BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana di Indonesia saat ini merupakan peninggalan zaman kolonial belanda dan Prancis1 yang sudah kurang relevan untuk menyelesaikan berbagai macam permasalahan yang timbul seiring dengan perkembangan zaman. Salah satunya yaitu tentang perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada segala sisi kehidupan segala golongan masyarakat, tak terkecuali adalah pelaku kejahatan. Hukum pidana saat ini dalam menerapkan suatu pemidanaan terhadap pelaku kejahatan masih berorientasi kepada suatu “Pembalasan”. Sanksi pidana bertujuan memberikan penderitaan istimewa (bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan pelaku.2 Karakteristik hukum pidana saat ini seringkali disebut sebagai hukum sanksi atau hukum yang menitikberatkan kepada pembalasan. Jadi ketika sanksi pidana telah dijatuhkan kepada pelanggar maka perkara pelanggaran hukum pidana dinyatakan selesai. Jika pelanggar hukum pidana yang belum dijatuhi pidana, maka penyelesaian perkara pelangarannya belum dianggap selesai, meskipun kerugian yang diakibatkan telah mendapatkan ganti rugi. Ketika hukum pidana ditempatkan sebagai pernjatuhan sanksi pidana sebagai parameter keadilan dihubungkan dengan persoalan kehidupan, model penyelesaian seperti ini, menjadi kurang realistis karena penjatuhan sanksi pidana yang paling diandalkan ialah sanksi pidana penjara. Jenis sanksi pidana menurut Pasal 10 KUHP, jenis pidana ada 2 macam, yaitu:3 1
Komisi Yudisial, Dialektika Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: KY, 2010, hlm.120 2 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1992, hlm. 5 3
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 2001, hlm .5-6
1. Pidana pokok yang terdiri atas: 1) Pidana mati; 2) Pidana penjara; 3) Pidana kurungan; 4) Pidana denda. 2. Pidana tambahan yang terdiri atas: 1) Pencabutan hak-hak tertentu; 2) Perampasan barangbarang tertentu; 3) Pengumuman keputusan hakim Selama ini jenis sanksi pidana yang berupa pidana penjara merupakan andalan bagi hakim dalam memutus suatu perkara, baik perbuatan tersebut merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana penjara dalam waktu tertentu sampai dengan seumur hidup, karena di KUHP mayoritas tindak pidana diancam dengan pidana penjara. Selain itu, hakim tidak ada pilihan atau alternatif lain karena aturan berkata demikian. Hal ini berarti bahwa orang yang melakukan suatu kejahatan diberikan pemidanaan dan serta merta harus ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Pada dasarnya pidana dijatuhkan supaya seseorang yang telah terbukti berbuat jahat tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa. Pemidanaan itu sama sekali bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai upaya pembinaan bagi seorang narapidana sekaligus sebagai upaya preventif terhadap terjadinya kejahatan serupa. Namun apa yang terjadi saat ini jumlah pelaku kejahatan semakin meningkat. Hal tersebut terbukti Berdasarkan Sistem Database Permasyarakatan, bahwa dari tahun 2012 hingga tahun 2016 jumlah narapidana seluruh Indonesia meningkat sebesar 26,75 % (39.250 orang). 4 Semakin meningkatnya jumlah narapidana setiap tahunnya menunjukkan bahwa sistem pidana penjara belum memiliki efek jera bagi pelaku kejahatan. Perbandingan peningkatan jumlah narapidana dari tahun ke tahun dengan daya tampung Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) yang tidak seimbang mengakibatkan terjadinya over capacity. Berdasarkan Sistem Database Permasyarakatan, data jumlah penghuni lapas perkanwil di Indonesia pada Bulan Maret Tahun 2016 menunjukkan bahwa 25 dari 33 lapas kanwil di Indonesia memiliki kondisi over capacity 5. Hal tersebut akan menambah beban negara untuk membiayai operasional LAPAS. Berdasarkan Sistem Database Permasyarakatan, bahwa setiap tahunnya dari tahun 2013 hingga tahun 2015 biaya operasional LAPAS seluruh Indonesia lebih 4
Sistem Database Permasyarakatan, Data Jumlah Penghuni Lapas Perkanwil di Indonesia setiap Bulan Maret Tahun 2012-2016, http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly, Diakses pada 09 Maret 2016, jam 13.55 5 Sistem Database Permasyarakatan, Data Jumlah Penghuni Lapas Perkanwil di Indonesia pada Bulan Maret Tahun 2016, http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly, Diakses pada 01 Maret 2016, jam 12.39 1
dari 2 triliun rupiah.6 Berdasarkan data tersebut dapat diambil kesimpulan jika peningkatan jumlah operasional lapas, maka dana yang diambil dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) akan meningkat dan menambah beban negara dari segi perekonomian. Selain peningkatan biaya, peningkatan jumlah narapidana juga memungkinkan lapas dijadikan sebagai tempat kuliahnya para penjahat yang akan melahirkan penjahat yang lebih profesional. Lahirnya para penjahat yang lebih profesional ini pada akhirya juga akan menambah beban kepada masyarakat karena timbulnya ancaman yang lebih besar. Ini membuktikan bahwa diberikannya pemidanaan di dalam LAPAS tidak memberikan dampak yang efektif atau dampak untuk menyadarkan pelaku kejahatan. Selain kurang efektifnya sanksi pidana yang diterapkan, ada faktor lain yang muncul dari pelaku yaitu tidak adanya rasa malu yang dimiliki oleh para pelaku setelah melakukan kejahatannya. Justru semakin menambah keberanian pelaku untuk bertindak, tanpa memperhatikan rasa bersalah dan malu atas perbuatan tercela yang telah diperbuatnya. Beberapa dampak negatif pidana perampasan kemerdekaan adalah seseorang narapidana dapat kehilangan identitas diri akibat peraturan dan tata cara hidup Lembaga Pemasyarakatan, selama menjalani pidana narapidana selalu diawasi petugas sehingga ia kurang aman dan selalu merasa dicurigai atas tindakannya, sangat jelas kemerdekaan individualnya akan terampas hal ini menyebabkan perasaan tertekan sehingga dapat menghambat pembinaan dan lain sebagainya. Pidana penjara juga memberikan efek negatif berupa dehumanisasi dimana terpidana mendapat proses pengasingan dari masyarakat selama kehilangan kemerdekaan bergerak. Oleh karena itu terpidana membutuhkan proses adaptasi sosial yang rumit atau sosialisasi dengan masyarakat untuk kembali menjadi anggota masyarakat yang baik.7 Pandangan moderat memberikan 3 kritik terhadap penjara, yaitu kritik dari sudut “starfmodus”, “Strafmaat”, dan “strafsoort”. Kritik dari sudut “starfmodus” melihat dari sudut pelaksanaan pidana penjara. Jadi, ditujukan dari sudut pembinaan atau Treatment dan kelembagaan atau institusinya. Kritik dari sudut “Strafmaat” melihat dari sudut lamanya pidana penjara, khususnya ingin membatasi atau mengurangi penggunaan pidana penjara jangka pendek. Sedangkan kritik dari sudut “strafsoort” ditujukan terhadap penggunaan atau penjatuhan pidana 6
Sistem Database Permasyarakatan, Data Jumlah Hasil Penyerapan Lapas Perkanwil di Indonesia setiap Bulan Maret Tahun 2013-2015, http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly, Diakses pada 09 Maret 2016, jam 13.55 7
Ibid, hlm. 40 2
penjara dilihat sebagai “jenis pidana”, yaitu adanya kecenderungan untuk mengurangi atau membatasi penjatuhan pidana penjara secara limitatif dan selektif.
8
Dari tiga kritik terhadap
penjara dapat disimpulkan bahwa tidak semua kejahatan harus diganjar dengan pidana penjara, terutama kejahatan dengan hukuman pidana penjara jangka pendek karena banyak kelemahan yang dimiliki. Secara khusus “Pidana Penjara Jangka Pendek” memiliki berbagai macam kelemahan. Schaffmeister mengatakan bahwa secara umum, dinyatakan bilamana pidana badan singkat diperbandingkan dengan pidana badan yang lama, maka pidana badan singkat memiliki semua kelemahan pada pidana penjara, tetapi tidak memiliki aspek positif darinya. 9 Oleh karena itu di dalam rekomendasi Kongres Ke-2 PBB mengenai “The Prevention of Crime and Treatment of Offenders” Tahun 1960 di London, juga melemparkan kritik terhadap pidana penjara jangka pendek, yaitu: 10 1. Kongres mengakui bahwa dalam banyak hal, pidana penjara pendek mungkin berbahaya, yaitu si pelanggar dapat terkontaminasi dan sedikit atau tidak memberi kesempatan untuk menjalani pelatihan yang konstruktif dan karena itu penggunaannya secara luas tidak dikehendaki; 2. Kongres menyadari bahwa dalam praktiknya penghapusan menyeluruh pidana penjara pendek tidaklah mungkin, yang realistik hanya dapat dicapai dengan mengurangi jumlah penggunaannya; 3. Pengurangan berangsur-angsur itu dengan meningkatkan bentuk-bentuk pengganti atau alternatif (pidana bersyarat, pengawasan atau probation, denda, pekerjaan di luar lembaga, dan tindakan-tindakan lain yang tidak mengandung perampasan kemerdekaan); 4. Dalam hal pidana penjara jangka pendek tidak dapat dihindari, pelaksanaannya harus terpisah atau tersendiri dari yang dijatuhi pidana penjara untuk waktu yang lama dan pembinaannya harus bersifat konstruktif. Johannes Andeanaes di dalam bukunya yang berjudul Punishment and Detterance, menyatakan: 11 8
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Adtya Bakti, Bandung, 2013, hlm 28
9
Schaffmeister Keijner, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1995, hlm 74 Ibid, hlm. 28-29 11 Ibid, hlm. 30 10
3
1. Hampir 100 tahun lebih telah difikirkan suatu tujuan dari pembaharuan pidana untuk menghindari pidana penjara jangka pendek. Pidana penjara pendek seperti itu tidak memberikan kemungkinan untuk merehabilitasi si pelanggar, tetapi cukup mengecap dia dengan stigma penjara dan membuat atau menetapkan kontak-kontak yang tidak menyenangkan; 2. Ada dua keterbatasan (sisi negatif) dari pidana pendek menurut J. Andeanes, yaitu: 12 a. “it does not effectively serve an incapacitative function” (“Tidak membantu atau menunjang secara efektif fungsi membuat tidak mampu”) b. “as a general deterrent it is inferior to longer sentences” (“Sebagai suatu pencegahan umum, ia lebih rendah (mutunya) daripada pidana lama”) Terkait dengan “Pidana Penjara Jangka Pendek”, Manuel Lopez Rey, juga melemparkan kritik. Pada Kongres PBB ke-4 (1970), Manuel Lopez Rey menyatakan mengkritik terhadap “short term imprisonment” karena dengan waktu terbatas itu, pidana penjara jangka pendek meniadakan prospek-prospek rehabilitasi (excluded the prospects of rehabilitation). Ia memperkirakan populasi penjara di dunia rata-rata sehari antara 1,5-2 juta dan diantaranya sekitar 1,3 juta, kurang dari 6 bulan dan dalam banyak hal kurang dari 3 bulan. 13 Lebih lanjut, Kartini Kartono memaparkan tentang kelemahan pidana penjara jangka pendek sebagai berikut: 14 1. Dari penjahat kecil-kecilan, mereka bisa menjadi yang lihai, dengan keterampilan tinggi dan perilaku yang lebih kejam. Mereka menjadi leboih licin dan lebih matang, karena mendapatkan pelajaran tambahan dari sesama kawan narapidana; 2. Sering timbul konflik-konflik batin yang serius, terutama sekali pada narapidana yang baru pertama kali masuk penjara. Terjadi semacam trauma atau luka psikis atau berlangsung kejutan jiwani, sehingga mengakibatkan disintegrasi kepribadian. Ada juga yang menyerupai orang gila; 3. Penjahat-penjahat individual dan penjahat situasional banyak sekali yang mengalami patah mental, disebabkan oleh isolasi dalam penjara. Mereka merasa dikucilkan dan dikutuk oleh masyarakat penjara dan masyarakat luar pada umumnya. Mereka itu secara
12
Ibid, hlm. 30-31 Ibid, hlm. 34 14 Kartini Kartono, Patologi Sosial, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 168 13
4
mental tidak siap dalam menghadapi realitas yang bengis di dalam penjara, yang dilakukan oleh sesama narapidana. Kritik terhadap “Pidana Penjara Jangka Pendek” yang telah dikemukakan, menunjukkan bukti bahwa Hukum pidana di Indonesia yang masih menggunakan pidana penjara jangka pendek sudah usang dan tidak sesuai dengan keadaaan masyarakat kekinian. Hukum Pidana yang berlaku saat ini adalah peninggalan zaman kolonial belanda dan Perancis yang tidak berlandaskan kepada nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat bangsa Indonesia, serta tidak responsif dalam penanggulangan permasalahan yang terjadi. Salah satunya yaitu pemidanaan terhadap pelaku kejahatan masih berorientasi kepada suatu “Pembalasan”. Oleh karena itu diperlukannya suatu pembaharuan hukum pidana yang mengatur tentang jenis sanksi pidana, untuk mencari sebuah alternatif dari pidana penjara, khususnya pidana penjara jangka pendek. Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia tentu tidak terlepas dari politik hukum yang bertugas untuk meneliti perubahan-perubahan yang perlu diadakan terhadap hukum yang ada agar memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru di dalam masyarakat. Politik hukum tersebut meneruskan suatu perkembangan tertib hukum, dari “Ius Constitutum” yang bertumpu pada kerangka landasan hukum yang terdahulu menuju kepada penyusunan “Ius Constituendum” atau hukum pada masa yang akan datang. Pembaharuan hukum pidana (penal reform) merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum pidana (penal policy) yang memiliki hakikat bahwa pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri sebagai suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat indonesia, yang dapat ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi kepada “kebijakan (“policy-oriented-approach”) yang meliputi kebijakan sosial, kebijakan kriminal serta kebijakan penegakan hukum, dan sekaligus pendekatan yang berorientasi kepada nilai (“value-orintedapproach”) yang meliputi nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis dan sosiokultural”.
15
Jadi upaya
pembaharuan hukum pidana Indonesia mempunyai suatu makna yaitu menciptakan suatu kodifikasi hukum pidana nasional untuk menggantikan kodifikasi hukum pidana yang
15
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana,Jakarta 2011 hlm 29 5
merupakan warisan kolonial yakni Wetboek van Strafrecht Voor Nederlands Indie 1915, “yang merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht negeri Belanda tahun 1886”.16 Oleh karena itu pembangunan hukum melalui suatu pembaharuan hukum pidana sangat penting untuk mengatasi segala persoalan bangsa seiring dengan perkembangan zaman, selain itu pembaharuan hukum yang dilakukan juga semata-mata demi tercapainya perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada segala sisi kehidupan. Marc Ancel dengan konsepsi yang moderat menghendaki agar ide-ide atau konsepsi-konsepsi perlindungan masyarakat diintregasikan ke dalam konsepsi baru hukum pidana. Marc Ancel dengan gerakannya defense sociale nouvelle (New Social Defense) menghendaki agar munculnya ide-ide perlindungan masyarakat tersebut tidak menghapus pidana. Menurutnya, konsepsi perlindungan masyarakat tersebut terintegrasi ke dalam hukum pidana, sehingga akan tercipta kosep baru hukum tanpa menghilangkan esensi hukum pidananya. 17 Salah satu substansi hukum pidana saat ini yang perlu diperbaharui adalah jenis sanksi pidana untuk mencari alternatif pidana penjara, khususnya pidana penjara jangka pendek karena sudah banyak kritik atas kelemahan pidana penjara dan pidana penjara jangka pendek, maka diperlukan suatu alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek yang sesuai dengan tujuan pemidanaan dan memberikan perlindungan kepada individu maupun perlindungan kepada masyarakat tanpa menghilangkan esensi dari hukum pidana itu sendiri. Dewasa ini baik Indonesia maupun di dunia internasional muncul kecenderungan untuk mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. “Upaya untuk mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan bertolak dari kenyataan bahwa pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek semakin tidak disukai baik pertimbangan kemanusiaan, pertimbangan filosofis, maupun pertimbangan ekonomis”.18 Tindakan alternatif yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan suatu permasalahan hukum yang diancam dengan pidana penjara jangka pendek, salah satunya yaitu dengan menggunakan Pidana kerja sosial. Secara etimologis istilah “pidana kerja sosial” berasal dari dua kata yaitu “pidana” dan “kerja sosial”. Secara sederhana “pidana kerja sosial” dapat diartikan sebagai
16
Muladi, Lemabaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1984 hlm 10
17
Tongat, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2001, hlm. 36 18 Ibid, hlm. 17 6
pidana yang berupa kerja sosial. Pidana kerja sosial merupakan bentuk pidana dimana pidana tersebut dijalani oleh terpidana dengan melakukan pekerjaan sosial yang ditentukan.19 Pidana kerja sosial terdapat dalam Draft RKUHP Tahun 2012, pasal 65 ayat (1) yaitu Pidana pokok yang terdiri atas: 1) Pidana penjara; 2) Pidana tutupan; 3) Pidana pengawasan; 4) Pidana denda; 5) Pidana kerja sosial. Pasal 86 ayat (1) menjelaskan jika Pidana penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau pidana denda tidak lebih dari pidana denda Kategori I 20, maka pidana penjara atau pidana denda tersebut dapat diganti dengan Pidana kerja sosial. Diadopsinya Pidana Kerja Sosial dalam sistem hukum pidana Indonesia tidak terlepas dari tekad untuk menjadikan hukum pidana indonesia yang tidak saja berorietasi kepada perbuatan, tetapi juga berorientasi kepada pelaku sekaligus (daad dader straftrecht). Selain itu di adopsinya pidana kerja sosial tersebut juga merupakan upaya untuk menjadikan hukum pidana lebih fungsional dan manusiawi, disamping sangat relevan dengan falsafah pemidanaan yang sekarang dianut yaitu falsafah pembinaan ( Treatment Philosophy). 21 Pidana kerja sosial yang akan dijatuhkan memenuhi unsur-unsur pembinaan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Unsur pembinaan yang berorientasi pada individu pelaku tindak pidana. “Pidana Kerja Sosial dapat digunakan sebagai alternatif penjara jangka pendek. Pidana Kerja Sosial ini tidak dibayar karena sifatnya adalah pidana (work as pinalty)”.22 Dengan demikian, karena sifatnya sebagai pidana kerja, pidana sosial haruslah merupakan bentuk pembinaan, bukan untuk dikomersilkan. Pidana kerja sosial ini juga membutuhkan adanya persetujuan dari terpidana sehingga jenis pidana ini tidak bersifat forced laboour (kerja paksa). Oleh karena itu pidana kerja sosial merupakan bentuk pidana yang sarat dengan muatan hak asasi manusia. 23 Pidana kerja sosial yang menganut falsafah pembinaan (treatment philosophy) diharapkan dapat menjadi jenis alternatif pidana yang efektif tanpa menghilangkan esensi dari pidana itu sendiri. Dengan pidana kerja sosial diharapkan dampak negatif dari penerapan pidana perampasan kemerdekaan seperti stigmatisasi, dehumanisasi, dan dampak negatif yang lain dapat 19
Ibid, hlm. 7 Pasal 80 RKUHP 2012, Pidana Denda Kategori I adalah Rp. 6.000.000,00 21 Tongat, Op Cit, hlm. 2 22 Syaiful Bakhri, Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia, Total Media, Yogyakarta, 2009 hlm 20
203 23
Tongat, Op Cit, hlm 77 7
dihindari. Dengan demikian terpidana tetap mempunyai kesempatan untuk menjadi manusia yang “utuh” sebagai bekal dalam proses pembinaan yang lebih lanjut. Oleh karena itu pidana kerja sosial sangat relevan menjadi alternatif pidana penjara khususnya pidana penjara jangka pendek dalam pembaharuan hukum pidana di indonesia. Bertitik tolak dari pokok-pokok pemikiran tersebut diatas, maka penelitian ini bermaksud melakukan suatu kajian mengenai Pidana Kerja Sosial sebagai Alternatif Pidana Penjara Jangka Pendek dalam Pembaharuan Hukum Pidana (Penal Reform) di Indonesia.
B. Perumusan Masalah 1. Mengapa pidana kerja sosial diperlukan sebagai alternatif pidana penjara jangka pendek? 2. Apa saja langkah yang dapat mendukung model pidana kerja sosial yang ideal sebagai alternatif pidana penjara jangka pendek di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui dan menganalisis pidana kerja sosial diperlukan sebagai alternatif pidana penjara jangka pendek. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis langkah yang dapat mendukung model pidana kerja sosial yang ideal sebagai alternatif pidana penjara jangka pendek di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian Hasil-hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya bagi pengembangan teori ilmu hukum pidana serta menambah informasi atau gambaran kepada para penegak hukum, pengambil kebijakan pada tingkat legislatif, dalam pembaharuan hukum pidana, terutama terkait dengan Pidana Kerja Sosial sebagai alternatif pidana penjara pendek.
8
2. Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi kerangka acuan dan landasan bagi penelitian lanjutan. Memberikan sumbangan pemikiran bagi kalangan akademisi guna mengadakan pengkajian lebih lanjut dalam hukum pidana terutama dalam penyelesaian masalah-masalah yang berhubungan dengan Pidana Kerja Sosial.
9