CATATAN KRITIS ATAS LAPORAN KETERANGAN PERTANGGUNGJAWABAN GUBENUR PROVINSI RIAU PRIODE 2009-2013 OLEH: TRIONO HADI PENDAHULUAN Laporan keterangan Pertanggung Jawaban (LKPj) Akhir Masa Jabatan (AMJ) Pemerintah provinsi Riau priode 2008-2013 merupakan kewajiban kepala daerah sesuai dengan amanah konstitusi tepatnya pasal 27 ayat (2) Undang-Undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dalam LKPj – AMJ tersebut minimum harus memuat tentang hasil kinerja pemerintah dalam mengembang amanah selama priodesasi belangsung, yang dijelaskan dalam beberapa hal, diantaranya Arah Kebijakan Umum pemerintah daerah, laporan kinerja dan pengelolaan keuangan (Sektor pendapatan dan belanja) serta hal – hal yang musti disampaikan sebagai laporan akhir jabatannya. Dalam LKPj – AMJ Pemerintah Provinsi Riau priode 2008-2013 yang disampaikan H.R Mambang Mit, atas nama Gubenur Provinsi Riau, dihadapan Anggota DPRD Riau meski menunjukkan keberhasilan dibeberapa bidang. Namun disisi lain masih menunjukkan berbagai bentuk kegagalan pemerintah Provinsi Riau yang dipimpin HM. Rusli Zainal dan HR. Mambang Mit, khususnya pada kinerja vital sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi dan semangat pemberantasan korupsi yang diamanatkan dalam peraturan pendunganundangan. Untuk mengukur berbagai keberhasilan kinerja pemerintah provinsi Riau Priode 20082013 yang disampaikan dalam LKPj-AMJ tersebut, tentu dilihat dari indicator keberhasil yang diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) 2009-2013 pula sebagai komitmen Kepala daerah yang disampaikan pada saat mencalon sebagai kepada daerah yang disetujui oleh legislative sebagai pengawas jalannya roda pemerintah berlangsung. Diawal Pemerintahan Provinsi Riau Priode 2008-2013, pemenang berdasarkan keputusan ekskutif dan legislative telah menatapkan Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2009 tentang RPJMD Priode 2009-2013 sebagai wacana strategis mekanisme pembanguan daerah. Sesuai dengan peraturan perundangan – undangan tentu RPJMD 2009-2013 tersebut telah disusun sebagai bentuk turunan dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPD) Provinsi Riau. Dengan demikian langkah – langkah strategis yang disusun dalam RPJP tersebut di laksanakan dengan pedoman lima tahunan. Namun, fakta kegagalan pemerintah priode 2009-2013 terlihat satu tahun menjelang akhir priodesai pemerintah berakhir, tepatnya pada September
2012 pemerintah provinsi Riau merevisi amanat dalam Perda No 10 Tahun 2009 dan dituangkan menjadi Perda nomor 5 tahun 2012 tentang Perubahan atas Perda Nomor 10 tahun 2009. Perubahan tersebut didalihkan atas hasil evaluasi atas akuntabilitas kinerja instansi pemerintah Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia tahun 2011. Memang, sesuai peraturan perungdang undangan yang berlaku, produk hukum termasuk didalamnya Perda RPJMD boleh dilakukan revisi. Revisi tersebut seyogyanya sebagai bentuk menyempurnakan atas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Riau Tahun 2009-2013 tersebut agar lebih menggambarkan hasil (outcome oriented) yang dilengkapi dengan Indikator Kinerja Utama (IKU) dan target jangka menengah yang lebih matang dan sempurna. Akan tetapi, faktanya dalam revisi Perda nomor 10 tahun 2009 menjadi Perda nomor 5 tahun 2012, Pemerintah provinsi Riau justu menurunkan angka keberhasilan pada indicator makro ekonomi yang sangat pesimis (Pertumbuhan Ekonomi, Penurunan kemiskinan, penganguran, lapangan kerja, dll). Selain itu juga merubah prinsip dasar rencana pembangunan yang seharusnya bukan prioritas menjadi prioritas seperti memasukkan agenda ivent nasional PON ke XVIII di Riau yang menelan anggaran APBD mencapai Triliunan Rupiah. Kegagalan yang lain, bahwa dalam RPJMD 2009-2013 Pemerintah Provinsi Riau dalam pembangunan mengacu kepada tiga sector pendekatan pembangunan meliputi Pengentasan Kemiskinan, Pembangunan SDM, dan Pembangunan Infrastruktur atau yang dikenal dengan K2I (Kemiskinan, kebodohan dan Infrastruktur). Pada dasarnya secara indicator makro Pemerintah provinsi Riau telah berhasil mencapai target sesuai RPJMD yang telah dirubah angka indicator keberhasilan makronya dan telah berada diatas standar nasional. Seperti pertumbuhan ekonomi, lapangan pekerjaan, pengangguran, penurunan angka kemiskinan. Namun, terdapat kegagalan pemerintah provinsi Riau dalam merealisasikan perkemunan rakyat dalam program (K2I). akibatnya, resorce pendongkrak penurunan angka kemiskinan dari sector perkebunan tersebut tidak mampu memberikan kontribusi besar terhadap optimistis penurunan angka kemiskinan pada indicator keberhasilan RPJMD sebelum dilakukan perubahan. Selain itu, investasi APBD yang dikucurkan untuk pembangunan kebun rakyat mencapai Rp. 62 Miliyar lebih tersebut hanya sia – sia dan tidak bisa dinikmati masyarakat. Kegagalan berikutnya; semangat reformasi birokrasi menjadi prioritas utama dalam tata kelola pemerintah di Provinsi Riau. Hal itu dibuktikan dalam RPJMD tahun 20092013 reformasi birokrasi menjadi prioritas utama bahkan dijadikan misi utama dalam Program Jangka Menengah provinsi Riau tahun 2009-2013. Disebutkan dalam misi Pemerintah Provinsi Riau dalam RPJMD 2009-2013 poin pertama menyebutkan “Meningkatkan Kinerja Pemerintahan Daerah yang professional dan bermoral melalui keteladanan pemimpin dan aparat”. Namun, FITRA Riau menilai bahwa sampai akhir priode 2009-2013 ini Pemerintah provinsi Riau gagal dalam mendulang misi utama tersebut. Dari sisi kinerja Profesional, aparatur
lemah dalam penyerapan anggaran, hal itu dibuktikan dengan tingginya SILPA tahun berjalan yang memuncak pada tahun 2012 mencapai Rp. 1,903 Triliun. Dari Sisi Moralitas; pemerintah provinsi Riau gagal dalam membina moral pejabat, hal itu dibuktikan seopanjang priode 2009-2013 banyak pejabat daerah yang tersangkut kasus hukum akibat tindak pidana korupsi, bahkan sampai Gubenur juga tersangkut kasus Korupsi. Dengan demikian pemerintah provinsi Riau gagal dalam reformasi birokrasi khususnya pemberantasan korupsi. Analisis Indikator Makro Di dalam RPJMD 2009-2013, dengan mempertimbangkan asumsi makro ekonomi, perkembangan kinerja ekonomi secara empiris, kinerja investasi, daya beli masyarakat serta kinerja perdagangan, maka Target Kinerja Utama Provinsi Riau tahun 2009 – 2013 menetapkan asumsi makro ekonomi sebagai berikut : Rekapitulasi Indikator Makro Priode 2009-2013 dan 2014 (Transisi) No
Tahun
Indikator Kemiskinan (%) 9,68 9,19 8.58 8,02 7,49 6.99
Ekonomi Tanpa Pengangguran Migas (%) Terbuka (%) 1 2009 7,95 8,69 2 2010 8,25 7,70 3 2011 8,55 7,03 4 2012 8.90 6,63 5 2013 9,26 6,13 6 2014 9,82 6,07 Dokumen RPJMD 2009-2013 Semangat pemerintah darerah provinsi Riau, dengan menargetkan capaian indokator makro ekonomi yang dituangkan dalam RPJMD diatas tersebut patut diapresiasi. Dengan asumsi makro ekonomi pada empat indicator diatas menunjukkan angka yang sangat optimis sehingga akan mampu mendongkrak kesejahteraan masyarakat Riau. Namun, RPJM Riau 2009-2013 sudah tidak murni lagi setelah merasa tidak mampu untuk mencapai target diatas kemudian pemerintah menargetkan asumsi makro ekonomi yang cenderung under estimate. - Dalam RPJM revisi indikator pertumbuhannya diturunkan menajdi hanya 6,52 persen (2009), 6,71 persen (2010), 6,84 persen (2011), 6,96 persen (2012) dan 7,01 persen (2013). - Selanjutnya untuk penurunan angka kemiskinan direvisi menjadi 9,50 persen (2009), 8,50 persen (2010), 8,00 persen (2011), 7,50 persen (2012) dan 7,00 persen (2013). - Demikian juga dengan janji pengurangan angka pengangguran terbuka, Pemeirntah Riau menurunkan indikatornya dengan cara merevisi RPJM. Pada
2009 dipatok 8,69 persen direvisi menjadi 8,18 persen. 2010 dari 7,70 persen dinaikan menjadi 8,16 persen dan pada 2011 dari 7, 7,03 03 persen dinaikan menjadi 8,14. Pertumbuhan Ekonomi Setelah diturunkan target ekonomi makro dalam RPJMD 2009 2009-2013, sector pertumbuhan ekonomi tanpa Migas cenderung vulkuatif. Bahkan tahun 2009 provinsi Riau pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau tanpa Migas tidak mampu mencapai target yang ditentukan dalam RPJMD, tahun 2009 pertumbuhan pertumbuhan ekonomi Riau hanya 6.44% sedangkan dalam RPJMD ditargetkan sebesar 6.52%. sedangkan ditahun tahun berikutnya Provinis Riau mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan terus meningkat meski tidak se optimis tahun 2008.
Pertumbuhan Ekonomi Tanpa Migas 9,00% 8,06%
8,00% 7,00%
6,44%
6,00%
7,82%
7,63%
7,16%
7,55%
5,00% 4,00% 3,00% 2,00% 1,00% 0,00% 2008
2009
2010
2011
2012
2013
Kemiskinan Pertumubuhan ekonomi, yang terus dipertahankan ditas standar nasional, berimplikasi pada terus menurunnya angka angka kemiskinan di Provinsi Riau tahun 2008 – 2012. Dalam LKPj disebutkan bahwa penurunan angka kemiskinan antara tahun 2008 menurun secara signifikan di tahun 2 2013 013 dan realisasi tahun 2013. Penurunan tingkat kemiskinan juga sudah sesuai target RPJMD setelah dilakukan perubahan yaitu 8.20% dari jumlah penduduk ditahun 2012. Namun menjadi cacatan penting pula bahwa target penurunan angka kemiskinan telah dirubah pada pada target awal yaitu 7.50 di tahun 2012.
Penurunan Kemiskinan 12,00% 10,63%
10,00%
9,48%
8,65%
8,00%
8,17%
8,02%
6,00% 4,00% 2,00% 0,00% 2008
2009
2010
2011
2012
Catatan penting atas realisasi kemiskinan Provinsi Riau tahun 2013 yang merupakan implikasi dari pertumbuhan ekonomi tanpa migas, adalah bahwa kebijakan yang hendaknya menjadi pijakan angka kemiskinan benar-benar benar ar mencerminkan tingkan kesejahteraan masyaraakt Riau. Adalah sebagai berikut : - Bagaimana menurunkan kecenderungan semakin sulitnya masyarakat bawah mendapatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau. Sebagai kebutuhan non-pangan pangan esensial, tingkat “harga yang harus dibayar” masyarakat bawah untuk mendapatkan dua kebutuhan tersebut hampirhampir hampir terlepas dari pengendalian pemerintah provinsi. Biaya pendidikan dan kesehatan yang berkualitas semakin mahal dan semakin sulit terjangkau - Missalnya, Selama periode Maret 2012-Maret 2012 Maret 2013, Garis Kemiskinan (GK) naik sebesar 8,37 persen yaitu dari Rp300.791,Rp300.791, per kapita per bulan pada Maret 2012 menjadi Rp325.978,- per kapita per bulan pada Maret 2013. Peran komoditas makanan terhadap p GK jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditas bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Sumbangan Garis Kemiskinan Makanan (GKM) terhadap GK pada Maret 2013 mencapai 74,05 persen. GKM Riau tahun 2013 adalah sebesar Rp241.395,Rp241.395, dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) sebesar Rp84.584. Hal ini membuat pertumbuhan ekonomi Riau selama kurun waktu 2008-2013 2008 2013 tidak dinikamati oleh masyarakat kebanyakan. Artinya, meski di terdapat penurunan angka kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun capaian statistik makro ekonomi tidak mencerminkan peningkatan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan pendidikan, kesehatan, sandang, dan perumahan. Masyarakat bawah (low income) hanya bertahan untuk sekedar memenuhi kebutuhan pangan semata, dimana dim tanpa intervensi progresif pada layanan publik dasar oleh Pemprov. Pemprov. Meskipun telah ada subsidi dalam bentuk pengobatan gratis, pendidikan gratis. - Salah satu factor kunci pemberantasan kemiskinan, adalah dengan menggunakan resource APBD Provinsi Riau. Ria Bagaimana program – program pemerintah dibuat
baik dalam bentuk subsidi langsung maupun tidak langsung (pembangunan infrastruktur dan akses). Namun dalam kenyataannya meningkatnya APBD provinsi Riau yang digunakan untuk pembangunan daerah tidak berkorelasi dengan menurunnya persentase kemiskinan di Riau. Kemiskinan dalam kurun waktu 5 tahun (2008-2012) (2008 2012) terealisasi dengan rata penurunan sebesar 2,61%. Secara rinci dapat dijelaskan bahwa penurunan angka kemiskinan antara 20082008 2009 turun 1,15%, 2009-2010 2009 turun 0,83%, 2010-2011 2011 turun 0,48% dan tahun 2011-2012 2012 turun 0,15%. Artinya dengan sedikit APBD mampu mendongkrak penurunan angka kemiskinan lebih tinggi seperti terjadi pada tahun 2008 2008-2010. Sedangkan dua tahun terakhir (2011-2012) (2011 2012) dengan APBD yang relative besar justru penurunan angka kemiskinan cenderung kecil. Hal itu menunjukkan bahwa kinerja aparatur pemerintah priode 2009-2013 2009 2013 tidak mampu memaksimalkan memaksimal khususnya dalam konsistensi penurunan agka kemiskinan melalui resource APBD. Seperti dalam laporan LKPj bahwa program pemerintah mendongrak kemiskinan melalui program – program yang dibiayai APBD maupun APBN masih sangat sedkit dibandingkan dengan alokasi alok anggaran yang tidak priotritas. Pengagguran
Pengurangan Pengangguran Terbuka 10,00% 9,00% 8,00% 7,00% 6,00% 5,00% 4,00% 3,00% 2,00% 1,00% 0,00%
9,35%
8,96% 7,21%
7,17% 5,17%
2008
2009
2010
2011
2012
Tingkat pengurangan penggangguran terbuka, diprovinsi Riau sepanjang sepanja 2008-2012 mencapai 5,17% di provinsi Riau sangat patut di apresiasi. Namun, menjadi catatan pula bahwa pemerintah Provinsi Riau selama 2008-2012 2012 masih gagal dalam menurunkan angka pekerja non formal (tidak terampil) dan meningkatkan angka pekerja formal (terampil). Kita tahu bahwa data statistic menunjukkan bahwa tingkat pekerja menurut pendidikan, bahwa dari 5 juta lebih pendudukan pendudukan tahun 2012 38,06% pekerja hanya berpendidikan SD ke bawah, dan tahun 2013 menjadi 38,64%. Sedangkan edangkan jumlah pekerja dengan pendidikan tinggi atau Diploma ke atas masih relatif kecil yaitu sekitar yaitu 3,29% tahun 2012 dan 3,41% ditahun 2013, dan yang
berpendidikan universitas 65% ditahun 2012 dan 7,61% ditahun 2013. Kenyataan inilah yang semestinya menjadi perhatian dan target kinerja Pemerintah Provinsi Riau Bagaimana bisa menunjukkan “kebergunaan” pelayanan publik pendidikan dan kesehatan untuk mampu meningkatkan kualitas tenaga kerja, dimana pada akhirnya memperkuat daya saing daerah, di pasar dalam negeri maupun internasional. Tabel 5. Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja menurut Pendidikan Tertinggi yang ditamatkan Februari 2012 - Februari 2013 (%) Pendidikan Tertinggi yang ditamatkan
Februari 2012
(1)
SD ke bawah Sekolah Menengah Pertama Sekolah Menengah Atas Sekolah Menengah Kejuruan Diploma I/II/III Universitas Total
Februari 2013
(2)
(3)
38,06 21,35 21,85 8,93 3,29 6,52 100
38,64 21,13 20,63 8,59 3,41 7,61 100.00
Analisis Kebijakan Keuangan -
SILPA
Billions
SiLPA Tahun Berjalan APBD 2009-2011 Realisasi dan 2012 Proyeksi Rp1,9.34.86
Rp2.000 Rp1.339
Rp1.500 Rp1.000 Rp500
Rp378 Rp118
Rp2009 R
2010 R
2011 R
2012 Proyeksi
SiLPA Tahun Berjalan
Meningkatnya APBD, seyogyanya memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, dipergunakan sebaik-baiknya untuk sebesarbesarnya kemakmuran bagi masyarakat. Namun realita diatas menunjukkan bahwa
pemerintah Riau tidak mampu menggunakan APBD dengan sebaik-baiknya. Membengkaknya SILPA tahun 2012 ini, sebagai potret buruknya kinerja birokrasi pada pemerintah provinsi Riau. Menumpukknya SILPA APBD ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : - Buruknya perencanaan anggaran. Sejak awal anggaran disusun tidak memperhatikan kemampuan kapasitas SKPD. Pola penganggaran kita masih menganut incremental, setiap tahun jatah anggaran harus naik, tidak peduli kemampuan lembaga tersebut menyerap anggaran tahun sebelumnya. Buruknya perencanaan anggaran, juga disebabkan sejak anggaran disusun sudah di atas pagu kebutuhan. - Tranfer Pusat Lambat, Riau merupakan Daerah yang sumber penerimaan banyak berasal dari SDA pada umumnya menerima DBH mepet pada akhir tahun atau bahkan lewat tahun, sehingga memang tidak sempat terbelanjakan dan menjadi SiLPA. Oleh karena Pemerintah pusat perlu intropeksi untuk tetap mendahulukan yang menjadi hak daerah sehingga belanja daerah mampu terselesaikan dengan baik. Yang perlu di ketahui adalah, semakin besar SILPa, maka semakin besar anggaran publik Semakin besar SiLPA pada dasarnya menunjukkan semakin besarnya dana publik yang belum atau tidak digunakan dalam belanja atau pengeluaran pembiayaan lain sehingga mengendap di kas daerah sebagai dana idle. Anggaran negara yang seharusnya bisa direalisasikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, maupun dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat menjadi sia-sia, karena tidak mampu terserap dengan baik. ANGGARAN LINGKUNGAN DI DINAS KEHUTANAN DAN BADAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM APBD PROVINSI RIAU 2009-2013 Persoalan pelestarian lingkungan, menjadi salah satu persoalan strategis dari sekian banyak perosalan yang muncul. Tingginya tingkat ekploitasi Sumber daya alam (SDA) di berbagai sektor sebagai sumber keuangan Negara, menjadi wajar jika lingkungan menjadi semakin tidak kondusif. Apalagi didorong dengan kurangnya tanggungjawab pihak pelaku ekploitasi untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan, padahal isi dalamnya terus dikuras. Seperti ekploitasi pada pertambangan Migas, Pertambangan umum, kehutanan dan lain-lain. Menjadi angin segar bagi segenap masyarakat penerima dampak langsung, dengan semakin tidak kondusifnya lingkungan hidup, pemerintah menjadikan isu perbaikan dan pelestarian lingkungan sebagai salah satu target pembangunan nasional. Sebagai daerah yang tingkat ekploitasi sumberdaya alam cukup tinggi dan pergeseran iklim akibat kerusakan lingkungan yang tinggi pula, Provinsi Riau dengan bekerjasama dengan pemerintah dibawahnya (kabupaten kota) juga menyepakati perbaikan dan pelestarian lingkungan sebagai prioritas pembangunan. Tak tanggung-tanggung, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) 2009-2013 di Priode Rusli Zainal sebagai kepala daerah menjadikan isu lingkungan kedalam misi dan tujuan pembangunan daerah. Dalam Misi dan tujuan pembangunan daerah dicantumkan “Meningkatkan kualitas lingkungan dan perlindungan lingkungan dengan memperbaiki, memperbaharui,m mempertahankan dan melestarikan lingkungan hidup di provinsi Riau”.
Namun, lagi – lagi rencana baik tersebut hanya isapan jempol, yang hanya menjadi pajangan dalam cetak biru Riau 2009-2013 belaka. Jangankan memperbaiki, untuk mempertahankan dan melestarikan saja pemerintah terkesan tidak mampu. Hal itu dapat dilihat dari semakin tingginya kerusakan lingkungan, dan bagaimana pemerintah dalam mengalokasikan anggaran untuk perbaikan sebagai wujud pelestarian lingkungan. APBD Provinsi Riau yang sebagian besar bersumber dari pemanfatan sumber daya alam, yang dijadikan resource pembangunan daerah, justur tidak memihak kepada pelestarian lingkungan sebagaimana disebutkan dalam rencana strategis pembangunan. Hal itu dilihat dari alokasi anggaran perbaikan dan pelestarian lingkungan dalam APBD sangat kecil, tercatat selama kurun waktu 2009-2013 Pemerintah provinsi Riau hanya mengalokasikan 1,03% dari total APBD. Bahkan semakin meningkatnya penerimaan daerah sebagai acuan belanja daerahnya, justru secara persentase alokasi anggaran untuk perbaikan dan pelestarian lingkungan semakin pengecil. Tahun 2009 alokasi angaran lingkungan di dua SKPD (Dinas Kehuatanan dan Badan Lingkungan Hidup), dengan APBD Rp. 4,2 Triliun dialokasi sebesar 1.17%. tahun 2012 dengan APBD sebesar Rp. 8,3 Triliun justu anggaran lingkungan secara persentase mengecil menjadi 0,85% saja. Dengan demikian sangat wajar, dengan tidak maksimalnya pemerintah daerah dalam memberikan support anggaran untuk perbaikan lingkungan, perubahan iklim menjadi lebih buruk terus terjadi. Bahkan, persoalan asap / kebakaran hutan yang terus terjadi setiap tahun tak mampu teratasi dengan baik. Secara rinci analisi anggaran lingkungan dalam APBD Provinsi Riau sebagai berikut :
Anggaran Belanja Provinsi Riau 2009-2013 Tahun APBD P Realisasi 2009 4.269.473.852.733 3.757.480.844.229 2010 4.267.432.658.673 3.791.406.471.379 2011 4.797.600.670.278 4.265.129.660.304 2012 8.373.811.701.788 6.670.765.136.944 2013 8.432.096.315.490 Masih berjalan Total 30.140.415.198.962 18.484.782.112.856 Sumber : FITRA Riau diolah dari Dokumen LKPj 2008-2013
Sepanjang tahun 2009-2013 Pemerintah daerah dalam menjalankan roda pemerintahan sebagai penunjang pembangunan di bantu dengan APBD sebesar Rp. 30,1 Triliun (alokasi belanja). Dana tersebut berasal dari berbagai sektor pendapatan yang sebagian besar disumbang dari hasil ekploitasi alam (Migas, kehutanan, perkebunan). Secara trend posisi belanja daerahnya terus mningkat. Tahun 2009 sebesar Rp. 4,2 Triliun meningkat 100% ditahun 2013 menjadi 8,4 triliun (ini akumulasi dari SILPA tahun berjalan).Namun, peningkatan anggaran APBD tidak yang sebagian besar bersumber dair ekploitasi / pemanfataan SDA, justru pengalokasiannya tidak berpihak kepada pelestarian SDA / lingkungan. Anggaran Kehutanan Riau Vs TOTAL APBD 2009-2013 (MURNI & REALISASI Tahun
Anggaran DISHUT Riau
TOTAL APBD Setelah Perubahan
Persentas i
Anggaran
Realisasi
2009
36.161.352.515
30.724.689.098
4.269.473.852.733
3.757.480.844.229
0,85%
0,82%
2010
35.787.405.484
33.860.387.836
4.267.432.658.673
3.791.406.471.379
0,84%
0,89%
2011
32.514.287.387
30.360.149.405
4.797.600.670.278
4.265.129.660.304
0,68%
0,71%
2012
50.217.117.049
41.034.244.009
8.373.811.701.788
6.670.765.136.944
0,60%
0,62%
2013
58.047.783.214
Total
212.727.945.649
TOTAL APBDP
REALISASI
8.432.096.315.490 135.979.470.348
30.140.415.198.962
APBDP
REALISASI
0,69% 18.484.782.112.856
0,71%
0,74%
ANGGARAN BLH VS TOTAL APBD P 2009-2013 (MURNI DAN REALISASI) Tahun
Anggaran BLH Riau Anggaran
Realisasi
TOTAL APBD Setelah Perubahan TOTAL APBDP
REALISASI
Persentasi APBDP
REALISASI
2009
13.859.007.375
12.418.951.651
4.269.473.852.733
3.757.480.844.229
0,32%
0,33%
2010
16.262.665.912
14.034.687.384
4.267.432.658.673
3.791.406.471.379
0,38%
0,37%
2011
14.284.028.060
12.091.650.900
4.797.600.670.278
4.265.129.660.304
0,30%
0,28%
2012
21.069.556.531
16.758.641.085
8.373.811.701.788
6.670.765.136.944
0,25%
0,25%
2013
26.718.685.412
8.432.096.315.490
Total 92.193.943.290 55.303.931.020 30.140.415.198.962 18.484.782.112.856 Sumber : FITRA Diolah dari LHP BPK RI, Dokumen LKPD Riau 2009-2012 dan APBD tahun 2013.
0,32% 0,31%
0,30%
Anggaran lingkungan bisa dilihat di dua SKPD yaitu pada Dinas Kehutanan dan Badan Lingkungan Hidup. Tabel diatas menunjukkan anggaran APBD yang dialokasikan untuk perbaikan dan pelestarian hutan dan lingkungan selama 2009-2013. Secara umum anggaran yang dialokasin untuk Dinas kehutanan selama 2009-2013 Rp. 212,7 Milyar atau seara dengan 0,71% dari total APBD, dengan realisasi tahun 2009-2012 sebesar Rp. 135,9 Miliyar atau setara dengan 0,74% dari total realisasi anggaran tahun yang sama. Pada Badan lingkungan Hidup tahun 20092013 dianggarkan sebesar Rp. 92,1 Miliyar atau setara dengan 0,31% dari total APBD tahun yang sama. Sedangkan realisasi sebesar Rp. 55,3 Miliyar atau setara dengan 0,30% dari total realiasi APBD tahun 2009-2012. Jika diakumulasikan di dua sektor lembaga ini, maka sepanjang tahun 2009-2013 alokasi anggaran sebesar Rp. 304 Miliyar atau setara dengan 0,01% dari total APBD tahun yang sama. Sedangkan pada tahun 2009-2012 telah terealisasi sebesar Rp. 191,2 Miliyar atau setara dengan 1,03% dibandingkan dengan APBD tahun yang sama. Menjadi cacatan buruk juga bahwa alokasi anggaran yang sedikit juga dalam penyerapan pelaksanaan kegiatannya juga tidak maksima. Jika dihitung realisasi anggaran yang dialokasikan hanya 63% saja sepanjang tahun 2009-2012. Lihat tabel berikut ini.
AKUMULASI ANGGARAN DISHUT DAN BLH VS TOTAL APBD 2009-2013 (MURNI DAN REALISASI) Tahun
Anggaran DISHUT + BLH Anggaran
TOTAL APBD Setelah Perubahan
Realisasi
Persentasi
TOTAL APBDP
REALISASI
ANGGARAN REALISASI
2009
50.020.359.890
43.143.640.749
4.269.473.852.733
3.757.480.844.229
1,17%
1,15%
2010
52.050.071.396
47.895.075.220
4.267.432.658.673
3.791.406.471.379
1,22%
1,26%
2011
46.798.315.447
42.451.800.305
4.797.600.670.278
4.265.129.660.304
0,98%
1,00%
2012
71.286.673.580
57.792.885.094
8.373.811.701.788
6.670.765.136.944
0,85%
0,87%
2013
84.766.468.626
Total
304.921.888.939
191.283.401.368
8.432.096.315.490
1,01%
30.140.415.198.962 18.484.782.112.856
1,01%
1,03%
Sumber : FITRA Diolah dari LHP BPK RI, Dokumen LKPD Riau 2009-2012 dan APBD tahun 2013.
Anggaran yang dialokasikan ke dua sektor lembaga ini (Dishut dan BLH), yang hanya 1,01% sepanjang tahun 2009-2013, ternyata tidak murni untuk keperluan program yang langsung di berikan kepada lingkungan (hutan, sungai, dan lain-lain). Sebagian besar alokasi anggaran yang diperuntukkan di dua lembaga ini untuk Gaji dan keperluan rutin kedinasan (Aparatur). Untuk Dinas kehutanan sepanjang tahun 2009-2013 dialokasikan anggaran sebesar Rp. 212, 7 Miliyar, ternyata 77,2% diperuntukkan untuk Gaji dan keperluan kedinasa. Begitu juga di BLH ditahun yang sama 60,2% alokasi anggaran diperuntukkan untuk gaji dan keperluan kedinasan. RINCIAN ANGGARAN DI DISHUT DAN BLH 2009-2013 (APBD P DAN REALISASI) ALOKASI DINAS KEHUTANAN RIAU Total (2009-2013) BTL (GAJI PEGAWAI) BL (Keperluan Rutin Pegawai) BL (BELANJA MASYARAKAT) BADAN LINGKUNGAN HIDUP Total (2009-2013) BTL (GAJI PEGAWAI) BL (Keperluan Rutin Pegawai) BL (BELANJA MASYARAKAT)
APBD P
%
REALISASI
%
212.727.945.649 134.383.407.454 21.411.171.325 56.933.366.870
100% 63,2% 10,1% 26,8%
135.979.470.348 93.341.149.043 11.665.673.076 30.972.648.229
100% 68,6% 12,5% 22,8%
92.193.943.290 39.163.928.978 11.808.870.420 41.221.143.892
100% 42,5% 12,8% 44,7%
55.303.931.020 27.737.428.779 5.549.528.262 22.016.973.979
100% 50,2% 10,0% 39,8%
DISHUT + BLH Total (2009-2013) BTL (GAJI PEGAWAI) BL (Keperluan Rutin Pegawai) BL (BELANJA MASYARAKAT)
304.921.888.939 173.547.336.432 33.220.041.745 98.154.510.762
100% 56,9% 10,9% 32,2%
191.283.401.368 121.078.577.822 17.215.201.338 52.989.622.208
100% 63,3% 9,0% 27,7%
Sumber : FITRA Diolah dari LHP BPK RI, Dokumen LKPD Riau 2009-2012 dan APBD tahun 2013.
Jika diakumulasikan (BLH+Dishut) alokasi anggaran selama kurun waktu 2009-2013 sebesar Rp. 304,9 Milyar 73,3% untuk keperluan Gaji Aparatur dan keperluan kedinasan (pakaian dinas, perjalanan dinas, mobil dinas, atk, listrik dll). Sebaliknya anggaran yang dialokasikan untuk keperluan program lingkungan di dua sektor tersebut hanya sebesar Rp. 27,7% dari total anggaran yang kedua SKPD tersebut. Jika dirincikan kembali maka alokasi anggaran yang diperuntukkan secara rill untuk kebutuhan perbaikan dan pelestarian lingkungan di dua SKPD tersebut (Pendidikan masyarakat, koorinasi, kebakaran hutan, sanitasi, dan upaya preventif hutan dan lingkungan), maka Priode kedua Rusli Zainal 2009-2013 hanya dilokasikan sebesar 0,29 % dati total APBD realisasi tahun 2000-2012.
PERSENTASE BELANJA PROGRAM MASYARAKAT DI DISHUT DAN BLH VS TOTAL APBD 2009-2013 (APBD-P DAN REALISASI) APBD-P REALISASI
ALOKASI PROGRAM MASYARAKAT 2009-2013
TOTAL APBD 2009-2013
PERSENTASE
98.154.510.762 52.989.622.208
30.140.415.198.962 18.484.782.112.856
0,33% 0,29%
Sumber : FITRA Diolah dari LHP BPK RI, Dokumen LKPD Riau 2009-2012 dan APBD tahun 2013.
1. Investasi BUMD Maksimal Diakui APBD Provinsi Riau, dalam komposisinya Penerimaan Daerahnya masih bergantung kepada Dana Perimbangan Pusat dan Daerah, yang bersumber dari Penerimaan Negara Pajak maupun Bukan Pajak. Untuk mengurangi ketergantungan tersebut maka pemerintah daerah harus berupaya menigkatkan PADnya sebagai salah satu langkah untuk memperlebar ruang otonomi keuangan daerah. Tiga tahun terakhir, penerimaan daerah yang bersumber dari PAD Riau pada dasarnya mengalmi peningkatan dengan rata – rata meningkat 7-8% pertahunnya. Namun, kontribusi tersbesar PAD adalah berasal dari sumbangan rakyat. Yaitu pajak daerah yang dibayarkan rakyat dan retribusi yang dipungut pemerintah dari rakyat. Selain intensifikasi dan exktensifikasi PAD yang bersumber dari pajak, upaya pemerintah dengan mengoptimalisasi peran BUMD tentu patut diapresiasi. Terdapat 9 BUMD yang terus dimodali melaui APBD yang diinvestasikan. Tercata pada 2008-2013 sebanyak Rp. 446,63 Miliyar APBD diinvestasikan ke 9 BUMD yang bekerja dibeberapa sektor usaha. Yaitu PT.
Bank Riau Kepri, Pt. Bumi Siak Pusako, PT. SPR, PT. PER, PT. PIR, PT. Askrida, PT. SPKR, PT. RAL, PT. Riau Petrolium. Namun, beberapa hal kelemahan pemerintah daerah Provinsi Riau 2009-2013 dalam mengoptimalisasi fungsi BUMD sebagai salah satu mesin uang untuk penunjang keuangan daerah. - Minimnya deviden yang diterima pemerintah Provinsi Riau dari BUMD, hal itu dibuktikan dengan selama 2008-2013 penerimaan daerah dari deviden BUMD sebesar Rp. 665,78 Miliyar. Dengan 80% deviden berasal dari satu BUMD yaitu Bank Riau Kepri yang merukan BUMD yang telah lama berdiri, selanjutnya Rp. 117,67 Miliyar berasal dari BUMD PT. BSP yang merupakan konsorsium dari empat pemilik saham. Selanjutnya 5 BUMD baru lainnya hanya berkontribusi sangat minim dibandingkan investasi APBD yang masuk. Dan bahkan terdaat dua BUMD yaitu PT. RAL dan PT Riau Petrolium belum memberikan keuntungan apapun kepada daerah. Pada kedua BUMD tersebut telah banyak mengahabiskan anggaran APBD Provinsi Riau khusunya PT. RAL, dengan total lebih dari Rp. 150 Miliyar. - Pembentukan BUMD memang tidak berhenti pada tujuan sebagai mesin uang, namun penyerapan tenaga local, berkontibusi terhadap sektor produksi daerah yang kemudian dikelola oleh daerah. Namun sanyangnya, cita – cita itu juga tidak mampu diwujudkan dengan baik melalui intervensi daerah sebagai pemilik saham. Seperti tingkat tenaga kerja, BUMD yang dibentuk tidak mampu menyerap tenaga pekerja local yang banyak, bahkan dibeberapa BUMD lainnya ditemui ketimpangan perbandingan antara tenaga kerja putra daerah dengan yang berasal dari luar Provinsi Riau. Selanjutnya, BUMD tidak mendidik putra daerah sebagai pekerja profesional, karena lebih memilih ahli yang didatangkan dari luar. - Pemeirntah Provinsi Riau hingga kini gagal untuk mewujudkan BUMD yang bekerja di sektor hilirt industry. Karena dari 9 BUMD yang di berikan investasi lebih banyak mengarah kepada permodalan dan ekploitasi sumberdaya alam warisan asing.
Sekian dan Terimakasih