DAMPAK PERUBAHAN PRANATA SOSIAL TERHADAP KESEJAHTERAAN PETANI (Kasus: Pengambilalihan Lahan dan Konversi Tanaman Komoditi)
RIZKI BUDI UTAMI
SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Perubahan Pranata Sosial terhadap Kesejahteraan Petani (Kasus: Pengambilalihan Lahan dan Konversi Tanaman Komoditi) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013 Rizki Budi Utami NIM I34090122
ABSTRAK RIZKI BUDI UTAMI. Dampak Perubahan Pranata Sosial terhadap Kesejahteraan Petani (Kasus: Pengambilalihan Lahan dan Konversi Tanaman Komoditi). Dibimbing oleh ENDRIATMO SOETARTO. Kasus pengambilalihan lahan pertanian menyebabkan berbagai masalah bagi masyarakat di sekitar lahan, khusunya petani. Saat ini pengambilalihan lahan pertanian biasanya dilakukan oleh perusahaan perkebunan yang bertujuan untuk mengonversi komoditi yang ada pada lahan tersebut. Konversi tanaman komoditi telah menyebabkan perubahan pranata sosial pertanian Desa Kumpay. Terdapat perbedaan yang cukup jelas pada pranata usaha tani nanas dengan kelapa sawit. Jika pranata pertanian nanas banyak menyerap tenaga kerja, maka pranata pertanian kelapa sawit tidak menyerap banyak tenaga kerja. Perubahan pranata tersebut membuat hampir seluruh petani penggarap menjadi pihak yang tersingkir. Tak hanya petani penggarap saja, istri, anak-anak kecil, dan bandar nanas juga menjadi pihak yang tersingkir. Hal tersebut menyebabkan pihak yang tersingkir mengubah sistem mata pencaharian yang dilakoninya. Perubahan sistem mata pencaharian yang terdiri dari kesempatan bekerja dan pola pekerjaan, secara langsung akan mengubah tingkat kesejahteraan rumah tangga petani penggarap. Tak hanya itu saja, perubahan pranata sosial pertanian diduga telah mempengaruhi perubahan hubungan antar warga. Kata kunci: pengambilalihan, lahan, konversi, komoditi, pranata, kesejahteraan ABSTRACT RIZKI BUDI UTAMI. Impact of Social Institutions Changes to Farmers Welfare (Case: Land Acquisition and Conversion Crop Commodities) Supervised by ENDRIATMO SOETARTO. Case of agricultural land acquisition caused many problems for the people around the area, especially farmers. Currently, land acquisition is usually done by plantation company that aims to convert the existing commodities on that land. Commodity crop conversion has change agricultural social institution in Kumpay Village. There is a clear difference between pinapple farming and palm tree farming. If the pinnaple institution absorb many labors, then palm tree institution not absorb many labors. The change of institution made the most of landless farmers become eliminated. Not only landless farmers, their wife, their children, and pinnaple collectors also eliminated. That matter caused their had to changed their livelihood system. The changes of livelihood system consist of the changes of work opportunity and employement patterns. That changes directly change landless farmer household. Furthermore, the change of agricultural social institution had affected the change of relationship between citizens.
Keywords: acquisition, land, conversion, commodity, instituition, welfare
DAMPAK PERUBAHAN PRANATA SOSIAL TERHADAP KESEJAHTERAAN PETANI (Kasus: Pengambilalihan Lahan dan Konversi Tanaman Komoditi)
RIZKI BUDI UTAMI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Dampak Perubahan Pranata Sosial terhadap Kesejahteraan Petani (Kasus: Pengambilalihan Lahan dan Konversi Tanaman Komoditi) Nama : Rizki Budi Utami NIM : I34090122
Disetujui oleh
Prof Dr Endriatmo Soetarto, MA Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah agraria, dengan judul Dampak Perubahan Pranata Sosial terhadap Kesejahteraan Petani (Kasus: Pengambilalihan Lahan dan Konversi Tanaman Komoditi). Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Endriatmo Soetarto, MA selaku pembimbing skripsi, Bapak Dr Ir Saharuddin, MSi selaku dosen penguji utama, dan Bapak Ir Sutisna Riyanto, MS selaku dosen penguji perwakilan departemen SKPM. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Memed Humaedin dari Lembaga Swadaya Masyarakat Himpunan Petani Nanas, Ibu Deni Sutarni, seluruh masyarakat Kumpay, dan seluruh perangkat Desa Kumpay yang telah membantu penulis selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, kakak (Rian dan Rini), adik (Dini), Irfan Nugraha, serta sahabat (Kiki, Lili, Eby, Yeny, dan Wawa). Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman SKPM 46 dan seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan karya ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2013 Rizki Budi Utami
v
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
4
TINJAUAN PUSTAKA
5
Pranata Sosial Sistem Usaha Tani
5
Gambaran Umum Kesejahteraan Petani
6
Konsep Kesejahteraan
6
Kondisi Kesejahteraan Petani
8
Konversi Tanaman Komoditi Konsep Konversi Tanaman Komoditi
8 8
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Konversi Tanaman Komoditi
9
Perubahan Pranata Sosial pada Konversi Tanaman Komoditi
11
Dampak Perubahan Pranata Sosial Pertanian Bagi Kesejahteraan Petani
12
Kerangka Pemikiran
14
Hipotesis Penelitian
16
Definisi Konseptual
16
Definisi Operasional
16
METODE PENELITIAN
21
Desain Penelitian
21
Lokasi dan Waktu Penelitian
21
Teknik Pengambilan Informan dan Responden
22
Teknik Pengumpulan Data
23
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
23
DESA KUMPAY: DAHULU DAN SEKARANG
24
vi
Kondisi Desa Kumpay Sebelum Terjadinya Peristiwa Pembabatan
25
Kondisi Desa Kumpay Setalah Terjadinya Peristiwa Pembabatan
26
Arti Penting Lahan Garapan dan Usaha Tani Nanas Madu Bagi Masyarakat 27 DINAMIKA SENGKETA LAHAN: SEJARAH KEPEMILIKAN DAN PENGUASAAN LAHAN HINGGA KONVERSI TANAMAN KOMODITI
29
Sejarah Panjang Kepemilikan, Penguasaan, dan Garapan Lahan Eks-HGU PT. Nagasawit
29
Program Kelapa Sawit Masuk Jawa: Kebijakan Sepihak PT. Nagasawit
32
Aksi-Reaksi Petani Penggarap
32
DUA SISI PRANATA SOSIAL PERTANIAN DESA KUMPAY: PRANATA NANAS DAN PRANATA KELAPA SAWIT
37
Pranata Sosial Pertanian Komoditi Nanas: Pranata yang Merangkul Banyak Pihak
37
Pranata Sosial Pertanian Komoditi Sawit: Pranata yang „Menyingkirkan‟ Banyak Pihak
38
DAMPAK PERUBAHAN PRANATA SOSIAL PERTANIAN TERHADAP KESEJAHTERAAN PETANI
41
Perubahan Hubungan Antar Warga: Konsekuensi yang Terbentuk Akibat Perubahan Pranata Sosial Pertanian dan Sistem Mata Pencaharian
41
Perubahan Sistem Mata Pencaharian: Perubahan Langsung Akibat Perubahan Pranata Sosial Pertanian
43
Perubahan Kesempatan Kerja Pertanian dan Non-Pertanian
43
Pola Pekerjaan Sebelum dan Sesudah Konversi Tanaman Komoditi
47
Berubahnya Tingkat Kesejahteraan Akibat Perubahan Pranata Sosial Pertanian SIMPULAN DAN SARAN
48 53
Simpulan
53
Saran
54
DAFTAR PUSTAKA
55
LAMPIRAN
57
vii
DAFTAR TABEL 1. Tabel tabulasi silang antara variabel sistem mata pencaharian dengan
52
tingkat kesejahteraan responden
DAFTAR GAMBAR 1. Model NESP (Nested Spheres of Poverty)
7
2. Kerangka pemikiran penelitian
15
3. Proporsi Penduduk Laki-laki dan Perempuan Desa Kumpay
26
4. Tugu nanas Subang
27
5. Surat perjanjian penggarapan lahan antara petani dengan PT. Nagasawit
33
6. Kronologi kasus sengketa lahan eks-HGU PT. Nagasawit
37
7. Kesempatan kerja pertanian dan non-pertanian sebelum konversi tanaman
46
komoditi 8. Kesempatan kerja pertanian dan non-pertanian setelah konversi tanaman
47
komoditi 9. Pola pekerjaan responden sebelum dan sesudah konversi tanaman
49
komoditi
DAFTAR LAMPIRAN 1. Peta Desa Kumpay, Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang, Jawa
58
Barat 2. Jadwal kegiatan penelitian 2013
59
3. Kerangka sampel petani penggarap lahan eks-HGU PT. Nagasawit
60
4. Kuesioner penelitian
64
5. Panduan pertanyaan wawancara mendalam responden dan informan
68
6. Hasil perhitungan PASW statistics 18. variabel perubahan sistem mata
69
pencaharian dengan tingkat kesejahteraan 7. Dokumentasi penelitian
72
8. Curahan hati petani penggarap
76
PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan memiliki definisi sebagai suatu hamparan yang terdapat di permukaan bumi secara vertikal yang mencakup berbagai komponen, seperti udara, tanah, air, batuan, vegetasi, serta berbagai aktivitas manusia pada masa lalu atau masa kini (Kodoatie dan Syarief 2010). Berdasarkan definisi tersebut, lahan merupakan sumber daya alam yang dimanfaatkan oleh setiap makhluk hidup terutama manusia untuk beraktivitas memenuhi kebutuhan hidupnya. Banyak bentuk pemanfaatan lahan yang dilakukan manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup, salah satunya adalah pemanfaatan lahan untuk kegiatan pertanian. Pertanian yang dimaksud disini adalah pertanian dalam arti luas, seperti yang dituliskan oleh Krisnamurthi (2006), pertanian adalah kegiatan yang mencakup pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Saat ini Indonesia memiliki jumlah lahan pertanian seluas 70 juta hektar pada tahun 20111. Lahan pertanian tersebut mencakup lahan untuk pertanian pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, dan peternakan. Melihat besarnya luas lahan pertanian di Indonesia, maka dapat dibayangkan banyak sekali orang yang menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian. Menggantungkan hidup pada lahan pertanian tidak hanya dilakukan oleh petani, tetapi juga orang yang tidak disebut sebagai petani, seperti pemberi pinjaman modal, tengkulak, pembeli hasil pertanian, penyedia saprotan, dan sebagainya. Selain itu, hasil lahan pertanian pun sangat dibutuhkan oleh banyak orang di belahan dunia manapun sebagai bahan untuk menunjang kehidupan mereka, yang salah satunya adalah sebagai bahan makanan. Pernyataan tersebut memberikan sebuah gagasan bahwa pertanian mengalir di dalam setiap darah manusia, karena tidak ada satupun manusia di dunia ini yang tidak makan makanan yang berasal dari hasil pertanian. Sebidang lahan pertanian dapat melibatkan beberapa aktor, diantaranya petani pemilik, petani pengelola, buruh tani, pihak pemberi modal, pihak penjual saprotan (sarana produksi pertanian), pihak pembeli hasil pertanian, dan sebagainya. Hubungan antar aktor-aktor tersebut membentuk sebuah mekanisme yang tercipta seiring berjalannya waktu. Mekanisme itu dapat dikatakan sebagai sistem usaha tani. Kata sistem merujuk pada rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pertanian. Di dalam sebuah sistem usaha tani, terdapat aturan-aturan, pola, nilai, dan tata cara yang mengatur antar aktor bagaimana mereka harus bertingkah laku atau melakukan perbuatan. Aturan, pola, nilai, dan tata cara tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah pranata sosial atau kelembagaan. Pranata sosial mengatur bagaimana antar aktor atau pihak yang terkait dalam sistem tersebut berinteraksi satu dengan lainnya. Tanpa adanya pranata sosial sebuah ketidakteraturan akan terjadi yang menyebabkan sendi-sendi kehidupan lainnya akan terganggu. Lahan pertanian selain memiliki seperengkat pranata juga memiliki beragam permasalahan yang melanda. Saat ini lahan pertanian diancam oleh maraknya kasus perampasan tanah yang dilakukan oleh berbagai pihak yang merasa 1
http://multimedia.deptan.go.id/vidiscript/news/, diunduh pada tanggal 26 Juni 2013 pukul 23.15.
2
memiliki hak atas tanah tersebut. Perampasan tanah atau yang biasa disebut sebagai land grabbing biasanya terjadi pada tanah yang menjadi kemelut di antara dua pihak atau lebih. Para pihak perampas tanah melakukan kegiatan perampasan atas dasar tujuan yang dianggap menguntungkan bagi dirinya. Tujuan perampasan tanah ini adalah untuk mengonversi lahan-lahan dari suatu fungsi ke fungsi lainnya. Ada 2 bentuk konversi lahan yang dilakukan oleh perampas lahan. Pengonversian lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian dapat dikatakan sebagai konversi lahan yang bersifat permanen. Sedangkan konversi lahan pertanian menjadi bentuk lahan pertanian lain disebut sebagai konversi yang sifatnya sementara. Konversi yang bersifat sementara terjadi jika pemilik lahan atau penggarap lahan pertanian mengganti komoditi yang diusahakan pada lahan tersebut. Berdasarkan pernyataan tersebut, selanjutnya konversi lahan yang bersifat sementara dapat dikatakan sebagai konversi tanaman komoditi. Satu hal yang harus kita ketahui mengenai pranata atau kelembagaan adalah jika terjadi sedikit saja gangguan atau perubahan kecil pada kehidupan yang mengandung pranata, maka akan mengubah pranata tersebut. Pergantian tanaman komoditi pada kasus konversi tanaman komoditi dapat menciptakan pranata baru. Hal tersebut secara otomatis akan terjadi karena pranata baru akan kembali menciptakan kondisi keseimbangan yang harmonis. Pranata yang berubah ini dapat berupa pranata pada ketenagakerjaan, peraturan pemilik dan pengelola lahan, dan lain-lain. Fungsi pranata adalah mengatur kehidupan manusia dalam setiap kegiatan sehingga tercipta kehidupan yang harmonis. Ketika pranata mengalami perubahan, maka akan menimbulkan efek domino pada kehidupan seseorang. Dikatakan efek domino karena pranata akan mengubah tatanan kehidupan seseorang yang telah terbentuk sejak ia lahir hingga saat pranata tersebut mengalami perubahan. Jika perubahan pranata sistem usaha tani ini menguntungkan, maka perubahan yang terjadi adalah perubahan positif, dan sebaliknya. Pada seseorang yang terlibat dan menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian, terutama petani, perubahan pranata pertanian dapat mengubah pola pekerjaan yang dilakukannya, keadaan keluarganya, kondisi sosial dengan pelaku usaha pertanian, dan sebagainya. Pada akhirnya, perubahan-perubahan tatanan kehidupan tersebut akan berdampak pada kesejahteraan petani. Terdapat dua kemungkinan perubahan kesejahteraan akibat berubahnya pranata, yakni ksejahteraan dapat meningkat atau kesejahteraan menurun. Latar belakang yang dituliskan sebelumnya terjadi di Desa Kumpay, Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Di desa ini telah terjadi konversi tanaman komoditi dari tanaman nanas ke tanaman kelapa sawit. Pergantian komoditi ini bermula dari adanya klaim PT. Nagasawit2 (bukan nama sebenarnya) atas lahan yang telah bertahun-tahun diusahakan oleh masyarakat Kumpay. Kasus perebutan hak atas tanah ini berakhir ketika PT. Nagasawit membabat habis seluruh kebun nanas milik warga dan menggantinya dengan kelapa sawit. Pergantian tanaman ini membuat adanya pranata-pranata pertanian baru yang berlaku yang pada akhirnya membuat hampir seluruh petani nanas kehilangan mata pencaharian. Pihak-pihak yang tersingkir ini secara perlahanlahan mengalami perubahan dalam kehidupannya, salah satunya adalah perubahan 2
Penggunaan nama samaran dilakukan agar pihak tersebut tidak merasa dirugikan atau dicemarkan nama baiknya.
3
sistem mata pencaharian yang mereka lakukan. Perubahan-perubahan tersebut berdampak pada perubahan kesejahteraan yang dirasakan oleh para pihak yang tersingkir. Oleh karena itu, sangat diperlukan penelitian untuk mengetahui bagaimana perubahan pranata pertanian akibat konversi tanaman komoditi, bagaimana dampak perubahan pranata pertanian pada kehidupan petani selaku aktor utama pertanian, dan bagaimana dampaknya terhadap kesejahteraan yang mereka rasakan pada saat ini.
Perumusan Masalah Sebagaimana telah dipaparkan pada latar belakang bahwa pranata sosial merupakan hal yang ada dalam setiap interaksi kehidupan. Salah satu kegiatan manusia yang memiliki pranata yang khas adalah kegiatan pertanian. Pranata dalam kegiatan pertanian dapat berupa aturan tentang sistem kepemilikan lahan, hubungan antara pemilik lahan dengan penggarap, hubungan antara petani dengan lembaga pemberi bantuan modal, penjual saprotan, dan pemerintah, serta penggunaan tenaga kerja, dan sebagainya. Perubahan pranata sosial dalam sebuah sistem kehidupan dapat dipengaruhi dari dalam atau luar sistem yang menjadi tempat pranata tersebut berada. Faktor perubahan pranata sosial yang berasal dari dalam berupa perubahan dalam interaksi individu-individu yang terlibat di dalam pranata tersebut. Sedangkan faktor luar berupa intervensi atau campur tangan pihak luar sistem dimana pranata berada, misalnya pemerintah, swasta, atau Lembaga Swadaya Masyarakat. Dengan berubahnya pranata sosial atau kelembagaan, maka akan mengubah aspek lain dalam kehidupan pelaku pranata, seperti pola pekerjaan, kesempatan kerja, dan hubungan antar masyarakat. Perubahan tatanan kehidupan tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan. Terdapat dua kemungkinan perubahan kesejahteraan yang diakibatkan oleh berubahnya pranata sosial, yaitu kesejahteraan dapat meningkat atau kesejahteraan dapat menurun. Berdasarkan pemaparan di atas, diperlukan sebuah pengkajian lebih mendalam mengenai dampak perubahan pranata sosial pada sistem pertanian yang diakibatkan oleh perubahan jenis tanaman yang diusahakan bagi kesejahteraan petani. Untuk mengetahui permasalahan umum tersebut dirumuskan sejumlah pertanyaan permasalahan yang lebih spesifik, yaitu: 1. Bagaimana masuknya komoditi baru mengubah bentuk-bentuk pranata sosial pertanian di masyarakat? 2. Bagaimana dampak pranata pertanian baru terhadap kehidupan petani penggarap yang berupa pola pekerjaan, kesempatan bekerja, dan hubungan antar warga? 3. Bagaimana dampak perubahan pranata sosial bagi kesejahteraan petani?
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji permasalahan umum yang telah dipaparkan di atas, yaitu mengkaji dampak perubahan pranata sosial pertanian
4
yang diakibatkan perubahan tanaman komoditi bagi kesejahteraan petani. Kemudian, tujuan lainnya adalah menjawab pertanyaan permasalahan, yakni: 1. Menganalisis bentuk-bentuk pranata sosial sistem usaha tani yang mengalami perubahan pada konversi tanaman komoditi. 2. Menganalisis perubahan pada pola pekerjaan, kesempatan bekerja, dan hubungan antar warga akibat pranata pertanian baru. 3. Menganalisis dampak perubahan pranata sosial bagi kesejahteraan petani.
Manfaat Penelitian Kegunaan penelitian ini dapat ditujukan kepada 3 pihak, antara lain: 1. Akademisi. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan referensi dan kajian untuk penelitian selanjutnya. Selain itu diharapkan pula dapat menambah khasanah dalam kajian ilmu pengetahuan agraria dan pranata sosial. 2. Pemerintah. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menyusun dan mengambil kebijakan mengenai peraturan pemanfaatan lahan, serta membuat solusi dari permasalahan konversi tanaman komoditi sehingga tercipta keadilan sosial bagi seluruh pihak yang terkait. 3. Masyarakat. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan masyarakat mengenai dampak konversi tanaman komoditi bagi pranata sosial dan kesejahteraan. Selain itu diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan masyarakat Kumpay sebagai tambahan bukti dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
TINJAUAN PUSTAKA Pranata Sosial Sistem Usaha Tani Pertanian merupakan sektor kegiatan manusia terbesar di Indonesia. Hal tersebut tidak mengherankan karena Indonesia mendapatkan julukan negara agraris akibat besarnya kegiatan yang bergerak di bidang pertanian. Dengan luas lahan pertanian yang besar, dapat dibayangkan bahwa banyak sekali individuindividu yang terkait dengan sektor pertanian dan menggantungkan hidupnya pada sektor ini. Sektor pertanian merupakan sebuah sektor yang terdiri dari tiga bagian yang saling terintegrasi, yaitu bagian hilir, tengah, dan hulu. Setiap bagian tersebut memiliki aktor-aktor yang berperan dalam menjalankan bagian tersebut. Ketiga bagian tersebut harus berjalan secara sinkron layaknya sebuah sistem agar terjadi keseimbangan. Salah satu aktor penting yang berada pada bagian hulu dan sangat berperan di dalam sektor pertanian adalah petani. AGRA (2010) menyebutkan dalam tulisannya bahwa kaum tani adalah orang-orang yang bergantung pada pengolahan tanah dalam kehidupannya yang berasal dari bercocok tanam, perkebunan, perladangan menetap atau berpindah, memungut hasil hutan, meramu, serta berburu. Lebih lanjut AGRA menyimpulkan bahwa yang termasuk kaum tani menurut pengertian di atas adalah kaum tani (peasantry) atau yang biasa disebut sebagai petani tak bertanah atau petani yang memiliki lahan sempit (petani gurem), masyarakat adat atau masyarakat minoritas, dan nelayan. Hampir sama dengan AGRA, Wolf dalam Landsberger dan Alexandrov (1981) mendefinisikan petani sebagai “penduduk yang secara eksistensial terlibat dalam cocok-tanam dan membuat keputusan yang otonom tentang proses cocok tanam”. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pertanian merupakan sebuah sektor kegiatan manusia. Pernyataan tersebut dapat berarti semua kegiatan manusia yang berada dalam bidang pertanian dapat dikatakan sebagai usaha tani. Usaha tani memiliki pengertian sebagai sistem yang kompleks yang terdiri atas tanah, tumbuhan, hewan, peralatan, tenaga kerja, input lain, serta pengaruh lingkungan yang pengelolaannya dilakukan oleh seseorang yang disebut petani sesuai dengan kemampuan dan aspirasinya (CGIAR dalam Reijntjes et al. 1992). Usaha tani adalah sebuah kegiatan yang selalu terkait dengan budaya dan sejarah (Reijntjes et al. 1992). Seiring dengan berjalannya waktu, akan tercipta sebuah bentuk kebudayaan baru meliputi nilai-nilai, norma, dan aturan yang terkait dengan usaha tani tersebut. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Reintjes et al. (1992) yang menyatakan bahwa pertanian merupakan hasil interaksi antar manusia dengan sumber daya alam setempat dimana nilai-nilai, pengetahuan, keterampilan, teknologi, dan institusi yang dimiliki oleh masyarakat setempat mempengaruhi jenis budaya pertanian yang telah ada dan terus berkembang. Dalam sebuah usaha tani, tentunya terdapat mekanisme yang mengatur bagaimana usaha tani berjalan. Mekanisme yang mengatur tersebut selanjutnya dapat dikatakan sistem usaha tani. Menurut Sutanto (2002), “sistem usaha tani berhubungan dengan aktivitas produksi tanaman dengan spektrum yang luas”. Sedangkan, Shaner et al. dalam Reijntjes et al. (1992) menyatakan sistem usaha
6
tani merupakan susunan khusus dari kegiatan usaha tani yang dikelola berdasarkan kemampuan lingkungan fisik, biologis, sosioekonomi, yang sesuai dengan tujuan, kemampuan, dan sumber daya yang dimiliki petani. Pertanian yang dimaksudkan bukan hanya pertanian padi, tetapi juga perkebunan, perikanan, peternakan, perladangan, dan lain-lain yang termasuk ke dalam lingkup kegiatan pertanian. Di dalam sebuah sistem usaha tani, terdapat aturan-aturan, pola, nilai, dan tata cara yang mengatur antar aktor terkait bagaimana mereka harus bertingkah laku atau melakukan perbuatan. Aturan, pola, nilai, dan tata cara tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah pranata atau kelembagaan. Pranata sosial mengatur bagaimana antar aktor atau pihak yang terkait dalam sistem tersebut berinteraksi satu dengan lainnya. Tanpa adanya pranata sebuah ketidakteraturan akan terjadi yang menyebabkan sendi-sendi kehidupan lainnya akan terganggu. Pranata atau kelembagaan memiliki pengertian sebagai kompleks atau sistem peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai penting (Polak dalam Basrowi 2005). Sedangkan, kelembagaan atau pranata menurut Koentjaraningrat dalam Rahardjo (2004) berarti sistem tata kelakuan dan hubungan yang bepusat pada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks kebutuhan khusus pada kehidupan masyarakat. Berdasarkan dua pengertian di atas, maka kelembagaan dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan yang berlaku di masyarakat yang berfungsi mengatur tata kelakukan dan hubungan dalam masyarakat. Kelembagaan dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu lembaga kemasyarakatan sebagai peraturan dan kelembagaan masyarakat yang sungguh-sungguh berlaku (Soekanto dalam Basrowi 2005). Kelembagaan masyarakat sebagai peraturan terjadi ketika norma tersebut mengatasi dan mengatur perilaku masyarakat. Sedangkan, maksud dari lembaga masyarakat yang sungguh-sungguh berlaku adalah jika norma tersebut sepenuhnya membantu pelaksanaan dalam pola kemasyarakatan. Pranata dalam sistem usaha tani yang dapat diidentifikasi, antara lain: 1) bagaimana sistem kepemilikan atas suatu lahan; 2) bagaimana hubungan antar aktor di dalam sebuah lahan, seperti hubungan antara pemilik lahan dengan penggarap; 3) bagaimana sistem pembayaran yang diterima pemilik lahan dan penggarap; 4) bagaimana tahapan usaha tani tersebut beserta aturannya mulai dari penanaman hingga pasca panen; 5) bagaimana penggunaan tenaga kerja serta aturannya yang mencakup jam kerja dan pembayaran pada setiap tahapan usaha tani tersebut. Setiap bentuk pranata sosial tersebut terbentuk akibat adanya kesepakatan bersama atau terbentuk secara alami melalui proses panjang perjalanan waktu tergantung pada kondisi lingkungan fisik, sosial, dan budaya di daerah pranata tersebut berada.
Gambaran Umum Kesejahteraan Petani Konsep Kesejahteraan Kesejahteraan adalah konsep yang sampai saat ini memiliki banyak perbedaan definisi. Konsep kesejahteraan dapat dilihat dari berbagai dimensi, seperti ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Inti dari konsep kesejahteraan adalah kondisi terpenuhinya setiap aspek hidup manusia entah itu moril atau materiil. Dalam pasal 1 yang tercantum dalam Undang-Undang Republik
7
Indonesia Nomor 11 tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial, dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Untuk mengukur seberapa tinggi tingkat kesejahteraan suatu individu, diperlukan berbagai indikator dari berbagai dimensi. Sama seperti definisi dari konsep kesejahteraan, sebuah indikator yang menyatakan apakah individu sejahtera atau tidak, juga memiliki berbagai versi dari banyak ahli. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan untuk mengetahui kesejahteraan seseorang, maka ada 6 hal yang dapat mengindikasikan, antara lain kependudukan, kesehatan dan gizi, pendidikan, ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, perumahan dan lingkungan, serta sosial dan budaya (BPS 2006). Berbeda dengan BPS, CIFOR (2007) menyatakan ada sebuah model yang menjelaskan mengenai bagaimana melihat konsep kesejahteraan. NESP (Nested Spheres of Poverty) menjelaskan bahwa kesejahteraan dipengaruhi oleh berbagai lingkungan beserta aspek kehidupan yang ada di dalamnya. Dalam gambar di bawah ini dijelaskan, lingkaran inti yang berada di tengah dinamakan sebagai kesejahteraan subjektif. Kesejahteraan ini merupakan kesejahteraan yang sifatnya sangat individu dan emosional. Dikatakan seperti itu karena kesejahteraan ini tidak memiliki nilai standar yang konstan. Kesejahteraan ini berubah-ubah sesuai dengan suasana hati dan lingkungan individu tersebut. Dengan kata lain, kesejahteraan ini secara garis besar dipengaruhi oleh kesehatan, kekayaan materi, dan pengetahuan. Lingkungan konteks yang meliputi lingkungan alam, ekonomi, sosial, dan politik secara langsung mempengaruhi kesehatan, kekayaan materi, dan pengetahuan yang akhirnya secara tidak langsung mempengaruhi kesejahteraan subjektif. Sedangkan, lingkungan konteks dipengaruhi oleh prasarana dan layanan. Penjelasan di atas, dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Model NESP (Nested Spheres of Poverty) Sumber: CIFOR (2007)
8
Kondisi Kesejahteraan Petani Petani berdasarkan besaran skala usahanya dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu petani yang berusaha tani skala kecil dan petani yang berusaha tani skala besar. Petani skala besar ini biasanya memiliki lahan besar yang didukung dengan sarana produksi yang modern, tenaga kerja yang banyak, dan berorientasi profit. Petani yang memiliki usaha tani kecil memiliki ciri-ciri berusaha tani di lingkungan yang tekanan penduduk lokalnya mengalami peningkatan, memiliki sumber daya yang terbatas, produksi subsisten, dan kurang mendapatkan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pelayanan lainnya (Soekartawi et al 1989). Sedangkan, menurut BPLPP yang dikutip oleh Soekartawi et al (1989), menyatakan petani kecil adalah petani yang berpendapatan rendah (kurang dari 240 kg beras/kapita/tahun), memiliki lahan sempit (0.25 hektar di Jawa dan 0.5 hektar di luar jawa), kekurangan modal dan memiliki tabungan yang terbatas, dan memiliki pengetahuan yang terbatas dan kurag dinamis. Melihat perbedaan kedua jenis petani di atas, terlihat bahwa petani kecil identik dengan kemiskinan dan kesengsaraan. Dibandingkan dengan petani besar, petani kecil-lah yang biasanya identik dengan tingkat kesejahteraan yang rendah. Hal tersebut seperti yang dituliskan oleh Nasution (2005). ”Kesejahteraan rakyat yang bekerja di sektor pertanian kini sungguh memprihatinkan, terutama mereka yang posisinya sebagai buruh tani dan petani berlahan sempit (petani gurem dan petani dengan lahan kurang dari satu hektar). Petani berlahan sempit dan buruh tani adalah kelompok yang paling mempresentasikan kondisi ekonomi petani seluruhnya, sebab sebagian besar petani-petani Indonesia berasal dari kelompok ini.” Menurut data Biro Pusat Statistik 2003 dalam Nasution (2005), buruh tani merupakan profesi yang pendapatannya paling rendah jika dibandingkan dengan profesi yang ada di sektor pertanian lainnya. Bahkan pendapatan rata-rata buruh tani dan petani yang memiliki lahan sempit setiap tahunnya mengalami penurunan. Lebih lanjut, Nasution (2005) berpendapat bahwa masalah kesejahteraan petani tidak hanya berhubungan dengan luas lahan yang dimilikinya, namun juga bisa berhubungan dengan persoalan lain yang memiliki pengaruh besar terhadap pendapatan petani. Kesejahteraan tidak hanya selalu berkaitan dengan pendapatan tetapi juga dapat berkaitan dengan rasa aman. Kesejahteraan adalah hal yang berupa aspek yang menangani kebutuhan fisik dan batin serta menciptakan rasa nyaman, puas, adil, dan bahagia.3
Konversi Tanaman Komoditi Konsep Konversi Tanaman Komoditi Konversi lahan adalah berubahnya penggunaan suatu lahan ke penggunaan lainnya (Ruswandi 2005). Dengan kata lain dapat dikatakan konversi lahan adalah berubahnya alih fungsi suatu lahan. Seiring dengan dinamika kehidupan 3
Perkataan Prof Dr Endriatmo Soetarto, MA. ketika bimbingan Studi Pustaka tanggal 14 Desember 2012
9
masyarakat, seperti adanya kebijakan, jumlah penduduk, mobilitas penduduk, dan sebagainya, maka alih fungsi lahan dapat dikatakan sebagai hal yang biasa atau wajar bila terjadi. Alih fungsi lahan akan menjadi masalah apabila tindakan alih fungsi lahan berdampak negatif bagi lingkungan sekitar lahan tersebut (Utomo 1992). Utomo (1992) menyebutkan bahwa alih fungsi lahan dapat bersifat permanen dan sementara. Alih fungsi lahan permanen terjadi ketika lahan pertanian seperti sawah dimanfaatkan untuk sektor non-pertanian, seperti perumahan atau industri. Sedangkan alih fungsi lahan yang sifatnya sementara misalnya lahan pertanian sawah yang diubah menjadi perkebunan. Tidak jauh berbeda dengan Utomo, Harini dalam Hamdan (2012) membedakan perubahan penggunaan lahan menjadi empat, yaitu perubahan dari suatu jenis pertanian ke pertanian lainnya, perubahan dari lahan pertanian ke non-pertanian, perubahan dari penggunaan non-pertanian menjadi lahan pertanian, dan perubahan nonpertanian ke bentuk non-pertanian lainnya. Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa konversi tanaman komoditi memiliki definisi sebagai berubahnya suatu jenis komoditi pada suatu lahan ke komoditi lainnya. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Konversi Tanaman Komoditi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi dari kata faktor adalah hal, keadaan, atau peristiwa yang menyebabkan atau mempengaruhi terjadinya sesuatu. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konversi tanaman komoditi adalah setiap hal, keadaan, atau peristiwa yang menyebabkan terjadinya konversi tanaman komoditi. Banyak tulisan yang membahas mengenai apa saja faktor yang menyebabkan konversi tanaman komoditi yang terjadi di wilayah Indonesia. Setiap tulisan tersebut memiliki perbedaan dalam menunjukkan faktor penyebab suatu alih fungsi lahan. Perbedaan tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan wilayah penelitian yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Artinya, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi tanaman komoditi tergantung pada kondisi sosial, geografi, fisik daerah tempat terjadinya peristiwa konversi lahan. Faktorfaktor tersebut ada yang semakin menguatkan motivasi petani untuk mengambil keputusan alih fungsi lahan sehingga meningkatkan laju alih fungsi lahan, namun ada yang menurunkan laju alih fungsi lahan. Astuti et al. (2011) dalam penelitiannya menemukan ada 14 faktor yang menyebabkan petani melakukan alih fungsi komoditi di lahannya menjadi tanaman kelapa sawit. Keempat belas faktor tersebut mereka bagi ke dalam tiga aspek, yaitu aspek ekonomis, aspek lingkungan, dan aspek teknis. Aspek ekonomis memiliki 5 faktor penyebab, antara lain harga jual tanaman pangan yang rendah khususnya pada saat panen, panen sawit dilakukan kontinyu setiap 2 minggu, keuntungan berkebun sawit lebih tinggi, harga sawit lebih terjamin atau stabil, dan biaya pemeliharaan tanaman sawit lebih rendah. Aspek lingkungan memiliki 5 faktor penyebab, yaitu kecocokan lahan untuk kebun sawit, ancaman hama dan penyakit pada tanaman pangan, kondisi irigasi tidak mendukung, posisi tawar petani sawit lebih tinggi, dan tenaga kerja kebun sawit lebih sedikit. Sedangkan, aspek teknis terdiri atas 4 faktor penyebab, antara lain tanaman sawit berumur panjang, proses pasca panen tanaman pangan lebih sulit, teknik budidaya sawit lebih mudah, dan kesulitan pengadaan pupuk untuk tanaman pangan.
10
Sedangkan dalam penelitiannya di wilayah Bandung Utara pada tahun 2007, Ruswandi et al. (2007) menemukan sedikitnya 5 faktor yang berpengaruh nyata dengan laju konversi lahan yang terjadi di wilayah tersebut. Kelima faktor tersebut merupakan faktor yang dapat menurunkan laju konversi lahan maupun meningkatkan laju konversi lahan. Kelima faktor tersebut adalah kepadatan petani pemilik pada tahun 1992, kepadatan petani penggarap atau buruh pada tahun 1992, jumlah masyarakat miskin, luas lahan guntai4, serta jarak lahan dengan kota atau kecamatan. Selanjutnya, Sihaloho et al. (2007) menemukan bahwa terdapat 5 faktor yang menyebabkan terjadinya konversi pada lahan pertanian, antara lain meningkatnya jumlah penduduk, keterdesakan ekonomi yang dialami warga, investasi dari pihak swasta, adanya intervensi dari pemerintah mengenai kebijakan agraria, serta faktor luar dimana yang dimaksud dengan faktor ini adalah warga yang “ikut-ikutan” untuk menjual tanahnya. Berbeda dengan Sihaloho, Hamdan (2012) membagi faktor penyebab konversi tanaman padi ke kelapa sawit ke dalam dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari kondisi keluarga petani dan usaha tani sawah. Yang termasuk ke dalam faktor ini adalah luas sawah yang dimiliki, pengalaman dalam usaha tani padi, dan tingkat ketersediaan tenaga kerja. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari kondisi dari luar yang mempengaruhi pengelolan lahan sawah. Yang termasuk ke dalam faktor ini adalah permasalahan pada irigasi, sarana produksi pupuk, tingkat resiko usaha tani padi, pengetahuan petani mengenai peraturan konversi lahan pangan, dan harga tandan buah segar kelapa sawit. Selanjutnya, Hamdan mengkategorikan faktor-faktor tersebut ke dalam dua faktor, yaitu faktor pendorong (pull factor) dan faktor penarik (push factor). Menurutnya, faktor pendorong biasanya memiliki konotasi negatif karena hal tersebut menunjukkan adanya kekurangan pada sektor pertanian dan wilayah pedesaan. Sedangkan faktor penarik biasanya memiliki arti yang positif karena hal tersebut menujukkan bahwa tanaman perkebunan lebih menguntungkan daripada tanaman pangan. Harga tandan buah segar (TBS) sawit menjadi satu-satunya faktor pendorong yang berpengaruh nyata terhadap konversi tanaman komoditi di wilayah tersebut. Sedangkan, masalah pada sarana irigasi, tingkat kegagalan usaha tani, ketersediaan tenaga kerja, ketersediaan pupuk, jumlah pengalaman petani dalam berusaha tani sawah, serta pengetahuan mengenai peraturan konversi lahan pangan menjadi faktor penarik bagi petani. Konversi lahan pada umumnya banyak terjadi di lahan sawah. Kondisi tersebut dapat dijelaskan oleh empat alasan berikut. Pertama, wilayah agroekosistem yang didominasi oleh sawah lebih padat penduduknya jika dibandingkan dengan agroekosistem lahan kering, sehingga permintaan untuk tanah menjadi tinggi karena tekanan penduduk. Kedua, banyak di antara daerah persawahan yang lokasinya dekat dengan kota. Ketiga, daerah persawahan lebih baik dari segi infrastrukturnya dibandingkan lahan kering. Keempat, pembangunan pemukiman dan industri membutuhkan wilayah yang bertopografi agar berlangsung dengan cepat. Namun, di wilayah yang bertopografi datar seperti Pulau Jawa, sebagian besar lahannya adalah lahan sawah. 4
Lahan guntai adalah lahan yang dimiliki oleh orang yang bukan bertempat tinggal di desa tempat lahan tersebut berada.
11
Selain berbagai faktor yang telah dijelaskan sebelumnya, salah satu penyebab konversi tanaman komoditi yang saat ini marak terjadi adalah land grabbing atau perampasan lahan. Land grabbing adalah kegiatan pengambilalihan hak dan akses atas suatu lahan oleh pihak yang memiliki „kekuatan‟ yang lebih besar dari pihak-pihak yang dianggap „lemah‟. Praktek land grabbing yang saat ini sedang marak terjadi biasanya dilakukan oleh pihak perkebunan besar, entah itu negeri atau swasta. Perusahaan tersebut melakukan pengambilalihan lahan dengan tujuan untuk mengganti komoditi yang ada dengan komoditi perdagangan internasional, seperti kelapa sawit, coklat, kopi, teh, dan sebagainya. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh AGRA (2012), permasalah land grabbing atau perampasan tanah yang dilakukan kaum pemilik modal banyak telah membuat petani harus menyerahkan lahan yang dimilikinya atau mengganti komoditi yang diusahakannya. Akibatnya petani menjadi buruh sendiri di lahan pertanian mereka.
Perubahan Pranata Sosial pada Konversi Tanaman Komoditi Seiring dengan perubahan waktu, kelembagaan dapat berubah. Sifat kelembagaan yang dinamis dan rentan akan perubahan ini disebabkan karena nilai dan budaya dalam masyarakat yang berubah (Yustika 2006). Yustika (2006) menjelaskan bahwa perubahan kelembagaan dapat diartikan sebagai terjadinya sebuah kondisi dimana berubahnya prinsip regulasi, organisasi, perilaku, dan pola-pola interaksi. Perubahan kelembagaan merupakan sebuah proses yang berlangsung secara terus-menerus yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas interaksi antar pihak yang terkait, dimana berubahnya kelembagaan mendorong perubahan mengenai kondisi-kondisi awal yang kemudian dibuatlah penyesuaian yang baru, sehingga terciptalah keadaan baru yang memiliki keseimbangan dinamis (Yustika 2006). Proses perubahan kelembagaan ada yang terjadi secara bertahap, namun ada pula yang berlangsung secara cepat tergantung dari respon individu atas kondisi perubahan yang dialaminya (Yustika 2006). Terdapat empat sumber yang dapat diidentifikasi yang menyebabkan terjadinya berubahnya suatu pranata, antara lain rekaya sosial, kelangkaan (dapat berupa kelangkaan sumber daya atau aturan main), oportunisme, dan perubahan kebijakan (Yustika 2006). Setiap sistem usaha tani memiliki aturan main, tata kelola, pranata atau kelembaagaan yang mengaturnya. Pranata tersebut berbeda-beda tergantung wilayah, keadaan masyarakatnya, dan jenis komoditi yang diusahakan. Ketika suatu komoditi yang diusahakan di suatu lahan mengalami perubahan ke komoditi lain, hal tersebut tentu saja membuat pranata sosial atau kelembagaan yang telah ada sejak lama berubah. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan pada sistem kepemilikan lahan, sistem pola tanam, sistem hubungan pemilik dan buruh, sistem bagi hasil, atau sistem penggunaan tenaga. Perubahan-perubahan pada kelembagaan sistem usaha tani akan dijelaskan sebagai berikut. 1. Pada proyek perkebunan tebu di KPH Tangen terdapat sistem bagi hasil yang ditetapkan di antara pihak-pihak yang terlibat. Ketika petani tersebut tidak mengikuti proyek perkebunan tebu, mereka memperoleh pendapatan langsung dari hasil usaha taninya yang dijual kepada pedagang tanpa harus berbagi dengan pihak lain. Setelah mereka menanam tebu, pendapatan yang diterima
12
mereka adalah 65% dari rendemen tebu yang dihasilkan oleh mereka (Wiyono 2002). 2. Penelitian Hamdan (2012) mengungkapkan bahwa adanya perbedaan pada pola tanam, curahan tenaga kerja yang digunakan, sistem bagi hasil perbandingan tenaga kerja laki-laki dan perempuan, penggunaan faktor produksi, dan penerimaan yang didapat petani ketika mereka berusaha tani padi ke usaha tani kelapa sawit. Sebagai contoh, usaha tani padi lebih banyak menggunakan tenaga kerja baik itu dari tenaga kerja dari keluarga maupun tenaga kerja dari luar, sedangkan pada usaha tani kelapa sawit penggunaan tenaga kerja lebih sedikit dan lebih menggunakan tenaga kerja yang berasal dari keluarga saja. Contoh lainnya, pada tanaman padi masih digunakan sistem bagi hasil, sedangkan usaha tani kelapa sawit pembayaran dilakukan dengan sistem upah. 3. Dassir (2010) menemukan bahwa terdapat perubahan pola hubungan antara pemilik lahan dengan pengelola lahan atau buruh tani pada petani yang mengusahakan monokultur kemiri dengan petani yang mengkonversi kemiri menjadi coklat. 4. Perubahan kelembagaan pada usaha tani padi ke coklat juga terjadi di Komunitas Bolapapu, Sulawesi Tengah. Jika pada usaha tani pengambilan keputusan dan pengerjaan tugas banyak dilakukan oleh kaum wanita, kecuali pekerjaan yang memang membutuhkan tenaga laki-laki, seperti menyemprotkan pestisida pada tanaman. Jauh berbeda dengan usaha tani coklat, semua keputusan dibuat oleh laki-laki, wanita pada usaha tani coklat sedikit sekali peranannya (Savitri 2007).
Dampak Perubahan Pranata Sosial Pertanian Bagi Kesejahteraan Petani Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, peralihan suatu jenis komoditi sudah pasti terdapat pranata yang berubah. Berubahnya pranata kelembagaan pada sistem usaha tani tentu saja akan berdampak bagi pihak-pihak yang terkait di dalamnya. Petani adalah pihak yang langsung terkena dampak dari perubahan pranata kelembagaan akibat beralihnya jenis komoditi yang diusahakannya. Dampak dapat mempengaruhi berbagai hal, yang salah satunya adalah kesejahteraan petani. Perubahan pranata kelembagaan pada konversi tanaman komoditi dapat menyebabkan dua kemungkinan bagi kesejahteraan petani. Perubahan pranata kelembagaan tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan petani atau menurunkan kesejahteraan petani. Berikut ini dipaparkan beberapa kasus konversi tanaman komoditi yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan petani. 1. Penelitian di Kabupaten Kampar, Rokan Hulu, dan Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau menemukan bahwa pengembangan perkebunan kelapa sawit dapat memperluas kesempatan bekerja dan menambah lapangan pekerjaan sehingga masyarakat dapat menambah pemasukan pendapatannya. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa komoditi kelapa sawit memiliki tingkat pendapatan per tahun tertinggi dibandingkan komoditi palawija dan karet. Pada tahun 2005, tingkat pendapatan rata-rata petani kelapa sawit per tahun sebesar 18 juta rupiah, sedangkan petani karet sebesar Rp11 856
13
000/tahun, dan petani palawija sebesar Rp4 320 000/tahun (Syahza dan Khaswarina 2007). 2. Di Kecamatan Seluma Selatan, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu, komoditi kelapa sawit lebih menjanjikan secara ekonomis dibandingkan komoditi padi. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan nilai land rent tanaman kelapa sawit yang lebih besar daripada padi. Perbedaan nilai land rent ini didapatkan dari penghitungan pada penggunaan input produksi, curahan tenaga kerja, dan pemasukan. Perbedaan nilai land rent ini menunjukkan bahwa antara usaha tani padi dan kelapa sawit terdapat perbedaan kelembagaan yang berlaku, seperti pola tanam, proporsi tenaga kerja laki-laki dan perempuan, dan sistem bagi hasil. (Hamdan 2012). 3. Penelitian Muh. Dassir (2010) di wilayah Camba, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan menemukan bahwa penduduk di kedua desa penelitian yang saat ini tidak lagi menerapkan sistem pola wanatani kemiri monokultur. Mereka mengonversi sistem pola tani monokultur kemiri dengan pola tani coklat dan kemiri karena pendapatan yang diterima petani yang menerapkan pola tani coklat kemiri lebih besar daripada yang masih menerapkan monokulutur kemiri. Pendapatan yang diterima petani yang menerapkan pola coklat-kemiri mencapai 20 kali lipat dari petani yang menerapkan pola monokultur kemiri. Untuk kasus konversi tanaman komoditi yang menurunkan kesejahteraan petani akan dipaparkan berikut ini. 1. Berdasarkan penelitian tentang konversi lahan yang terjadi di wilayah Bandung Utara diketahui bahwa konversi lahan berpengaruh nyata terhadap penurunan kesejahteraan petani. Semakin luas lahan petani yang terkonversi, maka akan semakin tinggi peluang penurunan kesejahteraan petani. Jika sebanyak 1% dari lahan petani dikonversi, maka akan terjadi penurunan tingkat kesejahteraan sebesar 1 077 kali jika dibandingkan tidak melakukan konversi. Konversi lahan pada awalnya memang meningkatkan kesejahteraan petani, namun untuk beberapa lama kemudian kesejahteraan petani akan menurun. Uang hasil penjualan lahan telah habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup petani (Ruswandi et al. 2007). 2. Berdasarkan data, selama periode 2004 sampai 2010, perampasan tanah di sektor perkebunan menyengsarakan lebih dari 11.4 juta kaum tani. Sedangkan, perampasan sektor pertanian membuat 175 000 jiwa kaum tani menderita dan tersingkir dari tanah pertaniannya (AGRA 2012). 3. Kesejahteraan petani yang melaksanakan program pemerintah Kabupaten Sragen untuk menanami lahan mereka dengan tebu menurun. Menurunnya kesejahteraan petani diakibatkan sistem bagi hasil yang dibuat oleh pihakpihak yang terkait dalam program tersebut tidak menguntungkan petani (Wiyono 2002). Berdasarkan contoh kasus-kasus di atas, terlihat bahwa perubahan kelembagaan pada sistem usaha tani tidak selalu meningkatkan kesejahteraan petani. Peningkatan kesejahteraan petani disebabkan perubahan kelembagaan tersebut menguntungkan petani. Sedangkan penurunan kesejahteraan petani disebabkan karena kelembagaan yang berubah tersebut tidak terlalu berpihak pada petani. Misalnya saja pada komoditi A tenaga kerja perempuan masih digunakan. Namun, pada komoditi B tenaga kerja perempuan tidak lagi digunakan. Hal
14
tersebut tentu saja dapat mengurangi pendapatan rumah tangga seorang petani karena istrinya tidak lagi bekerja sebagai tenaga kerja di sektor pertanian.
Kerangka Pemikiran Masalah land grabbing (perampasan lahan) mulai marak terjadi pada lahanlahan pertanian di Indonesia. Masalah perampasan lahan ini biasanya berujung pada pengambilalihan lahan oleh pihak yang memiliki „kekuatan‟ yang lebih besar, misalnya perusahaan perkebunan. Tujuan perusahaan perkebunan melakukan pengambilalihan lahan adalah mengonversi lahan pertanian yang ada menjadi bentukan lahan pertanian lainnya, dengan kata lain mengganti komoditi. Perubahan komoditi atau yang dapat dikatakan konversi tanaman komoditi, telah menyebabkan perubahan pranata sosial pertanian yang telah ada. Pranata sosial yang teridentifikasi mengalami perubahan adalah penguasaan lahan, penggunaan tenaga kerja, dan sisten panen. Perubahan pranata pertanian ini tentu saja harus diadaptasi oleh petani yang terkait pada lahan tersebut. Perubahan pranata sosial pertanian menyebabkan perubahan pada kehidupan petani yang pada ujungnya akan menyebabkan perubahan pada tingkat kesejahteraan. Perubahan tersebut berupa perubahan pada sistem mata pencaharian yang terdiri dari pola pekerjaan dan kesempatan bekerja, serta perubahan hubungan antar warga. Perubahan sistem mata pencaharian menyebabkan secara langsung perubahan tingkat kesejahteraan, secara moril dan materiil. Selain itu, perubahan sistem mata pencaharian juga memiliki andil dalam perubahan hubungan antar warga. Hubungan yang terjadi adalah hubungan satu arah yang dijelaskan secara kualitatif. Perubahan hubungan antar warga juga menyebabkan perubahan tingkat kesejahteraan, namun kesejahteraan yang dirasakan warga adalah kesejahteraan moril. Secara garis besar, kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.
15
Pengambilalihan Lahan Perubahan Pranata Sosial Pertanian Nanas dan Kelapa Sawit
Konversi Tanaman Komoditi (Komoditi Nanas ke Kelapa Sawit)
1. Penguasaan lahan 2. Penggunaan tenaga kerja 3. Sistem panen
n Perubahan Sistem Mata Pencaharian
Perubahan Hubungan Sosial
1. Perubahan kesempatan kerja 2. Perubahan pola pekerjaan
Hubungan antar warga
Perubahan Tingkat Kesejahteraan Perubahan Tingkat Kesejahteraan 1. Kesejahteraan Moril 2. Kesejahteraan Materiil Keterangan :
Menyebabkan
:
Hubungan 1 arah, secara kualitatif
:
Dijelaskan secara deskriptif
:
Hubungan kuantitatif
:
Hubungan kualitatif
Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian
Kesejahteraan Moril
16
Hipotesis Penelitian Hipotesis pada penelitian ini terbagi menjadi dua berdasarkan jenis metode penelitiannya, yaitu hipotesis untuk metode kualitatif dan hipotesis untuk metode kuantitatif. Adapun hipotesis untuk metode kualitatif adalah: 1. Konversi tanaman komoditi menyebabkan perubahan pranata sosial pertanian. 2. Perubahan pranata sosial pertanian dan perubahan sistem mata pencaharian menyebabkan perubahan pada hubungan antar warga. 3. Perubahan hubungan antar warga menyebabkan perubahan tingkat kesejahteraan secara moril. Sedangkan hipotesis untuk metode kuantitatif adalah ada hubungan positif antara perubahan sistem mata pencaharian dengan tingkat kesejahteraan.
Definisi Konseptual 1. Pengambilalihan lahan adalah berubahnya kepemilikan atau kepenguasaan atas suatu lahan dari pihak satu ke pihak lainnya yang dilakukan secara paksa. 2. Konversi tanaman komoditi adalah perubahan jenis tanaman komoditi yang diusahakan pada suatu lahan. 3. Pranata sosial sistem pertanian adalah peraturan dan tata cara yang terdapat pada sistem usaha tani yang mengatur bagaimana hubungan antar aktor-aktor usaha pertanian. Pranata sosial pertanian meliputi pranata sosial yang mengatur penguasaan lahan, penggunaan tenaga kerja, dan sistem panen. 4. Tingkat kesejahteraan adalah kondisi dimana kebutuhan materiil dan moril terpenuhi.
Definisi Operasional 1. Perubahan pranata sosial pada sistem pertanian adalah berubahnya tata cara, aturan, atau kebiasaan yang dilakukan aktor-aktor sistem pertanian. Perubahan pranata sosial diteliti dengan metode kualitatif yang meliputi: a) Pranata pada penguasaan lahan adalah aturan yang mengatur bagaimana lahan tersebut dikuasai oleh seseorang. b) Pranata pada penggunaan tenaga kerja adalah aturan yang mengatur bagaimana penggunaan tenaga kerja pada sistem pertanian, yang meliputi penggunaan tenaga kerja pada setiap tahapan pertanian, peranan setiap tenaga kerja, hubungan kerja antara pemilik lahan dengan penggarap atau buruh tani, dan sistem pembayaran tenaga kerja. c) Pranata pada sistem panen adalah aturan yang mengatur bagaimana sistem panen atas komoditi yang diusahakan. 2. Perubahan sistem mata pencaharian adalah perbedaan pada kesempatan kerja dan pola pekerjaan petani saat sebelum dan sesudah terjadinya konversi tanaman komoditi. Perubahan ini diukur dengan metode penelitian kuantitatif. a) Kesempatan kerja adalah berubahnya peluang yang dimiliki oleh seseorang untuk mendapatkan pekerjaan pada saat ini dibandingkan dengan sebelum terjadinya konversi tanaman komoditi. Kesempatan kerja dibedakan menjadi dua, yakni kesempatan kerja di sektor pertanian dan kesempatan
17
kerja di sektor non-pertanian. Untuk mengetahui seberapa besar perubahan pada masing-masing jenis kesempatan kerja tersebut, maka digunakan: i. Perubahan kesempatan kerja di sektor pertanian adalah persepsi rumah tangga terhadap peluangnya untuk memperoleh pekerjaan di sektor pertanian setelah adanya konversi tanaman komoditi. Kesempatan kerja di sektor pertanian diukur dari kesempatan kerja paling mudah sampai kesempatan kerja paling sulit saat ini dibandingkan sebelum terjadinya konversi tanaman komoditi. Sangat sulit: tidak ada lagi kesempatan kerja, skor 1. Sulit: pekerjaan sedikit dan terbatas (misal hanya sebagai buruh tani), skor 2. Netral: sama saja (tidak ada perubahan kesempatan kerja), skor 3. Mudah: pekerjaan agak terbuka luas, skor 4. Sangat mudah: pekerjaan di sektor pertanian lebih besar dibandingkan dengan pekerjaan di sektor non-pertanian, skor 5. ii. Perubahan kesempatan kerja di sektor non-pertanian adalah persepsi rumah tangga terhadap peluangnya untuk memperoleh pekerjaan di sektor non-pertanian setelah adanya konversi tanaman komoditi. Kesempatan kerja di sektor non-pertanian diukur dari kesempatan kerja paling mudah sampai paling sulit saat ini dibandingkan sebelum terjadinya konversi tanaman komoditi. Sangat sulit: tidak ada lagi kesempatan kerja, skor 1. Sulit: pekerjaan sedikit dan terbatas, skor 2. Netral: sama saja (tidak ada perubahan kesempatan kerja), skor 3. Mudah: pekerjaan agak terbuka luas, skor 4. Sangat mudah: pekerjaan di sektor non-pertanian lebih besar dibandingkan dengan pekerjaan di sektor pertanian, skor 5. b) Perubahan pola pekerjaan adalah perbedaan kesibukan atau kegiatan responden yang dilakukan setiap hari untuk mencari nafkah akibat konversi tanaman komoditi. Pola pekerjaan diukur dari perubahan pekerjaan dari yang berada paling di luar sektor pertanian sampai pekerjaan yang termasuk paling sektor pertanian pada saat ini. i. Sangat buruk: dari petani penggarap menjadi pengangguran atau bekerja serabutan, skor 1. ii. Buruk: dari petani penggarap menjadi pekerja di sektor non-pertanian sebagai buruh, kuli bangunan, tukang ojek, pedagang keliling, dan sebagainya yang merupakan pekerjaan yang tidak menghasilkan gaji tetap, skor 2. iii. Sedang: dari petani penggarap bekerja di sektor non-pertanian yang mendapatkan gaji tetap per bulan, skor 3. iv. Baik: tetap bekerja sebagai petani penggarap atau buruh tani, skor 4 v. Sangat baik: saat ini bekerja di sektor pertanian dan non-pertanian, skor 5. 3. Perubahan pada hubungan sosial adalah perbedaan pada interaksi sosial seseorang saat ini dengan dahulu. Perubahan hubungan sosial terdiri dari perubahan hubungan antar warga. Perubahan pada hubungan antar warga adalah perbedaan interaksi antara warga yang satu dengan warga yang lainnya setelah adanya konversi tanaman komoditi dibandingkan sebelum terjadinya
18
konversi tanaman komoditi. Perubahan hubungan antar warga diteliti secara kualitatif. 4. Perubahan tingkat kesejahteraan adalah perbedaan pada ukuran seberapa tinggi atau rendah aspek-aspek kesejahteraan yang dirasakan responden. Tingkat kesejahteraan yang dirasakan responden dikategorikan secara dua, yakni kesejahteraan moril dan kesejahteraan materiil. Perubahan tingkat kesejahteraan diteliti secara kuantitatif. a) Kesejahteraan moril adalah perasaan aman dan nyaman yang dirasakan oleh responden atas kehidupan yang sekarang dibandingkan sebelum terjadinya konversi tanaman komoditi. Kesejahteraan moril dinyatakan oleh persepsi responden mengenai seberapa besar rasa aman atas pekerjaan termasuk pendapatan yang dihasilkan dari suatu pekerjaan yang dijalani serta persepsi responden mengenai rasa nyaman akan hubungannya dengan orang-orang disekitarnya. i. Persepsi rasa aman pekerjaan adalah rasa aman yang dirasakan atas pekerjaan beserta pendapatan yang dihasilkan oleh pekerjaan tersebut, yang diukur dengan tingkat mulai dari paling aman hingga paling tidak aman. Sangat aman: semua pekerjaan yang dilakukan responden pada saat ini sangat memberikan keamanan finansial untuk kehidupannya, skor 5. Aman: semua pekerjaan yang dilakukan responden pada saat ini dirasa cukup aman untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saat ini dan di masa yang akan datang, skor 4. Netral: semua pekerjaan yang dilakukan responden pada saat ini dirasa sama amannya dengan pekerjaan sebelum konversi tanaman komoditi, skor 3. Tidak aman: semua pekerjaan yang dilakukan responden pada saat ini dirasa kurang aman untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saat ini dan di masa yang akan datang, skor 2. Sangat tidak aman: semua pekerjaan yang dilakukan responden pada saat ini dirasa sangat tidak aman, skor 1. ii. Persepsi rasa nyaman hubungan adalah rasa nyaman yang dirasakan atas hubungan responden dengan orang-orang disekitarnya, baik itu dalam berinteraksi, bekerja sama, hingga tolong-menolong saat ini dibandingkan dengan sebelum konversi tanaman komoditi. Sangat nyaman: saya merasa sangat mudah untuk berinteraksi, bekerja sama, meminta tolong dan menolong dengan warga lain, skor 5. Nyaman: saya merasa cukup mudah untuk untuk berinteraksi, bekerja sama, meminta tolong dan menolong dengan warga lain, skor 4. Netral: kenyamanan akan berinteraksi, bekerja sama, dan tolongmenolong dengan warga Kumpay yang lain sama saja dengan sebelum terjadinya konversi tanaman komoditi, skor 3. Tidak nyaman: saya merasa tidak nyaman ketika harus berinteraksi dengan warga lain di Kumpay, skor 2. Sangat tidak nyaman: saya merasa sangat tidak nyaman ketika harus berinteraksi dengan yang lain dan merasa curiga dengan warga lainnya , skor 1.
19
b) Kesejahteraan materiil adalah kesejahteraan yang diukur berdasarkan nilainilai ekonomi dan keberadaan benda fisik yang berharga, yaitu pendapatan dan kepemilikan aset. i. Pendapatan adalah jumlah seluruh pemasukan yang diterima rumah tangga atas setiap pekerjaan yang dilakukannya saat ini dibandingkan sebelum terjadinya konversi tanaman komoditi. Pendapatan dibagi ke dalam 5 kategori dari yang sangat rendah hingga sangat tinggi dengan indikator yang ditentukan secara partisipatif menurut perspektif lokal. Sangat rendah: tidak memiliki penghasilan, skor 1. Rendah: memiliki penghasilan yang tidak tentu, skor 2. Sedang: memiliki penghasilan 15 ribu rupiah dalam beberapa hari sekali secara rutin, skor 3. Tinggi: memiliki penghasilan lebih dari sama dengan 30 ribu rupiah dalam beberapa hari sekali secara rutin atau setiap hari, skor 4. Sangat tinggi: memiliki penghasilan tetap dengan gaji di atas 1 juta rupiah, skor 5. ii. Kepemilikan aset adalah jumlah seluruh barang berharga yang dimiliki atau dikuasai rumah tangga yang terdiri dari kepemilikan lahan pertanian, penguasaan lahan pertanian, hewan ternak, dan kendaraan bermotor pada saat ini dibandingkan sebelum terjadinya konversi tanaman komoditi. Kepemilikan lahan pertanian adalah jumlah lahan pertanian yang dimiliki oleh setiap rumah tangga setelah terjadinya konversi tanaman komoditi dibandingkan dengan sebelum terjadinya konversi tanaman komoditi. Luas lahan pertanian diukur dari kepemilikan luas lahan pertanian yang paling sempit sampai paling luas dengan indikator yang ditentukan secara partisipatif menurut perspektif lokal. Tidak punya lahan: skor 1 Lahan sempit: 50 bata5, skor 2 Sedang: 51 bata – 100 bata, skor 3 Lahan luas: 101 bata – 150 bata, skor 4 Lahan sangat luas: 151 bata, skor 5 Penguasaan lahan adalah perubahan status lahan yang dikuasai oleh rumah tangga akibat konversi tanaman komoditi. Status ini diukur dari yang status paling rendah hingga paling tinggi. Sangat rendah: tidak punya lahan, skor 1 Rendah: tumpang sari, skor 2 Sedang: buruh tani atau bagi hasil, skor 3 Tinggi: sewa, skor 4 Sangat tinggi: milik, skor 5 Kepemilikan barang-barang berharga seperti ternak dan kendaraan bermotor diukur berdasarkan banyaknya jenis ternak dan kendaraan bermotor yang dimiliki oleh rumah tangga yang ditentukan secara partisipatif menurut perspektif lokal. Ternak: sangat rendah (tidak memiliki, skor 1); rendah (hanya memiliki ayam kampung, skor 2); sedang (hanya memiliki 5
1 bata = 14 m2
20
kambing atau domba, skor 3); tinggi (hanya memiliki sapi atau kerbau, skor 4); dan sangat tinggi (memiliki semua jenis hewan ternak atau lebih dari satu jenis, skor 5). Kendaraan bermotor: sangat rendah (tidak memiliki, skor 1); rendah (memiliki motor sebanyak 1 buah, skor 2); sedang (memiliki motor lebih dari 1, skor 3); tinggi (memiliki mobil, skor 4); sangat tinggi (memiliki mobil lebih dari 1 atau memiliki mobil dan motor, skor 5).
METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian eksplanatori karena penelitian ini berusaha menjelaskan hubungan kausal antara berbagai variabel yang ada di dalamnya melalui uji hipotesa (Singarimbun 1989). Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah perubahan pranata sosial pertanian komoditi nanas ke kelapa sawit, perubahan hubungan antar warga, perubahan sistem mata pencaharian, dan perubahan tingkat kesejahteraan petani. Variabelvariabel tersebut kemudian dibedakan menjadi 3, yaitu variabel independen, variabel dependen, dan variabel antara. Variabel perubahan pranata sosial pertanian komoditi nanas ke kelapa sawit adalah variabel independen karena mempengaruhi variabel di dalamnya. Variabel perubahan hubungan antar warga dan tingkat kesejahteraan menjadi variabel dependen karena berubah setelah mendapatkan pengaruh dari variabel independen (variabel perubahan pranata sosial pertanian komoditi nanas ke kelapa sawit). Sedangkan variabel antara adalah variabel perubahan sistem mata pencaharian, karena menjadi variabel yang mengubungkan antara variabel perubahan pranata sosial pertanian komoditi nanas ke kelapa sawit dengan perubahan tingkat kesejahteraan. Dengan kata lain, variabel perubahan pranata sosial pertanian komoditi nanas ke kelapa sawit memiliki pengaruh tidak langsung dengan perubahan tingkat kesejahteraan. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif digunakan untuk mengetahui pranata pertanian yang mengalami perubahan akibat konversi tanaman komoditi, dampak perubahan pranata pertanian terhadap hubungan antar warga, hubungan antara perubahan sistem mata pencaharian dengan hubungan antar warga, serta dampak perubahan hubungan antar warga dengan kesejahteraan secara moril. Adapun metode kuantitatif digunakan untuk mengetahui perubahan sistem mata pencaharian penggarap dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan yang dirasakan. Instrumen penelitian yang akan digunakan dalam metode kuantitatif adalah kuesioner yang telah disusun sedemikan rupa sehingga dapat memperoleh informasi yang dibutuhkan dari responden. Sedangkan instrumen untuk metode kualitatif adalah wawanacara mendalam, observasi, dan studi dokumentasi terkait.
Lokasi dan Waktu Penelitian Desa Kumpay, Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat dipilih menjadi lokasi bagi penelitian ini. Selain karena di desa ini telah terjadi kasus konversi tanaman komoditi, ada 2 alasan penting yang menjadi dasar dalam pemilihan lokasi. Pertama, komoditi yang dikonversi merupakan komoditi yang menjadi ciri khas dari Kota Subang, sehingga menjadi komoditi yang telah membudaya bagi masyarakat setempat. Komoditi yang telah membudaya tersebut tentu saja telah menciptakan berbagai pranata sosial pertanian yang khas. Oleh
22
karena itu, dapat dibayangkan bahwa jika komoditi yang membudaya tersebut diganti menjadi komoditi lain, maka akan berdampak bagi kehidupan petani nanas. Kedua, kasus konversi tanaman komoditi yang terjadi, yakni tahun 2007 belum terlalu lama dari waktu dilakukannya penelitian. Dengan kata lain, kasus tersebut masih hangat untuk diungkap, sehingga masyarakat masih mengingat bagaimana kondisi sebelum terjadinya konversi tanaman komoditi. Kegiatan penelitian ini berlangsung dari bulan Februari hingga Juni 2013 yang meliputi kegiatan penyusunan proposal penelitian, kolokium untuk memaparkan proposal penelitian, studi lapangan, penyusunan dan penulisan laporan, ujian skripsi, dan perbaikan laporan penelitian. Kegiatan dan waktu penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 2.
Teknik Pengambilan Informan dan Responden Sumber data pada penelitian ini menggunakan informasi yang berasal dari responden dan informan sebagai subyek penelitian. Informan merupakan pihak yang dianggap penting karena dapat memberikan keterangan mengenai dirinya sendiri, keluarga, pihak lain, atau lingkungannya. Informan pada penelitian ini adalah petugas kecamatan, aparatur desa, ketua LSM HPN (Himpunan Petani Nanas), tokoh masyarakat setempat, dan mantan mandor lahan kelapa sawit di lahan sengketa. Informan-informan tersebut dianggap mengetahui dengan jelas mengenai kasus konversi tanaman komoditi yang terjadi di desa lokasi penelitian. Tidak diikutkannya PT. Nagasawit sebagai salah satu informan dalam penelitian ini adalah karena sulitnya menemui pihak PT. Nagasawit. Perusahaan perkebunan ini dapat dikatakan tertutup ketika ditanyakan mengenai masalah sengketa lahan yang berujung pada konversi tanaman komoditi. Unit analisa dalam penelitian ini adalah rumah tangga petani korban sengketa lahan. Sedangkan unit observasi adalah kepala rumah tangga petani, atau dengan kata lain kepala rumah tangga petani dianggap sebagai responden yang akan diwawancarai dan diberikan kuesioner karena jawabannya dianggap dapat mewakili kondisi rumah tangganya. Alasan pemilihan unit analisa ini karena kesejahteraan erat kaitannya dengan kondisi rumah tangga. Sebanyak 30 rumah tangga petani diambil dari seluruh populasi. Sebenarnya terdapat sekitar 700 orang penggarap, namun kerangka sampling yang ada hanya berjumlah 435 orang saja. Kerangka sampling pun hanya dimiliki oleh LSM HPN, bukan kantor Desa Kumpay. Penetapan jumlah responden sebanyak 30 rumah tangga disebabkan jumlah tersebut telah memenuhi kurva sebaran normal penelitian, sehingga dianggap mewakili seluruh populasi. Pemilihan responden ini dilakukan dengan menggunakan metode simple random sampling karena populasi penelitian ini dianggap homogen atau dengan kata lain, berbagai karakteristik pada responden seperti umur, luas lahan yang dulu digarap, lama pengalaman menjadi petani, dan sebagainya dianggap tidak mempengaruhi hasil penelitian. Pengambilan responden dengan metode simple random sampling melalui aplikasi Excell 2007.
23
Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer didapatkan langsung melalui observasi di lapangan serta kuesioner dan wawancara mendalam yang ditanyakan langsung kepada responden. Data sekunder diperoleh dari kantor desa, kantor kecamatan, dan kantor LSM HPN atas dokumen-dokumen yang terkait penelitian ini, seperti dokumen tentang luas lahan yang dikonversikan, sejarah penguasaan lahan, jumlah petani yang menggarap lahan tersebut, dan sebagainya. Data sekunder juga diperoleh melalui berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini, yaitu buku, laporan hasil penelitian, artikel, dan sebagainya.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Terdapat dua data yang akan diolah dan dianalisis, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Analisis data secara kualitatif dilakukan secara tiga tahap, yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi. Proses reduksi data dimulai dari proses pemilihan, penyederhanaan, abstraksi, hingga transformasi data hasil wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumen. Pereduksian data bertujuan untuk mempertajam, menggolongkan, mengarahkan, dan membuang data yang tidak perlu. Penyajian data merupakan tahap setelah reduksi yang berupa menyusun segala informasi dan data yang diperoleh menjadi serangkaian katakata yang mudah dibaca ke dalam sebuah laporan. Terakhir adalah tahap verifikasi yang merupakan penarikan kesimpulan dari hasil yang telah diolah pada tahap reduksi. Analisis data kuantitatif menggunakan aplikasi Microsoft Excell 2007 dan PASW Statistics 18. Aplikasi Microsoft Excell 2007 berfungsi untuk membuat tabel frekuensi, grafik, dan diagram untuk melihat data awal responden untuk masing-masing variabel secara tunggal. Sedangkan, PASW Statistics 18 digunakan untuk membantu dalam uji statitistik yang menggunakan tabulasi silang dan Rank Spearman. Taraf nyata yang digunakan dalam pengolahan data kuantitatif adalah 99% atau nilai sebesar 1%. Sedangkan, untuk mengetahui kuat atau lemahnya korelasi antara dua variabel yang diuji, maka digunakan pendapat Sarwono (2009) yang membagi kuat dan lemahnya hasil perhitungan uji statistik ke dalam 6 kriteria, yaitu: 1. Nilai hitung sebesar 0: tidak ada ada korelasi 2. Nilai hitung sebesar > 00.25: korelasi sangat lemah 3. Nilai hitung sebesar > 0.250. 5: korelasi cukup 4. Nilai hitung sebesar > 0.50.75: korelasi kuat 5. Nilai hitung sebesar > 0.750.99: korelasi sangat kuat Nilai hitung sebesar 1: korelasi sempurna 6.
DESA KUMPAY: DAHULU DAN SEKARANG Kumpay adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Desa ini memiliki luas sebesar 729 hektar, yang mayoritas penggunaan lahan terbesar adalah lahan perkebunan, yaitu sebesar 49.2% dari total luas desa atau sebesar 359 368 hektar. Desa Kumpay berbatasan dengan Desa Cirangkong pada sebelah utara, Desa Kasomalang Kulon di sebelah selatan, Desa Bojong Loa disebelah timur, dan Desa Tambak Mekar di sebelah barat. Desa ini terletak tak jauh dari jalan raya yang menjadi terkenal menjadi alternatif bagi masyarakat yang ingin ke Bandung dan Purwakarta, yakni Jalan raya Jalancagak. Selain itu, secara langsung Desa Kumpay dilintasi oleh jalan yang menjadi alternatif pengguna jalan yang ingin menuju ke daerah Sumedang. Dengan dilintasi oleh kedua jalan yang penting ini, maka dapat dikatakan masyarakat Kumpay memiliki mobilitas yang tinggi. Hal tersebut menyebabkan masyarakat desa sudah pasti memiliki dinamika yang tinggi. Desa Kumpay memiliki jumlah penduduk sebesar 3 821 jiwa dengan proporsi jumlah penduduk perempuan dan laki-laki dapat dilihat pada Gambar 3. Mayoritas masyarakat Kumpay bermatapencaharian sebagai petani dan buruh tani sebesar 20% dari jumlah populasi atau 793 jiwa. Sisanya tersebar pada pekerjaan di sektor non-pertanian, seperti pedagang keliling, pensiunan PNS, pembantu rumah tangga, pengusaha kecil dan menengah, karyawan swasta, dan sebagainya. Mengenai masalah pendidikan, mayoritas warga Kumpay memiliki pendidikan terakhir Sekolah Dasar (SD). Hal ini disebabkan mayoritas penduduk Kumpay adalah warga yang telah berumur di atas usia 30 tahun atau generasi tua, dimana pada zaman dahulu Desa Kumpay memiliki fasilitas pendidikan yang terbatas dan kondisi kesejahteraan yang kurang memungkinkan untuk bersekolah. Namun saat ini, Desa Kumpay dapat dikatakan memiliki fasilitas pendidik yang baik. Di desa ini terdapat fasilitas Pendidikan Anak Usia Dasar (PAUD), Taman Kanak-kanak (TK), dan Sekolah Dasar (2 buah). Selain itu, fasilitas jalan desa juga dikatakan memiliki kondisi yang baik, sehingga memudahkan warga desa untuk melakukan mobilisasi.
Gambar 3 Proporsi Penduduk Laki-laki dan Perempuan Desa Kumpay
25
Kondisi Desa Kumpay Sebelum Terjadinya Peristiwa Pembabatan Tahun 1998 hingga tahun 2007 merupakan tahun-tahun terbaik bagi Desa Kumpay dan masyarakatnya. Pada rentang tahun tersebut, masyarakat Kumpay banyak yang menjadi petani penggarap pada lahan yang disebut masyarakat sebagai lahan ex-HGU PT. Nagasawit. Puncak kejayaan untuk masyarakat Kumpay, khusunya petani penggarap adalah tahun 2003 hingga tahun 2007. Tahun 1998 hingga tahun 2003 masyarakat merasa sejahtera karena memiliki lahan garapan yang artinya mereka memiliki pekerjaan dan pemasukan tetap. Sedangkan ketika tahun 2003 hingga 2007, Kumpay benar-benar mencapai masa keemasannya dimana mayoritas petani penggarap menanam tanaman nanas yang membuat tanaman nanas menjadi tanaman khas daerah Subang dengan bukti dibangunnya tugu nanas yang letaknya tak jauh dari jalan raya Jalancagak.
Gambar 4 Tugu nanas Subang
Majunya perekonomian desa dan masyarakat dibuktikan dengan kondisi fisik dari bangunan-bangunan rumah masyarakat desa, khususnya yang menjadi petani penggarap, serta berbagai kepemilikan barang-barang berharga yang dimiliki. Hal tersebut seperti yang diceritakan oleh seorang informan, yakni Bapak MH bahwa “pas lagi masih pada garap nanas petani makmur semua. Itu sekarang rumah-rumah keliatan bagus ya sisa-sisa dari jaman dulu. Rumah bagus teh saksi dari kejayaan petani. Dulu juga mobil-mobil diparkir sepanjang jalan yang di depan sini.”. Hal serupa juga diungkapkan oleh Bapak KR, “jaman masih garap lahan PT (PT. Nagasawit-red) setiap rumah minimal punya motor, ada yang punya mobil tiga. Rumah juga pada dibangun bagus, ditingkat.” Sebelum terjadinya konversi tanaman komoditi atau yang disebut oleh masyarakat setempat sebagai peristiwa pembabadan, masyarakat merasakan apa yang dinamakan kesejahteraan. Selain kesejahteraan fisik yang dirasakan, dalam artian kepemilikan barang-barang berharga dan fasilitas yang bagus, masyarakat juga merasakan kesejahteraan yang dirasakan secara batin. Perasaan yang dirasakan oleh masyarakat ini disebabkan perasaan aman dan nyaman yang dirasakan oleh masyarakat atas hidupnya. Ketika menjadi petani penggarap,
26
mereka merasakan keamanan dari segi pekerjaan termasuk penghasilan yang didapatkan. Selain itu, sebelum peristiwa pembabadan, keluarga penggarap nanas sering melakukan jalan-jalan untuk melepaskan penat. Kehidupan bermasyarakat juga rukun dan aman, terjalin kehidupan yang harmonis antar sesama. Bukti lain yang menunjukkan betapa sejahtera masyarakat Kumpay adalah banyaknya warung-warung kecil yang dibuka yang terlihat sepanjang jalan ataupun yang berada di dalam (di dalam gang-gang). Akibat adanya pendapatan lebih yang dapat disisihkan, maka banyak warga yang membuka usaha warung kelontong atau warung makan untuk tambahan pemasukan sehari-hari. “Dulu mah banyak warung yang buka di rumah-rumah. Sepanjang jalan ini aja udah ga keitung warung yang buka.” –Ibu ON
Kondisi Desa Kumpay Setalah Terjadinya Peristiwa Pembabatan Pada pertengahan tahun 2007, merupakan titik balik bagi Desa Kumpay terutama masyarakat yang menjadi petani penggarap pada lahan eks-HGU PT. Nagasawit. Saat itu terjadi peristiwa yang tidak akan pernah dilupakan oleh masyakarat, yakni peristiwa yang disebut oleh masyarakat Kumpay sebagai peristiwa pembabadan. Ujung dari peristiwa ini adalah bergantinya komoditi pada lahan tersebut yang sebelumnya nanas menjadi kelapa sawit. Setelah peristiwa pembabatan dan bergantinya komoditi di atas lahan tersebut, kehidupan masyarakat mengalami perubahan besar-besaran. Komoditi kelapa sawit yang diharapkan meningkatkan kualitas kehidupan penggarap karena nilai ekonomis yang lebih tinggi dari nanas, ternyata malah membuat hampir seluruh penggarap kehilangan pekerjaan sebagai petani. Petani penggarap dan keluarganya menjadi satu-satunya pihak yang tersingkir dalam usaha tani di lahan sengketa tersebut. Dampak dari hal tersebut adalah berubahnya kehidupan masyarakat, khususnya warga yang menjadi petani Perlahan tapi pasti kehidupan petani penggarap mengalami perubahan ke arah yang negatif. Kehilangan lahan garapan dan mata pencaharian membuat tatanan kehidupan yang semula harmonis menjadi hilang. “Kalo mau ketemu bapak-bapak pagi-pagi mah banyakan ada. Orang sekarang bapak-bapaknya pada ongkang-ongkang kaki. Ongkang-ongkang kaki bukan berarti duit dateng sendiri. Maksudnya teh pada jadi pengangguran ga tau mau kerja apa lagi.” –Bapak MH Saat ini jelas terlihat bagaimana perubahan dan dampak dari peristiwa pembabatan pada desa dan masyarakat Kumpay. Rumah-rumah yang terlihat bagus dari luar adalah saksi bisu atas kejayaan yang pernah dirasakan. Rumahrumah penggarap memang bagus terlihat dari luar, tetapi ketika masuk ke dalamnya, maka jelas bagaimana sengsaranya kehidupan penggarap mereka saat ini. Rumah-rumah tersebut sudah rusak disana-sini, bukti bahwa mereka tidak lagi memiliki dana untuk memperbaiki rumah. Pada beberapa rumah terlihat bekas garasi mobil yang kini tidak ada isinya lagi. Begitupun dengan kandang-kandang ternak yang letaknya tak jauh dari rumah, kini sepi tanpa adanya suara-suara
27
binatang ternak. Garasi dan kandang adalah sisa-sisa kejayaan yang kini diterima oleh petani penggarap. Selain itu, saat ini banyak warung-warung kecil yang gulung tikar akibat ketiadaan modal dari pemilik yang dahulunya adalah penggarap. ”Kalo liat-liat di rumah warga bisa keliatan kan kalo ada yang punya garasi tapi ga punya mobil. Ada yang punya kandang kambing tapi ga ada kambingnya. Semua udah dijual sama petani. Apalagi pas masa transisi dari abis pembabatan. Itu keadaan bener-bener susah. Petani banyak yang bingung mesti jual apa lagi.” –Bapak DD “Udah keliatan sekarang mah, warung-warung pada hampir-hampir bangkrut. Ga ada yang beli, siapa lagi yang mau beli. Kalo dulu mah pada suka nongkrong di warung kalo abis pada cape mikul nanas.” –Bapak KK Di Desa Kumpay sendiri saat ini yang sering terlihat adalah banyaknya lakilaki atau bapak-bapak yang sering nongkrong-nongkrong di pinggir jalan. Selain itu, setelah peristiwa pembabatan, mulai bermunculan pos-pos tukang ojek. Menurut warga setempat, petani penggarap banyak yang kini beralih menjadi tukang ojek. Hal lain yang dapat ditemui adalah banyaknya kuli bangunan yang sedang bekerja. Menurut warga, mereka adalah mantan petani penggarap yang kehilangan lahan garapannya. “Yang jadi tukang ojek sama kuli bangunan emang banyak. Tapi kan karena saking banyaknya yang jadi tukang ojek juga susah, banyak saingan. Ditambah lagi yang jadi penumpang juga jarang.” –Bapak SN “Saya emang jadi kuli bangunan. Tapi ya kan ga tiap hari orang-orang bangun rumah. Jarang-jarang aja, itu aja kalo ada yang ngajak.” –Bapak OC
Arti Penting Lahan Garapan dan Usaha Tani Nanas Madu Bagi Masyarakat Bekerja menjadi petani adalah anugerah besar bagi seluruh petani penggarap di Desa Kumpay. Meskipun lahan yang digarap bukan lahan milik mereka, namun mereka merasa sangat bahagia pada saat itu. Dengan mengelola sebuah lahan garapan, petani bisa menghidupi keluarganya, mengajak jalan-jalan keluarganya, menyekolahkan anaknya, dan membahagiakan keluarganya. Menggarap lahan menjadi hal yang patut disyukuri karena saat itu di antara mereka jarang yang memiliki lahan. Ketika menerima keputusan bahwa masyarakat Kumpay dapat memanfaatkan lahan tidur HGU PT. Nagasawit, mereka sangat senang. Sayangnya tidak semua warga mendapatkan kesempatan untuk menggarap lahan tersebut. Hal tersebut disebabkan saat itu tidak ada peraturan yang mengatur luas lahan yang dapat digarap. Istilah “siapa cepat dia dapat” berlaku pada waktu itu. Masyarakat yang memiliki tenaga kerja keluarga yang banyak dan modal yang banyak sehingga dapat memberi upah orang untuk bekerja, maka dapat dipastikan memiliki luas lahan garapan yang besar. Luas lahan garap yang digarap
28
masyarakat beragam, ada yang mendapatkan garapan sangat luas hingga mecapai 1 hektar, hingga dapat dikatakan sedikit 2 patok6 atau sekitar 50 bata. Akan tetapi hal tersebut tidak lantas membuat warga yang tidak mendapatkan lahan menjadi kecewa. Mereka terkadang bekerja menjadi buruh tani pada lahan garapan. Mengetahui fakta tersebut, terlihat betapa pentingnya memiliki hak untuk menggarap lahan bagi masyarakat Kumpay. “Pas punya lahan garapan hidup teh rasanya udah tenang, damai gitu. Rasanya menjanjikan aja ngegarap lahan.” –Bapak KR “Emang sih rasanya gimana gitu ga kebagian lahan garapan. Sirik aja neng. Tapi ga apa-apa lah, saya masih bisa kerja juga di lahan garapan punya orang yang dapet.” –Bapak TH Subang menjadi daerah yang terkenal akan nanasnya. Nanas yang dihasilkan pun berbeda dengan nanas dari daerah lain. Nanas Subang dikenal oleh banyak konsumen dengan rasanya yang manis dibandingkan dengan nanas pada umunya. Karena rasannya yang khas itulah nanas Subang kadang disebut sebagai nanas madu atau si madu oleh masyarakat Kumpay. Mengetahui betapa terkenalnya nanas Subang, dapat dibayangkan nilai ekonomis yang tinggi dan pendapatan yang dapat dihasilkan oleh petani nanas. Oleh karena itu, dapat dikatakan nanas madu juga memiliki arti penting tidak hanya pada kehidupan petani penggarap, namun juga bandar nanas, penjual nanas, anak-anak kecil, bahkan masyarakat desa. “Makan nanas udah kaya hiburan aja buat saya ama keluarga”. –Bapak HM “Ganas (nanas-red) madu ini cuma ada di Subang aja. Ga bisa ditanem di daerah lain rasanya ga bakal manis kaya ditanem disini. Malah ada kepercayaan kalo kita beli ganas madu terus dibawa pulang keluar Subang rasanya udah kurang enak lah. Maksudnya beda kalo makan di Subang. Itu keistimewaan si madu.” –Bapak SN “Dulu kalo bapak abis panen nanas suka ada yang dibawa pulang, terus kita semua pada ngumpul makan si madu bareng-bareng. Seneng banget kaya gitu juga. Rasanya kan enak yah. Tapi coba sekarang sedih saya mah. Kalo lagi kepengan si madu nyarinya mesti susah terus kan kalo beli di pedagang juga harganya mahal, mending uang buat makan nasi.” –Ibu DI, putri Bapak DD
6
1 patok = 25 bata, 1 bata = 14 m2
DINAMIKA SENGKETA LAHAN: SEJARAH KEPEMILIKAN DAN PENGUASAAN LAHAN HINGGA KONVERSI TANAMAN KOMODITI Sejarah Panjang Kepemilikan, Penguasaan, dan Garapan Lahan Eks-HGU PT. Nagasawit* Di dalam kehidupan manusia, sebidang lahan selalu terkait dengan setiap tindak tanduk tingkah laku manusia. Lahan adalah tempat bagi semua manusia untuk memulai, menjalani, dan mengakhiri kehidupannya. Atas kodrat tersebut lahan selalu dibutuhkan oleh setiap manusia. Kebutuhan akan lahan berbanding lurus dengan peningkatan penduduk. Pernyataan tersebut memiliki makna bahwa saat ini seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, maka kebutuhan lahan semakin meningkat. Namun, permasalahannya terletak pada lahan merupakan sumber daya yang sulit untuk diperbaharui. Keterbatasan jumlah lahan membuat manusia harus berusaha keras untuk mendapatkan hak atas sebidang lahan. Tak jarang usaha keras tersebut berujung pada konflik antar sesama manusia. Melihat betapa pentingnya lahan, maka diperlukan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antar manusia dengan tanah dan manusia dengan manusia di atas sebuah tanah. Kaidah-kaidah tersebut dapat memberikan penjelasan mengenai masalah kepemilikan dan penguasaan lahan. Berbicara mengenai siapakah yang memiliki dan menguasai sebuah lahan, maka harus ditelusuri dahulu bagaimanakah sejarah panjang dari lahan tersebut. Terlebih jika lahan yang dibicarakan adalah lahan sengketa, seperti yang terdapat di Desa Kumpay, Subang. Di desa ini, terjadi kasus sengketa lahan pertanian antara masyarakat dengan PT. Nagasawit. Sengketa lahan ini memperebutkan hak penguasaan atas sebuah lahan seluas 300 hektar. Dengan mengetahui sejarah lahan ini, kita juga akan mengetahui siapakah pihak yang memiliki hak atas tanah ini. Tanah sengketa seluas 300 hektar yang terdapat di Desa Kumpay, atau yang biasa disebut oleh masyarakat setempat sebagai tanah eks-HGU PT. Nagasawit, awalnya termasuk ke dalam tanah eigendom verponding. Tanah eigendom verponding adalah tanah yang pada saat masa penjajahan Belanda merupakan tanah milik pribumi yang digunakan untuk perkebunan kolonial7. Klaim atas tanah verponding ini dibuktikan dengan adanya surat-surat kepemilikan atas nama Nyi Mas Enjteh, yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Subang No. 16-17-18 dan 21/PDT-P/2006. Pada tahun 1978, karena tanah ini belum jelas asal-usul kepemilikannya, maka oleh pemerintah Indonesia tanah ini di Hak Guna Usaha-kan kepada PTP 10 yang saat ini bernama PT. Nagasawit. Tanah yang diberikan HGU kepada PT. Nagasawit seluas 1,911 hektar. Pemberian HGU dilakukan demi keperluan perkebunan teh. Pada saat yang sama, yakni awal-awal masa pemberian HGU,
* Bukan nama sebenarnya. Nama samaran digunakan agar tidak ada pihak yang merasa dicemarkan nama baiknya. 7 Hasil wawancara dengan ketua LSM Himpunan Petani Nanas, Bapak MH.
30
pihak PT. Nagasawit telah menelantarkan lahan tersebut sebesar 30% tanpa alasan yang jelas. Tahun demi tahun berlalu, penelantaran lahan tersebut oleh PT. Nagasawit semakin menjadi. Akibat dari penelantaran, lahan-lahan tersebut menjadi semak belukar yang dihuni oleh binatang-binatang liar, seperti babi hutan, ular, dan lainlain. Semenjak tahun 1978, memang terdapat segelintir orang yang telah mencoba memanfaatkan lahan tersebut. Namun jumlahnya hanya sedikit dan dapat dihitung dengan jari. “Dulu ibu mesti menebas semak belukar, kadang ketemu sama babi hutan, ular, buat buka lahan buat ditanemin jagung. Ga banyak palingan orang yang garap. Satu dua oranglah.” –Ibu NH, warga pertama yang membuka lahan terlantar Hingga pada tahun 1998, ketika krisis moneter melanda bangsa Indonesia, atas inisiatif beberapa warga, maka lahan yang ditelantarkan tersebut diajukan agar menjadi garapan warga setempat. Mereka mengajukan permohonan pemanfaatan lahan kepada Bupati Subang dengan diketahui oleh Kepala Desa Kumpay, dengan nomor surat 02/AM/UM/98. Kemudian, surat tersebut ditanggapi oleh Bupati Subang dengan cara melanjutkan surat tersebut atau menyurati direksi PT. Nagasawit dengan nomor surat 593/1047/Tapem tanggal 4 Juli 1998. Selanjutnya, direksi PT. Nagasawit menerima baik itikad masyarakat dengan menerbitkan 3 buah surat, yakni surat tentang pemanfaatan lahan tidur (No. SB/D. IV/2642/VII/1998), pinjam pakai untuk tanaman semusim (No. SB/D. III/4169/X/1999), dan penggarapan tanah perkebunan Tambaksari dan adanya PBB dan kompensasi yang harus dibayar oleh penggarap (No. D. IV/TAS/212/VII/98). Setelah penerbitan surat tersebut, kemudian dibuatlah surat perjanjian antara PT. Nagasawit dengan masing-masing ketua kelompok tani. Setelah surat tersebut diterima mulailah warga Kumpay menggarap lahan tersebut. Petani yang menggarap pada saat itu sekitar 700 kepala keluarga. Awal mula penggarapan tersebut, petani menanaminya dengan tanaman semusim sesuai perjanjian, seperti kacang tanah, padi, jagung, singkong, ubi, dan sebagainya. Petani pun membayar uang PBB dan kompensasi atau yang disebut petani uang sewa lahan yang berkisar antara Rp30 hingga Rp50.4 per meter persegi per tahun.
31
Gambar 5 Surat perjanjian penggarapan lahan antara petani dengan PT. Nagasawit
Pada tahun 2000, PT. Nagasawit mengajukan perpanjangan Hak Guna Usaha lahan tersebut kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kemudian, pada tahun 2001 BPN menyatakan bahwa tidak ada masa perpanjangan Hak Guna Usaha lahan tersebut. Pada saat itu PT. Nagasawit tidak melakukan upaya-upaya hukum untuk memperpanjang masa HGU lahan tersebut. PT. Nagasawit seperti menerima keputusan BPN. Waktu pun berlalu, hingga sampai pada tahun 2003, dimana resmi PT. Nagasawit tidak lagi memiliki hak atas tanah tersebut. Berdasarkan fakta tersebut, maka petani penggarap pun mulai berhenti membayar uang sewa lahan kepada PT. Nagasawit, karena dengan berakhirnya HGU yang dimiliki PT. Nagasawit, maka berakhir pula perjanjian petani dengan PT. Nagasawit. Kemudian, pada saat yang sama penggarap pun mulai mengganti komoditinya menjadi tanaman tahunan. Tanaman tahunan tersebut adalah nanas, pisang, dan kayu olahan. Namun, mayoritas tanaman yang ditanam adalah nanas. Pemilihan nanas adalah karena nilai jual nanas lebih tinggi daripada tanaman lainnya. Akibat hal tersebut adalah Kecamatan Jalancagak terkenal sebagai penghasil nanas terbesar di Subang, dan Subang terkenal sebagai daerah asli penghasil nanas madu. Bukti dari hal ini adalah dengan dibangunnya tugu nanas yang letaknya berada di simpangan Jalan raya Jalancagak.
32
Program Kelapa Sawit Masuk Jawa: Kebijakan Sepihak PT. Nagasawit Kelapa sawit merupakan komoditi perkebunan yang sedang “naik daun” di dunia. Tanaman yang biasa disebut sebagai raja tanaman karena ketidaktoleransiannya terhadap tanaman lain yang hidup didekatnya, memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Melihat potensi itu Indonesia sebagai negara tropis terus mengembangkan perkebunan kelapa sawit. Saat ini banyak perusahaanperusahaan perkebunan entah itu negeri maupun swasta berlomba-lomba mengembangkan usaha kelapa sawit. Akibatnya, para perusahaan tersebut terus mencari lahan-lahan yang sesuai untuk usaha perkebunan kelapa sawit. Salah satu perusahaan tersebut adalah PT. Nagasawit yang memiliki program pengembangan kelapa sawit di Pulau Jawa. Lahan yang diincar oleh PT. Nagasawit ini salah satunya berada di Desa Kumpay, Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Waktu silih berganti, kehidupan petani penggarap Desa Kumpay mulai harmonis. Kesejahteraan mereka mulai terlihat dan mereka memiliki kehidupan yang stabil. Kemudian, pada tahun 2007 tersiar kabar bahwa PT. Nagasawit akan menanami lahan tersebut dengan tanaman kelapa sawit. Kabar tersebut menjadi nyata, setelah pada tanggal 17 Febuari 2007, Camat Jalancagak menerima sebuah surat dari PT. Nagasawit mengenai rencana perusahaan perkebunan yang akan menanami kelapa sawit pada lahan yang digarap oleh petani, dan meminta camat melakukan sosialisasi kepada penggarap. Tanpa diduga pihak kecamatan pun seperti memberikan restu kepada PT. Nagasawit dengan mengeluarkan surat instruksi kepada seluruh desa di Kecamatan Jalancagak, untuk melaksanakan sosialisasi tersebut, dengan nomor surat SB/TAS. 148/II/2007. Petani penggarap pun tidak mengetahui apa alasan PT. Nagasawit melakukan hal tersebut. Fakta yang diketahui oleh penggarap adalah PT. Nagasawit tidak lagi memiliki HGU atas lahan tersebut, yang artinya PT. Nagasawit tidak memiliki hak untuk menanami lahan tersebut. Namun, pertanyaan para penggarap hilang seiring dengan tindakan pembabatan yang dilakukan oleh PT. Nagasawit. Aksi-Reaksi Petani Penggarap Suatu pagi di bulan Juli 2007, tepatnya tanggal 16 Juli 2007, menjadi saat yang tidak akan pernah dilupakan oleh petani penggarap lahan sengketa atau lahan eks-HGU PT. Nagasawit. Mereka ingat pada tanggal itu adalah tanggal dimulainya kemunduran dalam hidup mereka. Masih jelas dalam ingatan mereka bagaimana pihak PT. Nagasawit melakukan pembabatan. Pada saat itu PT. Nagasawit memberikan perintah kepada mandor kebun dan beberapa karyawan untuk membabat habis lahan yang digarap petani. Kedatangan karyawan PT. Nagasawit tidak sendiri, mereka dibekali oleh ratusan orang anggota keamanan yang bersenjata lengkap. “Masih inget saya mah pas lagi di lahan tiba-tiba dateng aja itu orangorang PT (PT. Nagasawit-red) sama tentara. Dateng tiba-tiba langsung ngerusak taneman ganas (nanas-red) milik warga.” –Bapak DD
33
Aksi pembabatan yang dilakukan pihak PT. Nagasawit membuat masyarakat sedih sekaligus geram. Pasalnya, tanaman-tanaman nanas tersebut dalam waktu beberapa bulan lagi akan dipanen. Para penggarap telah membayangkan keuntungan yang akan mereka terima karena waktu panen yang dinanti bertepatan dengan bulan puasa. Selain itu, pembabatan dilakukan tanpa adanya pemberitahuan secara langsung kepada penggarap. Sikap PT. Nagasawit yang dinilai arogan oleh penggarap ini sangat disayangkan oleh penggarap. Menurut mereka, seharusnya PT. Nagasawit mengajak mereka musyawarah terlebih dahulu. “Ga ada sama sekali orang PT (PT. Nagasawit-red) yang ngasih tau langsung ke kita masalah pembabatan. Orang desa juga ga ada yang dateng ngasih tau. Tiba-tiba langsung main babat aja. Kalo mau sosialisasi seharusnya jangan ke desa, langsung ke petani! Ini mah jangankan sosialisasi, musyawarah pun ga ada.” –Bapak MH Masyarakat tidak hanya diam menjadi saksi bisu atas aksi pembabatan yang dilakukan orang-orang PT. Nagasawit. Mereka melakukan perlawanan dengan seluruh kemampuan mereka. Mereka berusaha menghadang petugas PTPN dan keamanan. Mereka dengan berani menghadang alat-alat berat yang digunakan petugas, seperti bulldozer. Namun, perlawanan mereka berujung pada kekecewaan. Meskipun petani penggarap secara jumlah lebih banyak daripada orang-orang yang diperintahkan PT. Nagasawit, mereka mengalami kekalahan. Hal tersebut disebabkan pihak keamanan yang menyertai karyawan PT. Nagasawit, membawa persenjataan. Bahkan beberapa petani ada yang mendapatkan tindakan penganiayaan oleh pihak keamanan tersebut. Ujung dari perlawanan mereka adalah habisnya seluruh tanaman nanas yang ditanam oleh petani penggarap. Sikap petani yang akhirnya pasrah menerima kenyataan lahan mereka dibabat, bukan berarti menerima. Para petani penggarap ini tetap tidak bisa menerima perlakuan pihak PT. Nagasawit. Mereka tidak habis pikir mengapa PTPN tidak memikirkan nasib mereka. Padahal mereka mengaku selalu membayar uang sewa lahan kepada PT. Nagasawit. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak AB. “Yah jangankan sosialisasi, uang ganti rugi aja kita ga dapet. Udah abisabisan pokona mah.” –Bapak AB “Sakit hatinya kita mah ya itu neng orang PT (PT. Nagasawit-red) langsung main babat aja. Padahal kita udah bilang ke tukang-tukang jangan dibabat dulu tungguin sampe panen. Ini mah bentar lagi mau dipanen tetep aja tega dibabat. Terus pas mau kita ambil bibit sama sisa-sisa buahnya juga udah pada ga ada. Yang disisainnya cuma bonggol nanas sama sampah-sampah.” –Bu EH Pada awalnya, masyarakat sebenarnya ingin melawan PT. Nagasawit dengan jalan kekerasan. Petani penggarap berpikir hanya itulah yang dapat mereka lakukan. Dalam kondisi yang genting tersebut munculah sosok opinion
34
leader dalam masyarakat. Sosok opinion leader ini bukanlah pemimpin desa. Beliau juga sama seperti yang lainnya, yakni seorang petani penggarap. Beliau juga tidak mengenyam pendidikan bangku kuliah. Modal beliau adalah berani mengutarakan apa yang ada di isi hatinya dan isi hati petani penggarap. Akhirnya, dengan ide beliau dan beberapa orang, terbentuklah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak petani penggarap. LSM ini kemudian diberi nama Himpunan Petani Nanas (HPN). Secara garis besar, kronologi peristiwa sengketa lahan eks-HGU PT. Nagasawit beserta sejarah kepemilikan dan penggarapan lahan dapat dilihat pada Gambar 6.
35
1978 PT. Nagasawit mendapatkan Hak Guna Usaha lahan untuk kebun Tambaksari dan kebun Ciater
30% dari lahan HGU telah ditelantarkan
1998 Krisis moneter: warga Kumpay dengan diwakili beberapa orang mengajukan permohonan menggarap lahan yang ditelantarkan
Permohonan dikabulkan oleh pihak PT. Nagasawit
Surat dari direksi PT. Nagasawit mengenai perjanjian penggarapan lahan HGU PT. Nagasawit dengan petani
2000 PT. Nagasawit mengajukan perpanjangan lahan HGU kepada Badan Pertanahan Nasional
Permohonan perpanjangan lahan ditolak oleh BPN
2007 PT. Nagasawit mengirimkan surat kepada Camat Jalancagak mengenai penanaman kelapa sawit di atas lahan yang digarap masyarakat dengan menyebutkan izin dari Bupati Subang
JuliDesember 2007 PT. Nagasawit secara bertahap membabat habis tanaman nanas di atas lahan garapan kemudian ditanami dengan kelapa sawit
Gambar 6 Kronologi kasus sengketa lahan eks-HGU PT. Nagasawit
DUA SISI PRANATA SOSIAL PERTANIAN DESA KUMPAY: PRANATA NANAS DAN PRANATA KELAPA SAWIT Salah satu bentuk kegiatan manusia yang memiliki pranata yang khas dan mungkin saja memiliki perbedaan antara daerah yang satu dengan yang lain adalah pranata pada kegiatan pertanian. Pranata ini mengatur setiap aktor-aktor yang berkaitan pada lahan pertanian tersebut. Hal tersebut berlaku pada kegiatan usaha tani yang dilakukan pada lahan sengketa di Desa Kumpay atau yang dapat disebut sebagai lahan eks HGU PT. Nagasawit. Seperti yang telah disebutkan di awal, jika dalam kehidupan yang memiliki pranata di dalamnya mengalami perubahan, meskipun hanya satu aspek saja, makan akan mengubah pranata tersebut. Setiap kegiatan manusia memiliki pranata yang khas yang fungsinya sebagai peraturan. Segala bentuk peraturan, baik itu tertulis maupun tidak tertulis dapat dikatakan sebagai pranata. Inti dari pranata adalah peraturan yang mengatur kebiasan manusia untuk melakukan kegiatan dan berhubungan satu dengan yang lainnya. Tujuan dari permasalahan sengketa lahan yang terjadi di Kumpay adalah mengganti tanaman warga menjadi kelapa sawit. Mayoritas komoditi yang ditanam oleh warga pada lahan tersebut adalah tanaman nanas. Bergantinya komoditi, yakni dari nanas ke kelapa sawit menyebabkan perubahan pranata pertanian yang harus dijalani oleh setiap aktor yang terlibat dalam lahan tersebut. Hal tersebut disebabkan sistem berusaha tani tanaman nanas dan kelapa sawit memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut akan dijabarkan melalui dua subbab, yakni pranata ketika nanas dan kelapa sawit.
Pranata Sosial Pertanian Komoditi Nanas: Pranata yang Merangkul Banyak Pihak Subang, merupakan sebuah daerah yang terkenal akan komoditi nanas. Nanas Subang biasa disebut oleh masyarakat sebagai nanas madu atau “si madu”. Nanas madu ini dapat dikatakan sebagai tanaman endemik karena hanya tumbuh di daerah Subang yang daerah produksi terbanyak berada di Jalancagak. Hal ini diperkuat oleh pernyataan bapak SH. “Nanas subang atau disebut orang sini si madu mah udah terkenal banget. Cuma bisa tumbuh disini aja neng. Kalo ini nanas ditanem di daerah lain rasanya ga bisa manis dan enak kaya gini. Gara-gara dulu saking terkenalnya nanas dari Subang disini sampe dibikin tugu nanas.” –Bapak DD Tak jauh berbeda dengan usaha tani tanaman lainnya, kegiatan usaha tani nanas terdiri dari 4 kegiatan utama, yaitu pembibitan, penanaman, pemeliharaan, dan panen. Untuk kegiatan pembibitan, biasanya hanya dilakukan oleh penggarap sendiri. Untuk kegiatan penanaman, penggarap biasanya mempekerjakan petani laki-laki penggarap lainnya. Sedangkan, kegiatan peran perempuan, atau istri penggarap, terlihat pada kegiatan pemeliharaan. Mereka membantu suami-suami mereka atau bekerja pada lahan garapan orang lain. Para perempuan ini biasanya
38
mencabut rumput yang tumbuh atau ngored jika disebut oleh masyarakat Kumpay dan merapikan jalur tumbuh tanaman nanas agar tetap lurus. Saat panen adalah saat bagi seorang penggarap dapat mempekerjakan anakanak kecil untuk mengangkut hasil panen mereka. Tak hanya sampai itu saja, saat panen seorang penggarap dapat menjadi bandar nanas. Bandar nanas adalah seseorang yang membeli nanas-nanas milik petani penggarap untuk kemudian ia jual kepada pedagang-pedangan buah besar atau kecil. Seorang penggarap dapat menjadi bandar nanas jika ia memiliki banyak modal uang dan jejaring yang luas. Kepemilikan jejaring bertujuan agar banyak petani penggarap yang mau menjual nanas hasil produksinya kepada dirinya. Bandar nanas akan mempekerjakan penggarap lainnya sebagai kuli pikul nanas ke truk atau mobil milik mereka atau kuli timbang. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa pranata pertanian nanas di Desa Kumpay lebih mengatur pada penggunaan tenaga kerja. Upah yang diberikan untuk pekerja yang terlibat dalam usaha tani nanas berbeda, sesuai dengan usia. Orang dewasa yang bekerja sebagai buruh tani, kuli pikul atau kuli timbang (saat panen) akan diberikan upah sebesar Rp15 000/hari. Anak-anak akan diberikan upah sebesar Rp5 000 atas jasanya membantu penggarap mengangkut hasil panen mereka. Penggunaan tenaga kerja dapat digolongkan menjadi tenaga kerja keluarga dan non-keluarga. Ada petani yang hanya mempekerjakan keluarga mereka, ada yang mempekerjakan keluarga dan non-keluarga, dan ada yang tidak mempekerjakan keluarga namun mempekerjakan non-keluarga. Alasan perbedaan tersebut disebabkan beberapa faktor, seperti luas lahan yang digarap tidak terlalu besar dan tidak terdapatnya anggota keluarga untuk dipekerjakan. Alasan kedua seperti yang terjadi pada keluarga Bapak MH dan Bapak AI. “Oh ibu mah ga suka bantu-bantuin bapak dulu. Ibu kan kerja jadi guru soalnya. Kan istri-istri yang bantuin suaminya di kebon yang ga ada kerjaan aja di rumah.” –Ibu DN, istri Bapak MH “Biarpun lahan saya kecil, 50 bata, tetep aja suka minta tolong penggarap lain buat bantuin. istri jaga warung di rumah” –Bapak AI “Kalo tani nanas, banyak yang bisa bantu. Misalnya bapak jadi bandar nanas. Terus ibu bantu ngored di kebon sendiri sama orang. Ngored di kebon orang juga dibayar. Terus anak bapak yang kecil juga kadang suka bantu-bantu petani naik-naikin nanas ke truk-truk bandar, dikasih upah juga.” –Bapak OC Pranata Sosial Pertanian Komoditi Sawit: Pranata yang ‘Menyingkirkan’ Banyak Pihak Bergantinya tanaman pada lahan sengketa, membuat para aktor pertanian yang terkait dengan lahan tersebut harus menyesuaikan diri. Penyesuaian diri yang dilakukan oleh mereka sesuai dengan pranata pertanian tanaman kelapa sawit. Celakanya, kelembagaan pertanian untuk komoditi sawit sangat berbeda 180 derajat dengan kelembagaan pertanian komoditi nanas. Ibarat dua sisi mata
39
uang, pranata sosial pertanian kedua komoditi ini sangat berbeda. Jika pada komoditi nanas kelembagaan pertaniannya dapat menyerap banyak tenaga kerja, maka kelembagaan pada kelapa sawit tidak terlalu banyak menyerap tenaga kerja. Permasalahan tersebut dapat terjadi karena tanaman kelapa sawit adalah tipe tanaman yang dapat tumbuh besar tanpa perlunya perhatian khusus seperti nanas. Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk kelapa sawit setelah ditanam hanya untuk memberikan obat-obatan dan panen saja. Sesuai dengan pernyataan informan Bapak AM dan Bapak DI. “Ya bayangin aja gimana ga banyak petani yang kesingkir. Sekarang gini, kelapa sawit itu kan ga butuh penanganan yang macem-macem, terus pemeliharaannya juga ga kaya nanas, jadi dari dua hektar itu aja palingan cuma butuh dua sampe empat orang.” –Bapak AM “Sawit itu tanaman yang ga butuh macem-macem. Tinggal tanem aja biarin bisa tumbuh. Palingan cuma perlu dikasih obat. Makanya ga heran ga butuh banyak petani. Orang Kumpay sini yang kerja di sawit paling di bawah 10 orangan. Kerjaan mereka ke kebon tiap hari ngecek ngasih obat sama kalo lagi panen.” –Bapak DI Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dibayangkan dari seluruh lahan yang diambil alih oleh PT. Nagasawit, maka jumlah buruh tani yang dipakai hanya sedikit. Selain itu, memang tanaman kelapa sawit tidak membutuhkan perlakuan dan pemeliharaan khusus. Tanaman ini ketika baru ditanam tinggal dibiarkan saja hingga berumur 5 tahun untuk masa panen pertama. Padahal, pada awal masamasa pembabatan, kepada pemerintah PT. Nagasawit menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit yang akan dibangun pada akhirnya akan menguntungkan bagi masyarakat sekitar. Menguntungkan karena dapat menyerap tenaga kerja dan tenaga kerja yang digunakan hanya warga desa di sekitar lahan tersebut. Pada kenyataannya, omongan tersebut hanya bualan belaka, warga tidak mendapatkan kesempatan bekerja menjadi buruh sawit. Orang-orang yang mendapatkan pekerjaan menjadi buruh sawit hanyalah segelintir orang. Orang yang bisa mendapatkan pekerjaan menjadi buruh sawit adalah saudara atau kenalan dekat dari orang yang bekerja di PT. Nagasawit. Permasalahan tersebut didukung oleh pernyataan beberapa orang warga. “Ah itu mah bohong aja neng. Sampe sekarang mana katanya kita bisa tetep ngegarap lahan. Yang bisa kerja ya paling itu saudara-saudaranya orang PT (PT. Nagasawit-red)”. –Bapak CR “Udah kaya kompeni lah PT itu. Pilih-pilih orang yang bisa kerja. Yang bisa kerja di kelapa sawit cuma saudaranya aja.” –Bapak SN Melihat berbagai pernyataan warga, dapat disimpulkan konversi tanaman komoditi telah mengubah pranata pertanian yang ada. Perubahan ini menyebabkan banyak pihak yang tersingkir dari lahan garapan tersebut. Mereka tersingkir dan kehilangan mata pencahariannya. Petani laki-laki, istri-istri petani, buruh tani, anak-anak, dan bandar nanas kehilangan sumber pendapatannya.
DAMPAK PERUBAHAN PRANATA SOSIAL PERTANIAN TERHADAP KESEJAHTERAAN PETANI Pranata sosial pertanian baru yang kini berlaku di atas lahan garapan eksHGU PT. Nagasawit telah membuat banyak pihak tersingkir. Petani penggarap, istri petani, buruh tani, bandar nanas, anak-anak telah kehilangan sumber pendapatannya. Kondisi baru yang harus dihadapi oleh mereka yang tersingkir secara perlahan tapi pasti telah mengubah kehidupan mereka. Layaknya efek domino, perubahan pranata akan mengubah kehidupan seseorang. Perubahan pada kehidupan akan berujung pada perubahan tingkat kesejahteraan yang dirasakan oleh mereka yang tersingkir. Kesejahteraan adalah hal penting dalam kehidupan seseorang atau dapat dikatakan kondisi yang harus dimiliki oleh seseorang. Kesejahteraan yang dibicarakan di sini bukan hanya kesejahteraan yang dirasakan secara materi, namun juga kesejahteraan yang dirasakan secara moril atau batin. Dampak dari perubahan pranata sosial pertanian ini telah menyebabkan ratusan orang kehilangan mata pencahariannya. Keadaan tersebut membuat penggarap berusaha mencari pekerjaan lain. Tidak hanya hal itu saja, perubahanperubahan yang terjadi juga secara langsung mengubah kesempatan bekerja masyarakat baik itu di sektor pertanian maupun non-pertanian. Akibat perubahan dalam sistem mata pencaharian di Desa Kumpay, maka tingkat kesejahteran masyarakat Kumpay, khususnya petani penggarap dan keluarganya mengalami perubahan. Selain mengubah sistem mata pencaharian yang berujung pada perubahan tingkat kesejahteraan, perubahan pranata sosial pertanian juga menyebabkan hubungan antar warga mengalami perubahan.
Perubahan Hubungan Antar Warga: Konsekuensi yang Terbentuk Akibat Perubahan Pranata Sosial Pertanian dan Sistem Mata Pencaharian Pranata usaha tani nanas telah membuat kehidupan harmonis tercipta di dalam masyarakat. Telah dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa petani penggarap dapat bekerja menjadi buruh tani di lahan garapan petani lainnya. Hal tersebut juga berlaku bagi istri penggarap yang bekerja sebagai buruh tani, tidak hanya bekerja di lahan garapan suaminya, namun juga bekerja di lahan garapan milik orang lain. Tak hanya itu saja, penggarap yang menjadi bandar nanas juga memiliki banyak hubungan baik kepada petani penggarap. Hal tersebut membuat terciptanya kondisi kenyamanan dalam berhubungan dengan terciptanya jejaringjejaring kerja. Gotong royong pun menjadi hal yang biasa dilakukan antara sesama penggarap ketika mereka membutuhkan sesuatu yang harus dikerjakan bersama-sama, seperti perbaikan jalan menuju lahan garapan. Selain jejaring kerja dan gotong royong, hal lain yang terbentuk adalah kepercayaan. Saat itu seorang bandar nanas, yang merupakan seseorang yang dianggap memiliki kemampuan ekonomi lebih, menjadi seseorang yang dapat diandalkan untuk memberikan hutang bagi para penggarap. Bandar nanas dapat memberikan pinjaman bagi mereka yang memiliki kebutuhan mendesak, seperti untuk modal, uang sekolah, kesehatan, atau renovasi rumah. Saat itu bandar nanas tidak merasa takut untuk memberikan pinjaman karena meyakini bahwa petani
42
penggarap yang meminjam akan mengembalikan uang mereka. Keyakinan itu didapat karena bandar nanas mengetahui bahwa seorang penggarap akan mampu mengembalikan karena pekerjaan usaha tani nanas menjanjikan secara finansial. Bandar nanas mengetahui dengan pasti penggarap akan mengembalikan uang pinjaman dengan uang yang didapat dari hasil panen. Namun, kemudahan untuk meminjam dan memberi pinjaman tidak lagi terasa saat ini. Beberapa orang responden mengakui saat ini mereka sulit memberikan pinjaman atau meminjam sejumlah uang. Pengakuan tersebut diungkapkan responden yang merupakan mantan penggarap yang juga menjadi bandar nanas, Bapak SN. Bapak SN menyatakan bahwa meskipun ia saat ini dapat dikatakan memiliki uang yang lebih daripada yang lain, namun ia tidak berani memberikan pinjaman karena tidak percaya yang meminjam akan membayar hutangnya. Keadaan tersebut terasa masuk akal karena ketidakpercayaan itu tumbuh akibat mereka sama-sama mengetahui bahwa kini mereka tidak memiliki pekerjaan tetap. Tidak memiliki pekerjaan berarti tidak ada jaminan bagi mereka dapat melunasi pinjaman dengan lancar seperti dulu. Alasan lain adalah mereka menyadari bahwa sesama mereka, tetangga-tetangga mereka juga sama-sama susah akibat tidak lagi menjadi penggarap. Hilangnya kepercayaan antar warga yang telah dijelaskan tersebut lebih disebabkan oleh perubahan sistem mata pencaharian yang telah terjadi di masyarakat. “Sekarang mah mau cari pinjeman ke tetangga aja susah. Ya gimana lagi? Pada ga percaya bisa ngelunasin utang. Orang kerjaan aja juga gitu ga jelas. Lagian sama-sama tau aja semua penggarap disini pada susah juga.” –Pak DD. “Kalo dulu saya suka minjemin uang ke penggarap, tapi sekarang mah susah saya minjeminnya. Ke orang-orang tertentu aja yang saya percaya. Takutnya mah pada ga bisa balikin. Kalo dulu kan percaya soalnya mereka pada kerja. Lagian sekarang juga kita sama-sama susah sengsara, yang suka ngasih pinjeman juga mending buat kebutuhan sehari-hari.” –Bapak SN Selain rasa ketidakpercayaan yang cenderung memudar, hal lain yang dapat terindikasi adalah munculnya rasa saling curiga antar warga. Kecurigaan ini terbentuk seiring dengan munculnya kasus-kasus warga yang kehilangan bendabenda berharga di rumahnya. Walaupun yang kehilangan tidak menuduh secara langsung, namun ada indikasi di antara mereka curiga bahwa ada warga di dalam desa yang melakukannya. Mereka menduga bahwa masalah kriminalitas ini ada kaitannya dengan kondisi kesejahteraan warga yang terus menurun setelah peristiwa pembabatan. “Sekarang suka banyak warga yang ngelapor keilangan barang. Suka ada yang mikir itu kerjaan orang dalem sini. Itulah akibat hilangnya pendapatan, kasus kriminalitas jadi muncul. Orang yang ngambil mungkin butuh uang buat kebutuhan hidup.” –Bapak MH Kecemburuan sosial juga menjadi hal yang terindikasi selanjutnya. Kecemburuan sosial ini terjadi di antara penggarap yang tersingkir dengan penggarap yang kini masih bekerja menjadi buruh kelapa sawit. Mereka
43
menganggap bahwa penggarap yang kini bekerja untuk PT. Nagasawit sama saja mengkhianati Kumpay. Kecemburuan jelas terjadi disini karena tidak semua penggarap mendapatkan pekerjaan di lahan kelapa sawit. Hanya segelintir orang saja yang dianggap memiliki hubungan kerabat dengan karyawan PT. Nagasawit yang dapat bekerja. “Suka sebel liat orang yang berangkat ke lahan sawit. Mereka mah enak bisa kerja. Lah yang lain bapak-bapaknya cuma jadi pengangguran.” –Pak YT . “Itu mah KKN orang yang masih kerja sama PT. Yang kerja juga pasti punya sodara disana. Harusnya mah orang PT bisa adil kalo mau kasih kerjaan juga kasih ke semua orang. Sakit hati kalo inget itu mah.” –Bapak AI Dari semua perubahan-perubahan hubungan sosial masyarakat tersebut, yang paling terasa perubahannya adalah adanya ketidakselarasan hubungan antara LSM pejuang nasib penggarap dengan pemerintah desa. Ketidakselarasan ini terasa dengan berbedanya keterangan mengenai informasi yang disampaikan oleh LSM dengan pemerintah desa. Kondisi ini menyebabkan penggarap yang dekat dengan lingkungan pemerintah desa menjadi seperti kurang menyukai keberadaan LSM. Begitu pun sebaliknya dengan penggarap yang dekat dengan lingkungan LSM. Kondisi perubahan hubungan antar warga telah membuat warga merasa tidak bahagia. Hal tersebut dapat terjadi karena mereka tidak lagi memiliki hubungan yang harmonis dengan warga lain. Antar warga saling curiga, saling cemburu, hingga terpecah menjadi 2 kubu merupakan hal yang tidak diinginkan oleh warga Kumpay. Keadaan tersebut membuat mereka menjadi tidak nyaman jika harus berinteraksi satu dengan yang lainnya. Hal itulah yang membuat mereka tidak sejahtera secara moril. Kesejahteraan moril yang dibahas pada bagian ini adalah kesejahteraan yang dirasakan secara moril yang berkaitan dengan interaksi sosial antar manusia.
Perubahan Sistem Mata Pencaharian: Perubahan Langsung Akibat Perubahan Pranata Sosial Pertanian Dampak sistem mata pencaharian adalah perubahan yang terjadi pada sistem mata pencaharian responden, yakni petani penggarap lahan eks-HGU PT. Nagasawit. Dampak sistem mata pencaharian dikategorikan menjadi dua, yakni perubahan pada kesempatan kerja dan perubahan pada pola pekerjaan. Berikut akan disajikan hasil dari analisis data dari masing-masing ukuran variabel. Perubahan Kesempatan Kerja Pertanian dan Non-Pertanian Dampak pada kesempatan kerja dapat didefinisikan sebagai perubahan yang terjadi pada kesempatan responden untuk bekerja di wilayah Kumpay saat ini dibandingkan dengan saat sebelum terjadinya konversi tanaman komoditi. Kesempatan kerja ini berupa kesempatan kerja di bidang pertanian dan nonpertanian. Ukuran yang digunakan adalah persepsi dari masing-masing responden mengenai kesempatan kerja. Variabel ini terdiri dari satu pertanyaan dengan 5
44
pilihan jawaban yaitu, sangat sulit, sulit, netral (tidak sulit dan tidak mudah), mudah, dan sangat mudah mengenai kesempatan bekerja di sektor pertanian dan non-pertanian. Secara lengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4. Berdasarkan hasil pengumpulan dan olah data, diketahui bahwa terjadi perbedaan kesempatan kerja pada saat ini dibandingkan saat sebelum terjadinya konversi tanaman komoditi, baik itu pada bidang pertanian dan non-pertanian. Untuk mengetahui perbedaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8.
Gambar 7 Kesempatan kerja pertanian dan non-pertanian sebelum konversi tanaman komoditi
Pada Gambar 7, dapat dilihat bahwa secara keseluruhan responden menganggap mencari pekerjaan di bidang pertanian sebelum konversi tanaman komoditi sangat mudah. Hal tersebut ditunjukan pada gambar bahwa sebanyak 30 responden atau seluruhnya kompak menjawab pekerjaan di bidang pertanian saat itu mudah didapat atau dicari. Pada kesempatan pekerjaan di sektor non-pertanian, mayoritas responden menjawab netral atau menganggap tidak sulit dan tidak mudah dalam mencari pekerjaan sektor non-pertanian. Responden yang menjawab pada pilihan jawaban netral sebanyak 19 orang atau sekitar 63.33% dari jumlah responden. Sedangkan sisanya, yakni sebanyak 10 orang responden menjawab mudah dan 1 orang menjawab sangat mudah. Hal yang dapat disimpulkan dari gambar tersebut adalah pada saat sebelum konversi tanaman komoditi, responden menganggap kesempatan untuk bekerja di sektor pertanian termasuk ke dalam kategori yang mudah. Sedangkan mendapatkan pekerjaan di sektor non-pertanian saat itu dianggap biasa-biasa aja, tidak mudah namun tidak sulit juga. “Dulu mah kerja di pertanian gampang nyarinya. Masyarakat Kumpay sini kan hampir semuanya ngegarap. Yang ga dapet lahan garapan juga bisa jadi
45
buruh. Waktu itu juga masih banyak masyarakat yang punya lahan pertanian selain lahan garapan.” –Ibu RH “Dulu bapak kan kerja juga jadi kuli bangunan. Dulu mah ga kaya sekarang banyak saingan. Dulu kan warga pada makmur jadi banyak yang benerin atau bikin rumah jadi untung juga jadi kuli bangunan. Ga kaya sekarang jadi kuli bangunan juga percuma udah jarang orang Kumpay sini yang bangun rumah. Teu boga duit (tidak punya uang-red). –Bapak OC
Gambar 8 Kesempatan kerja pertanian dan non-pertanian setelah konversi tanaman komoditi
Pada gambar di atas, diketahui bahwa persepsi responden dalam mencari pekerjaan di bidang pertanian setelah terjadinya konversi tanaman komoditi sangat sulit. Ditunjukan pada gambar, sebanyak 26 responden atau lebih dari setengah dari jumlah seluruh responden memberikan jawaban sangat sulit. Sedangkan sisanya yakni sebanyak 3 orang menjawab netral dan 1 orang menjawab sulit. Sementara itu, ketika ditanyakan mengenai kesempatan kerja di sektor non-pertanian, jawaban terbanyak yang dipilih adalah sangat sulit. Sisanya sebanyak 9 orang menjawab netral dan 8 orang menjawab sulit. Berdasarkan gambar tersebut diketahui bahwa menurut sebagian besar responden, saat ini mencari pekerjaan di bidang pertanian dan non-pertanian termasuk ke dalam kategori sulit. “Kerjaan jadi apa aja jaman sekarang mah susah. Liat aja sepanjang jalan sini pos-pos tukang ojek sepi. Mau cari kerja dimana lagi, pabrik ga ada, apa-apa ga ada.” –Bapak SO
46
“Kadang kerja jadi kuli bangunan, buruh, ngambil rumput, ga tentu. Apa aja dikerjain. Kerja serabutan lah. Tapi tetep aja namanya juga serabutan ga tentu tiap hari kerja. Kadang minggu ini kerja, kadang minggu depan ga kerja.” – Bapak OC. “Suami sekarang mah mancing aja neng. Ga ada kerjaan. Mau kerja jadi petani juga ga punya lahan ibu mah. Kalo mau kerja di lahan punya orang aja susah. Jarang-jarang ada yang nyuruh buat buburuh. Ga tentu gitu neng.” –Ibu KT “Sekarang kerjaan orang-orang yang dulu jadi penggarap ga tentu. Banyak yang ga kerja. Yang masih kerja jadi petani atau buruh tani mah paling satu dua orang, bisa diitung pake jari. Yang bisa kerja jadi petani atau buruh gitu palingan orang yang punya lahan atau punya saudara atau tetangga deketnya masih punya lahan (lahan pertanian-red).” –Pak PD “Jangankan kerja jadi petani? Cari rumput buat makan ternak aja susah sekarang mah. Kudu jauh kesana cari rumput. Kalo cari di bekas lahan garapan pada ga doyan ternaknya. Udah dikasih obat tanahnya sama pihak sana. Jadi ternak teh kurang suka.” –Bapak LL Jika kedua gambar tersebut dibandingkan, maka terlihat bahwa terdapat perbedaan yang terlihat jelas. Jika pada sebelum konversi tanaman komoditi mencari pekerjaan di sektor pertanian termasuk ke dalam kategori mudah. Sementara itu menurut mayoritas responden menyatakan kesempatan bekerja di luar pertanian adalah netral, namun kondisi tersebut tidak berlaku dengan keadaan saat ini. Kesempatan bekerja luar pertanian yang dahulu dikatakan netral, kini mayoritas responden menjawab sangat sulit. Masalah tersebut juga terjadi pada kesempatan kerja di sektor pertanian. Setelah konversi terjadi, mayoritas responden menganggap mencari pekerjaan di kedua sektor tersebut menjadi sulit. Orang-orang yang tersingkir dari lahan garapan mau tidak mau harus mencari pekerjaan lain, entah itu di sektor pertanian atau non-pertanian. Celakanya, saat ini sektor pertanian menyerap tenaga kerja yang sedikit. Sempitnya lahan pertanian yang dimiliki atau dikuasai masyarakat Kumpay saat ini menjadi faktor yang berperan penting dalam menciptakan kondisi ini. Ketika sektor pertanian tidak ada lagi, maka sektor non-pertanian menjadi pilihan satu-satunya. Sedangkan ketika mereka ingin mencari pekerjaan di sektor non-pertanian, mereka juga mengalami kesulitan karena ragam pekerjaan non-pertanian yang sedikit ditambah banyaknya para pesaing. Minimnya keahlian maupun pengetahuan yang dimiliki oleh responden juga menjadi hambatan dalam sulitnya mencari pekerjaan di luar pertanian. “Yah sekarang mah mau kerja apa. Mau kerja jadi petani lahan udah diambil, terus mau garap lahan orang juga ga ada. Jarang disini mah warga yang masih punya lahan pertanian. Mau kerja jadi tukang ojek misalnya, motor butut gini siapa yang mau naikin.” –Bapak KN
47
Pola Pekerjaan Sebelum dan Sesudah Konversi Tanaman Komoditi Dampak pada pola pekerjaan dapat didefinisikan sebagai perubahan dari pekerjaan-pekerjaan yang kini dilakukan oleh para responden. Semenjak konversi tanaman komoditi, semua responden tidak lagi bekerja sebagai petani penggarap. Di antara mereka memang masih ada yang bekerja di bidang pertanian, misalnya sebagai petani pemilik atau buruh tani. Namun kebanyakan responden bekerja di luar sektor pertanian, misalnya sebagai kuli bangunan, tukang ojek, peternak, pedagang, dan lain-lain. Bahkan di antara mereka ada yang kini tidak bekerja atau menganggur. Perubahan pola pekerjaan responden dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9 Pola pekerjaan responden sebelum dan sesudah konversi tanaman komoditi
Sebelum konversi tanaman komoditi, seluruh responden bekerja sebagai petani penggarap. Sebanyak 1 orang dari responden pada saat itu juga bekerja di luar sektor pertanian, seperti yang dilakukan oleh Bapak SN, selain sebagai peternak, beliau juga merupakan pedagang nanas. Di antara responden juga ada yang mencari penghasilan tambahan dengan menjadi buruh tani di lahan garapan milik orang lain. Kenyataan tersebut berbanding terbalik dengan sesudah konversi tanaman komoditi. Pola pekerjaan masyarakat berubah secara drastis. Hal tersebut ditandai dengan menurunnya jumlah responden yang bekerja sebagai petani atau buruh tani. Jumlah responden yang bekerja di sektor pertanian kini hanya tersisa 5 orang saja. Mayoritas pekerjaan responden saat ini adalah sebagai pekerja di sektor pertanian yang tidak menghasilkan gaji tetap. Pekerjaan yang termasuk ke dalam kategori ini misalnya tukang ojek, kuli bangunan, pedagang, dan sebagainya. Semua pekerjaan tersebut memberikan pemasukan bagi responden
48
setiap hari atau beberapa hari sekali secara rutin, namun dengan jumlah yang tidak tetap. Responden yang termasuk ke dalam kategori ini berjumlah 14 orang. Berdasarkan hal tersebut, pekerjaan dalam kategori ini menjadi mayoritas pekerjaan dari responden saat ini. Selanjutnya, sebanyak 8 orang dari responden saat ini tidak bekerja atau bekerja serabutan. Responden dikatakan bekerja serabutan apabila ia tidak memiliki pekerjaan rutin yang dilakukan setelah konversi tanaman komoditi. Kondisi ini seperti yang dialami oleh Bapak KN, dimana terkadang ia bekerja sebagai buruh ngored atau pencabut rumput. Jika pekerjaan sebagai buruh ngored tidak ada, maka beliau akan bekerja sebagai tukang perbaikan jalan umum8. Kemudian, sisa responden sebanyak 2 orang bekerja di sektor non-pertanian yang menghasilkan gaji tetap. Berdasarkan Gambar 9, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara pola pekerjaan responden sebelum dan sesudah konversi tanaman komoditi. Dahulu seluruh responden hanya bekerja di sektor pertanian, yakni sebagai petani penggarap, dan hanya sedikit yang juga bekerja di sektor non-pertanian. Saat ini pola pekerjaan responden menjadi beragam. Responden yang saat ini masih bekerja di sektor pertanian disebabkan masih memiliki lahan pertanian atau berkerabat dekat dengan orang yang memiliki lahan pertanian. Sedangkan, sisanya tidak memiliki atau menguasai lahan pertanian. Hal tersebut membuat mereka tidak tahu harus bekerja sebagai apa atau memilih pekerjaan apapun dengan prinsip „asal bisa menghasilkan uang‟. “Kalo lagi ga ada kerjaan disuruh-suruh orang gitu ya nungguin jalanan yang rusak aja. Suka ada yang ngasih sumbangan, sebagian buat benerin jalan, sebagian buat upah saya benerin itu jalan.” –Bapak KN. “Mau kerja di luar bidang pertanian juga susah. Jadi tukang ojek juga sedikit penghasilannya. Ga seberapalah. Udah jarang yang ngojek. Kan biasanya udah pada punya motor.” –Bapak SO. Berubahnya Tingkat Kesejahteraan Akibat Perubahan Pranata Sosial Pertanian Kehidupan sangat erat kaitannya dengan kesejahteraan. Pada umumnya kesejahteraan dijadikan oleh manusia sebagai tujuan atau pencapaian hidup mereka. Beragam cara dilakukan oleh manusia agar mencapai kesejahteraan secara hakiki, yaitu kesejahteraan moril dan materiil. Dibutuhkan waktu panjang agar kehidupan yang sejahtera dapat tercapai. Kesejahteraan yang dirasakan dapat ditentukan dari mata pencaharian yang mereka lakukan. Mata pencaharian menentukan jumlah penerimaan yang akan mereka dapatkan. Selain itu, jenis mata pencaharian juga menentukan jaminan keamanan dalam kehidupan mereka, sehingga mereka dapat merasakan kesejahteraan moril. Seperti yang telah sering disebutkan di atas, konversi tanaman komoditi pada akhirnya akan menyebabkan perubahan kesejahteraan. Awal dari perjalanan 8
Maksud pekerjaan ini adalah responden berdiri di tengah jalan umum yang rusak, kemudian meminta sumbangan kepada pengguna jalan, lalu memperbaiki jalan. Sebagian dari uang sumbangan tersebut digunakan responden sebagai upah memperbaiki jalan.
49
tersebut adalah permasalahan perampasan lahan karena klaim PT. Nagasawit atas lahan yang telah bertahun-tahun digarap 700 petani Kumpay. Kemudian, sengketa lahan tersebut berujung pada kekalahan para penggarap yang ditandai dengan pengambilalihan lahan dan ditanami oleh kelapa sawit. Kelapa sawit tanaman yang diharapkan dapat menjadi sumber penghidupan baru, ternyata tidak banyak menyerap tenaga kerja. Akibatnya petani penggarap yang berjumlah ratusan itu pun tersingkir dan mencari beragam pekerjaan baru. Namun pekerjaan baru itu tidak menjanjikan untuk kehidupan mereka. Sehingga pada akhirnya, tingkat kesejahteraan penggarap berubah. Untuk mengetahui hubungan antara perubahan sistem mata pencaharian dengan tingkat kesejahteraan, dilakukan secara 7 tahap. Tahap pertama sampai ketiga adalah tahapan pada variabel perubahan sistem mata pencaharian. Tahap pertama adalah menjumlahkan skor pertanyaan kesempatan kerja di sektor pertanian dan non-pertanian sesudah terjadinya konversi tanaman komoditi. Kemudian, skor tersebut kembali dijumlahkan dengan pertanyaan pola pekerjaan responden saat ini. Jika ketiga pertanyaan tersebut dijumlahkan maka akan didapatkan skor tertinggi sebesar 15 dan terendah sebesar 3. Tahap kedua adalah mengkategorikan skor dari penjumlahan ketiga pertanyaan tersebut menjadi 3 kategori, yakni negatif (skor 6), netral (skor 711), dan tinggi (skor 12). Yang dimaksud netral apabila perubahan sistem mata pencaharian tidak negatif dan tidak positif. Tahap ketiga adalah menentukan responden yang termasuk ke dalam tiga kategori tersebut berdasarkan jawaban yang mereka pilih. Tahap keempat sampai keenam adalah tahapan pada variabel tingkat kesejahteraan. Tahap ini secara garis besar seperti pada tahapan variabel perubahan sistem mata pencaharian. Tahap keempat menjumlahkan skor pertanyaan kesejahteraan moril responden sesudah konversi, yang terdiri dari 2 pertanyaan, dan pertanyaan kesejahteraan materiil responden sesudah konversi, yang terdiri dari 5 pertanyaan. Dari ketujuh pertanyaan tersebut didapatkan skor tertinggi sebesar 35 dan terendah sebesar 7. Tahap kelima adalah mengkategorikan skor tertinggi-terendah menjadi 3 kategori, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Dikatakan rendah apabila skor 16, sedang apabila skor 1725, dan tinggi apabila skor 26. Tahap keenam adalah menentukan responden yang termasuk ke dalam tiga kategori tersebut berdasarkan jawaban yang mereka pilih. Tahap terakhir atau tahap ketujuh merupakan tahap penghitungan hubungan antara variabel sistem mata pencaharian dengan tingkat kesejahteraan melalui aplikasi PASW statistics 18. dengan uji statistik Rank Spearman. Namun, sebelum penghitungan dilakukan, dibuat tabel tabulasi silang untuk melihat korelasi kedua variabel tersebut. Tabel tabulasi silang dapat dilihat dalam Tabel 1.
50
Tabel 1 Tabel tabulasi silang antara variabel sistem mata pencaharian dengan tingkat kesejahteraan responden Tingkat kesejahteraan
Perubahan sistem mata pencaharian Total
Negatif Netral
Rendah
Sedang
17 4 21
2 7 9
Total
19 11 30
Tabel tabulasi silang antara kedua variabel menunjukkan bahwa mayoritas responden berada dalam kategori perubahan sistem mata pencaharian negatif dan tingkat kesejahteraan rendah. Selanjutnya jumlah terbanyak dari responden terletak pada perubahan sistem mata pencaharian sedang dan kesejahteraan sedang. Tidak ada dari responden yang berada pada kategori tinggi pada variabel sistem mata mencaharian maupun tingkat kesejahteraan. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara perubahan sistem mata pencaharian dengan tingkat kesejahteraan. Alasannya adalah responden yang masuk ke dalam kategori perubahan negatif, maka kesejahteraannya akan rendah. Pada tabel juga terdapat responden yang berada pada kategori negatif untuk variabel perubahan sistem mata pencaharian, namun tingkat kesejahteraannya sedang. Hal tersebut dapat disebabkan karena sebelum terjadinya konversi tanaman komoditi, responden memiliki lahan garapan yang cukup luas, sehingga memiliki penghasilan, tabungan, aset yang lebih banyak, atau kesejahteraan moril yang dirasakan tidak terlalu buruk. Hal tersebut menyebabkan saat ini kesejahteraan responden berada dalam kategori sedang. Sedangkan, ada responden yang perubahan sistem mata pencahariannya termasuk ke dalam kategori sedang, namun kesejahteraannya rendah. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut, seperti lahan garapan yang dimilikinya dahulu tidak luas, sehingga saat ini aset-asetnya banyak yang dijual, memiliki jumlah tanggungan yang banyak, atau kesejahteraan moril yang dirasakan dapat dikatakan buruk. “Ini Pak HD mah masih kaya dia. Dulu tanahnya luas jadi bisa kebeli mobil 3, motor, terus ternak kambing sama sapinya juga banyak. Kalo kaya gitu jadi bisa buat tabungan buat sekarang-sekarang, tapi ga tau kalo nanti. Banyakan dijual juga buat memenuhi kebutuhan sehari-hari.” –Bapak LL Hasil korelasi yang dapat dilihat dari tabulasi silang di atas sejalan dengan hasil korelasi uji statistik Rank Spearman. Hasil uji statistik Rank Spearman menyatakan bahwa nilai korelasi yang didapat sebesar 0.737. Nilai tersebut menyatakan bahwa terdapat korelasi yang kuat. Hal tersebut disebabkan karena nilai hitung berada pada kategori 0.50.75. Dijelaskan dalam Sarwono (2009), jika nilai hitung berada dalam kategori > 0.50.75 artinya adanya korelasi yang kuat antar variabel. Korelasi tersebut merupakan korelasi searah dengan ditunjukan oleh nilai hitung yang positif. Searah memiliki makna bahwa jika
51
variabel A rendah, maka variabel B juga rendah, begitupun sebaliknya. Selanjutnya mengenai masalah signifikansi korelasi antar variabel, variabel perubahan sistem mata pencaharian dengan tingkat kesejahteraan dikatakan signifikan. Hal tersebut dijelaskan dengan nilai signifikan sebesar 0.00 yang berarti kurang dari 0.01. Nilai 0.01 didapat karena tingkat ketepatan sebesar 99% yang berarti kesalahan pengambilan sampel sebesar 1% atau 0.01. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa variabel perubahan sistem mata pencaharian dengan tingkat kesejahteraan memiliki korelasi yang kuat, searah, dan signifikan. Dengan kata lain hipotesis penelitian untuk metode kuantitatif diterima, semakin negatif perubahan sistem mata pencaharian, maka semakin negatif tingkat kesejahteraan. Hasil penghitungan dengan aplikasi PASW statistics 18. secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 5.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Konversi tanaman komoditi adalah bergantinya suatu komoditi yang diusahakan di atas sebuah lahan pertanian. Pergantian komoditi ini disebabkan karena komoditi baru dinilai lebih menguntungkan. Hal inilah yang terjadi di Desa Kumpay, Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Di desa ini terjadi konversi tanaman komoditi secara besar-besaran dari nanas ke kelapa sawit. Awal mula kasus tersebut adalah adanya klaim dari sebuah perusahaan perkebunan atas suatu lahan yang telah lama digarap warga setempat, yang berujung pada pengambilalihan lahan oleh perusahaan perkebunan tersebut. Kemudian, akibat komoditi yang berubah, maka secara otomatis pranata pertanian pun berubah. Pranata pertanian komoditi yang baru, yakni kelapa sawit ternyata tidak menyerap tenaga kerja yang banyak, tidak seperti pranata usaha tani nanas. Akibatnya, ratusan orang kehilangan pekerjaan sebagai petani penggarap. Tidak sampai itu saja, istri petani yang bekerja membantu suaminya, anak-anak kecil, dan bandar nanas juga terkena dampaknya. Masalah tersebut membuat kehidupan penggarap dan keluarganya mengalami perubahan. Perubahan tersebut berupa perubahan pada sistem mata pencaharian. Perubahan pada sistem mata pencaharian meliputi perubahan pada kesempatan bekerja di sektor pertanian dan non-pertanian serta perubahan pada pola pekerjaan yang dilakukan oleh penggarap. Berdasarkan hasil pengambilan data, diketahui bahwa persepsi responden mengenai kesempatan bekerja di sektor pertanian dan non-pertanian, sebelum dan sesudah konversi tanaman komoditi berbeda. Sebelum konversi tanaman komoditi, mencari pekerjaan di kedua sektor tersebut termasuk ke dalam kategori mudah dicari. Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan kondisi saat ini, dimana responden menganggap mencari pekerjaan di kedua sektor terebut susah. Pola pekerjaan responden pun sangat berbeda antara sebelum dan sesudah konversi tanaman komoditi. Saat sebelum, seluruh responden bekerja di sektor pertanian sebagai penggarap. Namun, saat ini seluruh responden memiliki pola pekerjaan yang menyebar ke dalam 5 kategori pola pekerjaan, dimana mayoritas responden berada pada kategori pekerja sektor non-pertanian yang tidak menghasilkan gaji tetap. Perubahan sistem mata pencaharian secara langsung mempengaruhi tingkat kesejahteraan yang dirasakan mereka, dimana kesejahteraan yang dimaksud adalah kesejahteraan secara moril dan materiil. Pengaruh tersebut dibuktikan dengan nilai hasil uji statistik sebesar 0.737 (nilai signifikan sebesar 0.00 dengan nilai alpha 1%) yang menyatakan terdapat korelasi yang kuat, searah, dan signifikan antara perubahan sistem mata pencaharian dengan tingkat kesejahteraan. Tidak hanya perubahan sistem mata pencaharian saja yang berubah akibat perubahan pranata sosial pertanian, hubungan sosial di dalam masyarakat pun mengalami perubahan. Perubahan hubungan tidak hanya disebabkan oleh konversi tanaman komoditi, namun juga disebabkan oleh perubahan sistem mata
54
pencaharian. Meskipun perubahan tersebut masih terasa samar, namun sudah dapat terindikasi. Perubahan hubungan antar warga yang terindikasi adalah memudarnya tingkat kepercayaan dan gotong royong, munculnya rasa curiga dan kecemburuan sosial, dan adanya ketidakselarasan hubungan antara dua pihak penting di Desa Kumpay yang telah menyebabkan masyarakat terbagi ke dalam dua kubu. Perubahan hubungan antar warga juga telah menyebabkan perubahan pada tingkat kesejahteraan moril yang berkaitan dengan kesejahteraan dalam berinteraksi sosial.
Saran Beberapa saran yang dapat diajukan berdasarkan hasil penelitian ini adalah: 1. Agar pemerintah lebih peka terhadap nasib rakyat terutama petani. Diharapkan pemerintah daerah atau pusat turun langsung ke Desa Kumpay untuk melihat kondisi sebenarnya yang terjadi di masyarakat. Selain itu, pemerintah diharapkan menjadi penengah antara PT. Nagasawit dengan petani penggarap, dan membuat kebijakan yang win-win solution di antar kedua pihak yang bersengketa 2. Bagi pemerintah desa dan Lembaga Swadaya (LSM) Masyarakat Himpunan Petani Nanas, agar saling bekerja sama demi memperjuangkan hak-hak penggarap. 3. Perlu adanya tinjauan ulang atas kepemilikan lahan sengketa eks-HGU PT. Nagasawit.
55
DAFTAR PUSTAKA
[UU] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA). 2010. Perampasan tanah sebab, bentuk dan akibatnya bagi kaum tani. [Internet]. [diunduh 31 Oktober 2012]. Dapat diunduh dari: http://farmlandgrab.org/wpcontent/uploads/2010/09/Risalah-ttg-Perampasan-Tanah_24-Sept-2010.doc Astuti UP, Wibawa W, Ishak A. 2011. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pangan menjadi kelapa sawit di Bengkulu: kasus petani di Desa Kungkai Baru. Prosiding: Seminar Nasional Budidaya Pertanian Urgensi dan Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian. [Internet]. [25 Oktober 2012]. Dapat diunduh dari: http://repository.unib.ac.id/128/1/16Alih%20%20Fungsi%20%20Lahan%20 %20_UNIB_.pdf Badan Pusat Statistik (BPS). 2006. Statistik kesejahteraan rakyat 2006. Jakarta [ID]: BPS. Basrowi. 2005. Pengantar sosiologi. Bogor [ID]: Ghalia Indonesia. Center for International Forestry Research (CIFOR) 2007. Menuju kesejahteraan dalam masyarakat hutan: buku panduan untuk pemerintah daerah. CIFOR, Bogor, Indonesia. Dassir M. 2010. Sistem penguasaan lahan dan pendapatan petani pada Wanatani Kemiri di Kecamatan Camba Kabupaten Maros. Perennial. 06(2): 90-98. Hamdan. 2012. Ekonomi konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit di Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu. [thesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Kodoatie RJ, Sjarief R. 2010. Tata ruang air. Yogyakarta [ID]: Andi Publisher. Krisnamurthi B. 2006. Revitalisasi pertanian dan dialog peradaban. Jakarta [ID]: Kompas. Landsberger HA, Alexandrov YG. 1981. Pergolakan petani dan perubahan sosial. Jakarta [ID]: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial. Nasution M. 2005. Pengelolaan perkebunan untuk kesejahteraan rakyat. Widjaya AH, Dwiastuti F, Ubaydillah M, Bubun, Dewina O, Kadarsyah E, Nurdin AA, editor. Membangun Indonesia. Bogor [ID]: IPB Press. Rahardjo. 2004. Pengantar sosiologi pedesaan dan pertanian. Yogyakarta [ID]: Gadjah Mada University Press. Reijntjes C, Haverkort B, Waters-Bayer A. 1992. Pertanian masa depan. Pengantar untuk pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah. Sukoco Y, penerjemah. Yogyakarta [ID]: Kanisius. Terjemahan dari: An introduction to low-external-input and sustainable agriculture.
56
Ruswandi A. 2005. Dampak konversi lahan pertanian terhadap perubahan kesejahteraan petani dan perkembangan wilayah [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Ruswandi A, Rustiadi E, Mudikjo K. 2007. Dampak konversi lahan pertanian terhadap kesejahteraan petani dan perkembangan wilayah: studi kasus di Daerah Bandung Utara. Agro Ekonomi, 25 (2): 207-219. Savitri LA. 2007. Uncover the concealed link: gender & ethnicity-divided local knowledge on the agro-ecosystem of a forest margin. A case study of Kulawi and Palolo local Knowledge in Central Sulawesi, Indonesia. [inaugural-dissertation]. Serikat Petani Indonesia (SPI). 2010. Hentikan kebijakan liberalisasi dan Korporatisasi Pertanian. [Internet]. [diunduh 1 Januari 2013]. Dapat diunduh dari: http://www.spi.or.id/wp-content/uploads/2010/12/2010-12-16-CatatanAkhir-Tahun-2010.pdf Sihaloho M, Dharmawan AH, Rusli S. 2007. Konversi lahan pertanian dan perubahan struktur agraria (studi kasus di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat). Sodality. 01: 253-269. Singarimbun M. 1989. Metode dan proses penelitian. Dalam: Singarimbun M dan Effendi S, editor. Metode penelitian survai. Jakarta [ID]: LP3ES. Hal. 3-15. Soekartawi, Soehardjo A, Dillon JL, Hardaker JB. 1989. Ilmu usaha tani dan penelitian pengembangan petani kecil. Jakarta [ID]: UI Press. Sutanto R. 2002. Penerapan pertanian organik: pengembangannya. Yogyakarta [ID]: Kanisius.
pemasyarakatan
dan
Syahza A, Khaswarina S. 2007. Pembangunan perkebunan kelapa sawit dan kesejahteraan petani di Daerah Riau. Sorot. [Internet]. [dikutip tanggal 1 Desember 2012]. 1 (2). Dapat diunduh dari: http://almasdi.unri.ac.id/artikel_pdf/PEMBANGUNAN%20PERKEBUNA N%20KELAPA%20SAWIT%20DAN%20KESEJAHTERAAN%20PETA NI%20DI%20DAERAH%20RIAU.pdf Utomo M. 1992. Alih fungsi lahan dan tinjauan analitis. Utomo M, Rifai E, Thahar A, editor. Bandar Lampung [ID]: Universitas Lampung. 61 hal. Wiyono. 2002. Tanam tebu di hutan siapa diuntungkan? Serasah. 03(27): 5-7. Yustika AE. 2006. Teori perubahan kelembagaan. Wahyuni S, Setyorini Y, Basuki I, editor. Ekonomi kelembagaan definisi, teori, dan strategi. Malang [ID]: Bayumedia Publishing.
57
LAMPIRAN Lampiran 1 Peta Desa Kumpay, Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang, Jawa Barat
58
Lampiran 2 Jadwal kegiatan penelitian 2013
Kegiatan Penyusunan proposal penelitian Kolokium Studi lapangan Penyusunan dan penulisan laporan Ujian Perbaikan laporan penelitian
Bulan Februari Maret April Mei Juni 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
59
Lampiran 3 Kerangka sampel petani penggarap lahan eks-HGU PT. Nagasawit 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
Tarmun Imi Titi Maryati Karti Ani Encun Usan Tarno Kardi Rahman Darlan Garling Suryana Epon Rukisah Sakri Uman Warsa Iyep Jana Karmi Cahya Elan Sukarni Mansur Edes Karsi Muncis Jojon Amud Uhmi Warlin Sahwar Arna Tati Rohayati Sarkim Eem PD Wahli Darmin Nadi Itang Suherman Yeni
40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78
Dedi Inuk Sapri Supriyadi Rusim UT Sudin Ruhita Inik Taryana Udis Ade Herli Yati U. Aminin OC KR Wartini Ukar Damin Sulmi Iri Irawan Ade Mahmud Dayeng Entin Feri Farid Maman Asib Ujang Hatim Endi Katma Herman Jeri Ismail ON Cahya Wawa Hermawan Jumin Jaja Unen Rahmat Eem
79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117
Nina Ayum Suyana Unnan Al Uhnan Entin Rohaetin Entes Ade Namin Encum E. Maryamah Juhria E. Karmin Kusmayati Eros Warnan Eni AR Sahum Endang Masum Ani Tamad Dedeng Hermawan Mahdin Cahyan AS Amah HD Cicih Sunarsih Nehab Udi Karwati Ali Adib Deblo H. Suhlan Warsih U. Sahdi Dayeng Aceng Rusib Kudin Encid Taryudin
60
118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158
Darpit Bandi Ocih Saepudin Sarnim Rahadiah FB AI Wati YT Enes Ruhni Yani Rahma Euis Herina Empir Cucu Wasni SO Tohar Tomo Hendra Abdullah Eros Rosita Cahyono Mulyati Didi RO Arin Tali Otong Sahrudin Aah Mat Kosim Neni Suhaeni Imas Dodo Kurdi Didi Kurnia Kahmar Awa Jumi Juariah Rohmat KK Rian
159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199
Aceng Sutisna Erwi Waryan Kusman Eem Catim Aar Artesih Samad Darmi Oom Jajang Suhanda Entin Al Ecin M. Dahlan Wasdi Iti Kono Ade Dadang Durinih binti Jaiq Walsih Umah Apen Apendi EH Kamad Tamad Euis Rohmayati Karmid Ade Taryana Samli Isah Rosim Ny. Emi Agus Suryana Acah Dedeh Ade Suherman Otong Acit Iis Sumiyati KM Uul Tarsih Tarsim
200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240
Ade Ata Catur Agustin Tasib Arsim Jeri Kasno Oman S Ameh Anih Oda Ooy Hayati Emur Enung Rohaeni Walsid Amat Endang Eulis Enar Umik Momon Nani Sukrawan Anan Ny Tarsih Heri Suherman Casmita Alsi Neli Nurlelah Suta AB Warnengsing Dudi Setiadi Warga Kenda Ruhita US Nuhari Kokom Aep Suparman Ursih Samir
61
241 242 243 244 245 246 247 248 249 250 251 252 253 254 255 256 257 258 259 260 261 262 263 264 265 266 267 268 269 270 271 272 273 274 275 276 277 278 279 280 281
Ruswati Ara Suryana Udin Asim Asep Koswara Atin Nurmayatin Karsiah Akub Yayan Isar Rukayah Uju Edi Eja Emen U. Rahmat SP Asud Ade Kamad Sutaha Dasim Wahyu CR Hayat Talim Wawan Ama Edah Yuyu Abang Teti Rohayamah Karlin Sudin S. Suwangsih Tarman P Cicih Ali Hidayat Kotim Uneb Erum Siti Rohmah Mira Apriliati
282 283 284 285 286 287 288 289 290 291 292 293 294 295 296 297 298 299 300 301 302 303 304 305 306 307 308 309 310 311 312 313 314 315 316 317 318 319 320 321 322
Warya Iis Entis Aat Eti Rahman Ocin Sumiati Udin Saepudin Memed H Esih Mahri Amat Rahmat Ujang Feri Suti Kuswanto Ruhenda Tati Rahmawati TH Kaceng Sahudin NT Iis Nurjanah Uartini Elah Suhmi Deni Sutarni Sahar Adun Andi UM M. Toyib Kanda Yayat Aen SN Ma Emin Uli Asep Ramdan Tarya Muksin
323 324 325 326 327 328 329 330 331 332 333 334 335 336 337 338 339 340 341 342 343 344 345 346 347 348 349 350 351 352 353 354 355 356 357 358 359 360 361 362 363
Heri Samsu Karman U. Maman Wacih Sukur Ento Nati Icah Ruskanah Udung AS DD Suyaha Wahyu Aisah Enen/Warya Amin Sutisna Rohaeti Dedi Junaedi Marlan Sahna Sukendi Endi Sarya Sunarto Entam Ane Uhman Neng Gita Asib Tarsum Aop Sopandi Cicih Uu Rusnadi Emen Wati Setiawati Supriati U. Cahya Dadang LL Sarman
62
364 365 366 367 368 369 370 371 372 373 374 375 376 377 378 379 380 381 382 383 384 385 386 387 388 389 390 391 392 393 394 395 396 397 398 399 400 401 402 403 404
Dayeng CH Ruhana Ruhnib Ujang Yayat Kanim Didin Edah Anah Emuh Yuyu Pepen Tasih Entas Wati NH Atang Rustandi Osar Nahari Ucok Eni Marlis Rahudi Carwita Sar'an Urfi Wawan Keris Dasir Darsiti Anah Saud Irma Yuliwai Adar Oci Kariman Icin Edeh Kirno Karnengsih HS Furqon
405 406 407 408 409 410 411 412 413 414 415 416 417 418 419 420 421 422 423 424 425 426 427 428 429 430 431 432 433 434 435
Titi Runeti Ahnen Sakman Ayah Rohim Oneng Suryati Ny Aminah Ipin Rukayah Udi Kasmar Arum N SD Wasim Omih Rustam Isum Sumiati Rukarman Rosita Kamah Ahmad Cardo Aris Mulyani Karsih AA Suhandi Dede Supriatna Icah Warsita Rohyana Aman Rusmanto Sasmita Dahyar
63
Lampiran 4 Kuesioner penelitian
Nomor Responden Tanggal Survei Tanggal Entri Data
KUESIONER DAMPAK PERUBAHAN PRANATA SOSIAL PERTANIAN PADA KONVERSI TANAMAN KOMODITI TERHADAP KESEJAHTERAAN PETANI DESA KUMPAY-SUBANG Peneliti bernama Rizki Budi Utami, merupakan mahasiswi Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Saat ini sedang menyelesaikan skripsi sebagai syarat kelulusan studi. Peneliti berharap Bapak/Ibu/Saudara/i menjawab kuesioner ini dengan lengkap dan jujur. Identitas dan jawaban dijamin kerahasiannya dan semata-mata hanya akan digunakan untuk kepentingan penulisan skripsi. Terima kasih atas bantuan dan partisipasi Bapak/Ibu/ Saudara/i untuk menjawab kuesioner ini. 1. IDENTITAS RESPONDEN Nama Jenis Kelamin Umur Alamat Pendidikan Terakhir
Luas lahan garapan nanas yang dimiliki di lahan eks-HGU Pekerjaan Sebelum Terjadinya Konversi Tanaman Komoditi Pekerjaan Setelah Terjadinya Konversi Tanaman Komoditi
( ) SD ( ) SMP ( ) SMA
( ) Universitas
64
2.
DAMPAK PERUBAHAN PRANATA SOSIAL PERTANIAN
2.1. Kesempatan Kerja Bagaimana kesempatan kerja pada saat komoditi? Sebelum Konversi Tanaman Komoditi A. Sangat sulit B. Sulit C. Netral D. Mudah E. Sangat Mudah
sebelum dan sesudah konversi tanaman Sesudah Konversi Tanaman Komoditi A. Sangat sulit B. Sulit C. Netral D. Mudah E. Sangat Mudah
2.2. Pola Pekerjaan Apa sajakah pekerjaan yang Anda lakukan pada saat ini (setelah terjadinya konversi tanaman komoditi)? A. Tidak bekerja apa-apa/ bekerja serabutan B. Bekerja di sektor non-pertanian, sebagai buruh, kuli bangunan, tukang ojeg, warung C. Bekerja di sektor non-pertanian yang bergaji tetap per bulan. D. Tetap bekerja sebagai petani atau buruh tani E. Bekerja di sektor pertanian dan non-pertanian 3.
TINGKAT KESEJAHTERAAN
3.1. Kesejahteraan Moril a) Tingkat Keamanan Pekerjaan Bagaimana tingkat keamanan finansial/ekonomi yang Anda rasakan atas pekerjaan yang Anda miliki saat ini dan sebelum terjadinya konversi tanaman komoditi? Sebelum Konversi Tanaman Komoditi Sesudah Konversi Tanaman Komoditi A. Sangat tidak aman A. Sangat tidak aman B. Tidak aman B. Tidak aman C. Netral C. Netral D. Aman D. Aman E. Sangat aman E. Sangat aman b) Tingkat Kenyamanan Hubungan Sosial Bagaimana tingkat kenyamanan Anda dalam berhubungan sosial dengan warga yang lainnya saat ini dan sebelum terjadinya konversi tanaman komoditi? Sebelum Konversi Tanaman Komoditi Sesudah Konversi Tanaman Komoditi A. Sangat tidak nyaman A. Sangat tidak nyaman B. Tidak nyaman B. Tidak nyaman C. Netral C. Netral D. Nyaman D. Nyaman E. Sangat nyaman E. Sangat nyaman
65
3.2. Kesejahteraan Materiil a)
Tingkat pendapatan Usaha Tani On Farm (Jika responden masih bekerja sebagai petani) Hasil Panen Jenis Tanaman yang Diproduksi per No. Hasil Panen (kg x @Rp) Tahun 1 2 3 Jumlah Rp Biaya Produksi 1 Bibit 2 Pupuk 3 Pestisida 4 Sewa alsintan 5 Upah tenaga kerja Jumlah Rp Lainnya 1 Dikonsumsi sendiri 2 Disimpan untuk bibit Jumlah Rp Sisa hasil panen untuk dijual Rp Sisa hasil panen-jumlah pengeluaran Rp Usaha Tani Off Farm (Jika responden bekerja dalam lingkup pertanian namun tidak menguasai lahan/bekerja sebagai buruh tani) Jumlah hasil bersih (Rp) No. Pekerjaan Perbulan Pertahun 1 2 3 Total hasil bersih satu tahun terakhir Usaha Tani Non-Farm (Jika responden bekerja di luar bidang pertanian) Jumlah hasil bersih (Rp) No. Pekerjaan Perbulan Pertahun 1 2 3 Total hasil bersih satu tahun terakhir
66
b)
Kepemilikan aset Kepemilikan lahan pertanian Berapakah jumlah luas lahan pertanian yang Anda miliki, sebelum dan sesudah terjadinya konversi tanaman komoditi? Sebelum Konversi Tanaman Komoditi Sesudah Konversi Tanaman Komoditi A. 0 bata A. 0 bata B. < 50 bata B. < 50 bata C. 50-100 bata C. 50-100 bata D. 100-150 bata D. 100-150 bata E. >150 bata E. >150 bata
No.
Penguasaan lahan pertanian Apakah pada saat ini Anda masih menguasai lahan pertanian? Jika ya, apakah statusnya? A. Tidak punya lahan B. Tumpang sari C. Bagi hasil D. Sewa E. Milik Kepemilikan barang-barang berharga Aset
1
Kendaraan
2
Hewan Ternak
Sebelum Konversi 1. Sepeda (… buah) 2. Motor (… buah) 3. Mobil (… buah) 4. Tidak punya 1. Tidak 2. Ada
Setelah Konversi 1. 2. 3. 4. 1. 2.
Sepeda(... buah) Motor (… buah) Mobil (… buah) Tidak punya Tidak Ada
67
Lampiran 5 Panduan pertanyaan wawancara mendalam responden dan informan Panduan Pertanyaan Wawancara Mendalam untuk Responden 1. Apakah terdapat peraturan-peraturan pada sistem usaha tani nanas yang berkenaan dengan hal-hal berikut: a) Sistem kepemilikan lahan b) Hubungan antara pemilik lahan dengan penggarap c) Sistem pembayaran antara pemilik lahan dengan penggarap d) Hubungan antara pemilik lahan dengan penerima hasil panen e) Sistem pembayaran antara pemilik lahan dengan penerima hasil panen f) Hubungan serta sistem yang berlaku antara pemilik lahan dengan lembaga penyedia modal atau saprotan pertanian g) Peraturan dalam setiap tahapan penanaman mulai dari awal hingga pasca panen h) Peraturan penggunaan tenaga kerja dalam setiap tahapan 2. Jika ada pranata sosial di antara kedelapan hal di atas, bagaiamana dan seperti apakah pranata yang ada? 3. Apakah diantara pranata-pranata sosial tersebut ada yang mengalami perubahan setelah lahan ini ditanami kelapa sawit? 4. Jika iya, bagaimana bentuk pranata sosial baru tersebut? 5. Bagaimana perasaan bapak/ibu mengenai pranata sosial yang baru tersebut? 6. Apakah bapak/ibu menjalankan pranata sosial baru tersebut dengan senang hati atau terpaksa? 7. Apakah bapak/ibu merasakan adanya perubahan pada kesejahteraan setelah terbentuknya pranata baru tersebut? 8. Apakah perubahan kesejahteraan yang dirasakan tersebut makin membaik atau menurun? 9. Bagaimanakah hubungan antar warga sebelum dan sesudah terjadinya konversi tanaman komoditi? Panduan Pertanyaan Wawancara Mendalam untuk Informan 1. Bagaimana sejarah kepemilikan lahan di wilayah ini? 2. Bagaimana kronologis sebenarnya dari kejadian berubahnya tanaman nanas menjadi kelapa sawit? 3. Apakah ada hambatan atau konflik yang dilakukan petani penggarap nanas atas kebijakan yang dilakukan untuk menanam kelapa sawit? 4. Apakah Bapak/Ibu melihat adanya perubahan sosial-ekonomi setelah dilaksanakannya program tersebut?
68
Lampiran 6 Hasil perhitungan PASW statistics 18. variabel perubahan sistem mata pencaharian dengan tingkat kesejahteraan CROSSTABS /TABLES=SMP BY TK /FORMAT=AVALUE TABLES /CELLS=COUNT EXPECTED /COUNT ROUND CELL. Crosstabs Notes Output Created Comments Input
31-Mei-2013 09:56:21
Data Active Dataset Filter Weight Split File N of Rows in Working Data File Missing Value Handling Definition of Missing Cases Used
Syntax
Resources
Processor Time Elapsed Time Dimensions Requested Cells Available
C:\Users\user\Documents\spss1.sav DataSet1 <none> <none> <none> 30 User-defined missing values are treated as missing. Statistics for each table are based on all the cases with valid data in the specified range(s) for all variables in each table. CROSSTABS /TABLES=SMP BY TK /FORMAT=AVALUE TABLES /CELLS=COUNT EXPECTED /COUNT ROUND CELL. 00:00:00,000 00:00:00,010 2 174762
[DataSet1] C:\Users\user\Documents\spss1.sav Case Processing Summary Cases Valid N Sistem Mata Pencaharian * 30 Tingkat Kesejahteraan
Percent 100,0%
Missing N 0
Percent ,0%
Total N 30
Percent 100,0%
69
Sistem Mata Pencaharian * Tingkat Kesejahteraan Crosstabulation Tingkat Kesejahteraan Rendah Sedang Sistem Mata Pencaharian negatif Count 21 1 Expected Count 16,9 5,1 netral Count 2 6 Expected Count 6,1 1,9 Total Count 23 7 Expected Count 23,0 7,0
Total 22 22,0 8 8,0 30 30,0
NONPAR CORR /VARIABLES=SMP TK /PRINT=SPEARMAN ONETAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE. Nonparametric Correlations Notes Output Created Comments Input
Missing Value Handling
31-Mei-2013 09:56:43 Data Active Dataset Filter Weight Split File N of Rows in Working Data File Definition of Missing Cases Used
Syntax
Resources
Processor Time Elapsed Time Number of Cases Allowed
a. Based on availability of workspace memory
C:\Users\user\Documents\spss1.sav DataSet1 <none> <none> <none> 30 User-defined missing values are treated as missing. Statistics for each pair of variables are based on all the cases with valid data for that pair. NONPAR CORR /VARIABLES=SMP TK /PRINT=SPEARMAN ONETAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE. 00:00:00,016 00:00:00,010 174762 casesa
70
Correlations
Spearman's rho
Sistem Mata Pencaharian
Tingkat Kesejahteraan
Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
[DataSet1] C:\Users\user\Documents\spss1.sav
Sistem Mata Pencaharian 1,000 . 30 ,737** ,000 30
Tingkat Kesejahteraan ,737** ,000 30 1,000 . 30
71
Lampiran 7 Dokumentasi penelitian
Batas Desa Kumpay dengan Desa Tambakmekar
Salah satu kebun nanas yang masih dimiliki oleh warga
Kebun kelapa sawit di lahan eks-HGU
Buah kelapa sawit
Kelapa sawit yang telah dipanen
Pedagang nanas di Jalan Raya Jalancagak
72
Kegiatan wawancara dengan responden dan informan
Kondisi rumah salah satu responden
Kandang kambing yang kini kosong
73
Pemandangan yang kini ditemui di Kumpay, banyak warga yang menjadi kuli bangunan
Kondisi lahan eks-HGU saat masih digarap warga
74
Kondisi lahan garapan dan tanaman nanas penggarap sesaat setelah terjadinya peristiwa pembabatan
Kondisi Danau Kumpay-Desa Kumpay yang kering (6 tahun setelah tanaman sawit ditanam)
75
Lampiran 8 Curahan hati petani penggarap
MEREKA YANG TERSINGKIR “Bagian ini merupakan kumpulan surat-surat yang ditulis oleh petani penggarap yang beisi jeritan hati yang mereka rasakan setelah terjadinya peristiwa pembabatan. Surat-surat ini menceritakan bagaimana kehidupan saat ini yang mereka jalani, bagaimana sengsaranya mereka saat ini. Surat ini kembali ditulis dengan penyuntingan seperlunya dan nama penulis surat yang disamarkan agar identitas penulis surat terjamin kerahasiaannya.”
Kumpay, 02-02-2008 Yang bertandatangan di bawah ini, sayah bernama RM umur 48 tahun alamat Desa Kumpay. MENYATAKAN Setelah pembabadan ganas di garapan sayah oleh PT (perusahaan perkebunanred) Tambaksari - sayah jadi tidak memiliki penghasilan sampey istri sayah minta cerey (cerai-red) karna saya tidak ada kerjaan. Anak sayah tidak bisa melanjutkan sekolah. Sayah minta keadilan supaya garapan ekhageu (HGU-red) digarap kembali oleh saya.
Yang bertanda tangan di bawah ini saya TH alamat RT 7/RW 8, menyatakan bahwa paska pembabadan pohon nanas yang siap panen. Saya jadi nganggur dan jadi banyak hutang. Untuk menghidupi keluarga saya sampai melakukan pekerjaan yang tidak semestinya yaitu memperbaiki jalan berlubang di desa saya untuk minta belas kasihan dari pengendara yang lewat. Yang intinya daripada saya melakukan pekerjaan yang melanggar hukum seperti merampok, mencuri, menipu, terpaksa saya melakukan pekerjaan yang tadi. Entah apalagi pekerjaan yang saya lakukan setelah pekerjaan tersebut selesai
Nama saya AB, alamat RT 02 RW 01 Desa Kumpay. Istri saya sampai meninggal garagara kebun nanas yang mau dipanen dibabad oleh pihak PT karena tidak ada pemberitahuan sebelumnya dan saya sekarang jadi susah. Untuk kelangsungan hidup saya karena mata pencaharian saya ilang mohon garapan saya dikembalikan lagi.
Yang bertanda tangan di bawah ini Nama: OS Alamat: Desa Kumpay, RT 04.02 menyatakan Saya seorang bandar ganas (nanas-red) sekaligus petani di lahan garapan eks-HGU PT Tambaksari. Dulu saya merasa sejahtera anak bisa saya sekolahkan ke SMA. Setelah garapan dibabat saya jadi nganggur dan sekarang coba buka warung kecil-kecilan di rumah. Tapi ngerasa susah menghidupi keluarga buat bayar SPP anak dan makan. Warung sepi karena banyak yang ngutang mungkin karena sama garapan mereka dibabat. Dan saya ampir (hampir-red) bangkrut sampe saya ngutang sama agen. Tak terpikir kalo garapan ditanami sawit masa depan kami semua bagaimana?
76
Surat Pernyataan Yang bertanda tangan di bawah ini Nama: TG Alamat: Kumpay/RT 05/02 Dengan ini menyatakan sebenar-benarnya bahwa: Dulu saya bisa mencukupi keluarga dengan hasil kerja saya itu walaupun tidak besar jumlahnya tapi saya bisa membahagiakan keluarga. Tapi setelah tanah garapan dibabad saya nganggur buat makan ampir tidak cukup, tambah lagi utang di warung, banyak anak saya sekola belum utang motor nunggak. Saya mohon sama pihak yang peduli untuk bisa membantu masalah kami.
Surat pernyataan Yang bertanda tangan di bwah ini saya Nama: SD Umur: 48 Alamat: Kumpay RT 8/2 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dulu sewaktu saya garah tanah PT bisa menyicil mobil dari hasil panen ganas dan dari hasil angutan nanas. Tapi sekarang serelah garapan dibabad mobil saya banyak yang nganggur. Sungguh saya mohon supaya garapan dikembalikan lagi pada penggarap. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya tanpa ada unsur paksaan dari pihak manapun.
Yang bertanda tangan di bawah ini, nama DI RT14/04 Desa Kumpay. Sekarang telah ada pembabadan nanas saya jadi nganggur. Punya motor juga sudah diambil oleh bang (bank-red). Listrik tida (tidak-red) kebayar. Boro2 membayar listrik untuk makan juga susah. Anak sekola juga susah bayarnya. Dagang juga saya sudah bangkrut engga ada yang bayar. Tanggungan saya banyak semuanya 7 orang. Sekian pernyataan dari saya. Terima kasih
Nama AS, alamat Kumpay RT 14/RW 1 menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dulu saya bisa keridit (kredit-red) motor hasil dari buruh tani di tanah garapan. Tapi setelah garapannya dibabad oleh PT mata pencaharian saya jadi hilang sampay (sampai-red) motor disita oleh pihak deler (dealer-red) bulan Januari 2008.
Surat pernyataan Yang bertanda tangan di bwah ini saya Nama: AN Alamat: Kumpay RT 3/2 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa saya mempunya garapan sebanyak 6 patok sekarang dibabad ditambah kuli pikul nanas. Sekarang tidak punya lagi apa-apa. Sedangkan keluarga saya sebanyak 6 orang. Penghasilan saya Cuma dari kuli pikul itupun kalau ada. Maka saya mohon kepada semua pihak agar garapan kembali. Supaya saya bisa menghidupi keluarga saya.Ibu saya sakit sudah lama 9 tahun. Saya sudah tidak bisa apa-apa. Saya mohon garapan kembali.
Yang bertanda tangan di bawah ini Nama EH, alamat Kumpay RT 17 RW 04. Menyatakan bahwa saya pernah tidak bisa membeli beras. Sedangkan saya status janda beranak dua. Dulu sebelum lahan garapan di babad oleh PT yang tidak punya moral, penghianat masih mending saya bisa bekerja garap dan bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sekarang ekonomi saya terpuruk drastis, sampai listrik pun tidak pernah terbayar hampir diputus. Jajan anak pun sudah beruntung ada yang belas kasihan. Untuk itu tolong kepada pemerintah agar garapan yang dulu pernah membangkitkan ekonomi bisa digarap kembali. Demikian surat ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa ada paksaan dari siapapun.
77
Yang bertanda tangan di bawah ini nama ND alamat Kumpay RT 7/02. Menyatakan bahwa sesungguhnya saya sering tidak makan nasi dan makan rebus singkong. Karena sesudah garapan di babad ku urang pete saya jadi tidak garap, kuli muat dan pikul di bandar-bandar nanas. Saya jadi nganggur dan tidak punya uang untuk beli beras. Rantaran kitu baliken garapan supaya abdi bisa kuli. (Yang bertanda tangan di bawah ini nama ND alamat Kumpay RT 7/02. Menyatakan bahwa sesungguhnya saya sering tidak makan nasi dan makan rebus singkong. Karena sesudah garapan di babad oleh orang PT saya jadi tidak garap, kuli muat dan pikul di bandar-bandar nanas. Saya jadi nganggur dan tidak punya uang untuk beli beras. Lantaran itu kembalikan garapan supaya saya bisa kuli.)
Saya SM alamat Kumpay RT 07.02 Menyatakan Bahwa pada pembabadan pohon nanas yang siap panen bulan 11-2007 saya jadi susah banyak utang. Jualan jadi suah modalnya abis sampai saya nganggur. Sedangkan saya punya beban anak 3 yang masih sekolah. Jualan tidak punya modal dan nanasnya juga susah. Tani engga punya garapan. Sekarang saya jadi kuli nyangkul selagi ada yang mengulikannya (menyuruh kuli nyangkul-red). Entah bagaimana buat kedepannya.
Saya anak dari DH ingin menceritakan bahwa gara-gara bapa saya kehilangan kerjaan jadi penggarap, ibu saya sampai minta cerai dan kawin dengan mandor sawit di desa lain. Bapa saya sakit-sakitan sekarang kena struk (stroke-red). Buat makan saya juga susah. Rumah dulu bagus sekarang jadi jelek ga punya duit buat benerin.
SURAT PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama AN, alamat Desa Kumpay RT 03/RW 01, pekerjaan buruh tani/penggarap Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa saya sudah sakit empat taun sakit kaki. Sampai saat ini saya bisa mengobati dari hasil pertanian dari tanah EX-HGU PT. Tetapi saya tidak bisa berobat lagi setelah PTP membabad lahan garapannya. Jangankan untuk berobat, buat makan sekeluarga saja kami susah. Kami mohon ada yang peduli terhadap nasib kai sekeluarga
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan dari pasangan Ayah Suharyanto dan Ibu Umi Rudatinah pada tanggal 16 Oktober 1991 di Jakarta. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Pendidikan formal yang pernah dijalani penulis antara lain Taman Kanakkanak Edelweis (1996-1997), SD Negeri 02 Ciriung Cibinong (1997-2003), SMP Negeri 1 Cibinong (2003-2006), dan SMA Negeri 3 Bogor (2006-2009). Pada tahun 2009, penulis diterima sebagai mahasiswi di Institut Pertanian Bogor (IPB) di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN). Selama menjadi mahasiswi di IPB, penulis pernah menjadi asisten praktikum pada Mata Kuliah Dasar-dasar Komunikasi. Selain itu, penulis juga aktif dalam kegiatan sosial bersama Gerakan Cinta Anak Tani (GCAT) dalam divisi pembinaan. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan kepanitiaan berupa Masa Perkenalan Departemen (MPD) Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat 2011, Communication Day 2010, Pekan Ekologi Manusia (PEM) 2011, dan Himasiera Olah Talenta (H.O.T) 2012.