PENERAPAN SISTEM HAZARD ANALYSIS CRITICAL CONTROL POINT (HACCP) DAN STATISTICAL PROCESS CONTROL (SPC) DALAM PROSES PRODUKSI BUMBU PENYEDAP RASA DI PT UNILEVER INDONESIA TBK
SKRIPSI
CINDY FIRIERA DARWIS F24080081
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
IMPLEMENTATION OF HAZARD ANALYSIS CRITICAL CONTROL POINT (HACCP) SYSTEM AND STATISTICAL PROCESS CONTROL (SPC) IN SEASONING PRODUCTION AT PT UNILEVER INDONESIA TBK Cindy Firiera Darwis1 Budi Nurtama1 and Suwandi Yulia Putra2 Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia 2 Supply Chain Department, Manufacturing Section. PT Unilever Indonesia Tbk Jl. Jababeka IX Blok D No. 1-29, Cikarang, West Java 1
ABSTRACT PT Unilever Indonesia Tbk built new factory, Lion, where new savoury products are produced. As one of big company who give priority to maintaining consistency and quality of products, food quality management sistem and quality control of process is very important to do. The purpose of this research is to apply HACCP system and SPC in monitoring the Aw quality of the product. The HACCP implementation methods used consisted of pre-requisite program HACCP study, and HACCP Plan preparation based on five steps and seven principles of HACCP and The SPC methods used consisted of observation and identification of problems, brainstorming, control chart, fishbone diagram, Pareto diagram and action plan. Based on the identification and determination of CCPs of HACCP, there are four groups material that are categorized as OPRP and one OPRP in the process. There is one CCP on filling process, which the product passed through a metal detector machine to prevent contamination of foreign matter in the form of metal. The conclusion of identification problem brainstorming is Aw out of standard spesification. measurement results of samples 252 batch using i-chart indicating that the process is out of control. Using fishbone diagram, why why analysis and pareto analysis,the causes of Aw problem were analyzed. it was observed that there were four main problems contributed to 82,5% causes of this case includes RH of packing hall outside the standard (25%), semi-finished goods packaging products during the process of filling opened (25%), RH of dehumidifier outside standard (25%), and unloading time (7.5%).The action plan such as material handling monitoring along the process has been implemented to solve the problems.
Keywords: HACCP, statistical process control (SPC), Royco, water activity, control chart
CINDY FIRIERA DARWIS. F24080081.Penerapan Sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dan Statistical Process Control (SPC) dalam Proses Produksi Bumbu Penyedap Rasa di PT Unilever Indonesia Tbk. Di bawah bimbingan Budi Nurtama dan Suwandi Yulia Putra. 2012
RINGKASAN
PT Unilever Indonesia Tbk Divisi Spread Cooking Category & Culinary (SCC&C) mendirikan pabrik baru yang dinamakan Lion, pabrik ini dikhususkan untuk memproduksi jenis bumbu penyedap rasa terbaru yaitu Royco Granule All in One (AIO) untuk diproduksi secara lokal dan Royco Knorr Granule South Africa (SA) yang khusus untuk diekspor ke Afrika Selatan. Perusahaan ini konsisten dengan kebijakan mutu yang dikeluarkan oleh management, oleh karena itu penerapan Sistem HACCP merupakah langkah awal dalam implementasi sistem manajemen mutu pada pabrik yang baru didirikan ini. Beberapa program prasyarat yang harus dilakukan sebelum merencanakan dan mengaplikasikan HACCP adalah dengan diterapkannya GMP (Good Manufacturing Practices) dan SSOP (Sanitation Standard Operating Procedures). Selain itu Sebagai salah satu perusahaan besar yang mengutamakan dan menjaga konsistensi mutu produk yang dihasilkan, pengendalian mutu proses produksi secara statistikal sangat penting untuk dilakukan. Metode ini dikenal dengan nama Statistical Process Control (SPC).SPC merupakan suatu metode pengumpulan dan analisis data menggunakan data statistik berupa bagan pengendalian untuk memantau dan meningkatkan performansi proses dalam menghasilkan produk yang bermutu. Penelitian magang ini dilakukan dengan tujuan untuk melakukan penerapan sistem HACCP dengan mengkaji pelaksanaan GMP, SSOP, dan penyusunan HACCP Plan serta menerapkan Statistical Process Control (SPC) dalam menganalisa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penyimpangan mutu aktivitas air (Aw) bumbu penyedap rasa serta dapat memberikan masukan pada perusahaan dalam peningkatan mutu produk melalui usulan perbaikan proses produksi bumbu penyedap rasa. Berdasarkan identifikasi dan penetapan CCP, dari semua bahan baku yang digunakan pada proses produksi bumbu penyedap rasa, terdapat empat golongan yang dikategorikan sebagai OPRP (not CCP) yaitu golongan natural spice, flours, miscellanous dan texturizing agents berupa cemaran fisik benda asing dan cemaran kimia berupa kontaminasi logam dengan tindakan pencegahan berupa pembelian raw material dari approved supplier dan pengecekan visual pada saat penerimaan raw material.Pada kondisi aktual ditetapkan satu Critical Control Point (CCP), yaitu pada tahap filling, produk dilewatkan pada mesin metal detector untuk pencegahan kontaminasi benda asing berupa metal. Sedangkan dalam pengendalian mutu proses produksi bumbu penyedap rasa difokuskan pada penerapan teknik-teknik statistik seperti bagan kendali, diagram sebab akibat (Ishikawa diagram), why-why Analysis dan diagram pareto. Hasil identifikasi awal permasalahan melalui
kegiatan observasi lapang adalah parameter mutu aktivitas air (Aw) yang menjadi masalah penyimpangan mutu utama dalam proses produksi bumbu penyedap rasa. Berdasarkan data QC bulan Januari 2012, 81,25% proporsi Aw produk bermasalah dari keseluruhan masalah penyimpangan mutu yang terjadi. Analisis data dilakukan dengan menggunakan bagan kendali (control chart) i-MR chart. Hasil analisis bagan kendali i-MR chart pada produk finish goods yang telah dikemas ke dalam sachet sebanyak 252 batch mewakili total record produksi pada bulan sebelumnya menunjukkan bahwa karakteristik mutu Aw produk belum terkendali secara statistik. Nilai CL (Central Line) bagan kendali atau X-bar pada i-chart sebesar 0,3015 , artinya rata-rata Aw produk semi finish goods (252 batch produksi) adalah 0,3015 dan nilai MR-bar bagan kendali MR-chart sebesar 0,01335 yang artinya rentang rata-rata Aw produk semi finish goods sebesar 0,01335. Hasil brainstorming dengan pihak terkait dan analisis diagram sebab akibat menunjukkan bahwa faktor-faktor utama yang berpengaruh terhadap variasi Aw diantaranya mesin, metode dan lingkungan. Dari hasil analisis diagram pareto, terdapat empat masalah potensial penyebab variasi Aw produk bumbu penyedap rasa diantaranya RH packing hall di luar standar (25%), pengemas produk semi finish goods terbuka pada saat proses filling (25%), RH dehumidifier di luar standar (25%), lama unloading (7,5%) Dari keempat penyebab tersebut dilakukan rancangan tindakan perbaikan mutu dalam proses produksi produk bumbu penyedap rasa diantaranya peninjauan material handling dan standar keseluruhan proses. Hasil usulan perbaikan didapatkan nilai Aw yang mendekati target (0.30) dan Dari hasil pengukuran Aw baik bagian awal,tengah dan akhir dapat disimpulkan bahwa keseluruhan batch mempunyai kisaran Aw yang cukup seragam dan masih berada di dalam spesifikasi standar.
PENERAPAN SISTEM HAZARD ANALYSIS CRITICAL CONTROL POINT (HACCP) DAN STATISTICAL PROCESS CONTROL (SPC) DALAM PROSES PRODUKSI BUMBU PENYEDAP RASA DI PT UNILEVER INDONESIA TBK
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh CINDY FIRIERA DARWIS F 24080081
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul Skripsi
Nama NIM
:Penerapan Sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dan Statistical Process Control (SPC) dalam Proses Produksi Bumbu Penyedap Rasa di PT Unilever Indonesia Tbk. : Cindy Firiera Darwis : F24080081
Menyetujui,
Pembimbing Utama,
Pembimbing Lapang,
(Dr. Ir. Budi Nurtama, M.Agr.) NIP. 19590415.198601.1.001
Mengetahui: Ketua Departemen,
(Dr. Ir Feri Kusnandar, M.Sc.) NIP . 19680526.199303.1.004
Tanggal Lulus : Agustus 2012
(Ir. Suwandi Yulia Putra)
© Hak cipta milik Cindy Firiera Darwis, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak,fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Penerapan Sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dan Statistical Process Control (SPC) dalam Proses Produksi Bumbu Penyedap Rasa di PT Unilever Indonesia Tbk adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2012 Yang membuat pernyataan
Cindy Firiera Darwis F24080081
BIODATA PENULIS
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 15 April 1990. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Ir.H. Darwis Abdul Rachman dan Ibu Hj.Ida Ishak. Penulis memulai pendidikan formalnya pada tahun 1994-1996 di TK Islam Al-Azhar Kembangan Jakarta. Pendidikan SD ditempuh pada tahun 1996-2002 di SD Islam Al-Azhar 08 Kembangan Jakarta. Pada tahun 2003-2005 penulis melanjutkan pendidikannya di SLTP Islam Al-Azhar 10 Kembangan Jakarta . Selepas SLTP, penulis melanjutkan pendidikannya di SMU Negeri 78 Jakarta hingga tahun 2008. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa IPB pada Departemen Teknologi Pangan dan Gizi (yang saat ini menjadi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan), Fakultas Teknologi Pertanian IPB melalui jalur BUD (Beasiswa Utusan Daerah) dari PT Toyoto Astra Motor. Selama kuliah penulis aktif di beberapa organisasi baik di dalam maupun di luar kampus, yaitu Divisi Profesi HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan) (2010) dan Divisi Eksternal HIMITEPA (2011), Divisi HRD IAAS (International Association of Students in Agricultural and Related Sciences) Local Committee IPB, National Operating Office (NOO) IAAS Indonesia dan pendiri gerakan sosial “Cinta Pangan Lokal Indonesia”. Selain itu, penulis juga aktif mengikuti berbagai macam kepanitiaan yang diadakan oleh organisasi-organisasi tersebut. Selama menjadi mahasiswa di IPB penulis memperoleh beberapa penghargaan yaitu Nutrifood Leadership Award dari PT Nutrifood Indonesia, Finalis Poster Presentation in International Conference on Food Factors (ICOFF) Taiwan, Delegasi IPB dalam National Congress IAAS Indonesia, Delegasi Indonesia dalam International Youth Summit and Energy Climate Change (IYSECC) Shanghai,China. Untuk kegiatan akademik, penulis terpilih menjadi Asisten Praktikum Kimia Dasar dan Asisten Dosen Sosiologi Umum. Sebagai syarat memperoleh gelar sarjana penulis melakukan kegiatan magang selama empat bulan di PT.Unilever Indonesia Tbk. Hasil kegiatan tersebut disusun dalam bentuk skripsi dengan judul “ Penerapan Sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dan Statistical Process Control (SPC) dalam Proses Produksi Bumbu Penyedap Rasa di PT Unilever Indonesia Tbk” dengan bimbingan Dr. Ir. Budi Nurtama, M.Agr dan Ir.Suwandi Yulia Putra.
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan ke hadapan Allah SWT atas karunia dan rahmatNya sehingga penyusunan tugas akhir penelitian magang ini berhasil diselesaikan. Penelitian magang dengan judul dilaksanakan sejak bulan Januari sampai Mei 2012 Tersusunnya tugas akhir penelitian magang ini tak luput dari dukungan, bantuan, dan doa dari berbagai pihak. Maka dari itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Keluarga tercinta papa Darwis A.Rahman , mama Ida Ishak, beserta adik-adik Anggie Firiera Darwis dan Revianca Feriera Darwis yang senantiasa menemani, memberikan dukungan dan kasih sayang serta kekuatan kepada penulis. 2. Bapak Dr. Ir. Budi Nurtama M.Agr selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan, masukan, dan bimbingannya selama masa perkuliahan, magang, hingga penyusunan tugas akhir. 3. Bapak Ir. Maulana Wahyu Jumantara selaku General Manager Manufacturing dan Bapak Ir. Yogi Sapta Prakoso selaku General Manager Manufacturing Foods yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan tugas akhir di PT. Unilever Indonesia Tbk, Foods Division, Cikarang. 4. Bapak Ir. Suwandi Yulia Putra selaku Pembimbing Lapang di PT Unilever Indonesia Tbk yang telah memberikan kesempatan dan bimbingannya selama kegitan magang berlangsung. 5. Bapak Donny Rico selaku Outsourcing Foods Manufacturing Manager, Bapak Tisna Hermawan selaku Production Assistant Manager, dan Bapak Wawan Setiawan selaku Production Supervisor atas arahan dan bimbingannya kepada penulis selama kegiatan magang berlangsung. 6. Ir. H. Darwin Kadarisman, M.Si. Selaku dosen penguji atas kesediaan waktu dan masukan yang membangun pada saat persidangan. 7. Seluruh dosen dan staf pengajar Ilmu dan Teknologi Pangan, terima kasih atas ilmu dan pengetahuan yang diberikan selama 4 tahun di ITP. 8. Seluruh staf karyawan Pabrik Foods, PT Unilever Indonesia Tbk, Mba Yua, Mba Henny, Mba Della, Mba Dea, Mba Mitha, Mba Wulan, Mba Resty, Pak Iman, Pak Deddy, Ibu Mia, Pak Arvi, Pak Darwin, Mba Nenden, Mas Wiwit, Mas Miftah, Mas Dede, Pak Modo, Mas Edwin, Mba Wiwit, Mba Venny, Ibu Hedy dan para staf lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu atas segala bimbingan dan pengalaman yang telah diberikan kepada penulis selama magang 9. Seluruh karyawan Pabrik Lion, PT Unilever Indonesia Tbk, Mas Nur, Mas Ase, Mas Tri, Mas Imam, Mas Rendy, Mas Zulfikar, Mas Iwan, Mas Solvi, Mas Herdi, Mas Sardan, Mas Lukman dan para karyawan lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu atas segala pengalaman yang telah diberikan kepada penulis selama magang. 10. Sahabat terbaik sejak SMA, Winda, Yulia, Dita, Mulpa dan Justisia atas segala kebahagiaan, suka duka, dan kesetiaan menjadi orang terdekat sejak di bangku SMA hingga saat ini. 11. Sahabat terbaik sekaligus keluarga Nature Dormitory Emillie, Destia, Andini dan Lala atas segala kebahagiaan, keceriaan, semangat dan waktu berharga yang dihabiskan selama 4 tahun bersama di IPB.
xi
12. Sahabat terbaik semasa kuliah, Niken, Sendy, Arini, Icha, Desy dan Sam atas segala kebahagiaan, keceriaan, dukungan, semangat, masukan, dan waktu berharga yang dihabiskan bersama selama tiga tahun. 13. Kak Galih Nugroho yang selalu memberikan semangat, motivasi, dan inspirasi bagi penulis. 14. Rekan sebimbingan penulis, Setyo Wuryastuty atas segala keceriaan, dukungan, semangat dan masukan selama bimbingan tugas akhir dengan penulis. 15. Rekan seperjuangan selama magang, Kurnia Jayanto atas segala saran, tukar pikiran, dan kekompakan selama kegiatan magang berlangsung. 16. Teman-Teman PKL yang datang silih berganti Soyanita, Cynthia dan Vinie atas keceriaan dan kebersamaan selama magang. 17. Keluarga Besar HIMITEPA, IAAS IPB dan IAAS INDONESIA yang telah memberikan banyak pengalaman dan kenangan tak terlupakan selama perkuliahan. 18. Rekan-Rekan ITP 45 semasa kuliah, Risma, Virza, Mizu, Sarinah, Sally, Tiur, Hafizh, Bangkit, Silvi, Yufi, Nurul, Gita, Yana, Eka , Bore, Bangun, Euis, Nia, Opi, Meutia,Nisa, Citra, Pradhini, Wulan, Niche, Doddy, Dias, Aria, Wahyu, Concon, Putra, Iqbal, Chairul, Taufiq, Yudi, dan teman-teman lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu atas dukungan, semangat, rasa kekeluargaan, dan kebersamaan selama tiga tahun yang sangat berkesan.
Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu dan teknologi pangan.
Bogor, Agustus 2012
Cindy Firiera Darwis
xii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................................................ xii DAFTAR TABEL ....................................................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................... xvi I. PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1 1.1 LATAR BELAKANG ............................................................................................... 1 1.2 TUJUAN .................................................................................................................... 2 II. TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN ............................................................................... 3 2.1 SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN ............................................ 5 2.2 LOKASI DAN TATA LETAK PERUSAHAAN DAN PABRIK .............................. 6 2.3 KETENAGAKERJAAN DAN STRUKTUR ORGANISASI PERUSAHAAN ......... 6 2.4 BIDANG USAHA DAN PRODUK PERUSAHAAN ................................................ 7 2.5 TUJUAN, VISI DAN MISI PERUSAHAAN ............................................................. 7 2.6 MANAJEMEN PERUSAHAAN ................................................................................. 9 2.7 KESEJAHTERAAN DAN KESELAMATAN KERJA .............................................. 9 III. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................... 11 3.1 DEFINISI MUTU ...................................................................................................... 11 3.2 GOOD MANUFACTURING PRACTICES (GMP) .................................................... 13 3.3 SANITATION STANDARD OPERATING PROCEDURE (SSOP) ............................ 16 3.4 SISTEM MUTU ........................................................................................................ 17 3.5 PENGENDALIAN PROSES SECARA STATISTIK ............................................... 18 3.6 KAPABILITAS PROSES .......................................................................................... 23 IV. METODOLOGI PENELITIAN ........................................................................................ 25 4.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ................................................................ 25 4.2 METODE PENELITIAN ......................................................................................... 25 PROJECT I. GMP,SSOP & HACCP ......................................................................... 25 PROJECT II. SPC ...................................................................................................... 30 V. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................................... 34 PROJECT I. GMP, SSOP & HACCP 5.1 OBSERVASI LAPANG DAN PENGKAJIAN PRE-REQUISITE PROGRAM HACCP .................................................................................................................... 34 5.1.1 Good Manufacturing Practices (GMP .................................................... 34 5.1.2 Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) ................................. 40 5.2 RUANG LINGKUP HACCP PLAN ....................................................................... 44 5.3 DESKRIPSI PRODUK DAN PENGGUNAANNYA ............................................. 45 5.4 PEMBUATAN DIAGRAM ALIR PROSES PRODUKSI ...................................... 46 5.5 VERIFIKASI DIAGRAM ALIR PROSES PRODUKSI ......................................... 46 5.6 IDENTIFIKASI BAHAYA DAN TINDAKAN PENCEGAHAN .......................... 46 5.7 IDENTIFIKASI TITIK KENDALI KRITIS (CCP .................................................. 46 5.8 MENENTUKAN BATAS KRITIS.......................................................................... 48 5.9 MENENTUKAN PROSEDUR PEMANTAUAN ................................................... 48 5.10 MENENTUKAN PROSEDUR TINDAKAN KOREKSI ....................................... 48 5.11 PENETAPAN PROSEDUR VERIFIKASI ............................................................. 49
xiii
5.12 MENENTUKAN PROSEDUR PENCATATAN YANG EFEKTIF ....................... 49 PROJECT II. SPC 5.1 OBSERVASI LAPANG DAN IDENTIFIKASI MASALAH .......................... 49 5.2 PENGUMPULAN DATA DAN ANALISIS MUTU PRODUK ...................... 51 5.3 MEMBUAT BAGAN KENDALI ..................................................................... 52 5.4 IDENTIFIKASI PENYEBAB PERMASALAHAN ......................................... 54 5.5 PENYUSUNAN USULAN PERBAIKAN DAN UJI COBA LAPANGAN ... 70 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................................... 72 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 75 LAMPIRAN ................................................................................................................................. 77
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6.
Halaman Standar Temperatur dan RH area produksi pabrik lion PT Unilever Indonesia Tbk..... 59 Pengukuran Temperatur bahan saat keluar dari mixer .................................................. 62 Pengukuran Temperatur bahan selama unloading......................................................... 63 Pengukuran Temperatur bahan saat keluar dari bextruder ............................................ 64 Hasil pengukuran Aw semi finish goods bumbu penyedap rasa.................................... 67 Hasil pengukuran Aw finish goods bumbu penyedap rasa ............................................ 69
xv
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Logo PT Unilever Indonesia Tbk ................................................................................. 5 Gambar 2. Pemahaman mengenai mutu (Muhandri dan Kadarisman 2005) ............................... 12 Gambar 3. Konsep mutu (Manik 2004)........................................................................................ 13 Gambar 4. Bentuk Diagram Ishikawa .......................................................................................... 22 Gambar 5. Diagram Alir Penerapan Sistem HACCP ................................................................... 26 Gambar 6. Diagram Alir Penerapan Statistical Process Control (SPC) bumbu penyedap rasa ... 30 Gambar 7. Diagram Sebab Akibat Permasalahan Penerapan GMP dan SSOP di Pabrik Lion PT Unilever Indonesia Tbk ........................................................................................ 43 Gambar 8. Diagram Pareto Jenis Penyimpanan Mutu Produk Bumbu Penyedap Rasa Pada Bulan Januari 2012 .................................................................................................... 50 Gambar 9. Data Record Produksi Bumbu Penyedap Rasa di Pabrik Lion PT Unilever Indonesia Tbk ............................................................................................................. 52 Gambar 10. Bagan kendali i-Mr untuk Aw produk finish goods bumbu penyedap rasa .............. 53 Gambar 11. Kapabilitas Proses untuk Aw produk Finish Goods Bumbu Penyedap Rasa ........... 54 Gambar 12. Diagram Sebab Akibat Penyebab Variasi Aw produk bumbu penyedap rasa .......... 56 Gambar 13. Pengamatan Temperatur 30 batch selama proses produksi di area Raw Material Storage ..................................................................................................................... 60 Gambar 14. Pengamatan RH 30 batch selama proses produksi di area Raw Material Storage ... 61 Gambar 15. Pengamatan Temperatur 30 batch selama proses produksi di area mixing room ..... 64 Gambar 16. Pengamatan RH 30 batch selama proses produksi di area mixing room .................. 65 Gambar 17. Pengamatan Temperatur area packing hall selama penyimpanan ............................ 68 Gambar 18. Pengamatan RH area packing hall selama penyimpanan ......................................... 68 Gambar 19. Diagram Pareto Penyebab Variasi Aw Produk Bumbu Penyedap Rasa ................... 70
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Tata Letak dan Desain Pabrik Lion PT Unilever Indonesia Tbk ............................. 78 Lampiran 2. Deskripsi Produk dan Identifikasi Penggunaannya .................................................. 79 Lampiran 3. Diagram Alir Proses Produksi Royco Granule ........................................................ 80 Lampiran 4. Identifikasi Bahaya Bahan Baku .............................................................................. 81 Lampiran 5. Matriks Analisa Bahaya (Risk Assesment) PT Unilever Indonesia Tbk .................. 85 Lampiran 6. Identifikasi Bahaya dan Tindakan Pencegahan pada Proses Produksi Royco Granule .................................................................................................................... 87 Lampiran 7. Pohon Keputusan CCP (CCP Decision Tree) ......................................................... 92 Lampiran 8. Penentuan CCP Pada Proses Produksi Royco Granule ........................................... 93 Lampiran 9. Penentuan OPRP Pada Proses Produksi Royco Granule ......................................... 94 Lampiran 10. Why-Why Analysis Penyebab Variasi Aw Semi Finish Goods Pada area RMS ..... 95 Lampiran 11. Why-Why Analysis Penyebab Variasi Aw Semi Finish Goods Pada area Mixing Room .......................................................................................................... 96 Lampiran 12. Hasil Pengukuran Temperatur Bahan Selama Proses Pengeringan ....................... 98 Lampiran 13. Why-Why Analysis Penyebab Variasi Aw Semi Finish Goods Pada area Drying Room ...................................................................................................................... 99 Lampiran 14. Why-Why Analysis Penyebab Variasi Aw Semi Finish Goods Pada area Packing Hall ........................................................................................................ 102 Lampiran 15. Hasil Uji Coba Lapangan 4 Batch Pada Proses Produksi ................................... 105 Lampiran 16. Data Pengukuran Aw Produk Bumbu Penyedap Rasa ......................................... 107 Lampiran 17. Frekuensi Kejadian Penyebab Variasi Aw Produk Bumbu Penyedap Rasa ........ 112
xvii
I. 1.1
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
PT Unilever Indonesia Tbk merupakan perusahan multinasional yang bergerak di bidang consumer goods dengan produk yang dihasilkannya telah dipasarkan baik di lingkup lokal maupun internasional. PT Unilever IndonesiaTbk, divisi makanan konsisten terhadap kebijakan mutu yang dikeluarkan oleh manajemen, oleh karena itu mulai pada tahun 1999 perusahaan ini telah mendapatkan sertifikasi Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) . Beberapa program prasyarat yang harus dilakukan sebelum merencanakan dan mengaplikasikan HACCP adalah dengan diterapkannya GMP (Good Manufacturing Practices) dan SSOP (Sanitation Standard Operating Procedures. PT Unilever Indonesia Tbk Divisi Spread Cooking Category & Culinary (SCC&C) mendirikan pabrik baru yang dinamakan Lion, pabrik ini khusus untuk memproduksi jenis bumbu penyedap rasa terbaru yaitu Royco Granule All in One (AIO) untuk diproduksi secara lokal dan Royco Knorr Granule South Africa (SA) yang khusus diekspor ke Afrika Selatan. Oleh karena itu, penerapan Sistem HACCP merupakan langkah awal dalam implementasi sistem manajemen mutu pada pabrik baru ini. Sesuai dengan tuntutan kebutuhan pasar, perlu dilakukan pula pengendalian mutu (quality control) atas aktivitas proses yang dijalani. Dari pengendalian mutu yang berdasarkan inspeksi dengan penerimaan produk yang memenuhi syarat dan penolakan yang tidak memenuhi syarat sehingga banyak bahan, tenaga, dan waktu yang terbuang, muncul pemikiran untuk menciptakan sistem yang dapat mencegah timbulnya masalah mengenai mutu agar kesalahan yang pernah terjadi tidak terulang lagi. Salah satu teknik kegiatan pengendalian mutu yang dapat digunakan suatu industri adalah pengendalian mutu secara statistik (Statistical Process Control). Statistical Process Control adalah suatu cara pengendalian proses yang dilakukan melalui pengumpulan dan analisis data kuantitatif selama berlangsungnya proses produksi, serta penentuan dan intrepretasi hasil pengukuran-pengukuran yang telah dilakukan, sehingga diperoleh gambaran yang menjelaskan baik tidaknya suatu proses untuk peningkatan mutu produk agar memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan (Gaspersz 1998). Salah satu parameter mutu penting dalam bumbu penyedap rasa adalah aktivitas air (Aw). Produk dalam bentuk granula ini sangat rentan terhadap keberadaan air dan udara, sehingga harus diperhatikan faktor-faktor komponen bahan, kualitas kemasan produk serta perlakuan dan proses produksi dari awal hingga pendistribusian. Pengkajian pengendalian mutu Aktivitas air (Aw) produk Royco All in One di PT Unilever Indonesia Tbk menggunakan pengendalian secara statistika (Statistical Process Control). Pengendalian proses secara statistika adalah metodologi pengumpulan dan analisis data kuantitatif, serta penentuan dan interpretasi dari pengukuran-pengukuran yang telah dilakukan yang dapat menjelaskan proses peningkatan kualitas produk untuk memenuhi kebutuhan dan ekspektasi pelanggan (Gaspersz 1998). Pengetahuan akan variasi suatu proses dalam menghasilkan output dapat bermanfaat sebagai pertimbangan dalam pengambilan tindakan-tindakan perbaikan secara tepat terhadap proses yang terjadi. Perusahaan belum melakukan kajian khusus mengenai penyebab masalah ini sehingga
1
perusahaan belum memiliki data yang cukup valid. Hal ini tentu saja dapat merugikan perusahaan. Oleh karena itu, perlu dianalisis fakta-fakta yang menyebabkan Aw produk di luar spesifikasi standar.
1.2
TUJUAN
Penelitian magang ini dilakukan dengan tujuan untuk melakukan penerapan sistem HACCP dengan mengkaji pelaksanaan GMP, SSOP, dan penyusunan HACCP Plan serta menerapkan Statistical Process Control (SPC) dalam menganalisa faktorfaktor yang menyebabkan terjadinya penyimpangan mutu Aw bumbu penyedap rasa dan dapat memberikan masukan pada perusahaan dalam peningkatan mutu produk melalui usulan perbaikan proses produksi bumbu penyedap rasa.
2
II. 2.1
TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN
PT. Unilever merupakan salah satu perusahaan raksasa yang berkembang cukup pesat hingga mencapai skala dunia. Perusahaan ini bermula pada tahun 1885 di Inggris, dua bersaudara William Hasketh Lever dan James Darcy Lever, mendirikan perusahaan sabun yang bernama Lever Brothers. Perusahaan ini memproduksi sabun cuci dengan merk Sunlight. Karena teknik pemasaran yang baik, perusahaan ini terus berkembang dan mulai memproduksi sabun dengan merk Lux dan Lifebuoy. Pada tahun 1927 di Belanda, terdapat perusahaan milik keluarga Anton Jurgens yang telah berdiri sejak tahun 1868, dan memproduksi margarin. Perusahaan ini kemudian bergabung dengan perusahaan margarin milik keluarga Van den Bergh dan menamakannya 'Margarine Unie'. Cabang perusahaan di Inggris dinamakan 'Margarine Union'. Lever Brothers dan Margarine Union memperluas usahanya di daratan Eropa. Keduanya membuat produk untuk konsumen dalam jumlah besar, memiliki jalur distribusi yang luas dan menggunakan bahan baku yang sama. Pada tanggal 1 Januari 1930, perusahaan margarin tersebut bergabung dengan perusahaan Lever Brothers. Setelah bergabung, perusahaan tersebut berganti nama menjadi Unilever. Lokasi pengaturan pusat berada di London dan Rotterdam, yaitu Unilever Ltd dan NV Unilever. PT Unilever Indonesia Tbk (perusahaan) didirikan pada tanggal 5 Desember 1933 sebagai Zeepfabrieken NV Lever ini dengan akta Nomor 23 Bapak AH van Ophuijsen, notaris di Batavia. Akta ini disetujui oleh Gouverneur Generaal van Nederlandsch-Indie dengan surat No 14 pada tanggal 16 Desember 1933, didaftarkan di Raad van Justitie di Batavia di bawah No 302 pada tanggal 22 Desember 1933 dan diumumkan dalam Javasche Courant tanggal 9 Januari 1934 Tambahan No 3.. Dengan akta No 171 dari notaris Ny Kartini Muljadi SH tanggal 22 Juli 1980 nama perusahaan diubah menjadi PT Unilever Indonesia. Dengan akta No 92 dari notaris Tn Mudofir Hadi SH tanggal 30 Juni 1997 nama Perseroan diubah menjadi PT Unilever Indonesia Tbk. Akta ini disetujui oleh Menteri Kehakiman dalam surat keputusan No.C21.049HT.01.04 TH.98 tanggal 23 Februari 1998 dan diumumkan dalam Berita Negara No 2620 tanggal 15 Mei 1998 Tambahan No 39. Perusahaan ini terdaftar 15% dari sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya setelah mendapat persetujuan dari Ketua Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) No.SI-009/PM/E/1981 pada tanggal 16 November 1981. Dalam Rapat Umum Tahunan perusahaan pada tanggal 24 Juni 2003, para pemegang saham menyetujui pemecahan saham, mengurangi nilai nominal saham dari Rp 100 per saham menjadi Rp 10 per saham. Perubahan ini diaktakan dengan akta No 46 dari notaris Singgih Susilo SH tanggal 10 Juli 2003 dan telah disetujui oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dalam surat keputusan No C17533 HT.01.04-TH.2003 . Perusahaan ini terlibat dalam pembuatan sabun, deterjen, margarin, makanan susu berbasis, es krim, minuman berbasis teh dan produk kosmetik. Berdasarkan Rapat Umum Tahunan perusahaan pada tanggal 13 Juni 2000, yang diaktakan dengan akta No 82 dari notaris Singgih Susilo SH tanggal 14 Juni 2000
3
perusahaan juga bertindak sebagai distributor utama produk Perseroan dan penyedia jasa penelitian pemasaran. Akta ini disetujui oleh Menteri Hukum dan Perundang-undangan (dahulu Menteri Kehakiman) Republik Indonesia dengan Surat Keputusan No C-18482 HT.01.04-TH.2000. Perusahaan mulai beroperasi secara komersial pada tahun 1933. Berikut ini adalah perkembangan PT Unilever di Indonesia : 1934 1934 1936 1941 1944 1947 1957 1964 1966 1967
1970 1980
1981 1982 1983 1989 1990 1992 1994
1995
Pabrik sabun Lever’s Zeepfabrieken NV didirikan di Angke, Jakarta, oleh Charles Tatlow, direktur Unilever Ltd. Pabrik margarin Van der Bergh’s Fabrieken NV mulai beroperasi di Angke, Jakarta. Pabrik makanan Van der Bergh’s Fabrieken didirikan di Angke, Jakarta. Pabrik sabun Maatschappij ter Exploitatie der Colibri Fabrieken NV didirikan di Surabaya. Pabrik NSD (Non Soap Detergent) didirikan di Angke, Jakarta. Pabrik minyak Archa yang terletak di daerah perbankan Jakarta dibeli oleh Unilever. Perkembangan Unilever terganggu karena keadaan politik di Indonesia Unilever berproduksi kembali di bawah pemerintahan Indonesia. Situasi Indonesia membaik (pemerintahan Orde Baru). Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU PMA no.1 th. 1967 sehingga orang asing boleh memiliki perusahaannya kembali. Dengan demikian, Unilever menjadi lebih leluasa dalam menjalankan produksinya. Pabrik detergen „Rinso‟ didirikan dan dioperasikan pertama kali di Angke, Jakarta. Pabrik Lever’s Zeepfabrieken NV, Van der Bergh’s Fabrieken, Oliefabriek Archa NV, dan Maatschappij ter Exploitatie der Colibri Fabrieken NV melakukan merger dan menyatakan diri untuk bernaung dalam perusahaan yang disebut PT Unilever Indonesia. PT Unilever Indonesia memulai kegiatan go public dengan cara membuka penjualan saham sebesar 15% kepada para investor Indonesia. Unilever melakukan relokasi pada karyawan produksi yang berasal ColibriNgagel menuju Rungkut, Surabaya. Unilever melakukan pemindahan pabrik sabun dari ColibriNgagel ke Rungkut Kemudian, pabrik kosmetik Elida Gibbs didirikan di Rungkut, Surabaya. Bisnis teh dimulai dengan teh merk lokal, Sariwangi. Proses produksinya dilakukan oleh pihak ketiga di Citeureup, Bogor. Produk teh Sariwangi mulai dipasarkan. Pabrik Ice Cream Wall‟s mulai beroperasi di Cikarang, Bekasi. TPM (Total Productive Maintenance) mulai diterapkan di pabrik yang berlokasi di Angke. 5 Pabrik sabun di Angke, Jakarta dipindahkan ke Rungkut, Surabaya. Produksi Lipton Tea menggunakan ruang ganda di Citeureup, Bogor. Selain itu, juga dilakukan perluasan area pabrik Wall’s Ice Cream. Pabrik yang beroperasi di Angke, Jakarta mulai dipindahkan ke Cikarang , Bekasi.
4
1996
1997
1998 1999
2000
2001 2002 2004 2005 2008 2010 2011 2011
2011
Pabrik NSD dipindahkan dari Angke, Jakarta ke Cikarang, Bekasi. Selain itu, juga dilakukan perluasan area cold storage pabrik Wall‟s Ice Cream. PT Unilever Indonesia memperoleh penghargaan TPM Excellence Award , untuk kategori I dari Japan Institute of Plant Maintenance (JIPM). Pabrik makanan dipindahkan dari Angke, Jakarta ke Cikarang, Bekasi. PT Unilever Indonesia memperoleh akreditasi ISO 9001 untuk pabrik kosmetik di Rungkut, Surabaya, dan diikuti pabrik lainnya. Proses produksi teh instan dipindahkan ke Citeureup, Bogor. TPM mulai dijalankan di Citeureup dan berhasil memperoleh akreditasi ISO 9001. PT Unilever Indonesia meraih Unilever Safety Award, Bronze Excellence Trophy ISO 14001, dan akreditasi Occupational Health Service and Management System (OHSMS) BS 8800. Sistem HACCP mulai diimplementasikan. Lisensi produksi teh berhasil diperoleh. PT Unilever Indonesia berhasil meraih penghargaan TPM Continuity Award, Unilever Safety Award, dan Silver Excellence Trophy. Pabrik teh dan teh instan dipindahkan ke Cikarang, Bekasi. Unilever berhasil mengambil alih produksi Best Foods, Knorr, dan kecap Bango. Pabrik teh melakukan ekspansi. Pabrik shampo dipindahkan ke Cikarang, Bekasi. Pabrik liquid/Shampo mulai beroperasi di Cikarang PT Unilever Indoneisa mulai terjun ke dalam bisnis minuman fruit-based vitality Perusahaan melakukan launcing Pureit RnD Center dipindahkan dari Kuningan ke Cikarang,Bekasi Perluasan area Pabrik Wall’s Ice Cream, Pabrik Skin serta Pabrik SCC & CC melakukan ekspansi mendirikan pabrik sub divisi Lion didirikan di Cikarang,Bekasi. Pabrik Sabun Dove yang baru mulai beroperasi di Surabaya
Gambar 1. Logo PT Unilever Indonesia Tbk
5
2.2
LOKASI DAN TATA LETAK PERUSAHAAN DAN PABRIK
PT Unilever Indonesia memiliki enam pabrik di Kawasan Industri Jababeka, Cikarang, Bekasi dengan alamat Jl. Jababeka IX Blok D No. 1-29 (Foods) dan Jl. Jababeka VI Blok O (NSD), Desa Wangun Harja, Kecamatan Cikarang. Kabupaten Bekasi, Jawa Barat 17520 dan dua pabrik di Kawasan Industri Rungkut, Surabaya, Jawa Timur, dengan kantor pusat di Jakarta berpusat di Gedung Graha Unilever Jl. Gatot Subroto Kav. 15 Jakarta . Produknya terdiri dari sekitar 43 merek kunci dan 1.000 SKU yang dijual melalui jaringan sekitar 500 distributor independen yang meliputi ratusan ribu outlet di seluruh Indonesia. Produk ini didistribusikan melalui pusat distribusi sendiri pusat, gudang, depot dan fasilitas lainnya.
2.3
KETENAGAKERJAAN DAN STRUKTUR ORGANISASI PERUSAHAAN
Administrasi kantor dilaksanakan setiap hari kerja dengan jadwal: Senin – Jumat : 07.30 – 15.00 WIB Sabtu : 07.30 – 13.00 WIB Istirahat : 11.30 – 12.00 atau 12.00 – 12.30 WIB Sedangkan jadwal produksi harian dibagi menjadi 3 shift dengan pembagian sebagai berikut: Shift Pagi Shift Siang Shift Sore
: 06.00 – 14.00 WIB : 14.00 – 22.00 WIB : 22.00 – 06.00 WIB .
Pabrik pengolahan makanan di Cikarang sehari-harinya dipimpin oleh seorang General Manager Manufacturing Foods yang membawahi Technical Manager Food yang bertugas dan bertanggung jawab atas pengelolaan dan kinerja pabrik foods. Pada kategori Spread Cooking Category & Culinary (SCC) membawahi beberapa orang, yaitu : 1. Production Manager SCC&C 2. Production Assistant Manager SCC&C 3. Plant Engineer 4. Plant Engineer Assistant Production Manager dan Production Assistant Manager SCC&C bekerja sama dalam mengelola dan mengatur jalannya produksi sehari-hari serta bertanggung jawab atas kinerja pabrik SCC&C. Plant Engineer dan Plant Assistant Engineer bertugas dan bertanggung jawab atas pemeliharaan dan perbaikan dalam hal keteknikan. Quality Manager terletak sejajar dengan Technical Manager Food dalam susunan organisasi. Quality Manager dan Quality Assistant Manager bertugas dan bertanggung jawab dalam pengawasan dan pengendalian mutu dengan dasar analisa dan penelitian laboratorium dari bahan baku sampai produk jadi.
6
2.4
BIDANG USAHA DAN PRODUK PERUSAHAAN
PT. Unilever Indonesia, Tbk., adalah perusahaan multinasional yang memproduksi bahan kebutuhan sehari-hari (Consumer Goods). Bidang produksi PT. Unilever Indonesia, Tbk. Terdiri dari beberapa divisi, yaitu : I. Divisi Home Care Divisi ini dibagi menjadi 2 kategori, yaitu : 1. Non Soap Detergent Memproduksi detergen pencuci dalam bentuk bubuk dan krim serta memproduksi cairan pewangi dan pelembut pakaian. 2. Household Care Memproduksi barang-barang kebutuhan rumah tangga seperti cairan pembersih lantai, bahan pengkilap dan penghilang kuman. II. Divisi Personal Care Divisi ini memproduksi produk kebutuhan pribadi mulai dari perawatan rambut, kulit, deodorant dan perawatan gigi. III. Divisi Foods & Beverages Divisi ini terbagi menjadi beberapa kategori, yaitu : - Spread Cooking Category and Culinary kategori ini memproduksi margarin dan bakery fats dan berbagai macam bumbu penyedap rasa - Tea Based Beverage Kategori ini memproduksi teh dalam berbagai kemasan, yang digunakan di dalam negeri atau diluar negeri. - Ice Cream Divisi ini memproduksi es krim dalam berbagai rasa dan kemasan dengan merk dagang Ice Cream Wall’s.
2.5 I.
TUJUAN DAN VISI MISI PERUSAHAAN Tujuan Perusahaan
Memulai kebutuhan sehari-hari setiap anggota masyarakat dimana pun mereka berada, mengantisipasi aspirasi konsumen dan pelanggan, serta menanggapi secara kreatif dan kompetitif dengan produk-produk bermerek dan layanan yang meningkatkan kualitas kehidupan. Akar kami yang kokoh dalam budaya pasar lokal di dunia merupakan warisan yang tidak ternilai dan menjadi dasar bagi pertumbuhan kami di masa yang akan datang. Kami akan menyertakan kekayaan pengetahuan dan kemahiran internasional kami dalam memahami konsumen lokal, sehingga menjadikan perusahaan multinasional yang benarbenar multilokal. Keberhasilan jangka panjang kami menuntut komitmen yang menyeluruh terhadap standar kinerja dan produktivitas yang sangat tinggi terhadap kerja sama yang
7
efektif, dan kesediaan untuk menyerap gagasan-gagasan baru serta keinginan untuk belajar secara terus menerus. Kami percaya bahwa keberhasilan memerlukan perilaku bersama yang berstandar tinggi terhadap karyawan, konsumen dan masyarakat serta dunia tempat kita tinggal. Inilah jalan yang ditempuh Unilever untuk mencapai pertumbuhan yang langgeng dan menguntungkan bagi usaha serta terciptanya nilai jangka panjang yang berharga bagi para pemegang saham serta seluruh karyawan Unilever. II.
Visi dan Misi Perusahaan
Vision : Unilever products touch the lives of over 2 billion people every day – whether that's through feeling great because they've got shiny hair and a brilliant smile, keeping their homes fresh and clean, or by enjoying a great cup of tea, satisfying meal or healthy snack. The four pillars of our vision set out the long term direction for the company – where we want to go and how we are going to get there: -
We work to create a better future every day We help people feel good, look good and get more out of life with brands and services that are good for them and good for others. We will inspire people to take small everyday actions that can add up to a big difference for the world. We will develop new ways of doing business with the aim of doubling the size of our company while reducing our environmental impact.
We've always believed in the power of our brands to improve the quality of people’s lives and in doing the right thing. As our business grows, so do our responsibilities. We recognise that global challenges such as climate change concern us all. Considering the wider impact of our actions is embedded in our values and is a fundamental part of who we are Mision : Be the first and best in class in meeting needs and aspirations of consumers. Be the closest in the market to customer and suppliers. Remove non-value added activities from all process. Gain job satisfaction for all. Aim for stocking targets for profitable growth and secure above average rewads for employees and shareholders. Earn respect for integrity, care for community and environment.
8
2.6
MANAJEMEN PERUSAHAAN
Program pengembangan manajemen yang diberlakukan di PT Unilever Indonesia, Tbk adalah program Total Productive Maintenance (TPM). Program TPM adalah sistem pencegah kerugian dengan menggunakan barang-barang yang tersedia, sehingga dapat mewujudkan zero failure (tanpa kesalahan), zero accident (tanpa kecelakaan), dan zero defect (tanpa cacat) sebagai tujuan dari keseluruhan siklus sistem produksi. Selain TPM, PT. Unilever juga ditunjang dengan ISO 9000 dan ISO 14000 dan HACCP untuk menjamin kualitas produk yang dihasilkan dan mendukung kemajuan perusahaan. ISO 9000 menjadi referensi dalam quality management, perusahaan harus memenuhi customer’s quality requirements, applicable regulatory requirements, customer satisfaction, dan continual improvement. ISO 14000 berisi sistem manajemen kualitas lingkungan yang menjadi referensi dalam memperlakukan lingkungan hidup, dimana perusahaan atau orang harus memenuhi minimasi dampak terhadap lingkungan akibat aktivitas organisasi. Penggunaan sistem HACCP pada perusahaan akan menjamin kemanan produk yang dihasilkan. Jaminan keamanan produk akan mengurangi biaya yang akan dikeluarkan apabila pelanggan dirugikan oleh produk yang tidak aman.
2.7
KESEJAHTERAAN DAN KESELAMATAN KERJA
PT. Unilever Indonesia sangat memperhatikan kesejahteraan karyawan. Hal ini diwujudkan dalam bentuk fasilitas-fasilitas jaminan sosial dan tunjangan-tunjangan yang diberikan kepada karyawannya, dimana perincianperincian mengenai hal tersebut tertuang dalam Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) yang dibuat oleh Serikat Pekerja dan pihak perusahaan. Serikat Pekerja PT. Unilever Indonesia sudah berdiri sejak tahun 1970an dan pada tahun 1982 resmi menjadi anggota Serikat Pekerja Seluruh Indonesia. Berdasarkan KKB tersebut fasilitas dan tunjangan yang diperoleh karyawan PT. Unilever Indonesia Tbk adalah: 1. 2.
3. 4. 5. 6. 7. 8 9.
Makan, disediakan untuk seluruh karyawan tetap pada jam-jam istirahat dikantin perusahaan. Fasilitas pengobatan diberikan gratis kepada karyawan dan keluarganya sampai dengan tiga anak meliputi biaya perawatan di rumah sakit pada rumah sakit yang telah ditentukan, pembayaran gaji selama sakit, pengobatan dan perawatan gigi, penggantian biaya kaca mata dan frame, penggantian biaya bersalin untuk pekerja wanita dan bantuan bersalin istri pekerja. Koperasi karyawan dan program kepemilikan rumah. Tunjangan perumahan diberi setahun sekali berupa uang. Program kepemilikan kendaraan bermotor dan program ASTEK. Klub olah raga, kesenian, rekreasi dan pembinaan rohani. Tunjangan pensiun, berupa uang pesangon pada saat karyawan memasuki usia pensiun yaitu 55 tahun. Pembinaan keluarga berencana lestari dan balita. Tunjangan belajar anak karyawan, diberikan kepada anak karyawan yang
9
menjadi juara kelas. 10.Beasiswa diberikan kepada anak karyawan yang diterima di perguruan tinggi negeri dan program tabungan pendidikan. 11.Penghargaan kerja diberikan kepada karyawan yang telah bekerja selama 15 tahun dan 25 tahun. 12.Tunjangan cuti diberikan kepada karyawan 1 tahun sekali dalam bentuk gaji ke-13 13. Cuti besar diberikan setiap 6 tahun masa kerja berupa 74 hari cuti diluar cuti tahunan dengan biaya pulang kampung ditanggung perusahaan atau dalam bentuk 2 bulan gaji ditambah 14 hari cuti diluar cuti tahunan. 14. Santunan kematian. 15. Kesempatan naik haji dengan pembayaran upah penuh. 16. Tunjangan Hari Raya. 17. Paket distribusi diberikan setiap akhir bulan berupa produk kebutuhan rumah tangga yang diproduksi oleh PT. Unilever Indonesia.
10
III.
3.1
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI MUTU
Tantangan bagi perusahaan untuk menjadi dan tetap kompetitif belum pernah sekeras sekarang. Landasan persaingan bukan berpusat pada biaya saja, tetapi pada sejumlah faktor kesuksesan lain seperti mutu, pelayanan, dan inovasi. Perusahaan dengan mutu bagus dapat mengendalikan harga yang lebih tinggi dan akan selalu diingat konsumen. Mutu merupakan istilah yang mempunyai makna berbeda bagi setiap orang. Memahami dimensi mutu produk perusahaan merupakan langkah awal dalam mengembangkan dan memelihara keunggulan produk dalam persaingan bisnis. Disukai atau tidak, konsumen merupakan pihak yang paling berkepentingan dalam menilai mutu produk yang dikonsumsinya. Nasution (2005) mengatakan ada hubungan yang erat antara mutu produk (barang dan jasa), kepuasan pelanggan, dan laba perusahaan. Semakin tinggi mutu, semakin tinggi kepuasan pelanggan dan pada waktu yang bersamaan mendukung harga jual yang tinggi dan seringkali biaya produksi menjadi rendah. Oleh karena itu program perbaikan mutu umumnya meningkatkan laba. Dalam pemilihan setiap produk yang akan dikonsumsi, konsumen seringkali mempertimbangkan mutu dari produk tersebut. Sama halnya dengan perusahaan dalam memproduksi dan menyalurkan suatu produk selalu mengaitkan dengan mutu produk tersebut. Jelas dapat kita lihat bahwa mutu memegang peranan yang penting baik bagi pihak konsumen maupun produsen. Beberapa pakar mutu mendefinisikan mutu dalam pengertian yang berbeda. Berikut merupakan definisi mutu yang dikemukakan oleh para ahli: - Joseph M. Juran Juran berpendapat bahwa mutu berarti kesesuaian dengan penggunaan (fitness for use). Juran menjelaskan arti fitness for use sebagai: (1) quality of design (mutu rancangan) atau sering disebut sebagai mutu absolut artinya mutu yang dirancang dan direncanakan dan (2) quality of conformance (mutu kesesuaian), yaitu tingkat kesesuaian produk atau jasa terhadap rancangan yang sudah dibuat. Produk dan jasa dapat mempunyai rancangan yang baik tetapi dalam pembuatannya memiliki kemungkinan terjadinya ketidaksesuaian (kekurangan). Hal ini dapat mengakibatkan scrap (waste), pekerjaan ulang, penurunan mutu, dan jika lolos ke pasar tidak laku atau malah akan menimbulkan citra negatif ( Muhandri dan Kadarisman 2008).
- Philips B. Crosby Didefinisikan bahwa mutu sebagai conformace to requirement. Dengan definisi ini Crosby menitikberatkan kegiatan mutu perusahaan untuk mencoba mengerti harapanharapan konsumen, memenuhi harapan-harapan konsumen tersebut, sehingga perlu pandangan eksternal mengenai mutu agar penyusunan sasaran mutu lebih realistis dan sesuai dengan permintaan dan keinginan (Tenner 1992).
11
- Feigenbaum Feigenbaum mengemukakan bahwa mutu sebagai total composite product and service characteristics of marketing, engineering, manufacture, and maintenance through which the 20 product and service in use will meet the expectation of the customer. Memiliki pengertian bahwa mutu merupakan keseluruhan gabungan karakteristik produk dan jasa dari pemasaran, rekayasa, pembikinan, dan pemeliharaan yang membuat produk dan jasa yang digunakan memenuhi harapan-harapan pelanggan (Feigenbaum 1996).
- ISO 9000 ISO 9000 mendefinisikan mutu sebagai derajat dari serangkaian karakteristik produk dan jasa yang memenuhi kebutuhan atau harapan yang dinyatakan (Suardi 2001). Muhandri dan Kadarisman (2008) menyimpulkan bahwa mutu adalah kesesuaian serangkaian produk atau jasa dengan standar yang ditetapkan perusahaan berdasarkan syarat, kebutuhan dan keinginan konsumen. Pemahaman mengenai mutu dapat dilihat pada Gambar 1. Perusahaan
Membuat
Menetapkan
Produk/Jasa
Konsumen
-
Karakteristik sesuai Standar
Syarat Kebutuhan Keinginan
Permintaa n
Gambar 2. Pemahaman mengenai mutu (Muhandri dan Kadarisman 2005).
Dari berbagai definisi mutu yang ada Manik (2004) juga menjelaskan bahwa semuanya mengacu pada suatu konsep mutu, yakni total customer satisfaction yang dijelaskan pada Gambar 3.
12
Permintaan konsumen terus berkembang
Persyaratan mutu juga berkembang
Diperlukan pengembangan metode atau pendekatan (tools) untuk menghasilkan mutu yang baik
Karena mutu memiliki berbagai karakteristik maka perlu didefinisikan dengan tepat
Tanpa definisi yang jelas maka mutu sulit untuk dibangun, diukur, dikendalikan, dan dikembangkan
Gambar 3. Konsep mutu (Manik 2004)
3.2
GOOD MANUFACTURING PRACTICES (GMP)
Good Manufacturing Practices merupakan prasyarat minimum untuk pengolahan dan sanitasi yang harus diterapkan di semua industri pengolahan makanan agar dapat menghasilkan produk yang bermutu baik dan aman secara konsisten. Cara Produksi Pangan Yang Baik Untuk Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT) Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia nomor HK.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 mencakup: 1.
Lokasi dan Lingkungan Produksi Lokasi IRTP seharusnya dijaga tetap bersih, bebas dari sampah, bau, asap, kotoran, dan debu. Lingkungan seharusnya selalu dipertahankan dalam keadaan bersih.
2.
Bangunan dan Fasilitas Ruang produksi sebaiknya cukup luas dan mudah dibersihkan. Ruang produksi sebaiknya tidak digunakan untuk memproduksi produk lain selain pangan Dari segi konstruksi ruangan sebaiknya terbuat dari bahan yang tahan lama dan seharusnya mudah dipelihara dan dibersihkan atau didesinfeksi, serta meliputi: lantai, dinding atau pemisah ruangan, atap dan langit-langit, pintu, jendela, lubang angin atau ventilasi dan permukaan tempat kerja serta penggunaan bahan gelas.
3.
Peralatan Produksi Peralatan produksi sebaiknya terbuat dari bahan yang kuat, tahan lama, tidak beracun, mudah dipindahkan atau dibongkar pasang sehingga mudah dibersihkan dan dipelihara serta memudahkan pemantauan dan pengendalian hama. Permukaan yang kontak langsung dengan pangan harus halus, tidak bercelah atau berlubang, tidak mengelupas, tidak berkarat dan tidak menyerap air. Peralatan harus tidak menimbulkan pencemaran terhadap produk pangan oleh jasad renik, bahan logam yang terlepas dari
13
mesin / peralatan, minyak pelumas, bahan bakar dan bahan-bahan lain yang menimbulkan bahaya; termasuk bahan kontak pangan /zat kontak pangan dar kemasan pangan ke dalam pangan yang menimbulkan bahaya. 4.
Suplai Air atau Sarana Penyediaan Air Air yang digunakan untuk proses produksi harus air bersih dan sebaiknya dalam jumlah yang cukup memenuhi seluruh kebutuhan
5.
Fasilitas dan Kegiatan Higiene dan Sanitasi Sarana pembersihan / pencucian bahan pangan, peralatan, perlengkapan dan bangunan (Iantai, dinding dan lain-lain), seperti sapu, sikat, pel, lap dan / atau kemoceng, deterjen, ember, bahan sanitasi sebaiknya tersedia dan terawat dengan baik. . Sarana higiene karyawan seperti fasilitas untuk cuci tangan dan toilet / jamban seharusnya tersedia dalam jumlah cukup dan dalam keadaan bersih untuk menjamin kebersihan karyawan guna mencegah kontaminasi terhadap bahan pangan.
6.
Kesehatan dan Higiene Karyawan Karyawan yang bekerja di bagian pangan harus memenuhi persyaratan diantaranya dalam keadaan sehat, Jika sakit atau baru sembuh dari sakit dan diduga masih membawa penyakit tidak diperkenankan masuk ke ruang produksi. Jika menunjukkan gejala atau menderita penyakit menular, tidak diperkenankan masuk ke ruang produksi.
7.
Pemeliharaan dan Program Higiene dan Sanitasi Lingkungan, bangunan, peralatan dan lainnya seharusnya dalam keadaan terawat dengan baik dan berfungsi sebagaimana mestinya. Peralatan produksi harus dibersihkan secara teratur untuk menghilangkan sisa-sisa pangan dan kotoran. Bahan kimia pencuci sebaiknya ditangani dan digunakan sesuai prosedur dan disimpan di dalam wadah yang berlabel untuk menghindari pencemaran terhadap bahan baku dan produk pangan
8.
Penyimpanan Bahan dan produk akhir harus disimpan terpisah dalam ruangan yang bersih, sesuai dengan suhu penyimpanan, bebas hama, penerangannya cukup .Penyimpanan bahan baku tidak boleh menyentuh lantai, menempel ke dinding maupun langit-langit. Penyimpanan bahan dan produk akhir harus diberi tanda dan menggunakan sistem First In First Out (FIFO) dan sistem First Expired First Out (FEFO), yaitu bahan yang lebih dahulu masuk dan / atau memilki tanggal kedaluwarsa lebih awal harus digunakan terlebih dahulu dan produk akhir yang lebih dahulu diproduksi harus digunakan / diedarkan terlebih dahulu.
9.
Pengendalian Proses Untuk menghasilkan produk yang bermutu dan aman, proses produksi harus dikendalikan dengan benar. Pengendalian proses produksi pangan industri rumah tangga pangan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : a) Penetapan spesifikasi bahan; b) Penetapan komposisi dan formulasi bahan;
14
c) Penetapan cara produksi yang baku ; d) Penetapan jenis, ukuran, dan spesifikasi kemasan e) Penetapan keterangan lengkap tentang produk yang akan dihasilkan termasuk nama produk, tanggal produksi, tanggal kadaluwarsa. 10. Pelabelan Pangan Label pangan IRT harus memenuhi ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan atau perubahannya; dan peraturan lainnya tentang label dan iklan pangan. Label pangan sekurang-kurangnya memuat : a) Nama produk sesuai dengan jenis pangan IRT yang ada di Peraturan Kepala Badan POM HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012 tentang Pemberian Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga. b) Daftar bahan atau komposisi yang digunakan c) Berat bersih atau isi bersih d) Nama dan alamat IRTP e) Tanggal, bulan dan tahun kedaluwarsa f) Kode produksi g) Nomor P-IRT Label pangan IRT tidak boleh mencantumkan klaim kesehatan atau klaim gizi 11. Pengawasan dan Penanggung Jawab Penanggung jawab minimal harus mempunyai pengetahuan tentang prinsipprinsip dan praktek higiene dan sanitasi pangan serta proses produksi pangan yang ditanganinya dengan pembuktian kepemilikan Sertifikat Penyuluhan Keamanan Pangan (Sertifikat PKP). Penanggungjawab seharusnya melakukan pengawasan secara rutin yang mencakup : Pengawasan bahan dan pengawasan koreksi serta tindakan koreksi yang mungkin diperlukan 12. Penarikan Produk Penarikan produk pangan adalah tindakan menghentikan peredaran pangan karena diduga sebagai penyebab timbulnya penyakit/keracunan pangan atau karena tidak memenuhi persyaratan/ peraturan perundang-undangan di bidang pangan. Tujuannya adalah mencegah timbulnya korban yang lebih banyak karena mengkonsumsi pangan yang membahayakan kesehatan dan/ atau melindungi masyarakat dari produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan keamanan pangan . 13. Pencatatan dan Dokumentasi Pemilik seharusnya mencatat dan mendokumentasikan Penerimaan bahan baku, bahan tambahan pangan (BTP), dan bahan penolong sekurang-kurangnya memuat nama bahan, jumlah, tanggal pembelian, nama dan alamat pemasok. Dan untuk Produk akhir sekurang-kurangnya memuat nama jenis produk, tanggal produksi, kode produksi, jumlah produksi dan tempat distribusi / penjualan
15
14. Pelatihan dan Karyawan Pimpinan dan karyawan IRTP harus mempunyai pengetahuan dasar mengenai prinsip - prinsip dan praktek higiene dan sanitasi pangan serta proses Pengolahan pangan yang ditanganinya agar mampu mendeteksi resiko yang mungkin terjadi dan bila perlu mampu memperbaiki penyimpangan yang terjadi serta dapat memproduksi pangan yang bermutu dan aman.
3.3
SANITATION (SSOP)
STANDARD
OPERATING
PROCEDURE
Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) adalah prosedur tertulis dimana proses pembuatan pangan harus diproduksi dalam kondisi dan cara yang saniter. SSOP merupakan prosedur dimana proses produksi harus dilakukan dalam kondisi dan cara yang saniter. SSOP menurut FDA (1995) terdiri dari delapan aspek, yaitu: 1.
Keamanan air untuk proses produksi Air yang kontak langsung dengan makanan atau peralatan dan digunakan dalam proses produksi harus aman dan bersumber dari air yang bersih. 2.
Kondisi kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan Semua peralatan dan perlengkapan yang kontak dengan bahan pangan harus didesain dan terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan, tidak toksik dan tidak mudah terkikis. Semua peralatan dan perlengkapan yang kontak dengan bahan harus dibersihkan dengan metode pembersihan yang efektif setiap setelah selesai produksi. Sarung tangan dan seragam produksi yang kontak dengan bahan pangan harus terbuat dari bahan yang kuat dan tidak mudah terkelupas. 3.
Pencegahan kontaminasi silang dari objek yang tidak saniter Tangan pekerja, sarung tangan, seragam produksi, peralatan dan perlengkapan yang kontak dengan bahan pangan harus dalam keadaan bersih dan tidak boleh digunakan jika terkena kotoran atau cemaran. Tangan pekerja, sarung tangan, seragam produksi, peralatan dan perlengkapan yang kontak dengan bahan pangan tidak boleh digunakan jika tercemar dengan bahan baku yang mempengaruhi mutu produk akhir. Proses pengolahan kondisi peralatan atau perlengkapan produksi harus tertutup untuk mencegah kontaminasi silang selama proses. 4.
Penyediaan dan pemeliharaan fasilitas sanitasi, cuci tangan dan toilet Lokasi fasilitas sanitasi dan cuci tangan harus mudah dijangkau oleh pekerja dan dekat dengan area pengolahan. Fasilitas toilet harus cukup tersedia dan dilengkapi dengan tempatpenggantian pakaian kotor. 5.
Perlindungan bahan pangan, kemasan untuk produk akhir dan bahan yang kontak dengan bahan pangan Bahan pangan, kemasan untuk produk akhir dan bahan yang kontak dengan bahan pangan harus terlindung dari cemaran kimia, fisik dan biologis. Bahan pangan, kemasan untuk produk akhir dan bahan yang kontak dengan bahan pangan harus terlindung dari tetesan, aliran air dan debu/kotoran yang jatuh ke bahan pangan.
16
6.
Pelabelan dan Penyimpanan Komponen yang toksik harus dalam kemasan yang tertutup rapat dan terpisah penempatannya dari peralatan produksi dan produk akhir Pengemasan dan penyimpanan didesain untuk meminimumkan kontaminasi silang dari cemaran fisik, kimia, dan biologis 7.
Kontrol kesehatan pekerja Kondisi yang dalam keadaan sakit, luka yang dapat menjadi sumber kontaminasi pada proses pengolahan, kemasan dan produk akhir tidak boleh masuk sampai kondisinya normal 8.
Pencegahan hama pabrik Ruang produksi, gudang dan ruang lain harus bebas dari hama pabrik, seperti tikus, serangga, dan lain-lain
3.4
SISTEM MUTU
Feigenbaum (1996) mendefinisikan suatu sistem adalah sesuatu yang disetujui bersama, struktur kerja operasi keseluruhan perusahaan dan pabrik terdokumentasi dalam prosedur-prosedur manajerial dan teknik terpadu yang efektif, untuk membimbing tindakantindakan terkoordinasi dari orang, mesin, dan informasi di perusahaan dan pabrik tersebut melalui cara yang baik dan paling praktis untuk menjamin kepuasan pelanggan akan mutu dan biaya mutu yang ekonomis. Sistem mutu yang tangguh menyediakan suatu landasan manajemen dan kerekayasaan untuk kendali yang berorientasi pada pencegahan efektif yang menangani secara ekonomis dan serasi tingkat kerumitan masa kini dari manusia, mesin, dan informasi yang merupakan karakteristik operasi pabrik dan perusahaan masa kini. Sedangkan sistem mutu menurut ISO 9000 dalam Kadarisman (1994) mencakup mutu (karakteristik menyeluruh produk atau jasa), kebijakan mutu (keseluruhan maksud dan tujuan organisasi), manajemen mutu (seluruh aspek fungsi manajemen yang menetapkan dan melaksanakan kebijakan mutu), pengendalian mutu (teknik dan kegiatan operasional untuk memenuhi persyaratan mutu), dan jaminan mutu (perencanaan dan kegiatan sistematis yang diperlukan untuk memberikan keyakinan). Sistem mutu dimaksudkan untuk mengidentifikasi seluruh tugas yang berkaitan dengan mutu, mengalokasikan tanggung jawab dan membangun hubungan kerjasama dalam perusahaan. Sistem mutu juga dimaksudkan untuk membangun mekanisme dalam rangka memadukan semua fungsi menjadi suatu sistem yang menyeluruh.
3.4.1
HACCP
HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) adalah suatu sistem jaminan mutu yang mendasarkan kepada kesadaran atau penghayatan bahwa hazard (bahaya) dapat timbul pada berbagai titik atau tahap produksi tertentu, teteapi dapat dilakukan pengendalian untuk mengontrol bahaya tersebut. Kunci utama HACCP adalah antisipasi bahaya dan identifikasi titik pengawasan yang mengutamakan kepada tindakan pencegahan daripada mengandalkan pengujian produk akhir (Winarno 2004).
17
Sistem HACCP bukan merupakan sistem jaminan keamanan pangan yang zero risk atau tanpa resiko, tetapi dirancang untuk meminimukan resiko bahaya keamanan pangan. Sistem HACCP juga dianggap sebagai alat manajemen yang digunakan untuk memproteksi rantai pasokan pangan dan proses produksi terhadap kontaminasi bahaya-bahaya mikrobiologis, kimia dan fisik (Winarno 2004). Para pakar ilmu pangan berpendapat bahwa HACCP memberikan elemen-elemen penting dalam sistem manajemen keamanan maupun GMP (Good Manufacturing Practices) dengan cara yang sangat sistematis dan mudah sehingga dapat diterapkan dalam berbagai level industri pangan, dan seluruh rantai produksi pangan. Codex Alimentarius Commission pada tahun 1993 mengadopsi sistem HACCP yang kemudian disempurnakan pada tahun 1996, telah memberikan pedoman implementasi HACCP dengan membagi langkah-langkah penerapan secara sistematis menjadi 12 langkah, yang terdiri dari 5 langkah awal persiapan dan diikuti 7 langkah berikutnya yang merupakan 7 prinsip HACCP. Kedua belas langkah tersebut digambarkan sebagai suatu alur tahap penerapan HACCP. Menurut Winarno (2004), Aplikasi HACCP terdiri dari 12 tahapan, yaitu menyusun tim HACCP, deskripsi produk, identifikasi tujuan penggunaan, menyusun diagram alir, verifikasi diagram alir, analisa bahaya dan tindakan pencegahannya, menetapkan titik kendali kritis (CCP), menyusun batas kritis untuk masing-masing CCP, menentukan prosedur pemantauan, menentukan prosedur tindakan koreksi, prosedur verifikasi, dan membuat sistem pencatatan yang efektif
3.5
PENGENDALIAN PROSES SECARA STATISTIK
Menurut Gaspersz (1998), pengendalian proses statistikal adalah suatu metodologi pengumpulan dan analisis data mutu, serta penentuan dan interpretasi pengukuran-pengukuran yang menjelaskan tentang proses dalam sistem suatu industri untuk meningkatkan mutu produk yang dihasilkan guna memenuhi kebutuhan dan ekspektasi atau kepuasan pelanggan. Menurut Deming (1995), pengendalian proses secara statistik ialah alat yang digunakan industri dan bisnis untuk mencapai mutu yang diinginkan dari suatu produk dan jasa. Menurut Wayworld (2001), pengendalian proses secara statistik adalah metode pengukuran, pemahaman, dan pengawasan variasi dalam suatu proses manufacturing. Pengendalian proses secara statistik juga menyediakan alat yang andal untuk memonitor stabilitas dari variabel proses. Pengendalian proses statistikal bertujuan untuk 1) mengendalikan dan memantau terjadinya penyimpangan mutu produk, 2) memberikan peringatan dini untuk mencegah terjadinya penyimpangan mutu produk lebih lanjut, 3) memberikan petunjuk waktu yang tepat untuk segera melakukan tindakan koreksi dari proses yang menyimpang, dan 4) mengenali penyebab keragaman atau penyimpangan produk (Hubeis 1999). Tujuan utama pengendalian proses secara statistik adalah pengurangan variasi yang sistematik dalam karakteristik mutu kunci produk. Pengendalian proses secara statistik akan menstabilkan proses dan mengurangi variasi sehingga menghasilkan biaya mutu yang lebih rendah dan mempertinggi posisi dalam kompetisi yang semakin ketat (Montgomery 1996). Mengetahui variasi suatu proses dalam menghasilkan output sangat penting, agar dapat mengambil tindakan-tindakan perbaikan terhadap proses itu secara tepat. Metode statistik diperlukan untuk mengidentifikasi penyimpangan dan menunjukkan penyebab berbagai
18
penyimpangan baik untuk proses produksi maupun bisnis, sehingga menyebabkan peningkatan produktivitas (Ryan 1989). Pengendalian proses secara statistik berarti proses itu dikendalikan berdasarkan catatan data yang secara terus menerus dikumpulkan dan dianalisis agar menghasilkan informasi yang dapat digunakan dalam mengendalikan dan meningkatkan proses sehingga proses memiliki kemampuan untuk memenuhi spesifikasi output yang diinginkan (Gaspersz 1998). Menurut Gaspersz (1998), teknik-teknik pengendalian proses yang dapat digunakan berupa : 1) lembar pemeriksaan (check sheet), 2) stratifikasi, 3) diagram Pareto, 4) diagram pencar (scatter diagram), 5) diagram sebab-akibat, 6) histogram, dan 7) bagan kendali (control chart). Sedangkan Langkah - langkah pengendalian proses secara statistikal dapat diuraikan sebagai berikut : 1) merencanakan penggunaan alat-alat statistikal, 2) memulai menggunakan alat-alat statistikal, 3) mempertahankan atau menstabilkan proses dengan cara menghilangkan variasi penyebab khusus yang dianggap merugikan, 4) merencanakan perbaikan proses terus-menerus melalui pengurangan variasi penyebab umum, dan 5) mengevaluasi dan meninjau ulang terhadap penggunaan alat-alat statistikal tersebut 1.
Lembar Pemeriksaan (Check Sheet) Check sheet adalah alat bantu manajemen mutu sederhana yang bentuknya menyerupai tabel dan digunakan untuk mengoleksi data. Check sheet dalam pengertian yang sebenarnya tak lain adalah tempat menuliskan catatan tentang jumlah sesuatu, di mana jumlah tersebut diisikan satu demi satu, sehingga pada akhirnya dapat dijumlahkan nilai totalnya. Lembar pemeriksaan memiliki banyak tujuan, tetapi yang utama adalah untuk memudahkan pengumpulan data dalam bentuk yang dapat dengan mudah digunakan, dan dianalisis secara otomatis. Lembar pemeriksaan yang biasanya digunakan pada suatu pabrik mempunyai fungsi pemeriksaan distribusi proses produksi, pemeriksaan item cacat, pemeriksaan lokasi cacat, pemeriksaan penyebab cacat, pemeriksaan konfirmasi pemeriksaan, dan lainlain. Salah satu fungsi yang disebutkan adalah pemeriksaan item cacat, untuk mengurangi jumlah cacat yang terjadi dalam suatu proses perlu diketahui macam kerusakan dan persentasenya. Karena setiap kerusakan mempunyai penyebab yang berlainan, maka tidak tepat kalau hanya mencatat jumlah total kerusakan (Ishikawa 1989).
2.
Bagan Kendali (Control Chart) Bagan kendali pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Walter Andrew Shewhart dari Bell Telephone Laboratories, Amerika Serikat, pada tahun 1924 dengan maksud untuk menghilangkan variasi tidak normal melalui pemisahan variasi yang disebabkan oleh penyebab khusus (special-causes variation) dari variasi yang disebabkan oleh penyebab umum (common-causes variation) (Gaspersz 2001). Menurut Muhandri dan Kadarisman (2005), bagan kendali (control chart) merupakan grafik garis yang mencantumkan batas maksimum dan batasminimum yang merupakan daerah batas pengendalian. Menurut Gaspersz (1998), pada dasarnya setiap bagan kendali memiliki : 1) sumbu X melambangkan nomor contoh, 2) sumbu Y melambangkan karakteristik output, 3) garis tengah atau Central Line (CL), dan 4) sepasang batas pengendali, yaitu Batas Pengendali Atas (BPA) atau
19
Upper Control Limit (UCL) dan Batas Pengendali Bawah (BPB) atau Lower Control Limit (LCL). Data variabel menunjukkan karakteristik mutu yang mempunyai dimensi kontinyu yang dapat mengambil nilai-nilai kontinyu dalam kemungkinan yang tidak terbatas, seperti : panjang, kecepatan, volume, volume, dan lain-lain. Data atribut hanya memiliki dua nilai yang berkaitan dengan YA atau TIDAK, seperti : sesuai atau tidak sesuai, berhasil atau gagal, lulus atau tidak lulus, hadir atau tidak hadir, dan lain-lain (Gaspersz 1998). Bagan kendali X-bar (rata-rata) dan R (Range) digunakan untuk memantau proses yang mempunyai karakteristik berdimensi kontinyu, sehingga bagan kendali X-bar dan R sering disebut sebagai bagan kendali untuk data variabel. Bagan kendali X-bar menjelaskan tentang apakah perubahan-perubahan telah terjadi dalam ukuran titik pusat (central tendency) atau rata-rata dari suatu proses. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor-faktor seperti peralatan yang dipakai, peningkatan suhu secara gradual, perbedaan metode yang digunakan dalam shift, material baru, tenaga kerja baru yang belum dilatih, dan lain-lain. Sementara itu bagan kendali R (Range) menjelaskan tentang apakah perubahan-perubahan telah terjadi dalam ukuran variasi, dengan demikian berkaitan dengan perubahan homogenitas produk yang dihasilkan melalui suatu proses. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor-faktor seperti bagian peralatan yang hilang, minyak pelumas mesin yang tidak mengalir dengan baik, kelelahan pekerja, dan lain-lain (Gaspersz 2001). Menurut Tapiero (1996), bagan kendali X-bar digunakan untuk mengetahui tingkat mutu proses rata-rata, sedangkan bagan kendali R digunakan untuk mengetahui kisaran atau keragaman mutu. Menurut Gaspersz (2001), pembuatan bagan kendali individual X dan MR (Moving Range = rentang bergerak) diterapkan pada proses yang menghasilkan produk relatif homogen, misalnya dalam cairan kimia, kandungan mineral dalam air, makanan, dan lain-lain. Menurut Gaspersz (1998), pada dasarnya setiap bagan kendali memiliki : 1) sumbu x yang melambangkan nomor contoh, 2) sumbu y yang melambangkan karakteristik output, 3) garis tengah atau central line, 4) sepasang batas pengendali. Satu batas pengendali ditempatkan di atas garis tengah yang dikenal sebagai Batas Pengendali Atas (BPA) atau Upper Control Limit (UCL) dan yang satu lagi ditempatkan di bawah garis tengah yang dikenal sebagai Batas Pengendali Bawah (BPB) atau Lower Control Limit (LCL). Menurut Deming (1995), kegunaan bagan kendali adalah : 1) meningkatkan produktivitas, 2) mencegah produk cacat, 3) mencegah pengaturan proses yang tidak perlu, 4) memberikan informasi tentang proses, dan 5) memberikan informasi tentang kapabilitas proses. Proses terkendali secara statistik dicirikan oleh bagan kendali yang semua titik-titik contohnya berada dalam batas-batas pengendalian (diantara batas pengendali atas dan batas pengendali bawah). Dengan demikian apabila nilainilai yang ditebarkan pada bagan kendali jatuh diluar batas pengendali, maka dapat dinyatakan bahwa proses berada dalam keadaan tidak terkendali secara statistik (Gaspersz 1998). Menurut Montgomery (1996), bila proses terkendali, hampir semua titik contoh akan berada di antara kedua batas pengendali. Titik yang berada di luar batas pengendali menandakan bahwa proses tidak terkendali, dalam hal ini perlu diadakan
20
penyelidikan untuk menemukan penyebabnya dan perbaikan pada proses untuk menghilangkan penyebab tersebut. 3.
Diagram Ishikawa (Sebab-Akibat) Diagram tulang ikan (fishbone diagram) atau Diagram Ishikawa pertama kali diperkenalkan oleh ahli management berkebangsaan Jepang yang bekerja di perusahaan Kawasaki bernama Kaoru Ishikawa pada sekitar awal tahun 1960. Oleh karena diagram ini berbentuk seperti tulang ikan, maka sering disebut juga Diagram Tulang Ikan. Selain itu, karena penggunaannya untuk mengungkapkan semua kemungkinan faktor yang menjadi menyebab suatu masalah, maka dinamakan diagram sebab-akibat. Diagram ini dapat dikategorikan atas jenis klasifikasi proses, dengan identifikasi proses dibuat terpisah atas dua bagian, dan jenis analisis keragaman yang didasarkan pada faktor sebab utama dan lainnya (faktor pendukung) atau hubungan sekuensial (Hubeis dan Kadarisman 2007). Penyusunan Diagram Ishikawa bertujuan untuk mencari dan menemukan beberapa sumber masalah yang menjadi kunci penyebab suatu masalah. Sumbersumber masalah yang teridentifikasi kemudian dijadikan target perbaikan. Diagram ini juga mengungkapkan hubungan hirarki antar faktor penyebab masalah menuju akibat yang ditimbulkannya. Mutu yang ingin kita perbaiki dan kendalikan secara jelas disajikan dengan angka-angka yang menunjukkan panjang, kekerasan, persentase cacat, dan sebagainya. Mereka disebut dengan “karakteristik mutu”. Komposisi kimia, ukuran, dan seterusnya yang dapat menyebabkan penyebaran, disebut faktor. Untuk mengilustrasikan pada sebuah diagram hubungan antara sebab dan akibat, kita ingin mengetahui sebab dan akibat dalam bentuk yang nyata. Oleh karenanya, akibat adalah karakteristik mutu dan sebab adalah faktor (Ishikawa 1989). Menurut Muhandri dan Kadarisman (2008), secara umum terdapat lima faktor utama yang berpengaruh terhadap suatu masalah, yaitu: lingkungan, manusia, metode, bahan, mesin dan peralatan. Faktor penyebab akan digolongkan ke dalam beberapa faktor utama tersebut yang diyakini sebagai sumber penyebab dari masalah. Penyebab turunannya kemudian disusun berdasarkan hirarki kepentingannya atau menurut detilnya, sehingga mampu mengungkap dan menggambarkan hubungan sebab-akibat yang terjadi antar golongan penyebab itu. Dengan demikian, diagram ini akan sangat bermanfaat untuk menelusuri akar permasalahan, mengidentifikasi daerah-daerah di mana dapat timbul masalah serius serta berguna dalam membandingkan kepentingan relatif berbagai penyebab masalah tersebut. Bentuk umum Diagram Ishikawa adalah bentuk tulang ikan yang disertai berbagai tulang-tulang cabang dan ranting tergambarkan pada Gambar 4.
21
Gambar 4. Bentuk Diagram Ishikawa. Perlu diingat bahwa diagram diatas hanya merupakan alat untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpeluang menjadi penyebab masalah, bukan mengidentifikasi penyebab masalah. langkah selanjutnya adalah melakukan verifikasi di industri untuk menjawab pertanyaan “apakah setiap faktor sudah sesuai dengan SOP atau aturan baku?”. Dari kegiatan verifikasi ini akan diperoleh faktorfaktor yang diduga kuat menjadi penyebab masalah, perbaikan mutu dapat difokuskan pada faktor-faktor ini (Muhandri dan Kadarisman 2008). 4.
Why-Why Analysis Why-Why Analysis adalah alat bantu (tools) root cause analysis untuk problem solving. Tools ini membantu mengidentifikasi akar masalah atau penyebab dari sebuah ketidaksesuaian pada proses atau produk. Why-Why Analysis atau 5 Why’s Analysis biasa digunakan bersama dengan Diagram Tulang Ikan (Fishbone Diagram) dan menggunakan teknik iterasi dengan bertanya mengapa (Why) dan diulang beberapa kali sampai menemukan akar masalahnya (Anonim 2011)
5.
Diagram Pareto Nama Diagram Pareto diambil dari nama seorang ahli eknonomi berkebangsaan Italia, Vilfredo Pareto, yang hidup disekitar awal abad ke-20. Diagram Pareto didasarkan pada fakta bahwa sebagian besar dari masalah yang timbul berakar pada sebagian kecil masalah utama. Diagram ini pada awalnya menampilkan distribusi frekuensi tentang kesejahteraan beberapa negara, yang kemudian ternyata sesuai untuk diterapkan pada manajemen mutu. Diagram Pareto menunjukkan bahwa sekitar 80 % dari kekayaan atau kesejahteraan negara-negara dikuasai oleh sekelompok kecil negara. Jika diterapkan pada manajemen mutu, Diagram Pareto umumnya mengatakan bahwa 80% dari problem dapat diselesaikan jika penyebab utamanya, yang umumnya ditimbulkan oleh sekelompok kecil penyebab utama (20%), dapat diselesaikan (Hoyle 1994). Diagram Pareto merupakan diagram yang terdiri atas grafik balok dan grafik baris yang menggambarkan perbandingan masing-masing jenis data terhadap keseluruhan (Muhandri dan Kadarisman 2008). Sebuah Diagram Pareto seperti ini, menunjukkan masalah apa yang pertama harus kita pecahkan untuk menghilangkan
22
kerusakan dan memperbaiki operasi. Walaupun ini terlihat sangat sederhana, grafik balok ini sangat berguna dalam pengendalian mutu pabrik (Ishikawa 1989). Secara rinci, Diagram Pareto berguna untuk hal-hal berikut (Muhandri dan Kadarisman 2008): a. Menunjukkan masalah utama. b. Menyatakan perbandingan masing-masing masalah terhadap keseluruhan. c. Menunjukkan tingkat perbandingan setelah dilakukan tindakan pada masalah terpilih. d. Menunjukkan perbandingan masing-masing masalah sebelum dan sesudah perbaikan. Langkah-langkah pembuatan Diagram Pareto (Muhandri dan Kadarisman 2008): a. Stratifikasi masalah dan nyatakan dengan angka. b. Tentukan jangka waktu pengumpulan data. c. Atur masing-masing penyebab (dari hasil stratifikasi dibuat berurutan sesuai dengan besarnya nilai dan gambarkan grafik kolom (balok). Penyebab terbesar ada di sebelah paling kiri. d.Gambar grafik baris yang menunjukkan jumlah persentase pada bagian atas grafik kolom, dimulai dari yang terbesar. Di bagian bawah masing- masing kolom ditulis nama atau keterangan kolom. e.Pada bagian atas atau samping diberikan keterangan atau nama diagram dan jumlah unit seluruhnya.
3.6
KAPABILITAS PROSES
Menurut Gaspersz (1998), kapabilitas proses adalah kemampuan dari proses dalam menghasilkan produk yang memenuhi spesifikasi. Jika proses memiliki kapabilitas yang baik, proses itu akan menghasilkan produk yang berada dalam batasbatas spesifikasi. Sebaliknya, apabila proses memiliki kapabilitas yang tidak baik, proses itu akan menghasilkan banyak produk yang berada diluar batas-batas spesifikasi, sehingga menimbulkan kerugian karena banyak produk yang ditolak. Apabila ditemukan banyak produk yang ditolak, hal itu mengindikasikan bahwa proses produksi memiliki kemampuan proses yang rendah untuk menghasilkan output sesuai dengan yang diharapkan. Perhitungan kapabilitas proses dilakukan berdasarkan indeks kapabilitas proses (Cp). Indeks Cp memiliki dua kekurangan besar. Pertama, tidak dapat digunakan kecuali terdapat baik spesifikasi atas maupun bawah. Kedua, tidak dapat menghitung data yang distribusinya tidak normal. Jika rata-rata proses tidak berada pada garis tengah pada persyaratan perekayasaan, indeks Cp akan memberikan hasil yang menyesatkan. Situasi ini akan lebih direfleksikan secara akurat dengan menghitung indeks kapabilitas proses yang baru, Cpk. Dalam hal ini indeks Cp digantikan dengan Cpk (Pyzdek 2002). Untuk parameter yang hanya memiliki satu spesifikasi (atas atau bawah) maka yang dipakai adalah nilai CPU (Upper Capability Indeks) dan CPL (Lower Capability Indeks).
23
Kriteria yang digunakan untuk penilaian adalah sebagai berikut : Cp > 1.33, maka proses memiliki kapasitas baik; 1.00 < Cp < 1.33, maka proses dianggap baik namun perlu pengendalian apabila Cp telah mendekati 1.00, dan Cp < 1.00, maka proses dianggap tidak baik (Gasperz 1998). Kriteria yang digunakan untuk penilaian Cpk : Cpk > 1.33, maka proses masih mampu memenuhi batas spesifikasi bawah atau atas; 1.00 < Cpk < 1.33, maka proses masih mampu memenuhi batas spesifikasi bawah atau atas, dan Cpk < 1.00, maka proses tidak mampu memenuhi batas spesifikasi atas atau bawah (Gasperz 1998).
24
IV. METODOLOGI PENELITIAN Metodologi penelitian adalah suatu proses berfikir dari menemukan masalah, mengumpulkan data, baik melalui tinjauan pustaka maupun melalui studi lapangan, melakukan pengolahan data, sampai akhirnya dapat memberi suatu kesimpulan dari masalah yang diteliti.
4.1
WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN
Penelitian magang ini dilakukan di PT Unilever Indonesia Tbk, sub divisi Lion Factory yang berlokasi di Kawasan Industri Jababeka I Blok J5Q nomor 23 Cikarang, Bekasi. Penelitian magang dilakukan pada bagian Supply Chain Department dibawah bimbingan Ir. Suwandi Yulia Putra sebagai pembimbing lapang dan berlangsung selama empat bulan, dimulai pada tanggal 24 Januari 2012 dan berakhir pada tanggal 31 Mei 2012. Kegiatan penelitian magang dilakukan setiap hari, dimulai dari hari Senin sampai Sabtu dimana pada hari Senin-Jum‟at berlangsung selama delapan jam kerja per hari mulai pukul 07.30-15.00 WIB dan pada hari Sabtu berlangsung selama lima jam kerja mulai pukul 07.30-13.00 WIB dengan waktu istirahat selama satu jam.
4.2
METODE PENELITIAN
4.2.1
GMP,SSOP & HACCP
Pada kegiatan magang ini dilakukan pengkajian GMP dan SSOP serta penyusunan HACCP Plan. Diagram Alir penerapan sistem HACCP dapat dilihat pada gambar 5 berikut:
25
Observasi Lapang dan Pengkajian Pre-requisite Program HACCP (GMP & SSOP) Mendefinisikan Ruang Lingkup Penerapan Sistem HACCP
Mendeskripsikan Produk dan identifikasi Penggunaannya
Membuat Diagram Alir Proses Produksi
Verifikasi lapang DiagramAlir
Identifikasi Bahaya dan Tindakan Pencegahan
Identifikasi Titik Kendali Kritis (CCP)
\
Tetapkan Batas Kritis (CL) Untuk Setiap CCP
Tetapkan Prosedur Monitoring
Tetapkan Tindakan Koreksi
Tetapkan Prosedur Verifikasi
Pengembangan Sistem Pencatatan dan Pembukuan Data Gambar 5. Diagram Alir Penerapan Sistem HACCP
26
1.
Observasi Lapang dan Pengkajian Pre-requisite Program HACCP (GMP & SSOP) Ruang lingkup observasi pre-requisite program HACCP di lapangan terfokus penerapan GMP dan SSOP di Pabrik Lion PT Unilever Indonesia Tbk . Observasi lapang meliputi kegiatan pengamatan proses pembuatan bumbu penyedap rasa di PT. Unilever Indonesia dan kegiatan identifikasi permasalahan dalam penerapan GMP dan SSOP di pabrik yang baru berjalan ini ini
2.
Mendefinisikan Ruang Lingkup Penerapan Sistem HACCP
-
3.
Adalah fokus dari studi HACCP, pendekatan yang diambil: Cakupan studi meliputi seluruh bahaya (mikrobiologi, kimia, allergen dan fisik) Cakupan studi untuk keseluruhan proses untuk produk yang diproduksi di Pabrik Lion PT Unilever Indonesia Tbk Cakupan proses hanya sebatas sampai proses produksi.
Mendeskripsikan Produk dan Identifikasi Penggunaannya Pada tahapan ini berisi tentang deskripsi produk, bagaimana dan siapa yang menggunakan
4.
Membuat Diagram Alir Proses Produksi
-
Tipe data : Semua aktivitas proses produksi termasuk tahapan proses yang memungkinkan terjadinya penundaan Parameter Proses yang berhubungan dalam setiap tahapan Bentuk diagram alir: Tergantung dari perusahaan dapat berbentuk kata dan garis (lebih mudah dimengerti) atau menggunakan simbol.
5.
Verifikasi Lapang Diagram Alir Verifikasi dari diagram alir yang sudah lengkap
6.
Identifikasi Bahaya dan Tindakan Pencegahan Identifikasi bahaya/hazard terdiri dari unsur biologi, kimia, fisik, allergen dalam atau kondisi dari pangan yang berpotensi menyebabkan dampak buruk bagi kesehatan untuk dikonsumsi. Bahaya tersebut meliputi: 1. Bahan baku Potensi bahaya pada bahan yang terdapat pada material dan jumlah yang digunakan selama proses produksi berlangsung.
27
7.
2.
Desain alat dan perlengkapan Resiko kontaminasi silang, kemungkinan mikrobiologi tumbuh hingga level berbahaya dapatkah peralatan secara efektif mengontrol keamanan produk, apakah pembersihan alat telah efektif dilaksanakan dan adakah bahaya melebihi pada peralatan khusus.
3.
Intrinsic Factors Seperti (pH,Aw,dll) yang dapat mengontrol bahaya mikrobiologi dari material atau bahaya dari kontaminasi silang.
4.
Proses desain Seperti apakah desain proses telah dapat menghilangkan mikroba patogen, atau rework/recycle pada proses atau raw material dapat menyebabkan bahaya potensial.
5.
Fasilitas desain Identifikasi bahaya secara langsung yang berhubungan dengan fasilitas layout atau lingkungan sekitar .
6.
Pekerja Pengaruh pekerja terhadap keamanan produk dan peranan pekerja dalam sistem HACCP.
7.
Kemasan Kesesuaian kemasan terhadap standar dan pengaruhnya terhadap produk
Identifikasi Titik Kendali Kritis (CCPs) CCP merupakan tindakan dari pencegahan yang memang paling penting untuk dikontrol. Penentuan CCP untuk proses dapat menggunakan CCP decision tree . Semua bahan baku yang digunakan di Pabrik Lion PT Unilever Indonesia Tbk disimpan di gudang penyimpanan dan dalam keadaan sejuk. Bahaya kimia yang terdapat pada semua bahan baku dikategorikan bukan CCP karena ada seleksi yang ketat terhadap supplier bahan baku. Menurut Dewanti Hariyadi (2002), cemaran kimiawi umumnya tidak dapat dikurangi atau dihilangkan selama pengolahan. Oleh karenanya cemaran kimiawi hanya dapat ditekan seminimal mungkin melalui spesifikasi dan pengawasan bahan baku terhadap supplier serta penggunaan bahan pembersih dan sanitaiser berikut metode pembersihan dan sanitasi yang tepat.
8.
Tetapkan Batas Kritis (CL) Untuk Setiap CCP Critical Limit/Batas Kritis adalah suatu kriteria yang memisahkan antara kondisi yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima. Tahapan ini harus memungkinkan untuk dibuat pada masing-masing CCP dari satu atau beberapa batas kritis, berikut pengawasannya yang menjamin pengendalian CCP. Suatu batas kritis adalah kriteria yang harus diperoleh dengan cara pengendalian yang berhubungan dengan CCP. Parameter
28
untuk penyusunan batas kritis harus dipilih sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk melakukan tindakan perbaikan ketika batas kritis terlampaui
9.
Tetapkan Prosedur Monitoring Monitoring adalah tindakan melakukan serentetan pengamatan atau pengukuran yang direncanakan dari parameter pengendali untuk menilai apakah CCP dalam kendali. Metode yang dapat memberikan jawaban yang cepat akan lebih baik untuk digunakan. Hal ini terutama berupa pengamatan fisik, pengukuran fisik atau kimia. Metode mikrobiologi jarang digunakan sebab terlalu lama, terlalu banyak sampel yang harus diambil agar hasilnya nyata secara statistik. Di sisi lain, metode analisa mikrobiologi berguna untuk menyusun analisis potensi bahaya dan mengkaji ulang bahwa sistem tersebut bekerja dengan efisien.
10. Tetapkan Tindakan Koreksi Corrective Action/Tindakan Koreksi adalah setiap tindakan yang harus diambil apabila hasil pemantauan pada titik kendali kritis menunjukkan kehilangan kendali. Tindakan koreksi merupakan tindakan yang harus diambil ketika hasil pemantauan pada CCP menunjukan kegagalan pengendalian. Semua penyimpangan yang mungkin terjadi tidak dapat diantisipasi sehingga tindakan perbaikan tidak boleh dilakukan sebelumnya. Dengan demikian disrankan untuk menduga kasus penyimpangan yang paling sering terjadi dan atau mendefinisikan mekanismenya, pengaturannya, pihak yang berwenang, serta tanggungjawab secara umum untuk diterapkan setelah terjadi penyimpangan apapun juga.
11. Tetapkan Prosedur Verifikasi Kegiatan verifikasi terdiri dari dua kegiatan yaitu, validasi dan verifikasi. Validasi adalah kegiatan memperoleh bukti bahwa unsure-unsur dari rencana HACCP berjalan efektif. Sedangkan verifikasi adalah penerapan metode, prosedur, pengujian dan cara penilaian lainnya disamping pemantauan untuk menentukan kesesuaian dengan rencana HACCP (SNI 1998). Tujuan dari verifikasi adalah untuk memastikan bahwa sistem HACCP bekerja efektif. Tahapan ini meliputi : prosedur pengkajian, pengujian, dan audit untuk mengkaji ulang bahwa sistem HACCP bekerja secara efektif, dan modifikasi yang harus dibuat di dlaam sistem HACCP dan dokumen-dokumen pendukungnya ketika proses atau produk dimodifikasi.
12. Pengembangan Sistem Pencatatan dan Pembukuan Data Prosedur HACCP harus didokumentasikan dan harus sesuai dengan sifat dan ukuran operasi. Sistem pendokumentasian yang praktis dan tepat sangatlah penting untuk aplikasi yang efisien dan penerapan sistem HACCP yang efektif. Sistem ini juga harus menjelaskan bagaimana orang-orang yang ada di dalam pabrik dilatih untuk menerapkan
29
rencana HACCP dan harus memasukan bahan-bahan yang digunakan dalam pelatihan pekerja. Tahapan penetapan prosedur pencatatan/dokumentasi dari rencana HACCP umumnya dilaksanakan sebelum dilakukannya penetuan prosedur verifikasi, akan tetapi dapat pula dilakukan setelah prosedur verifikasi selesai disusun. Jika dokumentasi rencana HACCP disusun setelah prosedur verifikasi dilaksanakan, maka dokumen HACCP juga mencakup prosedur verifikasi yang telah ada.
4.2.2
Statistical Process Control (SPC)
Pada kegiatan magang ini juga dilakukan penerapan Statistical Process Control (SPC) dalam pengendalian mutu Aw Produk bumbu penyedap rasa. Secara garis besar, diagram alir dapat dilihat pada Gambar 6 berikut ini.
Observasi lapang dan identifikasi masalah (pengamatan langsung dan wawancara)
Pengumpulan data kuantitatif dan analisis mutu produk Membuat bagan kendali
Proses terkendali ?
Ya
Menghitung kapabilitas proses
Tidak Identifikasi Penyebab Permasalahan (Diagram Sebab Akibat, why-why analysis, diagram pareto)
Penyusunan usulan perbaikan dan uji coba lapangan
Gambar 6. Diagram alir penerapan Statistical Process Control (SPC) bumbu penyedap rasa
1.
Observasi Lapang dan Identifikasi Masalah Observasi lapang dilakukan untuk mempelajari proses produksi bumbu penyedap rasa dan sistem pengendalian mutu, serta hubungannya dengan pengendalian proses untuk menentukan ruang lingkup permasalahan yang dikaji. Observasi ini
30
mencakup pengamatan proses produksi serta wawancara terhadap karyawan PT. Unilever Indonesia Tbk yang berhubungan dengan proses produksi bumbu penyedap rasa serta pengendalian mutunya. Identifikasi masalah dilakukan dengan brainstorming antara manager produksi dan asisten manager produksi setelah melakukan observasi dan wawancara terhadap karyawan produksi. Masalah utama yang menjadi kendala proses produksi adalah parameter mutu Aw produknya yang seringkali di luar spesifikasi standar. 2.
Pengumpulan Data Kuantitatif dan Analisa Mutu Produk Pengumpulan data yang dilakuakan pada penelitian magang ini dilakukan dengan mengumpulkan dua jenis data, yakni data primer dan data sekunder. Menurut Umar (2005), data primer merupakan data yang didapat dari sumber pertama baik individu maupun perorangan seperti hasil wawancara atau hasil pengisian kuisioner, data ini merupakan data yang diperoleh secara langsung dari jawaban narasumber maupun responden Data yang dikumpulkan adalah data primer yang diambil langsung dari contoh produk bumbu penyedap rasa yang sudah jadi dan dikemas dengan kemasan primer dan data sekunder diperoleh dari hasil catatan perusahaan, yakni berupa data persentase jenis penyimpangan mutu produk bumbu penyedap rasa, dokumen instruksi kerja atau prosedur operasi standar, dokumen mengenai profil perusahaan serta hasil pengukuran Aw produk Semi Finish Goods dari logbook Quality Control in line. Data primer diperoleh melalui tahap pengambilan dan analisis terhadap parameter mutu utama. Parameter yang akan dianalisis Aw dari produk tersebut. Pengamatan yang dijadikan dasar dalam pengambilan sampel adalah mesin pengemas yang digunakan dalam lini produksi, jumlah mesin yang dijadikan pengamatan hanya satu. Frekuensi pengambilan sampel pada saat proses filling berlangsung. Pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil tiga renceng sampel dari tiga titik yaitu pada bagian awal, tengah dan akhir produk dari belt chain conveyor saat setelah keluar dari mesin filling untuk setiap batch. Dari tiga renceng kemudian dilakukan sampling secara acak dua sampel dari renceng bagian awal dan akhir dengan total pengambilan sampel 252 batch terhitung mulai dari tanggal 14 februari – 14 Maret 2012. Pengukuran Aw sampel dilakukan dengan menggunakan Awmeter digital yang terdapat di area packing hall divisi dengan ketelitian empat desimal. Analisis Mutu Aktivitas air ( Aw ) (AOAC 978.18 1995) Pengukuran Aw dilakukan pada produk akhir bumbu penyedap rasa yang telah dikemas sebagai contoh. Contoh produk diambil dan diletakkan di dalam cup plastik sampai terisi setengah bagian cup plastik, kemudian ditimbang sampelnya sebanyak 3,5 gram lalu diukur Awnya dengan menggunakan Awmeter pada suhu 25 °C sesuai standar suhu berdasarkan certificate of calibration Awmeter tersebut. Hasil yang didapat berupa data Aw dan suhu bahan yang diukur, kemudian dirata-rata nilai Awnya.
31
3.
Identifikasi Penyebab Permasalahan Untuk mengkaji akar dari permasalahan mutu pada produk bumbu penyedap rasa, Diperlukan pengumpulan dan analisis data. Data tersebut dikumpulkan dan dianalisis dengan cara: Tools Kendali Mutu 1.) Lembar Pemeriksaan (Check Sheet) Dalam magang penelitian ini, digunakan dua checksheet untuk pengumpulan data temperatur dan RH di setiap area produksi dan data temperatur bahan di setiap proses. Ada empat area yang diamati yaitu Raw Material Storage, Mixing Room, Drying Room dan Packing Hall. 2.) Grafik Kendali Bagan kendali yang digunakan ialah i-chart dan Moving Range (MR) chart karena parameter mutu Aktivitas air (Aw) yang dapat diukur serta proses produksi bumbu penyedap rasa yang bersifat homogen (batch). Dari hasil perhitungan bagan kendali, dilanjutkan dengan perhitungan kapabilitas proses 3.) Diagram Ishikawa Diagram Ishikawa pada tahap pencarian faktor-faktor penyebab masalah Aw produk di luar spesifikasi standar untuk mencari setiap sebab lebih jauh dan untuk membedakan antara sebab utama dari suatu masalah beserta akibat-akibatnya. Dalam operasionalnya, diagram ini merupakan kelanjutan dari penerapan teknik brainstorming yang dilakukan dengan supervisor produksi dan karyawan maintenance engineering pada kegiatan penyelesaian masalah mutu Aw produk bumbu penyedap rasa karena merupakan gabungan dari seluruh permasalahan dan penjabaran yang bersifat konstruktif dan produktif. (Hubeis dan Kadarisman 2007). 4.) Why-why Analysis Why-why analysis (WWA) adalah salah satu metode dari Total Productive Maintenance (TPM) yang tidak terdapat segmentasi data, uji hipotesis, regresi atau metode statistik lain yang lebih tinggi, namun dapat dilengkapi dengan rencana pengumpulan data. Analisis ini dilakukan dengan bertanya mengapa beberapa kali, sehingga dapat diperoleh akar permasalahan. Keuntungan dari metode ini dapat menentukan hubungan antar akar permasalahan dan merupakan metode yang paling sederhana dan dapat diselesaikan tanpa analisis statistik. Metode ini sangat cocok digunakan bila permasalahan berhubungan dengan faktor interaksi manusia (Anonim 2006).
32
5.) Diagram Pareto Diagram pareto digunakan untuk menemukan faktor utama penyebab masalah pada tahap proses produksi. Pembuatannya menggunakan data kuantitas. Setelah mendapatkan fakta faktor penyebab dari diagram sebabakibat, maka dapat diperoleh faktor penyebab yang dapat diukur. Lalu dilakukan pengukuran dan disajikan dalam bentuk histogram. Dari diagram pareto diambil beberapa masalah utama penyebab 80% Aw produk di luar spesifikasi standar. 4.
Penyusunan Usulan Perbaikan dan Uji Coba Lapangan Setelah diketahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penyimpangan mutu Aw produk, selanjutnya disusun sebuah rancangan usulan perbaikan dalam pengendalian proses produksi. Usulan yang dibuat merupakan perbaikan dari sistem yang telah ada maupun juga masukan baru bagi sistem yang sedang berjalan. Setelah rancangan usulan perbaikan disusun, maka dilakukan diskusi dengan pihak industri mengenai usulan mana saja yang akan diaplikasikan. Diskusi ini dilakukan untuk melihat beberapa pertimbangan pemilihan usulan perbaikan yang akan dijalankan. Setelah usulan perbaikan yang akan diterapkan tersusun, dilakukan uji coba dari usulan perbaikan tersebut.
33
V. HASIL DAN PEMBAHASAN PT Unilever Indonesia Tbk divisi Spread Cooking Category & Culinary (SCC&C) merupakan salah satu produsen bumbu penyedap rasa terbesar di Indonesia, yang memasarkan produknya dengan merek dagang, yakni Royco. Divisi perusahaan ini mendirikan pabrik baru yang dinamakan Lion, dimana pabrik ini khusus untuk memproduksi jenis bumbu penyedap rasa terbaru yaitu Royco All in One (AIO) berbentuk granule dan Royco South Africa (SA) yang khusus untuk diekspor ke Afrika Selatan. Oleh karena itu, penerapan Sistem HACCP merupakan langkah awal dalam implementasi sistem manajemen mutu pada pabrik baru ini.
PROJECT I. GMP, SSOP & HACCP 5.1
OBSERVASI LAPANG PROGRAM HACCP
5.1.1
DAN
PENGKAJIAN
PRE-REQUISITE
GMP (Good Manufacturing Practices)
GMP merupakan salah satu prasyarat yang harus dipenuhi sebelum sebuah perusahaan mengaplikasikan sistem HACCP, berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, sebagian program GMP belum maksimal dilakukan di Pabrik Lion PT Unilever Indonesia Tbk. Hasil pengamatan GMP di Pabrik Lion berdasarkan standar GMP PT Unilever Indonesia Tbk adalah sebagai berikut:
1.
Desain Produk
Produk campuran kering ini diproduksi dengan aktivitas air rendah (Aw < 0.65) dan pengaturan kelembaban yang cukup ketat. Kandungan mikroba dan kualitas produk ini sebagian besar ditentukan dari bahan baku yang digunakan dalam komposisi. Elemen kunci untuk memastikan keamanan dan kualitas baik dari bahan baku dan bahan pengemas ditentukan dari manajemen pemasok yang memadai. Auditor memverifikasi bahwa pemasok mampu untuk memproduksi bahan baku dalam spesifikasi secara konsisten. Penggunaan bahan baku dan bahan pengemas untuk produksi keseluruhan berasal dari Approved Supplier dan telah melalui pengujian oleh pihak QC di pabrik ini.
2.
Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan untuk proses produksi di area pabrik ini mayoritas berbahan dasar tepung. Standar GMP untuk penyimpanan bahan baku tepung adalah pada kisaran suhu 20-25 0C dan pada kondisi aktual sudah sesuai dengan standar.
34
Dalam persyaratan incoming material, raw dan packaging material akan diinspeksi dan uji lab untuk memastikan kesesuaiannya dengan standar atau tidak. Jika sesuai standar, maka pihak QC akan memberikan status release pada raw dan packaging material tersebut, lalu pihak produksi baru dapat menggunakan bahan tersebut untuk proses produksi. Semua bahan baku yang masuk harus diperiksa sebelum pembongkaran untuk mencegah kontaminan ke pabrik. Prosedur harus berada di tempat untuk memeriksa semua pengiriman. Semua bahan baku di pabrik ini sudsh jelas teridentifikasi termasuk deskripsi produk, pemasok, jumlah dan persyaratan penyimpanan (jika ada). Keseluruhan didokumentasikan untuk memungkinkan keterlusuran hilir. Bahan-bahan yang digunakan merupakan bahan tambahan makanan yang komposisinya sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI No,722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan. Bahan baku, bahan tambahan dan bahan pengemas di Pabrik Lion PT Unilever Indonesia Tbk telah memiliki sertifikat atau CoA (certificate of analysis) masing-masing dari supplier lokal maupun luar negeri.
3.
Bahan Pengemas
Bahan pengemas/ packaging yang digunakan merupakan bahan yang food grade dan telah memenuhi standar yang ditentukan. Penilaian bahan baku pengemas telah dibuat dengan nilai-nilai target atas dan batas bawah yang disetujui secara resmi dengan pemasok, sebelum pengiriman reguler. Penilaian bahan pengemas umumnya terbatas untuk inspeksi visual pada saat diterima, dan/ atau pada saat produksi. Bahan pengemas yang memiliki kontak dengan makanan sudah disetujui melalui sistem SEAC Unilever. Bahan baku, bahan tambahan dan bahan pengemas di Pabrik Lion PT Unilever Indonesia Tbk telah memiliki sertifikat atau CoA (certificate of analysis) masing-masing dari supplier lokal maupun luar negeri. Untuk Penyimpanan bahan kemasan di pabrik ini diletakkan dalam kondisi ambient dan kering. Kemasan bahan yang tidak digunakan dari produksi kembali dibungkus dan dijamin diletakkan di atas pallet. 4.
Operasi Proses dan Pengemasan
Tahapan produksi harus dilakukan sedemikian rupa sehingga melindungi produk secara kontaminasi sehubungan dengan persyaratan di atas dicapai dengan cara (1) menggunakan operasi pengendalian mutu yang mengidentifikasi titik kendali kritis (CCP) selama proses ; (2) Pembersihan dan sanitasi yang memadai terhadap semua alat dan permukaan-permukaan yang bersentuhan langsung dengan produk ; (3) Menyediakan fasilitas yang mencegah terjadinya kontaminasi ; (4) Menggunakan prosedur penanganan sanitasi sesuai SSOP. Setiap produksi produk bumbu penyedap rasa ada beberapa form isian yang berisi bahan yang digunakan, komposisinya, jumlah hasil yang diperoleh,
35
temperatur dan RH ruang produksi, temperatur mesin, waktu proses, dll. Form isian atau checklist tersebut disesuaikan dengan kondisi proses di setiap area produksi. Selain itu terdapat QC in line procedure mengenai metode pemeriksaan dan pengecekan selama proses produksi. Hanya saja monitoring untuk dokumentasi selama proses produksi masih kurang. Pada proses pengolahan, peralatan produksi yang digunakan selalu dalam kondisi siap pakai. Pekerja di area produksi selalu melakukan pengecekan dan start up mesin pada saat awal dinas produksi, Selama proses, seharusnya pekerja menggunakan prosedur penanganan sanitasi sesuai SSOP. Namun,pada kondisi aktual masih banyak pekerja yang melanggar ketentuan SSOP selama proses produksi. Oleh karena itu, monitoring kelengkapan pekerja selama di area produksi perlu lebih diperketat lagi. Operasi pengendalian mutu yang diterapkan dalam proses produksi ini belum menyeluruh dan cemaran kontaminasi fisik maupun kimia akan lebih rentan terjadi dikarenakan belum diterapkannya sistem HACCP. Pengendalian mikroba di dalam proses produksi ini dilakukan pada tahap dehidrasi atau pengeringan, dan standar Aw produk yang cukup rendah menyebabkan produk ini relatif aman dari bahaya mikroba patogen. Namun, perlu diperhatikan kondisi lingkungan selama proses produksi berlangsung, karena produk dengan Aw yang cukup rendah cenderung higroskopis yaitu rentan terhadap keberadaan air dan udara.
5.
Produk Akhir
Setelah selesai proses produksi, produk kemudian dikemas dengan kemasan khusus dan dimasukkan ke dalam fibrite. Selama pengemasan, sebagian produk diambil sebagai sampel untuk dilakukan uji kimia, fisik, mikrobiologi dan organoleptik oleh QC di in house. Produk yang telah dikemas disimpan dalam gudang penyimpanan produk akhir dengan suhu ruang. Setelah mendapat status release dari QC, kemudian dilakukan distribusi produk jadi. Spesifikasi produk dicantumkan pada label, seperti: nama produk, nama dan alamat produsen, nomor pendaftaran dan waktu kadaluarsanya. Lalu, Produk disimpan/ diangkut pada pallet dan pada jarak yang cukup dari dinding untuk memudahkan pembersihan. Distribusi dan transportasi dilakukan oleh pihak ketiga dengan dilakukan pengawasan terhadap kendaraan yang digunakan oleh bagian gudang. Kondisi angkutan sebelum dimuat barang harus bersih dan kering. Apabila terjadi kerusakan barang selama transportasi, maka pihak ketigalah yang harus bertanggung jawab terhadap produk tersebut. Untuk produk bumbu penyedap rasa ini transportasi dan distribusi dilakukan pada suhu ruang dan kering. 6.
HIgiene dan Pembersihan
Fasilitas higiene karyawan di luar ruang produksi meliputi fasilitas mencuci tangan dengan sabun dan air yang mengalir, tempat MCK, ganti pakaian dan toilet cukup tersedia. Sedangkan fasilitas higiene karyawan di dalam ruang produksi terdiri dari fasilitas mencuci tangan dengan air yang mengalir dan tissue kering.
36
Disediakan beberapa toilet untuk para karyawan, dirancang untuk memenuhi standar kesehatan. Toilet dengan jumlah yang memadai untuk digunakan oleh semua karyawan dan terletak di luar area produksi dan berada di setiap lantai. Toilet cukup memadai dan nyaman serta dilengkapi dengan air mengalir. Kesesuaian dengan persyaratan ini dapat dipenuhi dengan memelihara fasilitas dalam kondisi bersih dan memastikan bahwa fasilitas tetap berada dalam kondisi yang siap dipakai setiap saat. Berdasarkan hasil pengamatan, toilet di dalam pabrik ini sudah memenuhi standar GMP. Fasilitas cuci tangan juga harus memadai dan nyaman serta dilengkapi dengan air mengalir. Kesesuaian dengan persyaratan ini dapat dipenuhi dengan fasilitas pencucian tangan , preparasi pembersihan dan sanitasi yang efektif. Salah satu metode penanganan proses pengolahan yang mudah dipahami karyawan dalam menangani produk yang terbuka yaitu mensanitasi tangan mereka sebelum memulai pekerjaan dan atau setelah meninggalkan area produksi. Fasilitas cuci tangan di Pabrik Lion sudah memenuhi standar, letaknya yang berada pada intermediate room pada saat akan memasuki area produksi. Pada higiene karyawan masih ditemukan kekurangan pelaksanaan GMP pada saat berproduksi, antara lain masih ada kebiasaan buruk yang dilakukan seperti tangan yang menggaruk bagian tubuh, memakai gelang, dan terkadang ada sebagian rambut yang tidak tertutupi. Sebagian karyawan produksi tidak dilengkapi APD lengkap mulai dari baju produksi dan sarung tangan. Kondisi hygiene karyawan pada saat berada di area produki perlu diperhatikan karena dikhawatirkan menjadi salah satu potensi cemaran pada produk selama proses produksi berlangsung Sedangkan metode Pembersihan pada pabrik ini terdiri dari dry cleaning dan wet cleaning. Dry cleaning yang digunakan seperti sapu, vacuum cleaner, sikat, dll. Sedangkan wet cleaning digunakan untuk menghilangkan kontaminasi silang dari proses produksi serta sisa sisa produk yang sulit dihilangkan dengan metode dry cleaning. Keseluruhan pembersihan sebaiknya direcord setiap hari di dalam checklist dan dilakukan monitoring secara berkala untuk memastikan bahwa metode pembersihan berjalan dengan efektif. Program manajemen hama atau pest control sudah diterapkan dengan baik di pabrik ini dan dilakukan monitoring kondisi fasilitas pest control secara berkala dua minggu sekali yang didokumentasikan ke dalam checklist. 7.
Desain Pabrik, Tata Letak dan Pencegahan Ledakan
Lokasi Pabrik Lion PT Unilever Indonesia Tbk berada di kawasan industri Jababeka I dengan lingkungan yang strategis, namun tidak berada dalam satu area dengan pabrik makanan milik Unilever. Lokasi pabrik yang berada dalam kawasan industri ini jauh dari area banjir, area yang cenderung terjadi infestasi hama,dan area dimana limbah baik pada atau cair tidak bisa dihilangkan secara efektif. Bangunan pada industri pangan harus dibuat berdasarkan perencanaan yang memenuhi persyaratan teknik dan higiene sesuai dengan jenis makanan yang diproduksi, mudah dibersihkan, mudah dilakukan tindakan sanitasi dan mudah
37
dipelihara. Bangunan pabrik ini adalah merupakan bangunan pabrik jadi yang disewa oleh PT Unilever Indonesia Tbk dan baru resmi beroperasi pada akhir bulan November 2011. Konstruksi bangunan Pabrik Lion PT Unilever Indonesia Tbk sudah cukup baik, pusat-pusat pengendali motor dipusatkan di belakang area pabrik, jumlah dinding interior diminimumkan, pada setiap sudut pertemuan antara dinding dan lantai membentuk sudut melengkung serta rapat dari air, Jarak antara langit-langit dengan lantai kurang lebih 3 meter, Dasar lantai yang berada pada area produksi terbuat dari beton, permukaan lantai rata,licin dan tahan kimia untuk area produksi, berwarna terang dan tidak mudah mengelupas. Langit-langit pada area produksi dibuat sesederhana mungkin dan kedap air, serta terdapat pengatur udara yaitu AC baik di ruang produksi maupun pada ruang-ruang penunjang lainnya. Bangunan pabrik ini mempunyai desain yang cukup baik walaupun luas layout pabrik yang terbatas. Area tiap proses produksi cukup luas dan diberi sistem pencahayaan yang cukup. Tata letak ruangan pabrik sesuai dengan urutan proses produksi dimana gudang bahan baku jauh tidak jauh dari tempat pengiriman bahan baku. Antara gudang dan ruang produksi dipisahkan dengan sekat yang ditambahkan plastik curtain. Area proses produksi terdiri dari tiga area yang terdiri dari mixing room, drying room dan packing hall dimana pada area mixing room terdapat dua proses berlangsung yaitu untuk proses mixing dan granulating dengan pengontrolan temperatur dan RH selama proses produksi. Pada drying room tidak dilengkapi AC dan pengontrol RH, sedangkan pada packing hall merupakan area paling luas yang digunakan untuk penyimpanan semi finish goods dan proses filling, dimana area ini dilengkapi AC paling banyak untuk mengontrol temperatur yang disesuaikan dengan kapasitas ruangan. Pada kondisi aktual, pengaturan RH pada area ini menggunakan outdoor dari AC, tidak adanya pengontrol RH khusus atau Dehumidifier di setiap area produksi menyebabkan RH baik di area mixing room dan packing hall mengalami perubahan RH yang cukup fluktuatif sehingga mengakibatkan pengaruh terhadap penyimpangan penyimpangan mutu pada proses produksi. Antara mixing room dan drying room terdapat sekat berupa pintu untuk menghindari ekspos suhu udara tinggi yang berasal dari drying room menuju mixing room. Tidak adanya ruang khusus untuk packing menyebabkan ruang kantin yang berada di pabrik ini digunakan untuk ruang packing sementara, sehingga dikhawatirkan akan terjadi kontaminasi silang di area ini. Idealnya semua area produksi dirancang tanpa jendela terutama untuk daerah penyimpanan, pengolahan, penanganan dan pengemasan. Namun pada bagian raw material storage terdapat beberapa jendela pada dinding dan dikhawatirkan menjadi sumber kontaminasi di area ini. Bangunan yang digunakan pabrik ini adalah bangunan pabrik sewa, sehingga kapasitas ruangan yang dibuat cukup terbatas. Idealnya terdapat substore pada pabrik ini sebagai tempat transfer material sebelum proses produksi, namun pada kondisi aktualnya substore pada pabrik ini telah diubah penempatannya menjadi ruang peracikan dan penimbangan material, dan raw material storage pada area ini dibuat juga merangkap sebagai substore. Lantai bangunan pabrik khusus area produksi terbuat dari beton yang dilapisi cat minyak khusus sehingga
38
tahan terhadap air, garam, basa atau asam namun pada finish goods warehouse tidak dilapisi cat minyak khusus. Pintu-pintu yang digunakan di area ini adalah terbuat dari kerangka logam dan mudah dibersihkan, namun beberapa pintu sudah terlihat rusak. Oleh karena itu perlu diperhatikan dari segi pemeliharaan fasilitas pada bangunan pabrik ini. Keseluruhan Tata letak dan Desain pabrik Lion PT Unilever Indonesia Tbk dapat dilihat pada Lampiran 1. Perlindungan ledakan adalah kebijakan yang diambil untuk membatasi konsekuensi jika terjadi ledakan akan terjadi walau tindakan preventif telah dilakukan. Sistem yang paling tepat adalah bahwa dari ventilasi yang mengarahkan jalan ledakan jauh dari operator dengan desain yang cocok dari peralatan dan ventilasi. Peralatan yang digunakan di dalam proses produksi sebaiknya mudah dipelihara dan dapat dibersihkan serta fungsinya sesuai dengan tujuan penggunaan. Dari hasil pengamatan, masih terdapat beberapa peralatan terutama bagian mesin yang proses pembersihannya kurang baik.Sisa-sisa material proses yang menempel dan mengendap akan berpotensi menjadi sumber kontaminasi pada produk selama proses. Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan monitoring secara berkala kondisi peralatan yang digunakan selama proses produksi pada awal dinas produksi dan akhir dinas produksi setelah dilakukan proses cleaning dan penggunaan metode cleaning peralatan yang lebih efektif untuk membersihkan sisa sisa material yang menempel pada mesin. Peralatan yang kontak dengan bahan pangan sebaiknya stainless steel. Penggunaan bahan tersebut ditujukan agar peralatan tersebut tidak mudah mengkontaminasi produk yang berupa cemaran fisik dan kimia karena mempunyai daya korosif yang rendah serta tahan lama. Peralatan yang digunakan yang kontak dengan bahan pangan terdiri dari supermixer (pengaduk adonan), conveyor, bin tempat menampung bahan, sekop, bextruder, dryer (mesin pengering), timbangan adonan, Siever, dan mesin pengemas .Dari hasil pengamatan lapang, masih terdapat beberapa fasilitas peralatan produksi non stainless steel yang kontak dengan bahan pangan, beberapa bagian peralatan yang tidak higiene karena proses cleaning yang tidak bersih dan menyeluruh, serta masih terdapat beberapa sambungan peralatan yang terbuka, sehingga mengakibatkan bahan kontak dengan lingkungan luar selama proses. Sebaiknya dilakukan perbaikan dan perawatan fasilitas peralatan produksi dan penggantian bagian peralatan non stainless steel dengan bahan stainless steel, serta monitoring cleaning peralatan proses produksi secara berkala. 8.
Personnel dan Pelatihan Manajemen
Kondisi pekerja baik dari segi perlengkapan dan kebersihan menjadi perhatian utama selama proses produksi berlangsung, karena salah satu cemaran yang dapat mengontaminasi bahan juga dapat bersumber dari pekerja. Standar GMP yang berlaku untuk para pekerja selama di area produksi diharuskan menggunakan perlengkapan APD yang higiene, tidak memakai perhiasan atau aksesoris lainnya selama bekerja di area produksi, senantiasa mencuci tangan dengan standar sanitasi yang baik sebelum dan sesudah bekerja, tidak membawa
39
peralatan pribadi ke dalam area produksi dan menyimpannya di dalam tempat khusus atau locker. Dari hasil pengamatan, hampir keseluruhan karyawan produksi di area pabrik ini bekerja tidak menggunakan APD dan perlengkapan pelindung seperti masker, penutup kepala dan sarung tangan terutama pada area mixing room. Pada area ini, potensi kemungkinan pekerja kontak dengan bahan sangat tinggi, sehingga monitoring kelengkapan APD selama proses produksi di area ini harus lebih diperketat lagi. Semua karyawan yang secara medis dinyatakan mengidap penyakit, luka terbuka (luka bakar, iritasi/luka infeksi) atau sumber kontaminasi berat lainnya tidak diizinkan untuk bekerja menangani produk sampai kondisinya benarbenar pulih. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk mencegah kontaminasi atau cemaran dari pekerja terhadap produk. Tanggung jawab perusahaan untuk memastikan kesesuaian semua karyawan dengan seluruh persyaratan yang ada dalam prosedur ini harus diberikan kepada supervisi yang berkompeten di bidangnya. Dalam pelaksanaannya, higiene karyawan di Pabrik Lion masih kurang terlaksana dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya kesadaran dari para karyawan seperti di dalam ruang produksi terdapat beberapa karyawan yang tidak menggunakan baju produksi, masker, ear plug, serta barang-barang pribadi yang dibawa di area produksi seperti ponsel. Pada umumnya kontaminasi dalam industri pangan dapat berasal dari pekerja, hewan dan lingkungan (Jenie 1998). 9.
Lingkungan
Manajemen Perusahaan telah membuat sebuah sistem monitoring untuk Emisi dan limbah pabrik serta konsumsi utilitas (energi, air, dll) yang didokumentasi secara berkala. Penanganan limbah dilakukan oleh pengelola limbah dan perusahaan dapat memastikan bahwa buangan limbah tidak akan menimbulkan cemaran yang buruk bagi lingkungan. Pemisahan limbah telah dilakukan pada sumbernya, misalnya dengan menjaga karton gelombang, plastik, kertas dll terpisah dari bahan makanan. Bahan kemasan yang reject atau tidak terpakai lagi setelah proses produksi akan dihancurkan dengan mesin penghancur khusus untuk menghindari penyalahgunaan oleh pihak lain yang tidak bertangggung jawab. 5.1.2
SSOP (Sanitation Standard Operating Procedure)
Menurut Undang-Undang Pangan RI No.7 Tahun 1996 menerangkan bahwa sanitasi pangan merupakan upaya pencegahan terhadap kemungkinan tumbuh dan berkembang biaknya jasad renik pembusuk dan patogen dalam makanan, minuman, peralatan dan bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan manusia. Pada umumnya program sanitasi yang baik dijabarkan ke dalam SSOP (Sanitation Standard Operating Procedure) dan dituangkan dalam bentuk checklist SSOP atau prosedur sanitasi yang baku merupakan aplikasi dari kegiatan GMP dan merupakan salah satu bagian pre-requisites program HACCP. SSOP merupakan
40
prosedur dimana proses sanitasi harus dilakukan dalam keadaan dan metode yang saniter. Terdapat delapan aspek kunci SSOP di dalam suatu perusahaan pangan, yaitu:
1.
Keamanan air untuk proses produksi
Air yang kontak langsung dengan pangan atau peralatan dan digunakan dalam proses produksi harus aman dan bersumber dari air bersih atau yang mengalami proses perlakuan terlebih dahulu (treatment) sehingga memenuhi syarat mutu. Air yang digunakan untuk proses produksi di Pabrik Lion PT Unilever Indonesia Tbk menggunakan air dari Approved Supplier dan dilakukan pengecekan secara reguler oleh QC setiap kali kedatangan supplier menuju pabrik.
2.
Kondisi kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan
Peralatan yang digunakan untuk proses produksi sebagian besar terbuat dari bahan stainless steel, namun beberapa bagian mesin masih ada yang belum memenuhi standar food grade. Hal tersebut dikhawatrikan akan menjadi sumber foreign matter selama proses produksi. Secara keseluruhan kondisi kebersihan permukaan yang bersentuhan dengan bahan pangan menjadi perhatian khusus di pabrik ini. Hal ini terbukti dengan masingmasing operator dan pekerja yang menangani mesin dan peralatan tertentu selalu membersihkan secara rutin, akan tetapi terdapat beberapa part mesin yang cukup sulit dibersihkan karena material yang sudah menjadi kerak dan menempel pada bagian bagian mesin setelah proses produksi selesai. Sebaiknya dibuat metode cleaning yang lebih efektif untuk membersihkan bagian bagian peralatan tersebut.
3.
Pencegahan kontaminasi silang dari objek yang tidak saniter
Proses produksi bumbu penyedap rasa di Pabrik Lion bukan merupakan proses tertutup (In Line Process), sehingga kontaminasi silang rentan terjadi dan harus diminimalisir. Para pekerja harus dibiasakan untuk membersihkan dirinya sebelum dan sesudah keluar area produksi. Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, para pekerja di area produksi terutama di area mixing belum sepenuhnya menggunakan APD lengkap baik dari baju produksi, masker dan sarung tangan. Oleh karena itu, monitoring kelengkapan APD selama proses produksi di area ini harus lebih diperketat lagi.
4.
Penyediaan dan pemeliharaan fasilitas sanitasi, cuci tangan dan toilet
Berdasarkan hasil pengamatan, fasilitas sanitasi dan cuci tangan mudah dijangkau dan dekat dengan area produksi, serta penyediaan fasilitas toilet cukup tersedia namun tidak terletak di area produksi, hal ini ditujukan agar dapat meminimalisir kontaminasi silang yang terjadi selama proses produksi di area pabrik ini.
41
5.
Pelindungan bahan pangan,kemasan untuk produk akhir dan bahan yang kontak dengan bahan pangan
Secara keseluruhan bahan baku di Pabrik Lion diletakkan pada kondisi yang telah disesuaikan standar sanitasi. Semua bahan baku, bahan pengemas dan produk jadi diletakkan di atas pallet kayu, hanya saja perlu selalu dilakukan monitoring kondisi kebersihan dan kelayakan pallet yang digunakan. 6.
Pelabelan dan penyimpanan
Pelabelan raw material allergen sudah dilakukan oleh pihak QC, hanya saja penyimpanan produk allergen dan non allergen perlu diperhatikan peletakannya. Pada kondisi aktual di pabrik ini, produk allergen disimpan dalam satu area dengan produk non allergen di dalam Raw Material Storage, sebaiknya dilakukan pengaturan peletakkan secara teratur untuk Raw Material Allergen dan Non Allergen. Setiap bahan baku sebaiknya diletakkan sesuai tempat yang telah ditentukam dan diberi label sesuai status dari bahan yang bersangkutan. Pemberian label pada kemasan produksi jadi antara lain nama produk, komposisi, cara penyajian, kode produksi, best before, consumer satisfaction, label halal, dan lain lain. Pelabelan produk semi finish goods hanya dilakukan dengan memberi label nomor batch dan tanggal produksi. Sebaiknya pelabelan dilakukan dengan menambahkan keterangan waktu penyimpanan, nilai Aw produk dan total output produk yang dihasilkan untuk mempermudah dokumentasi bagi pihak produksi. Penyimpanan antara bahan baku, bahan kemas dan produk jadi sebaiknya disimpan di tempat yang terpisah. Karena pada kondisi aktual, banyak bahan pengemas dan produk jadi yang disimpan pada Raw Material Storage akibat penumpukan produk jadi . 7.
Kontrol kesehatan pekerja
Pekerja dalam kondisi sakit, luka yang dapat menjadi sumber kontaminasi pada proses pengolahan, kemasan dan produk akhir tidak boleh masuk/bekerja sampai kondisinya benar-benar pulih. PT Unilever Indonesia Tbk melakukan general MCU (Medical Check Up) secara periodik untuk setiap karyawan dan setiap hari disediakan dokter untuk kontrol kesehatan pekerja sehari-hari. Hal di atas sesuai dengan GMP tentang karyawan. 8.
Pencegahan hama pabrik
Ruang produksi, gudang dan ruangan lain harus bebas dari hama pabrik seperti tikus, serangga, dan lain-lain. Pencegahan hama di Pabrik Lion bekerja sama dengan pihak ketiga dalam hal penyediaan fasilitas pencegahan hama seperti monitoring station (perangkap), insect lamp dan fly catcher. Pengecekan kondisi fasilitas tersebut dilakukan secara berkala dan dimonitoring di dalam checklist khusus.
42
Dari keseluruhan hasil pengamatan GMP dan SSOP di pabrik ini, masih terdapat permasalahan pelaksanaan prinsip-prinsip GMP dan SSOP. Beberapa penyebab permasalahan penerapan GMP dan SSOP di Pabrik ini dijabarkan dalam diagram sebab akibar pada gambar 7 Metode
Manusia Jumlah Pekerja
Motivasi
Kepedulian terhadap Kualitas
Terbatas
Sikap Kerja
Beban Kerja
Kerajinan Pelatihan
Frekuensi Area Produksi
Audit
Kedisiplinan
Keahlian
Personnel Peralatan
Checklist
Kesehatan
Kemudahan Mendapat Pengalaman Informasi
Cleaning
Pengecekan
Pengetahuan
Kenyaman dan Keamanan Pekerjaan
Dokumentasi
Keselamatan
Waktu Cleaning Part Mesin Non food grade
Pengajuan PK General Manager Manager Produksi Sekretaris GM
Mesin
Laboratorium APD Fasilitas dan sarana produksi
Frekuensi Kurang Supervisi
Personnel hygiene terbatas
Approval
Penyedian Fasilitas Produksi
Maintenance
Managemen
Penerapan GMP dan SSOP di Pabrik Lion PT Unilever Indonesia Tbk belum maksimal
IKA
Kapasitas area pabrik
Material
Gambar 7. Diagram Sebab Akibat Permasalahan Penerapan GMP dan SSOP di Pabrik Lion PT Unilever Indonesia Tbk
Faktor penyebab masalah ini digolongkan ke dalam lima faktor utama sebagai “tulang besar” yaitu mesin, material, metode, manusia dan managemen. Beberapa permasalahan yang paling dominan adalah permasalahan kedisiplinan higiene dan perlengkapan pekerja, masih terbatasnya fasilitas penunjang proses produksi, serta kondisi mesin dan peralatan yang digunakan selama proses produksi. Oleh karena itu, berbagai upaya perbaikan mulai dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan dengan mulai diterapkannya audit GMP secara berkala.
43
Beberapa usulan perbaikan untuk GMP & SSOP di pabrik ini diantaranya : 1. Mengganti bagian peralatan non stainlees steel dengan bahan stainlees steel (food grade) 2. Menggunakan metode cleaning yang lebih efektif dalam proses produksi dan memperketat monitoring kebersihan peralatan yang digunakan untuk ptoses produksi. 3. Pembuatan sekat antara ruang packing multipack dengan area kantin. 4. Perbaikan pintu-pintu di area produksi yang sudah rusak 5. Penyediaan Pengatur RH khusus (dehumidifier) di area packing hall dan mixing room 6. Menutup jendela-jendela yang terdapat di area RMS 7. Penyediaan fasilitas perlengkapan pekerja dan memperketat monitoring penggunaan APD pekerja di area produksi 8. Penyediaan fasilitas laboratorium di pabrik lion. 9. Menyegerakan penerapan sistem HACCP pada proses produksi bumbu penyedap rasa di pabrik ini. 10. Melengkapi sistem dokumentasi keterangan produk pada raw material dan produk semi finish goods Dari beberapa usulan yang diajukan sudah diterapkan beberapa usulan perbaikan oleh manajemen pabrik sebagai langkah perbaikan penerapan GMP dan SSOP di pabrik baru ini.
5.2
RUANG LINGKUP STUDI HACCP Ruang lingkup dalam penyusunan HACCP ini meliputi seluruh bahaya yang terkait, yaitu fisik, kimia, biologi dan allergen. Produk yang dipilih adalah Royco All in One (AIO) yang diproduksi untuk lokal dan Royco South Africa (SA) untuk eksport. HACCP yang terkait meliputi bahan baku dan pengemas hingga penyimpanan sementara di gudang produksi. Bahaya mikrobiologi untuk produk Royco AIO dan Royco SA tidak terlalu sensitif dikarenakan aktivitas air (Aw) produknya yang rendah. Namun yang harus diperhatikan adalah bahaya mikrobiologi,kimia, allergen dan fisik dari bahan baku yang digunakan dalam proses produksi produk ini. Bahaya kimia yang harus diperhatikan seperti pelumas/oil, sisa dari bahan pembersih, residu pest control dan sebagainya. Bahaya fisik yang memungkinkan Semua material selain bahan mentah yang ditemukan di dalam produk akhir seperti potongan besi,pecahan kaca, plastik, kayu, benang, fragment dari karung plastik, serangga dan sebagainya dikategorikan sebagai benda asing. Ada tiga sumber kontaminasi benda asing: benda asing yang sudah berada di dalam bahan mentah, benda asing yang masuk ke dalam produk pada saat pemasukan bahan ke dalam mixer dan penyaringan produk akhir, serta benda asing yang berasal dari plant. Sumber utama bahaya allergen berupa egg, wheat, chicken dan milk allergen berasal dari bahan mentah yang digunakan.
44
5.3
DESKRIPSI PRODUK DAN PENGGUNAANNYA Deskripsi Produk dan Identifikasi Penggunaannya secara umum dapat dilihat pada lampiran 2 1.
Royco Granule All in One (AIO) Produk ini merupakan produk yang diproduksi untuk lokal di Indonesia. Ukuran tiap kemasan 6 gram. Bahan baku yang digunakan meliputi garam, penguat rasa (mononatrium glutamat, dinatrium inosinat dan guanilat), gula, tapioka, perisa ayam (mengandung kedelai,susu, antioksidan askorbat) , bawang, bubuk telur, lemak ayam (mengandung antioksidan BHA dan propil galat), pati termodifikasi, perisa tumisan (mengandung wijen), hidrolisat protein nabati, bubuk ayam (mengandung TBHQ), lada pemanis buatan sukralosa (20 mg/100g, pewarna alami beta karoten (sintetik) Cl 40800 (Mengandung antioksidan DL alfa tokoferol,natrium askorbat) Kemasan yang digunakan terdiri dari tiga macam. Satu primer dan tiga sekunder. Kemasan primer berbentuk sachet dan bahan yang digunakan merupakan alufoil. Kemasan sekunder berupa outer dari bahan Kraft dengan ukuran 340x285x180 mm untuk pengemasan string pack dan kemasan sekunder dengan ukuran 297x185x150 mm untuk pengemasan multipack serta kemasan plastik berukuran 100x105 mm untuk pengemasan 6 sachet string Royco AIO (Multipack). Produk ini berbentuk granule dengan warna kuning agak pucat. digunakan sebagai flavor enchancer dalam masakan. Umur simpan produk ini 1 tahun, Cara pendistribusian dan penyimpanan pada tempat yang kering dan suhu ruang. Produk ini ditujukan untuk konsumen umum.
2.
Royco Knorr-Granule South Africa (SA) Produk ini merupakan produk untuk dieksport ke Unilever South Africa. Ukuran tiap kemasan 4 kg yang dikemas 3 sachet per kardus. Bahan baku yang digunakan terdiri dari garam, pati termodifikasi, penguat rasa (mononatrium glutamat), gula, tepung terigu, pewarna (E150), ekstrak daging, asam sitrat, bubuk jamur, flavourings, bubuk jahe, lada putih, penguat rasa (E627,E631) Kemasan yang digunakan terdiri dari dua macam. Satu primer dan satu sekunder. Kemasan primer berbentuk gusset dan bahan yang digunakan merupakan alufoil. Kemasan sekunder berupa kardus dari bahan Kraft dengan ukuran 370x280x295 mm. Produk ini berbentuk granule dengan warna kecoklatan. digunakan sebagai flavor enchancer dalam masakan. Umur simpan produk ini 1 tahun, Cara pendistribusian dan penyimpanan pada tempat yang kering dan suhu ruang. Produk ini ditujukan untuk konsumen umum.
45
5.4
PEMBUATAN DIAGRAM ALIR PROSES PRODUKSI Langkah berikutnya adalah penyusunan diagram alir proses yang merupakan suatu urutan tahap kerja dalam satu proses produksi. Diagram alir penting untuk menentukan tahap operasional yang akan mengendalikan untuk menghilangkan atau mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya. Dengan disusunnya diagram alir akan mempermudah pemantauan selama proses produksi bumbu penyedap rasa Royco Granule. Secara keseluruhan proses produksi Royco Granule terdiri dari 5 tahap diantaranya Proses Mixing, Granulating, Drying, Sieving dan Filling. Namun, terdapat beberapa perbedaan point paramater proses antara Royco AIO dan Royco SA. Diagram alir proses produksi selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 3
5.5
VERIFIKASI LAPANG DIAGRAM ALIR PRODUKSI Verifikasi diagram alir produksi yang dilakukan difokuskan kepada parameter proses yang terdapat di setiap titik proses.
5.6
IDENTIFIKASI BAHAYA DAN TINDAKAN PENCEGAHAN Identifikasi bahaya bahan baku dapat dilihat pada lampiran 4 . Identifikasi bahaya pada proses produksi Royco Granule dimulai dari penerimaan bahan baku sampai proses distribusi. Bahaya yang mungkin ada pada penerimaan bahan baku adalah kontaminasi fisik seperti debu, serpihan kayu, kerikil, serangga dan rambut yang dapat bersumber dari lingkungan, pallet pekerja bongkar muat maupun dari kendaraan pengangkut. Hal ini dapat dicegah dengan selalu menjaga kebersihan lingkungan dan peralatan yang digunakan, pekerja yang bekerja menurunkan bahan baku dari truk pengangkut harus melengkapi diri dengan menggunakan perlengkapan kerja untuk mencegah kontaminasi dari pekerja serta kendaraan pengangkut diberi alas agar bahan baku tidak kontak langsung dengan kendaraan. Pada saat penyimpanan raw material, bahaya yang mungkin timbul dapat disebabkan dari kondisi ruangan yang lembab, kontaminasi hewan maupun karyawan. Hewan yang dapat mengontaminasi pangan seperti tikus, burung, serangga tidak boleh ada di area pengolahan. Hewan-hewan tersebut memakan kotoran sehingga seringkali membawa organisme penyebab penyakit pada bagian tubuhnya. Pencegahan dapat dilakukan dengan pembersihan dan pengepelan setiap hari dengan menggunakan zat pembersih, melakukan pest control sesuai jadwal dan prosedur yang ditetapkan. Berdasarkan identifikasi dan penetapan CCP, dari semua bahan baku yang digunakan pada proses produksi bumbu penyedap rasa, terdapat empat golongan yang dikategorikan sebagai OPRP (not CCP) yaitu golongan natural spice, flours, miscellanous dan texturizing agents berupa cemaran fisik benda asing dan cemaran kimia berupa kontaminasi logam dengan tindakan pencegahan berupa pembelian raw material dari approved supplier dan pengecekan visual pada saat penerimaan raw material
46
Bahaya fisik yang terdapat pada semua bahan baku dapat dikategorikan bukan CCP (OPRP) karena pada proses produksi Royco AIO dan Royco SA ada proses untuk menghilangkan bahaya fisik tersebut dengan penyaringan. Bahaya mikrobiologi yang perlu diperhatikan adalah pada bahan baku gula dan tepung tapioka pada proses produksi Royco AIO dan pada bahan baku gula,tepung tapioka dan tepung terigu pada produksi Royco SA karena jumlah bahan yang digunakan dalam produksi cukup banyak . Mikrobiologi dapat tumbuh jika kondisi penyimpanan tidak benar dan Mikrobiologi yang dapat tumbuh pada produk bumbu penyedap rasa ini adalah bakteri, kapang dan khamir. Kapang dapat hidup pada pH yang lebih luas dari bakteri dan khamir yaitu 2.0-8.5, tetapi pertumbuhannya akan lebih baik pada kondisi asam Kapang dapat tumbuh pada suhu rendah dan tinggi. Semua kapang bersifat aerobik, yaitu membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya. Sebagian besar kapang hidup pada Aw 0.9, tetapi beberapa jenis kapang osmofilik dapat hidup pada Aw yang rendah yaitu 0.6 (Fardiaz 1992). Setelah dilakukan identifikasi bahaya maka selanjutnya dilakukan analisa resiko bahaya. Matriks analisa bahaya (risk assesment) yang digunakan di PT Unilever Indonesia Tbk dapat dilihat pada lampiran 5. Identifikasi bahaya dan tindakan pencegahan atau pengendalian bahaya di PT Unilever Indonesia Tbk untuk proses produksi Royco Granule dapat dilihat pada lampiran 6
5.7
IDENTIFIKASI TITIK KENDALI KRITIS (CCP)
Titik Kendali Kritis (CCP) merupakan langkah dimana kontrol terhadap suatu langkah dapat dilaksanakan, yang penting untuk mencegah atau menghilangkan bahaya (hazard) pada produk pangan atau mengurangi bahaya tersebut sampai pada tingkat yang aman. Penentuan CCP untuk setiap proses ditentukan dengan bantuan pohon keputusan (decision tree) seperti dapat dilihat pada lampiran 7. Pohon keputusan merupakan urutan pertanyaan untuk menentukan apakah suatu titik kendali merupakan CCP atau bukan CCP. Dalam proses produksi royco granule, pada awalnya terdapat dua CCP yaitu pada proses mixing dan proses filling. Pada proses mixing terdapat Siever yang berguna untuk menyaring kontaminasi berupa benda asing sebelum proses mixing dilakukan, namun pada kondisi aktual secara operasional terdapat hambatan penerapan CCP tersebut dikarenakan beban raw material yang cukup berat jika pekerja memasukkan dan melakukan penyaringan secara manual dengan Siever. Sehingga diputuskan untuk melakukan trial dengan menggunakan vibrator pada Siever Mixer yang akan menjadi project HACCP selanjutnya Pada proses produksi aktual Royco AIO dan Royco SA terdapat satu CCP (Critical Control Point). CCP merupakan suatu tahapan atau prosedur yang dapat mencegah, menghilangkan atau mengurangi terjadinya bahaya hingga level yang dapat diterima. CCP kedua produk ini hampir sama, hanya saja terdapat perbedaan sistem filling pada CCP kedua pada produk ini. CCP dalam proses produksi ini adalah pada metal detector saat penyaringan bahan logam yang terdapat pada produk semi finish goods saat sebelum di filling. Pada kedua produk ini terdapat dua jenis sistem filling,proses filling pada Royco AIO menggunakan
47
mesin pengemas dengan metal detector yang sudah terpasang pada mesin. Sedangkan pada Royco SA, menggunakan mesin metal detector khusus dan bahan dilewatkan secara manual ke dalam mesin ini, kemudian baru dikemas. Karena produk ini memilik spesifikasi Aw ynag rendah, sehingga tidak terlalu sensitif terhadap bahaya mikrobiologi. Yang harus diperhatikan adalah dari segi organoleptik produk ini. Pada CCP yang dikontrol adalah bahaya fisik yang beresiko tinggi terhadap kesehatan bila kontrol hilang. Penentuan CCP untuk tahapan proses dapat dilihat pada lampiran 8 . Dari keseluruhan proses juga terdapat beberapa OPRP pada penerimaan bahan baku dan proses penyaringan pada Siever oleh V-brow Siever. Penentuan OPRP untuk tahapan proses dapat dilihat pada lampiran 9.
5.8
MENENTUKAN BATAS KRITIS
Pada setiap CCP yang telah ditetapkan, ditentukan batas kritis (critical limit). Batas kritis adalah batas toleransi maksimum/ minimum dimana tititk tersebut memisahkan antara level yang masih diterima atau yang ditetapkan dan harus dipenuhi untuk menjamin bahwa suatu CCP secara efektif. Batas kritis pada CCP Proses Royco Granule adalah dengan menggunakan Test wand untuk mendeteksi logam Fe minimum 1.2 mm, Non Fe minimum 1.5 mm dan SS minimum 2 mm. Batas kritis untuk setiap CCP selengkapnya dapat dilihat pada HACCP plan di Lampiran 8.
5.9
MENENTUKAN PROSEDUR PEMANTAUAN
Pemantauan/ Monitoring merupakan tindakan observasi atau pengukuran yang terencana ntuk menguji apakah sebuah CCP dapat dikontrol atau tidak. Dalam produksi bumbu penyedap rasa royco granule , pemantauan dilakukan secara observasi visual untuk melihat kondisi mesin dan peralatan, serta dengan dilakukannya pemeriksaan kondisi mesin secara rutin setiap awal proses oleh pekerja dan pengecekan kondisi mesin berkala yang dilakukan oleh teknisi dari pihak engineering.
5.10
MENENTUKAN PROSEDUR TINDAKAN KOREKSI
Tindakan koreksi adalah segala tindakan yang diambil saat hasil monitoring CCP mengindikasikan hilangnya kendali. Tindakan koreksi terhadap tahap yang diidentifikasikan sebagai CCP pada rencana HACCP di pabrik ini dilakukan untuk merealisasikan tindakan pengendalian bahaya yang terdapat pada sistem monitoring terutama pada kondisi mesin dan peralatan yang digunakan dan kondisi produk pada saat proses berlangsung. Bahaya yang mungkin timbul tersebut dapat terjadi sebagai akibat penyimpangan yang ada. Disamping itu, tindakan koreksi bertujuan untuk mengevaluasi pengambilan tindakan pencegahan pada tahap monitoring.
48
5.11
PENETAPAN PROSEDUR VERIFIKASI
Prosedur verifikasi diperlukan untuk mengevaluasi apakah sistem HACCP masih diimplementasikan dengan efektif atau tidak. Verifikasi mencakup dua kegiatan, validasi dan verifikasi. Validasi merupakan kegiatan memperoleh bukti bahwa unsur-unsur dari rencana HACCP berjalan efektif. Verifikasi adalah aplikasi dari metode-metode, prosedur pengujian dan bentuk evaluasi lainnya sebagai tambahan dalam sistem monitoring untuk menerapkan kesesuaian dengan sistem HACCP. Verifikasi dapat dilakukan dengan mengevaluasi metode, prosedur dan pengujian, review HACCP system dan record, review penyimpangan, untuk memastikan bahwa CCP masih terkontrol, internal audit, eskternal audit, analisis komplain, pengukuran kepuasan pelanggan, evaluasi supplier, dan lain-lain. Sistem dokumentasi sistem HACCP di Pabrik Lion PT Unilever Indonesia Tbk berdasarkan instruksi kerja (IK) yang berhubungan dengan sistem HACCP.
5.12
MENENTUKAN PROSEDUR PENCATATAN YANG EFEKTIF
Keseluruhan dokumen baik HACCP Plan dan dokumen pendukung, Dokumen Monitoring, Dokumen Corrective Actions dan Dokumen Prosedur Verifikasi harus didokumentasikan dan dilakukan pencatatan secara efektif untuk mendukung keberhasilan implementasi sistem HACCP di Pabrik Lion PT Unilever Indonesia Tbk. PROJECT II. SPC
5.1
OBSERVASI LAPANG DAN IDENTIFIKASI MASALAH
PT Unilever Indonesia Tbk sub divisi Lion selama ini telah menggunakan beberapa dari tujuh alat bantu atau seven tools untuk menganalisa permasalahan kerusakan produk maupun loss bahan yang terjadi sepanjang proses produksi Namun perusahaan belum melakukan analisa menyeluruh terhadap faktor-faktor penyebab terjadinya penyimpangan mutu produk semenjak awal produksi berlangsung. Sebagai langkah awal, maka dicoba diterapkan pengendalian proses secara statistik atau Statistical Process Control untuk menganalisis dan mengendalikan mutu aktivitas air (Aw) pada produk bumbu penyedap rasa Royco All in One yang menjadi permasalahan utama dalam proses produksi . Produk Royco All in One adalah produk yang paling sering diproduksi di Pabrik Lion PT Unilever Indonesia Tbk. Spesifikasi Aw produk ini yaitu antara 0,25 – 0,35. Ruang lingkup observasi di lapangan terfokus pada proses pengolahan bumbu penyedap rasa. Observasi lapang meliputi kegiatan pengamatan proses pembuatan bumbu penyedap rasa di PT. Unilever Indonesia dan kegiatan identifikasi permasalahan sepanjang proses produksi dan mutu produk akhir diawali dengan Brainstorming antara Manager Produksi dan Asisten Manager Produksi. Terdapat beberapa permasalahan mutu produk bumbu penyedap rasa diantaranya Aw, produk gumpal/ caking dan particle size. Berdasarkan data diagram pareto permasalahan penyimpangan mutu bulan Januari 2012
49
pada gambar 8, Aw menjadi permasalahan mutu utama produk bumbu penyedap rasa berdasarkan proporsi kejadian yaitu sebesar 81.25% dari total proporsi kejadian permasalahan mutu yang ada.
Gambar 8 . Diagram Pareto Jenis Penyimpangan Mutu Produk Bumbu Penyedap Rasa Pada Bulan Januari 2012 Permasalahan mutu yang difokuskan adalah Aktivitas air (Aw). Aw produk yang tidak sesuai spesifikasi memiliki indikasi bahwa pihak perusahaan belum melakukan pengendalian mutu dengan baik. Aw produk yang kurang dari spesifikasi akan merugikan pihak konsumen dikarenakan Aw produk yang terlalu rendah kemungkinan akan mempengaruhi sifat organoleptik produk bumbu penyedap rasa, sedangkan Aw produk yang melebihi spesifikasi akan merugikan pihak produsen karena produk ini harus dirework dengan melakukan pengeringan kembali pada suhu yang tidak terlalu tinggi dengan persetujuan dari pihak QC dan RnD, namun apabila setelah dirework Aw produk masih terlalu tinggi, maka produk tersebut harus diblock oleh QC in line produksi sehingga menimbulkan kerugian biaya produksi akibat batch produk yang diblock. Pengendalian mutu Aw produk ini dilakukan dengan proses pengecekan oleh tiga orang QC in line yang terbagi ke dalam tiga shift produksi. QC in line bertugas untuk melakukan pengecekan Aw setiap batch. Metode pengukuran yang dilakukan adalah dengan melakukan sampling satu cup sampel dari produk semi finish goods setelah 30 menit produk dikeringkan, lalu akan dilakukan pengukuran Aw kembali pada batch tersebut setelah 18 jam saat sebelum difilling. Namun, pada kondisi aktual produk semi finish goods tidak dicek tepat 30 menit setelah produk dikeringkan karena kendala lamanya pengukuran Aw pada Awmeter yang terdapat di area produksi dan hasil pengecekan Aw setelah 18 jam yang terkadang sering tidak dilakukan sehingga data record Aw pada logbook QC tidak lengkap. Penerapan pengendalian mutu menggunakan teknik-teknik statistika atau Statistical Process Control merupakan metode yang paling mudah digunakan untuk menjelaskan bagaimana kondisi proses yang terjadi sehingga variasi Aw pada produk. Hasil analisis data akan menghasilkan kondisi aktual yang diinterpretasikan melalui bentuk bagan maupun grafik sehingga lebih mudah untuk dipahami dan hasilnya diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk melakukan perbaikan secara berkelanjutan. Tahapan awal
50
untuk mengetahui adalah dengan melakukan pengukuran dan (record) Aw produk akhir dalam kurun waktu tertentu.
5.2
pengumpulan data-data
PENGUMPULAN DATA DAN ANALISIS MUTU PRODUK .
Data yang digunakan pada penelitian magang ini didapatkan dengan melaksanakan penelitian langsung ke perusahaan. Data yang dibutukan dibagi menjadi dua, primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari pengamatan dan pengukuran secara langsung di lapangan, yaitu dengan melihat permasalahan yang terjadi di lokasi produksi dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya penyimpangan mutu Aw produk bumbu penyedap rasa serta Data pengukuran Aw produk akhir. Data ini dikumpulkan dengan beberapa teknik, antara lain adalah melalui pengamatan langsung di pabrik, wawancara dan diskusi langsung dengan pihak-pihak yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari catatan perusahaan seperti data pengukuran Aw produk semi finish goods, data tentang sejarah perusahaan, dokumen pengendalian dan pengawasan mutu proses produksi, dan instruksi kerja/SOP. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya parameter produk bumbu penyedap rasa yang tidak sesuai dengan standar merupakan produk yang tidak dapat dipasarkan kepada konsumen. Batch produk semi finish goods yang diblock ini akan dipisahkan dari produk semi finish goods yang lolos standar mutu produk sebelum melewati tahap pengemasan. Langkah awal pengumpulan data dilakukan dengan melakukan pengolahan terhadap data dokumentasi produksi selama dua bulan terakhir untuk melihat persentase jenis penyimpangan mutu yang terjadi di PT Unilever Indonesia Tbk. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data penyimpangan mutu Aw produk yang terjadi pada bulan Januari 2012. Bumbu penyedap rasa yang dimaksud adalah bumbu penyedap rasa Royco All in One kemasan isi 6 gram yang paling banyak diproduksi di PT Unilever Indonesia Tbk. Untuk memperoleh data yang akurat dan sekaligus untuk analisis yang valid, terdapat tujuh alat bantu yang dikenal dengan istilah seven tools. Ketujuh alat bantu ini adalah lembar pengumpulan data (check sheet), stratifikasi, grafik dan bagan pengendali, Diagram Pareto,diagram sebab-akibat (fishbone diagram), diagram pencar (scatter diagram), dan histogram. Pemilihan jenis tools yang akan digunakan harus disesuaikan dengan kondisi tim perbaikan mutu dan permasalahan yang akan dipecahkan (Muhandri dan Kadarisman 2008). Seperti dijelaskan di paragraf sebelumnya, dilakukan pengumpulan data primer produk finish goods bumbu penyedap rasa. Pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil tiga renceng sampel dari tiga titik yaitu pada bagian awal, tengah dan akhir produk dari belt chain conveyor saat setelah keluar dari mesin filling untuk setiap batch. Dari tiga renceng kemudian dilakukan sampling secara acak dua sampel dari renceng bagian awal dan akhir dengan total pengambilan sampel 252 batch terhitung mulai dari tanggal 14 Februari- 14 Maret 2012. Total batch ini agar pengambilan sampel dapat mewakili total batch produksi berdasarkan data record produksi bulan sebelumnya yang ditunjukkan pada gambar 9
51
Gambar 9. Data Record Produksi Bumbu Penyedap Rasa di Pabrik Lion PT Unilever Indonesia Tbk
5.3
PEMBUATAN BAGAN KENDALI
Pembuatan bagan kendali memerlukan beberapa data yang telah ada atau praspesifikasi untuk menguji hipotesis bahwa proses dalam kondisi terkendali (Tapiero 1996). Parameter yang dianalisa adalah Aw, dan hasil pengukuran Aw sampel produk akhir bumbu penyedap rasa diplot dengan menggunakan bagan kendali. Bagan kendali digunakan untuk menganalisis keterkendalian proses yang berlangsung selama pengambilan atau pengukuran sampel. Spesifikasi produk dan proses harus disusun pada setiap tahap proses dan dikendalikan agar selalu sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan (Muhandri dan Kadarisman 2006). Pengambilan sampel Aw produk finish goods yang diambil adalah sebanyak 252 batch dengan dua sampel hasil sampling untuk bagian awal dan akhir dari setiap batch. Pengambilan sampel produk finish goods ini dikarenakan pada kondisi aktual QC in line hanya melakukan pengecekan Aw kembali setelah 18 jam produk semi finish goods disimpan berdasarkan standar lama maksimum penyimpanan yaitu maksimum 18 jam. Namun, terkadang tidak dilakukan pengecekan kembali sehingga data Aw pada logbook QC tidak lengkap. Berdasarkan data yang diperoleh, maka bagan kendali yang digunakan untuk menganalisis Aw produk secara statistik adalah bagan kendali i- chart dan Moving Range (MR) chart karena proses produksi bumbu penyedap rasa yang homogen (batch) dan dalam menganalisis data tersebut menggunakan program pengolah data statistik Minitab 16. Bagan kendali i-MR dapat dilihat pada gambar 10.
52
Gambar 10. Bagan Kendali i-MR untuk Aw produk finish goods bumbu penyedap rasa Bagan kendali i pada Gambar 10 menunjukkan nilai tengah atau X-bar sebesar 0,3015, artinya rata-rata Aw produk akhir selama pengambilan sampel (252 batch produksi) adalah 0,3015. Batas kendali atas (UCL) sebesar 0,3376 dan batas kendali bawah (LCL) sebesar 0,2655. Artinya batas kendali Aw produk akhir (selama 252 batch) berada pada kisaran 0,3015 dan 0,3376. Bagan kendali i-chart tersebut menunjukkan titik di luar batas kendali yang memenuhi kriteria proses tidak terkendali. Pada bagan kendali R nilai UCL, MR-bar dan LCL berturut-turut adalah 0,04429, 0,01335 dan 0. Artinya setiap batch pengambilan sampel memiliki batas kendali rentang antara 0 sampai 0,04429 dengan rentang rata-rata 0,01355. Bagan kendali R menunjukkan 16 titik yang berada di luar batas kendali. Bagan kendali MR tersebut memperlihatkan bahwa Aw produk akhir bumbu penyedap rasa dalam kondisi tidak terkendali. Berdasarkan bagan kendali tersebut, dapat dilihat bahwa banyak titik yang berada di luar batas kendali atas maupun batas kendali bawah. Hal ini menunjukkan bahwa proses pembuatan bumbu penyedap rasa belum memenuhi kriteria proses yang tidak terkendali secara spesifik karena masih mengandung variasi penyebab khusus (special causes variation) . Variasi adalah ketidakseragaman dalam sistem produksi atau operasional sehingga menimbulkan perbedaan dalam mutu pada output (barang/jas yang dihasilkan). Variasi penyebab khusus (special-causes variation) adalah kejadian kejadian diluar sistem yang mempengaruhi variasi dalam sistem. Penyebab khusus ini mengambil pola-pola non acak (non random patterns) sehingga dapat diidentifikasi/ditemukan, sebab mereka tidak selalu aktif dalam proses tetapi memiliki pengaruh yang lebih kuat pada proses sehingga menimbulkan variasi. Dalam konteks pengendalian proses sehingga menimbulkan variasi. Dalam konteks pengendalian proses statistikal menggunakan bagan kendali atau kontrol (control chart), jenis variasi ini sering ditandai dengan titik-titik
53
pengamatan yang melewati atau keluar dari batas-batas pengendalian yang didefinisikan (defined control limit) (Gaspersz 1998). Berdasarkan hasil perhitungan nilai kapabilitas proses (Cp) didapat nilainya sebesar 1.39 dan Indeks performansi Kane (Cpk) sebesar 1.34 . Hal ini menunjukkan bahwa kapabilitas prosesnya baik karena Cp> 1.33, menunjukkan rata-rata kisaran pada proses ini relatif kecil, sehingga proses pun sangat baik. Berdasarkan ukuran kinerja Kane (Cpk) yang telah dihitung didapat sebesar 1.34. Hal ini menunjukkan bahwa pada proses produksi bumbu penyedap rasa yang mempunyai nilai rata-rata pengukuran 0.3015 mempunyai kecenderungan sangat mendekati nilai target yaitu 0.30 sehingga proses ini sudah mampu mencapai nilai target. Hanya saja masih terdapat beberapa batch di bawah batas spesifikasi bawah dan di atas batas spesifikasi atas.
Gambar 11. Kapabilitas Proses untuk Aw produk finish goods bumbu penyedap rasa Nilai kapabilitas proses yang didapat belum dapat digunakan sebagai acuan proses dikarenakan parameter mutu Aw pada proses produksi bumbu penyedap rasa memenuhi kriteria tidak terkendali. Proses yang tidak terkendali ini disebabkan adanya variasi khusus. Pihak manajemen harus melakukan perbaikan proses secara terus-menerus dengan cara menghilangkan variasi khusus agar dapat meningkatkan mutu untuk mencapai tingkatan produksi yang lebih baik.
5.4
IDENTIFIKASI PENYEBAB PERMASALAHAN
Penyebab variasi Aw produk finish goods dicari melalui teknik brainstorming untuk mengidentifikasi permasalahan yang hasilnya dapat dilihat pada diagram sebabakibat (Gambar 15). Identifikasi permasalahan dimaksudkan untuk mengenali sumber permasalahan. Brainstorming dilakukan dengan asisten manager produksi, supervisor produksi dan karyawan maintenance engineering.
54
Dari hasil brainstorming tersebut, dilanjutkan dengan pembuatan diagram sebab akibat. Untuk membuat diagram sebab akibat, pertama-tama ditentukan dahulu akibat (effect) yang merupakan “kepala ikan” pada sisi sebelah kanan kertas. Akibat yang dimaksudkan disini adalah variasi Aw produk finish goods bumbu penyedap rasa. Setelah dilakukan brainstorming kembali dengan pihak produksi, Faktor penyebab masalah ini digolongkan ke dalam tiga faktor utama sebagai “tulang besar” yaitu mesin, metode dan lingkungan.
55
56
Temperatur & RH
Material Handling
Drying
Lingkungan
Lama penyimpanan Kondisi penyimpanan
Penyimpanan
Unloading
Produk Semi Finish Goods
Filling
Mixing
Pengukuran
Packing Hall
RMS
Temperatur
Mixing Room
RH
Bed Dryer
Aliran uap panas
tekanan
Variasi Aw Produk Finish Goods Bumbu Penyedap Rasa
Dehumidifier
Temperatur
Boiler
Gambar 12. Diagram Sebab Akibat Penyebab Variasi Aw Produk Finish Goods Bumbu Penyedap Rasa
Metode
Parameter Pengecekan
Frekuensi
Waktu Pengecekan
Pengawasan
Packing Hall
Pengecekan
Temperatur
Blower
Pengontrol Temperatur/RH area produksi Control Panel Sensor
Jumlah sampel RH Takaran sampel Mixing Room RMS Sampling
Aw
Waktu Tunggu Bahan
Breakdown/stop Mixer
Mespack
Breakdown/stop Waktu tunggu bahan
Bextruder
Torsi
Mesin
1.
Mesin
Mesin merupakan faktor yang paling berpengaruh secara langsung terhadap variasi aktivitas air (Aw) produk bumbu penyedap rasa Royco All in one. Dalam proses produksi bumbu penyedap rasa terdapat lima tahap, yaitu pencampuran (Mixing), granulasi (granulating) , pengeringan (Drying), pengayakan (Sieving) dan pengemasan (filling). Mesin/ peralatan yang berpengaruh terhadap variasi Aw adalah mixer, bextruder, dryer, dehumidifier, mespack dan pengatur temperatur/RH area produksi. Pemeliharaan dan pengecekan kondisi mesin/peralatan selama proses produksi berlangsung merupakan salah satu faktor yang juga mempengaruhi variasi Aw. Mixer berpengaruh terhadap homogenitas produk yang dihasilkan, waktu mixing dan temperatur bahan selama proses mixing berlangsung perlu diperhatikan. Mixer yang digunakan dalam proses sudah terdapat pengatur waktu mixing, namun mesin ini tidak dilengkapi panel yang menunjukkan suhu aktual bahan di dalam mesin. Setelah proses mixing selesai, bahan dikeluarkan dari mixer dan ditampung ke dalam bin stainlees steel berkapasitas 350 kg atau satu batch produksi. Bahan yang sudah ditampung di dalam bin akan ditransfer secara manual menuju conveyor belt chain untuk dialirkan menuju bextruder. Lama unloading,kondisi temperatur/RH area mixing room dan setting kecepatan mesin bextruder akan mempengaruhi keluaran ukuran partikel dan temperatur produk yang dihasilkan. Standar lama unloading selama proses adalah maksimum satu jam dan pengaturan kecepatan mesin bextruder selalu dikontrol dan didokumentasikan ke dalam checksheet selama proses produksi berlangsung untuk mencegah terjadinya breakdown, Kondisi bextruder yang sering terjadi breakdown akan mengakibatkan waktu tunggu bahan selama unloading akan menjadi lebih lama dan mempengaruhi variasi suhu keluaran bahan yang dihasilkan. Proses pengeringan menjadi salah satu faktor penting dalam menurunkan Aw produk, karena pengeringan bertujuan untuk mengurangi kandungan air dalam bahan pangan sampai sangat rendah sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan dan memperpanjang daya simpannya. Pada proses pengeringan bumbu penyedap rasa ini menggunakan pengeringan sistem kontinyu dengan pemanasan langsung, mesin pengering yang digunakan adalah fluidized bed dryer dimana pada kondisi aktual bahan diangkut dengan plat bergetar kemudian dihembuskan dengan udara panas/ steam dari pipa blower bagian bawah yang berasal dari suplai aliran boiler yang berada di luar pabrik. Standar temperatur pengeringan berkisar antara 95-1050C yang diatur untuk setiap blower di dalam dryer. Suplai steam dari boiler dan setting temperatur panel blower pada dryer sangat mempengaruhi kinerja mesin tersebut. Apabila suplai steam boiler tidak stabil, maka hal ini akan sangat berpengaruh terhadap kestabilan temperatur proses pengeringan. Pada kondisi aktual, temperatur proses pengeringan menjadi salah satu parameter penting yang dikontrol dan diamati setiap batch. Operator melakukan perubahan setting parameter suhu jika hasil pengecekan Aw semi finish goods setelah proses pengeringan di luar spesifikasi standar. Tidak adanya panel suhu yang menunjukkan kondisi temperatur aktual bahan di dalam mesin selama proses pengeringan berlangsung menjadi salah satu hambatan operator dalam mengontrol
57
kondisi proses, karena dokumentasi suhu panel yang dilakukan hanya berdasarkan panel sensor suhu yang terpasang di setiap bagian pipa blower yang terletak di luar pabrik. Setelah melalui tahap pengeringan, produk dilewatkan secara langsung ke dalam dehumidifier yang ditempatkan pada satu line proses pengeringan. Dehumidifier ini berfungsi untuk proses cooling atau pendinginan bahan secara cepat sebelum bahan masuk ke dalam Siever untuk proses pengayakan. Temperatur aliran steam dehumidifier yang tidak stabil mengakibatkan temperatur pendinginan bahan yang bervariasi. Produk yang telah melalui proses pengayakan dikemas ke dalam pengemas plastik, kemudian diletakkan dan disusun di atas pallet. Pallet berisi produk semi finish goods kemudian ditransfer menuju packing hall untuk disimpan sementara dan dilakukan pengecekan Aw 30 menit setelah melalui proses pengeringan. Selama penyimpanan yang perlu diperhatikan adalah kondisi pengatur temperatur/RH di area packing hall. Packing Hall dilengkapi dengan dua AC split dan dua AC window, serta area ini tidak dilengkapi pengatur RH khusus atau dehumidifier. Pengaturan RH pada area ini menggunakan Outdoor dari AC. Kondisi temperatur dan RH yang tidak stabil selama proses penyimpanan menyebabkan variasi Aw pada setiap pallet berisi produk. Standar lama maksimum penyimpanan adalah maksimum 48 jam, QC in line akan melakukan pengecekan ulang jika produk sudah lewat dari masa penyimpanan 18 jam. Namun pengecekan ulang terkadang tidak dilakukan karena ketidakdisiplinan QC in line dalam melakukan pengecekan. Selanjutnya, pada tahap akhir proses yaitu proses filling, lama proses filling mempengaruhi kondisi bahan akibat waktu tunggu bahan yang cukup lama di dalam hopper mespack sehingga kemungkinan dapat mempengaruhi variasi Aw pada produk selama proses tersebut berlangsung. 2.
Lingkungan
Salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi Aw adalah kondisi lingkungan. Aktivitas air atau Aw dapat ditentukan pada saat terjadi kondisi kesetimbangan dengan air dan udara atau disebut kelembaban relatif keseimbangan (Equilibrium Relative Humidity atau ERH), sehingga Aw dapat ditentukan dari hubungannya dengan ERH. Pada kondisi terjadi kesetimbangan antara air dalam bahan pangan dengan air di lingkungan, maka tidak akan terjadi perpindahan air dari bahan pangan ke udara dan sebaliknya. Oleh karena itu, setiap area produksi dilengkapi mesin pendingin (AC) untuk mengendalikan temperatur ruangan, kecuali ruang pengeringan (Drying room). Pada mixing room dan packing hall dilengkapi dengan outdoor dari AC yang secara aktual digunakan sebagai pengatur RH ruangan dan pada Raw Material Storage tidak dilengkapi dengan pengatur RH, karena bahan-bahan yang disimpan didalamnya adalah bahan yang tidak memerlukan kondisi khusus dan perputaran penggunaan bahan tersebut cepat. Standar temperatur dan kelembaban untuk setiap ruangan berbeda. Berikut adalah tabel checklist standar temperatur dan RH untuk setiap area produksi:
58
Tabel 1. Standar temperatur dan RH area produksi pabrik lion PT Unilever Indonesia Tbk Standard RMS Mixing Room 0 Temperature < 25 C < 250C RH < 50% < 50%
Packing Hall <250C < 45-50%
Sumber : Lion factory, PT Unilever IndonesiaTbk.
Pada tabel checklist tersebut terdapat kesalahan standar RH terutama pada area packing hall, kondisi RH aktual selama proses produksi berlangsung adalah selalu di atas 40%. Setelah dilakukan verifikasi standar, RH area packing hall seharusnya adalah max.40%. Temperatur dan RH yang juga tidak stabil di area packing hall selama produk semi finish goods disimpan hingga proses filling berlangsung juga menjadi salah satu faktor penyebab variasi Aw produk finish goods bumbu penyedap rasa. 3.
Metode
Beberapa metode yang dapat menyebabkan terjadinya variasi Aw produk Royco All in One diantaranya metode penyimpanan, metode pengecekan Aw, material handling di setiap proses dan Pengukuran Temperatur/RH di area produksi. Metode penyimpanan sangat berhubungan dengan kondisi ruangan, dimana temperatur dan RH ruang penyimpanan perlu diperhatikan. Apabila temperatur dan RH fluktuatif, maka kondisi Aw produk juga akan berubah menyesuaikan kondisi lingkungannya. Pada kondisi aktual tidak ada ruang penyimpanan khusus, karena tempat penyimpanan produk dan proses filling berada di dalam satu area packing hall. Oleh karena itu, metode pengecekan temperatur dan RH juga sebaiknya dilakukan secara teratur di setiap shift. Pada material handling di beberapa proses juga perlu diperhatikan, terutama beberapa titik proses dimana bahan kontak langsung dengan udara luar cukup lama diantaranya persiapan raw material sebelum proses mixing, unloading bahan, transfer material menuju bucket pada saat proses filling. Pengecekan Aw merupakan metode yang perlu diperhatikan selama proses produksi. Pengecekan Aw dilakukan dua kali yaitu pada saat 30 menit setelah produk dikeringkan dan pengecekan kedua dilakukan 18 jam setelah produk disimpan. Teknik sampling, takaran pengukuran sampel dan kondisi area pada saat pengukuran menjadi faktor yang mempengaruhi metode pengecekan Aw. Pada kondisi aktual, lamanya pengukuran Aw setiap sampel menjadi hambatan QC in line untuk melakukan pengecekan ulangan Aw setiap batchnya karena keterbatasan fasilitas Awmeter di pabrik ini. Selain itu metode pengecekan temperatur/RH di setiap area produksi pada kondisi aktual tidak dilakukan. Indikator Temperatur/RH sebagai alat untuk mempermudah pengecekan hanya tersedia satu di area packing hall. Pengecekan kondisi ini terhambat karena masih terbatasnya penyediaan alat pengukur di pabrik ini.
59
Menentukan Penyebab Masalah Terbesar Menggunakan Why-Why Analysis dan Diagram Pareto Melalui Pendekatan proses di Setiap Area Produksi Analisis selanjutnya menggunakan pendekatan proses produksi dengan pengamatan 30 batch mulai dari Raw Material Storage, mixing & granulating, drying & Sieving, intermediate storage & Filling. Dari setiap bagian tersebut akan dilihat titik-titik yang berpotensi menyebabkan variasi Aw pada produk finish goods bumbu penyedap rasa, lalu dilanjutkan dengan tindakan-tindakan korektif maupun preventif yang dapat diaplikasikan secara langsung maupun dalam bentuk saransaran yang bermanfaat. 1.
Raw Material Storage
Pengamatan temperatur dan kelembaban dilakukan di RMS. Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui apakah kondisi RMS sudah memenuhi standar yang telah ditentukan, sehingga tidak akan mempengaruhi bahan-bahan yang disimpan di dalamnya. RMS tidak dilengkapi dengan sistem pengontrolan udara, karena bahan-bahan yang disimpan di dalamnya adalah bahan yang tidak memerlukan kondisi khusus dan perputaran penggunaan bahan tersebut cepat. Suhu dan kelembaban relatif yang diterapkan di RMS adalah 20-25°C dan RH max.50%. Pengukuran temperatur dan RH dilakukan setiap batch selama proses produksi berlangsung dari shift pagi hingga siang. Hasil pengukuran temperatur dan RH dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14
24
Temperatur (oC)
21 18 15 12 Temperatur
9 6 3 0 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 Batch
Gambar 13. Pengamatan Temperatur 30 batch selama proses produksi di area raw material storage
60
RH (%)
55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
RH (%)
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 Batch Gambar 14. Pengamatan RH 30 batch selama proses produksi di area raw material storage Dari hasil pengamatan dapat dilihat bahwa temperatur cukup stabil namun RH sangat fluktuatif. Hasil yang diperoleh kurang sesuai karena seharusnya pergerakan RH diikuti dengan pergerakan temperatur. Perubahan RH yang tidak stabil ini cukup mempengaruhi keadaan bahan yang tersimpan di dalamnya. Pengaruh RH akan semakin tinggi apabila kemasan bahan baku yang tersimpan di dalamnya sudah tidak baik. Pada kondisi aktual Raw Material Storage hanya dilengkapi Air Conditioner sebagai pengatur udara dan tidak dilengkapi pengatur RH atau Dehumidifier. Pergerakan bahan dan pekerja yang cukup mobile ke dalam area RMS dan pada kondisi aktual pembatas antara RMS dan area produksi lainnya hanya dilapisi plastik curtain. Banyaknya celah udara dari plastik curtain akan sangat mempengaruhi keadaan RMS sehingga temperatur dan kelembabannya fluktuatif. Perilaku pekerja juga sesekali menyalahgunakan RMS, semakin banyak orang yang berada dalam RMS maka akan menaikkan kelembabannya dan akan membuat kelembaban relatif menjadi semakin naik dan akan mempengaruhi bahan-bahan yang berada didalamnya. Setelah itu, dilakukan analisis lebih lanjut untuk menentukan solusi permasalahan yang ada dengan why-why analisis agar dapat ditentukan saran tindakan pengendalian dengan tepat. Hasil why-why analisis yang dilakukan dapat dilihat pada lampiran 10. 2.
Mixing Room Pada area mixing room terdapat dua proses yaitu proses pencampuran atau mixing dan granulating. Urutan pencampuran bahan dan waktu yang digunakan saat pencampuran akan mempengaruhi terhadap rasa dan lamanya proses produksi. Waktu yang dibutuhkan pada proses mixing adalah 7 menit dan sudah diatur pada panel mesin. Urutan pemasukan bahan-bahan dimulai dari bahan yang berjumlah lebih banyak terlebih dahulu, dilanjutkan bahan dengan jumlah yang sedikit. Hal ini untuk mencegah bahan dengan jumlah sedikit
61
tersebut tidak tercampur dengan baik atau tertinggal di bagian bawah mesin. Pengamatan terhadap temperatur bahan setelah keluar dari mesin mixer dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Pengukuran temperatur bahan saat keluar dari mixer Batch T Mixer (0C) Batch 1 28,5 16 2 29,5 17 3 24,5 18 4 16,5 19 5 14,5 20 6 27,5 21 7 29,5 22 8 28,5 23 9 14,5 24 10 11,5 25 11 31,5 26 12 31,5 27 13 21,5 28 14 22,5 29 15 21,5 30
T Mixer (0C) 26,5 29,5 21,5 15,5 14,5 31,5 29,5 33,5 29,5 32,5 29,5 29,5 28,5 30,5 31,5
Dari hasil pengamatan dapat dilihat bahwa temperatur produk yang keluar dari mixer sangat bervariasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi variasi temperatur bahan ini diantaranya adalah kondisi waktu tunggu bahan sebelum proses mixing dan ekspos aliran AC yang berada di dekat mixer. Produk setelah keluar dari mixer ditampung ke dalam bin. Bin berisi bahan dipindahkan menuju conveyor dan ditransfer secara manual dengan sekop stainlees steel menuju conveyor yang terhubung dengan hopper pada bextruder. Lama maksimum bahan berada di dalam bin adalah 1 jam. Kondisi area mixing room menjadi faktor yang perlu diperhatikan selama proses transfer manual ke bextruder. Semakin lama proses transfer, maka temperatur bahan di dalam bin akan semakin menurun. Pengamatan terhadap temperatur bahan selama unloading dapat dilihat pada Tabel 3.
62
Tabel 3. Pengukuran Temperatur Bahan Selama Unloading Batch 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
T Unloading (0C) Awal Akhir 28,5 26,5 28,5 20,5 13,5 6,5 14,5 10,5 13,5 8,5 27,5 22,5 26,5 21,5 20,5 14,5 11,5 4,5 11,5 8,5 27,5 25,5 17,5 14,5 13,5 7,5 16,5 14,5 17,5 10,5
Batch 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
T Unloading (0C) Awal Akhir 25,5 26,5 22,5 19,5 15,5 8,5 12,5 11,5 10,5 10,5 28,5 25,5 29,5 24,5 29,5 27,5 25,5 24,5 26,5 26,5 25,5 25,5 24,5 25,5 25,5 25,5 27,5 25,5 27,5 26,5
Dari hasil pengamatan dapat dilihat bahwa temperatur bahan yang menurun cukup signifikan selama unloading.. Lama waktu transfer dan kontak bahan terhadap udara sangat bervariasi, hal ini dapat mempengaruhi temperatur dan kelembaban bahan yang ada pada bin. Kondisi ini juga dipengaruhi temperatur dan RH area mixing room pada saat unloading berlangsung. Temperatur dan RH pada area mixing room yang fluktuatif mempengaruhi kondisi bahan secara langsung selama unloading. Bahan yang masuk ke dalam mesin bextruder diatur kecepatan pembentukannya selama proses produksi berlangsung, kecepatan mesin yang bervariasi untuk setiap batch, menyebabkan temperatur dan ukuran partikel bahan yang keluar dari mesin bextruder bervariasi. Kontrol proses pembentukan granule selama produksi berlangsung telah dilakukan oleh operator. Setting parameter 5-arm rotor, 4-arm rotor dan rotary table pada bextruder menjadi parameter penting dalam mengendalikan ukuran partikel granule yang keluar dari bextruder. Selain itu temperatur bahan selama proses pembentukan juga harus dikontrol selama proses berlangsung, jika kondisi suhu bahan melebihi standar > 60 0C akibat torsi terlalu tinggi akan berpotensi menyebabkan mesin breakdown dan keluaran bahan akan terhambat. Pengamatan terhadap temperatur bahan setelah keluar dari bextruder dapat dilihat pada Tabel 4.
63
Tabel 4. Pengukuran Temperatur Bahan Setelah Keluar dari Bextruder Batch T Bextruder (0C) Batch T Bextruder (0C) Awal Akhir Awal Akhir Atas Bawah Atas Bawah Atas Bawah Atas Bawah 1 48,5 46,5 36,5 33,5 16 40,5 37,5 40,5 36,5 2 41,5 38,5 25,5 19,5 17 35,5 33,5 32,5 30,5 3 38,5 35,5 23,5 18,5 18 27,5 26,5 40,5 37,5 4 23,5 20,5 19,5 14,5 19 23,5 23,5 22,5 20,5 5 15,5 10,5 10,5 8,5 20 25,5 22,5 14,5 11,5 6 45,5 33,5 39,5 31,5 21 45,5 40,5 41,5 34,5 7 45,5 33,5 39,5 31,5 22 44,5 41,5 42,5 37,5 8 25,5 15,5 20,5 10,5 23 42,5 39,5 42,5 38,5 9 18,5 16,5 13,5 11,5 24 43,5 37,5 37,5 36,5 10 13,5 12,5 9,5 7,5 25 41,5 36,5 44,5 39,5 11 49,5 46,5 41,5 40,5 26 44,5 40,5 42,5 38,5 12 30,5 24,5 23,5 20,5 27 44,5 40,5 42,5 38,5 13 24,5 21,5 25,5 20,5 28 45,5 39,5 45,5 40,5 14 15,5 13,5 15,5 6,5 29 44,5 37,5 46,5 42,5 15 14,5 9,5 17,5 10,5 30 47,5 41,5 46,5 40,5 Dari hasil pengamatan, temperatur keluaran bahan produk dari bextruder sangat bervariasi pada saat awal dan akhir proses antar batch. Variasi temperatur keluaran bahan ini disebabkan pengaruh kecepatan mesin bextruder, dan kondisi penurunan temperatur bahan selama unloading. Selama proses granulasi perlu diperhatikan kondisi temperatur dan RH area mixing room. Karena dalam proses ini, banyak sekali titik titik potensial bahan terekspos dengan udara luar. Pengamatan terhadap temperatur dan RH area mixing room selama proses granulating dapat dilihat pada Gambar 15 dan 16
Gambar 15. Pengamatan Temperatur 30 batch selama proses produksi di area mixing room
64
Gambar 16. Pengamatan RH 30 batch selama proses produksi di area mixing room Dari hasil pengamatan, temperatur area mixing room cukup stabil antar batch produksi. Standar temperatur dan RH area ini adalah berkisar antara 20250C dengan RH maksimum 50%. Temperatur dan RH masih dalam kisaran standar, namun RH area mixing room yang fluktuatif akan mempengaruhi kondisi bahan selama proses produksi di area ini sebelum bahan masuk ke dalam tahap proses selanjutnya. Setelah itu, dilakukan analisis lebih lanjut untuk menentukan solusi permasalahan yang ada dengan why-why analisis agar dapat ditentukan saran tindakan pengendalian dengan tepat. Hasil why-why analisis yang dilakukan dapat dilihat pada lampiran 11. 3.
Drying Room Proses Drying pada produk dilakukan pada mesin fluidized bed dryer, bahan yang sudah keluar dari mesin bextruder langsung dialirkan oleh conveyor menuju dryer. Dalam proses pengeringan ini, bahan dihembuskan udara kering dari blower blower yang terdapat di dalam dryer. temperatur setiap blower diatur dan didokumentasi setiap batch untuk mempermudah monitoring proses pengeringan. Namun, pada kondisi aktual tidak ada indikator temperatur yang menunjukkan temperatur di dalam mesin, karena dokumentasi hanya sebatas pada suhu steam setiap blower yang dihembuskan dari boiler yang berada dari luar pabrik sebelum masuk ke dalam dryer. Kapasitas setiap blower berbeda, blower A mempunyai kapasitas yang lebih kecil daripada blower B dan C, karena aliran steam blower A hanya mengeskpos ke dalam satu pipa, sedangkan blower B dan C memiliki kapasitas lebih besar karena aliran steam blower tersebut terbagi ke dalam tiga pipa. Pada mesin dryer ini dilengkapi dengan dehumidifier yang berfungsi untuk mendinginkan temperatur bahan secara langsung saat setelah proses pengeringan sebelum bahan masuk ke dalam Siever . Pada kondisi aktual, sudah terdapat sensor suhu dehumidifier yang terhubung pada panel di area mixing
65
room untuk mempermudah monitoring kondisi dehumidifier. Namun,pada dehumidifier sering terjadi masalah karena kondisi temperatur udara yang terlalu rendah terekspos bahan yang terlalu panas sehingga uap air yang keluar dari bahan menjadi embun dan menyebabkan kondisi dehumidifier menjadi basah. Kondisi tersebut dapat menyebabkan kerak bahan pada dehumidifier. Proses pengayakan dilakukan setelah bahan melewati dehumidifier untuk proses pendinginan. Siever yang digunakan adalah V-brow Siever dengan ukuran mesh 6,8 dan 40. Hasil ayakan yang diambil adalah produk yang lolos Mesh 8 dan tidak lolos Mesh 40. Keseluruhan produk setelah dilakukan pengayakan ditampung secara manual di dalam pengemas plastik khusus. Proses penampungan dan pengisian granule ke dalam pengemas yang dilakukan secara manual menyebabkan takaran pengisian granule yang bervariasi di setiap pengemas. Metode pengikatan pengemas yang dilakukan juga bervariasi, karena pada kondisi aktual pekerja yang berada di area drying room berbeda-beda setiap harinya. Oleh karena itu, sebaiknya perlu ditetapkan sebuah standar takaran pengisian dan pengikatan untuk setiap pengemas berisi produk semi finish goods. Pengamatan keseluruhan proses pengeringan dan pengayakan dapat dilihat pada lampiran 12 . Berdasarkan hasil pengamatan, temperatur di setiap blower dan dehumidifier fluktuatif antar batch. Hal ini juga dibuktikan dengan kondisi temperatur bahan yang bervariasi setelah proses pengayakan. Setelah produk diayak, pekerja pada area drying room segera menampung keluaran produk dari siever secara manual. Takaran pengisian produk di dalam pengemas maksimum ¾ dari tinggi pengemas. Pengemas yang sudah berisi produk kemudian diikat dan diletakkan di atas pallet. Pallet yang sudah berisi susunan tumpukan pengemas berisi produk semi finish goods akan ditransfer menuju area packing hall dengan menggunakan hand pallet. Setelah didiamkan selama 30 menit, QC in line melakukan pengecekan Aw produk semi finish goods yang berada di area packing hall. Jeda waktu pengecekan Aw 30 menit setelah pengeringan dikarenakan temperatur produk semi finish goods yang masih terlalu tinggi sehingga sampel yang dilakukan pengecekan dengan waktu jeda kurang dari 30 menit masih terlalu panas. Hasil pengecekan Aw semi finish goods 30 batch dapat dilihat pada tabel 5.
66
Tabel 5. Hasil Pengukuran Aw semi finish goods bumbu penyedap rasa Batch Aw Batch Aw 1 0,2930 16 0,3029 2 0,3026 17 0,2387 3 0,2845 18 0,2290 4 0,2584 19 0,2225 5 0,2653 20 0,2417 6 0,2985 21 0,3011 7 0,3042 22 0,2905 8 0,2453 23 0,3014 9 0,2626 24 0,3066 10 0,2811 25 0,3078 11 0,2978 26 0,3011 12 0,2845 27 0,3412 13 0,2804 28 0,3364 14 0,2415 29 0,3257 15 0,2468 30 0,3107 Dari hasil pengecekan Aw pada pengamatan 30 batch, 7 batch diantaranya menghasilkan Aw di bawah spesifikasi standar dengan target Aw semi finish goods yang seharusnya adalah 0,30. Oleh karena itu dilakukan analisis lebih lanjut untuk menentukan solusi permasalahan yang ada dengan why-why analisis agar dapat ditentukan saran tindakan pengendalian dengan tepat. Hasil why-why analisis yang dilakukan dapat dilihat pada lampiran 13. 4.
Packing Hall Produk semi finish goods yang telah dikemas diletakkan dan disusun di atas pallet. Pola penyusunan pengemas di atas pallet dan material handling pallet dari drying room menuju packing hall merupakan faktor yang perlu diperhatikan. Bahan baku pengemas digunakan harus dapat menopang produk dan beban tumpukan. Disiplin dan kerapihan pekerja merupakan hal yang penting karena pekerja bersinggungan langsung dengan produk. Cara penyusunan produk oleh pekerja juga harus distandarkan. Pada kondisi aktual, pola penyusunan pallet sangat bervariasi dan material handling yang salah akan mengakibatkan banyaknya pengemas berisi granule yang robek dan ikatan pengemas yang longgar selama penyimpanan. Hal ini disebabkan kurangnya monitoring kondisi pengemas dan area packing hall. Semakin lama produk terekspos udara luar dengan kondisi area yang tidak dikontrol, maka hal tersebut dapat menyebabkan Aw produk semi finish goods bervariasi. Banyaknya produk semi finish goods yang tertahan di area packing hall karena mesin filling yang baru tersedia hanya satu mesin. Volume produksi yang masih timpang antara volume produksi mixing dan filling, dimana proses produksi berjalan 1 shift sedangkan proses filling dan sealing berjalan 3 shift
67
untuk mengimbangi volume proses produksi. Standar lama penyimpanan produk semi finish goods adalah maksimum 2 hari, QC in line akan melakukan pengecekan ulang Aw 18 jam setelah produk disimpan di area packing hall. Hasil pengamatan kondisi temperatur dan RH selama penyimpanan pada shift siang dan malam dapat dilihat pada gambar 17 dan 18
Gambar 17. Pengamatan Temperatur area packing hall selama penyimpanan
Gambar 18. Pengamatan RH area packing hall selama penyimpanan Dari hasil pengamatan di atas, temperatur area packing hall cukup stabil antar batch produksi. Standar temperatur dan RH area ini adalah berkisar antara 20-250C dengan RH maksimum 40%. Adanya kesalahan dalam penulisan standar RH pada area ini, dimana pada checklist pengecekan tertulis RH max. Berkisar antara < 45-50%. Terdapat beberapa titik pada Temperatur dan RH yang berada di luar spesifikasi standar, temperatur dan RH area packing hall yang fluktuatif akan mempengaruhi kondisi produk selama penyimpanan di area ini sebelum produk semi finish goods akan dikemas.
68
Tahap terakhir proses yaitu proses filling dan sealing, pengemas berisi granule ditransfer secara manual ke dalam bucket berkapasitas untuk 12 kg bahan. Bucket tersebut digerakkan dengan katrol dan bergerak naik ke atas menuju hopper mesin pengemas. Kondisi lingkungan yaitu temperatur dan RH harus dijaga dan dikondisikan sesuai standar yang telah ditentukan. Produk semi finish goods yang akan dikemas perlu diperhatikan agar tidak dalam kondisi terbuka dan kontak dengan udara terlalu lama.. Pengecekan Aw pada tahap kedua dilakukan setelah produk semi finish goods dikemas ke dalam sachet. Pengambilan sampel produk dilakukan secara sampling pada bagian awal dan akhir satu renceng produk yang keluar dari mesin filling. Hasil pengecekan Aw pada tahap ini dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 6. Hasil Pengukuran Aw finish goods bumbu penyedap rasa Batch Aw Batch 1 0,3243 16 2 0,3146 17 3 0,3194 18 4 0,2689 19 5 0,3154 20 6 0,2718 21 7 0,2736 22 8 0,2817 23 9 0,2923 24 10 0,3001 25 11 0,3067 26 12 0,2991 27 13 0,3021 28 14 0,3031 29 15 0,2941 30
Aw 0,2882 0,2580 0,2672 0,2826 0,2598 0,3212 0,3193 0,3267 0,3281 0,3296 0,3371 0,3408 0,3212 0,3028 0,3178
Dari hasil pengukuran Aw pada finish goods, keseluruhan Aw produk pada hasil pengamatan 30 batch sangat bervariasi, namun masih dalam kisaran spesifikasi. Selanjutnya, dilakukan analisis lebih lanjut untuk menentukan solusi permasalahan yang ada dengan why-why analisis agar dapat ditentukan saran tindakan pengendalian dengan tepat. Hasil why-why analisis yang dilakukan dapat dilihat pada lampiran 14. Dari hasil penelusuran menggunakan why-why analysis pada keseluruhan proses di setiap area produksi., maka dibuatlah Diagram pareto untuk melihat proses mana yang berpotensi menyebabkan variasi Aw pada produk finish goods. Dari sebagian besar faktor yang mempengaruhi variasi Aw produk bumbu penyedap rasa, faktor mesin, metode, dan lingkungan menyinggung masalah temperatur/RH area produksi maupun pada kondisi mesin dan lama waktu tunggu bahan, . Hal ini juga dapat dilihat dari why-why analisis yang dilakukan yang menyatakan bahwa ketiga kriteria tersebut mengharuskan
69
pemecahan solusi untuk mengurangi masalah tersebut . Berdasarkan analisis yang telah dilakukan sebelumnya, dapat diketahui bahwa keadaan temperatur/RH dan lama waktu tunggu bahan di luar spesifikasi akan mempengaruhi kondisi bahan selama proses sehingga secara langsung akan berpengaruh pada Aw produk yang dihasilkan. Frekuensi terjadinya temperatur/RH area produksi maupun pada kondisi mesin dan waktu tunggu bahan di luar spesifikasi standar dapat dilihat pada Lampiran 17. Pareto menemukan teori yang menunjukkan bahwa 20% kondisi dapat menjadi penyebab bagi 80% akibat. Dengan demikian untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya variasi Aw produk bumbu penyedap rasa. Hal ini karena ketika kita menemukan banyak masalah di perusahaan, maka terlalu sulit untuk memperbaiki (menyelesaikan) semua masalah tersebut. Perlu dilakukan pemilihan untuk menemukan 1 atau 2 masalah yang mempunyai efek besar (Muhandri dan Kadarisman 2005).
Gambar 19. Diagram Pareto Penyebab Variasi Aw Produk Finish Goods Bumbu Penyedap Rasa Dari hasil analisis diagram pareto di atas, terdapat empat masalah potensial penyebab variasi Aw produk finish goods bumbu penyedap rasa RH packing hall di luar standar (25%), pengemas produk semi finish goods terbuka pada saat proses filling (25%), RH dehumidifier di luar standar (25%), lama unloading (7,5%). Dari keempat penyebab tersebut akan dilakukan rancangan tindakan perbaikan mutu dalam proses produksi produk bumbu penyedap rasa .
5.5 PENYUSUNAN USULAN PERBAIKAN DAN UJI COBA LAPANGAN Dari hasil analisis diagram pareto, faktor-faktor yang berpotensi menyebabkan variasi Aw produk finish goods bumbu penyedap rasa diantaranya keadaan lingkungan, kondisi mesin serta prosedur yang dilakukan selama proses
70
produksi. Didapatkan beberapa usulan perbaikan dari hasil why-why analysis diantaranya: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Penggunaan Door Closed pada seluruh pintu dan pengecekan kondisi plastik curtain di area packing hall Penyediaan pengontrol RH (dehumidifier) dan indikator temperatur/RH di area packing hall Penurunan standar temperatur area packing hall menjadi lebih rendah, untuk menjaga kestabilan kondisi produk semi finish goods selama penyimpanan Penyempurnaan SOP pengecekan temperatur/RH di area produksi Standarisasi material handling pada proses mixing dan filling Pengecekan dan monitoring kondisi keseluruhan mesin selama proses produksi berlangsung (checklist)
Peninjauan keseluruhan proses dilakukan dengan trial 4 batch produksi dimulai dari proses mixing hingga filling. Beberapa action plan yang diterapkan selama uji coba berlangsung diantaranya standarisasi material handling pada proses mixing dan filling serta melakukan pengecekan dan monitoring kondisi keseluruhan mesin selama proses produksi berlangsung. Hasil uji coba 4 batch dapat dilihat pada lampiran 15. Dari hasil pengecekan Aw semi finish goods keempat batch hampir mendekati target. Pengecekan Aw finish goods dilakukan setelah produk disimpan dalam masa penyimpanan yang masih berada dalam kisaran standar maksimum 48 jam dengan rata-rata lama penyimpanan 21-25 jam dengan pengaturan kondisi RH packing hall dalam kisaran standar . Pengecekan dilakukan pada sampel bagian awal, tengah dan akhir untuk memastikan keseragaman Aw setiap batch. Dari hasil pengukuran Aw baik bagian awal,tengah dan akhir dapat disimpulkan bahwa keseluruhan batch mempunyai kisaran Aw yang cukup seragam dan masih berada di dalam spesifikasi.
71
VI. KESIMPULAN DAN SARAN PROJECT I. GMP, SSOP & HACCP 6.1
KESIMPULAN
GMP dan SSOP merupakan salah satu prasyarat yang harus dipenuhi sebelum sebuah perusahaan mengaplikasikan sistem HACCP, berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, secara umum keseluruhan penerapan GMP dan SSOP di pabrik ini telah memenuhi standar. Namun, masih terdapat beberapa point penerapan yang belum maksimal dilakukan. Berdasarkan penelusuran melalui diagram sebab akibat terdapat beberapa faktor diantaranya mesin, metode, managemen, manusia,dan material. Masalah yang paling dominan adalah permasalahan kedisiplinan higiene dan perlengkapan pekerja, masih terbatasnya fasilitas penunjang proses produksi serta permasalahan kondisi mesin dan peralatan yang digunakan selama proses produksi. Oleh karena itu, upaya-upaya perbaikan mulai diterapkan oleh pihak perusahaan. Berdasarkan identifikasi dan penetapan CCP, dari semua bahan baku yang digunakan pada proses produksi bumbu penyedap rasa, terdapat empat golongan yang dikategorikan sebagai OPRP (not CCP) yaitu golongan natural spice, miscellanous, flours dan texturizing agents berupa cemaran fisik benda asing dan cemaran kimia berupa kontaminasi logam dengan tindakan pencegahan berupa pembelian raw material dari approved supplier dan pengecekan visual pada saat penerimaan raw material. Terdapat satu OPRP di dalam proses yaitu pada siever di dalam v-brow siever untuk menyaring kemungkinan cemaran fisik berupa batu, serangga, dan cemaran fisik yang lainnya. Pada kondisi aktual lapangan ditetapkan satu Critical Control Point (CCP), yaitu pada tahap filling, yaitu produk dilewatkan pada mesin metal detector untuk pencegahan kontaminasi benda asing berupa metal. Terdapat perbedaan CCP pada kedua produk bumbu penyedap rasa ini. Pada proses filling Royco AIO, produk dilewatkan pada metal detector yang terpasang pada mesin pengemas, Sedangkan pada proses filling royco SA, produk secara manual dilewatkan ke dalam mesin metal detector khusus sebelum pengemasan secara manual. 6.2
SARAN
1. Perlunya pelaksanaan HACCP dengan segera untuk produk bumbu penyedap rasa di Pabrik Lion PT Unilever Indonesia Tbk dengan melakukan audit internal dan dokumentasi seluruh dokumen yang dibutuhkan dalam implementasi sistem ini oleh pihak manajemen terkait
2. Perlunya ditingkatkan kesadaran higienis pekerja dengan cara pemberian training sanitasi dan hygiene pekerja, penyediaan visual control mengenai sanitasi dan juga kontrol persediaan fasilitas yang diperlukan untuk sanitasi dan higiene bagi para pekerja
72
3. Perlunya dilakukan peningkatan penyediaan fasilitas dan sarana produksi di pabrik baru ini.
4. Perlu pengawasan ketat dalam penggunaan APD bagi para pekerja khususnya di area produksi yang bersinggungan dengan produk.
5. Untuk penelitian selanjutnya perlu dikaji analisa ekonomi sebelum dan sesudan penerapan HACCP dan analisa SWOT penerapan HACCP bagi perusahaan
PROJECT II. SPC 6.1
KESIMPULAN
Aw produk bumbu penyedap rasa belum terkendali secara statistik. Keadaan proses yang belum terkendali seperti ini menyebabkan perhitungan kapabilitas proses belum dapat digunakan sebagai acuan kemampuan proses. Berdasarkan diagram sebab akibat yang telah diverifikasi terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan variasi Aw produk bumbu penyedap rasa yaitu mesin, metode, dan lingkungan Selanjutnya ketiga faktor tersebut dianalisis lebih jauh untuk menentukan saran tindakan pengendalian yang akan dilakukan. Analisis yang dilakukan menggunakan why-why analisis dan diagram Pareto Dari hasil analisis tersebut, terdapat empat masalah potensial penyebab variasi Aw produk finish goods bumbu penyedap rasa diantaranya RH packing hall di luar standar (25%), pengemas produk semi finish goods terbuka pada saat proses filling (25%), RH dehumidifier di luar standar (25%), lama unloading (7,5%). Dari keempat penyebab tersebut akan dilakukan rancangan tindakan perbaikan mutu dalam proses produksi produk bumbu penyedap rasa dengan melakukan Dari hasil usulan perbaikan dan uji coba lapangan dengan melakukan peninjauan material handling dan standar keseluruhan proses. Dari hasil uji coba 4 batch dilakukan pengukuran Aw pada tiga titik awal, tengah dan akhir. Hasil akhir yang didapatkan berupa nilai Aw produk finish goods yang cukup seragam.
6.2
SARAN 1.
2. 3. 4.
Perlu diadakan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan operator dan dilakukan evaluasi hasil pelatihan oleh mentor, terutama terhadap faktor- faktor yang dapat memicu terjadinya variasi Aw selama proses proses produksi berlangsung. Perlu dilakukan perbaikan dan peningkatan penyediaan fasilitas produksi untuk mengontrol kondisi lingkungan di area produksi. Pengawasan perlu ditingkatkan agar kedisiplinan dan awareness para karyawan tetap terjaga selama proses produksi berlangsung. Setelah tindakan korektif dilakukan, maka perlu dilakukan evaluasi dengan cara pengambilan data dan analisis data kembali untuk mengetahui sudah seefektif apa tindakan korektif dilakukan.
73
5.
6.
7.
Setelah proses terkendali secara statistik, kapabilitas proses perlu dihitung untuk mengetahui kemampuan proses dalam menghasilkan produk yang sesuai dengan spesifikasi. Penerapan Statistical Process Control (SPC) untuk selanjutnya dapat diterapkan pada kondisi-kondisi yang menyebabkan penyimpangan mutu produk bumbu penyedap rasa lainnya. Perlu dilakukan pelatihan SPC jika SPC akan diterapkan untuk proses pengendalian mutu di masa yang akan datang
\
74
DAFTAR PUSTAKA Alli I. 2004. Food Quality Assurance: Principle and Practices. New York: CRC Press. Anonim.2011. 5-why Analysis. http://sixsi6maindonesia.com/html. [10 Juni 2012] Badan POM RI. 2012. Cara Produksi Pangan Yang Baik Untuk Industri Rumah Tangga (CPPBIRT) Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia nomor HK.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012. BPOM RI. Deming, W.E. 1995. Control Chart as a Tool in Statistical Quality http://www.deming.eng.clemson.edu, Continuous Quality Improvement Server Home Page. [6 Juni 2012]
Control.
FDA. 1995. Sanitation, Sanitary Regulation and Voluntary Programs. Di dalam: G. Mariot, Norman (ed). Principles of Food Sanitation, Hal. 7. 3rd ed. New York: Chapman and Hall. Fardiaz Srikandi. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Jakarta : PT Gramedia Pustaka. Feigenbaum V. A. 1989. Kendali Mutu Terpadu. Terjemahan. Jakarta : Penerbit Erlangga. Gaspersz V. 1998. Statistical Process Control, Penerapan Teknik-teknik Statistikal dalam Manajemen Bisnis Total. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Gasperz V. 2001. Metode Analisis Untuk Peningkatan Kualitas. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hoyle D. 2001. ISO 9000, Quality Systems Handbook. Oxford: Butterworth Heinemann. Hubeis M. 1999. Sistem Jaminan Mutu Pangan. Pelatihan Pengendalian Mutu dan Keamanan Bagi Staf Penganjar. Kerjasama Pusat Studi Pangan Pangan & Gizi – IPB dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor. Hubeis M dan Kadarisman D. 2007.Pengendalian Mutu pada Industri Pangan. Jakarta: Universitas Terbuka Ishikawa K . 1989. Teknik Penuntun Pengendalian Mutu. Terjemahan. Jakarta: Mediatama Sarana Perkasa Jenie B.S.L. 1998. Sanitasi Dalam Industri Pangan. Pusat Antar Universitas. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Kadarisman D. 1994. Sistem Jaminan Mutu Pangan. Pelatihan Singkat Dalam Bidang Teknologi Pangan, Angkatan II. Kerjasama FATETA IPB – PAU Pangan & GIZI IPB dengan Kantor Menteri Negara Urusan Pangan/BULOG Sistem Jaminan Mutu Pangan. Bogor.
75
Manik B. 2004. Analisis Peningkatan Kinerja Mutu pada Lini Produksi [skripsi]. Jakarta: Universitas Indonesia. Montgomery, D.C. 1996. Introduction to Statistical Quality Control, 3rd ed. New York: Willey and Son, Inc.
John
Muhandri, T. dan Kadarisman D. 2005. Sistem Jaminan Mutu Industri Pangan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Muhandri T, Kadarisman D. 2008. Sistem Jaminan Mutu Industri Pangan. Bogor: IPB Press.Nasution MN. 2005. Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management). Bogor:: Ghalia Indonesia. Nasution MN. 2005. Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management). Bogor: Ghalia Indonesia. Ryan T. P. 1989. Statistical Methods for Quality Improvement. New York: John Willey and Son, Inc. Suardi R. 2003. Sistem Manajemen Mutu ISO 9000:2000. Jakarta : PPM. Tapiero, Charles S. 1996. The Management of Quality and its Control.London: Chapman & Hall. Tenner AR, Detoro IJ. 1992. Total Quality Management: Three Steps to Continous Improvement. Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company. Wayworld. 2001. Statistical Process Control – A Wayworld Tutorial. http://www.wayworld.com, Wayworld Inc. [8 Juni 2012]. Winarno, F.G dan Surono. 2004. HACCP dan Penerapannya Dalam Industri Pangan. Bogor: M-Brio Press.
76
LAMPIRAN
77
Lampiran 1. Tata Letak dan Desain Pabrik Lion PT Unilever Indonesia Tbk
Pos Satpam
Gudang Lobby
Intermediate room Packing Hall
in
Assembly Point
Kantin
Finished Product Storage Raw Material Storage
Ruang Ganti
Drying Room
Ruang racik
Mixing Room
Office
Pos Satpam in
78
Lampiran 2. Deskripsi Produk dan Identifikasi Penggunaannya
PRODUCT INFORMATION
Nama Produk
Deskripsi Produk
Product Ingredients
Process Description
Packaging Materials Shelf Life Storage Condition
Intended Use
Culinary Product Royco/Knorr Seasoning mix: Royco Granule All in One, Royco Knorr Granule South Africa Royco/Knorr Seasoning mix adalah bumbu penyedap dalam bentuk granula yang digunakan sebagai “flavor enchancer” di dalam masakan Mengacu kepada spesifikasi spec, manufacturing spec dan raw material spec Culinary product Proses pencampuran dimulai dari pencampuran garam dan bahan lainnya sampai homogen. Kemudian produk dikemas ke dalam sachet alufoil dan lebih lanjut dimasukkan ke dalam fibrite. Untuk memastikan produk tidak menggumpal (free flowing) maka proses mixing dan filling dilakukan pada ruang yang suhu dan kelembabannya (RH) terkontrol dengan target temperatur & kelembaban 20-25oC dan RH 40% maksimum di packing hall dan RH 50% maksimum di mixing room Mengacu kepada packaging spec dan packaging master sheet Culinary Producti 1 tahun dari tanggal produksi Produk disimpan pada ambient temperatur di tempat yang kering dan sejuk Culinary Product Royco/Knorr Seasoning Tercantum di kemasan, produk ditambahkan sebagai bumbu dalam makanan
79
Lampiran 3. Diagram Alir Proses Produksi Royco Granule
Raw Material
RM / PM Loading Bay
T : ambient
Pallet, Forklift
W1
Packaging Material
RM / PM Loading Bay
T : ambient
Pallet, Forklift
Penerimaan Material
RM / PM Loading Bay
T: ambient
Pallet, Forklift
Transfer ke RM / PM Store
RM / PM Store
T: ambient
Fork Lift, pallet
Penyimpanan RM/PM Warehouse T : 20 – 25 0C RH max : 50%
RM/PM Store
Transfer ke produksi
RM / PMStore
T : 20-25 0C RH max : 50%
hand pallet
W1a
W2
W3
W4
Pallet
W5
80
A
A
Penimbangan Air
Timbangan Digital (Max. 15 kg)
T: ambient
Panci Stainless
Timbangan Digital (Max. 30 kg) Timbangan Digital (Max. 15 kg)
Penimbangan Raw Material
S3
T: 20-25°C RH: max 50% Pemasukan Air S4 T: 20-25°C RH: max 50% S15
Water Hopper di Super Mixer
Persiapan PM
S2
Rework AIO
PM Store
T: ambient
Timbangan Digital (max.15 kg)
T: 20-25°C RH : max 50% Plastik Bag
Plastik Bag S1
Pemasukan Ingrediets (kec air)
Mixer, Strainer S5
B1
T: 20-25°C RH: max 50%
Mixing
Mixer
S6
Unloading Bin Stainless S7
S7
B2
81
B2
Granulasi
Granulator, Conveyor
)
S8 Pengeringan
Dryer
S9
Pengayakan
Siever
S10
Penyimpanan Sementara
Plastic Bag
S11
CCP1a
CCP1b Filling (AIO)
Metal Detector, PM
Filling Manual (SA)
Metal Detector, PM
S12a S12b
Packing S13
Manual/ case taper Control kode
Storage
Warehouse FP Pallet/Rack
T: ambient
Control FIFO
B1
82
Lampiran 4. Identifikasi Bahaya Bahan Baku
Process No.
Processing Step
Hazard to be controlled
Step 6 Hazard Analysis Likelihood Severity (L, M, H) (L,M,H)
Step 7 CCP Identification Preventive Action
Q1
Q2
Q3
Q4
Y
N
Y
Y
CCP / QCP
W1 Raw Material Oil and Fats
Tepung (Group : Common Material)
M: C: Nickle, PAH/ Benzypyrene, logam berat P: A: Chicken (Allergen)
L
M
-
Pembelian hanya dari approved supplier
L
H
-
Pembelian material dari approved supplier
M : TVC, Colliform, Y/M
M
M
-
Pelabelan allergen Pembelian material dari approved supplier, inspeksi mikrobiologi menurut spesifikasi
C : pestisida/ mycotoxin
L
M -
P : Metal, batu, kayu,dll
H
M
Pembelian material dari approved supplier, pemeriksaan mould
A : Allergen (wheat allergen)
L
H
-
Pembelian dari approved supplier
-
Pembelian material dari approved supplier Pelabelan allergen
-
(not CCP) OPRP 1a
83
Flavors/Colors
Proteins
Natural Spice
Miscellanous (vitamin, garam & kimia lainnya)
Texturizing Agents (Starch)
M:C: P: A: M: Pertumbuhan mikrobiologi apabila proses dari Raw Material tidak benar C: P: benda asing (metal,plastik,dll) A: allergen (egg allergen) M: mikrobiologi apabila proses menyimpang C: P: metal,batu,serangga dsb A: M: C: Logam berat P: Benda asing (kotoran, batu, plastik,serpihan kayu,dsb)) A: M: Pertumbuhan mikrobiologi apabila proses di supplier tidak benar C: Logam Berat P: Metal, wooden splinters, benang,dsb A:
L
H
-
Pemeriksaan mikrobiologi pada saat penerimaan
L L
M H
-
L
M
-
Pemeriksaan visual pada saat penerimaan Pelabelan allergen pada produk Pembelian dari approved supplier
H
M
L H
M H
-
-
L
M
L
H
L
M
-
Pemeriksaan secara visual pada saat penerimaan
Pembelian dari approved supplier Monitoring QC untuk pengecekan logam berat Pemeriksaan secara visual pada saat penerimaan Pembelian dari approved supplier Monitoring QC untuk pengecekan logam berat Pemeriksaan secara visual pada saat penerimaan
Y
N
Y
Y
Y
N
Y
Y
Y
N
Y
Y
(not CCP) OPRP 1b (not CCP) OPRP 1c (not CCP) OPRP 1d
84
Lampiran 5. Matriks Analisa Bahaya (Risk Assesment) PT Unilever Indonesia Tbk
PENENTUAN ASPEK QUALITY & CONSUMER SAFETY Kemungkinan terjadinya bahaya (Likehood to occur/R) L (10)
M (100) H (1000)
Secara teoritis mungkin, tapi kecil kemungkinannya, dalam 5 tahun terakhir Belum pernah ada kejadian Mungkin terjadi (pernah terjadi 2-5 tahun yang lalu) Sangat mungkin terjadi (pernah terjadi dalam 2 tahun terakhir)
Tingkat keseriusan bahaya (Severity/ S) : A. Bahaya fisik/ benda asing L (10)
M (100)
H (1000)
Tidak berbahaya bagi konsumen. Bendanya tidak tajam, ukuran < 7 mm atau > 25mm, dan produknya bukan produk yang siap saji ( dalam proses penyajiannya ada step yang dapat menghilangkannya Dapat menyebabkan luka (lecet) pada mulut/ tenggorokan pada konsumen, namun tidak menyebabkan kematian. Kriteria yang termasuk kategori ini adalah: - Bendanya tajam, ukuran benda 7-25 mm dan produk membutuhkan persiapan tambahan sebelum dikonsumsi - Ukuran < 7 mm dan dapat dikonsumsi oleh special risk group (misalnya anak-anak dan manula) - Bendanya tajam, dan ukurannya lebih dari 25 mm Dapat menyebabkan kematian (chocking hazard). Yang termasuk dalam criteria ini: - Bendanya tajam dengan ukuran 7-25 mm panjangnya dan produknya langsung dikonsumsi atau hanya membutuhkan persiapan minimal seperti pemanasan saja, yang tidak dapat menghilangkan, atau mengurangi hazard.
B. Bahaya Mikrobiologi L (10)
M (100)
H (1000)
Tidak ada potensi bahaya terhadap kesehatan, hanya akan menyebabkan kerusakan produk (product spoilage). Microbiologi yang masuk ke dalam kategori bahaya ini adalah: Coliform, TVC, Mould and Yeast, Physhotrophic bacteria. Bahaya kesehatan yang diakibatkan hanya bersifat sementara saja, tidak mengancam jiwa, Mikrobiologi yang masuk ke dalam kategori bahaya ini adalah: enterobacteriaceae, Salmonella, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Bacillus cereus, Clostridium perfringens, Yersinia enterocolitica, Campylobacter coli atau C.jejuni, Pseudomonas aeruginosa, Aeromonas hydrophila Note: Resiko bahaya bisa menjadi naik ke tingkat yang lebih tinggi, apabila produk dikonsumsi oleh kelompok rawan (anak-anak, manula atau orang yang berpenyakit), atau toxin yang terbentuk. Bahaya kesehatan yang diakibatkan bisa menyebabkan kematian atau sulit untuk disembuhkan Mikrobiologi yang masuk dalam kategori bahaya ini adalah: Listeria Monocytogenes
85
C. Bahaya Kimia atau allergen L (10)
Tidak ada potensi bahaya terhadap kesehatan,hanya akan menyebabkan kerusakan produk ( product spoilage) atau perubahan penerimaan konsumen terhadap produk. Yang masuk dalam kategori ini misalnya: kandungan besi dapat mengakibatkan produk minyak menjadi tengik atau berubah warna Ada bahaya terhadap kesehatan akan tetapi secara tidak langsung (efek akumulasi/tahunan), misalnya cu,Hg, Pb, toksin, residu pestisida Potensi bahaya kesehatan secara langsung misalnya As, allergen
M (100)
H (1000)
Matrix Korelasi antara tingkat keseriusan dan tingkat kemungkinan terjadinya bahaya untuk menentukan signifikansi dari bahaya. H
High Risk (1000) Low severity (10) S*R = 10.000
M
Medium Risk (100) Low Severity (10) S*R = 1000
High Risk (1000) Medium Severity (100) S*R = 100.000 (Potensi CCP) Medium Risk (100) Medium Severity (100) S*R = 10000
L
Low Risk (10) Low Severity S*R = 100
Medium Risk (100) Low Severity (10) S*R = 1000
L
M
High Risk (1000) High Severity (1000) S*R = 1.000.000 (Potensi CCP) Medium Risk (1000) High Severity (1000) S*R = 100.000 (Potensi CCP) Low Risk (10) High Severity (1000) S*R = 10.000
H
Nilai perkalian antara S & R apabila nilainya > 10.000 dan khusus untuk bahaya mikrobiologi, meskipun kemungkinan bahayanya sangat kecil, namun severity dari bahayanya medium, maka bahaya termasuk ke category signifikan dan harus diidentifikasi apakah bahaya tersebut merupakan titik kontrol kritis (CCP) atau hanya sebagai operasional pre-requisite program (OPRP) melalui CCP decision tree. Apabila resiko bahaya signifikan (nilai perkalian S & R > 10.000), namun tindakan pencegahannya (control measure) merupakan PRP, maka dikategorikan sebagai OPRP dan tidak perlu melalui tahap CCP Decision tree
86
Lampiran 6. Identifikasi Bahaya dan Tindakan Pencegahan Pada Proses Produksi Royco Granule
Process No. S1
S2
Processing Step Persiapan PM
Penimbangan Raw Material
S3
Penimbangan Air
S4
Pemasukan air
Hazard to be controlled M : Kontaminasi dari operasional yang tidak hygiene C:P : Kontaminasi benda asing dari patahan pallet kayu akibat penyimpanan yang salah A:M : Bahaya mikroba apabila alat(sekop) kotor dan operator yang tidak hygiene C:P : Benda asing (serpihan plastik,dll) dari ruang timbang A : Kontaminasi silang antara material allergen dan material non allergen
Step 6 Hazard Analysis Likelihood Severity (L, M, H) (L,M,H) L
L
L
L
L
L
L
M
L
H
Step 7 CCP Identification Preventive Action -
Ikuti prosedur SOP Sanitasi & Hygiene Pekerja
-
Pallet plastik atau pallet kayu yg dilapisi oleh plastik/terpal di area produksi
-
Ikuti SOP pembersihan peralatan dan sanitasi pekerja Penggunaan pallet khusus untuk penimbangan raw material Primary packaging RM tidak disobek Pencantuman label allergen Penggunaan sekop khusus untuk RM Allergen
-
87
M : Bahaya mikroba apabila alat kotor dan operator yang tidak hygiene C: P: A :M:-
L
L
-
Ikuti prosedur pembersihan peralatan dan sanitasi pekerja
C : Bahaya kimia (logam) dari air P: A :-
L
H
-
Regularly check chemical composition in water
Q1
Q2
Q3
Q4
87
CCP / OPRP
S5
S6
S7
88
S8
Pemasukkan Ingredients (kec. Air)
Mixing
Unloading
Granulasi
M : Bahaya mikroba apabila alat kotor dan operator yang tidak hygiene C:P : Benda asing (plastic, dll) yang tersobek masuk ke dalam hopper A:M:C: P : Benda asing (logam/mur,dll) dari super mixer A : Kontaminasi silang sisa produk yang mengandung allergen terhadap produk yang tidak mengandung material allergen M : Bahaya mikroba apabila alat (bin) kotor dan operator yang tidak hygiene C:-
L
L
H
M
L
H
L
M
L
-
Ikuti SOP sanitasi pekerja dan pembersihan peralatan Y
-
Pengecekan kondisi strainer pada siever
-
Regularly check super mixer
-
Ikuti prosedur pencucian peralatan di area produksi
-
Ikuti SOP sanitasi pekerja dan pembersihan peralatan
-
Menutup permukaan bin yang berisi bahan dengan penutup khusus
N
Y
Y
L
P : Benda asing dari sekitar wilayah mixing room / benda asing yang mungkin berasal dari raw material A:M : Bahaya mikroba apabila alat kotor dan operator yang tidak hygiene
L
L
L
L
-
Ikuti SOP sanitasi pekerja dan pembersihan peralatan
C:P : Kontaminasi Benda asing (metal) dari sekitar granulator A:
L
M
-
Pemasangan metal detector pada Production line
88
(not CCP) OPRP 2
S9
S10
Pengeringan
Pengayakan
M:C: P : Kontaminasi benda asing di bed dryer A:M:C:P :Kontaminasi dari benda asing (serat kain,dll) A:-
L
L
-
Ikuti SOP pembersihan peralatan Penyaringan dengan V-brow Siever mesh 8, 40 dan 6 (AIO) & Mesh 6 untuk SA
L
L
-
Ikuti SOP pembersihan peralatan
-
Pengecekan kondisi sambungan antar bed dryer dan siever Pengecekan kondisi siever mesh 8, 40 dan 6 (AIO) & Mesh 6 untuk SA
S11
S12a
Penyimpanan
Filling (AIO)
M : Pertumbuhan mikrobiologi apabila kondisi penyimpanan tidak benar C : Migrating monomers, additives, plasticisers, dsb P : Benda asing dari pallet A:M : Bahaya mikroba apabila alat (bucket) kotor dan operator yang tidak hygiene C:P : Kontaminasi benda asing (metal) pada saat handling A:-
L
M
L
M
L
L
-
Monitoring kondisi penyimpanan T:
-
20-250C RH: max 40% Ikuti SOP Penyimpanan material Pembelian & Pengunaan PM dari approved supplier
-
Penggunaan pallet khusus yang bersih
L
L
-
Ikuti SOP sanitasi peralatan dan pekerja
M
H
-
Pengecekan dan Monitoring metal detector selama filling Ikuti SOP handling material proses filling Regularly check filling machine
-
Y
Y
CCP1a
89 89
S12b
Filling Manual (SA)
M: Bahaya mikroba apabila alat (bucket) kotor dan operator yang tidak hygiene C: P: Kontaminasi benda asing (metal) pada saat handling
L
L
-
Ikuti SOP sanitasi peralatan dan pekerja
M
H
-
Pengecekan dan Monitoring metal detector selama filling Ikuti SOP handling material proses filling
-
A: -
S13
Packing String Pack
M: C: P: A :-
-
-
Y
Y
CCP1b
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
S14
Storage
M:C: P: A:-
-
-
S15
Rework
M : Bahaya mikroba apabila alat (sekop) kotor dan operator yang tidakhygiene C:P : Benda asing (serpihan plastik,dll) dari area produksi A: -
L
L
L
M
-
-
Ikuti SOP prosedur rework Monitoring kondisi dan lama penyimpanan produk rework
-
Visualisasi label rework
90 90
Lampiran 7. Pohon Keputusan CCP (CCP Decision Tree)
91
Lampiran 8. Penentuan CCP Pada Proses Produksi Royco Granule
CCP MONITORING – ROYCO GRANULE LION Step 8 CCP No.
CCP 1a
CCP 1b
Processing Step
Filling (AIO)
Filling Manual
Hazard
P : Kontaminasi benda asing (metal) pada saat handling
P : Kontaminasi benda asing (metal) pada saat handling
Action limit
Target Value
Critical Limits
Metal Detector dapat mendeteksi Fe : min 1.2 mm Non Fe : min 1.5 mm SS : min 2 mm
Ketika Test Wand tidak bisa mendeteksi Fe : min 1.2 mm Non Fe : min 1.5 mm SS : min 2 mm
Ketika Test Wand tidak bisa dideteksi oleh metal detector
Ketika Test Wand tidak bisa mendeteksi Fe : min 1.2 mm Non Fe : min 1.5 mm SS : min 2 mm
Ketika Test Wand tidak bisa dideteksi oleh metal detector
Metal Detector dapat mendeteksi Fe : min 1.2 mm Non Fe : min 1.5 mm SS : min 2 mm
Step 9 Monitoring CCP How What to Check Often
Pengecekan sensitivitas Metal Detector
Setiap awal Produksi
Who’s Check
Opera tor
Step 10 Corrective Action Who’s Where’s it What action recorded Perbaikan metal detector yang rusak
Engineer
QC Block Produk yang dibuat menggunaka n Metal Detector rusak
Pengecekan sensitivitas Metal Detector
Setiap awal produksi
Operat or
Perbaikan metal detector yang rusak
Block Produk yang dibuat menggunaka n Metal Detector rusak
Engineer
QC
Log Book Operator
Verifikasi What
How often
Who’s Check
Where’s it recorded
Finish Good Visual Check
Setiap batch
QC
Logbook QC
Finish Good Visual Check
Setiap batch
QC
Logbook Operator
Finish Good Visual Check
Setiap Batch
QC
Logbook QC
Setiap batch
QC
Logbook QC
Logbook QC
Finish Good Visual Check
92
Logbook QC
Logbook QC
Lampiran 9. Penentuan OPRP Pada Proses Produksi Royco Granule
OPRP MONITORING – ROYCO GRANULE LION OPRP No.
Processing Step
W1
Raw Material (Natural Spice)
W1
W1
W1
Raw Material (Miscellanous)
Monitoring Hazard
P:metal,batu,dsb
P : benda asing ( kotoran,batu, plastik, serpihan kayu,dsb)
Texturizing Agents (Starch)
P : benda asing ( kotoran,batu, plastik, serpihan kayu,dsb)
Flours
P: Metal, batu, kayu,dll
Pemasukkan Ingredients (kec. Air)
P : Benda asing (plastic, dll) yang tersobek masuk ke dalam hopper
Control Measure Pemeriksaan Visual dan Penerimaan Material dari Approved Supplier Pemeriksaan Visual dan Penerimaan Material dari Approved Supplier Pemeriksaan Visual dan Penerimaan Material dari Approved Supplier Pemeriksaan Visual dan Penerimaan Material dari Approved Supplier
What to check Benda asing pada bahan
Benda asing pada bahan
Benda asing pada bahan
Benda asing pada bahan
How
How often
Visual
Setiap Penerimaan material
Visual
Visual
Visual
Siever
S5
Siever pada
mesh 6,40
Visual
Setiap Penerimaan material
Setiap Penerimaan material
What
QC
Reject Material yang terkontamina si
QC / Operator produksi
Logbook Penerimaan RM
Reject Material yang terkontamina si
QC / Operator produksi
Logbook Penerimaan RM
Reject Material yang terkontamina si
QC / Operator produksi
Logbook Penerimaan RM
Reject Material yang terkontamina si
QC / Operator produksi
Logbook Penerimaan RM
QC
QC
Setiap Penerimaan material
QC
Setiap awal
Operator
produksi
Corrective Action Who’s Where’s it action recorded
Who’check
Perbaikan/
Logbook
Penggantian
Engineerng
Who’s check
Where’s it recorded
-
Reject Material QC to supplier Reject data
Setiap Bulan
QA
Dokumen QC
-
-
Reject Material QC to supplier Reject data
Setiap Bulan
QA
Dokumen QC
-
-
Reject Material QC to supplier Reject data
Setiap Bulan
QA
Dokumen QC
-
-
Reject Material QC to supplier Reject data
Setiap Bulan
QA
Dokumen QC
-
Reject Non
Setiap
QA
Dokumen QC
Conforman
bulan
V-brow Siever
dan 8
Siever yang
dalam kondisi
dalam
renggang/rus
product
kondisi
ak
data
ba
engineering
Verifikasi How Often
What to check
ce finishe
renggng
93
Lampiran 10. Why-Why Analysis Penyebab Variasi Aw Produk Bumbu Penyedap Rasa Pada Area RMS Problem Variasi Aw semi finish goods bumbu penyedap rasa
Why-1 1.1 Temperatur area RMS di luar standar 1.2 RH area RMS di luar standar
Check
G/NG
Actual 19-20 0C
Standar 20-25 0C
G
46-51%
Max.50%
NG
Why-2
Check Actual
G/NG
Solution
Standar Continue Monitoring
1.2.1 Banyak celah udara luar masuk ke dalam area RMS
1.2.2 Tidak ada pengontrol RH (dehumidifier) khusus pada area RMS 1.2.3 Monitoring pengecekan RH area RMS tidak dilakukan
1.2.4 Perilaku tidak disiplin pekerja di area RMS
NG Banyak celah udara yang berasal dari plastik curtain pembatas antara RMS dan FPS
Tidak ada celah udara luar masuk ke dalam area RMS
Tidak tersedia pengontrol RH (dehumidifier) di area RMS
Tersedia pengontrol RH (dehumidifier) di area RMS
NG
Tidak tersedia indikator temperatur/RH untuk mempermudah pengecekan kondisi RMS
Tersedia indikator temperatur/RH untuk mempermudah pengecekan kondisi RMS
NG
Banyak pekerja yang berada di area RMS dan sembarangan keluar masuk
Tidak ada pekerja sembarangan keluar masuk RMS
NG
Menutup celah udara luar yang masuk ke area RMS Pengecekan kondisi plastik curtain di area RMS Penyediaan pengontrol RH (dehumidifier) khusus di area RMS Penyediaan indikator temperatur/RH di area RMS Penyempurnaan SOP pengecekan temperatur/RH di area produksi Penyediaan visual control di area RMS Perketat supervisi dalam monitoring akses keluar masuk pekerja di area RMS
94
Lampiran 11. Why-Why Analysis Penyebab Variasi Aw Produk Bumbu Penyedap Rasa Pada Area Mixing Room Problem Variasi Aw semi finish goods bumbu penyedap rasa
Why-1 2.1 temperatur area mixing room di luar standar 2.2 RH mixing room di luar standar 2.3 Temperatur bahan setelah keluar dari Mixer bervariasi
Check
G/NG
Why-2
Solution
21.9-24.6 0C
20-25 0C
G
Continue Monitoring
30-45%
Max.50%
G
Continue Monitoring
11.5-33.5 0C
-
Actual
G/NG
Standar
NG
2.3.1 Raw Material lama terekspos AC yang berada di dekat Mixer
2.3.2 Kondisi pengemas raw material terbuka sebelum proses mixing
2.4 Temperatur bahan selama unloading bervariasi
Check
Actual
8.5-28.5 0C
-
NG
Posisi AC terlalu dekat dengan Mixer, arah aliran AC terlalu dekat dengan bahan
Standar
arah aliran AC tidak mengekspos bahan secara langsung
NG
NG Raw material (garam) dibiarkan terbuka sebelum proses mixing
Tidak ada pengemas berisi raw material yang terbuka
2.3.3 Waktu mixing setiap batch bervariasi
7 menit
7 menit
G
2.4.1 Bahan terekspos udara di dalam bin terlalu lama
30-90 menit
Max. 1 jam
NG
Pengaturan arah aliran AC tidak mengekpos bahan secara langsung Pengaturan waktu tunggu raw material sebelum proses mixing Agar tidak terlalu lama tertahan di area mixing room Brieifing pekerja di area mixing room tidak membiarkan pengemas berisi raw material ada yang terbuka selama proses produksi berlangsung Continue monitoring
95
Why-3 2.4.1.1 Transfer manual bahan ke bextruder terlalu lama
Check
G/NG
Actual
Standar
Bervariasi (30- 45 menit)
Lama bahan di dalam bin maksimum 1 jam
G
-
NG
2.4.1.2 Bervariasi Jeda waktu (15-20 menit) mixing antar batch terlalu cepat 2.4.1.3 Breakdown mesin Siever bextruder bextruder jebol
Why-4
Check
G/NG
Actual
Solution
Standar Continue Monitoring
Brieifing pekerja mixing untuk mengatur kondisi jeda waktu mixing setiap batch Siever bextruder tidak jebol selama proses produksi
NG
2.4.1.3.1 Torsi mesin terlalu tinggi
600-1100 rpm
Max. 2000 rpm
2.4.1.3.1 Masa Pemakaian Siever
Masa pemakaian Siever sudah lewat, kondisi Siever sudah tidak sesuai standar
-
G
Continue monitoring
NG
Pengecekan kondisi Siever setiap awal produksi Monitoring jadwal penggantian Siever (Checksheet)
Why-1
Check
G/NG
Why-2
Check
G/NG Solution
Problem Variasi Aw semi finish goods bumbu penyedap rasa
3.1 Temperatur bahan saat keluar dari bextruder bervariasi
Actual
Standar
7.5-49.5 0C
Max.60 0C
Actual G
Standar Continue monitoring
96
Lampiran 12. Hasil Pengukuran Temperatur Bahan Selama Proses Pengeringan Hari/Tanggal
Senin 27-02-2012
Selasa 28-02-2012
Rabu 29-02-2012
Kamis 1-03-2012
Rabu 7-03-2012
Jum‟at 9-03-2012
Panel (0C)
No.Batch
143 144 145 146 147 160 161 162 163 164 180 181 182 183 184 200 201 202 203 204 282 283 284 285 286 293 294 295 296 297
A 100
100
100
100
110
B 105
105
105
105
100
C 105
100
100
100
110
100
100
100
100
105
105
Blower A (0C)
Blower B (0C)
Blower C (0C)
Dehu 19
Awal 74
Akhir 71
Awal 89
Akhir 91
Awal 86
Akhir 75
20
69 61 48 36 60
61 53 41 35 61
89 82 70 66 92
83 73 66 72 93
86 71 66 53 90
73 69 57 58 89
43/95% 28/96% 24/94% 7/93% 59/100%
19
59 61 51 47 73
61 54 47 40 65
91 81 75 69 91
83 76 75 70 81
84 73 68 59 70
79 64 61 56 80
19
56 52 43 40 68
54 49 43 43 65
80 72 65 65 93
76 64 68 68 83
76 65 54 54 91
18
59 54 50 44 62
63 52 49 40 69
79 77 75 69 90
75 75 75 69 91
19
64 67 68 68 60
63 59 68 67 60
87 93 93 93 88
61 63 62 65
60 62 63 67
89 87 89 91
Dehumidifier T (0C) / RH (%) Awal Akhir 41/97% 35/96%
Siever (0C) Awal 33
Akhir 33
33/95% 22/96% 14/93% 12/91% 47/100%
23 14 9 9 36
19 8 9 9 35
45/100% 37/100% 25/100% 20/100% 39/94%
33/100% 29/100% 23/100% 14/100% 41/97%
31 22 18 12 19
25 18 15 11 30
71 59 61 54 80
36/97% 21/94% 15/93% 20/93% 41/SE
31/96% 17/93% 10/93% 16/91% 42/SE
23 10 11 10 30
14 9 11 10 32
74 89 71 70 92
76 70 65 64 88
35/SE 25/SE 21/SE 22/SE 35/SE
35/SE 24/SE 20/SE 17/SE 40/SE
22 30 14 10 30
29 32 11 10 31
89 91 94 92 89
84 86 85 85 71
82 85 82 84 72
42/SE 43/SE 40/SE 42/SE 30/99%
42/SE 39/SE 44/SE 41/SE 31/99%
30 31 32 31 26
31 31 32 31 26
90 90 91 92
71 69 73 70
72 73 71 71
29/99% 30/100% 31/100% 31/100%
32/99% 31/100% 31/100% 31/100%
26 26 27 27
26 26 27 27
97
Lampiran 13. Why-Why Analysis Penyebab Variasi Aw Produk Bumbu Penyedap Rasa Pada Area Drying Room Problem Variasi Aw semi finish goods bumbu penyedap rasa
Why-1
4.1 Temperatur bahan di setiap blower bervariasi
Check Actual Blower A: 35-74 0C Blower B: 65-93 0C Blower C: 53-90 0C
G/NG
Why-2
Standar -
NG
4.1.1 Tekanan boiler menurun
4.1.2 Temperatur bahan sebelum masuk ke tahap proses pengeringan bervariasi 4.1.3 Set temperatur pada panel bed dryer melebihi standar
Check
G/NG Standar
3-4 bar
Max.4 bar
NG
7.5-49.5 0C
Max.50 0C
NG
Mengacu pada point 3.1
NG 95-105 0C
100-110 0C
Optimasi temperatur pengeringan bed dryer
Tidak terjadi problem pada blower bed dryer
Briefing operator untuk melakukan set temperatur sesuai standar Pengecekan kondisi blower bed dryer pada saat start up sebelum proses produksi dimulai
NG 4.1.4 Kondisi blower bed dryer
Solution
Actual
Aliran steam blower terhambat
Koordinasi pengecekan tekanan steam boiler dengan operator boiler selama proses produksi berlangsung
Penyediaan indikator temperatur bahan di dalam bed dryer
91
Checklist pengecekan temperatur bed dryer selama proses produksi berlangsung 4.2 produk semi finish goods lama tertahan di area drying room
20-90 menit
Why-3
Check Actual
4.2.2.1
Max.1 jam
NG
4.2.1 Transfer manual bahan ke bextruder terlalu lama
Bervariasi (30- 45 menit)
4.2.2 Breakdown mesin bextruder G/NG
Siever bextruder jebol
Lama bahan di dalam bin maksimum 1 jam
Siever bextruder tidak jebol selama proses produksi Solution
G
Continue Monitoring
NG
Standar Continue monitoring
98
Torsi mesin terlalu tinggi
600-1100 rpm
Max.2000 ppm
4.2.2.2 Masa Pemakaian Siever
Masa pemakaian Siever sudah lewat, kondisi Siever sudah tidak sesuai standar
G
-
4.3 Temperatur bahan di dalam dehumidifier bervariasi
NG
Monitoring jadwal penggantian Siever (Checklist
7-59 0C
NG
4.3.1 Supply steam dehumidifier bervariasi 4.3.2 Temperatur bahan pada blower C sebelum masuk ke dehumidifier bervariasi
4.3.3 Temperatur output dehumidifier bervariasi 4.4 Setting temperatur pengeringan di luar standar
Problem
100-110 0C
Why-1 Actual
Variasi Aw semi finish goods bumbu penyedap rasa
4.5 RH pada Rhmeter dehumidifier di luar standar
100-105 0C
Check Standar
91%- SE
Pengecekan kondisi Siever setiap awal produksi
40%
50 Hz
50 Hz
G
Continue monitoring
Blower C: 53-90 0C
-
NG
Mengacu pada point 4.1
18-20 0C
19-22 0C
G
Continue Monitoring
NG
G/NG
NG
Briefing operator untuk mensetting temperatur sesuai standar.
Why-2
4.5.1 Temperatur bahan pada blower C sebelum masuk ke dehumidifier bervariasi 4.5.2 RH output dehumidifier
Check Actual
Standar
Blower C: 53-90 0C
-
RH Bervariasi
80%
G/NG
Solution
NG
Mengacu pada point 4.1
99
bervariasi
Why-3 4.5.2.1 Temperatur pada cooling coil bervariasi
Check
G/NG
Actual
Standar
DT Bervariasi
5 0C
Menyesuaikan temperatur pada hot coil dehumidifier
Why-4
Check Actual
NG
G/NG
Solution
Standar Checklist pengecekan RH pada RHmeter dehumidifier dan RH pada panel mesin dehumidifier selama proses produksi Pengecekan kondisi dehumidifier pada saat start up sebelum proses produksi
100
Lampiran 14. Why-Why Analysis Penyebab Variasi Aw Produk Bumbu Penyedap Rasa Pada Area Packing Hall Problem Variasi Aw semi finish goods bumbu penyedap rasa
Why-1 5.1 Temperatur area packing hall fluktuatif
Check
G/NG
Actual
Standar
19.9 – 25.3 0C
20-25 0C
NG
Why-2 5.1.1 Banyak celah udara luar masuk ke dalam area packing hall
Check
G/NG
Actual
Standar
Banyak celah udara dari plastik curtain pembatas antara packing hall dengan drying room dan FPS
Tidak ada celah udara masuk ke dalam area packing hall
NG
Solution
Penggunaan door closed pada pintu di area packing hall Pengecekan kondisi plastik curtain di area packing hall Penyediaan visual control pada setiap pintu di area packing hall Penurunan standar suhu AC di area packing hall menjadi lebih rendah
5.1.2 Problem pada AC
5.1.3 Monitoring Pengecekan Temperatur/RH tidak dilakukan
Kondisi AC berfungsi dengan baik selama proses produksi
Kondisi AC berfungsi dengan baik selama proses produksi
Tidak dilakukan pengecekan temperatur/RH rutin setiap shift
Pengecekan temperatur/RH rutin setiap shift
G
NG
Continue Monitoring
Penyempurnaan SOP pengecekan temperatur/RH di area produksi Penambahan Indikator temperatur/RH di area packing hall
5.2 RH area packing hall fluktuatif
37 – 51 %
Max. 40%
NG
5.2.1 Banyak celah udara luar masuk ke dalam area packing hall
Banyak celah udara dari plastik curtain pembatas antara packing hall dengan drying room dan FPS
Tidak ada celah udara masuk ke dalam area packing hall
NG
Penggunaan door closed pada pintu di area packing hall Pengecekan kondisi
101
plastik curtain di area packing hall Penyediaan visual control pada setiap pintu di area packing hall Penurunan standar suhu AC di area packing hall menjadi lebih rendah
5.2.2 Tidak ada pengontrol RH (dehumidifier) khusus pada area packing hall
5.2.3 Monitoring Pengecekan Temperatur/RH tidak dilakukan 5.3 Pengecekan Aw semi finish good
5.4 Pengemas berisi produk Semi Finish Goods robek selama
Bervariasi (> 30 menit)
Banyak pengemas yang robek selama penyimpanan
30 menit setelah proses pengeringan
Tidak ada pengemas yang robek selama penyimpanan
NG
NG
Pengatur RH menggunakan Outdoor dari AC
Tersedia pengontrol RH (dehumidifier) khusus pada area packing hall
Tidak dilakukan pengecekan temperatur/RH rutin setiap shift
Pengecekan temperatur/RH rutin setiap shift
15-30 menit
5-6 menit
5.3.2 Ketidakdisiplinan QC in line
QC terkadang lupa melakukan pengecekan sesuai waktu standar yang telah ditentukan
30 menit setelah proses pengeringan
5.4.1 Material handling menuju packing hall tidak sesuai standar
Pada saat handling pengemas berisi produk semi finish goods membentur
Tidak ada pengemas berisi produk semi finish goods yang terbentur dan robek pada saat handling
5.3.1 Lamanya pengukuran Awmeter
NG
NG
NG
NG
NG
Penyediaan pengontrol RH (dehumidifier) pada area packing hall Penyempurnaan SOP pengecekan temperatur/RH di area produksi Penambahan Indikator temperatur/RH di area packing hall Maintenance sensor pada Awmeter
Briefing QC in line dan perketat monitoring kerja QC selama proses produksi Briefing pekerja di area packing hall dalam material handling produk
102
penyimpanan
pallet lain
5.4.2 Tumpukan penyusunan pengemas berisi produk semi finish goods tidak sesuai standar 5.4.3 Takaran pengisian produk ke dalam pengemas bervariasi
Tumpukan bervariasi pada setiap pallet sehingga banyak pengemas yang robek karena over capacity
sesuai SOP
Tumpukan maksimum pengemas tiga ke atas
NG
10-16 kg
NG
One Point Lesson maksimum tumpukan pengemas pada pallet
One Point Lesson takaran pengisian produk ke dalam pengemas Penyediaan timbangan digital khusus untuk penimbangan output di area drying room
5.5 Lama penyimpanan produk semi finish goods bervariasi
Why-3
< 48 jam
Max. 48 jam
5.6 Pengemas diikat Pengemas berisi Pekerja tidak kembali setelah produk semi disiplin mengikat melakukan proses finish goods kembali transfer terbuka selama pengemas setelah proses filling melakukan transfer Check G/NG Actual Standar
G
NG
Continue Monitoring
5.6.1 Kapasitas bucket dan kapasitas produk di dalam pengemas tidak seimbang
10-16 kg
Kapasitas bucket max. 12 kg
NG
Solution One Point Lesson takaran pengisian produk ke dalam pengemas
5.6.1.1 Takaran Pengisian produk ke dalam
NG 10-16 kg
One Point lesson standarisasi material handling pada proses
103
pengemas bervariasi
filling
Penyediaan timbangan digital khusus untuk penimbangan output di area drying room
104
Lampiran 15. Hasil Uji Coba Lapangan 4 Batch Pada Proses Produksi
Hari/ Tanggal Rabu 14 Maret 2012
No. Batch
Granulator
Machine Mespack
Environment Bed Dryer B C DH √ √ √
0
√
√
358
√
√
√
√
√ √
23,3
37
359
√
√
√
√
√ √
23,8
38
360
√
√
√
√
√ √
24,0
37
T Bahan keluar Dari Mixer (0C) 31 31 30 30
357 358 359 360
No.batch 357 358 359 360
T Bahan saat Unloading (0C) 27-28 27-28 28-29 27-28
T Mixer (0C) 24-25 24-25 25-26 24-25
No.batch 357 358
RMS 51
RH (%) Mixing Packing 37 40
357
No. batch
RMS 19,7
Temperatur ( C) Mixing Packing 22,8 21,9
A √
T Granulator (0C) Atas Bawah 42-43 40-41 45-46 42-43 45-46 42-43 45-46 42-43
Atas 42-43 45-46 45-46 45-46
A 60 67 66 67
Handling Material 12.19-12.42 12.42-13.03 12.50-13.03 13.03-13.30 13.11-13.30 13.30-13.50 13.38-13.50 13.50-14.16
T Bed Dryer (0C) B C Dehu 95 92 51/100% 92 88 49/100% 93 91 55/100% 98 90 51/100%
T Granulator (0C) Bawah 40-41 42-43 42-43 42-43
Method Pengukuran Aw Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Penyimpanan
T Bahan saat keluar dari Siever (0C) 35 31 33 34
Plat 27-28 28-29 27-28 27-28
Aw produk Semi Finish Goods LION 0,2937/ 25,050C 0,2873/ 25,040C
RnD 0,30/ 22,5 0C 0,30/22,40C
105
359 No.batch
357
358
359
360
Bagian
Awal Tengah Akhir Awal Tengah Akhir Awal Tengah Akhir Awal Tengah Akhir
360
No. batch 357
358
359
360
0,3210/ 25,070C Waktu Filling (15/03/2012) 11.05 11.40 12.25 12.28 13.25 14.40 14.44 15.15 16.00 16.05 16.45 17.38 0,3045/ 25,070C
Lama Filling
0,31/ 22,80C Lama Penyimpanan
1 jam 20 menit
Lama waktu Pengeringan (14/03/2012) 12.41-13.03
2 jam 12 menit
13.03-13.29
13.29-14.40 25 jam 11 menit
1 jam 16 menit
13.29-14.00
14.00-14.44 24 jam 44 menit
1 jam 33 menit
14.00-14.30
14.30-16.05 25 jam 35 menit
13.03- 11.05 21 jam 2 menit
0,27/22,80C
Aw Produk Finish Goods LION RnD 0 0,3244/25,05 C 0,27/21,70C 0 0,3189/25,09 C 0,27/21,70C 0 0,3233/25,06 C 0,26/21,70C 0 0,3325/25,03 C 0,28/21,80C 0 0,3197/25,04 C 0,27/22,30C 0 0,3216/25,04 C 0,27/22,00C 0 0,3240/ 25,06 C 0,27/23,00C 0,3362/25,070C 0,27/21,80C 0 0,3156/25,07 C 0,27/21,40C 0 0,3286/25,04 C 0,27/21,80C 0 0,3297/25,08 C 0,26/22,00C 0 0,3304/25,08 C 0,27/21,90C
106
Lampiran 16. Data Pengukuran Aw Produk Bumbu Penyedap Rasa
Nomor Batch 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
Aw Produk Awal 0,2901 0,2986 0,283 0,2738 0,281 0,3034 0,2883 0,2935 0,247 0,2557 0,2637 0,2634 0,2659 0,2526 0,3296 0,2583 0,265 0,2898 0,2725 0,2675 0,2688 0,2688 0,2607 0,2622 0,2672 0,2654 0,309 0,3099 0,3083 0,3041 0,3419 0,284 0,281 0,2716 0,2951 0,2909 0,2878 0,279 0,2863 0,2751 0,2678 0,2594 0,2635 0,2694 0,2573 0,2921 0,2861 0,2826 0,2954 0,2937
Aw Produk Akhir 0,2809 0,2838 0,2737 0,2838 0,2882 0,2881 0,3096 0,286 0,2532 0,2709 0,2665 0,2588 0,275 0,2666 0,313 0,2651 0,257 0,2807 0,2641 0,2667 0,2666 0,2652 0,2742 0,2639 0,263 0,259 0,3133 0,3205 0,3339 0,316 0,2989 0,279 0,2721 0,2951 0,2847 0,2938 0,2924 0,2906 0,2857 0,2782 0,2686 0,245 0,2869 0,2632 0,2603 0,2816 0,2922 0,2932 0,3034 0,2952
Rata-Rata Aw 0,2855 0,2912 0,27835 0,2788 0,2846 0,29575 0,29895 0,28975 0,2501 0,2633 0,2651 0,2611 0,27045 0,2596 0,3213 0,2617 0,261 0,28525 0,2683 0,2671 0,2677 0,267 0,26745 0,26305 0,2651 0,2622 0,31115 0,3152 0,3211 0,31005 0,3204 0,2815 0,27655 0,28335 0,2899 0,29235 0,2901 0,2848 0,286 0,27665 0,2682 0,2522 0,2752 0,2663 0,2588 0,28685 0,28915 0,2879 0,2994 0,29445
107
Nomor Batch 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100
Aw Produk Awal 0,2897 0,3018 0,2934 0,2775 0,2874 0,2796 0,2671 0,2637 0,2851 0,3308 0,3653 0,3038 0,3051 0,3351 0,3 0,2876 0,2888 0,2908 0,2875 0,308 0,2808 0,2908 0,2801 0,2543 0,304 0,3464 0,3212 0,3315 0,3145 0,3172 0,3232 0,322 0,3314 0,31 0,308 0,3312 0,3664 0,3363 0,2897 0,3201 0,3228 0,337 0,3035 0,315 0,3301 0,3267 0,3294 0,3486 0,305 0,3469
Aw Produk Akhir 0,2971 0,3027 0,2859 0,2879 0,2921 0,2722 0,2782 0,2733 0,3301 0,32 0,3449 0,2993 0,3357 0,3053 0,3238 0,2963 0,2768 0,2876 0,2893 0,2972 0,3168 0,2863 0,2903 0,2973 0,3141 0,3428 0,3381 0,3153 0,328 0,3162 0,3227 0,3172 0,31 0,3327 0,3229 0,328 0,3228 0,3193 0,2971 0,3244 0,3369 0,3026 0,3036 0,3347 0,3317 0,3332 0,3274 0,3599 0,2945 0,3412
Rata-Rata Aw 0,2934 0,30225 0,28965 0,2827 0,28975 0,2759 0,27265 0,2685 0,3076 0,3254 0,3551 0,30155 0,3204 0,3202 0,3119 0,29195 0,2828 0,2892 0,2884 0,3026 0,2988 0,28855 0,2852 0,2758 0,30905 0,3446 0,32965 0,3234 0,32125 0,3167 0,32295 0,3196 0,3207 0,32135 0,31545 0,3296 0,3446 0,3278 0,2934 0,32225 0,32985 0,3198 0,30355 0,32485 0,3309 0,32995 0,3284 0,35425 0,29975 0,34405
108
Nomor Batch 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150
Aw Produk Awal 0,3459 0,2965 0,3379 0,3482 0,3356 0,336 0,3087 0,3381 0,3487 0,3429 0,3406 0,293 0,3326 0,3015 0,293 0,2811 0,3496 0,3175 0,3346 0,3493 0,3517 0,321 0,3219 0,3162 0,3015 0,3052 0,3023 0,2964 0,304 0,2967 0,2917 0,3011 0,298 0,2912 0,3084 0,2885 0,3271 0,3361 0,2782 0,3106 0,3048 0,3054 0,312 0,3066 0,3082 0,3286 0,3208 0,3344 0,314 0,318
Aw Produk Akhir 0,34 0,3284 0,336 0,3428 0,3411 0,3401 0,3399 0,3137 0,3691 0,3447 0,3415 0,2915 0,3415 0,3082 0,3022 0,2855 0,3366 0,3115 0,3341 0,342 0,3408 0,317 0,331 0,3076 0,3175 0,2985 0,3271 0,2867 0,3068 0,293 0,2866 0,3095 0,2864 0,3079 0,2978 0,3094 0,3268 0,3342 0,2821 0,3103 0,3064 0,3108 0,3058 0,3109 0,301 0,3114 0,3168 0,3428 0,2906 0,3208
Rata-Rata Aw 0,34295 0,31245 0,33695 0,3455 0,33835 0,33805 0,3243 0,3259 0,3589 0,3438 0,34105 0,29225 0,33705 0,30485 0,2976 0,2833 0,3431 0,3145 0,33435 0,34565 0,34625 0,319 0,32645 0,3119 0,3095 0,30185 0,3147 0,29155 0,3054 0,29485 0,28915 0,3053 0,2922 0,29955 0,3031 0,29895 0,32695 0,33515 0,28015 0,31045 0,3056 0,3081 0,3089 0,30875 0,3046 0,32 0,3188 0,3386 0,3023 0,3194
109
Nomor Batch 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200
Aw Produk Awal 0,2785 0,3292 0,3129 0,3118 0,3008 0,3086 0,3101 0,3058 0,3247 0,3368 0,3268 0,323 0,3168 0,3328 0,2976 0,3204 0,3306 0,337 0,3265 0,3125 0,2905 0,2725 0,3018 0,3408 0,319 0,3102 0,3207 0,3092 0,307 0,3466 0,3322 0,3188 0,2785 0,2768 0,2814 0,259 0,2774 0,2764 0,2876 0,2983 0,3169 0,3033 0,3092 0,3224 0,2975 0,3065 0,2506 0,2625 0,2822 0,2899
Aw Produk Akhir 0,3174 0,3347 0,3203 0,3241 0,3126 0,309 0,3035 0,3189 0,3093 0,3037 0,3025 0,307 0,3427 0,3171 0,3054 0,3343 0,3228 0,3334 0,3221 0,3168 0,3483 0,2653 0,3291 0,3328 0,3092 0,3128 0,3076 0,31 0,3414 0,3299 0,3343 0,3269 0,2661 0,2654 0,2623 0,2845 0,2697 0,2869 0,2969 0,3019 0,3032 0,3017 0,2976 0,3143 0,2961 0,301 0,2861 0,2654 0,266 0,276
Rata-Rata Aw 0,29795 0,33195 0,3166 0,31795 0,3067 0,3088 0,3068 0,31235 0,317 0,32025 0,31465 0,315 0,32975 0,32495 0,3015 0,32735 0,3267 0,3352 0,3243 0,31465 0,3194 0,2689 0,31545 0,3368 0,3141 0,3115 0,31415 0,3096 0,3242 0,33825 0,33325 0,32285 0,2723 0,2711 0,27185 0,27175 0,27355 0,28165 0,29225 0,3001 0,31005 0,3025 0,3034 0,31835 0,2968 0,30375 0,26835 0,26395 0,2741 0,28295
110
Nomor Batch 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241 242 243 244 245 246 247 248 249 250 251 252
Aw Produk Awal 0,2763 0,2576 0,316 0,2961 0,3024 0,2961 0,2953 0,3148 0,3082 0,2964 0,2928 0,2943 0,2932 0,3038 0,3268 0,2854 0,3004 0,2819 0,3179 0,3169 0,2947 0,2974 0,3103 0,2758 0,2823 0,2832 0,2528 0,2622 0,2781 0,2568 0,2518 0,2728 0,293 0,276 0,281 0,274 0,2789 0,2813 0,293 0,2872 0,2928 0,2728 0,2829 0,293 0,3001 0,3003 0,3313 0,3142 0,3357 0,3289 0,3162 0,3371
Aw Produk Akhir 0,277 0,3149 0,3117 0,3044 0,3127 0,3172 0,3028 0,2894 0,2979 0,2917 0,3046 0,3028 0,286 0,3078 0,3112 0,286 0,2853 0,3286 0,3058 0,2974 0,3199 0,304 0,3208 0,2892 0,2749 0,2932 0,2632 0,2722 0,2871 0,2627 0,2728 0,2829 0,2838 0,2916 0,283 0,285 0,2811 0,296 0,2915 0,2768 0,2827 0,2728 0,2928 0,2828 0,3126 0,3105 0,3069 0,3286 0,3382 0,3265 0,3012 0,3236
Rata-Rata Aw 0,27665 0,28625 0,31385 0,30025 0,30755 0,30665 0,29905 0,3021 0,30305 0,29405 0,2987 0,29855 0,2896 0,3058 0,319 0,2857 0,29285 0,30525 0,31185 0,30715 0,3073 0,3007 0,31555 0,2825 0,2786 0,2882 0,258 0,2672 0,2826 0,25975 0,2623 0,27785 0,2884 0,2838 0,282 0,2795 0,28 0,28865 0,29225 0,282 0,28775 0,2728 0,28785 0,2879 0,30635 0,3054 0,3191 0,3214 0,33695 0,3277 0,3087 0,33035
111
Lampiran 17. Frekuensi Penyebab Terjadinya Permasalahan Variasi Aw Bumbu Penyedap Rasa Penyebab Variasi Aw produk bumbu penyedap rasa RH RMS di luar standar Temperatur RMS di luar standar Pengemas berisi Raw Material terbuka sebelum proses Mixing Lama unloading Setting Temperatur pengeringan di luar spesifikasi standar Lama produk tertahan di area drying room RH dehumidifier di luar spesifikasi standar Temperatur area packing hall di luar Standar RH packing hall di luar standar Lama penyimpanan produk semi finish goods Pengemas berisi produk semi finish goods terbuka pada saat proses filling
Pengambilan data batch ke15 16 17 18 19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
Jumlah Frekuensi Kejadian
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 1
0 1
0 1
0 1
0 1
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
9 5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
30
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
5
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
30
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
30
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
1
1
0
0
0
1
1
0
0 0
0 0
1 0
1 0
1 0
0 0
0 0
0 0
1 0
1 0
0 0
1 0
1 0
1 0
1 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
TOTAL
120
112
1