MEMBANGUN HUBUNGAN PERTAHANAN TENTARA NASIONAL INDONESIA DAN AUSTRALIAN DEFENCE FORCE SEBAGAI MITRA SEJAJAR
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki posisi strategis di dunia, karena terletak diantara dua benua, yaitu benua Asia dan Australia serta dua samudera yaitu samudera Indonesia dan samudera Pasifik. Dengan posisi tersebut telah membawa pengaruh signifikan terhadap peran negara Indonesia dikancah percaturan dunia internasional. Namun demikian posisi tersebut juga membawa dampak kurang baik yaitu menjadi ajang perebutan pengaruh berbagai kepentingan negara-negara lain didunia. Sehingga tidak mengherankan jika banyak negaranegara kawasan lainnya yang memiliki kepentingan dengan Indonesia, dengan berbagai latar belakang kepentingan. Salah satu negara kawasan yang intensif memelihara hubungan bilateral adalah “negeri Kanguru” Australia. Sejarah hubungan kerjasama pertahanan antara Indonesia (Tentara Nasional Indonesia) dengan Australia (Australian Defence Force), telah berjalan cukup lama dan walaupun terus mengalami pasang surut dalam pelaksanaannya. Indonesia dan Australia mengawali kerja sama pertahanannya sejak 1968 dengan program pemetaan di Indonesia. Selanjutnya, pada dekade 1980-an, kerja sama tersebut diwadahi dalam suatu lembaga yang disebut “Indonesia-Australia Defence Cooperation Program” (DCP). DCP ini memiliki kegiatan rutin setiap tahun berupa pertemuan yang dilaksanakan secara bergiliran di Australia dan Indonesia. Beberapa kerja sama yang telah dilakukan selama ini adalah Latihan KartikaKangaro (TNI-AD), Latihan Albatros (TNI AU) dan Latihan Kakadu, latihan Cassoary, Passex dan Latihan Cakrawala baru, serta pengadaan kapal patroli dan pesawat Nomad (TNI AL). Kendati kerja sama militer kedua negara sempat terganggu akibat krisis Timor Timur tahun 1999 dengan dihentikannya seluruh kegiatan DCP kecuali program pendidikan, kedua pihak berupaya kembali memperbaiki kerja sama bilateralnya yang ditandai dengan penyelenggaraan pertemuan informal pejabat Dephan RI dan Dephan Australia tahun 2001. Selanjutnya kerja sama pertahanan kedua negara kembali membaik, seperti dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan bersama yang diselenggarakan Dephan, angkatan bersenjata dan satuan angkatan bersenjata kedua negara. Selain dialog strategis pertahanan, beberapa kegiatan bersama lainnya adalah penelitian dan analisis bidang intelijen, seminar keamanan
maritim, manajemen konsekuensi dan kontra terorisme, dan seminar tentang pasukan penjaga perdamaian (http://myartikel.wordpress.com/2007/07/25/). Dengan melihat latar belakang diatas, penulis merumuskan sebuah permasalahan yaitu “bagaimana upaya membangun hubungan pertahanan antara Indonesia – Australia, dalam kerangka hubungan berbasis mitra yang sejajar”.
Urgensi
penulisan
dengan
mengangkat
permasalahan
tersebut
diantaranya adalah: pertama, dari perspektif sejarah, hubungan bilateral kedua negara sudah berlangsung cukup lama, lebih khusus lagi hubungan dibidang pertahanan. Sehingga amat disayangkan jika saat ini dan dimasa datang, hubungan bilateral yang sudah terjalin dengan baik, justru mengalami kemunduran bahkan kehancuran total; kedua, posisi kedua negara berada pada jalur lintas benua, yang strategis bagi kepentingan dunia internasional. Sebagai contoh, Indonesia merupakan negara tetangga terdekat di sebelah utara negara Australia, sehingga jika terjadi sesuatu hal buruk seperti bencana alam misalnya, kedua negara bisa memberikan bantuan dalam waktu yang relatif singkat. Maksud penulisan ini adalah untuk memberikan sumbangan ide pemikiran tentang bagaimana prospek hubungan pertahanan antara Indonesia dan Australia dimasa datang, serta bagaimana mengelola potensi masalah yang mungkin menghambat dalam proses kerjasama tersebut. Pada 13 November 2006, Indonesia-Australia menandatangani Framework Agreement on Security Cooperation di Pulau Lombok. Framework Agreement on Security Cooperation merupakan bentuk kerjasama keamanan kedua negara pasca dibatalkannya Maintaining Security Arrangement pada 1999 oleh Indonesia. Penandatanganan kerjasama keamanan Indonesia-Australia yang mengambil tempat di Pulau Lombok merupakan pertanda seolah ingin menyampaikan bahwa perairan Selat Lombok sangat vital dalam keamanan nasional Australia. Perjanjian kerjasama keamanan yang ditandatangani Menteri Luar Negeri kedua negara mengatur kerjasama pada 10 bidang. Kesepuluh bidang itu meliputi pertahanan, keamanan maritim, intelijen, kontra terorisme, pencegahan proliferasi senjata pemusnah massal, tanggap darurat bencana alam, penegakan hukum, keselamatan dan keamanan penerbangan, kerjasama di dalam organisasi internasional dan kerjasama antar masyarakat. ( http://www.fkpmaritim.org).
Kerjasama yang sudah berjalan saat ini. Dari beberapa point kesepakatan kerjasama tersebut, sejauh ini sudah menunjukkan tanda-tanda perkembangan yang cukup signifikan baik kerjasama militer matra darat, laut dan udara. Kerjasama yang sampai saat ini masih berjalan cukup baik adalah: Pertama, kerjasama matra darat. Kerjasama matra darat diantaranya adalah, 1) Kerjasama dalam pelatihan unit-unit khusus antara Kopassus dengan pasukan
khusus
Australia,
yang sudah memasuki beberapa kali
penyelenggaraan; 2) Pengiriman pelatihan bagi prajurit Infanteri melalui program JOCCIT, yang sudah berjalan belasan tahun lamanya; 3) Pengiriman dan pertukaran perwira untuk melaksanakan studi di berbagai lembaga pendidikan setingkat Seskoad, Sesko TNI maupun Lemhanas; 4) Pelatihan dan pertukaran informasi tentang taktik dan tehnik Batalyon Infanteri Mekanis yang sedang dikembangkan di TNI AD saat ini; 5) Seminar dan forum-forum dialog antara Angkatan Darat kedua negara, yang membahas isu-isu global, dan masih banyak lagi kegiatan-kegiatan pelatihan maupun kunjungan pertukaran pejabat senior Angkatan Darat kedua negara. Kedua, kerjasama matra laut. Diantaranya adalah, 1) Kerjasama patroli koordinasi guna meningkatkan keamanan perairan atau laut, terutama di wilayah perbatasan kedua negara. Kerjasama tersebut dimaksudkan untuk mengatasi masih seringnya terjadi masalah keamanan di wilayah perairan, seperti penangkapan ikan ilegal, terorisme dan pendatang ilegal; 2) Kerjasama dalam pelaksanaan SAR bagi para pendatang atau imigran gelap yang mengalami kecelakaan di laut, dan sering terjadi selama ini, yang mengatur mekanisme dan prosedur bagi otoritas keamanan kedua negara untuk memasuki batas perairan masing-masing dalam memberikan pertolongan (SAR); 3) Pelatihan dan pertukaran perwira untuk melaksanakan studi di berbagai lembaga pendidikan setingkat Seskoal, Sesko TNI maupun Lemhanas; 4) Seminar, kunjungan pejabat senior dan forum dialog antara Angkatan Laut kedua negara. Ketiga , kerjasama matra udara. Kerjasama matra udara diantaranya adalah, 1) Latihan perang bersama yang melibatkan pesawat jet tempur canggih kedua negara dalam latihan moc combat, Pitch Black 2012, 2) Pelatihan pilot pesawat tempur Angkatan Udara Indonesia di sekolah penerbang Australia, 3) Kunjungan dan pertukaran
perwira
Angkatan Udara kedua negara untuk
melaksanakan studi di berbagai lembaga pendidikan setingkat Seskoau, Sesko TNI maupun Lemhanas.
Prospek kerjasama pertahanan Indonesia-Australia dimasa depan. Suka atau tidak suka, Indonesia dan Australia adalah dua negara yang bertetangga dengan segala perbedaannya. Perbedaan tersebut sudah pasti ada, mengingat kedua negara dilahirkan dari perspektif sejarah yang berbeda, latar belakang budaya berbeda dan kondisi geografis yang berbeda pula. Oleh karena itu, kerjasama pertahanan antara kedua negara merupakan hal yang tak terhindarkan, dan mutlak harus dilaksanakan. Namun demikian kerjasama tersebut, harus benarbenar terbebas dari ego sempit masing-masing dan harus melihatnya dari sudut pandang kepentingan global, serta kedaulatan masing-masing negara. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam kerjasama tersebut, yaitu: pertama, memberikan manfaat yang cukup signifikan bagi kepentingan strategis kedua negara, bukan menguntungkan atau malah merugikan salah satu pihak; kedua, harus didasari atas semangat sebagai dua mitra yang saling sejajar, bukan siapa lebih unggul siapa lebih rendah, siapa superior dan siapa yang inferior; ketiga, kedua negara harus selalu bersikap proaktif dan saling terbuka dalam kerjasama itu, bukan sebaliknya berusaha untuk mencari cara menjatuhkan salah satu pihak dari belakang, atau dengan istilah lain “politik bermuka dua”. Ketiga point persyaratan tersebut, harus diyakini akan dapat menjamin abadinya kerjasama pertahanan kedua negara dimasa datang. Setelah memperhatikan beberapa point persyaratan tersebut, maka perlu dirumuskan langkah-langkah kerjasama strategis yang lebih menyentuh ke pokokpokok permasalahan yang akan dihadapi dimasa datang. Langkah pertama adalah melaksanakan evaluasi terhadap program-program kerjasama yang sudah berjalan selama ini, apakah sudah mampu mencapai target yang diharapkan, atau sebaliknya kurang membawa manfaat. Langkah kedua, adalah melanjutkan program-program kerjasama pertahanan yang sudah berjalan dengan baik dan sudah menunjukkan hasil yang positif bagi kedua negara. Sebagai contoh, program pengembangan pelatihan bagi pasukan perdamaian PBB, layak dilanjutkan mengingat begitu seringnya partisipasi pasukan kedua negara dalam program “peace keeping operation” dibawah bendera PBB. Program lain yang cukup signifikan adalah transfer
tehnologi dan ‘field manual’
taktik dan tehnik untuk Batalyon Infanteri
Mekanis yang saat ini sedang dikembangkan oleh TNI Angkatan Darat. Dalam hal ini TNI Angkatan Darat sedang memerlukan berbagai acuan dari berbagai negara yang sudah terlebih dulu memiliki satuan Infanteri Mekanis, seperti contohnya yang telah dimiliki oleh Angkatan Darat Australia. Langkah ketiga, merumuskan bentuk program kerjasama yang masih belum maksimal dalam pelaksanaannya ataupun belum pernah dilakukan. Berikut ini adalah contoh bentuk program yang perlu dipertimbangkan untuk ditingkatkan dan dilaksanakan dimasa yang akan datang. 1) Memperbanyak kerjasama pelatihan tentang pasukan penjaga perdamaian, mengingat kedua angkatan bersenjata memiliki kontribusi yang cukup besar dalam penugasan dibawah naungan PBB; 2) Merumuskan kerjasama pelatihan untuk penanggulangan bencana alam yang sangat mungkin terjadi di kedua negara, seperti bencana banjir dan kebakaran hutan. Kedua jenis bencana tersebut, sering terjadi di kedua negara, sehingga masing-masing pihak bisa saling memberikan masukan untuk penyempurnaan prosedur penanggulangan bencana alam tersebut; 3) Merumuskan sebuah sistem patroli terpadu antara Angkatan Laut kedua negara, guna menghadapi maraknya penyelundupan imigran gelap yang akan menuju Australia, dan menjadikan Indonesia sebagai tempat transit; 4) Merumuskan sebuah perjanjian atau nota kesepahaman (MOU) antara Angkatan Laut kedua negara untuk menyikapi masalah pelanggaran batas wilayah perairan oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia. Seringnya nelayan tradisional dari Indonesia yang ditangkap oleh pihak berwenang Australia, akan dapat mengganggu hubungan baik kedua negara, jika tidak dicarikan solusi yang saling menguntungkan. Jika kita cermati, pelanggaran batas wilayah perairan oleh nelayan tradisional lebih banyak disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan nelayan akan batas-batas laut, dan keterbatasan peralatan navigasi mereka. Dengan nota kesepahaman yang dibuat, akan menghindari kesan bahwa Australia menangkap sewenang-wenang nelayan Indonesia, dipihak lain Angkatan Laut Indonesia juga tidak dianggap lalai melindungi wilayah perairan negara dan warga negaranya; 5) Menyempurnakan program “The Collin East Award” dimasa datang dengan memasukkan program-program dialog antara peserta program dengan perwira-perwira terbaik Australia. Seperti diketahui bahwa konsep program Collin East Award adalah memberikan penghargaan kepada perwira-perwira yang berhasil lulus terbaik dari Sekolah Staf dan Komando tiap angkatan, untuk bisa mendalami tentang Australia dari segenap aspeknya, baik aspek pertahanan maupun budayanya. Namun demikian berdasarkan pengalaman
penulis yang ikut dalam program yang pertama, belum banyak dialog maupun pemikiran yang bersifat akademis dapat dilaksanakan, sehingga terkesan peserta program hanya berlibur atau ‘jalan-jalan‘saja. Untuk itu kedepan sebaiknya program tersebut diisi dengan materi-materi dialog dan diskusi akademis dengan para perwira yang lulus terbaik dari sekolah-sekolah perwira yang ada di Angkatan Bersenjata Australia, sehingga diantara peserta sudah terjalin kerjasama sejak awal, dan memudahkan komunikasi dimasa depan; 6) Merumuskan sebuah kegiatan latihan bersama dalam hubungan pasukan yang cukup besar minimal setingkat batalyon, untuk melatih konsep manuver pasukan dalam hubungan besar. Latihan tersebut dilaksanakan dengan mengambil lokasi secara bergantian di kedua negara, seperti halnya yang sudah dilaksanakan dengan Singapura melalui program SAFKAR INDOPURA, dan dengan Malaysia melalui program KEKAR MALINDO. Program-program tersebut diatas, diharapkan dapat meningkatkan kerjasama pertahanan kedua negara dimasa yang akan datang. Permasalahan yang dihadapi. Sejauh ini, kerjasama pertahanan yang terjalin sudah cukup baik dan berjalan lancar, namun demikian masih terdapat beberapa hal yang membuat kerjasama mengalami penurunan dimasa lalu. Jika dicermati lebih jauh maka masalah yang muncul tersebut sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh adanya isu-isu yang dibawa ke masalah politik yang akhirnya mempengaruhi hubungan diplomatik kedua negara. Karena hubungan kerjasama pertahanan mengikuti perkembangan politik negara, maka naik turunnya kerjasama pertahanan kedua negara sebenarnya mengikuti perkembangan tersebut, bukan karena terjadi gesekan kedua angkatan bersenjata secara langsung. Masalah-masalah yang mengganggu dimasa lalu tersebut, tidak menutup kemungkinan bisa terjadi dimasa datang. Kemungkinan permasalahan tersebut diantaranya adalah: 1) Masih terdapat kelompok tertentu di Australia seperti kubu oposisi maupun LSM yang mengangkat isu-isu pelanggaran HAM di Papua, bahkan mendukung keberadaan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dianggap sebagai gerakan separatis di Indonesia. Kondisi ini akan mempengaruhi ketegangan kedua negara jika tidak dikelola dengan baik; 2) Masih maraknya isu-isu di Australia tentang pelanggaran HAM di Timor Leste oleh aparat TNI dimasa lalu, bahkan pernah diwujudkan dalam sebuah film yaitu “Balibo Five”, yang bisa membentuk citra negatif tentang Indonesia dan TNI dikalangan warga Australia; 3) Perbedaan budaya yang cukup mendasar, yaitu budaya timur yang
kental diwarnai atau dipengaruhi budaya Indonesia, dengan budaya Australia yang diwarnai oleh budaya barat yang lebih bebas. Perbedaan tersebut akan sedikit mempengaruhi pola interaksi antara personel angkatan bersenjata kedua negara ketika melaksanakan tugas maupun latihan bersama; 4) Perbedaan bahasa dalam berkomunikasi, cukup menghambat dalam proses kerjasama. Penguasaan bahasa Inggris oleh personel TNI relatif masih terbatas dikalangan perwiranya saja, sedangkan untuk bintara dan tamtama belum cukup baik. Akibatnya, komunikasi masih kurang berjalan maksimal, karena yang diharapkan diantara peserta kerjasama harus bisa berkomunikasi dengan intensif secara langsung, bukan melalui jasa penerjemah atau interpreter bahasa. Demikian juga penguasaan bahasa Indonesia oleh prajurit Australia juga baru terbatas pada personel yang ditugaskan sebagai staf Atase Pertahanan Australia untuk Indonesia; 5) Penerapan Australian Maritime Identification Zone (AMIZ) oleh Australia, dianggap sebagian pihak di Indonesia cukup kontroversial. Hal ini disebabkan karena melalui sistem itu, Angkatan Laut Australia bisa melakukan deteksi sampai dengan jarak 1000 mil laut, yang jika ditarik garis lurus ke utara akan memasuki wilayah yurisdiksi Indonesia. Isu ini dapat mengganggu hubungan kerjasama jika tidak dikelola dengan baik dimasa datang. Upaya mengatasi masalah. Permasalahan yang timbul bukan untuk dihindari, tetapi justru harus dihadapi, dicarikan solusi pemecahannya agar tidak terus terjadi dan terulang dimasa yang akan datang. Untuk itu diperlukan upaya dari seluruh pihak terkait untuk menghindari munculnya masalah dan berkembang menjadi besar. Upaya perlu diwujudkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan nyata yaitu : 1) Terkait masalah maraknya isu-isu pelanggaran HAM di Papua, dan keberadaan OPM yang bisa mengganggu hubungan kedua negara, maka perlu suatu dialog agar masalah tersebut bukan menjadikan alasan perpecahan kedua pihak,dan diwujudkan dalam sebuah persetujuan bahwa Autralia harus mengambil komitmen berupa sikap politik tidak mendukung gerakan apapun yang bersifat separatisme di Indonesia; 2) Isu-isu yang mengganggu, seperti isu pelanggaran HAM di Timor Timur pasca referendum yang terus bergulir di Australia bisa direduksi melalui forum-forum pertukaran pendidikan perwira kedua negara. Melalui forum pertukaran pendidikan perwira, akan didapat interaksi yang lebih intens sehingga diantara peserta terjadi saling pengertian yang lebih baik, dan lebih mengenal bagaimana sebenarnya negara Indonesia, dengan
seluruh sejarahnya. Setelah terjadi kesepahaman yang lebih baik, maka perwiraperwira Australia bisa menjelaskan apa yang mereka ketahui tentang Indonesia; 3) Menyikapi perbedaan budaya dan bahasa yang cukup signifikan, bisa diatasi dengan program-program “country presentation” dalam forum-forum pertukaran dan pendidikan militer kedua negara. Melalui program tersebut, lambat laun militer kedua negara bisa memahami kelebihan dan kekurangan budaya masing-masing, dan saling menghormati budaya masing-masing. Untuk masalah bahasa, perlu ditingkatkan jumlah personel dan jenis pelatihan bahasa bagi personel ADF, untuk belajar bahasa Indonesia, karena sejauh ini, personel TNI jauh lebih banyak yang belajar bahasa Inggris di Australia. Sehingga diharapkan banyak personel militer Australia yang bisa membantu komunikasi dalam kegiatan-kegiatan latihan bersama; 4) Menyikapi penerapan AMIZ, harus diupayakan untuk menjadi peluang kerjasama, yaitu memanfaatkan sistem tersebut untuk kepentingan kedua negara. Dengan melalui sistem yang memanfaatkan kemampuan jangkauan Radar yang dimiliki oleh Australia, harus bisa dimanfaatkan secara bersama-sama kedua negara, khususnya untuk mendeteksi pelanggaran pelayaran ilegal diwilayah kedua negara. Informasi yang cepat tersebut, langsung dikirimkan kepada pihak-pihak yang berkompeten dari masing-masing negara untuk segera ditindaklanjuti. Namun kerjasama ini perlu adanya ketentuan teknis yang harus disepakati kedua pihak agar tidak menciptakan ketegangan baru dalam pelaksanaannya di lapangan. Penutup Perlu upaya nyata dari militer kedua negara, dalam rangka terus membangun kerjasama pertahanan yang berbasis mitra sejajar. Namun demikian, kata-kata atau teori tidak semudah prakteknya di lapangan. Untuk itu penulis menyarankan agar dialog dan komunikasi aktif antara pejabat militer kedua negara perlu terus ditingkatkan dimasa yang akan datang. Selain itu evaluasi program kerjasama yang sudah berlangsung selama ini, perlu terus dilakukan, agar kerjasama yang dilakukan benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan mampu meningkatkan profesionalisme militer kedua negara. Demikian tulisan ini dibuat, semoga persahabatan kedua negara tidak lekang oleh waktu, “Kanguru – Garuda selalu bersama”.