Kolaborasi Lintas Sektor Kesehatan dan Pendidikan untuk Pendidikan Inklusif bagi Siswa Berkebutuhan Khusus Membangun Visi Kebijakan dan Agenda Penelitian di Indonesia (Issue 2, 2016)
Centre for Disability Research and Policy
Kolaborasi Lintas Sektor Kesehatan dan Pendidikan untuk Pendidikan Inklusif bagi Siswa Berkebutuhan Khusus Membangun Visi Kebijakan dan Agenda Penelitian di Indonesia ISSUE 2, 2016 Maret 2016
ISSN: 2206-4338 Authors: Dr Michelle Villeneuve Associate Prof. Dr David Evans Sukinah, M.Pd Elga Andriana, M.Ed Dr Michelle Bonati Dr Cathy Little Dr Michael Millington Issue 2, 2016 ini dapat diakses di http://sydney.edu.au/health-sciences/cdrp/publications/policy-bulletins.shtml
Hubungi Dr Michelle Villeneuve Centre for Disability Research and Policy Faculty of Health Sciences, University of Sydney PO Box 170, Lidcombe NSW 1825, Australia
[email protected]
Ucapan Terimakasih Proyek ini didanai oleh The Sydney Southeast Asia (SSEAC), University of Sydney Tim peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada keluarga, pendidik, penyedia layanan terkait, dan pengambil kebijakan yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini. Tim peneliti juga ingin mengucapkan terimakasih peserta atas kontribusinya dalam pengisian survei. © Centre for Disability Research and Policy Cover Artwork: Sunshine's Community Access Program Art Studio
© Centre for Disability Research and Policy
1
RINGKASAN EKSKUTIF Pendahuluan Tujuan dari Ringkasan Eksekutif ini adalah untuk menyampaikan inti hasil gabungan lokakarya Kebijakan dan Participatory Action Research (PAR) yang diselenggarakan 13-19 Januari 2016, di Universitas Negeri Yogyakarta. Hasil berupa: tujuan, identifikasi kekuatan dan tantangan, rekomendasi, serta rencana kedepan. Rekomendasi yang dihasilkan dimaksudkan untuk mendukung visi Yogyakarta untuk mencapai pendidikan untuk semua pada tahun 2025.
Tujuan Tujuan dari gabungan lokakarya Kebijakan dan PAR adalah untuk mempertemukan para pemangku kepentingan dari sektor pendidikan dan kesehatan untuk bersama-sama mengartikulasikan visi inklusi bagi siswa berkebutuhan khusus di sekolah dan untuk mengembangkan rencana penelitian aksi (PAR). Inklusi didasarkan pada keyakinan bahwa semua anak dan keluarganya memiliki hak untuk mendapat layanan dan dukungan yang memungkinkan mereka berpartisipasi secara penuh di masyarakat dan lingkungan setempat. Pada lokakarya Kebijakan, pembuat kebijakan pendidikan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota terlibat bersama-sama dengan keluarga, pendidik, dan penyedia layanan kesehatan dan menghasilkan rekomendasi kebijakan. Pada lokakarya PAR, tujuh sekolah yang mewakili berbagai model pendidikan inklusif di Yogyakarta belajar tentang Participatory Action Research (PAR) untuk mengembangkan praktek pendidikan inklusif melalui penelitian di dalam komunitas belajar masing-masing. Lokakarya ini terwujud melalui kolaborasi antara Universitas Negeri Yogyakarta, Indonesia dan University of Sydney, Australia.
Kekuatan Upaya pemerintah Yogyakarta di sektor kesehatan dan pendidikan menunjukkan tingkat komitmen yang tinggi terhadap pendidikan inklusif. Peraturan perundang-undangan nasional (Peraturan No 70/2009; 10/2011) dan Peraturan Daerah (Peraturan No 4/2012; 21/2013; 41/2013) memberikan panduan untuk melaksanakan pendidikan inklusif dan untuk melindungi hak-hak anak-anak berkebutuhan khusus. Sektor kesehatan di Yogyakarta telah membuat kemajuan dalam mengembangkan klinik kesehatan dan layanan intervensi dini multidisipliner yang menyediakan identifikasi awal dan intervensi untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Demikian pula, sektor pendidikan telah fokus pada akses pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus. Departemen Pendidikan pada tingkat kebijakan telah mengembangkan pendidikan inklusif melalui penunjukan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif (SPPI) dan mengidentifikasi guru di SLB yang dapat memberikan dukungan untuk SPPI.
Tantangan Perlu disadari bahwa aspirasi pendidikan inklusif membutuhkan proses perubahan di masyarakat yang didasarkan pada visi bersama, tindakan kolaboratif, dan kapasitas untuk bertumbuh dari setiap pemangku kepentingan di Indonesia. Untuk saat ini, penekanan kebijakan telah difokuskan pada akses pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus. Namun, di masa depan, praktek pendidikan inklusif yang efektif menuntut penyediaan layanan pendidikan yang berkualitas dan terintegrasi secara efektif dengan layanan kesehatan dan terapi untuk mendukung program-program dan rutinitas di sekolah. Koordinasi lintas sektoral dan kolaborasi antar professional bidang kesehatan dan pendidikan guna memberikan © Centre for Disability Research and Policy
2
layanan yang komprehensif untuk siswa berkebutuhan khusus dan perencanaan terpadu antar kota/kabupaten di Yogyakarta dirasa masih kurang. Strategi untuk mengembangkan layanan kesehatan sekolah yang proaktif, terkoordinasi, dan reposnsif diperlukan untuk mewujudkan (a) akses pendidikan bagi semua siswa berkebutuhan khusus dan (b) penyediaan perencanaan dan layanan yang berpusat pada individu untuk mencapai pendidikan berkualitas untuk semua siswa. Peserta yang berpartisipasi dalam lokakarya Kebijakan dan PAR mengidentifikasi tantangan yang berdampak pada pengembangan dan pelaksanaan praktek pendidikan inklusif. Tantangan-tantangan ini dikelompokkan ke dalam enam hambatan kunci untuk pendidikan inklusif di Yogyakarta: (1) pedoman kebijakan; (2) sumber daya; (3) kapasitas; (4) kepemimpinan; (5) jaringan; dan (6) sikap.
Rekomendasi Berikut 5 rekomendasi kunci yang dihasilkan oleh peserta gabungan lokakarya Kebijakan dan PAR. Rekomendasi ini menekankan pentingnya tindakan kolaboratif yang akan berdampak langsung pada kualitas pendidikan inklusif, hasil pembelajaran siswa, dan kualitas hidup siswa berkebutuhan khusus dan keluarga mereka.
REKOMENDASI 1 Menyediakan layanan pendidikan dan kesehatan yang mudah diakses, terjangkau dan terintegrasi.
Resource Center inklusi yang disediakan oleh pemerintah daerah sudah baik karena sudah menyediakan layanan asesmen. Selanjutnya, diperlukan intervensi berbasis sekolah. Ketersediaan layanan yang terjangkau dan lebih banyak kolaborasi yang mengintegrasikan kesehatan, terapi dan layanan psikologis bersama guru dan keluarga untuk terwujudnya pendidikan inklusif dan kualitas hidup yang lebih baik sangat dibutuhkan. Sebagai contoh: dalam bentuk terapi terpadu di sekolah di mana guru dapat terlibat dalam pelaksanaan intervensi.
REKOMENDASI 2 Mengembangkan kapasitas guru kelas, guru pendamping khusus, kepala sekolah, orangtua, terapis, dan anak untuk berkolaborasi di sekolah untuk pendidikan inklusif.
Kapasitas untuk saling berbagi, belajar bersama dan bekerjasama untuk mewujudkan pendidikan inklusif di Yogyakarta. Hal ini membutuhkan pergeseran pola pikir dari model defisit ke model sosial. Perlunya mengembangkan kompetensi dengan menggunakan pendekatan berpusat pada inidividu/siswa berkebutuhan khusus: a) dimulai dari anak dan melibatkan keluarga mereka; b) berfokus pada kekuatan siswa; c) menggunakan orientasi fokus masa depan (tujuan jangka pendek dan jangka panjang yang SMART - Specific, Measurable, Achievable, Relevant, dan Timely); d) berkonsultasi dengan anak tentang keputusan yang mempengaruhi hidupnya; e) mengajak kerjasama dengan semua pemangku kepentingan, termasuk anak, keluarga, dan siswa lain; f) didasarkan pada filosofi inklusi
© Centre for Disability Research and Policy
3
REKOMENDASI 3
Memberdayakan pendidik untuk menegakkan prinsip-prinsip pendidikan inklusif dan mampu merespon beragam kebutuhan siswa di kelas mereka
Pendidik perlu memiliki keterampilan, pengetahuan dan karakter mental yang dibutuhkan untuk bisa: (a) merespon kurikulum nasional sehingga semua siswa bisa mengakses dan terlibat; (b) menerapkan strategi pembelajaran yang menjunjung tinggi bermartabat siswa, bermakna dan menuntut hasil belajar yang sesuai kebutuhan individu siswa. Universal Desain for Lerning (UDL) menawarkan kerangka kerja yang mendukung pendidik untuk mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dengan inklusif: 1. memotivasi siswa untuk belajar dan mendorong siswa sebagai manajer bagi diri sendiri (keterlibatan); 2. strategi penyampaian materi ajar yang mengakui kekuatan siswa dan menghilangkan hambatan belajar dengan memberikan beragam cara penyampaian (representasi); 3. memberikan pilihan bagi siswa untuk mengkomunikasikan hasil belajar mereka (aksi dan ekspresi). (Meyer, Rose & Gordon, 2013; Nelson, 2014)
REKOMENDASI 4
Mengadopsi person first language dalam dokumen pemerintahan dan komunikasi verbal.
Pembuat kebijakan perlu menggunakan person first language yang mewakili model sosial, baik dalam dokumen pemerintah maupun komunikasi verbal. Pembuat kebijakan dan tokoh masyarakat sebaiknya berhenti menggunakan bahasa yang menghasilkan pandangan dan sikap negatif terhadap siswa berkebutuhan khusus dan keluarga mereka. Ini termasuk ‘cap’ ABK, Anak Inklusi, Sekolah Inklusi, dll. Label ini mengabadikan sikap negatif dan mempromosikan keyakinan bahwa status sekolah akan lebih rendah dengan menerima siswa berkebutuhan khusus.
REKOMENDASI 5
Mengembangkan peran universitas sebagai pusat sumber dan dukungan untuk pendidikan inklusif.
Jaringan kolaboratif antar universitas dan masyarakat diperlukan untuk mengembangkan dan mengevaluasi pendidikan inklusif. Jaringan kolaboratif harus mendukung desain, implementasi, dan evaluasi pendidikan inklusif melalui keterlibatan tim penelitian aksi partisipatif berbasis masyarakat. Peneliti akademis harus didukung untuk berkolaborasi dengan pendidik dan penyedia layanan kesehatan dalam penelitian terapan untuk mengembangkan strategi untuk pendidikan inklusif dan untuk praktik berbasis bukti. Penguatan keahlian peneliti akan memungkinkan perguruan tinggi untuk memberikan pelayanan masyarakat termasuk, (a) pelatihan dan peningkatan kapasitas bagi para pendidik dan penyedia layanan kesehatan, (b) mentoring dan coaching di sekolah; klinik kesehatan masyarakat; pusat sumber, (c) revitalisasi forum guru dalam komunitas belajar, dan (d) memperkuat kerjasama penelitian antara sektor kesehatan dan pendidikan.
© Centre for Disability Research and Policy
4
Rencana kedepan PAR adalah integrasi antara penelitian dan aksi yang melibatkan suatu kelompok masyarakat untuk mewujudkan perubahan atau melihat dampak implementasi suatu program. PAR meliputi siklus pengamatan, refleksi, dan tindakan untuk melakukan perbaikan sistematis terhadap suatu praktek. Pada 2016, tujuh tim PAR akan bersama-sama dan secara reguler merefleksikan tujuan inklusi dan melaksanakan praktek kolaboratif untuk mendukung pencapaian pendidikan inklusif di sekolah. Tujuan utamanya adalah bagi tim PAR untuk berkembang menjadi sumber daya berbasis sekolah yang dapat mendukung pihak lain yang ingin mengembangkan praktek pendidikan inklusif. Untuk mencapai tujuan ini, dibutuhkan dukungan dan dana penelitian untuk mendukung kemitraan antara peneliti akademis dan tujuh tim PAR tersebut, khususnya untuk mengembangkan dan menyebarluaskan hasil dan bukti koordinasi lintas sektor dan praktik pendidikan inklusif yang kolaboratif di Yogyakarta.
Ucapan Terimakasih Proyek ini didanai oleh Sydney Southeast Asia (SSEAC), University of Sydney http://sydney.edu.au/southeast-asia-centre/about/index.shtml Dukungan juga diberikan oleh Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta. Kami juga ingin berterimakasih kepada peserta workshop dan atas kolaborasi para profesional serta akademisi yang menjadikan lokakarya ini sukses.
© Centre for Disability Research and Policy
5