Background
PHOTO BY: SEKNAS PEKKA
Women’s Legal Empowerment (WLE) Pilot Justice for the Poor is a World Bank project which aims to: (a) promote legal reform at the sub-national level, (b) strengthen community access to justice and (c) provide legal empowerment and legal assistance for the community. Based on an assessment by Justice for the Poor, village women in PEKKA (Women Headed Houesehold Empowerment Program) areas experience a variety of problems including:
1. Non-legal marriage Many village women who are married have not met the requirements under state law. For example, they may have married in accordance with religious law but
PHOTO BY: SEKNAS PEKKA
Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
40074
Talk show dalam rangka launching program Women’s Legal Empowerment Talkshow on WLE program launched
Public Disclosure Authorized
Latar Belakang
Penandatanganan dukungan terhadap Women’s Legal Empowerment Support for WLE program
Justice for the Poor adalah sebuah project Bank Dunia yang bertujuan untuk (a) Melakukan upaya reformasi hukum di tingkat lokal; (b) Penguatan akses masyarakat ke keadilan dan (c) Melakukan penguatan/penyadaran hukum dan penyediaan bantuan hukum bagi masyarakat. Berdasarkan assessment yang dilakukan oleh Justice for The Poor, para perempuan di wilayah PEKKA (Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga) di desa banyak sekali yang mengalami berbagai persoalan hukum, antara lain, yaitu:
1. Nikah “bawah tangan”; Sangat banyak perempuan di tingkat desa yang menikah di “bawah tangan” dalam arti menikah menurut hukum agama (Islam) dan tidak menurut hukum negara seba-
1 Women’s Legal Empowerment (WLE) Pilot Opinion Main Reason For Divorce:
content
5 No Responsibility in Marriage Case Study
8 A Child Rape Case from West Java Baseline Survey Executive Summary
11 Women’s Legal Empowerment
1 Women’s Legal Empowerment (WLE) Pilot
daftar isi
Opini Faktor Utama Penyebab Perceraian:
5 Tidak Ada Tanggung Jawab dalam Perkawinan Studi Kasus
8 Sudah Jatuh Tertimpa Tangga: Studi Kasus Perkosaan Anak di Jawa Barat Baseline Survey Ringkasan Eksekutif
11 Pemberdayaan Hukum Perempuan (PHP)
Newsletter ini dapat diakses secara online melalui website Justice for the Poor Project: www.justiceforthepoor.or.id Newsletter dan website ini mengharapkan tanggapan dan partisipasi serta kontribusi naskah atau tulisan dari para pembaca, terutama yang berkaitan dengan isu penguatan hukum perempuan
Newsletter can be accessed through Justice for the Poor website: www.justiceforthepoor.or.id Any feedback and article ultimately on the women’s legal empowerment issue is mostly welcome
Women’s Legal Empowerment (WLE) Pilot gaimana dilakukan oleh Petugas P3N (Petugas Pembantu Pencatat Pernikahan). Dalam banyak kasus, walaupun perkawinan banyak dilakukan oleh petugas P3N, namun banyak sekali perempuan setempat yang tidak memiliki surat nikah dimana salah satu akibatnya mereka mudah diceraikan suami tanpa hak atas harta bersama.
not visited the Marriage Registry (P3N). Even where they have visited the Marriage Registry, many women do not receive a marriage certificate. This has serious consequences on divorce, as women may experience difficulties in enforcing their rights, such as property rights.
2. Contract marriage Contract marriages between local women and foreign men (for example from the Middle East and South Korea) most frequently occur in kabupaten Cianjur (West Java). The Chairman of the Village Council in Cianjur even acts as a go-between to find young women who are prepared to enter a contract marriage. Contract marriages often result in children who are not acknowledged by their fathers.
2. Kawin kontrak; Kawin kontrak antara perempuan setempat dengan laki-laki asing (yang tercatat adalah Arab dan Korea) secara khusus kerap terjadi di kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Ketua BPD di Cianjur bahkan menengarai adanya praktek-praktek perantara untuk tujuan mencari para perempuan terutama para perawan muda yang bersedia kawin kontrak. Tak jarang kawin kontrak ini menghasilkan anak yang kemudian tidak mempunyai ayah.
3. Non-legal divorce Non-legal divorce may occur as a result of non-legal marriage or because village women have limited understanding of their rights. If her husband decides he does not want his wife anymore or wants to remarry, women often do not know what they are entitled to or what they should do. Recently, a women was divorced by her husband with a mere piece of paper.
3. Perceraian yang dilakukan secara sewenang-wenang; Perceraian seperti ini kerap terjadi akibat menikah di “bawah tangan” ataupun karena banyak perempuan setempat yang tidak memahami hak-hak mereka. Sehingga ketika suami mereka tidak menginginkan mereka lagi atau suami menikah lagi, kerapkali mereka tidak tahu apa yang seharusnya mereka lakukan. Bahkan belum lama ini, terjadi kasus dimana seorang perempuan diceraikan oleh suaminya hanya dengan secarik kertas.
4. Limited inheritance rights accepted by women In kecamatan Lingsar (West Nusa Tenggara), many women are deprived of property rights. Women frequently do not gain their share of inheritance even though under Islamic law women have a right to half the inheritance of their male family members.
4. Minimnya hak waris yang diterima oleh perempuan; Di wilayah Lingsar di Nusa Tenggara Barat, pihak laki-laki lah yang memiliki harta. Perempuan juga tidak memiliki hak waris, walaupun secara Islam perempuan berhak setengah hak waris dari laki-laki, namun secara adat mereka tidak memiliki hak waris.
5. Domestic violence Domestic violence is one of the most frequent types of violence against women which occurs in the village.
6. Wage discrimination
5. Kekerasan Domestik;
Many women who work as farm or plantation laborers experience wage discrimination. On average, women receive 60% of a man’s wage.
Kekerasan Domestik merupakan salah satu jenis kekerasan yang masih banyak dan kerap terjadi terhadap perempuan setempat.
As a result of these problems, women are increasingly marginalized and pushed into poverty. To attempt to overcome these problems, women need to be armed with increased knowledge of their legal rights. Justice for the Poor in cooperation with PEKKA (Women Heads of Households
6. Diskriminasi upah; Sebagian besar perempuan yang bekerja sebagai buruh tani atau perkebunan mengalami diskriminasi upah. Rata-rata perempuan menerima upah 40% lebih rendah dari pada buruh laki-laki.
PHOTO BY: SEKNAS PEKKA
Pengalaman perempuan tersebut terbukti semakin memarjinalkan dan memiskinkan perempuan. Untuk menghadapi berbagai persoalan tersebut, maka perempuan perlu dibekali berbagai pengetahuan yang menyangkut hak-hak hukum mereka. Oleh karena itu, Justice for the Poor bekerjasama dengan PEKKA (Program Penguatan Perempuan Kepala Keluarga) melaksanakan program penguatan hukum perempuan (Women’s Legal Empowerment – WLE). Sebagai langkah awal (pilot), WLE diselenggarakan di 3 (tiga) wilayah PEKKA yakni di Kabupaten Cianjur, Kabupaten Brebes dan Propinsi NTB. Adapun tujuan utama WLE adalah memberikan penyadaran hukum pada anggota PEKKA (sebagai target group utama project) yang berada di tiga wilayah pilot tersebut. WLE juga melakukan penguatan terhadap lembaga penegak hukum terutama “Ruang Pelayanan Khusus” atau RPK yang berada di kepolisian.
Tujuan
Simpan Pinjam: Anggota PEKKA Belajar Mandiri Micro Credit: PEKKA members learn how to become Independent
2
WLE Special Edition
• June 2006
• Peningkatan pengetahuan hukum perempuan dan akses perempuan ke keadilan. • Penguatan kapasitas lembaga penegak hukum khususnya RPK di Kepolisian baik untuk tujuan pendidikan hukum perempuan maupun dalam penanganan kasus.
Edisi Khusus WLE
• Juni 2006
Empowerment Program) is implementing the Women’s Legal Empowerment Program (WLE). WLE is currently being piloted in three areas where PEKKA conducts its program – kabupaten Cianjur (West Java), kabupaten Brebes (Central Java) and West Nusa Tenggara province.
• Melakukan pendokumentasian diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan yang akan digunakan sebagai materi advokasi baik di tingkat lokal maupun nasional.
Stategi Implementasi
Objectives The main objectives of WLE are to increase legal knowledge and awareness of PEKKA members (as the primary target group for the program) in the three pilot areas. WLE also aims to strengthen legal institutions, especially the Women’s Police Desk (RPK). Specifically the objectives are to: • Strengthen women’s legal knowledge and access to justice at the local level • Strengthen the capacity of local legal institutions, particularly the Women’s Police Desk, to handle cases and provide community legal training on women’s rights issues ·• Document discrimination and violence against women cases to be used as advocacy materials at the national and sub-national levels.
Implementation strategy
Mekanisme Implementasi Kegiatan WLE akan berfokus di tingkat propinsi/kabupaten dimana terdapat MSF Penegak Hukum dan di tingkat desa di wilayah anggota PEKKA tinggal. Seorang konsultan nasional dan ahli akan mengelola kegiatan dan manajemen project.
PHOTO BY: SEKNAS PEKKA
• WLE is being implemented by women’s organization that is running women’s empowerment program such as livelihood program • Creating a network of women paralegals at the kecamatan/desa level • Establishing in each project location a “Judicial Sector Multi-Stakeholder Forum” (MSF) consisting of representatives of the local Police, Prosecutors Office, State Court, Religious Court, local government and NGOs facilitated by the RPK at the kabupaten level (for West and Central Java) or provincial level (for West Nusa Tenggara) • To encourage RPK’s roles in coordinating and facilitating MSF meeting and activities • Documenting violation of women’s rights cases • Facilitating policy dialogues at the kabupaten and national level.
• WLE dilaksanakan oleh organisasi perempuan yang telah aktif melakukan program pemberdayaan perempuan misalnya pemberdayaan ekonomi • Membangun jaringan paralegal di tingkat kecamatan. • Membentuk Multi-Stakeholder Forum penegak hukum yang terdiri dari Polisi, Jaksa, Hakim Pengadilan Negeri/Agama dan lembaga lain yang terkait di kabupaten • Mendorong RPK untuk berperan dalam koordinasi dan fasilitasi Forum MSF • Melakukan pelatihan hukum perempuan (anggota PEKKA) di desa. • Mendokumentasikan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. • Menyelenggarakan dialog kebijakan di tingkat lokal dan nasional.
Implementation Mechanism WLE focuses on both the provincial and/or kabupaten level where the MSF is established, and the village level where the PEKKA members reside. In addition, a national consultant and expert manage the activities and provide technical assistance for the implementation of the project. The levels of implementation are:
National A national consultant situated in the PEKKA secretariat with the following tasks: 1. Manage the implementation of WLE 2. Socialize and disseminate WLE 3. Supervise, facilitate and provide technical assistance for the implementation of WLE 4. Coordinate with legal institutions at the local and national level 5. Prepare terms of reference and a manual for the implementation of WLE. An expert situated in the PEKKA secretariat with the following tasks: 1. Provide technical assistance for WLE activities 2. Develop networks with legal institutions and other related institutions 3. Conduct training and provide technical assistance to the MSF 4. Act as a resource person in women’s legal training sessions.
Province/Kabupaten A consultant is placed in each pilot area to do the following tasks: 1. Facilitate the establishment of the MSF, women’s legal training, policy dialogues and other project activities 2. Socialize and disseminate WLE 3. Coordinate with legal institutions and other related institutions in the pilot areas 4. Provide technical assistance for, and cooperate with, the RPK, for example in case handling 5. Facilitate the provision of support to women involved in cases in the pilot areas.
Edisi Khusus WLE
• Juni 2006
Anggota PEKKA sedang Berdiskusi PEKKA members in a discussion
Nasional Seorang konsultan nasional yang berkedudukan di PEKKA bertugas: 1. Mengelola implementasi WLE. 2. Melakukan sosialisasi dan diseminasi WLE. 3. Melakukan supervisi, fasiltiasi dan menyediakan bantuan teknis dalam rangka implementasi WLE. 4. Berkoordinasi dengan berbagai institusi penegak hukum baik di tingkat lokal maupun nasional. 5. Menyediakan TOR dan manual untuk pelaksanaan project. Adapun ahli yang juga berkedudukan di PEKKA akan bertugas untuk: 1. Menyediakan bantuan teknis untuk kegiatan WLE. 2. Mengembangkan jaringan dengan institusi penegak hukum dan lembaga terkait lainnya sesuai dengan tujuan WLE. 3. Melakukan pelatihan dan memberikan bantuan teknis untuk MSF. 4. Bertindak sebagai narasumber dalam pelatihan hukum perempuan.
Propinsi/Kabupaten Untuk masing-masing wilayah kerja seorang pendamping lapangan ditempatkan untuk melakukan: 1. Fasilitasi pembentukan MSF, pelatihan hukum perempuan, dialog kebijakan dan kegiatan lainnya.
WLE Special Edition
• June 2006
3
MSF A MSF will be established in each of kabupaten Cianjur, kabupaten Brebes and West Nusa Tenggara province with the following tasks: 1. Write a legal training manual for women 2. Support WLE activities 3. Support and promote legal and policy reform relating to women’s rights and violence against women in the pilot areas.
RPK
2. Melakukan sosialisasi dan diseminasi WLE. 3. Berkoordinasi dengan berbagai institusi penegak hukum dan instansi terkait lainnya di wilayah kerjanya. 4. Menyediakan bantuan teknis untuk dan bekerjasama dengan RPK di Kepolisian misalnya dalam hal penanganan kasus. 5. Melakukan pendampingan memberikan dukungan terhadap perempuan yang berkasus di wilayah kerjanya.
MSF
The main tasks of the RPK, situated in the police station, under the program are: 1. Act as a secretariat for the MSF 2. Provide inputs on women’s legal training materials to be used in village level trainings 3. Coordinate with the consultants in the pilot areas 4. Document discrimination and violence against women cases.
Kecamatan Paralegals work in every village with the following tasks: 1. Disseminate and socialize the project activities in the community 2. Collaborate with the consultant, MSF and RPK in each pilot area 3. Document discrimination and violence against women cases 4. Accompany and support women who have cases in the pilot areas 5. Facilitate and support legal training for PEKKA members in the pilot areas.
Village Paralegals support PEKKA members at the village level with respect to women’s legal training activities and case handling.
Stimulant Funds
PHOTO BY: SEKNAS PEKKA
To support WLE activities, the national coordinator manages Rp. 120 million of stimulant funds to be used for additional activities relating to the objectives of WLE.
Multi-Stakeholders Forum (MSF) akan dibentuk di kabupaten Cianjur, Kabupaten Brebes dan Propinsi NTB. Adapun tugas mereka adalah: 1. Menulis manual pelatihan hukum untuk perempuan. 2. Mendukung kegiatan WLE. 3. Mendukung dan mengajukan reformasi hukum dan kebijakan yang berhubungan dengan hak-hak perempuan dan kekerasan terhadap perempuan di wilayah kerja masing-masing.
RPK di Kepolisian Tugas utama RPK dalam kegiatan project WLE adalah: 1. Bertindak sebagai sekretariat MSF. 2. Menyediakan masukan terhadap materi pelatihan hukum perempuan yang dilakukan di desa-desa PEKKA. 3. Berkoordinasi dengan pendamping lapangan (konsultan) WLE di wilayah kerja masing-masing. 4. Melakukan pendokumentasian kasus diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.
Kecamatan Paralegal akan bekerja di setiap desa dan kecamatan project dengan tugas utama: 1. Mendiseminasi dan melakukan sosialisasi kegiatan project di tingkat komunitas. 2. Bekerjasama dengan pendamping lapangan di masing-masing wilayah kerja, dengan MSF dan RPK. 3. Melakukan pendokumentasian diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. 4. Melakukan pendampingan terhadap perempuan yang berkasus di wilayah kerjanya. 5. Memfasilitasi dan memberikan dukungan dalam pelatihan hukum perempuan PEKKA.
Desa Paralegal akan memberikan dukungan pada kelompok PEKKA yang berada di tingkat desa baik dalam hal kegiatan pelatihan hukum perempuan maupun dalam pendampingan kasus.
Dana Stimulan Dialog Nasional: Perempuan Menggugat Hak-haknya A National Dialogue: Women defence their rights
Target Project
Project Targets 1. Policy reform in legal institutions and government to empower women (education and training) 2. Policy change at the national level to strengthen the RPK 3. Policy support for an integrated criminal justice system which is gender sensitive 4. Policy support for local government (Pemda) to eliminate discrimination and violence against women in the pilot areas.
4
Untuk mendukung kegiatan WLE, maka koordinator nasional akan mengelola dana sebesar 120 juta rupiah yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan tambahan sesuai dengan tujuan WLE.
1. Perubahan kebijakan di masing-masing institusi penegak hukum dan pemerintah mengenai penguatan (pendidikan/pelatihan) hukum perempuan. 2. Perubahan kebijakan di tingkat nasional yang menyangkut RPK. 3. Dukungan kebijakan mengenai SPPT (Sistem Peradilan Pidana Terpadu) yang berkeadilan gender. 4. Dukungan Kebijakan Pemda terhadap penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan di masing-masing wilayah kerja.
Next steps
Tindak Lanjut
The pilot is being independently evaluated. If successful and more funds become available, Justice for the Poor intends to extend the program to other regions.
Apabila project dianggap berhasil dan dana tersedia, maka Justice for The Poor bermaksud mengembangkan area kerja untuk WLE di wilayah lain.
WLE Special Edition
• June 2006
Edisi Khusus WLE
• Juni 2006
Opini Opinion
MAIN REASON FOR DIVORCE:
No
FAKTOR UTAMA PENYEBAB PERCERAIAN:
Responsibility
in Marriage by: Suyadi, SH, MH
Tidak Ada
Tanggung Jawab dalam Perkawinan
Vice Secretary of the Brebes Religious Court Member of the Women’s Legal Empowerment-Multi Stakeholders Forum
oleh: Suyadi, SH, MH Wakil Sekretaris Pengadilan Agama Brebes,
Normatively, the responsibility of a head of the family is that of the husband. This is written in article 31(3) of Act No. 1/ 1974 on marriage, which states,”A husband is the head of the family and the wife is the homemaker.” This position is reiterated in article 34(1), which states, “It is a husband’s duty to protect his wife and provide a living and all the household necessities according to his ability,” while article 34(1) states that the wife’s duty is to manage the household as best as possible. The codification of the position and duties of husband and wife can also be found in the Indonesian Compilation of Islamic Law (KHI) (Presidential Instruction No. 1/1991), which is the material law used by the Religious Court. Article 79(1) repeats the statement made in article 31(3) of the marriage law, while in article 31(2), states that the wife has an equal position and rights in the marriage life and social living among the community. Article 31(3) states that each party has the right to initiate legal actions. Article 80(1) specifically states that the duty of a husband is be the guardian of his wife and family, but when it comes to important decisions regarding the family, both the husband and wife possess the same rights. While article 80(2) repeats article 34(1) of the marriage law. Violation of the above regulations by either party opens the possibility for a divorce in the courts. This corresponds with article 34(3) of the marriage law and article 77 of the KHI. The court referred to here is the Religious Courts for Muslims and Public Courts for Non-Muslims. The Religious Courts are a part of the justice system described in the Constitution of 1945 that deals with private matters of Muslims. Specifically, the existence of this Religious Court is affirmed in Act No.4/ 2000 on the Basic of Justice Power and Act No. 7/ ILUSTRATION BY: KUILU 1989 on Religious Courts.
National Statistics on the Factors of Divorce The statistics of the Religious Courts show that, in 2004, the main reason for divorce is that a husband neglects his responsibility to his wife and family. The records indicate 69,414 from a total of 165,266 divorce cases (around 42%) are for this. Whereas the least common reason for a divorce is because one party has to
Edisi Khusus WLE
• Juni 2006
Anggota Multi-Stakeholder Forum Penguatan Hukum Perempuan Kabupaten Brebes
Secara normatif, tanggung jawab sebagai kepala keluarga adalah kewajiban seorang suami. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (3) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa, “Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.” Hal ini ditegaskan juga di dalam Pasal 34 ayat (1) yang menegaskan, “Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan nafkah dan memberikan segala keperluan hidup berumahtangga sesuai dengan kemampuannya.” Sedangkan Pasal 34 ayat (1) menyatakan bahwa kewajiban istri adalah mengatur rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan diatas oleh salah satu pihak akan membuka peluang bagi pihak yang lain untuk mengajukan gugatan melalui Pengadilan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (3) UU Perkawinan dan Pasal 77 KHI. Sedangkan Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Umum bagi penganut agama lainnya. Peradilan Agama merupakan bagian penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana diamanatkan didalam UUD 1945 yang menangani Hukum Acara Perdata bagi orang-orang yang beragama Islam. Secara khusus, eksistensi Peradilan Agama ini diafirmasi didalam UU No. 4 tahun 2004 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama.
Angka Faktor-faktor Penyebab Perceraian Secara Nasional Data statistik perkara di lingkungan Peradilan Agama seluruh Indonesia menyebutkan bahwa di tahun 2004 faktor penyebab utama terjadinya perceraian adalah suami meninggalkan kewajiban atau tidak bertanggung jawab terhadap rumah tangga atau keluarganya. Angka menyebutkan 69.414 kasus dari total keseluruhan 165.266 kasus perceraian atau sekitar 42 % dari keseluruhan kasus. Sedangkan faktor penyebab paling rendah adalah karena salah satu pihak menjalani hukuman karena tindak kejahatan. Faktor ini sebanya 98 perkara atau hanya 0,3 %. Dan dari total jumlah kasus sebanyak 165.266, 59 % diantaranya atau sejumlah 97.472 kasus terjadi melalui cerai gugat yaitu seorang istri (perempuan) menggugat cerai suaminya disebabkan oleh berbagai faktor.
WLE Special Edition
• June 2006
5
serve time for crime. This factor was only found in 98 or 0.3 % of total cases. For a number of reasons, women file 59% of the total divorce cases.
Geographically, the Religious High Court in Surabaya filed the most divorce cases in Indonesia.
Amongst the five Religious High Courts with the highest number of divorces cases, most were ‘cerai gugat’ (wives initiate the divorce) cases except in Bandung where most were ‘cerai talak’ (husbands initiate the divorce) cases. As a comparison, the Religious Court under the jurisdiction of the Surabaya’s Religious High Court with the highest divorce case rate was the Religious Court of Malang and for Semarang, it was the Religious Court of Cilacap.
Over the years, the number of divorces have tended to rise whereas the main reasons for divorce have tended to remain the same.
Number of Divorce in the Region of Brebes The mapping of divorce rates in Brebes region is broadly indicative of the national statistics. Research shows that in 2003, 2004 and 2005, the Religious Court of Brebes received 1,924, 2,020 and 2,354 cases respectively. This indicates a
6
WLE Special Edition
• June 2006
Sedangkan apabila dilihat dari segi yurisdiksi kewilayahan, maka wilayah Pengadilan Tinggi Agama (PTA) di Indonesia termasuk tertinggi dalam perkara perceraian adalah PTA Surabaya.
Dari lima PTA dengan jumlah perceraian tertinggi, sebagian besar adalah perkara cerai gugat kecuali PTA Bandung yang lebih tinggi angka cerai talak dibandingkan cerai gugat. Adapun sebagai dambaran perbandingan jumlah perkara tertinggi dalam yurisdiksi pengadilan agama tingkat pertama adalah PA Malang untuk wilayah PTA Surabaya dan PA Cilacap untuk wilayah PTA Semarang.
Demikianlah sekilas data statistik mengenai peta tingginya angka perceraian secara nasional. Kecenderungan angka ini selalu meningkat dari tahun ke tahun, akan tetapi faktor utama penyebab perceraian cenderung sama yaitu suami meninggalkan kewajiban atau tidak bertanggungjawab terhadap rumah tangga dan keluarganya.
Angka Perceraian di Kabupaten Brebes Peta angka perceraian di Kabupaten Brebes tidak lepas dari reflekski data statistik angka perceraian di tingkat nasional. Berdasarkan penelitian, di PA Brebes
Edisi Khusus WLE
• Juni 2006
percentage of 4% and 16,5%. From the 2,354 cases of 2005, 1,674 cases or around 71% of the cases were ‘cerai gugat’ while the rest were ‘cerai talak’.
pada tahun 2003 menerima 1.924 perkara dan meningkat sebesar 4 % menjadi sejumlah 2.020 perkara pada tahun 2004. Sedangkan dari tahun 2004 ke 2005 meningkat cukup signifikan sebesar 16,5% menjadi 2.354 perkara. Dari sejumlah 2354 perkara, sejumlah 1.671 perkara atau sekitar 71% adalah cerai gugat, sedangkan sisanya sebesar 421 perkara adalah cerai talak.
Data shows that husbands neglecting their responsibilities, economic factors and family negligence are often the reasons for filing a divorce. These reasons came in many varieties: neglecting the wife(s) and children, not providing living expenses for six months, or abandoning the family for two or more years without an explanation. Generally, economic disadvantage is caused by unemployment, temporary jobs, and insufficient income. While those who disappear, usually leave the family with the excuse of looking for a better job somewhere else, but then never return nor
Data-data menunjukkan bahwa tidak adanya tanggungjawab dalam pernikahan, suami meninggalkan kewajiban, faktor ekonomi dan penelantaran keluarga yang sering dijadikan alasan bagi penggugat untuk mengajukan gugatan cerai atau talak. Variasinya bermacam-macam, ada yang tergugat tidak memperdulikan penggugat dan menelantarkan anak-anaknya; atau tergugat tidak memberi nafkah kepada penggugat selama 6 (enam) bulan lamanya; dan tergugat pergi meninggalkan penggugat selama 2 (dua) tahun lebih tidak diketahui alamat tempat tinggalnya dimana ia berada di Indonesia. Rata-rata ketidakmampuan secara ekonomi disebabkan karena tergugat tidak bekerja (pengangguran), kerja tidak menentu dan penghasilan yang tidak mencukupi kehidupan sehari-hari keluarganya.
(continued on page 15)
(bersambung ke halaman 15)
ILUSTRATION BY: KUILU
Edisi Khusus WLE
• Juni 2006
WLE Special Edition
• June 2006
7
Studi Kasus Case Study
A Child Rape Case from West Java The victim in this case of rape was a 5-year-old girl and the perpetrator a 15 – year-old teenage boy. The case actually involved two incidents of rape. Initially, the victim’s family refused to solve the problem through either the formal legal system or informal mechanisms as they felt the power imbalances between the perpetrator’s and the victim’s family would block a fair outcome. However, after the second incident, the family reported the incidents to the police. Unfortunately, the family experienced a far from satisfying service from the formal law system – the police asked for money from the financially poor family and did nothing to protect the family from the community’s persecution. The case then reached the court and the perpetrator was punished but the sentence was still considerably light and the Child Protection’s Law was not used by the prosecutor. In the end, the victim’s family moved to another city but the child continued to suffer psychological trauma. This case demonstrates how advocacy efforts, such as those provided by PEKKA, are crucial for pushing law enforcers to handle women and children’s cases seriously and in a more integrated way.
Chronology of Events In the year 2005, Tina, a five-year old girl was raped twice by her neighbour. At the time, Tina’s family were newcomers to the village.
First Incident Tina’s family were first alerted when Tina began complaining that her bottom was hurting. When it was checked, the family found bruises and scratches around her anus. When she was asked what happened, she answered, “It hurts, it was poked by Agus”. Agus was the family’s neighbour and Tina’s friend. Tina’s family then took her to the local Puskesmas (local health clinic), but they initially decided not to report the incident to the police or tell others about the incident. Instead, as preventative measure, they watched Tina closer whenever she played outside.
Kasus perkosaan ini menimpa anak perempuan yang berumur lima tahun. Pelaku adalah remaja yang berumur 15 tahun. Tindakan perkosaan terjadi dua kali. Semula keluarga korban tidak mau menyelesaikan sengketa baik menggunakan sistem hukum formal maupun informal. Karena, mereka melihat adanya ketidakseimbangan kuasa antara keluarga pelaku dan keluarga korban. Akhirnya, keluarga melaporkan tindakan perkosaan kedua kepada polisi. Sangat disayangkan pengalaman keluarga korban dengan sistem hukum formal kurang memuaskan – polisi minta uang dari keluarga korban yang notabene miskin dan tidak melindungi keluarga korban dari ancaman kekerasaan anggota masyarakat yang berpihak kepada keluarga pelaku. Kemudian kasus sampai ke pengadilan dan pelaku dihukum, tetapi hukumannya agak ringan dan Undang-Undang Perlindungan Anak tidak dipakai oleh penuntut umum untuk menjerat pelaku. Perkembangan terakhir adalah keluarga korban pindah ke kota lain dan anak perempuan yang menjadi korban perkosaan menderita dampak psikologis. Dari kasus ini terlihat bahwa advokasi dan pendampingan dari sebuah LSM, seperti PEKKA (Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga), sangat penting untuk mendorong penegak hukum untuk lebih serius menanangi kasus perempuan dan anak secara terpadu.
Kronologis Kejadian Keluarga Tina adalah pendatang baru di kampungnya. Selama tahun 2005 Tina, anak yang berumur lima tahun, diperkosa dua kali oleh tetangganya.
Perkosaan pertama Orang tua Tina mendapati puterinya mengeluh sakit pada pantatnya. Saat dilihat terdapat luka lecet dan memar merah pada sekitar lubang anusnya. Saat ditanya, Tina menjawab dengan lugu, “Sakit, dicolok ama Aa Agus.” Agus adalah teman sepermainan Tina. Orang tua Tina membawanya ke puskesmas dan tidak melaporkan perkosaan ini kepada polisi atau orang lain. Namun, keluarga Tina mengawasi ketat Tina kalau dia bermain dan keluar rumah sebagai tindakan preventif.
Perkosaan kedua
Second incident Three months after the first incident of rape, Tina’s father was lounging in front of the TV while her mom was cleaning the house. They didn’t realize that Tina had followed Agus to play at his house and stayed there until the afternoon. After returning home, her mother tried to bathe her, but she refused to remove her clothes and her started to cry. She complained that her vagina was painful, and when it was checked it was bruised and scratched. When asked what happened, she answered, “Agus poked me”. The parents immediately asked the neighbors if they had seen Tina playing with Agus that day. Some neighbors claimed to have seen her with Agus during the day as well as with Agus’s brother Erwin. They also reported that they saw 15-year old Erwin bring Tina to an empty house that was still under construction.
WLE Special Edition
Studi Kasus Perkosaan Anak di Jawa Barat Ringkasan
Summary
8
Sudah Jatuh Tertimpa Tangga:
• June 2006
Tiga bulan sesudah perkosaan pertama, ayah Tina sedang istirahat tidur-tiduran di depan televisi dan ibu Tina membereskan rumah. Mereka tidak tahu bahwa Tina mengikuti ajakan Agus untuk bermain di rumah Agus sampai sore hari. Pada waktu Tina hendak dimandikan oleh ibunya, ia menolak dibukakan baju dan menangis. Dia mengeluhkan sakit pada vaginanya waktu membuang air. Terlihat vagina Tina terluka memar dan lecet. Saat ditanya kenapa lecet, dengan lugunya dia menjawab, “dicolok Aa Agus.” Orang tuanya segera menanyakan kepada beberapa warga apakah Tina bermain dengan Agus siang itu. Beberapa warga membenarkan bahwa Tina bermain dengan Agus siang harinya dan kemudian kakak Agus, Erwin datang. Mereka melihat Erwin, yang berumur 15 tahun, menarik Tina ke rumah kosong yang masih dalam tahap pembangunan.
Edisi Khusus WLE
• Juni 2006
Actions taken by the victim’s family and the response of the formal system The day after the second incident, Tina’s parents again took her to the Puskesmas. However, the nurse there refused to complete an examinations until the matter was reported to the police. Tina’s father then went to the local Polsek (Local Police Station). Tina’s father reported that the response was slow and that the matter was not handled seriously and professionally. Finally, he received a recommendation letter to have Tina examined by the Puskesmas. Almost five hours later, the Puskesmas examined Tina. The result confirmed that there was a tear in the victim’s vagina due to a dull object. The family paid Rp. 20,000 for a result that came thre days after the examination. During this period, Tina’s family twice returned to the Police to demand that the perpetrator be arrested. However, the police refused, claiming there was insufficient evidence to make an arrest. Even after the police received the examination results, they still didn’t arrest the perpetrator and one of the police asked for Rp. 250,000 from Tina’s father for case fees and transportation. At the time, Tina’s father answered, “I’m a poor guy. I live in a house made from coconut leaves; I am just a Sumedang tofu maker.” The next day the police arrested Erwin as a suspect.
Response from the Community Most of the villagers, who had heard the explanation of Tina’s father, did not believe him and called him a liar. The father of the perpetrator was an activist in the community and was also the caretaker of the local mosque. After Tina’s family reported the incident to the police, they received a strong response from the community that mostly blamed and cornered them. Many death threats were addressed to Tina and her family. The perpetrator’s father and the local village leader came to Tina’s house to push them to revoke their report to the police, but Tina’s family insisted on continuing the process. The perpetrator’s family and some members of the community then threatened to have Erwin released on bail.
Advocacy from PEKKA In this rape case, the PEKKA field officer and paralegal offered assistance to Tina’s family. PEKKA received the report of the case from the victim’s family a couple weeks after the second incident and immediately worked hard to lobby a couple of involved parties. The PEKKA team met with the village leader, his wife, religious leaders and community leaders, PKK, Bupati’s wife, Polsek, the judge from the State Court, and Prosecutor’s office to ask for support and to give protection to Tina’s family. In the meetings with the Head of the Prosecutor’s office and Meyer’s wife, the PEKKA team accompanied the victim’s family. It was not always easy to try to meet all these people that often the team had to return on numerous occasions. In the end, most of the meetings took place within a week and those met were very supportive and helpful. Similarly, the PEKKA team tried to encourage the police and the prosecutor to use the Child Protection Law instead of the Criminal Code or, at the least, to use article 285 (rape the maximum penalty of 12 years), article 287 (sexual intercourse with underage victim with the maximum penalty of 9 years) and/ or article 289 (forced harassment with the maximum penalty of 9 years). Of the Criminal Code, rather than article 290 (Sexual Harassment with the maximum penalty of 7 years).
Verdict Four weeks after the incident was reported to the police, the trial begun. And 7 weeks after the trial begun, the verdict was announced. Even with the encouragement and advocacy from the PEKKA team, the prosecutors chose to use article 290 of the Criminal Code and the Child Protection Law was used for secondary charges only. The prosecutors asked for three years imprisonment and a Rp. 60 million fine. The maximum penalty of article 290 is 7 years imprisonment. In the end, Erwin received 30 months imprisonment and the fine was replaced with an additional two
Tindakan orang tua korban dan respons sistem formal Keesokan harinya sesudah perkosaan kedua, Tina dibawa ke puskesmas lagi oleh orang tuanya. Namun, pihak puskesmas menolak melakukan pemeriksaan (visum) sebelum kasus ini dilaporkan kepada polisi terlebih dulu. Ayah Tina sendiri langsung ke Polsek. Tetapi dia merasa pengaduannuya tidak ditanggapi secara memadai. Pelayanannya kurang cepat. Akhirnya, ia mendapatkan surat pengantar dari kepolisian untuk melakukan visum dan kembali ke puskesmas. Hampir lima jam sesudah Tina dibawa ke puskesmas, visum dilakukan. Hasilnya membenarkan bawah terdapat luka robek pada vagina korban akibat benda tumpul. Keluarga Tina harus membayar Rp 20.000,- atas hasil visum yang baru dikeluarkan tiga hari sesudah pemeriksaan. Selama waktu itu, ayah Tina dua kali ke Polsek dan meminta agar polisi menangkap pelaku. Namum polisi menolak dengan alasan belum ada bukti yang cukup kuat untuk penangkapan. Waktu polisi menerima hasil visum, mereka masih belum menangkap pelaku dan seorang polisi meminta bayaran Rp 250.000,- kepada ayah koran dengan alasan untuk biaya perkara dan transportasi. Pada saat itu, ayah Tina mengatakan,”Saya orang susah, rumah saya berdinding dan beratap geribik, tak punya uang sebanyak itu. Saya hanya pengrajin tahu semedang.” Dia tidak dapat memberikan uang. Pada keesokan harinya, polisi menangkap Erwin sebagai tersangka.
Respons dari masyarakat Kebanyakan warga kampung yang mendapatkan keterangan ayah Tina tidak percaya dan menyebut keluarga korban menyebarkan fitnah. Ayah pelaku keduanya adalah seorang aktivis dalam masyarakat dan pengurus masjid kampung itu. Sesudah keluarga Tina melaporkan perkosaan pada Polsek, respon masyarakat cukup keras menyalahkan dan menyudutkan keluarga korban. Berbagai ancaman pembunuhan ditujukan pada Tina dan keluarganya. Ayah tersangka dan ketua RT mendatangi keluarga Tina untuk mendorong pencabutan laporannya. Karena keluarga Tina tetap menginginkan kasus inti diproses secara hukum maka keluarga tersangka dan beberapa warga mengancam akan menebus dan membebaskan Erwin.
Advokasi dari PEKKA Dalam kasus perkosaan ini, pendamping lapangan dan kader hukum dari PEKKA memberikan bantuan kepada keluarga Tina. Walaupun laporan kepada PEKKA dari teman keluarga korban baru diterima beberapa minggu sesudah perkosaan kedua terjadi, tim PEKKA bekerja keras untuk melobi beberapa pihak yang terkait. Tim ini bertemu dengan ketua RT, isteri RT, tokoh agama dan masyarakat, PKK, ibu Bupati, Polsek, Hakim Pengadilan Negeri dan Kejaksaan Negeri untuk meminta dukungan terhadap kasus ini dan memberikan perlindungan terhadap keluarga Tina. Pada pertemuan dengan Kepala Kejaksaan Negeri dan Ibu Bupati, tim PEKKA mendampingi keluarga korban. Seringkali susah untuk menemui seseorang sehingga tim harus mendatangi terus. Akhirnya, kebanyakan pertemuan tersebut terjadi selama seminggu dan sikap orangorang yang ditemui sangat membantu. Tim PEKKA berusaha mendorong polisi dan jaksa untuk menjerat pelaku dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, bukan KUHP. ILUSTRATION BY: KUILU
Edisi Khusus WLE
• Juni 2006
WLE Special Edition
• June 2006
9
months imprisonment. This was less than the prosecutors’ demand and the Judge argued that the perpetrator was still a child.
Effect on the Victim Due to psychological pressure cause by the incident, Tina spent most of her time depressed; she would often space out and always cry when bathed. The family was having trouble running their business and so they moved house to a different city.
Analysis There are a couple questions that arise from this case: 1. Why didn’t Tina’s parents report the first incident to the police? The reason was because they were new in the village and they didn’t want to look for enemies. This shows the community’s lack of confidence and trust in the police’s protection and the formal law system. 2. Why was the second incident processed according to the law? The victim’s family insisted that a case this heavy needed to be processed according to the law despite all the obstacles they had to go through, including the pressures from the community, request for peace from the perpetrator’s family, the police officer who asked for money, etc. With the family’s persistence and PEKKA’s lobbying, the case was processed rather quickly. Two weeks after the report, the police handed the case over to the prosecutor’s office and two weeks after that, the trial began. 3. Why did it take a week to arrest the perpetrator? Why was the examination result given directly to the victim’s family? The Police were reluctant to arrest the suspect until the examination results were receiving. However, during this period, the police were also unwilling to provide protection to the family or take any preventive measures to prevent the perpetrator from running away. 4. Why didn’t the prosecutor want to use the Child Protection Law that clearly was made to cover these types of cases? The prosecutor refused to use the Child Protection Law because the perpetrator was still a child himself. The police used article 290 of the Criminal Code and not article 287 because they saw this merely as a sexual harassment case and not child rape. This is not in line with the examination’s result and the intention of the law. Even though PEKKA’s advocacy’s effort were only partly successful this time, the prosecutor’s office was open to advice from the PEKKA team regarding legal institutions’ poor service provided and use of the Criminal Code. The prosecutor’s office agreed that it is the responsibility of the prosecutor to try to punish the perpetrator as hard as possible and use the Child Protection Law whenever possible. However, they still refused to use it on this case because the perpetrator was still a child himself. In the future, the advocacy effort from PEKKA and other NGOs on other cases will definitely help.
ILUSTRATION BY: KUILU
10
WLE Special Edition
• June 2006
Paling-tidak bukan memakai KUHP pasal 290 (pencabulan dengan hukuman maximal 7 tahun) melainkan pasal 285 (perkosaan dengan hukuman maximal 12 tahun), pasal 287 (persetubuhan di bawah umur dengan hukuman maximal 9 tahun) dan/ atau pasal 289 (pencabulan terpaksa dengan hukuman maximal 9 tahun).
Keputusan Walaupun ada dorongan dan advokasi dilakukan oleh pendamping lapangan PEKKA kepada jaksa untuk memakai Undang-Undang Perlindungan Anak atau pasal lain dalam KUHP untuk menjerat pelaku, jaksa lebih memilih memakai KUHP pasal 290. Undang-Undang Perlindungan Anak (pasal 82) dipakai sebagai dakwaan sekunder. Pelaku dituntut tiga tahun penjara dan denda Rp.60 juta. Hukuman maksimal pasal 290 KUHP adalah 7 tahun penjara. Empat minggu sesudah ayah korban melapor kepada Polsek, sidang perkara dimulai. Tujuh minggu sesudah sidang mulai, keputusan pengadilan dikeluarkan. Erwin dihukum kurang dari tuntutan: 30 bulan penjara subsider denda diganti dua bulan kurangan. Alasan hakim, pelaku belum dewasa.
Dampak pada korban Karena tekanan psikis dan psikologis yang diterima, Tina menjadi lebih banyak murung, bengong dan selalu menangis bila akan mandi. Keluarganya kesulitan menjalankan usahanya. Akibatnya, mereka pindah rumah ke kota lain.
Analisis Ada beberapa pertanyaan yang muncul dari kasus ini: 1. Mengapa orang tua Tina tidak melaporkan perkosaan pertama kepada polisi? Alasanya, mereka warga baru di kampungnya dan tidak mau mencari musuh. Terlihat adanya kekurangpercayaan masyarakat pada perlindungan polisi dan sistem hukum formal. 2. Mengapa kasus perkosaan kedua akhirnya diproses secara hukum? Keluarga korban bersikeras kasus seberat ini harus diproses secara hukum meskipun banyak hambatan yang ditemui termasuk tekanan dari masyarakat, permohonan damai dari keluarga pelaku, polisi yang meminta uang pada saat pelaporan maupun penyidikan dan lain-lain. Atas desakan keluarga korban dan upaya lobi dari PEKKA, kasus diproses agak cepat. Dua minggu sesudah laporan, Polsek melimpahkan kasus kepada kejaksaan. Dan dua minggu setelah itu, sidang perkara dimulai. 3. Mengapa butuh waktu seminggu untuk menangkap pelaku? Mengapa hasil visum tidak segera diberikan kepada keluarga korban? Polisi tidak mau menangkap pelaku sampai hasil visum diterima tetapi selama seminggu ini, polisi tidak menyediakan pelindungan kepada korban atau keluarganya atau berusaha untuk mencegah pelaku melarikan diri. 4. Mengapa kejaksaan tidak mau menjerat pelaku dengan Undang-Undang Perlindungan Anak yang secara jelas dimaksudkan untuk meng-cover kasus anak seperti ini? Jaksa tidak mau memakai Undang-Undang Perlindungan Anak karena pelaku belum dewasa, umurnya 15 tahun. Polisi mau memakai pasal 290 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan bukan pasal 287 karena mereka menganggap kasus hanya pencabulan, bukan persetubuhan atau perkosaan anak. Ini tidak selaras dengan hasil visum dan maksud dari undangundang. Walaupun kali ini dorongan PEKKA kurang berhasil, Kejaksaan sangat terbuka menerima masukan dari PEKKA tentang kekurangan pelayanan aparat hukum dan kelemahan pemakaian KUHP. Kejaksaan setuju bahwa tugas jaksa menjerat pelaku dengan hukuman yang berat dan memakai Undang-Undang Perlindungan Anak kalau bisa. Meskipun dalam kasus ini, Kejaksaan tetap menolak pengunaan UndangUndang Peradilan Anak karena pelaku belum dewasa. Akan tetapi untuk kasuskasus mendatang usaha advokasi yang dilakukan oleh PEKKA atau LSM dan organisasi masyarakat lainnya sebagai pendamping korban pasti akan membantu.
Edisi Khusus WLE
• Juni 2006
Baseline
Survey Executive Summary Women’s Legal Empowerment
Ringkasan Eksekutif Pemberdayaan Hukum Perempuan (PHP)
A. WOMEN’S LEGAL EMPOWERMENT (WLE)
A. PEMBERDAYAAN HUKUM PEREMPUAN
WLE is a two year pilot project which is being implemented by PEKKA (Program Pemberdayaan Kepala Keluarga Perempuan, or the Female-Headed Households Empowerment Program). PEKKA has provided empowerment activities, including microfinance, to its village women members since 2000. PEKKA members include widows, divorcees, single women and other women heads of households. WLE is being implemented as a component of the PEKKA program in four kabupaten all of which were existing PEKKA locations: Cianjur (West Java), Brebes (Central Java) and West and Central Lombok (West Nusa Tenggara, NTB). Marital and employment status of PEKKA members
PHP adalah proyek uji coba yang akan berjalan selama dua tahun yang mana kini tengah dilaksanakan oleh PEKKA (Program Pemberdayaan Kepala Keluarga Perempuan). PEKKA melakukan berbagai kegiatan pemberdayaan bagi anggotanya di desa misalnya pemberdayaan ekonomi sejak tahun 2000. Anggota PEKKA yakni janda (baik karena bercerai atau karena ditinggal mati), perempuan yang belum atau tidak menikah yang menjadi pencari nafkah utama atau menjadi kepala rumah tangga. PHP diselenggarakan sebagai bagian dari program PEKKA secara keseluruhan di empat kabupaten yakni: Cianjur (Jawa Barat), Brebes (Jawa Tengah) dan Lombok Tengah dan Lombok Barat (Nusa Tenggara Barat - NTB). Status perkawinan dan pekerjaan anggota PEKKA
The objectives of WLE are:
Tujuan utama PHP adalah:
• •
• •
•
Increase the legal knowledge and awareness of PEKKA members Strengthen the capacity of local legal institutions (police, prosecutors, religious courts and state courts) to provide community legal education on women’s rights issues Increase advocacy of women’s rights issues.
•
Meningkatkan pengetahuan hukum perempuan anggota PEKKA Meningkatkan kapasitas penegak hukum (polisi, jaksa, hakim pengadilan agama dan hakim pengadilan negeri) khususnya Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di Kepolisian Meningkatkan advokasi berbagai isu hak-hak hukum perempuan.
The implementation strategy is:
Strategi implementasi:
•
•
• •
Implementation by an organization that already conducts a women’s empowerment program (such as a livelihoods program) Creating a network of women paralegals at the kecamatan/village level Establishing in each project location a “Judicial Sector Multi-Stakeholder Forum” (MSF) consisting of representatives of the local Police, Prosecutors Office, State Court, Religious Court, local government and NGOs at the kabupaten level (for West and Central Java) or provincial level (for West
Edisi Khusus WLE
• Juni 2006
• •
PHP diselenggarakan oleh organisasi yang telah menyelenggarakan program pemberdayaan perempuan (misalnya program pemberdayaan ekonomi) Mengembangkan jaringan paralegal (kader hukum) perempuan di tingkat kecamatan atau desa Mengembangkan Forum Multi-stakeholder Penegak Hukum yang terdiri dari perwakilan polisi, kejaksaan, pengadilan negeri dan pengadilan agama, pemda dan LSM di tingkat kabupaten di Jawa Barat dan Jawa Tengah serta di tingkat
WLE Special Edition
• June 2006
11
• • •
Nusa Tenggara) Encouraging the RPK’s role in coordinating and facilitating MSF meetings and activities Documenting violation of women’s rights cases Facilitating policy dialogues at the kabupaten and national level.
• • •
B. EVALUATION Evaluation is crucial to determine whether the pilot was effective upon its completion. Accordingly, Justice for the Poor contracted ACNielsen to conduct a baseline impact evaluation study in September 2005. The evaluation instruments were created and field tested jointly by Justice for the Poor and ACNielsen with input from PEKKA, based on the following indicators of success: • Increased number of PEKKA members aware of their rights and the legal system • Increased number of PEKKA members aware of methods to enforce their rights • Increased level of legal knowledge and legal aid skills of legal institution staff • Increased legal institution resources allocated to legal education • Increased level of trust by PEKKA members in local legal institutions • Increased number of resolved cases reported to the Women’s Police Desk (RPK) • Increased use of documented cases in advocacy of women’s rights issues • Increased involvement of local institutions in advocacy of women’s rights issues. The survey will be repeated at the end of the pilot, again conducted by an independent institution, to determine how effective the program was in achieving its objectives and provide insight on how the program could be better designed to achieve the desired outcomes. The baseline consisted of the following instruments:1 •
•
•
B. EVALUASI Untuk tujuan ini, Justice for the Poor mengontrak “ACNielsen” untuk melakukan baseline survei pada bulan September 2005. Instrumen evaluasi dibuat dan diujicobakan oleh Justice for the Poor dan ACNielsen dengan input dari PEKKA berdasarkan indikator sukses sebagai berikut: • Meningkatnya jumlah anggota PEKKA yang menyadari hak-hak nya dan memahami sistem hukum • Meningkatnya jumlah anggota PEKKA yang memahami cara bagaimana menegakkan hak-hak hukum mereka • Meningkatnya tingkat pengetahuan hukum dan keterampilan memberikan layanan hukum aparat penegak hukum • Meningkatnya sumberdaya lembaga penegak hukum yang dialokasikan untuk pendidikan hukum masyarakat • Meningkatnya tingkat kepercayaan anggota PEKKA terhadap lembaga penegak hukum • Meningkatnya jumlah kasus yang dapat diselesaikan (yang dilaporkan) ke Ruang Pelayanan Khusus (RPK) • Meningkatnya penggunaan kasus-kasus yang didokumentasikan dalam advokasi hakhak (hukum) perempuan • Meningkatnya keterlibatan lembaga lokat dalam advokasi hak-hak hukum perempuan. Survey yang akan dilakukan oleh sebuah lembaga independen akan diulangi ketika proyek pilot selesai. Survey ini dilakukan untuk menentukan bagaimana efektivitas program dalam upaya mencapai tujuan program dan memberikan masukan tentang bagaimana program dapat di disain dengan lebih baik agar mencapai tujuan yang diinginkan. Survei baseline terdiri dari instrumen: 1
Metode kuantitatif: •
Quantitative tools: A survey of 280 PEKKA members in the pilot locations plus control locations2 to measure their level of knowledge of legal rights and processes to enforce these rights (particularly in relation to marriage, divorce and domestic violence), their opinions on the legal system and legal institutions and their experience in receiving legal education A survey of 17 staff of the Women’s Police Desk to gauge the level of resources provided to the Desk and its staff and to determine what services are provided including case handling and community legal education A survey of 32 staff of legal institutions (police, prosecutors, courts and local go- vernment) to determine what community legal education services they provide.
•
•
•
12 FGDs with PEKKA members to discuss their daily lives, knowledge of legal rights, and willingness to enforce legal rights 4 in-depth interviews with PEKKA paralegals.
1
The survey questionnaires are available in Indonesian on Justice for the Poor’s website: www.justiceforthepoor.or.id 2 Control locations were chosen to resemble as far as possible the pilot locations. The control locations are all PEKKA locations but where the WLE component is not being implemented. Control locations are necessary to isolate the impact of the WLE component as distinct from the impact of the PEKKA program in general.
12
WLE Special Edition
• June 2006
Survei terhadap 280 anggota PEKKA di lokasi pilot dan lokasi kontrol untuk mengukur pengetahuan mereka tentang hak-hak hukum dan proses untuk menegakkan hak-hak hukum mereka (khususnya yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga), pendapat mereka tentang sistem hukum dan lembaga penegak hukum dan pengalaman mereka dalam menerima pelatihan hukum; Survei terhadap 17 awak RPK (Ruang Pelayanan Khusus) untuk mengetahui sumberdaya yang dialokasikan oleh RPK dan awanya dan untuk mengetahui layanan seperti apa yang disediakan termasuk penanganan kasus dan pendidikan hukum masyarakat; Survei terhadap 32 aparat penegak hukum (polisi, jaksa, pengadilan dan aparat pemda) untuk mengetahui pendidikan hukum masyarakat yang mereka lakukan.
Metode kualitatif: •
Qualitative tools: •
Propinsi di NTB Mendorong RPK agar berperan sebagai koordinator dan fasilitator pertemuan dan kegiatan Forum Multi-Stakeholder Mendokumentasikan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan diskriminasi terhadap perempuan Memfasilitasi dialog kebijakan di tingkat kabupaten dan nasional.
•
12 FGD (Focus Group Discussion) dengan anggota PEKKA untuk mendiskusikan pengalaman hidup mereka sehari-hari, pengetahuan hak-hak hukum mereka dan keinginan untuk menegakkan hak-hak hukum mereka. 4 Interview secara mendalam dengan kader hukum (paralegal) PEKKA
C. TEMUAN UTAMA BASELINE SURVEY 1. Anggota PEKKA Sebagian besar anggota PEKKA yang di survei berusia antara 40-59 tahun dimana 70% nya tidak tamat Sekolah Dasar. Kebanyakan anggota PEKKA bekerja sebagai petani atau pedagang kecil. Sebagian besar responden memiliki pengetahuan mengenai hak-hak hukum 1
Pertanyaan-pertanyaan survei dalam bahasa Indonesia dapat dilihat dalam website “Justice for the Poor” : www.justiceforthepoor.or.id
Edisi Khusus WLE
• Juni 2006
C. MAIN FINDINGS OF THE BASELINE SURVEY 1. PEKKA members The majority of PEKKA members surveyed were between 40-59 years of age with over 70% not having finished primary school. Most work as farmers or small traders. Most respondents have reasonably good knowledge of their legal rights and the law. For example: • 94% consider they have equal rights with men • 94% know that property owned by a wife prior to marriage remains hers on divorce • 92% know that an ex-husband should support the children on divorce • 86% consider that an ex-husband can not claim custody of children without a court decision.
dan sistem hukum, sebagai contoh: • 94% anggota PEKKA berpendapat bahwa mereka memiliki hak-hak yang setara dengan laki-laki • 94% anggota PEKKA memahami bahwa harta atau hak milik yang dibawa sebelum seorang istri menikah tetap menjadi miliknya apabila terjadi perceraian • 92% anggota PEKKA memahami bahwa mantan suami harus memberikan nafkah pada anak-anak mereka apabila terjadi perceraian • 86% anggota PEKKA berpendapat bahwa mantan suami tidak dapat mengambil hak asuh anak tanpa putusan pengadilan.
Perkawinan dan perceraian •
Marriage and Divorce •
•
•
•
•
Most respondents think the law requires a woman to be at least 19 years old before marrying, and 24 for a man. However, underage marriage is common due to fears of being “left on the shelf” and pregnancy outside of marriage. 99% of respondents know the law requires them to possess a marriage certificate however 84% consider a certificate is needed merely to evidence their marriage. Few respondents considered a certificate would help them to enforce their rights – 17% said a marriage certificate would be used in a divorce process, 5% for custody of children after divorce and only 2% as guidance for the rights of a husband and wife. Particularly in NTB and kabupaten Brebes, respondents consider a marriage certificate less important for subsequent marriages. Subsequent marriages are more likely to be in accordance with religious law, not state law. One of the reasons for subsequent marriages to be non-legal, is because of the difficulty and expense in obtaining divorce documents and the belief by 10% of respondents that getting divorced without a divorce document is legal. Divorce documents are easier to obtain and marriage laws are implemented more strictly in kabupaten Brebes, so non-legal marriages are less common amongst respondents there. Respondents in NTB have the least knowledge of legal marriage and divorce procedures but are also more likely to reject polygamy than their counterparts in Java. Despite good knowledge of their rights on divorce, few women take action to defend their rights (even if they have a court settled divorce) because they lack knowledge of the procedures to defend their rights and access to the institutions, and because they fear social stigma for interfering with their husband’s new life.
Qu: Is it lawful to divorce without a divorce certificate?
Edisi Khusus WLE
• Juni 2006
•
•
•
•
Sebagian besar responden berpendapat bahwa hukum menetapkan usia perkawinan bagi perempuan adalah 19 tahun dan laki-laki 24 tahun. Namun menikah di bawah umur terjadi karena takut dianggap sebagai “perawan tua” atau untuk menghindari terjadinya hamil diluar nikah. 99% responden mengetahui bahwa hukum mewajibkan mereka untuk memiliki akta perkawinan namun 84% berpendapat bahwa akta perkawinan diperlukan sebagai bukti pernikahan. Beberapa responden berpendapat bahwa akta perkawinan akan membantu menegakkan hak-hak hukum mereka – 17% menyatakan akta perkawinan akan digunakan dalam proses perceraian, 5% diantaranya menyatakan akta perkawinan berguna untuk perwalian anak setelah perceraian dan hanya 2% menganggap akta perkawinan sebagai manual tentang hak suami istri dalam perkawinan. Khususnya di NTB dan kabupaten Brebes, responden menyatakan bahwa akta perkawinan tidak terlalu penting untuk perkawinan berikutnya. Perkawinan kedua dan seterusnya biasanya dilakukan berdasarkan hukum agama dan bukan hukum negara. Salah satu alasan yang membuat perkawinan kedua dan seterusnya dilakukan tidak berdasarkan aturan yang berlaku karena sulitnya dan biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh akta cerai dan keyakinan bahwa 10% dari responden yang berpendapat bahwa bercerai tanpa akta perceraian adalah sah menurut hukum. Dokumen perceraian lebih mudah diperoleh dan peraturan perkawinan dilaksanakan dengan ketat di kabupaten Brebes, dengan demikian perkawinan menurut hukum agama cukup jarang dilakukan oleh responden disana. Responden di NTB memiliki pengetahuan hukum perkawinan dan prosedur perceraian yang paling rendah namun pada saat yang sama merupakan responden yang paling menolak poligami dibandingkan dengan responden di wilayah pilot di pulau jawa. Terlepas dari pengetahuan hukum yang baik mengenai hak-hak hukum dalam perceraian, masih sedikit perempuan PEKKA yang mampu mempertahankan hakhak mereka (bahkan jika mereka telah mempunyai putusan cerai melalui pengadilan) karena mereka kurang memiliki pengetahuan mengenai prosedur untuk mempertahankan hak-hak mereka dan akses ke berbagai institusi. Mereka juga takut dengan stigma masyarakat yang akan mengatakan bahwa mereka ikut campur pada urusan rumah tangga baru suaminya.
Tanya (T):Apakah suatu perceraian sah menurut hukum apabila tidak ada sertifikat cerai?
WLE Special Edition
• June 2006
13
Domestic Violence
Kekerasan Dalam Rumah Tangga – KDRT
•
•
•
70% of respondents are aware of the term “domestic violence” and most are aware that domestic violence is a crime, although around 80% consider that it means physical violence from a husband towards his wife only. Understanding of psychological, economic and sexual violence is limited. 97% of respondents disagree that a husband has the right to hit his wife, and only 13% consider that domestic violence is a family problem which should not be reported to or processed through the legal system. However, only 27% of respondents would report domestic violence to the police. Most would go to a family member of friend for assistance instead. Respondents are unaware of how to access police assistance, fear the police would not treat a domestic violence case seriously and even if they did, respondents fear that imprisoning the perpetrator would have a negative impact on their children. Only 13% have ever heard of the Women’s Police Desk (RPK) and only three quarters of these knew it was in the police station.
•
Discrimination • •
•
Most respondents accept that men are paid around twice as much as them because men work harder. Most respondents accept that males receive twice the inheritance as their female relatives because men have more responsibilities and this is dictated by Islam. Women have low levels of knowledge about labor laws, rights of migrant workers and trafficking.
Accordingly, the survey indicates that although women’s legal knowledge is reasonable in many areas, their ability access justice and enforce their rights remains low.
2. Community Legal Education by Legal Institutions • According to legal institutions surveyed, most community legal education sessions provided by them over the last two years have related to narcotics and domestic violence and over 50% took place in villages. The number of sessions conducted by the police in the last two years range from 10 in kabupaten Cianjur to 120 in kabupaten Brebes. However, only 47% of PEKKA mem-
14
WLE Special Edition
• June 2006
70% responden memahami istilah “kekerasan dalam rumah tangga” dan kebanyakan dari perempuan PEKKA (responden) mengetahui bahwa “kekerasan dalam rumah tangga” adalah perbuatan pidana, walaupun sekitar 80% dari mereka berpendapat bahwa KDRT adalah kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya saja. Sedangkan pemahaman mengenai kekerasan psikologis, ekonomi dan kekerasan seksual masih terbatas. 97% responden tidak sepakat dengan pendapat yang menyatakan bahwa seorang suami berhak untuk memukul istrinya, dan hanya 13% dari mereka yang berpendapat bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah keluarga yang tidak sepatutnya dilaporkan atau diproses ke sistem hukum. Namun, hanya 27% responden yang mau melaporkan kasus kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian. Kebanyakan responden memilih anggota keluarga atau teman untuk membantu. Responden tidak mengetahui/memahami bagaimana mengakses bantuan kepolisian, responden juga takut polisi tidak menganggap kasus KDRT sebagai suatu kejahatan yang serius dan walaupun responden mau melaporkan kasus KDRT ke kepolisian, mereka takut upaya memenjarakan pelaku KDRT akan berdampak buruh bagi anak-anak mereka. Di lain pihak, hanya 13% responden yang pernah mendengar tentang RPK (Ruang Pelayanan Khusus) dan hanya tiga perempat dari mereka mengetahui bahwa RPK berkedudukan di kantor polisi.
Diskriminasi • •
•
Sebagian besar responen menerima situasi dimana laki-laki menerima upah dua kali lipat dari yang mereka terima dengan alasan para laki-laki bekerja lebih keras. Sebagian besar responden menerima kondisi bahwa laki-laki menerima warisan dua kali lebih besar daripada yang mereka terima karena laki-laki memiliki tanggungjawab yang lebih besar dan hal ini merupakan perintah Islam. Perempuan memiliki tingkat pengetahuan yang rendah mengenai hukum perburuhan, hak-hak pekerja migran dan perdagangan perempuan.
Dengan demikian, survey menunjukkan bahwa walaupun pengetahuan hukum sudah lebih baik di banyak wilayah pilot, namun kemampuan perempuan PEKKA untuk mengakses keadilan dan menegakkan hak-hak mereka tetap rendah/lemah.
2. Pendidikan Hukum Masyarakat yang diselenggarakan oleh Lembaga Penegak Hukum • Berdasarkan lembaga penegak hukum yang disurvei, sebagian besar pendidikan hukum masyarkat yang dilakukan oleh mereka dalam dua tahun terakhir menyangkut
Edisi Khusus WLE
• Juni 2006
ber respondents have ever attended a legal education session and of these only 12% were delivered by a legal institution.
3. Women’s Police Desks (RPK) • The RPK have handled a range of numbers of cases in the pilot areas – from 6 cases in kabupaten Brebes to 300 cases in NTB province. Sexual and physical abuse are most common, although RPK kabupaten Cianjur receives mostly theft cases. • Police in the RPK in Cianjur and Brebes have not received any legal training, while all staff in the RPK NTB have received training in case handling, trafficking, incest and domestic violence.
narkotika dan KDRT dan lebih dari 50% diselenggarakan di desa. Jumlah pelatihan hukum yang diselenggarakan oleh Kepolisian dalam dua tahun terakhir berkisar antara 10 kali di Kabupaten Cianjur sampai 120 kali di kabupaten Brebes. Namun hanya 74% responden anggota PEKKA yang pernah menghadiri pelatihan hukum tersebut dan hanya 12% diantaranya hadir dalam pelatihan hukum yang diberikan oleh lembaga penegak hukum.
3. Ruang Pelayanan Khusus (RPK) • RPK di wilayah pilot menangani berbagai macam kasus dengan jumlah yang beragam yakni misalnya 6 kasus di kabupaten Brebes dan 300 kasus di propinsi NTB. Kasus yang paling banyak adalah kekerasan fisik dan seksual, namun RPK Cianjur menangani cukup banyak kasus pencurian. • Polisi (awak RPK) di Cianjur dan Brebes belum menerima pelatihan hukum, namun seluruh awak RPK di NTB telah menerima pelatihan penanganan kasus, perdagangan anak dan perempuan, incest dan KDRT.
D. FURTHER INFORMATION
D. INFORMASI TAMBAHAN
ACNielsen’s complete Baseline Survey Report can be accessed on Justice for the Poor’s website: www.justiceforthepoor.or.id in English and Indonesian. Further information about WLE and other Justice for the Poor activities are also available on the website.
Laporan lengkap baseline survey ACNielsen dalam bahasa Indonesia dan Inggris dapat dilihat dalam website Justice for the Poor: www.justiceforthepoor.or.id. Informasi lengkap mengenai program pemberdayaan hukum perempuan dan kegiatan Justice for the Poor lainnya dapat dilihat dalam website.
NO RESPONSIBILITY...........
TIDAK ADA TANGGUNG JAWAB...........
(continued from page 7)
(sambungan dari halaman 7)
inform the family of their whereabouts. The Brebes’ Religious Court has granted divorce to 646 cases of this nature.
Closing Notes The first impact of irresponsibility is a neglected family, the loss of hope and dependency on other people. The second impact is that the family experiences economic pressure and a burden that can cause psychological damage. With further analysis, the victims of these cases are not just the spouse but also the children. Mathematically, if in general 1,671 widows in Brebes have 2 children than the victims of divorce jumps to 5,013 people. The broken home background and economic disadvantage means that most of these children cannot enjoy a decent education. The consequence of this is low quality human resources. Further, these uneducated individuals can become easy targets of brokers who arrange migrant work. Act No. 23/2004 on the Elimination of Domestic Violence is expected to function as a tool for the law enforcement agencies, including the police, prosecutors and judges, to suppress the divorce rates caused by physical and economical negligence. Of course, this can only happen if the law enforcers understand clearly the regulations and the criminal penalty for those that met ILUSTRATION BY: KUILU the material and formal conditions of the Act.
Edisi Khusus WLE
• Juni 2006
Sedangkan tergugat yang meninggalkan penggugat semula ingin mencari pekerjaan baru ditempat lain untuk mendapatkan penghasilan yang lebih memadai guna mencukupi kebutuhan keluarga. Akan tetapi seringkali mereka yang merantau ini tidak pernah pulang, tidak ada kabarnya dan tidak diketahui alamatnya. Berdasarkan kriteria ini, data di PA Brebes menunjukkan sebanyak 646 kasus yang diputus perceraiannya akibat pasangannya dinyatakan hilang tidak diketahui alamat dan tempat tinggalnya.
Catatan Penutup Akibat tidak adanya tanggung jawab keluarga menjadi terlantar, kehilangan harapan dan menjadi tergantung pada pihak lain. Akibat selanjutnya adalah keluarga tersebut mengalami tekanan ekonomi dan beban hidup yang sangat berat yang beraibat pada penderitaan secara psikis dan mengalami kesulitan ekonomi atau masuk dalam kategori keluarga miskin. Apabila dianalisis lebih jauh, korban bukan saja penggugat tapi juga anakanaknya. Apabila dihitung secara matematis, jika rata-rata 1.671 janda yang cerai di PA Brebes memiliki 2 (dua) orang anak maka korban dari perceraian itu berlipat menjadi 5.013 orang. Dari latar belakang keluarga yang gagal (broken home) dan tingkat ekonomi yang rendah, maka berakibat anak-anak tersebut tidak dapat bersekolah dengan layak. Akibatnya adalah sumberdaya manusia yang ada adalah yang berkualitas rendah. Tenaga kerja dengan kualitas rendah inilah yang diminati oleh calo-calo pencari kerja sebab tentu harganya murah dan gampang diatur atau dibohongi untuk dikirim menjadi buruh migran. UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga diharapkan bisa dijadikan alat oleh penegak hukum baik polisi, jaksa maupun hakim untuk menekan angka perceraian yang diakibatkan oleh penelantaran baik secara psikis maupun ekonomi. Tentu saja dengan catatan apabila para penegak hukum memahami dengan baik isi dan aturan yang ada didalamnya berikut ancaman pidananya bagi pelaku tindak pelanggaran atau kejahatan yang memenuhi syarat materiil dan formil di dalam UU tersebut.
WLE Special Edition
• June 2006
15