ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
Buletin Alam Sumatera dipublikasikan oleh KKI WARSI
Dari Editor
Susunan Redaksi Penanggung Jawab: Diki Kurniawan Editor: Sukmareni Reporter: Staf KKI Warsi Web Master: Askarinta Adi Distribusi: Aswandi Chaniago
Daftar Isi / penulis SALAM RIMBA • Turunkan Emisi 30 persen dan Tren Kebakaran Hutan / Sukmareni................................................................... 4 4 INTRODUKSI • Suku Batin IX, Antara Melayu dan Orang Rimba / Sukmareni & Tim Suku Suku.............................................…....55 LAPORAN UTAMA • Bathin IX, Masyarakat Asli Marginal Keturunan Raja –Raja / Sukmareni & Tim Suku Suku...............................…8 8 • “Kami Orang Rumah Tinggi” / Sukmareni ...............................................................................................................1111 • Pembangunan dan Konflik Sosial Bathin IX / Sukmareni.......................................................................................1313 • Mat Liar Bertahan Dengan Pola Hidup Nenek Moyang / Kurniawan.......................................................................1515 FOKUS • Serampas Sudah Dikenal Sejak Masa Kesultanan Jambi / Herma Yulis...................................................................17 17 • Kearifan Lokal Serampas, Tanah Ajum Tanah Arah / Herma Yulis...........................................................................21 21 • Pengukuhan Gelar Adat Depati Karti Mudo Menggalo / Hermayulis........................................................................23 23 GIS SPOT. • Deteksi Dini Hot Spot Menggunakan Google Earth / Sofyan Agus Salim................................................................2525 DARI HULU KE HILIR • Menggali Hutan Nagari / Hari dan Bimo...................................................................................................................26 26 • Talang KemuningMenunggu SK Hutan Adat / Sukmareni.......................................................................................2828 WAWANCARA • Safeguard REDD+ Harus Direbut oleh Jambi / Herma Yulis.................................................................................3030 SUARA RIMBA • Menghitung Dampak Kebakaran Lahan Gambut di Jambi / (Iqbal Zainudin/Elviza Diana)....................................3232 • Safeguard dalam Implementasi SRAP REDD+ / Herma Yulis.................................................................................3434 AKTUAL • Tingkatkan Pendapatan Petani, Kembangkan Pertanian Terpadu / Sukmareni......................................................3737 • Menghijaukan Hutan Larangan / Elviza Diana..............................................…..........................…...….........…......3939 MATAHATI • Buah Tangan dari Hutan Adat Rantau Kermas / Elviza Diana.................................................................................4040 • Cerita Penjaga Hutan / Emmi Primadona Than......................................................................................................4242 ETNOGRAFI ORANG RIMBA • Tradisi Melangun Merupakan Adaptasi Orang Rimba Terhadap Hutan Tropis / Robet Aritonang..........................4444 • Kedudukan Suami Dalam Keluarga Orang Rimba / Robet Aritonang.....................................................................4646 SELINGAN • Yusak Dapat Penghargaan Khusus UGM / Sukmareni...........................................................................................4848 • Berlibur Ala Beteguh / Elviza Diana.........................................................................................................................4949 • Kala Orang Rimba Membuka Ladang / Elvidayanti & Heriyadi Asyari....................................................................5050 • Tiga Hutan Desa Tanjabtim Terima SK / Elviza Diana.............................................................................................5151 Kajian • Membaca Peluang Hukum Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Pasca / Ilham Kurniawan..................................5252
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
Pembaca setia Alam Sumatera yang budiman,
D
i penghujung 2014 ini kami kembali hadir menyapa pembaca sekalian. Bahasan utama yang kami turunkan adalah tentang komunitas Batin IX, salah satu suku asli minoritas yang hidup di di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Konon Batin IX merupakan anak keturunan dari Pangeran Kerajaan Pagaruyuang yang mendiami sembilan anak sungai, yaitu Sungai Bulian, Sungai Bahar, Sungai Singoan, Sungai Jebak, Sungai Jangga, Sungai Telisak, Sungai Sekamis, Sungai Semusir, dan Sungai Burung Hantu. Kesembilan anak sungai tersebut menjadi salah satu identitas Orang Batin IX karena sembilan anak sungai tersebut dikuasai oleh sembilan orang bersaudara yang merupakan nenek moyang mereka. Sama seperti suku asli minoritas lainnya di dunia, kehidupan Batin IX juga terdesak oleh program pembangunan yang “dihadirkan” pemerintah di wilayah penghidupan mereka. Sejak zaman Belanda kehidupan Batin IX terusik dengan adanya program pengeboran minyak yang dilakukan Belanda dengan mendatangkan tenaga kerja dari berbagai daerah ke jantung penghidupan Batin IX di daerah yang kini dikenal dengan Sungai Bahar, pedalaman Sarolangun hingga batas Sumatera Selatan dan sekitarnya. Pasca kemerdekaan daerah ini terus “berkembang” dengan hadirnya perusahaan hutan tanaman,perkebunan sawit dan transmigrasi.
Foto Cover : Istri Mat Liar dan anak anak Foto Aulia E. /Dok Burung Indonesia
Desain dan Cetak:
[email protected] Komunitas Konservasi Indonesia - WARSI Alamat : Jl. Inu Kertapati No.12 Kel. Pematang Sulur Kecamatan Telanai Pura Kota Jambi. 36124 PO BOX 117 Jbi Tel: (0741) 66695 Fax : (0741) 670509 E-mail :
[email protected] http://www.warsi.or.id http://alamsumatera.org.
Kehadiran perusahaan dan transmigrasi tentu diikuti dengan kehadiran banyak orang baik sebagai tenaga kerja ataupun peserta transmigrasi. Kehadiran banyak orang ke wilayah penghidupannya telah menyebabkan Batin IX tergagap. Sebagian berusaha untuk menyesuaikan diri dengan melakukan asimilasi dan alkulturasi budaya, sebagian yang tidak siap dengan perubahan ini memilih tinggal di hutan dan menghindar dari pembauran. Kisah Batin IX ini kami hadirkan ke ruang pembaca untuk menggugah kita semua bahwa masih ada kelompok masyarakat di negeri ini yang masih belum mendapat perhatian serius dari negara. Selain itu kami juga menghadirkan kearifan masyarakat Serampas dalam mengelola sumber daya alam mereka. Adat budaya yang sudah eksis sejak nenek moyang tetap diterapkan untuk menjaga keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam. Pun kami hadirkan berbagai ulasan lainnya tentang berbagai hal dalam upaya untuk mengugah kita semua semakin meningkatkan perhatian dan kepeduliannya pada alam dan lingkungan kita, sehingga dapat tercapai keseimbangan yang akan membawa ketentraman untuk kita semua. Untuk itu kami ucapkan selamat membaca. Salam Lestari
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
SALAM RIMBA
4
INTRODUKSI
Turunkan Emisi 30 persen dan Tren Kebakaran Hutan
I
Indonesia bertekad menurunkan emisi karbon sebesar 30 persen pada 2020. Komitmen ini disampaikan setelah delegasi Indonesia mengikuti Konferensi United Nations Framework Convention on Climate Change ke-20 dan Kyoto Protokol ke-10 di Pentagonito, San Borja, Lima, Peru, yang berlangsung sejak 1-13 Desember 2014. Komitmen sepertinya perbaikan dari pemerintah RI sebelumnya sebagaimana yang disampaikan SBY pada Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan iklim di Kopenhagen, Denmark, tahun 2009 yang menargetkan penurunan emisi sebesar 26 persen dengan upaya sendiri dan 40 persen dengan bantuan pihak lain pada tahun 2020. Untuk menurunkan emisi sesuai dengan tekad ini, tentu perlu adanya langkah kongkrit yang ditetapkan di berbagai sektor, terutama sektor energi dan tata guna lahan yang merupakan sektor utama penyumbang emisi karbon Indonesia. Sektor energi ditargetkan pengurangan emisi dari diversifikasi energi dan adanya upaya konservasi energi serta penerapan teknologi CCS (Carbon Capture Storage). CCS adalah teknologi yang dapat menangkap hingga 90% karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan dari penggunaan bahan bakar fosil pada pembangkit listrik dan proses industri dan mencegahnya memasuki atmosfer. Sedangkan di sektor LULUCF (Tata Guna Lahan, Perubahan Tata Guna Lahan dan Kehutanan) menargetkan menghijaukan kembali dengan pengembangan hutan tanaman dan rehabilitasi hutan dan lahan, pemberantasan penebangan liar, pencegahan kebakaran hutan, pengelolaan hutan lindung dan pengelolaan hutan konservasi seluas 36,31 juta hektar sampai tahun 2025. Untuk pencegahan kebakaran hutan dilakukan dengan pengendalian kebakaran hutan yang mengutamakan aspek preventif dan melaksanakan pengelolaan hutan gambut secara berkelanjutan. Tentu target penurunan emisi diikuti dengan skenario penurunannya merupakan langkah maju untuk berperan serta dalam menurunkan emisi karbon sembari juga berupaya untuk meningkatkan kemampuan adaptasi dan mitigasi di berbagai level kehidupan. Hanya saja jika kita lihat proses dan penanganan yang sudah berjalan pemerintah harus bekerja keras untuk mewujudkannya. Untuk kasus penanganan kebakaran hutan saja misalnya pemerintah masih kewalahan. Setidaknya ini bisa di lihat dari kasus kebakaran hutan yang terjadi di Provinsi Jambi. Dari tahun 2010-2014 berdasarkan analisis titik
api yang dilakukan KKI WARSI dengan konviden level 80 % validasi LAPAN, kebakaran hutan terjadi setiap tahun. Pada tahun 2010 tercatat 82 titik api, 2011 ada 641, 2012 terdapat 962, 2013 tercatat 376 dan 2014 ada 485 titik api. Pun demikian halnya di daerah yang selalu terjadi kebakaran hutan dan lahan setiap tahunnya, Riau, Sumatera Selatan dan Kalimantan yang juga membara di kala musim kemarau dan mengeluarkan asap tebal yang sudah mengganggu kehidupan dan tentu menjadi salah satu sektor penyumbang emisi. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa persoalan kebakaran hutan memang sudah dibicarakan setiap tahunnya, namun belum ada langkah kongkrit untuk mengendalikan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi. Dari analisis yang dilakukan sebagian besar kebakaran berlangsung di dalam kawasan yang dikelola oleh perusahaan. Baik perusahaan hutan tanaman, maupun di dalam areal kelola perkebunan sawit, di tanah mineral maupun lahan gambut. Hal ini memperlihatkan penanganan kebakaran hutan belum berjalan dengan baik. Upaya hukum sebagai salah satu langkah untuk mencegah kebakaran juga belum berjalan dengan baik. Padahal sudah jelas dalam aturan kebijakan pemerintah bahwa setiap pemegang izin bertanggung jawab untuk menjaga kawasannya termasuk mencegah terhadap terjadinya kebakaran di kawasan tersebut. Namun nyatanya hingga kini perusahaan yang di arealnya terjadi kebakaran bahkan berulang dari tahun ke tahun belum mendapatkan sanksi tegas dari penyelenggara negara selaku pemberi izin. Sedangkan dari sektor penghijauan, sudah banyak program yang diluncurkan untuk melakukan rehabilitasi lahan dan hutan, one man one three, one billion three dan berbagai gerakan penghijauan lainnya belum mampu menghutankan kembali kawasan kritis di Indonesia. Hal ini terlihat dari luasan lahan kritis yang yang dirilis kementrian kehutanan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Penanganan illegal logging juga masih memprihatinkan. Jika ditelusuri hutan-hutan seperti hutan di Provinsi Jambi, pembalakan liar dengan mudah ditemukan. Melihat ini tentu perlu adanya kerja keras dari semua pihak untuk bisa mewujudkan target penurunan emisi sebesar 30 % pada tahun 2020 nanti, atau target ini hanya akan menjadi ajang tawar menawar posisi ketika dilangsungkannya konferensi internasional terkait perubahan iklim.(Sukmareni)
ALAM JANUARI 2015 2015 ALAM SUMATERA, SUMATERA, edisi edisi JANUARI
Batin IX yang tinggal di Hutan Harapan (Foto: Dok Burung Indonesia / Aulia Erlangga)
Suku Batin IX, Antara Melayu dan Orang Rimba Jambi dikenal dengan adanya suku asli marginal yang mendiami kawasan hutan. Kelompok masyarakat yang mendiami hutan ini secara umum oleh pemerintah dinamakan Suku Anak Dalam, masyarakat Melayu menamakan mereka dengan sebutan Kubu ataupun orang hutan merujuk keramat tinggal mereka yang berada di hutan. Sedangkan komunitas itu sendiri menamakan diri mereka berdasarkan penamaan yang diturunkan oleh nenek moyang mereka.
A
da komunitas yang jadi diri sebagai Orang Rimba dan ada juga yang menamakan sebagai Batin IX. Sesuai dengan penamaan yang diwariskan oleh nenek moyang. Namun sekarang generasi yang hidup pasca 1970an lebih menyebut diri mereka sebagai Suku Anak Dalam karena itu akan berkonsekuensi sebagai bentuk penyesuaian proyek pemerintah. Kedua komunitas asli marginal ini di beberapa cara penghidupan ada beberapa kesamaan, yaitu sama-sama tinggal di hutan, memanfaatkan hasil hutan untuk kehidupan, hingga cara berpakaian jika merujuk ke masa-masa lampau. Dahulunya kedua komunitas ini memakai cawat untuk menurut aurat mereka, yaitu kulit kayu yang dibalutkan ke tubuh bagian sensitif. Ketika sudah mengenal kain, cawat beralih menggunakan kain, yang kini sebagian Orang Rimba masih eksis dengan model pakaian seperti ini. Secara wilayah penghidupan kedua komunitas ini juga berbeda. Orang Rimba umumnya memilih hidup di antara anak-anak sungai kecil di dalam hutan di dataran rendah. Sedangkan Batin IX lebih cenderung berada agak ke timur dengan sungai-sungai cukup besar sebagai wilayah teritorial mereka. ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
5
6
INTRODUKSI
INTRODUKSI gantungkan hidupnya dari berburu hewan hutan, alias tidak ada sistem peternakan di mereka untuk memenuhi kebutuhan protein mereka. Sedangkan Batih IX jika dilihat dari legenda asal usulnya memiliki seloko yang ”Adat tradisi yo batin 9, kalau hidup puyo rumah, puyo jamban, puyo tepian, ado adat ado aturan, kalau luko di pampas, kalau sakit berobat, kalau di darat punyo umah, punyo sesap, punyo belukar, punyo tanaman tumbu… di aeh punyo pekarangan, punyo jamban, punyo tepian, kalau jantan besak nak bebinik, kalau betino besak nak belaki, kalau beamish nak dapat padi, kalau bebinih nak dapat anak, kalau mati punyo pendam, punyo kuburan, punyo waris.” Dari seloko ini terlihat Batin IX merupakan komunitas yang memiliki perkampungan tetap meski mereka juga berjalan ke hutan untuk mengambil hasil hutan dan berladang. Berbeda dengan Melayu yang mengembangkan pertanian di sekitar pemukiman mereka. Asimilasi dan Akulturasi Budaya Pola hidup dan seloko yang dibangun di kedua kelompok masyarakat ini memperlihatkan bahwa mereka berbeda satu sama lainnya. Jika boleh disimpulkan jika komunitas Melayu ada di bagian depan, disusul dengan Batin IX dan baru di bagian belakangnya Orang Rimba. Dengan posisi tegas orang rimba menyebabkan mereka sulit untuk mengalami asimilasi dan akulturasi budaya. Sedangkan Batin IX proses asimilasi berlangsung cu-
kup cepat, apalagi pemerintah berperan besar dalam proses ini dengan adanya migrasi ke wilayah penghidupan Orang Batin yang sudah berlangsung sejak zaman Belanda. Diketahui bahwa sebagian layah penghidupan mengandung cadangan minyak yang cukup banyak, sehingga pemerintah Belandapun membangun kilangkilang minyak dan mendatangkan pekerja dari luar termasuk dari pulau Jawa. Di era kemerdekaan kebijakan pemerintah juga menghadirkan perusahaan-perusahaan di wilayah penghidupan Batin IX, berupa HPH, HTI, perkebunan sawit dan transmigrasi. Walau sebenarnya hal serupa juga dialami oleh komunitas Orang Rimba, namun akulturasi tidak berlangsung cepat karena sejak awal Orang Rimba membatasi dan membedakan diri komunitas di luar mereka. Sedangkan Batin IX dengan polanya yang menetap maka akulturasi ini menjalar ke wilayah-wilayah penghidupan mereka dan berasimilasi dengan budaya dominan. Hingga kini hanya tinggal sedikit komunitas Batin yang masih menjaga adat dan budaya mereka, terutama yang berada lebih agak ke pedalaman. Berdasarkan survei yang dihimpun WARSI Batin IX yang masih eksis dan cenderung homogen berada di wilayah sebagaimana dilihat di tabel di bawah ini:
Warga Batin IX Simpang Macan. (Foto Heriyadi / Dok. KKI WARSI)
Perbedaan mendasar terlihat pada pola perpindahan. Orang Rimba merupakan kelompok masyarakat semi nomaden yang berpindah dengan pola mobilitas residensial, yaitu ketika berpindah semua anggota kelompok, semua barang keluarga akan ikut serta pindah. Sedangkan kelompok Batin IX lebih tergolong kepada mobilitas taktis, yaitu hanya berpindah untuk waktu tertentu dan akan kembali ke daerah asalnya.
Perbedaan lainnya terlihat dari penggunaan bahasa, Meski masih bisa dikelompokkan sebagai bahasa akar Melayu, namun terdapat variasi dialek yang cukup memberikan kesan mereka memiliki perbedaan dalam urusan bahasa. Hal ini menandakan kelompok ini berbeda dari dahulunya.
Dalam proses perpindahan ini, Orang Rimba akan membuat pemukiman baru yang dari satu tempat ke tempat lainnya untuk berburu bahan makanan. Sedangkan Batin IX konsisten dengan pola pertanian berpindah yang dikenal dengan istilah mandah. Batin IX akan membuka ladang yang ditanami dengan berbagai kebutuhan seperti ubi dan padi. Sehabis panen mereka akan kembali ke tempat pemukiman semula. Meski nantinya mereka akan mandah lagi ke tempat lain untuk membuka ladang baru.
Antara Batin IX dan Orang Rimba mengalami evolusi sosial selayaknya kelompok masyarakat lainnya. Namun evolusi yang terjadi pada orang rimba berjalan sangat lambat. Hal ini disebabkan adat dan budaya Orang Rimba secara nyata memberi garis yang tegas antara komunitas Orang Rimba orang luarnya. Orang Rimba melalui seloko adatnya Beratap cikai, bedinding bener, bertikar gambut, berayam kuo, berkambing kijang, berkerbau pada tuno”. Seloko ini menjelaskan bahwa Orang Rimba memilih hidup di hutan dan meng-
Lain Suku Lain Adat
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
Di luar wilayah di atas ini Batin IX sudah bergabung dengan desa-desa yang dibentuk pemerintah setelah era kemerdekaan. (Sukmareni/Tim suku-suku)
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
7
LAPORAN UTAMA
8
LAPORAN UTAMA mukim ini disebut dengan alam terkunci. (Alam terkunci kemungkinan besar adalah nama lain dari Kerinci, dimana sesuai dengan keadaan alamnya yang dikelilingi oleh gugusan Bukit Barisan yang membentang dari utara ke selatan dengan puncak-puncaknya yang menjulang tinggi menyebabkan Kerinci terkesan terkurung atau terkunci jika dilihat dari luar daerah Kerinci. Kata terkunci entah bagaimana prosesnya kemudian menjadi KERINCI dan orang Minang Kabau menyebutkan dengan sebutan Kurinci).
Batin IX, Masyarakat Asli Marginal Keturunan Raja –Raja RItual pengobatan bagi anak anak Batin IX yang sakit (Foto: Dok Burung Indonesia / Aulia Erlangga)
K
omunitas Adat Batin IX merupakan salah satu masyarakat asli marginal yang ada di Provinsi Jambi. Keberadaannya tersebar di Kabupaten Muaro Jambi, Batanghari dan Sarolangun. Pemerintah menamakan komunitas ini Suku Anak Dalam ini, masyarakat Melayu menyebut mereka dengan sebutan kubu. Bagi komunitas sendiri mereka keturunan Batin IX atau ada juga yang menamakan langsung dengan nama kepompong mereka sejak dulu seperti Kelompok Rumah Tinggi. Menurut legenda yang masih diturunkan ke generasi berikutnya, Batin IX merupakan keturunan para raja. Konon pada zaman dahulu raja kerajaan Pagaruyung memerintahkan putranya Pangeran Bagas Gayur untuk bertarak atau bersemedi memohon pada yang maha kuasa untuk keselamatan dan kejayaan kerajaan Pagaruyung. Dalam semedinya Pangeran Bagas Gayur berjumpa dengan seorang perempuan yang mengaku diutus oleh sang dewata untuk menjadi pendamping hidup sang pangeran. Konon, perempuan tersebut berda-rah putih sehingga Pangeran Bagas Gayur memberi nama puteri cantik jelita itu dengan nama Puteri Berdarah Putih. Kehadiran perempuan ini membuat Pangeran Bagas
Gayur menghentikan semedinya dan membawa Puteri Berdarah Putih kembali ke Kerajaan Pagaruyung. Raja pun marah karena sang anak tidak memenuhi kewajibannya dan mengusir pangeran keluar dari istana. Sebelum meninggalkan istana, Pangeran Bagas Gayur memohon kepada ayahandanya untuk menikah dengan Puteri Berdarah Putih. Permintaan putranya ini dipenuhi raja, maka dilangsungkanlah pernikahan Pangeran bagas Gayur dengan Puteri Berdarah Putih. Sebelum meninggalkan istana Raja memberikan perbekalan berupa hewan ternak dan beberapa orang prajurit untuk menemani Pangeran Bagas Gayur yang telah diusir keluar dari istana.
Jadi di alam terkunci pangeran membuat tempat yaitu di Ulu Batang, di wilayah ini prajurit dan Pangeran bercocok tanam, dia mengembangkan apa yang di bawa dari Pagaruyung di alam terkunci tersebut.Habis hari berganti hari, habis minggu berbilang bulan melahirkanlah Puteri Siceren seorang anak wanita yang rambutnya indah dan berwajah cantik. Ketika putrinya tumbuh remaja, Serompak mengajak anggota rombongannya untuk berpindah. “Karno anak kito menjelang besak, kito dak aman lagi disiko karno takut kabar terdengar di Pagaruyung karno iyo lahir anak wanita yang elok itu, takut terancam dari orang-orang Pagaruyung lebih baik kito tinggalkan alam terkunci ko mencari penetapan baru dan anak kito buatlah gelarnyo yaitu Bayan Lais” Kemudiian diajaklah rombongan ke Ilir Batang, Habis hari berganti hari, habis minggu berbilang bulan, habis bulan berganti tahun, habis tahun berganti musim, tibolah dio disekitar muaro batang kemudian dibuatlah tempat untuk menetap dan dikatolah tempat itu dengan nama “Aur Berduri ”. Berkata Saceren “Kito berdiamlah di tempat ikolah untuk membesarkan dan mendewasakan anak iko, karena iko
dah jauh dari laut lepas, disikolah kito buat menyusuk, di tempat iko tanami buah-buahan.” Ditempat inilah kelompok ini akhirnya bermukim, dan membesarkan Bayan Lais. Mereka hidup dengan cara bercocok tanam dan beumoh, mencari damar, jernang, cunding gading di rimba. Hasil ini kemudian ditukarkan dengan garam, tembakau dan emas dengan saudagar yang datang dari seberang laut, yang melakukan penelusuran ke sungai-sungai di pedalaman. Bahkan kemudian ada pembantu Serompak yang menukarkan hasil hutan dengan perahu. Ketika Bayan Lais sudah dewasa, kecantikannya memikat Maruhun Sunsang Romo, seorang yang berdarah Mataram Hindu yang menyusur sungai di pedalaman. Negosiasi adapun berlangsung, sehingga Puteri Bayan Lais bersedia dinikahi oleh Maruhun, yaitu dengan membuatkan rumah yang separonya seperti rumah masyarakat umum, separohnya lagi berupa pondok seperti pola penghidupan yang dibangun oleh orang tua Bayan Lais. Dari pernikahan ini, Lahirlah Pangeran Nagosari yang memiliki anak bernama Raden Ontar. Raden Ontar memiliki sembilan anak Singo Jayo, Singo Jabo, Singo Pati, Singo Inu, Singo Besak, Singo Laut, Singo Delago, Singo Mengalo, Singo Anum. Kesembilan anak ini mewarisi dan memiliki kekuasaan di Sembilan anak sungai yang disebut dengan Batin. Sungai yang mereka kuasai adalah Sungai Bulian, Sungai Bahar, Sungai Singoan, Sungai Jebak, Sungai Jangga, Sungai Telisak, Sungai Sekamis, Sungai Semusir, dan Sungai Burung Hantu. Silsilah keturunan Batin IX dapat dilihat di bagan di bawah ini:
Setelah keluar dari istana, Pangeran Bagas Gayur mengganti nama menjadi Serompak dan istrinya berganti nama menjadi Siceren, dengan alasan mereka bukan lagi sebagai keluarga kerajaan dan merasa tidak pantas lagi untuk menyandang nama Pangeran dan Puteri. Berangkatlan Serompak dan Siceren beserta kelompoknya yang meninggalkan Tanah Pagaruyung menuju Muaro Batang. “Batang iko ilirnyo menuju mato hari hidup, mungkin menurut petunjuk disitulah tempat kehidupan basamo”, dengan keputusan Serompak. Serompak memutuskan bermukim di ulu Batang, karena keadaan puteri yang sedang mengandung, tempat be-
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
9
LAPORAN UTAMA
10 Dari Sembilan anak sungai yang dikuasai oleh Batin IX, hanya Batin Singoan yang berada di sebelah utara aliran sungai Batang Hari sedangkan wilayah adat Batin yang lain berada di sebelah selatan aliran Sungai Batang Hari. Mengenai wilayah Batin Singoan yang terpisah dengan batin lainnya, menurut keterangan tetua ada beberapa versi, ada yang menyebutkan Sungai Singoan diberikan kekuasaan untuk anak perempuan, namun ada juga yang menyebutkan anak raden Ontar yang bernama Singo Dilago adalah seorang anak yang tidak patuh dan sering melawan perintah ayahnya. Ketika dewasa, Singo Dilago diberikan kekuasaan disebelah Utara sungai Batang Hari dan terpisah dengan saudara saudaranya yang berkuasa di sebelah selatan sungai Batang Hari. Batas wilayah adat SAD Batin IX adalah : “Mulai dari muaro batin semak ilir batang sampe ke Olak Gedong melako intan, menuju ulu Penerokan, melintas di Lesung Batu menitih pematang beliung patah sampai ke batas Palembang menuju batin bahar. melintas ke lubuk udang tegantung menuju ke bakal petas menitih pematang tulung batin sikamis turun sampai batin pemusiran. Melintas menuju batin jangga turun lalu ke batin jebak laju ke ilir batang melintas ulu sungai ringin menuju batas rambahan ilir tibo ke muaro batin semak. Batin singoan seberang batang batin singoan dari sungai rambutan lalu ke jalan babat menuju ke bukit bucu melintas pematang ulu su-
ngai rengas sampai ke batu tetedeng ilir menuju ulu sangkilan sampai ke sungai meranti ilir sampai batin singoan”. Ungkapan diatas menjelaskan tentang aliran kesembilan anak sungai dan nama-nama tempat yang dialiri oleh anak sungai tersebut dan sekaligus menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Batin IX di masa lalu. Selain Sungai Bulian, anak sungai yang dikuasai oleh Batin IX, tidak ada yang sampai di muara sungai. Karena penguasaan aliran sungai yang mencapai Muara Sungai Batang Hari, Batin IX yang berada di wilayah Batin Bulian memungkinkan untuk lebih berinteraksi dengan masyarakat lain melalui jalur perdagangan yang di masa lalu mengandalkan transportasi air yang melewati sungai-sungai besar seperti Sungai Batanghari. Bila mengacu pada administratif pemerintahan sekarang, maka wilayah adat di masing-masing Batin dapat dilihat pada Tabel 2. Komunitas Bathin IX sendiri sebagian besar sudah berasimilasi dan mengalami akulturasi budaya. Kehadiran para pihak yang kawasan ini yang legalisasi negara melalui program transmigrasi, perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman serta HPH yang mendatangkan banyak tenaga kerja ke wilayah ini memiliki andil dalam proses asimilasi adat dan budaya Batin IX. (Sukmareni/ Tim Suku-suku KKI WARSI).
“Kami Orang Rumah Tinggi”
S
alah satu sebaran kelompok Batin IX yang tersebar di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan adalah kelompok Rumah Tinggi yang berada di Sungai Kapas, dalam kawasan Harapan RainForest, secara administratif kawasan ini berada di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan. Rumah Tinggi bisa diakses dari Kota Jambi melalui jalan darat sekitar 4 jam perjalanan darat membelah hutan dataran rendah Sungai Kapas dan dilanjutkan dengan perahu sekitar setengah jam ke arah hulu. Atau bisa juga dengan jalur Sungai dari Sako Suban Musi Banyuasin Sumatera Selatan sekitar 7-8 jam dengan cara menyusur Kapas ke daerah hulu. Kelompok Rumah Tinggi merupakan keturunan Puyang Alam Krakai, yang hingga kini masih diyakini hidup oleh anak keturunannya. Keturunan Puyang Alam Krakai ini yang masih hidup hingga kini adalah kelompok Mat Liar yang hidup di Sungai Mengkelah – Sungai Ibul. Keturunan lainnya adalah Kelompok Rumah Tinggi sebuah kawasan di pinggir Sungai Kapas. “Kami seperti dikatakan nenek moyang menyebut kami Orang Rumah Tinggi,” tegas Anangkus (38 tahun) salah satu anggota Kelompok Rumah Tinggi. Anang menuturkan dari dulu sebutan memang Rumah Tinggi, meski orang diluar mereka menyebutnya dengan
sebutan Kubu atau orang hutan. “Di luar kami disebut kubu, tidak ada cewek yang mau dengan saya karena disebut kubu itu,”sebutnya sembari mengenang masa lalunya. Menurut Anang mereka masih berada di kawasan Rumah Tinggi Sungai Kapas sampai tahun 1998. Terakhir hanya tinggal 10 kk yang bermukim di Rumah Tinggi. Masing-masing keluarga memiliki rumah berbentuk pondok untuk masing-masing keluarga, dengan dipimpin oleh seorang Pasirah. Namun pada 1998 mereka meninggalkan pemukiman tersebut dan pindah lebih ke hilir yaitu Sungai Bahar dan kini menetap di Mitra Zone Harapan RainForest(kawasan yang diperuntukkan bagi masyarakat Batin IX) sekitar 24 km dari Rumah Tinggi. Anang menghabiskan masa kecilnya di Rumah Tinggi, jelang usia 6 tahun ia masih ingat sering mengikuti orang tuanya mandah, bahkan mereka juga sering bermalam di hutan dengan membuat pondok-pondok sederhana beratapkan daun lipai. “Tidur diatas kayu-kayu kecil yang disusun rapi itu enak, seperti terapi untuk mengurut punggung,”cerita Anang. Waktu kecilnya Anang masih mengingat dengan jelas berbagai ritual yang dijalankan orang tua maupun nenek dukun dan pasirah mereka. “Kepercayaan kami pada dewa-dewa, kami yakin semua hal dikuasai oleh dewa
Anangkus membersihkan kuburan pasirah Rumah Tinggi (Foto: Dok. KKI WARSI)
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
11
12
LAPORAN UTAMA nenek saya sampai sekarang masih menganut kepercayaan itu”, cerita Anang yang kini sudah mengaku memeluk Islam. Disebutkannya interaksi dengan pihak luar banyak merubah adat dan budaya yang dulu mereka anut, hingga meninggalkan pemukiman di Rumah Tinggi juga disebabkan karena adanya pengaruh luar pada budaya mereka. “Dulu semua kebutuhan kami berasal dari alam, tapi sejak kedatangan pihak luar banyak yang berubah, dan kami jadi tergantung dengan barangbarang dari luar. Ketika 1998 musim paceklik dan arus sungai yang sangat dangkal, kami sama sekali tidak bisa berhubungan dengan orang luar, padahal kami sudah membutuhkan garam, rokok dan kebutuhan lainnya, itulah makanya kami pindah dan meninggalkan Rumah Tinggi,”sebutnya. Kini sisa-sisa kejayaan Rumah Tinggi masih terlihat diantaranya lesung, kebun durian, rambai serta jernang. Sedangkan sisa rumah sudah lapuk dan sudah ditumbuhi perdu. “Kami hanya kembali ke sini kalau musim buah untuk mengambil buah-buahan ini,”sebut Anang. Dipimpin Pasirah Perempuan hingga tahun 2000 Menurut Anang, pemimpin terakhir kelompok Rumah Tinggi adalah seorang pasirah perempuan yang bernama Mat Luas. Pasirah ini sangat dihormati oleh anggota kelompoknya. Mat Luas merupakan pasirah terakhir yang diangkat kelompok Rumah Tinggi. Pengangkatan Pasirah ditentukan oleh anggota kelompok, dengan tetap memperhitungkan garis keturunan. Pasirah selain mengomandoi anggota kelompok juga berfungsi sebagai dukun yang untuk membantu pengobatan anggota kelompoknya yang sakit. Seharusnya pasirah baru akan diangkat setelah pasirah meninggal, namun dengan kondisi sekarang dimana anggota kelompok sudah bercerai berai, rapat kelompok untuk pengangkatan kembali pasirah belum juga di lakukan. “Tentu kami sangat ingin ada pasirah seperti dulu yang memimpin kelompok, namun dengan kondisi sekarang hal itu sulit dilakukan, kalau menurut cerita nenek moyang dulu, tidak ada keterputusan pimpinan kelompok seperti sekarang,”sebutnya. Mat Luas sendiri meski ikut pindah ke Sungai Bahar, namun berwasiat kepada anggota kelompoknya jika meninggal, supaya dikuburkan di Rumah Tinggi. Ketika pada tahun 2000 Mat Luas meninggal dunia pada usia sekitar 80 tahun, anggota kelompoknya mengantarkan jasadnya ke Rumah Tinggi. “Jenazah beliau di bawa menggunakan perahu ke Rumah Tinggi dan dikuburkan samping makam adeknya, Mat Molek yang meninggal setahun sebelumnya,”ujar Anangkus sembari membersihkan makan saudara neneknya itu.
LAPORAN UTAMA
Peladang Berpindah dan Pemburu Dahulu menurut Anangkus, meski anggota kelompoknya pergi untuk berladang berpindah, namun akan tetap kembali ke Rumah Tinggi. “Kami berladang dengan sistem tabungan, untuk kebutuhan makan tahun ini, merupakan ladang dari tahun lalu, untuk tahun depan kami tanam sekarang, kami memikirkan supaya tidak ada keterputusan hasil ladang sebagai sumber makanan. Kami menanam padi dan juga ubi yang jadi makanan utama. Sedangkan untuk kebutuhan lauk kami berburu hewan hutan, babi, kijang rusa maupun kura-kura. Tapi sejak tahun 70-an babi sudah ditinggalkan,”sebut Anangkus. Menurut Anangkus, pengaruh dari peladang dari hilir yang berinteraksi dengan penghuni Rumah Tinggi cukup banyak mengubah pola hidup mereka. Seperti pemanfaatan periuk untuk menanak nasi. “Dulu kami memasak nasi dengan bambu ataupun kami memasaknya dengan membungkus beras dari padi ladang dengan daun lipai, kemudian dimasukkan ke dalam tanah dan dibakar disekitarnya, hasil masakannya sama saja dengan di masak dengan periuk,”sebutnya. Anangkus juga menyebutkan dulu mereka sangat tergantung dari hutan, semua kebutuhan tersedia di hutan. Mereka juga berpindah untuk membuka ladang dan menanamnya dengan berbagai tanaman untuk memenuhi kebutuhan harian. Selain itu juga menanam tanaman buah seperti durian, rambai dan juga tanaman jernang. Jernang merupakan salah satu hasil hutan yang bernilai tinggi dan biasanya masuk komoditas ekspor. Disekitar Rumah Tinggi, dapat ditemukan tanaman buah dan jernang dengan jumlah yang cukup banyak. Interaksi dengan orang luar yang awalnya untuk menjual hasil hutan ketika hasilnya sudah cukup melimpah, perlahan mempengaruhi adat dan budaya, bahkan kemudian meninggalkannya sama sekali. Seperti Anangkus dan anggota kelompok rumah tinggi lainnya, hanya akan kembali ke rumah tinggi untuk mengambil hasil buah. “Kami akan tetap pertahankan kawasan ini menjadi kawasan buah ini, kami akan menjaganya supaya tidak di rusak oleh peladang,”sebut Anang. Kekhawatiran Anang cukup beralasan, karena kawasan di sepanjang Sungai Kapas sebagian sudah dimasuki oleh migran yang berladang maupun mengambil kayu di kiri kanan Sungai Kapas. “Disini akan kami upayakan untuk tetap seperti ini, menjadi hutan buah dan akan kami jaga untuk tidak di buka oleh orang lain,”sebut Anang. Namun untuk kembali bermukim di Rumah Tinggi seperti dulu, Anang masih ragu. Meski sangat berharap kawasan itu tetap diakui sebagai peninggalan nenek moyang mereka dari kelompok Rumah Tinggi. (Sukmareni)
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
Berburu hewan merupakan salah satu cara Orang Batin memenuhi kebutuhan lauk-pauk mereka selain juga untuk dijual untuk ditukar dengan barang kebutuhan sehari-hari. (Foto: Dok Burung Indonesia / Aulia Erlangga)
Pembangunan dan Konflik Sosial Batin IX
P
emerintah dengan kebijakannya telah menghadirkan berbagai model pembangunan di wilayah komunitas Batin IX. Sayangnya pembangunan yang dilakukan kurang menyentuh keberadaan komunitas ini. Kandungan sumber daya alam yang melimpah di wilayah penghidupan Batin IX telah menggerakkan pemegang kekuasaan diwilayah itu untuk mengeruk sumber daya yang ada. Di era penjajahan Belanda sudah mengeruk minyak di wilayah ini. Bajubang, Tampino dan Kenali Asam Atas merupakan daerah penghasil minyak. Tampino diyakini melingkupi daerah hingga ke wilayah sungai Bahar dan sekitarnya, hal ini ditandai dengan banyaknya sumur-sumur minyak tua peninggalan Belanda di daerah Sungai Bahar yang merupakan daerah pesebaran Batin IX sejak lama. Untuk mengelola tambangnya ini, Belanda mendatangkan tenaga kerja dari berbagai daerah, terutama pulau Jawa. Sementara batin IX yang hidup di hutan diidentifikasikan sebagai kubu yang dianggap sebagai kelompok terbelakang dan tidak dilibatkan sama sekali. Pasca kemerdekaan, selain terus menggarap kilang minyak peninggalan Belanda wilayah penghidupan Batin IX di bagi untuk berbagai peruntukan, Hak Pengusahaan Hutan, Hutan Tanaman Industri, Perkebunan Ke-
lapa sawit dan transmigrasi. Kegiatan “pembangunan” yang dilakukan oleh pemerintah ini, dilakukan dengan kurang memperhatikan komunitas yang sudah ada di dalam kawasan sejak lama. Akibatnya konflik berkepanjangan terjadi di kelompok masyarakat Batin IX. Dari catatan WARSI, sedikitnya terdapat empat perusahaan yang hingga kini masih berkonflik dengan Batin IX yaitu PT. Agronusa Alam Sejahtera (Sarolangun), PT. Alam Lestari Nusantara (Sarolangun), dan PT. Asiatic Persada (Muaro Jambi). Hingga kini konflik yang melibatkan komunitas Batin IX dengan perusahaan ini belum tuntas, apalagi dengan adanya keterlibatan pihak-pihak yang mengaku sebagai bagian suku anak dalam. Di pihak lain, kondisi seperti ini dimanfaatkan pihak-pihak terkait untuk mengulur penyelesaian masalah sesungguhnya, yaitu pengakuan hak kelola masyarakat adat yang sudah sejak lama tinggal di wilayah tersebut. Disebutkan oleh Antropolog KKI WARSI Robert Aritonang klaim wilayah merupakan hal yang sangat sensitif bagi kelompok-kelompok asli marginal, seperti yang dialami oleh Batin IX. Dengan ruang jelajah yang sangat luas dan tidak adanya data otentik tentang pemilikan menjadi salah satu kesulitan untuk klaim wilayah. “Namun bukan berarti tidak bisa, keberadaan pohon tana-
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
13
14
LAPORAN UTAMA
LAPORAN UTAMA
15
Rotan merupakan hasil hutan non kayu yang menjadi sumber pendapatan Orang Batin (Foto: Dok Burung Indonesia / Aulia Erlangga)
man peninggalan nenek moyang, kuburan merupakan bukti nyata klaim wilayah mereka,”sebut Robert. Menurut Robert, sejatinya persoalan yang dihadapi kelompok asli marginal baik Orang Rimba maupun Batin IX merupakan persoalan kompleks dan cukup rumit. “Keberadaan Batin IX ini mengalami asimilasi dan akulturasi budaya serta kehilangan hampir sebagian besar wilayah penghidupannya, akibat pola pembangunan yang dilakukan pemerintah,”sebut Robert. Menurutnya pola kehidupan Batin IX yang sebenarnya sangat tergantung dengan hutan namun kondisi saat ini sebagian besar hutan di wilayah mereka sudah berganti menjadi perkebunan, transmigrasi dan peruntukan lain, sementara Batin IX sama sekali tidak dilibatkan dalam proses pembangunan yang menyebabkan perubahan pada sebagian besar penghidupan mereka, ujungnya yang timbul adalah geger budaya. Geger budaya merupakan tindakan yang berupaya melupakan budaya asli dan beralih pada budaya yang baru dikenalnya, meski sebenarnya kondisi dan keadaan mereka tidak siap untuk perubahan itu. Untuk itulah lanjut Robert, WARSI melakukan kajian guna mengadvokasikan kepada pihak terkait agar Batin IX bisa mendapatkan hak-hak dasarnya sebagai bagian dari warga masyarakat Indonesia. “Kami melihat ada ketimpangan pola pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, maka pemerintah juga yang harus bertanggung jawab untuk memulihkan hak-hak masyarakat adat yang tinggal di hutan, ataupun bagi mereka yang sudah berasimilasi dengan masyarakat Melayu dan migran,” sebutnya.
Untuk WARSI tengah melakukan studi Batin IX secara menyeluruh dan mendalam di semua wilayah sebaran Batin IX yang meliputi sembilan anak sungai, sehingga bisa di dapatkan input yang memadai untuk strategi advokasi dan pendampingan masyarakat Batin IX. Dari Kajian ini, yang akan dilakukan seperti pengembangan pendidikan, layanan kesehatan dan dukungan untuk akses lahan bagi kelompok masyarakat yang kehilangan sumber daya mereka. “Bagaimana melakukannya strategi yang akan diambil, kami akan lihat dari hasil studi yang akan di dapatkan akhir Desember ini,”sebutnya. Disebutkannya keberadaan Batin IX yang kini sebagai sudah berasimilasi dan terakluturasi dan nyaman, artinya sudah bisa berdaya saing dengan kelompok masyarakat lainnya. Yang akan menjadi fokus WARSI adalah kelompok yang terasimilasi dan teralkulturasi namun belum mampu berdaya saing dengan kelompok masyarakat Melayu dan migran, untuk melakukan pendampingan dan advokasi, sehingga mereka tidak menjadi kelompok yang terkena dampak geger budaya. Misalnya lanjut Robert, ada banyak kelompok yang menjadi konsumtif, sementara hal itu sebenarnya tidak dibutuhkan dan tidak sesuai dengan pendapatan mereka. Untuk itu perlu adanya pendampingan, sehingga kelompok masyarakat ini berkembang menjadi kelompok masyarakat yang mampu berdaya saing, tanpa harus kehilangan budaya dan identitas jati diri mereka. “Budaya merupakan identitas yang seharusnya tetap melekat apapun kondisi orangnya,”sebut Robert. (Sukmareni)
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
Keluarga Mat Liar di Sungai Ibul, bertahan hidup di hutan dengan pola kehidupan nenek moyang menolak proses asimilasi budaya (Foto: Aulia Erlangga / Dok. Burung Indonesia).
Mat Liar Bertahan Dengan Pola Hidup Nenek Moyang
P
roses asimilasi dan akulturasi budaya nyaris tidak dialami oleh beberapa kelompok masyarakat yang hidup di hutan sekunder Jambi. Berpegang teguh dengan pola kehidupan nenek moyang diantaranya masih di jalani oleh keturunan Puyang Alam Krakai di kawasan hutan Harapan PT REKI. Puyang Alam Krakai yang oleh orang luar disebut kubu, mempunyai keturunan yang bernama Alam Kemat-Siti Raisa yang merupakan nenek moyang kelompok Rumah Tinggi dan Pati Medang-Pati Demak di yang kemudian menjadi kelompok Penyengat (sebutan mengacu pada anak Sungai Kapas yang di hutannya banyak ditemukan Penyengat sebutan untuk lebah yang berkelompok atau koloni sangat besar). Kelompok Penyengat masih hidup bebas dengan adat budaya lama mereka di dalam hutan.
Kelompok Penyengat sekarang tersisa hanya tujuh keluarga, yaitu tiga keluarga berada di Daerah Sungai Mengkelah-Sungai Ibul dan empat keluarga berada di Sungai Meranti. Di Sungai Ipul terdapat kelompok Mat Attam-Sri, Mat Reman-Siti Putih dan Mat Liar-Siti Maryam. Sementara yang keluarga berada di daerah Sungai Meranti, diantaranya adalah kelompok bernama Mat Kecik dan Mat Muhamad. Secara Administrasi kelompok Mat Liar berada di desa Sako Suban yang terletak pada posisi kordinat S 2o.23’. 240” dan 103o. 24’. 126”. berada dalam wilayah Kecamatan Batanghari Leko Kabupaten Musi Banyuasin. Dari wawancara yang dilakukan dengan kelompok Mat Liar dan kelompok Rumah Tinggi, Kelompok Mat Liar
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
LAPORAN UTAMA
16
merupakan Keluarga dari Kelompok Rumah Tinggi. Dahulu sewaktu zaman nenek moyang mereka, kelompok Mat Liar memisahkan diri (berhutan dan tidak mau menetap) kemudian memisahkan dari kelompok Rumah tinggi. Sewaktu zaman penjajahan kelompok ini tidak mau dijajah dan melarikan diri kehutan. Johan Weintre, salah seorang peneliti antropologi asal Australia, yang juga pernah menetap di hutan rimba Taman Nasional Bukit Dua belas (TNBD), menuliskan, Kerajaan Sriwijaya menguasai Selat Malaka serta melakukan perniagaan dan memiliki hubungan sosial dengan mancanegara, termasuk Tiongkok dan Chola, sebuah kerajaan di India Selatan. Sekitar tahun 1025, Kerajaan Chola menyerang Kerajaan Sriwijaya dan menguasai daerahnya. Lalu sebagian penduduk yang tidak ingin dikuasai penjajah, mengungsi ke hutan. Mereka kemudian disebut kubu, membangun komunitas baru di daerah terpencil. Berbicara penjajahan seolah tak pernah hilang trauma yang dialami oleh keluarga Mat Liar, trauma itu diwariskan dari generasi kegenerasi, menurut penuturan Mang Taufik—peladang yang berada di dekat Sungai Ipul sewaktu gempa yang terjadi di padang beberapa tahun lalu, mereka berkumpul di pondok kebunnya Mang Taufik, dengan perasaan takut mereka bilang ke Mang Taufik, bom Belanda jatuh.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, kelompok ini biasanya mencari jernang, trenggiling atau burung untuk dijual ke mandiangin. Untuk harga jernang dijual sekitar Rp. 1,2 Juta, sementara trenggiling dijual seharga Rp. 350 Ribu/Kg, untuk burung Murai Daun (C. cyanopogon) yang baru dapat ditangkap dijual Rp. 50 Ribu/ ekor. Penjualan dilakukan melalui Mang Taufik ataupun anaknya, yang menjualnya ke Mandiangin, kemudian hasil penjualan di belikan kebutuhan pangan sehari-hari kelompok mereka ini. Sedangkan untuk kebutuhan lainnya kelompok ini menanam ubi kayu, cabe rawit, tebu dan padi ladang. Peladangan yang dibangun masih sama dengan cara pertanian nenek moyangnya. Ladang hanya di buka sekali setahun, ditanami dan kemudian ditinggalkan. Mereka membangun rumah-rumah sederhana selama berladang. Yaitu pondok beratapkan terpal dan lantainya terbuat dari kayu-kayu kecil yang disusun rapi. Masingmasing keluarga memiliki satu pondok. Sedangkan untuk sisi religi Kelompok ini masih menganut animisme atau kepercayaan terhadap makhluk halus dan roh. Hal ini bisa dilihat dari anggapan bahwa Puyang Alam Krakai masih hidup, meski diyakini Puyang ini jauh beberapa generasi diatas mereka. (Kurniawan)
17
Serampas Sudah Dikenal Sejak Masa Kesultanan Jambi
S
erampas adalah nama komunitas masyarakat adat yang tinggal di lima desa sekitar kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), tepatnya di Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi. Profesor Dominik Bonatz dari Universitas Free Berlin dan beberapa peneliti yang melakukan penggalian benda-benda arkeologis di sekitar Renah Kemumu menyebutkan bahwa desa-desa di Serampas telah dihuni oleh manusia sejak lama. Diperkirakan antara abad ke-11 dan abad ke-13 masehi, Orang Serampas sudah mendiami wilayah ini. Nenek moyang Orang Serampas yang paling dikenal adalah Nenek Sigindo Balak (dimakamkan di Tanjung Kasri) dan Nenek Tigo Silo (dimakamkan di Renah Kemumu).
Hutan Harapan (Harapan Rainforest) memberi manfaat bagi kehidupan keluarga Mat Liar dan keluarganya yang sampai saat ini masih hidup nomaden di dalam hutan. (Foto Aulia Erlangga / Dok. Burung Indonesia)
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
Jadi, Orang Serampas telah mendiami kawasan tersebut jauh sebelum wilayah itu ditetapkan sebagai taman nasional oleh pemerintah. Hal itu diperkuat oleh piagam-piagam yang dikeluarkan Sultan Jambi sebagai bentuk pengakuan atas wilayah adat Serampas. Sementara kawasan TNKS baru ditetapkan berdasarkan Surat Pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982.
Saat ini orang Serampas tinggal di desa Renah Alai, Rantau Kermas, Lubuk Mentilin, Tanjung Kasri, dan Renah Kemumu. Tiga desa yang pertama lokasinya terdapat di pinggiran TNKS. Sementara dua desa terakhir terletak di dalam kawasan TNKS. Dulunya Serampas hanya terdiri atas tiga desa saja, yaitu Renah Alai, Tanjung Kasri, dan Renah Kemumu. Tambahan dua desa yang baru (Lubuk Mentilin dan Rantau Kermas) berasal dari desa Renah Alai yang belakangan berkembang menjadi tiga desa otonom yang terpisah (Bambang Hariadi:2013). Sebelum adanya Undang-undang Pemerintahan Desa (UU No. 5/1979), desa yang dihuni Orang Serampas tergabung dalam sebuah ikatan yang disebut marga Serampas. Daerah ini lama terisolir dari pusat kota kabupaten. Akses jalan mulai lancar baru beberapa tahun terakhir. Akses menuju Desa Renah Alai adalah yang paling dekat jika dijangkau dari Kota Bangko, ibukota Kabupaten Merangin. Dari Bangko menuju desa Renah Alai hanya berjarak 97 kilometer. Sementara jarak yang memisahkan antara satu desa dengan desa lainnya di Serampas berkisar hanya antara 5 hingga 15 kilometer.
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
19
Secara geografis wilayah adat Serampas berupa perbukitan dan memiliki kontur yang relatif curam serta terletak pada ketinggian 600-1300 mdpl. Dengan kondisi ini mata pencarian mayoritas Orang Serampas adalah bercocok tanam. Mereka mayoritas berkebun, berladang, dan bersawah. Pada mulanya Orang Serampas hanya menggunakan hasil ladang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka saja. Namun, sejak masuknya pemerintahan Belanda ke dalam kawasan Serampas, masyarakat pun mulai mengenal adanya mata uang. Sejak itu mereka mulai memperjualbelikan hasil ladang dan kebun ke daerah sekitar. Belanda pertama kali mengirimkan misi dagang ke daerah Jambi pada tahun 1615, namun Belanda baru berhasil menaklukkan Jambi secara keseluruhan pada tahun 1903. Sejak mengenal mata uang, Orang Serampas melakukan aktivitas perdagangan ke pasar-pasar di daerah Lempur, Kabupaten Kerinci dan Muko-muko, Provinsi Bengkulu. Kegiatan perekonomian ini dilakukan melalui jalur darat dengan melewati jalan setapak dari Renah Kemumu menuju Lempur. Meski zaman sudah berubah dan jalur transportasi dari Serampas menuju Kota Bangko saat ini sudah lancar, namun jalur tradisional berupa jalan setapak tersebut hingga sekarang masih dapat ditemukan. Serampas dikenal menyimpan banyak hal penting. Seperti dituturkan Bambang Hariadi dalam karyanya Orang Serampas: Tradisi dan Pengetahuan Lokal di Tengah Perubahan, (2013) bahwa mengunjungi Serampas tak ubahnya seperti mengunjungi kawasan wisata yang masih alami dan belum dijamah oleh para wisatawan. Serampas tidak hanya menarik dari aspek sejarah dan budaya, tetapi juga dengan keindahan alamnya. Di sana ada Grao Gedang, sumber air panas yang menyembur dari perut bumi. Grao tersebut tersebar di berbagai tempat, terutama di sekitar Renah Kemumu, termasuk Grao Nguak, Grao Gas, Kunyit, dan Grao Matahari. Keunikan sejarah, sosial budaya dan keindahan alam Serampas ini menjadi daya tarik bagi para peneliti untuk datang ke daerah itu. Baik peneliti lokal maupun peneliti dari negara luar.
Asal Usul Orang Serampas Nama Serampas merujuk pada wilayah eks marga Serampas yang ditemukan di Kecamatan Jangkat. Meskipun pemerintahan di negeri ini sudah tidak menggunakan istilah marga pasca pemberlakukan UU No. 5/1979, penduduk dari lima desa ini tetap menamakan diri mereka sebagai Orang Serampas. Di samping Serampas, penduduk setempat juga menggunakan istilah Serampeh untuk membedakan (suku) mereka dari kelompok yang lain. Beberapa tokoh masyarakat setempat menyebutkan bahwa perkataan Serampas berasal dari suku kata se dan ampu yang berarti sekelompok orang-orang sakti. Hal ini terkait dengan kondisi Serampas sebelum pendudukan Belanda yang brutal dan liar. Pada waktu itu setiap dusun dipimpin secara sewenangwenang oleh “orang-orang kuat” yang diukur dari kemampuan gaibnya. Mereka menggunakan kekuatan gaib ini untuk melumpuhkan lawan-lawannya. Nama Serampas kemungkinan juga berasal dari Sungai Serampas yang melintas bagian utara dari wilayah ini (Bambang Hariadi, 2013: 44). Warga setempat menyebut orang sakti di Serampas dengan istilah dukun. Di sini dukun tidak hanya pandai mengobati bermacam penyakit, namun juga memiliki kemampuan gaib untuk melumpuhkan lawan. Hingga saat ini masyarakat Serampas dan warga sekitar masih meyakini dan menjadikan Serampas sebagai tempat menuntut ilmu kesaktian. Misalnya menuntut ilmu kuat, ilmu kebal, ilmu pengasihan dan pengobatan. Bahkan lokasi untuk tarak (bertapa) pun masih bisa ditemukan di kuburan nenek Sigindo Balak (Tanjung Kasri) dan di makam nenek Tigo Silo (Renah Kemumu). Meski sudah dikenal sejak lama, namun asal-usul Orang Serampas masih menjadi pertentangan di kalangan ilmuan dan masyarakat setempat. Cholif MA (1971), meyakini bahwa Orang Serampas merupakan keturunan Orang Minangkabau. Hal ini dapat dilihat dari adanya kemiripan nilai-nilai sosial budaya antara Serampas dengan Minangkabau. Beberapa ilmuan lainnya menduga bahwa Orang Serampas adalah keturunan Jawa. Hal ini didukung oleh sejumlah tradisi dan budaya seperti redap gong serta
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
Masyarakat Renah Alai menghadiri Kenduri Pseko mengangkat Depati Mudo Menggalo. (Foto: Hermayulis / Dok. KKI WARSI).
Depati Pulang Jawo, salah satu gelar depati di Serampas. Sedangkan di kalangan Orang Serampas sendiri meyakini bahwa nenek moyang mereka berasal dari Minangkabau. Meskipun tak ada referensi memadai tentang itu, namun dari cerita lisan yang disampaikan turun temurun, dikisahkan bahwa dulu Nabi Idris memiliki tiga anak. Anak pertama Sultan Rajam Ruhum, berkelana ke daerah Cina. Anak kedua, Sultan Rajo, merantau ke Jepang. Anak ketiganya, Sultan Maha Rajo Dirajo merantau ke Minangkabau. Di Minangkabau dia mendirikan Kerajaan Pagaruyung. Sultan Maharajo Dirajo memiliki anak perempuan yang sangat cantik jelita bernama Puti Bungsu. Karena kecantikannya Puti Bungsu akan diperebutkan oleh banyak pihak pada waktu itu untuk dijadikan istri. Puti Bungsu lalu lari ke wilayah Serampas. Ia akhirnya menikah di Serampas dan memiliki tiga orang anak, yaitu Depati Rejo Talang mendiami Pulau Sangkar, Depati Sigindo Balak mendiami Tanjung Kasri dan Depati Koto Dewo mendiami Koto Tapus. Depati Sigindo Balak inilah yang menjadi nenek moyang Orang Serampas. Pengakuan dari Sultan Jambi Banyak fakta yang membuktikan bahwa Orang Serampas sudah lama mendiami wilayah adat mereka. Bahkan, Orang Serampas diketahui sudah menjalin interaksi dengan pihak Kesultanan Jambi jauh sebelum Belanda masuk. Hal itu bisa dibuktikan dengan
adanya beberapa piagam di Serampas. Piagam ini bertulisan arab melayu. Piagam ini berkaitan dengan batas wilayah di daerah Serampas. Hubungan yang terjalin antara Orang Serampas dengan pihak Kesultanan Jambi pada masa lalu adalah hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Pihak Kesultanan memberikan apresiasi kepada Orang Serampas dengan mengeluarkan piagam sebagai pengakuan wilayah adat, sementara Sultan menerima upeti dari hasil hutan dan kekayaan alam yang terdapat di daerah hulu. Dalam Sejarah Sumatera (2008:297), William Marsden menjelaskan bahwa masyarakat Serampas sudah memiliki peranan penting pada masa Kesultanan Jambi. Penduduk daerah ini mengaku sebagai rakyat Sultan Jambi yang terkadang menuntut upeti dari mereka. Upeti itu berupa seekor kerbau, setali emas, dan 100 tabung bambu beras setiap kampung. Hubungan ini juga dapat dibuktikan melalui beberapa piagam yang ditemukan di wilayah Serampas. Ada enam piagam yang ditemukan di Renah Kemumu dan satu piagam lagi ditemukan di Renah Alai. Piagam itu dikeluarkan oleh Kesultaan Jambi yang ditujukan kepada kepala wilayah di daerah Serampas. Hingga saat ini piagam ini masih disimpan oleh masyarakat serampas. Mereka menganggap bahwa piagam ini merupakan pusaka yang diturunkan dari nenek moyang mereka.
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
20
21
Karena meyakini kesakralan dari piagam itu, mereka juga tidak sembarangan mengeluarkan piagam tersebut. Ada waktu tertentu yang dibolehkan. Biasanya piagam tersebut dikeluarkan dalam acara yang disebut kenduri pseko. Di kala itu semua pusaka peninggalan nenek moyang dikeluarkan. Ada beberepa jenis pusaka orang Serampas. Kalau yang berbentuk pedang mereka mandikan, sementara piagam mereka bacakan yang disaksikan oleh masyarakat banyak. Kepala Seksi Pernaskahan Asia Tenggara di British Library, London, Inggris, Dr. Annabel Teh Gallop dalam publikasinya “Piagam Serampas: Malay Documents from Highland Jambi” (2009) menyebutkan bahwa Piagam Serampas terdiri enam dokumen naskah dari Desa Renah Kemumu dan satu dari Renah Alai. Dokumen-dokumen tersebut ditulis dalam bahasa Melayu dalam aksara Jawi (Arab Melayu); semuanya memiliki segel dan tampaknya fatwa kerajaan asli dari pengadilan Jambi. Fatwa yang dikeluarkan oleh penguasa dari Jambi ke pemimpin lokal di Serampas yang menyandang gelar Dipati atau Menteri. Menurut Annabel dokumen Piagam Serampas berisi fatwa-fatwa kerajaan yang meliputi tiga kategori. Yaitu persoalan batas-batas milik pusaka penerima dari dekrit itu; urusan pemerintahan dan pencacahan hukum harus ditegakkan, dan hukuman untuk pihak yang melanggar aturan ini; dan daftar hak prerogatif kerajaan, dengan menyertai daftar hukuman untuk ketidak-kepatuhan. Jadi, keberadaan Orang Serampas tak bisa dipisahkan dengan sejarah Jambi yang dulu merupakan salah satu kerajaan besar Sumatera bagian tengah. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Kahar dengan gelar Sultan Agung Seri Ingalaga, ia menerbitkan piagam-piagam sebagai pengakuan batas wilayah adat suatu marga. Piagam-piagam ini akhirnya menjadi barang peninggalan pusaka bagi setiap kalbu atau marga. Begitupula halnya dengan Orang Serampas yang memiliki beberapa piagam dari pihak Kesultanan Jambi.
“…tanah hilirnya hingga Tangga Jelatang lalu ke Pematang Kayu Arang lalu ke Bukit Kembul Tinggi, Kembul Rendah lalu ke Bukit Gajah Berani di dalam Suluh hingga Lubuk Sawu Abidi di dalam lalu ke Bukit Tangga Belimbing turun ke Paru Jebang di dalam Langkat Lubuk Sawu Birini merapat Pauh Bejajar lalu ke hulu Sungai Kuku perbatasan dengan orang Pulau Sangkar lalu ke Bukit Atap Ijuk perbatasan dengan orang Lempur hingga Tabat Cematang Batu perbatasan dengan orang Balak Bukit dalam Menjuto hingga Muara Jernih mudik di dalam Selagang hingga Muara Saku mudik di dalam Air Dikit hingga Muara Sungai mudik di dalam banda Bantal hingga Batu Tugal di dalam Teramang hingga pinggir Rundang mudik lalu merapat Bukit Langkup jatuh ke dalam Graha Besar merapat Tangga Jalatang, itulah setitik airnya dan sekepal tanahnya seekor ikannya, itulah utan tanah Duli Sultan yang digaduhkan kepada Dipati yang berenam serta semerah sementerinya yang dua lapan itu serta tuah anak perempuan yang tiga serta cupak gantangnya sepancing 37 sekolamnya 38 sedenda sesetianya seogam seadatnya, itulah titah Duli Sultan janganlah kamu melawan barang perintah Dipati ya berenam itu…” Keberadaan piagam dari Sultan Jambi bagi Orang Serampas adalah sebuah kekuatan dalam klaim wilayah hingga saat ini. Piagam-piagama ini merupakan pengakuan batas tradisional Marga Serampas pada masa lalu yang hingga kini masih diyakini oleh Orang Serampas. Bahkan, pasca keputusan MK 35 pada tahun 2013, peluang masyarakat adat untuk menguasai hak ulayat mereka semakin terbuka. Keputusan ini memberikan peluang bagi masyarakat hukum adat di seluruh Indonesia dalam menuntut hak mereka. Putusan ini menyangkut dua isu konstitusional, yaitu mengenai hutan adat dan mengenai pengakuan bersyarat terhadap keberadaan masyarakat adat. Namun, untuk mengembalikan hak masyarakat adat sebagai tindak lanjut dari putusan MK 35 ini dibutuhkan bukti kuat. Salah satunya adalah dengan merujuk pada piagam dan naskah kuno yang dimiliki oleh kelompok masyarakat adat, seperti halnya yang dimiliki oleh Orang Serampas. (Herma Yulis)
Berikut cuplikan salah satu Piagam Serampas yang dikeluarkan oleh Sultan Anum Jambi Seri Ingalaga pada tahun 1173 H.
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
Pemuka adat Renah Alai mencuci pusaka yang merupakan salah satu ritual yang dilakukan setiap kegiatan Kenduri Pseko. (Foto: Hermayulis / Dok. KKI WARSI).
Kearifan Lokal Serampas,
Tanah Ajum Tanah Arah “Adat lamo pusako usang, lapuk diperbaharui, kumal disesah, elok dijago, lupo diingat, tinggal dijemput.”
S
eloko adat ini menggambarkan bagaimana sikap Orang Serampas dalam menjaga adat dan tradisi yang diturunkan dari nenek moyang mereka. Memang tak bisa dipungkiri, bahwa selama ini Orang Serampas dikenal sangat arif dalam mengelola sumber daya alam. Orang Serampas mengenal istilah “tanah ajum tanah arah” dalam praktik pengelolaan lahan. Ini adalah konsep unik namun memiliki nilai kearifan lokal yang amat luhur. Orang Serampas membagi tanahnya sesuai dengan penggunaannya masing-masing. Sehingga kebijakan adat yang diimplementasikan melalui konsep tanah ajum tanah arah ini memiliki peranan penting bagi kehidupan Orang Serampas. Mereka menyakini bahwa tanah merupakan warisan dari nenek moyang yang harus dijaga dan dilestarikan. Sistem pengelolaan lahan seperti ini adalah gambaran bagaimana mereka menjaga kekompakan dalam menjalankan roda kehidupan bermasyarakat. Depati sebagai pemimpin adat Serampas memiliki
peran penting dalam mengatur masyarakat untuk menguasai lahan sesuai dengan kebutuhan. Dengan konsep ini tidak ada monopoli kepemilikan lahan bagi Orang Serampas. Pembagian lahan dengan sistem ini mencakup daerah mana yang diperbolehkan dijadikan lahan untuk berladangan dan lahan untuk mendirikan rumah. Bagi Orang Serampas tanah ajum berarti tanah yang diperbolehkan dibuka untuk areal pemukiman penduduk. Sementara tanah arah diartikan sebagai lahan yang diperbolehkan dibuka sebagai tempat berkebun dan berladang. Adapun kriteria lahan untuk berkebun dan berladang adalah yang berada di daerah datar dan berada tidak berada jauh dari aliran sungai. Tanah dengan kondisi basah untuk areal persawahan sementara tanah kering untuk berladang. Semua itu diatur dengan baik oleh depati di Serampas. Bagi masyarakat Serampas yang ingin mendapatkan tanah ajum tanah arah harus melapor kepada depati. Jika ada masyarakat Serampas yang ingin membuka areal perladangan dalam satu depati maka ia diperbolehkan dengan membayar uang adat berupa segantang beras dan seekor ayam, sedangkan jika
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
22
23
akan membuka areal perladangan di wilayah yang berbeda depati maka akan dikenakan sanksi adat berupa beras 20 gantang dan kambing satu ekor. Ada beberapa ciri-ciri yang membedakan tanah ajum dan tanah arah yang dimiliki oleh Orang Serampas. Pertama, hanya masyarakat adat Serampas yang berhak menggunakan tanah-tanah yang ada di wilayahnya. Orang luar tidak boleh mengelola tanah ajum dan tanah arah tersebut, jika ingin harus menjadi anak buah warga Serampas dalam mengelola tanah yang ada, namun tidak boleh membuka lahan baru. Kedua, warga Serampas boleh mengambil manfaat dari tanah ajum dan tanah arah tersebut hanya untuk keperluan sendiri, jika dimanfaatkan untuk kepentingan orang lain maka haknya harus dicabut, dan orang lain yang mengambil manfaat atas tanah itu akan mendapatkan sanksi adat. Ketiga, depati bertanggung jawab atas tindakan hukum yang dilakukan atau dilancarkan oleh pihak-pihak lain di luar wilayahnya. Keempat, tanah ajum dan tanah arah tidak dapat diperjual belikan kepada masyarakat di luar kawasan adat Serampas. Apabila dijual ke masyarakat luar maka akan dikenakan sanksi adat. Jika dijual ke orang selatan (sebutan untuk orang Sumatera Selatan dan Bengkulu yang beberapa tahun terakhir banyak membuka lahan di sekitar wilayah Serampas) maka yang bersangkutan diusir dari wilayah adat Serampas. Menurut Bambang Hariadi dalam karyanya Orang Serampas; Tradisi dan Pengetahuan Lokal di Tengah Perubahan (2013), kepemilikan lahan yang bersifat komunal seperti ini memberikan jaminan kepada setiap penduduk untuk mendapatkan lahan sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Lahan-lahan yang tidak digarap atau tidak ditempati selanjutnya diserahkan kembali kepada lembaga adat. Selain itu, sistem penguasaan komunal ini juga mencegah terjadi privatisasi dan pengalihan lahan kepada pihakpihak lain di luar masyarakat Serampas. Jadi jelaslah bahwa penguasaan tanah ajum dan tanah arah hanya dibatasi untuk warga masyarakat adat Serampas saja. Sedangkan untuk warga di luar masyarakat adat serampas diberlakukan ketentuanketentuan yang mengikatnya. Apabila melanggar aturan tersebut maka tanah akan balik ke adat, dan
yang bersangkutan dikenakan sanksi adat. Namun, bersamaan dengan perkembangan zaman dan pesatnya pertumbuhan penduduk Serampas, penggunaan tanah ajum dan tanah arah sudah mulai berkurang. Hal itu dikarenakan lahan yang kian menyempit karena berubah menjadi kawasan permukiman. Faktor lainnya karena adanya sebagian tanah adat Serampas yang masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Sejak TNKS diproklamirkan oleh pemerintah, Orang Serampas pun kehilangan haknya untuk mengelola kawasan hutan adat mereka sendiri. Kondisi itu juga menjadi salah satu faktor ketertinggalan desa-desa di Serampas dalam pembangunan. Selama ini Orang Serampas hanya diberi kesempatan memiliki lahan sekitar 2 hektar dalam setahun. Syaratnya, lahan itu harus ditanami. Jika selama satu tahun itu lahan tidak ditanami maka akan dikenakan denda adat. Akan tetapi, bagi orang yang mampu menggarap lebih banyak juga diberi batasan, maksimal hanya diberikan seluas 4 hektar. Kearifan lokal yang dipertahankan Orang Serampas sangat khas dan unik. Selain menerapkan sistem pengelolaan lahan berupa tanah ajum tanah arah, Orang Serampas juga dilarang keras menebang kayu di hulu sungai dan di lembah yang curam. Hal itu diyakini bisa mengakibatkan bencana alam. Selain itu, mereka juga tidak dibenarkan menjual lahan kepada orang dari luar Serampas. Apabila itu terjadi, maka orang yang menjual maupun yang membeli akan diusir dari Serampas. Sementara tanah yang diperjualbelikan akan diambil alih oleh desa atau anak negeri. Demikian pula halnya dengan kayu-kayu yang ditebang dari hutan. Seperti halnya pengaturan dalam penguasaan lahan, kayu pun tidak boleh diperjualbelikan. Kayu hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri seperti kayu bakar dan pembangunan rumah. Dan ketika ingin membuka ladang, mereka tidak dibenarkan menebang pohon cempedak, manggis, durian, petai, pohon seri. Sebab, tanaman itu merupakan peninggalan nenek moyang yang harus tetap dijaga untuk anak cucu. (Herma Yulis)
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
Pemuka adat Renah Alai mencuci pusaka yang merupakan salah satu ritual yang dilakukan setiap kegiatan Kenduri Pseko. (Foto: Hermayulis / Dok. KKI WARSI).
Pengukuhan Gelar Adat Depati Karti Mudo Menggalo
B
alai adat Desa Renah Alai sontak ramai. Bakda isya’ masyarakat memadati ruangan balai adat yang berada di pusat desa. Tak memandang jenis kelamin dan umur, semua orang tumpah menjadi satu. Malam itu, Jumat (10/10), digelar ritual kenduri pseko dalam rangka penganugerahan gelar Depati Karti Mudo Menggalo. Depati ini membawahi tiga desa di Serampas; yakni Renah Alai, Rantau Kermas, dan Lubuk Mentilin. Di pojok depan sebelah kiri ruanga besar itu, terpajang sepasang pedang tua. Tampilannya yang berwarna hitam menyimpan hawa angker. Itulah sepasang pedang pusaka Orang Serampas. Mereka menamai pedang itu pedang Siginjai Mabuk. “Kenapa dibilang siginjai mabuk, karena kalau tergores sedikit saja akan mati,” kata salah seorang pemuka adat Serampas. Selain itu, ada piring yang dulu digunakan nenek moyang Orang Serampas. Ada pula piagam Renah Alai yang dikeluarkan oleh Sultan Jambi. Piagam itu berisi batas wilayah Serampas pada masa lalu. Ritual pemberian gelar adat dimulai dengan pemandian pusaka dengan uras berupa air bertabur bunga. Asap kemenyan pun semerbak di seluruh ruangan. ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
GIS SPOT
24
Untuk diketahui, marga adat Serampas dipimpin oleh depati. Ada beberapa depati yang menangani penduduk di lima desa yang tergabung dalam marga Serampas. Depati adalah orang yang ditunjuk untuk mengatur segala hal yang berkaitan dengan adatisitiadat. Penganugerahan gelar depati di daerah ini sudah ada sejak tahun 1759. Hal itu dibuktikan dengan adanya piagam Renah Kemumu yang dikeluarkan oleh Sultan Jambi, Sultan Anum Seri Indalaga Ahmad Zainuddin. Adapun depati yang memiliki posisi tertinggi di Serampas adalah Depati Seri Bumi Putih Pemuncak Alam. Dalam menjalankan tugasnya Depati Seri Bumi Putih Pamuncak Alam dibantu oleh seorang depati di setiap desa. Yaitu Depati Karti Mudo Menggalo memimpin dusun Renah Alai, Rantau Kermas, dan Lubuk Mentilin, Depati Singo Negoro memimpin Tanjung Kasri, dan Depati Pulang Jawo memimpin Renah Kemumu. Berdasarkan kesepakatan masyarakat Serampas, malam itu M Yusuf dikukuhkan menyandang gelar sebagai Depati Karti Mudo Menggalo. Ia dipilih menjadi depati setelah depati sebelumnya meletakkan jabatan karena sudah sering beraktivitas di luar Serampas. Sebab, seorang depati harus dekat dengan masyarakatnya. Sehingga siapa pun yang mengemban amanah itu harus tinggal di desa Serampas agar bisa memutuskan perkara dengan cepat. Pada masa kesultanan Jambi seorang depati berperan mengelola pemerintahan karena ia merupakan wakil yang ditunjuk atau oleh raja sebagai wakil dari kerajaan. Namun, saat ini fungsi depati mulai mengalami pergeseran. Fungsi pemerintahan sudah ditangani oleh aparatur desa. Sehingga peran seorang depati di Serampas saat ini adalah mengatur adat istiadat, sementara untuk masalah administrasi ditangani oleh kepala desa.
Dalam pidato penobatan, Depati Karti Menggalo.M Yusuf mengatakan bahwa beberapa tugas berat yang akan diemban oleh seorang Depati adalah menjalankan adat istiadat Serampas, dan mengarahkan warga setiap awal dan akhir tahun. Yaitu mengarahkan warga Serampas dimana mereka dibolehkan membuka ladang dan berkebun. Hal itu sesuai dengan kearifan lokal dalam penguasaan lahan di Serampas yang dikenal dengan istilah tanah arah tanah ajum. Konsep tersebut hanya membolehkan penguasaan lahan oleh Orang Serampas, sementara orang luar tidak dibenarkan. “Mohon maaf kalau ada yang tersinggung, tapi adat kita juga tidak memperkenankan lahan kita untuk digarap orang luar atau pun mempekerjakan orang luar,” ungkapnya. Ketika dimintai komentar terkait anggapan orang yang mengatakan bahwa Serampas selama ini dikenal sebagai daerah terisolir yang angker dan penuh mistik, tak ditampik oleh Depati Karti Mudo Menggalo. Menurutnya, dulu Serampas memang dikenal sebagai daerah yang banyak memiliki orang sakti. Berbagai ilmu kesaktian bisa didapat di Serampas. Namun, hal itu mulai berkurang seiring dengan perkembangan zaman. Antara lain dengan masuknya agama Islam ke wilayah Serampas. “Kalau dulu kan masih hutan semua. Jadi waktu itu memang masih banyak ilmu-ilmu hitam maupun ilmu putih. Tapi sejak orang tahu agama sudah mulai berkurang yang macam itu. Kalau pun ada yang punya biasanya sudah jarang diamalkan,” katanya. Usai prosesi penobatan Depati Karti Mudo Menggalo yang baru, masyarakat Serampas dihibur oleh pertunjukan kesenian daerah Serampas. Yaitu tauh (tarian tradisional Serampas) yang diiringi dengan redap gong. Mulai dari para depati, pemuka adat, hingga masyarakat umum bebas menunjukkan kebolehan dalam kesenian tradisional tersebut. Kesempatan langka yang hanya diadakan setiap kenduri pseko ini sangat menghibur bagi masyarakat setempat. Menjelang tengah malam, redap gong dan tauh terhenti. Itu pertanda usainya kenduri pseko malam itu. (Herma Yulis)
Deteksi Dini Hot Spot Menggunakan Google Earth
B
eberapa bulan yang lalu banyak media cetak menuliskan tentang titik-titik api di Jambi, bahkan salah satu media menulis “Ratusan Titik Api Ancam Hutan Jambi Selama Kemarau” pada headlinenya. Dari informasi ini banyak sekali pertanyaan yang muncul. Apa sih titik api itu? Ratusan titik api itu banyak, dimana saja sih lokasinya?. Dari pertanyaan tersebut kita coba jelaskan satu persatu.
data/firms/active-fire-data#tab-content-2. Data yang tersedia di dalam website tersebut actual 24h dan 48h. Sedangkan untuk data archieve kita harus memesannya terlebih dahulu. Data dapat kita download dalam berbagai format data seperti : Shp, KML, WMS, TXT. Karena topik kita menggunakan Google Earth sebagai alat bantu untuk mendeteksi titik panas maka data yang kita gunakan adalah data dalam format KML.
Apa sih titik api itu?. Titik api juga disebut firespot merupakan lokasi yang benar-benar terjadi kebakaran. Beda dengan hotspot atau titik panas. Hotspot yang diperoleh dari data satelit NOOA hanya indikasi bahwa daerah tersebut rentan terjadi kebakaran. Tidak semua hotspot itu api, sehingga perlu cek langsung ke lapangan. Kalau titik api memang lokasi tersebut sedang terbakar dan segera harus dipadamkan.
Dari data KML yang sudah kita download tadi lalu kita buka dengan menggunakan aplikasi Google Earth. Maka akan tampil secara spasial data yang didapat dari NOAA tadi. Pada tiap titiknya terdapat informasi: Latitiude, Longitude, Data Acquired, Time, Confidende [ 0-100 ], Satelite.
Ratusan titik api itu banyak, dimana saja sih lokasi nya? Ratusan titik api itu banyak sekali. Berita ini mungkin benar, mungkin juga tidak. Jika itu diturunkan dari data NOAA maka itu baru data titik panas, untuk jumlah titik api sebenarnya harus turun ke lapangan. Lalu bagaimana cara kita untuk mengetahui titik panas. NOOA memberikan data ini secara gratis dapat di download di http://earthdata.nasa.gov/data/near-real-time-
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
Latitude dan Longitude adalah informasi Lokasi titik tersebut, Data Acquired adalah tanggal data, Time adalah Jam Pengambilan data, Confidence adalah tingkat kepercayaan menunjukkan itu titik api atau bukan dengan skala 100 %, sedangkan Satelite adalah nama satelit yang digunakan untuk mengambil data ini. Setelah data tersebut tampil pada google earth baru kita dapat menganalisa lebih lanjut dengan cara groundcek ke lapangan dengan panduan dari data spasial titik panas tadi. (Sofyan Agus Salim)
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
25
DARI HULU KE HILIR
26
Keindahan alam yang tersedia di kawasan hutan nagari di Kabupaten Solok Selatan juga terletak pada jenis hewan yang menghuni dikawasan tersebut, jenis-jenis yang berasal dari kelas Mamalia (Macaca sp, Hylobates sp) dan kelas Aves (Bucherros sp) yang hidup dikawasan tersebut patut untuk dijaga keletariannya karena statusnya menurut IUCN telah masuk dalam daftar RED LIST dengan status Endangared dan dalam perundangundangan pemerintah jenis-jenis ini termasuk dalam hewan-hewan yang dilindungi.
Menggali Potensi Hutan Nagari
K
awasan hutan di wilayah Solok Selatan memiliki keindahan dan potensi untuk menarik wisatawan, salah satunya ada adanya alur sungai yang sangat deras sehingga bisa menarik wisatawan untuk melakukan rekreasi “arum jeram”. Kawasan yang memiliki potensi ini terdapat di wilayah Hutan Nagari Koto Baru, selain itu di wilayah ini juga memiliki beberapa goa yang selama ini menjadi tempat sebagai mata pencaharian masyarakat sekitar berupa hasil dari sarang walet yang ditemukan di dalam goa, namun selain potensi tersebut goa ini juga memiliki potensi sebagai wisata alam belajar bagi pelajar dan mahasiswa tentang goa. Di kawasan Hutan Nagari Koto Baru juga ditemukan sebuah spot Pengamatan Kalong atau Kalelawar (Bat Observation) yang mana juga dapat dilakuakan kajian ilmiah Survei kajian biodiversity dan potensi alam yang telah dilakukan di beberapa Nagari Solok Selatan seperti Nagari Pasir Talang Timur, Nagari Pakan Rabaa dan Nagari Koto Baru, ditemukan jenis-jenis tumbuhan yang memiliki nilai konservatif. Tumbuhan seperti Amorphophalus sp ditemukan di beberapa titik di dalam kawasan hutan di nagari-nagari tersebut. Selain itu jenis dari kantung semar Nephentes sp juga ditemukan didalam kawasan hutan nagari. Jenis-jenis ini merupakan jenis langka dengan statusnya di lindungi oleh negara dan memiliki potensi bagi daerah itu sendiri sebagai wisata, bila jenis ini dapat di pertahankan keberadaannya. Karena jenis tidak hanya ditemukan tumbuh di dalam kawasan juga tumbuh di perladangan masyarakat. Selain itu jenis cendawan yang berkoloni tampak cantik juga ditemukan di dalam kawasan hutan nagari.
Jenis burung banyak ditemukan di alamnya Solok Selatan, burung bisa dijadikan sebagai indikator lingkungan (Bio indikator) baik atau buruknya suatu kawasan hutan dengan melihat jumlah jenis dan induvidu pada suatu wilayah kawasan hutan. Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan, famili yang mendominansi di kawasan hutan usulan Hutan Nagari Pasia Talang Timur berasal dari famili Lauraceae (Medang-medangan), adapun spesies pohon yang mendominasi seperti Litsea sp, Litsea amara, Litsea diversifolia, Macaranga triloba dan Bellusia pentamera (Jambu Jepang), Selain itu jenis tumbuhan yang sering dimanfaatkan di kawasan hutan seperti Bambusa sp (Batuang), Calamus sp (Rotan) yang banyak ditemukan di kawasan hutan nagari. Adapun tumbuhan yang juga sering dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan maupun bahan campuran obat-obatan adalah Piper betle (Siriah) yang digunakan sebagai obat “tasapo” dan menghilangkan bau badan, Jatropa curcas (Jarak) juga digunakan sebagai obat penurun panas, Curcuma domestica (Kunyik) digunakan untuk membersihkan perut dan sebagai obat maag.
DARI HULU KE HILIR cus muntjak), tranggiliang (Manis javanica), gunjo (Hystrix brachyura) (Tabel 2). Berbagai hewan primata juga ditemukan saat survei. Salah satunya adalah Siamang (Hylobates syndactilus) yang mengindikasikan hutan yang ada di kawasan usulan masih dalam keadaan baik. Beragam jenis burung yang memiliki nilai komersil ditemukan di kawasan usulan, adapun jenis burung-burung tersebut diantaranya buruang hijau, murai, murai kampuang dan serindik (Chloropsis cyanopogon, Chloropsis venusta, Chloropsis sonnerati, Copsycus saularis, Copsycus malabaricus, Loriculus galgulus). Menurut warga sekitar jenis-jenis burung tersebut ditangkap dan dijual. Harga masing-masing jenis burung tersebut diinformasikan mmiliki nilai ekonomi yang tinggi yaitu ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Diversitas famili Bucerotidae ditemukan cukup banyak di kawasan tiga hutan nagari yaitu Aceros comatus, Aceros undulatus, Anorrhinus galeritus, Anthracoceros malayanus, Anthracoceros albirostris, Buceros vigil dan Buceros rhinoceros. Ditemukannya jenis-jenis burung ini mengindikasikan bahwa keadaan hutan yang ada disekitar masih dalam kondisi yang baik. Berdasarkan informasi dari masyarakat, perburuan untuk jenis hewan tersebut marak dilakukan.Berdasarkan hasil temuan dilapangan jenis tumbuhan yang dominan ditemukan di sepanjang jalur survei adalah Bellusia penthamera dan untuk vegetasi dasar yang mendominansi adalah Selaginella sp atau dikenal dengan nama “paku lumut” yang hidup ditempat yang lembab atau didekat aliran air. Untuk Selaginella sp memiliki potensi dimanfaatkan sebagai tanaman hias.
Tumbuhan purba atau tumbuhan yang bernilai konservatif juga di temukan saat dilakukan survei. Amorphopahllus sp yang bernilai konservatif ditemukan pada beberapa titik di dalam kawasan hutan nagari dan di ladang masyarakat. Jenis ini ditemukan dalam bentuk organ vegetatif (berupa batang dan daun) dengan ketinggian 3-7 meter. Selain memiliki nilai konservatif tumbuhan ini juga memiliki nilai ekowisata, apabila kelestarian jenis dijaga hingga nanti tumbuhnya organ generatif (bunga), yang berukuran besar. Pengetahuan masyarakat akan nilai konservatif pada tumbuhan ini sangat minim, menyebabkan tumbuhan ini dimanfaatkan umbinya untuk diperjual-belikan dengan harga berkisar Rp 1000/kg-nya. Pemanfaatan tumbuhan ini tidak didukung oleh kearifan lokal di masyarkat dan juga di level pemerintahan nagari yang tidak memiliki aturan bagi tumbuhan-tumbuhan yang bernilai konservatif. Diversitas dari famili Bucerotidae ditemukan cukup tinggi di kawasan hutan nagari di tiga tempat tersebut yaitu Aceros comatus, Aceros undulatus, Anorrhinus galeritus, Anthracoceros malayanus, Anthracoceros albirostris, Buceros vigil dan Buceros rhinoceros. Ditemukannya jenis-jenis burung ini mengindikasikan bahwa keadaan hutan yang ada disekitar masih dalam kondisi yang baik. Berdasarkan informasi dari masyarakat, perburuan untuk jenis hewan tersebut marak dilakukan khususnya untuk jenis anggang (Buceros vigil), karena jenis anggang tersebut memiliki nilai jual yang paling tinggi diantara yang lainnya. (Hari dan Bimo)
Temuan menarik yang ditemukan didalam Hutan N agari Pakan Rabaa adalah ditemukan Amorphophallus sp, berupa organ vegetatifnya (dengan ketinggian 1-4 meter) yang ditemukan di tiga lokasi di dalam hutan nagari. Amorphophalus merupakan tumbuhan bangkai yang memiliki bau busuk, yang dalam proses hidupnya melewati fase vegetatif (berupa batang dan daun) dan fase generatifnya (berupa bunga). Pemanfaatan jenis ini oleh masyrakat sebagai bahan konsumsi berupa kerupuk yang mana bagian dari jenis yang diambil adalah umbinya. Jenis ini dalam statusnya didunia telah masuk dalam daftar “REDLIST” dengan kategori Vulnerable (rentan). Berdasarkan hasil survei Nagari Pasir Palang Timur dan Nagari Pakan Rabaa, diinformasikan oleh masyarakat setempat dengan adanya keberadaan hewan karnivora seperti inyiak (Panthera tigris sumatrae) dan tupiang (Helarctos malayanus). Selain itu, spesies mamalia yang dilindungi lainnya juga diinformasikan keberadaannya diantaranya Tapir (Tapirus indicus) dan Kijang (Muntia-
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
Potensi yang dimiliki hutan nagari, sangat mungkin dikembangkan sebagai objek wisata. Foto Bimo / Dok. KKI WARSI
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
27
DARI HULU KE HILIR
28
DARI HULU KE HILIR Sungai Kering, Bukit Seruk dan Rawa Sijang seluas ± 760 Ha sebagai Hutan Adat Talang Kemuning dan Bintang Marak mencakup kawasan “Bukit Sungai Kering, Hulu Sungai Jujun, Padang Salak, Air Sipinang, Bukit Sikai, Bukit Seruk, Hulu GraoSikai, Pematang Selpo dan Rawa Sijang. Keberadaan kawasan hutan Bukit Sungai Kering, Bukit Seruk dan Rawa Sijang sangat penting bagi masyarakat, karena selain sebagai kawasan penyangga TNKS, fungsi pentingnya adalah sebagai kawasan hulu air DAS Grao Sikai dan DAS Sungai Jujun. Dengan terjaganya kawasan tersebut akan memberikan manfaat langsung bagi kedua desa dan juga beberapa desa tetangga, yaitu terjaganya sumber air sebagai penopang kehidupan dan untuk menghindari bencana longsor dan kekeringan.
Desa Talang Kemuning, penyangga TNKS mengajukan hak kelola hutan adat kepada Bupati Kerinci. (Foto: Nopri / Dok. KKI WARSI)
Talang Kemuning Menunggu SK Hutan Adat
M
asyarakat Talang Kemuning dan Bintang Marak, Kecamatan Bukit Kerman, Kabupaten Kerinci, saat ini menunggu keputusan Bupati atas usulan Hutan Adat yang diajukan perangkat desa dan tokoh adat kedua desa penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat itu. Pengajuan legalisasi hutan adat ini telah diajukan kepada Bupati Kerinci Oktober lalu. Masyarakat kedua desa yang berasal dari satu kelompok masyarakat adat sepakat mengajukan hak kelola hutan adat karena selama ini telah lama melakukan pengelolaan hutan secara arif dan lestari. Pengelolaan hutan dilakukan dengan menggunakan aturan adat yang sudah diwariskan menjadi tradisi turun-temurun. Dengan pengelolaan yang dilakukan terbukti mampu menjaga kelestarian kawasan hutan dan memberikan manfaat secara langsung baik ekonomi maupun ekologi.
Perlindungan daerah tangkapan air juga penting, untuk menjaga pasokan air sungai yang menjadi sumber irigasi utama masyarakat desa yang langsung mengairi persawahan, sekaligus untuk kebutuhan sehari-hari. Mayoritas masyarakat berkerja dan mengandalkan hidupnya dari kegiatan bersawah, yang kebutuhan airnya satu-satunya berasal dari sungai Grao Sikai yang hulunya pada kawasan hutan tersebut. Rusak atau punahnya kawasan Bukit Sungai Kering, Bukit Seruk dan Rawa Sijang tersebut adalah ancaman bagi kehidupan dan generasi penerus. Atas alasan itu, masyarakat adat Talang Kemuning dan Bintang Marak secara bersama-sama memperjuangkan adanya pengakuan atas kawasan hutan Bukit Sungai Kering, Bukit Seruk dan Rawa Sijang sebagai Hutan Adat Talang Kemuning dan Bintang Marak. Melalui skema Hutan Adat diharapkan akan terus menjaga kelestarian kawasan dan mengelolanya dengan arif berdasarkan aturan hukum adat yang berlaku, sehingga
manfaatnya akan terus dirasakan hingga generasi yang akan datang. Untuk diketahui, Desa Talang Kemuning dan Bintang Marak, awalnya hanya satu desa dan kemudian mengalami pemekaran pada 2010 lalu. Sejak dahulu, kehidupan masyarakatnya sudah bersentuhan langsung dengan hutan. Ini terbukti dengan awal masuknya masyarakat ke desa ini dulu didasari atas keinginan berladang. Pada saat itu yang dipilih masyarakat adalah menanam kulit manis dan kopi. Diyakini masyarakat bahwa orang pertama yang masuk ke desa ini berasal dari Mataram yaitu tahun 1800-an. Saat itu masyarakat belum menetap di desa dan hanya berladang saja. Barulah pada tahun 1900-an masyarakat mulai mendiami desa ini karena semakin banyaknya orang yang berladang, saat itu telah mulai berdatangan orang dari Desa Kumun, Koto Petai, Semerap, Pulau Tengah, Sebukar dan juga yang suku Minang. Walaupun telah banyak masyarakat yang mendiami desa ini, akan tetapi desa ini berada dibawah KemandapoanLolo, dan kemudian menjadi Desa Talang Kemuning. Meski sudah mengalami pemekaran hingga kini masyarakat kedua desa tetap berada dalam satu lembaga adat yaitu Lembaga Adat Talang Kemuning. Bahkan masyarakat kedua desa ini masih memiliki kekerabatan yang dekat, terdapat tiga kelompok keluarga besar yang disebut dengan kalbu, yaitu kalbu Depati Sengado, Depati Mudo dan Depati Reno. Dari ketiga kalbu ini akan memipin kelembagaan adat yang dipilih melalui kenduri sko. Kelembagaan adat yang kuat dan juga nilai-nilai adat yang masih berjalan dengan baik inilah yang kemudian menjadi dasar masyarakat untuk memperoleh legalisasi hutan adat mereka. Semoga Bupati Kerinci segera merespon keinginan masyarakat ini. (Sukmareni)
Selama ini masyarakat yang menjadi penyangga TNKS itu telah turut serta menjaga kawasan konservasi terluas di Sumatera itu, yang dituangkan dalam kesepakatan Konservasi Desa (KKD) yang sudah disepakati sejak 2001. Selain menjaga TNKS masyarakat juga memiliki kesepakatan untuk melindungi kawasan yang dinamakan kawasan lindung adat, melindungi sepadan sungai dan hulu sungai. Menyambung apa yang telah dilakukan inilah kemudian memandang perlu adanya legalitas untuk mengelola kawasan hutan yang ada disekitar mereka. Dari diskusi yang dilangsungkan di desa pilihan pengelolaan yang diinginkan adalah skema hutan adat. Hal ini didasarkan nilai adat sudah diterapkan sejak lama dalam mengelola sumber daya alam. Untuk itulah berdasarkan keputusan rapat lembaga adat menetapkan kawasan Bukit
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
Areal persawahan yang dikelola masyarakat. Untuk Jambi irigasi lancar daerah tangkapan air dikelola dengan kearifan lokal oleh masyarakat Talang Kemuning dan Bintang Marak (Foto: Nopri / Dok. KKI WARSI)
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
29
30
WAWANCARA
WAWANCARA
Safeguard REDD+ Harus Direbut oleh Jambi
Untuk memastikan itu terjadi disiapkanlah safeguard ini. Karena banyak sekali yang berhubungan dan safeguard. Baik itu pemerintah maupun penyandang dana. Safeguard ini dibuat dalam perundingan tingkat nasional. Tingkat lokal hanya menjabarkan. Apapun safeguard dari atas itu harus dilapis dari bawah. Bagusnya Jambi ini menyiapkan safeguard yang format Jambi. Jadi kalau ada safeguard dari manapun datangnya harus dicocokkan. Sebenarnya safeguard ini hanya instrument. Safeguard itu sama seperti penyaring. Manfaatnya, itu tadi supaya pemanfaatannya betul sesuai yang direnecanakan dan minimum dampak. Kalau pun dampak ada dilakukan upaya mitigasi. Hanya sekedar instrument saja, sementara penyandang dana punya lagi safeguard. Bagaimana cara untuk mengatasi persoalan tersebut agar tidak tumpang tindih?
P
enyusunan Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+ adalah bentuk keseriusan dalam rangka mewujudkan kebijakan kesejahteraan rendah karbon melalui upaya penurunan emisi deforestasi dan degradasi hutan dari sektor kehutanan, alih guna lahan dan lahan gambut. Dokumen ini merupakan dokumen sinergis yang diharapkan menjadi acuan dalam isu perubahan iklim dalam sistem perencanaan pembangunan daerah. Berikut petikan wawancara Alam Sumatera dengan Aziz Khan, Konsultan Freelance Kebijakan Perubahan Iklim di sela kegiatan workshop regional pemantauan terkait safeguard dalam implementasi SRAP REDD+ di Hotel Novita Jambi, Kamis 18 Desember 2014. Bisa bapak ceritakan mengenai keterlibatan bapak dalam pembentukan SRAP REDD+? Saya sebenarnya gabung pada tahun 2012 awal. Waktu itu ikut gabung dengan satgas (Satuan tugas REDD+). Kemudian saya diberi tanggung jawab untuk memfasilitasi pembuatan SRAP REDD+ tingkat provinsi. SRAP ini sebagai penjabaran dari implementasi Strategi Nasional REDD+. Waktu itu ada 11 prioritas provinsi, salah satunya adalah Jambi. Mulaidari Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau,Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Papua dan Papua Barat, terus terakhir Sulawesi Selatan. Selama kegiatan fasilitasi ini apa saja yang dilakukan? Intinya adalah mendorong dan membantu kawan-kawan di daerah untuk menyusun SRAP di tingkatan provinsi sebagai penjabaran dari strategi nasional REDD+. Yang menyusun sebenarnya mereka dari masing provinsi. Mereka membentuk tim sendiri, kemudian tim kecil ini
Aziz Khan, Konsultan Freelance Kebijakan Perubahan Iklim
bikin rancangannya. Termasuk bagaimana setelah data lengkap mereka menyusunnya sendiri. Kira-kira mau seperti apa, mereka yang mengerjakan. Kita satgas waktu itu lebih tepat mendampingi dan memastikan bahwa yang dibuat adalah jabaran dari staregi nasional yang ditarik ke dalam kontek implementasi di tingkatprovinsi. Bentuk nyata kegiatannya bagaimana? SRAP yang dibuat tadi itukan merupakan deretan dari kegiatan-kegiatan. Baik yang langsung mengurangi emisi maupun menyiapkan prasarana dan kondisi.Satu diantaranya adalah penyusunan safeguard REDD+. Fungsi dari safeguard itu sendiri seperti apa? Safeguard ini merupakan kegiatan yang ada dalam SRAP. Sebagai sebuah kegiatan harus dicek betulkah itu dilaksanakan atau tidak dilaksanakan. Kalau dilaksanakan apakah dampaknya posotif atau negatif. Apakah ada dampak negatif misalnya. Kalau ada harus dibuat upaya mitigasinya seperti apa. Salah satu frame generiknya. Bahwa setelah itu banyak safeguard sistem itu memang dibuat oleh kawan-kawan. Oleh dephut misalnya bikin SIS. Ada kawan lain bikin SESA (Strategic Environmental and Social Assessment). Lalu adalagi yang lain, itu semua terkait dengan implementasi REDD+ supaya benar dilaksanakan dan benar-benar meminimumkan dampak.
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
Mengatasi harus dengan melakukan negosiasi, akhirnya yang mana yang harus dipakai. Kalau daerah punya ayakan yang siap bisa katakan ke nasional, sorry untuk Jambi ini lho safeguardnya. Tapi ya harus merupakan kristalisasi dari ayakan yang lain.Jadi dengan ayakan itu kawan-kawan yang punya ayakan di Jakarta yang merupakan akumulasi ayakan dunia internasional, gitu ya, ada kedekatannya. Sedikit gap nya. Jadi itu nantiyang bisa dipakai. Jadi safeguard ini juga berkaitan dengan aturan main dalam penerimaan dana? Jambi sudah punya ayakannya ketika ada yang datang bawa duit. Kalaupun nanti pembawa dan bawa ayakannya kita bisa negosiasi. Oke bisa gaknya ayakan jadi perhatian. Kalau sistem itu jadi barubagus. Safeguard ini adalah benar-benar instrument. Lantas sudah sejauh mana safeguard yang ada saat ini? Safeguard sekarang sudah ada dan sudah mendekati final. Namun belum ada keputusan di tingkat nasional. Hukum legalnya seperti apa, Permen, Permen hutan atau apa gitu. Kalau mau dipakai itu legalitasnya dipertanyakan. Saat seperti itu daerah harusnya ambil peran. Ada atau tidak ada safeguard nasional ini lho safeguard Jambi. Topdown belum ada botton up aja dulu dipakai. Bisa diterapkan seperti itu? Bisa. Harus bisa. Sekarang implementasinya kan di sini, bukan di Jakarta. Justru pertemuan ini digiring kesana. Ini kan ada SRAP, dalam SRAP banyak kegiatan. Artinya direbut. Safeguard direbut oleh Jambi, jangan menunggu dari Jakarta.
Kalau begitu safeguard ini posisinya sangat penting? Sangat penting. Safeguard untuk memastikan sesuatu berjalan dengan baik. Misalnya saya diminta buka toko hp. Jadi harus dipantau benar ga hpnya jadi. Benar gak cara membikin hp memenuhi standar? Benar gak punya dampak positif. Dampak negatif dikurangi dan sebagainya. Di tingkat situ mengapa pentingnya instrument penentu. Dari sisi pelaksanaan kegiatan berjalan tidaknya dan bahkan memiliki dan memiliki nilai tambah. Apakah sampai sekarang safeguard nasional belum disiapkan? Nasional sudah menyiapkan hanya belum final. Ada dua hal yang belum final, pertama dari substansi belum optimal dalam kerangka prosesnya. Kedua belum punya payung hukum yang cukup kuat sehingga kemudian bisa jadi rujukan teman-teman di daerah. Kalau itu terus dari pusat akan sangat sulit dari daerah katakanlah untuk menerima dana. Misalnya begini, saya datang ke Jambi bawa duit. Ini safeguard saya, jadi apa yang mau jadi bahan tawar menawar jika pusat belum ada dan daerah belum bikin? Oh ya Pak. Safeguard ini apakah juga bisa memberikan jaminan diakomodirnya hak dan kepentingan masyarakat lokal? Itu sudah substansinya. Misalnya begini, Kegiatan rehabilitasi. Apakah itu di wilayah di lahan yang konflik. Dengan siapa dia berkonflik. Saat selesaikan konflik bisakah kepentingan adat dinegosiasi. Justru teman Jambi harus memastikan kebudayaan lokal terserap dalam ayakan Jambi. Terkait perubahan iklim, bagaimana pentingnya peran REDD+ ini? REDD+ sebetulnya sebuah momentum untuk perbaikan tata kelola kehutanan. Jadi saya lebih melihat REDD+ bukan semata mengurangi emsi terus dapat duit. Bukan. Tapi momentum untuk bener-benar memperbaiki tata kelola sumberdaya alam. Karena saat penurunan emisi mau dilakukan pasti banyak persoalan. Mulai dari pengurangan emisi, konflik, ternurial, masyarakat belum diberikan haknya. Kalau itu dilanjutkan melakukan rehabilitasi misalnya, niatnya kan sudah mengurangi emisi. Itu sudah REDD+. Misalnya tempatnya berkonflik. Harus diselesaikan dulukan?.REDD+ itu menyelesaikan baru rehabilitasi. Orang sering salah dalam membaca REDD+. Begitu ada REDD+ ada semangat baru, bahwa itu bisa diselesaikan. Kalau kemudian dari situ dapat uang itu bonus saja. Selama ini REDD+ hanya dikaitkan dengan uang karbon, itu sesuatu yang berbeda.(HermaYulis)
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
31
32
SUARA RIMBA
Menghitung Dampak Kebakaran Lahan Gambut di Jambi
T
erjadinya kebakaran hutan lebih banyak disebabkan dari kegiatan manusia daripada faktor alam. Menurut Saharjo (1999), kebakaran hutan/lahan di Indonesia umumnya (99,9%) disebabkan oleh manusia, baik disengaja maupun akibat kelalaiannya. Sedangkan sisanya (0,1%) adalah karena alam. Beberapa penyebab kebakaran yang disebabkan oleh manusia diantaranya konversi lahan, pembakaran vegetasi, aktivitas dalam pemanfaatan sumber daya alam, pembuatan kanal-kanal/saluran-saluran di lahan gambut dan pe nguasaan lahan. Pada akhir Maret 2014, terdata seluas 800 hektar lahan di beberapa titik di Tanjung Jabung Timur mengalami kebakaran. Kebakaran ini terjadi baik kebakaran hutan dan lahan perkebunan. Potensi kebakaran ini meliputi hampir seluruh Kecamatan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Kebakaran ini berlangsung terus menerus meningkat fase cuaca ekstrim yang berdampak pada terjadinya kemarau panjang. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan cukup besar mencakup kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global dan asapnya mengganggu kesehatan masyarakat serta mengganggu transportasi baik darat, sungai, danau, laut dan udara. Gangguan asap karena kebakaran hutan Indonesia akhir-akhir ini telah melintasi batas negara. Kebakaran lahan dan hutan dapat disebabkan oleh penguasaan lahan, alokasi penggunaan lahan, insentif dan dis-insentif ekonomi, degradasi hutan dan lahan, dampak dari perubahan karakteristik kependudukan serta lemahnya kapasitas kelembagaan. Walaupun berbagai upaya pencegahan dan perlindungan kebakaran hutan telah dilakukan termasuk mengefektifkan perangkat hukum (undang-undang, PP, dan SK Menteri sampai Dirjen), namun belum memberikan hasil yang optimal. Sejak kebakaran hutan yang cukup besar tahun 1997/98 yang telah menghanguskan hutan seluas 11,7 juta hektar, intensitas kebakaran hutan makin sering terjadi dan sebarannya makin meluas. Oleh karena itu perlu pengkajian yang mendalam untuk melihat dampak yang ditimbulkan akibat kerusakan gambut melalui studi valuasi kerusakan fungsi ekologis hutan pasca kebakaran hutan dan lahan. Untuk itu KKI Warsi bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) melakukan studi valuasi ekonomi dampak kebakaran hutan di areal
gambut di tiga Kabupaten di Provinsi Jambi yaitu Kabupaten Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur. Kegiatan yang dilakukan selama sembilan hari ini fokus pada areal yang akan dijadikan titik sampel untuk kebakaran di areal gambut yang meliputi wilayah kerja perusahaan baik HTI maupun perkebunan masyarakat, kawasan lindung dan perkebunan masyarakat. Adapun metode dalam studi ini menggunakan metode pengambilan sampel acak terstratifikasi (Stratified Random Sampling). Metode pengambilan sampel dengan cara membagi populasi ke dalam kelompok-kelompok yang homogen (disebut strata), dan dari tiap stratum tersebut diambil sampel secara acak. Untuk jenis yang belum dikenal (nama ilmiahnya) maka akan dibuatkan herbarium dan selanjutnya diidentifikasi di Herbarium Bogoriense atau laboratorium sejenis dibawah Lembaga Ilmu Pengelitian Indonesia (LIPI). Kegiatan yang dilakukan meliputi struktur dan komposisi vegetasi pada berbagai penggunaan lahan yang meliputi Indeks nilai penting dan menghitung biomassa. Dan selanjutnya adalah pengambilan sample tanah , ini bertujuan mengetahui perubahan komposisi dan struktur vegetasi pada lahan gambut bekas terbakar dan tidak terbakar setiap penggunaan lahan. Semua vegetasi dari tingkat semai sampai pohon serta tumbuh-tumbuhan bawah diidentifikasi jenisnya serta dilakukan penghitungan jumlahnya. Pengukuran Indeks Nilai Penting (INP) dilakukan dengan menggunakan analisis vegetasi yang merupakan cara untuk mempelajari komposisi jenis dan struktur vegetasi di dalam suatu ekosistem (Soeranegara dan Indrawan, 1998). Menurut Odum (1971), Indeks Nilai Penting merupakan penjumlahan dari kerapatan relatif (KR), frequensi relatif (FR) dan dominasi relatif (DR).
SUARA RIMBA kesuburan tanah. Pada sebagian perusahaan perkebunan kelapa sawit, kebakaran bisa juga mengurangi biaya cost dari perusahaan. Bayangkan saja, pekerjaan land clearing yang seharusnya dilakukan selama delapan bulan menurut Rencana Kerja Tahunan (RKT) perusahaan, dengan kebakaran bisa dilakukan cukup dengan satu bulan saja. Berapa biaya yang bisa dihemat dari pekerjaan land clearing yang seharusnya dilakukan untuk sewa alat berat, Hari Kerja Orang (HOK) untuk kegiatan pekerjaan di lokasi kebun. Tanah gambut umumnya memliki tingkat kesuburan yang rendah yang ditandai dengan tingkat keasaman (pH) yang juga rendah, juga ketersediaan unsur hara baik mikro dan makro yang rendah, dan mengandung asam organik yang beracun, serta memiliki Kapasitas Tukar Kation (KTK) yang tinggi tetapi kejenuhan basa (KB) rendah. KTK yang tinggi dengan KB yang rendah menyebabkan pH rendah dan sejumlah pupuk yang diberikan ke dalam tanah relatif sulit diserap oleh tanah. Dengan kebakaran maka salah satu ketersediaan pupuk untuk unsur Posphor akan tersedia akibat gambut yang terbakar. Dengan demikian perusahaan juga bisa menghemat penggunaan pupuk Posphor yang seharusnya diberikan sebanyak Rp 500 – 600/ batang dan dikali dengan jumlah luasan ijin lokasi maka perusahaan mampu berhemat untuk pengeluaran sejumlah pupuk. Pada penelitian kedalaman gambut, diareal ini kedalam gambut mencapai lebih dari enam meter. Didalam perundang-undangan, ketentuan gambut dengan kedalaman tiga meter saja sudah dikategorikan gambut dalam masuk dalam status lindung. Aspek legal mengenai konservasi lahan gambut diatur dalam Kepres No. 32 tahun 1990 tentang kawasan lindung. Perlindungan terhadap kawasan gambut dimaksudkan untuk mengendalikan hidrologi wilayah, yang berfungsi sebagai penyimpan air dan pencegah banjir, serta melindungi ekosistem yang khas di kawasan yang ber-
sangkutan. Konservasi lahan gambut juga dimaksudkan untuk meminimalkan teremisinya karbon tersimpan yang jumlahnya sangat besar. Kebakaran juga menyebabkan subsidence yang sangat dalam dan menyebabkan menurunnya volume gambut. Penurunan permukaan gambut akan menyebabkan menurunnya kemampuan gambut menahan air. Apabila kubah gambut mengalami penciutan setebal satu meter saja, maka lahan gambut akan kehilangan kemampuannya dalam menyangga air sampai 90 cm atau ekivalen dengan 9.000 mᴲ. Menambahkan banyak dampak yang dirasakan dari kebakaran di lahan gambut, antara lain dampak sosial budaya dan ekonomi dan dampak lingkungan.Dr Indra, Dosen Laboratorium Kebakaran Hutan Institut Pertanian Bogor menyebutkan banyak dampak yang dirasakan dari kebakaran hutan tersebut. “Tidak hanya ISPA, munculnya berbagai jenis hama baru, ini di dampak sosial, budaya dan ekonominya. Sementara hilangnya sejumlah flora dan fauna, dan ancaman subsidence gambut hingga terganggunya siklus hidrologi ini kalau dikaji dari segi lingkungan”, sebutnya Dari penelitian tersebut diperolah beberapa poin penting dalam upaya meminimalisir kebakaran di Lahan Gambut diantaranya dengan usulan kepada pemerintah membuat Perda Larangan Pembukaan Lahan dengan membakar Lahan, Moratorium Pemberian Izin baru untuk Pemanfaatan Lahan Gambut sebagai Perkebunan Kelapa sawit dan HTI, medorong partisipasi masyarakat dalam menjaga dan memadamkan kebakaran. Bisa saja ada insentif baik perusahaan maupun masyarakat yang mampu menjaga kebakaran di lahan gambut. (Iqbal Zainudin/Elviza Diana)
Bernapas di dalam Asap demi Keuntungan Sesaat Dari hasil penelitian yang dilakukan khususnya di Kabupaten Muaro Jambi ditemukan dugaan adanya kesengajaan pembakaran yang dilakukan pihak perusahaan. Dari analisa citra yang dilakukan, terlihat titik api berpindah setiap tiga tahun sekalinya. Pantauan lapangan yang dilakukan, pembakaran/kebakran yang terjadi di lahan perusahaan terjadi bertepatan dengan pembukaan hutan (land clearing). Pada praktek pertanian secara tradisional lapisan gambut kadang kala sengaja dibakar untuk mengurangi kemasaman dan meningkatkan
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
Kebakaran gambut yang terjadi di Oktober 2014 di Desa kota Kandis Dendang Kecamatan Dendang Kabupaten Tanjung Jabung Timur menghanguskan 60 hektar kebun masyarakat. (Foto: Iqbal Zainuddin / Dok. KKI WARSI) ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
33
SUARA RIMBA
34
SUARA RIMBA Implementasi REDD+ terkait mitigasi perubahan iklim memberikan harapan baru bagi perbaikan tata kelola kehutanan. Namun, di sisi lain kegiatan ini juga menimbulkan kekhawatiran bagi banyak pihak, seperti kekhawatiran akan hilangnya akses masyarakat adat dalam mengelola sumber daya hutan serta adanya kekhawatiran terjadinya peningkatan konflik. Untuk itu dalam penerapan REDD+ ini perlu pengawalan dan pengawasan yang ketat. Yaitu dengan menyusun sebuah instrumen khusus untuk mengawasi kegiatan REDD+. Sehingga kemudian dibentuk safeguard (kerangka pengaman) sebagai wujud antisipasi agar pelaksanaan kegiatan REDD+ tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat, namun bisa berguna untuk membantu meningkatkan manfaat bagi masyarakat lokal serta perbaikan tata kelola lingkungan hidup. Mengingat pentingnya safeguard ini, maka Dewan Kehutanan Nasional (DKN) pun ikut terlibat memfasilitasi upaya pengawalannya. Terkait hal itu telah dilakukan konsolidasi internal Komisi Lingkungan dan Perubahan Iklim yang ditindak lanjuti dengan penunjukan Tim Ahli sebagai konsultan penyusun kajian dari berbagai safeguards, terutama terkait SIS-REDD+ dan PRISAI. B. Steni, salah satu narasumber pada Workshop Regional Pemantauan Terkait Safeguard dalam Implementasi Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+, di Hotel Novita Jambi, Kamis (18/12) memaparkan, bahwa safeguard diperlukan untuk melindungi masyarakat lokal dari dampak negatif terkait implementasi REDD+. Safeguard ini sendiri merupakan instrument, alat, mekanisme untuk memastikan kebijakan, program dan kegiatan mencegah atau tidak mendatangkan kerugian bagi pihak tertentu. Selain itu, safeguard juga bertujuan untuk meningkatkan nilai lebih dari kebijakan atau program yang dilakukan.
Kerangka pengamanan ini diperlukan karena sudah menjadi keputusan PBB terkait perubahan iklim, yaitu COP 16 di Cancun Mexico dan COP 19 di Warsawa Polandia. Selain itu juga implementasi dari Stranas REDD+, dan pengalaman konflik. Sebab, selama ini berbagai kebijakan pembangangunan yang dilakukan seringkali menimbulkan konflik. Begitu ada konflik maka akan menimbulkan korban dan ketidak percayaan publik. “Ketidak percayaan akan menimbulkan pertanyaan orang, ini mau apa lagi. Agar orang tidak tergusur lagi dan punya akses pengelolaan hutan yang lebih luas maka diperlukan safeguard. Karena kalau misalnya kita tanam pohon di tempat orang akan menjadi persoalan di kemudian hari. Itulah esensi dari adanya safeguard,” katanya. Sementara Aziz Khan, Konsultan Freelance Mitigasi Perubahan Iklim mengatakan, keberadaan safeguard ini sangat penting. Karena mulai dari pemerintah, pelaksana kegiatan, maupun penyandang dana sama-sama membutuhkan safeguard. Safeguard ini ibarat sebuah ayakan yang akan melakukan penyaringan dalam implementasi REDD+. Namun, di tingkat nasional penyusunan safeguard hingga saat ini belum final. Ada dua hal yang belum final, pertama dari substansi belum optimal dalam kerangka prosesnya. Kedua belum punya payung hukum yang cukup kuat sehingga kemudian bisa jadi rujukan bagi daerah.Kalau itu mau dipakai legalitasnya masih dipertanyakan. Saat seperti itu, kata dia, daerah harusnya ambil peran. Ada atau tidak ada safeguard nasional,tapi daerah seharusnya sudah punya safeguard sendiri.
Hutan menyimpan cadangan karbon yang sangat tinggi sekaligus sebagai paru-paru dunia (Foto: Dok. KKI WARSI)
Safeguard dalam Implementasi SRAP REDD+
I
mplementasi kegiatan REDD+ adalah momentum penting dalam rangka melakukan perbaikan tata kelola kehutanan di Indonesia. Hal itu menjadi penting karena Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang diimplementasikan dalam perencanaan dan aksi terkait perubahan iklim. Untuk itu, Indonesia menyiapkan kerangka infrastruktur untuk implementasi REDD+. ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
Diskusi implementasi Safeguard di regional sumatera yang melibatkan dinas instansi pemerintah, NGo di Jambi, Sumbar, Sumsel, Bengkulu, Lampung, dan Riau. Foto: Agus Sumarli/Dok. KKI WARSI ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
35
36
SUARA RIMBA
AKTUAL
Kunjungan peserta Pelatihan Ekonomi Hijau yang diselenggarakan KKI WARSI ke BPTP Provinsi Jambi. (Foto : Andi Irawan/Dok KKI WARSI)
Menghitung cadangan karbon di hutan (Foto: Dok. KKI WARSI)
“Top down belum ada botton up aja dulu dipakai. Artinya safeguard direbut oleh Jambi, jangan menunggu dari Jakarta. Misalnya begini, saya datang ke Jambi bawa duit. Ini safeguard saya, jadi apa yang mau jadi bahan tawar menawar jika pusat belum ada dan daerah belum bikin?” katanya.
Kedua, perlu mendorong hak kelola masyarakat diakui dalam rencana tata ruang wilayah.
Sedangkan Adi Junaidi dari KKI WARSI mengatakan, terkait implementasi REDD+ pihaknya telah melakukan ujicoba Perisai di Bujang Raba, Kabupaten Bungo. Uji coba ini bertujuan untuk memastikan status hak masyarakat atas tanah dan lahan, menghormati dan memberdayakan pengetahuan dan hak masyarakat adat dan komunitas lokal, memastikan partisipasi para pemangku kepentingan secara penuh dan efektif dan mempertimbangkan keadilan gender, serta memastikan manfaat REDD dibagi secara adil ke semua pemegang hak dan pemangku kepentingan yang relevan.
Keempat, perlu menyediakan mekanisme khusus (affirmatif action) untuk kaum perempuan untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat lokal/adat.
Berdasarkan hasil uji coba tersebut pihaknya membuat beberapa rekomendasi yang perlu dilakukan:
Ketujuh, perlu menyediakan kelembagaan dan mekanisme komplain terkait dengan implementasi safeguards.
Pertama, perlu mendorong pengakuan legal sistem pengelolaan hutan berbasis masyarakat, terutama dalam kawasan hutan negara, agar manfaat REDD+ sampai kepada masyarakat lokal/adat.
Ketiga, perlu membangun mekanisme FPIC yang mengacu kepada mekanisme lokal terkait dengan partisipasi masyarakat lokal/adat.
Kelima, revitalisasi/restrukturisasi nilai-nilai adat dalam proses penyelesaian masalah/konflik. Keenam, perlu merumuskan mekanisme distribusi manfaat REDD+ kepada masyarakat lokal/adat yang transparan dan sesuai dengan kondisi lokal agar tidak dimonopoli sekelompok elite.
Kedelapan, perlu mendorong safeguards memiliki basis legal yang jelas dan bersifat mengikat pelaksana proyek REDD+ sehingga safeguards tidak hanya menjadi pemenuhan syarat saja seperti AMDAL pada perizinan dan KLHS pada KRP. (Herma Yulis)
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
37
Tingkatkan Pendapatan Petani, Kembangkan Pertanian Terpadu ejak isu pemanasan global mencuat dan menjadi perbincangan hangat para pihak di seluruh dunia, maka strategi adaptasi dan mitigasi terhadap dampak isu ini terus dimunculkan. Salah satu dampak paling fenomenal dari isu ini adalah terjadinya perubahan iklim. Akibatnya banyak sekali bencana yang terjadi di seluruh belahan bumi. Meningkatnya permukaan air laut, mencairnya es di kutub utara, hingga semakin seringnya terjadi banjir dan kekeringan panjang, musim yang tidak menentu, penyakit yang semakin berkembang adalah beberapa contoh akibat terjadinya Perubahan Iklim.
S
jau, ekonomi hijau, dan konsep lainnya. Semua konsep ini berada dalam satu irisan, yakni pembangunan yang berkelanjutan.
Perubahan iklim disebabkan oleh ketidakseimbangan ekosistem. Upaya pemulihan ekosistem, sangat penting untuk mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim,di samping upaya-upaya lain mengingat banyaknya faktor pemicu perubahan iklim yang sulit untuk ditangani secara menyeluruh. Salah satu konsep yang mungkin untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, adalah pembangunan rendah karbon/emisi, pembangunan hi-
“Praktek pembangunan berkelanjutan diterapkan pada seluruh bidang. Sebagai contoh, di bidang pertanian muncul istilah pertanian berkelanjutan. Istilah ini lahir sebagai respon atas upaya memadukan keberlanjutan usaha tani dengan upaya pengurangan dampak perubahan iklim,”kata Yulqari Deputi Direktur KKI WARSI pada pembukaan Pelatihan Pelatihan Pengembangan Sistem Usaha Tani Terpadu Terpadu Sebagai Upaya
Di tingkat lokal, pembangunan berkelanjutan juga menjadi bagian dari konsep pembangunan pemerintah Provinsi Jambi. Konsep ini tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jambi (RPJMD) 2011-2015, dimana dalam pembangunan Provinsi Jambi selain fokus pada pro growth, pro job, dan pro poor, juga meletakkan pro environment sebagai fokus pembangunan dengan konsep green economy.
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
AKTUAL
38 38 Peningkatan Pendapatan Keluarga dan Mitigasi Perubahan Iklim Bagi Masyarakat Lokal yang diselenggarakan di Pusat pelatihan Perubahan Iklim WARSI Sebapo beberapa waktu lalu.
Kelompok Pengelola Hutan Desa di Kabupaten Bungo. Serta praktek Climate Smart Agriculture (CSA) yang dikembangkan oleh masyarakat desa lahan gambut di Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Dikatakan Yulqari pertanian berkelanjutan adalah pertanian yang secara ekologis dapat dipertanggungjawabkan, secara ekonomi dapat dijalankan, secara sosial berkeadilan, berperikemanusiaan serta dapat menyesuaikan diri. Untuk istilah pertanian berkelanjutan ini, sebagian besar masyarakat tani sudah cukup lama mendengarnya, tetapi praktek pelaksanaannya seperti apa, tidak banyak yang tahu.
Keseluruhan bentuk sistem pertanian yang dilakukan masyarakat tersebut masih bersifat usaha pertanaman atau berbasis tanaman. Sedangkan usaha perikanan dan peternakan yang dilakukan masih belum saling mendukung dengan usaha pertanaman tersebut ataupun sebaliknya. “Dengan kata lain bahwa sistem usaha tani terpadu berpotensi untuk dikembangkan dalam rangka meningkatkan produksi dan pendapatan, namun belum dilakukan atau dikembangkan,”sebutnya.
“Praktek pertanian berkelanjutan yang sudah dikembangkan dan dilakukan oleh masyarakat tani di Indonesia adalah melalui Sistem Usaha Tani Terpadu, yang sebenarnya sudah lama dipraktekkan oleh masyarakat tani. Sistem dilakukan sebagai ekspresi dari usaha mereka menghadapi tantangan lingkungan yang ada untuk bertahan hidup. Hanya sayang pengembangannya sepotong-sepotong, tidak terintegrasi,”sebutnya. Untuk itu lanjut Yulqari perlu adanya upaya untuk memunculkan sistem usaha tani terpadu dengan adanya management yang baik usaha peningkatan produksi pertanian di tingkat petani. Sebagai contoh adalah managemen lahan. Kunci upaya peningkatan produksi akan terletak pada adanya interaksi antara berbagai bentuk usaha tani yang saling mendukung sifatnya. “Dengan adanya Sistem Usaha Tani Terpadu didasarkan pada konsep daur-ulang biologis (biologicalrecycling) antara usaha pertanaman, perikanan dan peternakan. Usaha tani berbasis tanaman memberikan hasil samping berupa pakan bagi usaha tani perikanan dan peternakan. Demikian pula sebaliknya, usaha perikanan dan peternakan memberikan hasil samping berupa pupuk bagi usaha tani tanaman. Usaha perikanan menghasilkan pakan bagi peternakan, sedangkan usaha peternakan menghasilkan pupuk dan pakan untuk perikanan,”sebut Yulqari, sembari menambahkan bahwa sistem pertanian terpadu ini sudah mulai dikembangkan di sejumlah daerah. Untuk Jambi, upaya pengembangan pertanian terpadu ini, juga sudah mulai berjalan meski berskala lokal yang berpotensi untuk dikembangkan sehingga menjadi pertanian terpadu, diantaranya ada Hompongan yang dikembangkan oleh Kelompok Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Wanatani yang dikembangkan oleh masyarakat di desa penyangga TNBD. Komoditi Tanaman Bertingkat yang dikembangkan oleh
Ditambahkan oleh Heracles Lang dari BP REDD + menyebutkan penggunaan lahan merupakan salah satu faktor yang mendorong terjadinya emisi karbon, untuk itu menurutnya tata guna lahan menjadi salah satu fokus BP REDD+ untuk mitigasi dan adaptasi perubahan lahan. Ada banyak hal yang dilakukan oleh BP REDD diantaranya mendorong pengembangan desa hijau, yaitu program untuk mendukung masyarakat meningkatkan pendapatannya dengan upaya pengembangan pertanian tumpang sari. Heracles mencontohkan tumpang sari antara karet dan nanas yang dikembangkan di lahan gambut. Sementara Adri peneliti dari BPTP menyebutkan pengembangan pertanian terpadu, menjadi langkah untuk menghadapi perubahan iklim yang kini sudah sangat kita rasakan dampaknya. Adri menghimbau para petani yang hadir dalam kegiatan pelatihan ini untuk memaksimalkan pemanfaatan lahannya, dan benar-benar fokus untuk menggali potensi dan mengintensifkan pertanian yang dikembangkan. Pertanian terpadu dicontohkannya misalnya mengembangkan karet sebagai basis utama, didukung dengan program peternakan sapi dan pengembangan tanam sela atau palawija. “Dari sapi, dengan teknologi yang ada dan sederhana, bisa di panen limbah sapi, baik padat maupun urine sapi yang bisa diolah menjadi pupuk. Dari kegiatan ini penghasilan dari pengolahan limbah sapi jauh lebih banyak dari hasil penggemukan sapinya sendiri,”sebutnya.
Menghijaukan Hutan Larangan
S
ekitar 1000 pohon ditanam di Kawasan Taman Nasional yang meliputi hutan larangan Desa Bukit Suban, Kebun-kebun masyarakat Desa Bukit Suban yang masuk dalam kawasan TNBD, dan kebun masyarakat yang berdekatan dengan batas-batas kawasan TNBD. Ini dilakukan dalam rangka upacara peringatan hari menanam sekaligus hari ulang tahun Desa Bukit Suban. Jenis pohon yang akan ditanam meliputi bibit buah-buahan seperti Matao, kelengkeng, rambutan, durian, dan sawo serta jenis tanaman kehutanan diantaranya kayu tembesi, gaharu, dan jelutung. Bibit-bibit ini merupakan bantuan dari KKI WARSI, BPDAS Provinsi serta Balai Taman Nasional Bukit Duabelas. Dalam rangkaian peringatan Hari Ulang Tahun Desa Bukit Suban yang ke-27 dan Peringatan Hari Menanam Pohon Indonesia (HMPI) tahun 2014. Pemerintah Desa Bukit Suban mengajak seluruh warga desa, kelompokkelompok Orang Rimba Bukit Duabelas, siswa-siswi sekolah, Pemerintah Kecamatan Air Hitam, PEMDA Kabupaten Sarolangun, Pemerintah Provinsi Jambi, Balai Taman Nasional Bukit Duabelas dan KKI Warsi untuk terlibat dan berkontribusi menanam pohon di Hutan Larangan Desa Bukit Suban. Kegiatan ini, merupakan bagian dari agenda bersama, yang diharapkan bukan sekedar seremoni. Aksi massal menanam 1000 pohon di hutan larangan Desa Bukit Suban, sebagai langkah awal untuk mengajak berbagai pihak untuk bersamasama melindungi kawasan hutan dengan kegiatan-kegiatan nyata.
Siswaningtyas, Koordinator Unit Program Bukit Duabelas KKI WARSI menyebutkan melalui kegiatan aksi menanam pohon secara massal di hutan larangan Desa Bukit Suban, diharapkan dapat menumbuhkan aksi kegiatan-kegiatan lainnya dalam mendukung upaya pelestarian Hutan Larangan Desa Bukit Suban dan perlindungan daerah penyangga kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas. Hutan larangan ini merupakan inisiasi dari Kelompok Tani Mukti dalam upaya menyelamatkan kawasan hutan yang tersisa yang juga menjadi sumber mata air mereka. Berawal dari terjadinya kebakaran hutan pada 1997 karena musim kemarau di kawasan bagian Selatan Bukit Duabelas Jambi (dulu masih cagar biosfer) Hutan tersisa dipinggiran Dusun Margarahayu, Desa Bukit Suban selamat dari si Jago merah. Hutan bagi kelompok Tani Mukti adalah ruh bagi kelangsungan hidup pertanian sawah, usaha perikanan yang menjadi tumpuan hidup satu-satunya saat itu. Semenjak itulah, secara swadaya dan mandiri kelompok tani bekerja untuk mempertahankan kawasan hutan tersisa di Desa Bukit Suban, yang mereka sebut sebagai Hutan Larangan Wana Husada Bukit Duabelas. Dari tahun ke tahun kelangkaan lahan semakin mengancam keberadaan hutan larangan, banyak masyarakat yang mengrogoti pinggiran hutan larangan untuk perkebunan sawit. Kelompok Tani Mukti, dengan aktivitas perkebunan masyarakat yang mengancam keutuhan Hutan larangan Wana Husada Bukit Duabelas. Hutan
Untuk hal ini yang penting menurut Adri adalah adanya kemauan dan keinginan dari masyarakat sendiri untuk mulai mengubah mindset untuk mengembangkan pertanian yang lebih baik dengan lahan yang tersedia. Menurutnya langkah ini sangat mungkin dilakukan, jika masyarakatnya siap dan bersedia berubah untuk menjadi lebih baik.(Sukmareni)
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
Perayaan Ulangtahun Desa Bukit Suban ditandai dengan kegiatan menanam pohion di Hutang Larangan. (Foto: Elviza Diana / Dok. KKI WARSI)
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
39 39
MATAHATI 40
41 larangan Wana Husada Bukit Duabelas, terletak berbatasan langsung dengan kawasan hutan Taman Nasional Bukit Duabelas. Pada tahun 2008, Kelompok Tani Mukti mengajak lembaga non-pemerintah KKI WARSI untuk menemukan solusi mengatasi ancaman terhadap perambahan hutan larangan. Maka dari itu, pada tahun 2009 kelompok Tani Mukti, mengajak para pihak yaitu pemerintah Desa Bukit Suban, KKI WARSI, dan Balai Taman Nasional Bukit Duabelas untuk melakukan survei hutan larangan. hasil survei tersebut, ditemukan titik-titik sumber mata air dari lereng bukit hutan larangan yang mengalir ke sumber mata air, yang selama ini menjadi cadangan air untuk areal persawahan dan dimanfaatkan untuk budidaya perikanan dan sawah. Selanjutnya, survei tersebut disosialisasikan ke masyarakat Desa Bukit Suban. Hutan larangan seluas lebih kurang empat hektar, ditentang oleh peladang-peladang yang berada di sekitar kawasan Hutan. Untuk itu pada tahun 2010, kelompok Tani Mukti difasilitasi pemerintah Desa Bukit Suban dan KKI WARSI menyusun Peraturan Desa Hutan Larangan Wana Husada Bukit Duabelas. Hutan larangan seluas empat hektar, selain bermanfaat untuk menjaga daerah tangkapan air untuk pertanian sawah dan budidaya perikanan tawar. Hutan larangan terdapat ratusan jenis pohon sebagai tempat hidup satwa, seperti kera, burung punai, ayam hutan, ular, kancil, babi, landak dan sebagainya. Masih banyak ditemukan jenis pohon, seperti pohon meranti, meranti batu, mentaling, durian daun, buah lokal bedaro, rambutan gundul dan lain sebagainya. Dengan menjaga hutan larangan sumber mata air tirta wana husada bukit duabelas untuk pertanian dan perikanan tetap terjaga kelestariannya.
Buah Tangan dari Hutan Adat Rantau Kermas
J
ari-jemari Saodah (42) bergerak lincah menganyam jalinan pandan menjadi sebuah tas pilin yang menarik. Setiap sore perempuan yang disapa Mak Ade ini berkumpul bersama ibu-ibu kelompok pengajian di Desa Rantau Kermas, Kecamatan Jangkat Kabupaten Merangin. Mereka biasanya akan mengerjakan beberapa tas, dompet bahkan alas kaki dari anyaman pandan dan bambu untuk mengisi waktu luang setelah hampir seharian berkutat di sawah. Sepulang dari sawah, Saodah akan mengambil bahan baku di pinggir hutan yang saat ini telah menjadi Hutan Adat Rantau Kermas. Sudah hampir dua tahun, Saodah beserta kelompok ibu-ibu pengajian di Desa ini memproduksi berbagai anyaman dari pandan dan bambu. Pesanan pun silih berganti berdatangan. Bahkan kelompok ibu-ibu ini juga akan melakukan kerjasama dengan beberapa hotel lokal untuk memasok alas kaki. Setiap hari mereka mampu menghasilkan sekitar 25 pasang alas kaki.
Pada tahun 2013, kelompok Tani Mukti terus-menerus mengajak dan mendorong peladang-peladang di sekitar hutan larangan menyerahkan lahannya, untuk memperluas hutan larangan sebagai benteng kawasan hutan Taman Nasional Bukit Duabelas dan memelihara daerah tangkpan air. Pada tahun 2014, hutan larangan diperluas menjadi sembilan hektar. Hutan larangan awalnya dinamai hutan larangan wana husada bukit duabelas, saat ini menjadi hutan larangan Desa Bukit Suban. Kesadaran pentingnya hutan, awalnya diprakarsai oleh kelompok Tani Mukti. Saat ini, telah meluas mendapatkan dukungan dari seluruh masyarakat desa Bukit Suban dan masyarakat umum. Siapapun yang merambah, menebang pohon, merusak hutan, akan mendapatkan sanksi berdasarkan peraturan desa yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Kelompok Tani Mukti sebagai kelompok pengelola hutan larangan Desa Bukit Suban, secara swadaya dan bergiliran sebulan sekali melakukan patroli di hutan larangan Desa Bukit Suban. (Elviza Diana)
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
Selain melayani pesanan yang datang, mereka juga menjual langsung berbagai hasil anyamannya ke Pasar di Danau Pauh. Dengan menggunakan kendaraan bermotor menempuh perjalanan 45 menit saja, Saodah sudah dapat menggelar barang dagangannya. Harga yang dipatok untuk setiap tas dan dompet pun cukup terjangkau. Untuk setiap tas dipatok dengan kisaran Rp 50-100 ribu sesuai dengan model dan ukurannya. Sementara untuk dompet hanya dengan membayar Rp 10 ribu kita sudah bisa membelinya. Dan siapa yang menyangka hanya bermodalkan pandan, bambu dan rotan dari hutan ditambah keahlian Saodah mampu meraup pendapatan dari penjualan tiga sampai empat juta setiap bulannya. Meskipun produksi dan pemasarannya sudah baik, namun Saodah bercerita ada beberapa kendala yang masih mereka hadapi. Ketidak tersediaan beberapa bahan pelengkap untuk memproduksi kerajinan anyaman menjadi masalah setiap kali mereka mendapatkan pesanan yang cukup banyak. “Misalnya saja untuk spon dan lem yang digunakan kami masih harus pesan dari Jawa. Jadi kalau ado pesanan sandal dalam jumlah banyak, kami susah juga untuk mengerjakannya”, lanjutnya.
Menghidupkan Tradisi Menganyam Kegiatan menganyam bukan menjadi hal baru bagi masyarakat di Desa Rantau Kermas. Hampir rata-rata perempuan yang sudah beranjak dewasa bisa menganyam. Meskipun hanya membuat sebuah kipas, ataupun tikar, para perempuan remaja memang dituntut dapat menganyam sebelum menikah. Tapi sedikit berbeda dengan peralatan yang mereka gunakan menganyam pandan dan bambu yang sudah mereka ketahui. Kali ini anyaman bisa berubah menjadi tas, dompet serta alas kaki yang menarik “Dari dulu kami sudah terbiasa menganyam tikar, tapi sekarang kami sudah bisa membuat tas pilin, dompet dan sandal”, ungkap Saodah. Rendahnya minat generasi muda untuk mempelajari keterampilan menganyam juga turut memudarkan budaya ini di tengah masyarakat. Kemajuan teknologi dengan menghasilkan tikar-tikar plastik yang murah dan menarik mengganti tikar anyaman, membuat anyaman jarang disentuh lagi. “Kami berharap dengan adanya pelatihan menganyam ini anak-anak muda di kampung kami bisa menganyam lagi. Jadi kalau kami yang tuo-tuo ini dak ado lagi bisa mereka yang melanjutkan tradisi menganyam ini”, kata Saodah. Melihat kondisi ini KKI WARSI mulai menghidupkan kembali tradisi menganyam di tengah-tengah masyarakat. Hingga saat ini sudah hampir delapan desa di Kabupaten Merangin dan Kabupaten Muara Bungo yang sudah mendapatkan pelatihan menganyam. “Setidaknya kita sudah melakukan pelatihan menganyam ini di Kabupaten Merangin ada beberapa desa, diantaranya di Renah Alai, Rantau Kermas, Batang Kibul, Guguk dan Beringin Tinggi. Sementara di Kabupaten Bungo, ada di Desa Senamat Ulu, Sungai Mengkuang dan Lubuk Beringin”, sebut Ridwan Firdaus selaku Spesialis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) KKI WARSI.
Ibu-ibu di Desa Rantau Kermas Kecamatan Jangkat Kabupaten Merangin memanfaatkan waktu luangnya membuat berbagai kerajinan tangan seperti tas, alas kaki, dompet dan tikar dari anyaman pandan, dan bambu. (Foto: Firdaus/Dok KKI WARSI)
Pemilihan desa-desa tersebut lebih diutamakan terkait dengan ketersediaan bahan baku yang memang banyak terdapat di daerah tersebut. Pelatihan menganyam ini juga dikatakan Ridwan Firdaus sebagai upaya pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber Hasil Hutan Bukan Kayu yang saat ini masih rendah dilakukan masyarakat. “Pelatihan kerajinan ini sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam mengelola sumber-sumber hasil hutan non kayu. Diharapkan ini dapat berkembang menjadi sebuah usaha industri kerajinan. Minimal produk-produknya dapat menjadi souvenir”, jelasnya. (Elviza Diana)
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
42
MATAHATI
MATAHATI
Cerita Penjaga Hutan “Walaupun luasan Hutan Adat kami hanya kurang dari tiga hektar, namun kami masyarakat Desa Rantau Limau Manis tetap turun temurun berkomitmen untuk melindunginya”,
D
emikianlah satu cuplikan tanggapan Anwar (45), mewakili Kelompok pengelola Hutan Adat yang menghadiri acara lokalatih Penyusunan Rencana Kerja Hutan Adat dalam menjawab tantangan ancaman ke depan. Acara ini dihadiri tujuh perwakilan kelompok pengelola Hutan adat (KPHA) di Kabupaten Merangin dan Kerinci, meliputi Desa Batang Kibul, Desa Guguk, Desa Rantau Kermas, Desa Rantau Limau Manis, Desa Talang Kemuning, Desa Renah Alai, dan Desa Pulau Tengah. Ada yang menarik dari cerita Anwar mengenai keberadaan Hutan Adat Koto Hayo yang merupakan wilayah adat Bathin 5 Tabir yang terletak di Desa Rantau Limau Manis. Telah berkembang sebuah mitos dan kepercayaan bahwa pohon yang berada di dalam Hutan Adat ini tidak boleh di tebang, karena akan mendatangkan petaka bagi siapa pun yang berani melakukannya. Di dalam hutan adat terdapat kuburan tua tempat
orang bertapa, sehingga nilai mistis di dalamnya masih sangat dipercayai oleh warga sekitar. Cerita ini secara logika mungkin tidak akan bisa menembus nalar manusia, namun kenyataannya telah ada beberapa contoh petaka yang dirasakan bagi orang-orang yang melanggar pantangan tersebut, seperti menderita sakit menahun setelah menebang pohon, atau terjadi kecelakaan kerja pada saat penebangan, hingga gergaji sinsaw pun bisa patah seketika. Oleh sebab itu, sampai sekarang kondisi Hutan Adat Koto Hayo sangat terjaga dengan baik. Dengan luasan hanya 2,9 hektar, terdapat pohonpohon besar yang berusia puluhan tahun, dengan jenis yang beragam dan terbilang langka ditemukan di sekitar desa. Selain larangan menebang, pantangan berbicara kotor atau membuang air kecil/besar di dalam hutan menjadi satu paket pantangan yang tidak dilakukan di dalam hutan. Kabarnya siapa pun yang melanggarnya akan hilang diambil oleh penunggu hutan tersebut.
Kelompok Pengelola Hutan Adat saling berbagi pengalaman terkait dengan bentuk pengelolaan di masingmasing desa (Foto: Ileznawati / Dok. KKI WARSI)
Selain sangsi mistis yang didera bagi siapa saja yang melanggar, sangsi adat pun siapa saja yang menebang pohon di dalam hutan tersebut. Disebutkan, sangsi adat yang diberlakukan adalah denda kambing seekor, beras 20 gantang dan uang tunai sebesar Rp. 500.000. Kambing dan beras itu akan dimasak dan dinikmati oleh seluruh warga desa. Terlepas dari mitos tersebut, masyarakat sangat sadar bahwa keberadaan Hutan Koto Hayo wajib dilindungi karena ada dua alasan utama, yang pertama dalam hutan tersebut terdapat jenis pohon yang sudah sangat langka ditemukan di desa yang berumur puluhan hingga ratusan tahun. Fakta di desa menyebutkan, generasi muda sudah tidak punya pengetahuan untuk mengenal jenis pohon, karena memang sudah tidak ada lagi hutan disekitar desa, yang ada hanya sesap dan kebun masyarakat. Sehinga keberadaan Hutan Koto Hayo ini akan diperuntukkan untuk tujuan pendidikan (seperti, laboratorium botani) untuk keperluan penelitian termasuk pengenalan kayu bagi anak dan cucu mereka.
Loka latih Penyusunan Rencana Kerja Hutan Adat dalam menjawab tantangan ancaman ke depan yang dihadiri tujuh perwakilan Kelompok Pengelola Hutan Adat di Kabupaten Merangin dan Kerinci. (Foto: Ileznawati / Dok. KKI WARSI)
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
Kedua, Hutan Adat ini sangat berpotensi untuk ekowisata budaya. Didalam hutan terdapat makam tua dan dulunya menjadi tempat orang sakti bertapa. Selain itu terdapat serpihan batu-batu yang membentuk candi. Sampai saat ini potensi tersebut belum digali dengan intensif, sehingga cerita yang beredar sangat bervariasi. Anwar juga menambahkan bahwa di dalam Hutan Koto Hayo, terdapat air sungai yang sangat jernih dan orang-orang dapat langsung meminum airnya. Sungai
ini sangat penting menjadi sumber pengairan di desa, dan keberadaan pohon-pohon yang menjulang raksasa di hutan tersebutlah yang telah menjaga kualitas dan kuantitas sungai tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan pengelolaan yang serius untuk mewujudkan hal tersebut. Kendati belum ada pengelola dan mekanisme yang jelas tertulis di tingkat masyarakat, perlindungan tehadap kawasan hutan tersebut masih dijalankan. Namun setelah melalui diskusi panjang, masyarakat di desa Rantau Limau Manis berpikir untuk melegalkan status kawasan hutan tersebut melalui SK Bupati. Semetara Perdes yang menjadi payung hukum perlindungan Hutan Adat Koto Hayo sedang disusun. Hal ini sangat penting untuk mendapatkan legalistas, karena kawasan Hutan Adat Koto Hayo terdapat di Hutan Areal Pengguna Lain. Artinya jika tidak dilindungi dengan undang-undang, maka keberadaan hutan adat ini kedepan bisa terancam. Pada workshop dua hari ini, masing-masing kelompok pengelola saling berbagi pengalaman bagaimana bentuk pengelolaan hutan adat di tiap desa. Pada kesempatan itu juga, masing-masing kelompok pengelola berkesempatan untuk berdialog secara lansung dengan dinas kehutanan dan perkebunan Kabupaten Merangin untuk mencari peluang dukungan, sehingga keberadaan Hutan Adat secara ekologi dan ekonomi mampu berkontribusi positif terhadap kehidupan masyarakat di desa. (Emmi Primadona Than)
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
43
44
ETNOGRAFI ORANG RIMBA
ETNOGRAFI ORANG RIMBA
Tradisi Melangun Merupakan Adaptasi Orang Rimba Terhadap Hutan Tropis
S
alah satu tradisi atau kebiasaan hidup yang paling dikenal orang luar pada Orang Rimba adalah melangun. Tradisi ini sangat menarik karena memiliki implikasi yang luas terhadap kehidupan Orang Rimba. Tradisi ini juga khas karena tradisi yang sama tidak ditemukan pada suku-suku lain di muka bumi ini. Dan orang awam sering memandang tradisi ini dengan bermacam-macam persepsi yang keliru terutama masyarakat Jambi yang memiliki banyak pra-konsepsi terhadap Orang Rimba. Sehingga dibutuhkan informasi dan penjelasan yang lebih dapat dipertanggung jawabkan sekaligus meluruskan pemahaman yang ada. Melangun adalah tabu kematian yang menjadikan orang rimba harus meninggalkan tempat mereka tinggal dan mencari tempat baru ketika terjadi kematian yang menimpa salah seorang kerabat atau anggota kelompoknya. Penjelasan ini hanyalah penjelasan formal saja, sebab dibalik tradisi ini banyak sekali makna yang diberikan setiap aktor dalam kelompok dan melangun tak ubahnya menjadi sebuah sarana dan justifikasi atas tindakan yang dimaknai secara luas terhadap melangun. Berdasarkan ini menjadi jelas mengapa tradisi melangun tetap bertahan dalam kondisi seperti sekarang ini dimana telah terjadi banyak perubahan dalam hidup Orang Rimba. Secara singkat tradisi melangun dimulai dengan adanya kematian pada salah seorang anggota kerabat atau kelompok Orang Rimba. Saat tersiar kematian orang rimba akan sekaligus meratap kadang sampai histeris terutama perempuan. Kematian yang membawa konsekuensi pemisahan selama-lamanya dan menangis menjadi puncak emosional hubungan tersebut. Segera mereka antar mayat itu ke dalam hutan yang agak tersembunyi. Mayat diletakkan di atas panggung kecil setinggi 1,5 meter. Segera pengulu berunding untuk menetukan tempat baru yang akan dituju. Dalam waktu singkat semua peralatan hidup dikemas dalam hambung (keranjang dari rotan) dan sambil meratap mereka pergi meninggalkan tempat tersebut. Ketika hutan di kawasan Taman National Bukit-12 masih relatif utuh, mobilitas melangun dilakukan berupa perjalanan panjang dari Barat menuju ke Timur atau dari Utara ke Selatan atau sebaliknya sesuai saat dimana kematian itu terjadi. Jika kematian terjadi saat berada
di Barat maka kelompok ini akan pergi ke Timur atau ke Selatan atau sebaliknya. Pola gerak demikian berhubungan dengan sistem politik tradisional saat itu dimana di ketiga arah tersebut berkedudukan Pangkal Waris di Utara, Ujung Waris di Timur dan Jenang di Selatan. Ketiga aktor ini secara tradisional menjadi perantara orang rimba berhubungan ke dunia luar, sekaligus pelindung bagi orang rimba. Ketiga aktor ini juga saling bersaing untuk menanamkan pengaruh terhadap orang rimba dengan pemberian konpensasi ketika terjadi melangun sebagai salah satu cara menanamkan pengaruh dan dimanfaatkan orang rimba dalam pola gerak mobilitasnya. Pada sisi lain tradisi melangun juga merefleksikan situasi sosial dalam kelompok orang rimba. Perubahan komposisi rumah tangga antar kelompok hal yang lazim terjadi. Setiap anggota kelompok dapat mendekatkan diri atau menjauhkan diri dari ikatan kelompok tertentu, dengan berbagai alasan konflik atau pelanggaran-pelangaran adat yang sering terjadi. Jika komposisi anggota suatu kelompok terlalu stabil dalam waktu relatif lama akan semakin rentan terhadap berbagai konflik terutama karena ketersediaan sumber daya yang semakin menipis. Kadang konflik bisa dipicu dengan halhal yang sangat sepele. Maka saat terbaik untuk menjauhkan diri dari kelompok tersebut dan mendekatkan ikatan ke kelompok lain ketika terjadi kematian dengan alasan melangun. Maka akan tercipta keseimbangan baru untuk memperbaharui tatanan sosial antar kelompok-kelompok orang rimba. Pemerintah memandang tradisi melangun ini sebagai penghambat utama atas kegagalan semua proyek yang dilakukan. Selama ini proyek pemerintah selalu bertujuan untuk memukimkan Orang rimba melalui program PKMT (Proyek Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing). Ada satu aksioma Bagi pemerintah tidak mungkin melakukan proyek lain sebelum orang rimba didiamkan dalam satu lokasi. Asumsi ini timbul karena kurangnya pemahaman tentang makna melangun dan sifat mobilitas orang rimba. Setelah program itu terbukti semua gagal maka sekarang sudah saatnya program harus menyesuaikan kepada kebutuhan dan kehidupan orang rimba bukan sebaliknya orang rimba dipaksa agar sesuai dengan program pemerintah. (Robert Aritonang)
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
Tradisi Melangun menjadikan Orang Rimba harus meninggalkan tempat tinggal dan mencari tempat baru ketika terjadi kematian. (Foto bawah: Lander Rana Jaya / Dok KKI WARSI, foto atas: Aulia Erlangga / Dok KKI WARSI).
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
45
ETNOGRAFI ORANG RIMBA
46
ETNOGRAFI ORANG RIMBA
Potret keluarga Orang Rimba dengan masing-masing peran dan tanggungjawab, suami sebagai pencari kebutuhan hidup dan isteri menyiapkan segala kebutuhan anakanak dan suaminya (Foto: Aulia Erlangga / Dok. KKI WARSI).
Kedudukan Suami Dalam Keluarga Orang Rimba
O
rang Rimba menganut sistem matrilineal dalam kehidupan berkeluarga. Setelah menikah lakilaki akan tinggal dengan keluarga istrinya. Dalam kehidupannya seorang suami selama dalam perkawinannya sangat sungkan kepada ipar, mertuo dan dulur perempuan tertua dari isterinya. Ipar merupakan orang yang paling berhak untuk mengatur saudari-saudarinya sedangkan mertua adalah orang terhormat. Bagi Orang Rimba, melawon ipar-mertuo akan kedulat dan kutukannya adalah muntah deroh. Dulur perempuan tertua kedudukannya juga kuat, karena ia yang akan berperan memegang harta warisan. Sebagai seorang menantu yang baik, maka selama dalam perkawinannya ia wajib memberikan mempeka ipar-mertuo, yaitu sebahagian dari jerih payahnya diberikan kepada ipar dan mertuanya. Kedudukan dan pamor menantu sangat ditentukan oleh banyaknya kontribusi ekonomi (mempeka) kepada keluarga isteri,
terutama ipar dan mertua. Semakin banyak ia memberikan mempeka maka semakin kuat kedudukan dan suaranya di hadapan ipar dan mertua. Dalam strukturnya isteri adalah milik suami, karena telah dibayar dengan mas kawin, tetapi suami menjadi milik dulur-dulur dari isterinya. Ini berarti ipar-mertuo hanya dapat mengatur sang-suami. Karena itu suami akan berusaha mengurangi dominasi (power) dari ipar dan mertua dengan pemberian mempeka sebanyak mungkin. Misalnya jika seorang suami ingin berpoligami, maka kerabat istrinya kurang kuasa untuk melarang, sebab jika dilarang atau dicampok akan kehilangan sumber pemasukan ekonomi berupa mempeka.
Waris jenton adalah seluruh dulur suami yang seperut, sedangkan waris betina seluruh dulur isteri yang seperut. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa kerja sama antar keluarga sangat kuat dengan waris betina yaitu antara ego dan anak ego dengan keluarga dulurdulur yang seperut dengan isterinya. Namun demikian terdapat juga kerja sama antara sesama ego dan anak ego dengan dulurnya sendiri yang disebut dengan waris jenton. Jika ego memiliki utang denda karena ia berpoligami ia akan mendapat bantuan dari waris jenton. Anak-anaknya yang jenton juga bisa diwariskan kepada waris jentonnya walaupun seharusnya diserahkan pada waris betina. Waris betina adalah yang paling berhak memegang waris dari ego termasuk anak-anaknya. Harta warisan dari ego diserahkan pada waris betina untuk kemudian dibagikan kepada anak-anak dari ego. Demikian hubungan antara mamok dengan nakan sangat kuat, karena itu nakan sering juga disebut anak buah, hal ini disebabkan mamok sangat berkuasa atas dirinya dan tinggal bersamanya sejak dari kecil. Seorang anak ego dapat tinggal dan hidup di rumah mamoknya tanpa batas waktu, sehingga kedudukan antara kolup/ supik (anak) dengan nakan (anak buah) hampir tidak terbeban dari luar. Karena terjadi persilihan dapat juga para waris jenton atau waris betina menolak hak warisnya, terutama jika ego kena denda dan harus ditanggung oleh waris-warisnya. Jika menolak waris itu berarti keuntungan orang semendo karena semua harta dan anak dikembalikan sama orang semendo, untuk kemudian diserahkan kepada waris jenton. Kuatnya ikatan antara ego dengan waris jenton dan waris betina ditunjukkan ketika di keluarga inti ego ada mati, maka semua waris jenton dan betino wajib ikut melangun.
Sekarang semakin banyak kecenderungan Kubu yang melakukan poligami. Di kelompok Tumenggung Mija terdapat 1 orang beristeri 4, 2 orang beristeri 3, 4 orang beristeri 2 dan selebihnya beristeri 1. Faktor utamanya mungkin karena semakin banyak timbunan-timbunan kain di keluarga-kuluarga Kubu “kaya” yang digunakan sebagai alat pembayar hutang adat. Kain yang banyak ini akan digunakan untuk membantu hutang adat dulurdulurnya dengan harapan akan mendapat balasan yang sama jika ia ditimpa utang adat kelak. Kubu sangat sadar dan ingat kepada siapa ia memberi dan menerima kain. Sekarang yang melakukan poligami kebanyakan orang-orang bepangkat yang juga orang “kaya”. Pada dasarnya isteri tidak pernah setuju suaminya berpoligami karena seluruh penghasilan suami menjadi dibagi rata kepada isteri-isterinya. Rupanya dalam hal ini indukinduk Kubu berada pada posisi yang lemah. Walaupun isteri memiliki hak besasaroon tetapi resikonya ia akan menjadi menjando. Oleh karena itu kebanyakan mereka memilih bersedia dimadu. Sebagai konpensasinya isteri tua akan mendapat hak membunuh isteri muda dengan cara menyiksa isteri muda, karena dianggap mengambil suami orang. Walaupun dihadapan umum para isteri-isteri itu kelihatan rukun, namun sebenarnya sangat sering terjadi konflik atas sesamanya dan ini harus menjadi tanggung jawab suami. Karena itu suami harus dapat seadil-adilnya, misalnya jika membeli radio harus sama dan semua isteri kebahagian. Dalam kasus-kasus tertentu sering terjadi perceraian misalnya karena suami atau isteri kawin lagi, suami penyogon dan tidak memberikan mempeka ipar-mertuo, atau karena ketidak cocokan sehingga sama-sama ingin cerai (samo tutuju saro). Jika isteri minta cerai harus ada alasannya yang dapat dipertanggung jawabkan. Jika isteri terus-terus minta cerai tapi suami tidak setuju itu berarti ada udang sebalik batu artinya ada jenton lain dihati isteri. Jika terbukti, isteri dan jenton lain itu dapat dibunuh oleh suami secara bersamaan karena kebonaron kito jenton. Jika disampaikan sama pengulu isteri didenda 1 bengun dan semua harta dan anak-anak balik pada suami untuk diserahkan kepada waris jenton, karena harta itu adalah harta kebonaron kito jenton. Karena sesuatu hal isteri dan suami dapat juga setuju cerai (samo tutuju saro). Dalam hal ini semua harta dan anak tetap milik isteri. Jika dalam tiga bulan bekas isteri itu hamil ia harus melapor pada bekas suaminya atau pengulu untuk mendapatkan mempeka bunting selama tiga bulan. Jika bekas suami tidak mau bertanggung jawab akan didenda 20 lembar kain. (Robert Aritonang)
Kerja sama ini masih diperluas lagi antara mamok dengan nakan. Dalam organisasi sosial Kubu dikenal dua waris yaitu, waris jenton dan waris betina. Sebagaimana terlihat dalam gambar di bawah ini:
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
47
SELINGAN
48
SELINGAN
Yusak tercatat sebagai lulusan Antropologi UGM tahun 1988 dan langsung mengaplikasikan ilmunya bersama Orang Rimba, sebagai fasilitator pendidikan di WARSI. Waktu itu kondisi Orang Rimba masih sangat tertutup dengan pihak luar, namun proses pembangunan yang dilakukan waktu itu tidak berpihak pada Orang Rimba. Hutan yang menjadi tempat berpenghidupan Orang Rimba terus dirusak oleh pihak luar dengan baik atas legalisasi negara dengan adanya izin-izin yang diberikan pemerintah maupun akibat tindakan ilegal yang dilakukan oleh pihak tertentu yang ingin mengeruk ketersediaan sumber daya hutan. WARSI hadir untuk memberikan advokasi dan pendampingan pada Orang Rimba diantaranya dengan mengenalkan baca tulis dan hitung untuk Orang Rimba, meski waktu itu sangat sulit untuk memulai program ini karena Orang Rimba masih menolak semua budaya yang berasal dari luar budaya yang diturunkan nenek moyang mereka.
Yusak Dapat Penghargaan Khusus UGM
P
erjuangan sekaligus perintis pendidikan Orang Rimba Yusak Adrian Hutapea menerima penghargaan khusus dari Fakultas Antropologi Universitas Gajah Mada. Penghargaan diserahkan langsung oleh Dekan Fakultas Antropologi UGM yang diterima langsung oleh Ibunda Yusak Ibu Roosni Hutapea, tepat pada perayaan HUT setengah abad fakultas antropologi UGM, akhir November lalu. Ibu Roosni yang menerima penghargaan itu mengaku terharu dengan apresiasi yang diberikan kepada putranya yang sudah kembali kepada sang pencipta.
“Namun kita melihat pendidikan merupakan suatu keharusan bagi Orang Rimba, karena ketidak pahaman mereka dengan budaya luar justru sering dimanfaatkan orang luar dan menjadikannya orang rimba semakin marginal,”sebut Diki Kurniawan Direktur WARSI sekaligus teman seperjuangan Yusak merintis pendidikan untuk anak-anak rimba. Masih terbayang di ingatan Diki bagaimana mereka berjuang di tahap awal untuk mengenalkan huruf dan angka pada komunitas Orang Rimba. Diki yang juga dihadirkan panitia pada peringatan setengah abad antropologi UGM ini, mengharapkan dengan adanya kegiatan-kegiatan seperti ini akan semakin membangkitkan peran serta para pihak untuk pengakuan hak-hak dasar Orang Rimba dan komunitas asli marginal.
“saya haru, bangga dengan Yusak, perjuangannya, kerja kerasnya membuka mata hati anak-anak rimba untuk bisa mengenal huruf dan angka, meski saya sangat terpukul dengan kepergiannya yang begitu cepat, tapi kini saya ikhlas, Yusak memberi arti tersendiri dalam perjuangannya sebagai antropolog,”sebut Ibu Roosni.
“Harapannya tumbuh kesadaran dan kepedulian semua pihak untuk Orang Rimba, dan komunitas marginal lainnya, bahwa mereka bagian dari warga negara yang juga berhak hidup nyaman dan damai sesuai dengan keinginan mereka,”sebut Diki yang menyambut baik apresiasi yang diberikan panitia kepada Yusak salah satu pejuang WARSI.
Roosni mengungkapkan kepedihan dan kesedihan yang dialaminya karena harus merelakan putranya itu, kini cukup terobati dengan apresiasi yang diberikan oleh para pihak terhadap perjuangan anaknya. “Jika dulunya Yusak sudah merintis pendidikan, semoga akan ada Yusak- Yusak berikutnya yang terus berjuang untuk pendidikan anak rimba yang lebih baik, saya bangga dengan apa yang diperjuangkan, yang dilakukan Yusak dan WARSI untuk menjadikan Orang Rimba, bagian dari warga negara yang hak-haknya diakui dan keberadaan mereka tidak terlindas oleh keserakahan pihak lain,”sebut sang bunda.
Menurutnya komunitas Orang Rimba menginginkan adanya hutan sebagai tempat menggantungkan hidupnya. Hanya saja kini rimba semakin habis, seiring dengan adanya berbagai kegiatan yang dilakukan di kawasan hutan baik legal maupun ilegal. “Kita akan terus berupaya untuk adanya ruang yang tersisa untuk Orang Rimba, sekaligus sebagai bentuk upaya untuk menjaga keseimbangan lingkungan yang pada ujungnya nanti juga akan bermanfaat untuk kehidupan kita semua. Mari kita dukung Orang Rimba menjaga hutannya dan mari rasakan manfaatnya hingga kehidupan anak cucu kita nanti,”sebut Diki. (Sukmareni).
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
Berlibur Ala Beteguh
L
ibur semester sudah di depan mata, ini merupakan momen yang ditunggu-tunggu semua murid. Tak terkecuali Beteguh, yang merupakan satu-satunya anak Orang Rimba yang melanjutkan pendidikannya di SMAN 11 Kota Jambi. Bagi Beteguh, berlibur itu berarti dia bisa menghabiskan banyak waktu di rimba Taman Nasional Bukit Duabelas. Beteguh, sudah kurang lebih enam bulan ini harus berpisah dari kedua orangtuanya dan teman-temannya di Kelompok Kedundung Muda. “Kadang dua bulan sekali baru balik ke rimba. Itu pun hanya sehari”, katanya. Biasanya Beteguh menghabiskan sisa waktunya menjadi kader pendidikan bagi teman-temannya di Rimba. Dia mengajar dimana saja, sambil bermain, mencari buah-buahan bahkan tatkala mencari ikan diselingi dengan belajar. Dengan sebatang ranting kayu, Beteguh menuliskan huruf-huruf dan beberapa deret angka di atas tanah. Liburan kali ini juga akan dimanfaatkannya berkumpul bersama teman-temannya di rimba. “Sudah lama tidak mengajar, pengen mengajar lagi dengan kawan-kawan di rimba. Kami belajar sambil bermain, atau mencari ikan di sungai”, kenangnya saat ditemui di Kantor WARSI baru-baru ini. Saat ini ada sembilan kader pendidikan Orang Rimba, mereka membantu mengajar anak-anak rimba lainnya. Karena ada kelompok-kelompok Orang Rimba yang masih menentang adanya pengenalan budaya luar, termasuk membaca, menulis dan berhitung, keberadaan kader pendidikan Orang Rimba ini menjadi jembatan untuk masuknya pembelajaran. “Kalau ngajar kawankawan di rimba harus dirayu-rayu dulu. Dan memang menunggu mereka mau. Jika mereka lagi dak mau, ya dak bisa belajar”, jelasnya. Hingga kini, Orang Rimba yang sudah tamat sekolah mulai SD, SMP dan SMA baru sebanyak 50 orang dan satu orang di Perguruan Tinggi. Shasa, Fasilitator Pendidikan Orang Rimba KKI
WARSI menyebutkan akan melakukan penambahan kader pendidikan, agar semua kelompok bisa belajar. “Ada beberapa kelompok di dalam yang masih belum secara rutin bisa belajar, ke depan kader-kader ini bisa lebih menyebar dan menjangkau kelompok-kelompok ini”, katanya. Ketika disinggung terkait dengan hasil belajarnya selama satu semester,Beteguh mengaku ada lima pelajaran yang harus diulang karena hasilnya belum memuaskan sampai saat ini, Beteguh masih beradaptasi dengan lingkungan dan teman-temannya di sekolah. Meski demikian, Beteguh sudah cukup nyaman dan mampu beradaptasi. “Teman-teman di sini menerima saya, dan saya juga sekarang sudah mulai mengikuti berbagai kegiatan ekstrakulikuler, kegiatan Siswa Pencinta Alam,” ungkapnya sembari menceritakan rencana perkemahan yang akan dilakukannya. Selain mengajar Beteguh juga membantu orang tuanya menyadap karet di hompongan miliknya. Hompongan, merupakan kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Duabelas yang juga sebagai kawasan perkebunan bagi Orang Rimba. Biasanya Orang Rimba menanam ubi dan karet di hompongan tersebut. Sekitar 120 kepala keluarga Orang Rimba Taman Nasional Bukit Duabelas telah membuka hompongan dengan luas mencapai 100 hektar. Membuat hompongan ini selain untuk membatasi tekanan masyarakat luar terhadap taman, juga untuk mempersiapkan sumber daya di masa depan Orang Rimba. Hompongan juga sebagai salah satu alat untuk memperkuat posisi Orang Rimba dalam mempertahankan hak-haknya di dalam TNBD. Berdasarkan data KKI WARSI, populasi Orang Rimba di Provinsi Jambi mencapai 3.500 orang sebagian besar menyebar di Kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas di Kabupaten Batanghari, Tebo, Sarolangun dan Kabupaten Bungo. (Elviza Diana)
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
49
50
SELINGAN
Kala Orang Rimba Membuka Ladang
S
ejak beberapa dekade lalu, Orang Rimba mulai mengembangkan peranian dan perkebunan untuk kelangsungan hidup mereka. Pertanian yang dikembangkan Orang Rimba merupakan pertanian sederhana untuk pemenuhan kebutuhan keluarga, tebu, ubi kayu dan cabe merupakan beberapa tanaman orang rimba, selain juga beberapa keluarga juga sudah menanam karet. Dalam berladang Orang Rimba juga patuh dengan nilainilai adat, ada tata cara dan ritual tersendiri untuk memulai berladang. Menurut penuturan MangkuBasemen salah satu pemuka adat di Kedudung Muda ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan untuk membuka ladang. Keberadaan tanah, tutupan hutan diatasnya menjadi pertimbangan Orang Rimba sebelum mengerjakan ladam mereka. “Haruy tanah tu terpilih. Tanah nyei tu datar. Tanah nyei tu kayunye hopi ado pohon besar. Kayu belukar, kayu kecil-kecil istilahnyo,” sebut Mangku untuk persyaratan tanah yang bisa dijadikan ladang.Selain itu, juga dilihat tingkat kesuburan tanah yang disebut juga dengan penilaian cuaca tanah. Selain kondisi fisik tanahnya, Orang Rimba juga memperhitungkan dari sisi religi. Orang Rimba dengan kepercayaannya kepada dewa, meyakini di sejumlah tempat terpilih akan menjadi halom dewa. Sebelum berladang Orang Rimba mengaku akan mendapatkan mimpi dimana ladang boleh di buka atau tidaknya. Melalui mimpinya ini Orang Rimba akan mengetahui mana tanah berdewa mana yang tidak. Di tanah yang banyak dewa, Orang Rimba tidak akan pernah membuka ladang. Ini akan sangat meyakinkan Mereka sangat yakin dewa mempunyai ruang tersendiri di alam dan itu harus mereka hormati sehingga kehidupan bisa berjalan dengan damai. “Tanah bedewo hopi cocok untuk ladang,”sebut Mangku.
SELINGAN
Setelah menemukan tanah yang cocok selanjutnya adalah mengadakan ritual untuk memohonkan kelancaran dalam pengerjaan ladang dan kelak bisa memberikan hasil yang memuaskan. Dalam ritul ini, harus merapalkan mantra yang disebut dengan antar seloko Kuamang. Soloko ini mengisahkan orang rimba yang sedang kesusahan dan kesulitan sehingga harus melakukan usaha baru untuk mengatasi kesulitan tersebut. “Maknanye urang punya hutang, punya hutang godongpiado telapnye membeyornye. Jadi, dipintakkolah oleh penghulu iyoy disuruh nobongin huma. Setelah ditobongi huma, benyok kayunye yang karay-karay, piado telapnye menobong. Jadi, badannye iyoy dilinjangko dengan kuamang, dilinjangko dengan kuamang seloka tadi supayo kayunya cepat rubuh, gawenya cepat sodah. Yoy sejarah kuamang (maknanya, ada orang yang punya hutang besar dan dia tidak sanggup untuk membayarnya, untuk itu dia perlu berladang memohonkan supaya kayu yang ada di kawasan yang ada di lokasi itu segara bisa dibersihkan sehingga pekerjaan bisa segera selesai),”sebut Mangku. Pola kehidupan Orang Rimba berburu dan meramu saat ini sebagian mulai memadukannya dengan sistem pertanian. Menanam untuk pemenuhan kebutuhan hidup Orang Rimba sudah dilakukan sejak beberapa dekade belakangan. Hal ini harusnya di support para pihak mengingat pola hidup Orang Rimba dari meramu dan berburu hasil hutan akan semakin sulit mengingat keberadaan hutan yang semakin menyusut, sementara pertambahan penduduk terus terjadi. Di beberapa kelompok Orang Rimba pertanian sudah ada yang dilakukan dengan pola yang teratur, seperti kelompok TumanggungTarip. Dengan pola hompongon Tumenggung Tarip telah membangun perkebunan karet yang cukup luas di batas TNBD. Hompongon secara ekonomi mampu menjadi tumpuan ekonomi Tumenggung Tarip dan keluarganya, di sisi lain hompongon yang di bangun ini mampu menghambat perambahan kawasan taman nasional yang menjadi tempat hidup Orang Rimba. (Elvidayanti/Heriyadi Asyari).
Berbeda dengan sistem ladang yang biasanya dikembangkan, Orang Rimba memakai nilai-nilai adat dan ritual untuk membuka ladang. (Heriyadi Asyari / Dok. KKI WARSI)
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
Tiga Hutan Desa Tanjabtim Terima SK
P
enantian tiga desa di Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang mengusulkan hutan desa akhirnya berbuah manis. Dengan dikeluarkannya SK penetapan areal kawasan oleh Kementerian Kehutanan untuk tiga hutan desa di Kota Kandis Dendang, Desa Sinar Wajo dan Desa Sungai Beras dengan total luasan 11.963 hektar, maka masyarakat bisa melanjutkan proses dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat selanjutnya. Koordinator Program Penataan Ruang Gambut KKI WARSI Nelly Akbar menyebutkan setelah adanya SK penetapan Areal Kawasan ini diharapkan segera mungkin diterbitkannya SK Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) oleh Gubernur Tanjung Jabung Timur. “SK PAK sudah didapatkan berarti kelompok pengelola hutan desanya tinggal menunggu adanya HPHD dari Bupati. Setelah itu kelompok bisa langsung menyusun rencana kerja tahunan dan bulanan”, jelasnya. Dari enam desa di Kabupaten Tanjungjabung Timur tengah mempersiapkan pengusulan hutan desa baru tiga hutan desa yang memperoleh SK penetapan areal kelola. Semua kawasan hutan desa ini berada di dua hutan lindung gambut, Hutan lindung Sungai Buluh dan Hutan Lindung Londrang. Tiga desa yang mengusulkan hutan desa yang berada di kawasan Hutan Lindung Sungai Buluh, yaitu Desa Sinarwajo dengan pengusulan seluas 5.809 hektar disetujui seluas 5.088 hektar. Desa Sungai Beras pengusulan seluas 2096 hektar dikeluarkan seluas 2.200 hektar, sementara itupengusulan Desa Pematang Rahim seluas 3.937 hektar belum disetujui.Tiga usulan hutan desa di kawasan Hutan Lindung Londrang ada Desa Kota Kandis Dendang dengan areal pengusulan seluas 6.374 hektar disetujui seluas 4.405 hektar, pengusulan Kelurahan Teluk Dawan dan Kelurahan Parit Culun I yang masih dalam tahap sosialisasi. Sejak niat baik Pemerintah Kabupaten Tanjungjabung Timur menargetkan seluas Tujuh ribu hektar hutan dalam skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat dalam kurun waktu tiga tahun ke depan. Upaya ini dilakukan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan dan kelestarian hutan. Selain itu, pe-
Tiga hutan desa di Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang berada di kawasan hutal lindung gambut akhirnya memperoleh SK penetapan areal kawasan. (Foto Heriyadi Asyari/dok KKI WARSI)
luang PHBM ini juga berdasarkan hasil studi peluang pengembangan PHBM yang dilakukan oleh BPDAS Batanghari bekerjasama dengan KKI WARSI pada Oktober 2011 dan Januari 2012, Kabupaten Tanjung Jabung Timur dinilai sebagai salah satu kabupaten yang potensial untuk pengembangan skema PHBM. Ada empat desa yang menjadi lokasi studi, yakni Desa Pematang Rahim, Desa Mencolok, Desa Sinar Wajo, dan Desa Sungai Beras, semuanya termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Mendahara Ulu. Jika nantinya usulan tersebut telah mendapat hak kelola, Kepala Desa Kota Kandis Dendang. Kecamatan Dendang Zarkismimenyatakan keinginan warganya untuk melakukan pengembangan berbagai jenis tanaman kehutanan seperti meranti rawa, punak dan lainnya. “Supaya bisa memulihkan kawasan hutan yang sudah rusak dan juga upaya ini untuk peningkatan perekonomian masyarakat dengan hasil-hasil hutan lain yang bukan kayu,” katanya. Zarkismi juga berharap adanya bantuan dari pemerintah untuk memfasilitasi bantuan bibit terutama pendampingan bagi warganya.Untuk diketahui, Jambi merupakan provinsi dengan Hutan Desa terluas di Indonesia. Dengan kehadiran tiga hutan desa ini, maka ada 28 hutan desa di Provinsi Jambi dengan total luasan 66.671 hektar. Semakin banyaknya hutan desa ini, tidak hanya membuktikan adanya niat baik dari pemerintah namun juga dalam pengelolaannya membutuhkan peran serta dan pendampingan dari pemerintah.(Elviza Diana)
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
51
KAJIAN
52
KAJIAN
Membaca Peluang Hukum Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Pasca
53
Edaran Menteri Kehutanan No. SE.1/Menhut-II/2013.
dan kawasan hutan. Keegoisan Kemenhut masih ter-
SE ini sejatinya hanya bersifat pemberitahuan yang
lihatdengan masih tetap bersikukuh bahwa kawasan
ditujukan kepada seluruh Gubernur, Bupati/walikota,
hutan sama dengan hutan negara Disamping itu belum
Kepala Dinas provinsi dan kabupaten yang membi-
kelihatan political will Kemenhut dengan tidak menjelas-
dangi dan mengurus terkait kehutanan di daerah terkait
kan bagaimana pengelolaan dan proses serta payung
MK 35. Akan tetapi ada ketidak singkronan SE a quo
hukum terkait pengelolaan hutan adat. Permenhut 62
dengan MK 35. Khususnya kalimat yang mengatakan
hanya menambahkan satu pasal saja terkait payung hu-
bahwa “hutan berdasarkan statusnya terbagi atas tiga
kum yang disyaratkan bagi MHA danjika wilayah MHA
yaitu hutan negara, hutan adat dan hutan hak’. Pada-
tersebut berada dalam kawasan maka akan dikeluar-
Ketika hutan adat bukan lagi menjadi hutan negara
hal MK 35 mengatakan bahw status hutan tetap dua
kan.
maka hak mengelola dan memanfaatkan akan jatuh
yaitu hutan negara dan hutan hak. Adapun hutan hak
asca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/
ketangan masyarakat hukum adat. Jika dilihat di saat
terdiri dari hutan adat dan hutan perseorangan/badan
Permenhut ini hanya memberikan payung hukum bagi
PUU-X/2012 (MK 35) terkait Judicial Riview bebe-
belum lahirnya MK35 ini hutan negara memasukkan hu-
hukum. Kekeliruan ini dapat mengundang salah penaf-
MHA sebagai isyarat akan dikeluarkan wilayah MHA jika
rapa pasal dalam UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
tan adat di dalamnya, sehingga MHA pun menjadi ter-
siran dan dapat menimbulkan implementasi yang ber-
berada di dalam kawasan hutan atau maksudnya Men-
(UU Kehutanan) membuka peluang hukum eksistensi
singkirkan. MK35 ini maka dapat memberikan harapan
beda di daerah terkait penjelasan dalam SE a quo ter-
hut hutan negara. Seharusnya Kemenhut mendorong
masyarakat hukum adat yang selama ini dikebiri hak
besar terhadap masyarkat hukum adat dan pemerintah
hadap MK 35. Oleh karena itu sejogyanya Kemenhut
Presiden untuk segera mengeluarkan PP terkait tata
atas hutan adatnya. Pada intinya MK 35 mengabulkan
dapat bersama-sama untuk memetakan wilayah MHA
membuat klarifikasi terkait status kawasan hutan yang
cara pengakuan MHA11 dan PP tentang pengelolaan
sebagian dari permohonan yang diajukan oleh para
beserta hutan adat yang selama ini terkaburkan.
mengacu pada MK 35 yaitu kawasan hutan berdasar-
hutan adat sebagaimana diamanahkan dalam UU Ke-
kan status hanya dua yaitu hutan negara dan hutan hak
hutanan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012
PENDAHULUAN
P
pemohon. Dalam Putusannya MK membatalkan frasa PERATURAN DAN KEBIJAKAN PASCA MK 35
dan ayat di dalam UU kehutanan yakni : menghapus kata “negara” didalam pasal 1 UU kehutanan menjadi
dimana hutan adat termasuk kategori hutan hak agar tidak menimbulkan kesesatan dalam menafsirkan atau
3. Undang-Undang No. 6 tahun 2014
berbunyi “hutan adat adalah hutan yang berada di da-
Sejatinya MK 35 hanya memutus Norma dalam UU
lam wilayah masyarakat adat”. Lalu pasal 4 ayat (3) UU
Kehutanan. Seharusnya pemerintah ataupun legisla-
Kehutanan bertentangan dengan UUD dan tidak mem-
tor merespon MK 35 ini dengan cara membuat produk
2. Permenhut No. P.62/Menhut-II/2013
Berdasarkan penjelasan UU desa pada penjelasan pem-
punyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak di-
hukum. Khusus DPR menyelesaikan UU terkait MHA
yang merupakan perubahan terhadap
bukaan khususnya angka 4 terkait desa dan desa adat
maknai “penguasaan hutan oleh Negara tetap memper-
dan Pemerintah segera membuat peraturan pelaksana
Permenhut No. P.44/Menhut-II/2012
menjadikan Putusan MK sebagai salah satu alasan la-
hatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih
atau pedoman dalam menjalankan MK 35 ini khususnya
(Permenut Pengukuhan Kawasan Hutan).
hirnya UU Desa ini khususnya MK 35 terkait MHA. Pada
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat.
dua persoalan konstitusional yang diangkat yaitu MHA
Lalu Pasal 5 ayat (1) UU kehutanan bertentangan
dan Hutan adat. Pasca MK 35 diharpkan menjadi jalan
Pada tanggal 15 November 2014 Menhut mengeluar-
terhadap MHA berikut aset-asetnya. Jika dikaitkan de-
dengan UUD dan tidak mempunyai kekuatan hukum
bagi pemerintah untuk menyelesaikan benang kusut
kan Permenut Pengukuhan Kawasan Hutan sebagai
ngan MK 35 Hutan adat termasuk dalam aset atau SDA
mengikat sepanjang tidak dimaknai
negara
persoalan MHA dan hutan adat. Akan tetapi gebrakan
refleksi MK 35. Dalam pasal 24A ayat (3) pada intinya
bagai MHA yang dapat dikelola sesuai dengan hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak
pemerintah terutama Kemenhut belum mencerminkan
Permenhut tersebut mengatakan bahwa dalam hal se-
adatnya. Dalam UU desa terdapat beberapa pasal yang
termasuk hutan adat”. Begitu pula dengan penjelasan
semangat untuk perubahan kearah yang lebih baik.
bagian atau seluruh wilayah masyarakat hukum adat
menyebutkan payung hukum dalam pengakuan desa
yang terdapat di dalam pasal 5 ayat (1) dan pasal 5 ayat
Walaupun sudah ada beberapa peraturan yang lahir
berada dalam kawasan hutan, maka akan dikeluarkan
adat atau nama lainnya. Berdasarkan Pasal 14 me-
(2) yang juga bertentangan dengan UUD dan juga tidak
berkaitan dengan MK 35, tetapi masih ada ambiugitas
dari kawasan hutan tersebut. Ada keganjilan maksud
ngatakan bahwa Pembentukan, penghapusan, Peng-
memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Sedangkan
dan perbedaaan satu sama lainnya. Berikut beberapa
dari pasal 24 A ayat (1) ini khususnya maksud dari frasa
gabungan dan/atau perubahan status Desa menjadi ke-
frase “dan ayat (2) dan pasal 5 ayat (3) UU kehutanan
peraturan atau kebijakan yang lahir pasca putusan MK
“kawasan hutan”. Berdasarkan status kawasan hutan
lurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal
juga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
35:
dibagi dua yaitu hutan negara dan hutan hak dan Hutan
9, Pasal 10, dan Pasal 11 atau kelurahan menjadi Desa
negara dapat berupa hutan adat. Jika maksud Permen-
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ditetapkan da-
“Hutan
Sehingga Pasal 5 ayat (3) menjadi “pemerintah mene-
tentang Desa
mengimplementasikan PT MK 35 kedepannnya.
intinya UU desa menganut asas rekognisi (pengakuan)
tapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat
1. Surat Edaran Menteri Kehutanan
hut a quo dikeluarkan dari kawasan hutan berarti hu-
lam Peraturan Daerah (Kabupaten/Kota). Begitu juga
(1), dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut ke-
No. SE.1/Menhut-II/2013
tan adat yang notabene bagian dari wilayah MHA tidak
dalam Pasal 101 ayat (2) mengatakan Penataan Desa
nyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”.
termasuk dalam kategori kedua status kawasan hutan
Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
Pada tanggal 16 Juli 2013 atau Dua bulan setelah diba-
baik hutan hak maupun hutan negara, tentunya ini tidak
dalam Peraturan Daerah (Kabupaten/Kota). Sedang-
cakannya Putusan MK 35 yang dibacakan tanggal 16
senada dengan MK 35.Hal ini menggambarkan pradig-
kan Pasal 109 mengatakan Susunan kelembagaan,
Mei 2013, Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat
ma berfikir yang sesat dalam memaknai hutan negara
pengisian jabatan, dan masa jabatan Kepala Desa Adat
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
KAJIAN
54
berdasarkan hukum adat ditetapkan dalam Peraturan
KAJIAN
5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52
perintahkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 hingga saat
Daerah Provinsi. Pasal 116 (2) Pemerintah Daerah Ka-
tahun 2014 Tentang Pedoman
Permendagri ini agak berbeda dengan UU di atasnya
ini belum terbentuk. Oleh karena kebutuhan yang men-
bupaten/Kotamenetapkan Peraturan Daerah Tentang
dan Pengakuan dan Perlindungan
seperti UU desa, UU Kehutanan, UUPPLH atau Per-
desak, banyakperaturan perundang-undangan yang la-
Masyarakat Hukum Adat.
menhut Pengukuhan kawsan hutan yang mengisyarat-
hir sebelum Undang-Undang yang dimaksud terbentuk.
kan pengakuan MHA atau desa adat melalui Perda.
Menurut MK hal tersebut dapat dipahami dalam rangka
penetapan Desa Dan Desa Adat Di wilayahnya. UU desa mengakomodir MHA dengan pendekatan ad-
Dalam konsideran Permendagri ini mengaju pada UU
Jika wilayah MHA yang bersangkutan masuk hutan
mengisi kekosongan hukum guna menjamin adanya
ministrasi dan wilayah yangjelas (desa adat). Artinya
desa, akan tetapi Permendagri ini berbicara tentang
negara sedangkan Menhut mengisyaratkan pengakuan
kepastian hukum.
desa yang ada saat ini dapat memilih apakah menjadi
MHA saja bukan berbicara desa adat atau nama lain-
MHA melalui Perda baru bisa dikeluarkan dari kawasan
Desa atau desa adat atau nama lainnya. Jamak diketa-
nya sebagaimana disebutkan dalam UU desa (UU
Hutan (hutan negara). Hal ini bisa menjadi batu san-
Jika kita mendefenisikan arti peraturan perundang-un-
hui bahwa wilayah MHA sudah terpecah pecah ke da-
cantolannya). Permendagri ini menitik beratkan Pen-
dungan MHA jika benar wilayahnya berada dalam hu-
dangan, secara tektual tercantum dalam pasal 1 angka
lam bentuk administrasi desa sebagai efek dari penye-
gakuan MHA kepada Pemerintah daerah. Dalam Pasal
tan negara. Hal ini mencerminkan bahwa ada ketidak
2 UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan
ragaman pemerintahan terendah menjadi desa oleh UU
2 mengatakan bahwa Gubernur dan bupati/walikota
singkronan peraturan sektoral di kementerian dan juga
perundang-undangan yaitu Peraturan Perundang un-
5 tahun 1979 tentang Desa. Misal diJambi MHA disebut
melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakat
peraturan yang rendah dengan peraturan yang lebih
dangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma
dengan Marga, salah satu marga di merangin adalah
hukum adat. Selanjutnya Pasal 3 ayat (1) menga-
tinggi. Keuntungan dari Permendagri ini adalah dari
hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau
Marga serampas yang saat ini terdiri dari lima desa yang
takan dalam melakukan pengakuan dan perlindungan
segi waktu tidak memerlukan proses yang panjang se-
ditetapkan oleh lembaga Negara atau pejabat yang
mimiliki wilayah administrasinya masing-masing. Jika
masyarakat hukum adat, bupati/walikota membentuk
perti pengakuan MHA melalui perda yang diharuskan
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
berkaca dari UU desa apakah desa yang lima dilebur
Panitia Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota. Ayat
buat Naskah Akademik, dan pembahasan di DPRD.
Peraturan Perundang-undangan. Artinya MK mem-
menjadi satu menjadi desa adat marga serampas atau
(2) nya mengatakan terkait Struktur organisasi Panitia
Disamping itu penulis menilai kekuatan politis SK bu-
berikan ruang bagi lembaga negara atau pejabat yang
kelima (5) desa ini menjadi desa adat Marga serampas
Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada
pati akan lemah karena dapat berubah sesuai dengan
berwenang untuk mengatur perihal MHA baik di pusat
yang terdiri dari lima desa adat. Jika kita mengunakan
ayat (1), terdiri atas: (a) Sekretaris Daerah kabupaten/
pembuatnya (bupati) karena tidak ada dukungan poli-
maupun di daerah. Sebagaimana diketahui berbagai
UU desa ini dan dikaitkan dengan MK 35 Marga seram-
kota sebagai ketua; (b) Kepala SKPD yang membi-
tis. Akan tetapi poin terpenting dalam pengakuan dan
peraturan perundang-undangan sudah ada sebelum
pas harus terlebih dahulu dikukuhkan dalam Perda dan
dangi pemberdayaan masyarakat sebagai sekretaris;
eksistensi MHA adalah bagaimana MHA tersebut bisa
keluarnya Mk 35 yang mengakui keberadaan MHA dan
jika ada wilayahnya yang masuk kawasan hutan negara
(c) Kepala Bagian Hukum sekretariat kabupaten/kota
membuktikan keberadaanya dan mempertahankan hu-
Hutan adat. Terkait MHA ada dalam Perda Provinsi,
harus dikeluarkan. Tentunya untuk diakui dalam perda
sebagai anggota;(d) Camat atau sebutan lain sebagai
kum adatnya sehingga legalisasi payung hukum hanya
Peraturan gubenur, Perda Kabupaten dan juga Sk Bu-
memiliki jalan yang panjang dan biaya yang tidak sedikit
anggota; dan (e) Kepala SKPD terkait sesuai karak-
proses formal yang harus dilalui dalam kerangka hidup
pati. Begitu juga Hutan adat ada melalui Perda Kabu-
apalagi marga ini sudah terpecah secara administratif
teristik masyarakat hukum adat sebagai anggota ayat
bernegara. Setidaknya Permendagri ini untuk langkah
paten dan Sk Bupati. Menurut penulis sebelum lahirnya
menjadi lima desa.
(3) nya mengatakanbahwa Struktur organisasi Panitia
awal pengakuan MHA bisa digunakan sebagai payung
UU yang di amanahkan dalam pasal 18B ayat 2 UUD
Masyarakat Hukum Adat Kabupaten/Kota ditetapkan
hukum tergantung bagaimana kepala daerah meman-
1945 lahir peraturan perundang-undangan selain PP
dengan Keputusan Bupati/walikota.
dang MHA.
dan Perda dalam mengatur MHA dapat dibenarkan dan
4. Peraturan Pemerintah No 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa (PP desa)
sah secara hukum sepanjang untuk mengisi kekosongAdapun tahapan yang dilakukan dalam Pengakuan dan
PAYUNG HUKUM MHA
perlindungan MHA adalah melalui :
an dan demi kepastian hukum. Maka dari itu pasca MK 35 lahirlah beberapa peraturan perundang-undangan
PP Desa ini merupakan pelaksanaan dari UU desa.
a. identifikasi Masyarakat Hukum Adat;
Berdasarkan Peraturan/kebijakan yang lahir pasca MK
yang berkaitan dengan MHA seperti UUDesa, PP desa,
Walaupun dalam UUdesa disebutkan Pengakuan, pe-
b. verifikasi dan validasi Masyarakat Hukum Adat; dan
35 terdapat berbagai macam produk hukum yang da-
Permenhut tentang Pengukuhan kawasan hutan, Per-
rubahan dan penggabungan desa adatditetapkan da-
c. penetapan Masyarakat Hukum Adat.
pat dijadikan legal standing pengakuan MHA. Walau-
mendagri tentang Pengukuhan MHA. Begitu juga jika
lam perda tetapi PP ini mengamanatkan pengaturan
pun pengaturan MHA dalam UUD 1945 adalah UU se-
suatu daerah membuat produk hukum daerah terkait
lebih lanjut melalui Peraturan Menteri. Berdasarkan
Dalam tahap identifikasi dilakukan oleh bupati mela-
bagaimana disebutkan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD
MHA seperti Perdaprovinsi, kabupaten/kota, Pergub,
Pasal 28 mengatakan bahwa Ketentuan mengenai tata
lui camat dengan melibatkan MHA atau kelompok
1945 yang menyatakan “Negara mengakui dan meng-
Pebup atau Sk gubenur, walikota/bupati menurut penulis
cara pengubahan status desa menjadi desa adat diatur
masyarakat. adapun tahapan identifikasi adalah
hormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat be-
dapat dibenarkan dan sah karena produk hukum terse-
dengan Peraturan Menteri. Begitu juga dalam Pasal 32
a. sejarah Masyarakat Hukum Adat;
serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
but dikeluarkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
mengatakan Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan
b. wilayah Adat;
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
berwenang asalkan sesuai dengan prosedur pembuat-
Desa diatur dengan Peraturan Menteri.
c. hukum Adat;
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur da-
annya sebagaimana di atur dalam UU 12 tahun 2011
d. harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan
lam undang-undang“. Karena Undang-Undang yang di-
tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
e. kelembagaan/sistem pemerintahan adat.
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
(Ilham Kurniawan Dartias)
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015
55
ALAM SUMATERA, edisi JANUARI 2015