eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1(2): 247-260 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2013
KEBIJAKAN EKSPOR FURNITUR KAYU INDONESIA KE AMERIKA SERIKAT PASCA KRISIS FINANSIAL AS TAHUN 2008-2011 SAYID JANUAR RIZKY1 NIM. 0702045031
Abstract: This study aims to determine of the policy by the Indonesian wooden furniture exports to the United States after the U.S. financial crisis in 2008-2011. The financial crisis that occurred in the United States in 2008, beginning with the housing credit crunch crisis a high risk (subprime mortgage), resulting in a decline in exports of Indonesian wooden furniture. Crisis also makes exchanges and financial market conditions globally have suffered very heavy pressure , which affected the U.S. financial sector. With the release of the National Industrial Policy No. 28 of 2008, not only to increase the return intensity Indonesian wooden furniture exports to the U.S.. But also as a step solving problems related to export activity. Also as a measure of national industrial development that includes Indonesian wooden furniture industry. The results of this study indicate that the application of the National Industrial Policy No. 28 of 2008 aims to build on the industry with the concept of sustainable development, which is based on three aspects of the integral, namely economic development, social development and the environment. More specifically on the construction of the wood furniture industry strongly supported Indonesia through the Minister of Industry of the Republic of Indonesia Number 119/MIND/PER/10/2009 About Maps Furniture Industry Cluster Development Guide, as a form of development of Indonesian wooden furniture industry is export oriented. Some implementations have been achieved by the Government and private parties to directly provide a positive impact on the growth of Indonesian wood furniture industry. Keywords : Wood, Furniture, Export, Policy.
1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2 , 2013: 247-260
Pendahuluan Pasar furnitur Amerika Serikat (AS) sangat besar dan terbuka bagi pasokan dari mancanegara. Prospek pasar furnitur kayu negeri ini cukup baik bagi pemasok dari luar. Hal ini disebabkan karena trend impor dalam beberapa tahun terakhir cukup tinggi. Keragaman latar belakang budaya, kemakmuran yang terus meningkat, serta jumlah penduduk yang besar dan faktor lainnya berinteraksi menciptakan pasar berpotensi bagi pemasok dari luar. Indonesia telah ikut memenuhi kebutuhan pasar furnitur kayu AS. AS yang berpenduduk 281,4 juta jiwa pada tahun 2000, memerlukan 140,7 juta set furnitur. Kebutuhan furnitur kayu dipenuhi dari hasil dalam negeri dan impor. Impor furnitur kayu oleh AS tahun 1996-2000 naik rata-rata 24% mencapai US$ 715,6 juta tahun 2000. Furnitur dapur mencapai US$ 666,7 juta dengan trend 17%, furnitur kamar tidur US$ 1.687,4 juta dengan trend 28%, furnitur kayu lainnya US$ 3.653,0 juta dengan trend 21%. (Warta Ekspor, 2004) Pada tahun 2008, pangsa pasar furnitur kayu di dunia masih dipegang oleh negaranegara pengekspor furnitur kayu terkemuka. Antara lain, Italia (29%), Cina (26%), Jerman (16%), Polandia (12%), Kanada (11%), dan Indonesia (6%). (Deperindag, 2008) Terjadi pertumbuhan yang cukup tinggi atas impor beberapa jenis furnitur kayu dari Indonesia ke AS. Furnitur kantor dari Indonesia berfluktuasi dari US$ 3,6 juta tahun 1996 menjadi US$ 2,2 juta tahun 2000. Pasok furnitur dapur dari Indonesia juga masih kecil namun naik pesat dari US$ 2,7 juta menjadi US$ 7,2 juta. Furnitur ruang tidur dari Indonesia mencatat tingkat pertumbuhan 33% dari US$ 46,1 juta menjadi US$ 130,9 juta. Indonesia menempati peringkat lima dengan pangsa 7,8% di bawah Cina, Kanada, Italia, dan Meksiko. Furnitur kayu lainnya naik 23% per tahun dari US$ 101,0 juta menjadi US$ 228,8 juta, menempatkan Indonesia di peringkat tiga dengan pangsa 6,3% di bawah Cina dan Kanada. (Deperindag, 2008) Tetapi adanya krisis finansial di AS yang diawali dengan krisis kredit macet perumahan beresiko tinggi (subprime mortgage) tahun 2008 lalu sedikit banyak berdampak pada ekspor furnitur Indonesia ke AS. Dampak krisis tersebut dapat terlihat dari penurunan ekspor produk kayu Indonesia selama periode JanuariAgustus 2008 sebesar 5,99%. Berdasarkan data Department of Commerce AS menunjukkan bahwa impor furnitur AS dari dunia mengalami penurunan sebesar 3,58% selama periode Januari-Juli 2008 dibanding periode yang sama tahun 2007, sedangkan impornya dari Indonesia menurun sebesar 10,51%. Hal ini merupakan efek dari krisis yang melanda AS akibat kredit macet perumahan yang meskipun efek tersebut dalam jangka pendek belum terasa, namun dalam jangka panjang diindikasikan dapat mempengaruhi ekspor non migas Indonesia secara signifikan. (Departemen Perdagangan RI, 2008) Kerjasama ekspor furnitur Indonesia ke AS saling menguntungkan dan berkesinambungan, karena para pengusaha furnitur Indonesia telah mendapat pasar yang cukup baik di AS dan juga tingkat permintaan yang tinggi oleh masyarakat AS. Akan tetapi terjadinya krisis finansial tahun 2008 di AS menyebabkan perubahan pola permintaan masyarakat AS dan berakibat pada penurunan ekspor furnitur. Hal tersebut harus mendapat perhatian dari pemerintah
248
Kebijakan Ekspor Furnitur Kayu Indonesia Ke Amerika Serikat Pasca Krisis Finansial AS Tahun 2008-2011(Sayid Januar Rizky)
Indonesia, karena pendapatan negara berkurang dari sektor perdagangan furnitur kayu yang termasuk ke dalam pasar ekspor. Kerangka Dasar Konsep A. Konsep Ekspor Ekspor merupakan bentuk paling sederhana dalam perdagangan internasional dan merupakan suatu strategi dalam memasarkan produksi keluar negeri. Faktor-faktor seperti pendapatan negara yang ditinjau dari populasi penduduk merupakan dasar pertimbangan dalam perkembangan ekspor. Ekspor merupakan salah satu sumber devisa. Untuk mampu mengekspor, negara tersebut harus mampu menghasilkan barang-barang dan jasa yang mampu bersaing di pasar internasional. Ekspor adalah salah satu komponen atau bagian dari pengeluaran agregat. Makin banyak jumlah barang yang dapat diekspor maka makin besar pengeluaran agregat dan makin tinggi pula pendapatan nasional negara yang bersangkutan. Akan tetapi, hal yang sebaliknya belum tentu demikian, dimana pendapatan nasional yang tinggi akan menjamin ekspor yang tinggi pula. (Drs. Rusdin, M. Si., 2002) Ekspor memiliki dua keunggulan, yaitu: 1. Untuk menghindari besarnya biaya pendirian operasi manufaktur pada suatu negara. 2. Ekspor dapat menolong suatu perusahaan untuk mencapai garis (kurve) pengalaman dan lokasi ekonomi melalui manufaktur, produk pada lokasi struktur dan mengekspornya kepada pasar nasional lain, perusahaan tersebut menyadari pentingnya skala ekonomi dari volume penjualan di pasar global. Di samping keunggulan, ekspor juga memiliki kelemahan, di antaranya : 1. Ekspor pada suatu negara mungkin kurang tepat jika tujuan ekspor adalah sebuah daerah yang memiliki bauran faktor-faktor produksi yang lebih menguntungkan untuk menghasilkan produk dengan nilai lebih. Dalam hal ini ekspor menjadi tidak efisien dan menutup peluang perusahaan untuk dapat memaksimalkan nilai produknya. 2. Tingginya biaya ekspor dapat mengakibatkan tidak ekonomis terutama untuk produk besar. Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut, yaitu mendirikan pabrik produk yang tersebar secara regional. Ini adalah suatu strategi yang memungkinkan perusahaan merealisasikan penghematan dari produksi skala besar dan juga untuk membatasi biaya transportasi. 3. Adanya hambatan tarif. Hal tersebut dapat menyebabkan inefisiensi ekspor. Suatu negara dapat mengekspor barang produksinya ke negara lain apabila barang tersebut diperlukan negara lain dan mereka tidak dapat memproduksi barang tersebut atau produksi mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri. Semakin banyak jenis barang yang mempunyai keistimewaan yang dihasilkan suatu negara, semakin banyak ekspor yang dapat dilakukan. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi ekspor, impor, dan ekspor neto suatu negara, meliputi : 1. Selera konsumen terhadap barang-barang produksi dalam dan luar negeri. 2. Harga-harga barang di dalam dan luar negeri. 3. Kurs yang menentukan jumlah mata uang domestik yang dibutuhkan untuk membeli mata uang asing.
249
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2 , 2013: 247-260
4. Pendapatan konsumen di dalam dan luar negeri. 5. Ongkos angkutan barang antar negara. 6. Kebijakan pemerintah dalam perdagangan internasional. Ekspor furnitur kayu Indonesia ke AS dapat berjalan apabila telah memenuhi syarat-syarat atau ketentuan ekspor yang berlaku. Ketentuan-ketentuan tersebut juga dapat mengurangi hambatan-hambatan ketika proses ekspor tersebut sedang berlangsung. B. Teori Industrialisasi Orientasi Ekspor (IOE) Strategi Industrialisasi Orientasi Ekspor (IOE) pada dasarnya merupakan upaya suatu negara untuk memproduksi barang-barang industri bagi kepentingan pemenuhan permintaan pasar dunia. Sebagai suatu strategi, IOE diadopsi secara luas oleh negara-negara industri baru terutama di kawasan Asia Timur dengan Tenggara sejak akhir 1960-an. Dengan makin terbukanya perdagangan internasional, maka negara-negara di kawasan tersebut mencoba membanjiri pasar dunia dengan produk-produknya terutama di sektor-sektor yang tidak membutuhkan modal besar dan teknologi yang terlalu kompleks dan canggih. (Bob Sugeng Hadiwinata, Ph. D., 2002) IOE memiliki karakteristik tertentu, antara lain sebagai berikut : a. Teknologi yang dipilih adalah teknologi padat karya (labour intensive) di mana negara-negara tersebut menguntungkan keuntungan komparatif pada murahnya tenaga kerja. Dengan berkonsentrasi pada barang-barang yang padat kerja (seperti tekstil, pakaian, sepatu, aksesori, dan lain-lain). b. Akibat pemakaian teknologi padat karya, industrialisasi yang dilakukan memberikan efek distribusi pendapatan yang lebih langsung dan lebih besar kepada anggota masyarakat melalui penyediaan lapangan kerja yang luas. c. Karena pengaruh stimulus kompetisi internasional, alokasi faktor-faktor produksinya (modal, teknologi, bahan baku, tenaga kerja, dll.) menjadi lebih efisien. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses industrialisasi dalam strategi ini menimbulkan efek langsung bagi pertumbuhan ekonomi nasional suatu negara. d. IOE berorientasi pada perdagangan bebas. Kalaupun ada kebijakan proteksi yang diberlakukan untuk melindungi industri-industri yang kurang efisien, hal itu dilakukan seminimal mungkin untuk menghindari tindak pembalasan dari negaranegara lain. Karena ketergantungan kepada pasar internasional, maka perdagangan bebas merupakan pilihan yang paling tepat bagi negara-negara penganut IOE. Sentralisasi birokrasi negara merupakan kunci sukses pemberlakuan strategi IOE. Pengadopsian strategi ini terjadi hampir bersamaan dengan proses state building (pengembangan negara) dimana instrumen-instrumen kebijakan dikembangkan dengan cara memperbesar intervensi negara ke dalam pelbagai bidang kehidupan warga negara, termasuk ekonomi. (Bob Sugeng Hadiwinata, Ph. D., 2002) Pembangunan perekonomian Indonesia melalui ekspor furnitur kayu membutuhkan ketergantungan pasar atau negara-negara lain. Khususnya pada Amerika Serikat sebagai salah satu negara pengimpor furnitur kayu Indonesia
250
Kebijakan Ekspor Furnitur Kayu Indonesia Ke Amerika Serikat Pasca Krisis Finansial AS Tahun 2008-2011(Sayid Januar Rizky)
yang paling menjanjikan karena pertumbuhan nilai ekspor furnitur kayu yang semakin meningkat sebelum terjadinya krisis finansial di AS pada tahun 2008. Dalam penelitian ini, Indonesia memerlukan upaya-upaya untuk menangani efek dari krisis finansial Amerika Serikat yang berdampak pada penurunan ekspor furnitur kayu ke AS. Peningkatan kualitas maupun intensitas industri dalam negeri hingga perluasan pasar diperlukan untuk mengganti kerugian yang telah dialami Indonesia. Apabila ekspor furnitur kayu ke AS pasca krisis finansial mengalami penurunan, maka yang dibutuhkan Indonesia adalah pasar-pasar di negara lain yang lebih berpeluang untuk menerima produk furnitur kayu Indonesia tanpa mengurangi intensitas ekspor yang di butuhkan AS. Ekspor furnitur kayu Indonesia ke AS akan terus berjalan seiring dengan perluasan pasar terhadap produk furnitur kayu Indonesia. Metode Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk kebijakan ekspor furnitur kayu oleh Indonesia ke Amerika Serikat pasca krisis finansial yang melanda AS tahun 2008-2011. Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptifeksplanatif, dimana penulis menjelaskan bentuk kebijakan ekspor furnitur kayu Indonesia ke Amerika Serikat tahun 2008 dan dilihat perkembangannya hingga tahun 2011. Data-data yang disajikan dalam penelitian ini dalah data sekunder, yakni data yang berasal dari hasil interpretasi data primer berupa buku-buku, artikel, dan media elektronik. Teknik yang dipakai dalam menganalisis data adalah dengan teknik kualitatif yakni dengan menganalisis data sekunder dengan teori dan konsep yang dapat digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena atau kejadian yang sedang diteliti oleh penulis. Hasil Penelitian Kebijakan ekspor furnitur kayu Indonesia berkaitan dengan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Industri Nasional. Dijelaskan di dalamnya bahwa proses industrialisasi adalah langkah penting meningkatkan perkembangan ekspor nasional. Tercantum dalam Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 119/M-IND/PER/10/2009 Tentang Peta Panduan Pengembangan Klaster Industri Furnitur. Dan pada tahun 2011, kebijakan ini dirubah untuk lebih meningkatkan proses hilirisasi industri furnitur kayu di Indonesia, dengan terbitnya Peraturan Menteri Perindustrian RI Nomor 90/MIND/PER/11/2011 sebagai langkah lanjutan pemerintah Indonesia 1. Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Industri Nasional Indonesia Semakin membaiknya Perekonomian Indonesia serta kondisi riil paska krisis ekonomi akan menjadi faktor pendorong pertumbuhan sektor industri. Lima tahun setelah terjadinya krisis ekonomi pertumbuhan sektor industri masih sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan pertumbuhannya pada saat sebelum krisis. Upaya mempercepat pembangunan, membangun kemandirian ekonomi, pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya ke seluruh wilayah dengan cara memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengatur dan mengelola seluruh
251
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2 , 2013: 247-260
potensi sumber daya yang dimiliki, telah dilakukan dengan terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. (Lampiran Peraturan Presiden RI Nomor 28 Tahun 2008) Industri nasional yang tangguh ditujukan untuk mencakup kemampuan produksi nasional di semua sektor (Primer, Sekunder, dan Tersier), namun lingkup kebijakan yang dirumuskan dalam Peraturan Presiden ini dibatasi untuk sektor Industri Pengolahan/Manufaktur Non-Migas, beserta sektor Jasa Industri yang sangat erat terkait. Sektor Industri Migas diatur tersendiri dalam peraturan perundang-undangan di bidang energi dan sumber daya alam, sedangkan sektor Jasa Industri lainnya diatur tersendiri dalam peraturan perundang-undangan di bidang sektoral. Industri Pengolahan/Manufaktur adalah semua kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa yang bukan tergolong produk primer. Yang dimaksudkan adalah dengan produk primer adalah produk-produk yang tergolong bahan mentah, yang dihasilkan oleh kegiatan eksploitasi sumber daya alam hasil pertanian, kehutanan, kelautan dan pertambangan, dengan kemungkinan mencakup produk pengolahan awal sampai dengan bentuk dan spesifikasi teknis yang standar dan lazim diperdagangkan sebagai produk primer. Proses pembangunan industri akan diarahkan untuk menerapkan prinsip-prinsip pembangunan industri yang berkelanjutan yang didasarkan pada beberapa aspek diantaranya aspek pembangunan lingkungan hidup dan pengembangan teknologi. Aspek pembangunan lingkungan hidup dilakukan dengan menerapkan pencegahan dan pengendalian pencemaran melalui penerapan sistem manajemen pencegahan dan pengendalian pencemaran, efisiensi penggunaan energi yang tak terbarukan melalui audit dan konservasi energi, pengurangan emisi gas karbon dioksida (CO2) dan gas-gas efek rumah kaca melalui pemanfaatan Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism), penggunaan bahan baku yang lebih akrab lingkungan, efisiensi penggunaan sumber daya air dan promosi penerapan tanggung jawab sosial perusahaan. Di bidang pengembangan teknologi bagi industri pembangunan diarahkan kepada pengembangan teknologi yang mampu mengejar ketertinggalan industri Indonesia dari negara lain, pengembangan teknologi bersih, pengembangan diversifikasi energi, pengembangan teknologi tepat guna dan pengembangan kemampuan infrastruktur teknologi industri. Dalam pengembangan industri, perangkat teknologi yang tidak tersedia di dalam negeri dilakukan pemilihan perangkat teknologi, dan jika teknologi tersebut telah diterapkan perlu dilakukan audit teknologi. Adapun ditetapkannya Kebijakan Industri Nasional Indonesia dimaksudkan untuk : a. Arahan bagi pelaku industri, baik pengusaha maupun institusi lainnya, khususnya yang memiliki kegiatan usaha di sektor industri ataupun bidang lain yang berkaitan; b. Pedoman operasional bagi aparatur pemerintah dalam rangka menunjang secara komplementer dan sinergik untuk suksesnya pelaksanaan program pengembangan industri sesuai dengan bidang tugasnya; c. Tolok ukur kemajuan dan keberhasilan pembangunan industri;
252
Kebijakan Ekspor Furnitur Kayu Indonesia Ke Amerika Serikat Pasca Krisis Finansial AS Tahun 2008-2011(Sayid Januar Rizky)
d. Informasi untuk menggalang dukungan sosial-politis maupun kontrol sosial terhadap pelaksanaan kebijakan industri ini, yang pada akhirnya diharapkan untuk mendorong partisipasi luas masyarakat untuk memberikan kontribusi secara langsung dalam kegiatan pembangunan industri. Penetapan Kebijakan Industri Nasional Indonesia bertujuan untuk : a. Merevitalisasi sektor industri dan meningkatkan perannya dalam perekonomian nasional; b. Membangun struktur industri dalam negeri yang sesuai dengan prioritas nasional dan kompetensi daerah; c. Meningkatkan kemampuan industri kecil dan menengah agar lebih seimbang dengan industri berskala besar; d. Mendorong pertumbuhan industri di luar Pulau Jawa; e. Terciptanya sinergi kebijakan dari sektor-sektor pembangunan yang lain dalam mendukung pembangunan industri nasional. 2. Analisa IOE Dalam Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 119/M-IND/PER/10/2009 Tentang Peta Panduan Pengembangan Klaster Industri Furnitur a. Arah Kebijakan Industri Nasional Indonesia merupakan langkah industrialisasi furnitur kayu Indonesia yang diorientasikan secara ekspor. Penerapan strategi Industrialisasi Orientasi Ekspor (IOE) memiliki beberapa karakteristik yang berkaitan dengan Kebijakan Industri Nasional Indonesia yang didalamnya antara lain : Teknologi yang dipilih adalah teknologi padat karya dimana negara-negara tersebut menggantungkan keuntungan komparatif pada murahnya tenaga kerja. Dengan berkonsentrasi pada barang-barang yang padat tenaga kerja dapat menghasilkan barang-barang yang sangat kompetitif di pasar dunia. Proses industrialisasi furnitur Indonesia adalah sebuah industri padat karya. Industri furnitur Indonesia merupakan salah satu industri berbasis kayu/rotan yang memiliki nilai tambah paling tinggi dan menyerap banyak tenaga kerja serta memberikan kontribusi yang cukup penting terhadap perekonomian, baik dalam bentuk kontribusi pada PDB maupun dalam perolehan devisa (ekspor). Industri ini juga merupakan industri kreatif dengan nilai seni yang memberikan karakteristik produk furnitur kayu Indonesia dengan ciri khas masing-masing daerah produsen. Selain itu, upah tenaga kerja yang murah dapat menekan biaya produksi memungkinkan produk furnitur Indonesia dapat bersaing dengan produk sejenis dari negara lain dalam segi harga. Dengan penggunaan teknologi padat karya, produk yang dihasilkan lebih beragam karena setiap tenaga kerja memiliki keahlian yang berbeda-beda. Sehingga pilihan konsumen lebih variatif dan kompetitif dengan produk negara lain. Waktu produksi juga lebih efisien, sehingga memungkinkan produk yang dihasilkan dapat dengan segera terselesaikan dibarengi dengan mutu dan kualitas yang terjamin. Hal ini didukung pula oleh langkah pemerintah mengenai pengembangan industri padat karya yang termasuk dalam industri prioritas tahun 2010-2014, yakni pengembangan bahan baku alternatif, pengembangan desain dan merek, serta program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) untuk pengadaaan barang dan jasa
253
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2 , 2013: 247-260
pemerintah Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah (BUMN/BUMD). b. Industrialisasi yang dilakukan memberikan efek distribusi pendapatan yang lebih langsung dan lebih besar kepada anggota masyarakat melalui penyediaan lapangan kerja yang luas. Potensi Indonesia untuk menjadi negara industri baru memiliki keunggulan, salah satunya yakni jumlah penduduk yang besar sebagai faktor produksi dalam skala ekonomis dan menyimpan potensi pasar yang besar. Selain dapat diserap sebagai tenaga kerja, jumlah besar penduduk Indonesia ini juga dapat menjadi konsumen yang baik bagi pasar domestik, karena keduanya terletak di kawasan ekonomi yang sedang tumbuh pesat. Dengan dibekali kemampuan penggunaan teknologi dan permesinan melalui pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah, tenaga kerja tidak hanya dapat memproduksi barang secara efisien, tetapi juga memiliki kemampuan untuk mengolah bahan baku mentah menjadi sebuah produk furnitur dengan nilai tambah, yang dapat menjadi modal untuk mendirikan lapangan usaha sendiri di kemudian hari yang dapat membantu mengembangkan industri furnitur Indonesia di kancah internasional. Sesuai dengan tujuan pembangunan industri nasional jangka menengah, proses industralisasi ini harus mampu memberikan nilai tambah yang berarti bagi perekonomian dan menyerap tenaga kerja yang besar juga mampu menguasai pasar dalam negeri dan meningkatkan ekspor untuk menunjang pembangunan industri nasional. c. Karena pengaruh stimulus kompetisi internasional, alokasi faktor-faktor produksinya (modal, teknologi, bahan baku, tenaga kerja, dll.) menjadi lebih efisien. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses industrialisasi dalam strategi ini menimbulkan efek langsung bagi pertumbuhan ekonomi nasional suatu negara. Dalam penerapan Kebijakan Industri Nasional Indonesia, pengalokasian faktor-faktor produksi seperti modal, teknologi, bahan baku, dan tenaga kerja sudah terintegrasi dan berjalan dengan baik. Hal ini berjalan sesuai dengan program / rencana aksi jangka menengah (2010–2014) dan jangka panjang (20152025) pada lampiran Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor119/M-IND/PER/10/2009 Tentang Peta Panduan Pengembangan Klaster Industri Furnitur. (Lampiran Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 119/M.IND/PER/10/2009 Tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Furnitur) Koordinasi antara badan-badan Pemerintah dalam halnya Departemen Kehutanan, Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan, berperan penting dalam penyediaan bahan baku dan bahan baku pendukung kegiatan produksi seperti kayu (plywood,sawmill, veneer), rotan, besi, baja, bahan kimia (perekat, cat, varnish) dan kain. Selain itu, penggunaan mesin dan peralatan modern sangat membantu dalam proses produksi yang memberikan efisiensi waktu pembuatan dan mutu serta kualitas yang terjamin. Para produsen juga telah dibekali ilmu dan pengetahuan dibidang desain dan proses produksi, melalui pengembangan SDM yang diselenggarakan Lembaga Litbang (Pemerintah/Swasta) maupun beberapa universitas yang memiliki jurusan pengolahan kayu (hasil hutan), seperti Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gajah Mada (UGM) dan Universitas Mulawaran (UNMUL).
254
Kebijakan Ekspor Furnitur Kayu Indonesia Ke Amerika Serikat Pasca Krisis Finansial AS Tahun 2008-2011(Sayid Januar Rizky)
Proses sertifikasi sudah mulai dijalankan agar standar produk furnitur sesuai dengan standar pasar domestik maupun standar pasar negara tujuan ekspor. Pemasaran produk furnitur di dalam negeri maupun luar negeri melalui eksportir/distributor mendapat perhatian dan bantuan dari pihak swasta seperti Asosiasi Mebel Indonesia (ASMINDO), Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI), International Standard Association (ISA), Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO). International Standard Organization (ISO) yang mengembangkan kriteria produk awalnya dan dikenal dengan ISO-9000. Sekarang ini ISO sudah menyediakan ISO-14000 yang mencakup syarat baku seperti sistem manajemen lingkungan, auditing lingkungan, ekolabel, evaluasi kinerja lingkungan, penilaian daur hidup produksi. Seperti diketahui bahwa ekolabel ini adalah akibat adanya kesadaran terhadap lingkungan yang telah mencakup produsen dan konsumen, sehingga keputusan yang diambil tidak hanya berdasarkan harga, kualitas dan kuantitas, tetapi juga dari segi lingkungan yang berkaitan dengan proses produksi dan hasil produksi. Segi lingkungan melekat dalam keseluruhan daur hidup produksi meliputi pra produk, produksi, distribusi, konsumsi dan buangan limbah. (Soeratmadi Atmosasmito, 2008) Dapat dijelaskan tentang langkah-langkah dalam pengalokasian faktor-faktor produksi yang terintegrasi, serta lembaga maupun badan pemerintah dan swasta yang terkait dalam pengembangan industri furnitur Indonesia. Proses ini memberikan efek langsung bagi pertumbuhan ekonomi nasional karena melibatkan industri-industri lain sebagai industri pendukung dalam memproduksi furnitur Indonesia. d. IOE berorientasi pada perdagangan bebas. Kalaupun ada kebijakan proteksi yang diberlakukan untuk melindungi industri-industri yang kurang efisien, hal itu dilakukan seminimal mungkin untuk menghindari tindak balas dari negara-negara lain. Karena ketergantungannya kepada pasar internasional. Maka perdagangan bebas merupakan pilihan yang paling tepat bagi negara-negara penganut IOE. Orientasi industri furnitur Indonesia pada perdagangan bebas ke AS belum berjalan. Saat ini, hubungan perdagangan bebas Indonesia dibidang furnitur kayu hanya sebatas kawasan Asia tenggara dan china yang tertuang dalam ASEANChina Free Trade Agreement (ACFTA) yang diberlakukan awal tahun 2010. Program pengembangan industri nasional khususnya industri furnitur di Indonesia, adalah langkah Indonesia untuk dapat bersaing didalam perdagangan bebas yang akan datang dengan negara-negara maju lainnya termasuk Amerika Serikat. Sehingga Indonesia memiliki ketahanan ekonomi dalam persaingan pada perdagangan bebas dikemudian hari untuk mencapai kepentingan nasional Indonesia. Pengembangan klaster industri furnitur Indonesia dijalankan melalui pendekatan Top-Down Policy karena potensi daya saing internasionalnya yang tinggi dan potensi kedepannya yang cukup berkembang, juga mampu membawa industriindustri lain yang terkait didalamnya untuk ikut maju dan berkembang pula. Tahapan implementasi pengembangan klaster industri prioritas yang telah dijalankan pada tahun 2008 adalah sebagai berikut :
255
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2 , 2013: 247-260
1. Mengadakan pertemuan secara intensif antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan produsen bahan baku, dan industri furnitur di daerah masing-masing. 2. Pemberdayaan working group melalui Focused Group Discussion (FGD). 3. Memfasilitasi terbentuknya pusat design furniture di Cirebon. 4. Memfasilitasi kerjasama antara Daerah penghasil bahan baku dengan Daerah produsen furnitur. 5. Melakukan kajian tekno ekonomis pemanfaatan kayu kelapa sawit dan karet sebagai bahan baku industri furnitur. 6. Memfasilitasi kerjasama antara asosiasi dan pengusaha furnitur, Pemerintah Daerah (Pemda) dan Perusahaan Hutan Indonesia (Perhutani) dalam rangka pembangunan terminal kayu di Jawa Timur dan Jawa tengah. 7. Pembangunan Pusat Pengembangan Industri Rotan Terpadu di Palu. 8. Pembangunan & fasilitasi Unit Pelayanan Teknis Rotan dan Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan Rotan 9. Menyusun Roadmap pengembangan industri rotan. 10. Bantuan peralatan khususnya untuk pengolahan dan pengeringan kayu ke beberapa sentra industri dalam rangka meningkatkan mutu produk kayu. (Dinas Perindustrian Provinsi, 2008) 3. Tahapan Implementasi dalam Peraturan Menteri Perindustrian RI Nomor 90/M-IND/PER/11/2011 Tahapan Implementasi yang telah dicapai pemerintah khususnya Kementrian Perindustrian tahun 2011, adalah perkembangan proses implementasi yang dilakukan pada tahun 2008 dan 2009. Peraturan Menteri Perindustrian RI Nomor 90/M-IND/PER/11/2011 adalah perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 119/M-IND/PER/10/2009, dan merupakan lanjutan dari peraturan sebelumnya. Perubahan ini dilakukan untuk mendukung hilirisasi industri argo. (Lampiran Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 90/M.IND/PER/11/2011). Pemerintah juga terus mendorong dan menyusun kebijakan untuk meningkatkan daya saing produk furnitur nasional. Selain langkah-langkah Kebijakan Industri Nasional Indonesia yang dijalankan melalui koordinasi dan implementasi dengan pihak-pihak yang terkait, pemerintah Indonesia juga menjalankan strategi promosi ekspor dalam upayanya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kegiatan ekspor industri furnitur kayu di Indonesia. Strategi ini dilakukan dengan didasari percepatan akselerasi pertumbuhan negara industri baru dengan penetrasi pasar internasional melalui kegiatan ekspor. Tujuan dari strategi ini bersifat tunggal, yakni untuk mencapai target pertumbuhan ekspor yang pesat agar mampu menghasilkan devisa yang besar. Keperluan devisa tersebut secara umum digunakan untuk memperkuat
256
Kebijakan Ekspor Furnitur Kayu Indonesia Ke Amerika Serikat Pasca Krisis Finansial AS Tahun 2008-2011(Sayid Januar Rizky)
posisi sektor luar negeri dan ekonomi nasional, untuk pembiayaan pembangunan, pembayaran impor dan pembayaran hutang luar negeri. Ada beberapa alasan strategis mengapa negara sedang berkembang mengimplementasikan kebijakan promosi ekspor, antara lain : 1. Strategi promosi ekspor dilakukan karena merupakan pilihan pemerintah negara sedang berkembang untuk memperkuat posisi eksternalnya. Negara dengan ekonomi terbuka dapat meningkatkan ketahanannya dengan melakukan ekspor sebanyak mungkin agar kebutuhan impor dari negara, swasta dan masyarakat di negara bersangkutan bisa dibiayai dari penghasilan sendiri. 2. Strategi ini dimaksudkan untuk memacu akselerasi pertumbuhan industri manufaktur dalam negeri untuk tujuan ekspor. Pasar internasional sangat luas dengan peluang yang sangat besar. Syarat utama adalah efisiensi dan mampu bersaing dari segi kualitas dan harga, selain juga harus memiliki jaringan yang kuat diberbagai negara. Negara pun perlu berperan dalam sistem pendukung strategi promosi ekspor. Hal terpenting dari peran negara adalah meningkatkan efisiensi biaya transaksi dengan efisiensi pelayanan (listrik, air, telepon), perbaikan perijinan, dan sebagainya. Kepabeanan dan pelabuhan adalah unsur penting yang menjadi sasaran utama agar jalur ekspor dan impor barang berjalan lancar. Negara juga menciptakan insentif pengusaha dengan memberikan fasilitas kredit ekspor yang lebih murah. 3. Strategi ini berperan langsung untuk meningkatkan dinamika ekspor dari komoditas tradisional, karena komoditas ini telah lama dikembangkan dalam bentuk yang telah terproses sebagai barang jadi. Kemampuan teknologi dan pengolahan telah berkembang perlahan dalam proses pewarisan dari generasi ke generasi dalammasa yang cukup panjang. 4. Strategi promosi ekspor yang berjalan lancar dan berkembang pesat dapat meningkatkan penerimaan produsen (petani, pedagang, industriawan), selain tentunya eksportir sendiri. Dalam kegiatan ini, banyak sekali dampak ke belakangdan ke depan berupa peningkatan pendapatan dari produsen hulu komoditas ekspor tersebut. Dampak ke samping dari kegiatan ekspor juga signifikan, yaitu memacu pertumbuhan produksi bahan baku, terutama kegiatan ekspor dari komoditas berbasis sumber daya lokal (resource based). 5. Strategi ini dimaksudkan untuk dapat mempertinggi tingkat kepastian usaha bagi produsen dan eksportir melalui pencarian pasar yang tidak terbatas di luar negeri. Jika peluang pasar di berbagai negara bervariasi, maka resesi di suatu negara tidak mengancam produsen atau eksportir karena banyak alternatif pasar lebih luas. 6. Strategi ini dipilih karena alasan dapat mempertinggi tingkat penyerapan tenaga kerja lewat berbagai kegiatan ekonomi yang ditujukan untuk ekspor. Komoditas ekspor tradisional maupun komoditas industri manufaktur yang
257
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2 , 2013: 247-260
ditujukan untuk ekspor biasanya merupakan industri yang dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Bahkan persaingan pasar internasional yang dimenangkan negara sedang berkembang umumnya adalah karena keunggulan komparatif tenaga kerja yang murah. 7. Strategi ini secara tidak langsung merupakan proses untuk mensubtitusi barang-barang manufaktur. Jika suatu negara berhasil melaksanakan strategi promosi ekspor, maka secara otomatis dapat mensubtitusikan komoditas impor yang dipasarkan di dalam negeri. (Prof.Dr. Didik J. Rachbini, 2004) Penerapan strategi promosi ekspor ini berkaitan erat dengan penerapan IOE yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia beserta pihak-pihak terkait guna menumbuhkan industri furnitur di Indonesia, agar dapat berkembang dengan baik didalam perdagangan internasional, khususnya hubungan ekspor dengan AS. Strategi yang dijalankan pemerintah melalui Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 90/M-IND/PER/11/2011 sebagai bagian dari Kebijakan Industri Nasional Indonesia dibidang pengembangan klaster industri furnitur di Indonesia, memberi dampak yang cukup baik bagi perkembangan industri furnitur kayu di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan ekspor furnitur kayu Indonesia ke Amerika Serikat pada tahun 2007 sampai tahun 2012. Pada tahun 2007, ekspor furnitur kayu ke Amerika Serikat sebesar US$ 439,12 juta. Pada tahun 2008, mengalami penurunan sebesar 4,90% dengan nilai ekpor US$ 417.5 juta. Penurunan yang signifikan terjadi pada tahun 2009 sebesar 26,25% dengan nilai ekspor US$ 323,45 juta. Pada tahun 2010 terjadi peningkatan sebesar 13,81% dengan nilai ekspor US$ 500 juta. Pertumbuhan yang cukup baik dilihat pada tahun 2011 sebesar 29,11% jika dibanding dengan tahun 2007, nilai ekspor mencapai US$ 567,37 juta. Program hilirisasi yang dilakukan pemerintah adalah sebagai salah satu bentuk kebijakan pemerintah untuk memajukan industri furnitur kayu dan kerajinan melalui peningkatan nilai ekspor bahan baku kayu dengan nilai tambah yang berasal dari hutan. Peningkatan nilai ekspor ini diperkuat dengan terbitnya regulasi mengenai legalitas kayu. Regulasi legalitas kayu ini bertujuan menjamin kayu asal Indonesia yang beredar di pasar dunia tidak diperoleh secara ilegal. Pemerintah telah menyusun Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) bagi pengelola hutan dan perusahaan pengolah bahan baku kayu untuk menerapkan kebijakan ini. Di masa mendatang , pemerintah ingin produk furnitur kayu dan kerajinan tidak lagi didapat dari kayu alam melainkan dari hutan tanaman. Dengan adanya SVLK maka perdagangan kayu domestik dan ekspor harus kayu legal. Ini juga menjadi jaminan kepercayaan negara lain dalam membeli produk Indonesia. Dengan berkembangnya industri furnitur Indonesia di pasar domestik dan internasional khususnya di AS, dapat mendorong industri ini menjadi industri yang berisi perusahaan-perusahaan furnitur berkarakteristik Original Brand Manufacturer (OBM), yakni perusahaan yang memiliki karakteristik produk,
258
Kebijakan Ekspor Furnitur Kayu Indonesia Ke Amerika Serikat Pasca Krisis Finansial AS Tahun 2008-2011(Sayid Januar Rizky)
inovasi produk dan teknologi yang maju dan berkembang, proses produksi yang bagus, mutu dan kualitas yang terjamin, dan memiliki pasar yang setia. Yang sebelumnya masih banyak diisi oleh perusahaan-perusahaan yang berkarakteristik Original Equipment Manufacturer (OEM), yakni perusahaan yang hanya menyediakan mesin dan tenaga kerja untuk membuat produk sesuai dengan desain pelanggan, tidak ada kepastian pasar yang baik yang menyebabkan hancurnya harga karena terjadi persaingan antara sesama perusahaan furnitur di Indonesia, yang pada akhirnya tercipta iklim usaha yang tidak sehat.
Referensi : Departemen Perindustrian dan Perdagangan Indonesia. 2004. Resource Indonesia. Warta Ekspor No.1/Tahun XXXII. Jakarta: Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN). Didik J. Rachbini, Prof. Dr. 2004. EKONOMI POLITIK : Kebijakan dan Strategi Pembangunan. Jakarta : Granit. Hadiwinata, Bob S., Ph. D. 2002. Politik Bisnis Internasional. Yogyakarta: Kanisius. James, N. Rosenau. International Politics and Foreign Policy, a reader in research and theory. The Free Press. New York. Kementerian Perindustrian dan Perdagangan Indonesia. 2008. Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 28 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Industri Nasional. Kementerian Perindustrian dan Perdagangan Indonesia. 2009. Lampiran Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 119/M.IND/PER/10/2009 Tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Furnitur. Kementerian Perindustrian dan Perdagangan Indonesia. 2011. Lampiran Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 90/M.IND/PER/11/2011. Jakarta: Departemen Perindustrian dan Perdagangan Indonesia. Kementerian Perindustrian dan Perdagangan Indonesia. 2008. Catatan Perdagangan Indonesia. Jakarta: Departemen Perindustrian dan Perdagangan Indonesia. Dinas Perindustrian. 2008. Lampiran Tinjauan Implementasi Dinas Perindustrian Provinsi Tentang Pengembangan Klaster Dan Industri Unggulan daerah Tahun 2008. N. Fauzi, Indra. 2007.Studi Hambatan Bagi Industri Furnitur: Hasil Studi di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Jakarta: SENADA dan USAID. Agustus. Rusdin, Drs., Msi. 2002. Bisnis Internasional. Jakarta: Alfabeta. Media Internet : Booming Kasus Subprime Mortgage. Diakses di: http://www.wealthindonesia.com/wealth-growth-andaccumulation/booming-kasus-subprime-mortgage.html
259
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2 , 2013: 247-260
Dampak Krisis Keuangan Global Tahun 2008 Terhadap Ekonomi Indonesia. Diakses di : http://uasuin.com/2012/01/03/dampak-krisis-keuangan-global-tahun-2008terhadap-ekonomi-indonesia/ Eny Prihtiyani.Industri Mebel Merebut Pasar ASEAN. Diakses di : http://www.rotanindonesia.org.index.phpoption=com_content&view=article &id=1621industri-mebel-merebut-pasar-asean&catid=69rotan&Itemid=50 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 01/MDAG/PER/1/2007. Diakses dari : http://inatrade.kemendag.go.id/referensi/downloaddok.php?filedown=13.pdf Kementerian Perdagangan Repubik Indonesia, Strategi Pemberian Pelayanan Untuk Peningkatan Ekspor, diakses dari : http://ppei.kemendag.go.id/ppei.php?x=abtus&y=68b5d9e756e76c5490bad 6de9472a323
260