BAB V PENUTUP Sejak reformasi nasional tahun 1998 dan dilanjutkan dengan reformasi pertahanan pada tahun 2000 sistem pertahanan Indonesia mengalami transformasi yang cukup substansial, TNI sebagai kekuatan inti dalam sistem pertahanan negara mengalami perubahan paradigma secara mendasar. Tentara Nasional Indonesia dan tidak lagi melaksanakan Dwifungsi yaitu fungsi pertahanan keamanan dan fungsi sosial politik sehingga tidak lagi terlibat politik praktis sehingga TNI dan terbatas hanya menjadi alat pertahanan negara yang diimplementasikan melalui pembentukan postur pertahanan negara secara proporsional dan bertahap dalam rangka mewujudkan militer yang profesional, efektif, efisien serta modern. Langkah strategis tersebut dilanjutkan melalui program kerja pemerintahan Presiden Yudhoyono dalam dua periode yang menghasilkan kekuatan pertahanan negara pada tingkat penangkalan yang mampu menindak dan menanggulangi ancaman yang datang dari dalam maupun dari luar negeri. Produk kebijakan pembangunan pertahanan tersebut adalah membentuk postur pertahanan negara pada tingkat kekuatan pokok minimal (Minimum Essential Force) yang saat ini (pertengahan tahun 2014) belum sepenuhnya dapat diwujudkan dan baru terpenuhi 35-40 persen. Pencapaian Presiden Yudhoyono dalam pembangunan kekuatan pertahanan antara lain ditandai dengan peningkatan kesiapan personel dan alutsista, serta terselenggaranya latihan gabungan militer. Dalam rangka membangun kekuatan pada skala Minimum Essential Force Presiden Yudhoyono memprioritaskan pada pembangunan komponen utama melalui pembangunan sistem, personel, fasilitas dan materiel melalui modernisasi alat utama sistem senjata (Alutsista). Sedangkan untuk pembangunan Komponen cadangan dan Komponen pendukung pertahanan dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kemampuan sumber daya yang tersedia, termasuk didalamnya optimalisasi industri strategis dan dukungan anggaran belanja petahanan disesuaikan dengan kondisi keuangan negara. Atau dengan kata lain pemerintah
109
dalam membangun kekuatan pertahanan mengedepankan konsep pertahanan berbasis kemampuan anggaran
(capability-based defence)
dengan tetap
mempertimbangkan ancaman yang dihadapi serta kecenderungan perkembangan lingkungan strategis, yang diimplementasikan melalui: 1. Modernisasi
Alutsista
TNI
dilaksanakan
melalui
pemeliharaan,
repowering atau retrofiting dan pengadaan Alutsista baru sesuai dengan kebutuhan yang mendesak untuk menggantikan yang sudah tidak layak pakai. 2. Membangun sumber daya manusia guna membentuk prajurit TNI yang professional. 3.
Kemandirian industri pertahanan nasional sebagai upaya meminimalkan ketergantungan alutsista TNI dari produk luar negeri.
Keberhasilan Presiden Yudhoyono dalam membangun kekuatan pertahanan dapat dilihat dari kondisi postur pertahanan negara yang ada saat ini, dan telah menujukan perubahan ke arah yang lebih baik dari kondisi militer Indonesia pada era Orde Baru maupun era Demokrasi-Transisi (1998-2004). Dalam hal penetapan regulasi politik sebagai dasar pembangunan pertahanan telah ditetapkan meskipun ada beberapa undang-undang yang perlu penyelesaian dan sedang dalam tahapan rancangan. Pertama, ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Umum Pertahanan, dengan menetapkan Kebijakan Umum Pertahanan Negara dalam rangka pengelolaan Sistem Pertahanan Negara. Kebijakan umum pertahanan negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 selanjutnya dijadikan acuan bagi perencanaan, penyelenggaraan, dan pengawasan sistem pertahanan negara. Dengan adanya Peraturan Presiden (PP) tersebut menjadi jelas kiranya penataan dan penentuan arah kebijakan selanjutnya serta implementasi teknis dalam melaksakan pembangunan pertahanan. Kedua, telah tersusun Peraturan Menteri Pertahanan Nomor: PER/22/M/XII/2007 tanggal 28 Desember 2007 tentang Strategi Pertahanan Negara. Ketiga,tersusunya doktrin pertahanan negara yang baru guna memwujudkan sistem bela negara menlyeluruh melibatkan semua komponen nasional, yang tertuang dalam Permenhan Nomor: PER/23/M/XII/2007 tanggal
110
28 Desember 2007 Tentang Doktrin Pertahanan Negara. Keempat; Permenhan Nomor: PER/24/M/XII/2007 tanggal 28 Desember 2007 tentang Postur Pertahanan
Negara.
PER/03/M/II/2008
Kelima, tanggal
adalah 18
ditetapkannya
Februari
2008
PertahananNegara. Keenam, Permenhan Nomor September 2008
Permenhan
tentang
Buku
16 Tahun 2008
tentang Kebijakan Penyelenggaraan
Nomor: Putih
tanggal 10
Pertahanan Negara
melengkapi dokumen strategis pembangunan dan penyelenggaraan pertahanan negara. Dari sisi kekuatan personel TNI sudah sesuai dengan rencana awal program kerja lima tahunan pemerintah SBY, sampai pada akhir masa pemerintahan dapat dilihat saat ini kekuatan personel TNI berjumlah 402.595 prajurit, terdiri dari 298.848 prajurit. TNI AD, 62.947 prajurit TNI AL dan 32.194 prajurit TNI AU, serta 8.606 prajurit bertugas di Mabes TNI, Departemen Pertahanan dan Departemen/LPND. Berkenaan dengan kesiapan alat utama sistem senjata, dalam membangun kesiapan persenjataan tersebut mengalami peningkatan, terpeliharanya kesiapan alutsista TNI ini ditempuh melalui pemeliharaan dan pengadaan bebrapa jenis senjata munisi kaliber kecil berbagai jenis kaliber, munisi kaliber besar berbagai jenis kaliber, kendaraan taktis dan suku cadang rantis, suku cadang kendaraan tempur, kendaraan dinas dan kendaraan khusus, alat komunikasi militer dalam rangka penyiapan K4IPP
(Komando, Kendali, Komunikasi, Komputerisasi,
Informasi, Pengamatan dan Pengintaian), dan peralatan lain untuk keperluan militer. Jika dicermati lebih jauh dengan ukuran prosentase, secara umum tingkat kesiapan kekuatan senjata TNI AD sampai dengan pertengahan tahun 2014 ratarata mencapai 81.13 persen, yang meliputi: 1.299 unit berbagai jenis kendaraan tempur dengan kondisi siap 1.077 unit (82,90 persen), 495.660 pucuk senjata infanteri berbagai jenis dengan kondisi siap 389.993 pucuk (78,68 persen), 978 pucuk senjata artileri berbagai jenis dengan kondisi siap 97 pucuk (71,26 persen), 62.229 unit kendaraan bermotor berbagai jenis dengan kondisi siap 52.343 unit (84,11 persen), 62 unit pesawat terbang berbagai jenis dengan kondisi siap 55 unit
111
(88,70 persen). Peningkatan kekuatan TNI AL diprioritaskan untuk kesiapan operasional kapal tempur dan kapal angkut, pesawat terbang dan ranpur Marinir yang diintegrasikan ke dalam Sistem Senjata Armada Terpadu. Sampai tahun 2014 kekuatan matra laut mencapai tingkat kesiapan rata-rata 45,92 persen, yang meliputi: 146 unit kapal perang dengan kondisi siap 63 unit (43 persen), 324 unit Kapal Angkatan Laut dengan kondisi siap 172 unit (53,08 persen), 413 unit kendaraan tempur marinir berbagai jenis dengan kondisi siap 177 (42.05 persen), dan 68 unit pesawat terbang dengan kondisi siap 31 unit (45,58 persen). Sedangkan untuk kesiapan kekuatan Alutsista TNI-AU tertumpu pada pesawat tempur, pesawat angkut, helikopter dan pesawat jenis lainnya, serta peralatan radar dan rudal. Kekuatan matra udara saat ini mencapai tingkat kesiapan rata-rata 59,01 persen, yang meliputi: 214 unit pesawat terbang dari berbagai jenis dengan kondisi siap 81 unit (42 persen), 17 unit peralatan radar dengan kondisi siap 13 unit (76 persen), dan 26 set rudal jarak pendek dengan tingkat kesiapan 100 persen. Melihat hasil pembangunan kekuatan Indonesia saat ini dan jika ditarik dalam konteks Internasional maka membangun kekuatan pertahanan negara merupakan sesuatu hal yang dilegalkan bagi sebuah negara merdeka karena merupakan bagian dari pembagunan nasional. Salah satu kepentingan utama Indonesia membangun kekuatan pertahanan bukanlah modernisasi militer itu sendiri, tapi apa tujuan modernisasi tersebut. Disini Indonesia serta beberapa negara Asia Tenggara dalam membangun pertahanan ditujukan guna menguatkan strategi penangkalan (deterrence) dan bersifat defensif, bukan ofensif. Hal ini dapat dilihat dari strategi penguatan militer masing-masing negara yang tidak secara total membangun kekuatan militer, kita melihat Indonesia, Singapura, Malaysia dan Thailand
yang cenderung membangun kekuatan militer guna
membendung pengaruh luar terutama terkait masalah perairan, terorisme, penyelundupan serta anacaman non-tradisional lainnya yang berkembang dalam sepuluh tahun terakhir. Dari hasil kajian secara menyeluruh terhadap upaya peningkatan kekuatan militer dan kemudian berdampak terhadap ketegangan kawasan adalah ketika
112
pembangunan kekuatan ini menyebabkan salah kalkulasi, salah persepsi dan saling mencurigai dari negara lain dan lingkungan internasionalnya. Untuk menghindari destabilisasi keamanan, dibutuhkan transparansi dan kepercayaan startegis serta adanya resolusi dan menajemen konflik yang diharapkan menghasilkan perdamaian kawasan. Dengan demikian, akan dapat menghindarkan kemungkinan negara kita pada posisi pacuan senjata dengan diri sendiri (self-arms race) di kemudian hari. Penghindaran dari self-arms race menjadi penting, karena selain menghindari penumpukan pembelian senjata pada waktu tertentu yang akan memakan biaya yang sangat besar, juga dapat menghindarkan kekhawatiran negara tetangga dan pihak-pihak domestik yang kritis terhadap keberadaan militer Indonesia atau TNI.
Kedua, walaupun ancaman serangan militer (ancaman
konvensional) secara langsung sudah hampir tidak dimungkinkan lagi, tetapi menjaga keamanan wilayah dan kedaulatan tetap harus dilakukan, dan untuk itu diperlukan
modernisasi
persenjataan.
Sekecil
apapun
faktor
ancaman
konvensional yang mungkin terjadi, dalam penyusunan defence policy tetap harus diperhitungkan. Hal ini sejalan definisi umum tugas dan fungsi pertahanan yang sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang pertahanan negara Indonesia. Pembangunan kekuatan militer tentu menjadi hal yang sensitif dan jika merujuk pada pendapat Bary Buzan bahwa pembangunan kekuatan militer suatu negara tanpa ada batasan serta transparansi akan menyebabkan security dilemma bagi negara lain. Pandangan tersebut menurut penulis dapat dibenarkan apabila dalam situasi tersebut terjadi ketika salah kalkulasi (miscalculation), salah menilai (misjudgment) dan saling mencurigai (mistrust). Untuk menghindari destabilisasi perlombaan senjata akibat modernisasi militer yang dilakukan tiap-tiap negara di kawasan Asia Tenggara-Pasifik telah sepakat membentuk suatu kerangka ASEAN Regional Forum ARF yang memang selangkah lebih maju dalam hal kerjasama keamanan multilateral, dimana dalam forum keamanan regional tersebut dijadikan sebagai forum untuk mendiskusikan dan menegosiasikan permasalahanpermasalahan yang ada di kawasan Asia Tenggara. Apa yang telah dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Yudhoyono dalam membangun pertahanan meskipun bukan yang terdepan di kawasan Asia
113
Tenggara, postur kekuatan angkatan bersenjata dan penggelaran persenjataan Indonesia sebenarnya dapat dikategorikan sebagai salah satu kekuatan utama. Tetapi apabila ukuran kualitas yang dikedepankan dalam menilai pembangunan, misalnya dilihat dari proporsi-persentase-perbandingannya dengan jumlah penduduk, luasnya wilayah kedaulatan dan wilayah operasi pertahanan, bukan tidak mungkin postur kekuatan Indonesia akan berada pada level menengah ke bawah, bahkan dibanding kekuatan negara Malaysia dan Singapura. Padahal dilihat dari aspek-aspek tersebut diatas, jumlah penduduk dan wilayah kedaulatan yang harus dilindungi, baik darat, laut dan udara, adalah yang terbesar dan terluas dibanding negara Asia Tenggara lainnya.
114