DAFTAR LAMPIRAN Lampiran A. Data Kejadian Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Kokap .......... 83 Lampiran B. Dokumentasi Cek Lapangan............................................................. 92 Lampiran C. Proses Pengolahan Data Menggunakan Quantum GIS ...................... 105 Lampiran D. Peta Rawan Longsor Kecamatan Kokap ........................................... 111 Lampiran E.Peta Sebaran Titik Cek Rawan Longsor ............................................ 113 Lampiran F. Peta Perkiraan Bangunan Terdampak di Desa Hargotirto .................. 115 Lampiran G. Peta Perkiraan Jalan Terdampak di Desa Hargotirto ......................... 117 Lampiran H. Peta Ancaman Longsor Desa Hargotirto .......................................... 119 Lampiran I. Peta Kerentanan Desa Hargotirto ....................................................... 121 Lampiran J. Peta Kapasitas Desa Hargotirto ......................................................... 123 Lampiran K. Peta Risiko Bencana Tanah Longsor Desa Hargotirto ...................... 125
xviii
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Di dalam Undang-Undang tersebut, bencana dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu bencana alam, bencana non alam dan bencana sosial.Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemik, dan wabah penyakit sedangkan bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror. Bencana dapat terjadi karena ada dua kondisi yaitu adanya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak (bahaya) serta kerentanan masyarakat. Bila terjadi bahaya, tetapi masyarakat tidak rentan, maka berarti masyarakat dapat mengatasi sendiri peristiwa yang mengganggu, sementara bila kondisi masyarakat rentan, tetapi tidak terjadi bahaya maka tidak akan terjadi bencana. Berdasarkan pengertian tersebut bisa dikatakan bencana adalah hasil dari munculnya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak (bahaya) pada komunitas yang rentan sehingga
masyarakat
tidak
dapat
mengatasi
berbagai
implikasi
yang
ditimbulkan.Oleh karena itu diperlukan manajemen bencana untuk menghindarkan masyarakat dari bencana baik dengan mengurangi kemungkinan munculnya bahaya maupun mengatasi kerentanan(Winaryo, 2010).
1
2
Bencana alam yang sering terjadi di Indonesia adalah tanah longsor. Kondisi ini disebabkan karena wilayah Indonesia terdiri atas deretan gunung api dan jalur patahan yang mengakibatkan lereng relatif terjal dengan susunan batuan dari endapan gunung api. Batuan tersebut belum padat, mudah meresapkan air, dan umumnya belum kuat. Adanya proses alam (kimia dan fisik) menyebabkan batuan tersebut melapuk menjadi tanah yang bersifat lunak dan relatif tebal, sehingga berpotensi longsor terutama apabila terjadi curah hujan yang tinggi (Utomo, 2002). Daerah di Indonesia yang mempunyai kerentanan gerakan tanah longsor sangat luas, salah satunya adalah Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo. Berdasarkan data tahun 2007 sampai dengan 2012 dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kulon Progo, setiap tahun terjadi bencana tanah longsor di Kecamatan Kokap dengan beberapa rincian kejadian disajikan pada lampiran A. Kejadian ini menimbulkan kerugian harta benda dan jiwa. Kerugian materi berupa hancurnya rumah penduduk, hilangnya pekarangan/lahan, rusaknya tanaman, dan terkuburnya hewan peliharaan. Kerugian lain berupa rusaknya fasilitas umum seperti jalan, jembatan, dan sekolah. Disamping kerugian tersebut masih ada lagi kerugian yang tidak dapat dihitung dengan materi yaitu terganggunya aktivitas sosial. Agar dampak bencana tanah longsor dapat dikurangi, perlu ditingkatkan kesiapsiagaan untuk menghadapi bencana yang mungkin akan terjadi.Salah satu bentuk kesiapsiagaan adalah dengan membuat rencana kontinjensi. Rencana kontinjensi merupakan suatu proses identifikasi dan penyusunan rencana yang didasarkan pada keadaan yang diperkirakan akan segera terjadi, tetapi mungkin juga tidak akan terjadi (Bakornas PBP, 2005). Kejadian yang dimaksud adalah bencana tanah longsor yang sewaktu-waktu bisa terjadi tapi bisa juga tidak terjadi.Rencana kontinjensi ini dilengkapi dengan peta risiko bencana tanah longsor, yang terdiri dari peta ancaman, peta kerentanan dan peta kapasitas. Peta tersebut menggambarkan keadaan di wilayah yang termasuk rawan bencana tanah longsor sehingga bisa diambil tindakan untuk mengurangi dampak yang mungkin akan terjadi. Pembuatan peta ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan perangkat lunak SIG. Perangkat lunak SIG yang bisa digunakan salah satunya adalah Quantum GIS (QGIS). QGIS dapat digunakan untuk melakukan analisis ancaman, kerentanan dan kapasitas akibat bencana tanah longsor yang
3
mungkin akan terjadi serta menyajikan hasil analisis tersebut dalam bentuk peta untuk melengkapi rencana kontinjensi guna pengurangan risiko bencana.
I.2. Rumusan Masalah Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo termasuk dalam wilayah rawan bencana tanah longsor. Bencana ini menimbulkan banyak kerugian bagi masyarakat.Agar dampak dari bencana tanah longsor dapat dikurangi perlu ditingkatkan
kesiapsiagaan,
salah
satunya
dengan
pembuatan
rencana
kontinjensi.Rencana kontinjensi bencana tanah longsor belum ada di wilayah ini.Oleh karena itu rumusan masalah dari penelitian ini adalah belum adanya rencana kontinjensi untuk bencana tanah longsor di Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo.
I.3. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah penyusunan rencana kontinjensi bencana tanah longsor di Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo dengan memanfaatkan teknologi SIG khususnya perangkat lunak QGIS.Rencana kontinjensi tersebut dapat digunakan untuk mengurangi risiko bencana tanah longsor.
I.4. Manfaat Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain ialah: 1. Membantu penyusunan rencana kontinjensi untuk daerah rawan longsor di Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo. 2. Rencana kontinjensi tersebut dapat digunakan sebagai informasi atau masukan untuk pengurangan risiko bencana.
I.5. Batasan Masalah Dalam penelitian ini ditetapkan batasan masalah agar lebih terarah sesuai dengan tujuan. Batasan masalah ini meliputi: 1. Variabel yang digunakan untuk menentukan kerawanan longsor adalah curah hujan, kemiringan lereng, jenis tanah, jenis batuan dan penggunaan lahan.
4
2. Variabel yang digunakan untuk menentukan kerentanan adalah lingkungan fisik, demografi dan tata guna lahan. 3. Variabel yang digunakan untuk menentukan kapasitas adalah kesiapsiagaan, kesehatan, serta struktur fisik dan sosial ekonomi. 4. Jumlah data bangunan yang didapatkan hanya sebagian saja dari jumlah yang sebenarnya dikarenakan terbatasnya sumber, sehingga untuk analisis rencana kontinjensi jumlahnya kurang realistis.
I.6. Tinjauan Pustaka Banyak penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya berkaitan dengan tanah longsor dan faktor-faktor yang berpengaruh.Penelitian-penelitian tersebut digunakan sebagai pembanding dan bahan studi. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa Kabupaten Kulon Progo merupakan wilayah yang termasuk rawan longsor. Tingkat bahaya longsor tinggi berada di daerah bagian utara dengan persentase 2,75% atau 1.588,36 Ha dari keseluruhan wilayah Kulon Progo (Utomo, 2002). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Sutikno (2002) yang menghasilkan persentase 24,09% atau 7.918 Ha dari keseluruhan wilayah Kulon Progo yang termasuk dalam tingkat bahaya longsor tinggi. Kecamatan yang memiliki luas area kerawanan yang tinggi adalah Samigaluh, Girimulyo, Kokap dan Kalibawang. Kulon Progo merupakan daerah rawan longsor dikarenakan kondisi geografis wilayahnya berupa perbukitan dan pegunungan, khususnya di bagian utara dan barat.Wilayah tersebut memiliki kemiringan lereng lebih dari 40% (Dipo, 2002). Faktor penyebab tanah longsor lainnya menurut Sutikno (2002) adalah penanaman lahan dengan tanaman tahunan pada lahan dengan kedalaman lapuk dangkal dengan kerapatan tinggi. Hal ini mengakibatkan daya cengkeram akar pada tanah lemah dan menambah beban terhadap material lappuk sehingga memicu terjadinya tanah longsor. Faktor-faktor penyebab tanah longsor bisa digunakan sebagai parameter untuk membuat peta rawan longsor.Utomo (2002) menggunakan parameter curah hujan, kemiringan lereng, jenis tanah dan penggunaan lahan untuk membuat peta rawan longsor dengan perangkat lunak PC Arc/Info. Parameter serupa juga
5
digunakan oleh Ariffah (2012) dengan menambahkan faktor geologi dan menggunakan perangkat lunak Arc GIS. Perbedaan beberapa penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah peta rawan longsor yang dihasilkan dijadikan dasar untuk mengetahui wilayah yang paling rawan longsor. Wilayah tersebut selanjutnya dibuat rencana kontinjensi yang dilengkapi dengan peta risiko untuk mengrungai risiko bencana tanah longsor yang mungkin akan terjadi.
I.7. Landasan Teori I.7.1. Tanah Longsor (Landslide) 1.7.1.1. Pengertian tanah longsor.Tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering melanda daerah perbukitan di daerah tropis basah. Tanah longsor umumnya disebabkan oleh gaya gravitasi dan getaran atau gempa. Longsoran yang terjadi dapat berupa tanah, batu, timbunan buatan atau campuran dari material lain (Hardiyatmo, 2006). Sudarta (2002) mendefinisikan tanah longsor sebagai gerakan massa tanah menuruni suatu bidang gelincir yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara gaya pendorong dan gaya penahan baik diakibatkan oleh berat sendiri maupun gaya luar. Ketika tegangan gesermelebihikekuatan gesermaterial juga bisa menyebabkan tanah longsor (Westen, 2011). Terjadinya tanah longsor menurut Mutia (2011) karena terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng.
1.7.1.2. Penyebab tanah longsor.Tanah longsor bisa terjadi karena banyak faktor.Kondisi-kondisi geologi, hidrologi, topografi, iklim, dan perubahan cuaca dapat
mempengaruhi
stabilitas
lereng
yang
mengakibatkan
terjadinya
longsoran.Longsoran jarang terjadi oleh satu sebab saja (Hardiyatmo, 2006). Beberapa faktor penyebab yang sering digunakan untuk menganalisis kemungkinan terjadinya tanah longsor adalah curah hujan, jenis tanah, jenis batuan atau struktur geologi, kemiringan lereng dan penggunaan lahan.
6
1.7.1.3. Jenis tanah longsor.Tanah longsor ada beberapa jenis dengan tipe dan karakteristik longsoran yang berbeda-beda.Westen (2011) mengklasifikasikan longsor berdasarkan karakteristiknya menjadi 8 tipe, yaitu: 1. Rotational Slide (longsoran rotasi) adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir yang berbentuk cekung atau melengkung ke atas dan sering terjadi pada massa tanah yang bergerak dalam satu kesatuan. Ilustrasi longsoran rotasi dapat dilihat pada Gambar I.1.
Gambar I.1. Ilustrasi longsoran rotasi (Sumber: Westen, 2011) 2. Translational Slide (longsoran translasi) adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. Ilustrasi longsoran translasi dapat dilihat pada Gambar I.2.
Gambar I.2. Ilustrasi longsoran translasi (Sumber: Westen, 2011) 3. Rock Block Slide (longsoran blok) adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata. Longsoran ini biasa disebut dengan longsoran translasi blok batu. Longsoran semacam ini sering dipicu oleh penggalian lereng bagian bawah (Hardiyatmo, 2006). Ilustrasi longsoran blok dapat dilihat pada Gambar I.3.
7
Gambar I.3. Ilustrasi longsoran blok (Sumber: Westen, 2011) 4. Rockfall (runtuhan batu) adalah runtuhan batu terjal di sejumlah besar batuan atau material lain yang bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Biasanya terjadi pada lereng yang terjal hingga menggantung. Ilustrasi runtuhan batu dapat dilihat pada Gambar I.4.
Gambar I.4. Ilustrasi runtuhan batu (Sumber: Westen, 2011) 5. Debrisflow (aliran debris) adalah longsoran material dengan ukuran yang bervariasi (dari halus hingga kasar) yang bercampur dengan air. Aliran debris biasanya terjadi pada waktu hujan deras pada lereng curam (Muntohar, 2010). Hardiyatmo (2006) menjelaskan bahwa jurang dapat tererosi secara dalam oleh aliran material debris, sebab material ini mempunyai berat jenis tinggi. Ilustrasi aliran debris dapat dilihat pada Gambar I.5.
8
Gambar I.5. Ilustrasi aliran debris (Sumber: Westen, 2011) 6. Debris Avalanche (debris bahan rombakan) adalah jenis aliran debris yang bergerak sangat cepat dan dalam masa yang besar. Ilustrasi debris bahan rombakan dapat dilihat pada Gambar I.6.
Gambar I.6. Ilustrasi debris bahan rombakan (Sumber: Westen, 2011) 7. Earth Flow (aliran tanah) sering terjadi pada tanah-tanah berlempung dan berlanau sehabis hujan lebat. Keruntuhan disebabkan oleh kenaikan berangsur-angsur
tekanan
air
pori
dan
turunnya
kuat
geser
tanah(Hardiyatmo, 2006).Ilustrasi aliran tanah dapat dilihat pada Gambar I.7.
Gambar I.7. Ilustrasi aliran tanah (Sumber: Westen, 2011) 8. Flowslide (aliran longsoran) adalah gerakan material pembentuk lereng pada lapisan pasir halus atau lanau yang tidak padat, dan terjadi umumnya pada daerah lereng bagian bawah. Longsoran seperti ini dapat terjadi dengan
9
kecepatan mencapai 50 sampai 100 m/jam(Hardiyatmo, 2006).Ilustrasi aliran longsoran dapat dilihat pada Gambar I.8. Lereng asli Massa tanah yang bergerak
Gambar I.8. Ilustrasi aliran longsoran (Sumber: Westen, 2011)
1.7.2. Sistem Informasi Geografis (SIG) 1.7.2.1. Pengertian SIG.SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang
digunakan
untuk
mengolah
dan
menyimpan
data
atau
informasi
geografis.Prahasta (2002) menyatakan SIG merupakan suatu sistem informasi yang mempunyai referensi koordinat geografis dengan kemampuan meliputi pemasukan data, manajemen data dan manipulasi data baik yang dilakukan dengan cara manual maupun dengan komputer. Secara umum pengertian SIG adalah suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk memasukan, menyimpan, memperbaiki,
memperbaharui,
mengelola,
memanipulasi,
mengintegrasikan,
menganalisis dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis. SIG akan selalu diasosiasikan dengan sistem yang berbasis komputer, walaupun pada dasarnya SIG dapat dikerjakan secara manual. SIG yang berbasis komputer akan sangat membantu ketika data geografis merupakan data yang besar (dalam jumlahdan ukuran) dan terdiri dari banyak tema yang saling berkaitan.
1.7.2.2. Fungsi analisis SIG.Prahasta (2002) menyebutkan fungsi analisis SIG terdiri dari dua, yaitu fungsi analisis atribut dan fungsi analisis spasial. Fungsi analisis atribut terdiri dari operasi dasar sistem pengelolaan basisdata (DBMS) dan perluasannya, sedangkan fungsi analisis spasial antara lain:
10
1. Klasifikasi (reclassify), fungsi ini mengklasifikasi kembali suatu data spasial (atau atribut) menjadi data spasial yang baru dengan menggunakan kriteria tertentu. Misalnya dengan menggunakan data spasial ketinggian permukaan bumi (topografi), dapat diturunkan data spasial kemiringan atau gradient permukaan bumi yang dinyatakan dalam presentasi nilai-nilai kemiringan. Nilai-nilai presentasi kemiringan ini dapat diklasifikasikan sehingga menjadi data spasial baru. Klasifikasi bisa dibuat dengan beberapa metode, antara lain: a. Metode natural break, yaitu membagi kelas sesuai dengan distribusi datanya. Pada metode ini pengelompokkan data dilakukan dengan cara meminimalkan variasi yang terdapat di dalam kelas serta memaksimalkan variasi antar kelas. b. Metode equal interval, yaitu metode yang membagi data ke dalam kelompok dengan rentang nilai yang sama antar kelasnya. Interval kelas diperoleh dengan cara membagi data range (nilai data maksimum dikurangi nilai data minimum) dibagi dengan banyaknya kelas yang akan dibuat. c. Metode standar deviasi merupakan metode yang memperhitungkan bagaimana suatu data didistribusikan. Penerapan metode ini dengan cara menghitung nilai rata-rata dari keseluruhan data kemudian menempatkan batas kelas atas dan bawah pada nilai rata-rata kemudian dikalikan dengan standar deviasi dihitung dari rata-rata statistik dataset. d. Metode quantil adalah metode dimana dalam penerapannya data harus didefinisikan terlebih dulu untuk mengetahui berapa kelas yang akan digunakan. Setelah itu data dirangking dengan menempatkan data pengamatan dengan jumlah yang sama pada masing-masing kelas. 2. Network (jaringan), fungsi ini merujuk data spasial titik (point) atau garis (lines) sebagai suatu jaringan yang tidak terpisahkan. Sebagai contoh untuk menghitung jarak terdekat antara dua titik,dengan cara mencari seluruh kombinasi jalan (segmen-segmen) yang menghubungkan titik awal dan akhir yang dimaksud. Pada setiap kombinasi, hitung jarak titik awal dan akhir
11
dengan mengakumulasikan jarak segmen-segmen yang membentuknya. Pilih jarak terpendek (terkecil) dari kombinasi yang ada. 3. Overlay, fungsi ini menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data spasial yang menjadi masukannya. Sebagai contoh, bila untuk menghasilkan wilayah-wilayah yang sesuai untuk budidaya tanaman tertentu (misalnya padi) diperlukan data ketinggian permukaan bumi, kadar air tanah, dan jenis tanah, maka fungsi analisis spasial overlay akan dikenakan terhadap ketiga data spasial (dan atribut) tersebut. 4. Buffering, fungsi ini menghasilkan data spasial baru yang berbentuk poligon atau zone dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi masukannya. Data spasial titik akan menghasilkan data spasial baru berupa lingkaran yang mengelilingi titik pusatnya. Untuk data spasial garis akan menghasilkan data spasial baru berupa poligon yang melingkupi garis-garis. Demikian pula untuk data spasial poligon, akan menghasilkan data spasial baru berupa poligon yang lebih besar dan konsentris. 5. 3D Analysis, fungsi ini terdiri dari sub-sub fungsi yang berhubungan dengan presentasi data spasial dalam ruang tiga dimensi. Fungsi analisis spasial ini banyak
menggunakan
fungsi
interpolasi.
Sebagai
contoh,
untuk
menampilkan data spasial ketinggian, tata guna tanah, jaringan jalan dan utility dalam bentuk model tiga dimensi, fungsi analisis ini banyak digunakan. 6. Digital Image Processing (pengolahan citra digital), fungsi ini dimiliki oleh perangkat SIG yang berbasiskan raster, karena data spasial permukaan bumi (citra digital) banyak didapat dari perekaman data satelit yang berformat raster, maka banyak SIG raster yang juga dilengkapi dengan fungsi analisis ini.
1.7.2.3. Pengolahan dan analisis data.Pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini menggunakan perangkat lunak Quantum GIS (QGIS).QGIS merupakan sistem informasi geografis user-friendly, dengan lisensi terbuka di bawah GNU General Public License.QGIS adalah penelitian resmi dari Open Source Geospatial Foundation (OSGeo). Perangkat lunak ini dapat dijalankan dalam sistem operasi
12
Linux, Unix, Mac OSX, dan Windows. Selain itu, aplikasi ini mendukung berbagai format dan fungsionalitas vektor, raster dan database.Beberapa menu pada QGIS yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Query. Analisis query digunakan untuk mempercepat perolehan data yang diinginkan dari sumber data. 2. Intersect. Intersect tool berguna untuk mendapatkan area yang merupakan irisan dari dua poligon. Sebagai ilustrasi, terdapat dua buah poligon yang saling beririsan seperti pada Gambar I.9. Setelah dilakukan proses intersect, akan dihasilkan poligon baru dengan luasan yang sama dengan irisan antara kedua poligon asal. Ilustrasi hasil proses intersect dapat dilihat pada Gambar I.10, poligon berwarna hitam merupakan poligon baru hasil intersect.
Gambar I.9. Dua buah poligon yang beririsan
Gambar I.10. Poligon baru hasil proses intersect 3. Clip. Clip tool berguna untuk mendapatkan area dari sebuah poligon menggunakan
poligon
lain.
Sebagai
ilustrasi,
terdapat
dua
buah
poligonseperti pada Gambar I.11. Setelah dilakukan proses clip akan dihasilkan poligon baru, dengan luasan yang sama dengan poligon pemotong. Ilustrasi hasil proses clip dapat dilihat pada Gambar I.12, poligon berwarna hitam merupakan poligon baru hasil clip.
13
Gambar I.11. Dua buah poligon yang bertampalan
Gambar I.12. Poligon baru hasil proses clip
1.7.3. Rencana Kontinjensi 1.7.3.1. Pengertian rencana kontinjensi.Kontinjensi adalah suatu kejadian yang bisa terjadi, tetapi belum tentu benar-benar terjadi.Oleh karena ada unsur ketidakpastian, maka diperlukan suatu perencanaan untuk mengurangi akibat yang mungkin terjadi yang disebut dengan perencanaan kontinjensi. Perencanaan kontinjensi adalah proses perencanaan ke depan dalam keadaan tidak menentu, di mana skenario dan tujuan disetujui, tindakan manajerial dan teknis ditentukan, dan sistem untuk menanggapi kejadian disusun agar dapat mencegah, atau mengatasi secara lebih baik keadaan atau situasi darurat yang dihadapi (Triutomo, 2011). Perencanaan kontinjensi menurut The Inter Agency Standing Committee (IASC) didefinisikan sebagai “Proses membentuk tujuan, pendekatan, dan prosedur program untuk menanggapi situasi atau kejadian yang cenderung terjadi, yang meliputi upaya mengidentifikasi kejadian serta mengembangkan skenario yang mungkin dan rencana yang patut untuk menyiapkan diri terhadap dan menanggapi kejadian itu secara efektif”(Vidiarina, 2010).
14
Rencana
kontinjensi
ditekankan
untuk
kesiapsiagaan
bencana.
Kesiapsiagaan bencana merupakan suatu proses yang mengarah pada kesiapan dan kemampuan untuk meramal jika mungkin, mencegah bencana, mengurangi dampak, menanggapi secara efektif dan memulihkan diri dari dampak bencana yang ditimbulkan.
1.7.3.2.
Prinsip
perencanaan
kontinjensi.
IASC,
Badan
Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Federasi Internasional Masyarakat Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (Federasi Internasional) merangkum bahwa rencana kontinjensi mempunyai prinsip-prinsip antara lain: 1. Proses pengembangan rencana adalah partisipatif, 2. Rencana itu berfokus pada bahaya tunggal, 3. Rencana itu berdasarkan skenario, 4. Skenario
dan
tujuan
dikembangkan
sebagai
suatu
kesepakatan
bersama,sebagai hasil konsesus umum, 5. Rencana itu tidak bersifat rahasia/tertutup, 6. Peran dan tanggung jawab harus diidentifikasi, 7. Rencana itu dibuat untuk menangani keadaan darurat.
1.7.3.3. Kondisi penyusunan rencana kontinjensi.Jika diperhatikan antara besarnya kejadian dengan dampak kehidupan sehari-hari, maka gambaran rencana kontinjensi dapat dilihat pada Tabel I.1. Tabel I.1.Gambaran rencana kontinjensi TINGKAT KEJADIAN Dapat Kecil Diabaikan Kebijakan Tetapkan Parah DAMPAK yang ada skenario Tidak perlu Kebijakan Ringan perencanaan yang ada Hampir Tidak perlu Tidak perlu Tidak Ada perencanaan perencanaan Sumber : Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2011)
Besar Perlu proses perencanaan Tetapkan skenario Kebijakan yang ada
15
Perencanaan
kontinjensi
merupakan
bagian
kehidupan
sehari-
hari.Diperlukannya perencanaan kontinjensi tergantung dari upayamempertemukan antara besarnya kejadian dengan tingkat dampak yangdiakibatkan seperti pada Tabel I.1.Dari Tabel I.1 menunjukkan bahwa proses perencanaan kontinjensi hanya sesuai untuk peristiwa atau kejadian dengan tingkat besar dan parahnya dampak yang ditimbulkan, sedangkan untuk kejadian-kejadian yang tidak terlalu parah, cukup menggunakan kebijakan-kebijakan yang ada, bahkan jika tidak parah sama sekali tidak perlu disusun rencana kontinjensi (Triutomo, 2011).
1.7.3.4. Waktu pembuatan rencana kontinjensi.Rencana kontinjensi dibuat sesegera mungkin setelah ada tanda-tanda awal akan terjadi bencana atau adanya peringatan dini (early warning). Beberapa jenis bencana sering terjadi secara tibatiba, tanpa ada tanda-tanda terlebih dahulu.Keadaan ini sulit dibuat rencana kontinjensinya, namun demikian tetap dapat dibuat misalnya dengan menggunakan data kejadian bencana di masa lalu. Sedangkan jenis-jenis bencana tertentu dapat diketahui tanda-tanda awal akan terjadi. Terhadap hal ini dapat dilakukan pembuatan rencana kontinjensinya dengan mudah. Oleh karena dinamikakerentanan dan kapasitas yang sangat cepat, maka rencana kontinjensiperlu dilakukan penyesuaian dan pemutakhiran skenario.Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa secara prinsip penyusunanrencana kontinjensi selain disusun bersama oleh seluruh pemangkukepentingan, juga disusun skenario dan dilakukan analisis kebutuhan.Setelah kebutuhan dihitung secara rinci, ditentukan siapa saja pelakunya,dan tidak lupa dilakukan penilaian (ketersediaan) sumberdaya yang
dimilikioleh
pelaku/pemangku
kepentingan.
Dari
kebutuhan
dan
ketersediaansumberdaya tersebut akan diketahui kesenjangannya yang akan dipenuhidari berbagai sumber yang mengutamakan sumberdaya (dan potensi) lokal dan sekitarnya (Triutomo, 2011).
16
1.7.3.5.
Proses
perencanaan
kontinjensi.Proses
penyusunan
rencana
kontinjensi secara sistematis digambarkan seperti pada Gambar I.13.
Gambar I.13. Diagram alir penyusunan rencana kontinjensi (Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2011) Proses penyusunan rencana kontinjensi tersebut terdiri dari tujuh tahap, yaitu: 1. Penilaian bahaya. Tahap ini melakukan pengumpulan informasi yang cukupmengenai bahaya, risiko, dan kerentanan yang terkait dengan kejadiankedaruratan yang diprediksikan. 2. Penentuan kejadian. Menentukan akar penyebab kejadian, cara kejadian akanberlangsung
dan
gejala
yang
dapat
diamati
yang
akan
mengisyaratkankejadian yang akan terjadi. 3. Pengembangan
skenario.
denganmempertimbangkan
Beberapa berbagai
bentuk
skenario kejadian
dikembangkan darurat
yang
diramalkanmenggunakan dimensi-dimensi waktu, ruang, dan magnitut sebagai parameter.Skenario ini harus juga memperhitungkan dampak bencana pada nyawamanusia, perumahan, harta benda, nafkah, dan
17
infrastruktur serta kejadianpemicu terkait dan ambang untuk pengaktifan sistem tanggapdarurat. 4. Penetapan
kebijakan
dan
strategi.
Kegiatan
tanggap
bahaya
dan
kontinjensimemerlukan sebuah visi. Pada tingkat nasional, terdapat kebijakan dasar untukpenanggulangan bencana yang juga memberikan platform yang dibutuhkan bagi perencanaan kontinjensi. 5. Analisis kesenjangan. Tahap ini berfokus pada analisis dan pengaturan diantara sektor-sektor, menjawab pertanyaan tentang penampilan setiap sektor saat kedaruratan terjadi, menetapkan tujuan sektor, menentukan indikator diantara sektor, menentukan kebutuhan dengan membandingkan sumber dayayang ada dengan kebutuhan yang diperlukan, dan menggambar bagan arusuntuk kegiatan sektor dan cara tugas-tugas disebarkan kepada anggota sektor. 6. Rencana tindak lanjut. Tahap ini merupakan rangkaian konsolidasimulai dari menyusun draf sampai merampungkan rencana kontinjensi.Rencana kontinjensi yang baik harus membatasi tugas dan fungsi danmemperjelasnya sedini mungkin. 7. Formalisasi dan aktifasi. Rencana akhir harus diserahkan kepada otoritas yang terkait. Pengesahansedemikian sangat penting untuk memastikan komitmen kelembagaan daripara pihak yang terlibat dan menjadikan rencana kerja tidak sekedar bersifatakademis tetapi menjadi rencana tindakan resmi. Sama
pentingnya
adalahbahwa
pengesahan
ini
akan
memberikan
pembenaran bagi otoritas lokal dimana di dalam situasi kedaruratan, jumlah sumber daya yang sudahdirencanakan bisa dikeluarkan dengan segera. Pengesahan resmi juga akanmendorong otoritas memandang rencana dengan sungguh-sungguh danberperan serta dalam pemantauan peringatan dini serta pernyataan keadaandarurat nantinya, jika diperlukan.
1.7.4. Peta Rawan Bencana Tanah Longsor Peta rawan longsor dibuat berdasarkan faktor-faktor penyebab longsor.Masing – masing faktor tersebut dibagi menjadi beberapa tingkatan kelas sehingga nilai tiap kelasnya pun berbeda.Bobot diberikan kepada faktor penyebab longsor.Perbedaan
18
nilai bobot didasarkan pada karakter kelas suatu parameter untuk menjadi faktor penting penyebab longsor.Penentuan skor kelas kerawanan memperhitungkan jumlah nilai
maksimal
pembobotan
dikurangi
dengan
jumlah
nilai
minimal
pembobotan.Hasil pengurangan kemudian dibagi jumlah kelas yang diinginkan.Kelas kerawanan dikategorikan menjadi 3 kelas yaitu kerawanan rendah, kerawanan sedang, dan kerawanan tinggi.Perhitungan interval antar kelas kerawanan secara matematis dirumuskan pada persamaan (1). Interval =
........................................................... (1)
Ketiga tingkat rawan tersebut adalah: a. Tingkat kerawanan rendah, menunjukkan daerah yang memiliki tingkat kerawanan paling rendah sehingga dikategorikan sebagai wilayah yang aman terhadap longsor, b. Tingkat kerawanan sedang, menunjukkan daerah yang memiliki tingkat kerawanan longsor sedang dan dapat dikategorikan aman terhadap longsor tetapi memungkinkan terjadinya longsor meskipun kecil peluangnya, c. Tingkat kerawanan tinggimenunjukkan daerah dengan peluang terjadi bencana longsor tertinggi dan sewaktu-waktu dapat terjadi bila ada faktor yang memicu, misalnya peningkatan curah hujan yang signifikan. Daerah ini cukup berbahaya untuk aktivitas manusia.
1.7.5. Peta Risiko Bencana Tanah Longsor Penilaian risiko bencana sangat diperlukan untuk mengurangi risiko atau meminimalisir dampak yang ditimbulkan bencana.Penilaian risiko tidak hanya melibatkan satu faktor saja tetapi oleh beberapa faktor yang saling terkait yaitu faktor bahaya (hazard), faktor kerentanan (vulnerability) dan faktor kapasitas (capacity). Bahaya (hazard) adalah fenomena ataupun aktivitas manusia yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa atau luka, kerusakan harta benda, kehidupan sosial ekonomi terganggu maupun penurunan kualitas lingkungan.Kerawanan bencana di suatu wilayah merupakan bahaya yang harus diwaspadai karena bisa menimbulkan berbagai
dampak
yang
merugikan.Kerentanan
(vulnerability)
merupakan
karakteristik individu atau kelompok yang merefleksikan kapasitasnya untuk
19
mengantisipasi, mengatasi, bertahan dan pulih dari dampak ancaman bahaya alam.Kapasitas (capacity) adalah kekuatan atau potensi sumberdaya yang dimiliki komunitas masyarakat untuk mengantisipasi dan atau mengurangi dampak risiko bencana. Dalam melakukan penilaian risiko diperlukan penilaian terhadap bahaya yang terjadi, karena suatu bahaya dapat dikatakan sebagai salah satu komponen dari bencana apabila bahaya tersebut menimbulkan kerusakan dan kerugian.Penilaian bahaya meliputi kegiatan analisis aspek-aspek fisik dari fenomena atau kejadian alam melalui pengumpulan data historis, interpretasi data topografi, geologi, dan hidrologi.Kegiatan analisis tersebut dilakukan untuk mendapatkan perkiraan kemungkinan spasial dan temporal datangnya kejadian dan besarnya bahaya. Dari penilaian bahaya selanjutnya akan digabungkan dengan komponen bencana yang lain yaitu komponen kerentanan dan komponen kapasitas. Hubungan antara ketiga komponen tersebut akan mempengaruhi tingkat risiko bencana pada suatu kawasan. Tingkat kerentanan yang rendah akan menyebabkan tingkat risiko yang tinggi apabila bahaya mengancam, sebaliknya apabila suatu kawasan memiliki tingkat kapasitas yang tinggi akan menghasilkan kemampuan yang tinggi untuk mengurangi risiko bencana. Visualisasi komponen bahaya, kerentanan dan kapasitas dapat dituangkan melalui pemetaan bahaya, kerentanan dan kapasitas. Dalam melakukan visualisasi tersebut diperlukan unit analisis yang sama di mana untuk pemetaan bahaya menggunakan data spasial sedangkan kerentanan dan kapasitas menggunakan data atribut. Data atribut tersebut kemudian dikuantitatifkan agar dapat disajikan dalam bentuk peta risiko bencana(Aditya, 2010). Analisis risiko pada pembuatan peta risiko melibatkan tiga komponen yaitu bahaya, kerentanan dan kapasitas.Analisis risiko dapat dilakukan dengan beberapa metode, salah satunya adalah dengan metode VCA (Vulnerability Capacity Analysis). Hubungan antara bahaya, kerentanan dan kapasitas akan menyebabkan suatu risiko yang dinyatakan dalam persamaan (2).