MENUJU KEMANDIRIAN PANGAN 2015-2025
Book Review Window to Indonesia’s Energy Challenges and Their Alterna ve ANSWERS
Budhi Santoso Fungsional Perencana Utama/ Tim Analisa Kebijakan Bappenas
Muhyiddin
Abstract
Planner and an Economist at National Development Planning Agency - BAPPENAS, Jakarta
P
enduduk Indonesia saat ini sekitar 251 juta dan akan terus meningkat. Jumlah total penduduk Indonesia pada 2035 diperkirakan mencapai 305,6 juta jiwa, naik signifikan sekitar 20 %. Untuk memenuhi pangan ke depan, bagi jumlah penduduk yang banyak tersebut daklah mudah dan memerlukan persiapan mulai dari sekarang. Pelaksanaan untuk mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia masih cenderung dipenuhi dengan import pangan. Tren import tersebut diperkirakan sebanyak 1.5 juta ton pada tahun 2015 sampai 2,6 juta ton pada tahun 2019. Perkiraan import tersebut berdasarkan asumsi bahwa luas lahan pertanian dak berubah dari tahun ke tahun yaitu sekitar 12,5 juta hektar. Produksi beras juga diperkirakan dak akan meningkat secara tajam tahuntahun ke depan yaitu berkisar 40,0 juta ton per tahun. Untuk mengan sipasi ledakan jumlah penduduk dengan kondisi produk fitas pangan selama ini sangat beresiko akan semakin tergantung kepada Import. Untuk itu ketahanan pangan harus disediakan secara swa sembada. Diperlukan suatu rencana peningkatan produksi pangan secara nyata dalam bentuk Roadmap sampai 2025. Sedemikian sehingga pemenuhan ketahanan pangan dak lagi tergantung dari luar negeri. Paper ini mengusulkan perluasan lahan dengan memanfaatkan lahan sub op mal yang tersedia sangat luas di Indonesia akan mendorong peningkatan produksi pangan secara signifikan. Disamping itu juga terus menerus memperbaiki kelemahan pertanian Indonesia yang terdiri dari (1). Pengelolaan/Pasca Panen yang rendah; (2). Infrastruktur (sarana & prasarana kurang); (3). Pemilikan tanah sempit; (4). Pemilikan/ akses modal dak mencukupi; (5). Tingkat pendidikan rendah; (6) Penguasaan teknologi kurang; (7). Tingkat ketrampilan rendah; (8). Sikap mental yang malas.
A
senior development planner (currently an Harvard Research Fellow) wrote two books on Indonesia’s energy issues and policies, “A Mosaic of Indonesian Energy Policy” and “Energi dalam Perencanaan Pembangunan” (Energy in Development Planning). These books are important as Indonesian energy issues are multifaceted/challenging, and as we are lacking literatures on the subject. Moreover, the books offer analyses and in a certain degree—alternative solutions to the complex energy related problems Indonesia is facing. The books cover wide range of Indonesia’s energy issues that include energy security, energy and environment, energy and economy, decentralization of energy management, deregulation of energy industry, and on specific topics of several energy types: oil, gas, electricity, etc. Written popularly, most of the topics have been published previously as conference and working papers, and even popular articles, mostly at The Jakarta Post for “A Mosaic”. Two prominent persons on Indonesia’s energy issues contributed introductory remarks for the books: Dr. Maizar Rahman (formerly Acting Secretary General for OPEC), and the late Prof. Widjajono Partowidagdo
94
|
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
KONDISI UMUM Book Title
: A Mosaic of Indonesian Energy Policy Author : Hanan Nugroho Publisher : IPB University Press, 2011 Number of pages : xiii + 198 ISBN : 978-979-493-342-8
M
enurut UU No. 18 Tahun 2012 tentang “Pangan” maka penger an ketahanan pangan adalah suatu kondisi dimana kebutuhan masyarakat akan pangan dapat dipenuhi dengan baik. Kondisi ini tewujud apabila jumlah dan mutu pangan yang tersedia cukup serta terjangkau oleh masyarakat. Meskipun demikian, penger an ini dak mengharuskan pemenuhan kebutuhan pangan tersebut
seluruhnya dari hasil panen dalam negeri. Ini berar bila dak mencukupi bisa dilakukan dengan mendatangkan dari luar negeri (import). Setelah melaksanakan berbagai upaya untuk memenuhi semua kebutuhan kebutuhan pangan dari negeri sendiri (swa sembada) ditenggarai sulit untuk dilakukan terutama kebutuhan pokok beras.
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|
3
Beberapa alasan yang disampaikan bahwa upaya untuk swa sembada beras secara terus menerus berat dilakukan adalah sebagai berikut: (1) Biaya at all cost sangat besar, misalnya dalam APBN 2013 menghabiskan dana sampai sebesar Rp. 200 triliun untuk pembangunan dan rehabilitasi jaringan irigasi, subsidi pupuk dan benih, dan lain-lain; (2) Perluasan areal lahan sawah lambat dilakukan sedangkan yang sudah ada terus mengalami konversi ke penggunaan lain; (3) Inovasi produk vitas padi sejauh ini masih belum bisa di ngkatkan melebihi rata-rata nasional. Masih berkisar antara 5-7 ton GKG/ ha; (4) Adanya pola pikir dari berbagai pihak bahwa memenuhi prinsip ketahanan pangan dak harus dipenuhi seluruhnya dari swa sembada. Selama ini swasembada beras on-trend sebesar 70-80% dan untuk memenuhi ketahanan pangan nasional maka sisanya sebesar 20-30% diimpor dari negara-negara lain.
perdagangan (export–import). Sedangkan penger an adanya akses fisik dan akses ekonomi atas pangan adalah bahwa kecukupan ketersediaan pangan di ngkat nasional (atau internasional) dak menjamin bahwa ketahanan pangan di ngkat rumah tangga terwujud. Selanjutnya pemanfaatan pangan adalah kemampuan tubuh (badan manusia) menyerap nutrisi yang ada dalam pangan secara maksimal. Kemampuan biologis tubuh manusia atas asupan nutrisi ini merupakan status nutrisi individu. Meskipun asupan nutrisi dapat dilakukan seseorang secara cukup, tetapi bisa masuk kategori food insecure kalau akses terhadap pangan terganggu. Sebagai contoh cuaca buruk, ke dakstabilan poli k, atau faktor-faktor ekonomi (pengangguran, kenaikan harga pangan/ inflasi) dapat mempengaruhi status food insecurity seseorang. Dengan demikian ketahanan pangan, menurut FAO, keempat dimensi pangan tersebut di atas harus terwujud secara simultan.
Gambar 6. Historikal Nilai Tukar Rupiah
Sumber : Bloomberg
Tabel 1. KomodiƟ Beras: Luas Lahan, Yield, Produksi (2013) Negara
Jumlah Penduduk
Bangladesh
Laju Pertumbuhan Penduduk 2013
Luas Lahan (m, ha)
Yield (t/ha)
Produksi (m t, milled basis)
154.394 (IV).
1.3
11.7 (IV).
2.9
1.354.000 (I)
0.1
30.4 (II).
4.7 (I).
142.0 (I).
India 1.261.527 (II). 0.75 Indonesia 247.188 (III). 1.0 Thailand 67.149.778 0.2 Philippines 98.113 1.7 Vietnam 90.657 1.0 Sumber: Interna onal Grains Council, 2013 and World Popula on Sta s cs, 2013
44.5 (I). 12.3 (III). 11.1 4.6 7.8
2.4 3.0 (III). 1.9 2.6 3.5 (II).
107.0 (II). 37.0 (III). 20.9 11.8 27.6 (IV).
China
Apabila untuk memenuhi ketahanan pangan sesuai dengan UU Pangan tersebut di atas berat dilakukan dengan swa sembada, maka mengacu pada ketahanan pangan FAO juga akan sulit. Menurut FAO maka ketahanan pangan adalah suatu kondisi terus menerus dimana semua masyarakat dapat memenuhi (se ap saat) baik secara fisik, sosial dan ekonomi atas kebutuhan pangannya dalam jumlah yang cukup, aman dan cukup nutrisi agar dapat berkehidupan yang ak f dan sehat wal afiat. Berdasarkan definisi FAO ini maka ada 4 (empat) dimensi ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan, akses secara ekonomi maupun fisik, penggunaan pangan dan stabilitas ke ga hal ini se ap waktu. Yang dimaksud dengan ketersediaan fisik pangan adalah dari “supply side” yang ditentukan oleh produksi pangan dalam negeri, ngkat stok yang ada serta net
4
|
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
34.2
Dengan meningkatnya jumlah penduduk maka pemenuhan ketahanan pangan baik berdasarkan UU No. 18 Tahun 2012 maupun FAO tersebut di atas akan semakin berat untuk dipenuhi. Dari 251 juta penduduk Indonesia, maka saat ini lebih dari 32 juta masih hidup di bawah garis kemiskinan dan sekitar setengah dari seluruh rumah tangga tetap berada di sekitar garis kemiskinan nasional yang ditetapkan pada Rp 200.262,- per bulan. Keberhasilan mewujudkan ketahanan pangan akan secara langsung maupun dak langsung membantu menurunkan kemiskinan di Indonesia yang masih nggi ini. Tantangan semakin berat karena menurut Badan Pusat Sta s k (BPS), jumlah total penduduk Indonesia pada 2035 diperkirakan mencapai 305,6 juta jiwa.
DAFTAR PUSTAKA Elbadawi, I. (1994). Es ma ng Long-Run Equilibrium Real Exchange Rates. John Williamson (ed.), Es ma ng Equilibrium Exchange Rates. Ins tute for Interna onal Economics, Washington D.C., 93-132. Gunawan, A. B. (2006). Laporan Akhir Equilibrium Exchange Rate : Fundamental Purchasing Power Parity dan Behavioral Equilibrium Exchange Rate. Research Fellow Project. Office of Chief Economist, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Nuryadin, D. (2006). Real Effec ve Exchange Rate Determina on in Indonesia : A Behavioral Equilibrium Exchange Rate Approach. Jurnal Ekonomi Pembangunan, Kajian Ekonomi Negara Berkembang Hal 147-158, Vol 11 No.2 Agustus 2006 Panggabean, M., Gunawan, A.B., & Dewi, M.I. (2006). Probability Pressure Misalignment Nilai Tukar. Staff Technical Report No.1 – April 2006. Office of Chief Economist, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Siregar, R. Y. (2011). The Concept of Equilibrium Exchange Rate : A Survey of Literature. The South East Asian Central Banks (SEACEN) Research and Training Centre Kuala Lumpur, Malaysia. Staff Paper No.81
Selanjutnya, untuk menghadapi tantangantantangan Indonesia ke depan, Bank Dunia (2014)
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|
93
nilai tukar akan mendorong terdepresiasinya nilai tukar aktual. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan dalam tulisan ini, maka masih terdapat potensi apresiasi nilai tukar menuju arah fundamentalnya. Namun perlu diingat bahwa secara historikal kondisi undervalued yang terjadi saat ini umumnya dialami selama 5-8 kuartal. Oleh karena itu, berbagai kebijakan untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan akan mendorong apresiasi nilai tukar yang lebih nggi. Berbagai kebijakan untuk penanganan defisit seper subs tusi bahan baku impor untuk industri ke bahan baku lokal perlu dilakukan segera sehingga ketergantungan pada bahan baku impor dapat dikurangi. Meskipun demikian, berbagai upaya untuk mendorong perbaikan kondisi nilai tukar akan mengahadapi berbagai tantangan di masa yang akan datang. Perkiraan menurunnya produksi minyak dalam negeri dan turunnya proyeksi pertumbuhan ekonomi China sebagai salah satu
mitra dagang pen ng Indonesia menjadi tantangan dalam memperbaiki defisit transaksi berjalan. Lebih lanjut, adanya prediksi naiknya suku bunga Amerika Serikat (Fed Rate) juga akan mendorong keluarnya dana asing yang tentunya akan berpengaruh pula pada kondisi nilai tukar rupiah jika Bank Indonesia dak menaikkan BI rate pada level yang kompe f. Dari sisi teknikal, perhitungan di dalam tulisan ini perlu dilengkapi dengan hasil perhtungan dengan menggunakan metode pengukuran fundamental nilai tukar yang lainnya. Hal ini akan memperkuat pemahaman mengenai variable-variable yang mempengaruhi vola litas nilai tukar karena se ap metode perhitungan memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Di samping itu, se ap metode perhitungan memiliki keunggulan tersendiri dalam menjawab isu persoalan yang terkait dengan spesifik variabel yang mempengaruhi fundamental nilai tukar.
Gambar 5. Probability Pressure of Misalignment Nilai Tukar Rupiah
Sumber : Kalkulasi Penulis
maka Indonesia harus terus melakukan reformasi struktural guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Reformasi struktural tersebut merupakan kunci dalam mengurangi kerentanan dan meningkatkan keberlanjutan pertumbuhan jangka panjang. Indonesia perlu mengatasi sejumlah tantangan, seper struktur pembiayaan, struktur produksi domes k, ketahanan energi dan ketahanan pangan. Sebagai contoh apabila konsep pemenuhan ketahanan pangan dilakukan dengan import terus menerus maka hal ini akan berdampak terhadap pengelolaan subsidi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta ketersediaan modal dasar pembangunan. Dengan melaksanakan Reformasi struktural di bidang ketahanan pangan akan memberikan masyarakat kesempatan untuk berbagi keuntungan dari kemajuan yang dicapai. Inilah kunci dari pertumbuhan untuk masa depan 1. Untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk Indonesia, maka percepatan pembangunan pertanian yang berorientasi swa sembada pangan memegang peran pen ng. Berdasarkan data BPS (2013) diketahui bahwa sektor pertanian merupakan tumpuan utama penyediaan pangan bagi penduduk Indonesia, penyedia sekitar 87% bahan baku industri kecil dan menengah, serta penyumbang 15% PDB dengan nilai devisa sekitar US $ 43 Milyar. Selain itu, Sektor Pertanian menyerap sekitar 33% tenaga kerja dan menjadi sumber utama pendapatan dari sekitar 70% rumah tangga di perdesaan. Di masa yang akan datang, seharusnya memang sektor pertanian akan tetap menjadi andalan bagi ketahanan pangan yang swa sembada. Hal ini sejalan dengan laju pertumbuhan dan untuk peningkatan kesejahteraan penduduk. Jangan menggantungkan pemenuhan ketahanan pangan dari import dalam jangka menengah maupun jangka panjang ke depan. Sebagaimana disampaikan pada Tabel 1, maka dibandingkan dengan negara yang juga konsumsi beras sebagai pangan utama, jumlah penduduk Indonesia pada urutan ke ga demikian juga luas lahan, yield dan produksinya. Untuk dapat mencapai kemandirian pangan maka yield atau produk fitas beras Indonesia harus bisa melebihi China atau Vietnam. Sebagaimana diketahui 1.
92
|
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
Berita 11 April 2014, www.Kemenkeu.go.id, “Jaga Pertumbuhan, RI Perlu Jaga Reformasi Struktural”.
bahwa kedua negara ini masing-masing mampu mandiri dalam hal pangan meski jumlahnya penduduknya sangat besar (China) dan bahkan mampu untuk ekspor beras sebagai pendapatan nasional (Vietnam). Ke depan seharusnya Indonesia dak hanya mandiri tetapi juga harus bisa ekspor pangan karena sebagaimana terihat dalam Tabel 1 tersebut lahan pertanian Indonesia cukup luas dibandingkan dengan beberapa negara lain.
PERMASALAHAN DAN SASARAN Meskipun mengalami kemajuan yang patut dicatat prestasinya, pembangunan Indonesia masih belum mencukupi2. Ketahanan pangan dan kecukupan nutrisi belum terwujud dan masih tetap merupakan permasalahan yang harus dihadapi, khususnya untuk provinsi-provinsi di wilayah Indonesia bagian mur yang mana indikatorindikator pembangunan masih menunjukkan angka yang mengkhawa rkan. Menurut World Food Program (2013) sebanyak 13 persen dari jumlah penduduk Indonesia yaitu sekitar 31 juta orang, masih hidup di bawah garis kemiskinan nasional dan hampir setengah dari populasi atau 42 persen hidup di bawah purchasing power parity US $ 2 per hari. Selanjutnya mengacu laporan dari Bank Dunia menunjukkan bahwa keberlangsungan disparitas antar daerah dalam hal pembangunan manusia dan sumber daya terutama disebabkan oleh rendahnya kemampuan teknis dan kapasitas administrasi di ngkat provinsi dan daerah ( World Food Program, 2013). Pada saat yang sama, Indonesia merupakan negara yang paling rentan terhadap bencana alam dan perubahan iklim yang mana hal ini ditenggarai sebagai ancaman utama terhadap ketahanan pangan. Indonesia terus berlanjut menghadapi dampak bencana yang besar seper gempa, tsunami dan erupsi gunung berapi. Untuk itu harus dian sipasi jika terjadi bencana, kekeringan, banjir dan longsor sehingga dampaknya dak menghambat ketahanan pangan nasional. Selanjutnya fakta juga menunjukkan bahwa program diversifikasi pangan belum op mal terlaksana karena rata2
Meskipun Indonesia masuk sebagai ranking ke 124 dari 187 negara-negara pada Human Development Index UNDP tahun 2011 namun saat ini Indonesia termasuk dalam kelompok negara – negara berpendapatan menengah (middle income country), sebagai anggota G-20, dan negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di ASEAN.
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|
5
rata penduduk Indonesia belum mendapatkan asupan energi pangan yang cukup baik dari segi kuan tas maupun dari segi keseimbangannya. Rata-rata penduduk Indonesia terlalu banyak mengkonsumsi karbohidrat dan terlalu sedikit mengkonsumsi protein. Selama ini ketersediaan energi pangan nasional dari segi kuan tasnya sudah mencukupi tetapi terlalu didominasi kelompok padipadian dan umbi-umbian. Pola diversifikasi pangan yang op mal sebenarnya dapat diperoleh dari 9 (sembilan) komoditas pangan pilihan, yaitu: Beras, Jagung, Ikan, Telur, Susu, Ubi Kayu, Ubi Jalar, Kedelai dan kacang tanah. Berdasarkan pola tersebut, ketersediaan beras, ikan, ubi kayu dan ubi jalar telah mencukupi tetapi ketersediaan jagung, telur, susu, kedelai dan kacang tanah belum mencukupi (3).
import sebanyak 1.2 juta ton kemudian yang dikonsumsi sebanyak 39.5. juta ton (4). Berdasarkan laporan Interna onal Grains Council (Desember 2013), maka Indonesia masih akan terus import beras lima tahun ke depan. Tren import tersebut adalah sebanyak 1.5 juta ton pada tahun 2015, kemudian 1,8 juta ton pada tahun 2016 serta diperkirakan 2,1 juta ton beras pada 2017. Selanjutnya diperkirakan akan import sebanyak 2,4 juta ton pada tahun 2018 dan 2,6 juta ton pada tahun 2019. Berdasarkan sumber data tersebut maka asumsi yang digunakan adalah luas area tanam yang rela f sama dari tahun ke tahun yaitu 12,3 ha; 12,4 ha; 12, 5 ha; dan 12,5 juta hektar antara tahun 2015 – 2018. Sedangkan yield yang digunakan adalah rata-
Tabel 2. Negara-negara Produsen Beras Utama Negara
Total Luas Panen GKG (Padi)-Hektar
CHINA INDIA INDONESIA BANGLADESH VIETNAM THAILAND MYANMAR JAPAN PHILIPPINES BRAZIL Sumber: h p://nipunarice.com/rice-o-pedia/major-rice-producing-na ons/
Ketahanan pangan belum dipenuhi dengan kemandirian pangan. Hal ini terbuk bahwa selama ini permasalahan kelangkaan atau kekurangan beras dalam negeri dian sipasi pemerintah dengan memperbesar stok dan/ atau mengimpor beras. Berdasarkan data dari Interna onal Grains Council (www.igc.int) Februari 2014, maka data penawaran & permintaan beras Indonesia pada tahun 2011/2012 menunjukkan bahwa stok beras Indonesia sebesar 5.7 juta ton, produksi 36.4 juta ton, import 1.7 juta ton dan yang dikonsumsi sebanyak 39.1 juta ton. Selanjutnya pada pada tahun 2012/2013 stok beras Indonesia 4.7 juta ton, produksinya adalah 36.8 juta ton, import 0.6 juta ton dan yang dikonsumsi sebanyak 39.2 juta ton. Interna onal Grains Council memprediksi bahwa untuk tahun 2013/2014 stok beras Indonesia 3.0 juta ton, produksinya adalah 37.6 juta ton, 3
6
Se awan, 2012
|
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
29,493,000 44,100,000 12,883,600 13,000,000 7,414,300 10,248,000 8,100,000 1,624,000 4,532,300 2,900,000
Produksi Gabah Kering Giling (Metrik Ton) 195,714,000 148,260,000 64,398,900 47,700,000 38,725,100 30,466,920 32,600,000 8,474,000 16,266,420 12,650,000
rata nasional sebesar 3.1 ton beras per hektar dengan perkiraan produksi berasnya adalah 38,2 juta ton; 38,5 juta ton; 38,8 juta ton; dan 39,0 juta ton (2014-2018). Berdasarkan data-data tersebut di atas diperkirakan Indonesia akan terus melakukan import beras yang jumlahnya semakin meningkat hingga tahun 2019. Hal ini semakin meperkokoh pemahaman ketahanan pangan Indonesia dipenuhi dengan import, bukan dengan kemandirian pangan. Ar nya belum terwujud kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dengan produksi dari dalam negeri sendiri. Padahal di njau secara global, sebenarnya Indonesia termasuk produsen beras utama. Sebagaimana terlihat 4
Data dari BPS menyebutkan produksi padi tahun 2013 sebesar 71,29 juta ton Gabah Kering Giling (GKG), lebih nggi dibandingkan produksi padi Indonesia pada tahun 2011 65.756.904 ton (GKG) dan tahun 2012 sebanyak 69.056.126 kg (GKG).
tahun 2013, nilai tukar mengalami kondisi undervalued dibandingkan nilai fundamentalnya. Hal ini menunjukkan bahwa pelemahan yang terjadi lebih besar dibandingkan nilai fundamentalnya sehingga nilai tukar masih memiliki potensi mengalami penguatan. Analisis ini sejalan dengan yang terjadi pada kondisi nilai tukar di kuartal pertama 2014 yang mengalami penguatan (apresiasi) yang cukup signifikan.
TEKANAN KOREKSI NILAI TUKAR Semakin besar overvalued atau undervalued nilai tukar aktual dari nilai fundamentalnya maka semakin besar kemungkinan nilai tukar aktual tersebut menuju nilai fundamentalnya. Lalu apakah kondisi undervalued pada akhir kuartal 2013 cukup besar untuk mendorong terjadinya apresiasi nilai tukar? Dengan menggunakan perhitungan sederhana, dari nilai misalignment kemudian dihitung seberapa besar probabilitas tekanan koreksi nilai tukar aktual menuju fundamentalnya. Pendekatan perhitungan dilakukan dengan metode yang digunakan oleh Panggabean,dkk (2006) dengan melakukan perhitungan probabilitas tekanan nilai tukar rupiah terhadap dolar pada kuartal 1-2008 sampai dengan kuartal 4-2005. Data yang digunakan untuk mengetahui berapa besar tekanan yang terjadi didasarkan pada data misalignment yang didapat melalui perbedaan nilai fundamental dan aktual. Nilai misalignment yang dihasilkan dalam nilai kuartalan kemudian diinterpolasi menjadi data bulanan dengan menggunakan pendekatan linear match-average. Nilai misalignment yang telah diinterpolasi kemudian dihitung nilai standarnya (z-score) dengan tabel kurva normal. Hasil perhitungan tersebut untuk analisis dalam tulisan ini dapat dilihat pada Gambar 5. Perhitungan tekanan probablitas misalignment nilai tukar rupiah dihitung dengan menggunakan confident interval 90 persen. Ke ka nilai probabilitas berada di luar confident interval 90 persen, maka akan terjadi tekanan terhadap nilai probabilitas untuk menuju area confident interval. Dengan menghubungkan analisa probabilitas tekanan nilai tukar dengan kondisi nilai tukar secara historikal, maka dapat diketahui kapan kondisi overvalued maupun undevalued dari nilai tukar. Kondisi overvalued
maupun undervalued umumnya akan diiku oleh koreksi nilai tukar (depresiasi maupun apresiasi) beberapa periode setelahnya. Gambar 6 menunjukkan kondisi nilai tukar periode Januari 2000 sampai dengan Desember 2013. Perhitungan probabilitas tekanan misalignment nilai tukar yang dilakukan sebelumnya cukup memberikan informasi nilai tukar yang mengalami tekanan overvalued dan undervalued yang cukup besar. Secara historikal, tekanan overvalued dan undervalued tersebut kemudian dikoreksi dengan terjadinya depresiasi atau apresiasi. Perhitungan probability pressure of misalignment dapat digunakan sebagai analisis untuk melengkapi analisis historikal sebelumnya yang menunjukkan bahwa kondisi overvalued dan undervalued nilai tukar umumnya terjadi selama 5-8 kuartal sebelum terjadi koreksi munju nilai fundamental. Perhitungan tekanan probabilitas nilai tukar juga dapat digunakan sebagai salah satu masukan bagi pemangku kebijakan moneter dalam menjaga kestabilan nilai tukar. Dengan menjaga kondisi nilai tukar dalam keadaan tekanan misalignment yang dak terlalu besar, maka akan mengurangi potensi koreksi nilai tukar yang terlalu besar dan ba- ba pula.
KESIMPULAN Pergerakan nilai tukar sangat rentan terhadap pergerakan modal asing serta spekulasi pasar. Gejolak nilai tukar yang berlebihan tanpa ditopang oleh fundamental ekonomi yang kuat akan memberi pengaruh terhadap perkembangan inflasi serta perekonomian ke depan. Dengan melakukan perhitungan nilai fundamental nilai tukar kita dapat melakukan memproyeksi arah nilai tukar dengan memperhitungan kondisi fundamental ekonomi yang mempengaruhi nilai tukar tersebut. Selain itu, kita juga dapat mengukur apakah nilai tukar saat ini berada pada kondisi overvalued atau undervalued. Secara unmum, hasil perhitungan fundamental nilai tukar dalam tulisan ini menunjukkan bahwa net export sangat sensi f terhadap pergerakan nilai tukar riil. Memperbaiki defisit transaksi berjalan tetap harus menjadi prioritas, karena menurunnya nilai fundamental
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|
91
Gambar 3. Perkembangan REER Beberapa Negara ASEAN
pada Tabel 2., Indonesia adalah produsen 5 (lima) terbanyak di dunia. Meskipun demikian masih saja belum mencukupi untuk memenuhi ketahanan pangan dalam negeri karena pemenuhan ketahanan pangan dilakukan dengan import beras. Indonesia bahkan termasuk pengimpor beras terbesar di dunia. Jadi selain produsen terbesar, Indonesia sekaligus juga pengimpor terbanyak di dunia. Dari Tabel 2. juga terlihat bahwa negara-negara seper Bangladesh, Thailand, Myanmar dan Vietnam mempunyai rasio area panen yang lebih luas dibandingkan rasio luas panen terhadap luas daratan Indonesia. Dari data pada Tabel 2. juga menunjukkan bahwa luas panen
Gap Pangan dan Gap Distribusi 2023 Permasalahan ketahanan pangan yang di dukung dari hasil pertanian dalam negeri sendiri (swa sembada) sangat krusial bagi Indonesia karena apabila dak dian sipasi akan menjadi beban negara dalam jangka menengah maupun jangka panjang. Bahwa ketahanan pangan akan terus menjadi tantangan ke depan dapat di lihat dari proyeksi kebutuhan pangan yang dilakukan oleh Interna onal Food Security - USDA. Model yang digunakan oleh The Interna onal Food Security dalam suatu studinya tersebut adalah pengembangan model dari The Economic Research Service: USDA. Model ini disusun untuk memproyeksikan konsumsi pangan, akses terhadap
Tabel 3. Food Gaps 2013 (1.000 TON)
Sumber : Bank for Interna onal Se lement
Gambar 4. Actual Vs. Fudamental Nilai Tukar
HASIL ANALISIS KESEIMBANGAN NILAI TUKAR Untuk menganalisa nilai fundamental nilai tukar, variabel-variabel tersebut kemudian dibentuk dalam suatu model auroregressive (AR) dengan tenggang waktu (lag) antar variabel yang terdistribusi dengan sampel 2000:01 sampai dengan 2013:04. Variabel-variabel dalam model autoregressive tersebut kemudian dies masi melalui metode general to specific dengan menggeluarkan variabel-variabel yang dak signifikan mempengaruhi variabel dependen. Hasil es masi menunjukkan hanya variable term of trade dan openess yang memiliki pengaruh signifikan dan arah hubungan yang sesuai dengan hipotesa terhadap real effec ve exchange rate. Sementara itu, variabel pengeluaran pemerintah dak signifikan dalam mempengaruhi REER dan variable flow memiliki arah hubungan yang dak sesuai dengan hipotesa awal. Kemudian dilakukan regresi non-linear dengan menggunakan metode regresi kernel (kernel regression) untuk memperoleh tren non linear dari variabel-variable yang sigini an mempengaruhi REER.. Nilai tren tersebut kemudian dikalkulasi dengan model yang dihasilkan. Dengan perhitungan ini, kita dapat melihat tren dari keseimbangan nilai tukar. Dalam bentuk plot (gambar) nilai fundamental REER dan aktual REER dapat dilihat pada Gambar 4 sebagai berikut.
90
|
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
Bangladesh Cambodia India Indonesia Korea Philippines Vietnam Sumber: USDA/ Economic Research Service, 2014
Gap Nutrisi
Gap Distribusi
0 0 0 0 444 0 0
36 35 3101 116 606 117 0
Tabel 4. Food Gaps 2023 (1.000 TON)
Sumber : Bank for Interna onal Se lement, kalkulasi penulis
Perbandingan nilai aktual dan fundamental nilai tukar selama kurun tahun 2000 sampai dengan 2013 menunjukkan bahwa secara historis, kondisi nilai tukar mengalami kondisi overvalued atau undervalued ratarata selama 5 sampai 8 kuartal sebelum akhirnya kembali ke nilai keseimbangannya. Dari Gambar 4 diatas dapat disimpulkan juga bahwa fundamental nilai tukar mengalami tren penurunan mulai kuartal pertama tahun 2011, namun penurunan tersebut dak terlalu signifikan pada beberapa kuartal terakhir. Jika dihubungkan dengan kondisi transaksi berjalan, maka dapat dikatakan bahwa penurunan fundamental nilai tukar ini terjadi seiring dengan defisit transksi berjalan (lihat Gambar 1). Selain itu, dari sisi perbedaan nilai tukar aktual dan fundemental menunjukkan bahwa pada kuartal 4
Bangladesh Cambodia India Indonesia Korea Philippines Vietnam Sumber: USDA/ Economic Research Service, 2014
sangat berperan dalam produksi padi. Sebagai negara yang sangat luas, maka Indonesia seharusnya mempunyai lahan pertanian yang lebih luas dari negara-negara tersebut. Argumentasi yang sering dijadikan alasan adalah bahwa sebagian besar lahan di Indonesia tersebut dalam bentuk lahan sub op mal (LSO) yang dak dapat ditanami padi secara maksimal kecuali dengan pengelohan dan investasi yang nggi. Paper ini merekomendasikan bahwa sasaran pembangunan pertanian Indonesia untuk ketahanan pangan yang swa sembada adalah meningkatkan luas lahan pertanian menjadi op mal dengan cara mengolah LSO tersebut. Dengan demikian kemandirian pangan ke depan (2025) dapat diwujudkan.
Gap Nutrisi 0 0 0 0 0 0 0
Gap Distribusi 64 36 3816 115 247 127 0
pangan dan gap kebutuhan pangan di negara-negara yang berpendapatan rendah dan perpendapatan menengah sampai tahun 2023, termasuk Indonesia. Dalam hal ini pangan dibagi menjadi 3 ( ga) kelompok yaitu: biji2an (grains), umbi-umbian dan kelompok pangan ‘lain-lain’ (yang juga dikonsumsi). Sedemikian sehingga keseluruhan menjadi 100 % atas semua pangan yang dikonsumsi. Semua jenis komodi ini di ukur dengan satuan yang dikenal sebagai grain equivalent (5).
5
USDA: Interna onal Food Security Assessment, 2013-2013
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|
7
Dalam proyeksi tersebut, ketahanan pangan di suatu negara dinilai berdasarkan gap antara proyeksi konsumsi pangan dalam negeri (produksi domes k ditambah import dikurangi penggunaan untuk produksi non pangan) dengan target konsumsinya. Berdasarkan selisih antara target konsumsi dan jumlah pangan yang terkonsumsi, maka gap ini berasumsi bahwa ada sekelompok masyarakat yang dak dapat mengakses pangan. Proyeksi yang dihasilkan dari studi ini adalah baseline atas situasi ketahanan pangan pada suatu negara. Proyeksi yang dihasilkan ini tergantung pada spesifikasi model, asumsi dan menggunakan data historis. Oleh karena model disusun berdasarkan data historis, maka secara implisit diasumsikan bahwa tren historis atas variabel-variabel kunci akan berlanjut di masa yang akan datang. Untuk itu, jika dak melakukan perubahan terhadap variabel-variabel ini maka diperkirakan situasi yang akan datang tersebut akan benar-benar terjadi mendeka angka yang diprediksi oleh model ini.
2.
Gap distribusi, yaitu bagaimana se ap kelompok pendapatan masyarakat mempunyai akses mendapatkan pangan sehingga masyarakat tersebut dapat memenuhi target nutrisinya. Jika ketersediaan pangan dalam suatu negara lebih rendah dari target nutrisi masyarakatnya, maka hal ini membuk kan adanya gap distribusi di negara tersebut.
Penggunaan gap pangan berdasarkan asupan nutrisi tersebut di atas sebenarnya dapat untuk membandingkan ngkat kemakmuran suatu negara secara rela f. Apabila terjadi gap nutrisi yang cukup besar berar asupan nutrisi pada masyarakatnya rendah sehingga memerlukan tambahan ketersediaan pangan. Hal ini karena perbaikan ngkat asupan nutrisi bisa dijadikan tolok ukur keberhasilan ketahanan pangan di suatu negara.
Tabel 5. Jumlah Penduduk “Food –Insecure” Tahun 2013 & 2023 (Juta) Tahun 2013
Tahun 2023
Bangladesh Cambodia India Indonesia Korea Philippines Vietnam Sumber: USDA/ Economic Research Service, 2014
15 4 255 25 22 20 0
17 5 286 27 15 23 0
Dua jenis gap pangan yang dies masi dan diproyeksikan oleh studi tersebut adalah: 1. Rata-rata nasional atas gap nutrisi, yaitu selisih antara standard nutrisi untuk memenuhi energi pangan 2,100 kalori per kapita per hari sesuai standard FAO dengan asupan nutrisi penduduknya dalam suatu negara. Standard FAO ini adalah energi pangan yang didapat dari asupan nutrisi seseorang dan dikalkulasi sehingga seseorang tersebut dapat bertahan hidup dan berak vitas yang wajar6.
Berdasarkan laporan USDA (2014) seper yang disampaikan pada Tabel 3. dan Tabel 4., Indonesia pada tahun 2013 dak terjadi gap nutrisi, ar nya ketersediaan pangan untuk asupan nutrisi di Indonesia guna memenuhi standar FAO sebesar 2.100 Kkal perhari sebenarnya cukup tersedia. Namun demikian pada tahun 2013 tersebut terjadi gap distribusi sebanyak 116.000 ton grain equivalent sehingga standar FAO dak bisa dipenuhi oleh se ap penduduk Indonesia. Menurut data BPS (2014) maka rata-rata Konsumsi Kalori (Kkal) per kapita sehari penduduk Indonesia pada tahun 2012 masih di bawah standard FAO tersebut yaitu 1 842,30 Kkal per kapita per hari. Selanjutnya sepuluh tahun kemudian jumlah gap distribusi masih rela f tetap yaitu 115.000 grain equivalent, berar selama sepuluh tahun ke depan di njau dari segi gap distribusi diperkirakan dak ada perbaikan ketahanan pangan di Indonesia. Gap distribusi
Analisa pengukuran fundamental nilai tukar di Indonesia telah banyak dilakukan. Nuryadin (2006) melakukan analisia nilai equilibrium nilai tukar dengan pendekatan Behavioral Equilibrium Exchange Rate. Hasil analisis menunjukkan bahwa beberapa variable seper net foreign asset, term of trade serta rasio total perdagangan terhadap PDB memberikan pengaruh signifikan terhadap REER, sementara konsumsi dan pengeluaran pemerintah dak signi an dan menghasilkan hubungan yang bertentangan dengan hipotesa awal. Gunawan (2006) juga melakukan perhitungan nilai fundamental nilai tukar periode kuartal 1 tahun 1993 sampai dengan kuartal 4 tahun 2005 dengan menggunakan pendekatan fundamental Purchasing Power Parity dan Behavioral Equilibrium Exchange Rate. Hasil studi menunjukkan bahwa kedua perhitungan memberikan hasil yang sama bahwa real effec ve excchange rate pada akhir tahun 2005 mengalami overvalued. Dalam tulisan ini, analisis fundamental nilai tukar dilakukan dengan menggunakan model yang digunakan oleh Elbadawi (1994) yaitu sebagai berikut:
Term of trade, merupakan harga rela f ekpor terhadap impor. Term of trade dapat mempengaruhi keseimbangan REER jangka panjang melalui dua arah yang berbeda, tergantung apakah efek pendapatan atau subs tusi yang mendominasi. Dari berbagai peneli an yang dilakukan menunjukkan kecenderungan kenaikan term of trade akan menyebabkan nilai tukar terapresiasi. Hal yang sama, ditunjukkan pada variable pengeluaran pemerintah yang juga mempengaruhi REER secara posi f. Openness merupakan rasio jumlah impor dan ekspor terhadap PDB secara nominal. Openness memiliki hubungan berlawanan dengan Real Effec ve Exchange Rate (REER). Semakin openness suatu negara maka nilai tukar negara tersebut semakin rentan dikarenakan liberalisasi perdagangan. Flow menunjukkan seberapa besar aliran modal atau devisa yang masuk dalam suatu negara. Flow merupakan rasio impor dikurangi ekspor terhadap PDB. Flow memiliki hubungan searah dengan REER. Semakin nggi (naik) flow maka semakin nggi (apresiasi) REER dan sebaliknya.
E t ) 2 (TOTt ) 3 (OPEN t ) 4 FLOWt t ( REERt ) o 1 (G
dimana GE adalah government expenditure, TOT adalah term of trade, OPEN adalah total trade per PDB, FLOW adalah impor minus ekspor per PDB. Gambar 2. Perkembangan Nilai Tukar di Beberapa Emerging Market Economies.
6
8
Semua pengukuran pangan dikonversi menjadi grain equivalent atas kandungan kalori sehingga memungkinkan adanya agregasi. Sebagai contoh: biji2an secara kasar mempunyai 3.5 kalori per gram dan umbi-umbian mempunyai sekitar 1 kalori se ap gramnya. Jenis-jenis nutrisi adalah lemak, gula, garam, protein, kabohidrat, serat-serat, vitamin dan mineral. Semua nutrisi ini dihasilkan dari berbagai jenis pangan seper beras, jagung, buahbuahan dan lain-lain. Standar energi pangan FAO adalah 2.100 kalori per kapita per hari. Masyarakat Indonesia sebagian besar masih mendapatkan energi kalori dari nutrisi karbohidrat beras dibandingkan dari nutrisi protein hewani atau serat-serat sayur.
|
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
Sumber : Bloomberg
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|
89
n w P i i REER NEER * i 1 i d P NEER merupakan nominal effec ve exchange rate, yang didefinisikan sebagai berikut.
n NEER w * NER i it i 1
Wi
= bobot perdagangan terhadap patner dagang negara(i). Pi = indeks harga untuk patner dagang negara (i). Pd = indeks harga domes k. NERi = indeks nilai tukar langsung dengan patner dagang negara (i). Gambar 3 di bawah menunjukkan perkembangan real effec ve exchange rate (REER) Indonesia dan beberapa negara tetangga. Semakin rendah nilai REER menunjukkan semakin kurang kompe fnya nilai tukar negara tersebut. Gambar dibawah menunjukkan bahwa dibandingkan dengan negara tetangga yang lain, nilai REER Indonesia masih berada dibawah negara-negara tetangga lainnya.Turunnya kinerja perdagangan (eksporimpor), nilai tukar yang melemah serta inflasi yang lebih
nggi dibanding negara tetangga mendorong turunnya indeks REER Indonesia. Perbedaan antara nilai tukar efek f riil (REER) dengan nilai keseimbangannya dalam persentase diukur sebagai misalignment. Dengan mengukur misalignment antara nilai tukar riil dan keseimbangannya maka akan diperoleh kesimpulan bahwa nilai tukar riil tersebut dalam keadaan undervalued atau overvalued. Undervalued dalam konteks ini adalah apabila nilai tukar riil aktual yang terjadi lebih rendah daripada nilai tukar keseimbangan (equilibrium real exchange rate). Sedangkan apabila nilai tukar riil aktual yang terjadi lebih nggi daripada nilai tukar keseimbangan maka nilai tukar dapat dikatakan mengalami overvalued. Terdapat beberapa pendekatan untuk menghitung keseimbangan nilai tukar. Siregar (2011) melakukan studi literateur mengenai berbagai konsep perhitungan keseimbangan nilai tukar. Dalam studinya, beberapa perhitungan yang sering digunakan untuk menghitung keseimbangan nilai tukar adalah The Fundamental Equilibrium Exchange Rate, The Desired Equilibrium Exchange Rate, The Behavioral Equilibrium Exchange Rate,The Permanent Equilibrium Exchange Rate, The Natural Rate of Exchange. Dengan melakukan beberapa perhitungan keseimbangan nilai tukar akan memperkuat pemahaman mengenai hal-hal yang mempengaruhi vola litas nilai tukar.
Indonesia ini meskipun lebih baik dari India tetapi masih jauh di bawah Vietnam, Kamboja dan Bangladesh yang juga merupakan produsen beras. Data Tabel 3 dan tabel 4 menunjukkan angka 0 (nol) baik untuk gap nutrisi maupun gap distribusi Vietnam yang menunjukkan bahwa ketahanan pangan telah terwujud di negara ini. Selanjutnya laporan USDA juga menunjukkan bahwa di Indonesia ada sebanyak 25 juta penduduk yang mempunyai resiko dak dapat mencukupi kebutuhan energi pangannya pada tahun 2013 (food insecure). Keadaan ini diperkirakan masih akan terjadi pada 10 (sepuluh) tahun kemudian dimana akan ada sebanyak 27 juta orang yang beresiko dak dapat memenuhi kebutuhan pangan karena peris wa-peris wa bencana alam, perubahan iklim, gejolak sosial, ekonomi, poli k, pengelolaan pemerintah dan lain-lain. Berdasarkan hasil proyeksi dari USDA ini juga menunjukkan bahwa Indonesia masih akan menghadapi tantangan memenuhi ketahanan pangan dalam jangka menengah bahkan jangka panjang. Untuk itu perlu ada perubahan mendasar dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pertanian, dan harus meninggalkan konsep memenuhi ketahanan pangan dengan produksi dalam negeri plus import. Selain itu ketegantungan pada import sangat tergantung pada produk fitas negara produsen pangan, jika rendah maka resiko akan meningkatnya harga komoditas import.
Swa sembada pangan menjadi kunci untuk menghadapi masalah pangan ke depan. Hal ini antara lain dapat dilakukan dengan memperluas lahan pertanian op mal yang potensinya di Indonesia sangat luas.
ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI MENUJU KEMANDIRIAN PANGAN (a)
Kebijakan & Strategi Yang Mengacu pada Mikro Ekonomi Produksi Beras Dalam menentukan kebijakan dan strategi terkait pencapaian ketahanan pangan maka harus mengacu pada konsep dasar mikro ekonomi beras. Hal ini berar kebijakan dan strategi pangan sedapat mungkin menguntungkan kedua belah pihak yaitu masyarakat sebagai konsumen dan petani sebagai produsen. Dalam gambar di samping disampaikan bahwa posisi terbaik adalah ke ka harga beras pada posisi P0 sehingga didapat konsumen surplus sebesar PoEA, sedangkan produsen mendapat surplus PoEF dan dak ada yang hilang dalam produksi. Tetapi ini adalah kondisi ideal hanya sebagai pengantar teori yang dak mungkin terwujud, maka harga yang akan terjadi adalah di atas P0 atau di bawahnya.
Gambar 1. Pergerakan Kurs IDR/USD dan Transaksi berjalan/GDP (%).
Sumber : Bloomberg dan Bank Indonesia
88
|
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|
9
bahwa apabila harga yang terjadi adalah pada P1 maka konsumen surplus akan lebih kecil dibandingkan produsen surplus. Sedangkan bila harga yang terbentuk adalah P2 maka konsumen surplus akan lebih besar daripada produsen surplus. Kebijakan pemerintah selayaknya bisa membuat harga seimbang baik surplus bagi konsumen maupun surplus bagi produsen, mendeka harga Po. (b)
Sabagaimana diketahui surplus konsumen adalah perbedaan antara total jumlah konsumen berniat dan mampu untuk membayar barang dan jasa (ditunjukkan dengan kurva permintaan atau demand) dan jumlah total yang mereka sesungguhnya bayarkan (harga pasar). Surplus produsen adalah jumlah produsen yang berniat dan mampu untuk memasok barang dengan jasa sesuai harga diharapkan. Surplus produsen terlihat oleh area di atas kurva penawaran tetapi di bawah harga pasar yang terbentuk. Gambar ini menunjukkan
Kebijakan & Strategi Yang Mendorong Faktor Yang Signifikan PosiƟf Dalam menentukan kebijakan dan strategi kemandirian pangan, dapat dilakukan dengan mengacu pada faktor-faktor yang secara signifikan dapat mengurangi atau menekan baik food-gap maupun distribu on-gap. Penentuan faktor-faktor ini dapat dilakukan berdasarkan hasil studi USDA, FAO atau studi kuan ta f lainnya. Dari pendekatan yang dilakukan USDA (2013) maka kebijakan dan strategi ketahanan pangan dapat fokus pada variabel endogenous yang terdiri dari produksi, luas lahan, yield, import komersial, harga jual petani dan banyaknya konsumsi pangan. Sedangkan untuk mewujudkan sasaran yang ingin dicapai (dari variabel endogeneous tersebut) maka strategi dapat dilakukan dengan menyusun program dan kegiatan mendorong pengaruhnya posi f terhadap
PERKEMBANGAN NILAI TUKAR : 2005 ͳ AWAL 2014 Pergerakan nilai tukar pada periode 2005 sampai dengan awal tahun 2014 cenderung berfluktuasi dengan beberapa periode depresiasi yang cukup signifikan serta menembus level Rp. 10,000.- per dolar Amerika (lihat Gambar 1). Naiknya harga minyak dunia ke level US$70/ barrel pada tahun 2005 mendorong ngginya permintaan valuta asing sehingga menyebabkan nilai tukar terdepresiasi diatas level Rp. 10,000.- per dolar Amerika. Kenaikan harga minyak dan ngginya inflasi pada tahun 2008 juga menjadi penyebab utama depresiasi diatas level Rp.12,000.- per dolar Amerika. Semenjak pertengahan tahun 2013 sampai dengan awal tahun 2014, terjadi depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika yang cukup siginifikan. Perbandingan nilai tukar pada akhir dan awal tahun 2013 menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika telah terdepresiasi sekitar 26%. Sebagian besar analis menyebutkan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi dipicu oleh kebijakan tapering (pengurangan s mulus kebijakan Quan ta ve Easing) oleh Bank Sentral Amerika Serikat dan defisit transaksi berjalan yang terjadi mulai tahun 2012. Sampai dengan akhir 2013, transaksi berjalan masih mencatat defisit sebesar 2 persen terhadap PDB (lihat Gambar 1). Sekitar pertengahan tahun 2013 yang lalu, Morgan Stanley mengeluarkan analisa baru terkait lima negara yang memiliki kerentanan dalam jangka menengah yang disebabkan oleh beberapa faktor seper inflasi yang nggi serta kerentanan terhadap gejolak kondisi external seper ngginya ketergantungan terhadap aliran modal asing. Beberapa negara yang termasuk lima negara tersebut adalah Brasil, India, Afrika Selatan, Turki dan Indonesia. Meskipun demikian, perkembangan data makroekonomi pada awal 2014 justru menunjukkan bahwa kondisi ekonomi Indonesia lebih baik dibandingkan keempat negara lainnya baik dari sisi pertumbuhan ekonomi, defisit transaksi neraca berjalan serta rasio hutang luar negeri. Survei tahunan yang dilakukan oleh lembaga pemeringkat Fitch pada awal 2014 juga menunjukkan bahwa dua per ga responden dak sependapat dengan masuknya Indonesia didalam the fragile five economies. Di tahun
10
|
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
2014, Pemerintah pun tetap memfokuskan perbaikan transaksi berjalan sehingga dak terjadi defisit. Rencana kebijakan tapering off yang dilakukan oleh Bank Sentral Amerika di pertengahan tahun 2013 juga mendorong pelemahan nilai tukar di beberapa emerging market countries dan juga beberapa negara tetangga. Namun dibandingkan Indonesia, pelemahan nilai tukar di beberapa negara ASEAN jauh lebih kecil. Negara Brasil dan India termasuk negara yang mengalami depresiasi nilai tukar yang cukup signifikan. Akan tetapi, perkembangan terkini menunjukkan perbaikan kondisi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Dibandingkan negara yang lain, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika sampai bulan Maret 2014 mengalami apresiasi sebesar 6.49% dibandingkan awal 2014. Perhitungan sederhana yang dilakukan terhadap nilai tukar dalam tulisan ini menunjukkan bahwa rupiah sudah mengalami tekanan undervalued yang cukup besar mulai bulan November– Desember 2013 sehingga mendorong potensi apresiasi.
PENGUKURAN NILAI TUKAR KESEIMBANGAN Secara umum, nilai tukar keseimbangan (equilibrium) diar kan sebagai keadaan dimana besarnya nilai tukar yang terjadi ditentukan oleh penawaran dan permintaan oleh pasar. Secara khusus, Williamson (1983) mendefinisikan keseimbangan pasar nilai tukar sebagai keseimbangan penawaran dan permintaan nilai tukar tanpa adanya intervensi dari pemerintah. Perhitungan equilibrium real exchange rate dapat didasarkan pada perhitungan nilai tukar riil baik secara mul lateral maupun secara bilateral. Kedua perhitungan ini terkait pada mata uang negara yang digunakan dalam melakukan es masi nilai tukar, yaitu apakah hanya satu negara, beberapa negara atau secara menyeluruh yang dihitung melalui bobot nilai perdangangan yang dilakukan oleh negara tersebut dengan negara lain, baik satu negara maupun sekumpulan negara. Perhitungan REER yang telah memasukkan unsur ekspor impor dapat dihitung sebagai berikut.
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|
87
FUNDAMENTAL NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP DOLAR AMERIKA Anang Budi Gunawan Staf Perencana Direktorat Pengembangan Wilayah Bappenas, Jalan Taman Suropati 2, Jakarta 10310. Tel.(021) 31934195, Email :
[email protected]
(c)
Abstrak
R
upiah movement has a broad impact on the economy, par cularly on export and import ac vi es. Historically, rupiah movements is sensi ve to short-term expecta on on financial market, global economic turmoil, external sen ment, interna onal trade and domes c fundamental condi ons. In the end of 2013, rupiah depreciated around 26 percent which was the highest deprecia on among currencies in selected emerging market countries. Using a simple calcula on of fundamental equilibrium exchange rate, this study es mates the fundamental value of rupiah from 2000 un l 2013. In addi on, this study also analyse the misaligment (the difference between fundamental and actual valued of exchange rate). The results show that rupiah has been undervalued (the actual exchange rate below the fundamental value) since the last quarter of 2014. Our calcula on in this study on probability pressure of exchange rate missalignment also suggests that there was a pressure of rupiah apprecia on since November-December 2013.
B
Secara umum, pergerakan nilai tukar di se ap negara dipengaruhi oleh faktor fundamental dan faktor non fundamental. Faktor fundamental antara lain adalah variabel-variabel ekonomi makro seper pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai ekspor dan impor, dan variabel-variabel makro lainnya. Sedangkan faktor
86
|
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
non fundamental antara lain adalah faktor psikologis dari pelaku pasar dalam menggunakan informasi yang ada atau sen men pasar terhadap perkembangan sosial dan poli k. Kedua faktor tersebut menjadi sangat pen ng untuk menganalisa bagaimana arah pergerakan nilai tukar. Pada umumnya, faktor non-fundamental nilai tukar seper faktor psikologis dianalisa dengan menggunakan analisis teknikal (technical analysis) yaitu sebuah metode untuk mengevaluasi sekuritas berdasarkan ak vitas pergerakan pasar yaitu harga dan jumlah (volume) perdagangan di masa lalu untuk memprediksi harga di masa datang. Dalam tulisan ini, analisa mengenai pergerakan nilai tukar akan lebih ditekankan pada perhitungan sederhana terhadap faktor fundamental nilai tukar. Analisis mengenai kondisi fundamental nilai tukar dapat dilakukan dengan menges masi nilai tukar keseimbangan (equilibrium exchange rate). Es masi nilai tukar keseimbangan dapat memberikan ekspektasi terhadap pelaku ekonomi apakah nilai tukar riil berada diatas atau dibawah nilai fundamentalnya (misallignment).
Kebijakan & Strategi Yang Menekan Delapan Kelemahan Pertanian Sebagaimana disampaikan pada Gambar 1. di bawah ini maka ada 8 (delapan) kelemahan pertanian di Indonesia. Kebijakan dan strategi yang dilaksanakan seharusnya fokus untuk menekan delapan kelemahan ini. Delapan kelemahan tersebut adalah (1). Pengelolaan/ Pasca Panen rendah; (2). Infrastruktur (sarana & prasarana kurang); (3). Pemilikan tanah sempit; (4). Pemilikan/ akses modal kurang; (5). Tingkat pendidikan rendah; (6) Penguasaan teknologi rendah; (7). Tingkat ketrampilan rendah; (8). Sikap mental (Sukino, 2013). Dengan adanya kelemahan-kelemahan ini menyebabkan pangan Indonesia tetap rentan karena jumlah dan kualitas produksi yang rendah dan produk fitas rendah ditambah dengan sikap mental masyarakat petani yang kurang bersemangat (karena berbagai faktor misalnya maraknya tengkulak/ rente) menyebabkan ketahanan pangan rentan. Selanjutnya ke ka mutu produksi rendah maka akan menyebabkan harga produksi juga rendah ditambah dengan faktor-faktor rendahnya produksi, produk fitas dan sikap mental petani maka pendapatan petani rendah yang menyebabkan kemiskinan. Sebagaimana disinggung pada awal tulisan ini bahwa saat ini lebih dari 32 juta masih hidup di bawah garis kemiskinan yang sebagian besar berasal dari daerah pedesaan dan pertanian.
PENDAHULUAN agi pelaku pasar dan para pengambil kebijakan di bidang keuangan, pergerakan nilai tukar sangat pen ng untuk diama karena besarnya pengaruhnya terhadap kondisi perekonomian. Vola litas nilai tukar yang terlalu nggi akan mempengaruhi ak vitas ekonomi, khususnya yang terkait dengan kegiatan ekspor dan impor. Nilai tukar yang terdepresiasi menyebabkan harga barang impor serta barang yang menggunakan komponen impor dalam produksinya semakin mahal. Selain itu, perusahaan-perusahaan yang memiliki jatuh tempo hutang dalam bentuk dolar juga dimungkinkan akan mengalami permasalahan dalam hal pembayaran. Oleh karena itu, kebijakan yang tepat sangat diperlukan untuk menghindari vola litas nilai tukar yang nggi, khususnya dalam mengatasi depresiasi yang terlalu besar.
pangan, kelaparan & malnutrisi; (iii). lemahnya fisik & kemampuan kogni f serta (iv). rendahnya produk fitas. Ke ka ketahanan pangan rentan, kelaparan dan malnutrisi terjadi akan menyebabkan fisik petani dan masyarakat miskin menjadi lemah dan penurunan kemampuan kogni f. Akibat yang di mbulkan kemudian adalah produk fitas petani menjadi rendah, pendapatan rendah akan berujung pada kemiskinan. Kemiskinan yang ada berakibat pada kerentanan yang bersangkutan terhadap pangan dan seterusnya sehingga terjadi vicious circle sebagaimana disampaikan dalam gambar di bawah ini. Untuk itu vicious circle ini harus ”diputus” rangkaiannya dengan kebijakan dan strategi yang tepat.
ketahanan pangan atau menekan faktor-faktor exogenous yang menyebabkan kerentanan pangan yaitu terdiri dari jumlah penduduk, ngkat stok pangan, eksport pangan, input pertanian, buruh tani, nilai export, inflasi, pendapatan nasional, dan distribusi pendapatan.
(d)
Kebijakan & Strategi Yang Sinergi Dengan Penurunan Kemiskinan Dalam menentukan kebijakan dan strategi ketahanan pangan perlu sinergi dengan program dan kegiatan terkait dengan penurunan kemiskinan. Keterkaitan kedua hal tersebut disampaikan pada Gambar 2. di bawah ini. Ada 4 (empat) faktor yang saling berhubungan yaitu (i). kemiskinan; (ii). kerentanan
Berdasarkan fenomena tersebut maka keberhasilan terwujudnya ketahanan pangan tergantung juga keberhasilan program penurunan kemiskinan atau sebaliknya. Rantai siklus tersebut dapat diputus kalau program dan kegiatan pendidikan dan kesehatan berhasil mencapai sasaran. Dengan demikian untuk menuju ketahanan pangan nasional maka perlu adanya strategi yang sinergi antara program ketahanan pangan itu sendiri, program– program kemiskinan, pendidikan dan kesehatan. (e)
Kebijakan & Strategi Pemanfaatan Lahan Sub OpƟmal (LSO) Berdasarkan tren kebutuhan pangan nasional terutama padi, jagung, dan kedelai, maka menurut Kementerian Pertanian, hingga tahun 2025 dibutuhkan 4,7 juta lahan bukaan baru. Untuk itu guna menjamin produksi pangan beras hingga tahun 2025 tersebut, dibutuhkan perluasan areal sawah sekitar 1,4 juta ha, sedangkan untuk kedelai sekitar 2 juta ha dan untuk tanam jagung sekitar 1,3 juta ha. Apalagi hingga tahun 2050, diperlukan tambahan lahan sekitar 14,9 juta ha yang terdiri dari 5 juta ha lahan sawah, 8,7 juta ha lahan kering, dan 1,2 juta ha lahan rawa. Namun demikian, selain hutan primer pada umumnya lahan yang tersedia saat ini adalah lahan sub op mal (LSO) termasuk lahan yang sudah terdegradasi atau terlantar (Kementerian Pertanian, 2013). Berdasarkan penilaian Kementerian Pertanian ini maka paper ini mendeteksi bahwa opsi utama yang harus ditempuh untuk memenuhi
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|
11
kebutuhan pangan secara swa sembada ke depan, adalah pengembangan dan op malisasi lahan sub op mal dan lahan terdegradasi. Meskipun demikian pendekatan intensifikasi harus tetap diperkuat. Menurut data yang juga disampaikan oleh Kementerian Pertanian (2013) tersebut maka Indonesia mempunyai sumberdaya lahan yang cukup luas dengan berbagai keragaman dan karakteris k. Namun dari daratan seluas 189,1 juta ha sekitar 157,2 juta ha diantaranya merupakan lahan sub op mal (LSO), sedangkan sisanya seluas 31,9 juta ha adalah lahan subur (op mal) dengan berbagai ngkat kesuburan. Sebagian besar lahan tersebut sudah dimanfaatkan untuk lahan pertanian dan untuk berbagai penggunaan. Secara alamiah, seluas 123,1 juta ha dari LSO adalah lahan kering dan 34,1 juta ha lahan basah (rawa). Lahan kering terluas merupakan lahan kering masam atau lahan kering beriklim basah yang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Lahan kering beriklim kering seluas 13,3 juta ha, tersebar di Ja m, Bali, NTT, NTB. LSO basah terdiri dari 14,9 juta ha lahan gambut, seluas 11,0 juta ha berupa lahan rawa pasang surut, dan 9,3 juta ha berupa lahan rawa lebak. Kebijakan dan strategi yang direkomendasikan oleh paper ini adalah guna mewujudkan swasembada ketahanan pangan yang sustainable maka pemanfaatan lahan sub op mal di Indonesia perlu menjadi prioritas perencanaan pembangunan yang akan datang. Contoh pemanfaatan LSO di Indonesia adalah konsep food estate yang sudah diinisiasi Pemerintah tetapi perlu didorong percepatan pelaksanaannya. Konsep pembangunan food estate tersebut terkait usaha budidaya tanaman yang diselenggarakan untuk: (1). mewujudkan kedaulatan, kemandirian dan ketahanan pangan; (2). menyediakan kebutuhan bahan baku industri; (2). meningkatkan pemberdayaan, pendapatan, dan kesejahteraan petani; (3). mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Prinsip yang digunakan adalah meningkatkan perlindungan budidaya tanaman secara konsisten dan konsekuen dengan memperha kan aspek
12
|
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
pelestarian sumber daya alam dan/ atau fungsi lingkungan hidup. Selain itu juga memberikan kepas an usaha bagi pelaku usaha budidaya tanaman, sehingga pengembangan food estate juga melibatkan investasi swasta.
KESIMPULAN Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa mind set ketahanan pangan yang ada selama ini harus diubah dari pemenuhannya sebagian dilakukan dengan import pangan digan dengan ketahanan pangan yang swa sembada (sepenuhnya dari dalam negeri). Hal ini sejalan dengan UU No. 18 tahun 2012 tentang “Pangan” dimana Kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Kemudian disebutkan pula bahwa Indonesia perLu mencapai kemandirian pangan yang merupakan kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di ngkat perorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.
States Agency for International Development (USAID). Available at: http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/PNADH968.pdf [Accessed: 4 June 2013]. Puppim de Oliveira, José (ed.). 2008, Upgrading Clusters and Small Enterprises in Developing Countries. Farnham: Ashgate. Porter, M. E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. London: The Macmillan Press Ltd. Reardon, T. and Barrett, C. B. 2000. Agroindustrialization, globalization, and international development: An overview of issues, patterns, and determinants. Agricultural Economics 23, pp. 195-205. Schmitz, H. 1995. Collective efficiency: Growth path for small-scale industry. Journal of Development Studies 31(4), pp. 529–566. Syahruddin N., and Kalchschmidt M. 2012a. Traceability in the Cocoa Supply Chain: An Indonesian Context. In: 23rd Annual Conference of the Production and Operations Management Society. Chicago, Illinois, USA, 20 -23 April 2012. Syahruddin, N., and Kalchschmidt, M. 2012b. Sustainable supply chain management in the agricultural sector: a literature review. International Journal of Engineering Management and Economics (IJEME), Vol. 3, No. 3. Syahruddin, N. 2013. Sustainable Supply Chain Management: A Case Study of Indonesia’s Cocoa Industry. Bulletin of Indonesian Economic Studies 49(1), pp. 114-115. Tambunan, T. 2005. Promoting Small and Medium Enterprises with a Clustering Approach: A Policy Experience from Indonesia. Journal of Small Business Management 43(2), pp. 138–154. Tenriawaru, A.N. and Arsyad, M. 2013. A Public Expenditure Analysis in Agriculture Sector: Evidence from South Sulawesi, Indonesia. Makassar: Center for Policy and Development Management (PSKMP), Hasanuddin University. UNIDO. 2009. Industrial Development Report 2009. Breaking In and Moving Up. New Industrial Challenges for the Bottom Billion and the Middle Income Countries. Vienna: United Nations Industrial Development Organization (UNIDO). Weijland, H. 1994. Trade Networks for Flexible Rural Industry. In P. O. Pedersen, A. Sverrison, and M. P. van Dijk, eds., Flexible Specialisation. The Dynamics of Small-Scale Industries in the South, pp. 97–110. London: Intermediate Technology Publications.
Fakta menunjukkan bahwa kapasitas pemenuhan ketahanan pangan terutama disebabkan lahan yang terbatas, sulit di ngkatkan dan terus beralih fungsi yang bisa mencapai 120-150.000 ha per tahun. Meskipun upaya mempertahankan alih fungsi lahan ini sudah dikeluarkan UU “Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan” (2009) tetapi alih fungsi lahan terus berlanjut sampai sekarang dan mungkin akan terus terjadi seiring dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Harapan utama adalah pemanfaatan dan pengembangan lahan sub op mal (LSO) menjadi lahan yang op mal. Beberapa kebijakan yang disarankan adalah (1). pengembangan tanaman pangan diprioritaskan pada op malisasi pemanfaatan lahan potensial baik di lahan rawa maupun non rawa; (2). perluasan lahan melalui pengembangan lahan sub op mal harus diprioritas pada lahan sub op mal terdegradasi dan terlantar di kawasan
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|
85
REFERENCES Akiyama, T. and Nishio, A. 1996. Indonesia’s Cocoa Boom: Hands-Off Policy Encourages Smallholder Dynamism. Policy Research Working Paper 1580 [Online]. The World Bank International Economics Department Commodity Policy and Analysis Unit and Country Department II, East Asia and Pacific Agriculture Operations Division. Available at: http://elibrary.worldbank. org/content/workingpaper/10.1596/1813-9450-1580 [Accessed: 15 June 2013]. Arsyad, M. and Kawamura, Y. 2009. A Poverty Causal Model of Cocoa Smallholders in Indonesia: Some Initial Findings from South Sulawesi. Ryukoku Journal of Economic Studies, 49(2), pp. 1-27. Barron, M.A. and Rello, F. 2000. The impact of the tomato agroindustry on the rural poor in Mexico. Agricultural Economics 23(3), pp. 289–297. Blakely, E. J. 1989. Planning local economic development: Theory and practice. California: SAGE Publications, Incorporated. Braverman, A. and Joseph E. Stiglitz. 1993. The Economics of Rural Organization Theory, Practice, and Policy. Ed. Karla Ruth Hoff. New York: Oxford University Press. Burger, K., Kameo, D. and Sandee, H. 1999. Clustering of small agro-processing firms in Indonesia. The International Food and Agribusiness Management Review 2, pp. 289-299. BPS (Badan Pusat Statistik, Central Statistics Agency). 2013. Berita Resmi Statistik No. 55/08/Th. XVI, 2 Agustus 2013 [Online]. Available at: http://www.bps.go.id/brs_file/pdb_02agu13.pdf [Accessed: 3 August 2013]. Conti, S. and Giaccaria, P. 2001. Local development and competitiveness. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. FAOSTAT (FAO Statistics Division). 2013. Data of Food and Agriculture Organization of United Nation [Online]. Available at: http://faostat3.fao.org/home/index.html#DOWNLOAD [Accessed: 11 July 2013]. Felzensztein, C., Gimmon, E. and Carter, S. 2010. Geographical Co-Location, Social Networks and Inter-firm Marketing Co-operation: the Case of the Salmon Industry. Long Range Planning 43, pp. 675-690. Giuliani, E., Pietrobelli, C. and Rabellotti, R. 2005. Upgrading in Global Value Chains: Lessons from Latin American Clusters. World Development 33, pp. 549-573. Humphrey, J. and Schmitz, H. 2000. Governance and Upgrading: Linking Industrial Cluster and Global Value Chain Research. IDS Working Paper 120 [Online]. Available at: http://www.ids.ac.uk/files/Wp120.pdf [Accessed: 15 June 2013]. Kementerian Pertanian (Ministry of Agriculture). 2009. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014 (Strategic Planning for Ministry of Agriculture 2010-2014). Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia (Ministry of Agriculture, The Republic of Indonesia). Kementerian Perindustrian (Ministry of Industry). 2009. Pengembangan Klaster Industri Prioritas Industri Berbasis Agro Tahun 2010 – 2014 (The Development of Primary Agro Industry Cluster 2010-2014). Jakarta: Kementerian Perindustrian Republik Indonesia (Ministry of Industry, The Republic of Indonesia). Latuhihin, F. F., et al. 2007. Monthly Report: Cocoa Outlook. Bank Internasional Indonesia (BII). Maskell, P. 2001. Towards a knowledge-based theory of the geographic cluster. Industrial and Corporate Change 10(4), pp. 921–943. McLeod, R. H. 1978. On middlemen. Malayan Economic Review 23(2), pp. 21–26. Neilson, J. 2007. Global Markets, Farmers And The State: Sustaining Profits In the Indonesian Cocoa Sector. Bulletin Of Indonesian Economic Studies 43(2), pp. 227-250. Nogales, E.G. 2010. Agro-based clusters in developing countries: staying competitive in a globalized economy. Agricultural Management, Marketing and Finance. Occasional Paper. Italy: Food and Agriculture Organization of the United Nations. Panliburton, H. and Meyer, M. 2004. Value Chain Assessment: Indonesia Cocoa. Microreport #2 [Online]. Accelerated Microenterprise Advancement Project (AMAP), USAID. Available at: http://microlinks.kdid.org/sites/microlinks/files/resource/ files/ML3639_mr_2_value_chain_assessment_indonesia_cocoa_06_04.pdf [Accessed: 2 June 2013] Panliburton, H. and Lusby, F. 2006. Indonesia Cocoa Bean Value Chain Case Study. Microreport #65 [Online]. United
84
|
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
budidaya, diiku dengan pemanfaatan lahan-lahan terlantar di kawasan hutan secara selek f; (3). akselarasi dan eskalasi kegiatan peneli an dan pengembangan pertanian, antara lain membangun sistem konsorsium litbang pertanian dan bentuk peneli an lainnya. Konsep food estate yang telah diinisiasi oleh pemerintah perlu dijadikan prioritas dan dipercepat pelaksanaanya. Pada dasarnya pelaksanaan food estate ini didukung oleh 3 ( ga) unsur, yaitu: pemerintah (baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah), pengusaha, dan masyarakat/ petani. Pembangunan food estate dilakukan di luar pulau Jawa dengan per mbangan ketersediaan lahan yang masih luas, tetapi perlu didukung oleh sarana/ prasarana
utama seper jalan, pelabuhan, tenaga listrik. Jadi perlu kerjasama antar sektor pembangunan dan disusun koodinasi perencanaannya dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional. Perencanaan penyediaan sarana dan prasarana dasar yang dananya bersumber dari APBN (Angggaran Pendapatan dan Belanja Negara), penyusunan dan pengelolaannya melibatkan beberapa instansi/ kementerian baik di pusat maupun di daerah. Salah satu yang perlu didorong percepatan pelaksanaan food estate tersebut adalah Proyek Merauke Integrated Food and Energy (MIFE) yang diharapkan mampu ikut mengatasi masalah ketahanan pangan jangka panjang sebagaimana disampaikan dalam paper ini.
Referensi ConfidenƟal Page 15 17/02/2002Budhi Santoso Page 15 17/02/2002 Bappenas. “Studi Pendahuluan: RPJMN Bidang Pangan dan Pertanian 2015-2019” Unit Kerja 27 Februari 2014. www.bappenas.go.id BKKBN, 2013. “Bonus Demografi.” Index Sekapur Sirih. 3 September 2013. www.bkkbn.go.id BPS, 2014, “Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi Agustus 2013”. BPS. Jakarta Kementerian Pertanian, “Intensifikasi Pengelolaan Lahan Subop mal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional”, Prosiding Seminar Nasional Lahan Subop mal Palembang 20-21 September 2013 ISBN 979-587-501-9 FAO, IFAD and WFP. “The State of Food Insecurity in the World: The Mul ple dimensions of food security 2013”. Rome, FAO. 2013. FAO and EU, 2008, “Food Security Informa on for Ac on” www.foodsec.org. 2008 Interna onal Grains Council, 2013. “Five-year Global Supply and Demand Projec ons”, 1 December 2013, London, 2013. www.igc.int Kementerian Pertanian, “Kebijakan Food Estate dan Implikasinya Bagi Masyarakat Lokal dan Pembangunan Wilayah di Indonesia.” Dit. Jen. Prasarana dan Sarana Pertanian. 2014 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2010. “Usaha Budidaya Tanaman”. Lembaran Negara RI Tahun 2010 Nomor 24. Sekretariat Negera RI. Se awan, Budi I: “Op malisasi Diversifikasi Pangan Guna Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional Yang Berkelanjutan.” Majalah Komunikasi dan Informasi. Majalah Tannas Edisi 94-2012 Sukino, 2013. “Membangun Pertanian dengan Pemberdayaan Masyarakat Tani: Terobosan Menanggulangi Kemiskinan.”, Pustaka Baru Press. Jogjakarta. 2013 Tutor2u. 2012. “Consumer & Producer Surplus”. www. tutor2u.net. 23 September 2012 Undang-undang RI Nomor 41 Tahun 2009 tentang “Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan”. Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 149 Undang-undang RI Nomor 18 Tahun 2012 tentang “Pangan”. Lembaran Negara RI Tahun 2012 Nomor 227. USDA/ Economic Research Service. 2013 : “Interna onal Food Security Assesment, 2013 – 2023”, GFA-24 World Food Program 2013, “Projected 2013 Needs for WFP Projects and Opera ons” , WFP Regional Bureau for Asia (ODB). www.wfp.org World Popula on Sta s c, 2014. “World Popula on Sta s c.” May 1, 2014 www.worldpopula onsta s cs.com
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|
13