Surat Pembaca
Liputan Hak Asasi Manusia
Cara Dapat Pranala
Salam. Saya ingin bertanya, apakah Pranala pernah membuat liputan khusus tentang hak asasi manusia, khususnya yang ada di Indonesia? Kebetulan saya memerlukan beberapa referensi terkait dengan itu. Saya ingin menulis soal hak asasi manusia dan agama. Apakah Pranala mempunyai data terkait dengan hal itu? Terima kasih.
Hallo Pranala. Saya pernah membaca Pranala beberapa edisi. Saya mau bertanya, bagaimana cara mendapatkan Pranala? Apakah harus membeli?
Rio Victor, Babarsari
Gesang Wulandari, Kaliurang Pranala adalah media publik. Dibagikan secara gratis. Namun karena cetak terbatas, jadi memang terkadang ada beberapa orang yang kesulitan untuk mendapatkannya. Jika berminat, silahkan datang ke kantor Pusham UII.
Tema yang ditulis oleh Pranala memang berkutat pada isu hak asasi manusia. Pranala kemudian memecah itu menjadi topik yang lebih kecil dan disesuaikan dengan peristiwa yang ada. Anda bisa datang ke kantor Pusham UII untuk mendatapkan data lebih tentang hak asasi manusia. Ada beberapa buku yang tersedia.
Redaksi
Redaksi
Daftar Isi 2 Editorial Sejarah Tak Usah Dipatenkan, Biarkan Masyarakat memilih sejarahnya sendiri 4 Laporan Utama Teror di Kantor Kunca 12 Laporan Utama Ada Apa Dengan Jogja? 18 Laporan Utama Pembentukan Forum Intelektual Anti Pemberangusan Kebebasan Akademik Memperjuangkan Kebebasan Akademik 26 TOKOH Edward Bot (Pengelola Sekolah Epistemic ) Mahasiswa Sekarang Kurang Kritis
33 Resensi Pemberangusan Buku dan Wujud Demokrasi Kita 39 Perspektif Anakronisme Negara atas Agama
P RANALA EDISI 9, MEI- JUNI 20 16
1
EDITORIAL
Sejarah Tak Usah Dipatenkan,
Biarkan Masyarakat memilih
sejarahnya sendiri
Pemimpin Redaksi Puguh Windrawan
A
rtefak sejarah bangsa ini terkait dengan kebebasan akademik agak memiriskan. Jika dikerucutkan lagi menjadi bagian yang lebih kecil, yaitu penerbitan buku, koran maupun majalah, maka kemirisan ini seolah menemukan kebenarannya. Tak terhitung berapa banyak korban pembredelan oleh Orde Baru. Orde sebelumnya juga kerapkali berperilaku sama. Begitu tak sejalan dengan kemauan pemerintah yang berkuasa, jangan harap penerbitan itu akan sampai ke tangan masyarakat. Lalu lalang kejadian seperti ini telah menjadi perhatian serius banyak pihak. Anehnya, perhatian dan beberapa gerakan yang ada seolah dianggap angin lalu oleh pemerintah. Kejadian yang nyaris sama kembali terjadi belakangan ini. Semua ini tentu menyedot perhatian publik dalam skala luas. Dengan menyebut nama, maka kita akan mengenal sosok Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan yang justru menjadi terkenal karena beberapa bukunya pernah dilarang beredar. Dianggap mengajarkan kembali ajaran Marxisme Komunisme. Dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari ajaran ‘kiri’, yang pernah dianggap menjadi musuh terbesar Orde Baru. Ketika pelarangan terjadi, justru novel-novelnya dialihbahasakan di luar negeri. Banyak pujian mengalir dari sana. Sementara di negeri sendiri, novel-novelnya juga tetap diminati banyak pembaca, meski dengan sembunyi-sembunyi. Khawatir ketahuan aparat. Pramoedya Ananta Toer hanyalah satu dari sekian banyak kasus lain. Koran, majalah, terbitan lain masih banyak yang diperlakukan sama. Soal tindakan pemberdelan, Orde Baru ternyata masih menjadi pemegang rekor terbanyak dalam hal larang-melarang. Dalam catatan Omi Intan Naomi yang tertuang dalam buku ‘Anjing Penjaga Pers di Rumah Orde Baru’, jumlah peristiwa pelarangan sangat mengejutkan. Pemilu 1971 ada 52 penerbitan yang dibredel. Setahun sesudahnya ada 50 penerbitan lain yang dilarang beroperasi. Pada tahun 1973, sebanyak 32 penerbitan
2
P R AN AL A EDI S I 9 , M EI - JU N I 201 6
ditutup paksa. Peristiwa Malari yang terjadi tahun 1974 memakan korban 73 penerbitan. Kemudian pada tahun 1981, 29 penerbitan lain menjadi korban. Pada tahun 1991, bersamaan dengan dihentikannya tabloid Monitor, ada 36 tindakan lain yang bisa dikategorikan sebagai pemberangusan penerbitan. Dari tahun 1971 hingga tahun 1991 ada 237 penerbitan harus gulung tikar. Bukan karena bangkrut, tapi karena dilarang terbit. Itu yang tercatat. Bisa jadi ada pembredelan lain yang belum terdokumentasi dengan baik. Ini artinya angka 272 itu angka minimal. Bisa jadi bertambah. Antara tahun 1991 hingga tahun 1998 --tahun dimana Orde Baru tumbang-- juga belum tercatat. Alangkah memiriskannya. Seolah kita dikembalikan di jaman batu, dimana informasi begitu terbatas. Hanya saja kali ini terbatas bukan karena semata-mata teknologi, akan tetapi juga karena pembatasan yang dilakukan secara sengaja. Pembatasan yang dilakukan sepihak semata-mata demi sebuah kekuasaan. Alangkah mengerikannya apabila dekade itu kembali dan kita yang mengalaminya. Bukankah kita seolah dipaksa kembali ke zaman dimana demokrasi masih menjadi kata yang asing di telinga? Tentu saja banyak pihak yang akan menolak mentah-mentah. Namun ternyata kejadian itu nyaris terulang. Beberapa pihak melarang pemutaran film “Pulau Buru Tanah Air Beta’. Hampir sama ketika muncul gerakan untuk melarang pemutaran film ‘Senyap’. Anehnya, kadang bukan aparat yang membubarkan, tapi entah sekelompok gerakan antah berantah yang mengancam. Mereka juga melakukan aksi semena-mena dengan melarang beberapa diskusi. Beberapa penerbitan juga disambangi dengan dalih akan kembali memunculkan ideologi komunis. Ketika kemudian dibalik dengan pertanyaan. Komunis yang seperti apa? Kiri yang mana? Buku ideologi Marxisme yang berbentuk apa? Banyak
Pranala
diantara para pelarang itu yang tak paham sama sekali. Ini anekdot yang sebenarnya sama sekali tak lucu di zaman modern ini. Bahwa sejarah Indonesia pernah mempunyai kenangan buruk dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), bukan berarti yang ‘kiri’ kemudian dituduh PKI. Bahwa kemudian buku atau diskusi tentang korban Orde Baru di Pulau Buru misalnya, lantas mereka dituduh menggalang kekuatan untuk menghidupkan kembali PKI. Tuduhan yang sebenarnya harus dibuktikan. Semua orang bisa menuduh, tetapi membuktikan juga bukan perkara gampang. Apalagi jika kita obyektif, apakah memang PKI yang melakukan pemberontakan pada tahun 1965, para sejarawan masih berbeda pendapat. Jadi memang belum ada keputusan final sejarah tentang ini. Memang sebaiknya begitu, sejarah tidak usah dipatenkan. Biarkan masyarakat yang memilih sejarahnya sendiri. Agaknya para pelarang itu; baik aparat maupun kelompok lain, harus datang ke Blora, Jawa Tengah. Tak jauh dari pusat kota Blora, dekat cakruk, ada sebuah bangunan tua nan reyot. Tepatnya di Jalan Sumbawa. Tak terlalu sulit untuk dicari asal pake kata kunci: ‘Pram’. Itu adalah bangunan yang berkisah tentang tentang Pramoedya Ananta Toer dan keluarganya. Kini dijadikan perpustakaan dengan beberapa kambing yang lalu lalang di halamannya. Adalah Soesilo Toer, sang adik sastrawan kontroversial itu yang menjadi penjaga perpustakaan. Begitu memasuki pekarangan dan ruangan perpustakaan, akan didapati tulisan besar: Bacalah! Bukan Bakarlah! Sebagai pengingat pesan kepada generasai muda, bahwa pelarangan buku, pembredelan penerbitan, adalah sesuatu yang kasar.
Diterbitkan Oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta Penaggung Jawab: Eko Riyadi | Pemimpin Redaksi: Puguh Windrawan | Reporter: Kamil Alfi Arifin, Kelik Sugiarto, Prayudha Maghriby | Kontributor: Ali Ridho, Wardhatul Jannah | Fotografer: Gibbran Prathisara | Layout: Arief Mizuary Alamat Redaksi/Tata Usaha: Jeruk Legi RT. 13 RW. 35 Gang Bakung No.517 A, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta 55198 | Telpon: 0274-452032 | Fax: 0274-452158 | Website: www.pusham. uii.ac.id Email:
[email protected]
P RANALA EDISI 9, MEI- JUNI 20 16
3
L A P O RA N UTAMA
Teror di Kantor Kunca Oleh: Kamil Alfi Arifin Foto Oleh: Gibbran Prathisara
Sejumlah penerbit buku-buku kiri di Yogyakarta diteror oleh aparat. Teror ini dianggap sebagai reaksi ketidaksiapan atas Simposium 65
4
P R AN AL A EDI S I 9 , M EI - J U N I 201 6
P RANALA EDISI 9, MEI- JUNI 20 16
5
L A P O RA N UTAMA
6
P R AN AL A EDI S I 9 , M EI - J U N I 201 6
H Hari Selasa, 10 Mei 2016. Sekitar pukul 10 pagi. Kantor penerbitan Kunca Wacana di Maguwoharjo, Sleman, kedatangan tamu asing. Seseorang berseragam militer, bersepatu lars panjang, tiba-tiba datang. Nyelonong masuk tanpa permisi. Tak ada uluk salam yang terucap. Sama sekali tak mengenal tata krama. Tanpa tedeng aling-aling langsung memperkarakan izin usaha penerbitan. Sebuah pemandangan yang tentu mengagetkan bagi para awak Kunca Wacana. “Anda enggak punya izin ternyata, ya? Di kampung ini, Anda belum lapor sama RT,” tuding orang itu. Rasa heran dan ketakutan bercampur jadi satu. Selang berapa saat kemudian, situasi menjadi bertambah runyam. Muncul tiga orang lagi: tentara dan polisi, yang ternyata mereka semua saling mengenal satu sama lain. Di tengah situasi yang rumit itu, Indra Suprobo: pimpinan Kunca Wacana mencoba meredam emosi. Ia berusaha untuk menenangkan orang-orang yang berdatangan itu.
Indra Suprobo membantah tudingan soal perizinan. Sejak awal membangun usaha penerbitan, pihaknya sudah menghubungi Ketua RT setempat. Ia sangat memahami bagaimana prosedur yang harus dijalankan, mengingat ia sendiri adalah pengurus RT di tempat tinggalnya. “Saya sudah memberitahu RT. Lengkap. Saya bikin surat. Di situ lengkap dengan nomor telpon, fotocopy KTP. Saya buat sendiri,” ujar Indro. Ia mengaku pada saat mengurus perizinan, tak bisa bertatap muka langsung dengan Ketua RT. Saat itu, Ketua RT sedang bekerja. Indro datang dua kali. Hasilnya sama, yang bersangkutan tak berada di rumah. “Akhirnya saya sampaikan ke keluarganya yang ada di situ,” tambah Indro. Penjelasan Indro membuat para tamu yang tak diundang itu diam. Tak ada lagi pertanyaan lanjutan yang aneh. Situasi ini membuat Indro sadar. Soal perkara izin dari Ketua RT hanya dijadikan alasan. Ada upaya lain, yaitu untuk membangun teror dan ketakutan
terhadap dirinya dan rekan yang lain. “Memang hanya empat orang aparat yang datang. Tapi cara datangnya itu menimbulkan teror,” katanya. Setelah semua terlihat tenang, Indro kemudian berembug secara baik-baik. Sejumlah pertanyaan akhirnya terjawab tuntas. Maksud kedatangan keempat aparat ke kantor Kunca Wacana ternyata untuk mencari informasi. Apakah memang Kunca Wacana menjadi bagian kelompok yang menyebarkan paham kiri atau tidak. *** Indro mengajak mereka untuk duduk dan berdiskusi. Selama hampir 3 jam obrolan berlangsung. “Saya memang sengaja banyak bicara, untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang tak perlu dijawab. Ini juga bagian dari cara saya menghadapi teror. Meskipun setelah itu, luar biasa capek. Betulbetul stres,” katanya. Anggapan bahwa Kunca Wacana menyebarkan paham komunis ditolaknya mentah-mentah. Istilah
P RANALA EDISI 9, MEI- JUNI 20 16
7
L A P O RA N UTAMA
“
Masyarakat Indonesia itu sudah merasakan nyaman dengan ideologi Pancasila
”
menghidupkan kembali PKI --sering disebut dengan istilah Komunis Gaya Baru (KGB)-juga diabaikannya. Alih-alih menggurui, Indro berusaha mengajak keempat aparat itu untuk berempati terhadap para korban dalam tragedi 65. “Di masyarakat kita itu, banyak korban di tahun 65 dari dua pihak. Terutama yang paling banyak jadi korban itu dari masyarakat yang sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang itu. Lalu, dia menanggung seluruhnya. Tidak ada proses hukum, pengadilan dan sebagainya,” kata Indro. Indro lalu mencontohkan. Satu korban tragedi 65 yang dituduh komunis. Dia ditangkap dan dipenjara selama bertahuntahun lamanya. Hartanya dirampas dan disita sampai keluarga yang ditinggalkannya jatuh miskin. Benar-benar tak punya apaapa. Tapi akhirnya, setelah bertahun-tahun menghabiskan sisa-sisa umurnya di penjara, dia dibebaskan karena tak terbukti bersalah. Syaratnya: dia tak boleh menuntut pada negara, pada pemerintah yang sedang berkuasa. Nasib seperti ini, kata Indro, dialami oleh jutaan rakyat Indonesia. Bahkan ada cerita yang lebih tragis lagi. “Bagaimana misalnya kalau nasib korban itu dialami oleh keluarga Anda? Apa yang Anda pikirkan dan akan lakukan?” tanya Indro kepada keempat aparat itu. Indro mengakui bahwa pihaknya
8
P R AN AL A EDI S I 9 , M EI - J U N I 201 6
menerbitkan buku terkait dengan tragedi 65. Hanya saja tujuannya sama sekali bukan untuk menghidupakan kembali komunisme. Semata-mata menggali suara korban peristiwa ini. Ada hak-hak yang harus dihargai sebagai manusia, sebagai warga negara. Sama sekali jauh dari tuduhan untuk menghidupan Partai Komunis Indonesia (PKI). “Enggak ada yang seperti itu. Itu enggak rasional. Masyarakat Indonesia itu sudah merasakan nyaman dengan ideologi Pancasila,” tutur Indro.
cukup banyak sisa-sisa buku lama. Sisa-sisa buku itu diterbitkan oleh Resist Book. Kebetulan Resist Book berkantor di tempat yang sama dengan Kunca Wacana. Penerbitan ini baru dirintis pada bulan Desember tahun lalu. Digawangi oleh awak yang sama --jebolan penerbit Resist Book-- terutama Dharmawan dan Indro sendiri. Bedanya dengan Resist Book, Kunca Wacana mengambil tema buku yang lebih luas. Tak hanya menerbitkan buku-buku kiri.
Ia terus menjelaskan. Apa yang dilakukan masyarakat adalah mencoba mendengarkan dari para korban. Kesaksikan mereka secara langsung itu seperti apa, dan menggali informasi-informasi tentang itu. Semua itu bisa ditempatkan dalam kerangka penghormatan pada hak asasi mereka sebagai manusia. Siapapun korbannya.
Seperti luas dikabarkan media, teror yang dilakukan aparat terhadap aktivis perbukuan di Yogyakarta bukan hanya terjadi di kantor penerbit Kunca Wacana. Pada hari berikutnya, tanggal 11 Mei, juga terjadi teror di kantor penerbit Narasi di wilayah Deresan, dan di toko Buku Budi di wilayah Caturtunggal, Depok, Sleman.
Setelah diskusi selesai, ketiga aparat itu langsung pulang. Tak ada buku-buku yang disita. Mereka terlihat hanya memfoto beberapa buku. Di kantor penerbit Kunca Wacana, memang masih terdapat
Untung saja, Kapolri pada waktu itu, Badrodin Haiti, langsung memberikan respon dengan mengeluarkan surat tentang larangan aksi sweeping buku yang dilakukan oleh aparat.
***
“Dalam waktu 24 jam langsung ada respon. Ada keputusan dari istana. Untunglah, orang-orang yang berada di sekitar lingkaran istana itu adalah orang-orang yang kita percaya,” ungkap Indro, mengaku lega, saat ditemui Pranala di rumahnya, di daerah Ngagglik, Sleman. Dalam rangka merespon maraknya aksi sweeping buku-buku kiri dan teror terhadap aktivis perbukuan, pada tanggal 17 Mei, sejumlah aktivis perbukuan di Yogyakarta, terdorong untuk membentuk forum Masyarakat Literasi Yogyakarta (MLY). Ini dilakukan sebagai bentuk kritik terhadap ancaman di dunia perbukuan. Mereka membacakan maklumat buku di Kantor LBH Yogyakarta. Isinya antara lain ajakan untuk menghargai buku sebagai produk akal budi. Dalam pengamatan Indro, seperti halnya pengamatan kawankawannya yang tergabung di MLY, banyaknya teror terhadap aktivis perbukuan, terutama yang menerbitkan buku-buku kiri, sebenarnya tak bisa dilepaskan sepenuhnya dari acara Simposium 65. Beberapa hari sebelumnya acar tersebut dihelat di
P RANALA EDISI 9, MEI- JUNI 20 16
9
L A P O RA N UTAMA
Hotel Aryaduta, Jakarta.“Munculnya aksi sweeping buku kemarin, kami membaca, sebagai respon ketidaksiapan terhadap gerakan Simposium 65. Kami melihat reaksi atas gerakan itu sebenarnya,” tambahnya. Reaksi tersebut, lanjut Indro, dilakukan terutama oleh sebagian kelompok yang masih berpikir negatif tentang gagasan rekonsiliasi. Baik dari kalangan militer maupun dari masyarakat sipil. Indro sendiri memandang gagasan rekonsiliasi dan forum Simposium 65 yang mempertemukan semua orang itu sangat penting untuk masa depan kehidupan bangsa Indonesia. Bagi Indro, sebenarnya itu adalah langkah yang luar biasa. Simposium itu dianggap sesuatu yang harus dilalui untuk membongkar prasangka-prasangka dan menyembuhkan trauma-trauma. Hanya saja ini kesadaran baru yang ditakuti oleh sebagian orang. “Dan sebagai cara untuk menghentikan agar gerakan rekonsiliasi tidak berjalan lagi, itu yang dilakukan. Pakai model-model teror. Itu cara-cara lama. Orang sudah muak dan jenuh dengan model teror seperti itu,” kritiknya.
10
P R AN AL A EDI S I 9, M E I-JU N I 201 6
Senada dengan Indro, cendekiawan dan intelektual muslim Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, juga mengungkapkan hal yang sama. Saat Pranala berkesempatan sowan ke kediamannya di Perumahan Pesona Regency, Jalan Kabupaten, Godean, lelaki yang kerap dipanggil dengan sebutan Buya itu mengatakan: hal itu terjadi karena disebabkan oleh ketakutan yang tak kunjung hilang terhadap yang segala hal yang berbau kiri. “Perasaan bahaya kiri belum hilang. Perasaan kecurigaan itu memang umurnya lama” tandasnya.
Buya menganggap pelarangan buku itu bagian dari bentuk pelanggaran HAM yang seharusnya dihentikan karena bisa merusak demokrasi. “Tindakan melanggar HAM harus dihentikan. Itu tak memenuhi harkat dan martabat manusia,” tegasnya.
P RANALA EDISI 9, MEI- JUNI 2 0 16
11
L a po r a n U t a m a
Ada Apa Dengan
Jogja?
Oleh: Prayudha Magriby Foto Oleh: Gibbran Prathisara
Beberapa elemen kampus siap siaga. Mereka kemudian membentuk sebuah kauskus untuk menolak pemberangusan akademik
12
P R AN AL A EDI S I 9 , M EI -JU N I 201 6
P RANALA EDISI 9, MEI- JUNI 20 16
13
L a po r a n U t a m a
R
Ruang Teatrikal Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Jumat sore itu hampir penuh. Sebagian pembicara telah duduk di barisan terdepan. Seorang wanita berjas hijau --warna almamater khas UIN-berjalan mendaki tangga mimbar. “Acara akan segera kita mulai,” ujarnya. Tiga pria dan satu wanita kemudian menaiki podium. Mereka adalah band pembuka acara diskusi bertajuk “Menggugat Kebabasan Akademik” pada hari itu.
Penampilan band akustik itu cukup memukau. Semua peserta cukup takzim menikmati lagu-lagu yang dibawakan. “I will fly into your arms. And be with you till the end of the time…,” dendang vokalis band memainkan lagu grup band Ten to Five. Saat lagu ketiga itu dimainkan, persis di tengah lagu, listrik tiba-tiba mati. Sesaat terkejut, band itu kemudian tetap melanjutkan penampilannya. “Ini sabotase,” teriak salah seorang peserta diskusi dengan nada bercanda. Setelah pembukaan, Herlambang mendapat kesempatan berbicara yang pertama. Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya itu mengawali ceramahnya dengan keperihatinan atas situasi Jogja beberapa minggu terakhir. Sejumlah diskusi dan pemutaran film dibubarkan secara paksa. Tidak hanya itu, dunia akademik juga resah oleh adanya sweeping buku oleh kepolisian. Penerbit dan toko buku yang menjual buku yang dianggap kiri mengalami intimidasi.
14
P R AN AL A EDI S I 9 , M EI - JU N I 201 6
“Ini aneh. Ada apa dengan Jogja?” ujar Herlambang. Kenehan itu menurut Herlambang cukup beralasan. Jogja selama ini dikenal sebagai kota yang toleran terutama dalam kehidupan akademisnya. Sejumlah ancaman terhadap kebebasan akademik yang terjadi di Jogja menunjukan ada konstelasi politik tertentu. “Kami memutar
film ‘Pulau Buru Tanah Air Beta’ di kampus (Unair-red.) kok amanaman saja. Memang ada sejumlah intimidasi, tapi berhasil kami lawan,” tambah doktor lulusan Universitas Leiden, Belanda, tersebut. Ancaman terhadap kebebasan mimbar akademik yang terjadi, menurut Herlambang, mengancam masa depan ilmu pengetahuan.
Selain itu, peran universitas yang semestinya menjadi dapur pemikiran progresif tengah dipertaruhkan. Universitas relatif lebih akrab dengan kepentingan korporasi ketimbang keberpihakannya pada masyarkat. Tindakan intoleransi pada kebebasan akademik mestinya bisa dilawan oleh birokrasi kampus. ***
P RANALA EDISI 9, MEI- JUNI 20 16
15
L a po r a n U t a m a
Seorang lelaki paruh baya, bertubuh cukup besar, beranjak dari tempat duduk. “Ndak usah. Berdiri saja,” ujarnya, seolah ingin menunjukan jika ia masih mampu memberikan ceramah sembari berdiri. Namanya Peter Kasenda. Sosok ini dikenal sebagai seorang penulis dan sejarawan. Banyak buku telah lahir dari pria lulusan Universitas Indonesia ini. Salah satu bukunya berjudul ‘Hari-hari Terakhir Soekarno’. Buku itu menerangkan seputar kejatuhan Soekarno. Ia dinilai sebagai seorang Sukarnois, oleh karenanya Peter kerap dianggap sebagai intelektual kiri. Dengan menyandarkan tubuhnya ke podium, Peter membuka ceramahnya dengan berkisah soal tekanan yang kerap ia dapatkan. Pernah sesekali ia menjadi pemateri sebuah diskusi seputar peristiwa 1965 di sebuah kampus, di Surabaya. Panitia mendapatkan izin acara dengan mensiasati nama acara tersebut. Diskusi dilakukan di sebuah lapangan basket. Setelah selesai berdiskusi, Peter keluar dan menunggu kendaraan jemputan. Ada sejumlah orang di sampingnya
yang kemudian mengatakan, “Selamat senior. Saya pengagum Anda,” ujar Peter menirukan ucapan sosok itu. Rupanya yang berkata itu adalah rektor kampus, yang sedari awal mengawasi acara diskusi. “Jadi saya diawasi terus rupanya,” ujar Peter berkelakar. Peter memiliki analisis yang lebih mengakar soal kebebasan akademik. Menurutnya, ancaman terhadap kebebasan akademik terjadi seiring dengan kapitalisasi pendidikan tinggi. Kampus-kampus ternama berlomba menaikan biaya kuliahnya. Salah satunya dengan adanya kebijakan yang menjadikan perguruan tinggi menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Kebijakan itu membuat kampus berparadigma kapitalistik. Mahasiswa yang bisa masuk perguruan tinggi berkualitas sebagian besar masyarakat ekonomi kelas atas. Selain itu, korporasi juga semakin merangsek masuk kampus. Mereka menjadikan kampus untuk memaksimalkan program perusahaan dalam menaikan keuntungan. Banyak pengusaha yang menawarkan bantuan seperti pembanguan
intoleransi yang terjadi di Jogja beberapa waktu terakhir ini mesti disikapi oleh semua pihak 16
P R AN AL A EDI S I 9 , M EI - JU N I 201 6
gedung dan fasilitas lainnya. “Tidak ada makan siang yang gratis,” ujar Peter. Karena terlalu banyak ‘hutang budi’ dengan korporasi, kampus tidak lagi bebas secara akademis. Kampus akan mudah tersandera oleh kepentingan korporasi. “Kalau risetnya menyangkut perusahaan yang nyumbang gedung, apa ya kampus bisa objektif?” tukasnya. *** Arie Soejito, seorang dosen muda pada Jurusan Sosiologi UGM datang terakhir. “Maaf saya telat,” katanya. Ia kemudian langsung menuju mimbar. Ia membuka kacamata dan topi hitamnya. Ia sengaja berdiri tepat di tengah mimbar. “Kawan-kawan, ini tidak bisa didiamkan. Ini harus kita lawan,” pekik sosok yang biasa dipanggil Jito tersebut.
kita harus menjadi intelektual organis,” ujar Jito. Aktivis kampus mesti berjejaring dengan semua gerakan progresif di masyarakat. Dalam menyikapi kasus tambang semen di Pegunungan Kendeng, Rembang, aktivis kampus mesti melakukan advokasi yang melibatkan aktivis LSM dan warga sekitar. Pola semacam itu mesti digunakan pula dalam menyikapi aksi intoleransi di Jogja. Jito mengingatkan posisi Jogja sebagai barometer situsai nasional. Jika intoleransi didiamkan di Jogja, kondisi yang lebih parah bisa terjadi di daerah. Untuk itu, ia meminta agar intelektual progresif di Jogja mesti bersikap cepat dan segera mengambil tindakan.
Jito menilai, intoleransi yang terjadi di Jogja beberapa waktu terakhir ini mesti disikapi oleh semua pihak. Ia kemudian memaparkan jika kata ‘intelektual’ bukan hanya milik akademisi di kampus. Seniman, sasrtawan, wartawan, aktivis LSM dan semua orang yang progresif juga adalah kelompok intelektual. Kesemuanya mesti bersatu dan bersikap atas tindak intoleransi yang terjadi. Ia juga memberikan kritikan sejumlah aktivis kampus yang kegiatannya hanya berpusat di dalam kampus. Menurutnya, strategi yang demikian tidak akan efektif. “Kalau Gramsci bilang
P RANALA EDISI 9, MEI- JUNI 20 16
17
L a po r a n U t a m a
PEMBENTUKAN FORUM INTELEKTUAL ANTI PEMBERANGUSAN KEBEBASAN AKADEMIK MEMPERJUANGKAN KEBEBASAN AKADEMIK Oleh: Kamil Alfi Arifin
18
P R AN AL A EDI S I 9 , M EI - JU N I 201 6
P RANALA EDISI 9, MEI- JUNI 20 16
19
L a po r a n U t a m a
Y
Yogyakarta hari ini dalam suasana yang menggelisahkan. Banyak aktivitas yang membahayakan kemerdekaan berfikir dan berekspresi. Usaha sejumlah kalangan untuk melarang pemutaran film, diskusi hingga pameran terusmenerus muncul. Tak banyak yang bisa dilakukan oleh aparat keamanan untuk mengatasi soal ini. Malah banyak kecurigaan aparat ikut melindungi kelompok yang berusaha menggagalkan acara. Tuntutan agar aparat bersikap bahkan meminta salah satu oknum aparat untuk mengundurkan diri muncul dari berbagai kalangan. Anggapan yang umum dipahami aparat tak mampu memadamkan aksi kelompok yang terus berkeinginan membubarkan acara. Kampus juga mengalami situasi yang serupa. Kegiatan diskusi dan pemutaran film kerapkali jadi sasaran pembubaran. Tanpa sungkan komplotan ini datang ke kampus, menemui pihak pejabat terkait dan meminta agar acara dibatalkan. Kejadian ini kian banyak terjadi. Kampus tak lagi dihargai sebagai lingkungan yang memilki kebebasan akademik tapi ladang jarahan mereka yang ingin semua harus dikendalikan. Tak heran banyak pejabat kampus maupun mahasiswa merasa diteror dengan situasi ini. Dampaknya kampus tak lagi bebas bicara, menelurkan gagasan alternatif dan membuat kegiatan progresif. Konsekuensi yang paling bahaya kampus kemudian tak lagi mampu mengembangkan ide-ide kritis dan menyelenggarakan kegiatan dengan pertimbangan keamanan bukan pengetahuan. Jika diidentifikasi setidaknya banyak kasus pemasungan kebebasan akademik. Pembredelan majalah Lentera, Universitas Kristen Satya Wacana, Oktober 2015, yang menggarap laporan utama tentang 65. Kemudian diskusi di UIN Semarang yang diselenggarakan 27 Mei 2015 yang
20
P R AN AL A EDI S I 9 , M EI-JU N I 201 6
dibatalkan karena diserbu oleh sekelompok orang karena membawa narasumber dari Ahmadiyah. Hal yang sama juga terjadi pada 1 Mei 2015, dimana Dr. Rosnida Sarry dibully di media bahkan akun FB nya ditutup, sekaligus diberi sanksi skorsing gara-gara mengajak mahasiswa ke gereja untuk kepentingan studi. Selain itu, yang populer adalah pemutaran film ‘Senyap’ yang dibubarkan di banyak kampus pada periode Maret 2016. Malah di ISI Yogya, sekelompok massa menyerbu masuk kampus. Tak hanya itu, juga ada penutupan ‘IRAN Corner’ di kampus UIN Solo, karena dianggap bawa-bawa ajaran Syiah. Tentu dalam bulan Mei ini yang paling meyentak adalah pembredelan pers kampus Poros UAD, yang menyoal tentang masalah di sebuah fakultas. Yang tak kalah menarik, 18 Mei 2016 diskusi marxisme di kampus Unpad diserbu oleh kelompok yang merasa keberatan dengan diskusi itu. Sekilas situasi ini memberi ancaman langsung bagi kebebasan akademik. Keadaan ini bukan sebuah kebetulan. Banyak dugaan ini adalah implikasi dari pertarungan di lapisan elit. Pertaruhan demokrasi dengan ototerisme kini menemukan buah yang bahaya. Pada mereka yang percaya bahwa kebebasan mutlak dipertahankan, tentu ingin kampus steril dari pendekatan keamanan. Sebaliknya untuk mereka yang menginginkan kendali, tetap berusaha agar kampus bisa dikendalikan. Situasi inilah yang memperantarai kebutuhan akan adanya konsolidasi. Terutama
untuk kalangan dosen yang selama ini menjadi tulang punggung kampus. Dosen tak mungkin hidup dalam suasana di mana kecemasan dan tekanan berada di sekelilingnya. Dosen juga tak mungkin dapat mengajar dengan baik kalau tiap gagasan ditimbang dengan tolak ukur keamanan. Saatnya ada kebutuhan untuk membangun forum intelektual anti pemberangusan kebebasan akademik. Forum yang mengumpulan kalangan intelektual dari sejumlah kampus serta tempat. Forum inilah yang merasa penting untuk memperjuangkan kebebasan akademik. Kebebasan yang memberi hak ekslusif kampus dalam membicarakan topik apa saja. Kebebasan yang memperkenankan kampus untuk memperagakan gagasan dalam berbagai bentuknya. Kebebasan yang akan membuat kampus punya pandangan kritis, alternatif dan dekonstruktif. Kebebasan yang membuat kampus memiliki kehidupan yang lebih terbuka, segar dan mengakomodasi segalanya. Kebebasan yang telah menempatkan kampus sebagai lingkungan yang sepenuhnya punya hak untuk memberi pandangan apapun. Kini semua kita memahami betapa nilai itu kian terancam. Kampus mudah sekali diintervensi oleh kepentingan di luar kepentingan akademik. Kampus juga mudah sekali diancam oleh sekelompok massa yang tak menyukai salah satu kegiatannya. Kampus juga dengan mudah diajak untuk terlibat dalam desain kebijakan yang berbahaya. Kampus bahkan
L a po r a n U t a m a
Tak hanya sebagai kekuatan solidaritas, tapi ‘Forum Dosen Progresif’ juga diharapkan jadi pendorong utama pada semua kampus untuk tetap teguh mempertahankan nilai-nilai kebebasan akademik. dengan gampang menjatuhkan sanksi pada mahasiswa yang dianggap melakukan kegiatan bahaya. Secara umum kampus mulai dikuatirkan menjadi ladang bagi bersemainya nilai-nilai otoriter, doktriner dan komersial. Pada sisi ini ada banyak kalangan dosen yang memiliki pandangan berbeda. Terdapat banyak dosen yang bisa jadi punya perspektif yang tak sama. Tapi karena mereka tak banyak saling komunikasi, merasa sendiri dan tekanan yang tinggi: sikap itu tak pernah terbit dan jarang muncul. Pada sisi ini ada kebutuhan untuk mempertemukan gagasan yang serupa dan mengambil posisi tegas secara bersama. Pada dasar tujuan seperti itulah ‘Forum Intelektual Anti Pemberangusan Kebebasan Akademik’ akan mendorong kampus untuk tak lagi takut, kuatir, dan tertekan ketika menyelenggarakan kegiatan. Bahkan forum ini berusaha secara terus-menerus meneguhkan kampus sebagai altar pengetahuan dimana tiap gagasan bisa hidup. Maka forum dosen ini juga berusaha untuk memberikan pandangan pada masyarakat luas akan pentingnya kebebasan akademik. Itu sebabnya, forum ini diharapkan juga memberi kekuatan pendorong lebih
22
P R AN AL A EDI S I 9 , M EI-JU N I 201 6
kuat kepada mahasiswa untuk tak pernah takut dengan kegiatan-kegiatan intelektual yang diselenggarakanya. Tak hanya sebagai kekuatan solidaritas, tapi ‘Forum Dosen Progresif’ juga diharapkan jadi pendorong utama pada semua kampus untuk tetap teguh mempertahankan nilai-nilai kebebasan akademik. Pada dasar pendirian seperti itulah ‘Forum Dosen Progresif’ mengawali dengan diskusi terbuka dengan topik ‘Menggugat Kebebasan Akademik’. Diskusi ini akan memberikan pandangan mengenai peta persoalan kebebasan akademik berikut persoalan-persoalan yang muncul. Di samping itu, diskusi juga akan memberi pemahaman dasar mengenai apa kebebasan akademik dan mengapa kebebasan akademik kini mulai terancam. Pada diskusi itu juga didorong keberanian para akademisi untuk turut memperjuangkan kebebasan akademik dan melalui cara seperti apa hal tersebut diperjuangkan. Diskusi pertama akan mendatangkan nara sumber: Dr. Herlambang (Dosen FH Unair) Dr. Arie Sujito (Dosen Fisip UGM) dan Dr. Eriec Hierej (Dosen Fisip UGM) serta Peter Kasenda (Sejarawan). Pada diskusi yang pertama inilah gagasan forum ini mendapatkan bentuk konkretnya.
Tujuan pembentukan Forum: 1. Mendorong hubungan yang meluas diantara dosen-dosen di Yogyakarta dari berbagai bidang ilmu dan kampus. Melalui relasi ini akan terbentuk hubungan permanen dan aktif diantara mereka dalam merespon situasi yang membahayakan kebebasan akademik. 2. Memfasilitasi persoalan yang terjadi pada tiap kampus yang memiliki kaitan erat dengan kebebasan akademik. Upaya ini juga sebagai cara untuk memperkuat solidaritas diantara para dosen ketika kampus diganggu nilai kebebasan akademiknya. 3. Mengembangkan hubungan organik dengan gerakan mahasiswa yang tersebar luas di banyak kampus dan yang kerapkali menjadi korban dari dilanggarnya prinsipprinsip kebebasan akademik. Hubungan yang sekaligus memberi mahasiswa kekuatan percaya diri untuk mendorong kegiatan-kegiatan kritis di kampus.
sebaiknya juga turut dipertahankan. Di samping itu juga sebagai sarana untuk mengkonsolidasi serta memberi edukasi pada masyarakat agar ikut berani mempertahankan hak-hak konstitusionalnya. 5. Memperkuat tradisi kampus yang tetap mempertahankan produksi gagasan-gagasan alternatif, mendorong kegiatan-kegiatan kritis dan memperluas pengetahuan progresif. Sehingga kampus tak terus mempertahankan aroma komersial dengan mengedepankan pendekatan laba. 6. Meluaskan jangkauan opini publik bahwa kebebasan akademik sepatutnya dipertahankan dan dijadikan identitas sebuah kampus. Opini ini penting untuk menjaga nalar publik bahwa tak pernah bisa dibenarkan semua tindakan yang berusaha meruntuhkan kesadaran kritis apalagi menikam kebebasan memproduksi gagasan.
4. Menciptakan hubungan dengan warga masyarakat sekaligus memberi tahu tentang nilai-nilai kebebasan akademik yang
P RANALA EDISI 9, MEI- JUNI 2 0 16
23
Surat Pembaca
Kegiatan Forum Intelektual Anti Pemberangusan Kebebasan Akademik 1. Mendorong kegiatan-kegiatan penyadaran pada lingkungan kampus terutama yang bersangkut paut dengan kebebasan akademik. Diantaranya adalah mendukung segala bentuk kegiatan kampus yang berorientasi pada pemupukan pengetahuan kritis dan penguatan peran mahasiswa sebagai agen perubahan.
3. Menyampaikan opini publik terutama bersangkut paut dengan kasus kasus kebebasan akademik maupun persoalan-persoalan yang berkaitan dengan direbutnya hak-hak publik atau dipangkasnya hak-hak keadilan masyarakat. Forum ini patut bersuara ketika masyarakat berada dalam penindasan informasi.
2. Membangun hubungan aktif dengan warga masyarakat dengan membuat mimbar mimbar pendidikan yang menitik beratkan pada pemahaman kesadaran kritis warga, sekaligus mendorong warga untuk berdaya serta berdaulat. Setidaknya forum ini mendorong hubungan organik inetelektual dengan masyarakat pada umumnya.
4. Mendorong meluasnya karya-karya intelektual dalam berbagai bentuk sebagai promosi bagi kebebasan akademik. Di samping juga memberi dukungan atas lahirnya karya-karya kebudayaan yang menghidupkan alam berfikir kritis publik
KONFRENSI PERS
24
Forum Intelektual Anti Pemberangusan Kebebasan Akademik
telah disepakati: demokrasi dengan landasan kehidupan yang majemuk.
Kami meyakini bahwa kebebasan akademik merupakan landasan kehidupan sebuah perguruan tinggi. Tanpa adanya kebebasan akademik, maka pengetahuan akan dibelenggu oleh kepalsuan dan dituntun oleh kecemasan. Pada masa reformasi terdapat petunjuk berarti bagaimana kampus memerankan diri secara heroik. Menjebol kuasa politik yang otoriter dan menjatuhkan penguasa yang diktator. Pada saat itu kehidupan berbangsa telah mengikatkan diri pada komitmen yang
Saat itulah kita menolak semua warisan busuk Orde Baru, terutama korupsi, kekerasan dan pembelengguan kebebasan. Kini komitmen itu makin memudar dan terasa amanah itu hendak dikhianati. Maka sebagai pendidik kami merasa terpanggil untuk kembali mengingatkan lagi amanah reformasi. Tak hanya itu kami juga merasa kuatir karena kehidupan kampus juga diintervensi oleh kepentingan yang jauh dari tradisi mendidik. Pembubaran diskusi hingga pelarangan kegiatan mahasiswa makin lama
P R AN AL A EDI S I 9 , M EI-JU N I 201 6
Surat Pembaca
makin mengkuatirkan. Itu sebabnya kami merasa perlu untuk menyatakan sikap pada semua kalangan: 1. Kampus semestinya tetap memiliki hak menjalankan kegiatan pendidikan dalam cara apa saja. Setidaknya semua pihak musti menghormati kebebasan akademik yang sudah menjadi dasar kehidupan kampus sehari-hari. Tanpa landasan itu maka kampus akan kehilangan kekuatanya baik sebagai lingkungan pendidikan maupun jaminan bagi hidupnya berbagai gagasan kritis 2. Kampus tetap memiliki hak bahkan keharusan untuk kritis pada berbagai persoalan yang terjadi. Sikap kritis itu bisa dalam kegiatan diskusi, kegiatan pers mahasiswa hingga kegiatan kuliah. Sebab melalui budaya kritis itulah kampus dalam sejarahnya mengubah jalanya kehidupan berbangsa dari tradisi otoriter menjadi demokratis. 3. Kampus sebaiknya disterilkan dan dilindungi dari kegiatan yang mengarah pada kekerasan, penganiayaan bahkan pembubaran kegiatan akademik. Selamanya kampus adalah lingkungan dimana kekerasan, intimidasi apalagi penganiayaan tak diperkenankan untuk diperagakan. Maka sepatutnya jika ada kegiatan seperti itu aparat keamanan dapat bertindak tegas.
bisa membuat mahasiswa memahami masa lalu dan percaya dalam menatap masa depan Demikian peryataan sikap ini kami tuliskan sebagai upaya penghormatan kami pada mereka yang telah gugur memperjuangkan gagasan demokrasi. Kami tak ingin apa yang telah diperoleh dengan berdarah-darah ini kemudian harus jatuh lagi dalam pelukan ototerisme dan kediktatoran. Kampus sebaiknya kembali memerankan diri sebagai juru selamat demokrasi, keadilan dan paling utama kebebasan akademik. K a m i Fo ru m I nte l e k t u a l Ant i Pemberangusan Kebebasan Akademik Dr. Arie Sujito (UGM); Dr. Budi Irawanto (UGM); Dr. Francis Wahono (Universitas Taman Siswa); Dr. Budiawan (UGM); Dr. Phil. Arie Setyaningrum (UGM); Dr. Eric Hierej (UGM); Dr. Abdul Wahid (UGM); Dr. Muh. Azhar (UMY); Ade Makruf M.A (UMY), Prayudha M.A (Universitas Akhmad Dahlan); Dr. Ahmad Sahidi (Universitas Tehnologi Yogyakarta)...
4. Kampus semustinya membuka diri pada gagasan, inisiatif bahkan pandangan berbeda. Karena kampus bukan tempat dimana indoktrinisasi dan keyakinan dogmatik diajarkan. Maka selayaknya kampus membuka diri pada serangkaian ide-ide kritis yang
P RANALA EDISI 9, MEI- JUNI 2 0 16
25
To k o h
Edward Bot Pengelola Sekolah Epistemic
Mahasiswa Sekarang Kurang Kritis Oleh: Kamil Alfi Arifin Foto Oleh: Gibbran Prathisara
Pendidikan alternatif di luar kampus mutlak diperlukan. Selain sebagai penyangga ilmu pengetahuan, juga bisa digunakan untuk menumbuhkan sifat kritis
26
P R AN AL A EDI S I 9, M E I-JU N I 201 6
P RANALA EDISI 9, MEI- JUNI 2 0 16
27
To k o h
D
Bisa dijelaskan sekolah Epistemic itu apa? Apa yang melatarbelakangi berdirinya komunitas ini ? Sekolah ini adalah sebuah komunitas yang berbicara tentang sebuah konsep yang intens. Misalnya di Inggris, kita mengenal epistemic buruh dan berbagai kelompok epistemic lainnya yang tersebar di berbagai negara. Sebenarnya ini berawal dari diskusi-diskusi di tingkatan mahasiswa yang sekarang ini saya lihat sangat kurang sekali. Kalaupun ada itu sangat jarang. Pernah ada komunitas diskusi, tapi sekali dua kali terus hilang. Tanpa ada kejelasan kenapa sampai hilang. Kalau kita tanya jawabannya karena tidak ada yang ikut. Kebetulan saya
28
P R AN AL A EDI S I 9 , M EI -JU N I 201 6
asisten Prof. Dawam Rahardjo, dimana beliau sangat intens dan giat sekali melakukan diskusi. Berangkat dari situ saya mencoba membuat kelompok diskusi. Untuk menunjukkan bahwa komunitas kita intens, maka kemudian kita mengambil nama komunitas Epistemic ini. Istilah epistemic ini kita pandang lebih netral. Dulu pernah kita punya nama ‘berguru’. Jadi masing-masing anggota merasa tidak ada yang lebih pintar. Jadi sama-sama berguru. Tapi ternyata nama berguru itu sudah dipakai oleh komunitas lain.
menjaga kultur atau budaya intelektual Mahasiswa Jogja
Bagaimana dengan anggotanya? Teman-teman kita ini rata-rata adalah orang yang berada setelah tergabung dalam pergerakan, tapi masih suka nongkrong-nongkrong, masih suka diskusi. Kemudian saya coba untuk pertemukan mereka dalam sebuah forum diskusi. Latar belakang organisasinya macam-macam. Ada dari IMM, HMI, PMKRI dan lain-lain. Ada dari kampus Atmajaya, UII, UIN, UGM dan kampus kita sendiri. Awalnya diskusinya cuma 5 orang dan fokus diskusi kita tentang ekonomi politik. Dan kita juga membuat kurikulum dan kemudian kita cari tempat untuk diskusi. Misalkan di kampus kita ada ruang yang bisa digunakan, ya saya fasilitasi. Atau ada juga teman dari LKIS, kalau di LKIS ada ruang kosong, kita diskusi disana. Pada kurikulum awal kita bahas tentang renaissance, revolusi Inggris, revolusi Perancis sampai revolusi industri. Kemudian kurikulum kedua kita bahas tentang teori. Ada marxisme, sosialisme, dan teori lainnya. Kurikulum ketiga kita diskusi secara lebih spesifik lagi tentang
sosialisme. Dan itu kita pecah lagi ada sosialisme ekonomi, sosialisme religius dan lainnya. Ada sekitar 15 topik dalam 1 kurikulum. Dalam 6 bulan terakhir ini bisa rutin seminggu sekali. Anggota grup WA aja hampir 200 orang. Bahkan ada yang bilang dari anggota kita ini, ada juga intelnya. Belum pernah diskusi kita ini dibubarkan. Memang pernah datang dari intel Polsek Depok sini. Apa yang ingin diperjuangkan oleh komunitas ini ? Sederhana sebenarnya bahwa kita ingin menjaga kultur atau budaya intelektual dari teman-teman ini. Karena kita merasakan mahasiswa-mahasiswa di Jogja ini punya kelebihan dalam hal menganalisa dan intelektual. Diskusinya yang cukup kuat. Hanya yang kita rasakan juga mahasiswa sekarang sudah berbeda dengan mahasiswa angkatan 2000-an. Saya sering mengisi di diskusi-diskusi mahasiswa, tapi yang saya rasakan untuk ukuran mahasiswa yang sudah berorganisasi
P RANALA EDISI 9, MEI- JUNI 20 16
29
To k o h
kemampuan ansosnya masih lemah sekali. Nah, bagi saya itu peluang juga. Karena tidak mungkin juga saya masuk ke dalam organ mereka. Kemudian saya mencoba merangkul mereka masuk ke dalam komunitas epistemic ini. Karena kebetuan kan saya pendirinya. Jadi pada intinya, misi kita ini mahasiswa-mahasiswa di Jogja ini ingin menghidupkan kembali budaya intelektual lewat sekolah epistemic ini. Kalau kita lihat dunia pendidikan saat ini hanya mencetak anak-anak pintar tapi gagal menciptakan sosok-sosok yang kritis, apalagi sampai mempunyai jiwa keberpihakan. Pendapat Anda? Nah, sebenarnya dalam komunitas ini kita ingin mengisi ruang gerakan mahasiswa yang tidak berfungsi. Karena saya melihat mahasiswa sekarang lemah dalam hal menumbuhkan sikap kritis ini. Ada beberapa yang kritis memang, tapi ya sekedar kritis saja. Orang banyak yang bertanya ini komunitas diskusi terus aplikasinya mana? Kita tidak mau dibilang orang cari proyek. Walaupun sebenarnya kita ya bisa juga. Tapi kita ya murni menjaga tradisi intelektual itu saja. Dan semua dari kita sebenarnya masing-masing punya lembaga. Diskusi-diskusi di tingkat lembaga itu kemudian kita bawa ke komunitas kita ini untuk kita diskusikan ulang bersama-sama.
30
P R AN AL A EDI S I 9 , M EI-JU N I 201 6
Kalau kita bicara Jogja hari ini, kita dapati Jogja sudah bukan tempat yang toleran lagi. Peristiwa kekerasan atas nama agama sering kali muncul dan tanpa penyelesaian. Apakah kondisi ini juga menjadi bahan kajian diskusi?
Kita bukan ingin mengadu argument
Kita bicara agak hangat dan merespon tentang film ‘Senyap’ dulu. Kemudian kejadian di kantor AJI kemarin waktu pelarangan pemutaran film ‘Pulau Buru Tanah Air Beta’. Kita berdiskusi tentang kebebasan berekspresi. Jadi menurut saya memang Jogja ini bisa dibilang menyimpan bara api dalam sekam. Menjadi kota yang intoleran. Di komunitas ini anggotanya berasal dari berbagai agama. Jadi ketika kita mendengar ada kasus-kasus intoleran, ya kita ketawa saja. Maksudnya pelaku tindakan kekerasan dan intoleran ini berpendidikan, nggak sih? Kita sebenarnya sudah merencanakan mengundang Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK) untuk kita ajak diskusi. Kita bukan ingin mengadu argument mereka. Tapi ingin mengetahui apa sih sebenarnya yang mereka inginkan? Ini adalah dalam wilayah diskusi akademik bukan untuk saling kuat-kuatan. Beberapa waktu yang lalu sempat terjadi juga pelarangan buku-buku yang berbau kiri, marxisme. Bahkan di kampus UP 45 sendiri ada semacam surat edaran larangan mengajarkan segala hal yang berbau komunisme. Tanggapan anda ? Saya sendiri belum melihat adanya surat edaran itu. Karena posisi saya sebagai asisten rektor isu-isu kampus itu, ya 90% saya tahu. Saya juga menjadi Pembina BEM mahasiswa. Tapi yang agak menarik kemarin waktu teman-teman mau muter film Pulau Buru itu. Mereka tanya kepada saya, ‘Pak kita mau muter film tentang Pulau Buru’. Terus saya bilang tidak masalah tonton filmnya. Pelajari isunya. Nah, ternyata rencana berkembang kemana-mana, sampai pihak kepolisian menghubungi pihak kampus. Pada intinya pihak keamanan minta agar pemutaran film tidak dilanjutkan. Saya bilang ke teman-teman, ‘kalian ini kan mahasiswa, pemutaran film ini di kampusmu. Kalau ada pihak-pihak yang ingin menggagalkannya, ya kamu berhak menolak. Tutup pagar kampus, kan bisa’. Ini kan diskusi yang sifatnya akademis. Ini bukan provokasi, tapi biar mahasiswa ini bisa memikirkan sendiri, memutuskan sendiri dan mempertahankan apa yang sudah mereka lakukan.
P RANALA EDISI 9, MEI- JUNI 20 16
31
To k o h
munculnya masalah intoleransi, awalnya karena sosial kontrol masyarakatnya yang lemah Bagaimana anda melihat Jogja sebagai City of Tolerance? Menurut saya, orang masuk ke Jogja itu kan sekitar umur SMA. Usia segitu kan adrenaline dan uforia kan masih sangat tinggi. Kalau ada sekitar 40 ribu orang masuk ke Jogja itu yang benar-benar punya atittude, ingin kuliah paling fifty-fifty. Yang 50% lagi biasanya ya karena ambisi saja ke Jogja. Masuk ke PTS. Tapi di tingkatan tempat tinggalnya dalam hal ini para pemilik kost proteksi masyarakat semakin menurun. Nggak mau tahu. Banyak pemilik kost yang pemiliknya bukan orang Jogja. Jadi proteksi kepada penghuni kost itu sangat kurang. Waktu jaman saya dulu, kita sebagai anak kost masih berbaur dengan warga setempat. Ikut jaga ronda. Karena memang waktu itu kepedulian terhadap warga termasuk penghuni kost itu, masih sangat tinggi. Nah, kalau sekarang itu sudah tidak ada lagi.
32
P R AN AL A EDI S I 9 , M EI-JU N I 201 6
Apalagi kost yang berada di pusat kota. Kalaupun ada mungkin hanya di pinggiran saja. Sekarang mana mau masyarakat ikut ngurusin anak kost? Kalaupun asrama itu ada penunggunya pasti bukan pemiliknya langsung. Kalau ada panggilan musyawarah yang datang, ya penunggunya itu saja. Jadi c Belum lagi masalah warga pendatang baru yang lama kelamaan menggusur keberadaan warga asli. Ini pasti juga akan menimbulkan masalah sendiri. Nah, dari situ bisa muncul masalah-masalah etnis.
R e s e nsi
Pemberangusan Buku dan Wujud Demokrasi Kita Oleh: Wardhatul Jannah Alumnus Pascasarjana Fisika UGM, suka baca buku, memasak, traveling, dan mengajar anak-anak. Judul Buku
:
Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks
Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi
Penulis
:
Iwan Awaluddin Yusuf, dkk.
Cetakan
:
2010
Penerbit
:
PR2Media & Friedrich Ebert Stiftung
Jumlah
:
190 hal.
“Langkah pertama untuk menaklukkan sebuah masyarakat adalah dengan memusnahkan ingatannya. Hancurkan buku-buku, kebudayaan dan sejarahnya. Lalu perintahkan seseorang untuk menulis buku-buku baru, membangun kebudayaan baru dan menyusun sejarah baru. Tak akan lama, masyarakat itu akan mulai lupa pada masa kini dan masa lampaunya” (Milan Huble).
P
raktik pelarangan dan pemberangusan buku selalu bersifat politikal. Artinya, ia dilakukan oleh penguasa untuk membangun atau mempertahankan status-quo kekuasaannya. Persis seperti diungkapkan dengan dingin oleh Milan Huble, seorang intelektual terkemuka dari Czech, sebagaimana dikutip di atas. Dalam rangka memenuhi keutuhan dirinya, kekuasaan, memang acapkali “menaklukkan”, “menghancurkan”, dan “memusnahkan”.
P RANALA EDISI 9, MEI- JUNI 20 16
33
R e s e nsi
Saat Adolf Hitler berkuasa di Jerman, misalnya, buku-buku yang tak sejalan dengan kepentingan rezim Nazisme, terutama karya-karya pemikir Yahudi, dimusnahkan. Di Indonesia, pada masa Orde Baru, buku-buku kiri yang dianggap menyebarkan gagasan Marxisme, Leninisme, Komunisme, dirampas dan dibakar. Ini hanya beberapa contoh yang lazim disebut saat berbicara praktik pelarangan dan pemberangusan buku yang dilakukan oleh penguasa. Lalu, penguasa tersebut, dicatat dalam sejarah, sebagai penguasa diktator, fasis, bertangan besi dan otoriter. Tapi nampaknya, tak hanya di bawah rezim otoritarianisme praktik pelarangan dan pemberangusan buku bisa terjadi. Di era kebebasan berekspresi dan reformasi seperti di Indonesia saat ini, kita menyaksikan, praktik pelarangan dan pemberangusan buku masih juga ditemukan. Bahkan, nyaris tiap tahun, Kejaksaan Agung, melarang sejumlah buku yang dianggap “berbahaya” dan “menyesatkan”. Tentu saja, kita bertanya-tanya, mengapa di era kebebasan bereskpresi dan reformasi masih terjadi praktik pelarangan dan pemberangusan buku? Pertanyaan penting inilah yang menjadi “kegelisahan mula-mula” yang mendasari tim riset Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) yang terdiri dari Iwan Awaluddin Yusuf (Ketua Tim Riset), Wisnu Martha Adiputra, Masduki, Puji Rianto, dan Saifuddin Zuhri melakukan sebuah penelitian yang cukup serius dan hasilnya kemudian dibukukan dalam buku berjudul “Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi
34
P R AN AL A EDI S I 9 , M E I-JU N I 201 6
dan Kebebasan Berekspresi” ini. Buku ini juga mengurai implikasi-implikasi negatif dari praktik pelarangan dan pemberangusan, serta munculnya berbagai bentuk advokasi dan perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat sipil. Selain itu, dalam buku ini, tim riset menelusuri sejarah pelarangan buku di Indonesia dari periode kolonial sampai reformasi, sehingga menambah bobot kedalaman buku ini. Kelebihan lain buku ini, buku ini membahas semua buku yang dilarang, merentang dari buku-buku yang dianggap berhaluan kiri maupun kanan yang ekstrim. Bisa dikatakan, terutama bagi saya, buku ini merupakan buku pertama yang cukup komprehensif mengulas isu pelarangan dan pemberangusan buku di Indonesia. Tautologi Sejarah dan Paradoksalitas Demokrasi Sejarah pelarangan dan pemberangusan buku di Indonesia berumur cukup tua. Bahkan lebih tua dari usia Indonesia itu sendiri. Ia, berdasarkan hasil riset buku ini, dapat ditelusuri dan dilacak dari zaman kolonial. Bahkan lebih jauh lagi, minimal semangatnya, dapat ditemukan pada masa kerajaan-kerajaan di nusantara. Pada saat itu, penguasa kerajaan atau raja, yang menganggap dirinya sebagai titisan dewa/tuhan, tabu untuk dikritik. Karena kedudukannya yang sakral tersebut, tentu saja, tak boleh ada pendapat-pendapat yang berbeda dan mengganggu kewibawaan sang raja. Semua rakyat harus patuh dan tunduk: sabda pandito ratu.
Sementara pada masa kolonial, praktik pelarangan dan pemberangusan buku dapat dilihat dari karya-karya yang dianggap berlawanan dengan kebijakan pemerintah kolonial, seperti tulisan pamflet kritis yang begitu terkenal, ditulis oleh Soewardi Soerjaningrat berjudul “Als Ik eens Nederlander was” (Seandainya Saya Warga Belanda). Tulisan tersebut disita dan mengakibatkan Soewardi kemudian diasingkan ke negeri Belanda (hal, 40). Pada masa kolonial, terutama di bawah kekuasaan Belanda, tak ada regulasi atau undang-undang khusus tentang pelarangan buku dan sejenisnya. Jika pun ada, barangkali hanya peraturan terkait ujaran kebencian yang sampai saat ini jejaknya terekam dalam hukum positif kita: KUHP. Karya-karya tulisan yang dianggap terlalu kritis dan menganggu pemerintahan kolonial, langsung ditindak begitu saja tanpa dasar hukum yang jelas. Sejauh penelusuran tim riset, pemerintah Hindia Belanda hanya membentuk Komisi Bacaan Rakyat (Comissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur), semacam lembaga yang bertugas memberikan bacaan-bacaan yang sudah diseleksi untuk rakyat pribumi (hal, 42). Dilihat dari semangatnya, lembaga ini jelas untuk mengontrol pikiran dan kesadaran rakyat pribumi. Secara formal, politik perbukuan pada masa kolonial dianggap baru dimulai sejak dibentuknya lembaga ini pada tahun 1908. Dalam perjalanannya, Komisi Bacaan Rakyat kemudian ditata ulang dan mengalami transformasi menjadi lembaga yang kita kenal kemudian dengan Balai Poestaka (hal, 42).
Balai Poestaka bukan hanya sekadar lembaga yang menseleksi bacaan-bacaan untuk rakyat pribumi lagi, melainkan juga mengumpulkan naskah, percetakan dan penerbitan yang dianggap bermutu oleh pemerintah kolonial. “Bermutu” di sini, tentu saja, adalah karya-karya yang dianggap mendukung pemerintahan kolonial. Filterisasi yang dilakukan Balai Poestaka, juga dilakukan dalam kerangka kontrol. Dalam sejarahnya, Balai Poestaka berhasil menguasai jaringan percetakan dan penerbitan, sehingga dominasinya dianggap cukup berhasil menghambat munculnya bacaan-bacaan “liar” pada tahun 1920-1926. Bacaan-bacaan “liar” yang dimaksud adalah bacaan-bacaan kritis terhadap pemerintah kolonial, yang menjadi “bahan bakar” aktivis pergerakan (hal, 43). Tahun-tahun itu, semangat pergerakan memang menyala-nyala akibat dari paradoks kebijakan politik etis, yang memunculkan kesadaran nasionalisme dan keterjajahan di kalangan rakyat pribumi. Pada masa pemerintahan Jepang, juga masih belum ditemukan regulasi dan undangundang khusus terkait pelarangan buku dan sejenisnya. Meski demikian, bukan berarti dalam periode ini, bisa dikatakan bebas sensor sama sekali. Sensor terhadap tulisan-tulisan yang dianggap kritis dan bertentangan dengan semangat propaganda Jepang, justru malah dianggap lebih parah, bahkan tak jarang dilakukan dengan kekerasan. Baru di era Demokrasi Terpimpin, regulasi yang secara khusus mengontrol kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat
P RANALA EDISI 9, MEI- JUNI 20 16
35
R e s e nsi
muncul, yaitu peraturan No. PKM/001/9/1956 yang dikeluarkan oleh militer. Peraturan ini memang muncul dalam konteks semakin menguatnya peran militer di awal-awal kemerdekaan dan terjadinya banyak pemberontakan di daerah-daerah Indonesia. Sehingga petinggi militer merasa perlu mengeluarkan peraturan tersebut untuk keamanan. Tidak hanya itu, militer juga mengubah status dari “keadaan perang” ke “keadaan bahaya” dengan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang No 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Dalam undang-undang tersebut, penguasa militer berhak mengontrol bentuk ekspresi dan percetakan (hal, 48). Banyak buku-buku yang dilarang pada masa ini, misalnya, karya Agam Wispi berjudul “Yang Tak Terbungkamkan dan Matinya Seorang Petani”, buku karya Pramoedya Ananta Toer berjudul “Hoakiau di Indonesia” dan juga tulisan Mohammad Hatta berjudul “Demokrasi Kita” yang mengkritik Soekarno. Tulisan Hatta tersebut dimuat dalam majalah Pandji Masyarakat yang dipimpin oleh Buya Hamka, dan menyebabkan Hamka kemudian dipenjara. Seperti halnya Pram. Di era Orde Baru, saat Soeharto berkuasa, pemerintah juga membentuk Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Komkamtib) pada 10 Oktober 1965 sebagai respon atas meletusnya peristiwa Gestok. Wewenangnya yang sangat besar dengan dalih “memulihkan keamanan dan ketertiban”, lembaga ini menangkapi orang-orang yang dituduh simpatisan PKI, termasuk penulis-penulis yang dianggap berafiliasi dengan PKI. Tahun
36
P R AN AL A EDI S I 9 , M EI -JU N I 201 6
berikutnya, pemerintah juga menetapkan Tap MPR XXV/MPRS 1996 tentang larangan ajaran Marxisme-Leninisme-Komunisme. Peraturan inilah yang kemudian dijadikan dasar hukum untuk memberangus buku-buku yang dianggap berhaluan kiri (hal, 49). Tidak hanya itu, pada masa Orde Baru, juga terdapat UU No.4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum. Ketentuan ini memberikan wewenang Kejaksaan Agung untuk melarang beredarnya barang cetakan yang dianggap dapat menganggu ketertiban umum. Sebetulnya, peraturan perundangan ini produk dari Orde Lama, tapi tetap dipakai di masa Orde Baru. Setelah rezim Orde Baru tumbang, praktik pelarangan dan pemberangusan buku bukannya berhenti. Masih ditemukan banyak buku-buku yang dilarang di masa-masa awal era Reformasi. Sebut saja misalnya, pelarangan buku “Aku Bangga Menjadi Anak PKI” karya Ribka Tjiptaning (tahun 2002), “Pembunuhan Theys: Kematian HAM di Tanah Papua” karya Benny Giay (tahun 2003), “Soekarno File” karya Antonie CA Dake (Tahun 2005). Tidak hanya buku-buku kiri, buku-buku yang dianggap ekstrim kanan juga dilarang, seperti “Aku Melawan Teroris” karya Imam Samudera dan lain sebagainya. Pelarangan dan pemberangusan buku di era Reformasi terus berlanjut. Di akhir tahun 2009, lima buku juga dilarang, seperti “Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto” karya John Roosa, “Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar
Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965” karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M.Dahlan, “Enam Jalan Menuju Tuhan” karya Darmawan, “Suara Gereja Bagi Umat Tertindas: Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri” karya Socratez Sofyan Yoman, dan “Mengungkap Misteri Keberagaman Agama” karya Syahrudin Ahmad. Praktik pelarangan dan pemberangusan buku di era kebebasan berekspresi dan reformasi menuai paradoks demokrasi. Sebab, di satu sisi, kran kebebasan terbuka lebar, wacana hak asasi manusia dan kewargaan (citizenship) juga semakin menguat dan mendapatkan jaminan serta perlindungan hukum. Tapi di sisi lain, masih ada upaya melarang-larang hak warga untuk mengemukakan dan mengekspresikan pendapatnya, bahkan dalam bentuk intimidasi dan ancaman. Melihat sejarah pelarangan dan pemberangusan buku di Indonesia dari waktu ke waktu, tak berlebihan kiranya dikatakan, praktik pelarangan dan pemberangusan buku di Indonesia tak ubahnya seperti tautologi sejarah: sejarah yang terus terulang, mengulang dirinya sendiri. Tanpa bisa diputus sepenuhnya mata rantainya. Padahal, praktik pelarangan dan pemberangusan buku sangat merugikan kehidupan berbangsa, selain mencederai prinsip demokrasi, menghancurkan tradisi literasi dan kebebasan akademik, juga menganggu industri perbukuan di Indonesia. Oleh sebab itu, elemen masyarakat sipil yang sadar, melakukan bentuk-bentuk perlawanan.
Buku ini membagi bentuk-bentuk perlawanan tersebut menjadi dua bentuk: perlawanan litigasi (perlawanan melalui jalur hukum, seperti uji materi (judicial-review) undang-undang di MK) dan perlawanan non-litigasi (perlawanan kultural seperti mengedarkan buku-buku yang dilarang secara diam-diam, melakukan demonstrasi dan sejumlah diskusi, dan lain sebagainya). Watak dan Kesiapan Berdemokrasi Buku setebal 190-an ini menyimpulkan, selama regulasi yang dijadikan dasar hukum bagi praktik pelarangan dan pemberangusan buku—seperti Tap MPR XXV/MPRS 1996 tentang larangan ajaran Marxisme-LeninismeKomunisme, UU Nomor 4/PNPS/Tahun 1963 dan UU Nomor 16 Tahun 2003 yang secara khusus memberikan kewenangan bagi Kejaksaan Agung untuk melarang barang-barang cetakan yang dianggap menganggu ketertiban umum, serta pasal-pasal kebencian dalam KUHP— belum dihapuskan, praktik pelarangan dan pemberangusan buku potensial akan tetap terjadi di masa yang akan datang. Sampai saat ini, ketentuan hukum tersebut masih ada dan belum dihapuskan. Hanya saja, penting dicatat, setelah enam tahun buku ini terbit, ada sedikit perkembangan. UU Nomor 4/PNPS/Tahun 1963 yang telah digugat dan diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) dikabulkan oleh MK. Merujuk pada putusan MK Nomor 6-13-20/PUU-VII/2010, sejumlah pasal di dalam ketentuan undang-undang itu
P RANALA EDISI 9, MEI- JUNI 20 16
37
R e s e nsi
sudah dibatalkan. Dengan putusan MK tersebut, penyitaan buku hanya bisa dilakukan oleh penyidik yang telah mengantongi izin dari pengadilan. Masalahnya, saat ini, bukan hanya penyidik yang mengantongan izin dari pihak Kejaksaan Agung yang melakukan razia buku dan kemudian melarangnya. Tapi juga aparat, seperti polisi dan tentara. Ini dilakukan meskipun mereka tak mengantongi izin dari Kejaksaan Agung sebagaimana diamanahkan dalam undang-undang. Artinya, aparat (polisi dan tentara) tetap merazia buku secara sembarangan dan sewenang-wenang. Dalihnya masih sama dengan zaman bahulak: menjaga stabilitas dan keamanan negara. Bahkan yang menarik, di era kebebasan dan reformasi seperti saat ini, praktik pelarangan dan pemberangusan buku bukan hanya dilakukan oleh aparatus negara seperti polisi dan tentara semata, tetapi juga oleh kelompok-kelompok milisi sipil—“binaan” mereka. Dengan kata lain, aparat polisi dan tentara kerap menggunakan kelompok-kelompok milisi sipil sebagai “kepanjangan tangan” atau “tangan kedua” untuk menjalankan aksi-aksi militeristiknya. Inilah “aktor-aktor” baru dalam praktik pelarangan dan pemberangusan buku di era demokrasi di Indonesia yang semakin kompleks.
38
P R AN AL A EDI S I 9 , M EI -JU N I 201 6
Di tengah-tengah kompleksitas persoalan terkait pelarangan dan pemberangusan buku di Indonesia, saya hanya mampu bertanya pada diri sendiri: jangan-jangan bukan hanya soal regulasi seperti kesimpulan yang begitu ditekankan dalam buku ini yang menyebabkan potensi terus terjadinya praktik pelarangan dan pemberangusan buku, tetapi juga kesiapan kita yang belum sepenuhnya matang berdemokrasi, atau mungkin, memang beginikah watak kita yang sebenarnya? Entahlah. Apapun itu, buku ini, menjadi dokumentasi penting, bahkan sangat penting, yang perlu dimiliki dan dibaca.
P e r sp e k t if
ANAKRONISME NEGARA ATAS AGAMA Oleh: Ali Ridho Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
P RANALA EDISI 9, MEI- JUNI 2 0 16
39
P e r sp e k t if
Alenia keempat Pem bukaan UUD 1945, : ”..... melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum ....”.
Demokrasi dengan wataknya yang bebas telah menjalar dan berekspansi hampir ke seluruh negara-negara di dunia, tanpa terkecuali ke Indonesia. Ini ditandai dengan runtuhnya rezim otoriter Soeharto di tahun 1998. Fase itu tidak hanya merombak sistem ketatanegaraan, melainkan juga mereformasi sejumlah regulasi yang dianggap berseberangan dengan nafas demokrasi. Sayangnya, spirit reformasi regulasi kebebasan beragama dalam tataran praksis kekinian tidak seutuhnya hadir. Periode anakronisme regulasi kebebasan beragama masih terlihat seiring dengan kian matangnya demokrasi di bidang politik di Indonesia. Sisi anakronisme regulasi itu, misalnya dapat dilihat dalam Pasal 30 ayat (1) UndangUndang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, dan sejumlah peraturan lokal di berbagai daerah Indonesia yang mengekang kebebasan beragama. Anakronisme adalah pemberlakuan sesuatu yang seharusnya sudah tidak berlaku, karena tidak sesuai dengan tuntutan jaman. Ia adalah upaya menghadirkan masa silam untuk masa sekarang (Wirasendjaya, 2013:10). Fakta anakronisme regulasi di atas, jelas telah memberikan gambaran kontradiktif terhadap tujuan negara. Sebagaimana
40
P R AN AL A EDI S I 9 , M EI-JU N I 201 6
diulas Aristoteles, bahwa negara memiliki tujuan meneyelenggarakan kehidupan yang lebih baik. Hal itu telah diserap oleh Indonesia dengan memasukkannya ke dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu: ”..... melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum ....”. Oleh karena itu, menjadi keharusan; bahwa kewajiban, tugas dan tanggung jawab negara harus direposisi. Dengan kata lain, kebijakan-kebijakannya harus diselaraskan dengan filosofi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai konsensus nasional dan hukum dasar (fundamental law) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Reposisi peran negara, tentu dimaksudkan agar negara (pemerintah) dalam melayani ritus keagamaan warga negaranya dapat terlaksana dengan rukun, lancar dan tertib, baik di lingkup internal pemeluk agama maupun lingkup eksternal umat beragama. Kerangka Menuju Regulasi Beragama Demokratis Ketentuan Pasal 29 UUD 1945 menyebutkan negara berdasarkan atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Menyinggung arti ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ tidak lain identik dengan
prinsip tauhid yang berhubungan secara organik dengan prinsip-prinsip keadilan, persamaan, kebebasan, persaudaraan, dan musyawarah. Karenanya, dalam membentuk regulasi, harus bersendikan pada prinsip tersebut atau dengan pemaknaan lain dimensi diskriminatif harus dieliminir oleh pemangku kebijakan dalam merumuskan aturan-aturan organik tentang kehidupan beragama. Kemudian berkenaan dengan arti kepercayaan yang tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945, maka mengandung makna semangat untuk memberikan kebebasan beribadat yang seluas-luasnya, termasuk bagi kebatinan dalam segala bentuk dan isi ritual yang dilakukan oleh pemegang kepercayaan. Dengan demikian, konstruksi yang hendak dibangun dalam spektrum kebebasan beragama adalah hadirnya jaminan hukum yang adil dalam kehidupan beragama di Indonesia, bukan regulasi yang bersendikan diskriminasi. Dalam konteks itu, maka negara dilarang bersikap hegemonik dalam mendesain kebijakan hukum di bidang agama dengan hanya mengistimewakan agama mayoritas. Negara dituntut untuk tetap kompromistis dengan mengakomodir eksistensi agama lain, sungguh pun jumlah agama itu minoritas dalam negara Indonesia. UUD 1945 sebagai konstitusi negara tidak saja merupakan konstitusi politik, melainkan juga konstitusi sosial yang berlandaskan nilai-nilai agama. Oleh
karenanya, UUD 1945 semestinya menjadi acuan negara dan masyarakat. Bagi negara, konstitusi adalah kontrak sosial antara penguasa dengan rakyat yang telah memberikan mandatnya untuk mengatur secara adil kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk juga kehidupan beragama. Bagi masyarakat, maka pemahaman makna konstitusi yang terkait kebebasan beragama adalah terinternalisasinya sikap pluralisme (keberagaman). Keberagaman sebagai keniscayaan sudah seharusnya dijadikan respon untuk meluhurkan sikap toleransi, bukan malah dijadikan antipati terhadap perbedaan dalam kehidupan beragama. Untuk itu, masyarakat harus memiliki sikap agree in disagreement (setuju dalam perbedaan), yaitu percaya bahwa agama yang dipeluk itulah agama yang paling baik, tanpa harus repot mengurusi dan menyalahkan agama yang dipeluk oleh orang atau kelompok lain.
UUD 1945 sebagai konstitusi negara tidak saja merupakan konstitusi politik, melainkan juga konstitusi sosial yang berlandaskan nilai-nilai agama. Oleh karenanya, UUD 1945 semestinya menjadi acuan negara dan masyarakat.
Berdasarkan tafsir di atas, maka regulasi yang kental dengan anti kebebasan harus ditiadakan karena sifatnya yang anakronisme tersebut. Sebagai upaya konkret, maka perlu diusulkan desain regulasi yang demokratis dalam bingkai kebebasan beragama di Indonesia. Dalam hal ini, apabila negara hendak mengatur dimensi kebebasan beragama harus diperuntukkan; a). Untuk melindungi keselamatan masyarakat; b). Untuk melindungi ketertiban masyarakat; c). Untuk melindungi kesehatan masyarakat; d). Untuk melindungi moral masyarakat;
P RANALA EDISI 9, MEI- JUNI 20 16
41
P e r sp e k t if
dan Untuk melindungi kebebasan dasar dan kebebasan orang lain (Mulia, 2007:3). Benang merahnya adalah semangat yang dibangun dalam membuat aturan harus didasarkan pada perlindungan, bukan pada desakan maupun intimidasi entitas mayoritas. Dikarenakan materi muatan regulasi merupakan respon terhadap hal-hal yang sifatnya laten, bukan atas isu buatan kelompok mayoritas secara berlebihan maka diharapkan aturan yang lahir mampu berjalan dengan prospektif. Apabila komponen di atas dapat dijalankan secara konsisten, maka sangat mungkin setiap aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat meminimalisir timbulnya polemik di kalangan masyarakat. Sejauh ini, munculnya protes dari berbagai pihak dalam penyelenggaraan kebebasan beragama tidak lain karena sikap pemerintah yang tidak adil dalam memberikan jaminan kebebasan beragama bagi warga negaranya. Oleh karena itu, guna menghindari terciderainya kembali harmoni kebebasan beragama melalui kebijakan negara, maka negara terlebih dulu harus bersikap netral dengan menjadikan minimal lima rambu-rambu di atas untuk dijadikan pedoman dalam membentuk peraturan. Di samping itu, desain maupun konsep pengaturan kebebasan beragama harus juga dilakukan dalam rangka memberikan kewajiban dasar atas tegaknya hak asasi manusia (HAM) kepada setiap orang.
42
P R AN AL A EDI S I 9, M E I-JU N I 201 6
Epilog Sebagai negara yang memiliki pijakan hukum tertinggi berupa UUD 1945, bahkan sejumlah besar kegiatan manusia dilindungi oleh UUD 1945, termasuk juga perlindungan terhadap kebebasan beragama. Ketentuan Pasal 29 UUD 1945, selain menjadi salah satu proteksi bagi setiap individu dalam memeluk dan menjalankan aktivitas agama, seharusnya juga menjadi kiblat negara (pemerintah) dalam merumuskan regulasi organik di ranah agama. Selain itu, setiap pemeluk agama sudah saatnya memahami bahwa munculnya perbedaan adalah sebuah keniscayaan yang seharusnya disikapi dengan arif dan bijak. Melalui konsep agree in disagreement, penulis memandang sebagai salah satu paradigma yang baik untuk diinternalisasi dalam diri setiap pemeluk agama. Transfigurasi terhadap filososfi agree in disagreement ini yang sesungguhnya dapat dijadikan langkah awal untuk membingkai kehidupan multiagama yang rukun dan damai, serta membebaskan setiap orang dari belenggu berpikir sesat menyesatkan dan paham hanya satu agama yang benar (truth claim).