Catatan INFID atas Kinerja ASEAN
PROSIDING Seminar Akhir Tahun 17 Desember 2015
1
“ASEAN adalah Kita: Catatan INFID atas Kinerja ASEAN” Prosiding Seminar Akhir Tahun Hotel Sultan, Jakarta, 17 Desember 2015
Tim Penyusun: Mugiyanto Yulius Purwadi Hermawan Ratih Indraswari Stanislaus RisadiApresian Jeanne Sanjaya Awaluddin Tanya Lee Celica Andini
2
Daftar Isi Hal Ringkasan Eksekutif I.
Pendahuluan 1.1Latar Belakang Seminar 1.2 Dua Tren 1.3 Hasil yang Diharapkan
II.
Menyongsong Perwujudan Komunitas ASEAN sebagai Lembaga Publik (Sambutan-sambutan Kunci dan Inspiratif) 2.1 ASEAN Sebagai Lembaga Publik: Sebuah Tuntutan Sugeng Bahagijo 2.2 Indonesia Menyongsong Komunitas ASEAN Iwan Suyudie Amri 2.3 ASEAN dan Jaminan Perlindungan Hak-Hak Warga Fahri Hamzah 2.4 Dinamika dan Transformasi ASEAN serta Kesepakatan Indonesia dengan ASEAN Marzuki Darusman
III.
ASEAN dan Hak Asasi Manusia 3.1 Persepsi Publik Indonesia terhadap ASEAN Bagus Takwin 3.2 Membangun Gerakan Sosial Masyarakat Ekonomi ASEAN Diah Pitaloka 3.3 Tantangan Perlindungan Hak Buruh Migrandi ASEAN Anis Hidayah 3.4 Membaca Karakteristik HAM di Kawasan Asia Tenggara Puri Kencana Putri 3.5 Pentingnya Kolaborasi CSO, Negara dan ASEAN
5 7 7 7 9
10 11 14 17
19
22 23 30 35 37
3
dalam Penegakan HAM di Asia Tenggara Roichatul Aswidah IV.
V.
VI.
ASEAN dan Partisipasi Publik 4.1 Paparan Temuan Riset dan Rekomendasi INFID Mugiyanto 4.2 Melembagakan Partisipasi Warga dalam Komunitas ASEAN dalam Kerangka Pemenuhan Hak Asasi Manusia dan Keadilan Sosial Daniel Hutagalung 4.3 Strategi Diplomasi Indonesia dalam Kebijakan Kelembagaan ASEAN Renata Siagian 4.4 Evaluasi atas Hubungan Antara Masyarakat Sipil di Asia Tenggara dengan ASEAN Atnike Nova Sigiro 4.5 Peran Pemuda dalam Mengawal ASEAN yang Inklusif Shantoy Hades 4.6 Komunitas ASEAN dan Partisipasi Publik Daniel Awiga ASEAN dan Masyarakat Ekonomi ASEAN 5.1 Redesigning Kinerja Diplomasi Indonesia di ASEAN Memajukan Ekonomi ASEAN yang Inklusif Makmur Keliat 5.2 Strategi Peningkatan Pemahaman Masyarakat tentang Masyarakat Ekonomi ASEAN Dr. Zamroni Salim 5.3 Kesiapan Indonesia Menghadapi MEA Enny Sri Hartati 5.4 Kritik Atas Konsep Pasar Bebas MEA? Di mana Rakyat dalam MEA? Rachmi Hertanti 5.5 MEA, Integrasi dan Ekspansi Kapital dan Dampaknya bagi Buruh Abu Mufakir Rekomendasi: Membangun ASEAN Kita Semua
41
43 44
46 50
55 58 60
62 63
65 71
74 77
83
4
Ringkasan Eksekutif ASEAN didirikan oleh para pemimpin lima negara di kawasan Asia Tenggara pada tahun 1967 dalam upaya merespon dinamika politik keamanan regional dan global pada tahun 1960an. Keanggotaan ASEAN bertambah pada tahun 1980an dan 1990an seiring bergabungnya lima negara di kawasan Asia Tenggara. Terdapat pencapaian penting yang telah diraih oleh ASEAN selama hampir lima dekade sebagai organisasi regional. Di antara capaian tersebut adalah stabilitas hubungan di antara negara-negara anggota ASEAN. Konflik terbuka di antara kesepuluh anggota ASEAN relatif bisa dihindari, sekalipun seringkali terjadi ketegangan-ketegangan hubungan di dalam dinamika regional. Namun selama hampir lima dekade tersebut pula, ASEAN tidak dapat lepas dari kritikkritik yang tajam, termasuk kritik yang khas dari Civil Society Organizations (CSOs). ASEAN tetap merupakan forum pemimpin yang bersifat elitis, di mana ruang partisipasi publik masih sangat dibatasi. ASEAN belum bisa meyakinkan warganya bahwa ASEAN adalah lembaga publik yang hadir untuk melayani kepentingan warga ASEAN. Harus diakui bahwa terdapat hasrat di kalangan elit ASEAN untuk membuka ruang bagi partisipasi publik. Di antaranya melalui pembentukan mekanisme-mekanisme di mana CSO, kaum muda, akademisi, para pelaku bisnis dan kelompok-kelompok masyarakat lain mendapatkan ruang untuk membangun dialog dan memberikan masukan pada proses formal di ASEAN. Akreditasi organisasi untuk menjadi bagian dari asosiasi ASEAN merupakan inisiatif lain yang bertujuan untuk membuka ruang bagi partisipasi publik. Namun demikian, mekanismemekanisme ini ternyata belum terlembaga dengan baik dan efektif yang dapat menjadikan proses dialogis yang berkembang di ranah publik benar-benar diakomodasi dalam proses politik formal di ASEAN. Kesenjangan antara ASEAN dan warganya tetap merupakan fakta yang mencolok. Prinsip dan norma-norma ASEAN seperti non-intervensi, konsensus dan ASEAN Way dipandang menjadi penghambat progress ASEAN untuk menjadi lembaga publik. Prinsip dan norma-norma tersebut sangat state-centric yang membuat ASEAN menjadi tidak luwes terhadap tuntutan publik. Lemahnya pelembagaan ASEAN sebagai lembaga publik berimplikasi luas pada ba-nyak aspek termasuk penegakan HAM dan pembangunan ekonomi yang inklusif dan berdimensi sosial dan lingkungan. Rezim HAM di kawasan Asia Tenggara masih sangat bervariasi sehingga promosi dan penegakan HAM universal masih jauh dari ideal. Bread before freedom masih menjadi paradigma pembangunan yang dominan di sebagian besar negara-negara anggota ASEAN. Buruh migran seringkali menjadi objek pergerakan ekonomi dan tidak mendapatkan 5
perlindungan yang layak. Demikian pula kaum muda masih sering dijadikan objek daripada subjek kebijakan yang menentukan masa depan integrasi ASEAN. Kelemahan pelembagaan partisipasi publik juga berdampak pada tingkat legitimasi dari warga ASEAN. Konsepsi kewargaan sangat penting untuk membangkitkan semangat effective engagement.Pengetahuan masyarakat tentang ASEAN dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) masih rendah. Ini berdampak lebih lanjut pada kesiapan masyarakat dalam implementasi MEA. Dalam bahasa sederhana, kalau masyarakat tidak mengenal ASEAN, bagaimana mereka menjadi siap dalam menyongsong MEA? Dikhawatirkan dampak buruk implementasi MEA akan benar-benar terjadi. Visi ASEAN 2025 yang inklusif dan berkelanjutan dan mengedepankan nilai peoplecenteredness dan people-orientedtelah disepakati dalam KTT ASEAN di Kuala Lumpur pada bulan Nopember 2015. Agenda yang paling penting lebih lanjut adalah bagaimana mewujudkan komitmen ini supaya tidak sekedar menjadi retorika baru para pemimpin ASEAN selepas perwujudan komunitas ASEAN. Kepemimpinan Indonesia sangat menentukan di dalam perwujudan visi ini, sekaligus sangat penting dalam memastikan kemajuan HAM ASEAN dan proses pelembagaan partisipasi publik secara lebih bermakna. Menjadi kepentingan Indonesia pula untuk memajukan upaya penanggulangan HAM regional yang efektif. Sebab, Indonesia akan berada di posisi yang rawan jika dikelilingi oleh negara yang terbelakang dalam isu HAM. Untuk meraih kembali kepemimpinan Indonesia di ASEAN, design diplomasi Indonesia perlu ditata kembali supaya dapat berfungsi sebagai instrumen untuk mengatasi berbagai risiko akibat integrasi politik, ekonomi dan sosial budaya. Diplomasi ini harus mengedepankan prinsip ownersip yang lebih besar kepada warga ASEAN. Sementara proses formalisasi pelembagaan publik tampaknya akan berjalan lambat di tahun-tahun yang akan datang, aktivis CSO lintas negara ASEAN perlu memperkuat jaringan kolaborasi yang semakin intensif.Proses sosial di ranah masyarakat yang berjalinan dengan proses politik yang berjalan di tingkat elit, akan menjadi sebuah sinergi kuat untuk benar-benar mewujudkan cita-cita ASEAN yang berpusat dan berorientasi pada rakyat. Dari sini, warga secara kongkrit dapat merasakan bahwa ASEAN adalah benar-benar milik warga. ASEAN adalah kita.
6
I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN (ASEAN Summit) ke-27 telah dilangsungkan pada tanggal 18 – 22 November 2015 di Kuala Lumpur, Malaysia. KTT tersebut telah mengadopsi beberapa kesepakatan penting, diantaranya adalah pemberlakuan Masyarakat ASEAN (ASEAN Community) dalam dokumen yang berjudul “ASEAN 2025: FORGING AHEAD TOGETHER”. Dokumen yang berisi tiga cetak biru (blueprint) ASEAN, yaitu: 1) Cetak Biru Komunitas Politik Keamanan ASEAN 2025 (Political-Security Community Blueprint 2025); 2) Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN 2025 (ASEAN Economic Community Blueprint 2025); dan 3) Cetak Biru Komunitas Sosio-Kultural ASEAN 2025 (ASEAN Socio-Cultural Community Blueprint 2025). Dokumen Visi ASEAN 2025 ini menjadi panduan bagi negara-negara anggota ASEAN untuk sepuluh tahun ke depan, dan mulai berlaku sejak 1 Januari 2016. Perkembangan-perkembangan ini merupakan satu contoh capaian ASEAN. Di luar itu, sudah banyak capaian yang diraih oleh ASEAN. Namun ASEAN juga banyak memiliki tantangan-tantangan ke depan. Kini kita memasuki era baru MEA. Kini ASEAN juga sudah memiliki kelembagaan HAM, dengan adanya ASEAN InterGovernmental Commission of Human Rights (AICHR). Dalam konteks itu, peranan Indonesia sangat penting. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa “kehadiran” Indonesia dan sebaliknya “ketidakhadiran” Indonesia, akan menentukan masa kini dan masa depan ASEAN dan warganya. Indonesia setidaknya dapat dan telah menjalankan tiga peran penting (a) mengembangkan peran solidarity makers di kalangan anggota ASEAN; (ii) mengembangkan rumusan-rumusan tentang tantangan kebijakan publik di wilayah ASEAN, termasuk di dalamnya definisi dan identifikasi tentang tujuan dan cita-cita pembangunan di masa depan. (iii) memilih jenis dan bentuk kelembagaan ASEAN, termasuk seberapa jauh lembaga terbuka atau tertutup kepada stakeholders. 1.2 Dua Tren Pada saat ini sedang berjalan dua tren yang nyata telah terjadi dan mau tidak mau perlu diperhatikan oleh para pemimpin ASEAN jika ASEAN hendak menjadi legitimate dan relevan kepada semua warganegaranya dan rumusan masa depannya. Pertama adalah Tren Kebijakan. Negara-negara di dunia juga sudah mengadopsi dokumen Sustainable Development Goals(SDG) yang berlaku universal bagi semua negara 7
termasuk negara-negara anggota ASEAN. Di dalamnya negara-negara ASEAN sebagai anggota PBB yang ikut merumuskan dan mengesahkan SDGs, harus melaksanakan dan memenuhi 17 Tujuan dan 169 Target SDG, antara lain: (i) menurunkan ketimpangan; (ii) membangun kotakota yang inklusif, aman dan tangguh; (iv) memastikan kesetaraan gender; (v) melaksanakan goal 16 yaitu masyarakat yang damai, nonkekerasan, pemerintah terbuka dan antikorupsi Kedua adalah Tren Demografi. Jika dinamika dan perubahan penduduk Indonesia dapat dijadikan ukuran untuk kawasan ASEAN, maka yang baru dan sangat penting menjadi perhatian adalah lahirnya lapisan penduduk muda, yang memerlukan kebijakan dan pendekatan yang berbeda ketimbang jika lapisan ini tidak dominan. Inilah yang disebut sebagai generasi Milenia, yang memiliki corak aspirasi dan konsepsi hidup yang berbeda dibanding generasi Baby Boomers (yang lahir di periode 50an, 60an dan 70an). Implikasinya adalah kebijakannya sangat luas, termasuk penggunaan media sosial yang ekstensif dan intensif dan dunia internet secara umum bagi golongan ini. Dalam kaitannya dengan dua tren tersebut, setidaknya terdapat tiga pertanyaan besar yang mengemuka dan layak dijawab oleh ASEAN dan anggota ASEAN, yaitu: 1. Sejauh mana kinerja pelembagaan dan perlindungan HAM di ASEAN telah dilakukan? 2. Sejauh mana kelembagaan ASEAN sebagai lembaga publik regional telah terbuka dan partisipatif? 3. Sejauh mana ASEAN dengan MEA memastikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan? Dilihat dari tiga pertanyaan besar tersebut, “Seminar Akhir Tahun INFID: ASEAN Adalah Kita” yang telah dilaksanakan pada tanggal 17 Desember 2015 lalu dimaksudkan untuk melaksanakan tiga tujuan dan fungsi yaitu: 1. Sebagai forum stock taking dan forum evaluatif atas perjalanan dan kinerja terutama dilihat dari sisi warga negara Indonesia (“seeing like a citizen”). 2. Sebagai forum forward looking bagaimana agar ke depan ASEAN lebih bertumpu pada aspirasi dari generasi milenium (youth) yang menjadi lapisan penduduk dominan di semua negara anggota ASEAN. 3. Sebagai forum dialog kebijakan antara pemangku kepentingan setidaknya antara pemerintah, CSO, dan akademisi yang peduli dengan isu HAM, kelembagaan yang partisipatif dan ekonomi yang inklusif. Kegiatan ini juga dimaksudkan untuk memberikan ruang bagi stakeholders dan warga untuk memberikan masukan dan catatan kritis atas kinerja ASEAN selama ini terkait kebijakan ASEAN di sektor ekonomi, hak asasi manusia serta partisipasi warga. Catatan ini didasarkan pada praktik ASEAN selama ini, serta rumusan dokumen ASEAN 2025: Forging Ahead Together 8
serta respon ASEAN terhadap engagement yang dilakukan oleh masyarakat sipil ASEAN sebagaimana diwadahi dalam ASEAN People’s Forum (APF) dan ASEAN Civil Society Conference (ACSC). 1.3 Hasil yang Diharapkan Hasil-hasil yang diharapkan sebagai keluaran dari Seminar sehari ini adalah: a. Pokok-Pokok Rekomendasi Mengenai Kebijakan HAM ASEAN b. Pokok-Pokok Rekomendasi mengenai Kelembagaan ASEAN menuju ASEAN yang terbuka dan partisipatif untuk semua warga c. Pokok-Pokok Rekomendasi Mengenai Rambu-rambu Sosial untuk memastikan MEA memberi manfaat kepada semua dan tidak mengorbankan lingkungan hidup Indonesia.
9
II. Menyongsong Perwujudan Komunitas ASEAN sebagai Lembaga Publik (Sambutan-sambutan Kunci dan Inspiratif)
Seminar “ASEAN adalah kita” dimulai dengan sambutan-sambutan dari Direktur Eksekutif INFID, Perwakilan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Perwakilan dari Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Sambutan Inspiratif dari Marzuki Darusman. Sugeng Bahagijo (Direktur Eksekutif INFID)menekankan pentingnya ASEAN untuk menjadi lembaga publik yang didesain untuk menghasilkan barang publik. Iwan Suyudie Amri (Sekretaris Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI)menyampaikan informasi bagaimana upaya pemerintah menjaga relevansi ASEAN bagi rakyatnya, kawasan dan global sebagai nafas utama kerjasama ASEAN.Fahri Hamzah (Wakil Ketua DPR RI) mengajak masyarakat dan elit politik untuk mengintegrasikan diri dalam dunia internasional dan melibatkan diri secara aktif dalam per-cakapan di dalamnya termasuk di ASEAN, sebagaimana para pendiri bangsa dulu bertekad membangun suatu negara yang memiliki kepedulian sangat besar bagi terbentuknya ketertiban dunia. Marzuki Darusman meng-ingatkan bahwa apapun bentuk kritik terhadap ASEAN, harus diakui bahwa ASEAN memang diperlukan, namun perlu untuk disempurnakan dari waktu ke waktu, khususnya menyangkut Hak Asasi Manusia.
10
2.1 ASEAN sebagai Lembaga Publik: Sebuah Tuntutan Sugeng Bahagijo Direktur Eksekutif Infid
Mengapa Seminar ini bagi kami dan kita semua penting? INFID sudah melaksanakan program demokratisasi ASEAN selama 3 tahun terakhir. Apa yang disampaikan pada seminar ini adalah dua karya dari program tersebut, yaitu hasil penelitian dan hasil survei tentang persepsi warga ASEAN. Apa itu ASEAN? Apa itu ASEAN di mata warga?ASEAN tidak lain adalah lembaga publik yang diciptakan dan didesain untuk menghasilkan barang publik. Kita semua tahu bahwa barang publik adalah seperti contoh sederhana yang sering kita lewati, yaitu lampu lalu lintas atau traffic light. Coba bayangkan apabila kita tidak mempunyai traffic light, akan terjadi apa yang dikatakan filusuf bahwa “manusia adalah serigala bagi manusia lain.” Masing masing individu akan mengejar self-interestnya sendiri. Masing-masing individu mementingkan self-interestnya sendiri. Yang mobil mau lebih cepat, yang motor juga ingin cepat, maka hasilnya adalah kekacauan. Sama juga seperti pemerintah dan negara, yang diciptakan untuk menciptakan barang publik seperti keamanan, kebersihan, udara yang segar, taman yang hijau, dst, dan bahkan masa depan yang lebih baik. Pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana ASEAN sudah berusaha menciptakan barang publik? Jawabannya dapat dilihat pada dua sisi, yaitu di satu sisi ada input, dan di sisi lain ada hasil (output). ASEAN-lah yang menyelenggarakan apa yang dikenal sebagai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Selain MEA masyarakat juga dapat menikmati hal-hal yang baik seperti keistimewaan bebas visa jika mengunjungi negara-negara tetangga, sehingga mereka tidak perlu repot-repot mengurus visa. Artinya, masing-masing mengakui bahwa warga negara satu sama lain sudah diperlakukan sebagai warga negara sendiri. Itu adalah hal-hal yang langsung dirasakan oleh publik. Namun demikian, ada banyak hal yang membuat kita bertanya. Kita merasa galau apakah itu benar atau tidak? Apa yang ASEAN lakukan mengenai masalah Rohingnya ketika masyarakat Rohingya mendapat perlakuan yang tidak pantas seperti itu? Apa yang dilakukan ASEAN ketika ada warga negara Laos yang hilang begitu saja? Kita juga tahu bahwa ASEAN telah melakukan kemajuan dengan terbentuknya komisi independen mengenai hak asasi manusia (AICHR). Namun demikian, dalam hasil penelitian dan 11
diskusi, ternyata AICHR ini dilihat seperti “sekedar tembok ratapan.” Civil Society Organizations (CSOs) telah memberi masukan-masukan dan usulan-usulan, namun lembaga ini tidak mempunyai wewenang untuk menindak-lanjuti. Bahkan lembaga ini tidak memiliki sumber daya dan wewenang untuk melakukan investigasi. Usulan dari CSO adalah agar komisi independen ASEAN ini berlaku berfungsi seperti Komisi Nasional HAM indonesia. Menyikapi liberalisasi ekonomi, pertanyaan yang muncul adalah apakah ada perlindungan mengenai standar lingkungan? Adakah perlindungan mengenai standar sosial seperti upah? Jika tidak ada perlindungan seperti itu, yang akan terjadi adalah social dumping. Kalau upah tenaga kerja di Indonesia lebih mahal, maka ia akan lari ke Kamboja atau akan pergi ke Vietnam, dst. Jadi bukannya kerja sama, yang terjadi adalah persaingan yang berujung kepada race to the bottom, bukan race to the top. Sehingga, dalam penelitian INFID, disarankan pentingnya rambu-rambu sosial supaya tidak terjadi persaingan yang menuju ke arah yang semakin dibayar murah dan semakin rusaknya lingkungan. Perekonomian terbukadapat dimanfaatkan para pelaku bisnis Indonesia untuk bisa mengambil manfaat di negara negara tetangga. Tetapi kiranya ini harus dibarengi dengan adanya rambu-rambu sosial tersebut. Hal-hal ini yang menjadi kepedulianmasyarakat sipil kalau kita melihat website ASEAN itu akan berbeda sekali dengan website DPR ataupun website Kemenlu dan pemerintahan kita. Tidak jelas harus email ke mana, tidak jelas penjabat di Sekretariat ASEAN yang incharge mengenai masalah tertentu itu. Silahkan dicheck sndiri, karena ini sendiri sudah kami perhatikan beberapa tahun. Sesungguhnya ASEAN memang sudah mencoba membentuk satu dua mekanisme bagi partisipasi publik seperti ASEAN People Forum yang terakhir diselenggarakan di Malaysia. Tetapi, yang terjadi adalah ada keterputusan antara mekanisme partisipasi suara CSO dengan pengambilan keputusan di dalam ASEAN. Jadi kalau kata anak muda di Jakarta ini kita boleh ngomong apa saja,tetapi hasil dari omongan kita tidak pernah nyambung dan tidak pernah dipertimbangkan secara sungguh-sungguh di forum pengambilan keputusan yang nyata ke dalam ASEAN. Poin kedua yang penting untuk ditekankan adalah peran Indonesia di dalam ASEAN. Indonesia mempunyai pengaruh, wewenang, leverage, karena Indonesia adalah negara yang paling di hormati dan di segani di ASEAN. Sehingga sudah sepatutnya Indonesia memainkan peranan yang lebih aktif, lebih positif dst untuk mendorong ASEAN menjadi lembaga publik yang benar-benar membawa manfaat yang dapat dirasakan masyarakat. Aktivis CSO telah mencoba berdialog dengan Kemenlu untuk menyampaikan beberapa masukan. Namun demikian,terdapat tantangan terkait struktur ASEAN yang menjadi kendala berfungsinya ASEAN sebagai lembaga publik. Di sisi lain, Indonesia semakin hari memiliki 12
pemerintahan yang berpeluang besar untuk membuat ASEAN yang lebih baik dalam arti ASEAN yang lebih terbuka, partisipatif, lebih memperhatikan masalah rambu-rambu sosial, dan dalam arti lebih membuat keseimbangan antara gerak pasar dan gerak perlindungan yang kerap kali disebut presiden Jokowi sebagai negara hadir. Poin terakhir yang penting adalah pertanyaan kita ke depan adalah bagaimana ASEAN bisa lebih connected dengan satu lapisan warga Indonesia yang sekarang di seluruh negara ASEAN menjadi dominan. Siapa itu? Mereka adalah kaum muda, yang kira-kira tahun ini atau tahun kemarin pertama kali memilih danmempunyai konsepsi yang berbeda mengenai kehidupan yang berbeda di masa depan. Mereka lebih post-materialis dalam arti tidak terlalu money oriented, dan lebih green yang mementingkan perlindungan lingkungan yang kuat.Dan tentu saja karena kecanggihan internet dan sosial media, mereka tidak bisa hidup tanpa sosial media. Pertanyaan kita adalah sejauh mana visi misi ASEAN selama lima belas tahun ke depan itu sudah connected dengan aspirasi dari lapisan penduduk terbesar di seluruh negara ASEAN? Tentu mereka sangat lebih pro HAM. Sekarang tantangannya bagaimana kita memberikan mereka kesempatan kerja dan memberikan pendidikan yang lebih baik. Inilah yang hingga saat ini belum diraih oleh ASEAN. Sudah seharusnya lembaga publik menjadi lebih terbuka, menjadi lebih connected dengan warga. Untuk memperkuat legitimasi, yang penting adalah sejauh mana program lembaga-lembaga publik tersebut selalu bertolak dari aspirasi warga negara.
13
2.2 Indonesia menyongsong Komunitas ASEAN Iwan Suyudie Amri Sekretaris Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI
Dua kesepakatan utama yang dihasilkan KTT Ke-27 ASEAN tanggal 18 dan 22 November 2015 adalah diadopsinya Kuala Lumpur Declaration on The Establishment of ASEAN Community yang secara resmi merencanakan pembentukan masyarakat ASEAN dan Kuala Lumpur Declaration of the ASEAN 2025, Forging Ahead Together yang memuat Road Map ASEAN untuk satu dasawarsa kedepan. Pengesahan dua deklarasi tersebut menegaskan bahwa pembentukan MEA merupakan suatu proses yang berkelanjutan guna mewujudkan tujuantujuan ASEAN dan menjadikan organisasi ini tetap relevan baik bagi negara anggota dan kawasan maupun global. Khususnya menjadikan ASEAN tetap berorientasi terhadap kepentingan rakyat atau people centered and people oriented. ASEAN merupakan salah satu kawasan yang penting dan paling dinamis secara politik baik keamanan maupun sosial-politik dan ekonomi. Sementara itu ASEAN merupakan organisasi regional yang tidak hanya berhasil mempertahankan stabilitas keamanan selama lima dasawarsa terakhir, tetapi juga menjadi salah satu kawasan yang paling menarik untuk tujuan investasi asing. Pembentukan masyarakat ASEAN merupakan proses transformasi strategis dalam menjadikan ASEAN sebagai organisasi yang mendorong proses demokrasi, perlindungan hak asasi manusia dan pembangunan berkelanjutan. Tujuan pembentukan MEA tidak hanya mempertahankan stabilitas keamanan kawasan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, tetapi sekaligus mendorong terciptanya masyarakat yang berpandangan maju, hidup dalam lingkungan yang damai, stabil, sejahtera demokratis dan saling peduli, melindungi hak asasi dan keadilan sosial. MEA juga dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan regional akibat dinamika internal maupun eksternal. Keberhasilan ASEAN mengelola tantangan dan meraih peluang dariperan aktif Indonesia yang menjadi motor penggerak dalam aksi serta mendorong pemanfaatan ASEAN secara optimal untuk kepentingan nasional. Sesuai amanat konstitusi, Indonesia menjadikan ASEAN sebagai salah satu wahana untuk merealisasikan amanat Pembukaan UUD 1945, antara lain untuk mewujudkan perdamaian dunia, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk itu melalui
14
determinasi dan konsistensi yang kuat, Indonesia mendukung penuh pembentukan MEA sebagai salah satu cara atau upaya untuk meraih peluang dan mengatasi berbagai tantangan. Dalam hal ini pembentukan MEA bukan merupakan tujuan, melainkan sebagai strategi untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Bagi Indonesia, ASEAN dengan tiga pilarnya, yaitu masyarakat politik keamanan, ekonomi dan sosial kultural merupakan satu kesatuan yang harus diwujudkan secara konsisten dan berkesinambungan. Menjadikan ASEAN sebagai organisasi yang melibatkan peran serta masyarakat dan berorientasi kepada masyarakat merupakan gagasan yang didorong oleh Indonesia secara terus-menerus. Di dalam Deklarasi Kuala Lumpur mengenai ASEAN Vision 2025, dimensi people centered dan people oriented diperkuat kembali sehingga ASEAN diharapkan menjadi organisasi yang benar-benar memberikan manfaat langsung bagi rakyat dan melibatkan peran serta rakyat secara aktif. Terkait hal ini, peran aktif organisasi masyarakat sipil seperti INFID dalam mendorong pencapaian tujuan-tujuan ASEAN merupakan wujud konkrit dan perlu diberikan apresiasi tinggi. Proses konsultasi dan interaksi sudah tentu tidak terbatas di tingkat nasional seperti yang dilakukan pada seminar ini. Namun perlu ditingkatkan di lingkup kawasan dengan berbagai mekanisme dan badan sektoral ASEAN, serta di tingkat daerah dengan melibatkan berbagai pelaku kepentingan. Meskipun ASEAN telah membuktikan selama lima dasawarsa terakhir mampu menjaga stabilitas kawasan serta mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat, tantangan kedepan justru akan lebih kompleks dan dinamis yang terus memerlukan upaya bersama termasuk membangun konektivitas dan sentralitas ASEAN. Sebagai organisasi yang berinteraksi dengan semua kekuatan terbesar dunia serta sebagai kawasan yang dihuni oleh kekuatan-kekuatan besar, ASEAN tidak akan masuk dalam pusaran persaingan, melainkan justru menjadi organisasi yang secara aktif akan berinteraksi melalui beberapa mekanisme yang telah dibentuk untuk menjaga keseimbangan dinamis kawasan ini. Di bawah bidang politik dan keamanan, Indonesia senantiasa mendorong perwujudan stabilitas keamanan kawasan, demokratisasi, perlindungan HAM, termasuk mengatasi tantangan keamanan yang baru, khususnya yang bersifat transnasional atau sengketa teritorial wilayah. Di bawah pilar ekonomi, perwujudan pasar tunggal yang berbasis produksi, kawasan yang berdaya saing tinggi, pembangunan ekonomi yang merata dan berkeadilan serta berintegrasi kedalam perekonomian dunia merupakan empat dimensi utama yang harus di wujudkan secara konsisten. MEA bukan semata-mata liberalisasi perdagangan barang dan jasa, melainkan juga mencakup berbagai macam dimensi pembangunan yang komprehensif.
15
Di bawah pilar sosial budaya, masyarakat ASEAN yang caring dan sharing dimaksudkan untuk memiliki kepedulian yang tinggi antar sesama dan diwujudkan melalui berbagai kerja sama melalui bidang sosial budaya. Dalam merealisasikan tujuan tujuannya, ASEAN juga membentuk berbagai macam mekanisme yang bertujuan untuk berinteraksi secara langsung dengan berbagai kekuatan dunia, baik secara individu melalui dialog kemitraan maupun secara kolektif melalui mekanisme seperti East Asia Summit, ASEAN Regional Forum (ARF), dan ASEAN Defense Ministrial Meeting Plus. Melalui mekanisme ini ASEAN mendorong dialog dan kerja sama serta mendorong budaya kerja sama perdamaian/ culture of peace untuk tetap menjaga stabilitas keamanan serta menjamin bahwa semua sengketa dan perselisihan harus diselesaikan melalui proses yang damai, melalui dialog dan konsultasi serta negosiasi. Upaya untuk menjaga relevansi ASEAN bagi rakyatnya, kawasan dan global harus menjadi nafas utama kerjasama ASEAN. Untuk menjadikan ASEAN relevan bagi rakyatnya, upaya memperkuat people centered dan people oriented ASEAN merupakan agenda utama untuk direalisasikan selama satu dasawarsa kedepan. Kami menyadari bahwa pemahaman masyarakat mengenai masyarakat ASEAN khususnya MEA baik di Indonesia maupun di antara anggota ASEAN lainnya masih cukup rendah. Karenanya kami ingin mengajak organisasi masyarakat sipil seperti INFID untuk bersama-sama membangun pemahaman yang baik mengenai MEA, sehingga MEA menjadi bermakna dan memberikan manfaat yang langsung dirasakan oleh masyarakat. Kekhawatiran yang berlebihan terhadap MEA sebenarnya tidak beralasan. Sebaliknya persaingan di dalam kerangka MEA harus menjadi pemicu kita semua untuk meningkatkan daya saing kita secara maksimal. Sebagai negara terbesar di ASEAN, Indonesia tidak akan semata-mata menjadi pasar dalam MEA. Indonesia merupakan kekuatan ekonomi terbesar dan penerima investasi asing terbesar kedua sehingga Indonesia akan menjadi bagian terpenting dalam proses menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dan pusat distribusi di kawasan. Indonesia akan melanjutkan komitmennya dalam kepemimpinan di ASEAN untuk menjaga stabilitas dan perdamaian kawasan serta kesejahteraan rakyat. Diplomasi dan politik luar negeri Indonesia dalam kerangka kerjasama ASEAN sejalan dengan amanat konstitusi dan diperkuat lagi dengan visi Presiden RI yang menekankan pelaksanaan kebijakan luar negeri untuk menjadikan Indonesia berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkepribadian secara budaya. Dengan semangat ini Indonesia akan terus aktif menyampaikan gagasan-gagasannya dalam konteks intellectual leadership terkait upaya menciptakan keamanan dan stabilitas kawasan, dan penyesuaian kapasitas domestik agar mendapatkan hasil yang maksimal dari integrasi masyarakat ASEAN. Proses ini akan terus berlangsung sejalan dengan kebijakan luar negeri Indonesia yang menempatkan ASEAN sebagai lingkar terdekat, sejalan dengan kesepakatan para pemimpin ASEAN untuk mewujudkan visi 16
ASEAN 2025 menuju masyarakat ASEAN yang lebih terintegrasi, secara politik kohesif, secara ekonomi terintegrasi dan secara sosial budaya bertanggung jawab sesuai dengan moto “forging ahead together”, maju dan melangkah bersama sama.
17
2.3 ASEAN dan Jaminan Perlindungan Hak-Hak Warga Fahri Hamzah Wakil Ketua DPR Republik Indonesia
Kalau kita baca sejarah pendirian negara kita, visi pendiriannya sangatlah internasional. Dalam pidato hari kelahiran Pancasila, Soekarno mengintroduksi Pancasila yang di sila keduanya itu adalah internasionalisme yang menekankan keadilan dan kemanusiaan. Ini kemudian yang dipotong kata internasionalismenya menjadi sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila kedua tersebut menunjukkan bahwa sejak awal, para pemimpin indonesia melihat dunia luar itu secara terbuka.Apalagi kalau kita kembali melihat lebih kebelakang lagi, Indonesia merupakan negara maritim yang sangat kuat seperti Sriwijaya dan Majapahit dengan armada-armada yang melihat keluar secara lebih agresif. Kawasan Senayan, tempat penyelenggaraan, seminar ini juga menjadi bukti bahwa pendiri bangsa kita juga berorientasi internasional. Kawasan dengan lahan seluas 300 Ha3sebenarnya dipersiapkan oleh Bung Karno untuk membangun beberapa perkantoran yang dimaksudkan untuk kepentingan internasional. Bung Karno bermaksud membangun pusat komunikasi di antara negara-negara baru sebagai antitesis dari negara-negara yang tergabung dalam Oldefos (old established forces). Beliau juga membangun GBK sebagai pusat olahraga untuk melawan tradisi negara-negara mapan membangun olimpik (pesta olahraga) yang juga beliau kritik karena diikuti oleh banyak negara-negara kolonial. Konsolidasi internasional bahkan dilakukan oleh Bung Karno dan para pendiri bangsa Indonesia lainnya. Tiba-tiba setelah begitu lama berjalan dan kita hidup dalam tradisi otoritarian yang cukup lama, bangsakita menjadi sangat inward-looking, tidak melihat keluar secara progresif. Menjadi penting bagi kita untuk mendengar hasil survei persepsi orang Indonesia tentang ASEAN yang saya khawatir memang agak rendah persepsinya.Sehingga kemudian kita menjadi tidak melihat ada harapan diluar, tidak menjadi bagian dari perbincangan. Bangsa kita, termasuk para politisi,tidak menjadikan isu-isu diluar sana menjadi isu yang kita engage di dalamnya. Ini yang menyebabkan kita memiliki kecenderungan berkelahi didalam terus menerus dan jatuh pada tema-tema yang dangkal. 18
Melanjutkan diskusi itu,sewaktu membahas UU No.17 tahun 2014 mengenai MPR, DPR dan DPD, saya mengusulkan dicantumkannya pasal tentang diplomasi internasional sebagai tugas anggota DPR.Usulan ini tidak disetujui Kemenlu karena karena menurut Kemenlu hanya pemerintah yang boleh melakukan diplomasi internasional. Dalam dunia diplomasi terdapat istilah parliamentary diplomacyseperti yang juga tertulis dalam website Kemenlu.Saya menunjukkan hal tersebut dan bertanya kenapa Kemenlu tidak merelakan adanya satu pasal dalam undang-undang yang membiarkan para politisi Indonesia sedikit mau melihat keluar. Akhirnya kemudian disetujui dan kompromi pasalnya adalah diplomasi internasional untuk membantu kebijakan politik luar negeri pemerintah, karena memang secara kelembagaan DPR memang memiliki ikatan eksekutif di dalamnya. Konten perbincangan tentang dunia luar harus semakin diintensifkan supaya kita sadar dengan sesuatu yang lebih besar yang ada diluar sana. Kita sadar bahwa akan menjadi bahaya sekali jika bangsa ini mengisolir diri dari dunia yang luar biasa dinamikanya. Data-data yang ditemukan dalam penelitian dan surveibisa menjadi suatu bahan bagi kita untuk membaca ASEAN, yang letaknya sangat dekat dengan kita. Indonesia sebagai komponen terbesar didalam ASEAN semestinya memainkan peran yang lebih besar untuk menentukan masa depan ASEAN. Demokrasi ASEAN ditentukan oleh Indonesia. Demikian pula kesejahteraan ASEAN didesain dengan perspektif Indonesia. Sehingga pelan-pelan Indonesia akan meraih kembali leadershipdi ASEAN. Kekaguman bangsa-bangsa kepada politisi Indonesia dan pemimpin Indonesia pelan-pelan kita bangun kembali, supaya para pemimpin Indonesia juga mulai bisa diterima jika berbicara di dunia internasional. Percakapan kita hari ini adalah momentum untuk membangkitkan kesadaran para elit Indonesia dan tentu saja masyarakat Indonesia, tetapi khususnya para elit akan pentingnya berintegrasi dalam dunia yang sekarang ini semakin kecil. Kami sangat berbahagia dan ingin bisa terus menjadi mitra dan kerja sama (support) untuk mengembangkan penelitian dan diskusi mengenai tema tema yang relevan seperti ini.
19
2.4 Dinamika dan Transformasi ASEAN serta Kesepakatan Indonesia dengan ASEAN Marzuki Darusman Mantan Jaksa Agung dan Mantan Anggota DPRIndonesia
Kita memang agak tertinggal atau terbelakang dalam memberikan perhatian terhadap masalah-masalah internasional. Misalkan kalau ada masalah Palestina, hanya sebagian kelompok saja yang melakukan demonstrasi mengenai hal itu. Apa yang sudah diangkat menjadi topik seminar ini terkait erat dengan kesadaran kita mengenai hal-hal yang diluar kehidupan kita ini, yaitu kehidupan regional. Topik ini menggambarkan perhatian INFID yang mendalam, yang menunjukkan kritikkeras yang khas dari masyarakat sipil. Ini merupakan suatu bentuk kritik yang sangat prerogatif yang menggambarkan kekhasan posisi lembaga. Persoalan kita ialah kritik terhadap ASEAN ini sudah berlangsung demikian lama.Kritik yang paling keras ialah:apakah kita masih perlu ASEAN atau tidak? Terutama kalau kritik ini ditinjau dari sudut pandang Indonesia. Memang tidak mudah bagi kita untuk mengambil sikap karena seringkali ada sikap yang mendua terhadap ASEAN ini. Pertama, kita melihat di kawasan ini selama bertahun-tahun tidak ada konflik-konflik besar dan tidak ada ketegangan-ketegangan yang mengarah pada konflik terbuka, dibandingkan dengan kawasan Eropa.DiEropasaat ini berbagai masalah HAM, khususnya isu rasisme kembali bermunculan dengan dahsyat. Jadi bisa bayangkan sekiranya kalau kita tanya apa kita perlu ASEAN, bisa kita jawab dengan pertanyaan lain: bagaimana jikalau ASEAN tidak pernah ada? Bagaimana negara kita? Pada akhirnya kita menganggap bahwa ASEAN memang diperlukan, dan perlu untuk disempurnakan dari waktu ke waktu, khususnya mennyangkut hak asasi manusia. ASEAN telah melalui suatu sejarah panjang menyangkut masalah HAM. Dimulai tahun 1993 saat ada tiga peristiwa besar, yaitu pertama di tahun 1992 Komnas HAM dibentuk oleh pemerintah Orde Baru, kedua di tahun 1993 di Singapura ditanamkan sebuah bentuk mekanisme ASEAN, dan ketiga pada tahun 1993 diselenggarakan konferensi HAM secara besar besaran di Wina. Bisa kita lihat ketiga peristiwa ini berkaitan satu sama lain. Barulah pada tahun 20
2010 sebuah mekanisme HAM ASEAN terwujud dalam bentuk Komisi HAM ASEAN (AICHR) yang dibentuk oleh ASEAN sebagai jawaban terhadap tuntutan masyarakat supaya ASEAN lebih mempunyai kemampuan untuk menghadapi masalah-masalah yang dihadapi kawasan dan negara-negara ASEAN dalam hal HAM. Bisa dikatakan bahwa AICHR ini masih jauh dari harapan. Bahwa AICHR ini belum menjadi suatu badan, tetapi masih merupakan mekanisme. dan karena itu masih diperlukan suatu masa dimana perkembangan fase berikut diharapkan terjadi di dalam ASEAN tetapi juga AICHR. Dengan demikian kritik yang disampaikan oleh INFID perlu diterima oleh ASEAN. Ada satu asumsi yang seringkali tidak kita pentingkan. Sebelumnya banyak sekali yang tidak diketahui para pejabat ASEAN ini mengenai HAM. Dan karena itu cara yang efektif untuk memajukan ASEAN ini adalah dengan melibatkan diri secara langsung dengan berinteraksi langsung dengan pejabat-pejabat di ASEAN.Ini ternyata efektif dilakukan oleh berbagai kalangan yang kemudian diterima oleh ASEAN dan kemudian diajak sebagai mitra didalam perkembangan selanjutnya. INFID sekiranya bisa melibatkan diri secara intens dengan ASEAN.Ini merupakan satusatunya jalan kedepan karena ASEAN akan tetap sebagaimana adanya sekarang iniuntuk jangka waktu ke depan yang lama. Arti “kedai cakap” atau talk shop tetap tidak bisa dikurangi lagi karena inilah yang menjadikan ASEAN sebagaimana adanya, yaitu bahwa dia berhasil menjadikan kawasan ini terbentuk, memiliki suatu identitas yang bisa menjadi kawasan yang melindungi seluruh ASEAN dalam kancah dinamika tradisonal dan internasional. Dan dengan adanya ASEAN ini, harapan untuk menegakkan hak asasi manusia di kawasan Asia Tenggaradapat disandarkan, walaupun disana sini masih terjadi pelanggaran dan penangannya efektifnya masih belum dalam jangkauan kita.Untuk memajukan HAM, harus segera dilakukan upaya untuk segera berinteraksi dengan ASEAN secara lebih intensif.Karena itu, angkatlah topik ini dalam tingkat tradisional untuk bisa dijadikan suatu masukan bagi ASEAN, tidak saja ASEAN,tetapi juga AICHR. Jadi ada suatu ruang yang luas bagi kita untuk berkumpul, berinteraksi. Tidak bisa tidak jika ASEAN ingin maju, kepemimpinan Indonesia sangat penting bahkan menentukan. Kita sudah melalui banyak fase yang menjadikan kita negara yang normal, sementara masihada beberapa negara yang masih menghadapi banyak tantangan. Bahkan boleh dikatakan bahwa Indonesialah negara yang paling terbuka, merdeka dan demokratis diantara negara-negara anggota ASEAN yang lainnya. Jika Indonesia tidak mendorong perubahan positif di Negara-negara tetangga yang kurang demokratis, Indonesia berada dalam posisi yang sangat sulit dan rawan.Kawasan ini bisa menjadi tekanan bahkan ancaman bagi demokrasi Indonesia. Karena itu, diplomasi yang disyaratkan menjadi sangat penting adalah kita perlu mentransformasi ASEAN ini menjadi 21
kawasan yang demokratis sehingga kita tidak terpaksa harus mengikuti norma yang paling rendah dan paling umum berlaku di ASEAN yang bisa mengurangi demokrasi kita dan nilai HAM kita. Karena itu saya kira kita memerlukan kepemimpinan yang tangguh di ASEAN. Masyarakat sipil Indonesia seharusnya berada digaris depan dalam aktivisme HAM secara tradisional.Ini merupakan suatu modal yang sangat berharga.Dari pihak Kementerian Luar Negeri, bisa memberi ruang bagi generasi Indonesia untuk berkiprah di ASEAN. Perlu ada banyak organisasi seperti INFID sebagai mitra dari ASEAN dan niscaya interaksi itu akan semakin erat. Tidak kurang arti pentingnya LSM-LSM ini untuk terus berinteraksi dengan publik dan mendorong legislasi di DPR. Ini merupakan sesuatu yang belum pernah dijamah karena hubungan di antara partai-partai ini canggung dan saling bersaing. Baik partai maupun LSM sama-sama merupakan komponen masyarakat di luar negara yang mau tidak mau memainkan peran kunci dalam menjalankan HAM. Harapan saya tentu bahwa ASEAN ini tentu bisa terbuka seperti negara-negara lain di Eropa. Supaya Indonesia dapat menjadi negara terdepan dalam penegakan HAM, Indonesia perlu mengupayakan pencapaian tiga hal, yaitu: 1. Pengakuan HAM universal 2. Pelanggaran HAM dapat mematahkan imunitas penjabat 3. Pelanggaran HAM bisa dituntut secara hukum. Tidak ada dinegara lain sekiranya hal ini yang bisa di capai oleh indonesia, Apabila ketiga hal ini bisa dicapai di ASEAN, maka akan aman kedepannya.
22
III. ASEAN dan Hak Asasi Manusia
Sesi pertama seminar mendiskusikan sejauh mana kinerja pelembagaan dan perlindungan HAM di ASEAN telah dilakukan. Sesi ini menampilkan empat orang pembi-cara dan satu orang penanggap. Pembicara pertama menampilkan hasil survei tentang persepsi publik Indonesia terhadap ASEAN. Dilanjutkan dengan paparan-paparan reflektif tentang partisipasi warga dalam kebijakan perlindungan warga dalam konteks MEA, perlindungan Hakhak Buruh Migran, dan Potret HAM di kawasan ASEAN dari tiga pembicara lain. Tanggapan disampaikan oleh Komisioner Komnas HAM Indonesia dengan memaparkan tantangan yang kompleks menyangkut penegakan HAM. Para pembicara menilai bahwa ASEAN belum berhasil menunjukkan dirinyasebagai Institusi Publik yang dapat melayani masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan perlindungan HAM mereka.Rezim HAM belum sepenuhnya terbangun di kawasan Asia Tenggara. Pelanggaran HAM dan kerentanan masih dihadapi kelompok-kelompok masyarakat termasuk kaum buruh migran. Pendekatan partikularisme untuk mengedepankan argumentasi kepentingan politik negara ketimbang kultural masih menonjol, seiiring dengan masih terjadi- nya defisit HAM.Sayangnya, infrastruktur HAM ASEAN masih absen dalam mempromosikan penegakan HAM di kawasan Asia Tenggara. Gerakan sosial masyarakat dan kolaborasi antara CSO dan negara dipandang penting untuk mengisi kevakuman kelembagaan HAM tersebut. Namun, jika ASEAN tidak serius untuk segera membangun infrastruktur penopang rezim HAM yang kuat, promosi HAM di kawasan Asia Tenggara akan tetap terbelakang. Untuk itu, pembangunan lembaga HAM ASEAN yang memenuhi citacita dan kebutuhan publik harus menjadi agenda prioritas dalam mewujudkan visi ASEAN 2025.
23
3.1 Persepsi Publik Indonesia terhadap ASEAN (Paparan Temuan Hasil Survei Warga Tentang ASEAN) Bagus Takwin Universitas Indonesia
Paparan ini menampilkan tujuan survei, metode, dan temuantemuan, kesimpulan dan rekomendasi untuk mendorong pelembagaan ASEAN supaya ASEAN memberi ruang yang lebih luas bagi peran warga dan sekaligus pula penegakan HAM di kawasan. Tujuan Survei Terdapat tiga tujuan dari survei ini yaitu: 1. Memperoleh data mengenai persepsi, harapan dan penilaian publik Indonesia terhadap ASEAN. 2. Mengevaluasi karakteristik ASEAN sebagai institusi publik dari sudut pandang warga Indonesia. 3. Menghasilkan rekomendasi bagi ASEAN untuk meningkatkan pemahaman dan partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan dan program ASEAN. Kerangka Konseptual Kerangka konseptual yang dipakai adalah nilai-nilai institusi publik (Crighton, 2005). Kategori partisipasi publik tidak hanya memberikan informasi saja, tetapi ada aspek partisipasi lain seperti menyimak publik, keterlibatan dalam penyelesaian masalah, dan membangun kesepakatan. Kategori partisipasi publik dapat lebih jelas dilihat dalam Gambar 3.1 di bawah ini. Gambar 3.1. Kategori Partisipasi Publik
Memberi informasi kepada publik
Menyimak publik
Terlibat dalam penyelesaian masalah
Membangun kesepakatan
24
Metode dan Sumber Data Survei ini dilakukan dengan mengambil data dari panel ahli berjumlah 22 orang yang dikumpulkan dengan metode Delphi; data berita diambil dan diolah dari 7 media; dan data responden (sampel purposif) yang berjumlah 600 orang di wilayah DKI Jakarta. Pengetahuan Warga Mengenai ASEAN Menurut survei, banyak warga yang mengetahui tentang ASEAN. Hasil survei tersebut terbagi menjadi dua yaitu (1) warga yang tahu banyak dan (2) warga yang hanya tahu sedikit. Sebanyak 14,80% warga hanya tahu sedikit dan sisanya yaitu 85.20% tahu banyak mengenai ASEAN. Sumber informasi tentang ASEAN tersebut paling banyak didapatkan dari televisi yaitu 78%. Selain dari televisi, sumber informasi tentang ASEAN juga didapat melalui koran (9%), sekolah (7%), teman (6%), dan radio (1%). Persepsi Ahli Mengenai ASEAN Persepsi ahli mengenai ASEAN cenderung beranggapan bahwa ASEAN kurang memenuhi kriteria sebagai institusi publik yang melibatkan partisipasi publik. Persepsi tersebut dapat dilihat dari tabel di bawah ini. Tabel tersebut menunjukkan para ahli lebih cenderung memberikan pendapat ke bagian kanan yang menunjukkan pandangan bahwa ASEAN cenderung kurang memenuhi kriteria sebagai lembaga publik. Tabel 3.1 Persepsi Ahli Mengenai ASEAN
25
Persepsi Mengenai Visi dan Misi ASEAN Survei mengenai persepsi visi dan misi ini melibatkan pendapat dari para ahli, media dan warga. Visi dan misi ASEAN menurut persepsi para ahli secara umum dinilai cukup jelas. Kebanyakan ahli menilai visi-misi/tujuan dan relevansi ASEAN untuk Indonesia sudah jelas. Persentasenya adalah 77,3% yang menyatakan jelas. Berbeda dengan persepsi para ahli tersebut, media cenderung melihat gambaran visimisi ASEAN tidak jelas karena media kurang dimanfaatkan untuk sosialisasi visi-misi ASEAN. Survei juga menunjukkan bahwa ternyata warga cukup mengenali visi-misi ASEAN. Sebanyak 20% responden dari warga menyatakan visi-misi ASEAN jelas dan 80% lainnya menyatakan cukup jelas. Partisipasi Publik Di ASEAN Menurut Ahli Partisipasi publik di ASEAN menurut ahli dinilai dengan pemberian rentang nilai dari 1-6 dengan kategori sebagai berikut: Nilai 1-2 menandakan partisipasi publik rendah Nilai 2,1-3 menandakan partisipasi publik kurang Nilai 3,1-4 menandakan partisipasi publik sedang Nilai 4,1-5 menandakan partisipasi publik cukup Nilai 5,1-6 menandakan partisipasi publik tinggi Beberapa variabel yang dinilai antara lain: • Sejauh mana ASEAN meleluasakan partisipasi publik • Sejauh mana ASEAN memberikan jaminan kontribusi warga • Sejauh mana ASEAN menggali kebutuhan warga • Sejauh mana ASEAN menentukan bentuk partisipasi warga • Sejauh mana ASEAN menfasilitasi warga yang terkena dampak keputusan • Sejauh mana ASEAN memberikan informasi mengenai partisipasi publik • Sejauh mana ASEAN partisipasi publik yang signifikan-warga • Sejauh mana ASEAN mengkomunikasikan cara memberi masukan • Sejauh mana ASEAN mengembangkan warga yang tak beruntung-minoritas Survei terhadap para ahli menunjukkan bahwa secara garis besar partisipasi publik masih kurang. Nilai tertinggi survei hanya mencapai 3,3 dan nilai ini masuk kategori sedang untuk variabel penentuan bentuk partisipasi warga oleh ASEAN. Variabel lain secara rata-rata hanya berada pada kategori 2,1-3 yaitu kategori kurang.
26
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Grafik 3.1 di bawah ini. Grafik 3.1 Partisipasi Publik Di ASEAN Menurut Ahli
Partisipasi Publik Di ASEAN Menurut Warga Partisipasi publik di ASEAN menurut warga disurvei dengan beberapa pertanyaan antara lain: Apakah warga pernah ditanya tentang program apa yang perlu diselenggarakan oleh ASEAN? Apakah warga pernah diajak berdialog oleh ASEAN/Sekretariat ASEAN? Apakah warga pernah ditanya apa isu kebijakan penting/prioritas yang perlu diatasi oleh ASEAN? Apakah warga pernah dilibatkan dalam kegiatan/program ASEAN Apakah warga pernah diminta untuk mengirimkan proposal kegiatan yang akan didanai oleh ASEAN? Survei terhadap warga tersebut menunjukan bahwa sebagian besar warga menjawab tidak untuk pertanyaan-pertanyaan di atas. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi warga sangat kurang dalam kegiatan ASEAN. Persentase lebih rinci dari hasil survei dapat dilihat pada Grafik 3.2 di bawah ini
27
Grafik 3.2 Partisipasi Publik Di ASEAN Menurut Warga
Representasi ASEAN Di Media Massa Kegiatan yang diliput oleh media massa berdasarkan bentuk kegiatan terbagi dalam delapan jenis, yaitu konferensi pers, konferensi, rapat, kompetisi, undangan, program, presentasi, dan lainnya. Konferensi pers mendapatkan porsi paling besar dari pemberitaan media massa yaitu 29%. Selanjutnya diikuti oleh konferensi 21%, rapat 13%, lainnya 13%, kompetisi 9%, undangan 5%, program 5%, dan presentasi 5%.
Grafik 3.3. Bentuk Kegiatan ASEAN yang diliput Media Massa
28
Kegiatan yang diliput oleh media massa berdasarkan tujuan kegiatan terbagi dalam tujuh jenis kegiatan yaitu penetapan program, kerja sama, sosialisasi, penetapan kesepakatan, kompetisi, pendidikan, dan lainnya. Representasi ASEAN di media massa berdasarkan tujuan kegiatan paling besar adalah penetapan program yaitu 23%. Selanjutnya diikuti oleh kerja sama 24%, sosialisasi 23%, penetapan kesepakatan 11%, lainnya 11%, kompetisi 5%, dan pendidikan 3%.
Grafik 3.4 Tujuan Kegiatan yang Diliput Media Massa
Kegiatan yang diliput oleh media massa berdasarkan bidang kegiatan terbagi dalam sejumlah bidang kegiatan, yaitu ekonomi, politik, keamanan, olah-raga, pertahanan, budaya, humanitarian, ketimpangan sosial, demokrasi, energi, kesehatan, ideologi, dan lingkungan. Bidang kegiatan yang besar representasinya di media massa adalah ekonomi, yaitu 35%. Selanjutnya diikuti oleh politik 19%, keamanan 10%, olah-raga 6%, pertahanan 6%, budaya (6%), humanitarian (4%), ketimpangan sosial, demokrasi, energi dsb (4%), kesehatan (3%), ideologi (3%), dan lingkungan (3%).
29
Grafik 3.5 Bidang Kegiatan yang Diliput Media Massa
Representasi ASEAN di media massa juga dilihat berdasarkan untuk siapa kegiatan ASEAN diselenggarakan. Menurut survei dari media massa, target audiens kegiatan antara lain adalah warga umum, pengusaha, pemerintah, ilmuwan, politikus, akademisi, tentara, atlet, dan petugas regional. Sebagian besar audiens kegiatan ASEAN adalah pemerintah yang mencapai 42%, kemudian diikuti oleh warga umum sebesar 24% dan pengusaha sebesar 6%. Untuk lebih jelasnya persentase target audiens lain dapat dilihat pada Grafik 3.5 di bawah ini. Grafik 3.5 Target Audiens Kegiatan
Kesimpulan Partisipasi Publik di ASEAN Kesimpulan dari hasil survei persepsi publik Indonesia terhadap ASEAN adalah lebih dari 50% ahli menilai rendah partisipasi publik di ASEAN. Menurut analisis media, ASEAN kurang terbuka untuk warga umum. Kegiatan ASEAN tidak melibatkan dan tidak menjadikan warga 30
secara luas sebagai target dan partisipasi cenderung terbatas pada pihak tertentu. Survei terhadap warga menunjukkan bahwa lebih dari 75% warga mengaku tidak dilibatkan dalam penentuan kebijakan dan program ASEAN. Selain itu ASEAN belum menerapkan nilai-nilai institusi publik. ASEAN dinilai belum secara aktif dan representatif mempromosikan ASEAN Sebagai Institusi Publik.
31
3.2 Membangun Gerakan Sosial Masyarakat Ekonomi ASEAN Diah Pitaloka Anggota Komisi II DPR RI
Sejatinya ketika pemerintah melalui perwakilanperwakilan di forum ASEAN bicara Masyarakat Ekonomi ASEAN, maka pelibatan masyarakat di luar pemerintahan menjadi penting untuk dilakukan. Pelibatan masyarakat sekaligus bisa menjadi jalan untuk mengembalikan semangat awal, bagi integrasi masyarakat ASEAN. Membuka ruang bagi elemen-elemen gerakan sosial yang ada di ASEAN untuk ikut berpartisipasi secara aktif, tentu saja akan memperkuat tujuan pembentukan MEA yaitu mewujudkan kawasan ASEAN yang aman, stabil dan memiliki daya saing global. Minimnya pelibatan masyarakat bisa dilihat dari survei yang dilakukan Kompas terhadap responden yang tersebar di 12 kota di Indonesia. Survey menemukan bahwa 57 % masyarakat Indonesia tidak tahu MEA akan diterapkan akhir 2015. Hasil survey Pusat Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2Politik LIPI) dengan 2.509 responden di 16 kota memperlihatkan pemahaman masyarakat terhadap MEA atas dasar sekedar tahu (nice to know), ingin tahu lebih lanjut (need to know), dan berusaha merespons (need to explore) masih sangat rendah. (Kompas, 14 Desembar 2015). Bila mengacu pada semangat MEA yang menitikberatkan pada kerjasama, tentunya memperbesar partisipasi publik yang ada di ASEAN, merupakan solusi terbaik untuk menuju masyarakat ASEAN yang dicita-citakan. Memperbesar pertisipasi publik lewat elemen-elemen gerakan sosial di ASEAN yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adalah sebuah keniscayaan. Mengingat selama ini, pembahasan mengenai AFTA di ASEAN, sampai kemudian memutuskan gagasan integrasi MEA pada KTT IX ASEAN di Bali, 2003, hanya dilakukan ditingkatan elit pemerintahan. Elitisme pembahasan MEA akan semakin memberikan peluang dan menguntungkan negara-negara yang memiliki modal SDM yang terdidik, basis produksi barang yang kuat serta kelompok pemilik modal di berbagai negara di ASEAN. Elitisme pembahasan kebijakan masyarakat ASEAN hanya bertopang pada persoalan ekonomi semata, belum sungguh-sunguh untuk menerapkan kebijakan yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat yang ada di ASEAN secara keseluruhan. 32
Setelah 10 tahun partisipasi masyarakat sipil dalam integrasi ASEAN, ASEAN Peoples Forum (APF) 2015 di Malaysia, patut diapresiasi dengan adanya interface meetingantara perwakilan NGO, Business Advisory Council, Pemuda, dan Think-Tank dengan perwakilan Kepala Negara di ASEAN. Diharapkan Interface meeting bukan hanya sebagai syarat formal dalam pelibatan masyarakat di forum ASEAN. Akan tetapi kemajuan yang dicapai bisa menjadi awal untuk mendorong pemerintah di negara-negara ASEAN untuk mengimplementasikan hasil rekomendasi yang telah diputuskan bersama ASEAN peoples Forum. Mengacu pada apa yang dirumuskan oleh Charles Tilly, gerakan sosial adalah tindakan kampanye yang dilakukan secara berkelanjutan yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk mengajukan klaim atau pernyataan terhadap orang lain. Menurut Manuel Castell, sebuah gerakan paling tidak memiliki tiga syarat untuk mewujudkan gerakan sosial antara lain identitas gerakan, tujuan gerakan, dan lawan gerakan. Identitas gerakan sosial yang ada di ASEAN perlu diperkuat, sehingga menjadi kekuatan solid untuk mendorong kesadaran pemerintah akan pentingnya pelibatan masyarakat dalam proses pembahasan kebijakan masyarakat ASEAN. Identitas gerakan dengan cara menyatukan kekuatan-kekuatan dalam gerakan sosial ASEAN menjadi langkah awal sekaligus modal dasar bagi perkembangan masyarakat ASEAN secara keseluruhan. Bagi negara-negara Asia Tenggara, menyongsong Masyarakat ASEAN bukan hanya soal perdagangan dan investasi. Dalam cetak biru Masyarakat Sosial dan Budaya ASEAN tercantum bahwa proses pembangunan Masyarakat ASEAN harus disertakan dengan pembangunan intelektual. Pendidikan dalam forum masyarakat ASEAN, dibahas sebagai salah satu bagian yang masuk ke dalam pilar Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASCC). Hal tersebut dapat dilihat pada cetak biru Komunitas Sosial Budaya ASEAN 2015, yang dimaksudkan untuk memberikan pedoman (guidelines) bagi negara anggota ASEAN dalam persiapan menyongsong terbentuknya Komunitas ASEAN tahun 2015 melalui pilar sosial budaya. Karakteristik dan elemen pada cetak biru tersebut, antara lain: A. Pembangunan Manusia (Human Development) B. Perlindungan dan Kesejahteraan Sosial (Social Welfare and Protection) C. Hak-Hak dan Keadilan Sosial (Social Justice and Rights) D. Memastikan Pembangunan yang Berkelanjutan (Ensuring Environmental Sustainability) E. Membangun Identitas ASEAN (Building ASEAN Identity) F. Mempersempit Jurang Pembangunan (Narrowing the Development Gap)
33
Pendidikan Murah sampai ke Jenjang Paling Tinggi Ruang persaingan yang dibuka lebar, tentu saja juga akan membuka jurang ekonomi yang semakin dalam. Di banyak negara ASEAN, terutama Indonesia, persoalan pendidikan masih menjadi persoalan besar yang belum selesai sampai saat ini. Padahal integrasi MEA membawa dampak pemenuhan SDM di seluruh negara ASEAN yang sesuai dengan kebutuhan industri. Tidak sedikit negara di ASEAN, yang berkaitan dengan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan serta kualitas pendidikan. Di Indonesia, dengan kualitas pendidikan yang masih buruk, masyarakat juga harus dihadapi dengan biaya pendidikan yang sangat mahal. Pendidikan murah di Indonesia baru sebatas biaya sekolah, belum pada biaya-biaya pendukung lain, itu pun baru dinikmati dari tingkat SD sampai SMU. Dengan penerapan MEA, kebutuhan pendidikan yang murah dengan kualitas baik menjadi penting dilakukan bukan hanya pada tingkat SMU, akan tetapi sampai jenjang perguruan tinggi setingkat doktoral. China sebagai salah satu negara dengan PDB terbesar kedua di dunia, menerapkan pendidikan murah tidak hanya di tingkat dasar, tapi juga sampai tingkat paling tinggi. Maka, menjadi tidak heran, Berdasarkan data Kementrian Pendidikan China tahun 2011 , jumlah mahasiswa asing di China sebanyak 292.611 dari 194 negara, termasuk mahasiswa Indonesia. Dengan biaya yang hanya 20 juta/tahun, mahasiswa asing sudah bisa mendapatkan kualitas pendidikan dengan fasilitas dan kualitas pendidikan yang sangat baik. Bagi mahasiswa lokal (china) biaya sebesar itu masih tergolong sangat mahal, ditunjang dengan asrama, laboratorium, perpustakaan dan buku pelajaran. Salah satu hambatan yang dimiliki Indonesia adalah mutu pendidikan tenaga kerja masih rendah, berdasarkan data pada Febuari 2014 jumlah pekerja berpendidikan SMP atau dibawahnya tercatat sebanyak 76,4 juta orang atau sekitar 64 persen dari total 118 juta pekerja di Indonesia. Menurut data BPS, penambahan tenaga kerja lulusan dari tahun ke tahun untuk diploma/universitas hanya sebesar 0,5 %/tahun. Tabel 3.2 Tingkat Pendidikan di Indonesia
34
Data jumlah tenaga kerja dengan pendidikan yang rendah pada dasarnya tidak hanya di alami Indonesia. Hal ini tentu saja menjadi perhatian kita semua sebagai kekuatan penyeimbang untuk mendorong integrasi masyarakat ASEAN tidak hanya menguntungkan segelintir orang saja. Akan tetapi benar-benar bisa dirasakan bagi semua orang di ASEAN. Akses pendidikan yang murah sampai ke perguruan tinggi diharapkan menjadi salah satu agenda pemerintah ASEAN untuk membangun masyarakat ASEAN yang lebih baik. Deklarasi ASEAN untuk penguatan kerjasama pendidikan yang saling peduli dan berbagi diharapkan bisa efektif untuk dijalankan. Keberadaan badan SOM-ED+3 (ASEAN plus Three Senior Officials Meeting on Education) dan ASED (ASEAN Education Minister Meeting) tidak akan berarti banyak ketika masing-masing negara menjadikan fourm ASEAN hanya sebatas ruang diskusi semata. Dibutuhkan aksi nyata untuk mengembangkan pendidikan Masyarakat ASEAN. Upaya membentuk ASEAN Credit Transfer System (ACTS) dibawah ASEAN University Network (AUN), yaitu sistem yang bertujuan untuk meningkatkan mobilitas, mempermudah akses pendidikan, dan memfasilitasi mahasiswa dan akademisi yang ingin melanjutkan pendidikan di universitas negara anggota ASEAN diharapkan membuka peluang terjadinya pertukaran pelajar secara massif. Kelemahan SDM di Indonesia secara jelas tergambar melalui jumlah insinyur Indonesia yang masih minim untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Menurut Project Management Institute, Indonesia memerlukan penambahan insinyur sebanyak 65.000 orang, sedangkan penambahan tenaga insinyur Indonesia hanya sebesar 36.000 orang. Menurut ASEAN Federation of Engineering Organisations (AFEO), jumlah insinyur profesional Indonesia hanya sekitar 9.000 orang. Jumlah itu masih lebih sedikit jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia (11.170 orang), Thailand (23.000 orang), dan Filipina (14.250 orang). Tak hanya itu. Secara kualitatif, tenaga insinyur profesional Indonesia masih sedikit yang memenuhi standar Mutual Recognition Arrangements (MRA) – standar yang bertujuan mengurangi hambatan teknis perdagangan jasa dan menentukan persyaratan umum liberalisasi sektor jasa di kawasan ASEAN. Dalam kerangka MRA ini, jumlah insinyur Indonesia yang sudah diakui sebagai insinyur profesional dan bisa berpraktik di negara ASEAN lainnya, diperkirakan hanya sekitar 0.03 % dari total insinyur asal Indonesia. Sumber: 1. G.T. Suroso, Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dan Perekonomian Indonesia. 2. Direktorat Kerjasama ASEAN, Potret Daya Saing Insinyur Indonesia: Membidik Peluang MEA, Masyarakat ASEAN, edisi 7 Maret 2015.
35
3. Gerakan Sosial Pemuda berbasis “Asian Values” dalam rangka mewujudkan Integrasi Sosial Masyarakat ASEAN. 4. 292.611 Mahasiswa Asing "Menyerbu" China (Kompas.com, 5 April 2012). 5. Gerakan Sosial Dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan Untuk Menghadapi Komunitas ASEAN 2015. 6. Negara-negara ASEAN Ini Kekurangan Tenaga Kerja (Tempo.Co, 16 Desember 2015).
36
3.3Realita dan Tantangan Bagi Terlindungi dan Terpenuhinya Hak-Hak Buruh Migran Indonesia di ASEAN Anis Hidayah Direktur Esekutif Migrant Care
Pertanyaan reflektif yang penting segera dijawab adalah ASEAN itu siapa? Secara entitas politik dan rasa ke-ASEAN-an atau kepemilikan kita terhadap regionalitas, apakah sudah kita rasakan sebagai bagian dari masyarakat ASEAN? Pertanyaan ini perlu disampaikan terutama kepada kelompok-kelompok yang ada diakar rumput seperti buruh, buruh migran, petani, nelayan dan lain sebagainya. Ada tidak rasa atau jiwa mereka memiliki ASEAN? Apa sebenarnya manfaat ASEAN? Nyata atau tidak ataukah masih semu? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu untuk direfleksikan. Apalagi jika kita berbicara mengenai isu fundamental menyangkut perempuan dan hak asasi manusia.Isu-isu ini masih merupakan retorika yang dibicarakan di ASEAN. ASEAN itu elitis. Yang sangat nyata adalah ASEAN merupakan salah satu kawasan bagian dari jaring labalaba dimana perdagangan manusia dan narkoba berlangsung. Dalam praktek tersebut banyak pelanggaran HAM, yang salah satu di dalamnya adalah buruh migran Indonesia. Pelanggaran HAM dan kerentanan yang dihadapi buruh migran, terutama yang perempuan skalanya masif, tetapi itu pun belum menyentuh elit politik ASEAN untuk membicarakannya secara gamblang. Soal hukuman mati misalnya, di Malaysia saja sampai 2015 masih ada 212 buruh migran kita yang terancam dihukum mati, termasuk di dalamnya mereka yang menjadi korban trafficking dan narkoba. Kemudian juga perbudakan terhadap PRT migran, selama puluhan tahun kasus pelanggaran HAM dan perbudakan dihadapi oleh PRT migran di ASEAN terutama Malaysia dan Singapura. Faktanya sepuluh tahun terakhir hanya dua kasus saja yang tercatat di Migran Care dimana pelaku penyiksa pekerja Indonesia berhasil dijatuhi hukuman berat. Bagaimana kasus yang lainnya? Penyiksaan PRT masih terus ada sampai sekarang. Kita sebagai negara yang juga mempekerjakan PRT belum mempunyai regulasi. Berbicara tentang undocumentedmigrant workers, fenomena deportasidan juga kapal tenggelam merupakan isu-isu yang masih mengkhawatirkan. Apabila kita mendengar berita kapal tenggelam, biasanya yang menjadi korban adalah undocumented migrant workers karena 37
kapal menjadi satu-satunya jalan keluar bagi mereka. Secara identitas politik, para WNI sering disebut sebagai pendatang haram. Dari tahun 2007-2014 sekitar 177 buruh migran Indonesia ditembak mati oleh polisi dan tidak ada satupun yang ada proses hukumnya. Padahal hampir semua kasus menyatakan itu salah tembak. Soal anak-anak yang akses pendidikannya sampai hari ini belum ada jaminan. Dari sekitar 53.000 orang di Malaysia timur, Sabah, Sarawak, baru sekitar 5.300 yang terserap community learning center yang dibuat oleh pemerintah Indonesia. Rangkaian ini semakin menegaskan bahwa di ASEAN ekonomi dan keamanan global lebih menjadi agenda dominan dibandingkan isu HAM, buruh migran, perempuan, dan lain-lain. Masyarakat sangat memberikan dukungan kepada Mary Jane, buruh migran asal Filipina yang hampir dieksekusi mati di Indonesia. Sebelumnya Wilfrida juga mengalami kasus yang sama. Buruh migran adalah bagian dari masyarakat ASEAN, ketika mereka mengalami ketidakadilan, pelanggaran HAM, dan terancam hukuman mati, bagaimana posisi ASEAN? Selain itu masih ada isu perendahan martabat manusia yang bekerja sebagai PRT migran Indonesia di beberapa Negara ASEAN. Misalnya, Malaysia telah berkali-kali berani melakukan perendahan martabat PRT. Pada tahun 2015 muncul iklan robot yang digunakan agar tidak perlu merekrut PRT dari Indonesia. Beberapa tahun sebelumnya juga ada iklan rekrutmen TKI diobral sekitar 40%. Iklan Malaysia merendahkan martabat PRT Indonesia. Indonesia sebagai bagnsa yang berdaulat dilecehkan oleh salah satu negara anggota ASEAN. Platform perlindungan domesticworkers sampai sekarang baru Filipina yang meratifikasi konvensi ILO 189. Sampai saat ini posisi Indonesia belum jelas apakah akan meratifikasi konvensi tersebut atau tidak. Selama 8 tahun dokumen ASEAN Declaration on Promotion and Protection the Right of Migrant Workers yang selalu dihormati di mana-mana, seperti tidak memiliki nyawa karena seluruh negara anggota ASEAN tidak patuh dan tunduk terhadap deklarasi ini. Maka sangat penting untuk menegaskan framework ASEAN untuk perlindungan buruh migran. Ratifikasi konvensi ASEAN untuk buruh migran perlu untuk dilakukan. Konvensi ASEAN untuk buruh migran jangan maju mundur.
38
3.4 Potret HAM di Kawasan Asia Tenggara Puri Kencana Putri Koordinator KontraS
Dalam melihat karakteristik HAM di kawasan Asia Tenggara, hendaknya perhatian diberikan terhadap beberapa hal penting: • Timor Leste adalah bagian kawasan yang memiliki karakteristik unik akan HAM tersendiri, untuk itu kehadirannya • Kawasan Asia Tenggara erat dengan kolonialisme dan konsep kedaulatan serta menjunjung tinggi prinsip non-intervensi. Kawasan ini juga menginginkan penguatan integritas, mencapai menuju perdamaian dan stabilitas. Perkembangan HAM di kawasan Asia Tenggara mengalami pasang surut. Di tahun 1993 Indonesia membentuk Komnas HAM walapun masih menganut pemerintahan despotism dan otoritarian. Di pertengahan tahun 1990an ASEAN masih berkiblat pada glorifikasi Asian Valuesyang lebih tinggi derajatnya dari universalisme HAM dan minimnya advokasi tentang HAM. Penguatan dukungan terhadap HAM muncul di awal tahun 2000an, walupun mendapat pertentangan dari negara otoritarianisme monarki. Perkembangan di pertengahan 2000an masih sangat terbatas, kondisi cenderung stagnan dengan munculnya kudeta rezim militer serta menguatnya rezin otoritarian. Profil CSO menguat di pertengahan tahun antara 2010-2015 dengan proliferasi isu di buruh migran, pencari suaka dan hak-hak minoritas. Walaupun isu HAM sering menjadi retorika semata. Komitmen internasional HAM pada umumnya berbentuk deklarasi, sehingga tidak bersifat memaksa kepada negara yang menandatangani deklarasi tersebut. Profil negara di Asia Tenggara terhadap komitmen internasional sangat beragam. Indonesia dan Kamboja berada di posisi terdepan di dalam upaya penanggulangan HAM. Sementara itu negara seperti Burma, Brunei Darussalam, Malaysia dan Singapura berada di posisi terbelakang terkait dengan upaya ratifikasi komitmen HAM internasional.
39
Gambar 3.2 Perkembangan HAM di Asia Tenggara •Penguatan dukungan HAM, mendukung peran NHRI, namun ada keengganan dan penolakan dari negara otoritarianisme monarki
•Regimentasi pro demokrasi dan HAM (Filipina) •Dukungan Asian Values (9 negara lainnya)
•Retorika HAM, kecenderungan CSOs menguat, proliferasi isu HAM – buruh migran, pencari suaka, hak-hak minoritas
Medio 1990an
Awal tahun 2000-an
Medio 20102015
Pertengahan medio 2000-an
•Kondisi tidak banyak berubah, cenderung stagnan, kudeta militer, menguatnya rezim otoritarian
Analisa deklarasi menunjukkan bahwa banyak negara Asia Tenggara yang belum menandatangani Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Kovenan Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR). Isu bebas dari rasa takut, isu bebas berekspresi dan isu impunitas masih menjadi permasalahan HAM besar di kawasan Asia Tenggara. Indonesia sendiri bahkan belum mampu menjawab isu impunitas. Argumen lemahnya rezim HAM di kawasan ini didukung oleh penelitian yangdilakukan oleh Freedom House (2015). Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa negara-negara di Asia Tenggara secara mayoritas masih berstatus ‘partly free’. Dua negara (Burma dan Laos) masih berada dalam status tidak bebas yang ditandai dengan masih berlakunya rezim anti-HAM. Rezim HAM belum sepenuhnya terbangun di kawasan Asia Tenggara. Isu sipil dan politik belum menjadi konsiderasi umum publik seperti di negara Laos dan Burma.Rezimanti HAM masih terdapat di Thailand dan Kamboja. Pembatasan diskursus ‘Freedom’ dan ekspresi gramatikal dan jurnalis masih dapat ditemui di Singapura dan Brunei. Walaupun telah menjadi bagian dari konstitusi,di Indonesia masih terdapat hukuman mati danpraktik yang membelenggu kebebasan beragama. Dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya, pengarusutamaan konsep “bread before freedom’ masih diutamakan sehingga memicu konflik 40
dan kekerasan di sektor lahan, maupun kekerasan kelompok buruh dan pekerja. Dilema pembangunan ekonomi dan akuntabilitas serta pertanggungjawaban HAM masih sering terjadi. Rezim HAM mengindikasikan perlunya keseimbanganan antara HAM dengan pembangunan ekonomi. Tabel 3.3Rezim HAM Internasional di Asia Tenggara Negara
ICCPR
ICESCR
CAT
CEDAW
ICERD
CED
CMW
CRPD
CRC
Burma
v
v
v
Brunei
v
s
v
v
v
v
FIlipina
v
v
v
v
v
Indonesia
v
v
v
v
v
s
v
v
v
Kamboja
v
v
v
v
v
v
s
v
v
Laos
v
v
v
v
v
s
v
v
Malaysia
v
v
v
Singapura
v
v
v
v
v
s
v
Thailand
v
v
v
v
v
Vietnam
v
v
v
v
v
Timor Leste
v
v
v
v
v
s
v
v
Peta politik diplomasi HAM di kawasan Asia Tenggara dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Masih mengedepankan pendekatan konservatif dan non-konfrontasi melalui doktrin non intervensi untuk menghindari naming and shaming serta politik abstain. 2. Lemahnya mekanisme regional HAM di kawasan. AICHR masih disinyalir belum efektif. Dilema yang dihadapi lembaga ini adalah apakah mengedepankan pendekatan pro-HAM atau pro-elit. Isu HAM bersifat tidak universalis dan hanya dibicarakan pada level minimalis bilateral. Masih ada tendensi negara untuk menggunakan argument kepentingan nasional guna menghindarkan mekanisme HAM internasional. 3. Diplomasi HAM yang bersifat tidak statis. Terdapat negara seperti Filipina yang progressif di dalam upaya penanggulangan HAM yang dapat dijadikan mitra Indonesia di dalam mendorong isu perlindungan HAM. Beberapa keprihatinan di masa mendatang, terkait dengan HAM diantaranya ialah penggunaan pendekatan partikularisme di dalam mempertahankan argumentasi tren politik HAM ketimbang kultural, terjadinya defisit HAM akibat melemahnya agenda politik kewargaan 41
yang muncul dari minimnya informasi warga tentang HAM dan penggunaan kosa-kata/definisi HAM yang hanya sesuai dengan tujuan kelompok elit. Warga masih sangat rentan untuk mendapatkan kriminalisasi termasuk pembatasan hak-hak asasi dibalik argumentasi tentangpembangunan/standar relijius/pseudo nasionalisme. Perlindungan HAM secara minimalis masih akan menjadi agenda business as usual apabila modalitas, komitmen dan ruang pertanggungjawaban minim dilakukan oleh elit (negara/non-negara). Negara haruslah dipahami setara dengan masyarakat dalam ruang partisipasi publik. Dalm hal ini CSO memiliki modalitas dalam upaya perlindungan manusia dengan bergerak dalam usaha penyediaan ruang publik.
42
3.5 Pentingnya Kolaborasi CSO, Negara dan ASEAN dalam Penegakan HAM di Asia Tenggara Roichatul Aswidah Komisioner Komnas HAM
Tantangan HAM yang dihadapi dewasa ini sangatlah besar.Mulai dari tantangan yang bersifat tradisional dari sisi Hak Asasi Manusia seperti freedom yang wajib dilindungi oleh negara terhadap masyarakatnya. Negara ditantang untuk melaksanakan kewajibannya untuk respect, protect, fulfill HAM. Tantangan ini menjadi semakin kompleks lagi dengan perkembangan ASEAN dalam mewujudkan Masyarakat Ekonomi ASEAN, single community of ASEAN.Bagaimana negara dapat melindungi warga negaranya dari praktik korporasi baik di dalam negara maupun lintas negara? Tantangan tersebut sudah sangat dekat dan nyata. Sebagai contoh adalah kasus Benjina. Kasus ini merupakan trafficking dari Kamboja ke Myanmar, di mana korban diganti identitasnya dan ditandai, sebelum kemudian diperdagangkan ke Indonesia. Berbulan-bulan hingga bertahun-tahun di Indonesia, hingga ada yang mati. Dan itu pelakunya adalah korporasi. Minimal ada tiga negara yang ditantang untuk melindungi hak asasi manusia dalam kasus ini, yaitu Myanmar, Kamboja, dan Indonesia. Dengan perkembangan ASEAN, muncul kekhawatiran akan terjadi lagi kasus-kasus seperti Benjina. Atau sekarang-sekarang sebenarnya bahkan sedang terjadi situasi seperti itu. Ini menunjukkan bahwa tantangan perlindungan HAM sudah begitu besar dari hal yang sangat tradisional. Indonesia sendiri sebetulnya berhadapan dengan masalah besar seperti isu migran, perbudakan, trafficking sampai dengan perbudakan seperti yang terjadi di Benjina. Yang kedua adalah sejauh mana infrastruktur HAM di ASEAN bisa membawa kita bisa melindungi warga negara Indonesia dan seluruh masyarakat ASEAN. Infrastruktur HAM yang dimiliki ASEAN saat ini masih belum kuat. AICHR masih jauh dari ideal untuk menjalankan fungsinya, di mana dimensi proteksinya masih sangat lemah. Masing-masing negara ASEAN memiliki perbedaan yang sangat besar menyangkut kemampuan mekanismenya untuk melindungi warga negaranya. Indonesia memang sudah relatif maju dengan Komnas HAMnya.Tidak semua negara di ASEAN memiliki Komnas HAM. Hanya separuh yang memiliki sementara yang lain tidak memiliki. Jadi masing masing memiliki infrastruktur yang timpang, berbeda beda. Itu secara nasional. 43
Indonesia juga sudah meratifikasi hampir semua instrumen HAM; minimal delapan instrument sudah diratifikasi. Negara-negara lain bahkan jauh tertinggal dari Indonesia. Dua konvensi yang hampir diratifikasi oleh semua negara ASEAN adalah CEDAW dan CRC. Ketimpangan juga terjadi antara Indonesia secara nasional dengan ASEAN secara kolektif, yang juga masih sangat timpang. Sementara problem yang harus dijawab adalah nasional, masing masing negara harus menjawab problem nasionalnya sendiri. Plus yang kedua, sebagai ASEAN dia harus menjawab problem di ASEAN, yang harus dijawab secara kolektif. Karena terjadi transmigrasi, trans trafficking in person itu lintas/transborders, yang tidak dapat dijawab oleh Indonesia saja, Indonesia harus bekerja sama dengan negara-negara lain, seperti misalnya Myanmar. Kesulitannya yang nyata adalah bahwa Myanmar tidak mau bekerja-sama dengan Indonesia. Maka itu isunya menjadi bagaimana mengembangkan kerjasama yang efektif. Orangnya dari Myanmar, orangnya dari Kamboja, bermasalah di Indonesia atau Malaysia. Masalah seperti ini harus dijawab secara bersama sama. Sehingga untuk penanganannya, setidaknya ada beberapa layers, tingkatan masalah yang kemudian harus dijawab, dengan infrastruktur yang tidak cukup. Kita harus mengakui bahwa infrastruktur untuk menangani isu kolektif tidak cukup kuat. Lalu yang ketiga, kalau memang masalahnya adalah lemahnya infrastruktur untuk menangani isu lintas batas, lalu bagaimana menanganinya? Harapan yang bisa dilakukan adalah perlunya partisipasi publik. Negara-negara perlu bekerja sangat dekat dengan kasus-kasus itu. Partisipasi publik harus bekerja. Kalau tidak ada Komnas HAM di negara lain, maka CSOnya yang harus bekerja. Dan bekerjanya harus dekat dengan kasus-kasus tersebut. Dengan gerakan dari bawah itulah, perubahan pada tingkat atas akan terjadi. Perubahan ini akan menajamkan sistem infrastruktur ASEAN. ASEAN mengatakan bahwa dalam pengembangan masyarakat ekonomi ASEAN, prinsip kedaulatanekonomi sudah dikompromikan. Pertanyaannya adalah mengapa kompromi untuk isu hak asasi manusia tidak mau? Sementara hak asasi manusia menanggung dampak dari lalu lintas finansial dan pergerakanmanusia. Artinya kita juga harus menantang bagaimana prinsip non-intevensi dan prinsip kedaulatan dalam upaya menegakkanhak asasi manusia. Harapan kita adalah pada kawankawan masyarakat sipil, dari partisipasi publik yang sungguh kuat untuk kemudian kemudian menantang, menajamkan infrastruktur hak asasi manusia di ASEAN.
44
IV. ASEAN dan Partisipasi Publik
Sesi kedua memberikan perhatian pada pertanyaan sejauh mana kelembagaan ASEAN sebagai lembaga publik regional telah terbuka dan berkelanjutan. Dua pembicara pertama memaparkan temuan riset dan rekomendasi INFID. Dilanjutkan dengan paparan tentangstrategi diplomasi Indonesia untuk mendorong terwujudnya kelembagaan ASEAN. Paparan dilanjutkan dengan presentasi tentang evaluasi Engagement CSO di Asia Tenggara dengan ASEAN, dan tentang Peran Pemuda dalam Mengkawal ASEAN yang Inklusif. Sesi presentasi ditutup dengan paparan penanggap yang menyampaikan gagasannya tentang Komunitas ASEAN dan Partisipasi Publik. Para pembicara dan penanggap mensharingkan keprihatinan bahwa partisipasi publik dalam ASEAN masih sangat terbatas, sekalipun mereka mengakui terdapat keinginan di antara pemimpin-pemimpin ASEAN untuk memberikan ruang bagi partisipasi tersebut.Partisipasi tersebut juga diakui sangat vital untuk semakin memperkuat legitimasi ASEAN dan sekaligus mendorong engagement masyarakat ASEAN secara lebih luas dan efektif. Namun, pelembagaan ruang partisipasi di ASEAN masih cenderung artifisial, di mana aspirasi dari masyarakat dan CSO belum benar-benar dapat menjadi bagian yang terintegrasi dengan proses formal ASEAN. ASEAN masih merupakan lembaga yang elitis, yang masih enggan untuk memberi ruang yang luas bagi keterlibatan warganya. Karena itu, ASEAN harus menjadikan pelembagaan partisipasi publik sebagai agenda ASEAN untuk benar-benar mewujudkan visi ASEAN 2025 yang menekankan keseimbangan antara dimensi ekonomi dan dimensi sosial dan HAM.
45
4.1 Paparan Temuan Riset dan Rekomendasi INFID Mugiyanto Senior Program Officer HAM dan Demokrasi INFID
Riset dengan tema ASEAN yang inklusif dilakukan pada pertengahan tahun 2015 yang lalu. Riset ini meninjau sejauh mana peluang partisipasi publik diakomodasi oleh ASEAN. Partisipasi publik tersebut harus meaningful dan tidak hanya sekedar mengundang masyarakat dan CSO untuk terlibat. Partisipasi publik yang baik seharusnya mampu menampung, menyerap dan menjadikan aspirasi dari masyarakat dan CSO sebagai bagian dari dokumen yang dihasilkan oleh negaranegara ASEAN. Riset ini bertujuan untuk memberikan masukan bagi Pemerintah Indonesia dalam membuat perumusan Visi ASEAN 2015-2025. Hasil riset ini, sudah diserahkan kepada pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri pada bulan Juli 2015 dan dokumennya diadopsi pada bulan November 2015. Ada beberapa poin yang menjadi temuan dari hasil riset tersebut, yang akan dipaparkan secara lebih detil oleh pembicara berikutnya. Berdasarkan temuan tersebut dirumuskanlah tujuh poin rekomendasi INFID untuk ASEAN yang terbuka dan inklusif, yaitu: 1. ASEAN segera mengevaluasi paradigma usang yang membelenggu ruang gerak, khususnya prinsip-prinsip non-interference, konsensus, serta “ASEAN Way” yang absurd. 2. ASEAN harus memperkuat mandat AIHCR, terutama dengan kewenangan perlindungan HAM. 3. ASEAN segera melembagakan ruang partisipasi publik yang terbuka dan inklusif 4. ASEAN segera membentuk Kelompok Kerja Khusus untuk mempelajari dan menyiapkan dukungan bagi penerapan UN Guiding Principles o Business and Human Rights. 5. ASEAN harus terlibat dalam melaksanakan target-target pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), terutama tujuan no 16, yaitu tata pemerintahan dan institusi publik yang inklusif dan damai. 6. ASEAN harus mendorong dan terlibat mewujudkan tiga elemen pemerintahan terbuka (open government), yaitu: a) Kebebasan informasi publik; 46
b) Keterbukaan dan pengungkapan aset pejabat Negara; c) Partisipasi warga yang bermakna dan terlembaga. 7. ASEAN segera menyiapkan kebijakan dan regulasi untuk mendorong dan memajukan pelaksanaan Human Right Cities di seluruh kota-kota besar ASEAN. Riset ini juga menekankan pentingya pemerintah Indonesia untuk lebih engage dan yakin dalam menginisiasi dan mendorong kebijakan ASEAN untuk lebih pro terhadap isu HAM. Pemerintah juga hendaknya menjadikan CSO dan masyarakat sebagai mitra bukan sebagai ancaman atau sebagai pengkritik seperti anggapan lama terhadap CSO atau masyarakat. Indonesia lebih maju dalam hal keterbukaan dan pengakuan HAM di antara negara-negara ASEAN yang lain, sehingga jangan sampai Indonesia menurunkan standar terkait keterbukaan dan perlindungan HAM.
47
4.2 Melembagakan Partisipasi Warga dalam Komunitas ASEAN dalam Kerangka Pemenuhan Hak Asasi Manusia dan Keadilan Sosial Daniel Hutagalung Universitas Indonesia/Periset INFID
Membangun keseimbangan komunitas tidak hanya dilakukan dengan mengejar pertumbuhan ekonomi,tetapi juga dengan keseimbangan sosial dan HAM.Oleh sebab itu diperlukan upaya pelembagaan partisipasi warga di dalam komunitas ASEAN. Kerangka penelitian yang digunakan mencoba melihat sejauh mana publik dapat terlibat dalam pembuatan kebijakan secara formal melalui pembentukan suatu lembaga (bentuk baku) sebagai ruang akomodasi partisipasi publik dalam ASEAN. Penelitian mengenai partisipasi warga dilakukan melalui beberapa tahap: Tahap awal menilik pendekatan konseptual dimana kerangka theoritis yang digunakan dalam melihat partisipasi warga berangkat dari tiga konsep kewargaan menurut J.G.A Pocock (1995) dan Jean L. Cohen (1999) 1. Kewargaan merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari prinsip politik dalam demokrasi. Ini dimaknai sebagai aktivitas atau tindakan untuk terlibat dalam proses diperintah atau pun memerintah secara setara. Dalam prinsip ini warga aktif di dalam kehidupan publik, berpartisipasi di dalam pengambilan keputusan, serta yang terpenting memperjuangankan kebaikan umum sebagai kerangka bersama. Konsep ini menekankan kesetaraan politik dan partisipasi sebagai pusat dan karakter dasar kewargaan 2. Kewargaan merupakan status yuridis individu sebagai subyek hukum sekaligus berbagai keistimewaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban di dalamnya (juridical status of legal personhood). Kewargaan sebagai status yuridis individu melihat warga sebagai subyek hukum dengan kebebasan yang diberikan oleh hukum dan dilindungi oleh hukum. 3. Kewargaan sebagai bentuk keberanggotaan dalam suatu komunitas dengan basis ikatan sosial yang khas. Kewargaan sebagai keberanggotaan di dalam suatu komunitas memberikan dimensi ekslusif atas konsep warga, karena dalam pandangan ini 48
kewargaan membentuk identitas dan ikatan khusus yang lebih tertutup. Kewargaan juga diafirmasi dalam arti bahwa warga adalah juga orang-orang dan berasosiasi dengan orang-orang lain untuk memiliki suara dan melakukan tindakan dalam membangun dunia sebagai tempat di mana mereka hidup Tahap kedua melihat sejauh mana ASEAN secara resmi mengintegrasikan konsep partisipasi warga ke dalam dokumen panduan ASEAN. Hal ini menggambarkan apakah ASEAN ‘ramah’ terhadap upaya pengelolaan dan keikutsertaan masayarakat. Secara konseptual, peran sentral rakyat didokumentasikan dalam dokumen ASEAN, utamanya dalam ASEAN Charter dan ASCC Blueprint. Hal ini semakin ditekankan dalam Nay Piy Taw Declaration yang menyatakan bahwa ASEAN merupakan komunitas yang berorientasi dan berpusat pada rakyat. Tabel 4.1 Norma Demokrasi dalam Dokumen ASEAN. Memperkuat demokrasi, meningkatkan tatakepemerintahan yang baik dan aturan hukum, dan memajukan serta melindungi hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan fundamental, dengan memperhatikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari negara-Negara Anggota ASEAN; Memajukan ASEAN yang berorientasi kepada rakyat yang di dalamnya seluruh lapisan masyarakat didorong untuk berpartisipasi dalam, dan memperoleh manfaat dari, proses integrasi dan pembangunan komunitas ASEAN; ASEAN sebagai komunitas yang berorientasi pada rakyat, berpusat pada rakyat, melibatkan diri secara aktif dengan seluruh pemangkukepentingan yang relevan. Tujuan pokok dari ASCC adalah memberikan sumbangan bagi tercapainya Komunitas ASEAN yang berorientasi kepada rakyat dan secara sosial bertanggungjawab terhadap pencapaian solidaritas dan kesatuan yang langgeng di antara bangsa-bangsa dan rakyat ASEAN dengan membentuk identitas bersama dan membangun masyarakat inklusif dan harmonis yang saling peduli serta berbagi, di mana kebahagian, penghidupan, dan kesejahteraan rakyat meningkat. ASCC mempertimbangkan sejumlah karakteristik: (a) Pembangunan Manusia; (b) Kesejahteraan dan Perlindungan Sosial; (c) Keadilan Sosial dan Hak-hak; (d) Menjamin Keberlanjutan Lingkungan; (e) Membangun Identitas ASEAN; (f) Mempersempit Jurang Pembangunan. Untuk menanamkan idenitas ASEAN dan membangun ASEAN yang berorientasi kepada rakyat di mana rakyat merupakan pusat pembangunan komunitas, melalui partisipasi di seluruh sektor masyarakat.
ASEAN Charter Artikel 1.7
ASEAN Charter Artikel 1.13 Nay Pyi Taw Declaration ACSC Blueprint II.4
ASCC Blueprint II.9
ASCC Blueprint II.E4.46
49
•
Melibatkan organisasi-organisasi non-pemerintah yang berafiliasi di dalam ASEAN dalam proses pembangunan Komunitas ASEAN (ASCC Blueprint II.E4.46.i • Mempertemukan Forum Sosial ASEAN (ASEAN Sosial Forum) dan Masyarakat Sipil ASEAN (ASEAN Civil Society Conference) setiap tahunnya untuk mencari dialog efektif, konsultasi, dan kerjasama yang paling baik di antara ASEAN dan masyarakat sipil ASEAN (ASCC Blueprint II.E4.46.ii) Dewan Komunitas Sosial-Budaya ASEAN (The ASEAN Socio-Cultural Community Council) sebagai penanggungjawab atas semua implementasi dari Cetakbiru ASCC, dan harus memastikan koordinasi semua upaya yang dilakukan di bawah bidang tanggungjawabnya, sebagaimana juga yang berkaitan dengan Dewan-Dewan Komunitas lainnya.
ASCC Blueprint II.E4.46.i ASCC Blueprint II.E4.46.ii
ASCC Blueprint III.A.1
Terlepas dari komitmen tertulis yang dikumandangkan oleh ASEAN akan peran sentral rakyat di dalam tata kelola regional, belum terdapat langkah riil untuk mengimplementasikan komitmen tersebut. Pada tahap ketiga, dengan menggunakan pendekatan komparasi atas mekanisme partisipasi publik lembaga-lembaga intra regional lainnya, yaitu: PBB, Uni Eropa dan OECD, ditemukan bahwa ASEAN tidak memiliki mekanisme partisipasi publik resmi dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan. Akreditasi Lembaga Mitra ASEAN yang merupakan salah satu jalur utama untuk mengintegrasikan publik ke ASEAN secara formal, belum dapat menampung partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan. Diskursus mengenai people centredness sebagai upaya untuk partisipasi publik hanya terjadi dalam konsep jargon dan tataran konseptual. Hal ini sangat disayangkan mengingat keterlibatan warga dapat memberikan kontribusi positif bagi ruang regional, yang meliputi : 1. Transparansi, berarti bahwa partisipasi warga akan membawa ke arah transparansi yang lebih baik, sebagaimana warga memahami bagaimana ASEAN menjalankan fungsinya; 2. Akuntabilitas, yang akan mendorong proses pembuatan keputusan menjadi subyek yang berada dalam kontrol publik; 3. Legitimasi yang akan membuat setiap keputusan yang diambil dengan melibatkan lebih banyak pihak dan warga akan menghasilkan tingkat legitimasi yang lebih tinggi; 4. Kualitas.Secara pasti setiap partisipasi publik akan menghasilkan berbagai penelitian mengenai jumlah orang yang besar, yang memungkinkan munculnya pertimbangan atas pelbagai kemungkinan, dan untuk memperoleh dan menghasilkan informasi serta pengetahuan baru;
50
5. Efektivitas yang berarti partisipasi warga yang luas akan menghasilkan penerapan dan ketaatan pada hukum dan aturan. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa ASEAN memiliki hasrat untuk memberikan ruang bagi partisipasi publik. Namun mekanisme riil belum terfasilitasi dengan baik. Salah satu cara yang dapat ditempuh oleh ASEAN ialah mengambil lesson learned dari lembaga lainnya dalam melembagakan mekanisme partisipasi publik di kawasan.
51
4.3 Strategi Diplomasi Indonesia dalam Kebijakan Kelembagaan ASEAN Renata Siagian Kasubdit. Hukum dan HAM Kantor Kerjasama ASEAN Kementrian Luar Negeri RI
Hasil survei yang menunjukkan rendahnya kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap ASEAN memang sudah dapat diduga. Harus pula diakui bahwa promosi ASEAN lebih banyak menjurus ke Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Kita perlu melihat latar belakang dari pembentukan ASEAN untuk mengetahui mengapa MEA lebih maju apabila dibandingkan dengan kedua pilar yang lain. Kalau kita lihat, pembentukan ASEAN pada tahun 1967 lebih merupakan lembaga yang dibentuk untuk melakukan konsolidasi ke dalam. Sebelum pembentukan ASEAN, negara-negara ASEAN ini sering mengalami konflik dan ketegangan antar negara anggota sendiri. Untuk mendamaikan negara-negara yang berkonflik tersebut, dicarilah suatu bentuk kerjasama yang non-politis karena isu yang politis akan sangat sensitif. Maka dari itu dipilihlah isu ekonomi karena ekonomi itu adalah isu yang menjadi tujuan dari suatu negara atau masyarakat dan itu dapat menjadi tujuan bersama negara-negara ASEAN. Sebelumnya Indonesia sudah berusaha memasukkan isu politik sejak lama namun baru pada tahun 2007 isu-isu baru mulai diadopsi dalam Piagam ASEAN yang mendorong transformasi ASEAN. Dahulu ASEAN adalah asosiasi yang sifatnya longgar dan tidak mengikat. Oleh karena itu ASEAN diupayakan untuk menjadi asosiasi yang lebih mengikat melalui Piagam ASEAN. Piagam ASEAN membuat Masyarakat ASEAN tidak hanya berorientasi terhadap isu ekonomi saja, tetapi juga isu politik keamanan, sosial dan budaya. Tujuan dan prinsip ASEAN, dalam Piagam ASEAN sudah mulai memasukkan isu nonpolitik dan keamanan seperti HAM, sosial dan budaya. Tujuan ASEAN sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Piagam ASEAN adalah: ■ Memelihara dan meningkatkan perdamaian, keamanan, dan stabilitas serta lebih memperkuat nilai-nilai yang berorientasi pada perdamaian di kawasan ■ Meningkatkan ketahanan kawasan dengan memajukan kerja sama politik, keamanan, ekonomi, dan sosial budaya yang lebih luas
52
■ Mengurangi kemiskinan dan mempersempit kesenjangan pembangunan di ASEAN melalui bantuan dan kerja sama timbal balik ■ Memperkuat demokrasi, meningkatkan tata kepemerintahan yang baik dan aturan hukum, dan memajukan serta melindungi hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan fundamental, dengan memperhatikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari negaranegara Anggota ASEAN ■ Memajukan identitas ASEAN dengan meningkatkan kesadaran yang lebih tinggi akan keanekaragaman budaya dan warisan kawasan Prinsip ASEAN sebagaimana Pasal 2 Piagam ASEAN, di antaranya adalah: ■ Komitmen bersama dan tanggung jawab kolektif dalam meningkatkan perdamaian, keamanan dan kemakmuran di kawasan ■ Ditingkatkannya konsultasi mengenai hal-hal yang secara serius memengaruhi kepentingan bersama ASEAN ■ Berpegang teguh pada aturan hukum, tata kepemerintahan yang baik, prinsip-prinsip demokrasi dan pemerintahan yang konstitusional ■ Menghormati kebebasan fundamental, pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia, dan pemajuan keadilan sosial ■ Menghormati perbedaan budaya, bahasa, dan agama yang dianut oleh rakyat ASEAN, dengan menekankan nilai-nilai bersama dalam semangat persatuan dalam keanekaragaman Sampai pada saat Piagam ASEAN ditandatangani,terdapat tingkat keragaman sistem politik yang besar. Apabila melihat Uni Eropa, sistem politik relatif lebih seragam dibandingkan dengan ASEAN. Oleh karena itu kesepakatan lebih mudah dicapai di Uni Eropa dibandingkan dengan di ASEAN. Dalam Piagam ASEAN ada pasal 16 yang menyebutkan bahwa ASEAN dapat melibatkan diri dengan asosiasi atau lembaga yang bisa mendukung tercapainya tujuan-tujuan ASEAN. Entitas-entitas tersebut bisa bertambah dan tidak ada masalah. Jika kita mau menjadi entitas yang terakreditasi dan terasosiasi dengan ASEAN, kita bisa mengajukannya dengan prosedur yang ada dan diakreditasi oleh ASEAN. Manfaat dari akreditasi ini antara lain: ■ Dapat mengajukan pernyataan atau rekomendasi tertulis dan pandangan mengenai kebijakan, kegiatan, dan fokus kawasan dan internasional, kepada badan sektoral ASEAN melalui Sekretariat ASEAN. Karena badan sektoral ASEAN banyak sekali, setiap isu harus disampaikan lewat badan sektoral terkait. Misalnya urusan ekonomi harus disalurkan melalui badan sektoral ekonomi. 53
■ Dapat mengajukan proposal proyek kepada pendanaan pihak ketiga melalui Sekretariat ASEAN dan akan diteruskan kepada badan sektoral ASEAN terkait dan disetujui oleh CPR ■ Dapat menginisiasi program kegiatan kepada badan sektoral ASEAN terkait untuk ditindaklanjuti ■ Dapat menggunakan nama ASEAN, bendera dan logo ASEAN, dan anthem ASEAN ■ Dapat mengakses dokumen ASEAN melalui konsultasi dengan Sekretariat ASEAN dan/atau badan sektoral terkait ■ Dapat mengggunakan fasilitas Sekretariat ASEAN untuk melakukan pertemuan dan kegiatan resmi di Jakarta ■ Mendapatkan publikasi-publikasi penting dari Sekretariat ASEAN Entitas yang dapat terasosiasi dengan ASEAN antara lain adalah: ■ Parlemen/ Dewan Legislatif negara anggota ASEAN ■ CSO ■ Lembaga Thinktanks ■ Institusi akademik ■ Organisasi bisnis ■ Pemangku kepentingan lainnya yang memiliki kepentingan atau perhatian terhadap kegiatan, tujuan, kebijakan, dan institusi yang didirikan ASEAN. Contoh entitas parlemen yang sudah terasosiasi dengan ASEAN adalah ASEAN InterParliamentary Assembly (AIPA). Selain itu ada sembilan belas organisasi bisnis yang sudah terasosiasi dengan ASEAN, seperti di antaranya adalah: – ASEAN Bankers Association (ABA) – ASEAN Business Advisory Council (ASEAN-BAC) – ASEAN Business Forum (ABF) – ASEAN Chamber of Commerce and Industry (ASEAN-CCI) – ASEAN Chemical Industries Council – ASEAN Federation of Textiles Industries (AFTEX) – ASEAN Furniture Industries Council (AFIC) Airlines Meeting – ASEAN Iron and Steel Industry Federation – ASEAN Pharmaceutical Club – ASEAN Tourism Association (ASEANTA) Dua entitas think-thanks dan academic associationyang sudah terasosiasi dengan ASEANyakni ASEAN - Institutes of Strategic and International Studies (ASEAN-ISIS Network) dan ASEAN Institute for Peace and Reconciliation (AIPR). Selain itu, masih ada 52 entitas yang juga terasosiasi.
54
Persyaratan untuk menjadi lembaga/CSO yang terakreditasi ke ASEAN di antaranya adalah lembaga tersebut harus bersifat non-profit, berdiri minimal 2 tahun di ASEAN dan berkontribusi terhadap pencapaian tujuan ASEAN. Pada umumnya, hanya entitas yang keanggotaannya terbatas yang berada di negara anggota ASEAN yang dapat dipertimbangkan dalam akreditasi. Keanggotaannya harus dapat dibuktikan dengan adanya deklarasi pembentukan yang ditandatangani oleh anggota-anggota tersebut, tidak hanya pernyataan adopsi. Lembaga/CSO tersebut harus transparan dalam hal keuangan dan memiliki kantor yang telah didaftarkan di negara anggota ASEAN. Untuk mengajukan proses akreditasi, entitas tersebut harus mengajukan permohonan tertulis kepada Sekjen ASEAN, dengan menyertakan dokumen sebagai berikut: – Tujuan pendirian entitas – Deskripsi kegiatan yang akan mendukung Masyarakat ASEAN, dengan melampirkan Laporan Tahunan, publikasi dan foto-foto. – Konstitusi – Anggaran Dasar Rumah Tangga – Dokumen registrasi di negara anggota ASEAN – Informasi keanggotaan dan jejaring – Dokumen keuangan dan sumber keuangan – Daftar Riwayat Hidup para petinggi entitas – Fungsi, Kegiatan, dan Rencana Program – Informasi kegiatan yang melibatkan badan-badan ASEAN (bila ada) Apabila Sekjen ASEAN memandang aplikasi telah sesuai dengan kriteria akreditasi, aplikasi diteruskan kepada badan sektoral atau organ ASEAN yang relevan yang akan memberikan rekomendasi kepada Komite Perwakilan Tetap ASEAN untuk mendapat pertimbangan dan persetujuan. Aplikasi akreditasi yang disetujui akan mendapat surat persetujuan tertulis dari Sekjen ASEAN dan entitas dimaksud akan didaftarkan ke dalam Lampiran 2 Piagam ASEAN. Pembentukan Masyarakat ASEAN tahun 2015 bukan merupakan target akhir dan akan terus berkembang untuk menjadi Masyarakat ASEAN yang lebih baik. Indonesia sudah berusaha untuk memperjuangkan masukan dari akademisi atau CSO, termasuk hasil riset INFID yang telah disampaikan pada pembahasan visi ASEAN 2025 dalam HLTF. Tetapi, Indonesia tidak berjuang dalam ruang vakum.Terdapat sembilan negara anggota ASEAN lain yang memiliki pandangan sendiri mengenai people centered. Untuk mencapai sebagian dari yang kita inginkan, kita harus melakukan kompromi. Perwakilan Indonesia yang berjuang dalam HLTF 2025 berusaha untuk memasukkan kepentingan-kepentingan seperti good governance, demokrasi, dan nilai-nilai yang sudah kita pegang sejak lama seperti HAM. 55
Salah satu yang juga gencar diperjuangkan dalam HLTF adalah mainstreaming HAM di semua pilar Masyarakat ASEAN. Namun demikian, ternyata tidak semua negara mau memasukkan isu HAM di semua pilar. Partisipasi publik sangat penting dalam mempengaruhi pemerintah. Masyarakat Indonesia dapat terlibat dengan mempengaruhi masyarakat ASEAN yang lain untuk mempengaruhi kebijakan pemerintahnya terkait HAM. Semangat dari ASEAN 2025 adalah People Centered and People Oriented di mana no one left behind.
56
4.4 Evaluasi Engagement CSO di Asia Tenggara dengan ASEAN Atnike Nova Sigiro Manager Advokasi ASEAN, Forum ASIA
Keberadaan CSO masih dinilai sangat marginal di ASEAN. Hal ini disebabkan oleh dua faktor utama. Faktor pertama ialah ketidaksesuaian isu tematik yang diadvokasikan oleh CSO dengan isu yang menjadi pembahasan ASEAN. Isu CSO sangat beragam, spesifik dan sangat teknis. Isu CSO tidak dapat masuk ke dalam mekanisme regional karena dianggap sangat sensitif bagi negara anggota ASEAN. Diantara isu tersebut ialah isu mengenai buruh migran, masayarakat adat, LGBT, perempuan dan anak. Faktor kedua ialah ketimpangan ruang demokrasi. Terdapat relevansi antara derajat demokrasi dengan ruang masyarakat sipil dalam partisipasi publik. Dinamika hubungan antara dua variabel ini berbanding lurus. Semakin tinggi ruang demokrasi, maka ruang bagi CSO untuk berhubungan dengan pemerintah semakin besar. Sebaliknya semakin rendah ruang demokrasi, maka ruang bagi CSO untuk berhubungan dengan pemerintah semakin kecil/ tidak ada. Oleh sebab itu, peran yang dimiliki oleh CSO sangat bergantung pada ruang demokrasi yang ada di tiap-tiap negara CSO berada.
Demokratis
Thailand (*)
Malaysia, Cambodia, Myanmar/Burma
Represive & non demokrasi
Indonesia, Filipina
Adanya gerakan pro demokrasi yang menguat
Gambar 4.1 Ruang Demokrasi dan Partisipasi di Negara Anggota ASEAN
Brunei, Vietnam, Laos, Singapore
57
Secara umum, ruang demokrasi dan partisipasi yang ada di negara anggota ASEAN dapat dikelompokkan ke dalam tiga grup utama, seperti ditunjukkan dalam Gambar 4.1. Grup 1 : Mengindikasikan ruang demokrasi yang cukup besar sehingga terbuka ruang bagi partisipasi langsung CSO ke dalam forum ASEAN tanpa melalui kontrol pemerintah. Grup 2 : Mengindikasikan adanya gerakan pro demokrasi yang menguat. Namun partisipasi CSO masih terbatas. Grup 3 : Mengindikasikan kecilnya ruang demokrasi sehingga partisipasi kecil/tidak ada. Tidak ada mekanisme check-balances bagi pemerintah dan kebebasan berekspresi dibatasi akibat pemerintahan yang represif. Akomodasi CSO kedalam mekanisme ASEAN secara formal dapat dilakukan melalui perolehan status acrredited organization, diantaranya melalui 1. ASEAN Civil Society Conference (ACSC). 2. Partisipasi dalam institusi/badan-badan sektoral ASEAN seperti AIHCR, ACWC dan ASEAN Forum on Migrant Labour. Gambar 4.2 Mekanisme Formal ASEAN bagi Partisipasi CSO ASEAN CIVIL SOCIETY CONFERENCE (ACSC) •Forum CSOs untuk engagement dengan KTT ASEAN •Diakui oleh Blueprint Socio Cultural •Namun pada praktiknya derajat pengakuannya ditentukan oleh derajat keterbukaan/ demokrasi di negara yang menjadi tuan rumah •Festival isu dan problem dari masyarakat sipil ASEAN
PARTISIPASI DALAM PERTEMUAN INSTITUSI/ SECTORAL BODIES ASEAN •AICHR – sudah ada proses akreditasi bagi CSO, namun belum bisa dinilai efektivitas dari akreditasi ini •ACWC – relatif terbuka untuk partisipasi CSOs meski kualitas dan kuantitasnya masih terbatas karena keterbatasan institutional support •ASEAN FORUM ON MIGRANT LABOUR - multi stakeholders (pemerintah, serikat buruh, pengusaha, CSO, organisasi internasional)
Dari analisa mengenai platform formal CSO dalam mekanisme regional dapat dilihat tantangan dan peluang kedepannya. Tantangan struktural terkait pada model pengambilan keputusan ASEAN. Mekanisme non intervensi dan konsensus menghambat proses aplikasi accredited organization sebab persetujuan mutlak dari seluruh negara anggota diperlukan. Sehingga organisasi yang 58
dipersepsikan memiliki ketidaksesuaian dengan tema diskursus yang diadopsi oleh negara anggota ASEAN menghadapikesulitan untuk memperoleh pengakuan regional yang resmi. Sementara tantangan keterbukaan pemerintah dapat dilihat dari adanya kontrol dari pemerintah individual yang membatasi keikutsertaan dari CSO nasional ke dalam mekanisme regional. Terkadang, walaupun CSO mendapat pengakuan dari ASEAN, namun sering kali dalam implementasinya dibatasi oleh kontrol pemerintah nasional. Menyikapi tantangan yang ada, beberapa peluang dapat dijadikan pembelajaran untuk mengedepankan usaha advokasi tema HAM dan sosial di ASEAN, diantaranya adalah: • Keberadaan democratic space di beberapa negara ASEAN hendaknya dioptimalisasikan dengan baik untuk meningkatkan partisipasi CSO dalam mekanisme regional. • Komitmen tertulis ASEAN, seperti ‘people-centered’ dan prosedur akreditasi, harus terus didesakkan. Pengawalan dari publik diperlukan untuk mendorong implementasi komitmen partisipasi publik dari pemerintah dan ASEAN. • Platform CSOs yang sudah ada harus terus diperkuat untuk meningkatkan kesempatan partisipasi publik.
59
4.5 Peran Pemuda dalam Mengawal ASEAN yang Inklusif Shantoy Hades ASEAN Youth Forum
• •
• • •
•
Identifikasi mengenai pemuda ASEAN bisa menggunakan definisi dari ASEAN itu sendiri, yaitu usia 15-35 tahun. Secara jumlah, lebih dari separuh penduduk ASEAN adalah pemuda dan dari jumlah tersebut, 30% berada di Indonesia. Pemuda ASEAN jumlahnya sekitar 4% dari jumlah penduduk di dunia. Tentunya jumlah ini cukup signifikan. Pemuda ASEAN menghadapi beberapa tantangan yang harus dihadapi. Tantangan-tantangan tersebut antara lain adalah: Pemuda di ASEAN selalu menjadi obyek kebijakan karena memang pemuda kurang terlibat dalam pembuatan kebijakan sehingga partisipasi pemuda tidak inklusif. Pemuda juga menghadapi stereotypical issues. Maksudnya adalah pemuda hanya dianggap cocok untuk membicarakan isu pendidikan, kesehatan remaja, dan anti korupsi saja. Padahal pemuda bisa membahas banyak isu, tidak hanya terbatas pada satu atau dua isu saja. Adanya konsep pemuda adalah pemimpin masa depan yang malah membuat pemuda merasa tidak diasah atau dikader untuk menjadi pemimpin masa depan dari sekarang. Kesadaran dan pemahaman tentang ASEAN masih kurang. Adanya kesenjangan, di mana hampir di seluruh negara terjadi kesenjangan pemuda yang ada di rural area dan urban area. Misalnya saja kesenjangan yang ada di bagian Timur dengan bagian Barat Indonesia cukup mencolok. Konteks tiap negara yang berbeda-beda ini menimbulkan kesulitan dalam mewujudkan kawasan regional yang terintegrasi. Misalnya saja ketika membicarakan isu pendidikan, akan sulit untuk menjalin kesepahaman karena masing-masing negara memiliki konteks yang berbeda terkait pendidikan.
ASEAN Youth Forum (AYF) sudah terlibat dalam ASEAN civil society conference sejak tahun 2008. Selain itu, AYF juga bersinergi dalam banyak pertemuan untuk menyuarakan berbagai isu dengan perspektif pemuda. Yang coba dipromosikan dari AYF adalah menjunjung 60
tinggi HAM, kesetaraan dan non-diskriminasi, transparansi dan akuntabilitas, demokrasi dan pemerintahan yang bersih, dan inklusif. Ketika pemuda membicarakan isu ini, pemuda sering dipandang sebelah mata karena isu tersebut dianggap bukan isu yang cocok dibahas oleh pemuda. Pada tahun 2014, pemuda dari sepuluh negara membuat draft pernyataan dan mengidentifikasi tujuh isu utama pemuda di Yangon. Ketujuh isu yang dibahas dalam Yangon Declaration tersebut adalah: 1. Role of Young People and Impacts of Peace and Reconciliation: Good Governance, Democracy, and Freedom of Expression 2. Good Governance, Democracy, and Freedom of Expression: 3. Ensuring Decent Work and Livelihood for the Youth of Southeast Asia 4. Quality Education for all Young Southeast Asians 5. Empowering Young People’s Sexual and Reproductive Health and Rights (gender, sexuality, access to health, and comprehensive sexual education) 6. Youth in Migration: Assuring Safety, Freedom, and their Rights (trafficking, refugees, statelessness, and migrant workers) 7. Actualizing and Maintaining a Regional Environment (self-determination, preservation of local wisdom and indigenous culture) Visi AYF adalah “Pemuda menjadi subyek aktif dalam proses pengambilan keputusan.” Pemuda tidak hanya menjadi obyek dan tidak tahu apa yang terjadi sehingga pemuda juga tidak tahu mengenai hak pemuda dan apa yang harus dilakukan. Rekomendasi yang ditawarkan oleh AYF yakni: 1. Engagement: menciptakan engagement dengan ASEAN 2. Ruang Partisipasi: memberikan ruang partisipasi aktif bagi pemuda 3. Kajian Usia:Mengkaji ulang usia pemuda menjadi 15-30 tahun karena usia 35 dianggap sudah terlalu tua dan tidak muda lagi untuk ukuran pemuda, sedangkan 15 masih dianggap beririsan dengan anak. 4. Gerakan Bersama:mendorong upaya kolektif dan kolaboratif dengan kelompok masyarakat sipil lainnya. Isu ASEAN dianggap tidak seksi dan banyak pemuda masih skeptis. Pemuda harus aktif di banyak isu; tidak hanya di satu isu saja. Pemuda juga boleh membahas isu mengenai buruh migran, good governance, human right, dan lain sebagainya.
61
4.6 Komunitas ASEAN dan Partisipasi Publik Daniel Awiga HRWG/APF-ACSC
Tesis yang ditawarkan INFID dalam seminar ini adalah bagaimana mengembangkan partisipasi atas HAM. Kira-kira itulah yang disampaikan oleh dua pembicara pada awal sesi kedua. Tesisnya adalah kalau ada partisipasi publik, perlindungan HAM akan lebih terjamin. Partisipasi penting dalam konteks perlindungan HAM. Ibu Renata cukup jelas menggambarkan mengapa susah bagi ASEAN untuk “forging ahead together”, karena memang level demokrasi berbeda-beda. Ada yang monarki absolut; ada yang junta militer; ada juga yang demokratis ataupun semi demokratis; dan ada juga yang single party. Konteks yang cukup penting untuk diperhatikan, ASEAN telah memberanikan diri menyatakan dirinya ASEAN Community yang people oriented and people centered. Yang menjadi persoalan adalah apakah masyarakat dilibatkan dalam proses integrasi ASEAN? Apa kebaruan yang ditawarkan dalam ASEAN Community? Visi 2025 baik secara proses maupun substansi tidak menawarkan suatu kebaruan. Proses di ASEAN masih menggunakan proses yang lama, prosesnya tertutup dan keterlibatan masyarakat masih minimal dalam menyusun blueprint atau langkah kerja ASEAN kedepan. ASEAN masih menggunakan cara kerja yang eksklusif, belum inklusif. Secara substansi, sebenarnya pola atau modusnya masih sama. ASEAN ingin meneruskan cara-cara kerja yang mengamankan kawasan untuk pertumbuhan ekonomi. Ini menyebabkan isu-isu seperti HAM, demokrasi, dan partisipasi publik menjadi isu nomor kesekian. Ungkapan bread before freedom memang tepat untuk menggambarkan ASEAN. Dalam konteks Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), setiap anggota ASEAN memandang peluang dan tantangan yang ditawarkan MEA dan tiap-tiap negara-negara pasti berbeda-beda dalam memandang peluang dan tantangan tersebut. Jangan-jangan ada konflik kepentingan yang cukup tajam antar negara anggota atau bahkan dari mitra ASEAN yang memiliki kepentingan di ASEAN. Negara lain memandang ASEAN sebagai lahan yang kaya akan sumber daya alam (SDA). Selain itu mereka melihat integrasi MEA menawarkan tenaga kerja yang murah, bahkan sangat murah. ASEAN juga dilihat sebagai rezim perdagangan yang cukup liberal 62
dan pasar yang sangat besar. ASEAN yang menyediakan SDA dan buruh yang murah menjadi magnet tersendiri bagi investor untuk “mengeskploitasi kembali ASEAN”. Siapkah kita membentuk suatu teori atau gagasan yang membuat kita bersama-sama merespon tantangan, sehingga partisipasi menjadi berarti. Benedict Anderson, mengingatkan kita pada ungkapan mengenai imagined community. Adakah imagined community di antara warga ASEAN? Apakah ada warga ASEAN yang merasa bahwa ASEAN adalah kita. Apakah kita memiliki imajinasi yang kurang lebih sama? Jangan-jangan imajinasi tentang ASEAN berbedabeda, tidak ada satu imajinasi yang sama yang menggambarkan apa itu ASEAN Community. Konteks lain adalah mengenai HAM, di mana ASEAN tidak ramah dan setengah hati terkait HAM. Ini juga menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat sipil dalam mendorong kemajuan isu untuk diperjuangkan di ASEAN. HAM bisa digunakan sebagai visi pembangunan. ASEAN tidak perlu muluk-muluk untuk menunjukkan visi yang terlalu banyak. ASEAN harus membuktikan cukup satu isu saja bahwa ASEAN memberikan kontribusi spesifik bagi masyarakat secara luas. Jika ini dilakukan, ASEAN akan mendapat dukungan dari masyarakat luas ketika bisa memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat. Perhatian khusus misalnya dapat diberikan pada kelompok yang paling termarjinalisasi, yaitu kelompok buruh migran. Selama ini ASEAN tidak mencapai konsensus untuk buruh migran: • Negara-negara ASEAN tidak sepakat mengenai adanya konvensi yanglegally binding (mengikat secara hukum), • Negara-negara ASEAN menolak undocumented migrant workers untuk dilindungi, • Hanya mau memberikan perlindungan untuk buruh migran saja, namun tidak memberikan perlindungan bagi anggota keluarga. • Perspektif ASEAN masih sangat industrial relations dibandingkan human rights.
63
V. ASEAN dan Masyarakat Ekonomi ASEAN
Sesi ketiga seminar mendiskusikan sejauh mana ASEAN dengan MEA memastikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Sesi ini menampilkan empat orang pembicara dan satu orang penanggap. Pembicara pertama memaparkan gagasan bagaimana mendesign ulang lagi kinerja diplomasi Indonesia di ASEAN dalam upaya memajukan ekonomi ASEAN yang inklusif, dengan memperhatikan nilai ownership dalam diplomasi ekonomi. Selanjutnya dipaparkan hasil riset LIPI tentang MEA yang menunjukkan rendahnya tingkat pemahaman masyarakat baik produsen maupun konsumen tentang MEA. Tenaga kerja juga belum melihat MEA sebagai suatu peluang, sekalipun mengakui manfaat ekonomi bagi konsumen. Pembicara ketiga memberikan analisisnyatentang ketidaksiapan Indonesia menghadapi MEA yang di antaranya ditandai dengan masih rendahnya pemahaman tentang MEA dan lemahnya sinkronisasi kebijakan pemerintah.Pembicara keempat memaparkan kritik terhadap konsepsi pasar bebas MEA yang lebih menekankan dimensi ekonomi daripada dimensi masyarakat sosialnya. Sesi ini kemudian menampilkan tanggapan terhadap paparan para pembicara dengan fokus perhatian pada dampak integrasi dan ekspansi kapital bagi buruh. Sesi ini menunjukkan bahwa MEA masih mengabaikan nilai kekomunitasan yang berdimensi sosial dan lingkungan, dan karenanya perlu segera mengagendakan pendekatan yang tepat untuk mendorong pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.
64
5.1 Redesigning Kinerja Diplomasi Indonesia di ASEAN MemajukanEkonomi ASEAN yang Inklusif Makmur Keliat Guru Besar FISIP UI
Ada dua poin utama yang perlu dipertimbangkan sebelum membahas bagaimana me-redesign kinerja diplomasi Indonesia di ASEAN. Poin pertama adalah pentingnya melihat kembali warisan yang telah ditinggalkan selama sepuluh tahun terakhir terkait diplomasi ekonomi dalam konteks ASEAN. Warisan tersebut adalah semangat yang sangat besar untuk pembangunan norma. Dalam kajian akademis ini disebut sebagai pendekatan institusionalisme. Dalam perspektif para diplomat, ASEAN sedang mengalami proses transformasi menjadi suatu entitas hukum. ASEAN telah berhasil membentuk suatu ASEANCharter dan beberapa protokol turunan ASEANCharter. Setelah sepuluh tahun berlalu, kinerja diplomasi Indonesia untuk ASEAN memerlukan redesigning. Apa yang dimaksudkan dengan redesigning? Dengan melakukan redesigning berarti kita merasa desain yang lalu masih ada kekurangan sehingga perlu adanya rancangan baru. Poin kedua adalah untuk melakukan suatu redesigning, ada beberapa hal yang harus dipikirkan. Pertama, diplomasi pada dasarnya adalah instrumen dari pemerintah, sehingga tidak ada diplomasi yang bisa dilakukan oleh non-pemerintah. Diplomasi adalah privilege dari states. Dalam konteks ekonomi, diplomasi ekonomi Indonesia harus memberikan manfaat, yaitu mampu mengatasi empat risiko: (1) risiko fiskal, (2) risiko keuangan dan moneter, (3) risiko di bidang industrial dan perdagangan, dan (4) risiko penciptaan lapangan kerja. Diplomasi ekonomi harus bisa menjadi instrumen untuk mengatasi risiko-risiko tersebut. Kedua, diplomasi ekonomi harus memberikan ownership yang lebih besar. Diplomasi tersebut harus bisa memanfaatkan empat sumber daya yang ada. Sumber daya yang pertama adalah sumber daya teknokratik. Umumnya ada pada epistemic community. Kita harus bisa memberdayakan teknokratik resources. Kedua adalah sumber daya birokratikmenjadi penting karena birokrasi memiliki kekuasaan untukmenentukan standard operating procedure. Ketiga, 65
dalam rangka memperbesar ownership tersebut, diplomasi harus bisa memanfaatkan sumber daya politikbaik kekuatan politik formal maupun non-formal. Keempat, diplomasi juga harus bisa memanfaatkan sumber daya sektor sosial. Sektor sosial tersebut dapat dilihat jika ASEAN mendeklarasikan apa yang disebut dengan sistem sosial beserta prioritas-prioritasnya. Keempat sumber daya tersebut harus bisa memberikan masukan terhadap diplomasi kita. Hal ketiga yang perlu dilihat kembali dalam upaya meredesign diplomasi Indonesia di ASEAN adalah policy problem. Diplomasi sebagai policy problem terjadi ketika target yang ditentukan terlalu tinggi, sementara sumber daya finansial yang tersedia (APBN) tidak memadai. Misalnya anggaran Kementerian Luar Negeri yang dialokasikan hanya berjumlah sekitar 5 triliun, sementara Kementerian ini harus menangani ratusan negara dengan begitu banyak isu yang menyangkut ekonomi, keamanan, sosial dan lain-lain. Kita perlu mengidentifikasi gap antara kapasitas kelembagaaan dan tujuan normatif yang ingin dicapai untuk mengatasi policy problem tersebut.
66
5.2 Strategi Peningkatan Pemahaman Masyarakat tentangMasyarakat Ekonomi ASEAN Dr. Zamroni Salim Tim Survei ASEAN, LIPI
•
•
Pendahuluan Survei pemahaman masyarakat tentang MEA dilakukan sebagai usaha untuk mempersiapkan masyarakat dalam menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN. Survei tersebut didasarkan pada beberapa pertimbangan, sebagai berikut: • Transformasi state-oriented ke people-oriented dan peoplecenteredness untuk kesejahteraan masyarakat oleh ASEAN mengartikan pemahaman masyarakat akan proyek internasional adalah penting. MEA akan memberikan dampak pada perekonomian Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung. Fokus diberikan utamanya pada 12 Priority Integration Sectors yang dimiliki Indonesia untuk menunjang daya saing national dalam pasar MEA. Berdasarkan INPRES No. 5/2008; INPRES No. 11/2011; INPRES No. 6/2014/KEPRES No. 37/2014: pelaksanaan komitmen MEA dan sosialisasi ditujukan lebih kepada dunia usaha, tanpa mengkhususkan pelaku usaha kecil dan menengah. Masyarakat umum tidak termasuk dalam program ini.
Tujuan survei Mengetahui tingkat pemahaman masyarakat tentang MEA serta menyusun strategi peningkatan pemahaman masyarakat tentang MEA. Apakah masyarakat tahu atau tidak tentang ASEAN? Apakah masyarakat mengetahui atau tidak tentang MEA?
• •
Metode survei Menggunakan pendekatan kajian mengenai self-reported beliefs or behaviors. Pengukuran tingkat pemahaman masyarakat terhadap MEA 2015 menggunakan kisaran: • Mengetahui ( knowing – nice to know) • Mengerti (understanding – need to know) 67
•
•
• Merespon (responsive – need to explore) Survei dilakukan di 16 kota/kabupaten yang terbagi menjadi daerah utama Priority Integration Sector/PIS (perikanan, otomotif, tekstil/produk tekstil, produk pertanian, kayu, pariwisata) dan daerah pembanding. Metode survei menggunakan Purposive Stratified Random Sampling dengan responden sebanyak 2.509 orang dengan margin of error sebesar 2 persen.
Hasil survei Tingkat pemahaman masyarakat umum tentang MEA ialah sebesar 25,90% dan bagi pengusaha dan pedagang sebesar 27,80%. Khusus kelompok pengusaha dan pedagang, angka yang ditemukan sangat mengkhawatirkan sebab Indonesia berada di bawah pengetahuan ratarata kelompok ini di ASEAN yang mencapai setidaknya 50% berdasarkan survei yang dilakukan di ISEAS. Tabel 5.1 Pemahaman Masyarakat tentang MEA
Dampak MEA pada masyarakat konsumen menunjukkan hasil yang positif dimana MEA bisa dipastikan akan menguntungkan masyarakat konsumen. Sekitar 43,7% responden masyarakat mengakui manfaat ekonomi dari MEA sebab harga barang/jasa menjadi lebih murah, kualitas lebih baik dan kemudahan mendapatkan barang/jasa. Namun hal ini harus diwaspadai, karena akan mendukung rasionalisasi konsumsi yang jika tidak diseimbangkan justru dapat menjebak masyarakat Indonesia ke dalam perilaku konsumtif. Tingkat konsumsi harus didukung oleh produksi untuk memaksimalisasikan keuntungan dari MEA. Sementara itu, sebesar 82,6%, tidak mengetahui mobilitas tenaga kerja. Padahal MEA memberikan dampak pada perubahan struktural secara langsung kepada pasar tenaga kerja terampil di Indonesia. Tenaga kerja tidak terampil juga akan terkena dampak dari MEA oleh 68
karenanya ini menjadi tantangan pasar tenaga kerja lokal untuk menjaga daya saing dan mempersiapkan tenaga kerja di pasar ASEAN. Konsekuensi dari MEA yang belum banyak diketahui/disadari oleh masyarakat dapat berdampak pada tingkat kesiapan Indonesia dalam menyongsong MEA. Di dalam menghadapi MEA, terdapat dua belas sektor integrasi prioritas(PIS). Namun, hanya enam PIS yang memiliki keunggulan komparatif bagi Indonesia, yaitu pertanian, otomotif, pariwisata, perikanan, karet dan tekstil. Kondisi Dunia Usaha (UKM) dalam sektor yang menjadi acuan PIS dapat dilihat melalui beberapa perspektif: - Lingkungan usaha. Ada kemudahan oleh pemerintah/pemda utamanya dalam perizinan. Namun masyarakat berharap pemerintah/pemda peduli aspek pembiayaan/sumber permodalan mengingat tingginya bunga pinjaman bank yang mencapai 20 % (sebagai perbandingan biaya bunga di Singapura sebesar 3 %/tahun). - Infrastruktur / Konektivitas. Terbatasnya infrastruktur dan konektivitas untuk mencapai peluang dalam MEA, utamanya pada sektor karet, perikanan, pariwisata, yang dapat mempengaruhi daya saing domestik dan ASEAN akibat meningkatnya biaya produksi dan harga jual. - Peluang Usaha Beberapa industri diantaranya karet, otomotif, dan pariwisata telah melakukan kerja sama di wilayah ASEAN. Namun kerjasama produksi tekstil dengan UKM di negara ASEAN masih terbatas pada penjualan kembali (re-selling). Kendala masalah infrastruktur terletak pada informasi tentang akses terhadap pasar ASEAN. Dalam bidang SDM, sertikasi profesional masih sangat terbatas. Selain itu, minat melakukan ekspansi ke negara ASEAN lainnya masih terbatas akibat pasar di dalam negeri masih cukup luas/terbuka. - Tenaga Kerja Tenaga kerja mempunyai kapasitas dan kualitas yang terbatas. Mobilitas mereka masih rendah di mana umumnya mereka berasal dari daerah sekitar/lokal. Kesiapan SDM dalam industri PIS masih terbatas bahkan dalam beberapa hal belum mampu untuk bersaing dalam MEA bila pergerakan tenaga kerja terlatih sudah berlaku. Keterbatasan ini menjadi celah yang mudah dimasuki oleh pekerja dari negara lain. Oleh sebab itu fokus pemerintah dapat diberikan kepada SDM industri otomotif yang relatif lebih baik serta dukungan terhadap sertifikasi tenaga profesional di industri pariwisata yang sangat diperlukan dan mendesak. 69
- Peningkatan Daya Saing Upaya peningkatan daya saing industri dalam PIS dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas produk dengan standar kualitas global dalam industri berbasis sumber daya alam (kayu, karet, perikanan), industri manufaktur (otomotif) dan industri jasa (pariwisata). Peningkatan kualitas SDM untuk industri tekstil dan otomotif serta pengembangan SDM yang masih relatif rendah, khususnya untuk industri perikanan, karet, kayu, dan pariwisata perlu digalakkan. Perlunya membidik segmen pasar tertentu yang bisa dilakukan oleh berbagai industri dalam PIS (khususnya untuk industri otomotif. Indonesia juga perlu menggalakkan promosi terus menerus dalam upaya nation branding, seperti yang dilakukan Singapura dengan “Wonderful Singapore” dan Malaysia dengan “Christmas in the Tropics”. Berdasarkan profil kesiapan dan tantangan yang Indonesia harus waspadai, terdapat beberapa evaluasi atas kebijakan MEA, yaitu: • Program MEA ditujukan terutama kepada para pelaku usaha tanpa mengkhususkan pelaku usaha kecil dan menengah, masyarakat umum tidak termasuk dalam program ini. • Kegiatan cenderung bersifat sektoral dan tidak selaras antara pusat dan daerah. Namun pembentukan ASEAN Economic Community Center (AEC Center) merupakan upaya terobosan baru. • Standardisasi (SNI) masih menjadi kendala khususnya bagi UKM terkait dengan pengajuan dan proses sertifikasi yang belum sepenuhnya didukung oleh infrastruktur SNI baik laboratorium uji dan personil yang memadai. • Keberpihakan kepada UKM rendah, khususnya dalam aspek pembiayaan/sumber permodalan/kredit usaha masih belum termaksimalisasi. • Keterbatasan infrastruktur dan konektivitas mempengaruhi tingkat kemampuan daya saing produk dan jasa yang dihasilkannya baik di pasar domestik maupun ASEAN. • Sifat pasif masyarakat dan sangat terbatasnya tenaga penyuluh serta minimnya intensitas kegiatan penyuluhan membuat sosialisasi MEA kurang efektif. Kesimpulan BeBerdasarkan temuan dan analisis yang telah dibuat, dapat ditarik sejumlah kesimpulan, yaitu: •
Tingkat pemahaman masyarakat baik produsen maupun konsumen Indonesia tentang MEA relatif rendah. Pemahaman konsumen sekitar 25%, sementara produsen 27%. Hal ini dapat menjadi halangan internal bagi pelaksanaan kebijakan nasional.
70
•
•
Meskipun MEA diakui memberikan manfaat secara ekonomi bagi masyarakat konsumen, namun tenaga kerja Indonesia belum melihatnya sebagai peluang. Mereka tidak memiliki pengetahuan untuk dapat bekerja di negara lain. Rendahnya persepsi peluang dipengaruhi oleh tingkat pemahaman tentang MEA, pendidikan dan pelatihan yang rendah dan berimplikasi pada keterlambatan penyiapan tenaga kerja Indonesia dalam memasuki pasar kerja ASEAN.
Rekomendasi Kebijakan Tim Survei mengajukan sejumlah rekomendasi kebijakan di tingkat kebijakan dan peraturan untuk mendorong kelancaran MEA. Strategi peningkatan pemahaman masyarakat yang perlu dibangun dapat ditempuh terkait dalam tiga bidang utama: A. Tingkat Kebijakan dan Peraturan 1. Presiden RI tetap memposisikan Indonesia sebagai pendorong utama pelaksanaan Masyarakat ASEAN. 2. Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi memposisikan Indonesia agar tidak hanya menjadi pasar bagi produk ASEAN tetapi juga sebagai produsen yang mampu bersaing di pasar ASEAN. 3. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian memformulasikan kebijakan dan peraturan Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk menghadapi MEA. 4. Kementerian Perdagangan menjadi penggerak sosialisasi terpadu melalui AECCenter. 5. Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan dan kementerian terkait lainnya membangun strategi dalam rangka memperkuat daya saing PIS melalui peningkatan kualitas produk yang dihasilkan, baik untuk industri berbasis sumber daya alam (kayu, karet, perikanan), industri manufaktur (otomotif), maupun jasa (pariwisata) dengan standar kualitas yang bersifat global. 6. Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan lembaga terkait memperhatikan perlindungan produk UKM dengan penerapan SNI. Selain itu, pemerintah perlu mendorong pembangunan Standar Regional ASEAN atas dasar jejaring Standar Nasional dari negara-negara anggota ASEAN. B. Tingkat Relasi Institusi 1. Kementerian Luar Negeri memfungsikan dan mengaktifkan kembali Sekretariat Nasional ASEAN, khususnya desk MEA. 2. Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi memperkuat koordinasi antar kementerian dan lembaga secara vertikal dan horizontal dalam kerangka RAN sampai tingkat bawah sesuai tugas dan fungsinya.
71
C. Tingkat Teknis 1. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengoptimalkan fungsi koordinasi sebagai “pusat komando” pelaksanaan MEA di Indonesia. 2. Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah serta lembaga terkait mendorong pertumbuhan sektor riil, terutama UKM dengan meningkatkan akses kredit dan stimulus non-kredit 3. Kementerian Luar Negeri mengaktifkan dan menguatkan pusat-pusat kajian ASEAN. 4. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengintegrasikan pengetahuan tentang ASEAN ke dalam kurikulum pendidikan sejak tingkat sekolah dasar
72
5.3 Kesiapan Indonesia menghadapi MEA Enny Sri Hartati Direktur INDEF
Apa yang telah dipaparkan oleh pembicara-pembicara terdahulu menegaskan bahwa Indonesia belum siap menghadapi MEA. Dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa Indonesia terbukti tidak siap menghadapi MEA. Bagaimana Indonesia siap kalau masyarakatnya tidak mengenal ASEAN? Hal kedua yang menunjukkan ketidaksiapan Indonesia adalah penguasaan kementerian-kementerian terhadap seluruh isi dokumendokumen yang telah diratifikasi Indonesia. Banyak yang tidak memahami isi dokumen dan implikasinya. Masalah terkait lainnya adalahtidak ada satu pun kementerian/lembaga Indonesia yang mempunyai kumpulan dokumen yang telah diratifikasi dalam kerangka ASEAN itu secara lengkap. Masyarakat Ekonomi ASEAN sifatnya parsial dan dokumennya tersebar; tidak ada kumpulan perjanjian yang dijadikan satu. Dokumen yang relatif lengkap ada di Sekretariat ASEAN, sedangkan di Indonesia sendiri tidak ada. Perdagangan adalah salah satu komponen utama MEA. Di Kementerian Perdagangan baru saja dibentuk AEC Center, namun sifatnya non-struktural. Ini menunjukan kurang siapnya Indonesia dan pemahaman terkait MEA juga masih kurang. Masalah lain terkait dengan kelembagaan ASEAN. Jika terjadi perselisihan yang muncul dalam rangka kerjasama dua negara, pertanyaannya adalah hukum siapa yang akan dipakai? Implikasinya berarti bahwa ASEAN harus memiliki hukum, yang berimplikasi lebih lanjut pada suatu kebutuhan akan lembaga pembuat undang-undang di tingkat ASEAN. Implikasi logisnya kemudian adalah jika ASEAN mau membentuk undang-undang, maka ASEAN harus membentuk parlemen. Apakahada mekanisme tersebut? Sementara ASEAN tidak didesain untuk menjadi seperti Uni Eropa. Berbicara mengenai MEA, negara-negara ASEAN lain juga memiliki permasalahan yang sama. Sebelum ada pembebasan restriksi perdagangan yang ada, perlu dicermati bagaimana neraca perdagangan Indonesia dengan negara ASEAN.Intra-ASEAN trademasih rendah sekali. Ini berbeda dengan intra-European Union trade yang tinggi.Perdagangan di antara anggota Uni Eropa yang tinggi seperti ini mendukung proses integrasi ekonomi di Eropa. Persoalan yang sangat mendasar adalah Indonesia bergantung pada ekspor komoditas. Sekitar 80% ekspor Indonesia adalah komoditas. Sementara negara ASEAN lain sudah memulai 73
fokus ekspor produk manufaktur. Indonesia harus berupaya supaya tidak sekedar menjadi obyek, yaitu sebagai sumber bahan baku mentah dan target pasar. Indonesia harus bisa menjadi subyek. Neraca perdagangan Indonesia sebelum ada pembebasan hambatan perdagangan dengan ASEAN selalu defisit. Defisit tersebut semakin meningkat dari waktu ke waktu. Dalam hal investasi Indonesia juga masih lemah. Contohnya, Indonesia tidak mampu menarik pabrik Blackberry untuk berproduksi di Indonesia. Indonesia kurang menarik investor karena adanya ketidakpastian dalam berinvestasi di Indonesia, misalnya terkait pengurusan perijinan dan pembebasan lahan. Dalam hal suku bunga, Indonesia memiliki suku bunga yang paling tinggi di antara negara-negara ASEAN lain. Tingkat suku bunga Indonesia belum bisa bersaing dengan tingkat suku bunga negara-negara ASEAN yang lain. Dalam MEA, Indonesia menghadapi beberapa tantangan umum. Tantangan umum tersebut antara lain adalah: • Pemahaman seluruh pemangku kepentingan terhadap implikasi dari MEA masih sangat terbatas. • Sinkronisasi program dan kebijakan pemerintah (pusat dengan daerah) menghadapi MEA 2015 masih lemah. Diperlukan kesamaan pandangan diantara pejabat pusat dan daerah. Global Competitive Index oleh World Economic Forum menempatkan Indonesia pada urutan ke-50, dibawah sebagian negara ASEAN (Singapura, Brunei, Malaysia dan Thailand). • Lemahnya infrastruktur, khususnya bidang transportasi dan energi menyebabkan biaya ekonomi tinggi, utamanya sektor produksi dan bagi pasar. • Pelaku usaha yang inward-looking. Besarnya pasar domestik mendorong pelaku usaha memprioritaskan pemenuhan kebutuhan pasar domestik. • Terbatasnya jumlah SDM yang kompeten untuk mendukung produktivitas nasional • Birokrasi yang belum efisien dan belum sepenuhnya berpihak pada pebisnis. • Daya saing menurun akibat ekonomi biaya tinggi dan tingkat suku bunga tertinggi, hambatan masalah logistik, rendahnya indeks daya saing, dan kondisi sebagai the most problem doing businessdanthe most binding constraint. Dengan MEA pasar semakin terbuka, apakah kita bisa memanfaatkan keterbukaan pasar? Atau Indonesia akan dibanjiri produk dari luar? Meskipun ada banyak tantangan yang harus dihadapi dalam MEA, masih ada peluang yang bisa dimanfaatkan oleh Indonesia secara maksimal. Peluang-peluang tersebut adalah: • MEA meningkatkan daya saing ASEAN secara kesatuan sebagai destinasi investasi dari berbagai negara.
74
•
Investor asing tidak perlu lagi membangun fasilitas produksi di setiap negara ASEAN. Pembagian kerja semakin tajam dalam kerangka regional production network. Indonesia berharap untuk mendapatkan manfaat sebanyak mungkin karena memiliki pasar yang paling besar. • Persaingan terjadi bukan di antara perusahaan di ASEAN, melainkan persaingan antarnegara. Negara yang berhasil menawarkan fixed cost paling rendah berpeluang dapat lebih banyak. Variabelcost semakin kurang menentukan. • MEA tidak hanya sebagai regional production base, tetapi juga global production base. Indonesia masih menghadapi high cost of productionyang membuat Indonesia akan kesulitan dalam bersaing di pasar ASEAN. Dengan adanya MEA, pasar semakin terbuka dan hambatan perdagangan semakin minimal. Kondisi ini akan memperluas pasar, tetapi ada dampak resiprokal,yaitu Indonesia juga harus membuka pasarnya. Ada kemungkinan pasar Indonesia akan dibanjiri produk dari negara-negara ASEAN. Konsumen akan mencari. Realitas ini harus menjadi perhatian bersama dan disosialisasikan kepada masyarakat. Langkah-langkah strategis yang harus dilakukan dalam menghadapi MEA adalah: 1. Sosialisasi secara massif (besar-besaran) dan menyeluruh 2. Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) 3. Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) 4. Penyediaan modal 5. Perbaikan infrastruktur 6. Reformasi kelembagaan danpemerintah 7. Reformasi iklim investasi Terdapat empat hal yang harus diantisipasi dalam MEA, yakni: 1. Implementasi MEA berpotensi menjadikan Indonesia hanya sebagai pemasok energi, bahan baku dan pasar bagi industrialisasi di kawasan ASEAN, sehingga manfaat yang diperoleh Indonesia sangat mininal. 2. Melebarnya defisit perdagangan jasa seiring peningkatan perdagangan barang. 3. Implementasi MEA juga akan membebaskan aliran tenaga kerja sehingga harus mengantisipasi dengan menyiapkan strategi karena potensi membanjirnya Tenaga Kerja Asing (TKA) akan berdampak pada naiknya remitansi TKA yang saat ini pertumbuhannya lebih tinggi daripada remitansi TKI. Akibatnya, ada beban tambahan dalam menjaga neraca transaksi berjalan dan mengatasi masalah pengangguran. 4. Implementasi MEA akan mendorong masuknya investasi ke Indonesia dari dalam dan luar ASEAN. 75
5.4
Kritik Atas Konsep Pasar BebasMEA: Dimana Rakyat Dalam MEA? Rachmi Hertanti Indonesia for Global Justice (IGJ)
Konsep MEA terintegrasi dengan pertumbuhan ekonomi global yang berpusat di Asia. Kawasan Asia Tenggara memiliki potensi dalam pertumbuhan ekonomi mengingat kawasan ini merupakan rumah dari 8,6% jumlah populasi dunia sebesar 616 juta orang. Dari total tersebut lebih dari 50% berada dalam usia produktif. Indonesia sendiri akan mengalami bonus demographydi tahun 2020 dimana akan terjadi peningkatan usia produktif mencapai 50-60 % dari jumlah total populasi Indonesia. Konsep integrasi ASEAN Community lebih merujuk pada ekonomi dan bukan masyarakat. Hal ini tergambar pada agenda besar MEA yang meliputi tiga hal utama, yaitu potensi market yang besar akibat the rise of middle class, efisiensi supply chain terkait dengan tenaga kerja dan sumber bahan baku dan yang terakhir adalah upaya untuk memfasilitasi investasi langsung di bidang infrastruktur, perdagangan dan industrialisasi. Berbicara tentang tema utama, ASEAN merupakan“Pasar Tunggal dan Basis Produksi ASEAN” yang ditunjang oleh elemen-elemen free flow of goods,free flow of services, free flow of investment,freer flow of capital, and free flow of skilled labouryang mengakomodasi kepentingan bisnis. Kritik yang diajukan dapat dipaparkan ke dalam beberapa argumen. 1. Pemerintah dan ASEAN menyatakan bahwa dalam bidang AEC, tingkat implementation rate dari negara ASEAN dalam scorecard mencapai di atas 90%.
76
Tabel 5.2 Scorecard Implementasi AEC (Hingga Akhir Juli 2015)
Pertanyaan selanjutnya ialah indikator-indikator apa yang dijadikan ukuran scorecard di dalam menilai kesiapan negara-negara anggota ASEAN, utamanya Indonesia dalam menyongsong AEC. Penelaahan lebih lanjut menunjukkan bahwa indikator kesiapan negara dalam scorecard AEC ditarik dari upaya-upaya yang memfokuskan pada dokumentasi kebijakan dan harmonisasi kebijakan, bukan pada analisa strategis mengenai upaya peningkatan daya saing dalam konteks perlindungan masyarakat rentan. Profil angka semata tidak mampu menunjukkan realisasi aksi.Oleh sebab itu dokumentasi dinilai bukan sebagai strategi efektif, tanpa adanya implementasi maupun prioritas aksi. 2. Jumlah dokumen yang terlalu banyak dan sulit untuk diakses maupun dipahami oleh pelaku usaha dan masyarakat menimbulkan permasalahan dalam pengertian dan informasi tentang MEA. Pemerintah dinilai tidak mampu untuk menerjemahkan dokumen implementasi kedalam suatu rencana aksi strategis yang dapat dipahami dan dijadikan pedoman bagi pelaku usaha dan masyarakat. 3. Diskursus mengenai ekonomi melalui AEC hendaknya diimbangi dengan konsep pembangunan manusia. Pilar AEC yang terpisah dengan isu pembangunan manusia mengartikan integrasi ekonomi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dilaksanakan tanpa konsiderasi atas pembangunan manusia. Pendekatan yang digunakan masih business as usual dalam rangka mendapatkan profit sebesar-besarnya. Pemerintah negara-negara ASEAN hendaknya mengadopsi isu sosial dan lingkungan, mengintegrasikan aspek human development, sosial protection dan ensuring environmental sustainability ke dalam wacana pertumbuhan ekonomi. 77
Dikotomi ekonomi dan pembangunan manusia dalam pilar AEC-ASCC ASEAN juga menimbulkan pertanyaan besar terkait dengan ketiadaan scorecards yang membantu dalam memandu pemastian terpenuhinya komitmen ASCC. 4. Keterlambatan penandatanganan INPRES No 6/2014 terkait peningkatan daya saing. Agenda pemerintah yang tidak dipersiapkan serta ketiadaan konsolidasi dari Kementerian Perekonomian ke K/L terkait sehubungan dengan 14 strategi dalam INPRES No 6/2014 dalam penentuan action plans di dalam menghadapi MEA. Selain itu, peningkatan daya saing hendaknya tidak hanya ditujukan di dalam menyongsong MEA mengingat Indonesia akan menghadapi berbagai mekanisme pasar bebas lainnya. 5. Ketiadaan proses inklusif di dalam proses keikutsertaan masyarakat dalam ke-putusan ekonomi. UU Perjanjian Internasional memberikan kekuasaan absolut kepada pemerintah untuk melakukan perjanjian internasional tanpa adanya proses monitoring dari publik dan DPR. Rekomendasi ke depannya meliputi: 1. Mengintegrasikan urusanHuman Development,Sosial Welfare and Protection,EnsuringEnvironmental Sustainability kedalam Pilar Ekonomi sehingga menjadi tugas pokok ASEAN Economic Minister Meeting dalam memikirkan pencapaiannya. 2. Sosialisasi mengenai MEA hendaknya tidak terbatas pada sosialisasi informasi namun mengedepankan upaya akomodasi masyarakat seperti petani dan nelayan sebagai pelaku ekonomi yang berdaulat dan bukan hanya sebagi ‘sub/bagian’ dari korporasi. 3. Perlu scorecard pencapaian aspek sosial untuk membentuk suatu strategi nasional yang mengakomodir rakyat khususnya dalam pilar ASCC.
78
5.5
MEA, Integrasi dan Ekspansi Kapital dan Dampaknya Bagi Buruh AbuMufakir Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS)
MEA adalah suatu proyek paling lengkap dari integrasi ASEAN. Tahapannya sudah berlangsung sejak tiga belas tahun lalu, dan mulai berlaku di penghujung tahun 2015. Sebagai proyek liberalisasi perdagangan, praktiknya sudah lama berjalan. Karenanya deklarasi MEA lebih mencerminkan upaya pelembagaan dan ratifikasi atas praktik-praktik sebelumnya. Salahsatu konse-kuensinya adalah semakin lepasnya kendali negara atas kapital, dan semakin diarahkannya kendali negara atas buruh. Pertanyaan yang kemudian menjadi semakin sering diajukan adalah: apa sebenarnya maksud dari integrasi tersebut?Untuk kepentingan siapa?dan bagaimana mewujudkannya? Tulisan ini ingin mendiskusikan persoalan integrasi tersebut melalui kacamata perburuhan, dengan mengajukan pertanyaan: seiring dengan integrasi ASEAN, apa yang secara struktural telah dan sedang berubah dalam relasi perburuhan dan pasar tenaga kerja, khususnya pada sektor manufaktur-padat karya? Lalu apa dampaknya bagi buruh? Fleksibilisasi produksi dan pasar kerja. Pada konteks industri manufaktur, MEA adalah proyek integrasi dan ekspansi rantai pasokan di tingkat ASEAN untuk menambah peluang pemangkasan ongkos produksi sekaligus perluasan pasar. Hal tersebut akan bisa berjalan jika melalui proyek MEA, setidaknya bisa terwujud jika berbagai faktor produksi seperti ongkos buruh yang lebih murah, ketersedian bahan baku yang melimpah, infrastruktur yang memadai, dan berbagai pemangkasan ongkos admnistratif bisa terlaksana; ditambah pasar yang besar dan terintegrasi untuk menyerap berbagai komoditas yang diproduksi. Integrasi tersebut berlangsung melalui operasi pencanggihan model produksi fleksibel (flexible production) dan integrasi pasar kerja fleksibel (flexible labour market). Karenanya operasi dan dampak dari MEA perlu diperiksa dari segi politik produksi dan pasar kerja dalam cakupan geografi ASEAN. Pertama, flexible production. Model produksi fleksibel diciptakan melalui penciptaan berbagai lokasi produksi baru. Tujuannya agar kapital dan investasi lebih mudah berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Strategi utamanya adalah pembangunan infrastruktur kawasan 79
industri dengan berbagai variannya, jaringan jalan tol dari kawasan industri ke pelabuhan, dan pergudangan internasional. Dalam proyek infrastruktur ini, ASEAN Infrastructure Fund (AIF), melalui bantuan dari Asian Development Bank (ADB) berperan besar. Kesepakatannya ditandatangani oleh ADB dengan para menteri keuangan ASEAN di Washington tahun 2011. Pada tahun yang sama ASEAN juga meratifikasi Perjanjian Perdagangan Bebas Plus Satu (ASEAN Plus One FTAs) dengan mitra berikutnya: China, Korea, Jepang, Australia, Selandia Baru, dan India. Seluruhnya adalah raksasa ekonomi di Asia Pasifik. Seluruh proyek manufaktur dan perjanjian dagang tersebut untuk mengintegrasikan jaringan produksi dan rantai pasokan global dalam rezim perdagangan internasional. Rantai pasokan global dalam industri manufaktur secara sederhana dapat diartikan sebagai jaringan pemasok bahan baku, komponen, lokasi perakitan atau produk final, gudang, pusat-pusat distribusi seperti pelabuhan, dan pasar retail, yang mana melalui rantai pasokan global inilah bahan baku diubah menjadi barang jadi untuk kemudian dilempar ke pasar. Rantai pasokan dalam industri manufaktur telah ada dan beroperasi dengan berbagai cara, tetapi secara umum terbatasi oleh berbagai hambatan di dalam satu negara. Karenanya, untuk memperluas rantai pasokan di satu negara, dibutuhkan suatu perluasan rantai pasokan dalam skala kawasan. Melalui rantai pasokan yang semakin terintegrasi, kapital manufaktur akan semakin mudah berpindah lokasi produksi, sekaligus memencarkan berbagai proses produksi secara paralel lintas negara melalui jaringan produksi yang telah tersedia, sambil memangkas ongkos pajak, ongkos distribusi, dan ongkos buruh. Melalui integrasi jaringan produksi dan rantai pasokan yang semakin baik, maka industri manufaktur dapat mempercepat, mempermurah, dan memencarkan resiko dari seluruh proses produksi. Distribusi dan pajak produksi (termasuk pajak ekspor-impor) merupakan salah satu kata kunci yang semakin penting dalam model produksi yang mengandalkan rantai pasokan. Memencarkan berbagai kerja produksi di banyak tempat dengan cara outsourcing di banyak negara, untuk kemudian dirakit menjadi produk jadi di satu tempat, dan dipasarkan ke banyak negara, memang dapat menekan ongkos produksi dengan mengalihkan pekerjaan ke suatu wilayah dengan upah murah dan memencarkan resiko, tetapi juga cenderung menaikkan ongkos distribusi. Karenanya operasi ini menuntut ketersediaan berbagai infrastruktur yang memadai dan pemangkasan pajak guna menekan ongkos distibusi. Hasilnya adalah proses produksi yang semakin fleksibel. Namun fleksibilitas produksi dalam cakupan geografi ASEAN, hanya bisa semakin baik dan lebih lancar, jika kapasitas industrialisasi di masing-masing negara untuk terintegrasi dalam rezim perdagangan internasional tidak terlalu senjang. Ditambah struktur rantai pasokan yang semakin terkonsentrasi dan terhubung, dan penerapan strategi industrialisasi menjadi semakin mirip, baik dari segi teknologi maupun kebijakan. Karenanya integrasi ASEAN, sejak dicetuskan tiga 80
belas tahun lampau, juga bisa dimaknai sebagai proyek untuk mempercanggih dan mengamankan jaringan produksi dan rantai pasokan global. Kedua, integrasi pasar tenaga kerja. Integrasi ASEAN sebagai basis produksi tunggal, juga berdampak pada integrasi pasar tenaga kerja. Sebagai basis produksi tunggal, pasar tenaga kerja di negara intra-ASEAN akan saling terhubung, dan menjadi kolam besar cadangan buruh murah. Situasi tersebut akan mendorong penajaman kompetisi di pasar tenaga kerja, yang menjadikannya semakin fleksibel, yang bertujuan untuk mempermudah proses rekrut-pecat dan menekan ongkos tenaga kerja. Selain itu fleksibilitas juga berarti semakin berkurangnya intervensi non-pasar terhadap pasar kerja, khususnya dalam soal upah, kondisi kerja, dan kepastian kerja. Segala upaya non-pasar, terutama negara dan serikat buruh, untuk mengawasi dan memperbaiki kondisi kerja akan dinilai dapat mengganggu fleksibilitas pasar tenaga kerja. Terintegrasinya basis produksi, akan mendorong saling terkaitnya pasar tenaga kerja di negara intra-ASEAN. Selanjutnya memicu kompetisi pasar tenaga kerja menjadi semakin tajam. Situasi ini berlangsung ketika kapital lebih mudah bergerak: keluar-masuk satu kawasan industri, sementara setiap intervensi dari faktor non-pasar semakin dianggap tidak relevan. Integrasi dan penajaman kompetisi di dalam pasar tenaga kerja, bukan karena adanya aliran bebas tenaga kerja di antara negara ASEAN. Sebab, aliran bebas tersebut hanya bisa berlangsung pada delapan sub sektor jasa, termasuk di antaranya akuntansi, engineering, dan pariwisata. Delapan sub sektor jasa tersebut jumlahnya tidak lebih dari 1,5% dari seluruh lapangan kerja di ASEAN. Realisasinya penulis duga tidak akan lebih dari 0,5%. Ditambah logika internal ongkos tenaga kerja (di dalam ongkos produksi), membuat tidak akan terjadi migrasi besar-besaran tenaga kerja dari satu negara ke negara lain di ASEAN. Penajaman kompetisi di dalam pasar tenaga kerja terjadi karena kapital semakin memiliki kebebasan untuk beroperasi di banyak lokasi produksi. Berpindah dari satu kawasan industri ke kawasan industri lain, baik di satu negara maupun berbeda negara, untuk mendapatkan lokasi produksi yang lebih menguntungkan. Biaya produksi dan distribusi yang lebih murah, cadangan buruh murah melimpah, lebih mudah dikendalikan dan belum terorganisir. Singkatnya, kapital akan mencari lokasi investasi dimana posisi tawarnya dalam pasar tenaga kerja jauh lebih kuat. Pada tahap ini, kompetisi pasar tenaga kerja tidak lagi sekedar situasi internal di satu negara, yang seakan-akan terlepas dari situasi pasar tenaga kerja di negara ASEAN lainnya. Keleluasan kapital untuk bergerak dari satu negara ke negara lain, telah membuat pasar tenaga kerja di ASEAN menjadi saling terhubung dalam satu arena kompetisi yang lebih besar. Perbedaan rezim perburuhan (hukum, kebijakan, mekanisme, dan lembaga perburuhan) yang mempengaruhi pasar tenaga kerja di masing-masing negara, akan diletakan dalam integrasi basis produksi bersama. Kompetisi di pasar kerja tidak hanya dipengaruhi oleh hubungan antara 81
pengangguran (permintaan) dan lapangan kerja (penawaran) yang tersedia di pasar internal satu negara, tetapi juga oleh mudahnya kapital bergerak memindahkan lokasi produksi di intraASEAN. Pergerakan kapital dari satu wilayah ke wilayah lainnya, akan selalu berarti naik atau turunnya permintaan dan penawaran di dalam pasar tenaga kerja. Ketika industri elektronik manufaktur berpindah dari Batam ke Vietnam, maka akan terjadi penurunan penawaran tenaga kerja di Batam dan peningkatan permintaan tenaga kerja di Vietnam. Situasi ini memang sudah berlangsung sebelum deklarasi MEA akhir tahun nanti. Namun peran MEA untuk semakin memastikan setiap negara di ASEAN telah menempuh prasyarat yang sama untuk menjadi lokasi produksi baru, akan mendorong kompetisi di dalam pasar kerja menjadi semakin dramatis. Pergerakan kapital adalah naik dan turunnya permintaan atau penawaran di pasar tenaga kerja. Jumlah pengangguran di Indonesia, akan menyatu dengan pengangguran di Vietnam, Kamboja, dan negara intra-ASEAN lainnya dalam satu pasar kerja, sehingga membuat jumlahnya melonjak drastis, sementara jumlah pembukaan lapangan kerja tidak akan bertambah banyak, tapi terus bergerak. Dalam situasi tersebut, kemampuan suatu negara –khususnya yang bergantung pada modal swasta dalam industri manufaktur padat karya– untuk melindungi pasar kerjanya semakin melemah. Bahkan intervensi negara sebagai aspek non-pasar, untuk melindungi dan memperbaiki kualitas pasar tenaga kerja, dianggap tidak dibutuhkan. Negara berada di tengah kebebasan kapital untuk terus berpindah, dan ketergantungan terhadap sektor swasta dalam penciptaan lapangan kerja (penciptaan penawaran). Hasilnya adalah meningkatnya kompetisi antar negara untuk mempertahankan arus modal masuk, untuk menciptakan lapangan kerja, dengan cara mempermudah dan mempermurah semua persyaratannya. Sementara itu kapital semakin leluasa bergerak dengan semakin banyaknya pilihan lokasi produksi. Posisi tawarnya di hadapan negara dan buruh terus menguat. Pada sisi kompetisi internal kapital, terciptanya lebih banyak pilihan produksi, semakin mengharuskan mereka untuk terus bergerak dan melakukan sekian penyesuaian. Yang secara umum bertujuan untuk memanfaatkan peluang memangkas ongkos produksi. Kompetisi menuntut kapital untuk bisa lebih fleksibel dalam mengurangi atau menambah pekerjaan, menarik atau memencarkan pekerjaan, menambah atau mengurangi ongkos buruh, supaya bisa tetap beradaptasi dengan fluktuasi pasar. Industrialisasi dan urbanisasi. Penciptaan berbagai ruang produksi baru melalui strategi pembentukan kawasan industri di dekat, atau terhubung ke pelabuhan, di wilayah dengan jaringan infrastruktur yang memadai untuk sirkulasi bahan baku dan dan barang jadi, dan semua kemudahan administrasi, membuat perluasan dan penciptaan kota industri baru menjadi tidak bisa terelakan. Keberadaan ruang produksi yang memadai, bahkan melimpah, 82
semakin menjadi prasyarat utama bagi satu negara untuk menarik dan melayani ekspansi kapital. Perluasan industrialisasi atau ruang produksi, pada banyak kasus melanda wilayah pertanian, bahkan lumbung padi. Dalam kasus Indonesia, perluasan kota industri dari timur Jakarta melanda Bekasi, Karawang, Purwakarta, lalu Subang. Keempat kota itu sebelumnya adalah lumbung padi Jawa Barat. Perluasan ruang produksi, secara paksa mempercepat peralihan wilayah pertanian menjadi kota industri baru. Apa yang terjadi di Jawa Barat, adalah juga bagian dari percepatan dan kompetisi perluasan kawasan industri di Vietnam dan Kamboja, atau lebih luas di sub-kawasan aliran sungai Mekong. Artinya perluasan lokasi produksi yang sama juga berlangsung di negara ASEAN lainnya. Hal ini menambah jumlah desa yang bangkrut dan kehilangan kemampuannya dalam menyediakan lapangan kerja. Sementara hilangnya jumlah lapangan kerja di pedesaan, dan bertumpunya pertumbuhan ekonomi (GDP) pada sektor industri perkotaan, tidak akan pernah bisa dijawab oleh kemampuan industri manufaktur untuk menyerap tenaga kerja karena terus mengalami intensifikasi dan mekanisasi kerja yang semakin canggih. Sehingga secara keseluruhan lapangan kerja di pedesaan mengalami penyusutan, dan turut mempertajam kompetisi pasar kerja di sektor formal manufaktur padat-karya. Situasi seperti itulah yang kemudian menjelaskan meningkatnya jumlah populasi yang terlempar dalam sektor informal perkotaan. Mereka yang tidak lagi bisa hidup dari tanah di desanya, tetapi juga tidak terserap dalam industri manufakur, terpaksa pergi ke kota dan menjadi bagian dari populasi terbuang yang berada dalam kondisi hidup serba subsisten. Integrasi ASEAN beserta seluruh perubahan yang dihasilkannya, akan menambah semakin banyak cadangan tenaga kerja, dan membuat buruh semakin terkunci dalam upah murah dan kondisi kerja yang memburuk. Kebebasan Berserikat dan Pelembagaan Partisipasi Publik? Kemampuan kapital untuk terus berpindah dan pasar kerja yang semakin fleksibel, mendorong memburuknya kondisi kerja, politik upah murah, dan semakin hilangnya hak atas kepastian kerja. Hal itu juga sekaligus turut melemahkan posisi tawar serikat buruh, karena semakin sulitnya melakukan pengorganisasian jangka panjang di tempat kerja. Posisi serikat buruh dalam proses pengambilan keputusan semakin tidak diperhitungkan. Di negara-negara ASEAN tingkat keberserikatan buruh masih sangat rendah. Indonesia pada tahun 2010, jumlah buruh yang berserikat jika digabung antara sektor formal dan informal hanya berkisar 2,6 %, atau sekitar 10 % jika dihitung hanya buruh sektor formal. Sementara Myanmar dan Brunei Darussalam 0.0 %, Kamboja1 %, Thailand 3 %, Malaysia 8,3 %, Filipina 12,3 %, dan paling tinggi Singapura 15,7 % (Caraway, 2010, hal 228).
83
Di luar persoalan dan dinamika internal gerakan buruh itu sendiri, situasi kebebasan berserikat berkaitan dengan situasi demokrasi di masing-masing negara. Brunei berada dalam rezim monarki yang tidak menghendaki adanya kebebasan berserikat, sementara Thailand berada dalam rezim otoriter yang membatasi dan merepresi kebebasan berserikat. Situasi antar negara memberikan peluang politik yang berbeda dalam kemunculan dan pengembangan kebebasan berserikat, tetapi mereka berada dalam rezim kebebasan kapital yang hendak berlaku sama. Kebebasan berserikat adalah prasyarat utama bagi berbagai macam strategi pelembagaan partisipasi publik. Tanpa kebebasan berserikat, sulit untuk menegakan mekanisme apapun yang memungkinkan buruh memiliki posisi tawar relatif di hadapan negara dan kapital. Kenyataan kebebasan berserikat dipengaruhi oleh kesalingterkaitan antara rezim perburuhan dan kualitas demokrasi yang tersedia, dengan rezim pasar kerja yang berlaku. Sementara rezim perburuhan terlihat semakin represif dan membatasi kebebasan berserikat, rezim pasar kerja menjadi semakin fleksibel dan mempertajam persaingan antar-buruh untuk mendapatkan pekerjaan. Karenanya, kehadiran pelembagaan partisipasi publik yang kokoh, menjadi sulit terwujud ketika kebebasan berserikat dan posisi tawar serikat buruh justru semakin tergerus. Pelembagaan partisipasi publik akan menjadi artifisal dan sempit, ketika ia dibatasi hanya dalam soal mekanisme regional dalam penyelesaian perselisihan industrial di tempat kerja. Itupun bersifat sukarela.
84
VI. Rekomendasi: Membangun ASEAN Kita Semua Pokok-pokok rekomendasi yang disampaikan oleh para pembicara dapat dirumuskan sebagai berikut: 6.1 Pokok-Pokok Rekomendasi Mengenai Kebijakan HAM ASEAN 1. Sangat penting untuk menegaskan framework ASEAN untuk perlindungan kaum buruh migran. Ratifikasi konvensi ASEAN untuk buruh migran perlu untuk segera dilakukan. Konvensi ASEAN untuk buruh migran jangan maju mundur. 2. ASEAN menempatkan posisi masyarakat setara dengan negara dalam ruang partisipasi publik. CSO bisa mengembangkan modalitasnya dalam upaya perlindungan manusia dengan bergerak dalam usaha penyediaan ruang publik. 3. ASEAN memperkuat mandat AIHCR terutama dengan kewenangan perlindungan HAM. 4. ASEAN terus mengembangkan kerjasama yang efektif untuk mengatasi ketimpangan yang terjadi di antara negara-negara ASEAN dalam penegakan HAM. 5. ASEAN segera menyiapkan kebijakan dan regulasi untuk mendorong dan memajukan pelaksanaan Human Right Cities di seluruh kota-kota besar ASEAN. 6. ASEAN mendukung pengembangan warga yang tidak beruntung dan minoritas yang ada di negara anggotanya. 7. ASEAN perlu mengevaluasi kembali prinsip-prinsipnon-interferencedan kedaulatan absolut, konsensus dan ASEAN way, yang dapat membelenggu gerak ASEAN dalam upaya menegakkan Hak Asasi Manusia. 8. CSO terus meningkatkan partisipasinya dalam mekanisme-mekanisme regional yang sudah ada secara optimal untuk terus mendorong keberadaan democratic space di negara-negara ASEANsehingga CSO di negara-negara anggota ASEAN dapat mempengaruhi kebijakan pemerintahnya terkait HAM secara lebih efektif. 6.2 Pokok-pokok Rekomendasimengenai Kelembagaan ASEAN yang Terbuka dan Partisipatif untuk Semua Warga: 1. ASEAN segera melembagakan ruang partisipasi publik yang terbuka dan inklusif. 2. ASEAN secara aktif dan representatif mempromosikan partisipasi publik untuk menghasilkan kebijakan dan program ASEAN, dengan: a. Mendorong pengembangan komunitas di negara-negara anggotanya.
85
3. 4.
5.
6.
7.
8.
b. Melibatkan anggota komunitasnya dalam pembelajaran dan pemahaman isuisu dalam komunitas ASEAN. c. Mempertimbangkan isu dan kondisi warga yang ada di negara anggotanya dalam pembuatan kebijakan dan program. d. Melibatkan anggota komunitasnya dalam pembelajaran dan pemahaman terhadap dampak ekonomi, sosial, lingkungan, politik, psikologis dan dampak lainnya yang terkait dengan alternatif rangkaian tindakan yang akan diambil oleh ASEAN. e. Bekerja secara aktif untuk meningkatkan kapasitas kepemimpinan anggota, pemimpin, dan kelompok dalam komunitas ASEAN. f. Mencegah terjadinya hal-hal yang mungkin merusak atau melemahkan komunitas yang ada di negara anggotanya. g. Menggunakan berbagai strategi tindakan yang luas untuk menjaga keberlanjutan dan kesejahteraan komunitasnya. Kebijakan dan program ASEAN harus dapat menampung dan memayungi berbagai kepentingan dan keberagamanbudaya yang ada di negara-negara anggotanya. ASEAN harus mendorong dan terlibat mewujudkan tiga elemen pemerintahan terbuka (open government) yaitu: (a) kebebasan informasi publik; (b) keterbukaan dan pengungkapan aset pejabat negara; (c) partisipasi warga yang bermakna dan terlembaga. ASEAN memberikan ruang partisipasi aktif khususnya bagi pemuda dalam upaya mendorong terciptanyaengagementkaum muda dengan ASEAN.Di samping isu kepemudaan, pemuda mendapatkan kesempatan untuk membahas isu mengenai buruh migran, good governance, human right, dan lain sebagainya.ASEAN juga perlu mendorong upaya kolektif dan kolaboratif antara pemuda dengan kelompok masyarakat sipil lainnya. ASEAN harus membuktikan kontribusi spesifik bagi masyarakat secara luassupaya dapat memperluas dukungan dari masyarakat. Perhatian khusus misalnya dapat diberikan pada kelompok yang paling termarjinalisasi seperti kelompok buruh migran. Pemerintah Indonesia dapat memfasilitasi pelembagaan mekanisme riil ASEAN untuk memberikan ruang bagi partisipasi publik dengan mengambil lesson learned dari lembaga-lembaga regional lainnya yang sudah maju. CSO memperkuat platform yang sudah ada untuk meningkatkan kesempatan partisipasi publik.
86
9. CSO terus mendesakkan dan mengawal perwujudan komitmen tertulis ASEAN, seperti ‘people-centered’, people-oriented dan prosedur akreditasi.
6.3 Pokok-pokok Rekomendasi mengenai Rambu-rambu Sosial untuk Memastikan MEA Memberi Manfaat kepada Semua dan Tidak Mengorbankan Lingkungan Hidup Indonesia: 1. ASEAN membangun rambu-rambu sosial untuk memastikan MEA memberi manfaat kepada semua dan tidak mengorbankan lingkungan hidup Indonesia. 2. Untuk menjaga keseimbangan antara tujuan pertumbuhan ekonomi dalam MEA dan pembangunan sosial, perlu dilakukan upaya: a. Mengintegrasikan urusanHuman Development, Sosial Welfare and Protection,EnsuringEnvironmental Sustainability kedalam Pilar Ekonomi sehingga menjadi tugas pokok ASEAN Economic Minister Meeting dalam memikirkan pencapaiannya. b. Sosialisasi mengenai MEA hendaknya tidak terbatas pada sosialisasi informasi, namun mengedepankan upaya akomodasi masyarakat seperti petani dan nelayan sebagai pelaku ekonomi yang berdaulat dan bukan hanya sebagi ‘sub/bagian’ dari korporasi. c. Perlu scorecard pencapaian aspek sosial untuk membentuk suatu strategi nasional yang mengakomodir rakyat khususnya dalam pilar ASCC. 3. ASEAN segera membentuk Kelompok Kerja Khusus untuk mempelajari dan menyiapkan dukungan bagi penerapan UN Guiding Principles on Business and Human Rights. 4. ASEAN harus segera terlibat dalam melaksanakan target-target pembangunan berkelanjutan terutama tujuan no 16, yaitu tata pemerintahan dan institusi publik yang inklusif dan damai. 5. Pemerintah Indonesia perlu melakukan redesigning atas diplomasi ekonomi Indonesia supaya benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat secara luas dan mampu mengatasi empat risiko: (1) risiko fiskal, (2) risiko keuangan dan moneter, (3) risiko di bidang industrial dan perdagangan, dan (4) risiko penciptaan lapangan kerja. 6. Diplomasi ekonomi Indonesia harus memberikan ownership yang lebih besar. Diplomasi tersebut harus bisa memanfaatkan empat sumber daya yang ada, yaitu
87
sumber daya teknokratik, sumber daya birokratik, sumber daya politikbaik kekuatan politik formal maupun non-formal dan sumber daya sektor sosial. 7. Pemerintah Indonesia perlu mengidentifikasi gap antara kapasitas kelembagaan dan tujuan normatif yang ingin dicapai untuk mengatasi policy problem akibat target yang ditentukan terlalu tinggi, sementara kapasitas yang dimiliki tidak memadai. 8. Pemerintah Indonesia perlu meningkatkan peran dan fungsi masing-masing kementerian dan lembaga terkait dengan lebih jelas, efektif dan efisien, di antaranya: a. Presiden RI tetap memosisikan Indonesia sebagai pendorong utama pelaksanaan Masyarakat ASEAN. b. Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi memposisikan Indonesia agar tidak hanya menjadi pasar bagi produk ASEAN tetapi juga sebagai produsen yang mampu bersaing di pasar ASEAN. c. Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi memformulasikan kebijakan dan peraturan Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk menghadapi MEA. d. Kementerian Perdagangan menjadi penggerak sosialisasi terpadu melalui AECCenter. e. Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan dan kementerian terkait membangun strategi dalam rangka memperkuat daya saing PIS melalui peningkatan kualitas produk yang dihasilkan, baik untuk industri berbasis sumber daya alam (kayu, karet, perikanan), industri manufaktur (otomotif), maupun jasa (pariwisata) dengan standar kualitas yang bersifat global. f. Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan lembaga terkait memperhatikan perlindungan produk UKM dengan penerapan SNI. Selain itu, pemerintah perlu mendorong pembangunan Standar Regional ASEAN atas dasar jejaring Standar Nasional dari negara-negara anggota ASEAN. g. Kementerian Luar Negeri memfungsikan dan mengaktifkan kembali Sekretariat Nasional ASEAN, khususnya desk MEA. h. Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi memperkuat koordinasi antar kementerian dan lembaga secara vertikal dan horizontal dalam kerangka RAN sampai tingkat bawah sesuai tugas dan fungsinya. i. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengoptimalkan fungsi koordinasi sebagai “pusat komando” pelaksanaan MEA di Indonesia.
88
j.
Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah serta lembaga terkait mendorong pertumbuhan sektor riil, terutama UKM dengan meningkatkan akses kredit dan stimulus non-kredit k. Kementerian Luar Negeri mengaktifkan dan menguatkan pusat-pusat kajian ASEAN. l. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengintegrasikan pengetahuan tentang ASEAN ke dalam kurikulum pendidikan sejak tingkat sekolah dasar. 9. Pemerintah perlu mengantisipasi empat dampak implementasi MEA, yakni: a. Implementasi MEA berpotensi menjadikan Indonesia hanya sebagai pemasok energi, bahan baku dan pasar bagi industrialisasi di kawasan ASEAN, sehingga manfaat yang diperoleh Indonesia sangat mininal. b. Melebarnya defisit perdagangan jasa seiring peningkatan perdagangan barang. c. Implementasi MEA juga akan membebaskan aliran tenaga kerja sehingga harus mengantisipasi dengan menyiapkan strategi karena potensi membanjirnya Tenaga Kerja Asing (TKA) akan berdampak pada naiknya remitansi TKA yang saat ini pertumbuhannya lebih tinggi daripada remitansi TKI. Akibatnya, ada beban tambahan dalam menjaga neraca transaksi berjalan dan mengatasi masalah pengangguran. d. Implementasi MEA akan mendorong masuknya investasi ke Indonesia dari dalam dan luar ASEAN. 10. Dalam upaya memperkuat kesiapan Indonesia dalam MEA, perlu dan sangat mendesak untuk melakukan: a. Sosialisasi tentang ASEAN secara massif (besar-besaran) dan menyeluruh b. Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dalam rangka mengimplementasikan MEA. c. Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) melalui penyediaan modal supaya UMKM dapat memasuki rantai nilai regional dan global. d. Perbaikan infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan. e. Reformasi kelembagaan pemerintahan f. Reformasi iklim investasi
89