DICETAK DI ATAS KERTAS RAMAH LINGKUNGAN
FOKUS
ISSN: 0216 - 4698
http:// www.warsi.or.id
LUBUK BERINGIN, DARI DESA TERTINGGAL MENUJU KEMANDIRIAN
dipublikasikan oleh KKI WARSI
Perubahan iklim dan pemanasan global telah menjadi pembahasan yang hangat belakangan ini. Sejak diperbincangkan secara lebih serius mulai tahun 1970-an, dampak perubahan iklim dan pemanasan global semakin terlihat nyata. Perubahan pola curah hujan yang telah mengakibatkan banjir dan longsor ataupun musim kemarau berkepanjangan, sudah menjadi hal lumrah belakangan ini. Siklus musim menjadi tidak beraturan, akibatnya terjadi ketidak pastian musim tanam yang tentu merugikan petani. Kondisi ini diperparah lagi dengan hama dan penyakit yang semakin beragam dan sulit dikendalikan. Dari segi kesehatan, terjadi peningkatan penyakit epidemi seperti demam berdarah dan malaria. Perubahan iklim dan pemanasan Global di picu oleh peningkatan emisi karbon. Sejak berlangsungnya revolusi industri di daratan Eropa hingga kini, telah menyebabkan terakumulasinya polutan karbondioksida dan kawan-kawannya di atmosfir, yang memicu perubahan iklim. Emisi karbon dari industri dan kendaraan yang menggunakan bahan bakar fosil telah menyumbang 80 persen emisi karbon yang kini menyelimuti atmosfir. 20 persen lainnya disumbangkan oleh degradasi hutan yang terjadi diseluruh dunia.
04
19
33
SALAM RIMBA
Ketika Telepon Genggam Mengakrabi Orang Rimba /Septi
Mereka Tercerabut dari Akarnya /Sukmareni
Musim Berganti, Bumi Tak Ramah Lagi /Rakhmat Hidayat
05 KONSEP Pemanasan Global vs Ketidakadilan Global /Mahendra Taher
07 INTRODUKSI Negeri Yang Tak Lagi Elok /Rakhmat Hidayat
09 LAPORAN UTAMA Perahu Nabi Nuh Tak Akan Lewat Lagi /Mahendra Taher
11 Kerusakan Hutan Pemicu Perubahan Iklim /Dicky Kurniawan
15 Dari Masyarakat Lokal Untuk Iklim Global /Sukmareni
17 SELINGAN Perencanaan Konservasi Masyarakat Nagari Juga Mampu /Rhainal Daus
Dhanik Prastiwi
21 FOKUS Lubuk Beringin, dari Desa Tertinggal Menuju Kemandirian /Dhamsir Chaniago
35 WAWANCARA Hutan Untuk Kesejahteraan Rakyat dan Sumbangan Indonesia Untuk Iklim Global /Rakhmat Hidayat
25
40
PLTKA, Bukti Hutan Untuk Kesejahteraan Masyarakat /Sukmareni
SUARA RIMBA
27 GIS SPOT Arc View Analysis, Deteksi Perubahan Area / Nugraha Firdaus
28 DARI HULU KE HILIR
Partisipasi Orang Rimba dalam Pengelolaan TNBD /Ade 'Ajoe' Chandra
42 Mungkinkah Anak Rimba Menjadi Dokter? /Sukmareni
44 AKTUAL Menggalang Dukungan di Hutan Harapan /Sukmareni
Peluang Masyarakat Sejahtera Melalui PP 6 2007 /Sukmareni
45
30
47
Dari Jambi Tawarkan Hutan Adat Desa /Sukmareni
Menggagas Perda Progresif Pro Lingkungan /Andy Arnold
Suara dari Sako Suban /Yul Qori
49 32 MATAHATI Momentum Ubah Prilaku Ramah Lingkungan /Sukmareni
Lokoter Berbaju Loreng Obati Orang Rimba /Sukmareni
INFO WARSI, SANG KEMARE, YUK SALMA & BANG JUL
Jika tidak ada upaya pengurangan emisi karbon, maka bumi akan semakin panas. Dan itu berarti akan membunuh banyak spesies di muka bumi tak terkecuali manusia terutama yang berada di daerah yang menerima banyak sinar matahari. Kondisi ini juga menyebabkan es di kutub mencair dan meningkatkan permukaan air laut sehingga pulau-pulau kecil tenggelam. Akankah ini berarti Kiamat sudah dekat? Wallahu bissawab. Penghuni bumi nampaknya sudah sangat menyadari bahaya yang mengancam kelangsungan hidup manusia. Hingga kemudian 172 negara bersepakat untuk menurunkan emisi yang dikenal dengan protokol Kyoto. Namun, hingga mendekati berakhirnya pelaksanaan Protokol Kyoto pada 2012 mendatang, emisi karbon belum juga turun malahan cendrung meningkat. Perlu langkah kongkrit dan penuh kesadaran dari masyarakat dunia terkait masalah ini. Indonesia yang dalam konfrensi COP ke 13 di Bali Desember mendatang akan membawa isu pengurangan emisi dengan pengurangan deforestasi di negara berkembang, mungkin akan langsung diterima. Tapi persoalannya, emisi karbon dari industri sudah terlalu banyak yang mencemari udara, pengurangan emisi dari pengurangan deforestasi belum akan berdampak besar. Untuk itu yang paling penting kita lakukan sekarang adalah beradaptasi dan bersahabat dengan hutan. Mempersiapkan diri untuk menghadapi segala perubahan itu. Di edisi kali ini Alam Sumatera Edisi kembali hadir ditengah pembaca, dengan mengangkap isu pamanasan global di laporan utama. Di Edisi ini kami juga menyajikan wawancara khusus dengan Staf Ahli Menteri Kehutanan Ir Made Subadia Gel Gel, yang membicarakan tentang pemberdayaan masyarakat sekitar hutan melalui PP 6 Tahun 2007 yang baru saja di sahkan oleh pemerintah, dan juga peran Indonesia di dunia Internasional terkait perubahan iklim. Tak lupa juga kami sajikan tulisan-tulisan dari daerah dampingan yang menarik untuk disimak. Semoga tampilan Alam Sumatera kali ini bisa menjadi bahan renungan dan menambah wawasan kita semua. Salam Redaksi
salam rimba
oleh Rakhmat Hidayat, Direktur Eksekutif KKI Warsi,
[email protected]
Perhitungan berdasar posisi bintang dan bulan tak hanya dimiliki masyarakat sekitar hutan. Nelayanpun menjadikan bintang sebagai acuan kapan melaut, dimana ikan berkumpul, badai dan lainnya. Penentuan hari dan bulan baik untuk pernikahan juga tetap menjadikan bintang sebagai patokan. Ilmu ini bukan muncul seketika, namun mengalami uji coba beratus tahun lamanya. Bulan dan bintang hanyalah media, proses masyarakat belajar dari alam merupakan kuncinya. Alam mengajarkan keselarasan, perubahan posisi bintang, bulan, angin, udara dan lainnya merupakan bagian dari harmoni. Bahkan ilmu ini tumbuh subur diberbagai belahan dunia, melintasi batas perbedaan budaya, bangsa dan agama. Sebagai contoh, masyarakat Batu Kerbau, Guguk atau masyarakat tradisional lainnya di Jambi telah memiliki sistem pertanian berdasarkan posisi bintang. Sebagai dasar mereka memakai kalender Arab. Misalnya pada bulan Jumadil Akhir sampai Rajab biasanya kekayuan dan buah hutan berbunga. Maka pada bulan Sakban ketika bulan mati mulailah masyarakat panen madu sialang. Lalu Syawal menjadi patokan bulan agung panen buah-buahan. Sayang, pelajaran tentang alam dengan memperhatikan tandanya, mulai tidak berlaku lagi. Pergeseran bulan dan bintang tak lagi bisa dipastikan. Bulan yang diprediksi hujan, ternyata kering kerontang. Juga sebaliknya, disangka saat kering, ternyata hujan lebat dicurah berbulan bulan.Belum lagi angin puting beliung yang tak pernah muncul, tiba-tiba datang menyerang, kekeringan makin panjang memicu kebakaran hutan dan lahan, banjir tahunanpun kian cepat datang ditambah dengan badai di lautan. Dampak perubahan iklim, mengubah pola tanam, dan merugikan petani karena sulit menentukan pembibitan, perkiraan panen serta serangan hama tak terduga. Dari segi
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
konsep
Pemanasan Global vs Ketidakadilan Global
Musim Berganti Bumi Tak Ramah Lagi Sejak lima belas tahun lalu saya banyak belajar dari masyarakat yang hidup di kampung-kampung di dalam dan sekitar hutan terkait dengan ilmu penge-tahuan lokal dan kearifan tradisional tentang pemahaman akan musim. Bintang yang bertebaran di ang-kasa bisa menjadi dasar perhitungan berbagai aspek aktifitas yang didasari oleh perubahan musim. Ketika meramu susunan bintang menjadi patokan arah kala tersesat di rimba, atau kala mulai bercocok tanam, penentuan kala panen tiba dan saatnya mencari ikan. Posisi bintang dan bulan ternyata telah menjadi dasar penentuan berbagai perhitungan, termasuk kalender musim.
oleh Mahendra Taher, Deputy Direktur,
[email protected]
Bagaimanakah cara kita penduduk negara berkembang dengan hutan hujan tropis yang sangat luas ini, memahami hiruk pikuk isu pemanasan global? Bagaimana pula kita menyikapi guliran bola salju isu tersebut, bergulir dari ketinggian, membesar dengan cepat dan menimpa mereka yang ada di “bawah”? Kitakah yang dibagian “bawah” itu?
kesehatan, habitat kehidupan yang terganggu menyebabkan epidemi seperti demam berdarah dan malaria meningkat. Tanpa upaya pengurangan emisi, maka bumi akan semakin panas, menyebabkan es di kutub mencair dan permukaan air laut naik menenggelamkan pulau-pulau kecil. Kita sadar, perubahan ini dimulai bersama proses eksploitasi alam besar-besaran untuk biaya pembangunan. Deforestasi besar-besaran pada awal tahun 90-an yang dipicu oleh aktifitas pembalakan kawasan hutan, pembukaan kawasan hutan menjadi areal HTI dan perkebunan besar dengan cara membakar. Selain peningkatan penggunaan bahan bakar fosil untuk keperluan industri, pembangkit listrik, sarana transportasi ataupun rumah tangga. Juga pola hidup modern yang menggunakan sulfurheksaflorida, perflorokarbon dan hidroflorokarbon pada piranti pendingin dan penggunaan aerosol mendorong terjadinya anomali cuaca. Apa kita akan diam saja membiarkan bencana datang? Masyarakat dikampung, seperti Lubuk Beringin telah mengajarkan kearifan, tanpa berdebat soal ”konsep” perubahan iklim dan lainnya. Mereka telah mengembangkan hutan desa sebagai benteng untuk menjaga persahabatan dengan lingkungan, memakai air sungai untuk mengairi sawah, kolam dan energi untuk penerangan dari pembangkit listrik tenaga air. Masyarakat terus memperkuat aturan adat yang mengatur hubungan antara alam dan manusia serta mengembangkan cara bertani ramah lingkungan dengan tidak memakai pestisida, dan bertani selaras alam melalui pengembangan sistem agrofores karet. Rencana pertemuan di Bali pada akhir tahun ini, mungkin akan menjadi perdebatan panjang terkait berbagai skema kepentingan para pihak. Sementara sumber daya yang diperdebatkan musnah setiap detiknya. Dan......... masyarakat disini tidak perlu menunggu itu. Mereka terus berjalan dengan kearifannya, berjalan dengan keyakinan bahwa selaras dengan alam merupakan pilihan. Kendati tekanan atas nama investasi datang tiap saat mengincar jengkal-jengkal lahan yang telah mereka lestarikan. (AS)
Agar tidak kehilangan pegangan dan terseret pusaran isu serta kepentingan pihak lain, ada baiknya kita kembali ke pangkal persoalan. Keributan pemanasan global tak lepas dari lompatan besar umat manusia lebih dari tiga abad lalu, revolusi yang membawa manusia keluar dari goa-goa sampai kemudian mampu menapak di bulan. Lompatan besar yang dikenal sebagai modernisasi itu ternyata diikuti pengurasan sumber daya alam besar-besaran. Produksi dan konsumsi energi meningkat dan pada gilirannya menye-babkan penumpukan gas buang dengan volume yang makin membesar di atmosfer. Gas buang tersebut terdiri dari berbagai jenis seperti metana (CH4), nitrogen oksida (NO) dan yang terbesar karbon dioksida (CO2), yang sebagian besar hasil pembakaran energi fosil (minyak bumi, ba-tubara, dan gas alam). Gas buang ini membentuk selubung atau selimut di atmosfer hingga panas yang ditimbulkan sinar matahari yang sampai ke permukaan Bumi tidak dapat lagi keluar. Akibatnya panas terjebak dan suhu di permu-kaan Bumi terus meningkat yang kemudian dikenal sebagai efek rumah kaca. Abad ini diperkirakan suhu akan terus naik antara satu sampai tiga derajat Celcius, kesannya kecil tapi sudah lebih dari cukup untuk mengubah kehidupan di Bumi. Pelaku pembuangan gas ini adalah kelompok kecil negara industri yang berabad-abad mengatur dan menguasai kehidupan Bumi. Secara tradisional mereka menumpuk di sebagian Amerika dan Eropa, ditambah China dan India pada awal abad ini. Menurut laporan UNFCCC (Kompas, 16 Juli 2007) 5 besar penghasil emisi di Eropa tahun 2004 adalah Jerman, Inggris, Prancis, Spanyol, dan Italia dengan emisi dalam juta ton ekuivalen karbon dioksida berkisar antara 1.015,3 427,9. Sementara Amerika Serikat (A S), menurut laporan Netherlands Environtmental Assesment Agency, pada tahun 2006 menghasilkan emisi 5,8 miliar metrik ton ekuivalen karbon dioksida. Angka diatas adalah yang terbaru, sementara mereka telah menumpuk gas buangnya sejak lama. Setidaknya mereka bertanggungjawab atas 79% emisi gas secara global dalam 50 tahun terakhir.
Kekuatiran dampak rumah kaca telah ada sebelum KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992. Namun dari komitmen pada KTT Bumilah kemudian langkah agak konkret dimulai seperti dibentuknya badan kerja PBB untuk perubahan iklim (UNFCCC), pelaksanaan konferensi para pihak (COP), lahirnya protokol Kyoto serta yang akan segera dilakukan adalah COP ke-13 di Bali Desember mendatang. Namun negosiasi dalam masalah pemanasan global ini tidak pernah lepas dari kepentingan politik dan ekonomi negara maju. Sampai hari ini, demi melindungi industri serta karena pengaruh politik globalnya, AS, si penyumbang emisi terbesar te-tap menolak meratifikasi Protokol Kyoto yang mengatur pengurangan 5 % emisi sampai 2012. Padahal angka 5 % itu masih jauh dari rekomendasi IPCC (Inter-
Sumber : Houghton,2004
04
governmental Panel on Climate Change) 1991 yang menyatakan emisi harus turun sampai 60%. Selain itu, jika menyimak tulisan penasehat kerajaan Inggris untuk climate change serta mantan ekonom Bank Dunia, Nicholas Stern, dalam Review on the Economics of Climate Change, memprediksi bahwa dalam waktu 20-25 tahun kedepan +70% emisi gas akan berasal dari negara berkembang terutama karena deforestasi. Padahal kontribusi emisi dari deforestasi hanya berkisar 18%20%, sebagian besar lainnya masih berasal dari emisi bahan bakar fosil seperti terlihat pada Gambar 1. Tetapi Dalam COP 13, isu Reducing Emission from De-forestation in Developing Countries (REDD) diyakini akan jadi salah satu agenda utama dan akan menentukan post Kyoto.Bagi Indonesia, isu deforestasi sudah jadi momok, karena berbagai laporan lembaga internasional menobatkan kita sebagai bangsa paling barbar penghancur sumber daya hutan, bahkan telah diusulkan masuk dalam Guinness Book of the Record. Akibatnya, dalam pergaulan dan proses negosiasi global kita jadi bangsa yang tidak berkepala tegak, apalagi menatap mata lawan bicara. Seperti kata orang Melayu, ibarat kerbau dicucuk hidungnya. Maka jangan heran kalau Indonesia akan maju ke COP-13 dengan mengusung isu Reducing Emission from Deforestation and Degradation in Indonesia (REDDI). Padahal untuk mengatasi kebakaran hutan saja kita masih jauh dari efektif. Kondisi itu merefleksikan dengan jelas bahwa pemerintah kita dengan tumpukan hutang dan image yang hancur sebagai bangsa - lebih memilih tunduk pada kekuatan global ketimbang malu kepada rakyat sendiri. Keputusan untuk mengusung REDDI tidak pernah ditanyakan kepada rakyat yang hidup di pinggir dan di dalam hutan. Lagipula, apapun rezim yang akan muncul untuk menggantikan Protokol Kyoto yang berakhir 2012 nanti, takkan berjalan tanpa kesediaan AS dan konconya untuk menurunkan emisi mereka secara signifikan. Jadi, ancaman terbesar ke depan bagi kita yang hidup di negara miskin seperti Indonesia tak hanya dampak pe-manasan global itu sendiri, tapi justru akan dimulai dari ketidakadilan perumusan regim global baru post Kyoto. (AS)
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
05
06
introduksi
introduksi
oleh Rakhmat Hidayat, Direktur Eksekutif KKI Warsi,
[email protected]
telah terjadi. Bukalah mata dan telinga, lihat, dan dengar dari berbagai media cetak dan elektronik. Meningkatnya suhu bumi, menyebabkan iklim yang tidak menentu (perubahan suhu, curah hujan, musim) dan perubahan cuaca secara ekstrim. Seperti hujan turun sangat deras sehingga menimbulkan banjir dan erosi. Sedangkan di tempat lain terjadi kekeringan dan kemarau panjang. Bencana lingkungan telah terjadi susul menyusul seakan tidak ada jeda untuk menarik nafas lega. Bencana banjir dan longsor di Kabupaten Morowali, bencana kekeringan di Pulau Jawa, berbagai bencana seperti air bah, udara panas, badai, kebakaran hutan, kebocoran radiator nuklir juga menerpa berbagai tempat lain diluar Indonesia, seperti China, benua Asia, Eropa, Australia bahkan Amerika tidak bisa mengelak dari amukan kemarahan alam. Serangan gelombang panas, topan, badai, dan kekeringan. Semua itu membawa kerusakan, kerugian, bahkan korban jiwa.
Pembukaan lahan dengan metode pembakaran merupakan penyumbang emisi karbon. Foto: Alaint Compost/Dok KKI Warsi.
Negeri Yang Tak Lagi Elok Tanah airku Indonesia.... Negeri elok amat kucinta Rayuan Pulau Kelapa (Ismail Marzuki) Indonesia dengan berbagai julukan keindahan seperti zamrud khatulistiwa, negeri surga, ratna mutu manikam, negara mega biodiversity dan lainnya terkadang melenakan. Berdasarkan data IBSAP (2003) Indonesia memiliki 90 tipe ekosistem, 35 spesies primata, 515 mamalia (kedua di dunia), 515 reptilia (keempat didunia), 1531 spesies burung (kelima di dunia), 270 amfibi (keenam di dunia), 38.000 spesies tumbuhan (kelima di dunia). Keanekaragaman hayati Indonesia merupakan aset bagi pembangunan nasional yang menghasilkan produk dan jasa baik untuk pangan, sandang, papan dan obat-obatan serta ekowisata. Sayangnya kekayaan alam yang diamanatkan Tuhan untuk dikelola dengan berkelanjutan dan berkeadilan pada prakteknya bagai panggang jauh dari api. Kalau kita membahas kekayaan alam dan biodiversity, kita tidak dapat melepaskan dari pembicaraan tentang hutan, khususnya hutan tropis. Masyarakat Indonesia hidup di dalam dan sekitar hutan telah memanfaatkan sekitar 6.000 spesies hewan dan tumbuhan tiap harinya. Sumber daya hutan yang pada awalnya menjadi tempat ekspresi bagi
masyarakat di dalam menguji cobakan kearifan dan teknologi tradisonal mereka perlahan-lahan mulai digeser. Masyarakat memaknai hutan bukan hanya sebagai penyedia bahanbahan kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, papan, obat-obatan, pendapatan keluarga, hubungan religi, ketentraman dan lainnya. Namun lebih dari itu, hutan bagian dari politik, budaya serta hidup dan kehidupan.
Perubahan iklim menyebabkan tumbuhan atau makhluk hidup juga yang tidak mudah beradaptasi. Termasuk didalamnya gagal panen akibat hujan yang turun terlalu banyak atau kekeringan panjang. Selain perubahan iklim juga mengakibatkan perubahan musim tanam, meningkatnya permukaan air laut akan meningkatkan biaya perolehan air bersih karena intrusi air laut. Menurut para ahli berbagai bencana lingkungan ini terjadi salah satunya diakibatkan karena pemanasan global. Pemicu utamanya adalah meningkatnya emisi karbon, akibat penggunaan energi fosil seperti minyak bumi, gas alam dan batubara. Negara-negara industri raksasa seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Canada, Jepang, dan China
merupakan kontributor utamanya. Selain itu juga masih ada beberapa faktor pencetus lainnya yang mengakibatkan terjadinya perubahan iklim seperti eksploitasi sumberdaya alam hutan yang serampangan. Deforestasi yang dapat dipahami sebagai penebangan hutan atau konversi lahan hutan menjadi lahan tidak berhutan secara permanen di negara berkembang merupakan ancaman terbesar bagi percepatan terjadinya perubahan iklim di dunia. Menurut Daniel Mudiyarso, deforestasi telah menyumbang 1.700 juta ton CO2 (karbon dioksida) ke atmosfer atau seperempat dari total emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab perubahan iklim. Padahal upaya penanaman hutan kembali hanya mampu menyerap karbon sekitar 30 juta ton saja. Inter-governmental Panel on Cimate Change (IPCC) mempublikasikan hasil pengamatan ilmuwan dari berbagai negara. Isinya sangat mengejutkan. Selama tahun 19902005, ternyata telah terjadi peningkatan suhu merata di seluruh bagian bumi, antara 0,15 - 0,3° C. Jika peningkatan suhu itu terus berlanjut, diperkirakan pada tahun 2040 (33 tahun dari sekarang) lapisan es di kutub-kutub bumi akan habis meleleh. Dan jika bumi masih terus memanas, pada tahun 2050 akan terjadi kekurangan air tawar, sehingga kelaparan pun akan meluas di seantero jagat. Lalu, hasil pembangunan yang telah dilakukan selama ini tidak akan ada artinya. Ketika tetes air terakhir sudah musnah, ikan terakhir tidak lagi hidup disungai dan laut, tanaman terakhir tidak lagi bisa tumbuh karena udara makin panas, kekeringan kian panjang, ombak samudra kian tinggi dan banjir kian sering menghampiri. Apakah kita bisa hidup ditengah-tengah bencana yang terus mendera? Ah.... janganlah kita rubah negeri surga menjadi negeri bencana. (AS)
Celakanya kebijakan Pemerintah kemudian membuat tafsir pengelolaan hutan yang seragam, lebih dari 35 tahun diberikan kepada kalangan korporasi melalui berbagai peruntukan seperti HPH, HTI, perkebunan besar swasta, transmigrasi, pertambangan dan lainnya tanpa memperhatikan aspek kepentingan masyarakat. Dampaknya muncullah berbagai persoalan yang tak kunjung terselesaikan, akibat kesesatan pemikiran dan cara pandang yang menjadikan hutan hanya sebagai aset yang dieksploitasi untuk membiayai pembangunan. Sebagai akibatnya laju kecepatan kerusakan sumber daya hutan melaju dengan sangat cepat, baik diakibatkan oleh konversi menjadi perkebunan besar swasta, HTI, areal konsesi pertambangan dan transmigrasi. Dampak kerusakan hutan sudah mulai terlihat buktinya, perubahan iklim yang semula dianggap hanya cerita fiksi kini Daerah pesisir terancam tenggelam ketika es di kutub mencair akibat pemanasan global. Foto: Lander Rana Jaya/Dok KKI Warsi.
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
07
08
laporan utama
laporan utama
oleh Mahendra Taher, Deputi Direktur KKI Warsi,
[email protected]
Seperti dikemukakan diatas, dampak yang telah dan akan teradi karena pemanasan global akan sangat kompleks meliputi banyak aspek seperti kesehatan, pertanian (kelangkaan pangan) , anomali musim, hilangnya pulau-pulau kecil, depresi ekonomi global, serta ketidakstabilan keamanan global. Dampak dibidang kesehatan akan meliputi malnutrisi, meningkatnya penyakit diare, gangguan pernapasan, penyakit parasit akibat vektor nyamuk seperti malaria, demam berdarah serta chikungunya. Selain itu pemanasan global juga menjadi salah satu penyebab merebaknya penyakit pada unggas termasuk flu burung.
Perubahan iklim ancama ketahanan pangan masyarakat dunia. Foto Lander Rana Jaya/ Dok KKI Warsi.
Perahu Nabi Nuh Tak Akan Lewat Lagi.. Kita generasi yang hidup sekarangi barangkali adalah generasi yang beruntung karena tidak hanya bisa menyaksikan dan menikmati puncak-puncak pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga telah menyaksikan dan mengalami dampak pencapaian-pencapaian itu, diantaranya kehancuran lingkungan. Lebih jauh lagi, kita adalah generasi yang dituntut untuk mengambil tanggung jawab atas kerusakan itu dan juga mengambil tindakan demi kelangsungan ras manusia di muka Bumi ini. Seperti ditulis Rubrik Fokus di harian Kompas 23 Juni 2007, kita adalah generasi yang suka atau tidak, telah ditempatkan dipersimpangan sejarah. Gerbang sejarah baru itu adalah terjadinya perubahan iklim sebagai akibat pemanasan global. Sekalipun dalam perjalanannya planet Bumi juga pernah mengalami perubahan iklim secara ekstrem akibat hantaman meteor yang menyebabkan punahnya dinosaurus, letusan gunung Toba yang membuat Bumi gelap-gulita, serta banjir besar akibat mencairnya es di kutub yang dipercaya sebagai peristiwa yang sama dengan banjir nabi Nuh. Akan tetapi banyak ahli dan hasil studi yang menyebutkan bahwa ancaman yang ada sekarang jauh lebih serius karena penyebabnya bukanlah peristiwa sporadik tetapi suatu kondisi yang terus menerus terjadi dan secara sadar
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
dilakukan, yaitu pembuangan emisi gas yang terus menerus dilakukan dan makin menumpuk di atmosfer Bumi. Ada banyak prediksi terhadap ancaman bencana yang mungkin terjadi dimasa datang jika tidak ada tindakantindakan serius. Ancaman bencana itu meliputi banyak sektor mulai dari kesehatan, ketersediaan pangan, kelangkaan air bersih, tenggelamnya pulau-pulau kecil serta dampak lainnya yang saling terkait. Barangkali tidak salah juga jika sebagian ahli memperediksi bahwa jika ancaman bencana yang saling berkaitan ini benar-benar terjadi maka akibatnya jauh lebih buruk dari peristiwa perang dunia. Walaupun sebagian orang masih mempertanyakan keshahihan hubungan antara tumpukan emisi gas rumah kaca - pemanasan global perubahan iklim, tetapi fakta-fakta terbaru sebenarnya semakin tidak terbantahkan. Sebagai salah satu contoh adalah laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) memperkirakan usia Bumi tinggal sekitar 70 tahun jika tidak ada usaha untuk mengurangi emisi pada kondisi saat ini. Prediksi ini berdasarkan laporan tentang trend emisi gas rumah kaca yang dipublikasikan Mei 2007 dimana disebutkan bahwa antara tahun 1970 2004 gas rumah kaca telah naik 70% dari sebelumnya.
Dibidang ekonomi, prediksi tentang akibat pemanasan global juga mengerikan karena diyakini perekonomian dunia akan mengalami depresi lebih hebat dari apa yang terjadi pada tahun 1930-an. Bahkan jika kerusakan eknomin akibat perang dunia I dan II dikombinasikan, dampak yang ditimbulkan pemanasan global jauh lebih parah. Perkiraan seperti itu diantaranya dikemukakan oleh Stern dalam laporannya yang sangat terkenal Review on The Economics of Climate Change, dimana dia memperkirakan kenaikan suhu bisa mencapai 5-6 oC dalam satu abad mendatang. Jika hal itu benar-benar terjadi maka biaya yang harus ditanggung perekonomian dunia bisa mencapai 9 triliun dollar AS. Berbarengan dengan itu akan terjadi pemangkasan pertumbuhan ekonomi dunia secara permanen lebih dari 10 %. Diprediksikan juga bahwa yang paling parah menerima akibat adalah negara-negara berkembang. Kondisi tersebut diyakini juga akan memicu persaingan yang ketat dalam perebutan SDA sehingga juga akan memicu konflik dan teror. Tingginya kerusakan lahan karena terus terjadinya proses penggurunnan akan menyebabkan penduduk mengungsi sehingga menimbulkan konflik baru. Hasil studi PBB yang melibatkan 200-an pakar dari 25 negara menyebutkan bahwa pemanasan global akan menyebabkan 100-200 jiwa akan menerima dampak langsung karena turunnya produktifitas lahan. Dari semua dampak tersebut, yang paling mungkin memberi dampak langsung dalam jangka pendek bagi penduduk negara berkembang yang miskin adalah mulai terjadinya anomali musim. Selain sudah mulai menimbulkan bencana seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan, anomali musim akan menyebabkan terganggunya kestabilan pangan. Di Indonesia dampak langsungnya telah terasa dimana El-Nino yang siklus normalnya adalah antara 4-7 tahun, sekarang semakin sering terjadi. Selain tahun 1991, El-Nino juga terjadi tahun 1994, 1997, 2002, 2003, dan 2006. Artinya dalam rentang 12 tahun terjadi 6 kali El-Nino. Kendatipun masih bisa dipertanyakan, oleh sejumlah ahli diyakini bahwa dampak lanjutan perubahan siklus El-Nino tersebut telah
Masyarakat memanfaatkan Sungai Batang Hari. perubahan iklim sebabkan masyarakat kesulitan air bersih. Foto: Lander Rana Jaya/Dok KKI Warsi.
menyebabkan turunnya produksi beras nasional rata-rata 300.000 ton pertahun antara tahun 1990 2000. selain itu, untuk sektor kehutanan diperkirakan beberapa species flora dan fauna akan punah karena tidak dapat beradaptasi. Dampak yang sangat spesifik juga akan dirasakan Indonesia berkaitan dengan realitas Indonesia sebagai negara kepulauan. Pemanasan global akan membuat es dan gletser di Kutub Bumi mencair yang pada gilirannya membuat muka air laut naik. Di Hawaii, sepanjang tahun 1990-2000 terjadi peningkatan muka air antara 1,5 2 meter. Untuk Indonesia, menurut data Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), kasus yang sama juga tampak diberbagai daerah seperti Tanjung Priok, Jepara, Kupang, Biak, dan Sorong. Pada periode yang sama terjadi kenaikan muka air laut rata-rata 8 milimeter per tahun. Jika gejala naiknya muka air laut tersebut terus terjadi maka kita yang tinggal di negara kepulauan ini akan tenggelam duluan. Parahnya, jika dulu nabi Nuh telah menyiapkan perahu dipuncak bukit untuk menyongsong banjir besar, kita tidak memilikinya. Ya..tidak akan ada perahu Nuh yang akan lewat. (AS)
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
09
10
laporan utama
laporan utama
oleh: Diki Kurniawan, Manajer Program Kebijakan dan Advokasi,
[email protected]
hektar per tahun. Rata-rata, negara kehilangan sekitar satu juta hektar hutan setiap tahun pada tahun 1980-an, dan sekitar 1,7 juta ha per tahun pada tahun 1990-an serta meningkat menjadi 1,8 juta ha di tahun 2000-an. Pada tingkat ini, menurut Holmes (2000) tampaknya seluruh hutan dataran rendah Indonesia yang paling kaya akan keanekaragaman hayati dan berbagai sumber kayu akan lenyap dalam dekade mendatang. Deforestasi di Indonesia sebagian besar merupakan akibat dari suatu sistem politik dan ekonomi yang korup, yang menganggap sumber daya alam, khususnya hutan, sebagai sumber pendapatan yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik dan keuntungan pribadi. Indonesia yang semula sangat kaya akan hutan kini menjadi negara yang miskin hutan, seperti yang dialami oleh Filipina dan Thailand. Jutaan hektar lahan yang dulu tertutup hutan sekarang dalam keadaan terdegradasi, berupa semak belukar dan di manamana ditumbuhi alang-alang. Dengan kehilangan hutan ini Indonesia kehilangan kekayaan keanekaragaman hayati, pasokan kayu, pendapatan, dan berbagai jasa lingkungan. Padahal jika hutan dengan keanekaragaman hayatinya dipelihara dengan baik maka sesungguhnya akan memberikan keuntungan, baik secara sosial maupun ekonomi. Kondisi HTI Tebo. Degradasi hutan picu perubahan iklim. Foto Lander Rana Jaya/Dok KKI Warsi.
Kerusakan Hutan Pemicu Perubahan Iklim Perubahan iklim merupakan fenomena gobal yang terjadi akibat terjadinya pemanasan global karena meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (karbondioksida, dinitroksida, metana, sulfurheksa fluorida, perfluorokarbon dan hidrofluorokarbon) di atmosfer sehingga suhu rata-rata di permukaan bumi meningkat. Perubahan iklim tersebut ditandai dengan mencairnya es di daerah kutub, naiknya permukaan air laut, meningkatnya penguapan di udara, serta berubahnya pola curah hujan dan tekanan udara. Sehingga memberikan dampak yang sangat besar bagi seluruh makhluk hidup di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, konstribusi terbesar terhadap semakin meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) adalah tingginya laju kerusakan hutan, termasuk perubahan tata guna lahannya. Selain itu konstribusi lainnya terhadap meningkatnya konsentrasi GRK adalah pemanfaatan energi fosil (seperti batu bara, minyak bumi dan gas alam), praktek pengelolaan pertanian dan peternakan (seperti penggunaan pupuk kimia, sawah dibiarkan tergenang, pembakaran hutan dan sabana untuk lahan pertanian/perladangan dan perkebunan, serta kotoran hewan ternak yang dibiarkan membusuk), serta meningkatnya sampah terutama di perkotaan, yang merupakan limbah rumah tangga dan industri.
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
Karena laju kerusakan hutan (deforestasi) merupakan konstribusi terbesar terhadap semakin meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK), maka yang akan dibahas selanjutnya adalah kondisi dan laju kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia, faktor yang menyebabkannya, serta dampak perubahan iklim tersebut di Indonesia. Kondisi dan Laju Kerusakan Hutan Di Indonesia Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dengan luas hutan terbesar, yaitu 120,3 juta hektar. Berdasarkan hasil survey Forest Watch Indonesia (FWI) dan Global Forest Watch (GFW) tahun 2001, seratus tahun yang lalu Indonesia masih memiliki hutan yang melimpah, pohon-pohonnya menutupi 80 sampai 95 persen dari luas lahan total. Tutupan hutan total pada waktu itu diperkirakan sekitar 170 juta ha. Saat ini, tutupan hutan menjadi sekitar 98 juta hektar, dan paling sedikit setengahnya diyakini sudah mengalami degradasi akibat kegiatan manusia. Kerusakan hutan menjadi isu penting sejak tahun 1970-an, dimana penebangan hutan secara komersial mulai dibuka secara besar-besaran oleh perusahaan pemegang konsesi HPH. Kemudian tingkat deforestasi makin meningkat pada periode tahun 1985 - 1997 dimana Indonesia kehilangan sekitar 17 persen hutannya, atau mencapai sebesar 2,2 juta
Lebih lanjut, berdasarkan data FWI dan GFW (2001) tercatat bahwa Indonesia masih memiliki hutan yang lebat pada tahun 1950. Sekitar 40 persen dari luas hutan pada tahun 1950 ini telah ditebang dalam waktu 50 tahun berikutnya. Jika dibulatkan, tutupan hutan di Indonesia turun dari 162 juta ha menjadi 98 juta ha. Laju kehilangan hutan semakin meningkat. Pada tahun 1980-an laju kehilangan hutan di Indonesia rata-rata sekitar 1 juta ha per tahun, kemudian meningkat menjadi sekitar 1,7 juta ha per tahun pada tahuntahun pertama 1990-an dan menjadi 1,8 juta ha per tahun pada tahun 2006 (FWI, 2006). Laju kehilangan hutan semakin meningkat. Pada tahun 1980an laju kehilangan hutan di Indonesia rata-rata sekitar 1 juta ha per tahun, kemudian meningkat menjadi sekitar 1,7 juta ha per tahun pada tahun-tahun pertama 1990-an. Sejak tahun 1996, laju deforestasi tampaknya meningkat lagi menjadi rata-rata 2 juta ha per tahun. Dari hasil survey FWI dan GFW (2001) disebutkan bahwa hutan-hutan tropis dataran rendah Indonesia yang memiliki persediaan kayu dan keanekaragaman yang paling tinggi, adalah yang memiliki resiko paling tinggi. Tipe hutan ini hampir seluruhnya lenyap di Sulawesi, dan diprediksikan akan lenyap di Sumatera pada tahun 2005 dan di Kalimantan pada tahun 2010, jika kecenderungan seperti saat ini terus berlangsung.
Indonesia sudah terfragmentasi oleh jaringan jalan, jalur akses lainnya, dan berbagai kegiatan pembangunan, seperti pembangunan perkebunan, hutan tanaman industri dan pertambangan. Kondisi ini semakin diperparah dengan maraknya pembalakan ilegal (illegal loging) yang telah merusak sekitar 10 juta hektar hutan-hutan Indonesia sebagai akibat dari ketimpangan struktural antara permintaan dan pasokan kayu ilegal yang terus menerus berlangsung di Indonesia sejak era Orde Baru. Ekspansi besar-besaran di sektor produksi kayu lapis dan pulp-dankertas selama dua puluh tahun terakhir ini menyebabkan permintaan terhadap bahan baku kayu sampai saat ini jauh melebihi pasokan legal. Kesenjangannya sebesar 35-40 juta meter kubik per tahun. Kesenjangan antara permintaan dan pasokan kayu legal ini dipenuhi dari pembalakan ilegal. Banyak industri pengolahan kayu secara terbuka mengakui ketergantungan mereka terhadap kayu yang ditebang secara ilegal. Jumlahnya mencapai sekitar 65 persen dari pasokan total pada tahun 2000. Di Indonesia saat ini diperkirakan tidak kurang dari 64 juta meterkubik kayu dibutuhkan untuk memberi pasokan berbagai industri perkayuan, terutama pulp and paper, kayu lapis maupun kayu gergajian. Sedangkan jumlah produksi kayu yang legal (ada izin penebangannya?) hanya sekitar 25 juta meterkubik pertahun, sehingga sisanya lebih dari 30 juta meterkubik didapat dari kegiatan illegal. Penebangan hutan secara legal juga dilakukan pada tingkat yang tidak berkelanjutan. Menurut statistik Departemen Kehutanan, pasokan kayu legal yang berasal dari hutan alam produksi berkurang jumlahnya, yaitu dari 17 juta meter kubik pada tahun 1995 menjadi di bawah 8 juta meter kubik pada tahun 2000. Penurunan produksi kayu bulat ini sebagian ditutupi oleh produksi kayu yang diperoleh dari hutan hutan yang dibuka dan dikonversi menjadi perkebunan atau hutan tanaman industri. Tetapi sumber kayu tambahan ini sudah mencapai puncaknya pada tahun 1997. Hutan tanaman industri telah dipromosikan secara besarbesaran dan disubsidi sebagai suatu upaya untuk menyediakan pasokan kayu bagi industri pulp yang berkembang pesat di Indonesia, akan tetapi upaya ini mendatangkan tekanan terhadap hutan alam. Hampir 9 juta ha lahan, sebagian besar adalah hutan alam, telah dialokasikan untuk pembangunan hutan tanaman industri. Lahan ini kemungkinan telah ditebang habis atau dalam waktu dekat akan ditebang habis. Namun hanya sekitar 2 juta ha yang telah ditanami dengan jenis kayu yang cepat tumbuh, utamanya Accacia mangium, untuk menghasilkan kayu pulp. Implikasinya 7 juta ha lahan yang sebelumnya merupakan hutan alam, sekarang malah dalam keadaan terlantar.
Kerusakan hutan tropis Indonesia akan semakin cepat dan tidak terkendali karena hampir setengah dari luas hutan di
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
11
12
laporan utama Selain untuk kepentingan hutan produksi, tekanan terhadap hutan alam juga terjadi untuk kepentingan mobilisasi penduduk (transmigrasi) yang terjadi secara besar-besaran antara tahun 1960an sampai 1999 menyebabkan pembukaan hutan seluas 2 juta ha. Disamping itu, migrasi dan pemukiman ilegal oleh para petani pionir di sepanjang jalan operasi pembalakan HPH, dan bahkan di dalam beberapa Taman Nasional juga meningkat pesat sejak tahun 1997. Tekanan terhadap hutan alam terus menerus berlangsung tanpa terkenadali. Para pemilik perkebunan skala besar kebanyakan membuka hutan untuk lahan perkebunan mereka dengan menggunakan api sebagai cara yang paling mudah dan murah. Pembakaran hutan yang disengaja, yang dikombinasikan dengan kemarau panjang akibat pengaruh fenomena El Niño, telah menimbulkan kebakaran besar yang tidak dapat dikendalikan, dengan intensitas dan luas kebakaran hutan mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Lebih dari 5 juta ha hutan terbakar pada tahun 1994 dan sekitar 4,6 juta ha hutan lainnya juga terbakar pada tahun 1997-1998 dan kebakaran hutan tahun 2005 2006 yang diperkirakan mencapai 4,5 juta ha. Sebagian dari areal yang terbakar ini sekarang mengalami regenerasi menjadi semak belukar, sebagian telah dihuni oleh para petani skala kecil, namun upaya secara sistematis untuk memulihkan tutupan hutan atau memanfaatkannya sebagai lahan pertanian yang produktif masih belum banyak dilakukan. Deforestasi hutan yang terjadi secara besar-besaran di Indonesia tersebut telah menjadi pusat perhatian dunia. Masyarakat internasional begitu gusar menyaksikan perusakan sumber daya alam yang semena-mena di negeri ini karena secara langsung berdampak pada pemanasan global. Oleh karenanya, masyarakat Internasional baik melalui lembaga moneter internasional, seperti Bank Dunia, IMF, CGI dan lembaga-lembaga Internasional lainnya memberikan tekanan kepada pemerintah Indonesia dengan memberikan syarat reformasi spesifik di bidang kehutanan sebelum memberikan pinjaman hutang maupun hibah. Upaya lembaga-lembaga Internasional untuk menekan pemerintah Indonesia mengurangi laju deforestasi melalui berbagai syarat, tetap saja belum memberikan dampak positif. Masa depan hutan Indonesia tetap saja semakin suram. Tidak efektifnya tekanan lembaga-lembaga Internasional ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, terjadinya standar ganda, disatu sisi mereka selalu mensyaratkan adanya reformasi spesifik dibidang kehutanan dalam menurunkan laju deforestasi, tetapi disisi lain mereka tetap menampung hasil-hasil kayu Indonesia dengan harga murah yang sebagian besar diperoleh dari aktifitas illegal loging. Kedua, dalam setiap evaluasi lembaga-lembaga dana
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
laporan utama Internasional atas bantuan yang diberikan pada pemerintah Indonesia, mereka menilai pemerintah tidak sungguhsungguh dan telah gagal menjalankan reformasi bidang kehutanan, tetapi disisi lain tidak memberikan sanksi apapun bahkan tetap menguncurkan dana pinjamannya. Ketiga, tidak adanya penghargaan (reward) dari lembaga-lembaga Internasional terhadap masyarakat secara langsung yang telah berusaha untuk menjaga kelestarian hutan. Oleh karenanya, jika kebijakan Internasional terhadap keberlangsungan sumberdaya hutan Indonesia masih dilakukan seperti saat ini, tidak akan berdampak positip dalam penurunan laju deforestasi hutan di Indonesia. Tingginya laju deforestasi hutan di Indonesia yang disebabkan ekploitasi besar-besar oleh HPH, dikonversi menjadi HTI maupun perkebunan skala besar, pembukaan areal pertambangan di kawasan hutan dan pembalakan liar (illegal logging), serta kebakaran hutan menjadi penyumbang terbesar emisi GRK. Pada tahun 1990, emisi karbondioksida (CO2), atau sering disebut emisi karbon, yang dilepaskan ke atmosfer akibat laju deforestasi hutan dan perubahan fungsi hutan atau tata guna lahan yaitu 64% dari total emisi GRK di Indoenesia. Sementara pada tahun 1994, angka tersebut meningkat menjadi 74% (Pelangi 2000). Hilangnya emisi karbon tersebut ke atmosfer diperparah tersebut dengan terjadinya kebakaran hutan yang cukup besar, terutama yang terjadi pada tahun 1997-1998 dimana 80% dari peristiwa kebakaran tersebut terjadi di kawasan gambut. Padahal kawasan gambut merupakan penyerap emisi karbon terbesar di dunia. Akibat peristiwa kebakaran hutan tersebut, sebanyak 0,81-2,57 Gigaton karbon dunia dilepaskan ke atmosfer. Angka ini setara dengan 13% -40% total emisi karbon duniayang dihasilkan dari bahan bakar fosil per tahun. Kerugian finansial yang harus ditanggung oleh Indoensia akibat peristiwa itu adalah US$ 3 milyar dari hilangnya kayu, pewrtanian, produski hutan non kayu, konservasi tanah, dan lain-lain (Susan E. Page, 2002). Jika tidak segera diatasi, maka kerusakan hutan di Indonesia akan mengakibatkan akumulasi GRK di attmosfer meningkat dengan cepat, sehingga menambah laju proses perubahan iklim. Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia Dampak perubabahan iklim dimana suhu rata-rata di permukaan bumi semakin meningkat menyebabkan es dan gletser di daerah Kutub Utara dan Selatan mencair sehingga menimbulkan terjadinya pemuaian massa air laut dan kenaikan permukaan air laut. Kondisi ini akan mengancam kehidupan masyarakat pesisir pantai di Indonesia dan akan menenggelamkan ribuan pulau kecil di Indoensia. Menurut Studi ALGAS (1997), jika di Indonesia dan juga negara lainnya tidak melakukan upaya apapun untuk mengurangi emisi GRK, maka diperkirakan pada tahun 2070 akan terjadi
kenaikan permukaan air laut setinggi 60 cm. Jika permukaan pantai landai, maka garis pantai akan mundur dari 60 cm ke arah darat. Hal ini diperkirakan akan mengancam tempat tinggal ribuan bahkan jutaan penduduk yang tinggal di pesisir pantai. Tahun 2070 diperkirakan sebanyak 800 ribu rumah di tepi pantai harus dipindahkan atau diperbaiki. Untuk itu dana yang dibutuhkan sekitar 30 milyar rupiah. Di samping itu akibat naiknya permukaan air laut akan mengancam sumber mata pencaharian masyarakat pesisir dan nelayan karena tambak ikan akan kebanjiran sehingga semakin menurunkan produksi tambak ikan dan udang, serta terjadinya kenaikan suhu air laut menyebabkan perubahan kehidupan di bawah laut, seperti pemutihan terumbu karang (coral bleaching) dan semakin punahnya berbagai jenis ikan. Padahal kepulauan Indonesia saat ini memiliki 14.000 unti terumbu karang dengan luas total sekitar 85.700 km² atau sekitar 14% dari terumbu karang dunia dan lebih dari 25% spesies ikan di seluruh dunia (WRI, 2002). Kondisi ini bakal diperparah dengan meningkatnya penguapan, intrusi dan salinitas air laut ke daerah permukiman dan perkotaan yang dapat menimbulkan hilangnya sumber air minum dan mudah rusaknya infrakstruktur di daerah tersebut. Di sisi lain terjadinya pergeseran musim serta perubahan pola curah hujan memberikan dampak yang merugikan di berbagai sektor, terutama pertanian dan perikanan. Intensitas hutan yang tinggi walaupun dengan periode yang lebih pendek berpotensi menyebabkan banjir dan longsor. Sementara itu musim panas terjadi dalam masa yang lebih panjang, sehingga menyebabkan kekeringan. Kondisi musim yang tidak menentu tersebut menyebabkan meningkatknya peristiwa gagal panen, sehingga dapat menimbulkan krisis pangan secara nasional. Sudah banyak peristiwa banjir dan longsor di berbagai daerah di Indonesia, serta peristiwa puso puluhan ribu hektar lahan padi sawah dan palawija akibat kekeringan maupun kebanjiran. Kondisi ini diperparah dengan dampak El Nino dan La Nina yang menambah berbagai rentetan peristiwa bencana di Indoensia. Dampak lainnya dari perubahan iklim tersebut di Indonesia adalah meningkatnya frekuensi penyakit tropis, seperti malaria dan demam berdarah. Hal ini disebabkan oleh naiknya suhu udara yang menyebabkan masa inkubasi nyamuk semakin pendek sehingga naymuk malaria dan demam berdarah akan berkembang biak dengan cepat. Berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga tahun 1995, diperkirakan 15 juta penduduk Indoensia menderita malaria dan 30 ribu di antaranya telah meninggal dunia (WHO, 1996). Dan serangan penyakit malaria dan demam berdarah ini terus meningkat dalam sepuluh tahun terakhir, seperti beberapa kasus terkahir di berbagai daerah di Indonesia.
Pada musim kekeringan dan terjadi kebakaran hutan, dimana kebakaran hutan dan lahan terbesar terjadi pada tahun 1997, maka akibat paparan asap dan debu dimana-mana telah menimbulkan berbagai gangguan kesehatan pada manusia, seperti ISPA, asma bronchial, bronchitis, radang paru, iritasi mata dan kulit. Selain itu kebakaran hutan diduga juga menghasilkan racun dioksin yang dapat menyebabkan kanker dan kemandulan pada wanita (Tempo, 27 Juni 1999) dan menyebkan kematian sebanyak 527 kasus (KLH, 1988). Selain itu juga terjadinya krisis air bersih dimana-mana, sehingga berdampak pada timbulnya penyakit diare dan penyakit kulit. Sementara itu, pada musim penghujan dan terjadi banjir maka menimbulkan penyakit diare dan leptospirosis yang biasanya muncul pasca banjir. Jadi, belajar dari berbagai peristiwa yang ditimbulkan akibat dampak perubahan iklim tersebut sungguh sangat merugikan bagi kehidupan makhluk hidup di muka bumi ini. Tidak terhitung kerugian yang bisa ditimbulkannya, baik secara finansial, materi atau harta benda, terhadap kesehatan, bahkan korban jiwa, serta hilangnya keanekaragaman hayati yang tinggi. Karena perubahan iklim bersifat global dan berdampak luas tersebut maka mari kita bersama-sama untuk mengkampanyekan dan juga berupaya nyata untuk menyelamatkan dan melestarikan hutan alam tersisa. (AS)
Degradasi hutan untuk areal perkebunan menyebabkan cadangan karbon terlepas ke atmosfir. Foto Dok KKI Warsi.
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
13
14
laporan utama
laporan utama
oleh Sukmareni, Asisten Komunikasi KKI Warsi,
[email protected]
misalnya, meski hidup jauh di pinggir hutan dan hanya bisa dijangkau setelah 3 jam berkendara melewati jalan yang berat, tetap mempertahankan hutan mereka. Imbo Pusako dan Imbo Prabukalo, adalah kawasan hutan yang telah diikrarkan masyarakat untuk dipertahankan keberadaannya. Bagi masyarakat desa yang masih terkategori terpencil ini, hutan adalah sumber air yang akan mengairi sawah-sawah mereka. Demikian juga dengan hutan adat yang dikukuhkan masyarakat Desa Batu Kerbau Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo. Atau masyarakat Desa Lubuk Beringin Kecamatan Tabir Ulu III Kabupaten Bungo. Bagi masyarakat desa ini, hutan adalah penyedia air yang akan menggerakkan kincir air untuk pembangkit listrik. Hutan bagi masyarakat ini adalah perekat sosial untuk kesejahteraan mereka. Demikian juga dengan Orang Rimba yang ada di Taman Nasional Bukit Dua Belas. Meski secara sosial, masyarakat ini terkategori marginal, namun dalam mempertahankan keberadaan dan kelestarian hutan mereka boleh dijadikan contoh. Dengan hompongon, Orang Rimba yang hingga kini masih setia dengan cawot itu, terbukti mampu menghambat pembabat memasuki hutan mereka. Kearifan lokal ini, dipertahankan dan dipelihara masyarakat desa ataupun Orang Rimba, karena mereka sangat menyadari hidup dan kehidupan mereka sangat bergantung dengan hutan. Bahkan Orang Rimba berpendapat, hutan rumah mereka, hutan habis merekapun habis. Meski berskala desa ataupun kelompok, upaya-upaya yang dilakukan masyarakat itu, layak dijadikan contoh. Ketika
dibelahan lain negeri ini, tengah heboh dengan isu perubahan iklim dan pemanasan global, akibat emisi karbon dan deforestasi, mereka dengan kearifan lokal yang dimiliki tetap menjaga kelestarian hutan. Hutan memegang peranan penting untuk menyelamatkan bumi ini dari pemanasan global. Hutan dengan tumbuhan hijau yang ada didalamnya, merupakan pereduksi karbondioksida yang merupakan salah satu gas penyebab efek rumah kaca. Hutan akan mendaur ulangnya menjadi Oksigen yang berguna untuk pernafasan makhluk hidup. Selain itu hutan juga merupakan cadangan karbon. Jika hutan ditebang, maka tidak hanya kehilangan ”mesin” pendaur ulang karbondioksida, tetapi juga akan kehilangan cadangan karbon. Upaya masyarakat lokal ini, jika dilakukan secara menyeluruh dan berkesinambungan, akan membawa dampak yang luas untuk menyelamatkan bumi dari bencana pemanasan global yang kini sudah dirasakan. Mengutip Stern dalam dialognya dengan masyarakat Guguk, negara maju dalam hal ini yang sangat berperan besar dalam menghasilkan emisi karbon, harus memperhatikan dan memberikan dukungan terhadap upaya-upaya yang telah dilakukan masyarakat. Kearifan masyarakat lokal untuk iklim global, harus didukung semua pihak. Tentu juga kearifan lokal ini harus dibarengi dengan perubahan perilaku kaum urban menjadi ramah pada lingkungan dan tentu yang terpenting adalah negara maju yang menyumbang emisi karbon 70 persen harus menurunkan emisi karbon mereka. (AS)
Masyarakat sekitar hutan manfaatkan hasil hutan non kayu. Foto Lander Rana Jaya/Dok KKI Warsi.
Dari Masyarakat Lokal Untuk Iklim Global Tanpa ragu dan ngeri, Sir Nicholas Stren mengayunkan langkahnya melewati jembatan gantung setinggi pohon kelapa sepanjang hampir 100 meter, yang bergoyang cukup keras ketika dilewati. Penasehat ekonomi Perdana Menteri Inggris itu, dengan didampingi Duta Besar Inggris untuk Indonesia Charles Humprey, melewati jembatan gantung Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupeten Merangin, hanya untuk melihat hutan adat yang berada di seberang sungai. Hutan adat Desa Guguk, memang mengundang perhatian para pihak, sebelum kedatangan Stren telah banyak pihak lain yang mengunjungi hutan adat ini. Tujuannya, mulai dari ingin mengetahui cara pengelolaan hutan adat di kawasan yang pernah di klaim oleh HPH PT Injabsin, hingga studi
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
banding. Terakhir kelompok pengelola hutan adat Desa Guguk memperoleh penghargaan dari Menteri Kehutanan MS Ka'ban melalaui CBFM Award. Stern, ketika melihat-lihat kondisi hutan adat desa ini, sangat kagum dengan upaya yang dilakukan masyarakat. Dia tak menyangka di negara yang tengah dituding sebagai perusak hutan ini, ternyata masyarakatnya masih memiliki kearifan lokal mempertahankan kelestarian hutan. Keberadaan hutan adat Desa Guguk, hanya sebagian kecil dari kearifan lokal masyarakat dalam menjaga kelangsungan sumber daya hutan untuk anak cucu kelak. Di Jambi, inisiatif dan kearifan lokal ini, terlihat cukup mampu mempertahankan kelestarian hutan. Masyarakat Desa Batang Kibul Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin
Ilustrasi Ismail (sebikom)
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
15
16
selingan
selingan
oleh Rhainal Daus, Koordinator Projec Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Nagari,
[email protected]
PCP salah satu cara menggali aspirasi masyarakat untuk membuat perencanaan konservasi. Foto Rhainal/Dok KKI Warsi.
untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompok secara spontan dan semangat, Ibu Anis Bahar satu diantaranya, ibu ini langsung maju untuk menyampaikan hasil yang diperoleh dalam diskusi kelompoknya. Setiap presentasi hasil kelompok, dua dari empat kelompok, kaum ibu yang menjadi presenternya. Kondisi ini menunjukan bias gender yang selama ini kerap dijumpai dalam pertemuanpertemuan di nagari atau desa, kali ini sudah tidak ditemukan lagi.
Masyarakat yang sedang mengikuti PCP. Foto Rhainal/Dok KKI Warsi.
Perencanaan Konservasi .... Masyarakat Nagari Juga Mampu ! ” Kami ingin tahu, dimana batas hutan perusahaan HPH dengan lahan hutan masyarakat nagari? ” ( Bapak Khatib Syamsul, Kasi pemerintahan Nagari Abai ) ” hati siapa yang tidak pedih, kita tinggal dipinggir hutan, kayu untuk kebutuhan pembangunan rumah tidak ada, sementara orang lain lalu lalang membawa kayu bertruk-truk d inagari kami ” ( Mande, Pemuka masyarakat Nagari Pasir Talang ) Dua kutipan diatas merupakan ungkapan yang disampaikan masyarakat nagari dalam acara Parsipatory Conservation Planning (PCP) di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat. PCP dilakukan di dua nagari yaitu Nagari Pasir Talang Kecamatan Sungai Pagu pada Mei lalu dan di Nagari Abai Kecamatan Sangir Batang Hari pada Juli lalu.
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
PCP dilaksanakan untuk menggali pikiran semua pihak dalam pengelolaan kawasan, karena kawasan memiliki nilai penting sebagai sistem pendukung kehidupan, kelangsungan kegiatan ekonomi dan pelindung budaya. Oleh karena itu dalam pelakasanaan PCP semaksimal mungkin melibatkan banyak pihak. Pelaksanaan PCP difasilitasi oleh KKI Warsi dan Tropical Forrest Trust (TFT) dengan melibatkan masyarakat nagari ( pemerintahan nagari, ninik mamak, pemuda, bundo kandung, ibu PKK dan tokoh masyarakat ), PT Andalas Merapi Timber (AMT) HPH yang beroperasi di Solok Selatan, pihak kecamatan dan Dinas Kehutanan Kabupaten Solok Selatan. Proses PCP yang dilakukan di Nagari Pasir Talang dan Nagari Abai berjalan sangat menarik, dalam berdiskusi baik diskusi bersama maupun diskusi kelompok kaum ibu-ibu dapat mengimbangi bapak-bapak. Hal ini terlihat ketika diminta
Menarik lagi, semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan PCP dapat memahami setiap tahapan proses dengan baik. Semua pihak terlibat aktif dalam diskusi, mulai dari proses identifikasi sumber daya alam penting bagi masyarakat, dilanjutkan diskusi kelompok untuk mencari sumber tekanan sampai pada proses penyusunan strategi. Selama proses berjalan komunikasi dapat terbangun dengan baik sehingga semua peserta dapat menyusun strategi ke depan untuk meminimalisir setiap sumber tekanan yang teridentifikasi. Persoalan tata batas antara perusahaan HPH dengan lahan masyarakat merupakan catatan penting yang harus diselesaikan secepatnya. Persoalan tata batas ini menjadi diskusi yang baik di Nagari Pasir Talang maupun Nagari Abai. Masyarakat minta kejelasan terkait batas kawasan AMT dengan lahan masyarakat nagari. Sampai saat ini tidak ada pihak yang dapat menjamin kepastian apakah pengelolaan oleh pihak AMT masuk ke dalam lahan masyarakat atau tidak, begitu juga sebaliknya. Melakukan pemetaan partisipatif merupakan strategi ke depan yang disepakati pada pertemuan itu. Pemetaan partisipatif dilakukan dengan melibatkan masyarakat nagari, pihak AMT dan instansi terkaitnya untuk menentukan batas-batas dan luasan yang dapat diterima semua pihak. Hal ini berguna agar masyarakat bisa ikut serta terlibat dalam menentukan tata batas hutan maupun kawasan secara jelas dan pasti.
Kesulitan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan kayu lokal juga menjadi persoalan yang juga mengemuka dalam pertemuan itu. Masyarkat yang sudah secara turun temurun hidup di nagari mereka tidak diperbolehkan mengambil kayu, sementara AMT dengan leluasa dapat menebangi kayu, dan malah dalam jumlah yang besar. Kalau AMT legal karena mendapat izin dari pemerintah, kenapa masyarakat juga tidak diberi izin untuk melakukan pengelolaan kayu? Strategi ke depan disepakati akan ada usaha-usaha dari AMT untuk memenuhi kebutuhan kayu masyarakat di seputar kawasan namun dengan mekanisme yang jelas baik pada level mayarakat, perusahaan dan pemerintah daerah. Kompensasi dari perusahaan HPH terhadap masyarakat nagari juga termasuk bahan yang didiskusikan dalam pertemuan PCP di kedua nagari. Selama ini, meski pihak AMT mengaku telah memberikan kompensasi kepada nagari, namun masyarakat tidak mengetahui secara jelas. Untuk mengatasi masalah ini strategi yang disepakati adalah membuat mekanisme kompensasi AMT ke nagari. Memperjelas kepastian hukum dan aturan dalam pengelolaan kawasan antara perusahaan, masyarakat nagari dan pemerintah daerah pun turut dibahas dalam pertemuan ini. Kebutuhan peraturan tersebut bisa dalam bentuk peraturan pada level nagari seperti peraturan nagari (Perna) maupun peraturan pada tingkat kabupaten seperti peraturan daerah (Perda). Persoalan-persoalan diatas hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak permasalahan yang muncul dalam pembahasan. Untuk tindak lanjutnya perlu komunikasi intensif semua pihak terkait pengelolaan hutan baik oleh masyarakat, perusahaan maupun Pemerintah Daerah. Pada intinya, pelaksanaan PCP ini bukan segala-galanya, tetapi PCP adalah langkah awal untuk duduk bersama sebagai wadah komunikasi dan menyusun perencanaan kedepan yang dapat menguntungkan semua pihak. (AS)
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
17
18
selingan
selingan
Septi Dhanik Prastiwi, Pengamat Orang Rimba,
[email protected]
Untuk urusan sms, mereka juga tidak perlu susah, meskipun mereka tidak bisa membaca dan menulis. Kalaupun menerima sms, tinggal meminta tolong para bujang atau orang desa untuk membacakannya. Sangat rentan memang karena bisa saja mereka ditipu, tapi itulah salah satu kelemahan memiliki handphone di kalangan penghulu. Fungsi Handphone Fungsi handphone pada Orang Rimba hampir sama dengan kebanyakan pengguna handphone dikalangan masyarakat lainnya. Walau juga diakui peggunaan handphone pada kalangan masyarakat modren juga sebagai salah satu bagian prestise. Namun bagi Orang Rimba, mereka mengenal handphone juga merupakan salah satu prestise dan juga menunjang kelancaran komunikasi diantara mereka dan pihak luar. Dengan semakin lancarnya komunikasi maka bisa dipastikan mobilitas orang rimbapun semakin lancar. Orang rimba yang memiliki handphone kebanyakan memiliki akses yang cukup terbuka dengan dunia luar. Interaksi yang semula hanya terjadi dengan beberapa pihak menjadi berkembang dengan banyak pihak lain.
Anak Rimba tengah naik motor. Benda-benda luar sangat digandungi anak-anak rimba, termasuk handphone. Foto Lander Rana Jaya/Dok KKI Warsi.
Ketika Telepon Genggam Mengakrabi Orang Rimba “Ya..halo…mikae dimono kinia…..au…sungguh….” (Ya halo….kamu dimana sekarang….ya…..sungguh…”) “ake lagi masih ado uruyon di sio…..hopi…todoklah…..” (“saya masih ada urusan di sini…..tidak…..nanti sajalah”)
Dengan suara keras bahkan setengah berteriak, seorang penghulu terdengar sedang menjawab telepon dari seseorang melalui telepon genggamnya di tengah keramaian pasar. Tingkah lakunya tentu saja menarik perhatian semua orang yang ada disekelilingnya. Bayangkan saja, bagaimana orang-orang tidak tertarik, orang rimba kini sudah mampu menggunakan benda komunikasi canggih itu. Telepon genggang atau handphone yang juga dikalangan Orang Rimba disebut handphone memang bukan lagi menjadi barang aneh. Setelah masa radio-tape dan walkman berlalu, kini giliran handphone yang menjadi trend di kalangan orang rimba. Mereka yang tertarik dengan handphone tidak hanya para bujang (anak muda), tetapi juga para penghulu orang rimba (Tumenggung, Depati) tertarik untuk menggunakan benda ini. Para pengguna handphone ini memang masih sangat sedikit, dari seluruh orang rimba di Taman Nasional Bukit Dua Belas yang berjumlah sekitar 1.500 orang, yang memiliki handphone masih bisa dihitung dengan jari.
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
Lantas bagaimana mereka menggunakannya? Jika para bujang rimba yang memakai, tidak ada masalah, karena kebanyakan mereka telah memiliki kemampuan membaca dan menulis. Namun ada keunikan tersendiri ketika para penghulu (orang tua) yang memakai handphone. Ini karena penghulu kebanyakan tidak memiliki kemampuan membaca dan menulis. Untuk menelpon seseorang, dengan memakai HP merek Nokia, mereka tinggal memencet tombol anak panah ke bawah yang biasanya berisi phonebook dan memencet beberapa kali. Sekali tekan berarti menghubungi A, dua kali tekan berarti menghubungi B dan lain seterusnya. Biasanya orang rimba sudah menghapalkan terlebih dahulu urutan nomor yang disimpan di handphonenya tersebut. Misalnya saja urutan pertama, nama jenang mereka. Urutan kedua merupakan nama tumenggung dari rombong yang lain dan seterusnya. Jika ingin menelpon tumenggung tersebut, maka tinggal memencet dua kali karena orang yang ingin ditelepon berada di urutan kedua pada daftar phonebook. Pada intinya untuk menelpon tinggal menghapalkan urutan nama orang yang telah tersimpan di handphone dan memencet tombol anak panah sesuai urutan. Untuk memasukkan nama-nama orang pada phonebook, gampang tinggal minta bantu para bujang atau orang desa yang paham baca tulis.
handphone juga bisa mempermudah orang rimba untuk menerima informasi. Sebagai contoh jika jenang ingin mengadakan pertemuan, ia tinggal menelpon para penghulu dengan terlebih dahulu memberikan janji. Misalnya, ia akan mengadakan pertemuan pada pertengahan bulan, maka untuk memberikan kepastian tersebut, ia akan meminta orang rimba untuk keluar mencari sinyal pada hari yang telah ditentukan. Bisa pula menitipkan pesan kepada orang rimba yang sedang berada di desa. Menggunakan handphone di rimba juga bukan tanpa masalah. Sinyal yang susah di dapat menjadi kendala dalam menggunakan handphone. Di kawasan TNBD hanya ada beberapa tempat yang terjangkau sinyal handphone. Itupun kadang harus dengan memanjat pohon atau mendaki bukit. Kendala lainnya adaah pengisian baterai. Jika baterai mulai habis, orang rimba harus pergi ke desa di sekitar hutan dan menumpang mengisi baterai di rumah-rumah penduduk yang sudah mereka kenal dengan baik. Maklumlah, di rimba tidak pernah ada listrik, jangankan yang dialiri PLN, gensetpun tidak ada. Masyarakat desa juga sudah cukup maklum dengan hal ini dan bisa menerima ketika orang rimba menumpang untuk mengisi baterai. Paling lama dua jam, baterai handphone sudah terisi penuh. Kalau untuk mengisi pulsa, urusannya juga gampang, pergi ke penjual pulsa dan meminta pulsa elektronik ataupun fisik. Jika membeli pulsa fisik, orang rimba akan meminta tolong kepada si penjual untuk mengisikannya. Atau cara lain yang lebih mudah, tinggal meminta kiriman pulsa kepada teman yang ada di desa maupun kota ketika orang rimba tidak bisa
keluar dari hutan. Tentu dengan catatan mereka harus mencari tempat di mana terdapat sinyal. Bukit Setan Kemajuan dunia modern bukan berarti tanpa halangan untuk menerapkan dalam kehidupan orang rimba. Salah satunya adalah lokasi hunian mereka yang berada di dalam hutan. Untuk itu, mereka harus pandai-pandai mencari jalan untuk bisa tetap memakai handphone. Bukit Setan. Inilah sebutan orang rimba bagi sebuah bukit di wilayah Makekal Hulu, Bungo Tanjung. Mengapa diberi nama Bukit Setan? Orang rimba memberi nama bukit tersebut bukan tanpa alasan. Mereka seringkali melihat orang meru (orang luar) berbicara sendiri, menangis sendiri dan bahkan tertawa terbahak-bahak sendiri. Segala ekspresi bisa ditemukan ketika ada orang menggunakan handphone di bukit ini. Di lokasi perbukitan, sinyal memang mudah didapat. Oleh karena itu apabila ingin berkomunikasi dengan handphone, cukup pergi ke sebuah bukit. SMS atau ngobrolpun berjalan dengan lancar. Kalau cuaca sedang tidak bersahabat, komunikasipun akan terhambat. Hal ini menjadi sesuatu yang bisa dimaklumi mengingat faktor cuaca memang tidak bisa dikompromi. Handphone: Sebuah Kemajuan atau…? Keberadaan handphone di tangah hutan memperlihatkan bahwa kemajuan tidak bisa dihalangi oleh kondisi geografis dan sosial tertentu. Ketidakadaan listrik, lokasi geografis yang cukup terisolir, ketidakmampuan membaca dan menulis tidak bisa menjadi penghalang. Asalkan ada niat untuk menikmati sebuah perubahan, hambatan bukan lagi masalah berat. Selalu ada cara untuk meminimalisir hambatan tersebut. Kepemilikan handphone saat ini hanyalah sekelumit contoh bagaimana orang rimba mulai menggunakan barang-barang modern dalam kehidupan mereka sehari-hari. Tidak ada yang salah ketika mereka mulai mengkonsumsi barangbarang tersebut. Hanya saja orang rimba harus sadar bahwa semakin banyak mereka mengkonsumsi barang-barang modern, semakin banyak pula uang yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Bagi orang rimba bisa jadi handphone adalah sebuah kemajuan dalam kehidupan mereka, sebuah kebutuhan akan alat komunikasi. Namun benarkah seperti itu? Ataukah handphone hanya menjadi sebuah keinginan sesaat saja? Esok hari ketika barang-barang seperti iPod. MP3 atau barangbarang modern yang lain masuk ke desa, akankah mereka juga akan menggunakannya? No body's know...hanya waktu yang bisa menjawabnya. (AS)
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
19
20
fokus
fokus
oleh Damsir Chaniago, Ketua DPD Desa Lubuk Beringin,
[email protected]
Desa yang termasuk penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat itu, di huni 89 KK, 68 KK diantaranya merupakan rumah tangga Sejahtera kelompok 1, 15 KK kelompok Pra sejahtera dan 5 KK sejahtera kelompok 2 dan hanya 1 KK yang terkategori sejahtera kelompok 3. Di desa yang tingkat pendidikanya masih rendah (rata-rata tamat SD, tamat SMP hanya 40 orang, SLTA 30 orang dan Perguruan Tinggi 8 orang) itu, walau secara langsung mereka tidak mengetahui hubungan antara upaya yang mereka lakukan dengan dengan pengurangan emisi karbon, tapi yang jelas desa ini layak di jadikan contoh. Betapa tidak dengan mata pencarian mayoritas sebagai petani, dalam mengolah lahan pertanian baik kebun atau sawah masyarakat melakukannya dengan cara-cara yang ramah lingkungan. Dalam mengelola kebun karet yang merupakan perkebunan turun temurun masyarakat desa sejak zaman Belanda, tidak menjadikan perkebunan mereka menjadi perkebunan monokultur. Hingga sekarang pun kita masih bisa menemui pohon karet tua yang ditanam di zaman Belanda yang dikenal dengan nama pohon karet land bouw.
Masyarakat desa membuat anyaman untuk perayaan desa. Foto: Dok RUPES Bungo.
Lubuk Beringin, Dari Desa Tertinggal Menuju Kemandirian Desa Lubuk Beringin Kecamatan Batin III Ulu Kabupaten Bungo Provinsi Jambi, belakangan mulai mendapat perhatian banyak pihak. Setidaknya ini terlihat dari keinginan seorang Sir Nicholas Stern yang merupakan penasehat ekonomi Pemerintah Inggris untuk berkunjung ke desa yang termasuk desa IDT (Inpres Desa Tertinggal) kategori miskin itu. Walaupun kenyataanya kunjungan urung terlaksana, hanya karena kendala kerusakan pesawat helikopter yang akan menghangkut rombongan ke desa itu. Tapi paling tidak melalui tayangan Expedition di Metro TV pada 13 April lalu ataupun kupasan lainnya di Majalah Gatra pada bulan yang sama, sedikit membuka mata betapa desa yang jauh dari hiruk pikuk pemanasan global dapat menjadi salah satu contoh dalam meredam emisi karbon. Apa sebenarnya, yang menarik di desa yang berjarak ± 50 km dari ibu kabupaten, dan ± 15 km dari ibukota kecamatan itu?
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
Untuk mencapai desa ini, bisa diakses dengan menggunakan kendaraan roda empat dari Muaro Bungo hingga ke Desa Laman Panjang, desa yang berada sebelum Desa Lubuk Beringin. Dilanjutkan dengan berjalan kaki atau menggunakan kendaraan roda dua sejauh jarak ±2 km dengan menyelusuri jalan tanah dan dua jembatan gantung. Pada era 60-70-an, warga desa ini masih sangat tergantung dengan transportasi sungai. Untuk menuju Muaro Bungo, mereka mengarungi Sungai Buat dan kemudian masuk ke Sungai Batang Bungo. Pada saat ini kondisi air sungai sudah mengecil, sarana transportasi masyarakat sudah beralih ke jalan darat. Juga seiring dengan semakin banyaknya moda angkutan darat yang tersedia. Jembatan gantung yang dulu terbuat dari bambu telah diganti dengan jembatan gantung dengan konstruksi besi, meski hingga kini hanya bisa dilewati kendaraan roda dua.
Masyarakat desa membuka kebun karet dengan sistim yang mereka sebut berhumo yang dilakukan secara berkelompok. Sebelum dilakukan penanam karet lahan tersebut akan digunakan untuk menanam tanaman semusim. Seperti padi cabe rawit dan tanaman palawija lainnya. Pada saat mulai menanam akan dilakukan sejenis perayaan yang mereka sebut dengan sistem “Nyayo”, “Berselang” yaitu acara makan bersama di lokasi humo yang ditandai dengan pemotongan kambing dengan mengundang khususnya pemuda-pemuda desa tetangga. Perayaan ini juga dimeriahkan dengan acara berpantun atau kesenian tradisional, atau “Bahain” yang diutamakan bagi sesama yang berhumo. Selama merawat padi dan cabe rawit (sampai 1.5 tahun) akan dilakukan penanaman karet, buah-buahan serta tanaman sayur semusim dengan melibatkan semua anggota keluarga.
secara baik. Kebun-kebun karet tua juga mempunyai fungsi konservasi (penahan longsor, erosi, banjir), pengatur tata air tanah (hidrologis) dan suhu mikro. Fungsi ini dapat juga diartikan sebagai kebun karet lindung. Hasil penelitian tentang biodiversity yang dilakukan program RUPES dalam kawasan kebun karet campur masyarakat desa Lubuk Beringin (juga desa Laman Panjang dan Buat), hasilnya dapat disimpulkan bahwa: 70% tanaman yang berada di kawasan hutan (HL) juga dapat ditemukan di kebun karet campur; Tutupan tajuk kebun karet campur menyerupai tutupan tajuk hutan sekunder dan fungsi kebun karet campur hampir sama dengan fungsi hutan sekunder; Kebun karet campur dapat berfungsi sebagai Buffer Zone Hutan Lindung Rantau Bayur-Bukit Panjang; Kebun karet campur dapat berfungsi sebagai habitat satwa-satwa. Bagi masyarakat desa sendiri kebun karet mereka juga memiliki nilai ekonomis lebih dengan adanya pohon-pohon lain di dalamnya, seperti durian, petai, jengkol duku, cempedak, nagka dan lainnya. Selain itu di dalam kebun karet ini juga ditemui beragam tanaman obat seperti pasak bumi/bendaro putih, pohon kasai. Pohon Sialang yang merupakan tempat hidupnya lebah madu juga banyak ditemui di kebun karet ini. Kebun karet ini juga merupakan tempat hidup hewan rusa, kancil, burung-burungan, kijang, juga ditemui tanaman langka seperti Raflesia Arnoldi. Beberapa petani ada yang membiarkan beberapa jenis kayu dan pohon lain tumbuh bersama dengan karet, upaya ini dilakukan untuk menjaga kelangsungan ketersediaan kayu. Mereka mulai berpikir untuk tetap memelihara beberapa jenis kayu penting yang diharapkan dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan bangunan masa akan datang. Seperti sungkai, bambu, pelangas, rotan, dan kayu lainnya yang juga berguna untuk kayu bakar.
Setelah panen selesai (panen terakhir adalah cabe rawit) pembersihan lahan atau perawatan tanaman karet dilakukan satu kali setahun selama 2-3 kali, selanjutnya lahan akan ditinggalkan sampai dengan pohon karet sudah besar dan siap untuk disadap (10-15 tahun). Secara tidak langsung sistem yang dikembangkan masyarakat dalam mengelola kebun karet juga berfungsi secara ekologis dan konservasi. Kondisi kebun-kebun karet tua hampir mendekati fungsi hutan sekunder atau tersier dengan kerapatan tajuk yang tinggi, kondisi ini secara ekologis akan menjadi tempat hidup dan berkembang beberapa jenis tumbuh-tumbuhan dan hewan (binatang, burung dan jasad renik). Kekayaan yang terkandung dalam kebun-karet karet ini belum disadari dan dimanfaatkan
Masyarakat desa mengerjakan sawah bersama-sama. Foto: Dok RUPES Bungo.
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
21
22
fokus
fokus dengan Keputusan Desa tahun 2006 tentang teguran bagi masyarakat luar desa yang masih membuka lahan perkebunan dalam wilayah desa Lubuk Beringin yang juga merupakan Hutan Lindung Rantau Bayur-Bukit Panjang. Selama proses fasilitasi RUPES diperkuat lagi semua aturanaturan dan budaya masyarakat yang mengandung aspek keberlanjutan dan konservasi.
ke depan dapat menjadi salah satu penangkar resmi bibit karet okulasi atau desa Lubuk Beringin sebagai sentra bibit karet okulasi untuk kabupaten Bungo, khusunya untuk kecamatan Rantau Pandan dan Batin III Ulu. Kelompok tani Beringin Sakti dibentuk pada September 2004 dan Beringin Jaya pada Desember 2005, yang difaslitasi oleh program CFC ICRAF, proses terbentuknya kelompok tani ini sudah dimulai di dorong semenjak tahun 2002
Pengetahuan lokal tentang konservasi :
Pembibitan karet yang dilakukan masyarakat. Foto: Dok RUPES Bungo.
Pembersihan kebun secara umum mulai dilakukan (nebas) ketika akan memulai penyadapan, pembersihan pertama ini dilakukan secara total yaitu dengan menebang pohon-pohon dan semak, menurut pengakuan sebagian petani, pohonpohon yang bernilai ekonomis akan ditinggalkan seperti petai, durian, nangka, dan beberapa pohon-pohon penting. Pembersihan selanjutnya tidak dilakukan secara teratur dan lebih banyak yang pembersihan adalah lorong atau jalan penyadapan antar pohon karet. Intensitas pembersihan ini juga tergantung kepada harga karet dipasaran, modal dan kesempatan petani. Waktu yang dipakai dalam pembersihan adalah pada saat menyadap tidak dapat dilakukan seperti musim hujan dan musim kemarau dan dalam setiap minggu waktu yang kosong, kadang-kadang dipergunakan untuk membersihan kebun (kebiasaan masyarakat menyadap karet 4-5 hari seminggu). Rendahnya tingkat intensitas penyadap kebun, karena masyarakat tidak menggantungkan ekonomi rumah tangga sepenuhnya kepada hasil kebun, untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga beberapa lahan mempunyai fungsi masing-masing yaitu: Kebun karet sebagai tabungan dan kebutuhan biaya skala besar; Padi sawah/humo untuk memenuhi kebutuhan beras dari satu musim ke musim berikutnya; Sungai sebagai sumber ikan disamping berburu dan menjerat; Humo sebagai penghasil kebutuhan harian (sayuran), mingguan/bulanan/musiman (cabe, ubi-ubian, pisang dan lainnya). Untuk peremajaan karet, masyarakat pada umumnya melakukan cara tebang tanpa bakar, ketika akan menanam karet baru pada kebun karet tua atau lebih dikenal dengan cara sisipan. Petani biasanya meninggalkan jenis kayu dan buah-buahan bermanfaat yang memiliki nilai jual. kebun karet yang terlalu banyak bercampur dengan tumbuhan kayu lain akan mengganggu pertumbuhan karet. Hal yang diperhatikan oleh petani ketika hendak memutuskan akan
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
meninggalkan kayu beberapa kayu tersebut adalah jenis, bentuk batang dan ukuran diameter lebih dari 25cm. Sedangkan Kegiatan bersawah menggunakan sistem kalender arab (Hijriah) yang dimulai dengan mencangkul dan menyemai setelah bulan haji (bulan Zulhijah) dan panen sebelum bulan Ramadhan. Hampir setiap desa memulai kegiatan bersawah melalui kesepakatan bersama dan diumumkan kepada seluruh anggota masyarakat. Kegiatan di sawah lebih didominasi oleh perempuan (mulai dari menyemai, mencangkul, tanam, merumput dan panen), bantuan tenaga laki-laki lebih pada pemagaran/menandang (menyiapkan bambu, tiang pagar/tiang kandang dan pemagaran) serta menuai dan pengangkutan padi ke rumah. Proses fasilitasi: Konservasi yang menjanjikan Dampak secara nyata dari pemahaman masyarakat terhadap kegiatan konservasi telah dinikmati masyarakat Lubuk Beringin dalam membangun PLTKA secara swadaya, proses ini merupakan perjalanan yang sangat panjang dari fasilitasi yang telah dilakukan kepada masyarakat desa Lubuk Beringin, telah dilaksanakan semenjak bulan April 19992002 proggram ICDP TNKS (Integrated Conservation Development Project Taman Nasional Kerinci Seblat), 2005-2007 RUPES (Rewarding for Upland Poor of Enviromental Services). Selama proses fasilitasi ICDP TNKS telah dihasilkan Kesepakatan Konservasi Desa (KKD) yang memuat semua aturan-aturan adat istiadat, nasinal atau kesepakatan baru yang berhubungan dengan aspek-aspek kelestarian dan konservasi kawasan Hutan Lindung dan Taman Nasional Kerinci Seblat. Untuk menindak lanjuti dari KKD ICDP TNKS ini masyarakat Desa Lubuk Beringin telah menyepakati peraturan desa (Perdes) tahun 2003-2004 yang memuat aturan-aturan Pengelolaan Sumber Daya Alam (pengambilan kayu dan pembukaan lahan dalam kawasan konservasi/HL). Dari perdes ini juga telah ditindak lanjuti
Kegiatan perkebunan karet yang dilakukan petani setempat mengarah kepada usaha konservasi, sebagai contoh upaya perbaikan produksi karet dengan cara sisipan yang sudah lama dipraktekkan.petani. Selain juga masyarakat mempertahankan sistem pertanian agroforest. Di Desa ini juga ditemukan lubuk larangan. Merupakan salah satu nilai kearifan tradisional yang masih tetap dipertahankan. Pengambilan ikan dalam lubuk larangan mempunyai ketentuan adat dan desa. Pengambilannya dilakukan dalam satu tahun sekali dan hasilnya dari lubuk larangan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan desa dan mesjid. Bentuk kearifan lain yang diatur oleh adat dan desa adalah adanya larangan pengambilan ikan di sungai dengan mengunakan pukat panjang, tuba, racun, sentrum, dan bahan-bahan kimia lainnya serta menggunakan lebih dari satu lampu (petromak). Latar belakangnya adalah jumlah ikan yang diambil oleh seseorang akan melebihi dari kebutuhan konsumsi rumah tangga (hasil tangkapan besar). Pengambilan buah durian sebelum masak/jatuh dalam jumlah besar juga tidak diperbolehkan dalam peraturan adat dan desa. Semua ini bertujuan untuk menjaga ketersediaan sumber daya alam serta memenuhi kebutuhan anggota masyarakat dalam jangka panjang.
Kendala dalam mewujutkan kelompok tani Beringin Sakti sebagai penangkar bibit karet antara lain sarana transportasi dalam pemasaran bibit belum lancar, modal usaha kelompok masih rendah, belum adanya sertifikasi atau jaminan sebagai penangkar resmi dari pihak terkait. Pembuatan kebun karet desa akan membantu menghijaukan lahan-lahan yang selama ini masih berupa sesap/non produktif. Sistem kerja yang dilakukan secara gotong royong akan semakin menguatkan rasa persatuan dan kesatuan dan meningkatkan pengetahuan serta ketrampilan dalam pengelolaan kebun karet campur yang berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian keanekaragaman hayati yang ada. Dengan menggunakan sistem wanatani, akan diperoleh hasil kebun beraneka ragam yang dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat dan meningkatkan kemampuan ekosistem dalam menjaga kekayaan keanekaragaman hayati. Nantinya hasil yang diperoleh dari kebun akan dimanfaatkan untuk sumber kas desa , demo plot percontohan pengelolaan maanagement kebun karet yang sesuai dengan wawasan konservasi, sebagai lapangan kerja bagi keluarga yang tidak mampu atau yang belum mempunyai lahan kebun produktif. (AS)
Dengan kearifan lokal dan sistim agroforeas yang dilakukan masyarakat terus berjuang membangun desa mereka secara mandiri. Kini di desa ini tidak lagi harus terus berharap kapan akan dialiri listrik, secara swadaya mereka telah membangun jaringan listrik mikro dengan menggunakan tenaga kincir air. Sedangkan untuk meningkatkan peran serta perempuan dalam pembangunan, di desa ini juga berkembang dengan baik kelompok simpan pinjam dahlia yang hingga kini telah mengantongi modal usaha untuk tahun 2007 sebanyak Rp 33.633.300,-. Dengan dana yang masih bergulir di anggota Rp. 25.000.000. Tak heran jika SHU pada akhir tahun 2006 lalu bisa mencapai Rp 6.442.000. Untuk lebih mengembangkan kebun karet dan meningkatkan produktifitas di desa ini kini juga dengan mudah bisa ditemukan pembibitan karet. Di desa Lubuk Beringin sudah terbentuk 2 kelompok tani (Beringin Sakti dan Beringin Jaya). Dengan harapan ke 2 kelompok tani ini
Getah karet merupakan penghasilan utama masyarakat desa lubuk beringin. Foto: Dok RUPES Bungo.
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
23
24
fokus
fokus
oleh Sukmareni, Asisten Komunikasi,
[email protected]
PLTKA, Bukti Hutan Untuk Kesejahteraan Masyarakat
Kincir pembangkit tenaga listrik di Desa Lubuk Beringin. Foto: Lander Rana Jaya/Dok KKI Warsi.
Gemericik air sungai yang jernih mengundang minat untuk menceburkan diri ke Sungai Batang Buat yang mengalir di pinggiran Desa Lubuk Beringin. Anak Sungai Batang Bungo yang berhulu ke hutan Taman Nasional Kerinci Seblat itu, telah memberi manfaat yang luar biasa untuk masyarakat desa. Tidak hanya untuk kebutuhan MCK, sungai yang itu juga dimanfaatkan masyarakat desa untuk pembangkit listrik mikro hidro sederhana. Masyarakat desa mengalirkan air sungai menuju kincir untuk menggerakkan dinamo pembangkit tenaga listrik. Masyarakat setempat menyebutnya dengan PLTKA (Pembangkit Listrik Tenaga Kincir Air). Dari dua PLTKA yang ada di desa yang berjarak sekitar 50 km dari Kota Muaro Bungo itu, mampu menerangi 45 rumah dari lebih kurang 69 rumah yang terdapat di desa yang masuk IDT kategori miskin itu. Daya yang dihasilkan mencapai 5000 watt. ”Ya kami sangat tertolong dengan adanya PLTKA ini, kami menikmati listrik yang selama ini sangat jauh dari harapan kami,”kata Najmi salah satu warga desa Lubuk Beringin. Bagi ayah 5 anak ini, listrik selain memberikan penerangan keluarga, juga mengirit pengeluarannya. Sebelum PLTKA aktif pada September 2006 masyarakat menggunakan lampu togolampu minyak yang mirib bom molotov. Untuk
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
menyalakan togo, masyarakat menggunakan minyak tanah. Harga minyak tanah ke desa yang hanya bisa ditempuh kendaraan roda dua ini, harganya sangat mahal. Satu botol minyak tanah (botol yang digunakan bekas botol sirup ukuran 630 ml) masyarakat harus merogoh kocek Rp 5 ribu. Sebotol itu hanya tahan digunakan untuk dua malam saja. Jadi bisa diasumsikan dalam satu bulan pengeluaran masingmasing rumah sekitar Rp 150 ribu per bulan. Sedangkan dengan menggunakan PLTKA, masing-masing rumah yang dialiri listrik ini hanya di pungut Rp 5.000 per bohlam 10 watt hemat energi per bulan. Ditambah biaya beban Rp 5.000 per anggota. ”Kami sangat tertolong, karena harganya sangat murah dan bersih lagi,”sebut Najmi. Bersih maksudnya di sini, karena togo akan menghasilkan jelaga dan lama kelamaan akan membuat warna rumah dan kain yang tergantung menguning, selain itu juga di pagi hari lubang hidung akan berwarna hitam. ”Anak-anak juga senang karena mereka bisa belajar di malam hari,”kata pria yang memasang tiga bohlam hemat energi di rumahnya. Hanya saja keinginan Najmi dan keluarga untuk bisa menonton televisi masih harus ditahannya.
”Ya saya sudah beli tipi-nya (maksudnya televisi) tapi kadang listrinya tidak kuat, kadang bisa kadang tidak,”kata Najmi. Harapan masyarakat desa suatu hari nanti kapasitas PLTKAnya meningkat dan menghasilkan daya yang lebih kuat sehingga masyarakat Lubuk Beringin dapat menikmati sarana lain yang membutuhkan arus listrik, seumpama televisi, vcd dan lainnya. Kehadiran Listrik PLTKA ternyata juga jauh lebih murah dari pembangkit listrik lainnya. Sebelumnya di desa ini, masyarakat juga pernah menggunakan pembangkit listrik Tenaga Diesel (PLTD) dari hibah bagi desa-desa penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) melalui kerjasama Bank Dunia denan pemerintahan Indonesia dalam upaya menjaga kelestarian kawasan TNKS. Diesel dengan kapasitas 10 KW sebagai sumber energi penerangan yang sudah berjalan sejak tahun 2000. Sekarang kondisi PLTD tidak lagi dapat dioperasikan, disamping biaya operasional yang dikeluarkan sangat tinggi, juga Kas PLTD sudah tidak mencukupi lagi untuk menutupi biaya perawatannya. Semenjak tahun 2004 PLTD desa ini terpaksa di hentikan beroperasinya walaupun di tingkat desa telah dilaksanakan musyawarah untuk mencarikan solusi terbaiknya namun belum memadai dalam menghadapi biaya operasional yang tinggi. Dari hasil beberapa kali musyawarah desa, disimpulkan bahwa kendala utama yang di hadapi adalah ketidak mampuan masyarakat dalam membayar iyuran bulanan yang meningkat secara tajam, dari penghitungan biaya operasional secara umum adalah lebih kurang 15 liter/hari (jam beroperasi 5 jam/hari, antara jam 18.00 23.00). Dengan harga solar Rp 6000 per liter (termasuk biaya angkut ke desa) biaya yang harus per bulannya mencapai Rp. 2.700.000. Belum lagi untuk biaya perawatan membiat listrik dengan diesel ini hanya mampu bertahan 4 tahun. Dengan kondisi dan potensi yang dimiliki, Lubuk Beringin kembali bangkit. Potensi air yang melimpah membuat masyarakat dengan fasilitasi program RUPES untuk mengambangkan pembangkit litrik tenaga mikro hidro. Sejak Februari 2006 digagas untuk membuat pembangkit litrik yang mengambil model Pembangkit Listrik Tenaga Kincir Air (PLTKA). PLTKA yang dikembangkan masyarakat Lubuk Beringin merupakan modifikasi dari model Kincir Air yang selama ini banyak digunakan sebagai menaikan iar untuk irigasi sawah yang sampai sekarang masih dapat dijumpai (juga pernah digunakan untuk menumbuk padi sebelum masuknya rice milling/heller). PLTKA pertama di kembangkan oleh kelompok masyrakat dusun Sungai Letung desa Buat kecamatan Batin III Ulu (sebelah Barat desa Lubuk Beringin), disamping di desa Lubuk Beringin 3 unit juga di sudah kembangkan juga oleh kelompok masyarakat dusun
Sagi desa Buat 3 unit, desa Senamat Ulu 2 unit dan bahkan beberapa desa di luar kecamatan Batin III Ulu. Mulai September 2006, PLTKA yang dibangun secara swadaya dan dikerjakan secara bergotong royong ini telah mulai beroperasi. Sekarang di Desa Lubuk Beringin sudah di bangun 3 unit PLTKA (1 unit di dusun Sungai Alai dan 2 unit di dusun Lubuk Beringin) Dari 3 unit PLTKA yang sudah beroperasi sudah mempu memenuhi kebutuhan penerangan bagi masyarakat Desa Lubuk Beringin (60 rumah atau 95 %) dan 5 KK diantaranya masyarakat dusun Sungai Mengkuang Besar Desa Laman Panjang. Kerberhasilan masyarakat Desa Lubuk Beringin dalam membangun PLTKA merupakan salah satu bukti nyata atau dampak langsung dari manfaat dalam mempertahankan kelestarian lingkungan. Secara sederhana hubungan itu dapat digambarkan sebagai keberlanjutan dari PLTKA sangat bergantung kepada fluktuasi debit sungai Batang Buat dan debit air sungai Batang Buat sangat tergantung kerpada kondisi Daerah Tangkapan Air (DTA) atau kondisi daerah hulu-hulu DAS Batang Buat. Kondisi DTA DAS Batang Buat ditentukan oleh kesepakatan masyarakat dalam menjaga, mempertahankan atau melindungi fungsinya. Dengan Sistem perkebunan karet campur yang memiliki fungsi mirip hutan alam turut menjadi penjaga sumber air sungai Batang Buat. Selain itu juga dengan kebun karet campur yang mereka miliki, masyarakat tidak lagi melakukan penebangan di hutan lindung dan TNKS yang merupakan hulu DAS Batang Buat. HL/DAS Batang Buat
Debit Batang Buat
Kesepakatan Masyarakat, dan multi stakeholder
PLTKA
Energi Penerangan/ Listrik
Kehadiran PLTKA membawa berkah bagi masyarakat sangat besar sekali terutama adanya peningkatan minat belajar anak-anak sekolah, bagi anggota masyarakat juga terlihat adanya peningkatan partisipasi dalam menghadiri kegiatankegiatan desa (musyawarah dan kegiatan sosial keagamaan lainnya). Tingkat partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan dalam menyusun semua perencanaan pembangunan desa kedepannya, untuk mendukung perubahan menuju ke desa otonomi telah disusun dan dirancang Rencana Pembangunan Desa Jangka Menengah (RPDJM) tahun 2007-2012, dengan visi "MENGUJUDKAN DESA LUBUK BERINGIN SEBAGAI DESA KONSERVASI MANDIRI " untuk dalam mengujudkannya, diharapkan dukungan semua pihak. (AS) Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
25
26
gis spot
gis spot
oleh Nugraha Firdaus S.Hut, Koordinator Forester KKI Warsi,
[email protected]
DEFORESTATION BETWEEN 1996 1998 North Part of Bukit Duabelas Area
Arc View Analysis, Deteksi Perubahan Area
U
ntuk mengetahui perubahan tutupan lahan, metode yang kerap digunakan adalah analisis peta citra satelit. Salah satu metode yang ada dalam analisis citra adalah analisis perubahan (change detection). Perangkat lunak Arc View mempunyai ekstensi yang dikembangkan untuk menganalisis citra yaitu Image Analysis yang menyediakan pula perangkat untuk analisis change detection dalam dua metode, tergantung dari tipe data, yaitu tipe data yang bersifat berkelanjutan (continoues) dan yang bersifat tematik (thematic). Apabila tipe data tersebut bersifat continuous, yang digunakan adalah perangkat perintah Image Difference. Sedangkan apabila data tersebut bersifat thematic yang digunakan adalah perangkat perintah Thematic Change, yang semuanya ada dalam ekstensi Image Analysis. Dalam Image Difference, perubahan yang diukur adalah tingkat kecerahan (Brightness) sebagai nilai langsung dari citra. Brightness sangat berhubungan dengan tutupan lahan yang sedang dianalisis. Sedangkan perangkat Thematic Change, perubahan yang di deteksi merupakan kombinasi dari beragam perubahan dari citra hasil klasifikasi. Image Difference sangat berguna untuk menganalisa citra pada area yang sama untuk memperlajari tipe-tipe tutupan lahan yang mungkin berubah dengan waktu. Cara bekerjanya adalah dengan mengurangkan satu theme dari theme lain. Perubahan ini bisa ditonjolkan dengan perbedaan warna: warna hijau dan merah menggambarkan peningkatan dan penurunan nilai. Kita akan melihat perubahan tutupan vegetasi antara dua citra landsat TM yang diambil dalam jarak dua tahun ( Tm_Oct87 dan Tm_Oct89). Seperti telah dipelajari
sebelumnya, data citra landsat merupakan data yang sifatnya berkelanjutan (kontinyu) yang diperoleh dari nilai reflektansi (pantulan) permukaan bumi. Sebagai catatan untuk mendapatkan hasil yang valid pada kedua citra tersebut harus dilakukan pengkoreksian radiometric. Juga disarankan untuk memakai citra dari bulan yang sama untuk mengurangi perbedaan atmosferik musiman. Sedangkan Thematic Change dapat mengidentifikasi area yang mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Tetapi secara tipikal, Thematic Change digunakan setelah dilakukan pengklasifikasian (kategorisasi) terhadap data citra yang digunakan. Dengan menggunakan pengkategorisasian dari citra sebelum (before themes) dan setelah (after themes). Thematic Changes dapat menghitung luas dan tipe perubahan yang terjadi. Arc View Image Analysis juga menyediakan cara lain untuk mengukur perubahan dalam sebuah data thematic, yaitu Summarize Areas. Dalam penggunaan tool ini, data yang akan dianalisis merupakan data yang telah melewati proses Thematic Changes. Summarize Areas digunakan untuk menganalisis sebagian tertentu dari hasil proses Thematic Changes. Summarize Areas bekerja dengan menggunakan sebuah theme atau Image Analysis theme untuk mengkompilasi informasi tentang area tersebut dalam format tabular. Arc View Image Analysis dapat digunakan untuk menganalis beragam keperluan, yang salah satunya berhubungan dengan perubahan tutupan lahan yang merupakan elemen penting dalam bidang kehutanan dan lingkungan, serta bidang lainnya. (AS)
Legend: Bare Soil Deforestation Area High Density Vegetation Intermediate Density Vegetation Low Density Vegetation
Sources : -Topography Map DITTOP TNI-AD Scale 1 : 50.000 1989 -Landsat TM S. Path/Row : 126/061 (20-09-96) & 126/061 (09-06-98) -Interpretation & Ground Check by WARSI November December 1999
Analisis deforestasi di bagian utara kawasan Bukit Dua Belas Jambi tahun 1996 - 1998, Askarinta Adi (1999)
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
27
28
dari hulu ke hilir
dari hulu ke hilir
oleh Sukmareni, Asisten Komunikasi KKI Warsi,
[email protected]
31 tahun 2001, tidak bisa diperpanjang karena menunggu wilayah penetapan HKm oleh Menhut. Alih-alih bukan membenahi kerancuan ini, pemerintah justru mengeluarkan aturan lainnya, yaitu Permenhut No P.01/2004 tentang pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan dalam rangka sosial forestry. Permenhut ini pada buntutnya menimbulkan kebingungan ditingkat daerah, pada satu sisi aturan ini membuat aturan baru dan disisi lain ia mengakui juga aturan yang telah dibuat sebelumnya. ”Akibatnya muncul dualisme aturan organik, yang membuat bingung pemerintah di daerah. Yang berujung pada semakin tidak jelas dan terhentinya kebijakan mengenai hak masyarakat dalam mengelola hutan,”kata Muayat.
Terbuka peluang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan melalui PP no 6 tahun 2007. Foto Marta Hendra/Dok KKI warsi.
Peluang Masyarakat Sejahtera Melalui PP 6 2007 Miskin dan cendrung terbelakang menjadi ciri masyarakat yang hidup di sekitar dan di dalam hutan. Penyebabnya akses masyarakat dalam memanfaatkan dan mengelola hutan masih belum berjalan dengan baik. Di negara ini, hutan sepenuhnya dikuasai oleh negara. Kawasan hutan telah dikapling pemerintah berdasarkan peruntukkannya, yang untuk mengaksesnya harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat. Di era orde baru, penguasaan hutan cendrung diberikan kepada perusahaan-perusahaan besar yang diberi Hak Pengelolaan Hutan (HPH). Sedangkan masyarakat yang sudah turun temurun mendiami wilayah itu, hanya menjadi penonton. Maka jangan heran jika kemudian hutan habis dibabat, sementara masyarakat disekitar hutan masih hidup miskin.
Menteri kehutanan kemudian beberapa kali melakukan revisi terhadap keputusan keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Dalam SK Menhutbun No 677/Kpts-II/1998 masih tentang HKm. Dalam SK ini disebutkan masyarakat yang sudah membentuk kelembagaan koperasi diberikan hak untuk mengusahakan hutan, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk diusahakan. Pemerintah kemudian mengeluarkan UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang merupakan revisi UU No 5 tahun 1967. ”Di UU ini cukup padat mengatur tentang partisipasi, pengakuan dan penghormatan hak-hak masyarakat, namun secara tekstual partisipasi serta pengakuan dan penghormatan masih terlihat kabur dan hanya berupa aksesori dan pelengkap saja” kata Muayat.
Sadar akan tingginya angka kemiskinan, dan sebagian besar berada di dalam dan sekitar hutan, pemerintah mulai membuka kran untuk pemberdayaan masyarakat disekitar hutan. Diawali dengan keluarnya SK Menhut Nomor 622/Kpts-II/1995 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan (Hkm). ”Hanya saja dalam prakteknya peranan pemerintah masih sangat dominan dalam menunjuk dan menentukan masyarakat yang dapat ikut serta. Disisi lain masyarakat ditempatkan sebagai pihak yang diikutsertakan dalam pengelolaan hutan dan hanya berhak memungut hasil hutan non kayu,”sebut Muayat Ali Muhshi Sekretaris Eksekutif Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) yang melakukan Kajian Kritis terhadap PP 6 tahun 2007.
Setelah adanya UU 41 pemerintah kemudian mengeluarkan beberapa aturan berikutnya dalam pemberdaaan masyarakat disekitar hutan, seperti SK Menhut No 31 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan dan PP 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan. Namun aturan yang dikeluarkan ini muncul beragam kerancuan yang membingungkan. Di PP 34 misalnya, untuk mengakses hutan masyarakat sekitar hutan harus memperoleh perizinan layaknya masyarakat lain. Di SK Menhut 31 Tahun 2001 ada perlakuan khusus bagi masyarakat disekitar hutan dalam memperoleh perizinan. Kerancuan juga timbul karena ketidak jelasan prosedur penetapan wilayah HKm. Akibatnya, 26 izin sementara HKm 3-5 tahun yang telah diberikan berdasarkan SK Menhutbun No 865/1999 dan SK Menhut No
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
Kerancuan dan kebingungan dalam pengelolaan sumber daya hutan ini, baru terjawab pada tahun ini, dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Pemberdayaan masyarakat di PP ini dilakukan untuk mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil. ”Pemberdayaan dilakukan melalui pengembangan kapasitas dan akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat ini merupakan kewajiban pemerintah pusat dan daerah yang pelaksanaanya menjadi tanggungjawab KPH (Kesatuan Pemangku Hutan,red),”sebut Muayat. Lebih lanjut, dalam PP ini pemberdayaan masyarakat dilakukan dalam bentuk hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat dan kemitraan. HKm diberikan untuk areal yang belum dibebani izin/hak, yaitu hutan yang bukan sudah mengantongi izin pemanfaatan hutan, maupun hak pengelolaan hutan. Sementara hutan desa adalah masyarakat mengelola dan memanfaatkan hutan negara yang dikelola desa dan digunakan untuk kesejahteraan desa. Desa diberi kewenangan untuk mengelola hutan, baik di hutan produksi maupun di hutan lindung. Untuk hutan lindung pemanfaatannya berupa kegiatan pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Sedangkan di hutan produksi, selain item diatas masyarakat juga bisa melakukan memanfaatkan hasil hutan kayu. Areal kerja hutan desa ditentukan oleh menteri kehutanan atas usulan dari bupati/walikota. Desa berkewajiban melaksanakan pengelolaan hutan sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari. Hanya saja menurut Muayat, pengaturan hutan desa di PP ini juga ada kerancuannya terkait prosedur perizinanya. Ini terjadi akibat perbedaan interprestasi terhadap Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pandangan pertama berpendapat bahwa pengelolaan hutan adalah monopoli pemerintah dan kalau dilimpahkan hanya kepada BUMN dalam hal ini Perhutani. Sedangkan pandangan kedua berpendapat hak monopoli pemerintah hanya pengurusan hutan dan pengelolaan hutan nasional dan bukan pengelolaan hutan secara mikro. ”Dalam penyusunan draf Permen hutan desa yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Pemasyarakatan Sosial (Ditjen RPLS). Yang menjadi perdebatan adalah prosedur
perizinan, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) hutan desa. Satu pihak masih berkeinginan prosedurnya sama dengan IUPHHK yang diberikan kepada masyarakat umum. Sedangkan RLPS menginginkan prosedur khusus untuk masyarakat disekitar hutan yang masih miskin,”kata Muayat. Sedangkan untuk HKm, diberikan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan. Menurut Muayat pengaturan HKm di PP ini terkesan sedikit dipaksakan terkait dengan perolehan perizinnnya. ”Pada HKm tiba-tiba muncul IUPHHK, padahal di dipasal dan ayat sebelumnya hanya menyebutkan izin usaha HKm,”sebutnya. Hal ini menurut Muayat disebabkan departemen kehutanan masih kuat mempertahankan izin kayu sentralistik, yang disebabkan pengalaman buruk dalam desentralisasi izin kayu 100 ha, atau IPKR (Izin Pemanfaatan Kayu Rakyat, yang dalam izinnya diberikan oleh Bupati/walikota),”katanya. Di PP Nomor 6 tahun 2007 ini juga ditemukan pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui hutan tamana rakyat (HTR), yaitu hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat, untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produski dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. Sedangkan kemitraan merupakan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan apabila kawasan hutan disekitar masyarakat itu telah diberikan hak pengelolaannya kepada BUMN bidang kehutanan. ”Semua model-model pemberdayaan ini harus diawali dengan pengajuan masyarakat ke bupati dan n anti dilanjutkan ke menteri kehutanan. Tentu akan ada verifikasi terhadap areal, perizinan dan peruntukan, apakah kawasan itu ada di hutan lindung, apakah ada di cagar alam, apakah itu masyarakat setempat atau tidak, ini akan dilakukan, ”kata Muayat. Satu hal yang penting, di PP ini peluang untuk pengelolaan hutan bersama masyarakat terbuka lebar. Maka untuk memfaatkan peluang itu untuk kesejahteraan masyarakat maka pemerintah provinsi dan kabupaten/kota perlu segera melakukan identifikasi masyarakat sekitar hutan, inventarisasi untuk diusulkan kepada menteri sebagai areal kerja hutan desa, HKm atau HTR. ”Pemerintah daerah harus membangun kerjasama dengan swasta untuk melakukan fasilitasi pengembangan kelembagaan masyarakat, pengembangan usaha, bimbingan teknologi pendidikan, latihan serta akses terhadap modal dan pasar,”sebutnya. Sementara para stakeholder lainya, perguruan tinggi, LSM dan lembaga penelitian dan swasta perlu mendorong dan memfasilitasi pemerintah daerah untuk melakukan langkah pemberdayaan masyarakat seperti yang diatur PP ini. Untuk masyarakat sendiri, terutama yang disekitar hutan, dengan peluang yang ada di PP ini juga harus mulai mengorganisir diri membentuk kelompok dan koperasi. Semoga dengan langkah yang baru ini, dibawah naungan aturan yang lebih pasti, kesejahteraan masyarakat disekitar hutan benar-benar dapat dirasakan. (AS) Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
29
30
dari hulu ke hilir
dari hulu ke hilir
oleh Sukmareni, Asisten Komunikasi KKI Warsi,
[email protected]
kemudian dijadikan sebagai hutan adat desa, yang dalam pengelolaanya melibatkan pemerintahan desa. Untuk legalitasnya, hutan adat desa Guguk ini, diperkuat oleh Pemerintah Kabupaten Merangin, dengan Keputusan Bupati Merangin Nomor 287 Tahun 2003 Tentang Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin. ”Namun sayangnya, secara hukum belum sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam peraturan tersebut mengharuskan adanya pengukuhan masyarakat adat dengan Peraturan Daerah selanjutnya melalui Pemerintahan Daerah mengusulkan penetapan hutan adat kepada Menteri Kehutanan. Jadi penetapan melalui Surat Keputusan Bupati belum diakui, ”kata Pandong Spenra Legal Officer KKI Warsi. Akibatnya lanjut Pandong, dengan sendirinya secara yuridis keberadaan Hutan Adat Desa Guguk masih belum diakui oleh negara sebagai sebuah hutan adat sebagaimana yang telah di tentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia. ”Maka, perlu adanya peraturan yang juga dapat memfasilitasi inisiatif yang telah dilakukan masyarakat Guguk ini,”katanya.
Hutan Adat Desa Guguk. Pengelolaannya butuh payung hukum yang jelas dari negara. Foto Kurniadi/Dok KKI Warsi.
Dari Jambi Tawarkan Hutan Adat Desa Inisasi pengelolaan sumber daya hutan berbasiskan masyarakat telah dilakukan KKI-Warsi di Sumatera Bagian Selatan. Jambi merupakan salah satu tempat berlangsungnya inisiasi tersebut. Rimbo larangan, rimbo pusako, hutan adat adalah sebagian dari contoh pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat yang ditemui di desa-desa dampingan KKI Warsi. Meski belum memiliki payung hukum yang kuat, inisiasi yang dilakukan masyarakat ini terbukti mampu mengelola sumber daya hutan secara lestari. Hanya dengan memberi masyarakat peluang, perlindungan dan dukungan. Masyarakat menerapkan konsep-konsep pengelolaan yang berbasiskan pengetahuan dan teknologi lokal. Masyarakat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin dan Batu Kerbau Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo, merupakan contoh yang melakukan pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Masyarakat Desa Guguk memperjuangkan kawasan Bukit Tapanggang untuk dijadikan hutan adat desa, setelah sebelumnya kawasan ini ditetapkan menjadi areal konsensi PT Injabsin. Dengan
menggunakan dalil-dalil adat, lengkap dengan bukti yang dimiliki, perjuangan panjang masyarakat Guguk membuahkan hasil, dengan diakui dan ”dikembalikannya” kawasan Bukit Tapanggang kepada masyarakat Desa Guguk. Kawasan Bukit Tapanggang, merupakan wilayah adat Marga Pembarap yang merupakan moyang masyarakat Desa Guguk. Meski kini keturunan Marga Pembarab tidak hanya mendiami Desa Guguk, tetapi juga menempati 3 desa lainnya disekitar Desa Guguk. Terpecahnya Marga Pembarab ke beberapa desa ini, tidak terlepas dari hadirnya Undangundang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa, yang menyeragamkan sistem pemerintahan terendah menjadi pemerintahan desa. Kenyataan inilah yang menyebabkan kesatuan wilayah adat Marga Pembarap terbagi ke beberapa desa. Namun demikian, keturunan Marga Pembarap yang tinggal di Desa Guguk, telah berhasil mengklaim wilayah adat Marga Pembarap yang dicaplok oleh PT Injabsin. Kawasan ini
Demikian juga, menurut Pandong terkait dengan hutan adat Desa Batu Kerbau. Hutan adat desa ini lahir dengan beberapa instrumen hukum, antara lain: Piagam Kesepakatan Masyarakat Desa Batu Kerbau untuk Pengelolaan Sumber daya Alam pada tanggal 24 April 2000, Surat Keputusan Kepala Desa Batu Kerbau Nomor 47/BK/2000 Tentang Pengangkatan Kelompok Pengelolal Sumber Daya Alam Desa Batu Kerbau Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo Propinsi Jambi dan Keputusan Bupati Nomor 1249 Tahun 2002 Tentang Pengkuhan Hutan Adat Desa Batu Kerbau Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo pada tanggal 16 juli 2002, pada tahun 2006 telah ada Peraturan Daerah Kabupaten Bungo Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo. ”Hadirnya Peraturan Daerah tersebut, mempunyai semangat untuk membentuk hutan adat yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, jadi hutan adat Desa Batu Kerbau di tinjau dengan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, tinggal pengajuan kepada Mentri untuk ditetapkan sebagai hutan adat,”kata Pandong yang melakukan analisis terkait dengan keberadaan hutan adat di Jambi.
mengumpulkan dokumen-dokumen yang terkait dengan syarat-syarat pengajuan hutan adat desa kepada Menteri Kehutanan Republik Indonesia. ”Perlu melanjutkan proses legalisasi hutan adat desa ketingkat Menteri Kehutanan, hal ini bisa dijadikan pembelajaran dalam pengembangan program kehutanan di tingkat pemerintah daerah, dan juga memberikan legal action kepada masyarakat,”kata Pandong. Namun sayangnya, syarat-syarat pengajuan hutan adat, belum ada Peraturan Pemerintah nya, jika dilihat dari Rancangan Peraturan Pemerintah tentang hutan adat, ada beberapa persoalan yang akan muncul. ” Pemerintahan daerah manakah yang mengusulkan kepada Menteri Kehutanan? Pemerintahan propinsi, atau kabupaten, ini belum ada kejelasannya,”sebut Pandong. Syarat lainnya di RPP tersebut juga disebutkan sistem pengajuan pengukuhan masyarakat adat ditentukan oleh hasil penelitian orang luar. ”Ini agak janggal, harusnya berasal dari usulan masyarakat adat itu sendiri. Jika aturan itu yang dipakai, tidak sesuai dengan penghormatan terhadap hakhak masyarakat adat,”sebut Pandong. Untuk itulah kemudian, perlu adanya payung hukum yang bisa mengakomodir langkah pengelolaan seperti yang dilakukan di dua daerah ini. ”Kita mengharapkan, ke depan model pengelolaan ini di konstruksikan dengan nama Hutan Adat Desa. Adat sebagai pengakuan wilayah hutan masyarakat adat, dan pemerintahan desa sebagai unsur yang melakukan pengelolaannya, sehingga ada sinergisitas antara unsur adat dan unsur pemerintahan desa, sebagaimana pada kedua hutan adat tersebut”sebutnya. Dengan pengakuan seperti ini, menurut Pandong, aspirasi masyarakat akan terakomodir dan juga tidak menimbulkan kebingungan. Semoga harapan dan masukan ini, terakomodor di dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang hutan adat yang mungkin akan segera disahkan oleh pemerintah. Hal ini akan menjadi penting, mengingat kondisi hutan Indonesia yang kini telah semakin memprihatinkan, maka bentuk-bentuk pengelolaan yang mengarah pada kelestarian layak mendapat dukungan dari pemerintah dan dilindungi dalam payung hukum yang responsif terhadap realitas sosial. (AS)
Lebih lanjut kata Pandong, saat ini terbentang luas peluang bagi hutan adat Desa Batu Kerbau untuk pengukuhannya yang sesuai peraturan perundang-undangan, tinggal Foto Dok KKI Warsi.
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
31
32
matahati
matahati
oleh Sukmareni, Asisten Komunikasi,
[email protected]
Diselenggarakannya kegiatan ini di pusat perbelanjaan, tujuannya adalah untuk menyentuh berbagai kalangan dari ibu-ibu, anak muda sampai mereka yang memang sudah konsen dengan persoalan lingkungan. Harapannya pemahaman dan kesadaran tentang kondisi lingkungan saat ini bisa menggugah banyak orang. Sehingga peringatan hari lingkungan hidup sedunia dapat menjadi momentum untuk merubah prilaku menjadi lebih ramah lingkungan. Selain itu juga diharapkan muncul langkah-langkah penyelamatan lingkungan.
Pengunjung tengah melihat pameran foto dan pentas seni yang digear dalam rangka hari lingkungan hidup. Foto Dok KKI Warsi.
Dengan mengambil tema Dari Masyarakat Lokal Untuk Iklim Global, acara yang berlangsung selama tiga hari ini juga diharapkan akan mampu menggalang dukungan terhadap upaya-upaya yang telah dilakukan masyarakat disekitar hutan untuk menyelamatkan hutan dan menjaga kelestariannya. Apalagi belakangan bahaya lingkungan akibat perubahan iklim telah menjadi pembicaraan dan menghadirkan berbagai prediksi ahli terkait kelangsungan hidup manusia. Perubahan iklim akibat prilaku yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan bakar fosil dan juga penggundulan hutan berakibat pada meningkatnya emisi karbon dioksida di atmosfir. Dalam jangka panjang, akan menimbulkan perubahan iklim global. Apa yang bisa kita lakukan untuk mengurangi berbagai dampak tersebut? Misalnya mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, menanam pohon yang akan menjadi pereduksi karbon dan tidak menggunakan benda-benda yang mengandung senyawa perusak ozon seperti CFC dan Freon.
Momentum Ubah Prilaku Ramah Lingkungan
oleh Sukmareni, Asisten Komunikasi,
[email protected]
To Yth Warsi dan Pinang Sebatang & Peserta lainnya Masih adakah maaf untuk saya Gimana caranya saya menebus dosa saya Tolong tunjukkan jalannya Karena saya termasuk perusak lingkungan Saya bekerja di sawmill dan kebun sawit Selama 18 tahun. Maafkan saya Woi wak Cubolah belajar melestarikan alam kito Biar ndak banjir wak Bait-bait tulisan diatas tertera diantara beragam tulisan lainnya pada kain putih yang sengaja dibentangkan di salah satu sudut Hall Wiltop Trade Center (WTC) Batang Hari salah satu pusat perbelanjaan modren di Kota Jambi--. Kain putih dibentang untuk mengetahui dan menyalurkan unekunek pengunjung tentang kondisi lingkungan yang terjadi saat ini. Ditampungnya tulisan-tulisan itu merupakan salah satu bentuk interaksi dengan pengunjung pada acara Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, yang digelar
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
Melalui kegiatan pameran foto yang memamerkan berbagai kondisi sumber daya hutan saat ini, juga tentang kegiatan yang telah dilakukan, dapat menggugah perhatian masyarakat tentang problematikan kerusakan iklim dan bahaya lingkungan yang kini mengancam bumi tempat tinggal kita. Kerusakan lingkungan saat ini sudah parah, dampaknya juga sudah terasa. Banjir, kekeringan, hingga perubahan iklim. Sudah saatnya kita juga mulai berbuat untuk menyelematkan lingkungan kita. Muncul kesadaran dan kepedulian sedari dini menjadi salah satu alasan digelarnya acara ini. Itu pula yang menyebabkan ditampilkannya anak-anak muda, baik mahasiswa, siswa SMU ataupun kelompok muda lainnya. Tujuannya supaya kepedulian anak-anak muda yang akan menjadi penerus bangsa memahami dengan kondisi yang berlangsung saat ini dan ikut mengambil peran. Maka, tak heran juga ketika tengah berjingrak-jingkak membawakan lirik lagu yang cukup heboh juga terselip pesan-pesan sponsor seperti selamatkan hutan kita, buanglah sampah pada tempatnya dan himbauan lainnya. Para Finalis Pemilihan Putri Indonesia (PPI) Jambi yang tengah melakukan anjang sana ke WTC Batang hari juga di daulat untuk menyinggahi stan pameran serta menuliskan pendapat issu lingkungan yang terjadi saat ini. Selain itu, pada acara ini pengunjung juga digali pengetahuannya tentang kondisi lingkungan saat ini, melalui kuisioner yang disediakan di stan-stan***. (AS)
dalam bentuk acara pameran foto dan pentas seni. Acara ini digelar KKI Warsi bekerjasama dengan Burung Indonesia, EC FLEGT SP dan Pinang Sebatang di WTC Batanghari.
Mereka Tercerabut dari Akarnya
Pada kain putih yang dibentang selama tiga hari itu, penuh dengan keluh kesah juga kegeraman masyarakat kepada pelaku pengrusak lingkungan dan bencana yang datang susul menyusul. Kata yang paling banyak muncul di kain putih sepanjang sekitar 100 meter itu adalah adalah himbauan untuk menyetop illegal logging dan menghentikan perbuatan yang merusak lingkungan.
Kehadiran pengemis sudah menjadi bagian dalam kehidupan kota. Tidak ketinggalan Kota Jambi. Namun bagaimana kalau diantara yang para pengemis itu adalah Orang Rimba. Komunitas yang sebelumnya hidup di pedalaman belantara Jambi. Kehadiran para pengemis dari komunitas Orang Rimba, tentu mengundang tanya apa gerangan yang terjadi dengan mereka sehingga komunitas yang sebelumnya menggantungkan hidup dari sumber daya hutan ini, harus turun ke kota dan menjadi pengemis?
Menggelar Peringatan hari Lingkungan Hidup Sedunia di mall merupakan hal baru bagi Warsi. Sedikit tampil beda. Kalau sebelumnya untuk peringatan segala sesuatu yang berkaitan dengan lingkungan hidup lebih cendrung dilakukan dalam bentuk workshop atau sejenisnya. Kalaupun pameran biasanya juga di gelar pada tempat dengan pengunjung yang relatif sejenis, seperti kalangan NGO dan para pemerhati lingkungan hidup serta instansi terkait.
Jika ditelusuri ke belakang, Orang Rimba atau yang lazim disebut masyarakat umum sebagai Orang Kubu atau suku anak dalam, sejak awal tahun 1990-an telah mulai menjadi pengemis. Pada tahun-tahun itu, Orang Rimba dengan mudah dapat ditemui disepanjang jalan lintas Sumatera, dari daerah Bungo hingga ke Sarolangun. Mereka meminta sumbangan ala kadarnya kepada para pengendara yang melintansi jalan ini. Beralihnya pola kehidupan Orang Rimba menjadi pengemis, berawal ketika gencarnya pembukaan
hutan menjadi lahan perkebunan dan trasmigrasi di daerah yang menjadi tempat mobilitas komunitas ini. Pembukaan hutan skala besar ini, telah menyebabkan Orang Rimba kehilangan sumber penghidupan mereka. Orang Rimba, menggantungkan hidupnya dari berburu dan memanfaatkan hasil hutan seperti buah-buahan dan umbiumbian yang tumbuh di hutan. Seiring dengan pembukaan lahan skala besar, hewan buruan juga berkurang, buah dan umbi-umbian juga hilang. Tidak hanya itu, seiring datangnya pemilik baru kawasan itu, apakah pengusaha perkebunan dan penduduk trasmigrasi, keberadaan Orang Rimba di wilayah itu juga akan terancam. Posisi Orang Rimba yang lemah, dan cendrung terbelakang kerap dijadikan alasan untuk mengusur mereka dari tanah ulayat mereka yang telah ditempati secara turun-temurun. Inilah yang kemudian menyeret Orang Rimba untuk menjadi peminta-minta di jalanan.
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
33
34
matahati
oleh Rakhmat Hidayat, Direktur Eksekutif,
[email protected]
wawancara
Hutan Untuk Kesejahteraan Rakyat dan Sumbangan Indonesia Untuk Iklim Global Pengelolaan kawasan hutan di Indonesia yang telah dilakukan selama ini harus diakui belum mampu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar dan dalam hutan. Lebih dari 40 juta jiwa masyarakat Indonesia yang hidup di sekitar dan dalam hutan, 10,2 juta jiwa diantaranya masih terkategori masyarakat miskin. Pada sisi lain, pengelolaan kawasan yang dilakukan juga belum berbuat banyak untuk mempertahankan fungsi kawasan hutan. Pengelolaan yang dilakukan justru menghasilkan degradasi hutan sehingga pengelolaan hutan yang lestari hanya menjadi slogan belaka. Belakangan pemerintah mengeluarkan PP No 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan. Keluarnya PP ini bisa dimaknai sebagai salah satu langkah untuk mendorong pengelolaan kawasan hutan yang didasari rasa keadilan dan berkelanjutan fungsi hutan. Pada kesempatan ini, Alam Sumatera berkesempatan melakukan wawancara khusus dengan Ir Made Subadia Gel Gel, Staf Ahli Menteri Kehutanan RI Bidang Kelembagaan. Berikut petikan wawancaranya:
Keceriaan anak-anak rimba di TNBD, haruskan mereka tercerabut dari akarnya. Foto: Lander Rana Jaya/Dok KKI Warsi.
Saat ini, konsentrasi terbesar Orang Rimba saat ini berada di Kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas Jambi. Dahulu, kawasan ini disebut Cagar Biosfir Bukit Dua belas, KKI Warsi bersama para pihak yang peduli dengan kehidupan Orang Rimba memperjuangkan perlindungan dan perluasan areal kehidupan Orang Rimba. Perjuangan ini direspon pemerintah dengan keluarnya SK Menteri Kehutanan pada tahun 2000 yang mengukuhkan kawasan seluas 60.500 hektar menjadi Taman Nasional Bukit Dua Belas yang diperuntukkan bagi perlindungan hidup dan penghidupan Orang Rimba. Di kawasan ini berdasarkan survey 2004 yang dilakukan KKI Warsi ditemukan 15 kelompok besar Orang Rimba dengan anggota mencapai 1500 jiwa, yang hingga kini kukuh mempertahankan budaya dan tradisi mereka. Selain dari yang masih hidup nomaden di rimba, ada juga orang rimba yang sudah memilih untuk menetap dan berbaur dengan orang desa. Sebagian diantara mereka sukses dalam beradaptasi dan dapat hidup layak. Namun tidak sedikit juga yang akhirnya belum siap dan hidup dalam serba kekurangan. Ada beberapa hal yang menyebabkannya, diantaranya kultur Orang Rimba yang masih belum terbiasa untuk bercocok tanam layaknya orang desa lainnya. Akibatnya orang rimba kembali mengalami kesulitan untuk melanjutkan hidup. Untuk kembali ke dalam rimba, juga
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
sudah tidak memungkinkan, sebab tradisi Orang Rimba begitu menyatakan diri keluar dari rimba dan bermukin, maka bagi kelompok Orang Rimba lainnya, mereka sudah tercampak dari adat. Mungkin inilah yang kemudian membuat mereka memilih menjadi pengemis jalanan. Seperti belakangan mereka juga menelusuri jalan-jalan Kota Jambi untuk mengharap belas kasihan orang lain, suatu tempat yang pada dasarnya sangat jauh bagi ukuran Orang Rimba. Menurut keterangan beberapa warga yang sempat melihat Orang Rimba menjadi pengemis, untuk mencapai Kota Jambi, Orang Rimba memilih tinggal di semak belukar seputaran Kampus IAIN STS di Mandalo Muaro Jambi. Mereka mengaku berasal dari Bukit Dua Belas, dan sudah menggunakan nama-nama melayu Jambi. Ini menunjukkan kemungkinan mereka adalah Orang Rimba yang sudah bermukim. Namun keberadaan mereka di lokasi ini juga sering berpindah tempat, karena sering diusir warga. Beredarnya Orang Rimba menjadi pengemis sudah selayaknya menjadi perhatian banyak pihak. Di negeri yang sudah 62 tahun meredeka ini, masih ada warganya yang hidup dalam ketidakpastian. Harus ada solusi untuk komunitas marginal ini. (AS)
Ir Made Subadia Gel Gel. Foto Dok KKI Warsi.
AS
: Apa sebenarnya yang melatarbelakangi keluarnya PP No 6 ini?
Made
: PP Nomor 6 ini dirancang setelah melibat proses pembangunan kehutanan yang berjalan selama ini dianggap belum cukup baik. Indikasi yang muncul seperti investasi tidak tumbuh seperti yang diharapkan. Yang kedua partisipasi para pihak khususnya masyarakat juga belum banyak. diberikan. Disamping itu beberapa ketentuan dalam UU 41 yang dianggap cukup vital juga belum diatur dengan baik dengan peraturan-peraturan sebelumnya. Contoh tentang KPH (Kesatuan Pemangku Hutan), dalam Undang-undang 41 (UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, red) telah dibuka (tentang KPH, red), namun dalam PP 44 (tahun 2004) tentang Perencanaan Hutan, tapi di sana pun tidak jelas wujudnya, tidak jelas pengelolaannya.
AS
: Untuk saat ini harus diakui bahwa masyarakat yang hidup disekitar dan dalam hutan masih banyak yang berkategori masyarakat miskin. Apakah dengan keluarnya PP ini dapat menjawab persoalanpersoalan ini?
Made
: Ya, salah satu yang kita lihat partispasi para pihak khususnya masyarakat belum mendapat perhatian yang cukup. Sehingga dalam PP ini salah satu prinsip yang menjadi landasan adalah pengaturan keberpihakan pada rakyat itu sendiri. Jadi pro poor bahasa kita itu, bagaimana masyarakat dilibatkan lebih banyak. Kita bicara bagaimana cara memperkuat masyarakat melalui perluasan akses pada masyarakat, disamping itu secara normatif peningkatan kapaistas dan akses kepada kawasan di perluas.
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
35
36
wawancara
AS
: Bentuk kongkritnya kira-kira seperti apa?
Made
: Masyarakat diberi akses menjadi pengusaha hutan tanaman melalui mekanisme hutan tanaman rakyat. Selain itu masyarakat diberi akses untuk mengelola hutan melalui mekanisme hak pengelolaan hutan desa, dan bisa juga diberi akses bersama pemerintah membangun hutan melalui kerjasama yang disebut dengan hutan kemasyarakatan. Kemudian masyarakat diberi peluang bersama pemegang izin untuk melakukan proses-proses kemitraan. Setiap pengusaha besar pemegang izin hutan tamanan wajib mengalokasikan arealnya sebesar 5 persen untuk kegiatan yang behubungan dengan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat.
AS
Made
wawancara
AS
Made
: PP ini mengatur pengelolaan kawasan hutan yang diserahkan ke masyarakat, yang salah satunya untuk mengelola kawasan hutan yang berstatus open akses pasca izin usaha. Apakah pemberian hak ini, akan menyebabkan menjadi modus baru untuk dikonversi ke lahan perkebunan sawit atau lainnya? : Dalam mekanisme peraturan pemerintah itu hanya mengizinkan pembangunan hutan tanaman campuran. Tidak ada mekanisme untuk dikonversi, karena kita sudah sepakat tidak ada konversi lahan untuk kegiatan non kehutanan di luar yang sekarang sudah diputuskan. Kalau kita bisa mendesain secara baik strategi perencanaan, karena semua kunci kegiatan ini dimulai dari perencanaan, mudahmudahan ke depan pelaksannnya juga baik. Memang ada prinsip kehatihatian. Mulai dari penetapan areal terpaksa harus dilakukan di Jakarta yang ditetapkan oleh Mentri kehutanan. Apa boleh buat terpaksa masih seperti itu, namun ini juga sesuai dengan UU yang memberi kewajiban kepada pemerintah untuk melakukan itu. Dengan penetapan lokasi, kemudian ada KPH yang akan membuat rencana pengelolaan areal itu untuk apa saja. Rencana pengelolaan jangka panjang yang dibuat KPH disahkan oleh menteri kehutanan. Dengan demikian otomatis tidak ada untuk konversi kebun, tidak dimungkinkan. Yang boleh hanya tanaman campuran dan percampurnya itu juga hanya untuk jenis tanaman berkayu, seperti pohon durian dan sebagainya.
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
bangkit kesadaran mereka untuk jadi pengusaha yang benar.
: Dalam pengelolaan kawasan hutan yang telah dilakukan selama ini kerap memunculkan konflik antara masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan dengan para pemegang izin yang diberikan. Apakah dengan PP ini menjadi resolusi konflik. dan memberikan solusi yang terbaik untuk pengakuan hak-hak masyarakat? : Diharapkan seperti itu, karena ada semacam aturan-aturan yang disarankan mereka melakukan kegiatan kemitraan. Kemitrann diharapkan salah satu jalan keluar. Kalau kemarin (era sebelumnya, red) pemegang izin serba salah dengan masyarakat. Diajak kerja nanti seolah legalisir perambah karena mereka tidak jelas lokasi yang mana, kalau tidak diajak mereka defakto sudah disana. Sekarang diberi peluang, masyarakat silahkan dirangkul dalam bentuk kemitraan. Arealnya 5 persen dari seluruh total konsensi yang mereka miliki. Supaya bentuk kerjasama ini berhasil, yang namanya bermitra tentu harus dibicarakan apa yang mau dibangun, dan tentu jangan sampai kehilangan tujuan utama membangun hutan tanaman. Silahkan lakukan itu disamping peluang-peluang lain. Kepada masyarakat dari pada menyerobot kenapa tidak masuk lewat pintu resmi sebagai pengusaha apakah HTR, apakah HKm apakah hutan desa. Mudah-mudahan dengan demikian kebutuhan masyarakat akan lahan terpenuhi, upaya pelestarian hutan akan berjalan lebih bagus karena partsispasi para pihak ada di dalamnya.
AS
: Bagaimana mengantisipasi pihak-pihak lain seperti pengusaha yang kerap bersembunyi dibalik masyarakat untuk melakukan pengelolaan hutan yang berujung pada penebangan di dalam kawasan hutan dan menjadi pelaku illegal longging?
Made
: Memang bisa terjadi. Oleh karena itu setiap proses pemberian izin kepada masyarakat izin tersebut harus dipegang masyarakat. Selain itu juga harus dimulai dengan upaya-upaya fasilitasi penguatan kelembagaan. Fasilitasi ini diharapkan tentu disamping mereka punya akses terhadap kawasan, masyarakat juga memahami pengelolaan hutan lestari. Selain itu juga diharapkan tumbuh kesadaran dimasyarakat bahwa upaya ilegal logging dan segala bentuknya itu, bukanlah upaya yang baik. Dengan fasilitasi yang dilakukan diharapkan
Kedua tentu nanti setelah ada KPH tugas-tugas pembinaan ini diharapkan lebih intensif. Jadi petak perpetak, kejadian perkejadian para KPH mengetahui. Sehingga upaya-upaya untuk keluar dari jalur yang telah disepakati ini sejak dini bisa dicegah. Disamping dalam kontrak perjanjian yang dilakukan juga dimuat hal-hal yang dilarang. Jika mereka melanggar akan ada tindakan hukum yang diberikan. Jika dilihat kepada ketentuan izin diberikan kepada lembaga yang memiliki badan hukum. Sehingga kalau terpaksa harus ada konflik dan dibawa ke pengadilan dikoordinasikan. Kalau terpaksa apa boleh buat, ini terpaksa dilakukan untuk memberikan efek jera.
AS
Made
: Salah satu persoalan kehutanan yang terjadi saat ini adalah kekurangan pasokan kayu untuk industri kehutanan, salah satu penyebabnya adalah realisasi pembangunan HTI yang lambat. Sumber kayu untuk industri kehutanan sebagian besar masih berasal dari hutan alam. Apakah dengan PP ini, persoalan ini mampu untuk diatasi? : Saya kira ia, sebenarnya PP sebagai bentuk program revitalisasi sektor kehutanan. Disana yang disepakati untuk mempercepat pembangunan hutan tanaman untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku. Dengan dibukanya peluang kepada masyarakat untuk menjadi pengusaha hutan tanaman dalam skala kecil kita yakin pembangunan hutan tanaman akan hidup lagi. Disamping kita membuka peluang dengan hutan rakyat yang kini sudah berkembang dan tumbuh dimasyarakat, dan itu sudah dilakukan. Tentu kemudian kita perlu mengatur lebih lanjut mengenai insentif yang diberikan kepada rakyat yang mengusahakan hutan tanaman, perizinan dan pengangkutan dipermudah. Yang lain ketentuan harga dasar ditentukan pemerintah, dengan ditetapkannya harga dasar diharapkan harga kayu baik yang berasal dari hutan tanaman rakyat dan hutan milik, harganya akan cukup prospektif, tidak otomatis diikuti pasar lokal. Karena disitu jika harganya tidak dipenuhi, pasar tidak membeli, pemerintah bisa saja membuka kran eskport, dijual keluar kalau lokal tidak memenuhi harga pasar. Kita tahu kebutuhan bahan baku dunia sedang tinggi tingginya, jadi
peluang ada, tidak tertutup kemungkiann pasar lokal tidak mampu menyerap kayu karena harga dasarnya dianggap tidak memenuhi. Tentu dalam penetapan harga dasar ini pemerintah, tidak semerta merta, tentu berdasarkan kajian-kajian dan juga hal-hal lain yang layak.
AS
: Kehadiran PP No 6 yang mengatur salah satunya tentang HTR cukup mengejutkan. Karena HTR sebelumnya jarang dibicarakan dibandingkan dengan hutan adat. Tapi belakangan Hutan adat makin terlambat. Padahal di luar Jawa, banyak sekali kawasan yang diklaim sebagai kawasan adat dan hingga kini belum mendapat legalitas dari pemerintah. Di banyak tempat seperti Jambi masyarakat adat telah melakukan pengelolaan kawasan hutan yang lestari. Kemungkinan apa bentuk legalitas yang dapat diberikan pemerintah, dan kemungkinanya sisi mana di PP 6 ini yang memungkinkan terakomodirnya hutan adat ini.
Made
: Kalau memakai istilah adat, hutan adat maka kita akan berbicara hak-hak hukum adat. Kalau bicara hak hukum adat maka mau tidak mau kita harus mengikuti peraturan perundangan yang menyatakan pengakuan terhadap hukum adat, itu benar diakui pemerintah tapi syaratnya harus terpenuhi. Ada tiga syarat utama yang harus dipenuhi dan ini mau tidak mau harus diatur dengan produk hukum tersendiri. Sehingga pemerintah sangat berkeinginan segera ada RPP Hutan adat. Tapi kalau memang payung hukumnya masih sama UU Agraria, UU 5 tahun 1971, UU 41 tentu persyaratan hukum adat akan tetap seperti itu, selama tidak ada yang mereformasi peraturan perundangan hukum agrarinya. Artinya seperti apapun PP yang akan diatur tidak boleh menyimpang dari ketentuan hak-hak hukum adat yang telah ditetapkan di UU tersebut diatas.. Sambil ini berproses saya fikir karena harus memenuhi tiga syarat tersebut dan untuk memenuhi tiga syarat yang merupakan kesatuan itu sulit, sementara dilapangan masyarakat sudah mengelola hutan dengan baik tanpa memenuhi kriteria itu, di PP 36 maka dibuka peluang yaitu pengelolaan yang disebut mengelola hutan desa. Desa-desa yang memenuhi kriteria, baik desanya, lembaganya sudah baik dan mapan serta punya tenaga yang berkualifayet. Punya aturan desa untuk
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
37
38
wawancara pelestarian hutan diberi peluang untuk menjadi pengelola hutan desa. Hutan desa sekalipun ada batas waktunya itu kan diberikan selama 100 tahun. Nah begitu mereka mengelolanya 100 tahun, kegiatan pengelolaan dilakukan sendiri, saya fikir tidak harus seluruhnya hutan adat. Karena dikampung-kampung mencari hutan adat itu agak susah, susah maksud saya begini, misalnya dikampung-kampung ada pendatang dua atau lima orang, apakah pendatang ini tidak boleh mengelola. Saya fikir akan lebih moderen kalau disebut hutan desa. semua perangkat dan masyarakat adat yang sudah ada orang yang ada di disa itu bisa masuk dan melakukan pengelolaan hutan di desa itu.
AS
Made
wawancara AS
Made
: Belakangan Indonesia dituding sebagai sebagai Negara yang paling cepat kehilangan hutan setelah Brazil. Itu seperti apa pemerintah melihat apakah itu ada unsur politik tertentu atau memang faktanya seperti itu? : Kalau secara statistik, angka yang mereka gunakan adalah angka kerusakan tahun 1997-2000. Dephut mengakui orang sangat memperhatikan kerusakan hutan kita. Pada saat kita masuk zaman reformasi awal banyak kejadian yng kurang memperhatikan kepastian hukum pada saat itulah kerusakan hutan kita memang luar biasa. Kalau kita dianggap sebagai negara yang kehilangan hutan tropis tercepat ada benarnya kalau angka tiga tahun itu yang dipakai. Tapi dengan kegiatan-kegiatan kebelakang dimana pemerintah dan masyarakt semakin menyadari pentingnya mengurus hutan saya fikir opini itu sudah bisa kita tinggalkan. Karena lima tahun terakhir kerusakan hutan kita relatif sudah lebih baik. Dengan menjadi 1,06 juta. Itupun kalau dilihat dari areal yang tutupan vegetasi. Tapi kalau hutan dilihat sebagai fungsi ekosistem, hutan kita jauh relatif leih baik.
AS:
Berarti masyarakat kita sudah jauh lebih paham dengan kondisi hutan saat ini.
Made
: Masyarakat yang merusak hutan, sekarang mulai sadar. Kalau tahun 1997-2000 itu seolah hutan milik nenek moyangnya, boleh diapa-apakan. Seperti ada kejadian balas dendam, kalau HPH boleh kenapa saya tidak boleh. Saya boleh dong, mungkin begitu fikiran masyarakat.
AS
Made
: Indonesia juga disebut GrenPeace sebagai Negara ketiga terbesar penyumbang emisi karbon, akibat kehilangan lahan gambut yang dimilikinya. Itu berarti Indonesia juga dituding sebagai negara yang memicu terjadinya perubahan iklim global. Bagaimana menjelaskan tentang hal ini? : itu kembali ke data (statistik). Kalau kebakaran hutan dipakai untuk mengukur emisi, dengan memakai angka tahun 1997 dimana terjadi kebakaran besar di Kalimantan Timur, kalau angka ini yang dipakai, saya fakir statemen itu benar. Tapi kalau kita lihat kebakaran hutan itu sangat fluktuatif, ada peristiwa empat tahunan yang terjadi relative besar. Kalau penghasil emisi karbon itu benar, tapi kalau disebut yang terbesar ketiga itu keliru. Karena data yang digunakan tidak valid, data yang mereka gunakan 1 juta hektar terbakar pada tahun 1997 di Kaltim. Keliatannya gede sekali. Tapi kalau dilihat angka rata-rata kebakara hutan 5 tahun kebelakang areal yang terbakar tidak seluas itu. Apalagi belakangan kawasan yang terbakar bukan berada di dalam kawasan hutan, tapi kawasan yang diolah Setiap tahun mereka melakukan pengolahan lahan dengan cara membakar dan itu berulang, Sedangkan kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan, termasuk kawasan hutan gambut yang dikonservasi kondisinya hingga kini relative baik.
: Apakah dengan adanya PP no 6 ini, pengelolan kawasan hutan dapat memberikan jaminan bahwa pengelolaan akan dilakukan mengembalikan fungsi-fungsi hutan sebagai paru-paru dunia dan perlindungan ekosistem?
kegiatan itu dilakukan tanpa merusak sumber daya alam yang kita miliki
AS
: Sebagai negara yang juga masih memiliki kawasan hutan, peran apa yang bisa dimainkan Indonesia dalam konteks emisi karbon?
Made
: Saya kira kita harus berjuang di forum internasional bahwa pengurangan emisi gas kaca bisa diperankan dilakukan dengan penjagaan hutan. Selama ini orang sering bilang Indonesia sebagai negara tropis adalah paru-paru dunia, tapi dalam kenyataannya hal itu tidak dihargai. Mereka hanya menyatakan paru-paru dunia, tapi yang dihargai hanya upaya penanaman kembali. Ada asumsi yang berkembang yang dibicarakan selalu soal penyerapan gas karbon yang dimulai dengan penanaman, bukan hutan klimaks yang dianggap tidak mampu sehingga proses penanaman yang dianggap mampu menyerap karbon. Tapi barangkali mereka lupa kalau hutan dihabisi akan terjadi pelepasan karbon. Perlu penghargaan tersendiri kepada negara yang memiliki hutan tropis terhadap upaya-upaya untuk mengelola hutan, yang menjaga hutan mereka sehingga tidak ada pelepasan karbon. Ini yang harus diperjuangkan bangsa kita di dunia internasional.
AS
: Apakah dengan adanya PP No 6 ini akan memberikan kontribusi yang nyata untuk menjawab semua tudingan yang dialamatkan ke Indonesia terkait pengrusakan hutan?
Made
: Kalau secara total barangkali tidak, tapi secara parsial mungkin bisa. Karena jaminan tidak bisa diberikan secara utuh tanpa melihat faktor lainnya. Misalnya hutan rusak akibat illegal logging, illegal logging disebabkan beragam persoalan. Jika masyarakat disejakterakan mungkin illegal logging bisa ditekan. Dalam PP 6 kita bicara soal bagaimana mensejahterakan masyarakat, tapi dalam PP 6 kita tidak bicara soal penegakan hukum. Karena kalau bicara illegal logging disatu sisi kita bicara soal penegakan hukum dan disatu sisi bermain dengan masalah-masalah ekonomi kehutanan. Masalah ekonomi yang berkait kesejahteraan masyarakat kita atur disini. tapi masalah penegakan hukum tentu ada peraturan lain. Demikin juga masalah kebakaran harus ada upaya bersama mengembangkan teknologi bagaimana mengelola lahan yang baik, disamping kita sudah punya UU penyuluhan yang PP-nya belum ada. Kita harapkan peran penyuluh sebagai ujung tombak mampu menyadarkan dan menguatkan masyarakat untuk menggunakan teknologi pengolahan lahan yang baik. Kalau semua produk-produk hukum bisa dilakukan dan pengaturan system berjalan, saya percaya semua tudingan ke Indonesia (terkait pengrusakan hutan) bisa dihilangkan. Di PP 6 ini, didorong upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat sejahtera diharapkan kepeduliannya kepada lingkungan akan makin baik, karena mereka tahu disitulah mereka hidup. Kalau mereka tahu itu sumber penghidupan mereka pasti mereka pelihara dan mereka jaga. Harapannya di sana. (AS)
: Kalau diminta jaminan iya, karena PP ini dibuat menuju kesana. Tapi soal nanti implementasinya kita membutuhkan dukungan para pihak. Artinya masyarakat sama-sama mengawasi dan mengawal proses yang sudah diatur, dalam pelaksanaannya betul dilakukan. Jika semua pihak sudah menyadari posisi ini, dan sama-sama mengawal dengan baik, saya fakir ini akan tercapai. Satu hal untuk diketahui PP ini berbicara soal tata hutan dan pemanfaatan hutan, tidak berbicara soal penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan sektor lain. Ke depan ini salah satu prioritas kita adalah membuat peraturan pemerintah tentang penggunaan kawasan. Karena kebutuhan pembangunan sektor lain, ke depan akan semakin besar. Harus difasilitasi bagaimana Direktur Eksekutif KKI Warsi Rakhmat Hidayat tengah mewawancarai Ir Made Subadia Gel Gel. Foto Irfan/Dok KKI Warsi.
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
39
40
suara rimba
suara rimba
oleh Ade “Ajoe” Chandra, Asisten Pengelolaan Kawasan,
[email protected]
dapat bertemu dan membicarakan berbagai hal yang harus ditentukan/diputuskan dalam rangka pengelolaan. Tentu saja kesetaraan semua pihak yang berkolaborasi menjadi dasar terbentuknya forum ini agar keputusan yang dibuat menjadi tanggung jawab bersama. Forum ini akan menjadi sarana bagi Orang Rimba untuk mendapatkan informasi dan mengkomunikasikan berbagai hal yang berkaitan dengan pengelolaan taman nasional ke depan.
Orang Rimba dalam suatu diskusi pembahasan RPTN. Foto Lander Rana Jaya/Dok KKI Warsi.
Partisipasi Orang Rimba Dalam Pengelolaan TNBD Status Taman Nasional yang dianugerahkan kepada kawasan hutan adat Orang Rimba seluas 60.500 ha dikawasan Bukit Dua Belas Jambi, jelas membawa banyak implikasi. Dari segi perlindungan dengan status hukum sebagai taman nasional yang disandangnya, akan menjadi lebih kuat. Perlindungan ini sangat dibutuhkan Orang Rimba dalam menghadapi tekanan dari berbagai kepentingan dari luar. Di sisi lain, kawasan itu adalah kawasan adat yang menjadi tempat hidup dan berkehidupan komunitas adat Orang Rimba sejak nenek moyangnya. Dengan demikian sistem pengelolaan Taman Nasionaol berdasarkan sistem aturan zonasi taman nasional akan berimplikasi bagi Orang Rimba yang telah secara turun temurun hidup di sana. Karena itu menjadi sangat penting jika dalam Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Dua Belas (RPTNBD) juga memuat kekhususan-kekhususan menyangkut pengelolaannya, yaitu pengelolaan berbasiskan prinsipprinsip adat Orang Rimba. Orang Rimba sebagai pengelola kawasan Bukit Duabelas sejak dahulu kala, harus diposisikan sebagai pengelola utama kawasan yang sekarang ini diberikan status taman nasional. Namun demikian peran dan aspek-aspek perlindungan hukum dalam pengelolaan juga amat penting dan menjadi porsi yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Balai Taman Nasional Bukit
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
Duabelas, sebagai instansi yang ditugasi dalam melindungi kawasan. Membahas partisipasi Orang Rimba dalam mengelola taman, berarti akan membicarakan pola-pola pemanfaatan ruang dan fungsi-fungsi keruangan berdasarkan adat tradisi Orang Rimba. Kemudian bagaiamana orang rimba mengklasifikasikan ekologinya (etnoekologi) dan bentuk pemanfaatan apa saja yang dilakukan di setiap klasifikasi. Ini sama artinya mendokumentasikan tata ruang Orang Rimba sebagai dasar pengelolaan taman nasional. Ini hanya bisa dilaksanakan dengan pelibatan penuh dari komunitas Orang Rimba. Hal kedua yang dibutuhkan oleh Orang Rimba adanya pengakuan dari semua pihak bahwa mereka adalah komunitas adat yang mempunyai hak ulayat atau teritorial hidup. Pengakuan ini akan semakin baik jika ada pengakuan tertulis dalam bentuk payung hukum yang kuat. Payung hukum ini juga penting untuk dasar hukum pengelolaan bersama antara Orang Rimba dengan balai pengelola taman. Adanya kesediaan ini bisa terwujud dari keyakinan bagi Orang Rimba bahwa mereka adalah pengelola tempat hidupnya, yang diakui secara hukum. Untuk berpatisipasi Orang Rimba membutuhkan wadah atau forum, tempat berbagai pihak termasuk Orang Rimba
Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku di negara kita, taman nasional dikelola berdasarkan sistem zonasi dan adanya rencana pengelolaan (management planning) sebagai pedoman strategis pengelolaan kawasan konservasi. Rencana yang terbentuk memiliki berbagai kelemahan baik dari penggunaan aturan maupun redaksional yang menyebabkan berbagai tafsiran dan implikasi yang berlawanan. Untuk itu Warsi telah berupaya mendorong Balai TNBD untuk melakukan revisi RPTN dengan melibatkan semua pihak terutama komunitas Orang Rimba dengan lebih melihat realitas di lapangan. Secara gamblang Kepala Balai TNBD mengatakan bahwa taman dibentuk untuk kepentingan Orang Rimba sehingga mereka berhak menentukan zonasi berdasarkan keruangan dan budaya yang dimiliki oleh komuitas. Dengan adanya penentuan zonasi berdasarkan kearifan lokal tadi, maka RPTN dengan sendirinya akan terevisi. Revisi rencana pengelolaan ini dimulai dengan pembentukan tim zonasi yang terdiri dari perwakilan tiap kelompok Orang Rimba yang bekerjasama dengan balai taman nasional dan difasilitasi oleh LSM. Memang sejauh ini keberadaan tim zonasi baru terbentuk namun komitmen masing-masing pihak untuk menentukan zonasi sesuai keruangan komunitas Orang Rimba sudah tercipta. Jadi pihak BTNBD bersama Forum Orang Rimba akan melakukan survei penentuan zonasi secara bersama-sama perkelompok komunitas yang ada. Selain itu dalam mengelola taman nasional ke depan keselarasan peran dan kerjasama Orang Rimba dan BTNBD sangat dibutuhkan. Selain itu Orang Rimba juga mempunyai hak yang sama dengan warga negara yang lain, untuk mengakses semua layanan publik termasuk di dalamnya hak dasar sebagai manusia yang hidup dalam suatu negara hukum. Tentu saja ini adalah tanggung jawab pemerintah untuk memberikan pelayanan terhadap semua warganya termasuk komunitas Orang Rimba yang selama ini termanginalkan. Peran dari semua institusi atau lembaga untuk membantu memajukan dan memberdayakan komunitas sangat menentukan apakah mereka bisa mendapatkan hak, layaknya warga negara yang lain. Salah satu contohnya adalah partisipasi aktif dalam pengelolaan TNBD secara kolaboratif
Tantangan yang mendasar dalam pengelolaan kolaboratif adalah kemauan komunitas Orang Rimba pun bersama masyarakat desa penyangga (desa-desa yang berada disekitar taman, red) dan pemerintah untuk saling bekerjasama. Ada kekuatan yang saling melengkapi dan berjalan beriringan menuju perbaikan. Menggabungkan antara pengetahuan/kearifan lokal dan ilmu yang tepat sehingga dapat mewakili hak dan kewajiban bagi pengelolaan dapat berpotensi menjadi kuat. Dengan kontrol dan tanggung jawab yang seimbang serta didukung peraturan perundangan yang sesuai maka makna pengelolaan kolaboratif akan baik. Sehingga kawasan TNBD yang merupakan salah satu perwakilan ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah yang mempunyai nilai konservasi luar biasa dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, akan terlindungi dengan baik. Jika dilihat sejarah pembentukannya, TNBD bukan hanya untuk kepentingan ekologi melainkan bertujuan untuk mendukung sumber kehidupan dan penghidupan komunitas Orang Rimba. Partisipasi dan pelibatan Orang Rimba dan masyarakat desa disekitar taman merupakan suatu bentuk pengakuan dari pemerintah. Keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan tentang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, menjadi penentu berjalan baik atau tidaknya sebuah pengelolaan. Pengelolaan yang berkesinambungan harus menggunakan pengetahuan terbaik dari kearifan lokal yang relevan dari para stakeholder kunci. Tentu saja bentuk-bentuk partisipasi dari masyarakat saat ini menjadi pertanyaan kita semua seperti apa formatnya sehingga dapat mengakomodir semua kepentingan dan berdasarkan ketentuan yang berlaku. Partisipasi adalah sesuatu yang dinamis, bukan statis. Partisipasi bisa bergerak dari sekedar masyarakat diberikan informasi mengenai keputusan yang telah dibuat pihak lain merupakan bentuk partisipasi terendah, hingga pada level dimana masyarakat ambil bagian dalam proses pengambilan keputusan dan implementasinya. (AS)
Orang Rimba memberi masukan terkait pengelolaan taman. Foto Lander Rana Jaya/ Dok KKI Warsi.
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
41
42
suara rimba
suara rimba
oleh Sukmareni, Asisten Komunikasi KKI Warsi
Anak anak rimba menyampaikan keinginannya untuk kelanjutan pendidikan mereka kepada Wakil Gubernur. Foto: Asep Ayat/Dok KKI Warsi.
Merekalah yang akan menjadi guru untuk anak-anak rimba selanjutnya, sekarang terdapat 6 anak rimba yang menjadi kader, bagaimana kalau kelak mereka menikah dan kemudian tidak lagi menjadi kader? Haruskan pendidikan naka-anak rimba terhenti sampai disitu?
Wagub Jambi Antoni Z Abidin dan unsur muspida Jambi berdialog dengan Orang Rimba. Foto Asep Ayat/Dok KKI Warsi.
Mungkinkah Anak Rimba Menjadi Dokter? Rasa kagum terlontar dari mulut siswa-siswa dan guru SMP I Kota Jambi yang menghadiri acara Dialog Interaktif Pengembangan Pendidikan Alternatif yang digelar pada acara Launching Buku Kisah-kisah Anak Rimba. Buku yang berisi cerita-cerita dongeng yang dari Bukit Dua Belas Jambi yang dituliskan kembali oleh anak-anak rimba. Pada acara yang digelar bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, bertempat dipendopo Kantor Gubernur Jambi itu memang mendapat perhatian banyak pihak. Betapa tidak, anak-anak rimba dari belantara Taman Nasional Bukit Dua Belas dengan segala keterbatasan akses pendidikan mampu menulis dan kemudian dengan difasilitasi KKI Warsi menjadikannya sebuah buku yang layak untuk dibaca. Wakil Gubernur Jambi Antoni Ziedra Abidin, membubuhkan tanda tangannya pada poster cover buku sebagai penanda kalau buku itu telah diluncurkan dan kemudian Jujur salah satu anak rimba yang menulis buku itu, menyerahkan satu buku kepada'rajo godong'demikian Orang Rimba menyebut penguasa negeri. Wakil Gubernur dan unsur Muspida pun berkesempatan berdialog dengan para penulis buku dan Orang Rimba yang hadir dalam acara tersebut. Dalam Dialog itu, Wakil Gubernur menyatakan kekaguman dan kesalutannya atas kerja keras Warsi dan semangat anak-anak rimba untuk menuntut ilmu, hingga membuahkan hasil karya yang dapat dibanggakan. Dalam kesempatan itu pula Wagub
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
memberi pernyataan akan memberikan perhatian yang lebih untuk pendidikan anak-anak yang tinggal di belantara ini. Walaupun hingga kini bentuk kongkrit janji 'rajo godong ' belum juga jelas wujudnya. Tapi yang jelas, Warsi sudah hampir 10 tahun terakhir memberikan pendidikan alternatif bagi anak-anak rimba ini. Pendidikan diberikan dengan cara mengunjungi kelompokkelompok Orang Rimba di dalam taman dan kemudian selama 17 hari dalam sebulan fasilitator pendidikan akan tinggal bersama anak rimba untuk memberikan pelajaran. Dengan hanya rata-rata dua tenaga pengajar sepanjang tahun hingga kini telah tercatat 277 anak rimba yang teleh mampu baca tulis dan hitung. Ya... baru sampai pada tahap itu. Baca tulis dan hitung. Sekedar mereka melek terhadap huruf latin, paling tidak mereka tak lagi dibodohi atau ditipu karena ketidakmampuan mereka dalam mengenal huruf dan angka. Tapi kini muncul kegelisahan, haruskan pendidikan itu hanya sampai disitu saja? Bagaimana kalau suatu saat nanti ada anak rimba yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi? Mungkinkah? Atau kalau Warsi sudah tidak berkegiatan lagi di Bukit Dua Belas? Memang untuk yang ini Warsi telah mempersiapkan Orang Rimba. Sejumlah anakanak rimba yang telah 'tukang' dijadikan kader guru.
Dalam UUD 45 telah dinyatakan pendidikan merupakan hak semua anak bangsa, dengan difasilitasi negara. Namun kenyataannya hingga kini anak-anak rimba belum mendapatkannya. Dengan sistem pendidikan Indonesia yang saat ini masih mengharuskan peserta didik berkumpul di kelas yang telah ditentukan, dan kemudian mengikuti ujian dan mendapatkan ijazah sebagai buktinya. Kondisi ini jelas akan sangat sulit bagi anak-anak rimba. UU Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, memang memberikan harapan, bagi kelangsungan pendidikan anak-anak komunitas yang hingga kini masih setia dengan pakaian cawot tersebut. Dalam UU itu tercantum pada Pasal 5 ayat (3) : Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. Dan Pasal 32 ayat (2) : Pendidikan Layanan Khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi. Pasal ini jelas salah satunya ditujukan bagi anakanak komunitas Orang Rimba. Tapi bagaimana dalam penyelenggarannya, pendidikan layanan khusus itu seperti apa? Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Jambi hingga kini belum memiliki program untuk komunitas adat seperti yang dimaksud dalam UU ini. Dalam Dialog dengan Rahmad Derita Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jambi, beberapa waktu lalu, secara klise pejabat ini memang menyebutkan ada jalurnya untuk anak-anak rimba, yaitu layanan khusus. Namun bagaimana kongkritnya dan apa yang diagendakan dinasnya untuk menangani pendidikan anak-anak rimba, Rahmad Derita belum memiliki gambaran yang jelas.
Memang sikap pemerintah untuk pendidikan anak-anak rimba ini masih abu-abu, para pejabat yang menyaksikan kebolehan dan kesungguhan anak rimba dalam berlajar dan berkarya, sesaat memang menyatakan perhatian dan keinginan yang besar untuk membantu mereka, tapi kemudian janji itu entah kapan akan diwujudkan. Mungkin juga karena pendidikan layanan khusus hingga kini belum memiliki perangkat hukum yang lengkap. Pemerintah pusat hingga kini masih menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah tentang pendidikan layanan khusus. Kapan RPP ini disahkan dan kemudian diserap oleh daerah dan kemudian mewujudkannya guna memenuhi harapan anakanak rimba, masih harus bersabar menunggunya. Warsi sendiri terus melakukan pembenahan untuk pendidikan yang lebih baik bagi anak-anak rimba ini, melalui perbaikan modul-modul pendidikan alternatif yang digunakan untuk menuntun pengajaran. Harapannya pendidikan bagi anak rimba juga lebih terstruktur dan berkelanjutan, sehingga ketika suatu saat nanti pemerintah dengan program pendidikan layanan khusus-nya itu, bisa langsung tersambung dengan yang telah dirintis dan diupayakan Warsi. Derasnya arus globalisasi dan juga tingginya interaksi Orang Rimba terhadap dunia luar mau tidak mau harus diakui akan menyebabkan semakin tingginya minat dan keinginan anakanak untuk bisa menjadi tukang (pandai,red) dalam banyak hal. Suatu saat nanti mungkin saja anak-anak rimba juga ingin menjadi lokoter (dokter, red), setelah melihat banyaknya Orang Rimba yang terkena penyakit dan tidak mampu lagi disembuhkan dengan pengobatan tradisional, atau ingin menjadi camat dan sebagainya. Sementara apa yang didapat anak rimba, hanya pendidikan alternatif dan belum bersertifikasi apalagi berijazah untuk syarat menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tapi yang jelas hingga saat ini anak-anak rimba sudah cukup bangga ketika mereka sudah tukang membaca, menulis dan berhitung. (AS)
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
43
44
aktual
oleh Sukmareni, Asisten Komunikasi,
[email protected]
oleh Yul Qori, Asisten Koordinator Project EU KKI WARSI,
[email protected]
aktual
Kerusakan kawasan hutan, harus segera dipulihkan. Foto Lander Rana Jaya/Dok KKI Warsi.
Menggalang Dukungan di Hutan Harapan Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya hutan yang telah rusak, bonggol-bonggol kayu bekas tebangan, terbiar begitu saja. Pohon-pohon perdu tumbuh sesukanya. Di bagian lain, tanah merah tampak terbuka, tak ada lagi tumbuhan yang menutupinya. Ini semua mungkin cocok untuk menggambarkan kondisi hutan dataran rendah Sumatera. Buruknya lagi, meski sumber daya hutannya nyaris habis, masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan ini masih tergolong miskin. Untuk memulihkan kondisi hutan yang rusak parah ini Menteri Kehutanan pada tahun 2005 lalu telah menunjuk kawasan hutan produksi Tajau Pecah Sungai Lalan Sungai Kapas yang mencakup Propinsi Jambi dan Sumatera Selatan untuk dipulihkan. Melalui kegiatan restorasi ekosistem, yaitu kegiatan untuk memulihkan kondisi hutan yang telah rusak, hingga mencapai keseimbangan hayati. Inti kegiatannya membangun kembali hutan supaya mencapai kondisi semula dan bisa berfungsi kembali secara optimal. “Warsi di kegiatan restorasi ekosistem berperan, untuk mencari model-model pemberdayaan masyarakat di desa sekitar kawasan hutan yang akan dipulihkan ini,”kata Farid Zulfikar, Koordinator EU Project KKI WARSI. Menurut Farid, tim yang dipimpinanya akan melakukan kegiatan-kegiatan pendampingan di desa-desa yang sekitar kawasan. Ada 18 desa yang mengelilingi kawasan ini, terdapat di Jambi dan Sumatera Selatan. “Saat ini kami masih melakukan assesement untuk mengetahui dan menggali
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
informasi terkait desa-desa yang berada di sekeliling kawasan,”katanya. Selanjutnya, menurut Farid, timnya akan memfasilitasi pemahaman upaya - upaya pengelolaan sumber daya desa, membantu proses penataan batas dengan kawasan Restorasi Ekosistem secara partispatif. “Yang juga sangat penting yang akan kami lakukan adalah memperkuat kelangsungan mata pencaharian dan mengembangkan pilihan - pilihan ekonomi alternatif yang baru masyarakat desa,”katanya. Proses-proses ini juga akan diiringi dengan mmberdayakan kelembagaan - kelembagaan masyarakat, dan fasilitasi kerangka kerjasama secara kolaboratif dalam upaya - upaya pengelolaan sumber daya desa. “Tujuan kita adalah merintis strategi inovatif untuk pengawasan hutan dengan menggunakan pendekatan konsesi pelestarian dalam rangka dapat mengatasi penebangan ilegal dan rasa tidak aman dalam mata pencaharian orang-orang miskin,”katanya. Mimpi yang ingin diraih melalui kegiatan yang tahap pertama ini akan berlangsung dalam 4 tahun, adalah pelestarian dan rehabilitasi hutan-hutan tropis yang diperoleh melalui pengawasan yang adil terhadap penebangan illegal sehingga terciptalah manajemen yang berkesinambungan. “Semoga kita dapat mengatasi pengucilan sosial dan kemiskinan kronis di sekitar kawasan hutan-hutan produksi secara langsung,”sebut Farid penuh harap. Sehingga restorasi ekosistem yang merupakan hutan harapan ini dapat menjadi mendapat dukungan dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat sekitarnya. (AS)
Masyarakat Desa Sako Suban, memanfaatkan sungai untuk jalur transportasi. Foto : Dok KKI Warsi.
Suara dari Sako Suban ”Hutan tu pak, tidak perlu ditanami lagilah. Karena kondisi hutan di Sako Suban ini masih banyak pohon induknyo, jadi biakan bae biji-biji dari pohon induk tu menyebar dan tumbuh secara alami. Yang penting adalah kito jago dari kebakaran, pembukaan kebun. Contoh untuk itu tu, sudah ado disini pak, hutan Keramat Manggul. Tenggoklah disitu pohon-pohon sudah besak-besak, bahkan dozer Belando untuk menyungkur tanah buat bor minyak sudah tertutup dililit akarnyo. Itu kan bukti, kalau hutan disini tu dibiakkan bae akan hutan balek,” sebut Karnadi, tokoh masyarakat Desa Sako Suban. “Paling penting sekarang ini adolah bagaiman kondisi ekonomi masyarakat dan desa kami dapat berubah menjadi baek. Alangkah baeknyo dana-dana yang disediokan untuk menanam kembali lahan hutan yang gundul tu, digunakan untuk peningkatan ekonomi masyarakat dan desa kami, setelah itu baru kita samo-samo untuk menjago hutan.” “Selain daripada itu pak, tempat tinggal kami ini, sudah dari nenek puyang dulu kami inilah yang lebih dulu tinggal di wilayah ini, eee tapi ngapo kalau ditengok dari mata hukum, status desa kami ini masih di dalam kawasan hutan negara sedangkan status desa kami sudah sah, definitip, diakui namun belum punyo wilayah. Jadi ini harus cepat diselesaikan.”
Suara-suara ini disampaikan oleh masyaraat Desa Sako Suban pada acara sosialisasi Retorasi Ekosistem beberapa waktu lalu. Sako suban merupakan salah satu pemukiman tua yang telah berdiri sejak zaman Belanda. Pada masa itu terjadi beberapa kali perpindahan pemukiman karena wabah penyakit yang mengakibatkan banyak penduduk meninggal dunia. Pada saat ini pemukiman masyarakat Desa Sako Suban berada di sepanjang aliran Sungai Kapas dengan pola berkelompok dan terpencar. Hal ini berhubungan erat dengan sistem perladangan yang mereka lakukan yaitu menanam padi dan karet sebagai sumber perekonomian, selain mengambil hasil hutan dan berburu hewan. Dari zaman kolonial Belanda daerah ini sudah diketahui kaya akan sumber daya alam, baik berupa hutan dengan seluruh isinya maupun bahan tambang yang berada di perut bumi, seperti minyak bumi dan emas. Belanda sudah melakukan eksploitasi sumber daya alam yang ada, terutama bahan tambang minyak bumi. Pada saat ini letak lokasi pertambangan tersebut sekitar 15 sampai 17 km dari tempat pemukiman Desa Sako Suban sekarang. Luas lokasi bekas pertambangan tersebut diperkirakan lebih kurang 7 km persegi.
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
45
46
aktual Dari penuturan beberapa tokoh adat dan masyarakat setempat, waktu itu Belanda telah mendatangkan perlengkapan untuk melakukan pertambangan minyak bumi untuk membuat sumur minyak atau yang oleh masyarakat menyebutnya dengan mata bor Belanda. Hanya saja, sumur minyak itu tak pernah beroperasi dan berproduksi. Masyarakat meyakini itu disebabkan oleh banyak gangguan dari makhluk halus yang menyebabkan banyak pekerja yang mati. Setelah kejadian itu, bagi siapa saja yang datang dan memasuki hutan untuk merusak hutan atau mencari besi bekas penambangan minyak akan menemui ajalnya. Dengan kondisi ini, masyarakat menyebut lokasi hutan ini sebagai Hutan Keramat Pangkalan Manggul, dan hingga kini masyarakat masih yakin akan kekeramatan hutan itu. Setelah Kolonial Belanda berakhir, tahun 1968 mulai berdatangan koloni-koloni lainnya yang bermaksud sama untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam di Sako Suban. Banyak perusahaan yang bergerak dibidang kehutanan datang untuk mengambil kayu, mulai dari PT. Padeco sampai Inhutani V demikian pula dengan perusahaan pertambangan mulai dari PT. Asam Merah sampai yang masih menjalankan aktifitasnya pada saat ini PT. Chonoco Phillips. Ekploitasi sumber daya alam yang dilakukan secara besarbesaran ini, ternyata tidak membawa dampak yang nyata terhadap perubahan kondisi hidup masyarakat desa. Di segi sosial banyak timbul konflik antara masyarakat di dalam desa sendiri akibat dari perbedaan perlakuan yang diberikan oleh setiap perusahaan yang ada. Dari segi ekonomi masyarakat masih bergantung kepada hasil kebun karet tua, meski produktifitasnya rendah. Dari segi budaya terjadi perubahan
oleh Andy Arnold Kasie Pem Kec. Rimbo Tengah, Bungo,
[email protected]
aktual
gaya hidup masyarakat menjadi individualis. Dibidang sarana dan pra-sarana umum jauh tertinggal, banyak anak putus sekolah, tidak ada pelayanan kesehatan, sulit untuk keluar masuk desa dan lain sebagainya. Kondisi ini pada akhirnya menimbulkan sikap pesimis dan miss kepercayaan terhadap koloni yang menghampiri desa mereka. Hingga kemudian pada tahun 2004 Menteri Kehutanan mengeluarkan SK. 159/Menhut-II/ 2004 tentang Restorasi Ekosistim di kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistim merupakan upaya yang dilakukan untuk mengembalikan unsur biotik (flora dan fauna) serta unsur abiotik (tanah, iklim dan topografi) pada kawasan hutan produksi, sehingga tercapai keseimbangan hayati. Selanjutnya pada tahun 2005 keluar Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.83/MenhutII/2005 tentang penunjukan kelompok hutan Sungai Meranti Sungai Kapas di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan untuk arahan lokasi Restorasi Ekosistim di kawasan hutan produksi. Desa Sako Suban, termasuk desa yang paling dekat dan bahkan masih berada di dalam kawasan hutan yang telah ditunjuk untuk arahan Restorasi Ekosistim tersebut. Dengan kebelumtahuannya, masyarakat kembali mempertanyakan. Perusahaan apa lagi yang akan mengeksploitasi desa mereka. Dampak apalagi yang bakal diterima masyarakat. Itulah yang kemudian muncul suara-suara seperti yang tertulis diatas. Persoalan-persoalan itu hanya sebagian dari permasalahan dan keluh kesah masyarakat Desa Sako Suban. Dilihat satu sisi, masyarakat desa ini pada prinsipnya sudah memegang nilai-nilai konservatif, menjaga kelestarian hutan, walau tanpa mereka sadari. Sementara di sisi lain, kejelasan status dan peningkatan ekonomi masyarakat menjadi harapan untuk masa depan. (AS)
Kawasan hutan yang dikonversi untuk perkebunan, butuh aturan yang lebih pro lingkungan. Foto : Lander Rana Jaya/Dok KKI Warsi.
Menggagas Perda Progresif Pro Lingkungan Pelaksanaan Desentralisasi dalam bingkai Otonomi Daerah pada hakikatnya dimaksudkan untuk memberikan ruang yang lebih luas bagi daerah untuk mengaktualisasikan potensi yang dimiliki. Serta memungkinkan terjaganya karakteristikkarakteristik sosio-kultural yang ada dan berkembang di masyarakat setempat. Jelang dasawarsa pertama pelaksanaan Otonomi Daerah yang didasarkan pada UU Nomor 22 Tahun 1999 dan kemudian direvisi dengan UU Nomor 34 Tahun 2004 harus diakui bahwa mayoritas daerah gagal menjalankan Otonomi Daerah. Layaknya semangat utama yang dulu menjadi salah satu pemicu utama derasnya tuntutan reformasi atas arogansi dan kekakuan asas sentralisasi yang dipraktekkan pada masa Orde Baru.
dikemudian hari. Tak terkecuali terhadap kebijakan yang bersinggungan dengan isu-isu lingkungan. Selain itu mayoritas penyelenggara pemerintahan di daerah ternyata belum memiliki pemahaman yang komprehensif tentang bagaimana memperlakukan sumber daya alam secara bijak dalam proses pembangunan. Alam hanya semata dipandang sebagai obyek yang boleh dieksploitasi tanpa batas atas nama peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Sementara disisi lain keberadaan alam dalam pengertian yang lebih luas yaitu lingkungan semakin terdegradasi oleh aktivitasaktivitas yang tidak memperhitungkan keberlangsungan kelestarian lingkungan sebagai modal dasar pembangunan berkesinambungan.
Realitas yang tersaji justru menunjukkan kegamangan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. Melalui serangkaian langkah yang ditempuh serta kebijakan-kebijakan yang diambil tanpa memperhitungkan dampak ikutan yang mungkin bisa merebak dan menjadi masalah baru
Menggagas Perda Progresif Ditengah pesimisme yang meruyak akan kepedulian pemerintah pusat terhadap isu-isu lingkungan, dan kian terasanya dampak dari terganggunya keseimbangan
Rumah masyarakat disekitar kawasan HPH. Kehadiran perusahaan tidak memberikan kesejahteraan masyarakat. Foto :Dok KKI Warsi. Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
47
48
aktual ekosistem yang dapat dirasakan melalui perubahan iklim yang tidak menentu, bencana alam yang datang silih berganti sudah saatnya pemerintah daerah mencoba untuk mengubah paradigma pembangunan di daerahnya untuk lebih arif dan ramah terhadap lingkungan. Tentunya tidak mudah untuk langsung menyesuaikan target capaiancapaian pembangunan daerah dengan isu-isu lingkungan karena kerangka pembangunan di daerah biasanya telah terprogram dalam rencana strategi pembangunan daerah yang berlaku secara periodik. Pemerintah Daerah dapat memulai kepeduliannya dengan berusaha menciptakan produk hukum daerah berupa Peraturan Daerah (Perda) yang bersifat progresif. Perda Progresif disini, dapat didefinisikan sebagai produk hukum yang tidak semata melihat hal yang diaturnya dari sisi ketentuan yang diatur untuk dipatuhi saja tetapi juga memasukkan faktor lain yang dianggap penting sebagai konsideran bayangan (shadow considerant). Meski tidak tersurat dalam konsideran Perda akan tetapi mempengaruhi isi atau materi Perda. Artinya harus ada pertimbangan mengenai suatu objek tertentu yang bisa terkena dampak apabila dalam prakteknya terjadi penyimpangan terhadap substansi Perda misalnya mengenai masalah lingkungan yang dijadikan basis tulisan ini. Selama ini para pengusaha cenderung dianggap berselingkuh dengan penguasa atas nama penanaman investasi. Apabila belum ada regulasi yang mengatur tentang penanaman investasi di bidang dimaksud biasanya pemerintah daerah memilih jalan pintas dengan membuatkan Perda tidak melalui mekanisme yang semestinya bahkan tak jarang yang hanya melakukan copy-paste dari daerah lain. Akibatnya tentu saja tidak ada kedalaman pemahaman terhadap materi Perda cenderung rentan terhadap berbagai kemungkinan penyimpangan sebab karakteristik daerah tidak terwakili secara maksimal. Apabila daerah berkemauan untuk membuat Perda yang Progresif ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan untuk mendukungnya; Pertama, Perda yang progresif dalam hal ini progresvitasnya terarah pada isi lingkungan akan memberikan peluang kepada daerah untuk membuat Perda yang berkualitas. Hal ini disebabkan karena pembuatan Perda tidak lagi hanya merupakan tugas legislasi rutin yang akan tetapi juga melibatkan berbagai pihak dari multi disiplin untuk melakukan kajian-kajian yang komprehensif. Disini, pemerintah daerah akan menjadi inisiator untuk menggalang kepedulian publik agar urun rembuk dalam tahapan perumusan materi Perda. Keterlibatan pihak non-pemerintah daerah akan berdampak kepada tertampungnya berbagai aspirasi yang mungkin selama ini tidak terakomodasi untuk kemudian dijadikan pertimbangan dalam menyusun Perda. Kedua, Perda Progresif akan mendorong pemerintah daerah tidak semata berpikir PAD-oriented. Artinya boleh-boleh saja pola pikir, investasi datang maka PAD akan meningkat
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
oleh Sukmareni, Asisten Komunikasi,
[email protected]
aktual
Kebijakan bidang kehutanan belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Foto Dok KKI Warsi.
dianut. Tetapi melalui keberadaan Perda Progresif ini akan membuat adanya sebuah fungsi kontrol yang melekat pada pemerintah karena dalam materinya terperinci secara lengkap batasan-batasan ataupun ketentuan yang tidak boleh dilanggar dalam menjalankan investasi. Tentunya karena dikaitkan dengan isu lingkungan maka diharapkan setiap penanaman investasi terutama di sektor pertambangan akan menjadikan terjaganya kelestarian lingkungan dan terjaganya ekosistem kehidupan yang ideal sebagai syarat utama. Konsistensi dari pemerintah daerah adalah persoalan lain karena yang paling utama dari terciptanya Perda progresif ini adalah mempersempit kemungkinan pelanggaran karena dalam mekanisme pemberian berbagai jenis izin akan berpatokan pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Perda. Ketiga, Perda Progresif akan berperan dalam menciptakan stabilitas kelestarian lingkungan. Apapun teknis yang diatur oleh Perda yang bersangkutan keberadaan isu lingkungan sebagai shadow condiderant akan menempatkan isu-isu lingkungan pada urutan pertama dasar pertimbangan untuk membuat sebuah Perda. Artinya, kedepan kelestarian lingkungan akan menjadi arus utama yang mempengaruhi pengambilan kebijakan-kebijakan daerah. Memang harus diakui untuk menjadikan gagasan Perda Progresif sebagai sebuah ide yang diterima dan dijalan pemerintah daerah tidaklah mudah. Selain banyaknya kepentingan lokal yang “bermain”, konsistensi pemerintah daerah, kemampuan legal drafting dan kepedulian publik juga memegang peranan. Hanya saja kondisi lingkungan yang kian sakit dan tereduksi kualitasnya oleh kerakusan dan ambisi kita saat ini tidak bisa lagi dibiarkan. Sekarang adalah saat untuk mulai bekerja demi pelestarian lingkungan sebagai warisan yang tak ternilai untuk generasi yang akan datang. Atau kita akan terus menerima amuk alam yang tersakiti. (AS)
Anak Rimba tengah diperiksa kesehatannya oleh Dr Agung dari Korem 042 Gapu. Foto Ade Chandra/Dok KKI Warsi.
Lokoter Berbaju Loreng Obati Orang Rimba Jampi-jampi dan ramuan yang diberikan dukun kepada Galuntung, seorang perempuan rimba, masih belum mampu membuatnya terbebas dari diare. Bahkan semakin hari kondisinya semakin memburuk, seiring dengan sudah keluarnya darah sewaktu buang air besar. Melihat kondisinya yang sudah parah ini, Tumenggung Nyenong, ketua kelompok Orang Rimba di Kejasung Kecil Taman Nasional Bukit Dua Belas memutuskan untuk bersesandingon dengan Galuntung. Galuntung pun kemudian becenenggo dengan anggota kelompok lainnya. Besesandingon dan beceneggo merupakan kebiasaan orang rimba untuk mengisolasi seseorang yang kemungkinan dapat menularkan penyakit kepada anggota rombong yang lain. Namun anggota
keluarga Galuntung, tidak membiarkan nenek renta ini becenenggo sendirian, anggota keluaganya ikut menyisihkan diri dari anggota rombong yang lain. Dua minggu sudah Galuntung becenenggo, namun kesembuhan tak kujung menghampirinya. Untuk pengobatan yang lebih baik tentu sangat diharapkan oleh Galuntung dan keluarganya. Namun untuk mengakses pelayakan kesehatan publik, bagi Orang Rimba masih sangat sulit. Apalagi bagi Galuntung yang seorang perempuan. Bagi komunitas ini, perempuan masih berpantangan untuk keluar rimba dan bertemu dengan komunitas orang terang (sebutan orang rimba untuk orang diluar komunitas rimba).
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
49
50
aktual
oleh: Diki Kurniawan, Koordinator Proyek Bukit Tigapuluh,
[email protected]
aktual
Dr Agung Dari Korem 042 Gapu tengah memerikasa kesehatan Orang Rimba. Foto Ade Chandra/Dok KKI Warsi.
Hal ini juga diperkuat dengan sulitnya akses jalan bagi orang rimba ke pusat pelatanan kesehatan yang ada jauh diluar kawasan taman. Paling tidak membutuhkan waktu seharian berjalan kaki untuk mencapai puskesmas terdekat. Diantara penderitaan dan harapan untuk sembuh itulah, kunjungan tim kesehatan dari Datasemen kesehatan Korem Garuda Putih dan Dinas Kesehatan Batanghari dengan difasilitasi KKI Warsi turun ke lapangan. Tim ini memberikan pengobatan gratis kepada Orang Rimba di wilayah Kejasung Kecil, tepatnya di KM 18 TNBD. Selain pelayanan kesehatan juga diberikan penyuluhan dan pengumpulan data statistik kesehatan. Galuntung bersama 71 orang rimba lainnya langsung mendapatkan pengobatan dari tim kesehatan ini. Korem 042 GAPU menurunkan seorang dokter, 3 para medis dan seorang asisten apoteker dibawah komando Mayor M.Yamin, Staf Kasiter Korem 042 Gapu, sedangkan dari Dinas Kesehatan Batanghari menurunkan satu dokter dan 2 para medis yang berasal dari Puskesmas Sungai Rengas. Kehadiran para lokoter (sebutan orang rimba untuk dokter, red) berbaju loreng dan juga dari puskesmas ini tentu sangat berarti bagi Orang Rimba yang selama ini masih belum tersentuh pelayanan kesehatan publik, layaknya warga negara yang lain. ”Dari Orang Rimba yang memerikasakan diri, keluhan mereka yang paling banyak adalah ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas), pneumonia, penyakit kulit, malaria. Dengan keluhan yang paling sering disebut adalah domom (deman, red) ”kata Tri Arvian Fasilitator Kesehatan KKI Warsi yang mendampingi tim medis ini ke lapangan. Dari pengobatan yang digelar selama 3 hari ini, dua orang anggota rombong ini dirujuk ke Puskesmas Sungai Rengas untuk pengobatan lanjutannya. Yaitu Galuntung yang menderita komplikasi diare disentri dan pneumonia, juga
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
seorang anak yang menderita hernia scrotales, serta indikasi TB Paru. ”Kita mengharapkan akan ada pengobatan lanjutan dan perhatian yang lebih bagi Orang Rimba,”sebut Arvian. Kegiatan yang melibatkan Korem Gapu dan Dinkes Batanghari ini, merupakan salah satu langkah awal untuk mendekatkan akses kesehatan publik. Kegiatan ini berawal dari ketertarikan dan keprihatinan Komandan Korem 042 Gapu Kolonel Inf Sutrisno kepada Orang Rimba. Sutrisno tertarik dengan kehadiran anak-anak rimba pada acara hari pendidikan nasional Mei lalu di lapangan kantor gubernur Jambi. Kala itu anak-anak rimba hadir dalam rangka launching buku Kisah-kisah Anak Rimba dan dilanjutkan dengan dialog interaktif dengan wakil Gubernur dan unsur muspida Provinsi Jambi. Waktu itu Sutrisno langsung menyatakan bahwa datasemen kesehatan Korem bisa membantu pengobatan untuk orang-orang rimba. Untuk merealisasikannya, KKI Warsi sempat beberapa kali melakukan dialog lanjutan dengan jajaran Korem 042 Gapu. Sehingga didapatkan keputusan, akan dilakukan pengobatan gratis bagi kelompok Orang Rimba. Caranya tim kesehatan turun langsung ke daerah yang ditempati orang rimba. ”Kita merencakan adanya kunjungan berkala ke kelompok Orang Rimba, harapanya sekali 4 bulan, akan ada tim kesehatan yang berkunjung ke kelompok Orang Rimba di TNBD,”kata Tri Arvian. Lebih lanjut sebut Tri Arvian, kegiatan diharapkan dapat dilakukan secara berkesinambungan dan serta mendapat perhatian yang lebih spesifik lagi dari instansi terkait. ”Kegiatan ini akan mecoba menjangkau secara perlahan kelompok-kelompok Orang Rimba di TNBD untuk mendapatkan pelayanan kesehatan publik, yang selama ini sulit mereka dapatkan karena ketermarginalkanya komunitas ini,”sebutnya. (AS)
Kayu-kayu hasil tebangan liar yang berasal dari areal eks Hatma Hutani di Tanjabbar. Foto Asep Ayat Dok KKI Warsi.
Rasionalisasi TNBT Yang Tak Kunjung Jadi Kawasan Bukit Tigapuluh merupakan salah satu ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah, secara fisiografi tergolong unik karena karena menempati suatu kawasan perbukitan yang curam di tengah hamparan dataran rendah sebelah Timur Sumatra yang terpisah sama sekali dari rangkaian pegunungan Bukit Barisan. Kawasan Bukit Tigapuluh yang mempunyai nilai keragaman hayati sangat tinggi merupakan lanskap ekosistem yang relatif paling baik dan kompak di Sumatera, walaupun dewasa ini di beberapa bagian kawasan hutan telah terfragmentasi habitatnya akibat kegiatan ekploitasi yang tak terkendali. Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) yang berada di wilayah Riau dan Jambi merupakan bagian dari lanskap ekosistem tersebut. TNBT yang secara resmi ditunjuk pada tahun 1995 dan ditetapkan pada tahun 2000 mempunyai luas 144.223 hektar setelah tata batas ”temu gelang”. Namun TNBT memiliki bentuk yang tidak ideal atau tidak kompak karena menjari, sempit dan memanjang. Bentuk yang tidak rasional tersebut merupakan hasil dari sebuah kompromi karena adanya konflik kepentingan dengan perusahaan pemegang konsesi HPH saat itu. Padahal dalam perencanaan awal kawasan konservasi Bukit Tigapuluh lebih luas dari TNBT yang ada sekarang. Berdasar Perencanaan Konservasi Nasional tahun 1982 kawasan konservasi Bukit Tigapuluh diusulkan seluas lebih dari 400.000 ha, yaitu tepatnya Suaka Margasatwa Bukit Besar di wilayah Jambi seluas 197.393 ha, Cagar Alam
Seberida seluas 218.287 ha dan Hutan Buru Pranap seluas 96.302 ha di wilayah Riau. Usulan kawasan konservasi dalam dokumen perencanaan tersebut menjadi prioritas pertama didasarkan atas perhitungan nilai keragaman hayati atau nilai konservasi, nilai sosial ekonomi dan pengelolaannya. Sedangkan dalam perencanaan pengembangkan daerah transmigrasi berdasarkan analisa kesesuaian lahan dari RePPProt (Regional Physical Planning Programme for Transmigration) pada tahun 1988 merekomendasikan bahwa kawasan konservasi Bukit Tigapuluh seluas sekitar lebih dari 250.000 ha. Rekomendasi RePPProt tersebut didasarkan atas distribusi areal bertopografi sangat curam (kelerengan di atas 40%) yang sangat banyak di kawasan Bukit Tigapuluh hingga memenuhi kriteria lindung dan layak menjadi kawasan konservasi. Ini sesuai dengan hasil pemetaan kontur dan analisis kelerengan (slope) pada skala 1:10.000 hasil kerjasama WARSI dan PENAS yang menunjukkan banyak areal di sekitar lokasi memiliki kriteria lindung dengan kemiringan lereng rata-rata di atas 40 %. Berdasarkan hal tersebut di atas maka KKI WARSI melalui Konsorsium Bukit Tigapuluh mengusulkan rasionalisasi atau perluasan TNBT pada areal yang bertopografi curam dengan kelerengan di atas 40 %. Usulan itu juga telah diamanatkan dalam Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (1997 - 2021) serta dokumen Strategi dan Rencana Aksi Pengelolaan SDA Terpadu di TNBT dan Daerah Penyanggganya (2006 - 2010).
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
51
52
aktual Areal yang diusulkan untuk rasionalisasi/perluasan TNBT sebagian besar merupakan areal Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang seharusnya berfungsi lindung karena memiliki topografi curam dengan kelerengan di atas 40 %, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Jika dilihat kondisi eksisting dilapangan kondisi hutan tersebut sedang tidak dikelola swasta karena izin-nya ada yang telah berakhir, dicabut oleh Menteri Kehutanan, dan tidak aktif serta diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah. Rasionalisasi ini penting supaya TNBT mempunyai bentuk kawasan yang lebih ideal dan kompak hingga memudahkan pengelolaan dan pengawasannya. Disamping itu, areal tersebut juga merupakan daerah tangkapan air DAS Batanghari, DAS Pengabuan yang keduanya berada di Provinsi Jambi. Selain itu, juga menjadi daerah tangkapan air DAS Indragiri dan DAS Reteh di Riau. Mempertahankan hutan di daerah ini menjadi penting untuk mencegah terjadinya erosi dan banjir serta penyedia air kawasan hilir. Selain kawasan ini mengandung keragaman hayati yang cukup tinggi, areal tersebut juga sangat penting sebagai sumber daya tradisional, terutama hasil hutan non kayu dan biota obat, bagi masyarakat yang hidup di dalam dan sekitarnya, terutama bagi komunitas Orang Rimba dan suku Talang Mamak. Rasionalisasi TNBT ini akan memberikan manfaat dalam presfektif jangka panjang, tidak saja bagi masyarakat di hulu yang berinteraksi langsung dengannya tetapi juga bagi masyarakat di hilir. Masih banyak potensi alam dan lingkungan yang belum dimanfaatkan secara optimal di kawasan ini, terutama aspek jasa lingkungan seperti pengelolaan sumber daya air, pengembangan wisata alam, carbon trade karena menghasilkan udara bersih, bank plasma nutfah hutan alam, sumber biota obat dan potensi lainnya yang belum tergali dan termanfaatkan. Dukungan formal yang telah diperoleh KKI WARSI telah mengusulkan rasionalisasi/perluasan (TNBT) sejak 2001. Melalui berbagai upaya kampanye advokasi dan lobi teknis hingga saat ini baru diperoleh beberapa dukungan formal guna kelengkapan proses perubahan fungsi kawasan hutan sesuai SK Menhut Nomor: 48/Menhut-II/ 2004 juncto SK Menhut Nomor: 70/KptsII/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan dan Perubahan Status dan Fungsi Hutan. Di Provinsi Jambi, rasionalisasi/perluasan TNBT telah mendapatkan pertimbangan teknis dari Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi sejak tanggal 12 Januari 2006 (518.B/15/Dinhut/2006), kemudian menyusul Rekomendasi Gubernur Jambi (522/428/Dishut/2006) pada tanggal 23 Januari 2006, dengan total luas yang direkomendasikan untuk perluasan TNBT adalah 73.835 ha. Di tingkat kabupaten, pada tanggal 27 Februari 2006 Bupati Tebo telah memberikan dukungan Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
aktual persetujuan rasionalisasi/perluasan TNBT di wilayah Kabupaten Tebo dengan keluarnya surat bupati Nomor: 503/220/Ekonomi/2006. Dengan luas 12.000 ha yang merupakan areal eks PT Dalek Hutani Esa. Sampai saat ini sedang diupayakan untuk mendapatkan tambahan dukungan formal seluas 4.000 ha di areal eks PT Dalek Hutani Esa bagian barat. Sehingga total luas areal rasionalisasi/perluasan TNBT di wilayah Kabupaten Tebo menjadi 16.000 ha.
menambah dan membuka akses masuk ke dalam kawasan hutan yang berbatasan dengan TNBT sehingga meningkatkan tekanan atas hutan dan lahan. Padahal kegiatan mereka itu seringkali jauh dari kelayakan yang harus dipenuhi, baik layak lingkungan, ekonomi dan teknis. Di sisi otonomi daerah, pemda kabupaten umumnya mendukung hal tersebut sekedar demi peningkatan PAD, bahkan cenderung mendorong konversi hutan produksi
53
tetap jadi perkebunan atau paling tidak jadi HTI, seperti yang dicontohkan di wilayah Kabupaten Tanjabar, dimana Bupati lebih memilih memberikan rekomendasinya untuk perluasan HTI, demikian juga terhadap kegiatan usaha pertambangan di kawasan hutan produksi itu. Padahal keputusan itu merugikan masyarakat lokal karena hilangnya sumberdaya tradisional, terutama bagi komunitas suku Talang Mamak dan Orang Rimba. (AS)
Sementara itu, usulan rasionalisasi TNBT di wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat yang berada di areal eks PT Hatma Hutani sampai saat ini, belum ada rekomendasi Bupati Tanjabbar. Walau telah dilakukan beberapa kali rapat dan diskusi teknis menyangkut usulan tersebut dengan pemerintah daerah Kabupaten Tanjabar, Bupati malah lebih memilih untuk memberikan rekomendasi untuk perluasan HTI kepada PT Rimba Hutani Mas (RHM), yang merupakan salah satu anak perusahaan APP Sinar Mas Group di Jambi, selain PT Wira Karya Sakti (WKS). Padahal areal tersebut merupakan daerah tangkapan air dan hulu DAS Pengabuan yang berfungsi penting dalam pengaturan tata air di wilayah Tanjabbar. Sehingga bila tutupan hutan daerah ini menjadi terbuka atau dikonversi maka bisa dipastikan akan timbul dampak negatif, terutama banjir, longsor dan kekurangan sumber air bersih, menghilangkan keanekaragaman hayati dan sumber daya tradisional masyarakat di sekitarnya. Usulan rasionalisasi/perluasan TNBT di Propinsi Riau, baru mendapatkan pertimbangan teknis dari Dishut Propinsi Riau pada tanggal 25 Juli 2006 (No. 522.1/PR/2772) dengan perluasan areal TNBT sekitar 13.624 ha dan pengurangan areal TNBT sekitar 4.271 ha. Walaupun draft Rekomendasi Gubernur Riau telah disiapkan oleh Dishut Riau berdasarkan pertimbangan teknis itu pada tanggal 19 Februari 2007 (No. 522.1/PR/568), namun sampai sekarang Gubernur Riau belum mengeluarkan rekomendasi tersebut. Proses di Provinsi Riau berjalan lambat, rumit dan kompleks, akibat dinamika politik dan konflik kepentingan yang begitu tinggi di berbagai tingkat, mulai dari desa, kabupaten sampai propinsi. Sangat tipis harapan mendapat komitmen dan dukungan formal kabupaten maupun Provinsi Riau. Tantangan yang dihadapi Dewasa ini tekanan atas lahan dan sumber daya hutan daerah sekitar TNBT meningkat drastis akibat proyek transmigrasi, perkebunan besar, HTI, serta migrasi spontan yang didorong adanya jalan lintas timur Sumatera yang membuat nilai lahan meningkat tajam. Pendatang (migran) yang punya modal dan keterampilan juga menambah dinamika dalam kegiatan illegal logging. Ditambah dengan intervensi perusahaan pertambangan yang makin marak, baik masih izin eksplorasi maupun sudah melakukan eksploitasi di kawasan hutan sekitar TNBT. Penambahan dan pemeliharaan jaringan jalan yang mendekati kawasan TNBT,
Perambahan di areal eks PT Hatma Hutani Tanjabbar. Foto Asep Ayat Dok KKI Warsi.
Jusia Hari Abdi S Staf Pendamping Orang Rimba,
[email protected]
Kesabaran dan Kejujuran Dalam Pendampingan Catatan pendampingan Orang Rimba Bergabung dengan KKI-WARSI pada bulan Juli 2005 silam, yang terbayang adalah bekerja memantau aktifitas masyarakat disekitar hutan, karena demikian informasi yang ku baca di iklan lowongan 'tenaga antropolog untuk mendampingi masyarakat sekitar hutan'. Orientasi lapangan pertama ke Desa Lubuk Beringin, aku pergi bersama seorang teman bernama Kurniawan. Suasananya desa yang tenteram dan damai ditambah hijaunya hamparan sawah menuju tempat Lubuk Beringin, menjadikanku membayangkan bahwa beginilah daerah dampinganku nantinya setelah masa orientasi berakhir. Usai orientasi, aku ditempatkan sebagai tenaga pendamping Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Dua Belas, bersama Marhalim Siagian, aku belajar mengenal adat istiadat Orang Rimba. Awalnya canggung dan takut manakala bahasanya tidak kumengerti dan hanya pakai cawat dan serangamnya begitu 'seram'. Adat di rimba yang kudengar begitu kuat
dengan pantangan dan tabu seakan membatasi ruang gerakku. Teringat pada waktu itu aku harus menahan kencing dan tak tertahan lagi manakala disebut kalau kencing tidak boleh sembarangan dan harus berteriak atau nggenggera'on “jengon kemai, ado urang koncing..” disebut terus berulang-ulang sampai selesai buang air kecilnya. Bayangkan saja aku minder dengan suaraku sendiri yang kuanggab fals atau sumbang kalau bernyanyi apalagi untuk meneriakkan kata kata yang susah kuingat, sambil kencing pula. Bulan kedua aku di utus ke Sako Ninik Tuo kawasan di bagian utara TNBD. Pada waktu itu aku dan Rafi'i (tandem) dari jambi naik motor trail. Inilah perjalanan pertamaku naik motor trail yang awalnya kukira enak ternyata tidak. Selama perjalanan pinggang dan pantatku terasa perih. Di Sako Ninik Tuo, setelah diperkenalkan dengan seorang pemuda rimba disana bernama Lincak, aku dilepas sendiri. Lincak orangnya ramah dan suka bergaul, dia menemaniku ke Ninik Tuo. Tiba di Ninik Tuo mulai malam, waktu itu aku merasa tidak
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
Aku (Pakai baju putih) bersama Orang Rimba Rombong Terap. Foto Doni Dok KKI Warsi.JPG
nyaman karena baru saja terjadi konflik antara orang desa dengan kelompok itu dan suasananya tampak tidak bersahabat. Menjelang sampai ke lokasi aku mendengar seperti ada ritus lalu aku disuruh menunggu dan tak lama kemudian puluhan pemuda datang menghampiriku. Jantungku berdetak kencang, habislah aku malam ini buat persembahan pikirku.. ternyata dugaanku salah, mereka menyambutku dengan ramah dan bersahabat. Sejak itu aku melalui hari-hari yang menyenangkan bersama Orang Rimba. Setahun lalu (Juni 2006) aku mulai intensif pada satu rombong Terap. Tidak seperti rombong-rombong lain yang kebanyakan pemudanya sudah memakai baju dan rapi, rombong ini masih berpegang teguh pada adat. Mereka masih menggunakan cawat atau kain untuk menutupi auratnya. Awalnya aku mencoba mendekati salah seorang penghulu disana yaitu Mangku Mbalay, yang masih muda dan mudah akrab dengan siapa saja. Dari sana perkenalan itu melebar ke Menti, dan Tumenggungnya. Bergumul dengan rombong dibawah pimpinan Marituha ini banyak sekali suka dukanya. Aku teringat betapa gondoknya aku melihat anak-anak yang menemaniku sebentar-sebentar meminta roti, rokok, dan mie. Belum lagi seorang ibu tua yang tahan duduk berlama-lama di pondokku meminta obat, rokok, beras dan minyak sayur. Wah ini namanya 'pemerasan' pikirku. Bisa mati kelaparan nih pikirku. Kurang dari seminggu bekalku habis padahal aku berencana ikut mereka mencari madu selama beberapa hari di Sakolado. Sementara posisi tempatku berada ditengah hutan dan akses keluar minta ampun susahnya. Satu persatu anak yang ikut bersamaku mulai mengemis ke orang-orang lain dikelompoknya. Hasilnya beberapa orang menyumbangkan beras, lauk, dan sebungkus rokok kepadaku dan kamipun bisa makan bersama lagi. Begitu juga pada saat bermalam mencari madu. Tumenggung dan Menti menyumbangkan rokok, gula, dan daging kijang untuk bekal.
Bulan berikutnya, anak-anak yang biasa menemaniku selama berada didalam hutan kupercaya mengatur stok makanan. Terkadang apabila ada orang datang meminta beras atau mie, mereka sendiri yang melarang. Bahkan bilamana ada yang berebutan saat mengambil makanan, diam-diam ada yang melaporkannya pada Tumenggung dan Tumenggung pun memarahi mereka.
Konvensi UNFCCC di Bali 3-14 Desember 2007 diharap menghasilkan keputusan yang adil. Skema Reducing Emission from Deforestation and Degradation/REDD dari negara berkembang diharapkan mampu memberikan insentif untuk menahan laju deforestasi, guna mengurangi emisi karbon. Namun jharus disepakati dan juga ditaati oleh negara maju selaku penghasil emisi yang 80 persen menyelimuti Bumi adalah pengurangan emisi yang mereka keluarkan. Harus ada persamaan persepsi bahwa ketika mereka membayarkan sejumlah uang untuk pelaksanaan skema REDD, bukan berarti mereka berhak untuk terus mengeluarkan emisi karbon. Delegasi Indonesia dan negara lain yang mengusung REDD harus bernegosiasi agar tidak jadi obyek pelimpahan tanggungjawab pengurangan emisi, dan tidak menggadai sumber daya hutan dengan murah dalam upaya migitasi perubahan iklim melalui pengurangan emisi gas rumah kaca. semua negara harus bersama melangkah dan bersikap, agar bumi masih bisa ditempati oleh anak cucu kita. Selamat berjuang untuk keadilan global.
Laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) memperkirakan usia Bumi tinggal sekitar 70 tahun jika tidak ada usaha untuk mengurangi emisi pada kondisi saat ini. Nah lo Amerika, bertanggung jawablah Indonesia usulkan REDD pada Konfensi ke 13 COP di Bali mendatang, usul ini diyakini bakal diterima. Hanya saja, emisi karbon dari industri terus melonjak, meski degradasi hutan dihentikan. Harus seimbang dong, negara industri juga harus sadar diri Masyarakat Desa Lubuk Beringin dengan kearifan mereka menjaga kelestarian lingkungan. Bagi mereka hutan adalah daerah tangkapan air yang akan mengalir ke Sungai Batang Buat. Sungai Batang Buat adalah sumber energi pembangkit listrik mereka. Nah masyarakat desa saja sadar lingkungan, bagaimana dengan anda
Suatu hari di bulan November tahun 2006, tanpa diduga Menti Ngelembo mendatangiku dan membahas soal pendidikan baca tulis-hitung di kelompok ini. Kamipun menemui Tumenggung, yang awalnya cemas namun akhirnya merekomendasikan pendidikan untuk orang yang sudah berumah tangga saja. Sejak dulu, pendidikan memang ditentang keras oleh kaum tua-tua disana karena dianggap akan menghancurkan atau merubuh adat mereka. Akhirnya proses belajar berjalan juga, saat pertama, para isteri datang berduyun-duyun, aku kira hendak mengusirku dari Bukit Dua Belas, ternyata mereka menunggui suami mereka belajar dan memarahinya apabila sering tertawa dan tidak serius belajar. Terkadang saat suami-suami mereka belajar, isteri-isterinya sibuk memasak air dan membuatkan kopi. Senang rasanya... Kesabaran dan kejujuran dalam pendampingan ternyata tidak buruk. Kejujuran dan Kesabaran yang selama ini dianggap konyol dilakukan di perkotaan, di rimba tetap merupakan sesuatu yang baik, karena mereka juga ingin mengetahui apa yang terjadi pada kita dan bagaimana kita di perkotaan. Kadangkala mereka merasakan apa yang kita rasakan dan mereka juga sedih pada saat kita bercerita kehidupan kita yang sebenarnya, berat dan penuh beban. Jarang sekali orang yang hidup di perkotaan mendengar dan merasakan keluh kesah temannya. Demikian pula mereka terkadang menceritakan permasalahan dan kesedihan yang mereka alami. Orang Rimba... mereka begitu polos dan peduli... (AS) Ilustrasi Ismail (sebikom)
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007
Alam Sumatera edisi 2/th VI 2007