PENGARUH NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP EKSPOR KARET ALAM INDONESIA KE AMERIKA SERIKAT DAN JEPANG
TITIEN KRISTININGSIH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Nilai Tukar Rupiah terhadap Ekspor Karet Alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2011
Titien Kristiningsih NRP. H151090194
ABSTRACT TITIEN KRISTININGSIH. Effect of Exchange Rate on Natural Rubber Exports to United States and Japan. Under the Supervision of DEDI BUDIMAN HAKIM and YUSMAN SYAUKAT. Natural rubber is one of prospective tropical plants for industry commodity product. This study examines the effect of the exchange rate on natural rubber exports to the United States and Japan quarterly over the period of 19962010. This study then presents how the exchange rate effects the natural rubber exports in the short and long term. All variables used in this study are stationary at first difference and there is cointegration among variables, therefore we used VECM method. Using the VECM, we find that export volume and export price affects the natural rubber exports to the United States in the short term. Export volume affect the natural rubber exports to Japan, but export price, real exchange rate, international price, competitor price, and real GDP does not. In the long term, real exchange rate, international price and competitor price significantly affects natural rubber exports to the United States. The main conclusion is that the exchange rate has no significant effect on natural rubber exports to the United States and Japan in the short term, but has significant effect on natural rubber exports to United States in the long term.
Keywords: exchange rate,export, natural rubber, VAR, VECM
RINGKASAN TITIEN KRISTININGSIH. Pengaruh Nilai Tukar Rupiah terhadap Ekspor Karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang. Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM dan YUSMAN SYAUKAT. Karet alam merupakan salah satu komoditi industri hasil tanaman tropis yang prospektif. Ada tiga negara yang menguasai pasaran karet dunia yaitu Indonesia, Thailand dan Malaysia. Sampai dengan tahun 2008, Amerika Serikat dan Jepang merupakan negara pengimpor terbesar karet alam Indonesia. Volume ekspor karet alam Indonesia mencapai lebih dari 90 persen dari total produksi karet nasional, sedangkan sisanya (7-10 persen) diserap oleh industri dalam negeri. Rendahnya konsumsi karet alam domestik mencerminkan belum berkembangnya industri hilir yang berbasis karet alam. Volume ekspor terkait erat dengan nilai tukar. Nilai tukar rupiah per dolar AS berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada beberapa tahun tertentu, depresiasi nilai tukar ternyata tidak diiringi dengan peningkatan ekspor karet alam. Demikian juga apresiasi yang terjadi pada beberapa tahun tertentu justru diiringi dengan kenaikan volume ekspor karet alam Indonesia ke pasar internasional. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan jangka pendek maupun jangka panjang antara nilai tukar riil terhadap ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang, dan mengetahui seberapa besar pengaruh perubahan nilai tukar riil dan variabel independen lainnya. Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), World Bank, International Monetary Fund (IMF), Gapkindo, Bank of Thailand, Federal Reserve Economic Data, Japan Cabinet Economic Data dan sumber-sumber data lain. Negara-negara yang menjadi obyek penelitian adalah Amerika Serikat dan Jepang karena kedua negara tersebut merupakan importir utama karet alam Indonesia. Data yang digunakan untuk penelitian ini adalah data sekunder dan bentuk datanya adalah time series triwulanan dari periode 1996 sampai dengan 2010. Penelitian ini menggunakan analisis VECM. Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini adalah program Excel 2003 dan Eviews 6.0. Pada jangka pendek, volume ekspor pada lag 1 mempengaruhi ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang. Variabel yang mempengaruhi ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat secara signifikan dan positif dalam jangka panjang adalah nilai tukar riil, harga internasional karet alam dan harga karet alam negara kompetitor. Sebaliknya pada perdagangan karet alam Indonesia ke Jepang, harga internasional karet alam dan harga karet alam negara kompetitor berpengaruh signifikan namun negatif. Besarnya pengaruh perubahan nilai tukar riil pada ekspor karet alam ke Amerika Serikat negatif, namun positif pada ekspor karet alam ke Jepang. Kata Kunci: Nilai tukar, ekspor, karet alam, VAR, VECM
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.
PENGARUH NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP EKSPOR KARET ALAM INDONESIA KE AMERIKA SERIKAT DAN JEPANG
TITIEN KRISTININGSIH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis
: Pengaruh Nilai Tukar Rupiah terhadap Ekspor Karet Alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang
Nama
: Titien Kristiningsih
NRP
: H151090194
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec Ketua
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, MSi.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 29 Juli 2011
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: M. Dokhi, Ph.D
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan atas penyertaan-Nya sehingga proposal penyusunan tesis dengan judul Pengaruh Nilai Tukar Rupiah terhadap Ekspor Karet Alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang dapat terselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dedi Budiman Hakim, Ph.D selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Yusman Syaukat, Ph.D selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada M. Dokhi, Ph.D selaku penguji luar komisi yang telah memberikan kritik, saran dan masukan yang membangun penelitian ini. Terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada semua dosen yang telah mengajar penulis, dan teman-teman kuliah dan teman-teman kos yang senantiasa membantu serta mendukung penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Kepala BPS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Akhir kata penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Bogor, Juli 2011
Titien Kristiningsih
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Salatiga pada tanggal 25 Mei 1980 dari pasangan Sukarno (Alm.) dan Sutinah. Penulis merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara. Penulis menamatkan pendidikan dasar di SDK 1 Salatiga pada tahun 1992 dan kemudian melanjutkan ke SMPN 3 Salatiga pada tahun 1992 dan lulus pada tahun 1995. Setelah itu penulis melanjutkan ke SMAN 1 Salatiga dan lulus pada tahun 1998 dan melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta. Penulis tamat dari STIS pada tahun 2002 dengan gelar Sarjana Sains Terapan (SST). Selanjutnya penulis bekerja pada Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Utara. Pada tahun 2009, penulis diterima menjadi mahasiswa program studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen di Institut Pertanian Bogor melalui seleksi bea siswa tugas belajar kerja sama BPS dan IPB. Pada tahun 2009 pula penulis menamatkan kuliah S1 di IPB dan melanjutkan S2 di institut yang sama dengan jurusan Ekonomi Regional.
v
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .....................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
x
I.
PENDAHULUAN ...........................................................................
1
1.1. Latar Belakang .........................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ..................................................................
6
1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................
12
1.4. Kegunaan Penelitian .................................................................
12
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ...........................
12
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................
15
2.1. Tinjauan Teori ..........................................................................
15
2.1.1. Perdagangan Internasional .............................................
15
2.1.2. Tingkat Harga dan Kurs .................................................
18
2.1.3. Teori Penawaran Ekspor ...............................................
19
2.1.4. Teori Permintaan Ekspor dari Negara Mitra Dagang ....
20
2.2. Penelitian Terdahulu ................................................................
20
2.3. Kerangka Pemikiran .................................................................
29
2.4. Hipotesis Penelitian ..................................................................
31
METODE PENELITIAN ..............................................................
33
3.1. Jenis dan Sumber Data ............................................................
33
3.2. Metode Analisis Data ..............................................................
33
3.2.1. Vector Autoregression (VAR) ......................................
34
3.2.2. Uji Stasioneritas Data ....................................................
35
3.2.3. Penetapan Lag Optimal..................................................
37
3.2.4. Uji Kointegrasi .............................................................
37
3.2.5. Vector Error Correction Model (VECM) ....................
38
3.2.6. Impuls Response Function (IRF) ..................................
38
3.2.7. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) ......
39
3.2.8. Derajat Pass-Through ..................................................
40
II.
III.
vi
IV.
V.
3.3. Model Penelitian .....................................................................
40
GAMBARAN UMUM KARET ALAM INDONESIA ...............
43
4.1 Sejarah Singkat Karet Alam .....................................................
43
4.2 Produksi Karet Alam ... ............................................................
45
4.3 Konsumsi Karet Alam ..... ........................................................
49
4.4 Ekspor Karet Alam ...................................................................
50
HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................
55
5.1 Uji Stasioneritas Data ..............................................................
55
5.2 Penentuan Lag Optimal ............................................................
57
5.3 Pengujian Stabilitas VAR ........................................................
58
5.4 Analisis Kointegrasi .................................................................
59
5.5 Estimasi Vector Error Correction Model .................................
60
5.5.1. Hubungan Persamaan Jangka Pendek ...........................
60
5.5.2. Hubungan Persamaan Jangka Panjang...........................
63
5.6 Analisis Impulse Response Function ..... .................................
69
5.7 Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) .............
74
5.8 Derajat Pass-Through ..............................................................
76
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................
79
6.1 Kesimpulan ................ ..............................................................
79
6.2 Saran ........................................................................................
80
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
83
LAMPIRAN ...............................................................................................
87
VI.
vii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1 Produksi Karet Alam menurut Negara Produsen Utama (000 ton)
5
2 Ekspor Karet Indonesia ke Negara Tujuan Tahun 2002-2010
7
3 Rekapitulasi Penelitian Terdahulu terkait dengan Nilai Tukar dan Ekspor di berbagai Negara
24
4 Jenis dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian
33
5 Produksi Karet Alam Negara Produsen Utama dan Dunia, 2000-2010
47
6 Produksi Karet Alam Indonesia menurut Jenis Produsen
48
7 Konsumsi Karet Alam menurut Konsumen Terbesar dan Dunia, 2000-2007
49
8 Produksi dan Konsumsi Karet Alam Dunia, 2000-2010
51
9 Jumlah dan Pangsa Ekspor Karet Alam Indonesia berdasarkan Tipe Produk 2003 - 2010
53
10 Jumlah dan Pangsa Ekspor Karet Alam Thailand berdasarkan Tipe Produk 2003 - 2010
54
11 Uji Stasioneritas pada Level
56
12 Uji Stasioneritas pada First Difference
56
13 Hasil Pengujian Lag Optimal
57
14 Hasil Pengujian Stabilitas VAR
58
15 Analisis Kointegrasi
59
16 Hasil Estimasi VECM Jangka Pendek Ekspor Karet Alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang
60
17 Hasil Estimasi VECM Jangka Panjang Ekspor Karet Alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang
63
viii 18 Rata-rata Pertumbuhan Ekspor Karet Alam dan Nilai Tukar Riil berdasarkan Negara Tujuan Ekspor dan Periode
64
19 Volume Ekspor Karet Alam Indonesia dan Thailand ke Amerika Serikat dan Jepang, 2003-2010
66
20 Persentase Ekspor Karet Alam Amerika Serikat dan Jepang dari Thailand, 2008-2010
68
21 Derajat pass-through Ekspor Karet Alam ke Amerika Serikat dan Jepang
77
ix
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1 Persentase Ekspor Karet Alam Indonesia ke Negara Tujuan Utama, 2010
8
2 Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS dan Total Ekspor Karet Alam Indonesia triwulanan, 2000-2010
9
3 Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS dan Total Ekspor Karet Alam Indonesia tahunan, 1992-2010
10
4 Kurva Perdagangan Internasional
17
5 Efek Revaluasi Mata Uang Negara Pengekspor
19
6 Skema Kerangka Pemikiran Penelitian
30
7 Volume Ekspor Karet Alam Indonesia, 2002-2010
52
8 Respon Volume Ekspor Karet Alam ke Amerika Serikat dan Jepang terhadap Guncangan Volume Ekspor Karet Alam ke Amerika Serikat dan Jepang
69
9 Respon Ekspor Karet Alam ke Amerika Serikat dan Jepang terhadap Guncangan Harga Ekspor Karet Alam ke Amerika Serikat dan Jepang
71
10 Respon Ekspor Karet Alam ke Amerika Serikat dan Jepang terhadap Guncangan Nilai Tukar Riil
72
11 Respon Ekspor Karet Alam ke Amerika Serikat dan Jepang terhadap Guncangan Harga Karet Alam Internasional
73
12 Respon Ekspor Karet Alam ke Amerika Serikat dan Jepang terhadap Guncangan Harga Karet Alam Negara Kompetitor
74
13 FEVD Ekspor Karet Alam Indonesia ke Amerika Serikat
75
14 FEVD Ekspor Karet Alam Indonesia ke Jepang
76
x
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1 Uji Stationeritas Data
87
2 Uji Lag Optimal
89
3 Pengujian Stabilitas VAR
90
4 Pengujian Kointegrasi (Summary)
91
5 Pengujian Kointegrasi (Asumsi)
93
6 Impulse Response Function (IRF)
95
7 Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)
97
8 Vector Error Correction Estimates
99
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Sejak runtuhnya perjanjian Bretton-Woods pada tahun 1971, nilai tukar
mengalami transisi ke kurs mengambang. Nilai tukar yang mengambang (floating exchange rate) akan berpengaruh pada harga ekspor, harga impor dan harga domestik, yang pada akhirnya akan mempengaruhi volume ekspor dan impor. Salah satu isu menarik dari ekonomi internasional adalah pengaruh langsung nilai tukar (exchange rate pass-through/ERPT), yang bisa diartikan sebagai persentase perubahan harga karena satu persen perubahan nilai tukar antara dua negara. Pada kenyataannya, biasanya pengaruh nilai tukar terhadap harga tidak lengkap. Pengaruh yang tidak lengkap ini terjadi ketika perubahan nilai tukar tidak sesuai dengan perubahan harga barang-barang yang diperdagangkan. Indonesia sebagai negara yang termasuk “small open economy”, pengaruh nilai tukar terhadap harga ekspornya akan negatif, karena dalam perdagangan internasional yang kompetitif Indonesia hanya sebagai penerima harga (price taker) (Ekananda, 2002). Mankiw (2007) menyatakan “di bawah nilai tukar mengambang, nilai tukar ditentukan oleh pasar dan dibiarkan berfluktuasi dengan bebas untuk menanggapi
kondisi
perekonomian
yang
sedang
berubah.
Nilai
tukar
menyesuaikan untuk mencapai keseimbangan simultan di pasar barang dan pasar uang. Ketika terjadi keseimbangan tersebut, kurs memungkinkan untuk bergerak ke nilai keseimbangan yang baru”. Fluktuasi nilai tukar berkaitan erat dengan perdagangan internasional karena nilai suatu komoditi ekspor dinilai dengan satu satuan mata uang asing. Fluktuasi nilai tukar ini mempengaruhi kegiatan ekspor yang merupakan salah satu bentuk perdagangan internasional. Barang-barang ekspor yang dikirim ke luar negeri dihitung dengan menggunakan satu satuan mata uang asing sehingga dengan adanya fluktuasi nilai tukar ini menyebabkan harga barang ekspor menjadi tidak tentu. Salah satu kebijakan pemerintah Indonesia dalam menggairahkan ekspor yaitu dengan melakukan kebijakan devaluasi atau melalui depresiasi terkendali yang bertahap. Mulai dari tahun 1970 dengan kurs Rp 626,75 per Dolar AS sampai tahun 1990 dengan kurs Rp 2.431 per Dolar AS, pemerintah melakukan
2
serangkaian kebijakan perubahan nilai tukar untuk menyesuaikannya dengan harga perdagangan dunia dan untuk meningkatkan nilai kompetitif barang ekspor Indonesia. Krisis moneter tahun 1997 membuat nilai tukar rupiah menurun tajam dari Rp 2.500 per dolar AS sampai dengan Rp 12.000 per dolar AS seharusnya memberikan dampak menggairahkan ekspor, ternyata banyak faktor yang menyebabkan nominal ekspor tidak meningkat yang disebabkan faktor-faktor lain seperti resiko negara (risk country) dan ketersediaan bahan baku ekspor yang sulit diusahakan pada waktu itu (Ekananda, 2002). Fluktuasi yang terjadi pada nilai tukar rupiah akan mempengaruhi harga domestik dan selanjutnya akan mempengaruhi biaya input produksi. Tingginya biaya input produksi akan dirasakan langsung oleh konsumen lokal jika barangbarang tersebut diperdagangkan di dalam negeri. Tetapi jika barang-barang tersebut diekspor, perusahaan tidak bisa serta merta menaikkan harga ekspornya karena eksportir kita hanya berfungsi sebagai “price taker”. Jika rupiah terdepresiasi, eksportir akan beruntung karena produk mereka menjadi lebih murah di negara pengimpor, sehingga mungkin jumlah produk eskpor yang diminta akan meningkat dan pada akhirnya akan meningkatkan keuntungan eksportir. Sebaliknya jika rupiah terapresiasi, harga barang ekspor di negara pengimpor menjadi lebih mahal sehingga kemungkinan permintaan akan berkurang dan pada akhirnya mengurangi keuntungan eksportir (Hastuti, 2006). Jika nilai tukar riil tinggi, barang-barang luar negeri relatif lebih murah, dan barang-barang domestik relatif lebih mahal. Jika nilai tukar riil rendah, barang-barang luar negeri relatif lebih mahal, dan barang-barang domestik relatif lebih murah. Oleh karena itu, nilai tukar riil terkait dengan ekspor neto. Bila nilai tukar riil lebih rendah, barang-barang domestik relatif lebih murah dibanding barang-barang luar negeri, dan ekspor neto lebih besar (Mankiw, 2007). Dalam perekonomian Indonesia, sektor perdagangan internasional memainkan peranan yang sangat penting dengan memberikan manfaat secara langsung pada sektor perdagangan untuk keseluruhan produksi nasional serta memberikan sumbangan dalam penyediaan kesempatan kerja bagi masyarakat. Oleh sebab itu ekspor menjadi salah satu sumber devisa yang penting dan berfungsi sebagai alat pembiayaan untuk usaha pemeliharaan kestabilan ekonomi
3
maupun pelaksanaan pembangunan. Kebutuhan devisa akan terus bertambah seiring dengan peningkatan pembangunan, untuk itu ekspor harus terus ditingkatkan bagi pembangunan perekonomian Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di dalam negeri. Karet alam di Indonesia merupakan salah satu komoditi penting perkebunan yang merupakan sumber pendapatan devisa, kesempatan kerja dan pendorong pertumbuhan ekonomi sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet maupun pelestarian lingkungan dan sumberdaya hayati. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah petani yang terlibat dalam usaha karet alam yang mencakup 1,91 juta kepala keluarga, sehingga banyak penduduk menggantungkan hidup dari tanaman ini (Ditjen Perkebunan, 2006). Karet termasuk salah satu komoditi non migas yang tumbuh baik di Indonesia yang selain dipandang sebagai sumber penting dari kesempatan kerja bagi pertumbuhan penduduk yang sangat cepat, juga merupakan komoditi yang menyumbangkan devisa cukup besar. Pada tahun 1988 perolehan devisa dari karet adalah AS $ 1.241,1 juta, sedangkan pada tahun 2008 perolehan devisa dari karet telah mencapai AS $ 4.795,8 juta (BPS,2009). Karet alam merupakan salah satu komoditi industri hasil tanaman tropis yang prospektif. Komoditas karet alam memiliki berbagai macam kegunaan terutama sebagai bahan baku berbagai produk industri. Industri otomotif khususnya sektor industri pembuatan ban merupakan produk yang berbahan baku karet alam paling tinggi yakni berkisar 75 persen dan sisanya untuk produksi produk lainnya seperti benang karet, bahan jadi karet untuk industri otomotif, industri alas kaki, industri mobil, industri
pesawat, kebutuhan kesehatan,
property/bangunan dan farmasi (Zuhra, 2006). Pentingnya peranan karet alam dalam kebutuhan hidup manusia seharihari memicu perkembangan ekonomi karet alam dunia baik dari sisi produksi maupun konsumsi yang cenderung terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2010 tercatat konsumsi karet alam sekitar 10,67 juta ton yang berarti lebih besar dari tingkat produksi pada tahun yang sama sebesar 10,29 juta ton. Konsumsi karet alam dunia yang meningkat terjadi karena didorong oleh perkembangan industri-industri barang jadi karet dunia. Peningkatan kebutuhan karet alam ini
4
juga diperkuat oleh laju pertumbuhan konsumsi yang cukup signifikan seperti di Cina, India, dan Malaysia yang disebabkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di kawasan tersebut serta adanya relokasi industri barang jadi karet dari negara barat ke negara produsen karet alam. Pada tahun 2020 permintaan dunia diperkirakan akan mencapai 10,9 juta ton dengan rata-rata pertumbuhan konsumsi per tahun sebesar 9 persen, sehingga akan terjadi kekurangan pasokan karet bila produksi karet tidak mengalami pertumbuhan di atas 9 persen (IRSG, 2008). Indonesia yang merupakan negara produsen sekaligus pengekspor karet memiliki perkebunan karet rakyat terbesar di dunia sebesar 3,47 juta hektar di tahun 2008 yang terdiri dari 85 persen milik rakyat, dan 15 persen milik perusahaan besar (Gapkindo, 2010). Sebagai negara dengan luas areal terbesar dan produksi kedua terbesar dunia, Indonesia masih menghadapi beberapa kendala, yaitu rendahnya produktivitas, terutama karet rakyat yang merupakan mayoritas (91 persen) areal karet nasional dan ragam produk olahan yang masih terbatas, yang didominasi oleh karet remah (crumb rubber). Rendahnya produktivitas kebun karet rakyat disebabkan oleh banyaknya areal tua, rusak dan tidak produktif, penggunaan bibit bukan klon unggul serta kondisi kebun yang menyerupai hutan. Walaupun terdapat permasalahan dalam hal produktivitas, Tabel 1 menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun produksi karet alam Indonesia cenderung mengalami peningkatan. Total produksi karet alam Indonesia pada tahun 2010 adalah 2,77 juta ton, kedua yang tertinggi di dunia setelah Thailand. Jumlah produksi karet alam Indonesia yang cenderung meningkat dihadapkan pada masalah penetrasi pasar seperti fluktuasi harga maupun persaingan dengan negara-negara produsen lainnya, seperti Thailand atau Malaysia. Pesaing utama Indonesia dalam produksi dan ekspor karet alam adalah Thailand, sementara Malaysia sedikit demi sedikit mengalami penurunan volume ekspor karena daya serap industri dalam negeri mereka terhadap karet alam yang dihasilkan semakin tinggi.
5
Tabel 1 Tahun
Produksi Karet Alam menurut Negara Produsen Utama (000 ton) Negara Thailand
Indonesia
Malaysia
India
China
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
2002
2.615
1.630
805
641
468
2003
2.876
1.798
986
707
480
2004
2.984
2.066
1.169
743
486
2005
2.937
2.271
1.126
772
575
2006
3.137
2.637
1.284
853
600
2007
3.056
2.755
1.200
807
663
2008
3.090
2.751
1.072
819
547
2009
3.164
2.595
857
820
643
2010
3.252
2.770
939
845
647
Sumber: International Rubber Study Group (IRSG)
Fluktuasi harga berdampak pada arus perdagangan karet alam dan upaya pengembangan ekspor karet alam Indonesia dalam rangka meningkatkan devisa memiliki konsekuensi pada perubahan lingkungan ekonomi atau kebijakan perdagangan yang secara signifikan mempengaruhi distribusi pendapatan. Harga karet alam pada pasar internasional cenderung fluktuatif dan merupakan ciri yang berkelanjutan. Fluktuasi harga pada karet alam yang terus berlanjut mendorong Indonesia, Malaysia dan Thailand sebagai negara eksportir utama karet alam sepakat untuk membentuk International Tripartite Rubber Corporation (ITRC) yang disetujui pada tanggal 12 Desember 2001. ITRC bertujuan mengawasi perdagangan dan produksi karet untuk mendongkrak harga karet alam di pasar dunia. Program-program ITRC adalah dalam bentuk Supply Management Scheme (SMS) dan Agreed Export Tonnage Scheme (AETS). SMS adalah program pengurangan produksi karet alam sebesar 4 persen yang dilaksanakan pada tahun 2002 dan 2003. Sedangkan AETS adalah program pengurangan ekspor karet sebesar 10 persen yang dimulai pada 1 Januari 2002 (Prabowo, 2006). Perubahan dalam berbagai kebijakan perdagangan maupun kebijakan devaluasi yang dilakukan pemerintah dalam rangka menggairahkan ekspor tentunya dapat mempengaruhi arus perdagangan karet alam antara Indonesia dengan negara-negara importir utama.
6
1.2
Perumusan Masalah Sampai tahun 1992 ada tiga negara yang menguasai pasaran karet dunia
yaitu Indonesia, Thailand dan Malaysia. Negara-negara produsen karet alam utama umumnya juga merupakan negara-negara pengekspor karet alam utama dunia. Hal ini disebabkan karena produsen karet alam adalah negara berkembang yang kegiatan industri dalam negerinya belum terlalu besar, sehingga sebagian produksinya dialokasikan untuk ekspor (Elwamendri, 2000). Dari total produksi nasional, lebih dari 90 persen karet alam Indonesia diekspor dan sisanya (7-10 persen) diserap oleh industri dalam negeri. Kondisi ini jauh berbeda dibandingkan dengan Malaysia, dimana industri hilir di dalam negeri mampu menyerap sekitar 70 persen dari total produksi negara tersebut. Rendahnya konsumsi karet alam domestik mencerminkan belum berkembangnya industri hilir yang berbasis karet alam. Hal ini mengakibatkan perolehan nilai tambah komoditi karet masih relatif rendah. Pada kenyataannya koordinasi vertikal dari hulu (on farm) ke hilir (pengolahan dan pemasaran) dalam sistem agribisnis karet di Indonesia belum optimal (Litbang Deptan, 2007). Negara-negara tujuan utama ekspor karet alam Indonesia adalah Amerika Serikat, Jepang, Cina, Singapura, Jerman dan Korea Selatan. Sampai dengan tahun 2008 Amerika Serikat dan Jepang merupakan negara pengimpor terbesar karet alam Indonesia. Seiring peningkatan produksinya dari periode tahun 2003 sampai dengan 2007, volume ekspor karet alam Indonesia dari tahun 2003 sampai tahun 2007 juga meningkat. Tabel 2 menunjukkan bahwa ekspor karet alam Indonesia selama 6 tahun terakhir menunjukkan adanya peningkatan dari 1,66 juta ton pada tahun 2003 menjadi 2,41 juta ton pada tahun 2007. Volume ekspor karet alam Indonesia mengalami penurunan tahun 2007 sampai tahun 2009 dan kemudian meningkat lagi di tahun 2010 menjadi 2,35 juta ton. Penurunan volume ekspor di tahun 2008 ini disebabkan karena adanya pembatasan volume ekspor yang dilakukan oleh ITRC akibat turunnya permintaan dari negara-negara pengimpor karet alam. Kebijakan membatasi volume ekspor oleh ITRC pada akhir tahun 2008 tersebut juga untuk mengontrol fluktuasi harga karet alam dunia yang sempat merosot tajam hingga 1,02 dolar Amerika Serikat per kilogram. Meningkatnya kembali ekspor karet alam Indonesia di tahun 2010 merupakan
7
dampak dari tidak adanya lagi pembatasan ekspor karet yang dilakukan oleh ITRC. Peningkatan volume ekspor pada tahun 2010 ini seiring dengan mulai membaiknya kondisi perekonomian global, terutama mulai pulihnya kembali sektor otomotif dunia. Tabel 2
Ekspor Karet Alam Indonesia ke Negara Tujuan Tahun 2003-2010 Volume Ekspor (Ton)
Negara (1) Amerika Serikat
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(9)
598.260
627.868
669.120
590.946
644.270
622.167
394.307
546.548
Jepang
228.899
225.214
260.604
357.539
397.776
400.693
272.878
313.242
Cina
107.725
197.538
249.791
337.222
341.821
318.841
457.118
418.098
Singapura
79.020
85.591
115.084
135.406
161.254
151.260
100.165
117.592
Jerman
73.292
71.808
61.974
82.100
80.809
57.705
36.639
57.492
Korea
76.893
76.794
74.813
90.593
93.091
106.460
99.548
91.810
496.831
589.448
592.395
629.191
687.755
638.330
630.608
807.071
1.660.920
1.874.261
2.023.781
2.285.997
2.406.776
2.295.456
1.991.263
2.351.915
Lainnya Total
Sumber: BPS, 2003-2010
Sejak tahun 2009, pangsa pasar ekspor karet alam Indonesia mengalami pergeseran. Tahun 2009 – 2010 importir terbesar karet alam Indonesia adalah Amerika Serikat dan Cina. Dampak krisis perekonomian global yang terjadi pada tahun 2008 mengakibatkan negara-negara yang memiliki industri otomotif, seperti Amerika Serikat dan Jepang menurunkan volume impor karet alamnya di tahun 2009. Di sisi lain, Cina tetap meningkatkan volume ekspornya di tahun 2009 sampai tahun 2010 karena Cina merupakan negara yang daya tahan krisisnya luar biasa. Gambar 1 menunjukkan bahwa pada tahun 2010 Amerika Serikat mengimpor 23,24 persen, Jepang mengimpor 13,32 persen, dan Cina mengimpor 17,78 persen karet alam Indonesia.
8
Amerika Serikat 23,24 persen
Lainnya 45,66 pers en
Cina 17,78 pers en
Jepang 13,32 pers en
Gambar 1 Persentase Ekspor Karet Alam Indonesia ke Negara Tujuan Utama, 2010 Mankiw (2007) menyatakan bahwa nilai tukar riil terkait dengan ekspor neto. Demikian halnya yang terjadi dengan ekspor karet alam. Secara teori, jika terjadi depresiasi nilai tukar rupiah, maka ekspor karet alam Indonesia akan meningkat karena harga karet alam Indonesia rendah di pasar internasional. Rendahnya harga karet alam Indonesia akan mendorong importir untuk meningkatkan impor karet alam dari Indonesia. Demikian juga sebaliknya, jika nilai tukar rupiah terapresiasi, maka ekspor karet alam Indonesia akan menurun karena harga karet alam Indonesia menjadi tinggi di pasar internasional sehingga importir akan menurunkan volume impornya. Gambar 2 menunjukkan kondisi ekspor karet alam Indonesia dan kondisi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam jangka pendek dari triwulan 1 tahun 2000 sampai triwulan 4 tahun 2010. Dalam jangka pendek, baik ekspor karet alam maupun nilai tukar bergerak sangat fluktuatif. Teori Mankiw (2007) antara nilai tukar riil dengan ekspor neto tidak selalu terjadi dalam ekspor karet alam Indonesia ke dunia. Sebagai contoh, dari triwulan 3 ke triwulan 4 tahun 2008 depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang secara teori harusnya diiringi dengan kenaikan ekspor justru diiringi dengan turunnya volume ekspor karet alam yang cukup tajam. Demikian halnya apresiasi yang terjadi dari triwulan 1 ke triwulan 2 tahun 2009 justru diiringi dengan kenaikan ekspor karet alam.
9
Periode (Triwulan) Q1/00
Q1/01
Q1/02
Q1/03
Q1/04
Q1/05
Q1/06
Q1/07
Q1/08
Q1/09
-
Q1/10 700,000 600,000
4,000
Ekspor Karet Alam (Ton)
500,000
8,000
400,000 300,000
12,000
Nilai Tukar Riil (Rp/$ AS)
16,000
200,000 100,000
20,000
-
(Rp/$ AS)
(Ton)
Sumber: BPS (2000-2010) dan Bank Indonesia (2000-2010)
Gambar 2 Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS dan Total Ekspor Karet Alam Indonesia triwulanan, 2000-2010 Dalam jangka panjang volume ekspor karet alam dan nilai tukar rupiah per dolar AS berfluktuasi dari tahun ke tahun. Nilai tukar riil mengalami apresiasi dari Rp 8.516 per dolar AS di tahun 1992 menjadi Rp 8.122 per dolar AS di tahun 1993. Apresiasi ini diiringi dengan penurunan ekspor karet alam Indonesia dari 1,27 juta ton pada tahun 1992 menjadi 1,21 juta ton pada tahun 1998. Demikian pula depresiasi yang terjadi dari tahun 2003 (Rp 11.516 per dolar AS) ke tahun 2004 (Rp 12.275 per dolar AS) diiringi oleh peningkatan ekspor karet alam dari 1,66 juta ton di tahun 2003 menjadi 1,87 juta ton di tahun 2004. Sama halnya fenomena yang terjadi dalam jangka pendek, Gambar 3 menunjukkan bahwa dalam jangka panjang teori Mankiw (2007) mengenai hubungan nilai tukar riil dengan ekspor neto juga tidak selalu berlaku dalam perdagangan karet alam Indonesia. Depresiasi nilai tukar riil yang terjadi dari tahun 1999 ke tahun 2000 pada kenyataannya tidak diiringi dengan peningkatan ekspor karet alam. Depresiasi nilai tukar yang terjadi dari tahun 1999 ke tahun 2000 justru diiringi dengan penurunan volume ekspor karet alam Indonesia ke pasar internasional. Hal ini disebabkan karena turunnya produksi karet alam Indonesia dari 1,6 juta ton di tahun 1999 menjadi 1,5 juta ton di tahun 2000. Faktor penyebab lain adalah pertumbuhan ekonomi dan industri otomotif Amerika
10
Serikat sebagai importir terbesar karet alam Indonesia melemah, sehingga volume ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat menurun (Litbang Deptan, 2007). Karena kedua faktor tersebut, maka adanya depresiasi di tahun 2000 tidak diringi dengan peningkatan ekspor karet alam. Hal yang sama juga terjadi di tahun 2007 ke tahun 2008, depresiasi nilai tukar juga diiringi dengan penurunan volume ekspor. Produksi karet Indonesia meningkat dari 2,7 juta ton di tahun 2007 menjadi 2,9 juta ton di tahun 2008, namun produsen karet nasional yang tergabung dalam Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) menurunkan target ekspor karet nasional 2008 menjadi 4 persen dari produksi nasional akibat anjloknya permintaan di pasar internasional. Turunnya permintaan karet alam di pasar internasional terjadi karena melemahnya konsumsi karet dari negara-negara AS dan Eropa karena sedang mengalami resesi ekonomi. Periode (Tahun) 92
93
94
95
96
97
98
99
00
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10 2,500,000
-
Ekspor Karet Alam (Ton)
3,000
2,000,000
6,000 1,500,000 9,000 1,000,000 12,000
Nilai Tukar Riil (Rp/$ AS)
15,000
500,000
-
18,000
(Rp/$ AS)
(Ton)
Sumber: BPS (1992-2010) dan Bank Indonesia (1992-2010)
Gambar 3 Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS dan Total Ekspor Karet Alam Indonesia tahunan, 1992-2010 Demikian juga sebaliknya, apresiasi nilai tukar riil yang terjadi dari tahun 2002 ke tahun 2003, dari tahun 2005 ke tahun 2006 dan dari tahun 2009 ke tahun 2010 justru juga diiringi dengan kenaikan volume ekspor karet alam Indonesia ke pasar internasional. Salah satu faktor penyebab kenaikan ekspor karet alam dari tahun 2002 ke tahun 2003 adalah meningkatnya permintaan karet alam Cina yang disebabkan karena adanya kemajuan industri otomotif Cina. Peningkatan permintaan karet alam Cina ditindaklanjuti oleh pemerintah Cina dengan
11
meningkatkan kuota impor karet alam dari 285 ribu ton pada tahun 2002 menjadi 850 ribu ton pada tahun 2003. Kuota impor tersebut telah habis terlaksana pada pertengahan tahun sehingga China Rubber Indutry Association meminta pemerintahnya untuk menambah kuota. Permintaan penambahan kuota telah disetujui oleh pemerintah Cina pada 24 Oktober 2003 dengan tambahan 200 ribu ton sehingga total kuota untuk 2003 menjadi 1,05 juta ton. Meningkatnya ekspor karet alam dari tahun 2009 ke tahun 2010 lebih disebabkan oleh membaiknya perekonomian dunia setelah krisis finansial yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2008 yang berdampak pada terjadinya krisis global. Pulihnya kondisi perekonomian negara-negara di Eropa dan Amerika yang merupakan negara konsumen utama karet alam selain Cina dan Jepang mendongkrak kembali permintaan karet alam. Pada tahun 2010, Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara di Eropa meningkatkan volume impor karet hingga 22 persen hingga 40 persen. Kondisi ini otomatis meningkatkan volume ekspor karet alam Indonesia ke pasar internasional. Pola dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang menunjukkan bahwa fluktuasi ekspor tidak hanya dipengaruhi oleh fluktuasi nilai tukar saja. Beberapa model teoritis dalam penelitian Boug (2007) menunjukkan bahwa dampak dari volatilitas nilai tukar pada perdagangan tergantung pada asumsi yang dibuat berkenaan dengan preferensi risiko, ketersediaan (forward) pasar modal dan cakrawala waktu transaksi perdagangan. Dengan melihat pengaruh nilai tukar riil dalam jangka panjang, dapat diperkirakan kondisi perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat dan Jepang untuk jangka waktu lebih dari 1 tahun. Oleh karena itu walaupun dalam perjalanan perdagangan terjadi shock pada suatu waktu tertentu, maka dengan mengetahui kondisi keseimbangan dalam jangka panjang, dapat diketahui apakah perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat dan Jepang dapat kembali ke kondisi keseimbangan pada awal perdagangan. Demikian halnya dalam melihat pengaruh nilai tukar riil dalam kondisi keseimbangan jangka pendek, yang berarti ingin melihat kondisi perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat dan Jepang untuk jangka waktu 3 bulan hingga satu tahun. Dengan mengetahui keseimbangan di jangka pendek maka dapat diketahui bagaimana proses ekspor yang terjadi serta kendala-kendala dalam melakukan ekspor di jangka pendek.
12
Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan yang akan dijawab pada penelitian ini dapat dirumuskan dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1.
Bagaimana hubungan jangka pendek antara nilai tukar rupiah dengan ekspor karet alam Indonesia ke AS dan Jepang?
2.
Bagaimana hubungan jangka panjang antara nilai tukar rupiah dengan ekspor karet alam Indonesia ke AS dan Jepang?
3.
Berapa besar pengaruh perubahan nilai tukar rupiah terhadap ekspor karet alam Indonesia ke AS dan Jepang?
1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan umum yaitu untuk menganalisis pengaruh
nilai tukar terhadap ekspor karet alam Indonesia dan tujuan khususnya adalah: 1.
Menganalisis hubungan jangka pendek antara nilai tukar rupiah dengan ekspor karet alam Indonesia ke AS dan Jepang.
2.
Menganalisis hubungan jangka panjang antara nilai tukar rupiah dengan ekspor karet alam Indonesia ke AS dan Jepang.
3.
Mengukur besar pengaruh perubahan nilai tukar rupiah terhadap ekspor karet alam Indonesia ke AS dan Jepang.
1.4
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis
sendiri maupun pihak-pihak lain. antara lain: 1. Memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai pengaruh nilai tukar terhadap ekspor karet alam Indonesia ke AS dan ke Jepang. 2. Bagi penulis dapat meningkatkan pengetahuan, wawasan dan memberikan pemahaman yang semakin mendalam tentang pengaruh nilai tukar terhadap ekspor komoditas karet alam Indonesia. 3. Bagi pemerintah diharapkan dapat menjadi masukan dalam menetapkan kebijakan nilai tukar maupun kebijakan ekspor. 1.5
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah ekspor karet alam Indonesia ke
Amerika Serikat dan Jepang. Analisis menggunakan data time series triwulanan
13
dari tahun 1996-2010. Model yang digunakan yaitu analisis VAR atau VECM. Variabel yang digunakan meliputi volume ekspor, harga ekspor, nilai tukar riil, harga internasional, harga negara kompetitor, dan GDP riil. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, penelitian ini mengisolasi keterkaitan volume ekspor karet alam Indonesia dari negara satu ke negara lain. Dalam hal ini volume karet alam yang diekspor ke AS tidak akan mempengaruhi volume karet alam yang diekspor ke Jepang. Kedua, kualitas dan bentuk karet alam yang diekspor dan diperdagangkan tidak dibedakan menurut jenis.
14
Halaman ini sengaja dikosongkan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tinjauan Teori
2.1.1 Perdagangan Internasional Perdagangan internasional dapat didefinisikan sebagai perdagangan antar atau lintas negara, yang mencakup ekspor dan impor. Dalam Goenarsyah (1990) ada beberapa faktor yang mendorong timbulnya perdagangan internasional (ekspor-impor) suatu negara dengan negara lain, yaitu keinginan untuk memperluas pemasaran komoditi ekspor, memperbesar penerimaan bagi kegiatan pembangunan, adanya perbedaan penawaran permintaan antar negara, tidak semua negara menyediakan kebutuhan masyarakatnya serta akibat adanya perbedaan biaya relatif dalam menghasilkan komoditi tertentu. Di banyak negara, perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan GDP. Meskipun perdagangan internasional telah terjadi selama ribuan tahun (lihat Jalur Sutra, Amber Road), dampaknya terhadap kepentingan ekonomi, sosial, dan politik baru dirasakan beberapa abad belakangan. Perdagangan internasional pun turut mendorong Industrialisasi, kemajuan transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan multinasional. Menurut Amir (2000), bila dibandingkan dengan perdagangan di dalam negeri, perdagangan internasional sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan tersebut antara lain disebabkan karena adanya batas-batas politik dan kenegaraan yang dapat menghambat perdagangan, misalnya dengan adanya bea, tarif, atau quota barang impor. Selain itu, kesulitan lainnya timbul karena adanya perbedaan budaya, bahasa, mata uang, taksiran dan timbangan, dan hukum dalam perdagangan. Perdagangan internasional mendorong negara untuk menghasilkan produkproduk terbaik dan sekaligus memungkinkan negara untuk mengimpor lebih banyak ragam barang dan jasa yang berasal dari seluruh dunia.
Selain itu,
perdagangan internasional dapat meningkatkan kesejahteraan semua negara melalui spesialisasi dalam produksi barang dan jasa yang memiliki keunggulan komparatif. Perdagangan internasional timbul karena adanya perbedaan harga
16
relatif diantara negara.
Perbedaan ini berasal dari perbedaan dalam biaya
produksi yang disebabkan oleh: 1. Perbedaan-perbedaan dalam karunia Tuhan atas faktor produksi 2. Perbedaan-perbedaan dalam tingkat teknologi yang menentukan intesitas faktor yang digunakan. 3. Perbedaan-perbedaan dalam efisiensi pemanfaatan faktor-faktor produksi. 4. Kurs valuta asing. Pada
dasarnya
faktor
yang
mendorong
timbulnya
perdagangan
internasional dari suatu negara ke negara lain bersumber dari keinginan memperluas pemasaran komoditi ekspor dan memperbesar penerimaan devisa dalam penyediaan dana pembangunan dari negara yang bersangkutan. perdagangan
internasional
mengkaji
dasar-dasar
terjadinya
Teori
perdagangan
internasional serta keuntungan yang diperoleh dengan adanya perdagangan tersebut.
Kebijakan perdagangan internasional membahas alasan-alasan dan
pengaruh
adanya
hambatan-hambatan
perdagangan,
serta
hal-hal
yang
menyangkut proteksionisme baru (Salvatore, 1997). Kegiatan perdagangan internasional atau disebut sebagai kegiatan ekspor dan impor antar negara menyatakan bahwa suatu negara akan cenderung mengekspor barang-barang yang biaya produksi di dalam negerinya relatif lebih rendah dibandingkan dengan barang yang sama di luar negeri. Sebaliknya, suatu negara akan mengimpor barang-barang yang biaya produksi di dalam negerinya relatif lebih mahal dibandingkan dengan barang yang sama di luar negeri. Oleh karena itu bagi suatu negara, selisih antara penawaran dan permintaan domestik (excess supply) dapat diartikan sebagai penawaran ekspor.
Sementara itu
penawaran impor merupakan kelebihan permintaan domestik di negara pengimpor (excess demand). Gambarannya yaitu, suatu negara (misalnya negara A) akan cenderung mengekspor suatu komoditas ke negara lain (negara B) apabila harga domestik komoditas tersebut di negara A sebelum terjadi perdagangan internasional relatif lebih rendah dibandingkan dengan komoditas yang sama di negara B. Terjadinya harga yang relatif murah di negara A disebabkan karena adanya kelebihan
17
penawaran, yaitu produksi domestik melebihi konsumsi domestik, sehingga memungkinkan negara A untuk menjual produksinya ke negara lain (negara B). Di sisi lain, di negara B terjadi kelebihan permintaan, yaitu konsumsi domestik melebihi produksi domestik. Akibatnya harga komoditas tersebut di negara B relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara A. Akibat kelebihan permintaan tersebut, menyebabkan negara B berkeinginan untuk membeli komoditas bersangkutan yang harganya relatif lebih murah (negara A). Jadi, adanya perbedaan kebutuhan antar negara A dan B menyebabkan timbulnya perdagangan internasional antar kedua negara, dalam hal ini akan mengekspor ke negara B. SA
DA
SB
DB ES
PB
X P* M
PA ED O
QA
QB
Q*
Negara A (pengekspor)
Perdagangan Internasional
Negara B (pengimpor)
Sumber : Salvatore (1997)
Gambar 4 Kurva Perdagangan Internasional Keterangan: PA
: Harga domestik di negara A (pengekspor) tanpa perdagangan Internasional
OQA : Jumlah produk domestik yang diperdagangkan di negara A (pengekspor) tanpa perdagangan internasional X
: Jumlah komoditi yang diekspor oleh negara A
PB
: Harga
domestik
di negara
B
(pengimpor)
tanpa
perdangangan
internasional. OQB : Jumlah
produk
domestik
yang
diperdagangkan
di
negara
B
(pengimpor) tanpa perdagangan internasional. M
: Jumlah komoditi yang diimpor oleh negara B
P*
: Harga
keseimbangan
antara
kedua
negara
setelah
perdagangan
18
internasional OQ* : Keseimbangan penawaran dan permintaan antar kedua negara dimana jumlah yang diekspor (X) sama dengan jumlah yang diimpor (M). Harga
yang terjadi di pasar internasional merupakan harga
keseimbangan antara penawaran dan permintaan dunia.
Perubahan dalam
produksi dunia akan mempengaruhi penawaran dunia, sedangkan perubahan dalam konsumsi dunia akan mempengaruhi permintaan dunia. Kedua perubahan tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi harga dunia (Salvatore, 1997). Dalam memenuhi kebutuhannya, suatu negara akan melakukan transaksi ekspor impor antar negara karena keterbatasan sumber daya dan ketidakterbatasan keinginan manusia. Ekspor akan mendatangkan keuntungan bagi negara produsen dan impor menyebabkan negara konsumen mengeluarkan hartanya kepada negara produsen. Semakin banyak produk yang unggul secara komparatif dibanding produk yang sama dari negara lain, semakin potensial produk tersebut akan mendatangkan keuntungan jika diekspor. Selisih positif ekspor terhadap impor (ekspor neto) akan menambah kekayaan suatu negara (Oktaviani dan Novianti, 2009). 2.1.2 Ekspor dan Nilai Tukar Pasokan valuta asing berasal dari penawaran ekspor. Gambar 5 menunjukkan bagaimana dampak perubahan nilai tukar pada ekspor negara A ke Rest of the World (ROW). Equilibrium awal berada pada harga dunia (Pw) dan ekspor (qe). Apresiasi pada nilai tukar mata uang negara A akan menggeser excess demand dari ED ke ED’ karena ROW hanya akan bersedia membayar dengan harga yang lebih rendah. Pada akhirnya kondisi ini akan menyebabkan harga domestik negara A turun, meningkatkan harga di ROW, menurunkan ekspor dari negara A, dan menurunkan impor ROW. Dampak apresiasi mata uang negara A adalah meningkatkan nilai tukar mata uang asing di setiap jumlah dan meningkatkan harga ROW. Hal ini menggerakkan ES menjadi ES’. Secara implisit, revaluasi berlaku sebagai pajak ekspor yang implisit, karena menurunkan jumlah ekspor di setiap tingkat harga. Gambar 5 menunjukkan pula bahwa apresiasi mata uang Negara A menyebabkan
19
harga turun dari Pw ke P’a. Dapat dikatakan pula bahwa depresiasi mata uang ROW akan menyebabkan harga naik dari ekuilibrium awal menjadi P’r (Tweeten, 1992). Pasar ekspor Negara A
Negara A PA
PA
ROW
(Dalam mata uang Negara A)
d
s
PA D
S
ES P’r
Pw P’a
ED ED’
O
O
Q
q’e qe
O
Q
Q
PA ES’
ES (Dalam mata uang ROW)
P’r P’a
Pw
ED O
q’e qe
Q
Sumber : Tweeten (1992)
Gambar 5 Efek Revaluasi Mata Uang Negara Pengekspor 2.1.3 Teori Penawaran Ekspor Penawaran suatu komoditas merupakan jumlah komoditi yang ditawarkan oleh produsen kepada konsumen dalam suatu pasar pada tingkat harga dan waktu tertentu. Beberapa faktor yang mempengaruhi penawaran suatu komoditas adalah harga komoditi yang bersangkutan, harga faktor produksi, tingkat teknologi, pajak dan subsidi (Lipsey et al., 1995). Penawaran ekspor merupakan jumlah komoditi yang ditawarkan oleh suatu negara (produsen) ke negara lain (konsumen) dan juga untuk memenuhi permintaan negara lain. Penawaran ekspor dari suatu negara merupakan selisih antara
penawaran domestik dengan permintaan domestik. Negara
lain
membutuhkan komoditi tersebut sebagai akibat kelebihan permintaan negara
20
tersebut. Teori penawaran ekspor tersebut secara sistematis dapat dirumuskan sebagai berikut: SXt = Qt – Ct + St-1 Keterangan : SXt = Jumlah ekspor komoditi periode waktu t Qt
= Jumlah produksi domestik periode waktu t
Ct
= Jumlah konsumsi domestik periode waktu t
St-1 = Stok periode waktu sebelumnya (t-1) 2.1.4 Teori Permintaan Ekspor dari Negara Mitra Dagang Menurut Lipsey et al. (1995), permintaan ekspor suatu komoditi merupakan hubungan yang menyeluruh antara kuantitas komoditi yang dibeli konsumen selama periode tertentu pada suatu tingkat harga. Permintaan pasar suatu komoditi merupakan penjumlahan secara horizontal dari permintaanpermintaan individu terhadap suatu komoditi. Teori permintaan ekspor bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor suatu negara. Sebagai sebuah permintaan, ekspor suatu negara dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu harga domestik negara tujuan ekspor, harga impor negara tujuan, pendapatan perkapita penduduk negara tujuan ekspor dan selera masyarakat negara tujuan. 2.2
Penelitian Terdahulu Burger et al. (2002) dalam penelitiannya yang berjudul “Exchange Rates
and Natural Rubber Prices, the Effect of the Asian Crisis” menganalisis peran nilai tukar dalam pembentukan harga di pasar komoditas dunia, dalam hal ini diwakili oleh pasar karet alam. Penelitian ini menunjukkan bahwa harga karet alam sangat dipengaruhi oleh krisis Asia. Hal ini tidak mengejutkan karena sebagian besar karet diproduksi di Thailand, Indonesia dan Malaysia. Estimasi dampak pada dolar AS-ditandai dengan substansialnya harga pasar dunia substansial: nilai tukar riil dari tiga produsen utama telah naik sebesar 40 persen, setelah awalnya yang lebih tinggi. Dampak tersebut dihitung dengan model, termasuk nilai tukar gabungan dari tiga produsen utama, nilai tukar riil tertimbang dari tujuh negara pengimpor utama yang tidak menggunakan dolar AS dihitung
21
dampaknya pada sisi permintaan, harga bijih mineral dan logam untuk menentukan tingkat aktivitas industri dan dana spekulatif serta pasokan bulanan karet alam dan permintaan bulanan untuk semua jenis karet dihitung untuk dampak volume. Hasil simulasi untuk periode sampel maupun periode pascasampel sangat baik. Harga pasar dunia merespon perubahan nilai tukar pada sisi penawaran dan pada sisi impor. Terdapat bukti yang kuat dalam pergerakan bersama harga karet dengan mineral, bijih dan logam. Almarwani et al. (2007) melihat hubungan antara nilai tukar dan pasar komoditi yaitu ekspor jagung, kapas, unggas dan kedelai dari tahun 1961 sampai dengan tahun 2000 dengan metode ekonometrika TARCH. Ekspor komoditi jagung, kapas, unggas, dan kedelai memiliki sensitifitas yang beragam terhadap nilai tukar, dan efek nilai tukar yang terkuat terdapat pada ekspor unggas. Resiko nilai tukar hampir tidak memiliki dampak negatif pada ekspor komoditas. Dampak resiko positif pada ekspor jagung dan kedelai AS, jagung Argentina dan unggas Eropa menunjukkan bahwa adanya resiko nilai tukar merangsang upaya untuk mengatasi dampak negatif. Produsen akan mengatasi resiko nilai tukar dengan memproduksi lebih banyak untuk mempertahankan pendapatan. Boug dan Fagereng (2007) meneliti dampak ketidakpastian nilai tukar terhadap kinerja ekspor dengan model CVAR yang berbeda dan menggunakan data sektor mesin dan peralatannya di Norwegia. Dalam penelitian mereka, ada hubungan sebab akibat antara ketidakpastian nilai tukar dengan kinerja ekspor. Penelitian ini juga menemukan bahwa perubahan volatilitas didekati dengan variabel dummy sehubungan dengan perubahan kebijakan moneter dari nilai tukar tetap ke nilai tukar mengambang dan krisis keuangan Asia pada tahun 1990an membawa pengaruh yang signifikan dalam model dinamis untuk pertumbuhan ekspor - dimana tingkat harga relatif dan permintaan pasar dunia bersama-sama dengan tingkat ekspor membentuk hubungan kointegrasi yang signifikan. Dalam model yang sama penelitian ini juga menemukan bahwa variabel dummy untuk perubahan dalam kebijakan moneter dari target nilai tukar menjadi target inflasi tidak signifikan. Peramalan yang dilakukan lebih lanjut menunjukkan sebuah temuan yang bertentangan dengan hipotesis bahwa peningkatan volatilitas nilai
22
tukar dan perubahan dalam kebijakan moneter memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja ekspor. Fabiosa (2002) menganalisis dampak nilai tukar dan volatilitasnya terhadap ekspor babi dan daging babi Kanada ke AS dengan menggunakan metode ekonometrika GARCH. Penelitian ini juga membandingkan dampak nilai tukar dan volatilitasnya terhadap ekspor babi dan daging babi dari Kanada, AS, dan Denmark ke Jepang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat nilai tukar Kanada relatif terhadap dolar AS memiliki dampak positif pada ekspor daging babi, namun volatilitas nilai tukar Kanada memiliki efek negatif terhadap perdagangan daging babi. Pada saat dolar Kanada terdepresiasi relatif terhadap dolar AS, fungsi penawaran ekspor perusahaan daging babi ke pasar AS meningkat. Nilai tukar Kanada juga memiliki dampak positif pada ekspor babi, dimana saat nilai tukar Kanada terdepresiasi relatif terhadap dolar AS maka lebih banyak babi yang akan diekspor. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa ekspor daging babi dari Kanada, AS dan Denmark ke Jepang dipengaruhi oleh nilai tukar ketiga negara tersebut relatif terhadap yen Jepang dan volatilitas mata uang ketiga negara tersebut mempengaruhi ekspor secara negatif namun tidak signifikan. Prabowo (2006) menganalisis dampak kebijakan perdagangan terhadap dinamika ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang. Hasil penelitian menyatakan bahwa faktor dominan yang mempengaruhi impor karet alam ke Amerika Serikat adalah pendapatan domestik brutonya dengan respon yang elastis, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hasil ini berbeda dengan kondisi permintaan impor karet alam Jepang yang ternyata tidak responsif terhadap perubahan harga impor karet alam dan perubahan pendapatan domestik brutonya baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Penelitian ini juga menghasilkan kesimpulan bahwa distorsi pasar akibat kebijakan perdagangan dan perubahan lingkungan ekonomi mempengaruhi volume perdagangan karet alam. Perubahan pendapatan domestik bruto yang terjadi di negara importir efektif mempengaruhi arus perdagangan karet alam di sisi importir dibandingkan dengan jika terjadi perubahan pada harga karet alam dunia. Kebijakan perdagangan dan perubahan lingkungan ekonomi dari sisi negara eksportir menunjukkan bahwa
23
distorsi melalui depresiasi mata uang dan inflasi lebih besar pengaruhnya untuk meningkatkan volume ekspor daripada dengan pengenaan pajak. Penelitian yang dilakukan Hastuti (2006) yang berjudul “Pengaruh Nilai Tukar Rupiah terhadap Harga Ekspor Komoditi Kayu Indonesia” memperoleh hasil bahwa koefisien pengaruh nilai tukar signifikan pada level 1% dan tandanya positif. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa secara statistik harga ekspor kayu lapis Indonesia tidak ditentukan oleh variabel nilai tukar, tetapi ditentukan oleh harga pasar dunia. Pasar ekspor produk pulp Indonesia memiliki posisi yang lemah karena nilai koefisien pengaruh nilai tukar signifikan pada level 1% tetapi bertanda negatif. Ketika nilai tukar rupiah terdepresiasi terhadap dolar, dalam jangka panjang harga ekspor komoditi pulp menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia adalah penerima harga untuk pasar komoditi pulp. Secara keseluruhan, studi ini menghasilkan kesimpulan bahwa Indonesia memiliki posisi yang kuat pada pasar ekspor untuk komoditi kayu gergajian. Ekananda (2004) melakukan penelitian mengenai analisis pengaruh volatilitas nilai tukar pada ekspor komoditi manufaktur di Indonesia. Penerapan estimasi dilakukan dengan menggunakan distribusi lag poisons pada persamaan non linear SUR. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh fluktuasi nilai tukar terhadap nilai ekspor komoditi manufaktur pada masa nilai tukar mengambang terkendali secara proporsional, tidak berbeda antara komoditi manufaktur kandungan impor tinggi dan kandungan impor rendah. Pada periode ini, kebijakan pemerintah melakukan devaluasi dan depresiasi nilai tukar cukup efektif meningkatkan ekspor komoditi manufaktur. Namun pengaruh fluktuasi nilai tukar terhadap nilai ekspor komoditi manufaktur pada masa nilai tukar mengambang bebas secara proporsional berbeda antara komoditi manufaktur kandungan impor tinggi dan kandungan impor rendah. Pada periode ini, pemerintah melepas rentang intervensi sama sekali, sehingga nilai tukar ditentukan oleh mekanisme pasar. Penelitian ini juga menemukan bahwa pada tingkat volatilitas nilai tukar yang berbeda akan menghasilkan waktu penyesuaian yang berbeda pula.
24
Tabel 3
Rekapitulasi Penelitian Terdahulu terkait dengan Nilai Tukar dan Ekspor di berbagai Negara
No
Judul
Peneliti
Penerbit
Metode
Variabel
Data
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
VAR
Nilai tukar, harga karet sintetis, harga karet alam, konsumsi karet, produksi karet alam
Data bulanan dari Januari 1975 sampai Desember 1999
Harga karet alam sangat dipengaruhi oleh krisis Asia, karena sebagian besar karet diproduksi di Thailand, Indonesia dan Malaysia. Jangka panjang maupun jangka pendek berdampak pada produksi karet alam, konsumsi karet dan harga komoditi lainnya.
TARCH
Nilai tukar, GDP negara pengimpor, ekspor jagung, ekspor kapas, ekspor unggas, ekspor kedelai, harga domestik relatif
Ekspor komoditi jagung, kapas, unggas, dan kedelai Data memiliki sensitifitas yang tahunan beragam terhadap nilai dari 1961tukar, dan efek nilai tukar 2000 yang terkuat terdapat pada ekspor unggas.
1
Exchange Rates and Natural Rubber Prices, the Effect of the Asian Crisis.
2
Exchange Rates and Almarwani, Commodity Abdul, Markets: Curtis Jolly, Global Export dan Henry of Corn, Thompson. Cotton, 2007 Poultry, and Soybeans.
Kees Burger, Hidde Smit, dan Ben Vogelvang. 2002.
Paper prepared for the presentation at the Xth EAAE Congress ‘Exploring Diversity in the European AgriFood System’, Zaragoza (Spain), 28-31 August 2002 Agricultural Economics Review Volume 08, Issue 1, January 2007. University of Minnesota Department of Applied Economics
Hasil
25
No
Judul
Peneliti
Penerbit
Metode
Variabel
Data
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
Data bulanan dari Januari 1990 sampai Januari 2002
Pengaruh fluktuasi nilai tukar terhadap nilai ekspor komoditi manufaktur pada masa nilai tukar mengambang terkendali secara proporsional. Pada periode ini, kebijakan pemerintah melakukan devaluasi dan depresiasi nilai tukar cukup efektif meningkatkan ekspor komoditi manufaktur. Namun pengaruh fluktuasi nilai tukar terhadap nilai ekspor komoditi manufaktur pada masa nilai tukar mengambang bebas secara proporsional berbeda antara komoditi manufaktur kandungan impor tinggi dan kandungan impor rendah. Pada periode ini, pemerintah melepas rentang intervensi sama sekali, sehingga nilai tukar ditentukan oleh mekanisme pasar.
3
Analisis Pengaruh Volatilitas Nilai Tukar pada Ekspor Komoditi Manufaktur di Indonesia.
Mahyus Ekananda. 2004.
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004.
Nilai tukar riil dan disagregat ekspor Non komoditi manufaktur Linear bilateral Indonesia Seemingly dengan Jepang, Unrelated Amerika Serikat, Regression Singapura, Jerman, (NLSUR) Hongkong, Inggris, Belanda dan Prancis.
Hasil
26
No
Judul
Peneliti
Penerbit
Metode
Variabel
Data
Hasil
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
4
Dampak Kebijakan Perdagangan terhadap Dinamika Ekspor Karet Alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang.
Dwi Wahyuniarti Prabowo. 2006
Tesis Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Ordinary Least Square (OLS)
*) Data Indonesia : Faktor dominan yang kuantitas ekspor karet mempengaruhi impor karet alam Indonesia, ke AS, alam ke Amerika Serikat adalah dan ke Jepang; nilai pendapatan domestik brutonya ekspor karet alam dengan respon yang elastis, baik Indonesia, ke AS dan ke dalam jangka pendek maupun Jepang, harga ekspor jangka panjang. Permintaan karet alam Indonesia, ke impor karet alam Jepang yang AS dan ke Jepang, nilai tidak responsif terhadap Data tukar rupiah terhadap perubahan harga impor karet triwulanan USD dan Yen, IHK alam dan perubahan pendapatan dari 1995 *) Data Thailand : domestik brutonya baik dalam sampai kuantitas ekspor karet jangka pendek maupun jangka 2004 alam Thailand, ke AS, panjang. Kebijakan perdagangdan ke Jepang; nilai an dan perubahan lingkungan ekspor karet alam ekonomi dari sisi negara Thailand, ke AS dan ke eksportir menunjukkan bahwa Jepang, harga ekspor distorsi melalui depresiasi mata karet alam Thailand, ke uang dan inflasi lebih besar AS dan ke Jepang, nilai pengaruhnya untuk meningkattukar baht terhadap USD kan volume ekspor daripada dan Yen, IHK Thailand dengan pengenaan pajak.
27
No
Judul
Peneliti
Penerbit
Metode
Variabel
Data
Hasil
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
GARCH
* )Perdagangan Kanada ke AS: Ekspor daging babi ke AS, ekspor babi ke AS, indeks rata-rata bulanan harga daging babi Ontario, nilai tukar Kanada, harga nasional Barrow-gilt, IHK Kanada, IHK AS * )Perdagangan ASKanada-Denmark ke Jepang: Ekspor daging babi AS ke Jepang, Ekspor daging babi Kanada ke Jepang, Ekspor daging babi Denmark ke Jepang, nilai tukar Jepang, IHK Denmark, IHK Jepang, harga daging babi AS, harga daging babi Denmark, harga daging babi Kanada
5
Assessing the Inpact of the Exchange Rate and Its Volatility on Canadian Pork and Live Swine Exports to the United States and Japan
Jacinto F. Fabiosa, 2002
Working Paper 02WP 305 June 2002. Center for Agricultural and Rural Development Iowa State University
Harga domestik negara pengekspor berdampak negatif pada ekspor karena harga Data tersebut merupakan harga input bulanan utama dalam fungsi biaya dari pengekspor. Harga di pasar Oktober tujuan berdampak positif pada 1994 ekspor. Tingkat nilai tukar sampai berdampak positif pada ekspor November daging babi, namun volatilitas 2001 nilai tukar berdampak negatif. Sebagian besar parameter volatilitas tidak signifikan.
28 28
No
Judul
Peneliti
Penerbit
Metode
Variabel
Data
Hasil
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
6
Pengaruh Nilai Tukar Rupiah terhadap Harga Ekspor Komoditi Kayu Indonesia
7
Exchange Rate Volatility Pal Boug and Export dan Andreas Performance: Fagereng, a Cointegrated 2007. VAR Approach.
Widya Hastuti, 2006.
Tesis Magister Ekonomi, Universitas Indonesia.
Discussion Papers No. 522, November 2007. Statistics Norway, Research Department.
VECM
Harga ekspor komoditi, Wholesale Price Index (WPI), nilai tukar nominal, harga ekspor dunia
GARCH, CVAR
Harga relatif, permintaan pasar dunia untuk mesin dan peralatannya dari Norwegia, volatilitas nilai tukar, nilai tukar nominal, nilai tukar riil.
Harga ekspor kayu lapis Indonesia tidak ditentukan oleh variabel nilai Data tukar, tetapi harga ekspor kayu bulanan lapis ditentukan oleh pasar dunia. dari Pasar ekspor produk pulp Indonesia Agustus memiliki posisi yang lemah karena 1998 ketika Rupiah terdepresiasi sampai terhadap Dolar, dalam jangka Desember panjang harga ekspor komoditi pulp 2004 menurun. Indonesia memiliki posisi yang kuat pada pasar ekspor untuk komoditi kayu gergajian Terdapat hubungan sebab akibat Data antara ketidakpastian nilai tukar triwulanan dengan kinerja ekspor. Perubahan dari tahun volatilitas didekati dengan variabel 1985 dummy. Krisis keuangan Asia pada triwulan I tahun 1990an membawa pengaruh sampai yang signifikan dalam model dinamis untuk pertumbuhan ekspor, dengan tahun dimana tingkat harga relatif dan 2005 permintaan pasar dunia bersamatriwulan sama dengan tingkat ekspor IV membentuk hubungan kointegrasi yang signifikan.
29
2.3
Kerangka Pemikiran Pada nilai tukar mengambang, nilai tukar ditentukan oleh pasar dan
dibiarkan berfluktuasi dengan bebas untuk menanggapi kondisi perekonomian yang sedang berubah. Fluktuasi nilai tukar berkaitan erat dengan perdagangan internasional karena nilai suatu komoditi ekspor dinilai dengan satu satuan mata uang asing. Fluktuasi nilai tukar ini mempengaruhi kegiatan ekspor yang merupakan salah satu bentuk perdagangan internasional. Barang-barang ekspor yang dikirim ke luar negeri dihitung dengan menggunakan satu satuan mata uang asing sehingga dengan adanya fluktuasi nilai tukar ini menyebabkan harga barang ekspor menjadi tidak tentu. Jika rupiah terdepresiasi, eksportir akan beruntung karena produk mereka menjadi lebih murah di negara pengimpor, sehingga mungkin jumlah yang diminta akan meningkat dan pada akhirnya akan meningkatkan keuntungan eksportir. Sebaliknya jika rupiah terapresiasi, harga barang ekspor di negara pengimpor menjadi lebih mahal sehingga kemungkinan permintaan akan berkurang dan pada akhirnya mengurangi keuntungan eksportir. Pada kenyataannya fenomena yang terjadi di beberapa tahun tertentu, saat nilai tukar rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS, ekspor karet alam Indonesia tidak meningkat, bahkan justru menurun. Demikian pula sebaliknya di beberapa tahun tertentu, saat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terapresiasi, ekspor karet alam Indonesia meningkat. Fenomena ini diduga akan mempengaruhi arus perdagangan ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang. Pasar ekspor karet alam dunia dikuasai oleh 3 negara yaitu Thailand, Indonesia dan Malaysia. Indonesia adalah eksportir karet alam terbesar kedua dan pesaing utama Indonesia yang merupakan eksportir terbesar pertama karet alam adalah Thailand. Malaysia sebagai eksportir terbesar ketiga dari waktu ke waktu mengalami penurunan volume ekspor karena daya serap industri dalam negeri mereka terhadap karet alam yang dihasilkan semakin tinggi. Sedangkan pasar impor karet alam dunia dikuasai oleh Amerika Serikat dan Jepang. Data BPS menunjukkan sampai dengan tahun 2008 importir terbesar karet alam Indonesia adalah Amerika Serikat dan Jepang. Oleh karena itu, negara tujuan ekspor karet
30
alam Indonesia yang menjadi obyek dalam penelitian ini adalah Amerika Serikat dan Jepang. Kinerja ekspor karet alam Indonesia dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi kinerja ekspor karet alam Indonesia adalah volume ekspor, harga ekspor, harga negara pesaing, harga internasional, nilai tukar rupiah dan GDP riil negara importir. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka dapat dibangun suatu model yang menggambarkan pola perdagangan karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang. Model pola perdagangan karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang dapat digunakan untuk memprediksi jika terjadi guncangan dalam perdagangan karet alam Indonesia. Dari model tersebut, diharapkan dapat memberikan informasi bagi penyusunan kebijakan yang tepat dalam upaya peningkatan kinerja ekspor karet alam Indonesia. Alur kerangka berfikir penelitian ini diperlihatkan oleh Gambar 6.
Fluktuasi ekspor karet alam Indonesia tidak seiring dengan fluktuasi nilai tukar rupiah
Eksportir utama: • Thailand • Indonesia
Harga ekspor
Arus perdagangan karet alam
Volume ekspor karet alam Indonesia
Model arus perdagangan karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang
Kebijakan perdagangan karet alam Indonesia Gambar 6 Skema Kerangka Pemikiran Penelitian
Importir utama: • Amerika Serikat • Jepang
Nilai tukar
Harga negara pesaing Harga internasional
Pendapatan negara importir
31
2.4
Hipotesis Penelitian Penelitian ini memiliki 2 hipotesis yaitu:
1.
Terdapat hubungan jangka pendek dan jangka panjang antara nilai tukar rupiah dengan ekspor karet alam Indonesia ke AS dan Jepang.
2.
Pengaruh perubahan nilai tukar rupiah terhadap ekspor karet alam Indonesia ke AS dan Jepang positif.
32
Halaman ini sengaja dikosongkan
III. METODE PENELITIAN
3.1
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan untuk penelitian ini adalah data sekunder dan bentuk
datanya adalah time series triwulanan dari periode 1996 sampai dengan 2010. Kode HS untuk komoditi karet alam diambil dari kode HS 10 digit mulai dari 4001.10.11.00 sampai dengan 4001.29.90.00. Sumber data yang digunakan berasal dari berbagai terbitan, seperti Badan Pusat Statistik, International Monetary Fund, Gabungan Perusahaan Karet Indonesia, Bank of Thailand, Federal Reserve Economic Data, Japan Cabinet Economic Data dan sumbersumber data lain. Jenis data yang akan digunakan dengan besaran dan sumbernya disajikan pada Tabel 4. Tabel 4
Jenis dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian
Data
Definisi
Besaran
Sumber Data
KAS
Volume ekspor karet alam Indonesia ke AS
Kg
BPS
KJ
Volume ekspor karet alam Indonesia ke Jepang
Kg
BPS
PAS
Harga ekspor karet alam Indonesia ke AS (FOB)
USD/Kg
BPS (diolah)
PJ
Harga ekspor karet alam Indonesia ke Jepang (FOB)
USD/Kg
BPS (diolah)
ERIAS
Nilai tukar riil Rupiah terhadap dolar AS
Rp/USD
BI (diolah)
ERIJ
Nilai tukar riil Rupiah terhadap Yen Jepang
Rp/Yen
BI (diolah)
PINTL
Harga internasional karet alam
USD/Kg
IMF (diolah)
PTHAI
Harga negara pesaing karet alam Indonesia
USD/Kg
BOT (diolah)
YIAS
GDP riil AS
US Dollar
FRED
YIJ
GDP riil Jepang
Yen
JCED
Keterangan: • BPS • BI • IMF • BOT • FRED • JCED 3.2
: Badan Pusat Statistik : Bank Indonesia : International Monetary Fund : Bank of Thailand : Federal Reserve Economic Data : Japan Cabinet Economic Data
Metode Analisis Data Data time series pada umumnya tidak stasioner pada level. Jika data tidak
stasioner di level namun stasioner pada proses diferensi data, maka harus diuji
34
apakah data mempunyai hubungan dalam jangka panjang atau tidak dengan melakukan uji kointegrasi. Apabila terdapat kointegrasi, maka model yang digunakan adalah model Vector Error Correction Model (VECM). Model VECM merupakan model VAR yang terestriksi (restricted VAR). Adanya kointegrasi menunjukkan adanya hubungan jangka panjang antar variabel di dalam sistem VAR. Salah satu tujuan penelitian adalah mengetahui hubungan jangka panjang antara nilai tukar dengan ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan analisis VECM. Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini adalah program Excel 2003 dan Eviews 6.0. 3.2.1 Vector Autoregression (VAR) VAR adalah suatu sistem persamaan yang memperlihatkan setiap peubah sebagai fungsi linier dari konstanta dan nilai lag (lampau) dari peubah itu sendiri serta nilai lag dari peubah lain yang ada dalam sistem. Peubah penjelas dalam VAR meliputi nilai lag seluruh peubah tak bebas dalam sistem. Pada metode VAR, variabel eksogen dan endogen tidak dapat dibedakan secara apriori. Menurut Sims (1972) dalam Junaidi (2010) hanya variabel endogen yang masuk analisis. Keunggulan metode VAR dibandingkan dengan metode ekonometri konvensional adalah (Junaidi 2010): 1
Mengembangkan model secara bersamaan di dalam suatu sistem yang kompleks (multivariate), sehingga dapat menangkap hubungan keseluruhan variabel di dalam persamaan tersebut.
2
Uji VAR yang multivariate bisa menghindari parameter yang bias akibat tidak dimasukannya variabel yang relevan.
3
VAR dapat mendeteksi hubungan antar variabel di dalam sistem persamaan, dengan menjadikan seluruh variabel sebagai endogenous.
4
Karena bekerja berdasarkan data, metode VAR terbebas dari berbagai batasan teori ekonomi yang sering muncul, termasuk gejala perbedaan palsu di dalam model ekonometri konvensional, terutama pada persamaan simultan, sehingga menghindari penafsiran yang salah.
35
Selain memiliki kelebihan, metode VAR juga memiliki kelemahan, adapun beberapa kelemahan yang dimiliki model VAR antara lain: 1
Model VAR lebih bersifat ateoritik karena tidak memanfaatkan informasi atau teori terdahulu. Oleh karenanya, model tersebut sering disebut model yang tidak struktural.
2
Mengingat tujuan utama model VAR untuk peramalan, maka model VAR kurang cocok untuk menganalisis kebijakan.
3
Pemilihan banyaknya lag yang digunakan dalam persamaan juga dapat menimbulkan permasalahan dalam proses estimasi. Pemodelan VAR adalah bentuk pemodelan yang digunakan untuk
multivariate time series. Model VAR menjadikan semua variabel bersifat endogen. Spesifikasi model VAR meliputi pemilihan variabel dan banyaknya selang (lag) yang digunakan dalam model. Sesuai dengan Sims (1972) dalam Junaidi (2010), variabel yang digunakan dalam persamaan VAR dipilih berdasarkan teori ekonomi yang relevan. Pemilihan selang optimal kemudian akan menggunakan kriteria informasi
seperti Akaike information criterion (AIC),
Schwarz information criterion (SC), Hannan-Quinn information criterion (HQ). Model VAR secara matematis dapat diwakili oleh (Enders 2004):
xt = µ t +
∑
k i =1
Ai X
t −1
+ut
(3.1)
xt adalah vektor dari variabel-variabel endogen berdimensi (n x 1), μt adalah vektor dari variabel-variabel eksogen termasuk di dalamnya konstanta (intercept) dan tren, Ai adalah matriks-matriks koefisien berdimensi (n x n), dan ut adalah vektor dari residual-residual yang secara kontemporer berkorelasi tetapi tidak berkorelasi dengan nilai lag mereka sendiri dan juga tidak berkorelasi dengan seluruh variabel yang ada dalam sisi kanan persamaan di atas. 3.2.2 Uji Stasioneritas Data Hal penting yang berkaitan dengan studi atau penelitian yang menggunakan data time series adalah stasioneritas. Data deret waktu dikatakan stasioner jika data menunjukkan pola yang konstan dari waktu ke waktu atau dengan kata lain tidak terdapat pertumbuhan atau penurunan pada data, secara kasarnya data harus horizontal sepanjang sumbu waktu.
36
Engel dan Granger (1987) dalam Junaidi (2010) menyatakan bahwa uji akar unit dipandang sebagai uji stasioneritas, karena pada intinya uji tersebut bertujuan untuk mengamati apakah koefisien tertentu dari model otoregresif yang ditaksir mempunyai nilai atau tidak. Jika data runtun waktu (time series) yang digunakan tidak stasioner, maka kesimpulan yang diperoleh akan menghasilkan pola hubungan regresi yang semu (spurious regression). Data yang stasioner akan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-ratanya dan berfluktuasi disekitar nilai rata-ratanya (Gujarati 2006). Ada beberapa cara untuk melakukan uji akar unit root, namun yang paling banyak adalah dengan augmented Dicky Fuller (ADF) test. Misalkan model persamaan time series sebagai berikut (Pasaribu 2003): yt = ρyt-1 + εt
(3.2)
ρ adalah parameter yang akan diestimasi dan ε diasumsikan white noise dimana variabel yang digunakan tersebut memiliki mean dan variance yang konstan dan kovarian sama dengan nol. Jika |ρ| ≥ 1, maka y adalah variabel yang tidak stasioner, dan varian dari y akan meningkat sejalan dengan peningkatan waktu dan cenderung untuk tak berhingga. Jika |ρ| < 1, maka y adalah variabel yang stasioner. Hipotesis trend stationarity dapat dievaluasi dengan menguji apakah nilai absolut dari ρ betul-betul kecil dari satu. Pengujian umum terhadap hipotesis diatas adalah: H0 : ρ = 1 dan hipotesis alternatif H1: ρ<1. Kemudian dengan mengurangi kedua sisi persamaan (3.2) dengan yt-1 didapat persamaan: ∆yt = αyt-1 + εt
(3.3)
dimana ∆ mengidentifikasikan perbedaan pertama, sedangkan α= ρ-1, sehingga hipotesis nol menjadi H0: α=0, sedangkan hipotesis alternatif menjadi H1: α<1. Sedangkan model umum dari ADF yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (Pasaribu 2003): ∆yt = k +αyt-1 + c1 ∆yt-2 + ...+ cp∆yt-p + β trend + εt
(3.4)
Jika nilai t-statistik ADF lebih kecil dari t-statistik kritis MacKinnon maka keputusannya adalah menolak H0 yang menyatakan bahwa data tidak stasioner atau dengan kata lain data bersifat stasioner.
37
3.2.3 Penetapan Lag Optimal Uji lag optimal dilakukan untuk mengetahui berapa jumlah lag yang sesuai untuk model. Penetapan tingkat lag optimal dapat dilakukan dengan menggunakan fungsi kriteria informasi sebagai berikut: (a) Kriteria uji likelihood ratio (LR); (b) final prediction error (FPE); (c) Akaike information criterion (AIC); (d) Schwartz information criterion (SIC); dan (e) Hannan_Quinn criterion (HQ). Penentuan lag optimal dalam analisis VAR sangat penting dilakukan karena variabel endogen dari variabel endogen dalam sistem persamaan akan digunakan sebagai variabel eksogen (Enders 2004). Pengujian panjang lag optimal ini berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sistem VAR. Dalam penelitian ini digunakan semua kriteria informasi untuk menentukan lag optimal. Model VAR diestimasi dengan lag yang berbeda-beda kemudian dibandingkan nilai kriterianya. Nilai lag yang optimum adalah nilai kriteria yang terkecil. 3.2.4 Uji Kointegrasi Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam VAR adalah semua peubah tak bebas bersifat stasioner. Apabila data tidak stasioner, maka perlu dilakukan uji kointegrasi, dimana jika data yang tidak stasioner terkointegrasi, maka kombinasi linier antar variabel-variabel dalam sistem akan bersifat stasioner, sehingga dapat diperoleh sistem persamaan jangka panjang yang stabil (Enders 2004). Suatu deret waktu dikatakan terintegrasi pada lag ke-d atau I(d) jika data tesebut bersifat stasioner setelah pendiferensian sebanyak d kali. Peubah-peubah tidak stasioner yang terintegrasi pada tingkat yang sama dapat membentuk kombinasi linier yang bersifar stasioner. Komponen dari vektor yt dikatakan terkointegrasi jika ada vektor β = (β1, β2,......,βn) sehingga kombinasi linier βyt bersifat stasioner, dengan syarat ada unsur matriks β bernilai tidak sama dengan nol. Vektor β dinamakan vektor kointegrasi. Rank kointegrasi (r) dari vektor adalah banyaknya vektor kointegrasi yang saling bebas. Nilai (r) dapat diketahui melalui uji Johansen. Hipotesisnya adalah: H0 = rank ≤ r H1 = rank > r
38
Apabila rank kointegrasi lebih besar dari nol, maka model yang digunakan adalah VECM dan apabila rank kointegrasi sama dengan nol, maka model yang digunakan adalah VAR dengan pendiferensian sampai lag ke d. Adanya hubungan kointegrasi dalam sebuah sistem persamaan mengimplikasikan bahwa dalam sistem tersebut terdapat Error Correction Model yang menggambarkan adanya dinamisasi jangka pendek secara konsisten dengan hubungan jangka panjannya. 3.2.5 Vector Error Correction Model (VECM) VECM merupakan bentuk VAR yang terestriksi. Restriksi tambahan ini harus diberikan karena keberadaan bentuk data yang tidak stasioner pada level namun terkointegrasi. VECM kemudian memanfaatkan informasi restriksi kointegrasi tersebut ke dalam spesifikasinya. VECM sering disebut sebagai desain VAR bagi series non stasioner yang memiliki hubungan kointegrasi. Spesifikasi VECM merestriksi hubungan jangka panjang variabel-variabel endogen agar konvergen ke dalam hubungan kointegrasinya, namun tetap membiarkan keadaan dinamisasi jangka pendek. Istilah kointegrasi dikenal juga sebagai error, karena deviasi terhadap keseimbangan jangka panjang dikoreksi secara bertahap melalui series parsial penyesuaian jangka pendek. VECM standar didapat dari model VAR dikurangi dengan xt-1. Persamaan matematis ditunjukkan oleh persamaan berikut (Achsani et al. 2005 dalam Junaidi 2010): k −1
∆xt-1 = μt + Πxt-1 + ∑ Γi ∆xt-1 + ut
(3.5)
i =1
Π dan Γ adalah fungsi dari Ai, matriks Π bisa didekomposisi kedalam 2 matriks berdimensi (n x r) α dan β; Π = α βT, dimana α disebut matriks penyesuaian dan β sebagai vektor kointegrasi dan r adalah cointegration rank. Kerangka kointegrasi hanya sesuai jika variabel-variabel yang berhubungan terintegrasi. Hal ini bisa diuji dengan menggunakan uji akar unit. Saat tidak bisa ditemukan akar unit, maka metode ekonometrik tradisional dapat diterapkan. 3.2.6 Impuls Response Function (IRF) IRF menunjukkan bagaimana respon dari setiap variabel endogen sepanjang waktu terhadap kejutan dari variabel itu sendiri dan variabel endogen lainnya. IRF
39
digunakan untuk melihat pengaruh kontemporer dari sebuah variabel dependen jika mendapatkan guncangan atau inovasi dari variabel independen sebesar satu standar deviasi. Vector autoregression dapat pula direpresentasikan sebagai suatu vector moving average (VMA): ∞
xt = μ + ∑ φ i ε i= 0
(3.6)
t −1
φ 11 (i ) keterangan : φ = φ 21 (i )
φ 12 (i ) φ 22 (i )
Keempat koefisien Ø11(i), Ø12(i), Ø21(i), dan Ø22(i) merupakan impuls response function. Hasil IRF tersebut sangat sensitif terhadap pengurutan (ordering) variabel yang digunakan dalam perhitungan. Pengurutan variabel yang didasarkan pada faktorisasi cholesky. Variabel yang memiliki nilai prediksi terhadap variabel lain diletakkan di depan berdampingan satu sama lainnya. Variabel yang tidak memiliki nilai prediksi terhadap variabel lain diletakkan paling belakang. Dalam penelitian ini yang akan diteliti adalah pengaruh shock volume ekspor, harga ekspor, nilai tukar riil, harga internasional dan harga karet alam negara kompetitor pada lag 1 terhadap volume ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang. 3.2.7 Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) FEVD adalah metode yang dapat digunakan untuk melihat bagaimana perubahan dalam suatu variabel makro ditunjukkan oleh perubahan variance error yang dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya. Metode ini dapat melihat juga kekuatan dan kelemahan dari masing-masing variabel dalam memengaruhi variabel lainnya pada kurun waktu yang panjang (how long/how persistent). Dekomposisi varians merinci varians dari error peramalan (forecast) menjadi komponen-komponen yang dapat dihubungkan dengan setiap variabel endogen dalam model. Melalui perhitungan persentase squared prediction error k-tahap ke depan dari sebuah variabel akibat inovasi dalam variabel-variabel lain, dapat dilihat seberapa besar error peramalan variabel tersebut disebabkan oleh variabel itu sendiri dan variabel-variabel lainnya
40
3.2.8 Derajat Pass-Through Metode penghitungan derajat pass-through mengacu pada model Hyder dan Shah dalam Achsani (2007) dimana Cholesky decomposition digunakan untuk mengidentifikasi guncangan struktural dan menghitung derajat pass-through melalui analisis impulse response. Koefisien (derajat) pass-through dihitung berdasarkan kumulatif impulse response dari variabel shock terhadap variabel respon dan variabel shock terhadap variabel shock itu sendiri. Persamaan matematis penghitungan derajat pass-through adalah sebagai berikut: Derajat Pass − Through =
∑ ∑
n
ψ rs
i =1 n
ψ ss i =1
(3.7)
Keterangan: n ∑ i = 1ψ rs : kumulatif respon K terhadap shock P, ERI, PINTL dan PTHAI dari horizon pertama sampai ke-n
∑
n i =1
ψ
s s
: kumulatif respon P, ERI, PINTL dan PTHAI terhadap shock P, ERI, PINTL dan PTHAI dari horizon pertama sampai ke-n
3.3
Model Penelitian Model penelitian ini adalah: Yt = α + ∑ ik=1 β iYt −1 + ε t
Keterangan:
(3.8)
Yt : vektor variabel endogen (XKt, Pt, PINTLt, PTHAIt, ERIt) α : konstanta β : koefisien matriks untuk lag-i ε : residual t : periode (triwulan) k : ordo dari model VAR
Berdasarkan model di atas, dengan memasukkan enam variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini, maka persamaan VAR yang akan terbentuk sesuai variabel yang akan dianalisis adalah: Kt = α1 + ∑ik=1 β1Kt −1 + ∑ik=1δ1Pt −1 + ∑ik=1θ1PINTLt −1 + ∑ik=1φ1PTHAIt −1 + ∑ik=1ω1ERIt −1 + ∑ik=1ψ1YIt −1 + ε1t
(3.9)
Pt = α2 + ∑ik=1δ2Pt −1 + ∑ik=1θ2 PINTLt −1 + ∑ik=1φ2PTHAIt −1 + ∑ik=1ω2ERIt −1 + ∑ik=1ψ2YIt −1 + ∑ik=1 β2 Kt −1 + ε2t
(3.10)
PINTLt = α3 + ∑ ik=1θ3PINTLt −1 + ∑ ik=1φ3 PTHAIt −1 + ∑ ik=1ω3 ERIt −1 + ∑ ik=1ψ 3YIt −1 + ∑ ik=1 β3Kt −1 + ∑ ik=1δ3Pt −1 + ε3t
(3.11)
PTHAIt = α4 + ∑ik=1φ4 PTHAIt −1 + ∑ik=1ω4ERIt −1 + ∑ik=1ψ4YIt −1 + ∑ik=1 β4 Kt −1 + ∑ik=1δ4Pt −1 + ∑ik=1θ4PINTLt −1 + ε4t
(3.12)
41
ERIt = α5 + ∑ik=1ω5ERIt −1 + ∑ik=1ψ5YIt −1 + ∑ik=1 β5Kt −1 + ∑ik=1δ5Pt −1 + ∑ik=1θ5PINTLt −1 + ∑ik=1φ5PTHAIt −1 + ε5t
Keterangan: K P PINTL PTHAI ERI YI
(3.13)
: Volume ekspor karet alam (Kg) : Harga ekspor karet alam (USD/Kg) : Harga karet alam di pasar internasional (USD/Kg) : Harga karet alam di negara kompetitor (USD/Kg) : Nilai tukar riil (Rp/USD dan Rp/Yen) : GDP riil (USD dan Yen)
Persamaan umum: X t = A0 + A1 X t −1 + A2 X t − 2 + ... + A p X t − p + et
Keterangan: Xt A0 A1 et
(3.14)
: Vektor yang berisi n variabel (nx1) : Vektor intersep (nx1) : Matriks koefisien (nxn) : Vektor variabel gangguan
Berdasarkan persamaan di atas, maka untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan jangka panjang (hubungan jangka panjang) maka model VAR harus dikombinasikan dengan VECM sehingga persamaan akan menjadi sebagai berikut: k −1
∆X t = ∑i=1τ i ∆xt −1 + µ0 + µ1t + αβµt −1 + ε t
Error termnya (ε1t, ε2t, ε3t,
… ,
(3.15)
ε5t) yaitu sisaan (dugaan error term) akan menjadi
fokus utama. εit dapat diinterpretasikan sebagai inovasi atau guncangan dari variabel yang kita inginkan, sehingga dampak guncangan sebuah variabel terhadap variabel lainnya dapat dianalisis. Perestriksian persamaan VAR dan VECM di atas akan menyebabkan jumlah parameter sama dengan jumlah persamaan (exact identified) sehingga error ε1t, ε2t, ε3t, … , ε5t dapat diidentifikasi dan diperoleh pure innovation dari ε1t, ε2t, ε3t,
… ,
ε5t. Setelah diperoleh pure
innovation maka analisis selanjutnya dapat dilakukan yaitu impulse response function (IRF) dan forecast error variance decomposition (FEVD).
42
Halaman ini sengaja dikosongkan
IV. GAMBARAN UMUM KARET ALAM INDONESIA
4.1
Sejarah Singkat Karet Alam Tahun 1943 Michele de Cuneo melakukan pelayaran ekspedisi ke Benua
Amerika. Dalam perjalanan ini ditemukan sejenis pohon yang mengandung getah. Pohon-pohon itu hidup secara liar di hutan-hutan pedalaman Amerika yang lebat. Orang-orang Amerika asli mengambila getah dari tanaman tersebut dengan cara menebangnya. Getah yang diperoleh kemudian dijadikan bola yang dapat dipantul-pantulkan. Bola ini disukai penduduk asli sebagai alat permainan. Penduduk Indian Amerika juga membuat alas kaki dan tempat air dari getah tersebut. Tanaman yang dilukai batangnya ini diperkenalkan sebagai tanaman Hevea. Pengenalan pohon Hevea membuka langkah awal yang sangat pesat ke arah zaman penggunaan karet untuk berbagai keperluan. Cara pelukaan untuk memperoleh getah karet jauh lebih efisien daripada cara tebang langsung. Selain itu, dengan cara ini tanaman karet bisa diambil getahnya berkali-kali. The Royal Botanic Gardens di daerah Kew, London, adalah perintis perkembangan karet di benua Asia. Kebun raya yang terkenal di London tersebut mengirimkan seorang utusannya bernama Markham tahun 1860 menuju Amerika Selatan. Markham mendatangi pohon karet di tempat asalnya dan mengambil bijibijinya untuk ditanam. Selain Markham, H.A. Wickham juga mendapat tugas dari Direktur Kebun Raya Kew, Sir Joseph Hooker untuk mengumpulkan biji-biji tanaman karet dari Brazil. Biji-biji karet dari Brazil inilah yang merupakan cikal bakal berkembangnya tanaman karet di daratan Asia. Setelah berbagai uji coba dilakukan dan menunjukkan kecocokan, perkebunan karet mulai dibuka di beberapa kawasan Asia. Areal tanaman karet di Asia makin lama makin meluas. Berkembangnya perkebunan karet Asia tersebut merupakan respon dari pesatnya industrialisasi di Eropa yang membutuhkan banyak bahan baku karet. Pesatnya perluasan areal tanaman karet menjadikan negara-negara di Asia, khususnya Asia Tenggara, menjadi produsen karet nomor satu di dunia. Malaysia yang memiliki pusat penelitian karet telah melakukan penelitian sehingga mampu menghasilkan klon-klon baru yang memiliki keunggulan jauh lebih tinggi dalam hal produksi. Selain itu juga ditemukan bahan kimia stimulan yang dapat merangsang pohon
44
karet untuk mengeluarkan lateks atau getah lebih banyak tanpa merusak kondisi tanaman. Akibatnya, produksi karet di negara-negara Amerika Latin yang merupakan asal tanaman karet dapat dilampaui. Tanaman karet mulai dikenal di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Awalnya karet ditanam di Kebun Raya Bogor untuk dikoleksi. Tahun 1864 perkebunan karet mulai diperkenalkan di Indonesia. Perkebunan karet dibuka oleh Hofland pada tahun tersebut di daerah Pamanukan dan Ciase Jawa Barat. Jenis karet yang ditanam pertama kali adalah karet rambung atau Ficus Elastica. Jenis karet Hevea (Hevea Brasiliensis) baru ditanam tahun 1902 di daerah Sumatera Timur. Jenis ini ditanam di Pulau Jawa pada tahun 1906. Pada masa sebelum Perang Dunia II hingga tahun 1956 Indonesia menjadi penghasil karet alam terbesar di dunia. Kebutuhan karet alam dunia yang besar waktu itu sebagian besar dipasok oleh Indonesia. Pengelolaan kebun karet, perluasan perkebunan karet, peremajaan tanaman-tanaman karet tua tidak dilakukan oleh Indonesia sehingga terjadi penurunan produksi. Oleh karena itu, sejak tahun 1957 kedudukan Indonesia sebagai produsen karet nomor satu digeser oleh Malaysia. Pada tahun 1963-1973 produktivitas perkebunan karet Indonesia mulai membaik. Peremajaan tanaman, penggunaan pupuk sesuai kebutuhan, pemakaian pestisida, dan penggunaan zat pemacu produksi merupakan penunjang terjadinya peningkatan produksi pada periode ini. Pada tahun 1978 produksi karet kembali meningkat. Pada periode ini, faktor yang memengaruhi peningkatan produksi adalah meluasnya penggunaan klon unggul tanaman karet dan peningkatan harga karet alam yang turut dirasakan sampai ke tingkat petani. Pada periode 80-an hingga sekarang, permasalahan yang ada dalam perkaretan Indonesia adalah rendahnya mutu karet alam Indonesia, sehingga walaupun produksi karet Indonesia tergolong besar namun tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap perkaretan dunia. Rendahnya mutu karet alam Indonesia membuat harga jual karet alam di pasaran luar negeri menjadi rendah. Walaupun demikian, bagi perekonomian Indonesia karet alam tetap memberi sumbangan ekonomi yang besar (Tim Penulis PS, 2008).
45
4.2
Produksi Karet Alam Pada dasarnya, industri karet terbagi atas dua jenis yakni karet alam dan
karet sintetis. Jenis-jenis karet alam yang dikenal luas adalah bahan olah karet, karet konvensional, lateks pekat, karet bongkah (block rubber), karet spesifikasi teknis (crumb rubber), karet siap olah (tyre rubber) dan karet reklim (reclaimed rubber). Dewasa ini jumlah produksi karet alam dan karet sintetis adalah 1:2, yang artinya jumlah produksi karet alam hanya setengah daripada karet sintetis. Hal ini dikarenakan sejak PD II beberapa penelitian mengenai karet sintetis dilakukan secara intensif oleh beberapa negara maju dan selanjutnya karet buatan ini diproduksi secara besar-besaran. Lambat laun permintaan terhadap karet sintetis meningkat pesat sehingga mengurangi permintaan karet alam. Karet sintetis sebagian besar dibuat dengan mengandalkan bahan baku lapisan minyak bumi. Biasanya karet sintetis akan memiliki sifat tersendiri yang khas. Ada jenis yang tahan terhadap panas atau suhu tinggi, minyak, pengaruh udara bahkan ada yang kedap gas. Karet sintetis memiliki kelebihan antara lain tahan terhadap zat kimia dan harganya cenderung dapat dipertahankan. Bila ada pihak yang menginginkan karet sintetis dalam jumlah tertentu, maka biasanya pengiriman atau suplai barang tersebut jarang mengalami kesulitan. Hal seperti ini sulit diharapkan dari karet alam, karena harga dan pasokan karet alam selalu mengalami perubahan, bahkan kadang-kadang bergejolak. Walaupun jumlah produksi dan konsumsi karet alam jauh di bawah karet sintetis, sesungguhnya karet alam belum dapat digantikan oleh karet sintetis karena karet alam memiliki keunggulan-keunggulan yang sulit ditandingi oleh karet sintetis. Keunggulan karet alam antara lain memiliki daya elastis sempurna, memiliki plastisitas yang baik sehingga pengolahannya mudah, mempunyai daya aus yang tinggi, tidak mudah panas dan memiliki daya tahan yang tinggi terhadap keretakan. Karet alam memiliki beberapa kelemahan dipandang dari sudut kimia maupun bisnis dibanding karet alam, namun karet alam tetap mempunyai pangsa pasar yang baik. Beberapa industri tertentu tetap memiliki ketergantungan yang besar terhadap pasokan karet alam, salah satunya adalah industri ban yang merupakan pemakai terbesar karet alam. Beberapa jenis ban seperti ban radial
46
walaupun dalam pembuatannya dicampur dengan karet sintetis, tetapi jumlah karet alam yang digunakan tetap besar, yaitu dua kali lipat komponen karet alam untuk pembuatan ban non-radial. Jenis-jenis ban yang besar kurang baik bila dibuat dari bahan karet sintetis yang lebih banyak. Porsi karet alam yang dibutuhkan untuk ban berukuran besar adalah jauh lebih besar. Ban pesawat terbang bahkan dibuat hampir semuanya dari bahan karet alam. Walaupun keberadaan karet sintetis berpengaruh pada perdagangan karet alam, dua jenis karet ini memiliki pasar tersendiri. Karet alam dan karet sintetis tidak akan saling mematikan atau bersaing penuh. Keduanya mempunyai sifat saling melengkapi atau komplementer (Zuhra, 2006). Sekitar lebih dari 70 persen karet alam dunia digunakan untuk industri ban. Biasanya dalam proses pembuatan ban konvensional, karet alam dengan komposisi sebanyak 24 persen, harus dicampur dengan karet sintetis 19 persen, karet hasil daur ulang 0,3 persen, steel 14 persen, serat buatan 7 persen, carbon black 23 persen dan bahan campuran lainnya sebanyak 13 persen, sehingga didalam ban konvensional 50 persen lebih masih bergantung pada unsur turunan minyak bumi. Seiring dengan keterbatasan minyak bumi dan isu pentingnya pengurangan efek emisi karbondioksida yang timbul dalam proses pembuatan ban berbahan turunan dari minyak bumi, para pembuat ban berlomba-lomba untuk mengurangi bahan turunan dari minyak bumi dalam proses pembuatan ban. Dengan adanya trend produsen ban untuk memproduksi ban ramah lingkungan jenis green tyres, maka diperkirakan dimasa depan untuk industri ban saja permintaan karet alam akan bertambah sekitar 2-3 kali lipat, sebab kandungan karet alam didalam ban akan menjadi sekitar 60-80 persen. Produksi karet alam dunia pada tahun 2010 adalah sekitar 10,3 juta ton atau meningkat lebih dari 3,5 persen per tahun selama 10 tahun terakhir (Tabel 6). Total produksi karet alam Thailand, Indonesia dan Malaysia mencapai 68 persen dari total produksi dunia pada tahun 2010. Sebagai produsen utama karet alam, ketiga negara tersebut memiliki pertumbuhan produksi yang positif selama periode 2000-2010. Indonesia yang merupakan produsen karet alam nomor dua terbesar di dunia dengan produksi setelah Thailand memiliki rata-rata pertumbuhan tertinggi selama periode tersebut yaitu sebesar 5,65 persen per
47
tahun. Thailand sebagai kompetitor utama karet alam Indonesia memiliki pertumbuhan yang cukup rendah yaitu 2,27 persen per tahun, dan Malaysia memiliki pertumbuhan produksi karet alam terendah yaitu 1,2 persen per tahun. Rendahnya pertumbuhan produksi Malaysia disebabkan karena banyaknya tanaman karet yang sudah tidak produktif dan terbatasnya lahan untuk pengembangan karet. Walaupun memiliki pertumbuhan yang lebih rendah daripada Indonesia, Thailand memiliki pangsa produksi yang terbesar dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000 pangsa produksi Thailand sebesar 34,7 persen, Indonesia sebesar 22,2 persen, dan Malaysia sebesar 13,7 persen dari total produksi dunia. Pada tahun 2010 pangsa produksi karet alam Thailand menurun menjadi 31,6 persen dan Indonesia meningkat menjadi 26,9 persen dari total produksi dunia. Tabel 5
Produksi Karet Alam Negara Produsen Utama dan Dunia, 2000-2010
Tahun (1) 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Pertumbuhan per tahun (%)
Produksi (000 ton) Thailand (2) 2.346 2.320 2.615 2.876 2.984 2.937 3.137 3.056 3.090 3.164 3.252 2,27
Indonesia (3) 1.501 1.607 1.632 1.798 2.066 2.271 2.637 2.755 2.751 2.595 2.770 5,65
Malaysia (4) 928 882 890 986 1.169 1.126 1.284 1.200 1.072 857 939 1,20
Dunia (5) 6.762 7.332 7.326 8.005 8.744 8.896 9.706 9.833 10.042 9.662 10.291 3,55
Sumber : International Rubber Study Group (IRSG)
Saat ini Indonesia berada di peringkat kedua sebagai negara produsen karet alam terbesar di dunia. Peringkat pertama ditempati Thailand, sedangkan Malaysia di posisi ketiga. Dari segi areal perkebunannya, Indonesia memiliki hamparan kebun karet terluas di dunia. Menurut catatan Ditjen Perkebunan,
48
Departemen Pertanian, sampai tahun 2008 lalu luas areal perkebunan karet Indonesia mencapai sekitar 3,47 juta ha dengan total produksi karet alam sebanyak 2.921.872 ton. Rasio antara volume produksi karet dengan luas areal perkebunan yang ada menunjukkan produktivitas yang masih rendah. Hal ini disebabkan sekitar 85 persen dari total perkebunan karet di Indonesia merupakan perkebunan rakyat (Tabel 7). Menurut beberapa hasil penelitian, produktivitas perkebunan karet rakyat masih sangat rendah, yaitu sekitar 600 - 800 kg per hektar per tahun. Perkebunan rakyat umumnya belum menggunakan bibit karet dari klon-klon unggul, pemeliharaannya masih sederhana, serta banyak tanaman karet yang sudah tua dan rusak. Padahal, di Thailand dengan menggunakan bibit karet dari klon unggul disertai pemeliharaan yang baik, produktivitasnya dapat mencapai 1.500 - 2.000 kg per hektar per tahun. Tabel 6
Produksi Karet Alam Indonesia menurut Jenis Produsen, 2005-2010 Produsen
Produksi (000 ton) 2007 2008 (4) (5)
2005 (2)
2006 (3)
1.839
2.083
2.190
Perkebunan Pemerintah
210
266
Perkebunan Swasta
222 2.271
(1) Perkebunan Rakyat
Total Produksi
2009 (6)
2010 (7)
2.176
2.065
2.207
277
294
254
270
289
288
320
276
293
2.638
2.755
2.751
3.040
2.770
Sumber : http://www.gapkindo.org/index.php/en/component/content/article/1-artikel/152perkebunan-karet-alam-eng.html diunduh tanggal 21 Juli 2011
Di tahun 2005 produksi karet alam dari perkebunan rakyat sebesar 1,8 juta ton meningkat menjadi 2,2 juta ton di tahun 2010, walaupun sempat mengalami penurunan di periode tahun 2007 sampai 2009. Peningkatan produksi karet alam Indonesia disebabkan karena adanya program revitalisasi perkebunan karet alam yang sudah tidak produktif digantikan dengan bibit unggul. Target utama program revitalisasi perkebunan karet adalah melaksanakan peremajaan perkebunan karet uta dan perluasan perkebunan karet rakyat sekitar 60.000-85.000 hektar. Program revitalisasi ini sudah dimulai sejak tahun 2004 dengan fokus utamanya adalah perkebunan karet rakyat. Pasar karet dunia yang semakin baik dengan mulai
49
meningkatnya harga karet alam dunia merupakan suatu kesempatan bagi Indonesia untuk dapat meningkatkan produktivitas perkebunan karetnya sehingga akan meningkatkan devisa negara. 4.3
Konsumsi Karet Alam Tabel 8 menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun konsumsi karet alam
dunia cenderung mengalami peningkatan. Hal ini membuktikan bahwa permintaan karet alam tetap tinggi. Tingginya permintaan karet alam tentunya akan meningkatkan harga karet alam. Tingginya permintaan akan karet alam merupakan peluang besar bagi negara produsen karet alam untuk meningkatkan volume ekspornya. Tabel 7
Konsumsi Karet Alam menurut Konsumen Terbesar dan Dunia, 20002007 Konsumsi (000 ton) Tahun (1) 2000
Amerika Serikat (2) 1.193
2001
972
729
1.215
7.333
2002
1.111
749
1.310
7.556
2003
1.079
784
1.485
7.952
2004
1.144
815
1.630
8.718
2005
1.159
857
2.045
9.200
2006
1.003
874
2.400
9.677
2007
1.018
888
2.550
10.144
Rata-rata Pertumbuhan
-1,68
2,44
13,22
3,34
Jepang
Cina
Dunia
(3) 752
(4) 1.080
(5) 7.340
Sumber: Rubber Statistical Bulletin, 2008.
Sampai dengan tahun 2007, konsumsi karet alam Cina sudah melebihi konsumsi karet alam Amerika Serikat dan Jepang. Pertumbuhan konsumsi karet alam di Cina dari tahun 2000 sampai tahun 2007 merupakan yang tertinggi yaitu sebesar 13,22 persen, disusul oleh Jepang sebesar 2,44 persen, dan Amerika Serikat mengalami pertumbuhan konsumsi yang negatif sebesar -1,68 persen per tahun.
50
Pada tahun 2007, konsumsi karet alam Cina menguasai 25,14 persen dari total konsumsi karet alam dunia. Selama ini, sekitar 70 persen kebutuhan karet Cina dipenuhi oleh Thailand. Tingginya permintaan karet alam Cina disebabkan karena Cina mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi (sekitar 10 persen per tahun) yang dipicu oleh adanya proses industrialisasi di negara tersebut. Pertumbuhan industri Cina yang sangat mengesankan terutama industri otomotif dan perkapalan membuat negara ini membutuhkan komoditas karet dalam jumlah yang besar, sehingga menempatkan Cina sebagai konsumen terbesar karet dunia saat ini. Sementara itu Amerika Serikat, Jepang, Eropa, India dan Korea merupakan konsumen karet alam utama lainnya. Kecenderungan konsumsi karet alam dunia yang dikuasai Cina menandai adanya pergeseran peta konsumsi dari kawasan Amerika-Eropa ke kawasan Asia. Konsumsi karet alam mengalami penurunan pasca terjadinya krisis global pada akhir tahun 2008. Krisis global terlah menyebabkan melemahnya industri otomotif yang berdampak secara nyata pada penurunan konsumsi karet alam pada negara-negara konsumen utama seperti Amerika Serikat, Jepang dan Cina. Sampai akhir tahun 2008 konsumsi sedikit mengalami penurunan dibanding tahun 2007 yaitu sebesar 9,7 juta ton dengan tingkat produksi sebesar 9,8 juta ton (IRSG, 2009). 4.4
Ekspor Karet Alam Dari tahun ke tahun, konsumsi karet alam dunia cenderung lebih tinggi
daripada produksi karet alam dunia. Pada tahun 2010 konsumsi karet alam dunia sebesar 10,7 juta ton, lebih tinggi daripada karet alam yang mampu diproduksi oleh seluruh negara produsen karet alam yang hanya sebesar 10,3 juta ton (Tabel 9) menyebabkan terjadinya over demand pasar yang menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya peningkatan harga karet alam di pasar internasional. Tingginya konsumsi dibanding produksi karet alam merupakan peluang besar bagi negara-negara produsen karet alam untuk meningkatkan volume produksi karet alamnya dan membuka jalur perdagangan dengan negara-negara konsumen karet alam.
51
Tabel 8
Produksi dan Konsumsi Karet Alam Dunia, 2000 – 2010 Tahun (1) 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Produksi (000 ton) Konsumsi (000 ton) (2) (3) 6.762 7.340 7.332 7.333 7.326 7.556 8.005 7.952 8.744 8.718 8.896 9.200 9.706 9.677 9.833 10.144 10.042 10.173 9.662 9.390 10.291 10.671 Sumber: Natural Rubber Statistics, http://www.lgm.gov.my/nrstat/nrstats.pdf Ekspor karet alam dunia didominasi oleh negara-negara produsen utama, yaitu Thailand, Indonesia dan Malaysia. Eksportir karet alam utama dunia adalah Thailand, sementara Indonesia adalah eksportir terbesar kedua. Malaysia mengalami penurunan volume ekspor karet alam karena terjadinya perubahan strategi perdagangan karet alam sejak tahun 1980-an dari mengekspor karet alam setengah jadi menjadi pengembangan industri produk barang jadi karet alam dalam negeri. Karet alam yang diproduksi Malaysia saat ini lebih ditujukan untuk memenuhi konsumsi industri dalam negeri. Ekspor karet Malaysia lebih pada produk jadi yang memberikan nilai tambah yang lebih baik daripada ekspor karet alam mentah. Indonesia belum mampu memanfaatkan produk karet alam secara optimal. Dari sekitar 2,9 juta ton produk karet nasional, sebanyak 85 persen diekspor dalam bentuk bahan baku (crumb rubber, sheet, lateks, dan sebagainya). Hanya sekitar 15 persen atau 435.000 ton produk karet alam yang diserap oleh industri rekayasa di dalam negeri. Dari 435.000 ton produk karet tersebut, sebagian besar (55 persen) diserap oleh industri ban kendaraan bermotor. Selebihnya diserap oleh industri sarung tangan karet, benang dan kondom (17 persen), alas kaki (11 persen), vulkanisir (11 persen), dan barang-barang karet lainnya (9 persen).
52
2500000 2000000 1500000 1000000 500000 0 2002
2003
Total
2004
2005
Amerika Serikat
2006
2007
2008
2009
Jepang
2010 Cina
Sumber: BPS, 2002-2010
Gambar 7 Volume Ekspor Karet Alam Indonesia ke Amerika Serikat, Jepang dan Cina, 2002-2010 Sampai dengan tahun 2008, tujuan ekspor utama karet alam Indonesia adalah ke Amerika Serikat dan Jepang. Namun sejak tahun 2009 Cina sudah menggantikan Jepang menjadi importir utama karet alam Indonesia. Gambar 7 menunjukkan fluktuasi volume ekspor karet alam Indonesia selama 9 tahun terakhir dari tahun 2002 sampai tahun 2010. Grafik tersebut terdiri dari total volume ekspor karet alam Indonesia, volume ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat, volume ekspor karet alam Indonesia ke Jepang, dan volume ekspor karet alam Indonesia ke Cina. Ekspor karet alam Indonesia dalam kurun waktu 9 tahun terakhir mengalami peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 6,28 persen per tahunnya. Amerika Serikat, Jepang dan Cina sebagai negara tujuan utama karet alam Indonesia secara rata-rata menguasai 56,69 persen dari total volume ekspor karet alam Indonesia. Pertumbuhan ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dari tahun 2002 sampai tahun 2010 adalah sebesar 1,08 persen per tahun, sedangkan Jepang sebesar 7,03 persen per tahun, dan Cina sebesar 38, 42 persen per tahun. Rendahnya pertumbuhan ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat menandai terjadinya kejenuhan pasar Amerika Serikat dimasa mendatang. Oleh karena itu, Indonesia perlu melihat pasar ekspor di negara lain untuk mengatasi kejenuhan pasar ekspor Amerika Serikat. Tabel 9 menunjukkan dari tahun 2003 sampai pada tahun 2010 jenis SIR (Standart Indonesian Rubber) terus mendominasi ekspor karet alam Indonesia
53
hingga mencapai hampir 97 persen dari total ekspor. Dominasi karet alam Indonesia jenis SIR saja menggambarkan rendahnya diversifikasi produk ekspor karet alam Indonesia. Hal ini tentunya akan sangat menentukan pasar ekspor karet alam jenis spesifikasi teknis tersebut. Tipe produk karet alam ini merupakan gambaran komposisi karet alam Indonesia berdasarkan jenis mutu. Berdasarkan tingkat kualitas, maka dapat diurutkan dimana RSS (Ribbed Smoke Sheet) merupakan jenis karet alam yang paling baik, kemudian jenis SIR. Kualitas karet alam ini biasanya didasarkan pada kandungan air dan kotoran di dalam produk tersebut. Semakin baik kualitas mutu karet alam berarti semakin rendah kandungan air dan kotoran dalam komoditi karet tersebut. Jenis produk ekspor karet Indonesia pada tahun 1969 didominasi oleh sit asap atau RSS, tetapi sepuluh tahun kemudian sampai kondisi sekarang didominasi oleh jenis karet spesifikasi teknis/SIR. Penurunan ekspor karet alam Indonesia untuk jenis mutu RSS terkait dengan meningkatnya permintaan industri terhadap jenis karet alam jenis spesifikasi teknis yang lebih siap pakai. Tabel 9
Jumlah dan Pangsa Ekspor Karet Alam Indonesia berdasarkan Tipe Produk 2003-2010 Tahun
Tipe Produk
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
Lateks Pekat
12.526 (0,75)
11.755 (0,63)
4.014 (0,20)
8.334 (0,36)
7.610 (0,32)
8.547 (0,37)
9.147 (0,46)
12.929 (0,55)
RSS
46.165 (2,78)
145.895 (7,78)
334.125 (16,51)
325.393 (14,23)
275.497 (11,45)
137.756 (6,00)
77.040 (3,87)
60.166 (2,56)
1.589.387 (95,69)
1.684.959 (89,90)
1.674.721 (82,75)
1.952.268 (85,40)
2.121.863 (88,16)
2.148.447 (93,60)
1.905.016 (95,67)
2.276.287 (96,78)
12.842 (0,77)
31.652 (1,69)
10.921 (0,54)
3 (0,00)
1.786 (0,07)
706 (0,03)
60 (0,00)
0 (0,00)
1.660.920
1.874.261
2.023.781
2.285.997
2.406.756
2.295.456
1.991.263
2.351.915
SIR
Lainnya Total
Sumber: BPS, 2003-2010 Keterangan : Angka dalam kurung (..) merupakan pangsa.
Komposisi ekspor karet alam Thailand menurut tipe produknya berbeda kondisi dengan komposisi ekspor karet alam Indonesia. Komposisi ekspor karet alam Thailand lebih banyak didominasi oleh jenis karet alam sit asap atau RSS, kemudian disusul dengan karet spesifikasi teknis sesuai dengan standar karet
54
Thailand atau STR (Standard Thailand Rubber), dan selanjutnya adalah lateks. Tabel 10 menunjukkan komposisi ekspor karet alam Thailand berdasarkan tipe produknya. Pada tahun 2003 Thailand mengekspor paling banyak tipe RSS dengan persentase sebesar 44,67 persen, namun tidak mendominasi ekspor karet alam Thailand. Pada tahun 2003 pangsa karet alam jenis STR tidak berbeda jauh dengan RSS, yaitu sebesar 35,46 persen. Pada tahun 2005 komposisi ekspor karet alam Thailand berubah, dimana jenis karet tipe STR paling banyak diekspor dengan persentase 42,14 persen. Persentase ekspor tipe RSS di tahun 2005 pun tidak terlalu berbeda jauh dibanding tipe RSS (34,99 persen). Dari tahun 2005 hingga tahun 2010, pangsa ekspor karet alam Thailand jenis spesifikasi teknis atau STR adalah yang paling besar, kemudian disusul oleh tipe sit asap atau RSS, dan tipe produk dengan pangsa ekspor terkecil adalah lateks pekat. Komposisi karet alam Thailand yang tidak didominasi oleh tipe tertentu menunjukkan bahwa diversifikasi ekspor karet alam Thailand baik sehingga tidak terlalu tergantung pada satu jenis mutu saja. Kondisi ini memungkinkan tidak terganggunya pendapatan atau devisa dari ekspor karet alam saat terjadi fluktuasi harga di suatu tipe produk karet alam Thailand. Tabel 10 Jumlah dan Pangsa Ekspor Karet Alam Thailand berdasarkan Tipe Produk 2003-2010 Tipe Produk (1)
Lateks Pekat
Tahun
2003 (2)
2004 (3)
2005 (4)
2006 (5)
2007 (6)
2008 (7)
2009 (8)
2010 (9)
408.993 (15,89)
493.081 (18,70)
488.675 (18,56)
555.905 (20,06)
510.489 (18,88)
509.375 (19,04)
595.550 (21,85)
556.050 (19,40)
RSS
1.149.610 (44,67)
1.003.384 (38,05)
920.972 (34,99)
938.984 (33,88)
861.326 (31,86)
796.549 (29,77)
694.510 (25,48)
719.442 (25,10)
STR
912.600 (35,46)
997.952 (37,84)
1.109.327 (42,14)
1.069.345 (38,58)
1.103.848 (40,83)
1.132.135 (42,32)
950.574 (34,87)
1.106.415 (38,60)
Lainnya
102.247 (1,42)
142.679 (3,13)
113.424 (1,39)
207.439 (4,67)
183.099 (3,89)
237.224 (6,17)
485.559 (15,31)
484.540 (14,92)
2.573.450
2.637.096
2.632.398
2.771.673
2.703.762
2.675.283
2.726.193
2.866.447
Total
Sumber: http://www.rubberthai.com/statistic/eng/eng_stat.htm diunduh tanggal 18 Juni 2011 Keterangan : Angka dalam kurung (..) merupakan pangsa.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebelum memasuki tahapan analisis model VECM, maka sebelumnya dilakukan pengujian-pengujian pra estimasi. Pengujian-pengujian tersebut meliputi uji akar unit (unit root test), pengujian stabilitas VAR dan pengujian lag optimal. Pengujian-pengujian ini penting karena dalam model multivariate time series kebanyakan data yang digunakan mengandung akar unit sehingga akan membuat hasil estimasi menjadi semu dan tidak valid (Gujarati, 2006). 5.1
Uji Stasioneritas Data Uji kestasioneran data merupakan tahap yang penting dalam menganalisis
data time series untuk melihat ada tidaknya akar unit yang terkandung diantara variabel sehingga hubungan antar variabel dalam persamaan menjadi valid dan tidak menghasilkan regresi semu (spurious regression). Regresi semu adalah situasi dimana hasil regresi menunjukkan koefisien regresi yang signifikan dalam statistik dan nilai koefisien determinasi yang tinggi namun hubungan antara variabel didalam model tidak saling berhubungan. Data yang tidak mengandung akar unit atau bersifat stasioner mengandung ragam yang tidak terlalu besar dan memiliki kecenderungan untuk mendekati nilai rata-ratanya. Sedangkan data yang tidak stasioner atau mengandung akar unit akan menghasilkan regresi semu. Salah satu metode untuk menguji stasioneritas data adalah dengan uji akar unit (unit root test) yang pertama kali dikembangkan oleh Dicky-Fuller, yang kemudian pada akhirnya dikenal dengan Augmented Dicky Fuller Test (ADF Test). Penelitian ini pun menggunakan metode ADF untuk menguji stasioneritas data dengan menggunakan taraf nyata 5 persen. Cara untuk menghilangkan regresi semu dalam persamaan salah satunya adalah dengan melakukan uji akar unit pada tingkat first difference. Berdasarkan uji tersebut, jika nilai statistik ADF lebih kecil daripada MacKinnon Critical Value atau probability-nya lebih kecil dari nilai kritis, maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut stasioner. Begitu pula sebaliknya, jika nilai statistik ADF lebih besar daripada MacKinnon Critical Value atau probabilitynya lebih besar dari nilai kritis maka data tersebut tidak
56
stasioner. Hasil pengujian stasioneritas data dapat dilihat pada Tabel 11 dan Tabel 12. Tabel 11 Uji Stasioneritas pada Level No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
VARIABEL LKAS LKJ LPAS LPJ LERIAS LERIJ LPINTL LPTHAI LYIAS LYIJ
ADF STATISTIC t-statistic Probability -4,789422 0,0014 -3,781364 0,0245 -2,838151 0,1901 -2,923489 0,1630 -2,791947 0,2063 -2,283797 0,4358 -2,462931 0,3448 -2,619605 0,2735 -1,627218 0,7697 -1,857092 0,6639
HASIL Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner
Tabel 11 menunjukkan bahwa hanya variabel volume ekspor karet alam ke Amerika Serikat (LKAS) dan volume ekspor karet alam ke Jepang (LKJ) yang stasioner pada level. Variabel selain variabel volume ekspor tidak stasioner pada level. Ketidakstasioneran dapat dilihat dari probability semua variabel yang lebih besar daripada
nilai kritis 1 persen, 5 persen dan 10 persen. Karena semua
variabel tidak stasioner pada level, maka dilakukan pengujian stasioneritas data pada first difference untuk menghindari adanya spurious regression. Tabel 12 menunjukkan hasil uji stasioneritas semua variabel pada first difference. Tabel 12 Uji Stasioneritas pada First Difference No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
VARIABEL LKAS LKJ LPAS LPJ LERIAS LERIJ LPINTL LPTHAI LYIAS LYIJ
ADF STATISTIC t-statistic Probability -10,31814 0,0000 -10,21592 0,0000 -5,830538 0,0000 -5,870466 0,0000 -6,346187 0,0000 -6,991506 0,0000 -6,631563 0,0000 -4,914925 0,0010 -3,560432 0,0425 -7,213083 0,0000
HASIL Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner
57
Setelah dilakukan pengujian pada first difference, diperoleh hasil bahwa semua variabel stasioner pada taraf nyata 5 persen dan 10 persen. Nilai probability lebih kecil daripada nilai kritis 5 persen dan 10 persen sehingga semua variabel stasioner pada derajat yang sama yaitu derajat integrasi satu. Data yang tidak stasioner seringkali menunjukkan hubungan ketidakseimbangan dalam jangka pendek, tetapi ada kecenderungan terjadinya hubungan keseimbangan dalam jangka panjang. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan jangka panjang di dalam variabel perlu dilakukan uji kointegrasi. Oleh karena itu, untuk menganalisis informasi jangka panjang akan digunakan data level sehingga model VAR akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan menjadi VECM. 5.2
Penentuan Lag Optimal Dampak sebuah kebijakan ekonomi seperti kebijakan moneter dan fiskal
biasanya tidak secara langsung berdampak pada aktivitas ekonomi tetapi memerlukan waktu atau kelambanan (lag). Penentuan lag optimal sangat penting dalam analisis menggunakan VAR karena variabel eksogen yang digunakan dalam persamaan adalah lag dari variabel endogen dan juga variabel eksogen itu sendiri. Pengujian lag optimal ini sangat berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sistem VAR, sehingga dengan digunakannya lag optimal diharapkan masalah autokorelasi tidak muncul lagi. Tabel 13 Hasil Pengujian Lag Optimal Lag
LR
Amerika Serikat FPE AIC
SC
HQ
LR
FPE
Jepang AIC
SC
HQ
0
NA
1,04e-08
-4,19
-3,82
-4,05
NA
2,21e-08
-3,44
-3,07
-3,30
1
261,77*
1,01e-10*
-8,84*
-7,55*
-8,34*
253,79
2,53e-10*
-7,91*
-6,62*
-7,42*
2
21,02
1,59e-10
-8,41
-6,20
-7,56
25,11
3,63e-10
-7,59
-5,38
-6,73
3
27,98
2,03e-10
-8,24
-5,11
-7,03
15,29
6,51e-10
-7,07
-3,94
-5,87
4
35,64
1,93e-10
-8,43
-4,38
-6,87
43,15*
4,91e-10
-7,49
-3,44
-5,93
5
23,16
2,63e-10
-8,36
-3,39
-6,44
19,86
7,57e-10
-7,31
-2,33
-5,39
6
28,88
2,66e-10
-8,75
-2,85
-6,47
26,06
8,70e-10
-7,56
-1,67
-5,29
Keterangan : angka yang bertanda * menunjukkan posisi lag optimal
58
Penetapan lag optimal menggunakan nilai dari likelihood ratio (LR), final prediction error (FPE), Akaike information criterion (AIC), Schwartz information criterion (SC), dan Hannan-Quin criterion (HQ). Besarnya lag yang terpilih adalah lag yang terpendek. Tabel 13 menunjukkan bahwa semua kriteria yang ada memberikan hasil lag terpendek untuk Amerika Serikat maupun Jepang yaitu lag pertama. Oleh karena itu, lag yang dipilih untuk Amerika Serikat dan Jepang adalah lag pertama. Masing-masing lag ini akan digunakan pada persamaan VAR sebagai lag optimal. 5.3
Pengujian Stabilitas VAR Langkah pengujian yang selanjutnya adalah pengujian stabilitas VAR.
VAR yang dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan harus stabil agar impulse response function (IRF) dan forecasting error variance decomposition (FEVD) menjadi valid. Uji stabilitas VAR dilakukan dengan menghitung akarakar dari fungsi polinomial atau dikenal dengan roots of characteristic polinomial. Jika semua akar dari fungsi polinomial tersebut berada di dalam unit circle atau jika nilai absolutnya <1 maka model VAR tersebut dianggap stabil. Hasil pengujian yang ditunjukkan pada Tabel 14 menunjukkan bahwa persamaan VAR untuk Amerika Serikat dan Jepang memiliki nilai modulus kurang dari satu, sehingga dapat disimpulkan bahwa model VAR yang dibentuk sudah stabil pada lag optimalnya. Tabel 14 Hasil Pengujian Stabilitas VAR Modulus Amerika Serikat
Modulus Jepang
0,924258
0,830514
0,616262
0,793284
0,526992
0,485868
0,526992
0,342030
0,041701
0,151539
59
5.4
Analisis Kointegrasi Uji kointegrasi bertujuan untuk menentukan apakah variabel-variabel
yang tidak stasioner terkointegrasi atau tidak. Konsep kointegrasi dikemukakan oleh Engle dan Granger (1987) sebagai kombinasi linear dari dua atau lebih variabel yang tidak stasioner akan menghasilkan variabel yang stasioner. Kombinasi linear ini dikenal dengan istilah persamaan kointegrasi dan dapat diinterpretasikan sebagai hubungan keseimbangan jangka panjang diantara variabel.
Jika
trace
statistic>critical
value,
maka
persamaan
tersebut
terkointegrasi. Dengan demikian H0 = non-kointegrasi dengan hipotesis alternatifnya H1 = kointegrasi. Jika trace statistic > critical value, maka kita tolak H0 atau terima H1 yang artinya terjadi kointegrasi. Setelah jumlah persamaan yang terkointegrasi telah diketahui maka tahapan analisis dilanjutkan dengan analisis Vector Error Correction Model (VECM). Persamaan kointegrasi dapat memiliki intercepts dan deterministic trends. Terdapat lima asumsi deterministic trend dalam uji kointegrasi untuk menentukan pilihan trend yang digunakan bisa dilihat dari hasil summary, serta pilihan lag yang digunakan adalah lag optimal. Pemilihan asumsi dengan summary disesuaikan berdasarkan kriteria informasi AIC dan SC, dan kemudian dipilih salah satu. Uji kointegrasi dilakukan melalui Johansen Cointegration Test. Tabel 15 Analisis Kointegrasi Hipotesis
Trace Statistics Amerika Serikat Jepang
Rank = 0
97,15795
69,06128
Rank = 1
54,31239
35,62992
Rank = 2
33,36699
17,72856
Rank = 3
13,56947
2,586001
Rank = 4
0,897211
0,240608
Cetak tebal menunjukkan Trace Statistics>5% critical value dan terjadi kointegrasi
Hasil uji kointegrasi menunjukkan bahwa terdapat kointegrasi antar variabel, artinya secara multivariate terdapat persamaan linier jangka panjang
60
yang dikandung dalam model. Tabel 15 menunjukkan bahwa ekspor karet alam ke Amerika Serikat dengan nilai trace statistic terdapat dua rank kointegrasi dan ekspor karet alam ke Jepang terdapat satu rank kointegrasi pada taraf 5 persen. Jumlah rank ini digunakan sebagai model koreksi kesalahan yang akan dimasukkan ke dalam model VAR menjadi VECM. 5.5
Estimasi Vector Error Correction Model
5.5.1 Hubungan Persamaan Jangka Pendek Dalam estimasi VECM ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat, yang menjadi variabel dependen adalah volume ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat (KAS) sedangkan variabel independennya adalah volume ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat (KAS) pada lag 1, harga ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat (PAS) pada lag 1, nilai tukar riil rupiah terhadap dolar AS (ERIAS) pada lag 1, harga internasional karet alam (PINTL) pada lag 1, harga karet alam negara kompetitor (PTHAI) pada lag 1 dan GDP riil Amerika Serikat (YIAS). Hasil estimasi VECM jangka pendek pada Tabel 16 menunjukkan hubungan persamaan jangka pendek antara ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dengan variabel-variabel independen. Tabel 16 Hasil Estimasi VECM Jangka Pendek Ekspor Karet Alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang Keterangan Variabel
Variabel
Amerika Serikat Koefisien
T-Statistic
Variabel
Jepang Koefisien
T-Statistic
Volume Ekspor
D(LKAS(-1))
-0,30
-2,14*
D(LKJ(-1))
-0,36
-2,86*
Harga Ekspor
D(LPAS(-1))
-0,69
-2,14*
D(LPJ(-1))
0,32
1,03
Nilai Tukar Riil
D(LERIAS(-1))
-0,04
-0,22
D(LERIJ(-1))
-0,11
-0,60
Harga Internasional
D(LPINTL(-1))
-0,61
-1.43
D(LPINTL(-1))
-0,32
-0,63
Harga Negara Pesaing
D(LPTHAI(-1))
-0,43
-1,04
D(LPTHAI(-1))
0,18
0,51
-0,27
-1,22
LYIJ
0,57
1,16
GDP Riil LYIAS * signifikan pada taraf nyata 5 persen
Variabel yang berpengaruh signifikan pada ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dalam jangka pendek adalah volume ekspor itu sendiri pada lag 1 dan harga ekspor pada lag 1. Volume ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat signifikan mempengaruhi ekspor karet alam itu sendiri pada lag 1 dengan
61
taraf nyata 5 persen. Hal ini berarti setiap terjadi kenaikan 1 persen volume ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat pada 1 triwulan sebelumnya akan menurunkan volume ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat sebesar 0,3 persen pada triwulan saat ini. Kondisi ini menunjukkan bahwa stok ekspor karet alam ke Amerika Serikat menentukan ekspor karet alam di triwulan berikutnya. Saat stok karet alam yang diekspor ke Amerika Serikat pada 1 triwulan sebelumnya masih ada karena adanya peningkatan volume ekspor, maka pada triwulan ini volume ekspor karet alam ke Amerika Serikat akan turun sebesar 0,3 persen. Begitu pula setiap terjadi kenaikan sebesar 1 persen harga ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat pada lag 1 menurunkan volume ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat sebesar 0,69 persen. Kenaikan harga ekspor karet alam pada 1 triwulan sebelumnya berdampak pada menurunnya ekspor karet alam pada triwulan saat ini karena turunnya penawaran impor (excess demand) akibat meningkatnya harga ekspor karet alam Indonesia. Hal ini sejalan dengan teori dalam Mankiw (2007) yang menyatakan bahwa disaat harga barang domestik relatif lebih mahal dibanding barang-barang luar negeri, maka ekspor neto akan menurun. Variabel nilai tukar riil pada lag 1, harga karet alam internasional pada lag 1, harga karet alam negara kompetitor pada lag 1 dan GDP riil tidak memengaruhi ekspor karet alam ke Amerika Serikat dalam jangka pendek. Dalam estimasi VECM jangka pendek ekspor karet alam Indonesia ke Jepang, yang menjadi variabel dependen adalah volume ekspor karet alam Indonesia ke Jepang (KJ) dan variabel independen adalah volume ekspor karet alam Indonesia ke Jepang (KJ) pada lag 1, harga ekspor karet alam Indonesia ke Jepang (PJ) pada lag 1, nilai tukar riil rupiah terhadap yen Jepang (ERIJ) pada lag 1, harga internasional karet alam (PINTL) pada lag 1, harga karet alam negara kompetitor (PTHAI) pada lag 1 dan GDP riil Jepang (YIJ). Sama halnya dengan ekspor karet alam ke Amerika Serikat, Tabel 16 juga menunjukkan bahwa volume ekspor karet alam Indonesia ke Jepang dipengaruhi secara signifikan oleh variabel volume ekspor karet alam Indonesia ke Jepang pada lag 1. Setiap kenaikan 1 persen volume ekspor pada lag 1 akan menurunkan volume ekspor karet alam itu
62
sendiri sebesar 0,36 persen. Hal ini berarti setiap terjadi kenaikan volume ekspor karet alam ke Jepang 1 triwulan sebelumnya akan menurunkan volume ekspor karet alam ke Jepang pada triwulan ini. Variabel harga ekspor karet alam Indonesia ke Jepang pada lag 1, nilai tukar riil pada lag 1, harga internasional karet alam pada lag 1, harga karet alam negara kompetitor pada lag 1 dan GDP riil Jepang tidak mempengaruhi volume ekspor karet alam Indonesia ke Jepang pada taraf nyata 5 persen. Variabel nilai tukar riil tidak berpengaruh signifikan pada perdagangan karet alam ke Amerika Serikat maupun ke Jepang dalam jangka pendek. Pertumbuhan ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dari triwulan 1 tahun 1996 sampai dengan triwulan 4 tahun 2010 (0,02 persen) yang lebih tinggi dibanding pertumbuhan nilai tukar riilnya (0,01 persen) membuat penawaran impor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat tetap tinggi, yang berarti terjadi excess demand. Importir karet alam Amerika Serikat tetap akan mengimpor karet alam dari Indonesia, tanpa memperhitungkan terjadinya apresiasi maupun depresiasi yang terjadi. Demikian halnya dalam perdagangan karet alam Indonesia ke Jepang. Pertumbuhan ekspor karet alam ke Jepang rata-rata 0,05 persen tiap triwulannya dari tahun 1996 hingga 2010, lebih tinggi dibanding rata-rata pertumbuhan nilai tukar riilnya yang hanya sebesar 0,01 persen per triwulan. Kondisi ini juga akan membuat permintaan karet alam Jepang dari Indonesia tetap tinggi, tanpa melihat terjadinya depresiasi maupun apresiasi nilai tukar rupiah terhadap yen Jepang. Dalam jangka pendek, perdagangan karet alam Indonesia ke Amerika Serikat lebih dipengaruhi oleh volume ekspor karet alam itu sendiri pada lag 1 dan harga ekspor karet alam pada lag 1. Perdagangan karet alam Indonesia ke Jepang juga tidak dipengaruhi oleh variabel nilai tukar riil, namun lebih dipengaruhi oleh volume ekspor karet alam itu sendiri pada lag 1. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tety (2002) yang menyatakan bahwa penawaran ekspor karet alam ke Amerika Serikat dan Jepang tidak dipengaruhi perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan pajak ekspor.
63
5.5.2 Hubungan Persamaan Jangka Panjang Hasil estimasi jangka panjang pada Tabel 17 menunjukkan bahwa nilai tukar riil (ERIAS) pada lag 1, harga internasional (PINTL) pada lag 1, dan harga negara kompetitor (PTHAI) pada lag 1 berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5 persen pada ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat. Dalam kondisi jangka panjang, setiap terjadi perubahan sebesar 1 persen nilai tukar riil rupiah terhadap dolar AS akan menurunkan volume ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat sebesar 1,7 persen. Perubahan dalam nilai tukar riil bisa berupa apresiasi maupun depresiasi. Peningkatan sebesar 1 persen nilai tukar riil rupiah terhadap dolar AS, atau biasa disebut dengan depresiasi nilai tukar riil, idealnya diimbangi dengan peningkatan ekspor karet alam. Hasil estimasi jangka panjang ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat ini justru bertentangan dengan teori Tweeten (1992), dimana depresiasi nilai tukar riil pada 1 triwulan sebelumnya akan menurunkan volume ekspor karet alam ke Amerika Serikat pada triwulan saat ini. Tweeten (1992) menyatakan bahwa saat nilai tukar negara pengekspor terdepresiasi, maka excess demand akan bergerak ke kanan sehingga harga komoditi yang diekspor meningkat di pasar ekspor, sehingga negara pengekspor akan meningkatkan volume ekspornya. Pada perdagangan karet alam ke Jepang, nilai tukar riil berhubungan negatif juga dengan ekspor karet alam namun tidak berpengaruh signifikan dalam jangka panjang. Tabel 17 Hasil Estimasi VECM Jangka Panjang Ekspor Karet Alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang Keterangan Variabel
Variabel
Amerika Serikat Koefisien T-Statistic
Variabel
Jepang Koefisien
T-Statistic
Volume Ekspor
LKAS(-1)
1,00
-
LKJ(-1)
1,00
-
Harga Ekspor
LPAS(-1)
-
1,00
LPJ(-1)
-0,28
-0,28
Nilai Tukar Riil
LERIAS(-1)
-1,70
-4,12*
LERIJ(-1)
-0,54
-1,50
8,20
4,72*
LPINTL(-1)
-11,85
-6,93*
8,99
5,03*
LPTHAI(-1)
-11,92
-6,67*
-9,90
-0,98
C
82,28
2,41
Harga Internasional LPINTL(-1) Harga Negara LPTHAI(-1) Kompetior Konstanta C * signifikan pada taraf nyata 5 persen
64
Nilai tukar riil rupiah terhadap dolar AS mengalami depresiasi dari triwulan 1 tahun 1996 sebesar Rp. 7.849 per dolar AS menjadi Rp. 16.135 per dolar AS di triwulan 4 tahun 2001, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 0,05 persen. Pada periode ini, ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat bergerak sangat fluktuatif namun rata-rata pertumbuhannya tetap positif yaitu sebesar 0,01 persen (Tabel 18). Setelah periode tersebut, dari triwulan 1 tahun 2002 sampai dengan triwulan 4 tahun 2010 rata-rata pertumbuhan nilai tukar riil rupiah terhadap dolar AS justru mengalami penurunan menjadi -0,01 persen, yang berarti telah terjadi apresiasi dalam periode ini. Tabel 18 Rata-rata Pertumbuhan Ekspor Karet Alam dan Nilai Tukar Riil Berdasarkan Negara Tujuan Ekspor dan Periode
1996Q1-2001Q4
Rata-rata pertumbuhan ekspor karet alam (dalam persen) 0,01
Rata-rata pertumbuhan nilai tukar riil (dalam persen) 0,05
2002Q1-2010Q4
0,02
-0,01
1996Q1-2001Q4
0,07
0,04
2002Q1-2010Q4
0,04
-0,01
Negara tujuan ekspor
Periode
AS
Jepang
Q: triwulan Sumber: BPS, 1996-2010. Diolah.
Apresiasi yang terjadi dari triwulan 1 tahun 2002 sampai dengan triwulan 4 tahun 2010 tersebut ternyata diiringi dengan meningkatnya rata-rata pertumbuhan ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat menjadi 0,02 persen. Hal ini berarti negatifnya pertumbuhan nilai tukar riil, yaitu apresiasi, ternyata diiringi dengan positifnya pertumbuhan ekspor karet alam. Pertumbuhan ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat yang selalu positif merupakan indikator bahwa penawaran impor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat selalu tinggi pada bagaimanapun kondisi nilai tukar riil. Adanya excess demand karet alam Indonesia ke Amerika Serikat ini menyebabkan terjadinya apresiasi nilai tukar riil pun tidak menyurutkan impor karet alam Amerika Serikat dari Indonesia.
65
Variabel harga internasional pada lag 1 juga berpengaruh signifikan pada ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang, namun pola hubungannya berkebalikan antar kedua negara tersebut. Tabel 17 menunjukkan bahwa harga internasional memiliki hubungan positif dengan ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat, namun berhubungan negatif dengan ekspor karet alam Indonesia ke Jepang. Peningkatan harga karet alam internasional sebesar 1 persen pada lag 1 akan meningkatkan volume ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat sebesar 8,2 persen. Naiknya harga karet alam pada 1 triwulan sebelumnya akan menjadi daya tarik bagi eksportir karet alam Indonesia untuk meningkatkan volume ekspor karet alamnya ke Amerika Serikat pada triwulan berikutnya. Tingginya harga karet alam internasional merupakan peluang yang sangat bagus bagi Indonesia sebagai salah satu negara produsen utama untuk meningkatkan produktivitas karet alamnya. Sebagai negara eksportir terbesar kedua karet alam, Indonesia pernah melakukan revisi target harga karet alam di pasar internasional pada tahun 2004. Perubahan harga di pasar internasional tersebut dari 66 sen dolar AS per kilogram menjadi l dolar AS per kilogram. Kondisi
yang terjadi dalam
perdagangan karet
alam Indonesia
berkebalikan dengan ekspor karet alam Indonesia ke Jepang. Saat terjadi peningkatan harga internasional karet alam sebesar 1 persen, Jepang akan menurunkan volume impor karet alamnya dari Indonesia sebesar 11,85 persen. Hal ini terkait dengan persaingan antara Indonesia dengan Thailand sebagai sesama produsen karet alam. Saat terjadi peningkatan harga sebesar 1 persen di pasar internasional pada 1 triwulan sebelum, maka pada triwulan berikutnya Thailand sebagai pemasok utama (Tabel 19) kebutuhan karet alam jepang akan meningkatkan volume ekspornya ke Jepang. Peningkatan volume ekspor karet alam dari Thailand ke Jepang tentunya akan berdampak pada penurunan volume ekspor karet alam Indonesia ke Jepang. Tabel 19 memperlihatkan bahwa selama ini kebutuhan karet alam Jepang tidak terlalu tergantung pada pasokan karet alam dari Indonesia, namun dari Thailand. Tabel 19 menunjukkan bahwa dari tahun 2003-2010 volume impor karet alam Jepang dari Thailand lebih besar daripada volume impor karet alam yang
66
berasal dari Indonesia. Pada tahun 2009, volume ekspor karet alam Indonesia dan Thailand ke Amerika Serikat dan Jepang sama-sama mengalami penurunan karena Amerika Serikat dan Jepang masing mengalami dampak dari krisis global yang tejadi di tahun 2008. Di tahun 2008-2009 volume ekspor karet alam Thailand ke Jepang sempat lebih rendah dibanding volume ekspor karet alam Indonesia ke Jepang, namun di tahun 2010 proporsi impor karet alam Jepang kembali didominasi oleh karet alam dari Thailand. Hal ini berarti selama ini permintaan karet alam Jepang dari Thailand lebih besar daripada permintaan karet alam Jepang dari Indonesia. Tabel 19 Volume Ekspor Karet Alam Indonesia dan Thailand ke Amerika Serikat dan Jepang, 2003-2010 Tahun
Ekspor karet alam Thailand
Ekspor karet alam Indonesia
Amerika Serikat
Jepang
Amerika Serikat
Jepang
2003
278.693
542.837
598.260
228.899
2004
249.196
525.654
627.868
225.214
2005
237.858
540.485
669.120
260.604
2006
210.784
492.740
590.946
357.539
2007
213.080
405.599
644.270
397.776
2008
219.986
394.742
622.167
400.693
2009
156.069
256.984
394.307
272.878
2010
177.859
346.302
546.548
313.242
Sumber: BPS (2003-2010) dan http://www.rubberthai.com/statistic/eng/eng_stat.htm diunduh tanggal 18 Juni 2011
Sama halnya dengan harga internasional, Tabel 17 juga memperlihatkan bahwa harga karet alam negara kompetitor (dalam hal ini harga karet alam Thailand) pada lag 1 juga berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat. Setiap kenaikan 1 persen harga ekspor karet alam negara kompetitor akan meningkatkan volume ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat sebesar 8,99 persen. Kebutuhan karet alam Amerika Serikat salah satunya dipenuhi oleh Thailand, sehingga saat harga karet alam Thailand meningkat pada 1 triwulan sebelum, Amerika Serikat akan memilih menurunkan pasokan karet alam dari Thailand dengan meningkatkan
67
impor karet alamnya dari Indonesia pada triwulan berikutnya. Sebagai konsumen tentunya Amerika Serikat akan memilih harga karet alam yang lebih stabil atau lebih murah. Kondisi ekspor karet alam ke Amerika serikat berkebalikan dengan kondisi ekspor karet alam Indonesia ke Jepang. Ekspor karet alam Indonesia ke Jepang berhubungan negatif dengan harga karet alam negara kompetitor pada lag 1 (Tabel 17). Saat terjadi peningkatan harga karet alam negara kompetitor sebesar 1 persen pada 1 triwulan sebelum, ekspor karet alam Indonesia ke Jepang justru mengalami penurunan pada triwulan saat ini. Meningkatnya harga negara kompetitor membuat importir karet alam Jepang mengurangi volume impor karet alamnya, yang pada akhirnya berdampak pada menurunnya permintaan karet alam Indonesia. Salah satu faktor penyebabnya adalah karena permintaan karet alam Jepang yang tidak terlalu tergantung pada pasokan karet alam dari Indonesia. Pasokan karet alam Jepang sebagian besar berasal dari Thailand, sehingga saat harga karet alam Thailand meningkat Jepang akan tetap mengimpor karet alam dari Thailand. Tingginya permintaan karet alam Jepang dari Thailand (Tabel 19) adalah faktor yang menjelaskan bahwa karet alam Jepang tidak terlalu tergantung pada pasokan karet alam dari Indonesia. Perbedaan kondisi perdagangan karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dengan ke Jepang terkait pula dengan jenis mutu karet alam yang diekspor. Karet alam Indonesia didominasi oleh tiga jenis mutu karet alam yaitu karet spesifikasi teknis TSR (Technical Specified Rubber) yaitu dengan jenis mutu berdasarkan standar karet Indonesia atau SIR, karet sit RSS (Ribbed Smoked Sheet) dan lateks. RSS merupakan jenis karet yang paling baik, dan TSR memiliki kualitas dibawah RSS. Kualitas karet alam ini biasanya didasarkan pada kandungan air dan kotoran di dalam produk tersebut. Semakin baik kualitas mutu karet alam berarti semakin rendah kandungan air dan kotoran dalam komoditi karet tersebut (Prabowo, 2006). Ekspor karet alam Indonesia didominasi oleh jenis SIR saja, sehingga ekspor karet alam Indonesia tentunya akan sangat ditentukan oleh pasar jenis karet spesifikasi teknis tersebut. Kondisi ini merupakan keuntungan jika permintaan dari negara importir (seperti Amerika Serikat) lebih banyak mengimpor jenis TSR, namun pada kenyataannya permintaan ekspor karet alam
68
di pasar dunia tidak hanya terbatas jenis TSR saja. Berbeda dengan jenis mutu ekspor karet alam Indonesia yang didominasi jenis SIR, karet alam Thailand utamanya tidak hanya didominasi oleh karet alam jenis TSR, namun jenis RSS dan lateks juga memiliki pangsa ekspor yang tidak sedikit. Dilihat dari nilai impornya Amerika Serikat lebih banyak mengimpor karet alam jenis TSR. Karet remah SIR 20 merupakan mutu karet yang mendominasi ekspor Indonesia ke mancanegara, termasuk ke Amerika Serikat. Sekitar 85 persen dari pendapatan devisa Indonesia untuk karet disumbangkan oleh SIR 20. Tabel 20 menunjukkan dari tahun 2008 sampai tahun 2010 impor karet alam Amerika Serikat dari Thailand juga didominasi oleh jenis TSR dan impor karet alam Jepang dari Thailand didominasi oleh jenis RSS. Oleh karena itu, disaat harga internasional maupun harga negara kompetitor naik, ekspor karet alam ke Amerika Serikat merespon berkebalikan dengan ekspor karet alam ke Jepang. Tabel 20 Persentase Impor Karet Alam Amerika Serikat dan Jepang dari Thailand, 2008-2010
Jenis TSR RSS Latex Lainnya Total
Impor Karet Alam Amerika Serikat dari Thailand 2008 2009 2010 57.50 57.67 52.33 36.27 38.27 45.44 1.79 4.44 100.00
2.73 1.32 100.00
1.66 0.57 100.00
Impor Karet Alam Jepang dari Thailand 2008 2009 2010 27.60 42.36 45.16 54.19 51.40 48.23 2.76 15.44 100.00
6.00 0.23 100.00
6.38 0.22 100.00
Sumber: http://www.trademap.org/Bilateral_TS.aspx diunduh tanggal 25 Juli 2011. Diolah.
Saat harga karet alam internasional dan harga karet alam negara kompetitor meningkat, ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat juga akan meningkat. Hal ini disebabkan karena karet alam Indonesia didominasi oleh jenis TSR, sejalan dengan permintaan karet alam Amerika Serikat yang juga didominasi oleh jenis TSR sehingga Amerika Serikat akan tetap mengimpor karet alam Indonesia pada tingkat harga internasional berapapun. Demikian juga saat harga karet alam negara kompetitor naik, tentunya Amerika Serikat akan meningkatkan volume ekspor karet alamnya dari Indonesia. Sebaliknya ekspor karet alam Indonesia ke Jepang akan menurun saat harga karet alam internasional
69
dan harga karet alam negara kompetitor meningkat. Salah satu faktor penyebabnya adalah karena jenis RSS lebih banyak diimpor oleh Jepang dibanding jenis TSR. Saat harga internasional meningkat, ekspor karet alam Indonesia ke Jepang akan menurun. Demikian juga saat harga karet alam negara kompetitor meningkat, Jepang akan menurunkan volume impor karet alamnya dari Indonesia. Hal ini karena pasokan karet alam Jepang sebagian besar berasal dari Thailand dengan jenis RSS. 5.6
Analisis Impulse Response Function Impulse Response Function (IRF) digunakan untuk melihat respon
variabel dependen apabila mendapatkan guncangan dari variabel independen sebesar satu standar deviasi. Penelitian ini akan melihat respon yang diberikan oleh ekspor karet alam Indonesia terhadap guncangan yang terjadi pada variabel volume ekspor karet alam itu sendiri, harga ekspor, nilai tukar riil, harga internasional karet alam, dan harga karet alam negara kompetitor sebesar satu
0.16
0.16
0.12
0.12 Persentase Perubahan
Persentase Perubahan
standar deviasi yang ditunjukkan dalam Gambar 8 sampai Gambar 12.
0.08
0.04
0
0.08
0.04
0
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 -0.04
1
5
9
13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57
-0.04
Triw ulan
Amerika Serikat
Triw ulan
Jepang
Gambar 8 Respon Volume Ekspor Karet Alam ke Amerika Serikat dan Jepang terhadap Guncangan Volume Ekspor Karet Alam ke Amerika Serikat dan Jepang pada Lag 1 Gambar 8 menunjukkan respon positif ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang jika terjadi guncangan pada variabel volume ekspor itu sendiri sebesar satu standar deviasi pada 1 triwulan sebelumnya. Guncangan ekspor karet alam dapat berupa kenaikan maupun penurunan volume karet alam ke Amerika Serikat maupun ke Jepang. Jika terjadi guncangan sebesar satu
70
standar deviasi pada volume ekspor karet alam ke Amerika Serikat maka volume ekspor ke Amerika Serikat tersebut akan merespon positif pada ekspor triwulan berikutnya. Hal ini berarti jika terjadi guncangan ekspor karet alam ke Amerika Serikat sebesar 27,3 ribu ton pada 1 triwulan sebelumnya, volume ekspor karet alam ke Amerika Serikat akan merespon positif dengan meningkat sebesar 16 persen menjadi 174,03 ribu ton pada triwulan pertama. Dengan adanya guncangan, volume ekspor akan terus mengalami penurunan dari triwulan pertama dan kestabilan akan terbentuk pada triwulan ke-10 atau sekitar 2,5 tahun dengan volume ekspor sebesar 136,72 ribu ton. Lain halnya jika terjadi guncangan ekspor karet alam ke Jepang sebesar 26,8 ribu ton pada 1 triwulan sebelum akan direspon positif pada triwulan pertama sehingga ekspor karet alam ke Jepang meningkat menjadi sebesar 67,17 ribu ton. Respon positif ini hanya bertahan sampai triwulan ke-12 saja, sebab pada triwulan berikutnya guncangan sebesar satu standar deviasi ini direspon negatif dan ekspor karet alam ke Jepang akan terus mengalami penurunan dan mencapai kestabilan pada triwulan ke-13 dengan volume ekspor sebesar 56,30 ribu ton. Kestabilan setelah terjadi guncangan volume ekspor karet alam sebesar satu standar deviasi terjadi dalam waktu yang sedikit lebih lama pada ekspor karet alam ke Jepang dibandingkan ekspor karet alam ke Amerika Serikat. Respon ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang jika terjadi guncangan pada harga ekspor sebesar satu standar deviasi pada lag 1 dapat dilihat pada Gambar 9. Guncangan harga ekspor dapat berupa kenaikan atau penurunan harga ekspor karet alam. Ekspor karet alam ke Amerika Serikat akan merespon negatif jika terjadi guncangan harga ekspor sebesar 0,77 dolar AS per kg pada 1 triwulan sebelumnya. Respon pada ekspor karet alam ke Amerika Serikat akibat guncangan tersebut cenderung berfluktuasi pada triwulan awal. Pada triwulan ke-2 terjadi penurunan volume ekspor sebesar 3,64 persen menjadi 144,82 ribu ton, setelah itu ekspor terus meningkat dan tercapai kestabilan dalam waktu yang cukup lama yaitu pada triwulan ke-20 atau 5 tahun dengan volume ekspor sebesar 150,02 ribu ton. Lain halnya dengan guncangan harga ekspor ke Jepang sebesar 0,77 dolar AS per kg pada triwulan sebelumnya, akan direspon positif oleh volume ekspor
71
karet alam ke Jepang dari triwulan pertama hingga triwulan ke-7, namun dari triwulan ke-8 hingga triwulan 60 direspon negatif. Akibat guncangan tersebut, volume ekspor karet alam ke Jepang akan meningkat menjadi sebesar 58,38 ribu ton pada triwulan ke-2 namun triwulan berikutnya hingga triwulan ke-13 akan terus menurun menjadi 56,04 ribu ton. Dari triwulan 14 ekspor karet alam ke Jepang terus meningkat dan tercapai kestabilan pada triwulan ke-23 atau hampir 6 tahun dengan volume ekspor sebesar 56,21 ribu ton. 0.04
0 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58
Persentase Perubahan
Persentase Perubahan
0.03
-0.01
-0.02
-0.03
0.02
0.01
0 1
-0.04
5
9
13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57
-0.01
Triw ulan
Amerika Serikat
Triw ulan
Jepang
Gambar 9 Respon Ekspor Karet Alam ke Amerika Serikat dan Jepang terhadap Guncangan Harga Ekspor Karet Alam ke Amerika Serikat dan Jepang pada Lag 1 Guncangan pada nilai tukar riil dapat berupa apresiasi maupun depresiasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Guncangan yang terjadi pada nilai tukar riil berupa depresiasi sebesar Rp 4.066 per dolar AS pada 1 triwulan sebelumnya akan direspon negatif oleh ekspor karet alam ke Amerika Serikat pada triwulan awal sampai triwulan ke-6, namun triwulan selanjutnya hingga triwulan 60 respon menjadi positif (Gambar 10). Sampai dengan triwulan ke-3 depresiasi akan mengakibatkan menurunnya ekspor karet alam ke Amerika Serikat hingga menjadi 149,46 ribu ton. Dari triwulan 4 volume ekspor terus meningkat hingga menjadi 150,43 ribu ton pada triwulan 10 dan terus menurun hingga triwulan terakhir. Akibat guncangan tersebut ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat mencapai kestabilan pada triwulan ke-34 dengan volume ekspor sebesar 150,34 ribu ton.
72
0.015
0.002 0.012
0 1
5
9
13 17 21 25
29 33 37 41 45 49 53
-0.001 -0.002 -0.003
57
Persentase Perubahan
Persentase Perubahan
0.001
0.009
0.006
0.003
-0.004 -0.005
0 1
-0.006 Triw ulan
Amerika Serikat
5
9
13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 Triw ulan
Jepang
Gambar 10 Respon Ekspor Karet Alam ke Amerika Serikat dan Jepang terhadap Guncangan Nilai Tukar Riil pada Lag 1 Pada perdagangan karet alam ke Jepang, jika terjadi depresiasi nilai tukar riil sebesar Rp 1.888 rupiah per yen Jepang pada 1 triwulan sebelum maka akan direspon positif oleh ekspor karet alam ke Jepang dari triwulan pertama hingga triwulan ke-60. Pada awalnya depresiasi tersebut akan meningkatkan volume ekspor karet alam ke Jepang sampai dengan triwulan ke-3 dengan volume ekspor mencapai 57,04 ribu ton. Dari triwulan ke-4 volume ekspor terus menurun dan mencapai kestabilan pada triwulan ke-29 dengan volume ekspor sebesar 56,32 ribu ton. Respon ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat maupun Jepang terhadap guncangan harga karet alam internasional sebesar satu standar deviasi pada lag 1 pada awalnya positif namun mulai triwulan tertentu responnya menjadi negatif, terlihat pada Gambar 11. Guncangan kenaikan sebesar satu standar deviasi, yaitu kenaikan harga internasional karet alam sebesar 0,19 USD/Kg pada 1 triwulan sebelumnya akan direspon positif oleh ekspor karet alam ke Amerika Serikat hingga triwulan ke-5 dengan volume ekspor sebesar 150,34 ribu ton. Pada triwulan selanjutnya kenaikan harga internasional tersebut akan direspon negatif oleh ekspor karet alam ke Amerika Serikat dan mencapai kestabilan pada triwulan ke-35 dengan volume ekspor sebesar 150,20 ribu ton. Demikian halnya ekspor karet alam ke Jepang juga merespon positif adanya kenaikan harga karet alam internasional pada 1 triwulan sebelumnya sebesar 0,19 USD/Kg dari triwulan 1 hingga triwulan triwulan ke-7 dengan volume ekspor sebesar 56,35 ribu ton. Triwulan 8 hingga seterusnya guncangan sebesar satu standar deviasi harga karet
73
alam internasional tersebut direspon negatif dan mencapai kestabilan pada triwulan ke-36 dengan volume ekspor sebesar 56,29 ribu ton. 0.03
0.05
0.025
0.04 Persentase Perubahan
Persentase Perubahan
0.02
0.03 0.02 0.01 0
0.015 0.01 0.005 0
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 -0.01
1
5
9
13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57
-0.005
-0.02
-0.01
Triw ulan
Amerika Serikat
Triw ulan
Jepang
Gambar 11 Respon Ekspor Karet Alam ke Amerika Serikat dan Jepang terhadap Guncangan Harga Karet Alam Internasional pada Lag 1 Gambar 12 menunjukkan perbedaan respon yang terjadi pada ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang jika terjadi guncangan sebesar satu standar deviasi, yaitu 0,53 USD/Kg pada harga karet alam negara kompetitor pada 1 triwulan sebelum. Harga karet alam negara kompetitor dalam hal ini adalah harga karet alam Thailand. Kenaikan harga karet alam negara kompetitor pada 1 triwulan sebelumnya akan direspon negatif oleh ekspor karet alam ke Amerika Serikat dari awal triwulan hingga akhir triwulan penelitian. Pada triwulan ke-2 volume ekspor sempat menurun menjadi 146,32 ribu ton dan sempat berfluktuasi hingga pada triwulan ke-31 tercapai kestabilan dengan volume ekspor sebesar 150,25 ribu ton. Sebaliknya pada triwulan hingga triwulan ke-11 ekspor karet alam Indonesia ke Jepang merespon positif guncangan harga karet alam negara kompetitor sebesar 0,53 USD/Kg. Pada awalnya hingga triwulan ke-3, guncangan tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan volume ekspor karet alam ke Jepang menjadi sebesar 57,23 ribu ton. Triwulan berikutnya hingga triwulan ke60 ekspor karet alam ke Jepang menurun hingga menjadi 56,31 ribu ton. Akibat terjadinya guncangan sebesar 0,53 USD/Kg pada 1 triwulan sebelumnya tersebut, volume ekspor karet alam ke Jepang mencapai kestabilan sekitar triwulan ke-26 dengan volume ekspor sebesar 56,30 ribu ton.
74
0.005
0.02
0
0.017 0.014 Persentase Perubahan
Persentase Perubahan
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 -0.005 -0.01 -0.015 -0.02
0.011 0.008 0.005 0.002
-0.025
-0.001
-0.03
-0.004
1
5
9
13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57
Triw ulan
Amerika Serikat
Triw ulan
Jepang
Gambar 12 Respon Ekspor Karet Alam ke Amerika Serikat dan Jepang terhadap Guncangan Harga Karet Alam Negara Kompetitor pada Lag 1 5.7
Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) Forecasting Error Variance decomposition (FEVD) sangat penting
digunakan untuk mencirikan struktur dinamis antar variabel dalam VECM, yaitu melihat seberapa besar pengaruh random shock diantara variabel model VECM. Metode ini dapat mencirikan struktur dinamis dalam model VAR. Dengan metode ini dapat dilihat kekuatan dan kelemahan dari masing-masing variabel dalam memengaruhi variabel lainnya dalam kurun waktu yang panjang. Pola dari FEVD mengindikasikan sifat dari kausalitas multivariat diantara variabel-variabel dalam model VAR. Gambar 13 menunjukkan bahwa variabilitas ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat secara dominan dipengaruhi oleh ekspor karet alam itu sendiri pada 1 triwulan sebelumnya. Pada periode pertama pengaruh dari volume ekspor karet alam ke Amerika Serikat sebesar 100 persen. Kemampuan volume ekspor karet alam ke Amerika Serikat dalam memengaruhi dirinya sendiri pada periode selanjutnya terus mengalami penurunan namun tetap mendominasi, hingga pada periode ke-60 pengaruhnya hanya sebesar 82,85 persen. Pengaruh dari harga karet alam internasional pada 1 triwulan sebelum walaupun kecil namun terus meningkat dari 0 persen di periode pertama menjadi 9,87 persen di periode 60. Pengaruh harga ekspor karet alam pada lag 1 dan harga karet alam negara kompetitor pada lag 1 terhadap ekspor karet alam juga cenderung meningkat walaupun persentasenya tidak sebesar variabilitas harga
75
karet alam internasional pada lag 1. Variabilitas harga ekspor pada 1 triwulan sebelumnya berpengaruh hanya sebesar 4,91 persen dan harga karet alam negara kompetitor pada triwulan sebelumnya sebesar 2,14 persen pada periode ke-60. Pengaruh variabilitas nilai tukar riil rupiah terhadap dolar AS pada 1 triwulan sebelumnya kecil sekali terhadap ekspor karet alam ke Amerika Serikat namun persentasenya terus meningkat dari 0 persen di periode pertama hingga mencapai 0,23 persen di periode periode 60. 100%
Persentase Variabilitas
LPTHAI 80% LPINTL 60% LERIAS
40%
LPAS
20% 0% 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58
LKAS
Triwulan
Gambar 13
FEVD Ekspor Karet Alam Indonesia ke Amerika Serikat
Sama halnya dengan kondisi ekspor karet alam ke Amerika Serikat, Gambar 14 menunjukkan bahwa pada jangka panjang ekspor karet alam Indonesia ke Jepang lebih dipengaruhi oleh guncangan volume ekspor karet alam itu sendiri pada 1 triwulan sebelum yaitu sebesar 100 persen pada periode pertama dan terus menurun hingga pada periode ke-60 sebesar 88,74 persen. Secara keseluruhan periode, variabel yang sangat dominan mempengaruhi ekspor karet alam ke Jepang adalah variabel ekspor karet alam itu sendiri pada lag 1. Hingga periode 60, variabel harga ekspor pada lag 1, nilai tukar riil rupiah terhadap yen Jepang pada lag 1, harga internasional pada lag 1dan harga negara kompetitor pada lag 1 berkontribusi sangat kecil. Variabilitas harga ekspor pada 1 triwulan sebelum berkontribusi sebesar 4,94 persen, nilai tukar riil rupiah terhadap yen Jepang pada
76
1 triwulan sebelum sebesar 1,30 persen, harga internasional pada 1 triwulan sebelum sebesar 3,73 persen dan harga negara kompetitor pada 1 triwulan sebelum sebesar 1,29 persen. Variabilitas ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat maupun ke Jepang lebih dominan dipengaruhi oleh volume ekspor karet alam itu sendiri pada 1 triwulan sebelum. Hal ini dapat dijadikan acuan yang mudah bagi para eksportir karet alam Indonesia dalam menentukan volume ekspor karet alamnya, sebab dominasi volume ekspor karet alam Indonesia pada 1 triwulan sebelum paling dominan dibanding variabel lainnya. 100%
Persentase Variabilitas
LPTHAI 80% LPINTL 60% 40%
LERIJ
20%
LPJ
0% 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58
LKJ
Triwulan
Gambar 14 5.8
FEVD Ekspor Karet Alam Indonesia ke Jepang
Derajat Pass-Through Tabel 21 menunjukkan besarnya derajat pass-through yaitu pengaruh
masing-masing variabel independen terhadap ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang yang memiliki nilai lebih kecil daripada satu, yang mengindikasikan adanya incomplete pass-through. Berdasarkan derajat passthrough pada perdagangan karet alam Indonesia ke Amerika Serikat, pengaruh negatif berasal dari variabel harga ekspor dan nilai tukar riil. Pengaruh terkecil berasal dari variabel nilai tukar riil rupiah terhadap dolar AS yaitu sebesar -0,003 persen dan pengaruh terbesar berasal dari variabel harga karet alam negara kompetitor yaitu sebesar 0,17 persen. Pada perdagangan karet alam Indonesia ke
77
Jepang, pengaruh terbesar berasal dari variabel nilai tukar riil yaitu sebesar 0,22 persen dan pengaruh terkecil berasal dari variabel harga internasional yaitu sebesar -0,01 persen. Kondisi perdagangan karet alam Indonesia ke Amerika Serikat cenderung berkebalikan dengan perdagangan karet alam ke Jepang. Saat harga ekspor karet alam ke Amerika Serikat mengalami perubahan dalam hal ini meningkat sebesar satu persen, volume ekspor akan menurun sebesar -0,11 persen. Sebaliknya saat harga ekspor karet alam ke Jepang berubah ke arah peningkatan sebesar satu persen, volume ekspor karet alam ke Jepang akan meningkat sebesar 0,06 persen. Derajat pass-through nilai tukar riil rupiah per dolar AS terhadap variabel volume ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat sebesar -0,003 persen. Kenaikan nilai tukar riil rupiah terhadap dolar AS, dalam hal ini berarti depresiasi sebesar satu persen akan berdampak pada penurunan ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat sebesar 0,003 persen. Sebaliknya, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap yen Jepang akan berdampak pada peningkatan ekspor karet alam Indonesia ke Jepang sebesar 0,225 persen. Tabel 21 Derajat pass-through Ekspor Karet Alam ke Amerika Serikat dan Jepang Derajat pass-through No
Variabel Shock
Ekspor Karet Alam ke Amerika Serikat
Ekspor Karet Alam ke Jepang
1
Harga Ekspor
-0,110
0,060
2
Nilai Tukar Riil
-0,003
0,225
3
Harga Internasional
0,009
-0,010
4
Harga Negara Kompetitor
0,170
-0,559
Demikian juga halnya dengan harga internasional dan harga kompetitor, saat harga internasional maupun harga kompetitor meningkat sebesar satu persen, ekspor karet alam ke Amerika Serikat akan meningkat masing-masing sebesar 0,009 persen dan 0,17 persen. Sebaliknya jika harga internasional dan harga kompetitor meningkat satu persen, volume ekspor karet alam ke Jepang akan menurun masing-masing sebesar -0,01 persen dan -0,56 persen.
78
Halaman ini sengaja dikosongkan
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil estimasi dan pembahasan ekspor karet alam Indonesia
ke Amerika Serikat dan Jepang, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Pada jangka pendek nilai tukar riil pada lag 1 tidak berpengaruh signifikan pada volume ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang. Pertumbuhan ekspor yang lebih tinggi daripada pertumbuhan nilai tukar membuat Amerika Serikat dan Jepang akan membeli karet alam Indonesia tanpa melihat terjadinya apresiasi maupun depresiasi nilai tukar riil. Pada jangka pendek variabel yang berpengaruh signifikan terhadap ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat adalah harga ekspor pada lag 1 dan volume ekspor pada lag 1, sementara ekspor karet alam ke Jepang lebih dipengaruhi oleh volume ekspor karet alam itu sendiri pada lag 1. 2. Pada jangka panjang nilai tukar riil pada 1 triwulan sebelum berpengaruh signifikan pada volume ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat. Hubungan yang terjadi antara nilai tukar riil dengan ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat adalah negatif, yang berarti apresiasi nilai tukar riil rupiah terhadap dolar Amerika Serikat akan meningkatkan volume ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat. Hal ini disebabkan karena adanya excess demand yang menyebabkan positifnya impor karet alam Amerika Serikat dari Indonesia. Kondisi ini juga diperjelas oleh pertumbuhan ekspor karet alam ke Amerika Serikat yang lebih tinggi daripada pertumbuhan nilai tukar riil rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. 3. Harga internasional pada lag 1 dan harga karet alam negara kompetitor pada lag 1 berpengaruh signifikan dan berhubungan positif dengan ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat pada jangka panjang. Saat harga internasional meningkat, ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat akan meningkat pula.
Tingginya harga internasional pada 1 triwulan sebelum
menjadi daya tarik bagi para eksportir karet alam Indonesia untuk meningkatkan ekspor karet alamnya di triwulan berikutnya. Peningkatan harga
80
karet alam negara kompetitor pada 1 triwulan sebelum menyebabkan Amerika Serikat menurunkan pasokan karet alamnya dari Thailand dan meningkatkan volume impor karet alam dari Indonesia. 4. Pada perdagangan karet alam ke Jepang, variabel yang berpengaruh pada jangka panjang adalah harga internasional dan harga negara kompetitor. Jika harga internasional naik satu persen, maka ekspor karet alam Indonesia ke Jepang akan turun. Demikian pula halnya jika harga karet alam negara kompetitor naik sebesar 1 persen maka ekspor karet alam Indonesia ke Jepang juga akan menurun. Hal ini disebabkan karena permintaan karet alam Jepang tidak terlalu tergantung dari Indonesia. Impor karet alam Jepang lebih didominasi oleh pasokan karet alam dari Thailand. Variabel nilai tukar riil pada 1 triwulan sebelum tidak mempengaruhi ekspor karet alam Indonesia ke Jepang dalam jangka panjang. 5. Perubahan nilai tukar riil akan membawa dampak negatif pada perdagangan karet alam Indonesia ke Amerika Serikat. Nilai tukar memiliki efek pass through terkecil pada ekspor karet alam ke Amerika Serikat, dan variabel yang memiliki pass through terbesar adalah harga karet alam negara kompetitor. Sebaliknya, pada perdagangan karet alam Indonesia ke Jepang perubahan nilai tukar riil membawa dampak positif, dan variabel yang memiliki efek pass through adalah harga karet alam negara kompetitor. 6.2
Saran
1. Dalam jangka pendek, variabel nilai tukar riil, harga internasional, harga negara kompetitor, dan GDP riil tidak berpengaruh pada ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang. Oleh sebab itu, karena hanya variabel volume ekspor dan harga ekspor saja yang berpengaruh, maka perlu adanya campur tangan pemerintah untuk membuka peluang dan kesempatan seluas-luasnya kepada eksportir karet alam untuk mengembangkan potensi ekspor karet alam Indonesia. Pasar Amerika Serikat tetap harus dipertahankan karena Amerika Serikat merupakan importir terbesar karet alam Indonesia. Hal ini diperkuat dengan kondisi perdagangan karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dalam jangka panjang yang dipengaruhi secara negatif oleh
81
variabel nilai tukar riil yang menggambarkan terjadinya excess demand karet alam Amerika Serikat dari Indonesia. Pasar karet alam Amerika Serikat tetap merupakan pasar yang berpotensi besar dan tetap prospektif untuk ditingkatkan volume ekspor karet alamnya, walaupun pertumbuhan ekspornya rendah. 2. Rendahnya permintaan Jepang terhadap karet alam Indonesia dan tingginya permintaan Jepang terhadap karet alam Thailand merupakan peringatan bagi eksportir karet alam Indonesia untuk membidik pasar ekspor karet alam ke negara lain, terutama yang memiliki industri barang jadi karet, namun tetap mempertahankan pasar ekspor Jepang. 3. Sebagian besar konsumsi karet alam Jepang berasal dari Thailand, sehingga saat harga karet alam Thailand mengalami peningkatan, Jepang tetap akan mengimpor karet alam dari Thailand. Hal ini terkait dengan jenis mutu karet alam yang diimpor Jepang dari Thailand sebagian besar berjenis RSS. Pangsa ekspor karet alam Indonesia jenis RSS kecil sekali sehingga perlu adanya diversifikasi jenis karet alam Indonesia yang diekspor. Saat ini lebih dari 90 persen ekspor karet alam Indonesia didominasi oleh TSR, sementara ekspor karet alam Thailand memiliki diversifikasi jenis mutu yang cukup beragam. Diversifikasi jenis karet alam Indonesia yang akan diekspor dengan menambah volume ekspor jenis RSS akan mampu menjadi peluang meningkatnya ekspor ke Jepang. Diharapkan dengan adanya penambahan volume ekspor jenis RSS dari Indonesia, saat harga karet alam negara kompetitor mengalami peningkatan, konsumen karet alam Jepang akan memiliki pilihan untuk membeli karet alam jenis RSS dari Indonesia dan tidak terlalu tergantung pada pasokan karet alam dari Thailand saja.
82
Halaman ini sengaja dikosongkan
83
DAFTAR PUSTAKA Achsani NA, Nababan HF. 2007. Dampak Perubahan Kurs (Pass-Through Effect) terhadap Tujuh Kelompok Indeks Harga Konsumen di Indonesia. LPPM. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Almarwani A, Jolly C, Thompson H. 2007. Exchange Rates and Commodity Markets: Global Export of Corn, Cotton, Poultry, and Soybeans. Agricultural Economics Review 08:77-86. Amir MS. 2000. Seluk Beluk dan Teknik Perdagangan Luar Negeri. PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. Association of Natural Rubber Producing Countries. Desember 2010. Natural Rubber Trends & Statistics. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007. Prospek Dan Arah Pengembangan Agribisnis Karet. Departemen Pertanian. Jakarta Badan Pusat Statistik. 2009. Statistik Indonesia. Jakarta Badan Pusat Statistik. 1992 – 2010. Statistik Ekspor Indonesia. Jakarta Bank Indonesia. 1992-2010. Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Jakarta. Boug P, Fagereng A. 2007. Exchange Rate Volatility and Export Performance: a Cointegrated VAR Approach. Discussion Papers No. 522, November 2007. Statistics Norway, Research Department. Burger K, Smit H, Vogelvang B. 2002. Exchange Rates and Natural Rubber Prices, the Effect of the Asian Crisis. Paper prepared for the presentation at the Xth EAAE Congress ‘Exploring Diversity in the European Agri-Food System’, 28-31 August 2002, Zaragoza. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006. Statistik Perkebunan Indonesia 2003-2005. Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta. Ekananda M. 2002. Pengaruh Pengaruh Volatilitas Nilai Tukar Pada Perdagangan Internasional, Analisis Empiris Pada Ekspor Non Migas Di Indonesia. Tesis Magister Ekonomi, Universitas Indonesia. Jakarta. Ekananda M. 2004. Analisis Pengaruh Volatilitas Nilai Tukar pada Ekspor Komoditi Manufaktur Di Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004.
84
Elwamendri. 2000. Perdagangan Karet Alam antara Negara Produsen Utama dan Amerika Serikat. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Enders W. 2004. Applied Econometrics Time Series. Ed ke-2 New York: John Willey and Sons, Inc. Engle, R.f. and C.W.J. Granger. 1987. Cointegration and Error Correction: Representation, Estimation and Testing. Review of Economic and Statistics, 64(2):231-53. Fabiosa JF. 2002. Assessing the Impact of the Exchange Rate and Its Volatility on Canadian Pork and Live Swinw Exports to the United States and Japan. Center for Agricultural and Rural Development Iowa State University, Working Paper 305. Gapkindo. 2010. Indonesia Natural Rubber Statistic Book. Gabungan Perusahaan Karet Indonesia, Jakarta. Goenarsyah I.1990, Studi Tentang Permintaan dan Penawaran Komoditi Ekspor Pertanian (Udang), Biro Perencanaan Departemen Pertanian bekerja sama dengan IPB Bogor, Institut Pertanian Bogor. Gujarati D. 2006. Ekonometrika Dasar. Sumarno Z, penerjemah; Jakarta: Penerbit Erlangga. Hastuti W. 2006. Pengaruh Nilai Tukar Rupiah terhadap Harga Ekspor Komoditi Kayu Indonesia. Tesis Magister Ekonomi, Universitas Indonesia. IRSG. 2001. Rubber Statistical Bulletin. International Rubber Study Group. London. ____. 2008. Rubber Statistical Bulletin. International Rubber Study Group. London. Junaidi E. 2010. Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Perekonomian di Negara-Negara Asean+3. Tesis. Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor . Lipsey RG, Courant PN, Purvis DD, Steiner PO. 1995. Pengantar Makroekonomi. Binarupa Aksara, Jakarta. Lubis S. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Nenas Segar Indonesia. Skripsi. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mankiw NG. 2007. Makroekonomi, Edisi Keenam. Penerbit Erlangga.
85
Natural Rubber Statistics. http://www.lgm.gov.my/nrstat/nrstats.pdf. Department of Statistics, Malaysia. Oktaviani R, Novianti T. 2009. Teori Perdagangan Internasional dan Aplikasinya di Indonesia, Bagian I. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pasaribu SH. 2003. Eviews untuk Analisis Runtun Waktu (Times Series Analysis). Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Modul Pelatihan (Paket C). Prabowo DW. 2006. Dampak Kebijakan Perdagangan terhadap Dinamika Ekspor Karet Alam Indonesia ke Negara-Negara Importir Utama. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pratika RN. 2007. Analisis Pengaruh Fluktuasi Nilai Tukar pada Ekspor Komoditi Unggulan Pertanian (Karet dan Kopi) di Indonesia. Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rubber Statistical Bulletin. 2008. International Rubber Study Group. Wembley, London. Rubber Statistical Bulletin. 2009. International Rubber Study Group. Wembley, London. Salvatore. 1997. Ekonomi Internasional. Jakarta: Erlangga. Tim Penulis PS. 2008. Panduan Lengkap Karet. Penebar Swadaya. Jakarta. Tety, E. 2002. Penawaran dan Permintaan Karet Alam Indonesia di Pasar Domestik dan Internasional. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tweeten, L. 1992. Agricultural Trade, Principal and Policies. Westview Press, San Francisco. Zuhra CF. 2006. Karet. Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Karya Ilmiah.
86
Halaman ini sengaja dikosongkan
87
Lampiran 1 : Uji Stationeritas Data AMERIKA SERIKAT Level No
VARIABEL
(1)
(2)
ADF STATISTIC t-statistic Probability (3) (4)
HASIL (5)
1
LKAS
-4.789422
0.0014
Stasioner
2
LPAS
-2.838151
0.1901
Tidak Stasioner
3
LERIAS
-2.791947
0.2063
Tidak Stasioner
4
LPINTL
-2.462931
0.3448
Tidak Stasioner
5
LPTHAI
-2.619605
0.2735
Tidak Stasioner
6
LYIAS
-1.627218
0.7697
Tidak Stasioner
First Difference No
VARIABEL
(1)
(2)
ADF STATISTIC t-statistic Probability (3) (4)
HASIL (5)
1
LKAS
-10.31814
0.0000
Stasioner
2
LPAS
-5.830538
0.0000
Stasioner
3
LERIAS
-6.346187
0.0000
Stasioner
4
LPINTL
-6.631563
0.0000
Stasioner
5
LPTHAI
-4.914925
0.0010
Stasioner
6
LYIAS
-3.560432
0.0425
Stasioner
88
JEPANG Level No
VARIABEL
(1)
(2)
ADF STATISTIC t-statistic Probability (3) (4)
HASIL (5)
1
LKJ
-3.781364
0.0245
Stasioner
2
LPJ
-2.923489
0.1630
Tidak Stasioner
3
LERIJ
-2.283797
0.4358
Tidak Stasioner
4
LPINTL
-2.462931
0.3448
Tidak Stasioner
5
LPTHAI
-2.619605
0.2735
Tidak Stasioner
6
LYIJ
-1.857092
0.6639
Tidak Stasioner
First Difference No
VARIABEL
(1)
(2)
ADF STATISTIC t-statistic Probability (3) (4)
HASIL (5)
1
LKJ
-10.21592
0.0000
Stasioner
2
LPJ
-5.870466
0.0000
Stasioner
3
LERIJ
-6.991506
0.0000
Stasioner
4
LPINTL
-6.631563
0.0000
Stasioner
5
LPTHAI
-4.914925
0.0010
Stasioner
6
LYIJ
-7.213083
0.0000
Stasioner
89
Lampiran 2: Uji Lag Optimal
AMERIKA SERIKAT Endogenous variables: LKAS LPAS LERIAS LPINTL LPTHAI Exogenous variables: C LYIAS Date: 07/07/11 Time: 21:28 Sample: 1996Q1 2010Q4 Included observations: 54 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2 3 4 5 6
123.2002 273.5789 287.0928 307.5141 337.5867 360.7447 396.1877
NA 261.7703* 21.02163 27.98480 35.64162 23.15793 28.87950
1.04e-08 1.01e-10* 1.59e-10 2.03e-10 1.93e-10 2.63e-10 2.66e-10
-4.192599 -8.836255* -8.410844 -8.241264 -8.429138 -8.360914 -8.747692
-3.824269 -7.547098* -6.200861 -5.110455 -4.377504 -3.388453 -2.854406
-4.050548 -8.339078* -7.558540 -7.033834 -6.866582 -6.443231 -6.474883
JEPANG Endogenous variables: LKJ LPJ LERIJ LPINTL LPTHAI Exogenous variables: C LYIJ Date: 07/07/11 Time: 21:42 Sample: 1996Q1 2010Q4 Included observations: 54 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2 3 4 5 6
102.8767 248.6712 264.8155 275.9733 312.3780 332.2387 364.2223
NA 253.7905 25.11333 15.29038 43.14622* 19.86078 26.06067
2.21e-08 2.53e-10* 3.63e-10 6.51e-10 4.91e-10 7.57e-10 8.70e-10
-3.439877 -7.913748* -7.585759 -7.073086 -7.495480 -7.305138 -7.563788
-3.071546 -6.624592* -5.375776 -3.942278 -3.443846 -2.332678 -1.670502
-3.297826 -7.416571* -6.733455 -5.865656 -5.932923 -5.387455 -5.290979
90
Lampiran 3 : Pengujian Stabilitas VAR
AMERIKA SERIKAT Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: LKAS LPAS LERIAS LPINTL LPTHAI Exogenous variables: C LYIAS Lag specification: 1 1 Date: 07/07/11 Time: 21:27 Root
Modulus
0.924258 0.616262 0.441780 - 0.287317i 0.441780 + 0.287317i 0.041701
0.924258 0.616262 0.526992 0.526992 0.041701
No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
JEPANG Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: LKJ LPJ LERIJ LPINTL LPTHAI Exogenous variables: C LYIJ Lag specification: 1 1 Date: 07/07/11 Time: 21:43 Root
Modulus
0.830514 0.793284 0.485868 0.342030 0.151539
0.830514 0.793284 0.485868 0.342030 0.151539
No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
91
Lampiran 4 : Pengujian Kointegrasi (Summary) AMERIKA SERIKAT Date: 07/07/11 Time: 21:29 Sample: 1996Q1 2010Q4 Included observations: 58 Series: LKAS LPAS LERIAS LPINTL LPTHAI Exogenous series: LYIAS Warning: Rank Test critical values derived assuming no exogenous series Lags interval: 1 to 1 Selected (0.05 level*) Number of Cointegrating Relations by Model Data Trend: Test Type Trace Max-Eig
None No Intercept No Trend 4 1
None Intercept No Trend 5 1
Linear Intercept No Trend 5 1
Linear Intercept Trend 3 2
Quadratic Intercept Trend 5 2
*Critical values based on MacKinnon-Haug-Michelis (1999) Information Criteria by Rank and Model Data Trend: Rank or No. of CEs
0 1 2 3 4 5
0 1 2 3 4 5
0 1 2 3 4 5
None No Intercept No Trend
None Intercept No Trend
Linear Intercept No Trend
Linear Intercept Trend
Quadratic Intercept Trend
Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns) 254.6719 254.6719 258.6777 258.6777 274.8890 276.4514 280.1473 280.2943 286.3006 288.4526 291.8347 296.8600 294.1822 298.4703 301.6884 306.8439 300.4321 304.8099 308.0217 316.0573 300.4370 310.4423 310.4423 319.4595
258.9872 280.5613 297.0964 307.0800 316.0826 319.4595
Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns) -7.919719 -7.919719 -7.885437 -7.885437 -7.723698 -8.272035 -8.291429 -8.280942 -8.251527 -8.122803 -8.320711 -8.325951 -8.339126 -8.443448* -8.348150 -8.247661 -8.292080 -8.334084 -8.408409 -8.347586 -8.118349 -8.131376 -8.207645 -8.346804 -8.313193 -7.773690 -7.946287 -7.946287 -8.084810 -8.084810 Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns) -7.031597* -7.031597* -6.819690 -6.819690 -7.028664 -7.012533 -6.859947 -6.795007 -6.722092 -6.656282 -6.562882 -6.596154 -6.293793 -6.231637 -6.202591 -6.170342 -5.809232 -5.680160 -5.720903 -5.717963 -5.109324 -5.104297 -5.104297 -5.065195
-6.480327 -6.524183 -6.394282 -6.038469 -5.648827 -5.065195
92
JEPANG Date: 07/07/11 Time: 21:44 Sample: 1996Q1 2010Q4 Included observations: 58 Series: LKJ LPJ LERIJ LPINTL LPTHAI Exogenous series: LYIJ Warning: Rank Test critical values derived assuming no exogenous series Lags interval: 1 to 1 Selected (0.05 level*) Number of Cointegrating Relations by Model Data Trend: Test Type Trace Max-Eig
None No Intercept No Trend 3 1
None Intercept No Trend 2 1
Linear Intercept No Trend 2 1
Linear Intercept Trend 2 1
Quadratic Intercept Trend 2 1
*Critical values based on MacKinnon-Haug-Michelis (1999) Information Criteria by Rank and Model Data Trend: Rank or No. of CEs
0 1 2 3 4 5
0 1 2 3 4 5
0 1 2 3 4 5
None No Intercept No Trend
None Intercept No Trend
Linear Intercept No Trend
Linear Intercept Trend
Quadratic Intercept Trend
Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns) 239.0834 239.0834 240.9237 240.9237 260.7165 261.8620 263.5398 263.5845 271.9360 274.2320 275.9055 278.4669 279.8514 282.6213 283.9577 287.1860 285.0667 288.3658 288.3668 294.3545 285.5688 289.3705 289.3705 298.6763
245.0248 267.3021 281.7767 290.4741 296.5154 298.6763
Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns) -7.382188 -7.382188 -7.273231 -7.273231 -7.242236 -7.783328 -7.788344 -7.708269 -7.675328 -7.665588 -7.825380 -7.835586* -7.789846 -7.809203 -7.819888 -7.753497 -7.745564 -7.722681 -7.730553 -7.774968 -7.588507 -7.564338 -7.529889 -7.598432 -7.638461 -7.260992 -7.219673 -7.219673 -7.368149 -7.368149 Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns) -6.494066 -6.494066 -6.207484 -6.207484 -6.539958* -6.509448 -6.287273 -6.218808 -6.226760 -6.165916 -6.013602 -5.961909 -5.799629 -5.685121 -5.591188 -5.492485 -5.279390 -5.113121 -5.043147 -4.969591 -4.596626 -4.377682 -4.377682 -4.348534
-5.998865 -6.066969 -5.866019 -5.465851 -4.974095 -4.348534
93
Lampiran 5 : Pengujian Kointegrasi (Asumsi) AMERIKA SERIKAT Date: 07/07/11 Time: 21:31 Sample (adjusted): 1996Q3 2010Q4 Included observations: 58 after adjustments Trend assumption: No deterministic trend (restricted constant) Series: LKAS LPAS LERIAS LPINTL LPTHAI Lags interval (in first differences): 1 to 1 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 * At most 2 At most 3 At most 4
0.522273 0.303110 0.289180 0.196266 0.015350
97.15795 54.31239 33.36699 13.56947 0.897211
76.97277 54.07904 35.19275 20.26184 9.164546
0.0007 0.0476 0.0777 0.3201 0.9639
Trace test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 At most 2 At most 3 At most 4
0.522273 0.303110 0.289180 0.196266 0.015350
42.84556 20.94539 19.79753 12.67226 0.897211
34.80587 28.58808 22.29962 15.89210 9.164546
0.0045 0.3432 0.1078 0.1502 0.9639
Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
94
JEPANG Date: 07/07/11 Time: 21:46 Sample (adjusted): 1996Q3 2010Q4 Included observations: 58 after adjustments Trend assumption: No deterministic trend Series: LKJ LPJ LERIJ LPINTL LPTHAI Lags interval (in first differences): 1 to 1
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 At most 2 At most 3 At most 4
0.438084 0.265558 0.229780 0.039631 0.004140
69.06128 35.62992 17.72856 2.586001 0.240608
60.06141 40.17493 24.27596 12.32090 4.129906
0.0072 0.1332 0.2669 0.8961 0.6824
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 At most 2 At most 3 At most 4
0.438084 0.265558 0.229780 0.039631 0.004140
33.43136 17.90136 15.14256 2.345393 0.240608
30.43961 24.15921 17.79730 11.22480 4.129906
0.0206 0.2797 0.1201 0.8817 0.6824
Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
95
Lampiran 6 : Impulse Response Function (IRF) AMERIKA SERIKAT Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
LKAS 0.158016 0.064925 0.032902 0.012222 0.002009 -0.00136 -0.00153 -0.00078 -9.40E-05 0.00029 0.000423 0.000422 0.000373 0.000321 0.000279 0.00025 0.000228 0.00021 0.000195 1.80E-04 1.67E-04 1.54E-04 1.43E-04 1.32E-04 1.22E-04 1.13E-04 1.04E-04 9.62E-05 8.89E-05 8.22E-05 7.60E-05 7.02E-05 6.49E-05 6.00E-05 5.54E-05 5.12E-05 4.74E-05 4.38E-05 4.05E-05 3.74E-05 3.46E-05 3.19E-05 2.95E-05 2.73E-05 2.52E-05 2.33E-05 2.15E-05 1.99E-05 1.84E-05 1.70E-05 1.57E-05 1.45E-05 1.34E-05 1.24E-05 1.15E-05 1.06E-05 9.80E-06 9.06E-06 8.37E-06 7.74E-06
Response of LKAS: LERIAS LPAS 0 0 -0.03639 -0.00447 -0.01497 -0.0055 -0.00585 -0.00432 -0.00394 -0.00252 -0.00435 -0.00096 -0.0049 6.45E-05 -0.00502 0.000626 -0.00477 8.76E-04 -0.00435 0.000953 -0.00392 0.000948 -0.00353 0.000911 -0.0032 0.000862 -0.00292 0.000811 -0.00269 0.00076 -0.00248 0.00071 -0.00229 0.000661 -0.00211 0.000614 -0.00195 0.000569 -0.0018 0.000527 -0.00167 0.000488 -0.00154 0.000451 -0.00142 0.000417 -0.00131 0.000386 -0.00121 0.000357 -0.00112 0.00033 -0.00104 0.000305 -0.00096 0.000282 -0.00089 0.00026 -0.00082 2.41E-04 -0.00076 2.22E-04 -0.0007 2.06E-04 -0.00065 1.90E-04 -0.0006 1.76E-04 -0.00055 1.62E-04 -0.00051 1.50E-04 -0.00047 1.39E-04 -0.00044 1.28E-04 -0.0004 1.18E-04 -0.00037 1.09E-04 -0.00034 1.01E-04 -3.18E-04 9.35E-05 -2.94E-04 8.64E-05 -2.72E-04 7.99E-05 -2.51E-04 7.38E-05 -2.32E-04 6.82E-05 -2.15E-04 6.31E-05 -1.98E-04 5.83E-05 -1.83E-04 5.39E-05 -1.69E-04 4.98E-05 -1.57E-04 4.60E-05 -1.45E-04 4.25E-05 -1.34E-04 3.93E-05 -1.24E-04 3.63E-05 -1.14E-04 3.36E-05 -1.06E-04 3.10E-05 -9.77E-05 2.87E-05 -9.03E-05 2.65E-05 -8.34E-05 2.45E-05 -7.71E-05 2.27E-05
LPINTL 0 0.044085 0.034186 0.014453 0.000375 -0.00616 -0.00772 -0.00703 -0.0058 -0.00475 -0.00402 -0.00355 -0.00323 -0.00298 -0.00276 -0.00256 -0.00237 -0.00219 -0.00202 -0.00187 -0.00173 -0.0016 -0.00147 -0.00136 -0.00126 -0.00116 -0.00108 -0.00099 -0.00092 -0.00085 -0.00079 -0.00073 -0.00067 -0.00062 -0.00057 -0.00053 -0.00049 -0.00045 -0.00042 -0.00039 -0.00036 -0.00033 -3.05E-04 -2.82E-04 -2.61E-04 -2.41E-04 -2.23E-04 -2.06E-04 -1.90E-04 -1.76E-04 -1.62E-04 -1.50E-04 -1.39E-04 -1.28E-04 -1.19E-04 -1.10E-04 -1.01E-04 -9.36E-05 -8.65E-05 -7.99E-05
LPTHAI 0 -0.0264 -0.00817 -0.00071 0.000474 -0.00035 -0.00124 -0.00168 -0.00175 -0.00161 -0.00142 -0.00124 -0.0011 -0.001 -0.00091 -0.00084 -0.00077 -0.00071 -0.00066 -0.00061 -0.00056 -0.00052 -0.00048 -0.00044 -0.00041 -0.00038 -3.50E-04 -3.24E-04 -2.99E-04 -2.77E-04 -2.56E-04 -2.36E-04 -2.18E-04 -2.02E-04 -1.87E-04 -1.72E-04 -1.59E-04 -1.47E-04 -1.36E-04 -1.26E-04 -1.16E-04 -1.07E-04 -9.94E-05 -9.18E-05 -8.49E-05 -7.84E-05 -7.25E-05 -6.70E-05 -6.19E-05 -5.72E-05 -5.29E-05 -4.89E-05 -4.52E-05 -4.18E-05 -3.86E-05 -3.57E-05 -3.30E-05 -3.05E-05 -2.82E-05 -2.60E-05
96
JEPANG Period
LKJ
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
0.192939 0.115289 0.075578 0.051961 0.036327 0.025339 0.017406 0.011634 7.44E-03 0.004429 0.002289 0.0008 -0.00021 -0.00087 -0.00127 -0.00149 -0.00158 -0.00159 -0.00154 -0.00145 -0.00134 -0.00122 -0.0011 -0.00098 -0.00087 -0.00077 -0.00067 -5.84E-04 -5.07E-04 -4.38E-04 -3.77E-04 -3.24E-04 -2.78E-04 -2.37E-04 -2.02E-04 -1.72E-04 -1.46E-04 -1.24E-04 -1.05E-04 -8.92E-05 -7.54E-05 -6.37E-05 -5.37E-05 -4.53E-05 -3.82E-05 -3.21E-05 -2.70E-05 -2.27E-05 -1.90E-05 -1.60E-05 -1.34E-05 -1.12E-05 -9.42E-06 -7.89E-06 -6.60E-06 -5.53E-06 -4.62E-06 -3.86E-06 -3.23E-06 -2.70E-06
Response of LKJ: LPJ LERIJ 0 0.036746 0.032524 0.022905 0.014353 0.007812 0.003101 -0.00015 -0.00231 -0.00365 -0.00441 -0.00476 -0.00482 -0.00469 -0.00444 -0.00412 -0.00377 -0.0034 -0.00304 -0.0027 -0.00238 -0.00208 -0.00182 -0.00158 -0.00136 -0.00117 -0.00101 -0.00087 -0.00074 -0.00063 -0.00054 -0.00046 -0.00039 -0.00033 -0.00028 -0.00024 -0.0002 -0.00017 -0.00014 -0.00012 -0.0001 -8.44E-05 -7.10E-05 -5.96E-05 -5.00E-05 -4.20E-05 -3.52E-05 -2.95E-05 -2.47E-05 -2.07E-05 -1.73E-05 -1.45E-05 -1.21E-05 -1.01E-05 -8.45E-06 -7.06E-06 -5.90E-06 -4.92E-06 -4.11E-06 -3.43E-06
0 0.011817 0.012926 0.011962 0.010628 0.009306 8.09E-03 0.007002 0.006039 0.005193 0.004453 0.00381 0.003253 0.002773 0.002359 0.002003 0.001699 0.001439 0.001217 0.001029 0.000868 0.000732 0.000617 0.000519 0.000437 0.000367 0.000308 0.000259 0.000217 0.000182 0.000153 0.000128 0.000107 8.96E-05 7.49E-05 6.27E-05 5.24E-05 4.38E-05 3.66E-05 3.06E-05 2.55E-05 2.13E-05 1.78E-05 1.48E-05 1.24E-05 1.03E-05 8.60E-06 7.17E-06 5.98E-06 4.98E-06 4.15E-06 3.46E-06 2.88E-06 2.40E-06 2.00E-06 1.66E-06 1.38E-06 1.15E-06 9.59E-07 7.98E-07
LPINTL
LPTHAI
0 0.022478 0.027923 0.022061 0.013695 0.006301 0.000712 -0.00317 -0.00567 -0.00714 -0.00787 -0.00807 -0.00793 -0.00755 -0.00704 -0.00646 -0.00585 -0.00524 -0.00466 -0.00411 -0.0036 -0.00315 -0.00273 -0.00237 -0.00204 -0.00175 -0.00151 -0.00129 -0.0011 -0.00094 -0.0008 -0.00068 -0.00057 -0.00049 -0.00041 -0.00035 -0.00029 -0.00025 -0.00021 -0.00018 -0.00015 -0.00012 -0.0001 -8.75E-05 -7.34E-05 -6.15E-05 -5.16E-05 -4.32E-05 -3.62E-05 -3.03E-05 -2.53E-05 -2.12E-05 -1.77E-05 -1.48E-05 -1.24E-05 -1.03E-05 -8.62E-06 -7.20E-06 -6.00E-06 -5.01E-06
0 0.018064 0.016395 0.012412 0.00888 0.006125 0.004061 0.002548 0.001458 0.000688 0.000155 -0.0002 -4.30E-04 -0.00057 -0.00063 -0.00066 -0.00065 -0.00062 -0.00058 -0.00054 -0.00049 -0.00044 -0.00039 -0.00034 -0.0003 -0.00026 -0.00023 -0.0002 -0.00017 -0.00015 -0.00013 -0.00011 -9.22E-05 -7.86E-05 -6.69E-05 -5.68E-05 -4.82E-05 -4.09E-05 -3.46E-05 -2.92E-05 -2.47E-05 -2.08E-05 -1.75E-05 -1.48E-05 -1.24E-05 -1.04E-05 -8.77E-06 -7.36E-06 -6.18E-06 -5.18E-06 -4.34E-06 -3.64E-06 -3.04E-06 -2.55E-06 -2.13E-06 -1.78E-06 -1.49E-06 -1.25E-06 -1.04E-06 -8.70E-07
Lampiran 7 : Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) AMERIKA SERIKAT
97
Variance Decomposition of LKAS: Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
S.E.
LKAS
LPAS
LERIAS
LPINTL
LPTHAI
0.158016 0.182123 0.189052 0.190138 0.190207 0.190364 0.190594 0.190799 0.190957 0.191075 0.191166 0.191238 0.191297 0.191347 0.191390 0.191426 0.191458 0.191484 0.191507 0.191526 0.191543 0.191557 0.191569 0.191579 0.191588 0.191596 0.191602 0.191607 0.191612 0.191616 0.191620 0.191622 0.191625 0.191627 0.191629 0.191630 0.191632 0.191633 0.191634 0.191635 0.191635 0.191636 0.191637 0.191637 0.191637 0.191638 0.191638 0.191638 0.191638 0.191639 0.191639 0.191639 0.191639 0.191639 0.191639 0.191639 0.191639 0.191639 0.191639 0.191639
100.0000 87.98711 84.68386 84.13279 84.08296 83.94942 83.75386 83.57498 83.43691 83.33416 83.25583 83.19355 83.14221 83.09894 83.06210 83.03062 83.00374 82.98080 82.96123 82.94453 82.93028 82.91812 82.90773 82.89887 82.89130 82.88483 82.87931 82.87459 82.87056 82.86712 82.86418 82.86167 82.85952 82.85769 82.85612 82.85479 82.85365 82.85267 82.85184 82.85112 82.85052 82.85000 82.84955 82.84917 82.84885 82.84857 82.84834 82.84814 82.84796 82.84782 82.84769 82.84758 82.84749 82.84741 82.84734 82.84729 82.84724 82.84720 82.84716 82.84713
0.000000 3.992095 4.331630 4.376903 4.416561 4.461406 4.516771 4.576243 4.631073 4.677238 4.714747 4.745168 4.770154 4.790980 4.808534 4.823431 4.836116 4.846931 4.856157 4.864029 4.870747 4.876481 4.881376 4.885556 4.889125 4.892174 4.894777 4.897001 4.898900 4.900522 4.901908 4.903092 4.904103 4.904966 4.905704 4.906334 4.906873 4.907333 4.907725 4.908061 4.908348 4.908593 4.908802 4.908980 4.909133 4.909263 4.909375 4.909470 4.909551 4.909621 4.909680 4.909731 4.909774 4.909811 4.909843 4.909870 4.909893 4.909912 4.909929 4.909944
0.000000 0.060337 0.140598 0.190701 0.208059 0.210279 0.209784 0.210408 0.212163 0.214386 0.216644 0.218749 0.220646 0.222328 0.223806 0.225095 0.226212 0.227176 0.228005 0.228716 0.229325 0.229846 0.230291 0.230672 0.230997 0.231275 0.231512 0.231715 0.231888 0.232036 0.232163 0.232271 0.232363 0.232442 0.232509 0.232567 0.232616 0.232658 0.232694 0.232724 0.232751 0.232773 0.232792 0.232808 0.232822 0.232834 0.232844 0.232853 0.232860 0.232867 0.232872 0.232877 0.232881 0.232884 0.232887 0.232889 0.232892 0.232893 0.232895 0.232896
0.000000 5.859443 8.707553 9.186181 9.179910 9.269533 9.411078 9.526611 9.603235 9.653121 9.688187 9.715312 9.737757 9.756925 9.773428 9.787612 9.799756 9.810123 9.818963 9.826499 9.832927 9.838413 9.843095 9.847094 9.850509 9.853425 9.855916 9.858044 9.859861 9.861413 9.862739 9.863872 9.864839 9.865666 9.866372 9.866975 9.867490 9.867930 9.868306 9.868627 9.868901 9.869135 9.869336 9.869507 9.869653 9.869777 9.869884 9.869975 9.870053 9.870119 9.870176 9.870224 9.870266 9.870301 9.870332 9.870357 9.870379 9.870398 9.870414 9.870428
0.000000 2.101016 2.136359 2.113427 2.112516 2.109362 2.108506 2.111754 2.116618 2.121096 2.124595 2.127222 2.129231 2.130826 2.132137 2.133237 2.134172 2.134969 2.135648 2.136228 2.136722 2.137144 2.137504 2.137811 2.138073 2.138297 2.138488 2.138651 2.138791 2.138910 2.139012 2.139099 2.139173 2.139236 2.139290 2.139337 2.139376 2.139410 2.139439 2.139463 2.139484 2.139502 2.139518 2.139531 2.139542 2.139552 2.139560 2.139567 2.139573 2.139578 2.139582 2.139586 2.139589 2.139592 2.139594 2.139596 2.139598 2.139599 2.139601 2.139602
98
JEPANG Variance Decomposition of LKJ: Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
S.E.
LKJ
LPJ
LERIJ
LPINTL
LPTHAI
0.192939 0.229866 0.246625 0.254622 0.258335 0.260008 0.260766 0.261151 0.261403 0.261616 0.261819 0.262016 0.262201 0.262368 0.262515 0.262639 0.262742 0.262826 0.262893 0.262945 0.262986 0.263017 0.263041 0.263059 0.263072 0.263082 0.263090 0.263095 0.263099 0.263102 0.263104 0.263106 0.263107 0.263107 0.263108 0.263108 0.263109 0.263109 0.263109 0.263109 0.263109 0.263109 0.263109 0.263109 0.263109 0.263109 0.263109 0.263109 0.263109 0.263109 0.263109 0.263109 0.263109 0.263109 0.263109 0.263109 0.263109 0.263109 0.263109 0.263109
100.0000 95.60641 92.44555 90.89436 90.27718 90.06927 89.99155 89.92488 89.83293 89.71538 89.58370 89.45022 89.32427 89.21146 89.11428 89.03307 88.96681 88.91379 88.87204 88.83960 88.81468 88.79573 88.78143 88.77074 88.76278 88.75690 88.75257 88.74941 88.74710 88.74543 88.74421 88.74334 88.74271 88.74226 88.74194 88.74171 88.74154 88.74143 88.74134 88.74128 88.74124 88.74121 88.74119 88.74118 88.74117 88.74116 88.74116 88.74115 88.74115 88.74115 88.74115 88.74115 88.74114 88.74114 88.74114 88.74114 88.74114 88.74114 88.74114 88.74114
0.000000 2.555435 3.959097 4.523524 4.703095 4.733058 4.719704 4.705833 4.704573 4.716397 4.737451 4.763304 4.790368 4.816222 4.839482 4.859536 4.876284 4.889931 4.900834 4.909404 4.916051 4.921148 4.925019 4.927934 4.930112 4.931730 4.932924 4.933802 4.934443 4.934910 4.935249 4.935494 4.935671 4.935798 4.935888 4.935953 4.936000 4.936033 4.936056 4.936073 4.936085 4.936093 4.936099 4.936103 4.936106 4.936108 4.936110 4.936111 4.936111 4.936112 4.936112 4.936112 4.936113 4.936113 4.936113 4.936113 4.936113 4.936113 4.936113 4.936113
0.000000 0.264290 0.504303 0.693840 0.843275 0.960556 1.051239 1.120032 1.171246 1.208735 1.235790 1.255086 1.268715 1.278264 1.284910 1.289511 1.292680 1.294854 1.296340 1.297352 1.298040 1.298506 1.298821 1.299034 1.299177 1.299273 1.299338 1.299381 1.299410 1.299429 1.299442 1.299451 1.299456 1.299460 1.299463 1.299464 1.299466 1.299466 1.299467 1.299467 1.299467 1.299467 1.299468 1.299468 1.299468 1.299468 1.299468 1.299468 1.299468 1.299468 1.299468 1.299468 1.299468 1.299468 1.299468 1.299468 1.299468 1.299468 1.299468 1.299468
0.000000 0.956281 2.112603 2.732693 2.935702 2.956791 2.940359 2.946403 2.987799 3.057467 3.143027 3.233242 3.320060 3.398665 3.466799 3.523956 3.570702 3.608165 3.637696 3.660654 3.678295 3.691716 3.701839 3.709417 3.715052 3.719217 3.722280 3.724522 3.726156 3.727342 3.728200 3.728819 3.729264 3.729583 3.729812 3.729975 3.730091 3.730173 3.730232 3.730273 3.730303 3.730324 3.730338 3.730349 3.730356 3.730361 3.730365 3.730367 3.730369 3.730370 3.730371 3.730371 3.730372 3.730372 3.730372 3.730373 3.730373 3.730373 3.730373 3.730373
0.000000 0.617583 0.978443 1.155583 1.240744 1.280325 1.297145 1.302847 1.303452 1.302021 1.300034 1.298143 1.296583 1.295392 1.294531 1.293931 1.293527 1.293263 1.293096 1.292994 1.292935 1.292902 1.292886 1.292879 1.292878 1.292880 1.292883 1.292887 1.292890 1.292892 1.292895 1.292897 1.292898 1.292899 1.292900 1.292901 1.292901 1.292902 1.292902 1.292902 1.292903 1.292903 1.292903 1.292903 1.292903 1.292903 1.292903 1.292903 1.292903 1.292903 1.292903 1.292903 1.292903 1.292903 1.292903 1.292903 1.292903 1.292903 1.292903 1.292903
99
Lampiran 8 : Vector Error Correction Estimates AMERIKA SERIKAT Vector Error Correction Estimates Date: 07/07/11 Time: 21:39 Sample (adjusted): 1996Q3 2010Q4 Included observations: 58 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1
CointEq2
LKAS(-1)
1.000000
0.000000
LPAS(-1)
0.000000
1.000000
LERIAS(-1)
-1.699716 (0.41233) [-4.12227]
0.223347 (0.17342) [ 1.28788]
LPINTL(-1)
8.201205 (1.73894) [ 4.71622]
-5.282777 (0.73139) [-7.22294]
LPTHAI(-1)
8.989379 (1.78747) [ 5.02911]
-4.424282 (0.75180) [-5.88490]
C
-9.899612 (10.1347) [-0.97680]
-11.55959 (4.26263) [-2.71184]
Error Correction:
D(LKAS)
D(LPAS)
D(LERIAS)
D(LPINTL)
D(LPTHAI)
CointEq1
-0.106141 (0.09774) [-1.08594]
-0.048286 (0.03818) [-1.26455]
0.325765 (0.07062) [ 4.61278]
-0.084088 (0.10161) [-0.82756]
0.027997 (0.03630) [ 0.77136]
CointEq2
-0.330446 (0.18277) [-1.80803]
-0.213451 (0.07140) [-2.98947]
0.561979 (0.13206) [ 4.25560]
-0.138307 (0.19000) [-0.72794]
0.190178 (0.06787) [ 2.80210]
D(LKAS(-1))
-0.301777 (0.14078) [-2.14368]
0.048275 (0.05500) [ 0.87778]
-0.143893 (0.10172) [-1.41465]
0.081611 (0.14635) [ 0.55765]
-0.027145 (0.05228) [-0.51926]
D(LPAS(-1))
-0.687530 (0.32120) [-2.14052]
-0.184170 (0.12548) [-1.46769]
-0.175803 (0.23208) [-0.75751]
0.386364 (0.33391) [ 1.15709]
-0.200555 (0.11928) [-1.68143]
D(LERIAS(-1))
-0.036457 (0.16778) [-0.21729]
-0.081514 (0.06555) [-1.24360]
0.335675 (0.12123) [ 2.76894]
-0.119330 (0.17442) [-0.68415]
0.030331 (0.06231) [ 0.48681]
D(LPINTL(-1))
-0.615284 (0.43096) [-1.42772]
-0.094003 (0.16836) [-0.55834]
0.216269 (0.31139) [ 0.69454]
0.303961 (0.44801) [ 0.67846]
-0.115470 (0.16004) [-0.72153]
100
D(LPTHAI(-1))
-0.426667 (0.40982) [-1.04111]
-0.265531 (0.16010) [-1.65848]
-0.476967 (0.29611) [-1.61076]
0.756701 (0.42604) [ 1.77613]
-0.397680 (0.15219) [-2.61312]
LYIAS
-0.272587 (0.22396) [-1.21712]
-0.134454 (0.08749) [-1.53670]
0.758312 (0.16182) [ 4.68610]
-0.192425 (0.23283) [-0.82648]
0.089071 (0.08317) [ 1.07098]
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
0.254361 0.149972 1.571031 0.177259 2.436656 22.35417 -0.494971 -0.210772 0.001552 0.192261
0.739837 0.703414 0.239777 0.069250 20.31245 76.86774 -2.374749 -2.090550 0.013103 0.127158
0.333780 0.240509 0.820192 0.128077 3.578611 41.20272 -1.144921 -0.860722 0.002586 0.146964
0.092014 -0.035104 1.697857 0.184275 0.723849 20.10277 -0.417337 -0.133138 0.020138 0.181123
0.762620 0.729387 0.216646 0.065825 22.94755 79.80966 -2.476195 -2.191996 -0.015469 0.126536
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
6.92E-11 3.30E-11 288.4526 -8.153537 -6.306244
101
JEPANG Vector Error Correction Estimates Date: 07/07/11 Time: 21:52 Sample (adjusted): 1996Q3 2010Q4 Included observations: 58 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
Cointegrating Eq:
CointEq1
LKJ(-1)
1.000000
LPJ(-1)
-0.279130 (1.00086) [-0.27889]
LERIJ(-1)
-0.540156 (0.36001) [-1.50038]
LPINTL(-1)
-11.84866 (1.70909) [-6.93273]
LPTHAI(-1)
-11.91706 (1.78609) [-6.67214]
C
82.27505 (34.1306) [ 2.41059]
Error Correction:
D(LKJ)
D(LPJ)
D(LERIJ)
D(LPINTL)
D(LPTHAI)
CointEq1
-0.067243 (0.05803) [-1.15877]
-0.021101 (0.02630) [-0.80218]
0.116502 (0.03909) [ 2.98068]
-0.025145 (0.05345) [-0.47041]
0.064687 (0.01898) [ 3.40856]
D(LKJ(-1))
-0.355829 (0.12462) [-2.85520]
0.010739 (0.05649) [ 0.19010]
0.182085 (0.08394) [ 2.16921]
-0.003617 (0.11480) [-0.03151]
-0.002317 (0.04076) [-0.05685]
D(LPJ(-1))
0.318830 (0.30830) [ 1.03416]
-0.226170 (0.13975) [-1.61838]
0.318705 (0.20765) [ 1.53479]
0.083239 (0.28398) [ 0.29311]
-0.059029 (0.10082) [-0.58547]
D(LERIJ(-1))
-0.112236 (0.18607) [-0.60320]
-0.027624 (0.08434) [-0.32751]
0.029860 (0.12533) [ 0.23826]
-0.140193 (0.17139) [-0.81797]
0.045456 (0.06085) [ 0.74701]
D(LPINTL(-1))
-0.315861 (0.49915) [-0.63280]
0.372903 (0.22626) [ 1.64810]
1.013692 (0.33620) [ 3.01515]
0.070455 (0.45978) [ 0.15324]
-0.082151 (0.16324) [-0.50326]
D(LPTHAI(-1))
0.182421 (0.35992) [ 0.50684]
-0.388785 (0.16315) [-2.38299]
0.108643 (0.24242) [ 0.44816]
0.454169 (0.33153) [ 1.36991]
-0.230233 (0.11771) [-1.95600]
102
LYIJ
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
0.576622 (0.49619) [ 1.16209]
0.180716 (0.22492) [ 0.80346]
-0.996920 (0.33421) [-2.98292]
0.216459 (0.45706) [ 0.47359]
-0.553600 (0.16227) [-3.41154]
0.239252 0.149753 2.042215 0.200109 2.673220 14.74740 -0.267152 -0.018477 0.020517 0.217017
0.660712 0.620795 0.419628 0.090708 16.55243 60.63764 -1.849574 -1.600900 0.013966 0.147303
0.226284 0.135258 0.926481 0.134782 2.485936 37.66889 -1.057548 -0.808874 -0.005345 0.144941
0.073349 -0.035669 1.732761 0.184325 0.672812 19.51265 -0.431471 -0.182797 0.020138 0.181123
0.760678 0.732522 0.218418 0.065442 27.01699 79.57335 -2.502529 -2.253855 -0.015469 0.126536
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
1.57E-10 8.24E-11 261.8620 -7.615930 -6.159410