DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D. Sehubungan dengan rencana Departemen Kehutanan untuk membuka keran ekspor kayu bulat di tengah krisis keuangan (ekonomi) dunia yang sedang terjadi, diskusi “pro dan kontra” terhadap kebijakan larangan ekspor kayu bulat kembali diperdebatkan (Agro Indonesia, 14-20 Oktober 2006). Tulisan di bawah ini memaparkan ringkasan hasil penelitian Penulis tentang “Dampak kebijakan larangan ekspor kayu bulat pada periode 1985-1997 terhadap sektor kehutanan Indonesia”. Sejarah kebijakan larangan ekspor kayu bulat Kebijakan larangan ekspor kayu bulat pertama kali diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia pada Mei 1980. Larangan ekspor kayu bulat pada awalnya diberlakukan secara bertahap, kemudian pada awal tahun 1985 ekspor kayu bulat dihentikan secara total. Kebijakan larangan ekspor kayu bulat ini bertujuan untuk: (a) meningkatkan perolehan devisa dari ekspor kayu olahan, (b) memperluas kesempatan kerja di bidang industri hasil hutan, (c) meningkatkan nilai tambah, dan (d) memacu perkembangan ekonomi regional. Dalam pelaksanaannya, untuk menghindari klaim internasional yang menganggap kebijakan larangan ekspor kayu bulat sebagai non-tariff barrier, pada tanggal 27 Mei 1992 pemerintah merubahnya dengan pengenaan pajak ekspor kayu bulat yang tinggi, yaitu sebesar USD 500 – USD 4800 per m3 kayu bulat, tergantung jenis kayu. Dengan pajak ekspor yang sedemikian tinggi, tetap tidak mungkin untuk mengekspor kayu bulat dari Indonesia, karena harga jual ekspor jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga pasar internasional. Jadi dalam kenyataannya, pengenaan pajak ekspor yang tinggi merupakan larangan ekspor kayu bulat yang efektif, dengan nama yang berbeda. Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak Juli 1997 menyebabkan krisis ekonomi multi-dimensi di Indonesia, sehingga mengharuskan pemerintah melakukan perbaikan kebijakan ekonomi, terutama untuk meningkatkan penerimaan negara. Untuk mengatasi krisis ekonomi ini, lembaga keuangan internasional IMF berhasil memaksa pemerintah Indonesia untuk menandatangani 50 butir Nota Kesepakatan (Letter of Intent) RI-IMF pada tanggal 15 Januari 1998. Diantaranya, terdapat butir kesepakatan untuk memperbolehkan ekspor kayu bulat dengan mengenakan pajak ekspor sebesar 40 persen, dan kemudian dikurangi menjadi maksimum 10 persen sebelum akhir Desember 2000 dan nol persen pada tahun 2003. Setelah ekspor kayu bulat berlangsung, muncul keluhan dari para pengusaha industri pengolahan kayu domestik, utamanya karena semakin mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku kayu bulat. Disamping itu, para pengusaha tersebut juga mengeluhkan semakin maraknya ekspor kayu bulat illegal yang menyebabkan Cina, yang dituduh mengkonsumsi kayu bulat selundupan dari Indonesia, dapat menjual produk kayu lapis di pasar internasional dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan total biaya produksi kayu lapis di Indonesia. Sementara itu, kegiatan penebangan liar di hutan-hutan
1
Indonesia sejak terjadinya krisis ekonomi semakin menjadi-jadi, menyebabkan laju deforestasi mencapai rata-rata 2 juta ha/thn pada periode tahun 1997-2000. Pada tanggal 8 Oktober 2001, Pemerintah Indonesia kembali melarang ekspor kayu bulat melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Kehutanan Nomor: 1132/KptsII/2001 dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 292/MPP/Kep/10/2001. Tujuannya disebutkan untuk mencegah dimanfaatkannya kebijakan ekspor kayu bulat/bahan baku serpih oleh pelaku penebangan liar (illegal logging) dan perdagangan gelap (illegal trading) yang mengancam kelestarian sumber daya hutan dan kerusakan lingkungan di Indonesia. Tujuan lainnya, yang tidak disebutkan dalam SKB tersebut namun seringkali dikemukakan oleh para pengusaha industri perkayuan dalam berbagai polemik mengenai pro dan kontra kebijakan larangan ekspor kayu bulat, adalah untuk lebih menjamin ketersediaan pasokan bahan baku kayu untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan kayu di dalam negeri. Dalam SKB tersebut disebutkan bahwa penghentian ekspor kayu bulat/bahan baku serpih dari seluruh wilayah negara Republik Indonesia berlaku sampai batas waktu yang ditetapkan kemudian. Namun demikian, meskipun belum ada hasil analisis atau evaluasi kritis yang disampaikan kepada publik mengenai keberhasilan kebijakan tersebut dalam mengatasi penebangan liar dan penyelundupan kayu selama tujuh bulan sejak diterbitkannya SKB, pemerintah RI malah memperkuat keputusan tersebut melalui Peraturan Pemerintah No. 34, tertanggal 8 Juni 2002, tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan (seperti tertulis dalam Pasal 76: Hasil hutan berupa kayu bulat dan bahan baku serpih dilarang untuk di ekspor). Tujuan dan Metode Penelitian Studi ini bertujuan untuk mengetahui pelajaran-pelajaran penting apa saja yang dapat diambil dari pengalaman diterapkannya kebijakan larangan ekspor kayu bulat secara total pada periode tahun 1985 sampai 1997. Studi difokuskan pada aspek ekonomi dari pengaruh kebijakan larangan ekspor kayu bulat terhadap pasar produk perkayuan Indonesia, yaitu pasar kayu bulat tropis, pasar kayu lapis dan pasar kayu gergajian. Pelajaran-pelajaran yang diperoleh diharapkan dapat membantu para pembuat keputusan untuk menghindari kegagalan pasar yang semakin parah akibat penerapan kebijakan yang kurang tepat. Metode analisis yang digunakan dalam studi ini sama dengan metode yang telah digunakan oleh Manurung dan Buongiorno (1997), yaitu the classical welfare economics framework in an opened economy dan a non-spatial equilibrium timber market model. Prinsip umumnya adalah: pertama, mengembangkan model yang menggambarkan kondisi aktual keseimbangan pasar, yaitu kondisi pasar (produk perkayuan) dimana larangan ekspor kayu bulat diberlakukan, kemudian menggunakannya untuk menduga kondisi keseimbangan pasar yang baru, yaitu kondisi pasar tanpa larangan ekspor kayu bulat. Dalam model ini, specific trade flows antara dua wilayah (eksportir dan importir) tidak dapat diduga, tapi net trade balance-nya dapat diduga. Dalam analisis ini data yang digunakan adalah: produksi, volume dan nilai ekspor kayu olahan (kayu gergajian dan
2
kayu lapis) Indonesia untuk periode tahun 1985 sampai 1997 (FAO, 2002); harga kayu bulat domestik (BPS, 2000); GDP deflator indeks untuk Indonesia dan nilai tukar Rupiah (IDR) terhadap USD (World Development Indicators of the World Bank, 1999). Konsumsi kayu olahan domestik merupakan selisih dari produksi dan ekspor kayu olahan. Harga ekspor kayu olahan digunakan sebagai proksi harga domestik kayu gergajian dan kayu lapis (asumsi yang masuk akal dalam kondisi perdagangan bebas). Harga ini dihitung dari nilai ekspor kayu olahan dibagi dengan volume ekspornya. Konsumsi kayu bulat Indonesia diasumsikan sama dengan total kayu bulat yang dikonsumsi oleh industri kayu lapis dan kayu gergajian di Indonesia. Konsumsi kayu bulat (mixed tropical hardwood) dan/atau kayu pulp oleh industri pulp dan kertas di Indonesia tidak turut diperhitungkan. Produksi kayu bulat Indonesia sama dengan konsumsi domestik karena pada periode 1985-1997 ekspor kayu bulat dilarang. Perlu diperhatikan bahwa efek yang ditemukan dalam studi ini bukan hanya hasil dari kebijakan larangan ekspor kayu bulat saja, namun juga dari berbagai kebijakan yang datang bersamaan dengan, dan/atau setelah diberlakukannya kebijakan larangan ekspor kayu bulat tersebut. Sebagai contohnya adalah kebijakan pemerintah untuk mempercepat (memaksa) pembangunan industri perkayuan dengan berintikan industri kayu lapis yang diberlakukan pada bulan April 1981, yang kemudian diikuti dengan kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya integrasi vertikal antara perusahaan pengolahan kayu dan perusahaan HPH dalam satu holding company yang sama, dan kebijakan pemerintah mengenakan pajak ekspor yang tinggi terhadap kayu gergajian, yaitu sebesar USD 250 – USD 1000 per m3, pada bulan November 1989. Menurut teori ekonomi, larangan ekspor kayu bulat akan mengurangi kompetisi untuk meperoleh kayu bulat dan menekan harga kayu bulat domestik, yang kemudian menyebabkan turunnya nilai tegakan dan pada gilirannya akan menurunkan penerimaan pemerintah dari sumber daya hutan, serta menyebabkan upaya mengkonversi hutan alam untuk pembangunan pertanian dan perkebunan semakin menarik untuk dilakukan. Selanjutnya, perbedaan yang semakin tinggi antara harga kayu bulat domestik dan internasional memberikan dorongan/insentif yang lebih besar untuk menyelundupkan kayu ke luar negeri, dan oleh karenanya tidak secara otomatis mencegah penebangan liar. Disamping itu, harga kayu bulat domestik yang lebih murah memberikan signal pasar yang mendorong pembangunan kapasitas industri pengolahan kayu di dalam negeri dan menyebabkan rendahnya efisiensi pemanfaatan bahan baku kayu. Pengaruhnya Terhadap Penurunan Harga Kayu Bulat Domestik Dengan larangan ekspor kayu bulat, harga kayu bulat domestik selama periode 1985-1997 turun sebesar 18 persen. Harga kayu bulat domestik yang (lebih) murah menjadi insentif untuk membangun kapasitas industri pengolahan kayu, tetapi sebaliknya menjadi disinsentif untuk melakukan pengelolaan hutan alam secara intensif pada jangka panjang. Selanjutnya, harga kayu bulat yang murah menyebabkan rendahnya efisiensi pemanfaatan bahan baku kayu di hutan maupun di pabrik pengolahan kayu, serta menyebabkan kurangnya insentif ekonomi untuk membangun hutan tanaman. Harga kayu bulat yang lebih murah ini juga tidak menggambarkan kenyataan terjadinya kelangkaan kayu bulat akibat semakin berkurangnya persediaan kayu bulat 3
(standing stock) di hutan. Dengan demikian, harga kayu bulat yang murah memberikan signal pasar yang salah, sehingga menyebabkan terjadinya pembangunan kapasitas industri pengolahan kayu domestik yang berlebihan. Perlu kita mengerti bahwa sesungguhnya harga kayu bulat domestik yang murah selama periode 1985-1997 juga disebabkan oleh terjadinya “kelimpahan” pasokan kayu bulat yang berasal dari penebangan liar (illegal logging) yang dilakukan oleh perusahaan HPH maupun oleh masyarakat lokal/pendatang yang tidak mempunyai ijin konsesi HPH atau pun ijin pemungutan hasil hutan kayu. Disamping itu, produksi kayu IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu), yang berasal dari kegiatan konversi hutan alam, menambah “kelimpahan” pasokan kayu bulat sehingga turut menyebabkan murahnya harga kayu bulat domestik. Sampai seberapa besar turunnya harga kayu bulat disebabkan oleh kebijakan larangan ekspor kayu bulat, dan oleh terjadinya “kelimpahan” pasokan kayu bulat dari penebangan liar (serta tambahan pasokan dari produksi kayu IPK) tidak dapat dijelaskan oleh model pasar produk perkayuan yang dipergunakan dalam analisis studi ini. Pengaruhnya terhadap penerimaan riil devisa Dengan kebijakan larangan ekspor kayu bulat, selama periode 1985-1997, penerimaan ekspor Indonesia dari produk perkayuan, dihitung dalam nilai riil, berkurang sebanyak 12 persen, atau secara total berkurang sebesar 6 milyar USD. Peningkatan penerimaan riil devisa dari ekspor kayu lapis dan kayu gergajian ternyata jauh lebih kecil dibandingkan dengan kehilangan devisa akibat dihentikannya ekspor kayu bulat. Disamping itu, pemerintah Indonesia juga mengalami kerugian tambahan, yaitu hilangnya total penerimaan pajak ekspor kayu bulat (export revenue foregone) karena ekspor kayu bulat dilarang. Pengaruhnya terhadap nilai tambah Total kumulatif nilai tambah kotor (gross value-added) pada industri kayu lapis dan industri kayu gergajian berturut-turut 12 persen dan 9 persen (atau, masing-masing 3 milyar USD dan 2,6 milyar USD) lebih tinggi dengan diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat. Nilai tambah kotor yang lebih tinggi dihasilkan dari harga bahan baku kayu bulat domestik yang jauh lebih murah sebagai akibat dilarangnya ekspor kayu bulat, sementara harga ekspor kayu olahan hanya turun relatif kecil. Besarnya nilai tambah yang sebenarnya diperoleh oleh perekonomian Indonesia (yaitu nilai tambah bersih, net value-added) lebih kecil daripada yang disebutkan di atas mengingat nilai tambah kotor tersebut masih harus dikurangi dengan total biaya input yang diimpor (yaitu: biaya mesin, biaya kapital, biaya bahan baku penolong, dan biaya tenaga kerja asing), yang total nilainya tidak diketahui. Pengaruhnya terhadap tenaga kerja Dengan larangan ekspor kayu bulat, jumlah tenaga kerja langsung yang diserap oleh industri kayu lapis dan industri kayu gergajian berturut-turut sebanyak 4.876 dan 1.045 tenaga kerja lebih tinggi. Ini berarti, kebijakan tersebut mampu menciptakan sedikit lapangan pekerjaan melalui pembangunan industri pengolahan kayu. Tetapi, pada periode yang sama, jumlah total lapangan kerja yang diciptakan oleh industri pengolahan kayu tidak mampu mengkompensasi kehilangan sekitar 11.791 tenaga kerja pada sektor pembalakan kayu bulat. Disamping itu, kebijakan larangan ekspor kayu bulat ternyata
4
merubah komposisi angkatan kerja. Sebelumnya, industri pembalakan kayu seluruh tenaga kerjanya adalah laki-laki, namun setelah terjadinya ekspansi industri kayu lapis lebih dari setengah jumlah tenaga kerja adalah para perempuan muda. Perubahan ini juga dinilai merugikan atau mengeksploitasi perempuan karena mereka dibayar sekitar 30 persen lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Temuan ini menyarankan bahwa dalam hal menciptakan kesempatan kerja, lebih baik bagi Indonesia bila menerapkan kebijakan pengembangan industri pengolahan kayu yang kurang agresif, dengan memperbolehkan ekspor kayu bulat, dan menginvestasikan perolehan penerimaan ekspor produk perkayuan yang lebih besar (yang dapat diperoleh tanpa larangan ekspor kayu bulat) dalam kegiatan ekonomi tertentu guna menciptakan kesempatan kerja yang baru. Pengaruhnya terhadap nilai tegakan Dari tahun 1985 sampai 1997, dengan diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat, total nilai tegakan di hutan alam berkurang sebesar 33 persen atau 5,5 milyar USD lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh turunnya harga kayu bulat domestik, dan karena volume panen kayu yang lebih kecil. Nilai tegakan yang lebih rendah sebagai akibat diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat merupakan disinsentif untuk melakukan pengelolaan hutan secara berkelanjutan, dan mendorong pemanenan hutan tropis secara sangat selektif (high grading), yaitu mencari dan menebang pohon-pohon berdiameter besar dan yang mempunyai nilai komersial tinggi dengan meninggalkan banyak sekali limbah kayu di hutan. Kebijakan kehutanan seperti ini menyebabkan cepat habisnya sumber daya hutan. Kurangnya penghargaan terhadap hasil hutan non-kayu yang dapat dihasilkan dari hutan tropis menambah cepat habisnya sumber daya hutan Indonesia. Lebih lanjut, nilai tegakan yang lebih rendah juga menyebabkan turunnya penerimaan pemerintah dari timber royalties. Kesimpulan dan rekomendasi Berbagai temuan dalam studi ini menyarankan bahwa kebijakan larangan ekspor kayu bulat telah berhasil meningkatkan pembangunan industri kayu lapis dan kayu gergajian di Indonesia. Namun demikian, dalam hal total penerimaan ekspor, Indonesia akan lebih beruntung tanpa larangan ekspor kayu bulat. Secara total, selama periode 1985 sampai 1997, Indonesia kehilangan penerimaan ekspor sebesar USD 6 milyar dengan diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat. Penerimaan yang meningkat dari ekspor kayu lapis dan kayu gergajian lebih rendah dibandingkan dengan kehilangan penerimaan ekspor kayu bulat. Walaupun sejumlah 5.921 tenaga kerja baru langsung diciptakan pada pabrik-pabrik kayu lapis dan kayu gergajian dengan diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat pada periode yang sama, sebanyak 11.791 tenaga kerja hilang pada kegiatan operasi pembalakan kayu. Nilai tambah kotor dalam industri kayu lapis dan kayu gergajian meningkat dengan diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat, yang dihasilkan dari harga kayu bulat domestik yang lebih murah dengan larangan ekspor kayu bulat. Nilai tegakan berkurang sebanyak USD 5,5 milyar dengan larangan ekspor kayu bulat, menyebabkan dampak negatif terhadap pemanfaatan kayu dan kegiatan konservasi jangka panjang, walaupun dalam jangka pendek kebijakan larangan ekspor kayu bulat mengurangi penebangan dari hutan-hutan Indonesia sebesar 18 persen.
5
Kesimpulan umum dari berbagai temuan ini adalah Indonesia akan lebih baik/beruntung dengan memperbolehkan ekspor kayu bulat walaupun hal ini menyebabkan ekspansi produksi kayu lapis dan kayu gergajian lebih lambat. Tanpa larangan ekspor kayu bulat, industri pengolahan kayu akan tetap menguntungkan secara ekonomi dan akan tetap bertumbuh, tanpa kapasitas industri pengolahan kayu yang berlebihan atau tanpa pabrik-pabrik pengolahan kayu yang tidak efisien. Penerimaan pemerintah yang lebih tinggi dari ekspor kayu bulat berarti keuntungan bersih bagi ekonomi Indonesia. Berlawanan dengan ini, kita harus mengakui hal positif yang dihasilkan dari kebijakan larangan ekspor kayu bulat. Model yang digunakan dalam studi ini mendokumentasikan peningkatan nilai tambah kotor, menambah keuntungan yang dapat menstimulasi perekonomian. Berkurangnya pembalakan kayu, dari sudut pandang ekologi, adalah positif. Bila kebijakan pengenaan pajak ekspor dipercaya sebagai hal yang diinginkan untuk dilakukan, tarif pajak ekspor kayu bulat yang optimal perlu dihitung dan diberlakukan. Tarif pajak ekspor yang optimal tersebut akan menghasilkan dampak peningkatan kesejahteraan bagi perekonomian Indonesia, yaitu dengan cara menghasilkan total penerimaan tertinggi dari hasil produk perkayuan. Pelajaran-pelajaran dari diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat seharusnya memberikan peringatan bagi pemerintah Indonesia terhadap berbagai efek negatif yang dapat ditimbulkan dari berbagai kebijakan serupa. Berbagai pelajaran tersebut juga dapat membantu para pembuat keputusan untuk menghindari kegagalan pasar yang semakin parah akibat penerapan kebijakan yang kurang tepat. Pemerintah Indonesia seharusnya mempertimbangkan pengambilan langkahlangkah untuk meningkatkan harga kayu bulat domestik, yang saat ini jauh lebih murah dibandingkan dengan harga di pasar internasional. Harga kayu bulat domestik yang lebih tinggi akan mendorong para pemilik industri pengolahan kayu untuk menggunakan kayu bulat secara lebih efisien sedemikian sehingga limbah pada berbagai pabrik pengolahan kayu dan limbah di hutan akan berkurang. Harga kayu bulat domestik yang lebih tinggi juga akan meningkatkan penerimaan pemerintah melalui peningkatan penerimaan provisi sumber daya hutan (timber royalties) yang dibayar oleh perusahaan HPH. Selanjutnya, harga kayu bulat yang lebih tinggi akan mengurangi permintaan. Hal ini, pada gilirannya, akan mengurangi laju kerusakan hutan dan membantu pencapaian pengelolaan hutan lestari di Indonesia. Akhirnya, peningkatan harga kayu bulat akan menyediakan insentif ekonomi untuk pembangunan hutan tanaman sebagai alternatif atau tambahan sumber pasokan bahan baku disamping dari eksploitasi hutan alam. Keberhasilan dalam pembangunan hutan tanaman dan pengelolaan hutan alam secara berkelanjutan akan menjamin suatu sumber bahan baku kayu untuk industri pengolahan kayu pada jangka panjang. Permasalahan penebangan liar dan penyelundupan kayu di/dari Indonesia tidak dapat diberantas dengan diberlakukannya kebijakan larangan ekspor kayu bulat. Pencurian kayu (over-cutting) dari hutan-hutan di luar Jawa sesungguhnya sudah terjadi sejak awal beroperasinya kegiatan pembalakan kayu perusahaan HPH. Tidak adanya
6
penegakan supremasi hukum secara benar dan konsisten, serta masih terus maraknya praktik KKN menyebabkan permasalahan penebangan liar dan penyelundupan kayu sangat sulit untuk dihentikan di/dari Indonesia.
Penulis: E.G. Togu Manurung, Ph.D. Staf Pengajar Fakultas Kehutanan dan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Email:
[email protected] Jakarta, 17 Oktober 2008.
7