INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA MENUJU 100 TAHUN NKRI Membangun Kemandirian Ekonomi, Energi dan Pangan Secara Berkelanjutan
GABUNGAN PENGUSAHA KELAPA SAWIT INDONESIA
GAPKI 2014
GAPKI ©2014
i
INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA MENUJU 100 TAHUN NKRI
Copyright © 2014 GAPKI
Edisi Pertama
ii
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
KATA PENGANTAR
Industri minyak sawit merupakan industri strategis dalam perekonomian Indonesia khususnya dimasa yang akan datang. Para ahli pertanian dunia telah lama mengakui bahwa pertanian termasuk perkebunan Kelapa sawit memiliki fungsi ekonomi, sosial dan lingkungan bagi masyarakat. Berbagai studi baik dari lembaga internasional maupun lembaga di Indonesia, telah membuktikan bahwa industri minyak sawit Indonesia berkontribusi besar baik bagi perekonomian nasional, pembangunan ekonomi daerah, pengurangan kemiskinan maupun untuk pelestarian lingkungan hidup. Oleh karena itu, pengembangan industri minyak sawit perlu dilihat sebagai upaya memperbesar manfaat ekonomi, sosial dan kelestarian lingkungan hidup yang lebih besar dan lebih berkualitas. Kedepan, selain meningkatkan peran yang telah ada selama ini industri minyak sawit Indonesia juga dituntut pada peran baru yakni menyediakan energi pengganti energi fosil. Sebagaimana diketahui, bahwa ketergantungan Indonesia pada solar impor sudah sangat tinggi dan akan makin tinggi kedepan jika tidak ada upaya untuk menggantikannya. Impor, solar selain berisiko tinggi secara ekonomi, penggunaan solar juga menghasilkan emisi Gas Rumah Kaca yang cukup besar dan secara global menjadi kontributor utama perubahan iklim global. Oleh karena itu penggantian solar dengan biodiesel berbahan baku minyak sawit menjadi tuntutan baru kedepan. Selain membangun kemandirian energy, pengembangan biodiesel tersebut jauh lebih ramah lingkungan. Dengan tambahan peran baru industri minyak sawit tersebut yakni menyediakan biodiesel tentu memerlukan penigkatan ketersediaan bahan baku berupa minyak sawit mentah (CPO). Sementara untuk kebutuhan hilirisasi oleopangan dan oleokimia juga terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk Indonesia. Dengan kata lain, hilirisasi dan pengembangan biodiesel perlu disertai dengan peningkatan produksi CPO agar tidak terjadi trade-off fuel-food sebagaimana dialami banyak negara dunia. Dengan latar belakang dan harapan masa depan yang demikian, GAPKI menyusun cetak biru (blue print) dan peta jalan (roadmap) industri minyak sawit Indonesia (Hulu–Hilir) untuk periode 2015-2050. Untuk bagian hulu (perkebunan kelapa sawit) disajikan cetak biru dan GAPKI ©2014
iii
peta jalan peningkatan produktivitas CPO melalui peningkatan produktivitas dan perluasan luas areal baik perkebunan rakyat, perkebunan swasta dan perkebunan negara. Dibagian hilir disajikan cetak biru dan peta jalan hilirisasi baik melaui jalur industri oleopangan, jalur industri oleokimia dan jalur industri biodiesel. Dan bagian terpenting dari cetak biru dan roadmap ini adalah Kebijakan Strategis yang perlu didukung pemerintah untuk industri minyak sawit Indonesia kedepan. Pengurus GAPKI Pusat mengapresiasi dan menyampaikan terimakasih kepada PASPI (Palm Oil agribusiness Staregic Policy Institute) yang telah kerja keras menyusun Cetak Biru dan Peta Jalan Industri Minyak Sawit ini. Dan kepada seluruh asosiasi industi minyak sawit : DMSI, APROBI, APOLIN, GIMNI, AMNI, APKASINDO, MAKSI kami sampaikan terimakasih atas masukan yang telah diberikan. Dan mari kita semua bergandengan tangan untuk menjadikan industri minyak sawit Indonesia meraih prestasi terbaik kedepan dan menjadi sumber kemakmuran bagi rakyat Indonesia.
Bogor, Juli 2014
PENGURUS GAPKI PUSAT
iv
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ....................................................................................
iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................
v
DAFTAR TABEL ...........................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xiii
BAB I. BAB II.
PENDAHULUAN ........................................................................
1
EVALUASI PERKEMBANGAN MUTAKHIR PASAR MINYAK NABATI DUNIA ......................................................... 2.1 Populasi, Distribusi dan Pertumbuhan Penduduk Dunia .. 2.2 Perekonomian Kawasan/Global .......................................... 2.3 Perkembangan Konsmsi Minyak Nabati Dunia ................. 2.4 Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Per Kawasan.... 2.5 Pola Konsumsi Minyak Nabati Berdasarkan Kawasan ...... 2.6 Perkembangan Produksi Minyak Nabati Utama Global Menurut Negara Produsen ............................................. 2.7 Ekspor- Impor Minyak Nabati Global................................. 2.8 Perkembangan Mutakhir Industri Oleokimia Dunia ......... 2.9 Perkembangan Produksi Oleokimia Global ....................... 2.10 Industri Penggunaan Produk Oleokimia Global ................ 2.11 Volume Konsumsi Oleokimia Global.................................. 2.12 Perkembangan Harga Oleokimia ........................................ 2.13 Industri Biodiesel Dunia ...................................................... 2.14 Dinamika Industri Oleokimia Global ..................................
5 5 7 9 11 18
42 49 52 57 58 60 60 61 71
BAB III. EVALUASI PERKEMBANGAN MUTAKHIR INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA.................................................... 3.1 Industri Perbenihan Kelapa Sawit ....................................... 3.2 Perkembangan Luas Area..................................................... 3.2.1 Perkembangan Luas Areal Menurut Pengusahaan dan Provinsi ................................................................ 3.2.2 Perkembangan Komposisi Umur Kelapa Sawit Menurut Pengusahaan dan Provinsi ......................... 3.3 Perkembangan Produksi CPO.............................................. 3.3.1 Penyebaran dan Kapasitas Produksi PKS .................. 3.3.2 Perkembangan Produksi CPO Menurut Pengusahaan dan Provinsi ................................................................ 3.3.3 Perkembangan Produktivitas CPO Menurut
GAPKI ©2014
73 73 75 75 80 84 84 85
v
Pengusahaan dan Provinsi......................................... 3.4 Perkembangan Ekspor dan Konsumsi Domestik CPO ...... 3.5 Industri Hilir Minyak Sawit ................................................. 3.5.1 Industri Minyak Goreng Sawit/Margarin/ Shortening .................................................................... 3.5.2 Industri Margarin/Shortening ..................................... 3.6 Perkembangan Industri Oleokimia ...................................... 3.6.1 Industri Sabun/Detergen........................................... 3.7 Evolusi Kebijakan Pemerintah ............................................. 3.8 Perkembangan Harga Energi Dunia, Pupuk dan Rasio Harga ..................................................................................... 3.8.1 Pergerakan Harga Emisi Dunia, Minyak Mentah .... 3.8.2 Pergerakan Indeks Harga Pupuk .............................. 3.8.3 Pergerakan Harga CPO Dunia .................................. BAB IV. ANALISIS PERUBAHAN DAN PROYEKSI PASAR MINYAK NABATI GLOBAL MENUJU 2050 .............................................. 4.1 Proyeksi Populasi Penduduk Menuju 2050 ........................ 4.2 Proyeksi Ekonomi Global Menuju 2050 .............................. 4.3 Proyeksi Konsumsi Minyak Nabati Utama Global 2050 .... 4.4 Proyeksi Produksi Minyak Nabati Utama Global 2050...... 4.5 Proyeksi Biodiesel................................................................. 4.6 Proyeksi Harga dan Ratio Harga ......................................... 4.7 Perubahan Selera Pasar Global ........................................... 4.8 Perubahan Iklim Global........................................................ 4.9 Perubahan Kebijakan Pasar Minyak Nabati Global ........... BAB V.
vi
PERANAN INDUSTRI MINYAK SAWIT DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA ................................................ 5.1 Kontribusi Persawitan Indonesia dalam Pertumbuhan Ekonomi ................................................................................ 5.1.1 Keterkaitan Pertumbuhan Kelapa Sawit dengan Sektor Lain .................................................................. 5.1.2 Dampak Perkebunan Kelapa Sawit pada Sektor Lain 5.1.3 Peran Ekspor Minyak Sawit dalam Perekonomian.. 5.1.4 Menyediakan Minyak Nabati yang Kompetitif Bagi Dunia: Feeding The World ........................................... 5.2 Peran Industri Minyak Sawit Dalam Pembangunan Pedesaan................................................................................ 5.2.1 Perkebunan Kelapa Sawit: Menumbuhkan Pusat Pertumbuhan Baru Pedesaan .................................... 5.2.2 Menarik Pertumbuhan Sektor Lain di Kawasan Pedesaan ..................................................................... 5.2.3 Pertumbuhan Produksi CPO Memacu Pertumbuhan Ekonomi Sentra Sawit ................................................
89 95 98 98 106 108 115 121 135 135 138 142 146 146 148 152 154 156 158 161 162 164
167 167 167 169 171 175 178 179 182 183
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
5.2.4 Perekonomian Sentra Sawit Bertumbuh Lebih Cepat Dibanding Non Sentra Sawit...................................... 5.3 Peranan Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Mengurangi Kemiskinan ............................................................................ 5.3.1 Merubah Petani Miskin Menjadi Pengusaha ............ 5.3.2 Menciptakan Kesempatan Kerja di Kawasan Pedesaan ...................................................................... 5.3.3 Pendapatan Petani Sawit Meningkat Cepat .............. 5.3.4 Pertumbuhan Asset Petani Sawit ............................... 5.3.5 Pendapatan Rumah Tangga Petani Sawit Lebih Tinggi dari Petani Non Sawit ..................................... 5.3.6 Mengatasi Kemiskinan dan Menciptakan Kelas Ekonomi Menengah di Pedesaan............................... 5.3.7 Perkebunan Kelapa Sawit Menurunkan Kemiskinan di Pedesaan.................................................................. 5.4 Kontribusi Industri Minyak Sawit Dalam Pelestarian Lingkungan ........................................................................... 5.4.1 Kebijakan dan Regulasi Tata Kelola Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia yang Berkelanjutan ............. 5.4.2 Asal Usul Lahan Perkebunan Kelapa Sawit dari Degraded Land dan Low-Carbon ................................... 5.4.3 Perkebunan Kelapa Sawit Berfungsi Ekologis .......... 5.4.4 Perkebunan Kelapa Sawit Menyerap CO2 dari Atmosfir Bumi ............................................................. 5.4.5 Perkebunan Kelapa Sawit Mengurangi Emisi GHG Degraded Peat Land....................................................... 5.4.6 Pelestarian Biodiversity pada Perkebunan Kelapa Sawit ............................................................................ 5.4.7 Industri Minyak Sawit Hemat Sumberdaya dan Minimum Polusi ......................................................... BAB VI. INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA 2050 ........................ 6.1 Asumsi-Asumsi ..................................................................... 6.2 Visi dan Misi Industri Minyak Sawit Indonesia 2050 ......... 6.2.1. Visi 2050 ...................................................................... 6.2.2. Misi 2050 ...................................................................... 6.3 Roadmap Hilirisasi ................................................................. 6.3.1 Proyeksi Konsumsi Industri Hilir Minyak Sawit ...... 6.2.2 Proyeksi Produksi Hilir Minyak Sawit ...................... 6.4 Kebutuhan CPO untuk Industri Hilir Domestik ................. 6.5 Roadmap Produksi CPO Menuju 2050.................................... 6.5.1 Roadmap Pengembangan Industri Pembibitan Kelapa Sawit ................................................................ 6.5.2 Roadmap Replanting ...................................................... 6.5.3 Roadmap Luas Areal dan Komposisi Tanaman..........
GAPKI ©2014
184 186 186 188 190 191 191 192 193 195 196 198 201 203 206 208 210 215 215 219 219 219 220 221 222 224 225 225 227 227
vii
6.5.4 Roadmap Produktivitas ............................................... 6.5.5 Proyeksi Produksi CPO Menuju 2050 ...................... 6.6 Proyeksi Penyerapan Tenaga Kerja pada Industri Sawit Nasional ............................................................................... 6.7 Proyeksi Produksi Jasa Lingkungan ................................... 6.8 Proyeksi Ekspor Produk Minyak Sawit dan Pangsa Indonesia ...............................................................................
230 232
BAB VII. KEBIJAKAN STRATEGIS INDUSTRI MINYAK SAWIT 2050 .. 7.1 Paket Kebijakan BIG PUSH Industri Minyak Sawit nasional Menuju 2050 ........................................................... 7.2 Kebijakan Tata Ruang .......................................................... 7.3 Kebijakan Pertanahan........................................................... 7.4 Kebijakan Perizinan Industri Minyak Sawit ....................... 7.5 Kebijakan Suku Bunga Kredit .............................................. 7.6 Kebijakan Infrastruktur dan Pelabuhan .............................. 7.7 Kebijakan Subsitusi Solar dengan Biodiesel (Mandatori Biodiesel) ............................................................................... 7.8 Kebijakan Perdagangan Internasional................................. 7.9 Kebijakan Perpajakan ........................................................... 7.10 Kebijakan Riset dan Pengembangan ................................... 7.11 Kebijakan Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) ...................................................... 7.12 Kebijakan Kelembagaan dan Organisasi Ekonomi Petani Sawit ......................................................................................
241
BAB VIII. PENUTUP ....................................................................................
259
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
261
viii
233 234 235
241 242 243 244 245 247 249 250 252 253 255 256
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Tabel 2.2. Tabel 2.3. Tabel 2.4. Tabel 2.5. Tabel 2.6. Tabel 2.7. Tabel 2.8. Tabel 2.9. Tabel 2.10. Tabel 2.11. Tabel 2.12. Tabel 2.13. Tabel 2.14. Tabel 2.15. Tabel 2.16. Tabel 2.17. Tabel 3.1. Tabel 3.2. Tabel 3.3. Tabel 3.4. Tabel 3.5.
Penduduk Dunia Berdasarkan Kawasan (Juta jiwa) ............. Perkembangan Penduduk Dunia Berdasarkan Kawasan (Juta jiwa) ................................................................................. Asumsi GDP ........................................................................... Perkembangan GDP berdasarkan Kawasan (Million USD, pada Harga Konstan 2005) ...................................................... Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Amerika Latin dan Karibia Tahun 1965-2014 ........................ Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Sub Sahara Afrika Tahun 1965-2014....................................... Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Near East dan Afrika Utara Tahun 1965-2014 ...................... Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Asia Selatan Tahun 1965-2014................................................. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Asia Timur Tahun 1965-2014 .................................................. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Negara Maju Tahun 1965-2014 ............................................... Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Negara Amerika Serikat Tahun 1965-2014 .......................................... Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Uni Eropa Tahun 1965-2014 .................................................... Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Eropa Barat Tahun 1965-2014 ................................................. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Eropa Timur Tahun 1965-2014................................................ Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Asia Tengah Tahun 1965-2014 ................................................ Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati Dunia Tahun 1965-2014 ...................................................................... Pangsa Produksi Minyak Nabati terhadap Total Produksi Minyak Nabati Utama Dunia 1970-2013 (%) ......................... Kapasitas Produksi Benih Kelapa Sawit di Indonesia........... Pertumbuhan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Menurut Provinsi ........................................................ Pertumbuhan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Negara Menurut Provinsi ....................................................... Pertumbuhan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Swasta Menurut Provinsi ........................................................ Perbandingan Komposisi Tanaman Kelapa Sawit antara Perkebunan Rakyat, Negara, dan Swasta (%)........................
GAPKI ©2014
5 6 7 8 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 42 43 74 76 78 79 80
ix
Tabel 3.6. Tabel 3.7. Tabel 3.8. Tabel 3.9. Tabel 3.10. Tabel 3.11. Tabel 3.12. Tabel 3.13. Tabel 3.14. Tabel 3.15 Tabel 3.16. Table 3.17 Tabel 3.18. Tabel 3.19 Tabel 3.20. Table 3.21 Tabel 3.22. Tabel 3.23.
Tabel 4.1. Tabel 4.2. Tabel 5.1. Tabel 5.2. Tabel 5.3.
x
Distribusi dan Pertumbuhan Luas TM Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Menurut Provinsi. ................................ Distribusi dan Pertumbuhan Luas TM Perkebunan Kelapa Sawit Swasta Menurut Provinsi. ................................ Distribusi dan Pertumbuhan Luas TM Perkebunan Kelapa Sawit Negara Menurut Provinsi. ............................................ Produksi dan Pertumbuhan CPO Perkebunan Rakyat Seluruh Provinsi. ...................................................................... Produksi dan Pertumbuhan CPO Perkebunan Swasta Seluruh Provinsi....................................................................... Produksi dan Pertumbuhan CPO Perkebunan Negara Seluruh Provinsi....................................................................... Produktivitas dan Pertumbuhan Produktivitas CPO Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Setiap Provinsi ................. Produktivitas dan Pertumbuhan Produktivitas CPO Perkebunan Kelapa Sawit Negara Setiap Provinsi. ............... Produktivitas dan Pertumbuhan Produktivitas CPO Perkebunan Kelapa Sawit Swasta Setiap Provinsi ................ Lokasi dan Kapasitas Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia Tahun 2007 .............................................................. Jumlah Perusahaan, Kapasitas Produksi dan Penyebaran Industri Margarin/Shortening di Indonesia .......................... Peran Ekspor CPO dan Turunannya dalam Neraca Transaksi Berjalan Indonesia................................................... Produsen dan Kapastas Industri Oleokimia Nasional(dalam 1000 ton). ....................................................... Jumlah Perusahaan dan Kapasitas Produksi Industri Sabun Mandi dan Detergen di Indonesia ............................... Produsen dan Kapasitas Industri Biodiesel di Indonesia ...... Perkembangan Kebutuhan CPO untuk Industri Hilir di dalam Negeri ............................................................................ Formula Penetapan Pajak Ekspor CPO dan Produk Turunan Berdasarkan SK Menkeu No: 434/KMK 0.17/1994 Tanggal 31 Agustus 1994 ....................................... Harga Patokan Ekspor dan Tarif Bea Keluar ProdukProduk Agribisnis Minyak Sawit 1 September – 30 September 2011 ........................................................................ Peringkat 10 jumlah penduduk terbesar dunia tahun 2014 dan 2050E ................................................................................ Peringkat (Ranking) GDP Negara Ekonomi Terbesar Dunia . Keterkaitan ke Depan (Forward Linkages) dan Keterkaitan ke Belakang (Backward Linkages) Perkebunan Kelapa Sawit. ........................................................................................ Sektor-Sektor Penyedia Input Perkebunan Kelapa Sawit ..... Indeks Multiplier Perkebunan Kelapa Sawit .........................
81 82 83 86 87 88 90 91 93 99 107 109 110 116 120 121
128 134 147 150
168 169 170
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 5.4. Tabel 5.5 Tabel 5.6. Tabel 5.7. Tabel 5.8. Tabel 5.9. Tabel 5.10. Tabel 5.11. Tabel 5.12. Tabel 5.13. Tabel 5.14 Tabel 5.15.
Tabel 5.16. Tabel 5.17. Tabel 5.18. Tabel 5.19. Tabel 5.20. Tabel 5.21. Tabel 5.22. Tabel 5.23. Tabel 5.24.
Top Ten Sektor Ekonomi (Selain Perkebunan Kelapa Sawit) yang Bertumbuh Akibat Pertumbuhan Output, Income dan Nilai Tambah Perkebunan Kelapa Sawit.......... Perkembangan Nilai Ekspor CPO dan Turunannya Serta Pangsanya dalam Net Ekspor Non Migas Indonesia ............ Peran Ekspor CPO dan Turunannya dalam Neraca Transaksi Berjalan Indonesia .................................................. Penerimaan Pemerintah dari Bea Keluar Ekspor CPO dan Turunannya, Tahun 2007-2012 ............................................... Negara/Kawasan Utama yang Menikmati Manfaat Produksi CPO Indonesia untuk Bahan Pangan dan Bahan Baku Industri ........................................................................... Sektor-sektor Rural Non-Farm yang Bertumbuh Akibat Pertumbuhan Produksi CPO .................................................. Perkembangan Jumlah Unit Usaha Keluarga Petani Kelapa Sawit Rakyat di Indonesia .......................................... Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja pada Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia ...................................... Sektor-Sektor Ekonomi yang Bertumbuh Penyerapan Tenaga Kerja Jika Produksi Perkebunan Kelapa Sawit Bertumbuh ............................................................................... Perbandingan Pendapatan Rumah Tangga Petani Sawit dengan Petani Non Sawit (Rp Juta) ........................................ Perbandingan Pendapatan per Kapita Petani Sawit, Garis Kemiskinan dan Pendapatan per Kapita Nasional ............... Sektor-sektor Ekonomi (Diluar Perkebunan Sawit) yang Meningkat Pendapatannya Akibat Pertumbuhan Produksi CPO .......................................................................................... Kebijakan dan Regulasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan di Indonesia ..................................................... Perubahan Penggunaan Lahan untuk Hutan, Perkebunan dan Penggunaan Lain di Indonesia (Juta Hektar) ................ Perbandingan Ekofisiologi Perkebunan Kelapa Sawit dengan Hutan Tropis .............................................................. Volume Standing Biomas dan Jumlah Karbon Terfiksasi dari Atmosfir Bumi pada Berbagai Umur Kelapa Sawit....... Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut Menurunkan Emisi CO2 Lahan Gambut ( Degraded Peat Land) ............... Berbagai Fauna di Areal HGU Perkebunan Kelapa Sawit .... Berbagai Flora di Areal HGU Perkebunan Kelapa Sawit ..... Kebutuhan Lahan untuk Menghasilkan 1000 Ton Minyak Nabati dari Berbagai Jenis Minyak Nabati Global ................ Perbandingan Penggunaan Input dan Polusi Air/Tanah antara Perkebunan Kelapa Sawit dengan Minyak Nabati Lain untuk Per Ton Minyak Nabati yang Dihasilkan ...........
GAPKI ©2014
171 173 173 174 176 182 187 189 189 192 193 194 197 200 202 204 207 209 210 211 211
xi
Tabel 5.25. Tabel 6.1. Tabel 6.2. Tabel 6.3. Tabel 6.4. Tabel 6.5. Tabel 6.6. Tabel 6.7. Tabel 6.8. Tabel 6.9. Tabel 6.10. Tabel 6.11. Tabel 6.12. Tabel 6.13. Tabel 6.14. Tabel 6.15. Tabel 6.16. Tabel 7.1. Tabel 7.2. Tabel 7.3.
xii
Konsumsi Air (Water Footprint) dari Berbagai Jenis Tanaman Biofuel ...................................................................... Asumsi Proyeksi Pertumbuhan Tahun 2014-2050 (% Tahun)....................................................................................... Luas Degraded Land di Indonesia ............................................ Luasan Lahan Berpotensi Tinggi Untuk Tanaman Kelapa Sawit di Beberapa Wilayah Indonesia .................................... Proyeksi Volume Konsumsi Domestik Produk Hilir 20132050 .......................................................................................... Proyeksi Produksi Industri Hilir Minyak Sawit (Ton) .......... Proyeksi Kebutuhan CPO untuck Industri Hilir Domestik .. Kebutuhan Bibit dan Roadmap Kualitas bibit Kelapa Sawit 2013-2050 ........................................................................ Roadmap Replanting dan Tanaman Baru serta Kebutuhan Bibit Kelapa Sawit 2013-2050................................................... Proyeksi Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia 2050................ Proyeksi Produksi CPO Menurut Pengusahaan 2013-2050 Proyeksi Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Minyak Sawit Nasional 2013-2050 ........................................................ Proyeksi Jasa Lingkungan Pada Industri Minyak Sawit 2013-2050 ................................................................................. Proyeksi Volume Ekspor Produk Hilir Minyak Sawit dan CPO Indonesia 2013- 2050 ...................................................... Proyeksi Nilai Ekspor Produk Hilir dan CPO Indonesia ..... penghematan Devisa Impor Solar dengan Kebijakan Mandatori Biodiesel Tahun 2013-2050.................................... Proyeksi Pangsa Indonesia Dalam Produksi CPO Dunia, Minyak Nabati Utama Dunia, dan Biodiesel Dunia .............. Perbandingan Peringkat Dunia antara Indonesia dengan Negara Tetangga dalam Perizinan Usaha .............................. Perbandingan Lending Rate di Indonesiia dengan NegaraNegara Tujuan Ekspor ............................................................. Perbandingan Indeks Ketersediaan dan Kualitas Infrastruktur Indonesia dibandingkan Negara Lain pada Tahun 2013 ...............................................................................
212 217 217 218 221 223 224 226 227 229 232 233 235 236 237 238 238 244 246 247
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Perkembangan Penduduk Dunia berdasarkan Kawasan ..... Gambar 2.2. Perkembangan Penduduk Dunia berdasarkan Kawasan ..... Gambar 2.3. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia 1965, 1980, 2014 ................................................................................. Gambar 2.4. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia 1965 – 2014 ........................................................................................... Gambar 2.5. Perkembangan Pangsa Konsumsi Minyak Nabati Dunia ..... Gambar 2.6. Konsumsi Minyak Kedele berdasarkan Kawasan Tahun 1965-2014 .................................................................................. Gambar 2.7. Negara Konsumen Terbesar Minyak Kedele Dunia 19652014 ........................................................................................... Gambar 2.8. Konsumsi Minyak Sawit berdasarkan Kawasan Tahun 1965-2014 .................................................................................. Gambar 2.9. Negara Konsumen Terbesar Minyak Sawit Dunia 19652014 ........................................................................................... Gambar 2.10. Konsumsi Rapeseed Oil berdasarkan Kawasan Tahun 1965-2014 .................................................................................. Gambar 2.11. Negara Konsumen Terbesar Rapeseed Oil Dunia 19652014 ........................................................................................... Gambar 2.12. Konsumsi Sunflower Oil berdasarkan Kawasan Tahun 1965-201 .................................................................................... Gambar 2.13. Negara Konsumen Terbesar Sunflower Oil Dunia 19652014 ........................................................................................... Gambar 2.14. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Amerika Latin dan Karibia Tahun 1965-2014 ........................ Gambar 2.15. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Sub Sahara Afrika Tahun 1965-2014....................................... Gambar 2.16. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Near East dan Afrika Utara Tahun 1965-2014 ...................... Gambar 2.17. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Asia Selatan Tahun 1965-2014................................................. Gambar 2.18. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Asia Timur Tahun 1965-2014 .................................................. Gambar 2.19. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Negara Maju Tahun 1965-2014 ............................................... Gambar 2.20. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Negara Amerika Serikat Tahun 1965-2014 .......................................... Gambar 2.21. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Uni Eropa Tahun 1965-2014 .................................................... Gambar 2.22. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Eropa Barat Tahun 1965-2014 .................................................
GAPKI ©2014
6 8 9 10 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 21 23 25 27 29 31 33 35
xiii
Gambar 2.23. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Eropa Timur Tahun 1965-2014 ................................................ Gambar 2.24. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Asia Tengah Tahun 1965-2014................................................. Gambar 2.25. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati Dunia Tahun 1965-2014....................................................................... Gambar 2.26. Perkembangan Pangsa Produksi Minyak Nabati Utama Dunia 1964-2013 ....................................................................... Gambar 2.27. Perkembangan Produksi CPO Dunia Tahun 1964-2013 ........ Gambar 2.28. Perkembangan Produksi Soybean Oil Dunia Tahun 19642013 ........................................................................................... Gambar 2.29. Perkembangan Produksi Rapeseed Oil Dunia Tahun 19642013 ........................................................................................... Gambar 2.30. Perkembangan Produksi Sunflower Oil Dunia 1964-2013 .... Gambar 2.31. Perkembangan Ekspor Minyak Dunia 1964-2013 .................. Gambar 2.32. Perkembangan Ekspor Minyak Kedele Dunia 1964-2013 ..... Gambar 2.33. Perkembangan Ekspor Rapeseed Oil Dunia 1964-2013 ......... Gambar 2.34. Perkembangan Ekspor Sunflower Oil Dunia 1964-2013 ....... Gambar 2.35. Kapasitas Produksi Fatty Acid Dunia Tahun 2011 ................ Gambar 2.36. Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Acid Global 2004-2015 .................................................................................. Gambar 2.37. Kapasitas Produksi Fatty Acid Asia Tahun 2011 ................... Gambar 2.38. Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Acid Asia 20042015 ........................................................................................... Gambar 2.39. Kapasitas Produksi Fatty Alcohol Dunia 2011....................... Gambar 2.40. Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Alcohol Global2004-2015 ....................................................................... Gambar 2.41. Kapasitas Produksi Fatty Alcohol Asia .................................. Gambar 2.42. Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Alcohol Asia 2004-2015 .................................................................................. Gambar 2.43. Volume Produksi Fatty Acid Global Historis dan Proyeksi. Gambar 2.44. Volume Produksi Fatty Alcohol Global Historis dan Proyeksi .................................................................................... Gambar 2.45. Industri Pengguna Fatty Alcohol Global................................ Gambar 2.46. Industri Pengguna Glyserin Global ........................................ Gambar 2.47. Perkembangan Volume Konsumsi Fatty Acid Global Secara Historis dan Proyeksi ................................................... Gambar 2.48. Perkembangan Volume Konsumsi Fatty Alcohol Global Secara Historis dan Proyeksi. .................................................. Gambar 2.49. Perkembangan Harga Oleokimia (RM/ton) .......................... Gambar 2.50. Perkembangan Harga Glyserin Menurut Bahan Baku .......... Gambar 2.51. Perkembangan Produksi Biodiesel Dunia 2000-2011. ........... Gambar 2.52. Perkembangan Harga Biodiesel di Pasar Eropa Menurut Bahan Baku ............................................................................... Gambar 2.53. Komposisi Bahan Baku Surfactant di Berbagai Kawasan ....
xiv
37 39 41 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 53 54 54 55 55 56 56 57 58 58 59 59 60 61 61 62 63 64
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Gambar 2.54. Gambar 2.55. Gambar 2.56. Gambar 2.57. Gambar 2.58. Gambar 2.59. Gambar 2.60. Gambar 2.61. Gambar 2.62. Gambar 2.63. Gambar 2.64. Gambar 2.65. Gambar 3.1.
Penggunaan Surfactant Global ............................................... Produk Personal Care Dunia .................................................. Pasar Personal Care Dunia...................................................... Penggunaan Lubricant Dunia ................................................. Pasar Lubricant Dunia Menurut Kawasan (USB, 2008) ........ Dinamika Industri Oleokimia Dasar Dunia. .......................... Penggunaan Surfactant Global. .............................................. Produk Persnonal Care Dunia. ................................................. Pasar Personal Care Dunia...................................................... Penggunaan Lubricant Dunia. ................................................ pasar Lubricant Dunia Menurut kawasan (USB, 2008). ........ Dinamika Industri Oleokimia Dasar Dunia. .......................... Lokasi Penyebaran Produsen Benih Kelapa Sawit di Indonesia .................................................................................. Gambar 3.2. Kapasitas Produksi PKS Indonesia Menurut Provinsi Tahun 2013 (ton TBS/jam), .................................................... Gambar 3.3 Produksi CPO Indonesia Menurut Provinsi Tahun 2013...... Gambar 3.4. Perkembangan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat....................................................................................... Gambar 3.5. Perkembangan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit Negara ...................................................................................... Gambar 3.6. Perkembangan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit Swasta....................................................................................... Gambar 3.7. Perbandingan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat, Negara dan Swasta. ................................................... Gambar 3.8. Perkembangan Pangsa Ekspor dan Konsumsi Domestik dari Produksi CPO Indonesia ................................................. Gambar 3.9. Perkembangan Volume Ekspor Minyak Sawit Indonesia (000 ton).................................................................................... Gambar 3.10 Perkembangan Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia(000 US$) .......................................................................................... Gambar 3.11. Perkembangan Komposisi Ekspor Minyak Sawit Indonesia .................................................................................. Gambar 3.12. Perkembangan Ekspor Minyak Sawit Indonesia Menurut Negara Tujuan ......................................................................... Gambar 3.13. Perkembangan Produksi Minyak Goreng Indonesia Tahun 2000-2013 .................................................................................. Gambar. 3.14. Rata-rata Pangsa Minyak Goreng Sawit dalam Konsumsi Minyak Goreng Indonesia Tahun 2000-2008 ......................... Gambar 3.15. Perkembangan Alokasi Produksi Minyak Goreng Indonesia untuk Konsumsi Domestik dan Ekspor Tahun 2002-2013 .................................................................................. Gambar 3.16. Penyebaran dan Kapasitas Pabrik Minyak Goreng dan Margarin di Indonesia .............................................................
GAPKI ©2014
65 66 66 67 68 68 69 69 70 70 71 71 74 84 84 89 92 94 94 95 96 97 97 98 101 101
104 105
xv
Gambar 3.17. Perkembangan Produksi Margarine Indonesia Tahun 2000-2013 .................................................................................. Gambar 3.18. Perkembangan Produksi Oleokimia Dasar di Indonesia 2006-2010 (ton) ......................................................................... Gambar 3.19. Perkembangan Volume Ekspor Fatty Acid Menurut Negara Tujuan (Ton)................................................................ Gambar 3.20. Perkembangan Volume Ekspor Fatty Acid(US $’000). .......... Gambar 3.21. Perkembangan Volume Glyserol Menurut Negara Tujuan (Ton).......................................................................................... Gambar 3.22. Perkembangan Volume Ekspor Glyserol Menurut Negara Tujuan (US$'000) ...................................................................... Gambar 3.23. Perkembangan Value Ekspor Fatty Alcohol Menurut Negara Tujuan (ton).. ............................................................... Gambar 3.24. Perkembangan Value Ekspor Fatty Alcohol Menurut Negara Tujuan(US$’000).......................................................... Gambar 3.25. Perkembangan Volume Impor Oleokimia 2006-2011 (ton). .. Gambar 3.26. Perkembangan Volume Impor Oleokimia 20062011 (US$’000)................................................................................... Gambar 3.27. Penyebaran dan Kapasitas Produksi Sabun dan Detergen ... Gambar 3.28. Perkembangan Produksi Sabun dan Detergen Indonesia Tahun 2000-2013....................................................................... Gambar 3.29. Perkembangan Produksi dan Tujuan Pasar Industri Sabun Indonesia .................................................................................. Gambar 3.30. Penyebaran dan Kapasitas Pabrik Biodiesel di Indonesia .... Gambar 3.31 Perkembangan Produksi Biodiesel Indonesia Tahun 20002013 ........................................................................................... Gambar 3.32. Perkembangan Produksi Biodiesel dan Penggunaanya di Indonesia .................................................................................. Gambar 3.33. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Minyak Mentah Dunia (Januari 2002=100).................................................................... Gambar 3.34. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Minyak Diesel Dunia Januari 2007- Desember 2012 (Januari 2002=100) .................. Gambar 3.35. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Gas Alam Cair Dunia (Januari 2002=100).................................................................... Gambar 3.36. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk Urea Dunia Januari 2002- Desember 2012 (Januari 2002=100) .................. Gambar 3.37. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk Rock Pospat (Januari 2002=100).................................................................... Gambar 3.38. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk TSP Dunia (Januari 2002=100).................................................................... Gambar 3.39. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk DAP Dunia (Januari 2002=100).................................................................... Gambar 3.40. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk KCL Dunia (Januari 2002=100)....................................................................
xvi
108 111 111 112 112 113 113 114 114 115 116 117 118 118 119 119 136 137 138 139 139 140 141 141
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Gambar 3.41. Pergerakan Indeks Harga Tahunan CPO Dunia (Januari 2002=100).................................................................................. Gambar 3.42. Pergerakan Indeks Harga Bulanan CPO Dunia (Januari 2002=100).................................................................................. Gambar 3.43. Pola Pergerakan Harga Tahunan antara Minyak Mentah (A) % CPO (B) Dunia ............................................................... Gambar 3.44. Pergerakan Indeks Harga Tahunan PKO Dunia (Januari 2002=100).................................................................................. Gambar 3.45. Pergerakan Indeks Harga Bulanan PKO Dunia (Januari =100) ......................................................................................... Gambar 4.1. Penduduk Bumi dan Proyeksi hingga tahun 2050 ................ Gambar 4.2. Perkembangan GDP Dunia Tahun 1980 dan Proyeksi 2050 . Gambar 4.3. GDP per Kapita berdasarkan Kawasan 1980-2050 ................ Gambar 4.4. GDP per Kapita beberapa negara terpilih 1980-2050 ........... Gambar 4.5. Proyeksi Konsumsi Minyak Nabati Utama Dunia 2050 ...... Gambar 4.6. Laju pertumbuhan Konsumsi Minyak Nabati Utama Dunia ...................................................................................... Gambar 4.7. Proyeksi Produksi Minyak Nabati Utama Dunia 2050 ......... Gambar 4.8. Laju pertumbuhan Produksi Minyak Nabati Utama Dunia . Gambar 4.9. Produksi Biodiesel Dunia Tahun 2015, 2018, 2020 ................ Gambar 4.10. Konsumsi Biodiesel Dunia Tahun 2015, 2018, 2020 .............. Gambar 4.11. Ekspor Biodiesel Dunia Tahun 2015, 2018, 2020 .................. Gambar 4.12. Harga Biodiesel Tahun 2011 dan Proyeksi Hingga Tahun 2021 ......................................................................................... Gambar 4.13. Proyeksi Harga Minyak Nabati Utama Dunia 2050 ............. Gambar 4.14. Rasio Harga Minyak Nabati Utama Dunia Terhadap Minyak Sawit ......................................................................... Gambar 5.1. Komposisi Ekspor Non Migas Indonesia Tahun 2005 dan 2013 ........................................................................................... Gambar 5.2. Penggunaan Produksi CPO (Setara CPO) Indonesia Untuk Konsumsi Masopyarakat Dunia dan Masyarakat Indonesia .................................................................................. Gambar 5.3. Harga Minyak Sawit (CPO) Lebih Kompetitif daripada Soybean Oil (SBO), Rapeseed Oil, (RPO), dan Sunflower Oil (SFO)................................................................................... Gambar 5.4. Evolusi Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Menjadi Agropolitan/Kawasan Industri Perkebunan di Kawasan Pedesaan di Indonesia ............................................................. Gambar 5.5. Komponen Investasi Perkebunan Kelapa Sawit Tahap Gestation Period di Kawasan Pedesaan Indonesia .............. Gambar 5.6. Rataan Jumlah Unit UKMK Supplier Barang/Jasa untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Kawasan Pedesaan (Per 100 Ribu TM) .................................................................................. Gambar 5.7. Pengaruh Produksi CPO terhadap PDRB Sentra Sawit Nasional ...................................................................................
GAPKI ©2014
143 143 144 145 145 146 148 151 152 153 154 155 155 156 157 157 158 159 160 172 175 177
180 181
181 184
xvii
Gambar 5.8. Perbandingan PDRB Sentra Sawit dengan Non Sentra Sawit Nasional ......................................................................... Gambar 5.9. Perbandingan Pendapatan Petani Sawit Plasma, Mandiri, dan Petani Non Sawit Nasional .............................................. Gambar 5.10. Pertumbuhan Asset Petani Sawit Nasional ............................ Gambar 5.11. Pengaruh Produksi CPO terhadap Penurunan Kemiskinan di Sentra Sawit Nasional.......................................................... Gambar 5.12. Asal Usul Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia Tahun 1990-2012....................................................................... Gambar 5.13. Volume Karbon yang Diserap Secara Netto pada Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1990 dan 2010 (Juta Ton Karbon)..................................................................... Gambar 5.14. Peranan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia dalam Menyerap CO2 Global ............................................................. Gambar 5.15. Pengurangan Emisi CO2 dari Palm Oil Biodiesel Sebagai Pengganti Fosil-Diesel Dibandingkan Sumber Biodiesel Lainnya (persen) ...................................................................... Gambar.6.1 Proyeksi Konsumsi Domestik Produk Hilir ........................... Gambar 6.2. Proyeksi Produk Hilir .............................................................. Gambar 6.3. Proyeksi Kebutuhan CPO Domestik Tahun 2013-2050 ........ Gambar 6.4. Perubahan Pangsa Areal Perkebunan Sawit Negara, Rakyat dan Swasta Indonesia Tahun 2013-2050 .................... Gambar 6.5. Proyeksi Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia 2013-2050 ....... Gambar 6.6. Proyeksi Komposisi Tanaman Kelapa Sawit Indonesia 2013-2050 .................................................................................. Gambar 6.7. Roadmap Peningkatan Produktivitas Kebun Sawit Rakyat 2013-2050 .................................................................................. Gambar 6.8. Roadmap Peningkatan Produktivitas Kebun Sawit Negara 2013-2050 .................................................................................. Gambar 6.9. Proyeksi Peningkatan Produktivitas Kebun Sawit Swasta 2013-2050 .................................................................................. Gambar 6.10. Proyeksi Nilai Ekspor Produk Minyak Sawit 2013-2050 ....... Gambar 6.11. Pangsa Indonesia dalam Produksi CPO Dunia ..................... Gambar 6.12. Pangsa Indonesia dalam Produksi 4 Nabati Dunia ............... Gambar 6.13. Pangsa Indonesia dalam Produksi Biodiesel Dunia ..............
xviii
185 190 191 195 199 205 205 213 222 223 224 228 228 229 230 231 231 237 239 239 240
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
BAB I PENDAHULUAN Industri minyak sawit memiliki multi fungsi (multifunctionality) yang memberi manfaat ganda bagi perekonomian Indonesia maupun dunia secara keseluruhan. Manfaat ganda yang dimaksud berupa manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan. Manfaat dari segi ekonomi yang dimaksud bahwa industri minyak sawit menghasilkan berbagai produk bahan pangan, bahan energi dan bahan baku industri,yang dibutuhkan baik bagi Indonesia maupun masyarakat dunia. Sekitar 70 persen dari CPO yang dihasilkan Indonesia diperuntukkan bagi masyarakat internasional dan hanya sekitar 30 persen untuk kebutuhan masyarakat Indonesia.Selain itu,bagi pekonomian Indonesia industri minyak sawit merupakan sumber penerimaan pemerintah dari Bea keluar, berbagai jenis pajak serta salah satu penyumbang devisa terbesar. Manfaat sosial dari industri minyak sawit terkait dengan peranan dan kontribusinya dalam penciptaan kesempatan kerja, pembangunan pedesaan (rural development) dan pengurangan kemiskinan pedesaan (poverty alleviation). Berbagai studi emperis (Susila, 2004; Goenadi,2008; World Growth,2009; Joni, 2012; Rofiq, 2012; PASPI,2014) mengungkapkan bahwa perkebunan Kelapa sawit di Indonesia bagian penting dari pembangunan pedesaan maupun pengurangan kemiskinan. Perkebunan Kelapa sawit juga memiliki fungsi ekologis dan memberi manfaat jasa lingkungan yang mirip dengan hutan (Henson,1999; Harahap, et al. 2005, Fairhurst and Hardter, 2004, PASPI, 2014). Perkebunan Kelapa sawit merupakan bagian penting dari pelestarian siklus karbondioksida(CO2), oksigen (O2) dan air (H2O). Kemampuan perkebunan Kelapa sawit dalam menyerap CO2 dan menghasilkan O2 lebih tinggi dari kemampuan hutan primer. Dengan melihat planet bumi sebagai satu ekosistem, fungsi ekologis perkebunan Kelapa sawit tersebut dinikmati bersama dan gratis oleh masyarakat dunia. Dengan manfaat ekonomi, sosial dan ekologis dari industri minyak sawit yang demikian, maka setiap pengembangan perkebunan kelapa sawit yang bertujuan untuk meningkatkan produksi CPO, merupakan cara memperbesar manfaat tersebut bagi masyarakat. Demikian juga untuk setiap peningkatan nilai tambah CPO seperti hilirisasi juga merupakan upaya memperbesar manfaat industri minyak sawit bagi masyarakat.
I. Pendahuluan
1
Sampai tahun 2013, Indonesia telah berhasil mengembangkan perkebunan Kelapa sawit sekitar 9.2 juta hektar dengan produksi CPO sebesar 26.5 juta ton. Dengan produksi CPO sebesar itu, Indonesia berhasil menjadi produsen CPO terbesar dunia. Prestasi yang impressive tersebut perlu dipertahankan dan ditingkatkan kualitasnya secara berkelanjutan, sehingga multi manfaat yang dihasilkan makin besar,bermutu dan makin meluas secara lintas generasi. Mempertahankan dan meningkatkan kualitas sebagai produsen CPO terbesar dunia kedepan, Indonesia menghadapi tantangan yang makin kompleks. Berbagai perubahan yang tekait industri minyak sawit akan terjadi baik di pasar domestik maupun pasar global, yang diantaranya sebagai berikut. Pertama, Ketersediaan lahan untuk perluasan kebun sawit di Indonesia makin terbatas kedepan. Keterbatasan lahan ini memiliki impIikasi penting bagi upaya peningkatan produksi CPO kedepan. Cara cara lama peningkatan produksi CPO melalui peluasan areal perkebunan Kelapa sawit seperti selama ini, harus beralih kepada cara cara baru yang makin berkualitas yakni melalui peningkatan produktivitas CPO dari lahan yang telah ada. Kedua, Ketergantungan Indonesia pada pasar CPO global sangat tinggi dan berisiko tinggi. Indonesia sebagai produsen CPO terbesar dunia sebagian besar (70 persen)CPO yang dihasilkan, dipasarkan ke pasar internasional dan hanya 30 persen diserap didalam negeri. Ketergantungan pada pasar CPO dunia yang demikian memiliki risiko tinggi dan tidak berkelanjutan, karena dengan mudah dipermainkan pasar internasional. Oleh karena itu pengembangan pasar CPO dalam negeri melalui hilirisasi perlu dipercepat agar sebagian besar produksi CPO diserap didalam negeri baik untuk kebutuhan domestik dan diekspor dalam bentuk olahan/produk jadi. Kedua hal tersebut tersebut ditempatkan dalam konteks perubahan lingkungan global yang sedang berubah. Berbagai purubahan lingkungan global kedepan seperti pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan perubahan pusat-pusat perekonomian global, pergeseran selera dan persaingan antar minyak nabati global, perubahan iklim global,merupakan bagian dari tantangan masa depan yang perlu dipertimbangkan agar industri minyak sawit Indonesia dapat survive secara berkelanjutan serta memberi manfaat maksimal bagi Indonesia. Tantangan masa depan yang demikian mengundang pertanyaan strategis berikut : Bagimana industri minyak sawit Indonesia kedepan misalnya menuju tahun 2050? Atau sebagai produsen CPO dan sekaligus produsen minyak nabati terbesar dunia, Indonesia ingin seperti apa dengan industri minyak sawitnya? jawaban tantangan
2
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
tersebut disajikan dalam cetak biru (blue print) dan Roadmap Industri minyak sawit menuju 2050. Dalam penyusunan cetak biru dan roadmap industri minyak sawit Indonesia ini, selain mengakomodasikan berbagai perubahan yang mungkin terjadi dalam perekonomian Indonesia juga mengakomodir proyeksi-proyeksi yang dilakukan oleh badan-badan internasional diberbagai bidang seperti proyeksi ekonomi global, populasi penduduk, pangan dan energi menuju tahun 2050. Dengan demikian cetak biru dan roadmap industri minyak sawit Indonesia berada pada proyeksi global tersebut. Namun demikian beberapa penyesuaian dilakukan untuk mengakomodir target posisi Indonesia dalam pasar minyak nabati global. Buku cetak biru dan roadmap industri minyak sawit Indonesia menuju 2050 berisikan: Pendahuluan, Evaluasi Perkembangan Mutakhir Pasar Minyak Nabati Dunia, Evaluasi Perkembangan Mutakhir Industri minyak sawit Indonesia, Analisis Perubahan dan Proyeksi Pasar Minyak Nabati Global Menuju 2050, Peranan Industri minyak sawit dalam Perekonomian Indonesia, Industri minyak sawit Indonesia 2050, Kebijakan Strategis Industri minyak sawit 2050 dan Penutup.
I. Pendahuluan
3
4
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
BAB II EVALUASI PERKEMBANGAN MUTAKHIR PASAR MINYAK NABATI DUNIA
2.1.
Populasi, Distribusi dan Pertumbuhan Penduduk Dunia
Jumlah penduduk dunia pada tahun 2014 ini menurut data Bank Dunia telah mencapai 7.084.547.400 jiwa. Penduduk Indonesia berjumlah 248,201.749 jiwa (3.5% dari total penduduk dunia) dan berada pada urutan keempat terbesar di dunia setelah China (1.358.013.327 jiwa), India (1.243.387.340 jiwa) dan Amerika Serikat (315.614.887). Perkembangan penduduk dunia dapat dilihat berdasarkan kelompok kawasan, sebagamana pada Tabel 2.1. Tabel 2.1.
Penduduk Dunia Berdasarkan Kawasan (Juta jiwa)
Kawasan
1970
2000
2006
2015E
2030E
2050E
World
3 676
6 095
6 569
7 275
8 276
9 111
Developed countries
1 079
1 318
1 351
1 396
1 437
1 439
Developing countries
2 597
4 778
5 218
5 879
6 839
7 671
Sub-Sahara Afrika
270
625
730
912
1 245
1 686
Near East/Afrika Utara
181
387
432
504
615
726
Amerika Latin dan Caribia
282
515
556
611
682
721
708
1 375
1 520
1 729
2 016
2 242
1 147
1 857
1 957
2 096
2 247
2 255
Asia Selatan Asia Timur Sumber : World Population, UN, 2014
Penduduk dunia pada tahun 1970 mencapai 3.676 milyar jiwa, dan estimasi pada tahun 2015 meningkat hampir dua kali lipat menjadi 7,276 milyar jiwa. Dan diperkirakan pada tahun 2050 akan mencapai 9.11 milyar. Sebanyak 19.19 % penduduk dunia berada di negara maju (developed countries), dan selebihnya, 80,81 % adalah penduduk di negara sedang berkembang (developing countries), yang dapat dirinci berdasarkan kawasan, yakni Sub-Sahara Afrika sebanyak 12,54%, Near East/Afrika Utara 6.93%, Amerika Latin dan Caribia 8.40%, Asia Selatan 23,77% dan Asia Timur sebanyak 28.81%.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
5
10,000
Juta Jiwa
8,000 6,000 4,000 2,000 1950 1970 1980 1990 2000 2010 2020 2030 2040 2050
0
Oceania Amerika Utara .New Independent States Eropa Timur Eropa Barat Amerika Latin dan Caribia Asia Near East .North Africa .Sub-Saharan Africa
Gambar 2.1. Perkembangan Penduduk Dunia berdasarkan Kawasan Sumber: FAO (2012)
Pertumbuhan penduduk dunia pada kurun waktu 1970-2000 rata-rata bertambah 1.7 %/tahun, tahun 2000-2015 menurun menjadi 0.97 %/tahun, dan periode 2015-2030 menurun 0.48 %/tahun, sedangkan pada kurun waktu 2030-2050 meningkat menjadi rata-rata 0.75 %/tahun. Pertumbuhan penduduk di negara maju lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk di negara sedang berkembang. Pada kurun waktu 2000-2015, pertumbuhan penduduk negara maju adalah 0.01 %/tahun sedangkan negara berkembang seebesar 0.58 %/tahun. Rendahnya tingkat pertumbuhan di negara mau disebabkan oleh menurunnya tingkat fertilitas penduduk di negara-negara tersebut, dan cenderung semakin menurun dari tahun 2025 hingga tahun 2050. Sebaliknya, di negara-negara berkembang, kecuali China, penduduk di masing-masing kawasan cenderung meningkat. Pertumbuhan penduduk tertinggi terlihat pada negara SubSahara Afrika, Near East dan Afrika Utara (Tabel 2.2.). Tabel 2.2. Perkembangan Penduduk Dunia Berdasarkan Kawasan (Juta jiwa) Pertumbuhan (% pertahun) Kawasan 1970-2000 2000-2015 2015-2030 2030-2050 World (countries with FBS) 1.7 0.97 0.48 0.75 Developed countries 0.67 0.26 0.01 0.14 Developing countries 2.05 1.13 0.58 0.88 Sub-Sahara Afrika 2.84 2.25 1.53 1.92 Near East/Afrika Utara 2.57 1.48 0.83 1.19 Amerika Latin dan Caribia 2.03 0.85 0.28 0.59 Asia Selatan 2.24 1.18 0.53 0.89 Asia Timur 1.62 0.58 0.02 0.32 Sumber: FAO (2012)
6
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
2.2.
Perekonomian Kawasan/Global
Perkembangan ekonomi pada horizon waktu jangka panjang bertujuan untuk memberikan gambaran visual adanya perbedaan yang signifikan antara keadaan saat ini dengan proyeksi di masa mendatang. GDP per kapita dunia pada harga konstan tahun 2005-2007 adalah 7603 USD/kapita/tahun, diperkirakan akan mencapai 13758 USD/kapita/tahun. Pertumbuhan GDP dunia rata-rata bertumbuah 2.47 % per tahun pada kurun waktu 2005-2030, dan sedikit leih rendah jika diukur dalam jangka panjang, 2005-2050 yakni 2,11 % per tahun. Pertumbuhan GDP per kapita dalam kurun waktu 2005-2050 adalah 1,36 % per tahun. Rata-rata GDP per kapita di negara maju pada tahun 2005/2007 adalah 27880 USD/kapita dan pada tahun 2050 diperkirakan akan mencapai 47121 USD/kapita. Rata-rata GDP per kapita di negara sedang berkembang akan meningkat dari 2350 tahun 2005/2007 menjadi 7499 USD/kapita pada tahun 2050. Rata-rata pertumbuhan GDP per kapita di negara maju adalah 1.2 % per tahun, sedangkan di negara berkembang sebesar 2,67% per tahun. Jika dibandingkan dengan rata-rata GDP per kapita di negara sedang berkembang, rata-rata tertinggi adalah kawasan Asia Timur, yang meningkat dari 2738 USD/kapita menjadi 14428 USD/kapita pada tahun 2050, sebaliknya, terendah adalah di Asia Selatan dan Sub Sahara Afrika (Tabel 2.3.). Diantara negara sedang berkembang, terdapat 45 negara yang memiliki tingkat GDP per kapita dibawah 1000 USD/kapita/tahun. Table 2.3 Asumsi GDP Pertumbuhan (%/tahun) Total GDP
GDP per kapita
GDP per capita
at intern PPP$
at 2005/2007 exchange rates
20052030 2.47 4.47 4.64 3.54
20052050 2.11 3.58 4.17 2.92
20052030 1.49 3.3 2.34 2.03
20052050 1.36 2.67 2.2 1.72
2005/ 2007 9 510 4 704 1 363 7 696
2005/ 2007 7 603 2 350 666 3 858
13 758 7 499 1 736 8 160
2.45
2.09
1.58
1.49
9 539
5 726
10 966
4.9 5.51 1.56
4.05 4.18 1.34
3.67 4.9 1.3
3.14 3.85 1.2
2 316 5 406 28 056
814 2 738 27 880
3 169 14 428 47 121
45 Developing with GDP/cap under $1000 in 2005/07
4.73
4.02
3.15
2.73
721
2 361
Other Developing
4.43
3.49
3.65
2.98
3 763
13 698
World Developing countries Sub-Sahara Afrika Near East/Afrika Utara Amerika Latin dan Caribia Asia Selatan Asia Timur Developed countries
2050
Catatan
Sumber: FAO (2012)
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
7
Perkembangan GDP pada masing-masing kawasan disajikan pada Tabel 2.4 dan Gambar 2.2. Table 2.4
Perkembangan GDP berdasarkan Kawasan (Million USD, pada Harga Konstan 2005) 1980
European Union
1990
2000
17,926 24,007 30,295
East Asia
674
1,409
South Asia
263
Near East/North Africa
804
2005
2010
2020
33,650 34,865 43,348
2030
2050
50,740
64,995
21,073
45,043
2,898
4,086
5,824 11,692
448
752
1,013
1,431
2,783
5,331
16,020
974
1,369
1,728
2,043
3,109
4,556
8,013
1,250
1,455
1,988
2,260
2,596
3,743
5,066
7,805
96
126
167
208
264
501
1,027
4,630
Other WesternEurope
404
512
633
690
740
895
1,052
1,384
Other EasternEurope
147
173
89
128
143
182
214
260
16
16
7
11
14
18
24
41
Latin America and Caribbean Sub-saharan Africa
Central Asia
21,580 29,121 38,199
World
43,773 47,920 66,272
89,084 148,191
Sumber: FAO (2012) 70000
160000
60000
140000
50000
120000
40000 30000
East Asia
80000
South Asia
20000
40000
10000
20000 0 1980 1990 2000 2005 2010 2020 2030 2050
European Union
100000 60000
0
World
Near East/ North Africa Latin America and Caribbean Sub- saharan Africa
Gambar 2.2. Perkembangan Penduduk Dunia berdasarkan Kawasan
Dampak dari meningkatnya penduduk global, dan disertai peningkatan GDP maupun GDP per kapita adalah meningkatnya konsumsi pangan di masa mendatang. Kedua variabel tersebut (pertambahan penduduk dan pertumbuhan pendapatan per kapita) juga akan mendorong pertumbuhan konsumsi per kapita minyak nabati dunia, dan akan mempengaruhi total konsumsi minyak nabati dunia maupun tingkat produksi minyak nabati dunia di masa mendatang.
8
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
2.3.
Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia Perkembangan konsumsi minyak nabati utama dunia pada tahun 1965 adalah 5228 juta ton. Hampir 60 % konsumsi minyak nabati dunia adalah minyak kedele, diikuti minyak rapeseed sebanyak 25%, dan minyak sawit (15%) dan minyak bunga matahari 0,67 %. Pada tahun 1980, konsumsi minyak nabati dunia meningkat 3,5 kali lipat menjadi 18000 juta ton. Hal ini menunjukkan perkembangan yang pesat, yakni sebesar 22.95% per tahun. Seiring dengan itu, pola konsumsi minyak nabati dunia berubah, dimana pangsa minyak sawit semakin besar dari 15% menjadi 21% dari total konsumsi minyak batai utama dunia, sedangkan pangsa konsumsi minyak kedele turun dari 60% menjadi 55%. Perkembangan pesat terlihat pada sunflower oil dari 0,67% menjadi 9.62%. Pangsa konsumsi rapeseed menurun menjadi 13.62%. Pada tahun 2014, seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan per kapita, konsumsi minyak nabati dunia meningkat 8.4 kali lipat dibanding tahun 1980 menjadi 151.618 juta ton. Rata-rata konsumsi minyak nabati dunia meningkat lebih pesat, yakni 24.77 % per tahun. Hal ini juga berdampak pada perubahan pola konsumsi minyak nabati dunia, dimana pangsa minyak sawit kini menduduki pangsa terbesar yakni 41% dan mengungguli dominasi minyak kedele dengan share dunia sebesar 32%. Pangsa konsumsi sunflower oil cendeung sama, yakni 10% sedangkan pangsa konsumsi rapeseed meningkat menjadi 17%.
Sumber: Oil World Gambar 2.3. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia 1965, 1980, 2014
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
9
Perkembangan konsumsi minyak nabati dunia cenderung meningkat setiap tahun. Konsumsi minyak kedele (soybean oil - SBO) pada tahun 2000 mencapai 27.814 juta ton dan pada tahun 2014 naik menjadi 48692 juta ton, dengan pertumbuhan rata-rata 5.36 % per tahun. Sementara itu konsumsi minyak sawit (palm oil - PO) pada tahun 2000 mencapai 23642 juta ton dan pada tahun 2014 naik menjadi 62267 juta ton, dengan laju pertumbuhan rata-rata 11.67 % per tahun. (Gambar 2.4). Keadaan ini tercermin dari perkembangan pangsa minyak nabati (Gambar 2.5), dimana terlihat pangsa minyak kedele cenderung menurun dari tahun ke tahun, sebaliknya minyak sawit cenderung meningkat setiap tahun. 200 150
50
100 25 -
Juta Ton
Juta Ton
75
50 1965
1980
1990
2000
2010
2014
Total
5,228
18,000 36,377 72,986 126,44 151,61
SBO
3,120
9,935
13,667 27,814 43,690 48,692
PO
776
3,882
10,465 23,642 47,774 62,267
RSO
1,297
2,452
6,198
13,379 23,163 25,464
SFO
35
1,731
6,047
8,151
-
11,817 15,195
Sumber: Oil World Gambar 2.4. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia 1965 – 2014
Sumber: Oil World Gambar 2.5. Perkembangan Pangsa Konsumsi Minyak Nabati Dunia
10
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
2.4.
Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati per Kawasan
Minyak Kedele (Soybean Oil). Minyak kedele merupakan salah satu sumber utama minyak nabati dunia. Hingga tahun 2008, minyak kedele memiliki pangsa terbesar dan mendominasi sumber minyak nabati utama lainnya. Pada tahun 2014, minyak kedele memiliki pangsa dunia sebesar 32.1%. Perkembangan konsumsi minyak kedele dunia berdasarkan kawasan pada kurun waktu 1965-2014 disajikan pada 2.6. 60000
Central Asia
Other Eastern Europe
50000
Other Western Europe Developed Countries
40000
USA 30000
European Union East Asia
20000
South Asia 10000
Near East/ North Africa
Sub- saharan Africa 2014
2010
2005
2000
1995
1990
1985
1980
1975
1970
1965
0
Latin American and Caribean
Sumber: Oil World Gambar 2.6. Konsumsi Minyak Kedele berdasarkan Kawasan tahun 1965-2014
Dalam kurun waktu 1965-2014, rata-rata konsumsi minyak kedele dunia meningkat rata-rata 6,19 % per tahun. Bila dilihat berdasarkan kawasan, negara konsumen terbesar dunia adalah Amerika Serikat (AS). Rata-rata konsumsi minyak kedele AS mencapai 42% dari total minyak kedele dunia. Dari sisi volume konsumsi kedele Amerika Serikat cenderung meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 3.18 % per tahun. Namun dari sisi pangsa konsumsi terhadap total kedele dunia, dapat dilihat bahwa pangsa konsumsi AS cenderung menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 1965, pangsa konsumsi minyak kedele AS
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
11
50000 45000 40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0
Konsumsi Soybean Oil
Sisa Dunia Mesir Iran
Meksiko EU-27 Argentina India
Tahun
2014
2010
2005
2000
1995
1990
1985
1980
1975
1970
Brazil 1965
Ribu Ton
adalah 76.19%, tahun 1980 menjadi 44.76%, tahun 2000 turun menjadi 27.30% dan pada tahun 2014 menurun menjadi 16.93%. Disamping itu juga terdapat perubahan pola konsumsi minyak kedele antar kawasan. Pada tahun 1965, hampir 80% konsumsi minyak kedele dunia adalah Amerika Serikat. Tahun 1980 pangsa konsumsi minyak kedele menyebar di Amerika Serikat 44.76%, Latin Amerika dan Karibia sebesar 24.55% dan Asia Selatan 10.34%. Tahun 2000 pangsa konsumsi minyak kedele Amerika Serikat menurun menjadi 27.30%, Latin Amerika dan Karibia menurun menjadi 19.01%, Asia Selatan menurun menjadi 10.21%, namun Asia Timur meningkat dari 6.81% (1980) menjadi 18.64%. Tahun 2014 pangsa konsumsi minyak kedele Amerika Serikat menurun menjadi 16.93, Amerika Latin dan Karibia naik menjadi 23.91% dan Asia Timur meningkat menjadi 33.15%. Perkembangan terakhir menunjukkan, dalam kurun waktu 20102014, negara konsumen terbesar minyak kedele di dunia adalah China 29.45%, USA 19.0%, Brazil 12.8%, India 7.0%, Argentina 6.2%, EU-27 4.6%, Meksiko 2.0%, Iran 1.5%, Mesir 1.3% dan Sisa Dunia 16.0% (gambar 2.7).
USA China
Sumber: Oil World Gambar 2.7. Negara Konsumen Terbesar Minyak Kedele Dunia 1965-2014
12
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Minyak Sawit (Palm Oil). Sejak tahun 2008, minyak sawit menggeser dominasi minyak kedele dunia dan sekalgus menempatkan minyak sawit sebagai sumber penting minyak nabati dunia. Pada tahun 2014, minyak sawit memiliki pangsa dunia sebesar 42.1%. Perkembangan konsumsi minyak sawit dunia berdasarkan kawasan pada kurun waktu 1965-2014 disajikan pada 2.8. 70
Central Asia
60
Other Eastern Europe Other Western Europe
Juta Ton
50
Developed Countries
40
USA European Union
30
East Asia 20
South Asia
10
Near East/ North Africa Sub- saharan Africa 2014
2010
2005
2000
1995
1990
1985
1980
1975
1970
1965
0
Latin American and Caribean
Sumber: Oil World Gambar 2.8. Konsumsi Minyak Sawit berdasarkan Kawasan tahun 1965-2014
Dalam kurun waktu 1965-2014, rata-rata konsumsi minyak sawit dunia meningkat rata-rata 9.42 % per tahun. Bila dilihat berdasarkan kawasan, konsumen terbesar dunia adalah kawasan Asia Timur (15 negara). Konsumsi kawasan Asia Timur mencapai rata-rata 40.2% dari total minyak sawit dunia. Dari sisi volume konsumsi minyak sawit kawasan Asia Timur cenderung meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 15 % per tahun. Dari sisi pangsa, konsumsi minyak sawit Asia Timur juga meningkat pesat dan tertinggi dibandingkan kawasan lainnya. Pada tahun 1965, pangsa konsumsi minyak sawit Asia Timur adalah 11.28%, tahun 1980 menjadi 31.705%, tahun 2000 naik menjadi 37.88% dan pada tahun 2014 naik menjadi 42.82%.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
13
Disamping itu juga terdapat pergeseran pola konsumsi minyak sawit antar kawasan, yang awalnya (1965) didominasi oleh Sub Sahara Afrika (77.82%) menuju Asia, baik Asia Timur maupun Asia Selatan. Pada tahun 1965, sekitar 78% konsumsi terbesar minyak sawit dunia adalah Afrika Selatan. Tahun 1980 pangsa konsumsi minyak sawit menyebar di Sub Sahara Afrika 34.14%, Asia Timur 31.05% dan Asia Selatan 19.04%. Tahun 2000 pangsa konsumsi minyak sawit Sub Sahara Afrika menurun menjadi 12.76%, Asia Timur dan Asia Selatan naik masing-masing menjadi 37.88% dan 24.06%. Tahun 2014 pangsa konsumsi minyak sawit Sub Sahara Afrika menurun menjadi 10.42%, Asia Timur naik menjadi 42.82% dan Asia Selatan turun menjadi 20.73%. Perkembangan terakhir menunjukkan, dalam kurun waktu 20102014, negara konsumen terbesar minyak sawit di dunia adalah Indonesia 15.8%, India 14.9%, China 11.5%, EU-27 10.9%, Malaysia 4.5%, Pakistan 4.2%, Thailand 3.0%, Nigeria 2.5% dan USA 2.2%. Selebihnya, sekitar 30% dikonsumsi oleh Sisa dunia (Gambar 2.9)
JJuta Ton
70
Konsumsi CPO
ROW
60
USA
50
Nigeria
40
Thailand
30
Pakistan
20
Malaysia
10
EU-27 China 1964 1967 1970 1973 1976 1979 1982 1985 1988 1991 1994 1997 2000 2003 2006 2009 2012
0
Tahun
India Indonesia
Sumber: Oil World Gambar 2.9. Negara Konsumen Terbesar Minyak Sawit Dunia 1965-2014
14
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Rapeseed Oil . Rapeseed oil merupakan sumber minyak nabati terbesar ketiga setelah minyak sawit dan minyak kedele. Pada tahun 2014, Rapeseed Oil memiliki pangsa dunia sebesar 16.8%. Perkembangan konsumsi Rapeseed Oil dunia berdasarkan kawasan pada kurun waktu 1965-2014 (gambar 2.10). 30
Central Asia Other Eastern Europe
25 Juta Ton
Other Western Europe 20 Developed Countries 15
USA European Union
10
East Asia 5
South Asia 2014
2010
2005
2000
1995
1990
1985
1980
1975
1970
1965
0
Near East/ North Africa Sub- saharan Africa
Sumber: Oil World Gambar 2.10. Konsumsi Rapeseed Oil berdasarkan Kawasan tahun 1965-2014
Dalam kurun waktu 1965-2014, rata-rata konsumsi Rapeseed Oil dunia meningkat rata-rata 6,99 % per tahun. Bila dilihat berdasarkan kawasan, konsumen terbesar rapeseed dunia adalah Asia Timur (28.3%), Uni Eropa (23.8%) dan Negara-negara Maju (21.9%). Dari sisi pangsa konsumsi terhadap total rapeseed oil dunia, dapat perkembangan pangsa konsumsi rapeseed oil dunia. Pada tahun 1965, pangsa konsumsi Rapeseed Oil terbesar adalah Asia Selatan yakni 46.84%, namun hanya bertahan hingga tahun 1980 dengan penurunan pangsa menjadi 27.03%. Konsumsi rapeseed menyebar ke kawasan lainnya. Tahun 1980, konsumsi rapeseed oil terbesar adalah Negara Maju, yakni 33.42%, dan Asia Timur 28.99%. Tahun 2000, konsumsi rapeseed oil Negara Maju menurun menjadi 23.30%, dan pangsa konsumsi rapeseed Asia Timur naik menjadi 29.21%, dan Negara Uni Eropa meningkat pesat menjadi
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
15
25.93% Tahun 2014, konsumsi rapeseed oil dodominasi oleh kawasan Uni Eropa dengan pangsa 33.79%, diikuti kawasan Asia Timur dengan pangsa 27.10% dan Negara Maju 16.27%. Data di atas sekaligus menggambarkan perubahan pola konsumsi rapeseed oil dunia antar kawasan. Dalam kurun waktu 2010-2014, negara konsumen terbesar Rapeseed Oil di dunia adalah EU-27 41.7%, China 29.2%, United States 8.2%, Japan 4.5%, Mexico 2.9%, Canada 2.6%, India 2.5%, Pakistan 1.9%, Norway 1.4% dan sisanya 5.1% adalah konsumsi sisa dunia (rest of the world) (Gambar 2.11). 30
Konsumsi Rapeseed Oil 25
Norway Pakistan
20 Juta Ton
ROW
India 15
Canada Mexico
10
Japan 5
United States China 1964 1967 1970 1973 1976 1979 1982 1985 1988 1991 1994 1997 2000 2003 2006 2009 2012
0
EU-27
Sumber: Oil World Gambar 2.11. Negara Konsumen Terbesar Rapeseed Oil Dunia 1965-2014
Minyak Bunga Matahari (Sunflower Oil). Sunflower oil merupakan sumber minyak nabati terbesar keempat setelah minyak sawit, minyak kedele dan rapeseed oil . Pada tahun 2014, Sunflower Oil memiliki pangsa dunia sebesar 10.0%. Perkembangan konsumsi Sunflower Oil dunia berdasarkan kawasan pada kurun waktu 19652014 disajikan pada gambar 2.12.
16
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Juta Ton
16
Central Asia
14
Other Eastern Europe
12
Other Western Europe
10
Developed Countries
8
USA
6
European Union
4
East Asia
2
South Asia Near East/ North Africa 2014
2010
2005
2000
1995
1990
1985
1980
1975
1970
1965
1964
0
Sub- saharan Africa
Sumber: Oil World Gambar 2.12. Konsumsi Sunflower Oil berdasarkan Kawasan tahun 1965-2014
Meskipun pangsa sunflower oil hanya 10% dari total minyak nabati utama dunia, namun perkembangannya cukup pesat. Pada tahun 1965, konsumsi sunflower oil adalah 28.000 ton, dan pada tahun 2014 telah mencapai 15.195.000 ton. Hal tersebut menunjukkan dalam kurun waktu 1965-2014, rata-rata konsumsi sunflower oil dunia meningkat rata-rata 40.25 % per tahun. Secara umum, konsumen terbesar sunflower oil dunia adalah kawasan Uni Eropa (23.74%), Negara-negara Maju (19.1%) dan kawasan near East/Afrika Utara (16.10%). Dari sisi pangsa konsumsi dapat dilihat perkembangan konsumsi sunflower oil dunia. Pada tahun 1965, konsumsi sunflower oil terbesar adalah Near East/ Afrika Utara dan Eropa Barat, dengan pangsa masing-masing 57.14% dan 39.29%. Perkembangan konsumsi sunflower oil antar kawasan dunia menunjukkan bahwa konsumsi sunflower oil cendrung berpusat di Benua Eropa. Tahun 1980, konsumsi sunflower oil terbesar adalah Amerika Latin dan Karibia (29.17%), Near East/ Afrika Utara (22.65%), Uni Eropa (21.37%) dan Negara Maju (13.46%). Tahun 2000, konsumsi sunflower oil di kawasan Amerika Latin dan Karibia menurun drastis II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
17
menjadi 8.44%, kawasan Near East/Afrika Utara juga menurun menjadi 11.77%, sedangkan pangsa konsumsi sunflower oil di kawasan Uni Eropa naik menjadi 31.35% dan Negara Maju naik menjadi 21.59%. Tahun 2014, konsumsi sunflower oil terbesar adalah Uni Eropa (24.17%), diikuti Near East/ Afrika Utara (20.68%), Negara Maju (18.76%). Sedangkan Amerika Latin dan Karibia menurun menjadi 6.30%, sebaliknya konsumsi kawasan Asia Selatan naik menjadi 12.70%). Dalam kurun waktu 2010-2014, berdasarkan ranking tertinggi, negara konsumen terbesar sunflower oil di dunia adalah EU-27 sebesar 26.5%, Russian 15.9%, India 9.6%, Turkey 7.6%, China 5.2%, Egypt 5.2%, Argentina 4.7%, Ukraine 4.2%, South Africa 2.8% dan sisa dunia 18.2% (Gambar 2.13).
Juta Ton
16
ROW
Konsumsi Sunflower Oil
14
South Africa
12
Ukraine
10
Argentina
8
Egypt
6
China Turkey
4
India
2012
2009
2006
2003
2000
1997
1994
1991
1988
1985
1982
1979
1976
1973
1970
1967
0
1964
2
Russian Federation EU-27
Sumber: Oil World Gambar 2.13. Negara Konsumen Terbesar Sunflower Oil Dunia 1965-2014
2.5.
Pola Konsumsi Minyak Nabati Berdasarkan Kawasan
Amerika Latin dan Karibia. Kawasan Amerika Latin dan Karibia merupakan konsumen utama minyak kedele (soybean oil/SBO). Minyak kedele memiliki proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu 1965-2014. Pada tahun 1965, hampir 60% konsumsi minyak 18
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
nabati di kawasan ini adalah minyak kedele, dan sisanya dipenuhi oleh rapeseed oil dan minyak sawit. Sejak tahun 1990 peran minyak sawit semakin besar, sedangkan proporsi minyak rapeseed dan minyak bunga matahari semakin menurun. (Gambar 2.14). 14 12
Juta Ton
10
8 6 4 2 1965
1980
1990
SBO
PO
2000 RSO
2010
2014
SFO
Sumber: Oil World Gambar 2.14. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Amerika Latin dan Karibia Tahun 1965-2014
Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Amerika Latin dan Karibia adalah 140.000 ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat 20 kali lipat menjadi 1.991.000 ton, atau rata-rata meningkat 135.8% per tahun. Peningkatan ini berdampak pada pangsa konsumsi minyak kedele naik dari 56.4% tahun 1965 menjadi 75.8% pada tahun 1980. Sumber konsumsi kedua adalah sonflower oil dengan pangsa 16.9%. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati cenderung bergeser ke sunflower oil, dimana pangsa minyak sawit dan rapeseed oil keduanya hanya berkisar 7%. Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak nabati naik dari sekitar 3 juta ton menjadi 5 juta ton lebih, dengan growth 7.1% per tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi oleh minyak kedele (61.1%), sedangkan peran minyak sawit semakin meningkat dari pangsa 6.7% pada tahun 1980 menjadi 16.5% pada tahun 1990, dan selebihnya adalah minyak bunga matahari (16.9%) dan rapeseed oil (5.5%). Tahun 2000 konsumsi nabati naik menjadi 7.5 juta
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
19
ton, dengan growth 4.7% per tahun. Dalam dekade 2000-2010, konsumsi minyak nabati di kawasan Amerika Latin dan Karibia bertumbuh pesat, yakni 8.8% per tahun, dan tahun 2010 konsumsi minyak nabati telah mencapai 14,2 juta ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata 3,7% per tahun menjadi 16.317 juta ton (Tabel 2.5) Tabel 2.5.
Nabati
Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Amerika Latin dan Karibia Tahun 1965-2014
Pangsa
1965
1980
1990
2000
2010
2014
%
79 56.4
2,267 75.8
3,129 61.1
5,154 68.4
10,344 72.9
11,593 71.0
%
29 20.7
200 6.7
843 16.5
1,253 16.6
2,482 17.5
2,992 18.3
32
19
284
435
698
775
%
22.9
0.6
5.5
5.8
4.9
4.7
%
0.0
505 16.9
863 16.9
688 9.1
668 4.7
957 5.9
140.0
2,991.0
5,119.0
7,530.0
14,192.0
16,317.0
135.8
7.1
4.7
8.8
3.7
SBO PO RSO SFO Total Growth
Konsumsi (JutaTon)
%/thn Sumber: Oil World
Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama minyak nabati di kawasan Amerika Latin dan Karibia adalah minyak kedele (71%), dan minyak sawit berada pada urutan kedua dengan proporsi 18.3%), sedangkan proporsi sun flower oil dan rapeseed oil masing-masing adalah 4.7% dan 5.9%.
20
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Sub Sahara Afrika. Minyak sawit merupakan sumber utama konsumsi minyak nabati di kawasan Sub Sahara Afrika. Sumber minyak nabati lainnya juga diperoleh dari minyak kedele dan rapeseed oil yang juga cenderung meningkat setiap tahun. Pada tahun 1965, hampir 90% konsumsi minyak nabati di kawasan ini adalah minyak sawit, dan sisanya dipenuhi oleh rapeseed oil dan minyak kedele. Sejak tahun 2000 peran minyak kedele dan minyak rapeseed semakin besar (Gambar 2.15). 7 6
Juta Ton
5
4 3 2 1 1965
1980
1990
SBO
PO
2000 RSO
2010
2014
SFO
Sumber: Oil World Gambar 2.15. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Sub Sahara Afrika Tahun 1965-2014
Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Sub Sahara Afrika adalah 711.900 ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat lebih dari 2 kali lipat menjadi 1.520.600 ton, atau rata-rata meningkat 7.6 % per tahun. Peningkatan ini berdampak pada pangsa konsumsi minyak kedele naik dari 1.5 % tahun 1965 menjadi 10.4% pada tahun 1980. Namun proporsi rapeseed oil menurun dari 12.5% menjadi 3.1%. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati cenderung berkembang pada konsumsi minyak kedele. Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak nabati naik dari sekitar 1.5 juta ton menjadi 2.8 juta ton lebih, dengan
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
21
growth 8.6% per tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi oleh minyak sawit (71.9%), sedangkan peran minyak sawit kedele menurun dari pangsa 10.4% pada tahun 1980 menjadi 6.0% pada tahun 1990, sementara minyak rapeseed meningkat dari pangsa 3.1% menjadi 22.2 %. Tahun 2000 konsumsi nabati naik menjadi 5.5 juta ton, dengan growth 9.3% per tahun. Dalam dekade 2000-2010, konsumsi minyak nabati di kawasan Sub Sahara Afrika bertumbuh pesat, yakni 9% per tahun, dan tahun 2010 konsumsi minyak nabati telah mencapai 10,4 juta ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata 2.3% per tahun menjadi 11.3 juta ton (Tabel 2.6). Tabel 2.6.
Nabati
Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Sub Sahara Afrika Tahun 1965-2014 Pangsa
SBO %
PO %
RSO %
SFO %
Total Growth
%/thn Sumber: Oil World
Konsumsi (Ribu Ton) 1965
1980
1990
2000
2010
2014
11
158
169
1,554
3,189
3,307
1.5
10.4
6.0
28.4
30.7
29.2
612
1,316
2,034
3,008
5,796
6,476
86.0
86.5
71.9
55.1
55.8
57.1
89
47
628
901
1,407
1,561
12.5
3.1
22.2
16.5
13.5
13.8
-
-
-
-
-
-
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
711.9
1,520.6
2,830.5
5,462.8
10,391.9
11,343.7
7.6
8.6
9.3
9.0
2.3
Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama minyak nabati di kawasan Sub Sahara Afrika adalah minyak sawit dengan pangsa (57.1%), dan minyak kedele berada pada urutan kedua dengan proporsi (29.2%), sedangkan rapeseed oil adalah 13.8%. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan minyak kedele dalam pola konsumsi minyak nabati di kawasan Sub Sahara Afrika. Sementara rapeseed oil cenderung merata pada kisaran 13 %. Near East dan Afrika Utara. Secara umum, kawasan Near East dan Afrika Utara merupakan konsumen utama minyak kedele (soybean oil=SBO). Minyak kedele memiliki proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu 1965-2014. Pada tahun 1965, sekitar 57 % konsumsi 22
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
minyak nabati di kawasan ini adalah minyak kedele, dan sisanya dipenuhi oleh sunflower oil dan minyak sawit. Sejak tahun 1990 peran sun flower oil dan minyak sawit semakin besar, namun laju pertumbuhan sun flower oil lebih besar dibandingkan dengan laju minyak sawit, yakni masing-masing 15.24% dan 6.76% per tahun (Gambar 2.16). 4
Juta Ton
3 3 2 2 1 1 1965
1980
1990
SBO
PO
2000 RSO
2010
2014
SFO
Sumber: Oil World Gambar 2.16. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Near East dan Afrika Utara Tahun 1965-2014
Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Near East dan Afrika Utara adalah 140.000 ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat 20 kali lipat menjadi 1.991.000 ton, atau rata-rata meningkat 135.8% per tahun. Peningkatan ini berdampak pada pangsa konsumsi minyak kedele naik dari 56.4% tahun 1965 menjadi 75.8% pada tahun 1980. Sumber konsumsi kedua adalah sonflower oil dengan pangsa 16.9%. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati cenderung bergeser ke sunflower oil, dimana pangsa minyak sawit dan rapeseed oil keduanya hanya berkisar 7%. Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak nabati naik dari sekitar 1.4 juta ton menjadi 2.9 juta ton lebih, dengan growth 10.6% per tahun. Sumber utama minyak nabati bergeser dari minyak kedele ke sunflower oil dengan pangsa 45.5 %. Sedangkan peran minyak sawit semakin meningkat dari pangsa 8.58% pada tahun 1980 menjadi 17.96% pada tahun 1990, sementara peran minyak kedele II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
23
menurun dari 51.1 % menjadi 27.3 %. Tahun 2000 konsumsi nabati naik menjadi 4.1 juta ton, dengan growth 4.1% per tahun. Dalam dekade 2000-2010, konsumsi minyak nabati di kawasan Near East dan Afrika Utara bertumbuh sebesar 5.4% per tahun, dan tahun 2010 konsumsi minyak nabati telah mencapai 6.3 juta ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata 6,7% per tahun menjadi 8 juta ton (Tabel 2.7). Tabel 2.7.
Nabati
Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Near East dan Afrika Utara Tahun 1965-2014 Pangsa
SBO %
PO %
RSO %
SFO %
Total Growth
%/thn Sumber: Oil World
Konsumsi (Ribu Ton) 1965
1980
1990
2000
2010
2014
94
720
791
2,010
2,631
2,644
56.6
51.1
27.3
49.0
41.5
32.9
-
121
521
1,100
1,811
2,163
-
8.58
17.96
26.82
28.58
26.89
57
177
270
33
131
95
34.3
12.6
9.3
0.8
2.1
1.2
15
392
1,319
959
1,764
3,143
9.0
27.8
45.5
23.4
27.8
39.1
166.0
1,398.0
3,699.0
3,961.0
6,290.0
9,025.0
49.5
16.5
0.7
5.9
10.9
Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama minyak nabati di kawasan Near East dan Afrika Utara adalah sun flower oil (39.1%), dan minyak kedele berada pada urutan kedua dengan proporsi 32.9%, diikuti minyak sawit dengan proporsi 26.89% proporsi dan rapeseed oil dalam jumlah kecil, yakni 1.2%. Proporsi minyak sawit meningkat pesat, sedangkan proporsi minyak kedele cenderung menurun dan proporsi rapeseed menurun tajam dari 34.3% (1965) menjadi 1.2% (2014). Asia Selatan. Kawasan Asia Selatan merupakan konsumen utama minyak sawit. Minyak sawit memiliki proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu 1965-2014 dengan pangsa rata-rata 42.4 %. Pada tahun 1965, konsumsi utama minyak nabati di kawasan ini adalah rapeseed oil dengan pangsa 77.5%, sementara minyak sawit baru 24
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
berkisar 2% dan minyak kedele sebsesar 20.6%. Sejak tahun 1980 peran minyak sawit mulai meningkat dan pada tahun 2014 telah menggeser dominasi rapeseed dan minyak kedele. Sementara pangsa sun flower oil masih tetap penting dengan pangsa sata-rata 12,5%. (Gambar 2.17). 14 12 Juta Ton
10 8 6 4 2
1965
1980
1990
SBO
PO
2000 RSO
2010
2014
SFO
Sumber: Oil World Gambar 2.17. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Asia Selatan Tahun 1965-2014
Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Asia Selatan adalah 0.8 juta ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat 3 kali lipat menjadi 2.4 juta ton, atau rata-rata meningkat dengan laju pertumbuhan 13 % per tahun. Peningkatan ini berdampak pada pangsa konsumsi minyak sawit naik dari 2% tahun 1965 menjadi 30.6% pada tahun 1980. Sedangkan pangsa konsumsi minyak kedele naik menjadi 39,8%, sementara rape seed oil menurun menjadi 28.7%. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati cenderung bergeser ke sunflower oil dan minyak sawit, sementara penurunan pangsa rapeseed oil cenderung menurun karena terbatasnya supply sumber minyak nabati ini di kawasan Asia Selatan. Dimana volume konsumsi 1965 tidak jauh berbeda dengan volume konsumsi rapeseed oil tahun 1980, yakni 629.000 ton dan 690.000 ton. Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak nabati naik dari sekitar 2.4 juta ton menjadi 3.1 juta ton, dengan growth 13% per tahun. Sumber utama minyak nabati didominasi oleh minyak kedele (39.8%), sedangkan peran minyak sawit semakin meningkat dengan pangsa 30.6% pada tahun 1990. dan selebihnya adalah minyak bunga matahari dengan pangsa 28.7%). Dalam dekade 1990-2000 II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
25
konsumsi nabati naik menjadi 10.5 juta ton, dengan pertumbuhan yang pesat sebesar 23.5% per tahun. Tahun 2010, konsumsi minyak nabati telah mencapai 15,8 juta ton dengan laju pertumbuhan 5.1% per tahun. Tahun 2014 laju konsumsi naik 3,7% per tahun menjadi 19.9 juta ton (Tabel 2.8). Tabel 2.8.
Nabati
Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Asia Selatan Tahun 1965-2014 Pangsa
SBO %
PO %
RSO %
SFO %
Total Growth
%/thn Sumber: Oil World
Konsumsi (Ribu Ton) 1965
1980
1990
2000
2010
2014
167
955
890
2,767
3,071
3,945
20.6
39.8
28.6
26.5
19.5
19.8
16
734
1,186
5,674
10,232
12,880
2.0
30.6
38.1
54.4
64.9
64.7
629
690
737
984
1,160
1,146
77.5
28.7
23.7
9.4
7.4
5.8
-
22
302
1,003
1,297
1,930
0.0
0.9
9.7
9.6
8.2
9.7
812.0
2,401.0
3,115.0
10,428.0
15,760.0
19,901.0
13.0
3.0
23.5
5.1
6.6
Pada tahun 2014, konsumsi utama minyak nabati terbesar di kawasan Asia Selatan adalah minyak sawit (64.7%), dan minyak kedele berada pada urutan kedua dengan proporsi 19.8%, sedangkan proporsi sun flower oil dan rapeseed oil masing-masing adalah 9.7% dan 5.8%. Proporsi minyak sawit meningkat pesat, sedangkan proporsi minyak kedele dan rapeseed oil menurun tajam. Hal ini menunjukkan pola konsumsi bergeser dari rapeseed dan minyak kedele ke minyak sawit. Asia Timur. Kawasan Asia Timur merupakan konsumen utama minyak sawit. Pola konsumsi minyak nabati di kawasan ini bergeser dari dominasi rapeseed oil pada tahun 1965 (57.9%) ke minyak sawit (1980-2014). Meski demikian, peran minyak kedele dan rapeseed oil tetap memiliki konstribusi penting, serta laju konsumsi tetap meningkat sepanjang tahun. Sejak tahun 2000 peran minyak kedele semakin besar dibandingkan dengan rapeseed. Peran sun flower oil cenderung stabil pada rata-rata pangsa 2.4 % (Gambar 2.18). 26
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
30
Juta Ton
25 20 15 10 5 1965
1980
1990
SBO
PO
2000 RSO
2010
2014
SFO
Sumber: Oil World Gambar 2.18. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Asia Timur Tahun 1965-2014
Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Asia Timur adalah 0.61 juta ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat 4.5 kali lipat menjadi 2.7 juta ton, dengan growth 23.5% per tahun. Peningkatan ini berdampak pada pangsa konsumsi minyak sawit naik dari 10.6% tahun 1965 menjadi 44% pada tahun 1980. Sumber konsumsi kedua adalah rape seed oil dengan pangsa 27.2% dan minyak kedele 23.1%. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati cenderung bergeser dari rapeseed ke minyak sawit dan minyak kedele. Kontribusi sunflower oil adalah 5.6%. Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak nabati naik dari sekitar 2.7 juta ton menjadi 9.3 juta ton, dengan growth 24.2% per tahun. Sumber utama minyak nabati terbesar tetap diperoleh dari minyak sawit (48.3%). Peran rapeseed oil tetap pada posisi kedua dengan pangsa 28.5% dan diikuti kontribusi minyak kedele dengan pangsa 20,6 % (menurun 2.6% dari pangsa tahun 1980). Tahun 2000 konsumsi nabati naik menjadi 18.8 juta ton, dengan growth 10.3% per tahun. Dalam dekade 2000-2010, konsumsi minyak nabati di kawasan
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
27
Asia Timur bertumbuh dengan laju 10.8% per tahun, dan tahun 2010 konsumsi minyak nabati telah mencapai 39,1 juta ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata 7.8% per tahun menjadi 51.4 juta ton (Tabel 2.9) Tabel 2.9.
Nabati
Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Asia Timur Tahun 1965-2014 Pangsa
SBO %
PO %
RSO %
SFO %
Total Growth
%/thn Sumber: Oil World
Konsumsi (Ribu Ton) 1965
1980
1990
2000
2010
2014
189
629
1,910
5,053
12,948
16,073
31.4
23.1
20.6
26.8
33.1
31.3
64
1,197
4,487
8,932
19,495
26,606
10.6
44.0
48.3
47.4
49.8
51.8
348
740
2,643
4,457
6,126
7,557
57.9
27.2
28.5
23.6
15.6
14.7
-
153
247
405
576
1,130
0.0
5.6
2.7
2.1
1.5
2.2
601.0
2,719.0
9,287.0
18,847.0
39,145.0
51,366.0
23.5
24.2
10.3
10.8
7.8
Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama minyak nabati di kawasan Asia Timur adalah minyak sawit (51.8%), dan minyak kedele berada pada urutan kedua dengan proporsi 31.3%, sedangkan proporsi rapeseed oil dan sun flower oil masing-masing adalah 14.7% dan 2.2%. Proporsi minyak sawit meningkat pesat dari 10.6% (1965) menjadi 51.8% (2014), sedangkan proporsi minyak kedele cenderung sama, yakni berkisar sepertiga dari konsumsi minyak nabati total, sedangkan rapeseed oil menurun tajam. Hal ini menunjukkan perubahan pola konsumsi dari rapeseed ke minyak sawit. Negara Maju (Developed Countries). Kawasan Negara Maju merupakan konsumen utama rapeseed oil. Minyak rapeseed memiliki proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu 1965-2014. Pada tahun 1965, sebanyak 52% konsumsi minyak nabati di kawasan ini adalah rapeseed oil, dan sisanya dipenuhi oleh minyak kedele 28.8% dan minyak sawit 18.6%. Sumber minyak nabati kedua terpenting di 28
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
kawasan ini adalah sunflower oil, dengan trend pertumbuhan positif sebesar 15% pada kurun waktu 1980-2014. Sedangkan laju soybean oil adalah 5% per tahun dan minyak sawit 5% per tahun. Pada Gambar 2.19, terlihat bahwa konstribusi minyak sawit relatif terendah dibandingkan sumber minyak nabati lainnya. 5 5
Juta Ton
4 4 3 3 2 2 1 1 1965
1980
1990
SBO
PO
2000 RSO
2010
2014
SFO
Sumber: Oil World Gambar 2.19. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Negara Maju Tahun 1965-2014
Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Negara Maju adalah 0.34 juta ton. Tahun 1980, meningkat 4 kali lipat lebih menjadi 1.5 juta ton, dengan laju pertumbuhan 21.8% per tahun. Peningkatan ini berdampak pada peningkatan pangsa konsumsi minyak rapeseed dari 52.3% tahun 1965 menjadi 58.1% pada tahun 1980. Sumber konsumsi kedua adalah sonflower oil dengan pangsa 15.9%. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati masih tetap didominasi minyak rapeseed dan berkembang pada permintaan sunflower oil, dan selebihnya bersumber dari minyak kedele dan minyak sawit, dengan proporsi keduanya mencapai 25%. Dalam dekade 1980 hingga 1990, konsumsi minyak nabati naik dari 1.5 juta ton menjadi 4.7 juta ton lebih, dengan growth 21.8% per tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi oleh rapeseed oil (52.1%), sedangkan peran sunflower oil semakin meningkat dari pangsa 15.9% pada tahun 1980 menjadi 31.4% pada tahun 1990, dan selebihnya adalah minyak kedele (9.6%) dan minyak sawit (6.9%). II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
29
Tahun 2000 konsumsi nabati naik menjadi 6.7 juta ton, dengan growth 4.1% per tahun. Dalam dekade 2000-2010, konsumsi minyak nabati di kawasan Negara Maju bertumbuh 4% per tahun, dan tahun 2010 konsumsi minyak nabati 8 juta ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata 2.8% per tahun menjadi 8.9 juta ton (Tabel 2.10). Tabel 2.10.
Nabati
Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Negara Maju Tahun 1965-2014 Pangsa
SBO %
PO %
RSO %
SFO %
Total Growth
%/thn Sumber: Oil World
Konsumsi (Ribu Ton) 1965
1980
1990
2000
2010
2014
99
234
456
904
731
830
28.8
15.9
9.6
13.5
9.1
9.3
64
148
328
459
642
685
18.6
10.1
6.9
6.9
8.0
7.7
180
853
2,473
3,555
4,094
4,536
52.3
58.1
52.1
53.2
51.2
51.0
1
233
1,490
1,760
2,529
2,851
0.3
15.9
31.4
26.4
31.6
32.0
344.0
1,468.0
4,747.0
6,678.0
7,996.0
8,902.0
21.8
22.3
4.1
2.0
2.8
Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama minyak nabati di kawasan Negara Maju adalah rapeseed oil (51%), dan minyak sawit berada pada urutan keempat dengan proporsi 7.7%, berada dibawah sunflower oil (32%) dan minyak kedele (9.3%). Tidak terdapat perubahan yang nyata dalam pola konsumsi minyak nabati, dimana tetap didominasi oleh rapeseed oil, yang didukung oleh sunflower oil, minyak kedele dan minyak sawit. Amerika Serikat. Negara Amerika Serikat merupakan konsumen utama minyak kedele (soybean oil=SBO). Minyak kedele memiliki proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu 1965-2014. Pada tahun 1965, sebanyak 98.8% konsumsi minyak nabati di kawasan ini adalah minyak kedele, dan sisanya dipenuhi oleh minyak sawit dan rapeseed oil serta sunflower oil dalam proporsi yang relatif kecil (Gambar 2.20). 30
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Juta Ton
9 8 7 6 5 4 3 2 1 1965
1980
1990
SBO
PO
2000
RSO
2010
2014
SFO
Sumber: Oil World Gambar 2.20. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Negara Amerika Serikat Tahun 1965-2014
Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati Negara Amerika Serikat adalah 2.2 juta ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat 2 kali lipat menjadi 4.3 juta ton, atau rata-rata meningkat 6.6% per tahun. Peningkatan ini berdampak pada permintaan minyak sawit naik dari 1.1% tahun 1965 menjadi 3.2% pada tahun 1980. Sumber lainnya adalah rapeseed oil dan sunflower oil. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati cenderung tidak berubah, yakni tetap pada minyak kedele. Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak nabati naik dari sekitar 4.3 juta ton menjadi 6 juta ton lebih, dengan growth 3.9% per tahun. Tahun 2000 konsumsi nabati naik menjadi 8.6 juta ton, dengan growth 4.3% per tahun. Dalam dekade 2000-2010, konsumsi minyak nabati di Negara Amerika Serikat bertumbuh 2.2 % per tahun, dan tahun 2010 konsumsi minyak nabati telah mencapai 10,5 juta ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata 3,6% per tahun menjadi 12 juta ton. Perkembangan volume konsumsi minyak kedele di Amerika serikat naik 2 juta ton per satu dekade, selama 1980 hingga 2010. Kemudian, pertumbuhan semakin cepat, dimana pertambahan 2 juta ton hanya diperlukan dalam 4 tahun. Sementara laju ketersediaan minyak kedele adalah rata-rata 3 % per tahun. Kebutuhan minyak nabati dipenuhi dari tiga sumber lainnya, yakni rapeseed oil, minyak sawit dan sunflower oil. Diantara ketiganya, laju pertumbuhan minyak II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
31
sawit relatif paling besar yakni 18% per tahun, sementara laju minyak rapeseed dan sunflower oil masing-masing adalah 9% dan 5% per tahun (Tabel 2.11). Tabel 2.11.
Nabati
Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Negara Amerika Serikat Tahun 1965-2014 Pangsa
SBO %
PO %
RSO %
SFO %
Total Growth
%/thn Sumber: Oil World
Konsumsi (Ribu Ton) 1965
1980
1990
2000
2010
2014
2,137
4,134
5,506
7,401
7,619
8,210
98.8
95.9
91.6
86.3
72.7
68.4
23
140
116
175
957
1,381
1.1
3.2
1.9
2.0
9.1
11.5
3
6
297
849
1,665
2,220
0.1
0.1
4.9
9.9
15.9
18.5
-
29
91
154
243
193
0.0
0.7
1.5
1.8
2.3
1.6
2,163.0
4,309.0
6,010.0
8,579.0
10,484.0
12,004.0
6.6
3.9
4.3
2.2
3.6
Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama minyak nabati di kawasan Asia Timur adalah minyak kedele (68.4%), dan minyak rapeseed berada pada urutan kedua dengan proporsi 18.5.3%, sedangkan proporsi minyak sawit dan sun flower oil masingmasing adalah 11.5% dan 1.6%. Pola konsumsi masih tetap didominasi minyak kedele, namun perkembangan minyak sawit dan minyak rapeseed juga pesat. Hal ini menunjukkan minyak sawit lebih bersifat komplementer, untuk memenuhi permintaan minyak nabati Amerika Serikat. Uni Eropa. Kawasan Uni Eropa merupakan konsumen utama rapeseed oil. Sunflower oil memiliki proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu 1990-2014. Pada tahun 1990, hampir sekitar 85% konsumsi minyak nabati di kawasan Uni Eropa adalah sungflower oil, dan sisanya dipenuhi oleh minyak kedele (14.9%) dan rapeseed oil (0.8%). Sejak tahun 2000 terjadi perubahan pola konsumsi dari
32
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
sunflower oil ke rapeseed oil dan minyak sawit. Sementara konsumsi minyak kedele cenderung menurun sejak tahun 2000 (Gambar 2.21). 12 10
Juta Ton
8 6 4
2 1965
1980
1990
SBO
PO
2000 RSO
2010
2014
SFO
Sumber: Oil World Gambar 2.21. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Uni Eropa Tahun 1965-2014
Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Uni Eropa adalah 1000 ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat menjadi 463000 ton. Tahun 2000 konsumsi minyak nabati meningkat sangat pesat menjadi 11,5 juta ton atau hampir 25 kali lipat dalam dekade 1990-2000. Peningkatan ini berdampak pada perubahan pola konsumsi, sunflower oil menurun dari 84.3% menjadi 22.2 %, sementara rapeseed meningkat pesat dari 0.8% menjadi 34.4% dan minyak sawit dari 0 menjadi 24.3%, serta minyak kedele naik dari 14.9% menjadi 19%. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati cenderung bergeser ke sunflower oil ke rapeseed dan Minyak sawit berada pada posisi kedua Dalam dekade 2000 ke 2010, konsumsi minyak nabati naik dari sekitar 11.5 juta ton menjadi 20.1 juta ton lebih, dengan growth 8.1% per tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi oleh rapeseed oil (46.4%), dan minyak sawit memiliki kontribusi penting dengan pangsa 23.6% dan selebihnya adalah minyak bunga matahari (16.9%) dan minyak kedele (13.2%). Tahun 2014 konsumsi nabati naik menjadi 21 juta ton, dengan growth 0.2% per tahun (Tabel 2.12)
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
33
Tabel 2.12.
Nabati
Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Uni Eropa Tahun 1965-2014 Pangsa
SBO %
PO %
RSO %
SFO %
Total Growth
%/thn Sumber: Oil World
Konsumsi (Ribu Ton) 1965
1980
1990
2000
2010
2014
-
86
71
2,186
2,745
1,780
0.0
18.6
14.9
19.0
13.2
8.5
-
-
-
2,790
4,910
6,125
0.0
0.0
0.0
24.3
23.6
29.2
1
7
4
3,956
9,666
9,420
100.0
1.5
0.8
34.4
46.4
44.9
-
370
403
2,555
3,524
3,673
0.0
79.9
84.3
22.2
16.9
17.5
1.0
463.0
478.0
11,487.0
20,845.0
20,998.0
3,080.0
0.3
230.3
8.1
0.2
Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama minyak nabati di kawasan Uni Eropa adalah rapeseed oil (44.9%), dan minyak sawit berada pada urutan kedua dengan proporsi 29.2%, sedangkan proporsi sun flower oil dan minyak kedele masing-masing adalah 17.5% dan 8.5%. Tahun 1980 dan 1990 pola konsumsi didominasi oleh sun flower oil, kemudian bergeser ke rapeseed oil pada tahun 2000 dan 2010. Minyak sawit memiliki peran kedua terpenting dalam memenuhi permintaan minyak nabati Uni Eropa. Minyak kedele lebih bersifat complementary, yakni untuk mencukup permintaan minyak nabati di Uni Eropa. Eropa Barat Lainnya. Dewasa ini kawasan Eropa Barat merupakan salah satu kawasan konsumen terbesar rapeseed oil. Namun kawasan ini mengalami perubahan pola konsumsi. Sejak tahun 1965 hingga 2000, sekitar 50% konsumsi minyak nabati Uni Eropa adalah minyak kedele. Dan sunflower oil merupakan sumber kedua terpenting dengan rata-rata pangsa 27%). Kemudian sejak 2000, pola konsumsi berubah drastis ke rapeseed oil dengan pangsa rata-rata 72.2 %. Sunflower oil tetap menempati urutan kedua terbesar, sedang pangsa minyak kedele merosot tajam menjadi 9%. Perubahan ini sekaligus menambah kontribusi minyak sawit di Uni Eropa, dengan pangsa rata-rata 8% (Gambar 2.22). 34
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
450 400 350 Ribu Ton
300
250 200 150
100 50 1965
1980 SBO
1990 PO
2000 RSO
2010
2014
SFO
Sumber: Oil World Gambar 2.22. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Eropa Barat Tahun 1965-2014
Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Eropa Barat adalah 52.000 ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat 2 kali lipat menjadi 105.000 ton, atau rata-rata meningkat 6.8% per tahun. Pola konsumsi pada tahun 1980 adalah minyak kedele dengan pangsa 50.5%, diikuti sunflower oil 25.7%, rapeseed oil 13.3% dan minyak sawit 10.5%. Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak nabati naik 15% dari 105.000 ton menjadi 121.000 ton, dengan growth 1.5% per tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi oleh minyak kedele (46.3%) dan sunflower oil berada pada urutan kedua (22.3%). Tahun 2000 konsumsi nabati naik menjadi 174.000 ton, dengan growth 4.4% per tahun. Dalam dekade 2000-2010, konsumsi minyak nabati di kawasan Eropa Barat bertumbuh pesat, yakni 11.6% per tahun, dan tahun 2010 konsumsi minyak nabati telah mencapai 375.000 ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata 10.3% per tahun menjadi 530.000 ton (Tabel 2.13).
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
35
Tabel 2.13.
Nabati
Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Eropa Barat Tahun 1965-2014 Pangsa
SBO %
PO %
RSO %
SFO %
Total Growth
%/thn Sumber: Oil World
Konsumsi (Ribu Ton) 1965
1980
1990
2000
2010
2014
29
53
56
63
37
43
55.8
50.5
46.3
36.2
9.9
8.1
-
11
17
29
28
45
0.0
10.5
14.0
16.7
7.5
8.5
4
14
21
41
261
396
7.7
13.3
17.4
23.6
69.6
74.7
19
27
27
41
49
46
36.5
25.7
22.3
23.6
13.1
8.7
52.0
105.0
121.0
174.0
375.0
530.0
6.8
1.5
4.4
11.6
10.3
. Data di atas menunjukkan adanya perubahan pola konsumsi dari minyak kedele dan sun flower oil ke minyak rapeseed, sedangkan konsumsi minyak sawit cenderung bersifat complementary, dengan pangsa rata-rata sekitar 10%. Europa Timur Lainnya. Kawasan Eropa Timur merupakan konsumen utama minyak kedele (soybean oil=SBO). Minyak kedele memiliki proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu 1965-2014. Pada tahun 1965, hampir 60% konsumsi minyak nabati di kawasan ini adalah minyak kedele, dan sisanya dipenuhi oleh rapeseed oil dan minyak sawit. Sejak tahun 1990 peran minyak sawit semakin besar, sedangkan proporsi minyak rapeseed dan minyak bunga matahari semakin menurun (Gambar 2.23).
36
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
1200 1000
Ribu Ton
800 600
400 200 0 1965
1980 SBO
1990 PO
2000 RSO
2010
2014
SFO
Sumber: Oil World Gambar 2.23. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Eropa Timur Tahun 1965-2014
Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Eropa Timur adalah 140.000 ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat 20 kali lipat menjadi 1.991.000 ton, atau rata-rata meningkat 135.8% per tahun. Peningkatan ini berdampak pada pangsa konsumsi minyak kedele naik dari 56.4% tahun 1965 menjadi 75.8% pada tahun 1980. Sumber konsumsi kedua adalah sonflower oil dengan pangsa 16.9%. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati cenderung bergeser ke sunflower oil, dimana pangsa minyak sawit dan rapeseed oil keduanya hanya berkisar 7%. Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak nabati naik dari sekitar 3 juta ton menjadi 5 juta ton lebih, dengan growth 7.1% per tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi oleh minyak kedele (61.1%), sedangkan peran minyak sawit semakin meningkat dari pangsa 6.7% pada tahun 1980 menjadi 16.5% pada tahun 1990, dan selebihnya adalah minyak bunga matahari (16.9%) dan rapeseed oil (5.5%). Tahun 2000 konsumsi nabati naik menjadi 7.5 juta ton, dengan growth 4.7% per tahun. Dalam dekade 2000-2010, konsumsi minyak nabati di kawasan Eropa Timur bertumbuh pesat, yakni 8.8% per tahun, dan tahun 2010 konsumsi minyak nabati telah
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
37
mencapai 14,2 juta ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata 3,7% per tahun menjadi 16.317 juta ton (Tabel 2.14). Tabel 2.14.
Nabati
Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Eropa Timur Tahun 1965-2014 Pangsa
Konsumsi (Ribu Ton) 1965
1980
SBO
1990
2000
2010
2014
75
10
84
60
%
0.0
0.0
5.6
1.9
8.1
5.4
%
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
60
47
123
132
4.5
9.1
11.8
11.8
1,198
458
833
922
89.9
88.9
80.1
82.8
1,333.0
515.0
1,040.0
1,114.0
-6.1
10.2
1.8
PO RSO %
-
-
SFO %
Total Growth
%/thn Sumber: Oil World
0.0
0.0
Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama minyak nabati di kawasan Eropa Timur adalah sun flower oil (82.8%), Hal ini berbeda dengan Uni Eropa dan Eropa Barat. Rapeseed oil berada pada urutan kedua dengan proporsi 11.8% dan minyak kedele 5.4%. Secara umum, sumber utama konsumsi minyak nabati di Eropa Timur adalah sun flower oil dan rapeseed. Asia Tengah. Konsumen utama minyak nabati di kawasan Asia Tengah adalah minyak sawit, dan sunflower oil berada pada urutan kedua. Minyak awit memiliki proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu 2000 s.d 2014. Pada tahun 1990, sunflower oil memiliki pangsa konsumsi sebesar 97.3 % dan belum mengkonsumsi minyak sawit. Sejak tahun 2000 peran minyak sawit meningkat pesat dan mencapai pangsa konsumsi 68.5%, dan pangsa sunflower oil merosot tajam menjadi 29,2 %. Perkembangan selanjutnya tetap didominasi minyak sawit, dan didukung sunflower oil, rapeseed, dan soybean oil (Gambar 2.24).
38
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
2000 1800 1600
Ribu Ton
1400 1200 1000 800 600
400 200 0
1965
1980 SBO
1990 PO
2000 RSO
2010
2014
SFO
Sumber: Oil World Gambar 2.24. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Asia Tengah Tahun 1965-2014
Tahun 1990, total konsumsi minyak nabati kawasan Asia Tengah adalah 110.000 ton. Tahun 2000, konsumsi minyak nabati meningkat hampir 4 kali lipat menjadi 438.000 ton, atau rata-rata meningkat 29.8% per tahun. Peningkatan ini berdampak pada pangsa konsumsi minyak sawit dari 0% tahun 1990 menjadi 68.7% pada tahun 2000. Sumber konsumsi kedua adalah sonflower oil dengan pangsa 29.2%. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati cenderung bergeser dari sunflower oil ke minyak sawit, sisanya adalah minyak kedele (2.3%). Dalam dekade 2000 ke 2010, konsumsi minyak nabati naik dari sekitar 438.000 ton menjadi 1.680 ton lebih, dengan growth 28.5% per tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi oleh minyak sawit (78.6%) Tahun 2000-2010 konsumsi nabati naik menjadi 1.685.000 ton. Dengan growth 28.5% per tahun. Pada tahun 2014 naik rata-rata 7,7% per tahun menjadi 2.201.000 ton (Tabel 2.15).
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
39
Tabel 2.15.
Nabati
Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Asia Tengah Tahun 1965-2014 Pangsa
Konsumsi (Ribu Ton) 1965
1980
SBO %
0.0
0.0
PO %
0.0
0.0
RSO %
-
-
SFO %
Total Growth
%/thn Sumber: Oil World
0.0
0.0
1990
2000
2010
2014
-
10
4
7
0.0
2.3
0.2
0.3
-
300
1,325
1,800
0.0
68.5
78.6
81.8
3
-
22
44
2.7
-
1.3
2.0
107
128
334
350
97.3
29.2
19.8
15.9
110.0
438.0
1,685.0
2,201.0
29.8
28.5
7.7
Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama minyak nabati di kawasan Asia Tengah adalah minyak sawit dengan proporsi yang sangat dominan, yakni (81.8%), dan sun flower oil berada pada urutan kedua dengan proporsi 15.9%. Minyak kedele dan rapeseed berifat complementary dengan proporsi masing-masing 0.3% dan 2.0%. World. Hingga tahun 2008, konsumsi utama dan terbesar minyak nabati dunia adalah minyak kedele. Minyak kedele memiliki proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu 1965-2008, dengan pangsa rata-rata 47.6% (atau hampir separoh dari konsumsi total minyak nabati utama dunia). Pada kurun waktu yang sama, pangsa rata-rata minyak sawit adalah 24.4 %, rapeseed oil 18.4 % dan sunflower oil 9.5 %. Namun pada kurun waktu 2008 hingga 2014, pola konsumsi dunia berubah, dimana konsumsi minyak sawit meningkat hampir 40 %, dan pangsa minyak kedele menurun menjadi 33.3%, sementara pangsa rapeseed oil menurun menjadi 17.6 % dan sunflower oil naik menjadi 9.7 % (Gambar 2.25).
40
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
70
Juta Ton
60 50 40 30 20 10
1965
1980
1990
SBO
PO
2000
RSO
2010
2014
SFO
Sumber: Oil World
Gambar 2.25. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati Dunia Tahun 1965-2014 Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati Dunia adalah 5.2 juta ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat 3 kali lipat lebih menjadi 18 juta ton, atau rata-rata meningkat 16.3% per tahun. Peningkatan ini berdampak pada pangsa konsumsi minyak sawit naik dari 14.8% tahun 1965 menjadi 21.6% pada tahun 1980. Sedangkan pangsa minyak kedele menurun dari 59.7% menjadi 55.2%, dan rapeseed oil menurn dari 24.8% menjadi 13.6%, sedangkan pangsa sunflower oil naik dari 0.7% menjadi 9.6 juta ton. Dalam dekade 1980 ke 1990, konsumsi minyak nabati dunia naik dua kali lipat dari 18 juta ton menjadi 36 juta ton, dengan growth 10.2% per tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi oleh minyak kedele (37.6%), sedangkan peran minyak sawit semakin meningkat dari pangsa 21.6% pada tahun 1980 menjadi 28.8% pada tahun 1990, dan selebihnya adalah rapeseed oil (17%) dan sunflower oil meningkat pesat menjadi 16.6 %. Tahun 2000 konsumsi nabati dunia naik menjadi 73 juta ton, dengan growth 10.1% per tahun. Dalam dekade 2000-2010, laju pertumbuhan konsumsi minyak nabati dunia naik 7.3% per tahun, dan tahun 2010 konsumsi minyak nabati telah mencapai 126 juta ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata 5% per tahun menjadi 152 juta ton (Tabel 2.16). II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
41
Tabel 2.16. Nabati
Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati Dunia Tahun 1965-2014 Konsumsi (Ribu Ton)
Pangsa
SBO
1965 3,120
%
9,935
1990 13,667
2000 27,814
2010 43,690
2014 48,692
59.7
55.2
37.6
38.1
34.6
32.1
776
3,882
10,465
23,642
47,774
62,267
14.8
21.6
28.8
32.4
37.8
41.1
1,297
2,452
6,198
13,379
23,163
25,464
24.8
13.6
17.0
18.3
18.3
16.8
35
1,731
6,047
8,151
11,817
15,195
0.7
9.6
16.6
11.2
9.3
10.0
5,227.9
17,999.6
36,376.5
72,985.8
126,443.9
151,617.7
16.3
10.2
10.1
7.3
5.0
PO % RSO % SFO % Total
1980
Growth %/thn Sumber: Oil World
Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama minyak nabati Dunia adalah minyak sawit (41,4%), diikuti minyak kedele dengan proporsi 32.1%, sedangkan proporsi rapeseed oil dan sun flower oil masing-masing adalah 16.8% dan 10%. Data di atas mencerminkan adanya perubahan pola konsumsi minyak nabati dunia dari minyak kedele ke minyak sawit. 2.6. 1.
Perkembangan Produksi Minyak Nabati Utama Global Menurut Negara Produsen Perkembangan Umum
Negara produsen minyak nabati utama dunia antara lain adalah Amerika Serikat (soybean oil, rapeseed oil dan sunflower oil), India (soybean oil, rapeseed oil dan sunflower oil), China (soybean oil, rapeseed oil dan sunflower oil), Uni Eropa (rapeseed oil dan sunflower oil), Indonesia (minyak sawit) dan Malaysia (minyak sawit).
42
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 2.17.
Pangsa Produksi Minyak Nabati terhadap Total Produksi Minyak Nabati Utama Dunia 1970-2013 (%) 1970
1980
1990
2000
2010
2013
Indonesia
3.06
3.91
7.39
11.45
18.69
21.30
Malaysia
7.28
14.01
16.81
16.46
14.43
13.19
China
5.78
5.37
8.02
10.69
12.07
13.06
EU
0.00
0.00
0.00
9.27
9.37
8.49
USA
46.32
28.15
17.72
12.53
7.38
6.71
India
6.51
3.61
6.36
3.63
3.46
2.99
Total 68.95 Sumber: Oil World
55.05
56.30
64.03
65.41
65.75
Tahun 1970, Amerika Serikat merupakan negara produsen terbesar minyak nabati dunia dengan pangsa 46.32 %, diikuti Malaysia sebesar 7.28 %. Tahun 1980, seiring dengan perkembangan produksi minyak nabati di negara produsen lainnya, pangsa Amerika Serikat menurun menjadi 28.15, sementara Malaysia naik menjadi 14.01%. Pada tahun 2000, pangsa Amerika Serika semakin menurun, yakni 12.53%, dan kontribusi terbesar kedua adalah Malaysia (16.46%). Peran Indonesia semakin tinggi, yakni 11.45 %, dan posisi keempat adalah China dengan pangsa 10.69%. Pada tahun 2006, poduksi minyak sawit Indonesia telah melampaui produksi minyak sawit Malaysia, dan pada tahun 2010, Indonesia merupakan produsen terbesar minyak sawit dengan pangsa 18.69 %, dan tahun 2013, pangsa minyak sawit Indonesia telah mencapai 21.3 %, diikuti Malaysia 13.19 %, Chinan13.06%, Uni Eropa 8.49%, USA 6.71% dan India 2.99%. Tahun 1988-1994, Amerika Serikat dan Malaysia berada pada posisi yang sama, yakni dengan pangsa rata-rata 17.6 %. Kemudian sejak 1995, Malaysia telah berhasil mengalahkan dominasi minyak nabati dunia. Pada tahun 1977, Indonesia, China dan India berada pada posisi yang sama, yakni dengan pangsa 3.7 %. Namun masing-masing negara memiliki pertumbuhan produksi yang berbeda, dimana Indonesia bertumbuh rata-rata 4.8% per tahun, China bertumbuh ratarata 3.4 % per tahun, sedangkan India cenderung menurun 0.2 % per tahun.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
43
60
80 70
%
40 30
60
TOTAL
50
Indonesia
40 30
20
20 10
10
Malaysia China India USA
EU
00
1964 1968 1972 1976 1980 1984 1988 1992 1996 2000 2004 2008 2012
00
% (dunia)
50
Sumber: Oil World Gambar 2.26. Perkembangan Pangsa Produksi Minyak Nabati Utama Dunia 1964-2013
Perkembangan ini memiliki dampak yang cukup besar, dimana Indonesia berhasil mengalahkan Malaysia pada tahun 2006. China juga berhasil menyamai pangsa Malaysia pada tahun 2013, dengan pangsa yang sama, yakni dengan pangsa 13.1 %. Dan hal ini akan memproyeksikan China akan unggul dibandingkan dengan Malaysia dimasa mendatang. Sebaliknya, India cenderung menurun, sehingga negara ini cenderung menjadi negara importir (Gambar 2.26). 2. Minyak Sawit (CPO) Pada tahun 1964, total produksi CPO dunia adalah 1.203.000 ton (gambar 2.27). Pada tahun 2013, produksi CPO dunia telah mencapai 55,82 juta ton. Dari tahun 1964-2000, produksi CPO dunia bertumbuh dengan laju 8.89%, dan setelah tahun 2000 tingkat pertumbuhan produksi CPO dunia adalah 7.22 %.
44
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
35 30 25 20 15 10 5 0
60
Dunia
40 30 20 10
0
Juta Ton
50
1964 1969 1974 1979 1984 1989 1994 1999 2004 2009
Juta Ton
Negara Produsen Utama CPO Dunia
Indonesia 55.5% Malaysia 34.4% Thailand 3.8% Colombia 1.9% Nigeria 1.7% Papua NG 1.1%
Sumber: Oil World Gambar 2.27. Perkembangan Produksi CPO Dunia Tahun 1964-2013
Pada tahun 1964-1969, Nigeria merupakan negara produsen utama dunia. Produksi CPO Nigeria rata-rata 32.56% dari total produksi CPO dunia, sementara total produksi CPO Malaysia dan Indonesia masing-masing mencapai 19. 4% dan 13.4%. Sejak tahun 1970, Malaysia berhasil menggeser kedudukan Nigeria dengan pangsa produksi 30.71%, sedangkan Nigeria dan Indonesia masing-masing memiliki pangsa 22.5% dan 12.93%. Produksi CPO Malaysia terus mendominasi produksi CPO dunia hingga tahun 2005. Tahun 2006 produksi CPO Indonesia mencapai 16.6 juta ton, sedangkan Malaysia sebesar 15.29 juta ton. Sejak 2006, Indonesia berhasil mengungguli Malaysia dengan pangsa masing-masing 44.43% dan 40,9% terhadap produksi CPO dunia. Keberhasilan ini sekaligus mencerminkan pertumbuhan produksi CPO Indonesia lebih besar dibandingkan dengan Malaysia, yakni 11,6% per tahun dan 10.9% per tahun. Pada tahun 2013, produksi CPO Indonesia mencapai 31 juta ton (55.5%) dan produksi CPO Malaysia mencapai 19.2 juta ton, dengan pangsa 34.4%. Total pangsa produksi CPO Indonesia dan Malaysia mencapai 89.9%. Disamping itu, negara produsen lainnya adalah Thailand dengan pangsa 3.8%, Colombia 1.9%, Nigeria 1.6%, papua New Guinea 1.1% dan Equador 1 %. 3. Minyak Kedele (Soybean Oil) Pada tahun 1964, total produksi soybean oil dunia adalah 2.970.000 ton. Pada tahun 2013, produksi soybean oil dunia telah mencapai 42,78 juta ton. Dari tahun 1964-2000, produksi soybean oil II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
45
dunia bertumbuh dengan laju 6.80%, dan setelah tahun 2000 tingkat pertumbuhan produksi soybean oil dunia adalah 4.05 %.
Negara Produsen Utama Soybean Oil Dunia 14000
45000 40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0
12000 Ribu Ton
10000 8000 6000 4000 2000 1964 1969 1974 1979 1984 1989 1994 1999 2004 2009
0
Dunia
China 28.6% USA 20.8% Brazil 16.6% Argentina 16.3% EU-27 5.2%
India 3.9% Paraguay 1.6%
Sumber: Oil World Gambar 2.28. Perkembangan Produksi soybean oil Dunia Tahun 1964-2013
Negara Amerika Serikat merupakan negara produsen soybean oil (SBO) terbesar dunia (gambar 2.28). Pada tahun 1964, produksi soybean oil AS 2,3 juta ton atau 78.6% dari total soybean oil dunia. Sejak tahun 1964 hingga 2009, USA merupakan negara produsen SBO terbesar dunia. Pada tahun 2009 produksi SBO AS mencapai 8.9 juta ton (22.94%), sedangkan China mencapai 8.73 juta ton (22.94%). Namun pada tahun 2010, Negara China telah berhasil mengungguli dominasi Amerika Serikat, dimana pangsa produksi SBO China naik menjadi 23.83 % dari total SBO dunia, sedangkan pangsa Amerika Serikat turun menjadi 20,75%. Hingga awal tahun 2000 an, negara produsen SBO terbesar setelah AS adalah Brazil dan Argentina, dan China menempati posisi keempat. Namun produksi SBO China merupakan yang tertinggi dibanding semua produsen SBO lainnya, yakni 11.06% per tahun, sedangkan laju pertumbuhan produksi SBO AS adalah 3.17%, Brazil 4.24% dan Argentina 8.99%. Hal ini menciptakan keberhasilan China mengungguli Argentina tahun 2000, dan mengalahkan Brazil tahun 2005. Tahun 2013 total produksi SBO China telah mencapai 12,2 juta ton 28.6%, AS 8.92 juta ton (20.8%), Brazil 7.1 juta ton (16.6%), Argentina 6.98 juta ton (16.3 %), Uni Eropa 2.24 juta ton (5.2 %), dan India 1.69 juta ton.
46
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
4.
Minyak Rape (Rapeseed Oil)
Pada tahun 1964, total produksi rapeseed oil dunia adalah 1.044.000 ton. Pada tahun 2013, produksi rapeseed oil dunia telah mencapai 25,35 juta ton. Dari tahun 1964-2000, produksi rapeseed oil dunia bertumbuh dengan laju 8.10%, dan setelah tahun 2000 tingkat pertumbuhan produksi rapeseed oil dunia adalah 5.64 %.
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
30 Dunia
25
15 10 5 0
Juta Ton
EU-27 37.2% 20
1964 1968 1972 1976 1980 1984 1988 1992 1996 2000 2004 2008 2012
Juta Ton
Negara Produsen Utama Rapeseed Oil Dunia
China 24.7% Canada 13.4% India 9.7% Japan 4.0%
Japan 2.7% Mexico 2.3%
Sumber: Oil World Gambar 2.29. Perkembangan Produksi Rapeseed Oil Dunia Tahun 1964-2013
Negara India merupakan salah satu negara produsen rapeseed oil (RSO) terbesar dunia (gambar 2.29). Pada tahun 1964, produksi rapeseed oil India mencapai 444.000 ton atau 42.53% dari total rapeseed oil dunia. Sejak tahun 1964 hingga 1978, India merupakan negara produsen RSO terbesar dunia. Pada tahun 1978 produksi RSO India mencapai 565.000 ton (26.94%). Produsen terbesar kedua dan ketiga adalah China dan Jepang, dengan pangsa masing-masing 26.5% dan 19.6%. Sejak 1979, China berhasil mengunggulin India dimana pangsa produksi Cina mencapai 32.5%, sedangkan India adalah 19.65%. Hingga tahun 2013, pangsa produksi RSO India merosot hingga 9.67%. Sejak tahun 1999, Negara-negara Uni Eropa berhasil mengungguli China, dengan pangsa produksi 32%. Dalam kurun waktu 2000 hingga 2013, laju pertmbuhan produksi RSO tertinggi adalah Uni Eropa, diikuti India 4.26% dan China 3.29%.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
47
Tahun 2013 total produksi RSO Uni Eropa telah mencapai 9,4 juta ton (37.2%), China 6.26 juta ton (24.7%), Canada 3.4 juta ton (13.4%), India 2.45 juta ton (9.7 %), Jepang 1.01 juta ton (4 %), dan Mexico 580.000 ton (2.3%). 5.
Minyak Bunga Matahai (Sunflower Oil)
Pada tahun 1964, total produksi sunflower oil dunia adalah 1.000 ton. Pada tahun 2013, produksi sunflower oil dunia telah mencapai 15,94 juta ton. Dari tahun 1964-2000, produksi sunflower oil dunia bertumbuh dengan laju 8.82%, dan setelah tahun 2000 tingkat pertumbuhan produksi sunflower oil dunia adalah 4.68 % per tahun (gambar 2.30).
5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
18 Dunia
16
Ukraina 34.5%
12
Rusia 28.1%
8 6 4
2 2009
2004
1999
1994
1989
1984
1979
1974
1969
0
Juta Ton
14 10
1964
Juta Ton
Negara Produsen Utama Sunflower Oil Dunia
EU-27 21.7%
Argentina 8.6% Turki 6.8% China 3.7% India 1.6% USA 1.3%
Sumber: Oil World Gambar 2.30. Perkembangan Produksi Sunflower Oil Dunia 1964-2013
Beberapa negara produsen sunflower oil (SFO) terbesar adalah Argentina, Ukraina, Rusia dan Uni Eropa. Sejak 1972 hingga 1998, negara produsen terbesar adalah Argentina. Tahun 1999 peran Argentina digantikan oleh Uni Eropa, dimana pangsa produksi masingmasing adalah 29.5% dan 22.1%. Namun kemudian, Uni Eropa digantikan oleh Rusia, seiring dengan pertumbuhan produksi SFO Rusia, dengan pangsa rata-rata 20%. Kemudian, sejak 2010, Ukraina berhasil menempati urutan pertama dalam produksi SFO dunia,
48
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
dengan pangsa rata-rata 27%, sedangkan rusia, Uni Eropa dan Argentina masing-masing adalah 16.8%, 20.75% dan 12.5%. Tahun 2013 total produksi SFO Ukraina telah mencapai 4.6 juta ton (29.3%), Rusia 3.8 juta ton (23.8%), Uni Eropa 2.9 juta ton (18.4%), Argentina 1.17 juta ton (7.34 %), Turki 0.98 juta ton (5.76 %), dan China 501.000 ton (3.14%), India 200.000 ton (1.38%) dan USA 172.000 ton (1.1 %) (Gambar 2.29) dan 9.74 diproduksi oleh negara produsen lainnya (ROW). 2.7.
Ekspor-Impor Minyak Nabati Global
Ekspor Minyak Sawit (Palm Oil). Tahun 1964, total ekspor minyak sawit dunia adalah 585.000 ton, dan pada tahun 2013 telah mencapai 42.8 juta ton. Negara eksportir utama CPO dunia adalah Malaysia dan Indonesia, dengan pangsa masing-masing 24.20% dan 21.54%. Hingga tahun 2008, Malaysia tetap mendominasi ekspor CPO dunia, dan sejak tahun 2009, pangsa ekspor CPO Indonesia telah melampaui ekspor CPO Malaysia, yakni 46,02% dan 44.64%. Tahun 2013, Indonesia dan Malaysia memiliki konstribusi rata-rata 90% dari total ekspor CPO dunia, dan sekitar 10 % dipenuhi oleh negara eksportir lainnya, seperti Papua New Guinea 1.5%, Thailand 1.2%, Benin 0.9%, Guatemala 0.8% Honduras 0.7% (Gambar 2.30). Sedangkan 6.12 % lainnya dipenuhi oleh sisa negara dunia (rest of the world) (gambar 2.31).
50
20
40
15
30
10
20
5
10
0
0
Dunia Juta Ton
25
1964 1969 1974 1979 1984 1989 1994 1999 2004 2009
Juta Ton
Negara Exportir Utama CPO
Indonesia 48.4% Malaysia 40.4%
Papua N.G. 1.5 Thailand 1.2% Benin 0.9%
Sumber: Oil World Gambar 2.31. Perkembangan Ekspor Minyak Dunia 1964-2013
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
49
Laju pertumbuhan ekspor Indonesia rata-rata 14.57% per tahun, sedangkan Malaysia sebesar 10.84% per tahun. Perkembangan inilah yang mendorong keberhasilan Indonesia menjadi negara eksportir utama dunia, dari 21% pada tahun 1964 menjadi 48.37 %. Ekspor Minyak Kedele (Soybean Oil). Total ekspor soybean oil dunia pada tahun 1964 adalah 585.000 ton, dan pada tahun 2013 telah mencapai 42.8 juta ton (gambar 2.32). Tahun 1964 hingga 1979, Amerika Serikat merupakan negara eksportir utama soybean oil dunia, dengan rata-rata konstribusi 86.42%. Tahun 1980 hingga 1984 peran AS digantikan oleh Brazil, dengan rata-rata pangsa ekspor 45.43 %, sedangkan AS pada kurun waktu yang sama adalah 38%. Disamping itu, Argentina mulai berperan dengan pangsa ekspor 12.2%. Sejak tahun 1985-2013, konstribusi Argentina semakin besar, dan berhasil menjadi negara eksporti utama dunia. Pangsa ekspor Argentina ratarata 43.33%, sedangkan Brazil dan Amerika Serikat masing-masing adalah 24.93% dan 16.36%. Laju (growth) ekspor ketiga negara eksportir terbesar adalah Argentina 15.65 % per tahun, Brazil 7.2% per tahun dan USA 8.2 % per tahun. Tahun 2013, Argentina, Brazil dan AS mencapai 70% dar total ekspor soybean dunia, dan 30 % dipenuhi oleh negara eksportir lainnya, seperti Uni Eropa 8.6%, Paraguay 6.9%, Bolivia 2.8%, Rusia 1.9%, termasuk Malaysia 1.5% dan sisa dunia dan Papua New Guinea 1.5%, Thailand 1.2%, Benin 0.9%, Guatemala 0.8% Honduras 0.7% .9%, Bolivia 2.8% (Gambar 2.31). Sedangkan 6.12 % lainnya dipenuhi oleh sisa negara dunia (rest of the world).
7 6 5 4 3 2 1 0
12 8 6 4 2 0
Juta Ton
10
1964 1969 1974 1979 1984 1989 1994 1999 2004 2009
Juta Ton
Negara Eksportir Utama Minyak Kedele Dunia Argentina 48.3% Brazil 15.0% EU-27 8.6% USA 7.5% Paraguay 6.9% Bolivia 2.8% Russian 1.9% Malaysia 1.5% Canada 1.0%
Sumber: Oil World Gambar 2.32. Perkembangan Ekspor Minyak Kedele Dunia 1964-2013
50
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Ekspor Minyak Rape (Rapeseed Oil). Rapeseed oil merupakan sumber nabati terpenting ketiga setelah minyak sawit dan soybean oil. Kontribusinya semakin nyata setelah tahun 1990-an, seiring dengan meningkatnya konsumsi minyak nabati dunia. Tahun 1964, perdagangan rapeseed oil di pasar minyak nabati dunia adalah 8 juta ton. Jika dibandingkan dengan total produksi pada tahun yang sama, yakni 1044 juta ton, maka rapeseed lebih dominan memenuhi konsumsi domestik negara produsen masing-masing (terutama China dan India). Tahun 1980, total ekspor mencapai 219 juta ton dan negara ekportir utama adalah Canada, dengan pangsa ekspor 90.41%. Sejak tahun 1972 hingga 2013, Canada merupakan negara eksportir utama rapeseed oil dunia, dengan rata-rata konstribusi 74.29%. Disamping itu, beberapa negara eksportir lainnya adalah Uni Eropa (sejak 1999) dengan pangsa rata-rata 12.65% dan Amerika Serikat (sejak 1989) dengan pangsa 7.6%. Laju (growth) ekspor ketiga negara eksportir masing-masing adalah Canada 17.82 % per tahun, Uni Eropa 10.85 % per tahun dan USA cenderung berfluktuasi, dengan rata-rata laju 23.14% per tahun mencapai pangsa ekspor rapeseed oil sebesar 78.5% dar total ekspor rapeseed dunia, dan 21.5% dipenuhi oleh negara eksportir lainnya, seperti Rusia 3.2%, Uni Emirat Arab 7.3%, Belarus 1.43%, Australia 2.8% (Gambar 2.32). Sedangkan 2.58 % lainnya dipenuhi oleh sisa negara dunia (rest of the world) (gambar 2.33).
Sumber: Oil World Gambar 2.33. Perkembangan Ekspor Rapeseed Oil Dunia 1964-2013
Ekspor Minyak Bunga matahari (Sunflower Oil). Sunflower oil merupakan sumber nabati terpenting keempat setelah minyak sawit, soybean oil dan rapeseed. Perdagangan sunflower oil di pasar dunia dimulai tahun 1972, oleh Rumania dan Bulgaria, namun hanya II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
51
berlangsung hingga 1998. Keduanya memiliki pangsa ekspor 18.68% dan 3.36%. Demikian halnya dengan Amerika Serikat, juga memiliki peran yang cukup besar pada kurun waktu 1972-1998, dengan pangsa rata-rata 155 dari total ekspor sunflower oil dunia. Dalam perkembangan ekspor sunflower oil, negara eksportir utama adalah Argentina, pada kurun waktu 1975-1998, dengan pangsa rata-rata 60%, kemudian pangsanya menurun menjadi 30%. Sejak 1999 hingga 2013 peran tersebut digantikan oleh Ukraina (40%) (gambar 2.34). Jika dibandingkan dengan negara eksportir lainnya, Ukraina termasuk negara eksportir baru, yakni sejak 1988. Namun ekspor negara ini memiliki laju pertumbuhan yang pesat dibandingkan negara lainnya, yakni dengan rata 26% per tahun. Disamping itu, beberapa negara eksportir lainnya adalah Rusia (sejak 1987) dengan pangsa ratarata 8.49% dan Argentina dengan pangsa 40.58%. Laju (growth) ekspor ketiga negara eksportir masing-masing adalah Ukraina 26.36 % per tahun, Rusia 19.23 % per tahun dan Argentina dengan rata-rata laju 4.84% per tahun. Ketiga negara tersebut mencapai pangsa ekspor sebesar 85.76% dan 14.5% dipenuhi oleh negara eksportir lainnya, (Gambar 2.33).
4
7
3.5
6
3
5
2.5
4
2
3
1.5
2
0.5
1
0
0 1964 1969 1974 1979 1984 1989 1994 1999 2004 2009
1
Dunia Ukraine 69.0%
Juta Ton
Juta Ton
Negara Eksportir Utama Sunflower Oil
Rusia 28.5% Argentina 11.4% Turki 6.4% EU-27 4.6%
Sumber: Oil World Gambar 2.34. Perkembangan Ekspor Sunflower Oil Dunia 1964-2013
2.8.
Perkembangan Mutakhir Industri Oleokimia Dunia
Dalam industri oleokimia global dikenal tiga oleokimia dasar (basic chemical) yakni: fatty acid, fatty alcohol, dan glycerol. Kapasitas 52
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
produksi oleokimia dunia meningkat dari tahun ke tahun. Kapasitas produksi terbesar berada di Asia (gambar 2.35) Khususnya SE Asia, India dan China. Kapasitas produksi fatty acid Eropa dan North Amerika cenderung stabil dengan kecenderungan turun, sedangkan di kawasan Asia meningkat cepat (gambar 2.36). ROW 4% Amerika Utara 11% Eropa 13% ROA 3%
India 7% China 22% SE Asia 40% Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar 2.35. Kapasitas Produksi Fatty Acid Dunia Tahun 2011
Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar 2.36. Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Acid Global 20042015
Pada tahun 2012, kapasitas produksi fatty acid Asia mencapai 5.7 juta ton. Produksi terbesar adalah Malaysia, 1.95 juta ton (34.21%) dan China 1,83 juta ton (32.11%). Produksi Indonesia adalah 300.000 ton atau 5.26%. Hal ini merupakan tantangan industri hilir persawitan Indonesia di masa mendatang (gambar 2.37).
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
53
1180
Lainnya 250
India
1830
China 190
Philipina
300
Indonesia
1950
Malaysia 0
500
1000
1500
2000
Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar 2.37. Kapasitas Produksi Fatty Acid Asia Tahun 2012
Kapasitas pertumbuhan produksi fatty acid meningkat pesat di Asia, khususnya China. Indonesia juga menunjukkan trend pertumbuhan yang positif (Gambar 2.38).
Sumber : LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar 2.38. Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Acid Asia 2004-2015
Pada tahun 2011, kapasitas produksi fatty alcohol dunia terbesar di Asia (31%) dan China (20%) dan masih lebih besar dibandingkan dengan Eropa (23%) dan Amerika Utara (15%). India juga termasuk salah satu produsen fatty alcohol, dengan pangsa produksi 4% (Gambar 2.39).
54
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
SE Asia 31%
China 20% India 4% ROA 2% Europe 23% N Amerika 15% ROW 5%
Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar 2.39. Kapasitas Produksi Fatty Alcohol Dunia 2011
Pertumbuhan kapasitas produksi fatty alcohol Asia (gambar 2.40) bertumbuh cepat sementara Eropa dan North Amerika stabil dan bahkan cenderung menurun. Fenomena tersebut terkait dengan masalah bahan baku (trade-off fuel-food) yang dihadapi oleh kawasan Eropa dan Amerika. Sementara oleokimia Asia yang umumnya menggunakan bahan baku minyak sawit dan minyak kelapa, belum mengalami masalah ketersediaan bahan baku. Selain itu pertumbuhan yang cepat oleokimia di Asia juga hasil relokasi industri oleokimia dari kawasan Eropa ke kawasan Asia.
Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar 2.40 Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Alcohol Global 20042015
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
55
Kapasitas produksi fatty alcohol Asia terbesar di China dan Malaysia (gambar 2.41). pertumbuhan industri fatty alcohol di Asia khususnya di Cina dan Malaysia di dukung oleh ketersediaan bahan baku dan pertumbuhan pasar yang cukup besar khususnya di Cina.
4%
Malaysia Indonesia
25%
18%
Philipina Thailand 8% 30%
9% 6%
China India Lainnya
Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar 2.41. Kapasitas Produksi Fatty Alcohol Asia 2011
Pertumbuhan kapasitas produksi fatty alcohol Indonesia dan China bertumbuh cepat di Asia (gambar 2.42).pertumbuhan kapasitas produksi tersebut terkait dengan pertumbuhan produksi yang terus meningkat. Indonesia merupakan pemain relative baru dalam industri oleokimia Asia, sehingga pertumbuhan kapasitas yang tergolong cepat belum disertai dengan pertumbuhan produksi.
Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar 2.42. Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Alcohol Asia 20042015
56
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
2.9.
Perkembangan Produksi Oleokimia Global Produksi fatty acid global juga di dominasi Asia baik pangsa maupun pertumbuhan (gambar 2.43), sedangkan di Eropa dan Amerika cenderung turun. Hal ini juga sesuai dengan fenomena industri oleokimia global mutakhir dimana di kawasan Eropa dan Amerika
Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar 2.43. Volume Produksi Fatty Acid Global Historis dan Proyeksi
industri oleokimia adalah tergolong sunset industry sementara di kawasan Asia industri tersebut tergolong the rising industry. Dengan karakteristik pertumbuhan industri oleokimia di Eropa, Amerika dibanding dengan di kawasan Asia yang demikian, volume Produksi fatty alcohol global di dominasi Asia baik pangsa maupun Pertumbuhan, sedangkan di Eropa dan Amerika cenderung turun (gambar 2.44). realisasi maupun proyeksi produksi oleokimia global yang makin besar di kawasan Asia makin membuktikan bahwa masa depan industri oleokimia global akan berada di Asia. Pertumbuhan ekonomi dua negara besar Asia (India dan Cina) yang merupakan 50 persen penduduk dunia, merupakan pasar yang potensial dan menarik industri oleokimia global.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
57
Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar 2.44. Volume Produksi Fatty Alcohol Global Historis dan Proyeksi
2.10.
Industri Pengguna Produk Oleokimia Global Pasar utama fatty acid dunia adalah industri sabun dan detergen. Sekitar 30 persen pangsa fatty acid (gambar 2.45 ) adalah untuk industri sabun dan detergen, bahan baku industri lain/barang antara (18%), industri plastik (14%) dan sisanya untuk kebutuhan industri lainnya. Soap&detergents 30%
Intermediates 18% Plastics 14% Rubber 6% Paper 6% Lubricant & Grease 6% Coating &resins 6% Personal care 5%
Food&feed 2% Sumber: Wolfgang Rupilius dan Salmiah Ahmad Gambar 2.45. Industri Pengguna Fatty Acid Global
58
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Pasar utama fatty alcohol dunia (gambar 2.46) adalah industri sabun dan detergen (55%) serta personal care (20%). Sisanya diserap oleh industri pelumas, amina dan lain-lain.
Soap&detergents 55% Personal care 20% Lubricant & Grease 6% Amines 4%
Various 15%
Sumber: Wolfgang Rupilius dan Salmiah Ahmad Gambar 2.46. Industri Pengguna Fatty Alcohol Global
Pasar utama glyserin dunia (gambar 2.47) adalah industri sabun, kosmetik, farmasi (37%). Alkyd resin (13%), imdustri makanan (13%), polyurethanes (11%), dan lain-lain. Soap/cosmetics/pharmaceuti 37% Alkyd resin 13% Food 12% Polyurethanes 11% Tobacco 9% Explosives 3% Various 15% Sumber: Wolfgang Rupilius dan Salmiah Ahmad Gambar 2.47. Industri Pengguna Glyserin Global
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
59
2.11.
Volume Konsumsi Oleokimia Global Konsumsi fatty acid global terbesar dan tumbuh cepat di Asia sedangkan kawasan Eropa dan Amerika stabil (gambar 2.48). Secara umum pertumbuhan konsumsi terjadi di negara-negara berkembang. Sedangkan di negara maju tampaknya sudah mengalami laju perlambatan konsumsi.
Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar 2.48. Perkembangan Volume Konsumsi Fatty Acid Global Secara Historis dan Proyeksi
2.12.
Perkembangan harga oleokimia Harga oleokimia di pasar dunia fluktuatif dan tidak selalu mengikuti pola harga bahan bakunya (CPO) (gambar 2.49). Namun demikian perkembangan harga semua produk-produk hilir tersebut diatas harga bahan bakunya (CPO dan PKO). Harga fatty alcohol (ALC) selalu diatas harga oleokimia lainnya. Produk oleokimia yang tingkat harganya paling rendah adalah sabun dan detergen (soap noodle).
60
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Sumber: Salmiah, . A. et.al (2008) Gambar 2.49. Perkembangan Harga Oleokimia (RM/ton)
2.13.
Industri Biodiesel Dunia
Produksi biodiesel dunia meningkat cepat khususnya di Eropa dan Amerika (gambar 2.50). Hal ini terkait dengan issue green energi. Disamping itu industri biodiesel Asia yang muncul sebagai pemain baru mengalami pertumbuhan yang relatif cepat. 50000 40000 30000 20000 10000 0
200 200 200 200 200 200 200 200 200 200 201 201 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 1
Produksi 882 1,1 1,3 1,8 2,5 4,1 6,5 9,7 14, 15, 17, 21, Konsumsi 487 957 1,2 1,4 2,3 3,5 6,4 9,1 13, 15, 18, 21, Gambar 2.50. Perkembangan Produksi Biodiesel Dunia 2000-2011
Seiring dengan meningkatnya permintaan, harga biodiesel dunia juga cenderung meningkat, sebagaimana disajikan pada gambar 2.51. Harga biodiesel global tergantung pada jenis bahan baku pembuatannya maupun kemurnian. Biodiesel yang berasal dari minyak rapeseed harganya cenderung lebih mahal daripada lemak hewani (tallow). Demikian juga biodiesel dengan kemurnian 100 persen lebih tinggi dibandingkan dengan biodiesel yang kemurniannya kurang dari 100 persen.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
61
Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012. Gambar 2.51. Perkembangan Harga Biodiesel di Pasar Eropa Menurut Bahan Baku
Industri biodiesel duni semakin berkembang pesat dalam satu dekade terakhir. Pada tahun 2000, produsen utama biodiesel dunia adalah Eropa. Tahun 2000 pangsa produksi Eropa mencapai 99 % dan Amerika Selatan sebesar 1 %. Tahun 2011, produksi biodiesel dunia meningkat pesat dan mencapai 5.560 juta galon atau 21.52 juta kilo liter. Peningkatan ini dipengaruhi oleh pertumbuhan di negara-negara produsen, dengan pangsa masing-masing : Eropa 44%, Amerika Utara 18%, Amerika Selatan 25%, dan Asia 7% (Malaysia dan Indonesia). Rata-rata pertumbuhan produksi biodiesel dunia adalah 3.6% per tahun. Perubahan pangsa produsen biodiesel global pada tahun 2000, 2005 dan 2011 disajikan pada gambar 2.52.
62
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Gambar 2.52.
Perubahan Pangsa Produsen Biodiesel Global Pada Tahun 2000, 2005 dan 2011
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
63
Di sisi permintaan, konsumsi biodiesel dunia juga memiliki trend pertumbuhan yang positif (meningkat). Tahun 2000, konsumsi biodiesel dunia didominasi oleh Eropa (99%) dan Amerika Selatan sebesar 1 %. Tahun 2011, konsumsi biodiesel dunia telah mencapai 5.752 juta galon atau 21.52 juta kilo liter, dengan pangsa : Eropa 61%, Amerika Utara 16%, emrika Selatan 17%, Asia 6%. Rata-rata pertumbuhan produksi biodiesel dunia adalah 3.61% per tahun. Perubahan Pangsa Konsumen Biodiesel Global Pada Tahun 2000, 2005 dan 2011 disajikan pada gambar 2.53.
Gambar 2.53.
64
Perubahan Pangsa Konsumen Biodiesel Global Pada Tahun 2000, 2005 dan 2011
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Produksi dan Konsumsi Biodiesel Eropa (ribu kl). Eropa merupakan negara produsen dan sekaligus konsumen terbesar biodesel dunia. Produksi dan konsumsi biodiesel Eropa meningkat pesat dari tahun 2000 sampai 2011. Pada kurun waktu 2000 hingga 2004, produksi dan konsumsi biodiesel Eropa masih dibawah 2 juta kilo liter. Tahun 2005, produksi telah mencapai 5.53 juta kilo liter dan meningkat pesat hingga dua kali lipat pada tahun 2009 hingga 2011. Sementara itu, laju pertumbuhan konsumsi meningkat lebih pesat, dimana sejak 2007, negara Eropa berkembang menjadi net importir, karena volume konsumsi lebih besar dari volume produksi. Pada tahun 2011, volume produksi biodiesel eropa adalah 11.9 juta kilo liter, sementara konsumsinya lebih besar yakni 14.44 juta klo liter (gambar 2.54).
Sumber: US Service Gambar 2.54. Perubahan Pangsa Konsumen Biodiesel Global Pada Tahun 2000, 2005 dan 2011
Produksi dan Konsumsi Biodiesel Amerika Utara. Amerika Serikat merupakan negara produsen kedua setelah Eropa. Produksi dan konsumsi biodiesel USA mulai berkembang pada tahun 2006. Tahun 2006, produksi biodiesel USA telah mencapai 0.99 juta kilo liter dan meningkat pesat hampir empat kali lipat pada tahun 2011. Sementara itu, laju pertumbuhan konsumsi juga meningkat pesat, dari 0.92 juta kilo liter pada tahun 2006 menjadi 3.71 juta kilo liter pada tahun 2011 (gambar 2.55).
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
65
Sumber: US Service Gambar 2.55 . Produksi dan Konsumsi Biodiesel Amerika Serikat
Produksi dan Konsumsi Biodiesel Asia. Perkembangan biodiesel di Asia (Malaysia dan Indonesia) mulai berkembang sejak tahun 2006, dengan pangsa yang relatif masih kecil (3.4%). Tahun 2006, produksi biodiesel Asia adalah 0.18 juta kilo liter. Laju produksi biodiesel Asia adalah 6.47 % per tahun dan laju pertumbuhan konsumsi meningkat 6.43 % per tahun. Pada tahun 2005 s/d 2011 Asia tumbuh menjadi negara eksportir, dimana produksi lebih besar dari konsumsi. Produksi dan konsumsi biodiesel Asia disajikan pada gambar 2.55.
Sumber: US Service Gambar 2.56. Produksi dan Konsumsi Biodiesel Asia
66
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Produksi dan Konsumsi Biodiesel Amerika Selatan. Perkembangan biodiesel di Amerika Selatan mulai berkembang sejak tahun 2006 (gambar 2.57), dengan pangsa sebesar 25.2%. Tahun 2006, produksi biodiesel Amerika Selatan adalah 4.6 juta kilo liter. Laju produksi biodiesel Amerika Selatan adalah 4.4 % per tahun dan laju pertumbuhan konsumsi meningkat 6.8 % per tahun. Pada tahun 2005 s/d 2011 Amerika Selatan tumbuh menjadi negara eksportir, dimana volume produksi lebih besar dari konsumsi. Produksi dan konsumsi biodiesel Amerika Selatan disajikan pada gambar 2.56.
Sumber: US Service Gambar 2.57. Produksi dan Konsumsi Biodiesel Amerika Selatan
Biodiesel and Diesel Prices (U$/Liter). Harga biodiesel (B100) maupun minyak solar (fossil fuel) memiliki korelasi yang cukup erat (gambar 2.58). Keduanya menunjukkan adanya fluktuasi sepanjang waktu. Secara umum, harga biodiesel relatif lebih mahal dibandingkan dengan minyak solar, namun pada Januari 2014 harga fossil fuel relatif lebih mahal dibandingkan dengan harga biodiesel (B100). Hal ini memberikan dampak positif bagi pengembangan biodiesel di masa mendatang.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
67
Sumber: Biodiesel National Weekly Gambar 2.58 Perkembangan Harga Biodiesel dan Diesel di USA
Salah satu produk hilir CPO adalah surfactan. Industri surfactan meliputi LAS, FAS, FES dan AE, yang menyebar di Eropa, USA dan Asia Pasifik, sebagaimana digambarkan pada gambar 2.59.
Sumber: Bernd Brackmann 2004 Gambar 2.59 Komposisi Bahan Baku Surfactant di Berbagai Kawasan
68
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
5.50% 2.30% 3.40%
0.10%
Produk pembersih Agrochemicals Perminyakan Industri cat Tekstil & kulit Kertas Polimerisasi emulsi Plastik Pangan Konstruksi Bahan peledak Lainnya
6.20%
0.50% 1.40% 8.40%
1.90%
62.90%
5.10% 2.30%
Sumber: www.chemsoc.org Gambar 2. 60 Penggunaan Surfactant Global
Penggunaan surfactan global mencakup produk pembersih, agrochemicals, perminyakan, industri cat, tekstil dan kulit, kertas, pelimer emulis, plastik, pangan, konstruksi dan bahan peledak. Diantara produk tersebut, pasar utama surfactant terbesar adalah industri produk pembersih dengan pangsa 62.9%, dan 8.4 % untuk industri tekstil dan kulit (gambar 2.60). Sedangkan pasar terbesar produk personal care dunia adalah untuk personal cleaning product (42%), shampoo 38% dan conditioner 20%, sebagaimana dinyatakan pada gambar 2.61.
20% 42%
Personal cleaning product Shampoo
38%
Conditioner
Sumber: Kline & Company, 2007 Gambar 2. 61. Produk Personal Care Dunia
Pasar personal care dunia menyebar di Eropa (34%), Asia (24%), USA (20%), Amerika Latin (18%) dan ROW atau negara lainnya (5%), sebagaimana disajikan pada gambar 2.62.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
69
5% Eropa 18%
34%
Asia North Amerika
20%
Latin Amerika Lainnya
24%
Sumber: Kline & Company, 2007 Gambar 2.62. Pasar Personal Care Dunia
Pasar lubricant dunia (gambar 2.63) adalah engine oil (48%), process oil (15.3%), hidraulic oil (10.20%). Dengan meningkatnya pertumbuhan industri mesin dan otomotif, kebutuhan untuk lubricant akan meningkat.
Total Permintaan 41,8 juta ton Engine oils
26.50% 48%
Process oils Hydraulic oils All other
10.20% 15.30%
Sumber: USB, 2008 Gambar 2.63.
Penggunaan Lubricant Dunia
Pasar utama lubricant dunia adalah di kawasan yang industri otomotif dan mesin berkembang pesat (gambar 2.64) yakni Asia Pasifik 36.7%, Amerika Utara 28%, Eropa Barat 12.5% dan ROW 22.8%. Semakin bertumbuh industri otomotif dan mesin, kebutuhan lubricant khususnya untuk engine oil dan hidrolic oil makin meningkat.
70
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Asia/Pacific 22.80%
36.70%
North Amerika
12.50%
Western Europe Rest of World
28% Gambar 2.64.
Pasar Lubricant Dunia Menurut Kawasan (USB, 2008)
Pertumbuhan permintaan lubricant dunia yang meningkat tersebut memberi peluang bagi industri minyak sawit Indonesia dalam mengembangkan industri bio lubricant. Pengembangan industri bio lubricant kedepan semakin prospektif dengan meningkatnya tuntutan produk yang lebih ramah lingkungan. 2.14
Dinamika Industri Oleokimia Global Dalam satu dekade terakhir telah terjadi perubahan yang dinamis dalam industri oleokimia global (gambar 2.65). Pemain tradisional oleokimia dunia (USA, EU, Jepang) exit dari industri oleokimia (Less profitable, investasi mahal). (Wolfgang Rupilius and S. Ahmad, 2007). Perusahaan HENKEL exit oleokimia, fokus ke consumer goods; UNILEVER exit oleokimia, fokus ke consumer goods; LONZA exit oleokimia, fokus industri farmasi/bioteknologi; KAO mengurangi oleokimia, fokus ke consumer goods; PROCTER AND GAMBLE mengurangi oleokimia, fokus ke marketing dan consumer goods; PETROFINA exit oleokimia, fokus petroleum & petro chemical; AKZO NOBEL exit oleokimia. Exit or Forward Integrative
Forward Integrative
Industri Bahan Baku (Minyak Nabati+Hew
Industri Pengguna (Consumer Goods, Capital
Industri Oleokimia Dasar
Bacward Integrative
Gambar 2.65
Bacward Integrative
Dinamika Industri Oleokimia Dasar Dunia
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
71
Selain itu beberapa perusahaan melakukan konsolidasi konsumen menjadi organisasi marketing global olekimia seperti RAG (marger dari Degusa, Rhom, Stock Hausen, Gold Schmidt, C.W. Hulse, Rutgers). Procter Gamble (Merger dari Procter Gambel, Clairol, Wella, Gillete) dan Henkel (merger dari Henkel, Schwarzkopf dan Dial). Strategi integrasi ke depan maupun ke belakang juga terjado pada industri oleokimia global. Forward integrative ke industri pengguna (consumer goods, capital goods) untuk minimisasi risiko agar lebih profitable (integrasi oleokimia-consumer goods/capital goods lebih profitable dari pada hanya oleokimia or industri consumer goods or capital goods). Misalnya: KAO, PROCTER AND GAMBLE. Produsen bahan baku (minyak nabati) forward integrative ke industri oleokimia (ASEAN). Mengamankan CPO/PKO, dan CCO. Strategi Joint venture provider technologi dan jaringan marketing global seperti Wilmar Grup, Bakrie Grup, Sinar Mas , Musim Mas ,Eco Green Cisadane. Sime Darby Grup, United Plantation Grup, Guthre Grup, Golden Hope Plantation, IOI Corporation, Kuala Lumpur Kepong, Felda Holding, PBB Oil Palms, Palmco Holding, Akzo & Nobel Oleochemical (Joint Venture dengan Akzo & Nobel), Cognis Oleochemical (Joint Venture Cognis Jerman, Golden Hope), FPG Oleochemical (Joint Venture Procter & Gamble, USA dengan Felda). Strategi Bacward integrative dengan industri bahan baku juga terjadi seperti Cognis Oleochemical (Joint Venture Cognis dengan Golden Hope), FPG Oleochemical (Joint Venture Procter Gamble, dengan Felda), Akzo & Nobel. Dimasa yang akan datang dinamika industri oleokimia global yang demikian diperkirakan masih akan berlangsung sesuai dengan perkembangan kompetisi global. Penguasaan bahan baku dan pasar produk akhir diperkirakan menjadi penentu strategi industri oleokimia untuk tetap survive ke depan.
72
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
BAB III EVALUASI PERKEMBANGAN MUTAKHIR INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA
Kegiatan ekonomi industri minyak sawit (supply chain) dimulai dari industri pembibitan, perkebunan kelapa sawit, pengolahan TBS menjadi CPO, dan pengolahan CPO lebih lanjut menjadi produk turunan baik setengah jadi (seperti oleokimia) maupun produk jadi (seperti minyak goreng, biodiesel, sabun, shampoo, pelumas dan lainlain). 3.1
Industri Perbenihan Kelapa Sawit
Mata rantai yang paling hulu dari pada industri minyak sawit adalah industri pembibitan. Industri pembenihan merupakan industri cetak biru (blue print) dari rantai pasok minyak sawit. Cetak biru sifatsifat ekonomis kelapa sawit seperti produktivitas dan rendemen minyak dimulai pada industri perbenihan. Penyediaan benih kelapa sawit yang bermutu baik untuk penanaman ulang (replanting) kebun kelapa sawit yang telah ada maupun untuk kebutuhan perluasan areal baru, sangat penting untuk menjamin kelanjutan agribisnis minyak sawit. Dengan luas areal perkebunan sawit Indonesia tahun 2013 sekitar 9.2 juta hektar, dan dengan asumsi umur produktif tanaman kelapa sawit 25 tahun, maka untuk menjamin kelanjutan rantai pasok minyak sawit memerlukan replanting 4 % dari luas areal atau setara dengan 400 ribu hektar setiap tahun. Perusahaan yang bergerak dalam pembenihan kelapa sawit di Indonesia dalam sepuluh tahun (sejak reformasi) mengalami peningkatan yang pesat. Bila pada masa orde baru, pembenihan kelapa sawit hanya satu perusahaan yakni Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), pada masa orde reformasi meningkat menjadi 11 unit perusahaan yang tersebar pada beberapa provinsi (Gambar 3.1) dengan kapasitas industri pembenihan kelapa sawit nasional sebesar 256 juta kecambah per tahun.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
73
Sumatera Utara 55% Riau 29% Sumatera Selatan 14% Jawa Barat 2%
Kapasitas produksi = 256 juta Sumber: Kementerian Pertanian RI (2010) Gambar 3.1. Lokasi Penyebaran Produsen Benih Kelapa Sawit di Indonesia Tabel 3.1. No.
Kapasitas Produksi Benih Kelapa Sawit di Indonesia Kapasitas Produksi Produsen (kecambah/tahun)
1
PPKS Medan
50,000,000
2
PT Socfin Indonesia
47,000,000
3
PT London Sumatra Tbk.
23,000,000
4
PT Bina Sawit Makmur
30,000,000
5
PT Dami Mas Sejahtera
24,000,000
6
PT Tunggal Yunus Estate
14,000,000
7
PT Tania Selatan
8
PT Bakti Tani Nusantara PT Bakrie Sumatera Plantation Tbk. PT Sasaran Ehsan Mekarsari
9 10 11
PT Sarana Inti Pratama
Total Sumber: Kementerian Pertanian RI (2010)
74
7,000,000 20,000,000 22,000,000 4,000,000 15,000,000 256,000,000
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
3.2
Perkembangan Luas Area
3.2.1
Perkembangan Provinsi
Luas
Areal
Menurut
Pengusahaan
dan
Perkebunan kelapa sawit Indonesia telah berkembang pada 22 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia. Lima provinsi terbesar sebagai sentra usaha perkebunan kelapa sawit adalah Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat. Kelima provinsi tersebut berada sekitar 64% luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia dan menghasilkan sekitar 70% CPO. Dua pulau utama sentra perkebunan kelapa sawit (Pulau Sawit) di Indonesia yakni Sumatera dan Kalimantan. Sekitar 90% perkebunan kelapa sawit di Indonesia berada pada kedua pulau sawit tersebut. Dan kedua Pulau Sawit tersebut menghasilkan sekitar 95% produksi CPO Indonesia. Penyebaran perkebunan kelapa sawit pada 22 provinsi Indonesia mulai dari provinsi paling barat Indonesia sampai provinsi paling timur Indonesia, menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit memiliki toleransi yang luas pada keragaman agroklimat di daerah tropis. Selain itu, dengan penyebaran perkebunan kelapa sawit Indonesia yang demikian, melalui perkebunan kelapa sawit Indonesia dapat memanen energi matahari selama 15 jam. Hal ini merupakan salah satu keunggulan alamiah yang dimiliki perkebunan kelapa sawit Indonesia dibandingkan negara lain dari segi ekonomi, penyebaran perkebunan kelapa sawit yang demikian tidak lain adalah penyebaran dunia usaha (firms) yang merupakan "mesin ekonomi". Melalui proses produksi pada usaha perkebunan kelapa sawit tersebut keragaman sumber daya alam dan sumber daya manusia yang tersebar di daerah perkebunan kelapa sawit terdayagunakan untuk menghasilkan minyak sawit dan jasa lingkungan. Dalam kurun waktu tahun 1990-2013 (Tabel 3.2), terjadi revolusi pengusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang ditandai dengan tumbuh-berkembangnya perkebunan rakyat dengan relatif cepat. Pertumbuhan perkebunan sawit rakyat secara umum relatif cepat yakni sekitar 24% pertahun selama periode 1990-2013.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
75
Tabel 3.2.
Pertumbuhan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Menurut Provinsi Luas Areal (Ha)
Provinsi
1990
Pertumbuhan (%/tahun)
2000
2013
19902000
20002013
1990-2013
Aceh
3275
52811
186826
42.31
10.93
24.74
Sumatera Utara
70918
122493
408708
5.91
10.62
8.46
Riau
165453
263663
1217847
6.08
14.34
10.56
Sumatera Selatan
31700
153134
369282
17.66
7.30
12.05
Sumatera Barat
24170
69486
177792
17.43
0
0
2905
18040
155607
173647
0
91
50047
Bengkulu
14240
28180
194170
Lampung
0
45791
58310
Banten
0
6304
7296
Kep. Riau Jambi Bangka Belitung
8.46
12.57
132.92
132.92
6.98
16.20
84.56
84.56
17.84
18.49
18.19
135.12
3.28
60.60
1.20
1.20
1,787.8 0
Jawa Barat
30540
0
182
-12.77
0.83
-10.50
Kalimantan Barat
25656
140979
257204
20.51
4.88
12.04
0
11791
60504
36.37
36.37
1223
29771
129650
41.04
17.64
28.37
14523
50364
160718
15.16
11.33
13.09
Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Sulawesi Tengah
0
7554
50524
15.59
44.53
31.95
Sulawesi Selatan
5000
26678
15589
20.21
7.57
13.37
Sulawesi Barat
0
0
54693
36.50
36.50
Sulawesi Tenggara
0
0
4229
-4.71
-4.71
5530
25457
9886
-4.58
5.85
0
0
10961
1.20
1.20
410268
1190154
3600970
20.48
24.80
Papua Papua Barat Nasional
18.16 143.20
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)
Secara umum luas areal perkebunan kelapa sawit rakyat pada semua provinsi sawit di Indonesia masih bertumbuh positif dan relatif tinggi. Provinsi sentra utama perkebunan kelapa sawit seperti Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat laju pertumbuhan kebun sawit rakyat masih cukup tinggi. Di masa yang akan datang, perkebunan rakyat masih akan bertumbuh dan akan melampaui pangsa perusahaan perkebunan,
76
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
khususnya dari segi luas areal. Dengan makin terbatasnya lahan sehamparan yang relatif luas di Indonesia, akan membatasi ruang gerak perusahaan perkebunan untuk memperluas areal. Sebaliknya perkebunan rakyat yang skalanya relatif kecil misalnya kurang dari 10 hektar, masih terbuka untuk menambah perkebunan rakyat. Berbeda dengan perkebunan kelapa sawit rakyat perkebunan negara cenderung lambat selama periode 1990-2013 (Tabel 3.3). Luas areal BUMN perkebunan sawit relatif kecil dan hanya bertumbuh rata-rata 7% pertahun. Kondisi ini agak mengherankan mengingat BUMN merupakan pioner dalam industri minyak sawit Indonesia. Bahkan keberhasilan dan keyakinan investasi pada industri minyak sawit yang kini dinikmati perusahaan perkebunan swasta maupun perkebunan rakyat belajar dari BUMN perkebunan (PTPN Sawit). Dengan kondisi yang demikian pangsa BUMN perkebunan dalam luas areal total perkebunan kelapa sawit Indonesia hanya berkisar 8-10 %. Perkebunan kelapa sawit swasta mengalami pertumbuhan yang relatif cepat selama periode 1990-2013 (tabel 3.4) yakni sekitar 25% pertahun. Namun demikian laju pertumbuhan areal perkebunan kelapa sawit swasta cenderung melambat dari sekitar 45% selama periode 19902000 turun menjadi sekitar 20% selama periode 2000-20013. Beberapa provinsi yang tercepat pertumbuhan arealnya antara lain Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan. Provinsi-provinsi sentra sawit tradisional seperti Sumatera Utara dan Riau pertumbuhan perkebunan sawit swasta masih relatif tinggi. Dengan pertumbuhan luas perkebunan swasta yang demikian pangsanya mengalami peningkatan dari sekitar 30% tahun 1980 menjadi sekitar 50%, atau naik sebesar 20% selama 20 tahun terakhir. Hal yang menarik dari struktur pengusahaan perkebunan kelapa sawit Indonesia adalah makin meningkatnya pangsa perkebunan rakyat. Tidak banyak sektor ekonomi di Indonesia di mana BUMN dan perusahaan swasta hidup berdampingan dengan usaha rakyat di mana pangsa usaha rakyat makin membesar.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
77
Tabel 3.3. Pertumbuhan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Negara Menurut Provinsi Luas Areal (Ha) Provinsi
Pertumbuhan (%/tahun)
1990
2000
2013
19902000
Aceh
22900
39688
40059
6.37
1.64
3.72
Sumatera Utara
236631
269644
307242
1.37
1.12
1.24
Riau
68816
62642
78953
-0.49
5.80
2.92
Sumatera Selatan
15610
27516
48944
6.18
6.51
6.36
Sumatera Barat
3810
5382
9518
5.09
8.08
6.71
24511
17.00
7.83
12.04
Kep. Riau
2000-2013
1990-2013
0
0
4500
14817
0
0
Bengkulu
711
4392
4704
29.88
3.12
15.38
Lampung
13920
14029
12397
0.46
0.71
0.60
0
11071
9702
1.21
1.21
Jawa Barat
4121
0
4618
16.39
16.37
16.38
Kalimantan Barat
26034
40460
62393
4.88
4.23
4.53
0
0
10966
23.61
23.61
375
0
4300
17370
43359
17.81
19.75
18.86
Sulawesi Tengah
0
4349
3886
-
6.11
4.96
Sulawesi Selatan
5758
6.48
3.48
4.85
55.51
55.51
10.95
27.92
20.14
4.82
10.30
7.45
Jambi Bangka Belitung
Banten
Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Timur
9700
9887
Sulawesi Barat
0
0
Sulawesi Tenggara
0
1102
3905
2800
6367
12632
0
0
2891
414228
528716
686438
Papua Papua Barat Nasional
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)
Struktur pengusahaan perkebunan kelapa sawit yang demikian secara ekonomi lebih berkualitas. Rakyat banyak terlibat langsung dalam membuat "kue ekonomi" sedemikian rupa sehingga ikut secara langsung menikmati "kue ekonomi" yang tercipta, melalui mekanisme ekonomi.
78
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 3.4. Pertumbuhan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Swasta Menurut Provinsi Provinsi
Luas Areal (Ha)
Pertumbuhan (%/tahun)
1990
2000
2013
1990-2000
2000-2013
1990-2013
Aceh
41912
109054
112621
10.78
0.54
5.05
Sumatera Utara Riau
143877
181897
366233
3.57
8.10
6.02
66428
443499
643918
21.28
3.51
11.90
Sumatera Selatan Sumatera Barat Kep. Riau
7059
161219
416707
57.06
9.49
31.29
16500
113147
192787
22.82
5.75
13.57
0
0
5783
-1.99
-1.99
Jambi
8750
116486
247835
32.10
14.77
22.71
2.25
2.25
Bangka Belitung Bengkulu
0
110671
131822
5828
41372
104998
31.07
9.22
19.23
Lampung
190
43300
48776
199.31
1.96
92.41
0
0
47
0.54
0.54
Banten Jawa Barat
4524
3747
4601
-1.61
2.50
0.61
Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan* Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Papua
5200
136507
374851
42.38
10.12
24.91
3363
158332
357625
49.85
10.90
28.75
0
171962
896827
63.67
15.09
36.21
4204
78650
489668
40.30
17.20
27.79
0
28329
43078
47.55
3.59
22.70
8000
30028
2448
275.35
67.25
171.30
0
0
47775
1.49
1.49
0
0
31229
0.49
0.49
0
20568
13605
27.10
37.26
Papua Barat
0
0
9979
13.98
13.98
315835
1948768
4543213
19.66
25.20
Nasional
81.30 44.90
*Gabungan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
79
3.2.2
Perkembangan Komposisi Umur Kelapa Sawit Menurut Pengusahaan dan Provinsi
Secara nasional komposisi tanaman kelapa sawit Indonesia (tabel 3.5) pada periode 2000-2005 terdiri dari 20% TBM, TM muda sampai remaja 35%, dewasa 34%, dan sisanya yakni 12% berupa tanaman tua sampai renta. Sedangkan pada periode 2005-2013 komposisi sawit nasional terdiri dari 20% TBM, TM muda sampai remaja 21%, dewasa 38%, dan sisanya yakni 21% berupa tanaman tua sampai renta. Dari segi tehnis komposisi umur kelapa sawit Indonesia belum mencapai kondisi ideal. Tabel 3.5. Perbandingan Komposisi Tanaman Kelapa Sawit antara Perkebunan Rakyat, Negara, dan Swasta (%) Perkebunan Negara Swasta Rakyat Nasional
Tahun
TBM
TM 4-7 th
8-15 th
16-25 th
2000-05
10
27
29
33
2006-13
15
13
41
31
2000-05
12
41
39
7
2006-13
19
19
39
23
2000-05
34
28
27
11
2006-13
21
26
37
16
2000-05
20
35
34
12
2006-13 20 21 38 Sumber: PASPI (Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute)
21
Distribusi TM kelapa sawit rakyat (tabel 3.6) terutama berada di provinsi Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Jambi. Laju pertumbuhan TM secara nasional mencapai rata-rata 33% pertahun dalam periode 1990-2013. Pertumbuhan TM yang relatif tinggi berada di provinsi Jambi, Bengkulu, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tengah. Namun demikian di daerah sentra-sentra tradisional perkebunan sawit seperti Riau dan Sumatera Utara pertumbuhan kebun rakyat masih relatif tinggi.
80
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 3.6
Distribusi dan Pertumbuhan Luas TM Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Menurut Provinsi
Provinsi
Distribusi TM (%)
Pertumbuhan (%/tahun)
1990
2000
2013
1990-2000
2000-2013
1990-2013
Aceh
0.00
4.12
4.11
29.28
10.81
18.04
Sumatera Utara
33.74
12.45
12.85
4.68
10.99
8.10
Riau
25.22
23.85
33.01
15.60
13.85
14.65
Sumatera Selatan
6.69
14.24
10.33
25.83
7.66
15.99
Sumatera Barat
12.79
4.29
4.89
14.06
14.35
14.21
Kep. Riau
0.00
0.00
0.04
Jambi
1.19
12.09
10.10
57.32
8.65
30.95
Bangka Belitung
0.00
0.00
0.85
Bengkulu
0.37
2.03
4.98
44.95
19.11
30.95
Lampung
0.00
2.70
1.23
209.07
Banten
0.00
0.75
0.16
Jawa Barat
14.30
0.00
0.00
Kalimantan Barat
4.42
14.89
7.26
Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Sulawesi Tengah
0.00
0.01
1.40
0.02
1.06
1.25
7.52
95.15
-2.24
-2.24
33.55
4.03
17.56
3.19
478.70
25.40
198.09
2.86
2.30
36.96
9.99
22.35
0.00
0.75
1.00
18.93
26.85
24.08
Sulawesi Selatan
0.00
2.54
0.36
27.27
2.87
13.48
Sulawesi Barat
0.00
0.00
1.25
49.87
49.87
Sulawesi Tenggara Papua
0.00
0.00
0.01
0.00
1.38
0.28
-1.17
8.15
Papua Barat
0.00
0.00
0.39
1.82
1.82
100.00
100.00
100.00
12.37
33.01
Nasional
20.27 72.61
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah) Untuk kelapa sawit swasta distribusi TM (tabel 3.7) terutama (44%) berada di tiga provinsi Riau, Sumatera Utara, dan Kalimantan Tengah. Laju pertumbuhan TM kebun swasta secara nasional mencapai rata-rata 46% pertahun dalam periode 1990-2013. Pertumbuhan TM yang relatif tinggi berada di provinsi Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Namun demikian di daerah sentra-sentra tradisional perkebunan II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
81
sawit seperti Riau dan Sumatera Utara pertumbuhan kebun swasta masih relatif tinggi, meskipun telah memasuki fase perlambatan pertumbuhan. Tanaman menghasilkan kelapa sawit negara (tabel 3.8) 55% berada di provinsi Riau dan Sumatera Utara. Laju pertumbuhan TM secara nasional mencapai rata-rata 26% pertahun dalam periode 1990-2013. Pertumbuhan TM yang relatif tinggi berada di provinsi Jambi, Bengkulu, Jawa Barat, dan Kalimantan Timur. Sedangkan di daerah sentra-sentra tradisional perkebunan sawit seperti Riau dan Sumatera Utara pertumbuhan kebun negara sudah relatif kecil. Tabel 3.7. Distribusi dan Pertumbuhan Luas TM Perkebunan Kelapa Sawit Swasta Menurut Provinsi Provinsi
Distribusi TM (%) 1990
2000
Pertumbuhan (%/tahun)
2013
1990-2000
2000-2013
1990-2013
Aceh
17
7
3
11.86
0.63
5.57
Sumatera Utara
64
16
10
5.51
5.41
5.46
Riau
14
24
17
28.69
6.35
16.59
Sumatera Selatan
0
9
9
119.91
9.74
60.24
Sumatera Barat
1
7
5
63.79
8.68
33.94
Kep. Riau
0
0
0
5.56
5.56
Jambi
0
6
7
45.79
13.39
27.48
Bangka Belitung
0
6
3
5.21
5.21
Bengkulu
0
2
3
217.72
17.96
109.52
Lampung
0
2
1
84.69
6.55
42.36
Banten
0
0
0
0.68
0.68
Jawa Barat
2
0
0
-2.65
-1.09
-1.81
Kalimantan Barat
0
5
8
146.77
15.88
65.74
Kalimantan Selatan
1
8
8
77.16
20.17
46.29
Kalimantan Tengah
0
4
17
200.25
24.94
80.30
Kalimantan Timur
0
2
6
61.07
30.29
43.67
Sulawesi Tengah
0
1
1
28.72
20.13
23.13
Sulawesi Selatan
0
2
0
71.06
470.07
296.58
Sulawesi Barat
0
0
1
11.07
11.07
Sulawesi Tenggara
0
0
1
10.53
10.53
Papua
0
0
0
71.07
71.07
Papua Barat
0
0
0
56.05
56.05
100
100
100
36.79
46.15
Nasional
77.36
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)
82
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 3.8. Distribusi dan Pertumbuhan Luas TM Perkebunan Kelapa Sawit Negara Menurut Provinsi Provinsi
Distribusi TM (%)
Pertumbuhan (%/tahun)
1990
2000
2013
1990-2000
2000-2013
1990-2013
Aceh
3.81
6.86
6.85
8.77
4.41
6.33
Sumatera Utara
63.91
53.88
44.32
0.41
0.67
0.56
Riau
17.85
14.14
10.79
-0.01
4.61
2.58
Sumatera Selatan
2.07
5.79
6.46
13.95
3.87
8.31
Sumatera Barat
0.76
0.75
1.03
2.13
7.14
4.93
Kep. Riau
0.00
0.00
0.00
Jambi
0.43
1.90
3.65
21.34
12.19
16.21
Bangka Belitung
0.00
0.00
0.00
Bengkulu
0.15
1.00
0.77
51.52
7.51
26.87
Lampung
2.94
3.00
1.92
2.41
0.17
1.16
Banten
0.00
2.50
1.40
3.62
3.62
Jawa Barat
0.45
0.00
0.67
23.31
476.41
260.65
Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah
6.81
6.51
9.79
3.41
6.13
4.93
0.00
0.00
1.87
44.02
44.02
0.00
0.00
0.00
Kalimantan Timur
0.20
1.41
6.95
23.65
27.65
Sulawesi Tengah
0.00
0.00
0.23
-8.57
-8.57
Sulawesi Selatan
0.63
0.92
0.57
11.98
12.54
Sulawesi Barat
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.62
50.75
50.75
0.00
1.33
1.59
20.70
16.51
0.00
0.00
0.53
-8.10
-8.10
100.00
100.00
100.00
36.73
26.16
Sulawesi Tenggara Papua Papua Barat Nasional
32.74 13.26
10.44 14.13
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
83
3.3
Perkembangan Produksi CPO
3.3.1
Penyebaran dan Kapasitas Produksi PKS
Pabrik Kelapa Sawit (PKS) sebagai bagian yang terintegrasi dengan perkebunan kelapa sawit mengikuti penyebaran perkebunan kelapa sawit tersebut (Gambar 3.2). Dari 608 unit PKS dan dengan kapasitas produksi 34.280 ton TBS/jam, sebagian besar berada pada kedua pulau sawit tersebut.
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung Jawa Barat Banten Kalimantan Barat Kalimantan… Kalimantan… Kalimantan Timur Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Papua Papua Barat
7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
7 6 5 4 3 2 1 0
Aceh Sumatera Utara Riau Sumatera Selatan Sumatera Barat Kep. Riau Jambi Bangka Belitung Bengkulu Lampung Banten Jawa Barat Kalimantan Barat Kalimantan… Kalimantan… Kalimantan… Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi… Papua Papua Barat
Juta Ton
Sumber:Kementerian Pertanian RI Gambar 3.2. Kapasitas Produksi PKS Indonesia Menurut Provinsi Tahun 2013 (ton TBS/jam)
Sumber: Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Gambar 3.3. Produksi CPO Indonesia Menurut Provinsi Tahun 2013
84
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
3.3.2
Perkembangan Produksi CPO Menurut Pengusahaan dan Provinsi
Sentra utama produksi CPO dari perkebunan rakyat (table 3.9)berada di Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Selatan. Sekitar 60% produksi CPO rakyat di Indonesia berasal dari ketiga provinsi tersebut. Secara nasional laju pertumbuhan produksi CPO dari kebun sawit rakyat adalah sebesar 36% pertahun selama periode 1990-2013. Provinsi Sentra tradisional produksi CPO seperti Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat masih bertumbuh relatif tinggi. Demikian juga provinsi-provinsi sentra baru produksi CPO seperti Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur mengalami pertumbuhan yang sangat cepat. Bila dibandingkan laju pertumbuhan produksi CPO rakyat tersebut dengan laju pertumbuhan areal TM sawit rakyat (33%) berarti pertumbuhan produksi CPO kebun sawit rakyat juga disumbang oleh peningkatan produktivitas. Lima besar provinsi sentra produksi CPO dari perkebunan swasta (table 3.10)berada di Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Selatan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Sekitar 55% produksi CPO swasta di Indonesia berasal dari lima provinsi tersebut. Secara nasional laju pertumbuhan produksi CPO dari kebun sawit swasta adalah sebesar 63% pertahun selama periode 1990-2013. Provinsi Sentra tradisional produksi CPO seperti Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat masih bertumbuh relatif tinggi. Demikian juga provinsi-provinsi sentra baru produksi CPO seperti Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur mengalami pertumbuhan yang sangat cepat. Bila dibandingkan laju pertumbuhan produksi CPO swasta tersebut dengan laju pertumbuhan areal TM sawit swasta (46%) berarti pertumbuhan produksi CPO kebun sawit swasta juga disumbang oleh peningkatan produktivitas. Berbeda dengan perkebunan sawit rakyat dan swasta sentra utama produksi CPO dari perkebunan negara (tabel 3.11)adalah Sumatera Utara. Pangsa Sumatera Utara dalam produksi CPO perkebunan negara mencapai 50%. Secara nasional laju pertumbuhan produksi CPO dari kebun sawit negara adalah sebesar 15% pertahun selama periode 1990-2013. Bila dibandingkan laju pertumbuhan produksi CPO negara tersebut dengan laju pertumbuhan areal TM sawit negara (26%) berarti pertumbuhan produksi CPO kebun sawit Negara terutama disumbang oleh peningkatan areal TM.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
85
Tabel 3.9. Produksi dan Pertumbuhan CPO Perkebunan Rakyat Seluruh Provinsi Pertumbuhan CPO (%/tahun) Produksi CPO (Ton) Provinsi 1990 Aceh
2000
19902000
2012
20002013
19902013
-
63,242
200,501
35.21
12.07
21.12
Sumatera Utara
277,288
345,858
1,218,165
3.88
11.00
7.72
Riau
130,750
492,803
3,237,660
13.54
18.51
17.67
Sumatera Selatan
45,900
272,416
1,027,533
59.46
38.50
39.42
Sumatera Barat
32,500
112,195
390,946
20.62
13.88
14.95
Kep. Riau
-
-
2,977
-
Jambi
-
212,921
899,672
41.37
13.12
24.67
Bangka Belitung
-
9
73,983
-
Bengkulu
90
38,040
473,918
33.02
23.32
151.91
Lampung
-
31,115
171,176
138.91
17.43
67.13
Banten
-
17,954
8,783
-
-0.19
-0.19
Jawa Barat
2,900
-
30
8.34
1.72
15.85
16,300
190,547
444,934
36.56
7.03
18.29
Kalimantan Selatan
-
110
115,592
-
Kalimantan Tengah
18
21,708
248,898
102.73
26.26
50.41
7,042
86,729
172,169
19.88
22.17
29.88
Sulawesi Tengah
-
11,216
98,734
41.70
Sulawesi Selatan
-
41,751
24,387
18.19
7.69
11.99
Sulawesi Barat
-
-
113,233
-
47.45
47.45
Sulawesi Tenggara
-
-
70
-
Papua
-
39,200
16,458
14.06
-3.51
3.68
Papua Barat
-
-
34,065
-
514,778
1,979,814
8,975,896
26.70
16.03
36.45
Kalimantan Barat
Kalimantan Timur
Nasional
97.72
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)
86
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 3.10. Produksi dan Pertumbuhan CPO Perkebunan Swasta Seluruh Provinsi Pertumbuhan CPO (%/tahun) Produksi CPO (Ton) Provinsi 19902000 11.31
20002013 9.85
19902013 10.49
1990
2000
2012
Aceh
77,074
205,097
284,030
Sumatera Utara
466,090
748,813
1,509,211
5.60
8.27
7.11
Riau
58,264
873,290
2,373,971
34.45
12.22
21.88
Sumatera Selatan
2,325
421,546
1,083,116
104.05
31.11
62.83
Sumatera Barat
2,800
202,588
538,383
95.92
5.63
44.89
Kep. Riau
-
-
11,756
-
27.02
27.02
Jambi
-
219,104
729,241
132.99
12.93
58.67
Bangka Belitung
-
91,091
438,212
-
15.79
15.79
Bengkulu
100
39,782
387,075
872.22
28.99
395.61
Lampung
340
59,381
192,057
121.06
11.87
59.34
-
-
68
-
0.22
0.22
9,917
3,517
4,329
-7.88
18.80
7.20
Kalimantan Barat
-
81,363
812,901
341.71
25.80
136.37
Kalimantan Selatan
-
82,345
925,528
43.61
31.14
36.24
Kalimantan Tengah
-
92,208
1,930,674
210.82
31.22
81.11
Kalimantan Timur
-
33,564
507,652
65.92
28.35
43.72
Sulawesi Tengah
-
14,731
99,662
54.22
122.19
100.72
Sulawesi Selatan
-
37,985
4,818
106.19
22.57
54.43
Sulawesi Barat
-
-
135,434
-
12.65
12.65
Sulawesi Tenggara
-
-
12,465
-
16.26
16.26
Papua
-
-
33,077
-
144.72
144.72
Papua Barat
-
-
33,077
-
54.24
54.24
618,900
3,208,405
12,048,749
99.65
30.54
63.25
Banten Jawa Barat
Nasional
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
87
Tabel 3.11. Produksi dan Pertumbuhan CPO Perkebunan Negara Seluruh Provinsi Pertumbuhan CPO (%/tahun) Produksi CPO (Ton) Provinsi 1990
2000
2012
19902000
20002013
19902013
Aceh
45,696
95,979
53,162
9.32
-0.14
4.02
Sumatera Utara
969,231
1,176,050
1,080,513
2.04
0.44
1.18
Riau
74,621
300,632
229,249
16.93
11.78
14.14
Sumatera Selatan
27,121
104,804
132,001
15.43
45.52
31.73
Sumatera Barat
9,675
17,597
24,608
7.13
3.89
5.37
-
-
-
6,800
38,215
85,771
22.1
10.81
15.99
-
-
-
Bengkulu
580
4,820
16,881
52.63
17.59
33.65
Lampung
27,000
50,240
38,718
7.14
1.97
4.34
-
12,602
17,710
7
7
6.07
5.87
30.95
30.95
31.14
28.35
29.63
35.21
8.52
20.75
13.94
13.98
13.96
16.38
13.34
15.61
Kep. Riau Jambi Bangka Belitung
Banten Jawa Barat
32,251
-
12,811
-5.67
Kalimantan Barat
89,200
120,220
202,000
5.62
Kalimantan Selatan
-
-
19,800
Kalimantan Tengah
-
-
-
Kalimantan Timur
2,112
12,848
140,060
Sulawesi Tengah
-
-
2,122
Sulawesi Selatan
2,170
11,818
4,920
Sulawesi Barat
-
-
-
Sulawesi Tenggara
-
-
2,832
Papua
-
24,753
25,771
Papua Barat
-
-
7,773
1,288,447
1,972,578
2,098,714
Nasional
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)
88
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
3.3.3
Perkembangan Produktivitas CPO Menurut Pengusahaan dan Provinsi
Secara umum produktivitas sawit rakyat (PR) telah mengalami peningkatan produktivitas CPO per hektar selama periode 1990-2013 yakni dari 1.61 ton menjadi 2.92 ton per hektar (Tabel 3.12). Bila dianalisis selama periode 2000-2013 dan mempertimbangkan komposisi umur tanaman kelapa sawit rakyat maka perubahan produktivitas sawit rakyat dalam periode 2000-2005 dibandingkan dengan 2006-2013 (gambar 3.4) telah mengalami pergeseran yang mencerminkan terjadinya peningkatan produktivitas untuk setiap umur TM. Perkebunan kelapa sawit negara (PN) ternyata mengalami penurunan produktivitas dalam periode 1990-2013 (tabel 3.13) yakni dari 4.40% menjadi 3.11%. Jika dibandingkan produktivitas setiap umur TM Negara antara periode 200-2005 dengan periode 2006-2013 (gambar 3.5) menunjukkan terjadinya penurunan produktivitas pada setiap umur TM. Namun demikian produktivitas kelapa sawit negara masih lebih tinggi dari rata-rata produktivitas kelapa sawit rakyat.
2000-05
2006-13
3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50
0.00 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Gambar 3.4.
Perkembangan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
89
Tabel 3.12. Produktivitas dan Pertumbuhan Produktivitas CPO Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Setiap Provinsi Provinsi
Produktivitas (Ton CPO/Ha) 1990
Aceh
Pertumbuhan (%)
2000
2013
1990-2000
2000-2012
1990-2012
1.92
1.85
4.05
4.22
4.15
Sumatera Utara
4.35
3.48
3.60
-1.56
0.31
-0.14
Riau
2.74
2.59
3.72
-0.39
4.57
3.13
Sumatera Selatan
3.63
2.40
3.77
23.41
32.36
25.1
Sumatera Barat
1.34
3.28
3.03
14.1
2.4
9.69
3.56
3.6
3.58
Kep. Riau Jambi Bangka Belitung Bengkulu
2.84 0.00
2.21
3.38
0
2.25
3.29
0.13
2.35
3.61
8.43
3.64
52.38
1.44
5.29
-1.49
14.24
7.4
3.01
2.05 1.00
37.3
1.72
42.61
1.60
2.33
-1.49
3.1
0.84
1.17
3.13
Lampung Banten Jawa Barat
0.11
Kalimantan Barat
1.95
Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah
0.46
2.57
2.96
43.42
3.1
15.04
Kalimantan Timur
2.98
3.80
2.84
9.52
15.2
11.73
Sulawesi Tengah
1.88
3.75
16.06
113.42
79.35
Sulawesi Selatan
2.06
2.57
1.26
4.68
3.2
4.8
-2.54
0.66
10.73
13.60
17.25
Sulawesi Barat
3.44
Sulawesi Tenggara
0.34
Papua
3.56
Papua Barat Nasional
2.23 3.32
1.61
2.45
2.92
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)
90
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 3.13. Produktivitas dan Pertumbuhan Produktivitas CPO Perkebunan Kelapa Sawit Negara Setiap Provinsi Provinsi
Produktivitas (Ton CPO/Ha)
Pertumbuhan (%)
1990
2000
2013
19902000
20002013
19902013
Aceh
3.41
3.23
1.45
0.40
-3.68
-1.88
Sumatera Utara
4.32
5.04
4.56
1.69
-0.22
0.66
Riau
1.19
4.91
3.97
18.63
1.65
9.43
Sumatera Selatan
3.74
4.18
3.82
2.20
56.26
31.48
Sumatera Barat
3.64
5.40
4.48
4.57
1.19
2.74
4.53
4.65
4.40
1.99
1.20
1.56
Bengkulu
1.13
1.11
4.11
20.80
15.57
17.97
Lampung
2.61
3.87
3.78
4.77
0.47
2.44
Kep. Riau Jambi Bangka Belitung
Banten
1.17
2.36
13.20
13.20
Jawa Barat
20.53
0.00
3.58
-1.24
7.73
3.24
Kalimantan Barat Kalimantan Selatan
3.73
4.27
3.86
2.64
1.09
1.80
-2.66
-2.66
Kalimantan Timur
2.95
6.26
3.46
-4.33
-4.33
0.54
10.17
-18.91
-18.91
6.00
4.84
-0.88
-0.88
4.47
4.13
1.98 2.10
Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan
0.15
1.70 0.97
2.95
Sulawesi Tenggara
1.63
21.55
0.86
Papua
4.28
Papua Barat Nasional
3.77
3.03
3.33
2.72 4.40
3.37
3.11
6.27
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
91
2000-05
2006-13
5 4 3 2
1 0 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Gambar 3.5.
Perkembangan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit Negara
Produktivitas kelapa sawit swasta (PS) menunjukkan peningkatan yang konsisten selama periode 1990-2013 (Tabel 3.14) yakni meningkat dari 2.65 ton menjadi 3.25 ton CPO per hektar. Jika dilihat dalam periode 2000-2005 dibandingkan dengan periode 20062013 menunjukkan bahwa produktivitas seluruh umur TM kebun swasta mengalami peningkatan (gambar 3.6)
92
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 3.14. Produktivitas dan Pertumbuhan Produktivitas CPO Perkebunan Kelapa Sawit Swasta Setiap Provinsi Provinsi
Produktivitas (Ton CPO/Ha) 1990 2000 2013
Pertumbuhan (%) 1990-2000
2000-2013
1990-2013
Aceh
2.60
2.46
3.66
0.83
8.09
4.90
Sumatera Utara
4.22
4.21
4.97
0.35
3.29
1.95
Riau
2.34
3.23
4.64
4.06
4.26
4.17
Sumatera Selatan
5.81
3.92
3.90
19.96
10.60
14.92
Sumatera Barat
1.87
2.66
1.11
8.77
-2.62
2.60
25.60
25.60
1.85
22.80
Kep. Riau
2.37
Jambi Bangka Belitung
3.27
3.62
50.05
1.43
4.13
9.42
9.42
Bengkulu
0.22
1.64
4.60
59.68
9.71
32.61
Lampung
1.79
2.52
4.62
15.80
5.39
10.16
-0.47
-0.47
Banten Jawa Barat
1.89 2.35
1.13
1.73
-5.96
19.55
7.86
Kalimantan Barat
1.46
3.12
29.63
9.68
17.28
Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Timur
0.89
3.78
-12.35
20.34
6.13
1.85
3.72
6.15
8.28
7.61
1.43
2.71
4.97
9.56
7.57
Sulawesi Tengah
2.37
3.39
23.01
98.67
72.19
Sulawesi Selatan
1.65
2.09
27.45
457.31
270.41
Sulawesi Barat
4.14
1.06
1.06
Sulawesi Tenggara Papua
0.44
4.32
4.32
3.75
11.80
11.80
Papua Barat
3.01
0.09
0.09
32.54
24.32
Nasional
2.65
2.26
3.25
15.49
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
93
2000-05
2006-13
4
3 2 1 0 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Gambar 3.6. Perkembangan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit Swasta
Jika dibandingkan produktivitas rata-rata kebun sawit swasta, rakyat dan negara untuk setiap umur TM selama periode 200-2013 (gambar 3.7) menunjukkan bahwa produktivitas sawit negara lebih unggul dibanding dengan rata-rata produktivitas swasta, dan produktivitas sawit swasta masih lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas sawit rakyat. Negara
Rakyat
Swasta
4
3 2 1 0 4
5
Gambar 3.7.
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Perbandingan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat, Negara dan Swasta
Hal inilah yang menjadi tantangan pengelolaan perkebunan kelapa sawit Indonesia kedepan yakni bagaimana meningkatkan produktivitas kebun sawit rakyat, kebun sawit swasta mendekati produktivitas sawit negara dan selanjutnya meningkatkan produktivitas kebun sawit swasta, rakyat dan negara kepada tingkat produktivitas yang lebih tinggi. 94
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
3.4
Perkembangan Ekspor dan Konsumsi Domestik CPO
Dari total produksi CPO Indonesia diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri (konsumsi CPO domestik) dan untuk ekspor. Pangsa penggunaan CPO baik untuk ekspor maupun kosumsi domestik mengalami dinamika naik turun (gambar 3.8) tergantung pada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam perdagangan internasional CPO. Pada periode 1970-1978 kebijakan pemerintah cenderung mengarah pada ekspor CPO (Export Orientation), sehingga porsi CPO yang di ekspor lebih besar. Sementara dalam periode 1982-1990 kebijakan perdagangan internasional CPO Indonesia lebih banyak mengunana CPO untuk industri dalam negeri (Domestik Orientation), sehingga porsi konsumsi CPO domestik cenderung lebih besar. Setelah tahun 2006 pemerintah mengendalikan ekspor CPO melalui kebijakan bea keluar CPO yang progresif. CPO Ekspor
CPO Konsumsi Domestik
1970 1972 1974 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Gambar 3.8.
Perkembangan Pangsa Ekspor dan Konsumsi Domestik dari Produksi CPO Indonesia
Dengan segala dinamika kebijakan perdagangan internasional CPO Indonesia, secara keseluruhan ekspor CPO dan produk turunannya baik secara nilai maupun volume masih menunjukkan kenaikkan setip tahun (gambar 3.9 dan 3.10). peningkatan volume ekspor CPO dan turunannya mengikuti peningkatan produksi CPO di dalam negeri. Komposisi ekspor minyak sawit Indonesia juga mengalami perubahan, khususnya dalam lima tahun terakhir (gambar 3.11). Pada II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
95
tahun 2008 sampai 2010 komposisi minyak sawit yang diekspor masih didominasi bahan mentah (CPO) sedangkan setelah tahun 2010-2013 pangsa produk olahan CPO makin besar dalam ekspor minyak sawit Indonesia. Tujuan ekspor minyak sawit Indonesia terutama pada tiga negara/kawasan yakni India, Cina, dan Uni Eropa. Sekitar 70% dari ekspor minyak sawit Indonesia ditujukkan ke tiga kawasan tersebut (gambar 3.12). Meskipun ada perkembangan diversifikasi tujuan ekspor ke negara lain yang di tunjukkan makin besarnya pangsa negara lain, volume ekspor minyak sawit ke India cenderung stabil.
25
Juta Ton
20 15 10 5
Gambar 3.9.
96
2012
2010
2008
2006
2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
0
Perkembangan Volume Ekspor Minyak Sawit Indonesia (ton)
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Milyar USD
0.025 0.02 0.015 0.01 0.005
Gambar 3.10.
2013
2011
2008
2006
2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
0
Perkembangan Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia
0.03 Mentah
Olahan
juta ton
0.02 0.02 0.01 0.01 0.00 2008 Gambar 3.11.
2009
2010
2011
2012
2013
Perkembangan Komposisi Ekspor Minyak Sawit Indonesia
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
97
25000 Negara Lain
India
Eropa
China
Ton
20000
15000
10000
5000
0 2008 Gambar 3. 12.
2009
2010
2011
2012
2013
Perkembangan Ekspor Minyak Sawit Indonesia Menurut Negara Tujuan
3.5
Industri Hilir Minyak Sawit
3.5.1
Industri Minyak Goreng Sawit/Margarin/ Shortening.
Industri hilir minyak goreng sawit yang pertama dan tertua dalam agribisnis minyak sawit adalah industri minyak goreng. Di Indonesia, sebelum industri minyak goreng sawit berkembang, industri minyak goreng kelapa sudah lebih dahulu berkembang dan menjadi sumber utama minyak goreng di Indonesia. Dengan semakin langkanya bahan baku kelapa/kopra di satu pihak dan makin tersedia minyak sawit, secara bertahap sebagian besar industri minyak kelapa beralih kepada industri minyak goreng sawit. Menurut data tahun 2007 (Departemen Perindustrian RI, 2007) penyebaran lokasi industri minyak goreng sawit di Indonesia terutama berada pada enam posisi yakni Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur (Tabel 3.15)
98
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 3.15. Lokasi dan Kapasitas Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia Tahun 2007 Provinsi Kapasitas Produksi Pangsa Nasional (ton/tahun) Sumatera Utara Riau Sulawesi Selatan DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Timur Indonesia Sumber: BPS
3.042.828 3.274.909 1.010.613 2.333.906 2.612.080 1.985.548
19,94 21,46 6,62 15,29 17,12 19,57
15.259.884
100,00
Secara nasional, dari sekitar 15,2 juta ton kapasitas produksi industri minyak goreng sawit di Indonesia, sekitar 21,46% berada di Provinsi Riau, kemudian disusul Sumatera Utara dengan pangsa 19,94%. Provinsi berikutnya adalah berturut-turut Jawa Timur (19,57%), Jawa Barat (17,12%), DKI Jakarta (15,29%) dan Sumatera Utara (6,62%). Dengan demikian, sekitar 48% kapasitas industri minyak goreng sawit nasional berada di sentra-sentra produksi CPO nasional (Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan) dan sisanya (52%) berada di sentra-sentra konsumen minyak goreng.Tampaknya, lokasi industri minyak goreng sawit nasional tidak terlalu kuat mengikuti teori lokasi industri Weber, yang dikenal dengan indikator Indeks Material (Material Index). Menurut indeks material rasio antara bahan baku dengan produk akhir), jika indeks material lebih besar dari satu, lokasi industri mendekat pada bahan baku. Sedangkan jika indeks material lebih kecil dari satu, lebih mendekat pada sentra konsumen. Pada Industri minyak goreng sawit nasional, indeks material lebih besar dari satu sehingga menurut teori tersebut lokasi industri minyak goreng berada di sentra produksi bahan baku yakni CPO. Pada kenyataanya hanya 48% dari kapasitas industri yang berada di sentra produksi CPO. Sebagian besar yakni 51% berada di sentra konsumen (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur). Hal ini menunjukkan bahwa lokasi bahan baku hanyalah salah satu faktor pertimbangan penentu lokasi industri. Faktor lain seperti ketersediaan jaringan logistik, karakteristik permintaan minyak goreng relatif yang terhadap karektaristik produksi bahan baku, faktor sejarah, ikut memengaruhi lokasi Industri Secara nasional, dalam periode tahun
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
99
2002-2008, industri minyak goreng sawit mengalami perkembangan pesat baik jumlah perusahaan, kapasitas produksi maupun produksi. Jumlah perusahaan pelaku industri minyak goreng sawit meningkat dari 70 unit usaha pada tahun 2002 menjadi 74 unit usaha pada tahun 2008. Kapasitas produksi juga meningkat yakni dari 8,2 juta ton per tahun 2002 menjadi 154 juta ton per tahun 2008 atau bertumbuh ratarata sekitar 11% per tahun. Demikian juga produksi minyak goreng sawit meningkat dari 3,7 juta ton menjadi 7,9 juta ton dalam periode yang sama. Dalam periode tahun 2002-2008, utilisasi kapasitas produksi industri minyak goreng sawit masih relatif rendah yakni antara 45%-57%, namun cenderung meningkat sekitar 2% pertahun. Hal ini menunjukkan bahwa industri minyak goreng sawit masih mengalami kelebihan kapasitas (over capacity) sekitar 43%-55% per tahun. Selain minyak goreng sawit, Indonesia juga menghasilkan minyak goreng lain yakni minyak goreng kelapa dan minyak goreng lainya termasuk minyak goreng kedelai. Perkembangan produksi dan dibandingkan dengan minyak goreng sawit diperlihatkan pada Gambar 3.13. Secara keseluruhan produksi minyak goreng nasional dalam periode 2002-2008 bertumbuh rata-rata 13,78% per tahun, yang disumbang pertumbuhan produksi minyak goreng sawit yang bertumbuh 13,77% per tahun, minyak goreng kelapa (11,78%) dan minyak goreng lainnya (minyak goreng kedelai, jagung, dan lain-lain) yang bertumbuh 15,11% per tahun. Dari segi pangsa produksi, minyak goreng sawit merupakan pangsa terbesar dalam produksi minyak goreng nasional dengan pangsa sekitar 87%-90%, sedangkan pangsa minyak goreng kelapa dan minyak goreng lainya masing-masing pangsanya bergerak dari 5%-6%. Hal yang menarik adalah pangsa produksi minyak goreng sawit cenderung menurun, sementara pangsa minyak goreng kelapa dan minyak goreng lainnya cenderung meningkat, meskipun ketiga minyak goreng tersebut secara absolut masih meningkat secara bersama-sama (gambar 3.14). Artinya, laju peningkatan produksi minyak goreng sawit lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata laju perubahan produksi minyak goreng kelapa dan minyak goreng lainnya dalam periode tersebut. Hal ini memberi indikasi bahwa dalam periode tersebut industri minyak goreng kelapa dan minyak goreng lain (di luar minyak sawit) memperoleh gairah yang lebih baik untuk produksi. Peningkatan pangsa produksi minyak goreng di luar minyak goreng sawit, secara ekonomi menguntungkan Indonesia, khususnya dalam diversifikasi minyak goreng. Peningkatan produksi minyak 100
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
goreng kelapa baik secara absolut maupun relatif diharapkan dapat menggairahkan kembali produksi kelapa di seluruh Indonesia yang sempat mengalami stagnasi sebelumnya.
Minyak Goreng Sawit 9 8
Juta Ton
7 6 5 4 3 2 1
Gambar 3.13.
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
0
Perkembangan Produksi Minyak Goreng Indonesia Tahun 2000-2013
Minyak Goreng Sawit 86.64% Minyak Goreng Kelapa 5.31% Minyak Goreng Lain 8.06
Gambar 3.14.
Rata-rata Pangsa Minyak Goreng Sawit dalam Konsumsi Minyak Goreng Indonesia Tahun 2000-2008
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
101
Peningkatan produksi minyak goreng nasional juga disertai dengan peningkatan konsumsi per kapita penduduk. Dalam periode tahun 2002-2008, konsumsi minyak goreng secara komposit meningkat dari 12,36 menjadi 16,82 kg/kapita/tahun. Demikian juga konsumsi minyak goreng kelapa dan minyak goreng lainya masih mengalami peningkatan, yakni dari 0,57 kg menjadi 1,01 kg/kapita (minyak goreng kelapa) dan dari 0,79 menjadi 1,6 kg/kapita (minyak goreng lainnya). Secara relatif pangsa konsumsi minyak goreng sawit menduduki pangsa terbesar dalam total konsumsi minyak goreng Indonesia, kemudian disusul minyak goreng lainnya (minyak kedelai, minyak jagung) dan minyak goreng kelapa. Hal yang menarik adalah pangsa konsumsi minyak kelapa cenderung meningkat. Hal ini secara ekonomi lebih baik karena ada kecenderungan diversifikasi dalam konsumsi minyak goreng sawit. Konsumsi minyak goreng yang terlalu bertumpu pada satu jenis minyak goreng seperti minyak goreng sawit mengandung risiko secara ekonomi khususnya dari segi stabilitas harga. Selain itu, mengingat minyak sawit adalah komoditas ekspor Indonesia, peningkatan konsumsi yang terlalu bertumpu pada minyak goreng sawit dapat mengurangi kesempatan Indonesia memperoleh devisa dari ekspor. Peningkatan pangsa konsumsi minyak goreng non sawit juga diharapkan akan mendorong peningkatan produksi bahan baku minyak goreng nonsawit khususnya kelapa dan jagung yang potensial di Indonesia. Hal ini selain diversifikasi, produksi bahan baku minyak nabati juga akan melestarikan plasma nutfah kelapa dan jagung secara lintas generasi. Secara nasional, konsumsi minyak goreng sawit sebagian besar dikonsumsi masyarakat dalam bentuk minyak goreng, yakni mencapai 80%. Sisanya, yakni 20% dalam bentuk kemasan (bermerek). Selain karena harga minyak goreng curah lebih murah (20%-30% di bawah harga minyak goreng kemasan). Masyarakat Indonesia tampaknya belum banyak menuntut atribut produk yang lebih rinci (brand minded) sebagaimana diperoleh dari minyak goreng kemasan. Meskipun pangsa pasar minyak goreng bermerek hanya sekitar 20%, telah cukup banyak produk minyak goreng di pasar. Beberapa di antaranya adalah Bimoli, Filma, Tropical, Fortune, Sania, Kunci Mas, Madina, Rolebrand, Delima, Sunco, Avena, Sarimurni. Hal ini berarti, pada segmen pasar minyak goreng bermerek cenderung terjadi persaingan monopolistik (monopolistic competition) yang sangat intensif. Sebagaimana struktur pasar persaingan monopolistik, persaingan yang terjadi bukanlah pada tingkat harga melainkan pada variabel di luar harga (non price competition) seperti promosi/iklan. Beberapa minyak 102
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
goreng sawit bermerek mempromosikan diri sebagai minyak goreng nonkolesterol. Padahal semua minyak goreng yang bahan bakunya dari tumbuh-tumbuhan, tidak mengandung kolesterol. Mengingat masih terbatasnya pangsa minyak goreng bermerek di Indonesia, serta tingginya persaingan pada segmen ini, sebagian produsen minyak goreng sawit menyiasati dengan menghasilkan keduanya yakni minyak goreng curah dan bermerek. Sekitar 32% produsen minyak goreng yang ada menghasilkan minyak goreng bermerek sekaligus minyak goreng curah. Dengan cara ini, produsen dapat memanfaatkan pasar minyak goreng curah (umumnya konsumen kelas berpendapatan menengah ke bawah) dan pasar minyak goreng bermerek (konsumen kelas berpendapatan menengah ke atas). Perbedaan harga antara minyak goreng curah dengan minyak goreng bermerek tampaknya menarik beberapa supermarket/hypermart untuk membuat minyak goreng kemasan semi bermerek dan dipasarkan dengan tingkat harga antara minyak goreng bermerek dengan minyak goreng curah. Segmen pasar yang dibidik minyak goreng semi bermerek ini adalah konsumen bagian atas kelas berpendapatan rendah, dan bagian bawah kelas berpendapatan tinggi atau lazim disebut konsumen kelas menengah. Secara keseluruhan, dibandingkan dengan volume produksi minyak goreng yang dihasilkan daya serap pasar domestik yakni konsumsi minyak goreng masih terbatas. Akibatnya sebagian besar produksi minyak goreng nasional ditujukan untuk ekspor. Produksi total minyak goreng Indonesia selama periode tahun 2002- 2008 cenderung dan makin mengarah pada ekspor. Pada tahun 2002 sekitar 61% produksi minyak goreng nasional masih dipasarkan di dalam negeri (konsumsi domestik), setelah tahun tersebut sampai tahun 2008 pangsa untuk pasar ekspor meningkat. Pada tahun 2008, sebagian besar (57%) produksi minyak goreng nasional ditujukan untuk ekspor. Untuk minyak goreng sawit dan kelapa, kecenderungannya sama. Pangsa ekspor mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sedemikian rupa sehingga terjadi pembalikan yakni dari pasar domestik menjadi pasar ekspor (gambar 3.15). Pangsa ekspor minyak goreng sawit meningkat dari sekitar 38% tahun 2002 menjadi sekitar 59% pada tahun 2008. Bahkan minyak goreng kelapa dalam periode tahun 2002-2008 secara konsisten sebagian besar ditujukan untuk ekspor. Berbeda dengan produksi minyak goreng sawit dan kelapa, minyak goreng lainnya dalam periode tahun 2002-2008 secara umum sebagian besar ditujukan untuk pasar domestik. Namun terjadi kecenderungan bahwa pangsa untuk ekspor mengalami peningkatan dan makin berimbang dengan pangsa untuk pasar domestik. II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
103
Ekspor
Konsumsi Domestik
100%
90% 80% 70% 60%
50% 40% 30% 20%
10% 0% 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Gambar 3.15.
Perkembangan Alokasi Produksi Minyak Goreng Indonesia untuk Konsumsi Domestik dan Ekspor Tahun 2002-2013
Bila dibandingkan dengan kenaikan produksi minyak goreng di mana secara konsisten produksi meningkat dari tahun-ke tahun, dengan kecenderungan pangsa untuk ekspor yang meningkat tersebut, berarti tujuan utama peningkatan produksi minyak goreng adalah untuk meningkatkan ekspor dan bukan untuk sekedar memenuhi kebutuhan domestik. Orientasi produksi yang demikian dimungkinkan antara lain akibat kenaikan harga minyak goreng di pasar internasional khususnya setelah tahun 2005. Kecenderungan peningkatan ekspor dari produksi minyak goreng nasional, secara ekonomi menguntungkan Indonesia. Nilai tambah yang diperoleh melalui ekspor minyak goreng secara umum lebih besar daripada bila mengekspor CPO. Selain itu, kecenderungan yang demikian mencerminkan bahwa pasar ekspor lebih menarik bagi produksi minyak goreng daripada pasar domestik. Industri hilir minyak goreng sawit yang pertama dan tertua dalam agribisnis minyak sawit adalah industri minyak goreng. Di Indonesia, sebelum industri minyak goreng sawit berkembang, industri minyak goreng kelapa sudah lebih dahulu berkembang dan menjadi sumber utama minyak goreng di Indonesia. Dengan semakin langkanya bahan baku kelapa/kopra di satu pihak dan makin tersedia minyak sawit, secara bertahap sebagian besar industri minyak kelapa beralih kepada industri minyak goreng sawit. 104
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Penyebaran lokasi industri minyak goreng sawit di Indonesia terutama berada pada enam posisi yakni Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur (Gambar 3.16).
Sumatera Utara 21% Riau 22% Sulawesi Selatan 7% DKI Jakarta 18% Jawa Barat 18% Jawa Timur 14% Sumber: Statistika Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Gambar 3.16. Penyebaran dan Kapasitas Pabrik Minyak Goreng dan Margarin di Indonesia
Secara nasional, dari sekitar 15,2 juta ton kapasitas produksi industri minyak goreng sawit di Indonesia, sekitar 21,46% berada di Provinsi Riau, kemudian disusul Sumatera Utara dengan pangsa 19,94%. Provinsi berikutnya adalah berturut-turut Jawa Timur (19,57%), Jawa Barat (17,12%), DKI Jakarta (15,29%) dan Sumatera Utara (6,62%). Dengan demikian, sekitar 48% kapasitas industri minyak goreng sawit nasional berada di sentra-sentra produksi CPO nasional (Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan) dan sisanya (52%) berada di sentra-sentra konsumen minyak goreng. Tampaknya, lokasi industri minyak goreng sawit nasional tidak lagi terlalu mengikuti teori lokasi industri Weber, yang dikenal dengan indikator Indeks Material (Material Index). Menurut indeks material (rasio antara bahan baku dengan produk akhir), jika indeks material lebih besar dari satu, lokasi industri mendekat pada bahan baku. Sedangkan jika indeks material lebih kecil dari satu, lebih mendekat pada sentra konsumen.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
105
Pada Industri minyak goreng sawit nasional, indeks material lebih besar dari satu sehingga menurut teori tersebut lokasi industri minyak goreng berada di sentra produksi bahan baku yakni CPO. Pada kenyataanya hanya 48% dari kapasitas industri yang berada di sentra produksi CPO. Sebagian besar yakni 51% berada di sentra konsumen (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur). Hal ini menunjukkan bahwa lokasi bahan baku hanyalah salah satu faktor pertimbangan penentu lokasi industri. Faktor lain seperti ketersediaan jaringan logistik, karakteristik permintaan minyak goreng, faktor sejarah, ikut mempengaruhi lokasi industri. Margarin/shortening merupakan oleo pangan (oleo food) yang konsumsinya makin meningkat di dalam negeri. Pada umumnya, konsumsi margarin/shortening terjadi pada industri jasa boga (food service industri) seperti restoran, industri roti dan lain-lain. Konsumsi rumah tangga masih relatif kecil yakni pada masyarakat golongan pendapatan mengengah ke atas. Secara ekonomi produk margarin/shortening merupakan produk yang bersifat income elastic demand yakni konsumsinya meningkat jika pendapatan masyarakat meningkat. Bila pendapatan meningkat, konsumsi margarin meningkat lebih besar (%tase) daripada peningkatan pendapatan itu sendiri. Berbeda dengan industri minyak goreng, sebagian besar (74%) kapasitas industri margarin berada di sentra konsumen. Sisanya yakni 26% berapa di sentra produksi bahan baku seperti Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat. Bahkan sekitar 50% dari kapasitas produksi yang ada berada di DKI Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi industri margarin lebih berorientasi pada pusat-pusat konsumen. 3.5.2
Industri Margarin/Shortening
Margarin/ shortening merupakan oleo pangan (food oleo) yang konsumsinya makin meningkat di dalam negeri. Pada umumnya, konsumsi margarin/shortening terjadi pada industri jasa boga (food service industri) seperti restoran, industri roti dan lain-lain. Konsumsi rumah tangga masih relatif kecil yakni pada masyarakat golongan pendapatan mengengah ke atas. Secara ekonomi produk margarin/shortening merupakan produk yang bersifat income elastic demand yakni konsumsinya meningkat jika pendapatan masyarakat meningkat. Bila pendapatan meningkat, konsumsi margarin meningkat lebih besar (%tase) daripada peningkatan pendapatan itu sendiri.
106
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 3.16. Jumlah Perusahaan, Kapasitas Produksi dan Penyebaran Industri Margarin/Shortening di Indonesia Daerah Jumlah Perusahaan Kapasitas Produksi (unit) (ton/tahun) DKI Jakarta 15 459.943 Sumatera Utara 11 139.860 Jawa Timur 7 75.000 Jawa Barat 6 74.000 Riau 2 76.200 Nusa Tenggara Barat 1 15.000 Nusa Tenggara Timur 1 15.000 Kalimantan Barat 1 9.600 Sumatera Selatan 1 6.000 Jawa Tengah 1 900 Total Sumber: BPS
46
871.502
Industri margarin/shortening di Indonesia telah memiliki sejarah yang panjang. Pada awal perkembangannya menggunakan bahan baku minyak kelapa namun akibat kurangnya minyak kelapa beralih pada bahan baku minyak sawit. Penyebaran industri margarin/shortening dan kapasitas produksi di Indonesia disajikan pada Tabel 3.16 Berbeda dengan industri minyak goreng, sebagian besar (74%) kapasitas industri margarin berada di sentra konsumen. Sisanya yakni 26% berapa di sentra produksi bahan baku seperti Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat. Bahkan sekitar 50% dari kapasitas produksi yang ada berada di DKI Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi industri margarin lebih berorientasi pada pusat-pusat konsumen. Perkembangan produksi dan penggunaan produksi industri margarin/shortening di Indonesia disajikan pada Tabel 5.10. Produksi margarin cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000 produksinya baru mencapai sekitar 338 ribu ton, meningkat menjadi sekitar 580 ribu ton tahun 2008. Peningkatan produksi margarin yang demikian selain tersedianya bahan baku (stearin, olein, PKO) di Indonesia, juga dimungkinkan oleh pertumbuhan pasar margarin/ shortening baik di dalam negeri maupun ekspor. Hal yang menarik adalah pangsa produksi margarin yang dipasarkan ke pasar domestik cenderung meningkat yakni dari sekitar 78% tahun 2000 menjadi 84% tahun 2008. Sementara pangsa untuk tujuan pasar ekspor menurun dari 23% menjadi 15%. Tampaknya pertumbuhan pasar domestik lebih mampu menyerap produksi margarin daripada pasar ekspor.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
107
Tujuan pasar eskpor margarin Indonesia adalah Hongkong, Srilangka, Angola, Philipina, Vietnam dan Rusia. Sekitar 50% ekspor margarin Indonesia diserap oleh negara-negara tersebut. Sedangkan sisanya ditujukan untuk ekspor ke negara-negara lain. Bila dibandingkan dengan industri minyak goreng (Gambar 3.17), perkembangan industri margarin ini berbeda/bertolak-belakang. Bila industri margarin cenderung memperbesar pangsa produksinya untuk pasar domestik, industri minyak goreng lebih cenderung memperbesar pasar ekspornya. Hal ini menarik untuk didalami lebih jauh, apakah pertumbuhan konsumsi margarin sedang mulai meningkat di Indonesia? Ataukah produk margarin Indonesia kalah bersaing dengan produk margarin negara lain di pasar dunia?
Margarine 800 700
Ribu Ton
600 500 400 300 200
100 2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
0
Gambar 3.17. Perkembangan Produksi Margarine Indonesia Tahun 20002013
3.6
Perkembangan Industri Oleokimia Peranan ekspor CPO dan turunannya dalam ekspor netto non migas makin penting dan bahkan menjadi katup pengaman. Pada tahun 2004 (Tabel 3.17), kontribusi ekspor CPO dan turunannya baru mencapai 26 % dari net ekspor non migas dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan tahun 2012 dan tahun 2013 pangsa ekspor CPO dan turunannya sudah di atas 100 %. Artinya, sektor non migas
108
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Indonesia terhindar dari defisit trade, karena adanya ekspor CPO dan turunannya. Peran penting dari ekspor CPO dan turunanya dalam perekonomian makin jelas jika dilihat dalam neraca transaksi berjalan (current account), NTB, Indonesia. Jika ekspor CPO dan produk turunannya tidak diperhitungkan (tanpa minyak sawit) NTB Indonesia sudah mengalami defisit sejak tahun 2008. Dan defisit NTB tersebut mengalami peningkatan sejak tahun 2008 sampai 2013. Defisit NTB makin membengkak pada tahun 2012 dan 2013 ketika total net ekspor Indonesia (non migas dan migas) mengalamin defisit berturut-turut 12,7 dan 13 Milyar dollar USA, sehingga defisit NTB menjadi sekitar 45 dan 47 milyar dollar USA. Jika ekspor CPO dan turunannya diperhitungkan (dengan minyak sawit), NTB Indonesia sejak tahun 2004-2011 masih positif. Defisit NTB tahun 2012 dan 2013 tidak lagi mampu di tutup oleh ekspor CPO dan turunannya. Dengan fakta tersebut dapat dikatakan bahwa industri minyak sawit Indonesia (meskipun masih pada fase sedang bertumbuh) telah berperan menjadi kutub penyelamat NTB pada periode tahun 20082012. Tabel 3.17. Peran Ekspor CPO dan Turunannya dalam Neraca Transaksi Berjalan Indonesia Tahun
Tanpa Minyak sawit ($ milyar) Net Neraca Ekspor Barang Transaksi Total Berjalan
2004 2005 2006 2007 2008
16.12 18.35 24.11 23.67 9.11
2009 2010 2011 2012 2013
Dengan Minyak Sawit ($ milyar) Neraca Net Ekspor Transaksi Barang Total berjalan
-0.40 -1.44 +5.28 +1.41 -13.67
20.15 22.78 29.66 32.75 22.91
3.11 2.99 10.83 10.49 0.13
17.77
-1.74
30.15
10.63
14.73 13.13 -12.68 -13.08
-11.21 -19.96 -45.37 -47.68
31.09 34.78 8.62 6.15
5.14 1.68 -24.07 -28.45
Sumber : BPS, Bank Indonesia (data diolah)
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
109
Tabel 3.18. Produsen dan Kapastas Industri Oleokimia Nasional (dalam 1000 ton) No. 1
Fatty Acid
Perusahaan
Fatty Alcohol
Glycerol
350
24
PT Ecogreen (Medan & Batam)
45
2
PT Sumiasih, Bekasi
91
10
3
PT SOCI MAS, Medan
80
8
4
PT Flora Sawita Chemindo , Medan
50
5.1
5
PT Musim Mas, Medan
6
PT Domba Mas, Kuala Tanjung
7
Wilmar Group, Gresik
120
30
8
PT Nubika Jaya, Kisaran PT Cisadane Raya Chemical, Tanggerang
130
20
9
Total
320
100
30
60
40
4.6
90 986
490
10 141.7
Sumber: BPS
Terkonsentrasinya industri oleokimia di Sumatera Utara mungkin berkaitan dengan sejarah kelapa sawit nasional yang dimulai dari Sumatera Utara. Meskipun saat ini sentra utama produksi CPO nasional (urutan pertama) adalah Riau, tampaknya industri hilir (oleokimia) terbesar masih di Sumatera Utara. Di masa yang akan datang, diperkirakan Riau akan menjadi sentra utama industri hilir (oleokimia). Mengingat industri ini merupakan industri antara, faktor ketersediaan bahan baku yakni CPO dan PKO menjadi pertimbangan penting bagi pengusaha dalam memilih lokasi investasi industri oleokimia. Perkembangan Produksi Oleokimia Dasar Indonesia. Produksi oleokimia dasar di Indonesia cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (gambar 3.18) baik fatty acid, fatty alcohol, maupun glycerol. Pangsa fatty acid merupakan yang tertinggi dalam produksi oleokimia Indonesia setiap tahun.
110
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
1,600
Ribu Ton
1,400 1,200 1,000 800
Fatty Alcohol
600
Glyserol
400
Fatty Acid
200 0 2006 Fatty Acid Glyserol Fatty Alcohol Total
2007
742.536 736.069 99.813 109.548 137.672 161.500 980.021 1.007.117
2008
2009
2010
893.083 856.419 935.332 98.004 124.474 186.000 241.500 282.000 285.000 1.232.587 1.262.893 1.406.332
6,39 18,91 21,17 89,74
10,78 29,49 30,88 15,35
Sumber: BPS dan Apolin Gambar 3.18. Perkembangan Produksi Oleokimia Dasar di Indonesia 20062010 (ton).
Perkembangan Volume Ekspor Fatty Acid. Volume dan nilai ekspor fatty acid (gambar 3.19 dan 3.20). Indonesia juga cenderung meningkat dari tahun ke tahun meski tengah fluktuasi pada tahun tertentu. Negara tujan ekspor utama fatty acid Indonesia adalah Eropa, India, dan Asia lainnya. Pangsa fatty acid ke China dan Asia lainnya juga bertumbuh dengan pangsa yang meningkat. 800
Eropa Amerika Afrika Asia Lainnya China India
Ribu Ton
600 400 200
0 2006 Gambar 3.19.
2007
2008
2009
2010
Perkembangan Volume Ekspor Fatty Acid Menurut Negara Tujuan (Ton). Sumber: BPS dan Apolin
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
111
Ribu Ton
700 600 500 400 300 200 100 0
Eropa Amerika Afrika Asia Lainnya China 2006
2007
2008
2009
India
2010
Grafik Perkembangan Volume Ekspor Fatty Acid Menurut Negara Tujuan (US$'000) Sumber: BPS dan Apolin Gambar 3.20. Perkembangan Volume Ekspor Fatty Acid (US $’000).
Perkembangan Volume Ekspor Glycerol. Volume dan nilai ekspor glycerol Indonesia juga mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun (gambar 3.21 dan gambar 3.22). Negara tujuan ekspor utama glycerol adalah China, Asia, dan Amerika Serikat, dengan pangsa yang makin besar (bertumbuh). Sedangkan negara tujuan ekspor glycerol ke Jepang pangsanya cenderung turun.
140 Amerika Serikat
120
Australia
Ribu Ton
100
Eropa
80
Amerika 60
Afrika
40
Asia Lainnya
20
China
0
Jepang 2006
2007
2008
2009
2010
Sumber: BPS dan Apolin Gambar 3.21. Perkembangan Volume Glyserol Menurut Negara Tujuan (Ton)
112
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
juta USD
80
Australia
70
Eropa
60
Amerika
50
Afrika
40
Asia Lainnya Korea Selatan
30
Amerika Serikat
20
China
10
Jepang
0 2006
2007
2008
2009
2010
Sumber: BPS dan Apolin Gambar 3.22. Perkembangan Volume Ekspor Glyserol Menurut Negara Tujuan
Perkembangan Volume Ekspor Fatty Alcohol. Volume dan nilai ekspor fatty alcohol secara konsisten meningkat dari tahun ke tahun (gambar 3.23 dan 3.24). Negara tujuan utama ekspor fatty alcohol Indonesia mencakup China, Asia lain, Amerika Serikat, Afrika dan Belanda. Pangsa ekspor fatty acid alcohol ke Belanda dan asia lainnya bertumbuh sangat cepat.
Ribu Ton
180
160
Eropa Lainnya
140
Amerika Lainnya
120
Afrika
100
Asia Lainnya
80
Belanda
60
Singapura
40
China
20
Amerika Serikat
0 2006
2007
2008
2009
2010
Sumber: BPS dan Apolin Gambar 3.23. Perkembangan Volume Ekspor Fatty Alcohol Menurut Negara Tujuan (ton).
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
113
Juta USD
300
Eropa
250
Amerika Lainnya
200
Afrika
150
Asia Lainnya
Belanda
100
Singapura 50
China
0
2006
2007
2008
2009
Amerika Serikat
2010
Sumber: BPS dan Apolin Gambar 3.24. Perkembangan Value Ekspor Fatty Alcohol Menurut Negara Tujuan
Ribu Ton
Selain mengekspor, Indonesia juga mengimpor oleokimia dasar pada saat tertentu (gambar 3.25 dan 3.26), namun cenderung menurun. Impor fatty acid dan fatty alcohol merupakan oleokimia dasar yang banyak di impor oleh Indonesia. 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Glyserol Fatty Alcohol Fatty Acid
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Sumber: BPS dan Apolin Gambar 3.25. Perkembangan Volume Impor Oleokimia 2006-2011
114
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Juta USD
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Glyserol Fatty Alcohol Fatty Acid
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Sumber: BPS dan Apolin Gambar 3.26. Perkembangan Volume Impor Oleokimia 2006-2011
Konsumsi oleokimia dasar di Indonesia secara konsisten mengalami peningkatan (gambar 3.26). Konsumsi fatty alcohol pangsanya cenderung meningkat, sementara glysecor maupun fatty acid cenderung stabil. Peningkatan konsumsi oleokimia tersebut mencerminkan bahwa didalam negeri telah berkembang industri pengguna oleokimia dasar (hilirisasi oleokimia). 3.6.1
Industri Sabun/Detergen
Indonesia berada di daerah tropis memiliki gaya hidup yang mungkin berbeda dengan masyarakat di negara beriklim dingin/subtropis. Iklim tropis yang panas dengan kelembaban tinggi, memerlukan gaya hidup mandi secara teratur. Hal ini memerlukan sabun, baik sabun mandi (toilet soap), sabun cuci (wash soap) maupun sabun detergen. Semakin besar penduduk semakin besar kebutuhan sabun tersebut. Gaya hidup yang demikian, telah mendorong tumbuh berkembangnya industri sabun di Indonesia. Pada awal perkembanganya, bahan baku pembuatan sabun berasal dari minyak kelapa (untuk sabun mandi dan cuci) dan produk turunan petrokimia (detergen). Namun belakangan akibat kelangkaan minyak kelapa dan alasan kesehatan lingkungan (petrokimia) bahan baku beralih ke minyak sawit yang lebih murah, sehat dan bersahabat dengan lingkungan (biodegradable).
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
115
Tabel 3.19. Jumlah Perusahaan dan Kapasitas Produksi Industri Sabun Mandi dan Detergen di Indonesia Daerah Jumlah Kapasitas Produksi (ton/tahun) Perusahaan Sabun Mandi Sabun Detergen Cuci Sumatera Utara 6 181.800 34.500 2620 Lampung 1 16.150 DKI Jakarta 10 521.000 1.185.700 Jawa Barat 12 48.900 58.450 80.202 Banten 1 18.000 Jawa Tengah 1 15.800 750 Jawa Timur 13 117.460 29.540 2.557.000 Total Sumber: BPS
44
925.110
122.490
2.574.794
Jumlah perusahaan dan kapasitas produksi industri sabun di Indonesia disajikaan pada Tabel 3.19 dan gambar 3.27. Pada umumnya lokasi industri sabun di Indonesia lebih berorientasi pada pusat-pusat konsumen. Dari sekitar 925 ribu kapasitas industri sabun mandi di Indonesia sekitar 88% berada di pusat-pusat konsumen seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hanya 22% berada di sentra produsen bahan baku yakni di Sumatera Utara dan Lampung.
Sumatera Utara 5% Jawa Barat 4% Jawa Tengah 0% DKI Jakarta 35% Banten 0% Jawa Timur 56%
Sumber: Kementerian Perindustrian Gambar. 3.27. Penyebaran dan Kapasitas Produksi Sabun dan Detergen,
116
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Sabun& Detergen 1800 1600 1400 Ribu Ton
1200 1000 800 600 400 200
Gambar 3.28.
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
0
Perkembangan Produksi Sabun dan Detergen Indonesia Tahun 2000-2013
Hal yang relatif sama juga terjadi pada industri sabun cuci dan detergen. Dari kapasitas industri sabun cuci sebesar 122 ribu ton, 78% berada di sentra-sentra konsumen. Bahkan pada industri detergen, sekitar 99 % berada di sentra-sentra konsumen terutama DKI Jakarta. Dalam periode tahun 2000-2008, produksi sabun dan detergen Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (Gambar 3.28). Sabun cuci meningkat dari sekitar 240 ribu ton tahun 2000 menjadi sekitar 290 ribu ton tahun 2008. Demikian juga sabun mandi, meningkat dari sekitar 869 ribu ton menjadi 690 ribu ton pada periode yang sama. Berbeda dengan sabun cuci atau detergen, orientasi pasar dari produksi sabun mandi mengalami perubahan. Pada tahun 2000-2002, sebagian besar produksi sabun mandi dipasarkan ke dalam negeri, namun setelah tahun tersebut sebagian besar beralih ke pasar ekspor. Dengan kata lain, produksi sabun mandi Indonesia makin cenderung melihat pasar ekspor. Hal ini sedikit berbeda dengan produksi sabun cuci di mana sebagian besar produksinya ditujukan untuk pasar domestik. Namun, terdapat kecenderungan bahwa pangsa produksi untuk tujuan pasar ekspor cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Sedangkan produksi detergen lebih dari 90% ditujukan untuk pasar domestik (Gambar 3.29). Hanya relatif sedikit untuk dipasarkan ke luar negeri (ekspor). II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
117
Domestik 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 2000 Gambar 3.29.
2002
2004
Ekspor
2006
2008
Perkembangan Produksi dan Tujuan Pasar Industri Sabun Indonesia
Negara tujuan ekspor sabun mandi Indonesia umumnya adalah negara-negara Asia, Timur-Tengah dan Afika. Sepuluh negara tujuan ekspor sabun mandi terbesar adalah Singapura, Malaysia, Nigeria, Djibouti, Mesir, India, Irak, Ethiopia dan Autralia. Sementara negara tujuan ekspor sabun cuci terbesar adalah Angola, Ethiopia, Uni Emirat Arab, Djbouti, India dan Malaysia. Sedangkan negara tujuan ekspor detergen Indonesia adalah terutama Jepang, Malaysia dan Singapura. Dengandemikian,meskipunvolumeeksporsabun/detergenIndon esia masih tergolong kecil, negara tujuan ekspor telah terdiversifikasi sedemikian rupa sehingga tidak tergantung pada beberapa negara saja. Dalam jangka panjang hal ini memudahkan Indonesia untuk meningkatkan volume ekspor sabun/detergen karena sudah dikenal di banyak negara. Sumatera Utara 4% Jawa Barat 4% Riau 81% DKI Jakarta 1% Banten 0%
Jawa Timur 8% Kalimantan Timur 2%
Sumber: Aprobi (2009) Gambar 3.30. Penyebaran dan Kapasitas Pabrik Biodiesel di Indonesia,
118
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Industri biodiesel. Industri biodiesel merupakan industri hilir minyak sawit yang masih tergolong baru di Indonesia. Industri ini memiliki momentum untuk tumbuh-berkembang setelah harga BBM fosil mengalami kenaikan yang signifikan di pasar dunia khususnya setelah tahun 2003. Selain itu, keprihatinan dunia akan pemanasan global yang terutama akibat emisi CO2 dari konsumsi BBM fosil juga ikut merangsang tumbuhnya industri biofuel di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Biodiesel 2500
Ribu Ton
2000 1500 1000 500
0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Gambar 3.31.
Perkembangan Produksi Biodiesel Indonesia Tahun 2000-2013
Perkembangan Produksi Biodiesel dan Penggunaannya di 6000 Indonesia
Ribu kl
5000 4000 3000
Konsumsi
2000
Ekspor
1000
Produksi
0 2009
Gambar 3.32.
2010
2011
2012
2013
Perkembangan Produksi Biodiesel dan Indonesia
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
Penggunaanya di
119
Tabel 3.20. No.
Produsen dan Kapasitas Industri Biodiesel di Indonesia Nama Perusahaan
Lokasi
Kapasitas (ton/tahun)
1
PT Alia Mada Perkasa
11000
PT Anugrah Inti Gemanusa
Kosambi, Tangerang Gresik
2 3
PT Bioenergi Pratama Jaya
Kab. Kutai Timur
6000
4
PT Cemerlang Energi Perkasa
5 6
PT Damai Sejahtera Sentosa Cooking PT Darmex Biofuel
7
PT Energi Alternatif
8 9
PT Eternal Buana Chemical Industries PT Eterindo Nusa Graha
10
40000
Kab. Berau
60000
Dumai, Riau
400000
Rungkut, Surabaya
120000
Bekasi
150000
Jakarta Utara
7000
Cikupa, Tangerang
40000
Gresik
40000
PT Indo Biofuels Energi
Merak
60000
11
PT Multikimia Intipelangi
Bekasi
14000
12
Musim Mas Group
Kab. Deli Serdang
70000
13 14 15 16 17 18 19 20
PT Pasadena Biofuels Mandiri PT Pelita Agung Agrindustri PT Petro Andalan Nusantara PT Primanusa Palma Energi PT Sintong Abadi PT Sumi Asih PT Wahana Abdi Tritatehnika Sejati PT Wilmar Bio Energi Indonesia TOTAL
Batam Ciakarang Bengkalis, Riau Dumai, Riau Jakarta Utara Kab. Asahan Bekasi Cileungsi, Bogor Dumai, Riau
350000 10240 200000 150000 24000 35000 100000 132200 1050000 3069440
Sumber: BPS
Menurut data Asosiasi Produsen Biodisel Indonesia (2009) kapasitas industri biodiesel Indonesia sudah mencapai sekitar 3 juta ton per tahun (gambar 3.30 dan tabel 3.20). Industri ini terbesar di Sumatera Utara, Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur dan Kalimantan Timur. Dengan kapasitas yang demikian, industri biodiesel nasional sudah mampu memasok setidak-tidaknya 3 juta ton biodiesel untuk kebutuhan dalam negeri. Realisasi produksi biodiesel Indonesia sejauh ini belum diperoleh data yang akurat. Dengan Indonesia sebagai produksi CPO terbesar di dunia, sebenarnya Indonesia juga akan mampu menjadi produsen biofuel terbesar dunia. Dari produksi perkebunan kelapa sawit saja, Indonesia dapat menghasilkan biopremium, biogasolin, biopertamax dan biosolar 120
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
jika serius mengembangkanya. Produk biofuel tersebut selain dapat diperbaharui (renewable energi) juga ramah lingkungan (environment friendly). Masalah utama pengembangan biofuel di Indonesia adalah political will dan konsistensi kebiakan energi nasional, dan bukan masalah teknologi apalagi bahan baku. Seharusnya subsidi BBM fosil sesegera mungkin dicabut dan dialihkan untuk subsidi biofuel (untuk sementara) dan dalam jangka waktu tertentu dicabut secara bertahap, sehingga konsumen memiliki waktu untuk menyesuaikan diri. Tabel 3.21. Perkembangan Kebutuhan CPO untuk Industri Hilir di dalam Negeri Kebutuhan CPO untuk Industri (Ton) Tahun
3.7
Minyak Goreng
Oleokimia
Margarine
Sabun
Biodiesel
Total
2000
1,691,099
587,554
33,805
236,167
2,548,625
2001
2,214,000
595,279
36,469
250,360
3,096,108
2002
2,391,120
592,351
39,703
250,946
3,274,120
2003
2,510679
596,758
41,688
251,699
3,400,824
2004
2,887,277
643,709
42,939
251,872
3,825797
2005
3,494,472
761,378
49,657
253,132
4,558,639
2006
3,610,646
780,361
53,629
253,829
78,000
4,776,465
2007
3,843,919
799,447
53,629
258,195
324,000
5,279,190
2008
4305,190
839,420
57,919
263,359
756,000
6,221,888
2009
4,864,864
881,390
62,553
268,626
396,000
6,473,433
2010
5,545945
925,460
67,557
273,999
888,000
7,700,961
2011
6,155,999
971,733
72,962
279,479
1,890,000
9,370,173
2012
6,089,365
996,094
73,489
277,887
2,640,000
10,076,834
2013
6,468,303
1,034,277
76,943
281,002
2,640,000
10,500,524
Evolusi Kebijakan Pemerintah
Perkembangan agrobisnis minyak sawit sebagaimana diuraikan pada bab-bab sebelumnya tidak dapat dilepaskan dari kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah, khususnya sejak tahun 1970. Kebijakan ekonomi yang dimaksud baik kebijakan yang secara langsung ditujukan pada agrobisnis minyak sawit maupun kebijakan secara tidak langsung yakni dalam kerangka pengelolaan makro ekonomi, termasuk dalam perdagangan internasional.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
121
Kebijakan pemerintah yang secara langsung ditujukan pada agrobisnis minyak sawit antara lain kebijakan alokasi penggunaan CPO untuk kebutuhan domestik yang disertai dengan kebijakan harga CPO maksimum, kebijakan Perkebunan Inti Rakyat dan Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN), dan kebijakan pajak ekspor CPO dan produk turunannya. Meskipun pangsa pengeluaran konsumen minyak goreng di Indonesia relatif kecil (sekitar 4% dari pengeluaran total), sehingga konstribusinya dalam laju inflasi relatif kecil, intervensi pemerintah pada agrobisnis minyak sawit cukup intensif agar harga minyak goreng relatif murah di Indonesia. Hal ini menarik untuk didiskusikan lebih lanjut, apakah kebijakan yang demikian masih perlu dipertahankan ke depan. Kebijakan PIR dan PBSN. Keberhasilan Indonesia menjadi produsen CPO terbesar dunia tahun 2006 di mana sekitar 40% bersumber dari perkebunan rakyat, tidak datang sendiri melainkan hasil dari (by design) kebijakan ekonomi benar dalam agrobisnis minyak sawit. Kebijakan ekonomi yang dimaksud adalah kebijakan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dan Pengembangan Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN), yang oleh banyak pihak diakui keberhasilannya. Dalam kebijakan PIR, yang bertindak sebagai inti adalah perkebunan negara (BUMN) dan perkebunan swasta. Sedangkan plasma adalah (calon- calon) perkebunan rakyat. Tugas dan tanggung jawab inti antara lain membangun dan memelihara kebun-kebun calon plasma, mempersiapkan, dan membina kemampuan calon plasma sejak awal pembangunan kebun, serta ikut memelihara dan mengelola kebun di bawah bimbingan inti. Mengingat peran inti sangat penting dalam keberhasilan PIR, perlu terlebih dahulu dilakukan penyehatan dan penguatan inti, melalui kebijakan bantuan pembiayaan (fasilitas kredit) yang dimulai pada 7 (tujuh) BUMN/Perusahaan Besar Swasta Nasional (tahun 19691978). Kemudian dilanjutkan dengan kebijakan fasilitas kredit (modal dengan suku bunga murah) kepada perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) I (1977-1981), dilanjutkan dengan PBSN II (1981-1986), dan PBSN III (1986-1990). Simultan dengan kebijakan penyehatan dan penguatan inti tersebut, tahun 1978 dimulailah PIR pertama yang dibiayai oleh Bank Dunia yang dikenal dengan proyek Nucleus estate and small holders (NES), mulai dari NES I sampai NES VII. Keberhasilan NES tersebut memberi keyakinan pada pemerintah untuk melanjutkan dan memperluas pola PIR dengan pendanaan dalam negeri (APBN) yakni 122
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
PIR khusus dan PIR lokal pada 12 provinsi di Indonesia pada tahun 1980. Melalui serangkaian pola PIR tersebut, berkembang sekitar 231.535 ha perkebunan kelapa sawit baru yakni kebun inti (67.754 ha) dan kebun plasma (163.781 ha). Melalui PIR inilah perkebunan rakyat ikut dalam agrobisnis minyak sawit nasional di mana sebelum tahun 1980 pelaku agrobisnis minyak sawit hanya ada perusahaan negara dan swasta. Pengalaman keberhasilan pelaksanaan PIR tersebut dan dikaitkan dengan pengembangan ekonomi daerah melalui program transmigrasi, pemerintah mengombinasikan pola PIR dengan program transmigrasi melalui pola PIR Transmigrasi (PIR-Trans) sejak tahun 1986. Pada Pola PIR-Trans, perusahaan swasta bertindak sebagai inti dan petani transmigrasi sebagai plasma. Kebijakan PIR-Trans ini dilaksanakan pada 11 provinsi dan berhasil menumbuhkembangkan perkebunan kelapa sawit baru sekitar 566 ribu hektar di mana 70% kebun plasma dan 30% kebun inti. Berkembangnya sentra-sentra baru perkebunan kelapa sawit melalui PIR-Trans, tidak melupakan pengembangan PIR lokal sebelumnya yang mengilhami PIR-Trans. Sejak Tahun 1996, PIR lokal dikembangkan (naik kelas) baik dari segi pembiayaan maupun dari segi kelembagaan yang dikaitkan dengan pengembangan koperasi yang dikenal dengan PIR KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Para Anggotanya). PIR KKPA ini dibiayai dengan subsidi kredit koperasi melalui 74 Koperasi Unit Desa (KUD) yang ada di sekitar perkebunan kelapa sawit (swasta, negara) yang telah ada. Melalui kebijakan PIR dengan berbagai variasi pelaksanaannya, telah membawa perubahan revolusioner dalam agrobisnis minyak sawit di Indonesia khususnya perkebunan kelapa sawit. Luas areal perkebunan kelapa sawit meningkat dari hanya sekitar 294 ribu ha tahun 1980, menjadi sekitar 4 juta hektar tahun 2000 atau meningkat hampir 20 kali lipat. Hal yang lebih revolusioner lagi adalah meningkatnya perkebunan rakyat dari hanya 6 ribu hektar menjadi 1,1 juta hektar atau hampir 200 kali lipat dalam periode yang sama. Melihat keberhasilan kebijakan PIR yang menghasilkan percepatan pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, ternyata membangun kepercayaan (trust) baru kepada agrobisnis minyak sawit, baik investor, individu masyarakat, maupun dunia perbankan. Hal ini tercermin dari peningkatan luas perkebunan kelapa sawit yang cepat setelah tahun 2000 di mana tidak ada lagi fasilitas bantuan pemerintah. Dalam waktu 10 tahun (2000-2010), perkebunan kelapa sawit Indonesia naik dari 4,1 juta hektar menjadi sekitar 8 juta
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
123
hektar atau naik dua kali lipat. Peningkatan yang cepat terjadi pada perkebunan rakyat yang meningkat sekitar 3 kali lipat dari 1,1 juta hektar menjadi 3,3 juta hektar pada periode yang sama. Pada tahun 2006 pemerintah memberikan fasilitas kredit (subsidi bunga kredit) pengembangan energi nabati dan revitalisasi perkebunan (Permenkeu No:117/PMK.06/2006) untuk rakyat. Namun demikian, sebagian besar masyarakat dari percepatan luas perkebunan kelapa sawit selama periode 2000-2010 diperkirakan dimotori oleh kepercayaan investor baru (perusahaan, individu) dan perbankan pada agrobisnis minyak sawit. Apalagi dalam periode tersebut harga minyak sawit dunia makin membaik sehingga memberi keyakinan bahwa investasi di perkebunan kelapa sawit sangat menguntungkan. Kebijakan PIR dan PBSN di atas, dapat dikategorikan sebagai kebijakan ekonomi yang sukses (success policies). Kebijakan tersebut bergerak dari fase bantuan modal, kemudian naik kelas menjadi fase subsidi modal dan kemudian menuju fase modal komersial (mandiri). Dikatakan sebagai kebijakan sukses karena berbagai alasan. Pertama, kebijakan tersebut berhasil (meningkatkan luas perkebunan khususnya perkebunan rakyat sesuai dengan target/sasaran kebijakan). Kedua, kebijakan tersebut berhasil secara bertahap memperbesar peran dunia usaha dan makin mengurangi tanggung jawab/beban pemerintah sehingga tidak menciptakan ketergantungan pada bantuan pemerintah. Ketiga, kebijakan tersebut berhasil menstimulus investasi swasta dan masyarakat sehingga dengan investasi pemerintah yang tidak terlalu besar dikeluarkan, dapat menarik investasi swasta/masyarakat yang jauh lebih besar (triggering effect besar). Keempat, kebijakan tersebut mampu memenuhi kewajibannya dalam pembangunan. Artinya, keberhasilan pemerintah dalam memberdayakan dunia usaha, secara tidak langsung menyelesaikan tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam pembangunan ekonomi seperti penciptaan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan dan lain-lain. Dengan kata lain, kebijakan PIR dan PBSN yang demikian merupakan kebijakan yang bersifat pareto improvement, yakni memberi manfaat bagi semua pihak baik petani/perkebunan rakyat, perusahaan perkebunan swasta dan negara (BUMN), pemerintah maupun masyarakat secara keseluruhan. Manfaat tersebut bahkan juga dinikmati masyarakat dunia baik melalui ketersediaan minyak nabati yang lebih murah maupun jasa lingkungan yang dihasilkan perkebunan kelapa sawit.
124
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Kebijakan Alokasi dan Harga Maksimum CPO Domestik. Pada periode tahun 1973-1990, pemerintah pernah menempuh kebijakan pengalokasian dan harga CPO domestik. Tujuan kebijakan waktu itu adalah untuk memenuhi kebutuhan bahan baku minyak goreng yang saat ini mengalami kekurangan bahan baku dari kelapa/kopra. Pada awalnya (1973-1978) pemerintah menetapkan harga pembelian CPO bagi industri minyak goreng dangan harga Rp120 per kg. Namun karena tidak efektif, melalui SKB Menteri (Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan dan Koperasi) No: 275/ KPB/XII/1978, 252/M/SK/12/1978, 764/KPTS/UM/1978 tanggal 16 Desember 1978 pemerintah mengeluarkan kebijakan mengharuskan penggunaan produksi CPO domestik diutamkan untuk kebutuhan dalam negeri dan dengan harga CPO ditetapkan pemerintah secara periodik (tiga bulan sekali) oleh Menteri Perdagangan dan Koperasi pada waktu itu. Dengan kebijakan pengaturan harga (harga maksimum) CPO domestik, harga penetapan CPO berubah dari Rp120/kg (pertengahan tahun 1978) berubah menjadi Rp198/kg sampai akhir tahun 1979. Kemudian diubah tiga bulan sekali sampai dengan awal tahun 1991 menjadi Rp550/kg. Selain menetapkan harga CPO domestik, pemerintah juga mengharuskan penggunaan produksi CPO di Indonesia diutamakan untuk kebutuhan dalam negeri, baik untuk industri minyak goreng maupun industri lain. Kebijakan pengutamaan pasar domestik ini bukan hanya berlaku bagi CPO tetapi juga berlaku untuk palm kernel oil (PKO). Dampak dari kebijakan tersebut adalah pangsa untuk ekspor CPO mengalami penurunan dan untuk konsumsi domestik meningkat. Bila sebelum tahun 1978 sebagian besar produksi CPO Indonesia adalah untuk tujuan ekspor, setelah tahun 1978 berangsur-angsur turun (Tabel 9.2). Hal yang sama juga terjadi pada PKO, pangsa untuk ekspor makin menurun dan pangsa untuk konsumsi domestikmeningkat. Dengan kata lain, untuk pertama kali dalam sejarah agrobisnis minyak sawit Indonesia terjadi perubahan drastis dalam orientasi pasar, yakni semula berorientasi ekspor (export orientation) yakni sebelum tahun 1978, menjadi berorientasi pada pasar domestik (domestik market orientation). Dengan perubahan orientasi pasar yang demikian, berarti Indonesia meninggalkan pasar ekspornya baik CPO maupun PKO. Hal ini tercemin dari penurunan pangsa Indonesia dalam pasar ekspor CPO
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
125
dunia yang semula (sebelum tahun 1978) memiliki pangsa di atas 10%, turun menjadi di bawah 10% setelah tahun 1978. Pasar ekspor yang ditinggalkan Indonesia ini kemudian diambil alih Malaysia yang secara konsisten berorientasi ekspor. Apakah kebijakan pengutamaan pasar domestik yang disertai dengan penetapan harga maksimum berhasil? Hal ini menarik untuk didesikasikan lebih lanjut. Bila diperhatikan, data harga CPO penetapan pemerintah dengan harga CPO aktual di dalam negeri selama masa periode kebijakan tersebut menunjukan hal-hal yang menarik. Pertama, harga CPO aktual di pasar domestik pada umumnya di atas harga CPO penetapan pemerintah (harga maksimum) baik dalam rupiah maupun dalam dolar Amerika Serikat. Kedua, terjadi disparitas harga CPO antara pasar domestik (aktual) dengan harga ekspor (f.o.b Belawan) yang cukup besar apalagi dibandingkan dengan harga dunia (Rotterdam). Disparitas harga CPO antara harga aktual di pasar domestik dengan harga yang ditetapkan pemerintah mengindikasikan terjadinya penyelundupan (smugling) dari pasar domestik ke luar negeri. Hal ini dimungkinkan karena adanya intensif yang cukup besar yakni disparitas harga CPO antara harga yang ditetapkan pemerintah dengan harga ekspor. Volume CPO yang diselundupkan keluar negeri ini diperkirakan cukup besar sedemikian rupa, sehingga melalui mekanisme di pasar domestik, harga aktual menjadi lebih tinggi dari harga yang ditetapkan pemerintah. Kemudian, disparitas harga CPO antara pasar ekspor (f.o.b. Belawan) dengan pasar dunia (Rotterdam) yang cukup besar, mengindikasikan bahwa kebijakan orientasi pasar domestik yang ditempuh pemerintah waktu itu juga dimanfaatkan oleh para pedagang perantara/pembeli CPO internasional dengan cara menekan harga pembelian CPO dari Indonesia. Kebijakan orientasi pasar domestik tersebut dibaca para pemain CPO dunia sebagai ketidakpastian supply CPO dari Indonesia, sehingga direspons dengan cara menekan harga (manage risk). Lantas siapa yang diuntungkan dengan kebijakan tersebut? Apakah kebijakan tersebut efektif menjaga stabilitas minyak goreng domestik sebagaimana tujuan kebijakan? Untuk menjawab hal ini mari kita lihat perkembangan harga minyak goreng dalam negeri dalam kurun waktu tahun 1980-1994. Harga minyak goreng di Indonesia mengalami fluktuasi selama periode tahun 1980-1994. Tingkat penurunan harga minyak goreng tertinggi terjadi tahun 1990 yakni 18%. Sedangkan kenaikan tertinggi terjadi tahun 1983 yang mencapai 24%. Secara keseluruhan, rata-rata 126
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
kenaikan harga minyak goreng di Indonesia selama kebijakan tersebut mencapai 6,4%, atau kurang lebih sama dengan laju inflasi selama periode tersebut. Dengan demikian, kebijakan tersebut gagal menjaga stabilitas minyak goreng di dalam negeri. Tomich dan Mawardi (1995) menganalisis dampak kebijakan tersebut selama periode tahun 1978-1987 mengungkapkan bahwa kebijakan tersebut merugikan produsen dan konsumen. Kebijakan tersebut menciptakan proteksi nasional sampai 9% pada perkebunan kelapa sawit. Sementara konsumen minyak goreng membayar 6%-12% di atas harga paritas impor minyak goreng. Selama periode 1982-1987 saja, total kerugian konsumen mencapai Rp880 miliar dan kerugian produsen Rp387 miliar. Selain itu, Indonesia kehilangan kesempatan memperoleh devisa yang cukup besar dan kehilangan pasar di pasar dunia Kebijakan Pajak Ekspor Minyak Sawit. Sebagai bagian dari paket deregulasi, pada waktu itu dikenal sebagai paket deregulasi Juni tahun 1991 (Pakjun 91), pemerintah mengubah kebijakan perdagangan minyak sawit di dalam negeri. Perubahan yang dimaksud mencakup 3 aspek yakni, (1) Penerapan pajak ekspor minyak sawit dan produk turunannya, (2) Pengelolaan buffer-stock CPO oleh Badan Urusan Logistik (BULOG) dan memberikan subsidi impor olein bila diperlukan, dan (3) Melanjutkan kebijakan penggunaan 80% produksi CPO perkebunan sawit negara (PTP) untuk kebutuhan dalam negeri dengan harga di bawah harga pasar. Kebijakan pasar ekspor yang ditetapkan bersifat variable, yang tergantung pada perkembangan harga minyak sawit dan turunannya di pasar dunia. Waktu itu ditetapkan harga dasar (HD)—harga tertinggi yang tidak dikenakan pajak—dan harga ekspor (HE) yakni harga ekspor FOB Belawan. Tingkat tarif ditetapkan dan tergantung pada selisih HE dengan HD. Formula Pajak Ekspor (PE) untuk persatuan volume dalam rupiah adalah PE = tarif x (HE-HD) x KURS. Kebijakan tersebut untuk pertama sekali ditetapkan melalui SK Menteri Keuangan No: 434/KMK 0.17/1994 tanggal 31 Agustus 1994 Formula Perhitungan PE berdasarkan SK tersebut disajikan pada Tabel 3.22.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
127
Tabel 3.22. Formula Penetapan Pajak Ekspor CPO dan Produk Turunan Berdasarkan SK Menkeu No: 434/KMK 0.17/1994 Tanggal 31 Agustus 1994 Tingkat Harga (US$/ton) Pajak Ekspor (%) 1. Crude Palm Oil (CPO) *Harga Dasar 435 0% * Harga Ekspor FOB 0% a. 435-505 60 % (HE-HD) b. 470-505 56 % (HE-HD) c. 505-540 52 % (HE-HD) d. 540-575 48% (HE-HD) e. 575-610 44 % (HE-HD) f. Di atas 610 40 % (HE-HD) 2. RBD Palm Oil * Harga Dasar 460 0% * Harga Ekspor FOB 0% a. 460-500 60 % (HE-HD) b.500-540 56 % (HE-HD) c. 540-580 52 % (HE-HD) d. 580-620 48% (HE-HD) e. 620-660 44 % (HE-HD) f. Di atas 660 40 % (HE-HD) 3. CRD Olein * Harga Dasar 0% * Harga Ekspor FOB 0% a. 465-510 75 % (HE-HD) b, 510-600 70 % (HE-HD) c. 555-600 65 % (HE-HD) d. 600-645 60 % (HE-HD) e. 645-690 55 % (HE-HD) f. Di atas 690 50 % (HE-HD) 4.RBS Olein * Harga Dasar 0% * Harga Ekspor FOB 0% a. 500-550 75 % (HE-HD) b. 550-600 70 % (HE-HD) c. 600-650 65 % (HE-HD) d. 650-700 60 % (HE-HD) e. 700-750 55 % (HE-HD) f. Di atas 750 50 % (HE-HD)
Harga Ekspor (HE) tersebut ditetapkan setiap bulan oleh Menteri Keuangan baik untuk CPO, maupun produk turunanya RBD Olein, CRD Olein, dan RBD Palm Olein. Pada bulan September 1994, misalnya melalui SK Menteri Keuangan No: 440/MK.017/1994 tanggal 31 Agustus 1994 menetapkan HE CPO (US$ 540/ton), RBD Palm Oil (US$ 591/ ton), CRD Olein (US$ 612/ton) dan RBD Olein (US$ 642/ton). Realisasi kebijakan pajak ekspor misalnya dalam periode September 1994 sampai dengan November 1995 (Tabel 9.6) 128
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
menunjukan bahwa pajak ekspor CPO mencapai 11,9% dari harga ekspor CPO, atau sekitar US$ 72/ton CPO yang diekspor. Untuk RBD Palm Oil mencapai 12.4% dari harga ekspor RBD Palm Oil atau sekitar US$ 79/ton. Sementara untuk produk CRD olein, pajak ekspor mencapai 15,4% atau US$ 97/ ton yang diekspor. Untuk RBD olein, pajak ekspor mencapai 14,8% atau sekitar US$ 99/ton RBD olein yang diekspor. Dengan demikian, kebijakan pajak ekspor tersebut akan menghasilkan pajak yang lebih tinggi pada produk turunan (olahan) daripada pajak ekspor bahan mentah (CPO). Pajak ekspor RBD Olein lebih tinggi dari CRD Olein. Demikian juga pajak ekspor CRD olein lebih tinggi daripada RBD Palm Oil dan pajak ekspor RBD Palm Oil lebih tinggi daripada pajak ekspor CPO. Dengan tingkat pajak ekspor yang demikian, di mana pajak ekspor produk turunan lebih tinggi daripada pajak ekspor bahan baku (CPO), tidak memberi intensif untuk industrialisasi (pengolahan lebih lanjut) di dalam negeri. Apakah kebijakan yang demikian menguntungkan konsumen minyak goreng dalam negeri?. Secara teoritis, kebijakan pajak ekspor yang demikian menciptakan distorsi ekonomi yang secara neto mengurangi/menurunkan kesejahteraan masyarakat keseluruhan. Kebijakan tersebut meningkatkan penerimaan pajak pemerintah dan kesejahteraan konsumen minyak goreng. Namun, mengurangi/menurunkan penerimaan devisa dan pendapatan para usaha perkebunan kelapa sawit termasuk perkebunan rakyat. Dapat dipastikan bahwa peningkatan pendapatan pemerintah dan peningkatan kesejahteraan konsumen minyak goreng di dalam negeri lebih kecil dibandingkan dengan kerugian yang dialami perkebunan kelapa sawit. Hasil Studi Larson (1996) untuk periode tersebut membuktikan teoritis tersebut. Nilai penurunan pendapatan usaha perkebunan kelapa sawit termasuk perkebunan rakyat di dalamnya, lebih besar daripada nilai pajak ekspor yang diterima pemerintah ditambah dengan manfaat (consumer surplus) yang dinikmati konsumen minyak goreng di dalam negeri. Selain itu, nilai penurunan penerimaan ekspor akibat kebijakan tersebut jauh lebih besar dari pajak ekspor yang diterima pemerintah. Dengan kata lain, kebijakan pajak ekspor yang demikian secara keseluruhan menurunkan kesejahteraan masyarakat (worse-off). Mereka yang menikmati peningkatan manfaat (better-off) yakni pemerintah dan konsumen, lebih kecil (dalam ukuran moneter) dibandingkan dengan kerugian (worse-off) yang dialami para pelaku perkebunan kelapa sawit termasuk di dalamnya perkebunan rakyat skala kecil. II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
129
Selain itu, dilihat dari segi kemudahan perhitungan tarif, kebijakan penetapan pajak ekspor yang demikian cukup rumit karena harus terlebih dahulu menetapkan harga tertinggi (HD) tidak dikenakan tarif untuk masing-masing produk dan menetapkan harga ekspor. Kelemahan lainnya adalah pajak ekspor produk olahan lebih tinggi daripada bahan baku (CPO) sehingga tidak ada intensif untuk mengolah CPO di dalam negeri. Dalam rangka diregulasi 7 Juli 1997, pemerintah akhirnya mengubah kebijakan penetapan pajak ekspor CPO dan produk turunanya. Melalui keputusan Menteri Keuangan No: 300/ KMK.01/1997 kebijakan pajak ekspor diubah menjadi pajak advalorem yakni %tase tertentu dari nilai ekspor yang diterapkan semula berkisar 10%-12%, kemudian berubah secara periodik dan pada juli 1998 ketika krisis ekonomi melanda Indonesia pajak ekspor mencapai 60%, lalu diturunkan menjadi 40% sampai Juni 1999 dan menjadi 10% pada September 1999. Sampai Februari 2001, pajak ekspor sudah tinggal 5% dan menjadi 3% pada tahun 2002 sampai 2005. Setelah tahun 2005, kebijakan pajak ekspor CPO dan produk turunannya semakin intensif baik dilihat dari cakupan produk maupun besaran tarif melalui Peraturan Menteri Keuangan No: 92/ PMK-02/2005 cakupan pajak ekspor mencakup 5 jenis. Selain 4 jenis sebelumnya, komoditi buah dan inti sawit dikenakan pajak ekspor sebesar 3%. Kemudian, melalui Peraturan Menteri Keuangan No: 61/ PMK.001/2007 kebijakan pajak ekspor diperluas menjadi 9 jenis produk/komoditi dengan kisaran pajak ekspor 6,5%-10%. Melalui Peraturan Menteri Keuangan No: 72/PMKO11/2011 diperluas menjadi 14 jenis produk dengan kisaran pajak ekspor 0%-40% (buah dan inti sawit dikenakan pajak tertinggi yakni 40%). Perhitungan pajak ekspor (advalorem) didasarkan pada formula: Tarif x Nilai ekspor FOB x KURS. KebijakanpajakeksporCPOdanprodukturunannyamakinintensif lagi, melalui Peraturan Menteri Keuangan No: 223/PMK.011/2008 tanggal 17 Desember 2008. Setidak ada tiga perubahan dari pajak ekspor sejak tanggal 17 Desember 2008 tersebut dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya: (1) Cakupan produk yang dikenakan pajak ekspor mencakup 15 jenis termasuk RBD Olein dalam kemasan; (2) Besarnya pajak ekspor (advalorem) didasarkan pada kisaran harga referensi masing-masing jenis produk, di mana semakin meningkat harga referensi, pajak ekspor juga akan semakin meningkat (progressive advalorem tax), dan (3) Harga Patokan Ekspor (HPE) ditetapkan secara periodik. 130
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Harga Patokan Ekspor (HPE) adalah harga patokan yang ditetapkan secara periodik oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perdagangan setelah berkoordinasi dengan menteri/ kepala lembaga pemerintah non kementerian/kepala badan teknis terkait. HPE ini ditetapkan denan berpedoman pada harga rata-rata internasional atau harga rata-rata FOB satu bulan terakhir sebelum penetapan HPE. HPE ini merupakan dasar penghitungan/penetapan harga ekspor dalam perhitungan bea keluar. Sedangkan harga referensi (HR) merupakan harga rata-rata internasional komoditi/tertentu (CIF Rotterdam, bursa Malaysia, bursa Jakarta) satu bulan sebelum penetapan HPE. Harga referensi ini digunakan untuk menghitung tarif bea keluar. Kemudian, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.128/ PMK.011/2011 tanggal 15 Agustus 2011, cakupan produk diperluas menjadi 29 jenis produk dan besaran tarif didasarkan pada harga referensi masing-masing produk. Menteri Perdagangan melalui Peraturan Menteri Perdagangan No: 22/M-DAG/PER/8/2011 dan No: 26/MDAG/PER/8/2011 menetapkan HPE masing-masing produk berlaku 1 September-30 September 2011. Ringkasan ketiga peraturan menteri tersebut disajikan pada. Harga patokan ekspor dan besaran tarif tersebut akan selalu mengalami perubahan tergantung pada perubahan harga produkproduk tersebut di pasar internasional. Tujuan kebijakan pajak ekspor tersebut adalah untuk stabilisasi harga minyak goreng sawit dan percepatan pengembangan industri hilir (hilirisasi) di dalam negeri. Secara umum, kebijakan pajak ekspor tersebut telah lebih rasional dibandingkan dengan kebijakan pajak sebelumnya. Besaran tarif untuk produsen yang belum diolah dan produk akhir sudah dibedakan. Pajak ekspor buah dan inti sawit lebih besar dibandingkan dengan CPO dan CPKO. Demikian juga pajak ekspor CPO dan CPKO lebih tinggi dibandingkan dengan produk-produk olahan lebih lanjut. Di sisi ini, kebijakan pajak ekspor yang demikian secara teoritis dapat mendorong hilirisasi di dalam negeri dan stabilisasi harga minyak goreng domestik. Berbagai studi (Susila 2004; Obado, dkk. 2009; Purba 2011) mengungkapkan bahwa selain meningkatkan penerimaan pemerintah, pajak ekspor dapat menurunkan harga CPO domestik, menaikkan konsumsi CPO domestik, meningkatkan produksi minyak goreng domestik, dan meningkatkan kesejahteraan konsumen. Namun, berbagai studi (termasuk di atas) juga mengungkapkan bahwa kebijakan pajak ekspor yang ditempuh pemerintah juga menurunkan
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
131
areal tanaman penghasil kelapa sawit, produksi, nilai tambah, ekspor, pendapatan petani kebun, menurunkan penyerapan tenaga kerja, dan produktivitas yang lebih besar. Artinya, tambahan manfaat yang ditimbulkan kebijakan pajak ekspor CPO dan turunannya harus dibayar dengan pengurangan menfaat yang lebih besar dari produsen minyak sawit dan masyarakat yang ikut dalam proses produksi minyak sawit. Pengurangan manfaat tersebut terjadi pada daerah-daerah sentra produksi CPO yang merupakan bagian penting dari pengembangan ekonomi daerah yang sedang difokuskan pemerintah itu sendiri dalam era otonomi daerah. Selain itu, kebijakan pajak ekspor yang berdampak pada penurunan produkivitas perkebunan kelapa sawit juga perlu diperhatikan. Dalam kondisi saat ini terutama ke depan, di mana lahan makin terbatas seharusnya peningkatan produktivitas menjadi andalan Indonesia untuk meningkatkan produksi CPO. Namun, dengan adanya disinsentif (akibat kebijakan pajak ekspor) dapat mengagalkan upaya peningkatan produktivitas tersebut. Lambatnya pertumbuhan produktivitas perkebunan kelapa sawit Indonesia selama ini patut diduga karena disinsentif tersebut. Akibatnya, investasi R&D yang dikeluarkan pemerintah juga tidak teradopsi dalam perkebunan kelapa sawit. Dengan catatan dampak kebijakan pajak ekspor sebagaimana diuraikan di atas, cara penetapan pajak ekspor tersebut juga masih memiliki beberapa kelemahan, yakni: (1) Penetapan pajak ekspor CPO dan turunnya secara advalorem mengubah keseimbangan produsen CPO sehingga direspons dengan penurunan produksi. Seharusnya, kebijakan pajak ekspor yang ditempuh didasarkan pada specific tax sehingga tidak mengubah keseimbangan produsen. (2) Penetapan HPE dan tarif bea keluar secara periodik oleh pemerintah menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku agrobisnis minyak sawit seperti perencanaan kontrak-kontrak. Hanya pelaku agrobisnis minyak sawit yang terintegrasi secara vertikal yang tidak menghadapi ketidakpastiaan tersebut, dan (3) Penetapan besaran tarif yang tidak mengikutsertakan variabel perubahan (depresiasi, apresiasi) kurs rupiah dapat mengubah beban produsen minyak sawit (CPO), tergantung pada kecenderungan pengelolaan kurs. Apresiasi mata uang rupiah sama artinya pajak implisit bagi eksportir sehingga bila ditambah dengan tarif nominal yang ditetapkan pemerintah akan menambah pajak ekspor yang menjadi beban produsen/eksportir. Artinya, dalam menentukan tarif bea keluar, variabel depresiasi/apresiasi kurs perlu dipertimbangkan.
132
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Secara keseluruhan, harga CPO FOB dan pasar domestik cenderung mengalami kenaikan selama periode 2000-2008. Pola pergerakan harga CPO domestik (dalam US$) mengikuti pola harga FOB. Selain itu, harga CPO domestik berada di bawah harga FOB dengan siparatis yang bervariasi (5%-42) dengan rata-rata 17,5%. Disparatis harga tersebut mencerminkan dampak dari kebijakan pajak ekspor yang ditetapkan selama periode tersebut. Rata-rata disparitas harga antara harga CPO FOB dengan harga CPO domestik (17,5%) lebih tinggi dari rata-rata pajak ekspor CPO dalam periode tahun 2000-2008 yang berkisar 1,5%-6,5%. Hal ini dapat dimengerti karena selain pengaruh perubahan kurs, juga dipengaruhi respons masing-masing produsen CPO berbeda-beda (tabel 3.23). Bila diperhatikan, pangsa produksi CPO Indonesia untuk ekspor menunjukkan peningkatan yakni dari sekitar 58% tahun 2000 menjadi 74% tahun 2008 bahkan tahun 2006 mencapai 78%. Meskipun secara absolut meningkat, pangsa untuk konsumsi domestik dengan sendirinya mengalami penurunan dari 41% menjadi 25%. Hal ini menunjukan bahwa kenaikan produksi CPO Indonesia selama periode tersebut sebagian besar ditujukan ke pasar ekspor. Meskipun pemerintah menerapkan pajak ekspor dengan tarif yang cenderung meningkat, produsen CPO masih lebih memilih menjual CPO ke pasar ekspor dengan konsekuensi membayar pajak ekspor daripada menjual ke dalam negeri. Disparitas harga ekspor dengan harga CPO domestik yang lebih tinggi daripada tarif bea keluar tampaknya masih menguntungkan dari sudut pandang produsen CPO.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
133
Tabel 3.23. Harga Patokan Ekspor dan Tarif Bea Keluar Produk-Produk Agribisnis Minyak Sawit 1 September – 30 September 2011. (Permenkeu: 128/PMK.011/2011, Pemendag: 22/M-DA6PER/8/11; Pemendag 26/M-DAG/PER/9/2011) HPE (US$/ton) 418 156
Tarif (%) 40 20
HMKT (US$/ton) 0 0
TR (%) 40 20
TT (%) 40 20
Crude Palm Oil (CPO) Crude Palm Karnel Oil (CPKO) Crude Palm Olein x Crude Palm Strearin Crude Palm Karnel Olein Crude Palm Karnel Strearin Palm Fatty Acid Destilate (DFAD) Hydrogenated Palm Oil (Bulk>20kg) Hydrogenated Karnel Oil (Bulk>20kg) Hydrogenated Palm Olein (Bulk>20kg) Hydrogenated Karnel Olein (Bulk>20kg) Hydrogenated Karnel Olein (Bulk>20kg) Hydrogenated Palm Strearin (Bulk>20kg)
1.013 1.326 1.131 893 1.326 1.326
15 15 8 5 8 8
750 750 750 750 750 750
7.5 3 3 3 3 3
2,5 2,5 15 15 15 15
753
3
750
3
15
1.020
8
750
3
15
1.363
15
750
3
15
1.158
12
750
3
15
1.369
15
750
3
15
1.363
15
750
3
15
923
6
750
3
15
RBD Palm Olein x
1.141
9
750
2
13
RBD Palm Oil
1.120
9
850
2
10
RBD Palm Karnel Oil
1.434
10
850
2
10
RBD Palm Karnel Olein
1.339
10
850
2
10
RBD Palm Karnel Strearin
1.642
10
850
2
10
Nama Produk Buah dan Karnel Kelapa Sawit x Bungkil Kelapa Sawit
RBD Palm Sterarin
902
3
850
2
10
Hydrogenated RBD palm Olein
1.168
10
850
2
10
Hydrogeneted RBD Palm Oil Hydrogeneted RBD Palm Karnel Oil Hydrogeneted RBD Palm Karnel Olein Hydrogented RBD Palm Karnel Stearain
1.148
7
850
2
10
1.443
10
850
2
10
1.366
10
850
2
10
1.668
10
850
2
10
Hydrogented RBD Palm Strearin 929 3 850 2 BD Palm Oilein Dalam Kemasan Bermerk (>20kg)(270merk) 1.141 3 1.000 2 Biodiesel dari minyak sawit (Fatty Acid Methye Ester) 1.191 5 1.000 2 HPE= Harga Patokan Ekspor ; HMKT= Harga Minimum Kuota Tarif ; TR= Tarif Terendah ; TT= Tarif Tertingi
134
10 6 7,5
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Lantas apakah kebijakan pajak ekspor CPO dapat dikatakan gagal? Tergantung apa indikatornya. Jika indikatornya adalah harga CPO domestik, jelas kebijakan pajak ekspor tersebut berhasil karena harga CPO di pasar domestik lebih rendah (di bawah) harga ekspor CPO. Seandainya tidak ada pajak ekspor, harga CPO domestik akan mendekati harga ekspor atau sama dengan harga peritas ekspor. Lagi pula, kebijakan pajak ekspor tersebut bukanlah kebijakan melarang ekspor CPO. Namun, bila indikatornya adalah hilirisasi, perlu penelitian lebih lanjut mengenai kebijakan tersebut. 3.8
Perkembangan Harga Energi Dunia, Pupuk dan Rasio Harga
3.8.1
Pergerakan Harga Energi Dunia, Minyak Mentah Harga minyak mentah dunia telah mengalami peningkatan yang drastis (Gambar 3.33) yakni dari US$ 19,48/barrel Januari 2002 menjadi US$ 110,52/barrel pada Mei 2012. Harga minyak mentah dunia tertinggi pernah terjadi pada bulan Juni 2008 yang mencapai US$ 13305/barrel. Bila dilihat pola pergerakan harga bulanan dalam kurun waktu Januari 2002-Mei 2012 menunjukkan bahwa harga minyak dunia mengalami peningkatan dari bulan Januari ke Desember setiap tahun. Harga terendah selalu terjadi pada awal kemudian meningkat terus setiap bulan sampai akhir tahun. Pergerakan harga tertinggi setiap tahun terjadi pada bulan Juni-Oktober setiap tahun. Koefisien variasi (ukuran tingkat risiko) menunjukkan bahwa tingkat risiko harga minyak mentah dunia cenderung berfluktasi. Tingkat risiko harga minyak mentah dunia tertinggi terjadi pada tahun 2008 sebesar 30.08% dan tahun 2009 mencapai 20.23%. Setelah tahun 2010 sampai Mei 2012, tingkat risiko pada harga minyak mentah dunia cenderung makin kecil yakni 6.91% pada tahun 2010, 6% tahun 2011 dan 5.4% sampai dengan Mei 2012. Tingkat risiko setelah tahun 2010 jauh lebih rendah dari tingkat risiko sebelum tahun 2010. Hal ini mengindikasikan bahwa keseimbangan pasar minyak mentah dunia mulai tercapai (makin stabil).
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
135
Gambar 3.33.
Pergerakan Indeks Harga Tahunan Minyak Mentah Dunia (Januari 2002=100)
Dengan demikian, dari analisis pergerakan harga minyak mentah dunia tersebut dapat disimpulkan bahwa: Harga minyak mentah dunia semakin meningkat dari bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun, Tingkat risiko yang bersumber dari perubahan harga minyak mentah dunia cenderung semakin menurun, dan harga pada awal tahun selalu lebih rendah dari harga pertengahan maupun akhir tahun. Minyak Diesel. Perkembangan indeks harga diesel dunia secara tahunan disajikan pada gambar 3.34. Harga nominal minyak diesel dunia meskipun berfluktuasi masih menunjukkan kenaikan baik secara bulanan atau tahunan. Harga nominal minyak diesel mengalami peningkatan dari bulan Januari sampai Desember dengan laju pertumbuhan yang makin melambat dari tahun 2007 sampai Mei 2012. Laju pertumbuhan bulanan tahun 2007 mencapai 3.2% perbulan, dan pada tahun 2011 melambat menjadi 0.45% perbulan. Pergerakan indeks harga tahunan cenderung meningkat dalam periode tahun 2007-2012. Indeks harga terendah pernah terjadi pada tahun 2009 dan kemudian meningkat lagi sampai Mei 2012. Pada tahun 2012 (sampai Mei) harga diesel dunia telah meningkat 94% diatas harga Januari 2007.
136
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Gambar 3.34.
Pergerakan Indeks Harga Tahunan Minyak Diesel Dunia Januari 2007- Desember 2012 (Januari 2002=100)
Bila dilihat indikator koefisien variasi (indikator tingkat risiko) menunjukkan bahwa tingkat risiko perubahan harga minyak diesel dunia cenderung menurun sejak Januari 2007 sampai Mei 2012. Pada tahun 2007 tingkat risiko sebesar 15%, meningkat menjadi 26 % tahun 2008, kemudian turun menjadi 5.38% tahun 2011 dan sampai Mei 2012 tingkat risiko hanya 4%. Bila dianalisis pergerakan harga bulanan setiap tahun menunjukkan pola teratur (kecuali 2008). Pola yang dimaksud adalah bahwa harga pada awal tahun cenderung lebih rendah dari harga pertengahan dan akhir tahun. Pola ini sama dengan pola harga minyak mentah dunia sebagaimana yang diuraikan sebelumnya. Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa: Harga diesel dunia semakin meningkat dari tahun ke tahun, Harga diesel di awal tahun lebih rendah dari harga akhir tahun dan Tingkat risiko akibat perubahan harga diesel dunia cenderung menurun. Gas Alam Cair. Perkembangan indeks harga tahunan gas alam cair disajikan pada gambar 3.35. Berbeda dengan energi lain harga gas alam cair dunia mengalami fluktuasi besar dari tahun ke tahun. Dengan kecenderungan yang menurun tingkat risiko berkisar antara 8% sampai sekitar 30%. Pola pergerakan indeks harga bulanan setiap tahun juga berfluktuasi besar, pergerakan harga setiap bulan naik turun sepanjang tahun dengan variasi yang cukup besar.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
137
Gambar 3.35.
3.8.2
Pergerakan Indeks Harga Tahunan Gas Alam Cair Dunia (Januari 2002=100)
Pergerakan Indeks Harga Pupuk
Pupuk Urea. Perkembangan indeks harga pupuk urea dunia disajikan pada gambar 3.36. Secara umun, harga pupuk urea dunia mengalami kenaikan yg cepat dari rata-rata US$ 94/ton tahun 2002 menjadi US$ 430/ton tahun 2012 (sampai bulan Mei 2012). Pergerakan harga bulanan setiap tahun cenderung mengikuti pola yang sama (kecuali tahun 2002 dan 2008). Pola yang dimaksud adalah harga pada awal tahun selalu lebih rendah dibandingkan dengan pertengahan dan akhir tahun. Dilihat dari tingkat risiko perubahan harga bulanan (koefisien variasi) setiap tahun, tingkat risiko haga pupuk urea berfluktuasi dari tahun ke tahun. Tingkat risiko paling tinggi terjadi pada tahun 2008 yakni mencapai 40% dan terendah terjadi pada tahun 2009 yakni sebesar 5%. Berbeda dengan tingkat risiko energi dunia, tidak ada tanda-tanda bahwa tingkat risiko harga pupuk urea menurun dari tahun ke tahun. Dengan perkataan lain, risiko dari harga pupuk urea dunia masih cukup besar dan fluktuatif. Dari hasil analisis perkembangan harga pupuk urea dunia menunjukkan bahwa: Harga di awal tahun cenderung lebih rendah dibandingkan dengan pertengahan dan akhir tahun, serta Tingkat risiko akibat perubahan harga pupuk urea dunia fluktuatif dan belum ada tanda-tanda terjadi kecenderungan penurunan tingkat risiko, dalam kurun waktu 2002-2012.
138
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Gambar 3.36.
Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk Urea Dunia Januari 2002- Desember 2012 (Januari 2002=100)
Pupuk rock pospat. Perkembangan harga pupuk Rock Pospat (RP) secara indeks pergerakan harga tahunan disajikan pada gambar 3.37. Harga RP dunia mengalami kenaikan yang cepat yakni rata-rata US$ 40/ton tahun 2002 menjadi US$ 140/ton tahun 2012. Harga tertinggi yang pernah tercapai adalah pada tahun 2008 yaitu sebesar US$ 345/ton. Tingkat risiko perubahan harga RP (koefisien variasi) sangat fluktuatif dengan kisaran 0% sampai 42% dan belum ada kecenderungan makin menurun. Dilihat dari pola pergerakan harga antar bulan setiap tahun tidak menunjukan pola yang tetap seperti pupuk urea. Harga pada awal tahun tidak selalu lebih rendah dibandingkan harga pertengahan dan akhir tahun.
Gambar 3.37.
Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk Rock Pospat (Januari 2002=100)
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
139
Pupuk Triple Superpospat (TSP). perkembangan harga pupuk TSP dunia sejka Januari 2002 sampa Mei 2012 dalam bentuk indeks harga tahunan disajikan pada gambar 3.38. Harga TSP dunia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun yakni dari US$ 131/ton Januari 2002, meningkat menjadi US$ 485/ton Mei 2012. Harga tertinggi pernah mencapai US$ 1331/ton yakni pada bulan Agustus 2008. Tingkat risiko harga antar bulan juga mengalami fluktuasi dari yang terendah tahun 2005 (0.22%) sampai tertinggi tahun 2008 (28%). Hal ini memberi petunjuk bahwa tingkat risiko pada pasar TSP dunia masih tinggi. Pola pergerakan antar bulan setiap tahun umumnya konsisten dari tahun ke tahun, harga bulan Januari umumnya lebih rendah dibandingkan pada pertengahan dan ahor tahun.
Gambar 3.38.
Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk TSP Dunia (Januari 2002=100)
Pupuk Diamonium Phosphate (DAP). Perkembangan harga pupuk DAP dunia dalam bentuk indeks harga tahunan disajikan pada gambar 3.39. Harga DAP dunia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, pada Januari 2002 masih US$ 152/ton, lalu meningkat pada bulan Mei 2012 menjadi sekitar US$ 553/ton. Harga DAP tertinggi pernah mencapai US$ 1200/ton pada bulan April 2008. Tingkat risiko (koefisien variasi) dari tahun ke tahun, yakni terendah (3,9%) tahun 2011 dan tertinggi (27,75%) tahun 2008. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko harg DAP masih relatif tinggi. Pergerakan harga bulanan (Januari-Desember) memiliki pola yang konsisten dari tahun ke tahun. Pada awal tahun harga DAP umumnya lebih rendah daipada harga pertengahan dan akhir tahun. 140
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Gambar 3.39.
Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk DAP Dunia (Januari 2002=100)
Pupuk Potasium Chlorida (KCL). Perkembangan harga pupuk KCL dunia dalam bentuk indeks harga tahunan disajikan pada gambar 3.40. Perkembangan harga nominal KCL dunia meningkat dari sekitar US$ 115/ton Januari 2002 menjadi US$ 457/ton Mei 2012. Harga tertinggi pernah menyentuh US$ 872/ton pada bulan februari 2008. Tingkat risiko harga KCL bervariasi setiap tahun dalam kisaran 1.41% sampa 30.05%. Hal ini mengindikasikan bahwa potensi risiko dari perubahan harga KCL dunia masih tinggi. Pola pergerakan harga bulanan setiap tahun juga konsisten, harga bergerak meningkat mulai Januari sampai Desember setiap tahun. Harga KCL terendah selalu terjadi pada awal tahun dan tertingi pada akhir tahun.
Gambar 3.40.
Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk KCL Dunia (Januari 2002=100)
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
141
Hasil analisis perkembangan harga energi dan pupuk dunia yang diuraikan diatas, setidak-tidaknya terdapat hal-hal yang mempunyai implikasi bagi kebijakan pengelolaan perkebunan kelapa sawit Indonesia kedepan sebagai berikut: 1. Harga minyak mentah dan minyak diesel dunia menunjukkan kenaikan yang konsisten sejak Januari 2002 sampai Mei 2012. Dan tidak ada tanda-tanda yang dapat diyakini bahwa harga tersebut akan kembali ke posisi tahun 2002. 2. Harga pupuk dunia (urea, TSP, RP, DAP, KCL) juga menunjukkan konsistensi yang meningkat dari tahun ke tahun sejak Januari 2002Mei 2012. Dan tidak ada tanda-tanda yang meyakinkan bahwa harga pupuk akan kembali ke posisi tahun 2002. 3. Pada umumnya, pola pergerakan harga bulanan setiap tahun baik energi maupun pupuk konsisten. Rata-rata harga pada awal tahun lebih rendah dari harga pertengahan dan akhir tahun. 4. Tingkat risiko perubahan harga masih fluktuatif dari tahun ke tahun. Dan belum ada fakta-fakta bahwa tingkat risiko pasar energi dan pupuk akan menurun meskipun pada energi dunia cenderung makin stabil. Keempat hal tersebut memiliki implikasi penting kedepan yakni: 1. Semua pihak yang terkait harus menyadari bahwa pengelolaan bisnis perkebunan sudah memasuki era kemahalan (expensive ages) energi dan pupuk serta mengandung risiko ringgi. Oleh karena itu upaya penghematan energi dan peningkatan efektifitas pemupukan harus menjadi bagian dari budaya korporasi. 2. Mengingat harga awal tahun selalu konsisten lebih rendah dari pada harga pertengahan dan akhir tahun, maka untuk meminimumkan biaya dan risiko, kontrak pembelian energi dan pupuk untuk kebutuhan setahun sebaiknya didasarkan dengn harga Januari (dilakukan pada awal tahun), 3.8.3
Pergerakan Harga CPO Dunia Perkembangan harga CPO dunia dalam bentuk indeks tahunan disajikan pada gambar 3.41. Harga CPO dunia tertinggi terjadi pada bulan februari 2011 dengan harga US$ 1248/ton dan rata-rata tahun 2011 sebesar US$ 1076/ton.
142
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Gambar 3.41.
Pergerakan Indeks Harga Tahunan CPO Dunia (Januari 2002=100)
Pola pergerakan harga bulanan CPO dunia (gambar 3.42) cenderung fluktuatif naum ada kecenderungan bahwa harga CPO dunia meningkat dari bulan Januari ke bulan Desember setiap tahun. Pada triwulan pertama harga bergerak naik, pada triwulan kedua pola pergerakan harga membentuk parabola dengan puncak harga pada bulan mei. Pada triwulan ketiga harga CPO cenderung turun dan memasuki triwulan keempat (September) kembali merangkak naik. Variasi harga bulanan (koefisien variasi) berkisar antar 3% sampai 32%, hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko dari pergerakan harga CPO bulanan cukup besar.
Gambar 3.42.
Pergerakan Indeks Harga Bulanan CPO Dunia (Januari 2002=100)
Bila dibandingkan pola pergerakan harga tahunan antara CPO dengan minyak mentah dunia (gambar 3.43) menunjukkan bahwa pola kedua minyak tersebut hampir sama. II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
143
Ketika harga minyak mentah dunia mengalami kenaikan, harga CPO dunia juga naik. Demikian senaliknya, ketika harga minyak mentah dunia turun (tahun 2008) harga CPO dunia juga turun. Fenomena ini menunjukkan bahwa minyak mentah dan CPO (dalam apsar oleokimia dunia) adalah bersifat substitusi.
Gambar 3.43.
Pola Pergerakan Harga Tahunan antara Minyak Mentah (A) % CPO (B) Dunia
Jika harga minyak mentah naik, masyarakat dunia mengurangi penggunaan minyak mentah sebagia beralih ke CPO sehingga harga CPO naik. Demikian sebaliknya, tentu saja hal ini hanya berlaku pada pasar oleokimia misalnya biofuel vs petrofuel, biolubricant vs petro lubricant, bioplastic vs petro plastic dan lainnya. Pada pasar oleofood dunia seperti minyak goreng dan mentega hubungan substitusi tersebut tidak berlaku. Pada pasar oleofood substitut CPO adalah minyak nabati lainnya. Perkembangan harga PKO dunia sejak tahun 2002 mengalami peningkatan yang sangat signifikan (gambar 3.44). Rata-rata harga
144
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
tahun 2002 masih US$ 415/ton meningkat menjadi US$ 1649/ton tahun 2011, atau meningkat hampir 400%. Kenaikan harga PKO tersebut dari tahun ke tahun disertai dengan fluktuasi. Harga tahun 2005 lebih rendah dari tahun 2004 dan harga tahun 2009 lebih rendah dari tahun 2008.
Gambar 3.44.
Pergerakan Indeks Harga Tahunan PKO Dunia (Januari 2002=100)
Gambar 3.45.
Pergerakan Indeks Harga Bulanan PKO Dunia (Januari =100)
Pola pergerakan harga PKO bulanan (gambar 3.45) umumnya sama yakni harga cenderung meningkat dari bulan Januari sampai Desember setiap tahun. Artinya pada triwulan pertama harga PKO lebih rendah dari pada harga triwulan kedua, dan harga pada triwulan ketiga juga lebih rendah dari harga pada triwulan kedua dan keempat.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
145
BAB IV ANALISIS PERUBAHAN DAN PROYEKSI PASAR MINYAK NABATI GLOBAL MENUJU 2050 4.1
Proyeksi Populasi Penduduk Menuju 2050
Berdasarkan estimasi yang diterbitkan oleh Badan Kependudukan PBB, penduduk dunia mencapai 6.5 miliar jiwa pada tanggal 26 Februari 2006. Kemudian pada tahun 2014, penduduk dunia telah mencapai 7.08 milyar dan 7.153 milyar pada tahun 2015 . Dari jumlah tersebut, sekitar 4.1 miliar diantaranya tinggal di Asia. Tujuh dari sepuluh negara berpenduduk terbanyak di dunia berada di Asia. Pada tahun 2050, estimasi penduduk bumi akan mencapai 9.079 milyar (Gambar 4.1) 10,000
9,079
9,000 8,000 7,000
7,153
6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000
2050
2045
2040
3035
2030
2025
2020
2015
2010
2005
2000
1995
1990
1985
1980
1975
1970
1960
1950
0
Gambar 4.1. Penduduk Bumi dan Proyeksi hingga tahun 2050 Berikut adalah 10 peringkat terbesar negara-negara di dunia berdasarkan jumlah penduduk (2014 dan estimasi 2050).
146
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 4.1. Peringkat 10 jumlah penduduk terbesar dunia tahun 2014 dan 2050E Rank 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tahun 2014
Tahun 2050E
Negara
000 Jiwa
Negara
000 Jiwa
China India Amerika Serikat Indonesia Brasil Pakistan Bangladesh Nigeria Rusia Jepang
1,403,558 1,210,108 319,964 269,879 201,513 182,564 171,705 170,017 140,628 125,276
India China Amerika Serikat Indonesia Nigeria Bangladesh Pakistan Brazil Congo (Kinshasa) Mexico
1,601,005 1,449,418 420,081 336,247 307,420 279,955 267,813 228,427 181,260 153,162
Dunia
7,084,547
Dunia
9,078,851
% 17.63 15.96 4.63 3.70 3.39 3.08 2.95 2.52 2.00 1.69
Sumber: UN (2012)
Data di atas menunjukan, pada tahun 2014 hampir 20% penduduk dunia ada di China, dan menempati peringkat pertama, sedangkan peringkat kedua adalah India dengan proporsi 17.08%. Sedangkan Indonesia berada pada urutan keempat setelah Amerika Serikat, dengan jumlah penduduk 269,9 juta jiwa. Pada tahun 2050, diproyeksikan penduduk dunia akan mencapai 9.079 milyar. Peringkat pertrama adalah negara India, dengan jumlah penduduk 1,6 milyar jiwa (17.63%) sementara China menempati peringkat kedua yakni sekitar 1,5 milyar (15.96%), dan Indonesia tetap berada pada peringkat keempat dunia (setelah AS) dengan jumlah penduduk 335.25 juta jiwa (3.7%). Disamping itu, posisi Nigeria naik dari peringkat ke-8 menjadi peringkat ke-5, serta tumbuhnya negara-negara yang meningkat ke peringkat yang lebih tinggi, yakni Pakistan, Congo dan Mexico (yang sebelumnya bukan 10 peringkat terbesar). Kondisi di atas sangat berkaitan dengan proyeksi konsumsi minyak nabati di masa mendatang, dimana negara-negara besar tersebut akan berdampak pada peningkatan permintaan minyak nabati, baik yang disebabkan oleh peningkatan penduduk, peningkatan pendapatan serta peningkatan konsumsi per kapita minyak nabati.
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
147
4.2
Proyeksi Ekonomi Global Menuju 2050
a. GDP bersasarkan Kawasan dan Negara Menurut data PBB, pada tahun 2010 Gross Domestik Product (GDP) dunia adalah 47 920 milyar USD (2010). Dalam 23 tahun kedepan (tahun 2033) GDP dunia tersebut akan meningkat 2 kali lipat, dan dalam waktu yang lebih pendek, yakni 17 tahun berikutnya (2050), GDP dunia akan meningkat 3 kali lipat menjadi 148 191 milyar USD (untuk menghilangkan efek inflasi, data yang digunaan tersebut adalah data constant price dengan tahun dasar 2005). Perkembangan GDP dunia disajikan pada gambar 4.2. 50,000 45,000
160,000
World
140,000
Latin America and Caribbean Sub- saharan Africa
40,000
Milyar USD
30,000 25,000 20,000
100,000 80,000 60,000
15,000 40,000
-
Near East/ North Africa South Asia East Asia Develped Countries
20,000
United States of America European Union
-
Other Western Europe
10,000 5,000
Dunia (Milyar USD)
120,000 35,000
Sumber: UN (2012) Gambar 4.2. Perkembangan GDP Dunia Tahun 1980 dan Proyeksi 2050
Berdasarkan kawasan, selama kurun waktu 1980 s/d 2030, GDP terbesar adalah Uni Eropa, yang meningkat dari 7.961 milyar USD (1980) menjadi 19 334 USD pad atahun 2030. Sedangkan posisi kedua terbesar adalah Amerika Serikat, dengan GDP 5 720 milyar USD (1980) menjadi 27 700 USD pada tahun 2050. Peringkat ketiga adalah negaranegara maju (Developed Countries) dengan peningkatan dari 4 245 milyar USD menjadi 14 001 milyar USD pada kurun waktu yan sama. Perkembangan yang begitu pesat ditunjukkan oleh Negara Asia Timur yang akan menempati posisi teratas sejak tahun 2030 hingga proyeksi tahun 2050. (Negara Asia Timur mencakup : China, Hong Kong, Korea, Indonesia, Malaysia, Mongolia, Philippines, Thailand, Brunei Darussalam dan Singapura). Pada tahun 1980, GDP kawasan
148
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Asia Timur adalah 674 milyar USD. Dengan pertumbuhan yang pesat (8.2 % per tahun), GDP Kawasan asia Timur telah menyamai negaranegara maju pada tahun 2020, dengan GDP sebesar 11 692 milyar USD. (Sementara GDP Negara-negara maju pada tahun yang sama adalah 9_872 milyar USD). Kemudian, tahun 2030, GDP Kawasan asia Timur telah mencapai 21 073 milyar USD, dan sekaligus berhasil mengalahkan GDP Amerika Serikat (19 900 milyar USD) serta Uni Eropa (19 334 milyar USD). Laju pertumbuhan GDP Asia timur jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Amerika Serikat (2.1% per tahun) dan Uni Eropa (2.7% per tahun). Disamping itu, Kawasan Asia Selatan juga patut dipertimbangkan, karena akan menempati peringkat keempat pada tahun 2050, setelah Asia Timur, Amerika Serikat dan Uni Eropa. (Asia Selatan meliputi : Bangladesh, India, Nepal, Pakistan, Sri Lanka dan Bhutan; dan laju pertumbuhan ekonomi tertinggi adalah India). Tahun 1980, GDP Asia Selatan baru sekitar 263 milyar USD. Tahun 2010 telah mencapai 1 431 milyar USD (dengan laju pertumbuhan 6.5% per tahun), tahun 2030 telah mencapai 5 331 milyar USD, dan sekaligus mengalahkan kawasan Amerika Latin (5 066 milyar USD), kawasan Afrika Utara (4 556 milyar USD). Tahun 2050 GDP kawasan Asia Selatan akan mencapai 16 020 milyar USD dan menggungguli GDP Negara-negara maju (Developed Countries) dengan GDP 14 001 milyar USD. Hal ini disebabkan oleh laju pertumbuhan ekonomi Asia Selatan yang cukup pesat, yakni rata-rata 6.6% per tahun, sementara pertumbuhan ekonomi Negara-negara Maju pada kurun waktu yang sama (2030-2050) adalah 1.1% per tahun. Diperkirakan Indonesia akan menempati peringkat ke-11 GDP terbesar pada tahun 2050. Perkembangan GDP beberapa negara menuju tahun 2050 disajikan pada tabel 4.2. Hingga tahun 2030, Amerika Serikat menempati urutan ke-1, namun pada tahun 2050 turun menjadi peringkat kedua, digantikan oleh China. Negara China pada tahun 1980 masih menempati posisi ke 19, namun tahun 2000 telah menempati peringkat ke-7 dan sejak tahun 2010 hingga 2030 menempati peringkat ke-2, serta berhasil menempati peringkat ke-1 pada tahun 2050. Hal ini ditopang oleh pertumbuhan ekonomi China yang mencapai rata-rata 10.06% per tahun (1995-2025), dan menurun pada 2030-2050 menjadi 5.23% per tahun. Sementara pada kurun waktu yang sama, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat adalah 1.44% per tahun dan sedikit melambat yakni 1.26 % per tahun.
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
149
Tabel 4.2. Peringkat (Ranking) GDP Negara Ekonomi Terbesar Dunia Negara
1980
2000
2010
2015
2020
2030
2050
China
19
7
2
2
2
2
1
United States of America
1
1
1
1
1
1
2
India
18
13
8
8
7
4
3
Japan
2
2
3
3
3
3
4
United Kingdom
5
5
5
5
5
6
5
Germany
3
3
4
4
4
5
6
France
4
4
6
6
6
7
7
Brazil
10
11
11
11
11
9
8
Canada
8
8
13
9
9
10
9
Mexico
11
10
9
13
12
11
10
Indonesia Sumber: UN (2012)
32
26
18
18
18
17
11
Negara India juga memiliki perkembangan yang pesat, dari peringkat 18 tahun 1980 menjadi peringkat ke 13 tahun 2000, dengan pertumbuhan ekonomi 3.58% per tahun. Tahun 2010 dan 2015 menempati peringkat ke-8, dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin besar, yakni 5.72% per tahun. Tahun 2020 hingga 2050 rata-rata pertumbuhan ekonomi India meningkat menjadi 6% per tahun, dan membawa India pada peringkat ke-3 tahun 2030 dan peringkat ke-2 pada tahun 2050. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga telah berhasil menghantarkan Indonesia dari peringkat ke-32 tahun 1980 menjadi peringkat ke-11 pada tahun 2050. Rata-rata pertumbuhan GDP Indonesia tahun 2010 hingga 2030 adalah 6% per tahun, dan sedikit melambat pada tahun 2030 ke 2050 menjadi 4.99 % per tahun. Tahun 2015 GDP Indonesia mencapai 481 000 Juta USD, dan tahun 2030 meningkat 2,2 kali lipat menjadi 1.060.000 juta USD, dan tahun 2050 akan mencapai 2.500.000 juta USD. b. GDP per Kapitabersasarkan Kawasan dan Negara GDP per kapita tertinggi adalah Amerika Serikat (AS), yakni 25.712 USD/kapita/tahun pada tahun 1980, naik menjadi 40.486 USD pada tahun 2010 (gambar 4.3). Tahun 2050, diperkirakan akan mencapai 68 609 USD/kapita/tahun. Posisi kedua setelah AS adalah Eropa Barat (Norwegia dan Switzerland). Posisi ketiga terbesar adalah kelompok negara maju, dimana tahun 2010 rata-rata GDP per kapita adalah 25.198 USD/kapita/tahun, Tahun 2020 menjadi 30.942 USD/kapita/tahun 150
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
dan tahun 2050 mencapai 46.919 USD/kapita/tahun. Perkembangan GDP per kapita di kawasan Asia Timur tampak cukup menarik, dimana tahun 1990 GDP per kapita adalah 12.629 USD/kapita/tahun (kurang lebih sama dengan Afrika Utara 12.221 USD), dan tahun 2030 meningkat pesat dan setara dengan Uni Eropa, masing-masing 32.500 dan 32.529 USD/kapita/tahun, kemudian tahun 2050 telah berhasil mencapai 47.431 USD/kapita/tahun dan melampaui GDP Developed Countries (46.919 USD/kapita/tahun). 80,000
Latin America and Caribbean Sub- saharan Africa
70,000 USD/capita
60,000 50,000
Near East/ North Africa South Asia
40,000
30,000 20,000
East Asia
10,000
Develoved Countries 2050
2040
2030
2020
2010
2000
1990
1980
-
United States of America
Sumber: UN (2012) Gambar 4.3. GDP per Kapita berdasarkan Kawasan 1980-2050
Pada kurun waktu 2015-2050, proyeksi rata-rata laju pertumbuhan GDP per kapita dunia adalah 1.95 % per tahun. Benua Asia secara keseluruhan memiliki laju pertumbuhan yang sangat pesat, meliputi kawasan Asia Selatan meningkat 6.17% per tahun, Asia Timur 2.37 % per tahun, Asia Tengah 3.48 % per tahun. Kawasan Sub Sahara Afrika memiliki laju pertumbuhan GDP per kapita rata-rata 4.94 % per tahun. Jika dibandingkan dengan kawasan lainnya, kawasan Eropa Timur meningkat dengan laju 2.09% per tahun, Eropa Barat 1.29 % per tahun dan Uni Eropa 1.55 % per tahun. Pertumbuhan GDP per kapita di negara maju dan Amerika Serikat masing-masing adalah 1,62% per tahun dan 1.26 % per tahun.
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
151
90,000
India
80,000
China
70,000 60,000
Indonesia
50,000
Malaysia
40,000
Singapura
30,000 Amerika Serikat European Union World
20,000 10,000 1980 1990 2000 2010 2020 2030 2040 2050 Sumber: UN (2012) Gambar 4.4. GDP per Kapita beberapa negara terpilih 1980-2050
Beberapa negara terpilih menyajikan perkembangan GDP per kapita, yang berhubungan dengan konsumsi di negara tersebut (gambar 4.4). GDP per kapita tertinggi adalah Singapura, diikuti Malaysia dan Uni Eropa serta Malaysia. Indonesia relatif masih rendah dan kurang lebih sama dengan India. Yang menarik adalah GDP per kapita China, yang bertumbuh pesat dari tahun 2015 hingga 2050 dengan posisi sedikit di bawah Amerika Serikat. 4.3 Proyeksi Konsumsi Minyak Nabati Utama Global 2050 Tahun 2014, konsumsi minyak nabati utama dunia adalah 136.13 juta ton, yang terdiri atas minyak sawit (palm oil) 52.45 juta ton (38.53%), minyak kedele (soybean oil) 45.01 juta ton (33.09%), minyak repeseed (rapeseed oil) 25.30 juta ton (18.59%) dan minyak bunga matahari (sunflower oil) 13.37 juta ton (9.82%). Dibandingkan dengan tahun 2020, konsumsi minyak nabati utama dunia meningkat 12.49% menjadi 153,14 juta ton. Sumber konsumsi utama minyak nabati dunia diperoleh dari minyak sawit 39.85%, minyak kedele 32.81%, minyak repeseed 18.01% dan minyak bunga matahari 9.34%. Perubahan tersebut menunjukkan pangsa minyak sawit naik 1.31%, sedangkan ketiga minyak nabati lainnya menurun. Demikian halnya dengan proyeki tahun 2050, estimasi konsumsi minyak nabati utama dunia akan mencapai 334,68 juta ton, atau meningkat 2.5 kali lipat dari
152
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Ribu Ton
kondisi saat ini. Konsumsi masing-masing minyak nabati adalah minyak sawit 171.16 juta ton (51.14%), minyak kedele 105.78 juta ton (31.61%), minyak repeseed 38.80 juta ton (11.59%) dan minyak bunga matahari sebesar 18.94 juta ton (9.34%) (Gambar 4.5). Perkembangan di atas menunjukkan trend positif pada keempat minyak nabati tersebut. Namun bila dibandingkan perubahan pangsa masing-masing, terlihat bahwa kontribusi minyak sawit meningkat 12.61% dari 38.53% menjadi 51.14 %. Sedangkan pangsa minyak kedele menurun 1.46%, minyak rapeseed menurun 6.99% dan minyak bunga matahari menurun 4.16%.
180,000 160,000 140,000 120,000 100,000 80,000 60,000 40,000 20,000 0
Proyeksi Konsumsi Minyak Nabati Utama Dunia
2015 Palm Oil
2020
2025
Rapeseed Oil
2030
2035
Soybean Oil
2040
2045
2050
Sunflower Oil
Gambar 4.5. Proyeksi Konsumsi Minyak Nabati Utama Dunia 2050 Perubahan pangsa di atas dipengaruhi oleh perbedaan laju pertumbuhan konsumsi masing-masing minyak nabati (gambar 4.6). Tahun 2015-2030, rata-rata laju pertumbuhan konsumsi minyak sawit adalah 3.15% per tahun, dan cenderung seamakin tinggi pada tahun 2030-2050, yakni 3.46 % per tahun. Sedangkan rapeseed oil cenderung melambat dari 1.34 % per tahun menjadi 1.087 % per tahun. Demikian halnya dengan soybean oil dan sunflower oil, juga cenderung melambat, masing-masing dari 2.58 ke 2.31 % per tahun dan dari 1.06 ke 0.90 % per tahun. Hal ini menunjukkan pola konsumsi masyarakat dunia cenderung semakin tinggi pada minyak sawit.
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
153
Annual Growth (%)
4.000 3.000 2.000 1.000 -
Palm Oil
2015-2030
3.15122
Rapeseed Oil 1.33668
2030-2050
3.45854
1.08714
Soybean Oil 2.57898
Sunflower Oil 1.06844
2.30618
.90019
Gambar 4.6. Laju pertumbuhan Konsumsi Minyak Nabati Utama Dunia
4.4 Proyeksi Produksi Minyak Nabati Utama Global 2050 Tahun 2014, produksi minyak nabati utama dunia adalah 137,44 juta ton, yang terdiri atas minyak sawit (palm oil) 53.41 juta ton (38.91%), minyak kedele (soybean oil) 45.12 juta ton (32.84%), minyak repeseed (rapeseed oil) 25.28 juta ton (18.4%) dan minyak bunga matahari (sunflower oil) 13.55 juta ton (9.9%). Dibandingkan dengan tahun 2020, produksi minyak nabati utama dunia meningkat 12.35% menjadi 154.42 juta ton. Sumber produksi utama minyak nabati dunia adalah minyak sawit 40.2%, minyak kedele 32.6%, minyak repeseed 17.8% dan minyak bunga matahari 9. 4%. Perubahan tersebut menunjukkan pangsa minyak sawit naik 1.3%, sedangkan ketiga minyak nabati lainnya menurun. Demikian halnya dengan proyeki tahun 2050, estimasi produksi minyak nabati utama dunia akan mencapai 358,56 juta ton, atau meningkat 2.6 kali lipat dari kondisi saat ini. Produksi masingmasing minyak nabati adalah minyak sawit 189.66 juta ton (52.9%), minyak kedele 111.07 juta ton (31.0%), minyak repeseed 38.72 juta ton (10.8%) dan minyak bunga matahari sebesar 19.11 juta ton (5.3%). (Gambar 4.7)
154
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
200000
Proyeksi Produksi Minyak Nabati Utama Dunia
Ribu Ton
150000 100000
50000 0 2015 Palm Oil
2020
2025
Rapeseed Oil
2030
2035
Soybean Oil
2040
2045
2050
Sunflower Oil
Gambar 4.7. Proyeksi Produksi Minyak Nabati Utama Dunia 2050
Annual Growth (%)
Perkembangan di atas menunjukkan trend positif pada keempat minyak nabati tersebut. Namun bila dibandingkan perubahan pangsa masing-masing, terlihat bahwa produksi masing-masing minyak nabati cenderung melambat pada tahun 2030-50 (Gambar 4.8).
4.000
3.000 2.000 1.000 -
Palm Oil
2015-2030
4.03719
Rapesee d Oil 1.33283
2030-2050
3.29340
1.08508
Soybean Oil 2.68984
Sunflowe r Oil 1.05293
2.44710
.89054
Gambar 4.8. Laju pertumbuhan Produksi Minyak Nabati Utama Dunia
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
155
4.5
Proyeksi Biodiesel Proyeksi Produksi Biodiesel. Hingga tahun 2020, proyeksi FAPRI (gambar 4.9) menunjukkan perkembangan diodiesel dunia dengan laju atau trend pertumbuhan yang positif. Hingga tahun 2020, Eropa memegang peran penting dalam pasar biodiesel dunia, dengan produksi sebesar 15.14 juta kilo liter atau dengan pangsa 57.17%. Urutan kedua adalah USA, dengan pangsa 14,18%, dengan volume produksi 3.76 juta kilo liter. Argentina memiliki pangsan produksi 13.26 %, Brazil 11.18 %. Sedangkan Asia atau Indonesia dan Malaysia masing-masing memiliki pangsa 3.49% dan 0.72 %. Tahun 2020, produksi biodiesel dunia adalah 26.48 juta kilo liter, dengan laju pertumbuhan rata-rata 3.6 % per tahun.
Sumber: FAPRI (2012) Gambar 4. 9 Produksi Biodiesel Dunia tahun 2015, 2018 dan 2020
Proyeksi Konsumsi Biodiesel 2020. Konsumsi biodiesel tahun 2015 hungga 2020 menunjukkan trend yang positif (gambar 4.10). Konsumsi biodiesel dunia tahun 2015 mencapai 24.7 juta kilo liter dan tahun 2020 mencapai 27,18 juta kilo liter. (Growth 3.61% per tahun). Pangsa konsumsi terbesar adalah Eropa (61.08%), diikuti USA dengan pangsa 14.24 %, Argentina dan Brazil masing-masing 3.7 % dan 10.25%. Sementara Indonesia memiliki pangsa 1.56 % dan Malaysia 0.04 %.
156
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Sumber: FAPRI (2012) Gambar 4.10 Konsumsi Biodiesel Dunia tahun 2015, 2018 dan 2020
Berdasarkan data produksi dan konsumsi di atas, diperoleh gambaran ekspor biodiesel (gambar 4.11) sekitar 3 juta kilo liter pada tahun 2015 dan 3.5 juta kilo liter pada tahun 2020. Pada tahun 2020, dari jumlah tersebut, negara-negara pengekspor adalah Argetina dengan pangsa 68.8% dan Indonesia juga diproyeksikan akan memiliki pangsa ekspor biodiesel dunia sebesar 14.2 %, USA 6.2%, Brazil 5.9% dan Malaysia 4.9%. Sedangkan negara importir biodiesel dunia antara lain adalah Uni Eropa dengan pangsa 99,2 % dan 0.8 % oleh Negara Jepang.
Brazil
2500
Malaysia
2000
USA
1500
Indonesia
1000
Argentina
500 0 2015
2018
2020
Sumber: FAPRI (2012) Gambar 4.11 Ekspor Biodiesel Dunia tahun 2015, 2018 dan 2020
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
157
Sumber: FAPRI (2012) Gambar 4.12 Harga Biodiesel tahun 2011 dan proyeksi hingga tahun 2021
Secara umum, harga biodiesel dunia akan cenderung meningkat (gambar 4.12) dari harga FOB 1.52 US/liter tahun 2011 menjadi 1.62 US/liter pada tahun 2021. 4.6
Proyeksi Harga dan Ratio Harga
Secara umum, harga minyak nabati dunia tahun 1984-2014 mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Namun sejak tahun 2000, terdapat kecenderungan harga cenderung meningkat. Salah satu penyebabnya adalah meningkatnya permintaan minyak nabati dunia dan cenderung mengeser harga semakin tinggi. Tahun 2014, harga minyak sawit (CIF Rotterdam) adalah 578.12 US/ton, minyak kedele (CIF Rotterdam) 657 US/ton, rapeseed oil (CIF Hamburg) 693.16 US/ton dan harga minyak bunga matahari (CIF NW Europe) 682.34 US/ton. Data harga tersebut menunjukkan perbedaan relatif satu sama lain, dimana minyak sawit relatif lebih murah dibandingkan ketiga jenis lainnya, sedang harga minyak bunga matahari relatif lebih mahal.
158
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Proyeksi Harga Minyak Nabati Utama (USD/Ton) 2500
USD/Ton
2000 1500 1000
500 1984 1987 1990 1993 1996 1999 2002 2005 2008 2011 2014 2017 2020 2023 2026 2029 2032 2035 2038 2041 2044 2047 2050
0
Palm Oil
Soybean Oil
Rapeseed Oil
SunFlower Oil
Gambar 4.13. Proyeksi Harga Minyak Nabati Utama Dunia 2050 Meningkatnya konsumsi per kapita, yang disertai dengan jumlah penduduk dan pendapatan (GDP per kapita), secara bersamasama akan mempengaruhi permintaan minyak nabati, sebagaimana tercermin dari peningkatan konsumsi pada sub bab sebelumnya. Peningkatan permintaan minyak nabati dunia tersebut akan mempengaruhi harga minyak nabati dunia, dimana pada tahun 2050, diperkirakan masing-masing adalah : harga minyak sawit adalah 1950.66 US/ton, minyak kedele 2123 US/ton, rapeseed oil 2230 US/ton dan harga minyak bunga matahari 2205 US/ton (gambar 4.13). Proyeksi peningkatan harga (linear) pada minyak sawit rata-rata naik 2.11 % per tahun, minyak kedele naik 1.80 % per tahun, rapeseed oil 2.04 % per tahun dan harga minyak bunga matahari naik 2.02% per tahun.
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
159
1.8 1.7 1.6 1.5 1.4 1.3 1.2 1.1 1.0 SBO/PO
2013 1.32310
2020 1.14742
2030 1.12502
2050 1.09736
RSO/PO
1.41437
1.38389
1.38522
1.38686
SFO/PO
1.75507
1.56763
1.56520
1.56220
Gambar 4.14. Rasio Harga Minyak Nabati Utama Dunia Terhadap Minyak Sawit Perbandingan harga antar minyak nabati utama dunia terhadap minyak sawit (gambar 4.14). Rasio harga minyak kedele terhadap minyak sawit pada tahun 2013 adalah 1.32, artinya minyak kedele 1.32 kali lebih mahal dibandingkan dengan minyak sawit (atau minyak sawit lebih murah). Dari data di atas, jelas terlihat bahwa harga minyak sawit relatif lebih murah dibandingkan dengan harga minyak kedele, minyak rapeseed dan minyak bunga matahari. Pada tahun 2020, 2030, dan 2050, terlihat rasio harga semakin menurun, menunjukkan harga minyak sawit cenderung meningkat lebih besar dibadingkan dengan peningkatan harga pada ketiga minyak nabati lainnya, atau dengan kata lain, harga minyak kedele, minyak rapeseed dan minyak bunga matahari relatif bertambah murah dibandingkan dengan minyak kedele. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya konsumsi dan permintaan yang lebih tinggi pada minyak sawit dan harga minyak sawit relatif naik (faktor peningkatan demand).
160
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
4.7
Perubahan Selera Pasar Global Pertumbuhan nilai perdagangan komoditi minyak nabati dunia telah mengalami peningkatan tajam dalam beberapa dekade terakhir. Beberapa factor telah menjadi pendorong perkembangan tersebut dengan beberapa diantaranya adalah : (i) peningkatan kebutuhan minyak nabati yang dipicu naiknya tingkat konsumsi akibat pertumbuhan penduduk, peningkatan taraf hidup dan perubahan pola makan di beberapa negara berkembang seperti China dan India ; (ii) perkembangan industri bioenergi khususnya biodiesel di seluruh dunia, khususnya di kawasan Uni Eropa, Amerika Serikat, Brazil, Argentina, China dan India; (iii) kenaikan harga juga dipicu beberapa factor secara tidak langsung seperti kenaikan harga minyak bumi, cadangan komoditi yang terbatas, kekeringan dan ulah spekulan komoditi; dan terakhir (iv) perubahan iklim global yang dapat berdampak luas dalam aspek geografis. Dalam beberapa tahun terakhir muncul beberapa pelaku penting dan kecenderungan supply and demands didominasi oleh : (i) China, sebagai pemimpin dunia dalam hal impor minyak nabati; (ii) Indonesia, Malaysia dan Agentina dengan porsi mencapai 75% merupakan tiga negara utama pengekspor minyak nabat, dalam hal ini minyak sawit; (iii) Brazil telah menjadi salah satu eksportir kedelai kedua setelah Amerika Serikat, dimana kedelai tersebut selain sebagai bahan pangan juga menjadi makanan ternak (pakan) dan bahan minyak kedelai ; (iv) Argentina menjadi penguntit berikutnya dalam hal produksi dan ekspor kedelai di dunia. Pasar minyak nabati dunia saat ini terbagi dalam dua golongan besar (i) bahan pangan yang mencapai 80% dari total produksi dan (ii) pemenuhan kebutuhan industri termasuk didalamnya biodiesel. Aspek terbesar pendorong pertumbuhan kebutuhan minyak nabati masih pada pemenuhan kebutuhan bahan pangan meski perkembangan kebutuhan sebagai sumber energi alternative/biofuel/bio energi semakin penting. Sebagian besar masyarakat dunia telah menjadikan bioenergi sebagai kambing hitam terhadap meningkatnya harga pangan dunia. Selain itu konversi lahan untuk produksi minyak nabati di berbagai negara tropis dunia dianggap sebagai salah satu katalisator kerusakan hutan. Latar belakang sebenarnya sangat beragam dan rumit, dengan factor utama yang menjadi dampak kenaikan tersebut adalah fluktuasi/kenaikan harga minyak bumi dan ulah nakal spekulan komoditi pangan dalam perdagangan yang semakin mengglobal. Secara nyata telah dengan jelas tergambar bahwa biaya dasar dari
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
161
bahan baku mempunyai peran yang relative kecil dalam penentuan harga jual komoditi pangan di negara berkembang. Yang kemudian lebih berpengaruh terhadap komoditi tersebut adalah isu isu lain yang sama sekali tidak terkait dengan bahan baku komoditi sebagaimana tersebut diatas. Pasar minyak nabati dunia saat ini sedang mengalami perubahan mendasar, dan akan menghadapi tantangan yang tidak ringan dengan berbagai peluang besar yang mengiringi. Perkembangan standar hidup di berbagai negara berkembang, perkembangan populasi yang diikuti perubahan pola diet/asupan gizi dan ekspansi kebutuhan bioenergi merupakan kecenderungan utama/tren yang akan memegang peran dalam perkembangan sector komoditi ini dimasa mendatang. Pasar komoditi minyak nabati dunia mempunyai gambaran yang sangat beragam, dimulai dari Cina dengan cirri impor yang sangat besar, sampai dengan India yang mempunyai perkembangan pasar rumah tangga yang sangat besar. Indonesia bersama dengan Malaysia yang secara tradisional telah menjadi produsen utama minyak nabati dunia (i.e minyak sawit), saat ini mulai mendapat tantangan kompetitif dengan besarnya ekspansi lahan dari beberapa negara lain seperti Thailand dan Kolombia. Amerika Serikat dan Kanada sebagai eksportir utama minyak kedelai, saat ini telah mendapat tantangan serius dalam menentukan pasar dengan berkembangnya sector komoditi ini di negara Brasil maupun Argentina. 4.8
Perubahan Iklim Global
Pasar minyak nabati dunia saat ini terbagi dalam dua golongan besar (i) bahan pangan yang mencapai 80% dari total produksi dan (ii) pemenuhan kebutuhan industri. Aspek terbesar pendorong pertumbuhan kebutuhan minyak nabati masih pada pemenuhan kebutuhan bahan pangan meski perkembangan kebutuhan sebagai sumber energi alternative/biofuel/bioenergi semakin penting. termasuk didalamnya biodiesel. Termasuk dalam kebutuhan bionergi tersebut adalah pemanfaatan minyak nabati seperti minyak sawit, minyak kedelai dan minyak jarak/jatropa sebagai sumber bahan bakar nabati (biodiesel). Sebagian besar masyarakat dunia telah menjadikan alasan bioenergi sebagai kambing hitam terhadap meningkatnya harga pangan dunia. Selain itu konversi lahan untuk produksi minyak nabati di berbagai negara tropis dunia dianggap sebagai salah satu katalisator kerusakan 162
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
hutan. Awam diketahui bahwa negara negara tropis dunia merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati paling besar di dunia. Kerusakan dan tekanan terhadap alih fungsi lahan di kawasan ini membawa dampak yang lebih nyata. Prinsip dasar aspek keberlanjutan dari bioenergi adalah potensinya dalam menyimpan gas rumah kaca (carbon saving and carbon sinking) dibandingkan dengan penggunaan bahan bakar fosil.Hal hal ini menyebabkan isu lingkungan dan keberlanjutan dari pemanfaatan bahan bakar nabati menjadi dipertanyakan. Lebih lanjut latar belakang yang terjadi sebenarnya adalah sangat beragam dan rumit. Pangsa pasar komoditi minyak nabati dan pangan pada umumnya dipengaruhi banyak factor. Hal utama yang menjadi dampak kenaikan tersebut adalah fluktuasi/kenaikan harga minyak bumi dan ulah nakal spekulan komoditi pangan dan penjangnya rantai dstribusi dalam perdagangan yang semakin mengglobal. Secara nyata telah dengan jelas tergambar bahwa biaya dasar dari bahan baku mempunyai peran yang relative kecil dalam penentuan harga jual komoditi pangan di negara berkembang. Yang kemudian lebih berpengaruh terhadap komoditi tersebut adalah isu isu lain yang sama sekali tidak terkait dengan bahan baku komoditi sebagaimana tersebut diatas. Pasar minyak nabati dunia saat ini sedang mengalami perubahan mendasar, dan akan menghadapi tantangan yang tidak ringan dengan berbagai peluang besar yang mengiringi. Perkembangan standar hidup di berbagai negara berkembang, perkembangan populasi yang diikuti perubahan pola diet/asupan gizi dan ekspansi kebutuhan bioenergi merupakan kecenderungan utama/tren yang akan memegang peran dalam perkembangan sector komoditi ini dimasa mendatang. Perkembangan nyata kebutuhan bioenergi global telah membawa peningkatan perhatian terhadap jenis komoditi ini. Perhatian berlebihan ini tidak telepas dari implikasi luas yang mungkin dapat ditimbulkan. Beberapa perhatian tersebut antara lain emisi net gas rumah kaca, perubahan tata guna lahan, konservasi keanekaragaman hayati, dampak terhadap ketahanan pangan dan dampak socialekonomi masyarakat. Untuk mempertahankan bandul kesetimbangan dari dampak negative yang mungkin ditimbulkan, berbagai hal perlu dilakukan untuk menjamin aspek keberlanjutan dari operasi bioenergi dari minyak nabati. Beberapa hal yang bias dilakukan antara lain : sertifikasi, akreditasi dan traceability- yang akan membawa dampak besar, baik positif maupun negative dalam perkembangan industri bioenergi.
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
163
4.9 Perubahan Kebijakan Pasar Minyak Nabati Global Asia merupakan produsen sekaligus konsumen utama minyak nabati dunia khususnya minyak sawit. Indonesia dan Malaysia, dua produsen minyak nabati dunia menyandarkan kebijakan dalam pengembangan minyak sawit sebagai sumber devisa negara. Dengan perkembangan pasar minyak nabati dunia yang sangat besar, khususnya China dan India telah menjadi importer utama. Kebijakan bioenergi di China telah menjadi bagian dari sebuah mekanisme untuk mengurangi ketergantungan terhadap konsumsi minyak bumi, memperkuat modernisasi pertanian dan pengembangan social masyarakat pedesaan dan mendorong lingkungan hidup berkelanjutan. Sementara itu perhatian pemerintah India terhadap ketergantungan energi telah mendorong kebijakan khusus untuk mendukung pengembangan bioenergi khususnya bioetanol dan biodiesel. Berseberangan dengan Indonesia dan Malaysia, India lebih mendorong pengembangan sumber bioenergi non-pangan seperti Jatropha (minyak jarak). Sesuai target yang ada, pada 2011-2012 diharapkan 20% kebutuhan minyak diesel di India berasal dari tanaman ini. Secara tradisional Indonesia telah menjadi produsen terbesar minyak nabati dunia, khusunya minyak sawit. Berseberangan dengan fakta tersebut, kebijakan pemerintah untuk mendorong penggunaan bioenergi baru dimulai pada beberapa tahun terakhir. Kontribusi penggunaan biodiesel diharapkan meningkat dari 2% pada 2010 menjadi 5% pada 2025. Meskipun penggunaan minyak nabati (i.e minyak sawit) untuk bioenergi sedemikian penting, akan tetapi pendorong utama kebijakan minyak sawit adalah untuk pasar domestik dan pasar ekspor. Malaysia saat ini merupakan eksportir utama minyak sawit dunia dimana ada komitment kuat dari pemerintah setempat untuk melindungi dan mengembangkan sector industri ini. Sejalan dengan yang terjadi di Indonesia, kebijakan penggunaan biodiesel di negara ini bukanlah kunci utama perkembangan komoditi disbanding penggunaan sebagai bahan pangan. Luas lahan yang telah dikonversi menjadi perkebunan sawit di Malaysia sudah sedemikian besar sehingga pengembangan lebih lanjut menjadi lebih terbatas, khususnya di tanah Semenanjung. Thailand memiliki basis ekonomi yang lebih terdiferensiasi. Meskipun sector minyak sawit sedang berkembang, dibandingkan Malaysia dan Indonesia peran sector ini masih sangat terbatas. Sebagai 164
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
salah satu sumber bahan baku industri biodiesel, kebijakan perdagangan minyak nabati di Thailand masih dalam taraf formulasi kebijakan sehingga sangat sulit untuk memperkirakan perkembangan kedepan akan seperti apa. Satu hal yang pasti adalah bahwaThailand merupakan produsen singkong terbesar di dunia, salah satu alternative sumber bioenergi/bioethanol lain yang sangat potensial untuk dikembangkan.
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
165
166
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
BAB V PERANAN INDUSTRI MINYAK SAWIT DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA
Perkebunan kelapa sawit sebagai bagian dari pertanian tanaman telah lama dikenal memiliki multifungsi (multifunctionality of agriculture) yakni secara ekonomi, social, dan ekologis. Berkembangnya perkebunan kelapa sawit berarti juga menambah manfaat ekonomi social dan ekologis bagi masyarakat. 5.1
Kontribusi Persawitan Indonesia Dalam Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang esensial dalam pembangunan. Pertumbuhan ekonomi baik sektoral, daerah, industri, maupun pada tingkat perusahaan berarti pertumbuhan produksi barang/jasa, pertumbuhan pendapatan, pertumbuhan kesempatan kerja dan pertumbuhan penggunaan input. Pertumbuhan ekonomi merupakan syarat mutlak bagi peningkatan pendapatan, pengurangan pengangguran dan pengentasan kemiskinan (ADB 2001, 2006). Berapa besar dampak pertumbuhan suatu sektor terhadap perekonomian lokal, regional maupun nasional tergantung pada keterkaitan (linkages) dan besaran multiplier pertumbuhan sektor itu sendiri. Pertumbuhan yang inklusif akan terjadi apabila keterkaitan input-output suatu sektor dengan sektor lain relatif luas. Sehingga pertumbuhan yang terjadi pada suatu sektor akan menarik pertumbuhan sektor-sektor lainnya. 5.1.1
Keterkaitan Pertumbuhan Perkebunan Kelapa Sawit dengan Sektor Lain
Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit mempengaruhi pertumbuhan sektor-sektor lain baik sektor penyediaan input bagi perkebunan kelapa sawit (backward linkages) maupun sektor-sektor yang lebih hilir yakni sektor ekonomi yang menggunakan output perkebunan kelapa sawit sebagai inputnya (forward linkages). Koefisien keterkaitan ke depan dan ke belakang perkebunan kelapa sawit (Tabel 5.1).
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
167
Tabel 5.1. Keterkaitan ke Depan (Forward Linkages) dan Keterkaitan ke Belakang (Backward Linkages) Perkebunan Kelapa Sawit Keterkaitan
Nilai
Total Forward Linkages
1.42
Total Backward Linkages
1.51
Sumber: Statistik Indonesia ( Amzul, R., 2011).
Keterkaitan ke belakang perkebunan kelapa sawit bernilai 1.51. Hal ini berarti bahwa setiap pertumbuhan output perkebunan kelapa sawit (CPO) berdampak pada penggunaan output sektor lain yang lebih besar sebagai input perkebunan kelapa sawit. Sektor penyedia input utama dari perkebunan kelapa sawit adalah surplus usaha tahun sebelumnya dan modal sendiri (reinvestasi), pupuk, kimia, pestisida, tenaga kerja, sektor keuangan dan sektor lain (Tabel 5.2). Komponen input terbesar adalah reinvestasi surplus usaha. Besarnya pangsa reinvestasi surplus menunjukan bahwa keuntungan yang diperoleh perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebagian besar di reinvestasikan kembali ke perkebunan kelapa sawit itu sendiri untuk membiayai investasi baru. Data tersebut juga menjelaskan bahwa keuntungan yang diperoleh dari perkebunan kelapa sawit tidak seluruhnya keluar dari perkebunan kelapa sawit (capital-drain) melainkan sebagian di reinvestasikan ke perkebunan kelapa sawit itu sendiri. Keterkaitan ke depan perkebunan kelapa sawit bernilai 1.42. Setiap peningkatan output perkebunan kelapa sawit (CPO) akan menghela peningkatan penggunaan CPO yang lebih besar sebagai input sektor lain. Sektor pengguna CPO adalah industri minyak nabati, industri kimia, industri makan. Sekitar 80 persen output CPO diserap oleh industri minyak nabati, industri minyak kimia khususnya oleokimia (14 persen), industri makanan (0.31 persen), perkebuan kelapa sawit itu sendiri (4.64 persen) dan sisanya sektor lain. Secara keseluruhan, keterkaitan ke belakang perkebunan kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan keterkaitan ke depan. Hal ini berarti perkebunan kelapa sawit lebih berperan sebagai lokomotif ekonomi yang menarik perkembangan sektor-sektor lain melalui penggunaan outputnya sebagai input perkebuan kelapa sawit.
168
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 5.2. Sektor-Sektor Penyedia Input Perkebunan Kelapa Sawit Sektor
Pangsa (%)
Reinvestasi surplus Pupuk, kimia, pestisida Tenaga kerja Keuangan Bibit kelapa sawit Pertanian Bangunan
33.94 18.43 17.31 9.85 4.64 3.56 4.07
Jasa transportasi, perdagangan, restoran/hotel, komunikasi,dll
4.19
Mesin dan peralatan
1.38
Sektor lainnya
2.36
Total Sumber: Tabel I-O (Statistik Indonesia, 2008)
5.1.2
100.00
Dampak Perkebunan Kelapa Sawit pada Sektor lain
Untuk melihat kemampuan perkebunan kelapa sawit dalam menciptakan output, pedapatan, nilai tambah dan kesempatan kerja dibandingkan dengan kemampuan rata-rata sektor-sektor ekonomi, digunakan indeks multiplier output, income, labor, dan value added (Tabel 5.3). Indeks multiplier output perkebunan kelapa sawit 1.71. Hal ini berarti kemampuan perkebunan kelapa sawit dalam menciptakan output nasional 1.7 kali dari rata-rata sektor-sektor dalam perekonomian. Kemampuan perkebunan kelapa sawit dalam menciptakan pendapatan (income generating) tercermin dari indeks multiplier income yang bernilai 1.8. Kemampuan perkebunan kelapa sawit dalam menciptakan pendapatan 1.8 kali dari rata-rata kemampuan menciptakan pendapatan sektor-sektor ekonomi. Dalam menciptakan nilai tambah, perkebunan kelapa sawit mampu menciptakan nilai tambah tiga kali dari rata-rata sektor-sektor ekonomi dalam perekonomian.
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
169
Tabel 5.3. Indeks Multiplier Perkebunan Kelapa Sawit
Indeks Multiplier
Perkebunan Kelapa Sawit
Output Income
1.71 1.79
Tenaga Kerja
2.64
Nilai Tambah Sumber: Tabel I-O Indonesia (2008)
1.59
Dalam penciptaan kesempatan kerja (job-creation) kemampuan perkebunan kelapa sawit mampu menciptakan 2.6 kali kesempatan kerja dalam perekonomian dibandingkan rataan kemampuan sektor ekonomi lainnya. Dengan demikian perkebunan kelapa sawit salah satu sektor ekonomi nasional yang pro-output, pro-income, pro-job, dan pro-value added. Sektor-sektor ekonomi utama (10 besar sektor ekonomi) yang menikmati multiplier effect dari peningkatan permintaan akhir perkebunan kelapa sawit (CPO) disajikan pada Tabel 5.4. Dampak peningkatan permintaan akhir perkebunan kelapa sawit terhadap output perekonomian (multiplier output) maupun terhadap income (multiplier income) selain dinikmati sektor perkebunan kelapa sawit itu sendiri, juga dinikmati sektor keuangan, sector perdagangan, restoran dan hotel, industri kimia/pupuk/pestisida dan sektor-sektor lain. Jika permintaan CPO meningkat bukan hanya menarik peningkatan output dan pendapatan pada perkebunan kelapa sawit saja, tetapi juga meningkatkan output dan pendapatan sektor-sektor lain seperti sektor keuangan, sektor perdagangan, restoran dan hotel, industri kimia/pupuk/pestisida dan sektor-sektor lain.
170
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 5.4. Top Ten Sektor Ekonomi (Selain Perkebunan Kelapa Sawit) yang Bertumbuh Akibat Pertumbuhan Output, Income dan Nilai Tambah Perkebunan Kelapa Sawit Rank 1 2 3
4
5 6 7 8
Dampak Output Keuangan
Dampak Income Jasa lainnya
Jasa lainnya
Keuangan
Perdagangan, hotel dan restoran
Perdagangan, hotel dan restoran
Peternakan, kehutanan, perikanan
Industri kimia pupuk, dan pestisida Industri migas dan tambang Transportasi
Industri kimia, pupuk, dan pestisida
Jasa lainnya
Transportasi
Pertanian Pangan
Infratsruktur Industri migas dan tambang Infrastruktur pertanian
Transportasi
Infrastruktur Industri makanan
9
Mesin dan Jasa pertanian peralatan listrik 10 Sektor Lain Sektor Lain Sumber: Tabel Input-Output Indonesia
5.1.3
Dampak Nilai Tambah Jasa pertanian Perdagangan, hotel dan restoran
Keuangan Perkebunan lainnya Industri kimia, pupuk, dan pestisida Sektor Lain
Peran Ekspor Minyak Sawit dalam Perekonomian
Komoditas pertanian masih penyumbang terbesar dalam ekspor non migas Indonesia. Pangsa ekspor pertanian dalam total ekspor non migas masih cukup besar yakni 48 persen tahun 2005 dan 36 persen tahun 2013 (Gambar 5.1). Bahkan dari ekspor sektor manufaktur non migas, sebagian besar masih bebasis sumberdaya alam (SDA). Sekitar 20 persen (tahun 2005) dan 19 persen (tahun 2013) dari total ekspor non migas berapa ekspor produk manukfatur sumber daya alam. Sementara produk manukfatur berbasis non sumber daya alam pangsanya kecil dan menurun
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
171
2005
2013 Pertanian
20% 48%
12% 20%
36%
39%
4%
21%
Tambang Manufaktur berbasis nonSDA Manufaktur berbasis SDA
Sumber: Bank Indonesia, 2013 Gambar 5.1. Komposisi Ekspor Non Migas Indonesia Tahun 2005 dan 2013
Peranan ekspor CPO dan turunannya Dalam ekspor netto non migas makin penting dan bahkan menjadi katup pengaman. Pada tahun 2004 (Tabel 5.5), kontribusi ekspor CPO dan turunannya baru mencapai 26 persen dari net ekspor non migas dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan tahun 2012 dan tahun 2013 pangsa ekspor CPO dan turunannya sudah di atas 100 persen. Artinya, sektor non migas Indonesia terhindar dari defisit trade, karena adanya ekspor CPO dan turunannya. Peran penting dari ekspor CPO dan turunanya dalam perekonomian makin jelas jika dilihat dalam neraca transaksi berjalan (current account), NTB, Indonesia (Tabel 5.6). Jika ekspor CPO dan produk turunannya tidak diperhitungkan (tanpa minyak sawit) NTB Indonesia sudah mengalami defisit sejak tahun 2008. Dan defisit NTB tersebut mengalami peningkatan sejak tahun 2008 sampai 2013. Defisit NTB makin membengkak pada tahun 2012 dan 2013 ketika total net ekspor Indonesia (non migas dan migas) mengalamin defisit berturutturut 12,7 dan 13 Milyar dollar USA, sehingga defisit NTB menjadi sekitar 45 dan 47 milyar dollar USA. Jika ekspor CPO dan turunannya diperhitungkan (dengan minyak sawit), NTB Indonesia sejak tahun 2004-2011 masih positif. Defisit NTB tahun 2012 dan 2013 tidak lagi mampu di tutup oleh ekspor CPO dan turunannya.
172
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 5.5. Perkembangan Nilai Ekspor CPO dan Turunannya Serta Pangsanya dalam Net Ekspor Non Migas Indonesia
Tahun
Net ekspor non migas ($ Milyar)
Ekspor Minyak sawit Pangsa (%) 26.81 24.15 37.40 33.53 91.20 48.40 59.70 61.10 153.79 121.32
($ milyar)
2004 15.03 4.03 2005 18.34 4.43 2006 14.84 5.55 2007 27.08 9.08 2008 15.13 13.80 2009 25.56 12.37 2010 27.40 16.36 2011 35.43 21.65 2012 13.58 21.30 2013 15.58 19.23 Sumber : BPS, Bank Indonesia (data diolah) Tabel 5.6.
Peran Ekspor CPO dan Turunannya dalam Neraca Transaksi Berjalan Indonesia Tanpa Minyak sawit Dengan Minyak Sawit ($ milyar) ($ milyar) Net Tahun Net Neraca Neraca Ekspor Ekspor Transaksi Transaksi Barang Barang Total Berjalan berjalan Total
2004 16.12 -0.40 2005 18.35 -1.44 2006 24.11 +5.28 2007 23.67 +1.41 2008 9.11 -13.67 2009 17.77 -1.74 2010 14.73 -11.21 2011 13.13 -19.96 2012 -12.68 -45.37 2013 -13.08 -47.68 Sumber : BPS, Bank Indonesia (data diolah)
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
20.15 22.78 29.66 32.75 22.91 30.15 31.09 34.78 8.62 6.15
3.11 2.99 10.83 10.49 0.13 10.63 5.14 1.68 -24.07 -28.45
173
Dengan fakta tersebut dapat dikatakan bahwa industri minyak sawit Indonesia (meskipun masih pada fase sedang bertumbuh) telah berperan menjadi kutub penyelamat NTB pada periode tahun 20082012. Selain dalam menghasilkan devisa (net ekspor) yang besar, industri minyak sawit juga telah memberikan pendapatan bagi pemerintah dari pungutan bea keluar (Tabel 5.7). Tabel 5.7. Penerimaan Pemerintah dari Bea Keluar Ekspor CPO dan Turunannya, Tahun 2007-2012
2007
Realisasi Penerimaan (Rp. Trilyun) 4.2
2008
13.6
17.8
2009
0.6
18.4
2010
8.9
27.3
2011
28.9
56.2
2012
23.2
79.4
Tahun
Akumulasi (Rp. Trilyun) 4.2
Sumber : RAPBN 2013 (Kementerian Keuangan)
Sejak pemerintah merubah kebijakan perdagangan internasional CPO dan turunannya dari semula pajak ekspor menjadi bea keluar (export duty) tahun 2007, penerimaan pemerintah dari bea keluar meningkat secara proposional dengan meningkatkan volume ekspor dan harga CPO dan turunannya di pasar internasional. Secara akumulatif sampai tahun 2012, penerimaan pemerintahan telah berjumlah Rp. 79 triliun. Jumlah ini belum memperhitungkan penerimaan pemerintah dari berbagai pajak (PBB, PPh, PPn) dari industri minyak sawit yang diperkirakan cukup besar. Dengan demikian industri minyak sawit Indonesia meskipun masih dalam fase pertumbuhan, perannya baik dalam ekspor maupun penerimaan pemerintah dari bea keluar sudah cukup besar. Diperkirakan kontribusi industri minyak sawit terhadap devisa maupun penerimaan negara akan lebih besar lagi dimasa yang akan datang, seiring dengan makin bertumbuhnya industri minyak sawit.
174
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
5.1.4
Menyediakan Minyak Nabati yang Kompetitif Bagi Dunia : Feeding The World
Produksi minyak sawit (CPO dan produk turunannya) yang dihasilkan Indonesia merupakan bahan pangan (food oleo), bahan baku industri dan bahan energi (biodiesel), yang diperlukan masyarakat dunia. Dalam periode tahun 2000-2013, sekitar 70 persen dari total produksi CPO Indonesia setiap tahun ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dunia dan hanya sekitar 30 persen untuk kebutuhan masyarakat Indonesia. (Gambar 5.2) 100% 80% 60% 40%
20% 0% 2000
2002
2004
Konsumsi Dunia (%) Gambar 5.2.
2006
2008
2010
2013
Konsumsi Indonesia (%)
Penggunaan Produksi CPO (Setara CPO) Indonesia Untuk Konsumsi Ma syarakat Dunia dan Masyarakat Indonesia.
Dengan perkataan lain, lokasi produksi CPO memang di Indonesia namun peruntukan sebagian besar untuk kebutuhan masyarakat dunia, khususnya kawasan Asia, Eropa dan Afrika. Beberapa negara kawasan yang menikmati produksi CPO Indonesia adalah sebagiamana disajikan pada Tabel 5.8.
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
175
Tabel 5.8. Negara/Kawasan Utama yang Menikmati Manfaat Produksi CPO Indonesia untuk Bahan Pangan dan Bahan Baku Industri Asia
Negara/Kawasan Eropa
Afrika
India
Jerman
Mesir
Cina
Belanda
Afrika Selatan
Pakistan
Spanyol
Tanzania
Malaysia
Perancis
Nigeria
Singapura
Itali
Kongo
Bangladesh
Yunani
Tunisia
Jepang
Rusia
Kenya
Korea Selatan
Belgia
Ghana
Philipina
Inggris
Algeria
Vietnam
Turki
Uganda
Rest of Asia
Rest of Europe
Rest of Africa
Sumber : BPS
Minyak nabati utama dunia adalah soybean, rapeseed, sunflower, dan minyak sawit. Dalam periode tahun 2000-2013, pergerakan harga CPO konsisten di bawah harga soybean oil, rapeseed oil maupun sunflower oil (Gambar 5.3). Pergerakan harga yang demikian menunjukkan bawa CPO sangat kompetitif baik sebagai subtitut maupun komplemen dalam konsumsi komposit minyak nabati di berbagai negara/kawasan dunia. Secara teori ekonomi (consumsi behaviours) ketersediaan CPO yang lebih murah, dapat mensubstitusi minyak nabati lain yang lebih mahal, sehingga dapat menahan laju kenaikan harga yang lebih tinggi minyak nabati lain. Cina dan India yang merupakan negara dunia yang menikmati hampir 60 persen CPO Indonesia, untuk memenuhi pertumbuhan konsumsin minyak nabati akibat pertumbuhan ekonomi yang relatif cepat dalam sepuluh tahun terakhir. Harga CPO dunia yang umumnya lebih murah dari harga minyak kedelai, minyak rapeseed, maupun minyak bunga matahari memberi keuntungan bagi dua negara yang populasi penduduknya hampir 50 persen penduduk dunia.
176
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
CPO RPO
2500
SBO SFO
2000 1500
1000 500
Jul-13
Oct-12
Jan-12
Apr-11
Jul-10
Oct-09
Jan-09
Apr-08
Jul-07
Oct-06
Jan-06
Apr-05
Jul-04
Oct-03
Jan-03
Apr-02
Jul-01
Oct-00
Jan-00
0
Gambar .5.3. Harga Minyak Sawit (CPO) Lebih Kompetitif daripada Soybean Oil (SBO), Rapeseed Oil, (RPO), dan Sunflower Oil (SFO)
Bagi negara kawasan Afrika dimana umumnya berpendapatan rendah ketersediaan CPO baik sebagai bahan pangan maupun bahan baku industri memberi manfaat bagi rakyat Afrika. Manfaat yang dinikmati selain harga CPO lebih murah, juga dampak tidak langsung harga CPO terhadap harga minyak nabati lainnya. Minyak sawit sebagai subtitusi dan atau komplemen minyak nabati lain, dapat mencegah kenaikan minyak kedele yang berlebihan baik karena pertumbuhan konsumsi maupun akibat kekurangan pasokan. Sehingga dengan tingkat pendapatan yang sama, daya beli masyarakat Afrika untuk minyak nabati meningkat. Untuk mayarakat kawasan Eropa, kehadiran minyak sawit yang lebih murah berdampak luas bagi ekonomi Eropa secara keseluruhan. Negara Eropa yang merupakan negara-negara berpendapatan tinggi dan konsumsi tinggi (termasuk minyak nabati), ketersediaan minyak sawit yang lebih murah relatif dibandingkan soybean, rapeseed, sunflower oil dan lain-lain memungkinkan masyarakat Eropa dapat mempertahankan tingkat konsumsi tinggi atau mempertahankan tingkat kesejahteraannya. Ketersediaan minyak sawit yang lebih murah secara global, juga menghindarkan industri-industri oleo kimia global terhindar dari kebangkrutan. Rapilus and Ahmad (2007) mengungkapkan bahwa industri oleo kimia Eropa, USA, Jepang , banyak mengalami under capacity terancam bangkrut akibat kekurangan bahan baku. Pemain industri oleokimia global seperti Henkel, Unilever, Lonza, KAO, Protector and Gamble, Petrosina, Akzo Nobel, Degusa, Rhom, Stock Hausen, Gold schimidt, C W Hulse, Rutgers, Wella, Gillete, Clairol,
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
177
Dial, Schwarzkoff dan lain-lain, terpaksa harus melakukan konsolidasi dengan berbagai cara antara lain, akibat kekurangan bahan baku. Sebagian besar industri oleo kimia global tersebut melakukan relokasi (subsidiary) dan kemitraan dengan negara-negara produsen CPO seperti Indonesia dan Malaysia. Ketersediaan minyak sawit yang cukup besar dan relatif murah secara global, juga dapat membantu mengurangi fuel-food trade-off yang dihadapi masyarakat Eropa dan USA, dalam kebijakan mandatori biodiesel. OECD (2006) memperkirakan bahwa bila target 10 persen konsumsi energi fosil disubtitusi dengan biofuel, maka 70 persen lahan pertanian Uni Eropa dan 30 persen lahan pertanian USA, harus dikonversi untuk tanaman bahan baku biofuel . Trade-off yang demikian dapat dikurangi jika Eropa dan USA bersedia meningkatkan konsumsi minyak sawit yang lebih besar sehingga dapat mengurangi tekanan pada minyak nabati produksi domestiknya. Dengan demikian perkebunan kelapa sawit Indonesia dapat di katakan adalah untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati dunia (Feeding The World), Indonesian Palm Oil Industri for : Asian People, for European People, for American People and for African People. Manfaat kesejahteraan yang diciptakan perkebunan kelapa sawit Indonesia, sebagian besar dinikmati masyarakat internasional. 5.2
Peran Industri Minyak Sawit Dalam Pembangunan Pedesaan
Pembangunan daerah pedesaan (rural development) merupakan salah satu fokus kebijakan pembangunan di Indonesia. Kebijakan pelaksanaan otonomi daerah yang telah dilaksanakan sejak tahun 2000, dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan daerah pedesaan yang tertinggal dibandingkan pembangunan kawasan perkotaan. Perhatian pada percepatan pembangunan di Indonesia memang sangat diperlukan mengingat: (1) sebagian besar penduduk Indonesia yakni 58 persen (tahun 2000) dan 50 persen (tahun 2012) berada di kawasan pedesaan yang perlu ditingkatkan kesejahteraannya; (2) Angatan kerja terbesar berada dan bekerja dikawasan pedesaan/pertanian; (3) Jumlah penduduk miskin Indonesia sebagian besar berada dikawasan pedesaan/pertanian. Berdasarkan fakta ini (ADB, 2004) pembangunan pedesaan di Indonesia hendaklah fokus pada peningkatan pendapatan di pedesaan (pro-rural income) dan pengurangan kemiskinan (pro-poor). Bagaimana mendorong pertumbuhan ekonomi daerah pedesaan/pertanian setinggi mungkin, merupakan sasaran penting untuk meningkatkan pendapatan di pedesaan dan pengurangan kemiskinan (ADB, 2004). Mengacu pada Say’s Law, kunci terjadiya 178
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
penciptaan pedapatan (income generating) adalah menumbuh kembangkan dunia usaha (firms) di kawasan pedesaan baik usaha keluarga, usaha kelompok, usaha kecil-menengah maupun korporasi, yang berbasis pada sumberdaya yang tersedia dikawasan pedesaan. Melalui proses produksi, pendapatan tercipta dan terdistribusi melalui mekanisme factor-payment. Semakin besar jumlah dan ragam dunia usaha yang berkembang di kawasan pedesaan, semakin besar dan beragam pendapatan yang tercipta dikawasan pedesaan. 5.2.1
Perkebunan Kelapa Sawit: Menumbuhkan Pusat Pertumbuhan Baru Pedesaan
Sejak awal pengembangan perkebunan kelapa sawit tahun 1980an di Indonesia, baik sebagai bagian dari pembangunan pertanian maupun pengembangan daerah (transmigrasi), ditujukan untuk membuka dan membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan pedesaan. Daerah terbelakang (hinter land) yang tertinggal/degraded land dikembangkan menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru. Pembangunan perkebunan kelapa sawit dalam konteks pembangunan kawasan pedesaan merupakan kegiatan ekonomi pioner, kemudian menarik pengembangan sektor-sektor lain di kawasan pedesaaan dan melahirkan pusat-pusat petumbuhan ekonomi baru. Evolusi perkembangan pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia secara umum mengikuti dua fase (Gambar 5.4). Fase pertama, yakni Gestation Stage. Daerah pedesaan yang umumnya masih kosong, terisolasi atau degraded land/ghost town yang ditetapkan pemerintah untuk kawasan pembangunan perkebunan kelapa sawit, dikembangkan oleh perusahaan negara (BUMN) atau perusahaan swasta yang bertindak sebagai inti. Sementara masyarakat lokal bertindak sebagai plasma. Mengingat daerah yang bersangkutan masih terisolasi, maka PN/PS harus membuka jalan/jembatan masuk (acces road) dengan investasi besar. Selain itu, investasi yang dikeluarkan inti (4-5 tahun) mencakup pembangunan jalan usaha tani (farm road), pembangunan kebun inti dan plasma, pembangunan perumahan karyawan, fasilitas sosial/umum dan pemeliharaan tanaman belum menghasilkan.
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
179
PS: Perkebunan Swasta PN: Perkebunan Negara PRP: Perkebunan Rakyat Plasma PRM: Perkebunan Rakyat Mandiri SB: Suplier Barang SJ: Suplier Jasa SF: Suplier Bahan Pangan
Gambar 5.4. Evolusi Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Menjadi Agropolitan/Kawasan Industri Perkebunan di Kawasan Pedesaan di Indonesia
Fase kedua, yakni Growth Stages. Umumnya setelah 5 tahun, keberhasilan inti plasma menarik investasi petani lokal untuk menanam kelapa sawit (perkebunan rakyat mandiri). Umumnya jumlah perkebunan rakyat ini bertumbuh cepat dalam suatu wilayah sehingga luas kebun perkebunan rakyat mandiri secara total lebih luas dari kebun pola PIR. Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit baik inti, plasma maupun petani mandiri mendorong berkembangnya usaha kecilmenengah-koperasi (UKMK) yang bergerak pada supplier barang/produk industri perkotaan, maupun pedagang hasil-hasil pertanian/perikanan/peternakan untuk kebutuhan pangan masyarakat perkebunan kelapa sawit (Gambar 5.5).
180
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Pembangunan perumahan/ fasilitas sosial-umum 15% Infrastruktur jalan/jembatan 20% Pemeliharan TBM 30% Pembukaan lahan dan penanaman sawit 35%
Gambar 5.5
Komponen Investasi Perkebunan Kelapa Sawit Tahap Gestation Period di Kawasan Pedesaan Indonesia
Pada tahap selanjutnya, pertumbuhan kelapa sawit khususnya setelah menghasilkan minyak sawit (CPO) di kawasan tersebut berkembang pusat-pusat pemukiman, perkantoran, pasar, dan lain-lain sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan menjadi suatu agropolitan (kota-kota baru pertanian). Jumlah unit UKMK supplier barang/ jasa untuk perkebunan kelapa sawit dkawasan pedesaan (per 100 ribu TM) cenderung meningkat dari tahun 2004-2012 (gambar 5.6). Unit UKM
800 700 600 500 400 300 200 100 0 2004
2008
2012
Tahun
Gambar 5.6 Rataan Jumlah Unit UKMK Supplier Barang/Jasa untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Kawasan Pedesaan (Per 100 Ribu TM) V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
181
Menurut Kementerian Transmigrasi dan Tenaga Kerja (2014), sampai tahun 2013 telah berkembang daerah perkebunan kelapa sawit telah berkembang menjadi menjadi kawasan pertumbuhan sentra produksi CPO (50 kawasan) di kawasan pedesaan antara lain Sungai Bahar (Jambi), Pematang Panggang dan Peninjauan (Sumatera Selatan), Arga Makmur (Bengkulu), Sungai Pasar dan Lipat Kain (Riau), Paranggean (Kalimantan Tengah) dan kawasan lain. Sebagian besar dari kawasan sentra produksi CPO tersebut telah berkembang menjadi kota kecamatan dan kabupaten baru di kawasan pedesaan. 5.2.2
Menarik Pertumbuhan Sektor Lain di Kawasan Pedesaan
Untuk mempercepat pembangunan daerah pedesaan, sektorsektor diluar pertanian/perkebunan (rural non-farm economy) mencakup manufakturing, konstruksi, transportasi, komunikasi, jasa-jasa (Islam, 1997; Rosegrant and Hazell, 2000, Gibb, 1974; Anderson and Leiserson 1980), perlu dikembangkan. Hal ini penting untuk kondisi kawasan pedesaan Indonesia mengingat sebagian besar penduduk, angkatan kerja dan bahkan penduduk miskin berada pada rural non-farm economy tersebut (ADB, 2004). Tabel 5.9. Sektor-sektor Rural Non-Farm Pertumbuhan Produksi CPO
yang
Bertumbuh
Akibat
Rank Sektor Sektor keuangan 1 Sektor jasa lainnya 2 Perdagangan, hotel, restoran 3 4 Kimia dasar, pupuk/pestisida Minyak, gas dan tambang 5 Transportasi 6 Infrastruktur 7 Pengolahan Makanan 8 Alat-alat listrik 9 Sektor lainnya 10 Sumber: Tabel I-O Indonesia
Peningkatan produksi CPO pada kawasan sentra produksi CPO di kawasan pedesaan juga terkait dan berdampak luas pada sektor rural non-farm economy (Tabel 5.9)
182
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Jika output perkebunan kelapa sawit (produksi CPO) bertumbuh, sekitar 40 persen berdampak pada pertumbuhan sektor rural non-farm seperti lembaga keuangan, perdagangan/restoran, hotel, transportasi, infrastruktur, dan sektor-sektor lain (Amzul, 2011). Hal ini berarti pertumbuhan perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada perkebunan kelapa sawit, melainkan sebagian (40 persen) dinikmati masyarakat yang bekerja diluar perkebunan kelapa sawit di pedesaan. Dengan perkataan lain, pertumbuhan perkebunan kelapa sawit di kawasan pedesaan akan meningkatkan kapasitas perekonomian daerah pedesaan dalam menghasilkan output/pendapatan dan kesepatan kerja baik pada perkebunan kelapa sawit maupun pada sektor lain (rural non-farm) di kawasan pedesaan. Bahkan bukan hanya masyarakat pedesaan saja yang menikmati dampak ekonomi perkebunan kelapa sawit, melainkan juga dinikmati sektor perkotaan seperti lembaga keuangan, restoran dan hotel, food processing dan electric equipment and manufacturing sector. Membangun perkebunan kelapa sawit bukan hanya membangun pedesaan tetapi juga bagian dari cara membangun perkotaan. 5.2.3
Pertumbuhan Produksi CPO Memacu Pertumbuhan Ekonomi Sentra Sawit
Pertumbuhan produksi perkebunan kelapa sawit termasuk dampaknya terhadap sektor rural non-farm akan terlihat dalam Produk Domestik Bruto (PDB) non migas dan tambang di daerah sentra sawit di Indonesia. Produksi CPO berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDB non migas sentra perkebunan kelapa sawit Nasional (gambar 5.7). Peningkatan produksi CPO berhasil meningkatkan PDB non migas daerah sentra sawit di Indonesia. Elastisitas produksi CPO terhadap PDB non migas sentra sawit bernilai 2.46. Peningkatan satu persen produksi CPO baik secara langsung (melalui kontribusi nilai tambah) maupun secara tidak langsung (melalui multiplier nilai tambah dari sektor lain), meningkatkan 2.46 persen PDB non migas di daerah sentra sawit di Indonesia.
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
183
Pengaruh Produksi CPO Teradap PDB
Rp Trillyun
300
PDB = -194 + 231.66 CPO R2= 0.91 E= 2.46
200 100 -
5.00
10.00
15.00
Ribu ton Gambar 5.7. Pengaruh Produksi CPO terhadap PDRB Sentra Sawit Nasional
5.2.4
Perekonomian Sentra Sawit Bertumbuh Lebih Cepat Dibanding Non Sentra Sawit
Kontribusi positif dan elastis dari produksi CPO terhadap PDRB non migas sentra sawit di Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah, secara lintas waktu (overtime) menyebabkan pertumbuhan PDRB non migas sentra-sentra sawit lebih cepat daripada pertumbuhan PDRB non sentra sawit. Akibatnya, dengan meningkatnya produksi CPO, PDRB non migas sentra sawit makin meninggalkan PDRB non migas non sentra sawit (Gambar 5.6). Perbedaan PDRB non migas antara sentra sawit dengan non sentra sawit di Sumatera Utara (provinsi tertua sawit) sudah mulai terlihat sejak tahun 1990. Kemudian setelah tahun 1990 perbedaan tersebut makin besar khususnya setelah tahun 2005. Semakin meningkat produksi CPO semakin cepat bertumbuh PDRB non migas sentra sawit dan makin meninggalkan pertumbuhan PDRB non migas non sentra sawit.
184
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
PDRB Sentra Sawit dan non Sentra Sawit di Indonesia 300
Rp Trilyun
250 200 150 100 50
Kabupaten Sawit
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
0
Kabupaten Non Sawit
Gambar. 5.8. Perbandingan PDRB Sentra Sawit dengan Non Sentra Sawit Nasional
Hal yang menarik adalah Riau. Sampai tahun 2006, PDRB non migas sentra sawit dengan non sentra sawit masih relatif sama. Namun setelah tahun 2006, PDRB non migas sentra sawit lebih cepat bertumbuh dibandingkan PDRB non migas senta sawit makin besar dengan non sentra sawit. Hal ini terjadi karena sebelum tahun 2006 sebagian besar perkebunan kelapa sawit Riau masih TBM dan TM muda. Namun setelah tahun 2006 produksi CPO Riau bertumbuh cepat. Perbedaan lebih kontras antara PDRB non migas sentra sawit dengan non sentra sawit terjadi di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah. Pertumbuhan produksi CPO yang lebih tinggi setelah tahun 2000, telah memacu pertumbuhan yang lebih cepat PDRB non migas pada kedua sentra sawit tersebut. Bukti-bukti emperis tersebut menunjukan bahwa perkebunan kelapa sawit memacu pertumbuhan ekonomi daerah dan bagian penting dari upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah. Hasil studi ini juga mengukuhkan hasil studi (Susila, 2004; World Growth, 2011; Joni, 2012; Rofiq, 2012) yang menyimpulkan bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia bagian penting dari pembangunan daerah pedesaan (rural development).
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
185
5.3
Peranan Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Mengurangi Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi masyarakat internasional termasuk Indonesia. Jumlah penduduk miskin memang telah cenderung turun seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Jumlah penduduk miskin di Indonesia (BPS, 2013) telah turun dari 42,3 juta orang (28,6 persen dari jumlah penduduk tahun 1980) menjadi 28,6 juta orang (11,7 persen dari jumlah penduduk tahun 2012). Dari jumlah tersebut, penduduk miskin di pedesaan juga telah turun dari 32,8 juta orang tahun 1980 menjadi 18 juta orang tahun 2012. Karakteristik penduduk miskin dikawasan pedesaan Asia (Dixon, 1990) antara lain lahan sempit, kurang gizi, kurang pendidikan, pendapatan rendah, terisolasi, dan usia harapan hidup yang rendah. Sedangkan untuk penduduk miskin pedesaan di Indonesia umumnya akses pendidikan dan kesehatan rendah, infrastruktur (air minum, transportasi, listrik) rendah serta sanitasi buruk (World Bank, 2001), pendidikan keterampilan rendah, miskin sumberdaya, tergantung pada pertanian subsisten, dan berpendapatan rendah (ADB, 2004). Untuk mengatasi kemiskinan penduduk secara berkelanjutan diperlukan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi pedesaan dimana penduduk miskin berada. Pertumbuhan ekonomi (pendapatan) yang menyasar pada kemiskinan merupakan keharusan dalam kebijakan pembangunan di Indonesia (ADB, 2001). Dengan meningkatnya pendapatan penduduk miskin maka akan membuka akses penduduk miskin pada pendidikan, kesehatan maupun aspek kesejahteraan yang lebih luas dan lebih berkualitas. 5.3.1
Merubah Petani Miskin Menjadi Pengusaha
Sumber pendapatan utama dari penduduk miskin pedesaan Indonesia adalah dari upah tenaga kerja pertanian dan dari pertanian skala kecil (ADB, 2004). Dengan fakta ini, maka untuk mengeluarkan penduduk miskin dari kemiskinannya salah satunya adalah memperbesar skala ekonomi pertaniannya, sehingga memperoleh pendapatan yang cukup untuk membiayai hidup keluarganya. Program perkebunan inti rakyat (Nucleus Estate Smallholder, NES) yang dilaksanakan pemerintah merupakan pintu masuk (entry point) keikutsertaan perkebunan rakyat dalam perkebunan kelapa sawit nasional (Badrun, 2010: Sipayung, 2012). PIR/NES yang dimaksud mencakup PIR Berbatuan (NES Subsidy), PIR Lokal (NES-Local), PIR
186
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Khusus (Specific NES) yang dilaksanakan pemerintah tahun 1977-1986; kemudian dilanjutkan PIR Transmigrasi (NES Transmigration) dalam periode 1985-1995; PIR Kredit Koperasi Para Anggota/KKPA (NESCoperation Credit) tahun 1995-2005 maupun PIR Revitalisasi perkebunan (NES-Revitalize of Plantation) sejak tahun 2005. Rangkaian kebijakan dan program NES tersebut. bukan hanya berhasil untuk perkebunan rakyat yang menjadi peserta NES, tetapi jasa merangsang dan meyakinkan petani lain (diluar peserta) untuk masuk pada perkebunan kelapa sawit secara mandiri (petani sawit mandiri). Tabel 5.10. Perkembangan Jumlah Unit Usaha Keluarga Petani Kelapa Sawit Rakyat di Indonesia Tahun 1990
Jumlah Unit Usaha Petani Sawit (Ribu/Unit Usaha) 142
Luas (Ribu Ha) 291.33
1995
320
658.54
2000
682
1166.76
2005
1184
2356.89
2010
1710
3387.26
2013 3703 Sumber: Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia
3790.14
Jumlah unit usaha petani kelapa sawit (Tabel 5.10) meningkat cepat dari hanya 142 ribu unit usaha keluarga tahun 1990 menjadi 3,7 juta unit usaha keluarga tahun 2013. Demikian juga luas perkebunan kelapa sawit rakyat meningkat secara revolusioner dari hanya 291 ribu hektar tahun 1990 menjadi 3,8 juta hektar tahun 2013. Peningkatan unit usaha yang demikian dapat dimaknai bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah merubah 3,7 juta keluarga miskin (petani) menjadi pengusaha sawit. Untuk konteks Indonesia, tidak banyak (jika bukan satu-satunya) sektor ekonomi yang yang mampu merubah petani kecil/miskin menjadi pengusaha sawit sebanyak dan secepat itu. Dengan menjadi pengusaha sawit yang demikian, kehidupan ekonomi keluarga petani sawit tersebut akan lebih terjamin hingga setidak-tidaknya dalam 25 tahun (replanting kelapa sawit umur 25 tahun). Dengan replanting berikutnya akan menyambung kehidupan ekonomi bagi keturunannya secara berkelanjutan.
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
187
5.3.2
Menciptakan Kesempatan Kerja di Kawasan Pedesaan
Selain menjadi pengusaha kelapa sawit, cara untuk mengurangi kemiskinan di pedesaan adalah menciptakan kesempatan kerja baru yang sesuai dengan karakteristik tenaga kerja pedesaan. Salah satu karakteristik penduduk miskin di pedesaan adalah bekerja secara musiman di pertanian (ADB, 2004). Secara keseluruhan tingkat pendidikan penduduk dipedesaan juga umumnya rendah. Oleh karena itu, untuk mengurangi kemiskinan di pedesaan hendaklah mengembangkan sektor-sektor ekonomi yang lebih banyak menyerap tenaga kerja yang sesuai dengan karakteristik/latar belakang tenaga kerja pedesaan. Perkebunan kelapa sawit merupakan sektor ekonomi dengan teknologi padat kerja (labor intensive). Tidak hanya padat kerja tetapi juga akomodatif terhadap keragaman mutu/skill tenaga kerja pedesaan. Secara umum, struktur pendidikan penduduk di kawasan pedesaan (BPS, 2002) sebagian besar merupakan tenaga kerja berpendidikan sekolah dasar ke bawah. Jika dibandingkan dengan tenaga kerja yang terserap di perkebunan kelapa sawit menunjukan bahwa perkebunan kelapa sawit secara umum lebih akomodatif terhadap tenaga kerja yang tersedia dikawasan pedesaan. Penyerapan tenaga kerja pada perkebunan kelapa sawit di Indonesia (Tabel 5.11) mengalami peningkatan dari tahun ketahun seiring dengan perluasan kebun, peningkatan produksi dan perkembangan industri hulu dan hilir. Pada tahun 2000, jumlah tenaga kerja yang bekerja pada perkebunan kelapa sawit baru sekitar 3,4 juta orang, tahun 2000 meningkat menjadi 9,3 juta orang tahun 2013. Dengan fakta tersebut perkebunan kelapa sawit merupakan sektor ekonomi pedesaan yang bersifat pro-job. Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit menciptakan kesempatan kerja baru di pedesaan. Jika diasumsikan setiap pekerja menanggung 4 orang anggota keluarga, maka dengan jumlah tenaga kerja pada tahun 2013, sekitar 37 juta orang penduduk memiliki sumber pendapatan dari perkebunan kelapa sawit. Kesempatan kerja tidak hanya tercipta pada perkebunan sawit saja jika perkebunan kelapa sawit bertumbuh. Pertumbuhan produksi kelapa sawit (CPO) akan menciptakan kesepakatan kerja baru di sektor lain (Tabel 5.12) melalui dampak multiplier dari pertumbuhan CPO itu sendiri di pedesaan.
188
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 5.11. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja pada Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Uraian A. Tenaga kerja pada UKMK Suplier barang/jasa perkebunan sawit B. Tenaga kerja pada Perkebunan kelapa sawit 1. Tenaga kerja (orang) 2. Karyawan Perusahaan Total TK (orang)
2000
2005
2010
2013
15.548
194.177
372.861
396.623
1.360.000 717.916
2.370.000 73261
3.420.000 1.199.552
3.830.000 1.286.347
2.093.464
2.637.438
4.992.413
5.512.970
Tabel 5.12. Sektor-Sektor Ekonomi yang Bertumbuh Penyerapan Tenaga Kerja Jika Produksi Perkebunan Kelapa Sawit Bertumbuh Rank
Sektor-sektor Ekonomi Jasa Pertanian 1 2 Perdagangan, Restoran, Hotel 3 Perternakan, Kesehatan dan Perikanan Tanaman Pangan 4 Transportasi 5 6 Sektor Keuangan Industri Kimia 7 Sektor Lain 8 Sumber: Tabel I-0 Indonesia
Dampak multiplier kesempatan kerja perkebunan kelapa sawit menciptakan kesempatan kerja baru dalam perekonomian dimana sekitar 10 persen terjadi diluar perkebunan kelapa sawit (Amzul, 2011). Jika produksi CPO bertambah (akibat permintaan pasar), kesempatan kerja tidak hanya bertumbuh pada perkebunan kelapa sawit, melainkan juga disektor-sektor lain. Bahkan dampak multiplier pertumbuhan produksi CPO juga meningkatkan kesempatan kerja baru di sektor perkotaan seperti sektor keuangan dan industri kimia. Hal ini menunjukan bahwa perkebunan kelapa sawit merupakan sektor yang efektif mengurangi tingkat pengangguran khususnya dipedesaan. Karakteristik teknologi perkebunan kelapa sawit yang padat karya (labor intensive) dan akomodatif terhadap berbagai keragaman kualitas tenaga kerja seperti penduduk miskin dipedesaan, menjadikan V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
189
perkebunan kelapa sawit menjadi bagian solusi penting untuk mengurangi pengangguran atau memberi kesempatan kerja bagi penduduk miskin pedesaan. 5.3.3. Pendapatan Petani Sawit Meningkat Cepat Untuk mengeluarkan petani dari kemiskinan dan untuk meningkatkan kesejahteraannya, peningkatan pendapatan secara berkelanjutan mutlak diperlukan. Hanya melalui peningkatan pendapatan yang memadai dan sustainable para petani dan keluarganya mampu mencapai kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang lebih baik dan mutu kehidupan yang lebih baik. Pendapatan petani sawit (gambar 5.9) baik plasma maupun petani sawit mandiri pada wilayah Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah bertumbuh cepat. Pendapatan petani dari perkebunan kelapa sawit tergantung berbagai faktor seperti tingkat produktivitas, biaya, skala usaha dan harga jual. Greig-Gran (2008) menemukan bahan pendapatan petani sawit plasma mencapai $ 2100/ha, sementara petani sawit mandiri dengan produktivitas rendah mencapai $ 2340/ha. Sedangkan Stern Review (World Growth, 2011) menemukan pendapatan petani sawit tahun 2007 mencapai $ 960-3340/ha.
Perbandingan Pendapatan Petani (Rp juta/thn) 120
100 80 60
40 20 -
2009 2010 2011 Petani Plasma Petani Mandiri
2012 2013 Petani Non-Sawit
Gambar. 5.9. Perbandingan Pendapatan Petani Sawit Plasma, Mandiri, dan Petani Non Sawit Nasional
190
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
5.3.4
Pertumbuhan Asset Petani Sawit
Aset utama petani (kebun sawit) juga meningkat dengan meningkatnya umur tanaman (Gambar 5.10). Nilai Asset Petani (Rp Juta) 1,000.00 800.00 600.00 400.00 200.00 2009
2010 Plasma
2011 Mandiri
2012
2013
Non Sawit
Gambar 5.10. Pertumbuhan Asset Petani Sawit Nasional
Pertumbuhan asset petani sawit yang demikian menunjukan bahwa kapasitas ekonomi petani sawit dalam menghasilkan pendapatan makin meningkat. Selain itu, mengingat aset petani tersebut merupakan tanaman tahunan produktif yang economic life time-nya sampai 25 tahun, berarti kesinambungan pendapatan petani dan keluarganya akan terjamin (sustainable). Dengan perkataan lain, pendapatan petani sawit bukan hanya relatif besar dan meningkat tetapi juga berkelanjutan (sustainable). Dengan pendapatan yang sustainable tersebut keluarga petani dapat meningkat kesejahteraannya termasuk jaminan kesejahteraan keturunannya dan masa tua petani yang lebih berkualitas. 5.3.5
Pendapatan Rumah Tangga Petani Sawit Lebih Tinggi dari Petani Non Sawit
Jika dibandingkan pendapatan rumah tangga petani sawit dengan rumah tangga petani non sawit secara umum pendapatan petani sawit lebih tinggi dari pendapatan petani non-sawit (Tabel 5.13)
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
191
Pendapatan petani sawit yang lebih tinggi dari pada petani non sawit juga ditemukan Stern Review (World Growth, 2011) yakni petani sawit ($ 960-3340/ha), petani karet ($ 72/ha), petani padi ($ 28/ha), petani ubi kayu (C$ 19/ha) dan petani kayu ($ 1099/ha). Tabel 5.13. Perbandingan Pendapatan Rumah Tangga Petani Sawit dengan Petani Non Sawit (Rp Juta/Tahun)
Petani Plasma Petani Mandiri Petani Non-Sawit
2009
2010
2011
2012
2013
49 48 18
66 55 19
83 75 20
119 100 24
118 102 29
Pendapatan petani sawit yang lebih tinggi dari pendapatan petani non-sawit dapat dimaknai beberapa hal yakni: (1) untuk meningkatkan pendapatan petani, khususnya mengatasi kemiskinan, penggunaan lahan untuk kebun sawit lebih efektif daripada penggunaan untuk tanaman lain; (2) fenomena konversi lahan pertanian ke perkebunan kelapa sawit merupakan fenomena alamiah dan rasional dari sudut pandang kepentingan petani. 5.3.6
Mengatasi Kemiskinan dan Menciptakan Kelas Ekonomi Menengah di Pedesaan
Perbandingan pendapatan petani sawit dengan garis kemiskinan serta pendapatan per kapita nasional (Tabel 5.14) menunjukan bahwa jika dibandingkan pendapatan per kapita petani sawit plasma, petani sawit mandiri telah jauh diatas garis kemiskinan nasional. Bahkan pendapatan petani non sawit disekitar perkebunan kelapa sawit (petani karet, padi, sayuran) juga telah diatas garis kemiskinan meskipun jauh dibawah pendapatan petani sawit plasma maupun petani sawit mandiri. Namun, bila dibandingkan, pendapatan per kapita petani sawit plasma dan mandiri telah mendekati pendapatan per kapita non migas nasional. Bahkan pada beberapa tahun telah melampaui pendapatan per kapita non migas nasional. Berbeda dengan petani sawit, pendapatan per-kapita petani non sawit masih jauh dibawah pendapatan per kapita non migas nasional. Jika pendapatan per kapita non migas nasional dijadikan ukuran tingkat pendapatan menengah (middle income class), maka petani
192
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
sawit baik plasma maupun mandiri telah tergolong pada penduduk Indonesia yang berpendapatan menengah. Dengan fakta empiris ini, perkebunan kelapa sawit Indonesia bukan hanya berhasil menarik para petani keluar dari kemiskinan tetapi juga berhasil menempatkan mereka menjadi penduduk middle income class nasional. Dengan jumlah keluarga petani sawit nasional tahun 2013 berjumlah 3,7 juta keluarga dan dengan rata-rata anggota keluarga (family size) 4 orang, berarti sekitar 14,8 juta orang penduduk Indonesia telah terbebas dari kemiskinan melalui perkebunan kelapa sawit dan bahkan sebagian besar diantaranya berhasil menjadi middle income class nasional meskipun tinggal dikawasan pedesaan. Hasil studi ini mengukuhkan studi (Susila, 2004; Goenadi, 2008; World Growth, 2011; Joni, 2012; Rofiq, 2012) yang mengungkapkan bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia merupakan sektor yang berhasil mengurangi kemiskinan (pro-poor). 5.3.7
Perkebunan Kelapa Sawit Menurunkan Kemiskinan di Pedesaan
Dampak pertumbuhan produksi CPO (akibat peningkatan permintaan CPO) terhadap peningkatan pendapatan (multiplier income) tidak hanya dinikmati pelaku perkebunan kelapa sawit saja melainkan juga dinikmati masyarakat yang bekerja disektor-sektor ekonomi lain (Tabel 5.15). Dari pendapatan yang tercipta dalam perekonomian akibat pertumbuhan CPO, sekitar 64 persen dinikmati pelaku perkebunan kelapa sawit dan sisanya yakni 36 persen dinikmati sektor-sektor lain baik yang ada dipedesaan maupun di perkotaan (Amzul, 2011). Tabel 5.14
Tahun
2009 2010 2011 2012 2013
Perbandingan Pendapatan per Kapita Petani Sawit, Garis Kemiskinan dan Pendapatan per Kapita Nasional (Rp Juta per Kapita) Poverty Line
Rataan Pendapatan Petani Sawit
Kota
Desa
Plasma
Mandiri
2.66 2.79 3.16 3.32 3.46
2.15 2.20 2.68 2.88 3.04
16.00 21.32 29.12 36.70 36.06
14.06 20.36 27.55 31.58 28.76
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
Rataan Pendapatan Petani Non Sawit
Pendapatan per Kapita Non Migas Nasional
5.20 6.12 6.38 6.56 7.36
21.55 24.39 27.66 30,30 33.21
193
Tabel 5.15. Sektor-sektor Ekonomi (Diluar Perkebunan Sawit) yang Meningkat Pendapatannya Akibat Pertumbuhan Produksi CPO Rank Sektor 1 Jasa Lainnya 2 Sektor Keuangan Trade, Restoran, Hotel 3 Basic Chemical, Feirtilizer and Pesticide 4 Transportation 5 Infrastruktur 6 Oil, Gas and Mining 7 Agriculture Infrastruktur 8 Agriculture Service 9 Others Sektor 10 Sumber: Tabel I-O Statistik Indonesia (2008)
Manfaat pertumbuhan produksi CPO (misalnya akibat ekspor) bukan hanya dinikmati pemilik kebun sawit tetapi juga tenaga kerja baik yang bekerja di perkebunan kelapa sawit maupun tenag kerja diluar perkebunan/pertanian (termasuk diperkotaan). Dengan dampak perubahan perkebunan produksi kelapa sawit yang demikian maka peningkatan produksi CPO berkaitan dengan penurunan kemiskinan (Gambar 5.11). Meningkatnya produksi CPO, meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan di daerah pedesaan sehingga menurunkan angka kemiskinan. Peningkatan produksi CPO menurunkan kemiskinan pada kabupaten-kabupaten sentra sawit di Indonesia. Setiap peningkatan produksi CPO sebesar 10 persen, menurunkan persentase penduduk miskin sebesar 7.7 persen.
194
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 Kemiskinan (%) = 32.24 - 1.0 CPO E= -0.77 R2 = 0.89
5.0 -
Gambar 5.11.
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
Pengaruh Produksi CPO terhadap Penurunan Kemiskinan di Sentra Sawit Nasional
Dengan fakta emperis ini, peningkatan produksi CPO baik melalui peningkatan produktivitas, rendemen maupun perluasan kebun didaerah-daerah sentra sawit adalah menurunkan persentase kemiskinan (pro-poor). Oleh karena itu pemerintah daerah perlu memfasilitasi terjadinya peningkatan produksi CPO disentra-sentra sawit, karena akan menurunkan jumlah penduduk miskin didaerah yang bersangkutan. Goenadi (2008) mengemukakan bahwa lebih dari 6 juta orang yang terlibat dalam perkebunan kelapa sawit Indonesia keluar dari kemiskinan. World Growth (2009) mengungkapkan bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia bagian penting dan signifikan dalam mengurangi kemiskinan. 5.4
Kontribusi Industri Minyak Sawit dalam Pelestarian Lingkungan
Dewasa ini, ekosistem planet bumi mengalami kemerosotan mutu lingkungan. Salah satuya adalah terjadinya pemanasan global (global warming) yang telah memicu terjadinya berbagai bentuk perubahan iklim global (global climate change) seperti anomali iklim, banjir, kekeringan dan lain-lain, dan telah menimbulkan berbagai kerugian di berbagai belahan bumi. V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
195
Masalah pemanasan global beserta dampaknya pada perubahan iklim tersebut sudah lama menjadi perhatian masyarakat global. Berbagai forum multilateral telah dibentuk dan bekerja untuk memahami, menjelaskan, dan merumuskan langkah-langkah mitigasi pemanasan global dan dampaknya. Pesannya jelas bahwa semua orang, lembaga organisasi, negara, sektor-sektor pembangunan hendaklah menjadi bagian solusi dari masalah tersebut. Untuk mengatasi masalah pemanasan global secara internasional telah disepakati komitmen untuk: (1) Mengurangi emisi gas rumah kaca dan (2) Menyerap kembali gas rumah kaca (CO 2) dari atmosfir bumi. Untuk kedua cara tersebut, perkebunan kelapa sawit merupakan bagian penting dari solusi. Peranan perkebunan kelapa sawit secara ekologis dan minyak sawit yang bersifat renewable energi dan menghemat emisi, berkontribusi pada upaya pelestarian lingkungan global. 5.4.1
Kebijakan dan Regulasi Tata Kelola Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia yang Berkelanjutan
Untuk mewujudkan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, Indonesia telah memiliki regulasi dan kebijakan tata kelola perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, mulai dari kebijakan nasional, sektoral, daerah sampai pada level perusahaan. Pada level nasional (kebijakan nasional), Indonesia telah memiliki setidaknya 9 Undang-Undang dan 6 Peraturan Pemerintah yang menjadi dasar kebijakan nasional bagi tata kelola dan keberlanjutan perkebunan kelapa sawit (Tabel 5.16). Kemudian untuk kebijakan sektoral Indonesia juga memiliki Peraturan Menteri yang mengatur dan mengelola pembangunan perkebunan kelapa sawit. Pada level perusahaan, tata kelola perusahaan perkebunan kelapa sawit diaplikasikan dalam berbagai variasi penerapan manajemen seperti Good Agriculture Practices, Good Manufacturing Practices, ISO 9001,14000, 2600; SMK3 (Sistem Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja), Good Corporate Governance, ISPO (Indonesian Sustainability Palm Oil), RSPO (RoundTabel Sustainability Palm Oil). Pelaksanaan tata kelola yang demikian mulai dari level kebijakan nasional, sektoral, dan perusahaan, telah berada pada on the right track menuju sustainable palm oil industri yang makin baik.
196
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 5.16. Kebijakan dan Regulasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan di Indonesia Regulasi/ kebijakan I. II.
Undang- undang UU No. 12 Tahun 1992 UU No. 5 Tahun 1960 UU No. 13 Tahun 2003 UU No. 18 Tahun 2004 UU No. 32 Tahun 2009 UU No. 26 Tahun 2007 UU No. 5 Tahun 1990 UU No. 41 Tahun 1999 UU No. 17 Tahun 2004 Peraturan Pemerintah (PP) PP 7/1973 PP 6/1995 PP 85/1999 PP 8/2001 PP 51/2007 PP 31/2009
III.
Peraturan/ Keputusan Menteri No. 33/Permentan/O.T 140/7/2006 No. 98/Permentan/Q.T 140/9/2013 No. 58/Permentan/OT.140/8/2007 No.07/Permentan/OT.140/2/2009 No. 14/Permentan/OT.110/2/2009 No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 No. 1496.1/Kpts/OT.100/10/2003 No. 633/Kpts/OT.140/10/2004
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
Tentang Sistem Budidaya Tanaman Peraturan Dasar Pokok Agraria Ketenagakerjaan Perkebunan Pengelolaan Lingkungan Hidup Penataan Ruang Konservasi SDA Hayati Dan Ekosistemnya Kehutanan Pengesahan Kyoto Protokal To The United Nations Framework Convention On Climate Change Pestisida Perlindungan Tanaman Pengelolaan Limbah Berbahaya Dan Racun Pupuk Budidaya Tanaman Indikasi Geografis Perlindungan Wilayah Geografis Penghasil Produk Perkebunan Spesifik Revitalisasi Perkebunan Pedoman Izin Usaha Perkebunan. Sistem Standarisasi Nasional Pertanian/Perkebunan. Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan. Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budi daya Perkebunan. Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (ISPO). Klasifikasi Perusahaan Perkebunan. Pedoman Kriteria Dan Standarisasi Klasifikasi Kimbun
197
IV. Level Perusahaan Good Agriculture Practices Good Manufacturing Practices ISO 9001 (Quality Management System) ISO 14000 (Environmental Management Standar) ISO 26000 (Corporate Social Responsibility) SMK 3 (Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja) ISPO/RSPO Good Corporate Governance Sumber: Kementerian Pertanian
Sejak diberlakukannya ISPO tahun 2011, secara bertahap perusahaan perkebunan kelapa sawit telah dan sedang memperoleh sertifikasi ISPO dan RSPO. Pelaksanaan ISPO di Indonesia bersifat mandatory sehingga seluruh perkebunan kelapa sawit harus melaksanakan ISPO. Sedangkan RSPO bersifat sukarela, namun banyak perusahaan yang sudah dan sedang proses sertifikasi RSPO. 5.4.2
Asal Usul Lahan Perkebunan Kelapa Sawit dari Degraded Land dan Low-Carbon
Selama ini berkembang opini global (oleh LSM transnasional ) yang mengatakan bahwa perkebunan kelapa sawit Indonesia adalah dari konversi hutan primer. Opini dan tuduhan tersebut perlu di buktikan secara empiris apakah benar atau salah. Hasil analisis penutupan lahan (Land Cover) citra satelit yang dilakukan CIFOR (Gunarso et al.,2012) menunjukan bahwa tidak benar bahwa lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia sebagaian besar berasal dari hutan primer (Gambar 5.12). Sumber lahan untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebagian besar bersumber dari lahan degraded land dan low-carbon, seperti lahan terlantar (waste land), lahan pertanian, hutan rusak dan tanaman industri.
198
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Lahan Terlantar 43.45% Lahan Pertanian 14.40% Disturbed Forest 26.55% Tanaman Industri 12.60%
Unsdisturbed Forest 3.00%
Sumber: Gunarso et al., 2012 Gambar 5.12. Asal Usul Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia Tahun 1990-2012
Dalam periode tahun 1990-2010, terjadi tambahan luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia seluas 6.7 juta hektar. Berdasarkan citra satelit tersebut, sebesar 43 persen berasal dari lahan terlantar (waste land), dari lahan pertanian (14 persen ), lahan hutan tanaman industri (12%). Sumber lahan untuk perkebunan kelapa sawit dalam periode tersebut adalah umumnya dari degraded land dan lowcarbon. Hasil penelitian Gunarso et al., (2012) tersebut mematahkan hasil kajian Koh and Wilcove, (2008) yang mengatakan bahwa 67 persen perkebunan kelapa sawit Indonesia berasal dari konversi hutan primer Hasil citra satelit tersebut dapat dikonfirmasi dengan data tata guna lahan di Indonesia (Tabel 5.17). Indonesia memiliki land area seluas 189.63 juta hektar dari total land area sebagian besar yakni 136 juta hektar adalah hutan (72 persen dari total land area). Dari luas hutan tersebut sekitar 54 juta hektar adalah hutan lindung dan hutan konservasi (tropical virgin forest). Hutan lindung dan konservasi sesuai undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan diperuntukan untuk pelestarian biodiversity baik fauna (Orang Utan, Mawas, Harimau, Gajah, Badak, Aneka Burung, dll), flora (aneka ragam tumbuhan) serta konservasi tanah dan air. Keberadaan hutan tersebut khususnya hutan lindung dan hutan konservasi harus dilindungi, dijaga, dan dirawat keberadaannya karena memiliki fungsi ekologis (biodiversity) yang tidak tergantikan. Selain itu, sebagai tropical virgin forrest, hutan lindung dan hutan konversi merupakan stok karbon global.
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
199
Tabel 5.17. Perubahan Penggunaan Lahan untuk Hutan, Perkebunan dan Penggunaan Lain di Indonesia (Juta Hektar) Land Use
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Hutan Lindung Hutan Suaka Alam Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Tetap Hutan Buru Hutan Produksi Dapat Dikonversi
31.7 23.1 22.9 36.0 23.0
31.8 23.6 21.7 35.8 14.1
31.6 23.3 22.5 36.6 0.2 22.8
31.6 23.3 22.5 36.7 0.2 22.8
31.6 23.3 22.4 36.7 0.2 22.7
31.6 23.3 22.4 36.7 0.2 22.7
32.0 24.4 22.8 33.9 0.2 21.0
32.2 26.1 22.8 34.1 20.9
Total Hutan Perkebunan sawit Perkebunan Lain Pertanian dan Pemukiman
136.7 5.3 12.3 35.3
127.0 5.4 12.5 44.7
137.1 6.6 12.02 33.88
137.1 6.7 12.2 33.66
136.9 7.4 11.9 33.44
136.9 7.8 12.2 32.7
134.3 8.4 12.1 34.8
136.2 9.0 12.3 32.1
Total Land Area
189.6
189.6
189.6
189.6
189.6
189.6
189.6
189.6
-
Sumber: BAPPENAS (2013), Statistik Indonesia dan Kementerian Pertanian (2013)
GAPKI -
200
Luas perkebunan kelapa sawit pada tahun 2011 hanya 9 juta hektar atau hanya 4 persen dari Land Area, bahkan lebih rendah dari lahan padi di Indonesia yang luasnya 13.4 juta hektar maupun perkebunan lainnya (12 juta hektar). Dengan fakta yang demikian adalah tidak berdasar tuduhan yang menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit Indonesia menggerogoti hutan. Luas hutan di Indonesia relatif stabil pada 136 juta hektar sementara perkebunan kelapa sawit baru mencapai 9 juta hektar. Perlu dicatat bahwa sebagian besar hutan lindung di Indonesia berada pada ketinggian wilayah (dari permukaan laut) yang sudah diluar comfort zone kelapa sawit (dataran tinggi). Dengan kata lain, hutan dan perkebunan kelapa sawit hidup berdampingan pada tempat masing-masing. Keduanya bagian penting dari upaya pelestarian lingkungan khususnya penyerapan CO2 ekosistem global. 5.4.3
Perkebunan Kelapa Sawit Berfungsi Ekologis
Secara ekofisiologis (Tabel 5.18) berbagai indikator menunjukkan bahwa hutan dengan perkebunan kelapa sawit memiliki karakteristik ekofisiologi yang mirip. Dari fungsi tata air misalnya (evapotranspirasi, cadangan air tanah, penerusan curah hujan, laju infiltrasi dan kelembaban) hutan tropis sama dengan perkebunan kelapa sawit. Keunggulan hutan tropis adalah dalam hal stok karbon (total biomass) yang mencapai empat kali lipat dari pada stok karbon pada perkebunan kelapa sawit. Tingginya stok karbon pada hutan tersebut mencerminkan besarnya volume biodiversity hutan. Oleh karena itu hutan difungsikan terutama sebagai pelestarian biodiversity dan penyimpan stok karbon. Untuk indikator laju penyerapan CO2 dari atmosfir bumi, perkebunan kelapa sawit justru lebih unggul dibandingkan hutan. Berbagai indikator laju penyerapan CO2 dari atmosfir bumi seperti efisiensi fotosintesis, efisiensi konversi energi matahari, asimilasi netto, produksi oksigen, perkebunan kelapa sawit lebih unggul dibanding hutan. Akibatnya, incremental biomass dan produktivitas bahan kering per tahun perkebunan kelapa sawit lebih unggul dibandingkan dengan hutan. Dengan keunggulan masing-masing perkebunan kelapa sawit dan hutan yang demikian justru menguntungkan upaya pelestarian ekosistem global, asal ditempatkan pada fungsi dan ruang yang tepat. Hutan memang harus difungsikan sebagai pelestarian biodiversity dan stok karbon. Sementara untuk menyerap kembali CO2 atmosfir bumi (agar konsentrasi GHG atmosfir bumi tidak meningkat), merupakan keunggulan fungsi ekologis perkebunan kelapa sawit. Dengan demikian hutan dan kelapa sawit adalah dua sub ekosistem yang berkontribusi pada pelestarian ekosistem global.
201
Industri Minyak Sawit Indonesia Tahun 2050. Kado 100 Tahun NKRI
Tabel 5.18. Perbandingan Ekofisiologi Perkebunan Kelapa Sawit dengan Hutan Tropis
Asimilasi kotor (ton CO2/ha/tahun)
163.5
Perkebunan Kelapa Sawit 161.0
Total respirasi (ton CO2/ha/tahun)
121.1
96.5
Asimilasi neto (ton CO2/ha/tahun)
42.4
64.5
7.3
5.6
Efisiensi fotosintesis (%)
1.73
3.18
Efisiensi konversi radiasi (g/mj)
0.86
1.68
Total biomas di area (ton/ha)
431
100
Incremental biomas (ton/ha/tahun)
5.8
8.3
Produktivitas bahan kering (ton/ha/tahun)
25.7
36.5
Produksi oksigen (O2) (ton O2/ha/tahun)
7.09
18.70
1560-1620
1610-1750
59-727
75-739
85
87
30-90
10-30
90-93
85-90
Indikator
Indeks luas daun
Evapotranspirasi (mm/tahun) Cadangan air tanah s/d kedalaman 200 cm (mm) Penerusan curah hujan ke permukaan tanah (%) Laju infiltrasi lapisan solum 0-40 cm
(ml/cm3/menit)
Kelembaban udara (%) Sumber: Henson (1999), PPKS (2004,2005)
V. Peranan Persawitan dalam Perekonomian IndonesiaGAPKI -
Hutan Tropis
202
5.4.4 Perkebunan Kelapa Sawit Menyerap CO2 dari Atmosfir Bumi Pemanasan global merupakan fenomena meningkatnya temperatur udara atmosfir bumi akibat peningkatan intensitas efek rumah kaca (green house effect) pada atmosfir bumi. Peningkatan efek rumah kaca tersebut disebabkan oleh meningkatnya kosenterasi gas-gas rumah kaca (green house gases) yang melampaui konsenterasi alamiahnya sedemikian rupa, sehingga panas matahari makin banyak terperangkap pada atmosfir bumi (Kiehl, et al., 1957; IPCC, 1991,20012007; Isaac and Brian, 2000; Hansen et al., 2000; IEA 2009, 2010, 2012; World Bank, 2010; Sumarwoto, 1992). Gas-gas rumah kaca yang dimaksud antara lain karbondioksida (CO2), methane (CH4), Nitrous Oxide (NxO), dan gas buatan manusia. Konsenterasi gas CO2 (yang merupakan komponen terbesar gas rumah kaca di atmosfir bumi), telah mengalami peningkatan dari 280 ppmv tahun 1800-an menjadi 353 ppmv tahun 1990-an (IPCC, 1991) dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 379 ppmv (IEA, 2012). Sumber emisi CO2 gobal berasal dari aktivitas manusia yakni energi (56 persen), pertanian (13,8 persen), industri (14,7 persen), land use change (12,2 persen), dan limbah (3.2 persen. (IEA, 2011). Kontribuor terbesar (Top Ten Emiter) emisi CO2 adalah Cina, USA, India, Rusia, Jepang, Jerman, Iran, Kanada, Korea Selatan, Inggris. Top ten emiter dunia tersebut mencapai 65 persen dari total emisi CO2 global tahun 2010. Pangsa Indonesia dalam total emisi CO2 global hanya 1.3 persen (IEA, 2012). Sektor pertanian global juga merupakan sumber emisi CO2 (setara CO2) baik dari pemupukan (NxO), peternakan (CH4), maupun land use change (CO2), dan lain-lain. Top Six emitter CO2 pertanian global (FAPRI, 2012) adalah Cina, Brazil, India, USA, European Union dan Argentina, dengan kontribusi 70 persen dari total emisi GHG pertanian global. Kontribusi pertanian Indonesia hanya sekitar 2.7 persen. Secara alamiah (diciptakan Tuhan) tumbuhan hijau merupakan bagian penting dari pelestarian daur (cycle) karbondioksida (CO2), oksigen (O2) dan air (H2O) dalam ekositem planet bumi. Dengan perkataan lain pertanian (tanaman) memiliki fungsi ekologis. Adanya fungsi ekologis pertanian yang demikian merupakan bagian dari multifungsi pertanian yang sudah lama diketahui (OECD, 2001; Huylenbroek, et al. 2007). Kelapa sawit merupaka tanaman ideal yang mengkonversi fotosintesis (potosynthetically active radiation, PAR) menjadi biomas V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
203
(Fairhurst and Hardter, 2005). Selama proses asimilasi, tanaman kelapa sawit menyerap karbondioksida (CO2) dari atmosfir bumi dan melepas oksigen (O2) ke atmosfir bumi. Pada saat respirasi kelapa sawit melepas CO2 dan secara neto (fotosintesis/asimilasi minus respirasi) kelapa sawit adalah penyerap CO2 dari atmosfir bumi (Hansen, 1999; Fairhurst and Hardter, 2005). Fiksasi neto CO2 dari atmosfir bumi, menjadi biomas pohon kelapa sawit. Chan (2002) mengukur produksi biomas perkebunan kelapa sawit (standing biomass) dan jumlah kandungan karbon pada berbagai umur kelapa sawit (Tabel 5.19). Tabel 5.19. Volume Standing Biomas dan Jumlah Karbon Terfiksasi dari Atmosfir Bumi pada Berbagai Umur Kelapa Sawit Standing Biomas Umur Karbon (Ton/ha) (Tahun) (Ton/ha) 1-3 14.5 5.80 4-8 40.3 16.12 9-13 70.8 28.32 14-18 93.4 37.36 19-24 113.2 45.28 >25 104.5 41.00 Sumber:Chan, K.W (2002). Oilpalm Carbon Sequestration and Carbon Accounting: Our Global Strengh. MPOA.
Dibandingkan dengan hutan tropis, jumlah karbon yang terfiksasi dalam biomas hutan tropis (in circulation and annual increment) relatif sama. Perbedaannya adalah annual increment fiksasi carbon pada kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan pada hutan tropis, karena huan tropis sudah pada fase steady-state (asimilasi sama dengan respirasi), sementara kelapa sawit masih bertumbuh (asimilasi > respirasi). Dengan perkataan lain, untuk menyerap kembali CO2 dari atmosfir bumi, perkebunan kelapa sawit jauh lebih unggul dari pada hutan. Dengan menggunakan standing biomas dan jumlah karbon hitungan Chan (2002) dapat ditunjukan jumlah karbon yang diserap perkebunan kelapa sawit Indonesia (Gambar 5.13). Volume fiksasi karbon perkebunan kelapa sawit Indonesia meningkat dari 30,34 juta ton tahun 1990 menjadi 200 juta ton tahun 2010, akibat peningkatan luas areal maupun perubahan komposisi umur kelapa sawit. Selain itu, perkebunan kelapa sawit juga menghasilkan oksigen (O2) yang diperlukan bagi kehidupan di planet bumi. Volume O2 yang dihasilkan perkebunan kelapa sawit 18,7 ton 204
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
O2/Ha/tahun, yang lebih besar dibandingkan hutan tropis sekunder yang hanya 7,09 ton/Ha/tahun (Hansen, 1999; Harahap, et al., 2005). 200.31
30.34
1990
2010
Gambar 5.13. Volume Karbon yang Diserap Secara Netto pada Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1990 dan 2010 (Juta Ton Karbon)
Atmosfir bumi CO2 CO2
CO2 CHINA
USA
EROPA CO2
O2
+ CPO
Perkebunan sawit Indonesia O2 + Minyak Sawit
Gambar 5.14. Peranan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia dalam Menyerap CO2 Global
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
205
5.4.5 Perkebunan Kelapa Sawit Mengurangi Emisi GHG Degraded Peat Land Lahan gambut (peat land) menyimpan carbon stok yang perlu dilestarikan. Lahan gambut di Indonesia hanya sekitar 7 persen dari luas lahan gambut dunia yang luasnya 381 juta hektar. Sekitar 44 persen lahan gambut global berada di kawasan Eropa dan Rusia, Amerika (40 persen) dan sisanya (9 persen) di negara-negara lain (Joosten, 2008). Secara alamiah lahan gambut menghasilkan emisi GHG khususnya CO2, CH4 dan NxO dari proses dekomposisi bahan organik dan kehidupan organisma yang hidup dilahan gambut (Perish, et al., 2007, Fahmuddin et al., 2008). Besarnya emisi GHG lahan gambut sangat bervariasi tergantung berbagai variabel seperti bahan induk gambut, land cover, vegetasi, manajemen drainase, teknik budidaya (Oleszczuk, et al., 2008, Kheong et al., 2010, Melling et al.,2005, 2007, 2010, Hirano, et al., 2007, 2011; Kohl, et al., 2011, Jauhiainen, et al, 2004), dan tergantung metodologi pengukuran emisi, flux approach atau stock approach (Khoon, et al, 2005). Meningkatkan kebutuhan lahan untuk pertanian global, menyebabkan lahan gambut juga dimanfaatkan. Sekitar 78 persen lahan gambut dunia telah dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian, dimana 88 persen berada pada lahan gambut non-tropis dan 12 persen di daerah tropis (Strack, 2008). Lahan gambut di Indonesia yang layak digunakan untuk pertanian (dengan syarat yang ditetapkan pada Peraturan Menteri Pertanian No. 14/ Permentan/ PL.110/ 2/ 2009) hanya sekitar 6 juta hektar (Fahmudin, et al., 2008). Penelitian emisi GHG lahan gambut tropis di Indonesia dan Malaysia sudah banyak dilakukan antara lain Murayama dan Bakar (1996), Hadi et al., (2001), Melling et al., 2005, 2007, Germerand Souaerborn, 2008, Sabiham et al., (2012) dan Sabiham, 2013. Hasil-hasil empiris tersebut mengungkapkan bahwa: (1) emisi GHG bervariasi baik akibat variasi lahan gambut maupun perbedaan vegetasi dan tata air ; (2) pada kondisi alamiah lahan gambut (hutan gambut tropis, hutan gambut sekunder) menghasilkan emisi GHG dan (3) lahan gambut yang ditanami kelapa sawit dapat mengurangi emisi GHG. Hasil empiris (Tabel 5.20) menunjukan bahwa emisi GHG perkebunan kelapa sawit di lahan gambut lebih rendah dari emisi GHG lahan/hutan gambut sekunder maupun primer. Bukti empiris ini sekaligus mengoreksi pandangan (umumnya LSM) yang menyatakan
206
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
bahwa perkebunan kelapa sawit di lahan gambut meningkatkan emisi CO2 gambut. Tabel 5.20. Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut Menurunkan Emisi CO2 Lahan Gambut ( Degraded Peat Land) Land Use Peat land Hutan gambut primer Hutan gambut sekunder Kelapa sawit gambut Kelapa sawit gambut Kelapa sawit gambut Kelapa sawit gambut
Emisi Ton CO2/ha/ Tahun 78,5 127,0 57,6 55,0 54,0 31,4
Peneliti Melling, et al., (2007) Hadi, et al., (2001) Melling, et al., (2007) Melling, et al., (2005) Murayama & Bakar (1996) Germer and Sauaerborn (2008)
Jika bukti empiris dikombinasikan dengan pertumbuhan karbon stok dari standing biomass perkebunan kelapa sawit (Chan, 2002) terdahulu, maka perkebunan kelapa sawit dilahan gambut bukan hanya mengurangi emisi CO2 tetapi juga meningkatkan stok karbon pada ekosistem lahan gambut. Stok karbon diperkebunan lahan gambut meningkat dengan meningkatnya umur tanaman (Sabiham, 2013). Lahan gambut di Indonesia sekitar 80 persen dikategorikan lahan gambut rusak (degraded peat land) (Joosten, 2008). Oleh karena itu pemanfaatan lahan gambut tersebut untuk perkebunan kelapa sawit (dengan kultur teknis yang sustainable) dapat menjadi alternatif penting untuk merestorasi/ rehabilitasi lahan gambut, setidaknya menurunkan emisi GHG lahan gambut. Berdasarkan penjelasan tentang ekosistem perkebunan kelapa sawit sebelumnya, dapat dijelaskan bahwa perkebunan kelapa sawit Indonesia merupakan bagian solusi dari pelestarian lingkungan global. Dengan melihat dunia pada satu ekosistem, emisi CO2 dari top ten emmiten dari negara-negara maju didaur ulang oleh Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia menjadi oksigen dan sebagian disimpan dalam bentuk biomass dan sebagian lagi dirubah menjadi CPO. Oksigen dari kelapa sawit di-supply ke atmosfir bumi secara gratis, sementara CPO disupply ke sejumlah negara untuk bahan pangan maupun untuk energi pengganti fossil-fuel.
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
207
5.4.6 Pelestarian Biodiversity pada Perkebunan Kelapa Sawit Meskipun perkebunan kelapa sawit secara tata ruang dan fungsi bukan untuk pelestarian biodiversity, perkebunan kelapa sawit di Indonesia juga ikut melestarikan biodiversity baik fauna maupun flora (Tabel 5.21 dan 5.22) melalui mekanisme sebagai berikut: (1) Sebagian HGU perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang tidak layak untuk budidaya (topografi, sungai, sumber mata air, dll) dijadikan sebagai tempat pelestarian biodiversity (high conservation value); (2) Perkebunan kelapa sawit yang merupakan standing biomass setidaknya selama 25-30 tahun (sebelum di replanting) merupakan tempat hidup berbagai ragam flora maupun fauna; (3) Perkebunan kelapa sawit itu sendiri secara built-in merupakan cara pelestarian biodiversity (tanaman kelapa sawit itu sendiri) termasuk multifungsi (ekonomi, sosial, ekologis) yang melekat pada perkebunan kelapa sawit secara lintas generasi. Bukankah jenis-jenis tanaman yang lestari pada zaman sekarang adalah jenis tanaman yang dibudidayakan secara global dan turun temurun? Dan bukankah berbagai flora dan fauna yang telah punah atau terancam punah di planet bumi adalah karena tidak dibudidayakan manusia? Dari segi pemanfaatan dan pelestarian multifungsi dari biodiversity, kelapa sawit adalah suatu contoh yang dapat dipelajari makna dari pentingnya plasma nutfah. Dari empat biji yang ditanam di Kebun Raya Bogor tahun 1848, melalui pemanfaatan dan pelestarian multifungsinya, manfaat sosial, ekonomi dan ekologisnya dapat dinikmati secara lintas generasi, lintas suku/bangsa/negara seperti saat ini.
208
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 5.21.Berbagai Fauna di Areal HGU Perkebunan Kelapa Sawit Nama Daerah MAMALIA Rindil bulan Tupai kecil Tuoai Tupai akar Codot kecil kelabu Codot sayap totol Kukang bukang Trenggiling peusing/ahom Monyet kra Monyet beruk Owa kalawat Bajing kelapa Bajing gunung Bajing tanah moncong runcing Landak raya Angkis ekor panjang Beruang madu/behuang Sigung Musang Macan akar Babi Pelanduk kancil Kijang muntjak BURUNG Bambangan hitam Elang ikan kepala kelabu Elar ular bido Elang hitam Elang bondol Puyuh kepala merah Puyuh sengayan/sio Sempidan biru/belonge Kareo padi Trinil Punai kecil Punai Tekukur Delimukan zamrud Bayan Srindit melayu Bubut alang-alang Beluk ketupa Kukuk beluk Taktarau melayu Walet sapi
Nama Latin
Nama Daerah Pekaka emas Echionoserex gymnurus Raja udang meninting Tupaia minor Cekakak batu Ptilocercus lowii Kangkareng perut-putih Tupaia glis Takur warna-warni Pentethor lucasii Takur tenggaret Balionycteris maculata Takur ampis Nycticebus coucang borneanus Pelatuk besi Manis javanica Caladi batu Macaca fascicularis Sempur hujan sungai Macaca nemestrina Cica daun kecil Hylobates muelleri Cica daun besar Callosciurus laticaudatus Merbah Dremomys everetti Srigunting Rhinosciurus laticaudatus Srigunting gagak Hystrix brachyura Kacer Trichys fasciculata Murai batu Helarctos malayanus Cinenen kelabu Mydaus javanensis Sikatan rimba dada kelabu Paradoxurus hermaphroditus Sikatan hijau laut Felis bengalensis Sikatan belang Sus sp. Kipasan mutiara Tragulus javanicus Kipasan belang Muntiacus muntjak Seriwang asia Kerak jambul Dupetor flavicollis Tiong emas Ichthyophaga ichthyaetus Burung madu sepah raja Spilornis cheela Pijantung kecil Ictinaetus malayensis Pijantung besar Haliastur indus Cabai tunggir coklat Haematortyx sanguiniceps Kacamata biasa Rollulus rouloul Bondol kalimantan Lophura ignita Burung gereja Amaurornis phoenicurus REPTIL Tringa sp Kobra Treron olax Ular banyu Treron sp. Biawak Streptopelia chinensis Ular belang Chalcophaps indica Ular Tanah Tanygnathus sp Ular daun Loriculus galgulus Toke Centropus bengalensis Kadal Ketupa ketupu Labi-labi Strix leptogrammica Kura-kura Eurostopodus temminckii Senyulong Collocalia esculentra
Nama Latin Pelargopsis capensis Alcedo meninting Lacedo pulchella Anthracoceros albirostris Megalaima mystacophanos Megalaima australis Calorhamphus fuliginosus Dinopium javanenses Meiglytes tristis Cybirhynvhus macrorhynchus Chloropsis cyanopogon Chloropsis sonnerati Pycnonotus goiavier Dicrurus panadiseus Dicrurus annectans Copsychus saularis Copsychus malabaricus Orthotomus ruficeps Rhinomyas umbratilis Eumyas thalassina Ficedula wastermanni Rhipdura perlata Rhipdura javanica Terisphone paradisi Acridotheres cristatellus Gracula rellgiosa Aethopyga siparaja Arachnothera longilostra Arachnothera robusta Diaceum everetti Zosterops palpebrosus Lonchura fuscans Passer montanus Naja sp. Phynton reticulatus Varanus boornensis Bungarus cancidus Calloselasma rhodostoma Dryophis prasinus Gekko gecko Mabouya multifasciata Chitra indica Orlitia boornensis Tomistoma schlegelii
Sumber: Thohari (2010)
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
209
Tabel 5.22.Berbagai Flora di Areal HGU Perkebunan Kelapa Sawit Nama Daerah
Nama Latin
Status
Ulin
Eusideroxylon zwageri
Jelutung Meranti tembaga Ramin
Dyera costulata
Dilindungi (PP no.7 tahun 1999) Vulnerable (IUCN) Dilindungi (PP no.7 tahun 1999)
Shorea leprosula
Endangered (IUCN)
Gonystylus bancanus
Vulnerable (IUCN)
Mersawa Kantung Semar Kantung Semar
Anisoptera grossivenia Nepenthes ampullaria type green Napenthes maxima type green
Vulnerable (IUCN)
5.4.7
Dilindungi (PP no.7 tahun 1999) Dilindungi (PP no.7 tahun 1999)
Industri Minyak Sawit Hemat Sumberdaya dan Minimum Polusi
Kebutuhan minyak nabati untuk konsumsi masyarakat global akan meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk maupun pertumbuhan ekonomi. Sementara ketersediaan lahan untuk produksi minyak nabati global makin terbatas baik di negara maju maupun dinegara-negara berkembang. Solusinya adalah masyarakat global harus memilih minyak nabati yang memiliki produktivitas per satuan luas lahan yang lebih tinggi (hemat lahan). Perkebunan kelapa sawit dibandingkan dengan jenis minyak nabati lainnya, merupakan minyak nabati yang hemat sumberdaya lahan (Tabel 5.23). Untuk menghasilkan 1000 ton minyak nabati, perkebunan kelapa sawit hanya memerlukan lahan seluas 234 hektar. Sementara jenis tanaman minyak nabati lainnya memerlukan lahan yang lebih luas yakni soybean (2.222 Ha), rapeseed (1.449 Ha) dan sunflower (1.923 Ha).
210
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 5.23. Kebutuhan Lahan untuk Menghasilkan 1000 Ton Minyak Nabati dari Berbagai Jenis Minyak Nabati Global. Jenis minyak nabati
Produktivitas minyak (ton/ha)
Soybean Rapeseed Sunflower Groundnuts Coconut Cotton Palm oil Sumber: Oil World , 2010
0,45 0,69 0,52 0,45 0,34 0,19 4,27
Kebutuhan lahan untuk 1000 ton minyak nabati (ha) 2.222 1.449 1.923 2.222 2.941 5.263 234
Selain hemat lahan, perkebunan kelapa sawit juga lebih hemat input (seperti pupuk, pestisida maupun energi) dan minimal polusi/emisi yang masuk ke air dan ke dalam tanah (Tabel 5.24). Perkebunan kelapa sawit lebih hemat pupuk (N, P) dibanding dengan soybean dan rapeseed. Demikian juga dalam penggunaan energi, perkebunan kelapa sawit lebih hemat dibandingkan minyak nabati lainnya. Tabel 5.24.Perbandingan Penggunaan Input dan Polusi Air/Tanah antara Perkebunan Kelapa Sawit dengan Minyak Nabati Lain untuk Per Ton Minyak Nabati yang Dihasilkan Indikator Input N (kg) Phosphorus (kg P2O5) Pesticide/Herbicide (kg) Energi (GJ) Polusi ke Air/Tanah N (kg) Phosphorus (kg P2O5) Pesticide/Herbicide (kg) Sumber: FAO (1996)
Kelapa Sawit
Soybean
Rapeseed
47 8 2 0.5
315 77 29 2.9
99 42 11 0.7
5 2 0.4
32 23 23
10 13 9
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
211
Pada perkebunan kelapa sawit untuk setiap penggunaan satu GJ energi fosil-fuel dapat menghasilkan energi/minyak nabati sebesar 2 ton. Sementara dari soybean hanya diperoleh 0,34 ton minyak dan 1,4 ton minyak rapeseed. Hal ini bermakna bahwa dalam upaya internasional menghemat penggunaan energi fosil maka penggunaan energi fosil untuk produksi minyak sawit dapat menjadi pilihan rasional. Polusi atau emisi penggunaan pupuk (N, P) dan pestisida ke air maupun tanah, perkebunan kelapa sawit lebih rendah/minimum dibandingkan dengan soybean dan rapeseed. Fakta ini berarti proses produksi minyak sawit jauh lebih ramah lingkungan dibandingkan soybean dan rapeseed. Selain sumberdaya lahan dan penggunaan input, masalah penggunaan air juga perlu dilihat. Dewasa ini masalah kelangkaan air juga menjadi perhatian masyarakat dunia. Selama ini berkembang opini kehadiran perkebunan kelapa sawit dituduh menghisap banyak air sehinggga membuat kering daerah sawit. Opini ini perlu dibuktikan berdasarkan fakta emperis. Tebu (sugar cane) merupakan jenis tanaman biofuel yang paling hemat menggunakan air untuk setiap satuan energi yang dihasilkan (Tabel 5.25). Urutan kedua terhemat adalah minyak sawit, kemudian disusul sunflower dan soybean. Jagung dan ubi kayu ternyata lebih banyak menggunakan air. Tanaman rapeseed adalah yang paling boros menggunakan air. Tabel 5.25. Konsumsi Air (Water Footprint) dari Berbagai Jenis Tanaman Biofuel Jenis Tanaman Cassava Coconut Maize Palm oil Soybean Sugarcane Sunflower Rapeseed Sumber: Garbens – Leenes et al., (2009)
212
Kisaran (m³/GJ)
Rataan (m³/GJ)
30 – 205 49 – 203 9 – 200 75 61 – 138 25 – 31 27 – 146 67 – 214
118 126 105 75 100 28 87 184
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Dengan fakta tersebut menunjukan bahwa perkebunan kelapa sawit adalah salah satu tanaman biofuel yang hemat air. Lebih hemat daripada soybean, rapeseed, cassava maupun jagung. Dengan demikian opini yang menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit adalah rakus air, tidak didukung fakta atau tidak benar. Penggunaan biodiesel minyak sawit sebagai pengganti diesel (fossil-fuel) juga menurunkan emisi GHG sebesar 62 persen dari emisi GHG diesel. Pengurangan emisi GHG tersebut lebih besar pada minyak sawit dibandingkan minyak nabati lainnya. (Gambar 5.15). Hal ini berarti semakin besar blending biodiesel minyak sawit dalam konsumsi diesel global, semakin berkurang emisi GHG global. Sebagian besar produksi CPO Indonesia dipasok keseluruh negara dunia. Jika minyak sawit tersebut digunakan sebagai biodiesel untuk mensubsitusi fossil-fuel (khususnya di negara-negara yang konsumsi fossil-fuel tinggi seperti Uni Eropa, USA, dan negara lain) akan mengurangi emisi CO2 global. Penggantian fosil-fuel (diesel) dengan palm oil diesel dapat mengurangi 62 persen emisi CO2 dibandingkan diesel. Dengan demikian, perkebunan kelapa sawit merupakan bagian solusi dari upaya mengurangi peningkatan emisi CO2 global melalui dua cara, yakni: Pertama, menyerap CO2 dari atmosfir bumi (dari emisi yang dihasilkan masyarakat dunia); dan Kedua, mengurangi emisi CO 2 global melalui subsitusi diesel (fossil-fuel) dengan palm oil diesel. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
88
58
45
Rapeseed Biodiesel
62
40
Soybean Biodiesel
Sunflower Biodiesel
Palm Oil Biodiesel (methane capture)
Waste Cooking Oil/Vegetable Oil
Sumber: European Commission Joint Research Centre Gambar 5.15. Pengurangan Emisi CO2 dari Palm Oil Biodiesel Sebagai Pengganti Fosil-Diesel Dibandingkan Sumber Biodiesel Lainnya (persen) V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
213
214
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
BAB VI INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA 2050
Dalam merumuskan industri minyak sawit Indonesia 2050 mengadopsi paradigma bahwa sebagai produsen terbesar minyak sawit dunia, Indonesia berkesempatan untuk mendefinisikan secara by design “Mau Seperti Apa Industri minyak sawit Indonesia 2050”, dan bukan ditentukan oleh negara- negara dunia. Bahwa perubahan lingkungan strategis global yang akan terjadi menuju tahun 2050 mempengaruhi peluang industri sawit Indonesia tentu saja benar dan perlu dipertimbangkan untuk merumuskan mau kemana industri minyak sawit Indonesia kedepan. Namun point of view yang seharusnya dimiliki Indonesia sebagai terbesar produsen industri sawit (sebagaimana digunakan dalam buku ini) adalah industri minyak sawit Indonesia harus memimpin perubahan dan mengendalikan pasar minyak sawit dunia dan bukan sebaliknya yakni pasar minyak sawit dunia menentukan industri minyak sawit Indonesia. Sudut pandang yang demikian menjadi dasar penyusunan cetak biru industri minyak sawit Indonesia 2050. 6.1 Asumsi - Asumsi Kebutuhan CPO domestik 2015-2050 difokuskan pada upaya memenuhi kebutuhan produksi biodiesel untuk secepat mungkin mengganti (mengurangi) konsumsi solar/diesel untuk ketahanan dan keberlanjutan energi dan pegurangan laju emisi GHG dari konsumsi solar. Hal ini sangat penting mengingat ketergantungan Indonesia pada solar impor makin tinggi untuk memenuhi kebutuhan solar dalam negeri baik akibat pertumbuhan ekonomi maupun pertambahan jumlah penduduk. Volume konsumsi solar Indonesia meningkat dari 39.4juta kl (2013) naik menjadi 50.94 juta kl (2020) kemudian menjadi sekitar 100 juta kl (2050). Menurut proyeksi US Energy Information Administration(2008), harga crude oil dunia diperkirakan naik menjadi U$ 300/barrel atau sekitar U$ 2/liter (berdasarkan harga tetap tahun 2009). Hal ini berarti resiko ekonomi yang akan dihadapi Indonesia makin besar di masa yang akan datang jika tidak ada upaya yang fundamental untuk mengurangi ketergantungan pada solar. Mempercepat subsitusi solar dengan biodiesel asal minyak sawit VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050
215
(FAME) diharapkan menjadi salah satu solusi untuk membangun kemandirian energi kedepan. Kebutuhan CPO untuk biodiesel mengikuti kebijakan mandatori dengan skedul dan volume yang telah direncanakan selama ini (PERMEN ESDM No. 32/2008). Namun antisipasi percepatan mandatory biodiesel juga dilakukan sedemikian rupa sehingga setelah tahun 2030 diharapkan Indonesia sudah memasuki mandatory B40. Selain itu kebutuhan CPO juga memperhatikan kebutuhan minyak goreng, margarine, sabun dan detergen sesuai dengan pertambahan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Hal yang penting lagi, hilirisasi CPO didalam negeri untuk meningkatkan nilai tambah, transformasi struktur ekspor minyak sawit (dari bernilai tambah rendah ke bernilai tambah tinggi)menjadi perhatian penting dalam menetapkan proyeksi kebutuhan CPO di masa yang akan datang. Asumsi dan Proyeksi Kebutuhan CPO Domestik disajikan pada tabel 6.1. Dari segi produksi, diasumsikan perluasan areal kebun masih berjalan sesuai dengan trend historisnya, baik perkebunan sawit swasta, negara, terutama rakyat. Menurut berbahgai sumber (tabel 6.2 dan tabel 6.3) lahan yang tersedia di Indonesia masih memungkinkan untuk perluasan areal perkebunan kelapa sawit, baik pada provinsi yang sudah berkembang perkebunan kelapa sawit maupun pada provinsi pengembangan baru seperti Aceh, Sulawesi, Maluku dan Papua. Menurut data tersebut terdapat sekitar 29 juta hektar degraded land diluar kawasan hutan. Demikian juga bila dihitung lahan yang telah termanfaatkan oleh perkebunan kelapa sawit dibandingkan dengan kesesuaian lahan untuk kelapa sawit yang tersedia pada beberapa provinsi masih tersedia sekitar 17 juta hektar. Dari sisi ekofisiologis, perkebunan kelapa sawit memiliki fungsi ekofisiologis yang relatif sama dengan hutan (Hansen, 1999, PPKS, 2004). Oleh karena itu pemanfaatan degraded land pada hutan produksi untuk perkebunan kelapa sawit tidak menurunkan kualitas ekosistem, bahkan sebaliknya justru meningkatkan kualitas ekosistem baik melalui fungsi ekologis perkebunan kelapa sawit, dalam menyerap CO2, meningkatkan penambahan karbon/biomas dan menghasilkan oksigen.
216
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 6.1. Asumsi Proyeksi Pertumbuhan Tahun 2014-2050 (%/tahun) URAIAN
Proyeksi Pertumbuhan (%/tahun)
Kondisi 2013
2013 2020
2021 2025
2026 2030
2031 2035
2036 2040
2041 2045
2046 2050
jumlah penduduk (juta jiwa)
249.9
1.00
0.95
0.47
0.46
0.45
0.44
0.43
GDP (U$/kapita)
3,580
4.70
4.69
4.53
4.34
4.15
4.00
3.84
Minyak Goreng (ton) Konsumsi
5,221,000
3.00
2.49
2.26
2.03
1.84
1.69
1.55
Produksi
18,808,940
1.58
1.42
1.35
1.26
1.19
1.12
1.06
Margarine (ton) Konsumsi
378,000
3.00
2.49
2.26
2.03
1.84
1.69
1.55
Produksi
723,000
3.98
3.11
2.77
2.43
2.17
1.95
1.78
Oleokimia/ Detergen (ton) Konsumsi Produksi Konsumsi Solar (Juta Ton) Mandatori Biodiesel (%B) Ekspansi Mandatori (%B)
562,054
4.00
3.13
2.78
2.44
2.17
1.96
1.79
1,600,000
3.50
2.82
2.53
2.24
2.02
1.83
1.68
39.4
3.74
2.98
2.61
2.31
2.07
1.88
1.72
B 4.4
B5
B 10
B 20
B 20
B 20
B 20
B 20
B 20
B25B 30
B 35B 40
B 40
B 40
B 40
B 40
Tabel 6.2. Luas Degraded Land di Indonesia Lokasi/Wilayah Luas (Juta Ha) Hutan Konservasi 4.75 Hutan Lindung 9.52 Hutan Produksi Tetap 13.88 Hutan Produksi Terbatas 10.87 Hutan Produksi dapat dikonversi 9.69 Non Kawasan Hutan 29.72 Jumlah 78.43 Sumber: Prosval Consulting (Bimasena 2014)
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050
217
Tabel 6.3. Luasan Lahan Berpotensi Tinggi Untuk Tanaman Kelapa Sawit di Beberapa Wilayah Indonesia Provinsi
Luas Lahan Berpotensi (Ha)
Luas Areal Sawit 2013 (Ha)
Lahan Masih Tersedia (Ha)
Sumatera Utara
1,298,000
1,190,556
107,444
Riau
2,848,200
1,940,717
907,483
728,479
303,873
424,606
3,671,100
694,447
2,976,653
3,638,500
1,026,478
2,612,022
4,399,400
693,744
3,705,656
Sulawesi Tengah
146,300
97,489
48,811
Sulawesi Selatan
288,000
23,795
264,205
Bengkulu Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Timur
Papua 5,896,500 36,124 Total Lahan 22,914,479 6,007,223 Berpotensi Sumber: Puslit Tanah dan Agroklimat, Balitbang Deptan (1993)
5,860,376 16,907,256
Oleh sebab itu pemanfaatan degraded land untuk perkebunan kelapa sawit pada kawasan hutan produksi tetap maupun hutan produksi yang dapat dikonversi dapat menjadi bagian dari solusi restorasi ekosistem. Tentu saja untuk degraded land yang ada dikawasan hutan lindung dan hutan konservasi sebaiknya tidak dikonversi pada penggunaan lain, dipertahankan dan direhabilitasi untuk memperbaiki fungsi hutan lindung dan hutan konservasi. Meskipun ketersediaan lahan untuk perluasan areal perkebunan kelapa sawit masih tersedia sampai pada luasan tertentu, dimasa yang akan datang diharapkan peningkatan produktivitas CPO per hektar lahan menjadi andalan sumber pertumbuhan produksi CPO Indonesia. Sumber pertumbuhan produksi CPO dari produktivitas dipandang lebih berkualitas karena: (1) Sumber pertumbuhan CPO dari produktivitas lebih sustainable dan lebih menguntungkan; (2) Dapat meminimumkan konflik sosial maupun konflik antar sektor, (3) Mengurangi ketergantungan pada kebaikan alam dan dampak perubahan iklim dalam produksi CPO nasional dan (4) Menjaga keseimbangan pertumbuhan sektor-sektor pembangunan secara nasional. Pandangan yang demikian telah lama disadari pelaku persawitan di Indonesia. Oleh karena itu pada acara peringatan 100 tahun perkebunan kelapa sawit Indonesia tahun 2011 di Medan, telah 218
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
disepakati untuk mengejar produktivitas yakni 35 ton TBS/Ha dengan rendemen 26 persen (dikenal dengan target 35-26) atau produktivitas CPO sekitar 9 ton CPO/Ha. Tentu saja, target tersebut merupakan target jangka panjang melalui upaya yang sistematis dan by design. Perkebunan kelapa sawit Malaysia sendiri dalam jangka panjang (sebagimana dimuat dalam PEMANDU) menargetkan produktivitas CPO/Ha sebesar 6 ton tahun 2020 dan 8 ton tahun 2030 Peningkatan produktivitas CPO per hektar dipengaruhi berbagai variable seperti bibit/varietas, kultur teknis budidaya khususnya pemupukan, umur dan komposisi tanaman, populasi tanaman per hektar, pemanenan dan pengangkatan TBS , dan efisiensi proses pengolahan CPO pada PKS (CPO Mill). Upaya perbaikan yang ideal (continous improvement) menjangkau seluruh variabel tersebut diatas sehingga diperoleh peningkatan total produktivitas (total factor productivity). Untuk peningkatan produktivitas CPO per hektar menuju 2050 diproyeksikan melakukan berbagai upaya yakni: (1) menggunakan varietas unggul (produktivitas 5-6 ton CPO/Ha) pada replanting dan perbaikan kultur teknis budidaya dan PKS selama periode tahun 20162025 baik PR,PN dan PS, (2) menggunakan varietas unggul baru (rataan produktivitas 7-8. Ton CPO/Ha) pada replanting dan perbaikan kultur teknis budidaya dan PKS selama periode tahun 2026-2030 dan (3) menggunakan varietas unggul baru (rataan produktivitas 8-9 Ton CPO/Ha) pada replanting dan perbaikan kultur teknis budidaya dan PKS selama periode tahun 2031-2050. 6.2
Visi dan Misi Industri Minyak Sawit Indonesia 2050
6.2.1
Visi 2050 Menjadikan Indonesia sebagai produsen terbesar CPO dan produk hilir minyak sawit dunia secara berdayasaing dan berkelanjutan
6.2.2 Misi 2050 1. Meningkatkan produksi CPO khususnya melalui peningkatan produktivitas CPO perhektar. 2. Mempercepat hilirisasi didalam negeri baik industri oleopangan, oleokimia dan turunannya (pelumas,surfaktan,dll), detergen dan sabun serta biodiesel.
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050
219
3. Melakukan perbaikan terus menerus tata kelola industri minyak sawit yang berkelanjutan. 4. Mengembangkan kebijakan industri minyak sawit yang kompetitif dan berkelanjutan. 6.3 Roadmap Hilirisasi Indonesia tentu tidak berhenti pada posisi sebagai produsen CPO terbesar dunia seperti yang telah dicapai sejak tahun 2006, namun ingin naik kelas menjadi negara produsen terbesar dunia dalam olein (minyak goreng, margarin dan shortening), detergen dan sabun, biodiesel, dan produk turunan oleokimia seperti pelumas, surfaktan, dan lain-lain. Oleh sebab itu menuju tahun 2050 Indonesia akan mempercepat dan memperluas hilirisasi CPO di dalam negeri yang telah dimulai sejak 2011. Percepatan dan perluasan hilirisasi CPO didalam negeri memiliki manfaat ganda seperti peningkatan nilai tambah didalam negeri, merubah struktur ekspor industri minyak sawit ke arah dominasi produk-produk hilir bernilai tambah tinggi dan memperkuat bargaining position Indonesia dipasar global. Hilirisasi yang makin luas di dalam negeri akan mengurangi ketergantungan Indonesia pada pasar CPO global. Menuju tahun 2050 roadmap percepatan dan perluasan hilirisasi dilakukan (tabel 6.4)melalui 4 jalur yakni: (1) Pengembangan industri minyak goreng dan margarin baik untuk memenuhi kebutuhan domestik maupun untuk ekspor, (2) pengembangan dan pendalaman industri oleokimia untuk menghasilkan produk turunan bernilai tambah tinggi yang ditujukan kepada pasar domestik dan ekspor, (3) Pengembangan industri detergen dan sabun untuk menghasilkan produk turunan bernilai tambah tinggi yang ditujukan kepada pasar domestik dan ekspor dan (4) Percepatan industri biodiesel. Perhatian khusus perlu diberikan pada pengembangan dan pendalaman industri oleokimia serta biodiesel. Pendalaman industri oleokimia ditujukan untuk menghasilkan produk-produk bernilai tambah tinggi dan memiliki pasar yang bertumbuh baik di dalam negeri maupun di pasar dunia. Produk yang dimaksud antara lain pelumas (lubrikan) dan surfaktan. Kemudian pengembangan biodiesel ditujukan untuk menghasilkan biodiesel (FAME) sebagai pengganti solar (diesel) yang konsumsi dan impornya meningkat cepat. Menuju tahun 2050 produksi biodiesel Indonesia diproyeksikan dapat memenuhi 40% penggantian kebutuhan solar (B40) Indonesia.
220
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Penggantian sebagian solar dengan biodiesel juga akan mengurangi emisi gas rumah kaca Indonesia. 6.3.1
Proyeksi Konsumsi Industri Hilir Minyak Sawit Berdasarkan asumsi yang dikemukakan pada tabel 6.1, konsumsi minyak goreng diproyeksikan meningkat dari 5.2 juta ton tahun 2013 meningkat menjadi 6.4 juta ton tahun 2020. Kemudian konsumsi minyak goreng meningkat dari 8.1 juta ton 2030 dan menjadi 11.5 juta ton tahun 2050. Sementara itu konsumsi margarine/shortening/ specialty fat diproyeksikan meningkat dari 0.37 juta ton tahun 2013 meningkat menjadi 0.46 juta ton tahun 2020. Kemudian konsumsi minyak goreng meningkat dari 0.59 juta ton 2030 dan menjadi 0.83 juta ton tahun 2050(tabel 6.4 dan gambar 6.1). Tabel 6.4. Proyeksi Volume Konsumsi Domestik Produk Hilir 2013-2050 (Ton)
Tahun 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050
Minyak Goreng 5,221,000 5,377,630 5,538,959 5,705,128 5,876,281 6,052,570 6,234,147 6,421,171 7,260,076 8,116,967 8,973,858 9,830,749 10,687,641 11,544,532
Margarine Oleokimia/Detergen 378,000 389,340 401,020 413,051 425,442 438,206 451,352 464,892 525,629 587,668 649,707 711,746 773,784 835,823
562,054 584,536 607,918 632,234 657,524 683,825 711,178 739,625 862,818 989,556 1,116,295 1,243,034 1,369,773 1,496,512
Biodiesel 1,500,000 2,500,000 4,262,000 8,856,000 9,190,000 9,522,000 9,856,000 10,188,000 20,649,792 26,847,857 30,095,952 33,344,048 36,592,143 39,840,238
Searah dengan pertumbuhan ekonomi di dalam negeri, konsumsi oleokimia diproyeksikan meningkat dari 0.56 juta ton tahun 2013 meningkat menjadi 0.73 juta ton tahun 2020. Kemudian konsumsi oleokimiatersebut meningkat dari 0.99 juta ton 2030 dan menjadi 1.49 juta ton tahun 2050. Dengan percepatan mandatory biodiesel kedepan, konsumsi biodiesel diproyeksikan meningkat dari 1.5 juta ton tahun 2013 meningkat menjadi 10.18 juta ton (B20) tahun 2020. Kemudian secara VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050
221
biodiesel
oleokimia/detergen
2049
2047
2045
2043
2041
2039
2037
2035
2033
2031
2029
2027
2025
2023
2021
2019
2017
2015
60 50 40 30 20 10 0 2013
Juta ton
bertahap kebijakan mandatory diproyeksikan meningkat menjadi B40 tahun 2030, konsumsi biodiesel meningkat dari 26.84 juta ton 2030 dan menjadi 39.84 juta ton tahun 2050.
TOTAL Mgr& Margarine
Gambar 6.1. Proyeksi Konsumsi Domestik Produk Hilir
6.3.2
Proyeksi Produksi Industri Hilir Minyak Sawit Untuk memenuhi kebutuhan produk industri hilir dan terus berkembang dari tahun ke tahun, memerlukan peningkatan produksi industri hilir minyak sawit di dalam negeri (tabel 6.5). Produksi minyak goreng diproyeksikan meningkat dari 18.8 juta ton tahun 2013 menjadi 20.9 juta ton tahun 2020 dan menjadi 30.3 juta ton tahun 2050. Sementara itu produksi margarine diproyeksikan meningkat dari 0.72 juta ton tahun 2013 menjadi 0.95 juta ton tahun 2020 dan menjadi 1.91 juta ton tahun 2050. Produksi Oleokimia/detergen diproyeksikan meningkat 30 kali dalam periode 2013-2050, yakni dari 16 juta ton tahun 2013 menjadi 20.3 juta ton tahun 2020 dan menjadi 38.9 juta ton tahun 2050. Industri biodiesel yang merupakan jalur hilirisasi baru di Indonesia diproyeksikan bertumbuh cepat, yakni dari sekitar 3 juta ton tahun 2013 menjadi 11.6 juta ton tahun 2020 dan menjadi 55.7 juta ton tahun 2050. Peningkatan produksi biodiesel tersebut dapat memenuhi program subsitusi solar dengan biodiesel yakni dari B10 tahun 2013 menjadi B20 tahun 2020 dan menjadi B40 ditahun 2050. demikian Dengan proyeksi produksi yang (gambar 6.2) maka diperlukan peningkatan kapasitas pabrik masing-masing. Kapasitas pabrik minyak goreng meningkat sekitar 20 juta ton tahun 2013 menjadi sekitar 22 juta ton tahun 2020 dan menjadi sekitar 33 juta ton tahun 2050. Demikian juga kapasitas pabrik industri margarine meningkat dari sekitar 1 juta ton tahun 2013 menjadi sekitar 1.5 juta ton tahun 2020 dan menjadi sekitar 2.1 juta ton tahun 2050.
222
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 6.5. Proyeksi Produksi Industri Hilir Minyak Sawit 2013-2050 (ton) Minyak goreng
2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050
18,808,940 19,101,449 19,400,016 19,704,796 20,015,946 20,333,631 20,658,019 20,989,282 22,523,374 24,080,352 25,637,331 27,194,309 28,751,288 30,308,267
margarine 723,000 751,590 781,383 812,431 844,792 878,523 913,685 950,342 1,107,778 1,270,019 1,432,260 1,594,501 1,756,742 1,918,983
oleokimia/detergen 1,600,000 1,656,000 1,713,960 1,773,949 1,836,037 1,900,298 1,966,809 2,035,647 2,339,024 2,650,017 2,961,009 3,272,002 3,582,994 3,893,987
Biodiesel 3,084,143 3,800,000 5,762,000 10,356,000 10,690,000 11,022,000 11,356,000 11,688,000 28,909,708 37,587,000 42,134,333 46,681,667 51,229,000 55,776,333
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 2013 2015 2017 2019 2021 2023 2025 2027 2029 2031 2033 2035 2037 2039 2041 2043 2045 2047 2049
Juta Ton
Tahun
TOTAL Mgr & Margarine
oleokimia/detergen
biodiesel
Gambar 6.2 Proyeksi Produksi Hilir
Kapasitas pabrik oleokimia diproyeksikan meningkat dari sekitar 18 juta ton tahun 2013 menjadi sekitar 22 juta ton tahun 2020 dan menjadi sekitar 40 juta ton tahun 2050. Peningkatan yang sangat cepat terjadi pada industri biodiesel, kapasitas pabrik tahun 2013 masih VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050
223
sekitar 3 juta ton akan meningkat menjadi sekitar 12 juta ton tahun 2020 dan sekitar 57 juta tahun 2050. 6.4
Kebutuhan CPO untuk Industri Hilir Domestik Peningkatan produksi indutri hilir yang diproyesikan tersebut diatas memerlukan peningkatan kebutuhan CPO (tabel 6.6). Kebutuhan CPO yang diperlukan minyak goreng meningkat dari 18.8 juta ton tahun 2013 menjadi 20.9 juta ton tahun 2020 dan 30.3 juta ton tahun 2050. Demikian juga kebutuhan CPO yang diperlukan pada industri margarine dari 0.7 juta ton tahun 2013 menjadi 0.9 juta ton tahun 2020 dan 1.91 tahun 2050. Pada industri oleokimia/detergen juga terjadi peningkatan kebutuhan CPO, yakni dari 16 juta ton taun 2013 menjadi 20.3 juta ton tahun 2020 dan 38.9 juta ton tahun 2050. Peningkatan kebutuhan CPO pada industri biodiesel mengalami peningkatan yang sangat cepat, yakni dari 3 juta ton tahun 2013 menjadi 11.6 juta ton tahun 2020 dan 55.7 tahun 2050. Tabel 6.6. Proyeksi Kebutuhan CPO untuk Industri Hilir Domestik Kebutuhan CPO Domestik (ton) Tahun
minyak goreng
Margarine
oleokimia/detergen
biodiesel
TOTAL
2013
18,808,940
723,000
1,600,000
3,084,143
24,216,083
2014
19,101,449
751,590
1,656,000
3,800,000
25,309,039
2015
19,400,016
781,383
1,713,960
5,762,000
27,657,359
2016
19,704,796
812,431
1,773,949
10,356,000
32,647,176
2017
20,015,946
844,792
1,836,037
10,690,000
33,386,775
2018
20,333,631
878,523
1,900,298
11,022,000
34,134,452
2019
20,658,019
913,685
1,966,809
11,356,000
34,894,512
2020
20,989,282
950,342
2,035,647
11,688,000
35,663,271
2025
22,523,374
1,107,778
2,339,024
28,909,708
54,879,884
2030
24,080,352
1,270,019
2,650,017
37,587,000
65,587,388
2035
25,637,331
1,432,260
2,961,009
42,134,333
72,164,933
2040
27,194,309
1,594,501
3,272,002
46,681,667
78,742,479
2045
28,751,288
1,756,742
3,582,994
51,229,000
85,320,024
2050
30,308,267
1,918,983
3,893,987
55,776,333
91,897,569
224
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Secara keseluruhan penyerapan CPO untuk kebutuhan domestik meningkat dari 24 juta ton tahun 2013 menjadi 35 juta ton tahun 2020 dan 91 juta ton tahun 2050. Penyerapan CPO domestik terbesar adalah untuk industri biodiesel, yakni sekitar 12 persen tahun 2013 menjadi 32 persen tahun 2020 dan 60 persen 2050 dari total kebutuhan CPO domestik Indonesia (gambar 6.3). 100
juta Ton
80
60 40 20 2013 2015 2017 2019 2021 2023 2025 2027 2029 2031 2033 2035 2037 2039 2041 2043 2045 2047 2049
0
minyak goreng
margarine
biodiesel
TOTAL
oleokimia/detergen
Gambar 6.3. Proyeksi kebutuhan CPO Domestik tahun 2013-2050
6.5
Roadmap Produksi CPO Menuju 2050 Untuk memenuhi kebutuhan CPO domestik yang diproyeksikan meningkat dari tahun ke tahun diperlukan peningkatan produksi CPO. Peningkatan produksi CPO dapat dilakukan melalui perluasan areal maupun peningkatan produktivitas. Dalam periode 2015-2050 peningkatan produktivitas menjadi sumber pertumbuhan penting bagi industri minyak sawit. Oleh karena itu pengembangan industri pembibitan kelapa sawit menjadi sangat penting untuk mendukung peningkatan produktivitas tersebut. 6.5.1
Roadmap Pengembangan Industri Pembibitan Kelapa Sawit Untuk memenuhi kebutuhan bibit unggul baik untuk replanting maupun areal baru serta pencapaian produktivitas diperlukan bibit dengan produktivitas sebagaimana disajikan pada table 6.7. Kebutuhan bibit kelapa sawit unggul untuk memenuhi kebutuhan replanting dan area baru diproyeksikan meningkat dari VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050
225
tahun ke tahun. Tahun 2015 diperlukan 132.7 juta kecambah dan meningkat menjadi 150.3 juta kecambah tahun 2030, kemudian diperlukan 251.1 juta kecambah tahun 2050. Tabel 6.7. Kebutuhan Bibit dan Roadmap Kualitas Bibit Kelapa Sawit 2013-2050
Tahun
Kebutuhan Bibit
Protas Proven Bibit (ton CPO/Ha)
2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2025 2030 2035
118,278,200 63,623,600 132,738,720 144,078,166 165,031484 150,117,639 117,647,574 146,165,529 151,915,329 150,361,729 217,063,329
4-5 4-5 4-5 4-5 5-6 5-6 5-6 5-6 6-8 6-8 8-9
2040 2045 2050
231,981,249 245,408,058 251,157,858
8-9 8-9 8-9
Selain jumlah bibit yang diperlukan hal yang penting adalah produktivitas terbukti (proven) bibit yang dihasilkan diharapkan mengalami peningkatan dari periode ke periode. Pada saat ini bibit yang tersedia dari pembibitan kelapa sawit memiliki produktivitas (proven) antara 5-7 ton CPO perhektar. Mengingat diperlukan waktu yang relatif panjang (7-10 tahun) untuk menghasilkan varietas baru, maka diharapkan varietas bibit dengan kemampuan produksi 7-8 ton CPO perhektar diproyeksikan baru tersedia tahun 2025. Selanjutnya untuk kebutuhan varietas bibit yang lebih unggul lagi yakni dengan produktivitas 8-9 ton CPO perhektar diproyeksikan baru tersedia mulai tahun 2030. Oleh karena itu, perlu segera disusun cetak biru maupun roadmap industri pembibitan kelapa sawit nasional mulai dari tingkat plasma nutfah, grandparents (pohon nenek), dan parents (pohon induk) sampai pada produksi kecambah (bibit komersil). Bagaimana industri pembibitan kelapa sawit dalam menghasilkan bibit yang makin unggul
226
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
menentukan sejauh mana kemajuan produktivitas yang akan dicapai oleh industri perkebunan kelapa sawit Indonesia.
6.5.2 Roadmap Replanting Dalam periode 2013-2050 diproyeksikan replanting dan penanaman baru kelapa sawit (tabel 6.8). luas replanting cenderung meningkat, sementara tanaman baru cenderung menurun menuju tahun 2050. Hal ini membuktikan bahwa industri minyak sawit Indonesia menuju tahun 2050 lebih memfokuskan peningkatan produktivitas dibandingkan dengan perluasan areal. Tabel 6.8. Roadmap Replanting dan Tanaman Baru serta Kebutuhan Bibit Kelapa Sawit 2013-2050
Tahun 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050
Raplanting Nasional 140,965 118,050 153,149 184,319 262,282 159,569 190,822 234,615 263,364 255,596 589,104 663,694 730,828 759,577
Tanaman Baru Nasional 450,426 200,068 510,545 536,072 562,875 591,019 397,416 496,213 496,213 496,213 496,213 496,213 496,213 496,213
Total 591,391 318,118 663,694 720,391 825,157 750,588 588,238 730,828 759,577 751,809 1,085,317 1,159,906 1,227,040 1,255,789
6.5.3 Roadmap Luas Areal dan Komposisi Tanaman Untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit 2015-2050 dilakukan melalui dua strategi yakni : perluasan areal baru dan peningkatan produktivitas. Di proyeksikan tambahan area baru masih terjadi setiap tahun (khususnya perkebunan rakyat) dalam periode 2015-2050. Dengan demikian diproyeksikan pada tahun 2020 luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia akan mencapai 13.3 juta hektar (table 6.9 dan gambar 6.5). Terdiri dari perkebunan sawit rakyat 6.6 juta VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050
227
Ha, perkebunan sawit swasta 5.9 juta Ha, dan negara 0.72 juta Ha. Kemudia pada tahun 2050 luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia akan mencapai 28 juta hektar. Terdiri dari perkebunan sawit rakyat 16.6 juta Ha, perkebunan sawit swasta 10 juta Ha, dan negara 0.8 juta Ha. Dengan demikian pangsa perkebunan rakyat makin dominan dalam perkebunan kelapa sawit Indonesia (gambar6.4).
2013
2020 Rakyat 44.11% Negara 6.86% Swasta 49.03%
Rakyat 49.48% Negara 5.46% Swasta 45.06%
2050 Rakyat 58.99% Negara 3.11% Swasta 37.903%
Gambar 6.4. Perubahan Pangsa Areal Perkebunan Sawit Negara, Rakyat, dan Swasta Indonesia tahun 2013-2050
Rakyat
Negara
2049
2047
2045
2043
2041
2039
2037
2035
2033
2031
2029
2027
2025
2023
2021
2019
2017
2015
2013
100% 80% 60% 40% 20% 0%
Swasta
Gambar 6.5. Proyeksi Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia 2013-2050
228
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
100% 80% 60% 40% 20% 0% 2015
2020
TBM
2025
2030
Muda
2035
Remaja
2040
Dewasa
2045
2050
Tua
Gambar 6.6 Proyeksi Komposisi Tanaman Kelapa Sawit Indonesia 2013-2050.
Tabel 6.9. Proyeksi Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia 2015-2050 Tahun Rakyat Negara Swasta Nasional 2015 4,810,271 704,094 5,207,071 10,721,437 2016 5,186,611 707,615 5,363,283 11,257,508 2017 5,585,049 711,153 5,524,182 11,820,384 2018 6,006,787 714,708 5,689,907 12,411,403 2019 6,248,745 721,613 5,838,461 12,808,819 2020 6,583,652 726,597 5,994,782 13,305,032 2025 8,258,191 751,515 6,776,389 15,786,095 2030 9,932,729 776,433 7,557,996 18,267,158 2035 11,607,267 801,351 8,339,602 20,748,221 2040 13,281,806 826,269 9,121,209 23,229,284 2045 14,956,344 851,188 9,902,816 25,710,348 2050 16,630,883 876,106 10,684,423 28,191,411
Dengan kombinasi perluasan areal baru, dan replanting pada perkebunan sawit rakyat, negara, maupun swasta secara overtime proyeksi komposisi perkebunan kelapa sawit Indonesia menurut umur (gambar 6.6) mengalami perubahan dari tahun ke tahun.
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050
229
6.5.4
Roadmap Produktivitas Selain perluasan areal pengembangan perkebunan kelapa sawit Indonesia menuju 2050, juga (bahkan terpenting) peningkatan produktivitas CPO perhektar melalui program replanting yang konsisten setiap tahun (antara lain menuju perbaikan komposisi tanaman), keharusan penggunaan varietas unggul baru pada setiap replanting/penanaman areal baru, perbaikan kultur teknis baik pada budidaya, pemanenan/pengangkutan dan proses pengolahan PKS. Dengan perbaikan kultur teknis yang diharapkan dilaksanakan secara bersama-sama oleh pelaku perkebunan kelapa sawit, maka diproyeksikan roadmap peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit Indonesia akan terjadi baik pada perkebunan kelapa sawit rakyat (gambar 6.7), negara (gambar 6.7), maupun swasta (gambar 6.9) .
Rakyat 2013-26
Rakyat 2027-35
Rakyat 2036-50
8.00 Protas
6.00
4.00 2.00 0.00 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Umur
Gambar 6.7.
230
Roadmap Peningkatan Produktivitas Kebun Sawit Rakyat 2013-2050
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Negara 2013-26
Negara 2027-35
Negara 2036-50
12 10
Protas
8 6 4 2 0 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Umur
Gambar 6.8.
Roadmap Peningkatan Produktivitas Kebun Sawit Negara 2013-2050
Protas
Swasta 2013-26
Swasta 2027-35
Swasta 2036-50
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Umur
Gambar 6.9. Roadmap Peningkatan Produktivitas Kebun Sawit Swasta 2013-2050 Roadmap produktivitas perkebunan sawit rakyat diharapkan meningkat dari 2.82 ton CPO/ha (2013) menjadi 3.39 ton CPO/ha (2020) dan 6.38 ton CPO/ha (2050). Produktivitas perkebunan sawit negara diharapkan meningkat dari 3.97 ton CPO/ha (2013) menjadi 4.93 ton CPO/ha (2020) dan 8.32 ton CPO/ha (2050). Kemudian produktivitas VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050
231
perkebunan sawit swasta juga diharapkan meningkat 3.37 ton CPO/ha (2013) menjadi 4.16 ton CPO/ha (2020) dan 7.30 ton CPO/ha (2050). Dengan demikian secara nasional produktivitas perkebunan sawit meningkat dari 3.69 ton CPO/ha (2013) menjadi 4.40 ton CPO/ha (2020) dan 7.42 ton CPO/ha (2050). 6.5.5
Proyeksi Produksi CPO Menuju 2050 Jika roadmap peningkatan produktivitas maupun perluasan areal sebagaimana dijelaskan diatas dapat terlaksana sesuai skedul, maka produksi CPO Indonesia diproyeksikan akan meningkat dari 27.6 juta tahun 2013 menjadi 43.9 juta tahun 2020. Dengan perbaikan yang terusmenerus (continuous improvement), produksi CPO Indonesia akan mencapai 141 juta ton ketika NKRI berumur 100 tahun dan menjadi 163 juta ton tahun 2050 (tabel 6.10). Tabel 6.10. Proyeksi Produksi CPO Menurut Pengusahaan 2013-2050
Tahun Rakyat Negara Swasta Nasional 2013 9,347,156 3,063,871 15,229,197 27,640,224 2014 10,317,201 3,458,403 16,584,740 30,360,345 2015 11,213,164 3,658,103 17,495,909 32,367,176 2016 12,558,461 3,829,231 18,705,947 35,093,639 2017 13,540,232 3,858,699 19,354,109 36,753,040 2018 15,179,208 3,980,417 20,101,878 39,261,503 2019 16,533,046 4,111,606 20,913,766 41,558,419 2020 18,180,641 4,152,173 21,598,196 43,931,010 2025 27,560,147 4,201,871 24,509,687 56,271,705 2030 36,370,598 5,348,872 36,756,336 78,475,805 2035 48,987,183 5,321,167 40,038,103 94,346,453 2040 60,503,011 7,306,455 53,389,036 121,198,502 2045 73,929,887 7,765,991 60,197,693 141,893,571 2050 90,995,043 7,597,767 65,166,827 163,759,637 Dari produksi CPO Indonesia tersebut diproyeksikan produksi CPO asal perkebunan rakyat akan meningkat dari 9.3 juta tahun 2013 menjadi 18.2 juta tahun 2020 dan 91 juta tahun 2050. Produksi CPO asal perkebunan negara akan meningkat dari 3 juta tahun 2013 menjadi 4.1 juta tahun 2020 dan 7.6 juta tahun 2050. Produksi CPO asal perkebunan swasta akan meningkat dari 15.2 juta tahun 2013 menjadi 21.6 juta tahun 2020 dan 65 juta tahun 2050. Hal ini berarti pangsa CPO asal 232
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
perkebunan rakyat dalam total produksi CPO nasional meningkat dari 33 persen tahun 2013 menjadi 41 persen tahun 2020 dan menjadi 55 persen tahun 2050.
6.6
Proyeksi Penyerapan Tenaga Kerja pada Industri Sawit Nasional
Peningkatan produksi CPO maupun hilirisasi menciptakan kesempatan kerja baru. Teknologi pada industri minyak sawit yang umumnya lebih padat karya (labor intensive), berarti setiap peningkatan produksi pada industri minyak sawit akan menggunakan banyak tenaga kerja. Tabel 6.11 Proyeksi Penyerapan Tenaga Kerja pada Industri Sawit Nasional 2013-2050 Tenaga Kerja Tahun Perkebunan Sawit Supplier Industri Hilir Total 2013 5,005,412 500,541 96,864 5,602,818 2014 5,105,446 510,545 101,236 5,717,227 2015 5,360,718 536,072 110,629 6,007,420 2016 5,628,754 562,875 130,589 6,322,218 2017 5,910,192 591,019 133,547 6,634,758 2018 6,205,702 620,570 136,538 6,962,809 2019 6,404,409 640,441 139,578 7,184,428 2020 6,652,516 665,252 142,653 7,460,420 2025 7,893,047 789,305 219,520 8,901,872 2030 9,133,579 913,358 262,350 10,309,286 2035 10,374,111 1,037,411 288,660 11,700,181 2040 11,614,642 1,161,464 314,970 13,091,076 2045 12,855,174 1,285,517 341,280 14,481,971 2050 14,095,705 1,409,571 367,590 15,872,866
Penyerapan tenaga kerja pada industri minyak sawit nasional di proyeksikan meningkat (tabel 6.11) dari 5,6 juta tahun 2013 menjadi 7.5 juta tahun 2020, dan menjadi 15.8 juta tahun 2050. Hal ini belum memperhitungkan jumlah tenaga kerja yang terserap pada sektor jasa industri minyak sawit seperti di pelabuhan CPO, di perdagangan produk-produk hilir baik untuk VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050
233
tujuan pasar dalam negeri maupun untuk tujuan pasar internasional. Jika diasumsikan setiap pekerja menghidupi 4 orang anggota keluarga maka jumlah penduduk yang secara langsung hidup dalam industri minyak sawit Indonesia mencapai 22.4 juta orang tahun 2013, 30 juta orang tahun 2020, dan 63.2 orang juta tahun 2050. 6.7
Proyeksi Produksi Jasa Lingkungan
Industri minyak sawit selain berkontribusi pada bidang ekonomi, juga berkontribusi pada pelestarian lingkungan hidup melalui peranannya dalam penyerapan karbondioksida (salah satu gas rumah kaca, GHG) dan menghasilkan oksigen (mekanisme fotosintesa tanaman kelapa sawit). Selain itu penggantian solar dengan biodiesel sebagai bahan energi juga dapat mengurangi emisi GHG. Berdasarkan proyeksi (Tabel 6.12) volume biomas yang berada di areal perkebunan kelapa sawit meningkat dari 627.4 juta ton tahun 2013, menjadi 902.8 juta ton tahun 2020 dan menjadi 1924.7 juta ton tahun 2050. Total pengurangan emisi CO2 yang disumbang oleh industri minyak sawit (melalui penyerapan netto CO2, penghematan emisi CO2 dari konsumsi biodiesel) meningkat dari 255.9 juta ton tahun 2013, menjadi 379.9 juta ton tahun 2020 dan menjadi 859.7 juta ton tahun 2050. Penyerapan/penghematan CO2 oleh industri minyak sawit nasional tersebut merupakan kontribusi penting dalam program pengurangan emisi GHG nasional ke depan. Jasa lingkungan lainnya adalah penyediaan oksigen (O2) untuk kehidupan di bum. Produksi oksigen dari perkebunan kelapa sawit diproyeksikan meningkat dari 14 juta ton tahun 2013, menjadi 17.4 tahun 2020, dan menjadi 38.19 juta ton pada tahun 2050.
234
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 6.12
Tahun
2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050
Proyeksi Jasa Lingkungan Pada Industri Minyak Sawit 2013-2050
Standing Biomas ¹ (Ton)
Total Pengurangan Emisi CO2 (ton) ²
627,446,962 686,991,858 705,093,443 744,887,303 776,070,351 822,501,801 880,408,665 902,877,762 1,022,537,199 1,261,688,867 1,379,201,121 1,619,139,333 1,805,188,483 1,924,695,919
255,950,423 280,922,343 291,325,721 314,648,793 327,660,420 346,768,184 370,469,338 379,992,161 455,617,329 565,265,791 619,600,994 722,906,580 804,656,541 859,789,817
Produksi Oksigen (Ton) ³ 14,016,738,905 15,363,700,196 15,605,716,193 16,521,178,011 16,093,131,924 15,885,234,462 16,890,812,571 17,403,132,862 21,700,020,312 23,607,652,298 28,909,394,604 32,112,561,130 33,904,694,298 38,197,602,377
¹ dihitung berdasarkan metode Chan, 2002 ² dihitung berdasarkan metode Chan, 2002 dan European Commission JRC ³ dihitung berdasarkan Henson, 1999
6.8
Proyeksi Ekspor Produk Minyak Sawit dan Pangsa Indonesia
Volume ekspor produk industri hilir minyak sawit Indonesia di proyeksikan meningkat menuju 2050 (tabel 6.13). Ekspor minyak goreng sawit diproyeksikan dari 13.5 juta ton tahun 2013 meningkat menjadi 14.5 juta ton tahun 2020, dan 18.7 juta ton tahun 2050. Ekspor oleokimia juga diproyeksikan meningkat dari 1 juta ton pada tahun 2013 menjadi sekitar 1.2 juta ton tahun 2020 dan menjadi 2.3 juta ton pada tahun 2050. Ekspor margarin diproyeksikan meningkat dari 0.34 juta ton tahun 2013 menjadi 0.48 juta ton tahun 2020 dan 1 juta ton tahun 2050. Ekspor Biodiesel juga diproyeksikan meningkat dari 1.5 juta ton tahun 2013 menjadi 1.5 juta ton pada tahun 2020 dan 15.9 juta ton tahun 2050. Begitupun Ekspor CPO diproyeksikan meningkat dari 1.7 juta ton tahun 2013 menjadi 4.1 juta ton tahun 2020 dan menjadi 19.5 juta ton tahun 2050. VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050
235
Diproyeksikan nilai ekspor industri sawit Indonesia menuju tahun 2050 (Tabel 6.14 dan Gambar 6.10) meningkat dari U$ 24 milyar tahun 2013 menjadi U$ 35.6 milyar tahun 2020 dan menjadi U$ 225 milyar pada tahun 2050. Selain meningkatkan penerimaan devisa dari ekspor produkproduk sawit tersebut hilirisasi melalui jalur pengembangan biodiesel juga terjadi penghematan devisa dari subsitusi solar impor dengan biodiesel (tabel 6.14). Nilai penghematan devisa tersebut diproyeksikan sebesar U$ 3.742 Milyar tahun 2015 meningkat menjadi U$ 11.188 Milyar tahun 2020 dan menjadi U$ 110.267 Milyar tahun 2050. Tabel 6.13.
Proyeksi Volume Ekspor produk hilir dan CPO Indonesia 2013-2050 Volume Ekspor Industri Minyak Sawit (ton)
Tahun
Minyak Goreng
Margarin
Oleokimia/ Detergen
Biodiesel
Hilir Lainnya
CPO
2013
13,587,940
345,000
1,037,946
1,584,143
1,712,071
1,712,071
2014
13,723,819
362,250
1,071,464
1,300,000
2,525,653
2,525,653
2015
13,861,058
380,363
1,106,042
1,500,000
2,354,908
2,354,908
2016
13,999,668
399,381
1,141,714
1,500,000
1,223,232
1,223,232
2017
14,139,665
419,350
1,178,513
1,500,000
1,683,133
1,683,133
2018
14,281,062
440,317
1,216,473
1,500,000
2,563,525
2,563,525
2019 2020
14,423,872 14,568,111
462,333 485,450
1,255,631 1,296,022
1,500,000 1,500,000
3,331,953 4,133,869
3,331,953 4,133,869
2025
15,263,298
582,149
1,476,207
8,259,917
695,910
695,910
2030
15,963,385
682,351
1,660,460
10,739,143
6,444,209
6,444,209
2035
16,663,473
782,553
1,844,714
12,038,381
11,090,760
11,090,760
2040
17,363,560
882,755
2,028,968
13,337,619
27,293,903
15,162,121
2045
18,063,647
982,957
2,213,221
14,636,857
42,482,935
14,090,612
2050
18,763,735
1,083,159
2,397,475
15,936,095
52,304,828
19,557,240
236
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 6.14. Proyeksi Nilai Ekspor Produk hilir dan CPO Indonesia tahun 2013-2050 Tahun
Minyak Goreng
Margarin
Nilai Ekspor (U$ juta) Hilir Oleokimia Biodiesel Lainnya
CPO (crude)
Total Ekspor
2013
16,964
431
1,296
2,248
2,137
1,846
24,922
2014
17,680
467
1,380
1,909
3,254
2,798
27,488
2015
18,245
501
1,456
2,257
3,100
2,656
28,214
2016
18,669
533
1,522
2,289
1,631
1,396
26,039
2017
19,155
568
1,597
2,320
2,280
1,957
27,877
2018
19,541
603
1,665
2,343
3,508
3,012
30,671
2019
19,866
637
1,729
2,369
4,589
3,915
33,105
2020
20,178
672
1,795
2,393
5,726
4,857
35,622
2025
22,508
858
2,177
13,950
1,026
877
41,397
2030
25,378
1,085
2,640
19,126
10,245
9,012
67,486
2035
28,409
1,334
3,145
22,549
18,908
17,042
91,387
2040
31,600
1,607
3,693
26,212
49,673
25,390
138,175
2045
34,953
1,902
4,283
30,114
82,205
25,541
178,998
2050
38,468
2,221
4,915
34,255
107,230
38,150
225,239
Minyak Goreng
Margarin
Oleokimia
Biodiesel
Hilir Lainnya
CPO (crude)
250
Milyar USD
200 150 100 50
Gambar 6.10
2049
2047
2045
2043
2041
2039
2037
2035
2033
2031
2029
2027
2025
2023
2021
2019
2017
2015
2013
0
Proyeksi Nilai Ekspor Produk Minyak Sawit 2013-2050
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050
237
Tabel 6.15. Penghematan Devisa Impor Solar dengan Kebijakan Mandatori Biodiesel tahun 2013-2050
Tahun
Pengurangan impor solar (ton)
Proyeksi Harga Solar Dunia U$/ton
2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050
1,500,000 2,500,000 4,262,000 8,856,000 9,190,000 9,522,000 9,856,000 10,188,000 20,649,792 26,847,857 30,095,952 33,344,048 36,592,143 39,840,238
Nilai Impor (U$ juta)
815 846 878 912 984 1021 1059 1098 1312 1554 1825 2120 2437 2768
1,222 2,114 3,742 8,074 9,040 9,720 10,437 11,189 27,089 41,733 54,915 70,697 89,166 110,268
Tabel 6.16. Proyeksi Pangsa Indonesia Dalam Produksi Minyak Nabati Utama Dunia, CPO Dunia, dan Biodiesel Dunia Produksi CPO & Pangsa Tahun
Indonesia
Dunia
Pangsa Indonesia
(juta ton)
(juta ton)
(%)
Produksi 4 nabati utama Pangsa Dunia Indonesia (juta ton)
(%)
Produksi Biodiesel Indonesia
Dunia
Pangsa Indonesia
(juta ton)
(juta ton)
(%)
2015
32.37
54.92
58.94
140.00
23.12
5.76
28.34
20.33
2020
43.93
62.05
70.80
154.42
28.45
11.68
36.63
31.89
2025
56.27
78.26
71.91
181.32
31.03
28.91
56.25
51.39
2030
78.48
100.54
78.06
216.77
36.20
37.58
67.31
55.84
2035
94.35
122.82
76.82
252.22
37.41
42.13
74.23
56.76
2040
121.20
145.10
83.53
287.67
42.13
46.68
81.15
57.52
2045
141.89
167.38
84.78
323.11
43.91
51.22
88.07
58.16
2050
163.76
189.66
86.35
358.56
45.67
55.77
95.00
58.71
Dengan skenario tersebut diatas diproyeksikan pangsa Indonesia dalam produksi CPO, minyak nabati dan biodiesel dunia adalah sebagai berikut (tabel 6.16, gambar 6.11, gambar 6.12, gambar 6.13). Pangsa Indonesia dalam produksi CPO dunia meningkat dari 238
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
58.94 persen tahun 2015 menjadi 78.06 persen tahun 2030 dan menjadi 86.35 persen tahun 2050. Sementara dalam produksi minyak nabati utama dunia (minyak sawit, soybean oil, rapeseed oil dan sunflower oil) meningkat dari 23.12 persen tahun 2015 menjadi 36.20 persen tahun 2030 dan menjadi 45.67 persen tahun 2050. sedangkan dalam produksi biodiesel dunia pangsa Indonesia meningkat dari 20.33 persen tahun 2015 menjadi 55.84 persen tahun 2030 dan menjadi 58.71 persen tahun 2050. Dengan pangsa yang demikian Indonesia menjadi pemain terbesar dalam pasar minyak nabati global.
CPO 400
Indonesia
350
ROW
Dunia
Juta Ton
300 250 200 150 100 50 0 2015 Gambar 6.11.
2020
2025
2030
2035
2040
2045
2050
Pangsa Indonesia dalam Produksi CPO Dunia
4 Nabati
Juta Ton
Indonesia 800 700 600 500 400 300 200 100 0 2015
Gambar 6.12.
2020
2025
ROW
2030
Dunia
2035
2040
2045
2050
Pangsa Indonesia dalam Produksi 4 Nabati Dunia
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050
239
Juta Ton
Biodiesel 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 2015
Gambar 6.13
240
Indonesia
2020
2025
2030
ROW
2035
Dunia
2040
2045
2050
Pangsa Indonesia dalam Produksi Biodiesel Dunia
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
BAB VII KEBIJAKAN STRATEGIS INDUSTRI MINYAK SAWIT 2050 Untuk mencapai target/sasaran industri minyak sawit 2050 sebagaimana diuraikan terdahulu, memerlukan dukungan kebijakan pemerintah. Kebijkan strategis yang perlu diperjuangkan dan dikeluarkan pemerintah yakni kebijakan tata ruang, kebijakan pertanahan, kebijakan penyederhanaan perizinan investasi/usaha, kebijakan suku bunga, kebijakan infrastruktur, kebijakan pembiayaan, kebijakan perpajakan, kebijakan energi, kebijakan lingkungan hidup, kebijakan daerah, kebijakan penelitian dan pengembangan dan kebijakan perdagangan internasional. Kebijakan-kebijakan tersebut merupakan kebijakan strategis yang diperlukan industri minyak sawit untuk mencapai target/sasaran yang ditetapkan. Oleh karena itu dalam perumusan kebijakan beserta instrument kebijakan, delivery kebijakan, implementasi kebijakan serta evaluasi/memitoring kebijakan sejak awal didisain sebagai team work yang melibatkan pelaku industri minyak sawit Indonesia dan pemerintah. 7.1 Paket Kebijakan BIG PUSH Industri Minyak Sawit Nasional Menuju 2050 a. Uraian Masalah/Argumentasi Dari berbagai studi industri minyak sawit Indonesia selama ini menunjukkan bahwa hanya pendekatan parsial dan tidak dilakukan peningkatan produksi CPO secara signifikan, maka hanya terjadi perubahan kecil-kecil (a bit a bit changes) dan terjadi trade-off fuel-food. Kebijakan bea keluar/pajak ekspor CPO dan turunannya merugikan produsen CPO termasuk petani, namun diuntungkan industri hilir CPO (Manurung, 1993, Larson 1995, Tomich and Mawardi, 1996; Susila, 2004; Obado et.al. 2009). Pengembangan biodiesel domestik ( tanpa peningkatan produksi CPO yang signifikan) memang menguntungkan bagi produsen CPO dan pemerintah (pengurangan impor solar) namun berpotensi menurunkan produksi minyak goreng sawit domestik akibat perebutan CPO (Susila dan Munadi, 2008; Joni, et.al. 2012) sekalipun dilakukan kenaikan bea keluar. Kebijakan penurunan suku bunga kredit dapat mendorong peningkatan produksi CPO dan industri hilir (minyak goreng sawit) secara serentak (Manurung, 1993; Purba, 2011), demikian juga VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050
241
peningkatan infrastruktur di pertanian/pedesaan juga mendorong perkembangan industri minyak sawit (Joni, 2012). Dan secara keseluruhan peningkatan produksi CPO baik akibat hilirisasi/pengembangan biodiesel akan mendorong pertumbuhan ekonomi sentra-sentra perkebunan kelapa sawit (PASPI, 2014) dan penurunan kemiskinan (Susila dan Munadi, 2008; Joni et.al. 2012, Rofiq 2013, PASPI, 2014). Dengan perkataan lain, kata kunci adalah agar tidak trade-off dengan industri hilir pengembangan industri biodiesel diperlukan peningkatan perlu didukung oleh peningkatan produksi CPO yang signifikan dan tidak cukup hanya mengandalkan mekanisme pasar biasa (business as usual). b. Kebijakan yang Diperlukan Untuk memberikan hilirisasi (industri biodiesel, olein, oleokimia, detergen/sabun, dll) diperlukan kebijakan dorongan kuat (BIG PUSH) yakni kebijakan peningkatan produksi CPO yang cukup besar (baik melalui peningkatan produktivitas, maupun perluasan kebun). Peningkatan produksi CPO yang besar tersebut memerlukan dukungan kebijakan kepastian dan kemudahan berusaha pada perkebunan kelapa sawit (kebijakan tata ruang, pertanahan, penyederhanaan perizinan) yang didukung kebijakan penurunan tingkat suku bunga, peningkatan infrastruktur dan pelabuhan, kebijakan R&D, dan kebijakan perpajakan. Kebijakan bea keluar CPO dan turunannya tidak diperlukan lagi jika kebijakan-kebijakan diatas telah operasional. 7.2 Kebijakan Tata Ruang a. Uraian Masalah/Argumentasi Sampai tahun 2014, masalah tata ruang baik pada tingkat nasional (RTRWN), provinsi (RTRWP) maupun pada level kabupaten/kota (RTRWK) belum berhasil ditetapkan pemerintah sehingga menimbulkan ketidakpastian usaha dan investasi. Undang-undang tata ruang pada dasarnya hanya mengenal fungsi kawasan lindung (hutan lindung dan konservasi) dan kawasan budidaya (budidaya kehutanan dan sektor lain), belum menjadi landasan kebijakan tata ruang Nasional maupun daerah. Sementara itu, Kementerian Kehutanan menetapkan kawasan hutan di setiap provinsi secara sepihak yakni kawasan lindung (58.3 juta ha) kawasan budidaya kehutanan (77.9 juta ha, yang eksklusif untuk hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, hutan produksi yang dapat dikonversi) dan Areal Penggunaan Lain/ APL (53.4 juta ha). 242
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Konflik dan tumpang tindih pemanfaatan ruang antar sektor/masyarakat termasuk kebun sawit rakyat terjadi di kawasan budidaya kehutanan (versi Kementerian Kehutanan) sehingga banyak kebun sawit rakyat yang dibongkar paksa oleh kementerian kehutanan. Disamping itu kebun sawit rakyat sulit disertifikasi karena dinilai tidak sesuai dengan kebijakan tata ruang. Kebijakan tata ruang merupakan salah satu kebijakan publik yang diperuntukkan mendukung pembangunan nasional sebagaimana amanat UUD 1945 beserta perubahannya. Oleh karena itu, prinsip dasar/paradigma kebijakan tata ruang haruslah memfasilitasi pelaksanaan pembangunan nasional dan bukan menghambat pelaksanaan pembangunan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan kepastian tata ruang dan penyelesaian tumpang tindih pemanfaatan ruang di setiap provinsi.
b. Kebijakan yang Diperlukan Kebijakan penetapan dan revisi tata ruang yang akomodatif pada pembangunan yang berkeadilan, berkerakyatan dan berkelanjutan 1. Menegakkan kedaulatan nasional dalam penetapan tata ruang dan bebas dari intervensi negara lain/LSM trans nasional 2. Mewujudkan kebijakan satu tata ruang nasional (National One Map Policy) yang membagi ruang atas kawasan lindung (hutan lindung dan hutan konservasi) dan kawasan budidaya/sektor. 3. Mengevaluasi SK Menteri Kehutanan tentang penetapan tata ruang kehutanan yang tumpang tindih dengan kegiatan sektoral/masyarakat di setiap provinsi 4. Melakukan perlindungan dan jaminan atas lahan perkebunan sawit rakyat. 7.3 Kebijakan Pertanahan a. Uraian Masalah/Argumentasi Industri minyak sawit Indonesia menuju 2020, terkait pertanahan : (1) Sejumlah perkebunan sawit negara dan swasta akan mengurus HGU baru (setelah 35 tahun HGU pertama, 25 tahun HGU perpanjangan); (2) Terdapat ribuan hektar kebun sawit negara dan swasta yang sampai tahun 2014 meskipun sudah memiliki izin lokasi dan badan usaha, namun belum memperoleh HGU; dan (3) kebun sawit rakyat belum memiliki hak atas tanah formal sehingga secara hukum dianggap illegal. Terkait dengan HGU ini berbagai permasalah yang berlarutlarut diantaranya; (1) Tumpang tindih HGU baik antar perusahaan VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak SawitSawit 20502020 VI. Kebijakan Strategis Industri Minyak
243
maupun sektor; (2) Pengurusan HGU yang rumit, lama dan mahal; (3) Adanya klaim dari masyarakat sekitar atas nama hak ulayat pada areal HGU dan atau izin lokasi yang diberikan pemerintah; (4) dalam sistem inti-plasma sering terjadi ketidak sesusaian luas areal efektif yang diberikan pemerintah (antara rencana dan kenyataan) sehingga menimbulkan konflik berkepanjangan antara inti dengan calon plasma, dan (5) Ketidakpastian/kerancuan status hukum hak ulayat/masyarakat hukum adat dalam konteks NKRI. b. Kebijakan yang Diperlukan Untuk membangun kepastian hukum atas hak atas tanah dan menyelesaikan masalah pertanahan yang berlarut larut diperlukan terobosan kebijakan pertanahan kedepan sebagai berikut: 1. Mempercepat pemberian SHM lahan kebun sawit rakyat sebagai layanan pemerintah; 2. Menyederhanakan pengurusan HGU yang cepat (dengan target waktu yang definitif) dan murah; 3. Memberikan perlindungan HGU (perpanjangan/pembaruan HGU tidak boleh tertunda/batal hanya karena klaim-klaim sepihak terkait yang belum memiliki kekuatan hukum tetap); 4. Mempertegas kebijakan Nasional tentang hak ulayat masyarakat hukum adat dikaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945 dan 5. Menyediakan lahan plasma yang clean dan clear dalam kerjasama inti-plasma. 7.4 Kebijakan Perizinan Industri Minyak Sawit a. Uraian Masalah/Argumentasi Masalah perizinan usaha merupakan masalah yang berkepanjangan di Indonesia yang belum terselesaikan. Dalam hal jumlah perizinan dan lama pengurusan yang diperlukan untuk memperoleh izin-izin usaha, peringkat Indonesia (Tabel 7.1) jauh lebih jelek dibanding negara-negara tetangga. Tabel 7.1. Perbandingan Peringkat Dunia antara Indonesia dengan Negara Tetangga dalam Perizinan Usaha. Indonesia
Malaysia
Thailand
Singapura
2010
2013
2010
2013
2010
2013
2010
2013
Jumlah perizinan usaha
88
104
88
10
57
20
6
10
Lama pengurusan izin
121
128
39
16
98
106
3
5
Uraian
Sumber: Global Competitiveness Index, 2010, 2013 244
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Peringkat Indonesia dalam hal kemudahan perizinan usaha ( jumlah izin dan lama pengurusan) terjelek dan makin jelek jika dibandingkan negara tetangga Malaysia, Thailand dan Singapura. Dalam perkebunan kelapa sawit masalah perizinan usaha ini mencakup: (1) Banyaknya izin-izin yang harus diurus (sekitar 54 jenis izin) dan tumpang tindih dari berbagai lembaga pemerintah pusat dan daerah, (2) Waktu yang diperlukan dalam pengurusan izin sangat lama; dan (3) Biaya pengurusan izin yang mahal. Masalah perizinan tersebut selain menimbulkan biaya tinggi juga mengakibatkan opportunity loss. Dari 54 jenis izin perkebunan kelapa sawit seharusnya dapat disederhanakan dan dunia usaha hanya diwajibkan memiliki : (1) legalitas badan usaha, (2) izin usaha perkebunan termasuk didalamnya HGU dan (3) Izin yang terkait kewajiban perpajakan. Sedangkan izin-izin yang merupakan bagian dari ketiga kelompok diatas, izin-izin yang terkait dengan hak warga negara/ kewajiban pemerintah/negara sebagaimana ditetapkan undang-undang, tidak diperlukan/dihapus. a. Kebijakan yang Diperlukan Untuk mendukung percepatan tercapainya sasaran industri minyak sawit 2020, diperlukan revolusi perizinan usaha perkebunan yakni: 1. Memberikan surat ijin perkebunan sawit rakyat secara gratis dan merupakan layanan pemerintah 2. Menyederhanaan jenis-jenis perizinan menjadi hanya perizinan : Legalitas badan usaha, izin usaha perkebunan dan HGU, dan legalitas kewajiban perpajakan. 3. Menyelenggarakan perizinan secara on-line, cepat, mudah, murah dengan pembayaran biaya perizinan (PNBP) secara non-tunai. 4. Mengevaluasi regulasi sektoral dan Peraturan Daerah yang tumpang tindih/ menghambat perkebunan kelapa sawit dan industri hilir. 7.5 Kebijakan Suku Bunga Kredit a. Uraian Masalah/Argumentasi Industri persawitan Indonesia menuju 2020 diproyeksikan dan ditargetkan untuk meningkatkan produktivitas CPO dan hilirisasi. Kedua hal tersebut merupakan kegiatan ekonomi yang padat modal (capital intensive). Oleh karena itu, ketersediaan modal dengan tingkat suku bunga yang kompetitive sangat menentukan keberhasilannya. VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050
245
Masalahnya suku bunga kredit di Indonesia terlalu tinggi dan tidak kompetitive (tabel 7.2) dengan negara tetangga produsen CPO (Malaysia, Thailand) dan negara tujuan utama ekspor CPO (India dan Cina).
Tabel 7.2. Perbandingan Landing Rate di Indonesia dengan Negara-negara Produsen CPO dan Negara Tujuan Ekspor (%) Negara 2008 2009 2010 2011 2012 Indonesia 13.6 14.5 13.3 12.4 11.8 Thailand 7.0 6.0 5.9 6.9 7.1 Malaysia 6.1 5.1 5 4.9 4.8 Philipina 8.8 8.6 7.7 6.7 5.7 Singapura 5.4 5.4 5.4 5.4 5.4 India 13.3 12.2 8.3 10.2 10.6 China 5.3 5.3 5.8 6.6 6.0 Sumber: World Bank Indicator (2008-2012) Selain itu, skim perkreditan dari perbankkan yang terjangkau petani sawit juga tidak tersedia. Kredit revitalisasi perkebunan yang ada selain suku bunga kredit terlalu tinggi juga menuntut persyaratan yang tidak mungkin dipenuhi oleh petani sawit. Tingginya suku bunga kredit di Indonesia menghambat replanting kebun sawit rakyat, peningkatan produktivitas dan hilirisasi yang dipromosikan kedepan. Dan jika kebijakan suku bunga tinggi yang selama ini dipertahankan maka dikhawatirkan hilirisasi akan berkembang di Malaysia, Thailand, India dan Cina sebagaimana terjadi beberapa tahun terakhir. Hasil studi (Manurung, 1993; Purba, 2011, Joni; 2012, PASPI, 2014) mengungkapkan bahwa penurunan suku bunga kredit akan berdampak pada peningkatan produksi CPO, mendorong hilirisasi domestik, memacu pertumbuhan ekonomi daerah pedesaan dan mengurangi kemiskinan. b. Kebijakan yang Diperlukan
Usulan kebijakan untuk pembiayaan dan suku bunga kredit : 1. Menyediakan skim pembiayaan/perkreditan untuk perkebunan sawit rakyat yang murah (subsidi bunga, dengan grace periode yang wajar) dan mudah dijangkau petani sawit (penjaminan kredit oleh pemerintah). 246
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
2. Menurunkan tingkat suku bunga ke tingkat suku bunga yang kompetitif dengan negara tetangga maupun negara tujuan ekspor minyak sawit, serta tingkat suku bunga yang membuat investasi lebih kompetitif daripada menabung (saving). 3. Mengembangkan kelembagaan keuangan non bank untuk menyediakan pembiayaan dan pengelolaan keuangan/asset bagi petani sawit rakyat. 7.6 Kebijakan Infrastruktur dan Pelabuhan a. Uraian Msalah/Argumentasi Secara umum, ketersediaan dan kualitas infrastruktur di Indonesia masih dibawah negara tetangga (Singapura, Malaysia, Thailand Cina) kecuali India (Tabel 7.3) Infrastruktur jalan dan pelabuhan laut di Indonesia masih relative rendah. Tabel 7.3. Perbandingan Indeks Ketersediaan dan Kualitas Infrastruktur Indonesia Dibandingkan Negara lain pada Tahun 2013 infrastruktur
Indonesia
Singapura
Malaysia
Thailand
Cina
India
Jalan
3.7
6.2
5.4
4.9
4.5
3.6
Kereta Api
3.5
5.6
4.8
2.6
4.7
4.8
Transportasi Udara
4.5
6.8
5.8
5.5
4.5
4.8
Pelabuhan Laut
3.9
6.8
5.4
4.5
4.5
4.2
Listrik
4.3
6.7
5.8
5.2
5.1
3.2
Skor rataan
4
6.4
5.5
4.5
4.3
3.9
Sumber: Global Competetiveness Index, 2013 (skor tertinggi 7.0) Untuk kebutuhan industri minyak sawit Indonesia kedepan infrastruktur jalan (jalan desa, jalan kecamatan, jalan kabupaten, jalan provinsi dan jalan menuju ke pelabuhan) serta pelabuhan dan tangki timbun CPO memegang peranan penting baik untuk menjamin aliran input ke perkebunan kelapa sawit diseluruh pelosok maupun untuk mengangkut TBS dari kebun ke PKS serta pengangkatan CPO ke pelabuhan untuk distribusikan ke sentra konsumen domestik dan internasional.
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050
247
Sampai tahun 2013 terdapat beberapa pelabuhan CPO yang telah oprasional di Indonesia seperti Belawan, Kuala Tanjung, Teluk Bayur, Dumai, Tanjung periuk, Tanjung Perak, Surabaya, dan lain-lain. Dan beberapa pelabuhan CPO baru sedang dikembangkan seperti Tanjung Api-api (Sumatera Selatan), Maloy (Kalimantan Timur). Selain itu pada beberapa daerah sejumlah peraturan daerah melarang pengangkutan TBS dan CPO melaui jalan umum yang bertentangan dengan undangundang yang berlaku. Menuju tahun 2020, produksi CPO Indonesia diproyeksikan akan meningkat sekitar 2 kali lipat dari produksi tahun 2013. Hal ini memerlukan peningkatan kapasitas pelabuhan CPO setidaknya 2 kali lipat dari posisi 2013 dan mengikuti penyebaran sentra-sentra produksi CPO baik yang eksisting maupun daerah sentra baru. Peningkatan ketersediaan infrastruktur pada industry persawitan akan meningkatkan produksi CPO, hilirisasi, pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan (Joni, et.al. 2013). b. Kebijkan yang diperlukan
Untuk memfasilitasi peningkatan kegiatan industri minyak sawit menuju tahun 2020, memerlukan kebijakan pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan CPO antara lain, 1. Memperluas dan meningkatkan kapasitas/kualitas jaringan jalan dari sentra produksi ke pelabuhan CPO serta pembangunan transportasi kereta api dan jalan raya toll/haighway pada pulau sawit (Sumatera , Kalimantan dan Sulawesi). 2. Memperluas dan meningkatkan kapasitas/kualitas pelabuhan ekspor CPO seperti Belawan, Kuala Tanjung, Teluk Bayur, Dumai, Tanjung Periuk, Tanjung Perak, Tanjung Api-api (Sumatera Selatan), Maloy (Kalimantan Timur), Kalimantan Barat dan Sulawesi: yang terintegrasi dengan kawasan industri hilir CPO serta didukung ketersediaan energi/listrik/gas. 3. Meningkatkan kualitas pelayanan secara cepat/murah, online, non tunai dan terintegrasi (antara tangki timbun CPO, pompa CPO, sistem transportasi laut, jasa kepabeanan/ administrasi ekspor). Menghapus peraturan-peraturan daerah yang melarang transportasi TBS dan CPO melintasi jalan raya umum.
248
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
7.7 Kebijakan Subsitusi Solar dengan Biodiesel (Mandatory Biodiesel) a. Uraian Maslah/Argumentasi
Konsumsi solar Indonesia mengalami peningkatan setiap tahun seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan perkembangan ekonomi. Kebutuhan konsumsi solar tahun 2015 sekitar 42.62 juta kilo liter akan meningkat menjadi 50.94 juta kilo liter tahun 2020. Untuk memenuhi kebutuhan solar tersebut Indonesia telah tergantung pada impor dan telah menimbulkan guncangan pada neraca perdagangan. Selain itu konsumsi solar menghasilkan emisi GHG yang cukup besar. Untuk mengurangi ketergantungan pada solar impor, pemerintah telah mengeluarkan permen ESDM No. 32/2008, 25/2013 dan 20/2014 yang dikenal dengan kebijakan mandatori, dengan secara bertahap menuju B30 tahun 2025. Namun realisasi tahun 2013 baru sekitar 4 persen untuk transportasi. Target dan realisasi mandatori biodiesel tersebut dinilai terlalu rendah mengingat dampak impor solar bagi perekonomian begitu besar. Selain itu, penetapan harga biodiesel (berdasarkan MOPS/Mean Oil Platts Singapore Solar) dinilai kurang berdasar dan tidak kompetetif dibanding dari harga internasional sehinggga mendorong sebagian besar biodiesel diekspor. Hasil simulasi kebijakan pengembangan biodiesel di Indonesia (Susila dan Munadi, 2008; Joni, 2012; Joni et.al 2013; Oktaviani,et.al 2013) mengungkapkan bahwa pengembangan biodiesel memacu pertumbuhan ekonomi nasional, ekonomi daerah, peningkatan produksi CPO, dan menurunkan kemiskinan. b. Kebijakan yang Diperlukan Diperlukan kebijakan yang revolusioner mandatory biodiesel (subsitusi solar dengan biodiesel) sebagai berikut: 1. Meningkatkan dan mempercepat implementasi mandatori biodiesel menjadi B20 tahun 2015-2020, B30 (2021-2030) dan B40 setelah tahun 2031 dengan penerapan insentif dan disinsentif; 2. Menetapkan kebijakan harga biodiesel berdasarkan harga paritas biodiesel internasional semisal MOPS Biodiesel, ICIS atau berdasarkan biaya produksi ditambah margin (ditetapkan setingkat PP), VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050
249
3. Mendesentralisasi mandatori biodiesel sedemikian rupa sehingga kebijakan dan realisasi mandatori biodiesel tidak harus sama untuk setiap provinsi 4. Memberikan insentif perpajakan untuk pengembangan biodiesel, 5. Mengeluarkan kebijakan afirmatif bagi industri otomotif untuk memproduksi kendaraan (FFV/Flexible Fuel Vehicle) dengan bahan bakar nabati sesuai dengan kebijakan mandatori dan SNI, 6. Mengurangi subsidi BBM fosil dan menggunakan sebagian dana pengurangan subsidi tersebut untuk mendukung pelaksanaan mandatori biodiesel, 7. Memberikan insentif bagi pengembangan industri methanol, dan 8. Menjamin pasokan gas bagi industri methanol dan biofuel. 7.8 Kebijakan Perdagangan Internasional a. Uraian Masalah/Argumentasi
Kebijakan pembatasan ekspor minyak sawit dengan berbagai instrument (quota, pajak ekspor/bea keluar) telah berlangsung hampir 40 tahun. Semula kebijakan pembatasan ekspor minyak sawit dimaksudkan untuk mengendalikan harga minyak goreng domestik, kemudian bergeser untuk tujuan penerimaan negara dan hilirisasi. Kebijakan yang terakhir adalah kebijakan bea keluar bagi CPO dan produk turunannya (PMK; 128/2011). Kebijakan bea keluar tersebut besarnya bea keluar hanya ditetapkan berdasarkan harga CPO internasional (juga menetapkan batas bawah harga CPO tidak dikenakan bea keluar) yang dikenal dengan Harga Patokan Ekspor (HPE). Berbagai studi (Manurung, 1993 Tomich dan Mawardi, 1995; Larson, 1996; Susila, 2004; Zulkifli, 2000; Obado, et.al. 2009) mengungkapkan bahwa kebijakan pembatasan ekspor tersebut secara netto merugikan Indonesia. Kebijakan tersebut menguntungkan industri hilir dan penerimaan pemerintah, akan tetapi merugikan perkebunan kelapa sawit. Jika kebijakan tersebut disertai dengan penurunan tingkat suku bunga kredit akan dapat mengkompensasi kerugian perkebunan kelapa sawit tanpa merugikan industri hilir, pemerintah dan konsumen (PASPI, 2014). Selain itu penetapan tarif bea keluar hanya berdasarkan harga CPO internasional dinilai juga kurang tepat karena tidak memperhitungkan tarif bea keluar negara produsen CPO lainnya, 250
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
tarif impor CPO negara pengimpor, pergerakan kurs rupiah maupun pergerakan kurs mata uang negara-negara pengimpor CPO utama. Hal ini menyebabkan CPO Indonesia kalah bersaing dengan CPO Malaysia dan minyak nabati lainnya. b. Kebijakan yang Diperlukan 1. Melanjutkan Kebijakan BK untuk menjamin pasokan bahan baku bagi industri hilir dalam negeri dengan beberapa perbaikan : a. Penetapan tarif BK hendaklah fleksibel tidak hanya mempertimbangkan harga CPO dunia, tetapi juga memperhitungkan tarif BK negara pesaing, tarif impor CPO dan turunannya negara importir utama (EU, India, China) pergerakan kurs rupiah, pergerakan kurs mata uang negara pesaing (ringgit) dan pergerakan kurs mata uang negara importir utama (Euro, Yuan, Rupee). b. Tarif BK makin menurun dengan makin ke hilir produk industri hilir yang diekspor berdasarkan HS code yang disempurnakan. c. Penerimaan pemerintah dari BK sebagian digunakan untuk dana riset industri minyak sawit, subsidi/ pembiayaan replanting kebun sawit rakyat dan pembangunan jalan kebun sawit rakyat serta promosi dan positive campaign. 2. Memfungsikan Kedutaan Besar/perwakilan Indonesia di seluruh negara sebagai “marketing” industri minyak sawit Indonesia termasuk monitoring kebijakan negara pengimpor/ produsen minyak nabati 3. Mengeluarkan kebijakan berbagai bentuk retaliasi perdagangan kepada negara-negara: (a) yang menuduh dumping atau isu lain secara sepihak yang tidak didukung oleh fakta yang dapat dipertanggungjawabkan dan (b) yang menerapkan berbagai bentuk unfair trade yang merugikan Indonesia. 4. Melakukan diplomasi internasional untuk mendorong tanggungjawab bersama dalam pelestarian hutan global dimana setiap Negara-negara di dunia (tidak hanya Indonesia dan Negara tropis lainnya) harus memiliki luas hutan minimal 30% dari arable land.
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050
251
7.9
a.
Kebijakan Perpajakan Uraian Masalah/Argumentasi
Sektor pertanian termasuk didalamnya perkebunan kelapa sawit merupakan sektor yang sangat penting untuk ketahanan pangan nasional, pembangunan daerah pedesaan, pengurangan kemiskinan dan pelestarian lingkungan hidup. Perkebunan kelapa sawit selain menghasilkan barang-barang ekonomi juga menghasilkan eksternalitas positif (jasa lingkungan) yang diberikan gratis kepada masyarakat. Oleh karena itu pertanian/perkebunan seharusnya memperoleh subsidi dan tidak dibebebankan berbagai pajak. Kebijakan perpajakan selama ini masih diutamakan untuk memaksimumkan penerimaan negara. Dengan objektif seperti itu, maka perluasan objek pajak pada mata rantai industri minyak sawit (juga industri lain) menjadi strategi utama dan masalah dampaknya terhadap kinerja pembangunan ekonomi kurang memperoleh perhatian. Perilaku pemerintah daerah dalam menarik kembali/pajak daerah untuk PAD merupakan bagian dari paradigma tersebut. Selain itu, penarikan PPN pada barangbarang modal (seperti pupuk bibit, pestisida, alat dan mesin), penarikan pajak (PBB) yang lebih besar pada perkebunan kelapa sawit produktif (dibandingkan dengan lahan yang tidak diusahai)merupakan kontra produktif bagi pembangunan ekonomi. Penarikan PPN pada setiap mata rantai pasok persawitan melalui mekanisme transaksi antar mata rantai, dimana PPn dihulu (pupuk, pestisida, alat-alat dan mesin-mesin) menjadi bagian biaya dihilir (double margina lization) akan menyebabkan biaya pokok akhir menjadi tinggi (high cost) dan menurunkan kemampuan bersaing. Dimasa yang akan datang kebijakan perpajakan perlu lebih rasional dan difungsikan sebagai instrument reward and punishment pembangunan, tanpa mengurangi upaya mengoptimalkan penerimaan negara. Untuk penerimaan pemerintah dari pajak, hendaknya pemerintah lebih fokus pada peningkatan tax rate pendapatan (PPh) atau sales taxes (pajak konsumen akhir) dan menghapus PPn barang modal, barang antara (intermediate) yang masih diolah kelebih hilir, untuk 252
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
mendorong dan memberhasilkan hilirisasi didalam negeri. Hasil studi (Drajat, 2003; Hutagaol, 2004); Drajat, et.al. 2005) mengungkapkan bahwa penghapusan PPn diperkebunan akan meningkatkan produksi, ekspor, dan nilai tambah dari perkebunan itu sendiri. Pertumbuhan nilai tambah perkebunan akibat dari penghapusan PPn lebih tinggi daripada tarif PPn yang dihapus (better -off). b. Kebijakan yang Diperlukan Usulan kebijakan dalam perpajakan ini adalah : 1. Menghapus PPn (PPn nol persen) barang modal (seperti pupuk bibit, pestisida, alat dan mesin), barang antara yang akan diolah lebih lanjut didalam negeri (hilirisasi). Untuk penerimaan pemerintah sebaiknya dari sales tax (pajak konsumen akhir) dan PPh. 2. Meninjau kembali kebijakan pajak bumi dan bangunan (PBB) yang membebankan PBB lebih besar pada perkebunan kelapa sawit dibandingkan dengan lahan tidak produktif. 3. Memberikan insentif pajak pada kegiatan perkebunan kelapa sawit yang pioner pada daerah tertinggal/pelosok, dan 4. Memberikan insentif pajak untuk kegiatan riset dan pengembangan, pendidikan/training, CSR dan promosi positive campaign . 5. Memberikan insentif pajak untuk industri hilir tanpa membedakan nilai investasinya. 7.10 a.
Kebijakan Riset dan Pengembangan Uraian masalah/Argumentasi Sampai tahun 2013, industri minyak sawit Indonesia khususnya perkebunan kelapa sawit secara ekonomi masih berada pada fase awal pembangunan, yakni produksi CPO masih bertumpu pada pemanfaatan sumberdaya alam (lahan, agro klimat) dan sumberdaya manusia (SDM) yang didominasi belum terampil (unskill labor) yang dikenal dengan fase factor-driven. Dalam periode 2015-2020, industri minyak sawit Indonesia ditargetkan (by design) untuk bergerak lebih maju (naik kelas) kepada industri minyak sawit yang memanfaatkan modal (capital) dengan SDM yang lebih terampil (skilled labor) yakni fase capital-driven. Pada fase ini peningkatan produksi CPO akan dihasilkan dari peningkatan produktivitas CPO perhektar.
Fase ini diharapkan akan dicapai dalam 10 tahun kedepan (20152025). Berikutnya (2026-2050) industri minyak sawit indonesia VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050
253
ditargetkan akan lebih intensif memanfaatkan ilmu pengetahuan (knowledge) yang didukung oleh SDM yang kreatif (talent), yang menghasilkan kenaikan produktivitas total (total productivity) dan bernilai tambah tinggi (high value added). Kunci keberhasilan fase capital-driven dan terutama innovation-driven adalah kemampuan menghasilkan invention (temuan baru) dan inovasi (innovation=new ide+ execution). Untuk menghasilkan invention (pada semua aspek industri minyak sawit) diperlukan R&D yang intensive pada lembaga-lembaga R&D. Sedangkan untuk merubah invention menjadi innovation memerlukan SDM yang kreatif (talent) pada level perusahaan dalam industri minyak sawit Indonesia. Permasalahan R&D pada industri minyak sawit Indonesia selama ini (sampai tahun 2013), diantaranya adalah: (1) Banyak lembaga R&D yang melakukan riset dibidang persawitan (lembaga riset pemerintah, perguruan tinggi) namun berjalan sendiri-sendiri dan tidak ada lembaga yang mengkoordinasi/memimpin; (2) Kegiatan penelitian dibidang industri minyak sawit dari masing-masing lembaga riset tersebut tidak terkoordinir, tidak sinergis dan tidak terkonvergensi pada pemecahan masalah-masalah utama dalam industri minyak sawit; (3) Hasil-hasil penelitian tersebut (invention) sebagian besar tersimpan dalam perpustakaan dan tidak banyak yang menjadi inovasi karena kurangnya mekanisme delivery/desiminasi invention dari lembaga riset ke perusahaan; dan (4) Kurangnya dukungan dana baik dari dana pemerintah maupun dari dunia industri minyak sawit. b. Kebijakan yang Diperlukan
Mengingat inovasi merupakan tulang punggung industri minyak sawit Indonesia menuju 2020 khususnya dalam peningkatan produktivitas CPO dan hilirisasi, diperlukan kebijakan dibidang R&D sebagai berikut:
1. Mengkoordinasi dan mensinergikan kegiatan riset di bidang industri minyak sawit agar secara konvergen melahirkan inventioninvention yang urgen, dan signifikan dalam memajukan industri minyak sawit; 2. Mengembangkan kelembagaan/sistem (pusat informasi dan desiminasi), mekanisme transaksi/desiminasi invention-invention 254
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
dari lembaga-lembaga riset kepada pengguna langsung (perkebunan kelapa sawit dan industri hilir). 3. Mengembangkan kemampuan melakukan innovation pada setiap perusahaan dalam industri minyak sawit dan 4. Menyediakan dana yang memadai baik dari pemerintah maupun dari dunia usaha industri minyak sawit untuk pelaksanaan R&D. 5. Mengembangkan riset aplikasi biofuel untuk kendaraan bermotor, alat berat, pembangkit sampai B100. 7.11 Kebijakan Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) a. Uraian masalah/Argumentasi Perkebunan kelapa sawit sebagai bagian dari sektor pertanian, secara internasional telah diakui memiliki multifungsi (multifunctionality) dalam ekosistem yakni fungsi ekonomi, fungsi sosial dan fungsi ekologis. Dan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang diadopsi akhir-akhir ini juga memiliki/berakar pada ketiga aspek tersebut, atau sering disebut 3P (Profit, People, Planet). Dengan kata lain secara inheren (built-in) perkebunan kelapa sawit adalah pembangunan berkelanjutan dan telah terbukti sejak 100 tahun lalu sampai sekarang. Secara ekonomi peranan industri persawitan sudah lama diakui. Sementara, secara sosial perkebunan kelapa sawit merupakan bagian penting dari penciptaan kesempatan kerja, pembangunan pedesaan dan pengurangan kemiskinan (Susila, 2004, 2008., Joni, 2012., Rofiq, 2013., World Growth, 2009, 2011., PASPI, 2014). Sedangkan secara ekologis perkebunan kelapa sawit memiliki fungsi ekologis seperti fungsi hutan (Henson, 1999., Harahap et.al, 2005) dan memenuhi definisi hutan (Lund, 2005, 2012.,FAO, 2010) sehingga perkebunan kelapa sawit merupakan bagian dari upaya restorasi ekosistem melalui peningkatan biomas dan stok karbon (Chan, 2002), bahkan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut mengurangi emisi gas rumah kaca (Melling, et.al, 2006, 2007., Germer and Sauaerborn, 2008., Sabiham, et.al 2012., Sabiham, 2013). Fungsi perkebunan kelapa sawit sebagai bagian dari fungsi restorasi ekosistem dibuktikan pula oleh hasil citra satelit (Gunarso et.al., 2012) yang mengungkapkan bahwa asal usul lahan perkebunan sawit di Indonesia sebagian besar (97%) adalah dari berbagai jenis degraded land dan low carbon. Selain itu penggantian solar fosil dengan biodiesel (FAME) dapat menurunkan emisi sampai (62%) (European Commission Joint Research Centre 2011). Oleh karena itu kebijakan mandatori biodiesel yang ditempuh pemerintah sangat tepat baik secara ekonomi, sosial dan ekologis. Agar VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050
255
tidak terjadi trade off fuel-food dalam mandatory biodiesel harus dilakukan peningktan produksi CPO yang memadai (PASPI., 2014). Oleh karena itu moratorium (Inpres No.6/2013) harus dicabut, karena selain menghambat pengembangan perkebunan juga menjadi “alat” bagi intervensi asing dalam mencampuri urusan domestic Indonesia. Tentu saja tata kelola perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan akan menjadi perhatian penting kedepan. Oleh karena itu program sertifikasi keberlanjutan (ISPO, RSPO dll) tetap dilanjutkan kedepan. b. Kebijakan yang Diperlukan 1. Menegakkan kedaulatan Indonesia dalam pengelolaan pembangunan dan lingkungan hidup yang berkelanjutan. a) Menolak intervensi asing dalam pengelolaan pembangunan dan lingkungan hidup Indonesia. b) Menolak donasi asing yang dapat mengurangi kedaulatan Indonesia dalam mengelola pembangunan dan lingkungan hidup. 2. Mendorong ekspansi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan a) Mencabut moratorium (Inpres No.6/ 2013) b) Mengalokasikan lahan terdegradasi (degraded land) untuk perkebunan kelapa sawit sebagai upaya restorasi ekosistem c) Mengimplentasikan tata kelola perkebunan berkelanjutan dan mempercepat sertifikasi ISPO atau sertifikasi berkelanjutan lainnya seperti RSPO pada perkebunan kelapa sawit dan industri hilir. d) Menyediakan pembiayaan sertifikasi ISPO bagi perkebunan rakyat. 3. Mempromosikan/mengakui fungsi ekonomi,sosial dan ekologis perkebunan kelapa sawit sebagai bagian dari restorasi ekosistem 7.12 Kebijakan Kelembagaan dan Organisasi Ekonomi Petani Sawit a.
Uraian masalah/Argumentasi Pada kurun waktu 2015 – 2020 mendatang luas areal perkebunan sawit rakyat diperkirakan akan mencapai 7 juta ha atau 51% dari total luas perkebunanan sawit nasional. Hal ini menunjukan perkebunan sawit rakyat akan mendominasi perkebunan sawit nasional. Selama ini masing-masing petani bergerak sendiri-sendiri baik dalam pengadaan pupuk, bibit, pencarian sumber modal, pemanenan dan pengangkutan TBS. Permentan No.98/2013 telah membuka kesempatan kepada koperasi petani untuk ikut dalam pengusahaan PKS bersama-sama 256
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
dengan perusahaan swasta yang bergerak dibidang PKS namun tidak memiliki kebun.Oleh sebab itu petani perlu mengembangkan organisasi ekonominya melalui koperasi perkebunan sawit rakyat agar dapat memenfaatkan skala ekonomi (economic of scale) baik dalam pengadaan sarana produksi, permodalan, pemanenan dan pengangkutan TBS. Bahkan melalui koperasinya (Puskop, Inkop) para petani sawit dapat membeli saham-saham (di pasar modal) perusahaan pabrik pupuk, maupun perusahaan industri hilir minyak sawit. b. Kebijakan yang Diperlukan 1. Memfasilitasi para petani kebun sawit sehamparan untuk membentuk koperasi petani sawit dengan skala yang ekonomis baik pada tingkat koperasi primer, koperasi sekunder (pusat koperasi) maupun induk koperasi. 2. Menyediakan permodalan murah bagi petani sawit / koperasinya untuk membiayai replanting maupun kegiatan bisnis koperasinya 3. Meningkatkan kemampuan managerial petani sawit dalam mengelola koperasinya maupun membangun networking bisnis ke hulu dan ke hilir 4. Mengembangkan lembaga keuangan non bank sebagai penyedia modal bagi anggota koperasi petani sawit 5. Memberikan insentif perpajakan kepada koperasi dan anggotanya. 6. Mengembalikan sebagian Bea Keluar yang telah dipungut pemerintah kepada petani sawit melalui pembangunan sarana prasarana kebun sawit rakyat.
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050
257
258
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
BAB VIII PENUTUP
Cetak biru dan roadmap Industri minyak sawit Indonesia menuju 2050 yang telah disusun dalam buku ini jika direalisasikan dengan baik akan menempatkan Indonesia menjadi pemain utama dalam pasar minyak nabati global khususnya pada pasar minyak sawit serta turunannya. Hal ini tercermin dari besarnya pangsa Inonesia dalam produksi CPO maupun dalam produksi minyak nabati global maupun pada produksi biodiesel global. Bagi perekonomian Indonesia kontribusi Industri minyak sawit baik dalam pertumbuhan ekonomi, pembangunan pedesaan, pengurangan kemiskinan dan pelestarian lingkungan hidup, diproyeksikan makin meningkat dan makin berkualitas serta makin berkelanjutan. Peningkatan produksi CPO dari sekitar 26 juta ton tahun 2013 menjadi sekitar 160 juta ton menuju tahun 2050 yang disertai dengan perluasan hilirisasi didalam negeri Akan menyerap banyak tenaga kerja, memutar perekonomian daerah dan nasional melalui multiplier output, pendapatan,nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja. Demikian juga nilai ekspor yang dihasilkan diproyeksikan naik dari sekitar $21 milayar tahun 2013 menjadi $ 230 milyar menuju tahun 2050. Selain itu hilirisasi dengan pengembangan biodiesel secara revolusioner akan memberi manfaat ganda bagi Indonesia maupun bagi masyarakat internasional. Produksi biodiesel yang diproyeksikan menuju tahun 2050 dapat mensubsitusi konsumsi solar Indonesia sampai 50 persen (B50), sehingga akan mengurangi terkurasnya devisa untuk mengimpor solar. Bagi masyarakat dunia, keberhasilan Indonesia dalam menghasilkan biodiesel akan menyediakan biodiesel sehingga akan mengurangi masalah trade-off fuel-food yang dihadapi banyak negara khususnya di negara-negara maju Tentu saja, subsitusi solar (petrofuel) dengan biodisel juga akan mengurangi emisis GHG yang terus meningkat di setiap negara. Tidak hanya itu, melalui perkebunan kelapa sawit, emisi karbondioksida yang terus meningkat diberbagai negara, sebagian akan diserap dan disimpan oleh perkebunan kelapa sawit. Dan menghasilkan oksigen yang gratis bagi masyarakat dunia. VIII. Penutup
259
Cetak biru dan roadmap industri minyak sawit Indonesia 2050 ini masih bersifat agregat/ nasional. Untuk lebih realistis dan implementatif, perlu di review secara periodic dan diterjemahkan pada level daerah (provinsi, kabupaten), level industri ( industri pembibitan, industri olein, industri oleokimia dan turunannya, industri detergen/ sabun, industri biodiesel) dan selanjutnya pada level perusahaan dalam bentuk rencana tahunan. Demikian juga aspek kebijakan strategis industri minyak sawit nasional perlu didisain lebih implementatif temasuk instrumen, lembaga eksekutor, sinergitas kebijakan, serta proses dan time skedul delivery-nya.
260
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
DAFTAR PUSTAKA ADB, 2004: Agriculture and Rural Development Strategy Study. Asian Development Bank and Ministry Agriculture of Indonesia. ADB, 2006: Indonesia Strategic Vision of Agriculture and Rural Development. Alexandratos, N. 2009. World Food and Agriculture To 2030/2050. Expert Meeting on How Feed The World in 2050. FAO. Amzul, R. 2011: The Role Palm Oil Industry in Indonesia Economy and Its Export Competitiveness. PhD Dissertation. University Of Tokyo. Badan Pusat Statistik. 1990-2013. Statistik Indonesia. BPS. Jakarta. Badrun, M. 2010: Lintasan 30 tahun Pengembangan Kelapa Sawit. Direktur Jendral Perkebunan, Kementerian Pertanian RI. Balisacan, A. M., E. M. Pernia and A. Asra. 2003: Revisiting Growth and Poverty Reduction in Indonesia. What Do Subnational Data Show? Bulletion of Indonesian Economic Studies. 39 (3): 331-53. Bapenas, 2013. Kinerja Pembangunan 2004-2011. Bapenas Jakarta. Barlow, C. Zahara z. and R. Gondowarsito, 2003: Indonesian Palm Oil Industry: Oil Palm Industry Economic Journal Vol: 3(1): P 8-15. BPPT. 2013. Outlook Energi Indonesia 2013; Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi BPPT, Jakarta. Brunskill, A. 2012. Current and Future Issues and Challenges for The Oleochemichal Industry. LMC International. London Chan, K. W. 2002: Oil Palm Carbon Sequestration and Carbon Accounting: Our Global Strength. MPOA. Corley, R.H.V, 2008. How Much Palm Oil Do We Need? Environmental Science and Policy 12 (2009): 134-139 Dradjat, B. R. Suprihatin, Herman, K. Anwar. 2005. Dampak Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai Pada Kinerja Komoditas Primer Perkebunana Analisis Kebijakan Pertanian 3 (2): 106-132. Drescher A, R. Glaser, C. Richert, K. Nippes. 2011. Demand Key Nutriments NPK in The Year 2050. Department of Geography of Freiburg. Energi Information Administration. 2008. World Average Crude Oil Price: Actual 2968-2011 and Forcast. EPA. 2005. Average Carbon Dioxide Emissions Resulting from Gasoline an Diesel Fuel. Fahmudin, A. and I. G. Made Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Badan Litbang. Departemen Pertanian VIII. Daftar Penutup Pustaka
261
Fairhurst. T. and R. Hardter, 2004: Oil Palm: Management for Large and Sustainable Yields. Oxford Graphic Printers, Pte Ltd. FAO. 2012. World Agricultural: Towards 2030/2050. The 2012 Revision. FAO. Rome. Italy Gerbens-Leenes, Hoekstra P. Van der Meer, T. 2009: The Water Footprint of Energi From Biomass: A Quantitative Assessment and Consequences of an Increasing Share of Bioenergi Supply. Ecological Economics 68:4: 1052-1060. Germer, J. and J. Sauaerborn, 2008. Estimation of The Impact of Palm Oil Plantation on GHG Balance. Environ & Development Sustainability. 10: 697-716 Goenadi, 2008: Prospective on Indonesian Palm Oil Production. Paper Presented on The International Food and Agriculture Policy Council. Spring 2008 Meeting. Bogor Gunarso, P, M. E. Hartoyo, Y. Nugroho, N.I. Ristiana, R. S. Maharani. 2012: Analisis Penutupan Lahan Dan Perubahannya Menjadi Kebun Kelpa Sawit Di Indonesia Tahun 1990-2010. Harahap, I. Y, Y Pangaribuan, H. H Siregar, E Listia. 2005: Lingkungan Fisik Perkebunan Kelapa Sawit. PPKS. Medan Henson, I. E. 1999. Comparative Ecophysiology of Oil Palm and Tropical Rain Forest. Oil and Environment. A Malaysian Prespective. Kuala Lumpur Hirano, T. Jauhiainen, J. Inoue, T. and Takahasi, H. 2009. Control on Carbon Balance of Tropical Peat Lands. Ecosystem. 12: 873-887 Hirano, T. Segah, H.; Harada, T., Limin, S., June, T., Hirata, R. And Osaki, M. 2007. Carbondioxide Balance of Tropical Peat Swamp Forest in Kalimantan. Indonesia. Global Change Biology. 13: 412-435 Huylenbroeck, G. V.; V. Vandermulen, E. Mette Penningen, A. Verspecht. 2007: Multifungtionality of Agriculture: A Review Definition, Evidence and Instruments. Living Review in Landscape Research 1: (2007) : 3 ICF Consulting. 2005. Long Term Crude Oil Supply And Prices California Energi Commissions. Islam, N. 1997: The Non-Farm Sector and Rural Developments Review Issues and Evidence In A 2020 Vision For Food Agriculture And The Environment. IFPRI: Jauhiainen, J. Vasander, H. Jaya, A. Takashi, I. Hikkinen, J. Martiknen, P. 2004. Carbon Balance in Manage Tropical Peat in Central Kalimantan Indonesia. in Wise Use of Peat Land. Proceeding of The 12th International Peat Congress. International Peat Society. PP. 653-659 262
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Joni, R. 2012. Dampak Pengembangan Biodiesel dari Kelapa Sawit Terhadap Kemiskinan, Pengangguran dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Disertasi. IPB. Bogor. Joni, R. E. G. Said, Harianto, N. Kusnadi. 2012. Dampak Perkembangan Industri Biodiesel dari Kelapa Sawit Terhadap Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri Minyak Kelapa Sawit Indonesia. Jurnal Teknologi Industri Pertanian 20(3); 143-151. Joosten, H. 2009. The Global Peat Land CO2 Picture: Peat Land Status and Emission in all Countries of The World. Wet Land International, ede. (dipersiapkan untuk UNFCCC, Bangkok Sep/Okt 2009) Kementerian Pertanian RI. 1990-2013: Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia 1990-2013. Larson, D. F. 1996: Indonesia’s Palm Oil Sector. Policy Research Workers Paper. World Bank. Melling, L. 2010. Green House Gases Emission from Tropical Peat Land; Myth, Fact and uncertainties. International Oil Palm Conference. Yogyakarta. PP6. Melling, L. Goh. K.J. and R. Hatanto.2007. Comparison Study Between GHG Fluxes from Forest and Oil Palm Plantation on Tropical Peat Land of Serawah Malaysia. International on Oil Palm and Environment. Bali. Indonesia. Melling, L. Hatano, R. and Goh, K. J. 2005. Soil CO2 Flux from Ecosystem in Tropical Peat Land of Serawak. Malaysia. Tell us. 57: 1-11. Melling, L. Hatano, R. and Goh, K. J. 2007. Nitrous oxide Emission From Three Ecosystem in Tropical Peat Land of Serawak Malaysia. Soil Science & Plant Nutrition. 53: 792-805. Melling, L.;K.J Goh; C. Beavies. R. Hatanto.2007.Carbon Flow and Budget in A Young Mature Oil Palm Agroekosistem on Deep Tropical Peat. Proceding of The International Symposium on Tropical Peat Land. Jakarta. Yogya. Murayama, S. and Baker, Z. A. 1996. Decomposition of Tropical Peat Soils. Decomposition Kinetic of Organic Matter of Peat Soils. Japan Agricultural Research. Quarterly. 30: 145-151. OECD. 2001. Multifunctionality Towards An Analytical Framework. OECD. Paris. OECD/FAO, 2007: Agricultural Outlook 2007-2016. Paris. Oil World. 2009-2012. Oil World Statistic. ISTA Mielke GmBh. Hamburg Pinkoh L. Wilcove, D. 2008: Is Palm Oil Agriculture Really Destroying Tropical Agriculture? Conservation Latter I: 60-64. PWC. 2013. World in 2050: The BRICs and Beyond: Prospects, Challenges and Opportunities. VIII. Penutup Daftar Pustaka
263
Rabobank, 1996: Food and Agribusiness in Indonesia. Food and Agribusiness Research Rabobank International Nederland. Rabobank. 1995: The Oilseed Complex. Rabobank International Food and Agribusiness Research. Nederland. Rofiq, H. N. 2013. Economies Analysis of Palm Oil Plantation and Oil Palm Productivity in Effect on Percapita Income in Indonesia. International Institute of Social Studies. The Huge. The Netherlands. Rosegrant, M.W, M. Ewing, S. Msangi, T. Zhu. 2008. Bioenergi and Global Food Situation Until 2020/2050. W. BGU. Washington DC, Berlin. Rupilus, W. and S. Ahmad. 2007. The Changing World of Oleochemical. Palm Oil Development. Sabiham, S. 2013. Sawit dan Lahan Gambut dalam Pembangunan Kebun Kelapa Sawit di Indonesia. Himpunan Gambut Indonesia. Sabiham, S., S.D. Tarigan, Haryadi I. Las, F. Agus, Sukarman, P. Setyanto and Wahyunto. 2012. Organic Carbon Storage and Management Strategies For Reducing Carbon Emission from Petlands. Pedologist 55 (3): 426-434 Sato, Y. 1997: The Palm Oil Industry in Indonesia. It’s Structural Changes and Competitiveness. Waves of Change in Indonesia’s Manufacturing Industry. IDE. Tokyo. Sipayung, T. 2012. Ekonomi Agribisnis Minyak Sawit. IPB Press. Bogor. Sugiyono., I. Y. Harahap., Winarna., A.D. Koedadiri., A. Purba., P. Pura. 2003. Penilaian Kesesuaian Lahan. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan. Suhaila, A. M. 2012: The Palm Oil Industry From The Perspective of Sustainable Development: The Case Study of Malaysian Palm Oil Industry, Master Thesis. Graduate School of Asia Pacific Studies Ritsumeikan Asia Pacific University Japan. Sumarto, S and A. Suryahadi.2004: Trade, Growth and Poverty in Indonesia. National Conference Of The University Outreach Network. Bogor. Susila, W.R. dan E. Munadi 2008. Dampak Pengembangan Biodiesel Berbasis CPO Terhadap Kemiskinan di Indonesia. Informatika Pertanian 17(2); 1173-1194. Susila, W. R. 2004. Contribution of Palm Oil Industry to Economic Growth and Poverty Allevation in Indonesia. Jurnal LITBANG Pertanian 23(3). Susila, W.R. 2004. Impact of CPO Export Tax on Several Aspects on Indonesia CPO Industry. Oil Palm Industry Economic Journal 4 (2): 1-13. Tomich, T.P dan Mawardi, M. S. 1995: Evolution of Palm Oil Trade Policy in Indonesia 1978-1991. Elaeis Volume 7 (1): P 87-102. 264
GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
USDA Foreign Agricultural Service, 2012. EU Biofuel Annual 2012. Global Agricultural Information Network. USDA Foreign Agricultural Service, 2013. Indonesia Biofuel Annual 2013. Global Agricultural Information Network. Valenzuela, E and K. Anderson. 2011. Projecty The World Economy to 2050: Agricultural in the Economy-Wide GTAP Model. Center For International Economic Studies. University of Adelaide. Australia. World Bank, 2002: People, Poverty and Livelihoods: Links For Sustainable Poverty Reduction in Indonesia. World Bank. Washington DC. World Bank, 2010: Agricultural Rural Development Data. World Bank. Washington DC. World Bank, 2011: The World Bank Grup Framework and IFC Strategy for Engagement in The Palm Oil Sector. The World Bank and International Financial Corporation. World Energi Council. 2013. World Energi Scenarios: Composing Energi Futures To 2050. Switzerland. World Growth, 2009: Conversion The Immutable Link Between Forestry and Development, Arlington VA. World Growth, 2009: Palm Oil: The Sustainable Oils. World Growth, 2011 World Bank’s Revised Palm Oil Strategy Undermines Economic Development and Restricts Global Markets. World Growth. World Growth, 2011: The Economic Benefit of Palm Oil to Indonesia. World Growth. Zen, Z, Barlow, C and Gondowarsito, R. 2006: Oil Palm in Indonesia Socio-Economic Improvement: A Review of Option. Industry Economic Journal, Vol.6: PL8-29.
VIII. Penutup Daftar Pustaka
265