DAMPAK PEMBANGUNAN PANTAI UTARA JAKARTA TERHADAP KEGIATAN PERIKANAN
SUPARTONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
DAMPAK PEMBANGUNAN PANTAI UTARA JAKARTA TERHADAP KEGIATAN PERIKANAN
SUPARTONO
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Disertasi
: Dampak Pembangunan Pantai Utara Jakarta Terhadap Kegiatan Perikanan
Nama
: Supartono
NRP.
: C. 561020164
Program Studi
: Teknologi Kelautan
Disetujui Komisi Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Ketua
Dr. Ir. H. M. Fedi A. Sondita, M.Sc Anggota
Dr. Ir. Manuwoto, M.Sc Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Teknologi Kelautan,
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian :
Tanggal Lulus :
April 2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan
ini saya menyatakan bahwa disertasi Dampak Pembangunan
Pantai Utara Jakarta Terhadap Kegiatan Perikanan adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini
Bogor,
April 2007
Supartono
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, microfilm dan sebagainya
ABSTRAK
SUPARTONO. Dampak Pembangunan Pantai Utara Jakarta Terhadap Kegiatan Perikanan. Dibimbing oleh JOHN HALUAN, M. FEDI A. SONDITA DAN MANUWOTO. Wilayah pantai utara Jakarta memiliki peranan sangat strategis karena sebagai peralihan antara ekosistem darat dan laut, wilayah ini memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang kaya. Namun pembangunan yang dilaksanakan di pantai utara Jakarta (Kotamadya Jakarta Utara) saat ini mempunyai dampak negatif terhadap kegiatan perikanan, yaitu rusaknya lingkungan pantai dan menurunnya kualitas perairan, sehingga perlu adanya penelitian yang bertujuan untuk mengetahui dampak pembangunan pantai terhadap kegiatan perikanan, optimalisasi sumberdaya perikanan yang masih ada dan menyusun strategi pengelolaan sumberdaya pantai yang berkelanjutan. Penelitian dilakukan dengan mengkaji hasil monitoring lingkungan Teluk Jakarta yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI Jakarta, hidrooseanografi dilaksanakan survey laut bekerja sama dengan Dishidrosal, data sekunder dari LIPI, BPS dan Instansi terkait. Informasi kegiatan Perikanan dengan wawancara sejumlah responden (nelayan, tokoh masyarakat, pejabat setempat) dan survey lapang untuk melihat kondisi aktual pantai utara Jakarta. Metode penelitian dengan pendekatan Driver-Pressure-State-ImpactResponse (DPSIR) yaitu menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya tekanan terhadap ekosistem pantai, analisis dan pengolahan data lingkungan dengan Geografi Information System (GIS) sedangkan karakteristik sosial, ekonomi dan budaya dengan Principal Component Analysis (PCA). Optimalisasi menggunakan Linear Goal Programming (LGP) dan untuk penyusunan strategi menggunakan analisis SWOT. Hasil yang didapat bahwa kualitas lingkungan perairan (suhu dan salinitas air; derajat keasaman/pH, disolve oxigen/DO, nitrogen/N dan fosfat/P) telah menurun tajam dan kurang memadai untuk perikanan. Namun solusi optimal pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan alat tangkap jaring insang dan bubu pendapatan nelayan Rp.155.591,14 juta/tahun (99,59 %); penyerapan tenaga kerja 119.313,14 HOK (94,74 %); produksi ikan pelagis 29,720,99 ton (93,25 %); ikan demersal 2.493,15 ton (101,05 %). Strategi pengelolaan sumberdaya pantai yang ditawarkan kebijakan SO, ST, WO dan WT yaitu pengelolaan wilayah secara terpadu. Kata kunci: Dampak, DPSIR, Keberlanjutan, Lingkungan perairan, Nelayan, PCA, Pembangunan, Perikanan, SIG, SWOT.
ABSRACT
SUPARTONO. Jakarta North Coast Development Impact on Fishery Activities. Under supervision of JOHN HALUAN, M.FEDI A. SONDITA and MANUWOTO. Jakarta north coast area has a very strategic role as a transition between land and maritime ecosystems. It contains rich potential of natural resources and environmental benefits. In spite of the recent development which is held in North Jakarta coast area (North Jakarta District) has a negative impact to the fishery activity, named the damage of seaside environment and the decrease of water quality, therefore, it is crucial to apply a research which arms the impact of coastal development to the fishery activity, to optimize the fishery resources which has been found and to arrange the follow up strategic of coastal resources management. The research was conducted by examining of environment monitoring result in Jakarta bay carried out by center of oceanographic research, LIPI Jakarta collaborate with oceanographic office of Indonesia Navy. The secondary data was taken from LIPI, BPS and related office. The information of fishery activity with using interview with many respondents (Fisherman, Community leader local officers) and site survey to identify the actual condition of North Jakarta coast area. The methodology of research by using Driver Pressure State Impact Response (DPSIR) approach to analysis the factors which can cause the pressure to the coastal ecosystem, analysis and identify the environment data with Geographic Information System (SIG). Meanwhile the social, economic and culture characteristic with Principal Component Analysis/ PCA. The optimal using LGP (Linear Goal Programming) and SWOT for the strategic management. The results achieved the quality of water environment (temperature and water sanitation, acidity level/ pH, dissolve oxygen/ DO, nitrogen/ N and phosphate/ P) have sharply decrease and not enough for the fishery. However the optimal solution of fishery resources advantageous with fishing net and traditional trawl fisherman income Rp. 155,59.,14 billion (99.59 %), worker recruitment 119,313.14 WOH (94.74 %), Pelagis fish production 29,720.99 ton (93.25 %), Demersal fish 2,493.15 tons (101.05 %). The strategic of coastal resources management is offered SO, ST, WO and WT policy that is complete area management. Keywords : Development, DPSIR, Fisherman, Fishery, Impact, PCA, sustainable, SIG, SWOT, Water Environment.
i
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Allah SWT atas segala karunia dan hidayah Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Tema dalam penelitian ini adalah perencanaan pembangunan dengan judul “DAMPAK PEMBANGUNAN PANTAI UTARA JAKARTA TERHADAP KEGIATAN PERIKANAN ”. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan September 2004 sampai dengan Desember 2006 di pantai utara Jakarta dan dinas terkait yaitu Dinas Kecamatan dan Kotamadya Jakarta Utara, Dinas Perikanan Daerah, Departemen Kelautan dan Perikanan, Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakorsurtanal), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dinas Hidrooseanografi TNI AL. Penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. John Haluan, MSc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Dr. Ir. H. M. Fedi A. Sondita, MSc dan Bapak Dr. Ir. Manuwoto, MSc selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah berkenan memberikan dorongan, saran dan bimbingan penulis sehingga penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Selain itu penulis sampaikan penghargaan dan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu memberikan data dan memperlancar penelitian dan penulisan disertasi antara lain Kepala Dinas Perikanan DKI Jakarta, Kepala Dinas Perikanan Kota Jakarta Utara, Kepala Kecamatan Penjaringan, Pademangan, Tanjung Priok, Koja, Cilincing dan Kelapa Gading ; Sekjen KTNA Nasional Bpk. Syachruna Fauzi FK, Dr. R. Achmad Budiono, Ir. Agus Wahyu Damayanto, MSc, Mayor Laut (KH) Ir. Kamidjo, MSc dan teman-teman yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri tercinta Sih Retnowati dan anak-anak Erfprins Azhar Ratono, Faisal Dwi Andarta Ratono dan Ghofar Hasan Ratono atas kesabaran, pengertian, pengorbanan dan doa yang tulus ikhlas sehingga disertasi ini bisa diselesaikan. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi kita semua. Bogor,
April 2007 Penulis
Supartono
ii
RIWAYAT HIDUP Penulis adalah putra keempat dari enam bersaudara dari Bapak Soebari (Almarhum) dan Ibu Haliyah (Almarhumah), dilahirkan di Sidoarjo, Jatim tanggal 17 Januari 1961.
Menikah dengan Sih Retnowati di Trenggalek tanggal 17
Januari 1987, dan dikaruniai 3 (tiga) orang putra, pertama Erfprins Azhar Ratono (20 tahun), kedua Dwi Andarta Ratono (15 tahun) dan ketiga Ghofar Hasan Ratono (13 tahun). Penulis menyelesaikan pendidikan formal Sekolah Dasar Negeri (SDN) lulus tahun 1973, Sekolah Menengah Pertama (SMP) lulus tahun 1976 dan Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) lulus tahun 1980 semua di Sidoarjo. Kemudian mengikuti pendidikan Taruna Akabri Laut di Morokrembangan Surabaya lulus tahun 1984 dengan pangkat Letnan Dua Laut (E). Mendapatkan kesempatan studi S-1 di Sekolah Tinggi Teknologi TNI Angkatan Laut (STTAL) Surabaya jurusan Teknik Elektronika dari tahun 1991-1994 dengan beasiswa Mabes TNI AL. Mengikuti Sekolah Staf dan Komando TNI AL (SESKO AL) tahun 1997-1998 di Cipulir, Jakarta. Melanjutkan studi S-2 di MMA IPB Bogor bidang Kekhususan Kelautan dari tahun 2000 – 2002 dengan beasiswa TNI AL dan melanjutkan studi S-3 di IPB Bogor dengan PS Teknologi Kelautan (TKL) dari tahun 2002 s/d sekarang dengan biaya sendiri. Penugasan yang Penulis jalani antara lain: sebagai Asisten Kepala Divisi Deteksi dan Komunikasi di KRI Martadinata-342 tahun 1984-1985. Mengikuti tugas belajar Sensor Weapon Command (SEWACO) dan Electronic Warfare (Pernika) di Denhelder, Nederland tahun 1986-1988, sebagai Kepala Divisi Deteksi, Navigasi dan Komunikasi KRI Oswald Siahaan-354 tahun 1988-1991. Selanjutnya sebagai Kepala Divisi Elektronika Senjata di KRI Abdul Halim Perdanakusuma-355 tahun 1994-1995, kemudian sebagai Kepala Departemen Elektonika KRI Martha Khristina Tyahahu-331 tahun 1997-1998. Sebagai Kepala Seksi Operasi Pernika Diskomlekal tahun 1998-2000 dan sebagai Kepala Seksi Kesiapan Komunikasi Pendirat Diskomlekal tahun 2000-2002. Sebagai Kepala Sub Dinas Dukungan Komunikasi Diskomlekal tahun 2002-2005 dan sebagai Kepala Dinas Komunikasi dan Elektronika Armabar tahun 2005 sampai dengan sekarang.
iii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL......................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR .................................................................................. ix DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. xi DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH ................................................... xiii 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1.1 Latar Belakang ...……........……...…...………………….......... 1.2 Perumusan Masalah ……….......……..........................………. 1.3 Tujuan Penelitian ………………………….....……................. 1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................... 1.5 Hipotesis ...........……………………....…………………..… 1.6 Kerangka Pemikiran ................................................................. 1.7 Pendekatan Penelitian ................................................................
1 1 4 7 7 8 8 13
2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 15 2.1 Pengelolaan Pantai/Pesisir............................................................ 15 2.2 Pembangunan .............................................................................. 16 2.3 Analisis Dampak ....................................................................... 20 2.4 Sistem Informasi Geografi ........................................................ 25 2.4.1 Analisis data spasial ........................................................ 27 2.4.2 Analisis data atribut ...................................................... 28 2.4.3 Integrasi analisis data spasia l dan atribut....... ……....… 28 2.5 Optimalisasi Usaha Perikanan. ................................................... 28 2.5.1 Pendekatan pengelolaan sumberdaya pantai/pesisir ....... 29 2.5.2 Model ekonomi perikanan ............................................. 34 2.5.3 Optimalisasi .................................................................... 38 2.6 Partisipasi Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Pantai/ Pesisir …………………………………………………………... 39 2.7 Analisis Karakteristik Sosial, Ekonomi dan Budaya ................... 40 2.8 Konsep Pengelolaan Sumberdaya Pantai/Pesisir secara Terpadu.. 41 2.9 Analisis SWOT ............................................................................ 44 2.10 Kegiatan Perikanan ...................................................................... 44 3 METODOLOGI PENELITIAN ............................................................ 46 3.1 3.2 3.3 3.4
Disain Penelitian ………………………………………………. 46 Waktu dan Tempat Penelitian …………………………............. 51 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ........................................... 52 Data dan Informasi ....................................................................... 54 3.4.1 Peta-peta ........................................................................ .. 54 3.4.2 Kualitas air .........................................................................55 3.4.3 Pencemaran .................................................................... 55 3.4.4 Kegiatan perikanan .......................................................... 55 3.4.5 Existing pembangunan pantai ......................................... 56 3.4.6 Kondisi sosial masyarakat ............................................... 56
iv
3.5
3.4.7 Rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kotamadya Jakarta Utara.................................................................... 3.4.8 Existing sarana dan prasarana perikanan ........................ 3.4.9 Undang-undang dan Peraturan tentang Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir, Pantai dan Laut ................ 3.4.10 Metode pengumpulan data ........................................... Metode Pengolahan dan Analisis Data ……………………..
56 57 57 57 61
4
DAMPAK PEMBANGUNAN PANTAI TERHADAP PERIKANAN TANGKAP .......................................................................................... 62 4.1 Pendahuluan ............................................................................... 62 4.2 Metodologi Penelitian ................................................................. 63 4.3 Hasil Penelitian .......................................................................... 68 4.3.1 Kondisi sosial ekonomi ................................................... 68 4.3.2 Kondisi tata guna lahan ……………………………….. 71 4.3.3 Kondisi kualitas perairan ……………………………… 74 4.4 Pembahasan …………………………………………………… 90 4.5 Kesimpulan …………………………………………………… 96
5
OPTIMALISASI USAHA PERIKANAN DI TELUK JAKARTA........... 97 5.1 Pendahuluan.................................................................................. 97 5.2 Metodologi Penelitian ................................................................... 99 5.2.1 Model optimalisasi perikanan ......................................... 99 5.2.2 Analisis data .................................................................. 101 5.3 Hasil Penelitian ............................................................................ 111 5.3.1 Upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di Teluk Jakarta .................................................................. 111 5.3.2 Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap 114 5.4 Pembahasan .................................................................................. 117 5.5 Kesimpulan ................................................................................. 118
6
PERSEPSI NELAYAN TERHADAP PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN ............................................................. 6.1 Pendahuluan …………………………………………………… 6.2 Metodologi Penelitian ................................................................ 6.3 Hasil Penelitian ............................................................................ 6.3.1 Karateristik sosial ekonomi masyarakat nelayan Teluk Jakarta .................................................................. 6.3.2 Persepsi nelayan terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan ......................................................................... 6.4 Pembahasan ................................................................................ 6.5 Kesimpulan ................................................................................
7
120 120 120 122 122 124 132 134
STRATEGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PANTAI BAGI PEMANFAATAN PERIKANAN YANG BERKELANJUTAN .......... 135 7.1 Pendahuluan ................................................................................. 135 7.2 Metodologi Penelitian .................................................................. 137 7.2.1 Prosedur penelitian .......................................................... 137 7.2.2 Pengumpulan data ............................................................ 138 7.2.3 Analisis data .................................................................... 139
v 7.3
7.4
7.5
Hasil Penelitian ............................................................................ 140 7.3.1 Kondisi sumberdaya pantai utara Jakarta ......................... 140 7.3.2 Karateristik sosial ekonomi dan budaya ........................... 141 7.3.3 Isu yang berkembang dalam pengelolaan sumberdaya saat ini ................................................................................ 142 7.3.4 Analisis strategi pengelolaan ........................................... 142 Pembahasan ................................................................................ 146 7.4.1 Penyusunan strategi pengelolaan pantai/pesisir ................ 146 7.4.2 Penentuan prioritas strategi pengelolaan pantai/pesisir .... 148 Kesimpulan ................................................................................ 150
8 PEMBAHASAN UMUM ....................................................................... 153 9 KESIMPULAN DAN SARAN................................................................ 158 9.1 Kesimpulan ................................................................................. 158 9.2 Saran .............................................................................. ............. 159 DAFTAR PUSTAKA.... ........….……………….………......……………… 161 LAMPIRAN ................................................................................................. 168
vi
DAFTAR TABEL
Halaman 3.1 Jumlah dan kepadatan penduduk Kotamadya Jakarta Utara 2004 .................
53
3.2 Jumlah Pemduduk di Kotamadya Jakarta Utara berdasarkan matapencaharian, 2004 ......................................................................................... 53 3.3 Struktur umur pemduduk Kotamadya Jakarta Utara................................ 54 4
Jenis indikator yang digunakan untuk menilai dampak pembangunan terhadap kondisi sumberdaya pantai Jakarta ........................................... 65
5
Jenis indikator yang digunakan untuk menilai dampak pembangunan terhadap kondisi sosial ekonomi Jakarta ................................................ 66
6
Kondisi demografi di Kotamadya Jakarta Utara (BPS, 1999 dan 2005).
7
Jumlah penduduk di Kotamadya Jakarta Utara berdasarkan mata pencaharian dan perubahannya (BPS, 1999 dan 2005) .......................... 70
8
Struktur umur penduduk di Kotamadya Jakarta Utara (BPS, 1999 dan 2005) ...................................................................................................... 70
9
Jumlah dan kondisi perumahan penduduk di Kotamadya Jakarta Utara (BPS, 1999 dan 2005) .............................................................................. 70
10
Kontribusi sektor lapangan usaha terhadap PDRB Kotamadya Jakarta Utara berdasarkan harga konstan (BPS, 1999 dan 2005)........................... 71
11
Perubahan tata guna lahan di kawasan pantai utara Jakarta antara tahun 1998 dan 2004 ................................................................................ 74
12
Hasil analisis parameter fisika dibandingkan dengan baku mutu ............ 74
13
Luasan perairan untuk setiap kategori kesesuaian bagi kegiatan perikanan tangkap berdasarkan kandungan oksigen terlarut (dissolved oxygen, DO) di Teluk Jakarta pada tahun 1998, 2004 dan perubahannya ........................................................................................... 78
14
Luasan perairan untuk setiap kategori kesesuaian bagi kegiatan perikanan tangkap berdasarkan kandungan Amonia (NH3) di Teluk Jakarta pada tahun 1998, 2004 dan perubahannya .................................... 78
15
Luasan perairan untuk setiap kategori kesesuaian bagi kegiatan perikanan tangkap berdasarkan kandungan nitrat (NO3) di Teluk Jakarta pada tahun 1998, 2004 dan perubahannya................................................ 78
70
vii
16
Luasan perairan untuk setiap kategori kesesuaian bagi kegiatan perikanan tangkap berdasarkan kandungan Nitrit (NO2) di Teluk Jakarta pada tahun 1998, 2004 dan perubahannya ................................. 78
17
Luasan perairan untuk setiap kategori kesesuaian bagi kegiatan perikanan tangkap berdasarkan kandungan Fosfat (PO4 ) di Teluk Jakarta pada tahun 1998, 2004 dan perubahannya .................................... 79
18
Luasan perairan untuk setiap kategori kesesuaian bagi kegiatan perikanan tangkap berdasarkan kandungan gabungan senyawa kimia di Teluk Jakarta pada tahun 1998, 2004 dan perubahannya .................... 79
19
Nilai parameter kimia perairan dibandingkan dengan baku mutu perairan untuk kegiatan perikanan tangkap menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004 ..................... 79
20
Hasil sortir makrobenthos di Perairan Teluk Jakarta, Oktober 2004 ...... 87
21
Kelimpahan dan persentase jumlah jenis makrobenthos di perairan Teluk Jakarta, Mei dan Oktober 2004. .................................................... 88
22
Hasil analisis parameter logam berat terlarut dibandingkan dengan baku mutu ................................................................................................. 89
23
Hasil analisis perubahan sosial ekonomi terhadap sumberdaya pantai berdasarkan kerangka DPSIR .................................................................. 94
24
Perkembangan produksi ikan pelagis di pantai utara Jakarta (ton) ........ 112
25
Perkembangan produksi ikan demersal di pantai utara Jakarta (ton) ...... 112
26
Jumlah alat tangkap di pantai utara Jakarta ............................................ 113
27
Effort optimum dan MSY di perairan Teluk Jakarta ................................ 114
28
Tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di Teluk Jakarta ... 114
29
Jumlah trip aktual dan solusi optimal di Teluk Jakarta .......................... 115
30
Nilai sisa pemakaian sumberdaya perikanan tangkap di Teluk Jakarta ....................................................................................................... 115
31 Selang (range) fungsi kendala ................................................................. 116 32
Pencapaian tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap menurut solusi optimal di Teluk Jakarta ............................................................... 117
33
Variabel persepsi masyarakat terhadap kondisi dan pengelolaan sumberdaya ikan ....................................................................................... 121
viii
34
Distribusi nelayan responden penelitian berdasarkan kelompok usia ….. 123
35
Distribusi nelayan responden berdasarkan jumlah tanggungan dalam keluarga ……………………………………………………………….. 123
36
Distribusi nelayan responden berdasarkan rata-rata pendapatan per minggu ...................................................................................................... 124
37
Uji beda rata-rata persepsi nelayan antar lokasi terhadap pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Jakarta ........................................................... 125
38
Hasil analisis faktor pengelolaan sumberdaya perikanan ........................ 127
39
Uji beda rata-rata persepsi nelayan antar lokasi terhadap pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Jakarta ........................................................... 132
40
Identifikasi unsur kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. .............. 146
41
Formulasi strategi pengelolaan sumberdaya pantai/ pesisir Teluk Jakarta..147
42
Pemberian bobot untuk setiap unsur dari kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. ...............................................................................149
43
Rangking dan skor urutan prioritas .......................................................... 150
ix
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka pemikiran penelitian dengan pendekatan driver-pressur state-impact-response (DPSIR) untuk menganalisis sejumlah faktor penyebab terjadinya tekanan terhadap ekosistem di wilayah pantai Goa, India (Noronha et al., 2002)............................................... 10
2.
Kerangka Pemikiran ............................................................................. 12
3
Kerangka PSR dan siklus ICM (ICAM, 2003) ..................................... 25
4
Pendekatan berdasar kompleksitas dalam pengelolaan (Vallega, 2001) 30
5
Kerangka konsep pengelolaan kawasan pesisir yang berkelanjutan .... 43
6
Bagan alir proses penelitian .................................................................. 50
7
Area penelitian Teluk Jakarta dan Kotamadya Jakarta Utara ............... 51
8
Tahapan proses pelaksanaan penelitian .................................................. 67
9
Stasiun pengambilan sampel di perairan Teluk Jakarta, Mei dan Oktober 2004 .................................................................................... 67
10
Luas area darat Propinsi DKI Jakarta pada tahun 1998 dan 2004.......... 72
11
Perubahan lahan sebagai akibat dari reklamasi pantai Ancol................ 73
12
Perubahan penggunaan lahan di pantai utara Jakarta............................. 73
13
Perubahan luas area perairan pantai utara Jakarta................................. 73
14
Distribusi turbitas lapisan dekat dasar perairan Teluk Jakarta, Mei 2004....................................................................................................... 75
15
Distribusi transparasi cahaya lapisan dekat dasar perairan Teluk Jakarta, Mei 2004.................................................................................... 75
16
Luasan perairan untuk setiap kategori kesesuaian bagi kegiatan perikanan tangkap berdasarkan kandungan oksigen terlarut (dissolved oxygen, DO) di Teluk Jakarta pada tahun 1998 dan 2004.... 80
17
Luasan perairan untuk setiap kategori kesesuaian bagi kegiatan perikanan tangkap berdasarkan kandungan amonia (NH3) di Teluk Jakarta pada tahun 1998 dan 2004.......................................................... 81
18
Luasan perairan untuk setiap kategori kesesuaian bagi kegiatan
x
19
perikanan tangkap berdasarkan kandungan nitrat (NO3) di Teluk Jakarta pada tahun 1998 dan 2004......................................................... 82 Luasan perairan untuk setiap kategori kesesuaian bagi kegiatan perikanan tangkap berdasarkan kandungan nitrit (NO2) di Teluk Jakarta pada tahun 1998 dan 2004........................................................ 83
20
Luasan perairan untuk setiap kategori kesesuaian bagi kegiatan perikanan tangkap berdasarkan kandungan fosfat (PO4) di Teluk Jakarta pada tahun 1998 dan 2004......................................................... 84
21
Luasan perairan untuk setiap kategori kesesuaian bagi kegiatan perikanan tangkap berdasarkan kandungan gabungan senyawa kimia penting di Teluk Jakarta pada tahun 1998 dan 2004...........................
85
Korelasi variabel pada sumbu utama pertama (F-1) dan kedua (F-2) nelayan tangkap ..................................................................................
130
22
23
Korelasi variabel pada sumbu utama pertama (F-1) dan kedua (F-2) nelayan pemandu wisata........................................................................ 131
24
Prosedur perumusan strategi pengelolaan ........................................
138
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Data Klimatologi Daerah Tanjung Priok Jakarta Utara …………… 168
2
Perubahan PDRB DKI Jakarta 1997-2001 (Juta Rp) ……….. ....... 171
3
Pangsa Regional (PR) DKI Jakarta 1997-2001………………….
4
Pergeseran Proporsional (Proporstional Shift) Propinsi DKI Jakarta 1997-2001 ..................................................................................... 171
5
Analisis Daya Saing (Proporstional Shift ) Propinsi DKI Jakarta 1997-2001 ………………………………………………........... 174
6
Rincian Luas Kesesuaian Area perairan Tahun 1998 .................... 175
7
Sumber Pencemaran Limbah Cair dan Pencemaran Air dari Sember Domisti DKI Jakarta (2001) .…………………………….. 180
8
Sumber Pencemaran Beban Limbah Cair dan Pencemaran Air dari Sember Effluent Industri Pengolahan DKI Jakarta (2001) ..…….. 181
9
Luas area perairan untuk budidaya perikanan tangkap tahun 2004 185
10
Perhitungan Luas Area Lahan Darat ……………………………. 191
11
Daftar Baku Mutu Perairan Untuk Perikanan dan Pariwisata Bahari .............................................................................................. 194
12
Pendapatan Nelayan, Petani Ikan Hias , Petani Konsumsi dan Pengelola Ikan Tahun 1992 sd 2005 .............................................. 195
13
Armada Perikanan di DKI Jakarta Tahun 1992 sd 2005
14
Jumlah Nelayan di DKI Jakarta Tahun 1992 sd 2005
15
Trip Penangkapan menurut Jenis Alat Tangkap di DKI Jakarta Tahun 1992 sd 2005 ...................................................................... 198
16
Volume dan Nilai Produksi Perikanan Tangkap di DKI Menurut Jenis Ikan Tahun 1992 sd 2005 .......................................199
17
Perhitungan Maximum Sustainable Yield untuk Ikan Pelagis dan Demersal di Teluk Jakarta ............................................................. 204
172
............. 196 .................. 197
xii 18
Volume dan Nilai Produksi Empat Alat Tangkap Utama di Teluk Jakarta .......................................................................................... 207
19
Model Linear goal Programming Perikanan Tangkap di Teluk Jakarta ............................................................................................ 208
xiii
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH
AMDAL
:
Analisis Dampak Lingkungan.
Bakosurtanal
:
Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional.
BOD
:
Biological oxygen demand.
BPS
:
Badan Pusat Statistik.
Bodetabek
:
Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.
DAS
:
Daerah aliran sungai
Dishidrosal
:
Dinas Hidrooseanografi TNI Angkatan Laut.
DKP
:
Departemen Kelautan dan Perikanan.
DO
:
Dissolve oksigen/Oksigen terlarut.
DO
:
Overachievement (Pencapaian lebih).
DPSIR
:
Driver-Pressure-State-Impact-Response.
DSS
:
Decision Support System.
DU
:
Underachievement (Pencapaian kurang).
FPI
:
Fishing Power Index( Indeks kemampuan tangkap).
GESAMP
:
Group of Expert on Scientific Aspects Marine Pollution.
GDP
:
Gross Domestic Product.
GIS
:
Geografi Information System.
GP
:
Goal programming.
GPA
:
Global Programme of Action for the Protection of the Marine Environtment from Land Based Activities.
GPS
:
Global Position System.
HAT
:
Highest Astronomical Tide
HOK
:
Hari Operasi Kerja
ICM
:
Integrated Coastal Management.
ICZM
:
Integrated Coastal Zone Management.
IPS
:
Image Processing System.
Kepmen
:
Keputusan Menteri.
Keppres
:
Keputusan Presiden.
KM
:
Kapal Motor.
LAPAN
:
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.
LAT
:
Lowest Astronomical Tide.
LGP
:
Linear Goal Progamming.
xiv
LIPI
:
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
MDS
:
Multidimensional Scaling ( Penskalaan secara multi dimensi, merupakan teknik dalam penentuan posisi titik-titik tersebut secara visual untuk mempermudah penggambaran titik-titik dalam metode Rapfish ).
MEY
:
Maximum Economic Yield (Hasil tangkapan ekonomi lestari).
MSY
:
Maximim Sustainable Yield ( Hasil tangkapan maksimum lestari yaitu jumlah suatu tangkapan maksimum yang dapat dipanen dari suatu sumberdaya ikan tanpa mengganggu kelestarian ).
MP
:
Mathematical Programming .
MSL
:
Mean Sea Level.
MT
:
Motor Tempel.
OLS
:
Ordinary Least Square.
PAD
:
Pendapatan Asli Daerah.
PLTU
:
Pembangkit Listrik Tenaga Uap.
PHPT
:
Pengolahan hasil perikanan tradisonal
PCA
:
Prinsipal Components Analysis / Analisis Komponen Utama yaitu metode statistik deskriptif yang bertujuan untuk menampilkan data dalam bentuk grafis dan informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data.
PDRB
:
Produk Domistik Regional Bruto, yaitu untuk melihat struktur perekonomian dan pertumbuhan ekonomi dari masing-masing kegiatan ekonomi yang ada di sebuah wilayah pada kurun waktu tertentu.
RHS
:
Right Hand Side.
RS
:
Remote Sensing.
RTRW
:
Rencana Tata Ruang Wilayah.
SDSS
:
Spatial Decision Support System.
SWOT
:
Strenght, Weakness, Opportunity, Threat/Analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yaitu analisis alternatif yang digunakan untuk mengindentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk memformulasikan suatu kebijakan.
TPI
:
Tempat Pelelangan Ikan.
TEV
:
Total Economic Value.
TDUP
:
Tanda Daftar Usaha Perikanan.
UNCLOS
:
United Nation Convention of Law Of the Sea yaitu ketentuan hukum laut internasional.
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Wilayah pantai memegang peranan penting bagi penduduk Indonesia baik secara ekonomi maupun politik. Ekosistem pantai merupakan peralihan antara daratan
dan
lautan,
ekosistem
ini
umumnya dicirikan
oleh
tingginya
keanekaragaman hayati (biodiversitas). Lingkungan dan sumberdaya pantai umumnya dimanfaatkan tidak hanya sebagai sumber pangan dan tambak, tetapi juga pemukiman, aktivitas ekonomi dan jasa. Wilayah ini memiliki potensi yang sangat besar bila dikelola dengan baik, yaitu sesuai dengan perencanaan pembangunan yang lestari dan berkelanjutan. Akan tetapi ”kemajuan” yang dihasilkan pembangunan tidak jarang dibarengi oleh kemunduran atau degradasi sumberdaya alam. Salah satu penyebab degradasi tersebut antara lain merupakan akibat dari produk atau hasil yang tidak diinginkan, yaitu sampah, limbah dan buangan lainnya yang menjadi masalah bagi lingkungan. Fenomena degradasi biogeofisik lingkungan dan sumberdaya pantai semakin memprihatinkan. Laju kerusakan ekosistem mangrove, terumbu karang dan estuari juga telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan (Fauzi dan Anna, 2002).
Pada umumnya
kerusakan tersebut akibat pembangunan yang didasarkan atas kepentingan ekonomis semata tanpa menghiraukan daya dukung dan kelestariannya. Di kawasan Indonesia, praktek pembangunan perikanan yang kurang memperhatikan kaidah keberlanjutan (sustainability) lewat destructive fishing practices telah menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup signifikan. Kerugian yang diderita mencapai lebih kurang US. $ 386,000 per tahun akibat rusaknya terumbu karang. Kerugian ini merupakan kerugian yang empat kali lebih besar dari manfaat yang diperoleh dari destructive fishing practices (Fauzi dan Buchary, 2002). Di wilayah perairan Indonesia, degradasi/depresiasi sumberdaya perikanan terutama terjadi di Selat Malaka, Teluk Jakarta, Pantai Utara Jawa, Makasar dan sebagian Bali (Anna, 1999., Fauzi dan Anna, 2002). Selain itu destructive fishing practices juga telah berdampak pada kerugian sosial yang berupa hilangnya kesempatan kerja dan timbulnya konflik horizontal diantara pelaku perikanan itu
2 sendiri. Selain itu, manfaat yang seharusnya diperoleh oleh pemerintah dari pengelolaan sumberdaya perikanan juga tidak didapat secara maksimum. Masalah lain yang berdampak pada keberlanjutan sumberdaya perikanan adalah aktivitas pembangunan fisik dan non fisik yang tidak terkait dengan perikanan. Aktivitas pembangunan telah mengakibatkan pergeseran pola pemanfaatan lahan yang tidak sesuai lagi dengan kaidah penataan ruang, daya dukungnya serta kesesuaian lahan. Masalah tersebut semakin berkembang dan kompleks seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Hal ini akan semakin berdampak negatif terhadap lingkungan tersebut baik dari sisi ekologi, sosial, ekonomi, budaya dan keamanan. Lebih lanjut, dalam satu abad terakhir, khususnya di pulau Jawa, kotakota besar terus berkembang dengan pertumbuhan yang relatif tinggi. Perkembangan yang pesat ini secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada terjadinya tekanan ekosistem pantai (Sukardjo, 2002). Bukti-bukti empirik menunjukkan bahwa kerusakan di kawasan lingkungan pesisir dan lautan lebih disebabkan paradigma dan praktek pembangunan yang selama ini ditetapkan belum sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang tidak memenuhi kaidahkaidah pembangunan yang berkelanjutan secara signifikan mempengaruhi ekosistemnya. Kegiatan pembangunan yang ada di kawasan ini dapat mempengaruhi produktivitas sumberdaya akibat proses produksi dan residu dimana pemanfaatan yang berbeda dari sumberdaya pesisir sering memberikan konflik yang dapat berdampak timbal balik. Persoalan umum pengelolaan sumberdaya wilayah pantai tersebut dihadapi juga oleh Jakarta. Wilayah pantai utara Jakarta memiliki peranan sangat strategis karena sebagai peralihan antara ekosistem darat dan laut, wilayah ini memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang kaya. Pembangunan pantai utara Jakarta secara ekonomis
memberikan kontribusi
yang signifikan terhadap pendapatan asli daerah (PAD), baik berupa pelabuhan Tanjung Priok, taman rekreasi (Taman Impian Jaya Ancol), perikanan (pelabuhan
3 perikanan Muara Baru dan Muara Angke), prasarana transportasi laut dan perumahan di sekitar pantai. Wilayah pantai utara Jakarta secara administratif-politis sangat penting karena merupakan bagian dari ibukota negara, secara ekonomis sangat berharga karena dapat memberikan nilai tambah yang sangat nyata pada perekonomian masyarakat dan daerah.
Jakarta Utara merupakan satu-satunya wilayah
administratif yang memiliki pantai (panjang pantai lebih kurang 35 km). Dengan garis pantai yang cukup panjang ini maka sebagian wilayah Jakarta Utara merupakan ekosistem pantai. Ekosistem ini menanggung beban yang cukup berat, karena berbagai aktivitas (baik ekonomi, pembangunan dan aktivitas masyarakat) di wilayah hulu akan bermuara ke daerah pantai. Sebagai akibatnya, sebagian wilayah Jakarta Utara
akan menampung beban polusi yang dihasilkan oleh
daerah hulunya. Berbagai faktor
memberikan kontribusi terhadap polusi dan
tekanan ekosistem pantai. Noronha (2002) mengemukakan bahwa tekanan terhadap ekosistem pantai merupakan fungsi dari perkembangan penduduk, aktivitas utama masyarakat (ekonomi, sosial), kebijakan makro dan sektoral serta globalisasi. Dalam modelnya, Noronha (2002) mengemukakan bahwa semakin besar perkembangan penduduk, semakin aktif dan variatif aktivitas
utama
masyarakat, kebijakan makro yang kurang berpihak pada kelestarian lingkungan serta dampak globalisasi akan meningkatkan tekanan terhadap ekosistem pantai. Kondisi yang sama juga diduga dialami oleh ekosistem pantai di Jakarta Utara. Pertumbuhan penduduk (2,2 % per tahun) dan bisnis yang semakin pesat yang dibarengi dengan pemanfaatan lahan di darat (luasan lahan darat 165,793 km2) dan perairan (luasan lahan perairan kurang lebih 452,702 km2) yang semakin intensif untuk berbagai peruntukan (seperti pemukiman, perikanan, pelabuhan, prasarana, obyek wisata dan lain-lain) diduga akan menyebabkan tekanan ekologis terhadap ekosistem perairan, yang semakin meningkat. Pemanfaatan lahan darat tersebut menghasilkan limbah industri dan limbah rumah tangga, sedangkan pemanfaatan Teluk Jakarta adalah reklamasi pantai dalam rangka perluasan daerah industri, pemukiman, dan prasarana umum, serta penetapan sebagian perairan Teluk Jakarta untuk peruntukan tertentu, misalnya jalur pelayaran dan kawasan pariwisata.
4 Dilatar-belakangi oleh hal tersebut, maka dilaksanakan penelitian untuk mengetahui dampak pembangunan pantai utara Jakarta terhadap kegiatan perikanan.
1.2
Perumusan Masalah Masalah
utama
yang
berdampak
pada
keberlanjutan
sumberdaya
perikanan adalah aktivitas pembangunan fisik dan non fisik yang tidak terkait dengan perikanan. Aktivitas pembangunan telah menyebabkan pergeseran pola pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kaidah penataan ruang, daya dukungnya serta kesesuaian lahan. Masalah tersebut semakin berkembang dan komplek seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk.
Hal ini akan semakin
berdampak negatif terhadap lingkungan tersebut baik dari sisi ekologis, sosial, ekonomi, budaya dan keamanan. Pantai Utara Jakarta, seperti kawasan pantai pada umumnya, merupakan wilayah peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut, sehingga memiliki komponen lingkungan didalamnya memiliki interaksi yang tinggi, termasuk hubungan antara kawasan ini dengan kawasan di pedalaman darat (hinterland). Dengan potensi sumberdaya alam dan potensi jasa yang begitu besar, kawasan pantai Jakarta memiliki daya tarik tersendiri bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan kawasan pantai sebagai kawasan kegiatan ekonomi. Di sisi lain sejumlah instansi pemerintah cenderung menerapkan peraturan-peraturan tentang pemanfaatan kawasan pantai Jakarta dengan tujuan pengembangan perekonomian dan kesejahteraan masyarakatnya. Saat ini, pantai utara Jakarta mengakomodasi berbagai aktivitas ekonomi yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan tekanan yang signifikan terhadap menurunnya
kualitas ekosistem dan biofisik. Aktivitas
tersebut bervariasi dari industri, pelabuhan, pariwisata, perikanan dan pemukiman. Selain dampak biologis, aktivitas tersebut juga telah berdampak secara ekonomi pada sebagian masyarakat, khususnya nelayan yang hidupnya tergantung pada ketersediaan sumberdaya ikan di perairan pantai utara Jakarta. Penurunan daya dukung sumberdaya perikanan menyebabkan sebagian nelayan tidak memperoleh
5 hasil tangkapan yang memadai. Pada akhirnya kelompok masyarakat ini secara berangsur terpaksa beralih mencari sumber penghidupan lain. Lebih lanjut, terjadinya degradasi di wilayah pantai tidak hanya disebabkan oleh aktivitas di wilayah yang bersangkutan, tetapi juga oleh aktivitas di wilayah hinterland, misalnya oleh polusi dari aktivitas industri, penambangan, pertanian dan rumah tangga (domestik). Sebaliknya, unsustainable practices yang berlangsung di wilayah pantai juga bisa menimbulkan dampak negatif bagi wilayah di perairan (Yunis, 2001). Menurut Yunis (2001) faktor pendorong terjadinya tekanan terhadap ekosistem di wilayah pantai antara lain: aktivitas penduduk di wilayah pantai, kegiatan penangkapan dan budidaya perikanan, lalu lintas kapal (shipping), pariwisata, praktek-praktek tata-guna lahan (untuk pembangunan industri, pertanian, pemukiman) serta perubahan iklim. Tekanan yang disebabkan oleh berbagai faktor tersebut berdampak pada : •
Hilangnya sumberdaya perikanan sebagai akibat dari kerusakan terumbu karang, dan overf ishing.
•
Polusi di wilayah pantai dan sumberdaya air.
•
Degradasi lahan di dataran tinggi (terjadinya desertification)
•
Intrusi air laut sebagai akibat dari penyedotan air tanah yang berlebihan, penggunaan pupuk yang berlebihan serta erosi.
•
Hilangnya sumberdaya budaya, dan ketegangan sosial.
•
Hilangnya akses publik.
•
Kerusakan lingkungan dan perubahan iklim.
Kondisi di atas menuntut strategi pembangunan perikanan yang berpihak pada keberlanjutan (sustainability) di wilayah pantai Jakarta. Charles (1994) menyatakan bahwa pembangunan perikanan pada dasarnya telah mengalami evolusi dari paradigma konservasi (biologi) ke paradigma rasionalisasi (ekonomi) dan kemudian ke paradigma sosial/komunitas. Menurut Charles (1994), pembangunan perikanan yang berkelanjutan harus dapat mengakomodasikan ketiga aspek tersebut. Lebih lanjut Alder et al. (2000) mengemukakan bahwa pendekatan yang terintegrasi tersebut harus pula dapat mengakomodasikan berbagai komponen yang menentukan keberlanjutan pembangunan perikanan. Komponen tersebut meliputi aspek ekologi, ekonomi teknologi, sosiologi dan
6 aspek etis. Dari setiap komponen tersebut ada beberapa atribut yang harus dipenuhi yang merupakan indikator keragaan perikanan sekaligus indikator keberlanjutan. Beberapa contoh atribut dari setiap komponen tersebut adalah: (1)
Ekologi: tingkat eksploitasi, keragaman rekruitmen, perubahan ukuran tangkap, discard dan by catch serta produktivitas primer.
(2)
Ekonomi: kontribusi perikanan terhadap GDP, penyerapan tenaga kerja, sifat kepemilikan, tingkat subsidi dan alternatif pendapatan.
(3)
Sosial: pertumbuhan populasi, status konflik, tingkat pendidikan dan pengetahuan lingkungan (environmental awarness).
(4)
Teknologi: lama trip penangkapan ikan, tempat pendaratan, selektifitas alat, ukuran kapal dan efek samping dari alat tangkap.
(5)
Etik : kesetaraan para pemanfaat sumberdaya ikan, illegal fishing, mitigasi terhadap habitat, mitigasi terhadap ekosistem dan sikap terhadap limbah dan by catch. Apabila kaidah pembangunan yang berkelanjutan dan holistik ini tidak
dipenuhi maka pembangunan perikanan akan mengarah ke degradasi lingkungan, over eksploitasi dan destructive fishing practices. Hal ini dipicu oleh keinginan untuk memenuhi kepentingan sesaat (generasi kini) sehingga tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan diarahkan sedemikian rupa untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya untuk masa kini. Oleh karenanya, menjadi jelas bahwa masalah di wilayah pantai bukan masalah
yang
sederhana
yang
membutuhkan
skenario
komplek
untuk
menanganinya. Penanganan ini menuntut keterlibatan berbagai stakeholder yang seringkali memiliki tujuan yang berbeda dalam pemanfaatan sumberdaya wilayah pantai, khususnya pantai utara Jakarta. Berdasarkan uraian permasalahan diatas, maka dalam penelitian ini dirumuskan sejumlah pertanyaan penelitian sebagai berikut: (1)
bagaimana
dampak pembangunan fisik terhadap lingkungan perikanan di perairan teluk Jakarta; (2) bagaimana mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di Teluk Jakarta; (3) bagaimana persepsi masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan; dan (4) strategi pengelolaan sumberdaya pantai agar lestari dan berkelanjutan
bagaimana
7 1.3 Tujuan Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini bertujuan untuk : a) Mengidentifikasi dampak dari berbagai aktivitas ekonomi dan pembangunan fisik di Jakarta Utara terhadap tata guna lahan secara ekologi dan kualitas sumberdaya perairan dihadapkan dengan lingkungan perikanan tangkap. b) Menghitung pemanfaatan
perikanan tangkap saat ini serta optimalisasi
sumberdaya perikanan tangkap di Teluk Jakarta. c) Menentukan persepsi nelayan terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan di Jakarta Utara. d) Menentukan strategi pengelolaan sumberdaya perikanan yang lestari dan berkelanjutan di Jakarta Utara. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembangunan perikanan di Indonesia, khususnya bagi penataan pantai di Jakarta Utara. Secara lebih spesifik, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: a)
Nelayan di pantai utara Jakarta, berkaitan dengan bagaimana upaya yang dapat dilakukan agar usaha penangkapan yang dilakukan berjalan optimal.
b)
Pemda berkaitan dengan strategi pengelolaan sumberdaya perikanan yang lestari dan berkelanjutan.
c)
Penelitian selanjutnya, diharapkan dapat dijadikan informasi dasar untuk penelitian tentang konservasi sumberdaya perikanan, penataan ruang dan pariwisata bahari di Jakarta Utara.
d)
Penelitian selanjutnya, diharapkan dapat dijadikan informasi dasar untuk penelitian tentang konservasi sumberdaya perikanan, penataan ruang dan pariwisata bahari di Jakarta Utara.
8 1.5 Hipotesis Hipotesis penelitian yang akan diuji adalah : a) Aktivitas ekonomi dan pembangunan di pantai utara Jakarta akan memberikan tekanan yang negatif terhadap kualitas sumberdaya perikanan dan ekosistem di wilayah pantai. b) Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan di pantai utara Jakarta dapat memenuhi kebutuhan masyarakat tanpa merusak sumberdaya perikanan itu sendiri.
1.6 Kerangka Pemikiran Tekanan
terhadap
ekosistem
pantai
semakin
kuat
seiring
dengan
berkembangnya penduduk. Lebih dari separuh penduduk dunia tinggal di wilayah pantai (dalam radius 60 km dari laut), dan jumlah ini akan terus meningkat (Yunis, 2001). Banyak stakeholder yang tergantung dan menikmati wilayah pantai, antara lain nelayan, pemukim, pariwisata, petambak, industri dan organisasi pemerintah. Aktifitas stakeholder ini dengan tujuan yang berbeda seringkali memicu terjadinya konflik dalam pemanfaatan sumberdaya pantai. Oleh karenanya wilayah pantai juga dicirikan pula oleh potensi konflik yang tinggi dan over exploitation. Kondisi di atas juga terjadi di pantai utara Jakarta. Saat ini tekanan terhadap ekosistem di wilayah ini merupakan konsekuensi dari dinamika pembangunan yang berlangsung di kawasan darat atau hinterland. Dinamika pembangunan tersebut tidak lepas dari pengelolaan yang diterapkan oleh otoritas wilayah. Pengelolaan tersebut sangat ditentukan oleh kebijakan yang dijadikan referensi para pelaksana pembangunan, termasuk masyarakat yang berinisiatif memenuhi kebutuhannya tanpa terlalu mengandalkan peran interferensi otoritas terlalu banyak. Pembangunan tersebut menghasilkan beberapa konsekuensi, baik bersifat positif maupun negatif yang penilaiannya tergantung pada perspektif yang dipakai.
Konsekuensi positif umumnya adalah dampak yang sesuai dengan
harapan, sementara konsekuensi negatif adalah dampak yang tidak diharapkan.
9 Konsekuensi negatif pembangunan terhadap aktivitas perikanan dapat dilihat dari terjadinya degradasi, konversi lahan dan over eksploitasi sumberdaya perikanan. Terjadinya tekanan negatif tersebut secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan konsumsi dan dorongan sosial (social drivers) yang dibentuk oleh: property right, karakteristik sumberdaya, teknologi dan tata laku (practices), pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap ekosistem pantai, aspirasi masyarakat, kelembagaan politik dan sosial, mekanisme pasar, serta akses terhadap kapital (Noronha, et al., 2002).
Terjadinya social drivers tersebut
disebabkan karena adanya primary drivers terhadap demografik dalam wujud: jumlah dan pertumbuhan penduduk, migrasi ekonomi, aktivitas utama, kebijakan makro dan sektoral, serta globalisasi. Untuk mengatasi dampak negatif pembangunan di wilayah pantai maka dibutuhkan strategi pembangunan yang tepat sekaligus berkelanjutan sehingga kerusakan sumberdaya perikanan dan ekosistem di wilayah pantai dapat diperbaiki. Kebijakan pembangunan modern (mutakhir) dianjurkan menerapkan prinsip-prinsip kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam (Noronha, et al., 2002). Hal ini dapat diartikan bahwa kegiatan pembangunan harus berdampak negatif seminimal mungkin, karena potensi dapat pulih (renewability) dari sumberdaya hayati adalah kekayaan alam tersebut. Penelitian ini menggunakan kerangka analisis sosial dan ekologis terpadu sebagaimana dikemukakan oleh Noronha, et al. (2002). Noronha menggunakan pendekatan Driver-Pressure-State-Impact-Response (DPSIR) untuk menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya tekanan terhadap ekosistem di wilayah pantai. Model pendekatan ini telah sukses diterapkan di beberapa negara. Noronha et al (2002) menggunakan model yang sama di wilayah pantai Goa-India. Secara skematis pendekatan DPSIR sebagaimana yang dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah.
10 Drivers
1. 2.
3.
4. 5. 6. 7.
Social Organization Drivers Property right Kerakteristik sumberdaya, teknologi dan tata laku (practices) Pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap ekosistem pantai Aspirasi masyarakat Kelembagaan politik dan sosial Pasar Akses terhadap kapital
Presures
State
Tekanan terhadap ekosistem pantai dan sumberdaya perikanan
Kesehatan Ekosistem pantai
Impact
1. 2. 3.
Dampak: Konversi Over eksploitasi Degradasi
Turunnya kontribusi ekosistem pantai dan sumberdaya perikanan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat
Primary Drivers 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jumlah penduduk Pertumbuhan penduduk Migrasi ekonomi Aktifitas utama Kebijakan makro dan sektoral Globalisasi
Rancangan Strategi Pembagunan Berbasis Ekosistem Pantai dan Sumberdaya Perikanan
Responses Gambar 1 Pendekatan driver-pressure-state-impact-response (DPSIR) untuk menganalisis sejumlah faktor penyebab terjadinya tekanan terhadap ekosistem di wilayah pantai Goa, India (Noronha et al., 2002) Diilhami oleh pendekatan DPSIR seperti dikemukakan oleh Noronha et al (2002), maka dirancang kerangka pemikiran penelitian sebagai berikut: Secara konseptual penelitian ini diarahkan untuk mengetahui kondisi sumberdaya pantai pada saat ini. Belfiore et al (2003) mengemukakan bahwa terdapat berbagai komponen yang perlu diperhatikan dalam rangka menilai kualitas sumberdaya pantai dan perikanan di suatu daerah. Komponen tersebut meliputi tata guna lahan di daerah pantai, kondisi perairan sekitar pantai, tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Untuk komponen tataguna lahan, penelitian ini difokuskan pada perubahan penggunaan lahan di wilayah pantai baik itu untuk kepentingan pariwisata,
11 pelabuhan, industri maupun pemukiman melalui analisis antar waktu sehingga akan diketahui perubahan arah tataguna lahan di daerah tersebut. Beragam aktivitas yang terjadi di daratan sekitar pantai, baik untuk aktivitas industri, pelabuhan, pertanian maupun rumah tangga, selain memberikan keluaran (output) yang positif, juga keluaran negatif berupa limbah cair maupun limbah padat. Limbah yang dihasilkan oleh beragam aktivitas tersebut mealir ke perairan Teluk Jakarta melalui 13 sungai yang sebagian membelah ibukota. Adanya aliran limbah ini diduga akan berdampak perubahan kualitas perairan di Teluk Jakarta.
Penelitian ini ditujukan untuk menilai kualitas perairan dan
kesesuaiannya bagi kepentingan perikanan maupun aktifitas wisata bahari. Bagi sebagian masyarakat pantai, wilayah perairan di sekitarnya merupakan sumber mata pencaharian, baik dari aktivitas penangkapan ikan maupun wisata bahari. Bukti-bukti empirik memperlihatkan bahwa jumlah rumah tangga yang menggantungkan hidupnya dari perikanan cenderung meningkat. Kecenderungan peningkatan ini mengindikasikan ada dua hal yaitu kondisi sumberdaya ikan di perairan Teluk Jakarta masih dapat mencukupi kebutuhan nelayan secara ekonomi atau tekanan ekonomi yang terlalu berat memaksa sebagian masyarakat untuk menggantungkan hidupnya dari sektor perikanan. Jika indikasi kedua yang sebenarnya muncul, maka tekanan terhadap sumberdaya pantai dan perikanan akan semakin berat, karena selain harus mencukupi nelayan yang sudah ada, sumberdaya pantai dan perikanan juga harus menanggung new entrants ini. Noronha et al (2003) mengemukakan bahwa
tekanan terhadap
sumberdaya pantai dan perikanan salah satunya dipengaruhi oleh pengetahuan atau persepsi masyarakat terhadap sumberdaya perikanan itu sendiri. Dengan tingkat pemahaman yang memadai, maka tekanan terhadap sumberdaya pantai dan perikanan dapat dikurangi. Interaksi dar i komponen tersebut diatas akan berakumulasi dalam bentuk perubahan kondisi dan kualitas sumberdaya pantai dan perikanan di teluk Jakarta. Untuk itu maka diperlukan suatu optimalisasi yang bertujuan untuk melindungi kondisi sumberdaya pantai dan perikanan serta sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari sektor perikanan .
12 Melalui optimalisasi ini maka dapat diketahui tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan yang ada. Agar kondisi optimal dapat tercapai, maka diperlukan strategi dan kebijakan yang tepat, diantaranya dapat berupa perencanaan tata ruang wilayah, pengembangan aktivitas ekonomi berwawasan lingkungan, resolusi konflik pemanfaatan sumberdaya dan pengawasan (stewardship) terhadap pemanfaatan sumberdaya itu sendiri. Melalui
kebijakan
tersebut
diatas,
Sain
dan
Knecht
(1998),
mengemukakan paling tidak ada lima keluaran yang diharapkan dapat dicapai yaitu pembangunan yang berkelanjutan di wilayah pantai, berkurangnya kerentanan sumberdaya pantai, keberlanjutan ekosistem pantai dan perairan, meningkatnya kesejahteraan masyarakat serta diperbaikinya proses tata kelola (governance). Secara skematis, kerangka konseptual penelitian ini digambarkan sebagai berikut.
Tata guna lahan Strategi Pengelolaan Sumberdaya Pantai dan Perikanan
Kondisi perairan
Pemanfaatan sumberdaya ikan
Kualitas sumberdaya pantai dan perikanan
Kondisi sosial ekonomi masyarakat
Optimalisasi pemanfaatan
1. Perencanaan wilayah 2. Pengembangan aktivitas ekonomi berwawasan lingkungan. 3. Resolusi konflik 4. Stewardship sumberdaya
Outcome
Umpan Balik
Gambar 2 Kerangka Pemikiran
1. Pembangunan yang berkelanjutan di wilayah pantai. 2. Berkurangnya kerentanan sumberdaya pantai. 3. Keberlanjutan ekosistem. 4. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat 5. Perbaikan proses tata kelola (governance). Sain & Knech, 19998)
13 1.7 Pendekatan Penelitian Penelitian ini diawali dengan melakukan pemetaan kondisi saat ini terhadap wilayah ekosistem pantai utara Jakarta. Secara umum, analisis yang dilakukan meliputi: (1) analisis kondisi demografis; (2) analisis penggunaan lahan saat ini di pantai utara Jakarta bagi peruntukan pelabuhan, industri, pariwisata, pemukiman dan konservasi; (3) analisis kualitas air; (4) analisis karakteristik sosial, ekonomi dan budaya; dan (5) analisis kondisi sumberdaya perikanan. Untuk kepentingan analisis tersebut dikumpulkan data primer yang meliputi : (1) Aspirasi dan persepsi masyarakat tentang pengelolaan sumberdaya perikanan yang lestari dan berkelanjutan; (2) kualitas perairan. Sedangkan data sekunder yang dibutuhkan meliputi: (1) demografi; (2) tata guna lahan seperti konservasi, pertambakan, pemukiman, pelabuhan, industri, pariwisata dan pertanian; (3) fisik kawasan pantai seperti geologi, fisiografi, hidrologi dan oseanografi, (4) kondisi sosial ekonomi dan budaya; serta (5) kondisi sumberdaya perikanan tangkap. Data yang terkumpul dari rangkaian analisis tersebut akan dituangkan kedalam sebuah sistem informasi spatial, yaitu geografi information system (GIS) atau sistem informasi geografi.
Penggunaan GIS untuk mengevaluasi kondisi
sumberdaya pantai dan perairan saat ini (tahun 2004) yang dibandingkan dengan 6 tahun sebelumnya (tahun 1998). Penyusunan data dalam sistem informasi geografi tersebut melalui tahap kegiatan yang mencakup: 1) Digitasi peta-peta rupa bumi, bathimetri dan lingkungan laut untuk mendapatkan data spasial dan grafis. 2) Digitasi data oseanografi, suhu permukaan laut, salinitas, sebaran klorofil dan data perairan. 3) Analisis dampak kebijakan pembangunan terhadap kegiatan perikanan, khususnya dampak pencemaran, pemanfaatan laut untuk perikanan, perubahan tata lahan, perubahan habitat mangrove, perubahan sosial ekonomi masyarakat di pantai utara Jakarta. Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis dengan berbagai cara, yaitu: 1) Analisis kesesuaian lahan darat dan perairan. Dilakukan empat tahap analisis untuk mengetahui kesesuaian lahan, yaitu: (a) penyusunan peta kawasan
14 pantai utara Jakarta, (b) penyusunan matriks kesesuaian setiap kegiatan yang ada di kawasan pantai utara Jakarta, (c) pembobotan dan pengharkatan dan (d) analisis spasial untuk mengetahui setiap kegiatan yang ada di kawasan pantai utara Jakarta. Penentuan bobot dan skor didasarkan pada tingkat kepentingan parameter terhadap peruntukan. Kelas kesesuaian lahan dibagi kedalam empat kategori, yaitu: (a) baik dan (b) buruk. 2) Analisis dampak pembangunan dengan menggunakan metode DriverPressure-State-Impact-Response (DPSIR). 3) Analisis optimalisasi pemanfaatan sumberdaya dengan menggunakan LGP. Dari proses analisis ini dapat dijustifikasi apakah penggunaan lahan pantai utara Jakarta saat ini sudah optimal atau belum. Jika ternyata kondisi optimal belum tercapai, tahap selanjutnya dilakukan optimalisasi model dengan menggunakan linear goal programming (LGP). 4) Untuk mengetahui persepsi masyarakat nelayan terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan dilakukan analisis komponen utama yang disebut Prinsipal Components Analysis (PCA). Output dari analisis diatas adalah alokasi optimal sumberdaya perikanan tangkap di Jakarta Utara dengan persepsi masyarakat nelayan yang dirumuskan dalam bentuk strategi pengelolaan sumberdaya perikanan di Jakarta Utara.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengelolaan Pantai/ Pesisir Wilayah pantai/pesisir, tempat dimana daratan dan lautan bertemu merupakan kawasan yang didefinisikan sebagai daerah peralihan atau transisi, di mana berbagai proses yang terjadi tergantung dari interaksi yang sangat intensif dari daratan dan lautan. (Sorensen dan Mc.Creary, 1990). Secara ekologis Dahuri et al. (1996) dan Clark (1996) berpendapat bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, ke arah darat mencakup daratan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan (seperti pasang surut, percikan air gelombang, intrusi air laut dan angin laut), ke arah laut wilayah pesisir meliputi perairan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alamiah dan kegiatan manusia di daratan, termasuk air sungai dan aliran air permukaan (run off), sedimentasi, pencemaran dan lain-lain merupakan penghubung (channels) bagi dampak yang dihasilkan dari kegiatan manusia di daratan ke lingkungan laut (Wilson, 1998). Wilayah
pesisir/pantai
secara
umum
merupakan
kawasan
potensial
sumberdaya alam, demikian pula kawasan pantai daratan merupakan kawasan yang potensial akan sumber daya lahan, sehingga dengan berbagai kegiatan dalam pengelolaan sumberdaya lahan secara ekonomi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Pengelolaan sumberdaya lahan sebagai kawasan tambak dapat meningkatkan perekonomian masyarakat melalui peningkatan produktivitas lahan dan sebagai kawasan pariwisata dengan adanya daya tarik wisata dapat meningkatkan pendapatan masyarakat serta juga kawasan pesisir tempat yang dihuni penduduk. Dari prospek cerah wilayah pesisir daratan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, jumlah dan tingkat pertumbuhan penduduk yang besar di wilayah ini menimbulkan berbagai tekanan terhadap sumberdaya wilayah pesisir perairan, yang diindikasikan dengan munculnya berbagai masalah, antara lain seperti pencemaran perairan pesisir yang berakibat berkurangnya produksi ikan dan keindahan pesisir pantai. Dari sekian banyak penyebab kerusakan lingkungan laut dan pesisir, pencemaran merupakan
faktor
paling
penting (Dahuri, 1998).
16 Sekitar 80% bahan pencemar yang ditemukan di laut adalah berasal dari kegiatan manusia di daratan (land-based activities) (UNEP, 1990). Bahan-bahan pencemar ini berasal dari berbagai kegiatan seperti kegiatan industri, pertanian, rumah tangga dan lain-lain yang berada di kawasan pesisir daratan dan lahan atas, akhirnya dapat menimbulkan dampak negatif bukan saja perairan sungai penerima, tetapi juga pesisir dan lautan. Menurut Sutamihardja et al. (1982) dan Dahuri (1998), secara garis besar sumber pencemaran perairan pesisir dan lautan dapat dikelompokan menjadi tujuh kelas, yaitu industri, limbah cair permukiman (sewage), limbah cair perkotaan (urban stormwater), pertambangan, pelayaran, pertanian dan perikanan budidaya. Sedangkan salah satu bahan pencemar utama yang terkandung dalam buangan limbah dari ketujuh sumber tersebut adalah berupa sedimen. Besar kecilnya jumlah pencemaran sedimen dipengaruhi oleh besar kecilnya tingkat yang dihasilkan dari kegiatan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir daratan.
2.2
Pembangunan Menurut Kartasasmita (1997) definisi pembangunan adalah suatu proses
perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana. Siagian (1994) mengatakan bahwa pembangunan adalah suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building). Lebih jauh, cukup penting pula untuk disimak pengertian pembangunan pada jenjang pemerintahan yang lebih bawah. Pada pola dasar pembangunan daerah Kabupaten Sidoarjo Tahun
2002-2007 misalnya mengatakan bahwa
pembangunan adalah suatu proses perubahan yang berkelanjutan menuju peningkatan kualitas kehidupan yang menempatkan manusia sebagai pelaku, dengan memanfaatkan teknologi dan sumberdaya alam yang berkelanjutan serta berwawasan lingkungan. Pembangunan berkelanjutan menurut UU no.23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup didefinisikan sebagai upaya sadar dan terencana yang
17 memadukan
lingkungan
hidup,
termasuk
sumberdaya
ke
dalam
proses
pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi kini dan generasi masa depan. Menurut Brounland (1987) dalam Our Common Future pembangunan berkelanjutan adalah keterpaduan konsep politik untuk melakukan perubahan yang mencakup berbagai masalah baik sosial, ekonomi maupun lingkungan. Tujuan
pembangunan
berkelanjutan
mencakup
tiga
dimensi
yait u
keberlanjutan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi (economic growth), keberlanjutan kesejahteraan sosial yang adil dan merata (social progress) dan keberlanjutan ekologi dalam tata kehidupan yang serasi dan seimbang (ecological balance). Pembangunan berkelanjutan yang dilaksanakan dengan berhasil baik akan memberikan manfaat yang nyata bagi pemerintah, usaha swasta dan masyarakat yang ketiganya merupakan pilar utama good governance, karena dapat menjaga kesinambungan pembangunan, menjamin tersedianya sumberdaya, menjunjung tinggi harkat dan martabat warga serta meningkatkan pemerintah yang baik. Menurut Dahuri et al. (1996), pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekos istem sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan (sustainable). Dalam konteks ini, keterpaduan (integration) mengandung tiga dimensi yaitu dimensi sektoral, bidang ilmu dan keterkaitan ekologis. Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas, wewenang dan tanggungjawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu (horizontal integration); dan antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, sampai tingkat pusat (vertical integration). Keterpaduan sudut pandang keilmuan menyaratkan bahwa didalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan interdisiplin (interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum dan lainnya yang relevan karena wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial dan sistem alam yang terjalin secara kompleks dan dinamis.
18 Dalam pembangunan wilayah pantai di Jakarta Utara yang menonjol adalah pembangunan reklamasi
pantai.
Reklamasi pantai merupakan usaha
pemanfaatan, perbaikan dan peningkatan kualitas lahan melalui pemberdayaan berbagai teknologi, pemberdayaan masyarakat yang difokuskan pada lahan yang secara alami berkualitas rendah serta pengaruh manusia yang menyebabkan lahan tersebut kurang produktif. (Direktorat Jendral Pengelolaan Lahan dan Air, 2006). Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Serang Nomor 05 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kawasan Pantai mendefinisikan reklamasi pantai sebagai kegiatan untuk mengembalikan bidang tanah yang hilang akibat abrasi garis pantai. Dalam kegiatan reklamasi pantai terdapat tiga tahap yaitu tahap prakontruksi, tahap kontruksi dan tahap operasi (AMDAL Regional Reklamasi Dan Revitalisasi Pantura Jakarta, 1998). Tahap pra-kontruksi
meliputi kegiatan
perencanaan reklamasi menurut blok rencana, tahapan dan ketentuan teknis, sosialisasi dan koordinasi perencanaan, pengurusan perijinan, penyiapan sumber material untuk bahan urugan. Tahap kontruksi meliputi kegiatan mobilisasi peralatan untuk reklamasi, mobilisasi tenaga kerja untuk kontruksi, pengadaan bahan urugan dari lokasi pengerukan ke lokasi reklamasi, penggelaran bahan urugan di lokasi reklamasi, pembangunan tanggul, pembangunan vertical drain, kompaksi dan surcharge pembangunan gedung, perumahan, perkantoran niaga dan rekreasi, pembangunan prasarana dan sarana dasar di atas lahan reklamasi. Sedangkan tahap operasi meliputi kegiatan penghunian rumah susun sederhana oleh target group, aktivitas niaga dan jasa bahari di masing-masing lokasi yang dibina, penggunaan air bersih, pembuangan air kotor, drainase dan sampah. Aktivitas pembangunan yang terjadi di pantai utara Jakarta selain menghasilkan dampak positif juga dapat menimbulkan dampak negatif berupa pencemaran lingkungan.
Menurut Williams (1974) pencemaran lingkungan
adalah sesuatu yang timbul apabila ada keluhan/teriakan dari masyarakat sebagai akibat adanya degradasi mutu suatu lingkungan. Adapun pengaruh negatif, yaitu aspek kerusakan lingkungan, merupakan kemunduran atau degradasi mutu suatu lingkungan dan akan menimbulkan kerusakan ekosistem setempat. Disamping itu juga dapat berpengaruh negatif pada aspek lainnya seperti kesehatan yang dapat menimbulkan turunnya kodisi kesehatan masyarakat, kesejahteraan hidup
19 manusia, dan aspek sosial ekonomi serta estetika. Sedangkan menurut Group of Expert on Scientific Aspects Marine Pollution (GESAMP) pencemaran laut adalah masuknya zat-zat atau energi ke dalam lingkungan laut termasuk estuari, baik langsung maupun tidak langsung sebagai adanya kegiatan manusia dan yang menimbulkan kerusakan pada lingkungan laut, kehidupan di laut, serta secara visual mereduksi dan mengurangi estetika. Jenis zat-zat yang dimaksud adalah: (1)
Bahan anorganik kelompok logam berat beracun seperti Merkuri (Hg),
Kadmium (Cd), Timah hitam (Pb), Seng (Zn), Nikel (Ni), yang bersifat tahan proses pelapukan (non degradable) baik secara fisika, kimia maupun biologi; (2) Bahan anorganic kelompok N, P, K dan bahan clay mineral; (3) Bahan organik beracun yang non degradable meliputi organohalogen (DDT, aldrin, endrin dll.) merupakan kelompok biosida, organo phosphate (malathion, parathion, guthion) kelompok biosida dan kelompok hidrokarbon yaitu minyak bumi; (4) organik limbah permukiman (domestic waste) biodegradable; (5)
Bahan Limbah
konstruksi (contruction pollution); (6) Limbah radioaktif; dan (7) Panas (thermal pollution). Pencemaran terjadi bila daya dukung suatu perairan terlampaui, sehingga proses self (natural) purification tidak dapat mengatasi banyaknya zat pencemar yang masuk. Nitrogen dan fosfor yang berlebihan dalam tubuh air menyebabkan serangkaian pengaruh yang tidak diinginkan. Salah satu dampak yang penting adalah terjadinya eutrofikasi. Eutrofikasi mengacu kepada peningkatan kecepatan supply zat organik ke suatu ekosistem, yang biasanya dihubungkan dengan pengkayaan nutrien sehingga meningkatkan produksi primer pada sistem tersebut (Nixon, 1995 dalam EEU, 2001).
Tingkat-tingkat eutrofikasi bervariasi
tergantung pada penyebab alami dari satu area ke area yang lain. Nutrien utama penyebab eutrofikasi adalah nitrogen dalam bentuk nitrat, nitrit atau ammonia dan fosfor dalam bentuk ortho fosfat. Pertumbuhan
algae
planktonik
yang
cepat,
meningkatkan
jumlah
pengendapan zat organik ke dasar tubuh air. Ini memungkinkan terjadinya peningkatan dengan berubahnya komposisi species dan fungsi jaring makanan pelagis dengan menstimulasi pertumbuhan flagellata-flagellata kecil dari pada diatom yang lebih besar, sehingga menyebabkan penurunan pemangsaan
20 kopepoda dan meningkatkan sedimentasi. Eutrofikasi juga dapat meningkatkan risiko bloom algae beracun yang dapat menyebabkan perubahan warna perairan, terbentuknya buih-buih, kematian fauna laut dan ikan-ikan atau peningkatan keracunan pada manusia. Peningkatan pertumbuhan dan dominansi macroalgae filamentik yang sangat cepat pada area perairan dangkal adalah akibat lain dari berlebihnya nutrient yang akan mengubah ekosistem perairan pantai, peningkatan risiko penipisan oksigen lokal dan menurunkan biodiversitas dan tempat pemijahan ikan. Pengaruh utama eutrofikasi adalah : 1)
Perubahan struktur dan fungsi ekosistem marin.
2)
Penurunan biodiversitas.
3)
Penurunan sumberdaya alam dari jenis-jenis ikan demersal dan kerangkerangan.
4)
Penurunan masukan dari budidaya laut atas jenis ikan dan kerang.
5)
Penurunan jumlah rekreasi dan pemasukan dari turisme.
6)
Peningkatan risiko keracunan atas hewan dan manusia dari algae beracun (EEA, 2001:8,9).
2.3 Analisis Dampak Dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup no.23 tahun 1997 dampak lingkungan hidup didefinisikan sebagai pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan, sementara itu yang dimaksud analisis mengenai dampak lingkungan hidup adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Dampak pembangunan terhadap lingkungan mempunyai dua arti. Pertama adalah perbedaan antara kondisi lingkungan sebelum ada pembangunan dan yang diperkirakan akan ada dampak setelah pembangunan, kedua perbedaan antara kondisi lingkungan yang diperkirakan akan ada dampak tanpa adanya pembangunan dan yang diperkirakan akan ada dampak setelah adanya pembangunan. Jadi dampak di sini bisa bersifat negatif dan bisa bersifat positif. Hal ini seperti yang dinyatakan Sorensen et al. (1990) didalam Ismail (2000),
21 bahwa antar sektor-sektor kegiatan pemanfaatan yang ada di wilayah pesisir dan lautan dapat saling mempengaruhi dan menimbulkan dua jenis dampak, yaitu dampak positif dan negatif. Bengen
(2002),
memberikan
suatu
pengertian
bahwa
ekosistem
pantai/pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pantai/pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem pantai/pesisir. Pengukuran dampak dilakukan dengan mempertimbangkan:
(1)
Jumlah
manusia yang akan terkena dampak; (2) Luas wilayah persebaran dampak; (3) Intensitas dan lamanya dampak berlangsung; (4)
Banyaknya komponen
lingkungan lainnya yang terkena dampak; (5) Sifat kumulatif dampak; dan (6) Dapat kembali dampak negatif (reversible) atau tidak dapat kembalinya dampak negatif (irreversible). Isu pokok dampak yang diakibatkan pembangunan pantai adalah; (1) Permasalahan penyesuaian penggunaan tanah akibat penataan ruang sepanjang pantai yang telah dibangun. Penyesuaian peruntukan penggunaan tanah beserta intensitas pemanfaatan ruang akan menimbulkan perubahan mendasar terhadap rencana masing-masing kegiatan usaha yang sudah berlangsung, diantaranya rencana pengembangan Pantai Mutiara, perumahan elit dan pusat pariwisata bahari di lokasi hasil reklamasi pantai.
Sosialisasi rencana pengembangan
pantura Jakarta akan menimbulkan berbagai macam persepsi masyarakat; (2) Perubahan mendasar dinamika kelautan yang potensial menimbulkan perubahan pola abrasi dan sedimentasi.
Pembangunan tanggul pantai dari reklamasi selain
mengakibatkan perubahan garis pantai juga mengakibatkan perubahan bathimetri dasar laut dan alur pelayaran serta akibat perubahan pola arus dan gelombang; (3) Permasalahan penyediaan dan pengangkutan bahan-bahan reklamasi yang volumenya relatif besar, jangka waktu panjang dan dilaksanakan secara simultan. Pada tahap pra-kontruksi, kegiatan penyediaan bahan akan berkaitan dengan upaya para pemasok untuk mendapatkan proyek tersebut dan pada tahap kontruksi
22 pengangkutan pasir laut sebagai bahan urug akan menimbulkan gangguan terhadap sirkulasi pelayaran angkutan di perairan pantai dan perairan laut; (4) Perubahan tata air permukaan mendatar yang potensial menimbulkan penambahan daerah-daerah genangan air dan rawan banjir serta menuntut evaluasi dan pengembangan sistem drainase. Daratan yang ada terletak hampir rata dan memiliki elevasi lebih rendah dari permukaan laut serta dengan rencana reklamasi pantai akan mengakibatkan bergesernya muara sungai sehingga rawan terjadi banjir; (5) Permasalahan berkaitan dengan penyediaan air bersih untuk memenuhi kebutuhan tahap kontruksi dan tahap operasi reklamasi pantai. Hingga saat ini PDAM DKI Jakarta hanya mampu memasok ± 50% kebutuhan air bersih masyarakat Jakarta, sehingga untuk memenuhi kebutuhan tahap kontruksi dan tahap operasi yang sangat besar sumber air tawar tersebut tidak mencukupi; (6) Perubahan mendasar pola tata ruang pemukiman lama oleh kegiatan perbaikan lingkungan dan peremajaan kota yang tidak membawa manfaat bagi masyarakat di lokasi pantai. Kemungkinan tersisihnya masyarakat berpenghasilan rendah harus diantisipasi dalam pembangunan pantura; (7) Perubahan kualitas air permukaan, kualitas air laut yang bersifat mendasar akibat berbagai aktifitas perkotaan pada tahap operasi reklamasi pantai utara.
Degradasi lingkungan
kawasan pantai akibat pencemaran harus dikendalikan dan diatasi; dan (8) Perubahan pranata sosial dan budaya masyarakat di lingkungan hunian dan sekitarnya.
Hubungan dan penyesuaian sistem kepranataan harus diarahkan
kepada bentuk yang positif dan serasi. Saat ini, lebih dari separuh penduduk dunia terkonsentrasi di kawasan pantai hingga sekitar 60 km dari tepi pantai (Yunis, 2001). Berbagai aktivitas dilakukan di kawasan ini, baik jenis kegiatan pemanfaatan sumber daya alam secara langsung maupun kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan berupa pemanfaatan lahan darat dan perairan. Kelompok stakeholder yang tergantung dan menikmati kawasan ini antara lain nelayan, petambak, kalangan pelaku bisnis industri, pariwisata, organisasi pemerintahan dan lain-lain. Intensitas pemanfaatan ruang di kawasan ini menyebabkan lokasi sejenis ini rawan konflik di antara para stakeholder. Selain itu, kawasan ini merupakan sumber penghasilan sekaligus penerima buangan atau limbah. Jenis limbah utama yang berpengaruh langsung
23 terhadap kualitas perairan adalah polutan cair yang masuk melalui saluran drainage, kanal dan sungai. Pada akhirnya, polutan tersebut akan tersebar di perairan sesuai dengan kondisi arus air alamiah. Kondisi di atas terjadi di kawasan pantai Jakarta dimana yang menerima semua konsekuensi dari dinamika pembangunan yang berlangsung di kawasan darat di pantai dan kawasan pedalaman yang lebih jauh dari pantai (Bogor dan sekitarnya). Sudah dapat dipastikan bahwa dinamika pembangunan tersebut tidak lepas dari kebijakan pengelolaan yang diterapkan oleh otoritas wilayah, yaitu Pemerintah DKI Jakarta. Kebijakan pemerintah daerah biasa dijadikan acuan para pelaksana pembangunan, termasuk kelompok masyarakat yang berinisiatif memenuhi kebutuhannya tanpa terlalu banyak mengandalkan intervensi otoritas. Beberapa konsekuensi tersebut ada yang bersifat positif maupun negatif, tergantung pada perspektif yang dipakai. Konsekuensi positif umumnya adalah dampak yang sesuai dengan harapan sementara konsekuensi negatif adalah dampak yang tidak diharapkan.
Konsekuensi tersebut, tidak hanya terhadap
kondisi kelompok masyarakat yang memanfaatkan lahan darat, tetapi juga kelompok masyarakat yang memanfaatkan perairan laut di hadapannya. Contoh kelompok masyarakat pemanfaat laut yang akan terkena dampak negatif akibat degradasi lingkungan perairan, konversi lahan darat, dan pemanfaatan
sumberdaya
perikanan
yang
berlebihan
adalah stakeholder
perikanan. Dampak negatif lingkungan perairan, baik secara langsung maupun tidak langsung, terkait dengan konsumsi dan dorongan sosial (social drivers) yang terbangun property right yang berlaku, karakteristik sumberdaya, teknologi yang diterapkan (practices), pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap ekosistem pantai, aspirasi masyararakat, kelembagaan politik dan sosial, mekanisme pasar, akses terhadap kapital (Noronha et al. 2002). Social drivers tersebut terbangun oleh adanya primary drivers yang mempengaruhi karakteristik demografi dalam wujud jumlah, pertumbuhan, migrasi ekonomi, pembangunan, kebijakan makro dan sektoral, serta interaksi global. Secara ideal, pembangunan seyogianya sedapat mungkin menghasilkan dampak negatif yang sangat minimum. Pembangunan demikian membutuhkan kebijakan dan strategi pembangunan optimal yang berdampak positif terhadap
24 keberkelanjutan sehingga kerusakan sumberdaya perikanan dan ekosistem pantai di wilayah pantai dapat diperbaiki karena potensi dapat pulih (renewability) terpelihara.
Strategi pembangunan kawasan pantai yang memperhatikan aspek
keberlanjutan tersebut dikenal sebagai pengelolaan pesisir terpadu (integrated coastal management, ICM).
Penerapan strategi ICM ini sejalan dengan
kepentingan global sebagaimana yang tertuang dalam: Agenda 21 (1992), Convention on Biological Diversity (1992), Barbados Action Plan (1994), Global Programme of Action for the Protection of the Marine Environment from Land Based Activities (GPA) (1995), Code of Conduct for Responsible Fishing (1995) serta Plan of Implementation for the World Summit on Sustainable Development (2002). Cicin-Sain dan Kench (1998) menjelaskan bahwa pengelolaan pesisir terpadu (integrated coastal management, ICM) bertujuan mengurangi kerentanan wilayah pantai dan masyarakatnya terhadap kerusakan alam, menciptakan kondisi ekosistem pantai yang berkelanjutan, memperbaiki kualitas hidup masyarakat yang
berkelanjutan,
dan
memperbaiki
proses
tata
kelola
(governance).
Berdasarkan tujuan tersebut, maka ICM mempunyai fungsi: (1)
Perencanaan penggunaan lahan di wilayah pesisir (area planning), baik daratan maupun daratan didekatnya), baik untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang.
(2)
Pengembangan kegiatan ekonomi (economic development promotion) dalam rangka mendorong pemanfaatan sumberdaya pesisir dan perikanan yang tepat.
(3)
Perlindungan sumberdaya alam (stewardship of resources) untuk menjaga fungsi ekologis,
melestarikan keragaman biologis, dan menjamin
keberlanjutan pemanfaatannya. (4)
Penanganan
konflik
(conflict
resolution)
untuk
menyelaraskan
keseimbangan pemanfaatan sumberdaya saat ini dengan potensinya. (5)
Perlindungan keselamatan masuarakat (protection of public safety) yang tinggal di wilayah pantai. Keragaan ICM selanjutnya dapat dinilai dalam konteks kemampuan ICM
mencapai tujuan di atas dan bagaimana ICM tersebut berfungsi. ICM dapat juga
25 dilihat sebagai proses tata kelola (governance) dalam kerangka pressure-stateresponse (PSR). Dalam perspektif ini, ICM merupakan rangkaian respons yang terintegrasi dan terkoordinasi untuk mengelola tekanan aktivitas sumberdaya manusia terhadap sumberdaya pantai (Gambar 3). Selanjutnya, keberhasilan ICM ini dapat dilihat dari indikator seperti kualitas lingkungan, sosial-ekonomi, dan tata kelola (Belfiore et al. 2003).
RESPONSE ICM governance: - Issue Identification - Formalization - Implementation - Evaluation
Progress in selected ICM issues through generation of programs
-
STATE Achievement of intermediate objectives Well being of the ecosystem Quality of life
PRESSURES ICM governance: - Economic - Demographic - Political - Institutional
Gambar 3 Kerangka PSR dan siklus ICM (ICAM, 2003) Noronha, et al. (2002) mengemukakan suatu pendekatan penelitian dengan menggunakan kerangka analisis sosial dan ekologis terpadu yang disebut DriverPressure-State-Impact-Response (DPSIR)
untuk
menganalisis
faktor-faktor
penyebab terjadinya tekanan terhadap ekosistem di wilayah pantai. Model pendekatan ini telah sukses diterapkan di beberapa negara. Noronha et al (2002) menggunakan model yang sama di wilayah pantai Goa-India. Secara skematis pendekatan DPSIR sebagaimana yang dapat dilihat pada (Gambar 1). 2.4 Sistem Informasi Geografi Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah teknologi sistem informasi (teknologi berbasis komputer) yang digunakan untuk memproses, menyusun, menyimpan, memanipulasi dan menyajikan data spasial (yang disimpan dalam basis data) untuk berbagai macam aplikasi. Sistem Informasi Geografis (SIG ) dapat membantu pengkajian kualitas lingkungan yang merupakan instrumen valid
26 untuk mendukung proses pengambilan keputusan. Berbagai data yang berbeda jenis dan sumbernya harus diperbandingkan, digabungkan dan diharmonisasi untuk mendapatkan instrumen yang berdaya guna menyimpan, menganalisis dan memvisualisasi informasi keruangan dan informasi lain. Data spasial yang disajikan merupakan data yang memiliki georeferensi atau data geografi yang berhubungan dengan semua persoalan dan keadaan (fenomena) yang ada di dunia nyata (real world) (Azis, 1999). Fungsi utama SIG berdasarkan desain awalnya adalah untuk melakukan analisis data spasial, akan tetapi pada saat ini sudah variatif.
Pemrosesan data geografik sudah lama
dilakukan oleh berbagai macam bidang ilmu. Perbedaannya metoda lama dengan metoda SIG adalah digunakannya data digital pada SIG. Berbagai
kategori
data
lingkungan
yang
digabungkan
dalam
SIG
diantaranya adalah parameter-parameter fisik, kimia, biologi dan konsentrasi kontaminan. Batas administratif pemerintahan, infrastruktur, hidrografi, batimetri, tema-tema administratif, struktur industri dan area tutupan lahan/tataguna lahan. SIG
memungkinkan
untuk
menguji
variasi
parameter
bervariasi
seiring
berubahnya waktu dan area, untuk menentukan kecenderungan perubahan sampai dengan saat ini sebagai hasil akhir dalam suatu seri peta tematik (Caiaffa, 1999: 12). Sistem informasi geografis menyediakan data masukan, penyimpanan, manipulasi, analisis dan kemampuan display untuk geografis, sosial budaya, politik, lingkungan dan data statistik dalam bentuk spasial. Sistem ini sangat berguna mengetahui kesesuaian lahan yang ada berdasarkan kondisi saat ini, serta untuk
analisis apakah lahan tersebut bisa diubah kegunaannya sesuai
peruntukannya. Data yang dianalisis merupakan kemampuan informasi spasial (dalam bentuk titik, garis dan area) dan atribut yang berhubungan (karakteristik dari pada data titik, garis dan poligon). Pada kasus ini data titik digunakan untuk menggambarkan beberapa kondisi fisik seperti lokasi tempat pengolahan ikan, pelabuhan sandar, dan sebagainya. Data garis digunakan untuk menggambarkan parameter fisik seperti kontur kedalaman, garis pantai dan sebagainya. Data poligon digunakan untuk menggambarkan sebaran spasial suhu permukaan laut, sebaran spasial klorofil,
27 area tutupan lahan pesisir dan sebagainya. Beberapa sumber data sistem informasi geografi yang dipakai untuk penelitian ini bersumber antara lain dari peta-peta navigasi, kedalaman, citra satelit inderaja NOAA, data daerah pariwisata, data daerah perumahan, data pertokoan dan data oseanohidrografi. Kemampuan komputer melakukan penyimpanan data digital dapat dilakukan integrasi analisis data spasial, statistik dan grafis komputer sebagai kunci utama sistem informasi geografi. Teknologi sistem informasi geografi menjembatani beberapa disiplin ilmu, ilmu komputer (image processing dan Pattern Recognition), manajemen informasi, kartografi dan manajemen lingkungan. Karakteristik lingkungan, modeling dan proses pengambilan keputusan melalui evaluasi berdasarkan survey lapangan dengan sistem informasi geografi terdapat tiga tahapan antara lain (Carver et al. 1996) : (1) Pra-lapangan, koleksi data/proses ing terhadap sumber-sumber data primer dan sekunder; (2) Lapangan, koleksi data di lapangan, verifikasi, update dan modeling; dan (3) Pengembangan sistem pengambilan keputusan secara spasial (SDSS; Spatial Decision Support System), merupakan penggunaan database dan model yang dikembangkan untuk membayar SDSS sebagai strategi pengambilan keputusan. Untuk mendapatkan hasil yang terbaik dari SIG ini dilaksanakan analisis terhadap data spasial dan analisis data atribut serta integrasi analisis dari data spasial dan data atribut yang pada akhirnya dihasilkan format sebagai keluarannya. 2.4.1 Analisis data spasial Analisis spasial meliputi analisis peta-peta yang didapat dari pengamatan peralatan yang sudah digambarkan dalam peta. Data geografi ini dihasilkan melalui digitasi dari peta-peta yang dijadikan referensi meliputi; peta rupa bumi, peta laut, peta bathimetri, dan sebagainya dan citra yang meliputi; foto udara, satelit inderaja serta hasil pengukuran di lapang seperti; pemetaan kedalaman, tracking suatu area dengan bantuan GPS (Global Position System). Salah satu hal utama bahwa data harus tersedia dalam bentuk digital. Guna mengubah data dari analog ke dalam data digital dapat dilakukan dengan berbagai alat masukan, misalnya dengan scanner atau dengan masukan menggunakan perangkat lunak
28 berbasis CAD. Hasil yang didapat adalah dalam bentuk raster maupun vektor. Format data spasial yang digunakan dalam SIG adalah data spasial dalam bentuk vektor, sehingga diperlukan konversi data spasial raster untuk mengubahnya ke dalam vektor. 2.4.2 Analisis data atribut Selain data spasial sebagaimana data di atas maka analisis data atribut terhadap geografi di area penelitian sangatlah penting. Data atribut tersebut dapat berupa data sosial, kultur, ekonomi, keamanan dan kondisi lingkungan yaitu dapat berupa titik, garis atau area. Atribut ini sangat diperlukan guna memberikan identifikasi bagi data yang dimaksud, identifikasi ini nantinya akan memudahkan pemanggilan dalam database . Dari data spasia l dan atribut dapat diintegrasikan pemanfaatan geografis sesuai dengan kepentingannya. Jadi yang menggunakan areal unsur-unsur bumi yang sesuai penggunaannya dan sesuai dengan keinginan masyarakat sekitar sebagai pengguna dan pengelola lingkungan tersebut. Pada penerapannya atribut dapat diberikan dengan berbagai kode atau besaran, yang menunjukkan muatan dari lapisan yang akan dilakukan tumpang susun (overlay). 2.4.3 Integrasi analisis spasial dan atribut Integrasi antara data spasial dan data atribut secara bersamaan dengan tahapan pencarian/klarifikasi/pengukuran, operasi tumpang susun (overlay) parameter-parameter lingkungan berperan signifikan terhadap pemanfaatan area perairan dan operasi lingkungan (neighbourhood) dan fungsi keterkaitan (connectivity)
yang
meliputi:
pemberian
nilai/bobot,
overlay
parameter
lingkungan sejenis, overlay dua parameter lingkungan berbeda dan overlay keseluruhan parameter lingkungan berbeda serta arahan pemanfaatan area perairan. 2.5 Optimalisasi Usaha Perikanan. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan (archiphelagic state) dengan jumlah pulau besar dan kecil lebih dari 17.500 buah dan panjang garis pantai lebih dari 81.000 km (Dahuri et al., 2001) menjadikan wilayah pesisir memiliki potensi
29 sumberdaya alam yang sangat besar. Dalam kaitan dengan bentuk negara kepulauan, Indonesia telah merativikasi Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS, 1982) dengan melahirkan UU nomor 17 tahun 1985 dan UU nomor 6 tahun
1996
tentang
Perairan
Indonesia.
Kedua
undang-undang
tersebut
didalamnya mengatur hukum batas-batas perairan nasional negara kepulauan yang dapat diterima oleh regional maupun dunia internasional.
2.5.1 Pendekatan pengelolaan sumberdaya pantai/pesisir Pemerintah memegang peran yang sangat penting dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir. Kay dan Alder (1998) menyoroti mengenai tatanan administratif pemerintah dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir. Dikemukakan bahwa suatu sistem pengelolaan tidak mungkin dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama apabila tidak ada administrasi yang bagus di dalamnya, hal ini juga berlaku untuk wilayah pesisir dimana lingkup dan kompleksitas issue melibatkan banyak pelaku. Kepentingan semua pihak yang terlibat dengan wilayah pesisir (stakeholder) perlu diatur melalui peraturan yang bertanggung jawab sehingga keberlanjutan wilayah pesisir untuk masa mendatang dapat dijaga. Sorensen dan Mc.Creary (1990) menyebutkan faktor-faktor yang harus
diperhatikan
berkenaan
dengan
program-program
pengelolaan
dan
administrasi untuk wilayah pesisir yaitu : 1) Pemerintah
harus
memiliki
insiatif
dalam
menanggapi
berbagai
permasalahan degradasi sumberdaya yang terjadi dan konflik yang melibatkan banyak kepentingan. 2) Penanganan wilayah pesisir berbeda dengan penanganan proyek (harus dilakukan secara terus menerus dan biasanya bertanggung jawab kepada pihak legislatif). 3) Batas wilayah hukum secara geografis harus ditetapkan (meliputi wilayah perairan dan wilayah daratan) 4) Menetapkan tujuan khusus atau issue permasalahan yang harus dipecahkan melaui program-program.
30 5) Memiliki identitas institusional (dapat diidentifikasi apakah sebagai organisasi independen atau jaringan koordinasi dari organisasi-organisasi yang memiliki kaitan dalam fungsi dan strategi pengelolaan). 6) Dicirikan dengan integrasi dua atau lebih sektor, didasarkan pada pengakuan alam dan sistem pelayanan umum yang saling berhubungan dalam penggunaan pesisir dan lingkungan. Untuk mendukung pernyataan mengenai faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pengelolaan dan administrasi wilayah pesisir yang komplek, Vallega (2001) menyajikan pendekatan berdasarkan kompleksitas dari pengelolaan pesisir seperti Gambar 4 sebagai berikut:
Gambar 4 Pendekatan berdasar kompleksitas dalam pengelolaan (Vallega, 2001) Sumberdaya pesisir di Teluk Jakarta meliputi: daratan, perairan, perikanan dan sebagian kecil hutan mangrove yang ditujukan untuk konservasi lahan. Saat ini sumberdaya tersebut digunakan untuk beragam fungsi dan sangat dipengaruhi oleh perkembangan sosial ekonomi. Oleh karenanya pengelolaan sistem penggunaan sumberdaya yang kompleks tersebut membutuhkan pendekatan yang mampu memadukan berbagai kepentingan dan tujuan. Optimalisasi sumberdaya dari perspektif sosial, ekonomi dan lingkungan akan memberikan manfaat bagi
31 generasi kini dan masa depan tanpa merugikan sumberdaya itu sendiri serta menjaga keberlanjutan proses ekologis. Potensi dan permasalahan wilayah pesisir telah banyak dikemukakan oleh para pakar kelautan dan pesisir. Isu–isu permasalahan wilayah pesisir secara global berdasarkan hasil kajian di berbagai wilayah pesisir di dunia dikemukakan oleh Kay (1999). Pokok permasalahan dalam pengelolaan wilayah pesisir menurutnya adalah sebagai berikut : pertumbuhan penduduk khususnya di negara miskin dan berkembang, pemanfaatan wilayah pesisir, dampak lingkungan dari kegiatan manusia dan kelemahan administratif. Permasalahan wilayah pesisir yang dikemukakan oleh Dahuri (2001) merupakan permasalahan umum wilayah pesisir yang banyak dijumpai di Indonesia. Dikemukakan bahwa permasalahan wilayah pesisir meliputi : pencemaran, kerusakan habitat pantai, pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan, abrasi pantai, konversi kawasan lindung dan bencana alam. Permasalahan-permasalahan tersebut sebagian besar diakibatkan oleh aktivitas kegiatan manusia baik yang tinggal dalam kawasan maupun yang berada di luar kawasan. Tata ruang di kawasan Teluk Jakarta menyiratkan bahwa terdapat perbedaan kelas pemanfaatan sumberdaya di kawasan tersebut. Berdasarkan kesesuaian kelas tersebut maka zonasi dibuat dalam rangka perbaikan produksi, konservasi dan mempertahankan keseimbangan lingkungan. Adanya aktifitas yang saling terkait dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir menyiratkan bahwa pendekatan sektoral dalam pengelolaan sumberdaya tersebut tidak akan memberikan hasil yang memuaskan. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan perikanan yang efektif sebaiknya tidak hanya didasarkan pada analisis aktivitas individu dan dampaknya, tetapi juga harus mempertimbangkan dampak kombinasi dari aktivitas sektoral baik itu terhadap antar sektor maupun terhadap sumberdaya pesisir itu sendiri (Hossain dan Lin, 2001). Melalui pendekatan yang terintegrasi, keberlanjutan sumberdaya (termasuk sumberdaya pesisir) akan lebih terjamin. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menjadi paradigma utama dalam khasanah dunia pengelolaan wilayah pesisir pada akhir abad 20 (Kay,1999). Kay (1999) memperkenalkan sejumlah prinsip yang mendasari konsep berkelanjutan yaitu: prinsip integritas lingkungan, prinsip efisiensi ekonomi, dan prinsip keadilan sosial. Dari tiga
32 prinsip pembangunan berkelanjutan untuk pengelolaan wilayah pesisir dapat diuraikan bahwa : 1)
Instrumen ekonomi lingkungan telah menjadi instrumen pengambilan keputusan;
2)
Keputusan yang memasukkan parameter lingkungan untuk melihat ke depan melalui analisis biaya manfaat;
3)
Didalam pembangunan berkelanjutan issue lingkungan seperti konservasi keanekaragaman hayati menjadi perhatian utama dalam pengambilan keputusan;
4)
Dalam pembangunan berkelanjutan sangat memperhatikan kualitas hidup manusia pada saat sekarang dan masa yang akan datang. Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu menghendaki adanya
keberlanjutan (sustainability) dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir. Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor pembangunan, wilayah pesisir memiliki kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan tantangan. Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang tidak memenuhi kaidahkaidah pembangunan yang berkelanjutan secara signifikan mempengaruhi ekosistemnya. Kegiatan pembangunan yang ada di kawasan ini akan dapat mempengaruhi produktivitas sumberdaya akibat proses produksi dan residu, dimana pemanfaatan yang berbeda dari sumberdaya pesisir kerap menimbulkan konflik yang dapat berdampak timbal balik. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk tujuan pembangunan nasional akan dapat berhasil jika dikelola secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management, ICZM). Pengalaman membuktikan bahwa pengelolaan atau pemanfaatan kawasan pesisir secara sektoral tidak efektif (Dahuri et. al 1996; Brown 1997; Cicin-Sain and Knecht 1998; Kay and Alder 1999) Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu adalah suatu proses interaktif dan evolusioner untuk mewujudkan pembangunan kawasan pesisir secara optimal dan berkelanjutan. Tujuan akhir dari ICZM bukan hanya utuk mengejar pertumbuhan ekonomi (economic growth) jangka pendek, melainkan juga menjamin pertumbuhan ekonomi yang dapat dinikmati secara adil dan proporsional oleh segenap pihak yang terlibat (stakeholder), dan memelihara daya
33 dukung serta kualitas lingkungan pesisir, sehingga pembangunan dapat berlangsung secara lestari. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka unsur esensial dari ICZM adalah keterpaduan (integration) dan koordinasi. Setiap kebijakan dan strategi dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir harus berdasarkan kepada: (1) pemahaman yang baik tentang proses-proses alamiah (eko-hidrologis) yang berlangsung dikawasan pesisir yang dikelola; (2) kondisi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat; dan (3) kebutuhan saat ini dan yang akan datang terhadap barang dan (produk) serta jasa di lingkungan pesisir. Wilayah pesisir dan laut sebagai ekosistem yang dinamis memiliki karakteristik yang sangat unik. Hal ini mengisyaratkan pentingnya pengelolaan wilayah tersebut untuk dikelola secara terpadu dan bijaksana. Adapun karakteristik biofisik wilayah pesisir adalah : 1)
Secara fungsional terdapat keterkaitan ekologis baik antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas. Perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem pesisir, cepat atau lambat, akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Begitu pula halnya, jika pengelolaan kegiatan pembangunan (industri, pertanian, pemukiman, dan lain-lain) di lahan atas suatu daerah aliran sungai (DAS) tidak dilakukan secara bijaksana, akan merusak tatanan dan fungsi ekologis kawasan pesisir dan laut.
2)
Dalam suatu kawasan pesisir, biasanya terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan.
3)
Dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat (orang) yang memiliki keterampilan/keahlian dan kesenangan (preference) bekerja yang berbeda, sebagai petani, nelayan, petani tambak, petani rumput laut, pendampingan pariwisata, industri dan kerajinan rumah tangga, dan sebagainya. Padahal, sangat sukar atau hampir tidak mungkin, untuk mengubah kesenangan bekerja (profesi) sekelompok orang yang sudah secara tradisi menekuni suatu bidang pekerjaan.
4)
Baik secara biologis maupun ekonomis, pemanfaatan suatu kawasan pesisir secara monokultur (single use) adalah sangat rentan terhadap perubahan
34 internal maupun eksternal yang menjurus pada kegagalan usaha. Misalnya suatu hamparan pesisir, hanya digunakan untuk satu peruntukkan, seperti tambak, maka akan lebih rentan jika hamparan tersebut digunakan untuk beberapa peruntukkan. 5) Kawasan pesisir pada umumnya merupakan sumberdaya milik bersama (common property resources) yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang (open access). Padahal setiap pengguna sumberdaya pesisir biasanya berprinsip
memaks imalkan
keuntungan.
Oleh
karenanya,
wajar
jika
pencemaran, over-eksploration sumberdaya alam dan konflik pemanfaatan ruang serangkai terjadi di kawasan ini.
2.5.2. Model ekonomi perikanan Pendekatan model ekonomi perikanan pertama kali ditulis oleh Gordon (1954), yang mengemukakan
bahwa sumberdaya perikanan pada umumnya
bersifat akses terbuka (open access) sehingga siapa saja dapat memanfaatkannya. Dikatakan
pula
bahwa
permasalahan
perikanan
banyak
terfokus
pada
maksimalisasi hasil tangkapan dengan mengabaikan faktor produksi dan biaya yang digunakan dalam perikanan. Para ahli biologi memberikan perlakuan pada nelayan sebagai variabel eksogen dalam model analisisnya dan perilaku nelayan tidak diintegrasikan ke sebuah teori bioekonomi yang sistematik dan umum. Keadaan
tersebut
mendasari
Gordon
dalam
memulai
analisisnya
berdasarkan konsep produksi biologi kuadratik yang kemudian dikembangkan oleh Schaefer (1957), selanjutnya konsep dasar bioekonomi yang ditemukan dikenal dengan istilah teori Gordon-Schaefer. Dengan demikian maka proses perumusan teori tersebut pertama produksi sebagai fungsi upaya penangkapan ikan (tulisan Schaefer), kemudian dimasukkan unsur ekonomi berupa biaya operasi, nilai jual ikan, dan keuntungan usaha (tulisan Gordon). Untuk memahami konsep dasar bioekonomi, maka dalam penyelesaiannya didasari oleh konsep dasar biologi perikanan (konsep Gordon). Dimisalkan bahwa pertumbuhan populasi ikan pada priode 1 (dx/dt) pada suatu daerah tertentu adalah fungsi dari jumlah populasi asal ikan (x). Secara matematik hubungan tersebut dituliskan sebagai:
35
dx = f (x) .............................................................................................. (2.1) dt Jika diasumsikan bahwa daerah tersebut terbatas, maka secara rasional dapat diasumsikan pula bahwa populasi ikan tersebut tumbuh secara proporsional terhadap populasi asal, atau secara matematis dituliskan: dx = rx ................................................................................................. (2.2) dt Dimana r dalam istilah biologi perikanan sering disebut dengan intrinsic growth rate, yakni pertumbuhan alamiah (natalitas dikurangi mortalitas) atau sering juga dikatakan laju pertumbuhan yang dimiliki oleh suatu jenis ikan. Dalam situasi ideal, laju pertumbuhan populasi ikan dapat terjadi secara eksponensial, namun karena keterbatasan daya dukung lingkungan, ada titik maksimum dimana laju pertumbuhan tersebut akan menurun bahkan berhenti. Titik maksimum ini biasanya disebut dengan carrying capacity. Dalam model kuadratik (logistik), diasumsikan bahwa laju pertumbuhan populasi ikan adalah proporsional perbedaan antara carrying capacity (K) dengan populasi (x). Secara matematik, hubungan tersebut adalah: dx = rx (K – x) .................................................................................... (2.3) dt K = rx 1 ........................................................................... (2.4) x
Persamaan (2.3) atau (2.4) dalam literatur perikanan dikenal dengan persamaan logistik (Seijo et al, 1998). Dari persamaan matematis (2.4) terlihat bahwa dalam kondisi keseimbangan (equilibrium) (dx/dt = 0) populasi akan sama dengan carrying capacity. Sedangkan maksimum pertumbuhan akan terjadi pada kondisi setengah dari carrying capacity. Persamaan pertumbuhan logistik (persamaan 2.4) menunjukkan bahwa perikanan belum mengalami eksploitasi dan faktor produksi (tangkap) belum dimasukan kedalam model. Untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan di suatu perairan, dibutuhkan berbagai sarana yang merupakan faktor masukan (input) yang biasa disebut dengan effort (upaya). Dalam perikanan, effort dipahami
36 sebagai indeks dari berbagai input seperti tenaga kerja, kapal, alat tangkap dan sebagainya yang dibutuhkan dalam suatu aktivitas penangkapan. Hubungan antara tingkat pertumbuhan alamiah (logistik) dengan upaya tangkap (fishing effort) merupakan dinamika populasi stok ikan di laut yang digambarkan dalam model surplus produksi. Laju pertumbuhan stok ikan dapat dirumuskan sebagai berikut: dx = f(x) - C ...................................................................................... (2.5) dt dimana f(x) adalah laju pertumbuhan alamiah dari stok ikan x, dan C adalah jumlah ikan yang ditangkap pada waktu tertentu (C = c(t)). Memiliki hubungan proporsional terhadap upaya penangkapan (E). Bila E merupakan indeks dari beberapa sarana produksi termasuk kapal dan alat tangkap standar, maka jumlah ikan yang ditangkap (Catch, C) dapat dihitung dengan persamaan: C = q. Ex ............................................................................................. (2.6) Dengan adanya aktivitas penangkapan, maka persamaan (2.5) menjadi: dx x –– = f (x) – C = rx 1 – –– – q.Ex ..................................................... (2.7) dt K Kalau kita pecahkan persamaan tersebut untuk x, akan diperoleh: qE x = K 1 − ..................................................................................... (2.8) r Dalam kondisi keseimbangan jangka panjang (long run), maka persamaan 2.7 dapat ditulis sebagai:
qE ................................................................................ (2.9) C = qEK 1 − r sekarang jika persamaan diatas disubstitusikan maka akan diperoleh fungsi tangkap lestari (sustainable yield) sebagai
qE C = qEK 1 − r q2K C = (qK)E – ( r
)E2.......................................................................(2.10)
37
persamaan (2.10) secara sepintas mirip dengan persamaan (2.4), dimana hasil tangkapan, C (yield) kuadratik terhadap effort. Jika diasumsikan a = qK dan ß = q2K ,maka persamaan (2.10) dapat ditulis: r C = aE – ßE2....................................................................................... (2.11) Dicatat disini bahwa titik MSY diperoleh dengan cara menurunkan persamaan hasil tangkapan lestari (2.11) terhadap upaya tangkap, sehingga: EMSY = a/2ß, CMSY = a2/4ß ................................................................ (2.12) Koefisien parameter produksi lestari
(a dan ß) dapat diestimasikan melalui
analisis regresi sederhana, dengan menggunakan model Schaefer berikut: C E
= a – ßE...................................................................................... (2.13)
Berdasarkan nilai MSY yang diperoleh dari model Schaefer, Gordon menambahkan faktor ekonomi dengan memasukkan faktor harga dan biaya (Clark, 1980). Dimisalkan harga persatuan unit ikan sebagai p (Rp/kg) dan biaya persatuan effort, kemudian kita kalikan harga tersebut dengan MSY (C), maka akan diperoleh kurva penerimaan sebagai total revenue (TR) = pC. Sedangkan kurva biaya diasumsikan linear terhadap effort, sehingga fungsi biaya menjadi TC = cE. Diasumsikan harga p ikan dan biaya c dari upaya tangkap konstan, maka diperoleh keuntungan (rente) bersih suatu industri perikanan, melalui persamaan matematis berikut (Clark, 1980). ? 1 = pC1 – cE 1 = (pqx1 – c)E1................................................................................ (2.14) Keseimbangan bioekonomi dari suatu level biomassa x merupakan determinan dari kondisi ? = 0, sehingga: c X =__................................................................................ .................. (2.15) pq
38 Dalam kondisi open access, suatu perikanan akan mencapai titik keseimbangan pada tingkat effort E dimana penerimaan total (TR) sama dengan biaya total (TC). Dalam hal ini, pelaku perikanan hanya menerima rente ekonomi sumberdaya = nol. Tingkat effort pada posisi ini adalah tingkat effort keseimbangan yang oleh Gordon disebut sebagai ”bioeconomic equilibrium of open access fishery”. Pada setiap tingkat effort di bawah E penerimaan total akan melebihi biaya total.
2.5.3
Optimalisasi Dalam penentuan optimalisasi ada beberapa teori untuk menghitung suatu
lahan/lingkungan yang mempunyai kualitas untuk menghasilkan nilai kuantitatif. Menurut
Snadgrass
dan
Wallace
(1977),
ekonomi
merupakan
proses
pengalokasian sumberdaya yang langka pada pilihan yang kompetitif dengan tujuan untuk maksimalisasi (profit) atas pilihan tersebut sepanjang waktu dengan tetap menjaga kemungkinan untuk memelihara dan memodifikasi sistem pilihan yang bersangkutan. Dalam pengelolaan wilayah pesisir pilihan-pilihan tersebut menjadi relatif lebih baik sesuai dengan daya dukung (cariying capacity) sumber daya lahan. Pada prinsipnya optimalisasi pembangunan wilayah pesisir adalah untuk mendapatkan “rente ekonomi” yang maksimal dengan “dampak negatif “ yang minimal dari sumberdaya yang tersedia di wilayah pesisir. 2.5.3.1 Linear programming Alat untuk melakukan optimalisasi secara kuantitatif adalah Linear Programming dan Goal Programming (Heady dan Candler, 1958). Menurut Wagner (1980) setiap permasalahan optimalisasi dapat diselesaikan dengan linear programming sejauh permasalahan tersebut bersifat divisibel dan aditif. Divisibel artinya bahwa penggunaan sumber daya oleh setiap pilihan itu bersifat unik dan dapat dipisahkan atau dibedakan sedangkan aditif artinya hubungan antar perubahnya merupakan penjumlahan aljabar yang bersifat linear. Selanjutnya Wu dan Coppins (1981) menyebutkan asumsi linear, proporsional, aditif, divisibel dan determinan yaitu:
39 (1)
Linear artinya nisbah (ratio) antar input maupun nisbah antara input dengan output senantiasa tetap.
(2)
Proporsional artinya apabila variabel keputusan ditingkatkan 2 kali, maka pengaruhnya terhadap fungsi tujuan maupun terhadap fungsi kendala juga 2 kali lipat, Linear Programming tidak mengakomodasikan increasing/ decreasing return to scale dan set up cost.
3)
Aditif artinya bahwa total biaya merupakan penjumlahan dari biaya individual; dan pengaruh total setiap kendala merupakan penjumlahan pengaruh individual setiap kendala yang berikut.
4)
Divisible artinya variabel keputusan itu dapat dipilah-pilah menjadi fraksifraksi lain.
5)
Determinan artinya seluruh parameter dalam model Linear Programming itu dianggap konstan.
2.5.3.2 Linear goal programming Linear goal programming adalah metode program tujuan ganda yang dapat digunakan untuk masalah-masalah yang dapat diformulasikan dalam bentuk model linear. Goal Programming memiliki peubah deviasi (deviational variable) yang merupakan selisih perbedaan antara besarnya tujuan yang dicapai dan target yang ditetapkan. Perubahan deviasi ini digunakan dalam formulasi model goal programming, sehingga dapat dimasukkan beberapa tujuan yang hendak dicapai, ke dalam formulasi produk program linier.
2.6 Partisipasi Stakeholder Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pantai/Pesisir Pengelolaan pantai/pesisir sebaiknya dilakukan secara terpadu dengan melibatkan banyak pihak (stakeholder). Menurut CRMP (2001), pengelolaan wilayah pesisir tidak hanya menyangkut wilayah saja, tetapi juga menyangkut sumberdaya manusia yang mempengaruhi serta sekaligus tergantung pada kondisi sumberdaya pesisir itu sendiri. Sumberdaya manusia memegang peranan penting, karena mereka yang membuat keputusan bagaimana sumberdaya pesisir dimanfaatkan, dan mereka pula yang menerima manfaat dari sumberdaya itu
40 sendiri. Masyarakat akan memperoleh kerugian jika sumberdaya tersebut tidak dikelola dengan baik dan berkelanjutan. Oleh karenanya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir merupakan faktor yang sangat penting. Tidak seperti sumberdaya lahan yang batas-batas pemilikannya jelas, sumberdaya pesisir dan perairan digolongkan sebagai common property dimana semua orang dapat memanfaatkannya. Karena sifat ini maka upaya proteksi dan konservasi sumberdaya pesisir menjadi sangat sulit dilakukan tanpa dukungan dan kerjasama masyarakat. Tujuan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir meliputi penyelesaian konflik penggunaan sumberdaya oleh masyarakat, meningkatkan kapasitas masyarakat, mendorong konservasi lingkungan, serta mendorong pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan. Isu mengenai kesetaraan, seperti kesetaraan jender, dan pemberdayaan sumberdaya lokal juga merupakan aspek yang harus diperhatikan dalam pendekatan berbasis partisipasi masyarakat. Partisipasi
mensyaratkan
bahwa
masyarakat
memiliki
otoritas
dalam
pengelolaan sumberdaya pesisir serta yang isu yang menjadi konsern masyarakat lokal terwadahi dalam proses perencanaan pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu. Partisipasi akan mendorong pemberdayaan karena masyarakat belajar mengelola issue pemanfaatan sumberdaya pesisir serta sekaligus terlibat dalam mengimplementasikan rencana pengelolaan yang sudah disusun bersama-sama. Keterlibatan masyarakat tersebut berada dalam satu kontinum partisipasi. Mulai dari yang terendah dalam bentuk passive participation
hingga yang tertinggi
dalam bentuk self mobilization. Hirarkhi partisipasi itu sendiri yang disusun dari yang terlemah ke yang terkuat adalah sebagai berikut: passive participation, participation by information giving, participation by consultation, participation for materials incentive, functional participation, interactive participation, serta self-mobilization.
2.7
Analisis Karakteristik Sosial, Ekonomi dan Budaya Untuk melihat pengaruh dari faktor-faktor sosial masyarakat (umur, anggota
keluarga, sumber penghasilan, jumlah pendapatan, persepsi masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir), digunakan analisis komponen utama (Principal
41 Components Analysis, PCA). Analisis komponen utama (PCA) merupakan metode statistik deskriptif yang bertujuan untuk menampilkan data dalam bentuk grafik dan informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data yang dimaksud terdiri dari variabel sebagai kolom dan observasi/responden sebagai baris. Analisis persepsi masyarakat terhadap sumberdaya dilakukan dengan statistik deskriptif.
2.8 Konsep Pengelolaan Sumberdaya Pantai/Pesisir secara Terpadu Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (sustainability) dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir. Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor pembangunan, wilayah pesisir memiliki kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan tantangan. Terdapat beberapa dasar hukum pengelolaan wilayah pesisir yaitu: (1) UU No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya; (2) UU No. 24 tahun 1992, tentang Penataan Ruang; (3) UU No. 23 tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;(4) UU No. 22 tahun 1999, yang direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah; (5) PP No. 69 tahun 1996, tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang; (6) Keputusan Presiden RI No.32 tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung; (7) Permendagri No.8 tahun 1998, tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah; (8) Berbagai Peraturan daerah yang relevan. Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang tidak memenuhi kaidahkaidah pembangunan yang berkelanjutan secara signifikan mempengaruhi ekosistemnya. Kegiatan pembangunan yang ada di kawasan ini akan dapat mempengaruhi produktivitas sumberdaya akibat proses produksi dan residu, dimana pemanfaatan yang berbeda dari sumberdaya pesisir kerap menimbulkan konflik yang dapat berdampak timbal balik. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk tujuan pembangunan akan dapat berhasil jika dikelola secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management, ICZM). Pengalaman membuktikan bahwa pengelolaan atau pemanfaatan kawasan pesisir secara sektoral tidaklah efektif (Dahuri et. Al 1996; Brown 1997; Cicin-Sain and Knecht 1998; Kay and Alder 1999)
42 Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu adalah suatu proses iteratif dan evolusioner untuk mewujudkan pembangunan kawasan pesisir secara optimal dan berkelanjutan. Tujuan akhir dari ICZM bukan hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi (economic growth) jangka pendek, melainkan juga untuk menjamin pertumbuhan ekonomi yang dapat dinikmati secara adil dan proposional oleh segenap pihak yang terlibat (stakeholder), dan memelihara daya dukung serta kualitas lingkungan pesisir, sehingga pembangunan dapat berlangsung secara lestari. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka unsur esensial dari ICZM adalah keterpaduan (integration) dan koordinasi. Setiap kebijakan dan strategi dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir harus berdasarkan kepada: (1) pemahaman yang baik tentang proses-proses alamiah (eko-hidrologis) yang berlangsung dikawasan pesisir yang dikelola; (2) kondisi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat; dan (3) kebutuhan saat ini dan yang akan datang terhadap barang dan (produk) dan jasa lingkungan pesisir. Di dalam proses pengelolaan perlu dilakukan identifikasi dan analisis mengenai berbagai isu pengelolaan atau pemanfaatan yang ada maupun yang diperkirakan akan muncul dan kemudian menyusun serta melaksanakan kebijakan dan program aksi untuk mengatasi isu yang berkembang. Proses pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan ini paling kurang memiliki empat tahapan utama yaitu: (1) penataan dan perencanaan, (2) formulasi, (3) implementasi, dan (4) evaluasi (Cicin-Sain and Knecht 1998). Pada tahap perencanaan dilakukan pengumpulan dan analisis data guna mengidentifikasi kendala dan permasalahan, potensi dan peluang pembangunan dan tantangan. Atas dasar ini, kemudian ditetapkan tujuan dan target pengelolaan atau pemanfaatan dan kebijakan serta strategi dan pemilihan struktur implementasi untuk mencapai tujuan tersebut. Oleh karena tujuan ICZM adalah mewujudkan pembangunan kawasan pesisir
secara
berkelanjutan
maka
keterpaduan
dalam
perencanaan
dan
pengelolaan kawasan pesisir dan laut mencakup empat aspek, yaitu : (a) keterpaduan wilayah/ekologis; (b) keterpaduan sektor; (c) keterpaduan disiplin ilmu; dan (d) keterpaduan stakeholder. Dengan kata lain, penetapan komposisi dan laju/tingkat kegiatan pembangunan pesisir yang optimal akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang dapat dirasakan oleh segenap stakeholder secara adil
43 dan berkelanjutan. Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu pada dasarnya merupakan suatu proses yang bersifat siklikal. Dengan demikian maka pendekatan keterpaduan pengelolaan/ pemanfaatan kawasan pesisir dan laut menjadi sangat penting, sehingga diharapkan dapat terwujud one plan dan one management serta tercapai pembangunan yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Secara skematik kerangka konsep studi disajikan pada Gambar 5.
Kawasan Pesisir dan Laut
Perikanan
Pertambangan
Energi Kelautan
Perhubungan Laut
Parawisata Bahari
n
Isu, permasalahan, peluang dan tantangan
ICZM
4. EVALUASI • Analisis kemajuan dan permasalahan • Redefinisi ruang lingkup untuk pengelolaan pesisir
1. PENATAAN DAN PERENCANAAN • Analisis kemajuan dan permasalahan • Redefinisi ruang lingkup untuk pengelolaan pesisir Tahapan Pengelolaan
3. IMPLEMENTASI • Kegiatan Pembangunan • Penegakan kebijakan dan peraturan-peraturan • Pemantauan
2. FORMULASI • Mengadopsi program secara formal • Pengamanan dana untuk implementasi
Pengelolaan Kawasan Pesisir Berkelanjutan
Gambar 5 Kerangka konsep pengelolaan kawasan pesisir yang berkelanjutan.
Dll
44 2.9 Analisis SWOT Analisis yang dipergunakan dalam penelitian untuk menentukan strategi pengelolaan sumberdaya perikanan adalah analisis SWOT, dimana SWOT sendiri merupakan singkatan dari strengths (kekuatan), weaknesses (kelemahan) opportunities (peluang) dan threats
(ancaman). Menurut Rangkuti (2005),
analisis ini merupakan analisis situasi dengan melakukan identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi atau kebijakan pembangunan, dalam hal ini adalah pembangunan pantai utara Jakarta dihadapkan dengan krgiatan perikanan. Prinsip dasar dari analisis ini adalah didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman. Dengan demikian, dalam analisis ini dilakukan pembandingan antara faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dengan faktor eksternal (peluang dan ancaman). Analisis SWOT tidak hanya dapat membuat ekstrapolasi masa depan, akan tetapi justru dapat dipakai untuk membuat masa depan. Hal ini disebabkan karena analisis ini dapat dipakai untuk membangun konsensus, berdasarkan kebutuhan atau keinginan.
2.10
Kegiatan Perikanan Muchtar (1999) dalam Strategi Mengelola Sumberdaya Hayati Laut
Indonesia mendefinis ikan bahwa perikanan adalah usaha ekonomi dala m mendayagunakan sumberdaya hayati perairan dengan alat tangkap untuk menghasilkan ikan dan dapat memenuhi permintaan akan ikan.
Sumberdaya
hayati perairan dalam definisi ini mencakup sumberdaya hayati perairan yang dapat dimanfaatkan manusia atau makhluk hidup lainnya. Kegiatan dimaksud adalah
pengelolaan
mendayagunakan mempertimbangkan
dalam
sumberdaya
menjalankan hayati
keberlanjutan
usaha
fungsi
manajemen
perairan
secara
dan
lingkungan
rasional melalui
perlindungan kelestarian sumber dan lingkungan perairan tersebut.
dalam dengan upaya
Hal penting
dalam kegiatan perikanan meliputi sumber dan lingkungan perairan, peralatan penangkapan utama dan penunjang, metoda dan teknik penangkapan yang efisien dan lestari, penanganan hasil tangkapan dan penyampaian kepada konsumen
45 dengan mutu yang baik, sehingga memberikan kesejahteraan kepada pelaku penangkapan,
konsumen
maupun
masyarakat.
Jadi
kegiatan
perikanan
menyangkut ekologi, teknologi, ekonomi dan sosial budaya. Saat ini masalah ekologi terhadap perikanan yang penting diantaranya mengenai penangkapan lebih (over fishing) dan pencemaran perairan serta kerusakan lingkungan.
Masalah teknologi tentang pelarangan pengunaan alat
tangkap trawl dan penerapan teknologi informasi belum sampai kepada nelayan, sedangkan masalah ekonomi menyangkut penguasaan perairan, penyebaran hasil yang belum merata dan rendahnya konsumsi serta masalah sosial budaya mengenai kebiasaan penangkapan ikan dan konsumsinya yang merugikan.
3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Disain Penelitian Wilayah pantai merupakan transisi antara daratan dan lautan yang dicirikan oleh tingginya variasi biodiversitas, yang termasuk didalamya adalah ekosistem yang paling kaya tetapi skaligus sangat rentan terhadap kerusakan, seperti mangrove dan karang (coral reef). Lebih lanjut tekanan terhadap ekosistem pantai semakin kuat seiring dengan berkembangnya populasi. Lebih dari separuh penduduk dunia tinggal diwilayah pantai (dalam radious 60 km dari laut) dan jumlah ini akan terus meningkat (Yunis, 2001). Banyak stakeholder yang tergantung dan menikmati wilayah pantai, mereka adalah: nelayan, pemukim, pariwisata, petambak, industri, organisasi pemerintah dan lain-lain. Aktivitas stakeholder ini dengan tujuan yang berbeda seringkali memicu terjadinya konflik dalam pemanfaatan sumberdaya pantai. Oleh karenanya wilayah pantai juga dicirikan pula oleh potensi konflik yang tinggi dan overeksploitation. Kondisi diatas juga terjadi di pantai utara Jakarta. Saat ini tekanan terhadap ekosistem diwilayah ini merupakan konsekuensi dari dinamika pembangunan yang berlangsung di kawasan darat atau hinterland. Dinamika pembangunan tersebut tidak lepas dari pengelolaan yang diterapkan oleh otoritas wilayah. Pengelolaan tersebut sangat ditentukan oleh kebijakan yang dijadikan referensi para pelaksana pembangunan, termasuk masyarakat yang berinisiatif memenuhi kebutuhannya tanpa terlalu mengandalkan peran intervensi otoritas terlalu banyak. Pembangunan tersebut menghasilkan beberapa konsekuensi, baik yang bersifat positif maupun negatif yang penilaiannya tergantung pada perspektif yang dipakai.
Konsekuensi positif umumnya adalah dampak yang sesuai dengan
harapan sementara konsekuensi negatif adalah dampak yang tidak diharapkan. Konsekuensi negatif pembangunan terhadap aktifivitas perikanan dapat dilihat dari terjadinya degradasi, konversi lahan dan over eksploitasi sumberdaya perikanan. Terjadinya tenakan negatif tersebut secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan konsumsi dan dorongan sosial (social drivers) yang dibentuk oleh: property right, karakteristik sumberdaya, teknologi dan tata laku
47 (practices), pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap ekosistem pantai, aspirasi masyararakat, kelembagaan politik dan sosial, mekanisme pasar, akses terhadap kapital (Noronha, et al., 2002).
Terjadinya social drivers tersebut
disebabkan karena adanya primary drivers terhadap demografik dalam wujud: jumlah, pertumbuhan, migrasi ekonomi, aktivitas utama, kebijakan makro dan sektoral, serta globalisasi. Penelitian ini diawali dengan melakukan pemetaan kondisi saat ini terhadap wilayah ekosistem pantai utara Jakarta. Secara umum, analisis yang dilakukan meliputi: (1) analisis penggunaan lahan saat ini di pantai pantai utara Jakarta bagi peruntukan pelabuhan, industri, pariwisata, pemukiman dan konservasi, (2) analisis karakteristiik sosial, ekonomi dan budaya masyarakat, (3) analisis kebijakan pembangunan di wilayah pantai utara Jakarta. Untuk kepentingan analisis tersebut dikumpulkan data primer maupun sekunder yang meliputi: (1) data fisik kawasan pantai, seperti geologi, fisiografi, hidrologi dan sebagainya, (2) data ekosistem pantai seperti ekosistem mangrove, (3) data penggunaan lahan seperti pertambakan, pemukiman, pelabuhan, industri, pariwisata, pertanian dan konservasi, (4) data kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Data yang terkumpul dari rangkaian analisis tersebut akan dituangkan kedalam sebuah sistem informasi spatial, yaitu geographic information system (GIS). Penggunaan remote sensing dan GIS cosok untuk mengevaluasi kondisi sumberdaya pantai, sosial, ekonomi dan lingkungan
saat ini. Analisis GIS
diarahkan untuk mengetahui dampak pembangunan dan aktivitas masyarakat terhadap: tata guna lahan, kimia perairan teluk Jakarta, serta kondisi biologis dan fisik perairan teluk Jakarta.
Untuk mengetahui dampak pembangunan dan
aktivitas utama masyarakat terhadap ekosistem pantai dan kualitas perairan teluk Jakarta maka digunakan dua titik pengamatan tahun 1998 dan 2004. Pemilihan titik pengamatan ini sesuai dengan RUTR Jakarta Utara. Dengan menggunakan dua titik ini maka akan diketahui perubahan-perubahan yang terjadi pada dua kurun waktu tersebut. Dampak pembangunan dan aktivitas utama masyarakat terhadap penggunaan lahan dianalisis melalui perubahan peruntukkan lahan dalam periode tersebut dengan menggunakan alat bantu GIS.
48 Hal serupa juga dilakukan untuk menganalisis dampak pembangunan dan aktivitas utama masyarakat terhadap kondisi perairan teluk Jakarta. Perubahan kondisi perairan ditinjau dari aspek fisika, kimia dan biologi. Aspek fisika dievaluasi dengan menggunakan parameter kekeruhan (turbiditas), kecerahan (transimisi cahaya) dan suhu. Justifikasi kondisi fisik perairan dilakukan dengan menggunakan kriteria baku mutu perairan berdasarkan Keputusan Mentri Negara Lingkungan Hidup nomor 51 tahun 2004 sebagai pembanding. Berdasarkan baku mutu tersebut maka dapat diketahui apakah secara fisik, kondisi perairan teluk Jakarta sesuai atau tidak sesuai bagi perkembangan biota laut dan kepentingan wisata bahari. Degan bantuan GIS dapat diketahui besaran dan lokasi perubahan peruntukan lahan. Aspek kimia perairan
dievaluasi dengan menggunakan parameter
kandungan: oksigen terlarut (dissolve oxygen/DO), kandungan fosfat, senyawasenyawa nitrat, pH, salinitas, serta pencemaran logam berat. Justifikasi kondisi kimia perairan dilakukan dengan menggunakan kriteria baku mutu perairan berdasarkan Keputusan Mentri Negara Lingkungan Hidup nomor 51 tahun 2004 sebagai pembanding. Berdasarkan baku mutu tersebut maka dapat diketahui apakah secara kimia, kondisi perairan teluk Jakarta sesuai atau tidak sesuai bagi perkembangan biota laut dan kepentingan wisata bahari. Dengan bantuan GIS dapat diketahui perubahan kesesuaian kimia perairan dalam kurun waktu 1998 dan 2004. Aspek
biologi
perairan
dievaluasi
dengan
menggunakan
parameter
komposisi makrobentos dan mikrobentos. Pengukuran perubahan kondisi biologi dilakukan pada bulan Mei dan Oktober 2005 dengan menggunakan 27 titik pengamatan (stasiun). Hasil analisis ini akan memberikan gambaran dampak pembangunan dan aktivitas utama masyarakat terhadap tata guna lahan dan kondisi perairan teluk Jakarta. Dengan menggunakan matrik Driver-Pressure-State-Impact-Response (DPSIR) maka dapat dilakukan analisis keterkaitan faktor-faktor penyebab terjadinya tekanan terhadap ekosistem di wilayah pantai. Tekanan tersebut akan mempengaruhi kondisi sumberdaya perikanan di teluk Jakarta. Dihadapkan dengan perkembangan jumlah nelayan yang memanen
49 sumberdaya perikanan di Teluk Jakarta serta kemampuan ikan untuk melakukan regenarasi dan pertumbuhan pada kondisi perairan yang tertekan sebagai akibat dari aktivitas pembangunan dan aktivitas utama masyarakat, maka optimalisasi sumberdaya perikanan diduga akan lebih menjamin keberlangsungan sumberdaya perikanan itu sendiri. Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan dilakukan dengan menggunakan analisis Linear Goal Programming(LGP). Penelitian ini menggunakan tiga fungsi tujuan dan lima fungsi kendala dalam LGP. Fungsi tujuan tersebut adalah: memaksimumkan pendapatan nelayan, memaksimumkan jumlah hari kerja,
serta meminimumkan deviasi pemanfaatan maksimum
sumberdaya perikanan tangkap. Fungsi kendala yang dimasukkan dalam model LGP adalah: effort optimum, ketersediaan bahan bakar, ketersediaan es balok, ketersediaan umpan dan kedala non negatif. Dengan diketahuinya kondisi sumberdaya pantai dan perairan teluk Jakarta, serta kondisi optimal pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap maka dapat dirancang strategi pemanfaatan
sumberdaya
pantai
dan
perikanan
yang
berkelanjutan. Dalam menyusun rancangan strategi maka informasi mengenai aspirasi masyarakat nelayan kondisi perikanan dan ekosistem sumberdaya pantai dan perairan dijadikan sebagai masukan bagi perumusan strategi pengelolaan ekosistem pantai dan sumberdaya perikanan. Data mengenai aspirasi masyarakat nelayan dianalisis dengan menggunakan metoda Principal Component Analysis (PCA). Dengan analisis ini maka dapat diketahui varuiabel utama yang memberikan gambaran terhadap pemahaman masyarakat nelayan. Proses penyusunan rancangan strategi pengelolaan sumberdaya pantai dan perikanan tangkap tersebut dilakukan dengan menggunakan metoda SWOT. Proses penelitian selengkapnya secara skematis dapat dilihat pada Gambar 6 berikut.
50
Mulai
Pemetaan Kondisi Saat ini Data Sekunder
Data Primer
Survey Kondisi Demografik
Tataguna lahan
Kualitas perairan
Sosial ekonomi
Aspirasi masyarakat terhadap sumberdaya perikanan
Analisis Dampak: 1. Konversi 2. Degradasi
Kontribusi ekosistem pantai dan sumberdaya perikanan terhadap kesejahteraan
Optimal?
Ya
Tidak
Optimalisasi model pengelolaan ekosistem pantai dan sumberdaya perikanan
Rancangan strategi optimal pengelolaan ekosistem dan sumberdaya perikanan
Stop
Gambar 6 Bagan alir proses penelitian
Pengetahuan dan persepsi terhadap ekosistem
51 3.2
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2004 s/d Desember 2005 dan telah
dilakukan pengambilan data-data sekunder dari instansi yang terkait yaitu kantorkantor
kelurahan,
kantor
kecamatan,
Kantor
Kotamadya
Jakarta
Utara,
Departemen Perikanan dan Kelautan, Bakorsurtanal, LIPI, LAPAN dan Dinas Hidrografi dan Oseanografi TNI AL (Dishidrosal). Penelitian lapangan dilakukan di wilayah Pantai Utara Jakarta dan teluk yang ada di Utara Jakarta sesuai dengan Gambar 7. Yang meliputi kunjungan lapangan di daerah pantai, pemukiman nelayan, daerah TPI/Pasar ikan dan pencocokan wilayah/area yang disesuai dengan data peta yang telah ada dari Bakorsurtanal/Dishidrosal. Pelaksanaan dilaksanakan secara seri dan paralel yaitu dalam analisis data untuk dijadikan informasi, apabila ada kekurangan maka dilaksanakan kunjungan lagi sesuai kebutuhan.
Gambar 7 Area penelitian Teluk Jakarta dan Kotamadya Jakarta Utara.
52 3.3
Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kotamadya Jakarta Utara merupakan salah satu kota administrasi di wilayah
Daerah Khusus Ibu kota (DKI) Jakarta, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 94 Tahun 1991 dan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Nomor: 1813 Tahun 1991.
Luas wilayah
Kotamadya Jakarta Utara adalah 15.411,36 ha, dimana luas areal daratan pantai sekitar 2.500 ha dengan panjang garis pantai kurang lebih 35 km
Adapun batas
wilayah Kotamadya Jakarta Utara meliputi: -
Sebelah utara
: Teluk Jakarta – Laut Jawa
-
Sebelah selatan : Kecamatan Cakung,
Pulo
Gadung
Jakarta
Timur,
Kemayoran, Sawah Besar Jakarta Pusat , Taman Sari, Tambora, Jakarta Barat. -
Sebelah timur : Tangerang, Jabar.
-
Sebelah barat
: Bekasi, Jabar.
Topografi wilayah Kotamadya Jakarta Utara dapat dikategorikan merupakan datar dengan ketinggian rata-rata 0 s/d 2 m. Di Teluk Jakarta terdapat muara dari 13 (tiga belas) buah sungai/kali yang cukup besar yaitu sungai Mookervaart, Angke, Grogol, Pesanggrahan, Krukut, Kalibaru Barat, Kalibaru Timur, Kali Ciliwung (Gunung Sahari dan Kota), Cipinang, Kali Sunter, Buaran Jati Kramat dan Cakung. Suhu udara rata-rata sepanjang tahun sekitar 27°C dengan suhu tertinggi 34,4 °C (pada bulan September) dan suhu terendah 22 °C (pada bulan Februari), sedangkan curah hujan rata-rata setiap tahunnya 104,88 mm dengan curah hujan maksimal bulan Februari. Tekanan udara tertinggi 1.010,27 mbs terjadi pada bulan Juni dan tekanan udara terendah 1.008,43 mbs terjadi pada bulan Maret (Lampiran 1 dan 2) Penduduk Kotamadya Jakarta Utara pada tahun 2004 mencapai 1.182.749 jiwa, meliputi 602.342 orang laki- laki dan 580.407 orang wanita. Mereka tersebar di 6 kecamatan dan terkonsentrasi di Kecamatan Tanjung Priok dan Cilincing merupakan wilayah terbanyak penduduknya dengan proporsi jumlah penduduk pria dan wanita hampir berimbang, sedangkan kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Koja mencapai 17.098/km² (Tabel 1).
53 Tabel 1 Jumlah dan kepadatan penduduk Kotamadya Jakarta Utara 2004 No 1 2 3 4 5 6
Kecamatan Penjaringan Pademangan Tanjung Priok Koja Cilincing Kelapa Gading
Luas area Laki-laki Perempuan Jumlah Kepadatan (km2 ) 89.064 87.444 176.508 4.974 35,49 9,92 65.795 56.767 122.562 12.357 25,13 159.082 153.554 312.636 12.443 13,20 116.560 109.188 225.748 17.098 43.31 119.723 118.075 237.798 5.491 16,12 52.118 51.954 107.492 6.668
Jumlah
143,17
602.342
580.407 1.182.749
8.475
Sumber : Kotamadya Jakarta Utara dalam angka, tahun 2004 (BPS Pusat Jakarta)
Data mengenai jumlah penduduk di Kotamadya Jakarta Utara berdasarkan mata pencaharian menunjukkan bahwa sektor perdagangan sebanyak 213.529 orang (34,80 %) diikuti oleh sektor industri sebanyak 182.351 orang (29,72 %). Gambaran lengkap mengenai jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian disajikan pada Tabel 2. Jika dilihat berdasarkan umurnya, maka baik tahun 1998 maupun tahun 2004 proporsi terbesar penduduk Kotamadya Jakarta Utara termasuk kedalam usia produktif (15-64 tahun) yaitu sebanyak 1.119.536 orang, diikuti oleh kelompok umur 0-14 tahun sebanyak 30.353 orang dan kelompok umur 65 tahun keatas sebanyak 32.860 orang. Data tersebut menjelaskan bahwa dari struktur umur tidak ada perubahan yang cukup berarti, data mengenai struktur umur penduduk di Kotamadya Jakarta Utara selengkapnya disajikan pada Tabel 3. Tabel
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2
Jumlah penduduk di matapencaharian, 2004
Lapangan Usaha Pertanian Industri Bangunan Perdagangan Transportasi & Komunikasi Keuangan dan Perbankan Pemerintahan Jasa Lain-lain Jumlah
Kotamadya
Jakarta
Utara
berdasarkan
2004 Keterangan Total Persen 4.079 0,66 182.351 29,72 16.111 2,63 213.529 34,80 62.052 10,11 17.833 2,91 6.296 1,03 108.479 17,68 2.803 0,46 613.533 100,00
Sumber : Kotamadya Jakarta Utara dalam angka, tahun 2004 (BPS Pusat Jakarta)
54 Tabel 3 Struktur umur penduduk Kotamadya Jakarta Utara No 1 2 3
Kelompok Umur 0 - 14 tahun 15 - 64 tahun 65 Keatas Jumlah
2004 30.353 Orang 1.119.536 Orang 32.860 Orang 1.182.749 Orang
Sumber : Kotamadya Jakarta Utara dalam angka, tahun 2004 (BPS Pusat Jakarta)
3.4
Data dan Informasi Untuk memudahkan pemahaman dan pelaksanaan penelitian disusun
ringkasan tujuan, hipotesis, metode, data yang dibutuhkan, cara mengumpulkan data dan analisisnya. Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah datadata kuantitatif dan kualitatif meliputi data primer dan data sekunder sesuai dengan tujuannya yaitu peta-peta, kualitas air, kegiatan perikanan, existing pembangunan pantai, kondisi sosial masyarakat, rencana tata ruang wilayah (RTRW) kecamatan, existing sarana dan prasarana perikanan, pencemaran, model implikasi dan undang-undang serta peraturan tentang pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir, pantai dan laut. 3.4.1 Peta-peta Peta tematik dan digital meliputi peta land use, peta land system, peta land cover, peta kedalaman, peta lingkungan laut, peta pencemaran serta peta yang diambil dari wilayah Jakarta Utara dengan skala 1 : 20.000 untuk daerah daratan dan wilayah laut Kotamadya Jakarta Utara. Peta land use adalah peta darat yang memuat informasi penggunaan lahan existing saat ini. Sedangkan peta land system dan land cover adalah peta darat yang memuat rupa muka bumi. Peta kedalaman adalah peta laut yang memuat kedalaman dari laut tersebut sesuai hasil survey yang terbaru.
Peta lingkungan laut adalah peta laut yang memuat informasi
sumberdaya di laut. Sedangkan peta pencemaran adalah peta darat dan laut yang memuat pencemaran baik berupa limbah padat maupun cair yang terdapat pada wilayah tersebut.
55 3.4.2 Kualitas air Data kualitas air yang dibutuhkan meliputi suhu permukaan air, kekeruhan, derajat keasaman, salinitas air, dan zat kimia yang terkandung. Suhu permukaan air yang diambil pada beberapa periode tertentu kemudian dirata-ratakan. Kekeruhan air laut dipengaruhi oleh adanya masukan air sungai yang mengalir dari daratan sehingga berpengaruh terhadap air laut yang ada di muara, di mana daerah Ancol yang merupakan lokasi penelitian, ini dialiri empat buah sungai. Derajat keasaman dan salinitas yang terkandung dalam air laut sangat penting untuk diketahui guna menentukan kehidupan biota
laut yang bisa hidup di
perairan tersebut. Demikian juga zat kimia yang terkandung di dalamnya untuk menentukan apakah perairan tersebut masih layak untuk kegiatan perikanan khususnya kehidupan ikan. 3.4.3 Pencemaran Pencemaran air sungai sangat berpengaruh terhadap perairan laut, karena akhir dari hilir sungai adalah laut, sehingga berakibat pencemaran air laut yang merupakan tempat kehidupan biota laut.
Pencemaran
air laut juga dapat
ditimbulkan dari lalu lintas perairan, kegiatan pelabuhan, kegiatan pembangunan pantai. Zat-zat kimia yang terkandung diantaranya zat organik
yaitu limbah
pemukiman. Zat anorganik logam berat meliputi Merkuri (Hg), Kadmium (Cd), Timah hitam (Pb), Seng (Zn), Nikel (Ni). Zat anorganik bahan clay mineral diantaranya Natrium (N), Posfor (P), Kalium (K) dan anorganik beracun lain yang tahan proses pelapukan (non degradable) seperti DDT, aldrin, endrin dan lain-lain serta zat-zat pencemar lain sebagai akibat limbah radio aktif, limbah panas dan limbah konstruksi. 3.4.4 Kegiatan perikanan Kegiatan
perikanan meliputi kegiatan nelayan dan perekonomiannya,
sehingga dibutuhkan data seperti jumlah nelayan, jenis alat tangkap yang digunakan termasuk kapal ikannya, jumlah hasil tangkapan dan besar pendapatan nelayan. Data tersebut digunakan untuk menilai apakah kegiatan perikanan yang ada sejalan dengan kegiatan pembangunan yang ada di pantai Jakarta Utara .
56 3.4.5 Existing pembangunan pantai Data existing pembangunan secara fisik yang ada diambil dalam periode sepuluh tahun berlalu. Pembangunan tersebut meliputi gedung-gedung berikut infrastrukturnya yang semula tidak ada. Penggunaan lahan untuk berbagai kegiatan seperti pemukiman, karya pemerintahan berikut fasilitasnya, fasilitas umum, industri, jalur hijau, marga/saluran dan utilitas yang diambil pada setiap tahun selama sepuluh tahun terakhir. Di samping itu juga diambil data potensi daerah seperti potensi perikanan dan permukiman nelayan, potensi pariwisata bahari, potensi pelabuhan dan industri jasa maritim, permukiman dan real estate. 3.4.6 Kondisi sosial masyarakat Data sosial meliputi kependudukan, sosial, ekonomi dan
budaya serta
keamanan terutama yang terkait dengan masyarakat nelayan. Data bersumber dari kantor BPS Kota Jakarta Utara, kantor Kotamadya Jakarta Utara, kantor kecamatan, kantor kelurahan dan melalui observasi langsung di daerah penelitian. Data sosial yang diambil adalah data enam tahun terakhir yang merupakan perkembangan dari tahun ke tahun. Dari data tersebut diharapkan akan diketahui korelasi perkembangan sosial
dengan pembangunan yang ada di wilayah
penelitian ini. 3.4.7 Rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kotamadya Jakarta Utara Rencana pembangunan pantai tidak lepas dari perencanaan sesuai RTRW di Kotamadya Jakarta Utara.
Sesuai dengan RTRW DKI Jakarta 2010 Pemda
Jakarta Utara berkewajiban untuk melaksanakan berbagai peraturan yang ditetapkan dalam UU No. 34/1999 dan dipertegas dengan UU No.22/1999 dan PP No. 25/2000 bahwa wilayah administrasi Jakarta Utara mempunyai cakupan daratan dan perairan laut, kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah otonomi untuk mengelola dan memelihara lingkungan sumberdaya pantai dan perairan lautnya.
57 3.4.8 Existing sarana dan prasarana perikanan Data sarana dan prasarana perikanan meliputi areal penangkapan ikan yang masih ada di Teluk Jakarta, darmaga pendaratan ikan, TPI dan kapal-kapal penangkap ikan. Namun demikian data tentang kapal–kapal pemandu wisata ini semula merupakan kapal penangkap ikan yang sekarang telah beralih fungsi. Di daerah ini juga banyak terdapat sarana pabrik pengolahan ikan yang hasil produksinya diekspor ke luar negeri. 3.4.9
Undang-undang dan peraturan tentang Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir, Pantai dan Laut Data ini meliputi UU yang mengatur tentang pembangunan, yaitu
UU
32/2004 tentang Otonomi Daerah, UU No. 34/1999 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota, UU No. 6/1996 tentang Perairan . UU No. 9/1985 tentang Perikanan, PP No. 15/1990 jo No. 46/1993 jo No. 141/2000 tentang Usaha Perikanan. Di samping itu juga Kepmen Pertanian No.815/1990 jo No. 428/1999 jo. Kepmen Eksplorasi Llaut dan Perikanan No. 45/2000 tentang Perizinan Usaha Perikanan. 3.5 Metode Pengumpulan Data Mengacu kepada tujuan dan kegunaan penelitian ini, untuk data dan informasi yang dibutuhkan adalah berkategori natural (Enviroment Assessment) dan sosial (Social Assessment). Sedangkan metode pengumpulan data dan informasi dilakukan sesuai dengan data yang dikumpulkan. 1)
Peta-peta. Peta land use, peta land system dan peta land cover diperoleh dari citra
satelit LAPAN Pekayon pada suatu periode tertentu yang diambil beberapa kali kemudian dipilih yang terbaik. Peta kedalaman laut diambil dari Dishidrosal dan Bakosurtanal yang berupa peta hasil survey dari Dinas Hidro-oseanografi TNI AL bekerja sama dengan Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Di samping itu data geomorfologi dan geologi juga dibutuhkan meliputi bentang alam (landscap) yang diperoleh melalui data sekunder dari dokumentasi Pusat Penelitian Geologi Lingkungan (PPGL), data geologi meliputi:
58 stratigrafi, struktur geologi, geologi teknik, hidrogeologi, kegempahan dan potensi bencana alam dari Dinas Pertambangan DKI Jakarta, PPGL, Direktorat Geologi tata Lingkungan dan P3G. 2)
Kualitas air dan data hidrooseanografi Data kualitas air sungai, air laut dan air tanah diperoleh melalui data
sekunder dan pengukuran di lapangan untuk memperoleh gambaran kualitas lingkungan air sungai sesaat di daerah penelitian. Pengambilan contoh air sungai, air laut dan air tanah dilakukan secara acak dengan mempertimbangkan kondisi pasang-surut laut.
Pengambilan contoh kualitas air sungai dilakukan pada Kali
Ciliwung (Gunung Sahari dan Kota), Kali Opok, Kali Sunter dan Kali Angkasa Pura. Sedangkan pengukuran kualitas air menggunakan parameter dan metode sebagaimana pada lampiran. Beberapa data sekunder diperoleh dari laboratoriu m IPB dan LIPI serta Dishidrosal. Data lain yang dibutuhkan seperti debit, pola aliran sungai, banjir, dan sedimentasi, pola aliran sungai yang mengacu pada pola drainase kota Jakarta diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan serta data yang diperoleh dari Dinas PU DKI Jakarta, serta Bapedalda DKI. Data hidrooseanografi laut meliputi kondisi arus, gelombang, pasang surut, bathimetri dan abrasi serta akrasi diperoleh dari data sekunder dan data primer melalui pengamatan langsung di lapangan secara acak. Data sekunder diperoleh dari Dinas pertambangan daerah, persiapan studi makro aspek-aspek reklamasi pantai dan hidrolik Proyek Pengembangan Pantura Jakarta, 1995, Atlas Oseanografi Teluk Jakarta dan Daftar Pasang Surut dari Dishidrosal. Sedangkan pengukuran air tanah dilakukan pada kawasan pemukiman pesisir dan air contoh dilakukan pantura dengan peralatan yang dapat mewakili satu kolom vertikal air tanah.
Parameter dan baku mutu air tanah didasarkan
pada parameter yang tercantum dalam Permenkes 416/Men.Kes/ Pen/IX/1990 tentang persyaratan air bersih. Untuk memprakiraan beban pencemaran buangan air kotor domestik yang dibuang ke badan perairan penerima dihitung sebesar 70% X Jumlah penduduk total X 250 liter/orang /hari. (AMDAL Regional Reklamasi Dan Revitalisasi Pantura Jakara, 1998)
59 3)
Kegiatan perikanan tangkap Data kegiatan perikanan tangkap meliputi
jumlah nelayan, jenis alat
tangkap yang digunakan termasuk kapal ikannya, hasil produksi ikan dan pendapatan para nelayan yang ada saat ini yang diperoleh dari data sekunder laporan kependudukan dan laporan perikanan dari Dinas Perikanan Daerah. Data lain diperoleh melalui observasi lapangan, kuisioner yang disiapkan bagi nelayan serta wawancara langsung dengan para pakar perikanan baik pejabat daerah maupun Departemen Kelautan dan Perikanan.
Data lingkungan hayati yang
terdiri dari flora dan fauna daratan diperoleh dari Bapedalda DKI Jakarta dan Dinas Kehutanan DKI Jakarta dan observasi lapangan.
Data flora dan fauna
akustik bakteri, plankton, bentos, nekton yang dimanfaatkan merupakan data sekunder
hasil pemantauan yang dilakukan oleh Bapedalda DKI Jakarta dan
kepustakaan yang relevan. 4)
Existing pembangunan pantai Data yang diambil meliputi data mengenai pembangunan gedung-gedung
yang sebelumnya tidak ada, serta hasil reklamasi pantai yang sebagian sudah berjalan. Data ini didapatkan dari observasi lapang dan dari Dinas Tata Kota Jakarta Utara. Data transportasi jalan raya diambil dari existing saat ini dan tematik melalui data Satelit, sedangkan sarana dan prasarana binaan yaitu prasarana air bersih, drainase, pembuangan air kotor dan persampahan diperoleh dari Kantor Walikota Jakarta Utara, dan dari data Neraca Kependudukan dan Lingkungan hidup DKI Jakarta yang dikeluarkan oleh Pemda DKI Jakarta. 5)
Data kondisi sosial masyarakat Data kependudukan sosial ekonomi dan sosial budaya meliputi struktur
perekonomian setempat, struktur penguasaan sumberdaya dan interaksi sosial pada kelompok masyarakat di sekitar daerah yang diteliti khususnya masyarakat permukiman nelayan di Kecamatan-kecamatan Cilincing, Pademangan dan Penjaringan. Data ini didapat dari Badan Statistik Jakarta, kantor kecamatan dan bahkan kantor kelurahan setempat serta survey wawancara langsung dengan pejabat setempat.
lapang dengan kuisioner dan
60 6)
Rencana pembangunan yang akan datang Data rencana pembangunan yang akan datang meliputi rencana kegiatan
pembangunan yang sesuai dengan tata ruang dan tata guna lahan. Data diperoleh dari Kantor Kodya Jakarta Utara, Neraca kependudukan, dan dari data Lingkungan Hidup DKI Jakarta dan RTRW Kota Jakarta Utara yang dikeluarkan oleh Pemda Kota Jakarta Utara 7)
Existing Sarana dan Prasarana Perikanan Data meliputi sarana pelabuhan, areal penangkapan ikan, TPI, kapal-kapal
ikan yang didapatkan dari observasi lapang dan dari Dinas Perikanan Daerah maupun DKP serta Badan Statistik Daerah Kota Jakarta Utara. 8)
Pencemaran Data pencemaran air sungai, air laut dan pantai serta zat kimia yang
terkandung di dalamnya diperoleh melalui hasil pengujian dan analisis
di
laboratorium IPB, LIPI, dan Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Utara. Di samping itu data Lingkungan Geo-Fisika-Kimia meliputi iklim, kualitas udara dan kebisingan diperoleh dari data sekunder dan pengukuran berbagai parameter di lapangan untuk memperoleh gambaran sesaat kondisi iklim, kualitas udara dan kebisingan ambien. Data iklim yang diamati meliputi suhu, kelembaban udara, arah dan kecepatan angin, sedangkan kualitas udara ambient dengan parameter debu total, SO2, NO2, Ox, HC, CO dan kebisingan. Data sekunder untuk iklim diperoleh dari catatan stasiun BMG Tanjung Priok, untuk kualitas udara dan kebisingan diperoleh dari hasil pemantauan dari Bapedalda DKI Jakarta. Sedangkan pengukuran untuk memperoleh data primer diambil contoh dan dianalisis di laboratorium sesuai dengan SK Meneg KLH No. Kep-02/MenKLH/I/1988 sebagaimana tabel di lampiran. 9) Undang-undang dan peraturan yang terkait, meliputi: UU Lingkungan Hidup, UU Perikanan, UU Perairan dan peraturan yang mengatur tentang pengelolaan wilayah pesisir/pantai dan laut serta pembangunan yang berwawasan lestari dan berkelanjutan diperoleh melalui instansi terkait yaitu DPU, DKP, Pemda serta dari perpustakaan.
61 3.6 Metode Pengolahan dan Analisis Data Metode
pengolahan
dan
analisis
data
untuk
mengetahui
dampak
pembangunan pantai terhadap lingkungan perikanan dilaksanakan dengan analisis sistem informasi geografi (geografi information system /GIS) data
dari dua
selang waktu yaitu tahun 1998 dan 2004. Hasil analisis ini akan memberikan gambaran dampak pembangunan dan aktivitas utama masyarakat terhadap tata guna lahan dan kondisi perairan teluk Jakarta. Selanjutnaya analisis untuk mengetahui keterkaitan faktor-faktor penyebab terjadinya tekanan terhadap ekosistem menggunakan matrik Driver-Pressure-State-Impact-Response (DPSIR) yang secara rinci akan di jelaskan pada bab 4 hasil penelitian ini. Dengan melihat hasil penelitian dampak pembangunan dihadapkan dengan kondisi sumberdaya perikanan di teluk Jakarta, maka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan dilakukan dengan menggunakan analisis Linear Goal Programming (LGP), yang secara rinci akan dijelaskan pada bab 5 penelitian optimalisasi usaha perikanan di Teluk Jakarta. Sedangkan untuk mengetahui persepsi dan aspirasi masyarakat nelayan terhadap kondisi perikanan, ekosistem pantai dan perairan teluk Jakarta digunakan metode dan analisis Principal Component Analysis (PCA). Dengan analisis ini maka dapat diketahui variabel utama yang memberikan gambaran persepsi masyarakat nelayan secara rinci terhadap pengelolaan ekosistem pantai dan sumberdaya perikanan yang lestari dan berkelanjutan yang dijelaskan pada bab 6. Sedangkan
penentuan rancangan strategi pengelolaan sumberdaya pantai dan
perikanan tangkap yang berkelanjutan dilakukan metoda dan analisis
SWOT
yang akan dijelaskan pada bab 7 Strategi pengelolaan sumberdaya pantai bagi pemanfaatan perikanan yang berkelanjutan.
4 DAMPAK PEMBANGUNAN PANTAI TERHADAP PERIKANAN TANGKAP 4.1
Pendahuluan Wilayah pantai utara Jakarta memiliki peranan sangat strategis karena
sebagai peralihan antara ekosistem darat dan laut, wilayah ini memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang kaya. Pembangunan pantai utara Jakarta secara ekonomis memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pendapatan asli daerah (PAD), baik berupa pelabuhan Tanjung Priok, taman rekreasi (Taman Impian Jaya Ancol), perikanan (pelabuhan perikanan Muara Baru dan Muara Angke), prasarana transportasi laut dan perumahan di sekitar pantai. Di samping pembangunan fisik di kawasan pantai Jakarta di satu sisi memberikan dampak positif dalam bentuk berkembangnya aktifitas ekonomi, tetapi disisi lain pembangunan tersebut memberikan dampak negatif, baik yang telah diduga sebelumnya maupun yang tidak terduga. Kerusakan lingkungan di pantai utara Jakarta dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat setempat maupun pemerintah daerah.
Dilatar-belakangi
oleh
hal
tersebut, penelitian ini diarahkan untuk mengetahui dampak pembangunan di kawasan pantai Jakarta terhadap tekanan ekosistem pantai. Pemahaman terhadap aspek ini menjadi signifikan karena dengan diketahuinya dampak pembangunan tersebut, maka dapat disusun langkah-langkah strategis untuk pengelolaan sumberdaya perikanan di pantai Jakarta Utara yang lebih baik. Saat ini, pantai utara Jakarta mengakomodasi berbagai aktivitas ekonomi yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan tekanan yang signifikan terhadap menurunnya
kualitas ekosistem dan biofisik. Aktivitas
tersebut bervariasi dari industri, pelabuhan, pariwisata, perikanan dan pemukiman. Selain dampak biologis, aktivitas tersebut juga telah berdampak secara ekonomi pada sebagian masyarakat, khususnya nelayan yang hidupnya tergantung pada ketersediaan sumberdaya ikan di perairan pantai utara Jakarta. Penurunan daya dukung sumberdaya perikanan menyebabkan sebagian nelayan tidak memperoleh hasil tangkapan yang memadai. Pada akhirnya kelompok masyarakat ini secara berangsur terpaksa beralih mencari sumber penghidupan lain.
63 Penelitian ini bertujuan untuk: menganalisis penggunaan lahan di wilayah pantai utara Jakarta bagi peruntukan: perikanan, pariwisata, dan konservasi pantai dan mengidentifikasi dampak dari berbagai aktivitas ekonomi dan pembangunan (perikanan, industri, pelabuhan, pariwisata, pemukiman dan lain-lain) terhadap kualitas sumberdaya perikanan di wilayah pantai utara Jakarta dilihat dari perspektif ekologi, teknologi, ekonomi, sosial dan etik.
4.2
Metodologi Penelitian Penelitian tentang dampak lingkungan tergolong rumit karena harus
mempertimbangkan banyak variabel atau faktor yang berkontribusi. Oleh karena itu instrumen yang efisien dan canggih diperlukan untuk mengelola data yang banyak agar dampak terhadap kondisi sumberdaya alam dapat dikuantifikasi (Fedra dan Feoli, 1998).
Dampak yang terjadi di lingkungan pantai dapat
dipelajari dengan menerapkan geographic information system (GIS), image processing system (IPS), atau teknologi remote sensing (RS). GIS merupakan seperangkat sistem komputer yang mampu menangkap, memanipulasi, memproses dan mencitrakan data spas ial atau geografis. Dengan menggunakan teknologi GIS maka dimungkinkan untuk mengintregrasikan semua metoda dan per alatan yang dapat digunakan sebagai alat untuk pengambilan keputusan (Decision Support System/DSS) untuk masalah-masalah yang terkait secara spatial. Sebagai
DSS bagi pengelolaan sumberdaya alam, maka GIS
seharusnya mampu digunakan pula sebagai alat bantu dalam memperbaiki perencanaan dan pengambilan keputusan melalui penyediaan informasi yang bermanfaat dan ilmiah bagi semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Penelitian ini diawali dengan melakukan pemetaan kondisi saat ini terhadap wilayah pantai Jakarta yang didefinisikan sebagai berikut : ” Kawasan pantai Jakarta adalah kawasan pantai yang ada di Jakarta Utara yang mempunyai panjang garis pantai 35 km dan luas area daratnya 2.500 ha ”. Secara umum, analisis yang dilakukan meliputi: (1) analisis penggunaan lahan di pantai utara Jakarta bagi peruntukan pelabuhan, industri, pariwisata,
64 pemukiman dan konservasi, (2) analisis karakteristik sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Jenis data yang dipakai untuk penelitian ini mencakup: (1) data fisik kawasan pantai, seperti geologi, fisiografi, hidrologi dan sebagainya, (2) data ekosistem pantai seperti ekosistem mangrove, (3) data penggunaan lahan seperti pertambakan, pemukiman, pelabuhan, industri, pariwisata, pertanian dan konservasi, (4) data kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Kumpulan data tersebut dikelola dengan menggunakan sebuah sistem informasi spas ial (GIS). Citra hasil remote sensing dari citra satelit LAPAN pada pengamatan Oktober 1998 dan Mei - Oktober 2004 dan data GIS dimanfaatkan untuk menentukan kondisi sumberdaya pantai, sosial, ekonomi dan lingkungan saat ini.
Hasil analisis spasial disajikan dalam sejumlah peta tematik (Fedra dan
Feoli, 1998). Penyusunan data GIS tersebut melalui tahap kegiatan yang mencakup: (1)
Digitasi peta-peta rupa bumi, bathimetri dan lingkungan laut untuk mendapatkan data spasial dan grafis.
(2)
Digitasi data oseanografi, suhu permukaan laut, klorofil, salinitas dan data perairan lain.
(3)
Analisis dampak kebijakan pembangunan terhadap kegiatan perikanan, khususnya dampak pencemaran, pemanfaatan laut untuk perikanan, perubahan tata lahan, perubahan habitat mangrove, perubahan sosial ekonomi masyarakat di pantai Jakarta. Jenis indikator yang digunakan untuk menilai dampak pembangunan
terhadap kondisi sumberdaya pantai Jakarta merujuk pada Integrated Coastal Management (ISM). Perubahan kondisi sumberdaya pantai dapat dilihat dari dua karakteristik, yaitu lingkungan dan sosial-ekonomi. Karakteristik lingkungan ini dijelaskan dengan kondisi tata lahan pantai, keanekaragaman hayati, kegiatan pariwisata, perikanan, kualitas lingkungan perikanan, kegiatan lalu-lintas kapal, kegiatan ekplorasi/eksploitas sumberdaya minyak bumi dan gas serta proses global, seperti disajikan pada Tabel 4. Dampak pembangunan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat dijelaskan dengan kondisi populasi yang tinggal
65 dipantai, kualitas hidup di zona pantai, kebutuhan dan penyediaan layanan, turisme dan rekreasi dan peluang ekonomi, seperti disajikan pada (Tabel 5). Analisis terhadap berbagai indikator tersebut diatas difokuskan untuk menilai kontribusi pembangunan kawasan pantai Jakarta terhadap masyarakat dan dampak pembangunan terhadap sumberdaya perikanan dan ekosistem. Tahapan penelitian ini secara skematis disajikan dalam Gambar 8. Tabel 4 Jenis indikator yang digunakan untuk menilai dampak pembangunan terhadap kondisi sumberdaya pantai Jakarta Fokus evaluasi 1. Karakteristik zona pantai
2. Biodiversitas
Indikator Persentase penduduk yang tinggal di daerah pantai, kepadatan dan pertumbuhannya Habitat pantai : luasan pantai, hutan mangrove, karang, rumput laut dan lain-lain. Perubahan tata guna lahan pantai Luas wilayah pantai yang dilindungi Persentase luas lahan yang masih tertutup vegetasi Spesies yang masih hidup di habitat pantai Perubahan komposisi dan jumlah benthos Komposisi spesies yang hampir punah Tekanan terhadap habitat dan struktur ekosistem
3. Pariwisata
Jumlah wisatawan yang berkunjung. Kepadatan wisatawan per kilometer
4. Perikanan
Jumlah tangkapan pertahun, baik untuk kepentingan komersial maupun wisata Jumlah by catch Perubahan kompisi tropik Status overfishing Kualitas seafood (kontaminasi) Parameter fisik: salinitas, turbiditas, sedimentasi dan pH Parameter limbah padat: akumulasi di pantai, buangan di laut Parameter eutrifikasi: kondisi nutrisi, oksigen terlarut dll. Jumlah lalu lintas kapal Ratio peralatan di pelabuhan Lalu lintas kapal tanker Frekuensi tumpahan minyak Perubahan suhu air laut Perubahan tinggi permukaan laut
5. Kualitas air
6. Perkapalan 7. Minyak dan gas 8. Proses global
66 Tabel 5 Jenis indikator yang digunakan untuk menilai dampak pembangunan terhadap kondisi sosial ekonomi Jakarta Fokus evalu asi Populasi penduduk Kualitas hidup di daerah pantai
Informasi publik dan kesasadaran
Sarana dan prasarana
Pariwisata
Perikanan
Pembangunan masyarakat pantai Partisipasi masyarakat
Indikator Kepadatan dan pertumbuhan penduduk Tingkat pengangguran Persepsi masyarakat terhadap kualitas lingkungan pantai Struktur umur penduduk Kesadaran masyarakat terhadap isue-isue di daerah pantai Kesadaran masyarakat terhadap isue pembangunan berkelanjutan Pendidikan Kesehatan Perumahan Air bersih dan sanitasi Listrik/energi Sarana jalan Sarana telekomunikasi Jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor pariwisata Peranan pariwisata terhadap perekonomian Jumlah wisatawan Jumlah tangkapan menurut jenis ikan Persentase rumah tangga yang sumber penghasilannya dari perikanan Lingkungan dan tata guna lahan Keragaman aktivitas ekonomi dan pertumbuhannya Investasi publik dan infrastruktur Jumlah penduduk yang berpartisipasi dalam kegiatan ICM Tingkat kesadaran masyarakat akan issue-issue daerah pantai Keterlibatan perusahaan dalam ICM
67
Mulai
Pemetaan Kondisi Saat ini Data Sekunder
Kondisi Demografik
Tataguna lahan
Kualitas perairan
Data Primer
Survey Sosial ekonomi
Kondisi sumberdaya ikan
Aspirasi Analisis Dampak: 1. Konversi 2. Overeksplotasi 3. Degradasi
Kontribusi ekosistem pantai dan sumberdaya perikanan terhadap kesejahteraan
Gambar 8 Tahapan proses pelaksanaan penelitian.
Gambar 9 Stasiun pengambilan sampel di perairan Teluk Jakarta, Mei dan Oktober 2004 .
Pengetahuan dan persepsi terhadap ekosistem
68 Data yang dikumpulkan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu data tahun akhir 1998 dan tahun akhir 2004. Kedua titik waktu tersebut dipilih sebagai referensi sesuai dengan rencana tata ruang yang telah dibuat oleh Pemerintah DKI tahun 1999. Rencana tata ruang tersebut disusun untuk kurun waktu 2000 sampai dengan 2005. Dengan demikian, perbandingan kedua kelompok data tersebut akan menghasilkan gambaran perubahan yang terjadi pada ekosistem pantai utara Jakarta dan sosial ekonomi utara Jakarta (khususnya 6 kecamatan yang berbatasan dengan laut).
Data parameter lingkungan biofisik perairan diperoleh dari
sampling di 20 stasiun (Gambar 8, lokasi pengambilan sampel kualitas air) dengan melibatkan tim lapangan dari Dishidrosal dan LIPI Jakarta. Evaluasi kondisi lingkungan dilakukan dengan membandingkan hasil pengukuran parameter lingkungan terhadap baku mutu lingkungan yang tertuang dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (Kepmen LH) no. 51 tahun 2004. Kriteria setiap penilaian dari parameter lingkungan disajikan dalam Lampiran 11. Penelitian ini menggunakan kerangka analisis sosial dan ekologis terpadu seperti telah dilakukan Noronha et al. (2002) dengan pendekatan driver-pressurestate-impact-response (DPSIR) untuk menganalisis sejumlah faktor penyebab terjadinya tekanan terhadap ekosistem di wilayah pantai Goa, India (Gambar 1 )
4.3
Hasil Penelitian
4.3.1 Kondisi sosial ekonomi Jumlah penduduk Kotamadya Jakarta Utara dalam periode tahun 19982004 mengalami pertumbuhan sebesar 0,67 % per tahun, yaitu dari 1.137.211 orang pada tahun 1998 menjadi 1.182.749 orang pada tahun 2004 (BPS, 2005). Hal ini berarti juga kepadatan penduduk meningkat dari 7.486 orang/km2 pada tahun 1998 menjadi 8.475 orang/km2 atau tumbuh sebanyak 2,2 % per tahun. Jumlah satuan rumah tangga penduduk juga meningkat dari 293.071 KK pada tahun 1998 menjadi 315.238 KK pada tahun 2004 atau tumbuh sebanyak hampir 1,3 % per tahun (Tabel 6).
69 Struktur mata pencaharian penduduk dalam periode 1998-2004 juga mengalami perubahan dari dominasi sektor jasa dan perdagangan (44 %) pada tahun 1998 menjadi sektor perdagangan dan industri (37 %) pada tahun 2004 (Tabel 7).
Sementara itu tiga sektor lain, yaitu pertanian, pemerintahan, dan
kategori lain-lain masing-masing mengalami penurunan sebesar 3,3 %, 19,9 % dan 1,9 %. Penurunan kontrib usi sektor ini terhadap mata pencaharian penduduk semakin memperkokoh Jakarta sebagai kota industri, jasa dan perdagangan. Sebagian besar penduduk Kotamadya Jakarta Utara termasuk dalam kelompok usia produktif (15-64 tahun); dominasi kelompok ini konsisten sejak tahun 1998 hingga 2004 (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa komposis i umur kependudukan kawasan ini tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pertambahan penduduk tersebut menyebabkan pertambahan bangunan perumahan, dari 173.771 buah pada tahun 1998 menjadi 248.723 buah pada pada tahun 2004 (Tabel 9). Komposisi jenis bangunan perumahan tidak berubah dalam periode tahun 1998 hingga 2004, yaitu dengan dominasi jenis perumahan permanen. Salah
satu
indikator
yang
dapat
perekonomian suatu daerah adalah PDRB.
menjelaskan
mengenai
kondisi
PDRB Kotamadya Jakarta Utara
dalam kurun waktu 1998-2004 secara konsisten mengalami pertumbuhan yang signifikan dari Rp 12.600.614,- pada tahun 1998 menjadi Rp. 14.657.319,- pada tahun 2004, atau setiap tahun tumbuh rata-rata sebesar 2,72 %.
Walaupun
ekonomi wilayah tersebut mengalami pertumbuhan, strukturnya relatif tidak mengalami perubahan yang berarti (Tabel 10). Pada tahun 1998, sektor pemberi kontribusi terbesar adalah industri pengolahan (51,01 %), perdagangan (16,01 %) dan pengangkutan dan komunikasi (13,62 %), sedangkan pada tahun 2004 adalah industri pengolahan (51,57 %), perdagangan (16,05 %) dan pengangkutan dan komunikasi (14.25 %). Mengenai PDRB per kapita, yaitu total PDRB dibagi jumlah penduduk Jakarta Utara berdasarkan harga konstan, juga memperlihatkan pertumbuhan yang cukup berarti dari Rp 7.302.554,- pada tahun 1998 menjadi sebesar Rp.10.156.349 pada tahun 2004 atau mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 6,50 % per tahun, secara lengkap data PDRB pada Lampiran 3 s/d 6.
70 Tabel 6 Kondisi demografis di Kotamadya Jakarta Utara (BPS, 1999 dan 2005) No 1 2 3 4 5
Variabel Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk Jumlah KK Migrasi keluar Migrasi masuk
Tabel 7
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1998 1.137.211 7.486 293.071 1.041 n.a
2004 1.182.749 8.475 315.238 n.a n.a
Jumlah penduduk di Kotamadya Jakarta Utara berdasarkan mata pencaharian dan perubahannya (BPS, 1999 dan 2005)
Lapangan Usaha Pertanian Industri Bangunan Perdagangan Transportasi & Komunikasi Keuangan dan Perbankan Pemerintahan Jasa Lain-lain Jumlah
1998 2004 Perubahan Total Persen Total Persen % 10.843 4,00 4.079 0,66 -3,34 42.452 15,67 182.351 29,72 14,05 15.389 5,68 16.111 2,63 -3,06 57.790 21,34 213.529 34,80 13,47 14.240
5,26
62.052
10,11
4,86
7.065 2,61 56.551 20,88 60.202 22,23 6.306 2,33 270.838 100,00
17.833 6.296 108.479 2.803 613.533
2,91 1,03 17,68 0,46 100,00
0,30 -19,85 -4,55 -1,87
Tabel 8 Struktur umur penduduk di Kotamadya Jakarta Utara (BPS, 1999 dan 2005) No 1 2 3
Kelompok Umur 0 - 14 tahun 15 - 64 tahun 65 Keatas Jumlah
1998 23.717 1.092.250 21.244 1.137.211
2004 30.353 1.119.536 32.860 1.182.749
Tabel 9 Jumlah dan kondisi perumahan penduduk di Kotamadya Jakarta Utara (BPS, 1999 dan 2005) No 1 2 3
Kondisi Rumah Permanen Semi permanen Sementara Jumlah
1998 92.505 buah 48.822 buah 32.444 buah 173.771 buah
2004 146.866 buah 67.787 buah 34.070 buah 248.723 buah
71 Tabel 10
Kontribusi sektor lapangan usaha terhadap PDRB Kotamadya Jakarta Utara berdasarkan harga konstan (BPS, 1999 dan 2005) 1998
No Lapangan Usaha 1 2 3 4 5 6 7 8
Pertanian Industri Pengolahan Listri, gas dan air bersih Bangunan Perdagangan Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Perbankan Jasa-jasa Jumlah
Kontribusi (Rp 1000)
2004 Proporsi Kontribusi (%) (Rp 1000)
Perubahan Proporsi kontribusi (%)
43.655 6.427.015 174.033
0,35 51,01 1,38
39.218 7.558.230 241.425
0,27 51,57 1,65
-0,08 0,56 0,27
1.044.800 2.017.217 1.716.408
8,29 16,01 13,62
1.089.999 2.353.080 2.089.087
7,44 16,05 14,25
-0,86 0,05 0,63
686.520
5,45
731.808
4,99
-0,46
490.966 12.600.614
3,90 100,00
554.472 14.657.319
3,78 100,00
-0,11
4.3.2 Kondisi tata guna lahan Selama kurun waktu 1998 sampai dengan 2004, terjadi pemanfaatan lahan darat dan perairan secara sangat intensif di kawasan pantai utara Jakarta dalam wilayah administrasi 6 kecamatan, yaitu Kecamatan Cilincing, Koja, Tanjung Priok, Pademangan, Penjaringan dan Kelapa Gading.
Luas lahan bertambah
sebesar 50,3 ha, yaitu dari 16.529,0 ha pada tahun 1998 menjadi 16.579,3 ha pada tahun 2004.
Pertambahan luasan lahan darat terjadi sebagai akibat program
reklamasi yang dilakukan di sebelah timur pantai Ancol (Gambar 10 dan 11). Lahan ’baru’ tersebut terutama digunakan untuk kepentingan prasarana kawasan pelabuhan dan pemukiman. Perluasan pelabuhan ini mengurangi luasan sawah dan ekosistem mangrove. Perubahan ini menunjukkan bahwa tekanan ekonomi dan demografis telah berdampak pada perubahan tata guna lahan di pantai utara Jakarta (Tabel 11). Perubahan luas peruntukan lahan terutama terjadi di kawasan dekat pantai Cilincing dan Ancol Timur (Gambar12). Kawasan pantai Cilincing pada mulanya adalah lahan tambak, persawahan dan rawa, namun pada tahun 2004 telah menjadi kawasan prasarana terminal kontainer. Sementara itu, di kawasan Ancol Timur terjadi penambahan lahan daratan hasil kegiatan reklamasi terhadap rawa dan perairan laut. Sebagai akibat dari reklamasi pantai tersebut, telah terjadi penurunan luas perairan sebesar 50,3
72 ha, yaitu dari 45.320,5 ha pada tahun 1998 menjadi 45.270,2 ha pada tahun 2004 (Gambar 13).
1998
2004 Gambar 10 Luas area darat Propinsi DKI Jakarta pada tahun 1998 dan 2004.
73
1998
2004
Gambar 11 Perubahan lahan sebagai akibat dari reklamasi pantai Ancol.
Reklamasi
1998
Perluasan Pelabuhan
2004
Gambar 12 Perubahan penggunaan lahan di pantai utara Jakarta.
1998
2004
Gambar 13 Perubahan luas area perairan pantai utara Jakarta.
74 Tabel 11 Perubahan tata guna lahan di kawasan pantai utara Jakarta antara tahun 1998 dan 2004 Peruntukan
1998 (ha) 1.027,0 5.122,0 8.431,0 151,0 361,0 1.141,0 296,0 16.529,0
Fasilitas pelabuhan Sawah Permukiman Reservoir Wisata Industri Konservasi Reklamasi Luas Total
2004 (ha) 1.487,0 4.555,0 8.573,0 116,0 361,0 1.141,0 296,0 50,3 16.579,3
Perubahan (ha) 460,0 - 567,0 142,0 - 35,0 0,0 0,0 0,0 50,3 50,3
4.3.3 Kondisi kualitas perairan 4.3.3.1 Parameter fisika Tingkat kekeruhan perairan dan suhu perairan di Teluk Jakarta pada tahun 2004 telah melampaui nilai baku mutu, baik untuk wisata bahari maupun untuk biota laut (Tabel 12). Perubahan kedua parameter fisika tersebut menunjukkan degradasi lingkungan yang cukup signifikan. Parameter lain yang dapat menjelaskan tentang kualitas perairan adalah kekeruhan, kecerahan dan suhu. Hasil analisis parameter fisika dibandingkan dengan baku mutu berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004 selengkapnya disajikan
dalam Tabel 12, sedangkan
sebaran parameter dapat dilihat pada Gambar 14 dan 15. Tabel 12 Hasil analisis parameter fisika dibandingkan dengan baku mutu Parameter
Kekeruhan (Turbiditas) Kecerahan (Transmisi cahaya) Suhu
Baku mutu untuk wisata bahari <5 Coral >6 Alami
Baku mutu untuk biota laut <5
Satuan 2004
Keterangan
NTU
26,08
Tidak sesuai
Coral >5
m
12,81
Sesuai
Coral 28-30
°C
30,68
Tidak sesuai
75
Gambar 14 Distribusi turbitas lapisan dekat dasar perairan Teluk Jakarta, Mei 2004.
Gambar 15
Distribusi transparasi cahaya lapisan dekat dasar perairan Teluk Jakarta, Mei 2004.
76 4.3.3.2 Parameter Kimia Perubahan kualitas kimia perairan menunjukkan bahwa kondisi perairan untuk perikanan pada tahun 2004 telah menurun tajam dari kondisi pada tahun 1998. Penurunan tersebut terlihat jelas pada hasil overlay kandungan oksigen terlarut, kandungan fosfat, maupun senyawa-senyawa nitrogen. Luasan perairan dengan kadar Oksigen terlarut (DO) yang baik untuk perikanan telah berkurang secara tajam hingga sekitar 50%, yaitu dari 27.192,3 ha pada tahun 1998 menjadi 15.844,6 ha pada tahun 2004, sehingga terjadi pengurangan sebesar 11.347,7 ha; sebaliknya luasan yang buruk pada tahun 1998 sebanyak 18.128,2 ha meningkat menjadi 29.425,6 ha pada tahun 2004 (Tabel 13).
Pada tahun 1998 wilayah
perairan yang buruk untuk perikanan tangkap umumnya berada di dekat pantai sedangkan tahun 2004 menyebar bahkan ada yang ditengah (Gambar 16). Luasan perairan yang berkadar Amonia (NH3) baik untuk perikanan tangkap pada tahun 2004 adalah 15.844,6 ha lebih sempit dibandingkan dengan luasan baik pada tahun 1998 yaitu 271.923,0 ha tahun 1998 sehingga berkurang 11.347,7 ha (Tabel 14), selebihnya luasan
perairan buruk untuk perikanan
tangkap (Gambar 17). Dalam hal kandungan senyawa nitrogen lainnya, yakni Nitrat (NO3), perairan Teluk Jakarta juga mengalami penurunan kualitas yang berarti, yaitu pada tahun 1998 kandungan nitrat seluas 36.256,4 ha merupakan sebagian besar teluk Jakarta untuk kegiatan perikanan tangkap dan hanya sebagian kecil dari wilayah tersebut 9.064,1 ha memiliki kandungan nitrat dengan kategori buruk (Tabel 15), Tetapi pada tahun 2004, wilayah perairan tersebut yang memiliki kandungan nitrat baik luasannya menurun drastis menjadi 27.162,1 ha, selebihnya wilayah perairan tersebut pada kategori yang buruk 18.108,1 ha, sehingga ada penyusutan 9.094,3 ha (Gambar 18). Pada tahun 1998,
lebih dari setengah wilayah perairan Teluk Jakarta
memiliki kandungan Nitrit (NO2) yang baik seluas 24.473,1 ha (Tabel 16), kebanyakan area perairan jauh dari garis pantai, sedangkan perairan yang lebih dekat dengan garis pantai memiliki kandungan nitrit yang buruk menempati area perairan seluas 20.847,4 ha. Pada tahun 2004, wilayah perairan yang memiliki
77 kandungan nitrit yang baik menyusut menjadi 20.824,3 ha dan lebih dari setengah luas perairan 24.445,9 ha pada tingkat kandungan yang buruk (Gambar 19). Perairan Teluk Jakarta pada tahun 1998 kandungan Fosfat (PO4) dengan kadar buruk untuk perikanan tangkap menempati area sekitar 20% atau 6.798,1 ha, selebihnya sekitar 80% atau seluas 38.522,4 ha perairan masih dalam kondisi
baik (Tabel 17). Pada tahun 2004, wilayah perairan tersebut kondisinya sama antara yang buruk dan yang baik yaitu seluas 22.635,1 ha sehingga terjadi penurunan seluas 15.887,3 ha (Gambar 20). Penggabungan hasil identifikasi sebaran kategori kesesuaian dari setiap senyawa kimia tersebut di atas menunjukkan pengurangan luasan perairan yang baik untuk kegiatan perikanan tangkap (Tabel 18).
Pada tahun 1998, masih
cukup banyak wilayah perairan yang tergolong kategori baik yaitu 36.256,4 ha untuk perikanan tangkap. Sebaliknya, pada tahun 2004, turun drastis menjadi 23.993,2 ha wilayah perairan yang memiliki kualitas baik; sisanya 21.277,0 ha perairan berada dalam kategori buruk, sehingga terjadi penurunan sebesar 12.263,2 ha. Bila hal ini berlangsung terus tidak ada pencegahan maka akan hilang dan tidak layak lagi untuk kegiatan perikanan tangkap (Gambar 21). Dengan demikian, tidak ada lagi wilayah perairan Teluk Jakarta yang memadai untuk perikanan kecuali di luasan yang sangat sempit
yang masih memiliki
kandungan gabungan senyawa kimia di perairan yang tergolong kategori baik. Pada Tabel 19 dijelaskan bahwa untuk parameter pH dan salinitas dalam kurun waktu 1998 dan 2004 tidak terjadi perubahan yang signifikan dan masih sesuai dengan baku mutu, baik untuk wisata bahari maupun untuk biota laut. Namun untuk parameter DO, terjadi perubahan yang cukup signifikan walaupun kandungannya sejak tahun 1998-2004 tidak sesuai lagi dengan baku mutunya. Demikian pula halnya dengan parameter PO4, NH3, NO3,
NO2 dan PO4
seluruhnya telah tidak sesuai lagi dengan baku mutu yang diperbolehkan. Jadi secara agregat dari tujuh parameter yang diteliti, sebanyak lima parameter telah melampaui
nilai baku mutunya, sehingga cukup menjelaskan bahwa dari
parameter kimia telah terjadi penurunan kualitas perairan.
78 Tabel 13 Luasan perairan untuk setiap kategori kesesuaian bagi kegiatan perikanan tangkap berdasarkan kandungan oksigen terlarut (dissolved oxygen, DO) di Teluk Jakarta pada tahun 1998, 2004 dan perubahannya Kategori kesesuaian perairan
Luasan perairan (ha) 1998
2004
Buruk
18.128,2
29.425,6
11.297,4
Baik
27.192,3
15.844,6
- 11.347,7
Luas Total
45.320,5
45.270,2
- 50,3
Tabel 14
Perubahan
Luasan perairan untuk setiap kategori kesesuaian bagi kegiatan perikanan tangkap berdasarkan kandungan Amonia (NH3) di Teluk Jakarta pada tahun 1998, 2004 dan perubahannya Luasan perairan (ha)
Kategori kesesuaian perairan Buruk Baik Luas Total
1998 18.128,2 27.192,3 45.320,5
2004 29.425,6 15.844,6 45.270,2
Perubahan 11.297,4 - 11.347,7 -50,3
Tabel 15 Luasan perairan untuk setiap kategori kesesuaian bagi kegiatan perikanan tangkap berdasarkan kandungan Nitrat (NO3) di Teluk Jakarta pada tahun 1998, 2004 dan perubahannya Luasan perairan (ha) Kategori kesesuaian perairan Buruk Baik Luas Total
1998 9.064,1 36.256,4 45.320,5
2004 18.108,1 27.162,1 45.270,2
Perubahan 9.044,0 -9.094,3 - 50,3
Tabel 16 Luasan perairan untuk setiap kategori kesesuaian bagi kegiatan perikanan tangkap berdasarkan kandungan Nitrit (NO2) di Teluk Jakarta pada tahun 1998, 2004 dan perubahannya Luasan perairan (ha) Kategori kesesuaian perairan Buruk Baik Luas Total
1998 20.847,4 24.473,1 45.320,5
2004 24.445,9 20.824,3 45.270,2
Perubahan 3.598,5 -3.648,8 - 50,3
79 Tabel 17
Luasan perairan untuk setiap kategori kesesuaian bagi kegiatan perikanan tangkap berdasarkan kandungan Fosfat (PO4 ) di Teluk Jakarta pada tahun 1998, 2004 dan perubahannya Luasan perairan (ha)
Kategori kesesuaian perairan Buruk Baik Luas Total
1998 6.798,1 38.522,4 45.320,5
2004 22.635,1 22.635,1 45.270,2
Perubahan 15.837,0 -15.887,3 - 50,3
Tabel 18 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian bagi kegiatan perikanan tangkap berdasarkan kandungan gabungan senyawa kimia di Teluk Jakarta pada tahun 1998, 2004 dan perubahannya Luasan perairan (ha) Kategori kesesuaian perairan Buruk Baik Luas Total
Tabel 19
Parameter pH DO PO4 NO3 NH3 Salinitas
1998 9.064,1 36.256,4 45.320,5
2004 21.277,0 23.993,2 45.270,2
Perubahan 12.212,9 -12.263,2 - 50,3
Nilai parameter kimia perairan dibandingkan dengan baku mutu perairan untuk kegiatan perikanan tangkap menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004 Baku mutu untuk biota laut 7,00 s/d 8,50 >5 0,015 0,008 0,300 <33-34
Status Satuan mg/l mg/l mg/l mg/l 0%
Keterangan 1998 7,75 4,15 0,09 0,13 0,09 25,05
2004 8,07 3,46 0,84 1,48 4,18 32,46
Sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Sesuai
80
1998
2004 Buruk Gambar
16
Baik
Lahan darat
Luasan perairan untuk setiap kategori kesesuaian bagi kegiatan perikanan tangkap berdasarkan kandungan oksigen terlarut (dissolved oxygen, DO) di Teluk Jakarta pada tahun 1998 dan 2004.
81
1998
2004 Buruk
Baik
Lahan darat
2004 Gambar 17 Luasan perairan untuk setiap kategori kesesuaian bagi kegiatan perikanan tangkap berdasarkan kandungan Amonia (NH3) di Teluk Jakarta pada tahun 1998 dan 2004.
82
1998
2004 Buruk
Baik
Lahan darat
Gambar 18 Luasan perairan untuk setiap kategori kesesuaian bagi Nitrat (NO3) untuk kegiatan perikanan tangkap berdasarkan kandungan nitrat di Teluk Jakarta pada tahun 1998 dan 2004.
83
1998
2004 Buruk
Baik
Lahan darat
Gambar 19 Luasan perairan untuk setiap kategori kesesuaian bagi kegiatan perikanan tangkap berdasarkan kandungan Nitrit (NO2) di Teluk Jakarta pada tahun 1998 dan 2004..
84
1998
2004 Buruk
Baik
Lahan darat
Gambar 20 Luasan perairan untuk setiap kategori kesesuaian bagi kegiatan perikanan tangkap berdasarkan kandungan Fosfat (PO4)di Teluk Jakarta pada tahun 1998 dan 2004.
85
1998
2004 Buruk
Baik
Lahan darat
Gambar 21 Luasan perairan untuk setiap kategori kesesuaian bagi kegiatan perikanan tangkap berdasarkan kandungan gabungan senyawa kimia penting di Teluk Jakarta pada tahun 1998 dan 2004.
86 4.3.3.3 Parameter biologi Karakter sedimen halus dengan warna hitam abu-abu dan berbau busuk yang menunjukkan adanya senyawa H2S akibat bakteri, perairan di daerah penelitian ini tampaknya mengalami sedimentasi yang cukup tinggi serta adanya pembuangan limbah dari darat. Ini terlihat dari tebalnya lapisan sedimentasi yang berwarna hitam pada permukaan sedimen dan relatif keruh. Kedalaman air di lokasi ini berkisar antara 1 hingga 7 meter.
Bagian tengah teluk umumnya
berhabitat pasir sedimentasi dengan warna cokelat kehitaman dan abu-abu pada bagian permukaannya serta banyak terdapat cangkang moluska (bivalvia) dan pecahan karang dan foraminifera.
Jadi kedalaman air berkisar antara 4 hingga
9,5 meter. Fauna makrobenthos yang berhasil dikumpulkan dalam dua kali penelitian pada bulan Mei dan Oktober sebanyak 44 jenis mewakili 1.187 individu. Dari hasil identifikasi makrobenthos pada bulan Mei ditemukan sebanyak 16 jenis mewakili 196 individu.
Terdiri dari Krustasea dan Ekhinodermata masing-
masing 2 jenis (12,5%), moluska 8 (50%) dan Miscellania 4 jenis (26%). Jumlah jenis makrobenthos yang tertangkap pada masing-masing stasiun pada bulan tersebut cukup bervariasi, berkisar antara 1 hingga 12 jenis. Jumlah jenis tertinggi ditemukan di stasiun 27 lokasi III (timur teluk) sebanyak 12 jenis, stasiun 8 dan 10 lokai I (barat teluk) masing-masing 5 jenis dan jumlah jenis terendah ditemukan pada stasiun 12 lokasi II (tengah teluk) 1 jenis. Komposisi taksa pada masing-masing lokasi penelitian bulan Mei jika dikelompokkan berdasarkan pembagi lokasi, maka lokasi III memiliki jumlah jenis makrobenthos yang tertinggi, yaitu 12 jenis (81,3 %). Sedangkan pada lokasi I ditemukan 9 jenis dan hanya 2 jenis yang ditemukan di lokasi II. Jika dilihat dari prosentase jumlah jenis pada masing-masing kelompok makrobenthos di lokasi I, maka Molusca adalah kelompok yang dominan dengan prosentase jumlah jenis sebesar 44,4%, Miscellania (33,3%) dan Ekhinodermata (22,2%), sedangkan Krustasea tidak ditemukan. Di lokasi II, Miscellania memiliki nilai prosentase sebesar 66,7% dan Ekhinodermata 33,3%. Pada lokasi III, kelompok Moluska memiliki nilai prosentase sebesar 61,5%, Krustasea dan Miscellania
87 masing-masing (15,4%) dan yang terendah adalah Ekhinodermata (7,7%) lihat Tabel 20. Tabel 20 Hasil sortir makrobenthos di Perairan Teluk Jakarta, Oktober 2004 Stasiun Taxa
Bagian Barat
Bagian Tengah
Bagian Timur
1
4
5
8
30
9
12
13
16
18
29
19
22
23
25
27
28
Polikaeta
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Krustasea
+
+
+
+
-
+
+
-
-
+
+
+
-
+
-
+
-
Ekinodermata
-
-
-
+
+
+
+
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
Moluska
-
-
+
+
-
+
+
-
-
+
-
-
+
+
-
+
-
Miscellania
-
-
+
+
+
+
+
-
-
-
+
-
-
+
-
+
-
Bila dilihat dari jumlah individu, lokasi III memiliki jumlah individu yang relatif lebih tinggi. Tingginya nilai ini disebabkan oleh tertangkapnya Alveinus sp. (Moluska) di stasiun 7 sebanyak 142 individu (85.5%) dari jumlah individu pada lokasi tersebut.
Jenis ini cenderung melimpah pada habitat (sedimen)
sedimen pasir/pasir bersedimen. Kehadiran Alveinus sp. dengan kelimpahan yang tinggi mungkin berhubungan dengan sifat oportunis dari biota ini dan belum diketahui dengan pasti penyebabnya.
Dari hasil penelitian di bulan Oktober
ditemukan sebanyak 39 jenis mewakili 991 individu, terdiri dari Krustasea 14 jenis (35,9%), Ekhinodermata 5 jenis (12,8%), Moluska 12 jenis (30,8%) dan Miscellania 8 jenis (20,5%) (Tabel 20). Jenis-jenis yang ditemukan berkisar antara 1 hingga 17 jenis. Jumlah jenis tertinggi ditemukan pada stasiun 8 (17 jenis) dan yang terendah ditemukan pada stasiun 1, 2, 19 dan 25 masing-masing 1 jenis. Jika dikelompokkan menurut lokasi pengamatan, lokasi I memiliki jumlah jenis berkisar antara 1-17 jenis; lokasi II 4-14 jenis dan lokasi III 1-12 jenis. Komposisi taxa pada masing-masing lokasi penelitian bulan Mei tertera pada Tabel 21.
88 Tabel 21 Kelimpahan dan persentase jumlah jenis makrobenthos di Peraran Teluk Jakarta, Mei dan Oktober 2004. Taxa Krustasea Ekhinodermata Moluska Miscellania Jumlah Taxa Krustasea Ekhinodermata Moluska Miscellania Jumlah
Kelimpahan Makrobenthos bulan Mei 2004 Jumlah Jenis (%) Jumlah Individu (%) 2 12,5 4 2,0 2 12,5 7 3,6 8 50,0 166 84,7 4 25,0 19 9,7 16 100,0 196 100,0 Kelimpahan Makrobenthos bulan Oktober 2004 Jumlah Jenis (%) Jumlah Individu (%) 14 35,9 677 68,3 5 12,8 96 9,7 12 30,8 136 13,7 8 20,5 82 8,3 39 100,0 991 100,0
Jika dilihat dari persentase komposisi jumlah jenis dari masing-masing kelompok makrobenthos di lokasi I , Moluska adalah kelompok yang dominan dengan persentase jumlah jenis (38,5 %); Krustasea (23,1 %); Ekhnodermata (19,2 %) dan Miscellania (19,2 %).
Di lokasi II Moluska memiliki nilai
persentase terbesar (36,4 %) dan yang terendah adalah Ekhinodermata (13,6 %). Pada lokasi III Krustasea memiliki persentase terbesar (47,4 %) dan yang terendah adalah Ekhinodermata (5,3 %). Dilihat dari jumlah individu, lokasi I memiliki jumlah individu yang relative tinggi, yaitu sebanyak 555 individu (56,0 %) dari total individu yang dikumpulkan pada bulan tersebut dan didominasi oleh Jassa sp. (Krustasea), jenis ini dijumpai pada stasiun 8 sebanyak 356 individu (64,1 %). Lokasi II memiliki jumlah individu sebanyak 366 individu dan didominasi oleh Jassa sp. Jenis ini ditemukan sebanyak 201 individu (54,9 %) di tasiun 9. Suatu ekosistem dapat dikatakan baik bila keanearagaman jenis dan jumlah individu berada dalam kondisi yang berimbang serta tidak ada dominasi dari jenis dalam komunitas tersebut. Keanekaragaman dapat dikatakan tinggi bila terdapat banyak jenis dalam satu komunitas dan sebaliknya keanekaragaman jenis dapat dikatakan rendah bila ada jenis yang mendominasi komunitas tersebut. Tinggi rendahnya keragaman jenis dapat dipengaruhi oleh kondisi kualitas lingkungan.
Dengan nilai keragaman dan keseragaman yang didapat pada
pengamatan ini yang berfluktuasi dari stasiun ke stasiun berikutnya mungkin juga dapat disebabkan oleh hal seperti tersebut di atas.
89 4.3.3.4 Pencemaran logam berat Parameter lain yang dapat menjelaskan tentang kualitas perairan adalah parameter logam berat terlarut. Hasil analisis parameter logam berat terlarut dibandingkan dengan baku mutu berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004 selengkapnya disajikan dalam Tabel 22 berikut. Tabel 22 Hasil analisis parameter logam berat terlarut dibandingkan dengan baku mutu Parameter
Pb Cd Cu Zn Ni
Baku mutu untuk biota laut 0,008 0,001 0,008 0,050 0,050
Satuan 1998 Mg/l Mg/l Mg/l Mg/l Mg/l
Status 2004
0,00300 0,00085 0,00230 0,00350 -
0,0060 <0,0012 <0,0028 <0,0038 <0,0150
Keterangan
Tidak sesuai Tidak sesuai Sesuai Sesuai Sesuai
Data pada Tabel 4.19 diatas menunjukkan bahwa kadar Pb yang sebesar 0,003 mg/l tahun 1998, dan meningkat menjadi 0,006 pada tahun 2004 jika dibandingkan dengan baku mutu untuk biota laut masih sesuai, namun jika dibandingkan dengan baku mutu untuk wisata bahari ternyata sudah tidak sesuai lagi karena sudah melampaui baku mutunya. Demikian pula halnya dengan parameter Cd, dimana kadarnya pada tahun 2004 sudah melampaui baku mutu untuk biota laut. Secara agregat dari lima parameter yang diteliti ternyata tiga parameter lainnya yaitu Cu, Zn dan Ni masih sesuai atau masih berada dibawah baku mutu yang dipersyaratkan. Hal ini mengindikasikan terjadinya pencemaran logam berat walaupun dalam kadar yang belum terlalu mengkhawatirkan. Meskipun demikian, tingkat pencemaran tersebut juga harus dicermati karena tingkat pencemaran di sedimen sudah lebih tinggi dari ambang batas yang dapat diteroleransi pada perairan. Meningkatnya aktivitas industri di daerah aliran sungai yang mengalirkan airnya ke perairan tersebut, juga tingginya aktivitas pelabuhan, dapat berperan dalam peningkatan pencemaran tersebut. Tingkat pencemaran yang lebih tinggi dari ambang batas adalah tingkat pencemaran organik
(PCB) dan tingkat pencemaran pestisida.
Kenaikan
intensitas kedua jenis pencemaran tersebut tidak terhindarkan akibat aliran-aliran
90 sungai secara langsung mengalirkan airnya ke wilayah Teluk Jakarta, sedangkan pengenceran yang diharapkan terjadi dengan adanya arus laut tidak berlangsung karena perairan tersebut terletak pada teluk. Pencemaran yang meningkat di aliran sungai baik akibat limbah rumah tangga, maupun dari saluran irigasi pertanian, meningkatkan pencemaran organik dan pestisida
secara langsung akan di perairan Teluk Jakarta.
Sementara itu, pembangunan yang dilakukan di kawasan pantai
yang lebih
banyak berupa pembebasan tanah serta pengurukan tidak berkontribusi terhadap peningkatan pencemaran PCB dan pestisida. Namun pembangunan tersebut juga tidak mampu menahan laju peningkatan pencemaran yang terbawa oleh aliran air sungai.
4.4 Pembahasan Penelitian ini menggunakan tiga indikator utama untuk menilai dampak pembangunan dan aktifitas masyarakat terhadap kondisi ekosistem pantai utara Jakarta. Ketiga indikator utama tersebut adalah: lingkungan, kependudukan dan sosial-ekonomi.
Ditinjau dari indikator lingkungan, telah terjadi perubahan
tataguna lahan dalam periode 1998 -2004. Perubahan tersebut terjadi dalam bentuk perluasan lahan untuk kepentingan pelabuhan, pemukiman dan lain-lain. Adanya perubahan ini telah menekan fungsi sawah dan reservoir yang luasnya cenderung mengecil. Dalam periode tersebut, tidak terjadi perubahan luas lahan untuk konservasi (tetap 296 ha). Hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah daerah DKI yang tetap mempertahankan fungsi konservasi sebagaimana tertuang dalam Rencana Tata Ruang 1995 -2010 (Perda DKI Jakarta nomor 9 tahun 1999 tentang RTRW DKI Jakarta). Kondisi perairan di pantai utara Jakarta menunjukan telah terjadi penurunan kualitas. Dilihat dari enam parameter kimia yang digunakan, yaitu: pH, DO, PO4, NO3, NH3 dan salinitas, empat parameter diantaranya (DO, PO4, NO3, dan NH3) ternyata telah berada diatas baku mutu yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
nomor 51/2004.
Berdasarkan kriteria tersebut,
ternyata kualitas perairan kurang cocok untuk kepentingan wisata bahari dan kehidupan biota laut.
91 Demikian juga halnya dengan parameter fisika. Penelitian ini menggunakan indikator turbiditas, transmisi cahaya dan suhu untuk mengetahui nilai kualitas fisik perairan. Dari ketiga indikator tersebut, ternyata turbiditas dan suhu telah melebihi ambang batas. Disebagian wilayah perairan juga telah terjadi pencemaran ole h logam berat, khususnya Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd). Terjadinya penurunan kualitas perairan dan ekosistem pantai ini secara langsung maupun tidak langsung merupakan akibat dari pembangunan diwilayah daratan dan aktifitas penduduk. Pertumbuhan penduduk telah menekan fungsi ekosistem melalui kebutuhan lahan dan penumpukan limbah, baik itu limbah industri maupun limbah domestik. Ditinjau dari parameter demografi, telah tejadi pertumbuhan jumlah penduduk dalam periode 1998 – 2004. Angka pertumbuhan penduduk di Jakarta Utara (2,2 % pertahun) ternyata lebih tinggi dari pertumbuhan penduduk DKI yang besarnya 2,09 % pertahun. Walaupun demikian, ternyata kapadatan penduduk di Jakarta Utara yang paling rendah bila dibandingkan dengan wilayah lainnya. Pada periode tersebut kepadatan penduduk Jakarta Utara tercatat sebesar 8.475 jiwa/km2. Bila dihubungkan dengan tingkat kepadatan penduduk yang relatif lebih rendah dengan kecederungan peningkatan proporsi jumlah penduduk Jakarta Utara dengan wilayah lainya yang relatif meningkat, terlihat adanya indikasi bahwa wilayah Jakarta Utara semakin diminati untuk menjadi wilayah tujuan bagi para pemigran. Hal ini dip erkuat dengan peningkatan proporsi jumlah migrasi ke Jakarta Utara yang pada tahun 1998 yang tercatat sebesar 7,35 % dari total migrasi ke Jakarta manjadi 17,25 % pada tahun 1999. Sebagaimana umumnya wilayah perkotaan, struktur mata pencaharian penduduk Jakarata Utara juga didominasi oleh industri, perdagangan dan jasa. Lebih dari separuh angkatan kerja di Jakarta Utara bekerja di sektor industri pengolahan (29 %), perdagangan (34 %), Jasa (18 %) serta pengangkutan dan komunikas i (10 %). Sektor pertanian dan perikanan merupakan sektor yang kecil kontribusinya dalam penyerapan tenaga kerja. Dalam kurun waktu 1998 – 2004, kontribusi penyerapan tenaga kerja pertanian turun dari 4 % menjadi 0,66 %. Struktur mata pencaharian penduduk ini sejalan dengan kontribusinya terhadap PDRB. Pada periode 1998 – 2004, PDRB Jakarta Utara didominasi oleh
92 industri pengolahan (51 %), perdagangan (15 %) serta pengangutan dan komunikasi (14 %). Pada periode yang sama kontribusi sektor pertanian ternyata menururn dari 0,35 % manjadi 0,27 %. Laju pertumbuhan penduduk di kotamadya Jakarta Utara menyiratkan adanya daya tarik bagi kaum migran untuk menetap di Jakarta Utara, sebagaimana halnya dengan di kota-kota lain. Pertumbuhan penduduk di Kotamadya Jakarta Utara tersebut dipicu oleh berbagai faktor diantaranya tumbuhnya berbagai peluang ekonomi disektor perdagangan, berkembangnya industri, pembangunan pemukiman baru diberbagai lokasi, serta adanya pola migrasi musiman nelayan. Pesatnya pertumbuhan bangunan perumahan penduduk membawa berbagai implikasi terhadap lingkungan, diantaranya terhadap konversi penggunaan lahan, meningkatnya konsumsi air, dan pencemaran lingkungan sebagai akibat bertambahnya limbah domestik. Dengan demikian maka kondisi perumahan menjadi salah satu faktor pemicu yang akan membawa dampak negatif terhadap mutu sumberdaya perikanan. Pergeseran ini memberikan indikasi bahwa aktiv itas pertanian dan perikanan yang sangat tergantung pada ketersediaan sumberdaya alam dinilai tidak lagi menguntungkan secara ekonomis, oleh karenanya terjadi peralihan tata guna lahan yang awalnya digunakan sebagai lahan pertanian dan budidaya perikanan (tambak) menjadi bangunan atau industri. Tingginya kontribusi sektor industri pengolahan terhadap kondisi ekonomi Kotamadya Jakarta Utara membawa berbagai implikasi terhadap lingkungan, diantaranya terhadap pencemaran lingkungan sebagai akibat bertambahnya limbah industri. Maka kondisi perekonomian menjadi salah satu faktor pemicu yang akan membawa dampak negatif terhadap mutu sumberdaya perikanan. Tingkat kekeruhan yang melampaui baku mutu tersebut diduga disebabkan oleh tingginya jumlah material terlarut berasal dari limbah domestik yang dibuang ke sungai dan terbawa sampai ke perairan. Tingkat kekeruhan yang tinggi akan mengganggu penetrasi sinar matahari kedalam air, sehingga proses fotosintesis dan respirasi akan terganggu yang dapat mengakibatkan pada penurunannya kadar oksigen terlarut dalam air. Kondisi ini pada gilirannya akan mengganggu terhadap potensi sumberdaya perikanan.
93 Dari hasil overlay pada uraian sebelumnya terlihat bahwa selama enam tahun kualitas perairan wilayah Teluk Jakarta sebagai wilayah sentral perairan Teluk Jakarta telah mengalami penurunan yang tajam. Hal inikian berarti pembangunan yang dilaksanakan selama masa tersebut di wilayah pesisir/pantai Teluk Jakarta tidak mampu mempertahankan atau memperbaiki kualitas perairan, bahkan sebaliknya terjadi dimana kualitas perairan menunjukkan kecenderungan menurun (memburuk). Dampak negatif tersebut dapat terjadi karena pembangunan di pesisir Teluk Jakarta lebih berorientasi pada kepentingan di daratan, di banding kepentingan di perairan. Maka pembangunan yang dilakukan adalah berupa reklamasi untuk dapat mendirikan bangunan, perluasan pelabuhan atau pantai wisata Ancol dan bukan untuk meningkatkan kualitas perairan. Pemusnahan tumbuhan pesisir yang sangat berpengaruh pada ekosistem perairan seperti bakau tidak terhindarkan dalam pembangunan yang berorientasi daratan tersebut. Padahal keberadaan vegetasi bakau tidak hanya penting bagi perkembangbiakan ikan, melainkan juga akan berpengaruh pada kandungan oksigen terlarut maupun pengendalian senyawa-senyawa kimia yang menentukan seperti ammonia, nitrat, nitrit, dan fosfat. Senyawa-senyawa nitrogen seperti amonia dan nitrat, serta senyawa fosfat memang merupakan zat hara yang diperlukan di perairan. Namun tidak adanya wilayah penyangga di pesisir/pantai seperti kawasan hutan bakau, membuat nutrien tersebut masuk secara intensif melalui badan air sungai hingga mencapai kadar yang lebih dari yang diperlukan. Pengkayaan secara berlebihan nutrien yang diperlukan oleh fitoplankton dapat menyebabkan eutropikasi yang menimbulkan blooming algae. Kematian ikan secara mendadak dalam jumlah besar yang kadang terjadi di Teluk Jakarta disebabkan oleh fenomena blooming algae tersebut. Dengan pembangunan pesisir yang tidak memperhitungkan kepentingan perairan tersebut, kemungkinan eutropikasi itu akan lebih sering terjadi. Gambaran tersebut diatas secara tidak langsung menggambarkan dampak dari pembangunan dan aktiv itas penduduk terhadap ekosistem pantai. Selain berdampak pada menurunnya kualitas ekosistem pantai, pembangunan juga belum berhasil mengangkat seluruh penduduk Jakarta Utara dari perangkap kemiskinan.
94 Berdasarkan data statistik, masih terdapat kantung-kantung kemiskinan di Jakarta Utara
yang pada umumnya tinggal di kawasan Kecamatan Penjaringan dan
Pademangan yang ter letak di sub kawasan barat dan Kecamatan Cilincing yang berlokasi di sub kawasan timur. Berbagai indikator di atas jika dimasukan kedalam kerangka DPSIR, maka veriabel yang dapat dikelompokkan kedalam
Driver (D) adalah :
pertumbuhan penduduk, kepadatan penduduk, pemukiman, dan perubahan mata pencaharian. Variabel ini secara sendiri-sendiri atau berinteraksi akan berdampak pada munculnya tekanan (pressure /P) terhadap ekosistem.
Penelitian ini
menemukan bahwa variabel-variabel driver diatas telah mendorong meningkatnya jumlah sampah dan polutan yang berdampak pada penurunan kualitas perairan dan ekosistem pantai. Variabel pendapatan perkapita dan perubahan tata guna lahan merupakan dampak (impact/I) dari variabel driver yang pada akhirnya mendorong (P) diperlukannya berbagai kebijakan yang dapat menahan penurunan kualitas perairan dan kondisi eksosistem. Keterkaitan berbagai variabel DPSIR tersebut dapat dilihat pada Tabel 23 berikut. Tabel 23 Hasil Analisis Perubahan Sosial Ekonomi Terhadap Sumberdaya Pantai Berdasarkan Kerangka DPSIR Issue
Jenis Indikator
Hasil analisis
Relevansi kebijakan
Driver
Pertumbuhan penduduk lebih tinggi dari pertumbuhan penduduk DKI
Kerentanan ↑ sejalan dengan jumlah penduduk ↑
Kepadatan Penduduk
Driver
Pemukiman
Driver
Kepadatan penduduk secara rata-rata lebih rendah dari wilayah lain. Jakarta Utara menarik pendatang untuk masuk Peningkatan kebutuhan akan pemukiman
Perlu dirancang berbagai program yang mendorong penciptaan tenaga kerja dan menekan migrasi penduduk Ketersediaan lapangan kerja
Kebutuhan akan lahan pemukiman, tekanan terhadap ekosistem
Kerentanan ↑ sejalan dengan kebutuhan lahan pemukiman
Industri
Driver
Kompetisi pemanfaatan lahan
Kerentanan ↑, sejalalan dengan perkembangan idustri
A. Sosial Pertumbuhan penduduk
Kebutuhan lahan untuk industri meningkat sejalan dengan meningkatkan aktifitas industri pengolahan di Jakarta Utara
Hubungan Fungsional terhadap kerentanan ekosistem
Kerentanan ↑ sejalan dengan keterbatasan lapangan kerja
95 Issue
Tingkat pendidikan
B. Ekonomi Perubahan mata pencaharian
Pendapatan perkapita
C. Lingkungan Perubahan tata guna lahan
Jenis Indikator
Hasil analisis
Relevansi kebijakan
Hubungan Fungsional terhadap kerentanan ekosistem
State
Rata-rata pendidikan masyarakat adalah SMP dan SLTA.
Pemahaman masayarakat tentang pentingnya ekosistem pantai
Kerentanan ↓ sejalan dengan meningkatnya rata-rata tingkat pendidikan
Driver
Perubahan proporsi dari sektor primer (perikanan) ke sektor sekunder (perdgngan) Pendapatan perkapita cederung meningkat dan dinominasi dari sektor insustri pengolahan, peradagangan, jasa serta angkutan dan komunikasi
Laju ubanisasi, modernisasi
Kerentanan ↑ sejalan dengan tidak abainya masyarakat terhadap sumberdaya pantai Kerentanan ↑ atau ↓ tergantung pada kebijakan lingkungan yang diimplementasikan
Pengurangan lahan produktif dan konservasi Jumlah sampah domestik dan industri yang dihasilkan cederng meningkat sejalan dengan meningkatnya kebutuhan akan pemukinan dan idustri Cukup memadai
Pengalokasian untuk produksi, proteksi dan spekulatif Penurunan kualitas air, jika sampah domestik dan industri tidak dikelola dengan baik
Kerentanan ↑ jika tidak ada diversifikasi penggunaan lahan Kerentanan ↑ sejalan dengan jumlah sampah dan polutant yang meningkat
Pembangunan berwawasan lingkungan
Kerentanan ↓ sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat
Rencana pembangunan yang berorientasi pada keberlanjutan Masyarakat dilibatkan dalam perencanaan pembangunan
Keseimbangan ekosistem wilayah utara dengan selatan
Pantai Utara Jakarta : meningkatkan dan melestarikan kualitas lingkungan, mempertahankan pemukiman nelayan, mengembangkan fungsi pelabuhan
Ekosistem pantai dan aktifitas ekonomi berbasis perikanan tetap berlangsung
Kerentanan ↓ jika kebijakan dilaksanakan dengan baik Kerentanan ↓ jika masyarakat dilibatkan dalam pembangunan pantai yang berkelanjutan Kerentanan ↑ atau ↓ tergantung dari kemampuan menjaga keseimbangan ekosistem
Pantai baru: reklamasi pantai untuk kegiatan jasa, perdagangan, pelabuhan dan pariwisata
Diperlukan analisis dampak reklamasi terhadap ekosistem pantai
Impact
Impact
Sampah dan polutant yang dihasilkan
Pressure
Kesadaran masyarakat
Impact
D. Kebijakan Rencana tata ruang
Response
Pembangunan melibatkan masyarakat
Response
Pewilayahan pembangunan
Response
Pentingnya dukungan kebijakan yang pro pada konservasi sumberdaya pantai, karena tingginya kontribusi industri akan berdampak pada kebutuhan lahan
Pembangunan yang berasal dari bawah (bottom up)
Kerentanan ↑ jika reklamasi tidak mamperhitungkan pentingnya konservasi
96 4.5 Kesimpulan Dengan membandingkan data tahun 2004 dengan data-data sebelumnya diketahui bahwa kualitas perairan di wilayah Teluk Jakarta (Wilayah Jakarta Utara) telah menurun tajam dan kurang memadai untuk perikanan. Pembangunan di kawasan pesisir yang hanya berorientasi pada kepentingan di daratan dan mengabaikan kepentingan perikanan di perairan berdampak negatif terhadap penurunan kualitas perairan tersebut, dalam aspek penurunan kualitas menyangkut kandungan senyawa-senyawa kimia yang berpengaruh pada kehidupan biota laut seperti oksigen terlarut, ammonia, nitrat, nitrit, dan fosfor.
Di samping itu,
pembangunan pesisir tidak mampu mencegah peningkatan pencemaran melalui aliran sungai dalam bentuk pencemaran PCB dan pestisida. Penurunan kualitas perairan dan ekosistem pantai tersebut merupakan dampak dari aktivitas pembangunan dan penduduk di Jakarta pada umumnya dan Jakarta
Utara pada
Khususnya.
Kontribusi
sektor
industri
pengolahan,
perdagangan, jasa serta pengangkutan dan komunikasi telah berdampak pada perubahan tata guna lahan yang makin menekan kondisi ekosistem pantai dan perairan. Oleh karenanya diperlukan berbagai upaya untuk menentukan batas optimal penggunaan lahan dan aktifitas ekonomi yang tidak berdampak buruk pada kondisi ekosistem pantai dan perairan. Berdasarkan optimalisasi tersebut dapat dirancang berbagai strategi yang berpihak pada konservasi dan keberlanjutan (sustainabilitas) sumberdaya perikanan.
5 OPTIMALISASI USAHA PERIKANAN DI TELUK JAKARTA
5.1 Pendahuluan Undang-undang Republik Indonesia nomor UU 32/2004 mengenai Otonomi Daerah, bahwa wilayah propinsi sebagaimana yang dimaksud, terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah lepas atau ke arah perairan kepulauan. Wilayah pesisir dan pulau dipandang dari segi pembangunan merupakan potensi sumberdaya yang dapat diperbaharui (pulih), terdiri atas : perikanan laut (tangkap, budidaya, dan pascapanen), hutan mangrove, terumbu karang, industri bioteknologi kelautan dan pulau-pulau kecil (Dahuri, 2001). UU No.32 Tahun 2004 menyatakan bahwa kewenangan daerah di wilayah laut sebagaimana di maksud pada pasal 3, meliputi: (1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut; (2) pengaturan kepentingan administrasi; (3) pengaturan tata ruang; (4) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; dan (5) bantuan penegak keamanan dan kedaulatan negara. Mengingat kegiatan pemanfaatan sumberdaya (produksi) ikan terkait dengan kelestarian sumberdaya perikanan, maka semua kebijakan yang ditetapkan mempertimbangkan keberadaan sumberdaya dalam jangka waktu yang relatif lama. Ketentuan umum Undang-Undang No.9 Tahun 1985 tentang perikanan menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan adalah semua upaya termasuk kebijakan dan non-kebijakan yang bertujuan agar sumberdaya ini dapat dimanfaatkan secara optimal dan berlangsung secara terus menerus. Konflik dalam pemanfaatan wilayah pantai terkait dengan kompetisi pemanfaatan sumberdaya yang langka disepanjang pantai untuk berbagai kepentingan. Kompetisi ini pada baberapa hal dapat menimbulkan tejadinya eksternalitas. Karena adanya kompetisi kepentingan maka merupakan tantangan tersendiri bagi pengambil kebijakan untuk dapat mengalokasikan lahan pantai dan sumberdaya lainnya yang relevan secara optimal. Dalam kaitannya dengan alokasi
98 pemanfaatan sumberdaya, isu-isu penting yang muncul adalah: tipe lahan apa yang dapat dimanfaatkan, berapa besarnya sumberdaya yang dialokasikan untuk kepentingan tersebut serta pada aktivitas apa sumberdaya tersebut harus dialokasikan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sebenarnya merupakan masalah ekonomi ketimbang masalah teknis, yaitu mencari alternatif yang memberikan ”trade off” yang terbaik untuk diterapkan. Dalam pengertian praktis, alokasi tersebut tidak hanya terkait dengan masalah ekonomi tetapi juga faktor nonekonomi seperti karakteristik fisik, preferensi sosial, kebijakan dan skema pengelolaan. Masalah alokasi sumberdaya pantai juga dihadapi oleh Pemerintah daerah DKI Jakarta.
Dalam konteks ini, alokasi sumberdaya pantai Teluk Jakarta
dihadapkan pada empat kepentingan utama, yaitu: industri, pariwisata, konservasi dan budidaya perikanan itu sendiri. Dari segi alokasi lahan, telah terjadi perubahan-perubahan yang cukup mendasar, yaitu meluasnya lahan untuk kepentingan industri dan perumahan (termasuk didalamnya fasilitas pelabuhan) serta berkurangya alokasi lahan untuk pertanian dan reservoir. Perubahan ini memberikan dampak positif maupun negatif sekaligus. Dampak positifnya adalah berkembangnya aktiv itas ekonomi sebagaimana ditunjukkan dengan pertumbuhan PDRB, sementara dampak negatifnya adalah timbulnya tekanan terhadap kualitas lingkungan sumberdaya pantai dan perikanan. Hasil analisis GIS sebagaimana telah dibahas pada bab terdahulu menunjukkan dampak pada menurunnya kualitas perairan di Teluk Jakarta yang pada akhirnya akan mempengaruhi usaha perikanan. Berangkat dari menurunnya kualitas perairan, serta pentingnya menjaga kesejahteraan masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari usaha perikanan, maka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan saat ini diharapkan mampu memberikan solusi bagi pengelolaan perairan Teluk Jakarta yang berkelanjutan. Tekanan terhadap ekosistem pantai dan perikanan yang merupakan efek eksternalitas dari aktiv itas pembangunan dan ekonomi, jika tidak ditangani dengan baik akan berdampak pada rusaknya sumberdaya itu sendiri. Lebih lanjut, kurang
memadainya
peraturan
konservasi
dan
pemanfaatan
sumberdaya
99 menimbulkan terjadinya konflik penggunaan sumberdaya (Hossain dan Lin, 2001). Mengingat dampak yang dapat ditimbulkannya, evaluasi terhadap kondisi eksisting sumberdaya pantai Teluk Jakarta merupakan suatu langkah yang strategis. Salah satu upaya yang dipandang dapat menurunkan potensi konflik pemanfaatan sumberdaya serta sekaligus menurunkan tekanan terhadap ekosistem pantai adalah melalui zonasi sumberdaya itu sendiri. Penelitian ini memfokuskan pada optimalisasi zonasi sumberdaya pantai Teluk Jakarta untuk usaha perikanan. Secara spesifik masalah yang teridentifikasi dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pantai Teluk Jakarta adalah bagaimana kondisi optimal usaha perikanan di Teluk Jakarta ?
5.2 Metodologi Penelitian 5.2.1 Model optimalisasi perikanan Dalam pemafaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan, maka optimalisasi pemanfaatan diharapkan dapat menjamin tercapainya tujuan tersebut diatas. Melalui optimalisasi usaha perikanan maka akan diperoleh jumlah optimum armada penangkapan yang tidak akan mengganggu keseimbangan biologis sumberdaya ikan. Optimalisasi sumberdaya tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan teknik Mathematical Programming. Bentuk umum dari mathematical programming
(MP) terdiri dari:
maksimisasi atau minimisasi fungsi tujuan, f(x), yang merupakan fungsi dari pengambilan keputusan satu set variabel x dengan memperhatikan faktor kendala g(x). Secara umum fungsi tersebut digambarkan sebagai berikut: Optimalisasi
f(x) ................................................................................(5.1)
Kendala
g(x) ∈s 1
........................................................................................................
(5.2)
x ∈s 2 ......................................................................................................... (5.3) Bersadarkan persamaan tersebut, kondisi optimal yang harus dipilih berada pada titik “pareto optimal” yang merupakan suatu kondisi yang dapat diambil tanpa mengurangi kondisi yang lain.
100 Kelemahan yang harus diperhatikan pada saat menggunakan MP menurut Dykstra (1984) antara lain: model dapat diformulasikan sedemikian abstrak sehingga model tersebut jauh dari realitas sesungguhnya, atau diformulasikan tidak terlalu abstrak tetapi tidak terlalu rinci sehingga tidak memberikan efek nyata dalam pengambilan keputusan. Lebih lanjut, model dapat dibangun dengan agak kasar karena keterbatasan data, kurangnya pemahaman atau kuantitatifikasi yang kurang memadai. Goal programming (GP) digunakan untuk menyelesaikan masalah optimalisasi dimana tujuan lebih dari satu (multiple). Karakteristik utama dari GP adalah tidak adanya decision variable dalam fungs i tujuan tetapi digantikan oleh deviation variable. Model GP dapat diformulasikan dengan cara merangking atau menimbang tujuan. Model umum dari GP adalah: Minimumkan Z =
∑ (d
i∈m n
Kendala
∑a j =1
ij
+ i
+ d i− ) ........................................................
(5.4)
X j − d i+ + d i− untuk i = 1, 2, ..., m; dan j = 1,2, ..., n
+ − di , di , x j ≥ 0
dan d i+ , d i− = 0 untuk model GP linear
dimana: + d i = positif deviasi dari pencapaian tujuan berlebih (overachievment) I ; − d i = deviasi negatif dari pencapaian tujuan kurang (underachievement) I.
Tahapan dalam memformulasikan GP adalah sebagai berikut: 1) tentukan variabel pengambilan keputusan, 2) tentukan tujuan dan bentuk tujuannya (tujuan satu arah atau dua arah) dan targetnya, 3) tentukan prioritas preventive, 4) tentukan penimbang relatif, 5) tentukan fungsi minimisasi tujuan, 6) tentukan syarat pelengkap seperti koefisien teknis dan non negativity. Beberapa contoh penerapan MP. 1)
Arrenda E, et al. (1996) menerapkan model LP untuk mencari solusi optimum jumlah ikan yang dapat ditangani dalam setiap tahapan proses produksi (mulai dari penangkapan hingga ke penjualan) dan jumlah kayu yang dapat diproduksi. Model ini digunakan di sektor perikanan dan kehutanan. Fungsi tujuan dari model tersebut adalah memaksimumkan net benefit dari kedua sektor tersebut. Dari segi pendapatan adalah sektor ekonomi
(perikanan
atau
kehutanan),
tipe
pasar
(domestik
atau
101 internasional) dan produk akhir dari kedua sektor tersebut. Variabel yang diperhitungkan antara lain: skala operasi (besar atau kecil), teknologi yang digunakan (capital atau labor intensive), alat tangkap atau metode yang digunakan, sumberdaya yang digunakan, dan aktivitas atau tahap produksi untuk menghasilkan produk akhir. 2)
Penggunaan lahan untuk mangrove di Guaya Equador yang dilakukan oleh Bell dan Cruz-Trinidad (1996). Fungsi tujuan adalah memaksimumkan net social benefits (NSB) berdasarkan pendekatan Total Economic Value (TEV). NSB diturunkan dari kombinasi optimal pemanfaatan lahan antara konversi hutan mangrove untuk tambak udang dengan eksploitasi berkelanjutan hutan mangrove itu sendiri.
3)
Chang, et al. (1995) menggunakan multiple objective problem untuk melakukan optimalisasi penggunaan lahan di daerah aliran sungai TwengWan, Taiwan. Enam decision variables digunakan dalam model ini yaitu: area konservasi hutan, pertanian, pemukiman, hijauan ternak, rekreasi dan (stock farming) dan enam fungsi tujuan. Tujuan adalah memaksimumkan manfaat ekonomi dan meminimumkan polusi air dari konteks kandungan fosfat (P), nitrogen (N), biological oxygen demand (BOD), dan sedimen.
5.2.2 Analisis data Tujuan yang ingin dicapai dalam optimalisasi usaha perikanan adalah: (a) memaksimumkan pendapatan nelayan; (b) memaksimumkan jumlah hari kerja; dan (c) pemanfaatan sumberdaya perikanan yang lestari (kelompok ikan demersal dan pelagis). Pendapatan maksimum diperoleh dari hasil analisis linear programming (LP). Formulasi model LP yang dibangun adalah 6
∑C
Max Z =
j =1
j
X j ……………………………………………………(5.5)
untuk j = 5 aktivitas ekonomi masyarakat dengan syarat ikatan: 5
∑a j =1
ij
X ij ⊆bi ............................................................................ (5.6)
untuk i = ...... kendala yang dipertimbangkan.
102 dan X ij ≥ 0 (kendala non negatif), dimana Cij = pendapatan bersih yang diperoleh masing-masing alat tangkap (Rp) Xi = Alat jaring insang (X1), payang (X2), pancing (X3), dan Bubu (X4) aij = Koefisien alat tangkap pada setiap jenis kendala bi = Konstanta atau nilai sebelah kanan (Right Hand Side, RHS) Perumusan model ekonomi sumberdaya pesisir di Teluk Jakarta dapat diuraikan sebagai berikut. A. Penetapan Tujuan Penetapan tujuan pengelolaan sumberdaya pesisir dinyatakan sebagai suatu target yang direpresentasikan secara numerik dan dicoba untuk dipacu. Mengingat model melibatkan beberapa tujuan yang berbeda, maka solusi yang ingin dicapai adalah meminimalkan deviasi tujuan pengelolaan sumberdaya pesisir terhadap masing-masing targetnya. Nilai deviasi terdiri atas deviasi underachievment (DU, tanda negatif) dan deviasi overachievement (DO, tanda positif). Apabila diperoleh nilai variable DU berarti tujuan yang diinginkan dari pengelolaan sumberdaya pesisir di Teluk Jakarta tidak tercapai sebesar nilai deviasi. Sebaliknya, jika DO memiliki nilai, berarti tujuan yang diinginkan terlampaui (melebihi target) sebesar nilai tersebut. Apabila nilai deviasi sama dengan nol, berarti target pengelolaan sumberdaya pesisir Teluk Jakarta tercapai. 1) Fungsi tujuan memaksimumkan pendapatan nelayan. Pencapaian target pendapatan maksimum nelayan diperoleh dari alokasi unit penangkapan alat jaring insang (X1), payang (X2), pancing (X3), dan Bubu (X4) : π1X1 + π2X2 + π3 X3 + π4 X4 + DU1 – DO1 = π ............................(5.7) Dimana : DU1 = target pendapatan maksimum yang tidak tercapai (Rp.) DO1 = target pendapatan maksimum yang berlebih (Rp.) π1
=
π2
= pendapatan
bersih nelayan dari alat tangkap payang (Rp./unit)
π3
= pendapatan
bersih nelayan dari alat tangkap pancing (Rp./unit)
pendapatan bersih nelayan dari alat tangkap jaring insang (Rp./unit)
103 π4
= pendapatan
π
=
bersih nelayan dari alat tangkap bubu(Rp./unit)
target pendapatan bersih yang diperoleh nelayan (Rp.)
2) Memaksimumkan jumlah hari kerja (HOK) Memaksimumkan jumlah hari kerja adalah terget penyerapan tenaga kerja yang tersedia bagi usaha perikanan tangkap (satuan HOK). Penilaian didasarkan atas rata-rata trip penangkapan ikan pertahun dikalikan dengan jumlah tenaga kerja pada usaha perikanan tangkap (tenaga kerja adalah memakai masukan jumlah tenaga kerja /L). Penilaiannya didasarkan atas potensi lapangan kerja untuk setiap aktivitas ekonomi dengan model persamaannya dirumuskan sebagai berikut: l 1X1 + l 2X2 + l 3X3 + l 4X4 + DU2 – DO2 = L .....................................(5.8) dimana: DU2 = target penyerapan tanaga kerja tidak tercapai (orang) DO2 = target penyerapan tanaga kerja berlebih (orang)
3)
l1
= jumlah tenaga kerja untuk alat tangkap jaring insang(orang)
l2
= jumlah tenaga kerja untuk alat tangkap payang (orang)
l3
= jumlah tenaga kerja untuk alat tangkap pancing (orang)
l4
= jumlah tenaga kerja untuk alat tangkap bubu (orang)
L
= target jumlah tenaga kerja yang tersedia (orang)
Pemenuhan permintaan ekspor ikan (E) merupakan kebijakan pemerintah DKI dalam memenuhi permintaan ikan dari negara importir. Model persamaannya dapat dirumuskan e1 X1 + e2 X2 + e3 X3 + e4 X4 + DU3 – DO3 = E .......................................... (5.9) Dimana: DU3 = Target permintaan ekspor ikan yang tidak tercapai (ton) DO3 = Target permintaan ekspor ikan yang berlebih e1
= Hasil tangkapan ikan yang dijual dari alat tangkap jaring insang (ton)
104 e2
= Hasil tangkapan ikan yang dijual dari alat tangkap payang (ton)
e3
= Hasil tangkapan ikan yang dijual dari alat tangkap pancing (ton)
e4
= Hasil tangkapan ikan yang dijual dari alat tangkap bubu (ton)
E
= Target ekspor ikan (ton)
4)
Pemenuhan kebutuhan konsumsi ikan domestik/konsumsi (C) juga merupakan salah satu target pemerintah DKI dalam pemenuhan kebutuhan protein yang bersumber dari perikanan tangkap berupa konsumsi ikan segar dan produk ikan olahan. Nilai target diperoleh dari konsumsi ikan perkapita pertahun 22,91 kg dikalikan dengan jumlah penduduk DKI yang mengkonsumsi ikan dari perikanan tangkap, sehingga total konsumsi ikan pertahun 27.096,77 ton. Model persamaannya dapat dirumuskan: c 1 X1 + c 2 X2 + c 3 X3 + c 4 X4 + DU4 – DO4 = C ..........................................(5.10) Dimana: DU4 = Target pemenuhan kebutuhan ikan domestik yang tidak tercapai (ton) DO4 = Target Target pemenuhan kebutuhan ikan domestik ikan yang berlebih e1
= Jumlah ikan yang dikonsumsi dari tangkapan jaring insang (ton)
e2
= Jumlah ikan yang dikonsumsi dari tangkapan payang (ton)
e3
= Jumlah ikan yang dikonsumsi dari tangkapan pancing (ton)
e4
= Jumlah ikan yang dikonsumsi dari tangkapan bubu (ton)
C
= Target konsumsi ikan domestik (ton)
5) Meminimumkan deviasi pemanfaatan maksimum sumberdaya perikanan tangkap merupakan indikator keberlanjutan potensi sumberdaya perikanan (MSY) dimana hasil tangkapan maksimum oleh nelayan tidak melebihi nilai MSY, Model persamaannya dapat dirumuskan: qp1 X1 + qp2 X2 + qp3 X3 + DU5 – DO5 = QP ................................ (5.11) qd4 X4 + DU6 – DO6 = QD ................................................................. (5.12)
105 dimana : DU5 = target pemanfaatan ikan pelagis yang tidak tercapai (ton) DO5 = target pemanfaatan ikan pelagis yang berlebih (ton) DU6 = target pemanfaatan ikan demersal yang tidak tercapai (ton) DO6 = target pemanfaatan ikan demersal yang berlebih (ton) qp1 = hasil tangkapan ikan pelagis dari jaring insang (ton/unit) qp2 = hasil tangkapan ikan pelagis dari payang (ton/unit) qp3 = hasil tangkapan ikan pelagis dari pancing (ton/unit) qp4 = hasil tangkapan ikan demersal dari bubu (ton/unit) QP = target tangkapan ikan pelagis (MSY) (ton) QD = target tangkapan ikan demersal (MSY) (ton)
B
Penetapan Kendala Fungsional Kendala fungsional yaitu kendala yang menjadi pembatas dalam upaya
pencapaian tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan di Teluk Jakarta. Kendala fungsional yang dibangun adalah : 1) Kendala effort optimum (Eopt) merupakan batas maksimum upaya penangkapan ikan. Model persamaannya dapat dirumuskan: up1 X1 + up2 X2 + up3X3 = UP ………………………………….
(5.13)
ud4 X4 = UD ………………………………………………………. (5.14) dimana up1 = effort ikan pelagis dari jaring insang (trip/unit) up2 = effort ikan pelagis dari payang (trip/unit) up3 = effort ikan pelagis dari pancing (trip/unit) ud4 = effort ikan demersal dari bubu (trip/unit) UP = effort optimum ikan pelagis (trip) UD = effort optimum ikan demersal (trip) 2) Kendala ketersediaan bahan bakar (solar/bensin) merupakan jumlah maksimum solar dan bensin yang tersedia guna menunjang operasional kegiatan melaut nelayan. Ketersediaan bahan bakar diperoleh dengan mengalihkan rata-rata penggunaan bahan bakar, jumlah trip serta jumlah
106 usaha
penangkapan
yang
menggunakan
solar/bensin.
Model
persamaannya dapat dirumuskan: bb1 X1 + bb2 X2 + bb3 X3 + bb4 X4 = BB ......................................... (5.15) dimana : bb1 = bahan bakar yang dipakai pada pengoperasian jaring insang (liter/unit) bb2 = bahan bakar yang dipakai dari pengoperasian payang (liter/unit) bb3 = bahan bakar yang dipakai dari pengoperasian pancing (liter/unit) bb4 = bahan bakar yang dipakai dari pengoperasian bubu (liter/unit) BB = ketersediaan bahan bakar bagi nelayan (liter) 3)
Kendala ketersediaan umpan merupakan jumlah maksimum umpan yang tersedia guna menunjang kegiatan operasional melaut nelayan. Diperoleh dari hasil perkalian antara persentase (1 %) penggunaan umpan per trip dari unit usaha pancing dengan total jumlah tangkapan udang rata-rata per tahun. Model persamaannya dapat dirumuskan: um4 X4 = UM ......................................................................................(5.16) dimana : um4 = jumlah umpan yang digunakan untuk alat tangkap pancing (kg/unit) UM = Jumlah umpan yang tersedia (kg)
4)
Kendala luasan perairan utuk aktivitas perikanan. Potensi ikan yang berada di perairan teluk Jakarta dipengaruhi oleh kualitas perairan itu sendiri. Hasil anlisis dengan menggunakan GIS, diketahui telah terjadinya penurunan luas perairan yang kondisinya baik untuk aktivitas perikanan dari
36.256.4 hektar menjadi 23.993.2 hektar. Sebagai akibat dari
penurunan luasan ini berdampak pula pada penurunan potensi ikan sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi jumlah alat tangkap yang dapat dioperasikan di perairan teluk Jakarta. Oleh karena itu, luas perairan yang cocok untuk perikanan dimasukan sebagai kendala.
107 Model persamaannya dapat dirumuskan: op1X1 + op2X2 + op3X3 + op4 X4 = OP ...............................................(5.17) dimana: op1 = luas daerah operasi jaring insang (hektar) op2 = luas daerah operasi payang (hektar) op3 = luas daerah operasi pancing (hektar) op4 = luas daerah operasi bubu (hektar) OP = Luas daerah perairan yang cocok untuk perikanan (hektar) 5)
Kendala non negatif π1, π2, π3, π4, π, l 1, l 2, l 3 ,l 4, L,qp1 , qp2, qp3, qd4, QP, QD, e1, e2, e3, e4, E, c 1, c 2, c3, c 4, C, bb1, bb2, bb3, bb4, BB, up1 , up2 , up3, ud4, UP, UD, um4, UM op1, op2, op3, op4 , OP, = 0 ………………….....................……...... (5.18)
C
Fungsi Tujuan Berdasarkan kendala tujuan yang telah diuraikan, maka fungsi tujuan model
ekonomi perikanan yang berkelanjutan di Teluk Jakarta, dapat dirumuskan sebagai berikut: Min Z = DU1 + DU2 + DU3 + DO4 + DU5 + DO6 ...........................(5.19) Persamaan diatas menyatakan peminimuman deviasi target pengelolaan sumberdaya perikanan di Teluk Jakarta. Fungsi tujuan model ekonomi ini tidak memberikan bobot dan prioritas khusus pada tujuan yang ingin dicapai. Hal ini disebabkan karena keterbatasan informasi dalam memberikan ukuran dan besaran bobot serta prioritas tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan.
D
Analisis Surplus Produksi Metoda analisis surplus produksi digunakan untuk mengestimasi potensi
sumberdaya perikanan tangkap di Teluk Jakarta. Dalam analisis tersebut digunakan beberapa asumsi, yaitu: 1)
Jenis ikan yang ditangkap dianggap sebagai satu unit biomasa, sehingga walaupun tidak sama dalam satu unit biologis atau unit genetik namun
108 memiliki pola pertumbuhan, laju mortalitas dan ditangkap di daerah serta menggunakan alat tangkap yang sama. 2)
Stok hanya merespons upaya tangkap, sehingga parameter lain tidak dimasukkan dalam pendugaan stok ikan (Sparre dan Venema, 1999).
3)
Seluruh ikan yang masuk ke TPI Muara Angke, Muara Baru, Kamal Muara, Kali Baru, dan Cilincing merupakan hasil tangkapan dari Teluk Jakarta dengan batasan 12 mil dari garis pantai.
4) Teknologi yang digunakan dalam penangkapan ikan diasumsikan tidak mengalami perubahan pada kurun waktu 1998- 2005. Penggunaan metoda analisis surplus produksi didasarkan pada tipe sarana penangkapan ikan yang heterogen, misalnya ukuran kapal, kekuatan mesin, alat tangkap dan peralatan pendukung. Kombinasi sarana penangkapan ikan yang digunakan tersebut berdampak pada perbedaan stok dan hasil tangkapan ikan. Untuk itu diperlukan standarisasi upaya penangkapan ikan (effort) dari berbagai jenis alat tangkap kedalam satu unit baku.
D.1 Standarisasi Effort Unit effort sejumlah armada penangkapan ikan dengan alat tangkap dan waktu tertentu dikonversi ke dalam satuan ”boat –day” (trip). Pertimbangan yang digunakan adalah: (1) respon stock terhadapat alat tangkap standar akan menentukan status sumberdaya selanjutnya berdampak pada status perikanan alat tangkap lain, (2) total hasil tangkap ikan per-unit effort alat tangkap standar lebih dominan dibanding alat tangkap lain, dan (3) daerah penangkapan alat tangkap standar meliputi dan atau berhubungan dengan daerah penangkapan alat tangkap lain. Prosedur standarisasi alat tangkap kedalam satuan baku unit alat tangkap standar, dapat dilakukan sebagai berikut: 1) Alat tangkap standar yang digunakan mempunyai CPUE terbesar dan memiliki nilai faktor daya tangkap (fishing power index, FPI) sama dengan 1. Nilai FPI dapat diperoleh melalui persamaan (Gulland, 1983) : CPUE r =
Catchr Effort r
,= 1,2,3, ............. P (alat tangkap yang distandarisasi).....................................................(5.20)
109 CPUE s=
Catchs Effort s
FPIi =
CPUE r ,= 1,2,3, ............. P(alat tangkap yang CPUE s distandarisasi) ...................................................(5.22)
,= 1,2,3, ............. Q (alat tangkap standar).........(5.21)
dimana: CPUE r = total hasil tangkapan (catch) per upaya tangkap (effort) dari alat tangkap r yang akan distandarisasi (ton/trip) CPUE s = total hasil tangkapan (catch) per upaya tangkap (effort) dari alat tangkap s yang dijadikan standar (ton/trip). FPIi
= Fishing power index dari alat tangkap i (yang distandarisasi dan alat tangkap standar)
2)
Nilai FPIi digunakan untuk menghitung total upaya standar, yakni : l
E =
∑ FPI E i =1
i
l
……………………………………………………..........(5.23)
dimana : E = total effort atau jumlah upaya tangkap dari alat tangkap yang distandarisasi dan alat tangkap standar (trip) Ei = effort dari alat tangkap yang distandarisasi dan alat tangkap standar (trip)
D.2
Maximum Sustainable Yield (MSY) Estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap didasarkan atas jumlah
hasil tangkapan ikan yang didaratkan pada suatu wilayah dan variasi alat tangkap per trip. Prosedur estimasi dilakukan dengan cara (Sparre dan Venema, 1999): 1) Menghitung hasil tangkapan per upaya tangkap (CPUE), melalui persamaan: CPUE n =
Catchn ,= tahun1,2,3, .............M .................................(5.24) En
dimana: CPUE n =
total hasil tangkapan per upaya penangkapan yang telah distandarisasi dalam tahun n (ton/trip)
110 Catchn = En
total hasil tangkapan dari seluruh alat dalam tahun n (ton)
= total effort atau jumlah upaya tangkap dari alat tangkap yang distandarisasi dengan alat tangkap standar dalam tahun n (trip)
2) Melakukan estimasi parameter alat tangkap standar dengan menggunakan model Schaefer berikut: CPUE n = a-ßEn atau Catchn = ßEn - ßEn2 ......................................(5.25) dimana: CPUE n = total hasil tangkapan per upaya setelah distandarisasi pada tahun n (ton/trip) En
= total effort standar pada tahun n (trip/tahun)
a dan ß = konstanta dan koefisien parameter dari model schaefer persamaan dihitung dengan menggunakan metode regresi linear sederhana (Ordinary Least Square, OLS) 3)
Melakukan
estimasi
effort
optimum
pada
kondisi
keseimbangan
(equilibrium state), digunakan persamaan: Eopn = ½ (a/ß) ......................................................................................(5.26) 4)
Melakukan estimasi Maximum Sustainable Yield (MSY) sebagai indikator potensi sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan (lestari) melalui persamaan: MSY = ¼ (a2/ß) ....................................................................................(5.27) Nilai effort optimum dan MSY yang diperoleh selanjutnya dimasukkan
sebagai kendala tujuan dalam model ekonomi sumberdaya perikanan tangkap (model dasar LGP). Dengan demikian, secara biologi pengelolaan perikanan menunjukan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap
yang
berkelanjutan. Namun secara ekonomi, pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap belum sepenuhnya menunjukan optimal, oleh karena diperlukan kendala Maximum Economic Yield (MEY) dalam model.
Catch2005 x100
111 Untuk
mengetahui
tingkat
En
pemanfaatan
sumberdaya perikanan tangkap, maka hasil tangkapan ikan tahun 2004 dibandingkan dengan nilai MSY. Persamaan yang digunakan adalah: % pemanfaatan tahun 2004 = .................(5.28) dimana: Catch2004 = total hasil tangkapan ikan pada tahun 2004 MSY = hasil tangkapan maksimum lestari (ton) D.3 Linear Goal Programming(LGP) Untuk
mengetahui
besarnya
pemanfaatan
dan
pencapaian
tujuan
pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang optimal digunakan metode analisis LGP. Teknik-teknik solusi untuk mencari nilai-nilai optimum disesuaikan dengan struktur dan ciri-cir i dasar model yang diformulasikan. Solusi yang diperoleh dari metode analisis LGP diperbandingkan baik kriteria biologi maupun ekonomi. Pengelolaan data penelitian dilakukan dengan menggunakan program komputer LINDO. Hasil yang diperoleh dari analisis LGP ini diasumsikan sebagai solusi optimal hasil. Solusi optimal hasil dimaksudkan untuk mengetahui tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap oleh nelayan berdasarkan potensi sumberdaya wilayah, berlangsung secara alami (sesuai kondisi riil), tanpa campur tangan pemerintah dan swasta. Kondisi sumberdaya aktual nelayan tercermin dari aspek ketersediaan sumberdaya modal sepenuhnya berasal dari nelayan sendiri atau sumber lain (non pemerintah dan non swasta formal). Aspek kelestarian sumberdaya, pemenuhan kebutuhan ikan dan kesempatan kerja bagi masyarakat lokal berlangsung secara alami dalam masyarakat nelayan. Dasar pertimbangan adalah bahwa setiap orang bebas keluar masuk menggunakan sumberdaya perikanan dan belum adanya campur tangan pihak lain yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam ketersediaan sumberdaya.
5.3 Hasil Penelitian 5.3.1 Upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di Teluk Jakarta Penelitian ini memfokuskan pada potensi sumberdaya ikan di perairan Teluk Jakarta pada batasan kurang dari 12 mil dari garis pantai. Pada perairan dengan luasan ini, sumberdaya perikanan tangkap dapat dik elompokkan menjadi
112 ikan pelagis (antara lain: kakap merah, kembung, kuwe, tembang , tenggiri, Bawal, Teri, Manyung, dan Layur) dan ikan demersal (rajungan, kepiting, sotong, cumi dan udang). Ikan-ikan dari kedua kelompok tersebut merupakan jenis ikan dengan produksi yang dominan di perairan teluk Jakarta. Berdasarkan data pada Tabel 24 dan 25, ternyata ikan layur merupakan jenis ikan pelagis yang paling banyak dihasilkan di perairan Teluk Jakarta. Sementara untuk ikan demersal, cumi merupakan hasil yang dominan. Tabel 24 Perkembangan produksi ikan pelagis di pantai utara Jakarta (ton) Tahun 1997 1998 1999
Kakap Merah 783.8 1,575.9 242.0
2000 2001 2002 2003 2004 Rataan
740.8 1,760.8 242.4 295.3 198.5 659.6
Kembung Kuwe
Tembang
Tenggiri
Bawal
Teri
Manyung
Layur
Jumlah
227.0 137.2 0.4
2,169.2 640.6 1,007.8
205.5 2,192.7 403.1
2,207.5 2,001.8 3,161.3
323.3 686.8 337.0
1,977.0 924.6 10,469.4
2,511.2 980.5 792.3
33,869.0 45,968.0 47,499.0
44,273.4 55,108.1 63,912.3
170.0 658.7 0.7 0.4 0.5 132.8
994.1 844.5 122.5 118.2 101.8 772.6
54.0 607.5 608.5 543.3 299.2 589.7
1,936.5 1,245.9 1,378.5 1,550.5 1,955.9 1,943.3
155.3 166.4 393.6 503.6 402.4 343.5
36,735.0 19,618.0 26,017.0 24,520.0 49,311.0 26,096.1
323.3 933.5 1,551.6 1,238.3 1,136.9 1,360.4
13,845.0 5,612.0 4,539.0 1,256.0 30,711.0 35,975.9
54,954.0 31,447.3 34,853.8 30,025.8 84,117.3 67,873.8
Tabel 25 Perkembangan produksi ikan demersal di pantai utara Jakarta (ton) Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Rataan
Rajungan 1529.60 210.00 308.20 318.00 279.30
Kepiting Sotong 242.00 300.00 170.10 619.00 496.50 866.40 826.00 80.00 864.40 110.00 636.20 81.33
553.28
Cumi 741.70 2458.40 3007.50 1543.30 2640.50 3378.30 4246.60
Udang 2058.00 977.20 1457.10 1255.30 344.20 379.70 6379.40 2987.90
Total 3829.60 2399.00 4534.50 4759.30 2753.90 3846.20 11010.30 8298.70
2545.61
2464.71
5924.23
Jelas ikan tersebut ditangkap dengan alat tangkap yang berbeda. Jenis ikan pelagis banyak ditangkap oleh nelayan dengan menggunakan alat tangkap jaring insang, payang dan pancing, sementara ikan demersal ditangkap dengan menggunakan bubu. Dari keempat alat tangkap tersebut, tenyata bubu merupakan alat tangkap yang paling banyak digunakan oleh nelayan (Tabel 26). Kecuali nelayan pancing, pada umumnya nelayan yang beroperasi di perairan teluk jakarta menangkap ikan dalam waktu satu hari, sehingga dalam satu tahun mereka dapat
113 melaut sebanyak 270 trip. Nelayan pancing membutuhkan waktu 7 hari untuk setiap kali melaut, sehingga dalam satu tahun nelayan pancing dapat melaut sebanyak 48 trip. Karena berbeda alat tangkap ini maka dilakukan standarisasi alat tangkap dengan menggunakan fishing power index (FPI). Hasil standarisasi alat tangkap ini dapat dilihat pada Tabel Lampiran. Data-data tersebut diatas dipergunakan untuk mengestimasi kondisi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Teluk Jakarta. Tabel 26 Jumlah alat tangkap di Pantai Jakarta Utara Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Payang (unit) 517 517 474 505 505 507 424 424
Jaring Insang (unit) 496 827 677 310 310 287 396 396
Bagan Tancap (unit) 128 177 136
Pancing (unit) 576 587 796 749 749 945 1.304 1.152
Bubu (unit) 5.410 6.230 5.374 5.517 5.561 5.478 7.557 6.893
Estimasi potensi sumberdaya ikan dilakukan dengan cara menganalisis data total hasil tangkapan untuk kelompok ikan pelagis dan demersal serta upaya penangkapan dari beberapa jenis alat tangkap. Hasil yang diperoleh dari estimasi merupakan jumlah tangkapan ikan maksimum yang diperbolehkan
agar
ketersediaan perikanan tangkap tetap lestari (berkelanjutan/MSY). Hasil yang diperoleh dari estimasi merupakan jumlah tangkapan ikan maksimum yang diperbolehkan agar ketersediaan perikanan tangkap tetap lestari (Tabel 27). Berdasarkan Tabel 27, produksi lestari (MSY) ikan pelagis di Teluk Jakarta adalah 31,871.32 ton pertahun. Hingga tahun 2004, pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis dari perairan ini mencapai 51,334.60 ton, data ini menunjukan telah terjadi over fishing karena tingkat pemanfaatan mencapai 160.07 % dari produksi lestari.
Tabel 27 Effort Optimum dan MSY di perairan Teluk Jakarta
114 Kelompok ikan Pelagis Demersal
a
ß
8.117120327 0.6533
0.000516825525 0.00004190114
Eopt = a/2ß (trip)
MSY = a2/4ß (ton)
7,852.86 7795.29
31,871.32 2546.19
Keterangan: CPUE = a + ßE, a = kanstanta, ß koefisien regresi dari effort Eopt = effort optimum (trip) MSY = Maximum Sustainable Yield (ton) Hasil analisis potensi lestari untuk ikan demersal diperoleh nilai MSY sebesar 2546.19 ton per tahun, sementara tingkat pemanfaatannya pada tahun 2004 tercatat sebesar 2,350.20 ton atau hanya 80.20 % dari produksi lestarinya (Tabel 28). Tabel 28 Tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di Teluk Jakarta Kelompok ikan Pelagis Demersal
MSY (ton)
C2004 (ton)
31,871.32 2546.19
51,334.60 2,350.20
C2004 Keterangan terhadap MSY (%) 161.07 Overfishing 80.20 Underfishing
Dengan demikian maka sumberdaya perikanan di Teluk Jakarta untuk ikan pelagis telah terjadi overfishing, sementara sumberdaya ikan masih underfishing.
5.3.2 Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap Optimalisasi pemanfatan sumberdaya perikanan tangkap ditujukan untuk mengetahui alokasi jumlah penggunaan alat tangkap dan penggunaan sumberdaya yang tersedia dalam rangka menghasilkan pendapatan yang setinggi-tingginya tanpa merusak kelestarian sumberdaya ikan itu sendiri. Solusi optimal untuk penggunaan alat tangkap dan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di Teluk Jakarta yang tersedia menghasilkan pendapatan optimal sebesar Rp.156.219,1 juta pertahun untuk seluruh nelayan pemilik. Pendapatan ini akan diperoleh dengan menggunakan alat tangkap Jaring dan Bubu. Solusi optimal tidak merekomendasikan penggunaan alat payang dan pancing di perairan Teluk Jakarta. Penggunaan alat payang justru akan menurunkan pendapatan optimal. Sementara tidak munculnya pancing dalam solusi optimal disebabkan karena alat tangkap ini memberikan hasil yang paling
115 kecil. Sehingga walaupun alat tangkap ini sangat baik jika dilihat dari sisi konservasi, tetapi alokasi optimal tidak merekomendasikan penggunaan pancing. Perbandingan antara penggunaan alat tangkap pada kondisi optimal dengan saat ini dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29 Alokasi penggunaan alat tangkap dan solusi optimal di Teluk Jakarta Variabel Keputusan JRGIN PYNG PNCG BUBU
Jenis Alat Tangkap Jaring Insang Payang Pancing Bubu
Aktual (unit) 9.108 424 1.152 6.893
Solusi Opt. (unit) 2361 0 0 337
Pengurangan (unit) 6.747 424 1.152 6.556
Berdasarkan Tabel 29 diatas, jumlah alat tangkap untuk jaring insang harus dikurangi sebesar 6.747 unit., Payang dan pancing tidak digunakan sama sekali, sementara bubu masing-masing dikurangi sebanyak 6.556 unit. Solusi optimal juga menghasilkan nilai sisa untuk fungsi kendala sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 30. Berdasarkan tabel tersebut, jumlah produksi ikan pelagis maupun demersal sudah habis terpakai. Sementara untuk sumberdaya lainnya masih terdapat sisa. Tabel 30 Nilai sisa pemakaian sumberdaya perikanan tangkap menurut solusi basis di Teluk Jakarta No 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Sumberdaya Jumlah hari orang kerja (HOK) MSY Pelagis (ton) MSY Demersal (ton) Effort Optimum Pelagis (trip) Effort Optimum Demersal (trip) Bahan bakar(liter) Luas Perairan Baik (Hektar) Ketersediaan umpan (kg)
Kendala (RHS) 125.936,00 31.871,32 2.546,19 670.782,73 135.144,49 242.080,00 23.993,20 235,00
Nilai Sisa 38.318,33 0.00 0.00 33.356,35 33,296.87 199.123,16 347,09 235
Merujuk pada Tabel 30 diatas, dapat disimpulkan bahwa pada kondisi optimal, produksi dapat ditingkatkan hingga mencapai kondisi lestarinya. Pada kondisi optimal tersebut masih terdapat sisa Hari Orang Kerja (HOK) sebesar 38.318,33. Demikian juga dengan effort, penggunaan bahan bakar dan pemanfaatan luas perairan dengan kriteria baik. Munculnya nilai sisa yang cukup
116 besar pada HOK dan BBM terkait dengan pengurangan jumlah armada penangkapan yang dioperasikan pada kondisi optimal tersebut. Tidak munculnya payang dan pancing pada solusi optimal berdampak pada harus dikuranginya jumlah nelayan yang selama ini mengoperasikan payang dan alat tangkap. Jika kondisi optimal ini akan diambil (diwujudkan), maka pengalihan aktifitas nelayan tangkap ke bidang pekerjaan lain menjadi issue penting yang harus ditangani. Kondisi optimal tersebut tidak akan berubah pada selang (range) tertentu, hasil analisis selang terhadap kendala dapat dilihat pada Tabel 31. Pada kondisi optimal, pengurangan HOK yang diperkenankan sehingga tidak merubah tujuan adalah 66,159 %. Sementara potensi ikan pelagis dan demersal peningkatan yang diperobehkan masing-masing adalah 1,470 % dan 33,891 %.
Hal ini
memperlihatkan bahwa potensi sumberdaya ikan menjadi kendala utama sementara untuk kendala lainnya tidak memiliki rentang atas, sehingga penambahan berapapun tidak akan merubah kondisi optimal. Tabel 31 Selang (range) fungsi kendala
HOK MSY Pelagis MSY Demersal Trip Pelagis Trip Demersal BBM Umpan Luas Perairan
RHS 125.936 31.871,32 2.456,.18 670.782,3 135,144,5 242.080 235 23.993,2
Peningkatan yang diperbolehkan Tak terbatas 468,576 832,422 Tak terbatas Tak terbatas Tak terbatas Tak terbatas Tak terbatas
Pengurangan yang diperbolehkan 83.318,34 31.871,32 2.546,19 33.356,35 33.296,88 199.123,20 235,00 347,09
Peningkatan % Tak terbatas 1,470 33,891 Tak terbatas Tak terbatas Tak terbatas Tak terbatas Tak terbatas
Pengurangan % 66,159 100,000 103,665 4,973 24,638 82,255 100,000 1,447
Hasil analisis LGP untuk mengetahui pencapaian tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap menunjukkan bahwa pengalokasian alat tangkap yang
direkomendasikan
dapat
meminimumkan
deviasi.
Besaran
berdasarkan hasil analisis LGP tersebut dapat dilihat pada Tabel 32.
target
117 Tabel 32 Pencapaian tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap menurut solusi optimal di Teluk Jakarta No
Meminimumkan deviasi tujuan
1 2 3 4 5 6
Pendapatan Maksimum (Rp. Juta) Penyerapan Tenaga Kerja (HOK) Pemanfaatan SumDa Ikan Pelagis (ton) Pemanfaatan SumDa Ikan Demersal (ton) Memenuhi Permintaan Ekspor (ton) Memenuhi Permintaan Konsumsi (ton)
Besaran Target
DU dan Pencapaian DO target 156.219,10 155.591,14 125.936,00 119.313,24 94,74 % 31.871,32 29.720,99 93,25 % 2.546,19 2.493,15 101,58 % 29.108,23 29.108,23 100,00 % 27.056,77 27.056,77 100,00 %
Keterangan: DU = pencapaian kurang (underachievement) dari target DO = pencapaian lebih (overachievement) dari target
Tabel 32 diatas memperlihatkan bahwa pendapatan maksimum nelayan mencapai 155.591,14 juta rupiah pertahun (99,59 % tercapai). Penyerapan tenaga kerja yang dicapai dari target awal sebesar 119.313,24 HOK (94,74 % yang tercapai). Target permintaan ekspor dan konsumsi seluruhnya dapat tercapai (100 %). Sedangkan pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis sebesar 29.720.99 ton (93,25 % dari target sebesar 31.871,32 ton). Pemanfaatan sumberdaya ikan demersal menurut kondisi optimal adalah 2.493,15 ton (101,05 % dari target sebesar 2.546,19 ton). Dengan solusi optimal dapat disimpulkan bahwa pendapatan hampir mencapai maksimum (99,59 %) dengan melakukan penghematan penggunaan sumberdaya, baik itu tenaga kerja maupun potensi sumberdaya ikan. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada kondisi optimal, pemanfaatan sumberdaya perikanan pelagis dan demersal berada sedikit dibawah tingkat lestarinya. Masalah yang muncul dari solusi optimal adalah perlunya alokasi sumberdaya manusia ke bidang usaha di luar perikanan. Hal ini disebabkan karena pada kondisi optimal, penggunaan sumberdaya manusia harus dikurangi, data dan perhitungan optimalisasi dapat dilihat pada Lampiran 17 s/d 19.
5.4 Pembahasan Hasil menunjukkan
analisis bahwa
dengan
menggunakan
pemanfaatan
Linear
sumberdaya
Goal
perikanan
Programming tangkap
akan
menghasilkan pendapatan maksimum dengan menggunakan alat tangkap jaring
118 insang, pancing dan bubu. Model optimal tidak merekomendasikan penggunaan alat tangkap payang. Untuk mencapai kondisi optimal tersebut, jumlah alat tangkap yang selama ini digunakan harus dikurangi. Berdasarkan hasil analisis lanjutan, terhadap pencapaian tujuan target. Solusi optimal ternyata mampu mencapai target pendapatan sebesar 99,59 %. Pada kondisi ini, pemanfaatan sumberdaya perikanan mendekati tingkat lestari/ keberlanjutan karena tingkat pemanfaatannya mencapai 93,25 % dari target untuk ikan pelagis dan 101.05 % dari target untuk ikan demersal. Strategi yang dapat dilakukan untuk mencapai hal tersebut diantaranya adalah pengurangan alat tangkap yang beroperasi atau pengalihan pencaharian nelayan ke pekerjaan lain serta menjaga kelestarian sumberdaya perikanan mengingat pemanfatannya hampir mencapai MSY. Untuk mewujudkan hal tersebut tantangan yang dihadapi sangat berat karena para nelayan banyak yang tidak mempunyai keahlian lain selain menangkap ikan. Pentingnya pelestarian ini menurut responden yang terlibat dalam penelitian ini dapat dilakukan melalui pengaturan daerah penangkapan, pengurangan alat tangkap dan pelibatan masyarakat dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan. Lebih lanjut, hasil analisis LGP memberikan pilihan alternatif terbaik pengembangan usaha perikanan tangkap di Teluk Jakarta. Salah satunya adalah melalui penerapan kebijakan yang berpihak pada pelestarian sumberdaya perikanan tangkap. Peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumberdaya memiliki indikator sebagai berikut: (1) Secara ekonomi dapat meningkatkan
pendapatan
nelayan,
dan
(2)
Secara
biologi,
kelestarian
sumberdaya perikanan tangkap tetap terjaga.
5.5 Kesimpulan Melalui optimalisasi perikanan tangkap di Teluk Jakarta ternyata pendapatan maksimum
dapat
dicapai
tanpa
mengorbankan
kepentingan
pelestarian
sumberdaya ikan itu sendiri. Walaupun kondisi perairan di kawasan teluk Jakarta menunjukkan penurunan sehingga wilayah yang cocok untuk kehidupan ikan menjadi berkurang, tetapi perairan tersebut masih mampu mendukung sebagian masyarakat pesisir Jakarta yang mengandalkan hidupnya dari menangkap ikan.
119 Mengingat tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan yang sudah melebihi MSY, maka diperlukan upaya-upaya untuk mengurangai tingkat pemanfaatan saat ini sehingga mencapai kondisi optimal. Upaya ini dilakukan pengurangan alat tangkap dan penciptaan lapangan kerja baru bagi nelayan diluat penangkapan ikan. Agar usaha penangkapan dapat berlangsung secara lestari, maka dibutuhkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaannya. Penelitian ini menemukan bahwa pemahaman masyarakat akan pentingnya konservasi sudah cukup memadai. Selain itu partisipasi mereka dalam pelestarian sumberdaya perikanan di kawasan Teluk Jakarta juga relatif baik. Oleh karenanya dapat diduga bahwa usaha konservasi sumberdaya perikanan di Teluk Jakarta akan dapat berlangsung dengan baik jika masyarkat ikut terlibat mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan proses konservasi itu sendiri.
120
Lampiran 17 Perhitungan Maximum Sustainable Yield untuk Ikan Pelagis dan Demersal di Teluk Jakarta a
Tabel Catch, Effort dan CPUE ikan pelagis per alat tangkap
Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Rataan
Catch(Ton) 3,561.60 849.80 755.40 300.50 214.70 1,084.60 1,404.60 947.90 1,139.89
Payang Effort 4,118 4,224 4,676 4,774 4,847 5,640 1,609 1,035 3,865
CPUE 0.8649 0.2012 0.1615 0.0629 0.0443 0.1923 0.8730 0.9158 0.4145
Catch(Ton) 13,472.30 13,811.60 21,919.60 20,076.40 12,105.10 14,870.80 44,103.00 48,036.50 23,549.41
Jaring Insang Effort (trip) 7,210 7,396 10,406 9,958 10,179 9,544 4,351 9,108 8,519
CPUE 1.869 1.867 2.106 2.016 1.189 1.558 10.136 5.274 3.252
Catch(Ton) 1,407.10 260.90 301.90 122.50 469.50 1,604.50 2,472.30 1,428.50 1,008.40
Tabel Standarisasi effort ikan pelagis Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Total Rataan
Payang 0.46286 0.10773 0.07669 0.03122 0.03725 0.12342 0.08612 0.17365 1.09895 0.13737
FPI Jrg Insang Pancing 1.0000 1.080402809 1.0000 0.195672042 1.0000 0.147907615 1.0000 0.060458353 1.0000 0.390114252 1.0000 0.371218287 1.0000 0.088339658 1.0000 0.098277182 8.0000 2.432390198 1.0000 0.304048775
C Total 18,780.90 14,908.90 23,393.80 21,428.00 13,767.80 18,854.60 47,549.70 51,334.60 210,018.30 26,252.29
Standarisasi Effort 9,813 8,565 11,734 11,112 11,372 13,014 7,251 12,044 84,903.72 10,612.97
CPUE 1.9139 1.7407 1.9937 1.9284 1.2107 1.4488 6.5581 4.2624 21.06 2.6321
Pancing Effort (trip) 697 714 969 1,005 1,012 2,774 2,761 2,756 1,586
CPUE 2.019 0.365 0.312 0.122 0.464 0.578 0.895 0.518 0.659
121
Persamaan alpha beta Effort optimum MSY Pemanfaatan
CPUE = 8.117120327-0.0005168255E 8.117120327 0.000516825525 1/2(a/ß) 7,852.86 1/4(a^2/ß) 31,871.32 161%
b Tabel Catch, Effort dan CPUE ikan demersal per alat tangkap
Tabel Catch, Effort dan CPUE ikan demersal
Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Total Rataan
Total 1,747.00 247.50 718.80 1,051.10 1,448.00 2,899.20 2,042.10 12503.9 1563.0
Effort
CPUE
1,629.00 1,669.00 5,838.00 5,451.00 6,849.00 6,859.00 2,127.00 46520 5815.0
1.072 0.148 0.123 0.193 0.211 0.423 0.960 3.276861996 0.40961
Persamaan CPUE = 0.6533-0.00004190114E alpha 0.6533 beta 0.00004190114 Effort optimum 1/2(a/ß) 7795.29 MSY 1/4(a^2/ß) 2546.19 Pemanfaatan 80.20%
122
Lampiran 18 Volume dan Nilai Produksi Empat Alat Tangkap Utama di Teluk Jakarta No.
Variabel
1
2 3 4 5
Pendapatan bersih nelayan -Produksi/trip/tahun -Pendapatan/trip/th -Pemilik/trip -Pekerja/trip Tenaga Kerja Trip Trip/tahun Jenis ikan
6 7 8
BBM/unit (solar) BBM/thn/unit Umpan
Jr. Insang
Payang
Pancing
Bubu
13.5 ton 64.258 jt Rp.200000 Rp.50000 4 org 1 hari 270 trip Kembung Tembang Layur Tenggiri Bawal putih 15 ltr 1350 ltr -
54 ton 13.407 jt Rp.675000 Rp.30000 20 org 1 hari 270 trip Kembung Tembang Teri Ruca Bawal hitam 50 ltr 13500 ltr -
7.2 ton 20.836 jt Rp.1000000 Rp.100000 4 org 7 hari 48 trip Kakap Tenggiri Manyung Kuwe 70 ltr 3360 ltr 0.28 ton
6.75 ton 11.973 jt Rp.150000 Rp.40000 4 org 1 hari 270 trip Rajungan Kepiting Sotong 20 ltr 1350 ltr -
123
Lampiran 19 Model Linear Goal Programming Perikanan Tangkap di Teluk Jakarta A. Model dasar untuk mencari pendapatan optimal Max 64.258JRGIN+13.407PYNG+20.836PNCG+11.973BUBU SUBJECT TO 2) 32 JRGIN + 160 PYNG+ 224 PNCG + 32 BUBU<= 125936 (HOK) 3) 13.5 JRGIN + 54 PYNG+ 7.2 PNCG <= 31871.32 (MSY Pelagis) 4) 6.75 BUBU <2546.19 (MSY Demersal) 5) 270 JRGIN + 270PYNG + 48PNCG <= 670782.73 (Trip Pelagis) 6) 270 BUBU<135144.49 (Trip Demersal) 7) 15 JRGIN + 50PYNG + 70PNCG + 20BUBU < 242080 (BBM) 8) 2.8PNCG<235 (Umpan) 9) 10 JRGIN + 7 PYNG + 0.25 PNCG + 0.1 BUBU< 23993,2 (Luas Perairan Baik)
LP OPTIMUM FOUND AT STEP
2
OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1)
156219.1
VARIABLE JRGIN PYNG PNCG BUBU
VALUE 2360.838623 0.000000 0.000000 377.213348
REDUCED COST 0.000000 243.625015 13.434934 0.000000
ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES 2) 38318.339844 0.000000 3) 0.000000 4.759852 4) 0.000000 1.773778 5) 33356.351562 0.000000 6) 33296.878906 0.000000 7) 199123.156250 0.000000 8) 235.000000 0.000000 9) 347.093475 0.000000 NO. ITERATIONS=
2
RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED:
VARIABLE JRGIN PYNG PNCG BUBU
OBJ COEFFICIENT RANGES CURRENT ALLOWABLE COEF INCREASE 64.258003 INFINITY 13.407000 243.625000 20.836000 13.434933 11.973000 INFINITY
RIGHTHAND SIDE RANGES
ALLOWABLE DECREASE 25.190500 INFINITY INFINITY 11.973000
124
ROW 2 3 4 5 6 7 8 9
CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE RHS INCREASE DECREASE 125936.000000 INFINITY 38318.339844 31871.320312 468.576202 31871.320312 2546.189941 832.421997 2546.190186 670782.750000 INFINITY 33356.351562 135144.484375 INFINITY 33296.878906 242080.000000 INFINITY 199123.156250 235.000000 INFINITY 235.000000 23993.199219 INFINITY 347.093475
b. Model Linear Goal Programming M in DU1+DU2+DU3+DO4+DO5+DO6 SUBJECT TO 2) 64.258JRGIN+13.407PYNG+20.836PNCG+11.973BUBU+DU1-DO1=156219.1 (Target Pendapatan) 3) 32JRGIN+160PYNG+224PNCG+32BUBU+DU2-DO2=125936 (Target HOK) 4) 13.5JRGIN+54PYNG+7.2PNCG+DU3-DO3=31871.32 (Target MSY Pelagis) 5) 6.75BUBU+DU4-DO4=2546.19 (Target MSY Demersal) 6) 751.8JRGIN+730.8PYNG+2263.6PNCG+ 0.91BUBU+DU5-DO5=29108.23 (Target Ekspor) 8) 38518JRGIN+217PYNG+1202PNCG+ 2349BUBU+DU6-DO6=27096.77 (Target Konsumsi) 9) 270JRGIN+270PYNG+48PNCG<670782.73 (Kendala Trip Pelagis) 10) 270BUBU<135144.49 (Kendala Trip Demersal) 11) 15JRGIN+50PYNG+70PNCG+20BUBU<242080 (Kendala BBM) 12) 2.8PNCG<235 (Kendala Umpan) 13) 10 JRGIN + 7 PYNG + 0.25 PNCG + 0.1 BUBU < 23993,2 (Kendala Luas Perairan)
LP OPTIMUM FOUND AT STEP
6
OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1)
304625.4
VARIABLE DU1 DU2 DU3 DO4 DO5 DO6 JRGIN PYNG PNCG BUBU DO1 DO2 DO3 DU4 DU5 DU6
VALUE REDUCED COST 155591.140625 0.000000 119313.242188 0.000000 29720.994141 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.694348 0.000000 0.981399 0.000000 836.522644 39.820854 0.000000 0.000000 462.196869 7.856809 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 1.000000 0.000000 1.000000 2493.156494 0.000000 0.000000 0.305652 0.000000 0.018601
125
ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES 2) 0.000000 -1.000000 3) 0.000000 -1.000000 4) 0.000000 -1.000000 5) 0.000000 0.000000 6) 0.000000 0.305652 7) 0.000000 0.018601 8) 660031.125000 0.000000 9) 133023.140625 0.000000 10) 239931.828125 0.000000 11) 235.000000 0.000000 12) 23713.667969 0.000000 NO. ITERATIONS=
6
RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED: OBJ COEFFICIENT RANGES VARIABLE CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE COEF INCREASE DECREASE DU1 1.000000 41.246540 1.000000 DU2 1.000000 3.230761 1.000000 DU3 1.000000 9.395761 1.000000 DO4 1.000000 INFINITY 1.000000 DO5 1.000000 INFINITY 0.694348 DO6 1.000000 INFINITY 0.981399 JRGIN 0.000000 INFINITY 836.522644 PYNG 0.000000 149.233124 507.371124 PNCG 0.000000 INFINITY 462.196838 BUBU 0.000000 43.689831 2305.040039 DO1 0.000000 INFINITY 1.000000 DO2 0.000000 INFINITY 1.000000 DO3 0.000000 INFINITY 1.000000 DU4 0.000000 341.487396 1.000000 DU5 0.000000 INFINITY 0.305652 DU6 0.000000 INFINITY 0.018601 RIGHTHAND SIDE RANGES CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE RHS INCREASE DECREASE 156219.093750 INFINITY 155591.140625 125936.000000 INFINITY 119313.242188 31871.320312 INFINITY 29720.994141 2546.189941 INFINITY 2493.156494 29108.230469 62146.703125 29097.732422 27096.769531 867518.625000 18453.521484 670782.750000 INFINITY 660031.125000 135144.484375 INFINITY 133023.140625 242080.000000 INFINITY 239931.828125 235.000000 INFINITY 235.000000 23993.199219 INFINITY 23713.667969
ROW 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
6 PERSEPSI NELAYAN TERHADAP PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN 6.1 Pendahuluan. Perencanaan yang melibatkan semua stakeholders memiliki manfaat: (1) meningkatkan rasa kepemilikan stakeholders terhadap program tersebut; (2) terciptanya kesepakatan-kesepakatan atau kompromi diantara stakeholders; (3) meminimalisasi kemungkinan konflik atau hambatan yang dihadapi saat implementasi rencana tersebut; dan (4) merupakan sosialisasi awal dari suatu program (Wiryawan, at al. 2001). Sistem perencanaan pembangunan saat ini yang belum menyediakan mekanisme bagi setiap komponen masyarakat berpartisipasi secara aktif merupakan suatu kelemahan di dalam pengelolaan pesisir. Dengan demikian perlu diketahui bagaimana persepsi masyarakat nelayan terhadap kondisi sumberdaya ikan, sumberdaya pantai dan upaya konservasi sumberdaya tersebut. Penelitian ini memfokuskan pada upaya untuk mengetahui ” Bagaimana persepsi masyarakat terhadap kondisi sumberdaya perikanan, sumberdaya pantai dan pengelolaannya ?” Tujuan yang ingin dicapai dengan penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui bagaimana persepsi masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan (2) Untuk mengetahui pengaruh aspek demografik dan kondisi sosial ekonomi nelayan terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan
6.2 Metodologi Penelitian. Untuk mengetahui persepsi masyarakat nelayan terhadap kondisi sumberdaya per ikanan, pantai dan pengelolaannya maka digunakan kuesioner yang dapat diisi sendiri oleh responden. Kuesioner terdiri dari 20 pertanyaan yang diarahkan untuk mengukur persepsi masyarakat nelayan tentang: ketersediaan sumberdaya ikan,
pemahaman terhadap pentingnya konservasi, pemanfaatan
sumberdaya ikan yang berkelanjutan serta partisipasi dalam konservasi sumberdaya ki an dan pantai. Selain data tersebut, dikumpulkan pula informasi yang menggambarkan karakteristik demografik nelayan yang bersangkutan.
121 Tabel 33 Variabel persepsi masyarakat terhadap kondisi dan pengelolaan sumberdaya ikan 1)
Potensi sumberdaya ikan masih mencukupi (V1)
2)
Pengelolaan SDI perlu pengaturan alat tangkap (V2)
3)
Penetapan syarat teknis kapal (V3)
4)
Pengetahuan jenis ikan yang boleh atau tidak boleh ditangkap (V4)
5)
Pengaturan daerah penangkapan, jalur dan waktu penangkapan (V5)
6)
Keterlibatan masyarakat dalam pencegahan kerusakan sumberdaya ikan dan lingkungannya (V6)
7)
Perlunya izin alat tangkap (V7)
8)
Pungutan atas hasil tangkapan (V8)
9)
Dukungan prasarana dan kelembagaan perikanan (V9)
10) Keterlibatan mayarakat dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya ikan (V10) 11) Keterlibatan masyarakat dalam pelestarian kawasan mangrove (V11) 12) Keterlibatan dalam pelestarian coasral sanctuary (V12) 13) Penggunaan mata jaring (V13) 14) Jumlah hasil tangkapan (V14) 15) Daerah penangkapan (V15) 16) Partisipasi dalam konservasi taman laut (V16) 17) Perikanan sebagai sumber pencaharian utama (V17) 18) Akomodasi aspirasi masyarakat dalam penetapan peraturan pengelolaan sumberdaya ikan (V18) 19) Penataan ruang pesisir (V19) 20) Pengembangan daerah wisata (V20) Yaitu umur, jumlah tanggungan keluarga, pendapatan dan persepsi nelayan terhadap
pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Dua
kelompok nelayan terlibat dalam penelitian ini yaitu: nelayan tangkap (77 orang) dan nelayan pemandu wisata (20 orang). Seluruh nelayan yang terlibat sebagai responden dalam penelitian ini adalah nelayan yang melakukan operasi di perairan Teluk Jakarta. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif untuk mengetahui gambaran (snapshot) nelayan. Selain itu dilakukan juga uji beda dengan menggunakan uji t untuk mengetahui perbedaan karakteristik
122 dan persepsi dua kelompok nelayan responden tersebut. Pertanyaan yang disampaikan sebanyak 20 variabel (Tabel 33).
6.3
Hasil Penelitian
6.3.1 Karateristik sosial ekonomi masyarakat nelayan Teluk Jakarta. Selain menggunakan data sekunder, penelitian ini juga menggunakan data primer yang diperoleh melalui survey dengan responden masyarakat nelayan. Responden penelitian ini terdiri dari 97 orang yang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: nelayan tangkap sebanyak 77 orang dan nelayan pemandu wisata yang terdiri dari 20 orang. Nelayan tangkap berasal dari perkampungan nelayan yang berada di Muara Angke/Muara Karang, Cilincing, Muara Baru serta Sunda Kelapa, sedangkan nelayan pemandu wisata adalah mereka yang beroperasi di Pantai Ancol dengan aktivitas utama memberikan jasa layanan berlayar disekitar pantai Ancol. Pada Tabel 34 menyajikan informasi mengenai penyebaran responden berdasarkan usia. Merujuk pada tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden berada pada kelompok usia kurang dari 35 tahun. Ini berarti bahwa sebagian besar dari mereka termasuk kedalam kelompok usia produktif. Jika dilihat berdasarkan ukuran keluarga, hasil analisis menyimpulkan bahwa jumlah tanggungan responden cukup besar. Sebesar 40,20 % dari responden ternyata memiliki tanggungan keluarga kurang dari empat orang, sementara responden yang memiliki tanggungan keluarga lebih dari enam orang angkanya mencapai 34,02 %. Dengan demikian secara rata-rata beban nelayan yang beroperasi di Teluk Jakarta cukup berat karena mereka harus menanggung anggota keluarga yang cukup besar (Tabel 35).
123 Tabel 34 Distribusi nelayan responden penelitian berdasarkan kelompok usia Kelompok Usia
Tidak menjawab Kurangdari 25 tahun 25 - 29 tahun 30 - 34 tahun 35 - 39 tahun 40 - 44 tahun 45 - 49 tahun 50 - 54 tahun 54 - 59 tahun Lebih dari 59 tahun Total
Nelayan Tangkap
Nelayan Pemandu Wisata
1 1.30% 20 25.97% 10 12.99% 18 23.38% 3 3.90% 8 10.39% 10 12.99% 3 3.90% 3 3.90% 1 1.30% 77 100 %
Total
0 0.00% 3 15.00% 4 20.00% 2 10.00% 1 5.00% 5 25.00% 3 15.00% 2 10.00% 0 0.00% 0 0.00% 20 100%
1 1.30% 23 23.71% 14 14.43% 20 20.62% 4 4.12% 13 13.40% 13 13.40% 5 5.15% 3 3.09% 1 1.30% 97 100%
Tabel 35 Distribusi nelayan responden berdasarkan jumlah tanggungan dalam keluarga Jumlah Tanggungan
Tidak menjawab Kurang dari 4 orang 4 - 6 orang Lebih dari 6 orang Total
Nelayan Tangkap 0 0.00% 30 38.96% 18 23.38% 29 37.66% 77 100%
Nelayan Pemandu Wisata 1 5.00% 9 45.00% 6 30.00% 4 20.00% 20 100%
Total
1 5.00% 39 42.21% 24 24.74% 33 34.02% 97 100%
124 Pada Tabel 36 menyajikan informasi mengenai penyebaran responden berdasarkan pendapatan rata-rata perminggu.
Data tersebut memperlihatkan
bahwa sebagian besar responden memiliki pendapatan kurang dari Rp 200.000/ minggu. Rendahnya pendapatan yang diperoleh terkait dengan jenis ikan yang ditangkap oleh nelayan di perairan Teluk Jakarta. Pada umumnya ikan yang ditangkap adalah ikan yang kurang memiliki nilai ekonomis seperti pepetek, ikan teri dan lain-lain. Ikan-ikan tersebut pada umunya diproses menjadi tepung ikan yang merupakan salah-satu campuran makanan ternak. Tabel 36 Distribusi responden berdasarkan rata-rata pendapatan per minggu Pendapatan per minggu Tidak menjawab Kurang dari Rp 200.000 Rp 200.000 - Rp 400.000 Rp 401.000 - Rp 600.000 Lebih dari Rp 600.000 Total
Nelayan tangkap 1 1.30% 58 75.32% 11 14.29% 5 6.49% 2 2.60% 77 100%
Nelayan Pemandu Wisata 0 0.00% 20 100.00% 0 0.00% 0 0.00% 0 0.00% 20 100%
Total 1 1.3 % 78 80.41% 11 14.29% 5 6.49% 2 2.60 % 97 100%
Jika dibandingkan pendapatan nelayan tangkap dengan nelayan pemandu wisata, dapat disimpulkan bahwa pendapatan nelayan pemandu wisata secara umum lebih rendah daripada nelayan
tangkap. Seluruh responden nelayan
pemandu wisata menyatakan bahwa rata-rata pendapatan mereka per minggu kurang dari Rp 200.000.
6.3.2. Persepsi nelayan terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan Persepsi nelayan terhadap sumberdaya pesisir Teluk Jakarta serta pengelolaannya diukur dengan menggunakan 20 pertanyaan. Responden memberikan jawaban dengan memberikan nilai 1 (sangat tidak setuju) hingga 7 (sangat setuju). Hasil analisis terhadap jawaban responden dapat dilihat pada
125 Tabel 37. Tabel tersebut menunjukan persepsi nelayan (tangkap dan pemandu wisata) yang dibedakan berdasarkan tempat tinggal mereka. Tabel 37 Uji beda rata-rata persepsi nelayan antar lokasi terhadap pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Jakarta
Item 1. Potensi sumberdaya ikan masih mencukupi (V1) 2. Pengelolaan SDI perlu pengaturan alat tangkap (V2) 3. Penetapan syarat teknis kapal (V3) 4. Pengetahuan jenis ikan yang boleh atau tidak boleh ditangkap (V4) 5. Pengaturan daerah penangkapan, jalur dan waktu penangkapan (V5) 6. Keterlibatan masyarakat dalam pencegahan kerusakan sumda ikan dan lingkungannya (V6) 7. Perlunya izin alat tangkap (V7) 8. Pungutan atas hasil tangkapan (V8) 9. Dukungan prasarana dan kelembagaan perikanan (V9) 10. Keterlibatan mayarakat dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya ikan (V10) 11. Keterlibatan masyarakat dalam pelestarian kawasan mangrove (V11) 12. Keterlibatan dalam pelestarian coasral sanctuary (V12)
Muara Angke (n= 28)
Rata-rata skor per lokasi Muara Ancol Kalibaru Baru (n = 20) (n = 227) (n = 12)
Sunda Kelapa (n = 10)
F test
PValue
3.929
3.667
5.182
5.666
3.400
3.528 0.0102
3.8579
4.858
6.500
6.166
4.000
9.429 0.0002
5.536
3.858
5.955
5.250
4.200
4.064 0.0042
5.107
5.429
5.818
5.750
5.00
0.692 0.5982
5.643
4.8579
4.409
5.916
4.800
2.056 0.0932
3.536
2.9529
4.409
4.416
3.500
1.449 0.2242
6.250
4.5719
4.409
6.583
4.000
7.611
0.000
4.643
2.8579
2.636
3.833
2.900
4.453
0.002
3.286
3.143
3.090
4.333
3.600
1.189
0.321
3.750
2.238
4.455
4.333
3.900
4.096
0.004
3.464
4.429
2.409
4.500
3.400
4.394
0.003
2.6791
2.238
2.727
3.583
2.700
1.471
0.218
126 13. Penggunaan mata jaring (V13) 14. Jumlah hasil tangkapan (V14) 15. Daerah penangkapan (V15) 16. Partisipasi dalam konservasi taman laut (V16) 17. Perikanan sebagai sumber pencaharian utama (V17) 18. Akomodasi aspirasi masyarakat dalam penetapan peralatan pengelolaan sumberdaya ikan (V18) 19. Penataan ruang pesisir (V19) 20. Pengembangan daerah wisata (V20)
6.286
5.429
4.364
5.750
4.300
4.630
0.002
2.679
2.333
2.182
3.500
2.700
1.484
0.214
3.036
4.429
5.500
3.750
4.200
5.144
0.000
2.429
2.286
3.500
4.083
3.200
3.074
0.020
6.000
3.762
6.182
4.250
5.400
6.479
0.000
4.393
3.333
3.227
4.166
2.600
3.102
0.019
3.071
1.810
2.500
4.500
2.300
5.751
0.000
4.071
6.190
3.045
4.500
3.600
7.334
0.000
Dari duapuluh items pertanyaan yang diajukan kepada responden, ternyata sebagian besar (14) item pertanyaan jawabannya berbeda signifikan antara nelayan tangkap pada berbagai lokasi penelitian, sedangkan
sisanya (6) item
pertanyaan tidak berbeda signifikan. Keenam pertanyaan yang jawabannya tidak berbeda secara statistik adalah: Pengetahuan jenis ikan yang boleh atau tidak boleh ditangkap (V4), Pengaturan daerah penangkapan, jalur dan waktu penangkapan (V5), Keterlibatan masyarakat dalam pencegahan kerusakan sumberdaya ikan dan lingkungannya (V6), Dukungan prasarana dan kelembagaan perikanan (V9), Keterlibatan dalam pelestarian coastal sanctuary (V12), dan Jumlah hasil tangkapan (V14). Mengingat jumlah item yang cukup besar, maka dilakukan reduksi terhadap kedua puluh items tersebut menggunakan tehnik factor analysis dengan menggunakan rotasi varimax. Melalui faktor analisis (rotasi varimax) ini maka keduapuluh pertanyaan tersebut direduksi menjadi 7 variabel (faktor) baru yang lebih mudah untuk dianalisis (Tabel 38).
127
Tabel 38 Hasil analisis faktor pengelolaan sumberdaya perikanan
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7 V8 V9 V10 V11 V12 V13 V14 V15 V16 V17 V18 V19 V20
Expl.Var Prp.Totl
Factor 1 0.035 0.374 0.605 0.741 0.575 0.303 0.332 0.208 -0.024 0.209 -0.155 0.164 0.174 0.048 -0.101 0.073 0.109 0.096 -0.102 0.344 1.925 0.096
Factor 2 0.079 -0.255 -0.164 -0.051 0.142 -0.566 0.317 0.140 -0.118 0.059 0.785 0.189 0.709 0.181 0.048 -0.058 -0.015 0.052 -0.101 0.544 2.080 0.104
Factor 3 0.029 0.119 0.165 0.128 0.163 0.076 -0.012 -0.174 0.245 0.728 0.147 0.701 0.068 0.020 0.068 0.747 -0.071 0.153 0.222 -0.162 1.895 0.095
Factor 4 0.343 0.078 0.269 0.017 0.008 0.311 0.366 0.631 0.211 -0.154 0.110 0.306 0.097 0.021 -0.277 0.177 -0.128 0.767 0.696 -0.103 2.218 0.111
Factor 5 0.727 0.596 0.235 0.111 -0.229 0.082 -0.164 -0.181 -0.027 0.027 0.037 -0.056 -0.048 0.122 0.717 0.232 0.220 0.046 0.089 0.089 1.728 0.086
Factor 6 0.171 0.047 -0.181 -0.017 0.175 0.200 0.352 0.191 0.753 0.213 0.031 -0.088 0.108 0.773 -0.047 0.171 -0.087 -0.058 0.196 0.258 1.673 0.084
Factor 7 0.177 0.127 0.314 -0.093 0.184 0.083 0.470 0.262 0.045 0.227 -0.039 -0.102 0.147 -0.118 -0.032 -0.154 0.806 -0.165 -0.034 -0.453 1.494 0.075
Setiap faktor terbentuk atas komponen faktor. Dasar penetapan komponen faktor adalah nilai loading yang lebih besar dari 0.5. Berdasarkan kriteria ini, faktor 1 dibentuk oleh tiga variabel (V3, V4, dan V5) yang kesemuanya menunjukkan Persepsi Terhadap Kondisi Sumberdaya Perikanan (KSI). Faktor 2 dibentuk oleh V10, V12 dan V16 yang ketiganya menunjukkan Pentingnya Pengelolaan Sumberdaya Ikan (PPI). Faktor 3 dibentuk oleh V10, V12 dan V16 yang menunjukkan Partisipasi Masyarakat dalam konservasi (PKS). Faktor 4 dibentuk oleh variabel V8, V18 dan V19 yang menunjukkan Persepsi nelayan terhadap hasil tangkapan (SHT). Faktor 5 dibentuk oleh V1, V2 dan V15 yang menujukkan Partisipasi masyarakat dalam konservasi sumberdaya pantai (PKP). Faktor 6 dibentuk oleh variabel V9 dan V14 yang menunjukkan persepsi mayarakat terhadap sumber pencaharian (SPN), serta faktor 7 yang hanya dibentuk oleh V17 yang menunjukkan Partisipasi dalam perumusan kebijakan (PPK).
128 Ketujuh variabel baru hasil analisis faktor kemudian dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan tehnik Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis/PCA).
Analisis
Komponen
Utama
merupakan
teknik
analisis
multivariabel (menggunakan banyak variabel) yang dilakukan untuk tujuan ortogonalisasi dan penyederhanaan variabel. Analisis ini merupakan teknik statistik yang mentransformasikan
secara linier satu set variabel ke dalam
variabel baru dengan ukuran lebih kecil namun representatif dan tidak saling berkorelasi (ortogonal). Dalam analisis komponen utama, satu individu dapat dijelaskan dengan baik oleh nilai-nilai yang diperoleh dari p variabel. Sementara satu variabel didefinisikan oleh n nilai yang berkaitan dengan distribusi individunya. Dengan demikian, satu individu dapat diidentifikasi oleh satu titik dari satu ruang berdimensi p, sedangkan satu variabel direpresentasikan oleh satu titik dari satu ruang berdimensi n. Semua individu atau variabel akhirnya membentuk suatu kumpulan titik yang dikenal sebagai awan titik-titik. Analisis PCA ditujukan untuk mendeterminasi aksis-aksis optimum tempat diproyeksikannya individu atau variabel. Aksis
faktorial
(komponen-komponen
utama)
yang
diperoleh
merepresentasikan kombinasi linier dari variabel asal. Aksis ini tidak berkorelasi satu dengan yang lain, dan dapat disusun kedalam hirarkhi sebagai berikut: a. Faktor utama (faktor 1) menjelaskan lebih baik variabilitas data asal/ inisial b. Faktor kedua (faktor 2) menjelsakan lebih baik variabilitas residu yang tidak terambil/tergambarkan pada faktor 1 dan selanjutnya. Analisis Komponen Utama (PCA) sering digunakan sebagai analisis antara maupun analisis akhir. Sebagai analisis antara PCA bermanfaat untuk menghilangkan multicollinearity atau untuk mereduksi variabel yang berukuran besar ke dalam variabel baru yang berukuran sederhana. Untuk analisis akhir, PCA umumnya digunakan untuk mengelompokkan variabel-variabel penting dari suatu bundel variabel besar untuk menduga suatu fenomena, sekaligus memahami struktur dan melihat hubungan antar variabel. Di dalam PCA akan dihitung vektor pembobot yang secara matematis ditujukan untuk memaksimumkan keragaman dari kelompok variabel baru (yang
129 sebenarnya merupakan fungsi linier peubah asal) atau memaksimumkan jumlah kuadrat korelasi antar PCA dengan variabel asal. Melalui analisis komponen utama (PCA) diperoleh informasi yang lebih lengkap mengenai persepsi nelayan tangkap maupun nelayan pemandu wisata terhadap pengelolaan sumberdaya ikan dan pantai. Hasil analisis PCA terhadap nelayan tangkap diperoleh gambaran bahwa dengan menggunakan 7 variabel yang telah direduksi, yaitu: Persepsi Terhadap Kondisi Sumberdaya Perikanan (KSI), Pentingnya Pengelolaan Sumberdaya Ikan (PPI), Partisipasi Masyarakat dalam konservasi (PKS), Persepsi nelayan terhadap hasil tangkapan (SHT), Partisipasi masyarakat dalam konservasi sumberdaya pantai (PKP), Persepsi masyarakat terhadap sumber pencaharian (SPN), serta Partisipasi dalam perumusan kebijakan (PPK), diperoleh ragam sumbu utama pertama hingga keempat mencapai 76.79 %. Hal ini berarti 76 % dari data hasil analisis dapat diterangkan hingga sumbu utama keempat. Sementara ragam sumbu pertama dan kedua masing-masing sebesar 31.223 % dan 19,909%. Komponen utama pertama hingga keempat secara berurutan memiliki akar ciri (eigenvalue) 2.185575, 1.393678, 1.002124 dan 0.793932. Korelasi variabel dengan sumbu faktorial pertama dan kedua dapat dilihat pada Gambar 22. dengan faktor 1.
Variabel PKS, SHT, SHT dan PPK memiliki korelasi kuat
130 Projection of the variables on the factor-plane ( 1 x 2) 1.0
0.5 Factor 2 : 19.91%
SHT PPK
PKP PKS
0.0
KSI PPI
-0.5 SPN
-1.0 -1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
Active
Factor 1 : 31.22%
Gambar 22 Korelasi variabel dan sumbu faktorial utama (kasus nelayan tangkap)
Variabel SPN memiliki korelasi kuat dengan faktor 2 dan variabel PPI berkorelasi kuat baik dengan faktor 1 maupun faktor 2. Dengan demikian dapat dapat disimpulkan bahwa nelayan tangkap sangat mementingkan PKS, SHT dan PPK, sementara kepentingan SPN berada dalam hirarkhi yang selanjutnya. Hasil Analisis Komponen Utama (PCA) terhadap nelayan pemandu wisata untuk 7 variabel memperlihatkan hasil yang lebih menyebar. Berdasarkan hasil analisis PCA diketahui bahwa ragam pada sumbu utama pertama hingga keempat mencapai 83.09 %. Hal ini berarti 83.09 % dari data hasil analisis dapat diterangkan hingga sumbu utama keempat. Ragam sumbu utama pertama dan kedua untuk nelayan pemandu wisata, masing-masing adalah: 34.789 % dan 17.995 %. Komponen utama pertama hingga keempat secara berurutan memiliki akar ciri (eigenvalue) 2.435283, 1.259687, 1.146587 dan 0.974523.
131 Projection of the variables on the factor-plane ( 1 x 2) 1.0
0.5
SHT
Factor 2 : 18.00%
PKS
0.0 PPK
PKP
PPI KSI
-0.5 SPN
-1.0 -1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
Active
Factor 1 : 34.79%
Gambar 23 Korelasi variabel dan sumbu faktorial utama (kasus nelayan pemandu wisata) Berdasarkam gambar diatas dapat disimpulkan bahwa variabel KSI, PPI, PKP dan PPK memiliki korelasi yang kuat dengan sumbu utama (faktor 1) sedangkan variabel SPN memiliki korelasi yang kuat dengan sumbu kedua (faktor 2). Variabel PKS dan SHT tidak memiliki korelasi yang kuat baik itu dengan sumbu utama maupun sumbu kedua. Berdasarkan hasil analisis ini dapat disimpulkan bahwa nelayan pemandu wisata sangat mementingkan variabel KSI, PPI, PKP dan PPK, sementara variabel SHT berada pada hirarkhi kepentingan yang berikutnya. Untuk melihat apakah terdapat perbedaan persepsi nelayan antar lokasi studi terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan, maka dilakukan uji beda terhadap variabel hasil reduksi (Tabel 39).
132 Tabel 39 Uji beda rata-rata persepsi nelayan antar lokasi terhadap pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Jakarta Rata-rata skor per lokasi Variabel
Muara Angke
KSI PPI PKS SHT PKP SPN PPK
3.711 5.422222 4.433333 2.933333 2.966667 6.066667 4.100000
Sunda Ancol
Cilincing
Muara Baru
4.317 4.714286 4.750000 2.738095 2.253968 3.761905 2.666667
5.556 5.513889 3.531250 2.625000 3.604167 6.250000 2.652778
5.194 5.638889 4.791667 3.916667 4.000000 4.250000 4.166667
F test
P-Value
Kelapa
3.867 4.666667 3.700000 3.150000 3.266667 5.400000 2.600000
7.8886 1.818 6.284 2.0694 4.2190 7.3315 7.9790
0.000016 0.132111 0.000162 0.091173 0.003511 0.000036 0.000014
Hasil analisis memperlihatkan bahwa dari tujuh variabel yang diuji, ternyata 5 (lima) variabel menunjukkan perbedaan yang signifikan, sedangkan sisanya tidak berbeda signifikan. Lima variabel yang berbeda tersebut adalah : Persepsi terhadap kondisi sumberdaya perikanan (KSI), Partisipasi masyarakat dalam konservasi (PKS), Partisipasi masyarakat dalam konservasi sumberdaya pantai (PKP), Persepsi masyarakat terhadap sumber pencaharian (SPN), serta Partisipasi dalam perumusan kebijakan (PPK).
6.4 Pembahasan Hasil kajian mengenai karakteristik demografik menunjukkan bahwa usia nelayan sebagian besar termasuk usia produktif, beban keluarga cukup berat dengan pendapatan per minggu sebagian besar kurang dari Rp.200.000,-. Temuan ini menggambarkan bahwa nelayan masih sangat membutuhkan peluang untuk meningkatkan produktivitasnya, yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatannya. Seperti diketahui bahwa hidup nelayan sangat tergantung pada kondisi sumberdaya perikanan, sebagai implikasinya maka dalam pengelolaan sumberdaya perikanan kedepan harus cukup memberi ruang bagi nelayan untuk meningkatkan produktivitasnya dalam memanfaatkan sumberdaya dengan tetap memperhatikan aspek konservasi. Ada banyak pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda terhadap pemanfaatan kawasan pantai. Dengan demikian maka untuk menjamin kehidupan nelayan dimasa depan, nelayan perlu berpartisipasi secara setara (equal) dengan stakeholders lainnya dalam perumusan perencanaan pengelolaan kawasan pantai
133 utara Jakarta. Perencanaan yang melibatkan semua stakeholders memiliki manfaat meminimalisasi kemungkinan konflik atau hambatan yang dihadapi saat implementasi rencana tersebut. Agar penyusunan rencana yang bersifat partisipatif dapat memberikan manfaat positif terhadap kelestarian sumberdaya, maka pemahaman persepsi nelayan terhadap
pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan
memiliki arti yang sangat penting. Hasil studi memperlihatkan bahwa persepsi nelayan tangkap dan nelayan pemandu wisata terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan termasuk katagori cukup baik. Hal ini menjelaskan adanya potensi atau kekuatan pada nelayan untuk berkontribusi juga dalam pelestarian sumberdaya perikanan. Sebagaimana dikemukakan pada sub-bab sebelumnya maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh aspek demografik dan kondisi sosial
ekonomi nelayan terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan Berdasarkan hasil analisis PCA untuk kedua kelompok nelayan responden tersebut dapat diketahui bahwa, nelayan tangkap
cenderung memperhatikan
aspek ketersediaan sumberdaya ikan , sementara nelayan pemandu wisata lebih mementingkan aspek konservasi. Perbedaan ini terkait dengan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh dua kelompok nelayan tersebut. Untuk nelayan tangkap, ketersediaan ikan merupakan hal terpenting yang dapat menjamin kelangsungan hidupnya, oleh karenanya perhatian utama mereka adalah pada
bagaimana
menjamin keberadaan dan kelangsungan sumberdaya ikan. Sementara untuk nelayan pemandu wisata, dimana sumber penghasilan utama adalah dari jasa wisata bahari, maka kondisi konservasi sumberdaya merupakan aspek yang lebih dipentingkan. Kedua kelompok nelayan memberikan prioritas yang hampir sama untuk aspek
partisipasi dalam konservasi sumberdaya pantai dan partisipasi dalam
perumusan kebijakan. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa
masyarakat
nelayan memiliki kesadaran dan keterlibatan yang baik, khususnya dalam upayaupaya konservasi sumberdaya pantai. Kesiapan nelayan dalam upaya konservasi ini merupakan modal yang dapat digunakan oleh pemerintah daerah dan stakeholder yang terkait dalam perumusan startegi konservasi sumberdaya pantai.
134 Upaya ini akan lebih baik lagi jika dalam perumusan kebijakan tersebut, masyarakat nelayan juga ikut dilibatkan.
Has il analisis PCA secara langsung
maupun tidak langsung juga menggambarkan bahwa pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan dan pantai yang melibatkan masyarakat (co management) merupakan salah satu pilihan yang dapat diimplementasikan.
6.5 Kesimpulan Dari hasil analisis seperti diuraikan diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : (1)
Secara demografis, tidak terdapat perbedaan yang mencolok antara nelayan tangkap maupun nelayan pemandu wisata. Walaupun demikian jika dilihat berdasarkan rata-rata pendapatan yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa nelayan tangkap lebih sejahtera dibadingkan dengan nelayan pemandu wisata.
(2)
Sesuai dengan karakteristik pekerjaannya, nelayan tangkap sangat concern dengan aspek yang terkait dengan ketersediaan sumberdaya ikan, sementara nelayan pemandu wisata sangat menaruh perhatian pada aspek konservasi. Dari kedua kasus ini dapat disimpulkan bahwa kedua kelompok nelayan ini memiliki kesadaran yang cukup baik bagi keberlanjutan sumberdaya perikanan dan pantai, khususnya di perairan Jakarta.
Partisipasi
masyarakat
nelayan
dalam
konservasi
dan
pembangunan yang berkelanjutan juga cukup baik. Ada keininginan bahwa
keterlibatan
nelayan
dalam
proses
pembangunan
yang
berkelanjutan dimulai sejak tahap perencanaan. (3)
Cukup baiknya pemahaman dan partisipasi nelayan dalam pembangunan perikanan dan kawasan pantai yang berkelanjutan merupakan indikasi yang cukup kuat bagi suksesnya program tersebut. Hal ini penting karena
kesejakhteraan
nelayan
sumberdaya perikanan dan pantai.
sangat
tergantung
pada
kondisi
7 STRATEGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PANTAI BAGI PEMANFAATAN PERIKANAN YANG BERKELANJUTAN
7.1 Pendahuluan Wilayah pantai utara Jakarta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang kaya. Pembangunan pantai utara Jakarta secara ekonomis memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pendapatan asli daerah (PAD), baik berupa kontribusi dari Pelabuhan Tanjung Priok, taman rekreasi (Taman Impian Jaya Ancol), perikanan (Pelabuhan Perikanan Muara Baru dan Muara Angke), transportasi laut dan perumahan di sekitar pantai. Saat ini, pantai utara Jakarta dipenuhi oleh berbagai aktivitas ekonomi yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan tekanan yang signifikan terhadap menurunnya
kualitas ekosistem dan biofisik. Aktivitas tersebut
bervariasi dari industri, pelabuhan, pariwisata, perikanan dan pemukiman. Selain dampak biologis, aktivitas tersebut juga telah berdampak secara ekonomi pada sebagian masyarakat, khususnya nelayan yang hidupnya tergantung pada ketersediaan sumberdaya ikan di perairan pantai utara Jakarta. Hasil evaluasi dampak pembangunan pantai utara Jakarta
dengan cara
membandingkan data tahun 2004 dengan data sebelumnya diketahui bahwa kualitas perairan di wilayah Teluk Jakarta (Wilayah Jakarta Utara) telah menurun tajam dan kurang memadai untuk perikanan. Pembangunan di kawasan pantai/pesisir yang hanya berorientasi pada kepentingan di daratan dan mengabaikan kepentingan perikanan di perairan ternyata memberikan dampak negatif terhadap penurunan kualitas perairan , terutama menyangkut parameter senyawa-senyawa kimia yang berpengaruh pada kehidupan biota laut seperti oksigen terlarut, amonia, nitrat, nitrit dan fosfor. Di samping itu, pembangunan pantai/pesisir tidak mampu mencegah peningkatan pencemaran melalui aliran sungai dalam bentuk pencemaran PCB dan pestisida. Selanjutnya aktivitas pembangunan dan penduduk di Jakarta Utara telah berdampak pula pada perubahan tata guna lahan yang makin menekan kondisi ekosistem pantai dan perairan. Oleh karenanya diperlukan strategi pengelolaan sumberdaya perikanan di pantai/pesisir utara Jakarta yang berkelanjutan untuk
136 mencapai tujuan-tujuan pembangunan ekonomi, perbaikan kualitas lingkungan serta menghindari adanya konflik jangka panjang di wilayah tersebut. Seperti umumnya kawasan pesisir, kawasan pesisir/pantai utara Jakarta merupakan kawasan yang memiliki dinamika pertumbuhan yang cukup pesat. Hal ini ditandai dengan berkembangnya pusat-pusat permukiman, industri dan pariwisata. Perkembangan yang demikian memberikan tekanan terhadap eksploitasi sumberdaya pesisir, yang cenderung mengarah ke pemanfaatan yang tidak berkelanjutan. Praktek-praktek eksploitasi yang tidak ramah lingkungan terus terjadi. Selain permasalahan teknis di atas, ketidakadanya perencanaan pengelolaan pesisir secara menyeluruh diduga juga sebagai salah satu faktor penyebab berbagai kerusakan di wilayah pesisir utara Jakarta. Kondisi ini pada gilirannya memunculkan konflik-konflik antar berbagai kegiatan, institusi, bahkan antar masyarakat secara ketat . Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang ingin dijawab yaitu: 1) Apakah pemanfaatan ruang yang ada di wilayah pantai utara Jakarta sudah mengintegrasikan setiap kepentingan dalam keseimbangan (proporsionality) antara dimensi ekologis, dimensi sosial ekonomi budaya dan segenap pelaku pembangunan (stakeholders) ? 2) Isu apa saja yang berkembang dalam pengelolaan sumberdaya pantai utara Jakarta saat ini ? 3) Bagaimana strategi pengelolaan sumberdaya pantai utara Jakarta yang berkelanjutan? Adapun tujuan yang ingin dicapai antara lain : 1) Mengidentifikasi proporsi pemanfaatan ruang bagi berbagai kepentingan segenap pelaku pembangunan (stakeholders). 2) Mengidentifikasi isu yang berkembang dalam pengelolaan sumberdaya pantai saat ini ? 3) Menyusun strategi pengelolaan sumberdaya pantai utara Jakarta yang berkelanjutan Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan dan rekomendasi bagi penyusunan kebijakan pengelolaan pantai Utara Jakarta
137 7.2 Metodologi Penelitian 7.2.1
Prosedur Penelitian Pengelolaan pantai/pesisir melibatkan berbagai pihak sehingga untuk
menerapkan
pengelolaan wilayah pantai/pesisir secara terpadu menghendaki
adanya kesamaan visi antar stakeholders. Dengan demikian maka perlu perumusan visi bersama yang esensinya sama-sama menginginkan adanya keberlanjutan. Mengacu pada visi tersebut, maka strategi pengelolaan wilayah pantai/pesisir terpadu dan berkelanjutan harus memperhatikan aspek sumberdaya manusia, hukum, tata ruang, dan kesejahteraan masyarakat. Strategi pengelolaan wilayah pantai/pesisir utara Jakarta akan difokuskan untuk menangani isu utama yaitu konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir, yang secara simultan juga berkaitan dengan penanganan isu yang lain. Dengan demikian identifikasi isu yang berkembang dilokasi penelitian akan dilakukan. Pemikiran dasar dalam perumusan strategi pengelolaan ini meliputi keberlanjutan (sustainability), perlindungan dan pelestarian, pengembangan, pemerataan, dan komunikasi. Dari pemikiran ini, dirumuskan strategi pengelolaan yang mengakomodasi nilai-nilai, isu-isu, dan isi pengelolaan. Prosedur perumusan strategi pengelolaan wilayah pantai utara Jakarta disajikan pada Gambar 24 dibawah ini. Gambar 24 tersebut menunjukkan bahwa strategi pengelolaan memiliki keterkaitan ke belakang dan ke depan. Pada level operasional, strategi diterjemahkan dalam bentuk program aksi, yang pada gilirannya berfungsi sebagai umpan balik dalam menilai keberhasilan pengelolaan pesisir terpadu serta perbaikan di masa mendatang. Umpan balik tersebut sangat penting sebagai penyedia kemampuan learning process. Oleh karena itu, strategi pengelolaan wilayah pesisir dirumuskan bersifat siklikal. Dengan demikian maka untuk merancang strategi pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan di pantai utara Jakarta dimulai dengan mengidentifikasi kondisi ekologi sumberdaya, keragaman pemanfaatan ruang , karakteristik sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Selanjutnya diidentifikasi isu-isu yang berkembang seperti apakah terjadi konflik pemanfaatan ruang, pelanggaran tata ruang, reklamasi pantai tak terkendali, pencemaran perairan, permukiman kumuh, hilangnya sempadan pantai dan mangrove, rawan banjir. Berangkat dari
138 pemahaman tentang karakteristik wilayah pesisir, maka dapat ditentukan kekuatan (Strengths), kelemahan (Weaknesses), peluang (Opportunities) dan tantangan (Threats). Dari hasil analisis inilah, maka dapat dirumuskan strategi pengelolaan yang berkelanjutan. Selanjutnya untuk mengimplementasikan strategi dapat dirancang program aksi yang dapat memperbaiki sumberdaya.
Visi Pengelolaan Wilayah Pesisir
Nilai-nilai Ekologis • Biodiversity • Habitats
Estetis • Rekreasi Pembangunan dan Pemanfaatan • Permukiman • Industri dan Perdagangan • Transportasi laut • Pariwisata • Perikanan tangkap • Penimbunan pantai • Kontruksi Pesisir lain
Isu-isu • Konflik pemanfaatan ruang • Pelanggaran tata ruang • Reklamasi pantai tak terkendali • Pencemaran perairan • Permukiman kumuh • Hilangnya sempadan panatai dan mangrove • Rawan banjir
Strategi:
Pemikiran dasar o Keberlanjutan o Perlindungan & pelestarian o Pengembangan o Pemerataan o Komunikasi
PROGRAM-PROGRAM AKSI
Sumberdaya • Ruang • Hayati • Air • Sumberdaya lainnya
Gambar 24 Prosedur perumusan strategi pengelolaan
7.2.2 Pengumpulan data Dalam penelitian ini digunakan dua jenis data, yaitu primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui observasi dan wawancara langsung di lokasi penelitian, sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan melalui penelusuran berbagai pustaka yang ada di berbagai instansi pemerintah seperti kantor BPS,
139 DKP, LIPI, Bakosurtanal, Dinas Hidrografi dan Oceanografi TNI-AL, Kantor Kotamadya Jakarta Utara, Dinas Perikanan dan instansi terkait lainnya. Data yang dikumpulkan meliputi: (a) fisik kawasan pesisir (b) penggunaan lahan (c) kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat (d) persepsi masyarakat terhadap sumberdaya pantai dan perairan Teluk Jakarta.
7.2.3 Analisis data Secara umum analisis yang dilakukan meliputi: (1) kesesuian lahan perairan untuk biota laut dan pariwisata bahari serta kawasan pantai untuk konservasi; (2) karakteristik sosial ekonomi dan budaya masyarakat; (3) persepsi masyarakat terhadap
sumberdaya pantai dan perairan teluk Jakarta; dan (4)
strategi pengelolaan wilayah pesisir Teluk Jakarta. (1)
Analisis kesesuaian lahan.
Analisis kesesuian lahan perairan untuk biota
laut dan pariwisata bahari serta kawasan pantai untuk konservasi menggunakan GIS. (2)
Analisis karakteristik sosial, ekonomi dan budaya. Untuk melihat pengaruh dari faktor-faktor sosial masyarakat (umur, anggota keluarga, sumber penghasilan, jumlah pendapatan, persepsi masyarakat terhadap pengelolaan sumber daya pesis ir), digunakan analisis komponen utama (Principal Components Analysis, PCA). Analisis komponen utama (PCA) merupakan metode statistik deskriptif yang bertujuan untuk menampilkan data dalam bentuk grafik dan informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data yang dimaksud terdiri dari variabel sebagai kolom dan observasi/responden sebagai baris.
(3) Analisis persepsi masyarakat terhadap sumberdaya dilakukan dengan statistik deskriptif. (4)
Analisis strategi. Atas dasar hasil analisis sebelumnya (kesesuaian lahan, karateristik sosial, ekonomi dan budaya serta analisis keterkaitan biofisik dengan sosekbud), selanjutnya dilakukan perumusan strategi pengelolaan pantai
Utara
Jakarta
dengan
analisis
SWOT
(Strength,
Weaknes,
Opportunity dan Threat). Tahapan yang dilakukan dalam analisis SWOT adalah identifikasi unsur-unsur SWOT, pemberian bobot dan skor serta
140 penyusunan strategi alternatif. Pembobotan dan penentuan skor dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan stakeholders yang berasal dari instansi pemerintah, organisasi masyarakat serta nelayan sebanyak 20 orang.
7.3
Hasil Penelitian
7.3.1 Kondisi sumberdaya pantai utara Jakarta 7.3.1.1 Kesesuaian lahan Analisis kesesuian lahan perairan pantai utara Jakarta difokuskan untuk peruntukan biota laut dan pariwisata bahari serta kawasan pantai untuk konservasi Hasil analisis spasial dengan pendekatan Geografi Information System (GIS) untuk masing-masing peruntukan pada dua kategori kesesuaian disajikan dibawah ini. Hasil overlay gabungan dari seluruh senyawa-senyawa kimia yang dianalisis memperlihatkan
pada tahun 1998, masih cukup banyak wilayah
perairan yang memiliki kualitas baik untuk perikanan. Sebaliknya, pada tahun 2004, sudah sedikit wilayah perairan yang memiliki kualitas baik menyangkut kandungan senyawa kimianya. Wilayah perairan yang berkategori baik berdasarkan overlay gabungan tersebut juga tidak memadai untuk perikanan, mengingat hampir seluruhnya memiliki kandungan oksigen terlarut yang kurang dari standar minimal yang diperlukan oleh biota laut. Dengan demikian, bila ditinjau dari kandungan senyawa kimianya, tidak ada lagi wilayah perairan Teluk Jakarta yang memadai untuk perikanan kecuali di luasan yang sangat sempit yang masih memiliki kandungan oksigen terlarut pada kategori baik. Untuk lebih jelasnya disajikan pada Gambar 21. Dari hasil overlay tersebut terlihat bahwa selama enam tahun kualitas perairan wilayah Teluk Jakarta sebagai wilayah sentral perairan Teluk Jakarta telah mengalami penurunan yang tajam. Hal demikian berarti pembangunan yang dilaksanakan selama masa tersebut di wilayah pesisir Teluk Jakarta tidak mampu mempertahankan atau memperbaiki kualitas perairan, terjadi bahkan sebaliknya dimana kualitas perairan menunjukkan kecenderungan menurun (memburuk).
141 7.3.1.2 Penggunaan lahan Lahan di pantai utara Jakarta yang terletak di ibukota memiliki letak yang strategis, sehingga sangat potensial untuk memicu konflik pemanfaatan ruang, serta pelanggaran tata-ruang. Dengan letaknya yang strategis tersebut maka menjadi daya tarik bagi kaum migran, sehingga timbul berbagai pemukiman kumuh. Hasil
analisis
penggunaan
lahan
dalam
kurun
waktu
1998-2004
menunjukkan adanya perbedaan luas peruntukan lahan, terutama di area dekat pantai Cilincing, semula merupakan lahan tambak/sawah dan rawa, pada tahun 2004 telah menjadi fasilitas pelabuhan berupa terminal kontainer. Di area Ancol Timur terdapat penambahan area lahan daratan hasil reklamasi yang semula berupa rawa dan perairan laut. Kegiatan reklamasi pantai ini memunculkan berbagai isu di masyarakat seperti pencemaran perairan hilangnya sempadan pantai dan mangrove, serta rawan banjir. Kondisi perubahan penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 12.
7.3.2 Karakteristik sosial ekonomi dan budaya Sebagian besar responden berada pada kelompok usia kurang dari 35 tahun. Ini berarti bahwa sebagian besar dari mereka termasuk kedalam kelompok usia produktif. Jika dilihat berdasarkan ukuran keluarga, hasil analisis menyimpulkan bahwa jumlah tanggungan responden cukup besar, yaitu 42,21 % dari responden ternyata memiliki tanggungan keluarga kurang dari empat orang, sementara responden yang memiliki tanggungan keluarga lebih dari enam orang angkanya mencapai 34,02 %. Gambaran ini menunjukkan bahwa beban nelayan yang beroperasi di Teluk Jakarta cukup berat. Karena mereka harus menanggung anggota keluarga yang cukup besar Sebagian besar responden memiliki pendapatan kurang dari Rp 200.000,/minggu. Rendahnya pendapatan yang diperoleh terkait dengan jenis ikan yang ditangkap oleh nelayan di perairan Teluk Jakarta. Pada umumnya ikan yang ditangkap adalah ikan yang kurang memiliki nilai ekonomis. Secara umum, penilaian responden nelayan tangkap terhadap pengelolaan sumberdaya pantai Teluk Jakarta ternyata cukup baik. Hal ini secara tidak
142 langsung berarti pula pemahaman nelayan tangkap tentang pengelolaan sumberdaya pantai cukup baik. Hasil analisis PCA terhadap nelayan tangkap diperoleh gambaran bahwa dengan menggunakan 7 variabel yang telah direduksi, yaitu: Persepsi Terhadap Kondisi Sumberdaya Perikanan (KSI), Pentingnya Pengelolaan Sumberdaya Ikan (PPI), Partisipasi Masyarakat dalam konservasi (PKS), Persepsi nelayan terhadap hasil tangkapan (SHT), Partisipasi masyarakat dalam konservasi sumberdaya pantai (PKP), Persepsi masyarakat terhadap sumber pencaharian (SPN), serta Partisipasi dalam perumusan kebijakan (PPK), diperoleh ragam sumbu utama pertama hingga keempat mencapai 76,79 %. Hal ini berarti 76,79 % dari data hasil analisis dapat diterangkan hingga sumbu utama keempat. Sementara ragam sumbu pertama dan kedua masing-masing sebesar 31,223 % dan 19,909%. Komponen utama pertama hingga keempat secara berurutan memiliki akar ciri (eigenvalue) 2,185575; 1,393678; 1,002124 dan 0,793932. Sedangkan untuk nelayan pemandu wisata
dengan menggunakan 7 variabel memperlihatkan hasil yang lebih
menyebar yaitu ragam pada sumbu utama pertama hingga keempat mencapai 83,09 %. Hal ini berarti 83,09 % dari data hasil analisis dapat diterangkan hingga sumbu utama keempat. Ragam sumbu utama pertama dan kedua untuk nelayan pemandu wisata, masing-masing adalah: 34,789 % dan 17,995 %. Komponen utama pertama hingga keempat secara berurutan memiliki akar ciri (eigenvalue) 2,435283; 1,259687; 1,146587 dan 0,974523
7.3.3 Isu yang berkembang dalam pengelolaan sumberdaya saat ini Berdasarkan hasil studi lapangan, maka ditemukan berbagai isu antara lain: (1) Konflik pemanfaatan ruang (2) Pelanggaran tata ruang (3) Reklamasi pantai tak terkendali
(4) Pencemaran perairan (5) Permukiman kumuh (6)
Hilangnya sempadan pantai dan mangrove (7) Rawan banjir
7.3.4 Analisis strategi pengelolaan Untuk merumuskan strategi
pengelolaan pantai utara Jakarta dilakukan
analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman (SWOT) yaitu analisis alternatif yang digunakan untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk memformulasikan suatu strategi. Analisis SWOT merupakan pemilihan
143 hubungan atau interaksi antar unsur-unsur internal, yaitu kekuatan dan kelemahan serta terhadap unsur-unsur eksternal, yaitu peluang dan ancaman. Strategi pengelolaan sumberdaya pesisir yang disusun, didasari atau mempertimbangkan empat dimensi pembangunan berkelanjutan, yaitu aspek teknis-ekologis, sosialekonomi-budaya, sosial politik, dan hukum dan kelembagaan. Suatu strategi yang baik hendaknya disusun melalui penelaahan kondisi dan kenyataan di lapangan, untuk menggali unsur-unsur kekuatan, kelemahan dan peluang serta ancaman yang ada. Selain itu, perlu pula mencermati unsur-unsur tersebut yang mungkin atau diperkirakan akan muncul di kemudian hari. Dengan demikian, strategi yang diformulasikan bersifat antisipatif terhadap perubahanperubahan yang terjadi seiring dengan berjalannya waktu. Berdasarkan hasil penelitian, maka analisis tiap aspek disajikan berikut ini. 1)
Aspek teknis ekologis Secara teknis ekologis, unsur yang dapat menjadi kekuatan dalam
pengelolaan pantai utara Jakarta secara terpadu dan berkelanjutan adalah ketersediaan lahan yang secara geografis sangat strategis. Ketersediaan lahan ini merupakan suatu kekuatan didalam mengelola wilayah pantai/ pesisir utara Jakarta. Dengan letaknya yang strategis, jika dikelola secara bijaksana, akan memberikan manfaat yang optimal baik secara sosial ekonomi maupun ekologis. Sebaliknya, karena sifat alamiah dari suatu sistem pantai/pesisir yang begitu cepat dan berubah-ubah merupakan suatu kelemahan yang harus diantisipasi manakala ingin mengelola wilayah tersebut secara berkelanjutan. Kelemahan tersebut adalah degradasi sumberdaya berupa pencemaran perairan, hilangnya sempadan pantai dan mangrove serta rawan banjir Segenap upaya yang dilakukan harus mempertimbangkan karakteristik dari suatu kawasan pantai/pesisir, dimana baik secara biofisik maupun sosial budaya masyarakat berbeda dengan wilayah daratan. Dilihat dari sisi peluang, pertumbuhan perekonomian Kotamadya Jakarta Utara yang begitu pesat adalah peluang bagi pengembangan wilayah pantai/pesisir utara Jakarta. Hal ini menuntut upaya pengelolaan sumberdaya pantai/pesisir utara Jakarta secara berkelanjutan guna meraih peluang tersebut secara optimal. Pengembangan beberapa kawasan sebagai kawasan pengembangan ekonomi dapat memberikan kontribusi bagi pengelolaan pantai utara Jakarta secara
144 berkelanjutan. Sementara itu, dilihat dari sisi ancaman konflik antar kegiatan pembangunan juga perlu dicermati dari aspek teknis ekologis.. Hal ini berarti, diperlukan alokasi ruang yang proporsional bagi setiap peruntukan sehingga tidak terjadi tumpang tindih pemanfaatan ruang. 2)
Aspek sosial, ekonomi dan budaya Secara sosial, ekonomi dan budaya yang menjadi kekuatan adalah
masyarakat pantai uatara Jakarta yang secara langsung terkait dengan beberapa aktivitas
pemanfaatan
sumberdaya pantai/pesisir utara Jakarta
memiliki
kepedulian dan pemahaman yang baik terhadap pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan. Berdasarkan hasil analisis, masyarakat di pantai utara Jakarta umumnya memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan pemandu wisata, yang menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara masyarakat dan lingkungannya. Pemahaman yang tinggi dari masyarakat terhadap hubungan antara mata pencaharian mereka dengan kelestarian sumberdaya di pantai utara Jakarta merupakan suatu kekuatan dalam upaya mengelola sumberdaya pesisir yang berkelanjutan. Dari aspek sosial ekonomi dan budaya yang perlu dicermati adalah konflik kepentingan antar masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir guna meningkatkan kesejahteraan mereka. Hal ini tentunya menjadi kelemahan bagi pengelolaan sumberdaya pesisir berkelanjutan. Kondisi ini dikuatirkan memberikan dampak negatif terhadap upaya-upaya pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan. Berdasarkan hasil analisis terhadap karakteristik masyarakat pantai utara Jakarta, pada umumnya masyarakat pantai merasa hasil tangkap tidak mampu memberikan pendapatan yang maksimal. Hal ini dikuatirkan mendorong mereka untuk melakukan konversi ekosistem mangrove menjadi lahan usaha guna meningkatkan pendapatan mereka. Upaya yang perlu dilakukan adalah memberikan pelatihan keterampilan pengolahan hasil kepada nelayan setempat untuk meningkatkan nilai tambah hasil tangkapan mereka. 3)
Aspek sosial politik Secara sosial politik, diberlakukannya PP 69 tahun 1996 tentang
Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang. Pemerintahan Daerah merupakan peluang
145 bagi Pemerintah Daerah untuk mengembangkan pengelolaan pantai/ pesisir secara berkelanjutan. Salah satu isu pengelolaan adalah tumpang tindih perencanaan. Hal ini menandakan kurangnya koordinasi antara sektor-sektor yang ada. Apabila perencanaan dilakukan oleh masing-masing sektor, maka akan muncul ego sektoral yang akan berdampak pada pengelolaan pantai utara Jakarta. Untuk mengatasi ego sektoral ini, maka diperlukan suatu mekanisme koordinasi antara sektor-sektor pembangunan dikawasan Teluk Jakarta. Kepedulian berbagai komponen masyarakat di dalam proses pengelolaan sumberdaya alam pesisir merupakan suatu kekuatan guna menunjang upaya pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Berbagai kelompok swadaya masyarakat yang secara kritis memberikan masukan bagi implementasi pengelolaan berkelanjutan. Perencanaan dan implementasi yang melibatkan setiap unsur masyarakat (stakeholders) akan memberikan pengakuan yang lebih luas dan kuat. 4)
Aspek Hukum dan Kelembagaan Secara hukum dan kelembagaan, adanya berbagai peraturan dan
perundangan merupakan peluang bagi pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Beberapa peraturan dan perundangan yang ada pada tingkat nasional seperti UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi, UU No. 24 tentang Tata Ruang, Kepres 32 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung merupakan peluang bagi pelaksanaan pengelolaan pesisir secara berkelanjutan. Disamping itu, juga terdapat beberapa peraturan daerah yang relevan. Pelimpahan kewenangan pengelolaan laut kepada daerah otonom menjadi langkah awal untuk mengintegrasikan wilayah pesisir dan laut merupakan suatu kesatuan ekologis yang harus dikelola secara terpadu. Upaya kearah pengelolaan yang lebih baik dilakukan melalui revis i dokumen RTRW kota, dengan mempertimbangkan perkembangan yang ada termasuk pemberlakuan UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Kekuatan yang ada ini, sering diikuti oleh kelemahan-kelemahan. Hasil studi menemukan adanya inkonsistensi di dalam implementasi tata ruang kawasan pantai utara Jakarta. Penyimpangan terhadap
146 RTRW yang telah disepakati kadang terjadi pada saat implementasi program pembangunan. Pada Tabel 40 disajikan hasil identifikasi peluang, ancaman, kekuatan dan kelemahan yang dijadikan acuan dalam merumuskan strategi pengelolaan pantai utara Jakarta.
Tabel 40 Identifikasi unsur kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman No
Aspek
Kekuatan
Kelemahan
Peluang
Ancaman
1.
Teknis ekologis
Potensi lahan dan perairan yang secara geografis sangat strategis
Degradasi sumberdaya
2
Sosial ekonomi budaya
Penduduk dengan pemahaman yang baik terhadap pengelolaan pesisir
Keterbatasan Dukungan pendapatan program pengelolaan pesisir yang besar
3
Sosial politik
Kepedulian stakeholders terhadap sumberdaya
Belum ada Adanya PP Ego pelibatan No 69 sektoral semua Tahun 1996 stakeholders
4
Hukum dan Tersedianya kelembagaan dukungan peraturan perundangan
7.4
Permintaan Konflik terhadap antar lahan yang kegiatan tinggi
RTRW yang UU No 32 berorientasi tahun 2004 ke daratan
Tekanan terhadap eksploitasi sumberdaya
Ego sektoral
Pembahasan
7.4.1 Penyusunan strategi pengelolaan pantai/pesisir Untuk menentukan strategi pengelolaan sumberdaya pantai utara Jakarta yang didasarkan atas kondisi faktual di lapangan, sebagaimana yang disajikan pada tabel 7.1 diatas, teknik yang digunakan adalah mencari strategi silang dari keempat faktor tersebut, yaitu :
147 Tabel 41 Formulasi strategi pengelolaan sumberdaya pantai utara Jakarta. PELUANG 1) Permintaan terhadap pemanfaatan lahan 2) Dukungan program pengelolaan pesisir 3) Adanya UU No 32 tahun 2004 serta PP 69 tahun 1996 KEKUATAN Kebijakan SO 1) Ketersediaan lahan 1. Penentuan alokasi ruang dengan letak geografis bagi berbagai peruntukan yang strategis pembangunan 2) Penduduk dengan (perikanan, konservasi, kepedulian dan pemukiman, industri, pemahaman yang baik pariwisata, dst) yang terhadap pengelolaan diintegrasikan kedalam pesisir RTRW 2. Implementasi pengelolaan pesisir secara terpadu dan pelibatan semua stakeholders secara aktif KELEMAHAN Kebijakan WO 1) Degradasi sumberdaya 1. Pemanfaatan sumberdaya 2) Keterbatasan alam pesisir berdasarkan pendapatan karakteristik dan daya 3) Belum ada mekanisme dukung lingkungan pelibatan stakeholders melalui pelibatan aktif dalam perencanaan semua stakeholders dan pengelolaan pesisir dan penyediaan mekanisme laut partisipasi yang 4) Penyimpangan terhadap transparan untuk implementasi RTRW meningkatkan kesejahteraan masyarakat 2. Penyediaan mekanisme partisipasi bagi semua stakeholders untuk mengawasi pemanfaatan lahan pesisir dan pelaksanaan RTRW dan pelaksanaan programprogram pengelolaan pesisir
ANCAMAN 1) Konflik antar kegiatan 2) Tekanan terhadap eks plotasi sumberdaya 3) Ego sektoral
Kebijakan ST 1. Penyusunan rencana pengelolaan berdasarkan potensi dan kesesuaian lahan dengan melibatkan semua stakeholders
Kebijakan WT 1. Penyediaan mekanisme partisipasi dan pengawasan stakeholders secara transparan terhadap implementasi RTRW 2. Pengaturan kembali alat tangkap untuk menghindari tekanan terhadap sumberdaya oleh masyarakat.
Sumber ; Hasil Analisis
•
Strategi SO, yakni strategi yang disusun untuk memanfaatkan seluruh kekuatan dan mengoptimalkan peluang yang ada.
148 •
Strategi ST, yakni strategi yang disusun untuk memanfaatkan kekuatan yang dimiliki dalam menanggulangi ancaman yang ada.
•
Strategi WO, yakni strategi memanfaatkan peluang secara optimal untuk mengatasi kelemahan yang dimiliki.
•
Strategi WT, yakni strategi yang disusun untuk mengatasi kelemahan dan mengeliminasi ancaman yang mungkin timbul. Dengan pendekatan seperti di atas, maka strategi yang disarankan untuk
pengelolaan wilayah pantai utara Jakarta adalah seperti disajikan Tabel 7.2. 7.4.2 Penentuan prioritas strategi pengelolaan pantai/pesisir Untuk menentukan prioritas dari strategi di atas, digunakan metode pembobotan dan pengharkatan untuk masing-masing unsur SWOT seperti pada Tabel 7.3. Pemberian nilai bobot untuk masing-masing unsur tersebut didasarkan pada derajat kepentingan dari unsur tersebut. Artinya unsur paling penting (sangat penting) akan mendapatkan nilai paling tinggi, dan sebaliknya unsur yang tidak penting akan mendapatkan nilai paling rendah. Kategori sangat penting (nilai 3) apabila unsur tersebut memberikan konstribusi yang sangat besar terhadap keberlanjutan sumberdaya pantai utara Jakarta. Kategori sangat penting ini diberikan apabila keberadaan unsur tersebut sangat mempengaruhi proses pengelolaan sumberdaya pesisir berkelanjutan di pantai utara Jakarta. Kategori tidak penting (nilai 1) diberikan apabila keberadaan unsur tersebut tidak mempunyai konstribusi yang signifikan terhadap proses pengelolaan sumberdaya pantai utara Jakarta. Artinya ada atau tidaknya unsur-unsur tersebut, pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan dapat dilakukan. Unsur-unsur yang dikategorikan penting (nilai 2) adalah unsur-unsur yang tidak didefinisikan sebagain unsur sangat penting dan tidak penting. Pemberian bobot dan pengharkatan dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan 20 orang stakeholders yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya perikanan. Besarnya bobot dan skor didasarkan pada judgement dari stakeholders. Berdasarkan pembobotan yang dilakukan pada Tabel 42, bobot dari ketujuh strategi yang telah diformulasikan dijumlahkan untuk menentukan urutan prioritas seperti disajikan pada Tabel 43.
149 Tabel 42 Pemberian bobot untuk setiap unsur dari kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. No Unsur SWOT Bobot Skor Total Skor Kode A1 Internal A2 Kekuatan 1 Ketersediaan lahan dengan letak 0,17 3 0,51 S1 geografis yang strategis 2 Penduduk dengan tingkat pemahaman 0,17 3 0,51 S2 yang baik terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir. 3 Kepedulian stakeholders dalam 0,17 3 0,51 S3 pengelolaan. 4 Dukungan peraturan-perundangan. 0,11 2 0,22 S4 A2 Kelemahan 1 Degradasi sumberdaya 0,06 1 0,06 W1 2 Keterbatasan pendapatan masyarakat 0,11 2 0,22 W2 dari pemanfaatan sumberdaya. 3 Belum adanya mekanisme pelibatan 0,11 2 0,22 W3 stakeholders dalam perencanaan pengelolaan pesisir dan laut. 4 Implementasi RTRW yang masih 0,11 2 0,22 W4 menyimpang. Jumlah 1,00 2,47 B Eksternal B1 Peluang 1 Permintaan terhadap pemanfaatan 0,25 3 0,75 01 lahan yang besar. 2 Dukungan program-program 0,08 1 0,08 02 pengelolaan pesisir. 3 Adanya UU No 32 Tahun 2004, PP 0,17 2 0,33 03 69 tahun 1996 B2 Ancaman 1 Konflik antar kegiatan 0,17 2 0,33 T1 2 Tekanan terhadap eksploitasi 0,17 2 0,33 T1 sumberdaya. 3 Ego sektoral 0,17 2 0,33 T3 Jumlah 1,00 2,17 Sumber : Hasil identifikasi dan analisis
150 Tabel 43 Rangking dan skor urutan prioritas Unsur SWOT
Keterkaitan
Skor
Ranking
Pengalokasian ruang pesisir bagi peruntukan pembangunan (perikanan, pemukiman, industri, konservasi dan sebagainya) yang diintegrasikan ke dalam RTRW Kotamadya Jakarta Utara . Pemanfaatan sumber daya alam pesisir Teluk Jakarta berdasarkan karakteristik dan daya dukung lingkungan melalui pelibatan aktif stakeholders, dan penyediaan mekanisme partisipasi yang transparan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penyusunan rencana pengelolaan berdasarkan potensi dan kesesuaian lahan dengan melibatkan stakeholders. Penyediaan mekanisme partisipasi dan pengawasan stakeholders secara transparan terhadap pelaksanaan RTRW Pengembangan model pengelolaan pesisir secara terpadu dan pelibatan stakeholders secara aktif. Pelibatan stakeholders dalam pengawasan dan pelaksanaan RTRW melalui mekanisme partisipasi yang transparan, dan dukungan peraturan perundangan yang jelas Pengaturan kembali alat tangkap dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan (alat tangkap), untuk menghindari tekanan terhadap sumberdaya pantai/pesisir oleh masyarakat. Sumber : Hasil identifikasi dan analisis
S1, O1, S4, O2, O3, T1
2,22
1
O1, O2, O3, W1, W2, W3, W4
1,88
2
S1, T1, T2, S3
1,68
3
W3, W4, T1, T3
1,32
4
S3, O2, S2
1,10
5
S3, W4, W3
0,66
6
W2, T2
0,55
7
7.5
Kesimpulan Berdasarkan hasil studi, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1) Kondisi sumberdaya pantai utara Jakarta telah mengalami degradasi, hal mana menunjukkan bahwa pemanfaatan ruang yang ada di wilayah pantai utara Jakarta belum mengintegrasikan setiap kepentingan dalam keseimbangan (proporsionality) antara dimensi ekologis, dimensi sosial, antar sektoral, disiplin ilmu dan segenap pelaku pembangunan (stakeholders). 2) Isu yang berkembang dalam pengelolaan sumberdaya pantai saat ini antara lain: ( a) Konflik pemanfaatan ruang (b) Pelanggaran tata ruang (c) Reklamasi pantai tak terkendali (d) Pencemaran perairan (e) Permukiman kumuh (f) Hilangnya sempadan pantai dan mangrove (g) Rawan banjir
151 Agar tujuan pengelo laan sumberdaya Teluk Jakarta yang berkelanjutan tercapai maka perlu suatu penataan ruang, pengelolaan dan pengusahaan kawasan wilayah pantai/ pesisir yang memiliki dimensi keterpaduan ekologis, sektoral, disiplin ilmu serta keterpaduan antar stakeholders. Alternatif strategi pengelolaan sumberdaya pantai utara Jakarta yang berkelanjutan yang disarankan adalah: a)
Pengalokasian ruang pesisir bagi peruntukan pembangunan (perikanan, pemukiman,
industri,
pariwisata,
konservasi
dan
sebagainya)
yang
diintegrasikan ke dalam RTRW Kotamadya Jakarta Utara. b)
Pemanfaatan sumber daya alam pesisir Teluk Jakarta berdasarkan karakteristik dan daya dukung lingkungan melalui pelibatan aktif stakeholders, dan penyediaan mekanisme partisipasi yang transparan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
c)
Penyusunan rencana pengelolaan berdasarkan potensi dan kesesuaian lahan dengan melibatkan stakeholders.
d)
Penyediaan mekanisme partisipasi dan pengawasan stakeholders secara transparan terhadap pelaksanaan RTRW.
e)
Pengembangan model pengelolaan pesisir secara terpadu dan pelibatan stakeholders secara aktif.
f)
Pelibatan stakeholders dalam pengawasan dan pelaksanaan RTRW melalui mekanisme
partisipasi
yang
transparan,
dan
dukungan
peraturan
perundangan yang jelas. g)
Pengaturan kembali alat tangkap nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan (alat tangkap), untuk menghindari tekanan terhadap sumberdaya pesisir oleh masyarakat. Target pengelolaan yang harus dicapai adalah (1) Tersusun dan dipatuhinya
tata ruang wilayah pesisir, (2) Terkendalinya reklamasi pantai, (3) Terkendalinya pencemaran perairan, (4) Tertatanya permukiman kumuh, (5) Kembalinya sempadan pantai dan rehabilitasi mangrove, (6) Terkendalinya masalah banjir, (7) Terkendalinya masalah abrasi (8) Terkendalinya sedimentasi Salah satu faktor penyebab terjadinya konflik serta mempercepat kerusakan sumberdaya pantai/pesisir adalah lemahnya koordinasi antar lembaga terkait. Untuk mengatasi kondisi tersebut harus dilakukan peningkatan koordinasi kelembagaan yang melibatkan dinas/instansi daerah seperti Bappeda, Perikanan
152 dan Kelautan, Pariwisata, Industri dan Perdagangan, Perhubungan Laut dan Pelabuhan,
BPN,
dan
lain-lain.
Upaya
yang
harus
dilakukan
adalah
menghilangkan ego sektor dengan penegasan kembali fungsi dan kewenangan masing-masing dinas/instansi terkait, serta harus ada selalu diadakan rapat-rapat koordinasi untuk membicarakan berbagai hal yang menyangkut
pengelolaan
wilayah pesisir itu sendiri. Di
samping
masyarakat/LSM,
kelembagaan
pemerintah,
peran
kelembagaan
legislatif
serta dunia usaha adalah penting dan harus terlibat dalam
pengelolaan, utamanya pada tataran perencanaan dan monitoring/evaluasi. Dengan demikian akan tercipta suatu pengelolaan terpadu yang melibatkan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang menuju ke arah pembangunan berkelanjutan.
8 PEMBAHASAN UMUM
Penelitian ini sekali lagi membuktikan bahwa kawasan pantai dan teluk Jakarta telah mengalami degradasi kualitas lingkungan yang signifikan akibat pembangunan yang secara ekonomi menunjukkan dampak positip. Hasil analisis dengan menggunakan bantuan Sistem Informasi Geografi (Geographical Information System/GIS) untuk dua titik pengamatan 1998 dan 2004, diketahui telah terjadi perubahan-perubahan yang cukup siginifikan terhadap tata guna lahan dan kualitas perairan di Teluk Jakarta. Dalam periode tersebut telah terjadi pemanfaatan area lahan darat dan perairan dengan sangat intensif di Teluk Jakarta. Pada tahun 1998, luas total lahan di propinsi DKI Jakarta adalah 16.529,0 ha, sementara pada tahun 2004 luas lahan ini menjadi 16.579,3 ha sehingga telah terjadi perluasan lahan sebesar 50,3 ha. Perluasan areal tersebut sebagai akibat reklamasi yang dilakukan di sebelah timur pantai Ancol. Perluasan ini telah menekan fungsi sawah dan ekosistem yang luasnya cenderung menyusut. Hasil analisis GIS menunjukkan bahwa luas sawah telah menurun cukup besar dari 5.122 ha pada tahun 1998 menjadi 4.555 ha pada tahun 2004 atau terjadi penurunan seluas 567 ha. Sementara alokasi lahan untuk konservasi tidak mengalami perubahan, yaitu tetap 296 ha. Kualitas perairan juga telah menunjukkan perubahan yang cukup signifikan dengan kecenderungan memburuk. Parameter kualitas air yang digunakan dalam penelitian ini adalah oksigen terlarut (DO), kelompok N (ammonia, nitrat dan nitrit), dan fosfat. Dengan menggunakan overlay kelima parameter tersebut dan membandingkannya dengan baku mutu, maka diketahui bahwa luas perairan dengan kriteria baik untuk perikanan telah menurun dan berubah menjadi meluasnya perairan dengan kriteria buruk. Walaupun kondisi perairan ini masih dapat digunakan untuk kepentingan perikanan, tetapi luasannya semakin mengecil. Mengecilnya luasan perairan yang baik untuk perikanan merupakan ancaman bagi masyarakat nelayan di teluk Jakarta, karena hal ini berarti produksi ikan akan berkurang. Oleh karenanya upaya-upaya untuk menekan penurunan kualitas perairan ini merupakan langkah
154
prioritas yang harus dilakukan oleh pemegang otoritas di Jakarta Utara pada khususnya dan DKI Jakarta pada umumnya. Degradasi lingkungan seperti ini juga terjadi di banyak tempat, seperti Goa, India yang mengalami penurunan kualitas perairan sebagai akibat dari aktivitas pariwisata (Noronha, et al 2002),. Chang et al (1995) menemukan hasil yang sama pada saat mengoptimasi alokasi sumberdaya di daerah aliran sungai Tweng Wan, Taiwan. Degradasi berupa pencemaran lingkungan perairan di kawasan semi tertutup (seperti teluk Jakarta) umumnya lebih signifikan dibandingkan dengan perairan terbuka dimana limbah cair dan padat dapat hanyut mengikuti longshore current (Anna, 2003). Oleh karena itu sudah selayaknya, pembangunan yang terjadi di daratan yang berbatasan dengan perairan semi tertutup dilakukan secara lebih berhati-hati untuk mengurangi degradasi lingkungan yang lebih parah (Dahuri, 1999). Pengelolaan yang efektif untuk mengurangi dampak pembangunan berupa degradasi lingkungan yang berlanjut di perairan teluk telah berhasil ditunjukkan di beberapa negara, seperti Philipina dan Cina. Kedua negara tersebut berhasil menggunakan pendekatan Intergated Coastal Management (ICM) untuk menahan laju degradasi lingkungan sebagai akibat dari proses pembangunan (Yu dan Bermas, 2004). Pengalaman Xiamen di Cina dan Batangas, Philippin a dalam menerapkan ICM telah ditiru oleh negara lain, termasuk Indonesia. Penerapan ICM di Xiamen, China telah mengurangi konflik pemanfaatan sumberdaya pantai yang mengarah pada kerusakan lingkungan. Sedangkan di Philippina, penerapan ICM ternyata telah berhasil mengurangi jumlah polutan yang masuk ke perairan. Keberhasilan ini disebabkan karena pendekatan ICM melibatkan seluruh stakeholder yang terkait. Selain keberhasilan dalam penumbuhan kesamaan persepsi terhadap pentingnya menjaga keberlanjutan lingkungan merupakan salah-satu kunci sukses dari ICM itu sendiri. Hal di atas memerlukan kesungguhan para stakeholder, yaitu otoritas pemerintahan, para pengembang kawasan (developer), kalangan industri (khususnya
155
yang menghasilkan limbah cair dan padat yang potensial masuk ke perairan), serta masyarakat umum. Kesungguhan ini merupakan komitmen politik yang tidak lain adalah kesepakatan bersama yang memiliki landasan peraturan perundang-undangan yang kuat (Pomeroy dan Williams, 1999). Di Indonesia saat ini memang sudah ada perangkat peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan serta tata cara pelaksanaan kegiatan-kegiatan (UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam; UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang; UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah; PP No. 69/1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peranserta Masyarakat dalam Penataan Ruang; Kepres RI No.32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung). Isu klasik yang masih muncul adalah pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan ini. Akibat negatif dari berbagai pelanggaran telah banyak dilaporkan dan dibahas (Dahuri, 2001).
Bahkan sudah banyak investasi, baik yang berasal dari hibah maupun
pinjaman luar negeri, dila kukan untuk mencegah dan menangani permasalahan ini, namun tampaknya persoalan semakin meningkat sehingga seakan-akan investasi dan berbagai upaya tersebut sia-sia. Kiranya, pengalaman yang mahal tersebut sudah cukup untuk menjadikan alasan bahwa penegakkan hukum sudah waktunya dilaksanakan lebih tegas, mengiringi strategi pengelolaan yang telah dirumuskan, termasuk hasil penelitian ini. Jika tidak, maka degradasi akan terus berlangsung dan kekayaan alam yang sangat berharga akan berbalik menjadi beban yang akan memakan biaya yang lebih mahal. Sebagai ilustrasi praktek pembangunan perikanan yang kurang memperhatikan kaidah keberlanjutan menyebabkan kerugian ekonomi mencapai kurang lebih US $ 386.000/tahun (Fauzi dan Buchary, 2002). Penelitian ini menyajikan perhatian khusus pada eksistensi perikanan tangkap di teluk Jakarta.
Secara ekonomi, nilai bisnis perikanan tangkap yang dilakukan
nelayan yang berbasis di pantai utara Jakarta mungkin sangat kecil dibandingkan dengan nilai bisnis jasa yang berkembang.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari
kegiatan perikanan tersebut tidak dapat dibandingkan dengan kegiatan lain karena
156
jumlahnya sangat kecil. Pada tahun 2005, jenis kontribusi dari kegiatan perikanan tangkap ini terbatas pada: 1) produksi perikanan laut sebanyak 23.774,433 ton dengan nilai Rp 57.272,741 juta . 2) pendapatan asli daerah yang mencapai Rp 2.546,682 juta 3) lapangan pekerjaan bagi 14.296 orang nelayan 4) sumber penghasilan 9.529 rumah tangga 5) serta kegiatan ekonomi lain yang terbangun karena aktivitas nelayan dan penyediaan ikan bagi sebagian masyarakat Jakarta. 6) dan sebagainya. Jika dilihat berdasarkan kontribusinya terhadap PDRB pada tahun 2004, sektor perikanan dan pertanian hanya menyumbang 0.27 persen, sementara sektor industri pengolahan menyumbang 51.56 persen terhadap total PDRB. Gambaran ini memperlihatkan kecilnya konstribusi sektor primer terhadap perekonomian DKI Jakarta. Kontribusi kegiatan perikanan tangkap di teluk Jakarta seyogyanya dipandang dari perspektif yang lebih luas, bukan hanya dari manfaat ekonomi yang dihasilkan langsung.
Perspektif luas ini berkaitan dengan nilai strategis lingkungan dan
sumberdaya hayati laut. Sumber daya hayati, baik yang ada di darat maupun di laut, sangat tinggi nilainya karena memiliki kemampuan recovery atau dapat pulih yang tinggi setelah dieksploitasi sehingga tergolong sebagai renewable resources (Nikijuluw, 2002). Hal ini sangat kontras dengan sumber daya alam jenis lain yang tidak dapat pulih setelah dieksploitasi, seperti bahan tambang dan minyak bumi. Pengelolaan renewable resources memerlukan pengetahuan tentang daya dukung (carrying capacity) dan daya pulih serta faktor-faktor yang dapat mengancam eksistensinya. Dalam perspektif tersebut maka sumber daya ikan, yaitu ikan (pisces) dan biota laut lainnya, seperti krustasea, moluska, dan sebagainya, perlu dipelihara
157
eksistensinya pada tingkat kelimpahan optimum agar dapat dimanfaatkan secara maksimum dan berkelanjutan. Mengingat biota laut tersebut memerlukan kondisi lingkungan yang mendukung kehidupan biologinya, mulai dari pertumbuhan, reproduksi, dan rekrutmen melalui proses pemijahan (spawning) hingga proses pembesaran untuk menjalani siklus hidup selanjutnya, maka kualitas perairan harus diutamakan (Liao, 1999). Perspektif
ini
memberikan
implikasi
bahwa
kondisi
lingkungan
dan
sumberdaya hayati laut menjadi kendala (constraint) pembangunan. Kendala ini bagi kalangan tertentu dapat dianggap sebagai penghambat pembangunan karena menimbulkan biaya ’baru’ sehingga pembangunan menjadi tidak efisien dalam perspektif ekonomi jangka pendek (Fauzi dan Anna, 2005).
Keengganan untuk
mengeluarkan dana tambahan untuk menangani kendala tersebut dapat dianggap sebagai ketidak-pedulian mereka terhadap kelestarian sumberdaya alam hayati (renewable resources).
Keengganan tersebut lebih disebabkan oleh persepsi bahwa
pembangunan harus menghasilkan dampak ekonomi yang langsung berkaitan dengan akumulasi keuntungan (Nikijukuw, 2002).
Di sisi lain, persepsi sempit ini akan
menimbulkan kerugian yang belum tentu ditanggung oleh pengembang dan industri, tetapi oleh masyarakat umum. Dengan demikian, pembangunan tidak mencapai tujuannya untuk memberikan kemudahan dan kemakmuran bagi orang banyak tapi malah menciptakan kerugian. Pemeliharaan kualitas lingkungan kawasan pantai utara Jakarta dan sumberdaya perikanan di Teluk Jakarta tidak hanya membuat kegiatan perikanan tangkap berkelanjutan, tetapi juga akan mendukung penerapan teknologi yang lebih ramah lingkungan (Fauzi, 2006), meningkatkan daya tarik kota sebagai pusat bisnis jasa dan obyek wisata (Anonimus, 2005), yang semuanya akan meningkatkan pesona Jakarta sebagai ibu kota negara (Anonimus, 2005).
Ketiga hal ini dapat mendorong
pertumbuhan kota yang lebih terarah dimana dampaknya terhadap perekonomian lokal akan meningkat, seperti terjadi di kota-kota besar di dunia yang telah menerapkan beragam peraturan perundang-undangan yang mendukung pemeliharaan dan peningkatan kualitas lingkungan.
158
9 KESIMPULAN DAN SARAN
9.1 Kesimpulan Dengan memperhatikan hasil dari penelitian-penelitian tersebut diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1)
Hingga saat ini kegiatan perikanan tangkap masih berlangsung di teluk Jakarta dengan hasil yang masih mendukung kehidupan para nelayan, namun kualitas perairan di wilayah Teluk Jakarta (Wilayah Jakarta Utara) telah menurun tajam dan jika pembangunan di daratan tidak terkendali suatu saat perairan ini tidak lagi memadai untuk kegiatan perikanan tangkap.
2)
Penurunan kualitas perairan dan ekosistem pantai merupakan dampak dari aktiv itas pembangunan dan penduduk di Jakarta Utara yang bergerak pada sektor industri pengolahan, perdagangan, jasa serta pengangkutan dan komunikasi. Dampak aktivitas pembangunan tersebut et rutama terjadi pada perubahan tata guna lahan yang makin menekan kondisi ekosistem pantai dan perairan, sehingga perlu berbagai upaya untuk menentukan batas optimal penggunaan lahan dan aktiv itas ekonomi yang tidak berdampak buruk pada kondisi ekosistem pantai dan perairan.
3)
Pemanfaatan ruang dan sumberdaya ikan di Teluk Jakarta dapat optimum dengan mengalokasi 29.720.99 ton pertahun ikan pelagis untuk dimanfaatkan oleh 2.361 unit jaring insang, sedangkan ikan demersal 2.493,15 ton untuk dimanfaatkan alat tangkap bubu sebanyak 337 unit dengan total hasil pendapatan sebesar Rp 155.591,14 juta per tahun.
4)
Sasaran pengelolaan yang harus dicapai adalah: (1) tersusun dan dipatuhinya tata ruang wilayah pesisir; (2) terkendalinya reklamasi pantai; (3) terkendalinya pencemaran perairan; (4) tertatanya permukiman kumuh; (5) kembalinya sempadan pantai dan rehabilitasi mangrove; (6) terkendalinya masalah banjir;
159
(7) terkendalinya masalah abrasi; dan (8) terkendalinya sedimentasi dan degradasi sumberdaya pantai.
9.2 1)
Saran Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan sangat dibutuhkan di kawasan Teluk Jakarta yang relatif baik yaitu dengan konservasi sumberdaya perikanan dengan melibatkan masyarakat dari mulai perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan proses konservasi itu sendiri.
2)
Perlu kebijakan untuk penataan ruang, pengelolaan dan pengusahaan kawasan wilayah pantai/pesisir yang memiliki dimensi keterpaduan ekologis, sektoral, disiplin ilmu serta keterpaduan antar stakeholders.
3)
Alternatif strategi pengelolaan sumberdaya pantai utara Jakarta
yang
berkelanjutan yaitu : (a)
Pengalokasian ruang pesisir bagi peruntukan pembangunan (pemukiman, industri, pariwisata, perikanan, konservasi dan sebagainya) disesuaikan dengan RTRW Kotamadya Jakarta Utara, dan dilaksanakan secara konsisten yang didukung aturan yang jelas.
(b)
Pemanfaatan sumber daya alam pesisir Teluk Jakarta berdasarkan karakteristik dan daya dukung lingkungan melalui pelibatan aktif stakeholders, dan penyediaan mekanisme partisipasi yang transparan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
(c)
Penyusunan rencana pengolahan berdasarkan potensi dan kesesuaian lahan, serta tekanan terhadap sumberdaya secara berlebihan dengan melibatkan stakeholder.
(d)
Penyediaan mekanisme partisipasi dan pengawasan stakeholders secara transparan terhadap pelaksanaan RTRW, untuk menghindari et rjadinya konflik antar kegiatan dan mengurangi ego sektoral.
160
(e)
Pengembangan model pengelolaan pesisir secara terpadu dan pelibatan stakeholders secara aktif.
(f)
Pelibatan stakeholders dalam pengawasan dan pelaksanaan RTRW melalui mekanisme partisipasi yang transparan, dan dukungan peraturan perundangan yang jelas.
(g)
Meningkatkan kemampuan nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan (alat tangkap), untuk menghindari tekanan terhadap sumberdaya pesisir (konversi mangrove) oleh masyarakat.
4)
Untuk
lebih baik lagi dalam pengelolaan lingkungan wilayah pantai dan
perairan Teluk Jakarta perlu diadakan penelitian dengan kajian dari bidang pariwisata bahari dan konservasi secara khusus, sehingga dalam pengelolaan kedepan bisa diharapkan terpeliharanya kelestarian sumberdaya yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Alder, J, T. J. Pitcher, D. Preikshot, K. Kaschner and B. Ferriss, 2000. How Good is Good ? A Rapid Appraisal Technique for Evaluation of the Sustainability Status of Fisheries of the North Atlantic. In Pauly and Pitcher (eds). Methods for Evaluation teh Impact of Fisheries on the Nort Atlantic Ecosystem. Fisheries Center Research Report, 2000 Vol. (8) No. 2. Anna, S. 1999. Analisis Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi Teluk Jakarta. Thesis. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Anonimus. 2005 Rencana Rinci Tata Ruang Wilayah Kotamadya Jakarta Utara Tahun 2005. Dinas Tata Kota Pemenrintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Araneda, E, A. Cruz-Trinidad, F. Morales and A. Arellano (1996). Optimization of Economic Benefits from Fishery and Forestry In Bio-Bio, Chili, p. 3263. Aziz, T.L. Dr. 1999. Sistem Informasi Geografis. Jurusan Teknik Geodesi ITB. Penerbit ITB. Belifiore, Stefano., M. Balgos, B. Malean, J. Galofre, M. Blaydes, D. Tesch. 2003. A Reference Guide on the Use of Indicators for Integrated Coastal Management. ICAM-UNESCO. Bell, Fabiola and Annabelle Cruz-trinidad. 1996. Options for Mangrove Management in the Gulf of Guayaquil, Ecuador, p.17-31. Bengen, D.G. 2000. Prosiding Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor, 21-26 Februari 2000 Burrough, P.A. 1996, Spatial Data Quality and Error Analysis Issues, GIS Function and Environmental Modeling, in Michael. F. Goodchild, et al (ed) GIS and Environmental Modeling : Progress and Research issues, GIS World Books, USA. Caiaffa, E. 1999. European Marine Informtion System : Eumaris. Paper presented at the Inter-Regional Forum of European Conventions Venice, September 27-28, 1999. ENEA – Dipartimento Ambiente, Centro Ricerche Casaccia, Roma. Castro, P, Ph.D and M. E. Huber, Ph.D. 1997. Marine Biology. Second edition. WCB Mc Graw Hill, Boston, Massachussets, Missouri.
162 Chang, Ni-Bin, C.G. Wen and S.L. Wu. 1995. Optimal Management of Environmental and Land Resources in a Reservoir Watershed by Multiobjective Programming. (Journal of Environmental Management 44:145-161). Charles, A.T. 1994. Toward sustainable: The Fishery Experience. Ecological Economics, 11, 201-211. Charles, A T. 2001. Sustainable Fisheries systems. Fish and Aquatic resources series. Blackwell Science. Osney Mead, Oxford OX2 OEL, UK. 370 p. Cicin-Sain, R.W. Knetcht. 1988. Integrated Coastal and Marine Management. Island Pers, Washington DC. Cicin Sain, B., Knecht, R.W.1998. Integrated Coastal and Ocean, Management, Concept and Practices. Island Press. Washington DC. Clark, C. W. 1985. I Bioeconomic Modelling and fisheries Management. John Wiley and Sons. New York. Clark, R. Jhon. 1996. Coastal zones Management Hand Book. Lewis Publisher, Boca Raton London New Cork Washington DC. Cruz-Trinidad, Annabelle, Zoraida Alojado and Agnes Grace G. Cargamento. 1996. Options for Land Use Management in Lingayen Gulf, Philippines, p.64-77. Cruz-Trinidad, 1996. Valuation of Tropical Coastal Resources : Theory and Application of Linear Programming. ICLARM Stud. Rev. 25. Dahuri, R., J. Rais, M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Dahuri, R. 1999. Pengelolaan Wilayah Pesisir dalam Kontek Pengembangan Kota Pantai dan Kawasan Pantai Secara Berkelanjutan. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Kemaritiman, Jakarta. Dahuri, R. 2001. Potensi dan Permasalahan Pembangunan Kawasan Pesisir Indonesia. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Dinas Perikanan dan Kelautan DKI-Jakarta, (beberapa tahun). Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Perikanan, (beberapa tahun), Statistik Perikanan Indonesia. Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, (beberapa tahun). Statistik Perikanan Tangkap Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan.
163 Dutton, I.M. 2002. Sustainable Development in the Fisheries Industry. Benefits of Implementing Proper and Suistainable Environmental Management. The Challenges Facing the Livesstock and Fisheries Industry in the AFTA 2002 and Globalization Era. International Conference. Bali International Convention Center, 17 - 19 July 2002. Bali. Dykstra, D.P. (1984): Mathematical Programming for Natural Resource Management. McGraw-Hill, New York. EEA. 2001. Eutrophication in Europe’s coastal waters. Topic report 7. European Environment Agency, Kongens Nytorv 6, 1050 Copenhagen K, Denmark. p. 8, 9. ESRI. 1990. Understanding GIS : The Arc/Info Method. Environmental System Research Institute, Inc., Redlands, CA, USA. European Commission Directorate General Joint Research Centre, 2002. Assessment and monitoring of eutrophication in coastal and marine waters, Wolfram Schrimpf, European Commission-Joint Research Centre, Institute for Environment & Sustainability, Inland & Marine Waters Unit. Fauzi, Akhmad dan Suzyana. 2002. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan: Aplikasi Pendekatan RAPFISH (Studi Kasus Perairan Pesisir DKI Jakarta). Pesisir & Lautan. Volume 4, nomor 3. Fauzi, A. dan Buchary. 2002. A Socio-economics Perspective of environmental degaradation at Kepulauan Seribu National Park, Indonesia. Coastal Management Journal Vol 30 (2). p. 167-181. Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan.Teori dan Aplikasi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Isu Sintesis dan Gagasan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fauzi, A. dan Anna S. 2005. Permodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fauzi, A, 2006. A Prodictive, dynamic model of Indonesi, Livereef fish the live in Brian Johsen and Being Eeating (Ed) Economic adn Marketing of the reef fish trade in Asia Pasific. ACIAR working paper. Fedra, Kurt., Enrico Feoli. 1998. GIS Technology and Spatial Analysis in Coastal Zone Management. EEZ Technology, Ed 3. Food and Agricultural Organization (FAO). 1973. Manual of Fisheries Science. Part 1. An Introduction to Fisheries Science. Fisheries Technical Paper No. 118. 43 p.
164
Food and Agricultural Organization (FAO). 1995. Code of Conduct for Resposible Fisheries. FAO. Rome. Food and Agricultural Organization (FAO). 1999. Indicators for Suistainable Development of Marine Capture Fisheries. Technical Guidelines for Responsible Fisheries No. 8. Rome. 68 p. Gordon, H. 1954. The Economic Theory of A Common Property Resource : The Fishery. Journal Political Economics, 62 : 124-142. Gross, M.G. and Elizabeth Gross. 1996. Oceanography. A view of Earth. 7th edition. Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey. Gulland, J.A. 1983. Fish Stock Assessment. A Manual of Basic Methods. FAO/Wiley Series on Food and Agricultural. Vol. 1. John Wiley & Sons, Chichester. Hossain, Md. Shahadat and C. Kwei Lin 2001. Land Use Zoning for Integrated Coastal Zone Management: Remote Sensing, GIS and RRA Approach in Cox’s Bazar Coast, Bangladesh. ITCZM Monograph no 3, 25 pp. Kay, R. And J. Alder. 1999 Coastal Planning and Management. E & FN Spon. London. Liau, I Chiu. 1999. Aquacultur Develpopment Strategy in Asia for the 21st Century. in Robert A. R.Oliver (Ed) Sustainable Fishery Management in Asia. Asian Productivity Organisation. Menteri Pertanian Republik Indonesia, 1990. Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia (Kepmen) No.815 Tahun 1990 jo No. 428 Tahun 1999 jo. Kepmen Eksplorasi Laut dan Perikanan No. 45 Tahun 2000 tentang Perizinan Usaha Perikanan. Kunarjo, 2002. Perencanaan dan Pengendalian Program Pembangunan. Jakarta Penerbit Universitas Indonesia. Menteri Kelautan dan Perikanan, 2004. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan, Nomor Kep. 10/Men/2004 tentang Pelabuhan Perikanan. Nasendi, B.D. dan A. Anwar. (1985). Program Linear dan Variasinya. Gramedia. Jakarta. Nikijuluw, V. P. H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta. POT. Pustaka Cidesindo. Noronha, Ligia., et all 2002. Coastal Tourism, Environment, and Sustainable Local Development. TERI, New Delhi India.
165 Nybaken, W.J. 1992 Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologi. PT. Gramedia. Jakarta. Pakpahan, A., Hermanto dan M.H. Sawit, 1995. Kemiskinan di Pedesaan Konsep, Masalah dan Penanggulangannya. Kemiskinan di Pedesaan : Masalah dan Alternatif Penanggulangannya. Proseding Pengembangan Hasil Penelitian. Buku 1. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (1-12) 291 p. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1998, Analisis Dampak Lingkungan Regional Reklamasi dan Revitalisasi Pantura Jakarta. Pemerintah Kabupaten Serang.2001. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Serang Nomor 5 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kawasan Pantai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 15 Tahun 1990 jo No. 46 Tahun 1993 jo No. 141 Tahun 2000 tentang Usaha Perikanan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 69 tahun 1996 Tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 54 tahun 2002 tentang Usaha Perikanan. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No.8 tahun 1998 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 416/Men.Kes/ Pen/IX/1990 Tentang Persyaratan Air Bersih. Pinet, P.R., 2000. Invitation to Oceanography. Second Edition. Jones and Barlett Publishers, Sudbury, Massachusetts. Pitcher, T.J, 1999. Rapfish, A Rapid Appraisal Technique for Fisheries, and its Application to the Code of Conduct for Resfonsible Fisheries. Rome. Food and agriculture Organization of the United Nations. Pitcher, T.J and D. Preikshot, 2001. Rapfish : A Rapid Appraisal Technique to Evaluate the Sustainability Status of Fisheries. Fisheries Research 49 (3): 255-270. Pongthanapanich, Tipparat. 2006. Optimal Coastal Land Use and Management in Krabi, Thailand: Compromise Programming Approach. University of Southern Denmark. Purwanto, 2002. Eksploitation Status and a Strategy For the Management of the Java Sea Fisheries. dalam F. Cholik, E.S. Heruwati, A. Jauzi dan P.I.
166 Basuki (Ed). Menggapai Cita-Cita Luhur, Perikanan Sebagai Sektor Andalan Nasional. Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia (ISPIKANI). Purwanto, 2003. Status and Management of the Java Sea Fisheries in Silvestre G, L. Garces, I. Stobutzki, M. Ahmed, R.A. Valmonte-Santos, CLachicaAlino, P. Munro, V. Christensen and D. Pauli (Ed). Assesment, Management and Future Directions for Coastal Fisheries in Asian Countries. World fish Center Conference Proceding 67. Presiden Republik Indonesia, 1980. Keputusan Presiden Republik Indonesia (KEPRES) No. 39 tahun 1980 tentang Pelarangan Penggunaan Alat Tangkap Trawl. Presiden Republik Indonesia,1990.Keputusan Presiden Republik Indonesia (KEPPRES) No.32 tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Rangkuti, F. , 2005. Analisius SWOT, Teknik Membenah Kasus Bisnis. Reorientasi Kosep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Schaefer, M. 1957. Some Consideration of Population Dynamic and Economic in Relation to the Management of the Commercial Marine Fisheries. Journal of Fisheries Research Board of Canada, 14(5): 669-081. Seijo, J.C., O. Defeo and S. Salas.1998. Fisheries Bioeconomics : Theory, Modeling and Management. FAO Fisheries Technical Paper. Rome. Sorensen, J.C. and S.T. McCreary. 1990. Institutional Arrangement for Managing Resources and Environment 2n ed. Coastal Publiation No. 1. Renewable Resources Information Series. US National Park Services and US Agency for International Development, Washington DC. Sukardjo, Sukristijono, 2002. Integrated Coastal Zone Management (ICZM) in Indonesia: A View from a Magrove Ecologist. Southeast Asian, Vol. 40. No 2. Tahir, Amiruddin., Dietrich G. Bengen, Setyo Budi Susilo. 2002. Analisis Kesesuaian Lahan dan Kebijakan Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir Teluk Balikpapan. Pesisir & Lautan Volume 4, no 3. Undang-Undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam. Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang. Undang-Undang Republik Indonesia No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan.
167
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Republik Indonesia No. 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan ropinsi Daerah Khusus Ibukota. Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. CV. Citra Utama. Jakarta.404 hal. Yunis, Eugenio. 2001. Sustainable Development and Management of Tourism in Coastal Areas. World Tourism Organization, Madrid. Yu, Homming Nanci A. Bermas, 2004. Integrated Coastal Management PEMSEA’S Practices and lessons learn. United Nation Institute for Training and Research (UNITAR) Williams.1974. The Raw Material of Population Dynamics. In Gufland (Eds). Fish Population Dynamics. John Wiley & Sons, New York.