Surat Pembaca
Bergabung Dengan Pranala
Mengubah Tampilan
Salam kenal.
Pranala aku punya usul; bagaimana kalau untuk edisi ke depan tampilan Pranala dirubah seperti komik? Pasti akan lebih menarik. Tapi tentu saja tanpa menghilangkan substansi dan isinya.
Hai pranala, saya Haris dari Bugisan. Beberapa kali kebetulan saya membaca Pranala. Saya ada usul; bagaimana kalau dalam Pranala ini juga disertakan semacam kuis? Biar tambah seru. Terus bagaimana caranya untuk bergabung dengan Pranala? Apa sajakah syarat-syaratnya? Terima kasih.
Haris, Bugisan
Affandi, Gejayan
Terima kasih usulannya, Mas Affandi. Akan kami pertimbangan usulan tersebut
Redaksi Usul Mas Haris akan kami diskusikan dan pertimbangkan. Mas Haris bisa bergabung sebagai kontributor dengan menulis artikel untuk Pranala. Ide penulisan bebas, asalkan sesuai dengan kebijakan redaksional PUSHAM UII, yaitu menjunjung tinggi dan mempromosikan nilai-nilai hak asasi manusia kepada masyarakat.
Redaksi
Daftar Isi 2 Editorial Memburu Pemerintah Menyelesaikan Masalah 4 Laporan Utama Noda di Hari Kebebasan Pers 9 Laporan Utama Gagal di UAJY, Berhasil Tayang di UGM 14 Laporan Utama Memburu “Buru” di Kampus Proklamasi 22 TOKOH Ahmad Syafi’i Ma’arif (Buya Syafi’i) Tokoh Nasional Munculnya Sebuah Gerakan Karena Adanya Ketidakadilan
28 Lingkar Reboan Ritual Akademik Ala Pusham Uii 29 Resensi Sihir Barat dan Kesadaran Warna Kulit Perempuan di Indonesia 33 Perspektif Orang Tolaki Kendari Yang Seperti Lautnya
P RANALA EDISI 8, Maret-Ap ril 20 16
1
EDITORIAL
Pemimpin Redaksi Puguh Windrawan
Memburu Pemerintah Menyelesaikan Masalah
T
ak salah rasanya jika Bung Karno mewanti-wanti agar kita semua belajar sejarah. Setidaknya dengan belajar sejarah, pemahaman kita tentang segala sesuatu lebih bisa terukur. Memang ada yang bilang; sejarah itu milik penguasa. Siapa yang berkuasa, mereka itulah yang mempunyai wewenang memproduksi sejarah. Bisa jadi begitu. Akan tetapi –dimana dunia sudah berkembang sedemikian cepatnya dan teknologi merambah hingga ke desa desa– tafsir sejarah menjadi tak bisa tunggal. Sejarah selalu kecipratan hal-hal yang elok. Baik-buruk, benar-salah, tak bergantung pada satu sumber. Semakin banyak melihat informasi, maka sejarah akan terbentuk lebih obyektif. Sudut pandang yang kita dapatkan juga akan semakin kaya. Mari kita dudukkan situasi ini pada sebuah peritiwa yang sampai sekarang belum ada titik temunya; peristiwa 1965. Centang perenang
2
P R AN AL A EDI S I 8 , M ar e t-A pr il 201 6
informasi sebenarnya sudah berlaku dengan sebagaimana mestinya. Kita bisa melihat apa yang terjadi kala itu dengan sudut pandang informasi yang banyak. Soal korban yang harus direhabilitasi, soal siapa yang melakukan represi, soal negara luar yang campur tangan urusan Indonesia; telah banyak dokumen yang berserakan. Tinggal dibaca dan didiskusikan dengan layak. Masalahnya adalah ketika ada orang atau institusi, yang kemudian menghambat informasi itu. Saat nuansa akademik diketengahkan, saat ada yang mencoba mengkaji soal sejarah; tiba-tiba muncul ancaman. Tak hanya menggunakan pesan, tapi ternyata sudah mengarah pada ancaman fisik. Apakah kemudian situasi ini dibenarkan? Jika tindakan ini terus menerus terjadi, kapan kita selaku anak bangsa akan bisa bersikap obyektif terhadap segala sesuatunya; termasuk pada sejarah bangsanya sendiri?
Film “Pulau Buru Tanah Air Beta” adalah salah satunya. Dengan dalih melebarkan ancaman ideologi komunisme, film itu dilarang dimana-mana. Organisasi kampus dan wartawan yang hendak memutarnya, diburu ancaman tak berkesudahan. Bagaimana bisa dituding membawa aliran ideologi komunisme jika nonton filmnya saja belum? Bukankah ini menjadi hal yang lucu? Mengambil sebuah kesimpulan tanpa melihat adalah identitas yang perlu ditanggalkan dan ditinggalkan. Kesimpulan yang demikian adalah kesimpulan yang emosional. Tak tahu bentuk dan barangnya, tiba-tiba ditafsirkan melanggar. Ini adalah bentuk kesalahan yang sama sekali tak bisa diteruskan. Berkaca pada norma hukum yang ada. Ideologi komunisme dianggap berbahaya dan tak boleh disosialisasikan serta diajarkan. Hanya saja perlu diingat, apakah norma hukum ini bisa melawan kemajuan jaman dan transfer ilmu pengetahuan yang telah terjadi? Orang tak boleh menonton film, tetapi apakah bisa dicegah mereka untuk tidak mendapatkannya melalui internet. Lalu dengan dalih norma yang ada, apakah bisa penegak hukum membatasi akses informasi itu? Kemudian menutup situs yang dianggap melakukan propaganda komunisme tersebut? Ada banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh para penegak hukum. Kekerasan tak bisa serta merta menyelesaikan masalah dalam kasus ini. Khalayak seharusnya dibiarkan melihat informasi sebanyak-banyaknya; terutama untuk melihat peristiwa 1965 ini.
aparat negaranya harus punya pijakan tegas; bahwa kekerasan itu sama sekali tak boleh. Apalagi mengingat persoalan ini belum final. Kita bisa belajar dari Afrika Selatan dalam hal ini. Politik apartheid yang banyak menimbulkan luka sejarah, telah selesai. Mereka kembali berkumpul sebagai sebuah negara yang bersatu, meninggalkan jejak berdarah. Memang situasi dan budaya Afrika Selatan dengan kita berbeda. Akan tetapi semangat pemerintah Afrika Selatan untuk menyelesaikan konflik yang ada di masyarakatnya patut untuk diacungi jempol. Tidak membiarkan berlarut-larut. Mungkin semangat inilah yang negara kita tidak punya, sehingga peristiwa 1965 dibiarkan bergulir tanpa penyelesaian berarti.
Ada tanggungjawab negara untuk menyelesaikan masalah ini. Berlarut-larutnya situasi ini hanya akan menimbulkan luka sejarah terus menerus. Hanya akan beranak pinak dan menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai. Beban akan terus tertanam, terutama bagi anak cucu kita yang kecipratan masalah tanpa tahu seluk beluk yang sebenarnya. Negara, melalui
Pranala
Diterbitkan Oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta Penaggung Jawab: Eko Riyadi | Pemimpin Redaksi: Puguh Windrawan | Reporter: Kamil Alfi Arifin, Kelik Sugiarto, Prayudha Maghriby | Kontributor: Arifuddin Kunu, Muhammad Zuriat Fadil, Risang Iwan Fadillah | Fotografer: Gibbran Prathisara | Layout: Arief Mizuary Alamat Redaksi/Tata Usaha: Jeruk Legi RT. 13 RW. 35 Gang Bakung No.517 A, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta 55198 | Telpon: 0274-452032 | Fax: 0274-452158 | Website: www.pusham. uii.ac.id Email:
[email protected]
P RANALA EDISI 8, Maret-Ap ril 20 16
3
L A P O RA N UTAMA
Noda di Hari
Kebebasan Pers Oleh: Prayudha Maghriby Foto Oleh: Gibbran Prathisara
4
P R AN AL A EDI S I 8 , M ar et-A pr il 201 6
Pemutaran film “Pulau Buru Tanah Air Beta” di kantor AJI Yogyakarta, mendapatkan halangan. Polisi berdalih soal izin kegiatan. Berita ini sempat menyedot perhatian publik. Pelarangan film yang kembali terjadi sebenarnya mencidarai kebebasan untuk mendapatkan informasi. Apalagi ini terjadi pada saat perayaan Hari Kebebasan Pers Internasional.
Tanggal 3 Mei 2016; bertepatan dengan Hari Kebebasan Pers Internasional. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta berniat menghelat sebuah acara untuk memperingatinya. Bagi mereka, hari itu sangat penting. Bagaimanapun juga, kebebasan pers adalah sebuah keniscayaan dalam sebuah negara yang menjunjung tinggi demokrasi. AJI kemudian mencanangkan sebuah acara nonton bareng dan diskusi. Film “Pulau Buru Tanah Air Beta” dipilih sebagai karya jurnalistik yang akan didiskusikan. Persiapan lantas dilakukan. Sesuai standar yang ada, AJI mengirimkan surat izin dan sekaligus undangan pada Kapolda DIY dan Kapolresta Yogyakarta.
P RANALA EDISI 8, Maret-Ap ril 20 16
5
L A P O RA N UTAMA
Pada malam 3 Mei, acara sedianya akan dimulai. Saat persiapan akhir, sekitar pukul 18.00 WIB, tujuh orang polisi yang mengaku dari Polsek Umbulharjo tiba-tiba datang. Rombongan polisi berpakaian preman itu dipimpin oleh Kompol Wahyu Dwi Nugroho. Ia adalah Kasatintelkam PolrestaYogyakarta. “Mereka menanyakan izin kegiatan,” kenang Anang Zakaria, Ketua AJI Yogyakarta. Ia menerima rombongan polisi tersebut. Ia menerangkan pada Kompol Wahyu Dwi Nugroho bahwa AJI telah mengirimkan surat izin. Namun, anggota polisi itu
6
P R AN AL A EDI S I 8 , M ar et-A pr il 201 6
menilai undangan tersebut bukanlah surat pemberitahuan. Terjadilah negosiasi alot. Di sisi lain, para peserta acara yang kebanyakan adalah jurnalis sudah memenuhi halaman kantor AJI. Kompol Wahyu Dwi Nugroho mengatakan jika sejumlah ormas keberatan dengan pemutaran film itu. “Polisi minta diganti film lain saja,” kata Anang Zakaria. Ia menolak halus. Menurutnya, film besutan Rahung Nasution tersebut adalah karya jurnalistik biasa. Film itu juga telah diputar di acara “Simposium 65”. Bahkan, televisi nasional sekelas Metro TV juga telah
menanyangkannya. “Kalau dibatalkan, itu tindakan mengingkari prinsip kebebasan pers,” kata wartawan Tempo tersebut. Sekitar pukul 7 malam. Akhirnya, acara tetap akan dilanjutkan. Anang Zakaria membuka acara dengan sebuah pidato berisi laporan kebebasan pers di DIY pada 2016. Di sisi lain, menurut Anang Zakaria, Kompol Wahyu Dwi Nugroho kembali meminta penghentian acara. Ia juga menghubungi Polda DIY. Di saat yang sama, seseorang yang mengaku sebagai Camat Umbulharjo tiba-tiba datang.
Kompol Sigit Haryadi menegaskan –untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan– acara pemutaran film itu harus dibubarkan. Keinginan sosok itu sama; acara harus segera dihentikan. Namun, AJI tak setuju. Acara tetap dilanjutkan dengan menampilkan Agoni Band sebagai sajian pembuka. Pada pukul 7.30 malam. Usaha untuk menghentikan acara tak berhenti. Serombongan polisi dari Polresta Yogyakarta datang. Mereka dipimpin oleh Kepala Bagian Operasional Polresta Yogyakarta, Kompol Sigit Haryadi. Ia langsung masuk ke ruangan kantor AJI dan meminta acara segera dibubarkan. Negosiasi kembali berlangsung. Kali ini, para peserta acara yang berasal dari LBH Yogyakarta dan sejumlah elemen masyarakat sipil lainnya ikut
terlibat. Acara itu memang dibuka untuk umum. “Bahkan warga sini juga diundang. Pak RT juga kita tawari untuk buka (membuka acara-Red.). Kata dia ‘oke’,” tutur Anang Zakaria. Namun demikian –di tengah negosiasi– Kompol Sigit Haryadi tiba-tiba meninggalkan ruangan. Sekitar pukul 8 malam. Tak kurang dari 20 orang mendatangi acara. Mereka mengenakan seragam FKPPI. Ketua Front Anti Komunis Indonesia (FAKI), Burhanudin, ikut serta dalam rombongan tersebut. Mereka juga meminta agar acara itu segera dihentikan. Tak berselang lama, pada pukul 20.11 WIB, Kompol Sigit
Haryadi datang kembali. Kali ini ia bersama dengan satu truk dalmas pasukan. Ia kembali masuk ke tengah-tengah acara dan menemui Anang Zakaria. Ia menegaskan –untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan– acara pemutaran film itu harus dibubarkan. Anang Zakaria merasa jika kondisi semakin memanas. Demi keselamatan para peserta peringatan Hari Kebebasan Pers Internasional tersebut, ia memutuskan acara untuk dihentikan. Sejumlah peserta yang hadir secara serentak kemudian mengacungkan kepal tangan kiri ke atas. Mereka menyanyikan lagu “Darah Juang” dan “Indonesia Raya”. ***
P RANALA EDISI 8, Maret-Ap ril 20 16
7
L A P O RA N UTAMA
Saat malam kejadian, 3 Mei 2016 itu, Siti dan anak-anaknya baru saja pulang. Sesampainya di rumah itu bingung melihat keadaan kampung yang ramai. “Ada apa?” tanyanya pada warga yang berkumpul di depan kantor AJI. Ia juga mencoba mencari informasi pada group whatsapp warga kampung. “Ada masalah apa,” tulis Siti. “Ada pemutaran film,” jawab salah satu anggota group. “O. Terus?” “Terus dibubarin sama polisi,” Siti tidak begitu memahami ihwal film yang diputar. Beberapa hari sebelumnya memang ada undangan kepada warga untuk ikut serta dalam pemutaran film tersebut. Menurut Siti, setiap kali mengadakan acara yang sifatnya terbuka, AJI selalu mengundang serta warga. Terkait dengan pembubaran pemutaran film yang terjadi, Siti mengaku merasa khawatir. Ia takut jika terjadi kericuhan dan kemudian berdampak pada warga. Sejak bertahun-tahun AJI berkantor di kampungnya, Peristiwa itu, menurut Siti, baru kali pertama ini terjadi. Bambang Muryanto, Ketua Majelis Etik AJI Jogja, mengatakan –jika sebelum ada pembubaran pemutaran film ini– AJI tidak pernah bermasalah dengan warga sekitar. Sebelum pemutaran film, AJI juga telah mensosialisasikannya dengan
warga. Setelah kejadian, menurut Bambang, warga kemudian membahasnya di tingkat RT. “Masyarakat sini tidak mau lagi ada kejadian seperti itu,” kata wartawan The Jakarta Post tersebut. Bambang Muryanto cukup memahami sikap warga. Ini karena kampung tempat AJI berkantor memang selalu kondusif. Pembahasan warga menghasilkan sejumlah kesepakatan. Salah satunya –apabila AJI ingin mengadakan acara– harus mengantongi izin minimal dari polisi. Apabila sampai kejadian ricuh serupa, AJI harus pindah dari kampung tersebut. Sebagai masyarakat biasa, Bambang Muryanto memahami jika film ini memang sensitif. Banyak indikasi yang akan timbul ketika ada yang ingin memutarnya. Namun baginya, benar tidaknya tidak ada yang tahu. Pro kontra wajar terjadi. Film tersebut penting untuk didiskusikan dalam ruang akademis. “Tapi, kalau di masyarakat menimbulkan huru-hara, banyak orang datang, kami jadi nggak tenang,” katanya. Isu kejadian yang menimpa AJI naik hingga ke media nasional. Peristiwa tersebut dinilai telah menciderai predikat Yogyakarta sebagai kota yang toleran. Selain itu, banyak akademisi yang menilai tindakan intoleransi tersebut mengancam kebebasan akademik. Untuk menyikapinya, AJI telah melapor ke Komnas HAM. Hingga saat ini AJI masih menunggu hasil penyelidikan tersebut.
Pembahasan warga menghasilkan sejumlah kesepakatan. Salah satunya ‒apabila AJI ingin mengadakan acara‒ harus mengantongi izin minimal dari polisi.
8
P R AN AL A EDI S I 8 , M ar et-A pr il 201 6
L A P O RA N UTAMA
Gagal di UAJY, Berhasil Tayang di UGM Oleh: Prayudha Magriby Foto Oleh: Gibbran Prathisara Setelah gagal diputar dimana-mana, pemutaran film “Pulau Buru Tanah Air Beta” akhirnya bisa dilaksanakan. Meski dihantui ancaman beberpa pihak, Fisipol UGM berhasil melakukannya.
J
Jum’at, 3 Juni 2016, sekitar pukul 6 sore. Epifanius Silanta menghampiri Listia Damanik yang tengah duduk-duduk di depan Gedung Teresa, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY). “Kok belum dimulai?” tanya gadis yang akrab dipanggil Epin tersebut. Hari itu rencananya Divisi Diskusi HMPS Sosiologi menggelar sebuah acara. Hingga tengat waktu acara, ternyata ruangan belum siap. Terlihat masih berantakan. Selaku Ketua HMPS Sosiologi, Epin khawatir dengan kinerja anggotanya. Seharusnya persiapan telah rampung beberapa jam lalu.
Tiba-tiba, Listia Damanik bangkit dan mengatakan,“Si Tilda di depan pos satpam!” Tilda adalah kawan mereka berdua yang kebetulan bertangungjawab pada jalannya acara ini. Akhirnya, Epin dan Lista bergegas berjalan menuju pos satpam. Di depan pos ada sembilan orang yang kesemuanya adalah anggota kepanitiaan acara. “Pin, mending dibatalkan aja pemutaran filmnya,” pinta Karolina Telaubun, salah seorang panitia. Sementara itu, Tilda berada di dalam pos bersama Kepala KPSP dan seseorang yang katanya Anggota Bareskrim Polsek Depok. Rupanya, acara yang pada sedianya akan membedah film “Pulau Buru Tanah Air Beta” itu diminta untuk dibatalkan. Polda Sleman menghubungi Kepala
P RANALA EDISI 8, Maret-Ap ril 20 16
9
L a po r a n U t a m a
KPSP UAJY agar acara tersebut dibubarkan. Padahal, pemutaran film itu hanya disaksikan terbatas oleh mahasiswa Sosiologi. Panitia juga telah megantongi izin dari dosen dan tata usaha setempat. **** Metida Menimawati Gulo berniat menjemput seorang teman di depan Kampus I UAJY. “Mbak, ini mau ngadain apa?” tanya seorang satpam di samping posnya. “Diskusi, Pak,” jawab Metida Menimawati Gulo, yang biasa disapa Tilda itu. “Diskusi apa?” “Film, Pak.” Tilda kala itu sengaja tidak menyebut judul film yang akan diputar. Ia menyadari film tersebut kontroversial. Namun, satpam akhirnya meminta Tilda untuk masuk ke dalam pos satpam. Kata petugas satpam, ada seseorang yang ingin bertemu dengannya. Tilda pun masuk pos dan mendapati seorang lelaki berkemeja. “Film itu tidak boleh diputar. Nanti didatangi ormas!” kata lelaki yang kemudian mengaku sebagai Anggota Intel Posek Depok tersebut. Film itu hanya bisa diputar jika ada penjagaan dari ratusan anggota kepolisian. Menurutnya, jumlah anggota ormas yang akan turun –jika film itu tetap diputar– akan sangat banyak. Itu dianggap sangat membahayakan. Bukannya takut, Tilda malah tertawa. “Pak, sebenarnya nggak ada yang perlu ditakuti,” katanya. Tujuan pemutaran film itu menurut Tilda adalah untuk kepentingan akademis. “Tidak ada maksud lain,” tambahnya. Sebagai mahasiswa sosiologi, film tersebut cukup penting untuk dikaji. Petugas satpam kemudian menyela Tilda, dan mengatakan jika pihak KPSP UAJY ingin bicara dengannya.
10
P R AN AL A EDI S I 8 , M ar e t-A pr il 201 6
Melalui sambungan telfon, KPSP menjelaskan jika pihak kampus sebetulnya tidak melarang acara pemutaran film “Pulau Buru Tanah Air Beta”. Akan tetapi –pihak di luar, dalam hal ini kepolisian– keberatan dengan acara tersebut. Pihak KPSP menyarankan agar acara dibatalkan, demi untuk menjaga situasi kampus. Secara pribadi, Tilda tak ingin menyerah. Namun –mengingat posisinya dalam kepanitiaan– ia
akhirnya memutuskan untuk membatalkan acara. Selain itu, Epin selaku ketua HMPS Sosiologi, juga mempertimbangkan jika sebaiknya acara dibatalkan. Dari pembatalan acara itu, Tilda justru terinspirasi untuk membuat pemutaran film yang lebih besar. Ia ingin membentuk sebuah komunitas yang berisi banyak elemen mahasiswa untuk mendiskusikan banyak hal, termasuk isu seputar 1965. Menurutnya, ruang akademis mahasiswa tidak boleh
dibatasi. Kebebasan akademik itu sangat penting untuk diperjuangkan dan dijaga. “Mahasiswa itu agen perubahan, generasi perubahan sosial. Kalau misalnya kayak gini, apa gunanya mahasiswa?” tukas mahasiswi asal Nias, Sumatra Utara, ini. ***
P RANALA EDISI 8, Maret-Ap ril 2 0 16
11
L a po r a n U t a m a
Senin, 23 Mei 2016.
Sekitar pukul 1 siang.
Sejumlah lembaga mahasiswa di Fisipol UGM berniat mengadakan sebuah acara. Lembaga yang terlibat adalah MOP, HMJ Ilmu Pemerintahan, LLP Sintesa, dan GAMAPI UGM. Di tengah persiapan, sekitar pukul 9 pagi, seorang polisi mendatangi Gedung Fisipol UGM. Ia menemui salah seorang satpam.
Sejumlah anggota kepolisian kembali datang. Kali ini rombongan dipimpin oleh Kasat Intelkam Polres Sleman, AKP Sancoko Punjung Seksono. Ia kembali menanyakan soal rencana pemutaran film. Pihak panitia menerangkan, bahwa acara itu akan tetap diadakan. Pihak kepolisian meminta sebaliknya, acara itu diurungkan.
“Benar di Fisipol ngadain film ini (Pulau Buru Tanah Air Beta-Red.)?” “Hati-hati lho, mas! Ini ada indoktanyanya. trinasi komunisme. Jika ada kejadian “Iya benar,” jawab petugas satpam. yang tidak diinginkan, kami tidak Panitia acara tidak begitu mempe- bisa bertanggungjawab,” ujar Arifin, dulikan kehadiran petugas kepolisian. menirukan ucapan AKP Sancoko Mereka tetap mempersiapkan acara Punjung Seksono. Arifin menjawab pemutaran film “Pulau Buru Tanah jika tidak ada unsur komunisme Air Beta”. Untuk mendiskusikan film dalam pemutaran yang akan meretersebut, panitia mengundang Hesri ka gelar. Mereka bahkan mengajak Setiawan dan Erwan Purwanto. Hesri pihak kepolisian untuk membuktikan adalah mantan tahanan politik kasus kekhawatirannya. 65 yang juga alumni Fisipol UGM. Sementara itu, Erwan Purwanto adalah Dekan Fisipol UGM. Badrul Arifin, Pimpinan Bidang Advokasi dan Opini Publik DEMA Fisipol UGM, mengatakan jika acara tersebut adalah wujud dari kemauan Fisipol UGM untuk membahas isu-isu penting di Indonesia, termasuk isu 65. Sang dekan, Erwan Purwanto, bahkan menjadi salah satu moderator dalam acara “Simposium 65” pada 18-19 April silam.
12
P R AN AL A EDI S I 8 , M ar e t-A pr il 201 6
“Ayo kita nonton bareng, Pak. Kita kaji bareng-bareng, apakah ada unsur komunisme?” ujarnya kala itu.
Namun, pihak kepolisian menolak ajakan tersebut. AKP Sancoko Punjung Seksono kemudian meminta agar file hasil diskusi bisa dikirimkan padanya. Selain itu, Arifin menjelaskan bahwa pemutaran film tersebut adalah kegiatan akademis. Kebebasan mimbar akademik di kampus dijamin oleh undang-undang. Karena itu, acara tersebut tidak berhak dihalangi oleh
siapapun, termasuk oleh kepolisian. Acara tetap dilaksakan. Namun, beberapa saat sebelum dimulai, muncul pesan berantai yang berisi ancaman penyerangan terhadap Fisipol UGM. “Broadcast-nya ada Allahu Akbar gitu,” ujar Arifin. Ia kemudian menemui dekan untuk membahas broadcast tersebut.
Acara pemutaran film kemudian dipindah di ruang lain, masih di seputaran Fisipol UGM. Pemutaran film yang dilanjutkan diskusi tersebut akhirnya berjalan lancar. Di dalam diskusi, Erwan Purwanto, mengatakan jika pemutaran film “Pulau Buru Tanah Air Beta” adalah sebagai pembelajaran sejarah
seputar 1965. Peristiwa 1965 adalah tahapan penting dalam sejarah bangsa Indonesia yang berhak dipelajari oleh generasi penerus. Terlebih bagi mahasiswa Fisipol, sejarah 1965 penting untuk dipahami agar mereka tidak buta dan terbebani sejarah.
P RANALA EDISI 8, Maret-Ap ril 20 16
13
L a po r a n U t a m a
Memburu “Buru” di Kampus Proklamasi Oleh: Kamil Alfi Arifin Foto Oleh: Gibbran Prathisara
Telpon dan pesan bernada ancaman muncul. Isinya sama. Intinya film “Pulau Buru Tanah Air Beta” tak boleh diputar di kampus. Sebenarnya dimana posisi kebebasan akademik itu?
14
P R AN AL A EDI S I 8 , M are t-A pr il 201 6
P RANALA EDISI 8, Maret-Ap ril 20 16
15
L a po r a n U t a m a
H
Hari Jum’at, tanggal 20 Mei 2016. Sekitar pukul 05.00 pagi. Universitas Proklamasi 45 (UP 45) Yogyakarta nampak ramai. Sepagi itu –biasanya– aktivitas perkuliahan belum dimulai. Kampus yang terletak di Jalan Babarsari tersebut tentu saja masih lengang. Namun, suasana kali ini agak berbeda. Beberapa orang terlihat bergerombol. Banyak orang muncul tiba-tiba. Puluhan polisi juga terlihat berjaga di depan gerbang kampus. Orang dengan pakaian putih juga terlihat. Ternyata tak hanya aparat kemanan, beberapa wartawan ada juga yang turut serta. Mereka terlihat duduk di halaman parkir. Siap-siap berburu berita. Suasana itu diceritakan kembali oleh Melkianus Umbu Huki, Presiden BEM Universitas Proklamasi 45. Ia sengaja menyelinap datang ke kampus. Kebetulan lokasi kampus itu berada tak jauh dari tempat kos-nya. “Saya memang diam-diam datang ke kampus jam lima pagi dari kos. Saya juga sengaja menghindari wartawan supaya tak ketahuan. Sepeda motor saya parkir di STTNAS,” ujar Umbu, panggilan akrabnya. STTNAS adalah kepanjangan dari Sekolah Tinggi Teknologi Nasional. Kampus tetangga UP 45. Keduanya memang berada di lokasi yang bersebelahan. Kesaksian
16
P R AN AL A EDI S I 8 , M are t-A pr il 201 6
Umbu tersebut juga diteguhkan oleh salah seorang dosen di lingkungan UP 45, Edward Bot. Menurut keterangannya, sejumlah polisi memang sudah siaga di depan kampus sejak pagi hari. Ia juga merasakan ada yang ganjil. Para pedagang yang biasanya berjualan setiap hari di kampus –pada hari itu–sama sekali tak nampak. Dugaannya, polisi telah melakukan pengkondisian dengan memberitahukan mereka agar tidak berjualan. Khawatir terjadi kegaduhan apabila mahasiswa tetap ngotot memutar dan mendiskusikan film “Pulau Buru Tanah Air Beta”. “Tapi saya belum cross check ke mereka (para pedagang-red), sih,” kata Edward Bot. Pada pagi itu, listrik di kampus juga mendadak mati sampai menjelang siang. “Biasanya kalau PLN mau matiin lampu di daerah sini, kan pasti ngasih tahu kampus. Tapi ini enggak ada,” ujarnya. Ia kembali menduga, ini juga bagian dari pengkondisian yang dilakukan polisi. “Kalau bahasa saya, ya sabotase barangkali,” tuturnya. Kedatangan satuan aparat dan mereka yang diduga bagian dari ormas tertentu, terkait dengan acara pemutaran dan diskusi film “Pulau Buru Tanah Air Beta”. Rencananya akan diputar pada hari itu pada pukul 8 pagi. Acara itu digagas oleh
BEM UP 45 bekerja sama dengan Gerakan Nasional Pendidikan (GNP); sebuah gerakan lintas kampus di Yogyakarta. Perhelatan ini sekaligus memperingati Hari Kebangkitan Nasional, dengan mengundang beberapa pembicara sebagai pemantik diskusi. Namun perhelatan itu ternyata tak dikehendaki oleh aparat polisi dan ormas tertentu. Berbagai ancaman sempat muncul. Upaya pembatalan seperti ini tak hanya terjadi di UP 45. Beberapa saat sebelumnya –kejadian yang nyaris sama– juga terjadi di kantor Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Yogyakarta. Kumpulan wartawan yang mempunyai sejarah pergerakan reformasi ini sedianya merayakan Hari Kebebasan Pers Internasional. Salah satu acaranya memutar film besutan Rahung Nasution itu, “Pulau Buru Tanah Air Beta”. *** Tiga hari sebelum pemutaran dan diskusi film “Pulau Buru Tanah Air Beta” di UP 45, polisi sudah berkali-kali menghubungi pihak kampus melalui telepon. Mereka menanyakan soal benar-tidaknya
mereka meminta dengan hormat agar acara dibatalkan. Alasannya, ada ancaman dari ormas tertentu yang bisa merugikan dan membahayakan kampus.
ada acara pemutaran film ini. Jika memang benar, mereka meminta dengan hormat agar acara dibatalkan. Alasannya, ada ancaman dari ormas tertentu yang bisa merugikan dan membahayakan kampus. Berulangkali dihubungi oleh kepolisian –pihak kampus, terutama diwakili oleh Wakil Rektor Syamsul Ma’arif– merasa perlu segera mengambil tindakan. Diwakili Kepala Bagian Kemahasiswaan, ia memanggil Umbu untuk menghadap. Selaku Presiden BEM UP 45, Umbu bertanggung jawab dalam pelaksanaan agenda pemutaran dan diskusi film tersebut.
“Pada tanggal 18 Mei, saya dikonfirmasi oleh Kepala Bagian Kemahasiswaan, namanya Fitroh Dwi Nugroho, untuk segera menghadap ke kampus. Ada hal-hal penting yang harus kita bicarakan,” ujar Umbu. Hanya saja ia tak bisa langsung menemuinya. Kebetulan ada acara diklat yang sedang diikutinya, di luar kampus. Keesokan harinya, tanggal 19 Mei, beberapa utusan polisi dari Polsek Depok Barat, Kapolres Sleman dan Kapolda Yogyakarta, datang langsung ke kampus menemui Wakil Rektor I UP 45. Maksud kedatangan mereka masih sama seperti yang disampaikan melalui telpon sehari sebelumnya; meminta membatalkan acara pemutaran dan diskusi film. Tak cukup hanya dengan ucapan, mereka juga meminta Wakil Rektor I UP 45 untuk membuat surat pernyataan tertulis. Berisi larangan acara pemutaran dan diskusi film tersebut. Setelah didatangi pihak kepolisian, Wakil Rektor I UP 45 kembali memanggil Umbu untuk menghadap. Pukul tiga sore –ditanggal yang sama– didampingi oleh Kepala
L a po r a n U t a m a
Bagian Kemahasiswaan, Umbu menemui Wakil Rektor I. Menurut keterangan Umbu –dalam pertemuan itu– Wakil Rektor I UP 45 menyampaikan bahwa dirinya mendapatkan informasi dari pihak kepolisian. Mereka menginformasikan bahwa acara pemutaran dan diskusi film “Pulau Buru Tanah Air
18
P R AN AL A EDI S I 8 , M are t-A pr il 201 6
Beta” mendapatkan ancaman dari ormas tertentu, dan harus dibatalkan. Setelah mempertimbangkan situasi, Wakil Rektor I UP 45 akhirnya mantap memutuskan untuk membatalkan acara tersebut. “Saya harus pertahankan Universitas Proklamasi,” katanya, seperti yang dituturkan Umbu.
Sore itu juga, surat pernyataan tertulis tentang pembatalan acara pemutaran dan diskusi film “Pulau Buru Tanah Air Beta” –seperti yang diminta pihak kepolisian– kemudian dibuat. Dikirimkan ke Kapolsek Depok Barat, Kapolres Sleman dan Kapolda Yogyakarta, serta disebarkan di lingkungan UP 45. “Surat
pernyataan tersebut dibuat atas desakan polisi. Polisi nyuruh kita bikin surat. Jadi, polisi itu pengen pasti. Pengen kepastian, bahwa kita tidak mengizinkan mahasiswa,” terang Edward Bot. Ternyata surat pernyataan tertulis tersebut tak membuat pihak kepolisian sepenuhnya yakin.
Pada malam hari sebelum jadwal pemutaran dan diskusi film, pihak kepolisian masih menelpon Umbu. Terselip nada ancaman di dalamnya. “Saya meminta kepada Presiden BEM Unprok, untuk kegiatan besok, tidak boleh dilakukan pemutaran film, karena anggota
saya besok akan ke kampus,” ujar Umbu, menirukan seseorang di ujung telpon. Pria diujung telpon mengaku Kapolres Sleman. Selang dua puluh menit. Umbu menerima panggilan lagi. Kali ini mengaku dari Badan Intelijen Negara (BIN). Tapi, Umbu tak mau dibodohi. “Lah, yang namanya
P RANALA EDISI 8, Maret-Ap ril 20 16
19
L a po r a n U t a m a
BIN, segoblok-gobloknya, enggak mungkin buka identitasnya kalau dirinya BIN,” katanya. Yang bersangkutan –menurut Umbu– juga memintanya untuk tak melaksanakan pemutaran film itu. Tak lama setelah itu, Umbu lagi-lagi mendapat telpon dari seseorang yang mengaku Kapolda Yogyakarta. Permintaannya sama. Umbu menjelaskan bahwa acara itu merupakan kajian ilmiah. Tapi pria diujung telpon tetap menyanggah. “Pokoknya kami dari pihak polda tidak menghendaki adanya keributan besok. Saya minta dengan hormat, Presiden Mahasiswa Unprok, untuk membatalkan pemutaran film “Pulau Buru Tanah Air Beta” di kampus suadara.” Malam itu Umbu tak hanya mendapatkan telepon. Ia juga tak terhitung mendapatkan pesan pendek yang bernada mengancam. Isinya; apabila tetap ada pemutaran dan diskusi film “Pulau Buru Tanah Air Beta”, maka Umbu orang pertama yang akan ditangkap untuk dimasukkan penjara. “Malam itu saya enggak berani keluar,” kata Umbu. *** Meski disebar luaskan ke seluruh kalangan di lingkungan UP 45 –pernyataan tertulis mengenai larangan
20
P R AN AL A EDI S I 8 , M are t-A pr il 201 6
setiap kegiatan yang dianggap berbau komunisme– ternyata dikritik oleh mahasiswa. Beberapa diantara mereka kecewa. Tak habis pikir dengan dikeluarkannya surat pernyataan itu. Umbu boleh dikatakan sebagai pihak yang paling merasa kecewa. Menurutnya, sikap kampus tak bisa dibenarkan. Bertentangan dengan prinsip-prinsip perguruan tinggi, yang seharusnya memberikan kebebasan pada mahasiswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan ilmiah. Acara pemutaran dan diskusi film “Pulau Buru Tanah Air Beta”, bagi Umbu, merupakan salah satu bentuk kegiatan ilmiah.
dan bebas mengemukakan pendapat sebagai bentuk pembelajaran. Bukannya malah mengikuti pihak pihak di luar kampus. Tidak hanya mahasiswa, kritikan juga datang dari kalangan dosen. “Kenapa kita yang harus ngirim surat? Saya menyesalkan soal itu. Tanpa sadar, kita ini institusi pendidikan yang seharusnya tak bisa diintervensi,” tegas Edward Bot. Ia juga melihat –jika ini dibiarkan– maka UP 45 akan kehilangan kebebasan akademik dan lebih mudah diintervensi pihak luar kampus. Edward Bot sendiri juga mengaku bahwa dirinya bagian dari pimpinan kampus yang mengeluarkan kebijakan. Harusnya, ia bisa mempengaruhi proses-proses pengambilan kebijakan terkait pelarangan pemutaran dan diskusi film “Pulau Buru Tanah Air Beta”. Tapi, dia sadar, dalam setiap pengambilan kebijakan di kampus, selalu melibatkan banyak orang.
“Perguruan tinggi merupakan salah satu tempat mimbar akademik. Dalam artian, proses salah-benarnya suatu kajian di dalam perguruan tinggi itu, menurut pandangan kami sebagai aktivis. Bukan merupakan sesuatu yang keliru. Apalagi, mahasiswa Universitas Proklamasi memiliki komitmen untuk menghidupkan kajian ilmiah,” “Ini keputusan bersama, jadi terangnya. enggak bisa saya sendiri yang main,” Selain Umbu, Harun Aroni, jelasnya. pengurus BEM Fakultas Hukum UP Sebagai pengajar politik, ia 45, juga menyatakan kekecewa- memandang pelarangan pemuannya terhadap sikap pimpinan taran dan diskusi film “Pulau Buru kampus. Dia mengatakan, seharus- Tanah Air Beta” tidak perlu. Tentu nya pimpinan kampus memberikan saja kontraproduktif terhadap kejaminan kebebasan. Tujuannya giatan akademis, mengingat dirinya supaya mahasiswa bisa berdiskusi di kelas juga mengajar mahasiswa
sistem ideologi dunia; termasuk komunisme di dalamnya. “Misalnya ada mata kuliah sejarah pergerakan di Indonesia, ya pasti ngomongin komunisme. Itu hal yang ambigu menurut saya,” terangnya. Edward Bot sebenarnya sangat mendukung pemutaran dan diskusi film ini. Selain bisa dilakukan untuk penguatan kapasitas intelektual mahasiswa, pemutaran di luar kampus sudah tidak aman lagi karena rentan diintimidasi. Itu menjadi hak bagi mahasiswa untuk melakukan apapun di internal kampus, karena ini sifatnya bukan mengerahkan massa untuk bergerak ke luar. Tapi hanya untuk konsumsi pengetahuan bagi mahasiswa agar lebih kaya keilmuannya mengenai sejarah; terutama sejarah komunis di Indonesia. Dengan film, itu memantik pengetahuan mereka yang lain. Film itu bisa jadi pemantik dialektika pengetahuan mahasiswa. “Kalau tidak dilakukan di kampus, dimana lagi?” tanya Edward Bot. Meskipun faktanya, di kampus pun, masih juga pemutaran dan diskusi film “Pulau Buru Tanah Air Beta” tetap diintervensi dan diintimadasi. Polisi dan ormas tertentu seenaknya saja masuk ke dalam kampus. Padahal kata Edward Bot, kampus itu memiliki peraturan dan kedaulatan sendiri.
Tak ada upaya melarang acara pemutaran dan diskusi film “Pulau Buru Tanah Air Beta” di UP 45 Yogyakarta. Bahkan, pihak kepolisian juga mengaku tak tahu-menahu tentang pelarangan acara tersebut. “Ngapaian juga polisi masuk kampus?” “Kalau misalnya ada perkelahian, kita ada punishment-nya sendiri, kecuali sampai ada pembunuhan, baru polisi bisa,” tambahnya. Kerja-kerja kepolisian saat ini, kata Edward Bot, memang tidak masuk akal. Kepolisian juga sering tunduk pada pelaku kekerasan. “Kalau kita punya acara, ada yang ngerusuhin, yang ngerusuhin yang harusnya ditangkap. Ini malah kita yang punya acara, malah kita yang dibubarkan. Saya enggak habis pikir aja kalau gitu. Kalau alasan mereka sudah saya tanya, tindakan preventif. Tapi ini kan memperlihatkan kelemahan polisi sendiri sebenarnya,” terang mantan aktivis IMM ini.
wartawan, malah menyangkal bahwa pihaknya telah melakukan intervensi. Tak ada upaya melarang acara pemutaran dan diskusi film “Pulau Buru Tanah Air Beta” di UP 45 Yogyakarta. Bahkan, pihak kepolisian juga mengaku tak tahu-menahu tentang pelarangan acara tersebut. “Saya gak tau siapa yang melarang. Nonton film apa, to? Belum ada laporan ke saya,” ujar Kapolres Sleman, AKBP Yulianto, lewat pesan singkat, seperti dikutip dari Rappler.com.
Sementara, pihak kepolisian sendiri, saat dikonfirmasi oleh
P RANALA EDISI 8, Maret-Ap ril 2 0 16
21
To k o h
22
P R AN AL A EDI S I 8, M a r e t-A pr il 201 6
Ahmad Syafi’i Ma’arif (Buya Syafi’i) Tokoh Nasional
Munculnya Sebuah Gerakan Karena Adanya Ketidakadilan Oleh: Kelik Sugiarto Foto Oleh: Gibbran Prathisara
P RANALA EDISI 8, Maret-Ap ril 20 16
23
To k o h
A
Akhir-akhir ini banyak terjadi peristiwa penolakan terhadap kegiatan-kegiatan yang dianggap berbau kiri. Terakhir adalah dilarangnya pemutaran film “Pulau Buru Tanah Air Beta” oleh aparat keamanan dan sejumlah massa dari ormas tertentu. Bagaimana tanggapan Buya ? Memang harus difahami juga bahwa perasaan bahaya dan khawatir terhadap kekejaman komunis itu belum sama sekali hilang. Walaupun secara global, komunisme itu kan sudah tidak ada gaungnya lagi. Uni Soviet runtuh, Vietnam sudah kapitalis, China juga sudah menganut
liberalisme. Jadi menurut saya, bahaya komunisme secara global sudah tidak ada lagi. Nah, dalam konteks Indonesia sekarang ini memang agak susah. Para pejabat di atas tidak berada dalam satu pendapat. Lihat saja antara Luhut (Luhut Panjaitan, Menkopolhukamred) dengan Ryamizard (Ryamizard Ryacudu, Menteri Pertahanan-red) terjadi beda pendapat. Menurut saya pemerintah harus punya garis yang tegas dalam satu komando. Sebab kalau tidak aparat di daerah ini akan mengambil tindakan masing-masing.
Apa dampaknya? Rakyat nantinya yang akan tercederai hak dan kebebasannya. Hak berpendapat, berekspresi dan hak-hak lainnya. Namun harus dilihat juga bahwa gerakan kiri ini benar sebagai korban. Korban yang tidak diadili secara fair di persidangan. Dari sisi korban juga tidak terhitung dalam angka yang pasti. Namun sesungguhnya Partai Komunis ini juga bukan partai yang suci-suci amat. Ini harus dicatat betul. Saya mengalami sendiri bagaimana PKI itu jor-joran semua, karena pada saat itu Bung Karno sangat memberi angin. Nah, yang terjadi di Jogja, Sultannya bagaimana? Gubernurnya bagaimana? Menurut saya bersikap yang tegas saja. Namun tentu kebijakannya harus sesuai dengan pemerintah pusat.
24
P R AN AL A EDI S I 8 , M are t-A pr il 201 6
Menurut saya pemerintah harus punya garis yang tegas dalam satu komando. Sebab kalau tidak aparat di daerah ini akan mengambil tindakan masing-masing.
P RANALA EDISI 8, Maret-Ap ril 20 16
25
To k o h
Dalam konteks pelaku dan korban, baik yang terjadi sebelum 65 dan setelahnya, sebenarnya telah terjadi proses rekonsiliasi secara kultural. Pendapat Buya ? Nah itu dia, sebenarnya forum silaturahmi anak bangsa itu kan sudah bagus sekali. Anaknya Nyoto itu sudah beberapa kali datang kemari. Waktu simposium kemarin saya juga datang, tidak masalah. Memang masih ada yang meledak-ledak kemarin, karena mungkin masih merasa teraniaya. Tapi memang munculnya reaksi berlebihan seperti ini karena dipicu juga oleh PKI.
26
P R AN AL A EDI S I 8 , M are t-A pr il 201 6
Kilvan Zein mengatakan bahwa komunis di Indonesia ini sekarang sudah mempunyai struktur dari pusat hingga daerah.
Pilih Muso atau Sekarno-Hatta? Tapi tahun 50, Bung Karno kan main mata! Berbulan madu malahan.
Itu kan tidak jelas juga datanya dari mana. Menurut saya kalau ingin membangkitkan kembali komunisme itu sama saja menegakkan benang basah. Tidak akan bisa. Apa yang menarik dari komunisme? Jadi jangan berlebihan untuk memunculkan kembali isu komunisme ini. Saya ini dari Masyumi, sejak awal kita anti komunisme, karena pada saat itu komunisme memang sangat kejam kepada kita. Coba kalau dulu mereka menang, habis sudah kita semua. Nah ini mbok dipegang! Jadi pemahaman sejarahnya balance, seimbang. HMI dulu di oyak-oyak. Sampai Aidit mengatakan kalau HMI tidak dibubarkan, celana ganti sarung! Jadi bagi anak-anak muda yang mengerti sejarah, cuma melihat PKI ini sebagai korban saja. Coba lihat peristiwa Madiun gimana? Saat itu Bung Karno jelas sekali sikapnya.
Ada yang menyebutkan bahwa munculnya peristiwa pelarangan film, penggerebekan, isu PKI dibangkitkan kembali ini sebenarnya skenario untuk munculnya kembali kekuatan orde baru yang sangat militeristik? Pemain sekarang ini kan sebagian besar orang orde baru. Lihat itu Golkar itu siapa? PDIP itu warisan orde baru juga. Dulu tahun 73 tidak memakai huruf P ya.. PDI saja. Semua satu atap dengan orde baru. Bicara politik ini memang susah, tidak ada kawan dan lawan yang abadi, umurnya pendek. Soal pelarangan buku itu tadi berlebihan lah, tidak bijak. Mengapa marxisme harus dilarang? Sebagai kajian akademik kan gak masalah? Kalau buku-buku dilarang, orang kan bisa mencari dari internet.
Pemikiran manusia itu tidak ada yang abadi. Pemikiran ilmiah pun itu sangat relatif. Apalagi hanya sekedar marxisme.
Ada yang mengatakan, sebagai sebuah tesis komunisme itu merupakan sebuah kebenaran yang abadi. Menurut Buya bagaimana ? Pemikiran manusia itu tidak ada yang abadi. Pemikiran ilmiah pun itu sangat relatif. Apalagi hanya sekedar marxisme. Marxisme kan sebenarnya hanya salah satu bentuk saja untuk menyuarakan keadilan, anti eksploitasi. Jadi kalau ini muncul, sebenarnya ya karena tidak ada keadilan. Anda bisa bayangkan, 2% konglomerat hitam atau putih itu menguasai 98% aset bangsa. Untuk menyuarakan ketidakadilan itu, bisa saja menggunakan bendera kanan atau bendera kiri. Karena memang kita sudah jauh menyimpang dari ruh Pancasila dan Pasal 33 UUD.
Menurut Buya, bagaimana penyimpangan itu terjadi? Kalau dalam bacaan saya, sila ke 5 Pancasila dan Pasal 33 itu sudah mandul sejak proklamasi. Maka jadilah kita republik yang dimainkan oleh pihak asing, ideologi asing, liberalisme yang menyulut kesenjangan dimana-mana. Tidak ada lagi orang-orang yang menyuarakan Pasal 33 ini. Bahkan kampus-kampus ekonomi pun kini sudah menganut ekonomi liberal yang luar biasa. Jadi ide tentang keadilan sosial itu sudah tergusur semua. Ini masalah besar, dan menurut saya ini lebih berbahaya dari sekedar isu komunisme itu sendiri. Jadi kalau muncul gerakan kiri atau gerakan apapun itu akarnya, ya masalah ketidakadilan ini.
Kembali ke masalah rekonsiliasi. Menurut Buya bentuk rekonsiliasi seperti apa yang ideal? Saya rasa forum silaturahmi anak bangsa itu digerakkan lagi secara lebih massif. Anak Yani, anak Nyoto, itu kan sudah sering bertemu. Tak ada masalah. Memang kuncinya pada sikap tegas pemerintah. Kalau Jokowi mandul, ya repot sudah.
P RANALA EDISI 8, Maret-Ap ril 20 16
27
L in g k a r R e b o a n
RITUAL AKADEMIK
ALA PUSHAM UII
Oleh: Risang Iwan Fadillah Diskusi ini adalah bagian dari usaha untuk merawat akal sehat dan prinsip mencintai kebenaran
N
Namanya Lingkar Reboan. Ini tradisi akademik yang mulai diperkenalkan oleh para punggawa Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII). Persis dengan namanya, maka setiap hari Rabu perhelatan itu digelar. Bertempat di ruang diskusi Pusham UII, berbagai tema menjadi diperbincangkan secara hangat dan mendetail. Sederhana saja dan sesiapa saja boleh datang; tak berbatas usia maupun organisasi. Ini memang diskusi untuk khalayak tanpa sekat. Bisa disebut unik karena diskusi ini tak hanya melulu ngomong soal ini itu. Ada paduan antara seni dan tradisi keilmuan yang menarik untuk diikuti. Kadang di sela diskusi, akan muncul rupa warna kreativitas. Salah satunya adalah musik akuistik yang bernuansa kritikan sosial dan pembacaan puisi. Benang Merah –band asal Solo– kadang menjadi pengisi acara di tengah diskusi itu. Inilah salah satu hal yang menjadikan Lingkar Reboan menarik untuk diikuti dan ditelusuri. Perpaduan antara diskusi dan seni selama ini jarang dilirik. Situasi inilah yang kemudian dilihat Pusham UII sebagai salah satu cara agar diskusi menjadi lebih enteng dan menarik.
28
P R AN AL A EDI S I 8 , M ar e t-A pr il 201 6
Pada 16 Mei 2016 lalu. Lingkar Reboan mendapuk Iqbal Anhaf dari CRCS UGM, Anang Zakaria, Ketua Aliansi Jurnasli Independen (AJI) Yogyakarta sekaligus wartawan TEMPO, serta Eko Riyadi, Direktur Pusham UII, untuk menjadi pemantik diskusi. Isu yang diangkat seputar ujaran kebencian atau lazim dikenal dengan istilah hate speech. Ini juga menjadi hal yang patut untuk diikuti. Media sosial dan banyak media cetak seringkali terjebak dalam situasi ini. Di tengah diskusi, ada kawan dari KEPAL SPI yang turut memantik dengan lagu-lagu bernuansa kritikan sosial. Pada hari Rabu, 8 Juni 2016 juga ada diskusi asyik. Lingkar Reboan menghadirkan tiga pemikir perempuan untuk melihat polemik hukuman kebiri. Ada Indriyati Suparno yang merupakan mantan anggota Komnas Perempuan. Muncul juga Dian Arymami yang kebetulan menjadi pengajar pada Pascasarjana Ilmu Komunikasi UGM. Tak kalah menterang juga ada ulasan dari Ernawati, seorang aktivis perempuan di Yogyakarta. Di sela-sela diskusi apik tersebut muncul pembacaan puisi dan alunan keren dari band Benang Merah. Menarik, bukan?
R e s e nsi
Sihir Barat
dan Kesadaran Warna Kulit Perempuan di Indonesia Oleh: Arifuddin Kunu Mahasiswa Kajian Budaya dan Media UGM, Pernah bekerja sebagai wartawan Tempo Biro Makassar. Judul Buku
s
:
PESONA ‘BARAT’, Sebuah Analisis Kritis Historis
Tentang Kesadaran Warna Kulit di Indonesia
Penulis
:
Vissia Ita Yulianto
Penerbit
: JALASUTRA
Terbit
:
Maret 2007
Tebal
:
168 halaman + XVII
Ukuran
:
15 X 21 cm
Sebelum penggunaan produk produk kecantikan yang menggunakan whitening (pemutih) marak di Indonesia, publik sudah lebih dulu mengenal produk kecantikan lokal. Sebut saja Mustika Ratu, Sari Ayu atau Viva Kosmetik yang begitu melengenda. Hampir semua produk kecantikan ini menawarkan nuansa kuning langsat ala puteri keraton. Hebatnya, hampir seluruh perempuan dari berbagai kalangan ‘berlomba’ menguningkan kulit mereka. Dari pembersih muka, bedak
tabur hingga luluran. Sampai awal dekade 80-an, produsen kosmetik ini belum menawarkan konsep ‘putih itu cantik’. Masih pada tataran ‘cantik adalah kuning langsat bak puteri keraton. Sejatinya, tidak ada yang baru dengan kata putih. Umumnya di negara negara asia, warna putih di Indonesia juga bermakna positif. Putih menyimbolkan kesucian, kebaikan, keindahan, dan kemurnian. Sebaliknya, warna hitam identik dengan kotor, jelek, dosa, gelap
P RANALA EDISI 8, Maret-Ap ril 2 0 16
29
R e s e nsi
atau malam, dan sedih. Sampai pada level ini, dikotomi putih dan hitam masih berlangsung natural. Sensitifitas baru akan terasa ketika perbedaan tersebut memasuki ranah praktik kecantikan (as beauty practice) yang tidak bisa didekati dengan pendapat tentang mitos kecantikan. Fenomena ini pun tidak bisa dipahami sebagai ideologi feminim lama untuk mengontrol perempuan semata. Mengapa? Sebab representasi dari pemutih kulit sesungguhnya telah distrategikan, dilokalkan, dan digeneralisasikan untuk memperdalam keinginan perempuan, melalui male approval, sekaligus menekankan kulit putih sebagai sebuah keharusan untuk feminitas. Iklan secara khusus menghidupkan kembali kontras dan perbandingan yang tampak (visible contrast and comparation) berdasarkan oposisi biner hierarki patriarkal dan kolonial. Layaknya sesuatu yang berlangsung secara alami, pesan-pesan iklan pemutih bersifat
30
P R AN AL A EDI S I 8, M a r e t-A pr il 201 6
Perubahan konsepsi dari ‘cantik adalah kuning langsat’ menjadi ‘cantik itu putih’ dimulai pada era 85-an.
halus, tidak terasa, tidak terlihat memaksa, namun justru memesona, memberi mimpi, fantasi, sekaligus menawarkan solusi. Indoktrinasi dan persuasi iklan pemutih ini pun tidak mudah teridentifikasi oleh audiens. Karena merupakan keharusan dan memberi solusi, maka ras cokelat dengan serta merta mengamini pesan iklan tersebut dan menggunakannya sebagai sebuah ekspresi keterpesonaan. Perubahan konsepsi dari ‘cantik adalah kuning langsat’ menjadi ‘cantik itu putih’ dimulai pada era 85-an. Para raksasa lokal itu mulai mengubah haluan dengan menambahkan whitening pada produk anak perusahaan mereka. Mustika Ratu memproduksi biocell yang lebih beraroma modern dan kebarat-baratan. Sementara Sari Ayu pun tak mau kalah dengan biokos dan caring nya. Intinya, produk mereka sudah tidak menawarkan
kuning langsat sebagai trade mark dan image. Namun menawarkan pemutih, dengan embel embel; aman untuk kulit Indonesia. Pergeseran makna dari ‘kuning langsat’ ke ‘putih’ menandai adanya dekonstruksi warna kulit (hal XII). Dulu kulit yang dianggap eksotis adalah ‘hitam manis’ dan ‘sawo matang’. Dan kulit aristokrat identik dengan ‘kekuninglangsatan’. Kini, image dan selera perempuan sudah mulai dipenjarakan oleh pesona barat. Masyarakat, perempuan khususnya, mulai merekonstruksi sejarah ‘perkulitan’ mereka. Hitam manis atau sawo matang sudah tidak dimaknai sebagai eksotisme. Publik kemudian memaknai cantik adalah putih seperti putihnya perempuan barat. Sekali lagi, barat seolah menjadi kiblat. Deskripsi tentang pergeseran makna ‘putih’ sebagai sebuah nilai, status atau simbol dalam makna konstruksi
sosial ini lah yang coba diutarakan Vissia Ita Yulianto dalam buku ini. Buku setebal 168 halaman ini tidak hanya mengulas persoalan kulit putih dari perspektif kecantikan kontemporer semata. Analisa penulis terhadap fenomena tersebut, juga menunjukkan betapa globalisasi dalam konteks kapitalisme, memakai ‘psikologi’ dan sensitifitas sebuah bangsa bekas jajahan. Fakta ini juga menunjukkan masih berlakunya hierarki global (Herzfelt, 1994) tentang warna kulit di negara negara bekas jajahan, seperti Indonesia. Penulis juga menggunakan penelusuran sejarah lewat pengalaman khas Soekarno, Pramoedya Ananta Toer hingga R.A Kartini untuk menunjukkan betapa pemaksaan budaya oleh kolonial telah membentuk psikologi dan mentalitas rendah diri masyarakat ketika itu. Secara tegas, penulis bahkan menyebutnya
sebagai mentalitas Inlander. Meski tidak secara runut, Ita menjabarkan fase yang menandai pergeseran makna ‘putih’ yang dimulai dari masa pra kolonial ke masa kolonial (feodalisme), masa Orde Lama ke masa Orde Baru, hingga memasuki era modern. Kedalaman analisis yang digunakan penulis dalam buku ini juga tercermin saat memamaparkan perbedaan atau perbandingan antara konsepsi kecantikan dan warna kulit di era Indonesia kontemporer dan di zaman kakawin (literatur yang terdiri dari kumpulan puisi-puisi tentang segala kehidupan manusia, termasuk defenisi-defenisi atas idealisme patriarkal tentang feminitas). Begitu pun perbedaan antara pesona barat kontemporer dengan pesona barat di zaman kolonial (Bab 3).
kulit putih yang dalam beberapa pengertian merupakan ekspresi modernitas pada masyarakat Orde Baru yang mendominasi, bahkan menentukan definisi budaya tinggi dan popular, definisi kalangan atas dan kalangan bawah (Pamberton, 1994). Di sisi lain, buku karya Ita ini mengungkapkan bagaimana pesona barat sanggup ‘menyihir’ masyarakat Indonesia yang di saat bersamaan juga menyuarakan kesakithatian, keterpurukan hingga rasa minder sebagai bangsa timur terhadap bangsa barat. Betapapun, buku ini akan menjadi sumbangsih yang amat berarti bagi masyarakat. Khususnya bagi studi feminisme di Indonesia untuk menghilangkan beragam bentuk diskriminasi, yang hingga kini masih kerap kita temui sebagai dampak globalisasi.
Pesona kulit putih yang jadi fokus kajian buku ini, bukan sekadar kulit putih orang barat, namun
Ita adalah Alumni Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Minat yang besar
P RANALA EDISI 8, Maret-Ap ril 20 16
31
R e s e nsi
terhadap isu perempuan dan budaya massa, mendorongnya untuk melanjutkan studi di Program Pasca Sarjana Universitas Ilmu Religi dan Budaya di almamaternya (2001). Ia mendapat beasiswa dari Asia Research Institute, National Universtiy of Singapore [NUS] dalam program ARI’s fellow yang menghasilkan karya tulis berjudul “The Allure of Whitenes in Indonesia” yang telah dipresentasikan di University of Sains Malaysia dan Universitas Sorbonne Prancis. Publikasi lain penulis adalah karya terjemahan buku Joost Cote, on Feminsime and Nationalism: Kartini’s Letters to Stella Zeehandelaar 1899-1903 (Monash Unversity Press, Victoria) dengan judul Aku Mau: Suratsurat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903 (Jakarta: Kompas, 2004); Berakhir di Klein Scheveningen, dan The Boom of Infotainemnt: A Process of Re-domestification of Women in Indonesia. Meski bukan tergolong buku baru (cetak tahun 2007), namun ide yang coba ditawarkan penulis melalui buku ini akan tetap aktual. Setidaknya pesan yang disampaikan
32
P R AN AL A EDI S I 8 , M are t-A pr il 201 6
dapat menggugah kesadaran masyarakat untuk melek media di satu sisi, dan menggugah kesadaran masyarakat umum di sisi lain; ihwal mentalitas rendah diri bangsa timur atas bangsa barat. Kecerdasan Ita dalam menyampaikan ide ide yang selama ini hanya menjadi wacana, bergema, dan hidup dalam masyarakat namun tidak pernah dianalisa secara kritis, berhasil dikupas tuntas. ***
P e r sp e k t i f
ORANG TOLAKI KENDARI
YANG SEPERTI LAUTNYA Oleh: Muhammad Zuriat Fadil
“Orang Tolaki Kendari seperti lautnya. Pasangnya tidak terlalu pasang, surut juga tidak begitu surut.”
K
ira-kira begitu kalimat yang beberapa kali saya dengar dari orang-orang tua di Kendari. Tentu saya musti mengakui keterbatasan jangkauan su dut dan jarak pandang pribadi, sehingga saya tidak bisa menyimpulkan; apakah petuah semacam ini juga diturunkan oleh para orang tua di keluarga-keluarga lain di kota kami; Kendari. Apa yang saya coba ungkapkan dalam tulisan ini adalah sebuah hasil dari selayang pandang. Tidak berdasarkan pada data akademis yang baku, walau mungkin sedikit banyak akan saya sempilkan bahan rujukan. Siapa tahu khalayak pembaca dapat menggali lebih dalam bila berminat. Kalimat yang saya kutipkan di atas –tentu dengan sedikit menyesuaikan tata bahasa, agar mampu difahami oleh pembaca di wilayah Pulau Jawa– sebenarnya
menggambarkan konsep diri orang Tolaki; suku mayoritas yang mendiami kota Kendari. Dia dikaitkan dengan pemahaman bahwa orang Tolaki memang sudah begitu rupa akan selalu menjadi medioker. Tidak punya prestasi yang menjulang, walaupun tidak akan jatuh seambruk-ambruknya juga Orang-orang tua yang memberi nasihat itu akan mencontohkan betapa orang Tolaki itu pemalas. Tidak seperti suku “ini-itu” yang juga mendiami Kota Kendari; yang mereka anggap adalah kaum pekerja keras, yang selalu bergairah penuh daya hidup. Situasi ini juga selalu disertai stereotipe negatif “suku itu orangnya ulet berdagang, tapi orangnya kasar”. Kalimat senada ini selalu lazim terdengar di tengah obrolan-obrolan kami. “Seperti lautnya…” yang dimaksud adalah laut di seberang lorong rumah kami di Sodohoa, Teluk
P RANALA EDISI 8, Maret-Ap ril 2 0 16
33
P e r sp e k t i f
Kendari. Teluk Kendari memang bukan pemandangan laut lepas dengan debur ombak menghempas-hempas. Bukan pula tipikal laut yang menggambarkan gairah menyala-nyala. Bung Karno pernah bercerita, bahwa ia punya banyak koleksi lukisan. Diantaranya ada lukisan sawah yang tenang dan ada lukisan laut dengan ombak berdebur gemuruh. Lukisan laut itulah yang dikatakan Bung Karno sebagai lukisan favoritnya. Jika itu benar, maka lukisan itu pasti bukan lukisan laut Teluk Kendari.
“Makandai” (Kandai artinya dayung, Makandai; mendayung). Orang Portugis yang konon salah menangkap kata “Makandai” sebagai Kendari, lalu menjadikannya nama kota ini.
34
P R AN AL A EDI S I 8 , M ar e t-A pr il 201 6
Teluk Kendari tidak bersambungan dengan samudera lepas. Bukan seperti laut di pesisir pantai selatan Pulau Jawa. Ditambah lagi kondisi teluk yang mengepung dengan celah yang sempit, sekedar jalan masuk kapal-kapal nelayan yang akan melaut. Ini membuat Teluk Kendari lebih nampak seperti danau dengan ukuran yang sedikit lebih luas. Laut yang tenang, terlalu tenang. Tapi kita tidak bisa meremehkan apapun yang tenang dan tak bersuara, bukan? Maka apabila kita bicara tentang konflik di antara suku-suku yang mendiami Kota Kendari, bisa dipastikan kota ini sangat sepi dari
kisah-kisah konflik. Tak ada inrik dengan skala besar. Namun, tugas kita jualah mengajukan tanya; apakah ini disebabkan pemahaman tentang keberagaman yang telah mencapai maqom kematangan? Seperti yang saya telah sampaikan di atas. Sebenarnya di kalangan Suku Tolaki (sekali lagi, sejauh jangkauan pandang penulis), stereotip antar suku sebenarnya tertanam dan tumbuh dengan kuat. Itu juga termasuk stereotip terhadap suku sendiri. Dengan begitu, saya pribadi mengambil satu simpulan kasar; bahwa ketiadaan konflik di kota ini bisa juga dicurigai karena konsep diri orang Tolaki yang merasa tidak bisa melakukan apa-apa, bila tidak bergantung pada suku-suku lain yang mendiami kota ini. Kecurigaan ini hampir menguat, manakala saya mencoba bertanya-tanya tentang situs sejarah, jejak peradaban yang tertinggal di Kota Kendari. Jawaban yang saya dapati kebanyakan adalah jawaban bernada pesimis. Kota ini adalah kota yang tidak memiliki sejarah. Tidak ada kerajaan besar seperti Singasari, Sriwijaya, Sunda Pajajaran atau Majapahit.
Bahkan dalam penamaan Kota Kendari, kisah lisan yang masih sering didengungkan adalah bahwa kota ini dibangun dan diberi nama oleh orang Portugis yang melaut ke Teluk Kendari. Ia lalu bertemu dengan nelayan yang sedang mengendarai rakit. Konon ditanyakan pada sang nelayan nama daerah ini. Namun nelayan yang tidak faham bahasa pelaut Portugis itu mengira ditanya sedang melakukan apa. Maka nelayan menjawab, “Makandai” (Kandai artinya dayung, Makandai; mendayung). Orang Portugis yang konon salah menangkap kata “Makandai” sebagai Kendari, lalu menjadikannya nama kota ini. Terselamatkan Bunyi dan Aksara Bermula dari rasa penasaran tentang akar budaya orang Tolaki yang juga sedikit banyak mengalir dalam darah saya, pada mudik tahun ini saya mulai sedikit gencar menggali sumber-sumber sejarah yang sedapat mungkin bisa saya cari. Dari sana saya berkenalan dengan karyakarya tokoh-tokoh, orang-orang tua yang ternyata sudah sejak lama
melakukan upaya penulisan sejarah Suku Tolaki. Di antaranya, yang bisa pembaca jadikan rujukan adalah karya-karya Rauf Tarimana, Muslim Su’ud dan yang bisa dikatakan dari generasi muda adalah karya Basrin Melamba MA berjudul “Tolaki; Sejarah, Identitas dan Kebudayaan”. Maka, walau musti saya akui betapa terlambat, saya mulai mengenal dan menyadari sumber kebudayaan Tolaki. Orang Tolaki rupanya juga tidak begitu rendah tingkat peradabannya seperti yang diyakini oleh beberapa kalangan. Kendari memang bukan pusat peradaban ketika suku-suku Tolaki yang sebelumnya terpecah menjadi tiga suku besar; Wawolesea, Besulutu dan Padangguni, dipersatukan oleh Mokole More (Raja perempuan) Wekoila. Raja perempuan ini yang bergelar Anaway Inuanggino Sangia (artinya: Bidadari titisan Para Dewa). Saat itu Wekoila menjadikan daerah Konawe sebagai pusat pemerintahan. Konon memang para to’ono motuo (orang-orang tua) sudah mewanti-wanti, bahwa apabila saatnya Tolaki menjadi satu, maka
pusat pemerintahannya sebaiknya menjauhi pesisir dan berada di pedalaman. Tepatlah Konawe saat itu menjadi pusat pemerintahan. Kendari saat itu dikenal dengan nama Laiwoi dan merupakan bagian dari Kerajaaan Konawe yang bisa dibilang bercorak kerajaan federasi. Mengenai sejarah peradaban Konawe dan sosok Wekoila yang menarik untuk ditelusuri napak tilasnya, tentu pembaca yang budiman bisa mencari-carinya sendiri. Dalam tulisan ini saya hanya ingin menyampakian bahwa sejak era tersebut, orang Tolaki sudah memiliki slogan yang sangat dipegang teguh berbunyi “Inae Kona Sara ie Pinesara, Inae Lia Sara ie Pinekasara” yang secara harfiah dapat diartikan, sesiapa menghormati adat (budaya, etika) akan dihargai, namun sesiapa tidak menghormati adat maka akan dikasari. Tolaki rupanya memang punya potensi keras. Dia tidak selalu, dan sejak dahulu adalah suku yang rendah diri dihadapan suku lain. Dia juga adalah suku yang telah sejak dulu ditempa dengan peperangan, budaya yang juga keras seperti
P RANALA EDISI 8, Maret-Ap ril 2 0 16
35
P e r sp e k t i f
monga’e (tradisi potong kepala, biasanya untuk pengesahan menjadi Tamalaki, atau prajurit kerajaan). Ketika terjadi perlawanan DI/TII terhadap pemerintah Indonesia yang gaungnya juga sampai dan meresahkan masyarakat di sekitar Sulawesi Tenggara. Pasukan-pasukan tentara dikirim ke daerah ini untuk mengamankan dan menumpas pasukan DI/TII. Awalnya tentara Indonesia mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Seiring berjalan waktu, oknum-oknum tentara mulai sering berlaku jauh dari kata terpuji. Masyarakat kemudian menggalang kekuatan yang dinamakan Pasukan Djihad Konawe, yang bukan saja berhadapan dengan oknum-oknum TNI saat itu namun juga memerangi pasukan DI/TII. Ini bukan membanggakan potensi kekerasannya. Intinya adalah, dengan potensi agresi macam itu, rupanya bukanlah sekedar rasa rendah diri yang menyebabkan Kendari yang didiami mayoritas orang Tolaki sepi dari konflik. Ada pesan leluhur yang meresap jauh ke dalam alam bawah sadar orang-orang Tolaki. Apapun stereotip antar suku yang
36
P R AN AL A EDI S I 8, M a r e t-A pr il 201 6
berkembang di antara mereka, selama slogan kultural “Inae Kona Sara ie Pinesara, Inae Lia Sara ie Pinekasara” tetap mendengung di dalam sanubari orang-orang Tolaki, selama di antara masyarakat saling menjaga etika dan adat istiadat, tidak akan terjadi pertikaian. Akar kebudayaan inilah yang selama ini menjaga perdamaian di Kota Kendari. Pesan-pesan dari para to’ono motuo yang melintasi zaman itulah yang –walau samar namun meresap di alam bawah sadar kultural orang Tolaki– menjaga anak turun mereka dari konflik-konflik dan pertikaian yang tidak perlu. Ketika membuka lembaranlembaran bahan sejarah dan kebudayaan Tolaki, pada kala saya menemukan istilah-istilah yang tidak saya fahami. Saya sering bertanya pada ibu saya yang memang fasih berbahasa Tolaki. Itulah ketika itu, ibu saya mulai menggali dalam ingatannya sendiri bahwa beberapa istilah-istilah itu pernah beliau dengar ketika menemani orangorang tuanya berkunjung pada para anakia ( keturunan mokole/ raja atau bangsawan).
Peradaban yang dibangun di atas bunyi ternyata tidak serapuh itu. Memang beberapa sejarahwan selalu menyayangkan betapa bangsa kita tidak rajin mendokumentasikan secara tertulis jejak-jejak sejarah. Saya sendiri berkeyakinan bahwa tradisi lisan (oral tradition) selain bisa dipandang sebagai kelemahan, juga bisa dilihat bahwa dia memiliki kelebihannya sendiri. Pada budaya yang lekat dengan lisan, yang akrab dengan bunyi, sering terjadi jejak-jejak sejarah dan peradaban tersimpan jauh di dalam labirin memori masing-masing manusianya. Budaya tulis, walaupun selalu diunggulkan namun memiliki kelemahannya juga. Tulisan bisa didikte oleh penguasa dan pemenang ronde-ronde sejarah, dan kecenderungan kita selalu ingin mencatat hal-hal besar yang megah-megah. Rasanya tidak banyak peradaban yang dibentuk dengan budaya tulis yang mau mencatat hal-hal kecil dan (yang dianggap) remeh, selain ketika dimulainya era penulisan hadits; yang justru mencatat segala aspek dari kehidupan Muhammad yang sangat manusiawi.
Dengan begitu, Muhammad tidak akan pernah dikultuskan menjadi Tuhan yang disembah. Dalam tradisi lisan, hal-hal kecil banyak terwariskan, hanya butuh lebih usaha untuk menggali-gali dalam timbunan memori. Bila pembaca bersepakat dengan saya, bukankah jejak peradaban nusantara justru lebih banyak terwariskan melalui hal-hal kecil yang lumrah dan wajar keseharian? Kendari Diambang Perubahan, Masa Depan Keberagaman Sekitar tahun 2005-2007, di wilayah Sulawesi Tenggara tibatiba ditemukan banyak potensi tambang; emas terutama. Lonjakan ekonomi langsung terasa. Kendari yang sebelumnya masih terasa bernuansa desa, tiba-tiba seolah beranjak menjadi remaja yang mulai senang bersolek. Ketika saya menginjakkan kaki kembali di kota ini, mudik tahun ini, mall-mall sudah berdiri megah di tengah kota. Beberapa hotel mewah mulai tumbuh di sepanjang garis pantai Teluk Kendari. Perekonomian yang tumbuh pesat. Keadaan alam yang
elok mulai menumbuhkan kesadaran pariwisata. Pundi-pundi uang mengalir, jumlah kelas menengah pun membludak. Kita tidak bisa memang berpandangan miring apalagi sampai pedoko (sewot, jengkel) pada pertumbuhan ekonomi. Bagaimanapun kegiatan perekonomian musti hidup. Bila ada yang dirasa perlu untuk diwaspadai mengenai kehidupan keberagaman di Kendari, maka mungkin meledaknya kelas menengah itulah yang perlu kita perhatikan. Kita memang belum selesai dengan definisi kelas menengah. Tidak semua kelas menengah juga bisa dikatakan kelas menengah ngehek. Tapi yang saya katakan perlu diwaspadai adalah ketika di kota ini kelas menengah lahir dari rahim kota yang terputus kesadaran sejarahnya.
Sekitar tahun 2005-2007, di wilayah Sulawesi Tenggara tibatiba ditemukan banyak potensi tambang; emas terutama.
Tidak awas pada arus zaman. Maka disitulah kewaspadaaan kita perlu tingkatkan. Seperti saya katakan sebelumnya, Kendari terselamatkan dari konflik antar suku yang mendiaminya karena suarasuara samar dari masa lalu, yang hanya didengarkan menajamkan
P RANALA EDISI 8, Maret-Ap ril 2 0 16
37
Surat Pembaca
kepekaan kesadaran tradisi lokal. Kelas menengah yang sedang dan terus berkembang biak, kita tahu selalu memiliki zona nyamannya sendiri, yang justru mengikis kepekaan kebudayaan lokal dimana dia berdiam.
agama sama saja. Sebab, dua arah relijiusitas ini memang tidak butuh penalaran yang menguras banyak waktu tenaga untuk dipikir, ditimbang dan dinalar, sehingga memang sangat cocok bagi kalangan kelas menengah Qorun itu tadi.
Ya, tidak semua kelas menengah tentu saja. Kelas menengah yang saya sebutkan adalah kelas menengah bersifat Qorun, yang dendam pada kemiskinan, tapi tidak pada sistem yang memiskinkan. Kelas menengah yang tidak ambil urusan dengan keberadaan sejarah, sedang batinnya dijejali impian dengan kiblat pembangunan keteraturan murni Appolonian, bahwa yang baik, yang layak, yang beradab itu adalah kota-kota seperti Singapura, Abu Dhabi dan lain-lain. Kelas menengah yang malas berpikir.
Dan kelas menengah inilah yang paling strategis untuk menularkan pemahaman-pemahaman dan impian-impiannya pada kelas-kelas lain di sekelilingnya. Kita runtut saja semua dari awal. Kendari sebuah kota yang masyarakatnya merasa rendah diri karena terputus sejarahnya, terselamatkan dari potensi konflik karena suara-suara masa lampau yang membutuhkan indra pendengaran budaya yang peka. Sedangkan di satu sisi, lahirlah kelas menengah yang sifatnya mengaburkan kepekaan tadi. Maka memang Kendari, orang Tolaki dan suku-suku lainnya musti mewaspadai hal ini.
Itulah mengapa di perkotaan, dimana kelas menengah tumbuh subur, pola religiusitas dan spiritualitas yang berkembang selalu mengerucut pada dua arah; tafsir keras yang memandang semuanya ajaran lain selainnya salah, atau justru spiritual agnostik yang memandang pokoknya semua
38
P R AN AL A EDI S I 8 , M ar e t-A pr il 201 6
Mewaspadai dalam hal ini, bukan berarti memusuhi kaum kelas menengah. Tapi bagaimana Kendari menggalakkan dan menyemarakkan terus kegiatan kebudayaan, seni dan sastra lokal
yang agar pesan-pesan para leluhur tetap bergaung menembus zaman. Itupun, tetap ada yang perlu diwaspadai juga mengingat potensi wisata kota ini, agar jangan sampai tradisi-tradisi hanya menjadi bungkus jualan, dari produk-produk pariwisata sehingga menanggalkan esensinya. “Orang Tolaki Kendari seperti lautnya…”. Kata orang-orang tua di keluarga saya dulu, saya memilih untuk menafsirkannya sebagai konsep ketenangan batinnya. Sebab orang Tolaki walaupun ramai, suka bicara, meriah tapi batinnya memang selalu tenang. “Orang Tolaki Kendari seperti lautnya…” Saya sudah di Jogja, dan Mama menelpon mengabarkan rumah di Sodohoa banjir karena laut pasang bercampur hujan deras di bulan Juli. Ah, Kendari memang sedang berubah.