengelolaan, dan mengevaluasi program pengelolaan. Rezim Adat =
Rezim Sentralisasi=
Rezim Otonomi Daerah=
III. Pengarahan 1, Motivasi dan arahan Angka 1 menunjukkan bahwa perangkat desa/organisasi perikanan tidak aktif dalam memberikan motivasi serta arahan-arahan kepada masyarakat dalam pengelolaan SDP. Angka 10 menunjukkan bahwa perangkat desa/organisasi perikanan aktif memberikan motivasi serta arahan-arahan kepada masyarakat dalam pengelolaan SDP. Rezim Adat =
Rezim Sentralisasi=
Rezim Otonomi Daerah=
IV. Fungsi Pengawasan bahwa fungsi pengawasan SDP dilakukan oleh perangkat desa, Angka 1 menunjukkan bahwa fungsi pengawasan tidak dilakukan oleh perangkat desa, organisasi pengelolaan SDP, kelompok nelayan dan masyarakat desa. Angka 10 menunjukkan organisasi pengelolaan SDP, kelompok nelayan dan masyarakat desa. Rezim Adat =
Rezim Sentralisasi=
Rezim Otonomi Daerah=
156
Lampiran 5 Kuesioner 3
KINERJA PENGELOLAAN PERIKANAN DI PEDESAAAN MALUKU PADA REZIM ADAT, REZIM SENTRALISASI DAN REZIM OTONOMI DAERAH TAHUN 2005 __________________________________________________________________ 1 . Pengambilan keputusan Nelayan Dalam Pengelolaan Perikanan Bagaimana pengaruh orang dalam masalah pengelolaan perikanan ? Angka 10 menunjukkan keadaan dimana pendapat para nelayan sangat berpengaruh dalam sistim pengelolaan sumberdaya perikanan. Angka 1 menunjukkan keadaan dimana apapun yang dikatakan para nelayan tidak akan mempengaruhi sistim pengelolaan sumberdaya perikanan. Rezim Adat =
Rezim Sentralisasi=
Rezim Otonomi Daerah=
2 . Kesempatan Masyarakat dalam Pemanfaatan SDP Bagaimana kesempatan masyarakat dalam menggunakan sumberdaya perikanan ? Angka 1 menunjukkan keadaan dimana masyarakat tidak diijinkan sama sekali untuk menangkap ikan dan hasil laut lainnya. Angka 10 menunjukkkan bahwa masyarakat bebas sepenuhnya untuk menangkap ikan/hasil laut lainnya sesuai kemauan mereka. Rezim Adat =
Rezim Sentralisasi=
Rezim Otonomi Daerah=
3. Kepatuhan Masyarakat Terhadap Peraturan Perikanan Bagaimana kepatuhan masyarakat terhadap peraturan perikanan dan undangundang yang berlaku . Angka 1 menunujukkan keadaan dimana tidak satu orangpun yang mentaati aturan atau ketentuan perikanan yang berlaku. Angka 10 menunjukkan keadaan dimana setiap orang mentaati semua aturan atau ketentuan perikanan yang berlaku. Rezim Adat =
Rezim Sentralisasi=
Rezim Otonomi Daerah=
4. Tingkat Aksesibilitas Terhadap Sumberdaya Perikanan Pertanyaan ini berhubungan dengan ongkos yang harus dibayar seseorang supaya bisa menangkap ikan dan hasil laut lainnya. Angka 1 menunjukkan keadaan dimana orang harus membayar banyak untuk dapat menangkap ikan dan hasil laut lainnya. Angka 10 menunjukkan keadaan dimana semua orang bisa menangkap ikan dan hasil laut lainnya tanpa harus membayar apa-apa. Rezim Adat =
Rezim Sentralisasi=
Rezim Otonomi Daerah=
157
5. Kepemilikkan Alat Tangkap Bagaimana keadaan kepemilikan sarana produksi atau alat tangkap di desa ini ? Angka 1 menunjukkan keadaan dimana satu orang tertentu memiliki semua kapal, alat tangkap, dll sehingga dia mengambil semua keuntungan untuk diri sendiri. Angka 10 menunjukkan keadaan dimana semua orang memiliki kapal dan alat tangkap dan semua mendapat keuntungan yang sama. Rezim Adat =
Rezim Sentralisasi=
Rezim Otonomi Daerah=
6. Tingkat Kesamaan ekonomi Kami ingin mengetahui pembagian pendapatan di desa ini. Angka 1 menunjukkan keadaan dimana perbedaan antara orang kaya dan orang miskin sangat besar. Angka !0 menunjukkan keadaan dimana semua orang mempunyai tingkat ekonomi yang sama. Rezim Adat =
Rezim Sentralisasi=
Rezim Otonomi Daerah=
7. Kebersamaan Masyarakat Dalam Kegiatan Perikanan Angka 1 menunjukkan keadaan dimana orang bekerja sendiri-sendiri dalam kegiatan-kegiatan perikanan. Angka 10 menunjukkan keadaan dimana masyarakat selalu bekerja sama dengan baik membuat jaring, menjahit mata jaring yang rusak, membuat perahu, berjualan ikan dan lain sebagainya Rezim Adat =
Rezim Sentralisasi=
Rezim Otonomi Daerah=
8. Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Angka 1 menunjukkan keadaan hidup yang paling buruk : makanan kurang bahkan tidak ada, rumah dan perabotnya tidak layak, anggota rumahtangga sakitsakitan dan sebagainya. Angka 10 menunjukkan keadaan hidup masyarakat yang paling baik: rumah dan perabotan yang mewah, makanan melimpah, semua anggota rumahtangga sehat, dst. Rezim Adat =
Rezim Sentralisasi=
Rezim Otonomi Daerah=
158
9 . Kerukunan Nelayan Angka 1 menunjukkan keadaan dimana nelayan selaluselisih dan bertengkar satu sama lain dalam melakukan aktivitas usaha perikanan Angka 10 menunjukkan keadaan dimana nelayan saling membantu dan menolong serta , hidup rukun seperti satu keluarga besar dalam melakukan berbagai aktivitas usaha perikanan. Rezim Adat =
Rezim Sentralisasi=
Rezim Otonomi Daerah=
10. Kondisi Umum SDP Angka 1 menunjukkan keadaan alam dan lingkungan yang buruk : Air sangat kotor sehingga tidak ada ikan dan hasil laut lainnya serta karang-karang yang sudah rusak. Angka 10 menunjukkan keadan alam dan lingkungan yang sangat baik : Air yang bersih, kaya dengan berbagai macam ikan dengan berbagai jenis dan ukurannya serta hasil laut lainnya. Rezim Adat =
Rezim Sentralisasi=
Rezim Otonomi Daerah=
11. Kondisi Hasil Tangkapan Sumberdaya Perikanan Angka 1 menunjukkan keadaan dimana tidak ada ikan/hasil laut lainnya. Angka 10 menunjukkan keadaan dimana ikan dan hasil laut lainnya sangat banyak sehingga orang dengan mudah menangkapnya. Rezim Adat =
Rezim Sentralisasi=
Rezim Otonomi Daerah=
159
Lampiran 6 Daftar pertanyaan wawancara
SISTIM PEMERINTAHAN DESA DAN PROFIL PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN BERBASIS MASYARAKAT TAHUN 2005 1.
Bagaimana sistim pemerintahan desa ?
2.
Apa saja unsur-unsur dalam suatu sistim pemerintahan desa ?
3.
Bagaimana hubungan antara unsure tsb dalam sistim pemerintahan desa ?
4.
Bagaimana struktur organisasi pemerintahan desa saat ini ?
5.
Apakah struktur organisasi pemerintahan desa mengalami perubahan selama ini ? Kalau ya, jelaskan bagaimana perubahan struktur tersebut ?
6.
Apakah dampak dari adanya perubahan struktur organisasi pemerintahan desa ?
7.
Apa tugas pokok dan fungsi dari pimpinan desa ?
8.
Apa ada perubahan tugas pokok dan fungsi pimpinan desa selama ini ?
9.
Bagaimana dampak perubahan tersebut dalam kepemimpinan desa ?
10.
Bagaimana struktur kelembagaan sasi di desa ?
11.
Apakah ada perubahan dalam struktur kelembagaan sasi ?
12.
Kalau ya, Jelaskan bagaimana perubahan struktur tersebut ?
13.
Kapan pertama kali sasi laut diadakan di desa ini ?
14.
Ada berapa jenis sumberdaya perikanan yang di sasi ?
15.
Sebutkan jenisnya...................................
16.
Apakah ada penurunan jenis sumberdaya perikanan ? (kalau ada, lanjutkan ke no.17)
17.
Sebutkan jenisnya ...........................................
18.
Tahun berapa terjadi perubahan jenis sumberdaya perikanan yang disasi tersebut ? (dikaitkan dengan peristiwa atau kejadian ).
19.
Sebutkan batas-batas wilayah sasi laut ?
20.
Siapayang berwenang menentukan batas-batas wilayah sasi ?
21.
Apakah ada pemberian tanda pada batas-batas wilayag sasi laut ?
22.
Apa bentuk tanda batas wilayah sasi ?
160
23.
Apakah ada rumpon yang beroperasi di sekitar wilayah laut yang di sasi ?
24.
Apakah peletakaan rumpon mendapat izin dari pemerintah desa ?
25.
Sebutkan aturan-aturan dalam pelaksanaan sasi laut ?
26.
Apakah peraturan tersebut tertulis ?
27.
Siapa yang menyusun aturan sasi laut di desa ?
28.
Apakah aturan sasi laut di sahkan sebagai aturan desa ?
29.
Siapa-siapa saja yang berperan dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan sasi laut di desa ?
30.
Sebutkan peranan dan fungsi dari pelaku-pelaku pelaksanaan sasi laut ?
31.
Apakah ada pelanggaran oleh masyarakat dalam pelaksanaan sasi laut ?
32.
Kalau ya, sebutkan jenis -jenis pelanggaran tersebut ?
33.
Apakah ada hukuman atau sanksi dalam pelanggaran tersebut ?
34.
Apa jenis hukuman atau sanksi tersebut ?
35.
Siapa yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pemberian hukuman atau sanksi tersebut ?
36.
Pada waktu tutup dan buka sasi, alat tangkap apa saja yang diperbolehkan untuk beroperasi ?
37.
Pada waktu buka sasi, siapa saja yang berhak memanfaatkan sumberdaya perikanan ?
38.
Apakah hak pemanfaatan sumberdaya perikanan dikontrak atau dialihkan kepada pihak lain ? (Kalau ya, lanjutkan ke 39 - 40 )
39.
Siapa yang menentukan hak pemanfaatan sumberdaya perikanan tersebut?
40.
Apa alasannya hak pemanfaatan sumberdaya perikanan dialihkan ?
41.
Siapa yang bertanggung jawab dalam pengawasan wilayah sasi yang sudah dikontrak atau dilelang tersebut ?
42.
Bagaimana pemanfaatan hasil sasi laut ? Dijual,diolah atau dikonsumsi ?
43.
Dijual kepada siapa ? Bagaimana penjualannya ?
44.
Diolah dalam bentuk apa ? Apakah dijual ? Bagaimana penjualnya ?
45.
Berapa persen hasil pemanfaatan sasi yang dikonsumsi oleh masyarakat ?
46.
Apakah ada peristiwa-peristiwa penting yang terjadi desa ini yang mengakibatkan pelaksanaan sasi tidak dilaksanakan ?
47.
Kalau ya, sebutkan nama dan kapan peristiwa tersebut terjadi?
161
Lampiran 7 Hasil inventarisasi sasi di pedesaan Maluku
No.
Nama Desa
Kecamatan
Kab/Kota
Ada/tidak Sasi Sasi Darat
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Hutumuri Waiame Tawiri Htv Bsr Waiheru Passo Halong Lateri Latta Rutong Leahari Htv Kcl Hukurila Naku Kilang Galala Seilale Amahusu Eri Latuhalat Paperu Haria Portho Ihamahu Itawaka Noloth Tuhaha Ouw Ulath Siri Ama
Baguala Baguala Baguala Baguala Baguala Baguala Baguala Baguala Baguala Baguala Baguala Sirimau Sirimau Sirimau Sirimau Sirimau Nusaniwe Nusaniwe Nusaniwe Nusaniwe Saparua Saparua Saparua Saparua Saparua Saparua Saparua Saparua Saparua Saparua
Ambon Ambon Ambon Ambon Ambon Ambon Ambon Ambon Ambon Ambon Ambon Ambon Ambon Ambon Ambon Ambon Ambon Ambon Ambon Ambon Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng
ada sasi tidak sasi ada sasi ada sasi tidak sasi ada sasi tidak sasi tidak sasi tidak sasi ada sasi ada sasi tidak sasi ada sasi tidak sasi tidak sasi tidak sasi tidak sasi tidak sasi ada sasi tidak sasi ada sasi ada sasi ada sasi ada sasi ada sasi ada sasi ada sasi ada sasi ada sasi ada sasi
JENIS SASI Sasi Laut Jumlah
1
1
1 1
1 1
1
1
1 1
1
2 1
1
1
1
1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1
1 1 1 1 1
2 1 1 2 2 2 1 2 2 1
162
Lampiran 7 (lanjutan)
No.
31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61
Nama Desa
Siri isl Tiouw Booy Saparua Mahu Akoon Nalahia Leinitu Sila Titawae Ameth Abubu Sameth Pelauw Hulaliu Oma Haruku Kariu Suli Tengah2 Tulehu Waai Liang Ariate Piru Makariki Rutah Soahuku Sepa Seri Airlouw Total
Kecamatan
Saparua Saparua Saparua Saparua Saparua Nusalaut Nusalaut Nusalaut Nusalaut Nusalaut Nusalaut Nusalaut Haruku Haruku Haruku Haruku Haruku Haruku Salahutu Salahutu Salahutu Salahutu Salahutu Piru Piru Amahai Amahai Amahai Amahai Nusaniwe Nusaniwe
Keterangan : Sasi Darat = 45 Sasi Darat + Sasi Laut = 16
Kab/Kota
Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng Serbar Serbar Malteng Malteng Malteng Malteng Ambon Ambon
Ada/tidak Sasi
ada sasi ada sasi tidak sasi tidak sasi ada sasi ada sasi ada sasi ada sasi ada sasi tidak sasi ada sasi ada sasi ada sasi ada sasi ada sasi ada sasi ada sasi ada sasi ada sasi ada sasi ada sasi tidak sasi ada sasi ada sasi ada sasi ada sasi ada sasi ada sasi ada sasi ada sasi ada sasi
JENIS SASI Sasi Darat
Sasi Laut
1 1
1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 45
Jumlah 2 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1
1
16
2 1 2 2 2 1 2 1 1 2 2 1 1 1 2 1 1 1 1 1 61
163
Lampiran 8 Hasil inventarisasi peraturan perikanan
No.
Nama Desa
1
1 2
Hutumuri Waiame
1
3
Tawiri
1
4
Htv Bsr
1
5
Waiheru
1
6
Passo
1
7
Halong
1
8
Lateri
1
9 10
Latta Rutong
1
11 12
Leahari Htv Kcl
1 1
13 14 15 16
Hukurila Naku Kilang Galala
1
17 18 19 20
Seilale Amahusu Eri Latuhalat
21 22 23 24 25 26 27
Paperu Haria Portho Ihamahu Itawaka Noloth Tuhaha
1 1
28 29 30
Ouw Ulath Siri. Am
1 1 1
2
Jenis Aturan Perikanan
A
B
Pembersihan Pantai utk hari besar
B
1. Larangan pengambilan karang 2. Pelestarian hutan bakau 1. Larangan membuang sampah di pantai dan sungai. 2 Larangan bom ikan 1. Larangan menarik jaring redi
B
2
A B
1. Larangan kerja di daerah bakau 2.Larangan menggali pasir dan galian C 3. Dialarang buang sampah dan limbah 1. Larangan menebang bakau 2. Larangan membuang sampah 1. Larangan penebangan dan pencabutan bakau 2. Larangan buangan sampah di pantai 3. Pembersihan pantai
B
B B
2 1. Larangan bom ikan 2. Larangan mencuri Lola 1. Larangan buang sampah dan galian C. 1. Larang buang sampah 2.Larangan pengeringan Pantai 3. Pelestarian Bakau 1. Kontrol pantai terhadap pengeboman ikan
B A B
B
2 1 1
1.Menjaga kawanan ikan 1. Larangan mengambil pasir 2. Larangan membuang sampah 3. Pembersihan pantai untuk hari-hari besar
B
2 2 1 1
1 1 1 1
1. Kebersihan pantai 1. Larangan buang sampah 2. Tambat perahu aturan kewang 1. Tdk boleh membuang jaring di dkt dermaga aturan kewang aturan kewang aturan kewang 1. Tidak boleh tebang bakau 2. Operasi purse seine utk ikan sedang harus 1 mil aturan kewang aturan kewang aturan kewang
B B A A A A A A A A B
164
Lampiran 8 (lanjutan)
No. 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
Nama Desa Sir.is Tiouw Booy Saparua Mahu Akoon Nalahia Leinitu Sila Titawae Ameth Abubu
1 1 1 1 1 1
43 44
Sameth Pelauw
1 1
45 46
Hulaliu Oma
1 1
47 48 49
Haruku Kariu Suli
1
50 51 52
Tengah-tengah Tulehu Waai
1 1 1
53
Liang
1
54 55 56 57 58 59 60 61
Ariate Piru Makariki Rutah Soahuku Sepa Seri Airlouw
1
2
Jenis aturan Perikanan aturan kewang aturan kewang
A A
aturan desa Larangan menebang bakau Larangan menebang bakau Menjaga pantai dari abrasi aturan kewang 1.Dilarang angkat batu dan pasir 2. Dilarang tebang bakau 1.Aturan kewang 1. Aturan kewang 2. Larangan bom ikan 1. Aturan kewang 1. Dilarang bom ikan 2. Dilarang bore/racun ikan Aturan kewang
A
B B B B B
2 1 1 1 1 1 1
B
B B B A A B A A A B A
2 1
1. Tidak boleh bom ikan 2. Tidak boleh mencemarkan laut aturan kewang aturan kewang 1. Dilarang bom ikan 2.Dilarang bore/racun ikan 3. Menjaga kebersihan pantai 1. Dilarang bom ikan 2. Dilarang buang sampah di laut Dilarang bom ikan
B A A B
B B
2 1
aturan kewang 2 2
1
Aturan kewang 2 2
Keterangan : 1 = Ada Peraturan Perikanan 2 = Tidak Ada Peraturan Perikanan A = Peraturan Tertulis B = Peraturan Tidak Tertulis
A
165
Lampiran 9 Rekapitulasi data pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah
PERENCANAAN No.
Desa
Kec.
Kab/ Kota
TUJUAN PENGELOLAAN I II III
KETERLIBATAN ORMAS I II III
PARTISIPASI MSYRKT I II III
1
Rutong
Bag.
Ambon
10
1
5
10
2
6
9
2
8
2 3 4 5
Paperu Ihamahu Itawaka Noloth
Spra Spra Spra Spra
Malteng Malteng Malteng Malteng
10 10 10 10
5 10 10 10
8 10 10 10
10 10 10 10
1 2 3 4
6 8 9 10
9 10 10 9
1 3 1 2
4 7 8 8
6
Ouw
Spra
Malteng
10
10
10
10
1
10
10
1
8
7 8
Ulath Sir.Islam
Spra Spra
Malteng Malteng
10 10
10 10
10 10
10 10
1 5
8 8
8 9
3 6
7 7
9
Ameth
NL
Malteng
10
1
10
10
1
10
9
5
8
10 11 12 13 14 15 16
Sameth Pelauw Hulaliu Haruku Tengah2 Tulehu Makariki
Hrk Hrk Hrk Hrk Slht Slht Amh
Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng
10 10 10 10 10 10 10
10 10 1 8 10 10 10
10 10 8 7 10 10 10
9 9 9 9 9 10 10
3 1 1 5 5 6 5
7 8 10 8 10 8 8
7 8 9 9 8 9 10
1 2 4 5 5 1 2
6 7 8 9 9 8 10
160 10
126 7.9
148 9.3
155 9.7
46 2.9
134 8.4
143 8.9
44 2.8
122 7.6
Total Rataan
Keterangan : I = Rezim Adat; II = Rezim Sentralisasi; III = Rezim Otonomi Daerah
166
Lampiran 9 (lanjutan)
No.
ORGANISASI
PENGARAHAN
PENGAWASAN
MOTIVASI & ARAHAN I II III
PENGAWASAN
Desa
Kec.
Kab/ Kota
TUPOKSI ORGANISASI I II III
I
II
1
Rutong
Bag.
Ambon
10
5
8
10
1
6
9
2
6
2 3
Paperu Ihamahu
Spra Spra
Malteng Malteng
10 10
3 5
7 7
9 10
3 5
6 7
10 9
8 6
8 8
4
Itawaka
Spra
Malteng
10
1
6
10
5
8
10
4
6
5
Noloth
Spra
Malteng
10
5
8
10
6
8
9
7
8
6 7
Ouw Ulath
Spra Spra
Malteng Malteng
10 9
2 5
9 8
9 10
5 6
7 9
8 10
4 5
6 4
8 9 10 11 12 13 14 15 16
Sir.Islam Ameth Sameth Pelauw Hulaliu Haruku Tengah2 Tulehu Makariki
Spra NL Hrk Hrk Hrk Hrk Slht Slht Amh
Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng
10 9 8 10 8 10 9 10 9
3 1 2 5 5 2 3 5 1
7 9 7 8 8 7 6 7 8
9 10 9 8 10 10 9 10 10
5 1 5 4 1 7 5 6 5
7 10 7 6 9 7 6 8 7
9 10 10 9 10 10 8 9 8
7 5 5 6 6 5 4 5 6
5 7 8 6 8 3 6 6 7
152 9.5
53 3.3
120 7.5
153 9.6
70 4.4
118 7.4
148 9.3
85 5.3
102 6.4
Total Rataan
Keterangan : I = Rezim Adat; II = Rezim Sentralisasi; III = Rezim Otonomi Daerah
III
167
Lampiran 10 Urutan kerja uji Friedman untuk perubahan sistem pemerintahan desa terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat Langkah 1 (Rata-rata per variabel pada rezim ke...)
Langkah 2 (Beri peringkat per variabel antar rezim)
I
II
III
I
II
III
10 9.6875 8.9375 9.5 9.5625 9.25
7.875 2.875 2.75 3.3125 4.375 5.3125
9.25 8.375 7.625 7.5 7.375 6.375
1 1 1 1 1 1
3 3 3 3 3 3
2 2 2 2 2 2
Langkah 3 (Jumlahkan peringkat varibel pada rezim)
Jumlah
I
II
III
1 1 1 1 1 1 6
3 3 3 3 3 3 18
2 2 2 2 2 2 12
Adat_2 Sentralisasi _2 Otda_2
Langkah 4 (Masukkan ke rumus)
⎛ 3 ⎞ ⎟ ⎜ 1 ⎜ 2 2 R j ⎟ − 72 χ = ⎜ ⎟ 6 ⎜ j =1 ⎟ ⎝ ⎠
∑
Mean Rank 3.00 1.00 2.00
Test Statistics(a)
N ChiSquare df Asymp. Sig. Keputusan : tolak H0
6 12.000 2 .002
168
Lampiran 11 Analisis perubahan pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah
Variabel Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat Perencanaan : • Tujuan Pengelolaan
Adat
Sentra
Sentra
Otda
2.1
-1.4
7
-5.7
6.1
-4.8
Pengorganisasian : • Tugas Pokok dan Fungsi Organisasi
6.2
-4.2
Pengarahan : • Motivasi dan Arahan
5.2
-3
Pengawasan : • Fungsi Pengawasan
4.3
-1.4
•
Keterlibatan Organisasi
•
Tingkat Partisipasi
169
Lampiran 12 Rekapitulasi data efisiensi pengelolaan sumberdaya perikanan di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah
No.
Nama Desa
Kec.
Kab/ Kota
KESEMPATAN MASYARAKAT KEPATUHAN THDP SDP MASYARAKAT
PENGAMBILAN KEPUTUSAN I
II
III
I
II
III
I
II
III
6
1
Hutumuri
Bag.
Ambon
6
5
5
10
10
10
10
5
2
Waiame
Bag.
Ambon
8
4
6
10
10
10
8
6
6
3
Tawiri
Bag.
Ambon
7
5
7
10
10
10
9
5
4
4
Htv. Besar
Bag.
Ambon
8
6
6
10
10
10
9
6
5
5
Waiheru
Bag.
Ambon
7
5
7
10
10
10
9
5
5
6
Passo
Bag.
Ambon
8
6
7
10
10
10
8
6
5
7
Halong
Bag.
Ambon
7
3
8
10
10
10
8
5
4
8
Lateri
Bag.
Ambon
7
6
7
10
10
10
9
6
5
9
Latta
Bag.
Ambon
7
4
5
8
8
8
9
3
5
10
Rutong
Bag.
Ambon
8
5
6
10
10
10
9
6
5
11
Leahari
Bag.
Ambon
7
6
6
10
10
10
9
7
7
12
Htv. Kecil
Siri.
Ambon
7
4
8
10
10
10
9
5
7
13
Hukurila
Siri.
Ambon
8
3
5
10
10
10
8
5
6
14
Naku
Siri.
Ambon
7
4
6
10
10
10
9
5
7
15
Kilang
Siri.
Ambon
7
5
7
10
10
10
10
4
6
16
Galala
Siri.
Ambon
8
4
6
10
10
10
10
5
6
17
Seilale
Nsw.
Ambon
8
5
6
10
10
10
9
5
5
18
Amahusu
Nsw.
Ambon
7
5
7
10
10
10
9
5
7
19
Eri
Nsw.
Ambon
8
6
6
10
10
10
9
5
6
20
Latuhalat
Nsw.
Ambon
7
4
6
10
10
10
8
6
6
21
Seri
Nsw.
Ambon
7
5
5
10
10
10
10
6
6
22
Airlouw
Nsw.
Ambon
6
6
8
10
10
10
9
6
7
23
Paperu
Spr
Malteng
6
3
7
10
10
10
8
4
5
24
Haria
Spr
Malteng
8
5
7
10
10
10
8
6
6
25
Portho
Spr
Malteng
7
6
8
10
10
10
10
5
7
26
Ihamahu
Spr
Malteng
8
5
7
10
10
10
10
5
8
27
Itawaka
Spr
Malteng
8
5
6
10
10
10
10
6
7
28
Noloth
Spr
Malteng
7
4
7
10
10
10
9
5
7
29
Tuhaha
Spr
Malteng
7
6
8
10
10
10
9
6
7
30
Ouw
Spr
Malteng
8
5
6
10
10
10
9
5
6
Keterangan : I = Rezim Adat; II = Rezim Sentralisasi; III = Rezim Otonomi Daerah
170
Lampiran 12 (lanjutan) Nama No. Desa
31 32 33 34 35
Kec. Kab/ Kota
Ulath Spr Sir.Amalatu Spr Sir.Islam Spr Tiouw Spr Booy Spr
PENGAMBILAN KEPUTUSAN
KESEMPATAN MASYARAKAT THDP SDP
KEPATUHAN MASYARAKAT
I
II
III
I
II
III
I
II
III
Malteng Malteng Malteng Malteng Malteng
7 6 7 6 7
4 5 6 6 4
5 6 8 7 7
10 10 10 10 10
10 10 10 10 10
10 10 10 10 10
8 10 10 10 10
5 5 5 7 5
7 6 7 6 7
36 Saparua
Spr
Malteng
7
3
6
10
10
10
9
5
5
37 Mahu
Spr
Malteng
8
5
7
10
10
10
9
6
5
38 Akoon
NL
Malteng
7
6
6
10
10
10
9
5
5
39 Nalahia
NL
Malteng
7
6
8
10
10
10
9
7
5
40 Leinitu
NL
Malteng
6
3
5
10
10
10
8
5
7
41 Sila
NL
Malteng
6
5
7
10
10
10
9
5
6
42 Titawae
NL
Malteng
7
6
8
10
10
10
9
6
5
43 Ameth
NL
Malteng
7
5
7
10
10
10
8
5
7
44 Abubu
NL
Malteng
6
4
6
10
10
10
8
5
6
45 Sameth
Hrk
Malteng
7
5
7
10
10
10
9
5
5
46 Pelauw
Hrk
Malteng
6
3
5
10
10
10
10
6
5
47 Hulaliu
Hrk
Malteng
8
5
6
10
10
10
9
5
7
48 Oma
Hrk
Malteng
7
6
7
10
10
10
9
6
6
49 Haruku
Hrk
Malteng
8
5
5
10
10
10
9
5
6
50 Kariu
Hrk
Malteng
6
3
5
10
10
10
10
5
7
51 Suli
Slht
Malteng
6
5
7
10
10
10
10
6
6
52 Tengah2
Slht
Malteng
7
4
6
10
10
10
9
4
6
53 Tulehu
Slht
Malteng
6
3
5
10
10
10
9
5
6
54 Waai
Slht
Malteng
7
6
8
10
10
10
10
5
5
55 Liang
Slht
Malteng
8
4
7
10
10
10
10
4
5
56 Ariate
Piru Serbar
6
5
6
10
10
10
9
5
6
57 Piru
Piru Serbar
6
5
7
10
10
10
9
5
6
58 Makariki
Amh Malteng
7
5
6
10
10
10
9
6
7
59 Rutah
Amh Malteng
6
3
5
10
10
10
9
5
6
60 Soahuku
Amh Malteng
8
6
6
10
10
10
8
5
4
61 Sepa
Amh Malteng
7
5
7
10
10
10
10
4
6
Total
429
291
394
608
608
608
554
321
362
Rataan
7.03
4.77
6.46
9.97
10
10
9.1
5.26
5.93
Keterangan : I = Rezim Adat; II = Rezim Sentralisasi; III = Rezim Otonomi Daerah
171
Lampiran 13 Rekapitulasi data pemerataan pengelolaan sumberdaya perikanan di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah
No.
Nama Desa Kec.
Kab/ Kota
TINGKAT AKSES
ALAT TANGKAP
KESAMAAN EKONOMI
I
II
III
I
II
III
I
II
1
Hutumuri
Bag.
Ambon
10
10
10
8
5
4
9
6
6
2
Waiame
Bag.
Ambon
10
10
10
5
5
5
8
6
5
3
Tawiri
Bag.
Ambon
10
10
10
6
5
6
8
5
4
4
Htv. Besar
Bag.
Ambon
10
10
10
8
4
4
7
6
5
5
Waiheru
Bag.
Ambon
10
10
10
7
1
5
9
5
4
6
Passo
Bag.
Ambon
10
10
10
6
5
4
7
4
3
7
Halong
Bag.
Ambon
10
10
10
8
4
1
7
5
4
III
8
Lateri
Bag.
Ambon
10
10
10
6
6
7
4
7
8
9
Latta
Bag.
Ambon
8
5
3
7
5
6
6
8
8
10
Rutong
Bag.
Ambon
10
10
10
8
3
7
9
6
5
11
Leahari
Bag.
Ambon
10
10
10
8
5
3
8
5
4
12
Htv. Kecil
Siri.
Ambon
10
10
10
9
6
4
4
7
8
13
Hukurila
Siri.
Ambon
10
10
10
8
7
7
9
7
6
14
Naku
Siri.
Ambon
10
10
10
7
5
6
9
8
6
15
Kilang
Siri.
Ambon
10
10
10
5
6
6
9
6
5
16
Galala
Siri.
Ambon
10
10
10
9
6
4
4
7
8
17
Seilale
Nsw.
Ambon
10
10
10
8
5
5
9
8
7
18
Amahusu
Nsw.
Ambon
10
10
10
8
6
5
3
7
8
19
Eri
Nsw.
Ambon
10
10
10
8
7
5
5
7
8
20
Latuhalat
Nsw.
Ambon
10
10
10
9
6
3
8
6
5
21
Seri
Nsw.
Ambon
10
10
10
9
7
5
9
5
4
22
Airlouw
Nsw.
Ambon
10
10
10
9
6
6
9
6
5
23
Paperu
Spr
Malteng
10
10
10
10
5
3
9
5
4
24
Haria
Spr
Malteng
10
10
10
10
6
5
2
7
8
25
Portho
Spr
Malteng
10
10
10
9
6
6
8
5
4
26
Ihamahu
Spr
Malteng
10
10
10
9
6
4
4
7
8
27
Itawaka
Spr
Malteng
8
8
8
7
6
3
3
6
7
28
Noloth
Spr
Malteng
10
10
10
10
5
3
9
5
4
29
Tuhaha
Spr
Malteng
10
10
10
9
6
4
8
8
8
30
Ouw
Spr
Malteng
10
10
10
10
6
4
7
4
3
Keterangan: I = Rezim Adat; II = Rezim Sentralisasi; III = Rezim Otonomi Daerah
172
Lampiran 13 (lanjutan)
No. Nama Desa
Kec.
Kab/ Kota
TINGKAT AKSES
ALAT TANGKAP
I
II
III
KESAMAAN EKONOMI
I
II
III
I
II
III
31 Ulath
Spr
Malteng
10
10
10
9
5
5
8
5
4
32 Sir.Amalatu 33 Sir.Islam
Spr Spr
Malteng Malteng
10 10
10 10
10 10
10 10
5 6
4 3
3 8
7 4
8 3
34 Tiouw
Spr
Malteng
10
10
10
9
5
5
9
5
4
35 Booy
Spr
Malteng
10
10
10
8
6
3
3
7
8
36 Saparua
Spr
Malteng
10
10
10
9
6
6
9
4
3
37 Mahu
Spr
Malteng
10
10
10
9
5
3
8
6
7
38 Akoon
NL
Malteng
10
10
10
8
4
6
8
4
3
39 Nalahia
NL
Malteng
10
10
10
9
5
7
7
5
4
40 Leinitu
NL
Malteng
10
10
10
8
5
7
6
3
3
41 Sila
NL
Malteng
10
10
10
7
3
6
6
3
3
42 Titawae
NL
Malteng
10
10
10
9
4
2
7
5
4
43 Ameth
NL
Malteng
10
10
10
9
6
6
8
6
5
44 Abubu
NL
Malteng
10
10
10
7
7
8
8
5
5
45 Sameth
Hrk
Malteng
10
10
10
9
4
3
4
7
8 8
46 Pelauw
Hrk
Malteng
10
10
10
9
7
4
6
8
47 Hulaliu
Hrk
Malteng
10
10
10
8
5
3
8
5
3
48 Oma
Hrk
Malteng
10
10
10
9
6
5
6
7
8
49 Haruku
Hrk
Malteng
10
10
10
9
5
5
4
7
8
50 Kariu
Hrk
Malteng
10
10
10
8
3
2
3
8
9
51 Suli
Slht
Malteng
10
10
10
6
5
6
9
6
5
52 Tengah2
Slht
Malteng
10
10
10
9
6
5
5
7
8
53 Tulehu
Slht
Malteng
10
10
10
8
10
8
8
3
2
54 Waai
Slht
Malteng
10
10
10
10
4
4
5
7
8
55 Liang
Slht
Malteng
10
10
10
9
6
3
8
3
2
56 Ariate
Piru
Serbar
10
10
10
8
5
2
9
4
3
57 Piru
Piru
Serbar
10
10
10
8
6
2
6
7
8
58 Makariki
Amh
Malteng
10
10
10
9
8
6
8
4
2
59 Rutah
Amh
Malteng
10
10
10
8
5
2
7
5
4
60 Soahuku
Amh
Malteng
10
10
10
9
5
3
8
4
3
61 Sepa
Amh
Malteng
Total Rataan
10
10
10
8
4
5
8
6
5
606
603
601
505
327
279
420
351
330
9.85 8.28
5.4
4.6
6.9
5.75
5.41
9.9344 9.89
Keterangan : I = Rezim Adat; II = Rezim Sentralisasi; III = Rezim Otonomi Daerah
173
Lampiran 14 Rekapitulasi data keberlanjutan sosial ekonomi pengelolaan sumberdaya perikanan di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah
No.
Nama Desa Kec.
Kab/ Kota
KEBERSAMAAN MASYARAKAT
KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA
KERUKUNAN NELAYAN
I
II
III
I
II
III
I
II
III
1
Hutumuri
Bag.
Ambon
10
7
5
6
7
8
9
7
7
2
Waiame
Bag.
Ambon
9
6
6
5
7
9
5
7
8
3
Tawiri
Bag.
Ambon
8
8
8
5
8
8
8
7
7
4
Htv. Besar
Bag.
Ambon
9
7
6
5
7
8
10
8
7
5
Waiheru
Bag.
Ambon
8
6
4
4
6
8
8
8
7
6
Passo
Bag.
Ambon
9
7
7
5
7
9
8
7
6
7
Halong
Bag.
Ambon
8
6
5
6
6
7
9
8
6
8
Lateri
Bag.
Ambon
8
7
7
5
7
8
9
7
7
9
Latta
Bag.
Ambon
9
6
4
2
7
8
9
6
5
10
Rutong
Bag.
Ambon
9
7
5
7
8
8
3
7
7
11
Leahari
Bag.
Ambon
9
7
6
3
5
7
10
8
6
12
Htv. Kecil
Siri.
Ambon
9
7
5
5
7
8
8
8
7
13
Hukurila
Siri.
Ambon
10
8
6
6
7
7
10
7
6
14
Naku
Siri.
Ambon
9
8
6
4
7
8
10
8
6
15
Kilang
Siri.
Ambon
8
8
8
7
7
8
10
8
7
16
Galala
Siri.
Ambon
9
7
6
5
8
9
8
7
6
17
Seilale
Nsw.
Ambon
9
8
8
6
7
9
10
8
7
18
Amahusu
Nsw.
Ambon
9
7
7
6
7
8
9
7
5
19
Eri
Nsw.
Ambon
10
8
8
7
8
9
8
6
6
20
Latuhalat
Nsw.
Ambon
9
8
6
6
8
8
9
8
5
21
Seri
Nsw.
Ambon
9
6
4
6
7
8
4
6
7
22
Airlouw
Nsw.
Ambon
9
7
6
3
7
7
9
6
6
23
Paperu
Spr
Malteng
9
6
5
5
7
8
9
7
6
24
Haria
Spr
Malteng
9
8
6
4
6
7
9
8
6
25
Portho
Spr
Malteng
9
7
7
6
7
8
10
7
6
26
Ihamahu
Spr
Malteng
10
8
6
5
7
7
9
8
7
27
Itawaka
Spr
Malteng
9
5
3
2
6
8
5
8
8
28
Noloth
Spr
Malteng
10
8
8
6
8
8
10
8
8
29
Tuhaha
Spr
Malteng
9
5
3
3
6
8
9
4
3
30
Ouw
Spr
Malteng
10
7
6
6
8
9
10
8
7
Keterangan : I = Rezim Adat; II = Rezim Sentralisasi; III = Rezim Otonomi Daerah
174
Lampiran 14 (lanjutan) Nama No. Desa
31 Ulath
Kec. Kab/ Kota
KEBERSAMAAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT RUMAH TANGGA
KERUKUNAN NELAYAN
I
II
III
I
II
III
I
II
III
Spr
Malteng
9
8
6
4
7
7
9
7
6
32 Sir.Amalatu Spr
Malteng
9
8
8
3
6
8
10
8
8
33 Sir.Islam
Spr
Malteng
9
9
9
5
7
8
10
8
8
34 Tiouw
Spr
Malteng
9
7
7
4
6
8
9
7
5
35 Booy
Spr
Malteng
9
6
5
2
5
8
9
8
6
36 Saparua
Spr
Malteng
9
7
6
5
7
9
9
6
5
37 Mahu
Spr
Malteng 10
8
8
4
6
8
10
8
8
38 Akoon
NL
Malteng
9
8
8
3
6
8
9
8
7
39 Nalahia
NL
Malteng
9
7
7
4
6
8
10
8
6
40 Leinitu
NL
Malteng 10
8
7
5
7
8
9
7
6
41 Sila
NL
Malteng
9
8
7
6
7
8
9
7
6
42 Titawae
NL
Malteng
9
6
4
4
6
7
10
6
4
43 Ameth
NL
Malteng
8
8
8
5
8
8
9
8
6
44 Abubu
NL
Malteng
9
9
8
4
6
8
9
7
7
45 Sameth
Hrk
Malteng
8
8
7
3
6
7
9
6
8
46 Pelauw
Hrk
Malteng 10
9
7
6
7
9
8
8
6
47 Hulaliu
Hrk
Malteng
9
6
8
3
6
8
6
8
8
48 Oma
Hrk
Malteng
9
8
7
5
7
7
9
7
6
49 Haruku
Hrk
Malteng
9
7
7
4
7
8
9
8
7
50 Kariu
Hrk
Malteng
8
8
7
6
6
8
8
7
6
51 Suli
Slht
Malteng
8
7
6
4
7
7
9
7
7
52 Tengah2
Slht
Malteng
9
8
8
5
8
8
6
7
8
53 Tulehu
Slht
Malteng 10
8
7
3
6
7
9
8
6
54 Waai
Slht
Malteng 10
8
8
6
8
8
10
7
7
55 Liang
Slht
Malteng
9
7
6
4
7
8
9
8
6
56 Ariate
Piru Serbar
9
7
5
2
6
7
8
6
5
57 Piru
Piru Serbar
9
7
7
4
7
8
9
7
4
58 Makariki
Amh Malteng 10
8
8
6
8
8
10
8
6
59 Rutah
Amh Malteng
9
6
7
5
7
7
5
7
8
60 Soahuku
Amh Malteng
9
7
5
3
6
8
4
6
8
61 Sepa
Amh Malteng 10
8
8
4
7
7
10
8
6
Total
553 444 393
282
416
481
523
443
392
Rataan
9.06 7.28 4.62
6.8
6.8
7.9
8.6
7.26
6.43
Keterangan : I = Rezim Adat; II = Rezim Sentralisasi; III = Rezim Otonomi Daerah
175
Lampiran 15 Rekapitulasi data keberlanjutan biologi pengelolaan sumberdaya perikanan di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah
No.
Nama Desa Kec.
Kab/ Kota
KONDISI HASIL TANGKAPAN IKAN
KONDISI SDP I
II
III
I
II
III
5
1
Hutumuri
Bag.
Ambon
10
7
5
9
7
2
Waiame
Bag.
Ambon
10
6
3
8
7
6
3
Tawiri
Bag.
Ambon
9
5
6
8
6
4
4
Htv. Besar
Bag.
Ambon
10
7
5
9
6
5
5
Waiheru
Bag.
Ambon
10
4
6
8
7
6
6
Passo
Bag.
Ambon
10
6
4
8
7
7
7
Halong
Bag.
Ambon
9
6
7
8
6
6
8
Lateri
Bag.
Ambon
10
5
3
9
6
5
9
Latta
Bag.
Ambon
9
6
2
9
3
2
10
Rutong
Bag.
Ambon
10
7
4
8
6
6
11
Leahari
Bag.
Ambon
10
6
5
9
8
7 4
12
Htv. Kecil
Siri.
Ambon
10
7
4
8
6
13
Hukurila
Siri.
Ambon
10
7
5
8
7
7
14
Naku
Siri.
Ambon
10
5
4
8
6
5
15
Kilang
Siri.
Ambon
10
7
6
8
6
6
16
Galala
Siri.
Ambon
10
4
5
8
5
4
17
Seilale
Nsw.
Ambon
9
5
6
8
6
5
18
Amahusu
Nsw.
Ambon
10
7
5
9
7
6
19
Eri
Nsw.
Ambon
10
6
5
8
6
5
20
Latuhalat
Nsw.
Ambon
10
5
6
9
8
7
21
Seri
Nsw.
Ambon
10
7
8
9
8
6
22
Airlouw
Nsw.
Ambon
10
6
4
8
6
5
23
Paperu
Spr
Malteng
10
7
8
10
8
8
24
Haria
Spr
Malteng
9
7
6
10
8
6
25
Portho
Spr
Malteng
10
6
3
9
6
5
26
Ihamahu
Spr
Malteng
10
7
8
9
7
7
27
Itawaka
Spr
Malteng
9
6
4
9
6
4
28
Noloth
Spr
Malteng
10
7
8
10
7
7
29
Tuhaha
Spr
Malteng
10
5
4
9
3
4
30
Ouw
Spr
Malteng
10
7
4
9
7
6
Keterangan : I = Rezim Adat; II = Rezim Sentralisasi; III = Rezim Otonomi Daerah
176
Lampiran 15 (lanjutan) Nama No. Desa
31 Ulath
Kec. Kab/ Kota
KONDISI HASIL TANGKAPAN IKAN
KONDISI SDP I
II
III
I
II
III
Spr
Malteng
9
6
4
9
7
7
32 Sir.Amalatu Spr
Malteng
10
5
6
10
7
6
33 Sir.Islam
Spr
Malteng
10
6
7
9
6
6
34 Tiouw
Spr
Malteng
10
5
4
8
5
4
35 Booy
Spr
Malteng
10
6
4
8
6
5
36 Saparua
Spr
Malteng
10
5
1
8
5
5
37 Mahu
Spr
Malteng
10
8
5
8
7
6
38 Akoon
NL
Malteng
10
5
6
8
6
6
39 Nalahia
NL
Malteng
9
6
5
9
7
6
40 Leinitu
NL
Malteng
9
7
5
9
6
6
41 Sila
NL
Malteng
10
8
7
9
7
6
42 Titawae
NL
Malteng
9
6
5
9
6
5
43 Ameth
NL
Malteng
10
5
6
9
8
7
44 Abubu
NL
Malteng
10
6
7
9
7
4
45 Sameth
Hrk
Malteng
9
6
5
9
6
5
46 Pelauw
Hrk
Malteng
10
7
7
9
7
7
47 Hulaliu
Hrk
Malteng
9
4
7
10
8
6
48 Oma
Hrk
Malteng
9
6
4
9
7
7
49 Haruku
Hrk
Malteng
10
7
5
9
6
5
50 Kariu
Hrk
Malteng
10
6
3
8
5
3
51 Suli
Slht
Malteng
10
5
7
9
6
4
52 Tengah2
Slht
Malteng
10
7
6
9
7
5
53 Tulehu
Slht
Malteng
10
5
6
9
5
3
54 Waai
Slht
Malteng
10
7
5
10
8
6
55 Liang
Slht
Malteng
10
5
6
9
6
4
56 Ariate
Piru Serbar
10
6
6
9
5
3
57 Piru
Piru Serbar
10
7
5
10
6
5
58 Makariki
Amh Malteng
10
6
8
9
7
6
59 Rutah
Amh Malteng
10
7
6
8
5
5
60 Soahuku
Amh Malteng
10
6
5
8
6
4
61 Sepa
Amh Malteng
10
8
6
9
7
5
Total
597 372 322
Rataan
9.79
6.1
534 389 328
5.3 8.75
6.4
5.4
Keterangan : I = Rezim Adat; II = Rezim Sentralisasi; III = Rezim Otonomi Daerah
177
Lampiran 16 Urutan kerja uji Friedman untuk pengaruh perubahan sistem pemerintahan desa terhadap kinerja pengelolaan sumberdaya perikanan.
Langkah 1 (Rata-rata per variabel pada rezim ke...) I II III 9.79 6.10 5.28 8.75 6.38 5.38 9.07 7.28 6.44 4.62 6.82 7.89 8.57 7.26 6.43 7.39 5.52 4.11 6.93 5.75 5.41 9.97 9.97 9.97 9.93 9.89 9.85 9.08 5.26 5.93 7.03 4.77 6.46
Langkah 2 (Beri peringkat per variabel antar rezim) I II III 3 2 1 3 2 1 3 2 1 1 2 3 3 2 1 3 2 1 3 2 1 2 2 2 3 2 1 3 1 2 3 1 2
Langkah 3 (Jumlahkan peringkat varibel pada rezim)
Langkah 4 (Masukkan ke rumus)
Jumlah
I 3 3 3 1 3 3 3 1.5 3 3 3 29.50
II 2 2 2 2 2 2 2 1.5 2 1 1 19.50
Mean Rank Adat Sentralisasi Otda
⎛ 3 ⎞ ⎟ ⎜ 1 ⎜ χ2 = R j 2 ⎟ − 132 ⎟ 11 ⎜ ⎜ j =1 ⎟ ⎝ ⎠
∑
III 1 1 1 3 1 1 1 1.5 1 2 2 15.50
2.73 1.82 1.45
N
11
Chi-Square
10.400
df
2
Asymp. Sig.
.006
χ (2k −1)(1−α ) = 5.991 2 2 χ hitung > χ tabel Keputusan : tolak H0
178
Lampiran 17 Analisis perubahan kinerja pengelolaan sumberdaya perikanan di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah Variabel kinerja Pengelolaan Perikanan
Adat
Sentra
Sentra
Otda
Efisiensi : • Pengambilan Keputusan Nelayan
-2.26
1.69
• Kesempatan Masyarakat
0.00
0.00
• Kepatuhan Masyarakat
-3.80
0.63
Pemerataan : • Tingkat Aksesibilitas
-0.04
-0.04
•
Kepemilikkan Alat Tangkap
-2.94
-0.79
•
Tingkat Kesamaan Ekonomi
-1.33
-0.39
-1.82
-0.84
2.20
1.09
-1.30
-0.90
Keberlanjutan Biologi : • Kondisi Sumberdaya Perikanan
-3.69
-0.80
•
-2.35
-1.00
Keberlanjutan Sosial ekonomi : • Kersamaan Masyarakat •
Tingkat Kesejahteraan
•
Kerukunan Nelayan
Kondisi Hasil tangkapan
179
Lampiran 18 Kinerja pengelolaan perikanan pada desa sasi laut dan desa non sasi laut EFISIENSI PENGELOLAAN PERIKANAN DI DESA SASI LAUT Nama Desa
KESEMPATAN II
III
II
III
II
III
1
Rutong
10
10
6
5
5
6
2
Paperu
10
10
4
5
3
7
3
Ihamahu
10
10
5
8
5
7
4
Itawaka
8
8
6
7
5
6
5
Noloth
10
10
5
7
4
7
6
Ouw
10
10
5
6
5
6
7
Ulath
10
10
5
7
4
5
8
Sir.Islam
10
10
5
7
6
8
No.
KEPATUHAN
PENGAMBILAN PTSN
9
Ameth
10
10
5
7
5
7
10
Sameth
10
10
5
5
5
7
11
Pelauw
10
10
6
5
3
5
12
Hulaliu
10
10
5
7
5
6
13
Haruku
10
10
5
6
5
5
14
Tengah2
10
10
4
6
4
6
15
Tulehu
10
10
5
6
3
5
16
Makariki
10
10
6
7
5
6
9.88
9.88
5.13
6.31
4.50
6.19
180
Lampiran 18 (lanjutan) PEMERATAAN PENGELOLAAN PERIKANAN DI DESA SASI LAUT Nama Desa
ALAT TANGKAP II
III
II
III
II
III
1
Rutong
8
8
6
5
10
10
2
Paperu
7
5
5
4
10
10
3
Ihamahu
6
6
7
8
10
10
4
Itawaka
6
8
6
7
10
10
5
Noloth
6
3
5
4
10
10
6
Ouw
6
4
4
3
10
10
7
Ulath
7
6
5
4
10
10
8
Sir.Islam
6
3
4
3
10
10
9
Ameth
6
4
6
5
10
10
10
Sameth
5
3
7
8
10
10
11
Pelauw
7
4
8
8
10
10
12
Hulaliu
5
3
5
3
10
10
13
Haruku
5
5
7
8
10
10
14
Tengah2
6
5
7
8
10
10
15
Tulehu
8
8
3
2
10
10
16
Makariki
8
6
4
2
10
10
6.38
5.06
5.56
5.13
10.00
10.00
No.
KESAMAAN
TINGKAT AKSES
KEBERLANJUTAN SOSEK PENGELOLAAN PERIKANAN DI DESA SASI LAUT Nama Desa
KEBERSAMAAN II
III
II
III
II
III
1
Rutong
7
5
8
8
7
7
2
Paperu
6
5
7
8
7
6
3
Ihamahu
8
6
7
7
8
7
4
Itawaka
5
3
6
8
8
8
5
Noloth
8
8
8
8
8
8
6
Ouw
7
6
8
9
8
7
7
Ulath
8
6
7
7
7
6
8
Sir.Islam
9
9
7
8
8
8
9
Ameth
8
8
8
8
8
6
10
Sameth
8
7
6
7
6
8
11
Pelauw
9
7
7
9
8
6
12
Hulaliu
6
8
6
8
8
8
13
Haruku
7
7
7
8
8
7
14
Tengah2
8
8
8
8
7
8
15
Tulehu
8
7
6
7
8
6
16
Makariki
8
8
8
8
8
6
7.50
6.75
7.13
7.88
7.63
7.00
No.
KESEJAHTERAAN
KERUKUNAN
181
Lampiran 18 (lanjutan) KEBERLANJUTAN BIOLOGI PENGELOLAAN PERIKANAN DI DESA SASI LAUT Nama Desa
No.
KONDISI SDP
KONDISI HSL TGKPN
II
III
II
III
1
Rutong
7
4
6
6
2
Paperu
7
8
8
8
3
Ihamahu
7
8
7
7
4
Itawaka
6
4
6
4
5
Noloth
7
8
7
7
6
Ouw
7
4
7
6
7
Ulath
6
4
7
7
8
Sir.Islam
6
7
6
6
9
Ameth
5
6
8
7
10
Sameth
6
5
6
5
11
Pelauw
7
7
7
7
12
Hulaliu
4
7
8
6
13
Haruku
7
5
6
5
14
Tengah2
7
6
7
5
15
Tulehu
5
6
5
3
16
Makariki
6
8
7
6
6.25
6.06
6.75
5.94
182
EFISIENSI PENGELOLAAN PERIKANAN DI DESA NON SASI Nama Desa
KESEMPATAN II
III
II
III
II
III
1
Hutumuri
10
10
5
6
5
5
2
Waiame
10
10
6
6
4
6
3
Tawiri
10
10
5
4
5
7
4
Htv. Besar
10
10
6
5
6
6
5
Waiheru
10
10
5
5
5
7
6
Passo
10
10
6
5
6
7
7
Halong
10
10
5
4
3
8
8
Lateri
10
10
6
5
6
7
9
Latta
5
3
3
5
4
5
10
Leahari
10
10
7
7
6
6
11
Htv. Kecil
10
10
5
7
4
8
12
Hukurila
10
10
5
6
3
5
13
Naku
10
10
5
7
4
6
14
Kilang
10
10
4
6
5
7
15
Galala
10
10
5
6
4
6
16
Seilale
10
10
5
5
5
6
17
Amahusu
10
10
5
7
5
7
18
Eri
10
10
5
6
6
6
19
Latuhalat
10
10
6
6
4
6
20
Seri
10
10
6
6
5
5
21
Airlouw
10
10
6
7
6
8
22
Haria
10
10
6
6
5
7
23
Portho
10
10
5
7
6
8
24
Tuhaha
10
10
6
7
6
8
25
Sir.Amalatu
10
10
5
6
5
6
26
Tiouw
10
10
7
6
6
7
27
Booy
10
10
5
7
4
7
28
Saparua
10
10
5
5
3
6
29
Mahu
10
10
6
5
5
7
30
Akoon
10
10
5
5
6
6
31
Nalahia
10
10
7
5
6
8
32
Leinitu
10
10
5
7
3
5
33
Sila
10
10
5
6
5
7
34
Titawae
10
10
6
5
6
8
35
Abubu
10
10
5
6
4
6
36
Oma
10
10
6
6
6
7
37
Kariu
10
10
5
7
3
5
No.
KEPATUHAN
PENGAMBILAN PTSN
38
Suli
10
10
6
6
5
7
39
Waai
10
10
5
5
6
8
40
Liang
10
10
4
5
4
7
41
Ariate
10
10
5
6
5
6
42
Piru
10
10
5
6
5
7
43
Rutah
10
10
5
6
3
5
44
Soahuku
10
10
5
4
6
6
45
Sepa
10
10
4
6
5
7
9.89
9.84
5.31
5.80
4.87
6.56
183
PEMERATAAN PENGELOLAAN PERIKANAN DI DESA NON SASI No. 1
Nama Desa
ALAT TANGKAP II
III
II
III
II
III
Hutumuri
5
3
6
6
10
10
KESAMAAN
TINGKAT AKSES
2
Waiame
2
2
6
5
10
10
3
Tawiri
2
2
5
4
10
10
4
Htv. Besar
1
1
6
5
10
10
5
Waiheru
1
1
5
4
10
10
6
Passo
5
3
4
3
10
10
7
Halong
4
5
5
4
10
10
8
Lateri
6
4
7
8
10
10
9
Latta
8
8
8
8
8
8
10
Leahari
5
3
5
4
10
10
11
Htv. Kecil
6
4
7
8
10
10
12
Hukurila
7
7
7
6
10
10
13
Naku
5
6
8
6
10
10
14
Kilang
6
6
6
5
10
10
15
Galala
6
4
7
8
10
10
16
Seilale
5
5
8
7
10
10
17
Amahusu
6
5
7
8
10
10
18
Eri
7
5
7
8
10
10
19
Latuhalat
6
3
6
5
10
10
20
Seri
6
8
5
4
10
10
21
Airlouw
5
2
6
5
10
10
22
Haria
6
8
7
8
10
10
23
Portho
5
3
5
4
10
10
24
Tuhaha
6
8
8
8
10
10
25
Sir.Amalatu
5
4
7
8
10
10
26
Tiouw
5
2
5
4
10
10
27
Booy
6
3
7
8
10
10
28
Saparua
6
2
4
3
10
10
29
Mahu
5
2
6
7
10
10
30
Akoon
4
3
4
3
10
10
31
Nalahia
5
2
5
4
10
10
32
Leinitu
3
1
3
3
10
10
33
Sila
3
1
3
3
10
10
34
Titawae
5
3
5
4
10
10
35
Abubu
7
8
5
5
10
10
36
Oma
6
4
7
8
10
10
37
Kariu
4
2
8
9
10
10
38
Suli
6
6
6
5
10
10
39
Waai
8
4
7
8
10
10
40
Liang
6
3
3
2
10
10
41
Ariate
5
2
4
3
10
10
42
Piru
6
2
7
8
10
10
43
Rutah
5
2
5
4
10
10
44
Soahuku
6
3
4
3
10
10
45
Sepa
8
5
6
5
10
10
5.22
3.78
5.82
5.51
9.96
9.96
184
KEBERLANJUTAN SOSEK PENGELOLAAN PERIKANAN DI DESA NON SASI Nama Desa
KEBERSAMAAN II
III
II
III
II
III
1
Hutumuri
7
5
7
8
7
7
2
Waiame
6
6
7
9
7
8
3
Tawiri
8
8
8
8
7
7
4
Htv. Besar
7
6
7
8
8
7
5
Waiheru
6
4
6
8
8
7
6
Passo
7
7
7
9
7
6
7
Halong
6
5
6
7
8
6
8
Lateri
7
7
7
8
7
7
9
Latta
6
4
7
8
6
5
10
Leahari
7
6
5
7
8
6
11
Htv. Kecil
7
5
7
8
8
7
12
Hukurila
8
6
7
7
7
6
13
Naku
8
6
7
8
8
6
14
Kilang
8
8
7
8
8
7
15
Galala
7
6
8
9
7
6
16
Seilale
8
8
7
9
8
7
17
Amahusu
7
7
7
8
7
5
18
Eri
8
8
8
9
6
6
19
Latuhalat
8
6
8
8
8
5
20
Seri
6
4
7
8
6
7
21
Airlouw
7
6
7
7
6
6
22
Haria
8
6
6
7
8
6
23
Portho
7
7
7
8
7
6
24
Tuhaha
5
3
6
8
4
3
25
Sir.Amalatu
8
8
6
8
8
8
26
Tiouw
7
7
6
8
7
5
27
Booy
6
5
5
8
8
6
28
Saparua
7
6
7
9
6
5
29
Mahu
8
8
6
8
8
8
30
Akoon
8
8
6
8
8
7
31
Nalahia
7
7
6
8
8
6
32
Leinitu
8
7
7
8
7
6
33
Sila
8
7
7
8
7
6
34
Titawae
6
4
6
7
6
4
35
Abubu
9
8
6
8
7
7
36
Oma
8
7
7
7
7
6
37
Kariu
8
7
6
8
7
6
38
Suli
7
6
7
7
7
7
39
Waai
8
8
8
8
7
7
40
Liang
7
6
7
8
8
6
41
Ariate
7
5
6
7
6
5
42
Piru
7
7
7
8
7
4
No.
KESEJAHTERAAN
KERUKUNAN
43
Rutah
6
7
7
7
7
8
44
Soahuku
7
5
6
8
6
8
45
Sepa
8
8
7
7
8
6
7.20
6.33
6.71
7.89
7.13
6.22
185
KEBERLANJUTAN BIOLOGI PENGELOLAAN PERIKANAN DI DESA NON SASI Nama Desa
No.
KONDISI SDP
KONDISI HSL TGKPN
II
III
II
III
7
5
7
5
1
Hutumuri
2
Waiame
6
3
7
6
3
Tawiri
5
6
6
4
4
Htv. Besar
7
5
6
5
5
Waiheru
4
6
7
6
6
Passo
6
4
7
7
7
Halong
6
7
6
6
8
Lateri
5
3
6
5
9
Latta
6
2
3
2
10
Leahari
6
5
8
7
11
Htv. Kecil
7
4
6
4
12
Hukurila
7
5
7
7
13
Naku
5
4
6
5
14
Kilang
7
6
6
6
15
Galala
4
5
5
4
16
Seilale
5
6
6
5
17
Amahusu
7
5
7
6
18
Eri
6
5
6
5
19
Latuhalat
5
6
8
7
20
Seri
7
8
8
6
21
Airlouw
6
4
6
5
22
Haria
7
6
8
6
23
Portho
6
3
6
5
24
Tuhaha
5
4
3
4
25
Sir.Amalatu
5
6
7
6
26
Tiouw
5
4
5
4
27
Booy
6
4
6
5
28
Saparua
5
1
5
5
29
Mahu
8
5
7
6
30
Akoon
5
6
6
6
31
Nalahia
6
5
7
6
32
Leinitu
7
5
6
6
33
Sila
8
7
7
6
34
Titawae
6
5
6
5
35
Abubu
6
7
7
4
36
Oma
6
4
7
7
37
Kariu
6
3
5
3
38
Suli
5
7
6
4
39
Waai
7
5
8
6
40
Liang
5
6
6
4
41
Ariate
6
6
5
3
42
Piru
7
5
6
5
43
Rutah
7
6
5
5
44
Soahuku
6
5
6
4
45
Sepa
8
6
7
5
6.04
5.00
6.24
5.18
186
Lampiran 19 Urutan kerja uji Mann-Whitney pada rezim sentralisasi
Rezim Sentralisasi Langkah 1 (Rata-rata per variabel pada rezim sentralisasi) Non Sasi sasi Kesempatan 9.88 9.89 Kepatuhan 5.13 5.31 Pengambilan Keputusan 4.50 4.87 Alat Tangkap 6.38 5.22 Kesamaan 5.56 5.82 Tingkat Akses 10.00 9.96 Kebersamaan 7.50 7.20 Kesejahteraan 7.13 6.71 Kerukunan 7.63 7.13 Kondisi SDP 6.25 6.04 Kondisi Hasil Tangkapan 6.75 6.24
Langkah 2 (Gabungkan) 9.88 5.13 4.50 6.38 5.56 10.00 7.50 7.13 7.63 6.25 6.75 9.89 5.31 4.87 5.22 5.82 9.96 7.20 6.71 7.13 6.04 6.24
sasi sasi sasi sasi sasi sasi sasi sasi sasi sasi sasi non non non non non non non non non non non
187
Langkah 3 (Urutkan kecil-besar) 4.50 sasi 4.87 non 5.13 sasi 5.22 non 5.31 non 5.56 sasi 5.82 non 6.04 non 6.24 non 6.25 sasi 6.38 sasi 6.71 non 6.75 sasi 7.13 sasi 7.13 non 7.20 non 7.50 sasi 7.63 sasi 9.88 sasi 9.89 non 9.96 non 10.00 sasi
4.87 5.22 5.31 5.82 6.04 6.24 6.71 7.13 7.20 9.89 9.96
Langkah 5 (pisahkan, jumlahkan peringkat) non 2 4.50 Sasi non 4 5.13 Sasi non 5 5.56 Sasi non 7 6.25 Sasi non 8 6.38 Sasi non 9 6.75 Sasi non 12 7.13 Sasi non 15 7.50 Sasi non 16 7.63 Sasi non 20 9.88 Sasi non 21 10.00 Sasi 119
Langkah 6 (masukkan ke rumus)
T=
Langkah 4 (Beri peringkat) 4.50 sasi 1 4.87 non 2 5.13 sasi 3 5.22 non 4 5.31 non 5 5.56 sasi 6 5.82 non 7 6.04 non 8 6.24 non 9 6.25 sasi 10 6.38 sasi 11 6.71 non 12 6.75 sasi 13 7.13 sasi 14 7.13 non 15 7.20 non 16 7.50 sasi 17 7.63 sasi 18 9.88 sasi 19 9.89 non 20 9.96 non 21 10.00 sasi 22
S − J (J + 1) 2
1 3 6 10 11 13 14 17 18 19 22 134
188
Sasi Non Sasi Total
N
Mean Rank
11 11 22
12.23 10.77
Test Statistics(b) VAR000 05 Mann-Whitney U 52.500 Wilcoxon W 118.500 Z -.525 Asymp. Sig. (2.599 tailed) Exact Sig. [2*(1.606(a) tailed Sig.)] Keputusan : terima H0
Sum of Ranks 134.50 118.50
189
Lampiran 20 Urutan kerja uji Mann-Whitney pada rezim otonomi daerah
Rezim Otonomi Daerah Langkah 1 (Rata-rata per variabel pada rezim otonomi daerah) Non Sasi sasi Kesempatan 9.88 9.84 Kepatuhan 6.31 5.80 Pengambilan Keputusan 6.19 6.56 Alat Tangkap 5.06 3.78 Kesamaan 5.13 5.51 Tingkat Akses 10.00 9.96 Kebersamaan 6.75 6.33 Kesejahteraan 7.88 7.89 Kerukunan 7.00 6.22 Kondisi SDP 6.06 5.00 Kondisi Hasil Tangkapan 5.94 5.18
Langkah 2 (Gabungkan) 9.88 6.31 6.19 5.06 5.13 10.00 6.75 7.88 7.00 6.06 5.94 9.84 5.80 6.56 3.78 5.51 9.96 6.33 7.89 6.22 5.00 5.18
sasi sasi sasi sasi sasi sasi sasi sasi sasi sasi sasi non non non non non non non non non non non
190
Langkah 3 (Urutkan kecil-besar) 3.78 non 5.00 non 5.06 sasi 5.13 sasi 5.18 non 5.51 non 5.80 non 5.94 sasi 6.06 sasi 6.19 sasi 6.22 non 6.31 sasi 6.33 non 6.56 non 6.75 sasi 7.00 sasi 7.88 sasi 7.89 non 9.84 non 9.88 sasi 9.96 non 10.00 sasi
3.78 5.00 5.18 5.51 5.80 6.22 6.33 6.56 7.89 9.84 9.96
Langkah 5 (pisahkan, jumlahkan peringkat) non 1 5.06 sasi non 2 5.13 sasi non 5 5.94 sasi non 6 6.06 sasi non 7 6.19 sasi non 11 6.31 sasi non 13 6.75 sasi non 14 7.00 sasi non 18 7.88 sasi non 19 9.88 sasi non 21 10.00 sasi 117
Langkah 6 (masukkan ke rumus)
T=
Langkah 4 (Beri peringkat) 3.78 non 1 5.00 non 2 5.06 sasi 3 5.13 sasi 4 5.18 non 5 5.51 non 6 5.80 non 7 5.94 sasi 8 6.06 sasi 9 6.19 sasi 10 6.22 non 11 6.31 sasi 12 6.33 non 13 6.56 non 14 6.75 sasi 15 7.00 sasi 16 7.88 sasi 17 7.89 non 18 9.84 non 19 9.88 sasi 20 9.96 non 21 10.00 sasi 22
S − J (J + 1) 2
3 4 8 9 10 12 15 16 17 20 22 136
191
Sasi Non Sasi Total
N
Mean Rank
11 11 22
12.36 10.64
Test Statistics(b) VAR000 08 Mann-Whitney U 51.000 Wilcoxon W 117.000 Z -.624 Asymp. Sig. (2.533 tailed) Exact Sig. [2*(1.562(a) tailed Sig.)] Keputusan : terima H0 Keputusan terima H0 karena Wα < Mann-Whitney U < W1-α Wα diperoleh dari tabel sedangkan W1-α = n1n2 - Wα
Sum of Ranks 136 117