!
SURAT PEMBACA
WONOSOBO TERNYATA MENYIMPAN PELAJARAN BERHARGA
NARASUMBER PELATIHAN JURNALISME Halo PRANALA...
Menarik sekali liputan majalah PRANALA tentang Kota Wonosobo. Tak disangka, kota kecil itu menyimpan semangat hidup toleransi beragama yang luar biasa. Tentu banyak daerah lain di Indonesia yang juga mempunyai keberagaman agama dan aliran kepercayaan. Namun, nampaknya, Wonosobo menjadi yang terdepan dalam mewujudkan kehidupan yang saling menghargai dan menghormati antar umat beragama. Aliran-aliran kepercayaan di daerah lain bisa divonis sebagai aliran yang menyimpang. Ternyata mereka bisa hidup dengan penuh ketenangan di Wonosobo. Tentu semangat toleransi ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Kemampuan pemerintah daerah dan aparat keamanan dalam menjaga netralitas tentu menjadi salah satu kuncinya. Saya rasa daerah inilah yang sesungguhnya disebut miniaturnya Indonesia. Semangat kebhinekaan benarbenar terjadi disana. Andai di daerah-daerah lain di Indonesia dapat belajar dari kota kecil itu, tentu semua umat beragama akan hidup dengan tenang dan damai. Kita semua akan saling menghargai dan menghormati, tanpa diliputi rasa takut dan kecurigaan. Semoga!
Saya mau nanya, nih. Bisa nggak, ya? Kami minta tolong kepada tim redaksi majalah PRANALA untuk menjadi narasumber pelatihan dasar-dasar jurnalisme. Temanteman karang taruna di desa kami; Bangunharjo, Sewon, Bantul, akhir tahun ini akan melaksanakan beberapa kegiatan. Salah satu diantaranya adalah pelatihan jurnalisme. Anggota kami ada 35 orang; terdiri dari pemuda-pemudi. Kemana dan kepada siapa surat permohonannya kami tujukan? Terimakasih.
Nurul Harmiyatun, Sewon Bantul
Silahkan menghubungi kantor Pusham UII. Alamatnya di Jeruk Legi, RT 13 RW 35, Gang Bakung No. 517 A, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Bisa kontak via email:
[email protected], telepon di 0274-452032 atau fax pada nomor 0274-452158.
Redaksi
Arkhan Gani, Ngaglik, Sleman
Daftar Isi 2 EDITORIAL
Angkat Jempol Bagi Mereka yang (Masih) Melawan
4 LAPORAN UTAMA
Kami Adalah Ketjilbergerak
10 LAPORAN UTAMA
Melawan Bersama Warga
16 LAPORAN UTAMA
26 TOKOH
Dodok, Aktivis Jalanan yang Cinta Keluarga
31 TAGAR
#Jogjaoradidol
33 RESENSI
Ruang Iman dan Nalar
36 PERSPEKTIF
Jalan di Jogja: Potret Masyarakat Beresiko
Kami Menolak Lupa
21 WAWANCARA
Vani dan Greg Sindana No Leader just Together
P RANALA EDISI 5 , SEP TEMBER- OKTOBER 20 15
1
EDITORIAL
Angkat JEMPOL
BAGI MEREKA (MASIH)
MELAWAN Oleh: Puguh Windrawan
2
P R AN AL A EDI S I 5 , S EP TE M B E R -OK T OB E R 201 5
Senantiasa menjadi bahan perenungan. Semenjak sejarah anak adam tercatat di muka bumi ini, beberapa kesenjangan terus terjadi. Ini sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan yang ada. Di satu sisi ada sebagian manusia yang menginginkan sesuatu, akan tetapi mengorbankan kepentingan orang banyak. Di sisi lain, muncul orang yang akan selalu melawannya. Keadilan merupakan harga mati yang senantiasa harus diperjuangkan. Tidak mudah mencari orang seperti ini. Tapi ada. Selalu ada karena ketidakadilan memang harus dilawan.
EDITORIAL
Ketidakdilan harus dilawan karena manusia adalah anak zaman yang terombang-ambing dalam ambisi dan materi. Orang yang bergelimang harta akan selalu punya nafsu untuk menambah kekayaannya. Orang yang punya kuasa akan lupa pada siapa seharusnya ia mengabdi. Beberapa abad lalu, Lord Acton; seorang sejarawan, politikus, sekaligus penulis asal Inggris, pernah mewanti-wanti kita semua soal ini. “Kekuasaan cenderung disalahgunakan,” ucapnya. Jauh sebelum Lord Acton mengucapkan itu, ada cendekiawan terkemuka asal Tunisia bernama Ibnu Khaldun, yang juga berujar nyaris sama. Dalam bukunya yang bertajuk “Mukaddimah”, Ibnu Khaldun bercerita panjang lebar soal kekuasaan. Ia menyatakan bahwa kekuasaan sebenarnya punya daya rusak yang cukup tinggi, terutama bagi orang yang sedang berkuasa itu sendiri. Cenderung egois karena berusaha menikmati kekuasaannya selama mungkin dan itu dinikmati seorang diri. “Salah satu karakter dasar kekuasaan adalah mendorong seseorang untuk hidup bermegah-megahan,” tulis Ibnu Khaldun. Ada proyeksi hidup bergelimangan harta yang
Pranala
kemudian berujung pada pola hedonisme. Bagi penguasa, kekuasaan yang berlaku demikian ini akan menciptakan kesenjangan dengan rakyat yang dipimpinnya. Jauh sebelum kita hidup di dunia, para pemikir tadi; Ibnu Khaldun dan Lord Acton, sudah memprediksikan betapa mengerikannya kekuasaan jika tidak diimbangi dengan batasan kewenangan. Batasan kewenangan itu butuh sistem. Jika kemudian sistem tak bisa menjaganya, maka akan selalu ada orang yang hidup untuk melawannya. Begitulah dunia. Ia tidak terbilang sendiri, akan tetapi muncul dalam harmoni dan mengedepankan perbaikan. Modal dan materi tak selamanya menjadikan kekuasaan melacurkan dirinya tanpa batasan. Masih ada manusia-manusia yang berangkat dengan pemikiran yang jernih; bahwa kekuasaan yang timpang musti dilawan. Perjuangan butuh satu kata yang tak bisa berubah; konsistensi. Sebuah kata yang mudah ditulis dan diucapkan, akan tetapi susah untuk dipraktekkan. Kita harus angkat jempol dengan mereka yang bisa selalu berada di garis ini; melawan. Tidak selalu menggunakan cara kasar. Bukan
dengan jalan pemberontakan. Bisa melalui ide dan gagasan, bisa juga melalui ritme permberdayaan di kampungkampung. Untuk menemukan orang dengan ide perlawanan yang konsisten, bukanlah perkara gampang. Tapi, ada baiknya kita tengok apa yang sedang terjadi di Yogyakarta. Sebuah wilayah yang dianggap sebagai miniaturnya Indonesia. Ketika ketidakadilan muncul, ketika ketimpangan datang, saat sistem tak bisa mencegah itu semua; maka akan ada orang yang datang untuk melawannya. Perlawanan bukan dengan darah, tapi dengan ide, gagasan, pemberdayaan, seni, bahkan dengan tinta dan lukisan. Di saat kita duduk terganga di sebuah meja, mereka datang dengan gigih melantangkan perlawanan. Di saat kita menunggu apresiasi pimpinan, mereka muncul dengan segala ide dan gagasan. Tatkala kita menjamah ranjang untuk istirahat, mereka menawarkan solusi atas permasalahan yang mendera masyarakat banyak. Angkat jempol untuk mereka yang lantang melawan!
Diterbitkan Oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta Penaggung Jawab: Eko Riyadi | Pemimpin Redaksi: Puguh Windrawan | Reporter: Kamil Alfi Arifin, Kelik Sugiarto, Prayudha Maghriby | Kontributor: Marlutfi Yoandinas | Fotografer: Gibbran Prathisara | Layout: Arief Mizuary Alamat Redaksi/Tata Usaha: Jeruk Legi RT. 13 RW. 35 Gang Bakung No.517 A, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta 55198 | Telpon: 0274-452032 | Fax: 0274-452158 | Website: www.pusham. uii.ac.id Email:
[email protected]
P RANALA EDISI 5 , SEP TEMBER- OKTOBER 20 15
3
LAPORAN UTAMA
A U M E S A T KI ADALAH K A R E G R E B L I J T E K
Foto Oleh: Gibbran Prathisara
4
P R AN AL A EDI S I 5 , S EP T E M B E R -OK T OB E R 201 5
LAPORAN UTAMA
Oleh: Kamil Alfi Arifin
Komunitas ini yang terus tumbuh menjulang. Mereka dipupuk oleh energi kegelisahan dan keberanian anak-anak muda di Yogyakarta. Sebuah energi yang terus bergerak dan tak pernah padam.
Rumah kontrakan yang “disulap” menjadi kantor itu memang berukuran relatif kecil. Meski begitu, ia ditata dengan cukup artistik. Penuh dengan lukisan-lukisan dan pamflet-pamflet program ketjilbergerak yang diletakkan di sekujur dinding. “Maaf berantakan, Mas,” ujar Vani saat ditemui di kantor ketjilbergerak. Barangkali, secara fisik, rumah yang merupakan kantor yang keenam ketjilbergerak ini (setelah berpindah-pindah tempat dalam hampir setiap tahunnya-red), sudah tidak dapat lagi menampung semua anggotanya, yang bejibun jumlahnya. Meski demikian, rumah ini selalu terasa lapang dan luas, setidaknya bagi saya yang beberapa waktu lalu sempat mampir ke sana. Setidaknya pendapat Cicero, seorang filsuf jaman Romawi, diterapkan di kantor ketjilbergerak. Ada perpustakaan kecil yang menyimpan beragam buku. Mulai dari filsafat, politik, sejarah, dan masih banyak buku bermutu yang lain. Halamannya yang rindang diselipi kebun kecil yang nyaman. Selain suasana itu, semangat dan
cita-cita ketjilbergerak tercermin dari cara mendidik anak muda di Yogyakarta. Metode yang digunakan begitu membebaskan, dengan tujuan untuk merawat kepedulian pada lingkungan sosialnya. Mengunjungi ketjilbergerak dan berbincang cukup lama dengan dua orang eksponennya, membuat saya teringat dengan Summerhill School. Saya memang belum pernah melihat langsung Summerhill School. Hanya membacanya dari sebuah buku yang ditulis oleh pendirinya. Sebuah nama sekolah alternatif yang membebaskan. Dibangun di Jerman pada tahun 1921 oleh A.S Neil, yang kemudian
P RANALA EDISI 5 , SEP TEMBER- OKTOBER 20 15
5
LAPORAN UTAMA
Website ketjilbergerak: www. ketjilbergerak.org
dipindahkan ke Inggris sampai sekarang. Di dalam sekolah itu, anak-anak diberikan kebebasan penuh untuk tumbuh berkembang, sesuai dengan potensi dan bakatnya masing-masing. Tak ada paksaan. Dibiarkan belajar apa saja sesuai yang mereka inginkan, yang mereka suka. Larangannnya satu; tak boleh mengganggu dan menyakiti orang lain. Tentu saja, Summerhill School tak sepenuhnya sama dengan ketjilbergerak, karena Summerhill School benar-benar sekolahan yang berbasis asrama. Mereka yang bersekolah mulai dari usia taman kanak-kanak, sampai dengan usia sekolah menengah atas. Di sekolah itu ada upaya kritik terhadap pendidikan formal yang sudah dianggap usang. Anggapan 6
P R AN AL A EDI S I 5 , S EP T E M B E R -OK T OB E R 201 5
itu mendorong adanya pencarian sistem alternatif pendidikan dalam mengembangkan bakat anak didik. Semangat ini yang saya lihat sama dengan apa yang coba dicanangkan oleh ketjilbergerak. Pada tahun 2006 silam, sejumlah mahasiswa jurusan pendidikan seni dan bahasa Inggris dari berbagai kampus di Yogyakarta, memiliki kegelisahan yang sama. Mereka risih dengan sistem pendidikan dan metode pengajaran yang ada. Ada cacat dan sesat pikir dalam pendidikan yang dianggap eksklusif, searah, dan tak membebaskan. Alasan ini yang menjadi alasan awal terbentuknya ketjilbergerak. “Awalnya sih, kegelisahannya pendidikan. Karena kita, kan dari fakultas pendidikan. Kita melihat,
sebagai calon guru, kok rasanya di kuliah itu banyak yang tidak kita dapat. Kok eksklusif? Kita berpikir, kayaknya kita butuh semacam platform. Waktu itu pendidikan yang tidak eksklusif,” cerita Greg Sindana, yang sore itu ditemani Vani, saat menjelaskan ketjilbergerak. Dipandu oleh kegelisahan dan sikap kritis itulah, mereka mencoba melakukan sebuah upaya. Mereka menyebutnya sebagai sebuah eksperimen dengan menerbitkan sebuah selebaran (zine). Diberi nama; ketjilbergerak. Jadi pada mulanya, ketjilbergerak adalah sebuah nama dari selebaran. Isinya tulisantulisan dan pikiran-pikiran kritis yang mereka terbitkan. Selebaran itu merupakan upaya perlawanan
LAPORAN UTAMA
“Semua dengan menggunakan metode seni, karena metode seni lebih cair, dan lebih membebaskan” pertama dan pencarian solusi atas persoalan-persoalan yang mereka pertanyakan. Selebaran itu kemudian dicetak dan disebarluaskan. Mulai dari kampus-kampus, art-art space, dan di tempat-tempat lainnya. Pada tahun 2006, selebaran ketjilbergerak dibaca oleh banyak anak muda di Yogyakarta dan mendapatkan apresiasi yang cukup tinggi. Apresisasi tersebut tak membuat mereka puas. Tetap ada evaluasi atas kerja yang mereka anggap sebagai eksperimen pertamanya itu. Selebaran dianggap tak sepenuhnya efektif. Tak ubahnya seperti seorang guru yang mengajar dengan pola satu arah di kelas, suatu hal yang mereka kritik. “Sistem zine itu komunikasinya satu arah. Aku menulis, kamu membaca. Ya, sudah, tidak ada apa-apa lagi. Makanya mulai tahun 2007, kita membuat sebuah diskusi yang cukup intens. Seminggu sekali ketemu. Ngomongin kajian budaya, filsafat, seni,” ujar Vani. Diskusi yang intens ini berjalan selama hampir setahun dan merupakan eksperimen kedua mereka. Banyak pengetahuan dan cara analisis sosial yang mereka dapatkan dari diskusi-diskusi tersebut. Hanya saja, mereka yang memiliki passion sebagai guru, tetap resah. Pengetahuan yang mereka dapatkan belum terdistribusikan secara luas, terutama untuk anak-anak muda yang ada di Yogyakarta. Akhirnya, pada tahun 2008-2010, mereka berusaha melakukan eksperiman ketiga mereka. Sekaligus ini menjadi penanda proses tranformasi yang penting bagi ketjilbergerak. Mereka mulai mengembangkannya menjadi sebuah komunitas yang berbasis anak-anak muda. Komitmennya pada pendidikan yang luas dengan metode seni. “Semua dengan menggunakan metode seni, karena metode seni lebih cair, dan lebih membebaskan,” ujar Vani. Banyak program yang mereka lakukan pada tahun 2008-2010. Berlanjut pada tahun-tahun berikutnya, dengan penyempurnaan pada tiap tahunnya. “Kita evolutif, tambal sulam metode,” tambah Vani. Pada tahun 2012-2013 merupakan tahun padat karya bagi ketjilbergerak. Mereka semakin memantapkan diri dengan melakukan kerja-kerja intervensi kultural. Caranya dengan mendorong anak-anak muda agar aktif memproduksi budaya mereka sendiri.
Sampai saat ini, sudah 50-an lebih program yang dibuat dan diselenggarakan oleh ketjilbergerak. Secara umum, ada dua macam programnya, program seni untuk publik, dan program seni bersama publik (kolaboratif ). Program seni untuk publik, misalnya ada “Kelas Melamun”. Kelas ini merupakan kelas alternatif, di mana di dalamnya, peserta dibolehkan bertanya apa saja, bahkan tentang lamunannya sendiri. Tak seperti di kelas sekolahan pada umumnya, yang melarang anak-anak didik melamun selama pelajaran berlangsung. Sejauh ini sudah ada beberapa edisi “Kelas Melamun” yang diadakan ketjilbergerak; edisi belajar bareng tokoh-tokoh seni, edisi belajar pendidikan politik, edisi kepercayaan, edisi filsafat dan lain sebagainya. Terlihat dari sejumlah edisi program “Kelas Melamun”, seperti edisi kepercayaan misalnya. Peserta diberikan pemahaman tentang pentingnya toleransi dan
P RANALA EDISI 5 , SEP TEMBER- OKTOBER 20 15
7
LAPORAN UTAMA keberagaman dengan cara-cara yang asyik dan tak menggurui. Ini penting agar anak-anak muda di Yogyakarta lebih bisa menghargai lingkungan tempat tinggalnya yang memang mejemuk. “Kita ngajak untuk tidak terjebak ke dalam fanatisme sempit,” tegas Vani. Selain “Kelas Melamun”, ketjilbergerak juga pernah mengadakan program “Ben Prigel”. Jika dalam program “Kelas Melamun” lebih ditekankan pada soal intelektual, dalam program “Ben Prigel” penekannya lebih pada workhops. Hal-hal yang bersifat keterampilan praktis. Seperti menyablon, membuat patung, membuat batik, pelatihan menulis dan jurnalistik, grafiti, melukis, dan lain sebagainya. “Ben Prigel ini Bahasa Jawa. Prigel itu artinya terampil. Artinya sebenarnya supaya terampil,” tambah Vani. Semua program yang dilakukan komunitas ketjilbergerak tersebut, selain mengandung aspek edukasi, juga kental dengan perlawanan dan kritik sosial. Program-program ketjilbergerak memang dibuat untuk merespon persoalan-persoalan
8
P R AN AL A EDI S I 5 , S EP T E M B E R -OK T OB E R 201 5
Foto Oleh: Gibbran Prathisara
Jaga Lemahmu Wangunkan Budayamu, Mural karya Ketjilberkegak
zaman. Terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi, lebih khusus di Yogyakarta, mereka banyak melontarkan kritik, terutama menyangkut masalah ruang publik dan janji-janji pejabat pemerintahnya. Misalnya, beberapa waktu lalu, mereka berkolaborasi dengan warga-warga kampung mengadakan berbagai macam program, seperti program happening art bertajuk “Bocah Jogja Menagih Janji”, video klip musik “Energi Mudamu, Senjatamu!”, dan kritik sosial lain melalui mural, stensil, dan medium-medium seni yang lainnya. Ketjilbergerak memang memilih menggunakan medium-medium seni untuk menyampaikan kritik-kritik sosialnya. Mereka memilih ini dibandingkan dengan cara-cara seperti demo dan lain sebagainya. “Ini melengkapi (cara) kawan-kawan aktivis yang lainnya,” ujar Greg. Saat ini dan dalam beberapa waktu ke depan, kata Greg, ketjilbergerak akan fokus pada kritik atas persoalan-persoalan ruang di Yogyakarta. Yang menarik, selama hampir sewindu lamanya, ketjilbergerak tetap eksis dengan berbagai macam program tanpa sokongan dana dari lembaga-lembaga donor. Tak seperti umumnya lembaga-lembaga swadaya dan NGO di Yogyakarta yang bergerak hanya ketika ada bantuan dana. Mereka tak pernah mengulurkan proposal bantuan, ia benar-benar hidup independen, dengan menjual karya-karya merchandise yang dibuat sendiri. Uniknya, ketjilbergerak tak punya pimpinan sejak awal. Mereka adalah sebuah komunitas organis yang kini semakin tumbuh menjulang, dan sudah mendapatkan banyak pengakuan. Salah satu di antaranya, dijadikan mitra Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam program kampanye anti-korupsi untuk anak-anak muda. Sudah cukup banyak riset yang dilakukan oleh peneliti asing yang meneliti tentang ketjilbergerak. Salah satunya penelitian yang dilakukan sarjana Amerika Serikat, Katie Bruhn, dengan judul penelitian “Small Movement, Big Impact: ketjilbergerak and Social Engagement in Yogyakarta’s Art World”.
“Semua yang muda, kreatif, berani, dan berdikari adalah ketjilbergerak” Melihat kerja-kerja kultural dan pendidikan yang dilakukannya, tak dapat dipungkiri, dan tak berlebihan kiranya, ketjilbergerak dipandang sebagai “sekolah alternatif”. Dianggap sebagai tempat anak-anak muda belajar dan mengembangkan bakat mereka masing-masing dengan bebas, tanpa kehilangan sikap kritis terhadap persoalan dunia di sekitarnya. Disokong dengan energi yang tak pernah padam dari anak-anak muda. Ketjilbergerak, dalam usianya yang sudah lebih delapan tahun tahun ini, menunjukkan konsistensinya dalam berkreasi, berdikari, dan melawan. Persis seperti semboyan yang selalu mereka dengungkan; “Semua yang muda, kreatif, berani, dan berdikari adalah ketjilbergerak”. Foto Oleh: Gibbran Prathisara
P RANALA EDISI 5 , SEP TEMBER- OKTOBER 20 15
9
Oleh: Kamil Alfi Arifin “Kami meyakini, sebenarnya kekuatan warga itu yang utama. Ketika warga berdaya, LSM bubar dan saatnya melebur. Warga, yang kemudian tampil mempelopori perubahan di sekitarnya” (Tri Wahyu)
10
P R AN AL A EDI S I 5 , S EP T E M B E R -OK T OB E R 201 5
LAPORAN UTAMA
P RANALA EDISI 5 , SEP TEMBER- OKTOBER 2 0 15
11
SURAT PEMBACA
Tri Wahyu, Direktur Indonesian Court Monitoring (ICM)
12
P R AN AL A EDI S I 5 , S EP T E M B E R -OK T OB E R 201 5
Foto Oleh: Gibbran Prathisara
SURAT PEMBACA Malam itu, Tri Wahyu datang agak terlambat ke kantor Indonesian Court Monitoring (ICM), sebuah lembaga di Yogyakarta yang punya perhatian pada dunia peradilan. Ia sendiri yang kebetulan menjabat sebagai direkturnya. Padahal, beberapa hari sebelumnya, dia berjanji untuk wawancara pada pukul delapan tepat. “Otw ya? Sorry telat. Mendadak tadi ada tamu,” ujarnya dalam pesan pendek, yang dia kirim ke ponsel saya.
tak asing lagi. Selain cukup vokal menjabarkan pikiran-pikiran dan kritik-kritiknya, Wahyu telah lama malang melintang di jalan aktivisme dan advokasi. Pada tahun 1998, Wahyu menjadi bagian dari gerakan mahasiswa yang getol melawan tirani Orde Baru dan menuntut reformasi. Ia lakukan itu bersama dengan rekan-rekan mahasiswanya yang lain. Sebagai alumnus UGM, Wahyu mengaku tak terlalu aktif di Senat
“Begini ya, karena sudah menjadi komitmen saya; bahwa posisi teman-teman prodem (pro-demokrasi), termasuk saya, ini kan support gerakan warga...." Beberapa menit kemudian, Tri Wahyu tiba di kantor ICM dan menyalami saya dengan ramah dan penuh rasa persahabatan. Ini memang bukan pertemuan pertama saya dengan Wahyu, demikian ia akrab dipanggil. Saya sudah pernah bertemu sebelumnya dalam sebuah acara. Diperkenalkan oleh seorang teman. Teman saya itu mengenalkan Wahyu sebagai aktivis yang cukup lama mendampingi dan membela warga yang terpinggirkan, bahkan sampai hari ini. Di kalangan aktivis dan pegiat LSM/NGO, namanya barangkali
dan Badan Eeksekutif Mahasiswa (BEM) UGM. Setelah perjuangan gerakan mahasiswa selesai dan Soeharto turun, lebih tepatnya pada tahun 2000, Wahyu bergabung di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Yogyakarta. Semacam lembaga yang punya perhatian lebih pada pendampingan konsumen dan hak-haknya. Di YLKI ini, Wahyu pertama kali mendapatkan pengalaman masuk ke dalam gerakan warga. Selama setahun, dia aktif di YLKI. Di tahun berikutnya, Wahyu bergabung dengan LBH Yogyakarta dan
ditempatkan di bidang hak sipilpolitik. Ini merupakan pengalaman berikutnya. Wahyu masuk ke dalam gerakan warga, mendampingi para Jugun Ianfu; perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual para tentara Jepang. Di tahun 2003, bersama alumni LBH, Wahyu sempat memprakarsai berdirinya Persada. Sebuah lembaga advokasi yang menitikberatkan pada soal-soal sumber daya alam. Akhir tahun 2003, dia juga masuk dalam Forum LSM Jogja. Semacam sekretarit bersama yang menaungi 26 LSM di Yogyakarta, dimana tahun 2006, Wahyu ditunjuk dan dipercaya sebagai ketuanya. Pada tahun akhir 2010 akhir sampai sekarang, secara formal dan sektoral, Wahyu bergiat di ICM. Itulah sejumlah pengalaman Wahyu yang cukup panjang di jalan aktivisme dan advokasi. Perjalanan panjang itu, dengan sendirinya, juga merekam adanya sebuah konsistensi perlawanan Wahyu terhadap penguasa dalam rupa-rupa isu dan persoalan di Yogyakarta. Saat saya berbincang di ruangan kantornya dan menyampaikan rencana redaksi majalah Pranala untuk mengangkat profil dirinya, Wahyu mengaku enggan dan merasa keberatan. Dia khawatir ada semacam personifikasi isu dan perjuangan. “Begini ya, karena sudah menjadi komitmen saya; bahwa posisi teman-teman prodem (prodemokrasi), termasuk saya, ini kan support gerakan warga. Kalau sekarang di Jogja, kan ada Warga Berdaya. Jadi, kita tidak fokus pada person-personnya. Bahkan kami, dalam tanda petik, itu melebur enggak pakai baju LSM, organisasi, tapi memang mulai masuk di ranah gerakan warga P RANALA EDISI 5 , SEP TEMBER- OKTOBER 20 15
13
LAPORAN UTAMA berdaya. Ini (Warga Berdaya-red), sebenarnya forum komunikasi di antara teman-teman yang berusaha mencoba dengan warga-warga yang lagi melawan. Kami meyakini, sebenarnya, kekuatan warga itu yang utama. Menurutku, ini penting pijakannya. Karena mohon maaf, nanti bisa terjadi personalize perjuangan dan penokohan orang-orang tertentu,” ujar Wahyu menjelaskan panjang lebar tentang kekhawatirannya. Wahyu meminta untuk lebih memfokuskan saja pada gerakan perlawanan kolektifnya. Pada gerakan “Warga Berdaya”. Karena hal itu dipandangnya jauh lebih penting dari upaya menampilkan satu orang tertentu, betapa pun sangat besar peranannya. Dalam penilaiannya, munculnya gerakan “Warga Berdaya” ini menarik. Selain menjadi saluran bersama, juga menjadi tanda mulai bergeraknya warga di Yogyakarta untuk memperjuangkan hak-haknya yang ditindas oleh penguasa (baik politik dan modal). Pada saat bersamaan diharapkan ke depannya dapat menandai awal meleburnya banyak LSM-LSM—yang umumnya selama ini bekerja dalam batas-batas sektoral sesuai dengan perhatian masing-masing—menjadi gerakan bersama warga. “Warga Berdaya” ini, kata Wahyu, merupakan modal sosial baru bagi Yogyakarta. “Di Warga Berdaya, semuanya melebur sebagai
kriminalisasi petani di Kulonprogo, diusirnya warga di Watu Kodok oleh pemodal besar dari Jakarta. Belum lagi maraknya pembangunan hotel dan apartemen yang memiliki dampak lingkungan serius, serta kasus terakhir kriminalisasi PKL Gondomanan yang dituntut dengan milyaran rupiah. Kesemuanya itu, kata Wahyu, menunjukkan secara telanjang lebar bahwa ada krisis kepemimpinan yang sangat serius di Yogyakarta. Sultan sebagai gubernur tampak diam, melakukan pembiaran. Alih-alih memihak pada rakyat seperti dilakukan Sultan Hamengkubuwuno IX dulu, Sultan
14
P R AN AL A EDI S I 5 , S EP T E M B E R -OK T OB E R 201 5
warga. Kebetulan mereka banyak dari LSM, tetapi ketika di Warga Berdaya, mereka menjadi warga yang bertemu dengan warga,” terangnya. Menurut Wahyu, sekalipun ada banyak anggota LSM yang bergabung mendampingi warga yang melawan dalam gerakan “Warga Berdaya”, tetapi tetap, posisi LSM hanya sebagai kekuatan pendukung. Kekuatan pendukung dari kekuatan warga. Bahkan, Wahyu—sebagaimana banyak kawan-kawannya yang lain—percaya kalau warga sudah berdaya, LSM tak diperlukan lagi keberadaannya. Sudah saatnya, kata dia, LSM melebur dengan kekuatan warga dan warga tampil untuk mempelopori perubahan. Memang, lanjut Wahyu, gerakan Warga Berdaya saat ini seperti masih bergerak dalam pendekatan kasus per kasus. “Kalau kita enggak hati-hati, ya kita bisa merasa capek. Misalnya belajar dari kasusnya Udin,” ujar alumni Fakultas Hukum UGM itu. Meski demikian, Wahyu menilai, dari kasus-kasus itu, pengorganisasian warga nampaknya bisa berjalan. Sebagai bagian dari gerakan “Warga Berdaya”, Wahyu mendeskripsikan peta isu persoalan yang penting di Yogyakarta kepada saya. Terutama, isu-isu konkret kerakyatan, seperti belum tuntasnya kasus Udin,
yang sekarang lebih memihak pemilik modal yang dianggap akan menopang kekuasaannya yang rapuh, karena mulai kehilangan kepercayaan dari warganya. Di tengah-tengah banyaknya kasus-kasus yang menciderai batas-batas subsistensi warga (terutama warga-warga kecil) tersebut, Wahyu mempertanyakan kembali keberadaan Undang-Undang Keistimewaan (UUK) Yogyakarta. Dulu sempat diperjuangkan dan didukung mati-matian oleh warga Yogyakarta. Tetapi faktanya hari ini, undang-undang tersebut tak benar-benar mengistimewakan warganya; warga Yogyakarta yang
dipenuhi hak-hak sipil politiknya, tak didiskriminasi dan direbut lahan pertaniannya dan lain sebagainya. Bagi Wahyu, sebenarnya hal tersebut tak terlalu mengherankan. Sebab, Wahyu melihat, dulu saat polemik RUUK tengah berlangsung begitu kencang, masalah RUUK dipersempit jadi persoalan sumber rekruitmen dan pola penunjukan kepemimpinan semata. Lebih tegasnya, itu hanya soal ontran-ontran dan perebutan kekuasaan semata. Tak ada hubungannya dengan perbaikan dan perubahan nasib warga di Yogyakarta. “Dulu situasinya sangat politis, yang tak mendukung penetapan
LAPORAN UTAMA
“Dulu situasinya sangat politis, yang tak mendukung penetapan berarti mendukung pemilihan. Padahal bagi kami, yang istimewa itu harusnya warganya. Setelah beberapa tahun berjalan, Undang-Undang Keistimewaan itu apa manfaatnya?”
berarti mendukung pemilihan. Padahal bagi kami, yang istimewa itu harusnya warganya. Setelah beberapa tahun berjalan, UndangUndang Keistimewaan itu apa manfaatnya?” kritik Wahyu. Saat ini, pemerintah Yogyakarta disinyalir terus memberikan keberpihakan pada kelompok kekuatan modal. Dalam beberapa sisi, bahkan kehilangan empati sosialnya pada warga-warga kecil. Kondisi ini kemudian menjadikan Wahyu dan teman-temannya; seperti Dodok, Elanto Wijoyono dan yang lainnya dalam gerakan Warga Berdaya, akan tetap mengetuk pintu hati para penguasa. Warga, kata Wahyu, tak akan dan boleh diam. Cacing saja menggeliat jika diinjak. “Kerangka Warga Berdaya, ya bergerak untuk berdaya,” tegasnya.
P RANALA EDISI 5 , SEP TEMBER- OKTOBER 20 15
15
LAPORAN UTAMA
Kami
k a l o n e M
a p u L
Oleh: Prayudha Mahgriby
Perjuangan yang layak untuk dikenang. Sembari menunggu untuk dituntaskan, kasus Udin terus bergeliat. Banyak pihak yang kini peduli. Ia bisa didapuk menjadi pahlawan jurnalistik di Indonesia
16
P R AN AL A EDI S I 5 , S EP T E M B E R -OK T OB E R 201 5
LAPORAN UTAMA
Sebuah film dokumenter berdurasi sekitar 30 menit cukup menyita perhatian. Dirilis oleh LBH Pers Yogyakarta. Bercerita tentang rangkaian peristiwa terbunuhnya Fuad Muhammad Syarifudin, alias Udin. Film ini dibuka dengan adegan seseorang yang tengah memasang poster bertuliskan, “Wartawan Udin. 1996. Dibunuh karena Berita”. Adegan ini diambil di sebuah kolong jembatan, di sudut Kota Yogyakarta. Adegan berlanjut dengan sesosok nenek yang tengah berbaring lemah di atas ranjang. “Tekane dinten kiamat, kulo tetep mboten terimo. Nek sing nuthuk wes mati, yo sing kongkon,” ujar Mujilah, ibunda almarhum Udin dengan nafas terengah-engah. Tiga hari setelah adegan itu diambil, Mujilah meninggal dunia. Keinginannya agar kasus pembunuhan Udin terungkap, terbawa hingga liang lahat. Begitulah penggambaran
awal film dokumenter yang melibatkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta dan PECOJON itu. Film dokumenter ini dirilis pada tahun 2013. Diniatkan sebagai upaya untuk mendorong pengungkapan pembunuhan wartawan Udin. Sejak 1996, kasus pembunuhan wartawan Bernas Jogja itu tak juga rampung. Banyak usaha telah dilakukan. Namun demikian, kasusnya masih belum jelas ujung pangkalnya. Salah satu lembaga yang terus mengawal kasus Udin adalah AJI. Ketua AJI Indonesia, Eko Maryadi, menyoroti ketidakseriusan dari pihak polisi untuk menangani kasus ini. “Kapolda Jogja, saya tagih janjinya. Kepolisian, Kapolri, saya tagih janjinya. Masa mengungkap pembunuhan Prabangsa, kasus Udin, kok nggak bisa?” ujar Eko di dalam film dokumenter tersebut. Menurutnya, mesti ada P RANALA EDISI 5 , SEP TEMBER- OKTOBER 20 15
17
LAPORAN UTAMA
Bambang (kanan), Wakil Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
kemauan politis dari pihak kepolisian untuk menuntaskan kasus yang sudah berjalan selama 19 tahun tersebut. Di akhir film, tampak sejumlah aktivis dari berbagai elemen melakukan aksi damai di depan Gedung Agung, Yogyakarta. Orasi-orasi bernada membangkitkan semangat diutarakan oleh para peserta aksi. Salah satu orator bahkan meneriakkan betapa lemahnya perlindungan negara terhadap hak-hak sipil. Menurutnya, kasus Udin bisa jadi hanyalah salah satu dari sekian banyak ketidakadilan dan kesewenangwenangan negara pada warganya. Padahal, dalam sebuah negara demokrasi, hak-hak masyarakat sipil harus dijaga. Tidak tuntasnya kasus ini adalah cerminan dari buruknya kualitas berdemokrasi di Indonesia. **** Penampilan kedua adalah dari sebuah grup dengan dua orang personil. Keduanya memegang gitar di tangan. Satu merangkap menjadi vokalis. Satunya lagi menabuh bass drum dengan kakinya. Irama yang mereka mainkan kedengaran pentatonik. Lagu blues dengan ketukan yang cukup rapat. “Kami menolak lupa. Kami menolak lupa,” teriak 18
P R AN AL A EDI S I 5 , S EP T E M B E R -OK T OB E R 201 5
Foto Oleh: Gibbran Prathisara
sang vokalis sembari mengepalkan tangan kirinya. Spontan, suara tepuk tangan menggema di seisi panggung Gedung Amphiteater Taman Budaya Yogyakarta. Penampilan grup band indie bernama Siasat itu adalah salah satu sajian di acara dengan tajuk “Launching Video Klip Udin dan Album Kompilasi Menolak Lupa”. Selain Siasat, ada Ilalang Zaman, Banda Neira, Kepal SPI dan Merah Bercerita, yang turut serta mengisi album kompilasi itu. Kamis malam tanggal 26 Juni 2014 silam itu menjadi semacam ajang silahturahmi bagi berbagai elemen yang memiliki kepedulian pada kasus pelanggaran HAM, khususnya kasus Udin. Musisi adalah salah satu pihak yang selama ini giat menyuarakannya. Sejumlah kelompok musik indie secara apik menggubah lagu untuk selalu membuat publik mengingat kasus-kasus yang masih mangkrak. Mereka juga rutin menggelar konser dengan tujuan mulia tersebut. Di pertengahan pagelaran, pembawa acara kemudian meminta Marsiyem –isteri almarhum Udin– untuk naik ke panggung. Dia diserahi tali asih hasil penjualan album. Tiap tahun, setiap dia-
LAPORAN UTAMA dakan acara peringatan terhadap tewasnya Udin, pihak keluarga almarhum selalu diundang. Selain sebagai dukungan moral, acara itu menjadi semacam wujud kepedulian terhadap keluarga yang ditinggalkan. Selain dari penjualan album, keuntungan hasil penjualan kaos “Dibunuh Karena Berita” juga diserahkan kepada keluarga Udin. Perjuangan melawan lupa yang digagas AJI dengan dukungan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI) dan Anti-Tank malam itu menjadi semacam simbol persatuan berbagai pihak. Dilakukan dalam upaya menagakkan HAM. Simpati terhadap kasus ini juga diakui telah meluas. Terus berlarutnya kasus itu di sisi lain menimbulkan simpati dari banyak kalangan. Bambang MBK, Wakil Ketua AJI Jogjakarta mengatakan, jika perjalanan pengawalan kasus Udin kini semakin luas. “Semakin banyak pihak yang masuk pada barisan kami,” ujarnya di kantor AJI Jogjakarta. Bambang menuturkan, jika masing-masing punya wujud kepedulian dengan cara yang
berbeda. Ada sejumlah lagu soal Udin dari para musisi Jogja. Para sastrawan pun ikut menorehkan karyanya. Sudah ratusan puisi dan pementasan yang rutin terlahir dari bentuk perenungan sastrawan Jogja soal kasus ini. Para perupa ikut pula mewujudkan kepeduliannya dengan seni lukis mereka. Di tahun ini, sebuah lukisan Udin tercipta. “Itu akan dipamerkan di Jakarta. Hasil lelangnya sepenuhnya akan menjadi milik keluarga Udin,” ujar Bambang. Para perupa jalanan, salah satunya yang tergabung dalam Anti-Tank, menuangkan kepeduliannya melaui guratan cat di tembok-tembok beton Jogja dalam bentuk mural. Hampir di tiap-tiap sudut kota Jogja, poster “Dibunuh Karena Berita” muncul. Poster dan mural itu diperuntukan agar masyarakat terus terjaga ingatannya soal mangkraknya kasus yang memiriskan ini. Bambang, mewakili AJI, merasa mendapatkan suntikan energi untuk terus mengawal kasus Udin. Setidaknya telah 19 tahun, AJI bersama berbagai elemen mengawal kasus Udin dari berbagai lini. “Kami sampai tak habis pikir ke-
napa kasus ini tak bisa dituntaskan. Semua cara telah kami tempuh,” ujar pria yang kini bekerja di The Jakarta Post ini. Dari sisi hukum, AJI dan kawankawan telah melakukan tuntutan dari level terendah hingga tertinggi. Tiap kali pergantian Kapolda DIY, AJI tak lupa selalu mengingatkan pihak kepolisian untuk mau lebih serius mengungkap kasus Udin. Secara politis, AJI pun telah menembusi berbagai pihak yang semestinya punya itikad untuk menuntaskan kasus ini. “Kami bahkan sudah ke Watimpres,” tambah Bambang. Namun demikian, dari semua usaha bertahun-tahun itu, kasus Udin belum juga menunjukan sisi terang. Semua itu tentu saja terkadang membuat jemu. Namun, dukungan dari berbagai elemen, menurut Bambang, telah membuat perjuangan ini tak pernah pudar. **** Pada 6 Agustus 2015, sejumlah anak muda membersihkan kolong sebuah jembatan dari cat mural yang mulai luntur. Sekumpulan pemuda dari Street Art Jogja mengelupas poster yang telah compang-camping diterpa panas
“Kami sampai tak habis pikir kenapa kasus ini tak bisa dituntaskan. Semua cara telah kami tempuh,” P RANALA EDISI 5 , SEP TEMBER- OKTOBER 20 15
19
LAPORAN UTAMA dan hujan. Setelah bersih, mereka mulai untuk memoles tembok dengan cat dasar warna putih. Perlahan mereka menempelkan sebuah poster raksasa. Poster itu bertuliskan: “Suluh Udin. 19 tahun Kasus Pembunuhan Udin Tidak terungkap”. Di tengah poster itu nampak foto almarhum Udin dalam sebuah bingkai karangan bunga. Di kiri dan kanan foto, muncul cuplikan tulisan Udin di harian Bernas. Tulisan yang diduga kuat menjadi alasan mengapa ia dibunuh. Tulisan itu mengkritisi penyimpangan dan yang dilakukan oleh Pemda Bantul. Di sisi kanan Jembatan Kewek Jogjakarta itu, perupa lainnya mulai menggambar sejumlah sosok manusia. Wajah sosok-sosok itu tampak muram. Salah satunya bahkan berwajah seram. Matanya bulat tajam. Tangannya masing-masing memegang kapak dan linggis. Di atas mural itu tertulis huruf tegas; TUNTASKAN KASUS UDIN! Semua itu tampak pada sebuah video yang diunggah oleh Indonesian Visual Art Archive (IVAA). Di akhir video, muncul teks berisi ajakan untuk terus mengawal kasus Udin yang ditulis oleh AJI dan Anti-Tank. Aksi Street Art Jogja itu menjadi tanda bahwa kasus ini telah mangkrak selama 19 tahun. Artinya, tak lama lagi kasus itu akan kadaluarsa. Bambang bersama rekan-rekannya sadar betul ihwal fakta itu. Namun demikian, perjuangan melawan lupa tak akan usai. Kasus Udin tak hanya menjadi sorotan di dalam negeri. The Newseum, sebuah museum di Amerika yang berfokus pada karya jurnalistik dan jurnalis, telah menjadikan kasus Udin sebagai salah satu bagian penting. Udin ditempatkan bersama dengan sejumlah nama jurnalis di dunia yang tewas dalam tugas. Informasi itu Bambang terima dari seorang rekan. “Udin telah menjadi sorotan dunia,” ujarnya. Lembaga internasional seperti TIFA Foundation pula menaruh perhatian pada kasus Udin. TIFA telah terlibat dalam sejumlah usaha advokasi kasus Udin. “Mereka datang ke sini mewawancarai kami. Kami tidak mengajukan proposal atau apapun,” tambah Bambang. Ia menekankan bahwa keterlibatan TIFA adalah atas inisiatif mereka sendiri. Itu sekaligus membuktikan sebuah hal. Pengawalan kasus Udin tetap murni. Terbebas dari kepentingan politik praktis maupun ekonomi apapun. Agar kasus Udin tetap diingat publik, AJI sendiri telah menjadikan nama Udin sebagai nama
20
P R AN AL A EDI S I 5 , S EP T E M B E R -OK T OB E R 201 5
“Udin telah menjadi sorotan dunia,” penghargaan dengan nama “Udin Award”. Penghargaan ini diberikan kepada jurnalis yang menjadi korban kekerasan, karena berkomitmen pada penegakan pers. Selain itu, Bambang dan rekan-rekan tengah mendorong agar Udin dijadikan sebagai pahlawan bagi dunia jurnalistik. Salah satu caranya adalah dengan menjadikan namanya sebagai nama jalan. AJI juga telah berdiskusi dengan sejumlah akademisi untuk mendorong Udin menjadi pahlawan pers. Terkait dengan dunia akademik, kasus ini telah melahirkan sejumlah tulisan ilmiah; baik dalam bentuk skripsi, tesis, maupun desertasi. Sudah banyak mahasiswa yang datang menemui AJI untuk melakukan riset. Sejumlah buku juga telah membahasnya, seperti Terbunuhnya Udin oleh Bonaventura dan Heru Hendratmoko. Pada 2004, sebuah buku dalam Bahasa Inggris telah ditulis oleh seorang wartawan Asiaweek, Joel Manuel Tesoro. Dengan gaya narative journalism, buku dengan judul The Invisible Place terbitan Equinox Publishing itu menceritakan detail kasus yang menimpa Udin. Meski demikian, terkait perhatian dunia akademik, Bambang sedikit menyayangkan para akademisi dari kampus-kampus di Yogyakarta. Belum ada pusat studi yang mau melakukan riset secara serius terkait kasus Udin. “Perhatian kampus dan akademisi Jogja sangat lemah. Padahal itu sangat penting,” keluhnya.
WAWANCARA
Wawancara dengan Vani dan Greg Sindana
NO
LEADER,
JUST
TOGETHER
Oleh: Kelik Sugiarto
P RANALA EDISI 5 , SEP TEMBER- OKTOBER 20 15
21
Apa latar belakang munculnya komunitas ketjilbergerak? Berawal dari kegelisahan kita tentang masalah pendidikan. Kebetulan latar belakang kita dari pendidikan. Saat kuliah dulu, kok sepertinya kita nggak mendapat apa-apa. Sebagai calon guru waktu PPL, kok dikon (diajak-red) jaim (jaga image-red), muncul kesan eksklusif. Teman-teman kita yang menjadi guru sekarang mengajar muridnya malah menjadi lebih eksklusif dan kemudian hanya mencetak orang sek muk kerjo (hanya bekerja-red). Padahal saat kuliah, ya tidak segitunya, seakan-akan sudah melewati semua pengalaman. Nah, dari situ kemudian kita berfikir sepertinya kita butuh platform pendidikan yang tidak eksklusif. Kemudian pada 2006 kita mencoba untuk bereksperimen dengan membuat zine.
Apa itu Zine? Zine itu sendiri adalah selebaran atau tulisan-tulisan dimana semua gagasan, fikiran, ide, kritik masuk di dalamnya. Dan kemudian zine itu kita beri nama ketjilbergerak. Apa yang menjadi gagasan kita lewat zine, kemudian kita perbanyak disebarkan ke kampus-kampus, ke ruang-ruang kesenian. Pada saat itu, metode komunikasi dalam zine, kan cuma satu arah. Kita nulis mereka baca. Selesai disitu. Kemudian tahun 2007 kita membuat forum diskusi yang cukup intens. Seminggu sekali, tentang kajian budaya, filsafat dan seni. Pesertanya cukup Greg Sindana
22
P R AN AL A EDI S I 5 , S EP T E M B E R -OK T OB E R 201 5
Foto Oleh: Gibbran Prathisara
WAWANCARA
WAWANCARA
beragam. Mulai anak-anak sejarah, filsafat, sastra Inggris, ekonomi dan seni. Setelah komunikasi dua arah yang intens ini tercapai pertanyaannya kemudian; terus arep ngopo (mau apa-red)? Artinya bagaimana mendistribusikan pengetahuanpengetahuan yang kita dapat ini ke orang banyak ? Apa yang kemudian dilakukan? Maka pada tahun 2008–2010, kita mencoba mengkomunikasikan gagasan dan pengetahuan yang kita dapat ini melalui seni.
bersama tetapi dengan kerangka seni. Bisa dikatakan ini seperti tambal sulam metode. Kalau kita hanya membuat terus, maka penonton selamanya hanya akan menjadi penonton tanpa pernah bisa terlibat. Anak-anak muda yang datang di acara-acatra ketjilbergerak pada tahun 2011 sudah cukup banyak dan mereka mendapat sesuatu tentu saja, tetapi tetep saja hanya sebagai penonton. Akhirnya tahun 2012, kita mengajak para pemuda untuk aktif memproduksi budayanya sendiri.
Mengapa memilih seni? Karena seni cair, seni itu membebaskan. Artinya ketika membicarakan hal-hal yang sensitif dengan seni, orangpun tidak akan masalah. Jadi selama 2 tahun kita banyak melakukan pameran seni dan musik dengan menyampaikan apa yang kita diskusikan. Selama 2 tahun kita bereksperimen dengan teman-teman seni aja, kita merasa; kok lama-lama seperti agak “garing” ya? Kemudian kita mengajak teman-teman lintas disiplin yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan seni. Kita mengajak guru TK, ahli linguistik, temen-temen aktivis Sidoarjo, mahasiswa Papua, tementemen filsafat. Kita berkumpul
Caranya bagaimana? Kita ajak anak-anak SMSR; “Ayo cah gawe mural” dan banyak kegiatan yang kita lakukan bersama anak-anak muda ini. Selain itu, peranan sosial media juga cukup besar dalam menjangkau partisipasi anak-anak muda ini. Kembali lagi di awal, bahwa basic kita itu di pendidikan, tapi kita menggunakan seni sebagai metode dan bekerja di intervensi kultural, dan kita bekerja sama dengan anak-anak muda. Misalkan, apa yang bisa kita bantu dari sebuah kampung? Masalah apa yang dihadapi para pemuda disana? Apa yang bisa kita bantu? Ayo kita rembug (diskusikan-red) barengbareng. Nah, dari situlah kita masuk.
Seperti yang saya bilang tadi, seni itu cair, membebaskan dan eksperimental. Dan kita bekerja dengan anak-anak muda yang tentu saja energinya sangat luar biasa. Kegiatan apa yang sering dilakukan? Di komunitas ini kita ada 2 kegiatan. Seni untuk masyarakat dan seni bersama masyarakat. Salah satu yang kita lakukan untuk masyarakat adalah kita membuat kelas melamun. Namanya saja kelas melamun; mereka bebas ngelamun, tidak seperti kelas-kelas formal, kelas ini sangat informal. Kita mengajak teman-teman ini untuk datang ke tokoh-tokoh atau para seniman atau dengan siapa saja yang ingin mereka temui. Setelah ketemu kita ngobrol. Kita minta anak-anak untuk bertanya. Apapun pertanyaan yang ingin diajukan. Kelas ini kita mulai pada 2013, dimana kita membuat kelas multiculturalism. Setelah kita tanya mereka; temen-temen ingin ketemu siapa? Mereka bilang pengen ketemu Presiden Street-art Indonesia. Kemudian kita datang ke rumah Om Sam (Samuel Indratma), kemudian ketemu Romo Sindhu, Paring Padi dan tokoh-tokoh lain. Siapapun bisa ikut serta dalam kegiatan tersebut. Kemudian kita
P RANALA EDISI 5 , SEP TEMBER- OKTOBER 2 0 15
23
WAWANCARA
“Berbeda juga punya kelas melamun khusus seperti pendidikan politik untuk pemilih pemula. Pada waktu itu banyak yang tanya; “Nyoblos, ki piye, to mbak” ? “Nek aku ra nyoblos, oleh ra?” Kemudian kita juga punya kelas melamun edisi kepercayaan. Disini kita datang ke kepercayaankepercayaan selain yang 6 agama. Kita datang ke aliran kejawen Sapto Darmo. Ketemu pemimpinnya. Artinya ini tentang keberbedaan. Anak muda sekarang tidak percaya pada narasi-narasi besar dan itu menarik. Ada yang nggak percaya dengan agama. Dan itu nyata ada di ketjilbergerak ini. Kemudian kita juga ada kelas melamun edisi filsafat “Berkenalan dengan Marx”. Kelas ini ramai sekali dan kita posting di FB dan di share oleh jurnal Indoprogress. Nah yang menarik, 10 hari kemudian facebook dari ketjilbergerak ilang, kita tidak bisa log in, disable. Itu terjadi tahun 2014 kemarin. Padahal followers kita sudah sangat banyak, setiap posting kegiatan itu yang nge-like sampai ratusan. Dan itu tiba-tiba hilang. Tapi itu menarik, karena menggantungkan media orang lain itu juga bukan tanpa resiko.
24
P R AN AL A EDI S I 5 , S EP T E M B E R -OK T OB E R 201 5
Itu
Apa yang bisa diambil pelajaran dari hilangnya akun itu? Insiden hilangnya akun facebook itu kemudian lahirlah divisi musik. Selain kelas melamun, tadi kita juga ada kelas Ben Prigel. Dalam kelas ini kita mengolah materi. Misalnya anak-anak pengen bikin apa? Bikin sablon, bikin patung, bikin batik. Atau ada yang tidak suka seni, inginnya menulis. Ya, kita buat workshop jurnalisme dasar, atau juga fotografi. Bagaimana dengan organisasi dari komunitas ini? Di ketjilbergerak itu tidak ada pemimpin, kita tidak ada struktur organisasi. No Leader Just Together. Dan kita juga tidak pernah kerjasama dengan founding. Hampir 50 program yang kita laksanakan sejak 2008 sampai sekarang tidak sekalipun kita dibiayai oleh founding. Apalagi sampai bikin proposal terus ditawarkan ke NGO-NGO yang lain. Belum pernah sama sekali. Kita terus berusaha untuk selalu berdikari dengan jualan kaos, merchandise, dan juga kolektif. Kita juga pernah mengadakan kegiatan di Pasar Glagah yang lokasinya persis di tengah-tengah antara penambangan
Biasa” pasir besi dan bandara yang akan dibangun. Banyak bendera, spanduk yang menyuarakan penolakan pembangunan bandara. Tujuan kegiatan kita disana adalah nguriuri (melestarikan) pasar tradisional yang ada disana. Sebab kalau pasir besi dan bandara itu benar-benar beroperasi, maka pasar tradisional pasti akan terpinggirkan dan akan hilang pada sendirinya. Yogyakarta menyimpan masalah yang bisa menjadi potensi konflik. Hotel dan pusat perbelanjaan menjamur. Penambangan pasir besi dan rencana pembangunan bandara di Kulon Progo belum menemui titik temu. Belum lagi masalah intoleransi yang meningkat. Bagaimana komunitas ini menyikapinya? Sebenarnya sudah sejak dulu kita melakukan protes terkait masalah-masalah sosial di Yogyakarta. Untuk masalah keberagaman pada tahun 2014 kemarin, kita membuat program “Berbeda Itu Biasa”. Kegiatannya, kita ajak mereka yang muslim berkunjung ke gereja atau ke penganut kepercayaan. Hal ini untuk menunjukkan bahwa berbeda itu biasa. Berbeda adalah sebuah keniscayaan. Sehingga dengan siapapun, apapun itu agamanya, kita bisa bekerja bareng. Kemudian masalah ruwetnya pembangunan ke depan, kita akan semakin konsisten untuk melakukan kerja bareng dari hal yang kecil-kecil. Kita temani
WAWANCARA
Foto Oleh: Gibbran Prathisara
mereka; para pemuda dari kampung ke kampung, dari desa ke desa. Kita membangun ruang publik bersama warga. Medianya bisa beragam. Misalkan dengan berkebun. Ketika komunitas ini bergerak bersama warga untuk menciptakan ruang-ruang publik, pernahkah muncul ancaman dari pihak lain yang merasa kepentingannya terganggu? Karena munculnya ruang publik pasti bersinggungan dengan kepemilikan modal? Ya, pernah terjadi gesekan dengan intel dan preman di daerah Gondolayu, terkait masalah hotel. Saat itu kita akan membuat video klip. Awalnya kita akan buat di Gondolayu Lor, yang satu RT sudah dihancurkan rumahnya untuk dijadikan hotel. Waktu itu kita ketemu Mas Tunggul, yang menawarkan agar pembuatan video klip dilakukan disitu. Sekaligus untuk mengadvokasi dan lewat video klip tadi masyarakat bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi di Gondolayu Lor. Lima hari sebelum pembuatan video klip, kita mendapat ancaman dari gentho-gentho (preman-red) di situ sama Polisi. Mereka bilang tidak akan menjamin keamanan. Kalau terjadi apa-apa tanggung sendiri, karena kegiatan kita selalu identik dengan orang banyak. Akhirnya kita bicara dengan banyak orang dan acara di Gondolayu dibatalkan. Tapi pembuatan video klip tetap harus dilakukan, karena kita juga sudah kerjasama dengan X-CODE. Saat itu akhirnya kita buat di pinggir kali, di sebuah tempat yang kita bangun menjadi urban play ground di deket hotel Purosani. Kembali ke awal tadi, gerakan perlawanan kita memang menggunakan seni, salah satunya dengan musik yang lebih cair. Jadi kita melengkapi teman-teman yang melakukan perlawanan dengan demonstrasi secara frontal. Kita hanya mengarahkan anak-anak muda ini untuk menjadi lebih
kritis, kreatif, berani bicara atau dalam Bahasa Jawa, kita ngajari anak-anak muda ini “Sembodo”. Bagaimana ke depannya apabila komunitas ketjilbergerak ini tidak didampingi oleh anda berdua? Apakah akan tetap jalan? Mengingat disini tidak menggunakan support dari founding manapun? Saya rasa akan tetap bisa berjalan. Karena disini tidak ada pemimpin, tidak tergantung pada salah satu atau beberapa orang saja. Dan yang paling penting komunikasi antara kita dengan teman-teman muda ini selalu terus terjaga. Teman-teman kita sekarang terpencar; ada yang di Kalimantan, Sumatra, bahkan teman kita yang di Papua sekarang juga sudah merintis komunitas ketjilbergerak ini disana. Kita selalu komunikasi baik lewat email atau sosial media. Kalau ada masalah disana solusinya bagaimana, kegiatan apa yang bisa dilakukan dengan melihat latar belakang masyarakat disana. Intinya komunikasi selalu kita jalin. Vani
P RANALA EDISI 5 , SEP TEMBER- OKTOBER 2 0 15
25
TOKOH
Aktivis Jalanan Oleh: Prayudha Maghriby
yang Cinta
Keluarga 26
P R AN AL A EDI S I 5 , S EP T E M B E R -OK T OB E R 201 5
TOKOH
Hari-hari ini masyarakat Jogja mulai resah dengan dinamika ruang kotanya. Hotel-hotel dibangun menjulang secara hampir bersamaan. Ada ketakutan jika pembangunannya yang berlebihan akan berdampak buruk. Dari sisi lingkungan, konsumsi air tanah oleh hotel ditakutkan bisa merusak ketersediaan air bersih bagi warga. Muncul kemudian gerakan “Jogja Asat” sebagai respon atas kondisi itu. Di sisi lain, pembangunan hotel modern ditakutkan akan menggerus sisi-sisi kebudayaan kota. Ada beberapa situs cagar budaya yang akhirnya digusur demi menyediakan lahan bagi pembangunan hotel. Masyarakat kemudian menyuarakan ketidaksepakatannya dalam gerakan “Jogja Ora Didol”.
Gerakan warga itu cukup santer terdengar. Dari kampanye di media sosial hingga jalur hukum, semua dilakukan untuk membendung kekuatan korporasi pengembang hotel. Adalah Dodok Putra Bangsa ─seorang aktivis kawakan─ yang menjadi salah satu penggiat gerakan tersebut. Di banyak kesempatan, sosok gondrong dan bertato itu kerap mengenakan kaus bertuliskan “Jogja Ora Didol”. Sejatinya, kiprah Dodok dalam dunia aktivisme telah dimulai sejak belasan tahun lalu. Sekitar tahun 1994, Dodok remaja sudah banyak bergaul dengan sejumlah aktivis di Jogja. Ia memang besar di jalanan. Sedari kecil, Dodok sudah ngamen di Malioboro. Malioboro sendiri kala itu menjadi semacam titik pertemuan banyak aktivis, sastrawan, dan seniman. Dodok bersinggungan dengan banyak gerakan yang kelak akan melahirkan reformasi 1998. Kala itu gerakan sosial banyak digawangi oleh kelompok mahasiswa. “Masa cuma mahasiswa, sih,” ujar Dodok, melihat jika masyarakat jalanan juga punya kewajiban sama untuk menyuarakan perubahan. Dia lantas mulai melakukan konsolidasi pada masyarakat jalanan. Ia mendirikan semacam sanggar. Sebagian besar anggotanya adalah para musisi jalanan. Bersama sesama masyarakat jalanan, Dodok mulai
melakukan advokasi pada isu seputar kaum miskin kota. Ia pun mulai membuka jaringan ke berbagai kota. Dalam wadah Gerakan Kaum Jalanan Nasional (GKJM), Dodok setidaknya telah merangkul masyarakat jalanan di DIY, Semarang, Jakarta, Surabaya, Makasar, Lampung, dan berbagai kota lainnya. “Kalau jawa hampir semua menguasai,” katanya. Untuk memperkuat gerakan, Dodok juga membuka jaringan pada aliansi-aliansi gerakan yang diantaranya juga digawangi oleh TABAH, FMN, LMND, serta LBH. Pada 2002, Dodok dipertemukan dengan Wardah Hafidz, seorang aktivis dan peneliti dalam isu kaum miskin kota. Wardah adalah salah satu sosok yang membantu Dodok membangun jaringannya. Salah satu advokasi yang dilakukan adalah agar masyarakat jalanan bisa memiliki KTP. Masyarakat jalanan dianggap marjinal, sehingga tidak bisa mendapat hak kewarganegaraan yang dibuktikan dengan KTP. Sedari 1998, Dodok bersama GKJM menuntut pemerintah untuk memberikan KTP pada masyarakat jalanan. Hampir setiap minggu sekali mereka melakukan aksi. Barulah pada 2003, secara resmi, masyarakat jalanan berhak memiliki KTP. Untuk menghidupi sanggar di Jogja, Dodok bersama rekan-rekannya menyisihkan uang hasil mengamennya. P RANALA EDISI 5 , SEP TEMBER- OKTOBER 2 0 15
27
PROFIL
Dodok, penggagas gerakan "jogjaoradidol".
“Setiap pagi Sunday Morning ngamen. Tiap mau ada event kita bikin kerajinan. Bikin kartu ucapan,” ujar pria kelahiran 1977 silam ini. Uang yang terkumpul digunakan untuk membiayai keperluan advokasi. Tiap Selasa malam mereka mengadakan pertemuan rutin. “Jadi kalau malam Selasa mereka (anak-anak jelanan) prei leh mabok. Lumayan dua jam. Habis itu terserah,” canda Dodok. Sosok jenaka itu ingin sedikit memperbaiki citra anak jalanan yang suka mabuk-mabukan dan ugalugalan. Tidak dengan merubahnya, tetapi dengan mengarahkannya untuk memiliki kepedulian sosial. **** Suatu siang di tahun 2012, Dodok mampir ke sebuah warung kopi. Ia memesan segelas kopi hitam. Sembari menghisap kretek, Dodok mendengarkan pembicaraan antar sesama pengunjung warung soal kasus lumpur Lapindo. Awalnya Dodok ingin ikut serta berbincang soal kejadian yang ditetapkan pemerintah sebagai bencana nasional itu. Belum juga ia memulai, seseorang menanyakan kartu pengenal Dodok. Ia 28
P R AN AL A EDI S I 5 , S EPT E M B E R -OK T OB E R 201 5
menjawab jika ia dari kelompok Korban Lumpur Menggugat (KLM). Penanya itu tak puas. Ia meminta Dodok menujukan kartu anggotanya. “Ya pasti saya ndak punya kartu. Kantor saja kita nggak punya,” kenangnya. Ia lantas diusir dari warung. Dodok bersama KLM saat itu tengah dalam upaya pemetaan untuk advokasi korban lumpur. Kasus Lapindo ia akui sangat rumit. Terlalu banyak pihak yang bermain dan berkepentingan. “Itu advokasi paling keren,” ucap Dodok saat berkisah soal pengalamannya di Sidoarjo. KLM sendiri lebih berfokus di wilayah Kali Dawir. Ini karena untuk kasus di Porong sudah terlalu banyak pihak yang bermain. Lumpur Lapindo sejatinya adalah hasil kecelakaan dari satu titik eksplorasi. Padahal, masih begitu banyak titik pengeboran dengan risiko sama di sekitaran Porong. Di Kali Dawir sendiri tercatat 58 titik pengeboran. “Tapi kan bom waktu. Setiap saat bisa meledak,” tegasnya.
TOKOH Melalu berbagai cara, Dodok dan KLM mengedukasi warga Kali Dawir untuk kritis terhadap eksplorasi yang ada. Ada model konsolidasi dengan model pengajian. KLM juga mengajak warga menonton film dokumenter soal kerawanan kecelakaan eksplorasi di wilayahnya. Dampak yang timbul bisa saja lebih dahsyat dari sumur di Porong. Warga akhirnya tergerak. Mereka melakukan sejumlah aksi penolakan eksplorasi. Puncaknya, pada Mei 2012, KLM bersama warga melakukan istighozah di jalan raya Porong. Aktivitas itu diikuiti oleh ratusan warga. Dodok mensiasati itu sebagai cara menekan pemerintah untuk memenuhi tuntutan warga. Jalan raya dan rel kereta api diblokir. Bupati terpaksa menemui warga dan akhirnya menyetujui sejumlah tuntutan. Dodok mampu mengkonsolidasikan aksi semacam itu karena dia telah sangat terlatih. Dia hafal dan paham teori-teori pergerakan sosial sefasih para akademisi di kampus. Pada suatu kesempatan semisal, Dodok tak kalah lihai dengan dosen geologi UGM dalam berdebat soal dampak pembangunan hotel terhadap ketersediaan air tanah. “Tidak usah ada pumping test. Siapa yang bisa menjamin itu tidak merusak lapisan kedap air,” debatnya.
Pumping test adalah uji debet air tanah. Akademisi di belakang pengembang hotel beralasan jika air yang akan dipakai dari lapisan bawah. Itu berbeda dengan dengan sumber air sumur warga. Namun demikian, Dodok melihat tidak ada jaminan bahwa hotel tidak akan mengganggu ketersediaan air tanah bagi warga. Tidak hanya melalui aksi demonstrasi, Dodok juga paham betul soal advokasi melalui ranah hukum. Kini ia menjadi salah satu penggagas tuntutan atas penggusuran cagar budaya. Setelah di gusur, lokasi itu akan dibangun sebuah hotel. Ia pula pernah meminta Balai Lingkungan Hidup (BLH) Jogja terkait izin Amdal yang begitu mudah diberikan pada pembangunan hotel. Belum juga Dodok melakukan tuntutan hukum, Kepala BLH saat itu terlebih dahulu menjadi tersangka kasus korupsi. “Malah ngandang ndisit. Tapi karena kasus lain,” canda Dodok menuai tawa. Soal menjamurnya hotel di Jogja, Dodok paham betul jika ada keterkaitannya dengan politik. Dia pribadi ingin agar pemerintah bisa bijak soal hotel. Pernah terbersit di benak Dodok untuk membuat semacam kontrak politik terhadap seluruh calon Wali Kota Jogja dan Calon Bupati Sleman untuk Pilkada
Tidak hanya melalui aksi demonstrasi, Dodok juga paham betul soal advokasi melalui ranah hukum. Dodok sedang beristirahat di bengkel tambal ban miliknya.
P RANALA EDISI 5 , SEP TEMBER- OKTOBER 20 15
29
TOKOH depan. Namun, ia belum melihat ada calon yang berani berjanji untuk serius menangani pembangunan hotel yang sudah seperti wabah saat ini. Selain sangat memahami model advokasi melalui aksi masa, tuntutan hukum, dan jalur politik, Dodok juga telah tertempa mentalnya untuk tidak takut pada bentuk tekanan apapun. Pernah suatu saat ada audiensi antara warga Miliran Yogyakarta dengan Pemkot serta pengusaha hotel. Di anatara mereka, ada banyak intel dengan pistol lengkap. “Nggak usah berdiri Pak (Babinsa TNI). Kami tidak takut. Harusnya Anda di sini dengan kami. Bukan dengan pengusaha,” teriak lantang Dodok pada acara tersebut. Tindakan itu bukan tanpa alasan. Sejumlah aparat sengaja datang dengan membawa serta pistol. Jika dia tidak menunjukan keberaniannya, warga bisa saja menjadi takut. “Wong celana kalian (aparat keamanaan) itu yang bayari kami, kok. Kami itu bos kalian,” tukas Dodok kembali memicu tawa. **** September kemarin, Dodok diminta menjadi salah satu pembicara pada sebuah diskusi Magister Administrasi Publik UGM terkait persoalan agraria. Ia dipanelkan dengan dosen STIP Jogjakarta. Di akhir diskusi, Dodok langsung bergegas pulang. Ia memohon maaf tidak bisa banyak berbincang dengan sejumlah wartawan dan rekan sesama aktivis. “Kalau urusan anak itu susah, je. Aku harus pulang,” ucap Dodok pada rekan-rekannya. Ia mesti menjemput anak tunggalnya yang baru duduk di kelas empat SD. Sejak aktif dalam sejumlah aksi advokasi, Dodok ibaratnya bak musafir. Dia berpindah dari kota ke kota untuk melakukan konsolidasi dan aksi. Itu ia lakoni sejak berusia belasan. Namun demikian, ia tetaplah manusia biasa. Ia jatuh cinta pada seorang gadis. Dahulu Dodok pernah tergabung dalam sebuah band. Band itu cukup punya fans. Salah seorang
30
P R AN AL A EDI S I 5 , S EP T E M B E R -OK T OB E R 201 5
fans wanita akhirnya meluluhkan hati pria gondrong, berbadan besar, dan bertato ini. Mereka menikah dan kini telah memiliki seorang anak lelaki. Baginya, keluarga adalah segalanya. Hingga saat ini, Dodok masih kerap hijrah dari satu kota ke kota lainnya. Dulu, saat masih membujang, ia bisa bebas pulang ke Jogja kapanpun. Kini, ia mesti pandai membagi waktu dengan keluarga kecilnya. Ia pasti menjadwalkan pulang di sela-sela aktivitasnya membela kaum miskin kota. “Kalau ada waktu, kadang nggak ada uang. Kalau ada uang, kadang nggak ada waktu,” kata Dodok sembari mengamati rekannya di bengkel tambal ban miliknya. Rekan-rekannya adalah anak jalanan yang ia minta untuk membantu usahanya. “Tapi saya pasti pulang,” tukasnya sembari mengikat kembali rambut gondrongnya.
#TAGAR Langsung
Akun
Foto
Video
Pilihan Lainnya >
Populer
SURAT PEMBACA
#JogjaOraDidol Oleh: Prayudha Maghriby Maraknya pembangunan hotel di Kota Jogjakarta banyak menuai sorotan. Banyak pihak menilai pembangunan itu sudah berlebihan dan bisa mengancam keseimbangan ekosistem. Surutnya air tanah menjadi hal yang paling dikhawatirkan warga. Lebih lagi mencemaskan karena ditengarai investor rata-rata berasal dari luar jogja. Kritik terhadap maraknya pembangunan hotel menggema hingga sosial media. Banyak netizen berkicau dengan menggunakan #JogjaOraDidiol (Jogja tidak dijual) melalui twitter. Berikut adalah suara hati para pengguna sosial media soal Jogja. Pemilik akun @maz_boy13 mengkhawatirkan masa depan kota Jogja atas maraknya pembangunan hotel. “Pembangunan Hotel2 yg kian menjamur di Jogja. Mau jadi apa besok kelak? #JogjaAsat #JogjaOraDiDol,” ujarnya pada 17 September. Sekitar dua tahun ini proyek hotel memang seperti cendawan di musim hujan. Hal itu ditakutkan bisa mengurangi keistimewaan Kota Jogja. “Jogja Istimewa!! Hotelnya? #jogjaoradidol saknoe eman ilo :’3,” ujar pemilik akun @Jhejeliia7997 pada 2 Oktober 2015. Banyak netizen yang kemudian berpendapat dengan nada sarkastik yang jenaka. Akun @ersyarwd pada 4 Oktober 2015 semisal mengatakan, “Dimana Tugu Jogja? Mungkin sudah lenyap dimakan hotel.. #JOGJAORADIDOL.” Ucapan itu rupanya bukan kiasan semata. Wilayah seputaran Tugu Jogja memang menjadi salah satu tempat yang diincar pengembang hotel. Padahal, wilayah itu banyak memiliki cagar budaya. “Ini tugunya yg semakin mengecil, atau gedungnya yg semakin meninggi... #JOGJAORADIDOL,” tambah Fitria Wulan Agustin melalui akun @phiya_agustin.
P RANALA EDISI 5 , SEP TEMBER- OKTOBER 20 15
31
SURAT PEMBACA Langsung
Akun
Foto
Video
Pilihan Lainnya
Semua itu tentunya mengurangi nilai keindahan Kota Jogja yang selama ini menjadi jualan utama kota gudeg ini. Akun @ayiebhasketibz pada 6 Oktober semisal menulis, “Indahnya jogja yang semakin tergerus pembangunan...... . . . . . #jogjaoradidol #jogjaku #jogja…”
Selain sebagai ruang publik, pepohonan bisa menjaga kecukupan air tanah di Jogja. Terdapat pula nietzen yang menghubungkan peningkatan suhu Kota Jogja dengan pembangunan hotel.
Sisi budaya dan sejarah adalah ikon utama Kota Jogja. Jika pembangunan hotel terus dilakukan dengan membabi-buta, ditakutkan karakter itu bisa hilang.
“Jogja panas karena banyak hotelnya #jogjaoradidol,” tulis akun @Ikhsanpp pada 22 September silam.
“#Jogjaoradidol kisah kenangan yg dulunya asri sekarang #BerhentiNyaman,” kata Aji Setyaji melalui akun @ajisetyaji_aja pada 2 Oktober 2015.
Pihak yang disoroti dalam persoalan ini adalah pemerintah, dalam hal ini Pemkot Jogja. Pemkot dinilai tidak cakap dalam merancang strategi pembangunan dan pengembangan kota.
Ada ketakutan bahwa Jogja tengah masuk menjadi kota metropolitan. Padahal, karakter metropolitan dengan Jogja sangat berbeda. Ridzky Prasetyo melalui akun @Kiky_shunK pada 2 Oktober semisal menulis, “Jangan Jakartakan jogja #JogjaOraDidol.” Ketika berubah menjadi kota metropolitan, secara otomatis kultur masyarakat Jogja pula akan berubah. “Jangan Hilangkan “JOG” Dari JOG-jakarta !! #JogjaOraDidol,” ujar pemilik akun @ErrorNamed pada 11 September silam. Anggi Nurhidayat mengingatkan agar Jogja tidak terjebak pada dampak buruk arus modernisasi. “Semoga akan tetap bersahaja dan istimewa walau arus mordernisasi terus menghantui...’ ujarnya melalui akun @martongging pada 7 September 2015. Dari sisi lingkungan, pembangunan hotel yang tak terkendali dikhawatirkan bisa merusak lingkuangan. Operasional hotel membutuhkan banyak air tanah. Jumlah hotel berbanding lurus dengan kebutuhan air bersih. Karena hotel menggunakan sumur pompa yang lebih baik, sumur wargalah yang akan menjadi korban. Terkait itu, pemilik akun @Rehan_dnc pada 29 September mengatakan, “Kapan tanam pohon? Jangan hanya menanam beton! #jogjaoradidol #antitankproject.” Menurutnya, yang dibutuhkan Jogja adalah lebih banyak ruang terbuka hijau.
32
P R AN AL A EDI S I 5 , S EP T E M B E R -OK T OB E R 201 5
Warga Yogya Berdaya melaui akun @ wargaberdaya semisal berpendapat, “0 KM #Jogja: proyek tambal sulam atas nama keindahan. Gk ada perencanaan utuh. Anggaran jd bancakan #JogjaOraDidol.” Baginya, proyek-proyek pembangunan yang terkesan serampangan bisa jadi merupakan ulah para pemburu rente. Warga berharap ada kemauan politis dari Wali Kota dan jajarannya untuk mengendaliki pembangunan hotel. “Weleh, pantesan tadi pak walikota senyam senyum ra jelas di pembukaan fky kota. bul ono stand hotel.. LOL tenan. #jogjaoradidol #har,” tukas Danar melalui akun @danaretropolis pada 1 September 2015 silam.
>
Populer
#TAGAR #TAGAR
RESENSI
RUANG IMAN DAN NALAR Oleh: Marlutfi Yoandinas
Judul : Agama Dalam Ruang Publik: Hubungan antara Agama dan Negara dalam Masyarakat Postsekuler Menurut Jurgen Habermas Penulis : Gusti A. B. Menoh Tahun Terbit : 18-05-2015 Halaman : 232 Dimensi : 148x210mm Penerbit : Kanisius
P RANALA EDISI 5 , SEP TEMBER- OKTOBER 20 15
33
RESENSI Membincang ketegangan antara agama dan negara setidaknya ada tiga hal. Pertama, mengenai hubungan antara warga yang beriman dan yang sekuler. Kedua, antara pemeluk satu agama dengan pemeluk agama lain. Ketiga, antara kelompokkelompok agama dan negara. Buku berjudul “Agama Dalam Ruang Publik: Hubungan antara Agama dan Negara dalam Masyarakat Postsekuler Menurut Jurgen Habermas” ini lebih memfokuskan pada pemaparan yang ketiga. Berdasarkan prinsip bahwa posisi agama dan negara haruslah terpisah dalam sebuah ruang publik yang politis. Agama dituntut untuk lebih terbuka atas dasar keadilan dan memiliki nilai rasional. Keadilan dalam arti terbukanya ruang partisipasi dan secara rasional dapat mendorong terciptanya kebenaran bersama. Sedangkan negara dituntut untuk tetap mempertahankan netralitasnya atas dasar rasio akal budi dalam ranah proses legislasi hukum. Berpegang teguh pada konstitusi, berdiri di atas kepentingan bersama, dan terus merumuskan suatu justifikasi hukum yang berkeadilan. Konsep ideal yang ditelurkan oleh Habermas mengenai hubungan agama dan negara dalam ruang publik diilhami oleh keberadaan masyarakat postsekuler. Suatu masyarakat yang terus-menerus melakukan proses komunikasi, saling belajar, dan memahami arti sebuah perbedaan. Baik perbedaan antara masyarakat religius dan sekuler, atau antar masyarakat dari agamaagama yang berbeda.
34
P R AN AL A EDI S I 5 , S EPT E M B E R -OK T OB E R 201 5
Demokrasi Deliberatif Tawaran Habermas guna tercapainya konsep ideal tersebut adalah melalui demokrasi deliberatif. Melampaui paham demokrasi liberal dan republikan yang bersifat ekstrem. Liberalisme yang cenderung menempatkan kebebasan individu lebih utama daripada negara. Sehingga negara hanya berlaku layaknya “simbol” yang tidak seberapa signifikan peranannya. Begitu juga republikanisme yang mengutamakan kedaulatan rakyat, memprioritaskan kesamaan, dan cenderung menggunakan mayoritas suara rakyat sebagai penopang legitimasi kekuasaan kelompok tertentu. Kondisi yang disyaratkan untuk mencapai demokrasi deliberatif dan berkeadilan dalam masyarakat diperlukan tiga hal. Pertama, inklusif, yaitu terbukanya aliran informasi yang relevan dan tidak terhalangi, sehingga tercipta sebuah partisipasi. Kedua, tidak ada unsur paksaan, bebas berpartisipasi, tanpa dominasi, atau merasa diintimidasi. Ketiga, terbuka dan simetris, setiap partisipan dapat menginisiasi, melanjutkan, dan mempertanyakan topik-topik yang relevan. Proses tersebut dapat terlaksana dengan baik ketika semua pihak saling memperlakukan sesama sebagai partner yang setara. Serta adanya legitimasi berupa kebebasan dan keseteraan proses komunikasi politis dalam ruang publik. Ruang publik menurut Habermas, “…haruslah dapat menyuarakan masalah-masalah yang ada, tetapi bukan hanya mendeteksi atau mengidentifikasi, melainkan juga harus dengan keyakinan dapat menawarkan solusi-solusi.” Oleh karena itu, ruang publik harusnya bebas dan kritis, serta netral dari beragam intervensi kekuasaan politik (penguasa) maupun ekonomi (kapitalisme).
RESENSI Perubahan Pandangan Pemikiran Habermas tentang agama mengalami tiga lompatan besar. Pada tahap awal, Ia memandang agama sebagai bagian dari Lebenswelt yang harus dilampaui. Menekankan pada tuntutan rasionalitas pada masyarakat beragama agar melampaui pandangan yang memutlakkan penilaian moralnya dalam kehidupan bernegara. Sehingga agama perlu diprivatisasi. Tahap kedua, agama dipandang sebagai bagian dari good life yang perlu diperhitungkan oleh liberalisme politik. Mengafirmasi pentingnya agama sebagai kemajemukan pedoman hidup yang perlu diapresiasi oleh negara. Tahap akhir, pada fase Habermas di usia senja, memandang agama sebagai sistem
pengetahuan yang berhadapan langsung dengan sekularitas. Mengusung ide “kepublikan” bahwa agama tidak bisa dibatasi dalam sebuah ruang privat. Diperlukan suatu gerakan partisipatif agar masyarakat beragama dan sekuler bisa saling belajar. Proses saling belajar antara masyarakat beragama dan sekuler dalam konteks bernegara dapat dikatakan berhasil apabila antar masyarakat beragama saling menghubungkan keyakinan-keyakinannya secara reflektif, tanpa mengorbankan kebenaran dan keyakinan imannya. Selanjutnya, masyarakat beragama perlu belajar untuk merumuskan hubungan antara isi ajarannya dengan pe-
ngetahuan sekuler tanpa terjadi pertentangan di keduanya. Lalu, masyarakat beragama perlu memahami bahwa premis-premis dasar negara dilandaskan pada ranah hukum dan politis yang argumentasinya bersifat sekuler. Menurut Gusti A.B. Menoh, sebagai penulis buku ini, pada fase usia senja Habermas mulai sadar tentang pentingnya peran politis masyarakat penganut agama dalam kehidupan bernegara. Habermas pun mengakui bahwa dalam agama terdapat nilai-nilai rasional (kognitif ) dan kekuatan motivasi yang tidak ada dalam pandangan dunia yang profan.
Konteks Indonesia Indonesia dengan kompleksitas keragaman berupa struktur geografis, kebudayaan, dan keagamaan termasuk kategori negara majemuk. Namun, dibalik kompleksitasnya tetap dapat mewujudkan cita-cita mendirikan negara kesatuan republik Indonesia. Hal tersebut merupakan contoh konkrit pelaksanaan demokrasi deliberatif secara praxis berdasarkan pandangan Habermas. Terdapat kesadaran dalam diri para pendiri bangsa untuk mengelola ruang dialektis demi tercapainya sebuah cita-cita kebangsaan. Kemajemukan agamaagama di nusantara dikelola menjadi keyakinan religius bersama sehingga tercipta ciri beragama yang khas Indonesia. Wawasan keagamaan yang cenderung eksklusif dikembangkan menjadi inklusif dan transformatif dalam ruang publik secara politis.
Hal tersebut dapat dibuktikan dari data-data sejarah pendirian bangsa Indonesia. Saat penentuan dasar negara Pancasila dan UUD 1945 yang mengakui asas Ketuhanan di atas kepentingan kelompok-kelompok agama tertentu. Serta menjadikan religiusitas keagamaan sebagai solidaritas sosial dan persaudaraan universal antar umat manusia. Habermas menegaskan bahwa ciri masyarakat postsekuler cenderung memiliki kesadaran untuk saling menghargai satu sama lainnya. Masyarakat agama menjadi tidak lagi alergi pada perkembangan nalar, dan masyarakat nalar sekuler tidak lagi arogan dan meremehkan rasionalitas agama. Sesuai dengan endorsement yang ditulis oleh Buya Syafii Maarif, buku ini ditulis dalam upaya untuk mendamaikan antara iman dan nalar.
P RANALA EDISI 5 , SEP TEMBER- OKTOBER 20 15
35
WACANA
Oleh: Kamil Alfi Arifin
36
P R AN AL A EDI S I 5 , S EPT E M B E R -OK T OB E R 201 5
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Kajian Budaya dan Media UGM. Selain sibuk merampungkan tesisnya, sehari-hari ia juga mengelola media online dan bergiat di Majalah Pranala Pusham UII.
WACANA
Sebuah Awalan “Di sekitar halaman depan Universitas Gadjah Mada, wajah Ponang terlihat gelisah. Sesekali ia mengeluarkan handphone dari sakunya untuk mengecek waktu. Empat puluh lima menit sudah berlalu, dan Layli Fajriani, kekasihnya yang ditunggu, tak kunjung datang. Padahal, sebelumnya mereka berjanji untuk bertemu. Tiba-tiba handphone di sakunya berdering. Dilihatnya nomor si penelpon. Tak dikenal. Namun, ia angkat juga. “Apakah benar ini Mas Ponang?,” terdengar suara seorang laki-laki yang membuat dahinya berkerut. “Benar, saya sendiri,” jawabnya. “Teman anda, Layli, mengalami kecelakaan dan sekarang tengah dirawat di RSUD Sleman.” Saat remaja berusia 20 tahun itu mengecek keadaan kekasihnya, hampir-hampir ia tidak mengenali. Pasalnya, pipi sebelah kanan Layli membengkak. Dagunya dibalut perban yang penuh bercak darah. Ini menunjukkan luka akibat hantaman yang keras. Sesekali ia terlihat memuntahkan darah, tanda luka dalam. Beruntung, nyawa Layli masih bisa terselamatkan.1
Peristiwa di atas adalah potret tragis di jalan raya Yogyakarta. Tentu, banyak kisah “Layli-layli” lain yang mengalami hal serupa di luar sana, bahkan barangkali dengan kondisi yang lebih parah. Dalam beberapa waktu terakhir ini, jalan raya di Yogyakarta memang terlihat begitu semrawut. Jalan raya di Yogyakarta menjadi sebuah arena yang semakin menegaskan identitas manusia sebagai homo homini lupus, serigala yang memangsa sesamanya. Bagaimana tidak? Di jalan raya, orang-orang sudah tidak punya toleransi dan ingin menang sendiri. Karena alasan buru-buru, dikejar waktu, dan semacamnya, mereka menunjukkan perilaku sebagai pengguna jalan, dengan tak ubahnya seperti binatang dan kehilangan humanitasnya. Saling sikut, misuh-misuh, mencet klakson berulang-ulang, menerobos lampu Apill dan marka jalan adalah hal yang lumrah di jalan raya Yogyakarta.2 Harus diakui, berkendara di atas jalan raya di Yogyakarta saat ini beresiko. Ya, penuh resiko. Sebuah resiko yang tak kecil, karena taruhannya adalah nyawa. Masyarakat Yogyakarta, pada penilaian tertentu, bisa dianggap sebagai masyarakat beresiko. Yogyakarta, sekalipun masih terlihat mempertahankan sebagian tradisionalitasnya, tapi sudah menjadi modern da-
lam dirinya. Dan modernitas, dalam kerangka pikir Anthony Giddens dan Ulrich Beck, adalah kultur resiko. Maka tak berlebihan, jika masyarakat Yogyakarta, terlebih dalam konteks persoalan di jalan rayanya, disebut sebagai masyarakat beresiko yang membawa “petaka-petaka” dan “resiko-resiko” tertentu. Giddens dalam bukunya yang terkenal “The Consequences of Modernity” menjelaskan dan memerinci profil resiko dari modernitas. Di dalamnya, Giddens juga membicarakan tentang resiko kerusakan lingkungan dan upaya penanganannya.3 Tulisan ini akan fokus mengurai bagaimana persoalan jalan raya di Yogyakarta dalam terang perspektif Anthony Giddens dan Ulrich Beck, terlebih konsepsi keduanya mengenai masyarakat beresiko (the risk of society). Sejarah Jalan dan Awal Industrialialisasi Barangkali dengan sikap cynical, kita menganggap wajar adanya kondisi jalan raya di Yogyakarta begitu semrawut dan dipenuhi “kekerasan”, baik kekerasan fisik, psikis, maupun simbolik seperti ditegaskan di atas. Sebab, jika menengok kembali historisitas jalan, terlebih di Pulau Jawa, jalan memang dianggap awal dari sebuah modernisasi yang dibentuk di atas konsepsi kekerasan dan kolonialisme.4 Proyek
P RANALA EDISI 5 , SEP TEMBER- OKTOBER 20 15
37
WACANA
pembangunan jalan raya pos yang digelar oleh Deandels membuktikan hal itu. Sejak saat itu, “bayi” industrialisasi dirasakan mulai merangkak, membesar dan menggurita di Hindia Belanda, dengan diikuti terbentuknya konsumerisme dalam kehidupan masyarakat di waktu belakangan. Meski sebagian pihak menganggap bahwa pada mulanya Indonesia belum sepenuhnya siap dengan modernisasi dan industrialisasi. Tapi apapun itu, diakui tidak, modernisme tetap melaju di Indonesia sampai saat ini. Barangkali persis seperti dikemukakan Giddens, modernisme itu seperti “lokomotif yang berlari sangat kencang”, dan membawa banyak perubahan besar dalam kehidupan umat manusia di seluruh dunia. Dalam konteks persoalan di jalan, terlebih di jalan raya Yogyakarta, modernisasi dan industrialisasi yang terus melaju seolah tanpa banyak hambatan, mengakibatkan transformasi dalam pelbagai aspek kehidupan keseharian masyarakat. Yogyakarta sudah mengalami banyak perubahan. Jika dahulu, jalan-jalan raya di Yogyakarta masih dihiasi andong dan sepeda jadul di jalanan, misalnya, saat ini sudah berkurang digantikan alat angkut yang dianggap lebih modern: motor dan mobil. Jalan raya di Yogyakarta disesaki dan dipenuhi alat angkut modern itu. Motor dan mobil merayap, macet, dan tumpah-ruah di jalanan. Lihatlah, tubuh jalan raya di Yogyakarta semakin sesak dan sumpek dengan kemacetan yang panjang, nyaris hampir menyerupai Jakarta. Terlebih di beberapa titik, seperti perempatan Mirota Kampus, perempatan Condongcatur, jalan Gejayan, misalnya, dan lain sebagainya. Ini bukti bahwa modernisasi dan industrialisasi telah berhasil mengubah lanskap dan wajah Yogyakarta. Yogyakarta telah menjadi kota modern, meskipun tampak masih sok mempartahankan sebagian tradisionalitasnya untuk kepentingan pariwisata. Konsumerisme telah mendorong masyarakat secara massif untuk membeli motor dan mobil sebagai bagian produk dari industri modern. Produksi pun terus digiatkan secara gila-gilaan. Setiap tahun, muncul pelbagai jenis motor dan mobil baru yang terus merayu lewat iklan-iklan. Lagi-lagi ini mem-
38
P R AN AL A EDI S I 5 , S EPT E M B E R -OK T OB E R 201 5
buktikan keberhasilan modernisme yang memang menjanjikan kemudahan bagi umat manusia selain juga janji kesejahteraannya. Tapi modernisme, layaknya lokomotif yang berlari cepat memberikan perubahan dalam kehidupan umat manusia, dalam dirinya juga mengandung konsekuensi-konsekuensi resiko, persis seperti yang ditegaskan Giddens dan Beck. Masyarakat modern, yang menumpang lokomotif yang bergerak cepat itu, berada dalam sebuah lingkaran resiko yang juga besar. Konsekuensi ini, kata Gidden, disebabkan karena beberapa elemen yang keliru dalam desain besar modernisme dan kesalahan operator dan orang yang menjalankannya. Elemen-elemen yang keliru, yang dimaksud Giddens itu, barangkali adalah melemahnya segi-segi moral, seperti keangkuhan manusia sebagai subjek dan kerakusannya. Konsumerisme yang berlebihan, mengakibatkan kendaraan bermotor dan mobil melimpah di jalan raya, karena setiap orang berhasrat membeli dengan alasan untuk kemudahan mobilitas dalam kehidupan kesehariannya. Semantara ruas jalan di Yogyakarta sudah mulai tidak proporsional dengan jumlah kepadatan kendaraan bermotor. Data yang dilansir Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Yogyakarta menunjukkan bahwa jumlah kendaraan bermotor di Yogyakarta naik sekitar 14-15 persen dalam setiap tahunnya. Pada tahun 2009, jumlah kendaraan bermotor di Provinsi DIY (meliputi Kabupaten Sleman, Bantul, Gunung Kidul, Kulonprogro dan Kotamadya Yogyakarta) mencapai angka 1.059.974. Pada tahun 2013, jumlah angka kendaraan bermotor naik menjadi 1.396.967. Menurut Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset di Yogyakarta, dalam lima tahun terakhir, Kabupaten Sleman menjadi daerah dengan penambahan terbanyak dari segi jumlah kendaraan bermotor, yakni sebanyak 2.346.437.5 Luar biasa! Tak mengherankan. Bayangkan saja, setiap tahun Yogyakarta kedatangan “tamu” mahasiswa-mahasiswi baru di perguruan-perguruan tingginya. Yogyakarta sendiri konon memiliki kurang lebih 100 perguruan
WACANA
tinggi, baik yang negeri maupun swasta, yang besar maupun yang kecil. Jika satu perguruan tinggi saja, dalam setiap tahunnya menerima mahasiswa-mahasiswi baru dengan ribuan jumlahnya, maka berapa jumlah motor dan mobil yang akan bertambah di jalan raya Yogyakarta? Tinggal dihitung dan dikalikan saja. Ini belum lagi jumlah masyarakat pekerja di Yogyakarta, yang setiap tahunnya juga dianggap terus meningkat. Para pekerja itu bukan hanya orang Yogyakarta sendiri, melainkan juga pendatang dari luar Yogyakarta. Artinya, pertumbuhan penduduk di Yogyakarta mengalami ledakan yang begitu tinggi. Mahasiswa-mahasiswi baru dan masyarakat pekerja di Yogyakarta itu (meski barangkali tidak semua), adalah bagian dari masyarakat modern yang konsumtif. Dengan alasan kemudahan mobilitas dan gengsi sosial, mereka membeli dan menggunakan motor dan mobil. Lihat faktanya, di kampus-kampus, atau di tempat-tempat tongkrongan seperti di kafe dan restoran, mobil-mobil berjejer seperti showroom mobil. Mungkin kita juga bagian darinya. Tentu fenomena ini semakin menambah persoalan di jalan raya Yogyakarta menjadi sedemikian kompleks. Apalagi mengingat banyak jalan dengan kondisi rusak di Yogyakarta. Data PBS menunjukkan, hampir 20 persen jalan di Yogyakarta dalam kondisi rusak. Di dalam kondisi jalan yang seperti itu dan jumlah kepadatan kendaraan bermotor yang tinggi dan terus meningkat dari tahun ke tahun, membuat situasi jalan di Yogyakarta sering macet. Intinya, jalan raya di Yogyakarta sudah terasa tidak nyaman dan aman sekaligus. Dalam ketidaknyamanan dan ketidakamanan itu, dengan alasan keterpaksaan karena buru-buru ke kantor khas masyarakat modern, para pengguna jalan sering melanggar peraturan dan lalu lintas di jalan raya. Data dari Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukkan bahwa dalam 4 bulan terakhir, selama tahun 2010, tercatat lebih dari 15 ribu jumlah pelanggaran yang dilakukan para pengguna jalan. Masing-masing jumlahnya adalah Kodya Yogyakarta (3.653 kasus pelanggaran), Bantul (3.165 kasus pelanggaran), Kulon Progo (2.982
pelanggaran), Gunung Kidul (1.734 pelanggaran), Sleman (4.212 pelanggaran), ditambah data dari DIT Lantas (71 kasus pelanggaran). Meskipun pada tahun 2015, angka pelanggaran lalu lintas di jalan raya di Yogyakarta diklaim oleh pihak Polda mengalami sedikit penurunan.6 Resiko Mulai Tampak Akhirnya, kini resiko itu—seperti dikemukakan Gidden dan Becks—mulai tampak begitu nyata dan jelas di depan mata kita. Di jalan raya Yogyakarta, kecelakaan sering terjadi. Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari ruang Pengelola Data dan Informasi Polda DIY Yogyakarta pada tahun 2010 yang lalu saja, terdapat 54 nyawa melayang akibat kecelakaan selama kurun waktu 4 bulan yakni dari bulan Januari sampai April. Sedangkan 321 korban mengalami luka berat dan 1786 korban menderita luka ringan akibat kecelakaan lalu lintas. Sementara itu, angka kerugian akibat kecelakaan lalu lintas juga mencengangkan: total angka kerugian materi mencapai hampir 1 milyar rupiah. Angka ini dipandang sangat tinggi mengingat rentang waktu kejadian yang terjadi begitu cukup singkat. Sampai saat ini, nyaris tiap hari ditemukan kecelakaan lalu lintas di jalan raya Yogyakarta. Kecelakaan lalu lintas di jalan raya Yogyakarta ini semakin memperkuat “tudingan” WHO yang mengatakan bahwa kecelakaan lalu lintas di Indonesia menjadi pembunuh terbesar ketiga, setelah penyakit mematikan: jantung koroner dan TBC, pada tahun 2011.7 Dengan demikian, jalan raya Yogyakarta, saya kira, tak berlebihan dipandang sebagai potret masyarakat berisiko (the risk of society). Jika dalam modernisme klasik, yang menjadi isu sentral adalah persoalan kesejahteraan, yaitu bagaimana proses distribusi kesejahteraan dilakukan secara adil dan merata. Maka dalam modernisme dalam bentuknya yang baru, kata Beck, isu sentralnya adalah keamanan. Modernisme baru diasosiasikan dengan masyarakat beresiko. Dengan begitu, yang menjadi fokus pekerjaan dalam modernisme baru ini adalah mencegah dan meminimalisir sebuah resiko. Mereka mengusahakan
P RANALA EDISI 5 , SEP TEMBER- OKTOBER 2 0 15
39
WACANA
bagaimana resiko dapat diatur dan dikontrol, sehingga tidak terlalu mencelakakan dan menuai petaka yang dahsyat dalam dan bagi kehidupan manusia modern. Persoalan jalan raya di Yogyakarta sebagai bagian dari masyarakat beresiko, telah dibicarakan dan dirumuskan kerangka-kerangka solutif dan bentuk-bentuk penanganannya. Misalnya, pemerintah dituntut untuk memberikan layanan fasilitas transportasi massal yang ekonomis, aman dan nyaman. Dengan demikian, diharapkan, masyarakat lebih memilih untuk tidak menggunakan kendaraan pribadi saat bepergian, sehingga dapat mengurangi jumlah kepadatan pengendara bermotor. Selain itu, juga ada saran untuk membangun jalan layang dan jalan-jalan underground di beberapa ruas untuk memudahkan arus transportasi yang sering macet. Pembangunan jalanjalan alternatif ini dipandang penting dan strategis. Sebab, pelebaran luas jalan raya
di Yogyakarta dianggap sudah tidak bisa dilakukan. Tetapi nampaknya, sampai saat ini, upaya-upaya yang dilakukan belum mampu sepenuhnya mengurangi secara signifikan “petaka-petaka” dan “resiko-resiko” modernitas di jalan raya di Yogyakarta. Keluh dan kesah soal realitas persoalan jalan raya di Yogyakarta, sampai detik ini, masih sangat santer terdengar dan diributkan banyak pihak (untuk tidak mengatakan bahwa resiko-resikonya kian mengancam). Saya tidak tahu, apakah karena “petaka-petaka” dan “resiko-resiko” yang kian mengancam di jalan raya Yogyakarta ini, membuat banyak orang terlebih kelas menengah yang nge-hek kemudian seolah-olah bertambah religius dan rajin berdoa saat hendak berangkat ke kantor, meski pada saat yang bersamaan, mereka tetap tidak terlihat mengupayakan etiket yang baik saat berkendara di jalan raya.
ENDNOTES 1. Penggalan kisah nyata di atas dikutip dari reportase mendalam (indept reporting), “Jalan Raya Jogja, Jalan Menuju ‘Neraka’” karya Ahmad Alwajih, Noveri Faikar Urfan dan Kamil Alfi Arifin. Data-data statistik yang dipakai dalam tulisan ini sebagiannya juga diambil dari laporan tersebut. 2. Lihat artikel Gutomo Priyatmono “Membisukan yang Lain: Yogyakarta City of Tolerance?” dimuat di Harian Kompas Jogja, dan kemudian dibukukan dengan artikel-artikel lain dirinya dalam buku berjudul “Ketakhadiran Negara”, Impulse, 2013, hal 51. 3. Anthony Giddens, “The Consequences of Modernity”, Politi Press, 1990, hal, 124-125. 4. Hani Raihana, “Negara di Persimpangan Jalan Kampusku”, Impulse, 2007, hal 37. 5. Lihat berita berjudul “Laju Pertumbuhan Kendaraan Bermotor di Jogja Naik Tiap Tahun”, dalam www.dishub-diy.net. Berita ini diunggah pada Kamis, 09 Oktober 2014. 6. “Angka Pelanggaran Lalu Lintas Mengalami Penuruan”. Tribun Jogja, Rabu 22 Juli 2015. 7. Lihat berita “Kecelakaan Lalu Lintas Menjadi Pembunuh Terbesar Ketiga” dalam situs www.bin.go.id.
40
P R AN AL A EDI S I 5 , S EP T E M B E R -OK T OB E R 201 5