Volume 5 Nomor 1, Maret 2016 Jurnal Hukum dan Peradilan memuat naskah yang bersumber dari hasil penelitian/penelaahan tentang Hukum dan Peradilan yang belum pernah dipublikasikan. Jurnal Hukum dan Peradilan terbit sebanyak 3 nomor setahun (Maret, Juli, November)
Susunan Redaksi (Editorial Board) Penanggung Jawab (Officially Incharge)
: Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, S.H., M.S.
Redaktur (Chief Editor)
: R. Wijaya Brata K. S,Komp., M.M.
Editor (Editors)
: H. Asep Safei, M.M. H. Hudan Isnawan, S.H., M.Si. Muh. Ridha Hakim, S.H. Sri Gilang M. Sultan Rahma P, S.H. Bintang Alvita, S.S.
Mitra Bestari (Reviewers)
: Prof. Dr. Jaih Mubarrok Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, S.H., M.S.
Web Admin
: Bestian Panjaitan, S.Kom., M.Ak. Muhammad Zaky Albana, S.Sos. Zulfia Hanum Alfi S., S.Pd. Bismo Anggoro
Web Developer
: Andre Tatengkeng Hendro Yatmoko, S.Kom. Randy Viyatadhika, S.T. Yoga Pradana Pamungkas, S.Kom.
Alamat Redaksi Jurnal Hukum dan Peradilan Gedung Sekretariat Mahkamah Agung RI Jln. Jend. A. Yani (By Pass) Kav. 58 Lt.10 Cempaka Putih, Jakarta Pusat 13011 Email:
[email protected] dan
[email protected]
Isi Jurnal dapat dikutip dengan menyebut nama sumbernya (Citation is permitted with acknowledgement of the source) Opini yang dimuat dalam jurnal ini tidak mewakili pendapat resmi MA RI
Volume 5 Nomor 1, Maret 2016 PENGANTAR REDAKSI Bismillahirrahmanirrahim Puji dan syukur sepatutnya senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, Dzat Yang Maha Sempurna, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kita bisa berbuat yang terbaik, amin. Salah satu program prioritas Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, yakni penerbitan jurnal Hukum dan Peradilan diharapkan menjadi upaya positif Puslitbang Kumdil MA-RI sebagai Supporting Unit Mahkamah Agung RI secara kelembagaan untuk mendukung terwujudnya visi dan misi Mahkamah Agung RI yaitu : “Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung”. Kehadiran Jurnal Hukum dan Peradilan sebagai media bagi insan peradilan, akademisi, praktisi dan pemerhati hukum diharapkan dapat menjadi wadah mengaktualisasikan ide pemikiran melalui penelitian, pengkajian dan pengembangan hukum dan peradilan secara ilmiah, yang nantinya dapat menjadi pencerah di tengah upaya besar bangsa untuk menata pembangunan hukum dan peradilan di masa mendatang. Pada penerbitan jurnal hukum dan peradilan edisi Maret 2016 ini, kami memuat lima naskah artikel ilmiah dan tiga naskah ringkasan Disertasi. Penerbitan Naskah Ringkasan Disertasi dalam Jurnal Hukum dan Peradilan ialah sebagai upaya redaksi untuk menghadirkan perkembangan riset terbaru dalam dunia hukum yang dikembangkan melalui penelitian Disertasi pada perguruan tinggi, khusus terkait dengan riset – riset hukum yang berkaitan dengan kepentingan dunia peradilan. Penerbitan Jurnal Hukum dan Peradilan sejak edisi Maret 2016 ini juga menandai dimulainya penerbitan Jurnal Hukum dan Peradilan dengan sistem e-journal. Sistem e-journal merupakan sistem penerbitan jurnal ilmiah secara elektronik dengan memanfaatkan jaringan internet. Dengan sistem e-journal tersebut maka diharapkan akses untuk membaca berbagai karya ilmiah yang diterbitkan menjadi lebih mudah dan dapat melayani jangkauan pembaca yang lebih luas. Para pembaca dapat mengakses ejournal tersebut pada situs www.jurnalhukumdanperadilan.org, selain itu para pembaca yang berminat menjadi penulis naskah juga dapat melakukan registrasi sebagai penulis naskah serta mengirimkan naskah melalui situs tersebut. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada yang mulia Ketua Mahkamah Agung RI dan seluruh Unsur Pimpinan Mahkamah Agung RI yang terus memberikan dukungan untuk terbitnya jurnal ini, juga terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Badan Litbang Diklat Kumdil MA-RI yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam proses penerbitan jurnal ini. Begitupun kepada para penulis yang telah berkontribusi mengirimkan artikelnya dan para Mitra Bestari yang telah meluangkan waktunya untuk mereview artikel para penulis, semoga amal kebaikannya mendapat pahala yang setimpal dari Allah SWT. Tuhan Yang Maha Kuasa. Amin. Jakarta, Maret 2016
Redaksi
i
Volume 5 Nomor 1, Maret 2016
DAFTAR ISI Pengantar Redaksi Daftar Isi Daftar Abstrak H. SANTHOS WACHJOE P. Penggunaan Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti Persidangan ………..…………………..…………………..
001 - 018
MUHAMAD ISNA WAHYUDI Kajian Kritis Ketentuan Waktu Tunggu (Iddah) dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan ……………….…………….……………………….
019 - 034
TRI CAHYA INDRA PERMANA Model Penyelesaian Perselisihan Partai Politik Secara Internal Maupun Eksternal ………………………..….………………….………………….
035 - 052
TEGUH SATYA BHAKTI Politik Hukum dalam Putusan Hakim ………………….………….………..
053 - 072
SRI GILANG MUHAMMAD S.R.P Perlindungan Keanekaragaman Hayati dalam Hukum Islam……...
073 - 090
ADRIANO Karakteristik Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ……….……..
091 - 112
NURNANINGSIH AMRIANI Penerapan Prinsip Keterbukaan atas Putusan Arbitrase ICSID di Indonesia dan Perbandingannya dengan Beberapa Negara …....…
113 -134
YODI MARTONO WAHYUNADI Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan …………………………………….………………
135 - 154
Biografi Penulis Pedoman Penulisan Jurnal
iii
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 Nomor 1, Maret 2016 ISSN : 2303-3274
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya H. SANTHOS WACHJOE P. PENGGUNAAN INFORMASI ELEKTRONIK DAN DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI PERSIDANGAN Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 5 No. 1 Hlm. 001 - 018 Praktek persidangan selalu mengacu kepada aturan-aturan yang tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang selama ini sangat terasa bahwa UndangUndang tersebut sudah sangat tertinggal, utamanya terhadap pengaturan mengenai alat bukti yang dapat dipergunakan di persidangan. Makalah ini akan sedikit menguraikan mengenai penggunaan dokumen elektronik sebagai alat bukti di persidangan. Semoga makalah ini dapat memberikan pencerahan kepada Aparat Penegak Hukum di dalam melaksanakan tugas-tugasnya, terutama di dalam proses persidangan. Kata kunci : informasi elektronik, dokumen elektronik, alat bukti H. SANTHOS WACHJOE P. THE USAGE OF ELECTRONIC INFORMATION AND DOCUMENT AS COURT EVIDENCE Journal of Law and Justice, Vol. 5 No. 1 page 001 - 018 Court trials always refer to the rules contained in Law No. 8 1981 of the Criminal Code, which seem underdeveloped, mainly about the arrangements regarding evidence which can be used in the court. This paper outlines the use of a few electronic documents as evidence in the trial. Hopefully, this paper can provide enlightenment to the law enforcement authorities in carrying out their duties, particularly in the proceedings. Keywords : electronic information, electronic document, evidence
v
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 Nomor 1, Maret 2016 ISSN : 2303-3274
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya MUHAMAD ISNA WAHYUDI
KAJIAN KRITIS KETENTUAN WAKTU TUNGGU (IDDAH) DALAM RUU HMPA BIDANG PERKAWINAN Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 5 No. 1 Hlm. 019 - 034 Terdapat beberapa ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan yang perlu dirumuskan sesuai dengan kondisi saat ini. Dengan cara tersebut, hukum perkawinan Islam di Indonesia akan progresif dan tidak diskriminatif terhadap kaum perempuan. Artikel ini adalah kelanjutan dari artikel yang berjudul “Menuju Hukum Perkawinan Islam Progresif,” yang terbit dalam Jurnal Hukum dan Peradilan, volume 3, nomor 1, Maret 2014. Dalam artikel ini penulis mencoba menawarkan pembacaan ulang terhadap ketentuan waktu tunggu (iddah) yang sesuai dengan konteks saat ini. Sebagai hasilnya, ketentuan waktu tunggu seharusnya mengikat baik kepada janda maupun duda. Kata kunci : iddah, seks, gender, kesetaraan
MUHAMAD ISNA WAHYUDI
THE CRITICAL STUDY OF WAITING PERIOD REGULATION ON THE BILL OF THE RELIGIOUS COURTS’ MATERIAL LAW MARRIAGE MATTERS Journal of Law and Justice, Vol. 5 No. 1 page 019 - 034 There are some provisions of Bill on the Religious Courts’ Material Law on marriage that need to be formulated in accordance with the current conditions. In this way, the Islamic Marriage Law in Indonesia will become progressive and not discriminative against women. This article is the continuation of the article entitled “Menuju Hukum Perkawinan Islam Progresif” which is published in Jurnal Hukum dan Peradilan volume 3, number 1, March 2014. In this article, the author tries to offer reinterpretation on the provision of waiting period (iddah) in accordance with the current context. As the result, the waiting period should bind both widow and widower. Keywords : waiting period, sex, gender, equality
vi
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 Nomor 1, Maret 2016 ISSN : 2303-3274
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya TRI CAHYA INDRA PERMANA MODEL PENYELESAIAN PERSELISIHAN PARTAI POLITIK SECARA INTERNAL MAUPUN EKSTERNAL Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 5 No. 1 Hlm. 035 - 052 Undang-Undang Parpol mengatur bahwa perselisihan Parpol diselesaikan secara internal oleh Mahkamah Partai atau sebutan lain daripada itu dan secara eksternal oleh Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung. Substansi perselisihan yang final dan mengikat di Mahkamah Partai adalah perselisihan kepengurusan, selebihnya dapat diajukan upaya hukum ke Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung. Di dalam praktek, pengaturan tersebut telah menjauhkan dari rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, oleh karenanya sebaiknya direvisi yang mana perselisihan PAW, pelanggaran terhadap hak anggota partai politik, penyalahgunaan wewenang, pertanggungjawaban keuangan, dan atau keberatan terhadap keputusan partai politik (termasuk keputusan untuk tidak memutuskan terhadap sesuatu hal) final dan mengikat dengan Putusan MPP. Sedangkan perselisihan kepengurusan dapat diajukan upaya hukum ke Mahkamah Konstitusi. Kata kunci : perselisihan parpol, mahkamah partai, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi
TRI CAHYA INDRA PERMANA THE MODEL OF POLITICAL PARTY DISPUTE SETTLEMENT INTERNALLY AND EXTERNALLY Journal of Law and Justice, Vol. 5 No. 1 page 035 - 052 Political parties act stipulates that a political party dispute resolved internally by the Mahkamah Partai or other designation of that and externally resolved by the District Court and the Supreme Court. The dispute substance in Mahkamah Partai which is final and binding is about organization dispute, the other can be settled in District Court and the Supreme Court. In practice, that arrangement makes the decision apart from the sense of justice, legal certainty and utility. Therefore, these rules should be revised so that the regulation of PAW, violations of the rights of members of political parties, abuse of authority, financial liability, or an objection to the decision of political parties (including the decision not to decide on something) is final and binding through Mahkamah Partai decision. While the organization disputes can be submitted to the Constitutional Court for legal action. Keywords : political party dispute, Mahkamah Partai, Supreme Court, Constitutional Court
vii
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 Nomor 1, Maret 2016 ISSN : 2303-3274
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya TEGUH SATYA BHAKTI POLITIK HUKUM DALAM PUTUSAN HAKIM Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 5 No. 1 Hlm. 053 - 072 Suatu undang-undang (hukum tertulis) tidak pernah lengkap, jelas dan tuntas mengatur kehidupan masyarakat, sehingga selalu tertinggal dalam mengikuti perkembangan masyarakat. Untuk mengikuti perkembangan itu, maka undangundang tersebut perlu untuk selalu dikembangkan agar tetap aktual dan sesuai dengan zaman. Pelaksanaan dan perkembangan peraturan perundang-undangan terjadi melalui putusan hakim (yurisprudensi) dalam proses peradilan. Dengan kata lain, yurisprudensi dimaksudkan sebagai pengembangan hukum, guna memenuhi kebutuhan hukum pencari keadilan. Pelaksanaan fungsi penegakan hukum dan keadilan maupun fungsi penemuan hukum (rechtsvinding) yang terwujud dalam suatu putusan hakim (yurisprudensi), haruslah mengacu kepada pancasila sebagai norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm) atau kearifan/kegeniusan nasional (national wisdom/national genius) dan UUD 1945 sebagai hukum dasar negara, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia. Hal demikianlah yang merupakan perwujudan politik hukum dalam putusan hakim. Kata kunci : politik hukum, putusan hakim H. SANTHOS WACHJOE P. THE POLITIC OF LAW IN A VERDICT Journal of Law and Justice, Vol. 5 No. 1 page 053 - 072 A law (written law) was never full, clear and complete set of community life, so it is always lagging behind follows the development of society. To keep abreast of it, the law should always be developed in order to remain update and relevant to the times. Implementation and development of legislation going through the verdict (jurisprudence) in the judicial process. In other words, jurisprudence intended as legal development, to meet the legal needs of justice seeker. Implementation of the functions of law enforcement and justice as well as the function of legal discovery (rechtsvinding) embodied in a verdict (jurisprudence), should refer to Pancasila as the norm of fundamental state (staatsfundamentalnorm) or wisdom / genius of the national (national wisdom / national genius) and 1945 as the basic law of the state, so that the decision reflects the sense of justice of the nation and the people of Indonesia as well. It declares a political manifestation of the law in a verdict. Keywords : politics of law, verdic
viii
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 Nomor 1, Maret 2016 ISSN : 2303-3274
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya SRI GILANG MUHAMMAD S.R.P. PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DALAM HUKUM ISLAM Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 5 No. 1 Hlm. 073 - 090 Keanekaragaman hayati adalah salah satu komponen lingkungan hidup yang berperan penting dalam membentuk ekosistem serta memberikan daya dukung bagi kehidupan di Bumi, sehingga diperlukan upaya-upaya untuk melindungi kelestariannya. Islam sangat menyadari peran penting keanekaragaman hayati tersebut, oleh karena itu Islam turut berperan serta dalam melakukan perlindungan keanekaragaman hayati melalui hukum Islam. Perlindungan terhadap keanekaragaman hayati dalam hukum Islam ditunjukkan melalui berbagai aturan yang bersumber dari Al-Quran, hadits dan fatwa para ulama serta juga ditunjukkan dengan praktek keberadaan institusi konservasi yang dikenal dengan nama Hima dan Zona Harim. Indonesia sebagai negara dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia serta negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia mempunyai peran penting untuk mengembangkan dan memanfaatkan tradisi hukum Islam dalam perlindungan keanekaragaman hayati dalam lingkup pengaturan hukum nasional guna meningkatkan partisipasi umat Islam secara global dalam kegiatan perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup, khususnya keanekaragaman hayati.
Kata kunci : perlindungan, keanekeragaman hayati, hukum islam, hima, zona harim
SRI GILANG MUHAMMAD S.R.P. BIODIVERSITY PROTECTION ON ISLAMIC LAW Journal of Law and Justice, Vol. 5 No. 1 page 073 - 090 Biodiversity is one of the components of the environment which plays an important role in shaping the ecosystem that provides life support on Earth. For that reason, the efforts to provide protection is necessary. Islam is very much aware of the important role of biodiversity, therefore Islam have participated in biodiversity protection through Islamic law. The protection of biodiversity in Islamic law demonstrated by the various rules derived from the Quran, hadith and fatwas of the scholars as well as demonstrated by the existence of conservation institution known as Hima and Zone Harim. Indonesia as the country with the second greatest biodiversity in the world and a country with a largest Muslim majority population in the world have an important role to develop and utilize the Islamic legal tradition in the protection of biodiversity in the scope of the provisions of national in order to increase the participation of Muslims globally in protection and preservation activities of the environment, especially biodiversity.
Keyword : protection, biodiversity, islamic law, hima, harim zone
ix
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 Nomor 1, Maret 2016 ISSN : 2303-3274
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya ADRIANO KARAKTERISTIK PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 5 No. 1 Hlm. 091 - 112 Disertasi ini membahas lebih dalam mengenai karakteristik korporasi yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, keduanya didiskusikan pada kerangka yang sama dari pertanggungjawaban pidana korporasi. Meskipun demikian, seringkali pada beberapa hukum atau peraturan selain KUHP, baik pada hukum pidana maupun hukum administratif dengan sanksi pidana, perusahaan digambarkan sebagai sekumpulan orang/kekayaan yang terorganisir baik yang berbadan hukum maupun yang tidak. Pengertian ini sangat jauh berbeda dari apa yang dinyatakan oleh para ahli hukum terutama pada hukum pidana yang biasanya menyatakan perusahaan sebagai badan hukum. Meskipun demikian, hal ini tidaklah sama bagi perusahaan yang tidak berbadan hukum. Perbedaan tersebut akan menyebabkan konsekuensi hukum tersendiri karena perusahaan tidak bisa dan tidak akan pernah diperlakukan sama terkait pertanggungjawaban pidana korporasi. Kata kunci : pertanggungjawaban pidana korporasi, karakteristik, badan hukum, tidak berbadan hukum ADRIANO THE CHARACTERISTICS OF CORPORATE CRIMINAL RESPONSIBILITY Journal of Law and Justice, Vol. 5 No. 1 page 091 - 112 This dissertation analyzed for real about characteristics of an entity, either a legal or the nonlegal "entity'' which all were discussed in the same outline of corporate crime responsibility. It was often, though, in several laws aside from the Penal Code of Indonesia (KUHP), both in Criminal Law and Administrative Law with criminal sanction, that corporate is defined as a collection of organized people and or wealth, either as a legal or the nonlegal entity. The definitions in those laws are really different from those of law experts, especially those of criminal law who basically identify corporate as a legal entity, however the same is not true for those of the nonlegal entity. Such differences of the legal and nonlegal entities would bring their own legal consequences, therefore they could not and would not be treated the same referring to corporate criminal responsibility. Keywords: corporate criminal responsibility, characteristics, legal entity, nonlegal entity
x
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 Nomor 1, Maret 2016 ISSN : 2303-3274
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya NURNANINGSIH AMRIANI PENERAPAN PRINSIP KETERBUKAAN ATAS PUTUSAN ARBITRASE ICSID DI INDONESIA DAN PERBANDINGANNYA DENGAN BEBERAPA NEGARA Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 5 No. 1 Hlm. 113 - 134 Kerahasiaan putusan arbitrase ICSID sudah mulai diterobos dengan keterbukaan putusan atas peluang yang diberikan oleh Pasal 48 ayat (5) Konvensi ICSID dan Aturan 48 ayat (4) ICSID Arbitration Rules. Perubahan norma hukum dari kerahasiaan menjadi keterbukaan putusan arbitrase ICSID dengan membandingkan penerapannya antara negara Indonesia dengan Malaysia, Singapura dan Jepang, diharapkan memberi manfaat yang besar bagi masyarakat secara luas termasuk didalamnya negara anggota ICSID. Hasil penelitian disertasi ini membuktikan bahwa keterbukaan putusan arbitrase ICSID diperlukan daripada kerahasiaan putusan dengan beberapa alasan penting dan tidak menimbulkan masalah. Bahkan membantu mewujudkan pelaksanaan asas pemerintahan yang baik. Melalui tulisan ini akan diketahui perlunya unifikasi hukum mengenai kewajiban publikasi putusan dan perlunya amandemen Undang-Undang Arbitrase di Indonesia. Kata kunci : prinsip keterbukaan, putusan arbitrase, ICSID, negara. NURNANINGSIH AMRIANI THE IMPLEMENTATION OF TRANSPARENCY PRINCIPLES FOR ICSID ARBITRATION AWARDS IN INDONESIA AND THE COMPARISON WITH SEVERAL COUNTRIES Journal of Law and Justice, Vol. 5 No. 1 page 113 - 134 Confidentiality ICSID arbitration award already started breached by the transparency award on the opportunity provided by Article 48 paragraph (5) of the ICSID Convention and Rule 48 paragraph (4) of the ICSID Arbitration Rules. Changes in the legal norms of confidentiality to transparency of ICSID arbitration award by comparing its application in Indonesia, Malaysia, Singapore and Japan, are expected to provide great benefits for society include ICSID member countries. This dissertation research results prove that the ICSID arbitration ruling required transparency rather than confidentiality award for several important reasons and not cause problems. Even it helped realize the implementation of good governance principles. the article will note the need for unification of the laws regarding the responsibility of publication award and the need to amend the Arbitration Law in Indonesia. Keywords : principles of transparency, arbitration award, ICSID, state.
xi
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 Nomor 1, Maret 2016 ISSN : 2303-3274
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya YODI MARTONO WAHYUNADI KOMPETENSI ABSOLUT PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM KONTEKS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 5 No. 1 Hlm. 135 - 154 Dalam konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP) kompetensi PTUN tidak hanya Keputusan Tata Usaha Negara akan tetapi mempunyai kompetensi mengadili Tindakan Administrasi. Selain itu pula PTUN mempunyai kompetensi memutus permohonan untuk menentukan penilaian ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang serta permohonan keputusan fiktif positif. Sikap diam atau abainya Badan dan/atau Pejabat pemerintahan terhadap permohonan badan atau seseorang dianggap telah mengeluarkan keputusan. Kompetensi PTUN yang baru lainnya terhadap keputusan Badan atau Pejabat pemerintahan yaitu Upaya Administrasi. UUAP tidak hanya mengatur hukum materiil tetapi juga hukum formil (acara). Untuk itu UUAP harus diubah hanya memuat hukum materiil saja dan perlu adanya perubahan terhadap UU Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengakomodir penegakan hukum materiil. Kata kunci: Pengadilan Tata Usaha Negara, kompetensi, hukum materiil, hukum formil. YODI MARTONO WAHYUNADI THE ABSOLUT COMPETENCE OF ADMINISTRATIVE COURT BASED ON LAW NUMBER 30 OF 2014 CONCERNING GOVERNMENT ADMINISTRATION Journal of Law and Justice, Vol. 5 No. 1 page 135 - 154 In the context of Law Number 30 of 2014 concerning Government Administration the competence of administrative court was not only the decision of the Administration but also has the competence to judge the actions of Administration. In addition administrative court also have competence to decide an application for assessment to determine whether there are elements of authority abuse as well as the application for a fictitious positive decision. However to determine the application for approval of a person or body of civil law are not automatically, but must first be tested through administrative courts. The Government's Administration Law regulates the material law and formal law. For the Government's Administration Law should be amended to load any material law and the need for changes to the Administrative Law to accommodate the enforcement of material law. Keywords: administrative court, competence, material law, formal law.
xii
PENGGUNAAN INFORMASI ELEKTRONIK DAN DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI PERSIDANGAN THE USAGE OF ELECTRONIC INFORMATION AND DOCUMENT AS COURT EVIDENCE H. SANTHOS WACHJOE P. Mahkamah Agung Republik Indonesia Jl. Medan Merdeka Utara No. 9-13, Jakarta Pusat Email :
[email protected]
ABSTRAK Praktek persidangan selalu mengacu kepada aturan-aturan yang tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang selama ini sangat terasa bahwa Undang-Undang tersebut sudah sangat tertinggal, utamanya terhadap pengaturan mengenai alat bukti yang dapat dipergunakan di persidangan. Makalah ini akan sedikit menguraikan mengenai penggunaan dokumen elektronik sebagai alat bukti di persidangan. Semoga makalah ini dapat memberikan pencerahan kepada Aparat Penegak Hukum di dalam melaksanakan tugas-tugasnya, terutama di dalam proses persidangan. Kata kunci : informasi elektronik, dokumen elektronik, alat bukti
ABSTRACT Court trials always refer to the rules contained in Law No. 8 1981 of the Criminal Code, which seem underdeveloped, mainly about the arrangements regarding evidence which can be used in the court. This paper outlines the use of a few electronic documents as evidence in the trial. Hopefully, this paper can provide enlightenment to the law enforcement authorities in carrying out their duties, particularly in the proceedings. Keywords : electronic information, electronic document, evidence
I.
PENDAHULUAN Sebagai bagian dari warga negara yang sadar dan taat kepada hukum, tentunya
akan membuat setiap individu di dalam masyarakat akan mengedepankan penyelesaian setiap sengketa atau perkara dengan cara yang damai dengan selalu mengutamakan asas musyawarah untuk mufakat. Meski demikian, akan selalu terdapat suatu perkara atau
1
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 1-18
sengketa yang tidak bisa diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mufakat, sehingga harus diselesaikan di muka persidangan. Penyelesaian suatu perkara melalui persidangan tentunya membutuhkan teknik pembuktian yang jitu sehingga apa yang diinginkan dapat dikabulkan oleh Pengadilan. Bagi para pencari keadilan, segala macam cara pembuktian tentu akan dilakukan, dengan tujuan apa yang didalilkan menjadi terbukti dan bisa mendapatkan apa yang diminta atau dituntutnya. Oleh karenanya, kecermatan di dalam pembuktian dalil dalam suatu perkara, mutlak diperlukan, sehingga tidak membuang waktu dan tenaga dengan sia-sia. Proses hukum secara garis besar dapat dipandang sebagai penyelarasan berbagai kepentingan dalam masyarakat dan hasilnya adalah keadilan atau hukum yang adil. Hukum yang baik yaitu hukum yang adil dan benar, memiliki keabsahan dan mengikat, mewajibkan dan dapat dipaksakan untuk dijalankan untuk mewujudkan rasa keadilan, harmoni dan kebaikan umum yang menjadi tujuan hukum itu sendiri. II. PEMBAHASAN A. Pembuktian di Persidangan Di dalam hukum acara baik hukum acara pidana maupun hukum acara perdata, ketika seseorang akan membuktikan suatu dalil baik itu Jaksa Penuntut Umum yang akan membuktikan dalil dakwaannya, maupun Terdakwa yang akan membantah dalil dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum atau Penggugat yang akan membuktikan dalil gugatannya maupun Tergugat yang akan membantah dalil gugatan dari Penggugat, akan berusaha melakukannya dengan cara pembuktian di persidangan. Yahya Harahap mengatakan bahwa, “Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan”1 1.
Pembuktian dalam Hukum Pidana Di dalam Hukum Acara Pidana, telah diatur bagaimana cara pembuktian dapat
dilakukan di persidangan dan bagaimana hakim bersikap di dalam putusannya terhadap suatu perkara. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali 1
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan Kuhap (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding Kasasi Dan Peninjauan Kembali), Tahun 2000, Sinar Grafika, Jakarta, h. 273 ;
2
Penggunaan Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti Persidangan - Santhos Wachjoe P.
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Di dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP tersebut hanya menyebutkan “Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang”,
sehingga untuk memahami ketentuan Pasal 183 KUHAP
tersebut. Kiranya ketentuan Pasal 183 KUHAP ini mengadopsi dari ketentuan Pasal 294 HIR, yang dianggap sebagai pembuktian menurut undang-undang secara negatif.2 Dari ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut tersurat bahwa dibutuhkan minimal 2 (dua) alat bukti yang dapat menjadi pegangan hakim sebelum menjatuhkan putusan, sehingga kemudian perlu dipahami pula ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP mengenai alat bukti yang sah yaitu : a. Keterangan saksi ; b. Keterangan ahli ; c. Surat ; d. Petunjuk ; e. Keterangan Terdakwa ; Tulisan ini hanya akan membatasi pembahasan pada alat bukti berupa surat maupun petunjuk, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c dan huruf d KUHAP. Mengenai surat, telah diatur di dalam Pasal 187 KUHAP yang menyebutkan, “Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah : a. Berita Acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu ; b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata
2
Loc cit, h.280 ;
3
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 1-18
laksana yang menjadi tanggung jawab dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atas sesuatu keadaan ; c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya ; d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain; Pasal 187 KUHAP, hanya pada huruf b saja yang mendapatkan penjelasan sebagai berikut, “Yang dimaksud dengan surat yang dibuat oleh pejabat termasuk surat yang dikeluarkan oleh suatu majelis yang berwenang untuk itu”. Mengenai kekuatan pembuktian surat, Yahya Harahap membagi ke dalam 2 segi yaitu dari segi formil dan dari segi materiil.3 Dari segi formil, bukti surat mempunyai nilai pembuktian formal yang sempurna, dengan sendirinya bentuk dan isi surat tersebut: a. Sudah benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain ; b. Semua pihak tidak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan pembuatannya ; c. Juga tidak dapat lagi menilai kebenaran keterangan yang dituangkan pejabat berwenang di dalamnya sepanjang isi keterangan tersebut tidak dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain ; d. Isi keterangan yang tertuang di dalamnya hanya dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain baik berupa alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli atau keterangan Terdakwa. Dari segi materiil, nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat sama halnya dengan nilai pembuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli, yaitu sama-sama mempunyai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas, sehingga hakim bebas untuk menilai kekuatan pembuktiannya dengan
alasan :
a. Asas proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran materiil atau kebenaran sejati (materiil waarheid) bukan kebenaran formal,
Loc.cit, h.310 – 312 ;
3
4
Penggunaan Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti Persidangan - Santhos Wachjoe P.
sehingga hakim bebas menilai kebenaran yang terkandung pada alat bukti surat; b. Asas keyakinan hakim, yaitu hakim hanya dapat menjatuhkan pemidanaan kepada Terdakwa apabila telah diperoleh minimal 2 (dua) alat bukti yang sah; c. Asas batas minimum pembuktian, dalam arti meskipun melekat sifat kesempurnaan secara formal atas bukti surat, akan tetapi alat bukti surat tidak cukup sebagai alat bukti yang berdiri sendiri dan tetap memerlukan dukungan dari alat bukti lainnya; Mengenai alat bukti petunjuk adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 188 KUHAP yang menyebutkan : (1) Petunjuk
adalah
perbuatan,
kejadian
atau
keadaan
yang
karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya; (2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari: a. Keterangan saksi; b. Surat; c. Keterangan Terdakwa; (3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, setelah mengadakan pemeriksaan dengan kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya. Penjelasan dalam pasal 188 KUHAP ini pun hanya menyebutkan cukup jelas, sehingga di dalam praktek diperlukan kehati-hatian yang sangat mendalam dan kecermatan dari setiap hakim terhadap alat bukti berupa petunjuk. Dan terhadap nilai kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk, juga bersifat bebas dalam arti :4 a. Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk; b. Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan Terdakwa dan tetap terikat kepada prinsip batas minimum pembuktian;
4
Loc.cit, h.317 ;
5
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 1-18
2.
Pembuktian dalam Perkara Perdata Di dalam proses persidangan perkara perdata, dalam hal pembuktian terdapat hal
yang bersifat lebih rumit dan kompleks dibandingkan dengan proses persidangan perkara pidana, karena berkaitan dengan menggali kebenaran yang tempus (waktunya) bisa tidak terhingga lamanya, bukan hanya dalam hitungan hari atau bulan tetapi bahkan dalam hitungan tahun. Hal lain yang mempengaruhi rumitnya pembuktian perkara perdata adalah sebagaimana disampaikan oleh Yahya Harahap, yaitu :5 a. Faktor Sistem Adversarial (Adversarial System), yaitu sistem yang mengharuskan memberikan hak yang sama kepada para pihak yang berperkara untuk saling mengajukan kebenaran masing-masing serta mempunyai hak untuk saling membantah kebenaran yang diajukan pihak lawan sesuai dengan proses adversarial (adversarial proceeding) ; b. Pada prinsipnya kedudukan hakim dalam proses pembuktian sesuai dengan sistem adversarial adalah lemah dan pasif, dalam arti tidak aktif mencari dan menemukan kebenaran di luar apa yang diajukan dan disampaikan para pihak dalam persidangan. Dalam perkara perdata, yang diutamakan adalah mencari kebenaran formil (formeel waarheid), sehingga terbuka kemungkinan bahwa para pihak akan mengajukan pembuktian yang tidak sebenarnya dan terdapat unsur kebohongan di dalam pembuktian yang diajuakan ke persidangan. Meski demikian, perlu pula dicermati Putusan Mahkamah Agung RI No.3136 K/Pdt/1983 yang mengatakan, “Tidak dilarang pengadilan perdata mencari dan menemukan kebenaran materiil, namun apabila kebenaran materiil tidak ditemukan dalam peradilan perdata, hakim dibenarkan hukum mengambil putusan berdasarkan kebenaran formil.”6 Pedoman umum di dalam pembuktian perkara perdata adalah sebagaimana digariskan dalam Pasal 163 HIR yang berbunyi, “Barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.” Ketentuan ini sama dengan ketentuan Pasal 263 RBg atau
5 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Tahun 2005, Sinar Grafika, Jakarta, h. 496 6 Loc.cit, h.498.
6
Penggunaan Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti Persidangan - Santhos Wachjoe P.
Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), sehingga tentang pembuktian dalam perkara perdata dapat disimpulkan sebagai berikut : a.
Siapa yang mendalil sesuatu hak, kepadanya dibebankan wajib bukti untuk membuktikan hak yang didalilkannya dan
b.
Siapa yang mengajukan dalil bantahan dalam rangka melumpuhkan hak yang didalilkan pihak lain, kepadanya dipikulkan beban pembuktian untuk membuktikan dalil bantahan tersebut;
Lebih lanjut mengenai pembuktian di perkara perdata, dikenal adanya istilah pengertian batas minimal yang dapat diartikan :7 a. Suatu jumlah alat bukti yang sah yang paling sedikit harus terpenuhi agar alat bukti itu mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk mendukung kebenaran yang didalilkan atau dikemukakan; b. Apabila alat bukti yang diajukan di persidangan tidak mencapai batas minimal, alat bukti itu tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup untuk membuktikan kebenaran dalil atau peristiwa maupun pernyataan yang dikemukakan. Patokan menentukan batas minimal, tidak ditentukan pada faktor kuantitas akan tetapi ditentukan pada faktor kualitas, sebagai contoh adalah dalam suatu perkara perdata, pihak Penggugat menghadirkan saksi sejumlah 100 (seratus) orang, akan tetapi selama persidangan, saksi yang benar-benar mengetahui mengenai sengketa perkara antara Penggugat dengan Tergugat hanya 1 (satu) orang saksi, maka hakim dapat mengabaikan keterangan dari 99 (sembilan puluh sembilan) orang saksi lainnya. Sehingga, dalam perkara perdata di dalam hal pembuktian, peranan hakim justru mengemuka dalam arti hakim yang akan menilai kualitas dari pembuktian yang dilakukan oleh para pihak, apakah pembuktian yang diberikan benar-benar memiliki kualitas sebagai alat bukti atau tidak.
7
Loc. cit, h.539 ;
7
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 1-18
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam perkara perdata akan lebih banyak melibatkan alat bukti berupa surat, yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a. Akta Otentik; b. Akta Bawah tangan dan; c. Akta Sepihak atau pengakuan sepihak; B. Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti Sebelum membahas mengenai informasi elektronik dan dokumen elektronik, maka terlebih dahulu perlu diketahui Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang khusus mengatur mengenai pelaksanaan informasi dan dokumen secara elektronik, termasuk di dalamnya mengatur mengenai pengelolaan alat bukti yang bersifat elektronik. 1.
Pengertian Informasi Elektronik Mengenai Informasi Elektronik. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa; “Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data eletktronik, termasuk, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sebelum mengetahui mengenai arti dari Dokumen Elektronik, kita perlu memahami pengertian dari computer crime dan computer related crime. Keduanya merupakan istilah yang serupa namun tak sama, computer crime (kejahatan komputer) adalah kejahatan yang menggunakan komputer sebagai alat utama untuk melakukan aksi kejahatannya, misalnya defacement (pengubahan halaman-halaman suatu situs secara ilegal), denial distributed of service (membuat suatu sistem tidak berjalan atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya setelah dibanjiri data oleh sekian banyak komputer yang telah terinfeksi dan menjadi reboot network), keylogging (merekam setiap aktivitas pengetikan di keyboard dan aplikasi yang tertampil di layar), identity theft (pencurian data-data penting dari orang-orang yang menjadi target), intrusion (masuk secara ilegal ke dalam suatu sistem) dan masih banyak lainnya, sedangkan computer related crime (kejahatan terkait komputer) adalah segala macam kejahatan tradisional seperti pencurian, pornografi, perampokan, pembunuhan, korupsi, narkotika
8
Penggunaan Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti Persidangan - Santhos Wachjoe P.
dan lain sebagainya yang dalam kejahatan tersebut terdapat barang bukti berupa alat elektronik seperti handphone dan komputer yang digunakan oleh pelaku untuk saling berkomunikasi atau menyimpan data yang berkaitan dengan perencanaan, proses dan hasil kejahatannya.8 2.
Arti Dokumen Elektronik Setelah mengetahui pengertian dari informasi elektronik, maka perlu pula kita
mengetahui arti dari dokumen elektronik. Dokumen elektronik adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 4 yang menyebutkan : “dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Eletktronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya”. Meskipun merupakan hal yang baru akan tetapi di ranah hukum pidana, penggunaan informasi elektronik sudah diterapkan khususnya di dalam ketentuan Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan “Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari : 1. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan 2. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Lebih lanjut dalam penjelasan disebutkan yang dimaksud dengan “disimpan secara elektronik” misalnya data yang disimpan dalam mikro film, Compact Disk Read Only Memory (CD-ROM) atau Write Once Read Many (WORM). Sedangkan yang dimaksud dengan “alat optik atau yang serupa dengan itu” dalam ayat 8
Muhammad Nuh Al-Azhar, Digital Forensik (Panduan Praktis Investigasi Komputer), Penerbit Salemba Infotek, Tahun 2012 h.7 ;
9
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 1-18
ini tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili.”9 Dari hal-hal yang sering mencuat dalam penanganan tidak pidana korupsi yang sering melibatkan informasi elektronik, kemudian penggunaan informasi elektronik sebagai alat bukti dalam persidangan di dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang menyebutkan : (1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti yang sah; (2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia;Informasi Elektronik
dan/atau
Dokumen
Elektronik
dinyatakan
sah
apabila
menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini; (3) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk : a. Surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; b. Surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk Akta Notaris atau Akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta. Perkembangan teknologi pada saat ini telah memberikan nuansa baru di bidang pembuktian di persidangan. Alat bukti yang diajukan di persidangan, pada saat ini, tidak hanya terbatas pada alat bukti surat, bukti saksi, namun juga telah merambah kepada penggunaan alat bukti berupa dokumen digital, baik berupa cakram (CD, VCD, DVD) maupun dalam bukti lain berupa tulisan-tulisan di media sosial dan alat elektronik lainnya. Kementerian Komunikasi dan Informatika sendiri telah menggolongkan bukti digital yang mengacu kepada Scientific Working Group on Digital Evidence, Tahun 1999, yaitu antara lain :10 9 https://sektiekaguntoro.wordpress.com/2014/05/17/informasi-elektronik-dan-dokumenelektronik-sebagai-perluasan-alat-bukti-dalam-perkara-pidana/, diakses tanggal 16 Februari 2015 ; 10 Tutorial Interaktif Instalasi Komputer Forensik (Menggunakan Aplikasi Open Source), Direktorat Keamanan Informasi, Direktorat Jenderal Aplikasi Informasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Tahun 2012, h.3 ;
10
Penggunaan Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti Persidangan - Santhos Wachjoe P.
a. E-mail, alamat E-mail (surat elektronik) ; b. File word processor / Spreedsheet ; c. Source code perangkat lunak ; d. File berbentuk image (jpeg, tip, dll) ; e. Web browser bookmarks, cookies ; f. Kalender, to – do list. 3.
Syarat Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti Muhammad Neil El Himam menyebutkan bahwa Alat Bukti Digital dapat
bersumber pada :11 1) Komputer, yang terdiri dari : a) E-mail ; b) Gambar digital ; c) Dokumen elektronik ; d) Spreadsheets ; e) Log chat ; f) Software ilegal dan materi Haki lainnya ; 2) Hard disk, yang terdiri dari : a) Files, baik yang aktif, dihapus maupun berupa fragmen ; b) Metadata file ; c) Slack file ; d) Swap file ; e) Informasi sistem, yang terdiri dari registry, log dan data konfigurasi ; 3) Sumber lain, yang terdiri dari : a) Telepon seluler, yaitu berupa SMS, nomor yang dipanggil, panggilan masuk, nomor kartu kredit / debit, alamat e-mail, nomor call forwarding ; b) PDAs / smart phones, yang terdiri dari semua yang tercantum dalam telepon seluler ditambah kontak, eta, gambar, password, dokumen dan lain-lain ; 4) Video game ; 5) GPS device yang berisikan Rute ; 11
Muhammad Neil el Himam, Pemeriksaan Alat Bukti Digital dalam Proses Pembuktian, Makalah disampaikan pada Seminar tentang Digital Forensik, Semarang, 24 Oktober 2012 ;
11
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 1-18
6) Kamera digital, yang berisikan foto, video dan informasi lain yang mungkin tersimpan dalam memory card (SD, CF dll). Walau demikian, karena menurut sifatnya alamiahnya bukti digital sangat tidak konsisten, maka bukti digital tidak dapat langsung dijadikan alat bukti untuk proses persidangan, sehingga dibutuhkan standar agar bukti digital dapat digunakan sebagai alat bukti di persidangan, yaitu :12 1.
Dapat diterima, yaitu data harus mampu diterima dan digunakan demi hukum mulai dari kepentingan penyelidikan sampai dengan kepentingan pengadilan ;
2.
Asli, yaitu bukti tersebut harus berhubungan dengan kejadian / kasus yang terjadi dan bukan rekayasa ;
3.
Lengkap, yaitu bukti dapat dikatakan bagus dan lengkap jika di dalamnya terdapat banyak petunjuk yang dapat membantu investigasi ;
4.
Dapat dipercaya, yaitu bukti dapat mengatakan hal yang terjadi di belakangnya, jika bukti tersebut dapat dipercaya, maka proses investigasi akan lebih mudah, dan syarat ini merupakan suatu keharusan.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sendiri mensyaratkan persyaratan minimum sebagai berikut :13 1. Dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan; 2. Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut ; 3. Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut ; 4. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan 5. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk. Kemudian, di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, disebutkan dalam syarat formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE, yaitu bahwa informasi atau dokumen elektronik bukanlah dokumen atau surat 12
Loc.cit, hal.3 ; http://arijuliano.blogspot.com/2008/04/apakah-dokumen-elektronik-dapat-menjadi.html, diakses tanggal 24 Februari 2015 ; 13
12
Penggunaan Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti Persidangan - Santhos Wachjoe P.
yang menurut perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis. Syarat materiil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE, yang pada intinya informasi dan dokumen
elektronik
harus
dapat
dijamin
keotentikannya,
keutuhannya,
dan
ketersediaannya. Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materiil yang dimaksud, dalam banyak hal dibutuhkan digital forensic. (Sitompul, 2012).14 Berkaitan dengan digital forensic, merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan supaya dokumen elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti dari mulai penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan persidangan, maupun dalam proses persidangan perdata. Tanpa melalui digital forensic, maka suatu dokumen elektronik tidak dapat digunakan sebagai alat bukti karena tidak dapat dijamin kesahihan dari dokumen elektronik tersebut. 4.
Digital Forensik Walaupun sebagai Hakim kita tidak harus menguasai secara mendalam
mengenai digital forensic, namun setidaknya kita mengetahui pengertian, fungsi dan cara kerja dari digital forensic. Harus dipahami pula, bahwa sebagaimana manusia, sistem komputerisasi di dunia juga tidak ada yang sempurna (no system is perfect), yang dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat pemahaman ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang komputer, maka akan semakin mudah pelaku kejahatan mencari kelemahan-kelemahan dari suatu sistem elektronik maupun non elektronik.15 Digital forensic dapat diartikan sebagai satu bidang spesialisasi ilmu pengetahuan dan teknologi komputer yang memiliki posisi signifikan untuk melakukan investigasi kasus-kasus computer crime dan / atau computer related crime. 16 Digital forensic diperlukan sebagai sarana mengaplikasikan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyebutkan, “Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik yang dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan”.
14 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl5461/syarat-dan-kekuatan-hukum-alat-buktielektronik, di akses tanggal 24 Februari 2015 ; 15 Muhammad Nuh Al-Azhar, Op.Cit. h.17 ; 16 Loc.Cit., h.12 ;
13
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 1-18
Dalam penjelasan Pasal 6 menyebutkan : “Selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan / atau dokumen yang tertuang di atas kertas semata, padahal pada hakikatnya informasi dan / atau dokumen dapat dituangkan ke dalam media apa saja, termasuk media elektronik. Dalam lingkup Sistem Elektronik, informasi yang asli dengan salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan sebab Sistem Elektronik pada dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi dengan aslinya”. Perlu pemahaman mengenai dasar-dasar di dalam melakukan digital forensic sehingga dapat diperoleh keyakinan bahwa suatu informasi elektronik dan / atau dokumen elektronik benar-benar dapat dipercaya sebagai alat bukti, utamanya sebagai alat bukti di persidangan. 5.
Tahapan Singkat Digital Forensik Salah satu tugas dari Hakim adalah menilai alat bukti yang diajukan di
persidangan, baik itu persidangan perkara pidana maupun perkara perdata. Diperlukan kecermatan dan kehati-hatian di dalam menilai alat bukti yang diajukan di persidangan, terutama alat bukti yang berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, sehingga kita mendapatkan keyakinan bahwa alat bukti berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diajukan di persidangan merupakan alat bukti yang dapat dipergunakan untuk membuktikan suatu keadaan dari suatu perkara. Pada dasarnya untuk melakukan digital forensic dibutuhkan suatu pendidikan dan pelatihan khusus yang menghasilkan sertifikasi dari setiap orang yang mengikuti pendidikan dan pelatihan digital forensic tersebut. Tidak setiap orang yang mengerti dan ahli di bidang komputer dapat diandalkan dan atau dapat melakukan digital forensic dan di dalam persidangan pun, apabila diajukan ahli yang akan menerangkan mengenai digital forensic, harus terlebih dahulu ditanyakan mengenai catatan akademiknya yang harus berkaitan dengan ilmu komputer dan sertifikasi dari ahli yang bersangkutan, apabila ahli tersebut tidak memiliki catatan akademik yang berkaitan dengan ilmu komputer dan memiliki sertifikasi tentang digital forensic, maka pendapat yang disampaikan di persidangan, patut dikesampingkan. Harus pula dipahami, meskipun aplikasi tools mengenai digital forensic dapat diperoleh dengan melakukan download dari situs-situs di internet, akan tetapi terhadap seseorang yang akan dijadikan ahli di persidangan, tetap haruslah orang yang memiliki
14
Penggunaan Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti Persidangan - Santhos Wachjoe P.
sertifikasi tentang digital forensic. Mengenai sertifikasi tentang digital forensic sendiri, untuk di Indonesia, sampai saat ini baru dapat diperoleh dari pelatihan digital forensic yang dilakukan oleh Mabes Polri, selain itu hanya bisa didapatkan dari pelatihan yang diadakan di luar negeri seperti di Inggris atau Amerika Serikat. Di dalam digital forensic, terdapat 3 (tiga) tahap dasar yang harus dilakukan oleh orang yang melakukan digital forensic. 3 (tiga) tahap tersebut adalah : 1) Write protect, yang dapat diartikan sebagai mengunci data asal dari informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebelum melakukan digital forensic. Write protect dilakukan agar data asal yang akan dilakukan digital forensic tidak mengalami perubahan, baik itu penambahan, pengurangan maupun penghapusan data ; 2) Forensic imaging, yang dapat diartikan sebagai tindakan untuk mendapatkan data yang serupa dari data asal atau dikenal dengan istilah clonning. Forensic imaging ini dilakukan terhadap data asal yang sudah di write protect, dari forensic imaging ini akan didapatkan data yang identik dengan data asal yang disebut image file. Di Kepolisian RI sendiri terdapat Peraturan Kapuslabfor Nomor 1 Tahun 2014 tentang Standar Operating Proceedur (SOP) dalam melakukan forensic imaging ; 3) Verifiying, yang dapat diartikan sebagai tahapan untuk menilai hasil dari forensic imaging, yaitu data yang di clonning harus identik dengan data asal. Untuk mengetahui identik atau tidak identik, dapat dilihat dari nilai hash dari image file. Dari ketiga tahapan tersebut, maka di dalam persidangan, Hakim dapat menanyakan kepada ahli mengenai tahapan dari digital forensic yang dilakukan selama proses penyelidikan dan penyidikan. Apabila
ahli yang dihadirkan di dalam
menjalankan digital forensic tidak melalui ketiga tahapan tersebut, maka keterangan ahli tersebut harus dikesampingkan karena pelaksanaan digital forensic tidak sesuai dengan tahapan yang seharusnya karena apabila digital forensic tidak dilakukan dengan mengikuti ketiga tahapan tersebut di atas, hasil data image file yang tidak identik dengan data asal karena dimungkinkan terjadi penambahan, pengurangan atau penghapusan data asal. Apabila dalam persidangan terungkap fakta bahwa data asli sudah terhapus, maka perlu dipertanyakan pula apakah ahli digital forensic telah
15
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 1-18
melakukan tahapan mencari data asal yang sudah terhapus tersebut atau dikenal dengan istilah data file recovery, sebelum melakukan 3 tahapan digital forensic sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Ketika di dalam persidangan terdapat alat bukti berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang didalilkan telah melalui tahapan digital forensic namun ternyata data image file yang diajukan tidak identik dengan data asal, maka Hakim harus mengesampingkan alat bukti tersebut. III. KESIMPULAN Apabila informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diajukan di persidangan merupakan data image file yang identik dengan data asal, maka informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah untuk membuktikan suatu perkara, baik pidana maupun perdata. Di persidangan perkara pidana, alat bukti berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, bisa berdiri sendiri sebagai alat bukti sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 atau bisa juga merupakan alat bukti surat ataupun petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Demikian juga dalam persidangan perkara perdata, alat bukti berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, bisa berdiri sendiri sebagai alat bukti atau bisa sebagai alat bukti petunjuk untuk memperkuat alat bukti surat dan keterangan saksi. IV. DAFTAR PUSTAKA Al-Azhar, Muhammad Nuh. Digital Forensik (Panduan Praktis Investigasi Komputer). Jakarta: Salemba Infotek, 2012. Direktorat Keamanan Informasi Direktorat Jenderal Aplikasi Informasi. Tutorial Interaktif Instalasi Komputer Forensik (Menggunakan Aplikasi Open Source). Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2012. Guntoro, Sekti Eka. Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik sebagai Perluasan Alat Bukti dalam Perkara Pidana. Mei 17, 2014. http://sektiekaguntoro.wordpress.com/2014/05/17/informasi-elektronik-dandokumen-elektronik-sebagai-perluasan-alat-bukti-dalam-perkara-pidana (di akses Februari 16, 2015). Harahap, Yahya. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
16
Penggunaan Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti Persidangan - Santhos Wachjoe P.
—. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali). Jakarta: Sinar Grafika, 2000. Himam, Muhammad Neil el. "Makalah tentang Pemeriksaan Alat Bukti Digital dalam Proses Pembuktian." Makalah disampaikan dalam Seminar Digital Forensik. Semarang, 24 Oktober 2012. Hukum Online. Syarat dan Kekuatan Hukum Alat Bukti Elektronik. Februari 24, 2015.http://www.hukumonline.com/klinik/detail/c15461/syarat-dan-kekuatanhukum-alat-bukti-elektronik (di akses Februari 24, 2015). Juliano, Ari.Apakah Dokumen Elektronik dapat Menjadi Alat Bukti yang Sah. 04 2008. http://arijuliano.blogspot.com/2008/04/apakah-dokumen-elektronik-dapatmenjadi.html (di akses Februari 24, 2015).
17
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 1-18
18
KAJIAN KRITIS KETENTUAN WAKTU TUNGGU (IDDAH) DALAM RUU HMPA BIDANG PERKAWINAN THE CRITICAL STUDY OF WAITING PERIOD REGULATION ON THE BILL OF THE RELIGIOUS COURTS’ MATERIAL LAW MARRIAGE MATTERS MUHAMAD ISNA WAHYUDI Pengadilan Agama Badung Jl. Raya Sempidi No. 1 Mengwi Badung Bali Email :
[email protected]
ABSTRAK Terdapat beberapa ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan yang perlu dirumuskan sesuai dengan kondisi saat ini. Dengan cara tersebut, hukum perkawinan Islam di Indonesia akan progresif dan tidak diskriminatif terhadap kaum perempuan. Artikel ini adalah kelanjutan dari artikel yang berjudul “Menuju Hukum Perkawinan Islam Progresif,” yang terbit dalam Jurnal Hukum dan Peradilan, volume 3, nomor 1, Maret 2014. Dalam artikel ini penulis mencoba menawarkan pembacaan ulang terhadap ketentuan waktu tunggu (iddah) yang sesuai dengan konteks saat ini. Sebagai hasilnya, ketentuan waktu tunggu seharusnya mengikat baik kepada janda maupun duda. Kata kunci : iddah, seks, gender, kesetaraan ABSTRACT There are some provisions of Bill on the Religious Courts’ Material Law on marriage that need to be formulated in accordance with the current conditions. In this way, the Islamic Marriage Law in Indonesia will become progressive and not discriminative against women. This article is the continuation of the article entitled “Menuju Hukum Perkawinan Islam Progresif” which is published in Jurnal Hukum dan Peradilan volume 3, number 1, March 2014. In this article, the author tries to offer reinterpretation on the provision of waiting period (‘iddah) in accordance with the current context. As the result, the waiting period should bind both widow and widower. Keywords : waiting period, sex, gender, equality
19
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 19 - 34
I.
PENDAHULUAN Seperti kita ketahui selama ini, ‘iddah hanya berlaku bagi perempuan dan tidak
bagi laki-laki, bahkan menjalankan ‘iddah bagi perempuan dianggap sebagai termasuk ibadah sehingga terbatas bagi rasionalisasi dan penjelasan. Pemahaman bahwa ‘iddah hanya berlaku bagi perempuan tersebut tampaknya juga didukung oleh bunyi redaksi ayat-ayat Al-Qur’an tentang ‘iddah.1 Ketentuan ‘iddah yang hanya berlaku mengikat bagi kaum perempuan tersebut tentu mengundang kritik sebagai ketentuan yang diskriminatif. Dalam ‘iddah karena perceraian, misalnya, bagaimana perasaan seorang istri yang dicerai yang harus menjalankan ‘iddah, sementara pada saat yang sama suaminya melangsungkan akad nikah dengan perempuan lain? Begitu juga dalam ‘iddah karena kematian ketika seorang istri harus menjalankan ‘iddah untuk menunjukkan sikap berkabung atas kematian suaminya, sementara tidak ada kewajiban yang sama bagi suami ketika istrinya meninggal. Apakah dalam hal ini istri bukanlah manusia sehingga suami tidak perlu berkabung ketika istrinya meninggal? Sebagai kelanjutan dari artikel yang berjudul Menuju Hukum Perkawinan Islam Progresif, dalam artikel ini penulis mencoba menawarkan pembacaan ulang terhadap ketentuan ‘iddah sebagaimana yang diatur dalam RUU HMPA (Rancangan UndangUndang Hukum Materiil Peradilan Agama) Bidang Perkawinan. II. PEMBAHASAN A. Ketentuan Waktu Tunggu (Iddah) Dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan Di dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan, ketentuan mengenai waktu tunggu (‘iddah) diatur dalam Pasal 123 dan Pasal 124, yang hanya berlaku bagi janda, dan tidak berlaku bagi duda. Pasal 123 terdiri dari empat ayat dan Pasal 124 terdiri dari satu ayat. Rumusan Pasal 123 adalah sebagai berikut: 1.
Waktu tunggu atau idah berlaku bagi janda yang perkawinannya putus kecuali perceraian qabladdukuul (sebelum hubungan badan).
1
20
Q.S. 2: 228, 234; 65: 4, 33: 49.
Kajian Kritis Ketentuan Waktu Tunggu (Iddah) dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan - Muhamad Isna Wahyudi
2.
Waktu tunggu janda ditentukan sebagai berikut:
a.
Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari terhitung sejak kematian suami.Apabila perkawinan putus karena perceraian dan putusan Pengadilan, waktu tunggu janda yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan janda yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari, terhitung sejak: 1) Diucapkannya ikrar talak dalam hal perkawinan putus karena cerai talak, atau; 2) Putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dalam hal perkawinan putus karena cerai gugat dan karena putusan pengadilan;
b.
apabila perkawinan putus karena perceraian atau karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai kelahiran anaknya.
3.
Waktu tunggu bagi istri yang masih dalam usia haid sedang pada waktu menjalani idah tidak haid karena menyusui, maka idahnya tiga bulan (90 hari).
4.
Dalam hal janda yang masih usia haid menjalani idah tidak haid bukan karena menyusui, maka idahnya satu tahun, akan tetapi apabila ia berhaid kembali dalam waktu tersebut, maka idahnya menjadi tiga kali waktu suci.
Rumusan Pasal 124 adalah sebagai berikut: Apabila bekas suami meninggal dalam waktu idah talak raj’i sebagaimana dimaksud Pasal 123 ayat 2 huruf b, ayat 3 dan ayat 4, maka idah janda berubah menjadi 4 (empat) bulan 10 (sepuluh) hari terhitung sejak kematian bekas suami. B. Telaah Kritis Ketentuan Waktu Tunggu (Iddah) Dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan Kewajiban ‘iddah yang hanya mengikat bagi perempuan sebenarnya dapat dipahami sebagai legal-spesifik, yaitu ajaran khusus terhadap situasi khusus, yang bersifat temporal. Dalam pengertian bahwa karena pada saat itu budaya patriarki mendominasi di dalam masyarakat Arabia, maka ‘iddah hanya berlaku bagi perempuan dan tidak bagi
21
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 19 - 34
laki-laki. Karena jika tidak demikian, ajaran Al-Qur’an akan sulit untuk dapat diterima oleh masyarakat Arabia pada saat itu. Ketika melembagakan ‘iddah, Al-Qur’an tidak dapat begitu saja keluar dari konteks yang ada pada saat pewahyuan, yaitu budaya patriarki. Hal ini dapat dijelaskan dengan sebuah contoh mengenai status perempuan di dalam masyarakat Arabia. Ketika menjelaskan sabab an-nuzul Q.S. 4: 34, seluruh mufassir klasik seperti Tabari, Fakhruddin Razi dan yang lainnya berpendapat bahwa Nabi mengizinkan Habibah binti Zaid untuk membalas suaminya yang telah menamparnya secara tidak adil, tetapi dalam pandangan etika sosial yang sedang berlaku, sikap Nabi SAW. tersebut telah menimbulkan kegelisahan di antara kaum laki-laki, dan Al-Qur’an merevisi keputusan Nabi SAW.2 Al-Qur’an melalui sejumlah ayat secara tegas menyatakan bahwa kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalah setara.3 Misalnya bahwa para istri adalah pakaian bagi para suami dan para suami adalah pakaian bagi para istri (Q.S. 2: 187), laki-laki dan perempuan berasal dari asal yang sama (Q.S. 4: 1, 39: 13), Adam dan Hawa sama-sama terlibat dalam drama kosmis (peristiwa yang menyebabkan jatuhnya Adam dan Hawa dari surga ke bumi), yang ditunjukkan dengan penggunaan kata ganti untuk dua orang (huma) dalam berbagai ayat (Q.S. 2: 35; 7: 20, 22), laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba (Q.S. 51: 61) dan khalifah di bumi (Q.S. 6: 165), laki-laki dan perempuan setara dalam hal amal dan ganjarannya, serta sama-sama berpotensi untuk meraih prestasi (Q.S. 3: 195; 4: 32, 124; 9: 72; 16: 97; 33: 35-6; 40: 40). Perbedaan kedudukan manusia di hadapan Tuhan hanyalah kadar ketakwaan mereka (Q.S. 39: 13). Kelebihan-kelebihan yang diberikan kepada laki-laki dalam kapasitasnya sebagai anggota masyarakat yang memiliki peran publik dan sosial lebih ketika ayat-ayat AlQur’an diturunkan, seperti seorang suami setingkat lebih tinggi di atas istri (Q.S. 2: 228), laki-laki pelindung bagi perempuan (Q.S. 4: 34), memperoleh bagian warisan lebih banyak (Q.S. 4: 11), menjadi saksi yang efektif (Q.S. 2: 282), dan diperbolehkan berpoligami bagi yang memenuhi syarat (Q.S. 4: 3) tidak menyebabkan laki-laki menjadi Asghar Ali Engineer, “Islam, Women, and Gender Justice,” dalam Islamic Millenium Journal, Vol. I, No. 1 (2001), hlm. 120. 3 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, cet. I (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 247-65. Lihat juga Khoiruddin Nasution, FazlurRahman tentang Wanita, cet. I (Yogyakarta: Tazzafa dengan ACAdeMIA, 2002), hlm. 22-37. 2
22
Kajian Kritis Ketentuan Waktu Tunggu (Iddah) dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan - Muhamad Isna Wahyudi
hamba-hamba utama.4 Al-Qur’an tidak pernah menyatakan bahwa laki-laki, baik dalam kapasitas biologisnya sebagai laki-laki, atau dalam kapasitas sosialnya sebagai ayah, suami, atau penafsir kitab suci, lebih mampu dari perempuan dalam mencapai tingkat ketakwaan atau melaksanakan ajaran agama.5 Berbagai ayat yang menjelaskan tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tersebut merupakan ayat-ayat yang mengandung prinsip umum dan berlaku secara universal, di sepanjang waktu dan di seluruh tempat. Pandangan Al-Qur’an mengenai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tersebut adalah untuk mewujudkan keadilan dalam pola hubungan antara laki-laki dan perempuan. Keadilan dalam hal ini dapat dipahami sebagai ideal moral.6 Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa seharusnya ‘iddah berlaku mengikat baik kepada laki-laki maupun kepada perempuan. Di sinilah perlu dilakukan kontekstualisasi ajaran Al-Qur’an tentang ‘iddah. Kontekstualisasi ajaran Al-Qur’an penting untuk memahami alasan logis pewahyuannya dan untuk membedakan ajaran-ajaran universalnya dari ajaran-ajaran spesifiknya, sehingga dapat terhindar dari bentuk pembacaan yang menindas perempuan.7 Kontekstualisasi diharapkan dapat menemukan ajaran yang sejati, orisinal dan memadai dengan situasi yang dihadapi saat ini.8 Sebelum melakukan kontekstualisasi ‘iddah, perlu dijelaskan bagaimana konteks yang ada saat ini. Setidaknya terdapat dua hal yang mencirikan konteks saat ini, yang menuntut suatu pembaruan terhadap konsep ‘iddah. Pertama, saat ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam bidang kedokteran telah memungkinkan untuk mengetahui kehamilan dalam waktu yang relatif singkat dengan hasil yang cukup akurat. Kedua, sekarang ini persoalan gender merupakan fenomena yang meluas dan cukup menyerap perhatian dan sorotan
4
Umar, Argumen, hlm. 249. Asma Barlas, Cara Quran Membebaskan Perempuan, terj. R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), hlm. 254. 6 Menurut Rahman, ajaran dasar Al-Qur’an menekankan pada keadilan sosial-ekonomi dan kesetaraan di antara manusia. Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Tranformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), hlm. 19. Di tempat lain Rahman juga menyatakan bahwa ajaran dasar al-Qur’an adalah moral, yang darinya mengalir penekanan pada monoteis dan keadilan sosial. Fazlur Rahman, Islam, 2nd edition (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1979), hlm. 32. 7 Barlas, Cara Al-Qur’an, hlm. 293. 8 Hamim Ilyas, “Kontekstualisasi Hadis dalam Studi Gender dan Islam,” dalam Siti Ruhaini Dzuhayatin dkk, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, cet.I (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, McGill-ICHIEP dan Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 170, 180. 5
23
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 19 - 34
banyak kalangan. Dari mulai aktivis perempuan, akademisi, intelektual, ulama, kaum profesional, dan bahkan hingga kaum lelaki dan masyarakat pada umumnya. Seiring dengan semakin majunya cara berpikir dan perilaku manusia, maka semakin menggema dan dahsyatnya suara-suara yang menggugat berbagai ketidakadilan gender yang dialami oleh kaum perempuan selama ini, baik dalam sektor domestik maupun sektor publik.9 Di Indonesia, perjuangan isu ketidakadilan gender oleh gerakan feminisme, menurut Fakih, dapat dibagi dalam tiga dasawarsa tahapan. Dasawarsa pertama adalah tahapan “pelecehan”. Selama 1975-1985 hampir semua aktivis LSM menganggap masalah gender bukan menjadi masalah penting, bahkan banyak yang melakukan pelecehan. Periode dasawarsa kedua adalah 1985-1995. Dasawarsa tersebut pada dasarnya merupakan dasawarsa pengenalan dan pemahaman tentang apa yang dimaksud analisis gender dan mengapa gender menjadi maslah pembangunan. Pada dasawarsa kedua ini muncul tantangan dari pemikiran dan tafsir keagamaan yang patriarki, sehingga diperlukan berbagai kajian terhadap ajaran-ajaran agama yang bias gender. Adapun periode dasawarsa selanjutnya berupaya mengintegrasikan gender ke dalam seluruh kebijakan dan program berbagai organisasi dan lembaga pendidikan, serta melakukan advokasi keadilan gender terhadap substansi, kultur, maupun struktur hukum yang tidak adil menurut perspektif gender.10 Selain itu, perlu diketahui bahwa sejak 1984, Indonesia telah meratifikasi CEDAW11 (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) melalui Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1984, pada tanggal 24 Juli 1984 dan diundangkan melalui Lembaran Negara RI No. 29 Tahun 1984 serta penjelasannya dalam Tambahan Lembaran Negara RI No. 3277.12 Sebagai konsekuensinya, terdapat tuntutan
9 Syarif Hidayatullah, “Gender and Religion: An Islamic Perspective,” Al-Jami’ah, Vol. 39, No. 2 (2001), hlm. 324-5. 10 Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, cet. IX (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 160-4. 11 CEDAW merupakan puncak dari usaha-usaha untuk mengembangkan peraturan hukum internasional anti-diskriminasi atas dasar jenis kelamin. CEDAW diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada 18 Desember 1979 dan diberlakukan pada 3 September 1981. Sejak Februari 1998, konvensi tersebut telah mendapatkan 97 tanda tangan dan 161 ratifikasi. Shaheen Sardar Ali, Gender and Human Rights in Islam and International Law: Equal before Allah, Unequal Before Man? (The Hague/London/Boston: Kluwer Law International, 2000), hlm. 212. 12 Nur Said, Perempuan Dalam Himpitan Teologi dan HAM di Indonesia, cet. I (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 77.
24
Kajian Kritis Ketentuan Waktu Tunggu (Iddah) dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan - Muhamad Isna Wahyudi
bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan koreksi terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang telah ada, jika terbukti diskriminatif terhadap perempuan. Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana merespon kedua fenomena di atas dalam hubungannya dengan ‘iddah? Terkait dengan fenomena yang pertama, yaitu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, khususnya dalam bidang kedokteran, yang memungkinkan untuk mengetahui kehamilan dalam waktu yang relatif singkat dan dengan hasil yang cukup akurat, maka tujuan ‘iddah untuk mengetahui kebersihan rahim tampaknya tidak dapat dipertahankan lagi. Sebenarnya maksud dari tujuan ‘iddah untuk mengetahui kehamilan adalah menetapkan garis keturunan anak yang dikandung, yaitu menetapkan ayah dari anak tersebut. Dalam hal ini ‘iddah memiliki peran yang penting dalam menjaga garis keturunan. Karena jika tidak ada kewajiban ‘iddah, maka tidak mungkin, dalam kasus seorang perempuan yang menikah dalam beberapa hari pasca berpisah dengan suaminya yang pertama, untuk menentukan siapa ayah dari anak yang kemudian dikandungnya. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sekarang ini penentuan ayah seorang anak juga dapat dilakukan melalui tes DNA (Deoxirybo Nucleic Acid), bahkan pelacakan asal-usul keturunan melalui tes DNA ini dapat dijadikan sebagai alat bukti primer.13 Hal demikian tentu membawa implikasi hukum, khususnya bagi yang berpendapat bahwa ‘illat hukum yang mewajibkan ‘iddah adalah untuk mengetahui kebersihan rahim. Karena ‘illat hukum yang mewajibkan ‘iddah sudah tergantikan oleh kecanggihan teknologi yang memungkinkan untuk mendeteksi kehamilan secara akurat, maka secara otomatis ketentuan ‘iddah tidak berlaku lagi. Namun demikian, masih ada beberapa pertimbangan penting yang perlu direnungkan untuk tetap mempertahankan kewajiban ‘iddah. Kewajiban ‘iddah sesungguhnya juga dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada perempuan pasca perceraian. Pertama, ‘iddah memainkan peran yang penting sekali dalam menjaga kehormatan dan kredibilitas seorang perempuan. Hal
13
DNA merupakan persenyawaan kimia yang membawa keterangan genetik dari sel khususnya atau dari makhluk dalam keseluruhannya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di dalam DNA terdapat informasi keturunan suatu makhluk hidup yang akan mengatur program keturunan selanjutnya. DNA terdiri dari tiga macam molekul: gula pentosa, asam pospat, dan basa nitrogen. Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif hukum Islam dan Hukum Positif, cet. I (Yogyakarta: UII Press, 2002), hlm. 88-9.
25
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 19 - 34
ini memiliki keterkaitan dengan kewajiban bagi mu’taddah untuk menjalani masa ‘iddahnya di rumah tempat dia tinggal bersama suaminya dahulu. Dengan menjalankan ‘iddah di tempat suaminya dahulu, maka dapat melindungi mu’taddah dari fitnah ketika ternyata dia hamil. Kedua, ‘iddah ditujukan untuk menjamin kesehatan ibu dan anak. Hal ini terkait dengan kewajiban suami untuk menjamin nafkah dan tempat tinggal istrinya yang dicerai selama masih dalam keadaan hamil. Jelas sekali, bahwa yang demikian itu juga dimaksudkan untuk menjamin kesehatan anak yang dikandung. Lebih jauh dari itu, perawatan anak tidak berakhir dengan kelahiran, karena ayah masih memiliki kewajiban untuk memberikan biaya perawatan bagi anak dan ibunya, bahkan jika ibunya telah dicerai, sampai dia menyusui anaknya.14 Selain itu, ternyata ‘iddah juga memiliki fungsi yang luar biasa dalam upaya mencegah penyebaran penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks (sex-transmitted diseases). Dalam hal ini Jamil menjelaskan: ....It is therefore logical to conclude that one of the major aims behind making Iddah obligatory for all the cases of breakup of sexual relationship is to prevent the spread of sex-transmitted diseases. This is a very interesting aspect of the marriage system in Islam and needs extensive researches which will definitely lead to important clues as to how the sextransmitted diseases can be controlled. This point may form a major basis in the evolutional of succesful AIDS prevention programme....”15 Adapun berkaitan dengan ‘iddah karena kematian suami, maka tujuan ‘iddah dalam hal ini adalah untuk menunjukkan rasa berkabung atas kematian suami. Selain itu, dengan ‘iddah wafat juga dimaksudkan untuk menjaga perasaan keluarga suami yang meninggal, sehingga tidak menimbulkan kebencian maupun fitnah di antara para pihak. Selanjutnya dalam kasus ‘iddah talak raj’i. Misi utama Al-Qur’an melembagakan ‘iddah dalam kasus talak raj’i adalah mendorong kedua belah pihak yang bercerai untuk berdamai dan bersatu kembali. ‘Iddah dalam hal ini dapat memberikan kesempatan bagi kedua pihak yang bercerai untuk saling introspeksi diri dan memutuskan untuk bersatu kembali atau tetap berpisah. Kewajiban suami untuk memberikan mut’ah bagi istri yang dicerai selama dalam masa ‘iddah dan kewajiban istri untuk tetap tinggal serumah dengan suami secara jelas dimaksudkan agar kedua belah pihak dapat bersatu kembali. 14 Javed Jamil, ” Extraordinary Importance of Iddah in Family Health”, in Islam and the Modern Age, vol. III (2000), hlm. 118-9,120-1. 15 Ibid., hlm. 121-123.
26
Kajian Kritis Ketentuan Waktu Tunggu (Iddah) dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan - Muhamad Isna Wahyudi
Meskipun demikian, tujuan tersebut tampaknya sulit untuk diwujudkan karena selama ini ‘iddah hanya mengikat bagi perempuan dan tidak bagi laki-laki, sehingga lakilaki dapat saja menikah lagi dengan perempuan lain tanpa harus menunggu masa ‘iddah istrinya selesai. Kondisi demikian tentu tidak kondusif bagi para pihak yang bercerai untuk melakukan rekonsiliasi. Perlu adanya sebuah rekonstruksi terhadap konsep keberlakuan ‘iddah sehingga dapat berlaku mengikat kepada laki-laki dan perempuan. Yang terpenting dari tujuan 'iddah adalah untuk mengagungkan status perkawinan sebagai perjanjian yang kokoh (mistaqan galizan).16 Dalam arti bahwa perceraian tidak secara langsung dapat memutuskan ikatan perkawinan, tetapi harus melalui masa ‘iddah terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan perkawinan adalah sebuah kontrak tetapi juga sebuah perjanjian yang sungguh-sungguh (covenant).17 Ad-Dahlaw menjelaskan bahwa di antara tujuan ‘iddah adalah untuk mengagungkan kebesaran masalah perkawinan, di mana tidak ada masalah yang diatur kecuali dengan mengumpulkan orang-orang, dan tidak diputus kecuali dengan menunggu dalam waktu yang lama. Jika tidak, maka kedudukan perkawinan sama dengan permainan dua orang anak kecil yang diatur, kemudian dibubarkan pada saat itu juga.18 Adapun berkaitan dengan tuntutan kesetaraan gender, persoalan yang muncul dalam hubungannya dengan ‘iddah adalah mengapa ‘iddah hanya berlaku bagi perempuan dan tidak bagi laki-laki? Untuk menjawab persoalan ini, perlu dipastikan terlebih dahulu apakah ‘iddah hanya berhubungan dengan seks (jenis kelamin), atau juga berhubungan dengan gender? Oleh karena itu, sebelumnya perlu dijelaskan mengenai perbedaan antara seks dan gender.
Dalam Al-Qur’an kata mistaqan galizan digunakan sebanyak tiga kali, pada Q.S. Al-Ahzab (33): 7; Q.S. An-Nisa’ (4): 154, 21. Pada surat Al-Ahzab kata mistaqan galizan digunakan untuk menunjukkan perjanjian Allah dengan sejumlah Nabi. Sementara pada surat An-Nisa’ (4): 154 digunakan untuk menunjukkan perjanjian Allah dengan orang Yahudi. Adapun pada surat An-Nisa’ (4): 21 digunakan untuk menunjukkan perjanjian perkawinan. Dari ungkapan-ungkapan tersebut dapat disimpulkan bahwa kesucian ikatan perkawinan antara suami istri mirip dengan kesucian hubungan Allah dengan para Nabi atau Rasul. Dengan demikian, sebagai ikatan yang suci dan mulia, perkawinan seharusnya dijaga dan dipelihara dengan sungguh-sungguh oleh suami istri. Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan I) Dilengkapi Perbandingan UU Negara Muslim, cet. I (Yogyakarta: ACADEMIA + TAZZAFA, 2004), hlm. 22-3. 17 A.A.A Fyzee, Outlines of Muhammadan Law, fourth edition (Oxford:Oxford University Press,1974), hlm. 88-89. 18 Syah Waliyyullah ad-Dahlawi, Hujjatullah al-Baligah (Qahirah: Dar at-Turas\, 1355 H), II: 142. Bandingkan Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin (Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411 H/1991 M), Jilid I, Juz II: 51. 16
27
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 19 - 34
Gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial-budaya, sedangkan seks digunakan untuk mengidentifikasi laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis. Dalam arti bahwa gender bukan kategori biologis yang berkaitan dengan jumlah kromosom, pola genetik, struktur genital, melainkan merupakan konstruksi sosial dan budaya, yang bukan tidak dapat diubah. Sementara seks merupakan kodrat Tuhan yang bersifat permanen dan tidak dapat diubah. Permasalahan muncul ketika terdapat pencampuradukan antara gender dengan kodrat (seks). Gender menyangkut beberapa asumsi pokok: (i) gender menyangkut kedudukan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat; hubungan laki-laki dan perempuan terbentuk secara sosio-kultural, dan bukan atas dasar biologis (alamiah); (ii) secara sosio-kultural, hubungan ini mengambil bentuk dalam dominasi laki-laki dan subordinasi perempuan; (iii) pembagian kerja dan pembedaan yang bersifat sosial sering kali dinaturalisasikan (dianggap “kodrat”) melalui ideologi mitos dan agama; (iv) gender menyangkut stereotip feminin dan maskulin.19 Perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan sebenarnya tidak menimbulkan persoalan. Seorang perempuan harus mengandung, melahirkan, dan menyusui anak merupakan sesuatu yang alamiah sesuai dengan kodratnya. Persoalan baru muncul ketika perbedaan jenis kelamin tersebut melahirkan ketidakadilan perlakuan sosial antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, perempuan diposisikan sebagai makhluk yang hanya boleh bekerja dalam dunia domestik dan tidak dalam dunia publik karena dunia publik dianggap sebagai wilayah khusus bagi laki-laki. Problem di atas telah melahirkan dua teori besar yaitu, nature dan nurture.20 Teori pertama, nature, mengatakan bahwa perbedaan peran laki-laki dan perempuan ditentukan oleh faktor biologis. Anatomi biologi laki-laki dengan sederet perbedaannya dengan perempuan menjadi faktor utama dalam penentuan peran sosial kedua jenis kelamin ini. Teori kedua, nurture, mengatakan bahwa perbedaan peran sosial laki-laki dan perempuan lebih ditentukan oleh faktor budaya. Menurut teori ini, pembagian peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat tidak ditentukan oleh faktor biologis, tetapi sesungguhnya dikonstruksikan oleh budaya masyarakat.
19 20
28
Nunuk P. Muniarti, Getar Gender, Buku Pertama, (Magelang: Indonesia Tera, 2004), hlm. 60. Umar, Argumen, hlm. 302-4. Bandingkan Muniarti, Getar, hlm. 61.
Kajian Kritis Ketentuan Waktu Tunggu (Iddah) dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan - Muhamad Isna Wahyudi
Berdasarkan pada perbedaan antara seks dan gender, maupun pada teori nature dan nurture di atas, menurut penulis, ‘iddah pada satu sisi terkait dengan seks, tetapi pada sisi yang lain juga terkait dengan gender. Berkaitan dengan seks karena dalam pelaksanaannya ‘iddah sangat memperhatikan kondisi perempuan, sudah dicampuri atau belum, masih mengalami haid, belum haid atau bahkan sudah menopause, dalam keadaan hamil atau tidak. Salah satu tujuan ‘iddah, tetapi bukan satu-satunya, adalah untuk mengetahui kebersihan rahim yang jelas-jelas sangat terkait dengan anatomi biologis perempuan. Dalam hal ini tampak logis jika ‘iddah hanya berlaku bagi perempuan. Pada sisi lain, ‘iddah juga berkaitan dengan masalah gender. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pada masa Arabia pra-Islam terdapat norma sosial yang mewajibkan seorang janda untuk menunggu dan berkabung selama satu tahun pasca kematian suaminya, dengan berbagai larangan yang tidak manusiawi. Kemudian Islam mengurangi masa satu tahun tersebut menjadi empat bulan sepuluh hari, dan menghapus berbagai perlakuan yang tidak manusiawi. Selain itu, Islam juga mewajibkan ‘iddah bagi perempuan yang ditalak, yang sebelumnya tidak berlaku. Fakta historis ini secara jelas menunjukkan bahwa sejak awal ‘iddah berhubungan dengan gender dalam pengertian peran yang harus dimainkan oleh pasangan pasca putusnya ikatan perkawinan. Jika demikian, kewajiban ‘iddah yang hanya berlaku bagi perempuan selama ini, bukanlah suatu harga mati (kodrat) yang tidak dapat dirubah. Justru semestinya ‘iddah mengikat baik kepada perempuan maupun laki-laki, sehingga lebih dapat mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam relasi antara laki-laki dan perempuan. Adapun keberlakuan ‘iddah yang hanya mengikat bagi perempuan selama ini sebenarnya lebih merupakan pengaruh budaya patriarki, sehingga harus dipahami sebagai ajaran khusus untuk situasi khusus (legal spesifik) yang bersifat temporal. Dalam konteks budaya patriarki, perempuan memiliki kedudukan yang lebih rendah dari laki-laki dan ‘iddah hanya dianggap untuk mengetahui kehamilan perempuan, yang dengan demikian, dapat membantu laki-laki mengetahui kejelasan garis keturunan ayah anak yang dikandung, jika perempuan itu hamil. Pertanyaan yang mungkin muncul kemudian adalah mengapa Al-Qur’an tidak secara langsung mewajibkan ‘iddah bagi laki-laki dan perempuan? Hal ini karena AlQur’an tidak diturunkan dalam suatu masyarakat yang kosong akan norma-norma sosial. Al-Qur’an diturunkan dengan latar belakang budaya patriarki masyarakat Arabia,
29
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 19 - 34
sehingga tidak mungkin bagi Al-Qur’an untuk mengabaikan begitu saja konteks (normanorma sosial) yang ada dengan secara langsung mewajibkan ‘iddah mengikat bagi lakilaki dan perempuan. Karena dengan demikian, ajaran Al-Qur’an akan sulit untuk dapat diterima oleh masyarakat Arabia pada saat itu. Selanjutnya bagaimana dengan redaksi ayat-ayat Al-Qur’an yang secara jelas hanya memerintahkan perempuan untuk ber’iddah? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diketahui bahwa sebuah teks tidak terlepas dari tiga unsur pokok, pertama sang pencipta bahasa (wad’i), kedua, sang pengguna atau peminjam bahasa (musta’mil), dan ketiga sang pemaham dari pengguna (hamil).21 Tuhan (Allah SWT) menggunakan bahasa Arab sebagai simbol dalam mewujudkan ide-Nya, dapat dipahami sebagai Pengguna atau Peminjam (Musta’mil/User) bahasa Arab guna membumikan ide-ide-Nya. Transformasi setiap ide atau gagasan ke dalam suatu simbol kebahasaan, senantiasa berhadapan dengan reduksi, distorsi, atau pengembangan, baik oleh struktur bahasa itu sendiri, maupun struktur budaya subjektivitas pembaca. Dari segi ini dapat dikatakan bahasa Arab AlQur’an tidak identik dengan hakikat ide Allah SWT.22 Begitu juga, dominasi laki-laki dalam struktur bahasa Arab bukan berarti bahwa Allah SWT, Sang Pengguna ikut-ikutan mengakui supremasi laki-laki.23 Dengan memperhatikan konteks masyarakat Arabia yang patriarki maka pemihakan naratif Al-Qur’an pada kaum laki-laki bisa jadi mengungkapkan dimensidimensi freudian (dorongan dan ilusi-ilusi libido) masyarakat Arabia kala itu. Jadi pemihakan ini tidak semata metodologis, tetapi juga substansial karena yang disapa langsung oleh Al-Qur’an kala itu adalah masyarakat Arabia yang didominasi oleh kaum laki-laki.24 Selain itu, perlu dicatat bahwa salah satu karakteristik tipikal dari pengaruh sosio-kultural terhadap Al-Qur’an dalam pembentukan teks adalah bahwa Al-Qur’an tidak bisa keluar dari kerangka kebudayaan bangsa Arabia saat itu. Karakter dan corak suatu teks akan senantiasa menggambarkan dan merefleksikan struktur budaya dan alam
Nasaruddin Umar, “ Metode Penelitian Berperspektif Gender tentang Literatur Islam”, dalam Dzuhayatin, Rekonstruksi, hlm. 88. 22 Idem, ” Kajian Kritis terhadap Ayat-ayat Gender (Pendekatan Hermeneutik)”, dalam Dzuhayatin, Rekonstruksi, hlm. 113. 23 Ibid. 24 Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, cet. II (Jakarta: TERAJU, 2004), hlm. 22. 21
30
Kajian Kritis Ketentuan Waktu Tunggu (Iddah) dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan - Muhamad Isna Wahyudi
pikiran di mana ruang dan waktu teks tersebut dibentuk.25 Dapat dikatakan bahwa ayatayat tentang ‘iddah yang secara sekilas hanya mewajibkan perempuan untuk menjalankan ‘iddah pasca berpisah dengan suaminya, bukan berarti Allah menghendaki bahwa lakilaki tidak perlu ber’iddah pasca berpisah dengan istrinya.26 Sesuai dengan situasi yang dihadapi saat ini, seperti disinggung sebelumnya, maka ‘iddah harus berlaku mengikat kepada perempuan dan laki-laki. ‘Iddah tidak hanya untuk mengetahui kehamilan, seperti yang dipahami dalam konteks budaya patriarki sehingga hanya mengikat bagi perempuan. Apabila hanya untuk mengetahui kehamilan, saat ini ‘iddah tidak perlu dipertahankan lagi karena sudah dapat digantikan dengan kecanggihan teknologi dalam mendeteksi kehamilan secara akurat dalam waktu singkat. Pada sisi lain ‘iddah juga bertujuan untuk menghormati status perkawinan sebagai perjanjian yang kokoh (mistaqan galizan) dan tidak identik dengan kontrak perdata biasa, yang mudah dibuat pada suatu saat dan mudah pula diputuskan pada saat yang sama. Selain itu, ‘iddah juga berfungsi sebagai masa berkabung untuk menghormati pasangan yang meninggal maupun keluarganya, yang dengan cara ini diharapkan tidak timbul fitnah maupun kebencian di antara para pihak. Keberlakuan ‘iddah yang mengikat bagi laki-laki maupun perempuan tidak hanya ditujukan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam relasi antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga untuk menjadikan fungsi ‘iddah lebih efektif, antara lain untuk pencegahan terhadap penyakit seks menular, dan untuk mewujudkan rekonsiliasi. Selain itu, dengan memberlakukan ‘iddah bagi laki-laki dan perempuan berarti telah menghapus dehumanisasi terhadap perempuan. Hal ini dapat dijelaskan dalam kasus ‘iddah karena perceraian maupun ‘iddah karena kematian. Dalam ‘iddah karena perceraian, misalnya, bagaimana perasaan seorang istri yang dicerai yang harus menjalankan ‘iddah, sementara pada saat yang sama suaminya melangsungkan akad nikah dengan perempuan lain? Begitu juga dalam ‘iddah karena kematian ketika seorang istri harus menjalankan ‘iddah untuk menunjukkan sikap berkabung atas kematian suaminya, sementara tidak ada kewajiban yang sama bagi suami ketika istrinya Hilman Latif, “Kritisisme Tekstual dan Relasi Intertekstualitas dalam Interpretasi Teks Alqur’an,” dalam Sahiron Syamsudin, dkk, Hermeneutika Alqur’an Mazhab Yogya, cet. I (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. 93-4. 26 Muhamad Isna Wahyudi, “’Iddah: Sebuah Pembacaan baru,” dalam Asy-Syir’ah, Vol. 39, No. 1 (2005), hlm. 151. 25
31
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 19 - 34
meninggal. Apakah dalam hal ini istri bukanlah manusia sehingga suami tidak perlu berkabung ketika istrinya meninggal? Mungkin ada sebagian dari orang-orang yang berasumsi bahwa ‘iddah tidak berlaku bagi laki-laki karena selama dalam masa ‘iddah laki-laki berkewajiban untuk memberikan nafkah maupun tempat tinggal bagi perempuan yang ber’iddah. Memang asumsi yang demikian secara sekilas tampak dapat dibenarkan. Tetapi disadari atau tidak, orang yang berasumsi demikian sebenarnya tidak mengalami perkembangan pemikiran dalam memandang kedudukan perempuan. Dengan kata lain orang tersebut masih terjebak dalam logika berpikir yang patriarkis. Mengapa demikian? Karena asumsi yang demikian itu secara tidak langsung masih memosisikan perempuan tidak lebih dari sebuah objek dalam perkawinan, sebagaimana yang berlaku di dalam masyarakat Arabia pada saat pewahyuan. Dalam arti bahwa karena telah merasa membayar perempuan yang ber’iddah, laki-laki merasa tidak perlu menjaga perasaan perempuan yang ber’iddah. Berkaitan dengan keberlakuan ‘iddah bagi laki-laki dan perempuan ini mungkin muncul persoalan sehubungan dengan ukuran yang digunakan oleh laki-laki dalam menjalankan ‘iddah. Dalam hal ini karena ketentuan ‘iddah disesuaikan dengan kondisi perempuan, maka masa ‘iddah bagi laki-laki juga menyesuaikan terhadap masa ‘iddah yang dijalankan oleh perempuan. Hal ini berlaku dalam kasus perkawinan yang putus karena perceraian. Sementara dalam kasus perkawinan yang putus karena kematian, maka ‘iddah-nya adalah empat bulan sepuluh hari. Selain keberlakuan ‘iddah yang mengikat kepada pasangan suami dan istri yang bercerai, bagi suami atau istri yang pasangannya meninggal dunia wajib berkabung selama masa ‘iddah wafat. Tata cara berkabung tidak seperti yang ada di dalam kitabkitab fikih yang terlalu berlebihan, akan tetapi disesuaikan dengan ukuran kepantasan dan kewajaran. Selama masa berkabung baik suami maupun istri tersebut tetap dapat melakukan kegiatan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di luar rumah. III. KESIMPULAN Dengan konsep ‘iddah yang berlaku mengikat kepada laki-laki dan perempuan, diharapkan dapat memperbaiki posisi perempuan yang selama ini identik dengan objek, menjadi subjek yang seutuhnya dan setara dengan laki-laki dalam perkawinan. Dengan demikian, relasi antara laki-laki dan perempuan dalam perkawinan yang sebelumnya didasarkan pada hierarki, dominasi-subordinasi, dapat diperbaiki menjadi berdasarkan
32
Kajian Kritis Ketentuan Waktu Tunggu (Iddah) dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan - Muhamad Isna Wahyudi
hubungan kemitraan. Dalam pola hubungan yang seperti ini, akan dapat memberikan latar belakang yang kondusif untuk mewujudkan tujuan perkawinan, yang di antaranya adalah untuk mendapatkan ketenteraman dengan pasangan. Oleh karena itu, ketentuan mengenai waktu tunggu dalam RUU HMPA seharusnya mengikat baik kepada janda maupun duda. IV. DAFTAR PUSTAKA Ad- Dahlawi, Syah Waliyyullah. Hujjatullah al-Baligah. Qahirah: Dar at-Turas, 1355 H, 2 juz. Ali, Shaheen Sardar. Gender and Human Rights in Islam and International Law: Equal before Allah, Unequal Before Man?. The Hague/London/Boston: Kluwer Law International, 2000. Al-Jauziyyah, Ibn al-Qayyim. A’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin. Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411 H/1991 M, 2 Jilid, 4 Juz. Baidowi, Ahmad. Tafsir Feminis: Kajian Perempuan dalam Al-Qur’an dan Para Mufasir Kontemporer. cet. I. Bandung: Nuansa, 2005. Barlas, Asma. Cara Quran Membebaskan Perempuan. terj. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005. Dzuhayatin, Siti Ruhaini dik. Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam. cet.I. Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, McGill-ICHIEP dan Pustaka Pelajar, 2002. Engineer, Asghar Ali. “Islam, Women, and Gender Justice,” dalam Islamic Millenium Journal, Vol. I, No. 1 (2001). Fakih, Mansour. Analisis Gender & Transformasi Sosial. cet. IX. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Fyzee, A.A.A. Outlines of Muhammadan Law. fourth edition, Oxford:Oxford University Press,1974. Hidayat, Komaruddin. Menafsirkan Kehendak Tuhan. cet. II. Jakarta: TERAJU, 2004. Hidayatullah, Syarif. “Gender and Religion: An Islamic Perspective,” Al-Jami’ah, Vol. 39, No. 2 (2001). Hulam, Taufiqul. Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif hukum Islam dan Hukum Positif, cet. I, Yogyakarta: UII Press, 2002. Jamil, Javed. ” Extraordinary Importance of Iddah in Family Health”, in Islam and the Modern Age, vol. III (2000). Kompilasi Hukum Islam.
33
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 19 - 34
Muniarti, A. Nunuk P., Getar Gender, Buku Pertama, Magelang: Indonesia Tera, 2004. Nasution, Khoiruddin. FazlurRahman tentang Wanita, cet. I, Yogyakarta: Tazzafa dengan ACAdeMIA, 2002. ___. Islam and Modernity: Tranformation of an Intellectual Tradition, Chicago: The University of Chicago Press, 1982. ___. Islam: Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan I) Dilengkapi Perbandingan UU Negara Muslim, cet. I, Yogyakarta: ACADEMIA + TAZZAFA, 2004. ___, “Fiqih Islam Sekitar Wanita, Antara Skripturalis dan Kontekstual, “ makalah disampaikan dalam seminar Reading the Religious Texts and The Roots of Fundamentalism, di hotel Saphir Jogjakarta, 13 Juni 2004, hlm. 2-13. Rahman, Fazlur. Islam, 2nd edition, Chicago & London: The University of Chicago Press, 1979. Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan Said, Nur. Perempuan Dalam Himpitan Teologi dan HAM di Indonesia, cet. I, Yogyakarta: Pilar Media, 2005. Syamsudin, Sahiron, dik. Hermeneutika Alqur’an Mazhab Yogya, cet. I, Yogyakarta: Islamika, 2003. Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, cet. I, Jakarta: Paramadina, 1999. Wahyudi, Muhamad Isna, “’Iddah: Sebuah Pembacaan baru,” dalam Asy-Syir’ah, Vol. 39, No. 1 (2005).
34
MODEL PENYELESAIAN PERSELISIHAN PARTAI POLITIK SECARA INTERNAL MAUPUN EKSTERNAL THE MODEL OF POLITICAL PARTY DISPUTE SETTLEMENT INTERNALLY AND EXTERNALLY TRI CAHYA INDRA PERMANA Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Jl. A. Sentra Primer Baru Timur, Pulo Gebang, Jakarta Timur 13950 Email :
[email protected]
ABSTRAK Undang-Undang Parpol mengatur bahwa perselisihan Parpol diselesaikan secara internal oleh Mahkamah Partai atau sebutan lain daripada itu dan secara eksternal oleh Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung. Substansi perselisihan yang final dan mengikat di Mahkamah Partai adalah perselisihan kepengurusan, selebihnya dapat diajukan upaya hukum ke Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung. Di dalam praktek, pengaturan tersebut telah menjauhkan dari rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, oleh karenanya sebaiknya direvisi yang mana perselisihan PAW, pelanggaran terhadap hak anggota partai politik, penyalahgunaan wewenang, pertanggungjawaban keuangan, dan atau keberatan terhadap keputusan partai politik (termasuk keputusan untuk tidak memutuskan terhadap sesuatu hal) final dan mengikat dengan Putusan MPP. Sedangkan perselisihan kepengurusan dapat diajukan upaya hukum ke Mahkamah Konstitusi. Kata kunci : perselisihan parpol, mahkamah partai, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi ABSTRACT Political parties act stipulates that a political party dispute resolved internally by the Mahkamah Partai or other designation of that and externally resolved by the District Court and the Supreme Court. The dispute substance in Mahkamah Partai which is final and binding is about organization dispute, the other can be settled in District Court and the Supreme Court. In practice, that arrangement makes the decision apart from the sense of justice, legal certainty and utility. Therefore, these rules should be revised so that the regulation of PAW, violations of the rights of members of political parties, abuse of authority, financial liability, or an objection to the decision of political parties (including the decision not to decide on something) is final and binding through Mahkamah Partai decision. While the organization disputes can be submitted to the Constitutional Court for legal action. Keywords : political party dispute, Mahkamah Partai, Supreme Court, Constitutional Court
35
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 , Nomor 1, Maret 2016 : 35 - 52
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai sebuah organisasi politik, Partai Politik diisi oleh anggota Partai Politik yang telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang yang sebagian daripadanya memiliki kedudukan sebagai pengurus partai politik. Dalam menjalankan kepengurusannya, pengurus partai politik mendapat kepercayaan dari anggota-anggota partai politik untuk menentukan arah kebijakan partai yang secara garis besar dituangkan di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga partai. Di samping itu, pengurus partai juga harus mengacu pada Pancasila sebagai ideologi negara dan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan yang melingkupi tindakan partai politik yang direpresentasikan oleh pengurusnya antara lain Undang-Undang tentang Partai Politik, Undang-Undang tentang Pemilu, UndangUndang tentang MD3 dan beberapa undang-undang lainnya. Dalam menjalankan kepengurusannya, tidak bisa dihindari adanya perselisihan di antara anggota partai politik, anggota partai politik dengan pengurus partai politik, bahkan perselisihan di antara sesama pengurus partai politik. Mengenai jenis perselisihan partai politik diatur di dalam Undang-Undang tentang Partai Politik, sedangkan mekanisme Pergantian Antar Waktu anggota Dewan yang juga berpotensi menjadi sebuah perselisihan partai politik diatur di dalam Undang-Undang tentang MD3. Menurut Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Partai Politik disebutkan jenis-jenis perselisihan partai politik antara lain : Perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan, Pelanggaran terhadap hak anggota partai politik, Pemecatan tanpa alasan yang jelas, Penyalahgunaan wewenang,
Pertanggungjawaban keuangan, dan atau Keberatan
terhadap keputusan partai politik. Di samping yang disebutkan di dalam Undang-Undang Partai Politik tersebut di atas, perselisihan partai politik juga berkembang di dalam praktek. Misalnya keberatan terhadap kebijakan pengurus partai politik yang tidak melakukan pergantian antar waktu1 (PAW) bagi anggotanya. Keberatan ini diajukan oleh anggota partai politik yang seharusnya menggantikan anggota parpol yang di-PAW. Keberatan semacam ini memang 1 Dalam bahasa normatifnya sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) adalah Peresmian Pemberhentian dan Peresmian Pengangkatan Antar Waktu Anggota DPR/DPRD
36
Model Penyelesaian Perselisihan Partai Politik Secara Internal Maupun Eksternal - Tri Cahya Indra Permana
tidak lazim sebab pada umumnya perselisihan terjadi karena anggota parpol di-PAW sehingga timbul perselisihan antara anggota partai yang di PAW dengan pengurus Partai yang melakukan PAW. Faktor penyebabnya adalah keengganan atau setidak-tidaknya ketidaksegeraan dari pimpinan parpol yang bersangkutan untuk mengusulkan pemberhentian sebagai anggota Dewan meskipun misalnya anggota Dewan yang melakukan tindak pidana tersebut telah berstatus sebagai narapidana. Dengan tidak adanya usulan pemberhentian sebagai anggota Dewan, maka Pergantian Antar Waktunya tidak dapat diproses sehingga setelah bebas menjalani hukuman, dikhawatirkan ia dapat menjabat kembali sebagai anggota Dewan. Kasus yang nyata adalah sebagaimana yang menimpa Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya periode Tahun 2009-2014, Musyafak Rouf dari Partai Kebangkitan Bangsa, meskipun ia telah berstatus sebagai narapidana namun pemberhentian antar waktunya tidak segera diusulkan oleh pimpinan partai politik yang bersangkutan hingga menjelang kebebasannya dari menjalani hukuman. Mekanisme penyelesaian perselisihan partai politik sesungguhnya telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik pada Pasal 32 dan Pasal 33 yang mengatur sebagai berikut : Pasal 32 mengatur bahwa: 1) Perselisihan Partai Politik diselesaikan oleh internal Partai Politik sebagaimana diatur di dalam AD dan ART. 2) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh Partai Politik. 3) Susunan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pimpinan Partai Politik kepada Kementerian. 4) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diselesaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari. 5) Putusan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan. Pasal 33 mengatur bahwa:
37
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 , Nomor 1, Maret 2016 : 35 - 52
1) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui Pengadilan Negeri. 2) Putusan Pengadilan Negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. 3) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh Pengadilan Negeri paling lama 60 (enam puluh) hari sejak gugatan perkara terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Negeri dan oleh Mahkamah Agung paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak memori kasasi terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung. Meskipun Undang-Undang Partai Politik telah mengatur mekanisme penyelesaian perselisihan Partai Politik, namun pengaturan mengenai penyelesaian perselisihan parpol tersebut di atas mengandung kontradiksi. Hal itu ditunjukkan meskipun di dalam Pasal 32 disebutkan putusan Mahkamah Parpol bersifat final dan mengikat secara internal namun masih membuka kemungkinan upaya hukum ke Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung. Selain di dalam normanya sudah mengandung kontradiksi, di dalam prakteknya pun yang terjadi saat ini terjadi dualisme penyelesaian perselisihan yaitu PTUN dan Peradilan Umum khususnya mengenai perselisihan kepengurusan dan PAW banyak yang langsung diajukan ke pengadilan karena ketidaktahuan anggota parpol. Gugatan mengenai PAW di PTUN tidak ditujukan kepada Pimpinan/Fungsionaris partai politik karena mereka bukanlah pejabat tata usaha negara, akan tetapi ditujukan kepada Gubernur/Menteri Dalam Negeri/Presiden atas Surat Keputusan tentang Peresmian Pemberhentian dan Peresmian Pengangkatan Pergantian Antar Waktu Anggota DPR/DPRD yang diterbitkannya, sedangkan gugatan di PN didasarkan pada perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata yang dilakukan oleh Pimpinan/Fungsionaris partai politik. Dalam beberapa yurisprudensi tetap putusan MA dalam perkara PAW telah ditetapkan bahwa perselisihan parpol merupakan urusan internal partai politik sehingga sebelum mengajukan gugatan di peradilan umum, harus ditempuh terlebih dahulu upaya penyelesaian oleh internal partai yang bersangkutan. Artinya, Peradilan Umum baru
38
Model Penyelesaian Perselisihan Partai Politik Secara Internal Maupun Eksternal - Tri Cahya Indra Permana
berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya, apabila pemberhentian sebagai anggota parpol telah ditempuh upaya penyelesaian internal melalui parpol yang bersangkutan. Untuk perselisihan kepengurusan, dalam kasus sengketa kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golongan Karya (Golkar), masing-masing Mahkamah Partainya telah menjatuhkan putusan. Untuk PPP, diputus pada tanggal 11 Oktober 2014 oleh Mahkamah Syariah Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan Nomor : 49/PIP/MP-DPP.PPP/2014 yang putusannya pada pokoknya menyatakan Pengurus Harian DPP PPP periode 2011-2015 selaku Eksekutif PPP yang susunan personalianya sesuai hasil keputusan Muktamar VII PPP Tahun 2011 di Bandung dengan Ketua Umum DR. H. Suryadharma Ali, M.Si dan Sekretaris Jenderal Ir. HM Romahurmuziy, M.T. dan mengharuskan diselenggarakannya Muktamar selambatlambatnya 7 (tujuh) hari setelah dibacakannya putusan. Sengketa kepengurusan Partai Golkar diputus pada tanggal 3 Maret 2015 oleh Mahkamah Partai Golkar melalui putusan No.
01/PI-GOLKAR/II/2015,
No.
02/PI-GOLKAR/II/2015,
dan
No.
03/PI-
GOLKAR/II/2015 yang putusannya multitafsir. Atas putusan Mahkamah Partai sebagaimana tersebut di atas, maka Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) menganggap sengketa Partai Golkar dan PPP telah selesai secara internal dan dicatatkanlah perubahan pengurus oleh Menkumham menurut kewenangannya. Pasal 23 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik disebutkan sebagai berikut: (1) Pergantian kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART; (2) Susunan kepengurusan hasil pergantian kepengurusan Partai Politik tingkat pusat didaftarkan ke kementerian paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak terbentuknya kepengurusan yang baru; (3) Susunan kepengurusan baru Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya persyaratan;
Pasal 1 angka 6 dan angka 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik mengatur bahwa menteri adalah menteri yang membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia,
39
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 , Nomor 1, Maret 2016 : 35 - 52
sedangkan kementerian adalah kementerian yang membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia. Pasca putusan Mahkamah Parpol kedua partai tersebut di atas, perselisihan muncul kembali di Pengadilan Tata Usaha Negara karena pencatatan yang dilakukan oleh Menkumham dianggap telah menyalahi kewenangannya yang hanya bersifat deklaratif dimana di dalam kepengurusan Partai Golkar yang dicatatkan oleh Menkumham adalah kepengurusan hasil Munas Ancol dengan Ketua Umum Agung Laksono dan Sekretaris Jenderal Zainuddin Amali. Dalam kepengurusan PPP yang dicatatkan adalah kepengurusan hasil Muktamar Surabaya dengan Ketua Umum Romahurmuziy dan Sekretaris Jenderal Ir. Aunur Rofik. Pencatatan yang demikian tidak bisa dipungkiri karena Menkumham yang menerbitkan SK yaitu Yasona H Laoly notabene adalah kader Partai Politik yang juga berkepentingan dengan keberadaan Koalisi Indonesia Hebat di DPR karena kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Ancol dan kepengurusan PPP hasil Munas Surabaya telah menyatakan bergabung dengan Koalisi Indonesia Hebat. Dengan bergabungnya kedua kepengurusan yang telah disahkan oleh Menkumham, maka kekuatan KMP di Parlemen akan berkurang secara signifikan, sebaliknya kekuatan KIH akan bertambah. Dinamika sosial politik ini membawa pesan (message) yang ingin didengar, diketahui, dipahami, dan kemudian dilaksanakan oleh pihak yang dituju yaitu para pemegang kekuasaan politik2. Pesan yang ingin disampaikan oleh Menkumham kepada para pemegang kekuasaan politik hanya Tuhan dan Menkumham yang tahu. Apa yang telah dilakukan oleh Menkumham menjadi catatan sejarah dalam penyelesaian perselisihan parpol yang berkaitan dengan kepengurusan dan membawa pesan (message) tersendiri bagi para peneliti di bidang politik dan hukum. Meskipun Menkumham telah mencatatkan kedua kepengurusan tersebut di atas, namun putusan Mahkamah Agung dalam perkara Nomor 490 K/TUN/2015 dan 504 K/TUN/2015 menyatakan sependapat dengan Putusan PTUN Jakarta dalam sengketa PPP dan Partai Golkar melawan Menkumham bahwa tindakan Menkumham merupakan
2
Ahmad Fadlil Sumadi, Politik Hukum, Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi: Aktualisasi Konstitusi dalam Praksis Kenegaraan (Malang: Setara Press, 2013), Hlm. 21
40
Model Penyelesaian Perselisihan Partai Politik Secara Internal Maupun Eksternal - Tri Cahya Indra Permana
sebuah intervensi pemerintah terhadap urusan internal Partai Politik yang berkedok pengesahan. Jika benar adanya, maka kekuatan yang lebih besar sesungguhnya berada di balik pelaksanaan wewenang Menkumham yaitu partai-partai politik pendukung pemerintah. Dalam keadaan yang demikian, Kamarudin Sahid mengatakan bahwa partai politik yang secara teoritis diyakini sebagai institusi demokrasi, justru tampil sebagai “pembunuh” demokrasi. Partai Politik bukanlah pendukung otentik demokratisasi, melainkan bagian dari pemeliharaan status quo yang harus direformasi3. Atas dasar ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik tersebut di atas, maka Menkumham sesungguhnya memiliki wewenang secara atributif untuk mencatatkan perubahan pengurus Partai Politik akan tetapi ada rambu-rambu yang harus dipatuhi oleh Menkumham yaitu : Pertama, kewenangan Menkumham tersebut dapat dilakukan dalam keadaan normal atau tidak ada perselisihan di antara pengurus partai politik yang bersangkutan. Jika ada perselisihan, maka Menkumham tidak boleh menerbitkan keputusan pencatatan perubahan pengurus partai politik tersebut sampai perselisihannya selesai atau telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Kedua, kewenangan Menkumham untuk mencatatkan perubahan pengurus partai politik bersifat deklaratif. Pasal 54 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan membedakan Keputusan menjadi 2 (dua) yaitu keputusan yang bersifat konstitutif dan deklaratif. Di dalam penjelasannya disebutkan bahwa keputusan yang bersifat konstitutif adalah keputusan yang bersifat penetapan mandiri oleh Pejabat Pemerintahan. Sedangkan Keputusan deklaratif didefinisikan sebagai keputusan yang bersifat pengesahan setelah melalui proses pembahasan di tingkat pejabat pemerintahan yang menetapkan keputusan yang bersifat konstitutif. Dalam hal pencatatan perubahan kepengurusan partai politik, putusan yang bersifat konstitutif bukan diterbitkan oleh Pejabat melainkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Partai. Dengan kata lain, kewenangan deklaratif Menkumham hanyalah kewenangan “stempel” atau copy paste saja dari putusan Mahkamah Parpol.
3
Kamarudin Sahid, Memahami Sosiologi Politik (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), Hlm. 311
41
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 , Nomor 1, Maret 2016 : 35 - 52
Ketiga, kewenangan Menkumham tersebut bersifat pasif yang artinya Menteri harus menunggu datangnya permohonan dari pengurus Parpol yang bersangkutan. A contrario-nya, Menkumham tidak boleh secara aktif berkirim surat meminta kepada pengurus parpol agar segera mengajukan permohonan pencatatan perubahan pengurus partai politik karena hal tersebut akan menimbulkan kesan keberpihakan. Rambu-rambu tersebut diperlukan agar di dalam pelaksanaannya tidak terjadi penyalahgunaan wewenang yaitu penggunaan wewenang tidak sebagaimana mestinya. Dalam hal ini pejabat menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain yang menyimpang dari tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu.4 B. Rumusan Masalah Atas dasar latar belakang masalah dan fakta-fakta yang telah disebutkan di atas, pertanyaan yang perlu untuk diteliti antara lain sebagai berikut : 1) Dalam hal perselisihan parpol yang seperti apa penyelesaian perselisihan secara internal dilakukan dan siapa yang berwenang mengadilinya ? 2) Dalam hal perselisihan parpol yang seperti apa penyelesaian perselisihan secara eksternal dilakukan dan siapa yang berwenang mengadilinya ? 3) Bagaimana model penyelesaian perselisihan parpol perlu diatur agar lebih berkeadilan, berkepastian hukum dan bermanfaat bagi masyarakat ? II. PEMBAHASAN Untuk menjawab ketiga persoalan tersebut di atas, politik hukum digunakan sebagai arahan pembuatan hukum atau legal policy lembaga-lembaga negara dalam pembuatan hukum dan sekaligus sebagai alat untuk menilai dan mengkritisi apakah sebuah hukum yang dibuat sudah sesuai atau tidak dengan kerangka pikir legal policy tersebut untuk mencapai tujuan negara5. Politik hukum juga menghadapkan pada pilihan-pilihan hukum yang masingmasing pilihan hukum mempunyai konsekuensi hukum. Konsekuensi hukum yang ditimbulkan tidak boleh bertentangan dengan tujuan negara dalam hal ini salah satu tujuan negara yang hendak dicapai adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah 4 Philipus M Hadjon, Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Dsingkat UUAP), Varia Peradilan No. 358 (September 2015), hlm. 41 5 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), hlm. 16
42
Model Penyelesaian Perselisihan Partai Politik Secara Internal Maupun Eksternal - Tri Cahya Indra Permana
Indonesia, maka hukum yang berlaku di bidang politik tidak boleh berpotensi menimbulkan perpecahan diantara partai-partai politik. Jika dirasakan ada, maka hukumhukum tersebut harus diubah bahkan dinyatakan tidak berlaku lagi melalui saluransaluran yang resmi. Satjipto Rahardjo mengatakan upaya tersebut sebagai usaha yang sistematis untuk mengubah masyarakat6. Dari norma yang terkandung di dalam Pasal 32 dan 33 Undang-Undang Partai Politik beserta penjelasannya dapat dimaknai bahwa yang dimaksud dengan penyelesaian perselisihan parpol secara internal adalah penyelesaian perselisihan partai politik yang dilakukan oleh Mahkamah Partai Politik (MPP) atau sebutan lain dari itu, sedangkan penyelesaian perselisihan parpol secara eksternal adalah penyelesaian perselisihan partai politik yang dilakukan oleh lembaga atau perangkat di luar partai politik. Jenis-jenis perselisihan yang terdapat di dalam Undang-Undang maupun yang berkembang di dalam praktek, kesemuanya harus melalui MPP, spiritnya karena MPP dianggap paling mengetahui suasana kebatinan dari Parpol yang bersangkutan. Oleh karenanya penyelesaian secara eksternal baru dapat dilakukan manakala upaya di MPP sudah dilakukan. Konsekuensinya lembaga penyelesaian eksternal harus menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perselisihan jika mekanisme penyelesaian internal belum ditempuh. Meskipun semua jenis perselisihan parpol harus diajukan terlebih dahulu melalui mekanisme penyelesaian internal, namun tidak semua perselisihan dapat diajukan upaya hukum atau diupayakan penyelesaiannya oleh lembaga eksternal. Undang-Undang Parpol menentukan selain perselisihan mengenai kepengurusan dapat diajukan upaya hukum sedangkan terhadap sengketa kepengurusan, final dan mengikat secara internal dengan putusan Mahkamah Parpol. Asumsi dari pembentuk Undang-Undang tentang Partai Politik adalah perselisihan mengenai kepengurusan harus diselesaikan dengan cepat karena partai tidak dapat berjalan jika ada upaya hukum yang berlarut-larut. Adapun perselisihan selain soal kepengurusan tidak akan menyebabkan stagnasi kepengurusan Parpol, oleh karenanya dibuka keran untuk adanya upaya hukum ke Pengadilan Negeri yang harus memutus dan
6
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm. 138
43
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 , Nomor 1, Maret 2016 : 35 - 52
menyelesaikan dalam waktu maksimal 60 (enam puluh) hari dan Mahkamah Agung yang harus memutus dan menyelesaikan dalam waktu maksimal 30 (tiga puluh) hari. Jenis perselisihan parpol dan upaya hukum menurut Undang-Undang Parpol, jika digambarkan adalah sebagai berikut : No. 1.
Jenis Perselisihan Parpol PAW,
Pelanggaran
terhadap
Upaya hukum hak Dapat diajukan upaya hukum ke PN
anggota partai politik, Penyalahgunaan dan Mahkamah Agung wewenang, keuangan,
Pertanggungjawaban dan
atau
Keberatan
terhadap keputusan partai politik 2.
Kepengurusan
Final dan Mengikat dengan Putusan MPP
Di dalam prakteknya, asumsi pembentuk Undang-Undang parpol tersebut ternyata kurang tepat karena dalam perselisihan yang berkaitan dengan kepengurusan, ada kecenderungan Mahkamah Parpol tidak dapat menyelesaikan sengketa kepengurusan karena ketua Mahkamah Parpol serta hakim-hakimnya adalah pengurus parpol yang bersangkutan sehingga sangat partisan dan ada rasa ewuh pekewuh terhadap kubu-kubu yang bersengketa. Kalaupun dipaksa untuk memutus, putusannya diyakini tidak akan impartial. Terbukti di dalam putusan Mahkamah Partai Golkar ada Hakim yang memilih untuk tidak memutuskan apa-apa namun hanya memberikan rekomendasi. Fenomena tersebut sesuai dengan asas nemo judex in rex sua yang bermakna tidak ada seorangpun yang dapat menjadi hakim yang baik bagi dirinya sendiri, oleh karenanya pada badan peradilan Hakim harus mengundurkan diri dari kewajiban mengadili suatu perkara jika ada conflict of interest hakim baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap perkara yang sedang diperiksanya. Lebih jauh di dalam Mahkamah Partai Golkar potensi deadlock sesungguhnya sejak awal sudah ada karena Hakim Mahkamah Partai Golkar yang semula berjumlah 5 (lima) orang tinggal berjumlah 4 (empat) orang7 dan tetap bersidang tanpa mencari ganti Aulia 7 Keempat orang hakim MPG tersebut adalah Muladi, Andi Mattalata, HAS Natabaya dan Djasri Marin. Deadlock dimaksud yaitu jika terjadi voting dalam rapat permusyawaratan, dapat terjadi dua suara melawan dua suara yang berarti tidak ada putusan
44
Model Penyelesaian Perselisihan Partai Politik Secara Internal Maupun Eksternal - Tri Cahya Indra Permana
Rahman, salah seorang hakim Mahkamah Partai Golkar yang telah diangkat menjadi Duta Besar. Dengan demikian frase “final dan mengikat” yang dilekatkan di putusan MPP mengenai perselisihan kepengurusan parpol seolah seperti euphoria saat pembentuk undang-undang menganggap Mahkamah Parpol lah yang paling mengetahui suasana kebatinan parpol yang bersangkutan sehingga putusannya pasti menyelesaikan perselisihan, padahal tidak karena ada faktor lain yang menyebabkan Mahkamah Partai tidak dapat bekerja dengan maksimal. Menurut Sunaryati Hartono, yang terpenting dan menentukan adalah bagaimana pelaksanaan hukum di dalam kenyataannya (de rechtwerkelijkheid) bukan bagaimana hukum menurut ketentuan undang-undangnya saja sebab bukankah rechtwerkelijkheid ini yang menjadi tujuan dan fungsi cita-cita berbangsa dan bernegara? Hukum itu juga menentukan bagaimana bangsa dan negara yang bersangkutan dikelola, di-manage8. Atas dasar itulah pengelolaan Mahkamah Parpol oleh parpol yang bersangkutan harus lebih baik dan profesional jika frase final dan mengikat ingin tetap dipertahankan. Jika tidak, maka sebaiknya dibuka saja upaya hukum kepada suatu lembaga eksternal. Hak pula bagi pengurus parpol yang bersengketa agar putusan Mahkamah Parpol dapat dinilai kembali oleh suatu lembaga peradilan, namun sebaiknya kewenangan tersebut tidak diserahkan kepada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung melainkan kepada Mahkamah Konstitusi. Penyelesaian sengketa kepengurusan parpol oleh badan peradilan di bawah Mahkamah Agung membutuhkan waktu yang sangat lama dan telah menimbulkan kewenangan positif antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara dimana kedua lembaga sama-sama menyatakan berwenang secara absolut untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan suatu perkara. Pengadilan Negeri berwenang untuk menilai keabsahan pengurus atau dengan kata lain menilai pengurus mana yang sah, sedangkan Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang untuk memeriksa sengketa administrasinya jika Menkumham tidak menaati rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Adapun jika kewenangan
8 CFG Sunaryati Hartono, Membangun Hukum Nasional Indonesia Menjadi Hukum yang Progresif dan Sesuai Dengan Kebutuhan dan Tuntutan Masa Kini dan Masa Depan, dalam Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif (Yogyakarta: Thafa Media, 2013), hlm. 16
45
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 , Nomor 1, Maret 2016 : 35 - 52
itu diberikan kepada Mahkamah Konstitusi, penyelesaian sengketanya selain relatif9 lebih cepat karena putusannya bersifat final and binding juga karena tidak ada upaya hukum luar biasa (Peninjauan Kembali). Untuk itu diperlukan cantolan yuridis di dalam UndangUndang organik karena di dalam UUD 1945, wewenang MK yang terkait dengan partai politik adalah mengadili sengketa pembubaran parpol sebagaimana diatur di dalam Pasal 24C UUDN 1945. Agar kewenangan tersebut tidak menjadi kewenangan yang mubazir10, maka perlu diperluas dengan kewenangan baru yang masih berkaitan dengan Partai Politik yaitu mengadili perselisihan kepengurusan Partai Politik. Sejak awal tujuan dibentuknya MK adalah untuk mengadili perkara-perkara yang bersifat politis11. Anggota Panitia Ad-hoc MPR Pataniari Siahaan memandang masalah politik lebih tepat menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi dan kurang tepat jika ditangani Mahkamah Agung karena Mahkamah Agung sudah menangani perkara kasasi yang sudah menumpuk12. Untuk itu tinggal bagaimana melenturkan dan memperluas kewenangan MK di dalam Undang-Undang organik sepanjang dilakukan demi kemaslahatan bangsa. Kesemuanya menurut Dillon untuk mewujudkan kepemimpinan politik yang dapat meyakinkan bahwa reformasi kelembagaan pelayanan publik akan menghasilkan lebih banyak keuntungan politik daripada biayanya13. Dengan pengaturan yang demikian, akan menjadi jelas kapan suatu perselisihan parpol yang berkaitan dengan kepengurusan itu dikatakan belum mempunyai kekuatan hukum tetap atau kapan suatu perselisihan parpol itu sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Belum mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu manakala suatu perselisihan sudah diputus oleh Mahkamah Parpol namun diajukan upaya hukum ke MK. Sedangkan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu manakala suatu perselisihan sudah diputus oleh Mahkamah Parpol dan diterima oleh para pihak yang berselisih serta dalam tenggang waktu yang ditentukan tidak mengajukan upaya hukum ke MK atau manakala telah
9
Terkadang MK dalam menjatuhkan suatu putusan juga cukup lama misalnya soal izin Presiden untuk memeriksa anggota DPR baru dibacakan 11 bulan. Karenanya perlu aturan berapa lama batas waktu penyelesaian perkara di MK 10 Hingga saat ini MK belum pernah memeriksa sengketa pembubaran Partai Politik 11 Abdurrachman Satrio, Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus Perselisihan Hasil Pemilu Sebagai Bentuk Judicialization of Politics, Jurnal Konstitusi (Maret 2015), hlm. 126 12 Sirajuddin dan Winardi, Dasar-dasar Hukum Tata Negara Indonesia (Malang: Setara Press, 2015), hlm. 299 13 JB Soedarmanta, An Indonesian Renaissance, Kebangkitan Kembali Republik Perspektif HS Dillon (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2012), hlm. 138
46
Model Penyelesaian Perselisihan Partai Politik Secara Internal Maupun Eksternal - Tri Cahya Indra Permana
diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Setelah perselisihan parpol yang berkaitan dengan kepengurusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap, maka barulah Menkumham dapat mencatatkan kepengurusan yang sah. Dengan demikian dapat ditarik benang merah mengapa penyelesaian perselisihan parpol perlu dibedakan secara internal dan eksternal karena tidak semua perselisihan parpol dapat diselesaikan secara tuntas oleh lembaga internal yaitu Mahkamah Partai. Oleh karenanya sebaiknya jika digambarkan jenis perselisihan parpol dan upaya hukum menurut Undang-Undang yang dicita-citakan (ius constituendum) adalah sebagai berikut: No. 1.
Jenis Perselisihan Parpol PAW,
Pelanggaran
terhadap
Upaya hukum hak Final dan Mengikat dengan Putusan
anggota partai politik, Penyalahgunaan MPP wewenang,
Pertanggungjawaban
keuangan, dan atau Keberatan terhadap keputusan partai politik (termasuk keputusan untuk tidak memutuskan terhadap sesuatu hal) 2.
Kepengurusan
Dapat diajukan upaya hukum ke Mahkamah Konstitusi
A.
Contoh Model Penyelesaian Internal Dalam Perselisihan PAW
Prosedur pergantian antar waktu anggota Dewan diawali dengan adanya sebabsebab dapat di-PAW-nya anggota Dewan semisal, meninggal dunia, mengundurkan diri atau melakukan pelanggaran etika dan/atau hukum. Sebelum peresmian pengangkatan anggota Dewan yang baru, maka harus didahului dengan peresmian pemberhentian anggota Dewan yang meninggal dunia atau mengundurkan diri atau melakukan pelanggaran etika dan/atau hukum tersebut. Sebagai contoh PAW bagi anggota Dewan baik DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi maupun DPR prosedur yang utamanya adalah diusulkan oleh
47
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 , Nomor 1, Maret 2016 : 35 - 52
pimpinan partai politik kepada pimpinan Dewan. Prosedur selanjutnya bagi anggota DPRD Kabupaten/Kota adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 406 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai berikut : (1) Pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 405 ayat (1) huruf a dan b serta pada ayat 2 huruf c, huruf e, huruf h, dan huruf i diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota dengan tembusan kepada gubernur. (2) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan usul pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota kepada gubernur melalui bupati/walikota untuk memperoleh peresmian pemberhentian. (3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bupati/walikota menyampaikan usul tersebut kepada gubernur. (4) Gubernur meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota dari bupati/walikota.
Pelanggaran etika/hukum oleh anggota Dewan
Bupati menyampaikan usul tersebut kepada Gubernur
usulan pemberhentian dari pimpinan parpol kepada pimpinan Dewan
Pimpinan Dewan menyampaikan usul kepada Gubernur melalui Bupati/Walikota
Gubernur meresmikan pemberhentian anggota Dewan
Sejak anggota Dewan diusulkan untuk diberhentikan oleh pimpinan parpol kepada pimpinan Dewan, sesungguhnya sudah bisa dijadikan sebagai obyek
48
perselisihan di Mahkamah Partai, termasuk apabila ada anggota Dewan yang melalukan perbuatan tercela akan tetapi tidak diusulkan oleh pimpinan partai untuk diberhentikan, dapat diperselisihkan oleh anggota partai yang memiliki kepentingan yang dirugikan sebagai dasar legal standing-nya. Oleh karenanya, jika usulan pimpinan parpol tersebut dijadikan sebagai obyek perselisihan di Mahkamah Partai seharusnya prosedur pemberhentian selanjutnya terhenti untuk menunggu putusan Mahkamah Partai. Jika putusan Mahkamah Partai mengabulkan permohonan, maka anggota Dewan tersebut tidak dapat diusulkan untuk diberhentikan dengan demikian prosedur selesai. Sebaliknya jika permohonan ditolak oleh Mahkamah Partai, maka prosedur pemberhentian anggota Dewan dapat dilanjutkan. Dengan mengingat masa jabatan Anggota Dewan yang hanya 5 (lima) tahun, maka sebaiknya perselisihan mengenai pemberhentian antar waktu sebagai Anggota Dewan final dan mengikat di tingkat Mahkamah Partai saja. Bagi lembaga peradilan yang selama ini menerima perkara PAW baik yang berkaitan dengan perbuatan melawan hukumnya ataupun keputusan peresmiannya hendaknya menyatakan gugatan tidak diterima (niet onvankelijk verklaard). Hukum acara yang harus diterapkan di dalam Mahkamah Partai antara lain sebagaimana tercermin dalam asas-asas peradilan yang baik yaitu antara lain : asas audi et alteram partem, asas fairness, asas imparsialitas, asas keterbukaan, asas keadilan dan asas penjatuhan putusan yang pantas. Penuangan hukum acara ke dalam peraturan partai diserahkan kepada Partai Politik yang bersangkutan untuk mengaturnya misalnya teknis mengenai registrasi perselisihan, penjadwalan sidang, panggilan sidang, pemeriksaan dalam persidangan yang terdiri dari jawab-menjawab, pembuktian dan kesimpulan, penjatuhan putusan dan format putusannya itu sendiri, sepanjang asas-asas tersebut di atas terpenuhi. Dari asas audi et alteram partem, maka implementasinya sebagai contoh jika Pemohon diberi kesempatan menyampaikan dalil-dalil permohonan serta bukti-buktinya, maka termohon juga harus diberi kesempatan yang sama untuk menyampaikan dalil-dalil sanggahannya serta bukti-buktinya. Menurut Maftuh Effendi, asas imparsialitas mengandung makna bahwa hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali kepada kebenaran dan keadilan. Hakim dilarang
49
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 , Nomor 1, Maret 2016 : 35 - 52
membeda-bedakan pihak-pihak yang berperkara, dilarang bersikap simpati atau antipati kepada mereka14. Asas peradilan yang baik lainnya yang juga patut untuk diperhatikan adalah penjatuhan putusan harus diberikan dalam waktu yang pantas yaitu tidak boleh diberikan dalam waktu yang terlalu lama namun tidak juga tidak boleh terlalu cepat. Semisal maksimal 30 (tiga puluh) hari sudah harus diputus dirasa cukup untuk memutus perselisihan selain soal kepengurusan. Hal selanjutnya yang sangat penting adalah mekanisme penjatuhan putusan harus dilakukan dalam rapat permusyawaratan Hakim yang dilakukan secara musyawarah mufakat setelah mendengarkan pendapat hukum para Hakim mahkamah Partai. Dalam hal keputusan dalam rapat permusyawaratan Hakim tidak dapat dilakukan secara musyawarah mufakat maka pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak, oleh karenanya jumlah hakim menangani perselisihan harus berjumlah ganjil. Jika suara terbanyak juga tidak tercapai, maka suara/pendapat ketua Majelis yang dijatuhkan. Dan yang terpenting dari semua itu adalah amar putusan harus mencerminkan rasa keadilan serta dapat menyelesaikan perselisihan. B. Model Penyelesaian Eksternal dalam Perselisihan Kepengurusan Telah dibahas di atas bahwa sebaiknya terhadap perselisihan kepengurusan partai politik dibuka keran upaya hukum ke mahkamah Konstitusi. Penyelesaian perselisihan di tingkat Mahkamah Partai dalam perselisihan kepengurusan pada pokoknya sama dengan perselisihan yang tidak dapat diajukan upaya hukum. Adapun hal-hal yang perlu untuk diatur dalam hal diajukannya upaya hukum oleh para pihak yang berselisih antara lain sebagai berikut : 1.
Dalam tenggang waktu berapa hari sejak dibacakannya putusan Mahkamah Partai para pihak dapat mengajukan upaya hukum ke MK.
2.
Apakah ada kewajiban untuk membuat memori sebagaimana memori kasasi.
3.
Dalam waktu berapa lama kepaniteraan Mahkamah Parpol harus sudah mengirim seluruh berkas perkara ke Mahkamah Konstitusi.
14 Maftuh Efffendi, Mengkaji Model dan Rumusan Acara (Ius Constituendum) Pengujian Peraturan Perundang-Undangan dibawah Undang-Undang oleh Mahkamah Agung, (Jakarta: Balitbangdiklatkumdil Mahkamah Agung, 2014), hlm. 24
50
Model Penyelesaian Perselisihan Partai Politik Secara Internal Maupun Eksternal - Tri Cahya Indra Permana
4.
Dalam tenggang waktu berapa lama Mahkamah Konstitusi harus sudah menjatuhkan putusan.
5.
Bagaimana hukum acara yang akan berlaku di MK, apakah sidang terbuka atau cukup berkas sebagaimana judex juris. Saya termasuk yang setuju cukup berkas sebagaimana judex juris, namun untuk pembacaan putusan dilakukan dengan sidang yang terbuka untuk umum.
6.
Bagaimana eksekusi terhadap putusan MK yang terkait dengan perselisihan kepengurusan partai politik tersebut. Penyelesaian perselisihan kepengurusan Partai Politik oleh MK diharapkan dapat
menyelesaikan masalah karena sifat putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga apapun yang diputuskan oleh MK tidak akan ditafsirkan lain oleh pemangku kepentingan seperti yang terjadi saat ini. III. KESIMPULAN Undang-Undang Parpol saat ini mengatur perselisihan Parpol diselesaikan secara internal oleh Mahkamah Partai atau sebutan lain daripada itu dan secara eksternal oleh Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung. Substansi perselisihan yang final dan mengikat di Mahkamah Partai adalah perselisihan kepengurusan, selebihnya dapat diajukan upaya hukum ke PN dan MA. Di dalam praktek, pengaturan tersebut telah menjauhkan dari rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, oleh karenanya sebaiknya diubah menjadi sebagai berikut: No. 1.
Jenis Perselisihan Parpol PAW,
Pelanggaran
terhadap
Upaya hukum hak Final dan Mengikat dengan Putusan
anggota partai politik, Penyalahgunaan MPP wewenang,
Pertanggungjawaban
keuangan, dan atau Keberatan terhadap keputusan partai politik (termasuk keputusan untuk tidak memutuskan terhadap sesuatu hal) 2.
Kepengurusan
Dapat diajukan upaya hukum ke Mahkamah Konstitusi
51
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 , Nomor 1, Maret 2016 : 35 - 52
IV.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Makmur dan Rahiman Sabirin. Menkumham Menggebrak. Jakarta: Indonesia Cerah, 2010. Efffendi, Maftuh. Mengkaji Model dan Rumusan Acara (Ius Constituendum) Pengujian Peraturan Perundang-Undangan dibawah Undang-Undang oleh Mahkamah Agung. Jakarta: Balitbangdiklatkumdil Mahkamah Agung, 2015. Hadjon, Philipus M. Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Disingkat UUAP), Varia Peradilan No. 358 (September 2015) Hartono, CFG Sunaryati, Membangun Hukum Nasional Indonesia Menjadi Hukum yang Progresif dan Sesuai Dengan Kebutuhan dan Tuntutan Masa Kini dan Masa Depan, dalam Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, Yogyakarta: Thafa Media, 2013. Marijan, Kacung. Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru. Jakarta: Kencana, 2015. MD, Moh. Mahfud, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers, 2006. Sahid, Kamarudin. Memahami Sosiologi Politik. Bogor: Ghalia Indonesia, 2011. Satrio, Abdurrachman. “Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus Perselisihan Hasil Pemilu Sebagai Bentuk Judicialization of Politics.” Jurnal Konstitusi no. 12 (Maret 2015): 117-133. Soedarmanta, JB. An Indonesian Renaissance, Kebangkitan Kembali Republik Perspektif HS Dillon. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2012. Sumadi, Ahmad Fadlil, Politik Hukum, Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Aktualisasi Konstitusi dalam Praksis Kenegaraan, Malang : Setara Press, 2013. Sundari, Eva dan M.G. Endang Sumiarni, Politik Hukum & Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2015.
52
POLITIK HUKUM DALAM PUTUSAN HAKIM THE POLITIC OF LAW IN A VERDICT TEGUH SATYA BHAKTI Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Jl. A. Sentra Primer Baru Timur, Pulo Gebang, Jakarta Timur 13950 Email :
[email protected]
ABSTRAK Suatu undang-undang (hukum tertulis) tidak pernah lengkap, jelas dan tuntas mengatur kehidupan masyarakat, sehingga selalu tertinggal dalam mengikuti perkembangan masyarakat. Untuk mengikuti perkembangan itu, maka undang-undang tersebut perlu untuk selalu dikembangkan agar tetap aktual dan sesuai dengan zaman. Pelaksanaan dan perkembangan peraturan perundang-undangan terjadi melalui putusan hakim (yurisprudensi) dalam proses peradilan. Dengan kata lain, yurisprudensi dimaksudkan sebagai pengembangan hukum, guna memenuhi kebutuhan hukum pencari keadilan. Pelaksanaan fungsi penegakan hukum dan keadilan maupun fungsi penemuan hukum (rechtsvinding) yang terwujud dalam suatu putusan hakim (yurisprudensi), haruslah mengacu kepada pancasila sebagai norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm) atau kearifan/kegeniusan nasional (national wisdom/national genius) dan UUD 1945 sebagai hukum dasar negara, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia. Hal demikianlah yang merupakan perwujudan politik hukum dalam putusan hakim. Kata kunci : politik hukum, putusan hakim ABSTRACT A law (written law) was never full, clear and complete set of community life, so it is always lagging behind follows the development of society. To keep abreast of it, the law should always be developed in order to remain update and relevant to the times. Implementation and development of legislation going through the verdict (jurisprudence) in the judicial process. In other words, jurisprudence intended as legal development, to meet the legal needs of justice seeker. Implementation of the functions of law enforcement and justice as well as the function of legal discovery (rechtsvinding) embodied in a verdict (jurisprudence), should refer to Pancasila as the norm of fundamental state (staatsfundamentalnorm) or wisdom / genius of the national (national wisdom / national genius) and 1945 as the basic law of the state, so that the decision reflects the sense of justice of the nation and the people of Indonesia as well. It declares a political manifestation of the law in a verdict. Keywords : politics of Law, verdic
53
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 53 - 72
I.
PENDAHULUAN Pencarian kembali tentang makna cita hukum (rechtsidde) bagi rakyat Indonesia
yang bersumber dari Pancasila di dalam rumusan UUD 1945 perlu dilakukan, sehingga nantinya diharapkan penegakan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila oleh kekuasaan kehakiman (badan Pengadilan) melalui pelaksananya hakim dapat diwujudkan. Fungsi hakim dalam penegakan hukum di Indonesia begitu sentral. Oleh karenanya dalam tulisan ini, penulis akan mencoba menguraikan pandangan mengenai peran hakim dalam pembangunan hukum nasional melalui putusannya ditinjau dari aspek politik hukum. Selain pendekatan normatif, dalam tulisan ini penulis juga menggunakan pendekatan sosio legal. Penggunaan pendekatan sosio legal ini, penulis anggap perlu, karena penulis akan menggunakan perspektif ilmu-ilmu sosial untuk mengkaji fungsi peradilan yang dikendaki oleh UUD 1945, guna mengungkap latar belakang sosio-historis, atau konteks sosiologis dari gagasan yang mendasari hakim dalam memutus perkara. Hal demikian didasarkan pada asumsi bahwa suatu hasil produk putusan hukum hakim bukan lahir dari keadaan tanpa nuansa “konteks sosiologis yang mengitarinya” (keadaan hampa sosial) melainkan penuh dengan pengaruh sosial yang mengitarinya. Menurut Satjipto Rahardjo, secara sosiologis sulit diterima adanya pengadilan yang netral, lebih lagi dalam negara Pancasila. Pengadilan di Indonesia mempunyai sisi untuk memperjuangkan dan mewujudkan Pancasila dalam masyarakat. Dengan demikian, pengadilan menjadi salah satu tempat penting dimana keadilan dan moral pancasila diwujudkan. Perwujudan masyarakat Pancasila tidak cukup hanya melalui undang-undang dan retorika pemerintahan, tetapi menuntut untuk benar-benar diwujudkan. Institusi legislatif baru menjalankan sebagian dari usaha mewujudkan masyarakat yang demikian itu dan itu pun lazimnya menggunakan bahasa yang abstrak dan sangat umum. Baru melalui putusan pengadilan segalanya menjadi jelas dan konkret.1 Lebih lanjut Satjipto menambahkan, bahwa di dalam pengadilan terjadi perjuangan untuk mewujudkan ideologi-ideologi. Itu berarti, bahwa pengadilan dan
1
Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia, Penerbit Buku Kompas: Jakarta, 2006, hal. 238
54
Politik Hukum dalam Putusan Hakim - Teguh Satya Bhakti
hakim tidak hanya mengkonkretkan isi undang-undang atau memutus berdasarkan undang-undang, melainkan lebih jauh daripada itu. Hakim itu juga berpolitik dan menjadi pejuang ideologi, oleh karena melalui putusannya ia mewujudkan pikiran ideologis menjadi kenyataan.2 Rumusan tentang Kekuasaan Kehakiman pasca Perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diatur dalam Bab IX . Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”, sedangkan ayat (2)-nya berbunyi, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Hal tersebut kemudian dijabarkan dalam ketentuan Pasal 31 dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK). Pasal 31 UUKK berbunyi, “Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang”, sedangkan Pasal 33 UUKK berbunyi,“Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan”. Berdasarkan ketentuan UUD 1945 dan UUKK di atas, kebebasan atau kemerdekaan diberikan kepada institusi pelaku kekuasaan kehakiman – yaitu MA, beserta badan-badan peradilan di bawah MA, dan Mahkamah Konstitusi – untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Namun, kebebasan/kemerdekaan institusional lembaga peradilan dengan sendirinya tercermin dalam kebebasan para hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dimaksud. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi bahwa hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman (rechters als uitvoerder van rechterlijke macht) (Pasal 31 UUKK), hakim wajib menjaga kemandirian peradilan (Pasal 33 UUKK) yang secara inheren hakim juga secara individual menyandang kemandiriannya sebagai hakim, sehingga seorang ketua pengadilan pun tidak boleh mengintervensi hakim yang sedang menangani perkara.
2
Ibid, hal. 236
55
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 53 - 72
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa badan-badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, dan lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, serta lingkungan peradilan tata usaha negara sebagai institusi hanya dapat melaksanakan kewenangan melalui para hakimnya. Dengan demikian, badan peradilan sebagai suatu lingkungan kerja (ambt) untuk bertindak dipersonifikasikan oleh hakim sebagai pemangku jabatan (ambtsdrager). Konstruksi pemikiran di atas membawa konsekuensi logis bahwa kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan independensi peradilan yang dijamin oleh Pasal 24 UUD 1945 juga memberikan kemerdekaan dan independensi kepada hakim yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Oleh karena itu jaminan atas kemandirian peradilan adalah hak sekaligus kewenangan konstitusional hakim. Tanpa adanya kemerdekaan dan independensi hakim, kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan independensi peradilan tidak akan dapat ditegakkan. Sebaliknya, segala bentuk ketergantungan dan keterikatan institusi badan-badan peradilan pasti akan mengurangi kemerdekaan dan independensi hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. II. PEMBAHASAN A. Pembangunan Hukum Nasional sebagai Alasan Mengapa Hakim Harus Berpolitik Melalui Putusannya. Terhitung sejak kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, hukum positif yang berlaku di Indonesia (ius constitutum), selain berasal dari peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga legislatif yang didasarkan pada UUD 1945 (baik sebelum maupun sesudah perubahan UUD 1945), masih terdapat pula peraturan perundang-undangan warisan kolonial belanda (seperti Kitab Undangundang Hukum Perdata, Kitab Undang-undang Hukum Dagang, dan Kitab Undangundang Hukum Pidana). Hal tersebut sebagai konsekuensi dari penerapan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menegaskan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini. Selain itu pemberlakuan UU No. 1 Tahun 1946 jo. UU No. 73 Tahun 1958 juga menyebabkan peraturan perundang-undangan warisan jaman kolonial dinyatakan tetap berlaku sebagai hukum positif Indonesia.
56
Politik Hukum dalam Putusan Hakim - Teguh Satya Bhakti
Keadaan di atas menimbulkan dua pertanyaan, apakah Indonesia sudah memiliki hukum nasional atau belum. Mengenai persoalan ini, Perbedaan pendapat di kalangan pakar hukum terbagi menjadi dua bagian, yaitu ada yang berpendapat bahwa bahwa Indonesia belum memiliki hukum nasional, dengan alasan masih banyak terdapat peraturan perundang-undangan yang berasal dari zaman kolonial. Indonesia baru bisa dikatakan memiliki hukum nasional apabila seluruh perundang-undangan dihasilkan oleh lembaga legislatif (pembentuk undang-undang nasional). Di lain pihak, ada yang mengatakan bahwa walaupun masih banyak berlaku peraturan perundang-undangan yang berasal dari zaman kolonial, Indonesia sudah memiliki hukum nasional. Karena sifat dari peraturan perundang-undangan kolonial maupun peraturan perundangundangan yang dibuat oleh pembentuk undang-undang adalah bersifat pasif. Dengan demikian untuk dapat aktif dilaksanakan masih memerlukan suatu peristiwa, dan pelaksanaan hukum itu dilaksanakan melalui pengadilan.3 Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, Penulis mengikuti pendapat bahwa saat ini Indonesia belum memiliki hukum nasional karena hal demikian masih menjadi cita-cita masyarakat Indonesia yang dikristalisasikan di dalam tujuan negara, dasar negara dan cita hukum (rechtsidee) nasional. Oleh sebab itu menurut Mahfud MD, diperlukan suatu sistem hukum nasional yang dijadikan wadah atau pijakan dan kerangka kerja politik hukum nasional. Sistem hukum nasional Indonesia adalah sistem hukum yang berlaku di seluruh Indonesia yang meliputi semua unsur hukum (seperti isi, struktur, budaya, sarana, peraturan perundang-undangan, dan semua sub unsurnya) yang antara satu dengan yang lain saling bergantung dan bersumber dari Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945.4 Mengingat hingga saat ini baik Presiden maupun DPR belum memiliki keinginan yang baik (good will) berupa kehendak politik (political will) untuk membentuk suatu Sistem Hukum Nasional (SHN) yang berbasis Pancasila, maka hal tersebut telah berimplikasi secara serius terhadap proses penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum pada umumnya dan kekuasaan kehakiman (badan pengadilan) pada khususnya. Krisis penegakan hukum seperti inilah yang kemudian 3 Soedikno Mertodikusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cet. Kedua, Liberty: Yogyakarta, 1999, hal. 121-122 4 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2010, hal. 20-21
57
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 53 - 72
melahirkan kontroversi, karena sifat dari peraturan perundang-undangan warisan jaman kolonial yang akan ditegakkan itu lebih menonjolkan paham individualism, liberalism dan individual rights, yang tidak sesuai dengan cara pandang masyarakat di Indonesia. Dalam tulisan ini penulis memberi batasan pembahasan hanya menyangkut pelaksanaan penegakan hukum oleh kekuasaan kehakiman (badan pengadilan), dengan alasan karena kekuasaan kehakiman (badan pengadilan) merupakan benteng terakhir (the last resort) bagi para pencari keadilan (justiciable). Sebagaimana diketahui, bahwa selama ini pembaruan/pengembangan hukum nasional itu dibiarkan berkembang dengan sendirinya. Perkembangan itu salah satunya terjadi dalam praktik peradilan melalui penemuan hukum oleh hakim yang dilakukan dengan cara menggali sumber-sumber hukum tidak tertulis (kebiasaan masyarakat Indonesia) di dalam proses penyelesaian perkara konkrit yang dihadapkan kepadanya. Penemuan hukum ini kemudian dituangkan dalam bentuk putusan. Pembentukan hukum melalui penemuan hukum oleh hakim ini apabila terus menerus diikuti oleh hakimhakim lainnya maka kedudukannya akan meningkat menjadi Yurisprudensi. Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum dimana hukum itu dapat ditemukan dan digali, dengan demikian yurisprudensi memiliki kekuatan yang setara dengan undang-undang yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang. Perbedaan antara yurisprudensi dengan undang-undang ialah terletak pada sifat mengikatnya. Menurut Soedikno Mertodikusumo, yurisprudensi berisi peraturan-peraturan yang konkrit karena mengikat orang-orang tertentu saja, sedangkan undang-undang berisi peraturan-peraturan yang bersifat abstrak atau umum karena mengikat setiap orang.5 Berdasarkan uraian di atas, dapatlah dirumuskan bahwa yurisprudensi tersebut merupakan salah satu variabel yang dapat menjadi wadah untuk mewujudkan tujuan negara, dasar negara dan cita hukum (rechtsidee) nasional. B. Cakupan Politik Hakim Melalui Putusannya Tujuan negara Indonesia secara definitif tertuang di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang meliputi: 1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. 2. Memajukan kesejahteraan umum.
5
58
Ibid, hal. 105
Politik Hukum dalam Putusan Hakim - Teguh Satya Bhakti
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa. 4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tujuan negara tersebut harus diraih oleh negara sebagai organisasi tertinggi bangsa Indonesia yang penyelenggaraannya didasarkan kepada lima dasar negara (Pancasila) yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Selain sebagai norma fundamental Negara (staatsfundamentalnorm) bagi Negara Republik Indonesia, sila-sila Pancasila tersebut juga merupakan cita hukum (rechtsidde) bagi rakyat Indonesia. Oleh karena itu, menurut Hamid S. Attamimi, sistem hukum Indonesia, baik dalam pembentukannya, dalam penerapannya, maupun dalam penegakannya tidak dapat melepaskan diri dari nilai-nilai pancasila sebagai cita hukum yang konstitutif dan regulatif, dan dari ketentuan-ketentuan pancasila sebagai norma tertinggi yang menentukan dasar keabsahan (legitimacy) suatu norma hukum dalam sistem norma hukum Republik Indonesia.6 Terkait dengan hal di atas, dapatlah dipahami bahwa hukum diposisikan sebagai alat yang digunakan untuk mencapai tujuan negara Hal demikian sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Roscue Pound yaitu fungsi hukum itu adalah sebagai alat atau sarana rekayasa/pembaharuan sosial (law as a tool of Social engineering).7 Dengan konstruksi pemikiran yang demikian, maka dapat dipahami bahwa terdapat hubungan yang erat antara cita hukum (rechtsidee) nasional dengan politik hukum melalui putusan hakim atau dengan kata lain cita hukum (rechtsidee) nasional (hukum pancasila) bukan saja dimaknai sebagai sekumpulan sistem peraturan, doktrin, peraturan dan kaidah atau asas-asas yang dibuat oleh dan diumumkan oleh lembaga yang berwenang (Presiden dan DPR) saja, melainkan juga proses-proses yang mewujudkan hukum itu secara nyata melalui penggunaan kekuasaan (Badan-badan Pengadilan).
6 Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 359 7 Roscoe Pound, An Introduction to the Filosophy of Law, (New Heaven: Yale University Press, 1954), pg. 47
59
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 53 - 72
Menurut Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, lembaga peradilan mempunyai kedudukan penting dalam sistem hukum Indonesia, karena ia melakukan fungsi yang pada hakikatnya melengkapi ketentuan-ketentuan hukum tertulis melalui pembentukan hukum (rechtsvorming) dan penemuan hukum (rechtsvinding). Dengan perkataan lain, hakim dalam sistem hukum Indonesia yang pada dasarnya bersifat tertulis itu, mempunyai fungsi membuat hukum baru (creation of new law).8 Uraian di atas memberi pemahaman, bahwa cakupan politik hakim terbatas pada penegakkan hukum dalam kenyataan lapangan melalui putusannya. Inilah yang penulis maksud sebagai politik hukum dalam putusan hakim. Politik hukum menurut Mahfud MD adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan pergantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.9 Sedangkan yang dimaksud dengan putusan Hakim menurut Sudikno Mertodikusumo adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.10 Dengan demikian, yang dimaksud dengan politik hukum dalam putusan hakim dalam tulisan ini adalah rambu-rambu resmi tentang penemuan hukum dan pembentukan hukum yang akan dilakukan oleh hakim dalam mewujudkan cita hukum nasional, yang dilakukan dengan jalan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang menjadi landasan hakim dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak, ‘sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia.11
8
Mochtar Kusumaatmdja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, Alumni: Bandung, 1999, hal. 99 9 Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Cetakan Kedua, PT. Raja Grafindo: Jakarta, 2009, hal. 1 10 Sudikno Mertodikusumo, Hukum Acara Perdata , Liberty: Yogjakarta, 1988, hal 167 11 Dalam hasil Seminar Hukum Nasional I yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 11 Maret 1963, disebutkan tugas daripada hakim itu adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang menjadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia, Baca Barda Nawawi Arief, Kumpulan Hasil Seminar Hukum Nasional Ke I s/d VIII Dan Konvensi Hukum Nasional 2008 Tentang UUD 1945 Sebagai Landasan Konstitusional, Grand Design Sistem Dan Politik Hukum Nasional, Badan Penerbit Universitas Diponegoro: Semarang, 2011, hal. 12
60
Politik Hukum dalam Putusan Hakim - Teguh Satya Bhakti
C. Politik Hukum dalam Putusan Hakim Hans Kelsen mengemukakan bahwa Putusan pengadilan adalah suatu tindakan penerapan norma umum, dan dalam waktu yang bersamaan adalah pembentukan norma khusus, dan norma khusus tidak hanya mengikat bagi kasus tertentu yang ditanganinya, akan tetapi dapat melahirkan suatu norma yang umum pada kasus-kasus serupa yang mungkin harus diputus oleh pengadilan pada masa mendatang. Lebih lanjut Hans Kelsen mengatakan bahwa Putusan pengadilan dapat juga melahirkan suatu norma umum. Putusan pengadilan bisa memiliki kekuatan mengikat bukan hanya bagi kasus tertentu yang ditanganinya saja melainkan juga bagi kasus-kasus serupa yang mungkin harus diputus oleh pengadilan. Suatu putusan pengadilan bisa memiliki karakter sebagai yurisprudensi, yaitu putusan yang mengikat bagi putusan mendatang dari semua kasus yang sama. Namun demikian, suatu putusan dapat memiliki karakter sebagai yurisprudensi hanya jika putusan itu bukan merupakan penerapan suatu norma umum dari hukum substantif yang telah ada sebelumnya, hanya jika pengadilan bertindak sebagai pembuat peraturan.12 Sehubungan dengan hal di atas, maka dapat dirumuskan bahwa putusan badan peradilan adalah norma yang ditujukan kepada peristiwa konkrit yang disebut norma khusus. Norma khusus adalah penerapan dan pembentukan hukum yang bersandar kepada norma umum berupa undang-undang dan kebiasaan. Norma umum juga merupakan penerapan dan pembentukan hukum yang bersandar kepada norma dasar berupa konstitusi. Begitupun norma dasar bersandar kepada grundnorm (Hans Kelsen) yang bersifat metayuridis atau natural law (K.C. Wheare). Dengan karakternya sebagai yurisprudensi, maka kedudukan putusan hakim adalah setara dengan undang-undang yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang.
12 Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara (General Theory of Law and State) diterjemahkan oleh raisul Muttaqien, Cet. Pertama, (Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa: Bandung, 2006), hal. 194
61
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 53 - 72
Hal demikian dapat dilihat dari struktur norma di bawah ini:
Gambar 1 : Bagan Struktur Norma Hukum 13 Adaptasi dari Irfan Fachruddin (2003) Sehubungan dengan bagan diatas, Otje Salman menerangkan bahwa “... hukum itu bersifat hierarkis artinya hukum itu tidak bersifat bertentangan dengan ketentuan yang lebih atas derajatnya. Dimana urutannya adalah sebagai berikut: yang paling bawah itu putusan badan pengadilan, atasnya undang-undang dan kebiasaan, atasnya lagi kontitusi dan yang paling atas disebutnya grundnorm. Kelsen tidak menyebutkan apa itu grundnorm, dan hanya merupakan penafsiran yuridis saja dan menyangkut halhal yang bersifat metayuridis.” 14 Grundnorm yang dimiliki Indonesia adalah Pancasila. Barda Nawawi Arief menyebut
pancasila
dengan
istilah
”kearifan/kegeniusan
nasional
(national
wisdom/national genius) yang di dalamnya mengandung tiga pilar utama, yaitu pilar ketuhanan (religius), pilar kemanusiaan (humanistik), dan pilar kemasyarakatan (demokratik, kerakyatan, dan keadilan sosial).15 Nilai-nilai pancasila tersebut merupakan paradigma dalam pembangunan hukum, yang harus dijadikan pedoman dalam pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia termasuk penegakkan hukum dan keadilan yang dilaksanakan oleh hakim melalui putusannya.
13 Irfan Fachruddin, Konsekuensi Pengawasan Peradilan TUN Terhadap Tindakan Pemerintah, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 2003, hal. 252 14 Otje Salman, Sosiologi Hukum, Suatu Pengantar, Armico, Bandung, 1987, hal. 11. 15 Barda Nawawi Arief, Pendekatan Keilmuan...Op., Cit, hal. 51
62
Politik Hukum dalam Putusan Hakim - Teguh Satya Bhakti
Personifikasi politik hukum dalam putusan hakim dapat terlihat dalam dua hal, yaitu: (1) dalam hal menentukan alasan pembenar dari suatu putusan, dan (2) dalam hal menentukan muatan keadilan yang terkandung di dalam putusan. Menurut J. Djohansjah, penentuan alasan pembenar dari suatu putusan terkait dengan cita hukum pancasila (fungsi konstitutif). Hakim yang independen harus sekaligus juga rasional tatkala harus menjatuhkan putusan. Rasionalitas putusan ditentukan dari pola penalaran yang runtut dan sistematis, bertolak dari dasar logika hukum yang jelas. Fungsi konstitutif inilah yang menentukan validitas (keabsahan) suatu putusan secara legal formal. Oleh karena fungsi ini berpuncak pada cita hukum, maka hakim yang independen tidak cukup hanya mendasarkan putusannya pada sistem norma hukum (yang puncaknya berakhir pada staatsfundamentalnorm) melainkan juga harus sampai menyentuh pada keseluruhan sistem hukum (yang puncaknya berakhir pada cita hukum pancasila).16 Lebih lanjut Djohansjah menyatakan bahwa terkait dengan penentuan muatan keadilan dalam hubungannya dengan cita hukum, terkandung makna bahwa di dalamnya adanya pertemuan antara kewajiban hakim untuk mengeluarkan putusan berdasarkan nilai-nilai keadilan (yang diyakini secara moral) dan kewajiban memutuskan berdasar atas hukum (yang logis-rasional). Indepedensi kekuasaan kehakiman mutlak harus memuat dimensi ini secara bersama-sama. 17 Mengingat begitu pentingnya putusan pengadilan di atas, maka hendaknya garis resmi yang harus dijadikan dasar pertimbangan hukum oleh hakim dalam menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak, setidak-tidaknya mengacu kepada empat kaidah penuntun, yaitu: 18 1. Hukum harus melindungi segenap bangsa dan menjamin keutuhan bangsa dan karenanya tidak boleh ada hukum yang menanamkan benih disintegrasi. 2. Hukum harus menjamin keadilan sosial dengan proteksi khusus bagi golongan lemah agar tidak tereksploitasi dalam persaingan bebas melawan golongan kuat. 16
J. Djohansjah, Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independesi Kekuasaan Kehakiman, Kesaint Blanc: Jakarta, 2008, hal. 276 17 Ibid, hal 277 18 Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Pustaka LP3ES, Jakarta: 2006, hal. 55
63
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 53 - 72
3. Hukum harus dibangun secara demokratis sekaligus membangun demokrasi sejalan dengan nomokrasi (negara hukum). 4. Hukum tidak boleh diskriminatif berdasarkan ikatan primordial apa pun dan harus mendorong terciptanya toleransi beragama berdasarkan kemanusiaan dan keberadaban. Sebagai contoh politik hukum dalam putusan hakim, dapat dilihat pada beberapa putusan sebagai berikut: 1. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 058-059-060-083/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 tentang judicial review terhadap Undang-undang Sumber Daya Air (UUSDA). Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UUSDA tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945, namun putusan ini memiliki sifat conditionally constitusional atau konstitusional bersyarat, yang berarti pelaksanaan UUSDA tidak boleh ditafsirkan lain seperti yang dikehendaki oleh MK dalam pertimbangan putusannya. 2. Putusan PTUN Jakarta dalam kasus majalah Tempo. Majelis Hakim PTUN Jakarta
memenangkan
majalah
tersebut.
Majelis
Hakim
dalam
pertimbangannya menyatakan bahwa sesuai dengan prinsip negara hukum, maka setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia harus bersumber pada peraturan yang lebih tinggi. Dengan demikian Majelis hakim berwenang
mengesampingkan
sebuah
peraturan
yang
dinilainya
bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Majelis mempertimbangkan bahwa penerbitan pers akan dilarang, bila bertentangan dengan Pancasila, seperti halnya bertolak dari paham komunisme. 3. Putusan Kasasi Mahkamah Agung dalam kasus Kedung Ombo. Majelis Hakim dalam pertimbangannya menganggap perlu mendefinisikan kembali arti ”musyawarah mufakat” terhadap pelaksanaan pembebasan tanah untuk proyek irigasi Kedung Ombo yang termuat dalam pasal-pasal kesepakatan tentang ganti rugi berdasarkan musyawarah antara Pemerintah Daerah Jawa Tengah dengan warga. Majelis Hakim Agung menolak pengakuan dan bukti berupa foto musyawarah dan mufakat antara warga dengan muspida, Kepala Kejaksanaan Negeri, Kepala Polres, Komandan Kodim yang diajukan oleh Tergugat (Pemerintah Daerah Jawa Tengah). Majelis Hakim Agung 64
Politik Hukum dalam Putusan Hakim - Teguh Satya Bhakti
menyatakan hal demikian tidak mencerminkan keadilan kebenaran materiil. Selain itu, bukti foto yang diajukan, tidak mencerminkan keadilan kebenaran materiil, dan tidak merupakan pembuktian tentang penyelesaian secara musyawarah dan kata sepakat karena hanya merupakan momentum opname, serta tidak membuktikan pelaksanaan pembebasan tanah secara musyawarah dan mufakat. Kehadiran muspida, Kepala Kejaksanaan Negeri, Kepala Polres, Komandan Kodim mempunyai pengaruh yang tidak baik terhadap pelaksanaan pembebasan tanah untuk proyek irigasi Kedung Ombo berdasarkan musyawarah dan mufakat. D. Karakter Produk Putusan Berdasarkan Politik Hukum yang Dilaksanakan Hakim Secara umum sistem hukum yang berlaku di belahan dunia meliputi, sistem hukum eropa kontinental (civil law), sistem hukum anglo saxon (common law), sistem hukum sosialis (sosialist legal) dan sistem hukum yang berlaku di negara-negara islam (islamic legal). Dalam tulisan ini akan difokuskan terhadap dua sistem hukum yang memiliki pengaruh besar terhadap sistem peradilan di Indonesia yaitu sistem hukum civil law dan common law. Sistem hukum eropa kontinental (civil law) menekankan ketidakmandirian peranan hakim dalam menerapkan undang-undang terhadap peristiwa hukum yang sesungguhnya. Hakim hanyalah penyambung lidah atau corong undang-undang (la bouche de la loi), sehingga tidak dapat mengubah, ataupun mengurangi kekuatan hukum undang-undang. Atau dengan kata lain, sistem hukum eropa kontinental (civil law) menempatkan keadilan hanya bersumber pada undang-undang. Sehingga hakim tidak mandiri dalam menafsirkan hukum, karena harus mendasarkan penilaiannya pada peraturan perundang-undangan diluar dirinya. Penilaian hukum oleh hakim seperti ini disebut sebagai penemuan hukum heteronom. Sedangkan dalam sistem hukum anglo saxon (common law), kedudukan hakim tidak lagi terikat dengan undang-undang, tetapi dapat melakukan penilaian secara mandiri terhadap peraturan perundang-undangan dengan menyesuaikannya terhadap kebutuhan-kebutuhan hukum. Atau dengan kata lain, sistem hukum anglo saxon (common law) menempatkan keadilan pada pandangan hakim. Hakim mandiri dalam menafsirkan hukum, karena harus mendasarkan penilaiannya pada faktor dalam dirinya
65
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 53 - 72
sendiri. Penilaian hukum oleh hakim seperti ini disebut sebagai penemuan hukum otonom. Selain itu, di sisi yang lain sistem hukum anglo saxon (common law) juga menganut asas the binding force of precedent, dimana hakim terikat pada putusanputusan hakim terdahulu dalam hal menjatuhkan putusan terhadap perkara yang sama jenisnya. Dengan demikian, sistem hukum anglo saxon (common law) juga menganut penemuan hukum yang bersifat heteronom. Karakteristik dari kedua sistem hukum di atas, dalam hal penemuan hukum yang bersifat otonom dan heteronom, ternyata di adopsi oleh sistem peradilan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari bunyi ketentuan Pasal 5 Angka (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ayat di atas menjelaskan bahwa hakim dalam menyelenggarakan peradilan dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dirinya, yang tidak hanya terbatas pada perundang-undangan saja, melainkan juga nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Variabel undang-undang bertujuan agar terbentuk suatu kepastian dalam berhukum, sedangkan variabel nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup bertujuan agar terwujudnya keadilan berdasarkan hukum. Perpaduan antara kepastian hukum dan keadilan inilah yang harus menjadi dasar pandangan hakim dalam menyelenggarakan peradilan terhadap peristiwa hukum konkret. Pandangan hakim seperti ini dapat dikatakan sebagai penemuan hukum pancasila yang heteronom. Penemuan hukum pancasila heteronom dapat dimaknai sebagai penyelesaian suatu perkara oleh hakim dengan jalan menerapkan hukum yang berdasarkan kepada nilai-nilai yang yang terkandung di dalam Pancasila, sehingga putusannya dapat mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia. Dengan demikian, hukum ini disini tidak sekedar dipahami hanya sebagai undang-undang saja melainkan juga nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Atau dengan kata lain, penemuan hukum pancasila yang heteronom adalah seni menyelesaikan suatu perkara oleh hakim dengan jalan
menafsirkan
undang-undang
dan
mencari
dasar
serta
asas-asas
”kearifan/kegeniusan nasional (national wisdom/national genius) sebagai landasan putusannya.
66
Politik Hukum dalam Putusan Hakim - Teguh Satya Bhakti
Penemuan hukum pancasila yang heteronom ini apabila terus menerus diikuti oleh hakim-hakim lainnya maka kedudukannya akan meningkat menjadi Yurisprudensi. Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum dimana hukum itu dapat ditemukan dan digali oleh hakim. Pandangan hakim seperti ini dapat dikatakan sebagai penemuan hukum pancasila yang otonom. E. Tuntunan Politik Hukum yang Dilaksanakan Hakim Penemuan hukum oleh hakim lazimnya disebut sebagai rechtsvinding, yang diartikan
sebagai
proses
pembentukan
hukum
oleh
hakim
dalam
proses
mengkonkrititasikan dan mengindividualisasikan peraturan hukum yang bersifat umum dengan peristiwa konkrit. Dalam penemuan hukum ini dikenal ada dua aliran, yaitu aliran progresif dan aliran konservatif. Aliran progresif berpendapat bahwa hukum dan peradilan merupakan alat untuk perubahan-perubahan sosial, sedangkan aliran konservatif berpendapat bahwa hukum dan peradilan itu hanyalah untuk mencegah kemerosotan moral dan lain-lain.19 Aliran manakah yang tepat terkait dengan Peran Hakim Dalam menegakkan hukum dan keadilan? Menurut penulis perpaduan dari kedua aliran itulah yang tepat digunakan oleh hakim dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara. Bukankah hukum dan peradilan merupakan alat untuk perubahan-perubahan sosial yang bertujuan untuk mencegah kemerosotan moral. Selain itu, penegakan dan pelaksanaan hukum tidak hanya sekedar menerapkan undang-undang belaka melainkan juga proses menemukan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan. Oleh karenanya, penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim hendaknya berada dalam konteks keindonesiaan, dimana Pancasila dijadikan pandangan hidup oleh masyarakat Indonesia. Penemuan hukum oleh hakim tidak dapat dilepaskan dari penalaran hukum yang digunakan oleh hakim. Dalam kaitannya dengan pembentukan dan pengembangan hukum nasional, maka penalaran hukum yang ideal yang digunakan oleh hakim adalah penalaran hukum yang sesuai dengan konsteks keindonesiaan. Sidharta menawarkan
19
Van Gerven dan Leijten, Theorie en Praktijk van de Rechtsvinding, sebagaimana dikutip oleh Soedikno Mertodikusumo, Op., Cit, hal. 148
67
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 53 - 72
model penalaran itu berupa model penalaran yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:20 1. Aspek ontologisnya, tetap mengartikan hukum sebagai norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan, mengingat pemaknaan inilah yang secara ekplisit paling mudah dikenali, disamping kebutuhan mendesak untuk lebih memberi kepastian hukum. Kelemahan dari pemaknaan hukum demikian harus diatasi melalui proses pembentukan norma itu dan kemudian evaluasi penerapannya (aspek epistemologis dan aksiologisnya). 2. Aspek epistemologisnya, memfokuskan tidak saja pada penerapan normanorma positif terhadap kasus konkret, melainkan juga pada proses pembentukannya. Pola penalaran pada tahap pembentukan ini bergerak secara simultan dari dimensi intuitif dan empiris sekaligus. Pola gerakan ini sekaligus
mengaktualisasi
cita
hukum
pancasila
dalam
konteks
keindonesiaan dewasa ini. Melalui proses seleksi, norma positif ini sebagian kemudian diformulasikan menjadi norma positif dalam sistem perundangundangan. Norma positif ini diterapkan dengan pola doktrinal deduktif terhadap peristiwa konkret. Pada tahap gerakan simultan terjadi, berlangsung context of discovery, dan pada tahap berikutnya penalaran berada pada context of justification. 3. Aspek aksiologisnya adalah mengarah kepada pencapaian nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan secara simultan, yang kemudian diikuti dengan kepastian hukum. Dua nilai yang disebutkan pertama menjadi tujuan dalam proses pencarian (context of discover), sementara nilai terakhir adalah tujuan dalam konteks penerapannya (context of justification). Untuk mencapai dan mewujudkan cita-cita penegakan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dan UUD 1945 melalui peran dan fungsi peradilan, dikaitkan dengan kebebasan Hakim secara terbatas, para Hakim dalam menyelenggarakan fungsi peradilan, hendaknya bertindak berdasarkan patokan-patokan sebagai berikut:21 20
Sidharta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, CV. Utomo: Bandung, 2009, hal. 538 21 Keynote Speech Ketua Mahkamah Agung RI, Hakim Sebagai Pemegang Mandat Yang Sah Menerapkan, Menafsirkan Dan Melaksanakan Tegaknya Hukum, Pada Diskusi Panel Kebebasan Hakim Dalam Negara Indonesia Yang Berdasar Atas Hukum yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Badan
68
Politik Hukum dalam Putusan Hakim - Teguh Satya Bhakti
(1) Hakim harus mengunggulkan undang-undang (statute law must prevail), sepanjang ketentuan undang-undang yang hendak diterapkan dalam suatu kasus memiliki rumusan dan pengertian yang jelas (clear meaning atau plain meaning) tidak ambiguitas (ill defined), tidak bertentangan dengan kepentingan umum, dan tidak menimbulkan akibat yang tidak adil (ill effected atau unfair result). (2) Hakim harus mengunggulkan kelayakan dan keadilan (equity must prevail), sepanjang ketentuan suatu pasal undang-undang atau hukum adat yang hendak diterapkan bertentangan dengan kepentingan umum, kesadaran umum, HAM dan nilai-nilai moral, hakim mempunyai kemerdekaan untuk melakukan penerapan nilai keadilan dan kepatutan berdasar asas equity must prevail, dengan mempergunakan nilai-nilai kemanusiaan (human values), nilai-nilai peradaban (civilazation values) dan nilai-nilai kepatutan (reasonable values) sebagai landasan rujukan. (3) Hakim bebas mengunggulkan yurisprudensi (Jurispudence Must Prevail), sepanjang ketentuan suatu pasal undang-undang atau ketentuan hukum adat bertentangan dengan kepentingan umum, atau dapat menimbulkan akibat yang tidak adil (ill effected/ unfair result), hakim memiliki kewenangan dan kebebasan untuk menegakan asas Jurispudence Must Prevail dengan cara melakukan overrule (penyimpangan) dari ketentuan pasal undang-undang yang bersangkutan, dan didasarkan atas pertimbangan yang matang dan luas yang menerangkan bahwa yurisprudensi jauh lebih baik dibanding dengan ketentuan undang-undang atau hukum adat yang ada. (4) Hakim bebas melakukan penafsiran sepanjang rumusan ketentuan undangundang tidak jelas pengertiannya (unclear meaning), mengandung pengertian yang ambiguitas (ambiguity), tidak sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai (ill considered-artinya nilai filosofis yang terkandung dalam konsideran undang-undang yang bersangkutan, tidak sejalan dengan apa yang dirumuskan dalam pasal yang hendak diterapkan), rumusan kabur (vague outline), sukar dipahami maknanya. Dengan menggunakan metode Peradilan Umum Dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman pada tanggal 27 dan 28 Maret 1995 di Jakarta 1995
69
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 53 - 72
penafsiran yang dianggap tepat oleh hakim, hakim dapat menemukan arti hukum yang terdapat dalam rumusan, menguraikan secara rinci pandangan hukum yang terkandung dalam ketentuan undang-undang, melakukan konstruksi hukum, merasionalkan dan mengaktualkan makna hukum. III. KESIMPULAN Sebagai pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili, hakim memiliki tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila melalui putusannya. Putusan hakim merupakan mahkota bagi hakim bertalian dengan tugasnya dalam memutus perkara. Pertimbangan hukum putusan merupakan bagian paling penting karena memuat pernyataan hakim tentang hukum yang akan diberlakukan dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu perkara atau sengketa yang dihadapkan kepadanya. Pernyataan itu dibuat dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang menjadi landasan putusannya. Proses pembentukan hukum ini lazimnya dikenal dengan istilah penemuan hukum (rechtsvinding). Penemuan hukum oleh hakim tidak dapat dilepaskan dari penalaran hukum yang digunakan oleh hakim. Penalaran hukum hakim dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dirinya, yang tidak hanya terbatas pada perundang-undangan saja, melainkan juga nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Variabel undang-undang bertujuan agar terbentuk suatu kepastian dalam berhukum, sedangkan variabel nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup bertujuan agar terwujudnya keadilan berdasarkan hukum. Perpaduan antara kepastian hukum dan keadilan inilah yang harus menjadi dasar pandangan hakim dalam menyelenggarakan peradilan terhadap peristiwa hukum konkret. Pelaksanaan fungsi penegakan hukum dan keadilan maupun fungsi penemuan hukum (rechtsvinding) oleh hakim di atas, haruslah mengacu kepada pancasila sebagai norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm) atau kearifan/kegeniusan nasional (national wisdom/national genius) dan UUD 1945 sebagai hukum dasar negara, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia. Inilah yang penulis maksudkan sebagai Politik Hukum Dalam Putusan Hakim.
70
Politik Hukum dalam Putusan Hakim - Teguh Satya Bhakti
IV. DAFTAR PUSTAKA Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Siologis). Jakarta: Gunung Agung, 2002. Apeldorn, L.J. Van. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya Paramitha, 1975. Arief, Barda Nawawi. Kumpulan Hasil Seminar Hukum Nasional ke I s/d VIII dan Konvensi Hukum Nasional 2008 tentang UUD 1945 sebagai Landasan Konstitusional, Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2011. —. Pendekatan Keilmuan dan Pendekatan Religius dalam Rangka Optimalisasi dan Reformasi Penegakkan Hukum (Pidana) di Indonesia. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2011. Attamimi, Hamid S. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara. Jakarta: Disertasi Doktor Universitas Indonesia, 1990. Djohansjah, J. Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: Kesiant Blanc, 2008. Fachruddin, Irfan. Konsekuensi Pengawasan Peradilan TUN Terhadap Tindakan Pemerintah. Bandung: Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 2003. Kelsen, Hans. Teori Umum tentang Hukum dan Negara (General Theory of Law and State). Bandung: Nusamedia, 2006. Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. "Hakim Sebagai Pemegang Mandat yang Sah Menerapkan, Menafsirkan, dan Melaksanakan Tegaknya Hukum." Diskusi Panel Kebebasan Hakim dalam Negara Indonesia yang Berdasarkan Atas Hukum. Jakarta: Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman, 1995. MD, Moh. Mahfud. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010. —. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009. Mertokusumo, Soedikno. Hukum Acara Perdata. Yogyakarta: Liberty, 1988. —. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Liberty, 1999. Pound, Roscoe. An Introduction to the Filosophy of Law. New Heaven: Yale University Press, 1954.
71
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 53 - 72
Rahardjo, Satjipto. Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006. Salman, Otje. Sosiologi Hukum Suatu Pengantar. Bandung: Armico, 1987. Shidarta, Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief. Pengantar Ilmu Hukum : Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I. Bandung: Alumni, 1999. Sidharta. Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan. Bandung: CV. Utomo, 2009.
72
PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DALAM HUKUM ISLAM BIODIVERSITY PROTECTION ON ISLAMIC LAW SRI GILANG MUHAMMAD S.R.P. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 Jakarta Pusat Email :
[email protected]
ABSTRAK Keanekaragaman hayati adalah salah satu komponen lingkungan hidup yang berperan penting dalam membentuk ekosistem serta memberikan daya dukung bagi kehidupan di Bumi, sehingga diperlukan upaya-upaya untuk melindungi kelestariannya. Islam sangat menyadari peran penting keanekaragaman hayati tersebut, oleh karena itu Islam turut berperan serta dalam melakukan perlindungan keanekaragaman hayati melalui hukum Islam. Perlindungan terhadap keanekaragaman hayati dalam hukum Islam ditunjukkan melalui berbagai aturan yang bersumber dari Al-Quran, hadits dan fatwa para ulama serta juga ditunjukkan dengan praktek keberadaan institusi konservasi yang dikenal dengan nama Hima dan Zona Harim. Indonesia sebagai negara dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia serta negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia mempunyai peran penting untuk mengembangkan dan memanfaatkan tradisi hukum Islam dalam perlindungan keanekaragaman hayati dalam lingkup pengaturan hukum nasional guna meningkatkan partisipasi umat Islam secara global dalam kegiatan perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup, khususnya keanekaragaman hayati. Kata kunci : perlindungan, keanekeragaman hayati, hukum islam, hima, zona harim ABSTRACT Biodiversity is one of the components of the environment which plays an important role in shaping the ecosystem that provides life support on Earth. For that reason, the efforts to provide protection is necessary. Islam is very much aware of the important role of biodiversity, therefore Islam have participated in biodiversity protection through Islamic law. The protection of biodiversity in Islamic law demonstrated by the various rules derived from the Quran, hadith and fatwas of the scholars as well as demonstrated by the existence of conservation institution known as Hima and Zone Harim. Indonesia as the country with the second greatest biodiversity in the world and a country with a largest Muslim majority population in the world have an important role to develop and utilize the Islamic legal tradition in the protection of biodiversity in the scope of the provisions of national in order to increase the participation of Muslims globally in protection and preservation activities of the environment, especially biodiversity. Keyword : protection, biodiversity, islamic law, hima, harim zone 73
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 73-90
I.
PENDAHULUAN Pembicaraan masalah lingkungan hidup yang bersifat global semakin intensif
dilakukan oleh setiap negara. Hal tersebut terjadi seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran bahwa kelangsungan kehidupan di Bumi bergantung pula pada kondisi lingkungan hidup yang mampu memberikan daya dukung bagi kehidupan di Bumi. Salah satu komponen lingkungan hidup yang perlu mendapatkan perhatian secara khusus adalah keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati secara alamiah akan membentuk suatu kesatuan yang disebut dengan ekosistem. Setiap ekosistem yang terbentuk memberi makna penting bagi kehidupan. Salah satu peran utama ekosistem adalah menjaga keseimbangan lingkungan yang memberikan daya dukung optimal bagi kehidupan di Bumi. Perlindungan terhadap keanekaragaman hayati sebagai salah satu komponen pembentuk ekosistem menjadi sangat penting untuk dilakukan. Indonesia sangat memandang penting keanekaragaman hayati yang dimilikinya, hal tersebut tercermin melalui pencantuman keanekaragaman hayati sebagai salah satu asas dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Asas tersebut mengharuskan, bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memberikan perhatian yang penting terhadap berbagai tindakan guna mempertahankan keberadaan, keanekaragaman, dan keberlanjutan sumber daya alam hayati. Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar dan juga negara yang kaya akan keanekaragaman hayati tentunya berkepentingan dan mempunyai kesempatan untuk berperan penting dalam berbagai upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, khususnya terkait dengan keanekaragaman hayati. Guna memperkuat berbagai upaya yang telah dilakukan, maka pengenalan khazanah perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup,
khususnya
terkait
dengan
perlindungan keanekaragaman hayati yang bersumber pada tradisi hukum Islam menjadi suatu hal yang penting untuk dilakukan. Dengan demikian akan terdapat banyak alternatif untuk melakukan tindakan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati.
74
Perlindungan Keanekaragaman Hayati dalam Hukum Islam - Sri Gilang Muhammad S.R.P.
II. PEMBAHASAN A. Keanekaragaman Hayati dan Arti Pentingnya bagi Kehidupan Keanekaragaman Hayati ialah berbagai jenis makhluk hidup yang ada di muka bumi ini, maupun yang ada di daratan, lautan dan di tempat lainnya dan terdiri dari hewan, tumbuhan, mikroorganisme dan semua gen yang terkandung didalamnya, serta ekosistem yang telah dibentuknya.1 Keanekaragaman hayati mempunyai berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yakni : 2 a. Sumber pangan, papan, sandang dan obat-obatan. b. Lahan Penelitian dan Pengembangan Ilmu. c. Sarana peningkatan nilai budaya. d. Sarana peningkatan nilai budaya. e. Sarana Rekreasi f. Penunjang Keberlanjutan Ekosistem Walaupun memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan manusia, keanekaragaman hayati terus mengalami berbagai ancaman yang dapat menghilangkan eksistensinya. Ancaman yang dihadapi oleh keanekaragaman hayati antara lain ialah sebagai berikut :3 a. Penurunan jumlah habitat alami keanekaragaman hayati yang diakibatkan oleh kerusakan habitat alami karena faktor alam ataupun tindakan konversi lahan habitat alami tersebut. b. Eksploitasi berlebihan terhadap keanekaragaman hayati yang dilakukan oleh manusia. c. Terjadinya perubahan iklim d. Terjadinya akumulasi berbagai pencemaran yang mempengaruhi habitat alami keanekaragaman hayati sehingga merusak siklus hidupnya. e. Pemanfaatan bagian tertentu dari spesies dengan memusnahkan spesies tersebut atau mengakibatkan spesies tersebut sulit untuk bertahan hidup. f. Hanya memilih dan mengembangbiakkan spesies yang unggul saja serta melupakan perhatian pada spesies – spesies non unggulan hingga spesies tersebut musnah.
1 Yudistira Sugandi, dkk. Arti Penting Keanekaragaman Hayati Bagi Kelangsungan Kehidupan di Bumi. 2010. Halaman 2. 2 Yudistira Sugandi, dkk, op. cit. Halaman 4 - 5. 3 www.cbd.int. Diakses tanggal 8 Agustus 2010.
75
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 73-90
B. Pandangan Islam tentang Keanekaragaman Hayati Agama Islam, oleh para pemeluknya diyakini sebagai ajaran agama yang komprehensif dan universal. Komprehensif bermakna bahwa ajaran Islam memberikan tuntunan dalam semua aspek kehidupan. Universal bermakna bahwa ajaran Islam dapat berlaku pada setiap tempat waktu hingga akhir zaman. Lingkungan hidup sebagai salah satu aspek kehidupan sebenarnya mendapatkan kedudukan yang penting dalam ajaran Islam. Hal tersebut tercermin dalam surat Al Baqarah ayat 26 – 27 berikut ini : ”Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan : ”Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan? Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” Dalam ayat tersebut Allah S.W.T. memberikan tuntunan kepada kita agar tidak tergolong sebagai orang–orang yang fasik, di mana salah satu tuntunan tersebut adalah tidak membuat kerusakan di Bumi. Ayat tersebut membuktikan penghormatan Islam terhadap perlindungan lingkungan hidup. Salah satu komponen lingkungan hidup adalah keanekaragaman hayati, yang oleh karena peran pentingnya bagi kehidupan maka perhatian terhadap perlindungannya menjadi penting untuk dilakukan. Demikian pula dalam hukum Islam telah dibentuk adanya suatu kesadaran terhadap peran penting keanekaragaman hayati dan hukum untuk menjaga kelestariannya. Pandangan tersebut didasarkan pada uraian surat An – Nahl ayat 66 dan 80 serta Surat Al Mu’minun ayat 19. Berikut ini adalah uraian beberapa surat-surat tersebut : ”Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu murni antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya”4
4
76
Q.S. An – Nahl ayat 66
Perlindungan Keanekaragaman Hayati dalam Hukum Islam - Sri Gilang Muhammad S.R.P.
”Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan Dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawa)-nya di waktu kamu berjalan dan waktu kamu bermukim dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu unta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).”5 ”Lalu dengan air itu, Kami tumbuhkan untuk kamu kebun-kebun kurma dan anggur; di dalam kebun-kebun itu kamu peroleh buah-buahan yang banyak dan sebagian dari buah-buahan itu kamu makan.”6 ”Yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan (api) dari kayu itu.”7 Ayat–ayat tersebut menerangkan secara jelas mengenai manfaat dari keanekaragaman hayati bagi kehidupan manusia. Pada Q.S. An – Nahl ayat 66 dan 80 kita mendapatkan informasi bahwa hewan dapat menjadi sumber atas pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan. Pada Q.S. Al – Mu’minun ayat 19 ditemui penjelasan akan fungsi tumbuhan untuk pemenuhan kebutuhan pangan, sedangkan pada Q.S. Yaasin ayat 80 disampaikan tentang fungsi tumbuhan sebagai sumber energi. Dengan demikian semakin jelas posisi penting keanekaragaman hayati dalam hukum Islam, yang tentunya semakin pula perlindungan terhadap keanekaragaman hayati tersebut. Selain dari ayat – ayat tersebut, pandangan Islam tentang lingkungan hidup, khususnya tentang keanekaragaman hayati dapat dilihat pada keputusan asosiasi fikih islam internasional ihwal lingkungan. Asosiasi Fikih Islam Internasional dalam lokakaryanya yang ke – 19 yang diselenggarakan di Asy-Syariqah, telah merilis keputusan nomor 185 ihwal lingkungan dan penjagaannya dalam tinjauan Islam berikut ini :8 1. Diharamkannya pembuangan segala limbah berbahaya di setiap jengkal bumi ini, dan setiap Negara penghasil limbah itu diharuskan untuk mengolahnya di dalam negeri dengan cara yang tidak merugikan lingkungan. Sementara itu setiap Negara Islam diharuskan untuk mencegah negeri-negerinya dijadikan tempat pembuangan ataupun penguburan limbah tersebut. 2. Diharamkannya segala perbuatan dan perlakuan buruk yang merugikan lingkungan, seperti perbuatan dan perlakuan yang merusak keseimbangan lingkungan, atau yang mengeksploitasi sumber-sumber dayanya, atau yang Q.S. An – Nahl ayat 80 Q.S. Al – Mu’minun ayat 19 7 Q.S. Yaasin ayat 80 8 Yusuf Al-Qardhawi. 7 Kaidah Utama Fikih Muammalat. Pustaka Al Kautsar. 2014. Hal 1755 6
176.
77
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 73-90
menyalahgunakannya tanpa mengindahkan kepentingan generasi mendatang. Ini demi mengamalkan kaidah khusus syariat yang mengharuskan peniadaan segala perbuatan merugikan. 3. Setiap Negara diwajibkan memusnahkan senjata-senjata pemusnah massal dan memperingatkan bahaya segala hal yang menimbulkan penyerapan berbagai gas yang berakibat memperluas lubang lapisan ozon dan mencemari lingkungan. Ini berdasarkan kaidah khusus yang mengharuskan pelarangan segala perbuatan merugikan. Keputusan asosiasi fikih Islam internasional tersebut, khususnya pada keputusan nomor dua, menunjukkan dengan jelas mengenai pentingnya perlindungan keanekaragaman hayati dalam Islam. Dalam keputusan nomor dua tersebut ditetapkan mengenai haramnya tindakan yang merusak keseimbangan alam, yang tentunya hal tersebut berkaitan erat dengan keanekaragaman hayati, sebab keanekaragaman hayati adalah salah satu unsur penting dalam menjaga keseimbangan alam. C. Peraturan hukum dan Institusi Konservasi dalam Tradisi Hukum Islam Perlindungan keanekaragaman hayati dalam hukum Islam salah satunya ditunjukkan dengan adanya berbagai ketentuan yang melindungi hewan dan tumbuhan. Sebagai agama yang merupakan Rahmat bagi semesta alam, maka di dalam hukum Islam juga ditemui berbagai ketentuan hukum yang mewajibkan manusia untuk memberikan perlindungan bagi keanekaragaman hayati. Dalam konsep agama Islam, manusia mempunyai fungsi sebagai Khalifah Allah SWT. Di muka bumi. Kedudukan sebagai khalifah tersebut menuntut agar manusia selalu berinteraksi dengan sesama manusia serta dengan alam. Menurut Quraish Shihab, kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.9 Keharusan manusia menjalin interaksi dengan makhluk hidup lainnya tersebut diisyaratkan oleh ayat berikut : Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.10
9
M. Quraish Shihab. Wawasan Al – Quran. Mizan. 2007. halaman 270. Q.S. Al – An’am ayat 38.
10
78
Perlindungan Keanekaragaman Hayati dalam Hukum Islam - Sri Gilang Muhammad S.R.P.
Kedudukan binatang dan burung sebagai umat dalam ayat tersebut menegaskan keharusan bagi manusia untuk berinteraksi dengan makhluk hidup tersebut. Selain itu sebagai umat binatang dan burung juga berhak mendapatkan perlindungan.11 Perlindungan Islam terhadap binatang, ditunjukkan dengan adanya larangan untuk membunuh atau menyakiti binatang tanpa suatu kepentingan yang jelas. Larangan tersebut didasarkan pada ketentuan dalam beberapa hadits berikut : a.) Anjing hitam adalah salah satu ummah. Ia tidak diciptakan kecuali untuk tujuan yang baik, maka pembasmiannya pasti akan menciptakan gangguan terhadap alam.12 Hadis ini melarang manusia untuk membunuh suatu hewan tanpa suatu maksud yang jelas,misalnya untuk diambil manfaatnya atau menghindar dari bahaya yang dapat ditimbulkannya. Hadis ini juga menegaskan bahwa setiap hewan dan juga setiap makhluk hidup mempunyai fungsi tertentu dalam sistem kehidupan alam semesta. b.) Nabi Muhammad SAW. Mengutuk siapa saja yang menjadikan makhluk bernyawa sebagai target untuk dimain–mainkan.13 Hadis ini memberikan larangan untuk memanfaatkan makhluk hidup di luar fungsi yang melekat pada makhluk tersebut. c.) Nabi Muhammad SAW. juga mengingatkan, jika seseorang membunuh seekor burung, maka mereka (burung-burung tersebut) akan menangis pada hari kiamat dan mengadu kepada Allah SWT., ”Ya Allah, si Fulan telah membunuh saya dengan sia – sia, dia tidak mengambil manfaat apa – apa dariku, dan juga tidak membiarkan aku hidup di Bumi Engkau.”14 Hadis ini menunjukkan bahwa membunuh hewan untuk mengambil manfaat dari hewan tersebut adalah diperbolehkan sepanjang sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh hukum Islam.
11
Mudhofir Abdullah. Al – Quran dan Konservasi Lingkungan. Dian Rakyat. 2010. halaman
298. 12 Ma’ alim As – Sunan dalam Othman Abd – ar – Rahman Llewellyn. Disiplin Dasar Hukum Lingkungan Islam dalam Menanam sebelum Kiamat. Yayasan Obor Indonesia. 2007. halaman 288. 13 H.R. Bukhari dan Muslim. 14 H.R. Al – Sabarani dalam Al Mu’jam Al – Kabir.
79
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 73-90
d.) Seorang Perempuan yang mengikat seekor kucing akan dimasukkan ke dalam neraka, baik karena Ia tidak memberi makan ataupun karena Ia tidak membiarkan kucing itu mencari makanannya sendiri.15 Hadis ini menunjukkan bahwa setiap manusia wajib untuk melindungi hak hidup setiap hewan. e.) Barang siapa membunuh (bahkan) seekor burung pipit atau binatangbinatang yang lebih kecil lagi tanpa ada hak untuk melakukannya, maka Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban orang itu kelak.16 Hadis ini melarang manusia untuk melakukan pembunuhan terhadap hewan kecuali jika terdapat alasan yang kuat untuk melakukan pembunuhan tersebut. Alasan yang dibenarkan misalnya, untuk mengambil manfaat hewan tersebut, contohnya menyembelih sapi untuk diambil dagingnya. Alasan lainnya ialah untuk berlindung dari bahaya yang dapat ditimbulkan oleh hewan tersebut, contohnya adalah membunuh anjing yang menderita rabies sebab dikhawatirkan dapat menularkan penyakit tersebut kepada manusia. f.) ”Sayangilah yang di Bumi, maka Yang Di langit akan menyayangimu” 17. Hadis ini mewajibkan manusia untuk menyayangi makhluk hidup yang ada di bumi. Dalam konteks ini menyayangi dapat berupa tindakan untuk melindungi keberadaannya dan memanfaatkannya secara berkelanjutan.
Selain hadits tersebut perlu juga kita memperhatikan pendapat salah satu ulama besar Islam, yakni Ibnu Taymiyah sebagai berikut : ”Berburu binatang karena untuk memenuhi kebutuhan diperbolehkan, jika untuk kesenangan dan permainan dibenci.”18 Selain hadis dan fatwa Ibnu Taymiyah tersebut, contoh lain bentuk perlindungan hak hidup hewan ialah pendapat seorang ahli hukum Islam yakni Izzal-din Ibn Abd alSalam yang menetapkan beberapa hak binatang antara lain sebagai berikut19 : a.) Bahwa manusia harus menyediakan makan bagi hewan 15
H.R. Bukhari. Sunan An – Nasa’I. 17 H.R. Ath – Thabrani dan Al - Hakim 18 www.agamadanekologi.blogspot.com. Diakses tanggal 8 Agustus 2010. 19 Fachruddin M. Mangunjaya. Konservasi Alam dalam Islam. Yayasan Obor Indonesia. 2005. Halaman 48. 16
80
Perlindungan Keanekaragaman Hayati dalam Hukum Islam - Sri Gilang Muhammad S.R.P.
b.) Bahwa manusia tetap harus menyediakan makan bagi hewan – hewan tersebut walaupun mereka tidak dapat memberikan keuntungan lagi. c.) Manusia tidak boleh membebani hewan melebihi kemampuannya. d.) Manusia tidak boleh menempatkan hewan dalam satu tempat dengan segala hal yang dapat membahayakan hewan tersebut. e.) Bahwa manusia harus memotong hewan dengan cara yang baik sesuai dengan hukum Islam. f.) Manusia tidak boleh membunuh anak – anak hewan di depan mata induknya, dengan cara memisahkan mereka. g.) Bahwa manusia harus memberikan kenyamanan pada tempat makan dan istirahat bagi hewan. h.) Bahwa manusia harus menempatkan jantan dan betina bersama dalam satu tempat pada musim kawin. i.) Manusia tidak boleh membuang hewan mereka dan kemudian menganggapnya sebagai binatang buruan. j.) Bahwa manusia tidak boleh memperlakukan hewan dengan cara sekehendaknya sehingga membuat daging mereka tidak syah untuk dimakan. Ayat Al – Quran, Hadits dan fatwa Ibnu Taymiyah serta Izzal-din Ibn Abd alSalam tersebut menunjukkan kepada kita jika Islam memberikan perhatian yang baik bagi komponen–komponen keanekaragaman hayati seperti binatang. Hal ini menunjukkan jika konsep perlindungan terhadap keanekaragaman hayati telah ada dalam hukum Islam. Selain binatang maka unsur keanekaragaman hayati lainnya adalah tanaman. Islam juga memperhatikan kelestarian tanaman dan perlindungan terhadapnya. Hal tersebut diisyaratkan pada ayat : ”Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).”20 Kata memakmurkan dalam ayat tersebut menurut Mudhofir Abdullah mengandung suatu konsep membangun berupa upaya penghijauan melalui gerakan menanam baik untuk makanan maupun keindahan.21 Selain itu pelestarian tanaman juga diperintahkan melalui hadits – hadits berikut: 20
Q.S. Huud ayat 61. Mudhofir Abdullah. Al – Quran dan Konservasi Lingkungan Argumen Konservasi sebagai Tujuan Tertinggi dari Syariah. Dian Rakyat. 2010 halaman 305. 21
81
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 73-90
a.) ”Barang siapa menebang (tanpa alasan yang membenarkan), maka Tuhan akan mengirimnya ke neraka.”22 Hadis ini menunjukkan larangan untuk menebang pohon kecuali ada alasan yang membenarkan untuk menebang pohon tersebut. Ada dua alasan utama yang dapat menjadi pembenaran atas tindakan penebangan pohon, yakni untuk mengambil manfaatnya, misalnya untuk bahan pembuatan rumah atau untuk berlindung dari bahaya yang dapat ditimbulkannya, misalnya menebang pohon yang sudah rapuh sebab dikhawatirkan pohon tersebut dapat tumbang jika terkena angin yang kencang. Walaupun diperbolehkan menebang pohon untuk mengambil manfaatnya akan tetapi pemanfaatan tersebut, haruslah dilaksanakan tanpa melanggar ketentuan hukum Islam. b.) ”Apabila seorang muslim menanam tanaman, kemudian tanaman itu dimakan burung, manusia ataupun hewan maka hal tersebut sudah termasuk sedekah.”23 Hadis ini menunjukkan jika kegiatan penghijauan harus dilakukan dengan memperhatikan aspek manfaat yang sesuai dengan kondisi lokasi penghijauan tersebut dilakukan. c.) ”Jika tiba waktunya kiamat, sementara di tanganmu masih ada biji kurma, maka tanamlah segera.”24 Hadis ini menunjukkan bahwa manusia wajib untuk melakukan penghijauan secara berkelanjutan sepanjang masa. Demikianlah perlindungan terhadap hewan dan tumbuhan yang diperintahkan dalam hukum Islam melalui Al - Quran dan Hadits serta fatwa ulama. Selain berbagai bentuk perlindungan keanekaragaman hayati sebagaimana yang tertuang dalam Al Quran, Hadits dan fatwa para ulama, perlindungan keanekaragaman hayati dalam hukum Islam juga dilakukan melalui institusi konservasi. Hukum Islam telah mengenal institusi yang berfungsi sebagai institusi konservasi, yakni Hima dan Zona Harim.
H.R. Al – Tirmidzi. Hadits Muttfaq’ alayh dalam Lu’lu wal – Marjan. 24 H.R. Ahmad. 22 23
82
Perlindungan Keanekaragaman Hayati dalam Hukum Islam - Sri Gilang Muhammad S.R.P.
1.
Hima Hima adalah suatu tempat berupa tanah kosong (mati) di mana pemerintah
(Kepala Negara) melarang orang untuk menggembala di tanah itu. Selain itu Hima juga didefinisikan sebagai area yang dibangun secara khusus untuk konservasi satwa liar dan hutan di mana ia merupakan inti dari undang-undang Islam tentang lingkungan.25 Definisi pertama merupakan definisi yang dipahami oleh para ulama klasik. Jika merujuk pada masa sekarang, maka Hima sangat tepat untuk disamakan dengan kawasan lindung atau kawasan konservasi. Merujuk pada definisi ulama klasik tersebut, maka ada lima jenis hima yang telah dikenal dalam tradisi hukum Islam, yakni :26 1. 2. 3. 4. 5.
Kawasan di mana penggembalaan ternak domestik dilarang. Kawasan penggembalaan yang dibatasi hanya untuk musim tertentu Pemeliharaan lebah madu di mana penggembalaan hanya dibatasi pada musim berbuah. Kawasan hutan lindung yang tidak boleh ada penebangan Pengelolaan cadangan atau stok untuk keperluan kesejahteraan penduduk desa, kota atau suku setempat.
Keberadaan Hima didasarkan pada hadis berikut ini :
Tidak ada lahan
konservasi (hima) kecuali milik Allah dan Rasulnya. Dan diriwayatkan lagi bahwa Nabi Muhammad SAW membuat lahan hima di al-Naqi lalu Umar di al-Sharaf dan alRabazah. 27 Dari hadis tersebut dapat diketahui jika Nabi Muhammad SAW membuat sebuah Hima di kawasan al-Naqi, dimana kemudian tindakan Nabi tersebut diikuti oleh Khalifah Umar bin Khatab ra dengan membuat Hima di wilayah al-Sharaf dan alRabazah. Mengenai maksud, perkataan bahwa tidak ada Hima kecuali milik Allah SWT. dan Rasulnya, ialah bahwa Hima tersebut adalah milik umum dan tidak dapat dimiliki oleh perorangan selain itu Hima tersebut haruslah ditujukan untuk kemaslahatan umat khususnya umat yang tergolong fakir (masyarakat yang lemah ekonominya). Pada masa Khalifah Umar bin Khatab R.A., Hima dikelola oleh seorang pengelola yang ditunjuk oleh Khalifah, di mana pengelola tersebut dalam mengelola Hima,
25
Mudhofir Abdullah. Al-Quran & Konservasi Lingkungan. Dian Rakyat. 2010. halaman 320. Ibid. 27 H.R. Bukhari 26
83
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 73-90
haruslah mengakomodasi warga miskin. Hal tersebut dapat dipahami dari riwayat berikut ini : Dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya ia menceritakan bahwa Umar bin Khatab ra. Mempekerjakan pembantunya yang bernama Hani di Hima (lahan konservasi), Umar berkata kepada Hani : ”bersikap ramahlah kepada orang dan hindarilah doa orang yang teraniaya (karenamu), karena doa orang teraniaya itu dikabulkan. Izinkanlah masuk orang-orang yang mencari rumput dan air. Kalau Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan masih punya kebun kurma dan sawah jika ternak mereka mati. Kalau ternak mereka (para pencari rumput dan air) mati, mereka datang kepadaku dengan anak-anak mereka menuntut :”Hai Amirul Mukminin, apakah engkau terlantarkan mereka? (dengan melarang mencari rumput dan air sehingga ternak mati dan mereka kelaparan). Kami hanya membutuhkan padang rumput dan air, bukan emas dan perak. Demi Allah, mereka menganggapku telah menganiaya mereka, karena lahan (konservasi) itu adalah kampung mereka. Mereka berperang untuk mempertahankannya pada masa jahiliyah, mereka masuk Islam karenanya. Demi Zat yang menguasai nyawaku, kalau bukan karena harta yang bisa dimanfaatkan untuk jalan Allah, aku tidak akan mengkonservasi sejengkal tanahpun dari kampung mereka.28 Melalui riwayat yang menjelaskan ketetapan Khalifah Umar tersebut, kita dapat melihat bahwa walaupun Hima adalah kawasan konservasi yang tidak boleh dimanfaatkan, akan tetapi keberadaan Hima tersebut, tidak boleh menghilangkan hak dan kesempatan bagi masyarakat yang lemah dan membutuhkan untuk memanfaatkan sumber daya pada kawasan konservasi tersebut guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut para ahli fiqih, sebuah Hima haruslah memenuhi syarat-syarat berikut ini :29 a.
Harus diputuskan oleh pemerintahan Islam.
b.
Harus dibangun untuk tujuan-tujuan kemaslahatan umat.
c.
Tidak boleh mencabut sumber-sumber penghidupan masyarakat setempat yang tak tergantikan
d.
Harus memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat daripada kerusakan yang ditimbulkannya.
Dengan memperhatikan syarat-syarat Hima tersebut maka adalah tepat kiranya jika Hima dikatakan sebagai kawasan konservasi yang mirip dengan konservasi di masa
28
Riwayat Al-Bukhari Fachruddin M.Mangunjaya dan Ahmad Sudirman Abbas. Khazanah Alam Menggali Tradisi Islam untuk Konservasi. YOI. 2009. halaman 43. 29
84
Perlindungan Keanekaragaman Hayati dalam Hukum Islam - Sri Gilang Muhammad S.R.P.
modern ini. Hima merupakan salah satu institusi konservasi dalam hukum Islam yang tepat untuk melakukan perlindungan dan pemanfaatan secara berkelanjutan terhadap keanekaragaman hayati. 2.
Zona Harim (Zona Konservasi Mikro dan Komunal) Selain memiliki Hima yang merupakan sebuah wilayah konservasi luas, hukum
Islam juga memiliki suatu zona konservasi mikro dan komunal yang dikenal dengan nama zona Harim. Zona Harim adalah zona terlarang, yang merupakan ketetapan Islam dalam melarang pembangunan atau membatasi bangunan rekayasa manusia yang mengganggu sumber-sumber alam. Harim merupakan lahan atau kawasan yang sengaja dilindungi untuk melestarikan sumber-sumber air, sumur, danau, sumber mata air, sungai, aliran air, jalan, dan fasilitas publik lainnya yang diperuntukkan guna mencegah kerusakan terhadap fasilitas tersebut dan melindungi kawasan tersebut dari bahaya.30 Keberadaan Zona harim ini pada awalnya sebagai bagian dari tradisi Islam yang menganjurkan agar kawasan desa atau kota dikelilingi oleh wilayah penyangga yang tidak boleh diganggu atau didirikan bangunan diatasnya.31 Merujuk pada pengertian dan tradisi Islam tersebut, maka dapat diketahui jika Zona Harim adalah zona larangan yang berada disekitar kawasan permukiman atau pusat aktivitas masyarakat, di mana kawasan terlarang tersebut berfungsi untuk melindungi sumber-sumber daya yang vital bagi kehidupan masyarakat. Keberadaan zona larangan tersebut bertujuan untuk melindungi sumber daya tersebut dari kerusakan agar sumber daya tersebut tetap dapat menjalankan fungsinya dalam memenuhi kebutuhan vital masyarakat disekitarnya. Sebagai contoh penerapan zona harim ialah bahwa hukum Islam menetapkan bahwa zona harim untuk sebuah sungai adalah seukuran setengah dari lebar sungai pada kedua sisinya.32 Bila diamati, maka dapat dipahami bahwa penetapan kawasan terlarang tersebut bertujuan untuk menjaga agar kawasan bantaran sungai tersebut tidak rusak dan tetap berfungsi sebagaimana mestinya, serta menghindarkan sungai dari pencemaran yang melebihi daya dukungnya.
30
Ibid. hal. 33-34 Ibid. Hal. 34. 32 Ibid. hal. 35. 31
85
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 73-90
D. Pemanfaatan Tradisi Konservasi dalam Hukum Islam untuk Pengembangan Hukum Perlindungan Keanekaragaman Hayati dalam Lingkup Hukum Nasional. Konsep-konsep perlindungan keanekaragaman hayati dalam hukum Islam, baik yang tertera dalam Al Quran, Hadits, Fatwa para ulama, maupun yang dipraktekkan dalam bentuk Hima dan Zona Harim memiliki suatu ciri khas yang menonjol yakni sangat memberikan ruang bagi peran serta masyarakat. Karakteristik dalam melibatkan peran serta masyarakat tersebut sangat bersesuaian dengan ciri khas masyarakat Indonesia yakni gotong royong. Dengan kesamaan karakteristik tersebut maka tradisi hukum
Islam
tersebut
bisa
dimanfaatkan
untuk
memperkuat
perlindungan
keanekaragaman hayati di Indonesia yang tentunya diharapkan juga bisa memberikan manfaat bagi perlindungan lingkungan, khususnya keanakeragaman hayati secara global. Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia serta negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia. Posisinya yang strategis tersebut perlu dimanfaatkan untuk menguatkan serta mengembangkan tradisi konservasi keanekaragaman hayati yang ada dalam hukum Islam ke dalam lingkup pengaturan hukum nasional tentang perlindungan keanekaragaman hayati. Pemanfaatan tradisi konservasi dalam hukum Islam itu, utamanya bertujuan untuk lebih meningkatkan peran aktif umat Islam Indonesia dalam berpartisipasi pada aktivitas perlindungan
lingkungan
secara
global
melalui
penguatan
perlindungan
keanekaragaman hayati di negara masing-masing. Dengan demikian kelestarian lingkungan, khususnya keanekaragaman hayati dapat terjaga dengan baik. Telah diketahui bersama, bahwa hukum Islam menekankan pentingnya peran serta masyarakat dalam melindungi keanekaragaman hayati, sebagaimana yang tercermin dalam pelaksaanaan Hima dan Zona Harim. Akan tetapi dalam lingkup peraturan hukum nasional, yakni Undang-Undang No. 32 Tahun 2009, peran serta masyarakat masih belum ditempatkan sesuai dengan potensi yang ada. Sesuai dengan ketentuan pasal 70 ayat 2, yang berbunyi : Peran serta masyarakat dapat berupa : a. pengawasan sosial b. pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau c. penyampaian informasi dan/atau laporan.
86
Perlindungan Keanekaragaman Hayati dalam Hukum Islam - Sri Gilang Muhammad S.R.P.
Bahkan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati, yakni pada pasal 37 ayat 1, yang berbunyi : ”peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah
melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.”
Ketentuan hukum nasional tersebut, masih memberikan peran masyarakat secara terbatas, ini tentu berbeda dengan ketentuan dalam hukum islam yang memberikan peran masyarakat cukup luas dan bersifat aktif. Berkaitan dengan peran serta masyarakat di kawasan konservasi, maka konsep Hima yang dikenal dalam hukum Islam juga dapat memberikan andil bagi tindak lanjut pengaturan pengelolaan kawasan konservasi dalam hukum nasional. Dengan menggunakan konsep Hima, maka suatu kawasan konservasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah haruslah didasari pula oleh suatu kesepakatan dengan masyarakat, khususnya masyarakat yang lemah dan kehidupannya sangat bergantung pada sumber daya di kawasan konservasi tersebut. Dengan adanya kesepakatan tersebut, maka masyarakat tidak kehilangan haknya dalam memanfaatkan sumber daya di kawasan konservasi tersebut dan kawasan konservasi tersebut juga tetap terjaga. Dalam lingkup hukum nasional, konsep zona harim dapat ditindaklanjuti dengan pengaturan pembentukan kawasan konservasi mikro yang berbasis pada komunitas masyarakat, misalnya di desa, pesantren, perumahan, perkotaan, pendidikan dan komunitas masyarakat lainnya. Sebagai contohnya, ialah pada komunitas masyarakat pesisir pantai yang rawan terkena Tsunami dapat dibangun kawasan hutan bakau sebagai area konservasi mikro yang ditetapkan sebagai zona harim. Dengan ditetapkannya kawasan hutan bakau tersebut sebagai zona harim, maka tidak boleh ada tindakan manusia yang merusak dan memanfaatkan kawasan hutan bakau tersebut. Dengan demikian kawasan zona harim hutan bakau tersebut dapat tetap lestari dan dapat menjadi perlindungan sementara dari bencana Tsunami dan juga dapat menjadi tempat perkembangbiakan ikan dan makhluk hidup perairan lainnya. Konsep zona harim ini utamanya dapat diterapkan pada kawasan-kawasan yang menjadi sumber dari kebutuhan-kebutuhan vital manusia, misalnya pada kawasan sumber mata air. Berkaitan dengan peran serta masyarakat tentunya haruslah tumbuh dari kesadaran masyarakat akan peran dan fungsi lingkungan hidup. Pembentukan kesadaran masyarakat terutama dilakukan melalui proses pendidikan lingkungan hidup
87
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 73-90
sebagaimana yang ditentukan pasal 65 ayat 2 oleh Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, bahwa masyarakat berhak atas pendidikan lingkungan hidup. Tindak lanjut yang dapat dilakukan dari hasil kajian ini adalah pemerintah dapat mengatur atau menetapkan suatu kurikulum pendidikan lingkungan hidup yang berbasis pada hukum islam untuk diterapkan khususnya pada institusi-institusi pendidikan yang berbasis Islam seperti madrasah, pesantren dan perguruan tinggi Islam. Selain itu, pemerintah juga dapat bekerja sama dengan berbagai organisasi keagamaan Islam untuk lebih memajukan dakwah lingkungan hidup dan kajian Fiqih Lingkungan Hidup, khususnya terkait dengan perlindungan dan pemanfaatan secara berkelanjutan terhadap keanekaragaman hayati. Diharapkan dengan diadopsinya karakteristik gotong royong yang dimiliki hukum Islam, khususnya terkait dengan perlindungan keanekaragaman hayati, maka konflik hukum yang melibatkan masyarakat di sekitar kawasan konservasi dapat teratasi. Prinsip gotong royong dalam hal ini memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengelola kawasan konservasi bersama-sama dengan pemerintah. Tradisi konservasi dalam hukum Islam yang dapat diadopsi secara khusus untuk menghindarkan konflik hukum dengan masyarakat disekitar kawasan konservasi ini ialah penggunaan konsep Hima. III. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian mengenai hukum Islam tentang keanekaragaman hayati, antara lain ialah sebagai berikut : 1. Hukum Islam tentang Perlindungan Keanekaragaman Hayati memiliki karakteristik gotong royong serta tetap menjaga keseimbangan antara pemanfaatan individu dan kebutuhan komunitas masyarakat setempat. 2. Tradisi hukum Islam mengenai perlindungan keanekaragaman hayati dapat ditindaklanjuti dengan mengadopsinya dalam pengaturan mengenai perlindungan keanekaragaman hayati, khususnya dalam aspek yang terkait dengan peran serta masyarakat serta untuk menghindarkan terjadinya konflik hukum dengan masyarakat di sekitar kawasan konservasi keanekeragaman hayati.
88
Perlindungan Keanekaragaman Hayati dalam Hukum Islam - Sri Gilang Muhammad S.R.P.
IV. DAFTAR PUSTAKA Abbas, Fachruddin M. Mangunjaya dan Ahmad Sudirman. Khazanah Alam Menggali Tradisi Islam untuk Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008. Abdillah, Mujiyono. Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al - Quran. Jakarta: Paramadina, 2001. Abdullah, Mudhofir. Al-Quran dan Konservasi Lingkungan. Jakarta: Dian Rakyat, 2010. Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2005. Al-Qardhawi, Yusuf. 7 Kaidah Utama Fikih Muamalat. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014. —. Islam Agama Ramah Lingkungan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002. —. Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Jakarta: Citra Islami Press, 1997. Hardjasoemantri, Koesnadi. Hukum Perlindungan Lingkungan (Konsrvasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991. —. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005. Mangunjaya, Fachruddin M. Hidup Harmonis dengan Alam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006. —. Konservasi Alam dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. —. Menanam Sebelum Kiamat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007. Putra, Sri Gilang Muhammad Sultan Rahma, “Perbandingan Hukum Islam dan United Nations Convention on Biological Diversity 1992 Dalam Perlindungan Keanekaragaman Hayati Ditinjau Dari Perspektif UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Skripsi pada Program Sarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 2011. Shihab, M. Quraish. Dia Dimana-mana : Tangan Tuhan di Balik Setiap Fenomena. Jakarta: Lentera Hati, 2006. —. Membumikan Al - Quran. Bandung: Mizan, 2002. —. Wawasan Al-Quran : Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 2007.
89
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 73-90
Silalahi, M. Daud. Hukum Lingkungan Dalam Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Keni Publishing, 2015. Soemarwoto, Otto. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan, 2004. —. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991. Winarso, Untung Tri. Seri Tafsir Qur'an Tematis : Lingkungan. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008. Yafie, Ali. Merintis Fiqh Lingkungan Hidup. Jakarta: Ufuk Press, 2006. Zahrah, Muhammad Abu. Hubungan-Hubungan Internasional dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Zaidan, Abdul Karim. Al-Wajiz (100 Kaidah Fikih dalam Kehidupan Sehari-hari). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013. Undang-Undang dan Perjanjian Internasional : United Nations Convention on Biological Diversity 1992. Terjemahan Resmi Salinan Naskah Asli Konvensi Perserikatan Bangsa – Bangsa tentang Keanekaragaman Hayati. UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya. UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
90
DISERTASI
KARAKTERISTIK PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI THE CHARACTERISTICS OF CORPORATE CRIMINAL RESPONSIBILITY ADRIANO Disertasi telah dipertahankan dalam sidang terbuka Doktor Ilmu Hukum di Universitas Airlangga, pada tanggal 25 Februari 2013. ABSTRAK Disertasi ini membahas lebih dalam mengenai karakteristik korporasi yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, keduanya didiskusikan pada kerangka yang sama dari pertanggungjawaban pidana korporasi. Meskipun demikian, seringkali pada beberapa hukum atau peraturan selain KUHP, baik pada hukum pidana maupun hukum administratif dengan sanksi pidana, perusahaan digambarkan sebagai sekumpulan orang/kekayaan yang terorganisir baik yang berbadan hukum maupun yang tidak. Pengertian ini sangat jauh berbeda dari apa yang dinyatakan oleh para ahli hukum terutama pada hukum pidana yang biasanya menyatakan perusahaan sebagai badan hukum. Meskipun demikian, hal ini tidaklah sama bagi perusahaan yang tidak berbadan hukum. Perbedaan tersebut akan menyebabkan konsekuensi hukum tersendiri karena perusahaan tidak bisa dan tidak akan pernah diperlakukan sama terkait pertanggungjawaban pidana korporasi. Kata kunci : pertanggungjawaban pidana korporasi, karakteristik, badan hukum, tidak berbadan hukum ABSTRACT This dissertation analyzed for real about characteristics of an entity, either a legal or the nonlegal "entity'' which all were discussed in the same outline of corporate crime responsibility. It was often, though, in several laws aside from the Penal Code of Indonesia (KUHP), both in Criminal Law and Administrative Law with criminal sanction, that corporate is defined as a collection of organized people and or wealth, either as a legal or the nonlegal entity. The definitions in those laws are really different from those of law experts, especially those of criminal law who basically identify corporate as a legal entity, however the same is not true for those of the nonlegal entity. Such differences of the legal and nonlegal entities would bring their own legal consequences, therefore they could not and would not be treated the same referring to corporate criminal responsibility. Keywords: corporate criminal responsibility, characteristics, legal entity, nonlegal entity
91
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 91 - 112
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Fakta menunjukkan bahwa terdapat belasan undang-undang produk lembaga legislasi yang menentukan dan mengatur tentang pertanggungjawaban pidana dalam hal terjadi perbuatan-perbuatan pidana tertentu di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dipandang dapat dilakukan dan dipertanggungjawabkan oleh korporasi. Fenomena tersebut di Indonesia telah muncul dalam beberapa tahun dasawarsa terakhir ini, dimana kebanyakan para pakar hukum terutama hukum pidana mengklasifikasikan dan menyebutnya sebagai “kejahatan korporasi”. Istilah kejahatan korporasi (corporate crime) seringkali dikaitkan dengan kejahatan yang berkategori inkonvensional dalam konteks white collar crime, organization crime, orgazined crime, crime of business, syndicate crime yang secara umum dimaksudkan sebagai suatu kejahatan yang bersifat organisatoris dengan bermuara pada motif-motif keuntungan ekonomi, yang tercermin dari adanya kontradiksi antara tujuan korporasi dengan kepentingan berbagai pihak seperti kompetitor (pesaing), buruh, konsumen, masyarakat dan Negara.1 Sehingga tidak mengherankan jika kejahatan ini dengan cepat menyebar dan berdampak luas serta amat merugikan. Hal senada juga dikatakan oleh Bambang Suheryadi dalam tulisannya sebagai berikut: “Korporasi sebagai pelaku tindak pidana tidak dikenal dalam KUHP, tetapi dalam perkebangannya justru tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi mempunyai akibat yang lebih besar dibandingkan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh orang perseorangan atau manusia alamiah, melihat kenyataan tersebut maka berbagai perundang-undangan di luar KUHP mulai mengatur tentang korporasi yang melakukan tindak pidana.” 2 Mengenai pengertian dari kejahatan korporasi itu sendiri menurut I.S. Susanto sebagaimana dikutip oleh Bambang Suheryadi,
3
adalah tindakan-tindakan korporasi
yang dapat dikenai sanksi, baik sanksi pidana, perdata maupun sanksi administrasi, yang berupa penyalahgunaan secara melawan hukum kekuasaan ekonomi (illegal abuses of power) seperti produk-produk industri yang membahayakan kesehatan dan 1
Yesmil Anwar dan Adang, Kriminologi, Refika Aditama, Bandung 2010, h. 241-242. Bambang Suheryadi, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana. Yuridika Vol. 18. No. 1, Januari-Pebruari 2003: 79-98, Fakultas Hukum Unair., h. 79. 3 Ibid. h. 83. 2
92
Disertasi Karakteristik Pertanggungjawaban Pidana Korporasi - Adriano
jiwa, penipuan terhadap konsumen, pelanggaran terhadap peraturan perburuhan, iklaniklan yang menyesatkan, pencemaran lingkungan, manipulasi pajak. Kesemua tindakantindakan korporasi itu pada dasarnya termotifasi pada keuntungan ekonomi dengan merugikan dan mengabaikan kepentingan masyarakat secara umum. Penggunaan istilah “korporasi” dalam rangkaian kata “kejahatan korporasi” untuk menggambarkan korporasi yang merupakan badan hukum (rechtspersoon) maupun yang bukan badan hukum (non rechtspersoon), menurut hemat penulis justru menimbulkan persoalan mendasar yang bukan saja mengenai persoalan subyek hukum, akan tetapi juga lebih mendalam lagi yakni menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana baik ditinjau dari sudut pandang teori ilmu hukum, norma hukum yang mengatur berkaitan dengan badan hukum sebagai subyek hukum, maupun dalam penerapannya pada praktek hukum sehari-hari. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka masalah-masalah yang akan dikaji dan sekaligus menjadi legal issue dapat penulis rumuskan sebagai berikut : 1) Karakter pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi yang merupakan badan hukum (rechtspersoon). 2) Karakter pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi yang bukan badan hukum (non rechtspersoon). C. Metode Penelitian Ilmu hukum merupakan ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan, maka dengan karakter keilmuan yang demiikian itu, ilmu hukum selalu berkaitan dengan apa yang semestinya atau apa yang seharusnya, oleh karenanya dalam penggunaan metode penelitiannya ilmu hukum selalu menggunakan metode penelitiannya sendiri, yaitu metode penelitian hukum untuk dapat menjawab permasalahan-permasalahan sebagaimana telah dirumuskan di atas, selanjutnya berkaitan dengan itu penulis juga mencoba menggunakan metode penelitian yang dalam tulisan Terry Hutchinson disebut sebagai
theoritical research,
yaitu research which fosters a more complete
understanding of the conceptual bases of legal principles and of the combined effects of a range of rules and procedures that touch on a particular area of activity.4 Tipe 4
Terry Hutchinson, Researching and Writing in Law, Lawbook co, Sidney Australia, 2002, h. 128-129., h.9.
93
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 91 - 112
penelitian ini merupakan penelitian yang mendorong pada pemahaman yang lebih lengkap dan mendasar mengenai konseptual dari prinsip-prinsip atau asas-asas hukum dan efek gabungan dari berbagai aturan serta prosedur yang menyentuh dengan sebuah bidang aktivitas tertentu yang dalam tulisan ini adalah dasar dari konsep tersebut. Senada dengan itu Peter Mahmud Marzuki mensitir pendapat H.J. van Eikema Hommes yang menyatakan bahwa setiap ilmu pengetahuan memiliki metodenya sendiri.5 Selanjutnya beliau menyatakan bahwa apa yang dikemukakan oleh van Eikema Hommes ini mengindikasikan bahwa tidak dimungkinkannya penyeragaman metode untuk semua bidang ilmu. Ilmu hukum bukan merupakan bagian dari ilmu sosial, oleh karena itulah Metode Riset atau Metode Penelitian Sosial tidak tepat untuk digunakan di dalam Ilmu hukum.6 II. PEMBAHASAN Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata “karakteristik” (kata benda) berarti ciri-ciri khusus, sedangkan kata “karakter” (kata benda) mengandung arti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat atau watak. Kata “karakteristik” dalam kalimat “karakteristik pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi yang berbadan hukum dan yang bukan badan hukum” oleh penulis dimaksudkan bahwa terdapat ciri-ciri khusus sebagai pembeda yang merupakan tabiat atau watak tersendiri dari masing-masing badan tersebut yang akan muncul dan mendominasi ketika pertanggungjawaban pidana korporasi itu diterapkan baik terhadap korporasi sebagai badan hukum maupun terhadap korporasi yang bukan badan hukum. Telah disinggung di atas bahwa badan hukum (rechtspersoon) adalah subyek hukum sebagaimana juga manusia (natuurlijke person), namun tentu ada banyak perbedaan mendasar diantara keduanya dimana penulis cenderung untuk menyatakan bahwa badan hukum adalah subyek hukum yang mempunyai karakter yang berbeda dengan manusia apalagi jika dibandingkan dengan “badan” yang bukan badan hukum (non rechtspersoon). Manusia itu nyata adanya, berwujud dan merupakan mahkluk ciptaan Tuhan, sedangkan badan hukum (rechtspersoon) sesungguhnya adalah konsep hasil pemikiran manusia melalui rekayasa hukum untuk menggambarkan suatu 5
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta 2005, h.
6
Ibid., h. 11.
11.
94
Disertasi Karakteristik Pertanggungjawaban Pidana Korporasi - Adriano
kumpulan yang oleh hukum kumpulan itu dianggap sebagai orang sehingga ia dipersamakan dengan manusia dihadapan hukum sebagai subyek hukum, sedangkan “badan” yang bukan badan hukum (non rechtspersoon) sejak awal memang sengaja dikonsepkan untuk mengambarkan suatu perkumpulan orang dan atau kekayaan yang oleh hukum tidak dipersamakan sebagai orang, sehingga “badan” yang bukan badan hukum (non rectspersoon) itu juga tidak dipersamakan dengan manusia (natuurlijke person) maupun badan hukum (rechtspersoon), dan tidak pula dijadikan sebagai subyek hukum. Baik konsep badan hukum maupun konsep “badan” yang bukan badan hukum tersebut adalah merupakan hasil pemikiran dan rekayasa hukum, oleh karenanya atas kedua sifat perbedaan tersebut tentu pada masing-masing konsep akan membawa konsekuensi hukumnya sendiri. Perbedaan alami antara manusia (naturlijke person) dengan badan hukum (rechtsperson) tentu akan membawa konsekuensi hukum yang berbeda pula diantara mereka, sedangkan perbedaan konsep hukum antara badan hukum (rechtspersoon) dengan “badan” yang bukan badan hukum (non rechtspersoon) jelas membawa konsekuensi hukum yang juga berbeda terutama jika dipandang dari sisi pertanggungjawaban hukumnya termasuk pula pertanggungjawaban dalam hukum pidana, hal ini dikarenakan pada badan hukum maupun pada “badan” yang bukan badan hukum tersebut terdapat karakter-karakter tertentu sebagai ciri khasnya masing-masing dan yang membedakannya antara satu dengan yang lain, dengan demikian karakteristik dari masing-masing badan berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana korporasi akan lebih tampak jelas sehingga mempermudah pemahaman dan penerapan hukumnya. A. Karakteristik Pertanggungjawaban Pidana terhadap Korporasi yang Merupakan Badan Hukum (Rechtspersoon) Sebelum membahas lebih jauh tentang karakter mengenai badan hukum (rechtspersoon) secara umum yang nantinya dengan sendirinya juga akan mengkerucut menyangkut perihal pertanggungjawaban pidana korporasi, maka penulis terlebih dahulu mencoba memulainya dengan sedikit mengulas mengenai apa sebenarnya subyek hukum itu sekedar untuk mengingat sehingga pada akhirnya akan bertemu disatu titik bahasan sebagaimana sub pokok judul di atas. Telah disinggung pada bagian terdahulu bahwa badan hukum adalah subyek hukum sebagaimana manusia alami, sebagai subyek hukum maka badan hukum
95
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 91 - 112
memiliki peranannya sendiri dalam lalu lintas hukum sehari-hari. Berkaitan dengan badan hukum (rechtspersoon) sebagai subyek hukum itu Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa : Manusia bukanlah satu-satunya subyek hukum, diperlukan sesuatu hal lain yang bukan manusia yang menjadi subyek hukum. Disamping orang dikenal juga subyek hukum yang disebut badan hukum. Badan hukum adalah organisasi atau kelompok manusia yang mempunyai tujuan tertentu yang dapat menyandang hak dan kewajiban. Negara dan perseroan terbatas misalnya adalah organisasi atau kelompok manusia yang merupakan badan hukum. Badan hukum itu bertindak sebagai satu kesatuan dalam lalu lintas hukum seperti orang. Hukum menciptakan badan hukum oleh karena pengakuan organisasi atau kelompok manusia sebagai subyek hukum itu sangat diperlukan karena ternyata bermanfaat bagi lalu lintas hukum.7 Mensitir pendapat Sudikno tersebut yang antara lain menyatakan bahwa subyek hukum yang badan hukum ini pada kenyataannya memang amat diperlukan untuk menunjang kegiatan lalu lintas hukum dalam suatu masyarakat yang memang membutuhkan hukum, oleh karenanya penulispun sependapat bahwa menjadi penting artinya badan hukum yang sebenarnya adalah suatu konsep kemudian oleh hukum ditetapkan sebagai subyek hukum. Selanjutnya mengenai apa itu sesungguhnya subyek hukum para pakar pun telah memberikan definisinya sendiri, Sudikno Mertokusomo mengatakan bahwa subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh, mempunyai atau menyandang hak dan kewajiban. Kewenangan untuk dapat menyandang hak dan kewajiban itu disebut kewenangan hukum.8 Selanjutnya H. Riduan Syahrani dalam tulisannya mengatakan : Subyek hukum (rechtssubject): pendukung hak dan kewajiban yaitu manusia dan badan hukum. “Manusia” dalam pengertian biologis ialah gejala dalam alam, gejala biologika, yaitu makhluk hidup yang mempunyai pancaindera dan mempunyai budaya. Sedangkan “orang” adalah pengertian yuridis ialah gejala dalam hidup bermasyarakat. Dalam hukum yang menjadi perhatian adalah orang atau person.9 Pada tulisan dibagian lain H. Riduan Syahrani juga mengatakan :
7
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Liberty, Yogyakarta 1988., h.
53. 8
Ibid., h.54. H. Riduan Syahrani I, Kata-Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum. PT. Alumni, Bandung 2009, h. 248., h. 248. 9
96
Disertasi Karakteristik Pertanggungjawaban Pidana Korporasi - Adriano
Badan hukum (rechts-persoon): subyek hukum yang tidak berjiwa. Karena dikategorikan sebagai subyek hukum, maka badan hukum juga dapat melakukan hubungan hukum dengan subyek hukum lain, sehingga bisa mempunyai hak dan kewajiban. Cuma saja badan hukum tidak mungkin berkecimpung dalam lapangan hukum keluarga seperti melangsungkan perkawinan. Badan hukum hanya bisa berkecimpung dalam lapangan hukum harta kekayaan, yaitu melalui organ-organ badan hukum yang bersangkutan, yang lazimnya diatur dalam anggaran dasar dan rumah tangga.10 Berkaitan hal itu penulis sependapat dengan pendapat dua pakar hukum tersebut yang dengan tegas mengatakan bahwa subyek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban, yang terdiri dari manusia alami dan badan hukum. Selanjutnya masih berkaitan dengan subyek hukum Ishaq mengatakan : Setiap manusia baik warga negara maupun orang asing asing dengan tidak memandang agama atau kebudayaannya adalah subyek hukum. Manusia sebagai pembawa hak (subyek), mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan tindakan hukum, seperti membuat perjanjian, menikah, membuat wasiat, dan lain-lain. Oleh karena itu, manusia oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban sebagai subyek hukum.11 Pada bagian selanjutnya Ishaq menambahkan : Selain manusia pribadi sebagai subjek hukum, terdapat juga badan hukum. Badan hukum (rechtsperson) adalah perkumpulan-perkumpulan yang dapat menanggung hak dan kewajiban yang bukan manusia, badan hukum sebagai pembawa hak yang tidak berjiwa dapat melakukan sebagai pembawa hak manusia, seperti dapat melakukan persetujuan, memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya.12 Begitu juga dengan R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, dalam buku Kamus Hukum-nya mengatakan bahwa “subyek hukum atau pengemban hukum adalah manusia atau badan hukum”.13 Dalam Ensiklopedi Umum yang diedit oleh Abdul Gafar Pringgodigdo dan Hassan Shadily, ditulis, bahwa : Yang diakui dan yang dapat ikut serta dalam pergaulan hukum dinamakan subyek hukum. Subyek hukum menurut hukum Barat ialah semua manusia (tidak diakui adanya budak). Disamping subyek hukum yang berupa manusia pribadi (natuurlijke person) tersebut, ada subyek hukum yang
10
Ibid., h. 24. Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Sinar Grafika, Jakarta 2008, h. 47. 12 Ibid., h. 49. 13 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kamus Hukum. Pradnya Paramita, Jakarta 1985, h. 15. 11
97
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 91 - 112
berupa kesatuan kelompok manusia yang disebut badan hukum, misalnya perseroan terbatas, perkumpulan koperasi, dan pula yayasan. 14 Berdasarkan uraian dan pendapat-pendapat para pakar yang berkompeten sebagaimana telah dikutip di atas maka penulis mencoba mengambil inti pokok dari apa yang disebut sebagai subyek hukum itu, adalah sebagai berikut : 1) Subyek hukum terdiri dari manusia (natuurlijke person) dan badan hukum (rechtspersoon); 2) Subyek hukum adalah pengemban atau pendukung hak dan kewajiban; 3) Subyek hukum memiliki kewenangan hukum; 4) Subyek hukum dapat melakukan suatu perbuatan hukum; 5) Subyek hukum dapat dipertanggungjawabkan di dalam hukum. Berkaitan dengan itu, menurut penulis ada hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus mengenai subyek hukum (rechtssubject) ini, yaitu subyek hukum sebagai penyandang hak dan kewajiban memiliki makna yang mendasar, yakni disamping hal-hal sebagaimana telah disebutkan di atas, subyek hukum adalah satusatunya yang mempunyai kewenangan hukum, yaitu kewenangan yang diberikan dan diatur oleh hukum untuk dapat menyandang dan melaksanakan hak dan kewajiban dengan suatu perbuatan hukum. Telah pula diuraikan di atas bahwa disamping manusia, badan hukum adalah salah satu dari subyek hukum yang diakui didalam hukum, selanjutnya sehubungan dengan itu kiranya perlu juga untuk ditekankan kembali agar mendapatkan perhatian mengenai dasar dari timbulnya perlakuan terhadap badan hukum sebagai subyek hukum yang merupakan dasar teoretik dalam ilmu pengetahuan hukum. Terdapat beberapa teori yang sering dikutip dan dijadikan pedoman oleh para pakar mengenai badan hukum,
15
diantaranya adalah sebagai berikut : 1.
Teori Fiksi Pada dasarnya teori ini mengatakan bahwa hanya manusia saja yang mempunyai
kehendak, sedangkan badan hukum adalah suatu abstraksi, bukan merupakan sesuatu hal yang konkrit. Jadi karena hanya suatu abtraksi maka tidak mungkin menjadi suatu
14 Abdul Gafar Pringgodigdo dan Hassan Shadily, Ensiklopedi Umum, h. 428, diunduh dari internet pada tanggal 11/2/2011, pukul 22.00 wib. 15 Chidir Ali, Badan Hukum. Alumni, Bandung, 2005., h. 31-35.
98
Disertasi Karakteristik Pertanggungjawaban Pidana Korporasi - Adriano
dari hubungan hukum, sebab hukum memberi hak-hak kepada badan hukum suatu kekuasaan dan menimbulkan kehendak berkuasa (wilsmacht). Badan hukum sematamata hanyalah buatan pemerintah atau Negara. Terkecuali Negara, badan hukum itu suatu fiksi yakni sesuatu yang sebenarnya tidak ada tetapi orang menghidupkannya dalam bayangannya untuk menerangkan sesuatu hal. 2.
Teori Organ Teori ini mengatakan bahwa badan hukum itu seperti manusia yang benar-benar
ada dalam pergaulan hukum, yaitu ‘eine leiblichgeistige lebensein heit’, Badan hukum itu menjadi ‘verbandpersoblich keit’, yakni suatu badan yang membentuk kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau organ-organ badan tersebut misalnya anggotaanggotanya atau pengurusnya seperti manusia yang mengucapkan kehendaknya dengan perantaraan mulutnya atau dengan perantaraan tangannya jika kehendak itu ditulis di atas kertas. Apa yang menjadi keputusan organ (organen) adalah merupakan kehendak dari badan hukum. Dengan demikian menurut teori organ, badan hukum bukanlah suatu hal yang abstrak, tetapi benar-benar ada. Badan hukum bukanlah suatu kekayaan (hak) yang tidak bersubyek, tetapi badan hukum itu suatu organism yang riil, yang hidup dan bekerja seperti manusia biasa. Tujuan badan hukum menjadi kolektivitas, terlepas dari individu, ia suatu ‘Verband personlichkeit yang memilik Gesamwille’, berfungsinya badan hukum dipersamakan dengan berfungsinya manusia. Jadi badan hukum tidak berbeda
dengan
manusia
karena
itu
dapat
disimpulkan
bahwa
tiap-tiap
perkumpulan/perhimpunan orang adalah badan hukum. 3. Leer van Het Ambtelijk Vermogen Teori ini merupakan suatu ajaran tentang harta kekayaan yang dimiliki seseorang dalam jabatannya (ambtelijk vermogen) : suatu hak yang melekat pada suatu kualitas. Penganut ajaran ini menyatakan : tidak mungkin mempunyai hak jika tidak dapat melakukan hak itu. Dengan lain perkataan, tanpa daya berkehendak (wilsvermogen) tidak ada kedudukan sebagai subyek hukum. Ini konsekuensi yang terluas dari teori yang menitik beratkan pada daya berkehendak. Untuk badan hukum yang berkenhendak ialah para pengurus, maka pada badan hukum semua hak itu diliputi oleh pengurus. Dalam kualitasnya sebagai pengurus mereka adalah berhak, maka dari itu disebut ambtelijk vermogen. Konsekuensi ajaran ini ialah bahwa orang belum dewasa (minderjarige) dimana wali (voegd) melakukan segala perbuatan, eigendom ada
99
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 91 - 112
pada curatele, eigenaarnya adalah curator. Teori ambtelijk vermogen ini mendekati teori kekayaan bertujuan (doelvermogen). 4. Teori Kekayaan Bersama Teori kekayaan bersama ini menganggap bahwa badan hukum itu sebagai kumpulan manusia. Kepentingan badan hukum adalah kepentingan seluruh anggotanya. Menurut teori ini badan hukum bukan abstraksi dan bukan organisme. Pada hakikatnya hak dan kewajiban badan hukum adalah hak dan kewajiban anggota secara bersamasama. Mereka bertanggung jawab bersama-sama. Harta kekayaan badan itu adalah milik (eigendom) bersama seluruh anggota. Para anggota yang berhimpun adalah satu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang disebut badan hukum. Karena itu badan hukum hanyalah suatu konstruksi yuridis belaka. Pada hakikatnya badan hukum itu sesuatu yang abstrak. 5. Teori Kekayaan Bertujuan Menurut teori ini hanya manusia yang dapat menjadi subyek hukum, karena itu badan hukum bukan subyek hukum dan hak-hak yang diberi kepada suatu badan hukum pada hakikatnya hak-hak dengan tiada subyek hukum. Teori ini mengemukakan bahwa kekayaan badan hukum itu tidak terdiri dari hak-hak sebagaimana lazimnya (ada yang menjadi pendukung hak-hak tersebut, manusia). Kekayaaan badan hukum dipandang terlepas dari yang memegangnya (onpersoonlijk/subjectloons). Disini yang penting bukan siapakah badan hukum itu, tetapi kekayaan tersebut diurus dengan tujuan tertentu. Karena itu menurut teori ini tidak perduli manusia atau bukan, tidak perduli kakayaan itu merupakan hak-hak yang normal atau bukan, pokoknya adalah tujuan dari kekayaan tersebut. Singkatnya apa yang disebut hak-hak badan hukum, sebenarnya hakhak tanpa subyek hukum, karena itu sebagai penggantinya adalah kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan. Teori ini juga disebut sebagai ajaran ‘zweckvermogen’ atau teori kekayaan tujuan (Utrecht), destinataristheorie atau leer van het doelvermogen. 6. Teori Kenyataan Yuridis Berawal dari teori organ timbullah suatu teori yang merupakan penghalusan (verfijning) dari teori organ tersebut ialah teori kenyataan yuridis (juridische realiteitleer). Teori ini dikemukakan oleh sarjana Belanda E.M Meijers dan dianut oleh Paul Scholten, serta sudah merupakan de heersende leer. Menurut Meijers badan hukum itu merupakan suatu realitas, konkrit, riil walaupun tidak dapat diraba, bukan
100
Disertasi Karakteristik Pertanggungjawaban Pidana Korporasi - Adriano
khayal, tetapi suatu kenyataan yuridis. Meijers menyebut teori tersebut, teori kenyataan yang sederhana (eenvoudige realitiet), sederhana karena menekankan bahwa kehendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan manusia itu terbatas sampai pada bidang hukum saja. Jadi menurut teori kenyataan yuridis, badan hukum adalah wujud yang riil, sama riilnya dengan manusia dan lain-lain perikatan (verbintenis). Ini semua riil untuk hukum. Teori yang dianut Paul Scholten ini berasal dari teori organ yang sudah diperhalus, artinya tidak begitu mutlak lagi (teori organ sifatnya mutlak) dan tidak mutlak artinya sekedar diperlukan untuk hukum, sehingga tidak perlu lagi dipertanyakan mana tangannya, mana otaknya dan sebagainya. Berdasarkan teori-teori mengenai badan hukum tersebut, penulis berpendapat bahwa pada dasarnya teori-teori tersebut ingin menjelaskan bahwa badan hukum (rechtspersoon) sebenarnya adalah kumpulan manusia dan kekayaan yang mempunyai tujuan tertentu serta menyatu dalam suatu konstruksi yuridis yang dibuat, ditetapkan dan diakui oleh Negara berdasarkan hukum sebagai subyek hukum tersendiri (baca : mandiri) sehingga ia juga dipersamakan seolah-olah sebagai seorang manusia (natuurlijke person) yang merupakan pengemban hak dan kewajiban dalam pergaulan masyarakat hukum. Berkaitan dengan pelaksanaan hak dan kewajibannya didalam pergaulan masyarakat hukum, badan hukum diwakili oleh manusia (natuurlijke person) yang duduk pada organ alat-alat perlengkapan badan hukum itu sendiri untuk melakukan suatu perbuatan-perbuatan hukum. Manusia (natuurlijke person) yang duduk dalam organ badan hukum ini bertindak bukan untuk dirinya sendiri, melainkan sebagai organ yang bertindak mewakili untuk dan atas nama badan hukum itu. Bagaimana organ dari badan hukum itu berbuat, apa saja yang harus diperbuatnya dan apa yang dilarang untuk diperbuat, telah diatur dalam Anggaran Dasar dan atau Anggaran Rumah Tangga dari badan hukum yang bersangkutan maupun dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur mengenai hal tersebut. Bahwa oleh karena semua telah ada batasan dan aturannya mengenai apa dan bagaimana perbuatan badan hukum itu dilakukan, maka dalam konteks itu organ badan hukum tidak dapat berbuat sewenangwenang dalam bertindak mewakili untuk dan atas nama badan hukum, sehingga adalah wajar jika segala sesuatunya mengenai perbuatan badan hukum tersebut menjadi tanggungjawab dari badan hukum itu sendiri. Demikian pula ketika terjadi suatu
101
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 91 - 112
perbuatan badan hukum yang terimplikasi sebagai suatu perbuatan pidana, maka pertanggungjawaban pidana tersebut harus pula diterapkan kepada badan hukum. Selanjutnya jika ditemukan adanya penyimpangan atau penyalahgunaan atau telah dilampauinya batas kewenangan organ badan hukum yang bertindak mewakili untuk dan atas nama badan hukum tersebut, maka manusia (natuurlijke person) yang duduk dalam organ badan hukum itu dan melakukan perbuatan tersebut harus pula dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Sebagaimana juga telah diuraikan secara panjang lebar pada bagian sebelumnya bahwa dalam tataran pengertian Ilmu Pengetahuan Hukum khususnya dalam bidang hukum perdata, korporasi adalah suatu badan hukum, yang dengan demikian korporasi itu merupakan subyek hukum sekalipun subyek hukum buatan yang tidak memiliki bentuk fisik, tubuh maupun sikap batin, dan jelas bukan terlahir secara alamiah sebagaimana manusia, oleh karenanya berkaitan dengan itu penulis merasa perlu untuk mengutip kembali sekedar sebagai suatu pengingat mengenai bagaimana pandangan para pakar terkait dengan korporasi itu, dan tentu saja dalam beberapa hal jika dirasa perlu penulis akan menyampaikan pandangnya mengenai hal tersebut. H. Riduan Syahrani dalam tulisannya mengatakan bahwa : “Korporasi (corporation) adalah gabungan (kumpulan) orang-orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai subyek hukum tersendiri. Karena itu korporasi ini merupakan badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban sendiri yang terpisah dari hak dan kewajiban para anggotanya. Misalnya : perseroan terbatas, asuransi, perkapalan, koperasi dan sebagainya.16 Selanjutnya Dwidja Priyatno dengan tegas mengatakan dalam tulisannya bahwa: Batasan pengertian atau definisi korporasi, erat kaitannya dengan masalah dalam bidang hukum perdata. Sebab pengertian korporasi merupakan terminologi yang berkaitan erat dengan istilah badan hukum (rechtspersoon), dan badan hukum itu sendiri merupakan terminologi yang erat kaitannya dengan bidang hukum perdata.17 Pendapat H. Riduan Syahrani yang pada intinya mengatakan korporasi adalah subyek hukum tersendiri, serta mempunyai hak dan kewajiban sendiri pula seperti misalnya Perseroan Terbatas, Asuransi dan sebagainya, dan pendapat Dwidja Priyatno 16
H. Riduan Syahrani, Op.cit., h. 80. Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia. Utomo, Bandung 2009, h. 12. 17
102
Disertasi Karakteristik Pertanggungjawaban Pidana Korporasi - Adriano
yang dengan tegas secara langsung menggarisbawahi bahwa korporasi berkaitan erat dengan badan hukum (rechtspersoon) sebagaimana dikenal dan diatur dalam lingkup hukum perdata, sehingga dengan mendasarkan pada dua pendapat para pakar tersebut penulis mencoba sekali lagi untuk menegaskan bahwa jika ingin berbicara mengenai korporasi maka pembicaraan itu tidak bisa lepas dari pembicaraan mengenai korporasi sebagai suatu badan hukum privat yang memang telah diatur di dalam hukum perdata. Sebagaimana juga telah disinggung di atas bahwa badan hukum (rechtspersoon) adalah salah satu dari subyek hukum, sedangkan subyek hukum yang lainnya adalah manusia (natuurlijke persoon), atau dengan kalimat yang lain dapat dikatakan bahwa Manusia (natuurlijke persoon) dan Badan Hukum (rechtspersoon) oleh hukum ditetapkan sebagai subyek hukum, sebagai orang (persoon) yakni sebagai pengemban hak dan kewajiban. Menyinggung mengenai apa sebenarnya korporasi itu, para ahli hukum yang berkompeten telah pula memberikan definisinya sebagaimana tersebut di bawah ini : Menurut Soetan K. Malikoe Adil : Secara etimologis tentang kata korporasi (corporatie, Belanda), corporation (Inggris), corporation (Jerman) berasal dari kata corporation dalam bahasa Latin “tio”, maka corporation sebagai kata benda (subtantivum) berasal dari kata kerja corporare yang banyak dipakai orang pada abad pertengan atau sesudah itu. Corporare sendiri berasal dari kata “corpus” (Indonesia, badan) yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian maka akhirnya Corporatio itu hasil dari pekerjaan membadankan, dengan lain perkataan badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia yang terjadi menurut alam.18 Pengertian korporasi sebagaimana diuraikan di atas, juga mengingatkan pada “badan-hukum” (rechtspersoon) yang mempunyai makna sebagai suatu perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia, yaitu sebagai pengemban hak-hak dan kewajiban-kewajiban, dapat memiliki kekayaan, serta dapat menggugat dan digugat dimuka pengadilan.19 Yan Pramadya Puspa, mengatakan : Korporasi atau badan hukum adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum; korporasi atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan 18
Soetan K. Malikoe Adil, Pembaharuan Hukum Perdata Kita. Pembangunan, Jakarta 1955, h.
19
R. Soebekti dan R. Tjitrosoedibio, Op.Cit., h. 15.
83.
103
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 91 - 112
seperti seorang manusia (personal) ialah sebagai pengemban (atau pemilik) hak dan kewajiban, memiliki hak itu adalah PT (Perseroan Terbatas), NV. (Naam Loze Venootsschap) dan Yayasan (Stiching), bahkan Negara manapun juga merupakan badan Hukum. yang dimaksud disini adalah suatu perkumpulan.20 Duhaime mengartikan korporasi sebagai : A legal entity, allowed by legislation, which permits a group of people, as shareholders, to apply to the government for an independent organization to be created, which can then focus on persuing set objectives, and empowered with legal rights which are usually only reserved for individuals, such as to sue and be sued, own property, hire employees or loan and borrow money.21 Sedangkan pengertian korporasi menurut Black’s Law Dictionary, adalah : An entity (usu. A business) having authority under law to act a single person distinct from the shareholders who own and having rights to issue stock and axist indefinitely; agroup of succession of persons established in accordance with legal rules into a legal or juristic person that has legal personality distinct from the natural persons who make it up, exists indefinitely apart from them, and has the legal powers that its constitution gives it.22 Selanjutnya Stewart Kyd dalam A Treatise on the Law of the Corporation, (dalam versi Bahasa Indonesia) menggambarkan korporasi sebagai : Sekumpulan individu yang bersatu dalam satu badan, dibawah satuan khusus, mempunyai rangkaian yang tak terputus dalam bentuk artificial, dan dilindungi, oleh kebijakan hukum, dengan kapasitas untuk bertindak, dalam beberapa hal, sebagai individu, khususnya dalam mengambil dan memindahkan hak milik, melakukan kontrak obligasi, dan menuntut atau dituntut, menikmati hak istimewa dan kekebalan secara umum.23 Gerry A Ferguson, seorang Guru Besar pada Faculty of Law, University of Victoria Canada mengatakan dalam tulisannya bahwa : “the legal entity known as a corporation. The most crucial feature of this entity is the simple fact that a corporation is an artificial construct to which the law attributes certain characteristics and powersof a natural person, including the capacity to enter into contacts, to own property, and 20
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum. Aneka Ilmu, Semarang 1977, h. 256. Duhaime, org. Legal Dictionary, Black Law Dict., diunduh dari Internet pada tanggal 14 Desember 2009, pukul 11.00 WIB, h. 1. 22 Gunawan Wijaya, Risiko Hukum Pemilik, Direksi & Komisaris PT. Forum Sahabat, Jakarta 2008, h. 7. 23 Stewart Kyd melalui Joel Bakan. The Corporation. FreePress, a Division of Simon Schuster, Inc. Kanada 2004, h. 16. 21
104
Disertasi Karakteristik Pertanggungjawaban Pidana Korporasi - Adriano
tu sue and be sued. However, while a corporation has a legal identity and is considered a “person” from a legal perspective, it does not have a physical existence in its own right; a corporation truly “has no soul to be damned, and no body to be kicked”. From a behavioral perspective, a corporation cannot itself perform any of the acts recognized by the law: the acts are those of a natural person acting on behalf of the corporation.”24 Menyimak pendapat-pendapat para ahli yang berkompeten tersebut mengenai apa sebenarnya korporasi itu sebagaimana telah diuraikan di atas, maka penulis mencoba untuk berpendapat bahwa sesungguhnya korporasi itu identik dengan badan hukum, yang dengan demikian maka yang menjadi kriteria penting dan harus diperhatikan sekaligus sebagai karakteristik dari suatu korporasi dalam kerangka pertanggungjawaban pidana, adalah sebagai berikut : 1) Korporasi merupakan suatu perkumpulan atau organisasi; 2) Korporasi adalah badan hukum (rechtspersoon) yang dipersamakan dengan manusia (natuurlijke person) sebagai subyek hukum (rechtssubject), sekalipun tidak memiliki bentuk fisik dan sikap batin; 3) Korporasi memiliki jangka waktu “hidup” yang tidak terbatas, yang tentu saja lain jika dibandingkan dengan manusia yang memiliki jangka waktu hidup terbatas; 4) Korporasi sebagai pengemban hak dan kewajiban dalam hukum; 5) Korporasi memiliki harta kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan para individu-individu yang tergabung dalam korporasi itu atau dari para pendirinya; 6) Korporasi memiliki kewenangan hukum, sehingga dapat melakukan perbuatan hukum yang dalam kesehariannya diwakili oleh para pengurusnya; 7) Korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum, termasuk pula didalamnya dapat dituntut dimuka pengadilan baik secara perdata maupun pidana. Karakteristik sebagaimana di atas jelas memberikan suatu gambaran bahwa korporasi sebagai badan hukum (rechtspersoon) sekaligus merupakan subyek hukum yang meskipun hanya sekedar subyek hukum buatan, namun ia juga sebagai pengemban 24
Gerry A. Ferguson, Criminal Liability And Sentenceing Of Corporations. Yuridika Vol. 14 No. 4, Juli-Agustus 1999: 300-321, h. 301.
105
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 91 - 112
hak dan kewajiban yang dihadapan hukum dipandang dan diperlakukan sama seperti manusia (natuurlijke person) yang merupakan subyek hukum alami. Oleh karenanya menjadi suatu hal yang wajar jika terhadap korporasi juga dipertanggungjawabkan secara hukum termasuk dalam hukum pidana yang tentu dengan memperhatikan karakteristik korporasi, ini penting untuk diperhatikan karena jika karakteristikkarakteristik itu diabaikan maka akan timbul kekacauan dalam hukum itu sendiri sebagai suatu sistem. Selanjutnya dengan mengingat karateristik bahwa korporasi atau badan hukum yang tidak memiliki bentuk fisik, maka dalam penerapan sanksi pidana harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut : (1) harus dihindari sanksi pidana yang bersifat fisik, seperti pidana penjara atau kurungan. (2) Oleh karena badan hukum lebih banyak bergerak pada sektor perekonomian, maka penulis menyepakati bahwa pidana denda merupakan pidana pokok utama bagi badan hukum, namun harus diikuti dengan penyitaan terhadap harta benda atau barang-barang milik badan hukum tersebut, yang apabila denda tidak dibayar maka harta bendanya dilelang dan diperhitungkan sebagai pengganti pembayaran denda. Jadi penyitaan yang ditindaklanjuti dengan pelelangan tersebut dimaksudkan sebagai penopang terlaksananya pidana denda dalam hal terjadi suatu badan hukum tidak dapat melaksanakan sebagian atau seluruh pidana denda yang dijatuhkan. (3) Disamping itu perlu juga adanya sanksi pidana yang paling berat bagi badan hukum yakni pidana pembubaran badan hukum, yang tentu saja akan berdampak pada terjadinya likuwidasi. (4) Perlu disusun sistem pemidanaan tersendiri bagi badan hukum dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana umum. B. Karakteristik Pertanggungjawaban Pidana terhadap “Badan” yang Bukan Badan Hukum (Non Rechtspersoon) Telah disinggung pada bagian terdahulu bahwa korporasi yang bukan badan hukum bukanlah merupakan subyek hukum, sehingga ia tidak dalam posisi sebagai pengemban hak dan kewajiban. Oleh karenanya pada bagian ini penulis akan langsung membahas secara lebih khusus dan mendalam mengenai bagaimana karakteristik pertanggungjawaban pidana yang berkaitan dengan badan yang bukan badan hukum tersebut. Hukum Indonesia mengenal bentuk-bentuk badan usaha yang bukan merupakan badan hukum, antara lain Usaha Dagang (UD), Persekutuan Perdata atau lebih dikenal
106
Disertasi Karakteristik Pertanggungjawaban Pidana Korporasi - Adriano
dengan Maatschap (Ma), Firma (Fa), Persekutuan Komanditer atau lebih dikenal dengan Commanditaire Vennootschap (CV). Selanjutnya berdasarkan pertimbangan bahwa bentuk badan usaha berikut ini lebih merupakan suatu wadah kegiatan usaha yang teroganisir dan hampir menyerupai bentuk yang berbadan hukum, maka penulis memilih Firma dan Persekutuan Komanditer (Commanditaire Vennotschap) sebagai model dalam pokok bahasan ini. 1.
Firma (Fa.) Sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 16 KUHD yang mengatakan :
“Persekutuan dengan firma adalah perserikatan yang diadakan untuk menjalankan suatu perusahaan dengan memakai nama bersama”. Berpangkal dari apa yang telah diatur dalam Pasal 16, 17 dan 18 Kitab UndangUndang Hukum Dagang (KUHD), maka karakteristik firma dapat dijelaskan secara agak runtut sebagai berikut : a. firma hanyalah suatu bentuk usaha bersama yang bukan badan hukum (bukan korporasi); b. firma juga bukan subyek hukum, oleh karena bukan subyek hukum yang merupakan pengemban hak dan kewajiban, maka dengan sendirinya firma: -
tidak wenang melakukan perbuatan hukum;
-
tidak memiliki harta kekayaan tersendiri yang terpisah dari kekayaan pendirinya.
c. sehingga dalam firma, yang wenang melakukan perbuatan hukum adalah sekutu secara pribadi yang nota bene adalah manusia (natuurlijke person); d. oleh karena yang wenang melakukan perbuatan hukum adalah sekutu secara pribadi, maka tanggung jawabnya adalah tanggung jawab pribadi juga; e. apabila terjadi sesuatu perbuatan yang bersifat melanggar hukum baik dalam konteks
hukum
perdata
maupun
hukum
pidana,
maka
yang
harus
dipertanggungjawabkan adalah sekutu atau sekutu-sekutu yang bersangkutan secara pribadi; f. berkaitan dengan pertanggungjawaban tersebut, maka penerapan sanksi baik dalam konteks hukum perdata maupun pidana, dikenakan terhadap sekutu atau sekutu-sekutu yang bersangkutan secara pribadi.
107
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 91 - 112
Oleh karena dalam firma yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum adalah sekutu yang nota bene manusia (natuurlijke person), maka sanksi pidana yang dapat diterapkan adalah semua sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 KUHP. 2.
Persekutuan Komanditer (Commanditaire Vennootschap / CV) Persekutuan Komanditer diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang
(KUHD atau WvK) khususnya Pasal 19 - 35, sedangkan yang dimaksud dengan Persekutuan Komanditer atau ada pula yang menyebutnya dengan istilah Perseroan Komanditer (Commanditaire Vennootcshap) atau lebih populer disebut dengan singkatan “CV”. Berdasarkan ketentuan Pasal 19-35 KUHD didapat unsur-unsur penting persekutuan komanditer sebagai berikut : a. CV merupakan persekutuan perdata yang di dalamnya terdapat unsur kerja sama, dengan modal yang berasal dari pemasukan (inbreng) yang dapat berupa uang, barang atau bahkan tenaga, dan bertujuan mendapat serta membagi keuntungan; b. CV didirikan untuk menyelenggarakan perusahaan / kegiatan komersial; c. CV mempunyai dua macam pesero atau sekutu, yakni : 1) Pesero aktif
(sekutu aktif / sekutu komplementer), yaitu pesero yang
bertindak sebagai pengurus, dapat mengikatkan Perseroan Komanditer (CV) dengan pihak ketiga dan bertanggung jawab secara tanggung renteng sampai pada kekayaan pribadi. 2) Pesero pasif (sekutu pasif / sekutu komanditer), yaitu pesero yang hanya memberikan pemasukan (inbreng) dan tidak ikut dalam mengurus perseroan, dan tanggung jawabnya sebatas pada modal yang dimasukkan. d. CV hanyalah suatu bentuk usaha bersama yang bukan merupakan badan hukum (bukan korporasi); e. CV juga bukan subyek hukum yang merupakan pengemban hak dan kewajiban; f. CV tidak wenang bertindak; g. CV tidak memiliki harta kekayaan tersendiri yang terpisah dari kekayaan para sekutunya. Dalam CV untuk melakukan kegiatan usahanya sehari-hari, yang wenang melakukan perbuatan hukum adalah sekutu aktif atau sekutu komplementer secara
108
Disertasi Karakteristik Pertanggungjawaban Pidana Korporasi - Adriano
pribadi yang nota bene adalah manusia (natuurlijke person), oleh karena yang wenang melakukan perbuatan hukum adalah sekutu aktif atau sekutu komplementer secara pribadi, maka konsekuensinya tanggung jawabnya adalah tanggung jawab pribadi juga, yang apabila terjadi sesuatu perbuatan yang bersifat melanggar hukum baik dalam konteks hukum perdata maupun pidana, maka yang harus dipertanggungjawabkan adalah sekutu aktif atau sekutu komplementer yang bersangkutan secara pribadi, demikian juga dengan penerapan sanksinya tentu dikenakan terhadap sekutu aktif atau sekutu komplementer yang bersangkutan secara pribadi, dan oleh karena sekutu aktif atau sekutu komplementer adalah manusia (natuutlijke person), maka sanksi yang dapat diterapkan dalam pertanggungjawaban pidananya adalah semua sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 KUHP. Berdasarkan semua uraian dalam bagian ini, maka karakteristik-karakteristik yang muncul berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap “badan” yang bukan badan hukum, secara runtut dapat penulis sebutkan satu-persatu sebagai berikut : 1) “badan” yang bukan badan hukum tersebut adalah bukan merupakan subyek hukum; 2) juga bukan sebagai pengemban hak dan kewajiban; 3) dan tidak memiliki kewenangan hukum, sehingga tidak dapat melakukan perbuatan hukum; 4) “badan” yang bukan badan hukum tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum termasuk pertanggungjawaban dalam hukum pidana, sehingga beban pertanggungjawaban hukumnya terletak pada subyek hukum person yang memiliki badan usaha tersebut, atau yang menjadi pengurus, atau yang menjadi penanggungjawab dari badan yang bukan badan hukum itu; 5) oleh karena yang dipertanggungjawabkan adalah person yang memiliki badan usaha yang bersangkutan, atau yang menjadi pengurus, atau yang menjadi penanggungjawab dari badan yang bukan badan hukum tersebut, maka itu berarti yang dipertanggungjawabkan atas terjadinya tindak pidana yang berkaitan dengan badan yang bukan badan hukum itu adalah sosok manusia (natuurlijke person) sebagai person yang memiliki badan usaha yang bersangkutan atau yang menjadi pengurus atau yang menjadi penanggungjawab dari badan yang bukan badan hukum tersebut, yang dengan sendirinya
109
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 91 - 112
penuntutan atas tindak pidana yang disangkakan dilakukan terhadap person tersebut, dan bukan terhadap badan yang bukan badan hukum itu; 6) selanjutnya oleh karena yang dipertanggungjawabkan atas terjadinya tindak pidana yang berkaitan dengan badan yang bukan badan hukum itu adalah sosok manusia (natuurlijke person), maka mengenai pidana yang dapat dijatuhkan bukan lagi pidana denda yang menjadi pidana pokok utama bagi korporasi (dalam arti badan hukum), melainkan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang menentukan : “Pidana terdiri atas : a. Pidana pokok. 1. Pidana mati, 2. Pidana penjara, 3. Kurungan, 4. Denda. b. Pidana tambahan. 1. Pencabutan hak-hak tertentu, 2. Perampasan barang-barang tertentu, 3. Pengumuman putusan hakim.” III. KESIMPULAN Berdasarkan semua uraian sebagaimana tersebut di atas, maka penulis berkesimpulan sebagai berikut: Pertama, secara umum terdapat karakteristik yang berbeda antara badan hukum (rechtspersoon / legal entity) dengan “badan” yang bukan badan hukum (non rechtspersonn / non legal entity); Kedua, karakteristik yang secara umum berbeda tersebut, menyebabkan dalam pertanggungjawaban pidananya antara badan hukum (rechtspersoon / legal entity) dengan “badan” yang bukan badan hokum (non rechtspersonn / non legal entity) itu menjadi berbeda pula, perbedaan tersebut terjadi karena; Ketiga, letak beban dari pertanggungjawaban pidana -nya itu sendiri, dimana untuk badan hukum beban tanggungjawabnya berada pada badan hukum itu sendiri (recthspersoon / legal entity), sedangkan untuk badan yang bukan hukum beban (non rechtspersonn / non legal entity) tanggungjawabnya berada pada para sekutu atau pesero atau pengurusya secara pribadi yang nota bene adalah manusia (natuurlijke person);
110
Disertasi Karakteristik Pertanggungjawaban Pidana Korporasi - Adriano
Keempat, adanya prinsip-prinsip hukum yang melatarbelakangi terbentuknya karakteristik dari masing-masing badan hukum dan “badan” yang bukan badan hukum tersebut. Prinsip-prinsip hukum dimaksud terutama yang berasal dari lingkup hukum perdata yang memang sejak awal telah membentuk karakter dari masing-masing badan itu. Kelima, telah terjadi ketidaknalaran bagi hukum (unlogic for the law) dalam mempertanggungjawabkan secara pidana terhadap korporasi, dimana korporasi diartikan secara luas sebagai kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum sebagaimana yang telah diatur dalam berbagai undang-undang yang selama ini menentukan perlakuan terhadap keduanya secara sama, sebagai hasil telah dilanggarnya prinsip-prinsip hukum terutama yang berasal dari lingkup hukum perdata (menyangkut keberadaan “badan” yang bukan badan hukum) yang memang telah diatur sejak awal sehingga membentuk suatu karakteristik
tersendiri
bagi
masing-masing
badan
itu,
baik
badan
hukum
(rechtspersoon / legal entity) maupun “badan” yang bukan badan hokum (non rechtspersonn / non legal entity). IV. DAFTAR PUSTAKA Adil, Soetan K. Malikoe. Pembaharuan Hukum Perdata Kita. Jakarta: Pembangunan, 1955. Amrullah, M. Arief. Kejahatan Korporasi. Malang: Bayumedia Publishing, 2004. Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan KUHP Baru. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008. Atmasasmita, Romli, Pengantar Hukum Kejahatan Perseroan Terbatas. Jakarta 2002. Bakan, Joel, The Corporation. Kanada: FreePress, a Divison of Simon Schuster, Inc., 2004. Bruggink, J.J. H. (alih Bahasa Arief Sidharta), Refleksi Tentang Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999. Bogdan, Michael, Comperative Law. Norway Tano: Kluwer Norstedts Juridik, 1994. Carraso, Cynthia E. and Dipee, Michael K., Corporate Criminal Liability. The American Criminal Law Review, Georgetown University Law Center, Chicago 1999.
111
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 91 - 112
Cohen, Mark A., Theories of Pinishment and Empirical Trends in Corporate Criminal Sanctions. Nashville: Vanderbilt University, 1996. Darmabrata, Wahyono dan Ari Wahyudi Hertanto, Implementasi Good Corporate Governance Dan Komisaris Perseroan Terbatas. Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22 Nomor 6, 2003. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Edisi Keempat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008. Garner, Bryan A., Black Law Dictionary, Ninth Edition, West Thomson Reuter Business, USA 2009. Geis, Gilbert, Joseph FC DiMento, Empirical Evidence and The Legal Doctrine of Corporate Criminal Liability. University of Texas, Austin School of Law Publications USA 2003. Gerber, Jurg and Jensen Eric. L, with the collaboration of Kubena Jilleta. L Encyclopedia of White Collar Crime. Greenwood Press, Westport, Connecticut, London 2007. Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Reribusi Ke Reformasi. Jakarta: Pradnya Paramita, 1986. Hadjon, Philipus M., dan Tatiek Sri Djamiati, Dr., MS., SH. Argumentasi Hukum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005. Huda, Chairul, Dari “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” Menuju Kepada “Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan”. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008. Hutchinson, Terry, Researching and Writing in Law. Sydney: Lawbook Co, 2002. Gerry A. Ferguson, Criminal Liability And Sentenceing Of Corporations. Yuridika Vol. 14 No. 4, Juli-Agustus 1999: 300-321. Harris, Freddy, Pemisahan Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terbatas. Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun Ke-35 No. 1, Januari 2005. Michael, Allan J. Textbook On Criminal Law. Oxford: Oxford University Press, 2005.
112
DISERTASI
PENERAPAN PRINSIP KETERBUKAAN ATAS PUTUSAN ARBITRASE ICSID DI INDONESIA DAN PERBANDINGANNYA DENGAN BEBERAPA NEGARA THE IMPLEMENTATION OF TRANSPARENCY PRINCIPLES FOR ICSID ARBITRATION AWARDS IN INDONESIA AND THE COMPARISON WITH SEVERAL COUNTRIES NURNANINGSIH AMRIANI Disertasi telah dipertahankan dalam sidang terbuka Doktor Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara pada tanggal 22 April 2015.
ABSTRAK Kerahasiaan putusan arbitrase ICSID sudah mulai diterobos dengan keterbukaan putusan atas peluang yang diberikan oleh Pasal 48 ayat (5) Konvensi ICSID dan Aturan 48 ayat (4) ICSID Arbitration Rules. Perubahan norma hukum dari kerahasiaan menjadi keterbukaan putusan arbitrase ICSID dengan membandingkan penerapannya antara negara Indonesia dengan Malaysia, Singapura dan Jepang, diharapkan memberi manfaat yang besar bagi masyarakat secara luas termasuk didalamnya negara anggota ICSID. Hasil penelitian disertasi ini membuktikan bahwa keterbukaan putusan arbitrase ICSID diperlukan daripada kerahasiaan putusan dengan beberapa alasan penting dan tidak menimbulkan masalah. Bahkan membantu mewujudkan pelaksanaan asas pemerintahan yang baik. Melalui tulisan ini akan diketahui perlunya unifikasi hukum mengenai kewajiban publikasi putusan dan perlunya amandemen Undang-Undang Arbitrase di Indonesia. Kata kunci : prinsip keterbukaan, putusan arbitrase, ICSID, negara. ABSTRACT Confidentiality ICSID arbitration award already started breached by the transparency award on the opportunity provided by Article 48 paragraph (5) of the ICSID Convention and Rule 48 paragraph (4) of the ICSID Arbitration Rules. Changes in the legal norms of confidentiality to transparency of ICSID arbitration award by comparing its application in Indonesia, Malaysia, Singapore and Japan, are expected to provide great benefits for society include ICSID member countries. This dissertation research results prove that the ICSID arbitration ruling required transparency rather than confidentiality award for several important reasons and not cause problems. Even it helped realize the implementation of good governance principles. the article will note the need for unification of the laws regarding the responsibility of publication award and the need to amend the Arbitration Law in Indonesia. Keywords : principles of transparency, arbitration award, ICSID, state.
113
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 113-134
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian terhadap penerapan prinsip keterbukaan atas putusan arbitrase ICSID (International Center for The Settlement of Investment Dispute) di Indonesia dan perbandingannya dengan beberapa negara dirasakan penting, paling tidak didasarkan pada enam alasan yaitu pertama, kerahasiaan sebagai salah satu keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak lagi dianggap penting dan saat ini sudah mulai diterobos dengan adanya penggunaan prinsip keterbukaan berdasarkan peluang yang diberikan Pasal 48 ayat (5) Konvensi ICSID 19651. Kedua, beberapa negara seperti Indonesia dan Malaysia mengatur mengenai kewajiban kerahasiaan secara umum berkaitan dengan putusan arbitrase, namun tetap mempublikasikan beberapa putusan arbitrase lembaga ICSID yang melibatkan negaranya. Ketiga, beberapa negara tidak mengatur mengenai kerahasiaan putusan arbitrase. Keempat, terdapat inkonsistensi antara prinsip kerahasiaan arbitrase yang dianut dengan realitas di lapangan, misalnya Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban kerahasiaan pada Pasal 27 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa dan Pasal 14 ayat (5) Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), akan tetapi terdapat putusan arbitrase investasi yang melibatkan Indonesia atau badan pemerintah Indonesia yang diselesaikan melalui lembaga arbitrase ICSID yang dipublikasikan putusannya sedangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 adalah peraturan umum arbitrase. Kelima, terjadi pergeseran prinsip ketika non-litigasi berubah menjadi litigasi menyangkut permintaan pelaksanaan putusan dan upaya hukum pembatalan putusan arbitrase yang mengakibatkan hilangnya sifat rahasia putusan arbitrase. Keenam, dengan keterbukaan atau publikasi putusan arbitrase ICSID, diharapkan putusan yang dihasilkan dapat mencerminkan nilai kewajaran, keadilan, dan bermanfaat serta menciptakan kepastian hukum bagi banyak pihak sehingga dapat memberikan perlindungan hukum bagi investor dan host state. ICSID berfungsi menyelesaikan sengketa penanaman modal asing yang bernaung dan diprakarsai oleh Bank Dunia yang terbentuk berdasarkan Konvensi Washington tanggal 18 Maret 1965 dan mulai berlaku pada tanggal 14 Oktober 1966 yang
Pasal 48 ayat (5) Konvensi ICSID 1965 menyatakan bahwa “The Centre shall not publish the award without the consent of the parties.” 1
114
Disertasi Penerapan Prinsip Keterbukaan atas Putusan Arbitrase ICSID di Indonesia dan Perbandingannya dengan Beberapa Negara - Nurnaningsih Amriani
ditandatangani oleh Indonesia pada tanggal 16 Februari 1968 serta diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tanggal 29 Juni 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warganegara Asing Mengenai Penanaman Modal. Sejalan dengan hal tersebut Indonesia menetapkan sistem hukumnya dengan memberi peluang untuk mengajukan sengketa kepada lembaga arbitrase internasional sesuai Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (selanjutnya UU PMA). Aturan ini memicu lahirnya beberapa sengketa arbitrase berkaitan dengan investor asing melawan Pemerintah Republik Indonesia. UU PMA memang telah mengatur mengenai prinsip keterbukaan, namun tidak serta merta dielaborasikan dengan ketentuan arbitrase pada umumnya terutama dengan lembaga arbitrase ICSID yang khusus menyelesaikan sengketa mengenai penanaman modal asing, padahal prinsip keterbukaan atas putusan arbitrase adalah bentuk kepastian hukum. B. Rumusan Masalah Permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1.
Mengapa prinsip keterbukaan atas putusan arbitrase diperlukan dalam penyelesaian sengketa penanaman modal asing melalui ICSID antara investor dan host state?
2.
Mengapa terjadi perbedaan penerapan prinsip keterbukaan atas putusan arbitrase ICSID di berbagai negara?
3.
Bagaimana penerapan prinsip keterbukaan atas putusan arbitrase ICSID di Indonesia?
C. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam disertasi ini adalah metode penelitian hukum normatif yang beranjak dari telaah hukum positif mengenai
penerapan
keterbukaan putusan sengketa penanaman modal melalui lembaga arbitrase ICSID di Indonesia dan di beberapa negara di dunia yaitu Malaysia, Singapura dan Jepang. Penelitian ini juga mencakup penelitian terhadap asas hukum dan sinkronisasinya dalam undang-undang arbitrase dan undang-undang dengan bertolak dari analisis yuridis kualitatif. Penelitian ini bersifat eksplanatif, deskriptif dan preskriptif serta perbandingan dengan beberapa negara karena mewakili dua sistem hukum di dunia yaitu Civil Law dan Common Law, adanya kemiripan sistem hukum dengan Indonesia dan mewakili negara
115
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 113-134
yang mengatur keterbukaan maupun kerahasiaan putusan arbitrase dalam undang-undang nasionalnya. II. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Alasan Pentingnya Keterbukaan Putusan Arbitrase ICSID ICSID merupakan bagian dari Bank Dunia didesain sebagai “self-contained and as transparent to involved parties as possible, and these principles are reflected in the Convention’s provision.”2 Tidak seperti arbitrase komersial internasional, sebab hukum arbitrase di mana arbitrase dilakukan tidak mempengaruhi proses ICSID,3 kewajiban pembayaran yang ditentukan dari putusan ICSID dilaksanakan oleh contracting state seperti dalam putusan akhir pengadilan domestik dan para pihak tidak perlu meminta bantuan pengakuan dan pelaksanaan sebagaimana diatur dalam Konvensi New York atau hukum domestik lainnya atau harus diperjanjikan sebelumnya karena sifatnya final dan mengikat.4 Sejak berdirinya ICSID pada tahun 1965 hingga bulan Juni 2014 terdaftar anggotanya sebanyak 159 Negara dan hanya 9 negara yang belum meratifikasi.5 ICSID merupakan suatu badan administratif dan bukan badan judisial, namun juga sebagai badan hukum internasional yang mirip dengan Majelis Internasional. ICSID juga bukan badan arbitrase komersial seperti ICC (International Chamber of Commerce), melainkan suatu badan arbitrase yang menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa investasi antara investor asing dengan salah satu negara anggota ICSID (contracting state) atau badan suatu negara anggota ICSID yang telah menandatangani perjanjian awal yang disebut BIT (Billateral Investment Treaty) untuk memilih ICSID sebagai lembaga penyelesaian sengketa di kemudian hari. Sesuai dengan Pasal 6 (1) (a)-(c) Konvensi ICSID, terdapat 5 aturan ICSID yang harus dipahami yaitu : Administrative and Financial Regulations, Rule of Procedure for the Institution of Conciliation and Arbitration Proceedings (Institution Rules), Rules of Procedure for Conciliation Proceedings (Conciliation Rules), Rules of Procedure for
2
Lucy Reed, Jan Paulson & Nigel Blackaby, Guide to ICSID Arbitration, (Frederick, MD : Kluwer Law International, 2004), hlm. 8-9. 3 Ibid. 4 Ibid. 5 http://icsid.worldbank.org/ICSID/>, diakses tanggal 30 Desember 2013.
116
Disertasi Penerapan Prinsip Keterbukaan atas Putusan Arbitrase ICSID di Indonesia dan Perbandingannya dengan Beberapa Negara - Nurnaningsih Amriani
Arbitration Proceedings (Arbitration Rules), dan fasilitas tambahan yang disebut ICSID Additional Facility Rules (AF). ICSID tidak menyelesaikan sengketa antar subjek hukum perdata, namun hanya menyelesaikan sengketa antara pemerintah sebagai subjek publik dengan investor sebagai subyek hukum perdata. Konvensi ini ditujukan ditujukan untuk menyelesaikan sengketa investasi yang meningkat mengikuti investasi asing dan bermanfaat bagi pembangunan ekonomi dari host state.6 Hal tersebut menjadi teori yang digunakan dalam putusan AMCO v. Indonesia yang dalam pertimbangannya Majelis Arbitrase menyatakan bahwa7 melindungi investasi adalah “… to protect investments is to protect the general interest of development and developing countries.” Sengketa pertama melalui ICSID diajukan pada tahun 1972 yaitu sengketa Holiday Inn. S.A., and others v. Morocco (ICSID Case No. ARB/72/1) tanggal 13 Januari 1972 dan hal tersebut sesuai dengan ketentuan Peraturan 23 (1) ICSID
Administrative Financial Regulations yang mengharuskan
Sekretaris-Jenderal untuk meregister setiap sengketa sesuai Pasal 5 ICSID AF Rules. Peraturan ini juga menetapkan bahwa register tersebut harus terbuka untuk diperiksa oleh para pihak sesuai Peraturan 23 (2) ICSID Administrative Financial Regulations dan Pasal 5 ICSID AF Rules, register mana berisi rincian dasar proses persidangan, data yang lengkap mengenai institusi, prilaku dan disposisi setiap persidangan, termasuk metode konstitusi dan keanggotaan masing-masing komisi, majelis dan komite serta mengharuskan register untuk memasukkan informasi tentang putusan yang dilakukan para pihak sesuai Konvensi ICSID. Dalam arbitrase ICSID terdapat hubungan antara negara dengan investor, terdapat kepentingan publik serta terdapat aturan mengenai ikut sertanya publik atas persetujuan para pihak, yang seringkali diabaikan jika dilakukan tanpa publisitas dan partisipasi terbuka oleh publik. Oleh karenanya, kerahasiaan bukan sebagai faktor yang mendukung cepatnya penyelesaian sengketa dan putusan arbitrase ICSID berdampak pada ketersediaan dana suatu negara.8 Beberapa sengketa bahkan mempersoalkan isu publikasi yang kemudian dihentikan (pending cases), misalnya sengketa Apotex Holding Inc. and Apotex Inc., v. United States of America (ICSID Case No. ARB (AF)/12/1) dalam
6
Sherif H. Seid, Global Regulation of Foreign Direct Investment, (England : Ashgate Publishing Limited, 2002), hlm. 12. 7 Ibid. 8 Ibid.
117
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 113-134
confidentiality agreement tanggal 24 Juli 2012 dan sengketa Mobile TeleSystems OJSC v. Republic of Uzbekistan (ICSID Case No. ARB (AF)/12/7), yang di hentikan sementara berkaitan dengan kerahasiaan.9 Sedangkan dalam sengketa Biwater Gauff (Tanzania) Limited v. United Republic of Tanzania, (ICSID Case No. ARB/05/22), dalam Procedural Order No. 3, paragraph 121 tanggal 29 September 2006. Akan tetapi terdapat juga larangan untuk melakukan publikasi yang memperburuk keadaan sengketa seperti pertimbangan dalam putusan Amco Asia Corporation and others v. Republic of Indonesia, (ICSID Case No. ARB/81/1), Decision on Request for Provisional Measure, tanggal 9 Desember 1983 dan putusan Occidental Petroleum Corporation and Occidental Exploration and Production Company v. Republic of Ecuador, (ICSID Case No. ARB/06/11), Decision on Provisional Measures, paragraph 96, tanggal 17 Agustus 2007. Keterbukaan dalam arbitrase internasional berkaitan dengan akses publik sebagai hak setiap orang sebagai warganegara yang menjamin para pihak untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dengan mudah sehingga dapat merencanakan tindakan dan rencana selanjutnya berkaitan dengan perjanjian. Pada saat mengadakan perjanjian dagang termasuk investasi, para pihak memiliki kebebasan berkontrak dan otonomi yang luas dalam menentukan isi perjanjian, bentuk, tempat maupun aturan prosedur arbitrase.10 Berdasarkan asas tersebut maka para pihak secara tertulis 11 dalam perjanjiannya menyepakati penyelesaian sengketanya melalui ICSID dan menyepakati keterbukaan putusan atau merahasiakannya dengan batasan yurisdiksi lembaga arbitrase yang bersangkutan sesuai Pasal 41 dan Pasal 26 Konvensi ICSID, seperti dalam putusan Metalclad corp. V. United Mexican States12 yang berisi beberapa pembatasan singkat atas kebebasan para pihak untuk mempublikasikan informasi tertentu berkaitan dengan arbitrase.13 Jadi tidak ada kewajiban kerahasiaan dalam ICSID sesuai Pasal 48 ayat (5) Konvensi ICSID dan Aturan 48 ayat (4) Arbitration Rules..
9
http://icsid_worldbank.org/icsid/FrontServlet?requestType=GenCasePHSRH&actionVal=ListPe nding, diakses pada tanggal 31 Desember 2013. 10 Basuki Rekso Wibowo, “Prinsip-Prinsip Dasar Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Dagang Di Indonesia,” Jurnal Hukum Yuridika, vol. 16 No. 6, Universitas Airlangga, NopemberDesember 2001, hlm. 552, 559. 11 Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1) Konvensi ICSID. 12 Sengketa Metalclad corp. V. United Mexican States, Putusan (ICSID Case No. ARB(AF)/97/1), tanggal 30 Agustus 2000, diakses dari http://www.state.gov/documents/organization/3998.pdf., paragrap. 13. 13 Wolfgang Peter, Arbitration and Renegotiation of International Investment Agreements, Second Revised and Enlarged Edition, The Hague/Boston/London : Kluwer Law International, 1995., hlm. 309.
118
Disertasi Penerapan Prinsip Keterbukaan atas Putusan Arbitrase ICSID di Indonesia dan Perbandingannya dengan Beberapa Negara - Nurnaningsih Amriani
Pada tahun 2006, Negara Anggota ICSID (contracting state) dan pihak lain yang berkepentingan menyadari semakin pentingnya peningkatan keterbukaan dalam ICSID sehingga beberapa perubahan dilakukan terhadap akses dokumen,14 dimungkinkannya dengar pendapat dalam persidangan secara terbuka,15 ikut sertanya pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa.16 Amandemen penting yang dilakukan terhadap Aturan 48 ayat (4) ICSID Arbitration Rules menjelaskan bahwa tanpa adanya persetujuan kedua belah pihak untuk menerbitkan putusan, Centre akan mempublikasikan “pertimbangan hukum majelis (legal reasoning of the tribunal).”17Amandemen yang serupa juga dilakukan terhadap Pasal 53 ayat (3) Additional Facilitily Arbitration Rules agar dapat memudahkan publikasi putusan tepat pada waktunya. Demikian juga dalam Peraturan 22 Administrative and Financial Regulation bahwa jika terjadi kesepakatan di antara para pihak untuk mempublikasikan putusan arbitrase para pihak maka harus melalui Sekretaris-Jenderal ICSID untuk mengatur publikasi putusan tersebut dalam bentuk yang tepat dengan maksud untuk meningkatkan perkembangan hukum internasional berkaitan dengan investasi. Negara Belanda bahkan telah melakukan publikasi putusan arbitrase sejak tahun akhir 1919 dengan aturan bahwa publikasi identitas lengkap para pihak tidak diijinkan kecuali terdapat persetujuan para pihak.18 Jadi apabila di antara para pihak tidak ada diperjanjikan mengenai kerahasiaan ataupun keterbukaan, maka tidak ada paksaan untuk wajib menjaga kerahasiaan dalam arbitrase ICSID.19
14
PAsal 48 ayat (5) ICSID Arbitration Rules 2006 dan Pasal 53 ayat (3) Additional Facility Arbitration Rules 2006. 15 Aturan 32 ayat (2) ICSID Arbitration Rules 2006 dan Pasal 39 ayat (2) Additional Facility Arbitration Rules 2006. 16 Aturan 37 ayat (2) ICSID Arbitration Rules 2006 dan Pasal 41 ayat (3) Additional Facility Arbitration Rules 2006. 17 Meg Kinnear, Eloise Obadia and Michael Gagain, dalam Alberto Malatesta & Rinaldo Sali, The Rise of Transparency In International Arbitration : The Case for the Anonymous Publication of Arbitral Awards, (USA : JurisNet : LLC, 2013), hlm. 116. 18 Jan C. Schultsz, and Albert Jan Van Den Berg, The Art of Arbitration – Essays on International Arbitration Liber Amicorum Pieter Sanders 12 September 1912-1982, (Deventer/The Netherlands : Kluwer Law an d Taxation Publishers, 1982), hlm. 109. 19 Dalam Sengketa Biwater Gauff v. Tanzania, Putusan (ICSID Case No. ARB/05/22), Procedural Order No. 3, tanggal 29 September 2006, Paragraph 121. Pertimbangan ini juga dijadikan referensi oleh Majelis Arbitrase pada pertimbangan dalam sengketa Amco v. Indonesia (1983).
119
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 113-134
Sejak tahun 2003 hingga tahun 2007 meskipun Konvensi ICSID tidak mewajibkan publikasi putusan, ternyata jumlah publikasi putusan lebih banyak dibandingkan yang rahasia20 sebagaimana tabel berikut : Tahun
Putusan Final
Publikasi
Rahasia
2003 2004
15 9
9 6
6 3
2005
13
8
5
2006
13
6
7
2007
21
13
8
Jumlah
71
42
29
Demikian juga periode tahun 2009 sampai tahun 2013 yaitu setelah amandemen ICSID Arbitration Rules, jumlah publikasi putusan lebih banyak seperti dalam tabel berikut : 21 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Jumlah
Putusan Final 25 25 26 19 16 28 139
Publikasi
Rahasia
10 11 18 16 7 12 74
15 14 8 3 9 16 65
Berdasarkan data tersebut jelas bahwa terdapat semangat keterbukaan yang lebih luas yang diinspirasi oleh arbitrase antara investor dengan negara. Berdasarkan penelitian disimpulkan beberapa alasan perlunya keterbukaan putusan, antara lain : 1.
Putusan Arbitrase ICSID sebagai Preseden sehingga Tercipta Kepastian Hukum Putusan Majelis Arbitrase ICSID yang telah dipublikasi mencantumkan
pertimbangan yang turut membantu pembangunan hukum arbitrase internasional, sebagaimana dikatakan William W. Park, Presiden dari LCIA (London Court of
20
Sumber : diolah dari data yang dimuat https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=CasesRH&reqFrom=Main&actionVal=Vie wAllCases., diakses tanggal 31 Desember 2013. 21 Ibid.
120
Disertasi Penerapan Prinsip Keterbukaan atas Putusan Arbitrase ICSID di Indonesia dan Perbandingannya dengan Beberapa Negara - Nurnaningsih Amriani
International Arbitration).22
Menurut Mauro Rubino,23 efek mengikatnya putusan
arbitrase yang sebelumnya dikenal dengan aturan stare decisis secara umum tidak ditemukan dalam arbitrase. Jika pada akhirnya terdapat preseden pada putusan arbitrase maka hal tersebut berarti ”to be psychologically binding in nature,” secara psikologi mengikat karena sifatnya. Berkaitan dengan hal tersebut Komite Ad Hoc ICSID mengatur dalam Putusan Indonesia v. Amco Asia Corp.,24 bahwa tidak adanya efek mengikat, bukan merupakan masalah melainkan hanya memperhatikan putusan yang ada sebelumnya. Sengketa Malaysian Historical Salvors, SDN, BHD v. Malaysia (ICSID Case No. ARB/05/10) tanggal 17 Mei 2007 adalah putusan ICSID yang mempertimbangkan pentingnya preseden yang ada mengenai investasi. Putusan yang dapat di akses oleh publik akan mempengaruhi arbiter sebagai pengambil keputusan untuk tetap konsisten dengan putusan yang telah diambilnya. 2.
Keterbukaan Putusan Menciptakan Perlindungan Hukum bagi Para Pihak dan Pelaksanaan Putusan, Meminimalisir Resiko Mendatang sehingga Meningkatkan Kepercayaan Kepada Arbitrase Pemilihan penyelesaian sengketa ICSID sebelumnya telah disepakati dalam BIT
antara investor dan negara tujuan investasi yang mengatur hak substantif investor untuk melindungi investasi. Sekitar 3200 BIT telah ada dalam perjanjian internasional. Negara tertentu bahkan telah mempraktekkan keterbukaan dan menjamin tersedianya undangundang yang mempromosikan investasi, misalnya di Venezuela melalui Pasal 22 Law No. 356 tanggal 3 Oktober 1999 tentang promosi dan perlindungan investasi asing yang telah menerima keterbukaan secara luas dalam konteks beberapa arbitrase antara investor dan host state, dimana telah diterapkan pertimbangan putusan Mobil v. Bolivarian Republic of Venezulea (ICSID Case No. ARB/07/27) putusan tanggal 10 Juni 2010 tentang putusan jurisdiksi. Bahkan senyatanya terdapat negara yang menerobos kewajiban yang telah ditentukan oleh hukum internasional tetapi hal itu tidak dianggap bahwa negara tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang tidak adil, seperti pertimbangan dalam sengketa
22
Horacio A. Grigera Naon and Paul E. Mason, International Commercial Arbitration Practice : 21 Century Perspectives, (United Kingdom : LexisNexis, 2011), Sec.no.4.03. 23 Mauro Rubino-Sammartano, World Litigation Law and Practice, (New York : Matthew Bender, 1986), hlm. 16. 24 Sengketa Amco Asia Corporation and others v. Republic of Indonesia (ICSID Case No. ARB/81/1), ICSID ad hoc Committee, tanggal 16 Mei 1986, dalam Yearbook Commercial Arbitration, Vol. XII, tahun 1987, hlm. 138. st
121
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 113-134
Metalclad Corporation v. United Mexican States dan sengketa CMS Gas Transmission Company v. Argentine Republic25 Pelaksanaan putusan akhir adalah tujuan utama bagi investor yang dirugikan oleh host state maupun sebaliknya, di mana ICSID menyediakan sistem yang paling menguntungkan untuk melaksanakan putusan terhadap negara dan mengikat tanpa bantuan pengadilan nasional,26 sehingga publikasi putusan dan pertimbangannya akan melindungi pelaksanaan putusan,27 juga turut menjamin tidak adanya perubahan amar putusan oleh pihak yang beritikad buruk. Kemudian meminimalkan resiko masa mendatang melalui dasar kebenaran proses arbitrase,28 sebagai pembenaran berkaitan dengan manfaat jangka menengah dan jangka panjang, termasuk pengoperasian dalam kewenangan asing dan penegakan putusan. Publikasi putusan juga dapat membantu para pihak dalam menghindari sengketa di masa yang akan datang karena para pihak dapat mempelajari kesalahan masing-masing pihak satu sama lain.29 Keterbukaan putusan arbitrase menyebabkan para pihak telah dapat menilai arbiter mana yang baik dan negara juga dimungkinkan dapat mengubah aturan substanstif dan prosedural yang ada pada kesempatan berikutnya di masa mendatang,30 sehingga dapat mencegah sengketa di masa mendatang. Selain itu dengan keterbukaan putusan, maka baik investor maupun host state akan menciptakan suasana investasi yang kondusif satu sama lain, investor melakukan investasi dengan baik dan host state akan memastikan bahwa regulasi yang ditetapkan tidak akan merugikan investor sehingga tidak terjadi sengketa yang akan menurunkan “image” investor dan minat investasi terhadap host state. Putusan yang beralasan hukum dan kemudian dipublikasi, akan menimbulkan kepercayaan publik terhadap Majelis
25
Metalclad Corporation v. United Mexican States, (ICSID Case No. ARB (AF)/97/1) putusan tanggal 30 Agustus 2000 ; dan CMS Gas Transmission Company v. Argentine Republic, (ICSID Case No. ARB/01/8) tanggal 17 Juli 2003. 26 Pasal 51 ayat (1) Konvensi ICSID 27 Aturan 48 ayat (4) ICSID Arbitration Rules. 28 Cornel Marian, “Suistainable Investment Through Effective Resolution of Investment DisputeIs Transparency the Answer?,” SRRN Journal, hlm. 9, diakses dari http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2070676 , tanggal 25 Januari 2013. 29 Cindy B. Guys., “The Tension Between Confidentiality and Transparency in International Arbitration,” The American Review of International Arbitration, Vol. 14/2003, diakses dari http://ssrn.com., hlm. 136-137. 30 Delaney & Magraw, Procedural Transparency, The Oxford Handbook of International Investment Law, 2008, hlm. 762.
122
Disertasi Penerapan Prinsip Keterbukaan atas Putusan Arbitrase ICSID di Indonesia dan Perbandingannya dengan Beberapa Negara - Nurnaningsih Amriani
Arbitrase yang netral dan tidak memihak. Putusan Kardassapolous and Fuchs v. Georgia31 menggambarkan pentingnya mengandalkan kepercayaan. 3.
Keterbukaan Putusan Mewujudkan Keadilan, Prediktabilitas Putusan, Meningkatkan Kualitas Putusan dan Rasionalitas Sengketa Keterbukaan putusan merupakan bagian dari penyelesaian sengketa yang adil dan
seimbang, bentuk perlindungan dan keamanan sebagai elemen standar penyelesaian sengketa dalam hukum internasional seperti pertimbangan putusan sengketa Mondev,32 putusan Waste Management v. Mexico, ditahun 2004,33 putusan MTD Equity v. Chile ditahun 2004,34 Putusan CMS v. Argentina35 dan putusan Occidental v. Ecuador.36 Jadi perlindungan terhadap investor dapat dilakukan melalui keterbukaan putusan arbitrase karena penyelesaian sengketa dapat diprediksi, menjamin keseimbangan dan keadilan putusan bagi para pihak sebab keadilan tidak hanya suatu prinsip tapi juga keinginan tiap individu, sebagaimana dikatakan W. Friedman.37 Melalui publikasi putusan maka kualitas putusan akan meningkat dan sengketa hukumnya menjadi lebih rasional serta para pihak akan menggantungkan pengalaman dan harapan atas putusan yang telah ada. 4.
Keterbukaan Putusan sebagai Bentuk Perwujudan Asas Pemerintahan Yang Baik (Good Governance). Perlindungan investor yang dicapai melalui publikasi putusan juga berkaitan
dengan cerminan asas-asas pemerintahan yang baik karena dengan adanya pemerintahan
31
Sengketa Kardassapolous and Fuchs v. Georgia, Putusan akhir, (ICSID Case No. ARB/05/18) dan (ICSID Case No. ARB/07/15), tanggal 3 Maret 2010, paragraph. 12 32 Sengketa Mondev International Ltd. v. United States, (ICSID Case No. ARB(AF) /99/2), putusan tanggal 11 Oktober 2002, paragraph 116, diakses dari http://www.investmentclaims.com/decisions/Mondev-US-Award-11Oct2002.pdf danhttp://www.state.gov /documents/organization/14442.pdf. 33 Sengketa Waste Management v. Mexico (ICSID Case No. ARB(AF)/98/2), Putusan tanggal 30 April 2004, paragraph 98, diakses dari http://www.investmentclaims.com/decisions/WasteMgmt-Mexico2-FinalAward-30Apr2004.pdf 34 Sengketa MTD Equity Sdn. Bhd. and MTD Chile S.A. v. Republic of Chile (ICSID Case No. ARB/01/7), Putusan tanggal 25 Mei 2004, paragraph 113, diakses dari http://www.investmentclaims.com/decisions/MTDChile-Award-25May2004.pdf dan http://www.asil.org /ilib/MTDvChile.pdf. 35 Sengketa CMS Gas Transmission Company v. Argentine Republic (ICSID Case No. arb/01/8), Putusan tanggal 12 Mei 2005, paragraph 276 dan 278, diakses dari http://www.investmentclaims.com/decisions/CMS-Argentina-FinalAward-12May2005.pdf dan https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=GenCaseDtlsRH&actionVal=ListConclude d. 36 Sengketa Occidental Exploration and Production Company v. Ecuador, (ICSID Case No. ARB/06/11), putusan tanggal 1 Juli 2004, paragraphs 185-191, http://www.investmentclaims.com/decisions/Occidental-Ecuador-FinalAward-1Jul2004.pdf 37 W. Friedmann, Legal Theory, Fourth Edition, London : Stevens & Sons Limited, 1960, hlm. 103-104.
123
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 113-134
yang baik dan bertanggung jawab maka akan menghasilkan produk regulasi yang baik yang akan mendorong warganya berbuat baik, hasilnya akan meningkatkan investasi dari investor yang baik pula. Ini merupakan bentuk teori integrasi yang dicetuskan oleh seorang ahli hukum Jerman bernama Smend,38 5.
Keterbukaan Proses dan Putusan Arbitrase Menarik Partisipasi Pihak Ketiga. Diterimanya partisipasi pihak ketiga sebagai “amicus curiae”39 ke dalam suatu
sengketa arbitrase investasi menurut Buckley & Blyschak40 sebagai bentuk keseriusan ICSID menuju keterbukaan bahwa ICSID menunjukkan betapa seriusnya pemberlakuan keterbukaan dan partisipasi pihak lain dan ICSID bertanggung jawab tidak hanya untuk anggotanya, tetapi juga untuk perwakilan ICSID. Hasil amandemen Aturan 37 ICSID Arbitration Rules mendukung ikut sertanya “amicus curiae” dalam arbitrase ICSID untuk kondisi tertentu. Putusan Sengketa Methanex41 menggarisbawahi pentingnya masyarakat untuk mengomentari isu-isu yang mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung. Perkara ini adalah majelis pertama yang menarik para pihak atau pihak lain sebagai amicus curiae42 untuk berpartisipasi dalam proses persidangan arbitrase dan Perkara lain yaitu European Commission sebagai Amicus Curiae adalah dalam sengketa AES v. Hungary,43 sengketa Pac Rim Cayman LLC v. Republic of El Salvador,44 dan segketa The Rompetrol Group N.V. v. Romania.45 Majelis arbitrase yang juga mengakui 38
Ibid., hlm. 191. Amicus curiae or “friend of the court” means a “person who is not a party to a lawsuit but who petitions the court or is requested by the court to file a brief in the action because that person has a strong interest in the subject matter”, dalam Black's Law Dictionary, 7th edn, (Paul Minn : Thomson West, 2004), hlm.93. 40 Ross P. Buckley & Paul Blyschak, “Guarding the Open Door : Non-Party Participation Before the International Centre fo Settlement of Investment Disputes,” Banking & Finance Law Review, Juni 2007, 22, 3, hlm. 365 41 Sengketa Methanex Corp. v. United States, Putusan Mahkamah Arbitrase terhadap permohonan pihak ketiga untuk ikut serta sebagai Amicus Curiae (NAFTA Chapter 11 Arbitration Tribunal 15 Januari 2001), lihat juga dalam Methanex Corp. v. United States, Putusan Akhir (NAFTA Chapter 11 Arbitration Tribunal 3 Agustus 2005), lihat juga Marie-Claire Cordonier, et.al. (eds), Sustainable Development in World Investment Law, (London : Kluwer, 2011), hlm. 195. 42 “Amicus curiae” adalah pihak ketiga yang bukan sebagai salah satu pihak dalam perkara dan memiliki kepentingan. 43 Lihat sengketa AES v. Hungary, Putusan Akhir, (ICSID Case No. ARB/07/22), paragraph 7.6.6. 44 Lihat sengketa Pac Rim Cayman LLC v. Republic of El Salvador (ICSID Case No. ARB/09/12), di mana terdapat undangan bagi pihak ketiga sebagai amicus curiae tanggal 02 Februari 2011, yang selanjutnya terbit aplikasi untuk ijin masuknya amicus curiae pada tanggal 02 Maret 2011 sehingga terdapat ikut sertanya Amerika Serikat pada tanggal 20 Mei 2011 dan ikut sertanya Costa Rica pada tanggal 20 Mei 2011. 45 Lihat sengketa The Rompetrol Group N.V. v. Romania (ICSID Case No. ARB/06/3), putusan tanggal 14 Januari 2010 yang memberi kesempatan partisipasi penasehat (counsel). 39
124
Disertasi Penerapan Prinsip Keterbukaan atas Putusan Arbitrase ICSID di Indonesia dan Perbandingannya dengan Beberapa Negara - Nurnaningsih Amriani
adanya kepentingan publik adalah Aguas Argentinas S.A., Suez, Sociedad General de Aguas de Barcelona SA and Vivendi Unibersal SA., v. The Argentina Republic46 yang pertimbangannya merespon petisi untuk transparansi dan mengijinkan partisipasi pihak ketiga sebagai “Amicus Curiae.” 6.
Keterbukaan Putusan Membantu Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Identifikasi Aturan Arbitrase Investasi Internasional. Kewajiban kerahasiaan tidak diinginkan dalam suatu putusan arbitrase yang
melibatkan salah satu pihaknya adalah negara karena akan menghilangkan pengetahuan publik dan informasi yang berkaitan dengan pemerintah dan perkara publik.47 Dengan keterbukaan maka akan menjawab kebutuhan generasi mendatang sebagaimana dikatakan Marian48 bahwa ”prosedural transparancy in investment arbitration guarantees that decisions reached by arbitral tribunals are sound for the development of legal resources to secure and serve the needs of future generation.” B. Penerapan Prinsip Keterbukaan Putusan Arbitrase ICSID di Indonesia dan Perbandingannya dengan Beberapa Negara Kegiatan penanaman modal asing di suatu negara di batasi oleh peraturanperaturan dari negara asal investor asing (governance by the home nation/home state), negara tuan rumah di mana investor asing menanamkan modalnya (governance by the host nation/host state) dan juga hukum internasional yang terkait (governance by multi nation organizations and international law).49 Pengaturannya termasuk pembatasanpembatasan di bidang penanaman modal asing oleh host state yang pada dasarnya merupakan kewenangan negara yang berasal dari kedaulatannya (sovereignty).50 Dengan perkembangan hukum internasional maka membawa dampak bagi negara sedang
46
Sengketa Aguas Argentinas S.A., Suez, Sociedad General de Aguas de Barcelona SA and Vivendi Unibersal SA., v. The Argentina Republic (ICSID Case No. ARB/03/19) , tanggal 19 Mei 2005, paragraph 19-23, diakses dari https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=GenCaseDtlsRH&actionVal=ListConclude d 47 Dalam sengketa The Loewen Group, Inc. and Raymond L. Loewen v. United States of America (ICSID Case No. ARB (AF)/98/3), Putusan tanggal 26 Juni 2003, diakses dari http://www.state.gov/documents/organization/3998.pdf. 48 Cornel Marian, “Sustainable Investment Through Effective Resolution of Investment Disputes – Is Transparency The Answer?,” Social Science Research Network (SSRN), hlm. 4., diakses dari http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2070676., pada tanggal 10 Desember 2013. 49 Ralph H. Folsom, Michael W. Gordon & John A. Spanogle, Jr., Principles of International Business Transactions, Trade & Economic Relations, (Thomson West, 2005), hlm. 557-563. 50 M. Sonarajah, The International Law on Foreign Investment, 2nd Ed., (Cambridge : Cambridge University Press, 2004), hlm. 97.
125
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 113-134
berkembang yang akan semakin kehilangan esensi kedaulatannya terutama dalam menghadapi negara maju,51 namun dengan penyelesaian sengketa melalui ICSID, di mana serta merta menghilangkan perlindungan politik terhadap investor dari negara asalnya yang umumnya negara maju, maka arbitrase ICSID dapat dipilih sebagai mekanisme penyelesaian sengketa yang melindungi kedaulatan negara. Kedaulatan negara juga berkaitan dengan kewenangan negara untuk melakukan publikasi putusan. Meskipun sistem arbitrase ICSID berbeda dengan institusi arbitrase internasional lainnya misalnya arbitrase komersial, namun berasal dari benih yang sejenis, bahkan preseden dan prosedur dari konteks arbitrase juga dipindahkan ke dalam arbitrase komersial dan saat ini juga banyak dari putusan arbitrase komersial telah dipublikasikan, sebagaimana diungkapkan Lon L. Fuller52 bahwa “transparency is an inherent feature of the Rule of Law.” 1.
Penerapan Prinsip Keterbukaan Arbitrase di Malaysia. Malaysia membedakan pengaturan arbitrase nasional dan internasional dalam
”Act 646 tentang Arbitration Act 2005” yang berlaku sejak 15 Maret 2006 yang disusun berdasarkan ”UNCITRAL Model Law,” yang diamandemen tahun 2011 menjadi ”Arbitrase Bill 2010” yang bertujuan untuk mengatasi inkonsistensi dalam menafsirkan ketentuan sebelumnya dan lebih mewakili keinginan masyarakat dalam melakukan arbitrase. Undang-Undang ini juga berlaku jika suatu sengketa melibatkan pemerintah dan komponen pemerintah Malaysia. Di Malaysia terdapat lembaga arbitrase KLRCA (Kuala Lumpur Regional Center For Arbitration) yang menggunakan KLRCA Arbitration Rules Revisi Tahun 2013 yang mengatur kerahasiaan putusan arbitrase komersial dalam Pasal 15 KLRCA Arbitration Rules Revisi Tahun 2013 dan Pasal 18 KLRCA Fast Tract Arbitration Rules Revisi Tahun 2013, dengan memberi batasan mengenai lingkup kewajiban kerahasiaan dan memberi pengecualian kerahasiaan untuk hal tertentu.53 Malaysia telah menandatangani 70 BIT,54 dimana 37 BIT tidak menyinggung masalah kerahasiaan dalam perjanjian 51
Martin Khor Kok Peng, Imperialisme Ekonomi Baru Putaran Uruguay dan Kedaulatan Dunia Ketiga, (terjemahan Wandi S. Brata), (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 5-7. 52 Lon L. Fuller, The Morality of Law, ed.rev., (1964), hlm. 42-44. 53 Hal ini juga sesuai wawancara dengan MR. Lim Chee Wee, President of The Malaysian Bar, Tan Sri Dato’ Seri MD Raus Bin Syarif, President Court of Appeal Malaysia (setingkat Ketua Pengadilan Tinggi di Indonesia) dan Datuk Sundra Rajoo dari KLRCA, pada tanggal 20 Maret 2013 dalam International Seminar KLRCA, berjudul “Effective Dispute Resolution : A Malaysian Perspektive”, di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta yang diselenggarakan oleh KLRCA (Kuala Lumpur Regional Center For Arbitration). 54 Sumber : www.investmentpolicyhub.unctad.org/IIA/CountryBits/127#IiaInner/Menu.
126
Disertasi Penerapan Prinsip Keterbukaan atas Putusan Arbitrase ICSID di Indonesia dan Perbandingannya dengan Beberapa Negara - Nurnaningsih Amriani
investasinya. Kemudian dari 4 (empat) sengketa penanaman modal yang melibatkan Malaysia sebagai Tergugat yang diselesaikan melalui ICSID, hanya 1 (satu) putusan yang rahasia yaitu sengketa Philippe Gruslin v. Malaysia (ICSID Case No. ARB/94/1) sedangkan 3 (tiga) sengketa lainnya telah mempublikasi putusannya, yaitu55 Philippe Gruslin v. Malaysia (ICSID Case No. ARB/99/3), Malaysian Historical Salvors, SDN, BHD v. Malaysia (ICSID Case No. ARB/05/10) dan MTD Equity Sdn Bhd v. MTD Chile SA (ICSID Case ARB/01/07), dimana Sengketa Malaysian Historical Salvors adalah sengketa pertama yang mempublikasi seluruh pembelaan para pihak.56 2.
Penerapan Prinsip Keterbukaan Arbitrase di Singapura. Singapura adalah negara yang menganut sistem common law yang didasarkan
pada tradisi common law Inggris dengan sistem double-track, yaitu arbitrase domestik diatur dalam ”Chapter 10 Arbitration Act (Edisi Revisi 2002) yang berlaku sejak 1 Maret 2002. Sedangkan arbitrase internasional dalam ”Chapter 143A International Arbitration Act” (IAA) tahun 1994 sebagaimana perubahannya tahun 2002.57
Singapura telah
menandatangani 45 BIT58 dan 20 BITtidak menyinggung masalah kerahasiaan dalam perjanjian investasinya. Singapura mengadopsi ”Rezim Keterbukaan” bagi arbitrase internasional dengan membolehkan ”counsel of all jurisdiction” untuk ikut serta berpartisipasi dalam proses arbitrase yang mendukung Singapura tidak pernah terlibat sebagai salah satu pihak dalam sengketa arbitrase dan sebagai peringkat pertama versi Bank Dunia sebagai pelaksana bisnis terbaik dengan regulasi yang baik dan netralitas yang tinggi. Singapura juga telah dipilih menjadi tempat penyelesaian sengketa dalam arbitrase ICSID, misalnya penyelesaian sengketa White Industries v. India dan perkara Phillip Morris v. Australia. Meskipun Singapura belum pernah mengajukan atau dituntut melalui arbitrase ICSID, namun Singapura tidak mewajibkan kerahasiaan dalam arbitrase secara tertulis dalam undang-undangnya dan tidak diatur secara limitatif tentang kewajiban kerahasiaan arbitrase.
55
Sumber : https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet. John P. Given, “Malaysian Historical Salvors v. Malaysia : An End To the Liberal Definition of Investment in ICSID Arbitration?, westlaw31LYLAICLR 467, 31 Loy, Summer 2009. 57 Benny S. Tabalujan, Singapore Business Law, second edition, (Singapore : Business Law Asia, 2000), hlm. 52-53. 58 Sumber : www.investmentpolicyhub.unctad.org/IIA/CountryBits/190#IiaInner/Menu. 56
127
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 113-134
3.
Penerapan Prinsip Keterbukaan Arbitrase di Jepang Jepang mengatur mengenai arbitrase melalui Arbitration Law (Law No. 138 of
2003)59 yang berlaku sejak 1 Maret 2004. Putusan arbitrase yang dibuat di dalam dan di luar Jepang memiliki efek yang sama seperti putusan final dan konklusif yang pelaksanaannya dijamin oleh UU Arbitrase Jepang. Sampai saat ini, belum ada sengketa mengenai arbitrase di Jepang, karena umumnya sengketa perdata diselesaikan melalui mediasi dan konsiliasi untuk menjaga harmoni sesuai tradisi ADR.60 Jepang adalah investor utama di kawasan Asia dan seluruh dunia, namun hingga saat ini hanya satu sengketa investasi yang mempersoalkan tentang perjanjian arbitrase yaitu perusahaan Belanda yang berada di bawah kerjasama Jepang dan mengajukan klaim terhadap Czech Republic sesuai BIT antara Belanda dan Republik Czechna (Saluka Investments BV., v. Czech Republic, IIC 210 2006). 61 Jepang menandatangani 24 BIT,62 dan sangat memperhatikan soal keterbukaan sehingga hampir seluruh BIT mencantumkan pasal mengenai keterbukaan (transparency) dengan memberikan batasan mengenai kerahasiaan dalam pasal yang sama, kecuali BIT Jepang dengan 7 negara yaitu : Bangladesh, China, Hongkong, Mesir, Pakistan, Sri Lanka, dan Turki yang tidak mengatur mengenai keduanya melainkan menyerahkan pada para pihak jika timbul sengketa di kemudian hari.63 Kemudian dalam 17 BIT
terdapat pengaturan yang
mewajibkan Jepang untuk mempublikasikan segala aturan yang berlaku dan keputusan pengadilan mengenai investasi antara kedua negara tersebut.64 Dalam Aturan 52 ayat (1) JCAA65 mengakomodasi akses pihak ketiga yang bukan termasuk pihak untuk ikut serta menjadi pihak dalam sengketa, seperti yang diatur
59
Versi Bahasa Inggris dapat diunduh melalui www.kantei.go.jp /foreign/policy/sihou/law032004_e.html. 60 Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta : Chandra Pratama, 2001), hlm. 104, sebagaimana dikutip dari Dan Fenno Henderson, Conciliation and Japanese Law-Tokugawa and Modern Vol. II, (Seattle : University of Washington Press, Tokyo : University of Tokyo Press, 1965), hlm. 218-220. 61 Vivienne Bath and Luke Nottage, “Foreign Investment and Dispute Resolution Law and Practice in Asia : An Overview Legal Studies Research Paper No. 11/20, March 2011, diakses dari http://ssrn.com/abstract=1789306. 62 Sumber : www.investmentpolicyhub.unctad.org/IIA/CountryBits/105#IiaInner/Menu. 63 Lihat http://www.unctadxi.org/templates/DocSearch.aspx?id=779 64 Tatsuya Nakamura, “Salient Features of the New Japanese Arbitration Law Based Upon The UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration,” Japan Commercial Arbitration News Letter, Number 17, April 2004, The Japan Commercial Arbitration Association (JCAA), hlm. 1-2. 65 Amandemen 2014, Aturan 52 (1) JCAA.
128
Disertasi Penerapan Prinsip Keterbukaan atas Putusan Arbitrase ICSID di Indonesia dan Perbandingannya dengan Beberapa Negara - Nurnaningsih Amriani
dalam Aturan 32 ayat (2) ICSID Arbitration Rules.66 Kemudian hasil amandemen aturan JCAA tanggal 1 Februari 2014 dalam Aturan 52 memberikan peluang masuknya pihak ketiga untuk ikut dalam sengketa atas persetujuan para pihak. Dari aturan Pasal 39 Arbitration Law Nomor 138 Tahun 2003,67 dapat disimpulkan bahwa Jepang menganut keterbukaan putusan arbitrase kecuali disepakati lain oleh para pihak. Dengan aturan keterbukaan arbitrase ICSID tidak menyurutkan jumlah sengketa antara investor dan negara yang dimintakan penyelesaiannya melalui ICSID, sesuai tabel berikut : 60
40
50
20
40
38
37 31 27 27 23 19 12 10 11 10
14
2012
2010
2008
2006
2004
2002
3
2000
3
1998
3
1996
1990
1
1994
2
1
1992
4
1988
1
1986
3
4
1984
2
1982
2
1
1980
2
1978
1
1976
1974
1
1972
0
4
25 26 21
Sumber : The ICSID Caseload-Statistics (Issue 2014-1), melalui https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=ICSIDDocRH&actionVal=CaseLoadStatist ics, diakses tanggal 30 Juni 2014.
Sejak ICSID didirikan tahun 1965, sebanyak 159 negara telah menandatangani dan hanya 9 negara yang belum meratifikasi ke dalam peraturan nasionalnya. Kemudian terhitung sejak tahun 1972 hingga tanggal 31 Desember 2013, tercatat sebanyak 163 sengketa di hentikan pemeriksaannya (pending cases) dan 287 sengketa yang diselesaikan oleh ICSID hingga putusan akhir (concluded cases). Kemudian putusan akhir ICSID lebih banyak dipublikasi dan terbuka untuk umum sebagai bentuk pertanggungjawaban negara kepada warganya dan kepada publik menuju terpenuhinya asas-asas pemerintahan yang baik (good governance) dan umumnya para pihak telah menyepakati keterbukaan putusan dalam BIT. Luke Nottage & Kate Miles, “Back To The Future For The Investor-State Arbitrations : Revising Rules In Australia and Japan To Meet Public Interests,” Research Paper No. 08/62, June 2008, diakses dari http://ssrn.com/abstract=1151167. 67 Pasal 39 Japan Arbitration Law. 66
129
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 113-134
Dari jumlah sengketa yang dipublikasi dan rahasia, dapat diuraikan bahwa negara yang menganut keterbukaan putusan secara luas sebanyak 21 negara, yang menganut kerahasiaan putusan sebanyak 35 negara dan yang menganut secara alternatif sebanyak 49 negara. Oleh karenanya saat ini terbukti bahwa telah terjadi perbedaan yang tinggi mengenai keterbukaan dan kerahasiaan putusan arbitrase, bahkan sebagian besar negara di dunia memilih untuk tidak tegas mengikuti kerahasiaan putusan, melainkan mengaturnya secara alternatif sesuai dengan kesepakatan. 4.
Prinsip Keterbukaan di Indonesia Indonesia telah 6 (enam) kali terlibat dalam sengketa investasi yang diselesaikan
melalui Lembaga ICSID yaitu Sengketa Amco Asia Corporation and others v. Republic of Indonesia (ICSID Case No. ARB/81/1), Sengketa Churchill Mining and Planet Mining Pty Ltd, formerly v. Republic of Indonesia (ICSID Case No. ARB/12/40 dan 12/14), Sengketa Government of the Province of East Kalimantan v. PT Kaltim Prima Coal and others (ICSID Case No. ARB/07/3), Sengketa Churchill Mining and Planet Mining Pty Ltd, formerly v. Republic of Indonesia (ICSID Case No. ARB/12/14 and 12/40), Sengketa Cemex Asia Holdings Ltd v. Republic of Indonesia (ICSID Case No. ARB/04/3) dan Sengketa Rafat Ali Rizvi v. Republic of Indonesia (ICSID Case No. ARB/11/13), namun tidak pernah menang sehingga Indonesia harus membayar ganti kerugian yang jumlahnya sangat besar akibat regulasi yang tidak konsisten. Penanaman modal diperlukan untuk mengolah potensi ekonomi. Untuk mencapai cita-cita tersebut diperlukan iklim penanaman modal yang kondusif, memberikan kepastian hukum, adil dan efisien tanpa mengurangi terpenuhinya kepentingan ekonomi nasional sebagaimana latar belakang dibentuknya UU PMA. Pasal 3 UU PMA mengatur asas keterbukaan yang dalam penyelenggaraan penanaman modal diperlukan selain kepastian hukum, akuntabilitas, perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara, kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian dan keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Para pelaku pasar modal dituntut untuk menerapkan prinsip keterbukaan, sehingga para pemodal dapat diberikan perlindungan optimal terhadap praktek yang merugikan. Asas keterbukaan ini mengacu pada prinsip-prinsip universal yang berlaku pada praktik pasar modal internasional.68
68
130
Iman Sjahputra, Pengantar Hukum Pasar Modal, (Jakarta : Harvarindo, 2012), hlm. 83.
Disertasi Penerapan Prinsip Keterbukaan atas Putusan Arbitrase ICSID di Indonesia dan Perbandingannya dengan Beberapa Negara - Nurnaningsih Amriani
Secara umum publikasi putusan pengadilan diatur dalam Pasal 17 UndangUndang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) tepatnya Pasal 17 huruf k dan Pasal 18 ayat (1) huruf a. Namun dalam Pasal 27 UU Arbitrase menegaskan sifat kerahasiaan penyelesaian arbitrase di Indonesia. Akan tetapi kenyataan yang ada saat ini di Indonesia telah banyak putusan arbitrase yang dipublikasi, baik itu akibat permintaan exequatur guna pelaksanaan putusan kepada Mahkamah Agung maupun atas kemauan para pihak sendiri. Begitu juga dalam perkembangan terbaru dari instrumen investasi internasional yang tercantum dalam BIT yang dimiliki oleh Indonesia, misalnya BIT antara Indonesia dan India tahun 2004 tidak menyinggung mengenai isu prosedural keterbukaan secara umum dan keterbukaan putusan arbitrase secara khusus, namun menyerahkan pada keputusan arbitrase ICSID atau arbitrase UNCITRAL mendatang jika terjadi sengketa. Indonesia telah menandatangani 71 BIT69 dan 43 BIT tidak ada yang menyinggung mengenai isu prosedural keterbukaan, kecuali 2 jenis BIT yang mencantumkan soal keterbukaan dalam perjanjiannya yaitu Pasal 10 BIT antara Indonesia dengan Australia dan Pasal 13 BIT antara Indonesia dengan Serbia. Meningkatnya jumlah publikasi putusan mendukung peningkatan jumlah sengketa di ICSID. Namun karena adanya inkonsistensi hukum di Indonesia mengenai keterbukaan menghalangi populernya prinsip ini, padahal putusan arbitrase ICSID yang melibatkan Indonesia, sebagian besar telah terbuka untuk umum. III. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disertasi ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Pertama, Pasal 48 ayat (4) Arbitration Rules, Pasal 53 ayat (3) ICSID Arbitration Additional Facility Rules dan Peraturan 22 Administrative and Financial Regulation mengatur kewajiban majelis untuk mempublikasi kutipan pertimbangan hukumnya, hal tersebut didukung oleh beberapa alasan yaitu putusan arbitrase ICSID sebagai preseden sehingga tercipta kepastian hukum, menciptakan perlindungan hukum, melindungi pelaksanaan putusan dan meminimalisir resiko mendatang, mewujudkan keadilan, prediktabilitas putusan, meningkatkan kualitas putusan dan rasionalitas sengketa, keterbukaan putusan sebagai bentuk perwujudan asas
69
Sumber : http://investmentpolicyhub.unctad.org/IIA/CountryBits/97#iiaInnerMenu, diakses tanggal 2 Februari 2015.
131
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 113-134
pemerintah yang baik, dapat menarik partisipasi pihak ketiga, serta membantu pengembangan ilmu pengetahuan dan identifikasi aturan arbitrase investasi internasional. Kedua, aturan mengenai keterbukaan putusan arbitrase ICSID berbeda di beberapa negara anggota ICSID karena perbedaan sistem hukum. Di Malaysia, tidak mengatur keterbukaan dan kerahasiaan secara tegas. Di Singapura dan Jepang menganut rezim keterbukaan arbitrase secara luas yaitu terbukanya proses persidangan arbitrase, dibolehkannya partisipasi pihak ketiga dan publikasi putusan arbitrase, serta sebagian besar negara lainnya menyerahkan keterbukaan dan kerahasiaan putusan arbitrasenya kepada kesepakatan para pihak. Ketiga, arbitrase di Indonesia mengatur tentang kewajiban kerahasiaan proses dan putusan arbitrase komersial dalam UU Arbitrase namun dalam investasi terdapat 43 BIT yang tidak menyinggung isu keterbukaan dan kerahasiaan, bahkan 2 BIT mewajibkan publikasi, hal mana sesuai dengan UU PMA, UU KIP, UU Kekuasaan Kehakiman, SK KMA Nomor 144/KMA/SK/VIII/2007 dan SK KMA Nomor 1-144/KMA/SK/I/2011, padahal publikasi putusan tidak menimbulkan masalah, melainkan membantu mewujudkan pelaksanaan good governance. IV. DAFTAR PUSTAKA Buckley, Ross P. & Paul Blyschak, “Guarding the Open Door : Non-Party Participation Before the International Centre fo Settlement of Investment Disputes,” Banking & Finance Law Review, Juni 2007. Delaney & Magraw, “Procedural Transparency,” The Oxford Handbook of International Investment Law, 2008, hlm. 762-763. Malatesta, Alberto dan Rinaldo Sali, The Rise of Transparency In International Arbitration : The Case for the Anonymous Publication of Arbitral Awards, USA : JurisNet : LLC, 2013. Marian, Cornel. “Sustainable Investment Through Effective Resolution of Investment Disputes – Is Transparency The Answer?,” hlm. 4., diunduh dari http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2070676. Nakamura, Tatsuya. “Salient Features of the New Japanese Arbitration Law Based Upon the UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration,” JCA News Letter, Number 17, April 2004, The Japan Commercial Arbitration Association (JCAA), hlm. 1-2. Naon, Horacio A. Grigera, and Paul E. Mason, International Commercial Arbitration Practice : 21st Century Perspectives, United Kingdom : LexisNexis, 2011.
132
Disertasi Penerapan Prinsip Keterbukaan atas Putusan Arbitrase ICSID di Indonesia dan Perbandingannya dengan Beberapa Negara - Nurnaningsih Amriani
Nottage, Luke & Kate Miles, “Back To The Future For The Investor-State Arbitrations : Revising Rules In Australia and Japan To Meet Public Interests,” Research Paper No. 08/62, June 2008, diakses dari http://ssrn.com/abstract=1151167 Peng, Martin Khor Kok, Imperialisme Ekonomi Baru Putaran Uruguay dan Kedaulatan Dunia Ketiga, terjemahan Wandi S. Brata, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1993. Peter, Wolfgang. Arbitration and Renegotiation of International Investment Agreements, Second Revised and Enlarged Edition, The Hague/Boston/London : Kluwer Law International, 1995. Rajagukguk,Erman. Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Jakarta : Chandra Pratama, 2001. Rubino, Mauro -Sammartano, World Litigation Law and Practice, New York : Matthew Bender, 1986. Seid, Sherif. H. Global Regulation of Foreign Direct Investment, England : Ashgate Publishing Limited, 2002. Shultsz, Jan C. and Albert Jan Van Den Berg, The Art of Arbitration – Essays on International Arbitration Liber Amicorum Pieter Sanders 12 September 19121982, Deventer/The Netherlands : Kluwer Law and Taxation Publishers, 1982. Sjahputra, Iman. Pengantar Hukum Pasar Modal, Jakarta : Harvarindo, 2012. Sonarajah, M. The International Law on Foreign Investment, 2nd Ed., Cambridge : Cambridge University Press, 2004. Tabalujan, Benny S. Singapore Business Law, second edition, Singapore : BusinessLaw Asia, 2000. Wibowo, Basuki Rekso “Prinsip-Prinsip Dasar Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Dagang Di Indonesia,” Jurnal Hukum Yuridika, vol. 16 No. 6, Universitas Airlangga, Nopember-Desember 2001, hlm. 552, 559. Putusan AES v. Hungary, Putusan Akhir, (ICSID Case No. ARB/07/22), tanggal 23 September 2010. Putusan Aguas Argentinas S.A., Suez, Sociedad General de Aguas de Barcelona SA and Vivendi Unibersal SA., v. The Argentina Republic (ICSID Case No. ARB/03/19) , tanggal 19 Mei 2005 Putusan Amco Asia Corporation and others v. Republic of Indonesia (ICSID Case No. ARB/81/1), ICSID ad hoc Committee, tanggal 16 Mei 1986. Putusan Biwater Gauff v. Tanzania, (ICSID Case No. ARB/05/22), tanggal 24 Juli 2008.
133
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 113-134
Putusan CMS Gas Transmission Company v. Argentine Republic, 2005, (ICSID Case No. ARB/01/8), tanggal 12 Mei 2005. Putusan Kardassapolous and Fuchs v. Georgia, Putusan akhir, (ICSID Case No. ARB/05/18) dan (ICSID Case No. ARB/07/15), tanggal 3 Maret 2010. Putusan Malaysian Historical Salvors, SDN, BHD v. Malaysia (ICSID Case No. ARB/05/10), tanggal 17 Mei 2007 Putusan Metalclad Corporation v. United Mexican States, 2000, (ICSID Case No. ARB (AF)/97/1), tanggal 30 Agustus 2000. Putusan Methanex Corp. v. United States (NAFTA Chapter 11 Arbitration Tribunal), tanggal 9 Maret 2004. Putusan Mondev International Ltd. v United States of America, (ICSID Case No ARB/99/2), tanggal 11 Oktober 2002. Putusan MTD Equity Sdn. Bhd. and MTD Chile S.A. v. Republic of Chile (ICSID Case No. ARB/01/7), tanggal 25 Mei 2004, Putusan Occidental Exploration and Production Company v. Ecuador, (ICSID Case No. ARB/06/11), tanggal 1 Juli 2004 dan 5 Oktober 2012. Putusan Pac Rim Cayman LLC v. Republic of El Salvador (ICSID Case No. ARB/09/12), tanggal 02 Februari 2011. Putusan The Loewen Group, Inc. and Raymond L. Loewen v. United States of America (ICSID Case No. ARB (AF)/98/3), tanggal 26 Juni 2003. Putusan The Rompetrol Group N.V. v. Romania (ICSID Case No. ARB/06/3), tanggal 14 Januari 2010. Putusan Waste Management v. Mexico (ICSID Case No. ARB(AF)/98/2), tanggal 30 April 2004.
134
DISERTASI
KOMPETENSI ABSOLUT PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM KONTEKS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN THE ABSOLUT COMPETENCE OF ADMINISTRATIVE COURT BASED ON LAW NUMBER 30 OF 2014 CONCERNING GOVERNMENT ADMINISTRATION
YODI MARTONO WAHYUNADI Disertasi bidang Hukum - Universitas Trisakti Dipertahankan dalam sidang terbuka Doktor Ilmu Hukum pada tanggal 19 Maret 2016 di Kampus Universitas Trisakti, Jakarta ABSTRAK Dalam konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP) kompetensi PTUN tidak hanya Keputusan Tata Usaha Negara akan tetapi mempunyai kompetensi mengadili Tindakan Administrasi. Selain itu pula PTUN mempunyai kompetensi memutus permohonan untuk menentukan penilaian ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang serta permohonan keputusan fiktif positif. Sikap diam atau abainya Badan dan/atau Pejabat pemerintahan terhadap permohonan badan atau seseorang dianggap telah mengeluarkan keputusan. Kompetensi PTUN yang baru lainnya terhadap keputusan Badan atau Pejabat pemerintahan yaitu Upaya Administrasi. UUAP tidak hanya mengatur hukum materiil tetapi juga hukum formil (acara). Untuk itu UUAP harus diubah hanya memuat hukum materiil saja dan perlu adanya perubahan terhadap UU Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengakomodir penegakan hukum materiil. Kata kunci: Pengadilan Tata Usaha Negara, kompetensi, hukum materiil, hukum formil. ABSTRACT In the context of Law Number 30 of 2014 concerning Government Administration the competence of administrative court was not only the decision of the Administration but also has the competence to judge the actions of Administration. In addition administrative court also have competence to decide an application for assessment to determine whether there are elements of authority abuse as well as the application for a fictitious positive decision. However to determine the application for approval of a person or body of civil law are not automatically, but must first be tested through administrative courts. The Government's Administration Law regulates the material law 135
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 135 - 154
and formal law. For the Government's Administration Law should be amended to load any material law and the need for changes to the Administrative Law to accommodate the enforcement of material law. Keywords: administrative court, competence, material law, formal law.
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu negara hukum, memiliki badan peradilan yang merdeka dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman guna menegakan hukum dan keadilan. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945, ”Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. ”Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungaan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. 1 Kompetensi lingkungan badan peradilan diatur dalam Pasal 25 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 1). Peradilan umum adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan pidana dan perdata2 ; 2). Peradilan agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam 3; 3). Peradilan militer adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara tindak pidana militer4 ; 4). Peradilan TUN adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN5. Untuk lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai sub sistem dari sistem peradilan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang RI
1
Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 tersebut di atas, ditegaskan kembali dalam Pasal 1 dan 2 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Catatan tebal dari penulis menunjukan badan peradilan di Mahkamah Agung dalam lingkungan peradilan tata usaha Negara yang menjadi objek kajian dalam disertasi ini adalah Pengadlan Tata Usaha Negara disingkat PTUN. 2 Pasal 25 ayat 2 Undang-Undang RI No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 3 Pasal 25 ayat 3 Undang-Undang RI No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 4 Pasal 25 ayat 4 Undang-Undang RI No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 5 Pasal 25 ayat 5 Undang-Undang RI No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
136
Disertasi Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan - Yodi Martono Wahyunadi
Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang RI Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU Peratun) dalam Pasal 47 mengatur tentang kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam sistem peradilan di Indonesia yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara.6 Kewenangan Pengadilan untuk menerima, memeriksa, memutus menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya yang dikenal dengan kompetensi atau kewenangan mengadili. Kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara berkaitan dengan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa. Dalam UU Peratun obyek sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan tata usaha negara (Keputusan TUN) ialah Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, final, yang menimbulkan akibat hukum bagi Seseorang atau Badan Hukum Perdata,7 dan keputusan TUN yang fiktif negatif sebagai mana dimaksud Pasal 3 UU Peratun.8 Terbitnya Undang-Undang RI No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, LN RI Tahun 2014 Nomor 292, TLN RI Nomor 5601 (UUAP) merupakan hukum materiil dalam sistem peradilan tata usaha negara. 9 Namun dalam Pasal-Pasalnya juga mengatur kompetensi PTUN. Adanya perbedaan kompetensi PTUN pasca UUAP, perbedaan konsep-konsep hukum dan masih adanya obyek sengketa PTUN yang diatur dalam UUAP di mana hukum acara yang belum terakomodir dalam UU Peratun, menimbulkan perbedaan penanganan perkara oleh PTUN pasca UUAP. Selain itu, dalam Pasal 10 UUAP memuat secara rinci Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) sebagai pedoman Pejabat mengeluarkan keputusan atau tindakan Administrasi. Bagi hakim
6
Pasal 47 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara 7 Pasal 1 angka 9 Undang-Undang RI No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara 8 Pasal 3 Undang-Undang RI No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara 9 lihat, Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
137
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 135 - 154
AUPB menjadi alat uji terhadap keabsahan Keputusan atau tindakan Administrasi. Hanya saja, dapat menimbulkan permasalahan karena telah termuat secara rinci dalam UUAP, padahal asas dalam bentuk tidak tertulis. Berdasarkan keadaan-keadaan yang diuraikan di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang bagaimana Kompetensi absolut PTUN dalam konteks UUAP. Sebagaimana dikemukakan Philipus M. Hadjon, penggunaan dalam konteks bukan berdasarkan, oleh karena UUAP bukan tentang Peradilan Tata Usaha Negara.10 Untuk itu, disertasi ini mengambil judul : Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, isu utama disertasi ini adalah : 1. Apakah tepat rumusan Pasal 87 UUAP dimuat dalam ketentuan peralihan? 2. Bagaimana ruang lingkup kompetensi absolut PTUN dalam konteks UUAP ? 3. Bagaimana pengaturan AUPB dalam UUAP ? C. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang mendasarkan pada bahan hukum primer, bahan sekunder dan bahan hukum tersier yang dihasilkan dari peraturan perundang-undangan, studi kepustakaan, putusan pengadilan, majalah hukum, kamus, artikel hukum baik hard copy maupun soft copy yang dimuat dalam web site. Sejalan dengan pendapat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji11 yang mengemukakan penelitian hukum normatif dengan melakukan penelitian kepustakaan atau data sekunder. Data sekunder meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat, yaitu peraturan perundang-undangan (UUD NRI 1945 dan seterusnya), hukum adat, yurisprudensi dan traktat. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti rancangan undang10 Philipus, M. Hadjon, Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Konteks Undang-Undang No. 30 Th 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, dalam Majalah Varia Peradilan, Tahun XXX, No. 358, September, 2015, hal. 38 11 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Prss, 2004), hal. 13-14.
138
Disertasi Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan - Yodi Martono Wahyunadi
undang, hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan seterusnya. Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberkan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya ensiklopedia, indek kumulatif, dan sebagainya. 12 Penulis menentukan pokok bahasan materi yang akan diteliti. Langkah pertama menggunakan metode brain storming. Penulis berusaha menggali permasalahan dari berbagai aspek. Kemudian merinci dan menyeleksi materi yang relevan untuk dibahas dan menyusunnya dalam bentuk out line. Penulis
dalam
disertasi
mengemukakan
mengembangkannya dilihat dari beberapa menggunakan
pendekatan
peraturan
3
(tiga)
isu
hukum
dan
pendekatan. Dalam disertasi ini
perundang-undangan
(statute
approach),
pendekatan konseptual (conseptual approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), dan pendekatan sejarah (historical approach). II. HASIL DAN PEMBAHASAN Terhadap isu hukum tersebut berdasarkan hasil penelitian penulis memperoleh hasil sebagai berikut : A. Ketentuan Peralihan Dalam UUAP Ketentuan Pasal 87 merupakan salah satu ketentuan peralihan yang terdapat di dalam UUAP. Jika dibandingkan dengan elelemen-elemen pemaknaan Keputusan Tata Usaha Negara yang tercantum di dalam Pasal 87 UUAP dengan elemen-elemen Keputusan Tata Usaha Negara UU Peratun jelas adanya perbedaan sebagai berikut : Elemen-Elemen KTUN Menurut Pasal 1 Elemen-Elemen Pemaknaan KTUN Angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 Menurut Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014 a. Penetapan tertulis; a. Penetapan tertulis yang juga b. Dikeluarkan oleh badan atau Pejabat mencakup tindakan faktual. Tata Usaha Negara; b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat c. Berisi tindakan hukum tata usaha Tata Usaha Negara di lingkungan 12
Lihat juga : Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Konsep Dan Metode, (Malang : Setara Press, 2013), hal. 69-70, Bahan hukum primer adalah semua aturan yang dibentuk, dan/atau dibuat secara resmi oleh suatu lembaga Negara, dan/atau badan-badan pemerintahan. Seluruh produk badan legislatif, eksekutif, badan yudisial. Bahan hukum sekunder antara lain buku teks, laporan penelitian, jurnal hukum, notulen, makalah, hasil seminar, bulletin, majalah hukum, danlainya. Bahan hukum tertier; bahan-bahan yang termuat dalam kamus hukum, ensiklopedi, bibliografi, daftar pustaka, katalog-katalog penerbitan, dan lainnya.
139
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 135 - 154
d. e. f.
Negara. Berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku; Bersifat konkret, individual, dan final; Menimbulkan akibat hukum bagi seseotang atau badan hukum perdata.
c. d. e. f.
eksekutif, legislatif, yudisial, dan penyelenggara Negara lainnya ; Berdasarkan ketentuan perundangundangan dan AUPB; Bersifat final dalam arti lebih luas; Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.
Rumusan norma yang terdapat di dalam Pasal 87 UUAP yang merupakan ketentuan peralihan telah memuat perubahan secara terselubung atas ketentuan norma di dalam Pasal 1 angka 9 UU Peratun. Perubahan secara terselubung tidak dibenarkan sesuai Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di dalam angka 135 menentukan: Rumusan dalam ketentuan Peralihan tidak memuat perubahan terselubung atas ketentuan Peraturan Perundang-undangan lain. Perubahan ini hendaknya dilakukan dengan membuat batasan pengertian baru di dalam Ketentuan Umum Peraturan Perundang-Undangan atau dilakukan dengan membuat Peraturan Perundang-undangan perubahan. Keputusan Tata Usaha Negara terkait dengan kompetensi absolut PTUN yang merupakan domain dari hukum acara yang harus dimuat dalam materi muatan yang khusus, tidak dapat disisipkan dalam undang-undang termasuk undang-undang materil. Seharusnya kompetensi absolut PTUN diatur dengan undang-undang. Adanya perubahan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 khususnya Pasal 1 angka 9 tidak sesuai dengan amanah atau perintah Pasal 24A ayat (5) Undang-Undang Dasar NRI tahun 1945. Seharusnya pengaturan lebih lanjut “dengan undang-undang” (bij de wet), bukan dengan jalan menyisipkan “dalam undang-undang” (in de wet). Dengan demikian dalam pengaturan kompetensi yang termuat dalam UUAP bertentangan dengan UUD NRI 1945. Norma yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma yang lebih tinggi. Pengaturan kompetensi absolut PTUN yang diatur dalam UUAP bertentangan dengan tata urutan norma hukum, menurut Stufentheorie dari Hans Kelsen bahwa pembentukan norma hukum yang lebih rendah, ditentukan norma hukum lainnya yang lebih tinggi.
140
Disertasi Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan - Yodi Martono Wahyunadi
B. Ruang Lingkup Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara Adaya perubahan konsep hukum yang diatur dalam UU Peratun, memperluas kompetensi PTUN. Perubahan yang paling mendasar menyangkut keputusan tata usaha negara. Selain adanya obyek sengketa baru berupa tindakan faktual, kompetensi PTUN menilai unsur penyalahgunaan wewenang (Pasal 21 UUAP) dan memeriksa permohonan keputusan fiktif positif
(Pasal 53 UUAP), serta Kompetensi PTUN
terhadap keputusan pejabat atau badan pemerintahan hasil upaya administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (3) UUAP. Unsur-unsur Keputusan Tata Usaha Negara antara yang termuat dalam Pasal 1 angka 9 UU Peratun dengan Pasal 1 angka 7 UUAP berbeda. Keputusan Tata Usaha Negara ada 6 (enam) unsur sedangkan Keputusan Administrasi 3 (tiga) unsur. Perbedaan tersebut membawa konsekuensi luasnya kompetensi PTUN. Sejalan dengan pendapat J.J.H. Brugink semakin banyak unsur dalam suatu obyek sengketa maka semakin kecil ruang lingkup kompetensi pengadilan. Sebaliknya semakin sedikit unsur dalam obyek sengketa semakin luas kompetensi pengadilan. Penulis berpendapat walaupun dalam UUAP disebutkan Keputusan Administrasi pemerintahan disebut juga keputusan tata usaha negara akan tetapi konsepnya berbeda. Hakim-hakim dalam menangani sengketa Administrasi setelah lahirnya UUAP tanggal 17 Oktober 2014, harus secara cermat mempertimbangkan Keputusan tata usaha negara mendasarkan pada UUAP. Dengan tidak adanya unsur bersifat individual dalam keputusan adminsitrasi menyebabkan keputusan yang bersifat umum menjadi kompetensi PTUN. Hanya saja sifat keputusan bersifat regeling bukan kompetensi PTUN termasuk juga peraturan kebijakan. PTUN dalam menangani obyek berupa tindakan administrasi pemerintahan (Pasal 1 angka 8 UUAP) yang semula diuji oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum melalui Perbuatan melawan Hukum oleh Pejabat (PMHP) menggunakan Pasal 1365 KUH Perdata. Dalam Pasal 85 UUAP, disebutkan bahwa Pengajuan gugatan sengketa Administrasi Pemerintahan yang sudah didaftarkan pada pengadilan umum tetapi belum diperiksa, dengan berlakunya Undang-Undang ini dialihkan dan diselesaikan oleh PTUN. Dari laporan bulanan setiap PTUN se-Indonesia tidak ada perkara pelimpahan dari Pengadilan Negeri.
141
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 135 - 154
Dalam Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) No. 4 Tahun 2015 Tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang, mengatur pihak dalam permohonan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang merasa kepentingannya dirugikan oleh hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan dinyatakan ada atau tidak unsur penyalahgunaan Wewenang13. Kompetensi PTUN menguji keabsahan tindakan pemerintahan dari segi hukum (legalitas). Konsep penyalahgunaan wewenang dalam UUAP merupakan kesalahan pejabat pribadi (maladministrasi). Untuk itu, tidaklah tepat pertanggungjawaban pribadi menjadi kompetensi PTUN. Selain itu rumusan penyalahgunaan wewenang dalam Pasal 17 ayat (2) UUAP; a. larangan melampaui Wewenang; b. larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau c. larangan bertindak sewenang-wenang. Apa
yang
dimaksud
dengan
penyalahgunaan
wewenang?
Konsep
penyalahgunaan wewenang dalam konsep hukum Administrasi selalu diparalelkan dengan konsep detournement de pouvoir. Dalam Verklarend Woordenboek OPENBAAR BESTUUR dirumuskan sebagai : het oneigelijk gebruik maken van naar bevoegheid door de overhead. Heirvan is sprake indien een overheidsorgaan zijn bevoegdheid kennelijk tot een ander doel heft gebruikt dan tot doeleinden waartoe die bevoegheid is gegeven. De overhead schendt Aldus het specialiteitsbeginsel (p.63). (penggunaan wewenang tidak sebagaimana semestinya. Dalam hal ini pejabat menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain yang menyimpang dari tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu. Dengan demikian pejabat melanggar asas spesialitas).14 Dengan
demikian,
konsep
penyalahgunaan
wewenang
dalam
hukum
Administrasi, setiap pemberian wewenang kepada suatu badan atau kepada pejabat Administrasi Negara selalu disertai dengan “tujuan dan maksud” diberikannya wewenang itu, sehingga penerapan wewenang itu harus sesuai dengan “tujuan dan 13 Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung RI No. 4 Tahun 2015 Tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang 14 Philipus M. Hadjon, et.al., Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011), hal. 21-22
142
Disertasi Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan - Yodi Martono Wahyunadi
maksud” diberikannya wewenang itu. Dalam hal penggunaan wewenang tersebut tidak sesuai dengan “tujuan dan maksud” pemberian wewenang itu maka telah melakukan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir). Tolok ukur atau parameter “tujuan dan maksud” pemberian wewenang terjadinya penyalahgunaan wewenag dikenal dengan asas spesialisasi (specialiteitsbeginsel). Asas ini dikembangkan oleh Mariette Kobussen dalam bukunya yang berjudul De Vrijhed Van De Overheid. Secara substansial specialiteitsbeginsel mengandung makna bahwa setiap kewenangan memiliki tujuan tertentu. Dalam kepustakaan hukum Administrasi sudah lama dikenal asas zuiverheid van oogmerk (ketajaman arah dan tujuan). Menyimpang dari asas ini akan melahirkan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir).15 Jean Rivero dan Wiline16 mengatakan bahwa pengertian penyalahgunaan wewenang diartikan dalam 3 (tiga) wujud : 1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan; 2. Penyalagunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lain; 3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana. Apa yang disebutkan Jean Rivero dan Waline pada nomor 3 dapat disebut sebagai “khas Perancis” yang bersumber dari yurisprudensi Conseil d’Etat.17 Menurut penulis konsep penyalahgunaan wewenang dalam UUAP menyalahi teori hukum Administrasi. Penyalahgunaan wewenang harusnya menggunakan wewenang tidak sesuai dengan maksud diberikannya wewenang, dikenal dengan asas 15
Latif, Abdul, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), hal. 20-21 16 Indriyanto Seno Adji, Korupsi: Kriminalisasi Kebijakan Aparatur Negara (makalah), dalam Ridwan, Diskresi & Tanggung Jawab Pemerintah, (Yogyakarta: FH UII Press, 2014), hal. 177 17 Paulus E. Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1993, hal. 16 dalam Ridwan, Diskresi & Tanggung Jawab Pemerintah, (Yogyakarta: FH UII Press, 2014), hal. 177-178
143
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 135 - 154
detournement de pouvoir. Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 telah tepat merumuskan penyalahgunaan wewenang. Konsep keputusan fiktif positif dalam UUAP sangat berlainan dengan keputusan fiktif negatif yang diatur dalam Undang-Undang Peratun. Bertolak belakang konsep fiktif negatif, artinya diamnya sikap pejabat dianggap menolak, sedangkan fiktif positif dianggap dikabulkan. Dalam keputusan fiktif positif pun, pemohon tidak secara otomatis memperoleh hasil permohonannya, akan tetapi harus terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada PTUN untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan. PTUN wajib memutuskan permohonan paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan. Putusan PTUN bersifat final dan mengikat, tidak ada upaya hukum lainnya. Badan
dan/atau
Pejabat
Pemerintahan
wajib
menetapkan
Keputusan
untuk
melaksanakan putusan PTUN paling lama 5 (lima) hari kerja sejak putusan Pengadilan ditetapkan. Kondisi saat ini, PTUN berkedudukan di ibu kota propinsi menyebabkan masih ada kesulian pencari keadilan memperoleh akses keadilan. Kondisi beberapa daerah yang secara geografis masih sulit atau mahalnya transportasi menurut penulis tidak efektif adanya ketentuan fiktif positif melalui PTUN tersebut. Terbitnya keputusan fiktif positif tidak perlu melalui permohonan lagi ke PTUN. Pemerintah menyelesaikan sendiri, secara internal. Perintah datang dari atasannya untuk melaksanakan keputusan fiktif positif tersebut. Kompetensi PTUN terjadi manakala ada pihak lain yang dirugikan dengan adanya keputusan fiktif positif. Hal ini menurut penulis agar mendorong sikap aparat pemerintahan untuk melayani secara baik kepada masyarakat. Pejabat pemerintahan harus merespon semua permohonan dari masyarakat. Bukan berarti semua permohonan harus dikabulkan. Permohonan yang tidak memenuhi syarat harus diberitahukan kekurangan atau mungkin saja badan atau pejabat yang dimohonkan pemohon tidak mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan keputusan atau melakukan tindakan administrasi. UUAP administratif
pun mengatur
kewenangan PTUN
mengadili
terhadap
upaya
sebagaimana diatur Pasal 76 ayat (3) UUAP, dalam hal Warga
Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian banding oleh Atasan Pejabat, Warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke PTUN. Dengan demikian terdapat dua norma 144
Disertasi Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan - Yodi Martono Wahyunadi
hukum yang mengatur upaya administratif. Kaitannya dengan selesainya upaya aministratif warga masyarakat masih hendak mengajukan ke pengadilan, terdapat dua pengadilan yaitu PT.TUN sesuai Pasal 48 UU Peratun dan ke PTUN sesuai Pasal 76 ayat (3) UUAP. Menurut penulis, setelah upaya administrasi selesai dilaksanakan, warga masyarakat yang masih belum menerima keputusan upaya administratif mengajukan gugatannya tetap ke PT.TUN dengan alasan : UUAP bukan merupakan hukum acara. Upaya administratif masih berlaku Pasal 48 UU Peratun karena belum dicabut. Kerancuan timbul UUAP memberi kewenangan kepada PTUN untuk mengadilinya. Pasal 48 UU Peratun masih berlaku yang mengatur hukum acara. Untuk itulah, perlu adanya sinkronisasi peraturan perundang-undangan pasca UUAP. C. Pengaturan AUPB dalam UUAP Dalam Pasal 10 ayat (1) UUAP memuat rincian AUPB. Pada saat juga dimuat dalam Penjelasan Pasal 53 ayat (2) sub b Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang muatannya berbeda. Dengan demikian terdapat adanya antinomi. Pengujian terhadap keputusan Administrasi berdasarkan UUAP pada prinsipnya sama dengan Keputusan dalam Undang-Undang Peratun. Hakim menguji berdasarkan peraturan perundang-undangan dan AUPB. Perbedaan dalam pemuatan AUPB: UU PERATUN Kepastian hukum Keterbukaan Profesionalitas Akuntabilitas Tertib penyelenggaraan negara kepentingan umum
UU AP kepastian hukum Kemanfaatan Ketidakberpihakan Kecermatan tidak menyalahgunakan kewenangan Keterbukaan kepentingan umum pelayanan yang baik
Asas yang sama terdiri dari Asas kepastian hukum, keterbukaan, dan kepentingan umum. Adanya perbedaan dari dimuat AUPB di UU Peratun dan UUAP dalam praktek di PTUN tidak menjadi masalah. Oleh karena, selain AUPB yang dimuat dalam kedua undang-undang tersebut, hakim dapat menguji keputusan atau tindakan berdasarkan AUPB di luar yang dimuat dalam UU.
145
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 135 - 154
Memang, menurut Wiarda; AUPB merupakan tendesi-tendesi etik dan bukan merupakan norma-norma hukum, namun mempunyai arti yang penting dalam praktik pemerintahan. AUPB dapat berfungsi sebagai pedoman yang penting bagi pemerintah dan para pejabat Administrasi dalam menetapkan suatu kebijakan.18 Hakikat AUPB tidak tertulis. Rincian AUPB yang dimuat dalam Pasal 10 UUAP menyebabkan bukan asas lagi melainkan sudah menjadi norma dalam undang-undang. AUPB harus asas hukum. Asas kemanfaatan dan asas kepentingan umum bukan asas hukum. Asas kemanfaatan mengandung arti efektifitas dan efisien. Efektifitas mengandung kemanfaatan sedangkan efisien mengandung nilai ekonomis. Pengaturan AUPB tidak dalam bentuk rincian. Penormaan AUPB dapat dijadikan contoh Pasal 53 ayat (2) huruf b dan c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, “Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut “; Huruf c.; “Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.” Pasal 53 ayat (2) huruf b dan c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, tidak mencantumkan salah satu asas dari AUPB. Uraian Pasal 53 ayat (2) huruf b merupakan rumusan asas larangan berbuat penyalahgunaan wewenang (detournament de pouvoir). Rumusan Pasal 53 ayat (2) huruf c merupakan rumusan asas berbuat sewenang-wenang (abus de droit). Dengan demikian ketentuan AUPB dalam Undang-Undang : a. Harus merupakan asas hukum b. tidak perlu dirinci AUPB. c. Penormaan AUPB dapat dilakukan dengan merumuskan norma hukum sesuai dengan yang dimaksud dalam asas hukum tersebut.
18
Sibuea, Hotma P., Asas Hukum Peraturan Kebijakan & Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, (Jakarta: Erlangga, 2010), hal. 152
146
Disertasi Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan - Yodi Martono Wahyunadi
III. KESIMPULAN Berdasarkan
diskripsi dan analisa yang tersaji, maka dapat diberikan
kesimpulan sebagai berikut : 1.
Ketentuan Peralihan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan sebagaimana dirumuskan di dalam Pasal 87 tidak tepat karena telah memuat perubahan secara terselubung ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Perubahan secara terselubung suatu aturan di dalam Peraturan Perundangundangan tidak dibenarkan ditempatkan di dalam Ketentuan Peralihan. Secara Normatif perubahan hendaknya dilakukan dengan jalan : a. Membuat batasan pengertian baru di dalam Ketentuan Umum Peraturan Peundang-undangan; atau b. Dilakukan dengan membuat Peraturan Perundang-undangan perubahan. Pemaknaan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara seperti yang dimaksud di dalam Pasal 87 UndangUndang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan butit a sampai dengan butir f berlebihan, tidak jelas makna dan tujuannya, serta tanpa landasan teori.
2.
Beberapa ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan memberi peluang untuk memperluas kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai berikut : a. Dikuranginya unsur-unsur Keputusan Tata Usaha Negara di dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan menjadi ; 1) Ketetapan tertulis; 2) Dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan; 3) Dalam penyelenggaraan pemerintahan Menambah luasnya daya jangkau keberlakuan jika dibandingkan dengan unsur-unsur Keputusan Tata Usaha Negara seperti yang dimaksud di dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan
147
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 135 - 154
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang memuat unsur-unsur : 1) Penetapan tertulis; 2) Dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara; 3) Berisi tindakan hukum tata usaha negara; 4) Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; bersifat konkret, indivudual dan final; 5) Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Perluasan kompetensi lembaga peradilan dilakukan dengan undang-undang (bij de wet) bukan dengan jalan menyisipkan dalam undang-undang (in de wet) yang lain. b. Ketentuan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan dihubungkan dengan pemaknaan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan yaitu pada unsur: a. Penetapan tertulis mencakup tindakan faktual; b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudisial dan penyelenggara negara lainnya. c. Bersifat final dalam arti luas; d. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum c. Ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan yang memberi wewenang kepada Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menguji ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. d. Ketentuan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan memberi wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara menguji permohonan adanya keputusan fiktif positif.
148
Disertasi Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan - Yodi Martono Wahyunadi
e. Pasal 76 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan memberi wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mengadili keputusan hasil upaya administratif. 3.
Dinormakan dan diperincinya Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB) di dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan telah membuat rigid AUPB itu sendiri tidak sesuai dengan hakekat AUPB yang merupakan hukum tidak tertulis dan bersifat elastis mengikuti perkembangan praktek pemerintahan dan peradilan tata usaha negara. Ketika asas sudah dinormakan maka ia menjadi undang-undang tidak dapat lagi disebut sebagai asas.
IV. SARAN Berdasarkan kesimpulan tersebut
di atas, saran-saran yang dapat diberikan
adalah: 1.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan disarankan kepada pembentuk undang-undang (DPR RI) dan Presiden RI untuk merevisi atau merubah terhadap Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan merevisi UndangUndang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan untuk diseuaikan dengan konsep-konsep dasar Hukum Administrasi.
2.
Disarankan kepada pembentuk undang-undang (DPR RI) dan Presiden RI, pemberian suatu kewenangan baru dan/atau mengatur hukum acara lembaga peradilan harus dilakukan dengan undang-undang (bij de wet) bukan dengan jalan menyisipkan dalam undang-undang
(in de wet) yang lain sehingga
mendapat legitimasi secara konstitusional. 3.
AUPB yang sudah dinormakan di dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan tidak dapat lagi disebut sebagai AUPB karena sudah menjadi norma undang-undang, kepada Hakim di Peradilan Tata Usaha Negara disarankan hendaknya menggunakan AUPB yang sudah dikenal dalam yurisprudensi dan doktrin.
149
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 135 - 154
V.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad, Beberapa Ciri Khas Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum USU, Medan, 1979 _______, Hukum Administrasi Negara Indonesia (H.A.N.I.), Yani Corporation, Medan, 1986 Abdulah, Rozali, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cetakan kesembilan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004 Achyar, Fatimah, Selintas tentang Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1989 Adiwijaya, Soelaiman B. dan Lilis Hartini, Bahasa Indonesia Hukum, Pustaka, Cet II, Bandung, 2003 Algra, N.E., et.al, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia, Binacipta, cet.pertama, Bandung, 1983 Ali, Faried, dan Nurlina Muhidin, Hukum Tata Pemerintahan Heteronom dan Otonom, Refika Aditama, Bandung, 2012 Ali, Faried, et.al., Studi Sistem Hukum Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2012 Ali, M. Jafar, Hukum Administrasi / Tata Usaha Negara, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 1984 Ali, M, Hatta, Peradilan Sederhana, Cepat & Biaya Ringan Menuju Keadilan Restoratif, Alumni, Bandung, 2012 Almond, Gabriel A. & G. Bingham Powell, Jr. System, Process, and Policy. Comparative Politics. Ed. II. Boston-Toronto: Little, Brown and Company, 1978 Amiq, Bachrul, Aspek Hukum Pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah Dalam Prespektif Penyelenggaraan Negara Yang Bersih, Laksbang, Surabaya, 2010 Anggraini, Jum, Hukum Administrasi Negara, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012 Anshori, Abdul Ghufur dan Sobirin Malian (ed), Membangun Hukum Indonesia, Kreasi Total Media, cet. Pertama, Yogyakarta, 2008 Anwar, Chairul, Konstitusi dan Kelembagaan Negara, Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri, 2001 Arto, A. Mukti, Peradilan Agama Dalam Sistem Ketatanegaraan Indoneisa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2012 Asshiddiqie, Jimly, Perihal Undang-Undang, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014
150
Disertasi Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan - Yodi Martono Wahyunadi
Astawa, I Gde Pantja dan Suprin Na’a, Dinamika Hukum Dan Ilmu PerundangUndangan Di Indonesia, PT. Alumni, Bandung, 2008 Atmosudirdjo, S. Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Cet. 9, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988 Atok, Rosyid Al, Konsep Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Setara Press, Malang, 2015 Attamimi, A. Hamid S., Peranan Keputusan Preisiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Universitas Indonesia, Fakultas Pascasarjana, 1990 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Simposium Peradilan Tata Usaha Negara, Bina Cipta, Bandung, 1977 Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, PT Gramedia, Jakarta, 1996 Basah, Sjachran, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Adiministrasi di Indonesia, Cetakan ke-tiga, Alumni, Bandung, 2009 _________, Hukum Acara Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Administrasi, Rajawali Pers, Jakarta, 1989 _________, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Penerbit Alumni, Bandung, 1992 Bedner Andriaan, Administrative Court in Indonesia A Socio Legal Study, Kluwer Law International, The Hague, 1999 _________, Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, Hu-Ma, Jakarta, 2010 Boestomi, T., Hukum Perdata dan Hukum Tata Usaha Negara Dalam Teori & Praktek, Alumni, Bandung, 1994 _________, Pengadilan Administrasi dan Pelaksanaan Peradilan Yang Murni, dalam Himpunan Karangan di Bidang Hukum Tata Usaha Negara, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1993 Bogdanor, S.E. Finer Vernon and Bernard Rudden, Comparing Constitutions, Oxford New York: Clarendon Press, 1995 Brugink, J.J.H., Rechts Reflecties ( alih bahasa Arief Sidharta), PT. Citra Aditiya, Bandung, 1999 Budiardjo, Miriam, Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Sinar Harapan, 1991
151
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 135 - 154
Busroh, Abu Daud & Abubakar Busroh, Asas-asas Hukum Tata Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985 Campbell, Black Henry, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., 1990 Dewa, Muh. Jufri, Hukum Administrasi Negara Dalam Perspektif Pelayanan Publik, Unhalu Press, Kendari, 2011 Dicey, A.V., Introduction to the Study of the Law of the Constitution, London: The Macmillan Press Ltd, 1971 Djunaedi, Eddy, et al., Mengkaji Kembali Pokok-Pokok Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, Lembga Penelitian Dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara (LPP-HAN), Jakarta, 2003 Douglas, Roger, Administratif Law, Ed. V., Sydney: The Federation Press, 2006 Elpah, Dani, Titik Singgung Kewenangan Antara Peradilan Tata Usaha Negara Dengan Peradilan Umum Dalam Sengketa Pertanahan (Laporan Penelitian), Puslitbang Hukum Dan Peradilan Balitbang Diklat Kumdil MA RI, Jakarta, 2014 Effendi, Lufti, Pokok-Pokok Hukum Administrasi, Bayu Media, Malang, 2004 Ekatjahjana, Widodo, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan teknik Penyusunanannya, PT Citra Aditiya Bakti, Bandung, 2008 Erliyana, Anna, Keputusan Presiden Analisis Keppres RI 1987 - 1998, Pidato Upacara Pengukuhan Sebagai Guru Besar Dalam Bidang Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007 Erliyana, Anna, Memahami Makna dan Ruang Lingkup Kewenangan Badan Tata Usaha Negara, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005 Fachrudin, Irfan, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, 2004 Fadjar, A. Mukhtie, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, 2004 Fahmal, A. Muin, Peran Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Layak Dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, Cetakan kedua, Total Media, Yogyakarta, 2008 Fockema, Andreae, Kamus Istilah Hukum, Belanda-Indonesia, terjemahan: Saleh Adiwinata, Bandung: Binacipta, 1983 Friedman, Lawrence M., The Legal System A Social Science Prespective, (Terjemahan : M Khozim), Nusa Media, Bandung, 2013
152
Disertasi Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan - Yodi Martono Wahyunadi
_________, ”What is a legal system” dalam American Law, (New York: W.W.Norton & Company, 1984 Friedrich, Carl J., Constitutional Government And Democracy, Theory and Practice in Europe and America, Boston-New York: Ginn and Company, 1950 Fuady, Munir, Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung, 2009 Gautama, Sudargo, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1983 Garner, Bryan A., Black's Law Dictionary, West Group, Seventh Edition, ST.PAUL, MINN, 1999 H. van der Tas: Kamus Hukum, Belanda – Indonesia, Timun Mas, Jakarta, 1961 Hadjon, Philipus M., et.al., Hukum Administrasi dan Good Governance, Universitas Trisakti, Jakarta, 2010 _________, et.al., Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2011 _________, et.al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia / (Introduction to the Indonesian Administratif Law), Cetakan Kelima, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1997 _________, Pengertian-Pengertian Dasar Tentang (Bestuurhandeling), Djumali, Surabaya, 1985
Tindak
Pemerintahan
_________, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987 Hague, Rod & Martin Harrop, Comparative Government and Politics, Ed. V., New York: Palgrave, 2001 Handayaningrat, Soewarno, Administrasi Pemerintahan dalam Pembangunan Nasional, Gunung Agung, Jakarta, 1986 Harahap, Zairin, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cetakan Ketiga, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002 Hoesen, Zainal Arifin, Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, Imperium, Yogyakarta, 2013 Humes, Samuel IV, Local Governance and National Power, (New York: Harvester Wheatsheaf, 1991 Hutchinson, Terry, Researching and Writing in Law, Lawbook Co, 2002 HR, Ridwan, Hukum Administrasi Negara, FH UII Press, Yogyakarta, 2002
153
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 135 - 154
Ibrahim, R., BUMN dan Kepentingan Umum, cet. I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997 Ilmar, Aminuddin, Hukum Tata Pemerintahan, Kharisma Putra Utama, Jakarta, 2014 Indrati, Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan), Kanisius, Yogyakarta, 2007 Indroharto, Perbuatan Pemerintahan Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara, BogorJakarta, 1995 _________, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993 _________, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993 Surat Edaran : Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 1988 tentang Pembagian Tugas Ketua dan Wakil Ketua Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Putusan : Perkara No. 2/P/2015/PTUN.TPI Perkara No. 15/P/2015/PTUN-SRG Perkara No. 70/G/2015/PTUN-BDG Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 Putusan Perkara HUM Nomor 5 P/HUM/2012 Putusan Perkara HUM Nomor 46 P/HUM/2013 Putusan Perkara HUM Nomor 5 P/HUM/2014 Putusan Perkara HUM Nomor 76 P/HUM/2014
154
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 Nomor 1, Maret 2016 ISSN : 2303-3274
BIOGRAFI PENULIS H. Santhos Wachjoe P, S.H.,M.H., Penulis bekerja sebagai Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung Republik Indonesia yang beralamat pada Jl. Medan Merdeka Utara No. 9-13, Jakarta Pusat. Penulis dapat dihubungi secara pribadi melalui email:
[email protected] Muhamad Isna Wahyudi, S.H.I, M.H.I, lahir di Semarang, 2 Mei 1981, adalah lulusan Fakultas Syari’ah, Jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhshiyyah, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2004, dan Program Studi Hukum Islam, Konsentrasi Hukum Keluarga, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2006. Saat ini menjabat sebagai hakim pada Pengadilan Agama Badung Bali. Selain itu, sejak 2013 sampai sekarang ditugaskan juga sebagai redaktur majalah Peradilan Agama yang diterbitkan oleh Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI. Penulis aktif menulis artikel di beberapa jurnal dan telah memiliki dua buku, Fiqh ‘Iddah: Klasik dan Kontemporer, diterbitkan Pustaka Pesantren tahun 2009, dan Pembaruan Hukum Perdata Islam: Pendekatan dan Penerapan, diterbitkan Mandar Maju tahun 2014. Pernah menjadi pembicara dalam the 4th International Conference and Graduate Workshop on “Islamic Justice System in Classical and Modern Times: Discourses and Practices,” yang diselenggarakan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bekerja sama dengan the Faculty of Humanities Georg August University of Gottingen, Germany, di Yogyakarta, pada 28-30 Oktober 2014. Penulis dapat dihubungi secara pribadi melalui email :
[email protected] Tri Cahya Indra Permana, S.H., M.H., lahir di Jakarta pada tanggal 13 Mei 1978. Penulis saat ini menjabat sebagai hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang beralamat di Jl. A. Sentra Primer Baru Timur, Pulo Gebang, Jakarta Timur 13950. Penulis menamatkan sarjana hukum pada Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto. Setelah itu, menyelesaikan studi Magister Hukum di Universitas Diponogoro Semarang pada tahun 2009. Penulis dapat dihubungi secara pribadi melalui email:
[email protected]. Teguh Satya Bhakti, S.H., M.H., lahir di Ampenan pada tanggal 17 September 1980. Penulis saat menjabat sebagai hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang beralamat di Jl. A. Sentra Primer Baru Timur, Pulo Gebang, Jakarta Timur 13950. Penulis menyelesaikan Sarjana Hukum di Universitas Mataram pada tahun 2002. Selanjutnya melanjutkan studi pada Magister Hukum Universitas Indonesia yang selesai pada tahun 2004. Penulis dapat dihubungi secara pribadi melalui email:
[email protected]. Sri Gilang Muhammmad Sultan Rahma Putra, S.H., lahir di Malang, Jawa Timur, 5 April 1988. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya tahun 2011. Saat ini bekerja sebagai kandidat peneliti bidang Hukum dan Peradilan pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI. Bidang kajian hukum yang diminati penulis adalah
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 Nomor 1, Maret 2016 ISSN : 2303-3274
Hukum Lingkungan, Perbandingan Hukum, Hukum dan Teknologi serta Hukum Internasional. Selain bekerja sebagai kandidat peneliti, sejak tahun 2004, penulis juga aktif terlibat sebagai pembimbing kegiatan Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) pada tingkat SMP dan turut aktif membimbing siswa SMP mengikuti kegiatan kompetisi ilmiah dan pembinaan ilmiah yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Penulis dapat dihubungi melalui email
[email protected] atau surat ke alamat kantor Puslitbang Kumdil lantai 10 Gedung Sekretariat Mahkamah Agung JL. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 Cempaka Putih Timur Jakarta Pusat. Dr. Adriano, SH., MH., lahir di Jakarta pada tanggal 16 Januari 1965. Saat ini bertugas sebagai Hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Surabaya. Menamatkan Fakultas Hukum (S1) di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1989, Magister Hukum (S2) Universitas Airlangga Surabaya pada tahun 2007 dan Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Airlangga Surabaya pada tahun 2013 dengan predikat Cumlaude. Dapat dihubungi secara pribadi melalui email:
[email protected]. Dr. Nurnaningsih Amriani, S.H., M.H. lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan pada tanggal 20 Juli 1979. Saat ini bertugas sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Simpang Tiga Redelong, DI. Aceh. Menyelesaikan studi sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dengan jurusan keperdataan. Setelah itu melanjutkan studi Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga dengan jurusan Hukum Bisnis. Terakhir studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara di Medan, Sumatera Utara dengan kekhususan Hukum Perdata Internasional. Publikasi yang telah dihasilkan antara lain: 1) Buku dengan judul Mediasi – Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan Penerbit Raja Grafindo Persada, 2011; 2) Artikel berjudul “Confidentiality Versus Transparency of ICSID Arbitration Award : Sustainability of The Quality Practice for Good’s Governance and Investor to Support Public Accountability International” dalam Journal of Advances Studies in Humanities and Social Science (IJASHSS), http://www.ijashss.com, Volume 2, Issue 2, 2014, p. 223-231, 2014; 3) Artikel berjudul “Interpretation Public Policy in Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award in Indonesia Turn Aside the Legal Certainty” dalam Brawijaya International Journal, lawjournal.ub.ac.id/indexphp/law, Vol.1 No. 1 (2014), p. 26-36., 2014. Penulis dapat dihubungi secara pribadi pada e-mail:
[email protected]. Dr. Yodi Martono Wahyunadi, S.H.,M.H., lahir di Ciamis pada tanggal 2 Maret 1963. Penulis saat ini menjabat sebagai Direktur Pembinaan Tenaga Teknis dan Administrasi Peradilan Tata Usaha Negara. Penulis menamatkan titel Sarjana Hukum pada Universitas Padjadjaran Bandung tahun 1986. Setelah itu menamatkan Magister Hukum pada Universitas Airlangga Surabaya tahun 2003, dan telah menyandang gelar doktor ilmu hukum pada Universitas Trisakti Jakarta di tahun 2016. Penulis dapat dihubungi melalui email :
[email protected].
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 Nomor 1, Maret 2016 ISSN : 2303-3274
PEDOMAN PENULISAN JURNAL
Jurnal Hukum dan Peradilan Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI Jurnal Hukum dan Peradilan adalah media yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI. Jurnal ini terbit 3 (tiga) nomor setahun yaitu pada bulan Maret, Juli dan November. Jurnal Hukum dan Peradilan menerima naskah dalam lingkup bidang Hukum dan Peradilan yang belum pernah dipublikasikan di media lain dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Naskah dikirim dalam bentuk karya tulis ilmiah seperti hasil penelitian, analisis/tinjauan putusan peradilan, kajian teori, studi kepustakaan atau gagasan kritis konseptual yang bersifat obyektif, sistematis, analitis, dan deskriptif. 2. Naskah yang dikirimkan harus orisinal dengan melampirkan pernyataan keorisinalan naskah oleh penulis. 3. Naskah harus ditulis dalam bahasa Indonesia dan dikirimkan secara online melalui situs jurnalhukumdanperadilan.org. Pengiriman secara online tidak dikenakan biaya. Penulis terlebih dahulu registrasi untuk mengirimkan naskah jurnal. 4. Penulisan menggunakan bahasa Indonesia yang baku, lugas, sederhana, mudah dipahami dan tidak mengandung makna ganda. 5. Naskah yang masuk akan melalui tiga tahap penilaian yang dilakukan oleh tim penyunting dan mitra bestari. Rapat Redaksi akan menentukan diterbitkan atau tidaknya naskah dalam Jurnal Hukum dan Peradilan. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Hukum dan Peradilan berhak mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut. 6. Naskah ditulis di atas kertas A4 dengan panjang 15-20 halaman. Naskah ditulis menggunakan huruf Times New Roman dengan ukuran 12, spasi 1,5 dan margin halaman kiri 3 cm, atas 3 cm, kanan 2.5 cm dan bawah 2.5 cm. Naskah harus disertai abstrak dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan panjang tulisan 100-150 kata spasi 1. 7. Sistematika penulisan hasil penelitian meliputi: Judul Naskah, Identitas Penulis (Nama Penulis, Nama Instansi Penulis, Alamat Instansi dan email), Abstrak (bahasa Indonesia dan bahasa Inggris) dengan outline sebagai berikut: I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Metode Penelitian II. HASIL DAN PEMBAHASAN III. KESIMPULAN IV. DAFTAR PUSTAKA.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 Nomor 1, Maret 2016 ISSN : 2303-3274
8.
Sistematika penulisan analisis putusan, kajian teori, studi kepustakaan atau gagasan kritis konseptual meliputi: Judul Naskah, Identitas Penulis (Nama Penulis, Nama Instansi Penulis, Alamat Instansi dan email), Abstrak (bahasa Indonesia dan bahasa Inggris), dengan outline sebagai berikut: I. PENDAHULUAN II. PEMBAHASAN III. KESIMPULAN IV. DAFTAR PUSTAKA. 9. Daftar pustaka yang dirujuk hendaknya dari edisi paling mutakhir. Penulisan daftar pustaka disusun secara alfabetis mengikuti Turabian Style. Daftar pustaka disusun dengan menggunakan aplikasi Mendeley. Penyusunan daftar pustaka mengikuti susunan penulisan sebagai berikut: Buku Packer, Herbert L. The Limits of the Criminal Sanction. California: Stanford University Press, 1968. Makalah Barda Nawawi Arief. “Sistem Pemidanaan Dalam Ketentuan Umum Konsep RUU KUHP 2004.” Bahan Sosialisasi RUU KUHP 2004, diselenggarakan oleh Departemen Hukum dan HAM tanggal 23-24 Maret 2005 di Hotel Sahid Jakarta Artikel Jurnal Moh. Mahfud MD. “Aspek Hukum Negara dan Administrasi Negara Kelembagaan Pengadilan Pajak.” Jurnal Hukum dan Peradilan 04, no. 3 (November 2015): 351-360 Karangan Esai dalam Buku Kumpulan Karangan Paul Tillich, “Being and Love,” in Moral Principles of Action, ed. Ruth N. Anshen (New York): Harper & Bros., 1952), 663. Internet Hukumonline, “PERADI, HKHPM dan AKHI Surati Ketua MA Soal Sumpah Advokat” http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5731d94e12b88/peradi-hkhpm-dan-akhi-surati-ketua-ma-soal-sumpah-advokat (diakses pada tanggal 11 Mei 2016) 10. Penulisan kutipan menggunakan model catatan kaki (footnotes) mengikuti Turabian Style dengan tata cara penulisan sebagai berikut: Buku Herbert L. Packer, The Limits of the Criminal Sanction (California: Stanford University Press, 1968), Hlm. 50.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 Nomor 1, Maret 2016 ISSN : 2303-3274
Makalah Barda Nawawi Arief, “Sistem Pemidanaan Dalam Ketentuan Umum Konsep RUU KUHP 2004.” Bahan Sosialisasi RUU KUHP 2004, diselenggarakan oleh Departemen Hukum dan HAM tanggal 23-24 Maret 2005 di Hotel Sahid Jakarta Artikel Jurnal Moh. Mahfud MD, “Aspek Hukum Negara dan Administrasi Negara Kelembagaan Pengadilan Pajak,” Jurnal Hukum dan Peradilan 04, no. 3 (November 2015): 355 Karangan Esai dalam Buku Kumpulan Karangan Paul Tillich, “Being and Love,” in Moral Principles of Action, ed. Ruth N. Anshen (New York): Harper & Bros., 1952), 663. Internet Hukumonline, “PERADI, HKHPM dan AKHI Surati Ketua MA Soal Sumpah Advokat,” Berita, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5731d94e12b88/peradi--hkhpm-danakhi-surati-ketua-ma-soal-sumpah-advokat (diakses pada tanggal 11 Mei 2016) 11. Naskah dapat juga dikirimkan dalam bentuk softcopy melalui e-mail redaksi jurnal puslitbang kumdil Mahkamah Agung RI:
[email protected] atau
[email protected] 12. Naskah dapat juga dikirim atau diserahkan secara langsung ke alamat Redaksi Jurnal Hukum dan Peradilan: Redaksi Jurnal Hukum dan Peradilan Puslitbang MA RI Gedung Sekretariat Mahkamah Agung RI Jl. Jend. A. Yani Kav. 58 Lt. 10 Cempaka Putih Jakarta Pusat 13011 13. Naskah yang tidak memenuhi format ketentuan di atas tidak akan diseleksi. Dewan editor berhak menyeleksi dan mengedit naskah yang masuk tanpa mengubah substansi. Kepastian atau penolakan naskah akan diberitahukan kepada penulis. Prioritas pemuatan artikel didasarkan pada penilaian substansi dan urutan naskah yang masuk ke Redaksi Jurnal Mahkamah Agung. Artikel yang tidak dimuat tidak dikembalikan kepada penulis.
Jurnal Hukum dan Peradilan Menyampaikan terima kasih kepada para mitra bestari (reviewer) dan semua pihak yang telah membantu penerbitan jurnal ini. Volume 5 Nomor 1, Maret 2016
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 Nomor 1, Maret 2016 ISSN : 2303-3274