ANALISIS KEBIJAKAN DALAM MENGATASI DAMPAK REKLAMASI TERHADAP KEGIATAN PERIKANAN PANTAI DI TELUK JAKARTA
NONO SAMPONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ANALISIS KEBIJAKAN DALAM MENGATASI DAMPAK REKLAMASI TERHADAP KEGIATAN PERIKANAN PANTAI DI TELUK JAKARTA
NONO SAMPONO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
LEMBAR PENGESAHAN Judul Disertasi : Analisis Kebijakan Dalam Mengatasi Dampak Reklamasi Terhadap Kegiatan Perikanan Pantai di Teluk Jakarta Nama
: Nono Sampono
NIM
: C 462070084
Program Studi : Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc Ketua
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Anggota
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Anggota
Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc Anngota
Diketahui
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian : 8 Februari 2013
Tanggal Lulus :
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T. yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan disertasi ini. Hal ini dimungkinkan karena dukungan berbagai pihak secara tulus kepada penulis. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang mendalam kepada Prof. Dr. Ari Purbayanto, M.Sc., Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. dan Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc sebagai anggota Komisi Pembimbing yang dengan tulus dan sabar telah mencurahkan
bimbingan,
dorongan,
saran
dan
pengetahuan
sehingga
memungkinkan disertasi ini dapat diselesaikan. Penghargaan dan ucapan terima kasih pula penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc dan Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si yang telah bersedia untuk menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup, juga kepada Prof. Dr. Ir. Daniel R. Minintja dan Dr. Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka.
Terima kasih juga
penulis sampaikan kepada ketua program studi Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc, kepada Dr. Nimmi Zulbainarni, S.Pi, M.Si, Irfan Yulianto,S.Pi, M.Si, Adi Susanto, S.Pi, M.Si yang telah memberikan sumbangan pemikiran dalam penyelesaian disertasi ini serta seluruh staf pengajar Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap yang telah memberikan curahan waktu, ilmu dan pengalamannya.
Januari, 2013
Nono Sampono
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 1 Maret 1953, putera ketiga dari lima bersaudara, anak dari Bapak Indris Sampono (Alm) dan Ibu Sarni Tariman (Alm’h). Penulis menikah dengan Norma Riana pada tahun 1985 dan telah dikaruniai tiga orang anak, yaitu Agustini Moerdiana, S.Sos (27 tahun), Taufik Bagus Moerdianto, S.E (23 tahun), Sheila Destaria Moerdianti (22 tahun). Pendidikan Dasar dan Menengah diselesaikan di Ambon. Tahun 1972 penulis melanjutkan pendidikan AKABRI LAUT (lulus tahun 1976). SUSTAFPUR (tahun 1987), SESKOAL (tahun 1993), SESKOGAB (tahun 1997), LEMHANAS (tahun 2003), Sambil menjalankan tugas dijajaran TNI AL, penulis menyelesaikan pendidikan S-1 Universitas HangTuah/UHT di Surabaya (tahun 2003), dan menyelesaikan S-2 di Institut Pertanian Bogor/IPB di Bogor (tahun 2006). Sejak tahun 2003 sampai saat ini penulis aktif memberikan kuliah umum di berbagai Universitas dan Perguruan Tinggi, serta menjadi pembicara diberbagai seminar maupun simposium nasional. Pernah menyampaikan Orasi Ilmiah di Universitas Hang Tuah Surabaya dan Universitas Pattimura Ambon. Saat ini penulis telah memasuki masa purnabakti sebagai perwira TNI AL/Marinir dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal TNI (Marinir). Tahun 2008, penulis mendapat kesempatan untuk meneruskan pendidikan Program Pasca Sarjana S-3 di Program Studi Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana IPB. Bagian dari disertasi ini telah dipublikasikan dalam Jurnal Perikanan dan Kelautan dengan Judul Dampak Reklamasi Teluk Jakarta Terhadap Kegiatan Penangkapan Ikan di Teluk Jakarta serta dalam Jurnal Buletin PSP dengan Judul Strategi Nelayan dalam Menghadapi Dampak Reklamasi di Teluk Jakarta.
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi “Analisis Kebijakan dalam Mengatasi Dampak Reklamasi Terhadap Kegiatan Perikanan Pantai di Teluk Jakarta” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2013
Nono Sampono C462070084
ABSTRACT NONO SAMPONO. Policy Analysis of Reclamation Impact to Coastal Fisheries in Jakarta Bay. Supervised by ARI PURBAYANTO, JOHN HALUAN, AKHMAD FAUZI and BUDY WIRYAWAN.
Reclamation of the Jakarta Bay is the realistic steps that can be taken by the government in order to meet the needs of industrial and residential land. Reclamation will have impact on economic, social and fisheries sector. The fisheries sector will receive the impact at the first time during both the process of reclamation and postreclamation. Objectives of the study were to analyze the types of fisheries activities that will be affected by reclamation, reclamation impacts on fisheries, fishermen adaptation on reclamation impact and to formulate the strategies to minimizing the impact of reclamation. Survey and in-depth interviews were conducted to collect the data. Geographical Information System analysis, economic valuation, Content Analysis and Analytical Hierarchy Process were used to analyze the data. Reclamation impacts to fisheries mainly due to disturbing of marine traffic for fishermen, destruction of fish habitat, and conflicting with mariculture (green mussel/Perna viridis). The fishing ground impacted directly is around 1.527,34 ha. Payang, dogol, trap, gillnet, liftnet and mariculture will be affected directly by reclamation. Fishermen thought that they would still work on fisheries sector if the fish resources decline. Based on economic valuation the direct benefit of reclamation is IDR 198.554.200.000.000. The strategy to minimize the reclamation impact to fishermen is education and financial support to fishermen family. Keywords: reclamation, Jakarta Bay, impact, policy, coastal, fisheries
RINGKASAN NONO SAMPONO. Analisis Kebijakan dalam Mengatasi Dampak Reklamasi Terhadap Kegiatan Perikanan Pantai di Teluk Jakarta. Dibimbing oleh ARI PURBAYANTO, JOHN HALUAN, AKHMAD FAUZI dan BUDY WIRYAWAN. Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan telah berkembang manjadi kota yang padat dengan berbagai permasalahannya yang kompleks. Masalah ekonomi, transportasi, sosial hingga kriminalitas membutuhkan perhatian pemerintah untuk segera diselesaikan. Meskipun demikian, daya tarik Jakarta telah mengundang migrasi penduduk dari berbagai daerah untuk bekerja di Jakarta sehingga kepadatan penduduknya menjadi semakin tinggi. Pertumbuhan berbagai industri dan bertambahnya penduduk di Jakarta membutuhkan ruang terbuka yang luas. Untuk memenuhi kebutuhan ruang tersebut maka pemerintah harus menyediakan lahan baru.
Bagian darat wilayah Jakarta
sudah tidak memungkinkan untuk menampung berbagai aktivitas masyarakat sehingga pilihan reklamasi menjadi alternatif yang paling realistis.
Reklamasi
menjadi bagian dari pembangunan Jakarta Water Front City yang diharapkan akan menjadi solusi terhadap kebutuhan lahan yang semakin mendesak. Reklamasi yang akan dilakukan di Teluk Jakarta tentunya akan membawa berbagai dampak baik teknis, ekologi, ekonomi, sosial maupun perikanan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kegiatan perikanan yang akan terdampak, menganalisis dampak kegiatan reklamasi terhadap aktivitas perikanan, menganalisis strategi adaptasi nelayan akibat dari kegiatan reklamasi dan merumuskan strategi kebijakan pengelolaan perikanan akibat pembangunan water front city di Teluk Jakarta. Pengumpulan data dilakukan di wilayah pesisir Teluk Jakarta meliputi wilayah Cilincing, Muara Angke dan Muara Baru dengan melakukan survei dan wawancara mendalam dengan responden.
Data yang diperoleh dianalisis dengan metode
Geographical Information System (GIS), Interpretative Structural Modelling (ISM), valuasi ekonomi dan Analisis Hierarki Proses (AHP). Kegiatan perikanan yang terdampak langsung dari kegiatan reklamasi adalah perikanan payang, dogol, bubu dan gillnet serta budidaya kerang hijau. Luas daerah penangkapan dan budidaya kerang hijau (Perna viridis) akan terdampak langsung dari kegiatan reklamasi mencapai 1.527,34 ha. Dampak yang paling utama akan dirasakan dari reklamasi adalah perubahan daerah penangkapan ikan, hilangnya lokasi budidaya kerang hijau, gangguan terhadap jalur perahu nelayan dan penurunan kualitas sumberdaya ikan. Strategi adaptasi yang dipilih nelayan terhadap dampak reklamasi adalah tetap melakukan kegiatan perikanan (perikanan tangkap
maupun budidaya) meskipun terjadi penurunan hasil tangkapan/budidaya atau harus berpindah ke lokasi yang baru. Nilai manfaat ekonomi kegiatan perikanan tangkap yang akan terkena dampak reklamasi sebesar Rp. 314,5 M dan 35% diantaranya merupakan manfaat ekonomi dari perikanan gillnet. Nilai manfaat langsung dari kegiatan reklamasi Teluk Jakarta adalah Rp. 198.554.200.000.000,- dengan total biaya (langsung dan tidak langsung) mencapai Rp. 91.460.400.000.000,-. Pada diskonto 12% nilai manfaat bersih
dengan pengurangan kerusakan lingkungan sebesar Rp 625 trilyun sementara jika asumsi konstan hanya sebesar Rp 192 trilyun. Pada diskonto yang rendah yakni sebesar 3% nilai manfaat bersih yang diperoleh lebih besar yakni sebesar Rp 1701.7 trilyun dengan skenario pengurangan kerusakan lingkungan, dan Rp 754,4 trilyun dengan asumsi kerusakan konstan. Reklamasi Teluk Jakarta akan melibatkan berbagai pihak. Aktor pemerintah dan swasta pemegang konsesi memiliki tanggungjawab yang lebih besar untuk meminimumkan dampak dari reklamasi terhadap sektor perikanan. Hal ini tentunya harus dilakukan dengan menggunakan langkah-langkah yang tepat agar masyarakat memberikan dukungan terhadap reklamasi dengan melakukan berbagai kebijakan. Rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan adalah berupa kompensasi di beberapa bidang. Kompensasi bidang pendidikan dapat dilakukan melalui pemberian beasiswa, kompensasi bidang ekonomi melalui pengembangan sumber pendapatan tambahan, kompensasi bidang kimpraswil melalui pembangunan sarana dan prasarana serta kompensasi relokasi sebagai alternatif terakhir.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................... xi DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xviii 1
PENDAHULUAN ...................................................................................... 1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 1.3 Tujuan .............................................................................................. 1.4 Manfaat ........................................................................................... 1.5 Kebaharuan (Novelty) ....................................................................... 1.6 Kerangka Pemikiran ........................................................................
1 1 5 7 8 8 8
2
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 2.1 Reklamasi ........................................................................................ 2.2 Sumberdaya Ikan ............................................................................ 2.3 Alat Penangkapan Ikan .................................................................... 2.3.1 Jaring insang (gillnet) .............................................................. 2.3.2 Bagan ..................................................................................... 2.3.3 Payang ................................................................................... 2.3.4 Dogol ..................................................................................... 2.4 Valuasi Ekonomi ............................................................................. 2.4.1 Konsep nilai ekonomi ............................................................. 2.4.2 Valuasi ekonomi ................................................................... 2.4.3 Teknik pengukuran nilai ekonomi ........................................... 2.5 Proses Hierarki Analitik (PHA) ......................................................... 2.6 Analisis Kebijakan ........................................................................... 2.7 Dampak Reklamasi .........................................................................
11 11 13 14 14 16 17 18 19 19 20 22 27 32 34
3
METODOLOGI ......................................................................................... 3.1 Waktu dan Tempat ........................................................................... 3.2 Pengumpulan Data .......................................................................... 3.3 Analisis Data .................................................................................... 3.3.1 Geographical information system (GIS) ................................ 3.3.2 Aktivitas perikanan terdampak reklamasi ............................. 3.3.3 Analisis dampak reklamasi ................................................... 3.3.4 Analisis strategi adaptasi nelayan ....................................... 3.3.5 Valuasi ekonomi ................................................................... 3.3.6 Proses hierarki analitik (PHA) .............................................. 3.3.7 Analisis isi (Content Analysis) ..............................................
37 37 37 39 39 40 40 41 41 42 44
4
KONDISI UMUM TELUK JAKARTA ......................................................... 4.1 Keadaan Geografi ............................................................................ 4.2 Kondisi Oseanografi Teluk Jakarta .................................................. 4.3 Sumberdaya dan Ekosistem Pesisir ................................................
47 47 47 50 xi
4.4 4.5 4.6
4.7 4.8 5
6
4.3.1 Plankton ............................................................................... 4.3.2 Makrozoobenthos ................................................................ 4.3.3 Nekton ................................................................................. 4.3.4 Mangrove ............................................................................. 4.3.5 Terumbu karang .................................................................. Ancaman terhadap Wilayah Pesisir Teluk Jakarta ........................... Potensi Sumberdaya Ikan ................................................................ Unit Penangkapan Ikan .................................................................... 4.6.1 Alat penangkapan ikan ........................................................ 4.6.2 Armada penangkapan .......................................................... 4.6.3 Nelayan dan rumah tangga perikanan ................................. Hasil Tangkapan ............................................................................. Perikanan Budidaya .........................................................................
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 5.1 Kegiatan Perikanan terdampak Reklamasi ..................................... 5.2 Persepsi Dampak Reklamasi ........................................................... 5.3 Manfaat ekonomi ............................................................................. 5.4 Strategi Adaptasi Nelayan ................................................................ 5.5 Analisis Kebijakan ............................................................................ 5.6 Kebijakan Strategis .......................................................................... 5.6.1 Penetapan prioritas ............................................................. 5.6.2 Kriteria prioritas kebijakan pemerintah untuk reklamasi Teluk Jakarta ...................................................................... 5.6.3 Analisis perbandingan menyeluruh ...................................... 5.7 Rekomendasi Kebijakan ..................................................................
50 50 51 51 53 53 55 57 57 59 60 61 63 67 67 75 81 89 92 105 106 107 112 114
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 117 6.1 Kesimpulan ..................................................................................... 117 6.2 Saran ............................................................................................. 118
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 119
xii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Jumlah nelayan di Jakarta tahun 2005 – 2009 (orang) .............................. 3
2
Jumlah armada penangkapan ikan di Jakarta tahun 2005 – 2010 ............. 4
3
Tempat Pendaratan Ikan dengan jumlah ikan yang didaratkan
4
Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty (1993) ....................................................................................................... 30
5
Matriks elemen .......................................................................................... 31
6
Menjumlahkan nilai dalam setiap kolom, matrik normalisasi dan vektor prioritas .................................................................................................... 31
7
Nilai indeks acak (RI) matriks berordo 1 s/d 15 ......................................... 32
8
Jenis, sumber dan metode pengumpulan data penelitian .......................... 39
9
Luas dan kerapatan tutupan mangrove Tahun 2011 ................................. 51
............ 4
10 Vegetasi mangrove di kawasan pesisir Teluk Jakarta bagian barat Tahun 2011 ...................................................................................... 52 11 Potensi sumberdaya ikan di WPP 712 ...................................................... 55 12 Jumlah dan jenis alat tangkap di DKI Jakarta 2006 - 2011 ........................ 57 13 Jumlah armada penangkapan di DKI Jakarta tahun 2005 - 2009 .............. 59 14 Jumlah nelayan di Jakarta tahun 2008 - 2011 ........................................... 60 15 Jumlah RTP di DKI Jakarta tahun 2008 - 2011 ........................................ 61 16 Jenis hasil tangkapan nelayan di DKI Jakarta Tahun 2008 - 2011 ............ 62 17 Perkembangan luas lahan budidaya perikanan di DKI Jakarta Tahun 2000 - 2009................................................................................................ 64 18 Jumlah pembudidaya di DKI Jakarta, Tahun 2000 – 2009 ........................ 65 19 Jumlah nelayan pembudidaya kerang hijau di Teluk Jakarta
tahun 2005-2009 ............................................................................... 65 20 Jumlah bagan dan produksi kerang hijau di Teluk Jakarta tahun
2005-2009 ......................................................................................... 66 21 Estimasi luasan daerah penangkapan ikan terdampak langsung rekalmasi di Teluk Jakarta ......................................................................... 73 22 Manfaat ekonomi dari kegiatan perikanan tangkap menurut alat tangkap di Kawasan Teluk Jakarta ............................................................ 82 23 Valuasi ekonomi hutan mangrove ............................................................. 83 24 Kerugian ekonomi akibat banjir ................................................................. 85 25 Nilai NPV dengan skenario pengurangan kerusakan lingkungan ...... 86 26 Nilai NPV dengan net benefit tanpa kerusakan lingkungan dan
kerusakan lingkungan ........................................................................ 88 xiii
27 Nilai NPV dengan skenario net benefit tanpa external dan
external yang berkurang ................................................................... 89 28 Hasil analisis kebijakan perundangan terkait reklamasi ............................. 94 29 Hasil perhitungan bobot kriteria ................................................................. 107 30 Hasil perhitungan prioritas kriteria hukum ................................................. 107 31 Bobot alternatif dari sub kriteria persepsi masyarakat ............................. 108 32 Bobot alternatif sub kriteria demografi ........................................................ 108 33 Hasil perhitungan prioritas kriteria budaya ............................................ 109 34 Bobot alternatif sub kriteria hilangnya ruang interaksi sosial ..................... 109 35 Bobot alternatif sub kriteria perubahan basis produksi masyarakat ............ 110 36 Hasil perhitungan prioritas kriteria biologi .................................................. 110 37 Bobot alternatif sub kriteria kelestarian habitat perairan pesisir ................. 111 38 Bobot alternatif sub kriteria keragaman biota pesisir ................................. 111 39 Hasil perhitungan prioritas kriteria teknis ................................................... 112 40 Bobot alternatif sub kriteria perubahan aktivitas ekonomi .......................... 112 41 Bobot alternatif sub kriteria tingkat pendapatan masyarakat ..................... 112 42 Bobot prioritas alternatif kebijakan pemerintah untuk dampak reklamasi.... 113
xiv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka perumusan masalah ................................................................. 7
2
Kerangka pemikiran penelitian .................................................................. 9
3
Tipologi nilai ekonomi total (Sumber : Barton 1994) ................................. 22
4
Struktur hierarki PHA ................................................................................ 29
5
Lokasi penelitian ....................................................................................... 38
6
Struktur hierarki analisis dampak reklamasi di Teluk Jakarta .................... 44
7
Gambar bathymetri Teluk Jakarta (Sumber: Map Sources dan Jury et al. 2011) .................................................................................................... 48
8
Produksi perikanan tangkap DKI Jakaarta tahun 2008-2011 ..................... 56
9
Bagan tancap di Teluk Jakarta .................................................................. 58
10 Komposisi jumlah alat tangkap di DKI Jakarta tahun 2011 ........................ 58 11 Jumlah armada penangkapan di DKI Jakarta tahun 2011 ......................... 59 12 Kapal jaring insang yang sedang melakukan penangkapan ikan di Teluk Jakarta ............................................................................................ 60 13 Persentase produksi perikanan DKI Jakarta berdasarkan kelompok SDI ............................................................................................................ 63 14 Peta Rencana Reklamasi ........................................................................... 69 15 Peta daerah penangkapan ikan di Teluk Jakarta ....................................... 71 16 Peta overlay rencana reklamasi dan daerah penangkapan ikan di Teluk Jakarta ........................................................................................... 74 17 Dampak reklamasi terhadap daerah penangkapan ikan berdasarkan sebaran wilayah responden ....................................................................... 76 18 Dampak reklamasi terhadap jalur perahu nelayan berdasarkan sebaran wilayah responden .................................................................................... 77 19 Dampak reklamasi terhadap kegiatan budidaya berdasarkan sebaran wilayah responden .................................................................................... 78 20 Dampak reklamasi terhadap sumberdaya ikan berdasarkan sebaran wilayah responden ................................................................................... 79 21 Perbandingan Present Value manfaat bersih (Net BC) dengan pengurangan kerusakan dan tanpa pengurangan kerusakan dengan diskonto yang berbeda .............................................................................. 87 22 Nilai PV dengan eksternalitas konstan (discount rate berbeda).................. 88 23 Nilai PV Net Benefit dengan nilai kerusakan yang berkurang..................... 89 24 Strategi adaptasi nelayan menghadapi penurunan hasil tangkapan akibat reklamasi ......................................................................................... 90
xv
25 Strategi adaptasi nelayan menghadapi hilangnya daerah penangkapan atau lahan budidaya perikanan .................................................................. 91 26 Prioritas kebijakan pemerintah untuk reklamasi Teluk Jakarta .................. 106
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Peraturan Gubernur DKI Jakarta tentang rekklamasi ................................. 128 2 Extended cost benefit analisis dampak reklamasi Teluk Jakarta di
wilayah penelitian (konstan) .............................................................. 165 3 Extended cost benefit analisys dampak reklamasi Teluk Jakarta
skenario ............................................................................................. 166
xvii
DAFTAR ISTILAH Analitical Hierarchi Process : suatu teori umum tentang pengukuran yang digunakan untuk menemukan skala rasio baik perbandingan pasangan yang diskrit maupun kontinyu. Armada perikanan
: sekelompok kapal-kapal yang akan melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu daerah perairan (fishing ground).
Kapal perikanan
: kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian atau eksplorasi perikanan.
Kebijakan
: seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik, dan merupakan manivestasi dari penilaian yang penuh pertimbangan.
Nelayan
: orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya. Ahli mesin dan juru masak yang bekerja diatas kapal penangkapan dikategorikan nelayan meskipun tidak melakukan aktivitas penangkapan.
Nelayan penuh
: nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan.
Nelayan sambilan tambahan : nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. Nelayan sambilan utama : nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. Selain penangkapan ikan sebagai pekerjaan utama, nelayan kategori ini dapat pula mempunyai pekerjaan lain. Nilai ekonomi total (total economic value) : sebuah konsep yang sederhana yang dapat digunakan untuk menghitung nilai total dari beberapa sumberdaya alam, yang tersusun dari komponen-komponen yang berbeda Nilai manfaat
: suatu nilai yang timbul dari pemanfaatan sebenarnya suatu fungsi atau sumberdaya yang terdapat dalam suatu ekosistem
Pemasaran
: tindakan yang berkaitan dengan pergerakan barangbarang dan jasa dari produsen ke tangan konsumen.
Pengelolaan perikanan : semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pengembangan berkelanjutan : laju pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang tidak melampaui kemampuan pulih dan resultan dampak negatif yang ditimbulkan tidak melebihi kemampuan kawasan pesisir/laut untuk menetralisirnya. Perikanan tangkap
: kegiatan ekonomi yang mencakup penangkapan atau pengumpulan hewan dan tanaman air yang hidup di air laut atau perairan umum secara bebas.
Reklamasi
: upaya pengadaan lahan dengan cara mengeringkan rawa, daerah pasang surut dan sebagainya
Unit penangkapan
: kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan yang terdiri dari kapal, alat tangkap dan nelayan.
Valuasi ekonomi
: upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan, baik atas nilai pasar (market value) maupun nilai non pasar (non market value)
1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Jakarta sebagai ibukota negara dan pusat pemerintahan sejak abad ke-
17 telah menjadi kota Bandar, karena memiliki posisi sangat strategis secara geopolitik dan geostrategis. Kota Jakarta juga merupakan pusat perdagangan sekaligus perekonomian yang memiliki kontribusi paling besar terhadap kondisi perekonomian Indonesia.
Keberadaan berbagai industri untuk memenuhi
kebutuhan domestik maupun internasional di sekitar wilayah Jakarta memerlukan pendistribusian barang dari dan ke Jakarta sehingga wilayah di sekitar Jakarta turut tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan Kota Jakarta. Daya tarik Jakarta telah memicu kepadatan penduduk yang tinggi, dengan jumlah penduduk mencapai 10,2 juta jiwa (BPS DKI Jakarta, 2012). Tentunya hal tersebut akan membawa persoalan tersendiri, antara lain permasalahan perkotaan, pemukiman, infrastruktur, transportasi, rekreasi, lingkungan hidup dan lain-lain. Pertumbuhan kota Jakarta yang semakin pesat membutuhkan konsep perencanaan tata kota yang tepat sehingga tidak semakin menambah permasalahan yang sudah ada.
Upaya perencanaan tata Kota
Jakarta tersebut kemudian diwujudkan dengan rencana pengembangan dan pembangunan Jakarta Water Front City, mengingat Jakarta memiliki akses dan wilayah laut yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif dalam pembangunan Jakarta yang lebih baik. Salah satu daerah yang berada dan berhadapan langsung dengan laut adalah kawasan Teluk Jakarta. Wilayah Teluk Jakarta meliputi daerah pesisir Jakarta dan Perairan Teluk Jakarta yang dibatasi oleh Tanjung Pasir di sebelah Barat (6°00,96’ LS/106°47,76’ BT) dan semenanjung Muara Gembong di bagian Timur (5°56,48’ LS/107°01,93’ BT). Wilayah ini merupakan teluk yang dangkal dengan kontur kedalaman 5 meter yang berjarak 1 km dari pantai, kemudian kontur kedalaman 10 meter pada jarak 3 km dari pantai. Luas keseluruhan perairan Teluk Jakarta adalah 514 km², dengan panjang garis pantai sekitar 72 km. Saat ini Teluk Jakarta ini telah mengalami perubahan akibat pembangunan pesisir yang sangat signifikan dalam kurun waktu beberapa dekade terakhir ini, dan masih banyak lagi sejumlah proyek pembangunan yang akan diusulkan maupun sedang berlangsung yang akan memberikan dampak serius terhadap wilayah disekitar Teluk Jakarta.
Seperti kita ketahui bahwa dalam waktu dekat akan ada rencana reklamasi Teluk Jakarta untuk memenuhi kebutuhan lahan pembangunan serta untuk perluasan kawasan sebagai salah satu tahap dalam pengambangan Jakarta Water Front City.
Dalam hal reklamasi Teluk Jakarta, konsep
pembangunan teluk Jakarta mungkin mengambil contoh dari kesuksesan pembangunan kawasan pantai baru di kota-kota besar dunia, seperti Galangan Kapal di London dan Kawasan Marina Bay di Singapura.
Untuk mengatasi
keterbatasan lahan tersebut, kegiatan reklamasi pantai ini juga dapat memainkan peran sangat penting dalam penataan ulang dan dapat memberikan karakter tersendiri terhadap Kawasan Pantai Utara Jakarta. Setelah mempelajari berbagai profil reklamasi, struktur jalan dan usulan penggunaan lahan untuk kawasan pesisir Teluk Jakarta, maka dapat disimpulkan bahwa sebahagian besar dari profil reklamasi yang diajukan bersifat fungsional, tanpa fitur atau usulan tematik yang terarah. Usulan penyediaan akses kedaratan reklamasi
yang
ada
menunjukan
bahwa
pulau-pulau
reklamasi
hanya
direncanakan sebagai perluasan dari aktifitas perkotaan di daratan yang telah ada. Selain itu, tidak ada tawaran susulan pusat aktifitas perkotaan baru yang dapat dikembangkan di pulau reklamasi tersebut. Sebenarnya dengan mempertimbangkan jarak yang relatif dekat dari/ke bandara dibandingkan terhadap kawasan niaga pusat, maka kota pantai Jakarta dapat dijadikan wilayah yang sangat ideal untuk pengembangan bisnis berskala internasional yang bernilai tinggi. Oleh karenanya perlu diciptakan simpul aktifitas baru dalam pembangunan kota pantai, karena warga Jakarta sudah sangat jenuh dengan kondisi lingkungan pesisir yang umumnya dikonotasikan dengan kotor akibat polusi, sampah dan limbah. Sehubungan dengan rencana reklamasi tersebut maka diperlukan kajian terhadap dampak yang ditimbulkan baik dalam bentuk fisik, kimia dan biologi, juga isu-isu lain yang mengemuka seperti sosial budaya terutama menyangkut kehidupan nelayan dan perikanan. Untuk membedakan vektor dengan dampak utama maka dikatagorikan ada 2 macam, yaitu dampak proses dan dampak proyek. Dampak proses merupakan dampak yang muncul akibat pilihan metode konstruksi dan atau tahapan pelaksanaan konstruksi, sedangkan dampak proyek adalah dampak yang sepenuhnya diakibatkan oleh keputusan untuk membangun proyek reklamasi di lokasi tertentu.
2
Sebagian masyarakat, khususnya yang tergabung dalam organisasi lingkungan sebenarnya telah menunjukkan sikap menentang terhadap kegiatan reklamasi (Putri, 2007).
Terkait dengan hal tersebut, maka pengendalian
terhadap proyek yang berlangsung (termasuk aktifitas pengerukan) sangat diperlukan untuk memastikan bahwa dampak yang terjadi terhadap kegiatan perikanan tangkap dan budidaya yang ada sekecil mungkin.
Memang yang
harus menjadi perhatian kita bersama bahwa potensi dampak terhadap perikanan tidaklah semata diakibatkan oleh keberadaan daratan baru yang terbentuk, melainkan juga oleh proses pembangunan dan aktifitas lain yang terkait dengan reklamasi tersebut. Populasi nelayan di Jakarta dapat dikategorikan menjadi nelayan pemilik dan pekerja. Pada tahun 2009, jumlah nelayan pemilik sebanyak 2.366 orang, dan 16.581 orang nelayan merupakan buruh. Bila dilihat berdasarkan status penduduk, terdapat 10.268 orang nelayan tetap dan 8.679 orang nelayan pendatang (Tabel 1). Populasi nelayan yang tinggi telah mengakibatkan fasilitas dan infrastruktur yang tersedia tidak mencukupi termasuk perumahan bagi para nelayan, sehingga sisi kanal-kanal untuk perbaikan kapal telah digunakan juga untuk pemukiman. Aktifitas perikanan saat ini didominasi oleh payang, purse seine, jaring rampus, jaring insang, bagan dan perangkap (bubu). Ikan yang menjadi target penangkapan diantaranya ikan baronang, kerapu, belanak, julungjulung, cendro dan sebagainya. Selain sejenis ikan, salah satunya adalah kerang hijau yang dibudidayakan di perairan pesisir Utara Jakarta. Tabel 1 Jumlah nelayan di Jakarta tahun 2005 – 2009 (orang) Nelayan penetap
Nelayan pendatang
Total nelayan
Tahun Pemilik Pekerja
Total
Pemilik Pekerja
Total
Pemilik
Pekerja
Total
2005
3.140
11.887
15.017
1.028
6.875
8.903
5.168
18.752
23.820
2006
2.826
10.690
13.516
1.827
6.191
8.018
4.653
16.881
21.534
2007
2.441
9.586
12.027
1.662
5.545
7.207
4.103
15.131
19.234
2008
1.060
9.358
10.418
1.708
8.089
9.797
2.768
17.447
20.215
2009
1.123
9.145
10.268
1.243
7.436
8.679
2.366
16.581
18.947
Sumber: DKPP Jakarta Utara (2010)
Armada penangkapan di Jakarta mengalami fluktuasi sepanjang tahun 2005-2010. Peningkatan paling tinggi terjadi pada tahun 2006 yang mencapai 15,85%.
Pada tahun 2009 terjadi penurunan yang cukup drastis dari tahun 3
sebelumnya yang mencapai 14,84%.
Bila dilihat secara keseluruhan maka
armada penangkapan di Jakarta masih didominasi oleh kapal < 5 GT seperti disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Jumlah armada penangkapan ikan di Jakarta tahun 2005 – 2010
Tahun 0-5 GT
5-10
10-20
10-30
30-50
>50
GT
GT
GT
GT
GT
Total
Perkemba ngan (%)
Jumlah armada penangkapan (unit)
2005
883
702
609
432
287
1.692
4.605
-
2006
1.235
1.420
538
379
191
1.572
5.335
15,85
2007
1.403
1.365
662
358
180
1.411
5.379
0,82
2008
1.728
2.021
431
569
120
1.194
6.063
12,72
2009
1.616
1.613
210
485
119
1.120
5.163
-14,84
2010
1.716
1.907
247
280
169
1.391
5.710
10,59
Sumber : KKP 2011
Kondisi faktual saat ini terdapat 6 (enam) Tempat Pendaratan Ikan di sepanjang Teluk Jakarta, yaitu TPI Cilincing, Kali Baru, Muara Baru, Pasar Ikan, Kamal Muara dan PPI Muara Angke. TPI Muara Angke merupakan TPI dengan produktivitas tertetinggi dibandingkan dengan TPI yang lainnya. Produktivitas setiap TPI pada kurun waktu 2006-2011 disajikan pada Tabel 3.
Tahun
TPI Kali Baru (Ton)
TPI Muara Baru (Ton)
TPI Muara Angke (Ton)
TPI Pasar Ikan (Ton)
TPI Kamal Muara (Ton)
TPI Cilincing (Ton)
Jumlah (Ton)
Perkemb angan (%)
Tabel 3 Tempat pendaratan ikan dengan jumlah ikan yang didaratkan
2006
326,80
25.883,76
14.695,81
638,00
588,37
329,24
42.461,97
-
2007
533,40
99.992,39
17.108,11
722,31
521,25
263,96
119.141,42
180,58
2008
473,65
64.725,53
14.552,67
183,74
467,58
240,81
80.643,97
-32,31
2009
503,72
93.003,23
18.269,06
160,22
430,11
213,54
112.579,88
39,60
2010
496,72
90.763,97
16.407,07
164,12
433,47
205,44
108.470,78
-3,65
2011
348,35
18.998,86
20.624,70
-
271,90
121,95
204.365,76
88,41
Sumber : BPS DKI Jakarta 2012
4
Hal yang sangat menarik adalah pelaksanaan proyek reklamasi pantai Utara Jakarta ini akan dilaksanakan oleh berbagai Perusahan Swasta. Artinya telah terjadi pemberian kewenangan parsial oleh Pemerintah DKI Jakarta terhadap masing-masing perusahaan pengembang dalam merencanakaan dan pengelolaan
wilayah
reklamasi,
sehingga
bisa
dipastikan
akan
dapat
menimbulkan berbagai permasalahan dikemudian hari. Dengan demikian sangatlah diperlukan kajian maupun penilaian strategis dan komprehensif yang ditujukan untuk mengukur dampak kumulatif secara keseluruhan. Selanjutnya diharapkan kegiatan reklamasi di Teluk Jakarta tidak akan menimbulkan permasalahan-permasalahan, sebagai berikut : 1) Konflik penggunaan lahan antara kegiatan yang saat ini berlangsung dengan rencana masa depan, 2) Dampak langsung atau tidak langsung terhadap infrastruktur dan industri yang sudah ada, 3) Kondisi perairan yang tidak optimum akibat pengaruh perendaman di hilir, sedimentasi dan penurunan kualitas air, dan 4) Dampak lingkungan pelaksanaan proyek reklamasi dalam jangka panjang.
1.2
Rumusan Masalah Perkembangan Kota Jakarta sebagai pusat pemerintahan negara
sekaligus pusat perkonomian tidak dapat dipungkiri memberikan manfaat sekaligus permasalahan di berbagai sendi kehidupan.
Masalah perkotaan
seperti kebersihan, keamanan, pemukiman, kebutuhan ruang terbuka hijau, pengangguran
hingga
kriminalitas
membutuhkan
perhatian
besar
untuk
diselesaikan.
Pertumbuhan penduduk Jakarta yang tinggi menyebabkan
kebutuhan akan ruang yang lebih luas semakin besar. Reklamasi Teluk Jakarta sebagai salah satu program dalam upaya memperluas wilayah daratan untuk kebutuhan pembangunan, menjadi salah satu pilihan terbaik yang dapat dilakukan.
Penambahan luas daratan hasil reklamasi diharapkan mampu
meningkatkan pertumbuhan ekonomi baik melalui tumbuhnya usaha baru maupun pengembangan usaha yang sudah ada sebelumnya. Program reklamasi Teluk Jakarta akan memberikan dampak yang luas baik pada aspek teknis, sosial, ekonomi hingga lingkungan (ekologi). Salah satu sektor yang akan terpengaruh oleh kegiatan reklamasi adalah aktivitas perikanan di sekitar Teluk Jakarta terutama nelayan tradisional. Dampak reklamasi akan dirasakan baik pada saat proses reklamasi berlangsung maupun pasca
5
reklamasi. Reklamasi akan berpengaruh terhadap daerah penangkapan ikan, jalur kapal, sumberdaya ikan dan aktivitas budidaya perikanan. Meskipun aktivitas perikanan tangkap yang memiliki DPI di sekitar Teluk Jakarta merupakan perikanan skala kecil, namun keberadaannya tidak dapat dianggap sebagai sektor yang tidak berperan bagi perikanan Jakarta. Gangguan terhadap sektor perikanan tradisional dapat menimbulkan ancaman yang serius terhadap stabilitas sosial masyarakat pesisir Jakarta. Terlebih lagi kebijakan pengembangan Jakarta sebagai water front city perlu mendapat dukungan masyarakat terutama masyarakat pesisir yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Oleh karena itu valuasi ekonomi terhadap kegiatan perikanan tradisional perlu dilakukan dalam upaya meminimumkan dampak reklamasi pantai Utara Jakarta terhadap perikanan di sekitarnya. Aktivitas reklamasi selain akan berdampak langsung terhadap kegiatan perikanan juga akan berdampak langsung pada kegiatan ekonomi masyarakat yang berada di sekitar pantai yang direklamasi. Pemerintah Daerah Jakarta harus
mampu
meminimumkan
memberikan dampak
berbagai
merugikan
alternatif
dari
strategi
kegiatan
dalam
reklamasi
dan
upaya lebih
mengoptimalkan peluang pengembangan berbagai aktivitas ekonomi baik yang sudah ada maupun yang bersifat introduksi. Oleh karena itu diperlukan analisis kebijakan sehingga diperoleh rekomendasi kebijakan yang komprehensif dalam upaya pemanfaatan secara optimal reklami pantai Utara Jakarta terutama bagi sektor perikanan.
Diagram perumusan masalah penelitian disajikan pada
Gambar 1. Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis dampak reklamasi di Teluk Jakarta terhadap sektor perikanan.
Permasalahan yang akan menjadi
kajian adalah: 1)
Kegiatan perikanan apa saja yang akan terdampak langsung dari kegiatan reklamasi Teluk Jakarta?
2)
Bagaimana dampak kegiatan reklamasi di Teluk Jakarta terhadap aktivitas perikanan?
3)
Bagaimana strategi nelayan dalam menghadapi dampak reklamasi tersebut?
4)
Bagaimana strategi kebijakan yang dapat dilakukan dalam rangka meminimumkan dampak reklamasi teluk Jakarta?
6
a. b. c. d. e.
Kondisi Jakarta Saat ini Ibu kota negara Pusat pemerintahan Pusat ekonomi dan perdagangan Memiliki kawasan pesisir dan laut yang luas Kawasan Strategis Nasional Permasalahan Inflasi, Kependudukan, Pemukiman, Tata kota, Kemacetan, Kebersihan, dll
Perluasan Wilayah JAKARTA WATER FRONT CITY
REKLAMASI TELUK JAKARTA Dampak Teknis sosial, ekonomi, lingkungan, perikanan, kependudukan, industri dll
Dibutuhkan Kebijakan untuk Meminimumkan Dampak
Penelitian Mengetahui dampak reklamasi pada sektor perikanan (DPI, SDI, Budidaya, Jalur Kapal)
Penelitian untuk Menghasilkan REKOMENDASI Kebijakan bidang Perikanan
Gambar 1 Kerangka perumusan masalah
1.3
Tujuan Tujuan umum dari penelitian ini adalah memformulasikan rekomendasi
kebijakan dalam upaya meminimumkan dampak reklamasi di Teluk Jakarta terhadap kegiatan perikanan pantai sebagai bentuk perwujudan pembangunan Jakarta dengan konsep water front city.
7
Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1)
Menganalisis kegiatan perikanan pantai yang akan terdampak langsung dari kegiatan reklamasi Teluk Jakarta.
2)
Menganalisis dampak kegiatan reklamasi terhadap aktivitas perikanan di Teluk Jakarta
3)
Menganalisis strategi adaptasi nelayan akibat dari kegiatan reklamasi.
4)
Merumuskan
strategi
kebijakan
pengelolaan
perikanan
akibat
pembangunan water front city di Teluk Jakarta. 1.4
Manfaat Hasil dan penelitian ini akan memberikan manfaat bagi pengambil
kebijakan perikanan dan kelautan untuk pengelolaan Teluk Jakarta menuju water front city yang ramah lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Lebih jauh, hasil penelitian ini dapat memberikan pembelajaran ilmiah tentang nilai ekonomi kegiatan perikanan di Teluk Jakarta yang dapat di terapkan di kawasan pesisir di Indonesia, dengan melihat kekurangan dan kelebihan kajian ini.
1.5
Kebaharuan (Novelty) Penelitian rekomendasi kebijakan dalam upaya meminimumkan dampak
reklamasi Teluk Jakarta ini akan memberikan sumbangan keilmuwan berupa perumusan kebijakan kompensasi kegiatan perikanan serta pengelolaan perikanan yang obyektif berdasar valuasi ekonomi. Jawaban dari penelitian ini yang merupakan hal baru tentang bagaimana pembayaran kompensasi sebaiknya
dilaksanakan
dan
pada
tingkatan
mana
kompensasi
dapat
memberikan keuntungan terutama kepada pengguna sumberdaya ikan yang terdampak pembangunan water front city?. 1.6
Kerangka Pemikiran Berdasarkan uraian latar belakang, tujuan dan permasalahan yang telah
diuraikan sebelumnya, maka kerangka pemikiran penelitian ini dapat diuraikan seperti pada Gambar 2.
8
MULAI
1) 2) 3) 4)
Permasalahan : Sebagian daerah penangkapan ikan hilang. Perubahan Akses dan jalur dari Fishing base ke Fishing ground. Hilangnya wilayah budidaya Potensi sumber daya ikan berkurang.
Analisis Fishing Ground
Analisis Aksesibilitas
Analisis Ekonomi
Wawancara GIS (Analisis Spasial)
Wawancara GIS (Analisis Spasial)
Wawancara~data sekunder Valuasi ekonomi
Kebijakan Kondisi lingkungan Sumberdaya Ikan
Analisis Strategi AHP dan ISM
Rekomendasi Strategi
SELESAI
Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian
9
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Reklamasi Reklamasi adalah upaya pengadaan lahan dengan cara mengeringkan
rawa, daerah pasang surut dan sebagainya. Menurut Permen Perhubungan No. 52 Tahun 2011 reklamasi diartikan sebagai pekerjaan timbunan di perairan atau pesisir yang mengubah garis pantai dan atau kontur kedalaman perairan. Kegiatan reklamasi umumnya dilakukan untuk mendapatkan suatu lahan baru sebagai alternatif dalam upaya memenuhi kebutuhan lahan yang semakin mendesak. Reklamasi juga dapat diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase (Perpres No. 122 Tahun 2012). Kegiatan reklamasi dapat dilakukan di wilayah pesisir maupun di wilayah bekas lokasi tambang. Tujuan reklamasi pada wilayah bekas tambang umumnya untuk memeperbaiki kualitas tanah dan lingkungan yang rusak akibat aktivitas pertambangan. Sementara itu reklamasi yang dilakukan di wilayah pesisir yang bukan merupakan lahan bekas tambang umumnya dilakukan untuk kepentingan pembangunan pelabuhan, pembangunan kawasan industri atau kepentingan lain sesuai dengan rencana tata ruang dan pengembangan daerah pesisir. Pilihan melakukan reklamasi di wilayah pesisir untuk mendapatkan lahan baru tentunya akan dibarengi dengan konsekuensi dampak yang akan terjadi. Reklamasi dapat memberikan dampak baik positif maupun negatif bagi masyarakat dan ekosistem pesisir dan laut. Dampak tersebut dapat bersifat jangka pendek atau jangka panjang, tergantung dari jenis dampak dan kondisi ekosistem serta masyarakat di lokasi reklamasi dan sekitarnya.
Reklamasi
terhadap kawasan pantai, harus memperhatikan berbagai aspek/dampakdampak yang akan ditimbulkan oleh kegiatan tersebut. Dampak yang dimaksud adalah dampak lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Latar belakang dilakukannya reklamasi sangat beragam, antara lain karena harga lahan di darat semakin mahal sehingga orang atau pemerintah daerah lebih memilih alternatif untuk menimbun pantai.
Reklamasi juga
dailakukan untuk memperoleh lahan bagi pengembangan kota/wilayah. Kegiatan reklamasi di kawasan pesisir juga sangat menjanjikan sehingga tidak jarang disajikan sebagai sumber pendapatan daerah melalui berbagai pungutan atau
penjualan lahan hasil reklamasi dengan harga yang relatif bersaing. Meskipun latar belakang reklamasi sangat beragam namun secara umum ada 4 penggerak utama dilakukannya reklamsi pantai yaitu (Ruesink dan Wu 2005): 1) Ekspansi pertanian yang dimulai pada awal abad ke 6 di teluk Osaka Jepang. 2) Kebutuhan untuk lahan pembangunan industri dimana pantai dinilai sebagai lokasi yang nyaman dan aman untuk dilakukan reklamasi karena dekat dengan jalur perdagangan bahan baku dan ekspor. Selain itu umumnya tenaga kerja akan mudah tersedia dari kota terdekat dan limbah dari proses industri dapat dibuang begitu saja pada anak sungai yang ada di sekitar pantai. 3) Pembangunan pelabuhan untuk pengiriman barang sebagai dampak ikutan dari berkembangnya kawasan industri di sekitar pantai. 4) Kepadatan penduduk yang semakin tinggi akibat dari pengembangan kawasan industri di sekitar pantai akan menciptakan kebutuhan lahan pemukiman baru sehingga diperlukan kegiatan reklamasi. Kegiatan Reklamasi pantai di suatu wilayah pesisir yang dilakukan secara terpadu, dengan teknologi yang tepat, dan sesuai dengan kondisi biogeofisik serta memperhatikan kondisi sosial ekonomi akan memberikan keuntungan dan manfaat baik terhadap lingkungan maupun manusianya.
Manfaat dan
keuntungan yang dapat diperoleh dari kegiatan reklamasi antara lain (Pratikto 2004) : 1) Tambahan lahan baru yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti tempat wisata, kawasan industri, pelabuhan bahkan perumahan (pemukiman) atau hotel, 2) Memperbaiki kondisi fisik pantai yang telah mengalami kerusakan seperti akibat erosi atau abrasi, 3) Memperbaiki kualitas lingkungan pantai secara keseluruhan, 4) Memberikan kejelasan tanggungjawab pengelolaan kawasan pantai. Pengelolaan lingkungan untuk proses reklamasi harus dilakukan dengan memperhatikan aspek keberlanjutan dan kelestarian. Salah satu pedoman yang adapat digunakan adalah panduan internasional dari PIANC (2010) tentang panduan pelaksanaan reklamasi.
12
2.2
Sumberdaya Ikan Ikan adalah salah satu bentuk sumberdaya alam yang bersifat renewable
atau dapat memperbaharui diri. Dalam UU No. 31 Tahun 2004 junto UU No. 45 Tahun 2009 tentang perikanan definisi ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Widodo dan Nurhakim (2002) menyatakan bahwa sumberdaya ikan pada umumnya dianggap bersifat open access dan common property yang artinya pemanfaatan bersifat terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum. Potensi sumberdaya ikan (SDI) yang ada di Indonesia telah dimanfaatkan dengan berbagai cara, baik melalui perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Upaya pemanfaatan SDI yang dilakukan oleh masyarakat nelayan di wilayah pesisir masih terkonsentrasi pada perairan sekitar pantai dengan pola pengelolaan yang tradisional.
Pengelolaan sumberdaya ikan idealnya harus
dilakukan secara terarah dan terpadu sehingga manfaatnya benar-benar dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat. Pengelolaan sumberdaya ikan adalah suatu proses yang terintegrasi mulai
dari
pengumpulan
informasi,
analisis,
perencanaan,
konsultasi,
pengambilan keputusan, alokasi sumber dan penerapannya dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas serta pencapaian tujuan pengelolaan (FAO 1995).
Secara umum, tujuan utama pengelolaan sumberdaya ikan adalah
(Widodo dan Nurhakim 2002): 1)
Menjaga kelestarian produksi, terutama melalui berbagai regulasi serta tindakan perbaikan stok SDI (enhancement).
2)
Meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial nelayan.
3)
Memenuhi keperluan industri yang memanfaatkan produksi tersebut. Pengelolaan perikanan di Indonesia sebenarnya lebih berkaitan dengan
masalah sumberdaya manusia (people problem) dari pada masalah sumberdaya (resources problem). Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa lebih dari 60% produksi perikanan Indonesia dihasilkan oleh perikanan skala kecil, yang banyak menyerap tenaga kerja atau lebih dikenal dengan sebutan nelayan (Septifitri 2010). Kaiser dan Forsberg (2001) memberikan beberapa hal yang harus dipertimbangkan didalam pengelolaan perikanan yaitu : 1)
Jumlah stakeholder perikanan adalah banyak.
2)
Kebijakan pengelolaan harus dapat diterima oleh semua stakeholder.
13
3)
Hormati sebanyak mungkin nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.
4)
Kebijakan harus mempertimbangkan aspek sosial, politik dan ekonomi. Dalam pengelolaan perikanan pemerintah bertindak sebagai pelaksana
mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada pengawasan. Kelompok masyarakat pengguna hanya menerima informasi tentang produk-produk kebijakan dari pemerintah dan keterlibatan masyarakat penggunan dalam perumusan kebijakan masih sangat rendah. Satria et al. (2002) mengemukakan bahwa pengelolaan perikanan seperti ini mempunyai beberapa kelemahan yaitu: 1)
Aturan-aturan yang dibuat menjadi kurang terinternalisasi dalam masyarakat, sehingga menjadi sulit untuk ditegakkan.
2)
Biaya transaksi yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan dan pengawasan sangat besar, sehingga menyebabkan lemahnya penegakan hukum.
2.3
Alat Penangkapan Ikan Dalam Permen Kelautan dan Perikanan No. 02 tahun 2011, yang
dimaksud dengan alat penangkapan ikan (API) adalah sarana dan perlengkapan
atau
benda-benda
lainnya
yang
dipergunakan
untuk
menangkap ikan. Jenis API yang beroperasi di perairan Teluk Jakarta sangat beragam, namun yang akan terdampak langsung dari kegiatan reklamasi adalah dogol, bagan, payang dan gillnet.
2.3.1 Jaring insang (gillnet) Gillnet secara harfiah berarti jaring insang. Alat tangkap ini disebut jaring insang karena ikan yang tertangkap oleh gillnet umumnya tersangkut pada tutup insangnya (Sadhori 1985). Martasuganda (2002), mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan jaring insang adalah jaring yang berbentuk empat persegi panjang, dimana mata jaring dari bagian jaring utama ukurannya sama dan jumlah mata jaring ke arah horizontal lebih banyak dari pada jumlah mata jaring arah vertikal. Pada bagian atasnya dilengkapi dengan beberapa pelampung dan bagian bawahnya dilengkapi dengan beberapa pemberat sehingga adanya dua gaya yang berlawanan menyebabkan jaring dapat terentang sempurna. Menurut Gunarso (1985), gillnet merupakan dinding jaring dengan bahan yang lembut dan mempunyai daya visibilitas yang rendah. Gillnet sebagai dinding
14
yang lebar ditempatkan di atas dasar laut untuk menangkap ikan demersal, atau seluruh tempat mulai dari pertengahan kolom air sampai lapisan permukaan untuk menangkap ikan pelagis (Sainsburry 1996). Ayodhyoa
(1981)
mengklasifikasikan
gillnet
berdasarkan
cara
pengoperasiannya atau kedudukan jaring di daerah penangkapan. yaitu : 1) Surface gillnet, yaitu gillnet yang direntangkan di lapisan permukaan dengan area daerah penangkapan yang sempit; 2) Bottom gillnet, yaitu gillnet yang dipasang dekat atau di dasar laut dengan
menambahkan
jangkar
sehingga
jenis
ikan
tujuan
penangkapannya adalah ikan demersal; 3) Drift gillnet, yaitu gillnet yang dibiarkan hanyut di suatu perairan terbawa arus dengan atau tanpa kapal. Posisi jaring ini ditentukan oleh jangkar, sehingga pengaruh kecepatan arus terhadap kekuatan tubuh jaring dapat diabaikan; 4) Encircling gillnet, yaitu gillnet yang dipasang melingkar terhadap gerombolan ikan dengan maksud menghadang ikan. Secara umum cara gillnet dipasang melintang terhadap arah arus dengan tujuan menghadang arah ikan dan diharapkan ikan-ikan tersebut menabrak jaring serta terjerat (gilled) pada mata jaring di sekitar insang atau terpuntal (entangled) pada tubuh jaring. Oleh karena itu wama jaring sebaiknya disesuaikan dengan wama
perairan
tempat
gillnet
dioperasikan (Sadhori
1985).
Menurut
Martasuganda (2002), jaring insang hanyut (drift gillnet) adalah jaring yang cara pengoperasiannya dibiarkan hanyut di perairan, baik itu dihanyutkan di bagian permukaan (surface drift gillnet), kolom perairan (midwater/submerged drift gillnet) atau dasar perairan (bottom drift gillnet). Hasil tangkapan gillnet terdiri atas ikan berbagai jenis ikan baik pelagis maupun demersal, tergantung pada jenis dan metode pengoperasiannya. Jenisjenis ikan yang tertangkap oleh gillnet adalah layang (Decapterus spp), tembang (Sardinella fimbriata), kuwe (Caranx spp.), manyung (Arius spp.), selar (Selaroides spp.), kembung (Rastrelliger spp.), tetengkek (Megalaspis cordyla), daun bambu (Chorinemus spp.), belanak (Mugil spp.), kuro (Polynemus spp.), tongkol (Auxis spp.), tenggiri (Scomberomorus spp.) dan cakalang (Katsuwonus pelamis) (Sadhori. 1985). Ukuran mata jaring (mesh size) mempunyai hubungan erat dengan ikan yang tertangkap. Untuk menghasilkan ukuran ikan tangkapan yang besar pada 15
suatu daerah penangkapan, hendaknya ukuran mata jaring disesuaikan dengan besar badan ikan yang terjerat. Pada umumnya ikan tertangkap secara terjerat pada bagian tutup insangnya maka luas mata jaring disesuaikan dengan luas penampang tubuh ikan antara batas tutup insang sampai sekitar bagian depan dari sirip dada (Ayodhyoa 1981).
2.3.2 Bagan Bagan merupakan alat tangkap yang diklasifikasikan ke dalam jaring angkat (lift net). Dalam pengoperasiannya, jaring atau waring diturunkan secara vertikal ke dalam perairan. Penangkapan bagan hanya dilakukan pada malam hari (light fishing) terutama pada hari gelap bulan dengan menggunakan lampu sebagai alat bantu penangkapan (Subani dan Barus 1989). Bagan terdiri atas komponen-komponen penting yaitu : jaring bagan, rumah bagan (anjang-anjang, kadang tanpa anjang-anjang), serok dan lampu. Pada pelataran bagan terdapat alat penggulung (roller) yang berfungsi untuk menurunkan dan mengangkat jaring bagan pada saat dioperasikan (Subani dan Barus 1989). Subani dan Barus (1989) menggolongkan bagan berdasarkan bentuk dan cara pengoperasiannya menjadi tiga macam. yaitu : 1) Bagan tancap (stationary lift net) Bagan yang posisinya tidak dapat dipindah-pindahkan, satu kali pembuatan berlaku untuk sekali musim penangkapan. Pada bagan tancap terdapat rumah bagan yang disebut "anjang-anjang" dan berbentuk piramida; 2) Bagan rakit (raft lift net) Bagan rakit merupakan jaring angkat yang dalam pengoperasiannya dapat dipindah-pindahkan ke tempat yang diperkirakan banyak ikan. Pada sebelah kanan dan kiri bagian bawah terdapat rakit dari bambu yang berfungsi sebagai landasan dan sekaligus sebagai alat apung.
Pada
bagan ini juga terdapat anjang-anjang; 3) Bagan perahu (boat lift net) Bentuknya lebih sederhana dibandingkan bagan rakit dan lebih ringan sehingga memudahkan dalam pemindahan ke tempat yang dikehendaki. Bagan perahu terbagi atas dua macam, yaitu bagan yang menggunakan satu perahu dan bagan dua perahu. Bagian depan dan belakang bagan 16
dua perahu dihubungkan oleh dua batang bambu, sehingga berbentuk bujur sangkar.
Bambu tersebut berfungsi sebagai tempat untuk
menggantung jaring atau waring. Operasi penangkapan ikan menggunakan bagan dimulai pada saat matahari terbenam. Terlebih dahulu jaring bagan diturunkan sampai kedalaman yang diinginkan, kemudian lampu mulai dinyalakan untuk menarik perhatian ikan agar segera berkumpul di sekitar bagan. Apabila telah banyak ikan terkumpul di bawah sinar lampu, maka jaring bagan diangkat sampai berada di atas permukaan air dan hasil tangkapan diambil dengan menggunakan serok. Jenisjenis ikan hasil tangkapan bagan adalah teri (Stolephorus spp.), layang (Decapterus spp.), selar (Selaroides spp.), kembung (Rastrelliger spp.). lemuru (Sardinella longiceps), tembang (Sardinella fimbriata) dan layur (Trichiurus spp.) (Sadhori 1985). 2.3.3
Payang Von Brandt (1984) mengelompokkan payang kedalam jenis "seine net",
yaitu alat tangkap yang memiliki warp penarik yang sangat panjang dimana pengoperasiannya dilakukan dengan cara melingkari area atau wilayah seluasluasnya dan kemudian menariknya ke kapal atau pantai. Jaring payang terdiri atas bagian kantong (codend), badan (body), dua buah sayap (wing) pada bagian kanan dan kiri serta tali ris, dimana tali ris atas dibuat lebih panjang dari tali ris bawah untuk mencegah lolosnya ikan ke arah vertikal bawah. Jaring pada payang terdiri atas kantong, dua buah sayap, dua tali ris, tali selembar, serta pelampung dan pemberat. Kantong merupakan satu kesatuan yang berbentuk kerucut terpancung, semakin ke arah ujung kantong jumlah mata jaring semakin berkurang dan ukuran mata jaringnya semakin kecil. Ikan hasil tangkapan akan berkumpul di bagian kantong ini, semakin kecil ukuran mata jaring maka semakin kecil kemungkinan ikan meloloskan diri. Dasar operasi seine net adalah melingkari gerombolan ikan dalam area perairan dengan warp panjang dan jaring yang terletak di bagian tengah. Penarikan dua warp dilakukan secara bersamaan ke arah kapal, sehingga kelompok ikan tergiring masuk ke dalam jaring (Sainsburry 1996). Penarikan jaring payang perlu dilakukan dengan kecepatan yang cukup tinggi dan secara bersamaan agar ikan tidak lolos dari bagian sayap. Terbukanya mulut jaring
17
secara maksimal akan sangat menentukan keberhasilan operasi penangkapan ikan (Ayodhyoa 1981). Indikator dalam menemukan gerombolan ikan dapat dilakukan dengan melihat: (1) adanya perubahan permukaan air laut, karena gerombolan ikan berenang dekat pada permukaan air; (2) ikan yang melompat-lompat di permukaan; (3) terlihat buih-buih di permukaan air laut akibat udara yang dikeluarkan ikan; (4) terlihat riak kecil karena gerombolan ikan berenang dekat permukaan laut; (5) adanya burung burung yang menukik menyambar permukaan laut (Ayodhyoa 1981). Hasil
tangkapan
payang
adalah
tongkol
(Aims
spp.),
cakalang
(Katsuwonus pelamis), kembung (Rastrelliger spp.), selar (Selaroides spp.), layang (Decapterus spp.), tembang (Sardinella fimbriata), japuh (Dussumeieria spp.),
pepetek
(Leiognathus
spp.),
layur
(Trichiurus
spp.),
tenggiri
(Scomberomorus sp.p), julung-julung (Hemirhampus spp.), manyung (Arius spp.), bawal (Pampus spp.) dan cucut {Sphyrna spp.) (Artikasari, 1999).
2.3.4
Dogol Dogol termasuk dalam kelompok pukat kantong (seine net). Pukat
kantong adalah jenis jaring menangkap ikan berbentuk kerucut yang terdiri dari kantong atau bag, badan (body), dua lembar sayap (wing) yang dipasang pada kedua sisi mulut jaring, dan tali penarik (warp). Berdasarkan bentuk jaring, seine net dibedakan menjadi 2 jenis yaitu seine net without bag dan with bag. Seine net yang menggunakan kantong dibedakan menjadi 2 jenis yaitu beach seine yang ditarik ke pantai dan boat seine yang di tarik dari atas perahu ( Von Brandt 1984). Dogol adalah nama daerah untuk pukat kantong di daerah Utara Jawa yang bertujuan untuk menangkap ikan-ikan dasar. Konstruksi dari alat tangkap dogol mirip dengan alat tangkap danish seine sehingga nama dogol sering digunakan sebagai terjemahan langsung untuk danish seine. Dogol termasuk dalam pukat kantong lingkar (bag seine net) yaitu jaring yang terdiri atas kantong (bag), kaki (sayap) yang dipasang pada kedua sisi (kiri dan kanan) mulut jaring dan dalam pengoperasiannya dilingkarkan pada sasaran tertentu. Pada tiap akhir penangkapan hasilnya dinaikkan ke atas geladak kapal atau didaratkan ke pantai. Bagian atas mulut jaring dogol agak lebih menjorok ke
18
depan sehingga bentuk atau konstruksinya menyerupai pukat udang (trawl) tetapi ukurannya lebih kecil (Subani dan Barus 1989). Hasil tangkapan dogol sangat beragam dan terdiri atas ikan pelagis maupun ikan demersal dan bahkan hewan lunak. Jenis hasil tangkapan dogol antara lain ikan pepetek (Leiognathus sp.), tigawaja (Johnius dussumieri), bawal putih (Pampus argentus), sotong (Sephia sp.), cumi-cumi (Loligo sp.), bawal hitam (Formio niger), julung-julung (Hemirhampus far), gurita (Octopus sp.) pari (Trugon sephen), kembung (Ratrelliger sp.), sembilang (Plotosus canius), gerotgerot (Therapon theraps),dan gumalah (Argyrosomus amoyensis) (Wahju et al. 2009).
Bervariasinya
hasil
tangkapan
dogol
disebabkan
metode
pengoperasiannya yang cenderung aktif ditarik di dasar perairan sehingga ikan yang berada di area bukaan mulut dogol akan tertangkap.
2.4
Valuasi Ekonomi
2.4.1
Konsep nilai ekonomi Nilai adalah persepsi manusia, tentang makna suatu objek (sumberdaya)
tertentu, tempat dan juga waktu tertentu. Persepsi merupakan ungkapan, pandangan, perspektif seseorang (individu) terhadap suatu benda dengan proses pemahaman melalui panca indera yang diteruskan ke otak untuk proses pemikiran, dan di sini berpadu dengan harapan ataupun norma-norma kehidupan yang melekat pada individu atau masyarakat tersebut (Turner et al. 1994). Menurut Freeman (2003) nilai atau value dapat dikategorikan ke dalam dua pengertian besar yaitu nilai interinsik (intrinsic value) dan nilai instrumental (instrumental value). Secara garis besar, suatu komoditas memiliki nilai interinsik apabila komoditas tersebut bernilai di dalam dan untuk komoditas itu sendiri. Artinya, nilainya tidak diperoleh dari pemanfaatan dari komoditas tersebut, tetapi bebas dari penggunaan dan fungsi yang terkait dengan alam (nature) dan lingkungan (environment). Nilai instrumental dari sebuah komoditas adalah nilai yang muncul akibat pemanfaatan komoditas tersebut untuk kepentingan tertentu. Nilai ekonomi secara umum didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Secara formal konsep ini disebut sebagai keinginan membayar (willingness to pay) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Nilai ekologis dari ekosistem dengan menggunakan pengukuran ini bisa diterjemahkan ke dalam bahasa 19
ekonomi dengan mengukur nilai moneter dari barang dan jasa. Sebagai contoh jika ekosistem pantai mengalami kerusakan akibat polusi, maka nilai yang hilang akibat degradasi lingkungan bisa diukur dari keinginan seseorang untuk membayar agar lingkungan tersebut kembali ke aslinya atau mendekati aslinya (Fauzi 2004). Nilai ekonomi adalah nilai barang dan jasa yang dapat diperjualbelikan sehingga memberikan pendapatan. Konsep ekonomi kegunaan memberikan pengertian bahwa kepuasan atau kesenangan yang diperoleh individu atau masyarakat tidak terbatas kepada barang dan jasa yang diperoleh melalui jual beli (transaksi) saja, tetapi semua barang dan jasa yang memberikan manfaat akan memberikan kesejahteraan bagi individu atau masyarakat tersebut (Pearce dan Moran 1994). Untuk mengukur nilai suatu sumberdaya dapat dilakukan berdasarkan konsep nilai total (total value) yaitu nilai kegunaan atau pemanfaatan (use value) dan nilai bukan kegunaan atau non use value. Apabila nilai suatu sumberdaya kita ketahui maka seharusnya kita dapat memanfaatkan sumberdaya secara efisien. Nilai ekonomi total (total economic value) adalah sebuah konsep yang sederhana yang dapat digunakan untuk menghitung nilai total dari beberapa sumberdaya alam, yang tersusun dari komponen-komponen yang berbeda. Beberapa dari komponen tersebut mudah untuk diidentifikasi dan dinilai, dan yang lainnya ada yang tidak diketahui atau tidak bisa diraba. Barton (1994) mengemukaan bahwa nilai ekonomi total dari lingkungan sebagai asset merupakan jumlah dari nilai manfaat (use value) dan non-manfaat (non use value). Nilai manfaat adalah suatu nilai yang timbul dari pemanfaatan sebenarnya suatu fungsi atau sumberdaya yang terdapat dalam suatu ekosistem. Nilai manfaat terdiri dari nilai manfaat secara langsung (direct value), nilai manfaat secara tidak langsung (indirect value) dan nilai pilihan (option value). Nilai non-manfaat biasanya terdiri dari nilai eksistensi (existence value) dan nila di masa depan (bequest value) (Dixon 1998). 2.4.2
Valuasi ekonomi Metode analisis biaya dan manfaat (benefit-cost analysis) konvensional
sering tidak mampu menjawab permasalahan yang terjadi pada sumberdaya dan
20
lingkungan, sebab konsep ini sering tidak memasukkan manfaat ekologis di dalam analisisnya. Ketika kita mengetahui kerusakan lingkungan terjadi akibat aktivitas
ekonomi,
mengkuantifikasikan konvensional.
seringkali kerusakan
pengambil tersebut
kebijakan
dengan
Permasalahan-permasalahan
ini
tidak
metode
kemudian
mampu
ekonomi
yang
menjadi
dasar
pemikiran lahirnya konsep valuasi ekonomi (Fauzi dan Anna 2005). Fauzi (2004) menyebutkan bahwa valuasi ekonomi dapat didefinisikan sebagai upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan, baik atas nilai pasar (market value) maupun nilai non pasar (non market value). Penilaian ekonomi sumberdaya
merupakan
suatu
alat
ekonomi
(economic
tools)
yang
menggunakan teknik penilaian tertentu untuk mengestimasi nilai uang dari barang dan jasa yang diberikan oleh suatu sumberdaya alam. Tujuan dari penilaian ekonomi antara lain digunakan untuk menunjukkan keterkaitan antara konservasi sumberdaya alam dan pembangunan ekonomi, maka valuasi ekonomi dapat menjadi suatu alat penting dalam peningkatan apriesiasi dan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan. Konsep penilaian ekonomi berlandaskan dari teori ekonomi neo-klasik yang menekankan pada kepuasan atau keperluan konsumen. Berdasarkan pemikiran neo-klasik ini dikemukakan bahwa penilaian setiap individu pada barang dan jasa tidak lain adalah selisih antara keinginan membayar (willingness to pay) dengan biaya untuk mensuplai barang dan jasa tersebut (Barbier et al. 1997). Dalam melakukan suatu penilaian ekonomi suatu sumberdaya umumnya digunakan satuan moneter. Suparmoko (2000) menjelaskan beberapa alasan mengapa satuan moneter diperlukan dalam valuasi ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan. Tiga alasan utamanya adalah: 1) Satuan moneter dapat digunakan untuk menilai tingkat kepedulian seseorang terhadap lingkungan. 2) Satuan moneter dari manfaat dan biaya sumberdaya alam dan lingkungan dapat menjadi pendukung untuk keberpihakan terhadap kualitas lingkungan. 3) Satuan moneter dapat dijadikan sebagai bahan pembanding secara kuantitatif terhadap beberapa alternatif suatu kebijakan tertentu termasuk pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan.
21
Valuasi ekonomi adalah nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaan. Hal ini dimaksudkan agar alokasi dan alternatif penggunaannya dapat ditentukan secara benar dan tepat sasaran.
Valuasi ekonomi dilakukan karena sumberdaya alam bersifat
public good, terbuka dan tidak mengikuti hukum kepemilikan dan tidak ada mekanisme pasar dimana harga dapat berperan sebagai instrumen penyeimbang antara permintaan dan penawaran. Selain itu, manusia dipandang sebagai homoeconomicus yang cenderung memaksimalkan manfaat total (Kusumastanto 2000).
Gambar 3 Tipologi nilai ekonomi total (Sumber : Barton 1994)
2.4.3 Teknik pengukuran nilai ekonomi Berbagai macam metode penilaian ekonomi terhadap sumberdaya alam telah dipraktekkan dalam banyak proyek di berbagai negara. Metodemetode tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu metode yang secara langsung didasarkan pada nilai/nilai pasar, metode yang menggunakan nilai pasar barang pengganti atau barang pelengkap dan metode yang didasarkan pada hasil survei. 2.4.3.1 Pendekatan harga pasar Teknik pengukuran valuasi ekonomi dengan pendekatan harga pasar sudah banyak dilakukan dan lebih terukur. dibedakan lagi menjadi : 22
Pendekatan dengan harga pasar dapat
1) Pendekatan harga pasar yang sebenarnya atau pendekatan produktivitas. Pendekatan produktivitas adalah pendekatan yang mengukur nilai ekonomi
sumberdaya
sumberdaya tersebut.
alam
berdasarkan
kontribusi
produktivitas
Misalnya rehabilitasi hutan mangrove akan
mempengaruhi produktivitas perikanan pantai. Dengan demikian manfaat dari rehabilitasi hutan mangrove bisa diukur dari peningkatan pendapatan dari perikanan pantai.
Pendekatan produktivitas ini telah banyak
digunakan dalam menganalisis biaya dan manfaat suatu proyek. Namun dengan dipertimbangkannya dimensi lingkungan, akan sulit untuk menentukan harga pasar yang tepat. Dalam menilai atau memberikan harga terhadap dampak suatu proyek, selama ada harga pasar untuk produk atau jasa yang hilang atau yang timbul dari adanya suatu proyek, sebaiknya digunakan harga pasar. Dengan adanya suatu proyek biasanya ada suatu produk atau jasa.yang diciptakan dan dengan menggunakan harga pasar dari produk atau jasa tersebut akan diperoleh nilai sumbangan manfaat dari proyek yang bersangkutan. Di sisi lain juga akan ada korban fisik atau hilangnya suatu produk atau aset fisik yang timbul dari adanya suatu proyek, sehingga dengan menggunakan harga pasar akan dapat diperkirakan nilai biaya atau korban dari proyek tersebut. Pendekatan produktivitas umumnya membutuhkan data yang baik mengenai biaya produksi barang akhir, permintaan dan penawaran barang akhir serta permintaan dan penawaran dari faktor produksi. Oleh karena kebutuhan data tersebut, pendekatan ini relatif lebih kompleks. 2) Pendekatan modal manusia (human capital) Pendekatan ini diterapkan untuk menilai sumberdaya manusia bila terjadi kematian, cacat tubuh yang permanen dan sebagainya sebagai akibat adanya suatu proyek.
Pendekatan ini dapat dilakukan dengan
menggunakan harga pasar dan tingkat upah untuk menilai sumbangan proyek terhadap penghasilan masyarakat.
23
3) Apabila data mengenai harga atau upah tidak cukup tersedia, biaya kesempatan atau pendapatan yang hilang dapat digunakan sebagai pendekatan. Pendekatan
ini
digunakan
untuk
menghitung
biaya
yang
harus
dikeluarkan guna melestarikan suatu manfaat, dan bukannya untuk memberikan nilai terhadap manfaat itu sendiri. Misalnya untuk menilai berapa besar manfaat ekonomi yang harus dikorbankan jika suatu proyek harus dilaksanakan atau tidak dilaksanakan sehingga kualitas lingkungan tidak dapat dikembalikan seperti keadaan semula. Umumnya tidak mudah untuk mendapatkan harga pasar bagi bagi barang atau jasa yang timbul karena adanya suatu proyek.
Untuk itu sedapat
mungkin digunakan harga alternatif atau biaya kesempatan (opportunity cost). Cara ini dapat dipakai untuk mengukur berapa pendapatan karena adanya suatu proyek.
yang hilang
Pendapatan yang hilang tersebut dapat
diartikan sebagai biaya tidak langsung karena adanya suatu proyek. Untuk jasa-jasa yang berkaitan dengan lingkungan seperti pemandangan alam, udara yang sejuk dan sebagainya harga alternatif sulit untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, untuk jasa sumberdaya alam dan lingkungan seperti itu dinilai dengan pendekatan keinginan untuk membayar (willingness to pay). 2.4.3.2 Pendekatan dengan nilai barang pengganti atau barang pelengkap (Surrogate Market Price)
1) Pendekatan nilai kekayaan (hedonic pricing) Teknik hedonic pricing dikembangkan dari teori atribut atau karakteristik yang dikemukakan oleh Lancaster (1966) yang kemudian dikembangkan oleh Griliches (1971) dan Rosen (1974). Seringkali kita sulit menemui harga pasar atau harga alternatif, maka degan pendekatan nilai barang pengganti atau barang pelengkap kita dapat menemukan pasar bagi barang dan jasa yang terpengaruh oleh barang dan jasa lingkungan yang tidak dipasarkan. Pendekatan nilai kekayaan didasarkan atas pemikiran tersebut.
Kualitas lingkungan akan mempengaruhi keputusan untuk
membeli rumah dan harga rumah juga dipengaruhi oleh jasa lingkungan yang diberikan oleh kualitas lingkungan yang ada.
Jadi harga rumah
ditentukan oleh lokasi, akses ke lokasi, kualitas lingkungan dan lain-lain.
24
Dengan
menggunakan
harga
barang
substitusi
atau
barang
komplementer nilai lingkungan yang tidak dipasarkan tersebut dapat diperkirakan. 2) Pendekatan tingkat upah Pendekatan atas dasar tingkat upah sebenarnya mirip dengan pendekatan atas dasar nilai kekayaan. Pendekatan ini menggunakan tingkat upah pada jenis pekerjaan yang sama tetapi pada lokasi yang berbeda untuk menilai kualitas lingkungan kerja pada masing-masing lokasi
tersebut.
Pendekatan
yang
dipakai
adalah
bahwa
upah
dibayarkan lebih tinggi pada lokasi yang lebih tercemar atau pada lokasi yang lebih berbahaya bagi kesehatan maupun kehidupan. 3) Pendekatan biaya perjalanan (travel cost approach) Pendekatan ini kebanyakan digunakan untuk menganalisis permintaan terhadap rekreasi di alam terbuka (outdoor recreation) seperti rekreasi ke pantai atau objek wisata lainnya, memancing, berburu, dan lain-lain. Pendekatan ini menggunakan biaya transportasi atau biaya perjalanan terutama untuk menilai lingkungan pada objek-objek wisata. Pendekatan ini menganggap bahwa biaya perjalanan serta waktu yang dikorbankan para wisatawan untuk menuju objek wisata tertentu dianggap sebagai nilai lingkungan yang wisatawan bersedia untuk membayar. Pendekatan biaya perjalanan ini dapat digunakan untuk mengukur manfaat dan biaya akibat : a)
Perubahan biaya akses (tiket masuk) bagi suatu tempat rekreasi
b)
Penambahan tempat rekreasi baru
c)
Perubahan kualitas lingkungan tempat rekreasi
d)
Penutupan tempat rekreasi yang ada.
Pendekatan biaya perjalanan dianggap pendekatan yang praktis, akan tetapi terdapat beberapa kelemahan dari pendekatan ini.
Pertama,
pendekatan biaya perjalanan dibangun berdasarkan asumsi bahwa setiap individu hanya memiliki satu tujuan tempat wisata. Kedua, Tidak dibedakan individu yang memang datang untuk berlibur dengan individu dari wilayah setempat.
25
2.4.3.3 Pendekatan hasil survei Beberapa teknik survei dapat digunakan dalam valuasi ekonomi bagi pengelolaan sumberdaya alam, yaitu : 1) Contingent valuation approach Pendekatan ini disebut “contingent” (tergantung kondisi) karena pada prakteknya informasi yang diperoleh sangat tergantung dari hipotesis yang dibangun. Pendekatan ini pada hakekatnya bertujuan untuk mengetahui keinginan untuk membayar (WTP) dari sekelompok masyarakat, misalnya perbaikan kualitas lingkungan dan keinginan untuk menerima (willingness to accept, WTA) dari kerusakan suatu lingkungan perairan. Terdapat beberapa tahapan dalam melaksanakan pendekatan ini, yaitu membuat hipotesis pasar, mendapatkan nilai lelang (bids), menghitung rataan WTP dan WTA, memperkirakan kurva lelang dan mengagregatkan data. 2) Survei Langsung Mewawancarai responden (masyarakat) secara langsung mengenai kesediaan mereka untuk membayar (willingnes to pay) atau menerima pembayaran (willingnes to accept) sebagai ganti rugi. 3) Pendekatan delphi Pendekatan
ini
berdasarkan
pengambilan keputusan.
kepada
pendapat
para
ahli
dalam
Oleh karena itu sangat tergantung kepada
pengalaman, pengetahuan dan latar belakang kehidupan para ahli.
2.4.3.4 Benefit transfer Masalah utama yang dihadapi negara berkembang seperti Indonesia dalam menilai dampak lingkungan adalah sedikitnya data yang tersedia dan biaya
untuk
melakukan
penelitian
secara
komprehensif.
Menghadapi
permasalahan ini salah satu solusi yang diusulkan adalah dengan menilai perkiraan benefit dari tempat lain (dimana sumberdaya tersedia) kemudian benefit tersebut ditransfer untuk memperoleh perkiraan yang kasar mengenai manfaat dari lingkungan. Metode ini kemudian disebut dengan metode benefit transfer. Secara prinsipil diakui pendekatan ini perlu dilakukan secara hati-hati karena banyaknya kelemahan yang terkandung di dalamnya. Ini dikarenakan
26
belum adanya protokol kesepakatan untuk menggunakan metode ini, tidak seperti halnya metode CVM yang telah diadopsi dengan protokol yang sama. Berbagai pertimbangan perlu dipikirkan secara matang sebelum teknik ini dilaksanakan. Pertimbangan ini menyangkut biaya dan manfaat dengan mengadopsi teknik benefit transfer tersebut serta desain dan koleksi data untuk keperluan studi ditempat lain (data asal). Krupnick (1993) menulis secara lebih detail kapan dan dalam situasi yang bagaimana benefit transfer bisa dilakukan dan kapan tidak. Ia menyebutkan misalnya, benefit transfer sulit dilakukan untuk sumberdaya alam wetland (seperti mangrove dan sejenisnya) karena nilai yang diperoleh akan sangat tergantung pada tempat dan karakteristik populasi. Krupnick menyatakan bahwa benefit transfer bisa saja dilakukan jika sumberdaya alam tersebut memiliki ekosistim yang sama baik dari segi tempat maupun karaketristik pasar (market characteristic).
2.5
Proses Hierarki Analitik (PHA) Proses hierarki analitik (PHA) atau Analytical Hierarchy Process
merupakan teknik pengambilan keputusan yang pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty pada tahun 1970–an. PHA didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai alternatif. PHA banyak digunakan pada metode pengambilan keputusan untuk berbagai kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki stakeholders dalam situasi konflik. PHA merupakan proses pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem. Pada penyelesaian persoalan dengan PHA terdapat beberapa prinsip dasar yang harus dipahami antara lain (Saaty 1993): 1) Dekomposisi, setelah permasalahan atau persoalan didefinisikan, maka perlu dilakukan dekomposisi yaitu memecah persoalan yang utuh menjadi unsurunsurnya.
Untuk mendapatkan hasil yang akurat, maka dilakukan
pemecahan terhadap unsur-unsur tersebut sampai tidak dapat dipecah lagi, sehingga didapatkan beberapa tingkatan dari persoalan tersebut. 2) Comparative judgement, yaitu membuat penilaian tentang kepentingan relatif diantara dua elemen pada suatu tingkatan tertentu dalam kaitannya dengan tingkatan diatasnya.
Penilaian ini merupakan inti dari PHA karena akan 27
berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen yang disajikan dalam bentuk matriks pairwise comparison. 3) Synthesis of priorrity, yaitu melakukan sintesis prioritas atau mencari nilai eigenvektor-nya dari setiap matrik pairwise comparison untuk mendapatkan prioritas lokal. Matrik pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, oleh karena itu untuk mendapatkan prioritas global harus dilakukan sintesis diantara prioritas lokal. 4) Logical consistency, konsistensi memiliki dua makna, yaitu (1) obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansinya. (2) tingkat hubungan antara obyek-obyek didasarkan pada kriteria tertentu. Pada dasarnya, metode PHA ini memecah-mecah suatu situasi yang kompleks, tak terstruktur, ke dalam bagian-bagian komponennya; menata bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hierarki; memberi nilai numerik pada pertimbangan
subyektif
tentang
relatif
pentingnya
setiap
variabel;
dan
mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel mana yang memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut. PHA juga menyediakan suatu struktur efektif untuk pengambilan keputusan secara berkelompok dengan memaksakan disiplin dalam proses pemikiran kelompok itu. Keharusan memberi nilai numerik pada setiap variabel masalah membantu para pengambil keputusan untuk mempertahankan pola-pola pikiran yang kohesif dan mencapai suatu kesimpulan. Selain itu, adanya konsensus dalam pengambilan keputusan kelompok memperbaiki konsistensi pertimbangan dan meningkatkan keandalan PHA sebagai alat pengambilan keputusan. PHA memberikan satu model tunggal yang mudah dimengerti, untuk aneka ragam persoalan tak berstruktur, memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks. Proses sistemik dalam PHA memungkinkan pengambil keputusan mempelajari interaksi dari komponen-komponen yang telah disusun dalam hierarki secara simultan. Keharusan untuk memberikan nilai numerik pada setiap variabel masalah akan membantu pengambil keputusan mempertahankan pola pikir yang kohesif dan mencapai suatu kesimpulan.
28
Penyusunan secara hierarkis dalam PHA mencerminkan pemilahan elemen sistem dalam beberapa tingkat yang berlainan dan pengelompokan unsur serupa pada setiap tingkat. Setiap perangkat elemen dalam hierarki fungsional menduduki satu tingkat hierarki. Tingkat puncak yang disebut fokus, hanya terdiri atas satu elemen yaitu sasaran keseluruhan yang sifatnya luas. Pada tingkat berikutnya masing-masing dapat memiliki beberapa elemen, meskipun jumlahnya biasanya kecil, antara lima dan sembilan. Dalam perencanaan yang menggunakan PHA untuk mengkaji persoalan mula-mula harus mendefinisikan situasi dengan seksama, memasukkan sebanyak mungkin data yang relevan, kemudian menyusunnya dalam suatu hierarki yang terdiri dari beberapa tingkat rincian seperti ditunjukkan pada contoh Gambar 4.
Tingkat 1 Fokus
FOKUS
Tingkat 2 Skenario
Tingkat 3 Faktor
Tingkat 4 Alternatif
Skenario 1
Faktor 1
Faktor 2
Alternatif 1
Skenario 3
Skenario 2
Faktor 3
Alternatif 2
Faktor 4
Alternatif 3
Faktor 5
Alternatif 4
Gambar 4 Struktur hierarki PHA
Untuk dapat melakukan analisis PHA dengan baik, maka prinsip kerja yang sangat mendasar dan harus diperhatikan adalah (Saaty 1993): 1)
Penyusunan hierarki, Persoalan yang akan diselesaikan, diuraikan menjadi unsur, yaitu kriteria dan alternatif, kemudian disusun menjadi struktur hierarki.
2)
Penilaian kriteria dan alternatif, Kriteria dan alternatif melalui perbandingan berpasangan. Menurut Saaty (1983), untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik
29
dalam mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4
Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty (1993)
Intensitas Pentingnya 1 3
5
7
9
2,4,6,8 Kebalikan nilai-nilai di atas
Definisi
Penjelasan
Kedua elemen sama penting
Dua elemen mempengaruhi sama kuat pada sifat itu Elemen yang satu sedikit lebih Pengalaman atau pertimbangan penting dari pada yang lain sedikit menyokong satu elemen di atas yang lain. Elemen yang satu jelas lebih Pengalaman atau pertimbangan penting dibandingkan dengan dengan kuat disokong dan elemen yang lain dominasinya terlihat dalam praktek Satu elemen sangat lebih Satu elemen dengan disokong penting dibandingkan elemen dan dominasinya terlihat dalam yang lain praktek Satu elemen mutlak lebih Sokongan elemen yang satu atas penting dibandingkan elemen yang lain terbukti memiliki tingkat yang lainnya penegasan tertinggi Nilai-nilai diantara dua Kompromi diperlukan diantara pertimbangan yang berdekatan dua pertimbangan Nilai-nilai di atas dianggap membandingkan antara elemen A dan B maka nilai-nilai kebalikan (1/2, 1/3, ¼,…, 1/9) digunakan untuk membandingkan kepentingan B terhadap A
Nilai perbandingan A dengan B adalah 1 (satu) dibagi dengan nilai perbandingan B dengan A. 3) Penentuan prioritas Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan berpasangan (passive comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif. Baik kriteria kualitatif, maupun kriteria kuantitatif, dapat dibandingkan sesuai dengan judgment yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Bobot atau prioritas dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematika. 4) Konsistensi logis. Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis.
30
Saaty
(1993)
mengatakan
bahwa
proses
pada
PHA
adalah
mengidentifikasi, memahami, dan menilai intreraksi-interaksi suatu sistem sebagai suatu keseluruhan. Dalam penilaian PHA dan pengisian matriks banding berpasangan menggunakan nilai skala banding berpasangan (Tabel 5). Pengisian matriks hanya dapat dilakukan untuk bagian di atas garis diagonal dari kiri ke kanan bawah. Prinsip penilaian pada AHP bila terdapat m kriteria yang dibandingkan, maka harus dihasilkan m matriks, setiap sel c ij mempunyai karakteristik sedemikian sehingga: c ij =
1/ c ji
c ji x c ij = 1
atau
Jika C1, C2, …,Cn adalah elemen yang akan dibandingkan, dan n adalah jumlah elemen yang akan dibandingkan (Tabel 5). Analisis selanjutnya adalah menghitung nilai-nilai yang telah dari setiap matrik untuk mendapatkan vektor prioritas (VP). Selain itu juga
dilakukan
sintesis berbagai pertimbangan dan mendapatkan nilai konsistensi. Penghitungan nilai eigen Maks (λ maks) dengan rumus : VA = (aij) x VP
dengan VA = (vai)
VB = VA / VP
dengan VB = (vbi)
λ maks = 1/n Σ vbi Tabel 5 Matriks elemen C1
C2
…..
Cn
C1
1
a12
….
A1n
C2
1/a12
1
…..
A2n
…..
…..
….
1
….
Cn
1/a1n
1/a2n
…..
1
Tabel 6 Menjumlahkan nilai dalam setiap kolom, matrik normalisasi dan vektor prioritas C1
C2
…
Cn
Matriks Normalisasi
VP
C1
1
A12
…
A1n
1/J1
A12/J2
…
A1n/Jn
P1
C2
1/a12
1
…
A2n
A21/J1
1/J2
…
A2n/Jn
P2
…
…
…
1
….
…
…
…
….
…
Cn
1/a1n
1/a2n
…
1
An1/J1
An2/J2
…
1/Jn
Pn
Σ
J1
J2
…
Jn
ΣVP
31
Perhitungan indeks konsistensi (CI) dengan rumus : CI = (λ maks – n) (n-1) Perhitungan Rasio Konsistensi (CR) adalah : CR = CI/RI, dimana; RI = Indeks acak (random Indeks) dari matriks berordo 1 sampai 15 (Tabel 7). CR dikatakan mempunyai tingkat konsistensi yang tinggi dan dapat dipertanggungjawabkan bila bernilai lebih kecil atau sama dengan 0,1. Hal ini dikarenakan merupakan tolok ukur bagi konsistensi atau tidaknya suatu hasil perbandingan berpasangan dalam suatu matriks pendapat (Saaty 1993). Saaty (1993) menyatakan bahwa AHP memberi suatu sarana yang berguna untuk menstruktur hierarki, baik untuk perencanaan yang diproyeksikan (deskriptif) maupun perencaan ideal (normative). Tabel 7 Nilai indeks acak (RI) matriks berordo 1 s/d 15 N
RI
N
RI
N
RI
1
0,00
6
1,24
11
1,51
2
0,00
7
1.32
12
1,48
3
0,59
8
1,41
13
1,56
4
0,90
9
1,45
14
1,57
5
1,12
10
1,49
15
1,59
Sumber : Saaty (1993)
2.6
Analisis Kebijakan Analis kebijakan merupakan sebuah konsep yang diambil dari berbagai
disiplin dan profesi yang bersifat deskriptif, evaluatif dan prespektif. Analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi
yang
ada
hubungannya
dengan
kebijakan
sehingga
dapat
dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan (Dunn, 2000). Analisis kebijakan adalah salah satu diantara sejumlah banyak faktor di dalam sistem kebijakan. Suatu sistem kebijakan (policy system) atau seluruh pola institusional dimana didalamnya kebijakan dibuat, mencakup hubungan timbal balik antara tiga unsur yaitu : kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan. Sistem kebijakan adalah produk manusia yang
32
subjektif. yang diciptakan melalui pilihan-pilihan yang sadar oleh para pelaku kebijakan. Kebijakan publik (public policies) merupakan rangkaian pilihan yang kurang lebih berhubungan termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak yang dibuat oleh badan dan pejabat pemerintah yang diformulasikan dalam berbagai bidang termasuk lingkungan hidup. Masalah kebijakan tergantung pula pada pola keterlibatan pelaku kebijakan (policy stakeholders) yang khusus, yaitu para individu atau kelompok individu yang mempunyai andil didalam kebijakan karena mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan pemerintah. Lingkungan kebijakan (policy environment) yaitu konteks khusus dimana kejadian-kejadian
disekeliling
isu
kebijakan
terjadi,
mempengaruhi
dan
dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik. Salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya mengambil keputusan (kebijakan) adalah sulitnya memperoleh informasi yang cukup serta bukti-bukti yang sulit disimpulkan. Karena itu dalam pengambilan keputusan akan lebih mudah bila menggunakan model tertentu. Model kebijakan adalah sajian yang disederhanakan melalui aspek-aspek terpilih dari situasi problematik yang disusun untuk tujuan-tujuan khusus. Model-model kebijakan tersebut yaitu model deskriptif, model normatif, model verbal, model simbolik, model prosedural, model pengganti dan model perspektif. Setiap model kebijakan yang ada tidak dapat diterapkan untuk semua perumusan kebijakan karena masing-masing model menfokuskan pada aspekaspek yang berbeda. Menurut Dunn (2000), persoalan kebijakan tidak terletak pada menggunakan atau membuang model, persoalannya hanyalah terletak pada pemilihan diantara berbagai alternatif. Menurut Dunn (2000) proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktifitas intelektual yang dilakukan didalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai rangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu yaitu penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan.
33
2.7
Dampak Reklamasi Reklamasi yang dilakukan untuk kepentingan pembangunan pelabuhan
Dublin di Irlandia telah menyebabkan peningkatan konsentrasi unsur logam dalam sedimen permukaan di zona pasang surut sehingga memiliki efek buruk pada biota-biota pantai di muara Sungai Tolka di wilayah tersebut. Proyek ini juga telah menyempitkan wilayah perairan di muara Tolka (Buggy and Tobin 2006).
Reklamasi
yang
dilakukan
pada
lahan
darat
juga
mengubah
kecenderungan suksesi intrinsik fauna tanah melalui mekanisme yang kompleks dan berinteraksi, yang menghasilkan penyederhanaan dan perubahan struktur fungsi suatu komunitas (Wu et al. 2002). Perubahan komposisi trofik disebabkan oleh perubahan tata guna lahan, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap fungsi ekosistem melalui perubahan struktur jaringan dan rantai makanan dan jalur dekomposisi nutrien (materi). Proyek reklamasi di kawasan industri Pelabuhan Tianjin secara signifikan juga telah mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi dan distribusi fitoplankton, sehingga berdampak negatif pada pertumbuhan dan distribusi zooplankton sebagai pemakan fitoplankton. Pekerjaan pengerukan telah memberi dampak langsung
terhadap lingkungan hidup terutama komunitas
benthos
dan
menyebabkan kepunahan beberapa jenis benthos. Selain itu, proyek tersebut juga telah membawa tanah sumber polutan, limbah industri dan sebagainya yang mengakibatkan pengaruh negatif terhadap kehidupan laut. Proyek tersebut juga secara signifikan mempengaruhi lingkungan laut dan menyebabkan penurunan keanekaragaman hayati serta perubahan struktur masyarakat (Li et al. 2010). Sohma et al. (2008) membuat sebuah model ekosistem yang digunakan dalam penelitian di Teluk Atsumi, Jepang untuk mengevaluasi dampak reklamasi atas padang lamun.
Perairan dangkal buatan yang berisikan padang lamun
dibuat untuk mengurangi dampak reklamasi. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa reklamasi atas padang lamun alami mengakibatkan peningkatan fitoplankton dan detritus dari sistem pelagis (mengakibatkan kerugian di tingkat pemurnian air). Sebaliknya, penciptaan perairan buatan dangkal mengakibatkan penurunan fitoplankton dan detritus
dari sistem
pelagis
(menghasilkan
keuntungan pada tingkat pemurnian air). Kemudian semakinnmeningkatnya pencemaran air disertai dengan blooming fitoplankton dimuara sungai Jepang terkait sebagai akibat dari semakin menurunnya fungsi ekologisnperairan dangkal akibat reklamasi.
34
Wang et al. (2010) mengemukanan bahwa biaya yang terkait dengan kerusakan ekosistem secara signifikan lebih tinggi dari biaya internal proyekproyek reklamasi. Prospek untuk pembangunan berkelanjutan pada masyarakat pesisir akan menjadi seuatu yang sangat sulit jika tren eksploitasi sumberdaya alam terus berlanjut. Sayangnya, keputusan pengembang lahan dan beberapa investor lokal biasanya didorong oleh keuntungan ekonomi langsung jangka pendek, yang telah mengabaikan kerusakan lingkungan akibat reklamasi lahan.
35
3 METODOLOGI 3.1
Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di kawasan pesisir Teluk Jakarta yang akan
terdampak langsung oleh kegiatan reklamasi.
Kawasan yang menjadi lokasi
kajian adalah Muara Angke, Muara Baru dan Cilincing.
Pengumpulan data
primer dilakukan pada bulan Juni hingga Oktober 2012. Penelitian pendahuluan dilakukan pada bulan Januari-Mei 2012. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 5. 3.2
Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan serta wawancara dengan responden. Responden dalam penelitian ini terdiri nelayan, pengumpul ikan, pedagang ikan, pemerintah sebagai pengambil kebijakan serta pihak terkait lainnya. Jumlah responden dari masing-masing wilayah sebanyak 100 orang yang diambil secara purposive dan incidental sampling. Responden terdiri atas nelayan dan masyarakat di 3 wilayah yaitu 100 orang responden di Cilincing, 100 orang responden di wilayah Muara Baru dan 100 orang responden di wilayah Muara Angke.
Untuk melakukan perumusan kebijakan dilakukan
wawancara mendalam dengan stakeholders dan pemangku kepentingan pelaksaan reklamasi dan pengambil kebijakan terkait dengan dampak reklmasi yang akan terjadi. Data rencana reklamasi diperoleh dari Jury
et al. (2011) sedangkan
pengambilan data daerah penangkapan ikan dilakukan dengan interview kepada nelayan-nelayan yang tinggal dan menangkap ikan di sekitar Teluk Jakarta. Responden atau nelayan di minta menunjukkan lokasi daerah penangkapan ikan pada sebuah peta dan alat tangkap yang digunakan. penangkapan ikan kemudian di digitasi pada peta digital.
Lokasi-lokasi daerah
Gambar 5 Lokasi penelitian
38
Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber publikasi antara lain data statistik Dinas Kelautan dan Perikanan, BPS dan Instansi-instansi terkait lainnya. Jenis dan metode pengumpulan data disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Jenis, sumber dan metode pengumpulan data penelitian Sumber /Metode Pengumpulan Data No
Jenis data
Pengamatan langsung
Data sekunder
Wawancara
1.
Keragaan aktivitas perikanan di lokasi kajian
Pengamatan langsung di lokasi kajian
BPS, Statistik Perikanan
Wawancara dengan nelayan dan masyarakat
2.
Jenis aktivitas perikanan yang akan terdampak reklamasi
Pengamatan langsung di lokasi kajian
Hasil kajian mengenai rencana reklamasi teluk Jakarta
Wawancara dengan nelayan dan masyarakat
3.
Dampak reklamasi terhadap aktivitas perikanan
Pengamatan langsung di lokasi kajian
Hasil kajian terkait dengan dampak reklamasi teluk Jakarta
Wawancara dengan nelayan dan masyarakat
4.
Strategi adaptasi nelayan
5.
Wawancara terstruktur (AHP)
-
-
-
-
Wawancara dengan nelayan dan masyarakat
Wawancara dengan informan kunci (Stakeholders) yang memiliki kemampuan di bidangnya
Faktor pendukung untuk kebutuhan analisis strategi dan kebijakan dalam mengatasi dampak reklamasi diperoleh melalui observasi lapang, telaah pustaka dan wawancara terstruktur dengan informan ahli.
Hal ini dilakukan untuk
mendapatkan data yang lebih akurat dan mewakili kondisi sebenarnya sehingga strategi dan kebijakan sebagai hasil penelitian ini menjadi rekomendasi yang dapat digunakan oleh instansi terkait.
3.3 Analisis Data 3.3.1
Geograpichal information system (GIS)
A. Koreksi dan Digitasi Setelah diperoleh data dan informasi reklamasi dan daerah penangkapan ikan dalam bentuk spasial, maka proses yang dilakukan selanjutnya adalah 39
mendigitasi informasi tersebut.
Sebelum dilakukan digitasi, dilakukan terlebih
dahulu koreksi peta sehingga peta yang ada memiliki format peta yang sama. Digitas rencana reklamasi berupa file GIS dengan format polygon. Digitasi kegiatan perikanan khususnya daerah penangkapan ikan perupa file GIS dengan format point atau titik. Format titik kemudian dikelompokkan dan di cluster sehingga diperoleh data GIS dengan format polygon untuk dilakukan analisis. Setelah itu dilakukan tabulasi data ke dalam file GIS tersebut.
B. Overlay Analisis data untuk melihat dampak reklamasi terhadap kegiatan perikanan menggunakan teknik overlay. Overlay merupakan teknik GIS untuk mengkombinasikan dan menintegrasikan peta rencana reklamasi dengan peta kegiatan perikanan sehingga diperoleh informasi daerah perikanan yang terdampak langsung akibat kegiatan reklamasi.
Setelah diperoleh lokasi
kegiatan perikanan yang akan terdampak langsung, maka dihitung luas daerah terdampak tersebut. 3.3.2
Aktivitas perikanan terdampak reklamasi Jenis aktivitas perikanan yang akan terdampak langsung dari kegiatan
reklamasi ditentukan berdasarkan analisis hasil wawancara dan obervasi lapang. Pemetaan daerah penangkapa ikan dan daerah budidaya kerang hijau yang masuk dalam area reklamasi dilakukan dengan metode GIS melalui overlay rencana reklamasi dengan wilayah DPI dan budidaya kerang hijau.
Luasan
wilayah yang akan hilang tertimbun oleh daratan reklmasi kemudian dihitung untuk dijadikan dasar dalam perhitungan valuasi ekonomi.
3.3.3
Analisis dampak reklamasi Dampak reklamasi terhadap kegiatan perikanan di Teluk Jakarta
dianalisis secara deskriptif melalui perbanding persentase persepsi nelayan di masing-masing lokasi dengan kriteria dampak yang sama.
Besaran dampak
reklamasi juga dihubungkan dengan luasan Daerah Penangkapan Ikan dan kawasan budidaya kerang hijau yang akan hilang ketika reklamasi dilakukan.
40
3.3.4
Analisis strategi adaptasi nelayan Analisis strategi adaptasi nelayan masing-masing lokasi yang akan
terdampak langsung oleh kegiatan reklamasi dilakukan secara deskriptif. Strategi adaptasi nelayan masing-masing lokasi dibandingkan untuk mengetahui kecenderungan nelayan dalam mengatasi dampak reklamasi yang akan dirasakan. Strategi adaptasi nelayan dibedakan dalam 2 kategori yaitu strategi untuk mengatasi hasil tangkapan yang menurun dan strategi yang dilakukan jika dengan terpaksa harus berpindah lokasi karena lahan yang saat ini ditempati hilang karena reklamasi. 3.3.5
Valuasi ekonomi Penilaian manfaat ekonomi kawasan Teluk Jakarta dilakukan dengan
teknik valuasi ekonomi (Fauzi et al, 2007). Valuasi ekonomi terhadap keberadaan Teluk Jakarta dihitung berdasarkan manfaat langsung dari adanya kawasan Teluk Jakarta, yang selanjutnya dianalisis dengan menggunakan Extended Cost Benefit Analysis. Metode valuasi yang digunakan adalah metode pendekatan produktivitas dan benefit transfer. Benefit transfer yang digunakan pada penelitian ini adalah menilai perkiraan benefit dari tempat lain (dimana sumberdaya tersedia). Kemudian benefit tersebut ditransfer untuk memperoleh perkiraan yang kasar mengenai manfaat dari lingkungan di wilayah studi. Khusus untuk perikanan, metode valuasi yang digunakan adalah pendekatan produktivitas. Pendekatan produktivitas adalah pendekatan yang mengukur nilai ekonomi sumberdaya alam berdasarkan kontribusi produktivitas sumberdaya tersebut.
3.3.5.1 Extended cost benefit analysis Analisis kuantitatif dalam penelitian ini menggunakan analisis monetisasi yaitu pengukuran dampak dengan ukuran monetary unit.
Metode yang
digunakan adalah Extended Cost Benefit Analysis. Metode ini dilakukan untuk menganalisis suatu kawasan dengan memasukan unsur biaya dan manfaat yang disesuaikan dengan kawasan/spasial daerah penelitian. Dalam studi ini, beberapa aspek berupa dampak ekonomi tidak langsung terhadap semua stakeholder dimasukkan dalam perhitungan (Jenkins 1998).
Extended Cost
Benefit Analysis akan menghasilkan suatu analisis yang komprehensif mengenai
41
dampak ekonomi dan sosial dari suatu aktifitas ekonomi terhadap stakeholder dan sumberdaya alam secara keseluruhan. Secara matematis, “Extended Cost Benefit Analysis” dapat ditulis sebagai berikut : T
NPV = ∑
t =0
Bt
T
(1 + r )
t
−∑
t =0
Ct
EXT t t =0 (1 + r ) T
(1 + r )
t
−∑
dimana :
Bt
: Benefit Tahun ke-t
Ct
: Cost Tahun ke-t
r
: Discount rate
EXT
: Externalitas yang dihitung berdasarkan dampak ekonomi direct dan indirect
Tingkat suku bunga (discount rate) adalah salah satu variabel ekonomi yang mempengaruhi suatu kegiatan ekonomi. Tingkat suku bunga digunakan dalam perencanaan pemanfaatan suatu sumberdaya alam untuk mengetahui penerimaan bersih di masa datang dan dapat dibandingkan satu sama lain selama interval waktu perencanaan tertentu.
Penerimaan bersih di masa
mendatang didiskonto sehingga nilai sekarang (present value) dapat diketahui. Pada penelitian ini digunakan discount rate 3 %, 8 %, dan 12 % atas dasar bahwa discount rate untuk analisis ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya adalah 8 % sampai 15 % (Gittinger, 1986) dan discount rate 3% yang mewakili nilai lingkungan. Bank Dunia sering mengajukan angka-angka 10 %, 12 % dan 15 % sebagai social discount rate yang rasional untuk negara-negara berkembang.
Menurut
Suparmoko (1989), untuk perencanaan di bawah
pemerintah biasanya menggunakan tingkat suku bunga sosial.
3.3.6
Proses Hierarki Analitik (PHA) Pengkajian PHA dimulai dengan menata elemen suatu persoalan dalam
bentuk hierarki. Lalu kita membuat pembandingan berpasangan antar elemen dari suatu tingkat sesuai dengan yang diperlukan oleh kriteria-kriteria yang berada setingkat lebih tinggi. Berbagai pembandingan ini menghasilkan prioritas dan akhirnya, melalui sintesis, menghasilkan prioritas menyeluruh. Kita mengukur konsistensi dan menangani interdependensi. Langkah analisis PHA menurut Saaty (1993) adalah:
42
1)
Mendefinisikan persoalan dan rinci pemecahan yang diinginkan,
2)
Menyusun struktur hierarki dari sudut pandang manajerial menyeluruh (dari tingkat-tingkat puncak sampai ke tingkat di mana dimungkinkan campur tangan untuk memecahkan persoalan itu),
3)
Membuat matriks banding berpasang untuk kontribusi atau pengaruh setiap elemen yang relevan atas setiap kriteria yang berpengaruh yang berada setingkat di atasnya. Dalam matriks ini, pasangan-pasangan elemen dibandingkan dengan suatu kriteria di tingkat lebih tinggi. Dalam membandingkan dua elemen, kebanyakan orang lebih suka memberi suatu pertimbangan yang menunjukkan dominasi sebagai suatu bilangan bulat. Matriks ini memiliki satu tempat untuk memasukkan bilangan itu dan satu tempat lain untuk memasukkan nilai resiprokalnya,
4)
Jika satu elemen tak berkontribusi lebih dari elemen lainnya, elemen yang lainnya ini pasti berkontribusi lebih dari elemen itu. Bilangan ini dimasukkan dalam tempat yang semestinya dalam matriks itu dan nilai kebalikannya dalam tempat yang lain itu. Menurut perjanjian, suatu elemen yang disebelah kiri diperiksa perihal dominasinya atas suatu elemen di puncak matriks,
5)
Dapatkan semua pertimbangan yang diperlukan untuk mengembangkan perangkat matriks di langkah 3. jika ada banyak orang yang ikut serta, tugas setiap orang dapat dibuat sederhana dengan mengalokasikan upaya secara tepat, yang akan kita jabarkan di bab sebelumnya. Pertimbangan ganda dapat disintesis dengan memakai rata-rata geometriknya,
6)
Setelah
mengumpulkan
semua
data
banding
berpasang
itu
dan
memasukkan nilai-nilai kebalikannya beserta entri bilangan 1 sepanjang diagonal utama, prioritas dicari dan konsistensi diuji, 7)
Laksanakan langkah 3, 4 dan 5 untuk semua tingkat dan gugusan dalam hierarki tersebut,
8)
Gunakan komposisi secara hierarki (sintesis) untuk membobotkan vektorvektor prioritas itu dengan bobot kriteria-kriteria, dan jumlahkan semua entri prioritas terbobot yang bersangkutan dengan entri prioritas dari tingkat bawah berikutnya, dan seterusnya. Hasilnya adalah vektor prioritas menyeluruh untuk tingkat hierarki paling bawah. Jika hasilnya ada beberapa buah, boleh diambil nilai rata-rata aritmetiknya, dan
43
9)
Evaluasi konsistensi untuk seluruh hierarki dengan mengalikan setiap indeks
konsistensi
dengan
prioritas
kriteria
bersangkutan
dan
menjumlahkan hasil kalinya. Hasil ini dibagi dengan pernyataan sejenis yang menggunakan indeks konsistensi acak, yang sesuai dengan dimensi masing-masing matriks. Dengan cara yang sama setiap indeks konsistensi acak juga dibobot berdasarkan prioritas kriteria yang bersangkutan dan hasilnya dijumlahkan. Rasio konsistensi hierarki itu harus 10 persen atau kurang. Jika tidak, mutu informasi itu harus diperbaiki, barangkali dengan memperbaiki
cara
menggunakan
pertanyaan
ketika
membuat
perbandingan berpasang. Jika tindakan terstruktur secara tepat, yaitu elemen-elemen sejenis tidak dikelompokkan di bawah suatu kriteria yang bermakna. Maka kita perlu balik ke langkah 2, meskipun mungkin hanya bagian–bagian persoalan dari hierarki itu yang perlu diperbaiki.
Tingkat I Fokus
Tingkat II Kriteria
Tingkat III Sub Kriteria
Tingkat IV Alternatif Kebijakan
Prioritas Kebijakan Pemerintah untuk Dampak Reklamasi Teluk Jakarta
Ekologi
1. Kelestarian habitat perairan pesisir 2. Keragaman biota pesisir
Kompensasi Beasiswa
Ekonomi
1. Perubahan aktivitas ekonomi 2. Tingkat pendapatan masyarakat
Kompensasi Sarana dan Prasaranan
Budaya
Sosial
1. Hilangnya ruang interaksi sosial 2. Perubahan basis produksi masyarakat pesisir
1. Persepsi masyarakat 2. Demografi
Kompensasi Ekonomi
Kompensasi Relokasi
Gambar 6 Struktur hierarki analisis dampak reklamasi di Teluk Jakarta
3.3.7
Analisis isi (Content Analysis) Analisis ini adalah suatu metode penelitian untuk menghasilkan deskripsi
yang obyektif dan sistematik mengenai isi (konten) yang terungkap dalam suatu komunikasi, informasi atau teks. Analisis konten dapat dimanfaatkan untuk
44
memahami makna dalam bentuk dokumen, artikel, buku ajar, soal ujian, media pembelajaran, rekaman video belajar-mengajar, dan sebagainya. Analisis kebijakan yang dilakukan adalah content analisis dari peraturan dan perundang undangan yang berlaku dan mengatur baik secara langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan reklamasi dan kegiatan perikanan. Peraturan dan perundang-undangan yang dianalisis antara lain 1)
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya
2)
Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Undang Undang Nomor 45 Tahun 2010 tentang Perubahan Undang Undang 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
3)
Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil
4)
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
5)
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut
6)
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah
7)
Peraturan Presiden No 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur
8)
Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil
9)
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut
10) Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 121 Tahun 2012 tentang Penataan Ruang Reklamasi Pantai Utara Jakarta 11) Pedoman Reklamasi di Wilayah Pesisir (2004), Dirjen Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, Kementria Kelautan dan Perikanan. 12) Pedoman Teknis Kegiatan Pengerukan dan Reklamasi (2006), Dirjen Hubungan Laut, Kementrian Perhubungan 13) Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai (2007) Dirjen Penataan Ruang, Kementrian Pekerjaan Umum. 14) Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030
45
4 KONDISI UMUM TELUK JAKARTA 4.1
Keadaan Geografi Wilayah Provinsi DKI Jakarta merupakan dataran rendah dengan
ketinggian rata-rata sekitar 7 meter di atas permukaan laut. Luas wilayah DKI Jakarta berdasarkan SK Gubernur Nomor 171 tahun 2007 terdiri dari daratan seluas 662,33 km2 dan lautan seluas 6.977,5 km2. Wilayah DKI memiliki tidak kurang dari 110 buah pulau yang tersebar di Kepulauan Seribu, dan sekitar 27 buah sungai/saluran/kanal yang digunakan sebagai sumber air minum, usaha perikanan dan usaha perkotaan. Provinsi DKI Jakarta memiliki panjang pantai sekitar ± 35 km yang menjadi tempat bermuaranya 9 buah sungai dan 2 buah kanal. Batas wilayah di sebelah Selatan dan Timur berbatasan dengan wilayah Provinsi Jawa Barat, sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Banten, dan di sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa.
Wilayah adiministrasi DKI Jakarta terbagi
menjadi 5 wilayah Kota Administrasi dan 1 Kabupaten Administrasi, yaitu: Kota Administrasi Jakarta Selatan (141,27 km2), Jakarta Timur (188,03 km2), Jakarta Pusat (48,13 km2), Jakarta Barat (129,54 km2) dan Jakarta Utara (146,66 km2) serta Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dengan luas daratan 8,70 km2. 4.2
Kondisi Oseanografi Teluk Jakarta Teluk Jakarta memiliki kontur kedalaman perairan yang landai. Kontur
kedalaman 5 meter terletak pada kurang lebih 1 km lepas pantai dan kontur kedalaman 10 m terletak kurang lebih 3 km lepas pantai. Berdasarkan kondisi tersebut, Teluk Jakarta dapat diklasifikasikan sebagai teluk yang sangat dangkal yang mempunyai efek yang kuat pada proses pesisir. (Taurusman 2007). Dasar perairan Teluk Jakarta di dominasi oleh jenis sedimen tanah liat. Namun, pada bagian barat dan tengah wilayah teluk yang disekitar pantai, sedimennya di dominasi oleh jenis pasir. Campuran pasir-tanah liat mendominasi di sebelah barat laut Teluk Jakarta atau sekitar Kepulauan Seribu (Astawa et. al. 1996). Kontur kedalaman Teluk Jakarta di sajikan pada Gambar 7.
Gambar 7 48
Gambar bathimetri Teluk Jakarta (Sumber: Map Sources dan Jury et al. 2011)
Suhu permukaan laut di Teluk Jakarta berkisar 29,0-32,5°C. Terdapat variasi spasial dan vertikal suhu air laut. Hal ini menyebabkan suhu air laut pada sisi kiri, sisi tengah, dan sisi kanan Teluk Jakarta memiliki nilai yang berbeda. Suhu air laut tertinggi di Teluk Jakarta terjadi pada bulan Juni dan suhu terendah terjadi pada bulan Februari (Jury et al. 2011). Menurut Arifin et al. (2003) salinitas perairan di Teluk Jakarta berkisar antara 28 hingga 34‰. Salinitas tertinggi terjadi dua kali dalam setahun, yaitu pada bulan November dan Mei yang diakibatkan siklus musim di Laut Jawa. Rata-rata salinitas pada musim timur adalah 31,5‰. Seperti halnya kondisi salinitas tertinggi, salinitas terendah juga terjadi dua kali dalam setahun, yaitu pada bulan Februari dan Juli. Pasang surut yang terjadi di Teluk Jakarta memiliki tipe diurnal dengan jarak pasang surut 1,2 meter.
Arus pasang surut memiliki kecepatan yang
rendah (kurang dari 0,1 meter per detik) yang dikibatkan oleh kondisi Teluk Jakarta yang cukup terlindung.
Kondisi yang terlindung tersebut juga
menyebabkan gelombang di Teluk Jakarta tidak begitu tinggi, yaitu hanya 0,5 meter (Jury et al. 2011). Kondisi dan dinamika pesisir Teluk Jakarta sangat dipengaruhi oleh kondisi oseanografi, seperti arus dan gelombang.
Ongkosono (1980)
menyebutkan bahwa berdasarkan proses sedimentasi, maka pantai-pantai di Teluk Jakarta dibagi menjadi tiga tipe yaitu; 1) Pantai dengan kemiringan kurang dari < 5° yang dicirikan dengan ekosistem mangrove, 2) Pantai dengan kemiringan antara 5° hingga 15° yang dicirikan dengan pasir dan gelombang yang cukup tinggi, 3) Pantai yang curam yang dicirikan dengan proses erosi. Jury et al. (2011) menyebutkan bahwa wilayah yang mengalami erosi di Teluk Jakarta adalah Tanjung Pasir dengan laju erosi 0,25 hingga 2,00 m/tahun, wilayah Pelabuhan Sunda Kelapa dengan laju erosi 0,5 dan Pantai Ancol dengan laju erosi 10,8 m/tahun dan Pantai Cilincing dengan laju erosi 24 m/tahun. Selain erosi, wilayah pantai juga mengalami sedimentasi yang disebabkan oleh muara sungai.
Wilayah yang terjadi sedimentasi salah satunya adalah Tanjung
Gembong yang disebabkan oleh pengaruh muara sungai Citarum dan sungai Bekasi, dengan tingkat pertumbuhan antara 15 m/tahun (Verstappen 1953), dan
49
50 m/tahun (Pardjaman 1977). Pengaruh sedimentasi dapat jelas terlihat sampai dengan kedalaman 20 m (Suyarso 1995). Kabel komunikasi dan kabel listrik bawah laut melintang antara daratan dan Kepulauan Seribu di sepanjang pantai utara Jakarta. Kabel bawah laut yang digunakan tersebut tidak didesain untk ditimbun oleh pulau-pulau reklamasi. Walaupun modifikasi bentuk pulau rekmalasi jelas menghindari kabel bawah laut (Pergub DKI Jakarta No. 121 / 2012) namun tidak menjamin bebas dari dampak reklamasi.
4.3
Sumberdaya dan Ekosistem Pesisir
4.3.1 Plankton Plankton
merupakan
salah
satu
unsur
penting
bagi
perairan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Afdal (2008) kandungan atau konsentrasi klorofil-a meningkat cukup tajam yaitu antara 16 hingga 26 kali selama kurun waktu 12 tahun (1993 – 2004). Konsentrasi rata-rata plankton di Teluk Jakarta adalah 31,37 mg/m³ pada musim timur dan 78,94 mg/m³ pada musim barat. Plankton di Teluk Jakarta di dominasi oleh diatom (Skeletonema costatum dan Chaetoceros spp.), khususnya pada wilayah yang ke arah lepas pantai.
Pada daerah yang dekat dengan pantai, maka plankton kelompok
Cyanophyceae (Trichodesmium spp.) dan dinophyceae (Ceratium spp. dan Dinophysis caudata) dapat ditemukan dalam jumlah sedikit. Produktivitas primer Teluk Jakarta memiliki rata-rata 223g C /m2/y1. Pasang merah atau red tide yang disebabkan oleh ledakan populasi planton yang dapat menyebabkan kematian masal bagi ikan sering terjadi di Teluk Jakarta (Sachoemar dan Wahjono, 2007). 4.3.2 Makrozoobenthos Keragaman benthos di Teluk Jakarta cukup tinggi. Sebanyak 63 taksa dan 82 famili ditemukan di Teluk Jakarta. Jenis-jenis benthos dominan adalah bivalvia (Mactra sp., Chione sp.) diikuti oleh polychaetes (Prionospio sp., Lucifer sp., Nephtys sp.) serta Crustacea (Acetes).
Makrozoobenthis dengan
kelimpahan tinggi dapat ditemukan di daerah dekat pantai, khususnya di daerah Angke dan Priok yang memiliki konsentrasi bahan organik yang tinggi (Taurusman, 2007). Wilayah
Teluk
Jakarta
yang
memiliki
kondisi
hipertrofik,
makrozoobenthosnya di dominasi oleh jenis surface deposit-feeding; polychaetes 50
seperti
Dodecaceria sp., Cirratulus sp., Capitella sp., dan Spionidae.
Pada
wilayah dengan kondisi eutrofikasi, makrozoobenthosnya didominasi oleh pemakan-suspensi; bivalvia (Mactra sp., Chione sp.). Pada zona lepas pantai dengan kondisi mesotropik memiliki keragaman yang tinggi (Taurusman 2010). 4.3.3 Nekton Berdasarkan survei dengan menggunakan trawl pada tahun 1977 hingga 1979 (Martosewoko dan Djamali, 2013) ikan yang dapat ditemukan sebanyak 21 hingga 47 jenis yang di dominasi oleh jenis Upeneus sulphurensis, Apogon kiensis, Ostorhynchus quadrifasciatus, Leiognathus splendens, Platycephalus crocodilus, Saurida elongata, Pomadasys argyreus, dan Gastrophysus lunaris. Berdasarkan survei hasil tangkapan yang dilakukan pada tahun 2005 (Wagiyo et al. 2006) jenis ikan dominan yang ditemukan di Teluk Jakarta adalah ikan dari famili Siganidae, Leognathidae dan Clupeidae. 4.3.4 Mangrove Ekosistem mangrove meruapakan salah satu ekosistem penting yang tersisa di Teluk Jakarta, walaupun dalam kondisi memprihatinkan.
Konversi
dengan skala besar untuk budidaya, pertanian, dan reklamasi pantai menjadi penyebab hilangnya ekosistem mangrove di Teluk Jakarta. Wilayah yang masih memiliki ekosistem mangrove adalah di Muara Angke di sekitar Sungai Marunda dan Cilincing serta di daerah Bekasi. Sebaran ekosistem mangrove disajikan pada Tabel 9 dan 10. Tabel 9 Luas dan kerapatan tutupan mangrove Tahun 2011 No.
Lokasi
Luas lokasi (ha)
Persentase Tutupan (%)
Kerapatan (pohon/ha)
1.
Kawasan Ekosistem Mangrove Tol Sedyatmo
95,50
70,00
7.050,00
2.
Hutan Lindung Angke Kapuk
44,76
75,00
3.050,00
3.
Kawasan Taman Suaka Marga Satwa Muara Angke
25,02
68,00
3.500,00
4.
Kawasan Taman Wisata Alam Angke Kapuk
99,82
50,00
2.500,00
5.
Kebun Bibit Angke Kapuk
10,51
50,00
2.500,00
Sumber : BPLHD (2011)
51
Tabel 10 Vegetasi mangrove di kawasan pesisir Teluk Jakarta bagian barat Tahun 2011 No
Jenis
Kondisi
Tingkat Pohon 1.
Avicennia marina
Tinggi (> 10 Ind)
2.
A. officinalis
3.
A. alba
Tinggi (> 10 Ind)
4.
Delonix regia
Tinggi (> 10 Ind)
5.
Sonneratia caseolaris
Sedangi (5 - 10 Ind)
6.
Thespesia populnea
Sedangi (5 - 10 Ind)
Sedangi (5 - 10 Ind)
Tingkat Tiang 1.
Avicennia alba
Tinggi (> 10 Ind)
2.
A. marina
Tinggi (> 10 Ind)
3.
A. officinalis
4.
Rhizopora mucronata
Tinggi (> 10 Ind)
5.
Excoecaria agallocha
Tinggi (> 10 Ind)
Sedangi (5 - 10 Ind)
Tingkat Sapihan 1.
Avicennia marina
Tinggi (> 10 Ind)
2.
A. officinalis
Tinggi (> 10 Ind)
3.
A. alba
Tinggi (> 10 Ind)
4.
Rhizopora mucronata
Tinggi (> 10 Ind)
5.
Acasia auriculiformis
Tinggi (> 10 Ind)
6.
Delonix regia
Tinggi (> 10 Ind)
Sumber : BPLHD (2011)
52
Menurut BPLHD (2011) ekosistem mangrove di Muara Angke merupakan kawasan ekosistem mangrove yang dilindungi dan ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa (SM). SM Muara Angke meliputi 25,02 hektar ekosistem mangrove. Ditemukan 42 spesies bakau di Muara Angke, dimana 11 spesies merupakan mangrove sejati, antara lain Sonneratia caeseolaris (pidada), Rhizophora spp. (bakau), Avicennia marina (api-api), Bruguiera gymnorrhiza dan Excoecaria agallocha
(buta-buta).
Asosiasi
mangrove
meliputi
Terminalia
catappa
(ketapang ), Nypa fruticans (nipah) dan Hibiscus tiliaceus (waru laut). Selain sebagai daerah perlindungan bagi hutan bakau, SM Muara Angke juga berfungsi sebagai habitat burung dan satwa penting. Jenis jenis burung yang ditemukan antara lain Burung Sikatan Bakau (Cyornis rufigastra), Prenjak Jawa (Prinia familiaris), Cerek Jawa (Charadrius javanicus), Bulbul Jawa (Centropus nigrorufous) dan Bangau Bluwok (Mycteria cinerea). Satwa penting lainnya yang ditemukan di SM Muara Angke antara lain Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), Ular Sanca (Python reticulatus), Kadal Pemantau (Varanus salvator), Ular Cobra (Naja sputatrix), Ular Belang (Bungarus fasciatus), Ular Kadut (Homalopsis buccata), Ular Cincin Emas (Boiga dendrophylla), Ular Daun (Ahaetula prassina) dan Ular Air (Cerberus rhynchops). 4.3.5 Terumbu Karang Ekositem terumbu karang dapat ditemukan di pulau-pulau yang berada di dalam Teluk Jakarta.
Hingga saat ini belum dilaporkan adanya ekosistem
terumbu karang di wilayah pantai yang ada di Teluk Jakarta.
Menurut
Paonganan (2009) penutupan karang hidup di pulau-pulau sekitar Teluk Jakarta berkisar antara 24 hingga 26 %. Menurut hasil penelitian penutupan karang di sekitar Teluk Jakarta menurun seiring dengan waktu (Jury et al. 2011; Siringoringo 2010). Terumbu karang yang ditemukan di pulau pulau yang berada di bagian barat teluk berpotensi untuk terpengaruh akibat kegiatan reklamasi, seperti Pulau Bidadari dan Pulau Damar (Banten).
4.4
Ancaman terhadap Wilayah Pesisir Teluk Jakarta Akibat tingginya aktivitas pemanfaatan di wilayah pesisir Teluk Jakarta
maupun di hulu dan laut lepas, wilayah ini tengah mengalami situasi yang tak menguntungkan dan memprihatinkan. Kawasan tersebut berada dalam tekanan yang besar, dimana ekosistemnya menghadapi ancaman kerusakan dan 53
penurunan
kualitas
yang
pada
akhirnya
akan
berpengaruh
terhadap
kelangsungan fungsional ekosistem pesisir Teluk Jakarta. Ancaman-ancaman ini dapat berdiri sendiri atau saling berkaitan dalam setiap pemanfatan sumberdaya atau kegiatan pembangunan yang memberikan dampak terhadap ekosistem pesisir Teluk Jakarta. Beberapa ancaman potensial terhadap ekosistem pesisir Teluk Jakarta adalah: 1) Sedimentasi dan pencemaran Kegiatan pembukaan lahan atas (hulu) dan pesisir untuk pertanian, pertambakan, permukiman, industri dan pengembangan kota merupakan sumber beban sedimen dan pencemaran perairan pesisir.
Adanya
penebangan hutan dan pembukaan lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) telah menimbulkan sedimen serius di beberapa daerah muara dan perairan pesisir Teluk Jakarta. Disamping itu sampah padat yang berasal dari rumah tangga dan kota merupakan sumber pencemar perairan pesisir yang sulit dikontrol, akibat perkembangan pemukiman dan pusatpusat perdagangan yang pesat. Demikian pula pembukaan lahan pesisir untuk pertambakan dan industri berkontribusi penating dalam peningkatan pencemaran baik organik maupun anorganik di perairan Teluk Jakarta. Sumber pencemar lain di pesisir Teluk Jakarta berasal dari kegiatan reklamasi pantai.
Kegiatan reklamasi pantai dapat mengakibatkan
perubahan pada lingkungan pesisir, berupa peningkatan kekeruhan air dan pengendapan sedimen. 2) Degradasi habitat Erosi pantai merupakan salah satu masalah serius degradasi garis pantai. Selain dari proses-proses alami seperti angin, arus dan gelombang, aktivitas
manusia
juga
menjadi
penyebab
penting
erosi
pantai.
Kebanyakan erosi pantai yang diakibatkan oleh aktivitas manusia adalah pembukaan hutan pesisir dan reklamasi pantai untuk kepentingan pemukiman, industri dan pembangunan infrastruktur, sehingga sangat mengurangi fungsi perlindungan terhadap pantai. Ancaman lain terhadap habitat adalah degradasi terumbu karang di pesisir Teluk Jakarta yang disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia, diantaranya pemanfaatan ekosistem
terumbu
perdagangan
(ikan
karang hias)
keanekaragaman hayati). 54
sebagai dan
sumber
obyek
pangan,
wisata
komoditas
(keindahan
dan
3) Degradasi sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati Sejalan
dengan
meningkatnya
kegiatan
pembangunan
dan
perkembangan permukiman serta perkotaan kearah pesisir, maka terlihat jelas adanya degradasi sumberdaya alam pesisir. Salah satu degradasi sumberdaya alam pesisir Teluk Jakarta yang cukup menonjol adalah degradasi hutan mangrove sebagai akibat pembukaan lahan/konversi hutan atau reklamasi pantai menjadi kawasan pemukiman, pertambakan dan industri. Ancaman lain terhadap keanekaragaman hayati di peraiaran pesisir Teluk Jakarta diduga berasal dari pembangunan infrastruktur (pelabuhan, industri, dll) di pinggir pantai dan juga reklamasi pantai. Kegiatan reklamasi pantai sebagaimana terjadi di pesisir Jakarta, diperkirakan dapat merubah struktur ekologi pesisir bahkan dapat menurunkan keanekaragaman hayati perairan. 4.5
Potensi Sumberdaya Ikan Wilayah perairan Teluk Jakarta termasuk dalam WPP Laut Jawa.
Berdasarkan Permen KP. No. 45 Tahun 2011 disebutkan bahwa potensi sumberdaya ikan (SDI) di WPP 712 (Laut Jawa) sebesar 836.600 ton. Produksi perikanan DKI Jakarta tahun 2011 mencapai 179.592 ton dan jumlah tersebut mencapai 21,47% dari seluruh potensi di Laut Jawa.
Potensi WPP 712
berdasarkan Permen KP No. 45 tahun 2011 disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Potensi sumberdaya ikan di WPP 712 Kelompok SDI
Potensi (Ton) (Permen 45 Th 2011)
Ikan Pelagis Besar
55.000
Ikan Pelagis Kecil
380.000
Ikan Demersal
375.200
Udang Penaeid
11.400
Ikan Karang Konsumsi Lobster
9.500 500
Cumi-cumi
5.000 Jumlah
836.600
Dalam kurun waktu 2008-2011 produksi perikanan DKI Jakarta mengalami fluktuasi. Pada tahun 2009, terjadi penurunan produksi dari tahun 55
sebelumnya hingga 29%.
Namun pada tahun 2010 dan 2011 terjadi trend
peningkatan produksi perikanan dari tahun 2009.
Peningkatan produksi
perikanan DKI Jakarta dalam kurun waktu 4 tahun terakhir jika dirata-ratakan mencapai 14%. Garfik produksi perikanan tangkap di Laut Provinsi DKI Jakarta tahun 2008-2011 disajikan pada Gambar 8. Daerah penangkapan nelayan DKI Jakarta umumnya adalah wilayah Teluk Jakarta dan perairan Kepulauan Seribu.
Nelayan dengan armada
penangkapan < 30 GT umumnya melakukan operasi penangkapan ikan di wilayah perairan hingga 12 mil. Sementara itu bagi nelayan dengan armada penangkapan > 30 GT, daerah penangkapannya dapat mencapai perairan Samudera Hinda bagian Selatan Jawa atau hingga Barat Sumatera. Nelayan yang berbasis di Pelabuhan Perikanan yang ada di DKI Jakarta juga tidak selalu beroperasi di wilayah perairan provinsi, namun hingga perairan ZEEI.
Gambar 8 Produksi perikanan tangkap DKI Jakaarta tahun 2008-2011 (Sumber : Sidatik KKP 2012, diolah) Musim penangkapan di perairan Teluk Jakarta sangat dipengaruhi oleh angin moonson yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi musim barat, musim timur dan musim peralihan. Musim barat/hujan berlangsung sejak bulan Nopember sampai dengan Maret dan musim timur/kemarau berlangsung antara bulan April sampai dengan Oktober setiap tahunnya. Bulan April – Mei dan Oktober – November merupakan bulan peralihan.
56
4.6
Unit Penangkapan Ikan
4.6.1
Alat penangkapan ikan Alat tangkap yang dioperasikan khusus di wilayah Teluk Jakarta sangat
beragam antara lain bagan tancap, bagan perahu, sero, jaring insang, payang, rawai, dogol dan pancing.
Pada perikanan pantai, bagan tancap dan bahan
perahu telah menjadi pilihan nelayan Jakarta untuk memperoleh hasil tangkapan berupa ikan teri atau cumi-cumi. Wilayah pengoperasiannya yang relatif dekat dengan pantai tidak membutuhkan waktu lama dan BBM yang banyak untuk menjangkaunya. Perkembangan jumlah dan jenis alat tangkap di DKI Jakarta tahun 2006-2011 disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12 Jumlah dan jenis alat tangkap di DKI Jakarta tahun 2006-2011 No.
Jenis Alat Tangkap
Tahun 2006
2007
2008
2009
2010
2011
1.
Payang
662
662
712
712
712
341
2.
Dogol
457
457
497
497
497
437
3.
Pukat cincin
269
269
279
279
279
282
4.
Jaring insang hanyut
396
396
960
960
737
975
5.
Bagan perahu
133
133
553
553
78
553
6.
Bagan tancap
124
124
124
124
180
0
7.
Jaring angkat lainnya
601
648
408
0
431
0
8.
Rawai
2.822
2.822
2.822
2.822
2.537
2.537
9.
Pancing lainnya
731
766
685
691
691
691
10.
Pancing tonda
126
126
126
126
126
126
11.
Bubu
5.420
5.420
4.927
1.849
1.849
1.849
12.
Muroami
641
641
798
109
101
12
13.
Lain-lain
4.636
4.974
5.026
301
5503
2.730
17.018
17.438
1.7917
9.023
13.721
10.533
Total
Sumber: DKP 2009 dan Sidatik KKP 2012
Kelompok perangkap dan pancing merupakan jenis alat tangkap yang dominan dengan rawai dan bubu sebagai alat tangkap yang memiliki persentase paling tinggi, masing-masing 32% dan 24%
Sementara itu pukat cincin hanya
memiliki persentase sebesar 4%. Kecilnya persentase purse seine disebabkan oleh tingginya biaya investasi yang harus dikeluarkan nelayan untuk menjalan
57
usaha penangkapan dengan alat tangkap ini. Komposisi jenis alat tangkap di DKI Jakarta tanhun 2011 disajikan pada Gambar 10.
Gambar 9 Bagan tancap di Teluk Jakarta
Gambar 10 Komposisi jumlah alat tangkap di DKI Jakarta tahun 2011
58
4.6.2
Armada penangkapan Jumlah armada penangkapan di Teluk Jakarta tahun 2011 sebanyak
5.292 unit yang didominasi oleh armada penangkapan < 10 GT. Sementara itu armada dengan volume > 100 GT jumlahnya hanya 860 unit seperti disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11 Jumlah armada penangkapan di DKI Jakarta tahun 2011 Jumlah armada penangkapan tahun 2009 mengalami penurunan dari tahun sebelumnya (Tabel 13). Hal ini dapat disebabkan oleh kepindahan armada penangkapan yang sebelumnya berbasis di Jakarta berpindah ke lokasi lain disekitar Jakarta. Persaingan usaha yang semakin ketat serta trend penurunan hasil tangkapan nelayan di perairan Teluk Jakarta menjadi pemicu kepindahan tersebut. Tabel 13 Jumlah armada penangkapan di DKI Jakarta tahun 2005-2009 Tahun
Jumlah armada penangkapan (unit)
Total
0-5 GT
5-10 GT
10-20 GT
10-30 GT
30-50 GT
>50 GT
2005
451
1.343
615
421
45
726
5.028
2006
406
1.209
554
379
39
653
4.523
2007
430
1.276
659
354
34
760
4.609
2008
460
1.858
430
596
51
564
4.855
2009
435
1.427
210
485
108
450
3.115
2010
1.716
1.907
247
280
169
1.391
5.710
2011
1.728
1.563
172
281
189
1.359
5.292
59
Gambar 12 Kapal jaring insang yang sedang melakukan penangkapan ikan di Teluk Jakarta
4.6.3
Nelayan dan rumah tangga perikanan Hingga tahun 2011, jumlah nelayan di DKI Jakarta sebesar 68.360 orang
yang terdiri atas 47.921 orang nelayan penuh dan 20.439 nelayan sambilan utama. Pada tahun 2011 terjadi penurunan jumlah nelayan sambilan utama dari 927 orang menjadi 0, artinya profesi nelayan sambilan tambahan pada tahun 2011 sudah mulai ditinggalkan. Jumlah nelayan di DKI Jakarta tahun 2008-2011 disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Jumlah nelayan di Jakarta tahun 2008 – 2011 Tahun No.
Perkembangan (%)
Kategori Nelayan 2008
2009
2010
2011
72.509
62.445
38.509
47.921
-9.26
1.
Nelayan penuh
2.
Nelayan sambilan utama
1.965
1.692
1.043
20.439
602.46
3.
Nelayan sambilan tambahan
1.746
1.503
927
-
-50.75
76.220
65.640
40.479
68.360
Jumlah
Sumber : KKP 2011 dan Sidatik KKP 2012
60
Jumlah rumah tangga perikanan (RTP) di DKI Jakarta pada tahun 2008 didominasi oleh jenis perahu motor tempel.
Hal ini mengindikasikan bahwa
kegiatan perikanan tangkap di perairan Teluk Jakarta memiliki skala usahanya yang masih kecil (tradisional). Namun pada Tahun 2011, jumlah perahu motor tempel telah berkurang hingga nol.
Hal ini menunjukkan telah terjadi
pekembangan yang positif terhadap skala usaha RTP di DKI jakarta. Jumlah RTP dominan di DKI Jakarta disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Jumlah RTP di DKI Jakarta tahun 2008-2011 No.
Kategori
1.
Perahu tanpa motor
2.
Perahu motor tempel
Tahun 2008
2009
2010
2011
273
224
3.736
3.468
< 5 GT
259
344
1.563
1.466
5-10 GT
134
69
1.557
1.226
3
20
200
152
261
103
1
56
42
Kapal motor 3.
10-20 GT 20-30 GT 30-50 GT 50-100 GT
2
4
296
84
100-200 GT
3
4
78
80
> 200 GT
2
167
169
4.178
3.322
Total
4.412
4.134
Sumber : KKP 2011 dan Sidatik KKP 2012
4.7
Hasil Tangkapan Jenis hasil tangkapan dominan nelayan yang berbasis di Teluk Jakarta
terdiri atas kelompok ikan pelagis besar, pelagis kecil dan demersal. Jenis ikan pelagis besar antara lain cucut, tenggiri dan tongkol. Sementara itu, keompok ikan pelagis kecil antara lain kembung, tembang, selar dan teri.
Jenis ikan
demersal yang menjadi target tangkapan utama nelayan di Teluk Jakarta antara lain kakap merah, karapu, peperek dan bloso. Jenis dan produksi ikan hasil tangkapan nelayan di Teluk Jakarta disajikan pada Tabel 16.
61
Tabel 16 Jenis dan produksi hasil tangkapan nelayan di Teluk Jakarta (ton) No.
Nama Indonesia
Tahun
Nama Ilmiah Sphyrna sp. Scomberomorus commersoni
2008
2009
2010
2011
1.312
1.563
2.276
2.873
3.367
2.987
3.242
5.579
1
Cucut
2
Tenggiri
3
Tongkol komo
Euthynnus spp.
212
38
66
159
4
Golok-golok
Chirocesntrus spp.
425
295
192
440
5
Kembung
Rastrelliger sp.
6.682
4.656
6.420
4.028
6
Kuwe
Caranx sp.
1.871
964
485
731
7
Layang
Decapterus ruselli
4.235
3.732
9.136
18.066
8
Selar
3.131
3.416
2.758
4.132
9
Tembang
Selaroides spp. Sardinella gibbosa/ S. Fimbriata
2.329
3.333
9.111
5.959
10
Teri
Stelophorus sp.
1.183
1.127
490
349
11
Cendro
60
149
73
325
12
Bawal
Tylosorus crocodiles Formio niger/Pampus argentus
1.740
1.215
2.256
410
13
Blanak
Mugil spp.
887
495
244
32
14
Bloso Ekor Kuning/Pisangpisang
Saurida spp.
871
100
205
188
Caesio sp.
2.739
1.843
622
186
16
Kakap Merah
Lutjanus malabaricus
2.380
1.451
1.681
1.119
17
Kerapu
Epinephelus sp.
1.102
647
743
142
18
Kuro
Polynemus sp.
853
469
216
46
19
Layur
Trichiurus spp.
4.745
767
577
926
20
Manyung
Arius thalassinus
1.195
747
626
1.146
21
Pari
Trigonidae
1.392
711
732
729
22
Peperek
Leiognatus spp.
899 43.610
330 31.035
785 42.936
964 48.529
15
Sumber : KKP 2011 dan Sidatik KKP 2012
Apabila dikelompokkan berdasarkan jenisnya, produksi ikan pelagis kecil pada tahun 2011 merupakan yang paling dominan dengan persentase mencapai 68%. Produksi ikan demersal hanya mencapai 13%, sedangkan ikan pelagis besar memiliki persentase sebesar 19%.
Persentase produksi ikan hasil
tangkapan nelayan di Teluk Jakarta disajikan pada Gambar 12.
62
Gambar 13 Persentase produksi ikan hasil tangkapan nelauan di Teluk Jakarta berdasarkan kelompok SDI DKI Jakarta memiliki PPS Nizam Zachman yang menjadi salah satu pelabuhan perikanan dengan tingkat aktivitas yang sangat ramai.
Ikan yang
didaratkan dan dijual di PPSNZ bukan hanya berasal dari penangkapan nelayan di Jakarta, namun juga dari nelayan di berbagai daerah. Selain ikan dari laut, ikan yang masuk ke PPSNZ juga masuk melalui darat seperti dari Cilacap, Cirebon, Banten dan Pekalongan.
4.8
Perikanan Budidaya Selain perikanan tangkap, Provinsi DKI Jakarta juga memiliki kegiatan
perikanan budidaya meskipun skalanya relatif kecil karena keterbatasan lahan. Perikanan budidaya yang diusahakan oleh pembudidaya ikan di DKI Jakarta terdiri dari budidaya laut, tambak, kolam dan sawah. Jenis budidaya laut lebih berkembang di Kepulauan Seribu dengan komoditi rumput laut dan ikan kerapu. Sedangkan budidaya tambak, kolam dan sawah diusahakan oleh petani budidaya ikan di Jakarta Utara. Akan tetapi sejak tahun 1996, budidaya ikan di sawah tidak ada lagi yang diusahakan oleh pembudidaya di DKI Jakarta. Luas lahan budidaya di DKI Jakarta selama tahun 2000-2009 cenderung meningkat.
Pada tahun 2009, lahan budidaya mencapai luas terbesar
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yakni seluas 538,23 ha. Hal ini disebabkan oleh mulai berkembangnya kembali budiaya tambak di pantai Utara
63
DKI Jakarta. Kegiatan budidaya tambak ini sempat berhenti sejak tahun 1996. Luas budidaya tambak ini pada tahun 2009 mencapai 339,00 ha. Tabel 17 Perkembangan luas lahan budidaya perikanan di DKI Jakarta Tahun 2000 - 2009 Luas Lahan (ha) No
Tahun
1
2000
2
2001
-
-
117,22
117,.22
3
2002
22,00
-
89,46
111,46
4
2003
21,70
-
91,30
113,00
5
2004
2,34
-
72,52
74,86
6
2005
13,87
206,50
135,66
356,03
7
2006
16,53
160,90
149,18
326,61
8
2007
17,47
315,20
291,14
479,73
9
2008
5,38
335,33
284,94
477,95
10
2009
60,39
339,00
288,15
538,23
Budidaya Laut Budidaya Tambak Budidaya Kolam
Jumlah
Sumber : Buku Tahunan Statistik Perikanan Budidaya Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009
Jumlah pembudidaya di DKI Jakarta cenderung menurun selama kurun waktu 10 tahun terakhir (tahun 2000 - 2009). Jumlah pembudidaya pada tahun 2009 sebanyak 2.868 orang yang terdiri dari pembudidaya laut sebanyak 614 orang, pembudidaya tambak sebanyak 232 orang, pembudidaya kolam 926 orang dan pembudidaya ikan hias 1.096 orang.
Jumlah pembudidaya pada
tahun 2006 yang terendah selama kurun waktu 10 tahun terakhir dan yang tertinggi terjadi pada tahun 2001 sebanyak 3.422 orang. Jumlah pembudidaya ikan hias memiliki proporsi terbesar di antara jenis usaha budidaya lainnya. Pada tahun 2009, proporsi pembudidaya ikan hias mencapai 32,21 % diikuti oleh pembudidaya ikan hias 32,29 %, pembudidaya laut 21,41% dan pembudidaya tambak 8,09 %.
Proporsi ini sedikit bergeser dibanding tahun 2008 dimana
sebelumnya proporsi pembudidaya ikan konsmsi lebih banyak dibanding jenis budidaya lainnya. Secara lengkap jumlah pembudidaya di DKI Jakarta tahun 2000 - 2009 dapat dilihat pada tabel berikut ini.
64
Tabel 18 Jumlah pembudidaya di DKI Jakarta, Tahun 2000 - 2009 Jumlah (orang) No
Tahun
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Budidaya Laut
Budidaya Tambak
335 327 290 485 414 421 458 614
Budidaya Kolam
Budidaya Ikan Hias
1.394 1.536 1.403 1.436 1.190 1.286 1.168 1.132 1.214 926
1.693 1.906 1.367 1.325 1.431 1.233 1.075 1.063 1.027 1.096
161 145 168 238 232
Jumlah 3.087 3.442 3.105 3.088 2.911 3.165 2.802 2.784 2.937 2.868
Sumber : Data Perikanan DKI Jakarta Tahun 2009
Komoditas kerang hijau menjadi salah satu pilihan nelayan budidaya di Teluk Jakarta yang umumnya dilakukan di Desa Kamal Muara dan Cilincing. Hingga tahun 2009, total nelayan budidaya kerang hijau mencapai 2.005 orang dengan total produksi mencapai 35.768 ton. Jumlah nelayan budidaya kerang hijau disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19 Jumlah nelayan pembudidaya kerang hijau di Teluk Jakarta tahun 2005-2009 Tahun
Desa Kamal Muara (orang)
Desa Cilincing (orang)
Total (orang)
Pemilik
Pekerja
Total
Pemilik
Pekerja
Total
Pemilik
Pekerja
Total
2005
390
650
1.040
260
720
980
650
1.370
2.020
2006
352
585
936
235
648
883
587
1.233
1.820
2007
-
-
-
60
175
235
60
175
235
2008
412
824
1.236
307
1.535
1.842
719
2.359
3.078
2009
135
245
380
326
1.300
1.626
461
1.545
2.006
Sumber : Jury et al. 2011
Metode budidaya kerang hijau umumnya dilakukan dengan menggunakan sistem bagan.
Hingga tahun 2009, jumlah bagan yang digunakan untuk
budidaya kerang hijau mencapai 1.419 unit. Jumlah ini mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Fluktuasi produksi kerang hijau di Teluk Jakarta antara lain dipengaruhi oleh kondisi perairan yang telah mengalami pencemaran dan
65
perubahan penggunaan lahan untuk kepentingan pembangunan. Jumlah bagan dan produksi kerang hijau disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Jumlah bagan dan produksi kerang hijau di Teluk Jakarta tahun 20052009 Tahun
Desa Kamal Muara Bagan (Unit)
Desa Cilincing
Produksi (Ton)
Bagan (Unit)
Produksi (Ton)
Total Bagan (Unit)
Produksi (Ton)
2005
498
70.500
1.299
200.000
1.797
270.500
2006
448
63.500
1.160
180.000
1.608
243.500
2007
-
-
630
90.780
630
90.780
2008
1.216
18.240
1.396
34.900
2.612
53.140
2009
389
4.668
1.030
31.100
1.419
35.768
Sumber : Jury et al. 2011
66
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Kegiatan Perikanan Terdampak Reklamasi Berdasarkan peta rencana reklamasi Teluk Jakarta akan dilakukan pada
sepanjang pantai mulai dari daerah Cilincing hingga Teluk Naga.
Reklamasi
dilakukan tidak pada sepanjang pantai, namun dilakukan dengan membuat “pulau-pulau” di depan pantai. Perusahan-perusahaan yang telah mengusulkan hak atas wilayah reklamasi antara lain (Jury et al. 2011 dan van Berkel, 2012); 1)
PT. Tangerang International City (TIC); PT. TIC telah mengusulkan dua pulau reklamasi yang terletak di bagian barat Teluk Jakarta yang merupakan wilayah administrasi Kabupaten Tangerang (pulau A dan B). Peruntukan wilayah yang diajukan antara lain 1.316 ha untuk pengembangan kawasan bisnis; 643 ha untuk pengembangan kawasan budaya, wisata, olahraga dan hiburan/rekreasi; dan 673 ha sebagai kawasan budaya, wisata dan olahraga.
2)
PT. Kapuk Niaga Indah (KNI); PT. KNI mengusulkan tiga pulau reklamasi (pulau C, D dan E) yang mencakup luas sebagai berikut: 276 ha; 312 ha; dan 284 ha. Wilayah tersebut diperuntukan sebagai kawasan hunian dan infrastruktur publik.
3)
PT. Jakarta Propertindo; PT. Jakarta Propertindo akan mengembangkan satu pulau reklamasi (pulau F) yang mencakup area seluas 194 ha dan diperuntukan bagi pengembangan real estate, taman rekreasi, dan area komersial.
4)
PT. Muara Wisesa Samudera dan PT. Bhakti Bangun Eramulia; PT. Muara Wisesa Samudera dan PT. Bhakti Bangun Eramulia mengusulkan dua pulau reklamasi (pulau G dan H) yang mencakup luas 163 ha dan 79 ha diperuntukkan sebagai real estate dan apartemen.
5)
PT. Jaladri Kartika Ekapaksi; PT. Jaladri Kartika Ekapaksi berencana mengembangkan satu pulau reklamasi (pulau I) seluas 246 ha yang diperuntukan sebagai bangunan publik.
6)
PT. Pembangunan Jaya Ancol (PJA); PT. PJA akan mengembangkan empat pulau reklamasi (pulai I, J, K dan L) yang mencakup kawasan seluas 255 ha, 320 ha, 56 ha dan sisanya 35 ha.
7)
PT. Manggala Krida Yudha; PT. Manggala Krida Yudha telah mengusulkan pembangunan dua pulau reklamasi (pulau L dan M) seluas 436 ha dan 514
ha yang dikelola oleh PT. Manggala Krida Yudha diperuntukkan sebagai bangunan publik. 8)
PT. Pelindo II; PT. Pelindo II merupakan operator Pelabuhan Tanjung Priok. Rencana pembangunan pulau hasil reklamasi yang diusulkan adalah untuk pembangunan terminal bahan bakar minyak (BBM) dan gas (LPG), peningkatan kapasitas terminal peti kemas untuk mendukung percepatan arus barang, dan pembangunan infrastruktur yang mendukung industri perkapalan. Pulau yang diusulkan adalah pulau M seluas 84 ha dan pulau N seluas 368 ha.
9)
PT. Kawasan Berikat Nusantara (KBN); Wilayah reklamasi PT. KBN mencakup pulau P seluas 463 ha yang diperuntukkan sebagai kawasan industri dan kompleks pergudangan.
10) PT. Dwi Marunda Makmur; PT. Dwi Marunda Makmur berencana mengembangkan satu pulau reklamasi (pulau Q) seluas 369 ha di kawasan timur Teluk Jakarta yang diperuntukan sebagai kawasan industri dan kompleks pergudangan. Peta rencana reklamasi disajikan pada Gambar 14.
68
Gambar 14 Peta rencana reklamasi
69
Berdasarkan hasil survei daerah penangkapan ikan, nelayan yang menangkap ikan di sekitar Teluk Jakarta adalah nelayan yang menggunakan alat tangkap payang, mini purse seine, gillnet, bagan dan dogol.
Daerah
penangkapan ikan untuk alat tangkap payang dan dogol terletak di sebelah barat, tengah dan timur Teluk Jakarta serta di sekitar Pulau Damar. Nelayan yang menggunakan alat tangkap gillnet memiliki daerah penangkapan ikan di sekitar Pulau Damar dan sebelah timur dan barat Teluk Jakarta. Nelayan yang menggunakan mini purse seine, daerah penangkapan ikannya di daerah Pulau Damar dan sebelah barat Teluk Jakarta. Bagan yang digunakan di sekitar Teluk Jakarta umumnya bagan tancap. Bagan tancap banyak di pasang di sebelah barat dan timur Teluk Jakarta. Selain kegiatan penangkapan, kegiatan perikanan lainnya di Teluk Jakarta berupa budidaya kerang hijau. Budidaya kerang hijau banyak dilakukan di sebelah barat dan timur Teluk Jakarta yang berdekatan dengan wilayah pemasangan bagan.
Peta daerah penangkapan ikan dan kegiatan budidaya
disajikan pada Gambar 15. Berdasarkan hasil overlay antara daerah penangkapan ikan (DPI), maka daerah penangkapan ikan yang akan terdampak akibat kegiatan reklamasi antara lain daerah penangkapan untuk alat tangkap payang, gillnet, bagan, dan dogol. Reklamasi akan langsung berdampak terhadap DPI ke 4 alat tangkap tersebut karena lokasi pulau baru sebagai hasil reklamasi (pengurugan) nantinya akan menghilangkan wilayah perairan yang selama ini menjadi DPI bagi nelayan. Hilangnya wilayah perairan tersebut dan berganti menjadi daratan (pulau) dan akan memaksa nelayan untuk menemukan DPI baru yang tentunya akan lebih jauh ke arah lautan bebas.
70
DPI Mini Purse Seine
DPI Dogol
Gambar 15 Peta daerah penangkapan ikan di Teluk Jakarta
71
Selain kegiatan perikanan pantai, kegiatan budidaya kerang hijau juga akan terdampak langsung dari kegiatan reklamasi. Lokasi budidaya yang selama ini dimanfaatkan oleh nelayan akan hilang dengan terbentuknya daratan baru hasil reklamasi. Nelayan budidaya kerang hijau harus mencari daerah lain yang cocok untuk meneruskan budidaya kerang hijau (Perna viridis).
DPI lain yang
juga akan terpengaruh adalah daerah penangkapan mini purse seine di sekitar wilayah Pulau Bidadari.
Perubahan habitat
di perairan pantai akan
menyebabkan perubahan struktur habitat dan komposisi SDI sehingga akan mempengaruhi DPI yang berada lebih jauh dari pantai. Gambar overlay rencana reklamasi dan DPI disajikan pada Gambar 16. Daerah penangkapan ikan yang terdampak langsung akibat reklamasi mencakup 306,12 ha untuk DPI payang, 43,40 ha untuk DPI gillnet, 500,84 ha untuk DPI bagan dan budidaya, dan 339,28 ha untuk DPI dogol serta 337,70 ha untuk DPI beberapa alat tangkap dalam satu wilayah. DPI yang tidak terkena dampak langsung dari kegiatan reklamasi adalah daerah penangkapan di sekitar Pulau Damar dan sebelah barat Teluk Jakarta, sehingga kedua wilayah ini dapat dijadikan alternatif daerah penangkapan jika nelayan tidak dapat melakukan penangkapan di sekitar pantai yang tereklamasi. Estimasi luasan masing-masing DPI disajikan pada Tabel 21. Bentuk reklamasi yang menyerupai pulau-pulau, telah meminimalisasi dampak reklamasi terhadap jalur perahu yang selama ini di khawatirkan. Reklamasi tidak di buat dalam bentuk daratan yang luas, tetapi memiliki kanalkanal yang dapat dijadikan jalur perahu bagi nelayan yang akan berangkat menuju dari penangkapan dari fishing base. Namun jika reklamasi dilakukan secara bersamaan pada seluruh pulau-pulau reklamasi, maka tentu saja hal ini tetap akan mengganggu jalur pelayaran, karena pada saat proses reklamasi akan banyak alat berat dan material yang diletakkan di wilayah reklamasi. Untuk itu proses reklamasi haru dilaksanakan secara bertahap sehingga tidak mengganggu jalur perahu yang ada.
72
Tabel 21 Estimasi luasan daerah penangkapan ikan terdampak langsung reklamasi di Teluk Jakarta No.
Jenis Alat
Luas DPI (ha)
A
DPI masing-masing alat tangkap
1.
Payang
306,12
2.
Gillnet
43,40
3.
Bagan dan Budidaya Kerang Hijau
500,84
4.
Dogol
339,28
Jumlah
1.189,64
B
DPI beberapa alat tangkap dalam satu wilayah
5.
Dogol dan gillnet
6.
Dogol, bagan dan budidaya kerang hijau
7.
Dogol dan payang
8.
Gillnet, bagan dan budidaya kerang hijau
121,42
9.
Payang, bagan dan budidaya kerang hijau
18,37
10.
Dogol, gillnet, bagan dan budidaya kerang hijau
42,67
Jumlah Jumlah total DPI (A + B)
58,01 2,26 94,97
337,70 1.527,34
73
DPI Dogol
Gambar 16 Peta overlay rencana reklamasi dan daerah penangkapan ikan di Teluk Jakarta
74
Reklamasi yang dilakukan di Kota Manado telah menyebabkan menurunnnya hasil tangkapan nelayan pukat pantai dan pancing noru. Penurunan hasil tangkapan tersebut disebabkan oleh 2 hal yaitu perubahan garis pantai akibat adanya reklamasi telah menyebabkan berubahnya habitat ikan di daerah penangkapan serta ikan-ikan semakin menjauh dari daerah penangkapan nelayan (Wagiu 2011).
Dampak yang sama juga dapat terjadi di Teluk Jakarta
untuk alat tangkap yang DPInya hilang akibat adanya reklamasi sehingga diperlukan sosialiasi untuk meminimumkan dampak tersebut bagi kehidupan nelayan. 5.2
Persepsi Dampak Reklamasi Dampak reklamasi yang dianalisis dibagi dalam 4 kategori utama yaitu
dampak terhadap daerah penangkapan ikan, jalur kapal perikanan, kegiatan budidaya perikanan serta sumberdaya ikan.
Reklamasi dianggap tidak akan
memberikan dampak yang terhadap daerah penangkapan ikan di kawasan pesisir Muara Angke dan Muara Baru.
Hal ini didasarkan pada persentase
persepsi responden sebesar 59% yang menyatakan bahwa reklamasi tidak akan berdampak terhadap perubahan daerah penangkapan ikan (Gambar 17). Persepsi berbeda diberikan oleh responden di Cilincing dimana 43% dari responden menyatakan bahwa adanya reklamasi nantinya akan berdampak terhadap perubahan daerah penangkapan ikan.
Meskipun tidak semua
responden sepakat bahwa reklamasi akan berdampak merugikan terhadap DPI, namun menurut van Berkel et al. (2012) kegiatan reklamasi akan berdampak terhadap kegiatan pelabuhan perikanan dan daerah penangkapan ikan di Teluk Jakarta.
75
Persentase Jawaban Responden (%)
80 70 60 50 40 30 20 10 0 Muara Angke Merugikan
Cilincing Lokasi Tidak berdampak
Muara Baru Tidak tahu
Gambar 17 Dampak reklamasi terhadap daerah penangkapan ikan berdasarkan sebaran wilayah responden
Berbeda dengan dampak terhadap DPI, reklamasi akan memberikan gangguan terhadap jalur perahu nelayan yang akan menuju maupun kembali dari operasi penangkapan ikan. Adanya daratan baru akan menyebabkan perubahan pola alur pelayaran dan jalur keluar masuknya kapal. Hal ini akan dirasakan oleh ketiga wilayah penelitian dimana persentase responden di Cilincing memiliki nilai yang paling tinggi (Gambar 18).
76
Persentase Jawaban Responden (%)
70 60 50 40 30 20 10 0 Muara Angke Menguntungkan
Cilincing Lokasi
Merugikan
Muara Baru
Tidak berdampak
Tidak tahu
Gambar 18 Dampak reklamasi terhadap jalur perahu nelayan berdasarkan sebaran wilayah responden
Kegiatan reklamasi akan berdampak merugikan untuk wilayah Cilincing, namun tidak untuk wilayah Muara Baru dan Muara Angke. Demikian ditunjukkan oleh Gambar 19.
Daerah Cilincing merupakan salah satu sentra budidaya
kerang hijau. Adanya kegiatan reklamasi akan menghilangkan lokasi budidaya kerang hijau yang saat ini sudah ada.
Selain itu adanya lahan baru akan
menyebabkan pasokan dan aliran air laut menjadi terganggu sehingg akan menggangu keseluruhan dari proses budidaya.
Namun disisi lain, hilangnya
lahan budidaya kerang hijau memberikan keuntungan bagi konsumen, karena lokasi yang dijadikan lahan budidaya kerang hijau saat ini sudah tercemar dan menghasilkan kerang hijau yang tidak sehat.
77
Persentase Jawaban Responden (%)
70 60 50 40 30 20 10 0 Muara Angke Merugikan
Cilincing Lokasi
Tidak berdampak
Muara Baru
Tidak tahu
Tidak menjawab
Gambar 19 Dampak reklamasi terhadap kegiatan budidaya berdasarkan sebaran wilayah responden
Widodo (2005) mengungkapkan bahwa salah satu dampak negatif dari reklamasi adalah meningkatnya tekanan terhadap keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam. Begitu pula dengan persepsi reponden di Teluk Jakarta yang secara umum menyatakan bahwa reklamasi akan memberikan dampak yang merugikan terhadap sumberdaya ikan. Persentase persepsi tertinggi diberikan oleh responden di Cilincing dengan nilai 68% seperti disajikan pada Gambar 19. Reklamasi akan menghilangkan sumberdaya hayati pada daerah yang ditimbun sehingga akan menggangu sebelumnya.
keseimbangan ekosistem yang telah terbentuk
Untuk dapat mengembalikan keseimbangan ekosistem pasca
reklamasi, dibutuhkan waktu yang relatif lama.
Suryadewi et al. (1998)
menyatakan bahwa reklamasi akan memusnahkan ekosistem alami yang terkena dampak reklamasi. Musnahnya ekosistem alami akan berpengaruh pada produksi perikanan nelayan. Kusumawati (2012) mengemukakan bahwa reklamasi di daerah Kamal Muara hanya akan meningkatkan pendapatan asli daerah sekitar 25%, sementara nelayan di wilayah ini akan dipindahkan ke daerah lain sehingga hal tersebut akan menyebabkan hilangnya pendapatan nelayan yang selama ini menangkap ikan di Teluk Jakarta
78
Persentase Jawaban Responden (%)
80 70 60 50 40 30 20 10 0 Muara Angke Merusak
Cilincing Lokasi
Muara Baru
Tidak berdampak
Tidak tahu
Gambar 20 Dampak reklamasi terhadap sumberdaya ikan berdasarkan sebaran wilayah responden
Reklamasi juga akan memberikan dampak terhadap kualitas perairan di Teluk Jakarta, terutama pada saat dilakukan proses pengurugan. timbunan
akan
menyebabkan
kekeruhan
yang
secara
langsung
Tanah akan
mengganggu keberadaan dan kelimpahan sumberdaya ikan. Jaya et al. (2012) menyatakan bahwa kualitas perairan Pantai Losari setelah reklamasi telah melampaui standard baku mutu air laut untuk biota sehingga dapat dikatakan telah mengalami penurunan (tercemar). Reklamasi di sekitar Pulau Batam juga telah menyebabkan perubahan terhadap pola arus, gelombang, kualitas air dan batimetri wilayah pantai. Reklamasi juga telah menyebabkan kerusakan pada hutan mangrove dan terumbu karang. Bahkan ikan kerapu, kakap dan udang semakin sulit ditangkap oleh nelayan.
Hal ini menyebabkan gangguan terhadap keseimbangan
ekosistem yang berdampak pada menurunnya tingkat produktivitas nelayan (Priyandes dan Majid 2009). Selain dampak langsung terhadap kegiatan perikanan, dampak langsung lainnya dari kegiatan reklamasi adalah dampak terhadap sumberdaya dan ekosistem pesisir.
Sumberdaya dan ekosistem pesisir yang akan terdampak
langsung adalah ekosistem mangrove dan sumberdaya ikan.
Dampak dari
rekalamasi terhadap ekosistem mangrove menurut Alikodra (1996) akan
79
mengurangi fungsi ekosistem mangrove baik dari sisi manfaat langsung bagi masyarakat nelayan maupun manfaat ekologis yang juga kemudian juga berdampak negatif bagi nelayan. Sumberdaya ikan yang beruaya di sekitar Teluk Jakarta juga akan terdapak langsung dari kegiatan reklamasi. Ekosistem-ekosistem yang terdapat di Teluk Jakarta memiliki keterkaitan. Ikan-ikan yang memiliki habitat di beberapa ekosistem di Teluk Jakarta dan sekitarnya; seperti ekosistem mangrove, estuaria di muara sungai, terumbu karang di pulau-pulau di dalam dan sekitar Teluk Jakarta akan melakukan migrasi diantara ekosistem-ekosistem tersebut. Dengan adanya kegiatan reklamasi, maka jalur migrasi ikan tersebut akan terganggu sehingga akan berdampak terhadap kondisi sumberdaya ikan di Teluk Jakarta. Selain itu, reklamasi juga berpotensi memberikan ancaman terhadap kelestarian ekosistem mangrove (Setyawan dan Winarno 2006). Dampak lainnya dari kegiatan reklamasi adalah sedimentasi yang diakibatkan proses kegiatan reklamasi dan perubahan gerakan massa air akibat adanya pulau reklamasi.
Sedimentasi memberikan dampak negatif terhadap
sumberdaya dan ekosistem pesisir di Teluk Jakarta dan sekitarnya seperti mangrove dan terumbu karang. Perubahan gerakan massa air juga berdampak terhadap sedimentasi serta masa penyimpanan air di dalam Teluk Jakarta. Perubahan masa penyimpanan air akan berdampak terhadap kualitas perairan yang pada akhirnya akan berdampak terhadap kondisi sumberdaya ikan. Berdasarkan analisa model gerakan massa air, wilayah-wilayah yang akan terdampak akibat perubahan masa penyimpanan air adalah di sekitar Tanjung Priok dan Muara Baru yang akan memiliki masa penyimpanan air sebesar 14 hari, 7 hari lebih tinggi dari masa penyimpanan air normal (Jury et al. 2011). Djainal (2012) menemukan bahwa meskipun belum berdampak terhadap gelombang dan arus namun reklamasi di Kota Ternate telah menyababkan sedimentasi yang cukup tinggi dimana telah terjadi perubahan kedalaman dari 3 meter (sebelum reklamasi) menjadi 1,5 meter (setelah reklamasi). Quadros et al. (2004) juga menyebutkan bahwa reklamasi di pantai India telah menyebabkan kekeruhan yang sangat tinggi yang mengakibatkan naiknya padatan tersuspensi hingga 713,69% dan penurunan kandungan oksigen terlarut hingga 21,55%. Sesungguhnya reklamasi tidak selamanya memberikan dampak negatif, Reklamasi yang direncanakan dan dilakukan dengan baik akan memberikan solusi terhadap berbagai permasalahan di wilayah pesisir. Qi dan Zhang (2003)
80
mengemukakan bahwa rencana proyek reklamasi di Pantai Timur Hengsha justru memberikan dampak positif. Reklamsi tesebut akan meningkatkan kestabilan pantai, mencegah, mengatur dan mengendalikan potensi banjir melalui saluran yang telah dibuat serta menjadi perangkap sedimen sehingga meminimumkan terajadinya sedimentasi di muara sungai Yangtse.
5.3
Manfaat Ekonomi Rencana reklamasi Teluk Jakarta tentu saja akan menimbulkan dampak
terhadap
berbagai kegiatan yang saat ini sedang berlangsung di wilayah
reklamasi.
Oleh karena itu melalui penelitian ini akan dilakukan analisis
Extended Cost Benefit Analysis (ECBA) dampak reklamasi Teluk Jakarta di wilayah studi dengan menggunakan beberapa asumsi karena terbatasnya data. Daerah penelitian yang akan direklamasi diperkirakan seluas 1,189.64 ha (Tabel 19) yang merupakan daerah penangkaan ikan bagi nelayan di daerah penelitian. Menurut informasi dari perusahaan yang telah mengusulkan hal atas wilayah reklamasi harga lahan setelah reklamasi diperkirakan sebesar Rp 13 juta per m2. Semakin menuju ke arah pantai atau laut maka harga tanah reklamasi akan semakin mahal. Rencana reklamasi ini berdasarkan informasi di lapangan akan menghabiskan biaya sebesar Rp 6 juta per m2 meliputi biaya perolehan lahan, umum dan administrasi, salary karyawan dan lain-lain yang dikeluarkan oleh pelaku reklamasi.
Biaya ini merupakan biaya langsung yang akan ditanggung
oleh pelaku reklamasi dan diasumsikan biaya ini sudah termasuk biaya tidak langsung yang berhubungan dengan pelaku reklamasi. Selain biaya langsung dan tidak langsung yang ditanggung oleh pelaku reklamasi maka pelaku reklamasi
seharusnya
pula
mengeluarkan
(eksternalitas) akibat reklamasi.
biaya
kerusakan
lingkungan
Biaya eksternalitas atau biaya dampak
lingkungan ini bisa langsung maupun tidak langsung. Kegiatan reklamasi berdampak langsung terhadap kegiatan perikanan karena wilayah yang akan di reklamasi merupakan daerah penangkapan ikan nelayan di wilayah penelitian.
Adapun nelayan dengan daerah penangkapan
ikan di Teluk Jakarta adalah nelayan Gillnet, Dogol, Bubu, Bagan dan Budidaya Kerang Hijau serta Payang (sebagian kecil). Berdasarkan analisis pendapatan nelayan di menimbulkan
wilayah studi, dampak
dengan dilakukannya reklamasi maka akan
sosial
terhadap kegiatan
perikanan sebesar
Rp
314.511.300.000,-. Angka ini diperoleh dari kehilangan pendapatan nelayan 81
Gillnet, Dogol, Bubu, Bagan dan Budidaya Kerang Hijau serta Payang di wilayah studi. Secara rinci disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Manfaat ekonomi dari kegiatan perikanan tangkap menurut alat tangkap di Kawasan Teluk Jakarta
No
Alat tangkap
Biaya/unit (x Rp 1.000)
Pendapatan Kotor/unit/th (x Rp 1.000)
Pendapatan Bersih/unit/th (x Rp 1.000)
Jumlah (unit)
Total (x Rp 1.000)
1
Gillnet
117.500
172.800
55.300
1.979
109.438.700
2
Payang
167.000
234.000
67.000
341
22.847.000
3
Dogol
199.700
270.000
70.300
437
30.721.100
4
Bubu
99.500
120.000
20.500
1849
37.904.500
5
Bagan dan budidaya*
103.600.000 Total
314.511.300
*sumber: Jury et al. (2011)
Nilai manfaat ekonomi dari sektor perikanan tangkap (Tabel 22) sebesar Rp. 314,5 M. Sumbangan nilai manfaat terbesar berasal dari perikanan gillnet, yaitu sebesar Rp. 109 M (35,9%). Manfaat terkecil berasal dari payang yaitu sebesar Rp. 23 M (7,5%). Hasil valuasi ekonomi terhadap kegiatan perikanan tangkap menunjukkan kawasan Teluk Jakarta memberikan manfaat ekonomi dari kegiatan perikanan sebesar Rp. 314,5 M (Tabel 22).
Manfaat ekonomi diperoleh dengan
perhitungan perkiraan besarnya ikan hasil tangkapan rata-rata nelayan selama setahun. Jika dilihat dari pendapatan bersih, maka kontribusi terbesar adalah dari alat tangkap dogol yaitu sebesar 70,3 juta rupiah dan disusul dengan payang sebesar 67 juta rupiah. Kontribusi terendah berasal dari bubu. Jadi kontribusi pendapatan bersih per unit alat tangkap akan memberikan manfaat yang lebih tinggi bila jumlah unit alat tangkap yang ada juga lebih banyak. Selain berdampak langsung terhadap perikanan, kegiatan reklamasi juga berdampak langsung terhadap mangrove karena dengan kegiatan reklamasi ini tentu saja akan menghilangkan hutan mangrove dan berbagai fungsinya. Valuasi ekonomi terhadap hutan mangrove pada penelitian ini dilakukan dengan metode benefit transfer. Aktivitas reklamasi mungkin saja menimbulkan dampak terhadap ekosistem mangrove sehubungan dengan pemanfaatan wilayah pesisir sebagai wilayah reklamasi. 82
Jika aktivitas reklamasi menyebabkan kerusakan hutan
mangrove maka akan terjadi eksternalitas negatif langsung yang menyebabkan kerugian. Untuk mengetahui rata-rata nilai manfaat bersih dari hutan mangrove di Indonesia digunakan hasil penelitian terdahulu seperti terlihat pada Tabel 23. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa rata-rata manfaat bersih hutan mangrove per ha per tahun adalah berkisar antara Rp. 2.547.245,00 sampai dengan Rp 40.000.000,00 atau dapat pula diartikan bahwa setiap kerusakan 1 ha hutan mangrove maka akan kehilangan manfaat bersih sebesar Rp. 18.041.038,84. Tabel 23 Valuasi ekonomi hutan mangrove No.
Peneliti/Tahun
1.
Kusumastanto et al. /1999
2.
Lokasi Penelitian
Manfaat bersih (Rp/ha/thn)
Segara Anakan
2,547,245.00
Fahrudin/1996
Kabupaten Subang
14,998,692.34
3.
Agustono/1996
Kabupaten Indramayu
14,618,218.00
4.
Ruitenbeek/1991
Bintuni Bay, Irian Jaya
50,000,000.00*)
*) US $ 1.00 = Rp10,000.00 Sumber : Data sekunder,
Oleh karena itu, berapa besar kerugian yang mungkin timbul akibat terjadinya reklamasi terhadap hutan mangrove yang terdapat di wilayah penelitian (Muara Angke) dapat dicari dengan cara mengalikan luas hutan magrove yang rusak (ha) dengan manfaat bersih per hektarnya. Sementara itu, van Berkel et al. (2012) mangrove menyediakan habitat penting bagi bermacam benih ikan dan dengan demikian penting untuk daerah semua stok ikan. Selain itu, hutan mangrove juga berhubungan dengan makanan
dan perangkap
sedimen dan tentu saja sebagai habitat penting bagi burung dan hewan lainnya. Studi ekstensif telah dilakukan pada nilai sosial dari hutan bakau oleh IUCN 2007, nilai hutan mangrove antara USD 2853/ha-USD 12843 / ha. Muara Angke adalah salah satu daerah yang memiliki hutan mangrove di pusat Teluk Jakarta, dapat dikatakan bahwa nilai sosialnya tinggi apabila harus direklamasi/adopsi, akan tetapi saat ini daerah hutan mangrove terdegradasi, sehingga cenderung menunjukkan nilai yang lebih rendah. Dengan tidak adanya data, maka dipilih untuk mengadopsi rata-rata USD 7848 / ha. Muara Angke memiliki hutan mangrove 117,7 ha (79,5 ha area hutan mangrove
dan 38,2 ha suaka
margasatwa), nilai sosial yang dihasilkan diperkirakan sebesar USD 923.000
83
(2007). Dengan asumsi tingkat diskonto 8%, maka perkiraan nilai 2012 adalah 1,35 juta USD. Pada penelitian ini nilai dampak kerusakan mangrove akibat reklamasi digunakan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh van Berkel et al. (2012) dimana nilai hutan mangrove yang hilang akibat reklamasi yang terdapat di wilayah penelitian adalah sebesar Rp 13.500.000.000,- yang selanjutnya digunakan dalam Extended Cost Benefit Analysis (ECBA). Selanjutnya dampak lingkungan langsung dari reklamasi juga akan dirasakan oleh sektor Listrik Negara mengingat di wilayah reklamasi ini terdapat 4 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Teluk Jakarta. Menurut van Berkel et al. (2012), Estimasi biaya pemadaman listrik di Nigeria adalah antara USD1.27-$ 22.46/kWh untuk keperluan sektor industry.
sedangkan tingkat
hunian lebih rendah, USD0.03-USD14.61. Biaya sektor komersial ekonomi berkisar dari $ 5,02 untuk pelayanan ritel, sampai $ 21,73 untuk gedung perkantoran, dan lebih rendah untuk fasilitas pemerintah. Untuk daerah pasokan campuran sebagai Jakarta dan biaya sosial rata-rata USD 10.85/kWh. Kapasitas total Power Station Muara Karang, Muara Tawar, dan Tanjung Priok adalah 4.522 MW yang memasok sekitar 53% kebutuhan listrik di Jakarta. The Power Station Muara Karang sendiri memasok sekitar 1.670 MW. Menunjukkan biaya sosial 18.11 Juta USD per jam jika stasiun Daya Muara Karang dimatikan. Jika diasumsikan bahwa reklamasi ini akan berdampak terhadap matinya listrik akibat kegiatan ini tentu saja ini merupakan biaya ekstenalitas yang dirasakan oleh masyarakat (biaya sosial). Dengan demikian berdasarkan data ini maka biaya eksternalitas (biaya sosial) yang ditanggung oleh masyarakat adalah sebesar Rp 18.11x1.000.000x10000x24 jamx12 bulan. Diasumsikn listrik mati selama 12 kali dalam satu tahun. Reklamasi pantai ini juga memiliki dampak lingkungan tidak langsung, karena reklamasi ini dapat mengakibatkan banjir karena telah hilangnya beberapa fungsi dari lingkungan.
Dampak lingkungan (eksternalitas) tidak
langsung tersebut salah satunya adalah banjir. Menurut van Berkel et al. (2012), banjir akibat reklamasi di Teluk Jakarta akan berdampak terhadap daerah penelitian seperti yang disajikan pada Tabel 24.
84
Tabel 24 Kerugian ekonomi akibat banjir Parameter Yang Terkena Dampak
Nilai (Feb 2007 dalam Rupiah)
a. Pertanian
18.320.000.000
b. Indutri
1.684.030.000.000
c. Fasilitas Publik
7.270.000.000
d. Kontruksi
76.480.000.000
e. Perdagangan
66.350.000.000
f. Transportasi dan Komunikasi
89.510.000.000
g. Keuangan
76.530.000.000
h. Jasa
33.650.000.000
i. Ekonomi
97.000.000.000
Total
2.149.140.000.000
Sumber : Jakarta Coastal Defence Study (2011), van Berkel et al. (2012)
Nilai-nilai pada Tabel 24 digunakan dalam penelitian ini dalam mengukur dampak
lingkungan
tidak
langsung
akibat
reklamasi
yang
dilakukan.
Diasumsikan bahwa reklamasi Teluk Jakarta akan berdampak terhadap banjir diwilayah studi terhadap komponen-komponen yang terkena dampak tersebut di wilayah studi dengan menggunakan benefit transfer. Analisis biaya dan Manfaat rekalamasi teluk Jakarta ini dilakukan melalui berbagai skenario analisis biaya manfaat dengan dan tanpa kerusakan lingkungan
(eksternalitas).
Skenario
analisis
dilakukan
juga
dengan
menggunakan tiga skenario diskonting (suku bunga) yakni pada level 12% untuk mewakili risiko investasi yang tinggi, skenario medium 8% mewakili suku bunga pasar, dan skenario suku bunga 3% untuk mewakili nilai lingkungan. Konser terhadap nilai lingkungan di masa mendatang atau pentingnya nilai ekologis untuk generasi mendatang diwakili sering dinayatakan dengan tingkat diskonto yang rendah yang menunjukkan bahwa nilai ekonomi lingkungan di masa mendatang sangat penting dibanding dengan sekarang. Gambar 21 di bawah ini menunjukkan hasil analisis present value manfaat bersih antara nilai baseline dimana nilai manfaat dan biaya dianggap konstan sepanjang waktu dan nilai manfaat bersih terkoreksi yang diasumsikan
85
bahwa nilai lingkungan yang rusak akan berkurang selama kurun waktu lebih dari 15 tahun mendatang dengan rata-rata pengurangan sebesar 10% per tahun. Secara umum dapat dikatakan bahwa
total nilai NPV dengan skenario
pengurangan kerusakan lingkungan setiap tahun lebih besar daripada base line (asumsi kerusakan konstan). Pada diskonto 12% nilai NPV dengan pengurangan kerusakan lingkungan sebesar Rp 625 trilyun sementara jika asumsi konstan hanya sebesar Rp 192 trilyun. Hasil ini juga menunjukkan bahwa dengan diskonto yang rendah yakni sebesar 3% nilai manfaat bersih yang diperoleh lebih besar yakni sebesar Rp 1701.7 trilyun dengan skenario pengurangan kerusakan lingkungan, dan Rp 754,4 trilyun dengan asumsi kerusakan konstan.
Tabel 25 Nilai NPV dengan skenario pengurangan kerusakan lingkungan
Total NPV Dengan Pengurangan
Baseline
r=12%
624.99
192.65
r=8%
971.64
371.90
r=3%
1701.70
754.37
Perbedaan dan perubahan nilai NPV selama periode rekalamasi dapat dilihat pada Gambar 21 di bawah ini dimana menunjukkan bawah nilai diksonto yang rendah akan menghasilkan manfaat yang lebih besar di masa mendatang.
86
200,000 150,000
Rp (Trilyun)
100,000
NBCRed12 NBCbase12
50,000
NBCRed8
0,000 -50,000
NBCbase8 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112131415161718 Tahun
-100,000
NBCRed3 NBCbase3
-150,000
Gambar 21 Perbandingan Present Value manfaat bersih (Net BC) dengan pengurangan kerusakan dan tanpa pengurangan kerusakan dengan diskonto yang berbeda Hasil perhitungan dengan antara net benefit tanpa kerusakan lingkungan (Net BC ) dan net benefit dengan kerusakan lingkungan (Extended NPV) dengan tiga rate diskonto yang berbeda dapat dilihat pada Tabel berikut. Sebagaimana terlihat pada tabel 26 di bawah ini, level diskonto di atas 3% menunjukkan bahwa manfaat bersih dengan eksternalitas kontan menunjukkan nilai yang negatif yang berarti bahwa asumsi kerusakan lingkungan yang konstan sepanjang periode 30 tahun memang cenderung tidak realistik dan menghasilkan biaya yang relatif besar secara total sementara nilai mafaat yang diperoleh relatif konstan. Jika digunakan tingkat diskonto sebesar 3% maka baik net BC tanpa eksternalitas maupun net BC dengan eksternalitas menghasilkan manfaat bersih yang positif sebesar masing-masing Rp 754 trilyun dan Rp 88 trilyun. Hal ini menunjukkan kembali bahwa manfaat bersih yang tinggi dapat diperoleh jika tingkat suku bunga relatif kecil yakni sebesar 3%.
87
Tabel 26 Nilai NPV dengan net benefit tanpa kerusakan lingkungan dan kerusakan lingkungan Total NPV NetBC
NetBCExt
r=12%
192.653
-147.541
r=8%
371.895
-75.869
r=3%
754.367
88.092
Perubahan net present value sepanjang tahun dari manfaat bersih tanpa eksternalits dan manfaat bersih dengan eksternallitas yang kontan dapat dilihat pada Gambar 22 berikut ini. Sebaimana terlihat pada Gambar 22 pada tahun di atas tahun ke 15 perbedaan manfaat bersih menjadi relatif kecil karena sebagain biaya sudah terkapitalisasi selama proyek berlangsung.
150
Discounted PV (Rp Trilyun)
100 DPVBC12
50
DPVEBC12 DPVBC8
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
PPVEBC8 DPVBC3
-50 Tahun
PPVEBC3
-100 -150
Gambar 22 Nilai PV dengan eksternalitas konstan (discount rate berbeda)
Tabel di bawah ini memperlihatkan nilai total manfaat antara net BC tanpa ekesternalitas dan Net BC dengan eksternalitas dengan asumsi eksternalitas berkurang selama periode reklamasi. Pada tangkap suku bunga 12% nilai manfaat menjadi negatif karena biaya lingkungan yang harus ditanggung cukup besar sebagai konsekuensi bahwa nilai ekologis (lingkugan) di masa mendatang relatif kecil. Pada tingkat suku bunga 3% maka nilai manfaat bersih dengan 88
memperhatikan biaya lingkugan yang tidak konstan akan diperoleh sekitar Rp 193 trilyun.
Tabel 27 Nilai NPV dengan skenario net benefit tanpa external dan external yang berkurang Total NPV NetBC
NetBCext
r=12%
624.994
-22.862
r=8%
971.640
51.819
r=3%
1701.700
192.926
Perubahan nilai manfaat bersih sepanjang periode reklamasi dengan tingkat suku bungan yang berbeda dan dengan skenario pengurangan kerusakan lingkungan dapat dilihat pada Gambar 23 berikut.
200 150
Net BC (Rp trilyun)
100
DPVBC12
50
PPVEBC12 DPVBC8
0 -50
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Tahun
-100
PPVEBC8 DPVBC3 PPVEBC3
-150 -200
Gambar 23 Nilai PV Net Benefit dengan nilai kerusakan yang berkurang
5.4
Strategi Adaptasi Nelayan Perubahan lingkungan pesisir akibat adanya reklamasi di Teluk Jakarta
akan mengakibatkan dampak langsung baik pada perikanan tangkap maupun perikanan budidaya.
Secara alamiah nelayan akan melakukan pola adaptasi
terhadap perubahan tersebut dengan tujuan untuk dapat mempertahan 89
pendapatan dan perekonomian keluarga.
Fokus analisis strategi adaptasi
nelayan dilihat berdasarkan 2 kategori utama, yaitu bagaima astragei adaptasi nelayan ketika terjadi penurunan produktivitas perikanan (penangkapan dan budidaya) serta jenis strategi yang akan dilakukan nelayan ketika sudah tidak dapat melakukan usaha penangkapan akibat adanya reklamasi. Secara umum terdapat 2 strategi utama yang akan dilakukan nelayan di Muara Baru, Muara Angke dan Cilincing jika terjadi penurunan hasil tangkapan/budidaya (Gambar 24). Strategi tersebut adalah berpindah lokasi penangkapan/ budidaya serta mempertinggi frekuensi melaut dalam satu musim. Hanya sekitar 6% responden yang menyatakan akan mengganti alat tangkap yang digunakan sebagai bentuk strategi adaptasi. Nelayan akan tetap mencari ikan menskipun harus berpindah lokasi yang relatif lebih jauh karena keahlian inilah yang telah mereka kuasai.
Hal ini senada dengan ungkapan Wiyono
(2008) yang menyebutkan bahwa nelayan relatif akan tetap bekerja sebagai
Persentase Jawaban Responden (%)
nelayan meskipun hasil tangkapannya menurun.
70 Muara Baru Muara Angke Cilincing
60 50 40 30 20 10 0
Strategi Adaptasi Nelayan
Gambar 24 Strategi adaptasi nelayan menghadapi penurunan hasil tangkapan akibat reklamasi
90
Bekerja sebagai nelayan menjadi pilihan utama dari adaptasi nelayan untuk menghadapi hilangnya DPI atau lahan budaya di setiap wilayah. Meskipun harus berpindah ke lokasi yang lain umumnya nelayan akan tetap melanjutkan usahanya dibidang perikanan seperti disajikan pada Gambar 25. Strategi yang lain yang akan dilakukan adalah mencari pekerjaan lain dalam bentuk berdagang atau bertani. Selain itu, peran anggota keluarga lainnya juga dapat dioptimalkan. Strategi lain yang mungkin dilakukan sebenarnya adalah melalui pemberdayaan istri nelayan. Penghasilan istri nelayan bahkan dapat menyelamatkan ekonomi keluarga (Zid 2011).
Melalui pengembangan mata pencaharian alternatif,
misalnya berjualan di pasar, membuka warung, bekerja sebagai buruh pada usaha pengolahan ikan atau membentuk kelompok usaha bersama diharapkan
Persentase Jawaban Responden (%)
keluarga nelayan akan memperoleh penghasilan tambahan.
60
Muara Baru Muara Angke Cilincing
50 40 30 20 10 0
Strategi Adaptasi Nelayan
Gambar 25 Strategi
adaptasi
nelayan
menghadapi
hilangnya
daerah
penangkapan atau lahan budidaya perikanan Wagiu (2011) mengemukakan bahwa reklamasi yang dilakukan di Pantai Manado telah mengakibatkan menurunnya tingkat pendapatan yang berdampak langsung pada kehidupan ekonomi sosial masyarakat nelayan. Strategi yang dipilih responden merupakan bentuk adaptasi agar tetap mampu mendapatkan
91
sumber pendapatan yang sama sehingga ekonomi keluarga akan tetap stabil. Reklamasi pantai di Manado juga telah membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan reklamasi selain tetap bekerja sebagai nelayan (Wunas dan Lumain 2003). Priyandes dan Majid (2009) mengemukakan bahwa nelayan di Pulau Batam yang terdampak reklamasi kemudian beralih profesi menjadi pedagang dan buruh.
Namun karena keterampilan berdagang dan buruh yang dimiliki
sangat minim, pada akhirnya banyak dari mereka yang bangkrut.
Pasca
kebangkrutan, mereka kemudian kembali bekerja sebagai nelayan dan berpindah ke daerah lain yang tidak terdampak oleh reklamasi dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
5.5
Analisisis Kebijakan Secara umum peraturan dan perundang-undangan yang mengatur
tentang reklamasi secara eksplisit dan berlaku nasional adalah UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil dan PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah (Kalalo, 2009). Lebih lanjut, dalam studi tersebut disebutkan bahwa reklamasi merupakan suatu hal yang pelaksanaannya tidak dapat ditolak oleh masyarakat perkotaan. Berdasarkan pasal 12 dalam PP No 16. Tahun 2004, maka Kalalo (2009) menyebutkan bahwa tanah hasil reklamasi dikuasai oleh negara. Selain kedua peraturan tersebut yang mengatur secara langsung kegiatan reklamasi, maka terdapat peraturan lainnya yang juga berkaitan dengan kegiatan reklamasi. Kagiatan kegiatan dalam reklamasi (baik proses maupun hasil reklamasi) yang diatur dalam peraturan dan perundang undangan antara lain; 1)
Dampak langsung terhadap daerah penangkapan ikan Walaupun reklamasi merupakan kegiatan yang tidak dapat di tolak (UU No. 27/2007) namun di dalam pasal 35 (l) UU No. 27/2007 juga disebutkan bahwa dalam melakukan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya. Di dalam Pasal 12 UU No. 31/2004 juga disebutkan bahwa kegiatan reklamasi meskipun tidak dapat ditolak namun dilarang merugikan masyarakat sekitar, sehingga diperlukan sebuah
92
mekanisme sehingga masyarakat sekitar tidak dirugikan dengan adanya kegiatan reklamasi. Salah satu contoh mekanisme yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan kompensasi bagi nelayan yang daerah penangkapannya hilang atau harus berpindah. Kompensasi yang diberikan harus setara dengan nilai ekonomi nelayan yang hilang akibat reklamasi. 2)
Dampak sedimentasi dari proses reklamasi Reklamasi akan dapat menyebabkan sedimentasi baik pada saat proses reklamasi maupun setelah reklamasi.
Sedimentasi akan berdampak
terhadap tempak pelelangan ikan (TPI), keberadaan ikan di perairan, dergradasi habitat ikan dan ekosistem pesisir. Untuk itu diperlukan tindakan preventif yang harus dilakukan agar dampak kegiatan reklamasi masih berada pada ambang batas yang telah ditetapkan. Berbagai peraturan dan perundang undangan serta pedoman umum/teknis telah diberlakukan untuk memperkecil resiko sedimentasi dari kegiatan reklamasi. Peraturan yang berkenaan dengan dampak ini adalah; a)
Undang Undang No. 27 tahun 2007 (Pasal 34 dan 35),
b)
Undang Undang No. 32 tahun 2009 (Pasal 20, 21, dan 68),
c)
Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1999 (Pasal 9, 10, 12, 13, 14, 15, dan 16),
d)
Peraturan Presiden No 122 tahun 2012,
e)
Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 1 tahun 2012,
f)
Pedoman Reklamasi di Wilayah Pesisir tahun 2004,
g)
Pedoman Teknis Kegiatan Pengerukan dan Reklamasi tahun 2006,
h)
Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai 2007.
3)
Dampak reklamasi terhadap penurunan kualitas perairan Penurunan kualitas lingkungan laut yang diakibatkan kegiatan reklamasi juga akan berdampak terhadap kegiatan perikanan. Penurunan kualitas perairan akan mengganggu kondisi sumberdaya ikan. Bahkan dapat menyebabkan kematian massal bagi ikan. Peraturan yang berkenaan dengan dampak ini adalah: a)
Undang Undang No. 32 2009 (Pasal 20 dan 68),
b)
Peraturan Pemerintah No. 19/1999 (Pasal 9, 10, 12, 13, 14, 15, dan 16), 93
4)
c)
Peraturan Presiden No. 54 tahun 2008 (Pasal 2 ayat 2 huruf b.3),
d)
Peraturan Presiden No. 122 tahun 2012,
e)
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51/2004,
f)
Pedoman Reklamasi di Wilayah Pesisir tahun 2004.
Dampak reklamasi terhadap kawasan konservasi Di wilayah yang akan direklamasi terdapat kawasan konservasi Suaka Margasatwa Muara Angke dan hutan lindung yang penetapannya dilindungi oleh UU No. 5 Tahun 1990 beserta turunannya. Jika kegiatan reklamasi mengganggu kawasan konservasi, maka kegiatan tersebut akan melanggar UU Nomor 5 Tahun 1990 sehingga diperlukan sebuah strategi reklamasi yang tidak mengganggu keberadaan kawasan konservasi tersebut. Lebih lanjut di dalam Peraturan Presiden No. 122 Tahun 2012 secara jelas disebutkan reklamasi tidak boleh dilakukan di wilayah kawasan konservasi.
Untuk melengkapi hasil analisis kebijakan terhadap dampak reklamasi berikut ini dijabarkan hasil analisis kebijakan terhadap beberapa peraturan yang terkait.
Peraturan yang dimaksud menyangkut undang-undang, peraturan
pemerintah dan terkait. Tabel 28 Hasil analisis kebijakan perundangan terkait reklamasi No
Undang-Undang
1.
UU No. 5/1990
2.
UU No 31/2004
94
Pasal
Isi
19
1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam. (cagar alam dan suaka margastwa) 2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk kegiatan pembinaan habitat untuk kepentingan satwa di dalam suaka margasatwa. 3) Perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas kawasan suaka alam, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. 1) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan
12
No
Undang-Undang
Pasal
Isi
2)
3)
4)
5)
3.
UU No 27/2007
34
1)
2)
sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Setiap orang dilarang membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumberdayaikan, lingkungan sumberdaya ikan,dan/atau kesehatan manusia di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Setiap orang dilarang membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat membahayakan sumberdaya ikan,lingkungan sumberdaya ikan,dan/atau kesehatan manusia di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Setiap orang dilarang menggunakan obatobatan dalam pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumberdaya ikan,lingkungan sumberdaya ikan, dan/atau kesehatan manusia diwilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Ketentuan lebih lanjut mengenai hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat(1), ayat(2), ayat(3), dan ayat(4), diatur dengan Peraturan Pemerintah. Reklamasi Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat dan/atau nilai tambah Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditinjau dari aspek teknis, lingkungan, dan sosial ekonomi. Pelaksanaan Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menjaga dan memperhatikan: a. keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat; b. keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; serta c. persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan penimbunan
95
No
Undang-Undang
Pasal
35
96
Isi material. 3) Perencanaan dan pelaksanaan Reklamasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden. Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap Orang secara langsung atau tidak langsung dilarang: a. menambang terumbu karang yang menimbulkan kerusakan Ekosistem terumbu karang; b. mengambil terumbu karang di Kawasan konservasi; c. menggunakan bahan peledak, bahan beracun, dan/atau bahan lain yang merusak Ekosistem terumbu karang; d. menggunakan peralatan, cara, dan metode lain yang merusak Ekosistem terumbu karang; e. menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem mangrove yang tidak sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; f. melakukan konversi Ekosistem mangrove di Kawasan atau Zona budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; g. menebang mangrove di Kawasan konservasi untuk kegiatan industri, pemukiman, dan/atau kegiatan lain; h. menggunakan cara dan metode yang merusak padang lamun; i. melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya; j. melakukan penambangan minyak dan gas pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan
No
Undang-Undang
Pasal
Isi
k.
l.
4.
UU No. 32 Tahun
20
1)
2009 2)
3)
4)
5)
dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya; melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya; serta melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya. Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup. Baku mutu lingkungan hidup meliputi: a. baku mutu air; b. baku mutu air limbah; c. baku mutu air laut; d. baku mutu udara ambien; e. baku mutu emisi; f. baku mutu gangguan; dan g. baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan: a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan b. mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf c, huruf d, dan huruf g diatur dalam Peraturan Pemerintah. Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf e, dan huruf f diatur dalam peraturan menteri.
97
No
Undang-Undang
Pasal 21
68
98
Isi 1) Untuk menentukan terjadinya kerusakan lingkungan hidup, ditetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. 2) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup meliputi kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim. 3) Kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi: a. kriteria baku kerusakan tanah untuk b. produksi biomassa; c. kriteria baku kerusakan terumbu karang; d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup e. yang berkaitan dengan kebakaran hutan f. dan/atau lahan; g. d. kriteria baku kerusakan mangrove; h. kriteria baku kerusakan padang lamun; i. kriteria baku kerusakan gambut; j. kriteria baku kerusakan karst; dan/atau k. kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya l. sesuai dengan perkembangan ilmu m. pengetahuan dan teknologi. 4) Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim didasarkan pada paramater antara lain: a. kenaikan temperatur; b. kenaikan muka air laut; c. badai; dan/atau d. kekeringan. 5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban: a. memberikan informasi yang terkait
No
5.
Undang-Undang
PP No. 9 1999
Pasal
9
10
12
13
14
Isi dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu; b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan menaati ketentuan tentang baku mutu c. lingkungan hidup dan/atau kriteria baku d. kerusakan lingkungan hidup. Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan pencemaran laut. 1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan pencemaran laut, wajib melakukan pencegahan terjadinya pencemaran laut. 2) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang membuang limbahnya ke laut, wajib memenuhi persyaratan mengenai baku mutu air laut, baku mutu limbah cair, baku mutu emisi dan ketentuan-ketentuan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Limbah cair dan/atau limbah padat dari kegiatan rutin operasional di laut wajib dikelola dan dibuang di sarana pengelolaan limbah cair dan/atau limbah padat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan laut. 1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat mengakibatkan kerusakan laut wajib melakukan pencegahan perusakan laut. 2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pencegahan perusakan
99
No
Undang-Undang
Pasal 15
16
6.
PP No. 16/2004
12
7.
Perpres No.
19
54/2008
8
Perpres No. 122/2012
2 (3) 3
Isi 1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan laut wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut yang diakibatkan oleh kegiatannya. 2) Pedoman mengenai penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab. 1) Setiap orang penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan laut wajib melakukan pemulihan mutu laut. 2) Pedoman mengenai pemulihan mutu laut sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab. Tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi di wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai langsung oleh Negara Sasaran penyelenggaraan penataan ruang Kawasan Jabodetabekpunjur adalah terwujudnya peningkatan fungsi lindung terhadap tanah, air, udara, flora, dan fauna dengan ketentuan kualitas air menjamin kesehatan lingkungan Reklamasi tidak dapat dilakukan di kawasan konservasi dan alur laut Pemerintah , pemerintah daerah, atau setiap orang yang akan melaksanakan reklamasi harus menyiapkan perencanaan reklamasi yang termasuk didalamnya a. b. c. d.
100
Penentuan lokasi; Penyusunan rencana induk; Studi kelayakan; dan Penyusunan rancangan detail.
No
Undang-Undang
Pasal
Isi
4(1)
Penentuan lokasi reklamasi dilakukan berdasarkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) Provinsi, Kabupaten/Kota dan/atau Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota.
4 (3)
Penentuan lokasi reklamasi dan lokasi sumber material reklamasi wajib mempertimbangkan aspek teknis, aspek lingkungan hidup, dan aspek sosial ekonomi.
5
Aspek teknis dalam penentuan reklamasi meliputi hidro-oceanografi, hidrologi, batimetri, topografi, geomorfologi, dan/atau geoteknik.
8
Aspek lingkungan hidup meliputi kualitas air laut, kualitas air tanah, kualitas udara, kondisi ekosistem pesisir (mangrove, lamun, terumbu karang), flora dan fauna darat, serta biota perairan.
9
Aspek sosial ekonomi meliputi demografi, akses publik, dan potensi relokasi.
11
Penyusunan rencana induk reklamasi harus memperhatikan: a. Kajian lingkungan hidup strategis; b. Kesesuaian dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) Provinsi, Kabupaten/Kota dan/atau Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota; c. Sarana prasarana fisik di lahan reklamasi dan di sekitar lahan yang di reklamasi; d. Akses publik; e. Fasilitas umum; f. Kondisi ekosistem pesisir; g. Kepemilikan dan/atau penguasaan lahan; h. Pranata sosial; i. Aktivitas ekonomi; j. Kependudukan; 101
No
Undang-Undang
Pasal
Isi k. Kearifan lokal; dan l. Daerah cagar budaya dan situs sejarah.
13 (1)
13(4)
15
Studi kelayakan meliputi: a. Teknis; b. Ekonomi-finansial; dan c. Lingkungan hidup. Kelayakan lingkungan hidup didasarkan atas keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL. Pemerintah, pemerintah daerah, dan setiap orang yang akan melaksanakan reklamasi wajib memiliki izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi.
16(1)
Untuk memperoleh izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi, Pemerintah, pemerintah daerah dan setiap orang wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
16 (2)
Menteri memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi pada Kawasan Strategis Nasional Tertentu, kegiatan reklamasi lintas provinsi, dan kegiatan reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh Pemerintah.
16 (4)
Gubernur dan bupati/walikota memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi dalam wilayah sesuai dengan kewenangannya dan kegiatan reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh pemerintah daerah.
18 102
Permohonan izin pelaksanaan reklamasi
No
Undang-Undang
Pasal (1)
Isi wajib dilengkapi dengan: a. b. c. d.
20 (1)
26
27
29
Izin lokasi; Rencana induk reklamasi; Izin lingkungan; Dokumen studi kelayakan teknis dan ekonomi finansial; e. Dokumen rancangan detail reklamasi; f. Metoda pelaksanaan dan jadwal pelaksanaan reklamasi; dan g. Bukti kepemilikan dan/atau penguasaan lahan. Izin pelaksanaan reklamasi dapat dicabut apabila: a. Tidak sesuai dengan perencanaan reklamasi; dan/atau b. Izin lingkungan dicabut. Pelaksanaan reklamasi wajib menjaga dan memperhatikan: a. Keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat; b. Keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan pesisir dan pulaupulau kecil; serta c. Persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan penimbunan material. Keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat dilakukan dengan: a. Memberikan akses kepada masyarakat menuju pantai; b. Mempertahankan mata pencaharian penduduk sebagai nelayan, pembudidaya ikan, dan usaha kelautan dan perikanan lainnya; c. Memberikan kompensasi/ganti kerugian kepada masyarakat sekitar yang terkena dampak reklamasi; d. Merelokasi permukiman bagi masyarakat yang berada pada lokasi reklamasi; dan/atau e. Memberdayakan masyarakat sekitar yang terkena dampak reklamasi. Untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan pesisir dan
103
No
Undang-Undang
Pasal
Isi pulau-pulau kecil, pelaksana reklamasi wajib mengurangi dampak:
30(1)
31(1)
a. Perubahan hidro-oceanografi yang meliputi arus, gelombang, dan kualitas sedimen dasar laut; b. Perubahan sistem aliran air dan drainase; c. Peningkatan volume/frekuensi banjir dan/atau genangan; d. Perubahan batimetri; e. Perubahan morfologi dan tipologi pantai; f. Penurunan kualitas air dan pencemaran lingkungan hidup; dan g. Degradasi ekosistem pesisir. Persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan penimbunan material meliputi: a. Metode pengambilan, pengerukan, dan penimbunan material yang digunakan tidak mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup, merusak ekosistem, semburan lumpur (mud explosion), gelombang lumpur (mud wave), bencana pesisir serta mematikan keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat; dan material reklamasi merupakan tanah dominan pasir dan b. Tidak mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3). Monitoring dan evaluasi reklamasi dilakukan oleh Menteri, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, gubernur, bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan kewenangannya.
31(2)
104
Monitoring dan evaluasi dilakukan pada tahap pelaksanaan reklamasi agar sesuai
No
Undang-Undang
Pasal
Isi dengan perencanaan dan izin lingkungan.
32(2)
Izin lokasi reklamasi dan izin pelaksanaan reklamasi yang telah diterbitkan sebelum ditetapkannya Peraturan Presiden ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan jangka waktu izin berakhir.
5.6
Kebijakan Strategis Penentuan prioritas kebijakan pemerintah untuk aktivitas perikanan akibat
dampak reklamasi Teluk Jakarta yang dilakukan dengan pendekatan AHP didasarkan pada empat tingkatan. Tingkat pertama adalah fokus. Fokus hierarki adalah prioritas kebijakan pemerintah. Tingkat kedua adalah kriteria atau aspek. Kriteria-kriteria yang diambil dalam penetapan kebijakan dari fokus prioritas kebijakan pemerintah adalah sosial, budaya, ekologi dan ekonomi. Tingkat ketiga adalah sub kriteria. Sub kriteria dari masing-masing kriteria adalah: 1)
Sosial, sub kriteria yang tercakup adalah persepsi masyarakat dan demografi.
2)
Budaya, sub kriteria yang tercakup adalah hilangnya ruang interaksi sosial dan perubahan basis produksi masyarakat pesisir.
3)
Ekologi, sub kriteria yang tercakup adalah habitat perairan pesisir dan keragaman biota pesisir.
4)
Ekonomi, sub kriteria yang tercakup adalah aktivitas ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat. Tingkat keempat adalah alternatif kebijakan. Alternatif kebijakan yang
diambil pada hierarki ini adalah kompensasi bidang pendidikan (beasiswa); kompensasi bidang kimpraswil (sarana prasarana); kompensasi bidang ekonomi (sumber pendapatan); dan kompensasi relokasi. Struktur hierarki prioritas strategi pemerintah untuk dampak reklamasi Teluk Jakarta disajikan pada Gambar 26.
105
Tingkat I Fokus
Tingkat II Kriteria
Tingkat III Sub Kriteria
Tingkat IV Alternatif Kebijakan
Prioritas Kebijakan Pemerintah untuk Dampak Reklamasi Teluk Jakarta
Ekologi
1. Kelestarian habitat perairan pesisir 2. Keragaman biota pesisir
Kompensasi Beasiswa
Ekonomi
1. Perubahan aktivitas ekonomi 2. Tingkat pendapatan masyarakat
Kompensasi Sarana dan Prasaranan
Budaya
Sosial
1. Hilangnya ruang interaksi sosial 2. Perubahan basis produksi masyarakat pesisir
1. Persepsi masyarakat 2. Demografi
Kompensasi Ekonomi
Kompensasi Relokasi
Gambar 26 Prioritas kebijakan pemerintah untuk reklamasi Teluk Jakarta 5.6.1
Penetapan prioritas Hierarki untuk memperoleh berbagai prioritas kebijakan sebagai langkah
pengambilan keputusan merupakan proyeksi dari perencanaan untuk mencapai alternatif kebijakan yang diinginkan. Alternatif prioritas kebijakannya adalah (1) kompensasi bidang pendidikan (beasiswa); (2) kompensasi bidang kimpraswil (sarana prasarana); (3) kompensasi bidang ekonomi (sumber pendapatan); dan (4) kompensasi relokasi. Keempat alternatif kebijakan tersebut, dalam proses kegiatannya, memiliki interaksi dengan kriteria ekonomi, ekologi, budaya, dan sosial. Sebagai langkah pendekatan untuk menganalisis masing-masing kriteria kemudian diturunkan lagi menjadi sub kriteria. Dari sub kriteria tersebut dapat diambil alternatif kebijakan atau prioritas strategi pemerintah untuk mengatasi dampak reklamasi Teluk Jakarta. Penetapan prioritas dilakukan berdasarkan perbandingan antar kriteria dan sub kriteria. Perbandingan ini berdasarkan pertimbangan dari nilai matriks banding berpasangan atas taraf relatif kepentingannya, sehingga diperlukan penilaian perbandingan antar responden (combining) untuk setiap kriteria, sub kriteria dan alternatif dari fokus prioritas kebijakan pemerintah untuk dampak reklamasi Teluk Jakarta.
106
5.6.2 Kriteria prioritas kebijakan pemerintah untuk reklamasi Teluk Jakarta Pada kriteria ini dilakukan penilaian perbandingan berpasangan seluruh kriteria yang berfungsi untuk mengetahui prioritas relasi antar kriteria. Nilai bobot kriteria prioritas kebijakan pemerintah untuk reklamasi Teluk Jakarta disajikan pada Tabel 29. Tabel 29 Hasil perhitungan bobot kriteria No.
Kriteria
1.
Sosial
2.
Budaya
3.
Ekologi
4.
Ekonomi
Bobot 0,150981 0,233431 0,478565 Total
0,137022 1,000000
Tabel 29 menunjukkan bahwa nilai bobot untuk setiap kriteria tidak sama. Bobot untuk kriteria ekologi paling tinggi, yaitu sebesar 0,478565; disusul oleh kriteria budaya, sosial, dan ekonomi. Ini berarti kriteria ekologi memiliki taraf kepentingan yang paling tinggi atau mendominasi. Tertinggi kedua dan ketiga adalah kriteria budaya dan sosial. A.
Kriteria sosial Hasil penilaian kriteria sosial disajikan pada Tabel 30. Pada kriteria sosial
terdapat dua sub kriteria yaitu persepsi masyarakat dan demografi. Nilai bobot prioritas untuk kedua sub kriteria tersebut sama, yaitu sebesar 0,500 yang berarti kedua sub kriteria tersebut memiliki taraf kepentingan yang sama, sehingga antara satu sub kriteria dengan sub kriteria yang lain tidak saling mendominasi. Tabel 30 Hasil perhitungan prioritas kriteria hukum No.
Sub Kriteria
Bobot
1.
Persepsi masyarakat
0,5000
2.
Demografi
0,5000
Penilaian yang dilakukan oleh responden memiliki kesamaan pandangan bahwa untuk kriteria sosial, sub kriteria persepsi masyarakat sama pentingnya dengan sub kriteria demografi. Hal ini terlihat dari nilai bobot kedua sub kriteria
107
tersebut yang memiliki nilai yang sama sebagai prioritas untuk dikedepankan dalam proses kebijakan reklamasi Teluk Jakarta. 1)
Sub kriteria persepsi masyarakat Pada sub kriteria persepsi masyarakat terdapat empat alternatif kebijakan
pemerintah, yaitu (1) kompensasi bidang pendidikan (beasiswa); (2) kompensasi bidang kimpraswil (sarana prasarana); (3) kompensasi bidang ekonomi (sumber pendapatan); dan (4) kompensasi relokasi.
Nilai bobot keempat alternatif
tersebut disajikan pada Tabel 31. Tabel 31 Bobot alternatif dari sub kriteria persepsi masyarakat No.
Alternatif
1.
Kompensasi bidang pendidikan (beasiswa)
2.
Kompensasi bidang kimpraswil (sarana prasarana)
3.
Kompensasi bidang ekonomi (sumber pendapatan)
4.
Kompensasi relokasi
Bobot 0,346877 0,175477 0,417374 0,060272
Tabel 31 menunjukkan alternatif kompensasi bidang ekonomi (sumber pendapatan) merupakan alternatif yang memiliki bobot prioritas paling tinggi, yaitu sebesar 0,417374. Alternatif tertinggi kedua adalah kompensasi bidang pendidikan (beasiswa), disusul dengan kompensasi bidang kimpraswil (sarana prasarana) dan kompensasi relokasi.
2)
Sub kriteria demografi Pada sub kriteria demografi terdapat empat alternatif kebijakan yaitu (1)
kompensasi bidang pendidikan (beasiswa); (2) kompensasi bidang kimpraswil (sarana prasarana); (3) kompensasi bidang ekonomi (sumber pendapatan); dan (4) kompensasi relokasi. Nilai bobot keempat alternatif tersebut disajikan pada Tabel 32. Tabel 32 Bobot alternatif sub kriteria demografi No.
Alternatif
1.
Kompensasi bidang pendidikan (beasiswa)
2.
Kompensasi bidang kimpraswil (sarana prasarana)
3.
Kompensasi bidang ekonomi (sumber pendapatan)
4.
Kompensasi relokasi
108
Bobot 0,306709 0,210308 0,423754 0,059230
Penilaian alternatif pada sub kriteria demografi seperti yang disajikan pada Tabel 32 menunjukkan alternatif kompensasi bidang ekonomi (sumber pendapatan) adalah alternatif yang memiliki bobot prioritas paling tinggi, yaitu sebesar 0,423754. Alternatif ini juga memiliki nilai tertinggi untuk sub kriteria persepsi masyarakat (Tabel 31). Alternatif tertinggi kedua pada sub kriteria demografi adalah kompensasi bidang pendidikan (beasiswa), disusul dengan kompensasi bidang kimpraswil (sarana dan prasarana), serta kompensasi relokasi. B.
Kriteria budaya Pada kriteria budaya, terdapat dua sub kriteria yaitu hilangnya ruang
interaksi sosial dan perubahan basis produksi masyarakat pesisir. Hasil penilaian kriteria budaya disajikan pada Tabel 33. Tabel 33 Hasil perhitungan prioritas kriteria budaya No.
Sub Kriteria
Bobot
1.
Hilangnya ruang interaksi sosial
0,5000
2.
Perubahan basis produksi masyarakat pesisir
0,5000
Hasil penilaian kriteria budaya menunjukkan kedua sub kriteria memiliki nilai bobot yang sama, hal tersebut menunjukkan bahwa kedua sub kriteria tersebut sama-sama sebagai dampak dari proses reklamasi di Teluk Jakarta. 1)
Sub kriteria hilangnya ruang interaksi sosial Pada sub kriteria hilangnya ruang interaksi sosial, terdapat 4 alternatif
kebijakan yang dapat dilkukan.
Berdasarkan bobotnya, yang paling tertinggi
adalah kompensasi bidang pendidikan melalui beasiswa, kompensasi bidang ekonomi melalui penciptaan sumber pendatan, kompensasi reklamasi dan terakhir adalah kompensasi bidang kimpraswil melalui pelengkapan sarana dan prasarana. Nilai bobot keempat alternatif tersebut disajikan pada Tabel 34. Tabel 34 Bobot alternatif sub kriteria hilangnya ruang interaksi sosial No.
Alternatif
Bobot
1.
Kompensasi bidang pendidikan (beasiswa)
0,361153
2. 3.
Kompensasi bidang kimpraswil (sarana prasarana) Kompensasi bidang ekonomi (sumber pendapatan)
0,150727 0,312986
4.
Kompensasi relokasi
0,175134
109
2)
Sub kriteria perubahan basis produksi masyarakat Hasil analisis sub kriteria perubahan basis produksi masyarakat disajikan
pada Tabel 35.
Pada sub kriteria perubahan basis produksi masyarakat,
terdapat 4 alternatif kebijakan yang dapat dilkukan. Berdasarkan bobotnya, yang paling tertinggi adalah (1) kompensasi bidang ekonomi, (2) kompensasi bidang pendidikan, (3) kompensasi bidang relokasi dan (4) kompensasi bidang kimpraswil seperti disajikan pada Tabel 35. Tabel 35 Bobot alternatif sub kriteria perubahan basis produksi masyarakat No.
Alternatif
1.
Kompensasi bidang pendidikan (beasiswa)
2.
Kompensasi bidang kimpraswil (sarana prasarana)
3.
Kompensasi bidang ekonomi (sumber pendapatan)
4.
Kompensasi relokasi
C.
Bobot 0,274650 0,174707 0,312183 0,238460
Kriteria ekologi Pada kriteria ekologi, terdapat dua sub kriteria yaitu kelestarian habitat
perairan pesisir dan keragaman biota pesisir. Berdasarkan hasil analisis menurut penilaian responden, kedua sub kriteria memiliki prioritas yang sama (Tabel 36). Tabel 36 Hasil perhitungan prioritas kriteria biologi No.
Sub Kriteria
Bobot
1.
Kelestarian habitat perairan pesisir
0,5000
2.
Keragaman biota pesisir
0,5000
Habitat perairan yang terjaga kondisinya akan mendukung proses kegiatan penangkapan ikan. Habitat yang lestari akan sangat berdampak terhadap ketersediaan ikan di perairan tersebut. Jika habitatnya terpelihara, maka ikanikan akan senang berkumpul di perairan tersebut karena daya dukung perairannya untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan ikan. Karena kelestarian SDI menyangkut masa depan produktivitas perikanan. Jika habitatnya bagus, juga akan berpengaruh terhadap keragaman biota pesisir.
110
1)
Sub kriteria kelestarian habitat perairan pesisir Hasil analisis sub kriteria keberlanjutan SDI seperti yang tersaji pada
Tabel 37, menunjukkan bahwa kompensasi bidang pendidikan memiliki bobot paling tinggi diikuti bidang ekonomi, relokasi dan terakhir bidang kimpraswil. Tabel 37 Bobot alternatif sub kriteria kelestarian habitat perairan pesisir No.
Alternatif
1.
Kompensasi bidang pendidikan (beasiswa)
2.
Kompensasi bidang kimpraswil (sarana prasarana)
3.
Kompensasi bidang ekonomi (sumber pendapatan)
4.
Kompensasi relokasi
2)
Bobot 0,331768 0,147650 0,299240 0,221342
Sub kriteria keragaman biota pesisir Hasil analisis alternatif pada sub kriteria keragaman biota pesisir disajikan
pada Tabel 38.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kompensasi bidang
pendidikan memiliki bobot yang paling tinggi. Sementara itu kompensasi bidang kimpraswil memiliki bobot yang paling rendah. Tabel 38 Bobot alternatif sub kriteria keragaman biota pesisir No.
Alternatif
1.
Kompensasi bidang pendidikan (beasiswa)
2.
Kompensasi bidang kimpraswil (sarana prasarana)
3.
Kompensasi bidang ekonomi (sumber pendapatan)
4.
Kompensasi relokasi
D.
Bobot 0,324873 0,178803 0,302706 0,193619
Kriteria ekonomi Kriteria teknis memiliki dua sub kriteria yaitu sub kriteria perubahan
aktivitas ekonomi dan sub kriteria tingkat pendapatan masyarakat. Hasil analisis kedua sub kriteria tersebut disajikan pada Tabel 39. Berdasarkan Tabel 39, dapat diketahui bahwa nilai bobot prioritas antar kedua kriteria memiliki bobot yang sama yaitu 0,500 yang berarti bahwa untuk bobot seluruh kriteria ekonomi dinilai memiliki taraf kepentingan yang sama sehingga antara satu sub kriteria dengan sub kriteria yang lain tidak saling mendominasi.
111
Tabel 39 Hasil perhitungan prioritas kriteria teknis No.
Sub Kriteria
Bobot
1.
Perubahan aktivitas ekonomi
0,5000
2.
Tingkat pendapatan masyarakat
0,5000
1)
Sub kriteria perubahan aktivitas ekonomi Hasil analisis sub kriteria perubahan aktivitas ekonomi disajikan pada
Tabel 40. Kompensasi bidang ekonomi memiliki bobot yang paling tinggi dibandingkan yang lain.
Sementara itu kompensasi bidang relokasi memiliki
bobot yang paling rendah.
Hal ini terkait dengan aktivitas ekonomi yang
sebenarnya secara alamiah dapat dilakukan oleh masyarakat di Teluk Jakarta. Tabel 40 Bobot alternatif sub kriteria perubahan aktivitas ekonomi No.
Alternatif
1.
Kompensasi bidang pendidikan (beasiswa)
2.
Kompensasi bidang kimpraswil (sarana prasarana)
3.
Kompensasi bidang ekonomi (sumber pendapatan)
4.
Kompensasi relokasi
2)
Bobot 0,284229 0,188760 0,374979 0,152032
Sub kriteria tingkat pendapatan masyarakat Hasil analisis sub kriteria tingkat pendapatan masyarakat disajikan pada
Tabel 41.
Kompensasi bidang relokasi memiliki bobot yang paling tinggi
dibandingkan yang lain. Sementara itu, kompensasi bidang kimpraswil memiliki bobot yang palingg rendah dibandingkan yang lain. Tabel 41 Bobot alternatif sub kriteria tingkat pendapatan masyarakat No.
Alternatif
1.
Kompensasi bidang pendidikan (beasiswa)
2.
Kompensasi bidang kimpraswil (sarana prasarana)
3.
Kompensasi bidang ekonomi (sumber pendapatan)
4.
Kompensasi relokasi
5.6.3
Bobot 0,219494 0,187841 0,286152 0,306513
Analisis perbandingan menyeluruh Hasil perbandingan menyeluruh menunjukkan bahwa kompensasi yang
memiliki bobot tertinggi adalah bidang pendidikan melalui pemberian beasiswa
112
seperti disajikan pada Tabel 42.
Hal ini dapat dilakukan kepada anak-anak
nelayan yang masih berada alam usia sekolah. Hal ini harusnya diperhatikan oleh pemerintah DKI sehingga adanya Reklamasi akan memberikan manfaat yang lebih tinggi. Tabel 42 Bobot prioritas alternatif kebijakan pemerintah untuk dampak reklamasi No.
Alternatif
Bobot
1.
Kompensasi bidang pendidikan (beasiswa)
2.
Kompensasi bidang kimpraswil (sarana prasarana)
3.
Kompensasi bidang ekonomi (sumber pendapatan)
4.
Kompensasi relokasi
0,475062 0,167803 0,279693 0,077441
Kompensasi relokasi memiliki bobot yang paling rendah. Artinya pilihan untuk melakukan relokasi nelayan harus ditempatkan pada pilihan yang terakhir. Kebijakan ini akan menimbulkan konsekuensi logis terhadap besarnya biaya yang harus dikeluarkan.
Oleh karena itu sebaiknya tidak dilakukan relokasi
nelayan di wilayah yang terkena dampak reklamasi. Pemberian kompensasi di bidang ekonomi dapat dilakukan melalui pengembangan mata pencaharian alternatif untuk nelayan yang terdampak langsung dari kegiatan reklamasi. Melalui pengembangan dan introduksi sumber pendapatan
baru
diharapkan
masyarakat
nelayan
akan
tetap
mampu
mempertahankan kehidupan ekonomi keluarga seperi sedia kala. Untuk dapat menentukan arah kebijakan dalam upaya meminimumkan dampak reklamasi, maka pemerintah sebagai pengendali kegiatan reklamasi harus mempertimbangkan berbagai faktor terkait dalam jangka panjang. Sa’ad et al. (2010) mengemukanan bahwa untuk dapat menentukan arah kebijakan dan perencanaan reklamsi yang ideal maka pemerintah harus memperhatikan perubahan kondisi biofisik, hidrologis dan kebijakan di masa mendatang terkait dengan tata ruang dan peruntukan wilayah reklamasi. Untuk dapat melakukan implementasi dari hasil analisis AHP maka keterlibatan berbagai pihak mutlak diperlukan. Secara umum ada 3 komponen utama yang akan terlibat yaitu pemerintah, swasta pemegang konsesi dan masyarakat. Pemerintah dan swasta pemegang konsesi merupakan pihak yang harus bertanggungjawab terhadap dampak reklamasi yang mungkin terjadi di Teluk Jakarta sehingga sudah selayaknya melakukan langkah-langkah antisipatif meluasnya dampak yang ditimbulkan pada sektor perikanan. 113
Masyarakat sebagai pihak yang akan menerima manfaat sekaligus penerima dampak memiliki posisi tawar yang lemah.
Meskipun demikian,
aspirasi masyarakat terhadap pelaksaan reklamasi terutama yang berkaitan dengan upaya meminimumkan dampak patut diperhatikan. Pemerintah sebagai instansi pembuat kebijakan harus mampu menyusun aturan main pelaksanaan reklamasi sehingga masyarakat/nelayan terdampak dapat menerima program reklamasi dengan berbagai dampak yang akan ditimbulkan. Selain itu, dukungan masyarakat terhadap program reklamasi juga diharapkan akan mampu memberikan keamanan dan kenyamanan sehingga program reklamasi tidak hanya memberikan keuntungan bagi swasta pemegang konsesi namun juga mamberikan manfaat baik bagi masyarakat maupun lingkungan.
5.8
Rekomendasi Kebijakan Reklamasi Teluk Jakarta dipilih sebagai alternatif terhadap pemenuhan
kebutuhan lahan yang semakin tinggi. Perencanaan dan pelaksanaan yang baik diharapkan akan menghasilkan manfaat yang lebih besar.
Tentunya semua
pihak tidak mengharapkan adanya dampak negatif yang berlebihan dengan selesainya reklamasi seperti yang terjadi di Semarang. Semarang
dituding
telah
menyebabkan
penurunan
Reklamasi di Kota tanah
sehingga
menyebabkan banjir di Kota Semarang sulit diatasi (Suwitri 2008). Berdasarkan hasil analisis AHP maka diperoleh 4 alternatif kebijakan yang dapat dilakukan untuk meminimumkan dampak reklamasi terhadap aktivitas perikanan yang berlangsung di Teluk Jakarta. Urutan prioritas kebijakan yang dapat dilakukan adalah : 1) Kompensasi bidang pendidikan Kompensasi bidang pendidikan sangat dibutuhkan oleh anak-anak usia sekolah, terutama bagi anak-anak dari keluarga nelayan (masyarakat pesisir).
Jenis kompensasi ini dapat diwujudkan melalui pemberian
beasiswa kepada masyarakat pesisir yang terdampak langsung dari kegiatan reklamasi. Kebijakan kompensasi ini akan lebih memberikan manfaat dibandingkan dengan kompensasi dalam bentuk uang tunai. 2) Kompensasi bidang kimpraswil (sarana dan prasarana) Pembangunan atau pengadaan sarana dan prasarana kebutuhan primer dan sekunder sebagai wujud dari pelaksanaan reklamasi akan lebih 114
bermanfaat bagi masyarakat terdampak. Nelayan/masyarakat pesisir di Teluk Jakarta terutama yang memiliki tempat tinggal di sepanjang bantaran sungai atau pantai belum memiliki perumahan dan sarana air bersih serta MCK yang memadai. dalam
pembangunan
sarana
Melalui pelaksanaan kompensasi
dan
prasarana
diharapkan
dapat
memperbaiki kualitas hidup masyarakat. 3) Kompensasi bidang ekonomi Pengembangan mata pencaharian alternatif sebagai salah satu kebijakan yang dapat dilakukan dalam upaya meminimumkan dampak reklamasi di Teluk Jakarta. Dampak terhadap hilangnya daerah penangkapan ikan serta
penurunan
sumberdaya
ikan
dapat
pengembangan mata pencaharian alternatif.
diantisipasi
melalui
Selain itu, pemberdaan
perempuan nelayan juga dapat ditempuh untuk tetap mempertahan kehidupan ekonomi keluarga nelayan pasca reklamasi. 4) Kompensasi relokasi Prioritas kebijakan yang menempati ranking terakhir adalah kompensasi relokasi nelayan yang terdampak langsung dari kegiatan reklamasi. Relokasi mejadi alternatif terakhir yang dapat dilakukan mengingat kompleksitas dampak yang akan ditimbulkan dari proses relokasi. Biaya sosial yang akan tinggi serta kerawanan konflik menjadi alasan penempatan akternatif ini pada ranking terendah. Meskipun demikian, hal ini menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan program reklamasi di Teluk Jakarta.
Pemerintah dan swasta pemegang konsesi sebagai aktor yang memiliki peran dan tanggungjwab terhadap pelaksanaan reklamasi harus melakukan langkah-langkah nyata untuk meminimumkan dampak yang mungkin terjadi baik pada sektor lingkungan maupun sosial. Pada aspek lingkungan dan sumberdaya ikan, pelaksanaan reklmasi harus dilakukan dengan memperhatikan hasil studi kelayakan dan analisis dampak lingkungan. Swasta pemegang konsesi bersama dengan pemerintah harus melakukan pengawasan yang terpadu sehingga dampak terhadap lingkungan dan sumberdaya ikan dapat diminimumkan. Aspek sosial juga wajib menjadi perhatian karena dapat memicu konflik terhadap proyek reklamasi. Masyarakat yang terkenan dampak langsung dari 115
reklamasi harus diberikan kompensasi yang berimbang.
Kompensasi tidak
selamanya dalam bentuk uang tunai, namun dapat dilakukan kompensasi melalui penyediaan
fasilitas
lapangan kerja baru.
pendidikan,
sarana-prasarana
atau
pengembangan
Hal ini diharapkan dapat meminimumkan konflik yang
umumnya terjadi saat terjadi reklamasi. Nilai ganti rugi lahan yang tidak sesuai umumnya memicu konflik antara masyarakat dengan pemegang konsesi sehingga seminimal mungkin dihindari adanya relokasi masyarakat di wilayah reklamasi. Untuk dapat menerapkan kebijakan penggantian insentif pada sektor perikanan maka diperlukan sebuah inventarisasi terhadap kagiatan perikanan terdampak reklamasi dari mulai tahap awal reklamasi, proses dan pasca reklamasi. Hal ini tentunya untuk menentukan besaran insentif yang tepat sehingga menghindarkan terjadinya konflik yang mungkin terjadi.
116
6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1
Kesimpulan Reklamasi merupakan sebuah kebutuhan dalam mewujudkan konsep water front city.
Secara umum, reklamasi di Teluk Jakarta dapat
dilakukan dengan menerapkan, penegakan peraturan dan perundang undangan yang berlaku, best practice internasional serta mengacu kepada pembelajaran dari keberhasilan pelaksanaan reklamasi di negara lain (Guideline tenik reklamasi menurut PIANC 2010) sehingga dampak dari reklamasi terhadap perikanan pantai dapat diminimalkan.
Secara
khusus hal hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah; 1)
Aktivitas perikanan yang ditemukan di Teluk Jakarta adalah perikanan dogol, payang, gillnet, bagan, mini purse seine dan budidaya kerang hijau. Di wilayah penelitian, yang terkena dampak langsung dari kegiatan reklamasi adalah perikanan dogol, payang, gillnet, bagan, dan budidaya kerang hijau.
2)
Dampak reklamasi terhadap kegiatan perikanan lebih besar pada terganggunya jalur perahu nelayan, rusaknya sumberdaya ikan dan habitatnya, serta terganggunya kegiatan budidaya kerang hijau. Daerah penangkapan ikan yang terdampak langsung seluas 1.527,34 ha
dengan
nilai
manfaat
langsung
reklamasi
sebesar
Rp.
198.554.200.000.000 (198,5 T). 3)
Strategi adaptasi yang dipilih nelayan adalah tetap melakukan kegiatan perikanan (tangkap/budidaya) meskipun terjadi penurunan hasil tangkapan/budidaya atau harus berpindah ke lokasi yang baru.
4)
Berdasarkan valuasi ekonomi kegiatan reklamasi di wilayah studi memiliki nilai NPV positif sehingga layak diteruskan.
Akan tetapi
dengan skenario jika reklamsi ini mematikan semua sumber listrik di wilayah studi maka reklamasi menjadi tidak layak karena nilai NPV negatif.
Oleh karena itu reklamasi dapat dilakukan dengan
memperhatikan dampak lingkungan sesuai dengan Pergub No. 121 tahun 2012. 5)
Bahwa pada analisis terhadap biaya dan manfaat ekonomi terdapat 6 (enam) skenario pengaruh kerusakan lingkungan tetapi tetap berorientasi pada 3 diskonto yaitu 3%, 8% dan 12%. Pada diskonto
tertinggi sebesar 12% nilai manfaat bersih dengan pengrusakan lingkungan sebesar Rp 625 triliun dengan asumsi konstan sebesar Rp 192 triliun. Sedangkan pada diskonto terendah
sebesar 3%
dengan manfaat bersih sebesar Rp 1.701,7 triliun dengan skenario pengurangan kerusakan lingkungan permanen sebesar Rp 754,4 Triliun. 6)
Kebijakan yang menjadi prioritas utama sebagai bentuk kompensasi untuk mengatasi dampak reklamasi adalah kompensasi bidang pendidikan
melalui
pemberian
beasiswa,
kompensasi
bidang
ekonomi melalui pengembangan sumber pendapatan tambahan, kompensasi bidang kimpraswil melalui pembangunan sarana dan prasarana serta kompensasi relokasi sebagai alternatif terakhir. Untuk meminimumkan dampak reklamasi maka pemerintah dan swasta pemegang konsesi harus melakukan pengawasan secara terpadu dengan melibatkan masyarakat sehingga pelaksanaan reklamasi dapat sesuai rencana dan blue print yang telah dibuat.
6.2
Saran 1)
Kebijakan pemerintah DKI Jakarta dalam mengembangkan kota water front city harus memperhitungkan dampak yang ditimbulkan di bidang sosial, ekonomi dan lingkungan.
2)
Besaran insentif dan kompensasi harus didasarkan pada perhitungan yang relefan dengan keinginan dan kondisi obyektif masyarakat.
3)
Perlu dilakukan kajian dampak reklamasi terhadap sektor perikanan di seluruh kawasan Teluk Jakarta, karena penelitian ini hanya menggunakan sampel di Cilincing, Muara Angke dan Muara Baru dengan metode yang berbeda.
4)
Intervensi fiskal dapat dilakukan untuk mengurangi dampak kerugian lingkungan baik melalui subsidi maupun insentif lingkungan lainnya sesuai dengan UU No.32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Pengendalian Lingkungan Hidup
118
DAFTAR PUSTAKA
Afdal dan Sumijo Hadi Riyono. 2008. Sebaran Klorofil-A dan Hubungannya dengan Eutrofikasi di Perairan Teluk Jakarta. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 34 (3): 333-351. Agustono. 1996. Nilai Ekonomi Hutan Mangrove bagi Masyarakat (Studi Kasus di Muara Sungai Cimanuk, Indramayu). Tesis Magister Science (tidak dipublikasikan). Program Pasca Sarjana-Institut Pertanian Bogor. Bogor. Alikodra HS. 1996. Dampak Reklamasi Teluk Jakarta Pada Ekosistem Mangrove. Media Konservasi Vol 5 No. 1: 31-34. Arifin Z, T Susana, P Purwati, R Muchsin, D Hindarti, S Hadi Riyono, A Rozak, E Matondang, N Farida. 2003. Ekosistem Teluk Jakarta dan Produktivitas. Draft Laporan Riset Kompetitif Jabopunjur. Puslit Oseanografi – LIPI. Arifin, Z. 2004. Local Millenium Ecosystem Assessment: Condition and Trend of the Greater Jakarta Bay Ecosystem. Report prepared by the Research Centre for Oceanography – LIPI. Submitted to Assistant Deputy for Coastal and Marine Ecosystems. The Ministry of Environment, Republic of Indonesia. Artikasari. W. 1999. Studi tentang Faktor-faktor Teknis Produksi pada Unit Penangkapan Payang di PPI Lempasing, Bandar Lampung. (Skripsi, tidak dipubliksaikan). Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Penkanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Halaman 32. Astawa N, Kamiludin U, Kusnida D. (1996), Potensi dan Evaluasi Geologi dan Wilayah Pantai Perairan Teluk Jakarta dan Sekitarnya. DKI Jakarta. Ayodhyoa. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Yayasan Dewi Sri, Bogor. 97 halaman. Barbier, E. B., M. Acreman and D. Knowler. 1997. Economic Valuation of Wetlands. Ramsar Convention Bureau Gland Switzerland. Barton, D. N. 1994. Sambutan Pengarahan Direktur Jenderal Perikanan Prosiding Seminar Pembahasan Strategi Nasional dan Program Aksi Mangrove LIPI. Jakarta. [BPLHD] Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah. (2011) Status Lingkungan Hidup Daerah 2011. Provinsi DKI Jakarta, http://bplhd.jakarta.go.id/ [18 Januari 2013]. [BPS] Badan Pusat Statistik DKI Jakarta. 2012. Badan Pusat Statistik DKI Jakarta. Jakarta.
DKI Jakarta Dalam Angka.
119
Buggy, C.J., and Tobin, J.M. 2006. Spatial Distribution Of Nine Metals In Surface Sediment Of An Urban Estuary Prior To A Large Scale Reclamation Project. Marine Pollution Bulletin 52: 969-987. [DKPP] Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta. 2010. Data Perikanan DKI Jakarta tahun 2005 – 2009. Jakarta. Dharmayanti, I. 2006. Kajian Reklamasi Pantai Dadap Kabupaten Tangerang (Sebuah Analisa Persepsi Stakeholder) (Tesis). Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dixon, J. A. 1998. Economic Values of Coral Reefs: What Are The Issues?. In Coral Reefs: Chalanges and Opportunities for Suistainable Management, The World Bank, Washington DC. Djainal H. 2012. Reklamasi Pantai dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan Fisik di Wilayah Kepesisiran Kota Ternate. Jurnal Lingkungan Sultan Agung Vol 1 (1) : 16-28. Dunn, W.N. 1999. Analisa Kebijakan Publik. Kerangka Analisa dan Prosedur Perumusan Masalah. Yogyakarta: PT. Hamindita Graha Widya. Fahrudin. A. 1996. Analisis Ekonomi Pengelolaan Lahan Pesisir Kabupaten Subang, Jawa Barat. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. Gramedia. Jakarta. Fauzi, A. dan S. Anna. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan. Jakarta. Gramedia. [FAO] Food and Agricultural Organization. 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. Food and Agriculture Organization of the United Nations. 41 p. Freeman III, A.M. 2003. The Measurement of Environmental and Resource Values. Resources for the Future. Washington, D.C. Gunarso, W. 1985. Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Alat Tangkap. Diktat kuliah (tidak dipublikasikan). Bogor: Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. [IUCN] International Union for Conservation of Nature. (2007). "Ecological and socio-economical values of mangrove systems in tsunami affected aeras: Rapid ecological-economic-livelihood assessment of Ban Naca and Ban Bangman in Ranong Province, Thailand." Available at: http://cmsdata.iucn.org/downloads/thailand_socioeconomic_value_rep ort.pdf [JCDS] Jakarta Coastas Defense Strategy. 2011. Atlas Pengamanan Pantai Jakarta. Kementrian Pekerjaan Umum.
120
Jaya AM, Ambo Tuwo, Mahatma. 2012. Kajian Kondisi Lingkungan dan Perubahan Sosial Ekonomi Reklamasi Pantai Losari dan Tanjung Bunga. E-Journal Program Pascasarjana UNHAS Desember 2012. Jones, DA, Ealey T, Baca B, Livesey S. Al-Jamali F. 2007. Gulf Desert Developments Encompassing A Marine Environment, A Compensatory Solution to The Loss of Coastal Habitats by Infill and Reclamation: The Case of The Pearl City Al-Khiran, Kuwait. Aquatic Ecosystem Health and Management 10: 268–276. Jury M, S Pans, T Golingi, B Wiryawan. 2011. Kajian Dampak Lingkungan Pengembagnan Pesisir Teluk Jakarta (Rapid Environmental Assessment Coastal Development in Jakarta Bay) by DHI Water&Environment. Publikasi Danida ESP2. Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 143 p. Kaiser M, Forsberg EM. 2001. Assesing Fisheries-using an Ethical Matrix in a Participatory Process. Agricultural an Environmental Ethics. 14:191-200. Kalalo FP. 2009. Kebijakan Reklamasi Pantai dan Laut: Implikasi Terhadap Hak Masyarakat Pesisir dan Upaya Perlindungannya. Jurnal Hukum dan Pembangunan 39 (1): 102 – 118. [KEMENHUB] Kementerian Perhubungan. 2011. Peraturan Menteri Perhubungan No. 52 Tahun 2011 tentang Reklamasi. Jakarta. ______. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan: Isu, Sintesis dan Gagasan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Data Pokok Perikanan dan Kelautan. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Kusumastanto, T. R. Dahuri dan D.G. Bengen. 1999. Kajian Ekonomi Pengelolaan Tambak di Kawasan Mangrove Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Jurnal Pesisir dan Lautan Vol. 2, No. 3, 1999. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor. Kusumastanto, T. 2000. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor. Kusumawati J. 2012. Kajian Kebijakan Reklamasi Pantai dan Relokasi Perkampungan Nelayan di Kelurahan Kamal Muara Kodya Jakarta Utara. Jurnal Transparansi. Li, K., Liu, X., Zhao, X., Guo, W. 2010. Effects of Reclamation Projects on Marine Ecological Environment in Tianjin Harbor Industrial Zone. Procedia Environmental Sciences. 2:792-799.
121
Martasuganda S. 2002. Jaring Insang (gillnet). Serial Teknologi Penangkapan Ikan Berwawasan Lingkungan. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor. 68 hal. Martosewojo S, A Djamali. Distribusi dan Komposisi Jenis Ikan di Perairan Teluk Jakarta. pustaka2.ristek.go.id. [18 Januari 2013]. Nexant SARI/E. (2003 ).“Economic impact of poor power quality on industry: Sri Lanka” United States Agency for International Development (USAID) under South Asia Regional Initiative for Energy (SARI/E). Ongkosongo OSR. 1980. Pola Pertumbuhan Pantai di Jawa. PIT IAGI ke IX, Yogyakarta. Paonganan Y. 2009. Analisis Tutupan Karang pada Tiga Pulau di Sekitar Teluk Jakarta. www.indomaritimeinstitut.org [18 Januari 2013]. Pardjaman D. 1977. Akresi dan abrasi pantai Teluk Jakarta disebabkan oleh kondisi fisik dan sosial, in Teluk Jakarta: 83106. Pearce, D. and D. Moran. 1994. The Economic Value of Biodiversity. Earthscan Publications Limited. London, UK. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3816 Tahun 1999). Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur. Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 408). Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 52 Tahun 2011 tentang Pengerukan dan Reklamasi. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2012 Nomor 1; Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 30). [PLN] Perusahaan Listrik Negara. 2010. Peran Pembangkit Muara Karang Priok dan Muara Tawar pada Sistem Kelistrikan DKI Jaya (presented on November 23, 2010).
122
Pratikto, W.A. 2004. Reklamasi Wilayah Pesisir Ditinjau dari Perspektif Pengelolaan Wilayah Terpadu (Integrated Coastal Management). Makalah Lokakarya Pengelolaan Reklamasi di Wilayah Pesisir. Jakarta, 14 Juni 2004. Dirjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Priyandes A dan MR Majid. 2009. Impact of Reclamation Activities on The Environmentcase Study: Reclamation in Northern Coast of Batam. Jurnal Alam Bina Jilid 15 (1) : 21-34. Putri, N. 2007. Walhi Tolak Reklamasi Teluk Jakarta, Pemprov Jalan Terus. www.detik.com [29 Januari 2013] Qi D dan Y Zhang. 2003. Numerical Investigations on Effects of The Reclamation Project on Hengsha East Beach in The Yangtze Estuary Deepwater Channel. International Conference on Estuaries and Coasts. November 911. page 937-943. Quadros G, V Mishra, MU Borkar, RP Athalye. 2004. Impact of Construction and Reclamation Activities on The Water Quality of The Thane Creek, CentralWest Coast of India. Journal Coastal Development Vol 7 (2) : 71-78. Ruesink, J. and Wu, J. 2005. Tideflat Reclamation: a Global Comparison. Department of Biology, University of Washington, Seattle, WA 98195. USA. Ruitenbeek, H.J. 1992. Mangrove Management: An Economic Analysis of Management Options with a Focus on Bintuni Bay, Irian Jaya. EMDI Environmental Report No. 8. Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan. Bagi Para Pemimpin PT Pustaka Binaman Pressindi, Jakarta. 270 hal. Sa’ad A, S Sabiham, A Sutandi, B Sumawinata, M Ardiansyah. 2010. Perubahan Penggunaan Lahan Pasang Surut Setelah Reklamasi di Delta Berbak Jambi. Jurnal Hidrolitan Vol 1 (3) : 37-46. Sachoemar, S.I. dan H.D. Wahjono. 2007. Kondisi Pencemaran Lingkungan Perairan di Teluk Jakarta. JAI Vol. 3 No. 1: 1-14 Sadhori, N. 1985. Teknik Penangkapan Ikan. Penerbit Angkasa, Bandung. 182 halaman. Sainsburry, J.C. 1996. Commercial Fishing Methodes. An Introduction to Vessel and Gear. Third Edition. Fishing News (book). London and Tombridge: The White Friars Press Ltd. 293-310 p. Satria A, Umbari A, Fauzi A, Purbayanto A, Sutarto E, Muchsin I, Muflikhati I, Karim M, Saad S, Oktariza W, Imran Z. 2002. Menuju Desentralisasi Kelautan. PT. Pustaka Cidesindo, Jakarta. 210 hal.
123
Septifitri. 2010. Analisis Pengembangan Perikanan Tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Disertasi [Tidak dipulikasikan]. Sekolah Pascasarjana Insitut Pertanian Bogor. Bogor. Setyawan AD dan K Winanrno. 2006. Pemanfaatan Langsung Ekosistem Mangrove di Jawa Tengah dan Penggunaan Lahan di Sekitarnya; Kerusakan dan Upaya Restorasinya. Jurnal Biodiveritas Vol 7 (3) : 282291. Sohma, A., Sekiguchi, Y., Nakata, N. 2008. Application Of An Ecosystem Model For The Environmental Assessment Of The Reclamation And Mitigation Plans For Seagrass Beds in Atsumi Bay. Estuarine, Coastal and Shelf Science. 83:133-147. Subani, W. dan H. R. Barus. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Jurnal penelitian perikanan laut. Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut, Departemen pertanian. Suparmoko, M. 2000. Ekonomi Lingkungan, Edisi Pertama. BPFE Yogyakarta. Suryadewi A, Edward, A Setiadi. 1998. Masalah Reklamasi Teluk Jakarta ditinjau dari Aspek Psikologi Lingkungan. Jurnal Lingkungan dan Pembangunan Vol. 18 No. 2 : 145-163. Suwitri S. 2008. Jejaring Kebijakan dalam Perumusan Kebijakan Publik: Suatu Kajian tentang Perumusan Kebijakan Penanggulangan Banjir dan Rob Pemerintah Kota Semarang. Jurnal Delegasi Vol 6 (3) : 1-28. Suyarso. 1995. Atlas Oseanologi Teluk Jakarta. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi (P2O LIPI), Jakarta, 160 pp. Taurusman AA. 2007. Community Structure, Clearance Rate, and Carrying Capacity of Macrozoobenthos in Relation to Organic Matter in Jakarta Bay and Lampung Bay, Indonesia. [Dissertation]. Kiel University, Kiel, Germany. _____________. 2010. Community Structure of Macrozoobenthic Feeding Guilds in Responses to Eutrophication in Jakarta Bay. Biodiversitas 11(3):133138. Turner, R. K., Pearce D. and Bateman I. 1994. Environment; Economics: An Elementary Introduction. Harvester Wheatsheaf. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3299). Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433); sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
124
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073). Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059). Verstappen TH. 1953. DJakarta Bay. A Geomorphological Study on Shoreline Development. Van Berkel J., M. Jury, T. Foster, J. Dusik, B. Wiryawan, L. Salaki, N. Chans, and S. Pans. 2012. Jakarta Bay Recommendation Paper by DHI Water & Environement. Publikasi Danida ESP2. Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 222 p. von Brandt, A. 1984. Fish Catching Methodes Of The World. London: Fish News (book) Ltd. 190 p. Wagiu M. 2011. Dampak Program Reklamasi Bagi Ekonomi Rumah Tangga Nelayan di Kota Manado. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis Vol. VII No.1 : 12-16. Wahju RI, E Sriwiyono, I Rachmawati. 2009. Dinamika Hasil Tangkapan Utama dan Sampingan pada Alat Tangkap Dogol di Gebang Mekar Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Prosiding Semarang Perkanan Expo. hal 129-140. Wagiyo K, ST Hartati dan A Priyatna. 2006. Sebaran, Intensitas,Produktifitas, dan Kondisi Biologi Ikan Hasil Tangkapan Alat Tangkap Pasif Menetap di Teluk Jakarta. Proseding Seminar Nasional Ikan IV. Wang, X., Chen, W., Zhang, L., Jin, D., Lu, C. 2010. Estimating The Ecosystem Service Losses from Proposed Land Reclamation Projects: A Case Study In Xiamen. Ecological Economics. 69:2549-2556. Widodo J dan. Nurhakim S. 2002. Konsep Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Disampaikan dalam Training of Trainers on Fisheries Resource Management. Hotel Golde Clarion, Jakarta. 28 Okt s/d 2 Nov 2002. Widodo L. 2005. Kecenderungan Reklamasi Wilayah Pantai dengan Pendekatan Model Dinamik. Jurnal Teknik Lingkungan P3TL-BPPT Vol. 6 No. 1 : 330338. Wiyono, E. S. 2008. Strategi Adaptasi Nelayan Cirebon, Jawa Barat. Buletin PSP Vol XVII No. 3.
125
World Bank Group (2009). “Energy strategy approach paper annexes.” Sustainable Development Network. Available: http://siteresources.worldbank.org/EXTESC/Resources/Approach_paper_ annexes_14_October_2009.pdf [Accessed on 12 October 21012] Wunas S dan JH Lumain. 2003. Dampak Reklamasi Pantai Terhadap Perubahan Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya di Kota Manado. Jurnal Penelitian Enjiniring Vol 9 (3) : 325-330. Wu, J.,Fu, C., Chen, S., Chen, J. 2002. Soil Faunal Response to Land Use: Effect of Estuarine Tideland Reclamation on Nematode Communities. Aplied Soil Ecology.21:131-147. Zid M. 2011. Fenomena Strategi Nafkah Keluarga Nelayan: Adaptasi Ekologis di Cikahuripan-Cisolok, Sukabumi. Jurnal Sosialita Vol. 9 (1) : 32-38.
126
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peraturan Gubernur DKI Jakarta tentang reklamasi
128
129
130
131
132
133
134
135
136
137
138
139
140
141
142
143
144
145
146
147
148
149
150
151
152
153
154
155
156
157
158
159
160
161
162
163
164
Lampiran 2.Extended cost benefit analisis dampak reklamasi Teluk Jakarta di wilayah penelitian (konstan) No.
Uraian
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2030
1 Manfaat A. Langsung 1. Luas Lahan yang Direklamasi Total Manfaat
-
-
-
-
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
91.640.400.000.000
91.640.400.000.000
91.640.400.000.000
91.640.400.000.000
91.640.400.000.000
91.640.400.000.000
2 Biaya A. Langsung
91.640.400.000.000
91.640.400.000.000
91.640.400.000.000
91.640.400.000.000
1. Perolehan lahan 2. Umum dan administrasi 3. Salary Karyaw an 4. dan lain-lain B. Tidak Langsung Total Biaya Net Benefit (CBA)
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
91.640.400.000.000
91.640.400.000.000
91.640.400.000.000
91.640.400.000.000
91.640.400.000.000
91.640.400.000.000
91.640.400.000.000
91.640.400.000.000
91.640.400.000.000
91.640.400.000.000
(91.640.400.000.000)
(91.640.400.000.000)
(91.640.400.000.000)
(91.640.400.000.000)
106.913.800.000.000
106.913.800.000.000
106.913.800.000.000
106.913.800.000.000
106.913.800.000.000
106.913.800.000.000
314.511.300.009
3 Eksternalitas A. Langsung 1. Kompensasi/ganti rugi nelayan dan budidaya kerang hijau
0
0
314.511.300.000
314.511.300.000
314.511.300.000
314.511.300.000
314.511.300.000
314.511.300.000
314.511.300.000
2. Kompensasi/ganti rugi Mangrove
0
0
13.500.000.000
13.500.000.000
13.500.000.000
13.500.000.000
13.500.000.000
13.500.000.000
13.500.000.000
13.500.000.000
3. Kompensasi/ganti rugi Listrik
0
0
52.156.800.000.000
52.156.800.000.000
52.156.800.000.000
52.156.800.000.000
52.156.800.000.000
52.156.800.000.000
52.156.800.000.000
52.156.800.000.000
1. Kompensasi/ganti rugi Banjir
0
0
a. Agriculture
0
0
18.320.000.000
18.320.000.000
18.320.000.000
18.320.000.000
18.320.000.000
18.320.000.000
18.320.000.000
18.320.000.000
b. Indutri
0
0
1.684.030.000.000
1.684.030.000.000
1.684.030.000.000
1.684.030.000.000
1.684.030.000.000
1.684.030.000.000
1.684.030.000.000
1.684.030.000.000
c. Fasilitas Publik
0
0
7.270.000.000
7.270.000.000
7.270.000.000
7.270.000.000
7.270.000.000
7.270.000.000
7.270.000.000
7.270.000.000
d. Kontruksi
0
0
76.480.000.000
76.480.000.000
76.480.000.000
76.480.000.000
76.480.000.000
76.480.000.000
76.480.000.000
76.480.000.000
B. Tidak Langsung
e. Perdagangan
0
0
66.350.000.000
66.350.000.000
66.350.000.000
66.350.000.000
66.350.000.000
66.350.000.000
66.350.000.000
66.350.000.000
f. Transportasi dan Komunikasi
0
0
89.510.000.000
89.510.000.000
89.510.000.000
89.510.000.000
89.510.000.000
89.510.000.000
89.510.000.000
89.510.000.000
g. Keuangan
0
0
76.530.000.000
76.530.000.000
76.530.000.000
76.530.000.000
76.530.000.000
76.530.000.000
76.530.000.000
76.530.000.000
h. Service
0
0
33.650.000.000
33.650.000.000
33.650.000.000
33.650.000.000
33.650.000.000
33.650.000.000
33.650.000.000
33.650.000.000
i. Ekonomi
0
0
97.000.000.000
97.000.000.000
97.000.000.000
97.000.000.000
97.000.000.000
97.000.000.000
97.000.000.000
97.000.000.000
Total Biaya Ekternalitas
0
0
54.633.951.300.000
54.633.951.300.000
54.633.951.300.000
54.633.951.300.000
54.633.951.300.000
54.633.951.300.000
54.633.951.300.000
54.633.951.300.009
(91.640.400.000.000)
(91.640.400.000.000)
52.279.848.700.000
52.279.848.700.000
52.279.848.700.000
52.279.848.700.000
52.279.848.700.000
52.279.848.699.991
Net Benefit (ECBA)
(146.274.351.300.000)
(146.274.351.300.000)
165
Lampiran 3. Extended cost benefit analisys dampak reklamasi Teluk Jakarta skenario No.
Uraian
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
1 Manfaat A. Langsung 1. Luas Lahan yang Direklamasi Total Manfaat
-
-
-
-
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
2 Biaya A. Langsung
91.640.400.000.000
91.640.400.000.000
91.640.400.000.000
91.640.400.000.000
1. Perolehan lahan 2. Umum dan administrasi 3. Salary Karyaw an 4. dan lain-lain B. Tidak Langsung
-
Total Biaya Net Benefit (CBA)
-
-
-
91.640.400.000.000
91.640.400.000.000
91.640.400.000.000
91.640.400.000.000
(91.640.400.000.000)
(91.640.400.000.000)
(91.640.400.000.000)
(91.640.400.000.000)
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
3 Eksternalitas A. Langsung 1. Kompensasi/ganti rugi nelayan dan budidaya kerang hijau
0
0
2. Kompensasi/ganti rugi Mangrove
0
0
13.500.000.000
13.500.000.000
13.500.000.000
13.500.000.000
13.500.000.000
13.500.000.000
13.500.000.000
3. Kompensasi/ganti rugi Listrik
0
0
52.156.800.000.000
314.511.300.000
52.156.800.000.000
314.511.300.000
52.156.800.000.000
314.511.300.000
52.156.800.000.000
314.511.300.000
52.156.800.000.000
314.511.300.000
52.156.800.000.000
314.511.300.000
52.156.800.000.000
314.511.300.000
1. Kompensasi/ganti rugi Banjir
0
0
a. Agriculture
0
0
18.320.000.000
18.320.000.000
18.320.000.000
18.320.000.000
18.320.000.000
18.320.000.000
18.320.000.000
b. Indutri
0
0
1.684.030.000.000
1.684.030.000.000
1.684.030.000.000
1.684.030.000.000
1.684.030.000.000
1.684.030.000.000
1.684.030.000.000
c. Fasilitas Publik
0
0
7.270.000.000
7.270.000.000
7.270.000.000
7.270.000.000
7.270.000.000
7.270.000.000
7.270.000.000
d. Kontruksi
0
0
76.480.000.000
76.480.000.000
76.480.000.000
76.480.000.000
76.480.000.000
76.480.000.000
76.480.000.000
e. Perdagangan
0
0
66.350.000.000
66.350.000.000
66.350.000.000
66.350.000.000
66.350.000.000
66.350.000.000
66.350.000.000
B. Tidak Langsung
f. Transportasi dan Komunikasi
0
0
89.510.000.000
89.510.000.000
89.510.000.000
89.510.000.000
89.510.000.000
89.510.000.000
89.510.000.000
g. Keuangan
0
0
76.530.000.000
76.530.000.000
76.530.000.000
76.530.000.000
76.530.000.000
76.530.000.000
76.530.000.000
h. Service
0
0
33.650.000.000
33.650.000.000
33.650.000.000
33.650.000.000
33.650.000.000
33.650.000.000
33.650.000.000
i. Ekonomi
0
0
97.000.000.000
97.000.000.000
97.000.000.000
97.000.000.000
97.000.000.000
97.000.000.000
97.000.000.000
Total Biaya Ekternalitas
0
0
(91.640.400.000.000)
(91.640.400.000.000)
54.633.951.300.000
54.633.951.300.000
54.633.951.300.000
Damage Coeficient
No.
54.633.951.300.000
1
Net Benefit (ECBA)
Uraian
2021
2022
(146.274.351.300.000)
2023
(146.274.351.300.000)
2024
143.920.248.700.000
2025
54.633.951.300.000
0,90 129.528.223.830.000
2026
54.633.951.300.000
0,80 115.136.198.960.000
2027
54.633.951.300.000
0,70 100.744.174.090.000
2028
0,60 86.352.149.220.000
2029
2030
1 Manfaat A. Langsung 1. Luas Lahan yang Direklamasi
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
Total Manfaat
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
2 Biaya A. Langsung 1. Perolehan lahan 2. Umum dan administrasi 3. Salary Karyaw an 4. dan lain-lain B. Tidak Langsung
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Total Biaya
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Net Benefit (CBA)
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
198.554.200.000.000
3 Eksternalitas A. Langsung 1. Kompensasi/ganti rugi nelayan dan budidaya kerang hijau 2. Kompensasi/ganti rugi Mangrove 3. Kompensasi/ganti rugi Listrik
314.511.300.000
314.511.300.001
314.511.300.002
314.511.300.003
314.511.300.004
314.511.300.005
314.511.300.006
314.511.300.007
314.511.300.008
314.511.300.009
13.500.000.000
13.500.000.000
13.500.000.000
13.500.000.000
13.500.000.000
13.500.000.000
13.500.000.000
13.500.000.000
13.500.000.000
13.500.000.000
52.156.800.000.000
52.156.800.000.000
52.156.800.000.000
52.156.800.000.000
52.156.800.000.000
52.156.800.000.000
52.156.800.000.000
52.156.800.000.000
52.156.800.000.000
52.156.800.000.000
B. Tidak Langsung 1. Kompensasi/ganti rugi Banjir a. Agriculture
18.320.000.000
18.320.000.000
18.320.000.000
18.320.000.000
18.320.000.000
18.320.000.000
18.320.000.000
18.320.000.000
18.320.000.000
18.320.000.000
1.684.030.000.000
1.684.030.000.000
1.684.030.000.000
1.684.030.000.000
1.684.030.000.000
1.684.030.000.000
1.684.030.000.000
1.684.030.000.000
1.684.030.000.000
1.684.030.000.000
7.270.000.000
7.270.000.000
7.270.000.000
7.270.000.000
7.270.000.000
7.270.000.000
7.270.000.000
7.270.000.000
7.270.000.000
d. Kontruksi
76.480.000.000
76.480.000.000
76.480.000.000
76.480.000.000
76.480.000.000
76.480.000.000
76.480.000.000
76.480.000.000
76.480.000.000
76.480.000.000
e. Perdagangan
66.350.000.000
66.350.000.000
66.350.000.000
66.350.000.000
66.350.000.000
66.350.000.000
66.350.000.000
66.350.000.000
66.350.000.000
66.350.000.000
f. Transportasi dan Komunikasi
89.510.000.000
89.510.000.000
89.510.000.000
89.510.000.000
89.510.000.000
89.510.000.000
89.510.000.000
89.510.000.000
89.510.000.000
89.510.000.000
g. Keuangan
76.530.000.000
76.530.000.000
76.530.000.000
76.530.000.000
76.530.000.000
76.530.000.000
76.530.000.000
76.530.000.000
76.530.000.000
76.530.000.000
h. Service
33.650.000.000
33.650.000.000
33.650.000.000
33.650.000.000
33.650.000.000
33.650.000.000
33.650.000.000
33.650.000.000
33.650.000.000
i. Ekonomi
97.000.000.000
97.000.000.000
97.000.000.000
97.000.000.000
97.000.000.000
97.000.000.000
97.000.000.000
97.000.000.000
97.000.000.000
97.000.000.000
54.633.951.300.000
54.633.951.300.001
54.633.951.300.002
54.633.951.300.003
54.633.951.300.004
54.633.951.300.005
54.633.951.300.006
54.633.951.300.007
54.633.951.300.008
54.633.951.300.009
b. Indutri c. Fasilitas Publik
Total Biaya Ekternalitas Damage Coeficient Net Benefit (ECBA)
0,50 71.960.124.350.000
0,40 57.568.099.480.000
0,30 43.176.074.609.999
0,20 28.784.049.739.999
0,10 14.392.024.870.000
0,00 0
7.270.000.000
33.650.000.000
-0,10
-0,20
-0,30
-0,40
(14.392.024.869.999)
(28.784.049.739.999)
(43.176.074.609.998)
(57.568.099.479.996)
166