eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1 (2): 201-216 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2013
DAMPAK IMPLEMENTASI LACEY ACT TAHUN 2008 TERHADAP EKSPOR KOMODITI KAYU INDONESIA KE PASAR AMERIKA SERIKAT 2008-2011
PUTRINDA DHEA ANDINI1 NIM. 0702045007
Abstract: The main of this study, has the goal to investigate the impact of implementation of the Lacey Act to timber commodities Indonesia exports to the U.S. market and the efforts of the Government of Indonesia to anticipate the implementation of the Lacey Act in 2008-2011. In this study, the authors used the theory of protectionism and ecolabel concept to answer the research question of the impact of the implementation of the Lacey Act Indonesian timber commodity exports to the United States as well as to know the Indonesian government's efforts to tackle impact of Lacey Act. Results from this research that the impact effect on the implementation of the Lacey Act delays timber commodities Indonesia exports to the U.S. market and to bring positive change to forestry policy in Indonesia in order to anticipate the activities of illegal logging in Indonesia. Government efforts in anticipation of the legislation which makes the certification that emphasizes compliance regulations in the form of Timber Legality Assurance System (TLAS) and coordination with the Indonesian Ecolabelling Institute (LEI), which is a voluntary certification from the demands of the market.. Keywords : Lacey Act, Illegal Logging and Indonesia Export Commodity Timber.
1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2 , 2013: 201-216
A. Pendahuluan Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan yang luas meliputi kira-kira 181,2 juta hektar (ha), yang tersebar di lebih dari 17.000 kepulauan. Sekitar 70% atau 133,6 juta ha dari luas daratan Indonesia adalah hutan. Sekitar 37% dari kawasan hutan telah dicadangkan untuk perlindungan atau konservasi, 17% untuk dikonversi ke penggunaan lainnya dan sekitar 46% dari hutan diperuntukkan bagi keperluan produksi. Hasil produksi hutan Indonesia mempunyai comparative advantage (keunggulan komparatif) terhadap negaranegara lain. Sebagian dari hasil produksi produk hutan diekspor ke negara lain dan produk kayu merupakan penghasil devisa utama dari sektor non migas. (ITTO, 2006) Tahun 2007, ekspor produk kayu menyumbang sebanyak 4,61% dari total ekspor non migas Indonesia yang mencapai US $46.518.500. Di tahun 2008, ekspor produk kayu mengalami penurunan sebesar 1,1%, jika dibandingkan pada tahun 2007 karena krisis finansial di Amerika Serikat (AS) yang berlangsung singkat. Pada tahun 2009, Indonesia mengekspor hasil hutannya sebesar US $42.278.000 dan di tahun 2010 total ekspor Indonesia mencapai US $57.399.000. (Deperindag, 2008) Industri perkayuan Indonesia telah menjadi kotributor penting terhadap penerimaan devisa, Produk Domestik Bruto (PDB), serta penyerapan tenaga kerja. Sumbangan kehutanan terhadap pembentukan PDB nasional rata-rata 1,61% per tahun dalam periode tahun 1995-2003. Dari sisi ketenagakerjaan, jumlah tenaga kerja yang terlibat langsung di kehutanan adalah 2.345.150 jiwa, dan tenaga kerja tidak langsungnya mencapai lebih kurang 1,5 jiwa (tahun 2005). Perkembangan ekspor hasil industri kehutanan periode 1985-2004 cenderung meningkat. Pada periode waktu tersebut, penerimaan dari ekspor industri kehutanan berkembang dengan pertumbuhan rata-rata 6,61% per tahun. (Herry Sumanto, 2009) Industri-industri utama dari industri perkayuan yang ada di Indonesia antara lain adalah industri kayu gergajian dan woodworking, industri kayu lapis dan panel kayu lainnya, industri pulp dan kertas, serta industri permebelan dan kerajinan.
B. Landasan Teori 1. Proteksionisme Proteksionisme adalah pola sikap atau kecenderungan suatu negara untuk memberikan perlindungan bagi hasil produksi dalam negeri dengan mengambil langkah membatasi masuknya barang impor. Kebijakan membatasi impor itu disebut kebijakan proteksionistik. (Drs. T. May Rudy, S.H., MIR., M.Sc., 2002)
202
Dampak Implementasi Lacey Act Tahun 2008 Terhadap Ekspor Komoditi Kayu Indonesia Ke Pasar Amerika Serikat 2008-2011(Putrimda Dhea Andini)
Salah satu jenisnya adalah proteksi non tarif yakni kebijakan proteksi yang tidak menggunakan tarif. Proteksi Non-Tarif (NTBs) terdiri dari berbagai macam instrumen, antara lain: 1. Larangan impor secara mutlak (yang berarti tidak ada impor sama sekali). 2. Pembatasan impor secara kuantitatif dengan penerapan kuota. 3. Pemberian subtitusi impor. 4. Peraturan atau ketentuan teknis untuk impor produk tertentu yang berkaitan dengan masalah-masalah seperti kesehatan (misalnya keharusan karantina), pertahanan dan keamanan, kebudayaan dan lingkungan, perizinan impor (penerapan lisensi impor), embargo, hambatan pemasaran, pengawasan kontrol devisa, berbagai macam peraturan bea cukai (seperti penetapan harga pabean, prosedur/tata laksana impor tertentu, penetapan kurs valas, pungutan administrasi, regulasi mengenai packaging atau labeling dan peraturan mengenai pengadaan dokumentasi), regulasi mengenai standarisasi, pengujian kualitas, pemeriksaan sebelum pengapalan di negara eksportir dan masih banyak lagi. (Dr. Tulus T.H Tambunan, 2004) Tujuan dari kebijakan proteksionis adalah untuk memperluas produksi dalam negeri yang dilindungi, menguntungkan pemilik, pekerja, dan pemasok sumber daya untuk industri yang dilindungi negara. Pemerintah dapat mengambil manfaat dari kebijakan ini dalam bentuk pendapatan tarif. Perluasan produksidalam negeri pada industri yang dilindungi membutuhkan sumber daya tambahan dari industri lain. Akibatnya, output domestik lainnya berkurang. Industri-industri ini juga dibuat kurang kompetitif karena harga yang lebih tinggi untuk barang-barang yang diimpor. Kebijakan ini dapat meningkatkan harga produk yang dilindungi sehingga merugikan konsumen dalam negeri karena berkurangnya konsumsi terkait dengan kenaikan harga. Produsen dalam negeri yang dilindungi dan pemerintah akan diuntungkan (jika dikenakan tarif), konsumen dan produsen dalam negeri lainnya akan rugi. Bunga internasionalnya juga dipengaruhi oleh pembatasan perdagangan. Kebijakan ini akan merugikan beberapa negara-negara produsen, mungkin juga bermanfaat bagi produsen lainnya. Misalnya, jika kuota ditempatkan pada impor, beberapa negara produsen dapat mendapatkan harga yang lebih tinggi untuk ekspor mereka ke pasar yang dilindungi. (Jeffry A. Frieden, 2000) Melihat dari sisi proteksionisme, kebijakan ini secara langsung berdampak pada upaya pemerintah Indonesia dalam memaksimalkan kinerja ekspor produk kayu yang sesuai dengan ketentuan Lacey Act. Prosedur yang dijalankan membutuhkan proses yang panjang sehingga permintaan pasar AS akan terhambat karena hal tersebut. Dari pembahasan sebelumnya mengenai dampak-dampak yang ditimbulkan oleh proteksionis, Indonesia dapat menaikkan harga produk kayu yang telah memenuhi syarat legalitas karena melalui tahapan-tahapan yang panjang, mengingat bahwa
203
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2 , 2013: 201-216
jika produk kayu yang diekspor merupakan hasil dari pembalakan liar ataupun perdagangan kayu ilegal, harga lebih murah dan prosedur lebih cepat. Di satu sisi memang ada keuntungan yang diambil dari Indonesia, yakni peningkatan mutu dan harga. Akan tetapi di sisi lain, proses pemenuhan standarisasi legalitas kayu dapat menghambat ekspor komoditi kayu Indonesia ke AS, sedangkan hambatan domestiknya ada kendala pada biaya pendaftaran legalitas untuk pengusaha kayu Indonesia khususnya Usaha Kecil Menengah (UKM). 2. Konsep Ekolabel Kerusakan hutan (deforestasi) yang makin pesat di negara-negara tropis, termasuk Indonesia, dalam arti kata berkurangnya luas hutan atau mutu hutan, akhir-akhir ini menjadi masalah yang sangat merisaukan di Indonesia maupun di mancanegara. Seiring dengan keprihatinan yang makin besar pada masalah lingkungan di dunia, khususnya di negara-negara maju, maka masalah lingkungan kini juga makin mempengaruhi kebijakan ekonomi dan perdagangan luar negeri di negara-negara tersebut. Hal ini tercermin pada hasrat untuk memberikan informasi yang lebih lengkap kepada para konsumen di negara-negara tersebut mengenai barang-barang yang mereka beli, termasuk barang-barang olahan kayu yang diimpor. Informasi ini bukan saja meliputi informasi mengenai ciri-ciri barang-barang yang mereka beli, misalnya yang dapat mempengaruhi kesehatan mereka, melainkan juga mengenai dampak dari proses produksi barang tertentu atas lingkungan. Prosedur atau cara untuk menyampaikan informasi yang dapat dipercayai kepada masyarakat luas mengenai ciri-ciri lingkungan dari sesuatu barang tersebut ‘pemberian ekolabel’ (ekolabelling). Pada dasarnya ada tiga tujuan utama dari sistem ekolabel yang saling berbeda, yaitu: (1) untuk memberikan informasi yang lebih baik kepada konsumen (pembeli kayu atau barang kayu) mengenai dampak atas lingkungan dari kayu atau barang kayu yang dibelinya; (2) untuk meningkatkan standar lingkungan dalam proses menghasilkan kayu dan/atau barang kayu dan; (3) untuk memberikan keunggulan kompetitif dalam perdagangan internasional kepada para produsen kayu di mana ekolabel diberikan dibanding dengan produsen kayu lainnya yang tidak memperoleh ekolabel. (Anil Makandya, 1997) Dalam hal perdagangan kayu tropis, keprihatinan negara-negara maju tentang kaitan antara perdagangan kayu dari negara-negara tropis dan produk kayu tropis serta kerusakan hutan telah menimbulkan tuntutan di negara-negara maju untuk menggunakan peraturan perdagangan internasional sebagai suatu cara yang ampuh untuk mempengaruhi proses produksi di negara-negara pengekspor kayu dan produk kayu. Selama dasawarsa tahun 1980-an, negara-negara maju muncul berbagai tuntutan untuk melarang impor kayu tropis, malahan muncul gerakan untuk memboikot
204
Dampak Implementasi Lacey Act Tahun 2008 Terhadap Ekspor Komoditi Kayu Indonesia Ke Pasar Amerika Serikat 2008-2011(Putrimda Dhea Andini)
perdagangan kayu dan barang kayu tropis jika kayu tropis ini tidak dihasilkan dengan cara yang menjamin kelestarian hutan tropis. Tuntutan dan gerakan ini pada mulanya kurang berhasil, dan juga menimbulkan kontroversi di negaranegara tersebut akan tetapi kemudian sertifikasi kayu tropis (tropical timber certification, TC) dengan pemberian ekolabel dinilai sebagai alat yang lebih efektif untuk mendorong praktek penebangan hutan yang lebih baik untuk menjamin kelestarian hutan. (Rachel Crossley, Carlos A. Primo Braga & Panayotis N. Varangis, 2007) Jika dikaitkan dengan pembahasan pada proteksionis sebelumnya mengenai peningkatan mutu dan kualitas, maka ekolabel digunakan untuk pelabelan produkproduk kayu agar dapat sesuai standar legalitas yang disepakati. Kedua negara menyadari dampak buruk akibat pemanasan global oleh kerusakan hutan dan telah menyatakan komitmennya untuk mengatasi bahkan berupaya mengurangi kerusakan hutan akibat kegiatan pembalakan liar. Selain itu, kerugian negara akibat perdagangan kayu ilegal pun patut diatasi oleh Indonesia secara internal maupun AS melalui kebijakan berupa Lacey Act. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah Indonesia telah mendirikan dan berkoordinasi dengan LEI yang telah membentuk sistem sertifikasi hutan lestari (Ekolabel) secara bertahap yang ditujukan kepada perusahaan-perusahaan kayu di Indonesia. Dengan memperoleh sertifikasi yang sah secara nasional dan internasional, para pengusaha akan dapat dengan mudah mengekspor produk kayu terutama ke negara-negara pengimpor utama dengan kebijakan maupun komitmen kerjasama mengenai legalitas kayu. Selain itu juga mengurangi dominasi lembaga atau organisasi asing untuk mengatasi masalah labelling di Indonesia. Apabila upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam memenuhi tuntutan Lacey Act terhadap ekspor produk kayu Indonesia ke AS dapat berjalan dengan baik, maka peluang kerjasama akan semakin besar. Mengingat bahwa, jika saja Indonesia telibat dalam kasus-kasus yang menyangkut pembalakan liar (misalnya ekspor produk kayu dari negara lain ke AS tetapi menggunakan kayu hasil pembalakan liar di Indonesia), maka Indonesia juga harus menghadapi konsekuensinya bahkan yang terburuk sekalipun, seperti pemutusan kerjasama ekspor produk kayu dengan AS, tentu saja sangat merugikan bagi kedua negara. C. Pembahasan 1. Illegal Logging di Indonesia Indonesia mempunyai luas hutan yang menempati urutan ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire. Sumbangsih produksi kehutanan di Indonesia sangat besar dalam peningkatan perekonomian Indonesia. Akan tetapi, Indonesia telah mengalami banyak permasalahan terkait dengan masalah hutan. Salah satunya adalah illegal logging. Permasalahan tersebut merupakan salah satu faktor yang dapat menghambat kelancaran industri perkayuan Indonesia. (Cendrawasih Pos, 2004)
205
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2 , 2013: 201-216
Di pemerintahan era Soeharto (1967-1998), diberlakukan kebijakan penghentian perdagangan kayu atau “Stop Ekspor Kayu” sebagai bahan baku industri pada tahun 1985. Pada tahun 1997, sektor kehutanan mengalami pertumbuhan yang sangat tinggi dan menggerakkan ekspor bagi perekonomian, tetapi hal tersebut dicapai dengan mengorbankan hutan karena praktek kegiatan hutan yang tidak lestari. Ketidakseimbangan antara supply and demand, mengakibatkan lebih dari setengah pasokan kayu di Indonesia berasal dari praktek illegal logging. Dengan semakin berkurangnya tutupan hutan di Indonesia, sebagai akibat dari kegiatan pembalakan liar yang tidak terkendali, maka sebagian besar kawasan di Indonesia rentan akan bencana alam, seperti bencana banjir, bencana kekeringan, serta tanah longsor. (Untung Iskandar S.dan Sambas Sabarnudin, 2006) Meningkatnya laju penyelundupan kayu di Indonesia dalam tiga tahun terakhir sangat ironis, karena pada tahun 2001 pemerintah Indonesia secara resmi telah melarang ekspor kayu bulat. Hanya dalam kurun waktu tiga tahun, 2001 hingga menjelang akhir tahun 2004, volume kayu bulat (log) yang diselundupkan ke luar negeri meningkat hampir 60 kali lipat. Data dari Departemen Kehutanan Indonesia menyatakan bahwa dalam kurun waktu tersebut setidaknya 9 juta m3 kayu bulat diekspor tanpa disertai dokumen. Pada tahun 2000, sekitar 1,3 juta m3 kayu bulat diselundupkan ke luar Indonesia. (Suara Pembaruan, 2004) Illegal logging di Indonesia dapat disebabkan oleh beberapa hal: pertama, tingginya permintaan kebutuhan kayu yang berbanding terbalik dengan persediaannya, karena permintaan kebutuhan kayu sah (legal logging) tidak mampu mencukupi tingginya permintaan kebutuhan kayu. Seperti pada tahun 2000, total permintaan kayu di Indonesia secara konservatif diperkirakan antara 76 juta dan 80 juta m3 sedangkan pasokan ketersediaan kayu (legal) hanya 17.214.789 m3. Ketidakseimbangan antara persediaan dan permintaan kebutuhan kayu ini mendorong praktek illegal logging di taman nasional dan hutan konservasi. Kedua, tidak adanya kesinambungan antara Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1970 yang mengatur tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 309/Kpts-II/1999 yang mengatur tentang Sistem Silvikultur dan Daur Tanaman Pokok Dalam Pengelolaan Hutan Produksi. Ketidaksinambungan kedua peraturan perundang-undangan tersebut terletak pada ketentuan mengenai jangka waktu konsesi hutan, yaitu 20 tahun dengan jangka waktu siklus Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), khususnya untuk hutan produksi yangditetapkan 35 tahun.Hal ini menyebabkan pemegang HPH tidak menaati ketentuan TPTI. Pemegang HPH tetap melakukan penebangan meskipun usia pohon belum mencapai batas usia yang telah ditetapkan dalam TPTI. Akibatnya, kelestarian hutan menjadi tidak terjaga akibat illegal logging.
206
Dampak Implementasi Lacey Act Tahun 2008 Terhadap Ekspor Komoditi Kayu Indonesia Ke Pasar Amerika Serikat 2008-2011(Putrimda Dhea Andini)
Ketiga, lemahnya penegakan dan pengawasan hukum bagi pelaku tindak pidana illegal logging. Selama ini, praktek illegal logging dikaitkan dengan lemahnya penegakan hukum, di mana penegak hukum hanya berurusan dengan masyarakat lokal atau pemilik alat transportasi kayu. Sedangkan untuk para cukong yang beroperasi di dalam dan di luar daerah tebangan, masih sulit untuk dijerat dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Bahkan beberapa pihak menyatakan bahwa Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) dianggap tidak memiliki kekuatan untuk menjerat pelaku utama illegal logging, melainkan hanya menangkap pelaku-pelaku lapangan. (Kompas, 2009) 2. Ekspor Komoditi Kayu Indonesia ke Amerika Serikat AS mengimpor langsung beberapa komoditi produk kayu utama dari Indonesia, antara lain furnitur, kertas, kayu lapis, plywood, dan sebagainya. AS juga merupakan salah satu pangsa pasar Indonesia yang paling pesat pertumbuhannya – apabila dilihat dari nilai per meter kubik. Pada tahun 2007, Indonesia mengekspor 7% dari total ekspor produk kayunya secara langsung ke AS – terutama perabot, kayu lapis dan kertas – dengan volume sekitar 3 juta m3 yang nilainya mencapai US $1,2 milyar. Angka ini dapat saja lebih besar, apabila ekspor tidak langsung melalui Cina, Malaysia atau Vietnam juga diperhitungkan, mengingat banyak produk kayu Indonesia terlebih dahulu dikirim ke tempattempat pengolahan kayu di beberapa negara tersebut, sebelum dikirim ke AS. (Gregg R. Juge dan Amalia Porges, 2009) Berdasarkan data Departemen Perdagangan, pada tahun 2007 terdapat tiga komoditi utama ekspor produk kayu Indonesia ke pasar Amerika Serikat. (Harian Ekonomi Neraca, 2008) NILAI EKSPOR KOMODITI PRODUK KAYU/BERBAHAN BAKU KAYU KE AS 2006*
2007*
Kayu lapis, panel vinir, dan lain-lain kayu profil yang dipadatkan berbentuk balok
127, 8
112,2
Produk pertukangan dan bahan bangunan rumah dari kayu, termasuk panel kayu selular, rakitan panel lantai, papan atap
113, 8
95,6
33,9
34,4
Kertas dan produk turunannya
145,7
193,4
Total
421,2
435,6
Perangkat makan dan perangkat dapur dari kayu, kotak dan peti untuk barang perhiasan dan barang tajam, patung kecil dari kayu dan ornamen-ornamen kayu lainnya
Sumber: Greenomics Indonesia (Desember 2008), diolah dari Data Departemen Perdagangan (2008).
207
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2 , 2013: 201-216
3. Lacey Act Undang-undang Lacey merupakan undang-undang perlindungan satwa tertua di negara Amerika Serikat. Undang-undang (UU) ini pertama kali diberlakukan tahun 1900 untuk memerangi dampak perburuan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar komersial; pengiriman antar negara bagian, satwa yang dibunuh secara melanggar hukum; pengenalan/pengembagan spesies dari luar (eksotis) berbahaya; dan pembunuhan burung untuk perdagangan bulu burung. Pada tahun 1981 dan 1988, UU ini secara signifikan diamandemen, dan hasilnya Undang-undang Lacey digunakan untuk memerangi peredaran dan perdagangan ilegal satwa liar, ikan atau tumbuhan beserta produknya. Sampai amandemen yang terbaru ini, mencakup seluruh satwa liar. Namun tumbuhan yang dirumuskan hanya mencakup tumbuhan asli Amerika Serikat dan yang dilindungi. Sehingga Lacey Act belum mengatur secara jelas keabsahan kayu yang diimpor. Lacey Act merupakan undang-undang yang melarang perdagangan tumbuhan dan produk dari tumbuhan yang berasal dari sumber ilegal - termasuk kayu dan produk kayu. Lacey Act disahkan oleh Kongres AS pada tanggal 22 Mei 2008. Kini, Lacey Act telah resmi dipakai pula untuk mengatasi llegal logging. Illegal Logging diyakini sebagai masalah lingkungan, sosial & ekonomi. Amerika Serikat menekankan bahwa peredaran kayu illegal meninggikan resiko perdagangan. Karena itu, AS mengeluarkan Lacey Act, undang-undang pelarangan perdagangan tumbuhan dan produk dari sumber ilegal, termasuk kayu dan produk kayu. Untuk mengatasi hal tersebut, Lacey Act melakukan tiga hal utama: a. Melarang semua perdagangan tanaman atau produk tanaman – termasuk kayu dan produk-produknya – yang bersifat illegal bersumber dari negara bagian AS manapun atau dari negara lain. b. Mewajibkan importir untuk melaporkan negara penghasil panenan dan nama spesies dari semua kayu yang terkandung dalam produk mereka termasuk juga kuantitas, ukuran, dan nilainya. c. Menetapkan penalti atas pelanggaran undang-undang, termasuk berupa barang, denda atau penjara, atau penyitaan kendaraan angkutan dan peralatan dalam kasus-kasus yang paling serius, baik untuk perdagangan barang dari sumber yang Ilegal atau memalsukan dokumentasi yang diperlukan. (Lacey FAQ, 2008) Meskipun berasal dari Amerika Serikat, tetapi Lacey Act tidak menerapkan hukum AS. Sehingga, defenisi Illegal akan merujuk pada defenisi yang ada pada masingmasing negara. Lacey Act bekerja sesuai dengan fakta di lapangan. Undangundang tersebut menerapkan hukum berbasis fakta, bukan berbasis dokumen. Oleh karena itu, tidak ada yang bisa menjamin legalitas penuh dari dokumen perdagangan karena tidak ada pihak importir yang diwajibkan untuk memenuhi standar dokumen tertentu.
208
Dampak Implementasi Lacey Act Tahun 2008 Terhadap Ekspor Komoditi Kayu Indonesia Ke Pasar Amerika Serikat 2008-2011(Putrimda Dhea Andini)
Ada dua komponen yang merupakan pelanggaran Lacey Act. Pertama, tanaman atau produk tanaman yang diambil, dipanen, diangkut atau diekspor bertentangan dengan undang-undang dasar di negara lain atau negara bagian AS ini merupakan tanaman dari sumber ilegal. Kedua, tanaman dari sumber ilegal ini diimpor, dibeli, dijual, diakuisisi atau diperdagangkan di wilayah AS. Hanya dalam hal yang keduaini, transaksi atasnya, yang memicu pelanggaran terhadap Lacey Act. Penuntutan didasarkan pada bahan ilegal ada didalam produk, yang dapat terjadi pada setiap titik dalam rantai pasokan. Hukum-hukum yang dapat memicu pelanggaran terhadap Lacey Act dibatasi pada hukum-hukum yang melindungi tumbuhan atau mengatur hal-hal berikut: a. Pencurian tumbuhan. b. Pengambilan tumbuhan dari kawasan yang secara resmi dilindungi, seperti suatu taman nasional atau cagar alam. c. Pengambilan tumbuhan dari kawasan lindung lainnya yang ditetapkan secara resmi yang diatur oleh hukum dan peraturan suatu negara. d. Pengambilan tumbuhan tanpa ijin yang sah ataupun bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. e. Tidak membayar secara tepat royalti, pajak-pajak atau biaya-biaya yang berkaitan dengan pemanenan, pengangkutan atau perdagangan tumbuhan tersebut. f. Hukum-hukum yang mengatur ekspor atau pengiriman, misalnya larangan ekspor kayu bulat. Sanksi atas pelanggaran Lacey Act akan ditentukan berdasarkan pada tingkat pengetahuan dari perusahaan pengimpor. Perusahaan-perusahaan yang sadar terlibat dalam perilaku yang dilarang dapat dituntut dengan tuntutan tertinggi dari undang-undang termasuk denda kejahatan pidana (sampai dengan US $500.000 untuk sebuah perusahaan, US $250.000 untuk individu atau dua kali maksimum rugi laba dari transaksi), penjara sampai dengan lima tahun dan penyitaan barangbarang. Perusahaan yang tidak sadar terlibat dalam perilaku yang dilarang dan tidak menerapkan “due care” (kepedulian yang memadai) dapat dikenai denda pelanggaran pidana (sampai dengan US $200.000 untuk perusahaan, US $100.000 untuk individu atau dua kali maksimum rugi laba dari transaksi), mungkin dilakukan penyitaan barang atau denda hukuman sipil dari US $250 sampai US $10.000. Perusahaan yang telah menerapkan “due care” dan masih tanpa sadar terlibat dalam perilaku yang dilarang dapat disita barang-barangnya dan dikenai denda hukuman sipil. Hukuman yang tersedia terkait dengan tingkat perawatan yang diambil dan sifat kejahatan itu, dengan cakupan mulai dari pengetahuan langsung tentang perdagangan ilegal dan memalsukan pernyataan deklarasi impor hingga ke kesalahan lebih tidak disengaja. (APHIS, 2008)
209
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2 , 2013: 201-216
D. Kesimpulan Lacey Act dapat berdampak pada terhambatnya kinerja ekspor komoditi kayu Indonesia ke AS. Hal tersebut dikarenakan pemenuhan standar legalitas kayu oleh pengusaha-pengusaha kayu di Indonesia untuk dapat diekspor ke AS. Standar yang diberlakukan pun butuh proses panjang dan harus sesuai dengan prinsip ekolabel yang telah diaplikasikan beberapa negara besar di dunia untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Proses legalitas kayu memakan waktu yang tidak singkat, tentu saja sedikit banyak dapat merugikan negara dalam kelancaran ekspor komoditi kayu Indonesia ke AS. Sebagai contoh, salah satu komoditi utama industri kehutanan Indonesia yang pangsa ekspornya ke AS cukup besar adalah produk furnitur kayu. Produsen furnitur kayu di Indonesia yang di dominasi oleh Usaha Kecil Menengah (UKM) mempunyai keterbatasan modal dalam produksinya. UKM yang membuat produk furnitur kayu membutuhkan bahan baku kayu yang legal atau sah apabila produknya akan diekspor ke AS. Proses pemenuhan syarat-syarat guna mencapai legalitas kayu yang akan diproduksi harus melewati tahapan-tahapan yang sesuai dengan aturan maupun kebijakan yang telah direkomendasikan Pemerintah Indonesia. Hal tersebut diperlukan agar produk tersebut sesuai dengan ketentuan Undang-undang Lacey apabila diekspor ke AS. Tahapan-tahapan yang dilalui oleh UKM produsen furnitur kayu membutuhkan biaya dalam prosesnya. Sedangkan, salah satu permasalahan yang dihadapi UKM adalah keterbatasan modal. Apabila semua proses dan biaya telah dilalui dan memenuhi syarat legalitas untuk diekspor, maka harga produk akan naik sesuai dengan mutu serta kualitas produk yang meningkat karena telah “berlabel” legal. Dari peningkatan mutu, kualitas, serta harga, tentunya sikap proteksi Amerika Serikat yang berupa Lacey Act dapat menerima perubahan tersebut. Produk kayu maupun berbahan baku kayu yang berasal dari sumber illegal memiliki harga yang lebih murah karena asal muasal kayu yang tidak melalui aturan-aturan yang diterapkan Pemerintah Indonesia khususnya Departemen Kehutanan (Dephut). Mendapatkan bahan baku kayu dari hasil pembalakan liar dapat menjadi salah satu lahan keuntungan bagi pembalak maupun produsen atau perusahaan yang bergerak di bidang industri perkayuan tetapi merugikan bagi pendapatan Indonesia. Pemenuhan permintaan ekspor komoditi kayu Indonesia ke AS yang terhambat dapat mengurangi volume ekspor komoditi tersebut karena membutuhkan tinjauan untuk membuktikan ke-legalan produk yang akan diekspor. Mengingat setelah diamandemennya undang-undang tersebut, aktifitas ekspor komoditi kayu Indonesia ke AS masih berlanjut dan harus menyesuaikan aturan kebijakan sehingga membutuhkan “penyaringan” produk yang akan diekspor. Apabila terdapat produk yang bersumber dari pembalakan liar atau illegal maka akan
210
Dampak Implementasi Lacey Act Tahun 2008 Terhadap Ekspor Komoditi Kayu Indonesia Ke Pasar Amerika Serikat 2008-2011(Putrimda Dhea Andini)
mengurangi volume ekspor komoditi kayu Indonesia ke AS. Hal tersebut tentunya merugikan Indonesia berupa berkurangnya income dari ekspor komoditi kayu Indonesia ke AS. Berdasarkan data Departemen Perdagangan, pada tahun 2007 terdapat tiga komoditi utama ekspor produk kayu Indonesia ke pasar AS dengan nilai ekspor mencapai US$242,2 juta. Sedangkan ekspor produk kertas Indonesia ke AS tercatat sebesar US$193,4 juta. Jadi, total ekspor produk kayu termasuk kertas Indonesia ke AS mencapai US$435,6 juta atau 6,94 persen dari total ekspor kayu dan bahan kayu.Jika produk kayu atau berbahan baku kayu tersebut gagal memenuhi persyaratan Lacey Act, maka Indonesia akan kehilangan pasar ekspor senilai US$435,6 juta per tahun. (Harian Eknomi Neraca, 2008) Pada tahun 2008 dan 2009, ekspor produk kayu dari Indonesia ke AS cenderung menurun dikarenakan masalah krisis keuangan di AS. Tahun 2008, ekspor Indonesia ke AS menurun menjadi US $211,7 juta dan tahun 2009 menjadi US $192,9 juta. Ekspor kembali stabil pada tahun 2010 yang mencapai nilai US $336,8 juta dan meningkat menjadi US $ 634,7 juta pada tahun 2011.Penurunan ekspor komoditi kayu Indonesia ke AS tahun 2008 sampai dengan 2009 dibandingkan dengan pada tahun 2006 dan 2007 tidak dipengaruhi oleh amandemen Lacey Act. Meskipun demikian, Indonesia harus lebih sensitif terhadap industri perkayuan untuk menekan kayu hasil pembalakan liar (Dephut, 2010). Melihat perkembangan ekspor komoditi tersebut pada tahun 2010 dan 2011 yang mengalami peningkatan dapat disimpulkan bahwa sejauh ini implementasi Lacey Act dapat diatasi oleh Indonesia. Dalam perkembangannya, upaya-upaya Pemerintah Indonesia dan pihak-pihak terkait terus dikaji dan dievaluasi guna mencapai standar internasional agar dapat terus menjalin hubungan kerjasama ekspor komoditi kayu dengan Amerika Serikat. Yang juga perlu diwaspadai dan diperhatikan oleh Pemerintah, apabila negara lain mengimpor kayu ilegal dari Indonesia dan mengolahnya menjadi produk-produk kayu atau berbahan dasar kayu lalu diekspor ke Amerika Serikat, Indonesia dapat terimbas sanksi atas pelanggaran dari Lacey Act dan tentu saja akan merugikan bagi Indonesia ke depannya. Seperti pada tahun 2001 dan 2002, Kalimantan Timur memasok 2 juta m3 kayu ke Sabah, Malaysia yang hampir seluruhnya ilegal. Dephut memperkirakan penyelundupan skala besar (menggunakan tongkang, kapal kontainer) melalui pelabuhan Tarakan mencapai 1,2 juta m3 kayu diselundupkan setiap tahunnya. Penyelundupan skala kecil (menggunakan rakit, kapal kayu) memasok 330.000 m3 per tahun. Sisa kayu (sekitar 500.000 m3) diangkut ke Sabah melalui jalan darat. Pengangkutan kayu melalui jalan darat memanfaatkan jalan SerudongKalabakan-Long Pasia yang panjangnya lebih dari 100 km di sepanjang perbatasan dengan Indonesia.
211
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2 , 2013: 201-216
Pada tahun 2003, Departeman Kehutanan (Dephut) Indonesia melaporkan sampai 10 juta m3 kayu diselundupkan keluar negeri setiap tahunnya. Dari Papua saja diperkirakan pasokan mencapai 600.000 m3 per bulan untuk diekspor secara ilegal, teruta ma ke Cina sebagai salah satu negara pemasok kayu terbesar dari Indonesia. (Lucca Tacconi, 2008) Tahun 2001 sampai 2002 2003
Daerah yang Dilewati Tarakan Tarakan SerudongKalabalakanLong Pasia Papua
Pasokan Kayu Yang Diselundupkan (dalam m³) ± 1,2 juta m³ (skala besar jalan laut) ± 330.000 m³ (skala kecil jalan laut) ± 500.000 m³ (jalan darat)
± 7.200.000 (jalan laut dan darat)
Tujuan Negara Sabah, Malaysia Cina
Sumber : Dephut 2003
Dari data-data di atas yang diperoleh Dephut mengenai penyelundupan kayu ilegal maupun diekspor secara ilegal dari Indonesia ke Malaysia dan China dalam kurun waktu 2001-2003, kegiatan pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal di Indonesia masih sering terjadi. Pemerintah pun telah mengeluarkan kebijakankebijakan maupun undang-undang yang mengatur mengenai hal tersebut. Kebijakan-kebijakan yang telah ada dirasa masih lemah dan kurang memadai bagi Indonesia untuk mengekspor komoditi kayu Indonesia ke AS. Adanya peraturan baru mengenai standar legalitas kayu membuat pemerintah Indonesia perlu mengkaji aturan-aturan dalam sektor kehutanannya. Hal tersebut guna menghindari sanksi atas pelanggaran menurut Undang-undang Lacey yang dapat merugikan Indonesia. Akan tetapi, proses kajian tersebut memakan waktu yang cukup lama, yang dapat menghambat ekspor komoditi kayu Indonesia ke pasar AS. Implementasi aturan Lacey Act juga menciptakan perubahan dramatis, karena aturan ini pada dasarnya mengatur apa yang tidak diatur dalam industri perkayuan global, mengarah pada perubahan sistemik dalam praktik-praktik importir, produsen, dan perusahaan kayu. Adanya kebijakan ini membuat perubahan positif bagi sektor kehutanan di Indonesia. Selain memperkecil angka pembalakan liar, kebijakan tersebut juga membuat pengusaha-pengusaha kayu di Indonesia lebih bertindak fair. Tentunya jika standar yang diberlakukan dipenuhi oleh para pengusaha, maka peningkatan mutu kualitas produk kayu Indonesia pun menjadi keuntungan tersendiri bagi Indonesia, baik dalam harga maupun citra Indonesia yang berkomitmen dalam penyesuaian kebijakan tersebut. Adapun upaya-upaya Pemerintah dalam mengantisipasi dampak implementasi Lacey Act terhadap ekspor komoditi kayu Indonesia ke pasar AS. semenjak
212
Dampak Implementasi Lacey Act Tahun 2008 Terhadap Ekspor Komoditi Kayu Indonesia Ke Pasar Amerika Serikat 2008-2011(Putrimda Dhea Andini)
diamandemen tahun 2008 hingga 2011, antara lain, koordinasi dengan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) yang merupakan sertifikasisukarela dari tuntutan pasar untuk mengintrodusir sistem sertifikasi legalitas kayu di Indonesia, serta membuat sertifikasi yangmenekankan kepatuhan tata aturan yakni berupa Sistem Verifikasi Legalitas Kayu. Sertifikasi Ekolabel adalah sertifikat yang diberikan kepada unit usaha yang telah memenuhi standar pengelolaan sumber daya alam yang adil dan lestari, dan wujud ekolabel berupa simbol, label, pernyataan yang dicantumkan pada produk atau kemasan. Dengan demikian, ekolabel diperlukan juga untuk meningkatkan daya saing produk di pasar domestik maupun internasional serta sekaligus memelihara lingkungan karena banyaknya produk berlogo ekolabel yang telah beredar di pasaran akan menjadi ancaman bagi produk Indonesia. Meskipun sampai saat ini prinsip penerapan ekolabel adalah sukarela, namun pada kenyataanya sudah menjadi salah satu aspek keunggulan daya saing produk dan kebutuhan dalam persyaratan perdagangan dunia internasional. Indonesia juga membuat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang diluncurkan Kementerian Kehutanan pada tahun 2009. Sistem tersebut merupakan salah satu program untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari.Pemerintah Indonesia sendiri melalui Kementerian Kehutanan mendukung dengan komitmen tinggi. Sejak diluncurkan pada tahun 2009, lima puluh perusahaan telah mengajukan permohonan SVLK. Pada tahun 2012, PT. Jawa Furnilestari merupakan industri kecil menengah mebel yang pertama kali mendapatkan sertifikat SVLK (Agus Prijono, 2011). UKM memiliki peran dominan dalam industri mebel Indonesia sebagai subkontraktor untuk perusahaan-perusahaan eksportir besar. Dibutuhkan waktu kurang lebih 3 bulan untuk melalui proses sertifikasi serta biaya proses sertifikasi yang mencapai Rp 70 juta menjadi kendala bagi sebagian pemohon yang berasal dari UKM. (Bisnis Jateng, 2012) Sistem ini merupakan upaya Pemerintah Indonesia dengan menganut dan mengkaji aturan dalam negeri yang berstandar internasional.SVLK sesuai dengan Permenhut No.68/2011, di mana pemerintah mewajibkan adanya sertifikasi legalitas kayu dengan syarat pengelolaan hutan lestari, memerangi pembalakan liar, dan memperbaiki kredibilitas produk kayu asal Indonesia. Khusus untuk industri kayu primer, seperti kayu lapis dan gergajian, SVLK akan diaplikasikan 1 Januari 2013. Namun untuk industri kayu sekunder, seperti hasil furnitur berbahan kayu, pengaplikasian SVLK baru akan diberlakukan pada tahun 2014. (Jakarta Indopos, 2008) Lacey Act sendiri lebih fleksibel terhadap aturan hukum yang berlaku di Indonesia asalkan memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Yang perlu dihindari adalah penerapan standar legalitas ganda atas produk kayu ilegal dari negara lain.SVLK sendiri merupakan jawaban dan manifestasi Pemerintah Indonesia atas tuntutan
213
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2 , 2013: 201-216
internasional akan produk kayu legal, khususnya dalam hal ini pada ekspor komoditi kayu yang legal ke AS. Akan tetapi, masih ada pemain lain di pasar perkayuan yang belum atau menolak atau bahkan tidak peduli akan penggunaan kayu yang legal atau illegal. Jika sebuah produk tidak memenuhi ketentuan legalitas yang ditentukan maka diharapkan ketegasan untuk menolaknya. Dengan demikian maka akan menjadi incentive bagi pelaku pasar dalam rantai pasok industri perkayuan untuk mematuhi proses dan standar legalitas yang diharapkan. Pemberlakuan standar yang tidak seragam akan menjadi permasalahan baru, tidak hanya bagi pelaksanaan SVLK atau sistem verifikasi legalitas kayu lainnya akan tetapi juga akan menjadikan peraturan internasional yang ada sia-sia. Adapun perbedaan antara SVLK dan LEI yakni SVLK merupakan instrumen dari perbaikan Tata-kelola Kehutanan, dimana mewajibkan pada seluruh pelaku usaha dan pengelolaan hutanan dan industri kehutanan untuk diverifikasi legalitasnya. Sedangkan LEImerupakan instrument pasar yang mendorong Pengelolaan Hutan secara Lestari. Sehingga keduanya tidak perlu “diadu” dan dibandingkan, namun saling melengkapi. Jika Unit Usaha dan Industri Kehutanan yang sudah lolos SVLK, maka akan memudahkan bagi penilaian sertifikasi ekolabeling oleh LEI. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah maupun pendirian lembagalembaga atau kerjasama dengan organisasi-oprganisasi dalam menangani permasalahan kehutanan Indonesia serta untuk mengantisipasi Lacey Act harus konsisten dalam pengaplikasiannya agar dapat meningkatkan ekspor komoditi kayu yang legal ke Amerika Serikat. Kesinambungan kerjasama antara Indonesia sebagai negara pengeskpor komoditi kayunya ke pasar AS dengan menyesuaikan aturan-aturan yang berlaku akan membawa banyak perubahan positif bagi kedua negara.
Referensi A. Frieden, Jeffry. 2000. International Political Economy: Perspectives On Global Power and Wealth. St. Martin: Bedford. AS Akan Perketat Aturan Impor Produk Kayu, Ancam Kinerja Ekspor, Pemerintah harus Antisipasi. 2008. Harian Ekonomi Neraca. Jakarta. Crossley, Rachel and Carlos A Primo Braga & Panayotis N. Varangis. 1997. Certification and Ecolabelling of Timber and Timber Products. Zarilli et.al., (editor). Dephut. 2003.Departemen Kehutanan Koordinasi dengan Mabes TNI dalam Pemberantasan Penebangan Liar, Rilis Media No. 51/II/PIK-1/2003. Jakarta.
214
Dampak Implementasi Lacey Act Tahun 2008 Terhadap Ekspor Komoditi Kayu Indonesia Ke Pasar Amerika Serikat 2008-2011(Putrimda Dhea Andini)
Gregg, R. Juge dan Amalia Porges, Amandemen Terhadap Undang-Undang U.S. Lacey Act : Implikasi Atas Para Eksportir Hasil Hutan Indonesia. Diakses dari :http://www.forest-trends.org/documents/files/doc_2324.pdf// Illegal
logging: Penyebab dan Dampaknya.2009. Diakses http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/16/opini/563606.htm
dari:
Iskandar .S, Untung dan Sambas Sabarnudin.2006.Globalisasi Sektor Kehutanan Indonesia. Yogyakarta: Unwama Press & Tangerang. Wana Aksara. Jakarta
Indopos.Genjot Ekspor Kayu, diakses dari :http://www.indopos.co.id/index.php/component/content/article/34-beritanasional/23084-genjot-ekspor-kayu.html
Kementerian Perdagangan Republik Perdagangan Indonesia. Jakarta.
Indonesia.
2011.Tinjauan
Terkini
Kesepakatan Kemitraan Sukarela FLEGT antara Indonesia dan Uni Eropa. Diakses dari: http://www.efi.int/files/attachments/euflegt/informasi_ringkas_indonesia.p df// Ketentuan SVLK Bakal Ganggu Produksi Mebel. 2012.Diakses dari: http://www.bisnis-jateng.com/index.php/2012/02/ketentuan-svlk-bakalganggu-produksi-mebel/ Lacey Act (Undang-undang Lacey), Amerika Serikat, Hal-hal Yang Sering Dipertanyakan Tentang Larangan Perdagangan Kayu Ilegal Untuk Pertama Kalinya Di Dunia. Diakses dari http://www. Lacey_FAQ_Indonesian.pdf// Makandya, Anil. 1997. Ecolabelling: An Introduction and Review. Zarilli et.al., (editor). Organisasi Internasional Kayu Tropis (International Organization). Diakses http://www.ditjenkpi.kemendag.go.id/.../ITTO__Buku20060109121009.doc
Tropical
Timber dari:
Prijono,Agus. 2011.Cakrawala Baru Kayu Nusantara. Jakarta: Forest Governance and Multistakeholder Forestry Programme.National Geographic Indonesia. Rudy, T.May, Drs., S.H., MIR, M.Sc. 2002. Bisnis Internasional: Teori, Aplikasi, & Operasionalisasi. Bandung: PT. Refika Aditama.
215
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2 , 2013: 201-216
Sertifikasi Kayu. 2011.Diakses http://www.tentangkayu.com/2011/06/sertifikasi-produk-kayu.html
dari:
Sumanto, Herry.Pengaruh Pasar Terhadap Industri Kehutanan Nasional. Diakses dari: http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/8478 Tacconi, Lucca. 2004. Can ‘Legalization’ of Illegal Forest Activities Reduce illegal Logging? Lesson from East Kalimantan.Bogor, Indonesia: CIFOR. Tambunan, Tulus T.H, Dr. 2004. Globalisasi dan Perdagangan Internasional. Bogor: Ghalia Indonesia. White,George.Mengekspor Dalam Sebuah Perubahan 2010.WWF’s Global Forest & Trade Network.
216
Landsekap
Legal.