14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI A. KERANGKA TEORI. 1.
Tinjauan Tentang Perbandingan Hukum. 1) Pengertian Perbandingan Hukum Istilah perbandingan hukum menurut Barda Nawawi Arief dalam bahasa asing, diterjemahkan sebagai berikut 42: 1. Comparative law (bahasa Inggris) 2. Vergleihende rechstlehre (bahasa Belanda) 3. Droit compare (bahasa Perancis). Istilah ini, dalam pendidikan tinggi hukum di Amerika Serikat, sering diterjemahkan lain, yaitu sebagai conflict law atau dialih bahasakan, menjadi hukum perselisihan, yang artinya menjadi lain bagi pendidikan hukum di indonesia. Istilah ini sudah memasyarakat di kalangan teoritikus hukum di indonesia. Istilah perbandingan hukum atau Comparative Law (bahasa Inggris), Rechtsvergleichung (bahasa Jerman) atau “Vergeleichende Rechtslehre”, atau Droit Compare (bahasa Perancis) baru dikenal pada abad ke 19. Di Amerika Serikat, pada beberapa perguruan tinggi hukum istilah Comparative Law sering diberi arti lain, yaitu: sebagai “hukum peristilahan” yang termasuk bidang studi hukum perdata. Sarjana lain, Rudolf B. Schleisinger (Comparative Law, 1959) mengatakan, bahwa Comparative Law atau perbandingan hukum merupakan suatu metoda penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu.43 Secara yuridis, dapat dikatakan bahwa “Comparative Jurisprudence” adalah “the study of the principles of legal science
42
3
. Barda Nawawi Arief.Perbandingan Hukum Pidana Raja Grafindo. Jakarta. 1990. Hlm
commit to user Hukum Pidana, Fakultas Hukum . Prof. Soedarto, Himpunan Kuliah Perbandingan Univ. Pdjajaran; 1982-1984 43
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
by the comparison of various systems of law.” “Comparative” dimaksudkan adalah “proceeding by the method of comparison; estimated by comparison and founded by comparison”.44 Selanjutnya dikatakan bahwa “Comparative Law” bukanlah perangkat aturan dan asas-asas hukum, bukan suatu cabang hukum. “Comparative Law” is the technique of dealing with actual foreign law element of a legal problem”.45 Menurut Barda Nawawi Arief dalam bukunya mengutip beberapa pendapat para ahli hukum mengenai istilah perbandingan hukum, antara lain46. 1. Rudolf B. Schlesinger mengatakan bahwa, perbandingan hukum merupakan metode penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh penetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu. Perbandingan hukum bukanlah perangkat peraturan dan asas-asas hukum dan bukan suatu cabang hukum, melainkan merupakan teknik untuk menghadapi unsur hukum asing dari suatu masalah hukum. 2. Winterton mengemukakan, bahwa perbandingan hukum adalah suatu metoda yaitu perbandingan suatu sistem-sistem hukum dan perbandingan tersebut menghasilkan data sistem hukum yang dibandingkan. 3. Gutteridge menyatakan bahwa perbandingan hukum adalah suatu metoda yaitu metoda perbandingan yang dapat digunakan
dalam
semua
cabang
hukum.
Gutteridge
membedakan antara comparatif law dan foreign law (hukum asing), pengertian istilah yang pertama untuk membandingkan dua sistem hukum atau lebih, sedangkan pengertian istilah
44
Black Law Dictionary, 1968 Ibid. 46 Barda Nawawi Arief, loc.cit.commit 45
to user
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang kedua, adalah mempelajari hukum asing tanpa secara nyata membandingkannya dengan sistem hukum yang lain. 4. Perbandingan hukum adalah metode umum dari suatu perbandingan
dan penelitian perbandingan
yang dapat
diterapkan dalam bidang hukum. Para pakar hukum ini adalah: Frederik Pollock, Gutteridge, Rene David, dan George Winterton 5. Lemaire mengemukakan, perbaningan hukum sebagai cabang ilmu pengetahuan (yang juga mempergunakan metoda perbandingan) mempunyai lingkup (isi) dari kaidah-kaidah hukum, persamaan dan perbedaannya, sebab-sebabnya dan dasar-dasar kemasyarakatannya. 6. Ole Lando mengemukakan antara lain bahwa perbandingan hukum mencakup “analysis and comparison of the laws”. Pendapat tersebut sudah menunjukkan kecenderungan untuk mengakui perbandingan sebgai cabang ilmu hukum. 7. Definisi lain mengenai kedudukan perbandingan hukum dikemukakan oleh Zwiegert dan kort yaitu :”comporative law is the comparable legal institutions of the solution of comparable
legal
problems
in
different
system”.
(perbandingan hukum adalah perbandingan dari jiwa dan gaya dari sistem hukum yang berbeda-beda atau lembaga-lembaga hukum yang berbeda-beda atau penyelesaian masalah hukum yang dapat diperbandingkan dalam sistem hukum yang berbeda-beda). 8. Barda Nawawi Arief yang berpendapat perbandingan hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari secara sistematis hukum
dari
dua
atau
labih
sistem
mempergunakan metoda perbandingan. 2) Sifat Dasar Perbandingan Hukum. commit to user
hukum
dengan
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Perbandingan hukum, dalam pengertian yang paling sederhana, merupakan suatu metode studi dan penelitian hukumhukum dan lembaga - lembaga hukum dari dua negara atau lebih diperbandingkan. Metode ini menaruh perhatian pada analisa kandungan dari sistem hukum yang berbeda dalam rangka menemukan solusi guna menjawab berbagai masalah hukum. Hal ini juga merupakan teknik dan kemahiran khusus sebagaimana beberapa hal tertentu dapat diperoleh dengan mengamati hukumhukum dari berbagai bangsa dengan cara memperbandingkan satu dengan lainnya. Perbandingan hukum bukanlah suatu subjek persoalan, melainkan suatu metode studi. Hal tersebut merupakan proses mempelajari hukum di luar negeri dengan membandingkannya dengan hukum lokal. Tugas utamanya adalah untuk mengetahui dengan pasti perbedaan dan persamaan di dalam peraturan hukum, prinsip-prinsip dan lembaga-lembaga terkait pada dua negara atau lebih dengan cara pandang untuk menyediakan solusi bagi permasalahan setempat. Hal ini juga merupakan disiplin untuk memelihara
“social
order”
berdasarkan
pengetahuan
dan
pengalaman yang hidup di negara-negara lain. 3) Tujuan Perbandingan Hukum. Menurut Prof. Van Apeldorn, tujuan perbandingan hukum dapat dibedakan antara tujuan teoritis dan tujuan yang bersifat praktis. Tujuan yang bersifat teoritis menjelaskan bahwa hukum sebagai gejala dunia (universiil) dan oleh karena itu ilmu pengetahuan hukum harus dapat memahami gejala dunia tersebut; dan untuk itu kita harus memahami hukum dimasa lampau dan pada
masa
sekarang.
Tujuan
yang
bersifat
praktis
dari
perbandingan hukum adalah merupakan alat pertolongan untuk
commit to user
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tertib masyarakat dan pembaharuan tentang berbagai peraturan dan pikiran hukum kepada pembentuk undang-undang dan hakim.47 Menurut Michael Bogdan, terdapat manfaat perbandingan hukum bagi : a. Proses pemahaman terhadap hukum negara sendiri b. Proses pembentukan hukum di masa depan c. Proses harmonisasi dan unifikasi hukum-hukum d. Proses penyelesaian kasus-kasus hukum yang mengandung adanya unsur hukum asing e. Proses penerapan hukum asing yang berasal atau diadopsi dari hukum asing f. Proses perkembangan hukum internasional public. 4) Teknik Perbandingan Hukum. Perbandingan hukum memiliki prosedur dan cara kerja sendiri, sesuai dengan prinsip dan esensi dari apa yang dinamakan perbandingan. Prosedur dan teknik kerja inilah yang akan diuraikan berikut ini : 48 a. Memilih Topik Penelitian Dan Jenis Perbandingan Hukumnya. Topik yang dipilih tidak boleh terlalu luas, sebab akan menimbulkan risiko sebagai berikut: a) penelitian menjadi tidak terfokus sehingga kerapkali justru hanya sumir atau dangkal analisisnya b) sulit bagi peneliti untuk mengendalikan penelitian tersebut, dan c) membutuhkan
waktu
lama
untuk
menyelesaikan
penelitian. Obyek penelitian dapat berupa hukum substantive atau hukum material dari dua atau lebih sistem hukum yang ada, atau juga
47
. Romli Atmasasmita, Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana, Yayasan Lembaga commit to user Hukum Indonesia, 1989, hlm. 29. 48 .Elly Erawaty, Pengantar Perbandingan Hukum.
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang dapat diperbandingkan adalah aspek formal dari berbagai sistem hukum tersebut. b. Menentukan Tertium Comparationis Obyek yang akan diperbandingkan haruslah sesuatu yang masing-masing memiliki unsur atau elemen atau karakteristik tertentu yang ama sehingga obyek tersebut memang pantas untuk diperbandingkan. Dalam perbandingan hukum, unsur yang sama tersebut yang menjadi common denominator dalam perbandingan hukum dinamakan tertium comparationis. Tertium comparationis adalah: 1. The common denominator : Titik persamaan yang harus ada dalam setiap obyek yang hendak diperbandingkan agar dengan demikian obyek tersebut layak untuk saling diperbandingkan. 2. A basis for comparison : Dasar untuk memperbandingkan sesuatu. 3. Tertium comparationis tersebut tidak selalu berupa nama atau sebutan yang sama, melainkan fungsi dan / atau tugas dari obyek yang diperbandingkan. Perbandingan hukum kaidah atau pranata atau institusi hukum yang akan diperbandingkan harus cocok untuk saling diperbandingkan secara fungsional satu terhadap yang lain. c. Mencari Dan Menjelaskan Persamaan Dan Perbedaan. Untuk menjelaskan mengapa terjadi perbedaan dan atau persamaan kita lazimnya akan mencari : faktor apa saja yang sangat signifikan yang mempengaruhi struktur, perkembangan dan substansi dari sistem hukum yang diteliti itu. Persamaan atau perbedaan dari faktor-faktor itulah yang menyebabkan terjadinya persamaan dan perbedaan di bidang hukum. Faktor yang berpengaruh terhadap sistem hukum suatu masyarakat to user sehingga dapatcommit menjadi penyebab terjadinya persamaan atau
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perbedaan yaitu sistem ekonomi, ideologi dan sistem politik, agama, dan sejarah. d. Mengevaluasi Hasil Perbandingan. Dilakukannya penilaian atau evaluasi atas hasil perbandingan yang ia lakukan itu. Termasuk dalam pengertian evaluasi ini misalnya: 1.
Menganalisis bagaimana sistem-sistem hukum yang berbeda itu mengatur pokok persoalan yang sama.
2.
Menilai apakah ada alternative atau solusi lain yang muncul dalam sistem hukum asing yang diperbandingkan itu dalam mengatur problem hukum yang sama.
3.
Menilai hukum, yang diperbandingkan itu yang paling tepat, paling lengkap, paling baik.
4.
Menilai apakah hukum asing yang menurut penilaiannya itu adalah yang terbaik dan dapat diterapkan di dalam masyarakat dimana peneliti itu berasal.
5.
Merumuskan rekomendasi atau saran apabila memang dibutuhkan misalnya bila metode perbandingan hukum tersebut dilakukan dalam konteks memperbaharui sistem hukum nasionalnya sendiri atau untuk menyusun suatu persatuanan baru.
2.
Dasar-Dasar Hukum Perkawinan Di Indonesia. 1) Hukum Islam Al-Quran dan Al-Hadist. Adapun dasar-dasar hukum perkawinan dalam islam yang sudah tertulis dalam kita Al-Quran maupun dalam Hadist-hadist, yaitu surat An-Nuur ayat 32, yang artinya : “Nikahilah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak kawin ari hamba sahaya kamu baik laki-laki maupun perempuan, apabila permpuan itu miskin, Allah akan menamakkan mereka dengan Karunian-Nya. Dan Allah Maha luas pemberian-Nya lagi maha mengetahui” commit to user Surat An-Nisa Ayat 3, yang artinya :
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat jika kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup satu orang. (QS, An-Nisa :3)” Ayat-ayat di atas menerangkan memerintahkan kepada setiap laki-laki yang sudah mampu unuk melaksanakan nikah. Adapun yang dimaksud dalam ayat ini adalah adil di dalam memberikan nafkah kepada istri berupa sandang dan pangan yang bersifat materi dan lahiriah. Salah satu ayat di atas juga menerangkan bahwa islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Dalil As-Sunnah diriwayatkan dari Abdullah Bin Mas’ud r.a dari Rasullulah yang bersabda : “wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian memiliki kemampuan, maka nikahlah, karena itu dapat lebih baik menahan pandangan dan menjaga kehormatan. Dan barang siapa yang tidak memiliki kemampuan itu, hendaklah ia selalu berpuasa, sebab puasa itu merupakan kendali baginya (H.R. Bukhari Muslim)”.49 Dari dasar hukum islam yang terdapat di dalam Al-Quran Dan Al-Hadist di atas menjadi salah stu dasar hukum yang digunakan untuk merumuskan aturan hukum tentang perkawinan di Indonesia. Perkembangan hukum di Indonesia tergantung perkembangan politik karena hukum di indonesia tercipta dari kondisi-kondisi yang ada dalam masyarakat melalui proses politik, kekuatan karakter politik di dalam menciptakan suatu hukum bergantung terhadap kebutuhan dan isu-isu yang berkembang di dalam masyarakat. Berlakunya atau terbentuknya hukum islam di indonesia bukanlah memalui proses pendek dan singkat melainkan terbentuknya hukum islam dalam indonesia mealui proses yang tercipa dari beberapa teor yang timbul di zaman kolonial belanda
commit user Muhammad Faiz Almath, Qobasun MintoNuri Muhammad Saw (1100 Hadist Terpilih), Darul Kutub Alarabiyah Damsyik-Syria-1974, Penerjemah Gema Insani, Hal 50. 49
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan smpai sekarang melalui penyempurnaan teori hukum islam yang di bentuk oleh ahli-ahli hukum islam. Terbentuk memalui sifat-sifat dan dan adat istiadat serta kepercayaan masyarakat di negara Indonesia waktu itu, untuk membentuk sistem hukum yang relfan di negara Indonesia tercipta beberapa teori yang telah terbarui dampai sekarang, yaitu :50 1.
Teori Receptio in Complexu. Teori receptio in Complexu menyatakan bahwa bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam sebab ia telah memeluk agama Islam walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan penyimpangan. Teori ini berlaku di Indonesia ketika teori ini diperkenalkan oleh Prof. Mr. Lodewijk Willem Christian van den Berg. Teori Receptio in Complexu ini telah diberlakukan di zaman VOC sebagaimana terbukti dengan dibuatnya pelbagai kimpulan hukum untuk pedoman pejabat dalam menyeleaikan urusan-urusan hukum rakyat pribumi yang tinggal di dalam wilayah kekuasaan VOC yang kemudian dikenal senagai Nederlandsch Indie.
2.
Teori Receptie. Teori Receptie menyatakan bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat. Hukum Islam berlaku bagi rakyat pribumi kalau norma hukum Islam itu telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat. Teori Receptie Hurgronye
dikemukakan dan
oleh
kemudian
Prof.
Christian
dikembangkan
Snouck
oleh
van
Vollenhoven dan Ter Haar. Teori ini dijadikan alat oleh Snouck Hurgronye agar orang-orang pribumi jangan sampai kuat memegang ajaran Islam dan hukum Islam. . Jika mereka berpegang terhadap ajaran dan hukum Islam, dikhawatirkan mereka akan sulit menerima dan dipengaruhi dengan mudah commit to user 50
.Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, Lkis Yogyakarta Februari 2005 Hal : 55-56
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
oleh budaya barat. Ia pun khawatir hembusan Pan Islamisme yang ditiupkan oleh Jamaluddin Al-Afgani berpengaruh di Indonesia. Teori Receptie ini amat berpengaruh bagi perkembangan hukum Islam di Indonesia serta berkaitan erat dengan pemenggalan wilayah Indonesia ke dalam sembilan belas wilayah hukum adat. Teori Receptie berlaku hingga tiba di zaman kemerdekaan Indonesia. 3.
Teori Receptie Exit Teori Receptie Exit diperkenalkan oleh Prof. Dr. Hazairin, S.H. Menurutnya setelah Indonesia merdeka, tepatnya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 dijadikan Undang-Undang Negara Republik Indonesia, semua peraturan perundangundangan Hindia Belanda yang berdasarkan teori receptie bertentangan dengan jiwa UUD ’45. Dengan demikian, teori receptie itu harus exit alias keluar dari tata hukum Indonesia merdeka. Teori Receptie bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Secara tegas UUD ’45 menyatakan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Demikian dinyatakan dalam pasal 29 (1) dan (2).
4.
Teori Receptie A Contrario. Teori Receptie Exit yang diperkenalkan oleh Hazairin dikembangkan
oleh
Sayuti
Thalib,
S.H.
dengan
memperkenalkan Teori Receptie A Contrario. Teori Receptie A Contrario yang secara harfiah berarti lawan dari Teori Receptie menyatakan bahwa hukum adat berlaku bagi orang Islam kalau hukum adat itu tidak bertentangan dengan agama commit Islam. to user Dengan demikian, dalam Teori Islam dan hukum
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Receptie A Contrario, hukum adat itu baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Kalau Teori Receptie mendahulukan berlakunya hukum adat daripada hukum Islam, maka Teori Receptie A Contrario sebaliknya. Dalam Teori Receptie, hukum Islam tidak dapat diberlakukan jika bertentangan dengan hukum adat. Teori Receptie A Contrario mendahulukan berlakunya hukum Islam daripada hukum adat, karena hukum adat baru dapat dilaksanakan jika tidak bertentangan dengan hukum Islam. Teori-teori yang di maksud dia atas adalah merupakan teori yang memicu hukum islam masuk dalam dahar hukum positip di negara indonesia. Dari beberapa teory yang ada yang telah mengalami penyempurnaan dan dipakai sampaai sekarng adalah Teori Receptie A Contrarioteori yang terbarui ini merupakan teori yang dijelaskan yaitu teori yang mendahulukan hukum daripada hukum adat. Teori ini juga menjelaskan hukum islam tidak dapet diberlakukan jika bertentangan dengan hukum adat, kedudukan hukum islam lebih di dahulukan dari hukum adat. Menurut terori existensi ini, hukum islam mempunyai spesifikasi, yaitu :51 a) Telah ada dalam arti sebagai bagian itegral dari hukum nasional. b) Telah ada dalam arti kemandirian dan kekuatan wibawanya, c) Telah ada dalam arti hukum islam sebagai penyaring normanorma hukum nasional d) Telah ada dalam artian bahan sebagai bahan hukum utama dan sumber utama hukum nasional.
commit to user . abdul halim, peradilan agama dalam politik hukum islam di indonesia, (jakarta: raja garlindo persada, 2000), hlm 83-84. 51
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Perjuangan mereka untuk melegalkan atau mempositifkan mulai menampakan hasilnya ketika akhirnya hukum islam mulai mendapatkan pengakuan secara konstituional yuridis.berbagai peraturan perundang-undangan yang sebagian besar materinya diambil dari materi hukum islam yaitu kitab fiqih yang dianggap repersentatif telah disahkan oleh pemerintah indonesia. Antara lain aturan tersebut adala Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan PP. Nomor 28 tahun 1997 tentang perwakafan tanah milik. 2) Hukum Adat. Sedangkan menurut Hukum Adat pada umumnya di Indonesia, perkawinan itu bukan saja merupakan perikatan adat, tetapi juga perikatan kekerabatan dan ketetanggaan, perkawinan adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan derajat dan urusan pribadi, satu sama lain dalam hubungan yang sangat berbeda-beda. Urusan keluarga, urusan kerabat dan urusan persekutuan, perkawinan ini tetap merupakan urusan hidup pribadi dari pihak-pihak individu yang kebetulan tersangkut di dalamnya.52 Dari rumusan diatas dapat diketahui bahwa perkawinan tidak hanya menyangkut unsur lahiriah saja tetapi juga unsur batiniah, demikian dipertegas oleh Undang undang Perkawinan dalam penjelasan Pasal 1 yang berbunyi : Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dimana sila yang pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian, sehingga perkawinan bukan hanya mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. Oleh karena
user Adat, (Beginselen en stelsel Van Het Ter Haar, Asas-asas Dan commit Susunan to Hukum Adatrecht), Terjemahan K.Ng. Soebakti Poesponoto, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1960) hal.59 52
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
itu tanggung jawab sebuah perkawinan bukan saja terhadap sesama manusia tetapi juga terhadap Tuhan yang maha Esa. 3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan dirumuskan dalam Pasal 1 yang berbunyi : Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat (1), dimana pengertian sahnya suatu perkawinan tersebut tidak dapat dipisahkan dengan ayat (2) nya yang menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku. 4) Kompilasi Hukum Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 disebutkan bahwa Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga untuk mentaati perintah Allah, pernikahan dengan tujuan mewujudkan rumah tangga yang sakiah, mawaddah, dan warahmah merupakan ibadah. Pengertian tersebut dibanding dengan pengertian perkawinan yang tercantum dalam pasal 1 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menurut Mulyadi, tidaklah ada perbedaan yang prinsipiil.53 3.
Pengetian Perkawinan. Ada beberapa pendapat tentang pengertian perkawinan menurut beberapa ahli hukum diantaranya :
commit to user 53
Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, Fakultas Hukum Undip Semarang, 1994.
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a) Menurut Sayuti Thalib,54 perkawinan adalah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Unsur perjanjian disini untuk memperlihatkan segi kesengajaan dari suatu perkawinan serta penampakannya kepada masyarakat ramai. b) Menurut Idris Ramulyo,55 Nikah (kawin) menurut arti adalah hubungan seksual tetapi menurut arti majazi (mathaporic) atau arti hukum adalah akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita. c) Menurut Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif,56 perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin yang bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. d) Menurut Amir Syarifuddin,57 perkawinan merupakan akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan. Dari pengertian tentang perkawinan diatas dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah perjanjian hidup bersama antara seorang pria dengan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Hidup bersama manusia adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Dengan terjadinya perkawinan akan menimbulkan akibat hukum bagi masingmasing pihak, untuk menghindari hal terburuk akibat dari suatu perkawinan maka harus dilakukan sesuai dengan persyaratan yang berlaku. 54
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta, UI-Press, 1986) halaman 47 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis Undang-Undang No. 1 Tahun 1994 dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta, Bumi Aksara, 2004), halaman 1 56 Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia ,(Jakarta, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004) halaman 12. 57 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan commitMedia, to user Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta, Prenada 2007) halaman 43. 55
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Untuk melakukan perkawinan harus dipenuhi rukun dan syarat pernikahan. Rukun dan syarat adalah sesuatu bila ditinggalkan akan menyebabkan sesuatu itu tidak syah. Menurut Hanafiyah, rukun nikah terdiri dari syarat-syarat yang terkadang dalam Sighat yang berhubungan dengan dua calon mempelai dan berhubugan dengan kesaksian. Menurut Syafiiyyah melihat syarat perkawinan itu ada kalanya menyangkut Sighat, wali, calon suami-istri dan juga Syuhud. Menurut Malikiyah, rukun nikah ada 5: wali, mahar, calon suami-istri, dan Sighat. Jelaslah para ulama tidak saja membedakan dalam menggunakan kata rukun dan syarat tetapi juga berbeda dalam detailnya. Malikiyah tidak menetapkan saksi sebagai rukun, sedangkan syafi’i menjadikan 2 orang saksi menjadi rukun. A. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 1 memberikan pengeritan perkawinan adalah Ikatan lahir bathin antara seorang Pria dan seorang wanita sebagai Suami- Isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. B. Menurut Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam. Perkawinan atau yang di Indonesia diistilahkan dengan pernikahan (Arab: nikah yang berarti menghimpun) adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim (kerabat terdekat) dan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. Dalam KHI Indonesia Pasal 2, akad pernikahan diistilahkan dengan mitsaqan ghalizhan yang berarti ikatan yang kokoh. Istilah ini diharapkan akan memberi kesadaran dan pengertian kepada masyarakat bahwa perkawinan harus menaati perintah Allah dan sekaligus merupakan ibadah serta harus dipertahankan keberlangsungan dan kelestariannya. Dalam arti luas pernikahan merupakan suatu ikatan lahir user dan perempuan untuk hidup batin antara duacommit orang tolaki-laki
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bersama dalam suatu rumah tangga dan untuk mendapatkan keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan syariat Islam. Hukum melakukan perkawinan dalam Islam pada asalnya adalah boleh (mubah), namun kemudian bisa beralih menjadi sunnah, wajib, makruh, atau haram. Perkawinan menjadi sunnah, jika dipandang dari segi jasmani, keinginan berumah tangga, kesiapan mental, dan kesiapan membiayai kehidupan rumah tangga benarbenar telah terpenuhi oleh orang yang bersangkutan. Perkawinan dipandang wajib, jika orang yang akan menikah telah cukup matang dan benar-benar siap dan jika tidak dilaksanakan dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam perzinaan. Selanjutnya perkawinan akan menjadi makruh, jika yang akan menikah belum siap baik jasmani maupun mentalnya. Bahkan perkawinan bisa menjadi haram, jika tidak mengikuti ketentuan yang berlaku dan perkawinannya hanya untuk merusak atau menyakiti keluarga calon isterinya. Allah Swt. Berfirman dalam Al-Quran surah Ar-Rum ayat 21, yang artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ArRum [30]: 21). Dari firman Allah diatas dapat dipahami bahwa tujuan pokok perkawinan dalam Islam adalah: a.
Ibadah kepada Allah dan mengikuti sunnah Nabi.
b.
Pemenuhan kebutuhan biologis seseorang dalam rangka regenerasi yang sah;
c.
Menjaga kesehatan dalam pemenuhan kebutuhan seksual seseorang;
commit to user
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d.
Mewujudkan suatu keluarga yang sakinah (tenteram), mawaddah (penuh cinta kasih), dan rahmah (penuh kerahmatan) di antara anggota keluarga, yaitu suami, isteri, dan anakanaknya
e.
Kesenangan, terutama dalam berhubungan badan antara suami dan isterinya. Karena pentingnya perkawinan ini dalam Islam, maka perkawinan membutuhkan persiapan yang matang, baik secara fisik dan mental. Perkawinan dalam Islam adalah akad yang menghalalkan
hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim untuk memenuhi tujuan hidup berumah tangga sebagai suami isteri yang sah dengan memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh syara. Ayat-ayat tersebut antara lain sebagai berikut: 1.
QS. Az-Zariyat [51]: 49, yang menyebutkan bahwa segala sesuatu diciptakan Allah berpasang-pasangan.
2.
QS. Yasin [36]: 36, menyebutkan bahwa segala sesuatu diciptakan Allah berpasang-pasangan, baik dalam dunia tumbuh-tumbuhan, manusia, dan lainlainnya yang tidak diketahui manusia.
3.
QS. Al-Hujurat [49]: 13, menyebutkan bahwa umat manusia diciptakan oleh Allah berasal dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal satu sama lain.
4.
QS. An-Nisa [4]: 1, menyebutkan bahwa manusia diciptakan dari seorang diri (Adam) dan darinya diciptakan isterinya dan dari mereka berdua Allah mengembangkan manusia, laki-laki dan perempuan. Dari ayat-ayat tersebut di atas, dapat ditarik suatu
pengertian bahwa "Perkawinan adalah tuntutan kodrat hidup yang to user tujuannya antara commit lain adalah untuk memperoleh keturunan, guna
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
melangsungkan kehidupan sejenis".58 Arti perkawinan menurut hukum Islam dapat dilihat di Al Qur'an, QS. Ar-Ruum [30]: 21 yang berbunyi:
4.
"Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang".59 Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau ikatan keperdataan biasa, akan tetapi perkawinan mempunyai nilai ibadah artinya sebagai akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah, untuk mendapatkan keturunan, untuk mencegah maksiat, dan untuk membina keluarga yang damai dan melaksanakannya merupakan suatu ibadah. Syarat Sahnya Perkawinan. Suatu perkawinan harus dilakukan menurut aturan yang berlaku, apabila suatu perkawinan tidak dilaksanakan menurut aturan yang telah ditentukan, maka perkawinan itu tidak sah. Sehingga diperlukan syarat-syarat syahnya perkawinan baik menurut Hukum Islam maupun Undang-Undang Perkawinan. A. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Perkawinan yang sah menurut Undang-Undang Nomor l Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) yaitu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut aturan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Syarat perkawinan menurut Undang-Undang No.l Tahun 1974 adalah sebagai berikut: 1.
Persetujuan kedua belah pihak (Pasal 6 ayat 1). Persetujuan tersebut harus murni dan betul-betul tercetus dari hati para calon mempelai dalam bentuk kemauan untuk hidup bersama bukan hasil suatu paksaan. Dijelaskan dalam sabda Rasulullah S.A.W. riwayat dari Ibnu Abbas: "Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya dan kepada
58
K.H. Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Mam, (UII Press, Yogyakarta, 2000,
59
Soenarjo, et al, Al Qur'an dan Terjemahannya, Departemen Agama, halaman. 644.
commit to user
halaman
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
gadis (perawan) dimintai persetujuannya, dan persetujuannya jika dimintai (gadis itu) diam". (H.R. Muslim).60 2.
Izin Orang Tua atau Wali (Pasal 6 ayat 2). Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Izin bagi calon mempelai dapat diperoleh dari:
3.
a.
Orang tua
b.
Wali.,
c.
Pengadilan
Batas Umur (Pasal 7 ayat 1). Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Bila belum mencapai
umur
tersebut
diperlukan
dispensasi
dari
Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Diadakan batas umur minimal kawin ini dipandang perlu dimaksudkan untuk menjaga kesehatan suami isteri dan keturunannya. 4.
Tidak terdapat larangan kawin (Pasal 8). Ketentuan yang mengatur tentang larangan untuk melangsungkan perkawinan diantara orang-orang yang mempunyai hubungan tali persaudaraan yaitu: a.
Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas.
b.
Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya.
commit to user K.H. Masdar Helmy, Terjemahan Hadist Buluughul Maraam Min Adilatil Ahkam, Cv. Gema Risalah Pres, Cetakan Ketujuh,2012. Hlm 479. 60
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c.
Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu bapak tiri.
d.
Berhubungan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan ibi paman susuan.
e.
Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.
f.
Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
5.
Bagi Janda Telah Lewat Masa Tunggu (Pasal 11 ayat 1). Waktu tunggu dalam Islam disebut Iddah adalah masa menanti yang diwajibkan atas wanita yang diceraikan (cerai hidup maupun mati) suaminya untuk boleh menikah lagi dengan laki-laki lain. Jangka waktu tunggu diatur lebih lanjut dalam Pasal 39 dari Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
6.
Memenuhi Tatacara Pelaksanaan Perkawinan. Ketentuan yang mengatur tentang pencatatan terdapat dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No.l Tahun 1974 dan Pasal 2 hingga Pasal 9 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa: "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku". Dalam Penjelasan Umum UndangUndang Perkawinan Nomor 4 huruf b disebutkan bahwa pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam suratsurat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. Undang-Undang perkawinan menentukan selain harus mengikuti hukum agamanya dan kepercayaannya itu para commit to userperkawinan juga harus memenuhi pihak yang melangsungkan
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
syarat-syarat perkawinan. Salah satu syarat yang harus dipenuhi
adalah
pencatatan
perkawinan.
Pencatatan
perkawinan ini merupakan syarat formil dalam perkawinan. Menurut Neng Djubaedah dkk.61 syarat formil menyangkut formalitas atau tata cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat dilangsungkan perkawinan. Syarat ini terdiri dari pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada Pegawai Pencatatan Nikah seperti diatur dalm Pasal 3, 4 dan 5 PP No. 9/1975. Setelah menerima pemberitahuan ini PPN mengumumkan kehendak mereka. Apabila tidak ada pihak yang berkeberatan maka PPN elaksanakan perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaannnya (Pasal 10 PP Nomor 9 Tahun 1975). Sesudah pencatatan perkawinan dilangsungkan maka wajib dicatatkan sesuai dengan ketentuan pemerintah Pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975 yang menjelaskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. K. Wantjik Saleh dalam uraian Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan
menyatakan:
"Pencatatan
perkawinan itu bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi orang lain dan masyarakat, karena dapat dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan termuat pula dalam suatu daftar yang dapat dipergunakan, terutama sebagai suatu alat bukti tertulis yang otentik. Dengan adanya surat bukti itu dapatlah dibenarkan atau dicegah suatu perbuatan lain".62
61
Neng Djubaedah, dkk, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta, Hecca Mitra Utama, 2005) halaman 187 62 commit to Indonesia, user K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan (Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980), halaman. 16.
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tujuan pencatatan tersebut hanya untuk kepentingan administrasi dan tidak ada hubungannya dengan sah tidaknya suatu perkawinan walaupun demikian tetap membawa konsekuensi bagi yang bersangkutan bila perkawinan tersebut tidak dicatat sekalipun perkawinan tersebut sah menurut ajaran agama atau kepercayaannya, perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara begitu pula akibat yang timbul dari perkawinan
tersebut.
Tatacara
pencatatan
perkawinan
ditentukan dalam Pasal 3 hingga Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang meliputi tahap-tahap sebagai berikut: a.
Pemberitahuan. Pemberitahuan setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
b.
Penelitian. Pegawai
pencatat
yang
menerima
pemberitahuan
kehendak melangsungkan perkawinan meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah terpenuhi dan tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-Undang c.
Pengumuman. Pegawai Pencatat menempelkan surat pengumuman dalam bentuk yang telah ditetapkan pada Kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum. Ketentuan mengenai tata cara Perkawinan diatur
dalam Pasal 10 dan 11 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menetapkan bahwa pelaksanaan perkawinan baru dapat dilakukan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat. Tata cara to user Perkawinan commit dilakukan menurut hukum masing-masing
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
agamanya dan kepercayaannya dan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi. Penandatanganan dilakukan sesaat sesudah dilangsungkannya upacara perkawinan yaitu sesudah pengucapan akad nikah, yang dilakukan oleh kedua mempelai, dua orang saksi, Pegawai Pencatat dan khususnya untuk yang beragama Islam, wali nikah atau yang mewakilinya. B. Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam. Syarat-syarat perkawinan dalam Hukum Islam mengikuti rukun-rukunnya. Menurut Soemiyati, yang dimaksud dengan rukun dari suatu Perkawinan adalah: “Hukum perkawinan adalah hakekat dari suatu perkawinan itu sendiri, jadi tanpa adanya salah satu rukun perkawinan tidak mungkin dilaksanakan sedangkan yang dimaksud dengan syarat ialah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan itu sendiri".63 Apabila salah satu syarat dari perkawinan itu tidak terpenuhi, dengan sendirinya perkawinan tersebut akan menjadi tidak sah. Sahnya perkawinan menurut hukum Islam adalah diucapkannya ijab dari wali perempuan dan kabul dari calon suami pada saat yang sama di dalam suatu majelis akad nikah yang disaksikan oleh dua orang saksi yang sah. Rukun perkawinan dalam hukum Islam adalah sebagai berikut: 1.
Calon mempelai laki-laki dan wanita, masing-masing harus bebas dalam menyatakan persetujuannya.
2.
Wali bagi calon mempelai wanita, mutlak dan harus dipenuhi jika tidak akan dapat batal demi hukum. Wali nikah dapat dikategorikan menjadi: a.
63
Wali Nasab.
.Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-UndangPerkawinan, (Jakarta, commit to user Liberty. 1982, halaman 16
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hak perwaliannya didasarkan karena adanya hubungan darah atau keluarga calon isteri, bisa orang tua kandungnya atau bisa juga aqrab dan ab'ad (saudara terdekat atau yang agak jauh). b.
Wali Hakim. Hak perwaliannya timbul karena ditunjuk oleh pejabat
yang
berwenang,
yang
diberi
hak
dan
kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah apabila tidak ada wali nasab atau karena sebab lain. c.
Saksi. Saksi
ada
dua
orang
harus
ada
saat
dilangsungkannya akad nikah. Saksi-saksi itu harus beragama Islam, merdeka, bukan budak dan sahaya, harus adil, artinya berfikiran sehat, berkelakuan baik dan tidak berbuat dosa besar. d.
Akad nikah. Akad nikah yang perjanjian antara wali dari mempelai wanita atau wakilnya dengan mempelai pria di depan paling sedikit dua orang saksi yang memenuhi syarat-syarat menurut syari'ah. Akad nikah terdiri atas "ijab" yaitu penyerahan mempelai wanita oleh wakilnya kepada mempelai pria, dan "kabul" ialah penerimaan mempelai wanita oleh mempelai pria.
e.
Mahar. Mahar atau mas kawin yaitu suatu pemberian dari mempelai pria kepada mempelai wanita dan menjadi milik mempelai wanita itu sendiri dan bukannya walinya.
5.
Larangan-Larangan Perkawinan. A. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Larangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor l commit user8 yaitu: Tahun 1974 terdapat padatoPasal
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas. b) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. c) Berhubungan semenda. d) Berhubungan susuan. e) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang. f)
Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Perbedaan antara syarat sahnya perkawinan menurut
Undang-Undang Nomor l Tahun 1974 dengan hukum agama yaitu mengenai pelaksanaannya, dapat dilihat dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor l Tahun 1974 beserta penjelasannya bahwa perkawinan mutlak harus dilaksanakan menurut ketentuan hukum agama dan
kepercayaan para pihak
yang akan
melangsungkan perkawinan itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan dalam Undang-Undang ini. Sehingga sahnya perkawinan menurut hukum agama bersifat menentukan, karena apabila bertentangan dengan hukum agama dengan sendirinya menurut Undang-Undang, melarang perkawinan tersebut tidak sah. Seperti halnya bagi pemeluk agama Islam, yang menentukan sah tidaknya perkawinan adalah ketentuan dalam hukum Islam. B. Hukum Islam Dan Kompilasi Hukum Islam. Larangan-larangan perkawinan dijelaskan dalam berbagai ayat al-Quran dan juga ditegaskan dalam KHI. Larangan-larangan ini dapat dikelompokkan menjadi lima macam. commit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Perbedaan agama (lihat QS. Al-Baqarah [2]: 221). KHI Pasal 40 huruf c juga dengan tegas melarang laki-laki Muslim menikahi perempuan non-Muslim dan Pasal 44 melarang perempuan Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim. 2) Hubungan darah Dalam QS. An-Nisa [4]: 23 ditegaskan, larangan ini dengan rincian laki-laki dilarang menikahi (1) ibu, (2) anak perempuan, (3) saudara perempuan, (4) saudara perempuan ibu, (5) saudara perempuan ayah, (6) anak perempuan saudara laki-laki, dan (7) anak perempuan saudara perempuan. KHI menjelaskan seperti ini pada Pasal 39 ayat (1). 3) Hubungan kekeluargaan karena perkawinan. Dalam QS. AnNisa [4]: 22-23 ditegaskan, laki-laki dilarang menikahi (1) mertua perempuan, (2) anak tiri perempuan, yaitu anak perempuan dari isteri yang telah dicampuri yang berada dalam ‘pemeliharaan’ seseorang, (3) menantu perempuan, (4) dua perempuan bersaudara (dalam waktu yang bersamaan), dan (5) ibu tiri, yaitu perempuan yang telah dinikahi ayahnya (QS. An-Nisa [4]: 22). Hal ini juga dijelaskan dalam KHI Pasal 39 ayat (2). Pasal 41 ayat (1) KHI melarang laki-laki memadu isterinya dengan saudara kandung, seayah, atau seibu
serta
keturunannya,
dengan
bibinya
atau
kemenakannya. 4) Hubungan sepersusuan (QS. An-Nisa [4]: 23; KHI Pasal 39 ayat 3). 5) Larangan-larangan khusus. QS. An-Nisa [4] ayat 24 melarang laki-laki menikahi perempuan yang bersuami. Ayat ini berarti pula melarang perempuan memiliki suami lebih dari seorang (poliandri). Hal ini juga ditegaskan dalam KHI Pasal 40 huruf a. Pasal 42 KHI melarang laki-laki menikah dengan isteri commit to user kelima selama keempat isterinya masih utuh. Pasal 43 KHI
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
melarang laki-laki menikah dengan bekas isterinya yang ditalak tiga, kecuali telah dinikahi oleh orang lain dan diceraikan lagi (QS. Al-Baqarah [2]: 230), dan dengan bekas isterinya yang dili’an. Berdasarkan uraian di atas, suatu perkawinan harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan, karena perkawinan dianggap sah apabila tidak melanggar larangan yang telah ditetapkan dan dilakukan sesuai dengan persyaratan menurut Undang-Undang dan hukum agama. Namun apabila tidak dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah. 6.
Tujuan Dan Asas-Asas Perkawinan. A. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Beberapa asas yang berkenaan dengan perkawinan yang dimuat dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu antara lain:64 a) Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. b) Sahnya perkawinan bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing
agama
dan
kepercayaannya
itu,
dan
disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. c) Undang-Undang Perkawinan ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari satu. d) Calon suami isteri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik. e) Menganut prinsip untuk mempersulit perceraian. commit to user 64
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 31.
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
f)
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam pergaulan masyarakat maupun dalam kehidupan rumah tangga. Pengertian dari monogami adalah suatu asas dalam
Undang-Undang Perkawinan menurut Pasal 3 ayat 1 UndangUndang Nomor l Tahun 1974 dikatakan bahwa: "Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami". Undang-Undang Perkawinan memberikan pengecualian kepada mereka yang menurut agama dan hukumnya mengizinkan seseorang boleh beristeri lebih dari seorang. Undang-Undang memberikan syarat yang cukup berat yaitu berupa pemenuhan dan syarat yang tertentu serta izin dari Pengadilan. Dapat dilihat dalam Pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Nomor l Tahun 1974 yang berbunyi: "Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihakpihak yang bersangkutan". Dengan adanya Pasal tersebut berarti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menganut asas monogami terbuka karena tidak menganut kemungkinan dalam keadaan terpaksa seorang suami dapat melakukan poligami dengan izin Pengadilan apabila ada alasan yang dapat dibenarkan dan telah memenuhi syaratsyarat yang telah ditentukan. Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat melakukan poligami tercantum dalam Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor l Tahun 1974 yaitu adanya persetujuan isteri/isteri-isteri, Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka dan adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. B. Hukum islam dan Kompilsai Hukum Islam. commit to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan suatu keluarga yang sakinah (tenteram), mawaddah (penuh cinta kasih), dan rahmah (penuh kerahmatan) di antara anggota keluarga, yaitu suami, isteri, dan anak-anaknya. Sedangkan asas-asas dalam perkawinan dalam hukum Islam adalah sebagai berikut:65 1) Harus ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang akan melaksanakan perkawinan. 2) Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang laki-laki sebab ada ketentuan larangan perkawinan antara laki-laki dan wanita yang harus diindahkan. 3) Perkawinan bertujuan membentuk satu keluarga atau rumah tangga yang tenteram, damai dan kekal selama-lamanya. 4) Perkawinan
harus
dilaksanakan
dengan
memenuhi
persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri. 5) Hak dan kewajiban suami isteri adalah seimbang dalam rumah tangga dimana tanggung jawab keluarga ada pada suami. 6) Asas perkawinan dalam hukum Islam adalah monogami namun hukum Islam tidak menutup rapat kemungkinan untuk berpoligami sepanjang persyaratan keadilan diantara isteri dapat terpenuhi dengan baik. Poligami menurut Hukum Islam ditegaskan dalam firman Allah dalam QS. An-Nisa [4]: 3 yang berbunyi: "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanitawanita lain yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kami miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya". commit to user 65
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Penjelasan Umum Mengenai Perkawinan
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
7.
Pengertian Pembatalan Perkawinan. A. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Pembatalan perkawinan berarti menganggap perkawinan yang telah dilakukan sebagai peristiwa yang tidak sah, atau dianggap tidak pernah ada.66 Pasal 22 UU Nomor 1 tahun 1974 menyatakan bahwa pembatalan perkawinan dapat dilakukan, bila para pihak tidak memenuhi syarat melangsungkan perkawinan. Menurut Pasal 23 UU No. 1 tahun 1974 pihak yang dapat membatalkan perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri; Suami atau istri itu sendiri. Menurut para Pasal 73 KHI menyebutkan bahwa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri suami atau isteri pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat
perkawinan menurut hukum
Islam
dan peraturan
perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67 Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan Pejabat pengadilan. Jika suatu akad perkawinan telah dilaksanakan dan dalam pelaksanaannya ternyata terdapat larangan perkawinan antara suami istri semisal karena pertalian darah, pertalian susunan, pertalian semenda, atau terdapat hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan hukum seperti tidak terpenuhinya hukum atau syaratnya, maka perkawinan menjadi batal demi hukum melalui proses pengadilan, hakim membatalkan perkawinan dimaksud. Mengenai
hal
ikhwal
pembatalan
perkawinan
ini,
berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
commit to user 66
YLBH Apik, Pembatalan Perkawinan, (Jakarta, lbh-apik.or.id, 2012) halaman 1
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perkawinan Bab IV Pasal 22 sampai 28 memuat ketentuan yang isi pokoknya sebagai berikut: a.
Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan, salah satu pihak masih terkait oleh perkawinan yang mendahuluinya, perkawinan dilangsungkan dimuka pegawai pencatatperkawinan yang tidak berwenang, wali nikah tidak sah, tanpa hadirnya dua saksi, perkawinan dilakukan dibawah ancaman yang melanggar hukum, terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.
b.
Pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan ialah para keluarga dalam garis lurus ke atas dari suami atau istri, pejabat yang berwenang, pejabat yang ditunjuk, orang yang masih ada perikatan perkawinan dengan salah satu dari kedua belah pihak, jaksa, dan suami atau istri.
c.
Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan, atau ditempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri.
d.
Batalnya perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya akad perkawinan.67
B. Hukum Islam Dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam kajian hukum islam, suatu tindakan baik yang berhubungan dengan hukum taklifi yaitu ketentuan Allah yang berhubungan secara langsung dengan perbuatan orang mukallaf (orang yang telah baligh) untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, maupun hukum wad’I hukum yang memiliki tujuan untuk menjadikan suatu hal menjadi sebab atau menjadi syarat atau penghalang untuk suatu hal lain, bisa bernilai sah dan bisa bernilai fasad (fasid) atau batal (batil). commit to user 67
Abd Rahman ghozali, fiqh munakahat (Jakarta: PT. Pustaka ), halaman. 243.
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Fasad dan fasakh nikah pada hakikatnya adalah rusak dan putusnya akad perkawinan karena putusan pengadilan. Agak tipis perbedaan antara keduanya, sebab apa yang disebut fasakh oleh sebagian dianggap sebagai fasad oleh sebagian yang lain. Dalam hukum islam, pembatalan perkawinan disebut juga fasakh, Fasakh berarti mencabut atau menghapus. Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah dilangsungkanya hubungan pernikahan, oleh karena itu, akan dikaji mengenai langkah-langkah pembatalan setelah perkawinan selesai dilangsungkan, dan diketahui adanya sayarat syarat yang tidak terpenuhi menurut pasal 22 undangundang perkawinan. Namun, bila rukun nikah tidajk terpenuhi berartti pernikahanya yang tidak sah. 68 Dalam fikih sebenarnya dikenal dua istilah yang berbeda kendati hukumnya sama yaitu nikah al-fasid dan nikah al-batil. Al-jaziry menyatakan bahwa nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat dan syarat-syaratnya, sedangkan nikah albatil adalah apabila tidak terpenuhinya rukun. Hukum nikah al-fasid dan al batil adalah sama-sama tidak sah. Dalam terminologi undang-undang perkawinan nikah a-fasid dan al-batil dapat digunakan untuk pembatalan dan bukan pecegahan. Istilah “batal”nya perkawinan dapat menimbulkan slah paham, karena terdapat berbagai ragam tentang pengertian batal (nietig) tersebut. Batal berarti nitieg zonder krach (tidak ada kekuatan) zonder waarde (tidak ada nilai). Dapat dibatalkan berarti nitieg verklraad, sedangkan absolute nitieg adalah pembatalan mutlak.69 Adapun dalam hukum islam isilah fasakh, Arti fasakh ialah
merusakkan
atau
membatalkan.
Ini
berarti
bahwa
perkawinan itu diputuskan atau dirusakkan atas permintaan salah 68 69
user (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), h. 37 Ali Zainudin, Hukum Perdatacommit Islam Dito Indonesia, Martiman P., Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta :center Publising, 2002), h. 25
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
satu pihak oleh hakim Pengadilan Agama.70 Tuntutan pemutusan perkawinan ini disebabkan karena salah satu pihak menemui cela pada pihak lain atau merasa tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum berlangsungnya perkawinan. Pada asasnya fasakh adalah hak suami dan istri, tetapi dalam pelaksanaan lebih banyak dilakukan oleh pihak istri dari pada pihak suami. Hal ini mungkin disebabkan karena suami telah mempunyai hak talak yang diberikan agama kepadanya.71 Fasakh baik karena hal-hal yang terjadi belakangan ataupun karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, ia mengakhiri ikatan perkawinan seketika itu. Selain itu, pisahnya suami istri karena talak dapat mengurangi bilangan talak. Jika suami mentalak istrinya dengan talak raj’I, lalu rujuk lagi semasa iddahnya, atau akad lagi sehabis iddahnya, dengan akad baru, maka perbuatannya dihitung satu kali talak, dan ia masih ada kesempatan melakukan talak dua kali lagi. Pisahnya suami istri karena fasid, maka hal ini tidak berarti mengurangi bilangan talak, sekalipun terjadinya fasid karena khiyar baligh, kemudian kedua orang suami istri tersebut kawin dengan akad baru lagi, maka suami tetap punya kesempatan tiga kali talak.72 Fasid dalam arti bahasa adalah batal sedangkan dalam arti istilah adalah membatal dan lepasnya ikatan perkawinan antara suami dan istri, adakalanya disebabkan terjadinya kerusakan atau cacat pada akad nikah itu sendiri dan adakalanya disebabkan hal-hal yang datang kemudian dan menyebabkan akad perkawinan tersebut tidak dapat dilanjutkan.73
70
Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan (UndangUndang No.1 Tahun 1974), Yogyakarta, Liberty, 2004, hal. 113. 71 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta, Bulang Bintang, 1974, hal.194. 72 user Sayid Sabiq, Fikih Sunnah 8, commit Bandung,toAl-Ma’arif, 1996, hal. 125. 73 Abdul Azis Dahlan, Ensilopedi Hukum Islam, Jakarta, Ikhtiar Baru, 2003, hal. 217.
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Arti terminologis ditemukan beberapa rumusan yang hampir bersamaan maksudnya, di antaranya yang terdapat dalam KBBI (kamus besar bahasa Indonesia), sebagai berikut : “Pembatalan
ikatan
pernikahan
oleh
Pengadilan
Agama
berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan”. Definisi tersebut di atas mengandung beberapa kata kunci yang menjelaskan hakikat dari fasakh itu, yaitu, Pertama: kata “pembatalan” mengadung arti bahwa fasakh mengakhiri berlakunya suatu yang terjadi sebelumnya. Kedua: kata “ikatan pernikahan” yang mengandung arti bahwa yang dinyatakan tidak boleh berlangsung untuk selanjutnya itu adalah ikatan perkawinan dan tidak terhadap yang lainnya. Ketiga: kata “Pengadilan Agama” mengandung arti pelaksanaan atau tempat dilakukannya pembatalan perkawinan itu adalah lembaga Peradilan yang dalam hal ini adalah Pengadilan Agama, bukan ditempat lain. Keempat: kata “berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat dibenarkan oleh Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan”.74 Ungkapan ini merupakan alasan terjadinya fasid, yaitu pengaduan pihak istri atau suami yang dapat dibenarkan dan atau pernikahan yang telah berlangsung ketahuan kemudian hari tidak memenuhi ketentuan hukum pernikahan. Fasid nikah merupakan suatu Putusan Pengadilan yang diwajibkan melalui persidangan bahwa perkawinan yang telah dilangsungkan tersebut mempunyai cacat hukum. Hal itu dibuktikan seperti tidak terpenuhinya persyaratan atau rukun perkawinan atau disebabkan dilanggarnya ketentuan yang mengharamkan perkawinan tersebut. Contoh: Pertama, karena 74
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat Dan commit2007, to user Undang Undang Perkawinan, Jakarta, Kencana, hal. 242.
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
persyaratan, missal keduanya dinikahkan tanpa wali atau wali tidak berhak menjadi wali. Kedua, karena ketentuan nikah tidak boleh dilaksanakan, misal menikahi wanita yang masuk dalam kelompok yang diharamkam untuk dinikahi. Kalau diketahui sebelum akad, hal itu berakibat terhalangnya perkawinan tersebut. Namun, kalau halangan tersebut baru diketahui setelah akad dilangsungkan, nikah tersebut difasid- kan. Sebagaimana firman allah swt, dalam surat an-nisa ayat 23: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anak perempuan, saudara-saudara perempuan, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu yang menyusukanmu, saudara perempuan yang sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istriyang telah kamu tiduri. Tetapi jika kamu belum mencampurinya (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak dosa kamu mengawininya dan (diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu) dan menghimpun (dikawini bersama) duaorang perempuan bersaudara kecuali pernah terjadi di masa lalu, sesungguhnyaallah maha pengampung lagi maha penyayang”.75 Imam Syafi’i menyatakan apabila seorang laki-laki melakukan akad nikah dengan perempuan yang memberikan izin dalam hal pernikahan dan tanpa izinnya dalam hal mahar, dan apabila si laki-laki menikahi perempuan itu dengan mahar 1000 dirham disertai dengan syarat bahwa untuk bapak si perempuan 1000 dirham, maka pernikahan dinyatakan sah dan perempuan itu berhak memperoleh mahar yang biasa diterima oleh perempuan sepertinya (mahar mitsil) baik jumlahnya kurang dari 1000 Dirham atau lebih banyak dari 2000 Dirham. Dalam masalah ini hukum akad nikahnya sah tapi hukum maharnya rusak (fasid).
commit to user 75
DepagRI, Alquran Dan Terjemahannya, Jakarta, 1994, hal. 114
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Imam Muhammad bin Muhammad Al-Khotib Al-Syarbini dalam
kitabnya
“Mughni
Al-Muhtaj”
yang
bermadzhab
Syafi’iyah juga menjelaskan: Artinya: ”Jika pernikahan dengan mahar 1000 Dirham dan untuk bapak si perempuan atau suami memberikan kepadanya 1000 Dirham, maka menurut madzhab maharnya rusak (fasid) dan wajib mahar mitsil. Jika di syaratkan memilih dalam pernikahan maka nikahnya batal atau dalam mahar, menurut fatwa yang dhahir adalah nikahnya sah tapi tidak maharnya”76 Keterangan di atas terdapat berbedaan dengan penjelasan yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i, yaitu apabila dalam suatu mahar ada syarat untuk diberikan oleh walinya, maka perkawinannya sah, tapi maharnya fasid dan untuk mempelai perempuan mendapatkan mahar mitsil. Namun Imam Syarbini memberikan
sebuah
tawaran
khiyar
dalam
masalah
ini.
Menurutnya apabila memilih akad maka perkawinannya batal dan apabila memilih mahar maka perkawinan sah, namun berlaku mahar mitsil. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa mahar tidak bisa merusak akad. 1.
Kompilasi Hukum Islam. Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah dilangsungkan akad nikah. Oleh karena itu, akan dikaji mengenai langkah-langkah pembatalan setelah perkawinan selesai dilangsungkan, dan diketahui adanya syarat syarat yang tidak terpenuhi menurut Pasal 70 dan 71 KHI. Sebagaimana sebagai berikut:77 Dalam Pasal 70 dijelaskan suatu perkawinan batal apabila: 1.
Suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang
76
Muhammad bin Muhammad Al-Khatib Al-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, Beirut Libanon: Dar Al Kutb Al-Ilmiyah, t.t., hlm. 376. 77 user (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Zainuddin ali, Hukun perdatacommit Islam dito Indonesia halaman. 37
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam iddah talak raj’i. 2.
Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya.
3.
Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi talak tiga kali olehnya, kecuali bila bekas istrinya tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.
4.
Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, senasab, dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan.
menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomr 1 Tahun 1974, yaitu: 1.
Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau dengan keatas.
2.
Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu saudara, antara seseorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya.
3.
Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menatu dan ibu atau ayah tiri.
4.
Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan, dan bibi atau paman sesusuan.
5.
Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari atau istri-istrinya.78
Dalam Pasal 71 dijelaskan suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila: 1) Seorang suami melakukan poligami tanpa izin dari Pengadilan Agama. 2) Perempuan yang dikawinin teryata dia diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqug. 3) Perempuan yang dikawinin teryata masih dalam dari suami lain.
commit to user 78
Zainuddin ali, Hukun perdata., halaman. 38
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4) Perkawinan
yang
melanggar
batas
umur
perkawinan,
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang No 1 tahun 1974. 5) Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak. 6) Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.79 Jelaslah bahwa KHI secara ekplisit mengandung dua pengertia pembatalan perkawinan yaitu, perkawinan batal demi hukum seperti tercantum pada Pasal 70 dan perkawinan yang dapat dibatalkan (relatif) seperti yang tercantum pada Pasal 71 dan Pasal 72. a.
Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
b.
Seorang
suami
atau
isteri
dapat
mengajukan
permohonanpembatalan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinanterjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri. Dalam Pasal 72 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam yaitu, Apabila ancaman telah berhenti atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. Menurut Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam orang yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, yaitu: a.
Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri.
b.
Suami atau istri.
commit user Irwan zulkifli, fasakh sebagai salah to satu cara perceraian study pengadilan agama kabupaten Malang (Skripsi Fakultas Syariah UIN Malang 2006), halaman l 26. 79
perpustakaan.uns.ac.id
c.
52 digilib.uns.ac.id
Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
d.
Pejabat yang ditunjuk tersebut pada Pasal 16 ayat (2) undangundang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi setelah perkawinan itu putus.
Dalam Pasal 74 Kompilasi Hukum Islam berbunyi : a.
Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau tempat perkawinan dilangsungkan
b.
Batasnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan tidak berlangsung surut terhadap: a.
Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut
b.
Suami atau istri yang bertindak dengan beriktikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
c.
Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam poin a dan b sepanjang mereka mempunyai hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Sedangkan dalam Pasal 75 Kompilasi Hukum Islam berisi tentang: a.
Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami istri murtad.
b.
Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
c.
Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beriktikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dalam Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam yaitu batalnya suatu commit to hubungan user perkawinan tidak memutuskan hukum antara anak dengan
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
orang tuanya. Pengertian dari Kompilasi Hukum Islam itu sendiri adalah:“Rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dariberbagai kitab yang ditulis oleh para ulama Fiqh yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu himpunan. Himpunan inilah yang dinamakan kompilasi.80 8.
Faktor Terjadinya Pembatalan Perkawinan. A. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Faktor-faktor
yang
dapat
menyebabkan
terjadinya
pembatalan perkawinan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 24 adalah sebagai berikut: a.
Perkawinannya masih terikat dengan salah satu kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan. Mengingat ketentuan terikat dengan tali perkawinan lain kemudian melakukan perkawinan baru dapat dibatalkan, kecuali suami yang telah memperoleh izin poligami.
b.
Perkawinan dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi.
c.
Perkawinan
dilangsungkan
di
bawah
ancaman
yang
melanggar hukum ancaman yang dimaksud bukan hanya bersifat pidana atau fisik tetapi juga tekanan-tekanan yang bersifat paksaan, sehingga menghilangkan kehendak bebas dari calon mempelai, jadi tidak memenuhi syarat perkawinan Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor l Tahun 1974. d.
Ketika
perkawinan
berlangsung
terjadi
salah
sangka
mengenai suami atau isteri. Misalnya calon isteri atau suami ternyata masih mempunyai hubungan darah dekat, salah satu
user di Indonesia (Jakarta: Akademika Abdurrahman, Kompilasi commit Hukum toIslam Pressindo,1992), halaman. 14. 80
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mempelai ternyata masih dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain atau perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain. e.
Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda, sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 UndangUndang Nomor l Tahun 1974. Perkawinan yang dianggap tidak baik dan bertentangan
dengan adat dan agama, bukan diajukan permohonan pembatalan tetapi langsung mengajukan perceraian atau menjatuhkan talak. Alasan-alasan yang digunakan untuk melakukan pembatalan perkawinan sebagaimana terdapat di dalam Undang-Undang No. l Tahun 1974 Pasal 24, 26, dan 27 yaitu antara lain: a.
Perkawinannya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya ikatan perkawinan.
b.
Perkawinan dilangsungkan di hadapan Pegawai Pencatat Perkawinan yang tidak berwenang.
c.
Wali nikah yang tidak sah.
d.
Perkawinan yang dilangsungkan tidak dihadiri oleh dua orang saksi.
e.
Perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman perbuatan yang melanggar hukum. Ketika perkawinan berlangsung, terjadi salah sangka
mengenai suami atau isteri. Dalam Undang-Undang Nomor l Tahun 1974 Pasal 25 dirumuskan bahwa Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau tempat tinggal kedua suami atau isteri. Sedangkan mengenai prosedur pengajuan permohonan pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, commit to user cara pengajuan permohonan menyatakan bahwa “Tata
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan
gugatan
perceraian”.
Terjadinya
pembatalan
perkawinan akan memunculkan permasalahan baru sebagai akibat adanya pembatalan perkawinan tersebut baik yang menyangkut anak atau status suami maupun isteri, harta bersama dan lain-lain. Perkara permohonan pembatalan perkawinan diajukan oleh pihak-pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam kepada Pengadilan Agama dalam Wilayah Hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama dalam wilayah hukum dimana suami atau istri bertempat tinggal. Permohonan pembatalan perkawinan bersifat Contentius yaitu ada pihak Pemohon atau Penggugat dan pihak Termohon atau Tergugat. Pengadilan Agama setelah menerima permohonan pembatalan perkawinan segera memanggil para pihak untuk diperiksa dibuktikan dan diadili perkaranya oleh Pengadilan Agama. B. Hukum Islam. Dalam hukum islam kita mengenal adanya nikah yang dibatalkan atau difasidkan. Batal disini berarti perkawinan yang telah dilakukan itu tidak memenuhi atau mengalami rusaknya hukum yang ditetapkan. Yaitu berupa rukun perkawinan dalam islam, sehingga yang bersangkutan dalam hal ini wajib mengulang kembali dan memenuhi persyaratan hukumnya agar terlepas dari kewajiban hukum yang berlaku atasnya serta mendapatkan pahala dari Allah S.W.T jika hal ini tidak dilaksanakan maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Sedang perngertian fasid disini adalah perkawinan yang telah dilaksanakan itu mengalami kerusakan, tidak sah atau cacat commitsyarat to user karena tidak terpenuhi dan rukunya. Jadi pada prinsipnya
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
antara batal dan fasid substansinya yang terkandung di dalamnya adalah sama, yakni tidak sah pernikahanya. Akan tetapi antara batal dan fasid menurut abdurrohman al-jaziry adalah nikah yang tidak terpenuhi salah satu syarat dari nikah (kurang), sedangkan hukum nikah batal dan fasid adalah sama yaitu tidak sah keduanya. Telepas dari pengertian batal atau fasid sebagai mana yang telah di jelaskan diatas, maka pada dasarnya ada dua unsur yang mempengaruhi terjadinya fasid atau batalnya perkawinan, dua unsur tersebut adalah syarat dan rukun. Syarat perkawinan adalah sesuatu yang harus ada dalam pernikahan. Hanya saja salah satu dari syarat-syarat perkawinan tidak terpenuhi maka perkawinan tersebut menjadi tidak sah (batal) demi huukum. Syarat sah nikah adalah dasar dari sahnya nikah bila syarat-syarat tersebut terpenuhi maka akad ninkah itu diakui kebenaranya secara hukum dan berlaku segala akibat hukum. adapun rukun nikah adalah hakekat dari perkawinan itu sendiri. Jadi tanpa adanya salah satu rukunnya maka perkawinan itu tidak mungkin dapat dilaksanakan. Hal ini berarti jika suatu perkawinan dilakukan tanpa unsur pokoknya yaitu syarat dan rukun perkawinan, maka akan batal menurut hukum. karena rukun merupakan pokok, sedangkan syarat merupakan pelengkap dari suatu perbuatan hukum. rukun dan syarat perkawinan telah ditentukan dalam syar’i dimana seorang mukalaf tidak boleh menguntungkan suatu akad perkawinan kepada rukun dan syarat yang dikehendakinya sendiri. Karena itulah perkawinan yang syarat nilai dan tujuan untuk mewujudakan kehidupan rumah tangga yang skinah, mawaddah dan rahmah, perlu diatur dengan rukun dan syarat tertentu, agar tujuan syari’atkan perkawinan tercapai.
commit to user
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menurut Sayyid Abu Al Hasan pernikahan dapat dibatalkan, bahwa untuk sahnya suatu akad disyaratkan adanya kehenda sendiri peda kedua mempelai, kalau keduanya atau salah satu diantara dipaksa, maka akad itu tidak sah. Tapi kalau paksaan itu kemudian diikuti dengan kerelaan dari orang yang dipaksa, maka menurut pendapat yang lebih kuat akat tersebut menjadi sah.81 C. Kompilsai Hukum Islam. Pengertian dari Kompilasi Hukum Islam itu sendiri adalah: "Rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh para ulama Fiqh yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu himpunan.
Himpunan
tersebut
inilah
yang
dinamakan
kompilasi".82 Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pembatalan perkawinan bagi orang Islam diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, Buku I tentang Hukum Perkawinan yang termuat dalam Pasal 70 sampai dengan Pasal 72 yaitu sebagai berikut: a.
Suami melakukan perkawinan sedangkan ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sesudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun salah satu isteri dari keempat isterinya itu dalam iddah talak raj'i. Talak raj'i adalah talak yang masih boleh rujuk. Arti rujuk ialah kembali, maksudnya kembali mempunyai hubungan suami isteri dengan tidak melalui proses perkawinan lagi.
b.
Seorang menikahi bekas isterinya yang telah dili'annya (putusnya hubungan perkawinan karena tindakan suami yang
81
Ahamad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Pt. Raja Grafindo Persada, Jakarta,2000, Hal, 145-148. 82 commit Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islamtodiuser Indonesia, (Akademika Pressindo, Jakarta, 1992).
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menuduh isterinya berbuat zina dan isterinya menolak tuduhan itu). c.
Seorang menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali jika bekas isterinya tersebut pernah menikahi dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba'da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.
d.
Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-isterinya.
9.
Prosedur Pembatalan Perkawinan. A. Undang-Undang. No 1 Tahun 1974. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 25, permohonan pembatalan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal suami istri. Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 37 dinyatakan bahwa batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan. a. Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau ditempat tinggal kedua isteri. b. Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian. c. Hal-hal yang berhubungan dengan pengadilan pemeriksaan pembatalan perkawinan dan putusan pengadilan, dilakukan sesuai dengan tata cara tesebut dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Batalnya perkawinan yang disebabkan oleh putusan Pengadilan terjadi bila para pihak tidak memenuhi syaratcommit to untuk user melangsungkan perkawinan, hal syarat yang ditentukan
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ini tercantum dalam rumusan Undang-Undang Nomor l Tahun 1974 Pasal 22 yang menyatakan bahwa “Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syaratsyarat untuk melangsungkan perkawinan” dan ditegaskan dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 bahwa batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan, sehingga tidak menutup kemungkinan bagi orang
Islam
untuk
dapat
mengajukan
pembatalan
pengajuan
permohonan
pembatalan
perkawinan. Tata perkawinan
cara
mengenai
pemanggilan,
pemeriksaan,
dan
putusannya dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian. Diatur dalam ketentuan Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, sepanjang dapat diterapkan dalam pembatalan perkawinan. Prosedur
yang
harus
dilakukan
untuk
mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan yaitu antara lain: a.
Pengajuan Gugatan. Surat permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama yang meliputi : a.
Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan.
b.
Pengadilan dalam daerah hukum di tempat tinggal kedua suami isteri.
c.
Pengadilan dalam daerah hukum di tempat kediaman suami.
d.
Pengadilan dalam daerah hukum di tempat kediaman isteri.
e.
Surat permohonan tersebut dibuat secara tertulis atau lisan, Pemohon bisa datang sendiri atau diwakilkan commit to user kepada orang lain yang akan bertindak sebagai
60 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kuasanya. Surat permohonan yang telah dibuat oleh Pemohon disertai lampiran yang terdiri dari: 1) Fotocopy Tanda Penduduk. 2) Surat keterangan atau pengantar dari kelurahan bahwa
Pemohon
benar-benar
penduduk
setempat. 3) Surat keterangan tentang hubungan pihak yang dimohonkan pembatalan perkawinan dengan pihak Pemohon. 4) Kutipan akta nikah. b. Penerimaan Perkara. Surat permohonan harus didaftar terlebih dahulu oleh Panitera dengan dilampiri SKUM atau Surat Kuasa Untuk Membayar yang di dalamnya telah ditentukan berapa jumlah uang muka yang harus dibayar, lalu pemohon membayar panjar biaya perkara atau vorschot baru setelah itu pemohon menerima kuitansi asli. Surat permohonan yang telah dilampiri kuitansi dan surat-surat yang berhubungan dengan permohonan tersebut diproses dan dilakukan pencatatan dan diberi nomor perkara. Pemohon tinggal menunggu panggilan sidang. c. Pemanggilan. Panggilan sidang secara resmi disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan atau kuasa sahnya atau disampaikan melalui Lurah/Kepala Desa yang bersangkutan.
Panggilan
selambat-lambatnya
sudah
diterima oleh pemohon 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka. Dalam menetapkan tenggang waktu antara pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut perlu diperhatikan. Pemanggilan tersebut harus dilampiri commit to user salinan surat permohonan.
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d. Persidangan. Batalnya perkawinan yang disebabkan oleh putusan Pengadilan terjadi bila para pihak tidak memenuhi
syarat-syarat
yang
ditentukan
untuk
melangsungkan perkawinan, hal ini tercantum dalam rumusan Undang-Undang Nomor l Tahun 1974 Pasal 22 yang menyatakan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan” dan ditegaskan dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 bahwa batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan, sehingga tidak menutup kemungkinan bagi orang Islam untuk dapat mengajukan pembatalan perkawinan. Hakim harus sudah memeriksa permohonan pembatalan perkawinan selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas/surat permohonan tersebut. Pengadilan Agama akan
memutuskan
untuk
mengadakan
sidang
jika
terdapat
alasanalasan seperti yang tercantum dalam ketentuan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Bab IV Pasal 22 sampai dengan Pasal 27. Setelah dilakukan sidang, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan
tentang
terjadinya
pembatalan
perkawinan
yang
ditujukan kepada pegawai pencatat untuk mengadakan pencatatan pembatalan perkawinan. Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan B. Hukum Islam dan Kompilasi Huku Islam. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Pasal 74 ayat (1) pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada pengadilan Agama yang wilayah tempat tinggal suami atau commit to dilangsungkan. user isteri atau tempat perkawinan Pengajuan pembatalan
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perkawinan dapat dilakukan oleh keluarga dari salah satu pihak isteri dan suami dalam garis keturunan lurus ke atas dan kebawah dari suami/isteri, pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-Undang dan para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundangundangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 67 KHI. Menurut Pasal 74 ayat (2) KHI dinyatakan bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan
hukum
yang
tetap
dan
berlakunyan
sejak
saat
berlangsungnya perkawinan. 10. Akibat Pembatalan Perkawinan. A. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Ia Akibat hukum yang ditimbulkan karena adanya pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 28 ayat 2 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 75 dan Pasal 76 KHI yang mempunyai rumusan berbeda. Akibat hukum yang ditimbulkan dari pembatalan perkawinan menurut hukum Islam berakibat kepada hak anak, harta bawaan dan status perkawinan. Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor l Tahun 1974 menyebutkan bahwa keputusan tidak berlaku surut terhadap: 1.
Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
2.
Suami atau isteri yang bertindak dengan beritikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas dasar adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
3.
Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
commit to user B. Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam.
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pasal 75 KHI menyebutkan bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap: 1.
Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau isteri murtad.
2.
Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
3.
Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum tetap. Pasal 76 KHI menentukan bahwa batalnya suatu
perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. 11. Gugurnya Hak Pembatalan Perkawinan. Hak untuk membatalkan olleh suami atau istri berdasarkan alasan dalam ayat 1 Pasal ini gugur apabila mereka hidup bersama sebagai istri dan dapat memperlihatkan.83Sedangkan menurut Pasal 27 ayat (3) menyatakan bahwa apabila ancaman telah berhenti atau bersalah sangka menyadari keadaannya dan dalam jangka waktu 6 bulan setelah itu masih tetap hidup bersama sebagai suami isteri dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.84 Permohonan pembatalan perkawinan dibuat dalam bentuk permohonan yang bersifat sengketa sehingga dapat lebih jelas dalam melangsungkan pembatalan perkawinan yaitu sama halnya dengan cara gugatan perceraian yang diatur secara terperinci dari Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan PemerintahNo. 9 Tahun 1975. Sepanjang hal ini dapat diterapkan dalam hubungannya dengan pembatalan perkawinan itu. 12. Upaya Menghindari Pembatalan Perkawinan. A. Peran Kantor Urusan Agama. 83 84
to 26 user Undang-Undang. No. 1 tahuncommit 1974 Pasal ( 2) Undang-Undang. No. 1 tahun 1974 Pasal 27 ayat (3)
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kedudukan dan fungsi KUA Kecamatan diatur dalam Pasal 1, 2 dan 3 Keputusan Menteri Agama RI No. 517 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi. Adapun fungsi KUA Keberadaan KUA (Kantor urusan Agama) merupakan bagian
dari
institusi
pemerintah
daerah
yang
bertugas
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sebagai ujung tombak pelaksanaan tugas umum pemerintahan, khususnya di bidang urusan agama Islam, KUA telah berusaha seoptimal mungkin dengan kemampuan dan fasilitas yang ada untuk memberikan pelayanan yang terbaik. Namun demikian upaya untuk mempublikasikan peran, fungsi dan tugas KUA harus selalu diupayakan. Realita dilapangan menunjukkan masih ada sebagian masyarakat yang belum memahami sepenuhnya tugas dan fungsi KUA. Pada hakekatnya Kantor Urusan Agama (KUA) adalah Kantor Kementerian Agama di tingkat kecamatan jadi tugas KUA tidak hanya melaksanakan pernikahan saja tetapi semua pelayanan kehidupan beragama di tingkat kecamatan, oleh karena itu sedikit demi sedikit anggapan masyarakat tentang tugas KUA yang hanya menikahkan harus hilangkan tapi KUA adalah pelayanan di bidang agama. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku (pasal 2 ayat 1 Undang- Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974). Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Dengan melakukan fungsi pencatatan perkawinan KUA memiliki
peran
dalam
upaya
mengantisipasi
terjadinya
pembatalan perkawinan. Adapun Peran KUA dalam upaya menghindari terjadinya pembatalan perkawinan adalah sebagai berikut :
commit to user
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a) Memeriksa
kelengkapan
administrasi
pendaftaran
dan
melakukan pemeriksaan status/kebenaran data pada berkas pendaftaran pada saat pendaftaran. b) Memasang pengumuman kehendak nikah. c) Memeriksa kembali kebenaran pernyataan calon mempelai atau wali pada saat pendaftaran sebelum proses akad nikah dilaksanakan. d) Mengumumkan kepada saksi bahwa kedua calon mempelai dapat segera dinikahkan dengan sebelumnya memberitahu saksi mengenai fungsi dan tugasnya dalam proses akad nikah. e) Memberitahu kepada seluruh hadirin mengenai syarat dan rukun nikah. f)
Melakukan penolakan nikah jika ditemukan penghalang nikah.
g) Menanyakan setuju tidaknya calon mempelai untuk menikah. h) Membuat surat pernyataan perpindahan wali dan mahram. Hal penting yang harus diperhatikan dalam perkawinan adalah bahwa perkawinan harus dicatatkan. Menurut UndangUndang Perkawinan 1974 Pasal 2 ayat (2) tiaptiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku dan Pasal 6 KHI juga menegaskan hal ini. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan PPN dan tidak dibuktikan dengan Akta Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Pasal 7 ayat (1) KHI lebih menguatkan hal ini. Perkawinan tanpa akta nikah adalah perkawinan yang tidak sah dan karena itu tidak dilindungi oleh hukum di Indonesia. Oleh karena itu, perkawinan siri, yaitu perkawinan diamdiam yang tidak dicatat oleh PPN atau yang tidak memiliki Akta Kendala yang dihadapi KUA dalam upayanya menghindari terjadinya pembatalan perkawinan adalah: commit to user
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Kendala tradisi, yaitu apabila terjadi pernikahan yang dilakukan oleh anak di bawah umur dan masih duduk di bangku sekolah. Di sisi lain hal itu bisa dimintakan surat izin orang tua sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi: Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.85. 2) Kendala administratif, yaitu apabila terjadi pemalsuan identitas dan status. Calon mempelai pria dinyatakan masih jejaka ternyata sudah beristeri secara sirri. Selain itu, KUA akan merasa kesulitan jika ternyata calon mempelai pria telah beristeri dan bercerai yang dilakukan di luar daerah. Dengan demikian status sebenarnya akan sulit terdeteksi. 3) Kendala sosial, yaitu adanya pengumuman kehendak nikah (NC) yang di pasang 10 hari sejak pendaftaran nikah dinilai kurang efektif. Tidak ada orang yang mau membacanya. Apalagi pengumuman tersebut hanya dipasang di kantor (KUA), sehingga orang yang tidak berkepentingan tidak akan datang ke sana hanya untuk membaca pengumuman kehendak
nikah.
Bahkan,
orang
yang
mempunyai
kepentingan ke KUA pun jarang yang mau membaca pengumuman tersebut. Karena itulah tidak pernah terjadi pengaduan dari masyarakat jika ternyata perkawinan yang akan dilaksanakan tidak memenuhi syarat atau terdapat penghalang nikah. Bahkan diketahuinya status bahwa calon mempelai pria telah beristeri dalam kasus sebagaimana tersebut di atas tidak ada yang mengadukan ke KUA. 4) Kendala psikologis yaitu berdasarkan data dari kasus penolakan perkawinan di atas dapat diketahui bahwa terdapat commit to user 85
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1.
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penyembunyian status dari sudah menikah menjadi belum menikah demi melangsungkan perkawinan yang kedua dengan wanita lain. KUA tidak akan mengetahui hal itu jika tidak ada pengakuan dari yang bersangkutan. Bersyukur pihak
tersebut
mengaku
dengan
jujur
sebelum
dilaksanakannya akad nikah. Bagaimana apabila pihak-pihak yang mengetahui kondisi status sebenarnya dari calon mempelai pria tidak memberikan pengakuan secara jujur, maka akan menimbulkan berbagai macam masalah di kemudian hari setelah perkawinan di sahkan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tidak adanya kejujuran seseorang dalam memberikan keterangan menjadi kendala bagi upaya KUA untuk menghindari terjadinya pembatalan perkawinan. Selain itu, ketidakefektifan pengumuman kehendak nikah yang diharapkan adanya pengaduan tidak dapat mendukung upaya KUA tersebut. B. Peran Hakim. Majalis hakim dapat mendamaikan suami istri dengan mengupayakan perdamaian melalui mediasi. Namun apabila pemohon tetap pada pendiriannya maka nikahnya dibatalkan oleh pengadilan, namun tidak dinyatakan sebagai cerai karena dianggap bahwa kedua pihak tidak pernah melakukan pernikahan sehingga pihak pengadilan hanya mengeluarkan surat pernyataan pembatalan nikah bukan akta cerai. Akibat dari pembatalan nikahnya tidak berlaku surut terhadap pihak- pihak yang tertuang dalam Pasal 28 ayat 2 UU No.1 tahun 1974 dan Pasal 75 Kompilasi hukum Islam. Namun, jika pembatalan nikahnya karena sebab pemalsuan identitas, dimana pmalsuan identitas adalah bentuk pelanggaran formil bukan materiil, maka akibatnya juga formil dan yang dimaksud commitadalah to userhanya surat pernyataan bahwa akibat secara formil
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pernikahan tersebut dibatalkan dan pembatalan tersebut tidak berlaku surut bagi si anak keturunan, anak itupun masih tetap mendapatkan hak waris dari ayahnya. 13. Tinjauan Tentang Anak, Status Anak, Dan Harta Bersama Dalam Hukum Perkawinan Undang-Undang Nomoe 1 Tahun 1974 Dan Hukum Islam. a. Pengertian Hadonah. Dalam ajaran Islam penjagaan keturunan (anak) diajarkan dengan penuh perhatian semenjak anak ada dalam kandungan hingga anak itu dewasa. Hadhonah dalam definisi Al-Hamdani adalah “pemeliharaan anak, laki-laki ataupun perempuan yang masih kecil. atau anak dungu yang tidak dapat membedakan sesuatu dan belum dapat berdiri sendiri, menjaga kepentingan anak, melindunginya dari segala yang membahayakan dirinya, mendidiknya, jasmani dan rohani serta akalnya, supaya si anak dapat berkmbang dan dapat mengatasi persoalan hidup yang akan dihadapinya.86 Menurut Sayyid Sabiq hadhonah ialah pemeliharaan anakanak yang masih kecil baik laki-laki maupun perempaun yang sudah besar tetapi belum tamyis87 tanpa perintah dari padanya, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaga dari kerusakannya, mendidik jasmani dan rohani agar ia mampu menghadapi hidup88. Ketentuan Umum mengenai hukum perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa pemeliharaan anak 86
Hamdani Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-Undangan Hukum Adat,Hukum Agama (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm 318. 87 Beberapa tingkatan dalam tingkatan anak, yakni At-Tufulah adalah anak yang belum mampu membedakan sesuatu yang bermanfaat dan mudharat bagi dirinya sendiri, Balikh adalah masa ketika ditandai dengan datangnya Haid bagi perempuan dan mimpi berhubungan seks bagi laki-laki atau seorangyang telah melangsungkan pernikahan baik laki-laki atau perempuan, Mumayyis adalah Anak yang sudah mampu membedakan sesuatu yang bermanfaat dan mudharat bagi dirinya yang kira-kira berumur 7 tahun. Lihat Ensiklopedia Islam, hlm 1225. 88 commit to user Sayyid sabiq, Fiqh Sunnah, Alih bahasa Thalib, (Bandung: PT.Al-Maarif, 1991), hlm 160.
69 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
atau hadhonah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.89 Semua itu maksudnya adalah menjaga, memimpin, mengatur segala hal yang mana anak-anak itu belum sanggup mengaturnya sendiri. Jadi dari beberapa pengertian hadhonah yang telah diterangkan diatas dapat disimpulkan bahwa hadonah itu merupakan pemeliharaan anak kecil yang masih membutuhkan orang lain untuk mengurus dirinya sendiri sampai ia dapat menghadapi kehidupan sebagai seorang muslim yang dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk. Memelihara anak hukumnya wajib, mengabaikannya berarti mengantarkan anak ke dalam jurang kehancuran dan hidup tanpa guna. Memelihara anak adalah kewajiban bersama, ibu dan ayah, karena si anak memerlukan pemeliharaan dan asuhan, dipenuhi kebutuhannya dan diawasi pendidikannya. Orang yang lebih berhak mengasuh adalah ibu, hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad S.A.W tatkala seorang perempuan yang diceraikan suaminya mengadu dan berkata : “ Ya Rasulallah, perutku adalah kantongnya, pangkuanku adalah tempat duduknya dan susuku adalah tempat minumnya. Kemudian ayahnya akan memisahkannya dariku maka Rasulullah bersabda: engkau lebih berhak atasnya selagi engkau belum menikah90.” Hukum ini berkenan dengan ibu tersebut kalau kawin lagi dengan laki-laki lain, akan tetapi, kalau ia kawin dengan laki-laki yang masih dekat kekerabatannya dengan anak kecil tesebut, seperti paman dari ayahnya, hak hadhonanya tidak hilang. Hal ini karena paman itu masih berhak dalam masalah hadhonah karena hubungan dan kekerabatannya yang dekat dengan anak kecil tersebut, ia akan bisa bersikap mengasihi serta memerhaikan 89
Pasal 1 huruf g. commit to user Abi Suju’, At-Tadzhib fi Adillah Matan Al-Qhoyatu wa At-Taqrii, (Surabaya: AlHidayah, Tth) hlm 189. 90
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
haknya. Dengan demikian, akan terjadilah kerjasama yang sempurna di dalam menjaga si anak kecil itu, antara si ibu dan suamin yang baru. Berbeda halnya kala suami barunya itu orang lain. Sesungghnya, jika laki-laki lain mengawini ibu dari anak kecil tadi, ia tidak bias mengasihinya dan tidak dapat memperhatkan kepentingannya dengan baik, karenanya ini nantinya dapat mengakibatkan suasana tanpa kasih sayang, udara yang mesrah, dan keadaan yang dapat menumbuhkan bakat dan pembawaan anak dengan baik. Akan tetapi al-hasan dan ibnu hazm berpendapat bahwa ibu yang kawin dengan laki-laki manapun tidaklah kehilangan hak hadhonahnya. b. Anak Prespektif Syari’at Islam. Persoalan pengasuhan anak atau hadhonah tidak ada hubungannya dengan perwalian terhadap anak, baik menyangkut perkawinannya maupun hartanya. Hadhonah adalah perkara mengasuh anak, dalam arti mendidik dan menjaga untuk masa ketika anak-anak itu membutuhkan wanita pengasuh. Dalam hal ini Imam Ja’far, Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Hambali sepakat bahwa mengasuh anak adalah hak ibu.91 Hadhonah (mengasuh anak) pada Bab VII pada pasal 105 dalam hokum perkawinan Islam empat madzhab adalah: a) Apabila terjadi perceraian antara kedua suami istri, maka anak-anak yang masih berumur kurang dari tujuh tahun, diasuh oleh ibunya, selama ibunya belum kawin dengan lakilaki lain. b) Anak-anak yang sudah berumur 7 tahun ke atas dapat memilih, apakah ikut serta ibunya atau bapaknya. Bapak
91
M.Jawad Muqhniyah, Al-Fiqh ‘ala al-Madzhab al-Khomsah (fiqh lima madzhab), commit to Al-Kaff, user Idris (Jakarta: PT. Lentera Baritama, penerjemah Masykur AB, Afif Mahmud,
1999), hlm 415.
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memikul biaya untuk memelihara dan mendidik anak-anak sampai mereka dewasa. c) Pengadilan
agama
menetapkan
jumlah
biaya
untuk
memelihara dan mendidik anak-anak tersebut, bila tidak dapat persetujuan antara dua belah pihak. Dari penjelasan pasal 105 di atas apabila terjadi perceraian antara suami dan istri, baik dengan jalan fasakh maupun talak, sedangkan keduanya telah dikaruniai anak, lakilaki maupun perempuan yang masih berumur kurang dari 7 tahun, maka anak itu dipelihara dan diasuh oleh ibunya. c. Anak Perspektif Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Dan KHI. Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada Bab IX pasal (42) disebutkan tentang kedudukan anak, yaitu “ Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah”92. Bahkan pada status anak akibat dari pembatalan perkawinan, Pada pasal 28 ayat (2) juga ditegaskan meskipun terjadi pembatalan pernikahan keputusan tersebut tidak berlaku surut terhadap, “anak-anak yang dilahirkan dari perkawina tersebut”. Dalam Bab X Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang hak dan kewajiban antara orang tua dan anak pada pasal 45 ayat 1 dan 2 adalah93; a.
Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
b.
Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak dapat berdiri sendiri, kewajiban yang mana berlaku terus menerus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
92
hlm 32.
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Loc.Cit.,
to user Departemen Agama RI, commit Himpunan Peraturan Perundang-Undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Direktorat Urusan Agama, 2001). 93
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Adapun dalam KHI bab XIV tentang pemeliharaan anak pasal 99, anak yang sah adalah94: a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. b. Hasil pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Dalam pasal yang lain yakni pasal 76 KHI menyebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan tidak memutuskan hubungan hukum anak dengan orang tuanya. Adapun dalam pasal 105 juga secara tegas tentang pemeliharaan anak, dalam terjadinya perceraian, maka : a. pemeliharaan anak yang belum mumayyis atau belum berumur 12 tahun adalah haknya ibu. b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyis diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai hak pemegang pemeliharaannya. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayah. d. Orang Yang Berhak Atas Hadonah. Hadonah merupakan hak bagi anak yang masih kecil, sebab ia masih membutuhkan pengawasan, pendidikan dan perawatan. Sedangkan orang yang berkewajiban memeliharanya adalah kedua orang tuanya, yang demikian ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shaheh bukhari:95 “Artinya, Dari A’isyah R.A.: Sesungguhnya ‘Abdu Zam’ah dan Sa’ad bin Abi Waqas mengadu kepada Nabi tentang ibn Amat Zam’ah, Saad berkata : Ya Rasulullah berilah nasehat saudaraku tatkala aku hadir dan melihat ibn Amat Zam’ah, maka kupegang dia, sesungguhnya dia adalah anakkn, kemudian ibn Zam’ah berkata: wahai saudaraku ibn Zam’ah adalah ayahku yang dilahirkan dari firosy ayahku lalu 94
45 Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama RI, 2000) toal-Bukhari, user 47Abi’Abdullah Muhammadcommit bin Ismail Shaheh Bukhari (Surabaya: Tanpa penerbit, 1992), hlm 127. 95
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Rasulullah mengungapkan perumpamaan yang jelas pada “Utbah lalu berkata : Dia adalah untukmu wahai “abd ibn Zam’ah, sesungguhnya anak adalah berdasarkan firosy dan berpalinglah dari padanya wahai saudah (H.R. Bukhori)” Apabila terjadi perceraian, maka urutan orang yang paling berhak atas hadhonah adalah ibu, dalam Fiqh ‘Ala MAdzahib AlArba’ah yang terdapat pendapat ulama madzhab, dengan uraian96: Menurut ulam Hanafi, orang yang paling berhak atas hadonah adalah ibu baik masih menikah dengan ayah atau sudah bercerai, lalu ibunya ibu dan terus garis lurus ke atas, lalu ayah, ibunya ayah dan terus keatas, lalu saudara perempuan sekandung, saudara perempuan seayah, dst. Orang yang paling berhak atas hadhonah, ulama Syafi’I membagi 3 keadaan, Pertama, berkumpulnya pihak laki-laki dan perempuan, dalam hal ini, ibu lebih behak dari pada ayah, lalu ibunya ibu dan terus gari lurus keatas dengan syarat masih termasuk ahli waris, setelah itu ayah, ayahnya ayah dan terus keatas, dengan syarat masih ahli waris juga, Kedua, berkumpulnay adalah ibu, lalau ibunya ibu, ibunya bapak, lalu saudara perempuan bibi dari ibu, anak perempuan dari saudara perempuan, anak perempuan dari saudara perempuan, anak perempuannya saudara laki-laki, bibi dari ayah, anak perempuan bibi dari ibu,anak perempuan bibi dari ayah. Ketiga, berkumpulnya pihak perempuan saja, maka yang lenih didahulukan adalah ayah, lalu kakek, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, saudara laki-laki seibu, anak laki-laki saudara laki-laki kandung, paman dari ayah dan ibu, paman seayah, paman seayah,anak paman dari bapak. Menurut ulama Hanabilah, orang yang paling berhak atas pengasuhan anak adalah ibu, kemudian ibunya ibu dan terus garis
96
127 – 128.
commit user Darul Kutub Al-Limiyah, 1992), hlm Al-Juzairi,Fiqh ‘ala Madzahibul Arba’to(Beirut:
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lurus ke atas, setelah itu ayah, ibunya ayah dan garis lurus keatas, kakek, ibunya kakek, saudara perempuan seayah dan seibu. Menurut ulama Malikiyah, orang yang paling berhak atas pengasuhan anak adalah ibu, lalu ibunya ibu dan terus garis lurus ke atas, lalu bibi sekandung dari ibu, bibi se ibu, bibi seayah, neneknya ayah dan garis lurus keatas. e. Syarat Mengasuh Anak Dalam Agama Islam. Mengingat kemaslahatan anak, maka tidak semua orang dapat memeliharanya, oleh karena itu dibutuhkan beberapa syarat, Didalam Islam terdapat syarat-syarat untuk dapat mengasuh anak, orang yang hendak mengasuh anak disyaratkan mempunyai kafa’ah atau martabat yang sepadan dengan kedudukan anak, mampu melaksanakan tugas sebagai pengasuh anak, maka adanya kemampuan dan kafa’ah mencakup beberapa syarat tertentu dan apabila syarat-syarat tersebut tidak ada, maka gugurlah haknya untuk mengasuh anak. Syarat-syarat tersebut adalah: a. Islam. Ulama Malikiyah berpendapat pengasuh tidak tidak disyaratkan harus beragama Islam baik laki-laki maupun perempuan.Jika dikhawatirkan anak yang dipelihara tersebut diberikan makan dan minuman yang tidak halal, maka pemeliharaan tersebut pindah keorang yang beragama islam, hal itu dilakukan untuk menjaga kemaslahatan anak tersebut. Dalam hal ini ditegaskan Zakariyah Ahmad Al-Barri salah satu Ulama Malikiyah, beliau berpendapat bahwa islamnya hadlin (pengasuh) adalah tidak termasuk syarat dari pemeliharan anak karena tidak mempengaruhi rasa kasih sayang seorang ibu secara alami.97 Begitu juga dengan Ulama Hanabilah, tidak afda persyaratan Hadlin (pengasuh) harus
commit Aulad to user Zakariyah Ahmad Al-Barri, Ahkamul fil Islam (Kairo: Darul Al-Qoumiyah, 1994), hlm 43. 97
75 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Islam, jika Ibu seorang kafir Zimmi, tetap ia lebih berhak atas anak yang diasuhnya asalkan terjaga dari kekafiran dan kerusakan, dan apabila terjadi sebaliknya, misalnya diketahui ibu bersama anak pergi kegereja, atau diberi makanan dan minuman yang tidak halal, maka ayahnya boleh mengambil anak dari ibu yang kafir zimmi tersebut, sedangkan Ulama Syafi’iyah jelas tidak memperbolehkan orang yang kafir memelihara anak yang beragama islam, karena orang kafir berhak atas orang kafir saja. Hal ini akan berbeda ketika yang berbeda agama adalah si anak, maka Imam Taqiyudn Abi Bakri Muhammad Al-Hasan dalm kitab Kifayatul Akhyar fi Ghoyatul Ikhtisar berpendapat pengasuhan terhadap anak yang kafir tetap dapat diserahkan dalam pemeliharaan ibu yang islam, yang demikian itu berdasarkan atas kemaslahatan semata.98 b. Baliqh c. Waras akalnya (Tidak gila) d. Dapat dipercaya e. Tidak Kawin f. Mampu mendidik anak f. Pengertian Harta Bersama. Harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama masa perkawinan diluar hadiah atau warisan. Maksudnya adalah harta yang di dapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa perkawinan. Pengertian tersebut sejalan dengan bab VII tentang harta benda dalam perkawinan pasal 35 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974, yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut :
98
53.
commit to user M.Rifa’I, Terjemah Khulashah Kifayatul Ahyar (Semarang, CV.Toha Putra, TTh), hlm
76 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda berasama. b. Harta bawaan dari masing-masing sebagai hadian atau warisan adalah dibawah penguasaan masing sepanjang pera pihak tidak menentukan lain. Mengenai hal ini Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan gambaran jelas tentang harta bersama, yang dijelaskan dalam pasal 1 huru f : “ harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama-sama suami istri selam dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun”. Dalam hukuum islam harta bersama diartikan sebagai Dalam kitab-kitab fiqh klasik, harta gono-gini atau harta bersama diarikan sebagai harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami istri selama mereka diikat oleh tali perkawinan, atau dengan kata lain bahwa harta gono-gini atau harta bersama adalah harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah (kongsi) antara suami dan istri sehingga terjadi percampuran harta yang satu dengan yang lain dan tidak dapat dibedakan lagi. Para ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang dasar hukum harta gono-gini atau harta bersama itu. Sebahagian mereka mengatakan bahwa agama Islam tidak mengatur tentang gono-gini, sehingga oleh karena itu diserahkan sepenuhnya kepada mereka sendiri untuk mengaturnya. Sebahagian ahli hukum Islam yang lain mengatakan bahwa suatu hal yang tidak mungkin jika agama Islam tidak mengatur tentang harta gonogini atau harta bersama, sedangkan hal-hal lain yang kecil-kecil saja diatur secara rinci oleh agama Islam dan ditentukan dasar
commit to user
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hukumnya. Tidak ada satu pun yang tertinggal semuanya termasuk dalam ruang lingkup pembahasan hukum Islam. 99 Pembicaraan atau kajian tentang gono-gini atau harta bersama tidak kita jumpai dalam kitab-kitab fiqh klasik. Masalah harta gono-gini atau harta bersama merupakan persoalan hukum yang belum disentuh atau belum terpikirkan (ghair al-mufakkar) oleh ulama-ulama fiqh terdahulu karena masalah harta gono-gini baru muncul dan banyak dibicarakan dalam masa modern ini. Secara umum, hukum Islam tidak melihat adanya harta gono-gini. Hukum Islam lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suami dan harta istri. Apa yang dihasilkan oleh suami merupakan harta miliknya, demikian juga sebaliknya, apa yang dihasilkan istri adalah harta miliknya. Menurut M. Yahya Harahap, bahwa perspektif hukum Islam tentang gono-gini atau harta bersama sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Muhammad Syah bahwa pencaharian bersama suami istri mestinya masuk dalam rub’u mu’amalah, tetapi ternyata tidak dibicarakan secara khusus. pengarang kitabkitab fiqh adalah orang Arab yang tidak mengenal adanya pencaharian bersama suami istri, tetapi ada dibicarakan tentang kongsi yang dalam bahas Arab disebut syirkah. Oleh karena masalah pencaharian bersama suami istri adalah termasuk perkongsian atau syirkah, maka untuk mengetahui hukumnya maka perlu dibicarakan terlebih dahulu tentang syirkah yang telah ditulis dalam kitab-kitab fiqh, khususnya bab mu’amalah. Zahri Hamid dalam buku Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam
dan
Undang-Undang
Perkawinan
di
Indonesia
menyatakan, hukum Islam mengatur system terpisahnya harta suami dan harta istri sepanjang yang bersangkutan tidak
user SH., SIP., M.Hum Dalam Buku Anek Demikian Menurut Prof. DR.commit H. AbdultoManan, Masalah Hukum Materiil Dalam Praktek Peradilan Agama.Lkih Yogyakarta 2001. 99
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menentukan lain (tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan). Hukum Islam juga memberikan kelonggaran kepada mereka berdua untuk membuat perjanjian perkawinan sesuai dengan keinginan mereka berdua, dan perjanjian tersebut akhirnya mengikat mereka secara hukum. Senada dengan itu, Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam menyatakan, hukum Islam memberi hak kepada masing-masing pasangan, baik suami/istri untuk memiliki harta benda secara perseorangan yang tidak bisa diganggu oleh masing-masing pihak. Suami yang menerima pemberian,
warisan
dan
sebagainya,
berhak
menguasai
sepenuhnya harta yang diterimanya itu, tanpa adanya campur tangan istrinya. Demikian halnya bagi istri yang menerima pemberian,
warisan,
dan
sebagainya,
berhak
menguasai
sepenuhnya harta yang diterimanya itu tanpa adanya campur tangan suaminya. Dengan demikian, harta bawaan yang mereka miliki sebelum terjadinya perkawinan menjadi hak milik masingmasing pasangan suami istri. Hukum Islam juga berpendirian, harta yang diperoleh suami selama dalam perkawinan menjadi hak suami, sedangkan istri hanya berhak terhadap nafkah yang diberikan suami kepadanya namun, Al Qur’an maupun Hadits tidak memberikan ketentuan yang tegas bahwa harta yang diperoleh suami selama dalam perkawinan sepnuhnya menjadi hak suami, dan istri hanya terbatas atas nafkah yang diberikan oleh suami. Ketidaktegas tersebut, menurut Ahmad Azhar Basyir, istri secara langsung juga berhak terhadap harta tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka sesungguhnya masalah harta gono gini tidak disinggung secara jelas dan tegas dalam hukum Islam. Dengan kata lain, masalah harta gogo-gini merupakan wilayah hukum yang belum commit user terpikirkan (ghairu al tomufakkar fih) dalam hukum Islam,
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sehingga oleh karena itu, terbuka bagi ahli hukum Islam untuk melakukan ijtihad dengan pendekatan qiyas100. Dalam ajaran Islam, ijtihad itu diperbolehkan asalkan berkenaan dengan masalah-masalah yang belum ditemukan dasar hukumnya. Masalah harta gono-gini merupakan wilayah keduniaan yang belum tersentu oleh hukum Islam klasik. Hukum Islam kontemporer tentang harga gono gini dianalisis melalui pendekatan ijtihad, yaitu bahwa harta yang diperoleh pasangan suami istri selama dalam ikatan perkawinan merupakan harta gono-gini. Kajian ulama tentang gono-gini telah melahirkan pendapat bahwa harta gono-gini termasuk dapat di-qiyas-kan sebagai syirkah. KH. Ma’ruf Amin, Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat mengatakan, harta gono-gini dapat disamakan atau digolongkan ke dalam harta syirkah, yaitu harta yang terkumpul selama menikah harus dibagi secara proporsional jika terjadi perceraian. Harta gono-gini dapat di-qiyas-kan dengan syirkah karena dipahami istri juga dapat dihitung sebagai pasangan (kongsi) yang bekerja, meskipun tidak ikut bekerja dalam pengertian yang sesungguhnya. Maksudnya, istri yang bekerja dalam pengertian mengurus rumah tangga, seperti memasak, mencuci pakaian, mengasuh anak, membereskan rumah tangga, dan pekerjaan domestik lainnya, juga dianggap sebagai aktivitas kerja yang penannya tidak bisa dipandang sebelah mata.101 Harta gono-gini yang didefinisikan sebagai harta yang dihasilkan oleh pasangan suami istri selama perkawinan berlangsung, maka harta gono-gini dapat kategorikan sebagai syirkah mufawadhah atau juga syirkah abdan . Kenyataan yang terjadi di sebagian besar masyarakat Indonesia, pasangan suami 100 101
commit to Pembaharuan user Juhaya S. Praja, Aspek Sosiologi Dalam Fiqih, Hlm 126 Majalah Anggun, Edisi No. 22 Vol. 2, Maret 2007.
80 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
istri sama-sama bekerja dalam hal mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan hidup rumah tangganya, di samping untuk tabungan hari tua dan sebagai peninggalan bagi anak- anaknya kelak. Harta gono-gini dalam dapat dikategorikan sebagai syirkah mufawadhah karena memang perkongsian antara suami istri itu sifatnya terbatas. Artinya, apa yang dihasilkan oleh pasangan suami istri selama dalam ikatan perkawinan merupakan harta gono-gini, sedangkan harta warisan dan pemberian milik keduanya merupakan pengecualian. Dalam fiqh mu’amalah, syirkah abdan dan syirkah mufawadhah merupakan bagian dari syirkah ‘uqud . Syirkah ‘uqud adalah kongsi yang mensyaratkan adanya kontrak antara para anggotanya. Keuntungan yang peroleh dari usaha itu akan dibagi berdasarkan kontrak yang telah disepakati sebelum melakukan kegiatan usaha. Syirkah ini tidak bertujuan untuk kepemilikan harta kekayaan (syirkah al-milk).102 Jika kita mengikuti definisi yang dikemukaan oleh Syeikh Taqiyuddin An- Nabhani dalam kitab An-Nizham al-Iqtishadi fi Al-Islam , syirkah mufawadhah adalah suatu bentuk perkongsian dua belah pihak yang mnelakukan kegiatan usaha, sedangkan pihak ketiag sebagai pemodal, sedangkan syirkah abdan adalah suatu bentuk perkonsian dua pihak atau lebih yang masingmasing anggotanya hanya melakukan kegiatan usaha, namun tidak memberikan modal. Dari penjelasan tersebut di atas, jika harta gono-gini di-qiyas-kan dengan syirkah sangatlah masuk akal karena sama-sama mengandung pengertian sebagai suatu bentuk perkongsian atau kerja sama antara suami dan istri. Hanya saja dalam konsep syirkah pada umumnya lebih bersifat bisnis atau kerja sama dalam kegiatan usaha, sedangkan syirkah gono-gini sifatnya hanya kerja sama dalam membangun sebuah rumah commit to user 102
Juhaya s praja loc. Cit. hal 145.
81 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, meskipun juga meliputi hal-hal yang berkaitan dengan harta dalam perkawinan. Peng-qiyasan antara gono-gini dengan syirkah dapat pula dipahami melalui argumentasi sebagai berikut. Bahwa persatuan atau percampuran harta kekayaan suami dan istri dapat dipahami sebagai harta kekayaan tambahan karena adanya usaha bersama antara mereka berdua. Logikanya, jika terjadi pemutusan hubungan (perceraian) di antara mereka, maka persatuan harta kekayaan (gono-gini) itu harus dibagi dua. Pembagiannya bisa ditentukan atas dasar mana pihak yang lebih banyak berinvestasi dalam kerja sama itu, apakah suami/istri. Atau juga dapat dibagai secara merata, yaitu masing-masing pihak mendapatkan separoh. Para ahli hukum Islam di Indonesia ketika merumuskan Pasal 85 – 97 Kompilasi Hukum Islam setuju untuk mengambil syirkah abdan sebagai landasan perumusan kaidah-kaidan gono-gini atau harta bersama. Para perumus Kompilasi Hukum Islam melakukan pendekatan dari jalur syirkah abdan dengan hukum adat. Cara pendekatan ini tidak bertentangan dengan kebolehan menjadikan ‘urf (adat/tradisi) sebagai sumber hukum dan sejalan dengan kaidah yang mengatakan “al adatu muhakkamah”. Sebagian ahli hukum Islam memandang bahwa gono-gini merupakan kehendak dan aspirasi hukum Islam. Menurut mereka, gono-gini adalah konsekuensi dari adanya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang kemudian menghasilkan harta dari usaha yang mereka lakukan berdua selama ikatan perkawinan. Merek mendasarkan pada firman Allah di dalam Al Qur’an Surat An-Nisa: 21 yang menyebut perkawinan sebagai suatu perjanjian yang suci, kuat, dan kokoh (mitsaqan ghalizhan). Artinya, perkawinan yang dilakukan melalui jiab – qabul dan telah memenuhi syarat dan rukunnya commit user dan istri. Oleh karena itu, akibat merupakan syirkah antaratosuami
82 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hukum yang muncul kemudian, termasuk harta benda menjadi milik bersama. Wirjono Prodjodikoro, mengemukakan, bahwa di antara tiga system hukum yang berlaku di Indonesia, dalam hal harta bersama suami istri, hukum Islam yang paling sederhana pengaturannya, tidak rumit dan mudah dipraktekkan. Hukum Islam tidak mengenal adanya percampuran harta miliki suami dengan harta milik istri, masing-masing pihak beban mengatur harta miliknya masing-masing, dan tidak diperkenankan adanya campur tangan salah satu pihak dalam pengaturannya. Ikut campurnya salah satu pihak hanya bersifat nasihat saja, bukan penentu dalam pengelolaan harta milik pribadi suami atau istri tersebut. Hukum Islam tidak meneganal adanya percampuran harta pribadi ke dalam harta bersama suami dan istri, akan tetapi dianjurnya adanya saling pengertian antara suami istri dalam mengelola harta pribadi tersebut, jangan sampai terjadi di dalam pengelola kekauayaan pribadi itu dapat merusak hubungan suami istri yang menjurus kepada perceraian. Apabila dikhawatirkan akan timbul hal-hal yang tidak diinginkan, maka hukum Islam memperbolehkan
diadakan
perjanjian
perkawinan
sebelum
pernikahan dilaksanakan. Perjanjian itu dapat berupa penggabungan harta milik pribadi masing-masing menjadi harta bersama, dapat pula ditetapkan tentang penggabungan hasil harta milik pribadi masing-masing suami istri dan dapat pula ditetapkan tidak adanya penggabungan harta milik pribadi masing-masing harta bersama suami
istri,
jika
dibuat
perjanjian
sebelum
pernikahan
dilaksanakan, maka perjanjian itu adalah sah dan harus dilaksanakan.
Berdasarkan padangan tersebut di atas, commit to user sesungguhnya harta gono-gini bisa ditelusuri dalam hukum Islam
83 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
baik melalui konsep syirkah maupun berdasarkan kehendak dan aspirasi hukum Islam itu sendiri. 14. Perlindungan Terhadap Hak-Hak Anak. 1.
Pengertian Perlindungan. Perlindungan sering diartikan sebagai suatu usaha mengamankan atau menciptakan situasi dan kondisi nyaman, demikian juga terhadap anak yaitu bagaimana seorang anak dapat merasa aman dan nyaman dalam lingkungannya.103 Perlindungan hukum terhadap anak menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, meliputi kesejahteraan terhadap anak dibidang jasmani rohani dan sosial. Undang-undang ini memberikan kesempatan kepada anak untuk tumbuh kembang seluas-luasnya secara wajar dibidang jasmani rohani dan sosial.104 Undang-undang
Nomor
23
Tahun
2002
tentang
Perlindungan anak dalam Pasal 1 memberikan definisi yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 2.
Perlindungan Hukum Hak-Hak Anak. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hulum Islam membedakan status hukum anak menjadi dua yaitu anak sah dan anak yang dilahirkan diluar perkawinan.
Pengertian
anak
sah
dalam
undang-undang
perkawinan yaitu bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan yang sah (pasal 42) , yang tidak sah adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan, yang dalam Pasal 43 disebutkan : 103
Down load internet, www. Google.com, perlindungan. 104 commit to user 15 MG.Endang Sumiarni, dan Chandera Halim, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dibidang Kesejahteraan. Universitas Admajaya Yogyakarta, 2000.
84 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan hukum perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. 2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah. Kedudukan anak dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 99 dan Pasal 100 yang menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah yaitu hasil pembuahan suami isteri yang sah dan dilahirkan oleh isteri tersebut, sedangkan anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Undang-undang Perkawinan mengatur tentang kekuasaan orang tua ini dalam Pasal 45 sampai dengan 49, yakni : Pasal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Pasal 47 Undang-undang Nomor 1 Tahun1974 : (1). Anak yang belum mencapai umur 18 (delapanbelas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya Pasal 49 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 : (1). Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih dengan keputusan pengadilan dalam hal : 1) Sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya. 2) berkelakuan buruk sekali. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut. Instrumen hukum lain yang mengatur mengenai hak-hak anak dan perlindungan anak di antaranya adalah : a)
Konvensi Hak Anak, yang dituangkan dalam Kepres No. 36 Tahun 1990. commit to user
85 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; c)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;
d) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; dan5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hak-hak anak yang diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak yaitu dalam Bab ll ayat (2) sampai dengan (8) yang dalam penjelasan dari undangundang tersebut dijelaskan bahwa oleh karena anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial belum memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri, maka kewajiban bagi generasi yang terdahulu untuk menjamin, memelihara dan mengamankan kepentingan anak itu.
commit to user
86 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. PENELITIAN YANG RELEVAN. 1.
Zefanya Lien Sebesty, 2013, “Perlindungan Hukum Terhadaap Hak Asuh Anak Di Bawah Umur Yang Perkawinan Orang Tuanya Dibatalkan, Analisis Hukum Putusan Pembatalan Perkawinan (Studi Kasus Putusan Nomor: 1098/Pdt.G/2011/Pa Mks)” Tesis Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makasar 2013, kesamaan sama-sama mengkaji tentang hak asuh anak yang perkawinan orang tuanya di batalkan . Perbedaan: permasalahan hak anak yang dikaji, yaitu hak asuh anak, sedangkan penelitian penulis mengkaji tentang hak asuh dan hak mewaris anak sah selepas perkawinan orangtuanya dibatalkan.
2.
Sony
Apriyansah,
Pembatalan
2010,
Perkawinan
“Tinjauan Karena
Hukum
Pemalsuan
Islam
Terhadap
Identitas
Dan
Pengaruhnya Dengan Hak Mewaris Anak “Tesis Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro 2010, kesamaan sama-sama mengkaji tentang hak waris anak yang perkawinan orang tuanya di batalkan . Perbedaan: permasalahan hak anak yang dikaji, yaitu pembatalan perkawinan kerena pemalsuan identitas dan dampak pembatalan perkawinan atas hak mewaris anak, sedangkan penelitian penulis mengkaji tentang perbandingan hukum antara kompilasi hukum islam dan undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan mengenai putusan yang diambiil oleh pengadilan agama terkait dengan pembatalan perkawinan dan hak asuh serta hak mewaris anak sah dalam pembtalan perkawinan tersebut. 3.
Jumly Yadi, 2013, “Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Karena Status Wali Nikah Yang Tidak Sah Menurut Undang-Undang N0. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Di Pengadilan Agama Sleman (Studi Kasus Perkara Nomor : 23/Pdt.G/2005/Pa.Smn)”, kesamaan samasama menganalisis tentang akibat hukum terhadap harta bersama yang to user yang dibatalkan. Perbedaan: di hasilkan dalam commit perkawinan
87 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
permasalahan pada tesis ini dikaji mengenai dasar pertimbangan hakim terhadap putusan peradilan pembatalan perkawinan dan akibat hukum terhadap pembatalan perkawinan mengenai wali nikah yang tidak sah, sedangkan penelitian penulis ini mengkaji tentang akibat pembatalan perkawinan secara keseluruhan dan membandingkan antara dua peraturan hukum yaitu Undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Hukum Islam.
commit to user
88 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. KERANGKA BERPIKIR. Pria
Wanita Menikah
Pembatalan perkawinan
Akibat hukum pembatalan perkawinan
Akibat hukum
Akibat hukum
Akibat hukum
terhadap hubungan
terhadap status anak
terhadap harta
suami dan istri
dah hak asuh anak
bersama
Melakukan penelitian hukum dengan membandingkan akibat hukum pembatalan perkawinan sehingga mendapatkan persamaan dan
perbedaan antara Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Hukum Islam
Menyimpulkan implikasi terhadap masyarakat Indonesia yang tunduk terhadap hukum islam dalam melakukan peroses perkara pembatalan perkawinan.
commit to user
89 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kerangka pemikiran diatas merupakan penggambaran alur berpikir dari peneliti yang dibuat secara ringkas dan langsung pada pokok-pokok inti dari penelitian tersebut, sehingga dengan demikian akan memudahkan bagi peneliti dalam menyusun penelitiannya dan memudahkan pembaca dalam memahami alur penelitian peneliti. Semua pembahasan di atas dianalisis secara normatif, adapun penjelasan dari bagan di atas adalah: Pembatalan perkawinan yang di uraikan sebagaimana kerangka pemikiran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dapat dikatagorikan sebagai korban tidak lain adalah anak yang lahir di dalam perkawinan yang di batalkan tersebut. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang telah di batalkan belum jelas status hukumnya, apakah termasuk golongan anak sah atau anak yang lahir di luar perkawinan. Mengingat bahwa pembatalan suatu penikahan berarti dianggap telah tidak adanyanya atau tidak pernah terjadi suau pernikahan jika diyatakan tidak pernah terjadi suatu perkawinan bagai mana bisa terlahir seorang anakyang dikatakan sah, karna seorang anak digolongkan menjadi anak sah apabila terjadinya suatu perkawinan yang sah. Pembatalan perkawinan dan akibat hukumnya terhadap anak juga bisa menjulur bagaimana status hukum anak tersebut, dan siapa yang akan mendapat hak asuh anak tersebut diantara kedua orang tuanya, dan apakah anak yang menjadi korban pembatalan perkawinan dapat mendapatkan hak waris dari ayah kandung anak tersebut, menginngat dalam pembatalan perkawinan telah dinyatakan bahwa tidak pernah terjadi suatu perkawinan. Terhadapa status suami istri yang dapat menetukan status seetelah terjadinya pembatalan perkawinan tersebut dan akibat hukumnya terhadap harta bersama yang di peroleh dari pepkawinan tersebut yang menyangkut terhadap pihak ketiga apabila dalam masa perkawinan terdapat harta bersama yang dijaminkan oleh ihak ketiga.
commit to user