LAPORAN PENELITIAN SISTEM BAGI HASIL PERTANIAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL PADA MASYARAKAT PETANI PENGGARAP DI KABUPATEN GORONTALO PERSPEKTIF HUKUM EKONOMI ISLAM
OLEH:
Dr. RIZAL DARWIS, M.H.I.
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT IAIN SULTAN AMAI GORONTALO TAHUN 2016
HALAMAN IDENTITAS DAN PENGESAHAN LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU 1.
2.
3. 4. 5. 6.
a. Judul Penelitian
a. Jenis Penelitian b. Tahun Penelitian Peneliti a. Nama Lengkap dan Gelar Akademik b. Jenis Kelamin c. NIP/Pangkat/Golongan d. Jabatan Jumlah Peneliti Lokasi Penelitian Jangka Waktu Penelitian Sumber Dana
: Sistem Bagi Hasil Pertanian Berbasis Kearifan Lokal Pada Masyarakat Petani Penggarap di Kabupaten Gorontalo Perspektif Hukum Ekonomi Islam : Studi Lapangan (Field Research) : 2016 : Dr. Rizal Darwis, M.H.I. : : : : : : :
Laki-Laki 19790717 200901 1 017 / Penata, III/c Lektor 1 (Satu) Orang Kota Gorontalo 6 (Enam) Bulan DIPA IAIN Sultan Amai Gorontalo Tahun 2016
Gorontalo, 12 Desember 2016 Kepala LP2M
Peneliti
Dr. H. Zulkarnain Suleman, M.H.I. NIP. 19671119 200501 1 004
Dr. Rizal Darwis, M.H.I. NIP. 19790717 200901 1 017
Mengetahui, Rektor IAIN Sultan Amai Gorontalo
Dr. H. Kasim Yahiji, M.Ag. NIP. 19610522 199003 1 002
ii
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah swt. yang telah memberikan limpahan rahmat, umur yang panjang dan kesempatan sehingga dapat merampungkan penelitian dengan judul Sistem Bagi Hasil Pertanian Berbasis Kearifan Lokal Pada Masyarakat Petani Penggarap di Kabupaten Gorontalo Perspektif Hukum Ekonomi Islam. Dalam melakukan proses penelitian ini tidak terlepas dari berbagai pihak yang telah membantu demi tersajinya karya yang ada saat ini. Untuk itu sewajarnya dihaturkan terima kasih kepada: 1.
Dr. H. Kasim Yahiji, M.Ag. selaku Rektor IAIN Sultan Amai Gorontalo yang telah menganggarkan dana hibah penelitian di kampus IAIN Sultan Amai Gorontalo.
2.
Dr. Sofyan A. P. Kau, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syariah IAIN Sultan Amai Gorontalo, yang telah menyeleksi kelayakan proposal penelitian ini untuk dilanjutkan dalam penelitian selanjutnya.
3.
Dr. Hj. Supiah, M.Pd. selaku mantan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M) IAIN Sultan Amai Gorontalo Periode 2014-2016.
4.
Dr. H. Zulkarnain Suleman, M.H.I. selaku Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M) IAIN Sultan Amai Gorontalo Tahun 2016 yang melanjutkan estafet kepemimpinan LP2M IAIN Sultan Amai Gorontalo.
iii
5.
Para responden yang telah berpartisipasi dan bersedia untuk penulis wawancarai.
6.
Pihak-pihak
yang
telah
memfasilitasi
penulis
untuk
bertemu
dan
berkomunikasi dengan para responden. 7.
Seluruh pihak yang telah berpartisipasi dalam proses penelitian ini. Walaupun penulis berusaha maksimal memberikan karya yang terbaik dari
apa yang penulis miliki demi terwujudnya penelitian ini, namun pada akhirnya tetap terdapat kekurangan-kekurangan di dalamnya sebagai akibat keterbatasan penulis, terutama di dalam menghimpun dan menganalisis data yang mendukung penelitian ini. Hanya Allah swt. jualah yang Mahasempurna, kepada-Nyalah yang patut diserahkan segalanya, seraya berharap akan petunjuk dan perlindungan-Nya, dari kealpaan yang setiap saat bisa hadir pada diri manusia.
Gorontalo, 10 Desember 2016 Penulis
Dr. Rizal Darwis, M.H.I.
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ...................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN .........................................................................
ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................
iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................
v
ABSTRAK ......................................................................................................
vii
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
PENDAHULUAN ................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .................................................
1
B. Rumusan dan Batasan Masalah.......................................
4
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...................................
5
D. Definisi Operasional dan Batasan Penelitian .................
5
E. Tinjauan Pustaka ............................................................
6
F. Metode Penelitian ..........................................................
8
KABUPATEN GORONTALO DAN KEARIFAN LOKAL SUKU GORONTALO ...........................................
11
A. Selayang Pandang Kabupaten Gorontalo ........................
11
B. Kearifan Lokal Suku Gorontalo .....................................
22
SISTEM BAGI HASIL DALAM HUKUM EKONOMI SYARIAH .............................................................................
29
A. Pengertian, Bentuk dan Jenis Bagi Hasil .......................
29
B. Landasan dan Kedudukan Hukum Kerjasama Bagi Hasil .......................................................................
41
C. Faktor-Faktor Terjadinya Akad Bagi Hasil ................... ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM
v
47
BAGI HASIL PETANI PENGGARAP DI KABUPATEN GORONTALO ......................................................................
57
A. Bentuk Pelaksanaan Sistem Bagi Hasil Bagi Kesejahteraan Petani Penggarap di Kabupaten Gorontalo ..........
57
B. Tinjauan Hukum Ekonomi Islam terhadap Sistem Bagi Hasil Petani Penggarap di Kabupaten Gorontalo ..
64
PENUTUP .............................................................................
75
A. Kesimpulan ....................................................................
75
B. Implikasi Penelitian ........................................................
75
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
77
BAB V
vi
ABSTRAK
Nama : Dr. Rizal Darwis, M.H.I. Judul Penelitian : Sistem Bagi Hasil Pertanian Berbasis Kearifan Lokal Pada Masyarakat Petani Penggarap di Kabupaten Gorontalo Perspektif Hukum Ekonomi Islam
Wacana tentang sistem kerjasama lahan pertanian dalam fikih Islam telah diatur dengan cermat dengan dikenalnya istilah mudharabah, muzara’ah, musaqah, dan mukhabarah. Tulisan ini mengkaji tentang sistem bagi hasil pertanian pada masyarakat petani penggarap di Kabupaten Gorontalo perspektif hukum ekonomi Islam. Penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan metode pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk bagi hasil lahan pertanian di Kabupaten Gorontalo antara pemilik sawah/lahan dengan petani penggarap disesuaikan dengan kesepakatan kedua belah pihak, seperti seperdua, sepertiga dan seperempat dengan melihat siapa penyedia bibit dan biaya operasional serta melihat kondisi alam jika gagal panen. Pelaksanaan sistem bagi hasil ini sejalan dengan konsep hukum ekonomi Islam dengan meniadakan ketidakadilan bagi pihak yang berakad. Selain itu, adanya praktek ini memberikan dampak positif bagi petani penggarap untuk mengangkat taraf perekonomiannya.
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Islam menyeru kepada seluruh kaum muslimin untuk membantu kepada orang yang lemah, memberikan kepada yang membutuhkan, dilarang menindas orang lain, karena menindas orang yang lemah dan meremehkan orang yang membutuhkan pertolongan adalah perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji, tidak religius, tidak manusiawi dan melanggar norma-norma moral. Islam datang untuk memberikan rasa keadilan dan kesejahteraan bersama dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Islam mengajarkan bagi seorang hamba muslim, hendaknya tidak saling memakan harta di antara sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.1 Tidak
terkecuali bagi masyarakat petani, khususnya petani penggarap melalui sistem bagi hasil yang umumnya terjadi di pedesaan. Sebagai pekerjaan tambahan untuk menutupi kebutuhan keluarga sebagian masyarakat menyibukkan dirinya dengan kegiatan sebagai petani penggarap. 2 Hadirnya petani penggarap dalam komunitas petani khususnya di Kabupaten Gorontalo memberi arti penting tidak hanya pada petani di satu pihak, tetapi juga bagi pemilik lahan di lain pihak yang diuntungkan oleh produktifitas 1
Lihat QS. al-Nisa>’/4: 122.
2
Muh}ammad Us\ma>n, Al-Rizq al-H}alal wa al-H}akikah al-Tawakkal al-Alla>h (Kairo: Matahabbah al-Qur’a>n, 1972), h. 53.
1
2
lahan tidurnya. Oleh petani, manfaat diperoleh dari pembagian hasil garapan yang dapat membantu memberikan keuntungan ekonomis atas pendapatan atau penghasilan tersebut, sedangkan pemilik lahan mendapatkan keuntungan ganda dari produktifitas lahan tidur (tidak tergarap), serta dampak ekonomis dari pembagian hasil garapan. Nabi Muhammad saw. beserta para sahabat beliau pernah mengabulkan permintaan kaumnya untuk bekerjasama dengan sistem bagi hasil pada pengurusan kurma, di mana sebagian kaum bertugas untuk menanam sedang yang lainnya mengurusi hingga membuahkan hasil dan selanjutnya dibagi sesuai kesepakatan. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa perjanjian bagi hasil lebih baik daripada sewa menyewa tanah pertanian, sebab sewa-menyewa tanah pertanian lebih bersifat untung-untungan karena hasil atau produksi tanah sewaan belum secara pasti diketahui kualitasnya, sementara pembayaran/sewa dilunasi terlebih dahulu. Sistem kemasyarakatan Indonesia sendiri, pola tanam bagi hasil telah dipraktekkan jauh sebelumnya oleh nenek moyang terdahulu, dengan nama dan istilah yang berbeda, antara lain: Maro di Jawa Tengah, Mertelu di Jawa Timur, Nengah atau Jejuron di Jawa Barat, Memperduai di Sumatera Barat, Toyo di Minahasa dan Teseng di Sulawesi Selatan.3 Kabupaten Gorontalo yang terdiri dari 19 Kecamatan, yaitu Asparaga, Dungaliyo, Batudaa, Batudaa Pantai, Bilato, Biluhu, Boliyohuto, Bongomeme, Limboto, Limboto Barat, Mootilango, Pulubala, Tabongo, Telaga, Telaga Biru, 3
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia, Ed. 5 (Cet. V; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 27.
3
Talaga Jaya Tibawa, Tilango, dan Tolango dengan luas lahan pertanian pada tahun 2013 berkisar 13.851.00 hektar4 memberikan andil akan adanya praktek bagi hasil lahan pertanian antara pemilik tanah dan penggarap tanah dalam mekanisme kearifan lokal masyarakat Gorontalo. Menyangkut pembagian hasil tanah dari bagi hasil, dalam ketentuan Hukum Ekonomi Islam tidak ditemukan petunjuk secara jelas. Maksudnya tidak ditentukan bagaimana cara pembagian dan berapa besar jumlah bagian masingmasing pihak (pemilik tanah dan penggarap). Sayyid Sabiq mengungkapkan, bahwa pemberian hasil untuk orang untuk mengolah atau menanami tanah dari yang dihasilkannya seperti setengah atau sepertiga, atau lebih dari itu, atau pula lebih rendah, sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak (petani dan pemilik tanah).5 Dengan demikian tidak ada ketentuan umum yang mengikat antara pemilik tanah dan penggarap untuk selalu tetap berpegang pada ketentuan tersebut. Oleh karena pada prinsipnya bahwa antara kedua belah pihak saling membutuhkan.
Pemilik
tanah
memiliki
lahan
tetapi
tidak
mampu
memproduktifkannya, dan begitu pula sebaliknya penggarap tidak memiliki lahan tetapi ia berkemampuan untuk memprodutifkannya. Ada beberapa faktor menjadi penyebab menguaknya kehadiran petani penggarap, antara lain: (a) petani tidak memiliki lahan; (b) bila saja memiliki lahan tetapi tidak mencukupi kebutuhan; (c) pemilik lahan tidak berkemampuan
4
Kementerian Pertanian, Statistik Lahan Pertanian Tahun 2009-2013, Statistics of Agricultural Land 2009-2013 (Jakarta: Pusat Data dan Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian, 2014), h. 31. 5
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah: Edisi Terjemahan, Jil. IX (Semarang: Toha Putra, 1998), h.
36.
4
memproduktifkan (mengolah) sendiri; dan (d) pemilik lahan bertempat tinggal jauh dari lahan garapan. Dalam kaitan ini peneliti merasa perlu mengadakan suatu pendekatan dan atau penelitian ilmiah terhadap praktek penggarapan lahan dengan sistem bagi hasil pada masyarakat petani penggarap di Kabupaten Gorontalo ditinjau dari aspek-aspek sosial masyarakat dan kaidah hukum ekonomi Islam dengan pertimbangan
Gorontalo sebagai wilayah mayoritas masyarakatnya beragama
Islam, sehingga tentunya berimplikasi bahwa segala aktifitas masyarakatnya selalu didasarkan pada kaidah keislaman.
B. Rumusan dan Batasan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka sebagai pokok masalah yang dapat peneliti angkat adalah bagaimana pelaksanaan sistem bagi hasil pada masyarakat petani penggarap di Kabupaten Gorontalo menurut tinjauan hukum ekonomi Islam. Selanjutnya pokok permasalahan tersebut dibagi sub permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimana bentuk pelaksanaan sistem bagi hasil bagi kesejahteraan petani penggarap di Kabupaten Gorontalo?
2.
Bagaimana tinjauan hukum ekonomi Islam terhadap sistem bagi hasil kepada petani penggarap di Kabupaten Gorontalo?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian
5
Peneliti dalam melakukan sebuah penelitian tentunya memiliki tujuan diadakannya. Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini, yaitu: a.
Untuk mengetahui bentuk pelaksanaan sistem bagi hasil bagi kesejahteraan petani penggarap di Kabupaten Gorontalo.
b.
Untuk menganalisis tinjauan hukum ekonomi Islam terhadap praktek sistem bagi hasil kepada petani penggarap di Kabupaten Gorontalo? 2. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaannya adalah diharapkan uraian-uraian yang dibahas
dalam pembahasan ini dapat menjadi sumbangan motivasi sekaligus sebagai bahan informasi positif bagi anggota masyarakat khususnya masyarakat Islam, bahwa sistem bagi hasil bagi petani penggarap adalah halal kecuali ada unsur riba dan faktor-faktor lain yang menjadikannya haram.
D. Definisi Operasional dan Batasan Penelitian Judul yang diangkat dalam penelitian ini adalah “Sistem Bagi Hasil Pertanian Berbasis Kearifan Lokal Pada Masyarakat Petani Penggarap di Kabupaten Gorontalo Perspektif Hukum Ekonomi Islam.” Olehnya itu, dalam upaya lebih mendekati arti dan makna yang terkandung dalam judul tersebut, maka peneliti akan memaparkan beberapa kata yang dianggap memiliki interpretasi lebih dari satu kata.
6
Bagi hasil adalah pendapatan yang diperoleh dibagi hasilnya karena kesepakatan kedua belah pihak, apabila ada hasil yang didapatkan oleh penggarap maka hasilnya dibagi sesuai kesepakatan.6 Petani penggarap adalah orang yang pekerjaannya bercocok tanam atau menggarap tanah. Maksudnya ialah orang yang mengerjakan tanah orang lain karena tidak memiliki tanah sendiri.7 Berdasarkan arti dan makna judul yang dikemukakan di atas, tergambar bahwa secara operasional penelitian ini adalah sebuah analisis hukum ekonomi Islam tentang kedudukan sistem pembagian hasil yang diterapkan antara pemilik lahan dan petani penggarap dalam masyarakat Kabupaten Gorontalo dengan mencermati kearifan lokal yang tertanam dalam kehidupan masyarakatnya.
E. Tinjauan Pustaka Bertolak dari pokok masalah yang diangkat peneliti dalam penelitian ini mempunyai relevansi dengan sejumlah teori yang ada dalam berbagai literatur ilmiah. Dalam berbagai buku banyak ditemukan teori-teori, yang dapat memudahkan peneliti untuk menelaah melalui rujukan bahan bacaan seperti buku, makalah, majalah, dan berbagai kajian serta tulisan ilmiah lainnya dan berkaitan erat dengan masalah pokok dalam penelitian ini. Adapun buku-buku yang peneliti dapatkan dalam kaitannya dalam penulisan ini adalah:
6
Charuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam (Cet. II; Jakarta: Sinar Grafika, 1990), h. 61. 7
Charuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, h. 61.
7
Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah Jilid 13 mengemukakan bahwa sistem bagi hasil (mudharabah) telah terjadi pada masa Rasulullah saw., Sistem ini telah Rasulullah saw. ketahui dan tetapkan. Kalaulah tidak demikian (terlarang) tentu Rasulullah saw. tidak memberikannya, karena terkadang sebagian orang memiliki harta tetapi tidak berkemampuan memproduktifkannya, dan terkadang pula ada orang yang tidak memiliki harta tetapi tidak berkemampuan memproduktikannya, dan terkadang pula ada orang yang tidak memiliki harta tetapi memiliki kemampuan untuk memproduktifkannya. Oleh karena itu, syari’at membolehkan muamalah ini agar kedua belah pihak dapat mengambil manfaatnya.8 Hamzah Ya’qub dalam bukunya Kode Etik Dagang Menurut Islam. Dalam buku ini beliau mengemukakan bahwa segolongan fukaha tidak membenarkan sewa-menyewa tanah dalam bentuk apapun, karena dalam perbuatan tersebut terdapat kesamaran, pemilik tanah memperoleh keuntungan pasti dari hasil sewa tanahnya sementara pihak penyewa berada dalam keadaan untung-untungan, boleh jadi berhasil dan boleh jadi gagal karena tertimpa bencana.9 Abdul Manna dalam bukunya Teori dan Praktek Ekonomi Islam menyebutkan bahwa hukum Alquran, tanah harus menjadi milik bersama demi pemanfaatan yang sebaik-baiknya bagi masyarakat, karena itu pemilikan dan penguasaan atas tanah yang membatasi keuntungan segelintir orang, dan yang mengesampingkan sebagian besar rakyat adalah bertentangan dengan jiwa hukum
8
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah: Edisi Terjemahan, Jil. IX, h. 36-37. H. Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang menurut Islam (Bandung: Diponegoro, 1984), h.
9
32.
8
Alquran. Dalam Islam tiada seorang pun yang dapat menuntut pemilikan tanah secara mutlak, karena tanah adalah milik Allah. Hukum Islam tidak menyukai sistem zamindari, yang hakikatnya melakukan pembagian tanah yang merata dan diantara semua penggarap tanah.10 Ketiga buku tersebut, secara teoritis membahas tentang sistem bagi hasil menurut tinjauan hukum Islam. Hal ini mempunyai relevansi dengan usaha penulis mengadakan penelitian lapangan (field research) melalui dokumentasi, observasi, dan wawancara untuk selanjutnya disusun dalam bentuk karya tulis ilmiah. Di samping itu, memberikan pemahaman bahwa pokok masalah yang diangkat dalam bentuk karya ilmiah.
F. Metode Penelitian 1.
Metode Pendekatan Dalam penulisan karya tulis ini, peneliti menerapkan 2 (dua) metode
pendekatan, yaitu pendekatan hukum ekonomi Islam
dan pendakatan sosial
budaya. Pendekatan hukum ekonomi Islam, yaitu suatu pendekatan berdasarkan prinsip syariat Islam. Sedangkan pendekatan sosial budaya adalah suatu pendekatan dengan melihat aspek nilai-nilai budaya yang tertanam dalam suatu masyarakat sosial. 2.
Metode Pengumpulan Data
10
Abdul Manna, Teori dan Praktek Ekonomi Islam (Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 77.
9
Adapun metode pengumpulan data yang akan dilakukan oleh peneliti melalui: a.
Library research (penelitian kepustakaan), yaitu dengan mengumpulkan beberapa literatur kepustakaan yang ada relevansinya dengan masalahmasalah yang akan dibahas antara lain: 1.
Sumber pokok, yaitu kitab-kitab fikih, khususnya yang berkaitan dengan sistem bagi hasil (mudhrabah), buku-buku yang berkaitan dengan ekonomi dan lain-lain.
2.
Sumber penunjang, antara lain kitab-kitab tafsir dan syarah hadis, bukubuku dan tulisan yang berhubungan dengan sistem bagi hasil, ekonomi Islam, dan lain-lain yang ada kaitannya dengan pembahasan.
b.
Field research (penelitian lapangan), yaitu peneliti terjun ke lapangan untuk memperoleh data-data konkrit yang ada hubunganya dengan pembahasan. Dalam mengumpulkan data melalui metode ini, penulis menggunakan teknik sebagai berikut: 1.
Observasi, yaitu penulis mengamati objek yang akan diteliti, yakni petani penggarap yang ada di desa objek penelitian.
2.
Interview, yaitu suatu cara penelitian dengan yang dilakukan peneliti dengan menggunakan tanya jawab dengan informan yang dianggap banyak tahu tentang masalah-masalah yang berkenan dengan sistem bagi hasil. Dalam hal ini peneliti mengadakan wawancara dengan: (a) Para pemilik atau penyewa tanah dengan sistem bagi hasil bagi petani penggarap di Kabupaten Gorontalo; (b) Para pekerja dengan sistem bagi
10
hasil bagi petani penggarap di Kabupaten Gorontalo; (c) Para pemuka agama di Kabupaten Gorontalo; (d) Pemuka masyarakat, dan lain-lain yang dianggap representatif untuk memberikan keterangan. 3. Metode Pengolahan Data Data yang digunakan dalam pembahasan ini bersifat kualitatif deskriptif. Olehnya itu, peneliti menggunakan metode sebagai berikut: a.
Metode induktif, yaitu menganalisis data yang bersifat khusus, selanjutnya mengambil kesimpulan yang bersifat umum.
b.
Metoe deduktif, yaitu menganalisis data dengan bertolak dari hal-hal yang bersifat umum, untuk selanjutnya mengambil suatu kesimpulan yang bersifat khusus.
c.
Metode komparatif, yaitu setiap data yang diperoleh baik yang bersifat khusus maupun umum untuk selanjutnya dibandingkan, kemudian ditarik suatu kesimpulan sebagai hasil dari perbandingan yang telah dilakukan sebelumnya.
BAB II KABUPATEN GORONTALO DAN KEARIFAN LOKAL SUKU GORONTALO
A. Selayang Pandang Kabupaten Gorontalo 1.
Sejarah Kabupaten Gorontalo Kabupaten Gorontalo adalah sebuah kabupaten di Provinsi Gorontalo. Ibukota
kabupaten ini terletak di Limboto. Sejak ditetapkan sebagai kabupaten pada tahun 1959 hingga sekarang, Kabupaten Gorontalo sudah mengalami 3 (tiga) kali pemekaran. Pemekaran pertama pada tahun 1999 yang melahirkan Kabupaten Boalemo, pemekaran kedua pada tahun 2003 yang melahirkan Kabupaten Bone Bolango, dan terakhir pada tahun 2007 yang melahirkan Kabupaten Gorontalo Utara.1 Hari lahir Kabupaten Gorontalo ditetapkan pada tanggal 26 November 1673. Penetapan ini didasarkan pada penandatanganan perjanjian ikatan keluargaan lima kerajaan yang disebut U Duluwo Limo Lo Pohala’a. Kelima kerajaan tersebut, yaitu Kerajaan Gorontalo, Limboto, Suwawa, Boalemo dan Atinggola. Kelima kerajaan tersebut selanjutnya menjadi wilayah pemerintahan Kabupaten Gorontalo yang merupakan kesatuan masyarakat hukum Limo Lo Pohala’a dengan 4 (empat) unsur yakni wilayah, rakyat, pemerintah dan kedaulatan.2 Raja
dari
Pohala’a-Pohala’a
tersebut
ditentukan
oleh
Baate-Baate
(pemangku adat) menurut garis keturunan, tetapi pada masa penjajahan Belanda, 1
https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Gorontalo, diakses tanggal 04 Oktober 2016.
2
Farha Daulima, Terbentuknya Kerajaan Limboto (Gorontalo: Galeri Budaya Daerah LSM Mbui Bungale, 2003), h. 23.
11
12
Baate-Baate hanya dicalonkan dan yang memutuskan adalah penjajah Belanda. Dari kelima Pohala’a-Pohala’a di atas yang menonjol adalah Pohala’a Gorontalo dan Pohala’a Limboto yang merupakan dua kerajaan besar. Rakyatnya yang terbagi dalam suku-suku, yaitu linula-linula (kaum) yang dikepalai oleh seorang Olongia (orang terkemuka, penghulu) dan masing-masing mendiami daerahnya sendiri.3 Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, maka kerajaan-kerajaan yang berada di wilayah Nusantara Indonesia selanjutnya mengakui kedaulatan yang satu dalam negara Republik Indonesia dengan wilayah-wilayah yang terdiri dari propinsi dan kabupaten. Adapun Kabupaten Gorontalo dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Sulawesi dengan ibukota di Isimu.4 Pada tahun 1978, ibukota dipindahkan ke Limboto, di mana awalnya Kabupaten Gorontalo adalah salah satu kabupaten dalam wilayah Propinsi Sulawesi Utara. Selanjutnya karena keinginan otonomi daerah, maka tahun 2000, daerah Gorontalo memisahkan diri dari Propinsi Sulawesi Utara dengan terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2000. 2. Geografis dan Demografi Kabupaten Gorontalo
3
Ajub Ishak, et.al., Mentari Serambi Madinah Gorontalo (Cet. I; Gorontalo: Sultan Amai Press, 2014), h. 10. 4
Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Sulawesi.
13
Letak Kabupaten Gorontalo terletak pada posisi di antara 00.24”-10.02 Lintang Utara (LU) dan 121².59”-123o.32 Bujur Timur (BT) dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: Utara
: Kabupaten Gorontalo Utara
Selatan : Teluk Tomini Barat
: Kabupaten Boalemo
Timur
: Kabupaten Bone Bolango dan Kota Gorontalo
Penduduk Kabupaten Gorontalo pada tahun 2015 yang berumur 15 tahun ke atas yang bekerja selama seminggu menurut lapangan pekerjaan utama dan jenis kelamin, yaitu pada: (1) bidang pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan; (2) bidang industri pengolahan; (3) bidang perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel; (4) bidang jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan; dan (5) bidang lainnya.* Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja selama Seminggu Menurut Lapangan Kerja dan Jenis Kelamin Tahun 2015 Lapangan Pekerjaan Utama* (1) (2) (3) (4) (5) Jumlah
Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan 47.242 14.270 9.269 8.506 14.232 15.301 10.818 16.724 20.277 986 101.838 55.787
Sumber: Badan Pusat Statistik, Survei Angkatan Kerja Nasional, 2015.
Jumlah 61.512 17.775 29.533 27.542 21.263 157.625
14
Berdasarkan tabel di atas diketahui jumlah penduduk Kabupaten Gorontalo pada tahun 2015 yang berumur 15 tahun ke atas yang bekerja selama seminggu menurut lapangan pekerjaan utama dan jenis kelamin, yaitu: (1) bidang pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan sebanyak 61.512
jiwa; (2) bidang industri
pengolahan sebanyak 17.775 jiwa; (3) bidang perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel sebanyak 29.533 jiwa; (4) bidang jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan sebanyak 27.542 jiwa; dan (5) bidang lainnya sebanyak 21.263 jiwa. Sektor pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan menyerap sebagian besar tenaga kerja di Kabupaten Gorontalo. Daya serap tenaga kerja dalam bidang tersebut tergolong tinggi, yaitu 61.512 jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan utama masyarakat suku Gorontalo adalah petani dan pelaut. Sedangkan dalam bidang industri pengolahan menempati posisi daya serap tenaga kerja terendah, yaitu 17.775 jiwa. Salah satu faktor keterserapan tenaga kerja di sektor pertanian adalah persebaran luas lahan pertanian di Kabupaten Gorontalo. Untuk lebih jelasnya dapat diketahui melalui tabel persebaran luas lahan di Kabupaten Gorontalo berikut ini. Tabel 2.2 Luas Lahan Sawah menurut Jenis Pengairan dan Kecamatan di Kabupaten Gorontalo (ha) Tahun 2015 N o
Kecamatan
(1) (2) 1 Batudaa Pantai 2 Biluhu 3 Batudaa
Tekni s (3) -
Irigasi Setenga Sederhan h Teknis a (4) (5) -
-
Tada h Hujan (6) -
Pasan g Surut (7) -
30
10
Lainny a
Jumla h
(8) -
(9) -
-
40
15
4
Bongomem e 5 Tabongo 6 Dungaliyo 7 Tibawa 8 Pulubala 9 Boliyohuto 10 Mootilango 11 Tolangohul a 12 Asparaga 13 Bilato 14 Limboto 15 Limboto Barat 16 Telaga 17 Telaga Biru 18 Tilango 19 Talaga Jaya Kabupaten Gorontalo
-
-
-
32
-
-
32
1.138 1.207 2.165
831 676 685 150 109 -
167 -
345 10 162 265 102 569 450
-
129 167 64 20 115
1.176 686 976 432 1.454 2.072 2.730
330 71 1.291
76 609 -
-
49 80 424 16
-
358 -
814 80 1.103 1.307
382 323 203
-
-
141 -
7
-
382 464 210
7.110
3.136
167
2.675
17
853
13.958
Sumber: Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Gorontalo, 2015 Berdasarkan tabel 2.2 di atas diketahui bahwa 2 kecamatan sama sekali tidak memiliki lahan pertanian, yaitu Kecamatan Batudaa Pantai dan Kecamatan Biluhu; 17 kecamatan memiliki lahan pertanian. Selanjutnya mencermati tabel tersebut juga diketahui sebanyak 14 kecamatan dalam pengairan sawahnya masih dominan memakai tadah hujan, selain itu juga menggunakan bentuk pengairan lainnya, seperti irigasi, pasang surut dan lainnya, sehingga kalkulasi dari luas sawah di Kabupaten Gorontalo dengan jenis pengairannya seluas 13.958 ha. Potensi tanaman pertanian dengan luas pengairan 13.958 ha. memberikan menjadi peluang yang cukup besar dalam hal produktivitas padi di Kabupaten Gorontalo. Berikut tabel potensi luas panen dan produktivitas padi di Kabupaten Gorontalo menurut kecamatan.
16
Tabel 2.3 Luas Panen, Produksi, Produktivitas Padi (Padi Sawah dan Padi Ladang) Menurut Kecamatan di Kabupaten Gorontalo Tahun 2015 No
Kecamatan Luas Panen (ha)
(1) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
(2) Batudaa Pantai Biluhu Batudaa Bongomeme Tabongo Dungaliyo Tibawa Pulubala Boliyohuto Mootilango Tolangohula Asparaga Bilato Limboto Limboto Barat Telaga Telaga Biru Tilango Talaga Jaya Kabupaten Gorontalo
(3) -
Padi Sawah Produksi (ton)
(4) -
Produktivitas (kuintal/ ha) (5) -
Padi Ladang Luas Produk ProdukPanen -si (ton) tivitas (ha) (kuintal/ ha) (6) (7) (8) -
456,00 324,90 11.924,00 7.107,90 11.126,40 4.149,60 16.575,60 23.164,80 32.706,60 9.051,60 376,20 11.485,50 13.970,70
57 57 57 57 57 57 57 57 57 57 57 57 57
75 50 -
262,50 175,00 -
35 35 -
345
3.933,00 4.936,20 1.966,50
57 57 57
-
-
-
26.887,00
153.255,90
57
125
437,50
35
80 57 2.092,00 1.247,00 1.952,00 728 2.908,00 4.064,00 5.738,00 1.588,00 66 2.015,00 2.451,00 690 866 -
Sumber: Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Gorontalo, 2015
Potensi di sektor pertanian di daerah Kabupaten Gorontalo adalah tanaman padi yang menjadi komoditi andalan, yang tersebar di 2 bagian yaitu bagian Selatan, meliputi Kecamatan Telaga, Telaga Biru, Limboto, Limboto Barat dan Tibawa; sedangkan di bagian Utara meliputi Kecamatan Batudaa dan Bongomeme. Penguatan ekonomi kerakyatan pada kelompok potensial di wilayah ini lebih mengedepankan
17
sektor pertanian sebagai prime mover pembangunan daerah melalui program “revitalisasi pertanian.“ Dengan potensi sektor pertanian sangat memungkinkan mengingat lahan produktif cukup luas, yaitu tanah persawahan/basah 13.087 ha, lahan kering 48.479 ha. Selain itu luas lahan yang dimanfaatkan untuk tanaman holtikultura/tanaman pertanian lainnya seluas 9.846 ha.5 Mencermati data-data tersebut di atas, maka peluang investasi yang dapat ditawarkan untuk sektor pertanian di Kabupaten Gorontalo adalah: 1.
Industri pakan ternak dengan menggunakan limbah padi dan jagung;
2.
Pembangkit listrik tenaga Biomass (menggunakan limbah padi dan jagung);
3.
Pembangunan industri makanan (sari buah);
4.
Pengadaan penggilingan padi dan pengepakan;
5.
Pengembangan industri tepung beras;
6.
Pengadaan sarana produksi pertanian;
7.
Pengembangan lahan sawah; dan
8.
Pengadaan bibit tanaman padi dan jagung. 3. Kehidupan Keagamaan dan Sosial Masyarakatnya Masyarakat Gorontalo adalah masyarakat majemuk yang didiami oleh
berbagai kalangan suku, baik suku asli sendiri (Suku Gorontalo) maupun suku pendatang, seperti suku Bugis, suku Makassar, suku Jawa, dan lain sebagainya. Tiap
5
http://bpmptsp.gorontaloprov.go.id/potensi-pertanian-perkebunan-dan-kehutanan, tanggal 04 Oktober 2016.
diakses
18
suku bangsa tersebut mempunyai latar belakang sosial budaya dan wilayah penyebaran masing-masing yang unik dan spesifik. Sebagai suatu komunitas, masyarakat hidup dalam kebersamaan menjadi kodrat baginya untuk hidup dengan membutuhkan manusia lain. Ia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, sangat perlu untuk disosialisasikan sistem kehidupan sosial. Sarlito mengungkapkan bahwa manusia adalah “makhluk sosial, yaitu makhluk yang selalu membutuhkan sesamanya dalam kehidupan sehari-hari,”6 tak terkecuali masyarakat Gorontalo. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa manusia harus selalu berhubungan dengan manusia lainnya, hubungan manusia dengan kelompok, sehingga tercipta interaksi sosial. Daitom dkk. mengemukakan sebagaimana dikutip Ibrahim Polontalo bahwa sebelum agama Islam masuk ke Gorontalo, di daerah ini berdiri dua kerajaan, yaitu Kerajaan Limutu (Limboto) tahun 1330, dan Kerajaan Gorontalo tahun 1385. Hadirnya kedua kerajaan ini sangat berperan dalam proses masuknya Islam di Gorontalo yang hingga saat ini merupakan daerah yang berpenduduk mayoritas muslim.7 Umumnya
masyarakat
Gorontalo,
khususnya
masyarakat
Kabupaten
Gorontalo adalah penganut agama Islam yang taat. Dalam perkembangan Islam ini pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan Islam pada kerajaan
6
Sarlito Wirawan Sawono, Pengantar Umum Psikologi (Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 95 Ibrahim Polontalo, “Sejarah Perkembangan Islam sebagai Sumber Budaya dan Peradaban Pada Kerajaan Gorontalo Sejak Abad ke XVI,” Makalah disampaikan pada Seminar Nasional, 7 Oktober 2002 di Gorontalo. 7
19
Gorontalo di mana secara resmi raja Gorontalo menerima Islam sebagai agama kerajaan. Gorontalo mencatat sejarah keberhasilan kepemimpinan yang panjang. Tonggak keberhasilan yang pertama dibangun oleh Raja MotoloduladaA (1385) yang berhasil menyatukan suku-suku (linula) menjadi suatu kerajaan yang dikenal dengan Pohala’a Gorontalo. Kemudian pada pemerintahan Raja Amai (1503) berhasil menyebarkan agama Islam. Fase selanjutnya Raja Amai digantikan oleh putranya Motolodulakiki yang naik tahta tahun 1550. Raja ini menetapkan Islam sebagai agama resmi kerajaan dan mengubah pandangan hidup masyarakat Gorontalo dari “syara bertumpukan pada adat” menjadi “adati hulo-hulo to syara’a, syara’a hulohulo to adati” (adat bertumpukan pada syara’, syara’ bertumpukan pada adat). Setelah pemerintahan Raja Motolodulakiki, kemudian Raja Eyato memerintah antara tahun 1673-1679 yang berhasil mendamaikan dsan menyatukan Kerajaan Gorontalo dan Kerajaan Limboto pada tahun 1673. Raja Eyato mengubah pandangan hidup dari “adat bertumpukan pada syara’, syara’ bertumpukan pada adat,” menjadi “adati hulohulo’a to syara’a, syara’a hulo-hulo’a to Quru’ani” (adat bersendikan syara’, syara’ bersendikan Alquran).8 Selanjutnya pada fase pemerintahan Sultan Botutihe (1710-1757) ada beberapa langkah-langkah dan keberhasilan yang dilakukannya, seperti: pemindahan ibukota Kerajaan dari Dungingi di pinggir Sungai Bolango ke Limba B sekarang,
8
Alim S. Niode, Abad Besar Gorontalo (Gorontalo: Presnas Publishing, 2003), h. 1-31.
20
membangun Bandar Gorontalo, Masjid Baiturrahim, dan membuat rencana tata kota.9 Kemudian pada zaman pra kemerdekaan, tonggak sejarah Gorontalo kembali ditegakkan oleh Nani Wartabone yang berhasil melakukan kudeta terhadap pemerintahan Belanda pada tanggal 23 Januari 1942 dan mengibarkan bendera merah putih, dan selanjutnya Nani Wartabone menjadi Kepala Daerah pertama di Gorontalo.10 Sejarah panjang berdirinya Gorontalo sebagai sebuah pemerintahan otonomi dan berkedaulatan melalui raja-rajanya, berakhir dengan lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2000 tentang Propinsi Gorontalo, yang di mana sebelumnya Kabupaten Gorontalo telah berdiri melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Sulawesi dengan ibukota di Isimu. Kemudian setelah Gorontalo menjadi Propinsi tersendiri, maka Kabupaten Gorontalo adalah salah satu daerah dalam wilayah Propinsi Gorontalo. Sejarah
penyebaran
Islam
di
Gorontalo
sangatlah
panjang
dengan
dijadikannya sebagai agama resmi Kerajaan di kala itu. Hal ini berimbas, Islam menjadi agama mayoritas yang dianut oleh masyarakatnya dengan ritual keagamaan secara Islami. Khususnya masyarakat Kabupaten Gorontalo dalam kehidupan seharihari dapat dilihat sifat-sifat keislamannya, mereka rajin sembahyang dan berpuasa di bulan Ramadhan, dan bahkan banyak warga setempat telah menunaikan ibadah haji.
9
Medi Botutihe, Gorontalo, Serambi Madinah (Jakarta: PT Media Otda, 2003), h. 1-16.
10
Sudirman Habibie, et.al., 23 Januari 1942 dan Nasionalisme Nani Wartabone (Gorontalo: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Gorontalo, 2004), h. 61-81.
21
Mereka benar-benar patuh kepada ajaran-ajaran Islam yang diajarkan oleh tokohtokoh agama. Kehidupan sosial masyarakat Gorontalo secara umum, dan masyarakat Kabupaten Gorontalo secara khusus tidak bisa dipisahkan dari unsur adat. Hal ini terkait dengan falsafah yang dianut sejak awal berdirinya Kerajaan Gorontalo. Adat Gorontalo yang sangat kental dengan agama dengan simbol “adat bersendikan syara’, syara’ bersendikan Kitabullah,” artinya adat Gorontalo disakralkan dan dihormati sebagaimana agama. Namun perlu dipahami juga, adat kebiasaan dalam suatu daerah terkadang ada yang baik dan ada juga yang kurang baik. Begitu pula adat Gorontalo, ada tradisi yang baik dan ada tradisi yang kurang baik. Tradisi yang baik misalnya dikili, yaitu kebiasaan masyarakat Gorontalo pada setiap peringatan kelahiran Nabi Muhammad saw. Dalam adat ini, ada ritual-ritual khusus yang dilakukan sebagai bukti kecintaan pada Nabi Muhammad saw., seperti pembuatan toyopo, tolangga, palau (walimah), dan lain-lain. Sedangkan dalam tradisi yang kurang baik, seperti tutuhia, tutulia, hihita, MODEL (monga wau modela), mopo tala to eya, mopo ta to alamu, karlota, dan lain-lain. Tradisi ini lahir terkadang sebagai tradisi turunan orang-orang terdahulu, atau karena tabiat masyarakat, model masyarakat yang sudah hidup di alam yang serba modern ini.11
11
Husni Idrus, Membumikan Islam dalam Tradisi: Analisis Kritis Tradisi Gorontalo (Cet. I; Semarang: Pustaka Zaman, 2015), h. 1-2.
22
Gambaran di atas menunjukkan bahwa kehidupan sosial masyarakat Gorontalo tidak terpisahkan dari persinggungan tradisi dan agama. Namun dalam tradisi Gorontalo memiliki tradisi yang dianggap baik dan tradisi yang dianggap kurang baik. Tentunya hal ini menjadi sebuah dinamika masyarakat sosial dalam menjalani kehidupannya di permukaan bumi ini, khususnya pada masyarakat suku Gorontalo.
B. Kearifan Lokal Suku Gorontalo Masyarakat adalah sebuah institusi yang terdiri dari berbagai orang yang membentuk sebuah peradaban dalam menjalani kehidupannya. Setiap masyarakat dalam peradabannya masing-masing memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda-beda yang menjadi karakter kearifan lokal daerahnya dan menjadi sebuah gambaran keislaman nusantara Indonesia. Kearifan lokal atau dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijaksanaan setempat “local wisdom” atau pengetahuan setempat “local knowledge” atau kecerdasan setempat “local genious,” merupakan pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kearifan lokal di berbagai daerah di seluruh Nusantara merupakan kekayaan budaya yang perlu diangkat ke permukaan sebagai bentuk jati diri bangsa Indonesia.
23
Sternberg mengemukakan bahwa memaknai arti daripada sebuah kearifan dapat dipahami dalam cakupan pengetahuan yang mendalam (tacit knowledge), dalam artian jantungnya kearifan. Karifan adalah pengetahuan informal yang tidak diajarkan di sekolah, seperti tradisi sedangkan pengetahuan formal dipelajari dan diprioritaskan. Kearifan akan memediasi nilai yang didukung oleh kinerja inteligensi praktis. Kearifan merupakan aplikasi antara tacit (pengetahuan yang paling dalam) dengan pengetahuan eksplisit sebagai mediasi nilai untuk pencapaian kebaikan bersama melalui keseimbangan di antara faktor-faktor intrapersonal, interpersonal, dan kepentingan ekstrapersonal, baik dalam jangka pendek atau panjang untuk mencapai keseimbangan antara adaptasi pada lingkungan yang ada, membentuk lingkungan yang ada, dan mampu menyeleksi lingkungan yang baru. 12 Selanjutnya
Sternberg
melihat
kearifan
sebagai
pengetahuan
yang
menyeimbangkan keinginan hidup manusia. Di setiap kehidupan, orang akan membentuk nilai dirinya tergantung pada keinginan dominannya. Namun demikian nilai itu juga sangat tergantung pada tujuan yang sejalan untuk mencapai kebaikan pada umumnya. Dalam konteks teori keseimbangan, kearifan secara praktis merupakan inti pengetahuan yang tersembunyi (tacit knowledge) dan sebagai pengetahuan yang menyeimbangkan kepentingan.13 Kearifan lokal merupakan usaha untuk menemukan kebenaran yang didasarkan pada fakta-fakta atau gejala-gejala yang berlaku secara spesifik dalam
R. J. Sternberg, “Why Schools Teach for Wisdom: The Balance Theory of Wisdom in Educational Settings.” Educational Psychologyst, 2001. h. 227-245. 12
R. J. Sternberg, “Why Schools Teach for Wisdom, h. 230.
13
24
sebuah budaya masyarakat tertentu. Definisi ini bisa jadi setara dengan definisi mengenai indigenous psychology yang didefinisikan sebagai usaha ilmiah mengenai tingkah-laku atau pikiran manusia yang asli (native) yang tidak ditransformasikan dari luar dan didesain untuk orang dalam budaya tersebut. Hasil akhir dari indigenous psychology adalah pengetahuan yang menggambarkan tentang kearifan lokal, yaitu gambaran mengenai sikap atau tingkah-laku yang mencerminkan budaya asli. 14 Keraf juga mengemukakan bahwa kearifan tradisional (lokal) merupakan bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika manusia yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Jadi kearifan tradisional bukan hanya menyangkut pengetahuan, alam, dan pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan manusia, alam dan bagaimana relasi diantara semua penghuni komunitas ekologis ini harus dibangun.15 Kearifan budaya adalah energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup di atas nilai-nilai yang membawa kelangsungan hidup yang berperadaban, hidup damai, hidup rukun, hidup bermoral, hidup saling asih, asah, dan asuh, hidup dalam keragaman, hidup penuh maaf dan pengertian, hidup toleran dan jembar hati, hidup harmoni dengan lingkungan, hidup dengan orientasi nilai-nilai yang membawa pada pencerahan, hidup untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
K. Setiono, “Pengembangan Psikologi Indigenous di Indonesia,” Jurnal Ilmiah Psikologi Kognisi, Universitas Muhammadiyah Semarang, Volume 6, Nomor 2 Nopember 2002, h. 45. 14
15
A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), h. 234.
25
berdasarkan mozaik nalar kolektif sendiri. Kearifan seperti itu tumbuh dari dalam lubuk hati masyarakat sendiri. Itulah bagian terdalam dari kearifan kultur lokal.16 Indonesia adalah sebuah negara yang kaya akan beragam budaya, terletak di garis khatulistiwa dan membawa sebuah keberkahan tersendiri serta membuat negeri ini memiliki potensi sumber kekayaan yang melimpah. Walaupun saat ini pengelolaan dan kebijakan pemerintahnya tidak berpihak kepada rakyat. Namun terlepas dari itu semua, Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state), hal ini membawa pemahaman bahwa negara Indonesia merupakan negara yang memiliki ribuan pulau yang mengelilingi dan di kelilingi oleh laut, jumlah pulaupulau tersebut dalam lingkup besar maupun kecil kurang lebih tujuh belas ribu lima ratus delapan pulau.17 Keadaan geografis tersebut melahirkan keanekaragaman suku adat sebagai sebuah konsekuensi logis dari kekayaan pulau di Indonesia. Ragam suku membawa kenyataan bahwa kita memiliki macam-macam bentuk budaya dan kebudayaan. Masing-masing kebudayaan tersebut juga memunculkan corak aturan-aturan hukum tersendiri antara yang satu dengan yang lain dan dikenal dengan hukum adat. Beberapa budaya adat yang besar seperti: (1) Aceh, (2) Gayo, Alas dan Batak (3), Minangkabau, (4) Sumatera Selatan; (5) Daerah Melayu; (6) Bangka Belitung; (7) Kalimantan; (8) Minahasa; (9) Gorontalo; (10) Toraja; (11) Sulawesi Selatan; (12)
Haedar Nashir, “Menggali Kearifan Menghalau Kerakusan,” http://www.republika.co.id/ koran_detail.asp?id=116166&kat_id=49&kat_id1=&kat_id2=, diakses tanggal 30 Oktober 2016. 16
17
Soejitno Hadisapoetro, Pendidikan Kewarganegaraan, Makalah disampaikan dalam perkuliahan strata satu Fakultas Ekonomi UMM tanggal 18 September 2010, Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur, h. 5.
26
Kepulauan Ternate; (13) Ambon Maluku; (14) Papua; (15) Kepulauan Timur; (16) Barat; (20) Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura.18 Gorontalo sebagai salah satu daerah adat di Indonesia sangat kental dengan adanya persinggungan dengan agama. Persinggungan antara tradisi dan agama di Indonesia tidak bisa dipisahkan. Apalagi proses masuknya agama Islam dalam pembentukan hukum nasional juga melalui sejarah yang cukup panjang dengan pergumulan hukum adat, hukum Barat dan hukum Islam.19 Adat Gorontalo yang sangat kental dengan agama disimbolkan dengan adati hula-hulaa to saraa, saraa hula-hulaa to Qur’ani (adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan kitabullah).20 Falsafah ini mengandung sejumlah makna, yaitu: (1) adat harus didasarkan pada syariat, adat yang keluar dari syariat tidak dapat dikategorikan sebagai adat; (2) adanya relasi yang kuat antara adat dan syariat. Hal ini tergambar dari kata Kitabullah yang merujuk kepada Alquran dan tradisi Nabi yang hidup (Sunnah). Gorontalo sebagai daerah budaya yang menjunjung tinggi nilai agama dan budaya. Keduanya tidak dapat dipisahkan, namun dapat dibedakan, meskipun keduanya dapat disatukan. Integrasi keduanya melahirkan falsafah hidup masyarakat
18
E. K. M. Masinambow, (ed.), Hukum dan Kemajemukan Budaya Sumbangan Karangan Untuk Menyambut Hari Ulang Tahun ke-70 Prof. Dr. T. O. Ihromi (Jakarta: Obor, 2003), h. 6. Rizal Darwis, “Tradisi Hileyiya: Persinggungan Antara Agama dan Tradisi Pada Masyarakat Kota Gorontalo Perspektif Sosiologi Hukum Islam,” Analisa: Journal of Social Science and Religion, Volume 22 N0. 01, June 2015, h. 57. 19
Rizal Darwis, “Pohutu Molalungo Pada Masyarakat Gorontalo (Sebuah Refleksi Islam Nusantara),” Makalah disampaikan pada The 16th Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS), 02-04 Nopember 2016 di IAIN Raden Intan Lampung, h. 3. 20
27
Gorontalo. Rumusan ini mengandung makna bahwa adat harus didasarkan kepada sumber dan nilai-nilai fundamental agama. Secara substansi adat di Gorontalo dibagi atas: (1) pohutu du’a lo ulipa (tata upacara adat hari-hari besar Islam); (2) pohutu motimamango (tata upacara adat penyambutan tamu daerah); (3) pohutu molo’opu wau mopotolungo (tata upacara adat menjemput dan mengantar); (4) pohutu momulanga (tata upacara adat penobatan; (5) pohutu moponika (tata upacara adat pernikahan); (6) pohutu molalungo (tata upacara adat pemakaman).21 Selain pembagian adat di atas, masih ada berbagai tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Gorontalo yang secara formal upacara tidak dilaksanakan, namun secara informal dalam kebiasaan bermasyarakat tetap dilaksanakan, misalnya tradisi mo salamu, tradisi mohimelu, tradisi tutuhia, dan lain sebagainya.22 Tradisi sebagai sesuatu yang diciptakan sekaligus sebagai sesuatu yang diwariskan dari masa lalu, dan bisa mendekatkan diri dengan modernisasi, sehingga keduanya dapat dilihat dari fenomena-fenomena yang berada dalam tatanan yang sama. Hal ini memungkinkan untuk mengakui bahwa dalam pola-pola tradisional, adat istiadat, kepercayaan dan praktek bisa menemukan sesuatu yang bermanfaat dan bisa diterapkan pada masa sekarang. Tentunya apresiasi adat atau budaya seringkali dihubungkan dengan cara hidup, adat istiadat suatu masyarakat yang mendukung kebudayaan tersebut, melalui
21
H. Mansoer Pateda, et. al., Pohutu Aadati Lo Hulondalo: Tata Upacara Adat Gorontalo (Gorontalo: Pemda Kabupaten Gorontalo dan Forum Pengkajian Islam Al-Kautsar Gorontalo, 2008), h. 3. 22
Lihat Husni Idrus, Membumikan Islam dalam Tradisi, h. 1-115.
28
ritual-ritual tradisional yang pada umumnya ditimbulkan adanya keyakinan atau doktrin yang juga merupakan perwujudan dari religi yang dianut oleh suatu masyarakat sosial.
BAB III SISTEM BAGI HASIL DALAM HUKUM EKONOMI SYARIAH
A. Pengertian, Bentuk dan Jenis Bagi Hasil 1. Pengertian Bagi Hasil Berbagai bentuk dan jenis pertanian dan industri, seni dan kerajinan telah dipraktekkan pada masa Rasulullah saw. Hal itu bukan berarti beliau dalam misinya tidak perlu lagi mengajarkan kepada umat manusia tentang cara-cara berbisnis dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Salah satu bentuk bisnis yang dibolehkan oleh Rasulullah saw. adalah membolehkannya seseorang memproduktifkan tanah bagi pemilik tanah yang tidak mampu memproduktifkan tanahnya dengan perjanjian bagi hasil. Sistem pembagian hasil ini dibenarkan oleh Rasulullah saw. dalam rangka mensejahterahkan umat manusia. Sejarah mencatat bahwa Rasulullah saw. pernah ikut serta dalam suatu kemitraan usaha dengan Saibin Syarik di Makkah. Kala itu mereka bertemu di Madinah, dia mengingat kejadian tersebut dan menyebutkan bahwa hal tersebut diizinkan oleh Rasulullah saw.1 Dalam mendukung syirkah dan mudharabah ini, diperlukan adanya suatu penekanan atau indikasi ke arah mensejahterahkan umat manusia. Ini dikarenakan sering terjadi seseorang memiliki modal, tetapi tidak mampu menjalankan modal (lahan), atau sebaliknya memiliki kemampuan untuk beruhasa (tenaga), tetapi tidak punya modal (lahan). Oleh karena itu, melalui 1
M. Nejatullah Siddiqi, Partnership and Profit Sharing in Islamic Law, terj. Fakhriyah Mumtihani, Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam, Ed. I (Cet. I; Jakarta: Dana Bhakti Yasa, 1996), h. 6.
29
30
sistem kerjasama (mudharabah) ini kedua belah pihak memungkinkan untuk mencapai suatu tujuan dengan jalan saling bekerjasama antara pemiliki modal dan pengelola modal. Ada beberapa istilah yang perlu dijelaskan kaitannya dengan bentuk kerjasama dalam hukum ekonomi syariah, seperti: 1.
Konsep Mudharabah Pengertian secara bahasa, kata mudharabah atau qiradh berasal dari
bahasa Arab, yaitu dari kata al-h}arb berarti bepergian atau berjalan.2 Bisa juga diambil dari kata al-qardh berarti al-qath’u (potongan). Hal ini dikarenakan pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya. Selain itu ada juga menyebut mudharabah dengan muamalah.3 Kata mudharabah biasa dipergunakan oleh penduduk Irak dan kata qiradh atau muqaradhah dipergunakan oleh penduduk Hijaz.4 Ada beberapa pengertian mudharabah atau qiradh menurut istilah yang telah dikemukakan oleh para ulama, seperti: Menurut Hanafiyah, mudharabah adalah akad antara dua pihak yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan kepada yang lain dan yang lain punya jasa mengelola harta. Menurut Malikiyah, mudharabah adalah akad perwakilan, di mana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (emas dan perak). Menurut Imam Hanabilah, mudharabah adalah pemilik harta menyerahkan 2
Makna ini dapat ditemukan dalam QS al-Muzamil/73: 20.
3
Abi Bakr ibn Muhammad Taqiyyuddin, Kifayat al-Akhyar (Bandung: Alma’arif, t.th.),
h. 301. 4
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Ed. 1 (Cet. IX; Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 135.
31
hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang yang berdagang dengan bagian dari keuntungan yang diketahui. Menurut Ulama Syafi’iyah, mudharabah adalah akad yang menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk ditijarahkan.5 Sayyid Sabiq berpendapat pula bahwa mudharabah adalah akad antara dua belah pihak untuk salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk diperdagangkan dengan syarat keuntungan dibagi sesuai dengan perjanjian.6 Imam Taqiyuddin mengemukakan pula bahwa mudharabah adalah akad keuangan untuk dikelola dan dikerjakan dengan perdagangan.7 Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa mudharabah atau qiradh adalah sebuah akad perjanjian antara dua orang atau lebih yang sepakat untuk mengelola harta pihak lain dan keuntungan dibagi bersama sesuai kesepakatan. 2.
Konsep Al-Musaqah Al-musaqah diambil dari bahasa Arab, yaitu dari kata al-saqa, artinya
seseorang bekerja mengelolah pohon Tamar
dan Anggur, atau pohon-pohon
lainnya supaya mendatangkan kemaslahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalan.8
5
Abd al-Rahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Mazhahib al-‘Arba’ah (Bairut: Dar al-Qalam, t.th.), h. 34-44. 6
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (Bairut: Dar al-Fikr, 1977), h. 212.
7
Abi Bakr ibn Muhammad Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar (Bandung: Alma’arif, t.th.),
h. 301. 8
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, h. 145.
32
Pengertian menurut istilah dikemukakan oleh beberapa ulama, misalnya ulama fikih, musaqah adalah akad penyerahan kebun (pohon-pohonan) kepada petani untuk digarap dengan ketentuan bahwa buah-buahan (hasilnya) dimiliki berdua (pemilik dan petani).9 Menurut Malikiyah, al-musaqah adalah sesuatu yang tumbuh. Menurut Syafi’iyah, al-musaqah adalah memberikan pekerjaan orang yang memiliki Tamar dan Anggur kepada orang lain untuk kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara, dan menjaganya, dan pekerja memperoleh bagian tertentu dari buah yang dihasilkan pohon-pohon tersebut.10 Menurut Hasbi Ash-Shiddieqi, al-musaqah adalah syarikat pertanian untuk memperoleh hasil dari pepohonan.11 Menurut Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan Syaikh Umairah, al-musaqah adalah memperkerjakan manusia untuk mengurus pohon dengan menyiram dan memeliharanya serta hasil yang dirizkikan Allah dari pohon itu untuk mereka berdua.12 Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka disimpulkan al-musaqah adalah sebuah akad antara pemilik pohon dan pekerja untuk memelihara pohon dan pemberian upah diambil dari pohon yang diurusnya. 3.
Konsep Al-Muzara’ah
9
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), Ed. 1 (Cet. I; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), h. 280. 10 11
Abd al-Rahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Mazahib al-‘Arba’ah, h. 21-28.
Hasbi Ash-Shiddieqi, Pengantar Fiqh Muamalah (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h.
91. 12
Syaikh Syihab al-Din al-Qayubi dan Syaikh Umairah, Qalyubi wa Umairah (Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah, t.th.), h. 60.
33
Menurut bahasa, al-muzara’ah memiliki dua arti, yaitu tharh al-zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya modal (al-hazar). Makna ini adalah makna majaz. Sedangkan makna yang kedua adalah makna hakiki.13 Menurut Hanafiyah, istilah muzara’ah adalah akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi; Menurut Hanabilah, muzara’ah adalah pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit; Menurut Malikiyah, muzara’ah adalah bersekutu dalam akad atau menjadikan harga sewaan tanah dari uang, hewan, atau barang-barang perdagangan; Menurut Syafi’iyah, muzara’ah adalah seorang pekerja menyewa tanah dengan apa yang dihasilkan dari tanah tersebut; Menurut Ibrahim alBanjuri, muzara’ah adalah pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal dari pemilik tanah.14 Menurut Afzalur Rahman, mengemukakan bahwa muzara’ah (sistem bagi hasil) adalah sistem kerjasama antara pemilik lahan (tanah) dengan petani penggarap (pekerja) dengan ketentuan pemilik lahan menerima bagian tertentu yang telah ditetapkan dari hasil produksi, bisa ½ (setengah), 1/3 (sepertiga) atau ¼ (seperempat) dari petani penggarap berdasarkan kesepakatan dalam perjanjian dan umumnya pembayaran diberikan dalam bentuk hasil bumi.15 Berdasarkan beberapa pengertian di atas diketahui bahwa al-muzara’ah adalah akad kerjasama dalam bidang pertanian di mana pemilik tanah
13
Abd al-Rahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Mazhahib al-‘Arba’ah, h. 1.
14
Abd al-Rahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Mazhahib al-‘Arba’ah, h. 2-4.
15
Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam, terj. Soeroyo dan Nastangin, Doktrin Ekonomi Islam, Jil. II (Cet. III; Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 260-621.
34
memberikan tanahnya kepada pihak pengelola dan bibitnya dari pihak pemilik tanah, serta bagi hasilnya sesuai kesepakatan kedua belah pihak. 4.
Konsep Al-Mukhabarah Kata al-mukhabarah biasa digunakan oleh orang Irak.16 Menurut
Syafi’iyah, mukhabarah adalah akad untuk bercocok tanam dengan sebagian apaapa yang keluar dari bumi, atau menggarap tanah dengan apa yang dikeluarkan dari tanah tersebut; Menurut ulama Hanafiyah, definisi mukhabarah dan muzara’ah hampir tidak bisa dibedakan. Muzara’ah menggunakan kalimat aqdun ‘ala al-zar’i bi ba’d al-kharij min al-ardh (akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi), sedangkan dalam mukhabarah menggunakan kalimat aqdun ‘ala al-zar’i bi ba’d ma yakhruju min al-ardh (akad untuk bercocok tanam dengan sebagian apa-apa yang keluar dari bumi). Adanya perbedaan redaksi tersebut menunjukkan adanya perbedaan, namun perbedaan tersebut belum diketahui berdasarkan pemikiran Hanafiyah17 Al-Rafi’i dan al-Nawawi berpendapat bahwa muzara’ah dan mukhabarah memiliki makna yang berbeda. Sedangkan menurut al-Qadhi Abu Thayib, muzara’ah dan mukhabarah merupakan satu pengertian.18 Ketika mencermati pengertian antara al-muzara’ah dan al-mukhabarah terdapat pengertian yang sama dan pengertian yang berbeda. Persamaanya terletak pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada pihak lain untuk dikelola. 16
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), Ed. 1 (Cet. I; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), h. 272. 17
Abd al-Rahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Mazahib al-‘Arba’ah, h. 2-4.
18
h. 153.
Abi Bakr ibn Muhammad Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar (Bandung: Alma’arif, t.th.),
35
Sedangkan perbedaannya pada modal, jika modal berasal dari pemilik tanah disebut muzara’ah, dan jika modal berasal dari pengelola disebut al-mukhabarah. Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan sistem bagi hasil adalah perjanjian pengolahan tanah, dengan upah sebagian dari hasil yang diperoleh dari pengolahan tanah itu.19 Ahli lain memberikan definisi bahwa yang dimaksud dengan sistem bagi hasil disebutnya mudharabah, yaitu satu pihak menyediakan modal dan pihak lain memanfaatkannya untuk tujuantujuan usaha, berdasarkan kesepakatan bahwa keuntungan dari usaha tersebut akan dibagi menurut bagian yang ditentukan.20 Bertitik tolak dari beberapa pandangan yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan bagi hasil adalah pembagian keuntungan dari hasil usaha (kebun/tanah) antara pekerja (petani penggarap) dengan pemodal (pemilik lahan) karena pemilik lahan tidak memiliki kemampuan memproduktifkan lahannya, sehingga ia memberikan lahannya kepada orang lain untuk diproduktifkan dengan ketentuan bagi hasil atau mudharabah. 2. Bentuk dan Jenis Bagi Hasil Setiap perubahan dari satu pola ke pola hidup yang lain atau perubahan peradaban menuju peradaban yang baru, memerlukan adanya penyesuaian dalam institusi dan berbagai cara hidup secara menyeluruh. Dengan kata lain, keinginan untuk mencapai perubahan dalam kehidupan, semua pendekatan yang sesuai dan
19
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam (Cet. II; Jakarta: Sinar Grafika, 1996), h. 61. 20
M. Nejatullah Siddiqi, Partnership and Profit Sharing in Islamic Law, terj. Fakhriyah Mumtihani, Kemitraan Usaha, h. 8.
36
memiliki relevansi dengan pola tingkah laku manusia-ekonomi, politik, sosial dan rohani, seharusnya dilaksanakan secara maksimal. Perubahan yang dimaksud di atas adalah adalah peralihan budaya materi menuju budaya Islam dan dapat terwujud dalam kerjasama dalam kehidupan ekonomi, khususnya kerjasama bidang pertanian. Kaitannya dengan kerjasama dalam bidang pertanian (lahan tanah persawahan). Pengolahan tanah dapat dilakukan dengan dua bentuk, yaitu: Pertama, pemilik tanah bisa mengolahnya sendiri dan berkuasa atas tanah dan hasilnya. Kedua, bisa dengan menyerahkan kepada orang lain untuk digarap, yaitu petani membayar langsung atas penggunaan tanah tersebut atau membagi hasil dengannya. Semua bentuk sistem bagi hasil yang dapat menyebabkan terjadinya kerjasama dan terwujudnya persatuan dan persaudaraan antara penggarap dan pemilik tanah dan jauh dari kemungkinan terjadinya perpecahan antara keduanya dibenarkan Islam. Sebaliknya semua bentuk sistem bagi hasil yang dapat menyebabkan timbulnya perselisihan di kalangan masyarakat atau mengganggu hak dari pihak tertentu dinyatakan tidak sah oleh Islam. Sebagaimana yang pernah terjadi pada masa Rasulullah saw., di mana tiga orang sahabat yang terkenal sebagai petani pada masa Rasulullah saw. meriwayatkan bahwa bentuk sistem bagi hasil yang mendorong seseorang untuk senantiasa hidup di atas keringat orang lain, dan melanggar hak-hak keadilan terhadap petani sangat dibenci oleh Rasulullah saw.21 21
h. 270.
Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam, terj. Soeroyo dan Nastangin, Doktrin,
37
Melalui sistem muzara’ah atau sistem bagi hasil kedua belah pihak memungkinkan mencapai suatu tujuan, di samping mewujudkan ta’awwun atau saling tolong menolong yang menyebabkan kedua belah pihak memperoleh keuntungan dari hasil usaha yang dilakukan oleh pekerja (petani penggarap). Dalam hal ini pekerja (petani penggarap) menggarap lahan seseorang karena kemampuannya untuk menggarap ada, sementara lahan tidak dimilikinya. Sebaliknya ada orang yang punya lahan, namun tidak memiliki kemampuan untuk menggarapnya. Sebagaimana dijelaskan dalam fikih Islam, ada tiga istilah untuk membicarakan hal pembagian hasil suatu kebun yang digarap atau diurus dua orang atau lebih, sedang salah satunya merupakan pemilik kebun (tanah). Istilah tersebut adalah musaqah, muzara’ah dan ketiga adalah mukhabarah.22 Uraian singkat tersebut menunjukkan bahwa bentuk dan jenis pengelolaan kebun adalah musaqah, muzara’ah dan mukhabarah. Adapun musaqah adalah seorang pemilik kebun menyerahkan pengurusan kebunnya pada seorang tukang kebun atau petani dan bagi hasil. Adapun muzara’ah adalah semacam paruhan mirip musaqah tetapi benih maupun biaya-biaya yang berkenaan dengan tanamkan itu kepunyaan penggarap satu-satunya dari pemilik adalah tanah (kebun)-nya. Sedangkan mukhabarah adalah semacam muzara’ah tetapi benih diusahakan oleh si pemilik tanah, sedang penggarap hanya garapannya saja.23
22
Hasbullah Bakry, Pedoman Islam Indonesia (Cet. V; Jakarta: UI Press, 1990), h. 284-
285. 23
Hasbullah Bakry, Pedoman Islam Indonesia, h. 284-285.
38
Jika dianalisa bentuk ketiga pengolahan tanah di atas tergambar bahwa bentuk dan jenis sistem bagi hasil pun mengikuti ketiga bentuk pengolahan tanah tersebut. Sebagai contoh, bentuk pertama: pengolahan tanah (kebun/sawah) menerapkan sistem musaqah di mana pemilik tanah (kebun/sawah) bekerjasama segala-galanya dengan penggarap. Artinya bahwa segala hal yang berkenaan pengurusan kebun/sawah, baik benih, pupuk dan lain-lainnya ditanggung bersama antara pemilik dan penggarap, maka jenis bagi hasil ini termasuk bentuk 50:50 atau bagi dua antara penggarap dengan pemilik tanah atau kebun. Bentuk kedua, yakni sistem muzara’ah, di mana benih yang ditanam serta keperluan lainnya berupa pupuk dan lainnya itu ditanggung penggarap, dan bagi pemilik kebun/sawh hanya menanggung lahan (kebunnya), maka hasil produksinya harus dibagi separoh misalnya (sepertiga) 1/3 untuk pemilik kebun dan (duapertiga) 2/3 untuk penggarap kebun. Dan ketiga adalah bentuk mukhabarah, yakni kebalikan dengan sistem muzara’ah. Bentuk mukhabarah ini segala yang berkenan dengan kebun dan benihnya ditanggung sepenuhnya oleh pemilik tanah dan petani penggarapnya hanya menggarap saja. Maka jenis dan bentuk bagi hasilnya pun hendaknya berbalik, yakni penggarap dapat sepertiga (1/3) dan pemilik kebun mendapat bagian dua pertiga (2/3), dan ketiga bentuk dan jenis bagi hasil itupun harus sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak yakni penggarap dan pemilik kebun. Untuk situasi umat Islam sepanjang masa dapat ditiru kebolehan persetujuan tersebut mengingat terdapatnya pemilik lahan/kebun/sawah yang tidak punya waktu untuk menggarap kebun/ladang/sawahnya, sebaliknya di pihak lain
39
ada orang yang punya kesempatan luang dan kemampuan untuk mengolah lahan/ladang/sawah, tetapi tidak memiliki ladang lahan/kebun/sawah untuk digarapnya. Intinya yang terpenting bagi keduanya adalah adanya perjanjian yang disepakati sebelumnya, agar kedua belah pihak dapat meminimalisir terjadinya persengketaan setelah tiba masanya pembagian hasil produksi pertanian. Pembagian hasil kepada pihak penggarap bervariatif, yakni sesuai dengan adat kebiasaan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, ada yang setengah, sepertiga, atau lebih rendah dari itu. Namun yang tidak kalah pentingnya dalam tiga bentuk dan jenis pengolahan kebun/ladang/sawah tersebut adalah terjalinnya kesepahaman atau kesepakatan antara petani penggarap dengan pemilik lahan/kebun/sawah. Ajaran Islam menganjurkan agar hasil kesepahaman atau kesepakatan yang telah menjadi perjanjian keduanya hendaknya ditulis agar tidak mudah dilupakan atau dikhianati. Hal ini diterangkan dalam QS al-Baqarah/2: 282:
ذل ل ل ل كج ل مم كس ىمى فكاكتم بموهم كوليككتم ب بكي نك مك م ين كآمنم وا إ كذا تك كدايكن تمم ب كدين إ كل أ ك كي أكيه كه ا ال ذ ك ككاتلب لبلعد لل وكل ي ل الم فكليككتمب كوليمملل لل الذ لذي ب كك كما كعلذ كمهم ذ ك ك ك ك ب ككاتب أكن يككتم ك الك كربذهم كوكل يكب كخس لمن هم كش ي ئاا فكلإن كك ا كن الذ لذي كعلكي له الك هق كس لف ايها كعلكي له الك هق كوليك ت لذق ذ أكو ل ل يع أكن ميل ذل مه كو فكليمملل ل كولليه هم لبل كع د لل كواستكش له مدوا كش له كيدي لن ك ض عي افا أكو كل يكس تكط م ل ل ل ل ل ون ر مجلك ل ض و كن لم كن ال هش كه كد لاء أكن ي فك كر مج ل كوامكرأ ككت لن مذن تكر ك م ن ر كج ال مكم فك إن كل يك مك ك ك ل ل ب ال هش كه كداءم إل كذا كم ا مدعم وا كوكل تكض ذل إلح كد ماهكا فكتم كذ رككر إلح كد ماهكا المخ كرى كوكل كي ك ط لعن كد ذل تكسأكموا أكن تككتم بوه ل ل ال كوأكق كومم للل ذش كه كاد لة كجلل له كذلل مكم أكق كس م مم ك صغ ايا أكو ككبل ايا إ كل أ ك م اضراة تم ل وأكدن أذكل تكركتبوا إلذل أكن تك مكو كن لتاراة ح ل س كعلكي مك م مجنك اح ي ل ف م ك ن ي ب ا ه ون ير د م ك ك ك ك ك ك ك ك م كك ك ك م ك
40
ل كوأكش له مدوا إل كذا تكبك ايكعتمم كوكل يم ك ض ا ذر كك اتب كوكل كش لهيد كوإلن تكف كعلم وا فك لإنذهم . الم بل مك لرل كشيء كعلليم الم كو ذ الك كويم كعللر مم مك مم ذ كواتذ مقوا ذ Terjemahnya:
وه ا أذكل تككتم بم ك فم مسوق بل مكم
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.24 Secara tekstual ayat tersebut menyebutkan hutang piutang, namun dalam hal hubungan interaksi manusia dengan manusia yang mengandung adanya unsur hak dan kewajiban maka menjadi keharusan untuk ditulis dan disaksikan oleh dua orang laki-laki atau seorang lelaki dan dua orang perempuan. Hal ini dimaksudkan agar perjanjian yang telah disepakati itu tidak mudah dilupakan, sebab bila seorang lupa, yang lainnya (saksi lain) masih ingat.
24
Kementerian Agama RI., Ummul Mukminin: Al-Qur’an dan Terjemah untuk Wanita (Jakarta Selatan: Penerbit Wali, 2010), h. 48.
41
B. Landasan dan Kedudukan Hukum Kerjasama Bagi Hasil Pada prinsipnya dalam melakukan hubungan muamalah itu dibolehkan menurut hukum Islam. Hal ini tergambar dalam kaidah fikih:
اكاكلك لكصل لف الم كع كاملك لت ل .ال كب كحةم إللذ أكن يك مد هل كعلكى كت لريل كها م Artinya: Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Kaidah fikih ini sangat jelas menerangkan bahwa segala tindakan yang terkait dengan hubungan sosial (muamalah) antara sesama manusia dibolehkan selama tidak ada aturan-aturan yang menerangkan tentang ketidakbolehan melakukan muamalah tersebut. Selain itu dijelaskan pula bahwa ketika seseorang melakukan sebuah akad (perikatan/perjanjian), maka hendaknya menunaikan akad-akad tersebut. Sebagaimana firman Allah swt. dalam QS al-Maidah/5: 1:
... كيأكيه كها الذ لذي كن كآمنموا أكوفموا بلل مع مقولد
42
Terjemahnya: Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji....25 Kedua bentuk dalil hukum terkait bermuamalah di atas adalah bersifat umum, dan dalil ini menjadi acuan dasar dalam melakukan akad-akad dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam konsep akad mudharabah, akad almusaqah, akad al-muzara’ah, dan akad al-mukhabarah. 1.
Landasan Hukum Mudharabah Melakukan mudharabah adalah boleh (mubah). Dasar hukumnya adalah
salah satu hadis Rasulullah saw. yaitu:
عن ل ول ذل الم كعلكي له كو كس لذ كم ثككلث ص كهيب كع ن أكبل ليه قك كال قك كال كر مس م ص لذى ذ ال ك صال لح ب لن م ك ك ض ةم وأكخ كل مط الب لر لبل ذش عل لي لللب ي ل فلي له ذن الب ركك ةم الب ي ع إل ت كل لللبك ي لع ار ق م ال و ل كج أ ل ك ك ك ك كك ك م ك ك م ك ك مر ()رواه إبن ماجه 26
Artinya: Dari Shalih bin Shuhaibin dari Bapaknya berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: ada tiga perkara yang diberkati: jual beli tidak secara tunai, memberi modal, dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keluarga, bukan untuk dijual (HR Ibn Majah). Pada riwayat lain dijelaskan pula:
كع لن اب لن كعبذ اس قك كال كك ا كن ال كعبذ اس ب ن كعب لد المطذلل ل ض كاربكةا اش تك كر كط ب إل كذا كدفك كع كم الا مم ك م م م ل ل ل احبل له لك يس لم م ل علك ى ص ل ات ككبل د كرطبك ة ك بل ه كب ارا كولك يكن لزمل بل ه كواد اي كولك يكش كلتى بل ه كذ ك ك ك ك
25
Kementerian Agama RI., Ummul Mukminin: Al-Qur’an dan Terjemah, h. 106.
26
Al-Hafiz} Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini. Sunan Ibnu Majah, Juz 7 (T.tp.; Dar Ahyau al-Kutub al-Arabi, t.th), h. 68.
43
ول ذل ل ض لامن فكرفكع كشرطكه إل كل رس ل كج كازهم )رواه فكلإن فك كع كل فك مه كو ك ال ك ص ذل ام كعلكيه كو كسلذ كم فكأ ك ك ك م كم (الدارقطن 27
Artinya: Dari Ibn Abbas berkata adalah Abbas bin Abd al-Muththalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya (HR al-Daruquthni). 2. Landasan Hukum Al-Musaqah Para ulama berbeda pendapat dalam masalah diperbolehkannya musaqah. Imam Abu Dawud berpendapat bahwa yang dibolehkan hanya tanaman kurma; Menurut Syafi’iyah, hanyalah kurma dan anggur saja; Menurut Hanafiyah, semua pohon yang mempunyai akar ke dasar bumi dapat di-musaqah-kan, seperti tebu; Menurut Imam Malik, dibolehkan untuk semua pohon yang memiliki akar kuat, seperti delima, tin, zaitun dan pohon-pohon yang serupa dengan itu. Dalam kitab al-Mugni, Imam Malik berkata: musaqah dibolehkan untuk pohon tadah hujan dan pohon-pohon yang perlu disiram; Menrut mazhab Hanbali, musaqah dibolehkan untuk semua pohon yang buahnya dapat dimakan.28 Ulama fikih sepakat bahwa tanaman yang diakadkan dalam musaqah adalah tanaman yang usianya minimal satu tahun. Juga disyaratkan jenis tanaman itu adalah tanaman keras.29 Dasar hukum dibolehkannya musaqah adalah hadis Rasulullah saw. sebagai berikut: 27
Al-Imam al-Hafiz} ‘Ali bin ‘Umar al-Daruquthni, Sunan al-Daruquthni, Juz 7 (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 373. 28 29
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, h. 149.
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, h. 280.
44
ول ذل الم كعلكي له كو كس لذ كم كع كام كل أكه كل كخي بك كر بل كش ط لر كم ا كع ن اب لن مع كم كر أك ذن كر مس ك ص لذى ذ ال ك (كيمر مج لمن كها لمن كثكر أكو كزرع )رواه مسلم 30
Artinya:
Dari Ibn Umar bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar agar mereka pelihara dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buahbuahan, maupun dari hasil tanaman (palawija) (HR Muslim). 3. Landasan Hukum Al-Muzara’ah dan Al-Mukhabarah Di dalam membahas hukum al-muzara’ah dan al-mukhabarah terjadi perbedaan pendapat para ulama, antara yang membolehkan dan yang tidak membolehkan. Imam Abu Hanifah dan Zufar bin Huzail bin Qais al-Kufi (ahli fikih mazhab Hanafi) berpendapat bahwa akad muzara’ah tidak dibolehkan, karena akadnya dengan bagi hasil, seperti seperempat dan seperdua hukumnya batal; Ulama mazhab Syafi’i juga mengatakan akad itu tidak sah, kecuali apabila muzara’ah itu mengikat pada akad musaqah. Alasan ketidakbolehan mereka berdasarkan hadis Rasulullah saw.:
ب قك كال س أكلت عب كد ذل ع ن عب لد ذل ال ب لن ال ذس ائل ل ال ب كن كمع لق ل كع ن ال ممكز كار كع لة فك كق كال ك م ك ك ك ول ذل ض ذح ل الم كعلكي له كو كس لذ كم نك كه ى كع ن ال ممكز كار كع لة ت ب من ال ذ اك أك ذن كر مس ك صلذى ذ أكخبك كرلن كثبل م ال ك ()رواه مسلم 31
Artinya: Dari Abdillah bin al-Saibi berkata: Saya bertanya kepada Abdullah bin Ma’qil tentang al-muzara’ah. Maka berkatalah dia bahwa saya diberitakan 30
Imām Muslim ibn al-Hajaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, Juz 8 (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.), h. 171. 31
Imām Muslim ibn al-Hajaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, Juz 8, h. 162.
45
Sabit bin al-Dhahhak bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. melarang almuzara’ah (HR Muslim) Sedangkan ketidakbolehan akad al-mukhabarah sebagaimana sabda Rasulullah saw.: 32
Artinya:
(الم كعلكي له كو كسلذ كم نك كهى كعن ال مم كخابككرلة )رواخ مسلم صلذى ذ كعن كجابلر أك ذن النل ذ ذب ك
Dari Jabir bahwa sesungguhnya Nabi saw. melarang al-mukhabarah (HR Muslim) Berdasarkan dalil di atas jelaslah ketidakbolehan melakukan kedua akad tersebut. Alasan mereka terkait dengan obyek yang belum ada dan belum jelas kadarnya, karena yang akan dijadikan imbalan untuk petani adalah hasil pertanian yang belum ada dan belum jelas ukurannya, sehingga keuntungan yang akan dibagi sejak semula tidak jelas, apalagi terjadi gagal panen yang tidak menghasilkan apa-apa. Adapun ulama yang membolehkan al-muzara’ah seperti ulama mazhab Maliki, Hanbali, Imam Abu Yusuf, Muhammad Hasan al-Syaibani dan ulama mazhab al-Zahiri. Pandangan mereka beralasan bahwa akadnya cukup jelas, yaitu adanya kerjasama antara pemilik lahan dan petani penggarap. Dalil yang digunakan adalah sabda Rasulullah saw. tentang perjanjian antara Rasulullah saw. dengan penduduk Khaibar untuk mengelola kebunnya. Terkait adanya perbedaan status hukum al-muzara’ah dan al-mukhabarah perlu menempatkan pada proporsinya masing-masing. Ketidakbolehannya
32
Imām Muslim ibn al-Hajaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, Juz 8, h. 136
46
dikarenakan adanya prinsip kehati-hatian atau dalam istilah ushul fiqhi-nya adalah sadd al-zari’ah. Kata sadd menurut bahasa berarti menutup, sedangkan al-zari’ah berarti wasilah atau jalan ke suatu tujuan. Dengan demikian, sadd al-zari’ah menurut bahasa adalah menutup jalan kepada suatu tujuan. Menurut istilah ushul fiqhi sebagaimana dikemukakan Abdul Karim Zaidan, sadd al-zari’ah adalah menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan.33 Akad dari al-muzara’ah dan al-mukhabarah adalah bagi hasil ketika selesai panen. Namun ketidakpastian yang akan diperoleh apakah untung atau rugi setelah panen, menjadikan ketidakbolehan kedua akad tersebut. Hal inilah menjadikan prinsip kehati-hatian bagi pelaku akad al-muzara’ah dan almukhabarah. Terlepas dari prinsip kehati-hatian tersebut, tentunya akad al-muzara’ah dan al-mukhabarah dibolehkan karena pada prinsipnya petani penggarap akan berusaha semaksimal mungkin mengelola lahan pertaniannya sebaik mungkin, sehingga nantinya menghasilkan panen yang melimpah dan sistem bagi hasil pun mendapatkan keuntungan antara pemilik lahan dan petani penggarap.
C. Faktor-Faktor Terjadinya Akad Bagi Hasil Allah swt. menciptakan bumi dengan segala isinya demi kebaikan semua makhluk-Nya, termasuk manusia agar dapat menikmatinya. Allahlah yang membentangkan bumi demi kebaikan makhluk ciptaan-Nya, yang di dalamnya terdapat beraneka ragam buah-buahan dan pepohonan. Dia-lah yang memberikan 33
Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, Ed. 1 (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2005), h.172.
47
rezeki kepada semua makhlukNya. Dia-lah menciptakan tanah untuk kepentingan makhluk-Nya demi memperoleh kebutuhan hidupnya. Ketentuan Alquran mengenai hak kepemilikan tanah dengan tegas menguntungkan manusia dengan segala jenis profesi hidupnya, tak terkecuali para petani. Menurut Alquran, tanah harus menjadi milik bersama dan pemanfaatannya pun hanya bagi masyarakat.34 Sedangkan bagi masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk memproduktifkan tanahnya, dapat dimanfaatkan melalui kerjasama kepada orang lain yang tidak memiliki lahan. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 pasal 1 yang dikemukakan oleh Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis bahwa: Perjanjian bagi hasil ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada pihak lain -yang dalam undang-undang ini disebut “penggarap”berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak.35 Bagi hasil merupakan suatu perjanjian di mana seseorang memberi harta kepada orang lain berdasarkan prinsip dagang, di mana keuntungan yang diperoleh akan dibagi berdasarkan proporsi yang telah disetujui. Oleh karena itu, dalam pengolahan tanah (lahan/kebun) apapun bentuknya, baik muzara’ah, mukhabarah dan musaqqah harus dilakukan berdasarkan mudharabah (bagi hasil) sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Timbulnya bagi hasil pada dasarnya dilatarbelakangi oleh adanya sistem kepemilikan tanah, di mana sebagian orang yang mungkin karena nenek 34
M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), h. 77. 35
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, h. 61.
48
moyangnya dahulu telah menjual tanahnya, sehingga tidak ada yang diwariskan kepada anak cucunya. Peristiwa jual beli tanah inilah yang menyebabkan masyarakat sekarang ini ada yang tidak memiliki tanah sama sekali. Sementara di pihak lain ada yang memiliki tanah (lahan) karena ketidaksukaan nenek moyang mereka menjual tanahnya, atau karena dia sendiri yang membeli tanah kepada orang lain. Selain faktor tersebut, juga faktor terjadinya sistem kekuasaan sehingga siapa yang berkuasa itulah merupakan tuan tanah (pemilik tanah) sepanjang tanah (wilayah) kekuasaannya. Sementara terdapat orang-orang di sekitarnya yang tidak memiliki sedikitpun tanah, dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ia harus bekerja keras. Salah satu di antaranya adalah menjadi pekerja atas tuan tanah atau penguasa itu. Faktor tersebut menimbulkan adanya kepemilikan tanah dan penggarap tanah dan pemilik (bukan penggarap) serta penggarap (bukan pemilik). Artinya bahwa pemilik penggarap adalah punya lahan dan digarapnya sendiri, sedangkan pemilik (bukan penggarap) adalah dia hanya memiliki lahan tersebut tetapi tidak digarap sendiri melainkan menyerahkannya kepada orang lain untuk digarap. Dengan demikian, lahirlah kerjasama antara pemilik tanah dan petani penggarap dengan perjanjian bagi hasil.36 Begitu pula halnya terkadang manusia banyak yang memiliki binatang ternak, seperti kerbau, sapi, kuda dan yang lainnya, di mana ia sanggup untuk berladang dan bertani untuk membiayai keperluan hidupnya, tetapi tidak memiliki tanah. Sebaliknya banyak di antara manusia mempunyai sawah, tanah, ladang dan 36
M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, h. 102-103.
49
lainnya, yang layak untuk ditanami (bertani), tetapi ia tidak memiliki binatang atau alat untuk mengolah sawah dan ladangnya tersebut, atau ia tidak sempat untuk mengerjakannya, sehingga banyak tanah yang dibiarkan dan tidak dapat menghasilkan suatu apa pun. Konsep muzara’ah, mukhabarah dan musaqqah yang disyariatkan untuk menghindari adanya pemilikan hewan ternak yang kurang dimanfaatkan, karena tidak ada tanah untuk diolah dan menghindarkan tanah yang juga dibiarkan tidak diproduksikan, karena tidak ada yang mengolahnya. Konsep muzara’ah, mukha>barah dan musaqqah terdapat pembagian hasil, maka untuk hal-hal lainnya yang bersifat teknis disesuaikan dengan syirkah, yaitu konsep bekerjasama dalam upaya menyatukan potensi yang ada pada masing-masing pihak dengan tujuan bisa saling menguntungkan. Jika paradigma di atas dianalisa, menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan terjadinya sistem bagi hasil dalam produksi pertanian adalah karena adanya sistem penguasaan atas tanah di satu pihak dan ketiadaan lahan bagi pihak lain. Oleh karena itu, pihak yang tidak mempunyai lahan memiliki kemampuan untuk mengolah lahan, sementara pihak yang memiliki lahan tidak memiliki kesanggupan untuk menggarap lahannya, sehingga pemilik lahan memberikan lahannya kepada penggarap untuk diolah dengan sistem bagi hasil. Hal ini berarti ada dua golongan petani, yaitu petani mandiri (yang memiliki tanah sendiri) dan petani buruh (tidak memiliki tanah sendiri). Kedua golongan petani ini selalu menjalin hubungan baik dalam sosial masyarakat
50
maupun dalam hubungan kerja, misalnya dalam bentuk bagi hasil dalam pertanian. Analisa penulis ini memiliki relevansi dengan salah satu hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh al-Bukhari:
ول ذل الم كعلكي له كو كس لذ كم كم ن كك انكت الم كعنهم قك كال قك كال كر مس م كعن ألكب مهكري كركة كر لض كي ذ ص لذى ذ ال ك ل ل (ضهم )رواه البخارى كخاهم فكلإن أ ككب فكليممسك أكر ك لكهم أكرض فكليك زكرع كها أكو ليكمنكح كها أ ك
Artinya:
Dari Abi Hurairah ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda: barangsiapa yang mempunyai tanah, hendaklah mengolahnya sendiri atau memberikannya kepada saudaranya dengan cuma-cuma (HR. al-Bukhari).37 Allah swt. telah berfirman dalam QS. al-Hasyr/59: 9:
Terjemahnya:
ل ل لل ...صة صا ك كويمؤ ثمرو كن كعلكى اكن مفس لهم كولكو ككا كن بم كخ ك...
…Dan mereka mengutamakan (Muhajirin) atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan...38 Dari kedua dalil di atas, menggambarkan bahwa ajaran-ajaran Islam telah menumbuhkan rasa cinta, kasih sayang dan persaudaraan di antara sesama muslim dan hasilnya mereka menemukan bahwa tiada ada pengorbanan yang lebih besar selain daripada pengorbanan demi kepentingan saudara seiman dan sekeyakinan. Salah satu pengorbanan terhadap saudara seiman dan sekeyakinan adalah memberikan tanah milik kita kepada saudara seiman dan sekeyakinan untuk 37
Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mugirah bin Bardzbah alBukhari al-Ja’afi, Shahih al-Bukhari, Juz 8 (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1412 H/1992 M), h. 152. 38
Kementerian Agama RI., Ummul Mukminin: Al-Qur’an dan Terjemah, h. 546.
51
dikelola demi memperoleh hasil yang memuaskan melalui sistem bagi hasil berlandaskan ajaran Islam. Sistem bagi hasil merupakan sistem di mana dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan yang akan di dapat antara kedua belah pihak atau lebih. Bagi hasil dalam sistem ekonomi syariah merupakan ciri khusus yang ditawarkan kepada masyarakat, dan di dalam aturan syari’ah yang berkaitan dengan pembagian usaha harus ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus terjadi adanya .kerelaan (an taradin) di masing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan Selain adanya unsur kerelaan, faktor lain yang harus diperhatikan adalah terkait dengan nisbah bagi hasil. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan nisbah bagi :hasil, yaitu
Persentase Nisbah keuntungan harus didasarkan dalam bentuk persentase antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal rupiah tertentu. Nisbah keuntungan itu misalnya 50:50, 70:30, 60:40, atau 99:1. Jadi nisbah keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan porsi setoran modal. Nisbah keuntungan tidak boleh dinyatakan dalam bentuk nominal rupiah tertentu, misalnya shahib al-mal mendapat Rp 50.000,00 dan mudharib mendapat Rp 50.000,00.39
39
Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 198.
.1
52
Bagi Untung dan Bagi Rugi
.2
Ketentuan di atas itu merupakan konsekuensi logis dari karakteristik akad mudharabah itu sendiri, yang tergolong ke dalam kontrak investasi (natural uncertainty contracts). Bila dalam akad mudharabah ini mendapatkan kerugian, pembagian kerugian itu bukan didasarkan atas nisbah, tetapi berdasarkan porsi modal masing-masing pihak. Kerugiannya itu harus dibagi berdasarkan porsi masing-masing pihak, bukan berdasarkan nisbah. Hal ini karena ada perbedaan kemampuan untuk menanggung kerugian di antara kedua belah pihak. Kemampuan shahib al-mal untuk menanggung kerugian finansial tidak sama dengan kemampuan mudharib. Kerugian (finansial) ditanggung 100% oleh shahib al-mal. Di lain pihak, karena proporsi modal (finansial) mudharib dalam kontrak ini adalah 0%, andaikata terjadi kerugian, mudharib akan menanggung kerugian 40
.(finansial) sebesar 0% pula
Apabila bisnis rugi, sesungguhnya mudharib akan menanggung kerugian hilangnya kerja, usaha dan waktu yang telah ia curahkan untuk menjalankan bisnis itu. Kedua belah pihak sama-sama menanggung kerugian, tetapi bentuk kerugian yang ditanggung oleh keduanya berbeda, sesuai dengan objek mudharabah yang dikonstribusikannya. Bila yang dikontribusikan adalah uang, risikonya adalah hilangnya uang tersebut. Sedangkan yang dikontribusikan adalah kerja, risikonya adalah hilangnya kerja, usaha dan waktunya, sehingga tidak .mendapatkan hasil apapun atas jerih payahnya selama berbisnis Jaminan
40
Adiwarman Karim, Bank Islam, h. 198.
.3
53
Bila kerugian terjadi karena karakter buruk, misalnya karena mudharib lalai dan atau melanggar persyaratan-persyaratan kontrak mudharabah, maka .shahib al-mal tidak perlu menanggung kerugian seperti ini Para fuqaha berpendapat bahwa pada prinsipnya tidak perlu dan tidak boleh mensyaratkan agunan sebagai jaminan, sebagaimana dalam akad syirkah lainnya. Jelas hal ini konteksnya adalah business risk.41 Sedangkan untuk character risk, mudharib pada hakikatnya menjadi wakil dari shahib al-mal dalam mengelola dana dengan seizin shahib al-mal, sehingga wajib baginya berlaku amanah. Jika mudharib melakukan keteledoran, kelalaian, kecerobohan dalam merawat dan menjaga dana, yaitu melakukan pelanggaran, kesalahan, dan kelewatan dalam perilakunya yang tidak termasuk dalam bisnis mudharabah yang disepakati, atau ia keluar dari ketentuan yang disepakati, mudharib tersebut harus menanggung kerugian mudharabah sebesar bagian kelalaiannya sebagai sanksi dan tanggungjawabnya. Ia telah menimbulkan kerugian karena kelalaian dan perilaku zalim karena ia telah memperlakukan harta orang lain yang dipercayakan kepadanya di luar ketentuan yang disepakati. Mudharib tidak pula berhak untuk menentukan sendiri mengambil bagian dari keuntungan tanpa kehadiran atau sepengetahuan shahib al-mal sehingga shahib al-mal dirugikan. Jelas hal ini 42
.konteksnya adalah character risk
Pihak mudharib yang lalai atau menyalahi kontrak ini, maka shahib al-mal dibolehkan meminta jaminan tertentu kepada mudharib. Jaminan ini akan disita oleh shahib al-mal jika ternyata timbul kerugian karena mudharib melakukan 41
Adiwarman Karim, Bank Islam, h. 198.
42
Adiwarman Karim, Bank Islam, h. 199.
54
kesalahan, yakni lalai dan ingkar janji. Kerugian yang timbul disebabkan karena faktor resiko bisnis, jaminan mudharib tidak dapat disita oleh shahib al-mal. Cara penyelesaiannya adalah jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah dan/atau Peradilan Agama setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. 4.
Menentukan Besarnya Nisbah
Besarnya nisbah ditentukan berdasarkan kesepakatan masing-masing pihak yang berkontrak. Jadi, angka besaran nisbah ini muncul sebagai hasil tawar43
.menawar antara shahib al-mal dengan mudharib
5.
Cara Menyelesaikan Kerugian
Jika terjadi kerugian, cara menyelesaikannya adalah diambil terlebih dahulu dari keuntungan, karena keuntungan merupakan pelindung modal. Kemudian bila kerugian melebihi keuntungan, baru diambil dari pokok modal. 44 :Selanjutnya faktor-faktor yang mempengaruhi bagi hasil ada 2 (dua), yaitu Faktor Langsung
.1
Investment rate merupakan prosentase aktual dana yang diinvestasikan dari
.a
total dana. Jika bank menentukan investment rate sebesar 80%, hal ini berarti .20% dari total dana dialokasikan untuk memenuhi likuiditas Jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan merupakan jumlah dana dari .b berbagai sumber dana yang tersedia untuk diinvestasikan. Dana tersebut dapat dihitung dengan menggunakan salah satu metode, yaitu rata-rata saldo 43
Adiwarman Karim, Bank Islam, h. 199.
44
Adiwarman Karim, Bank Islam, h. 199.
55
minimum bulanan dan ratarata total saldo harian. Invesment rate dikalikan dengan jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan, akan menghasilkan 45
.jumlah dana aktual yang digunakan (Nisbah (profit sharing ratio .c
Nisbah antara satu lembaga keuangan atau individu dan lembaga keuangan atau individu lainnya dapat berbeda. Nisbah juga dapat berbeda dari waktu ke waktu dalam satu lembaga keuangan atau individu, misalnya pembiayaan .mudharabah 5 bulan, 6 bulan, 10 bulan dan 12 bulan Faktor Tidak Langsung
.2
.Penentuan butir-butir pendapatan dan biaya mudharabah
.a
Shahib al-mal dan mudharib akan melakukan share, baik dalam
(1
pendapatan maupun biaya. Pendapatan yang dibagihasilkan merupakan .pendapatan yang diterima setelah dikurangi biaya-biaya Jika semua biaya ditanggung lembaga keuangan atau individu, hal ini
(2
.disebut revenue sharing Kebijakan akunting (prinsip dan metode akunting) Bagi hasil secara tidak langsung dipengaruhi oleh berjalannya aktivitas yang diterapkan, terutama 46
.sehubungan dengan pengakuan pendapatan dan biaya
Faktor-faktor di atas haruslah diperhatikan dalam pelaksanaan akad bagi hasil oleh pemilik lahan (shahib al-mal) dan petani penggarap (mudharib),
45
Muhammad, Manajemen Bank Syariah (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002), h.
106. 46
Muhammad, Manajemen Bank Syariah, h. 106.
.b
56
sehingga pelaksanaan dari kerjasama bagi hasil tersebut dapat dilaksanakan oleh kedua belah pihak yang melaksanakan kerjasama.
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM BAGI HASIL PETANI PENGGARAP DI KABUPATEN GORONTALO
A. Bentuk Pelaksanaan Sistem Bagi Hasil Bagi Kesejateraan Petani Penggarap di Kabupatem Gorontalo Bertani merupakan mata pencaharian utama masyarakat Gorontalo, selain beberapa bidang pekerjaan lainnya, seperti peternakan, perikanan, perdagangan. Kaitannya dengan pertanian (lahan/sawah/ladang), ada 2 (dua) jenis kepemilikan, yaitu kepemilikan pribadi, kepemilikan bersama yang disebut miliki atau budel, yaitu pengelolanya (bisanya kerabat dalam keluarga luas) berhak mengelolanya secara bergantian. Bentuk kepemilikan ini umumnya merupakan tanah warisan. Masyarakat Gorontalo mengenal dua bentuk pertanian berdasarkan jenis tempat dan tanamannya, yakni ladang dan sawah. Ladang adalah kawasan pertanian kering, yang umumnya ditanami sayur-sayuran, umbi-umbian, dan palawija, sementara sawah adalah kawasan pertanian basah yang ditanami padi. Hasil wawancara dengan Arifin Yusuf mengungkapkan bahwa: Dalam proses pelaksanaan pertanian ladang, di mana setelah tanah-tanah pertanian diolah oleh kaum laki-laki dengan menggunakan bajak (popadeo), garu (huheidu) dan cangkul (popate), kaum perempuan kemudian menanaminya dengan benih-benih tanaman, seperti jagung, kacang, umbiumbian di bagian utama ladang, dan sayur-sayuran, tomat, cabai, merica, dan lain-lain di sekeliling ladang. Proses bertani di ladang dengan pola tradisional bisa memakan waktu 4 (empat) hingga 5 (lima) bulan. Setelah waktu panen tiba, laki-laki, perempuan, dan anak-anak beramai-ramai menuai hasilnya secara huyula (gotong royong). Sistem huyula, terutama dilakukan oleh orang-orang yang terikat dalam kekerabatan yang disebut ungala’a (keluarga luas).1
1
Arifin Yusuf, Petani Penggarap, Wawancara di Desa Tuladenggi Kabupaten Gorontalo, tanggal 12 Nopember 2016.
57
58
Bentuk pengelolaan sawah di Kabupaten Gorontalo biasanya masyarakat mengolah sawahnya 2 (dua) kali dalam setahun. Namun hal ini tergantung dengan kondisi cuaca/musim yang terjadi atau pengairan yang ada di Kabupaten Gorontalo. Ketika musim menanam tiba menurut hasil wawancara dengan Jafar Husain terdapat tradisi adat atau sejumlah ritual upacara adat dalam rangkaian penanaman padi, diantaranya disebutkan: Upacara mopha huta (memberi makan tanah), baik sebelum maupun sesudah penanaman. Upacara ini dipimpin oleh panggoba (dukun), dengan sajian nasi kuning, nasi merah, telur rebus, daging, dan pisang. Sewaktu padi mulai berisi (lelo tuhelo), dilangsungkan upacara lainnya, di mana panggoba membakar dupa atau kemenyan dan mebawanya mengelilingi sawah sembari membaca mantra. Maksud dari ritual ini tak lain adalah agar buah padi tidak mendapat gangguan binatang, sehingga dapat berbuah dengan baik. Selanjutnya, pascapanen, setelah padi diolah menjadi nasi, anak-anak adalah kalangan yang harus makan terlebih dahulu, dengan cara disuapi oleh panggoba. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak, sekaligus seluru penghuni rumah terhindar dari penyakit.2 Analisa penulis adalah adanya budaya ini memberikan pemahaman bahwa masyarakat Kabupaten Gorontalo menyakini adanya sesuatu gaib yang dapat memberikan berkah terhadap segala aktifitas pertanian yang mereka lakukan. Budaya ini tidak terlepas dari adanya budaya nenek moyang bangsa Indonesia yang pernah menganut budaya animisme. Namun tidak dapat dipungkiri hal ini dapat menjadikan sebuah kepercayaan yang tidak baik, apalagi mempercayai sesuatu yang tidak berasal dari Allah swt. Terlepas dari budaya di atas, terkait dengan adanya pengolahan lahan/sawah dengan istilah petani penggarap, diungkapkan oleh Jimadi Hasan: 2
Jafar Husain, Pemilik Lahan, Wawancara di Desa Lupoyo Kabupaten Gorontalo, tanggal 13 Nopember 2016.
59
Dalam mengelola sawah, jika tidak sanggup mengerjakannya sendiri atau oleh anggota keluarga, pemilik biasanya menggunakan mekanisme bagi hasil (mosawala). Dengan bagi mekanisme tersebut, pemilik akan berbagi hasil panen dengan penggarap sesuai dengan kesepakatan di awal kerjasama.3 Ketika membincang fikih Islam dikenal istilah dalam proses pengurusan kebun/lahan, yaitu musaqah, muzara’ah, mukhabarah dan mugarasah. Untuk membicarakan hal pembagian hasil suatu kebun yang digarap atau diurus oleh dua orang atau lebih, sedang salah satu pihak merupakan pemilik kebun tersebut. Pemberian kebun/lahan/sawah terhadap orang lain seperti yang dipraktekkan oleh masyarakat di Kabupaten Gorontalo merupakan suatu kegiatan yang dapat menciptakan kerukunan antar masyarakat, menimbulkan rasa solidaritas antar sesama warga, dan menumbuh suburkan sifat tolong menolong di kalangan masyarakat muslim Gorontalo, walaupun pemberian lahan atau kebun tersebut tidak dengan cuma-cuma melainkan dengan sistem kerjasama bagi hasil. Meskipun produksi pertanian dalam zaman modern ini telah beralih menjadi satu industri. Masih terdapat sejumlah literatur hukum tentang prinsipprinsip dan hukum kemitraan usaha dan hubungan kerjasa sama, dalam pembagian hasil pertanian dan musaqat, antara pemilik lahan atau kebun dan petani penggarap dalam perusahaan-perusahaan pertanian. Sistem bagi hasil antara kedua belah pihak yakni pemilik kebun dan petani penggarap yang di dalamnya terdapat perjanjian bagi hasil secara adil menurut kesepakatan bersama antara petani penggarap dan pemilik kebun. Apabila seorang pemilik lahan bekerja sama dengan orang lain atau bekerja sama dengan seorang mitra usaha pekerja yakni petani penggarap, maka 3
Jimadi Hasan, Pemilik Lahan, Wawancara di Desa Lupoyo Kabupaten Gorontalo, tanggal 13 Nopember 2016.
60
hendaknyalah didahului perjanjian yang dengan perjanjian itu keduanya dapat terhindar dari perselisihan. Hal ini sangat urgen dilakukan oleh pihak pengelola lahan dan pemilik lahan demi menghindari dampak-dampak negatif yang mungkin terjadi. Pada dasarnya, petani penggarap dalam mengelola lahan orang lain disebabkan dua hal, yakni pertama memiliki lahan tetapi belum mencukupi kebutuhan hidup keluarganya dan kedua adalah karena memang tidak memiliki lahan dan tidak memiliki lapangan pekerjaan lain (keterampilan) selain bertani. Oleh karenanya, mereka inilah mengadakan negosiasi dengan tetangganya yang memiliki kelebihan lahan atau mereka yang memiliki lahan tetapi tidak terolah, lalu kemudian diolahnya dengan sistem bagi hasil. Aktivitas pertanian mereka lakukan dalam rangka meningkatkan perekonomian keluarganya. Bahkan bagi mereka yang tidak memiliki lahan sama sekali, tidak hanya mencukupi kebutuhan hidup keluarga tetapi memenuhi kebutuhan keluarga. Sebagai hamba yang lahir tanpa bekal apa-apa kecuali akal, dalam memenuhi kelangsungan hidup dan masa depan sudah barang tentu tidak terlepas dari upaya memanfaatkan akal pikiran guna mencari suatu alternatif untuk memiliki rutinitas dalam usaha mempertahankan kelangsungan hidup. Termasuk petani penggarap dalam komunitas petani khususnya di Kabupaten Gorontalo memberi arti penting tidak hanya bagi dirinya sendiri. Tetapi juga terhadap pemilik lahan atau kebun yang diuntungkan oleh produktifitas lahan tidurnya.
61
Manfaat yang diperoleh petani penggarap diperoleh dari pembagian hasil garapan yang dapat membantu memberikan keuntungan ekonomi demi memenuhi kebutuhan hidupnya, sedangkan bagi pemilik lahan mendapat keuntungan ganda dari produksi lahannya, yakni di samping memberikan penghasilan tambahan, juga melakukan amal shaleh secara tidak langsung dengan cara menolong petani penggarap untuk menutupi kebutuhan dan keperluan hidupnya. Menurut Yunus Kulu ketika diwawancarai penulis mengemukakan Dampak bagi hasil terhadap aspek ekonomi petani penggarap seperti saya rasakan selama ini dapat meningkatkan pendapatan atau penghasilan keluarga, sebab di samping menggarap milik sendiri karena ada sedikit, saya juga meminta lahan orang atau teman untuk digarap karena lahan tersebut kebetulan tidak terurus (tidur), daripada lahannya tidak berporduksi mendingan saya yang garap kemudian produksinya nanti diterapkan sistem bagi hasil setelah dikeluarkan biaya yang dibutuhkan dalam proses pengolahan kebun.4 Hal senada diungkapkan oleh Ali Bilondatu: Petani penggarap seperti kita ini yang mengelola lawah orang lain dengan harapan mendapatkan bagian dari hasil produksi lahan yang dikelola setelah dikeluarkan seluruh biaya yang dibutuhkan selama pengelolaan kebun. Karena biaya yang dibutuhkan itu seluruhnya ditanggung oleh pemilik tanah, sebab saya termasuk berada di bawah garis kemiskinan. Oleh karena itu, jika telah sampai panen pemilik lahan yang membagi dua untuk pemilik dan satu untuk saya. Tetapi karena pemilik lahan termasuk orang yang mampu dan suka bersedekah, biasa juga hasil produksi kebunnya lebih banyak dia berikan kepada saya. Karena itu, saya betul-betul garap kebun tersebut secara baik dan seperti milik sendiri.”5 Dari informasi yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa sistem bagi hasil yang diterapkan antara pemilik lahan dan petani penggarap di Kabupaten Gorontalo dapat memberikan dampak positif bagi peningkatan penghasilan 4
Yunus Kulu, Petani Penggarap, Wawancara di Desa Pentadio Kabupaten Gorontalo, tanggal 13 Nopember 2016. 5
Ali Bilondatu, Petani Penggarap, Wawancara di Desa Lupoyo Kabupaten Gorontalo, tanggal 14 Nopember 2016.
62
(perekonomian) para pemilik lahan sekaligus meningkatkan pendapatan para petani penggarap. Abdul Kadir menerangkan bahwa: Dalam situasi dan kondisi masyarakat Gorontalo, khususnya masyarakat petani di Kabupaten Gorontalo sekarang ini, di mana pemilik lahan yang penghidupannya berada di atas garis kemiskinan (ekonomi menengah atau atas) senantiasa memperlihatkan sifat kemanusiawian yang berasaskan Islam. Hal ini terbukti karena walaupun penghasilan lahannya tetap mereka ambil setelah biaya yang dikeluarkan dalam pengurusan tanahnya itu, akan tetapi seringkali pula mereka memberikan berupa sedekah kepada petani yang menggarap kebunnya, sehingga penghasilan petani penggarapnya bertambah dan memotivasi untuk bekerja lebih jujur dan adil.6 Dengan demikian, jika diperhatikan beberapa keterangan singkat yang dikemukakan oleh petani penggarap di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dampak bagi hasil terhadap aspek perekonomian petani penggarap adalah berdampak positif, yakni menambah penghasilan pendapatan perkapita sekaligus dapat meningkatkan taraf perekonomian para petani penggarap, sehingga kebutuhan hidup keseharian petani penggarap dapat terpenuhi. Dalam salah satu hadis Rasulullah saw. dijelaskan bahwa:
ال كعلكي نه كو كس لم كم كل يكن هك كعن ه كولك نك ن ص لمى م قك كال ابن كعبماس كر نض كي م ال كعن ه كم ا إن من النن م مب ك ن (وم ا )رواه البخارى كح دكم أ ك كخ اه كخي ر لك ه م ن أكن كيخ كذ كش ي ئاا كمعل ا قك كال أكن كينك كح أ ك
7
Artinya:
Ibn Abbas ra. berkata bahwa sesungguhnya Nabi saw. belum melarang kepadanya, namun telah bersabda: apabila tanah tersebut tidak akan kau berikan kepada saudaramu dengan cuma-cuma atau membiarkan terbengkalai (tidak terolah), lebih baik kamu menyerahkannya untuk diolah yang ditukar dengan sewa tetap (bagi hasil) (HR al-Bukhari). 6
Abdul Kadir, Petani Penggarap, Wawancara di Desa Dumati Kabupaten Gorontalo, tanggal 14 Nopember 2016. 7
Abi ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mugirah bin Barzabah alBukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 8 (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992 M/1412 H), h. 153.
63
Pembagian hasil seperti itu selain diungkapkan dalam hadis di atas, juga terdapat salah satu hadis Nabi saw. yaitu:
عن اب نن عم ر قك كال أكعطكى رس ول من ال كعلكي نه كو كس لم كم كخي بك كر بن كش ط نر كم ا كي رج ص لمى م ك ال ك ك كك ( )رواه مسلم... نمن كثكر أكو كزرع 8
Artinya:
Dari Ibn Umar berkata bahwa Rasulullah saw. telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar, agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian, kepada mereka diberikan sebagian dari hasil kebun tersebut atau sayur-mayur.9 Hadis ini menurut hemat penulis, memberikan kebolehan persetujuan mengingat ada pemilik kebun yang tidak punya waktu untuk menggarap kebun atau ladangnya, sedangkan sebaliknya ada pekerja yang cukup waktu luang untuk mengurus sebuah kebun tetapi ia tidak mempunyai kebun atau lahan
B. Tinjauan Hukum Ekonomi Islam terhadap Sistem Bagi Hasil Petani Penggarap di Kabupaten Gorontalo Sistem kerjasama bagi hasil hendaknya dilakukan dengan cara mengadakan permufakatan atau perjanjian antara kedua belah pihak yakni pihak pemilik kebun dan pihak pengelola. Hal ini sangat penting dilakukan dalam kerangka menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan oleh kedua pihak yakni pertikaian atau perselisihan, walaupun perjanjian itu berupa lisan dan dianjurkan perjanjiannya itu tertulis.
8
Imam Muslim ibn al-Hajaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, Juz 8 (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.), h. 172. 9
Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indonesia, h. 284.
64
Salah satu batu sandungan tidak dibolehkannya sistem kerjasama bagi hasil adalah menghindari terjadinya perselisihan, sehingga perpecahan di antara kaum muslimin dapat pecah. Karena pertimbangan itulah, sehingga semua bentuk sistem bagi hasil yang dapat menyebabkan timbulnya perselisihan di kalangan masyarakat atau mengganggu pihak tertentu dinyatakan tidak sah.10 Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa terjadinya sistem bagi hasil pertanian ini adalah karena terdapat di kalangan masyarakat seorang yang memiliki lahan perkebunan, tetapi ia tidak sanggup menggarap atau mengolahnya, sehingga kebun atau lahannya tidak terurus. Sebaliknya, terdapat pula orang yang sanggup dan punya waktu luang untuk menggarap tanah, tetapi ia tidak mempunyai tanah atau lahan. Langkah ini tidak ditemukan adanya peraturan dalam syariah yang melarang setiap orang untuk menanamkan modal berupa dana ataupun tenaga secara patungan untuk memulai satu kerjasama bagi hasil pertanian,11 kecuali jika kegiatan itu menimbulkan perselisihan antara kedua belah pihak. Salah satu ilustrasi yang digambarkan oleh Rasulullah saw. menunjukkan bahwa dahulu di zaman beliau, ada tiga orang sahabat yang terkenal sebagai petani, yaitu: Rafi’i bin Khadij, Jabir bin Abdullah dan Thabat bin Zahhak dan meriwayatkan bahwasanya Nabi saw. melarang bentuk-bentuk persewaan yang dzalim.12 Apabila sudah menyerahkan kebun atau lahannya kepada seorang petani 10
Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam, terj. Soeroyo dan Nastangin, Doktrin Ekonomi Islam, h. 270. 11
M. Nejatullah Siddiqi, Partnership and Profit Sharing in Islamic Law, terj. Fakhriyah Mumtihani, Kemitraan Usaha, h. 113. 12
Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam, terj. Soeroyo dan Nastangin, Doktrin Ekonomi Islam, h. 270.
65
penggarap untuk ditanaminya, dan pemilik kebun atau lahan itu menetapkan bagian yang jelas diketahui dari hasil kebun atau lahan, maka cara semacam itu tidak dibolehkan.13 Paradigma tersebut menunjukkan bahwa secara syar’i praktek bagi hasil yang diterapkan oleh masyarakat petani beserta para pemilik kebun/lahan/sawah di Kabupaten Gorontalo tampaknya relevan dengan syariat Islam, di mana Islam mensyariatkan dan membolehkan untuk memberi keringanan kepada manusia, karena terkadang ada manusia yang tidak mempunyai harta cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sementara ada pula orang lain yang mempunyai harta banyak sehingga sebagian dari hartanya itu tidak mampu diurusnya. Misalnya berupa kebun atau lahan yang sudah tidak terurus, daripada tidak berproduksi akan lebih baik jika lahan tersebut diberikan orang lain mengurusnya dengan jaminan atau perjanjian bagi hasil. Menurut Arwin S. Hilala bahwa: Sistem bagi hasil yang diterapkan di Gorontalo, khususnya di Desa Lupoyo adalah sistem bagi hasil secara koperasi, artinya bahwa antara pemilik lahan atau kebun dan petani penggarap menetapkan pembagian berdasarkan untung-rugi, yakni pembagiannya tidak jelas (nyata) melainkan bergantung pada hasil panen dari lahan atau kebun setelah dikeluarkan seluruh biaya yang telah digunakan selama proses pengurusannya. Jadi kedua belah pihak samasama saling mengerti sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Kalau gagal panen maka keduanya pun rela menerima kegagalan itu, dan jika berhasil panen maka keduanya pula akan membaginya melalui sistem bagi hasil.14 Di lain pihak menurut Katili Ibrahim menjelaskan bahwa:
13
Al-Allamah Syekh Muhammad bin Qasim, Fath al-Qarib, terj. H. Abubakar Muhammad, Fiqih Islam (Terjemah Fath al Qarib) (Surabaya: Karya Abitama, 1995), h. 181. 14
Arwin S. Hilala, Petani Penggarap, Wawancara di Desa Lupoyo Kabupaten Gorontalo, tanggal 12 Nopember 2016.
66
Pembagian bagi hasil bagi petani penggarap adalah 25 kg beras untuk sekali panen, di mana bibit dan biaya pengolahan lahan sawah sepenuhnya ditanggung oleh petani penggarap.15 Kalau kita mencermati dua pandangan di atas ada dua perbedaan yang cukup mencolok di mana Arwin S. Hilala menerangkan bahwa bagi hasil lahan pertanian disesuaikan dengan kesepakatan dan adanya faktor alam yang mendukung, artinya kalo panen gagal maka mereka membagi kerugian dan keuntungan bersama-sama. Sedangkan menurut Katili Ibrahim bisa berindikasi terhadap adanya ketidakadilan dalam penerapan bagi hasil, di mana kalau panennya sukses dan berlimpah, pihak pemilik tanah hanya mendapat 25 kg saja dalam sekali panen. Adanya praktek bagi hasil pertanian untuk pemilik kebun atau lahan hendaknya tidak menetapkan secara jelas bagian yang akan diambilnya kelak, sebab petani terkadang gagal panen. Penetapan jelas yang dimaksud adalah antara lain, menetapkan angka pasti 40 liter kacang tanah harus diterimanya, tetapi karena gagal panen maka hasil panennya hanya berkisar 20 liter, sementara si pemilik tidak mau tahu kegagalan panen itu. Oleh karenanya, petani penggarap itulah yang harus menutupi kekurangan panen itu. Hal ini sangat ditekankan dalam hukum Islam bahwa meniadakan kecurangan dan kezaliman dalam bermuamalah. Penetapan sistem bagi hasil secara jelas sebagaimana dikemukakan di atas, jelas dapat menimbulkan perselisihan dan dapat merugikan orang lain yakni petani penggarap. Oleh karena itu, sistem bagi hasil yang disertai dengan 15
Katili Ibrahim, Petani Penggarap, Wawancara di Desa Dumiati Kabupaten Gorontalo, tanggal 12 Nopember 2016.
67
pembagian secara jelas sama sekali tidak pernah dipraktekkan oleh para sahabat di zaman Nabi, dan karenanya dapat dikatakan bertentangan dengan syari’at Islam. Dengan demikian, sistem bagi hasil oleh masyarakat muslim di Kabupaten Gorontalo masih terdapat dua jenis praktek. Praktek pertama sesuai dengan syariat karena adanya kesadaran mereka akan terciptanya suasana yang aman, sejahtera dan bahagia sehingga prinsip hidup mereka senantiasa berlandaskan dengan nilainilai keislaman termasuk dalam praktek pengelolaan lahan atau kebun dengan sistem bagi hasil. Sedangkan praktek kedua masih mengadung ketidakadilan. Islam sebagai agama, hudan li al-nas, memberikan pedoman bagi seluruh umat manusia, universal, meliputi seluruh aspek kehidupan sesuai untuk segala zaman dan tempat. Di samping itu, agama juga mengajak kepada kesempurnaan hidup lahir dan batin, bahagia hidup di dunia dan akhirat. Umat muslim sebagai khalifah di bumi ini wajib mengamalkan ajaran Islam dalam tingkah laku konkrit, nyata yakni amalan shalih ke dalam berbagai sektor kehidupan termasuk sektor ekonomi. Semua sub sektor ekonomi misalnya pemasaran dan konsumsi, produksi, industri dan jasa, termasuk pula produksi pertanian harus berpedoman pada asas dan peraturan Alqur’an dan hadis. Begitu pula kelembagaan ekonominya dan pelaku ekonominya termasuk dalam hal ini pemilik tanah dan petani penggarap harus bertolak dari nilai-nilai Islam, apabila ingin mencapai keuntungan dunia akhirat. Oleh karena itu, penerapan sistem bagi hasil dalam sistem pertanian (pengolahan kebun) harus benar-benar mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan yang berlandaskan pada asas Islami.
68
Implementasi dan pelaksanaan sistem bagi hasil sebagaimana yang dipraktekkan oleh masyarakat Kabupaten Gorontalo merupakan sistem bagi hasil yang memungkinkan terhindar dari terjadinya perselisihan. Hal itu disebabkan karena sebelum terjadi kerjasama terlebih dahulu mereka mengadakan perjanjian di antara keduanya, hanya saja karena perjanjian tersebut sebagian dari mereka ada yang masih bersifat lisan dan ada pula yang sudah tertulis. Bagi mereka yang perjanjiannya bersifat lisan, menurut Arifin Yusuf dilakukan atas saling kepercayaan antara satu sama lain.16 Terjadinya perselisihan pada kegiatan pertanian khususnya bagi petani penggarap dan pemilik kebun, pada umumnya disebabkan atas adanya mosi tidak percaya pada petani penggarap terutama berkenaan dengan biaya yang dibutuhkan dalam pengurusan kebun serta hasil produksi pertanian yang diperoleh dalam setiap kali panen sehingga timbul kecurigaan pada diri petani penggarap. Argumentasi di atas menunjukkan betapa pentingnya rasa saling percaya mempercayai antara petani penggarap dan pemilik lahan atau kebun. Salah satu cara untuk menciptakan terjadinya saling kepercayaan adalah membuat perjanjian (sebaiknya tertulis) disertai dengan saksi-saksi dengan mengikut sertakan sistem pembagian hasil produksi. Praktek pembagian hasil produksi pertanian ini, telah lama dipraktekkan oleh masyarakat di Kabupaten Gorontalo. Para pemilik lahan atau kebun yang mempekerjakan orang lain (petani penggarap) menurut Jimadi Hasan pemilik lahan ketika diwawancarai penulis bahwa “rata-rata mereka menerapkan sistem bagi hasil yakni sepertiga untuk 16
Arifin Yusuf, Petani Penggarap, Wawancara di Desa Tuladenggi Kabupaten Gorontalo, tanggal 12 Nopember 2016.
69
pemilik dan dua pertiga untuk petani penggarap”.17 Demikian pula menurut Inang Igrisa ketika diwawancarai penulis mengemukakan bahwa “saya sebagai petani penggarap senang atas sistem bagi hasil yang diterapkan oleh pemilik lahan atau kebun yang saya garap, yakni sepertiga untuk pemilik dan dua pertiga untuk penggarap.”18 Bentuk penerapan sistem bagi dalam syariat Islam secara jelas dan nyata tidak ditemukan. Sebagaimana Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis mengemukakan bahwa menyangkut pembagian hasil tanah dari perjanjian bagi hasil dalam ketentuan syari’at Islam tidak ditemukan petunjuk yang jelas.19 Pemberian hasil untuk orang yang mengolah atau menanami tanah dari yang dihasilkannya seperti setengah, sepertiga, atau lebih dari itu ataupun lebih rendah dari kesepakatan kedua belah pihak (petani dan pemilik tanah), sebagaimana yang diterapkan oleh para pemilik lahan atau kebun dan petani penggarap di Kabupaten Gorontalo selama perjanjian dan kerjasama mereka tidak menimbulkan perselisihan di antara keduanya maka penulis cenderung memandang bahwa hal itu sejalan dengan syariat Islam. Sistem bagi hasil jika ditinjau dari manfaatnya, cukup besar bagi kalangan mereka, yakni pemilik lahan atau kebun maupun bagi petani penggarap. Manfaatnya selain menambah penghasilan kedua belah pihak, memberikan
17
Jimadi Hasan, Pemilik Lahan, Wawancara di Desa Lupoyo Kabupaten Gorontalo, tanggal 13 Nopember 2016. 18
Inang Igrisa, Petani Penggarap, Wawancara di Desa Tuladenggi Kabupaten Gorontalo, tanggal 13 Nopember 2016. 19
64.
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, h. 63-
70
sebagian nafkah kepada orang lain juga menciptakan saling kerjasama, tolong menolong dan mempererat jalinan ukhuwah di antara mereka. Dalam ajaran Alquran, upaya menafkahkan sebagian harta kepada orang lain, tidak ditentukan bentuk dan jenisnya. Oleh karena itu, memberikan lahan atau kebun kepada orang lain diolah dan digarap termasuk salah bentuk menafkahkan harta kepada orang lain. Salah satu dalil yang menunjang tentang tidak adanya bentuk yang jelas atas membelanjakan sebagian harta adalah QS Ali Imran/3: 92:
. الك بننه كعلنيم لكن تكنكالوا الن مب كح مت ت ن نفقوا نمما نتبوو كن كوكما ت ن نفقوا نمن كشيء فكنإ من م
Terjemahnya:
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai.20 Di ayat lain yaitu QS al-Baqarah/2: 148 disebutkan bahwa:
Terjemahnya:
فكاستكبنقوا الي ر ن... ... ات كك
… maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan ….21 Bertolak dari kedua ayat di atas, menggambarkan bahwa salah satu cara untuk menafkahkan sebagian harta sekaligus berlomba dalam mencari keridhaan dan kebaikan adalah mempekerjakan orang lain, termasuk dalam pengolahan lahan atau kebun. Sebab bagi mereka bekerja sebagai bertani walaupun lahannya
20
Kementerian Agama RI., Ummul Mukminin: Al-Qur’an dan Terjemah Untuk Wanita (Jakarta Selatan: Penerbit Wali, 2010), h. 62. 21
Kementerian Agama RI., Ummul Mukminin: Al-Qur’an dan Terjemah, h. 23.
71
milik orang lain, merupakan suatu pekerjaan mulia, dan berkebun jauh lebih baik dari pada mencuri atau meminta-minta seperti yang terjadi di kota-kota. Jafar Husain mengemukakan bahwa penerapan sistem bagi hasil yang diterapkan oleh para pemilik lahan terhadap petani penggarap di Kabupaten Gorontalo seperti sepertiga untuk pemilik lahan atau kebun dan dua pertiga untuk penggarap, atau sebaliknya sepertiga untuk penggarap dan dua pertiga untuk pemilik tanah. Persetujuan ini mereka terapkan sesuai dengan persepakatannya pula. Oleh karena itu, jika seluruh dana yang dibutuhkan dalam proses pengolahan kebun ditanggung oleh pemilik kebun, maka pembagian dilakukan dua pertiga untuk pemilik kebun dan sepertiga untuk penggarap, tetapi sebaliknya jika seluruh biaya pengurusan kebun ditanggung oleh petani penggarap maka pembagian hasil produksinya dua pertiga untuk petani penggarap dan sepertiga untuk pemilik lahan.22 Bentuk pengolahan lahan yang diterapkan masyarakat Kabupaten Gorontalo merupakan suatu cara menumbuhkan kebajikan dan rasa simpati di hati manusia. Kenyataan diakui bahwa tindakan yang paling baik yaitu dengan murah hati dan penuh kedermawanan memberikan kelebihan tanah yang dimilikinya untuk digarap orang lain. Dengan demikian, sistem bagi hasil yang dipraktekkan selama ini dapat dikategorikan sebagai suatu sistem yang dapat menguntungkan satu sama lainnya. Berusaha untuk berbuat baik kepada orang lain, lebih mengutamakan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi, mengorbankan sesuatu yang paling dicintai seseorang bahkan sesuatu yang paling mahal 22
Jafar Husain, Pemilik Lahan, Wawancara di Desa Lupoyo Kabupaten Gorontalo, tanggal 13 Nopember 2016.
72
sekalipun sebagai wujud perbuatan atau amal dan memperluas tali silaturrahmi. Singkatnya, kualitas sikap semacam itu tumbuh di kalangan masyarakat sehingga mereka senantiasa bersedia melakukan kebaikan-kebaikan bahkan mungkin berkorban untuk orang lain jika dibutuhkan. Sistem bagi hasil yang merupakan suatu jenis perjanjian dimana petani menerima tanah berdasarkan sistem bagi hasil, pemilik tanah membayarnya sebagai upah atas kerjanya berupa hasil produksi. Demikian pula petani membayar sewa kepada pemilik tanah dalam bentuk hasil produksi. Jika terkandung nilai kebajikan dan kedermawanan dibalik perjanjian ini dan tidak semata-mata hanya berharap menerima behagian atas tanahnya atau tenaga yang dikeluarkannya, maka penulis melihatnya sebagai bentuk kerjasama, persaudaraan dan persahabatan yang paling baik. Akan tetapi jika sebaliknya, semangat seperti itu kurang atau lemah serta petani yang tidak berdaya menjadi alat penindasan dan eksploitasi dari pemilik tanah, atau adanya ketakutan terhadap ketidakjujuran berbagai pihak atau terdapat kemungkinan perselisihan-perselisihan di antara mereka, maka bentuk semacam inilah yang sangat dilarang oleh syariat Islam. Olehnya itu mencermati praktek sistem bagi hasil petani penggarap di Kabupaten Gorontalo melalui kacamata hukum ekonomi Islam, maka dari segi rukun-rukunnya memenuhi unsur-unsur adanya pemilik lahan, petani penggarap (pengelola), obyek, dan ijab-qabul. Tentunya kesemua rukun ini harus terpenuhi agar akad itu menjadi sah adanya. Terkait dengan syarat-syarat telah memenuhi unsur-unsur yang disepakati oleh jumhur ulama, seperti:
73
1.
Syarat yang berkaitan dengan orang yang melakukan akad harus baliq dan berakal, agar mereka dapat bertindak atas nama hukum.
2.
Syarat yang berkaitan dengan benih yang akan ditanam harus jelas dan menghasilkan.
3.
Syarat yang berkaitan dengan lahan pertanian bahwa lahan itu sepenuhnya diserahkan kepada petani penggarap dan pemilik lahan tidak boleh ada campur tangan untuk mengolahnya.
4.
Syarat yang berkaitan dengan hasil adalah pembagian hasil panen harus jelas persentasenya.
5.
Syarat yang berkaitan dengan waktu harus jelas di dalam akad untuk menghindari adanya kerugian bagi pengelola.
6.
Syarat yang terkait dengan obyek harus jelas pemanfaatan benihnya, pupuknya, obatnya dan lain-lain. Intinya bahwa kerjasama yang dilakukan oleh pemilik sawah/lahan
dengan petani penggarap di Kabupaten Gorontalo telah sesuai dengan syariat agama Islam, di mana mengedepankan terhadap prinsip tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan permasalahan yang diambil dalam penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut 1.
Bentuk pelaksanaan sistem bagi hasil bagi kesejahteraan petani penggarap di Kabupaten Gorontalo adalah dengan melakukan akad perjanjian dan prosentase pembagian hasil yang telah disepakati bersama. Proses kerjasama dalam pertanian ini salah satu diantaranya adalah menyewakan lahan kepada orang (petani penggarap) dengan sistem bagi hasil. Hal ini adalah lebih baik daripada lahan tidak terolah atau tidak menghasilkan sama sekali asalkan sistem bagi hasil itu diterapkan sesuai kesepakatan bersama.
2.
Praktek sistem bagi hasil petani penggarap di Kabupaten Gorontalo ditinjau dari hukum ekonomi Islam telah sesuai, baik dari segi rukun maupun syarat-syarat.
B. Implikasi Penelitian Implikasi dari penelitian ini dalam bentuk saran-saran atau harapanharapan sebagai berikut: 1.
Para petani penggarap agar dapat lebih meningkatkan peranannya dalam mengelola lahan atau kebun orang lain dengan tetap mengacu pada minimalisasi penggunaan dana dalam situasi dan kondisi ekonomi yang
75
76
hingga kini masih krusial atau krisis, sehingga dapat terwujud prinsip pengeluaran biaya sedikit untuk menghasilkan keuntungan yang besar. 2.
Para pemilik lahan terutama mereka yang lahannya tidak terolah (lahan tidur) agar dapat memberikan kepada orang lain untuk dimanfaatkan produktifitasnya, sehingga dapat menunjang perekonomian orang lain dan bagi diri pemilik lahan itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim. Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia. Ed. 5. Cet. V; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996 Bakry, Hasbullah. Pedoman Islam Indonesia. Cet. V; Jakarta: UI Press, 1990. Botutihe, Medi. Gorontalo, Serambi Madinah. Jakarta: PT Media Otda, 2003. Al-Daruquthni, Al-Imam al-Hafiz} ‘Ali bin ‘Umar. Sunan al-Daruquthni. Juz 7. Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th. Darwis, Rizal. “Pohutu Molalungo Pada Masyarakat Gorontalo (Sebuah Refleksi Islam Nusantara),” Makalah disampaikan pada The 16th Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS), 02-04 Nopember 2016 di IAIN Raden Intan Lampung. ______. “Tradisi Hileyiya: Persinggungan Antara Agama dan Tradisi Pada Masyarakat Kota Gorontalo Perspektif Sosiologi Hukum Islam,” Analisa: Journal of Social Science and Religion, Volume 22 N0. 01, June 2015. Daulima, Farha. Terbentuknya Kerajaan Limboto. Gorontalo: Galeri Budaya Daerah LSM Mbui Bungale, 2003. Habibie, Sudirman, et.al. 23 Januari 1942 dan Nasionalisme Nani Wartabone. Gorontalo: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Gorontalo, 2004. Hadisapoetro, Soejitno. Pendidikan Kewarganegaraan, Makalah disampaikan dalam perkuliahan strata satu Fakultas Ekonomi UMM tanggal 18 September 2010, Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur. Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat). Ed. 1. Cet. I; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003. Ibn Qasim, Al-Allamah Syekh Muhammad. Fath al-Qarib, terj. H. Abubakar Muhammad, Fiqih Islam (Terjemah Fath al Qarib). Surabaya: Karya Abitama, 1995. Idrus, Husni. Membumikan Islam dalam Tradisi: Analisis Kritis Tradisi Gorontalo. Cet. I; Semarang: Pustaka Zaman, 2015. Ishak, Ajub, et.al. Mentari Serambi Madinah Gorontalo. Cet. I; Gorontalo: Sultan Amai Press, 2014. 77
78
Al-Ja’afi, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mugirah bin Bardzbah al-Bukhari.Shahih al-Bukhari. Juz 8. Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1412 H/1992 M. Al-Jaziri, Abd al-Rahman. Al-Fiqh ‘ala Mazhahib al-‘Arba’ah. Bairut: Dar alQalam, t.th. Karim, Adiwarman. Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004. Kementerian Agama RI. Ummul Mukminin: Al-Qur’an dan Terjemah untuk Wanita. Jakarta Selatan: Penerbit Wali, 2010. Kementerian Pertanian. Statistik Lahan Pertanian Tahun 2009-2013, Statistics of Agricultural Land 2009-2013. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian, 2014. Keraf, A. Sonny. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002. Manna, M. Abdul. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997. _______. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997. Masinambow, E. K. M. (ed.). Hukum dan Kemajemukan Budaya Sumbangan Karangan Untuk Menyambut Hari Ulang Tahun ke-70 Prof. Dr. T. O. Ihromi. Jakarta: Obor, 2003. Muhammad. Manajemen Bank Syariah. Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002. Al-Naisaburi, Imam Muslim ibn al-Hajāj al-Qusyairi. Shahih Muslim. Juz 8. Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th. Nashir,
Haedar. “Menggali Kearifan Menghalau http://www.republika.co.id/koran_detail.asp? id=116166&kat_id=49&kat_id1=&kat_id2=
Kerakusan,”
Niode, Alim S. Abad Besar Gorontalo. Gorontalo: Presnas Publishing, 2003. Pasaribu, Charuman, dan Suhrawardi K. Lubis. Hukum Perjanjian dalam Islam. Cet. II; Jakarta: Sinar Grafika, 1990. Pateda, H. Mansoer, et. al. Pohutu Aadati Lo Hulondalo: Tata Upacara Adat Gorontalo. Gorontalo: Pemda Kabupaten Gorontalo dan Forum Pengkajian Islam Al-Kautsar Gorontalo, 2008.
79
Polontalo, Ibrahim. “Sejarah Perkembangan Islam sebagai Sumber Budaya dan Peradaban Pada Kerajaan Gorontalo Sejak Abad ke XVI,” Makalah disampaikan pada Seminar Nasional, 7 Oktober 2002 di Gorontalo. Al-Qayubi, Syaikh Syihab al-Din, dan Syaikh Umairah. Qalyubi wa Umairah. Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah, t.th. Al-Qazwini, Al-Hafiz Abi Abdillah Muh}ammad bin Yazid. Sunan Ibnu Majah. Juz 7. T.tp.; Dar Ahyau al-Kutub al-Arabi, t.th. Rahman, Afzalur. Economic Doctrines of Islam, terj. Soeroyo dan Nastangin, Doktrin Ekonomi Islam. Jil. II. Cet. III; Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 29 Tahun Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Sulawesi.
1959
tentang
Sabiq, Sayyid Fiqh Sunnah. Bairut: Dar al-Fikr, 1977. ______. Fiqh Sunnah: Edisi Terjemahan. Jil. IX. Semarang: Toha Putra, 1998. Sawono, Sarlito Wirawan. Pengantar Umum Psikologi. Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1982. Setiono, K. “Pengembangan Psikologi Indigenous di Indonesia,” Jurnal Ilmiah Psikologi Kognisi, Universitas Muhammadiyah Semarang, Volume 6, Nomor 2 Nopember 2002. Ash-Shiddieqi, Hasbi. Pengantar Fiqh Muamalah. Jakarta: Bulan Bintang, 1984. Al-Siddiqi, M. Nejatullah. Partnership and Profit Sharing in Islamic Law, terj. Fakhriyah Mumtihani, Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam. Ed. I. Cet. I; Jakarta: Dana Bhakti Yasa, 1996. Sternberg, R. J. “Why Schools Teach for Wisdom: The Balance Theory of Wisdom in Educational Settings.” Educational Psychologyst, 2001. Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Ed. 1. Cet. IX; Jakarta: Rajawali Pers, 2014. Taqiyyuddin, Abi Bakr ibn Muhammad. Kifayat al-Akhyar. Bandung: Alma’arif, t.th. Utsman, Muhammad. Al-Rizq al-Halal wa al-Hakikah al-Tawakkal al-Allah. Kairo: Matahabbah al-Qur’an, 1972. Ya’qub, H. Hamzah. Kode Etik Dagang menurut Islam. Bandung: Diponegoro, 1984. Zein, Satria Effendi M. Ushul Fiqh. Ed. 1. Cet. I; Jakarta: Kencana, 2005.
80
http://bpmptsp.gorontaloprov.go.id/potensi-pertanian-perkebunan-dan-kehutanan https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Gorontalo.