Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 Jurnal Hukum dan Peradilan memuat naskah yang bersumber dari hasil penelitian/penelaahan tentang Hukum dan Peradilan yang belum pernah dipublikasikan. Jurnal Hukum dan Peradilan terbit sebanyak 3 nomor setahun (Maret, Juli, November)
Susunan Redaksi (Editorial Board)
Penanggung Jawab (Officially Incharge)
: Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, S.H., M.S.
Editor (Editors)
: H. Asep Safei, M.M. H. Hudan Isnawan, S.H., M.Si. Dr. Mul Irawan, S.Ag., M.Ag. Tumbur Palti Hutapea, S.H., M.H. Muh. Ridha Hakim, S.H. Sri Gilang M. Sultan Rahma P, S.H. Bintang Alvita, S.S.
Redaktur (Chief Editor)
Mitra Bestari (Reviewers)
Web Admin Web Developer
: R. Wijaya Brata K. S,Komp., M.M.
: Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, S.H., M.S. Dr. Jazim Hamidi, S.H., M.H. Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H. Lilis Mulyani, S.H., M.PL. Ahyar Ari Gayo, S.H., M.H. : Bestian Panjaitan, S.Kom., M.Ak. Muhammad Zaky Albana, S.Sos. Zulfia Hanum Alfi S., S.Pd. Bontanama Asral, S.H.
: Andre Tatengkeng Hendro Yatmoko, S.Kom. Randy Viyatadhika, S.T. Yoga Pradana Pamungkas, S.Kom.
Alamat Redaksi Jurnal Hukum dan Peradilan Gedung Sekretariat Mahkamah Agung RI Jln. Jend. A. Yani (By Pass) Kav. 58 Lt.10 Cempaka Putih, Jakarta Pusat 13011 Email:
[email protected] dan
[email protected]
Isi Jurnal dapat dikutip dengan menyebut nama sumbernya (Citation is permitted with acknowledgement of the source)
Opini yang dimuat dalam jurnal ini tidak mewakili pendapat resmi MA RI
Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 PENGANTAR REDAKSI Bismillahirrahmanirrahim Puji dan syukur sepatutnya senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, Zat Yang Maha Sempurna, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kita bisa berbuat yang terbaik, amin. Salah satu program prioritas Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, yakni penerbitan Jurnal Hukum dan Peradilan yang diharapkan menjadi upaya positif Puslitbang Hukum dan Peradilan MA-RI sebagai Unit Pendukung Mahkamah Agung RI secara kelembagaan untuk mendukung terwujudnya visi dan misi Mahkamah Agung RI yaitu : “Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung”. Penerbitan Jurnal Hukum dan Peradilan merupakan media bagi insan peradilan, peneliti, akademisi, praktisi dan pemerhati hukum untuk mengaktualisasikan ide dan pemikiran melalui penelitian, pengkajian dan pengembangan hukum dan peradilan secara ilmiah. Harapannya kehadiran Jurnal Hukum dan Peradilan dapat menjadi pencerah di tengah upaya besar bangsa untuk menata pembangunan hukum dan peradilan di masa mendatang. Jurnal Hukum dan Peradilan Edisi Juli 2017 ini memuat delapan naskah artikel ilmiah. Pertama, artikel yang ditulis oleh Muhammad Ridwansyah dengan judul “Pengaturan Tindak Pidana dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Tinjauan Fiqh Al- Bi’ah)”. Tulisan ini mengulas tentang tindak pidana lingkungan hidup dan perbandingannya dengan konsep dalam hukum Islam tentang lingkungan hidup atau dikenal dengan istilah Fiqh Al-Bi’ah. Kedua, artikel yang ditulis oleh Rocky Marbun dengan judul “Konsep Diyat sebagai Alternatif Pemidanaan dalam Sistem Peradilan Pidana untuk Mengatasi Fenomena Overcapacity Lembaga Pemasyarakatan”. Artikel ini menggagas penggunaan konsep Diyat untuk mengatasi penuhnya kapasitas Lembaga Pemasyarakatan. Ketiga, artikel yang ditulis oleh Afrianto Sagita, Yosua Hamonangan Sihombing dengan judul “Optimalisasi Pengadilan Perikanan dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Perikanan di Perairan Indonesia”. Artikel ini membahas mengenai peran penting pengadilan perikanan dalam penegakan hukum pidana perikanan guna mengamankan aset perikanan Indonesia. Keempat, artikel yang ditulis oleh Muhammad Ishar Helmi dan Riko Hendra Pilo dengan judul “Independensi Hakim Ad-Hoc pada Lingkungan Peradilan Hubungan Industrial”. Artikel ini mengkaji mengenai aspek independensi hakim Ad-Hoc yang bertugas pada Pengadilan Hubungan Industrial. Kelima, artikel yang ditulis oleh Oksidelfa Yanto dengan judul “Peranan Hakim dalam Pemberantasan Tindak Pidana Narkoba Melalui Putusan yang Berkeadilan”. Artikel ini mengupas peran penting hakim dalam pemberantasan tindak pidana penyalahgunaan narkoba. Keenam, artikel yang ditulis oleh Fitri Wahyuni dengan judul “Hukuman Kebiri terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Anak dan Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia”. Tulisan ilmiah tersebut mengkaji mengenai polemik hukum kebiri ditinjau dari sudut pandang Hak Asasi Manusia. Ketujuh, Tulisan Ilmiah yang ditulis oleh Edi Hudiata dengan judul “Rekonstruksi Hukum dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Syariah : Penguatan Aspek Regulasi untuk Memberikan Kepastian Hukum”. Artikel ilmiah tersebut, mencoba untuk menggagas rekonstruksi hukum guna memberikan kepastian hukum i
dalam penyelesaian sengketa pasar modal syariah. Terakhir, Tulisan ilmiah yang ditulis oleh Nurhadi dengan judul “Wasiat Wajibah sebagai Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perkara Waris Beda Agama (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 K/Ag/2010)”. Artikel ilmiah tersebut mengkaji tentang wasiat wajibah dalam perkara waris beda agama. Penerbitan Jurnal Hukum dan Peradilan dikelola menggunakan sistem jurnal elektronik melalui situs www.jurnalhukumdanperadilan.org. dengan demikian para pembaca yang berminat menjadi penulis naskah dapat melakukan registrasi sebagai penulis naskah serta mengirimkan naskah melalui situs tersebut. Kami mengundang segenap pembaca untuk turut berperan serta menuangkan tulisan – tulisan ilmiah baik yang bersumber dari hasil penelitian maupun kajian pemikiran dalam jurnal hukum dan peradilan ini. Penggunaan sistem jurnal elektronik tersebut juga memudahkan diseminasi pemikiran-pemikiran hasil penelitian ilmiah serta pemanfaatan gagasan – gagasan ilmiah yang tertuang dalam jurnal ilmiah ini. Kami selaku pengelola jurnal ilmiah hukum dan peradilan senantiasa berkomitmen untuk menjaga mutu ilmiah dari artikel – artikel yang diterbitkan. Oleh karena itu masukkan dari pembaca untuk peningkatan mutu ilmiah jurnal hukum dan peradilan, sangat dinantikan oleh redaksi. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Yang Mulia Ketua Mahkamah Agung RI dan seluruh unsur Pimpinan Mahkamah Agung RI yang terus memberikan dukungan untuk terbitnya jurnal ini, juga terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Badan Litbang Diklat Kumdil MA-RI dan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan MA-RI yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam proses penerbitan jurnal ini. Begitupun kepada para penulis yang telah berkontribusi mengirimkan artikelnya dan para Mitra Bestari yang telah meluangkan waktunya untuk me-review artikel para penulis, semoga amal kebaikannya mendapat pahala yang setimpal dari Allah SWT. Tuhan Yang Maha Kuasa. Amin. Jakarta, Juli 2017 Redaksi
ii
Volume 6 Nomor 2, Juli 2017
DAFTAR ISI Pengantar Redaksi Daftar Isi Daftar Abstrak MUHAMMAD RIDWANSYAH Pengaturan Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Tinjauan Fiqh Al- Bi’ah) ………………….….....….. ROCKY MARBUN Konsep Diyat Sebagai Alternatif Pemidanaan Dalam Sistem Peradilan Pidana Untuk Mengatasi Fenomena Overcapacity Lembaga Pemasyarakatan ……………………………………………..……..… AFRIANTO SAGITA, YOSUA HAMONANGAN SIHOMBING Optimalisasi Pengadilan Perikanan Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Perikanan Di Perairan Indonesia ………………..……. MUHAMMAD ISHAR HELMI, RIKO HENDRA PILO Independensi Hakim Ad-Hoc Pada Lingkungan Peradilan Hubungan Industrial …………………………………………………….………… OKSIDELFA YANTO Peranan Hakim Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Narkoba Melalui Putusan Yang Berkeadilan …..………………………………………. FITRI WAHYUNI Hukuman Kebiri Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Anak Dan Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia …………….………… EDI HUDIATA Rekonstruksi Hukum Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Syariah: Penguatan Aspek Regulasi Untuk Memberikan Kepastian Hukum ……………………………………………….…………….……. NURHADI Wasiat Wajibah Sebagai Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perkara Waris Beda Agama (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 K/Ag/2010) ……..………………………….………………. Biografi Penulis Pedoman Penulisan Jurnal
173 – 188
189 – 212 213 – 232 233 –258 259 – 278 279 – 296
297 -316
317 - 336
iii
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 pISSN 2303-3274, eISSN 2528-1100
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya MUHAMMAD RIDWANSYAH
PENGATURAN TINDAK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (Tinjauan Fiqh Al- Bi’ah) Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 6 No. 2 Hlm. 173 - 188
Pengaturan hukum lingkungan hidup di Indonesia sudah mulai membaik karena di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah memuat tindak pidana bagi yang melanggar ketentuan tersebut. Hal ini seperti tercantum pada Pasal 98, 99, dan 100. Kendati demikian dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (literature research) yang dilakukan untuk memperoleh data sekunder di bidang hukum lingkungan dan fiqh al-bi’ah. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, sifat dari penelitian ini deskriptif analisis. Bertujuan untuk memberikan gambaran secara sistematis terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 serta pendapat fiqh lingkungan secara akurat dan pandangan sanksi pidana yang digunakan kedua pengaturan tersebut. Penelitian ini memfokuskan dua pertanyaan. Pertama, bagaimanakah pengaturan tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kedua, apakah konsep Fiqh Al Bi’ah sejalan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hasil penelitian ini ialah tindak pidana yang terdapat pada Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup belum cukup mampu menjerat perusak lingkungan hidup, sehingga pemerintah diharapkan dapat merevisi pasal-pasal yang tidak sesuai. Selanjutnya hasil dari penelitian ini adalah adanya kesamaan konsep antara fiqh al-bi’ah dengan pengaturan lingkungan yang ada di Indonesia. Konsep yang ditawarkan fiqh al-bi’ah merupakan bagian dari maqashidul syari’ah dimana Islam sangat menganjurkan menjaga lingkungan. Kata kunci : lingkungan hidup, Fiqh Al-Bi’ah, Maqashidul Syari’ah MUHAMMAD RIDWANSYAH
THE SETTING OF CRIMINAL ACT IN LAW NUMBER 32 OF 2009 ON ENVIRONMENTAL PROTECTION AND MANAGEMENT (Fiqh Al-Bi’ah Review) Journal of Law and Judiciary, Vol. 6 No. 2 page 173 - 188 The setting of environmental law in Indonesia has started to improve since the Law Number 32 of 2009 on Environmental Protection and Management contains criminal act for every person who violates the provisions. It is stated in Article 98, 99, 100. This research method is a library or literature research which is conducted to gather secondary data in the field of environmental law and fiqh al-bi’ah. This research is normative law research while the nature of this research is descriptive analysis. It aimed to give a systematic illustration on legal norms that was found in law number 32 of 2009 and environmental fiqh accurately and the criminal sanctions review used in both arrangements. In this study there were two questions first, how is the arrangement of criminal act in Law No. 32 of 2009 on Environmental Protection Management. The second is whether the concept of fiqh al bi’ah is in line with Law No. 32 of 2009 on Environmental Protection Management. The result from this study is that the criminal act contained in the Law No. 32 of 2009 on Environmental Protection Management has not been enough to trap the environmental destroyer so that the government is expected to revise the unsuitable articles. Furthermore, the result of this research shows the similarity concept between fiqh al bi’ah and environmental governance in Indonesia. The concept offered by fiqh al bi’ah is a part of maqashidul syari’ah where Islam strongly recommended to maintain the environment. Keywords : environment, Fiqh Al-Bi’ah, Maqashidul Syari’ah
v
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 pISSN 2303-3274, eISSN 2528-1100
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya ROCKY MARBUN
KONSEP DIYAT SEBAGAI ALTERNATIF PEMIDANAAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA UNTUK MENGATASI FENOMENA OVERCAPACITY LEMBAGA PEMASYARAKATAN Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 6 No. 2 Hlm. 189 - 212
Melalui metode eklektis-inkorporasi dan konsep prismatik, konsep diyat yang telah dimodifikasi akan dapat mengalami unifikasi hukum bagi seluruh komponen bangsa Indonesia. Kebaikan dan keunggulan konsep diyat dapat menjadi solusi alternatif terhadap kegagalan dari sistem hukum pidana yang saat ini dipergunakan. Tujuan utama dari paradigma hukum pancasila bukan hanya sekedar mencapai keadilan semata, namun pula mencapai kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pengembalian kondisi masyarakat kepada keadaan semula (restitutio in integrum) merupakan tujuan yang utama dalam Paradigma Hukum Pancasila. Namun, proses infiltrasi konsep diyat tersebut, harus melalui penelitian secara mendalam, khususnya terhadap tindak pidana apa yang dapat diterapkan. Konsep diyat pada intinya pula dapat melakukan reduksi terhadap kewenangan hakim dalam menjatuhkan pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana tertentu yang ditetapkan melalui politik hukum pidana dan sistem hukum pidana di Indonesia, apabila telah tercapai kedamaian dan keadilan oleh pihak korban dan/atau keluarga korban. Penulisan karya ilmiah ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan undang-undang, pendekatan konseptual, pendekatan filosofis dan pendekatan sosiologis. Kata kunci : diyat, fiqh, jinayat, pidana, pemasyarakatan ROCKY MARBUN
THE CONCEPT OF DIYAT AS AN ALTERNATIVE PUNISHMENT IN CRIMINAL JUSTICE SYSTEM AS A SOLUTION OF PRISON OVERCAPACITY PHENOMENA Journal of Law and Judiciary, Vol. 6 No. 2 page 189 - 212 Through the ecletic-incorporation method and prismatic concept, the concept of diyat which has been modified will make it able to experience the unification of the law for the nation of Indonesia. Through the goodness and excellence of the concept of diyat, the author believes it is an alternative solution to the failure of the Criminal Justice System that is currently used. The main objective of the Paradigm of the Pancasila Law is not just to achieve justice, but also to achieve peace in the life of society, nation and state. Reversing the conditions of the community to its original state (restitutio in integrum) is the main goal in the Paradigm of the Pancasila Law. However, the infiltration process of the concept of diyat, must be realized through in-depth study, in particular against any criminal acts that can be applied. The concept of diyat in its essence also brings about a shrinkage of the powers of the judge in imposing imprisonment against perpetrators of certain crimes that are established by the Political Criminal Law and Criminal Law System in Indonesia, once peace and justice is achieved by the victims and / or their families. The writing of this paper uses normative juridical method with approach to legislation, conceptual approach, philosophical approach and sociological approach. Keywords : diyat, fiqh, jinayat, crime, society
vi
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 pISSN 2303-3274, eISSN 2528-1100
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya AFRIANTO SAGITA, YOSUA HAMONANGAN SIHOMBING
OPTIMALISASI PENGADILAN PERIKANAN DALAM PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PERIKANAN DI PERAIRAN INDONESIA Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 6 No. 2 Hlm. 213 - 232
Indonesia memiliki laut yang luas mengandung sumber daya perikanan yang potensial untuk menunjang perekonomian negara. Namun potensi tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena terjadinya tindak pidana perikanan dan belum maksimalnya penegakan hukum di bidang perikanan. Hal itu menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan perikanan. Sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan. Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan masih terdapat kelemahan dikarenakan kompleksnya permasalahan tindak pidana perikanan, dan juga masalah mekanisme koordinasi antar instansi penegak hukum dan pembentukan pengadilan perikanan yang belum merata di seluruh wilayah pengadilan negeri. Dalam menyelesaikan problematika tersebut, reformasi dalam penegakan hukum menjadi kunci utama yang terfokus kepada substansi hukum dan sumber daya manusia yang mendukung dalam penegakan hukum di bidang perikanan sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan. Kata kunci : tindak pidana perikanan, penegakan hukum, pengadilan perikanan AFRIANTO SAGITA, YOSUA HAMONANGAN SIHOMBING
THE OPTIMIZATION OF FISHERY COURT AS FISHERY CRIMES LAW ENFORCEMENT IN INDONESIA TERRITORIAL SEA Journal of Law and Judiciary, Vol. 6 No. 2 page 213 - 232
Indonesia’s has control over vast seas potential to support the country's economy. However, the potential was not optimal because of fishery crime and the lacking of law enforcement in the field of fisheries. This matter becomes very important and strategic in order to support the fishery development in a controlled manner and in accordance with the principles of sustainable fishery management. However, in practice, law enforcement in fisheries shows weaknesses. It is evident from the very complex problems of criminal offenses fisheries, interagency coordination mechanism problems and the establishment of a fishery court to enforce the law that is not evenly distributed throughout the territory of the district court. In resolving these problems, reforms in law enforcement is the key factor that is focused on the legal and human resources. With this support of fishery law enforcement, it is hoped that fisheries development can be carried out in a sustainable manner. Keywords: fisheries crimes, law enforcement, fishery court
vii
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 pISSN 2303-3274, eISSN 2528-1100
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya MUHAMMAD ISHAR HELMI, RIKO HENDRA PILO
INDEPENDENSI HAKIM AD-HOC PADA LINGKUNGAN PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 6 No. 2 Hlm. 233 - 258
Undang-Undang PPHI mengatur asas penyelesaian perselisihan hubungan industrial dilakukan secara musyawarah mufakat, dengan berprinsip jika terjadi perselisihan antara pekerja/buruh dan pengusaha maka tahap pertama penyelesaian perselisihan tersebut diserahkan pada pihak yang berselisih (bipartit). Ketentuan Pasal 63 ayat (2) dan Pasal 67 ayat (1) huruf f Undang-Undang tersebut mengakibatkan hakim adhoc Pengadilan Hubungan Industrial, dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya memeriksa dan memutus suatu perkara harus mandiri dan lepas dari segala bentuk intervensi lembaga/instansi manapun menjadi terbatasi dan tidak optimal. Hakim ad-hoc Peradilan Hubungan Industrial merupakan hakim yang diusulkan oleh serikat pekerja/serikat buruh, organisasi pengusaha, juga diberhentikan secara hormat oleh serikat pekerja/serikat buruh, organisasi pengusaha tersebut. Hal ini tentunya akan menciderai sistem peradilan yang bebas, tidak memihak dan bersih yang diimpikan karena para hakim akan dikuasai oleh para pihak yang berperkara, karena keberadaan hakim diangkat dan diberhentikan oleh pihak yang akan disidangkan di peradilan hubungan industrial tersebut. Kata kunci : independensi peradilan, hakim ad-hoc, PHI MUHAMMAD ISHAR HELMI, RIKO HENDRA PILO
THE JUDICIAL INDEPENDENCE OF AD-HOC JUDGES IN INDUSTRIAL RELATION COURT Journal of Law and Judiciary, Vol. 6 No. 2 page 233 - 258 PPHI (Industrial Relations Disputes Settlement) Act regulates the principle of settlement of industrial relations disputes by consensus, if there is a dispute between employee/workers and employers, the first stage of dispute settlement shall be submitted to disputing party (bipartite settlement). The provisions of Article 63 paragraph (2) and Article 67 paragraph (1) sub-paragraph f of the Act shall result in the ad-hoc judges of the Industrial Relations Court, in carrying out their duties and responsibilities to examine and decide a case shall be independent and kept away from any intervention of any institution. The ad-hoc judges of the Industrial Relations Court is a judge proposed by a trade union, employers organization, also dismissed respectfully by the trade union and the employers organization. This will undermine the free, impartial and clean judicial system that dreams of because the judges will be ruled by the litigants, as the judge is appointed and dismissed by the party to be tried in the industrial relations court. Keywords : judicial independence, ad-hoc judges, PHI
viii
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 pISSN 2303-3274, eISSN 2528-1100
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya OKSIDELFA YANTO
PERANAN HAKIM DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA NARKOBA MELALUI PUTUSAN YANG BERKEADILAN Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 6 No. 2 Hlm. 259 - 278
Indonesia adalah negara terbesar ke empat dalam kapasitas jumlah penduduknya di dunia. Sebagai negara dengan penduduk terbesar berbagai macam persoalan sering menghinggapi bangsa Indonesia. Salah satu masalah tersebut adalah masalah penegakan hukum kasus narkotika dan obat-obatan berbahaya. Sampai hari ini Indonesia dihadapkan kepada peredaran narkoba yang begitu memprihatinkan. Kejahatan narkoba begitu merajalela dengan bebas dalam kehidupan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri kejahatan narkoba telah mengancam masa depan anak bangsa. Sudah banyak jatuh korban bahkan sampai ada yang meninggal dunia. Penyalahgunaan narkoba sudah sampai pada fase yang sangat membahayakan. Tidak ada cara lain, pemerintah dan aparat penegak hukum yang ada harus segera mengambil langkah serius dan sungguh-sungguh. Kasihan anak bangsa ini yang selalu menjadi korban peredaran narkoba oleh para sindikat. Hukum harus ditegakkan dengan seadil-adilnya. Karena hukum adalah panglima tertinggi yang tidak boleh dikalahkan oleh apapun juga. Kata Kunci : peranan hakim, tindak pidana, narkoba OKSIDELFA YANTO
THE ROLE OF JUDGES IN DRUG ERADICATION THROUGH RIGHTEOUS VERDICT Journal of Law and Judiciary, Vol. 6 No. 2 page 259 - 278 Indonesia is the fourth largest country in the capacity of the population number in the world. As the country with the largest population, various problems often plague the nation of Indonesia. One such problem is the problem of law enforcement and narcotics and drugs cases. Up to now Indonesia is confronted with drug trafficking that is very alarming. Drug crimes are so uncontrolled in social life. It is undeniable that narcotics have been threatening the future of the nation. There have been already many victims even until some of them dies. Drug abuse has reached very dangerous phase. There is no other way, government and officials must immediately take a serious and earnest step. It is a pity that the nation's children must always be the victims of drug distribution by the syndicate. Laws must be enforced as fairly as possible. Because the law is the supreme commander that must not be defeated by anything. Keywords : role of the judge, crime, drugs
ix
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 pISSN 2303-3274, eISSN 2528-1100
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya FITRI WAHYUNI
HUKUMAN KEBIRI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN ANAK DAN KAITANNYA DENGAN HAK ASASI MANUSIA Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 6 No. 2, Hlm. 279 - 296
Fenomena kejahatan pemerkosaan terhadap anak merupakan kejahatan yang sangat meresahkan dalam masyarakat dewasa ini. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang tentang Perlindungan Anak telah memuat sanksi hukum bagi pelaku pemerkosaan. Akan tetapi, terdapat beberapa kelemahan yang timbul bila sanksi hukum tersebut dikenakan bagi pelaku pemerkosaan terhadap anak. Sanksi pidana terhadap pelaku pemerkosaan tersebut dianggap tidak memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan pemerkosaan. Sehingga, pemerintah mengesahkan perpu mengenai hukuman kebiri bagi pelaku pemerkosaan terhadap anak. Hukuman kebiri merupakan hukuman yang menunjukkan cara berfikir balas dendam, sehingga pendekatan hukuman kebiri ini sudah lama ditinggalkan. Selain itu, dalam tujuan pemidanaan hukuman kebiri belum mencerminkan rasa keadilan. Disebabkan hukuman kebiri belum memberikan efek jera bagi pelaku serta tidak selaras dengan prinsip-prinsip hak yang mengakomodasi hak-hak keberlangsungan keturunan bagi pelaku tindak pidana. Kata kunci : kebiri, pemerkosaan, hak asasi manusia FITRI WAHYUNI
THE CASTRATION PUNISHMENT FOR CHILD RAPIST AND ITS RELATION TO HUMAN RIGHT Journal of Law and Judiciary, Vol. 6 No. 2 page 279 - 296 The phenomena of rape against children are very alarming in today's society. The Penal Code and the Child Protection Act has posted punishment on the perpetrator, but there are some disadvantages that arise when legal sanctions are imposed on child rapist. Criminal sanctions against rapist are deemed not provide a deterrent effect. The government passed perpu on castration punishment for child rapist. The castration punishment was a punishment that shows revenge way of thought, so the approach has long been abandoned. In addition, from the objective of sentencing, castration punishment has not yet reflected the sense of justice. Since it has not provided a deterrent effect for offenders and unbalanced with the principles of the right to accommodate the rights of the sustainability of offspring for the offender. Keywords : castration, rape, human rights
x
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 pISSN 2303-3274, eISSN 2528-1100
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya EDI HUDIATA
REKONSTRUKSI HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA PASAR MODAL SYARIAH: PENGUATAN ASPEK REGULASI UNTUK MEMBERIKAN KEPASTIAN HUKUM Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 6 No. 2 Hlm. 297 - 316
Regulasi mengenai pasar modal syariah mengikuti aturan yang terdapat dalam UU 8/1995 tentang Pasar Modal, Fatwa DSN MUI Nomor 40/IX/ 2003, Peraturan Bapepam dan LK Nomor IX.A.13, Nomor IX.A.14, dan Nomor II.K.1. Dari beberapa aturan tersebut, belum ada yang secara jelas mengatur penyelesaian sengketa pasar modal syariah baik secara litigasi maupun nonlitigasi sehingga menimbulkan kekosongan hukum (leemten in het recht). Ketentuan penyelesaian sengketa ekonomi syariah, termasuk di dalamnya sengketa pasar modal syariah, hanya terdapat dalam UU 3/2006. Melalui metode penelitian kuantitatif, penelitian ini berupaya mengharmoniskan aturan yang kosong sekaligus juga mengisi kekosongan hukum tersebut. Penelitian berkesimpulan penyelesaian sengketa pasar modal syariah secara litigasi diselesaikan di Pengadilan Agama, sementara secara nonlitigasi diselesaikan melalui BASYARNAS dan/atau sebagaimana sengketa perdata lainnya juga dapat diselesaikan melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa sesuai UU 30/1999. Kata kunci : kekosongan hukum, pasar modal syariah EDI HUDIATA
RECONSTRUCTION OF LEGAL DISPUTE SETTLEMENT OF ISLAMIC CAPITAL MARKET: STRENGTHENING THE REGULATORY ASPECT TO PROVIDE LEGAL CERTAINTY Journal of Law and Judiciary, Vol. 6 No. 2 page 297 - 316 The regulation of the Islamic capital market following the rules contained in Law 8/1995 on Capital Market, DSN MUI Fatwa No. 40 / IX / 2003, Bapepam-LK Number IX.A.13, No. IX.A.14, and No. II. K.1 From that rules, nothing has clearly set the Islamic capital market dispute resolution, both litigation and non-litigation resulting in a legal vacuum (leemten in het recht). Islamic economic dispute settlement provisions, including the dispute over the Islamic capital market, is only found in Law 3/2006. Through quantitative research methods, the study sought to harmonize the empty rules at the same time filling thus legal vacuum. The research concluded that the settlement litigation of disputes in Islamic capital markets settled in the Religious Court, while in non-litigation resolved through BASYARNAS (National Sharia Arbitration Board) and / or as other civil disputes can also be resolved through Alternative Dispute Resolution in accordance with Law 30/1999. Keywords: legal vacuum, the Islamic capital market
xi
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 pISSN 2303-3274, eISSN 2528-1100
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya NURHADI
WASIAT WAJIBAH SEBAGAI PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM PERKARA WARIS BEDA AGAMA (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 16 K/AG/2010) Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 6 No. 2 Hlm. 317 - 336
Mayoritas dalam praktik pembagian waris di Pengadilan Agama bagi ahli waris beda agama, maka ahli waris yang nonmuslim tidak berhak atas harta warisan orang tuanya, putusan yang demikian bukanlah tanpa dasar yang kuat, memang ada dasarnya yang kuat yaitu sabda Nabi Muhammad SAW yang menyatakan: “Seorang muslim tidak mewarisi seorang kafir, dan seorang kafir juga tidak mewarisi seorang muslim”. Dalam penelitian ini akan mengulas dua rumusan masalah yaitu, apakah putusan MA tersebut merupakan sebuah terobosan hukum atau penemuan hukum dan apakah instrumen hukum pemberian hak waris bagi keluarga yang non muslim melalui wasiat wajibah dianggap sudah tepat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 K/AG/2010 dapat dianggap sebagai penemuan hukum dalam pembagian waris bagi ahli waris beda agama, dengan tidak melanggar ketentuan hadits tersebut. Instrumen yang digunakan dalam pembagian waris bagi non muslim pun sudah tepat yaitu dengan wasiat wajibah. Kata kunci : korupsi, pengembalian aset, ahli waris HASWANDI
THE WAJIBAH WASIYAH AS A LEGAL INVENTION OF JUDGES IN INTERFAITH INHERITANCE (CASE STUDY DECREE OF SUPREME COURT NUMBER 16 K / AG / 2010) Journal of Law and Judiciary, Vol. 6 No. 2 page 317 - 336 The majority practice of inheritance distribution in the Religious Courts for the heirs of different religions was the nonmuslim heirs are not entitled to the inheritance of their parents, such a verdict is not without a strong foundation, there is a strong basis utterance of Prophet Muhammad SAW which states: “muslim does not inherit a nonmuslim, and a nonmuslim also does not inherit a Muslim". In this research will review two problem formulas. Firstly, is the Supreme Court's decision a legal breakthrough or legal invention? Secondly, is the legal instrument of granting inheritance rights to nonmuslim families through a wajibah wasiyah considered appropriate. The method used in this research is analytical descriptive. The results of the research indicate that the Supreme Court Decision Number 16 K/AG/2010 can be considered as legal invention in the division of inheritance for the heirs of different religions, without violating the hadith provisions. The instrument used in inheritance distribution toward nonmuslim is right with wajibah wasiyah. Keywords : corruption, aset recovery, heir
xii
PENGATURAN TINDAK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (Tinjauan Fiqh Al- Bi’ah) THE SETTING OF CRIMINAL ACT IN LAW NUMBER 32 OF 2009 ON ENVIRONMENTAL PROTECTION AND MANAGEMENT (Fiqh Al-Bi’ah Review) MUHAMMAD RIDWANSYAH Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Jl. Sosio Justisia. Bulaksumur, Yogyakarta 55281 Email:
[email protected] Diterima: 17/10/2016
Revisi: 08/05/2017 Disetujui: 30/05/2017 DOI : 10.25216/JHP.6.2.2017.173-188
ABSTRAK Pengaturan hukum lingkungan hidup di Indonesia sudah mulai membaik karena di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah memuat tindak pidana bagi yang melanggar ketentuan tersebut. Hal ini seperti tercantum pada Pasal 98, 99, dan 100. Kendati demikian dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (literature research) yang dilakukan untuk memperoleh data sekunder di bidang hukum lingkungan dan fiqh al-bi’ah. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, sifat dari penelitian ini deskriptif analisis. Bertujuan untuk memberikan gambaran secara sistematis terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 serta pendapat fiqh lingkungan secara akurat dan pandangan sanksi pidana yang digunakan kedua pengaturan tersebut. Penelitian ini memfokuskan dua pertanyaan. Pertama, bagaimanakah pengaturan tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kedua, apakah konsep Fiqh Al Bi’ah sejalan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hasil penelitian ini ialah tindak pidana yang terdapat pada Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup belum cukup mampu menjerat perusak lingkungan hidup, sehingga pemerintah diharapkan dapat merevisi pasal-pasal yang tidak sesuai. Selanjutnya hasil dari penelitian ini adalah adanya kesamaan konsep antara fiqh al-bi’ah dengan pengaturan lingkungan yang ada di Indonesia. Konsep yang ditawarkan fiqh al-bi’ah merupakan bagian dari maqashidul syari’ah dimana Islam sangat menganjurkan menjaga lingkungan. Kata kunci: lingkungan hidup, Fiqh Al-Bi’ah, Maqashidul Syari’ah
173
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 173 - 188
ABSTRACT The setting of environmental law in Indonesia has started to improve since the Law Number 32 of 2009 on Environmental Protection and Management contains criminal act for every person who violates the provisions. It is stated in Article 98, 99, 100. This research method is a library or literature research which is conducted to gather secondary data in the field of environmental law and fiqh al-bi’ah. This research is normative law research while the nature of this research is descriptive analysis. It aimed to give a systematic illustration on legal norms that was found in law number 32 of 2009 and environmental fiqh accurately and the criminal sanctions review used in both arrangements. In this study there were two questions first, how is the arrangement of criminal act in Law No. 32 of 2009 on Environmental Protection Management. The second is whether the concept of fiqh al bi’ah is in line with Law No. 32 of 2009 on Environmental Protection Management. The result from this study is that the criminal act contained in the Law No. 32 of 2009 on Environmental Protection Management has not been enough to trap the environmental destroyer so that the government is expected to revise the unsuitable articles. Furthermore, the result of this research shows the similarity concept between fiqh al bi’ah and environmental governance in Indonesia. The concept offered by fiqh al bi’ah is a part of maqashidul syari’ah where Islam strongly recommended to maintain the environment. Keywords: environment, Fiqh Al-Bi’ah, Maqashidul Syari’ah I.
PENDAHULUAN Menurut Kartono 1 dalam penelitiannya mengatakan ancaman kelestarian
lingkungan dewasa ini semakin meningkat. Buruknya kualitas lingkungan antara lain ditandai dengan meningkatnya eksploitasi sumber daya alam yang menghasilkan limbah industri. Kira-kira 250 ribu ton telah dibuang selama tahun 1990 dan diperkirakan meningkat menjadi 1,2 juta ton pada tahun 2010, termasuk 1 juta ton zat beracun seperti logam berat, pestisida dan senyawa organik yang sangat toksik dan persisten di dalam lingkungan. 2 Sementara itu menurut Kementerian Lingkungan Hidup Repulik Indonesia (KLH) laju perusakan hutan juga meningkat dari 1,6 juta hektar/tahun pada 1997-2001. Laporan tahun KLH memberikan data bahwa meskipun hutan tropis Indonesia kini hampir habis, laju deforestasi justru semakin meningkat hingga 3,6 juta hektar pertahun.
Kartono, “Penegakan Hukum Lingkungan Administratif Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” Jurnal Fakultas Hukum Universitas Jenderal Sudirman Vol. 9, no. No. 3 (2009): Hal. 247. 2 Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah, Melaksanakan Pembangunan Berkelanjutan Dengan Menegakkan Hukum Lingkungan Bagi Pencemaran (Jakarta: Kabid Pusat Penelitian Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah, 2005). 1
174
Pengaturan Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Tinjauan Fiqh Al- Bi’ah) - Muhammad Ridwansyah
Saat ini sekitar 59,2 juta hektar atau sekitar 50% dari total kawasan hutan yang ada, 120.35 juta hektar kawasan hutan perlu direhabilitasi. 3 Penggunaan bahan bakar fosil baik dari sumber bergerak yang terus meningkat jumlahnya. Dalam 20 tahun terakhir saja terjadi kenaikan suhu udara 1.7 derajat celcius dari sebelumnya 33 derajat celcius menjadi 34,7 derajat celcius. 4 Jika dilihat data terakhir tentang kondisi lingkungan di Indonesia dalam penelitian Kartono, Indonesia menunjukan tingginya tingkat permanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan peningkatan kerusakan serta pencemaran lingkungan, antara lain; 1.
2. 3. 4. 5.
6.
Pertumbuhan pendudukan dari tahun 1980 s/d 2000 meningkat dengan cepat. Pada tahun 1980 jumlah penduduk Indonesia 146.935.000 jiwa, bertambah sebanyak 1,9% menjadi 178.500.000 jiwa pada tahun 1990. Pada tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia menjadi 205.845.000 jiwa atau naik 1,49% dengan kepadatan mencapai 109 jiwa per km2. Hal ini meningkatkan eksploitasi sumber daya secara besar-besaran yang mengakibatkan terjadi kerusakan lingkungan. Hasil penelitian WHO pada tahun 2001 menunjukkan bahwa pencemaran udara di lima kota besar dunia diakibatkan gas buang kendaraan bermotor. Kondisi terumbu karang sudah semakin mencemaskan, sekitar 14% telah mengalami kerusakan. 33% dalam kondisi masih cukup baik dan hanya 7% kondisinya masih sangat baik. Hutan bakau Indonesia diperkirakan tinggal 3,24 juta hektar dari 4, 25 juta hektar, sedangkan hasil citra landsat tahun 1992, hutan bakau Indonesia masih sebesar 3.737.000 hektar. Deposisi asam rata-rata derajat keasaman (pH) beban air hujan selama lima tahun terakhir di berbagai daerah berkisar antara 4.8 s/d 5.8, kondisi ini menunjukan bahwa air hujan di sebagian besar wilayah Indonesia telah berada dibawah nilai pH normal yaitu, 5.6-7.5 atau telah mencerminkan sifat air hujan asam. Pengalihan pemanfaatan lahan untuk pembangunan terus berlanjut yang mengakibatkan berkuranganya atau hilangnya lahan-lahan yang berfungsi sebagai penopang keseimbangan lingkungan. Areal air tawar telah berkurang dari 11.5 juta hektar menjadi 5.1 juta hektar, danau berkurang dari 774.000 hektar menjadi 308.000 hektar. Alasan-alasan tersebut menjadi mega degradasi lingkungan tak terbendung dan
membuat rakyat semakin menderita, maka dalam hal ini penulis ingin mengkaji melalui tindak pidana lingkungan. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) pada Bab XV Ketentuan
3
2005).
Kementerian Lingkungan Hidup, Laporan Menteri Lingkungan Hidup Tahun 2005 (Jakarta,
Kementerian Lingkungan Hidup, Environmental Parliament Watch (EPW) Menuju Peran Masyarakat (Jakarta: Deputi Bidang Pengembangan Peran Masyarakat, 2004). 4
175
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 173 - 188
Pidana Pasal 97 menentukan tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan. Pasal 98 (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Ayat (2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). Dan (3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 99 (1) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). (3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah). Pasal 100 (1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali. Ketentuan pasal-pasal di atas mengatur tentang tindak pidana terhadap setiap orang agar dapat dihukum atas kerusakan yang dibuat terhadap lingkungan. Sejalan dengan kontruksi pemikiran tersebut ketentuan pidana yang terdapat UUPPLH jauh lebih lengkap dan rinci bila dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 176
Pengaturan Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Tinjauan Fiqh Al- Bi’ah) - Muhammad Ridwansyah
tentang Lingkungan Hidup yang lama, namun masih banyak hal-hal yang perlu dibenahi dalam UUPPLH tersebut. Analisis penelitian ini menunjukkan bahwa penegakan hukum pidana terhadap delik formal memiliki hukum acara khusus, karena berkaitan dengan asas ultimum remedium, mengandung makna bahwa pendayagunaan hukum pidana terhadap delik formal harus menunggu sampai penegakan hukum administrasi dinyatakan sudah tidak efektif lagi. Untuk menghindari kesulitan dalam penegakan hukum lingkungan, maka peraturan perundang-undangan khususnya tentang hukum formal harus disusun secara jelas, tegas, tidak multi tafsir. Penulis mencoba membandingkannya dengan fiqh al-bi’ah yakni fiqh lingkungan. Pemahaman tentang fiqh al-bi’ah bermakna fiqh lingkungan atau pemahaman terhadap lingkungan. Sedangkan menurut istilah adalah aturan tentang perilaku ekologis manusia yang ditetapkan oleh ulama berdasarkan dalil-dalil dengan tujuan terciptanya kemaslahatan kehidupan yang bernuansa ekologis. Oleh Qardhawi, fiqh al-bi’ah didudukkan sejajar dengan prinsip dasar kemaslahatan Islam lainnya, seperti prinsip untuk memelihara agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan. Semua prinsip ini, termasuk fiqh al-bi’ah menurutnya jika tidak dijalankan dengan baik mengakibatkan terganggunya tatanan kehidupan masyarakat. 5 Fokus dalam rumusan masalah peneliti pertama, bagaimanakah pengaturan tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup? Kedua, apakah konsep Fiqh Al Bi’ah sejalan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup? II. PEMBAHASAN A. Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia Tentang pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia ini akan menguraikan mengenai perkembangan zaman Hindia Belanda sampai sekarang secara singkat dan komprehensif. 6 Namun sebelum berangkat ke pengaturannya penulis akan membahas sedikit tentang apa itu hukum lingkungan? Hukum lingkungan merupakan bidang ilmu masih muda, yang perkembangannya baru terjadi pada dasawarsa akhir ini. Apabila
Zahlul Pasha, Fiqh Al-Bi’ah, Solusi Islam Untuk Kelestarian Lingkungan (Banda Aceh, 2015). Hal ini sudah dibahas mulai dari Peraturan Perundang-undangan Zaman Hindia Belanda, Zaman Zepang dan Zaman Kemerdekaan dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup. Keosnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989). 5 6
177
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 173 - 188
dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur berbagai aspek lingkungan maka panjang atau pendeknya sejarah tentang peraturan tersebut tergantung tentang perumahan termasuk di dalamnya, maka Code of Hamurabi dari sekian abad sebelum Masehi merupakan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup dengan ketentuannya yang menyatakan bahwa sanksi pidana dikenakan kepada seseorang apabila ia membangun rumah sedemikian gegabahnya sehingga runtuh menyebabkan cederanya orang lain. Demikian pula dapat dikemukakan ada peraturan zaman Romawi tentang jembatan air (aqueducts) yang merupakan bukti dari adanya ketentuan tentang teknik sanitasi dan perlindungan lingkungan. 7 Menurut St. Moenadjat Danusaputro ada perbedaan mendasar antara hukum lingkungan modern yang berorientasi kepada lingkungan atau environment oriented law dan hukum lingkungan klasik yang berorientasi kepada penggunaan lingkungan atau useoriented law. Hukum lingkungan modern menetapkan ketentuan dan norma-norma guna mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya demi untuk menjamin kelestariannya agar dapat secara langsung terus menerus digunakan oleh generasi-generasi mendatang. Sebaliknya hukum lingkungan klasik merupakan ketentuan dan norma-norma dengan tujuan terutama sekali untuk menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber daya lingkungan berbagai dan kepandaian manusia guna mencapai secara maksimal mungkin, dan dalam jangka waktu yang sesingkat-singkatnya. 8 Sejalan dengan di atas mengemukakan bahwa hukum lingkungan merupakan (Milieurecht) adalah hukum yang berhubungan dengan lingkungan alam (natuurlijk milieu) dalam arti seluas-luasnya. Ruang lingkup berkaitan dengan dan ditentukan oleh ruang lingkup pengelolaan lingkungan. Dengan demikian hukum lingkungan merupakan instrumen yuridis bagi pengelolaan lingkungan. Mengingat pengelolaan lingkungan dilakukan oleh pemerintah maka hukum lingkungan sebagian besar terdiri atas hukum pemerintah (bestuursrecht). Di samping hukum lingkungan pemerintahan (bestuursrecht milieurecht) yang dibentuk oleh pemerintah pusat. Ada pula hukum lingkungan
7 Mohammad Taufiq Makarao, Aspek-Aspek Hukum Lingkungan (Jakarta: Indeks Kelompok Gramedia, 2006). 8 St. Moenajat Danusaputro, Hukum Lingkungan, Buku I. (Bandung: Binacipta, 1977)..
178
Pengaturan Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Tinjauan Fiqh Al- Bi’ah) - Muhammad Ridwansyah
pemerintahan yang berasal dari pemerintah daerah dan sebagian lagi dibentuk oleh badanbadan Internasional atau melalui perjanjian dengan negara-negara lain. 9 Demikian pula terdapat hukum lingkungan keperdataan (privaatrechtelijk millieurecht), hukum lingkungan kepidanaan (strafrechtelijk millieurech), sepanjang bidang-bidang hukum ini memuat ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup. Drupsteen membagi lingkungan pemerintahan sebagai berikut, hukum kesehatan lingkungan, hukum perlindungan lingkungan, dan hukum tata ruang. 10 1.
Pengaturan Hukum Lingkungan sebelum Merdeka Pada zaman Hindia Belanda sebagaimana tercantum dalam Himpunan Peraturan
Perundang-undangan di bidang Lingkungan Hidup yang disusun oleh Panitia Perumus dan Rencana Kerja bagi Pemerintah di bidang pegembangan Lingkungan Hidup dan diterbitkan pada Tanggal 5 Juni 1978, adalah mengenai perikanan mutiara dan perikanan bunga karang yaitu Parelvisscherij, Sponsenvissherijjordonantie (Stbl. 1961 No. 157), dikeluarkan di Bogor oleh Gubernur Jenderal Idenburg pada Tanggal 29 Januari 1916. 11 Zaman Jepang, hampir tidak ada peraturan mengenai bidang lingkungan hidup yang dikeluarkan, kecuali Osamu S. Kanrei No. 6, yaitu mengenai larangan menebang pohon aghata, alba, dan balsam tanpa izin Gunseikan. 12 2.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 UUD 1945 mengatur tentang hukum lingkungan tercantum pada Pasal 33 ayat (3)
menentukan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Turunan dari pasal ini disusun oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup (UULH). Sejarahnya RUU dimulai pembahasannya pada Tahun 1976 dan ditingkatkan dengan dibentuknya kelompok kerja pembinaan Hukum dan Aparatur dalam Pengelolaan Sumber Alam dan Lingkungan Hidup dalam bulan Maret 1979 oleh Menteri Negara PPLH. Alasannya dibentuk undang-undang tersebut ialah karena di dalam Repelita III, Bab 7 tertera petunjuk mengenai perlunya undang-undang yang memuat pokok-pokok
Keosnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan. St. Moenajat Danusaputro, Hukum Lingkungan.hlm. 15. 11 Ibid.hlm. 90. 12 Ibid.hlm. 92. 9
10
179
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 173 - 188
tentang masalah lingkungan. Menurut pemerintah pada saat itu peraturan perundangundangan kurang memuat segi lingkungan hidup. Sejalan dengan itu Indonesia mulai memasuki tahap indrustrialisasi bersamaan dengan peningkatan pengembangan pertanian, sebagai bagian dari pelaksanaan pembangunan secara bertahap yang bertujuan meningkatkan hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat serta meletakan landasan yang kuat untuk pembangunan tahap berikut. Pada saat itu arah pembangunan tertuju kepada pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. 13 Maka atas dasar alasan tersebut diperlukannya undang-undang tentang lingkungan hidup. Kehadiran UULH ternyata tidak bisa menjawab tentang pengelolaan lingkungan hidup maka diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). Bahwa agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem, perlu dilakukan pembaruan terhadap peraturan tentang lingkungan hidup digantilah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Menurut Harry Supriyono 14 ada beberapa perbandingan yang terdapat pada undang-undang lingkungan hidup. Perbandingan yang terdapat pada UULH 1982, fungsinya sebagai payung, pengaturan izin bersifat umum, tidak diatur sanksi administrasi, diatur kebijakan sistem insentif dan disinsentif, mandat hukum pengaturan perlindungan lingkungan, prosedur gugatan penafsiran, dan terdapat pidana materiil. Jika dibandingkan dengan UUPLH 1997 hal ini dimaksudkan sebagai UU yang aplikatif, Amdal prasyarat izin usaha, tidak diatur kebijakan intensif dan disinsentif, diatur sanksi administrasi penguatan sanksi pidana, dan adanya perdata alternatif dan pengakuan legal standing dan class actions. Kalau dilihat UUPPLH 2009, maka ini diatur lebih rincinya penegasan sebagai fungsi dan sebagai payung dan implikasinya, Amdal prasyarat izin lingkungan, punya revilitasi Amdal, terdapatnya pengaturan sistem insentif dan disinsentif lebih luas, pemidanaan administrasi dan pembatasan asas subsidaritas, terdapat delik pencemaran all embracing. 13 14
180
Ibid.hlm. 94-96. Harry Supriyono, Hukum Lingkungan, III. (Yogyakarta: Diktat Kuliah, 2010).
Pengaturan Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Tinjauan Fiqh Al- Bi’ah) - Muhammad Ridwansyah
B. Pengaturan Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut Soo Wong Kim 15 dalam penelitianya UUPPLH 2009 yang menggantikan UU No. 23 Tahun 1997, maka fungsi sebagai undang-undang induk umbrella provisions melekat pada UUPPLH 2009. UUPPLH membawa perubahan mendasar dalam pengaturan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. 16 Jika dicermati terdapat beberapa perbedaan pengaturan antara UUPPLH 1997 dan UUPPLH 2009. Pertama, UUPPLH 1997 merumuskan tindak pidana sebagai tindakan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup (sebagaimana diatur dalam Pasal 41), sedangkan UUPPLH 2009 merumuskan tindak pidana yaitu sebagai tindakan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup (sebagaimana diatur dalam Pasal 98). Kedua, UUPPLH 1997 merumuskan pidana dengan pidana maksimum, sedangkan UUPPLH 2009 merumuskan pidana dengan minimum dan maksimum. Ketiga, UUPPLH 2009 mengatur mengenai hal-hal yang tidak di atur dalam UUPPLH 1997 yaitu di antaranya pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu (sebagaimana diatur dalam Pasal 100), perluasan alat bukti, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. 17 Lebih jauh dari penjelasan UUPPLH 2009 dijelaskan pula mengenai perbedaan mendasar dengan UUPPLH 1997 adalah adanya penguatan yang terdapat dalam undangundang ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum wajib mengintegrasikan aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan. 18 Sepemahaman dengan di atas dalam penelitian Salman Luthan mengatakan UUPPLH, dalam penjelasan umum, memandang hukum pidana sebagai upaya terakhir
So Woong Kim, “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penegakan Hukum Lingkungan Hidup,” Jurnal Dinamika Hukum Vol. 13, no. No. 3 (2013): Hal. 415. 16 Edra Satmaidi, “Politik Hukum Pengelolaan LingkunganHidup Di Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945,” Jurnal Konstitusi Vol. 4, no. No. 1 (2011): Hal. 69-81. 17 So Woong Kim, “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penegakan Hukum Lingkungan Hidup.” hlm. 417. 18 Ibid. 15
181
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 173 - 188
(ultimum remedium) bagi tindak pidana formil tertentu, sementara untuk tindak pidana lainnya yang diatur selain Pasal 100 UUPPLH, tidak berlaku asas ultimum remedium, yang diberlakukan asas premium remedium (mendahulukan pelaksanaan penegakan hukum pidana). Asas ultimum remedium menempatkan penegakan hukum pidana sebagai pilihan hukum yang terakhir. 19 Artinya ketergantungan penerapan hukum pidana disandarkan pada keadaan sanksi administrasi yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi, atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali. Sejalan dengan konsep yang ditawarkan oleh UUPLH maka dalam ketentuan tindak pidana yang tercantum dalam undang-undang tersebut ada empat hal yang ingin dilihat, Pertama, UUPPLH 2009 mengenai pelaku tindak pidana selain manusia yaitu badan hukum atau perserikatan, yayasan, atau organisasi lainnya sedangkan menurut KUHP yang menjadi pelaku adalah hanyalah manusia pribadi. Kedua, UUPLH di samping menggunakan sanksi pidana pokok dan pidana tambahan seperti dalam KUHP juga menggunakan tindakan tata tertib dalam mempertahankan norma-normanya. Ketiga, rumusan pemidanaan yang kabur dengan penggunaan kata ”dan/atau”, menyebabkan hakim dapat memilih antara penjatuhan sanksi kumulatif ataupun alternatif, dan Keempat, UUPPLH memandang hukum pidana sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) bagi tindak pidana formil tertentu, sementara untuk tindak pidana lainnya yang di berlakukan asas premum remedium (mendahulukan pelaksanaan penegakan hukum pidana). 20 Jadi UUPLH 2009 ternyata masih sangat kurang dalam hal pemidanaan bagi pelaku tindak pidana lingkungan, kendati demikian pasal-pasal yang dibahas tersebut dapat direvisi atau menjadi acuan dalam penyusunan Rancangan KUHP yang mengatur secara eksplisit bahwa yang melaku tindak pidana lingkungan akan dihukum seberat-berat baik individu atau korporasi. C. Konsep Fiqh Al Bi’ah Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pembahasan ini akan penulis uraikan terlebih dahulu dalam pandangan fiqh klasik. Apabila ditelusuri fiqh klasik, tanah kosong itu disebut dengan al-mawat. ulama berselisih paham ketika mendefinisikan tanah mawat ini. Sebagian mereka mengatakan, 19 Salman Luthan, “Asas Dan Kriteria Kriminalisasi,” Jurnal Dinamika Hukum Vol. 16, no. No. 1 (2009): Hal. 8. 20 So Woong Kim, “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penegakan Hukum Lingkungan Hidup.” hlm. 426.
182
Pengaturan Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Tinjauan Fiqh Al- Bi’ah) - Muhammad Ridwansyah
bahwa yang dimaksud adalah tanah yang tidak ada pemiliknya. Karena itu, tanah yang sudah lama ditinggalkan oleh pemiliknya, masih digolongkan tanah mawat. Yang lain mengartikannya dengan tanah yang tidak pernah dikelola oleh seorangpun. Tanah yang sudah pernah dimanfaatkan, lalu ditinggalkan oleh pemiliknya, tidak disebut tanah mawat. Ibnu Rif’ah membagi dua bentuk tanah mawat. Pertama, tanah yang tidak pernah dikelola oleh seseorang. Ini adalah bentuk asal dan tanah mawat. Kedua, tanah yang pernah dimanfaatkan oleh orang kafir, kemudian ditinggalkan. 21 Al-Zarkasyi membagi lahan itu menjadi empat macam. Pertama, tanah yang dimiliki dengan cara pembelian, hibah, dan semacamnya. Kedua, tanah yang digunakan untuk kepentingan umum. Seperti lahan yang diwaqafkan untuk masjid, madrasah dan juga lahan yang digunakan untuk kepentingan umum seperti pasar, jalan, dan semacamnya. Ketiga, tanah milik orang atau kelompok tertentu. Misalnya waqaf khaissah (waqaf untuk komunitas tertentu), tanah desa, dan semacamnya. Keempat, tanah yang tidak dimiliki baik oleh perorangan, kelompok, ataupun umum. Inilah yang disebut dengan tanah mawat. Beberapa definsi ini sebenamya memiliki maksud yang hampir sama, bahwa yang dimaksud adalah tanah yang tidak dikelola oleh seseorang. 22 Menurut Sayyid ‘Alwi ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk dapat memproses hak mengelola tanah ini. Pertama disebut dengan cara ihya’ yakni pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh individu. Dalam hal ini, seseorang mematok lahan untuk dapat digarap dan difungsikan untuk kepentingan pribadinya. Orang yang telah melakukannya dapat memiliki lahan tersebut. Karena itu, orang lain tidak dibenarkan untuk mengambil alihnya. Dalam masalah ini, terjadi perbedaan pendapat diantara pakar fiqh. Madzhab Syafi’i mengatakan siapapun berhak mengambil manfaat atau memilikinya, meskipun tidak mendapat izin dari pemerintah. Beda halnya dengan Imam Abu Hanifah. Beliau berpendapat, ihya’ boleh dilakukan dengan catatan mendapat izin dari pemerintah yang sah. Imam Malik juga berpendapat hampir sama dengan Imam Abu Hanifah. Cuma, beliau menengahi dua pendapat itu dengan cara membedakan dari letak daerahnya. Jika tanah tersebut berada di daerah yang tidak terlalu penting bagi manusia, maka tidak perlu izin Imam. Misalnya berada didaerah padang pasir yang tidak dihuni oleh manusia. Tapi 21 H.M. Misbahus Salam, Fiqih Lingkungan (Fiqh Al-Bi’ah) (Jakarta: Conservation International Indonesia, 2006). 22 Ibid.
183
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 173 - 188
bila berada didaerah yang dekat dengan pemukiman, atau daerah strategis yang menjadi incaran setiap orang, untuk melakukan ihya’ izin imam sangat dibutuhkan. 23 Konteks Indonesia sekarang menurut dampak dari pendapat Imam Syafi’i sangat besar karena akan memperparah terjadi kerusakan hutan. Penebangan liar, peladang berpindah atau para penambang dengan seenaknya mengekploitasi potensi alam tanpa memperhatikan keseimbangan ekosistem yang ada di dalamnya. Karena itu yang lebih maslahah untuk saat ini adalah mengikuti pendapat imam Hanafi. Semua jenis pemanfaatan hutan (dalam bentuk ihya’) harus dengan seizin pemerintah. Tanpa itu, seseorang tidak dibenarkan membuka lahan baru. Apalagi pemerintah telah menetapkan dalam UUD NRI 1945 Pasal 33 ayat 3 menentukan bahwa bumi dan air serta kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. 24 Cara kedua, dengan proses iqtha’. Dengan metode pemerintah memberi jatah pada orang-orang tertentu, untuk menempati dan memanfaatkan sebuah lahan, adakalanya untuk dimiliki, atau hanya untuk dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu. Pemanfaatan dengan cara ini bisa berkonsekuensi adanya kepemilikan dan bisa juga berarti pemberian wewenang pengelolaan. Namun yang paling sering terjadi adalah kemungkinan kedua, yakni orang yang diberi wewenang tidak memiliki lahan. Sehingga dia merupakan orang yang paling berhak atas lahan tersebut, dan bukan sebagai pemilik mutlak. 25 Ketiga, hal ini menjadi terakhir adalah dengan cara hima. Dalam hal ini pemerintah menetapkan suatu area untuk dijadikan sebagai kawasan lindung yang difungsikan untuk kemasalahatan umum. Dalam konteks dulu, difungsikan untuk tempat penggembalaan kuda-kuda milik negara, hewan zakat dan lainnya. Setelah pemerintah menentukan sebuah lahan sebagai hima al-mawat, maka lahan tersebut menjadi milik negara. Tidak seorangpun dibenarkan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadinya (melakukan ihya’), apalagi sampai merusaknya. Kawasan itu difungsikan sesuai dengan tujuan awal kebijakan tersebut. Jika lahan itu dimaksudkan untuk penggembalaan kuda-
Sayyid ‘Alwi Bin al-Sayyid Ahmad al-Saqqaf, Hasyiyyah Tarsyih Al-Mustafidin Bi Tausyih Fath Al-Mu’in (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1955). Sandaran yang digunakan Abu Hanifah adalah sabda Rasul SAW: “Tiada hak bagi siapapun kecuali apa yang yang telah ditentukan oleh imamnya” 24 H.M. Misbahus Salam, Fiqih Lingkungan (Fiqh Al-Bi’ah). hlm. 84. 25 Al-Nawawi, Al-Majmu Ala Syarh Al-Muhadzdzab, Juz 15. (Beirut: Dar al-Fikr, 1997). 23
184
Pengaturan Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Tinjauan Fiqh Al- Bi’ah) - Muhammad Ridwansyah
kuda perang, maka pemanfaatan yang boleh hanyalah untuk kepentingan kuda perang. Bila untuk ternak zakat, maka yang berhak adalah hewan zakat.
26
Senada dengan di atas para ulama nusantara juga mempunyai konsep dalam pengelolaan lingkungan hidup adalah sebuah kewajiban yang dianjurkan oleh Alquran. Adalah KH. Asyhari Abta selaku utusan dari Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta. Dasar yang digunakan Surah al-A’raf ayat 56 bahwa ayat tersebut melarang membuat kerusakan dimuka bumi. Menyadari hal tersebut dalam pelaksanaan pembangunan sumber daya alam Indonesia harus digunakan dengan rasional. Penggalian sumber kekayaan harus diusahakan dengan sekuat tenaga dan strategi dengan tidak merusak tata lingkungan dan tata hidup manusia perlu digunakan teknologi yang ramah lingkungan dan bisa menjaga kelestariannya sehingga bisa dimanfaatkan secara berkesinambungan. 27 Menurut penulis konsep yang ditawarkan oleh fiqh al-bi’ah sebenarnya jauh lebih bagus dari UUPPLH 2009 itu sendiri karena konsep fiqh al-bi’ah sejatinya menekankan hukum terhadap kemaslahatan sosial sedangkan konsep UUPPLH 2009 tindak pidana yang ditawarkan tidak akan menjadi efek jera bagi pelaku kejahatan sehingga hal tersebut akan terulang. Dalam penelitian konseptual ini memang ada beberapa yang sejalan dengan fiqh al-bi’ah itu sendiri yakni sama-sama berupaya melestarikan lingkungan, hal ini bisa dilihat seperti yang diajukan dalam konsep UUPPLH dan fiqh al-bi’ah itu sendiri. III. PENUTUP Sepaham dengan Soo Woong Kim beberapa kebijakan hukum pidana dalam penegakan hukum lingkungan hidup di masa mendatang yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: Pertama, pola pendekatan pemidanan lingkungan mendatang adalah penjeraan (deterrence approach) atau lazim disebut dengan pendekatan penegakan hukum atau stick approach. Pendekatan ini paling banyak digunakan dalam kebijakan penegakan hukum lingkungan. Kedua, upaya pembuktian diarahkan kepada delik formal dimana pembuktian hanya melihat pada unsur kelakuan yang dapat dilihat dengan unsur panca indera, misalnya tindakan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Ketiga,
26 Ahmad Bin Muhammad Bin Ahmad al- Dardiri, Al-Syarh Al-Shaghir, Juz IV. (Kairo: Dar alMa’arif, 2000). Hal ini sebenarnya terdapa juga dalam kitab al-Syaukani, al- Authar, Juz, V, hlm. 308-309 27 Asyhari Abta, Fiqih Lingkungan (Fiqh Al-Bi’ah) (Jakarta: Conservation International Indonesia, 2006).
185
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 173 - 188
pemidanaan diarahkan pada sanksi kumulatif, artinya hakim dapat menjatuhkan seluruh ketentuan pemidanaan dalam undang- undang lingkungan tersebut, baik digabung seluruhnya atau digabung 2 (dua) atau 3 (tiga) saja dan seterusnya. Terkait dengan konsep fiqh al-bi’ah beberapa ulama berpendapat bahwa kehadiran fiqh lingkungan menjadi hal yang sangat penting karena sebagian fuqaha ingin merekontruksi maqashidul syari’ah (agama, jiwa, harta, keturunan, dan akal) dan ingin memasukkan fiqh lingkungan menjadi salah satu yang pokok. Apabila fiqh al-bi’ah sudah masuk dalam tataran dharuriyyah maka keutamaanya menjadi penting. Bahkan nanti setelah pemasukan fiqh al-bi’ah ke dalam maqashi maka salah satu yang menjadi tujuan maqashidul syari’ah diantaranya melindungi lingkungan. IV. DAFTAR PUSTAKA Buku Ahmad Bin Muhammad Bin Ahmad al- Dardiri. Al-Syarh Al-Shaghir. Juz IV. Kairo: Dar al-Ma’arif, 2000. Al-Nawawi. Al-Majmu Ala Syarh Al-Muhadzdzab. Juz 15. Beirut: Dar al-Fikr, 1997. Asyhari Abta. Fiqih Lingkungan (Fiqh Al-Bi’ah). Jakarta: Conservation International Indonesia, 2006. Edra Satmaidi. “Politik Hukum Pengelolaan LingkunganHidup Di Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.” Jurnal Konstitusi Vol. 4, no. No. 1 (2011): Hal. 69-81. H.M. Misbahus Salam. Fiqih Lingkungan (Fiqh Al-Bi’ah). Jakarta: Conservation International Indonesia, 2006. Harry Supriyono. Hukum Lingkungan. III. Yogyakarta: Diktat Kuliah, 2010. Kartono. “Penegakan Hukum Lingkungan Administratif Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.” Jurnal Fakultas Hukum Universitas Jenderal Sudirman Vol. 9, no. No. 3 (2009): Hal. 247. Kementerian Lingkungan Hidup. Environmental Parliament Watch (EPW) Menuju Peran Masyarakat. Jakarta: Deputi Bidang Pengembangan Peran Masyarakat, 2004. ———. Laporan Menteri Lingkungan Hidup Tahun 2005. Jakarta, 2005. Keosnadi Hardjasoemantri. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989. Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah. Melaksanakan Pembangunan
186
Pengaturan Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Tinjauan Fiqh Al- Bi’ah) - Muhammad Ridwansyah
Berkelanjutan Dengan Menegakkan Hukum Lingkungan Bagi Pencemaran. Jakarta: Kabid Pusat Penelitian Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah, 2005. St. Moenajat Danusaputro. Hukum Lingkungan. Buku I. Bandung: Binacipta, 1977. Mohammad Taufiq Makarao. Aspek-Aspek Hukum Lingkungan. Jakarta: Indeks Kelompok Gramedia, 2006. Salman Luthan. “Asas Dan Kriteria Kriminalisasi.” Jurnal Dinamika Hukum Vol. 16, no. No. 1 (2009): Hal. 8. Sayyid ‘Alwi Bin al-Sayyid Ahmad al-Saqqaf. Hasyiyyah Tarsyih Al-Mustafidin Bi Tausyih Fath Al-Mu’in. Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1955. So Woong Kim. “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penegakan Hukum Lingkungan Hidup.” Jurnal Dinamika Hukum Vol. 13, no. No. 3 (2013): Hal. 415. Zahlul Pasha. Fiqh Al-Bi’ah, Solusi Islam Untuk Kelestarian Lingkungan. Banda Aceh, 2015. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28H. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3215). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059).
187
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 173 - 188
188
KONSEP DIYAT SEBAGAI ALTERNATIF PEMIDANAAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA UNTUK MENGATASI FENOMENA OVERCAPACITY LEMBAGA PEMASYARAKATAN THE CONCEPT OF DIYAT AS AN ALTERNATIVE PUNISHMENT IN CRIMINAL JUSTICE SYSTEM AS A SOLUTION OF PRISON OVERCAPACITY PHENOMENA ROCKY MARBUN Fakultas Hukum Universitas Pancasila Jalan Srenseng Sawah Jagakarsa, Jakarta Selatan Email:
[email protected] Diterima : 27/10/2016
Revisi : 18/5/2017 Disetujui : 02/06/2017 DOI : 10.25216/JHP.6.2.2017.189-212
ABSTRAK Melalui metode eklektis-inkorporasi dan konsep prismatik, konsep diyat yang telah dimodifikasi akan dapat mengalami unifikasi hukum bagi seluruh komponen bangsa Indonesia. Kebaikan dan keunggulan konsep diyat dapat menjadi solusi alternatif terhadap kegagalan dari sistem hukum pidana yang saat ini dipergunakan. Tujuan utama dari paradigma hukum pancasila bukan hanya sekedar mencapai keadilan semata, namun pula mencapai kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pengembalian kondisi masyarakat kepada keadaan semula (restitutio in integrum) merupakan tujuan yang utama dalam Paradigma Hukum Pancasila. Namun, proses infiltrasi konsep diyat tersebut, harus melalui penelitian secara mendalam, khususnya terhadap tindak pidana apa yang dapat diterapkan. Konsep diyat pada intinya pula dapat melakukan reduksi terhadap kewenangan hakim dalam menjatuhkan pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana tertentu yang ditetapkan melalui politik hukum pidana dan sistem hukum pidana di Indonesia, apabila telah tercapai kedamaian dan keadilan oleh pihak korban dan/atau keluarga korban. Penulisan karya ilmiah ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan undang-undang, pendekatan konseptual, pendekatan filosofis dan pendekatan sosiologis. Kata Kunci: diyat, fiqh, jinayat, pidana, pemasyarakatan ABSTRACT Through the ecletic-incorporation method and prismatic concept, the concept of diyat which has been modified will make it able to experience the unification of the law for the nation of Indonesia. Through the goodness and excellence of the concept of diyat, the author believes it is an alternative solution to the failure of the Criminal Justice System that is currently used. The main objective of the Paradigm of the Pancasila Law is not just to achieve justice, but also to achieve peace in the life of society, nation and state. Reversing the conditions of the community to its original state (restitutio in integrum) is
189
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 189 - 212
the main goal in the Paradigm of the Pancasila Law. However, the infiltration process of the concept of diyat, must be realized through in-depth study, in particular against any criminal acts that can be applied. The concept of diyat in its essence also brings about a shrinkage of the powers of the judge in imposing imprisonment against perpetrators of certain crimes that are established by the Political Criminal Law and Criminal Law System in Indonesia, once peace and justice is achieved by the victims and / or their families. The writing of this paper uses normative juridical method with approach to legislation, conceptual approach, philosophical approach and sociological approach. Keywords: diyat, fiqh, jinayat, crime, society I.
PENDAHULUAN Perkembangan sistem kepenjaraan telah lama ditinggalkan oleh Indonesia, yang
ditandai dengan disahkan dan diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Eksistensi UU No. 12/1995 tersebut merupakan buah pemikiran dari Sahardjo, mantan Menteri Kehakiman selama tiga periode. Adapun periode pertama adalah selama Kabinet Kerja I dari 10 Juli 1959 hingga 18 Februari 1960, dilanjutkan dengan periode kedua yaitu selama Kabinet Kerja II dari 18 Februari 1960 hingga 06 Maret 1962 dan terakhir pada periode ketiga selama Kabinet Kerja III dari 06 Maret 1962 hingga 13 November 1963. Pada tahun 1963, sebagai Menteri Kehakiman Sahardjo mengemukakan ide mengenai sistem pemasyarakatan yang merupakan pembaharuan hukum terhadap pidana penjara. Sahardjo menegaskan bahwa terpidana adalah orang-orang tersesat serta perlu dilindungi, dibina dan dijadikan orang berguna bahkan menjadi aktif dan produktif di masyarakat. Falsafah pemasyarakatan dari Sahardjo menghendaki agar negara benarbenar melindungi orang hukuman selama menjalani pidana. 1 Usulan dari Sahardjo tersebut yang merupakan Kongres PBB I di Tokyo pada tahun 1955 tentang The Prevention of Crime and The Treatment of Offender yang menghasilkan “Standar Minimum Rules for The Treatment of Offenders, sebelum diundangkan ke dalam UU No. 12/1995 telah diadopsi melalui Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01.PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan. Walaupun secara empirik, sistem pemasyarakatan yang dianut oleh Indonesia dengan mengganti
Petrus Irawan Panjaitan & Wiwik Sri Widiarty, Pembaharuan Pemikiran DR. Sahardjo Mengenai Pemasyarakatan Narapidana (Jakarta: Ind. Hill Co., 2008). 1
190
Konsep Diyat Sebagai Alternatif Pemidanaan Dalam Sistem Peradilan Pidana Untuk Mengatasi Fenomena Overcapacity Lembaga Pemasyarakatan - Rocky Marbun
Penjara menjadi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) tidaklah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perubahan pola perilaku bagi pelaku pasca putusan pengadilan. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan bahwa dari 33 Kanwil Provinsi, 28 diantaranya mengalami overcapacity tahanan atau narapidana. Tempat penahanan yang secara khusus dinyatakan sebagai Rumah Tahanan Negara (Rutan) masih tetap jumlahnya yaitu sebanyak 264. Namun jumlah tersebut mengalami penurunan dari sebelumnya sebanyak 291 rumah tahanan. Rutan tidak bertambah, justru narapidana yang bertambah. Sejak tahun 2007 terdapat 86.550 narapidana dan pada tahun 2013 meningkat menjadi 108.143 narapidana. Data yang dirilis pada Mei 2016 oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan jumlah warga binaan sebanyak 187.000 orang yang menempati 477 Lapas dan Rutan seluruh Indonesia, namun pada Juni 2016 jumlah warga binaan seluruh Indonesia meningkat menjadi 193.800 orang. 2 Data yang berbeda diungkapkan oleh Kementerian Hukum dan HAM melalui Yasonna H. Laoly dimana pada Oktober 2015 jumlah narapidana seluruh Indonesia sebanyak 160.722 orang, namun pada April 2016 jumlah tersebut meningkat menjadi 180.000 orang. Artinya bahwa dalam jangka waktu dalam jangka 6 bulan meningkat sebanyak 23.000 orang. Data menunjukan rata-rata kenaikan tahun 2015 adalah 1.112 orang, dan tahun 2016 rata-rata kenaikan adalah 1.805 per hari. 3 Lapas Bengkulu dihuni 138.000 warga binaan, 4 Lapas Teluk Dalam dihuni 2.195 warga binaan dengan kapasitas 366 orang, 5 Lapas Gorontalo dihuni 643 warga binaan dengan kapasitas 330 orang, 6 Lapas Medan dihuni sebanyak 3.000 warga binaan dengan kapasitas 1.000 orang, 7 Lapas Gayo Lues dihuni 93 warga binaan dengan kapasitas 65
Sumber: http://news.detik.com/berita/d-3224090/selain-over-capacity-643-napi-di-lapasgorontalo-hanya-dijaga-8-petugas, diakses pada 26 Oktober 2016 3 Sumber: http://obsessionnews.com/narapidana-meningkat-23-ribu-dalam-6-bulan-lapas-overcapacity/, diakses pada 26 Oktober 2016 4 Sumber: http://www.tribunnews.com/nasional/2016/03/27/over-capacity-pemicu-utama-rusuh-dilapas, diakses pada 26 Oktober 2016 5 Sumber: http://www.tribunnews.com/dpr-ri/2016/08/03/komisi-iii-dpr-lapas-teluk-dalam-sangatover-capacity, diakses pada 26 Oktober 2016 6 Sumber: http://news.detik.com/berita/d-3224090/selain-over-capacity-643-napi-di-lapasgorontalo-hanya-dijaga-8-petugas, diakses pada 26 Oktober 2016 7 Sumber: http://obsessionnews.com/narapidana-meningkat-23-ribu-dalam-6-bulan-lapas-overcapacity/ 2
191
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 189 - 212
orang, Lapas Blangkejeren dihuni 130 warga binaan dengan kapasitas 65 orang, 8 Lapas Pangkalan Bun dihuni 550 warga binaan dengan kapasitas 280 orang, 9 Lapas dan Rutan di Provinsi Lampung dihuni sebanyak 5.700 warga binaan dengan kapasitas 3.100 orang, 10 Lapas Paledang Bogor dihuni sebanyak 1.039 warga binaan dengan kapasitas 634 orang, 11 Lapas Cipinang dihuni sebanyak 3.213 warga binaan dengan kapasitas 1.300 orang, 12 Lapas Medaeng Jawa Timur dihuni sebanyak 1.542 warga binaan dengan kapasitas 504 orang, 13 Lapas Kelas IIB Banyuwangi dihuni 842 warga binaan dengan kapasitas 260 orang, 14 Lapas Kelas IIB Nyomplong Kota Sukabumi dihuni sebanyak 403 warga binaan dengan kapasitas sebanyak 200 orang, 15 kapasitas hunian Lapas dan Rutan di Jawa Barat 15.217 orang, sehingga terjadi kelebihan kapasitas sebesar 2.957 orang atau 19,43%, antara lain Lapas Bekasi, Karawang, Cibinong, Bogor, Subang, Bandung, Cirebon, Tasikmalaya dengan tingkat kepadatan 75% sampai 250%. 16 Lapas dan Rutan di seluruh Riau mengalami kelebihan kapasitas mencapai 5.836 orang atau sebanyak 288 persen, yang terdiri dari 14 Rutan dan Lapas serta Rutan cabang di seluruh Riau dengan kapasitas 3.101 orang tahanan. Sedangkan tahanan yang eksisting mencapai 8.937 orang. 17 Data tersebut baru sebagian yang Penulis tampilkan pada penulisan ini. Dampak dari fenomena overcapacity tersebut adalah penambahan biaya makan para warga binaan, dimana biaya makan yang dikeluarkan negara bagi para narapidana Sumber: http://atjehpost.co/berita1/read/Mengintip-Aktivitas-Lapas-Blangkejeren-dari-OverCapacity-Hingga-Kreativitas-Krawang-30430, diakses pada 26 Oktober 2016 9 Sumber: http://www.menaranews.com/lapas-pangkalan-bun-over-capacity/, diakses pada 26 Oktober 2016 10 Sumber: http://www.wartalambar.com/2011/08/rutan-lapas-lampung-over-capacity.html, diakses pada 26 Oktober 2016 11 Sumber: http://m.galamedianews.com/nasional/34368/derita-hidup-di-lapas-over-capacityserba-sulit--.html, diakses pada 26 Oktober 2016 12 Sumber: http://nasional.sindonews.com/read/917172/13/menkum-ham-sebut-rutan-cipinangover-kapasitas-1414616535, diakses pada 26 Oktober 2016 13 Sumber: http://www.lensaindonesia.com/2013/08/20/25-rutan-dan-lapas-jawa-timur-overkapasitas.html, diakses pada 26 Oktober 2016 14 Sumber: http://www.lensaindonesia.com/2013/08/20/25-rutan-dan-lapas-jawa-timur-overkapasitas.html, diakses pada 26 Oktober 2016 15 Sumber: http://www.mediaindonesia.com/news/read/62833/lapas-sukabumi-overkapasitas/2016-08-22, diakses pada 26 Oktober 2016 16 Sumber: http://www.kemenkumham.go.id/v2/berita/648-petugas-jaga-yang-tak-sebandingsalah-satu-masalah-dilapas?switch_to_desktop_ui=1=feed=atom=feed=atom=feed=atom=feed=atom=atom=atom=atom=feed= atom=feed=atom, diakses pada 26 Oktober 2016 17 Sumber: http://www.tribunnews.com/regional/2016/04/05/lapas-dan-rutan-di-riau-overkapasitas-sampai-288-persen, diakses pada 26 Oktober 2016 8
192
Konsep Diyat Sebagai Alternatif Pemidanaan Dalam Sistem Peradilan Pidana Untuk Mengatasi Fenomena Overcapacity Lembaga Pemasyarakatan - Rocky Marbun
mencapai Rp2,4 triliun dalam setahun. Hitungannya uang makan Rp15.500 ribu orang per-hari, 18 serta penambahan bangunan Lapas dan Rutan baru guna mengatasi overcapacity tersebut. Walaupun merupakan solusi, namun bagi Penulis wacana penambahan Lapas dan Rutan baru bukanlah solusi yang tepat dan tidak menyentuh akar permasalahan dalam hukum pidana dan sosial di Indonesia. Fenomena tersebut berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Belanda yang notabene adalah negara yang “memaksakan” paradigma hukum pidananya di Indonesia melalui kolonialisme, dimana dalam setiap tahun terjadi penurunan angka kejahatan sebanyak 0,9%, sehingga pada tahun 2016 memaksa Belanda harus menutup 5 (lima) Lapas yang berakibat pada pemecatan terhadap 1.900 karyawan Lapas. Bagaikan “lelucon”, terdapat 2 (dua) fenomena yaitu pertama, Belanda mencoba mencari solusi terhadap karyawan PHK tersebut dengan cara menyewakan Lapas-lapas yang kosong terhadap Belgia dan Norwegia; kedua, salah satu penjara paling keras di Belanda yaitu Het Arresthuis di Roermond, dekat perbatasan dengan Jerman kini malah sudah berubah bentuk. Bangunan yang dulu sangat ditakuti itu kini sudah diubah menjadi hotel mewah. Kementerian Hukum Belanda menjelaskan bahwa sistem hukum Belanda lebih fokus untuk tidak mendakwa kejahatan yang tak menyebabkan korban, rehabilitasi, vonis pendek, program keterampilan, dan pembauran kembali dengan masyarakat. 19 Dua fenomena dari dua negara yang memiliki akar sistem hukum yang sama, namun memiliki budaya berhukum yang nampak jelas perbedaannya. Indonesia sebagai negara yang menolak disebut sebagai negara sekuler walaupun juga tidak dapat dikatakan sebagai negara agama, oleh karena mencantumkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang justru menampilkan budaya berhukum yang jauh dari sila-sila Pancasila tersebut. Peranan institusi penegak hukum dalam proses penegakan hukum seringkali terpaku kepada redaksional pasal-pasal yang dimaknai secara kaku. Kewenangan yang diberikan dalam ranah Hukum Administrasi Negara (HAN) pada institusi polisi dan jaksa dan dalam ranah kekuasaan kehakiman pada institusi badan peradilan, tidak mampu dimanfaatkan secara maksimal. Pola pikir yang terpolakan berdasarkan pandangan legal
18 Sumber: http://obsessionnews.com/narapidana-meningkat-23-ribu-dalam-6-bulan-lapas-overcapacity/, diakses pada 26 Oktober 2016 19 Sumber: http://internasional.kompas.com/read/2016/03/23/11534721/Penjara.Kosong. Melompong. Ribuan.Sipir.di.Belanda.Terancam.Nganggur., diakses pada 26 Oktober 2016
193
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 189 - 212
positivisme, sehingga membentuk perilaku penegak hukum dalam memahami hukum dilakukan secara linear, deterministik dan mekanistik. Penegakan hukum yang didasarkan kepada retributive theory, sudah tidak selayaknya dipergunakan, khususnya dalam upayaupaya mengembalikan religius magis masyarakat. Penerapan penal mediation dalam proses penegakan hukum saat ini tidak dilandaskan kepada ketentuan-ketentuan yang terukur dan jelas, akibatnya perkara yang diakhiri dengan adanya perdamaian antara para pihak justru tidak menimbulkan keadilan dan kemanfaatan bagi mereka. Sebagai pembanding, Penulis mencoba untuk menguraikan kepastian hukum yang mampu memberikan rasa keadilan dan kemanfaatan bagi para pihak melalui ‘lembaga maaf’ dalam Hukum Islam (Islamic Law), yang disandingkan dengan unsur keperdataan yaitu kafarat atau diyat (denda) kepada keluarga korban ataupun keluarga ahli warisnya yang dipergunakan dalam ranah jarimah qishash. Penulisan
bertujuan
untuk
mencoba
kemungkinan-kemungkinan
dikolaborasikannya kaidah dalam ushul fiqh ke dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Fakta hukum yang melandasi pemikiran dalam penulisan karya ilmiah ini adalah semakin overload-nya penghuni Lapas, sehingga tujuan hukum hukum pidana yang selama ini diusung telah terbukti tidak mampu mengurangi atau menekan tingkat kejahatan yang ada. Berdasarkan uraian tersebut, Penulis mencoba untuk secara ilmiah akademis mengajukan solusi alternatif yang diambil dari akar kebudayaan bangsa Indonesia yang selama beratus-ratus tahun telah memberikan sumbangan pemikiran dalam hal terbentuknya sistem hukum di Indonesia. Pada penulisan ini, Penulis mengajukan permasalahan yang patut untuk dikaji dan dibahas dalam diskursus Hukum Pidana, yaitu: “Sejauh manakah peluang penerapan diyat berdasarkan konsep jinayat dalam menunjang sistem pemidanaan dan sistem pemasyarakatan di Indonesia?” II.
PEMBAHASAN Pembukaan UUD 1945 menegaskan bahwa “Atas berkat rakhmat Allah Yang
Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan
yang
bebas,
maka
rakyat
Indonesia
menyatakan
dengan
ini
kemerdekaannya.” frase tersebut mencirikan secara jelas, bahwa dalam perikehidupan
194
Konsep Diyat Sebagai Alternatif Pemidanaan Dalam Sistem Peradilan Pidana Untuk Mengatasi Fenomena Overcapacity Lembaga Pemasyarakatan - Rocky Marbun
bangsa Indonesia, tidak menampik adanya campur tangan ilahi dalam sejarah perjalanan bangsa. L.W.C. van den Berg (1845-1927) merupakan sarjana Belanda pertama yang diangkat sebagai penasehat khusus Pemerintah Kolonial Belanda dalam bidang BahasaBahasa Timur dan Hukum Islam (eastern language and Islamic law), ditugaskan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan
para
Pejabat
Pemerintah
Kolonial
Belanda
menyangkut ajaran Islam terkait dengan kehidupan sehari-hari umat Islam. Van den Berg (1870-1887) bertugas di Indonesia, dengan teorinya Receptio in Complexu: “Hukum penduduk setempat (dan juga orang-orang Timur lainnya) sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh agama yang dianut sejauh tidak ada bukti lain yang menolaknya, sebab dengan menerima dan menganut suatu agama berarti sekaligus juga menerima aturan hukum dari agama yang dianutnya tersebut. Jika terdapat bukti yang sebaliknya atau ‘sebuah pengecualian’ berupa atauran-aturan tertentu, maka kekecualian tersebut harus dipandang sebagai deviasi dari hukum agama yang telah diterima secara complexu. Hukum Islam dipandang sebagai hukum yang hidup dan berlaku (the living law) bagi umat Islam.” Teori ini didasarkan pada keyakinan Van den Berg bahwa Islam telah diterima secara baik oleh sebagian besar, jika tidak semua, umat Islam setempat. Teori Van den Berg ini kemudian diresmikan melalui Aturan Pemerintah Kolonial Belanda Nomor 152 tahun 1882. Sebelumnya juga telah diakomodir dalam beberapa kententuan yang terdapat pada Reglement op het beleid der Regeering van Nederlandsch Indie (R.R.), Stbl. Nomor 129 tahun 1854 dan Nomor 2 tahun 1855, terutama pasal-pasal 75, 78, dan 109. Pada masa Daendels dan Raffles, hukum yang berlaku bagi umat Islam Indonesia adalah hukum Islam. Pada perkembangan berikutnya dimunculkan Teori Receptie oleh Christiaan Snouck Hurgronje dan dikembangkan lebih lanjut oleh Cornelis Van Vollenhoven dan Ter Haar, yang menyatakan bahwa hukum Islam baru diakui dan dilaksanakan sebagai hukum ketika hukum adat telah menerimanya. Terpahami di sini bahwa hukum Islam berada di bawah hukum adat. Oleh karena itu, jika didapati hukum Islam dipraktekkan di dalam kehidupan masyarakat pada hakikatnya ia bukanlah hukum Islam melainkan
195
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 189 - 212
hukum adat. 20 Yang kemudian dipatahkan oleh Teori Receptio a Contrario dari Hazairin dan Sajuti Thalib. Namun, berdasarkan Pasal 131 IS, bukanlah hukum Islam melainkan hukum adat. Pada hakikatnya diakomodirnya Hukum Adat dalam era kolonialisme tersebut tidak lain hanya merupakan intrik politik penjajahan yang melanggengkan kekuasaan kolonialisme, oleh karena hanya diterapkan pada bidang-bidang hukum privat semata. Sedangkan pada bidang hukum publik, hegemoni sistem civil law sangat mendominasi, artinya implementasi Hukum Adat tersebut bertujuan mencapai rust en orde semata. Khudzaifah Dimyati menjelaskan paradigma rasional (paradigma positivisme hukum – Pen) yang terbangun oleh tradisi hukum Romawi sejak abad I sampai dengan abad IV yang terus dikembangkan hingga abad XIX, selalu tampil sebagai mainstream dalam pembelajaran dan pembentukan hukum di Indonesia. Dimana pemberlakukannya dimulai sejak tahun 1847 dan secara perlahan menjadi kekuatan hegemonik. Hal tersebut merupakan upaya dari pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk menjauhkan segala unsur-unsur ajaran Islam dan ke-Islam-an dari kehidupan negara, ketatanegaraan, masyarakat dan hukum. Dan disebabkan kemenangan dari kelompok-kelompok penstudi hukum yang menyarankan agar tata hukum Indonesia melanjutkan saja tata hukum yang telah dibangun sejak zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda. 21 Penggunaan paradigma positivisme hukum yang ditanamkan dalam pola pikir ahli hukum pidana di Indonesia, secara empirik telah terbukti gagal total. Dengan kata lain bahwa hukum pidana telah gagal dalam melakukan restorasi sosial. Namun permasalahan lain adalah kesiapan para ahli hukum pidana Islam dalam melakukan infiltrasi hukum islam ke dalam hukum nasional. Hukum Islam hingga saat ini masih berada dalam puncak gunung es yang hanya dipahami oleh sebagian kecil dari para ahli hukum yang beragama Islam. Kesulitan-kesulitan dari implementasi Hukum Pidana Islam (jinayat) dikemukakan oleh Juhaya S. Praja, bahwa prinsip-prinsip ketauhidan merupakan langkah
Mohd. Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam. Sejarah Timbul Dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 1995). 21 Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, Paradigma Rasional Dalam Ilmu Hukum. Basis Epistemologis Pure Theory of Law Hans Kelsen (Yogyakarta: Genta Publishing, 2014). 20
196
Konsep Diyat Sebagai Alternatif Pemidanaan Dalam Sistem Peradilan Pidana Untuk Mengatasi Fenomena Overcapacity Lembaga Pemasyarakatan - Rocky Marbun
awal yang perlu dikedepankan yang kemudian disandingkan dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. 22 Sebagaimana ditegaskan pula dalam firman Allah SWT pada Al Qur’an Surat Ali Imran ayat 110: “Kamu adalah umat pilihan yang telah dilahirkan untuk seluruh manusia, karena kamu menyuruh mengerjakan kebajikan dan melarang mengerjakan kemungkaran, lagi pula kamu beriman kepada Allah.” Dalam konteks filosofis-dogmatisteologis, perintah tersebut tersebar ke berbagai Surah dalam Al-Qur’an. Diantaranya pada Q.S. Al Maidah ayat 44: “Barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir”; Q.S. Al Maidah ayat 45: “Barangsiapa yang tidak menghukum menurut yang diturunkan Allah, maka mereka orang-orang aniaya”; Q.S. Al Maidah ayat 47: “Siapa yang tidak memutuskan hukum menurut yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang fasik”; dan Q.S. Al Maidah ayat 50: “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” Berdasarkan ketentuan tersebut, tentunya menjadi berbeda ketika bersinggungan dengan wilayah dakwah. Dalam wilayah penyebaran paham, maka sangat bersinggungan dengan bagaimana seorang pendakwah yang berbasis sarjana hukum melakukan dan membangun argumentasi hukumnya atau penalaran hukumnya (legal reasoning). Terhadap membangun penalaran hukum tersebut, Penulis merasa prihatin ketika tingkat kesulitannya justru pada bagaimana seorang sarjana hukum membangun penalarannya. Sebagaimana diungkapkan oleh R. Subekti dan Sudikno Mertokusumo, para sarjana hukum memiliki cara berfikir yang khas, yang disebut juridisch denken yang sulit dimengerti dan diikuti oleh non-yuris. Dengan demikian, apa yang oleh seorang yuris dianggap logis karena berdasarkan konsep, asas, dan sistematika hukum yang dikenalnya, maka belum tentu dianggap logis dan metodologis oleh non-yuris, yang kerangka berfikirnya berbeda. 23 Apabila kemudian para juris jinayat pun berfikir demikian, maka permasalahan infiltrasi jinayat ke dalam Sistem Hukum Nasional tidak akan pernah terlaksana. Oleh karena itu seseorang ahli fiqh harus mampu terlebih dahulu berdamai dengan konsep22 M.Ag Drs. Achyar Zein, “Prinsip-Prinsip Hukum Dalam Al-Qur’an,” accessed October 26, 2016, http://www.waspada.co.id/serba_waspada/mimbar_jumat/artikel.php?article_id=65043. 23 Shidarta, Penalaran Hukum Dan Hukum Penalaran (Yogyakarta: Genta Publishing, 2013).
197
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 189 - 212
konsep jinayat dengan baik. Kemudian memiliki kemampuan melakukan dalam diskursus pada lingkungan akademis. Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa ia berkata: “Tidaklah engkau berbicara kepada suatu kaum dengan sesuatu yang tidak terjangkau oleh akal mereka melainkan akan menjadi fitnah (kebingungan) bagi sebagian mereka.” (HR. Muslim). Dengan demikian, bahasa memiliki posisi yang penting dalam menyampaikan sesuatu hal yang baru dalam komunitas lain. Keterasingan istilah akan menjadi hilang ketika seorang yuris mampu menyampaikan secara lugas dan terang. Setiap orang yang memakai bahasa ibu pada hakikatnya mampu menangkap arti atau makna dari kata-kata dengan baik dan tepat walaupun baru pertama kali mendengar. Hal tersebut tentunya berbeda dengan orang lain yang mencoba untuk menggunakan atau berusaha untuk dapat berbicara dengan bahasa yang sama itu. Atas dasar ini lah, HansGeorg Gadamer menyatakan bahwa “mengerti” berarti mengerti melalui bahasa. Oleh karena itu, melalui konsep hermeneutik yang diajukan oleh Hans-Georg Gadamer adalah cara baru untuk “bergaul” dengan bahasa. Sehingga, jika mengerti selalu dikaitkan dengan bahasa, maka bahasa juga membatasi dirinya sendiri, dikarenakan terikat oleh aturan tata bahasanya yang berlaku. Dengan demikian, kita harus menyesuaikan diri terhadap kupasan-kupasan linguistik dan kecil kemungkinan untuk melakukan pembaharuan. 24 Lebih lanjut E. Sumaryono menjelaskan bahwa kita harus kembali kepada pengalaman orisinal dari para penulis teks dengan maksud untuk menemukan kunci makna kata-kata atau ungkapan. Kita mengungkapkan diri kita sendiri melalui bahasa sehari-hari, tetapi seringkali kita dapat meragukan sendiri apakah pengalamanpengalaman mental atau pikiran yang ada di balik bahasa benar-benar sudah terungkapkan secara menyakinkan. Seperti halnya ketika Belanda dalam menyusun dan merumuskan pasal-pasal pidana dalam wetboek van strafrecht meminta bantuan dari sarjana ilmu bahasa Belanda kenamaan yaitu Prof. M. De Vries. 25 Oleh karena itu, jika seorang melakukan interpretasi terhadap pasal-pasal saat ini yang dibuat pada masa lalu,
E. Sumaryono, Hermeneutik. Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999). R. Achmad S. Soema di Pradja, Pengertian Serta Sifatnya Melawan Hukum Bagi Terjadinya Tindak Pidana (Dihubungkan Dengan Beberapa Putusan Mahkamah Agung) (Bandung: Amrico, 1983). 24 25
198
Konsep Diyat Sebagai Alternatif Pemidanaan Dalam Sistem Peradilan Pidana Untuk Mengatasi Fenomena Overcapacity Lembaga Pemasyarakatan - Rocky Marbun
maka ia akan berhadapan dengan jangka waktu, sikap mental, dan paradigma serta kondisi pada saat pasal-pasal tersebut dirumuskan. Hingga detik ini para yuris hukum pidana dan praktisi hukum pidana seringkali tidak mampu memahami dengan baik tujuan dari redaksional yang dibuat oleh penulis teks wetboek van strafrecht tersebut. Sebagai suatu konten klasik yang diterapkan dalam konteks kekinian namun masih menggunakan paradigma klasik. Sehingga tidak akan pernah sesuai dengan dinamika pertumbuhan masyarakat. Konteks Hukum Pidana Islam tentunya sangat berbeda dengan Hukum Pidana di Indonesia, jika kita perbandingkan dengan kewenangan untuk menafsirkan suatu hukum dalam konteks Hukum Islam (fiqh). Di dalam fiqh, seseorang dapat memberikan fatwa atau pendapat hukum hendaknya menguasai dan memiliki beberapa jenis keilmuan yang menunjang selain pula adanya kewajiban untuk menjadi penghapal dari dua sumber hukum utama dalam Islam, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadist. Sedangkan dalam versi keIndonesia-an, belum pernah ditemukan seorang ahli hukum yang mampu menghapal sumber hukum pidana, misalnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) secara baik dan matang secara pasal per pasal, baik seorang akademisi maupun praktisi. Tingkat penghapalan pada isi pasal per pasal dari KUHP lebih banyak dilandasi kepada tingkat interaksinya terhadap pasal-pasal tersebut. Itulah sebabnya ilmu hukum bukanlah ilmu yang dapat dihapalkan, namun dipahami dan dimengerti, sehingga wajar ketika merumuskan tujuan dari hukum pidana pun pada akhirnya tidak pernah menemukan kata sepakat atau kesatuan makna. Berbeda dengan fiqh jinayah di mana semua ulama memiliki kesepakatan yang tertuang di dalam maqashid syariah. Adapun yang dimaksud dengan maqasid al-syari’ah adalah maksud serta tujuan al-Syari’ (Allah swt.) menurunkan syariat-Nya secara umum kepada manusia. Dalam beberapa kitab ushul fiqh, untuk maksud yang sama digunakan term yang agak berbeda yaitu al-maqsad ‘am min al-tasyri’, seperti yang digunakan oleh Abd al-Wahhab Khallaf, dan maqasid al-ahkam, seperti yang digunakan Muḥammad Abu Zahrah. Menurut alSyatibiy, Allah menurunkan syariat (aturan hukum) untuk mengambil kemaslahatan dan menghindari kemudaratan. 26 Ke-maslahat-an inti/pokok yang disepakati dalam semua
Agustan Ahmad, “Maqasid Al-Syari’ah Al-Syatibi Dan Aktualisasinya Dalam Nilai-Nilai Falsafah Pancasila,” Jurnal Studia Islamika Vol. 8, no. No. 2 (2011): Hal. 224. 26
199
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 189 - 212
syariat tercakup dalam lima hal, seperti yang dihitung dan disebut oleh para ulama dengan nama al-kulliyyat al-khams (lima hal inti/pokok) yang mereka anggap sebagai dasar-dasar dan tujuan umum syariat yang harus dijaga, sebagaimana dikatakan Imam Al-Ghazali dan Imam Asy-Syathibi yaitu: 27 1. 2. 3. 4.
5.
Menjaga agama (hifdz ad-din); Illat (alasan) diwajibkannya berperang dan berjihad, jika ditujukan untuk para musuh atau tujuan senada; Menjaga jiwa (hifdz an-nafs) ; Illat (alasan) diwajibkannya hukum qishash, diantaranya dengan menjaga kemuliaan dan kebebasannya; Menjaga akal (hifdz al-‘aql) ; Illat (alasan) diharamkannya semua benda yang memabukan atau narkotika dan sejenisnya; Menjaga harta (hifdz al-mal) ; Illat (alasan) pemotongan tangan untuk para pencuri, illat diharamkannya riba dan suap-menyuap, atau memakan harta orang lain dengan cara batil lainnya; Menjaga keturunan (hifdz an-nasl) ; Illat (alasan) diharamkannya zina dan qadzaf (menuduh orang lain berzina).
Jika kita perhatikan antara tujuan hukum secara umum dengan tujuan hukum berdasarkan fiqh jinayah terlihat perbedaan yang sangat mencolok. Tujuan hukum secara umum, menurut Wirjono Prodjodikoro, adalah mengadakan keselamatan, bahagia dan tata tertib dalam masyarakat itu. Sedangkan di dalam maqashid syariah pada fiqh jinayah telah diklasifikasikan secara tegas dalam bentuk lima hal inti/pokok tersebut diatas, dengan tujuan menegakkan hukum Allah di muka bumi. Menarik untuk dicermati pandangan dari Topo Santoso bahwa Beliau menjelaskan maqashid syariah itu hanya merupakan salah satu dari tujuan hukum Islam. Masih terdapat 2 (dua) tujuan lagi, yaitu: 28 1. 2.
Menjamin keperluan-keperluan hidup atau keperluan sekunder atau hajiyyat dan Membuat perbaikan-perbaikan, yaitu menjadikan hal-hal yang dapat menghiasi kehidupan sosial dan menjadikan manusia mampu berbuat dan urusan-urusan hidup secara lebih baik atau tahsinat.
Sedangkan Zainuddin Ali menjelaskan dalam bentuk yang lebih umum terlebih dahulu, yaitu berkaitan dengan tujuan hukum Islam adalah kemashlahatan hidup manusia
Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah (Jakarta: Amzah, 2009).. Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam. Penerapan Syariat Islam Dalam Konteks Modernitas (Bandung: Asy-Syaamil, 2001). 27 28
200
Konsep Diyat Sebagai Alternatif Pemidanaan Dalam Sistem Peradilan Pidana Untuk Mengatasi Fenomena Overcapacity Lembaga Pemasyarakatan - Rocky Marbun
baik jasmani maupun rohani, individu dan masyarakat. Adapun kemashalahatan yang dimaksud berdasarkan kesepakatan para ulama yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Sehingga tujuan hukum Islam dapat dilihat dari dua aspek, yaitu : 1. 2.
Aspek pembuat hukum Islam adalah Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW; Aspek manusia sebagai pelaku dan pelaksana hukum islam. Dengan demikian, hukum Islam melindungi kepentingan hidup manusia baik yang berbentuk primer (daruriyyat), sekunder (hajiyyat) maupun yang tersier (tahsiniyyat). Disimpulkan oleh Zainuddin Ali bahwa tujuan hukum pidana Islam adalah memelihara jiwa, akal, harta masyarakat secara umum dan keturunan. 29 Tujuan hukum tersebutlah yang harus mampu di downgrade terlebih dahulu sebelum masuk fungsi dan kegunaan dari diyat itu sendiri.
Dewasa ini begitu kuatnya desakan diterapkannya instrumen restorative justice dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia, dimana pada hakikat dari restorative justice tersebut adalah pendayagunaan hukum yang hidup dan pemberdayaan masyarakat sebagai penggerak utama. Berkaitan dengan hal tersebut, jauh sebelumnya Mochtar Kusumaatmadja dengan Konsepsi Hukum Sebagai Sarana Pembaharuan Masyarakat telah membangun argumennya didasarkan kepada pandangan dari Roscoe Pound berkaitan dengan teori law as a tool of social engineering (hukum sebagai alat rekayasa sosial). Bagi Roscoe Pound, hukum merupakan sistem dinamis yang dipengaruhi, dan pada akhirnya juga mempengaruhi kondisi-kondisi sosial dan mempengaruhi masyarakat secara keseluruhan. Lebih lanjut Roscoe Pound menjelaskan bahwa prinsip gerakan sociological jurisprudence menghendaki penyesuaian prinsip dan doktrin hukum dalam kondisi manusia yang sudah ada agar efektif dalam mengatur kehidupan sosial ke arah yang diinginkan. Roscoe Pound menganjurkan agar melakukan manipulasi terhadap nilainilai yang sudah ada dalam masyarakat, dibandingkan memasukan prinsip-prinsip yang baru dalam mencapai tujuan yang diinginkan. 30 Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan bahwa apabila sudah disepakati prinsip bahwa demi pembangunan, pembaharuan sikap, sifat atau nilai-nilai adalah perlu. Persoalannya adalah nilai-nilai manakah dari keadaan masyarakat yang ada hendak ditinggalkan dan diganti dengan nilai-nilai baru yang diperkirakan lebih sesuai dengan 29 30
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2012). TJ. Gunawan, Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Ekonomi (Yogyakarta: Genta Press, 2015).
201
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 189 - 212
kehidupan dunia dewasa ini, dan nilai-nilai lama manakah yang bisa dan patut dipertahanakan. 31
Dengan
demikian,
pembentuk
undang-undang
dalam
mengimplementasikan pandangan dari Mochtar Kusumaatmadja tersebut hendaknya pula memiliki spektrum pemikiran yang sama, yaitu paradigma berbasis pembangunan hukum nasional. Jika tidak, maka muatan-muatan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat akan tersingkirkan dengan kepentingan yang bersifat politis dan ekonomis. Munculnya konsep restorative justice pada prinsipnya telah lebih dahulu diperkenalkan oleh fiqh jinayah sebagaimana ditegaskan dalam Al Qur’an Surah Al Baqarah ayat 178: “Maka barangsiapa yang mendapat suatu permaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah yang diberi maaf membayar diyat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula.” Pengaturan lebih lanjut dapat dikaji melalui Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 92: “dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Dalam beberapa segi, aturan mengenai qisas-diyat ini mempunyai beberapa keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh aturan-aturan jarimah lain, seperti dalam hudud maupun ta'zir. Keunikan-keunikan itu antara lain adalah: Pertama, posisi qisasdiyat dalam hukum pidana Islam. Dalam literatur-literatur fiqh disebutkan bahwa aturan mengenai qisas-diyat ini tidak termasuk ke dalam pembahasan mengenai hudud, namun berdiri sendiri sebagai cabang dari jinayat (hukum pidana Islam). Kedua, aturan-aturan mengenai qisas-diyat dalam al-Qur’an lebih banyak dari pada aturan-aturan jarimah yang
31
2006). 202
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan (Bandung: Alumni,
Konsep Diyat Sebagai Alternatif Pemidanaan Dalam Sistem Peradilan Pidana Untuk Mengatasi Fenomena Overcapacity Lembaga Pemasyarakatan - Rocky Marbun
lain. Paling tidak ada lima ayat al-Qur’an yang membahas mengenai qisas-diyat ini. Ketiga, sanksi pidana bagi jarimah qisas-diyat lebih komprehensif dan menyediakan berbagai macam alternatif pidana bagi pelakunya. Pidana dengan berbagai alternatif ini tidak dikenal dalam bentuk jarimah-jarimah yang lain, khususnya dalam jarimah hudud. 32 Berkaitan dengan pengaturan-pengaturan tersebut yang kemudian didasarkan kepada pendapat-pendapat para fuqaha, maka hakikatnya pengaturan dalam Al-Qur’an merupakan himbauan dan ajakan kepada masyarakat untuk memunculkan hati nurani dan mengurangi kekejaman dan pembalasan yang diberlakukan pada masa pra-Islam. Syari’ah Islam kemudian datang untuk mengajarkan persamaan (equality) dan kemurahhatian (mercy) dengan menetapkan bahwa pembunuhan dibalas dengan pembunuhan (qishas) dan penganiayaan dibalas dengan penganiayaan. Menurut Muhammad Muslehuddin, ketika pelaku pembunuhan tersebut memeproleh maaf dari pihak keluarga korban yang kemudian disusulkan dengan membayar diyat yang masuk akal, maka hal itu adalah lebih baik. 33 Disyariatkannya diyat merupakan salah satu bentuk keringanan dari Allah SWT dari hukuman qishah atas suatu pembunuhan dengan sengaja, dan merupakan anugrah dan rahmat bagi umat manusia karena membebaskan dari pengaturan sebelumnya. 34 Tentunya muncul pertanyaan apakah sistem pemidanaan yang ada saat ini tidak mengadopsi sistem diyat atau denda? Pada prinsipnya dalam Pasal 10 KUHP menegaskan bahwa pidana terdiri atas: 1.
2.
Pidana pokok: a. Pidana mati; b. Pidana penjara; c. Pidana kurungan; d. Pidana denda; e. Pidana tutupan. Pidana tambahan a. Pencabutan hak-hak tertentu;
Ahmad Bahiej, “Memahami Keadilan Hukum Tuhan Dalam Qisas Dan Diyat,” last modified 2011, accessed October 26, 2016, https://himaihuinsuka.files.wordpress.com/2011/11/keadilan-qisasdiyat.pdf. 33 Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam Dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991). 34 Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000). 32
203
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 189 - 212
b. Perampasan barang-barang tertentu; c. Pengumuman putusan hakim. Berdasarkan Pasal 10 KUHP tersebut, sistem pemidanaan Indonesia memiliki instrumen yang sekilas mirip dengan diyat pada sistem hukum Islam. Perbedaannya adalah penerapan sistem pemidanaan di Indonesia, penerapan pidana denda bersifat kumulatif dengan pidana penjara. Dijatuhkannya vonis pidana denda tidak menghilangkan kewajiban pidana penjara. Sedangkan pada diyat baru dapat diterapkan ketika pihak yang merasa dirugikan memberikan kata maaf, maka pidana penjara tidak layak lagi untuk diterapkan kepada si pelaku tindak pidana. Apabila keinginan untuk mengadopsi konsep diyat tersebut, maka konsep tersebut harus disesuaikan dengan kondisi sosial budaya Bangsa Indonesia. Sebagaimana ditegaskan oleh Hotma P. Sibuea bahwa cita negara dan tujuan bernegara tiap bangsa adalah sesuatu yang unik dan khas sehingga tidak pernah sama bagi setiap bangsa. Struktur ketatanegaraan yang dinegasikan dari tiap cita negara dan tujuan negara yang berbeda dengan sendirinya juga akan selalu berbeda bagi setiap bangsa. Jadi, untuk mencapai tujuan negara sebagai tujuan bersama bangsa perlu dilakukan pengorganisasian kekuasaan negara yang bertitik tolak dari cita negara. 35 Dengan demikian, setiap corak asas negara hukum yang dianut suatu negara akan tercermin dalam politik hukum, baik terkait pembentukan perundangan-undangan pidananya ataupun penegakan hukumnya. Di dalam asas Negara Hukum yang dianut akan memancarkan pandangan hidup dari bangsa tersebut, yang kemudian mewarnai konstitusi suatu negara dan menjadi penyanggah dari sistem hukum yang ada. Pandangan dari Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa ilmu hukum itu adalah ilmu tentang hukum yang berlaku di suatu negara atau masyarakat tertentu pada suatu waktu. Gustav Radbruch mengatakan bahwa ilmu hukum adalah ilmu yang mempelajari makna objektif tata hukum positif. Paul Scholten mengatakan bahwa ilmu hukum yang sesungguhnya adalah studi yang meneliti hukum yang sebagai suatu besaran terberi. Objek telaah ilmu hukum adalah tata hukum yang berlaku, yakni sistem konseptual aturan hukum dan putusan hukum yang bagian-bagian pentingnya
35 Hotma P. Sibuea, Kedudukan, Fungsi, Wewenang dan Tugas Dewan Perwakilan Daerah Dalam Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia, Disertasi Program Pascasarjana Fakultas Universitas Pelita Harapan, Karawaci-Tangerang, 2008, hlm. 293.
204
Konsep Diyat Sebagai Alternatif Pemidanaan Dalam Sistem Peradilan Pidana Untuk Mengatasi Fenomena Overcapacity Lembaga Pemasyarakatan - Rocky Marbun
dipositifkan oleh pengemban kewenangan hukum yang sah dalam masyarakat atau negara yang di dalamnya ilmu hukum diemban. Jadi keseluruhan teks otoritatif bermuatan aturan-aturan hukum yang terdiri atas produk perundang-undangan, traktat, ketetapan birokrasi, putusan-putusan hakim, hukum tidak tertulis dan karya ilmuwan hukum yang berwibawa dalam bidangnya. 36 Pandangan hidup dalam konteks ke-Indonesia-an adalah Pancasila yang merupakan suatu kesepakatan bersama atau konsensus umum dari mayoritas masyarakat pada negara bersangkutan. Menurut Jimly Asshiddiqie, jika kesepakatan umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara yang bersangkutan, dan pada gilirannya perang saudara (civil war) atau revolusi dapat terjadi. 37 Pancasila sebagai philosophie grondlags dari Bangsa Indonesia tentunya memiliki view yang berbeda dalam memandang seorang manusia Indonesia, bahkan manusia pada umumnya. Perlu diakui bahwa kemunculan Pancasila tidak dalam kenihilan, namun mendapat pengaruh dari berbagai macam pemikiran. Namun demikian, sebagai bagian dari filsafat timur, posisi intuisi dalam metode pemahaman terhadap sifat kemanusiaan menjadikan Pancasila sebagai suatu model falsafah yang bersifat filosofisdogmatis-teologis. Sebagai suatu filsafat, objek kajian Pancasila adalah manusia Indonesia. Ketika berbicara mengenai pandangan Pancasila terhadap manusia, maka hakikatnya tidak akan terlepas dari pendapat Notonagoro yang menjelaskan bahwa manusia Indonesia adalah makhluk monopluralis, yaitu pertama, berdasarkan kedudukan kodrat manusia Indonesia yang terdiri dari makhluk pribadi berdiri sendiri sekaligus sebagai makhluk Tuhan; kedua, berdasarkan susunan kodrat manusia Indonesia yang terdiri dari unsur raga dan unsur jiwa; ketiga, berdsarkan sifat kodrat manusia Indonesia, yang terdiri dari unsur individual dan unsur sosial. 38 Cara berfikir seperti demikian tentunya akan merupakan hal asing bagi ilmuwan hukum saat ini. Terhadap hal tersebut Bernard Arief Sidharta menegaskan bahwa titik tolak pandangan hidup Bangsa Indonesia adalah keyakinan bahwa manusia itu diciptakan
36 Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia. Upaya Pengembangan Ilmu Hukum Sistematik Yang Responsif Terhadap Perubahan Masyarakat (Yogyakarta: Genta Publishing, 2013). 37 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Konstitusi Press, 1971). 38 Notonagoro, Pancasila Ilmiah Populer (Jakarta: CV. Pantjuran Tudjuh, 1971).
205
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 189 - 212
dalam kebersamaan dengan sesamanya, individu dan kesatuan pergaulan hidupnya (masyarakat) merupakan suatu kedwitunggalan. Jadi kebersamaan dengan sesamanya atau pergaulan hidup itu adalah unsur hakiki dalam eksistensi manusia. Unsur raga, rasa, dan rasio bersama-sama mewujudkan aspek individualisme dari manusia, dan unsur rukun mewujudkan aspek sosialitas dari manusia, aspek individualisme dan aspek sosialitas tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan yang satu dari yang lainnya. 39 Asas kerukunan atau rukun, menurut Soediman Kartodiprodjo merupakan alat pelengkapan bagi manusia selain raga, rasa, dan rasio dalam kehidupan berkelompok, dan tidak sebagai makhluk yang terpisah satu sama lain, dan kemudian karena sesuatu hal ingin hidup bersama berdasarkan asas kekeluargaan yang merupakan inti jiwa dari Pancasila. Dalam konteks asas kerukunan tersebut, maka hidup berkelompok itu baru ada manfaatnya kalau hidup dengan rukun, maka alat perlengkapan manusia ini hendak dinamakan unsur rukun dalam kehidupan manusia. Dengan demikian maka manusia itu terdiri dari empat unsur ini, yakni raga, rasa, rasio dan rukun. Dengan asas kerukunan inilah manusia akan mencapai kebahagiaan dalam kehidupannya. Kalau manusia Indonesia melihat tujuan hidup manusia adalah hidup bahagia seperti dibentangkan tadi, maka caranya mencari jalan untuk sampai hidup bahagia itu adalah dengan jalan mempergunakan alat-alat perlengkapan hidupnya sebaik-baiknya, yaitu cara musyawarah atau cara mufakat. Cara musyawarah atau mufakat ini sebagai cara memperoleh kebahagiaan, yang mengandung arti diakui adanya atau mungkin adanya perbedaan antara manusia yang hidup berkelompok itu dalam mencari jalan yang menuju ke hidup bahagia tadi. Mengakui adanya perbedaan ini berarti mengakui adanya perbedaan dalam kepribadian masing-masing manusia yang berkelompok itu, dan dengan tidak menyatakan salah seorang; jadi pendapat salah seorang itu akan menguasai pendapat orang-orang lainnya, melainkan harus diadakan muyawarah atau mufakat. Maka menurut
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan Dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia (Bandung: Mandar Maju, 2009). 39
206
Konsep Diyat Sebagai Alternatif Pemidanaan Dalam Sistem Peradilan Pidana Untuk Mengatasi Fenomena Overcapacity Lembaga Pemasyarakatan - Rocky Marbun
pemikiran Bangsa Indonesia itu kepribadian individu tidak saja diakui tetapi pula dilindungi. 40 Berdasarkan uraian di atas, konsep Pancasila sebagai sistem filsafat yang memandang manusia Indonesia sebagai manusia yang monopluralis, dengan mendasarkan diri kepada asas kerukunan sebagai asas tertinggi dalam filsafat Pancasila memiliki kesamaan tujuan dengan konsep diyat dalam fiqh jinayat pada syari’ah Islam. Maka pertanyaannya adalah bagaimana melakukan infiltrasi syari’ah Islam khususnya pada kelebihan dan keunggulan dari konsep diyat ke dalam sistem hukum pidana di Indonesia? Secara elegan Slamet Sutrisno menjelaskan metode yang dimiliki oleh Pancasila, dimana menurut Slamet Sutrisno bahwa dalam menerima pengaruh budaya asing, bangsa Indonesia selama berabad-abad berhasil melakukan proses akulturasi, yakni terhadap budaya Hindu dan Islam khususnya. Adapun terhadap budaya barat yakni budaya modern dan globalisasi, proses serupa masih berlangsung. Khusus dalam menghadapi dan menyikapi budaya modern dan globalisasi yang menerpa ke seluruh bangsa di muka bumi, maka bangsa kita harus ekstra cermat. Alasannya, modernitas dan globalitas itu bersumber pada filsafat dan ideologinya sendiri. Oleh karena itu perlu dipahami bahwa dalam interaksi kultural itu tidak mustahil akan berlangsung suatu pergelutan dan pergulatan ideologis, bahkan filosofis. Filasafat Pancasila sendiri mempunyai cara-cara spesifik dalam menerima dan mengolah pengaruh ideologi dan filsafat asing, yakni metode eklektis-inkorporasi, artinya pengolahan nilai-nilai dari luar menjadi milik bangsa Indonesia dengan tetap berdasarkan pada azas Pancasila. Sesungguhnya proses seperti ini sudah berlangsung sejak awal abad XIX dengan dikenalinya konsep-konsep modern seperti humanisme, demokrasi, nasionalisme, dan sosialisme. Pancasila itu sendiri yang dirumuskan definitif sejak tanggal 1 Juni, 22 Juni, dan 18 Agustus 1945 tidak nihil dari pengaruh ideologi luar, terbukti dari sila-silanya yang mengadopsi konsep-konsep modern. 41
40 Achmad Suhardi Kartodiprodjo, et.al, Prof Mr. Soedirman Kartodiprodjo tentang Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, (unpublished), Bandung/Jakarta: tanpa penerbit, 2009, hlm. 57-60. 41 Slamet Sutrisno, Filsafat Dan Ideologi Pancasila (Yogyakarta: Andi Offset, 2006).
207
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 189 - 212
Sebagaimana pula tegaskan oleh Haryono, sebagai produk pemikiran yang luhur, Pancasila, selain digali dari bukti budaya nusantara juga diperkaya oleh jiwa dan semangat luhur budaya universal. Prinsip-prinsip yang ada di dalam Pancasila tidak semuanya berasal dari asing. Para pendiri bangsa mengolah kembali warisan Nusantara dan memperkayanya dengan warisan dunia sehingga muncul suatu rumusan Pancasila yang sangat cerdas dan visioner. Dari perpaduan budaya global dan warisan budaya yang luhur itulah berhasil dirumuskan Pancasila sehingga suatu dasar negara sekaligus pandangan hidup. 42 Dengan demikian, infiltrasi konsep diyat yang berasal dari Syariáh Islam, dalam hal ini adalah fiqh jinayat, harus dikaji dari unsur-unsur kesamaan dan kebaikannya dengan membuang unsur-unsur yang tidak sesuai dengan kondisi sosial budaya bangsa Indonesia. Permisalan yang paling tepat untuk merepresantasikan penulisan ini adalah suatu peristiwa hukum yang dikonstruksikan oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Kabanjahe, dimana Majelis Hakim yang memeriksa perkara perseteruan antara dua orang nenek-nenek yaitu Relta Boru Tarigan dengan Malem Kita Ginting. Dimana pihak Penyidik dan Jaksa Penuntut Umum mendakwa dan menuntut nenek Relta Boru Tarigan karena perbuatannya yang dapat diklasifikasikan sebagai penganiayaan dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP, dengan tuntutan pidana 1 (satu) tahun penjara. Namun, Majelis Hakim berpendapat tuntutan tersebut terlalu berat sehingga Majelis Hakim lebih memilih menjatuhkan vonnis denda sebanyak Rp.2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) dengan subsider pidana kurungan selama 6 (enam) bulan apabila tidak membayar denda tersebut. 43 Sayangnya, Penulis tidak dapat melacak nomor putusan tersebut. Mengacu kepada putusan pada pengadilan tersebut, maka pada hakikatnya, implementasi pemidanaan menjadi sangat tergantung dengan kemampuan ilmu hukum dari hakim yang memeriksa perkara. Konsep pemidanaan yang diterapkan pada proses peradilan tersebut memiliki keidentikan kepada konsep diyat, walaupun unsur pemaafan tidak terkandung di dalam proses penyelesaian peristiwa pidana tersebut. Oleh karena itu, sebagaimana yang telah dicontohkan pada kasus tersebut, seorang Hakim harus mampu Haryono, Ideologi Pancasila. Roh Progresif Nasionalisme Indonesia (Malang: Instrans Publishing, 2014). 43 “Tolak Penjarakan Nenek, Majelis Hakim Pilih Jatuhkan Hukuman Denda”, Sumber: https://news.detik.com/berita/3177444/tolak-penjarakan-nenek-majelis-hakim-pilih-jatuhkan-hukumandenda, diakses pada 18 Mei 2017. 42
208
Konsep Diyat Sebagai Alternatif Pemidanaan Dalam Sistem Peradilan Pidana Untuk Mengatasi Fenomena Overcapacity Lembaga Pemasyarakatan - Rocky Marbun
keluar dari “kebiasaan” pemidanaan yang terjadi dalam proses peradilan pidana. Implementasi sanksi pidana hendaknya harus keluar dari literalisme teks, walaupun bukan hendak dimaknai meninggalkan teks otoritatif sebagai landasan yuridis, namun Ilmu Hukum yang bersifat normatif tersebut harus diletakkan dalam konteks sosial budaya Indonesia dan realitas kondisi LAPAS yang ada saat ini. III. KESIMPULAN Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, disimpulkan bahwa melalui metode eklektis-inkorporasi dan konsep prismatik, konsep diyat yang telah dimodifikasi akan dapat mengalami unifikasi hukum bagi seluruh komponen bangsa Indonesia. Melalui kebaikan dan keunggulan dari konsep diyat tersebut, penulis meyakini adalah solusi alternatif terhadap kegagalan dari sistem hukum pidana yang saat ini dipergunakan. Tujuan utama dari Paradigma Hukum Pancasila bukan hanya sekedar mencapai keadilan semata, namun pula mencapai kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pengembalian kondisi masyarakat kepada keadaan semula (restitutio in integrum) merupakan tujuan yang utama dalam paradigma hukum pancasila. Namun, proses infiltrasi konsep diyat harus melalui penelitian secara mendalam, khususnya terhadap tindak pidana apa yang dapat diterapkan. Asas Rukun, adalah asas utama dalam berpikir yuridis berdasarkan Paradigma (Filsafat) Hukum Pancasila, hendaknya perlu dijadikan sebagai referensi utama dalam memunculkan unsur pemaafan dari pihak korban yang dirugikan. Disamping, memberikan pemahaman yang baik kepada Terdakwa atas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya. Sehingga, rasa bersalah yang diresapi oleh Terdakwa dan pemaafan dari pihak korban dan keluarga korban akan memaksimalkan perwujudan kerukunan dalam kehidupan komunal di Indonesia. Dalam hal inilah kemudian diyat masuk untuk memberikan alternatif pemidanaan secara konsensus menuju keharmonisan kehidupan bersama. IV. DAFTAR PUSTAKA Buku Achmad Suhardi Kartodiprodjo, et.al, Prof Mr. Soedirman Kartodiprodjo tentang Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, (unpublished), Bandung/Jakarta: tanpa penerbit, 2009. Agustan Ahmad. “Maqasid Al-Syari’ah Al-Syatibi Dan Aktualisasinya Dalam Nilai-Nilai Falsafah Pancasila.” Jurnal Studia Islamika Vol. 8, no. No. 2 (2011): Hal. 224.
209
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 189 - 212
Ahmad Bahiej. “Memahami Keadilan Hukum Tuhan Dalam Qisas Dan Diyat.” Last modified 2011. Accessed October 26, 2016. https://himaihuinsuka.files.wordpress.com/2011/11/keadilan-qisas-diyat.pdf. Bernard Arief Sidharta. Ilmu Hukum Indonesia. Upaya Pengembangan Ilmu Hukum Sistematik Yang Responsif Terhadap Perubahan Masyarakat. Yogyakarta: Genta Publishing, 2013. ———. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan Dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 2009. Drs. Achyar Zein, M.Ag. “Prinsip-Prinsip Hukum Dalam Al-Qur’an.” Accessed October 26, 2016. http://www.waspada.co.id/serba_waspada/mimbar_jumat/artikel.php?article_id= 65043. E. Sumaryono. Hermeneutik. Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1999. Haryono. Ideologi Pancasila. Roh Progresif Nasionalisme Indonesia. Malang: Instrans Publishing, 2014. Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000. Jauhar, Ahmad Al-Mursi Husain. Maqashid Syariah. Jakarta: Amzah, 2009. Jimly Asshiddiqie. Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 1971. Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono. Paradigma Rasional Dalam Ilmu Hukum. Basis Epistemologis Pure Theory of Law Hans Kelsen. Yogyakarta: Genta Publishing, 2014. Mochtar Kusumaatmadja. Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan. Bandung: Alumni, 2006. Mohd. Idris Ramulyo. Asas-Asas Hukum Islam. Sejarah Timbul Dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 1995. Muhammad Muslehuddin. Filsafat Hukum Islam Dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991. Notonagoro. Pancasila Ilmiah Populer. Jakarta: CV. Pantjuran Tudjuh, 1971. Petrus Irawan Panjaitan & Wiwik Sri Widiarty. Pembaharuan Pemikiran DR. Sahardjo Mengenai Pemasyarakatan Narapidana. Jakarta: Ind. Hill Co., 2008. R. Achmad S. Soema di Pradja. Pengertian Serta Sifatnya Melawan Hukum Bagi Terjadinya Tindak Pidana (Dihubungkan Dengan Beberapa Putusan Mahkamah Agung). Bandung: Amrico, 1983. Shidarta. Penalaran Hukum Dan Hukum Penalaran. Yogyakarta: Genta Publishing, 2013.
210
Konsep Diyat Sebagai Alternatif Pemidanaan Dalam Sistem Peradilan Pidana Untuk Mengatasi Fenomena Overcapacity Lembaga Pemasyarakatan - Rocky Marbun
Slamet Sutrisno. Filsafat Dan Ideologi Pancasila. Yogyakarta: Andi Offset, 2006. TJ. Gunawan. Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Ekonomi. Yogyakarta: Genta Press, 2015. Topo Santoso. Menggagas Hukum Pidana Islam. Penerapan Syariat Islam Dalam Konteks Modernitas. Bandung: Asy-Syaamil, 2001. Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2012. Disertasi Hotma P. Sibuea, Kedudukan, Fungsi, Wewenang dan Tugas Dewan Perwakilan Daerah Dalam Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia, Disertasi Program Pascasarjana Fakultas Universitas Pelita Harapan, Karawaci-Tangerang, 2008. Undang-undang Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ———. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Internet http://news.detik.com/berita/d-3224090/selain-over-capacity-643-napi-di-lapasgorontalo-hanya-dijaga-8-petugas, diakses pada 26 Oktober 2016 http://obsessionnews.com/narapidana-meningkat-23-ribu-dalam-6-bulan-lapas-overcapacity/, diakses pada 26 Oktober 2016 http://www.tribunnews.com/nasional/2016/03/27/over-capacity-pemicu-utama-rusuhdi-lapas, diakses pada 26 Oktober 2016 http://www.tribunnews.com/dpr-ri/2016/08/03/komisi-iii-dpr-lapas-teluk-dalam-sangatover-capacity, diakses pada 26 Oktober 2016 http://news.detik.com/berita/d-3224090/selain-over-capacity-643-napi-di-lapasgorontalo-hanya-dijaga-8-petugas, diakses pada 26 Oktober 2016 http://obsessionnews.com/narapidana-meningkat-23-ribu-dalam-6-bulan-lapas-overcapacity/ http://atjehpost.co/berita1/read/Mengintip-Aktivitas-Lapas-Blangkejeren-dari-OverCapacity-Hingga-Kreativitas-Krawang-30430, diakses pada 26 Oktober 2016 http://www.menaranews.com/lapas-pangkalan-bun-over-capacity/, diakses pada 26 Oktober 2016 http://www.wartalambar.com/2011/08/rutan-lapas-lampung-over-capacity.html, diakses pada 26 Oktober 2016 http://m.galamedianews.com/nasional/34368/derita-hidup-di-lapas-over-capacity-serbasulit--.html, diakses pada 26 Oktober 2016 http://nasional.sindonews.com/read/917172/13/menkum-ham-sebut-rutan-cipinangover-kapasitas-1414616535, diakses pada 26 Oktober 2016
211
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 189 - 212
http://www.lensaindonesia.com/2013/08/20/25-rutan-dan-lapas-jawa-timur-overkapasitas.html, diakses pada 26 Oktober 2016 http://www.lensaindonesia.com/2013/08/20/25-rutan-dan-lapas-jawa-timur-overkapasitas.html, diakses pada 26 Oktober 2016 http://www.mediaindonesia.com/news/read/62833/lapas-sukabumi-overkapasitas/2016-08-22, diakses pada 26 Oktober 2016 http://www.kemenkumham.go.id/v2/berita/648-petugas-jaga-yang-tak-sebanding-salahsatu-masalah-dilapas?switch_to_desktop_ui=1=feed=atom=feed=atom=feed=atom=feed=atom= atom=atom=atom=feed=atom=feed=atom, diakses pada 26 Oktober 2016 http://www.tribunnews.com/regional/2016/04/05/lapas-dan-rutan-di-riau-overkapasitas-sampai-288-persen, diakses pada 26 Oktober 2016 http://obsessionnews.com/narapidana-meningkat-23-ribu-dalam-6-bulan-lapas-overcapacity/, diakses pada 26 Oktober 2016 http://internasional.kompas.com/read/2016/03/23/11534721/Penjara.Kosong. Melompong. Ribuan.Sipir.di.Belanda.Terancam.Nganggur., diakses pada 26 Oktober 2016
212
OPTIMALISASI PENGADILAN PERIKANAN DALAM PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PERIKANAN DI PERAIRAN INDONESIA THE OPTIMIZATION OF FISHERY COURT AS FISHERY CRIMES LAW ENFORCEMENT IN INDONESIA TERRITORIAL SEA AFRIANTO SAGITA Lembaga Konsultasi & Bantuan Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta Jalan Sunter Permai Raya, Jakarta Utara, 14350 Email:
[email protected] YOSUA HAMONANGAN SIHOMBING Lembaga Konsultasi & Bantuan Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta Jalan Sunter Permai Raya, Jakarta Utara, 14350 Email:
[email protected] Diterima : 10/10/2016
Revisi : 16/06/2017 Disetujui : 19/06/2017 DOI : 10.25216/JHP.6.2.2017.213-232
ABSTRAK Indonesia memiliki laut yang luas mengandung sumber daya perikanan yang potensial untuk menunjang perekonomian negara. Namun potensi tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena terjadinya tindak pidana perikanan dan belum maksimalnya penegakan hukum di bidang perikanan. Hal itu menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan perikanan. Sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan. Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan masih terdapat kelemahan dikarenakan kompleksnya permasalahan tindak pidana perikanan, dan juga masalah mekanisme koordinasi antar instansi penegak hukum dan pembentukan pengadilan perikanan yang belum merata di seluruh wilayah pengadilan negeri. Dalam menyelesaikan problematika tersebut, reformasi dalam penegakan hukum menjadi kunci utama yang terfokus kepada substansi hukum dan sumber daya manusia yang mendukung dalam penegakan hukum di bidang perikanan sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan. Kata kunci: tindak pidana perikanan, penegakan hukum, pengadilan perikanan
213
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 213 - 232
ABSTRACT Indonesia’s has control over vast seas potential to support the country's economy. However, the potential was not optimal because of fishery crime and the lacking of law enforcement in the field of fisheries. This matter becomes very important and strategic in order to support the fishery development in a controlled manner and in accordance with the principles of sustainable fishery management. However, in practice, law enforcement in fisheries shows weaknesses. It is evident from the very complex problems of criminal offenses fisheries, interagency coordination mechanism problems and the establishment of a fishery court to enforce the law that is not evenly distributed throughout the territory of the district court. In resolving these problems, reforms in law enforcement is the key factor that is focused on the legal and human resources. With this support of fishery law enforcement, it is hoped that fisheries development can be carried out in a sustainable manner. Keywords: fisheries crimes, law enforcement, fishery court I.
PENDAHULUAN Indonesia menyimpan potensi kekayaan sumber daya laut yang sangat besar
sehingga menjadi salah satu negara yang diperhitungkan oleh negara-negara dunia. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan Konstitusi, maka segenap kekayaan sumber daya laut tersebut harus dikelola sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum dan disaat yang sama pula kelestariannya tetap terjaga. 1 Laut merupakan wilayah potensial dalam menunjang kehidupan bangsa maupun masyarakat dunia, maka tidak menutup kemungkinan terjadi berbagai konflik atau permasalahan dan pelanggaran atas wilayah tersebut. 2 Salah satu yang dapat dilihat yaitu penangkapan ikan secara ilegal. Kegiatan yang disebut sebagai pencurian ikan (illegal fishing) ini sangat merugikan negara maupun nelayan tradisional. Selain itu, masyarakat secara umum yang menjadi konsumen juga ikut dirugikan karena tidak bisa menikmati hasil laut di negerinya sendiri. 3
Daliyo et al., Pelestarian Sumber Daya Laut, Partisipasi Dan Kesejahteraan Penduduk Di Kawasan Pesisir (Jakarta: Leusercita Pustaka, 2011). Hlm. 1. 2 Aditya Taufan Nugraha and Irman, “Perlindungan Hukum Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Terhadap Eksistensi Indonesia Sebagai Negara Maritim,” Jurnal Selat 2, no. 1 (2014). Hlm. 1. 3 Djoko Tibawono, Hukum Perikanan Indonesia (Jakarta: Citra Aditya Bakti, n.d.). Hlm. 210. 1
214
Optimalisasi Pengadilan Perikanan Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Perikanan Di Perairan Indonesia - Afrianto Sagita, Yosua Hamonangan Sihombing
Disisi lain, kegiatan pencurian ikan ini selain merugikan masyarakat umum juga merusak ekosistem laut dan juga mendorong hilangnya rantai-rantai sumber daya perikanan. 4Pencurian ikan seringkali dilakukan dengan menggunakan alat penangkap ikan yang dilarang dan berakibat rusaknya ekosistem laut. Kini tindak pidana perikanan menjadi sorotan dikarenakan maraknya tindakan penangkapan ikan dengan alat yang dilarang, pengeboman ikan, bisnis perikanan ilegal, serta kasus-kasus lainnya yang merugikan kegiatan pengelolaan sumber daya perikanan. Kegiatan yang termasuk dalam sumber daya perikanan dimulai dari pra-produksi, produksi, pengelolaan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. 5 Dari aspek regulasi, ada beberapa aturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana perikanan yang digunakan untuk menangani permasalahan tindak pidana perikanan. Perangkat aturan yang dipakai dalam pemberantasan dan penanggulangan tindak pidana pencurian ikan antara lain berdasarkan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta aturan pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana
Bidang
Perikanan,
Peraturan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
No.
PER.15/MEN/2005 tentang Penangkapan Ikan dan/atau Pembudidayaan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia yang Bukan untuk Tujuan Komersil, dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Penegak hukum dalam bidang perikanan yang tercakup dalam aturan perundangundangan yang ada di Indonesia meliputi aspek penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Bahkan dalam UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dimuat hukum acara sendiri sebagai ketentuan khusus (lex specialis) dari UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pembentukan Pengadilan Perikanan 4 Riza Damanik and Dkk, Menjala Ikan Terakhir (Sebuah Fakta Krisis Di Laut Indonesia) (Jakarta: Walhi, 2008). Hlm. 67. 5 Supriadi and Alimuddin, Hukum Perikanan Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2001). Hlm. 68.
215
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 213 - 232
beserta acaranya (hukum materiil dan formil) dimaksudkan agar tercipta efisiensi dan efektivitas dari penegakan hukum di bidang perikanan. 6 Permasalahan tindak pidana perikanan terjadi disebabkan karena tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan yang mengatur, sehingga berujung pada berbenturannya kepentingan antara institusi negara yaitu penegak hukum dalam menangani permasalahan ini. Adanya permasalahan tersebut menciptakan celah hukum bagi para pihak untuk melakukan kejahatan ini. 7 Hal itu dikarenakan sektor perikanan yang memiliki potensi yang cukup kaya tersebut mengundang banyak nelayan asing maupun lokal untuk melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan di laut Indonesia. 8 Terkait penanganan permasalahan tindak pidana di bidang perikanan, dalam Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menjadi UndangUndang No. 45 Tahun 2009, ada beberapa isu yang menjadi fokus utama dalam perubahannya yaitu: 9 1.
2. 3.
Mengenai pengawasan dan penegakan hukum yang menyangkut masalah mekanisme koordinasi antar instansi penyidik dalam penanganan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan, penerapan sanksi (pidana atau denda), hukum acara, terutama mengenai penentuan batas waktu pemeriksaan perkara, dan fasilitas dalam penegakan hukum di bidang perikanan, termasuk kemungkinan penerapan tindakan hukum berupa penenggelaman kapal asing yang beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Masalah pengelolaan perikanan antara lain pelabuhan perikanan, konservasi, perizinan dan kesyahbandaran. Mengenai perluasan yurisdiksi pengadilan perikanan sehingga mencakup seluruh wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.
Dari penjelasan di atas, pada isu yang ketiga mensyaratkan adanya pembentukan pengadilan perikanan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Dengan kata lain, pembentukan pengadilan perikanan harus dilaksanakan di Bakri Rudiansyah, “Peran Aparatus Negara Dalam Penanganan Kegiatan Perikanan Yang Tidak Sah Di Perairan Raja Ampat,” Jurnal Kajian Politik dan Masalah Pembangunan 11, no. 2 (2015). Hlm. 1719. 7 Akhmad Solihin, Politik Hukum Kelautan Dan Perikanan (Bandung: Nuansa Aulia, 2010). Hlm. 4. 8 Marlina and Faisal, Aspek Hukum Peran Masyarakat Dalam Mencagah Tindak Pidana Perikanan (Jakarta: Sofmedia, 2013).Hlm. 2. 9 Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003 tentang Perikanan. 6
216
Optimalisasi Pengadilan Perikanan Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Perikanan Di Perairan Indonesia - Afrianto Sagita, Yosua Hamonangan Sihombing
seluruh wilayah pengadilan negeri. Namun, pada saat ini masih terbatas di beberapa wilayah pengadilan negeri yaitu Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Pengadilan Negeri Pontianak, Pengadilan Negeri Tual, dan Pengadilan Negeri Bitung. 10 Ditambah dengan dibentuknya pengadilan perikanan di Pengadilan Negeri Tanjung Pinang, Pengadilan Negeri Ranai, 11serta yang terakhir pada Pengadilan Negeri Ambon, Pengadilan Negeri Sorong dan Pengadilan Negeri Merauke. 12 Sehingga diluar wilayah tersebut, maka perkara tindak pidana di bidang perikanan tetap diperiksa, diadili dan diputus oleh pengadilan negeri yang berwenang. 13 Dengan adanya pemeriksaan tindak pidana di bidang perikanan yang dilakukan oleh pengadilan perikanan dan pengadilan negeri, maka ada dualisme dan ketidakpastian hukum dalam penanganan tindak pidana perikanan. Dikarenakan terdapat perbedaan antara penanganan perkara tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh pengadilan perikanan, yang dimana aparat, sistem, dan proses penanganannya berbeda dengan yang dilaksanakan melalui peradilan umum. 14 Sehingga penanganan tindak pidana di bidang perikanan pada saat ini belum berjalan secara maksimal dan mengalami berbagai hambatan dalam penyelesaiannya. II. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Perairan Indonesia Indonesia berada di posisi 400 BT-1410 BT dan 60 LU-110 LS, terletak di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, dan di antara Benua Asia dan Benua Australia, serta terletak di atas tiga lempeng aktif yaitu lempeng Indo Australia, Eurasia, dan Pasifik. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki sekitar 5,8 juta km2, dengan wilayah daratan seluas 1.860.359,67 km2. Luas laut Indonesia dapat dirinci sebagai berikut : 15
Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 15 Tahun 2010 tentang Pembentukan Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Tanjung Pinang dan Pengadilan Negeri Ranai 12 Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 6 Tahun 2014 tentang Pembentukan Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Ambon, Pengadilan Negeri Sorong, dan Pengadilan Negeri Merauke 13 Pasal 106 Undang-Undang No. 45 Tahu 2009 tentang Perikanan 14 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Analisis Dan Evaluasi Hukum Tentang Pengadilan Perikanan (Jakarta, 2009). Hlm. 89 15 Nym Ngurah Adisanjaya, Potensi, Produksi Sumberdaya Ikan di Perairan Laut Indonesia dan Permasalahannya. hlm. 3. Diakses dari www.eafm-indonesia.net, tanggal 12 September 2016. 10 11
217
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 213 - 232
Tabel 1 16 Luas Laut Indonesia No
Perairan
Luas (km2)
1
Perairan Kepulauan/Laut Nusantara
104.000 km2
2
Laut Teritorial
284.210,9 km2
3
Laut 12 Mil (Zona Tambahan)
279.322 km2
4
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
2.981.211 km2
Jumlah
3.648.743,9 km2
Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Tahun 2014
Dari tabel luas laut Indonesia di atas, luas perairan ZEE Indonesia merupakan wilayah perairan yang paling luas dari perairan kepulauan dan perairan teritorial. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki sumber daya perikanan yang sangat besar. Pemanfaatan sumber daya perikanan dapat dimanfaatkan sebagai penopang dalam peningkatan perekonomian nasional. Selain itu, Indonesia memiliki hak dalam pemanfaatan ekslusif dan berkewajiban dalam memberi kesempatan negara lain untuk melakukan konservasi terhadap surplus perikanan. Secara internasional pengaturan tentang laut tertuang di dalam Konvensi Hukum Laut 1982 yang dinyatakan berlaku pada 14 November 1994. Dari ketentuan ini, Indonesia menyatakan untuk mengikuti ketentuan tersebut, maka diadopsi dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional. Suatu perkembangan baru dalam Hukum Laut Internasional yaitu diterimanya rezim Negara Kepulauan dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) serta perkembangan yang dirumuskan dalam ketentuan tersebut. Secara pengaturan nasional, ditetapkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 1986 tentang Perairan Indonesia merupakan turunan dan pelaksanaan pengaturan hukum Negara Kepulauan dalam ketentuan Hukum Laut Internasional. Dalam pengaturannya yang dimaksud dengan perairan Indonesia meliputi : a.
Laut teritorial Indonesia Laut teritorial adalah selebar 12 mil diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia dengan menggunakan garis-garis pangkal lurus kepulauan yang
Kementrian Kelautan dan Perikanan, Laporan Kinerja Kementrian Kelautan Dan Perikanan Tahun 2014 (Jakarta, 2014). Hlm. 17 16
218
Optimalisasi Pengadilan Perikanan Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Perikanan Di Perairan Indonesia - Afrianto Sagita, Yosua Hamonangan Sihombing
b.
c.
menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau dan karang-karang kering terluar dari kepulauan Indonesia. 17 Status hukum pada laut teritorial Indonesia adalah tunduk di bawah kedaulatan Negara Indonesia. Sehingga segala pengaturan hukum yang berkenaan dengan pemanfaatan laut teritorial baik atas kepentingan nasional maupun kepentingan internasional harus tunduk pada pengaturan dan kebijakan Indonesia. Perairan Kepulauan Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan Indonesia tanpa memperhatikan kedalaman dan jaraknya dari pantai. Panjang garis pangkal lurus yang dimaksudkan tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali 3% dari jumlah keseluruhan garis pangkal yang mengelilingi kepulauan Indonesia hingga mencapai maksimum 125 meter. 18 Perairan Pedalaman. Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnya semua bagian perairan yang terletak pada sisi darat suatu garis penutup pada mulut sungai, kuala teluk, anak laut dan pelabuhan. Perairan pedalaman ini terdiri dari laut pedalaman dan perairan darat seperti sungai dan danau.
Disisi lain, berdasarkan ketentuan hukum tentang perikanan dinyatakan adanya wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi: 19 a. b. c.
Perairan Indonesia; ZEEI; dan Sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia.
Pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterima secara umum. 20Dalam memudahkan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan, berdasarkan kesepakatan para pakar, peneliti dan praktisi perikanan maka telah ditetapkan pembagian wilayah yang dikenal dengan
Pasal 3 dan Pasal 5 Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. 19 Pasal 5 Undang-Undang No. 45 Tahun 2009. 20 Penjelasan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, Pasal 5 ayat (2) menyatakan yang dimaksud dengan “pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan Republik Indonesia” adalah pengelolaan perikanan di laut lepas. 17 18
219
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 213 - 232
WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan) dengan mempertimbangkan aspek biologis dan lingkungan sumber daya ikan. Gambar 1 21 Pembagian Wilayah Pengelolaan Perikanan
Sumber : Departemen Kelautan dan Perikanan, Tahun 2002. PembagianWilayah Pengelolaan Perikanan, dimana: (1) WPP Selat Malaka, (2) WPP Laut Cina Selatan, (3) WPP Laut Jawa, (4) WPP Selat Makasar dan Laut Flores, (5) WPP Laut Banda, (6) WPP Laut Arafuru, (7) WPP Laut Seram dan Teluk Tomini, (8) WPP Laut Sulawesi, (9) WPP Samudra Indonesia.
Data di atas menggambarkan tingkat pemanfaatan sumber daya perikanan antar kawasan dan antar jenis sumber daya. Di sebagian wilayah telah terjadi gejala tangkap lebih (overfishing) seperti di Laut Jawa dan Selat Malaka, sedangkan di sebagian besar wilayah timur tingkat pemanfaatannya masih di bawah potensi lestari. 22 Selain tidak meratanya tingkat pemanfaatan sumber daya perikanan antar kawasan dan antar jenis sumber daya, saat ini juga masih terjadi konflik dalam pemanfaatan sumber daya perikanan, kasus konflik perbatasan wilayah perairan negara tetangga, serta masih rendahnya tingkat kepatuhan pemangku kepentingan terhadap ketentuan yang berlaku. 2. Tindak Pidana Perikanan Dalam Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyatakan bahwa penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan Nym Ngurah Adisanjaya, Op. Cit., Hlm. 5 Ibid. Potensi lestari (maximum sustainable yield/MSY) sumber daya perikanan tangkap diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun. Sedangkan potensi yang dapat dimanfaatkan (allowable catch) sebesar 80% dari MSY yaitu 5,12 juta per ton. 21 22
220
Optimalisasi Pengadilan Perikanan Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Perikanan Di Perairan Indonesia - Afrianto Sagita, Yosua Hamonangan Sihombing
kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkan. 23 Berdasarkan rumusan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, kegiatan-kegiatan tindak pidana perikanan secara keseluruhan yaitu sebagai berikut : 1. Kegiatan yang dilakukan dalam penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya perikanan. 24 2. Kegiatan dengan memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang berada di kapal penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan. 25 3. Kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan. 26 4. Kegiatan yang merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya perikanan. 27 5. Kegiatan yang memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan. 28 6. Kegiatan yang melakukan penanganan dan pengelolahan ikan yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan. 29 7. Kegiatan yang melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari dan/atau wilayah Republik Indonesia yang tidak dilengkapi sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia. 30 8. Kegiatan yang melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengelolaan, pemasaran ikan, penangkapan, pengangkutan, penelitian ikan yang tidak memiliki izin. 31 Adapun modus operandi tindak pidana perikanan yang terjadi di Indonesia dapat dilihat dari beberapa hal yakni kapal penangkap ikan yang melaksanakan kegiatan penangkapan di perairan Indonesia tanpa dilengkapi dokumen dan tidak memiliki izin penangkapan, tindak pidana perikanan dilakukan secara terorganisir oleh jaringan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 45 Tahun 2009. Pasal 8 dan Pasal 84 Undang-Undang No. 45 Tahun 2009. 25 Pasal 9 dan Pasal 85 Undang-Undang No. 45 Tahun 2009. 26 Pasal 12 dan Pasal 86 Undang-Undang No. 45 Tahun 2009. 27 Pasal 14 ayat (4) dan Pasal 87 Undang-Undang No. 45 Tahun 2009. 28 Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 88 Undang-Undang No. 45 Tahun 2009. 29 Pasal 20 ayat (3) dan Pasal 89 Undang-Undang No. 45 Tahun 2009. 30 Pasal 21 dan Pasal 90 Undang-Undang No. 45 Tahun 2009. 31 Pasal 92, Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, dan Pasal 99 Undang-Undang No. 45 Tahun 2009. 23 24
221
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 213 - 232
pelaku di berbagai negara (transnational organized crime). 32Disamping itu, Kejahatan IUU Fishing tidak hanya terjadi di sektor perikanan tetapi juga saling berkaitan dengan kejahatan lainnya seperti perdagangan orang, pencucian uang, penyelundupan barang dan satwa liar, kepabeanan, keimigrasian, ketenagakerjaan dan sebagainya. 33 Secara internasional, penangkapan ikan yang tidak legal atau illegal fishing 34 di dalam pengaturannya sering disandingkan dengan tindak pidana perikanan lainnya, yaitu unreported dan unregulated fishing yang dapat diartikan sebagai kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan yang tidak diatur oleh peraturan yang ada, atau aktivitasnya tidak dilaporkan kepada suatu institusi atau lembaga pengelola perikanan yang tersedia. Dengan kata lain illegal, unreported, unregulate fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan yang masuk kategori sebagai berikut : 35 1. 2. 3.
Dilakukan oleh orang atau kapal asing pada suatu perairan yang menjadi yurisdiksi suatu negara tanpa izin dari negara tersebut atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bertentangan dengan peraturan nasional yang berlaku atau kewajiban internasional. Dilakukan oleh kapal yang mengibarkan bendera suatu negara yang menjadi anggota organisasi pengelolaan perikanan regional tetapi beroperasi tidak sesuai dengan ketentuan pelestarian dan pengelolaan yang diterapkan oleh organisasi tersebut atau ketentuan hukum internasional yang berlaku.
Kegiatan tindak pidana di bidang perikanan yang marak terjadi di Perairan Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor yang tidak terlepas dari lingkungan strategis global terutama kondisi perikanan di negara lain yang memiliki perbatasan laut dan sistem pengelolaan perikanan yang berada di Indonesia. Secara garis besar faktor penyebab terjadinya kegiatan tersebut adalah: 36 1.
Kebutuhan ikan dunia (demand) yang meningkat, yang bertolak belakang dengan pasokan ikan dunia yang menurun, terjadi overdemand terutama
32 Perangi Fisheries Crime, Pemerintah Resmikan IFFAI Bagi Penegak Hukum Perikanan.Diakses dari news.kkp.go.id, tanggal 14 Juni 2017. 33 Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, Laporan Akhir Dan Evaluasi Hukum Dalam Rangka Pemberantasan Kegiatan Perikanan Liar (IUU Fishing), 2016. Hlm. 101 34 Illegal Fishing berasal dari kata illegal yang berarti tidak sah atau tidak resmi. Fishing merupakan kata benda yang berarti perikanan; dari kata fish dalam bahasa inggris yang berarti ikan; mengambil; mengail, atau memancing. Dalam Nunung Mahmudah, Illegal Fishing (Jakarta: Sinar Grafika, 20015). Hlm. 80. 35 Victor P.H. Nikijuluw, Blue Water Crime: Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Illegal (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2008). Hlm. 18. 36 Rohmin Dahuri, Petunjuk Teknis Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Perikanan (Jakarta: Pusdiklat Kejagung RI, 2012). Hlm. 4.
222
Optimalisasi Pengadilan Perikanan Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Perikanan Di Perairan Indonesia - Afrianto Sagita, Yosua Hamonangan Sihombing
2. 3. 4.
5. 6. 7.
jenis ikan dari laut. Hal inilah yang mendorong armada perikanan dunia untuk melakukan pemburuan ikan di manapun dengan cara legal atau ilegal. Kedua, disparitas (perbedaan) harga ikan segar utuh (whole fish) di negara lain dibandingkan di Indonesia yang cukup tinggi, sehingga membuat masih adanya surplus pendapatan. Fishing ground di negara-negara lain sudah mulai habis, sementara di Indonesia kondisi perikanan masih menjanjikan. Laut Indonesia yang sangat luas dan terbuka, namun kemampuan pengawasan khususnya armada pengawasan nasional (kapal pengawas) masih sangat terbatas dibandingkan kebutuhan untuk mengawasi daerah yang rawan. Dikarenakan luasnya wilayah laut yang menjadi yurisdiksi Indonesia dan kenyataan masih sangat terbukanya ZEE Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas (high seas) menjadi penarik perhatian untuk masuknya kapal-kapal ikan asing maupun lokal untuk melakukan tindak pidana perikanan. Sistem pengelolaan perikanan dalam bentuk sistem perizinan saat ini bersifat terbuka dan pembatasannya hanya terbatas pada alat tangkap. Masih terbatasnya sarana, prasarana serta sumber daya manusia dalam melaksanakan pengawasan yang terlihat kurang pada sisi kuantitas dibandingkan dengan luasnya wilayah perairan yang harus diawasi. Persepsi dan langkah kerjasama antara aparat penegak hukum dalam penanganan perkara tindak pidana perikanan masih belum terorganisasi dengan optimal, terutama dalam hal pemahaman tindakan hukum dan komitmen dalam mengoperasikan kapal pengawas di ZEE Indonesia.
3. Pengadilan Perikanan Sebagai Salah Satu Cabang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 telah menyatakan secara tegas bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Konsekuensi dari hal itu bahwa atas konsep dan prinsip penting dari negara hukum yaitu adanya jaminan kemerdekaan bagi penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang terbebas dari pengaruh kekuasaan lainnya dalam menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Berdasarkan hal itu maka kekuasaan kehakiman sebagai penyelenggara negara selain Presiden, DPR, MPR dan BPK. 37 Pasal 24 ayat (2) UUD NKRI 1945 dan dituangkan di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman tertinggi di Indonesia dijalankan oleh Mahkamah Agung bersama badanbadan peradilan yang dibawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dalam Pasal 1 menyatakan Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. 37
223
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 213 - 232
pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh Mahkamah Agung, dilakukan melalui badan-badan peradilan yang berada dalam lingkungan dibawahnya yaitu lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Dalam perkembangannya, lembaga peradilan terus mengalami perkembangan dan menjadi beraneka ragam. Perkembangan tersebut terlihat dari adanya pengadilan khusus
38
yang dikembangkan di dalam lingkungan pengadilan umum, seperti
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hubungan Industrial dan Pengadilan Perikanan. 39 Sebagai salah satu pengadilan khusus, Pengadilan Perikanan berwenang untuk mengadili
dan
memutuskan
tindak
pidana
secara
khusus
di
bidang
perikanan. 40Kedudukan dari pengadilan perikanan merupakan pengadilan khusus yang berada di bawah lingkungan pengadilan negeri. 41 Pembentukan Pengadilan Perikanan merupakan amanah Pasal 71 UU No. 45 Tahun 2009 tentang atas perubahan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Dengan kata
lain,
dibentuknya
pengadilan
perikanan
dimaksudkan
untuk
menjamin
terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan berkelanjutan. Dalam hal ini pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan. 42 Kehadiran Pengadilan Perikanan lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan. Dalam proses penegakan hukum dapat melengkapi dan menyempurnakan hukum acara dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan (di samping mengikuti hukum acara dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, juga memuat hukum acara khusus). Selain itu, menjamin hukum materiil dan hukum
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang. 39 Jimly Asshiddiqie, “Pengadilan Khusus,” in Putih Hitam Pengadilan Khusus (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2013). Hlm. 4. 40 Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang No. 45 Tahun 2009. 41 Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang No. 45 Tahun 2009. 42 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Loc. cit., hlm. 2. 38
224
Optimalisasi Pengadilan Perikanan Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Perikanan Di Perairan Indonesia - Afrianto Sagita, Yosua Hamonangan Sihombing
acara (formil) bersifat lebih cepat dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan. 43 Semangat pembentukan pengadilan khusus perikanan ini juga dilandasi dengan semangat untuk mengatasi krisis “ketidakberdayaan” lembaga-lembaga peradilan yang ada dalam menjawab berbagai persoalan hukum khususnya yang terkait penegakan hukum tindak pidana perikanan.
44
Hal itu dikarenakan wilayah Indonesia yang
berbatasan dengan negara lain, memiliki sumber daya perikanan yang potensial dan merupakan sentra perikanan nasional sering menjadi target bagi kapal perikanan asing maupun lokal dalam melakukan penangkapan ikan ilegal 45 serta jumlah perkara tindak pidana di bidang perikanan dimana pengadilan perikanan tersebut dibentuk semakin meningkat 46. Proses hukum yang ada dinilai jauh dari asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Selain itu yang tak kalah pentingnya adalah semakin pesatnya kemajuan teknologi dan semakin kompleksnya persoalan-persoalan hukum di bidang perikanan, maka dibutuhkan suatu lembaga peradilan yang profesional dan didukung oleh sumber daya manusia yang menguasai persoalan tersebut. 4. Optimalisasi Pengadilan Perikanan Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Perikanan Dalam perjalanannya, perkara yang diterima pengadilan perikanan pada tahun 2016 sebanyak 241 perkara, sisa perkara tahun 2015 sebanyak 17 perkara sehingga jumlah beban perkara sebanyak 258 perkara. Perkara yang telah diputus sebanyak 184 perkara, sehingga sisa perkara pada akhir tahun 2016 sebanyak 74 perkara. Jumlah perkara yang diterima tahun 2016 meningkat 37,71% dari tahun 2015 yang menerima sebanyak 175 perkara. Jumlah perkara yang diputus juga meningkat 18,71 % dari tahun 2015 yang berjumlah 155 perkara. Rasio jumlah perkara yang diputus dibandingkan dengan jumlah perkara adalah 71,32%. 47
43
Ibid. Ibid. 45 Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 6 Tahun 2014 tentang Pembentukan Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Ambon, Pengadilan Negeri Sorong, dan Pengadilan Negeri Merauke. 46 Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 15 Tahun 2010 tentang Pembentukan Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Tanjung Pinang dan Pengadilan Negeri Ranai. 47 Mahkamah Agung, Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2016 (Jakarta, 2016). Hlm. 88-89 44
225
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 213 - 232
Tabel 2 48 Keadaan Perkara pada Pengadilan Perikanan Tahun 2013 – 2016 300 250 200 Perkara Masuk
150
Perkara Diputus
100
Perkara Sisa
50 0
Tahun 2013
Tahun 2014
Tahun 2015
Tahun 2016
.
Sumber : Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2013 -2016.
Dari pemaparan tabel di atas, dapat dilihat bahwa perkara yang masuk dan diperiksa oleh pengadilan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sehingga perlu dilaksanakannya suatu reformasi di pengadilan perikanan dalam memaksimalkan kinerja dari pengadilan perikanan dalam memutus tindak pidana di bidang perikanan. Reformasi di pengadilan perikanan dapat dilakukan dalam beberapa hal yaitu pada substansi hukum, kelembagaan peradilan dan aparat penegak hukum. a) Substansi Hukum Memperhatikan berbagai jenis pengadilan khusus yang ada pada saat ini menunjukkan bahwa belum ada desain kebijakan hukum yang tetap dalam pembentukan pengadilan khusus, terutama pada aspek independensi dan konsistensi. Pengadilan khusus dibentuk hanya dibentuk berdasarkan kebutuhan sosiologis dan faktual yang tidak didasarkan desain yang standar. 49 Pembentukan pengadilan khusus ini juga terlihat dalam pembentukan Pengadilan Perikanan yang mana dibentuk secara bertahap sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. 50 48
Ibid. Menurut Hamdan Zoelva, Pengadilan khusus itu terbentukl disamping tidak ada desain konstitusional yang detail baik dalam konstitusi maupun undang-undang mengenai bentuk dan isi pengadilan khusus. Selain itu, karena adanya kelatahan untuk selalu membentuk pengadilan khusus jika ditemukan masalah-masalah khusus yang harus diselesaikan secara khusus pada saat pembentukan undang-undang tertentu. Pembentuk undang-undang membentuk pengadilan khusus hanya berdasarkan situasi yang muncul dalam penegakan hukum. Dalam Hamdan Zoelva, “Aspek Konstitusional Pengadilan Khusus Di Indonesia,” in Putih Hitam Pengadilan Khusus (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2013). Hlm. 180. 50 Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dalam Pasal 71 ayat (6) menyatakan Pembentukan pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. 49
226
Optimalisasi Pengadilan Perikanan Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Perikanan Di Perairan Indonesia - Afrianto Sagita, Yosua Hamonangan Sihombing
Dalam pembentukan peradilan perikanan, pada awalnya dasar hukum lahirnya pengadilan perikanan didasari pada Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 pada Pasal 71 yang menyatakan bahwa “Dengan undang-undang ini dibentuk pengadilan perikanan yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana di bidang perikanan”. Namun dalam ketentuan ini, pengaturan suatu kelembangaan pengadilan perikanan hanya diatur dalam 1 (satu) pasal saja. Perubahan ketentuan dari yang sebelumnya menjadi Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 menyatakan peraturan mengenai pengadilan perikanan ditambah 1 pasal yaitu Pasal 71A sehingga secara keluruhan dalam pengaturan tentang pengadilan perikanan hanya diatur di dalam 2 pasal saja. Mengacu kepada berbagai pengadilan khusus yang ada, pengaturan tentang pengadilan khusus tersebut diatur dalam ketentuan yang secara khusus juga. Hal itu dapat dilihat dari Pengadilan Anak diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diatur dalam Undang-Undang No. 46 Tahun 2009, Pengadilan Hak Asasi Manusia diatur dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000, Pengadilan Pajak diatur dalam Undang-Undang No. 14 tahun 2002, Pengadilan Hubungan Industrial diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004. Dengan demikian, perlunya suatu reformasi di pengadilan perikanan dalam substansi hukum (produk hukum) harus dilaksanakan sebagaimana pengaturan yang mengatur secara khusus seperti pengadilan-pengadilan khusus lainnya. Sehingga dengan adanya pengaturan secara khusus terhadap pengadilan perikanan diluar ketentuan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, memberikan penegasan dan kedudukan yang konsisten bagi pengadilan perikanan dalam menyelesaikan segala permasalahan tindak pidana di bidang perikanan. b) Kelembangaan Peradilan Dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, menyatakan diperlukan perluasan yurisdiksi pengadilan perikanan sehingga mencakup seluruh wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Kemudian diatur pula bahwa pembentukan pengadilan perikanan dilakukan dan diterapkan secara bertahap
227
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 213 - 232
sesuai dengan kebutuhan melalui keputusan presiden. 51 Berkenaan dengan ketentuan hukum yang mengatur, dapat ditafsirkan bahwa para pembentuk undang-undang ini sebenarnya menghendaki agar dapat dibentuk di setiap pengadilan negeri di seluruh Indonesia. 52 Pembentukan pengadilan perikanan masih belum merata diseluruh wilayah pengadilan negeri. Pembentukan peradilan perikanan pertama kali adalah di wilayah Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Pengadilan Negeri Pontianak, Pengadilan Negeri Tual, Pengadilan Negeri Bitung. Selanjutnya pada tahun 2010, dibentuk dua peradilan perikanan di wilayah Pengadilan Negeri Tanjung Pinang, dan Pengadilan Ranai. 53 Pembentukan peradilan perikanan yang selanjutnya pada tahun 2014 di wilayah Pengadilan Negeri Ambon, Pengadilan Negeri Sorong, Pengadilan Negeri Merauke. 54 Terbentuknya pengadilan perikanan tersebut hanya berada di beberapa provinsi yaitu DKI Jakarta, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Maluku, Kepulauan Riau, Maluku, Papua Barat dan Papua. Hal itu berbanding terbalik dengan pertumbuhan perekonomian subsektor perikanan triwulan III-2015 diwarnai oleh perubahan laju implisit di subsektor perikanan. Dapat dijelaskan melalui gambar berikut:
Pasal 71 ayat (5) Undang-Undang No. 45 Tahun 2009. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Op. cit., hlm. 89. 53 Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 15 Tahun 2010 tentang Pembentukan Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Tanjung Pinang dan Pengadilan Negeri Ranai. 54 Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 6 Tahun 2014 tentang Pembentukan Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Ambon, Pengadilan Negeri Sorong, dan Pengadilan Negeri Merauke. 51 52
228
Optimalisasi Pengadilan Perikanan Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Perikanan Di Perairan Indonesia - Afrianto Sagita, Yosua Hamonangan Sihombing
Gambar 2 55
Sumber : Laporan Kinerja Satu Tahun Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2015.
Dari gambar di atas, meningkatnya pertumbuhan perikanan menjadikan seluruh wilayah perairan Indonesia menjadi daerah rawan tindak pidana perikanan. Hal itu dikarenakan negara Republik Indonesia yang memiliki luas laut yang lebih luas daripada luas wilayah daratan yang mengakibatkan setiap provinsi yang ada berbatasan langsung dengan wilayah perairan. Dari gambar tersebut, terlihat beberapa wilayah yang memiliki produksi perikanan yang besar tetapi tidak memiliki pengadilan perikanan dalam pemberantasan tindak pidana perikanan, seperti Sumatera Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan sebagainya. Permasalahan yang muncul kemudian yaitu ketika daerah yang tidak memiliki peradilan perikanan harus menyelesaikan permasalahan tindak pidana perikanan melalui pengadilan negeri. Sebagaimana diketahui, bahwa dalam memeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana perikanan di pengadilan perikanan menggunakan ketentuan hukum acara yang khusus dari ketentuan yang umum pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. 56 c) Aparat Penegak Hukum Selain itu, permasalahan fundamental juga terjadi dalam hal personelia peradilan. Dalmajelis hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana 55 Kementerian Kelautan dan Perikanan, Laporan Kinerja Satu Tahun Kementerian Kelautan Dan Perikanan Tahun 2015 (Jakarta, 2015). Hlm. 71. 56 Gatot Supramono, Hukum Acara Pidana & Hukum Pidana Di Bidang Perikanan (Jakarta: Rineka Cipta, 2011). Hlm. 66.
229
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 213 - 232
perikanan. Adapun Pengadilan Perikanan disidangkan oleh Majelis Hakim yang terdiri atas karir dan dua hakim ad hoc perikanan. Sampai dengan tahun 2015, jumlah hakim ad hoc sebanyak 56 orang. 57 Diperlukannya hakim-hakim ad hoc 58 pada peradilan perikanan yaitu untuk menunjang pemeriksaan sidang tindak pidana perikanan yang dikarenakan hakim ad hoc yang memiliki kemampuan dan pengetahuan khusus dalam bidang perikanan. Namun, keberadaan hakim-hakim ad hoc yang ada saat ini, telah menimbulkan masalah sebagai contoh adalah pembentukan pengadilan perikanan yang tidak menangani perkara selama 2 (dua) tahun karena tidak ada perkara yang masuk, tetapi hakim ad hoc di pengadilan perikanan tetap menerima gaji dari negara. 59 Dengan demikian, pembaharuan kelembagaan dalam peradilan perikanan merupakan suatu keharusan untuk menekan angka tindak pidana perikanan. Hal itu dilaksanakan dengan cara membentuk pengadilan perikanan di setiap provinsi. Namun kedudukan dari pengadilan perikanan berada di ibu kota provinsi sama halnya dengan PTUN. Hal tersebut dikarenakan, jika dibentuk diseluruh wilayah pengadilan negeri pada tingkat kabupaten/kota maka yang akan menjadi problemnya yaitu perkara tindak pidana yang masuk tidak sebanding banyaknya dengan jumlah pengadilan perikanan. Sehingga hakim-hakim dalam menangani perkara tindak pidana perikanan dapat bekerja secara efektif dikarenakan penanganan perkara terpusat pada satu pengadilan di ibu kota provinsi. Selain itu, hal tersebut dikonstruksikan agar permasalahan tindak pidana perikanan di setiap provinsi diselesaikan melalui pengadilan perikanan di provinsi masing-masing, tidak mengacu kepada wilayah pengadilan yang memiliki peradilan perikanan maupun penanganan perkara di pengadilan negeri yang hukum acaranya berbeda dengan hukum acara dalam pemeriksaan tindak pidana perikanan di peradilan perikanan.
Sehingga
dalam
proses
penanganannya
diharapkan
akan
lebih
memungkinkan bagi terlaksananya asas sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam memeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana perikanan. 60 Kementerian Kelautan dan Perikanan, Refleksi 2015 Dan Outlook 2016 Pengawasan Sumber Daya Kelautan Dan Perikanan (Jakarta, 2016). Hlm. 32 58 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 1 angka 9 menyatakan Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang. 59 Dewan Perwakilan Republik Indonesia, Laporan Singkat Rapat Dengar Pendapat Umum Badan Legislasi DPR RI Dengan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), pada tanggal 27 Agustus 2015. 60 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Op. cit., hlm. 88. 57
230
Optimalisasi Pengadilan Perikanan Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Perikanan Di Perairan Indonesia - Afrianto Sagita, Yosua Hamonangan Sihombing
III. KESIMPULAN Berdasarkan permasalahan dalam penanganan tindak pidana perikanan, maka diperlukan pembaharuan dalam penegakan hukum tindak pidana perikanan. Reformasi tersebut terfokus kepada substansi hukum (produk hukum), kelembagaan peradilan dan aparatur penegak hukum yang dalam hal ini dilaksanakan oleh hakim. Pembaharuan pada substansi hukum dilaksanakan dengan membentuk suatu peraturan khusus diluar Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 yang mengatur secara khusus tentang kelembagaan pengadilan dan hukum acara dalam penanganan tindak pidana perikanan. Disamping itu, mengenai kelembagaan peradilan, dengan dibentuknya peradilan perikanan yang berada di setiap ibu kota provinsi menjadikan penanganannya oleh hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana perikanan lebih efektif dan efisien. IV.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Agung, Mahkamah. Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2016. Jakarta, 2016. Asshiddiqie, Jimly. “Pengadilan Khusus.” In Putih Hitam Pengadilan Khusus. Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2013. Badan Pembinaan Hukum Nasional. Analisis Dan Evaluasi Hukum Tentang Pengadilan Perikanan. Jakarta, 2009. Dahuri, Rohmin. Petunjuk Teknis Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Perikanan. Jakarta: Pusdiklat Kejagung RI, 2012. Daliyo, Zainal Fatoni, Soewartoyo, and Sumono. Pelestarian Sumber Daya Laut, Partisipasi Dan Kesejahteraan Penduduk Di Kawasan Pesisir. Jakarta: Leusercita Pustaka, 2011. Damanik, Riza, and Dkk. Menjala Ikan Terakhir (Sebuah Fakta Krisis Di Laut Indonesia). Jakarta: Walhi, 2008. Mahmudah, Nunung. Illegal Fishing. Jakarta: Sinar Grafika, 20015. Marlina, and Faisal. Aspek Hukum Peran Masyarakat Dalam Mencagah Tindak Pidana Perikanan. Jakarta: Sofmedia, 2013. Nikijuluw, Victor P.H. Blue Water Crime: Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Illegal. Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2008. Nugraha, Aditya Taufan, and Irman. “Perlindungan Hukum Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Terhadap Eksistensi Indonesia Sebagai Negara Maritim.” Jurnal Selat 2, no. 1 (2014).
231
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 213 - 232
Perikanan, Kementerian Kelautan dan. Laporan Kinerja Satu Tahun Kementerian Kelautan Dan Perikanan Tahun 2015. Jakarta, 2015. ———. Refleksi 2015 Dan Outlook 2016 Pengawasan Sumber Daya Kelautan Dan Perikanan. Jakarta, 2016. Perikanan, Kementrian Kelautan dan. Laporan Kinerja Kementrian Kelautan Dan Perikanan Tahun 2014. Jakarta, 2014. Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional. Laporan Akhir Dan Evaluasi Hukum Dalam Rangka Pemberantasan Kegiatan Perikanan Liar (IUU Fishing), 2016. Rudiansyah, Bakri. “Peran Aparatus Negara Dalam Penanganan Kegiatan Perikanan Yang Tidak Sah Di Perairan Raja Ampat.” Jurnal Kajian Politik dan Masalah Pembangunan 11, no. 2 (2015). Solihin, Akhmad. Politik Hukum Kelautan Dan Perikanan. Bandung: Nuansa Aulia, 2010. Supramono, Gatot. Hukum Acara Pidana & Hukum Pidana Di Bidang Perikanan. Jakarta: Rineka Cipta, 2011. Supriadi, and Alimuddin. Hukum Perikanan Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2001. Tibawono, Djoko. Hukum Perikanan Indonesia. Jakarta: Citra Aditya Bakti, n.d. Zoelva, Hamdan. “Aspek Konstitusional Pengadilan Khusus Di Indonesia.” In Putih Hitam Pengadilan Khusus. Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2013. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih, dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perikanan Indonesia. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pembentukan Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Ambon, Pengadilan Negeri Sorong dan Pengadilan Negeri Merauke. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 tentang Pembentukan Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Tanjung Pinang dan Pengadilan Negeri Ranai. Internet Adisanjaya, Nym Ngurah.Potensi, Produksi Sumberdaya Ikan di Perairan Laut Indonesia dan Permasalahannya. hlm. 3. Diakses dari www.eafm-indonesia.net, tanggal 12 September 2016.
232
INDEPENDENSI HAKIM AD-HOC PADA LINGKUNGAN PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL THE JUDICIAL INDEPENDENCE OF AD-HOC JUDGES IN INDUSTRIAL RELATION COURT MUHAMMAD ISHAR HELMI Pusat Konstitusi dan Legislasi Nasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Email:
[email protected] RIKO HENDRA PILO Pusat Konstitusi dan Legislasi Nasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Email:
[email protected] Diterima : 06/10/2016 Revisi : 06/04/2017 DOI : 10.25216/JHP.6.2.2017.233-258
Disetujui : 30/05/2017
ABSTRAK Undang-Undang PPHI mengatur asas penyelesaian perselisihan hubungan industrial dilakukan secara musyawarah mufakat, dengan berprinsip jika terjadi perselisihan antara pekerja/buruh dan pengusaha maka tahap pertama penyelesaian perselisihan tersebut diserahkan pada pihak yang berselisih (bipartit). Ketentuan Pasal 63 ayat (2) dan Pasal 67 ayat (1) huruf f Undang-Undang tersebut mengakibatkan hakim ad-hoc Pengadilan Hubungan Industrial, dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya memeriksa dan memutus suatu perkara harus mandiri dan lepas dari segala bentuk intervensi lembaga/instansi manapun menjadi terbatasi dan tidak optimal. Hakim ad-hoc Peradilan Hubungan Industrial merupakan hakim yang diusulkan oleh serikat pekerja/serikat buruh, organisasi pengusaha, juga diberhentikan secara hormat oleh serikat pekerja/serikat buruh, organisasi pengusaha tersebut. Hal ini tentunya akan menciderai sistem peradilan yang bebas, tidak memihak dan bersih yang diimpikan karena para hakim akan dikuasai oleh para pihak yang berperkara, karena keberadaan hakim diangkat dan diberhentikan oleh pihak yang akan disidangkan di peradilan hubungan industrial tersebut. Kata kunci: independensi peradilan, hakim ad-hoc, PHI ABSTRACT PPHI (Industrial Relations Disputes Settlement) Act regulates the principle of settlement of industrial relations disputes by consensus, if there is a dispute between employee/workers and employers, the first stage of dispute settlement shall be submitted to disputing party (bipartite settlement). The provisions of Article 63 paragraph (2) and
233
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 233 - 258
Article 67 paragraph (1) sub-paragraph f of the Act shall result in the ad-hoc judges of the Industrial Relations Court, in carrying out their duties and responsibilities to examine and decide a case shall be independent and kept away from any intervention of any institution. The ad-hoc judges of the Industrial Relations Court is a judge proposed by a trade union, employers organization, also dismissed respectfully by the trade union and the employers organization. This will undermine the free, impartial and clean judicial system that dreams of because the judges will be ruled by the litigants, as the judge is appointed and dismissed by the party to be tried in the industrial relations court. Keywords: judicial independence, ad-hoc judges, PHI I.
PENDAHULUAN Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah
menggeser penempatan rumusan negara hukum Indonesia ke dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Konsekuensi dari ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap, tindakan, perilaku, pikiran, dan kebijakan pemerintah negara (dan penduduknya) harus didasarkan sesuai dengan hukum. 1 John Locke berpendapat bahwa suatu negara hukum yang menghargai hak-hak warga negaranya harus memiliki 2 (dua) unsur penting, yaitu: pertama, adanya hukum yang mengatur bagaimana anggota masyarakat dapat menikmati hak asasinya dengan damai. Kedua, adanya suatu badan yang dapat menyelesaikan sengketa yang timbul antara pemerintah (vertical dispute) atau sesama anggota masyarakat (horizontal dispute). 2 Suatu negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi, di samping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud dari perjanjian sosial tertinggi. 3 Selain sebagai cara, alat atau proses demokrasi juga merupakan nilai-nilai atau norma-norma yang menjiwai dan mencerminkan seluruh proses berbangsa dan bernegara. Dalam sistem ketatanegaraan demokrasi selalu ditempatkan rakyat pada posisi yang Djatmiko Anom, “Kedudukan Lembaga Negara Sampiran Dalam Sistem Ketatanegaraan Repuplik Indonesia,” Jurnal Konstitusi P3KHAM UNS, no. 1 (2008). Hlm. 35. 2 Ibid. Hlm. 41. 3 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Konstitusi Press, 2005). Hlm. 152. 1
234
Independensi Hakim Ad-Hoc Pada Lingkungan Peradilan Hubungan Industrial - Muhammad Ishar Helmi, Riko Hendra Pilo
sangat strategis, walaupun pada implementasinya memiliki perbedaan antara negara yang satu dengan lainnya. 4 Sistem pemerintahan yang bebas diciptakan dengan diberlakukannya pemisahan kekuasaan (separation of power) sebagaimana yang dicanangkan oleh Montesquieu yaitu pemisahan kekuasaan menjadi tiga bagian yakni, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Di Indonesia ajaran ini mengilhami adanya pemisahan kekuasaan (distribution of power) yang dijalankan dengan system check and balance yaitu antara ketiga kekuasaan tersebut dapat saling mengawasi sehingga pemusatan kekuasaan dapat diminimalisasi. Dalam hal menciptakan peradilan yang bebas dan bersih, yudikatif dapat diawasi dari dalam dan luar. Sistem peradilan dilengkapi dengan sebuah majelis yang berfungsi untuk menjaga dan mengawasi kerja hakim dalam hal kode etik. Dari luar artinya yudikatif diawasi oleh kekuasaan lainnya dan juga lembaga yang dibuat khusus untuk mengawasi hakim seperti Komisi Yudisial. Pasca reformasi dan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di Indonesia, diversifikasi fungsi-fungsi kekuasaan negara berkembang luas, salah satu fungsi kekuasaan negara yang berkembang adalah semakin banyaknya didirikan lembaga-lembaga peradilan yang bersifat khusus, diantaranya adalah pengadilan hubungan industrial yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI). UU PPHI berisi asas penyelesaian perselisihan hubungan industrial 5 dilakukan secara musyawarah mufakat, dengan berpijak pada suatu prinsip jika terjadi perselisihan Lihat Adnan Buyung Nasution, Demokrasi Konstitusional (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010). Hlm. 3. Dari perbedaan tersebut, demokrasi memiliki beberapa istilah yang dianut oleh beberapa negara, yaitu demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi terpemimpin, demokrasi pancasila, demokrasi rakyat, demokrasi soviet, demokrasi nasional, dan beberapa istilah lainnya. Lihat juga, Moh. Kosnardi and Bintang R Saragih, Ilmu Negara (Jakarta: Gaya Media Pratama, n.d.). Hlm. 171. Proses mengimplementasikan semua kriteria, prinsip, nilai dan elemen-elemen demokrasi, perlu disediakan beberapa lembaga sebagai berikut: (1) Pemerintah yang bertanggung jawab; (2) Suatu Dewan Perwakilan Rakyat yang mewakili golongan-golongan dan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat yang dipilih dengan pemilihan umum yang bebas dan rahasia yang sekurang-kurangnya dua calon untuk setiap kursi. Dewan/perwakilan ini mengadakan pengawasan/kontrol memungkinkan oposisi yang konstruktif dan memungkinkan penilaian terhadap kebijakan pemerintah secara kontinu; (3) suatu organisasi politik yang mencakup satu atau lebih partai politik. Partai-partai menyelenggarakan hubungan yang kontinu dengan masyarakat umum dan pemimpin-pemimpinnya; (4) pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat, dan; (5) sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi dan mempertahankan keadilan. 5 Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan 4
235
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 233 - 258
antara pekerja/buruh dan pengusaha, maka pada tahap pertama penyelesaian perselisihan tersebut diserahkan pada pihak yang berselisih (bipartit). Jika pada tahap ini tidak terjadi kata sepakat antara para pihak, maka mereka dapat memilih dua jalur, yaitu jalur peradilan atau non peradilan. 6 Jalur peradilan diselesaikan melalui pengadilan hubungan industrial. Peradilan ini merupakan pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan peradilan umum serta memiliki tugas dan wewenang memeriksa dan memutus: (1) di tingkat pertama mengenai perselisihan hak; (2) di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan; (3) di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan; (4) di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Pengadilan hubungan industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan mengadili perkara dan perselisihan hubungan industrial yang dilaksanakan oleh majelis hakim yang beranggotakan 3 (tiga) orang, yang terdiri dari 1 (satu) hakim karir dan 2 (dua) hakim ad hoc, adapun tata cara pengangkatan hakim ad hoc diatur dalam Pasal 63 UU PPHI, dalam Pasal 63 ayat (2) menyebutkan bahwa “calon hakim ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung dari nama yang disetujui oleh menteri atas usul serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha”, selain mengatur tata cara pengangkatan hakim ad hoc, dalam pasal 67 ayat (1) huruf f UU PPHI juga disebutkan bahwa “hakim ad hoc pada pengadilan hubungan industrial dan mahkamah agung dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena atas permintaan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/organisasi buruh yang mengusulkan”. Adanya ketentuan Pasal 63 ayat (2) dan Pasal 67 ayat (1) huruf f UU PPHI tentu akan mengakibatkan hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial yang dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya memeriksa dan memutus suatu perkara yang harus mandiri dan lepas dari segala bentuk intervensi atau campur tangan lembaga/instansi manapun menjadi terbatasi dan tidak bisa dilakukan secara optimal. Pihak-pihak yang berperkara dalam perselisihan hubungan industrial ini umumnya dijumpai tiga pihak yang terkait dalam hubungan kerja, serta pihak-pihak lain perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan, Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. 6 Asyhadie Zaeni, Peradilan Hubungan Industrial (Jakarta: Rajawali Press, 2009). Hlm. 3-4.
236
Independensi Hakim Ad-Hoc Pada Lingkungan Peradilan Hubungan Industrial - Muhammad Ishar Helmi, Riko Hendra Pilo
yang terkait, yang menurut hukum harus memerhatikan pelaksanaan hubungan kerja tersebut. Adapun pihak-pihak terkait dalam hubungan kerja yang pertama, pihak pekerja, istilah pekerja sekarang merupakan istilah yuridis yang dijumpai dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. 7 Istilah ini muncul sebagai pengganti buruh yang populer dalam realitas ketenagakerjaan di masyarakat. Kedua, pihak pemberi kerja/pengusaha, pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. 8 Selanjutnya adalah pihak serikat pekerja. Kita mengetahui bahwa pekerja/buruh secara sosiologis kedudukannya sangat lemah, baik ditinjau dari segi ekonomi maupun dari segi kedudukan dan pengaruhnya terhadap pengusaha. Oleh karena itu, pekerja/buruh tidak mungkin bisa memperjuangkan hak-haknya ataupun tujuannya secara perorangan tanpa mengorganisasikan dirinya dalam satu wadah yang dapat membantu mereka untuk mencapai tujuannya. Serikat pekerja/serikat buruh merupakan wadah yang secara langsung terkait dengan hubungan pekerja guna kepentingan para anggotanya. 9 Permasalahan muncul ketika dalam menjalankan pengadilan hubungan industrial, hakim yang berwenang memutuskan perkara adalah hakim yang diangkat (diusulkan) oleh serikat pekerja/serikat buruh, organisasi pengusaha, juga diberhentikan secara hormat oleh serikat pekerja/serikat buruh, organisasi pengusaha tersebut; dalam hal ini adalah hakim yang dipilih sendiri oleh para pihak yang jelas-jelas masing-masing memiliki kepentingan. Hal ini tentunya akan menciderai sistem peradilan yang bebas, tidak memihak dan bersih yang diimpikan karena para hakim akan dikuasai oleh para pihak yang berperkara, karena keberadaan hakim diangkat dan diberhentikan oleh pihak yang akan disidangkan di peradilan hubungan industrial tersebut. II. PEMBAHASAN A. Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Peradilan Hubungan Industrial Sebelum berlangsungnya
penyelesaian sengketa hubungan industrial di
pengadilan, selalu diupayakan dilaksanakan penyelesaian sengketa hubungan industrial di luar pengadilan dengan maksud agar ada upaya damai antara kedua belah pihak.
Ibid. Hlm. 15-18. Lihat Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 9 Ibid. Hlm, 20. 7 8
237
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 233 - 258
Apabila antara mereka tidak bisa didamaikan, barulah penyelesaian sengketa dilakukan melalui pengadilan atau melalui jalur litigasi. Jenis perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2004 meliputi: (a) perselisihan hak, (b) perselisihan kepentingan, (c) perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan (d) perselisihan antar-serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Adapun tata cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan (non litigasi), terdiri atas: Pertama, penyelesaian melalui Bipartit. Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang berselisih secara musyawarah mufakat tanpa ikut campur pihak lain, sehingga dapat memperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak. 10 Perundingan bipartit merupakan perundingan antara pekerja atau serikat pekerja dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Perselisihan hubungan industrial wajib terlebih dahulu dilakukan melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakakat yang dilakukan oleh pengusaha, pekerja atau serikat pekerja. Perundingan bipartit pada perselisihan hubungan industrial dilakukan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja dan serikat pekerja yang lain dalam satu perusahaan.11 Dari ketentuan tersebut pada gilirannya diperoleh pemahaman bahwa setiap perselisihan hubungan industrial apa pun jenis perselisihannya, wajib untuk terlebih dahulu diupayakan penyelesaiannya secara bipartit. Dengan pengungkapan kata yang lain, prosedur dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara bipartit adalah bersifat imperatif. Sekiranya para pihak yang berselisih berkeinginan untuk menyelesaikan perselisihannya dengan mekanisme lain seperti halnya mediasi, konsiliasi, arbitrase, ataupun melalui PHI, mekanisme tersebut baru bisa ditempuh jika sebelumnya telah ditempuh cara penyelesaian secara bipartit. Kedua, penyelesaian melalui mediasi yang dilakukan melalui seorang penengah yang disebut mediator. Mediasi adalah intervensi terhadap suatu sengketa oleh pihak ketiga yang dapat diterima, tidak berpihak dan netral serta membantu para pihak yang 10 Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan Dan Di Luar Pengadilan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004). Hlm. 53. 11 Lihat Pasal 3 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2004 dan Pasal 134 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003.
238
Independensi Hakim Ad-Hoc Pada Lingkungan Peradilan Hubungan Industrial - Muhammad Ishar Helmi, Riko Hendra Pilo
berselisih mencapai kesepakatan
secara
sukarela
terhadap permasalahan yang
disengketakan. 12 UU PPHI Pasal 1 angka 11 menyebutkan bahwa ‘ Mediasi Hubungan Industrial’ yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam suatu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Sedangkan mediator hubungan industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh menteri
untuk bertugas melakukan mediasi dan
mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam suatu perusahaan. Berdasarkan ketentuan umum yang berlaku, penyelesaian sengketa melalui mediasi tidak terdapat unsur paksaan antar para pihak dan mediator, para pihak meminta secara sukarela kepada mediator untuk membantu penyelesaian konflik yang terjadi. Oleh karena itu, mediator hanya berkedudukan membantu para pihak agar dapat mencapai kesepakatan yang hanya dapat diputuskan oleh pihak yang berselisih. Ketiga, penyelesaian melalui konsiliasi (conciliation) yang dilakukan melalui seorang atau beberapa orang atau badan sebagai penengah yang disebut konsiliator dengan mempertemukan atau memberi fasilitas kepada pihak-pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihannya secara damai. Konsiliator ikut serta secara aktif memberikan solusi terhadap masalah yang diperselisihkan. 13 UU PPHI menyebutkan bahwa Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar-serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral (Pasal 1 angka 13). Sedangkan Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator 12 13
Ibid. Hlm. 60. Ibid. Hlm. 63.
239
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 233 - 258
ditetapkan oleh menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan (Pasal 1 angka 14). Keempat, penyelesaian Undang-Undang Nomor
30
perselisihan Tahun
melalui
1999
arbitrase yang diatur dalam
tentang
Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa yang berlaku di bidang sengketa bisnis 14. Umumnya transaksi bisnis didasarkan pada hubungan saling menguntungkan (simbiosis mutualis), a t a u b e r d a s a r k a n kepercayaan di antara para pihak; tetapi hal itu tetap tidak akan dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya perselisihan di antara para pihak. Dalam situasi demikian, maka arbitrase hubungan industrial yang diatur dalam UU PPHI merupakan pengaturan khusus bagi penyelesaian sengketa di bidang hubungan industrial. Sesuai dengan asas hukum lex specialis derogat legi generali. Arbitrase merupakan proses penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga yang netral, berdasarkan kesepakatan pihak-pihak yang berselisih dan para pihak menyatakan akan menaati putusan yang diambil oleh arbiter. 15 UU Nomor 30 Tahun 1999 memberikan definisi arbitrase adalah cara penyelesaian suatu perkara perdata di luar peradilan umum yang didasarkan atas suatu perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (Pasal 1 angka 1). Hal ini berarti, bahwa arbitrase adalah perjanjian perdata yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka yang diputuskan oleh pihak ketiga yang disebut (arbiter) yang ditunjuk secara bersama-sama oleh para pihak yang bersengketa. Oleh karena penyelesaian melalui arbitrase harus didasarkan atas perjanjian yang dibuat oleh para pihak, maka penyelesaian melalui arbitrase ini disebut proses kontrak (contractual process). Pengadilan hubungan industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum (Pasal 55 UU PPHI). Untuk pertama kalinya tahun 2004 pengadilan hubungan industrial akan dibentuk pada setiap pengadilan negeri yang berada di setiap ibu kota provinsi yang daerah hukumnya meliputi provinsi yang bersangkutan. Adapun di kabupaten/kota terutama yang padat industri, berdasarkan keputusan presiden 14 15
240
Ibid. Hlm. 72. Ibid. Hlm, 133.
Independensi Hakim Ad-Hoc Pada Lingkungan Peradilan Hubungan Industrial - Muhammad Ishar Helmi, Riko Hendra Pilo
harus segera dibentuk pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri setempat. 16 Kewenangan mutlak atau kompetensi absolut dari pengadilan hubungan industrial disebut dalam Pasal 56 UU PPHI, yakni pengadilan hubungan industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus: (a) di tingkat pertama mengenai perselisihan hak; (b) di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan; (c) di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan (d) di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan. Dalam sejarahnya, perselisihan hak menurut reglement op de rechterlijke organisatie en het beleid der justitie in Indonesia (RO Stb 1847 No. 23) menetapkan bahwa perselisihan akibat perjanjian kerja dan perjanjian perburuhan diselesaikan oleh hakim residensi (residentie rechter). Dengan dihapuskannya hakim/pengadilan residensi oleh Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951, LN 1951vNo. 9, terhadap perselisihan hak menjadi kewenangan pengadilan negeri. Namun dengan perkembangan hukum yang ada (UU No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan) juga memberikan wewenangan kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4P) untuk menyelesaikannya. Oleh sebab itu, sebelum dibentuknya PHI, terdapat dua instansi yang berwenang menyelesaikannya, yakni pengadilan negeri dan panitia penyelesaian perselisihan perburuhan. Pekerja yang terlibat perselisihan secara organisatoris jumlahnya relatif banyak sehingga untuk mempercepat penanganannya dilakukan oleh P4P. Melalui UU PPHI kewenangan tersebut dikembalikan kepada pengadilan negeri (pengadilan hubungan industrial) sebagai pengadilan tingkat pertama. Pihak yang tidak puas dapat mengajukan kasasi pada Mahkamah Agung. Karena perselisihan hak ini merupakan perselisihan normatif yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, peraturan perusahaan, atau peraturan perundang-undangan, penyelesaiannya tidak diberikan kepada konsiliasi maupun arbitrase, tapi sebelum diajukan ke pengadilan hubungan industrial terlebih dahulu melalui mediasi. 17
16
Hlm. 195.
Asri Wijaya, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi (Jakarta: Sinar Grafika, 2004).
Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan Dan Di Luar Pengadilan. Hlm. 83-85. 17
241
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 233 - 258
B. Tata Cara Pengangkatan Hakim Ad Hoc di Lingkungan Peradilan Hubungan Industrial Ada beberapa persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh hakim untuk dapat menjadi hakim pada Pengadilan Hubungan Industrial. Persyaratan khusus tersebut yaitu pengetahuannya di bidang ilmu perburuhan, hal ini untuk lebih memastikan pengalaman dan pengetahuan yang spesifik di bidang hukum perburuhan. 18 Hakim Pengadilan Hubungan Industrial diangkat berdasarkan Surat Keputusan (SK) dari Ketua Mahkamah Agung. Untuk dapat menjabat sebagai Hakim Pengadilan Hubungan Industrial seorang hakim harus memenuhi kriteria penting yang bersangkutan harus menguasai pengetahuan di bidang yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial dan berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai Hakim pada Pengadilan Hubungan Industrial. Seorang hakim ad hoc yang dapat diusulkan/ditunjuk sebagai calon Hakim harus memenuhi syarat-syarat khusus diantaranya berpengalaman di bidang hubungan industrial minimal 5 (lima) Tahun. Walaupun hakim ad hoc itu dicalonkan oleh induk organisasinya masing-masing baik dan serikat pekerja maupun dan organisasi pengusaha, tapi tidak otomatis mereka dapat diterima sebagai hakim ad hoc karena untuk menjamin keahliannya di bidang ilmu perburuhan maka para calon hakim ad hoc yang diusulkan oleh organisasinya masing-masing itu diuji dan diseleksi terlebih dahulu menurut tata cara sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER- 01/MEN/XII/2004. Hakim ad hoc diangkat dengan keputusan presiden atas usul ketua mahkamah agung. 19 calon hakim ad hoc dari unsur pekerja/buruh diusulkan oleh serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan calon hakim ad hoc dari unsur pengusaha diusulkan oleh organisasi pengusaha kepada menteri. Pengusulan calon hakim ad hoc pengadilan hubungan industrial diajukan oleh serikat pekerja/serikat
buruh dan organisasi pengusaha dilakukan oleh serikat
pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha setempat kepada menteri. Pengusulan calon hakim ad hoc pada Mahkamah Agung diajukan oleh serikat pekerja/serikat buruh dan
Buku Profil Peradilan Hubungan Industrial Mei 2009. Hlm. 32. Lihat Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad hoc pada Mahkamah Agung. 18 19
242
Independensi Hakim Ad-Hoc Pada Lingkungan Peradilan Hubungan Industrial - Muhammad Ishar Helmi, Riko Hendra Pilo
organisasi pengusaha tingkat nasional kepada menteri. Setelah itu menteri melakukan seleksi administratif serta menetapkan daftar nominasi calon Hakim ad hoc untuk diusulkan yang kemudian selanjutnya dilakukan penetapan daftar nominasi calon hakim ad hoc dilakukan berdasarkan tes tertulis. Ketentuan mengenai seleksi administratif, tata cara pelaksanaan tes tertulis dan penetapan daftar nominasi didasarkan kepada keputusan menteri.20 Penetapan nominasi disampaikan oleh menteri kepada Ketua Mahkamah Agung, yang kemudian melakukan seleksi kompetensi melalui penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan calon hakim ad hoc sesuai kebutuhan. Calon hakim ad hoc yang telah dinyatakan lulus pendidikan dan pelatihan diusulkan oleh Ketua Mahkamah Agung kepada Presiden untuk diangkat menjadi hakim ad hoc sesuai dengan formasi yang tersedia. Ketua Mahkamah Agung menetapkan penempatan hakim ad hoc dalam daerah hukum pengadilan hubungan industrial di tempat hakim ad hoc yang bersangkutan diusulkan oleh organisasinya. Dalam hal penempatan hakim ad hoc tidak dapat dilaksanakan, maka Ketua Mahkamah Agung dapat menempatkan hakim ad hoc dari daerah lain.21 C. Kedudukan Hakim Ad Hoc di Lingkungan Peradilan Hubungan Industrial Sebagai penegak hukum, hakim memegang peranan penting dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Untuk itu dalam menjalankan tanggung jawabnya hakim memiliki kebebasan atau kemandirian hakim. Adapun maksud dari kemandirian hakim adalah tidak tergantung kepada apa atau siapapun dan oleh karena itu bebas dari pengaruh apa atau siapapun. Hakim atau peradilan merupakan tempat orang mencari keadilan harus mandiri dan independen, dalam arti tidak tergantung atau terikat pada siapapun, sehingga tidak harus memihak kepada siapapun agar putusannya itu objektif. Kemandirian itu menuntut pula bahwa hakim dalam memeriksa dan memutus perkara harus bebas. Hal ini berarti kemandirian hakim tidak dapat dipisahkan dari kebebasan hakim dan keduanya merupakan satu kesatuan. Adapun yang dimaksudkan
Lebih lanjut dapat dilihat pada Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2004 Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad hoc pada Mahkamah Agung. 21 Lebih lanjut lihat Pasal 4 dan 5 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad hoc pada Mahkamah Agung. 20
243
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 233 - 258
dengan kebebasan hakim adalah bebas dalam memeriksa dan memutus perkara menurut keyakinannya serta bebas pula dari pengaruh pihak ekstra yudisial. Kebebasan atau independensi seorang hakim ini harus pula ditopang dengan sikap impartiality atau sikap tidak memihak. Independensi ini sangat mudah disalahgunakan, atas nama independensi aparat penegak hukum, dalam hal ini hakim dapat terjerumus dalam perbuatan sewenang-wenang yang menyampingkan tujuan mewujudkan keadilan. Karena salah satu bentuk penyimpangan dari tujuan hukum dilakukan dengan cara-cara seperti penerapan hukum pada batas-batas pengertian formal dengan mengesampingkan pemahaman materil sebagai suatu unsur dalam mendekati pengertian dan isi keadilan. Sehubungan dengan kebebasan hakim ditentukan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia, yakni segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman
dilarang kecuali dalam hal-hal yang
tersebut dalam Undang-Undang Dasar. Sering terdengar penegakan hukum itu tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat, karena para hakim pada umumnya hanya menginginkan terciptanya penegakan hukum/kepastian hukum dengan menyampingkan atau mengabaikan rasa keadilan.22 Pada asasnya, tugas hakim sama dengan tugas pembentuk undang-undang. 23 Selanjutnya, tugas utama hakim yakni: menerima, memeriksa dan memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya. Putusan hakim haruslah putusan yang final dan menyelesaikan masalah, bukan menjadi sumber masalah
(kriminogen)
karena
putusannya yang kurang profesional. Kemampuan seorang hakim dalam memahami perundang-undangan tertulis memang penting, namun yang terpenting lagi adalah bagaimana kemampuan seorang hakim dalam menjembatani hukum yang tertulis tersebut dengan kebutuhan rasa keadilan masyarakat (living law). Hakim tidak boleh menolak memeriksa perkara. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 22 AB yang menyatakan bahwa hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu 22 Binsar M. Gultom, Pandangan Kritis Seorang Hakim Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012). Hlm. 50. 23 Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004). Hlm. 385.
244
Independensi Hakim Ad-Hoc Pada Lingkungan Peradilan Hubungan Industrial - Muhammad Ishar Helmi, Riko Hendra Pilo
perkara dengan alasan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili. Lebih lanjut hal ini diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undangundang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya tetap memutus perkara tersebut. Adapun cara Hakim harus mengadili perkara yang tidak jelas hukumnya, Pasal 5 (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 juga menjelaskan, bahwa Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini sebagaimana diatur pada Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009, maka hakim diwajibkan menjalankan fungsi pembentukan hukum dengan cara-cara, menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, saat itulah hakim harus mencari dan menemukan hukumnya (rechtsvinding). Penemuan
hukum
ini
lazimnya
diartikan sebagai
pembentukan hukum oleh hakim terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Apabila sudah diketemukan hukum dalam penggalian tersebut, maka hakim harus mengikutinya dan memahaminya serta menjadikan dasar dalam putusannya agar sesuai dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini dimaksudkan hakim mempunyai
kewajiban untuk melakukan penemuan hukum untuk melakukan
pembentukan hukum berupa yurisprudensi. Penemuan hukum ihwalnya adalah berkenaan dengan hal mengkonkretkan produk pembentukan hukum.24 Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara, pertama kali harus tetap menggunakan hukum tertulis sebagai dasar putusannya. Jika dalam hukum tertulis tidak cukup, atau tidak tepat dengan permasalahan dalam suatu perkara, maka barulah hakim mencari dan menemukan sendiri hukumnya dari sumber-sumber hukum yang lain, seperti yurisprudensi, dokrin, traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis. Selanjutnya, membicarakan tentang hakim pada pengadilan hubungan industrial, terdiri dari hakim karier pada pengadilan negeri yang ditugasi pada pengadilan hubungan industrial dan hakim ad hoc, yakni hakim yang pengangkatannya atas usul serikat Arief Shidarta, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum Dan Filsafat Hukum (Bandung: Refika Aditama, 2007). Hlm. 11. 24
245
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 233 - 258
pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha. Hakim ad hoc pengadilan hubungan industrial diangkat dengan keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Calon hakim ad hoc diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung dari nama yang disetujui oleh menteri atas usul serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha. 25 Mengenai norma yang terkandung dalam Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), yang redaksinya berbunyi: “pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 121 yaitu: ‘‘ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada mahkamah agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc”. Dengan demikian membuka peluang terhadap tidak-jelasan kedudukan hakim ad hoc dalam struktur badan peradilan di Indonesia. Serta apabila dikaji lebih lanjut Pasal 122 huruf e UU ASN bertentangan dengan Pasal 24 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berbunyi: “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah mahkamah konstitusi”. Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 tersebut, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi [vide pasal 24 ayat (2)]. Dalam hal ini, Mahkamah Agung termasuk juga badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi adalah badan yudisial yang merupakan alat kelengkapan negara, sehingga menjalankan fungsi ketatanegaraan (bertindak untuk dan atas nama negara). Konsekuensinya hakim pada seluruh jenis dan tingkatan badan yudisial, berkedudukan sebagai pejabat negara. 26 Untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan hakim ad hoc pada mahkamah agung harus memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam Pasal 64 UU PPHI, yaitu: (a) Warga Negara Indonesia, (b) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (c) Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (d) Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun, 25 Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan Dan Di Luar Pengadilan. Hlm. 90. 26 Putusan Nomor 32/Puu-Xii/2014 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
246
Independensi Hakim Ad-Hoc Pada Lingkungan Peradilan Hubungan Industrial - Muhammad Ishar Helmi, Riko Hendra Pilo
(e) Badan sehat sesuai dengan keterangan dokter, (f) Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela, (g) Berpendidikan serendah-rendahnya strata satu (S1) kecuali bagi Hakim Ad hoc pada Mahkamah Agung syarat pendidikan sarjana hukum, dan (h) Berpengalaman di bidang hubungan industrial minimal 5 (lima) tahun. Ketentuan mengenai larangan rangkap jabatan diatur dalam Pasal 66 ayat (1), dimana menyatakan bahwa Hakim Ad hoc tidak boleh merangkap jabatan sebagai: (a) Anggota Lembaga Tertinggi Negara, (b) Kepala daerah/kepala wilayah, (c) Lembaga legislatif tingkat daerah, (d) Pegawai negeri sipil, (e) Anggota TNI/Polri, (f) Pengurus partai politik, (g) Pengacara, (h) Mediator, (i) Konsiliator, (j) Arbiter, (k) Pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau pengurus organisasi pengusaha. Seorang hakim ad hoc yang merangkap jabatan sebagaimana dimaksud di atas, maka jabatannya sebagai hakim ad hoc dapat dibatalkan. Memperhatikan persyaratan untuk dapat menjadi hakim ad hoc pada pengadilan hubungan industrial seperti di atas, maka tidak terlalu sulit untuk menemukan sumber daya manusia yang akan direkrut untuk menjadi hakim ad hoc. Namun kesulitan mulai muncul setelah melihat ketentuan tentang larangan jabatan rangkap dari hakim ad hoc. Banyak yang berpengalaman dalam bidang hubungan industrial lebih dari 5 (lima) tahun serta memahami ketentuan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan, tapi yang bersangkutan adalah pegawai negeri sipil (kalangan kampus), pengacara, pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau pengurus organisasi pengusaha yang sebelumnya aktif sebagai anggota panitia penyelesaian perselisihan perburuhan daerah/pusat. Maka, bagi pihak-pihak yang berkeinginan menjadi hakim ad hoc pada pengadilan hubungan industrial dari sekarang harus sudah mengantisipasi persyaratan-persyaratan tersebut. Hakim pengadilan hubungan industrial berkewajiban memeriksa isi gugatan dan bila terdapat kekurangan, hakim meminta penggugat untuk menyempurnakan gugatan. Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan jawaban. Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan oleh Pengadilan Hubungan Industrial apabila 247
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 233 - 258
disetujui oleh tergugat. Hal ini sebagaimana yang terdapat pada Pasal 85 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004. Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima gugatan harus sudah menetapkan Majelis Hakim yang terdiri atas 1 (satu) orang Hakim Karir sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua) orang Hakim Ad hoc sebagai Anggota Majelis. Dalam proses pengadilan hakim dibantu oleh panitera karena kepaniteraan dalam pengadilan merupakan salah satu bagian yang penting khususnya dalam penyelenggaraan administrasi pengadilan maupun jalannya persidangan. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 mengatur mengenai hal ini mulai Pasal 74 sampai dengan Pasal 80. Setiap Pengadilan Negeri yang telah ada Pengadilan Hubungan Industrial dibentuk Sub-Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial yang dipimpin oleh seorang Panitera Muda. Selanjutnya Panitera Muda dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh beberapa orang Panitera Pengganti. Sub Kepaniteraan dalam pengadilan mempunyai tugas, yaitu: (1) menyelenggarakan administrasi Pengadilan Hubungan Industrial; dan (2) membuat daftar semua perselisihan yang diterima dalam buku perkara. Muatan buku perkara sekurang-kurangnya memuat nomor urut, nama dan alamat para pihak, dan jenis perselisihan. Sub-Kepaniteraan bertanggung
jawab atas
penyampaian pemberitahuan putusan dan penyampaian salinan putusan. D. Eksistensi Hakim Ad hoc Pada Peradilan Hubungan Industrial Eksistensi hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial sendiri diatur dalam Pasal 60 UU PPHI. Dalam ayat (1) Pasal 60 disebutkan bahwa susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari hakim, hakim ad hoc, panitera muda, dan panitera pengganti. Hakim ad hoc tersebut diangkat dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung dari nama yang disetujui oleh Menteri atas usul serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha. UU PPHI tidak mengatur mengenai kedudukan hakim ad hoc, apakah sebagai pejabat negara atau bukan sebagai pejabat negara. Kedudukan hakim sebagai pejabat negara dapat ditelusuri dalam UndangUndang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 19 yang menyatakan “Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang” dan Pasal 31 yang menyatakan “Hakim pengadilan dibawah 248
Independensi Hakim Ad-Hoc Pada Lingkungan Peradilan Hubungan Industrial - Muhammad Ishar Helmi, Riko Hendra Pilo
Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung”. Adapun pengertian hakim disini berdasarkan Pasal 1 angka 5 adalah mencakup hakim pada Mahkamah Agung, hakim pada badan peradilan dibawahnya, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan di Mahkamah Agung. Kedudukan hakim sebagai pejabat negara juga dapat ditelusuri dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), berdasarkan Pasal 122 dapat diketahui bahwa yang termasuk dalam kategori pejabat negara pada Mahkamah Agung adalah ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan. UU ASN secara tegas menyatakan bahwa hakim ad hoc bukan termasuk pejabat negara pada Mahkamah Agung. Selain itu, menurut Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 32/PUU-XII/2014, pengecualian hakim ad hoc sebagai pejabat negara dalam Pasal 122 tersebut tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengecualian dalam Pasal 122 tersebut dibolehkan mengingat sifat, pola rekrutmen, tidak adanya pembatasan usia berakhir masa tugasnya, serta ruang lingkup tugas dan kewenangan yang bersifat terbatas dan sementara. 27 Pengecualian hakim ad hoc dari kualifikasi pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 UU ASN tersebut, hal ini secara tidak langsung dapat merendahkan kewibawaan, kehormatan, bahkan dapat menimbulkan kecemburan antara hakim ad hoc dan hakim karir dalam melaksanakan tugas dalam lingkup Mahkamah Agung. Hal ini mengingat dari segi tugas, wewenang, dan tanggung jawab tidak terdapat perbedaan yang signifikan, bahkan dari segi komposisi hakim dalam mengadili perkara perselisihan hubungan industrial sendiri lebih banyak dari hakim ad hoc dengan perbandingan 2 (dua) hakim ad hoc dan 1 (satu) hakim karir. 28 Jabatan hakim sebagai jabatan yang diisi oleh pejabat negara seharusnya dilaksanakan tanpa dibedakan asal rekrutmen atau cara pengisian jabatannya, tetapi berdasarkan fungsinya sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Hal ini karena hakim, baik itu hakim karir maupun hakim ad hoc sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XII/2014, h. 111. Lihat Pasal 8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 27 28
249
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 233 - 258
menjalankan fungsi ketatanegaraan yang bertindak untuk dan atas nama negara serta merupakan organ negara yang dipilih dan diangkat secara khusus untuk berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. Dengan demikian, wibawa dan kedudukan hakim ad hoc perlu ditempatkan pada tempat yang layak sebagai pejabat negara. Hal ini dilakukan untuk menjamin kebebasan hakim dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya serta untuk menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka dan berwibawa, sehingga dapat menyelenggarakan kekuasaan kehakiman yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Putusan Nomor 32/PUU-XII/2014 di dalamnya terlihat jelas bahwa Mahkamah Konstitusi menyadari untuk penentuan batasan dan kualifikasi apakah hakim termasuk pejabat negara atau bukan pejabat negara tidak ditentukan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Satu-satunya frasa pejabat negara dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hanya terdapat dalam Pasal 24C ayat (5) yang menyatakan “Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.” 29 Selain itu, Mahkamah Konstitusi dalam salah satu pertimbangan putusannya juga menyatakan bahwa penentuan kualifikasi pejabat negara sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undangundang dan merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy), yang sewaktuwaktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan perkembagan yang ada sesuai dengan jenis, spesifikasi dan kualifikasi jabatan tersebut. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa Mahkamah Konstitusi memberikan batasan mengenai permasalahan dalam undang-undang yang termasuk problem konstitusi dan mana yang termasuk dalam problem kebijakan. Segala hal yang memiliki relasi ekstrinsik dengan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan problem konstitusi, di luar hal tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang merupakan wewenang dari pembentuk undangundang untuk merumuskannya. 30
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XII/2014, Hlm. 112. Triya Indra Rahmawan and Dkk, Menafsir Demokrasi Konstitusional: Pengertian, Rasionalitas, Dan Status Demokrasi Konstitusional Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 Menurut MK (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2014). Hlm. 119. 29 30
250
Independensi Hakim Ad-Hoc Pada Lingkungan Peradilan Hubungan Industrial - Muhammad Ishar Helmi, Riko Hendra Pilo
Penentuan kualifikasi apakah hakim ad hoc sebagai pejabat negara yang merupakan kebijakan hukum terbuka maka pembentuk undang-undang bebas dalam merumuskan isi undang-undang, kecuali hal-hal yang secara tegas sudah digariskan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, antara lain prinsip negara hukum, prinsip independensi kekuasaan kehakiman dan prinsip non diskriminasi. Oleh karena itu, mengingat tujuan awal dibentuknya hakim ad hoc adalah untuk memperkuat peran dan fungsi kekuasaan kehakiman sejalan dengan kompleksitas perkara yang ada, maka diperlukan pengaturan yang tegas dan komprehensif dalam undang-undang mengenai sifat, kedudukan, pola rekrutmen, batasan waktu bertugas, serta ruang lingkup tugas dan kewenangan hakim ad hoc dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman. E. Independensi Hakim Ad hoc di Lingkungan Peradilan Hubungan Industrial Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia mempunyai kekuasaan yang bebas dan merdeka. Hakim hanya patuh pada konstitusi dan hukum serta tidak tunduk pada komando dari lembaga yudisial maupun lembaga non-yudisial lainnya. Hakim
secara
fungsional
merupakan
tenaga
inti
penegakan
hukum
dalam
penyelenggaraan proses peradilan. Parameter mandiri atau tidaknya hakim dalam memeriksa perkara dapat dilihat dari kemampuan dan ketahanan hakim dalam menjaga integritas moral dan komitmen kebebasan profesinya dalam menjalankan tugas dan wewenang dari adanya campur tangan dari pihak lain dalam proses peradilan. 31 Prinsip independensi peradilan merupakan prinsip universal yang dianut dan melekat pada setiap negara modern. Tidak ada negara yang dapat disebut negara demokrasi tanpa kekuasaan kehakiman yang merdeka. Independensi peradilan dapat dilihat dalam dua aspek, yaitu independensi personal dari hakim dan independensi institusional dari lembaga peradilan itu sendiri. Dalam konteks independensi personal, tujuan utamanya adalah untuk menghindarkan hakim dari pengaruh eksternal, politik, ekonomi (materi), atau rasa khawatir. Pengaruh eksternal dapat bersumber dari internal institusi peradilan tempat hakim bekerja, misalnya ancaman atas posisi, karir, promosi maupun demosi dalam jabatannya berkaitan dengan hubungan atasan-bawahan. Pengaruh eksternal dapat pula bersumber dari eksternal institusi pengadilan, misalnya pengaruh
Ma’shum Ahmad, Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman : Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (Yogyakarta: Total Media, 2009). Hlm. 58. 31
251
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 233 - 258
para pihak yang berperkara baik karena faktor kekuasaan politik maupun faktor ekonomi (uang dan materi). 32 Imparsialitas proses peradilan hanya dapat dilakukan jika hakim dapat melepaskan diri dari konflik kepentingan atau faktor semangat pertemanan (collegial) dengan pihak yang berperkara. Karenanya hakim harus mengundurkan diri dari proses persidangan jika hakim melihat adanya potensi imparsialitas. Sedangkan memutuskan relasi dengan dunia politik penting bagi seorang hakim agar dia tidak menjadi alat untuk merealisasikan tujuan-tujuan politik atau mencegah pelaksanaan suatu keputusan politik. 33 Pola rekrutmen dan proses seleksi calon hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial berdasarkan ketentuan dalam Pasal 63 UU PPHI dan PP No. 41 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad hoc Pada Mahkamah Agung dapat digambarkan sebagai berikut: Calon hakim ad hoc diusulkan oleh serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan oleh organisasi pengusaha kepada Menteri
Calon hakim ad hoc yang telah lulus pendidikan dan pelatihan diusulkan oleh Ketua Mahkamah Agung kepada Presiden untuk diangkat menjadi hakim ad hoc
Menteri melakukan seleksi administratif serta menetapkan daftar nominasi calon hakim ad hoc berdasarkan tes tertulis untuk disampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung
Ketua Mahkamah Agung melakukan seleksi kompetensi melalui penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan calon hakim ad hoc sesuai kebutuhan
Proses pengangkatan calon hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial yang dimulai dari adanya keharusan pengusulan calon hakim ad hoc oleh serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha ini tentu akan dapat mengurangi independensi kekuasaan kehakiman dan mengancam jaminan ketidakberpihakan (imparsiality) hakim dalam memutus perkara. Selain itu, dengan proses seleksi dan
32 Hermansyah et al., eds., Putih Hitam Pengadilan Khusus (Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2013). Hlm. 169. 33 Ahmad, Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman : Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Hlm. 56.
252
Independensi Hakim Ad-Hoc Pada Lingkungan Peradilan Hubungan Industrial - Muhammad Ishar Helmi, Riko Hendra Pilo
rekrutmen yang dimulai dengan usulan dari pihak serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha kepada menteri tentu juga dapat mengurangi parameter yang objektif, transparan dan mengedepankan kompetensi serta integritas yang tinggi dalam proses seleksi tersebut. Dalam proses seleksi dan rekrutmen hakim ad hoc yang diusulkan oleh organisasi secara logis memang akan ada kepentingan pihak tertentu menjadi masuk dalam ranah proses penegakan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Karena organisasi dapat saja menitipkan kepentingan pada saat secara administrasi menentukan dapat atau tidaknya seseorang calon hakim ad hoc diusulkan atau tidaknya. Selain itu, hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial yang mewakili 2 (dua) kepentingan yang bukan saja berbeda tetapi dapat bertentangan yakni hakim ad hoc yang mewakili pekerja dan hakim ad hoc yang mewakili pengusaha, 2 (dua) kepentingan yang berbeda ini juga tidak jarang dapat menyulitkan dalam pemeriksaan perkara. 34 Oleh karena itu, mekanisme proses seleksi dan rekrutmen calon Hakim Ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial tidak memerlukan syarat rekomendasi dari serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha agar menjaga kemandirian hakim ad hoc. 35 Seleksi dan rekrutmen calon hakim ad hoc harus lebih mengedepankan kompetensi, keahlian, serta pengalaman dalam bidang ketenagakerjaan/perburuhan. Selain itu, ketentuan dalam Pasal 67 UU PPHI yang memperbolehkan serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha untuk mengusulkan penarikan hakim ad hoc agar diberhentikan dengan hormat juga dapat mengakibatkan hakim ad hoc menjadi terikat dengan serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha yang mengusulkannya. Ketentuan ini tentu bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam The Bangalore Principles of Judicial Conduct 36 dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) 37, terutama untuk dapat bersikap mandiri yang pada hakikatnya harus mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain serta bebas dari campur tangan siapapun dan pengaruh apapun. independensi yudisial menurut The Bangalore Principles of Judicial PN Sleman, Sambutan Ketua Mahkamah Agung pada Rapat Kerja Nasional di Makassar Tahun 2007, http://pn-sleman.go.id/index.php/45-rakernas-makassar/rakernas-makassar, diakses tanggal 3 November 2015. 35 Laporan Pengumpulan Data Tim Penyusunan RUU tentang Perubahan UU PPHI di Provinsi Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan tanggal 27 April-1 Mei 2015. 36 Lihat www.unodc.org/pdf/crime/corruption/judicial_group/Bangalore_principles.pdf. 37 Lihat www.komisiyudisial.go.id/files/skb-ma-ky-kepph.pdf. 34
253
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 233 - 258
Conduct mencakup aspek individual dan institusional. Untuk menjamin aspek individual kemandirian hakim dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara, yakni: (1) hakim harus dilindungi dari ancaman aksi balas dendam, sehingga ketakutan tidak menghantui keputusan yang mereka buat; (2) metode pemilihan hakim dan prinsip etika yang harus mereka patuhi harus dibuat sedemikian rupa sehingga meminimalkan risiko terjadinya korupsi dan pengaruh lain. S.A. de Smith menyebutkan, salah satu dari empat kategori pokok yang akan menjamin kebebasan hakim adalah melalui cara-cara menentukan masa kerja hakim (seumur hidup atau selama bertingkah laku baik), sehingga hakim merasa lebih aman dalam menjalankan tugasnya secara bebas dan tidak perlu ada kekhawatiran sewaktuwaktu diberhentikan atau dipecat karena putusannya dianggap tidak mencerminkan suatu kepentingan atau mungkin karena dirasa tidak adil. 38 Hal ini diperlukan agar hakim bersifat netral dan tidak berpihak dalam memutus perkara serta hanya mengadili berdasarkan fakta dan hukum, tanpa batasan, pengaruh, perasaan, tekanan dan ancaman secara langsung dan tidak langsung dari pihak manapun dan untuk alasan apapun. Demikian juga halnya terhadap ketentuan mengenai usulan penarikan hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial yang dapat mengakibatkan pemberhentian dengan hormat perlu untuk ditinjau kembali. Pemberhentian hakim ad hoc seharusnya hanya didasarkan pada ketidak-cakapan dalam melaksanakan tugas yang dinilai oleh Mahkamah Agung sendiri sebagai lembaga tertinggi pelaksana kekuasaan kehakiman atau karena melakukan pelanggaran terhadap KEPPH berdasarkan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Bagir Manan mengemukakan alasan tentang perlunya pengkajian ulang terhadap Pengadilan Hubungan Industrial pada pidato sambutan pembukaan Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung tahun 2007. Salah satu pertimbangan dalam pengkajian ulang terhadap Pengadilan Hubungan Industrial adalah mengenai sistem hakim ad hoc yang mewakili pekerja dan pengusaha harus ditiadakan, serta pemeriksaan di Pengadilan Hubungan Industrial cukup dilakukan oleh hakim biasa. Adapun jika hakim ad hoc tetap S.A. de Smith membuat semacam daftar yang harus ada untuk menjamin kebebasan hakim. Ada 4 (empat) kategori pokok yang akan menjamin kebebasan hakim, yakni (1) unsur-unsur yang bersifat politik; (2) kebebasan hakim dalam proses hukum; (3) pelecehan kekuasaan kehakiman; dan (4) yang berkaitan dengan masa kerja hakim. Lihat Bagir Manan, Teori Dan Politik Konstitusi (Yogyakarta: FH UII Press, 2004). Hlm. 101-103. 38
254
Independensi Hakim Ad-Hoc Pada Lingkungan Peradilan Hubungan Industrial - Muhammad Ishar Helmi, Riko Hendra Pilo
dipertahankan, hendaknya hakim ad hoc yang dimaksudkan bukanlah sebagai perwakilan pekerja dan juga bukan perwakilan pengusaha melainkan orang-orang terpilih atau yang ditunjuk karena keahliannya.
39
Hakim ad hoc yang mandiri tergantung pula pada hukum (undang-undang) yang diciptakan apakah sempurna ataukah terdapat kesenjangan di dalamnya. Untuk mencapai cita-cita tegaknya hukum dengan hakim ad hoc yang independen dan mandiri maka perlu diperhatikan mengenai sistem rekrutmen yang baik dan transparan, pendidikan khusus yang lebih lama serta terpadu, kesejahteraan hakim, dan adanya jaminan kepastian waktu bekerja bagi hakim. III. KESIMPULAN Eksistensi hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial diatur dalam Pasal 60 UU PPHI yang menyatakan bahwa susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari hakim, hakim ad hoc, panitera muda, dan panitera pengganti. Adapun kedudukan hakim ad hoc pada saat ini telah dikecualikan dari kualifikasi pejabat negara sejak disahkannya UU ASN. Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XII/2014 juga telah memutuskan ketentuan Pasal 122 UU ASN tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan pertimbangan bahwa pengecualian tersebut dibolehkan mengingat sifat, pola rekrutmen, tidak adanya pembatasan usia berakhir masa tugasnya, serta ruang lingkup tugas dan kewenangan yang bersifat terbatas. Proses rekrutmen dan seleksi calon hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial yang diharuskan melalui pengusulan dari serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha dapat mengurangi independensi kekuasaan kehakiman, jaminan ketidak-berpihakan dan kemandirian hakim dalam memutus perkara. Selain itu, ketentuan dalam UU PPHI yang memperbolehkan serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha untuk mengusulkan penarikan hakim ad hoc agar diberhentikan dengan hormat juga dapat mengakibatkan hakim ad hoc menjadi terikat dengan serikat atau organisasi yang mengusulkannya. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan/merevisi UU PPHI agar terjaminnya integritas hakim dan putusan yang dihasilkan dapat memberikan keadilan. Suherman Toha, Laporan Akhir Penelitian Hukum Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2010). Hlm. 115. 39
255
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 233 - 258
IV. DAFTAR PUSTAKA Buku Ahmad, Ma’shum. Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman : Pasca Amandemen UndangUndang Dasar 1945. Yogyakarta: Total Media, 2009. Anom, Djatmiko. “Kedudukan Lembaga Negara Sampiran Dalam Sistem Ketatanegaraan Repuplik Indonesia.” Jurnal Konstitusi P3KHAM UNS, no. 1 (2008). Apeldorn, Van. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita, 2004. Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2005. Hermansyah, Imran, Elza Faiz, and Dinal Fedrian, eds. Putih Hitam Pengadilan Khusus. Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2013. Husni, Lalu. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan Dan Di Luar Pengadilan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Indra Rahmawan, Triya, and Dkk. Menafsir Demokrasi Konstitusional: Pengertian, Rasionalitas, Dan Status Demokrasi Konstitusional Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 Menurut MK. Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2014. Kosnardi, Moh., and Bintang R Saragih. Ilmu Negara. Jakarta: Gaya Media Pratama, n.d. M. Gultom, Binsar. Pandangan Kritis Seorang Hakim Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012. Manan, Bagir. Teori Dan Politik Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press, 2004. Nasution, Adnan Buyung. Demokrasi Konstitusional. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010. Shidarta, Arief. Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum Dan Filsafat Hukum. Bandung: Refika Aditama, 2007. Toha, Suherman. Laporan Akhir Penelitian Hukum Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2010. Wijaya, Asri. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Jakarta: Sinar Grafika, 2004. Zaeni, Asyhadie. Peradilan Hubungan Industrial. Jakarta: Rajawali Press, 2009. Peraturan Perundang-undangan dan Putusan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad hoc pada Mahkamah Agung. Putusan Nomor 32/PUU-XII/2014 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
256
Independensi Hakim Ad-Hoc Pada Lingkungan Peradilan Hubungan Industrial - Muhammad Ishar Helmi, Riko Hendra Pilo
Internet PN Sleman, Sambutan Ketua Mahkamah Agung pada Rapat Kerja Nasional di Makassar Tahun 2007, http://pn-sleman.go.id/index.php/45-rakernas-makassar/rakernasmakassar, diakses tanggal 3 November 2015.
257
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 233 - 258
258
PERANAN HAKIM DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA NARKOBA MELALUI PUTUSAN YANG BERKEADILAN THE ROLE OF JUDGES IN DRUG ERADICATION THROUGH RIGHTEOUS VERDICT OKSIDELFA YANTO Fakultas Hukum Universitas Pamulang Jl. Surya Kencana Nomor Satu Pamulang, Tangerang Selatan Email:
[email protected] Diterima : 09/05/2016
Revisi : 13/07/2017 Disetujui : 13/07/2017 DOI : 10.25216/JHP.6.2.2017.259-278
ABSTRAK Indonesia adalah negara terbesar ke empat dalam kapasitas jumlah penduduknya di dunia. Sebagai negara dengan penduduk terbesar berbagai macam persoalan sering menghinggapi bangsa Indonesia. Salah satu masalah tersebut adalah masalah penegakan hukum kasus narkotika dan obat-obatan berbahaya. Sampai hari ini Indonesia dihadapkan kepada peredaran narkoba yang begitu memprihatinkan. Kejahatan narkoba begitu merajalela dengan bebas dalam kehidupan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri kejahatan narkoba telah mengancam masa depan anak bangsa. Sudah banyak jatuh korban bahkan sampai ada yang meninggal dunia. Penyalahgunaan narkoba sudah sampai pada fase yang sangat membahayakan. Tidak ada cara lain, pemerintah dan aparat penegak hukum yang ada harus segera mengambil langkah serius dan sungguhsungguh. Kasihan anak bangsa ini yang selalu menjadi korban peredaran narkoba oleh para sindikat. Hukum harus ditegakkan dengan seadil-adilnya. Karena hukum adalah panglima tertinggi yang tidak boleh dikalahkan oleh apapun juga. Kata kunci: peranan hakim, tindak pidana, narkoba ABSTRACT Indonesia is the fourth largest country in the capacity of the population number in the world. As the country with the largest population, various problems often plague the nation of Indonesia. One such problem is the problem of law enforcement and narcotics and drugs cases. Up to now Indonesia is confronted with drug trafficking that is very alarming. Drug crimes are so uncontrolled in social life. It is undeniable that narcotics have been threatening the future of the nation. There have been already many victims even until some of them dies. Drug abuse has reached very dangerous phase. There is no other way, government and officials must immediately take a serious and earnest step. It is a pity that the nation's children must always be the victims of drug distribution by the syndicate. Laws must be enforced as fairly as possible. Because the law is the supreme commander that must not be defeated by anything. Keywords: role of the judge, crime, drugs
259
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 259 - 278
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masyarakat dikagetkan dengan berita tertangkapnya beberapa artis karena urusan narkotika dan obat/bahan berbahaya (narkoba). Sebut saja misalnya Fariz RM, Sheila Marcia, Restu Sinaga, Imam S Arifin dan banyak lagi yang lainnya. Meski banyak masyarakat tidak percaya bahwa sang artis pecandu dan pemakai narkoba, namun fakta berbicara lain. Para artis ditangkap oleh polisi dengan bukti shabu, bahkan lengkap dengan alat hisapnya. Para artis yang tertangkap selalu positif narkoba. Baru-baru ini, lagi-lagi artis tersandung kasus narkoba. Adalah putra Raja dangdut Rhoma Irama yang tertangkap saat membawa shabu 1. Kondisi dan kabar berita ini, sekaligus menegaskan kepada masyarakat betapa narkoba dengan mudah dikonsumsi oleh para artis. Artis menjadi pengonsumsi narkoba, entah karena pergaulan atau karena pekerjaan. Seringnya artis tertangkap sebagai pengguna narkoba menjadikan berita artis terlibat
narkoba
menjadi
lumrah
dalam
pendengaran
masyarakat.
Artinya,
tertangkapnya beberapa artis tersebut bukan mengagetkan masyarakat, justru malah semakin menambah catatan buruk perilaku artis sebagai pengguna narkoba di kalangan selebriti yang notabene bagian dari masyarakat. Selain artis sebagai publik figur, masyarakat yang bukan publik figur pun juga banyak sebagai pelaku penyalahgunaan narkoba. Mereka tertangkap sedang menggunakan atau sebagai pecandu narkoba. Penangkapan terhadap pengguna, pemakai dan pengedar narkoba juga terjadi pada aparat penegak hukum, termasuk juga wakil rakyat yang berkantor di rumah rakyat. Bahkan mereka dari kalangan kampus tempat pendidikan diselenggarakan juga pernah ditangkap sebagai pengguna narkoba. Belum lagi pengguna dan pengedar narkoba dari Warga Negara Asing (WNA) yang tertangkap karena membawa dan menyelundupkan narkoba. Para sindikatnya baik dari warga negara Indonesia (WNI) maupun WNA melakukan penyelundupan narkoba dengan berbagai modus dan cara. Para pelaku dengan mudah mengelabui petugas untuk memasukkan narkoba ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan yang lebih parah lagi, modus
1
260
Media Indonesia, Dua Tahun Ridho Rhoma Gunakan Narkoba, 26 Maret 2017.
Peranan Hakim Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Narkoba Melalui Putusan Yang Berkeadilan - Oksidelfa Yanto
penyelundupan narkoba juga masuk ke dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP), tempat dimana pelaku dibina dan dihukum. Para sindikat mengelabui petugas saat berkunjung ke LP. Modus menyelundupkan narkoba ke dalam LP terus saja terjadi tanpa ada yang sanggup untuk menghentikannya. Pada akhirnya narkoba kemudian dikendalikan dari dalam LP. Betapa masih jelas dalam ingatan masyarakat, terpidana mati Fredy Budiman dengan mudah mengendalikan bisnis narkoba dibalik jeruji besi. Terjadinya penyelundupan narkoba ke dalam LP tersebut disebabkan karena kurangnya pengawasan, sehingga berbagai modus terus dilakukan dari pihak luar untuk memasukkan narkoba ke dalam rumah tempat pembinaan narapidana. Mudahnya narkoba masuk ke dalam LP dengan berbagai modus disebabkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab yang telah mempertaruhkan integritas dan kejujurannya. Sehingga mudah terperdaya dengan hal-hal yang seharusnya tidak mesti dilakukan. Karena bertentangan dengan moralitas dan hukum. Menyikapi penyalahgunaan narkoba dan melihat begitu banyaknya pelaku narkoba yang tertangkap membuktikan bahwa pelaku tidak jera dan takut dengan ancaman hukuman yang akan dikenakan. Padahal pemerintah sudah memiliki kebijakan untuk menanggulangi penyalahgunaan narkoba. Kita tahu bahwa dalam konteks kajian hukum pidana, pelakunya dapat dijatuhi hukuman paling berat yaitu pidana mati. Pelakunya dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana. Karena menyalahi ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam kasus hukum pidana, kita bisa mengidentifikasikan dan membedakan dua hal yaitu; satu tipe perilaku tertentu yang dilarang oleh peraturan, dan satu sanksi yang ditujukan untuk mencegahnya. Bagaimana bisa tinjauan ini kita gunakan untuk membahas aktivitas-aktivitas sosial yang dikehendaki demikian ketika orang-orang yang membuat kontrak atau perjanjian satu sama lainnya tidak memenuhi ketentuan hukum berkenaan dengan format atau bentuknya? 2 Dengan demikian, hemat penulis penjatuhan sanksi yang paling berat berguna untuk mencegah penggunaan dan pengedaran narkoba di tengah masyarakat. Paling tidak meminimalisir peredaran narkoba tersebut. Semua tergantung dari orang-orang
2
H.L.A. Hart, Konsep Hukum The Concept of Law (Bandung: Nusa Media, 2015). Hlm. 54.
261
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 259 - 278
yang memberikan sanksi tersebut kepada pelaku kejahatan narkoba. Ketika keadilan tidak terwujud, maka sanksi yang sudah ada, belum sepenuhnya terlaksana dengan baik. Keadilan tercapai tergantung pada hukum itu sendiri, bagaimana hukum itu diterapkan oleh lembaga-lembaga negara dan sejauh mana hasilnya sesuai dengan ideide dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Jika hukum itu sendiri memang tampak adil, ia tetap bisa muncul bagi kebanyakan orang Indonesia sebagai alat untuk membela kepentingan orang kaya dan berkuasa. 3 Dalam konteks hukum pidana ketidakadilan dan penyelewengan sebagaimana dimaksud di atas sudah sangat sering terjadi. Masyarakat kemudian beranggapan bahwa terjadi ketidaksamaan di depan hukum. Negara kemudian dianggap gagal menerapkan hukum dengan adil dalam masyarakat. Dikaitkan dengan pertanggungjawaban yang ada, pemberantasan penyalahgunaan narkoba sebenarnya menjadi urusan negara. Negara tidak boleh gagal dalam menerapkan asas legalitas dalam menerapkan aturan hukum yang dilanggar. Karena negaralah yang berwenang memintakan pertanggungjawaban secara hukum kepada pelaku. Sebagai wujud pertanggungjawaban negara, maka negara telah membuat berbagai macam terobosan atau kebijakan dalam hal penyalahgunaan narkoba.
Artinya,
berbagai
macam
kebijakan
dibuat
untuk
meminta
pertanggungjawaban tersebut, seperti dengan membuat Undang-undang tentang narkotika. Serta memberikan penyuluhan kepada masyarakat, khususnya generasi muda akan bahaya penyalahgunaan narkoba. Dengan Undang-undang dan penyuluhan, negara berusaha menanggulangi kejahatan narkoba yang terus eksis dan berkembang. Namun Undang-undang yang dibuat dan penyuluhan yang dilakukan tidak serta-merta mampu membendung kejahatan penyalahgunaan narkoba. Kejahatan narkoba terus saja bermunculan dengan modus dan pelaku yang berbeda. Korban jiwa terus saja bertambah. Tidak salah kemudian muncul reaksi masyarakat kepada negara khususnya aparat penegak hukum mengenai pemberantasan kejahatan narkoba. Agar reaksi dari masyarakat tidak terus bermunculan, maka negara dalam hal ini aparat penegak hukum harus terus bekerja lebih ekstra lagi. Sebab negara memiliki tanggung jawab yang besar untuk menghentikan penyalahgunaan narkoba dan menghukum pelaku pengedaran narkoba Jonlar Purba, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Bermotif Ringan Dengan Restorative Justice (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2017). Hlm.106-107. 3
262
Peranan Hakim Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Narkoba Melalui Putusan Yang Berkeadilan - Oksidelfa Yanto
tersebut. Dari itulah, aparat hukum harus melihat bahaya narkoba yang sudah begitu gawat dan akan mengancam keselamatan anak bangsa ini. Lihat saja, sekarang para artis sebagai anak bangsa sudah menjadi korban yang kesekian kalinya atas kelemahan bangsa Indonesia dalam memberantas peredaran narkoba. Sekali lagi, kisah tertangkapnya artis telah menghebohkan kembali wajah Indonesia dalam hal penegakan hukum penyalahgunaan narkoba. Media televisi ramairamai menayangkan berita tertangkapnya artis. Hal ini disebabkan status artis sebagai publik figur. Jika publik figur yang tertangkap sebagai pengguna narkoba, maka ceritanya bisa menjadi lain. Sebab artis adalah figur yang selalu di idolakan oleh para penggemar, sehingga ketika sang artis terlibat narkoba, semua sorotan dan pembicaraan akan tertuju kepada artis tersebut. Tulisan ini tentu tidak akan melihat siapa yang menjadi korban, apakah dari kalangan artis atau masyarakat biasa, yang pasti narkoba harus diberantas di negara Indonesia tercinta ini. Siapapun yang menjadi korban. Hendaknya kita semua menyadari bahwa betapa bahaya penyalahgunaan narkoba telah dengan mudah berkembang di Indonesia. Diselundupkan dengan organisasi yang begitu mudah masuk ke Indonesia. Untuk itu harus diberantas dengan hukuman yang berat. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka menarik untuk menganalisis mengenai: 1. Bagaimana modus penyamaran yang dilakukan pelaku penyalahgunaan narkoba? 2. Bagaimana peranan hakim dalam pemberantasan tindak pidana penyalahgunaan narkoba? C. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Untuk itu, data yang penulis gunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer terdiri atas produk hukum seperti peraturan perundang-undangan. Sementara bahan hukum sekunder terdiri atas jurnal-jurnal dan buku-buku yang relevan dengan permasalahan penelitian. Data yang terkumpul kemudian disusun, diolah dan dianalisis, sehingga akan menjawab persoalan atau permasalahan dalam penelitian ini.
263
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 259 - 278
II. PEMBAHASAN A. Tindak Pidana dan Jenis Hukuman Tindak Pidana merupakan kata lain dari stratbaarfeit, delik, peristiwa pidana, perbuatan pidana atau kejahatan yang sering diucapkan dalam kehidupan masyarakat. Tindak pidana dapat diberikan definisi rangkaian perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang sudah ada, sehingga akan menimbulkan akibat hukum bagi pelakunya yaitu berupa sanksi pidana. Dalam ketentuan hukum pidana sebagai hukum positif yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia disebutkan jenis hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana di antaranya hukuman pokok yang terdiri dari pidana mati, pidana penjara, kurungan dan denda, termasuk penjara seumur hidup. Penentuan jenis-jenis hukuman di atas, menegaskan bahwa hukum pidana memberikan ancaman kepada masyarakat yang melakukan kejahatan. Hukum pidana dikatakan sebagai bagian dari hukum publik, bersama dengan hukum yang lainnya, misalnya, hukum tata negara, hukum internasional dan hukum administrasi negara. Konteks hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik telah menempatkan posisi hukum pidana yang dijabarkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai hukum yang memberikan sanksi kepada siapa saja yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh Undang-undang. Hakim sebagai penentu atau pemberi hukuman kepada pelaku kejahatan memainkan peran yang sangat penting untuk tegaknya hukum pidana dalam masyarakat. Meskipun terkadang, terdapat pro dan kontra atas vonis yang dibacakan hakim dalam putusannya. Misalnya vonis hukuman mati, terkadang timbul silang pendapat setelah hukuman mati diketuk oleh hakim lewat palunya. Karena pidana mati merupakan pidana terberat dari semua jenis hukuman. Penjatuhan pidana mati dilaksanakan kepada mereka yang melakukan kejahatan seperti di antaranya pembunuhan berencana. 4 Terdapat juga penjatuhan hukuman mati kepada pelaku tindak pidana terorisme. 5 Kemudian juga hukuman mati juga dapat dijatuhkan kepada pelaku
4 5
264
Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 6 dan pasal 14 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme.
Peranan Hakim Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Narkoba Melalui Putusan Yang Berkeadilan - Oksidelfa Yanto
tindak pidana narkotika. 6 Hukuman mati dapat juga dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi. 7 Terkait hukuman mati ini, dalam konteks hukum internasional sudah mewajibkan masing-masing negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menghapusnya dalam hukum nasional masing-masing negara. Pandangan hukum internasional mengarah kepada penghormatan atas keberadaan Hak Asasi Manusia (HAM). Sudah bukan rahasia lagi bahwa pada dasarnya manusia memiliki hak untuk hidup. Seketika itu juga melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum dimana dan kapan pun. Prinsip HAM menegaskan bahwa manusia tidak diperkenankan merampas hak hidup manusia lain. Dalam hal penjatuhan hukuman selain hukuman mati, terkadang terjadi silang pendapat mengenai vonis yang dijatuhkan hakim. Hal ini menandakan bahwa dalam perkara-perkara pidana membuktikan terdapat berbagai bentuk kejahatan dalam masyarakat, dengan pola dan jenis yang berbeda. Bentuk-bentuk kejahatan tersebut kemudian memiliki modus dan cara sendiri. Artinya pelaku memiliki beragam bentuk modus dalam melakukan tindak pidana. Dengan modus dan cara yang berbeda tersebut akan dapat diketahui maksud dan tujuan dari perbuatan pelaku. Sehingga akan memudahkan hakim dalam menentukan berapa lama hukuman yang akan dijatuhkan kepada pelaku. Dari apa yang diuraikan di atas, maka sudah sangat terang benderang bahwa setiap tindak pidana atau kejahatan akan dimintakan pertanggungjawaban secara hukum. Bagi pelakunya akan dikenakan sanksi berupa hukuman pidana penjara. Hal ini sejalan dengan asas yang terdapat dalam hukum pidana. Asas tersebut yaitu Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea, bahwa tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. B. Narkoba dan Penyalahgunaannya Di Luar Ketentuan Medis Bicara seputar narkoba di Indonesia seperti tidak pernah ada habisnya. Pembicaraan tersebut berkisar seputar peredaran dan penyalahgunaannya oleh pihakpihak yang tidak bertanggung jawab. Narkoba menjadi konsumsi banyak orang, baik
6 7
Korupsi.
Pasal 118 ayat 2 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
265
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 259 - 278
pejabat pemerintah, aparat hukum, mahasiswa, selebriti, pelajar bahkan masyarakat dengan berbagai latar belakang profesi lainya. Ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi penyalahgunaan narkoba yaitu: Pertama, faktor diri, yaitu keingintahuan yang besar untuk mencoba, tanpa sadar atau berpikir panjang tentang akibatnya di kemudian hari. Kedua, faktor lingkungan sosial, yaitu pengaruh yang ditimbulkan dari lingkungan sosial pelaku, baik lingkungan sekolah, pergaulan dan lain-lain. Pada awalnya mungkin sekadar motif ingin tahun dan coba-coba terhadap hal yang baru, kemudian kesempatan yang memungkinkan serta didukung adanya sarana dan prasarana. Ketiga, faktor kepribadian: rendah diri, emosi tidak stabil, lemah mental. 8 Dalam banyak kasus, banyak orang yang belum tahu bahaya narkoba bagi tubuh. Narkoba berbahaya karena disalahgunakan, sehingga dapat merusak sistem tubuh manusia. Narkoba berbahaya karena dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang. Narkoba berbahaya karena berkaitan dengan munculnya berbagai macam kejahatan lainnya. Diantara narkoba itu seperti misalnya, shabu, morfin, heroin atau putaw, ekstasi, cimeng, ganja dan lain-lain sebagainya. Jenis narkoba tersebut sering dikonsumsi oleh seseorang untuk kesenangan sesaat dan juga untuk menyelesaikan masalah. Seperti misalnya, masalah keluarga, pekerjaan, bisnis, tidak bisa tidur sampai dalam masalah percintaan. Tidak sedikit yang mencoba lari ke dalam lingkaran narkoba. Apalagi didukung oleh lingkungan dan pergaulan yang salah. Pesatnya kemajuan zaman menyebabkan penyalahgunaan narkoba di kalangan masyarakat cenderung meningkat. Sudah banyak yang meninggal karena penggunaan narkoba yang tidak sesuai dengan tindakan medis. Jika dilihat secara medis, sesungguhnya narkoba tidaklah dilarang penggunaannya. Karena tindakan medis sudah pasti menggunakan narkoba sebagai bahan untuk memperlancar proses medisnya. Morfin misalnya, bisa digunakan untuk mengurangi rasa tegang pada penderita yang akan di operasi. Tentu saja penggunaannya atas izin dokter
atau
pihak
medis
yang
kompeten.
Namun
yang
dilarang
adalah
penyalahgunaannya.
Hodio Potimbang, “Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Dalam Sistem Peradilam Pidana,” Varia Peradilan (Jakarta, November 2013). Hlm. 63. 8
266
Peranan Hakim Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Narkoba Melalui Putusan Yang Berkeadilan - Oksidelfa Yanto
Pelarangan atas penyalahgunaan narkoba tersebut dikarenakan, narkoba dapat merusak tubuh, mulai dari otak, paru-paru, ginjal, hati bahkan jantung sekalipun. Pengguna narkoba juga mengalami depresi, murung, tidak bersemangat, melemahnya daya pikir, muncul rasa takut yang berlebihan. Penyalahgunaan narkoba bertentangan dengan hukum agama dan hukum positif yang berlaku. Dalam Undang-Undang Narkotika dijelaskan bahwa bagi pelaku penyalahgunaan narkotika dapat diberikan sanksi hukum sesuai peran dan kedudukan si pelaku. Seperti misalnya, jika sebagai pengguna maka baginya akan dikenakan ancaman hukuman selama lima belas tahun penjara. 9 Kemudian sebagai pengedar dapat dikenakan ancaman pidana penjara paling lama lima belas tahun ditambah dengan denda 10. Meskipun dilarang dan diberikan sanksi ancaman hukuman yang sangat berat, akan tetapi masih terdapat banyak pihak-pihak yang sengaja menyelundupkan, mengedarkannya bahkan mengonsumsinya. Tujuan dari semua itu adalah demi mendapatkan kesenangan sesaat dan keuntungan yang sangat besar. Bisnis narkoba sangat mendatangkan uang yang sangat banyak, sehingga banyak orang yang tergiur untuk mencoba atau bermain dalam bisnis ini, meskipun orang tersebut sudah memahami dan mengetahui betapa berat ancaman atau hukuman yang akan dijatuhkan kepada pelaku pengedar narkoba tersebut. Sebelum seseorang itu menjalani pidana penjara, terlebih dahulu harus melewati proses peradilan pidana yang tidak sederhana. Dalam hal ini untuk memutuskan seseorang itu bersalah, maka dilakukan rangkaian pemeriksaan, baik itu dari polisi sebagai penyidik, maupun jaksa sebagai penuntut umum serta hakim yang menentukan bersalah tidaknya seseorang. 11 C. Modus Penyamaran Tindak Pidana Narkoba Penyalahgunaan narkoba dapat dikenakan sanksi hukum sesuai Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika. Undang-Undang tersebut di atas merupakan Undang-Undang khusus yang disediakan untuk memberantas pelaku peredaran narkotika. Sebagai Undang-Undang khusus maka dapat dibayangkan bahwa Pasal 116 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal 81 dan 82 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. 11 Petrus Irwan Panjaitan and Chairijah, Pidana Penjara Dalam Perspektif Penegakan Hukum, Masyarakat Dan Narapidana (Jakarta: Indhill, 2009). Hlm.55. 9
10
267
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 259 - 278
pemberantasan peredaran narkoba perlu penanganan yang khusus dan serius. Hal ini disebabkan karena kejahatan narkoba tidak dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang secara bersama-sama. Kelompok pengedar narkoba merupakan sindikat yang memiliki gaya penyamaran yang baik untuk mengelabui seseorang. Lihat saja, berbagai modus penyamaran dilakukan untuk mengelabui petugas agar tidak ketahuan membawa narkoba. Seperti dengan menyimpan di dalam perut. Modus ini sering dilakukan oleh para sindikat dengan terlebih dahulu menelannya. Meski modus seperti ini disebut modus yang paling aman untuk mengelabui petugas karena sangat sulit untuk dideteksi, namun sangat berisiko tinggi kepada kematian, apalagi jika seandainya narkoba yang disimpan dalam perut tersebut pecah, dan ini akan membawa konsekuensi negatif kepada nyawa si pelaku. Selain menyimpan narkoba dalam perut, peredaran narkoba juga dikemas dalam bentuk yang beragam. Misalnya, narkoba dikemas dalam bentuk kue dan permen. Diduga kuat narkoba tersebut akan disebarkan kepada murid-murid sekolah dasar yang ada di Jakarta bahkan mungkin juga kepada murid-murid sekolah dasar yang ada di daerah. Modus penyelundupan narkoba juga dilakukan melalui modus yang baru. Dimana pelaku memasukkan narkoba ke pipa besi. Dalam setiap pipa besi, disimpan jenis narkoba yang dibungkus. Narkoba juga diselundupkan melalui bungkus rokok saat pengunjung datang ingin membesuk napi. Di negara hukum seperti Indonesia, ternyata modus kejahatan penyelundupan narkoba berbagai macam jenis dan bentuknya. Para pelaku memiliki cara dan teknik jitu untuk mengelabui aparat hukum. Untuk itu, hukum dan segala norma yang ada harus mampu menangkal berbagai macam modus kejahatan yang terjadi, ini tentu saja harus diimbangi dengan profesionalitas aparat penegak hukumnya. Profesionalisme menjadi kunci tegaknya hukum. Dengan profesionalisme yang tinggi, akan menjadikan hukum di Indonesia bisa dilaksanakan dan ditegakkan dengan baik. Hukum tidak lagi bisa dijadikan alat permainan. Salah satu dari kemungkinan yang mesti diwaspadai adalah bergesernya hukum menjadi “permainan”. Pengertian permainan di sini adalah menurunkan derajat hukum itu sebagai alat untuk memenuhi dan memuaskan kepentingan sendiri. 12
12
268
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia (Jakarta: Kompas, 2009). Hlm. 61.
Peranan Hakim Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Narkoba Melalui Putusan Yang Berkeadilan - Oksidelfa Yanto
Budaya hukum yang menjadi hukum sebagai permainan terkadang menjelma dalam banyak kasus. Budaya hukum dengan permainan ini harus segera disudahi. Jangan lagi masyarakat terus dikorbankan untuk kepentingan yang menyesatkan. Jika budaya hukum dengan pola mempermainkan hukum kepada masyarakat, itu artinya sama dengan melakukan kejahatan baru. Dimana kejahatan tersebut secara psikologis akan mencederai rasa keadilan masyarakat. Sejatinya, kejahatan narkoba yang ada jika dibiarkan, padahal hukum mampu untuk menghentikannya, maka tercabiklah keadilan hukum bahkan keadilan sosial masyarakat. Pada akhirnya tidak akan ada kesejahteraan dalam rakyat. Kesejahteraan bagi seluruh rakyat tanpa kecuali merupakan landasan utama bagi setiap pengambilan kebijakan untuk terus berupaya meningkatkan taraf kehidupan masyarakat yang pada dasarnya merupakan hak konstitusional setiap warga negara Indonesia. Kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia hanya sekedar cita-cita belaka jika tanpa diiringi oleh usaha yang nyata oleh penyelenggara negara dalam mengemban amanat konstitusi, salah satu upaya nyata yang dimaksud adalah dengan melakukan penegakan hukum yang bertujuan melindungi segenap bangsa dan tumpah darah dari segala kesewenang-wenangan termasuk kesewenang-wenangan mengenai hak-hak perekonomian rakyat. 13 Tercapainya suatu keadilan sosial sering kali bergantung dari struktur-struktur kehidupan masyarakat, baik secara politis, ekonomis, sosial, budaya dan ideologis. Struktur-struktur ini ironisnya kadang kala membuat sebagian masyarakat menderita dan mengalami ketidakadilan, oleh karena itu ketergantungan dan ketidakadilan tersebut harus diubah. Tidak hanya harus mengubah keadaan saja, namun idealnya harus meniadakan akar-akar penyebab tersebut. 14 Dalam konteks penyalahgunaan narkoba, akar-akar penyebab terjadinya adalah kurang tegasnya hukum bekerja dalam memberantasnya. Hemat penulis, jika hukum dapat ditegakkan dengan baik dan benar, maka persoalan narkoba tidak akan mungkin bisa merajalela dengan sedahsyat seperti sekarang ini. Persoalan ini yang sebenarnya telah menyebabkan rasa keadilan masyarakat menjadi tergadaikan. Masyarakat tidak 13 Kristian, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Tinjauan Teoritis Dan Perbandingan Hukum Di Berbagai Negara (Bandung: Refika Aditama, 2016). Hlm. 1-2. 14 Frans Magnis Suseno, Etika Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003). Hlm. 337-338.
269
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 259 - 278
mendapatkan perlindungan hukum dari negara untuk terbebas dari bahaya narkoba. Sudah banyak korban berjatuhan, namun negara tidak juga mampu membendung peredaran dan penyalahgunaan narkoba. Peredaran dan penyalahgunaan narkoba tersebut bahkan kemudian dapat meruntuhkan nilai-nilai kemanusian dalam kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, dengan narkoba seseorang dengan mudah melakukan perbuatan-perbuatan yang sebenarnya dilarang oleh agama dan hukum. Dengan menyebar dan banyaknya penyalahgunaan narkoba menyebabkan hukum tidak lagi memiliki arti untuk memberantasnya. Budaya hukum penyalahgunaan narkoba begitu banyak ditemui dalam masyarakat. Budaya hukum berkaitan erat dengan efektivitas hukum dan harapan seluruh masyarakat pada apa yang diberikan oleh hukum. 15 Perilaku budaya hukum itu kemudian berkembang secara terus menerus dan dengan mudah terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat. Hal ini kemudian didukung oleh penegakan hukum yang maksimal. Keadilan hukum terkadang dipermainkan dan diperdagangkan sesuka hatinya. Seolah-olah prinsip Indonesia sebagai negara hukum tidak memiliki arti apa-apa. Prinsip bahwa Indonesia sebagai negara hukum, sudah digagas oleh para pendiri bangsa ini melalui konstitusi tertulis yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Prinsip tersebut menjadi harga mati yang tidak dapat ditawar-tawar oleh siapapun juga. Dengan adanya slogan Indonesia sebagai negara hukum. Maka semua elemen masyarakat harus mematuhinya. Dari itu hukum harus berlaku bagi siapa saja tanpa pandang bulu. Baik kaya atau miskin. Baik Pejabat atau bukan pejabat. Baik laki-laki atau perempuan. Dalam hukum haruslah berlaku prinsip duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Artinya meskipun seseorang memiliki pangkat yang tinggi sekalipun, namun ketika dia melanggar hukum, maka harus dihukum. Kita mengecam hukum yang diperdagangkan, karena ingin mengembalikan hukum sebagai suatu institusi moral. Kita menyetujui kecaman terhadap praktik-praktik yang memperlakukan hukum sebagai semacam komoditi yang bisa dijadikan objek bisnis. Sebagai institusi moral demikian itu ia mengandung berbagai komitmen moral. 16 15 Frans Hendra Winarta, Probono Publico Hak Konstitusional Fakir Miskin Untuk Memeperoleh Bantuan Hukum (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009). Hlm. 15. 16 Ibid. Hlm. 177.
270
Peranan Hakim Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Narkoba Melalui Putusan Yang Berkeadilan - Oksidelfa Yanto
Hukum yang ada di dalamnya mengandung nilai-nilai kebenaran hanya dapat diharapkan terwujud dari tangan-tangan yang mempunyai kualitas dan integritas tinggi dalam menghayati nilai-nilai kebenaran yang sesungguhnya, yaitu kebenaran dalam pemikiran, kebenaran dalam perkataan dan kebenaran dalam perbuatan. 17 D. Kerjasama Aparat Hukum dan Masyarakat dalam Pemberantasan Narkoba Mengingat begitu tingginya peredaran narkoba di Indonesia, maka sudah sepantasnyalah pelakunya dijatuhi dengan hukuman yang amat berat. Dalam UndangUndang Tindak Pidana Narkotika ancaman hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelakunya adalah hukuman mati, hukuman penjara seumur hidup, hukuman penjara selama dua puluh tahun. Untuk dapat hukuman tersebut diberikan, maka harus ada komitmen bersama, terutama dari pemerintah sendiri untuk memberantas sampai keakar-akarnya. Siapa yang mengedarkan, siapa bandarnya, dan dari negara mana asal barang haram itu diselundupkan. Ini harus menjadi fokus kerja pemerintah, terutama aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa dan hakim tentunya, dibantu oleh semua elemen masyarakat. Seperti tokoh masyarakat, organisasi masyarakat, kalangan akademisi dan tokoh agama. Semua kalangan harus menyadari betul bahaya narkoba ini bagi masyarakat. Semua pemberitaan yang ada pada berbagai media massa baik cetak atau elektronik memberitakan pemberitaan yang sudah sangat mengerikan sekali. Narkoba merajalela dengan ganasnya. Banyak korban dari bahaya narkoba ini, bahkan anak-anak muda sudah banyak yang meninggal karena kecanduan narkoba. Korban meninggal karena overdosis narkoba. Pergaulannya yang tidak terkontrol oleh orang tua di luar rumah, menyebabkan si anak terjerumus ke dalam lembah pergaulan bernama narkoba. Tentu saja hal ini akan membuat hati orang hancur dan sedih. Betapa tidak, anak yang dibesarkan dengan kasih sayang harus meninggal dengan cara yang tidak baik, yaitu over dosis karena mengonsumsi narkoba. Maka dari itulah, kerja sama yang baik
Kadri Husin and Budi Rizki Husin, Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2016). Hlm. 61. 17
271
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 259 - 278
mestinya selalu digalakkan oleh semua elemen masyarakat. Jangan biarkan narkoba hidup dan tumbuh berkembang dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Dari itulah, dimana masyarakat berada hendaknya dapat bahu-membahu memberantas peredaran penyalahgunaan narkoba di sekitar tempat tinggalnya, sebab sejatinya masyarakat tidak akan mau lingkungan dirusak oleh narkoba. Seandainya masyarakat membiarkan narkoba merajalela dalam lingkungannya, sudah pasti akan merugikan masyarakat itu sendiri. Masyarakat sebagaimana yang kita lihat, pada dasarnya memiliki keluarga dan anak-anak. Mereka harus dijaga dan dilindungi dari segala bentuk kejahatan termasuk bahaya narkoba. Sekarang bagaimana tinggal negara dalam hal ini pemerintah dan aparat penegak hukum bisa merapatkan dan merangkul masyarakat agar dapat membantu tugas-tugas kepolisian dalam menumpas berbagai macam kejahatan terutama narkoba. Laporkan bila mengetahui ada hal-hal yang mencurigakan. Jika masyarakat bersatu dan bekerja sama dengan aparat penegak hukum maka diharapkan tidak akan ada lagi korban-korban berjatuhan. Sejatinya, tidak diperbolehkan anak bangsa ini di hancurkan dengan barang haram yang namanya narkoba. Masa depan anak bangsa ini harus dijaga. Untuk itulah dibutuhkan kerja sama semua pihak. E. Peranan Hakim dalam Pemberantasan Tindak Pidana Narkoba Indonesia memiliki berbagai macam peraturan perundang-undangan. Diantara peraturan perundang-undangan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika. Peraturan yang ada kemudian diterapkan di tengah kehidupan masyarakat. Artinya, ketika terjadi kekacauan dan segala macam bentuk kejahatan maka peraturan memiliki peran untuk memberikan sanksi hukum. Sanksi hukum itu diberikan dan dijalankan oleh para aparat hukum yang ada, di antaranya adalah hakim. Ini adalah fakta dan kenyataan yang tidak bisa diabaikan. Meskipun fakta penerapan sanksi hukum dengan keputusan yang adil tidak selalu sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang ada. Dalam penegakan hukum pidana, keputusan adil menjadi suatu keharusan. Keputusan yang adil menjadi dambaan masyarakat di dalam kehidupannya. Dengan keputusan yang adil wibawa peradilan dapat ditegakkan. Keputusan tersebut hanya di dapat dalam proses penegakan hukum baik di luar pengadilan maupun dalam pengadilan khususnya peradilan pidana yang sesuai dengan tahapan dan prosedur yang ada. 272
Peranan Hakim Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Narkoba Melalui Putusan Yang Berkeadilan - Oksidelfa Yanto
Penegakan hukum pidana merupakan kebijakan yang dilakukan melalui beberapa tahap di antaranya yaitu tahap aplikasi dan eksekusi. Tahap aplikasi adalah penerapan hukum pidana yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, yaitu aparat kepolisian, kejaksaan dan hakim. Tahap ini biasa disebut tahap yudikatif. Tahap eksekusi adalah tahapan pelaksanaan putusan hakim yang disebut kebijakan eksekutif atau administratif. 18 Pada tahap pelaksanaan putusan, dalam hal ini yang berperan adalah hakim. Hakim setelah melakukan pemeriksaan dalam persidangan perkara pidana dimana terlebih dahulu mendengarkan dakwaan jaksa penuntut umum, mendengarkan saksisaksi dan mendengarkan pembelaan dari penuntut umum dan berdasarkan keyakinannya mengeluarkan putusan. Dalam banyak kasus, terkadang putusan hakim mencederai rasa keadilan masyarakat. Lihat saja putusan hakim yang meringankan terpidana bahkan juga membebaskan terdakwa dari segala apa yang dituduhkan jaksa penuntut umum. Dalam menjalankan tugas dan dalam memutuskan perkara, hakim tidak dapat diintervensi oleh kekuatan manapun, termasuk jabatan/kekuasaan dan uang. Akan tetapi dalam praktek, terdapat hakim yang tertangkap tangan karena diduga jual beli dalam perkara yang sedang ditanganinya. Disinilah sebenarnya etika profesi hakim dipertaruhkan dari segala godaan yang menghadang. Lagi pula kenyataan yang tersodor, acap kali bukanlah kenyataan hitam putih. Tidak jarang dalam dunia riil, harus menghadapi kenyataan dan keadaan dimana pertimbangan-pertimbangan benar salah berdasarkan aturan hukum tidak selalu menolong. 19 Hakim dalam menangani perkara tidak boleh terpengaruh oleh kekuatan manapun tentu saja menjadi cita-cita masyarakat demi penegakan hukum. Hakim dalam menangani perkara tidak boleh mengabaikan etika, nilai-nilai dan norma-norma tentu saja menjadi harapan masyarakat untuk menciptakan wibawa pengadilan. Kemudian
Monang Siahaan, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2016). Hlm. 3. M. Syamsudin, “Rekonstruksi Pola Pikir Hakim Dalam Memutuskan Perkara Korupsi Berbasis Hukum Progresif,” Jurnal Dinamika Hukum Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman 11, no. 1 (2011). Hlm. 7. 18 19
273
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 259 - 278
yang lebih penting hakim harus independen 20 dalam menjalankan tanggung jawab profesi sesuai norma, aturan dan kode etik profesi. Hakim harus membangun kepercayaan masyarakat, bahwa hukum benar-benar dilaksanakan seadil-adilnya oleh hakim. Dari itulah, menegakkan nilai dan membangun kepercayaan masyarakat yang dilayani menjadikan posisi dan peran hakim menjadi posisi terhormat dalam sistem hukum kita. Hakim harus dapat memberikan keadilan. Hakim diibaratkan dengan kepanjangan tangan Tuhan di dunia. Oleh sebab itu hakim ketika memutus perkara hendaknya dapat menyampingkan kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan. Ketika hakim mengabaikan itu semua, sudah pasti akan terjadi yang namanya malapetaka dan kehancuran hukum, dan kehormatan hakim menjadi sesuatu demoralisasi dalam konteks hakim menggadaikan kehormatan dan kedudukannya. Moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya. Dari segi kata moral sama artinya dengan akhlak atau budi pekerti atau susila. Dengan demikian moral dapat dilihat sebagai bidang kehidupan manusia dari segi kebaikannya sebagai manusia, bukan sebagai pelaku dari suatu peranan tertentu. Moral kemudian mendasari norma yang selanjutnya menjadi hukum. Namun hukum, sebagaimana diketahui, tidak dipakai untuk mengukur baik buruknya sebagai manusia, melainkan untuk menjamin ada ketertiban umum di tengah-tengah masyarakat. 21 Kita semua percaya bahwa sebagai manusia hakim juga memiliki kelemahan. Akan tetapi baik buruknya hakim dalam menjalankan profesi mulianya akan ditentukan sejauh mana hakim yang bersangkutan mampu memilah-milah mengenai ajaran baik dan buruk. Semua itu akan terlihat dalam sikap, perbuatan dan tanggung jawab hakim dalam menjalankan profesi dalam sistem peradilan di Indonesia dalam menciptakan keadilan. Dalam kaitannya dengan penyalahgunaan narkoba yang begitu luas dan maraknya, peranan hakim untuk memutus seberat-beratnya pelaku pengedar atau para Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 ditentukan bahwa syarat-syarat untuk menjadi dan diberhentikan sebagai hakim ditetapkan oleh undang-undang. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan agar hakim dalam melaksanakan tugasnya dapat dengan sungguh-sungguh dan memiliki independensi, secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah atau kekuasaan lain dalam masyarakat. 21 Ibid, Hlm. 63. 20
274
Peranan Hakim Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Narkoba Melalui Putusan Yang Berkeadilan - Oksidelfa Yanto
sindikat/bandar narkoba dengan hukuman tertinggi sudah menjadi suatu keharusan di tengah bahaya narkoba di dalam masyarakat, terutama para generasi muda bangsa ini. Seandainya hukuman hakim masih bermain-main dengan intrik-intrik yang melegalkan segala cara dengan pendekatan uang dan kekuasaan dan mengabaikan norma-norma hukum yang ada, masyarakat hanya akan menunggu waktu akan kehancuran anak bangsa karena dirusak oleh narkoba. Kualitas seorang hakim dalam memutus suatu perkara memiliki pengaruh yang dominan dalam tegaknya supremasi hukum dan mewujudkan wibawa pengadilan di Indonesia, di samping dukungan dari aparat penegak hukum yang lain. Dengan berpegang teguh terhadap Kode Etik Profesi Hakim maka diharapkan hakim dapat mengangkat citra, wibawa, dan perilakunya dalam memberikan keadilan dan kepastian serta perlindungan hukum yang dibutuhkan, sehingga masyarakat dapat menyandarkan harapan yang sangat besar kepada hakim yang memiliki integritas dan profesionalisme, karena tindakan dan tingkah lakunya menunjukkan ketidakberpihakan, memiliki integritas moral, serta pada kemampuannya untuk memberikan putusan yang baik. Kemandirian seorang hakim dalam mengambil keputusan haruslah dengan menjunjung tinggi hati nuraninya. 22 Mari kita akhiri penyalahgunaan dan peredaran narkoba dengan menghukum para bandar atau sindikat yang merajalela di Indonesia. Hakim harus peka dengan semua kondisi bangsa ini yang sudah gawat penyalahgunaan narkoba. Kepekaan hakim hanya dapat ditunjukkan dengan menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku pengedaran atau sindikat perdagangan narkoba. Hanya dengan cara begitulah keadilan hukum dapat diujudkan dalam rangka membebaskan masyarakat dari penyalahgunaan narkoba. III. PENUTUP Sebagai negara hukum, Indonesia selalu menjunjung tinggi hukum yang ada. Tetapi dalam praktek, terkadang hukum sering diabaikan dan tidak dijunjung tinggi sebagaimana mestinya. Ini dapat dilihat dengan begitu mudahnya narkoba masuk ke wilayah negara Indonesia. Padahal secara hukum, hal itu mestinya tidak mudah terjadi. Karena Indonesia memiliki kewibawaan hukum sebagaimana yang terdapat dalam Nuzul Qur’aini Mardiya, “Pengawasan Perilaku Hakim Mahkamah Konstitusi Oleh Dewan Etik,” Jurnal Hukum dan Peradilan Puslitbang Hukum dan Peradilan MA RI 5, no. 1 (2017). Hlm. 35. 22
275
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 259 - 278
konstitusi negara Indonesia. Harusnya dengan kewibawaan hukum yang dimiliki Indonesia, modus penyamaran yang dilakukan pelaku penyalahgunaan narkoba tidak harus terjadi. Karena para pelaku tidak dapat dengan mudah mengelabui petugas dengan memasukkan narkoba ke tempat-tempat yang semestinya terjaga dengan ketat, seperti lembaga pemasyarakatan. Untuk itu, hukum harus tegas dan dijunjung tinggi oleh semua pihak terutama para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Dengan menjunjung tinggi hukum yang ada maka segala bentuk modus dan peredaran narkoba tidak akan terjadi lagi. Peranan hakim dalam pemberantasan tindak pidana penyalahgunaan narkoba melalui putusan yang berkeadilan adalah hal mendesak untuk dilaksanakan. Hukuman yang berkeadilan tersebut adalah hukuman mati. Karena ketentuan hukum mengenai pelaku penyalahgunaan narkoba adalah pidana mati. Sekarang tinggal bagaimana hakim melalui putusannya melaksanakan amanat ketentuan yang mengatur penyalahgunaan narkoba tersebut. Untuk itu, hakim ketika mengadili perkara narkoba harus berpikir bahwa begitu banyak jatuh korban gara-gara pelaku sindikat narkoba, terutama dari generasi muda. Bukankah generasi muda adalah harapan masa depan bangsa. Sepantasnya masa depan itu kita jaga dan pelihara, agar mereka dapat menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Hukuman yang dijatuhkan hakim harus hukuman terberat, agar memberi efek jera kepada pelaku. Disamping hukuman berat, perlu selalu ditingkatkan kerjasama semua elemen masyarakat. Hanya dengan begitulah peredaran narkoba bisa dihilangkan atau minimal dikurangi. Indonesia harus bersih dari narkoba. Jika anak bangsa ini masih terus saja diracuni dengan narkoba. Tidak mustahil akan meruntuhkan bangunan negara Indonesia. Pada akhirnya akan menghancurkan Indonesia perlahan-lahan. IV. DAFTAR PUSTAKA Buku Hart, H.L.A. Konsep Hukum The Concept of Law. Bandung: Nusa Media, 2015. Husin, Kadri, and Budi Rizki Husin. Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2016. Kristian. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Tinjauan Teoritis Dan Perbandingan Hukum Di Berbagai Negara. Bandung: Refika Aditama, 2016. Mardiya, Nuzul Qur’aini. “Pengawasan Perilaku Hakim Mahkamah Konstitusi Oleh
276
Peranan Hakim Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Narkoba Melalui Putusan Yang Berkeadilan - Oksidelfa Yanto
Dewan Etik.” Jurnal Hukum dan Peradilan Puslitbang Hukum dan Peradilan MA RI 5, no. 1 (2017). Panjaitan, Petrus Irwan, and Chairijah. Pidana Penjara Dalam Perspektif Penegakan Hukum, Masyarakat Dan Narapidana. Jakarta: Indhill, 2009. Potimbang, Hodio. “Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Dalam Sistem Peradilam Pidana.” Varia Peradilan. Jakarta, November 2013. Purba, Jonlar. Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Bermotif Ringan Dengan Restorative Justice. Jakarta: Jala Permata Aksara, 2017. Rahardjo, Satjipto. Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia. Jakarta: Kompas, 2009. Siahaan, Monang. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Grasindo, 2016. Suseno, Frans Magnis. Etika Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. Syamsudin, M. “Rekonstruksi Pola Pikir Hakim Dalam Memutuskan Perkara Korupsi Berbasis Hukum Progresif.” Jurnal Dinamika Hukum Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman 11, no. 1 (2011). Winarta, Frans Hendra. Probono Publico Hak Konstitusional Fakir Miskin Untuk Memeperoleh Bantuan Hukum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jurnal/Media Massa Media Indonesia, Dua Tahun Ridho Rhoma Gunakan Narkoba, 26 Maret 2017.
277
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 259 - 278
278
HUKUMAN KEBIRI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN ANAK DAN KAITANNYA DENGAN HAK ASASI MANUSIA THE CASTRATION PUNISHMENT FOR CHILD RAPIST AND ITS RELATION TO HUMAN RIGHT FITRI WAHYUNI Fakultas Hukum Universitas Islam Indragiri Jl. HR. Soebrantas No. 10, Tembilahan – Riau Email:
[email protected] Diterima : 07/10/2016
Revisi : 18/07/2017 Disetujui : 18/07/2017 DOI : 10.25216/JHP.6.2.2017.279-296
Abstrak Fenomena kejahatan pemerkosaan terhadap anak merupakan kejahatan yang sangat meresahkan dalam masyarakat dewasa ini. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang tentang Perlindungan Anak telah memuat sanksi hukum bagi pelaku pemerkosaan. Akan tetapi, terdapat beberapa kelemahan yang timbul bila sanksi hukum tersebut dikenakan bagi pelaku pemerkosaan terhadap anak. Sanksi pidana terhadap pelaku pemerkosaan tersebut dianggap tidak memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan pemerkosaan. Sehingga, pemerintah mengesahkan perpu mengenai hukuman kebiri bagi pelaku pemerkosaan terhadap anak. Hukuman kebiri merupakan hukuman yang menunjukkan cara berfikir balas dendam, sehingga pendekatan hukuman kebiri ini sudah lama ditinggalkan. Selain itu, dalam tujuan pemidanaan hukuman kebiri belum mencerminkan rasa keadilan. Disebabkan hukuman kebiri belum memberikan efek jera bagi pelaku serta tidak selaras dengan prinsip-prinsip hak yang mengakomodasi hak-hak keberlangsungan keturunan bagi pelaku tindak pidana. Kata kunci: kebiri, pemerkosaan, hak asasi manusia ABSTRACT The phenomena of rape against children are very alarming in today's society. The Penal Code and the Child Protection Act has posted punishment on the perpetrator, but there are some disadvantages that arise when legal sanctions are imposed on child rapist. Criminal sanctions against rapist are deemed not provide a deterrent effect. The government passed perpu on castration punishment for child rapist. The castration punishment was a punishment that shows revenge way of thought, so the approach has long been abandoned. In addition, from the objective of sentencing, castration punishment has not yet reflected the sense of justice. Since it has not provided a deterrent effect for offenders and unbalanced with the principles of the right to accommodate the rights of the sustainability of offspring for the offender. Keywords: castration, rape, human rights
279
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 279 - 296
I.
PENDAHULUAN Perkembangan sosial dewasa ini, menunjukkan banyak terjadi kejahatan
terutama di kalangan masyarakat ekonomi lemah. 1 Salah satu bentuk kejahatan tersebut adalah pemerkosaan. Pemerkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapere yang berarti mencuri, memaksa, merampas, atau membawa pergi. 2 Pemerkosaan sebagai terjemahan dari
kualifikasi
aslinya (Belanda),
yakni
verkrachting, yang dimaknai dengan
bersetubuh. Maka pemerkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum. 3 Pemerkosaan merupakan kejahatan yang pada akhir ini marak terjadi di berbagai kota di Indonesia yang korbannya merupakan anak. Di Sumatera Utara misalnya, dari data yang dihimpun oleh Yayasan Pusaka Indonesia pada tahun 2012 terdapat 9 kasus pemerkosaan terhadap anak. 4 Di Jember, pada tahun 2012 tercatat sebanyak 58 kasus dan ditahun 2013 terdapat 50 kasus pemerkosaan terhadap anak. 5 Di Surakarta tercatat kasus pemerkosaan terhadap anak sebanyak 18 orang. 6 Selain itu sejumlah kasus pemerkosaan terhadap anak yang terjadi seperti yang dimuat di dalam media massa maupun media elektronik yakni Harian Sindo Sabtu, 29 Agustus 2015, “Gadis Sedang Haid Diperkosa 2 Pemuda Pasar Rumbai”. 7 Sindonews, memberitakan bahwa seorang ayah anak tiga benama RH (37 th) warga Desa Baros, Kecamatan Baros, Kabupaten
1 Herman P. Miller menjelaskan bahwa kemiskinan merupakan suatu hal yang sulit untuk didefiniskan dan bahkan lebih sulit lagi untuk diukur. Namun secara sederhana beberapa definisi yang telah dibuat oleh sebagian orang menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan keadaan dimana anggota masyarakat memiliki pendapatan yang berada dibawah standard minimum. Kemiskinan membawa berbagai permasalahan, salah satunya adalah pengangguran. Pengangguran terstruktur dan kemiskinan endemik menghasilkan bentuk perdagangan tersembunyi yang bersifat ilegal, sekalipun juga menjadi wahana keberlangsungan ekonomi seperti perdagangan narkoba. Annisa, “Analisis Viktimisasi Struktural Terhadap Tiga Korban Perdagangan Perempuan,” Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 7, no. No.III (2011): Hlm.307-319. 2 Haryanto, Dampak Sosio-Psikologis Korban Tindak Pemerkosaan Terhadap Wanita (Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada, 1997). 3 S Wignjosoebroto, Kejahatan Pemerkosaan Telaah Teoritik Dari Sudut Tinjau Ilmu-Ilmu Sosial (Yogyakarta: Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, 1997). 4 https://id.m.wikipedia.org/wiki/kejahatan_sekseual_terhadap_anak_di_Indonesia (Terakhir dikunjungi 22 Oktober 2015 jam 11.07 wib) 5 www.majalah-gempur.com/2014/02/jumlah-kekerasan-seksual-pada-anak.html?m=1 (Terakhir dikunjungi 22 Oktober 2015 jam 11.18 wib) 6 Ibid 7 http://daerah.sindonews.com/read/1038479/174/gadis-sedang-haid-diperkosa-2-pemuda-pasarrumbai-1440855963. (Terakhir kali dikunjungi pada 8 September 2015, jam 10.15 wib)
280
Hukuman Kebiri Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Anak Dan Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia - Fitri Wahyuni
Serang, Banten, tega memerkosa gadis yang mengalami keterbelakangan mental. 8 Harian Terbit Selasa 4 Agustus 2015, memberitakan bahwa terjadi kasus pemerkosaan terhadap anak dibawah umur. 9 Serta Go Riau, Senin 12 Oktober 2015, memberitakan bahwa ayah tiri berinisial ID asyik tiduri anaknya yang masih berusia delapan tahun. 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang tentang perlindungan anak telah memuat sanksi hukum bagi pelaku pemerkosaan, akan tetapi terdapat beberapa kelemahan yang timbul bila sanksi hukum tersebut dikenakan bagi pelaku pemerkosaan terhadap anak. Sanksi pidana terhadap pelaku pemerkosaan tersebut dianggap tidak memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan pemerkosaan 11 karena dalam penjatuhan sanksi pidana, seringkali hakim memberikan sanksi pidana yang terlalu ringan kepada terdakwa yang terbukti melakukan tindak pidana pemerkosaan dengan demikian menunjukkan bahwa adanya permasalahan dalam sistem hukum pidana yang masih gagal dalam mengadili dan menghukum pelaku secara efektif sehingga hal tersebut menimbulkan wacana pemberian pemberatan pidana bagi pelaku kejahatan seksual anak melalui hukuman kebiri. Dalam sejarah peradaban manusia, kebiri sudah pernah dilakukan dengan berbagai tujuan. Victor T Cheney dalam A Brief History of Castration 2nd Edition, menyatakan, kebiri sudah dilakukan di Mediterania Timur pada 8.000-9.000 tahun lalu. Tujuannya, agar ternak betina lebih banyak dibandingkan yang jantan. Namun tidak ada catatan pasti kapan kebiri dilakukan pada manusia. Di Mesir, pada 2.600 sebelum Masehi (SM), budak yang dikebiri berharga lebih tinggi karena dianggap lebih rajin dan patuh
8
http://daerah.sindonews.com/read/1036380/174/ayah-anak-3-perkosa-gadis-keterbelakanganmental-1440394121 (Terakhir kali dikunjungi pada Senin, 24 Agustus 2015,12:28 wib) 9 www.harianterbit.com/m/megapol/read/2015/08/04/37120/29/18/sederet-kasus-pemerkosaanterhadap-anak. (Terakhir kali dikunjungi pada Rabu, 30 September 2015, 20:20 wib) 10 www.goriau.com/berita/hukrim/bejat-apak-rutiang-ini-dipergoki-warga-saat-sedang-asyiktiduri-anaknya-yang-masih-berusia-8-tahun.html (Terakhir dikunjngi pada Senin 12 Oktober 2015,13.32 wib) 11 Jumlah anak mengalami kekerasan terutama kekerasan seksual terus meningkat. Data dari Kalyanamitra menunjukkan bahwa setiap 5 jam, ditemui 1 kasus pemerkosaan lihat hlm 1. Menurut data yang dikumpulkan oleh Pusat Data dan Informasi Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia dari tahun 2010 hingga tahun 2014 tercatat sebanyak 21.869.797 kasus pelanggaran terhadap anak yang tersebar di 34 Provinsi dan 179 kabupaten dan kota. Sebesar 42-58 % merupakan kejahatan seksual terhadap anak. Tahun 2010 2.046 kasus, diantaranya 42% kejahatan seksual. 2012 ada 2.637 kasus 62% kejahatan seksual. 2013 terjadi peningkatan yang cukup besar yaitu 3.339 kasus dengan kejahatan seksual 62 % sedangkan pada 2014 (Januari-April) terjadi sebanyak 600 kasus atau 879 korban.https://id.m.wikipedia.org/wiki/kejahatan_seksual_terhadap_anak_di_Indonesia. Diakses 12 Agustus 2015.jam 15.15.am.
281
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 279 - 296
kepada majikannya. Tindakan serupa ditemukan pada budak di Yunani sekitar 500 SM, penjaga harem raja
di
Persia,
serta bendahara dan sejumlah pejabat kekaisaran
Tiongkok. 12 Meskipun hukuman kebiri sudah pernah dilakukan pada masa dahulu, namun penerapan hukuman kebiri bagi pelaku pemerkosaan terhadap anak yang saat ini akan diberlakukan perlu kajian dan telaah yang mendalam disebabkan adanya pro dan kotra dalam penerapannya. Bagi mereka yang kontra menilai bahwa hukuman suntik kebiri melalui obat antiandrogen bagi pedofil (pelaku kejahatan seksual terhadap anak) tidak tepat. Penerapan hukuman suntik kebiri, tidak bisa memutus mata rantai kejahatan seksual terhadap anak. Sementara pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) mengenai hukuman kebiri bagi pelaku paedofilia. Hal ini menimbulkan telaah lebih dalam terhadap penerapan hukuman kebiri bagi pelaku pemerkosa khususnya terhadap anak sehingga rasa keadilan dapat terwujud dalam masyarakat. II. PEMBAHASAN A. Pemerkosaan Dan Sanksinya Dalam Hukum Pidana Indonesia Pemerkosaan merupakan suatu tindakan kriminal berwatak seksual yang terjadi ketika seorang manusia (atau lebih) memaksa manusia lain untuk melakukan hubungan seksual dalam bentuk penetrasi vagina atau anus dengan penis, anggota tubuh lainnya seperti tangan, atau dengan benda-benda tertentu secara paksa baik dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Organisasi Kesehatan Dunia mengartikan pemerkosaan sebagai penetrasi vagina atau anus dengan menggunakan penis, anggota-anggota tubuh lain atau suatu benda bahkan jika dangkal dengan cara pemaksaan baik fisik atau non-fisik. Mahkamah Kejahatan Internasional untuk Rwanda tahun 1998 merumuskan pemerkosaan sebagai invasi fisik berwatak seksual yang dilakukan kepada seorang manusia dalam keadaan atau lingkungan yang koersif. 13 Pemerkosaan berasal dari kata dasar perkosa yang artinya paksa, gagah, kuat, perkasa. Memerkosa berarti menundukkan dengan kekerasan, memaksa, melanggar dengan kekerasan. Sedangkan pemerkosaan diartikan sebagai proses cara perbuatan 12 M.ZaidWahyudi. Sumber:Kompas,19Mei2014, http://rumahpengetahuan.web.id/suntikkebirimematikan-dorongan-seksual/.terakhir diakses tanggal 15 Agustus 2016.jam 14.00 wib. 13 http://www.wikipedia.com/pemerkosaan/. Terkahir di kunjungi tanggal 25 Januari 2016 jam 17.00 wib.
282
Hukuman Kebiri Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Anak Dan Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia - Fitri Wahyuni
memerkosa dengan kekerasan. Dengan demikian dalam kamus Besar Bahasa Indonesia pemerkosaan memiliki unsur-unsur pria memaksa dengan kekerasan, bersetubuh dengan seorang wanita. 14 Pemerkosaan pada dasarnya adalah bentuk kekerasan primitif yang dapat terjadi pada setiap orang. Gelaja pemerkosaan merupakan salah satu tantangan sosial yang bukan hanya kekerasan seks semata tetapi selalu merupakan suatu bentuk perilaku yang dipengaruhi oleh sistem kekuasaan tertentu. 15 Jadi pemerkosaan menurut yuridis adalah perbuatan memaksa seseorang yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. 16 Definisi pemerkosaan 17 pada sebagian besar negara memiliki pengertian adanya serangan seksual dari pihak laki-laki dengan menggunakan penisnya untuk melakukan penetrasi vagina terhadap korban. Penetrasi oleh pelaku tersebut dilakukan dengan melawan keinginan korban. Tindakan tersebut dilakukan dengan adanya pemaksaan ataupun menunjukkan kekuasaan pada saat korban tidak dapat memberikan persetujuan baik secara fisik maupun secara mental. Beberapa Negara menambahkan adanya pemaksaan hubungan seksual secara anal dan oral ke dalam definisi pemerkosaan, bahkan beberapa negara telah menggunakan bahasa yang sensitif gender guna memperluas penerapan hukum pemerkosaan. Pemerkosaan merupakan nama kelompok berbagai jenis perbuatan yang melanggar kesopanan atau kesusilaan juga termasuk perbuatan persetubuhan di luar perkawinan. 18 Pada jaman dahulu pemerkosaan sering dilakukan untuk memperoleh seorang istri. Pemerkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum. 19 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 285 menyebutkan bahwa: barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan pemerkosaan 14 Tim Penyusun Kamus Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990).. 15 Eko Prasetyo & Supraman Marzuki, Perempuan Dalam Wacana Pemerkosaaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offest, 1997). 16 Suryono Ekotama, Abortus Provocatus Bagi Korban Pemerkosaan (Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2001). 17 R Warshaw, I Never Called It Rape (New York: Ms. Foundation for Education and Communication, Inc, 1994). 18 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia (Jakarta: Eresco, 1990). 19 Wignjosoebroto, Kejahatan Pemerkosaan Telaah Teoritik Dari Sudut Tinjau Ilmu-Ilmu Sosial. dalam Eko Prasetyo & Supraman Marzuki, Perempuan Dalam Wacana Pemerkosaaan.
283
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 279 - 296
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Pada pasal ini pemerkosaan didefinisikan bila dilakukan hanya di luar
perkawinan. Selain itu kata bersetubuh
memiliki arti bahwa secara hukum pemerkosaan terjadi pada saat sudah terjadi penetrasi. Pada saat belum terjadi penetrasi maka peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan pemerkosaan akan tetapi masuk dalam kategori pencabulan. 20 Jadi, istilah pemerkosaan memiliki kandungan pengertian yang sama dengan memaksa, yakni sama-sama bentuk tindakan, hanya hanya bedanya tindakan memaksa belum tentu berbentuk persetubuhan (memasukan penis secara paksa ke dalam vagina atau dubur), sedangkan memerkosa sudah pasti berbentuk persetubuhan terlepas dari persetubuhan itu dilakukan antara orang dewasa atau antara orang dewasa dengan anak. 21 Sedangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pada Pasal 76D menyebutkan tentang pemerkosaan yakni bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Berdasarkan unsur-unsurnya makna pemerkosaan dapat diartikan ke dalam tiga bentuk: 22 1) Pemerkosaan adalah suatu hubungan yang dilarang dengan seorang wanita tanpa persetujuannya. Berdasarkan kalimat ini ada unsur yang dominan, yaitu: hubungan kelamin yang dilarang dengan seorang wanita dan tanpa persetujuan wanita tersebut. 2) Pemerkosaan adalah persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita yang bersangkutan. Pada kalimat ini terdapat unsur-unsur yang lebih lengkap, yaitu meliputi persetubuhan yang tidak sah, seorang pria, terhadap seorang wanita, dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita tersebut. 3) Pemerkosaan adalah perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan oleh seorang pria terhadap seorang wanita bukan istrinya dan tanpa persetujuannya, dilakukan ketika wanita tersebut ketakutan atau di bawah kondisi ancaman lainnya. Definisi tersebut hampir sama dengan yang tertera pada KUHP pasal 285. S Soerodibroto, KUHP Dan KUHAP Dilengkapi Dengan Yurisprudensi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994). 21 Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2015). 22 G. Widiartana Ekotama, Pudjiarto, Abortus Provocatus Bagi Korban Pemerkosaan Perspektif Victimologi Kriminologi Dan Hukum Pidana (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2001). 20
284
Hukuman Kebiri Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Anak Dan Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia - Fitri Wahyuni
Sanksi pidana untuk kasus pemerkosaan sebagaimana diatur dalam KUHP Pasal 285 menyebutkan bahwa: Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan pemerkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Sedangkan sanksi pidana khusus untuk kasus pemerkosaan terhadap anak disebutkan dalam Pasal 287 ayat (1) yang berbunyi:
23
Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup umur 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun. Dalam Pasal 290 ayat (3) KUHP menyatakan: Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun barangsiapa membujuk seseorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun atau ternyata belum kawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh diluar pernikahan dengan orang lain. Selain dalam ketentuan KUHP, sanksi pidana terhadap pemerkosaan terdapat pula di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 81 menyebutkan: (1) Setiap orang yang melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Artinya bahwa pemerintah telah memberikan payung hukum agar kejahatan pemerkosaan dapat diminimalisir dalam masyarakat. Upaya tersebut juga dilakukan dengan memberikan sanksi yang lebih berat berupa hukuman kebiri yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Jakarta: Bumi Aksara, 2003).
23
285
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 279 - 296
2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak di dalam Pasal 81 ayat (7) yang berbunyi Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. B. Tujuan Hukuman Menurut Hukum Pidana Di Indonesia Penjatuhan pidana kepada orang yang dianggap bersalah menurut hukum pidana, secara garis besar dapat bertolak dari perbuatan terpidana dimasa lalu dan/ atau untuk kepentingan dimasa yang akan datang. Apabila bertolak dimasa lalu, maka tujuan pemidanaan adalah sebagai balasan, tetapi berorientasi dimasa yang akan datang, maka tujuan pidana adalah untuk memperbaiki kelakuan terpidana. 24 Menurut teori absolut atau teori pembalasan ini, maka yang menjadi sasaran utama dari teori ini adalah balas dendam. Dengan mempertahankan teori pembalasan yang pada prinsipnya berpegang pada pidana untuk pidana, hal itu akan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Artinya teori pembalasan itu tidak memikirkan bagaimana membina si pelaku kejahatan. Teori pembalasan atau absolut ini terbagi atas pembalasan subjektif dan pembalasan objektif. Pembalasan
subjektif
ialah
pembalasan terhadap kesalahan pelaku.
Pembalasan objektif ialah pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan pelaku di dunia luar. 25 Teori relatif atau teori tujuan, tujuan pemidanaan adalah mencegah kejahatan.26 Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian, lahir sebagai reaksi terhadap teori absolut. Secara garis besar, tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah sekedar pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat. Jadi, tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku
kejahatan
bukanlah
untuk
membalas
kejahatannya, melainkan untuk
mempertahankan ketertiban umum. Teori gabungan mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan
24 Marcus Priyo Gunarto, “Sikap Memidana Yang Berorientasi Pada Tujuan Pemidanaan,” Jurnal Mimbar Hukum Vol.21, no. No. 1 (2009): hlm.108. 25 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan IV. (Jakarta: Rineka Cipta, 2010). 26 Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014)..
286
Hukuman Kebiri Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Anak Dan Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia - Fitri Wahyuni
pidana. 27 Groritius atau Huge de Groot menyatakan bahwa penderitaan memang sesuatu yang sewajarnya ditanggung pelaku kejahatan, namun dalam batas apa yang layak ditanggung pelaku tersebut kemanfaatan sosial akan menetapkan berat-ringannya derita yang layak dijatuhkan. Hal ini bertolak dari adagium yang berbunyi natura ipsa dictat, ut qui malum fecit, malum ferat yang berarti kodrat mengajarkan bahwa siapa yang berbuat kejahatan, maka akan terkena derita. Akan tetapi, tidak hanya penderitaan semata sebagai suatu pembalasan tetapi juga ketertiban masyarakat. 28 Teori gabungan dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yakni: 1. 2.
Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana. 29
Dengan demikian pada hakikatnya pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum. Di samping itu Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat. 30 C. Hukuman Kebiri Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Anak dan Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM) Menurut deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hak asasi manusia merupakan tujuan (end) sekaligus sarana (means) pembangunan. Turut sertanya masyarakat dalam pembangunan bukan sekedar aspirasi, melainkan kunci keseluruhan hak asasi atas pembangunan itu sendiri dan menjadi tugas badan-badan pembangunan internasional maupun nasional untuk menempatkan hak asasi manusia sebagai salah satu fokus utama pembangunan. Namun demikian fenomena hak asasi manusia harus Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010). 28 Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar Atas Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003). 29 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana. 30 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Kebijakan Pidana (Bandung: Alumni, 1984). 27
287
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 279 - 296
dicermati secara arif, sebab dalam masyarakat individualisme, ada kecendrungan menuntut pelaksanaan hak asasi manusia secara berlebihan. Padahal hak asasi manusia tidak dapat di tuntut pelaksanaannya secara mutlak, sebab penuntutan secara mutlak berarti melanggar hak asasi yang sama yang juga dimiliki oleh orang lain. 31 Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada setiap dan semua manusia untuk diperlakukan sesuai dengan kodrat kemanusiaannya yang jika hak-hak tersebut tidak dilaksanakan dengan seluruhnya, eksistensi manusia menjadi tidak utuh. Artinya hak asasi manusia sebagaimana dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. 32 Hak-hak dasar tersebut didasarkan pada kesetaraan dalam segala bentuk perlakuan di hadapan hukum tanpa memandang disriminasi, ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, atau pandangan politik dan lainnya. 33 Dalam mukaddimah pernyataan umum hak-hak asasi manusia di PBB mengenai hak asasi manusia dijelaskan sebagai berikut: Recognition of the inherent dignity and the egual and inalienable right of all member of the human family is the foundation of freedom, justice and peace in the world. (Pengakuan atas keluhuran martabat alami manusia dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dipindahkan kepada orang lain dari semua anggota keluarga kemanusiaan adalah dasar kemerdekaan dan kedamaian di dunia). 34 Dengan demikian jelaslah bahwa hak asasi manusia bersifat universal, berlaku umum untuk semua umat manusia tanpa memandang strata dan tingkat sosial, status ekonomi, perbedaan agama, gender dan lain-lainnya. Perlindungan terhadap hak asasi manusia merupakan kewajiban etis yang mendorong manusia kearah satu tujuan, yaitu humanisasi yang berdasarkan eksistensi manusia sebagai individu dalam kelompok masyarakat. Selain itu keberadaan manusia 31
2005).
Satjipto Rahardjo, Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakatnya (Bandung: Refika Aditama,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Ishaq Ahmed, Konstitusionalisme, HAM Dan Reformasi Islam Dalam Rekonstruksi Shari’ah II, Kritik, Konsep, Penjelajahan Lain (Yogyakarta: LKIS, 1996). 34 Delizar Putra, Konsepsi Al Qur’an Tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Jakarta: Al Husna, 1987). 32 33
288
Hukuman Kebiri Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Anak Dan Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia - Fitri Wahyuni
merupakan makhluk mulia yang diciptakan oleh Tuhan yang harus dihormati, dijunjung tinggi, dan di lindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Walaupun pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia bersifat absolut, tetapi dalam keadaan tertentu terdapat juga pengecualian. Contohnya adalah pemberlakuan hukuman mati yang berarti mencabut hak asasi manusia bagi seseorang. Melalui Putusan nomor 2-3/PPU-V/2007, Mahkamah Konstitusi berpendirian bahwa hak hidup tidak bersifat mutlak dan bahwa pemberlakuan hukuman mati dalam Undang-Undang Narkotika Nomor 27 Tahun 1997 adalah sah sepanjang ancaman pidana mati tersebut tidak melanggar Udang-Undang Dasar 1945. 35 Hak asasi manusia dalam negara Indonesia dapat dilihat dari Ideologi Pancasila. Pancasaila sebaagai ideologi negara Republik Indonesia berbeda dengan ideologi Liberalisme Kapitalis yang berpaham individualistis, juga berbeda dengan ideologi sosialis komunis yang berpaham kolektivitas komunal. Pancasila mengakui dan melindungi baik hak-hak individu maupun hak-hak warga masyarakat, baik di bidang ekonomi maupun politik. Kedudukan Pancasila sebagai ideologi negara dilihat dari segi struktur tata hukum Indonesia, menempati derajat tertinggi secara hierarki yaitu norma fundamental negara (staatfundamentalnorm) ditemukan dalam Mukadimah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, norma dibawahnya adalah staatgrundgezetz yaitu batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara yang juga biasa disebut sebagai grondrecht. 36 Berbagai macam pelanggaran terhadap hak-hak anak masih sering terjadi, tercermin dari masih adanya anak-anak mengalami abuse, kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. Diantara pelanggaran hak asasi anak berkaitan dengan pemerkosaan terhadap anak. Telah menjadi kesepakatan berbagai bangsa, persoalan anak ditata dalam suatu wadah Unicef (United Nations Children’s Fund).
Bagi Indonesia, anak
dikelompokkan sebagai kelompok yang rentan. Dalam penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 disebutkan bahwa yang termasuk kelompok
35 Ridwan Syah Beruh, Membumikan Hukum Tuhan : Perlindungan Ham Perspektif Hukum Pidana Islam (Bekasi: Pustaka Ilmu, 2015). 36 Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum Demokrasi (Human Right in Democration Rechtsstaat) (Jakarta: Sinar Grafika, 2014).
289
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 279 - 296
rentan adalah orang lansia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat. 37 Masalah kekerasan seksual terutama pemerkosaan di Indonesia, khususnya terhadap anak perlu mendapat perhatian lebih intensif dan serius lagi. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar1945 Pasal 28, beserta perubahannya Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pasal 28 H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 38 menentukan bahwa “ Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Selain termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, memuat juga perlindungan terhadap hak-hak anak yang merupakan hak asasi manusia. Undang-Undang perlindungan Anak tersebut juga menegaskan bahwa pertanggungjawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak. 39 Untuk melindungi hak asasi anak dari korban pemerkosaan, pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pada Pasal 81 ayat (7) telah mencantumkan hukuman kebiri yang berbunyi “Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik”. Artinya bahwa Indonesia telah melegalkan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual. Kebiri
sebagai
salah
satu
bentuk
hukuman
(punishment)
atau
tindakan/perawatan (treatment) belakangan ini menjadi salah satu gejala di beberapa 37
Ibid. Lihat Undang-Undang Dasar 1945 serta perubahannya. 39 Satjipto Rahardjo, Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakatnya. 38
290
Hukuman Kebiri Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Anak Dan Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia - Fitri Wahyuni
negara termasuk negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat. Berdasarkan World Rape Statistic atau statistik dunia tentang pemerkosaan di berbagai Negara di dunia, saat ini ada 20 negara yang memberlakukan hukuman kebiri yakni 9 negara-negara Eropa dan 9 negara-negara bagian Amerika, satu negara Amerika Latin dan satu negara di Asia Tenggara. Kesembilan Negara Eropa tersebut adalah Inggris, Polandia, Rusia, Jerman, Republik Ceko, Denmark, Swedia dan Spanyol. Sedangkan Sembilan Negara bagian Amerika adalah California, Florida, Georgia, Iowa, Lousiana, Montana, Oregon, Texas dan Wisconsin. Satu Negara Amerika Latin yang memberlakukan hukuman kebiri adalah Agentina dan satu Negara di Asia Tenggara adalah Korea Selatan. 40 Beberapa negara Uni Eropa telah memasukan pasal kebiri dalam hukum pidana yang diberikan dalam bentuk suntikan kimiawi (chemical castration) kepada pelaku kejahatan seksual. Norwegia adalah satu-satunya negara Uni Eropa yang secara terang-terangan menyatakan di dalam hukum pidananya pada tahun 2010 bahwa kebiri merupakan salah satu
hukuman bagi pelaku kejahatan seksual. 41
Polandia hanya menerapkan chemichal castration sebagai bagian dari treatment untuk paedofilia. Australia juga sudah memasukkan dalam hukum pidana untuk pelaku kejahatan seksual anak dan pelaku pemerkosaan. Rusia yang sudah menerima chemical castration dalam hukum pidana mereka untuk pelaku kejahatan seksual anak dimana korbannya berusia di 12 tahun atau kurang dari 12 tahun. Sementara itu Turki sedang mempertimbangkan untuk memasukkan suntikan kebiri kepada pelaku pemerkosaan. India dan Taiwan memberikan suntikan kebiri ini khusus pada pedofilia dan residivis pelaku kejahatan seksual anak. 42 Pemberian pemberatan hukuman pada pelaku kejahatan seksual anak dengan dengan mengebirinya melalui suntikan carian kimiawi, menunjukkan cara berfikir balas dendam yang merupakan pendekatan hukuman yang sudah lama ditinggalkan. Pendekatan ini pun dinilai merupakan pendekatan hukuman yang dilakukan oleh masyarakat primitif dan terkesan barbarisme. Penghukuman pemberatan hampir tidak
Supriyadi Widodo Eddyono dkk, Menguji Euforia Kebiri Catatan Kritis Atas Rencana Kebijakan Kebiri (Chemical Castration) Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Anak Di Indonesia (Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform ECPAT Indonesia, 2016). 41 Zachary Edmods Oswald, “‘Off With His....’ Analyzing the Sex Disparity in Chemical Castration Sentences”,” Michigan Journal of Gender and Law Vol. 19, no. 471 (n.d.): Hlm. 484. 42 Ibid. 40
291
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 279 - 296
memiliki korelasi dengan berkurangnya kejahatan seksual pada anak. Di banyak Negara, hukuman balas dendam kepada pelaku kejahatan sudah tidak popular lagi, bahkan menimbulkan banyak protes dari masyarakat dan berbagai organisasi hak asasi manusia. Secara akademik hukuman ini juga tidak memberikan efek pemulihan pada korban. Seorang ahli kriminal anak Jocelyn B. Lammdari Yale University, mengatakan bahwa krimimalisasi tidak memberikan efek jera sama sekali kepada pelaku tindak pidana ini, karena itu diperlukan pola-pola penuntutan yang dapat memberikan rasa terlindungi dan rasa pemuliaan yang dihadiahkan kepada korban kejahatan ini. 43 Hukuman kebiri yang dijatuhkan terhadap pelaku pemerkosaan terhadap anak, apabila dikaitan dengan hak asasi manusia (HAM) maka hukuman kebiri melanggar dua prinsip yang menjadi amanat reformasi, yaitu prinsip HAM dan demokrasi. 44 Secara substansi, hukuman kebiri akan berdampak pada hilangnya hak seseorang untuk melanjutkan keturunan dan terpenuhi kebutuhan dasarnya yang dijamin dalam UUD 1945. Hal tersebut tentu saja bertentangan dengan hak-hak asasi manusia sebagaimana yang terdapat di dalam Undang-undang Dasar maupun Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM). Selain itu, sampai saat ini tidak ada kajian yang menunjukkan bahwa sanksi kebiri mampu secara efektif menekan tindakan kekerasan seksual. Kekerasan seksual adalah hal kompleks yang tidak bisa serta merta hilang dengan mengebiri pelaku. Disamping itu, apabila hukuman kebiri diterapkan maka akan terjadi pertentangan dengan asas-asas yang berlaku dalam pemidanaan bagi pelaku, bertentangan juga dengan jenisjenis pidana yang dianut oleh KUHP, karena KUHP hanya mengenal pidana pokok dan pidana tambahan dan di dalam dua jenis pidana tersebut tidak ada satu pun yang menyantumkan pidana kebiri
yang merupakan jenis corporal punishment atau
penghukuman terhadap badan. Mengebiri pelaku bukan jalan keluar yang adil bagi korban dan juga tidak ada hubungan ang signifikan antara kebiri dan berkurangnya kejahatan seksual anak, tidak ada efek yang ilmiah, korban akan pulih dengan diberikannya hukuman tambahan kebiri kepada pelaku. Ahmad Sofian Kebiri’ Versus Restitusi/Kompensas, Http://BusinessLaw.Binus.Ac.Id/2015/10/27/Kebiri-Versus-Restitusikompensasi/. Terakhir diakses tanggal 20 Agustus 2016 jam 15.00 Wib. 44 Fajri Nursyamsi, dalam http://www.beritasatu.com/hukum/365041-pshk-perppu-kebirimelanggar-hak-asasi-manusia.html. terakhir diakses tanggal 28 Agustus 2016 jam 13.15 wib. 43
292
Hukuman Kebiri Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Anak Dan Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia - Fitri Wahyuni
III. PENUTUP Tujuan diadakannya hukuman adalah untuk memperbaiki kerusakan yang bersifat individual dan sosial (individual and social damage) yang diakibatkan oleh tindak pidana. Hukum pidana tidak boleh hanya berorientasi pada perbuatan manusia saja (daadstrafrecht), karena menjadi tidak manusiawi dan mengutamakan pembalasan. Hukuman kebiri yang diterapkan bagi pelaku tindak pidana pemerkosaan terhadap anak harusnya menjadi sebuah hukuman yang menimbulkan efek jera bagi pelaku. Namun apabila ditinjau dari tujuan pemidanaan, hukuman kebiri belum mencerminkan rasa keadilan disebabkan hukuman kebiri tidak selaras dengan prinsip-prinsip hak yang mengakomodir hak-hak keberlangsungan keturunan bagi pelaku tindak pidana. IV. DAFTAR PUSTAKA Buku Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010. Andi Hamzah. Asas-Asas Hukum Pidana. Cetakan IV. Jakarta: Rineka Cipta, 2010. Annisa. “Analisis Viktimisasi Struktural Terhadap Tiga Korban Perdagangan Perempuan.” Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 7, no. No.III (2011): Hlm.307319. Delizar Putra. Konsepsi Al Qur’an Tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Jakarta: Al Husna, 1987. Eddy O.S. Hiariej. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014. Eko Prasetyo & Supraman Marzuki. Perempuan Dalam Wacana Pemerkosaaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offest, 1997. Ekotama, Pudjiarto, G. Widiartana. Abortus Provocatus Bagi Korban Pemerkosaan Perspektif Victimologi Kriminologi Dan Hukum Pidana. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2001. Haryanto. Dampak Sosio-Psikologis Korban Tindak Pemerkosaan Terhadap Wanita. Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada, 1997. Ishaq Ahmed. Konstitusionalisme, HAM Dan Reformasi Islam Dalam Rekonstruksi Shari’ah II, Kritik, Konsep, Penjelajahan Lain. Yogyakarta: LKIS, 1996. Ismantoro Dwi Yuwono. Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak. Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2015. Jan Remmelink. Hukum Pidana Komentar Atas Pasal Terpenting Dari Kitab UndangUndang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.
293
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 279 - 296
Marcus Priyo Gunarto. “Sikap Memidana Yang Berorientasi Pada Tujuan Pemidanaan.” Jurnal Mimbar Hukum Vol.21, no. No. 1 (2009): hlm.108. Moeljatno. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara, 2003. Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, 1984. Nurul Qamar. Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum Demokrasi (Human Right in Democration Rechtsstaat). Jakarta: Sinar Grafika, 2014. Ridwan Syah Beruh. Membumikan Hukum Tuhan : Perlindungan Ham Perspektif Hukum Pidana Islam. Bekasi: Pustaka Ilmu, 2015. Satjipto Rahardjo. Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakatnya. Bandung: Refika Aditama, 2005. Soerodibroto, S. KUHP Dan KUHAP Dilengkapi Dengan Yurisprudensi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994. Supriyadi Widodo Eddyono dkk. Menguji Euforia Kebiri Catatan Kritis Atas Rencana Kebijakan Kebiri (Chemical Castration) Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Anak Di Indonesia. Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform ECPAT Indonesia, 2016. Suryono Ekotama. Abortus Provocatus Bagi Korban Pemerkosaan. Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2001. Tim Penyusun Kamus Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990. Warshaw, R. I Never Called It Rape. New York: Ms. Foundation for Education and Communication, Inc, 1994. Wignjosoebroto, S. Kejahatan Pemerkosaan Telaah Teoritik Dari Sudut Tinjau IlmuIlmu Sosial. Yogyakarta: Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, 1997. Wirjono Prodjodikoro. Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Jakarta: Eresco, 1990. Zachary Edmods Oswald. “‘Off With His....’ Analyzing the Sex Disparity in Chemical Castration Sentences”.” Michigan Journal of Gender and Law Vol. 19, no. 471 (n.d.): Hlm. 484. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Internet http://www.wikipedia.com/pemerkosaan/. Terkahir di kunjungi tanggal 25 Januari 2016 jam 17.00 wib. http://daerah.sindonews.com/read/1038479/174/gadis-sedang-haid-diperkosa-2pemuda-pasar-rumbai-1440855963. (Terakhir kali dikunjungi pada 8 September 2015, jam 10.15 wib) http://daerah.sindonews.com/read/1036380/174/ayah-anak-3-perkosa-gadisketerbelakangan-mental-
294
Hukuman Kebiri Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Anak Dan Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia - Fitri Wahyuni
1440394121(TerakhirkalidikunjungipadaSenin,24Agustus2015,12:28wib) www.harianterbit.com/m/megapol/read/2015/08/04/37120/29/18/sederet-kasuspemerkosaan-terhadap-anak. (Terakhir kali dikunjungi pada Rabu, 30 September 2015, 20:20 wib) www.goriau.com/berita/hukrim/bejat-apak-rutiang-ini-dipergoki-warga-saat-sedangasyik-tiduri-anaknya-yang-masih-berusia-8-tahun.html (Terakhir dikunjngi pada Senin 12 Oktober 2015,13.32 wib) https://id.m.wikipedia.org/wiki/kejahatan_seksual_terhadap_anak_di_Indonesia.Diakses 12 Agustus 2015.jam 15.15.am. MZaidWahyudi.Sumber:Kompas,19Mei2014,http://rumahpengetahuan.web.id/suntikkebirimematikan-dorongan-seksual/
295
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 279 - 296
296
REKONSTRUKSI HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA PASAR MODAL SYARIAH: PENGUATAN ASPEK REGULASI UNTUK MEMBERIKAN KEPASTIAN HUKUM RECONSTRUCTION OF LEGAL DISPUTE SETTLEMENT OF ISLAMIC CAPITAL MARKET: STRENGTHENING THE REGULATORY ASPECT TO PROVIDE LEGAL CERTAINTY EDI HUDIATA Pengadilan Agama Banjarbaru Jl. Trikora No. 4 Banjarbaru Kalimantan Selatan Email:
[email protected] Diterima : 13/03/2017
Revisi : 27/07/2017 Disetujui : 27/07/2017 DOI : 10.25216/JHP.6.2.2017.297-316
ABSTRAK Regulasi mengenai pasar modal syariah mengikuti aturan yang terdapat dalam UU 8/1995 tentang Pasar Modal, Fatwa DSN MUI Nomor 40/IX/ 2003, Peraturan Bapepam dan LK Nomor IX.A.13, Nomor IX.A.14, dan Nomor II.K.1. Dari beberapa aturan tersebut, belum ada yang secara jelas mengatur penyelesaian sengketa pasar modal syariah baik secara litigasi maupun nonlitigasi sehingga menimbulkan kekosongan hukum (leemten in het recht). Ketentuan penyelesaian sengketa ekonomi syariah, termasuk di dalamnya sengketa pasar modal syariah, hanya terdapat dalam UU 3/2006. Melalui metode penelitian kuantitatif, penelitian ini berupaya mengharmoniskan aturan yang kosong sekaligus juga mengisi kekosongan hukum tersebut. Penelitian berkesimpulan penyelesaian sengketa pasar modal syariah secara litigasi diselesaikan di Pengadilan Agama, sementara secara nonlitigasi diselesaikan melalui BASYARNAS dan/atau sebagaimana sengketa perdata lainnya juga dapat diselesaikan melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa sesuai UU 30/1999. Kata kunci: kekosongan hukum, pasar modal syariah
297
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 297 - 316
ABSTRACT The regulation of the Islamic capital market following the rules contained in Law 8/1995 on Capital Market, DSN MUI Fatwa No. 40 / IX / 2003, Bapepam-LK Number IX.A.13, No. IX.A.14, and No. II. K.1 From that rules, nothing has clearly set the Islamic capital market dispute resolution, both litigation and non-litigation resulting in a legal vacuum (leemten in het recht). Islamic economic dispute settlement provisions, including the dispute over the Islamic capital market, is only found in Law 3/2006. Through quantitative research methods, the study sought to harmonize the empty rules at the same time filling thus legal vacuum. The research concluded that the settlement litigation of disputes in Islamic capital markets settled in the Religious Court, while in non-litigation resolved through BASYARNAS (National Sharia Arbitration Board) and / or as other civil disputes can also be resolved through Alternative Dispute Resolution in accordance with Law 30/1999. Keywords: legal vacuum, the Islamic capital market. I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pancasila sebagai dasar negara, memiliki konsekuensi bahwa Indonesia bukanlah negara teokrasi, bukan pula negara sekular. Negara tidak identik dengan agama tertentu, tetapi negara tidak melepaskan agama dari urusan negara. Dalam hal peraturan, terdapat undang-undang yang berbasis agama, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU 1/1974), Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (UU 41/2004), Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (UU 19/2008), Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU 21/2008), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (UU 23/2011), Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (Inpres 1/1991), dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Perma 2/2008). Kebiasaan bisnis internasional dan konvensi-konvensi yang telah diratifikasi oleh negara selalu disebut dengan istilah sistem ekonomi konvensional, misalnya bank konvensional, kredit konvensional, asuransi konvensional, dan sebagainya. Selain istilah konvensional tersebut, sekarang ini dunia bisnis di Indonesia telah akrab dengan
298
Rekonstruksi Hukum Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Syariah: Penguatan Aspek Regulasi Untuk Memberikan Kepastian Hukum - Edi Hudiata
konsep ekonomi berdasarkan agama Islam. 1 Bentuk kegiatan secara formal dan legal tetap mempergunakan istilah-istilah standar (konvensional) bisnis biasa. Kemudian ditambah atau diperkenalkan dengan nuansa religius Islam sehingga menjadi istilah standar ekonomi Islam, seperti: Bank Umum Syariah, Bank Perkreditan Syariah, Pasar Modal Syariah, Asuransi/Takaful Syariah, Badan Arbitrase Syariah, Pegadaian Syariah, Reksadana Syariah, dan lain-lain. 2 Kehadiran Hukum ekonomi Islam dalam tata hukum Indonesia dewasa ini, tidak sekadar tuntutan sejarah dan kependudukan yang mayoritas beragama Islam, tetapi lebih jauh dari itu adalah karena adanya kebutuhan masyarakat luas setelah diketahui dan dirasakan kesejahteraan rakyat sebagaimana yang dicita-citakan para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3
Salah satu bentuk respons Negara terhadap
perkembangan ekonomi Islam adalah dibentuknya pasar modal syariah di Indonesia. Pasar modal syariah ini dibentuk berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 40/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal. Sebelumnya, aturan mengenai pasar modal syariah secara umum terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UU 8/1995). Semangat yang terkandung dalam UU 8/1995 adalah perlindungan investor dan masyarakat melalui penyelenggaraan perdagangan efek yang teratur, wajar dan efisien. Perlindungan terhadap investor dan masyarakat antara lain dilakukan melalui kepastian hukum dan penegakan hukum, pengawasan pasar, keterbukaan informasi, sistem dan biaya perdagangan yang efisien, kejelasan mekanisme dan produk perdagangan, penegakan etika bisnis dan standar profesi, dan yang tidak kalah pentingnya adalah penyempurnaan kelembagaan dari regulator, pelaku dan penunjang pasar modal. Salah satu aspek pengembangan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam roadmap Pasar Modal Syariah 2015-2020, adalah aspek regulasi. Bahkan, rencananya akan dibuat satu undang-undang mengenai efek syariah. Dari beberapa aturan tersebut, belum ada yang secara jelas mengatur penyelesaian sengketa pasar 1
2007).
Hartono and Sri Redjeki, Hukum Ekonomi Indonesia, Cet.2. (Malang: Bayumedia Publishing,
Ibid. Muttaqien Dadan, “Politik Hukum Pemerintah Republik Indonesia Terhadap Perbankan Syariah Pasca Disahkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah,” Jurnal Mimbar Hukum dan Peradilan, no. 70 (2010): 136. 2 3
299
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 297 - 316
modal syariah baik secara litigasi maupun nonlitigasi sehingga menimbulkan kekosongan hukum (leemten in het recht). Ketentuan penyelesaian sengketa ekonomi syariah, termasuk di dalamnya sengketa pasar modal syariah, hanya terdapat dalam UU 3/2006. Dengan demikian perlu ada penemuan hukum terkait penyelesaian sengketa pasar modal syariah yang belum tertuang dalam aturan tersebut. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang akan dibahas adalah bagaimana kepastian hukum penyelesaian sengketa pasar modal syariah dalam upaya menguatkan aspek regulasi untuk mewujudkan kepastian hukum? C. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif, yaitu suatu jenis penelitian yang dilakukan untuk pengembangan ilmu hukum yang biasa dinamakan Dogmatika Hukum (Rechsdogmatiek). 4 Fokusnya inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum dalam perkara in concreto, sistematik hukum, taraf sinkronisasi hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum.
5
Adapun
pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer yang bersifat otoritatif, 6 diantaranya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Staatsblaad Nomor 23 Tahun 1847, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Fatwa Dewan Syariah Nasional Bernard Arief Sidharta, “Penelitian Hukum Normatif,” in Metode Penelitian Hukum: Konstelasi Dan Refleksi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), Hal. 142. 5 Muhammad Abdulkadir, Hukum Dan Penelitian Hukum (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004). 6 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Prenada Media Group, 2009). 4
300
Rekonstruksi Hukum Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Syariah: Penguatan Aspek Regulasi Untuk Memberikan Kepastian Hukum - Edi Hudiata
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 40/IX/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal. Penulis juga menggunakan bahan hukum sekunder, yaitu publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi, 7 antara lain buku-buku teks hukum, jurnal hukum, majalah hukum, tulisan para ahli hukum baik di media cetak maupun media elektronik. Juga menggunakan bahan hukum tertier yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, antara lain ensiklopedia hukum dan kamus hukum. Bahan hukum yang telah diinventarisasi dan diidentifikasi kemudian dianalisa secara kualitatif dengan menggunakan tahapan berpikir sistematis guna menemukan jawaban atas permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini. Analisis dilakukan dengan mendasarkan pada teori-teori hukum yang pada akhirnya akan memberikan hasil signifikan dan bermakna ke dalam bentuk sebuah paparan yang nyata. II. PEMBAHASAN A. Asas Kepastian Hukum Secara spesifik, asas kepastian hukum dapat diartikan sebagai hukum normatif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Asas kepastian hukum tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-interpretasi) dan logis dalam arti menjadi sistem norma dengan norma yang lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian. Menurut Satjipto Rahardjo, hukum dibuat tidak dalam ruang yang hampa. Hukum lahir dari ketentuan yang hidup dalam masyarakat (ibi societas ibi ius). 8 Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) mengatur syarat-syarat asas hukum yang harus selalu ada dalam sebuah aturan hukum. Terkait asas kepastian hukum, Pasal 6 ayat (1) huruf i UU 12/2011, menyebutkan
bahwa
materi
muatan
peraturan
perundang-undangan
harus
mencerminkan asas ketertiban dan kepastian hukum. Maksud “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. Di samping harus taat asas, peraturan perundang-undangan yang dibuat dan diberlakukan terhadap bidang tertentu, tidak boleh bertentangan antara satu dengan Ibid. Satjipto Rahardjo, “Hukum Progresif (Penjelajahan Suatu Gagasan),” Majalah Hukum Newsletter Nomor 59 (Jakarta, December 2004). 7 8
301
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 297 - 316
yang lainnya yang sederajat atau menurut hierarki peraturan perundang-undangan yang ada. Sebagai contoh, UU 3/2006 telah mengatur kewenangan Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa pasar modal syariah, maka peraturan yang terkait dengan pasar modal syariah harus harmonis dengan UU 3/2006 tersebut. Negara yang berdiri berdasarkan hukum memiliki empat (4) asas utama, yaitu: asas
kepastian
hukum
(het
rechtszekerheidsbeginsel),
asas
persamaan
(het
gelijkeheidsbeginsel), asas demokrasi (het democratischebeginsel), dan asas bahwa pemerintah dibentuk untuk melakukan pelayanan terhadap masyarakat (het beginsal van de dienende overhead, governmet for the people). Untuk memenuhi asas kepastian hukum harus memenuhi persyaratan adanya kekuasan lembaga peradilan yang merdeka (de is van onafhankelijkke rechtspraak). 9 B. Regulasi Pasar Modal Syariah Secara global, adanya pengembangan pasar modal menjadi pasar modal syariah merupakan desakan atas kebutuhan manajemen likuiditas lembaga keuangan syariah. Sepanjang tahun 1980-an hingga 1990-an, lembaga keuangan syariah mampu memobilisasi dana lewat deposito yang diinvestasikan pada berbagai instrumen keuangan yang masih sangat terbatas adanya dorongan pasar, kekurangan aset yang likuid, dan keterbatasan lainnya. Komposisi aset lembaga keuangan syariah hampir tidak berkembang dan lebih berfokus pada instrumen jangka pendek, hal ini mendorong perlunya penciptaan instrumen investasi syariah yang lebih luas. Kondisi ini mendorong meningkatnya permintaan terhadap instumen keuangan syariah baru dan mendorong rekayasa penciptaan instrumen investasi keuangan. 10 Pasar modal syariah berkembang mengikuti perkembangan industri perbankan syariah dan asuransi syariah. Pentingnya manajemen aset dan manajemen likuiditas pada kedua industri ini menimbulkan kebutuhan sumber dana dan produk investasi yang berbasis syariah, sehingga fenomena ini mendorong berkembangnya kegiatan pasar modal syariah. 11 Pasal 1 ayat (5) Fatwa DSN MUI Nomor 40/X/2003 menyebutkan bahwa pernyataan kesesuaian syariah adalah pernyataan tertulis yang dikeluarkan oleh Puslitbang Hukum dan Peradilan MA, Sinkronisasi Dan Harmonisasi Produk Regulasi Mahkamah Agung RI; Pengkajian Asas, Teori, Norma Dan Praktik (Bogor, 2010). 10 Andri Soemitra, Masa Depan Pasar Modal Syariah Di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2014). 11 Ibid. 9
302
Rekonstruksi Hukum Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Syariah: Penguatan Aspek Regulasi Untuk Memberikan Kepastian Hukum - Edi Hudiata
DSN MUI terhadap suatu Efek Syariah bahwa Efek tersebut sudah sesuai dengan Prinsip-prinsip Syariah, yaitu prinsip yang didasarkan atas ajaran Islam yang penetapannya dilakukan oleh DSN-MUI. Untuk menghindari kegiatan pasar modal yang tidak sesuai dengan prinsipprinsip syariah, perlu diperhatikan ketentuan Pasal 5 Fatwa DSN-MUI Nomor 40/X/2003 mengenai jenis transaksi yang dilarang, yaitu: 1. Pelaksanaan transaksi harus dilakukan menurut prinsip kehati-hatian serta tidak diperbolehkan melakukan spekulasi dan manipulasi yang di dalamnya mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan kezhaliman; 2. Transaksi yang mengandung unsur sebagaimana dimaksud ayat 1 di atas meliputi: a. Najsy, yaitu melakukan penawaran palsu; b. Bai’ alma’dum, yaitu melakukan penjualan atas barang (Efek Syariah) yang belum dimiliki (short selling); Berdasarkan roadmap yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, 12 pasar modal syariah di Indonesia telah berkembang selama dua dekade, yaitu dimulai sejak pertama kali diluncurkannya reksa dana syariah pada tahun 1997. Sejak saat itu, pasar modal syariah Indonesia terus tumbuh dan berkembang yang ditandai dengan semakin banyaknya produk syariah, diterbitkannya regulasi terkait pasar modal syariah, dan semakin bertambahnya masyarakat yang mengenal dan peduli pasar modal syariah. Produk syariah yang tersedia hingga akhir 2014 terdiri dari efek syariah berupa saham syariah, sukuk, reksa dana syariah, dan exchange traded funds (ETF) syariah, serta layanan syariah antara lain berupa online trading syariah. Dari sisi kerangka hukum, Indonesia telah memiliki regulasi pasar modal syariah yang diterbitkan oleh DSN-MUI. Setidaknya terdapat empat belas (14) fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSNMUI yang berhubungan dengan pasar modal syariah sejak tahun 2001, yaitu: 1) Fatwa Nomor 20/DSN-MUI/IX/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksadana Syariah; 2) Fatwa Nomor 32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah; 3) Fatwa Nomor 33/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah Mudharabah; 4) Fatwa Nomor 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal; 5) Fatwa Nomor 41/DSNMUI/III/2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah; 6) Fatwa Nomor 59/DSN-MUI/V/2007 “Roadmap Pasar Modal Syariah,” Otoritas Jasa Keuangan, last modified 2015, accessed October 1, 2015, www.ojk.go.id. 12
303
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 297 - 316
tentang Obligasi Syariah Mudharabah Konversi; 7) Fatwa Nomor 65/DSNMUI/III/2008 tentang Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) Syariah; 8) Fatwa Nomor 66/DSN-MUI/III/2008 tentang Waran Syariah; 9) Fatwa Nomor 69/DSNMUI/VI/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN); 10) Fatwa Nomor 70/DSN-MUI/VI/2008 tentang Metode Penerbitan SBSN; 11) Fatwa Nomor 71/DSNMUI/VI/2008 tentang Sale and Lease Back; 12) Fatwa Nomor 72/DSN-MUI/VI/2008 tentang SBSN Ijarah Sale and Lease Back; 13) Fatwa Nomor 76/DSN-MUI/VI/2010 tentang SBSN Ijarah Asset To Be Leased; 14) Fatwa Nomor 80/DSN-MUI/III/2011 tentang Penerapan Prinsip Syariah dalam Mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Reguler Bursa Efek. Fatwa DSN MUI berdasarkan hukum Indonesia bukan sebagai sumber hukum dalam hierarki peraturan perundang-undangan, maka fatwa DSN MUI tersebut perlu diintegrasikan kedalam peraturan Bapepam. Dalam proses selanjutnya, Bapepam dan LK (kini OJK) melakukan sinkronisasi dan harmonisasi fatwa DSN MUI tersebut kedalam aturan OJK lewat penerbitan aturan baru atau merevisi aturan yang sudah ada. 13 Peraturan terkait pasar modal syariah diterbitkan Bapepam pertama kali tahun 2006, yaitu Peraturan Nomor IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah dan Peraturan Nomor IX.A.14 tentang Akad-akad yang Digunakan dalam Penerbitan Efek Syariah. Selanjutnya pada tahun 2007 diterbitkan Peraturan Nomor II.K.1 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah. Dengan berkembangnya pasar modal syariah, Peraturan Nomor IX.A.13 dan Peraturan Nomor IX.A.14 mengalami penyempurnaan pada tahun 2009, dan pada tahun 2012 Peraturan Nomor II.K.1 juga disempurnakan. Selanjutnya pada tahun 2014, OJK kembali melakukan revisi atas Peraturan Nomor IX.A.13 dan menyusun rancangan peraturan terkait Ahli Syariah Pasar Modal. Penyempurnaan Peraturan Nomor IX.A.13 dilakukan dalam rangka memperjelas substansi aturan dan memberikan relaksasi bagi penerbitan efek syariah. Di samping itu, revisi Peraturan Nomor IX.A.13 membagi peraturan tersebut menjadi beberapa rancangan peraturan, yaitu rancangan peraturan yang terkait penerapan prinsip syariah di pasar modal, penerbitan saham syariah, sukuk, reksa dana syariah, dan efek beragun
Nasarudin, Irsan, and Surya Indra, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006). 13
304
Rekonstruksi Hukum Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Syariah: Penguatan Aspek Regulasi Untuk Memberikan Kepastian Hukum - Edi Hudiata
syariah. 14 OJK dalam ringkasan eksekutif, menyebutkan bahwa market share produk syariah di pasar modal masih relatif kecil, maka diperlukan strategi pengembangan yang terencana untuk mewujudkan pasar modal syariah, yang memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian nasional, berkeadilan, dan melindungi kepentingan masyarakat. 15 C. Kewenangan Peradilan Agama Dalam Sengketa Pasar Modal Syariah Salah satu peristiwa penting dalam sejarah Peradilan Agama adalah lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 (UU 3/2006) sebagai amandemen atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU 7/1989). Sebelumnya, Peradilan Agama berdasarkan UU 7/1989 berwenang menyelesaikan sengketa perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, dan sedekah. Dengan lahirnya UU 3/2006, kewenangan Peradilan Agama diperluas dalam keperdataan lainnya, bahkan khusus bagi Peradilan Agama/Mahkamah Syariah di Nangro Aceh Darussalam diberikan kewenangan menyelesaikan sengketa pidana/jinayah. Perluasan kewenangan Peradilan Agama dinyatakan dalam Pasal 2 UU 3/2006. Kata-kata “perkara-perkara tertentu” dalam pasal tersebut merupakan salah satu hasil perubahan dari kata-kata “perkara perdata tertentu” dalam Pasal 2 UU 7/1989. Makna dari perubahan tersebut adalah perluasan makna atas kewenangan absolut Peradilan Agama. Lahirnya UU 3/2006 dilandasi hal yang sama sebagaimana di atas, bahwa UU 7/1989 sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Dengan lahirnya UU 3/2006, ada beberapa hal yang menjadi titik tolak perkembangan kewenangan perubahan fundamental bagi Peradilan Agama. 16 Pertama, dihapuskannya hak opsi dalam penyelesaian perkara waris bagi yang beragama Islam. 17 Kedua, dalam Pasal 50 UU 3/2006 diatur bahwa jika terjadi sengketa hak milik atau sengketa keperdataan lainnya selama subjek hukumnya adalah orangorang Islam maka diselesaikan melalui Pengadilan Agama. Ketiga, diberlakukannya asas penundukan diri terhadap hukum Islam sebagai salah satu dasar kewenangan Peradilan Agama. Ada beberapa indikator untuk menentukan kewenangan Peradilan Soemitra, Masa Depan Pasar Modal Syariah Di Indonesia. “Roadmap Pasar Modal Syariah.” 16 Jenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia (Jakarta: Prenada Media Group, 2008). 17 Abdul Ghofur Anshori, Peradilan Agama Di Indonesia Pasca UU No. 3 Tahun 2006, Sejarah Kedudukan Dan Kewenangan (Yogyakarta: UII Press, 2007). 14 15
305
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 297 - 316
Agama, yaitu: pertama, agama yang dianut oleh kedua belah pihak saat terjadinya hukum adalah agama Islam, kedua, hubungan ikatan hukum yang mereka lakukan berdasarkan hukum Islam, jika salah satu atau keduanya tidak terpenuhi maka terhadap kedua belah pihak yang bersengketa tidak berlaku asas personalitas keislaman. 18 Dalam penjelasan Pasal 49 UU 3/2006 dikatakan bahwa yang dimaksud dengan "antara orang-orang yang beragama Islam" adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama. Ketentuan ini mengantisipasi jika dalam praktik pasar modal syariah ada keterlibatan non muslim, sehingga diperbolehkan baginya untuk tunduk terhadap hukum Islam. Perluasan ruang lingkup kewenangan Peradilan Agama, diatur dalam Pasal 49 UU 3/2006, yaitu di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah. Dari kesembilan kewenangan Peradilan Agama tersebut ada tiga yang merupakan kewenangan baru, diantaranya kewenangan menyelesaikan perkara zakat, infaq dan sengketa ekonomi syariah. Pasal 49 UU 3/2006, menyebutkan yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, meliputi; a. Bank syari’ah, b. Asuransi syariah, c. Reasuransi syari’ah, d. Reksadana syari’ah, e. Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, f. Sekuritas syari’ah, g. Pembiayaan syari’ah, h. Pegadaian syari’ah, i. Dana pensiun syari’ah, j. Bisnis syari’ah dan k. Lembaga keuangan mikro syari’ah. Dari ketentuan di atas, terdapat beberapa kegiatan ekonomi yang tersedia di pasar modal syariah seperti obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah. Secara yuridis Pasal 49 huruf (i) UU 3/2006 tersebut memberikan kewenangan absolut bagi Peradilan Agama untuk bisa menerima, mengadili dan memutuskan perkaraperkara pasar modal syari'ah sebagai bagian dari cabang muamalat keislaman. D. Konsepsi Penyelesaian Sengketa Perdata Dalam ranah hukum perdata, ketika terjadi sengketa terdapat beberapa pranata penyelesai sengketanya. Jika para pihak dapat menyelesaikan masalahnya dengan baik, maka tidak akan terjadi sengketa. Namun, bila para pihak tidak dapat mencapai
18
306
Ibid.
Rekonstruksi Hukum Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Syariah: Penguatan Aspek Regulasi Untuk Memberikan Kepastian Hukum - Edi Hudiata
kesepakatan mengenai solusi pemecahan masalahnya, maka akan timbul sengketa. Untuk menyelesaikan sengketa tersebut dapat dilakukan melalui beberapa cara. 19 Suyud Margono menyebutkan metode penyelesaian sengketa baik yang formal maupun nonformal yaitu: 1) Proses Ajudikasi (Adjudicative Processes) yang meliputi Litigasi dan Arbitrase;
2) Proses Konsensus (Consensus Processes) yang meliputi
Ombudsman, Pencari Fakta Bersifat Netral (Neutral Fact Finding), Negosiasi, Mediasi, dan Konsiliasi; 3) Proses Ajudikasi Semu (Quasi Adjudicative Processes) yang meliputi Mediasi-Arbitrase (Med-Arb), Persidangan Mini (Mini Trial), Pemeriksaan Juri Secara Sumir (Summary Jury Trial), dan Evaluasi Netral Secara Dini (Early Neutral Evaluation). 20 Rahmadi Usman juga menyebutkan penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui proses ajudikasi atau pun Alternative Dispute Resolution (ADR), Alternatif Penyelesaian Sengketa (APES), Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS), Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS), Penyelesaian Sengketa Secara Kooperatif (PSK), atau Pengelolaan Konflik secara Kooperatif (PKK). 21Ajudikasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan, sedangkan Alternative Dispute Resolution (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak yaitu penyelesaian di luar pengadilan. Dari pengertian Suyud Margono dan Rahmadi Usman, nampak bahwa arbitrase termasuk kedalam rumpun ajudikasi dimana pengertian ajudikasi itu sendiri adalah penyelesaian sengketa melalui lembaga pengadilan. Jika dikaitkan dengan UU 30/1999 yang menggunakan judul “Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa”, memang terdapat kerancuan. Di satu sisi, arbitrase digolongkan sebagai bagian dari rumpun ajudikasi. Namun, di sisi lain, arbitrase berdasarkan UU 30/1999 tersebut digolongkan kedalam Alternatif Penyelesaian Sengketa. UU 30/1999 menganut kombinasi dua aliran (combination of processes) yang dapat berdiri sendiri dan dapat merupakan bagian dari Alternatif Penyelesaian Sengketa atau disebut juga alternative to litigation. 22 Untuk Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003). 20 Suyud Margono, ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan Dan Aspek Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004). 21 Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan. 22 Sudargo Gautama, Undang-Undang Arbitrase Baru 1999 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999). 19
307
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 297 - 316
memudahkan penggolongan lembaga penyelesaian sengketa ini, penulis membagi lembaga penyelesaian sengketa di bidang hukum perdata kedalam lembaga litigasi dan lembaga non-litigasi: E. Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Syariah Melalui Litigasi Pengertian litigasi menurut Eisenber adalah “court and administrative proceedings, the most familiar process to lawyer, features a third party with power to imposed a solution upon the disputants. It usually produces a “win/lose” result.” 23 Lembaga litigasi merupakan sistem penyelesaian sengketa melalui peradilan yang akan diperiksa dan diputus oleh hakim sebagaimana diatur dalam UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Karakteristik penyelesaian sengketa melalui sistem litigasi adalah: prosesnya sangat formal, keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara (hakim), para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan, sifat keputusan memaksa dan mengikat (coercive and binding), orientasi kepada fakta hukum (mencari pihak yang bersalah), dan persidangan bersifat terbuka. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan di mata pelaku bisnis seringkali menimbulkan permasalahan, sehingga menjadi kekurangan bagi penyelesaian sengketa melalui lembaga litigasi tersebut yaitu: proses yang lama, tahapan penyelesaian yang lama dan panjang (tingkat pertama, banding, kasasi dan peninjauan kembali), biaya yang tinggi (legal cost), persidangan terbuka padahal dalam kegiatan bisnis kerahasiaan diutamakan, hakim yang kurang menguasai substansi permasalahan, adanya citra dunia peradilan di Indonesia yang tidak begitu baik. 24 Proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remidium) setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil. 25 Pendapat yang sama juga disampaikan Rachmadi Usman, bahwa selain melalui pengadilan (litigasi), penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan di luar pengadilan (non litigasi), yang lazim dinamakan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
26
Adapun pengadilan yang
Margono, ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan Dan Aspek Hukum. Moch Basarah, Prosedur Alternatif Penyelesaian Sengketa Arbitrase Tradisional Dan Modern (Online) (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011). 25 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa (Jakarta: Sinar Grafika, 2012). 26 Rachmadi Usman, “Prinsip Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Dalam Sistem Perbankan Syariah,” Jurnal Legitimitas Vol. !, no. 1 (2012): Hal. 8. 23 24
308
Rekonstruksi Hukum Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Syariah: Penguatan Aspek Regulasi Untuk Memberikan Kepastian Hukum - Edi Hudiata
memiliki kewenangan untuk memeriksa dan menyelesaikan sengketa di bidang hukum perdata adalah: 1.
2.
3.
Peradilan Umum Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UU 48/2009, Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara perdata dan pidana tingkat pertama. Peradilan Niaga Berdasarkan Pasal 280 UU 4/1998 tentang Perubahan atas Perpu Nomor 1 Tahun 1998, maka kompetensi Peradilan Niaga adalah untuk memeriksa dan memutuskan perkara-perkara: a. Permohonan pernyataan pailit; b. Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang; c. Perkara lain di bidang perniagaan yang dilakukan dengan Peraturan Pemerintah. Pengadilan Niaga juga berwenang menangani sengketa komersial lainnya seperti sengketa di bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan sengketa dalam proses likuidasi bank yang dilakukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Peradilan Agama Dalam UU 3/2006, Peradilan Agama berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang beragama islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah. Kegiatan ‘ekonomi syariah’ meliputi: bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah. 27
Dari ketiga lingkungan peradilan tersebut, yang secara spesifik ditunjuk dan diberi kewenangan oleh undang-undang untuk menyelesaikan sengketa pasar modal syariah adalah Pengadilan Agama. F. Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Syariah Melalui Non Litigasi Penyelesaian
sengketa
melalui
lembaga
nonlitigasi
merupakan
proses
penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Melalui lembaga ini para pihak dapat menghasilkan kesepakatan yang bersifat “win-win solution”, dijamin kerahasiaan sengketa para pihak, dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik. Umumnya dinamakan dengan Alternative Dispute Resolution (ADR). Penyelesaian melalui lembaga non litigasi ini, dapat dilakukan
Diana Kusumasari, “Lingkup Kewenangan Pengadilan Niaga,” last modified 2014, accessed July 1, 2014, http://www.hukumonline.com/. 27
309
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 297 - 316
dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli, atau melalui arbitrase sebagaimana maksud Pasal 1 ayat (10) UU 30/1999. 28 Jika para pihak yang bersengketa sudah melakukan upaya penyelesaian sesuai kesepakatan sebagaimana yang telah ditentukan dari awal baik melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli, namun di tengah-tengah penyelesaian menemukan kebuntuan dan ketidaksepahaman, maka barulah para pihak dapat mengajukan penyelesaian sengketanya kepada badan arbitrase. Oleh karena pasar modal syariah berdasarkan prinsip syariah, maka penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase melalui lembaga Badan Arbitrase Syariah Nasional. Menurut Muladi, penyelesaian sengketa melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan melalui litigasi, yaitu: 1) penyelesaian sengketanya dapat dilakukan dengan cara cepat; 2) penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan biaya murah; 3) tidak terikat dengan aturan hukum tertentu; 4) bersifat confidential; 5) atas dasar prinsip win-win solution; 6) lebih partisipatif; 7) dapat mengurangi penumpukan perkara di pengadilan tanpa mengurangi sifat profesionalisme. 29 Pasal 1 angka 1 UU 30/1999 menjelaskan pengertian arbitrase yaitu “cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersangkutan.” Dengan demikian, arbitrase merupakan kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter atau wasit. 30 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan arbitrase sebagai usaha perantara dalam meleraikan sengketa atau peradilan wasit. Orang yang disepakati oleh kedua belah pihak yang bersangkutan untuk memberikan keputusan yang akan ditaati oleh kedua belah pihak disebut arbiter. 31 R. Subekti mengartikan arbitrase sebagai penyelesaian sengketa atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan. Dailimi Firdaus, Prospek Law Enforcement Arbitrase Di Indonesia, Dalam Prospek Pelaksanaan Arbitrase Di Indoneia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001). 30 Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan. 31 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2007). 28 29
310
Rekonstruksi Hukum Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Syariah: Penguatan Aspek Regulasi Untuk Memberikan Kepastian Hukum - Edi Hudiata
hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut. 32 Berdasarkan batasan tersebut, maka arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa, di samping cara lainnya melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Adapun sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak atas dasar kata sepakat. 33 Di Indonesia, lembaga yang menyediakan jasa arbitrase, antara lain Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Muamalat Indonesia yang telah diubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), dan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia. 34 Selain penyelesaian sengketa menurut arbitrase sebagaimana disebut di atas, dalam UU 30/1999 juga dirumuskan penyelesaian sengketa melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 1 angka 10 UU 30/1999 menyebutkan “alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yaitu penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.” Berikut ini pengertian dari setiap lembaga penyelesaian sengketa melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut: 35 1.
2.
3.
Konsultasi Merupakan aktifitas konsultasi atau perundingan seperti klien dengan penasehat hukumnya, berbentuk menyewa konsultan untuk dimintai pendapatnya dalam upaya menyelesaikan suatu masalah. Konsultan hanya memberikan pendapat hukum yang nantinya dapat dijadikan rujukan para pihak untuk menyelesaikan sengketanya. Negosiasi Merupakan proses yang dilakukan oleh dua pihak dengan permintaan (kepentingan) yang saling bertentangan dengan membuat suatu persetujuan secara kompromis dan memberikan kelonggaran. Kesepakatan tertulis yang dihasilkan melalui negosiasi bersifat final dan mengikat para pihak dan wajib didaftarkan di pengadilan negeri dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak tanggal dicapainya kesepakatan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (7) dan ayat (8) UU 30/1999. Mediasi
R. Subekti, Arbitrase Perdagangan (Bandung: Binacipta Subekti, 1992). Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan. 34 Basarah, Prosedur Alternatif Penyelesaian Sengketa Arbitrase Tradisional Dan Modern (Online). 35 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama (Jakarta: Kencana, 2014). 32 33
311
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 297 - 316
4.
5.
Merupakan proses penyelesaian sengketa secara pribadi, informal dimana seorang pihak yang netral yaitu mediator, membantu para pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan. Mediator hanya berfungsi mengontrol proses negosiasi, mediator tidak membuat keputusan, dan mediator hanya memfasilitasi. Konsiliasi Merupakan upaya para pihak dalam suatu konflik, dengan bantuan seorang pihak ketiga netral (konsiliator), mengindentifikasikan masalah, menciptakan pilihan-pilihan, dan mempertimbangkan pilihan penyelesaian. Penilaian Ahli Merupakan proses yang menghasilkan suatu pendapat obyektif, independen dan tidak memihak atas fakta-fakta atau isu-isu yang dipersengketakan oleh seorang ahli yang ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa.
G. Batasan Kewenangan Peradilan Agama dalam Menangani Sengketa Pasar Modal Syariah Dari ketentuan Pasal 49 UU 3/2006 sebagaimana dipaparkan di atas, dapat dipahami bahwa kewenangan Pengadilan Agama di bidang pasar modal syariah baru sebatas pengertian bahwa pasar modal syariah merupakan bagian dari ekonomi syariah yang menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama. Ada empat hal yang dapat dikemukakan sebagai batas ruang lingkup dan jangkauan Pengadilan Agama di bidang perbankan syariah termasuk juga pasar modal syariah. 36 Keempat hal tersebut yaitu: 1.
2.
Kewenangan Meliputi Semua Perkara di Bidang Perdata Dari redaksi Pasal 49 UU 3/2006 ini dapat dipahami bahwa perkara atau sengketa yang menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama adalah perkara atau sengketa di bidang hukum perdata (private law) saja. Dengan demikian, dari ketiga bidang hukum yang mengatur aktivitas operasional pasar modal syariah (hukum perdata, hukum pidana dan hukum tata negara), hanya perkara atau sengketa di bidang hukum perdata saja yang termasuk dalam ruang lingkup kewenangan absolut Pengadilan Agama untuk mengadilinya. Kewenangan Meliputi Sengketa Antara Pihak Non-Islam Dalam Pasal 49 UU 3/2006 terdapat asas penundukkan diri terhadap hukum Islam. Maksud kalimat “antara orang-orang yang beragama Islam”, adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan peradilan agama sesuai ketentuan pasal ini. Dengan demikian, kewenangan Pengadilan Agama meliputi sengketa yang terjadi antara orang Islam dengan yang non-Islam, bahkan termasuk juga sengketa yang terjadi antara sesama non-Islam sekalipun, sepanjang
Cik Basir, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Di Pengadilan Agama Dan Mahkamah Syariah (Jakarta: Kencana, 2012). 36
312
Rekonstruksi Hukum Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Syariah: Penguatan Aspek Regulasi Untuk Memberikan Kepastian Hukum - Edi Hudiata
3.
4.
mereka menundukkan diri terhadap hukum Islam dalam hal yang menjadi kewenangan lingkungan peradilan agama tersebut. Tidak Menjangkau Klausula Arbitrase Kewenangan Pengadilan Agama dalam pasar modal syariah tidak menjangkau sengketa perjanjian yang di dalamnya terdapat klausula arbitrase. Pranata arbitrase merupakan pranata penyelesai sengketa di luar badan peradilan Negara yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk menyelesaikan perkara atau sengketa yang terjadi antara anggota masyarakat atas dasar perjanjian atau kesepakatan yang telah mereka buat sebelumnya dalam suatu perjanjian arbitrase. Kewenangan Meliputi Putusan Arbitrase Syariah Kewenangan Pengadilan Agama dalam bidang pasar modal syariah juga meliputi putusan arbitrase syariah. Kewenangan meliputi putusan arbitrase syariah ini tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan karena ketentuan aturan yang mengaturnya masih perlu dilakukan harmonisasi. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 59 ayat (1) UU 48/2009 yang menyatakan bahwa “yang dimaksud dengan arbitrase dalam ketentuan ini termasuk juga arbitrase syariah”. SEMA 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah dianggap bertentangan dengan UU 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 59 ayat (3), dan SEMA Nomor 8 Tahun 2008 tersebut telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh SEMA 8 Tahun 2010.
Berdasarkan ketentuan Pasal 59 ayat (1) UU 48/2009 ini, eksekusi atas putusan arbitrase syariah masih menjadi kewenangan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Padahal idealnya, agar suatu peraturan perundang-undangan dapat bekerja harmonis, maka kewenangan tersebut hendaknya juga menjadi kewenangan Pengadilan Agama bersamaan dengan kewenangan menyelesaikan sengketa di bidang pasar modal syariah. III. KESIMPULAN UU 8/1995 dan Fatwa DSN MUI yang dibentuk untuk mengatur pasar modal syariah, belum secara spesifik mengatur soal penyelesaian sengketa pasar modal syariah, baik secara litigasi maupun non litigasi. Dengan demikian, terdapat kekosongan hukum (leemten in het recht) dalam regulasi pasar modal syariah yang menimbulkan tidak adanya kepastian hukum. Dengan menggunakan prinsip penemuan hukum (rechtsvinding), melalui metode interpretasi sistematis dan logis, maka kekosongan hukum penyelesaian sengketa pasar modal syariah dirujuk kepada UU 3/2006 yang telah diubah menjadi UU 50/2009. Berdasarkan Pasal 49 huruf (i) UU 3/2006,
313
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 297 - 316
penyelesaian sengketa pasar modal syariah secara litigasi dilakukan oleh Pengadilan Agama. Adapun penyelesaian sengketa pasar modal syariah secara nonlitigasi dapat dilakukan melalui Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa yang meliputi konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli sebagaimana diatur UU 30/1999. Oleh karena pasar modal syariah berjalan berdasarkan prinsip syariah, maka lembaga arbitrase yang digunakan adalah Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Dalam rangka mendukung penguatan kerangka hukum dalam pengembangan pasar modal syariah, perlu dibentuk satu regulasi khusus berupa undangundang pasar modal syariah yang di dalamnya mengatur secara komprehensif dari ketentuan umum hingga penyelesaian sengketa dengan memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa secara litigasi. Dalam regulasi tersebut juga diatur mengenai penyelesaian sengketa pasar modal syariah secara non-litigasi dengan memberikan kewenangan kepada Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sebagai lembaga penyelesai sengketanya. Dengan demikian, persoalan kekosongan hukum mengenai penyelesaian sengketa pasar modal syariah mendapat kepastian hukum. IV. DAFTAR PUSTAKA Buku Abdul Ghofur Anshori. Peradilan Agama Di Indonesia Pasca UU No. 3 Tahun 2006, Sejarah Kedudukan Dan Kewenangan. Yogyakarta: UII Press, 2007. Basarah, Moch. Prosedur Alternatif Penyelesaian Sengketa Arbitrase Tradisional Dan Modern (Online). Yogyakarta: Genta Publishing, 2011. Basir, Cik. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Di Pengadilan Agama Dan Mahkamah Syariah. Jakarta: Kencana, 2012. Bernard Arief Sidharta. “Penelitian Hukum Normatif.” In Metode Penelitian Hukum: Konstelasi Dan Refleksi, Hal. 142. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003. Firdaus, Dailimi. Prospek Law Enforcement Arbitrase Di Indonesia, Dalam Prospek Pelaksanaan Arbitrase Di Indoneia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001. Gautama, Sudargo. Undang-Undang Arbitrase Baru 1999. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999. Hartono, and Sri Redjeki. Hukum Ekonomi Indonesia. Cet.2. Malang: Bayumedia Publishing, 2007. Jenal Aripin. Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group, 2008.
314
Rekonstruksi Hukum Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Syariah: Penguatan Aspek Regulasi Untuk Memberikan Kepastian Hukum - Edi Hudiata
Kusumasari, Diana. “Lingkup Kewenangan Pengadilan Niaga.” Last modified 2014. Accessed July 1, 2014. http://www.hukumonline.com/. Manan, Abdul. Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana, 2014. Margono, Suyud. ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan Dan Aspek Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004. Muhammad Abdulkadir. Hukum Dan Penelitian Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004. Muttaqien Dadan. “Politik Hukum Pemerintah Republik Indonesia Terhadap Perbankan Syariah Pasca Disahkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.” Jurnal Mimbar Hukum dan Peradilan, no. 70 (2010): 136. Nasarudin, Irsan, and Surya Indra. Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006. Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenada Media Group, 2009. Puslitbang Hukum dan Peradilan MA. Sinkronisasi Dan Harmonisasi Produk Regulasi Mahkamah Agung RI; Pengkajian Asas, Teori, Norma Dan Praktik. Bogor, 2010. R. Subekti. Arbitrase Perdagangan. Bandung: Binacipta Subekti, 1992. Satjipto Rahardjo. “Hukum Progresif (Penjelajahan Suatu Gagasan).” Majalah Hukum Newsletter Nomor 59. Jakarta, December 2004. Soemitra, Andri. Masa Depan Pasar Modal Syariah Di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Group, 2014. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2007. Usman, Rachmadi. Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003. ———. “Prinsip Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Dalam Sistem Perbankan Syariah.” Jurnal Legitimitas Vol. !, no. 1 (2012): Hal. 8. Winarta, Frans Hendra. Hukum Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Sinar Grafika, 2012. “Roadmap Pasar Modal Syariah.” Otoritas Jasa Keuangan. Last modified 2015. Accessed October 1, 2015. www.ojk.go.id. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
315
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 297 - 316
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Staatsblaad Nomor 23 Tahun 1847 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 40/ IX/ 2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal
316
WASIAT WAJIBAH SEBAGAI PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM PERKARA WARIS BEDA AGAMA (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 16 K/AG/2010) THE WAJIBAH WASIYAH AS A LEGAL INVENTION OF JUDGES IN INTERFAITH INHERITANCE (CASE STUDY DECREE OF SUPREME COURT NUMBER 16 K / AG / 2010) NURHADI ABDUL GANI Mahkamah Syar’iyah Sabang Jl. Yos Sudarso No. 101 Cot Ba’u, Kota Sabang, Aceh 23522 Email:
[email protected] Diterima : 04/01/2017
Revisi : 06/07/2017 Disetujui : 10/07/2017 DOI : 10.25216/JHP.6.2.2017.317-336
ABSTRAK Mayoritas dalam praktik pembagian waris di Pengadilan Agama bagi ahli waris beda agama, maka ahli waris yang nonmuslim tidak berhak atas harta warisan orang tuanya, putusan yang demikian bukanlah tanpa dasar yang kuat, memang ada dasarnya yang kuat yaitu sabda Nabi Muhammad SAW yang menyatakan: “Seorang muslim tidak mewarisi seorang kafir, dan seorang kafir juga tidak mewarisi seorang muslim”. Dalam penelitian ini akan mengulas dua rumusan masalah yaitu, apakah putusan MA tersebut merupakan sebuah terobosan hukum atau penemuan hukum dan apakah instrumen hukum pemberian hak waris bagi keluarga yang non muslim melalui wasiat wajibah dianggap sudah tepat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 K/AG/2010 dapat dianggap sebagai penemuan hukum dalam pembagian waris bagi ahli waris beda agama, dengan tidak melanggar ketentuan hadits tersebut. Instrumen yang digunakan dalam pembagian waris bagi non muslim pun sudah tepat yaitu dengan wasiat wajibah. Kata kunci: waris, wasiat wajibah, non muslim. ABSTRACT The majority practice of inheritance distribution in the Religious Courts for the heirs of different religions was the nonmuslim heirs are not entitled to the inheritance of their parents, such a verdict is not without a strong foundation, there is a strong basis utterance of Prophet Muhammad SAW which states: “muslim does not inherit a nonmuslim, and a nonmuslim also does not inherit a Muslim". In this research will review two problem formulas. Firstly, is the Supreme Court's decision a legal breakthrough or legal invention? Secondly, is the legal instrument of granting inheritance rights to nonmuslim
317
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 317 - 336
families through a wajibah wasiyah considered appropriate. The method used in this research is analytical descriptive. The results of the research indicate that the Supreme Court Decision Number 16 K/AG/2010 can be considered as legal invention in the division of inheritance for the heirs of different religions, without violating the hadith provisions. The instrument used in inheritance distribution toward nonmuslim is right with wajibah wasiyah. Keywords: inheritance, wajibah wasiyah, nonmuslim. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem kewarisan Islam, yang dikenal dengan ilmu waris atau ilmu faraid, sebagaimana terdapat dalam fikih Islam, sudah mengatur secara jelas dan rinci tentang harta waris, tata cara pembagian dan peralihan harta si pewaris kepada ahli waris, serta sebab-sebab yang menghalangi ahli waris untuk mendapatkan harta warisan (mawani’ alirts). 1 Dalam hukum kewarisan Islam ada ketentuan halangan untuk menerima warisan. Halangan untuk menerima warisan adalah hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan dari harta peninggalan si pewaris. Hal-hal yang dapat menghalangi tersebut yang disepakati para ulama ada tiga, yaitu: pembunuhan, berlainan agama, perbudakan dan yang tidak disepakati ulama adalah berlainan negara. 2 Ketentuan fikih mengenai mawani’ al-irts ternyata memberikan pengaruh terhadap produk hukum di Indonesia dalam bidang warisan. Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI), 3 sebagai satu-satunya “hukum positif” di Indonesia yang mengatur masalah waris, jelas-jelas mengadopsi ketentuan fikih tentang mawani’ al-irts. Meskipun Pasal 173 KHI tidak menyebutkan perbedaan agama sebagai penghalang untuk dapat mewarisi, namun Pasal 171 huruf b dan c KHI menyatakan bahwa pewaris dan ahli waris harus dalam keadaan beragama Islam. Hal ini menunjukkan bahwa apabila salah satunya tidak beragama Islam maka di antara keduanya tidak dapat saling mewarisi. 4
Ahmad Ali MD, “Argumen Wasiyat Wajibah Bagi Ahli Waris Non Muslim Sebagai Alternatif Mendapatkan Hak Waris,” Jurnal Mimbar Hukum dan Peradilan, no. No. 77 (2013): 61. 2 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, 4th ed. (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2014). 3 Kompilasi Hukum Islam diberlakukan/disebarluaskan berdasarkan Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991. 4 Ahmad Ali MD, “Argumen Wasiyat Wajibah Bagi Ahli Waris Non Muslim Sebagai Alternatif Mendapatkan Hak Waris.” 1
318
Wasiat Wajibah Sebagai Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perkara Waris Beda Agama (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 K/Ag/2010) – Nurhadi Abdul Gani
Peradilan Agama (Mahkamah Syar’iyah di Aceh) digolongkan ke dalam peradilan khusus karena mengadili perkara-perkara tertentu dan golongan rakyat tertentu. Sedangkan masyarakat Indonesia sangat majemuk yang tidak dapat dihindari dari persoalan penekan hukum yang berkeadilan bagi semua warga negara Indonesia terlepas dari agama, suku, dan budaya, sehingga tidak tertutup kemungkinan hubungan hukum yang terjadi antara para pihak yang berbeda agama. Perbedaan agama tersebut dapat terjadi ketika pewaris meninggal dalam keadaan beragama Islam (muslim), sementara para ahli waris ada yang beragama Islam (muslim) dan ada juga yang beragama nonIslam (non muslim), atau sebaliknya ketika pewaris non muslim, sementara para ahli waris ada yang muslim dan ada yang non muslim. 5 Salah satu perkara yang seperti itu adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 K/AG/2010, tanggal 30 April 2010, dimana kasus posisinya adalah: Pewaris bernama Muhammad Armaya bin Renreng, alias Armaya Renreng, beragama Islam yang meninggal pada tanggal 22 Mei 2008. Pewaris meninggalkan seorang Istri yang bernama Evie Lany Mosinta (Tergugat), beragama Kristen. Mereka menikah pada tanggal 1 November 1990, berdasarkan Kutipan Akta Perkawinan No. 57/K.PS/XI/1990. Dalam perkawinan Armaya Renreng (AR) dengan Evie Lany Mosinta (ELM), tidak dikaruniai keturunan. Dikarenakan ELM beragama Kristen, maka menurut Hukum Islam ia tidak termasuk ke dalam ahli waris AR. Jadi para ahli waris AR adalah: (1) Halimah Daeng Baji (Ibu Kandung); (2) Dra. Hj. Murnihat I binti Renreng, M.Kes. (Saudara Kandung); (3) Dra. Hj. Muliyahati binti Renreng, M.Si. (Saudara Kandung); (4) Djelitahati binti Renreng, SST. (Saudara Kandung); dan (5) Ir. Arsal bin Renreng (Saudara Kandung). Selain meninggalkan ahli waris, AR juga meninggalkan beberapa harta benda baik harta tidak bergerak maupun harta bergerak, yang diperoleh selama masa perkawinannya dengan ELM. Dan menurut hukum harta benda tersebut menjadi harta bersama antara AR dengan ELM, sehingga seluruh harta tetap dikuasi oleh ELM. Setelah berbagai upaya agar dibagi secara kekeluargaan namun tetap tidak berhasil, sehingga para ahli waris mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama Makassar untuk mengadakan pembagian atas harta bersama tersebut menurut hukum Islam. Pada tanggal 02 Maret 2009 Pengadilan 5 Muhamad Isna Wahyudi, “Penegakan Keadilan Dalam Kewarisan Beda Agama: Kajian Lima Penetapan Dan Dua Putusan Pengadilan Agama Dalam Perkara Waris Beda Agama,” Jurnal Yudisial Vol.8, no. 3 (2015): 270..
319
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 317 - 336
Agama (PA) Makassar menjatuhkan putusan Nomor 732/Pdt.G/2008/PA.Mks, yang pada pokoknya ELM hanya mendapat ½ bagian dari harta bersama dan tidak berhak menerima harta waris karena beragama Kristen. Putusan tersebut diajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Makassar, dan pada tanggal 15 Juli 2009 PTA Makassar menjatuhkan putusannya Nomor 59/Pdt.G/2009/PTA.Mks, yang pada pokoknya hanya memperkuat putusan PA Makassar. Terhadap putusan tersebut diajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), dan MA telah menjatuhkan putusannya dengan register Nomor 16 K/AG/2010, tanggal 30 April 2010, dengan pertimbangan judex facti salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut: -
-
-
Bahwa perkawinan pewaris dengan Pemohon Kasasi sudah cukup lama yaitu 18 tahun, berarti cukup lama pula Pemohon Kasasi mengabdikan diri pada pewaris, karena itu walaupun Pemohon Kasasi non muslim layak dan adil untuk memperoleh hak-haknya selaku istri untuk mendapat bagian dari harta peninggalan berupa wasiat wajibah serta bagian harta bersama sebagaimana yurisprudensi Mahkamah Agung dan sesuai rasa keadilan. Oleh karena itu putusan Pengadilan Tinggi Agama Makassar harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan pertimbangan sebagai berikut: Bahwa persoalan kedudukan ahli waris non muslim sudah banyak dikaji oleh kalangan ulama diantaranya ulama Yusuf Al-Qardhawi, menafsirkan bahwa orang-orang non-Islam yang hidup berdampingan dengan damai tidak dapat dikategorikan kafir harbi, demikian halnya pemohon kasasi bersama pewaris semasa hidup bergaul secara rukun damai meskipun berbeda keyakinan, karena itu patut dan layak Pemohon Kasasi memperoleh bagian dari harta peninggalan pewaris berupa wasiat wajibah. Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: ELM dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama Makassar Nomor 59/Pdt.G/2009/ PTA.Mks, yang menguatkan putusan Pengadilan Agama Makassar Nomor: 732/Pdt.G/2008/PA.Mks, tanggal 2 Maret 2009 M.
Putusan MA tersebut yang telah membatalkan semua putusan judex facti dengan memberikan hak waris kepada ELM melalui wasiat wajibah. Berdasarkan pemaparan tersebut, penulis akan mencoba untuk mengulas persoalan wasiat wajibah sebagai penemuan hukum oleh hakim dalam perkara beda agama (studi kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 K/AG/2010) dan argumentasi pemberian hak waris bagi keluarga yang non muslim melaui wasiat wajibah.
320
Wasiat Wajibah Sebagai Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perkara Waris Beda Agama (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 K/Ag/2010) – Nurhadi Abdul Gani
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1.
Apakah putusan MA tersebut merupakan sebuah terobosan hukum atau penemuan hukum?
2.
Bagaimana instrumen hukum pemberian hak waris bagi ahli waris yang nonmuslim?
C. Metode Penelitian Penelitian ini adalah bersifat deskriptif analitis. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian dilakukan dengan cara menganalisis hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder belaka yang lebih dikenal dengan nama bahan hukum sekunder dan bahan acuan dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum. Data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan antara lain meliputi bahan hukum primer seperti peraturan perundangundangan dan putusan pengadilan, bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang bersumber dari pendapat ilmiah para sarjana dan buku-buku literatur yang ada kaitannya dengan fokus dengan penelitian ini, dan bahan hukum tersier seperti kamus hukum, ensiklopedia, majalah, surat kabar, internet dan jurnal. Untuk analisis data penulis menggunakan metode analisis kualitatif. II. PEMBAHASAN A. Teori Mashlahah Guna menganalisis ratio legis Putusan MA Nomor 16 K/AG/2010 penulis memandang perlu mengemukakan teori mashlahah karena masalah harta sangat erat hubungannya dengan lima prinsip tujuan syari’at (maqashid syari’ah) yang lazim disebut mashlahah, dimana salah satu prinsipnya adalah untuk menjaga harta (hifz al-maal). Sejarah mencatat bahwa dalam fikih terdapat banyak aliran. Adapun sebab utama munculnya
aliran-aliran
tersebut
adalah
adanya
perbedaan
pendapat
dalam
menyelesaikan dan memahami dalil hukum itu sendiri. Meskipun demikian, namun para ulama sepakat bahwa hukum Islam dibentuk dalam rangka mewujudkan dan memelihara kemaslahatan manusia, baik secara individu maupun secara kolektif. Maslahat yang ingin diwujudkan adalah keseluruhan aspek kepentingan manusia. Maslahat berakar pada kata
321
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 317 - 336
as-sulh atau al-ishlah yang berarti damai dan tenteram. Damai berorientasi pada fisik. Sedangkan tenteram berorientasi pada psikis. 6 Dalam bahasa Arab mashlahah (jamaknya mashalih) merupakan sinonim dari kata manfaat dan lawan dari kata mafsadat (kerusakan). Secara majas, kata tersebut juga dapat digunakan untuk tindakan yang mengandung manfaat. Kata manfaat itu sendiri selalu
diartikan
dengan
ladzat
(rasa
enak)
dan
upaya
mendapatkan
atau
mempertahankannya. Dalam kajian syari’at, kata mashlahat dapat dipakai sebagai istilah untuk mengungkapkan pengertian yang khusus, meskipun tidak lepas dari arti aslinya. Sedangkan arti maslahat adalah menarik manfaat atau menolak mudharat. 7 Menurut Izzuddin bin Abdus Salam, mashlahah dan mafsadah sering dimaksudkan dengan baik dan buruk, manfaat dan madharat, bagus dan jelek, bermanfaat dan bagus sebab mashalah itu baik, sedangkan mafsadah itu semuanya buruk, membahayakan dan tidak baik bagi manusia. Pada bagian lain, Izzuddin juga mengemuakan pendapat bahwa mashlahah itu ada empat macam, yaitu kelezatan, sebabsebabnya atau sarananya, kesenangan dan sebab-sebabnya atau sarananya, sedangkan mafsadah juga ada empat macam, yaitu rasa sakit atau tidak enak, penyebabnya atau halhal yang menyebabkannya, rasa sedih dan penyebabnya atau hal-hal yang menyebabkannya. Sedangkan mashlahah ini secara epistemologi, diantaranya menurut AlKhawarizmi adalah memelihara tujuan hukum Islam dengan menolak bencana atau kerusakan yang merugikan diri makhluk manusia. Sebagaimana diketahui tujuan hukum Islam adalah untuk memelihara agama, akhlak, jiwa, dan keturunan. Tidak jauh berbeda dengan pendapat Al-Khawarizmi di atas, Al-Ghazali merumuskan mashlahah sebagai suatu tindakan memelihara tujuan syara’ atau tujuan hukum Islam, sedangkan tujuan hukum Islam menurut Al-Ghazali adalah memelihara lima hal di atas. Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara salah satu dari lima hal di atas disebut mashlahah, dan setiap hal yang meniadakannya disebut mafsadah, dan menolak mafsadah disebut mashlahah. 8 H.M. Nurul Irfan, Nasab Dan Status Anak Dalam Hukum Islam (Bandung: Amzah, 2015).. Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam Dalam Mazhab Syafi’i (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001).. 8 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia: Tinjauan Dari Aspek Metodologis, Legalisasi, Dan Yurisprudensi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007).. 6 7
322
Wasiat Wajibah Sebagai Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perkara Waris Beda Agama (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 K/Ag/2010) – Nurhadi Abdul Gani
B. Ketentuan Waris Beda Agama dalam Hukum Islam Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan paling utama dalam hukum Islam, telah memberikan ketentuan tentang warisan secara umum, namun tidak memberikan ketentuan mengenai waris beda agama. Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa, ayat 11, 12 dan 176:
ِ ﻳ ِﻆ ْاﻷُﻧـْ ﺜـَ ﻴَ ْﲔِ ۚ ﻓَﺈِ ْن ُﻛ ﱠﻦ ﻧِﺴ ﺎء ﻓـَ ﻮ َق ا ﺛـْ ﻨـَ ﺘَ ْﲔ ِّ أَو َﻻ دِﻛُ ْﻢ ۖ ﻟِﻠ ﱠﺬ َﻛ ﺮِ ِﻣ ﺜْﻞُ َﺣ ﻮﺻ ﻴ ﻜُ ﻢُ ﱠ ْ اﻪﻠﻟُ ِﰲ ُ ْ ً َ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ﻒ ۚ َو ِﻷَﺑـَ َﻮﻳْﻪ ﻟ ﻜُ ِﻞّ َواﺣ ﺪ ﻣ ﻨْـ ُﻬ َﻤ ﺎ ْ َﻓـَ ﻠَ ﻬُ ﱠﻦ ﺛـُﻠُﺜَﺎ ﻣَ ﺎ ﺗـَ َﺮ َك ۖ َو إ ْن َﻛ ﺎﻧ ُ ﺼ ْ ّﺖ َواﺣ َﺪ ةً ﻓـَ ﻠَ َﻬ ﺎ اﻟ ﻨ ِ ۚ اﻟ ﺴ ﺪ ِ ﺚ ُ ُس ﳑﱠﺎ ﺗـَ َﺮ َك إِ ْن َﻛ ﺎ َن ﻟَﻪُ َوﻟَ ٌﺪ ۚ ﻓَﺈِ ْن ﱂَْ ﻳَﻜُ ْﻦ ﻟَﻪُ َوﻟَ ٌﺪ َو َورِﺛَﻪُ أَﺑـَ َﻮاﻩُ ﻓَﻸُﻣِّ ﻪِ اﻟ ﺜـﱡ ﻠ ُ ُﱡ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ آﺎﺑ ُؤ ُﻛ ْﻢ ﻓَﺈِ ْن َﻛ ﺎ َن ﻟَﻪُ إِ ْﺧ َﻮةٌ ﻓَ ِﻸُﻣِّ ﻪِ اﻟ ﱡ ْ س ۚ ﻣ ْﻦ ﺑـَ ﻌْ ﺪ َوﺻ ﻴﱠﺔ ﻳُﻮﺻ ﻲ ﻬﺑَﺎ َ ۗ ٍأَو دَ ﻳْﻦ ُ ﺴ ُﺪ ِ ِ ﻴﻤ ﺎ ب ﻟَﻜُ ْﻢ ﻧـَ ْﻔ ﻌً ﺎ ۚ ﻓَﺮِﻳﻀَ ﺔً ِﻣ َﻦ ﱠ اﻪﻠﻟِ ۗ إِنﱠ ﱠ ُ َوأَﺑـْ ﻨَﺎ ُؤ ُﻛ ْﻢ َﻻ ﺗَ ْﺪ ُرو َن أَﻳـﱡ ُﻬ ْﻢ أَﻗـْ َﺮ ً ﻴﻤ ﺎ َﺣ ﻜ ً اﻪﻠﻟَ َﻛ ﺎ َن ﻋَ ﻠ
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anakanakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
ِ اﺟ ُﻜ ْﻢ إِ ْن َﱂْ ﻳَﻜُ ْﻦ َﳍُ ﱠﻦ َوﻟَ ٌﺪ ۚ ﻓَﺈِ ْن َﻛ ﺎ َن َﳍُ ﱠﻦ َوﻟَ ٌﺪ ﻓـَ ﻠَ ُﻜ ﻢُ اﻟ ﱡﺮﺑُﻊُ ِﳑﱠﺎ ْ ﻒ ﻣَ ﺎ ﺗـَ َﺮ َك ُ ﺼ ْ َوﻟَ ُﻜ ْﻢ ﻧ ُ أَز َو ِ ﻮﺻ ِ ِ ٍ ِ ِ أَو دَ ﻳْﻦٍ ۚ َو َﳍُ ﱠﻦ اﻟ ﱡﺮﺑُﻊُ ِﳑﱠﺎ ﺗـَ َﺮ ْﻛ ﺘُ ْﻢ إِ ْن َﱂْ ﻳَ ُﻜ ْﻦ ﻟَ ُﻜ ْﻢ َ ُﺗـَ َﺮ ْﻛ َﻦ ۚ ﻣ ْﻦ ﺑـَ ﻌْ ﺪ َو ﺻ ﻴﱠﺔ ﻳ ْ ﲔ ﻬﺑَﺎ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ٍأَو دَ ﻳْﻦ ْ ۗ َوﻟَ ٌﺪ ۚ ﻓَﺈ ْن َﻛ ﺎ َن ﻟَ ُﻜ ْﻢ َوﻟَ ٌﺪ ﻓـَ ﻠَ ُﻬ ﱠﻦ اﻟﺜﱡﻤُ ُﻦ ﳑﱠﺎ ﺗـَ َﺮ ْﻛ ﺘُ ْﻢ ۚ ﻣ ْﻦ ﺑـَ ﻌْ ﺪ َو ﺻ ﻴﱠ ﺔ ﺗُﻮﺻُ ﻮ َن ﻬﺑَﺎ ِ ِ ٍِ ِ س ُ ﻮر ٌ أُﺧ ْ أَو ْ ٌث َﻛ َﻼ ﻟَﺔً أَوِ ْاﻣ َﺮأَةٌ َوﻟَﻪُ أَخ َ ُۚ َوإ ْن َﻛ ﺎ َن َرﺟُ ﻞٌ ﻳ ُ ﺖ ﻓَﻠ ﻜُ ِﻞّ َواﺣ ﺪ ﻣ ﻨْـ ُﻬ َﻤ ﺎ اﻟ ﺴﱡ ُﺪ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ٍأَو دَ ﻳْﻦ َ ﻓَﺈِ ْن َﻛ ﺎﻧُﻮا أَ ْﻛ ﺜـَ َﺮ ِﻣ ْﻦ ذَٰ ﻟ ْ ﻚ ﻓـَ ﻬُ ْﻢ ﺷُ َﺮَﻛ ﺎءُ ِﰲ اﻟ ﺜـﱡ ﻠُﺚ ۚ ﻣ ْﻦ ﺑـَ ﻌْ ﺪ َو ﺻ ﻴﱠ ﺔ ﻳُﻮﺻَ ٰﻰ ﻬﺑَﺎ ِ ِ اﻪﻠﻟِ ۗ و ﱠ ِ ِ ٍ ﻏَ ﲑ ﻣ ﻀ ّ َ ُ َْ ٌاﻪﻠﻟُ ﻋَ ﻠ ﻴﻢٌ َﺣ ﻠ ﻴﻢ َ ﺎر ۚ َو ﺻ ﻴﱠﺔً ﻣ َﻦ ﱠ
Artinya: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istriistrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Istri-istrimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang323
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 317 - 336
hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masingmasing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.
ﺖ ﻓـَ ﻠَ َﻬ ﺎ ﻚ ﻗُ ِﻞ ﱠ َ َاﻪﻠﻟُ ﻳـُ ْﻔ ﺘِ ﻴ ُﻜ ْﻢ ِﰲ ا ﻟْ َﻜ َﻼ ﻟَﺔِ ۚ إِ ِن ْاﻣ ُﺮ ٌؤ َﻫ ﻠ َ َﻳَ ْﺴ ﺘـَ ْﻔ ﺘُﻮﻧ ٌ أُﺧ ْ ُﺲ ﻟَﻪُ َوﻟَ ٌﺪ َوﻟَﻪ َ ْﻚ ﻟَﻴ ِ َﻧِﺼ ﻒ ﻣ ﺎ ﺗـَ ﺮ َك ۚ وﻫ ﻮ ﻳ ﺮِﺛـُﻬ ﺎ إِ ْن َﱂ ﻳ ُﻜ ﻦ َﳍ ﺎ وﻟَ ٌﺪ ۚ ﻓَﺈِ ْن َﻛ ﺎ ﻧـَ ﺘَ ﺎ ا ﺛـْ ﻨـَ ﺘَ ﲔِ ﻓـَ ﻠَ ﻬ ﻤ ﺎ اﻟ ﺜـﱡ ﻠُﺜ ﺎن ِﳑﱠﺎ ْ َ َ ََُ َ َ ُ ْ َُ َ َ ْ َْ ِ ً ﺗـَ ﺮ َك ۚ و إِ ْن َﻛ ﺎﻧُﻮا إِﺧ ﻮةً رِﺟ اﻪﻠﻟُ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ِّ ﺴ ﺎءً ﻓَﻠِ ﻠ ﱠﺬ َﻛ ﺮِ ِﻣ ﺜْﻞُ َﺣ ﻆ ْاﻷُﻧـْ ﺜـَ ﻴَ ْﲔِ ۗ ﻳـُ ﺒَ ِّﲔُ ﱠ َ َْ َ َ َ ﺎﻻ َوﻧ ٍ ِ ِ َأَ ْن ﺗ ِ ﻀ ﻠﱡﻮا ۗ و ﱠ ٌاﻪﻠﻟُ ﺑ ﻜُ ِﻞّ َﺷ ْﻲ ء ﻋَ ﻠ ﻴﻢ َ
Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudarasaudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Dalam ayat-ayat waris tersebut, Al-Qur’an tidak membedakan antara orang (ahli waris) yang muslim dan non muslim, yang merdeka maupun budak, yang membunuh dengan sengaja maupun yang tidak membunuh. Penjelasan dan perincian tentang warisan di atas justru terdapat dalam Sunnah, sumber utama kedua dalam hukum Islam, karena Sunnah berfungsi sebagai bayan (penjelas) bagi Al-Qur’an. Penjelasan mengenai waris beda agama antara lain terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: ُ ﻻَ ﯾَ ِﺮ ﺴ ِﻠ َﻢ ْ ﺴ ِﻠ ُﻢ اﻟﻜَﺎﻓِ َﺮ َوﻻَ اﻟﻜَﺎﻓِ ُﺮ اﻟ ُﻤ ْ ث اﻟ ُﻤ Artinya: “Seorang muslim tidak mewarisi seorang kafir, dan seorang kafir juga tidak mewarisi seorang Muslim.” (Muttafaq Alaih) 9
Abdullah Ismail al-Bukhari, Al-Jami Shahih Al-Musnad Min Hadits Rasulillah Wa Sunanih Wa Ayamih, Juz IV. (Kairo: Maktabah As-Salafiyah, n.d.). 9
324
Wasiat Wajibah Sebagai Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perkara Waris Beda Agama (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 K/Ag/2010) – Nurhadi Abdul Gani
Hadits ini berkualitas shahih karena diriwayatkan oleh al-Syaikhani (Bukhari dan Muslim) dan termasuk Muttafaq Alaih (yang disepakati oleh keduanya, yakni hadits yang di-takhrij-kan oleh keduanya secara bersama-sama dari jalan satu sahabat), yaitu Usamah bin Zaid. Berdasarkan hadits tersebut, jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa seorang muslim tidak dapat mewarisi dari orang kafir, dan begitu juga sebaliknya, seorang kafir tidak bisa mewarisi dari seorang muslim.10 Selain berdasarkan hadits tersebut, jumhur juga mendasarkan pendapatnya pada ayat yang bersifat umum yaitu: QS. An-Nisa, ayat 141.
ِﱠ اﻪﻠﻟِ ﻗَﺎﻟُﻮا أَ َﱂْ ﻧَﻜُ ْﻦ ﻣَ ﻌَ ﻜُ ْﻢ َو إِ ْن ﻳﻦ ﻳَ َﱰَﺑﱠﺼُ ﻮ َن ﺑِﻜُ ْﻢ ﻓَﺈِ ْن َﻛ ﺎ َن ﻟَﻜُ ْﻢ ﻓـَ ﺘْ ﺢٌ ِﻣ َﻦ ﱠ َ اﻟ ﺬ ِ ِ ِِ ِ ِ ﲔ ۚ ﻓَ ﱠ َ ﻴﺐ ﻗَﺎ ﻟُﻮا أَ َﱂْ ﻧَ ْﺴ ﺘَ ْﺤ ﻮِذْ ﻋَ ﻠَ ﻴْ ﻜُ ْﻢ َوﳕَْﻨـَ ﻌْ ﻜُ ْﻢ ﻣ َﻦ ا ﻟْ ُﻤ ْﺆﻣ ﻨ ٌ ﻳﻦ ﻧَﺼ َ َِﻛ ﺎ َن ﻟ ﻠْ َﻜ ﺎﻓ ﺮ ُﺎﻪﻠﻟُ َﳛْ ﻜُ ﻢ ِ ِ ﺑ ـ ﻴ ـ ﻨ ﻜُ ﻢ ﻳـ ﻮم ا ﻟْﻘِ ﻴ ﺎﻣ ﺔِ ۗ وﻟَﻦ َﳚ ﻌ ﻞ ﱠ ِِ ﻴﻼ ً ِﲔ َﺳ ﺒ َ ﻳﻦ ﻋَ ﻠَ ﻰ ا ﻟْ ُﻤ ْﺆﻣ ﻨ َ ِاﻪﻠﻟُ ﻟ ﻠْ َﻜ ﺎﻓ ﺮ َ َ ْ ْ َ َ َ َ َْ ْ ََْ
Artinya: (yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi Keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. C. Ketentuan Waris Beda Agama dalam Kompilasi Hukum Islam Agama menjadi tumpuan dalam mewujudkan kehidupan keadilan dan pembinaan moral dalam rangka menciptakan kehidupan yang penuh keseimbangan, yang dapat mengendalikan dampak-dampak yang dibawa kemajuan jaman. Dalam Islam terdapat seperangkat nilai yang disebut dengan hukum Islam (fiqh), yang merupakan manifestasi praktis nilai-nilai moral yang menjadi tujuan syariat. Menurut hukum positif tentang kewarisan Islam yang diatur dalam KHI pada Pasal 171 disebutkan untuk dapat mewarisi antara lain ahli waris dan pewaris harus beragama Islam, mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. 11 Hal ini menunjukkan bahwa apabila salah satunya tidak beragama Islam maka di antara
10 Ahmad Ali MD, “Argumen Wasiyat Wajibah Bagi Ahli Waris Non Muslim Sebagai Alternatif Mendapatkan Hak Waris.” 11 Muhamad Isna Wahyudi, “Penegakan Keadilan Dalam Kewarisan Beda Agama: Kajian Lima Penetapan Dan Dua Putusan Pengadilan Agama Dalam Perkara Waris Beda Agama.”
325
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 317 - 336
keduanya tidak dapat saling mewarisi. Menurut Mukti Arto, 12 Pasal ini merupakan penegasan asas keislaman. Ketentuan Pasal 171 KHI tersebut mempertegas hadits Rasulullah SAW tersebut di atas. Dengan demikian hadits Rasulullah SAW tersebut yang selama ini statusnya di hadapan hukum Indonesia adalah sebagai hukum normatif, tetapi setelah dirumuskan menjadi pasal dalam KHI maka kedudukannya menjadi hukum positif di Indonesia. 13 D. Wasiat Wajibah Sebagai Solusi Dan Sebagai Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perkara Waris Beda Agama Dalam praktek di Peradilan Agama, seorang ahli waris non muslim dapat memperoleh bagian dari harta warisan yang pewarisnya muslim melalui wasiat wajibah, sejak lahirnya putusan MA Nomor 368 K/AG/1995, tanggal 16 Juli 1998. Dalam putusan tersebut, seorang anak kandung perempuan yang non-muslim mendapat bagian warisan dari orang tuanya yang muslim melalui wasiat wajibah sebesar bagian ahli waris seorang anak perempuan. 14 Menurut Ahmad Rofiq, wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa, atau memberi putusan wajib wasiat bagi seorang yang telah meninggal dunia, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. 15 Fatchur Rahman menyebut hal itu sebagai wasiat wajibah karena dua hal, yaitu: 16 a. b.
Hilangnya unsur ikhtiar bagi si pemberi wasiat dan munculnya unsur kewajiban melalui pandangan atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan si penerima wasiat. Ada kemiripannya dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam hal penerimaan laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.
Adapun alasan non muslim mendapat hak waris dari pewaris yang muslim melalui wasiat wajibah dengan landasan pemikiran sebagai berikut:
A. Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, 1st ed. (Solo: Balqis Queen, 2009). 13 M. Anshary MK, Hukum Kewarisan Islam Dalam Teori Dan Praktik, 1st ed. (Yogyakarta: Pustaka Pelaja, 2013).. 14 Muhamad Isna Wahyudi, “Penegakan Keadilan Dalam Kewarisan Beda Agama: Kajian Lima Penetapan Dan Dua Putusan Pengadilan Agama Dalam Perkara Waris Beda Agama.” 15 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Revisi. (Jakarta: Rajawali Pers, 2013). 16 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, 2nd ed. (Bandung: Al-Ma’arif, 1981). 12
326
Wasiat Wajibah Sebagai Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perkara Waris Beda Agama (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 K/Ag/2010) – Nurhadi Abdul Gani
1.
Perbedaan Pendapat Dalam Memahami Ayat Dan Hadits Tentang Wasiat Surah al-Baqarah ayat 180 berbunyi
ِ ِ ِ ِ ِ ﲔ َ ِت إِ ْن ﺗـَ َﺮ َك َﺧ ْﲑًا ا ﻟْ َﻮﺻ ﻴﱠﺔُ ﻟ ﻠْ َﻮاﻟ َﺪ ﻳْﻦِ َو ْاﻷَﻗـْ َﺮﺑ ُ أَﺣ َﺪﻛُ ﻢُ ا ﻟْ َﻤ ْﻮ َ ﺐ ﻋَ ﻠَ ﻴْ ﻜُ ْﻢ إ ذَ ا َﺣ ﻀَ َﺮ َ ﻛُ ﺘ ِ ِ ﲔ َ ِﺎﺑ ﻟْ َﻤ ﻌْ ُﺮوف ۖ َﺣ ﻘًّﺎ ﻋَ ﻠَ ﻰ ا ﻟْ ُﻤ ﺘﱠﻘ
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tandatanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat ayat tersebut telah dimansukh (diralat) oleh ayat-ayat waris. Pendapat mereka juga didukung oleh hadits shahih yang berbunyi: ٍ أ َ َﻻ َﻻ َو ِﺻﯿﱠﺔَ ِﻟ َﻮ ِار،ُﻖ َﺣﻘﱠﮫ ث إِنﱠ ﱠ ٍ ّ �َ ﻗَ ْﺪ أ َ ْﻋ َﻄﻰ ُﻛ ﱠﻞ ذِي َﺣ Artinya: “Sesungguhnya Allah memberikan kepada yang berhak haknya, maka ketahuilah tidak ada wasiat kepada ahli waris”. (HR. Ibnu Majah) 17 Karena itu menurut mereka, berwasiat itu tidak wajib lagi hukumnya, melainkan sunah dan hal itu tidak diperbolehkan berwasiat kepada ahli waris. 18 Meskipun demikian, ulama dari kalangan Syafi’iyah, Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan berwasiat untuk mereka yang tidak beragama Islam (nun muslim) baik kafir harbi maupun orang murtad dengan syarat orang tersebut tidak memerangi umat Islam, jika tidak demikian maka wasiatnya batal, tidak sah. Alasan pembolehan wasiat tersebut karena qiyas (analogi), yakni dipersamakan hukumnya dengan kebolehan hibah dan sedekah kepada mereka. Dengan dasarnya surat Al-Mumtahanah ayat 8, artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”, dan diperkuat dengan suatu riwayat bahwa Nabi SAW memberi izin Asma binti Abu Bakar memberi wasiat kepada ibunya, dan Nabi SAW juga memberi izin kepada Umar untuk memberikan pakaian kepada saudaranya yang musyrik di Mekah. 19
Abu Abdullah Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, 1st ed. (Riyadh: Bait Al-Afkar Ad-Dauliyah, n.d.). M. Anshary MK, Hukum Kewarisan Islam Dalam Teori Dan Praktik. 19 Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, Juz VIII. (Suriyah: Dar al-Fikr, 1985). Lihat juga, M. Anshary MK, Hukum Kewarisan Islam Dalam Teori Dan Praktik.. 17 18
327
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 317 - 336
Pendapat minoritas ulama, diantaranya Ibn Hazm Az-Zhahiri 20, At-Thabari dan Abu Bakar bin Abdul Aziz dari mazhab Hambali dan Rasyid Ridha 21 mengatakan bahwa orang tua maupun kerabat yang tidak mewarisi, salah satunya disebabkan tidak beragama Islam (non muslim), wajib diberi wasiat. Apabila seorang muslim sewaktu hidupnya tidak berwasiat, maka ahli waris atau wali yang mengurus wasiat harus melaksanakan wasiat tersebut. Dengan demikian, kewajiban berwasiat tidak hanya bersifat diyani (religi), melainkan juga bersifat qadha’i, artinya tidak hanya sebagai tanggung jawab seseorang dalam melaksanakan perintah agama (berwasiat), akan tetapi juga dapat dipaksakan oleh negara (otoritas) yang berwenang apabila ia lalai melaksanakannya karena menyangkut kepentingan masyarakat. 22 Masih menurut mereka, kewajiban berwasiat bagi setiap muslim didasarkan pada surah Al-Baqarah ayat 180 sebagaimana telah disebutkan diatas, dan hadits yang berbunyi: 23 َﯾ ِﺒﯿﺖُ ﻟَ ْﯿﻠَﺘَﯿ ِْﻦ ِإ ﱠﻻ َو َو ِﺻ ﱠﯿﺘُﮫُ َﻣ ْﻜﺘ ُﻮ َﺑﺔٌ ِﻋ ْﻨﺪَه،ﻮﺻﻲ ِﻓﯿ ِﮫ ْ َﻣﺎ ﺣَﻖﱡ ا ْﻣ ِﺮ ٍئ ُﻣ ِ ُﺴ ِﻠ ٍﻢ ﻟَﮫُ ﺷ َْﻲ ٌء ﯾ Artinya: “Tidak ada hak seorang muslim yang memiliki wasiat, ia bermalam selama 2 (dua) malam, kecuali wasiatnya sudah tertulis disisinya”. (HR. Muslim) Dalam riwayat yang lain terdapat tambahan bahwa Ibnu Umar berkata: ﺳﻠﱠ َﻢ ﻗَﺎ َل ذَ ِﻟﻚَ إِ ﱠﻻ َو ِﻋ ْﻨﺪِي َو ِﺻﯿﱠﺘِﻲ َ ُﺻﻠﱠﻰ ﷲ َ َْﻣﺎ َﻣ ﱠﺮت َ ِﺳﻮ َل ﷲ َ ﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َ ُﻋﻠَ ﱠﻲ ﻟَ ْﯿﻠَﺔٌ ُﻣ ْﻨﺬ ُ ﺳ ِﻤ ْﻌﺖُ َر Artinya: “Aku tidak melewati suatu malam pun semenjak saya mendengar sabda Nabi SAW tersebut, kecuali aku sudah mempersiapkan wasiatku”. (HR. Muslim) Menurut mayoritas ulama lafal “kutiba” dalam surah al-Baqarah ayat 180 tersebut tidak menunjukkan kepada wajib lagi, tetapi beralih menjadi sunnah, karena ayat tersebut telah dimansukh oleh ayat waris, dan berwasiat itu pun bukan kepada ahli waris, sebagaimana telah dilarang dalam hadits tersebut. Kecuali wasiat yang berkaitan dengan hak Allah dan hak hamba seperti zakat, kafarat dan hutang yang belum dibayar tetap wajib hukumnya. Sedangkan menurut minoritas ulama, ayat tersebut tetap berlaku, artinya
20 21
1947).
Abu Muhammad Ibn Hazm, Al-Muhalla, Juz IX. (Kairo: Al-Muniriyah, n.d.). Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Qur’an Al-Hakim, 2nd ed. (Kairo: Dar al-Manar,
22 Ahmad Ali MD, op.cit, hal. 69. Lihat juga, M. Anshary MK, op.cit, hal. 95-96; Wahbah AzZuhaili, op.cit, hal. 122. 23 Abu Fadl Iyadh/Qadhi Iyadh, Ikmal al-Mu’lim bi Fawaid Muslim, (Munawarah: Dar al-Wafa, 1998), Juz V, Cet. ke-1, hal. 360-361.
328
Wasiat Wajibah Sebagai Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perkara Waris Beda Agama (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 K/Ag/2010) – Nurhadi Abdul Gani
berwasiat tetap wajib yang dikhususkan bagi orang tua dan kerabat yang tidak mewarisi karena berbagai hal diantaranya karena perbedaan agama (non muslim). Dalam hal ini MA lebih memilih pendapat ulama yang minoritas tersebut karena hanya untuk menciptakan kemaslahatan bagi keluarga besar yang bersangkutan dan keadilan bagi ahli waris yang non muslim. 2.
Orang Munafiq, Murtad Dan Dzimmi Boleh Menerima Wasiat Menurut Azhar Basyir, berlainan agama antara pewaris dan ahli waris termasuk
penghalang kewarisan, tetapi apabila yang berlainan agama antara suami dan istri, misalnya suami beragama Islam sedangkan istri beragama Kristen maka suami atau istri tersebut setelah salah satunya meninggal dunia dapat menikmati harta benda peninggalannya. Hal ini dapat dilakukan melalui wasiat. 24 M. Thoha Abdurrahman menjelaskan bahwa bagi kerabat-kerabat yang tidak mendapat harta warisan karena mereka terhalang atau ada yang lebih utama dari mereka, dapat mewarisi harta pewarisnya walaupun pewaris tidak membuat wasiat. Maka dalam hal ini, penguasa dapat menganggap dengan putusan hakim bahwa wasiat itu telah dilakukan oleh pewarisnya, yang disebut dengan wasiat wajibah. 25 Ada ulama yang berpendapat, diantaranya pengikut mazhab Hanafi, tentang hadis Nabi SAW yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid, yang berbunyi: “Seorang muslim tidak mewarisi seorang kafir, dan seorang kafir juga tidak mewarisi seorang Muslim”, dapat dita’wil dengan hadits yang berbunyi: “Seorang muslim tidak dibunuh hanya karena membunuh orang kafir”, yang dimaksud orang kafir adalah kafir harbi, maka seorang muslim tidak boleh memberikan warisan kepada seorang harbi yang benar-benar memerangi orang-orang muslim karena keterputusan ikatan antara keduanya dalam hak waris, hanya dikhususkan bagi kafir harbi saja, sedangkan bagi munafiq, murtad dan dzimmi tidak berlaku. 26 Kemudian mengenai wasiat, adanya wasiat tidak lain adalah demi terwujudnya tujuan wasiat itu sendiri yang di antaranya untuk menghindari terjadinya perampasan hak seorang ahli waris oleh ahli waris yang lain. Disamping itu untuk tercapainya tujuan Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam (Yogyakarta: UII Press, 1990). M. Thoha Abdurrahman, Pembahasan Waris Dan Wasiat Menurut Hukum Islam (Yogyakarta: Sumbangsih, 1976). 26 Yusuf al-Qaradawî, Fiqh Minoritas: Fatwa Kontemporer Terhadap Kehidupan Kaum Muslimin Di Tengah Masyarakat Non Muslim, ed. Adillah Obid, Terjemahan. (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004). 24 25
329
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 317 - 336
syari’at itu sendiri, yaitu syari’at bersendi dan berasas atas hikmah dan kemaslahatan manusia dalam hidupnya di dunia dan akhirat. Syari’at adalah keadilan, rahmat dan kasih sayang, kemaslahatan dan kebijaksanaan, setiap persoalan yang menyimpang dari keadilan menuju keaniayaan, keluar menyimpang dari kasih sayang menuju kebencian, keluar menyimpang dari kemaslahatan menuju kerusakan, keluar menyimpang dari kebijaksanaan menuju kesia-sian, bukanlah syari’at walau bagaimanapun penafsirannya. Syari’at adalah keadilan Allah ditengah-tengah hambanya, kasih sayang di antara makhluk-makhluknya. 27 3.
Secara Filosofis Yuridis Untuk Menciptakan Keadilan Dengan adanya wasiat kepada kerabat non muslim merupakan suatu pembaharuan
hukum waris Islam di Indonesia. Hal ini didukung oleh landasan hukum dalam pengakuan bahwa ayat-ayat wasiat dalam Al-Qur’an sebenarnya tidak dihapus oleh ayat-ayat waris, setidak-tidaknya sejauh menyangkut sanak keluarga dekat yang tersisihkan dari hak waris atau menurut pendapat tertentu dari kalangan fuqaha salaf melakukan wasiat semacam itu masih diakui sebagai kewajiban dan apabila tidak dilakukan maka hakim perlu mencarikan upaya hukum lain untuk melakukannya dan penguasa berhak menentukan, tuntutan-tuntutan mana di antaranya yang harus didahulukan. 28 Putusan hakim berdasarkan ijtihadnya haruslah senantiasa mempertimbangkan kemaslahatan umat. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqhiyah yang menyatakan: 29 ﺼﻠَ َﺤ ِﺔ َ ف اْ ِﻹ َﻣ ِﺎم ْ ﻠﻰ اﻟ ﱡﺮ ْﻋ َﯿ ِﺔ َﻣﻨُ ْﻮ ٌط ِﺑﺎ ْﻟ َﻤ َ َﺗ ُ ﺼ ﱡﺮ َ ﻋ Artinya: “Kebijakan pemimpin/pemerintah kepada rakyatnya berorientasi kepada kemaslahatan”. Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus berorientasi kepada kemaslahatan rakyat, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya atau keinginan keluarganya atau kelompoknya. Setiap kebijakan yang maslahat dan manfaat bagi rakyat
27
1996).
Ahmad Azhar Basyir, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam (Yogyakarta: UII Press,
28 J.N.D. Anderson, Hukum Islam Di Dunia Modern, ed. A. Machnun Husain, terjemahan. (Surabaya: Amar Press, 1990). 29 Jalaluddin Abdur Raman As-Suyuti, Al-Asybah Wa an-Nazâir Fi Al-Furu (Beirut: Dar al-Fikr, 1995).
330
Wasiat Wajibah Sebagai Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perkara Waris Beda Agama (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 K/Ag/2010) – Nurhadi Abdul Gani
maka itulah yang harus direncanakan dan dilaksanakan. Sebaliknya, kebijakan yang mendatangkan mafsadat dan mudarat bagi rakyat itulah yang harus ditinggalkan. 30 Fungsi MA memang tidak hanya menciptakan kesatuan dan keseragaman penerapan hukum tapi juga untuk menciptakan, mengembangkan dan menyesuaikan hukum sesuai dengan kebutuhan masyarakat dengan menggunakan metode interpretasi yang beragam. Hal ini selaras dengan kaidah fiqhiyah: 31 ْ ﺗ َﻐَﯿﱡ ُﺮاْﻷ َﺣْ َﻜ ِﺎم َو ت َواْﻟﻌَ َﻮاﺋِ ِﺪ ِ ﺐ ﺗ َﻐَ ﱡﯿ ِﺮاْﻷَ ْز ِﻣﻨَ ِﺔ َواْﻷ َ ْﻣ ِﻜﻨَ ِﺔ َواْﻷ َﺣْ َﻮا ِل َواﻟﻨِّﯿَﺎ ْ اﺧﺘِ َﻼﻓُ َﮭﺎ ِﺑ َﺤ ِ ﺴ Artinya: “Perubahan hukum dan perbedaannya sesuai perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat kebiasaan”. Kaidah ini tidak boleh dipahami bahwasanya hukum Islam tidak mempunyai suatu nilai yang tetap yang dapat dipahami secara baku, namun dari kaidah ini justru dapat diambil pengertian bahwa hukum Islam memiliki prinsip-prinsip yang luas yang dapat diinterpretasikan. 32 Hal tersebut meniscayakan MA sebagai lembaga yang harus memelihara hukum yang berlaku agar tetap berjalan seirama dengan rasa kesadaran hukum dan citra masyarakat. 33 Disamping itu, hal tersebut juga bisa dilakukan sebagai langkah dari pengembangan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Dalam penjelasannya dinyatakan, dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dikalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. 34
A. Jazuli, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis, 1st ed. (Jakarta: Kencana, 2006). 31 Jalaluddin Abdur Raman As-Suyuti, Al-Asybah Wa an-Nazâir Fi Al-Furu. 32 Harun M. Husain, Kasasi Sebagai Upaya Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 1992). 33 Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan Dan Prospeknya (Jakarta: Gema Insani Press, 1996). 34 Zainal Abidin Abubakar, Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, 3rd ed. (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, n.d.). 30
331
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 317 - 336
Dalam kaidah fiqhiyah ada sebuah ungkapan bahwa: 35 ف ِ ْﺴﺎﺋِ ِﻞ اْ ِﻹﺟْ ﺘِ َﮭﺎ ِد َﯾ ْﺮﻓَ ُﻊ ا ِ ﻟﺨ َﻼ َ ُﺣ ْﻜ ُﻢ اْﻟ َﺤﺎ ِﻛ ِﻢ ﻓِﻲ َﻣ Artinya: “Hukum yang diputuskan oleh hakim dalam masalah-masalah ijtihad menghilangkan perbedaan pendapat”. Maksud kaidah tersebut adalah apabila seorang hakim menghadapi perbedaan pendapat dikalangan ulama, kemudian ia mentarjih (menguatkan) salah satu pendapat diantara pendapat-pendapat ulama tersebut, maka bagi orang-orang yang berperkara tidak bisa menolak keputusan hakim tersebut dengan alasan ada pendapat lain yang berbeda dengan hasil ijtihad hakim. Sudah barang tentu, keputusan yang tidak boleh ditentang bukan tanpa syarat, yaitu tidak boleh keluar dari prinsip-prinsip syari’ah, seperti kemaslahatan dan keadilan. 36 Oleh karena itu dalam perspektif filosofis, dengan menggunakan teori maqashid as-syari’ah, pemberian wasiat wajibah kepada ahli waris yang non muslim dapat dibenarkan dan sejalan dengan prinsip-prinsip Islam yang mendasar, yakni prinsip kesetaraan, prinsip kebebasan memeluk agama, persaudaraan, keadilan, disamping prinsip kemaslahatan, yaitu dapat menimbulkan hubungan yang harmonis antara pemeluk agama yang berbeda. 37 4.
Perluasan Makna Pasal 209 KHI Dalam Pasal 209 KHI, lembaga wasiat wajibah secara tegas diakui dan digunakan
untuk memberikan bagian harta warisan kepada anak angkat dan orang tua angkat yang tidak menerima wasiat. Berdasarkan ketentuan Pasal 209 KHI, hakim dapat menggunakan metode penemuan hukum argumentum per analogiam, untuk memperluas keberlakuan wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim. Dalam hal ini, antara anak angkat dengan ahli waris non muslim sama-sama terhalang mendapatkan harta warisan, namun keduanya sama-sama memiliki ikatan kekeluargaan dengan pewaris. Adanya kesamaan illat (rasio legis) berupa ikatan kekeluargaan inilah digunakan untuk menerapkan wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim.
A. Jazuli, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis.. Ibid. 37 Ahmad Ali MD, “Argumen Wasiyat Wajibah Bagi Ahli Waris Non Muslim Sebagai Alternatif Mendapatkan Hak Waris.” 35 36
332
Wasiat Wajibah Sebagai Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perkara Waris Beda Agama (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 K/Ag/2010) – Nurhadi Abdul Gani
Dengan memperluas keberlakuan wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim melalui metode argumentum per analogiam, putusan hakim tidak bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku, yang menurut Pasal 171 huruf b dan c KHI menentukan adanya kesamaan agama antara pewaris dan ahli waris. Pertimbangan hakim dalam hal ini lebih merupakan kompromi untuk dapat memberikan keadilan kepada ahli waris non muslim tanpa harus menentang sistem hukum yang berlaku. 38 5.
Adanya Yurisprudensi Tetap Yurisprudensi dimaksud adalah Putusan MA Nomor 368 K/AG/1995, tanggal 06
Juli 1998 dan Putusan MA Nomor 51 K/AG/1999, tanggal 29 September 1999. Putusan ini merupakan satu terobosan hukum yang penting dalam studi kewarisan Islam, terkait kasus waris beda agama. Wasiat wajibah ini dilakukan oleh hakim atas dasar kemaslahatan karena ahli waris non muslim itu sangat membutuhkannya, sedangkan pewaris ketika masih hidupnya tidak pernah dirugikan oleh ahli waris yang non muslim itu. Porsi warisan bagi ahli waris non muslim melalui wasiat wajibah tersebut kadarnya adalah sama dengan ahli waris muslim yang lainnya dengan batasan tidak lebih dari 1/3 harta warisan. 39 Meskipun dalam pertimbangan hukum pada 2 putusan MA tersebut tidak tampak landasan hukumnya, namun jika ditelusuri kedua putusan tersebut sejalan dengan pemikiran Ibn Hazm. 40 Yurisprudensi ini kemudian dijadikan landasan hukum bagi hakim-hakim
pengadilan
agama
seperti
Penetapan
PA
Surabaya
Nomor
473/Pdt.P/2010/PA.Sby, Penetapan PA Jakarta Utara Nomor 84/Pdt.P/2012/PA.JU, Penetapan PA Surabaya Nomor 262/Pdt.P/PA.Sby, Putusan PA Kabanjahe Nomor 2/Pdt.G/2011/PA.Kbj, dan Putusan PA Surabaya Nomor 3321/Pdt.G/2010/PA.Sby. III. PENUTUP Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 K/AG/2010 merupakan terobosan hukum atau penemuan hukum dalam pembagian harta waris bagi ahli waris non muslim, karena selama ini mayoritas dalam praktik pembagian waris di Pengadilan Agama bagi ahli waris beda agama, ahli waris yang non muslim tidak berhak atas harta warisan orang tuanya Muhamad Isna Wahyudi, “Penegakan Keadilan Dalam Kewarisan Beda Agama: Kajian Lima Penetapan Dan Dua Putusan Pengadilan Agama Dalam Perkara Waris Beda Agama.”. 39 Ahmad Ali MD, “Argumen Wasiyat Wajibah Bagi Ahli Waris Non Muslim Sebagai Alternatif Mendapatkan Hak Waris.” 40 Ibid. 38
333
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 317 - 336
yang beragama Islam, dengan mendasarkan pertimbangan pada sabda Nabi Muhammad SAW yang menyatakan: “Seorang muslim tidak mewarisi seorang kafir, dan seorang kafir juga tidak mewarisi seorang muslim”, sehingga putusan tersebut dianggap kurang mencerminkan rasa keadilan bagi ahli waris yang non muslim tersebut. Putusan tersebut berusaha memberikan rasa keadilan dengan memberikan penafsiran terhadap nash-nash syar’i yang berkaitan dengan hak waris bagi ahli waris yang beda agama sehingga ia mendapat harta waris dari orang suaminya yang beragama Islam. Instrumen hukum dalam pemberian hak waris melalui wasiat wajibah merupakan instrumen yang tepat karena tidak melanggar nash-nash syar’i yang berkaitan dengan hak waris. Meskipun instrumen ini digagas oleh mazhab minoritas, namun dalam mengaktualisasikan hukum Islam di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang pluralistis dalam berbagai bidang sosial, budaya, hukum dan agama instrumen hukum yang demikian dimaksudkan agar hukum Islam tidak kehilangan karakternya sebagai hukum yang membawa keadilan, rahmat, kebijaksanaan dan kemaslahatan. IV. DAFTAR PUSTAKA A. Jazuli. Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis. 1st ed. Jakarta: Kencana, 2006. A. Mukti Arto. Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam. 1st ed. Solo: Balqis Queen, 2009. Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia. 4th ed. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2014. ———. Reformasi Hukum Islam Di Indonesia: Tinjauan Dari Aspek Metodologis, Legalisasi, Dan Yurisprudensi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007. Abdullah Ismail al-Bukhari. Al-Jami Shahih Al-Musnad Min Hadits Rasulillah Wa Sunanih Wa Ayamih. Juz IV. Kairo: Maktabah As-Salafiyah, n.d. Abu Abdullah Ibn Majah. Sunan Ibn Majah. 1st ed. Riyadh: Bait Al-Afkar Ad-Dauliyah, n.d. Abu Muhammad Ibn Hazm. Al-Muhalla. Juz IX. Kairo: Al-Muniriyah, n.d. Ahmad Ali MD. “Argumen Wasiyat Wajibah Bagi Ahli Waris Non Muslim Sebagai Alternatif Mendapatkan Hak Waris.” Jurnal Mimbar Hukum dan Peradilan, no. No. 77 (2013): 61. Ahmad Azhar Basyir. Hukum Waris Islam. Yogyakarta: UII Press, 1990. ———. Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press, 1996. Ahmad Rofiq. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Revisi. Jakarta: Rajawali Pers, 2013. Bustanul Arifin. Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan Dan
334
Wasiat Wajibah Sebagai Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perkara Waris Beda Agama (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 K/Ag/2010) – Nurhadi Abdul Gani
Prospeknya. Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Fatchur Rahman. Ilmu Waris. 2nd ed. Bandung: Al-Ma’arif, 1981. H.M. Nurul Irfan. Nasab Dan Status Anak Dalam Hukum Islam. Bandung: Amzah, 2015. Harun M. Husain. Kasasi Sebagai Upaya Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 1992. J.N.D. Anderson. Hukum Islam Di Dunia Modern. Edited by A. Machnun Husain. Terjemahan. Surabaya: Amar Press, 1990. Jalaluddin Abdur Raman As-Suyuti. Al-Asybah Wa an-Nazâir Fi Al-Furu. Beirut: Dar alFikr, 1995. Lahmuddin Nasution. Pembaruan Hukum Islam Dalam Mazhab Syafi’i. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001. M. Anshary MK. Hukum Kewarisan Islam Dalam Teori Dan Praktik. 1st ed. Yogyakarta: Pustaka Pelaja, 2013. M. Thoha Abdurrahman. Pembahasan Waris Dan Wasiat Menurut Hukum Islam. Yogyakarta: Sumbangsih, 1976. Muhamad Isna Wahyudi. “Penegakan Keadilan Dalam Kewarisan Beda Agama: Kajian Lima Penetapan Dan Dua Putusan Pengadilan Agama Dalam Perkara Waris Beda Agama.” Jurnal Yudisial Vol.8, no. 3 (2015): 270. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha. Tafsir Al-Qur’an Al-Hakim. 2nd ed. Kairo: Dar alManar, 1947. Wahbah Az-Zuhaili. Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh. Juz VIII. Suriyah: Dar al-Fikr, 1985. Yusuf al-Qaradawî. Fiqh Minoritas: Fatwa Kontemporer Terhadap Kehidupan Kaum Muslimin Di Tengah Masyarakat Non Muslim. Edited by Adillah Obid. Terjemahan. Jakarta: Zikrul Hakim, 2004. Zainal Abidin Abubakar. Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama. 3rd ed. Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, n.d.
335
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 317 - 336
336
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 pISSN 2303-3274, eISSN 2528-1100
BIOGRAFI PENULIS Muhammad Ridwansyah, S.H., M.H. Penulis lahir di Aceh Tenggara, Kutacane, (15 Juli 1992). Penulis menyelesaikan S1 di Fakultas Syari’ah dan Hukum di UIN ArRaniry. Kemudian melanjutkan S2 di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Konsentrasi Hukum Tata Negara. Untuk korespondensi dapat menghubungi penulis di email:
[email protected].
Rocky Marbun, S.H., M.H. Penulis yang lahir di Balikpapan-Kalimantan Timur, tanggal 26 Juni 1976 menamatkan Sarjana Hukum pada Universitas Jayabaya pada Tahun 2005, dan menyelesaikan pendidikan Magister Hukum di Pascasarjana Universitas Jayabaya pada Tahun 2007. Saat ini penulis sedang menyelesaikan pendidikan Program Doktoral (S3) Ilmu Hukum di Universitas Jayabaya. Penulis bekerja sebagai Dosen/Staff Pengajar Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Pancasila (UP) Jakarta. Penulis aktif dalam menulis artikel di beberapa jurnal nasional, serta beberapa kali pernah diminta menjadi Saksi Ahli Hukum Pidana. Untuk korespondensi dapat menghubungi penulis di email:
[email protected]. Afrianto Sagita, S.H., M.H. Penulis lahir di Gambok, 05 April 1986. Penulis menamatkan studi strata 1 dengan konsentrasi Sistem Peradilan Pidana pada Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat pada Tahun 2008. Menyelesaikan studi strata 2 dengan konsentrasi Hukum Pidana dari Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat pada Tahun 2015. Saat ini penulis aktif sebagai Dosen Tetap pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Penulis juga menjabat sebagai Ketua Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Disamping itu, penulis juga seorang Advokat yang tergabung dalam Induk Organisasi Advokat PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia). Saat ini penulis juga berperan aktif di Lembaga Konsultasi & Bantuan Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta sebagai Koordinator Litigasi Perdata. Untuk korespondensi dapat menghubungi penulis di email:
[email protected]
Yosua Hamonangan Sihombing, S.H., M.H. menyelesaikan studi strata 1 konsentrasi Sistem Peradilan Pidana di Universitas Andalas dan melanjutkan studi Magister Hukum konsentrasi Hukum Pidana di Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Saat ini penulis aktif sebagai advokat di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas 17 Agustus 1945. Untuk korespondensi dapat menghubungi penulis di e-mail:
[email protected]
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 pISSN 2303-3274, eISSN 2528-1100
Muhammad Ishar Helmi, S.H., M.H. Lahir di Belitang 3 September 1990 Sekadau Kalimantan Barat. Menyelesaikan Sarjana Syariah di FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2013), kemudian menyelesaikan pendidikan magisternya di Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, dalam bidang Hukum Pidana. Saat ini penulis aktif sebagai staf pengajar muda (Dosen) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan sebagai peneliti pada Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi Nasional (POSKOLEGNAS) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Untuk korespondensi dapat menghubungi penulis di email:
[email protected]
Riko Hendra Pilo, S.H. Penulis lahir di desa Sotol 23 Juni 1990 Pelalawan, Riau. Menempuh pendidikan SD di desa kelahirannya yang diselesaikan pada tahun 2003, melanjutkan sekolah di pondok Pesantren Darul Hikmah Pekanbaru, selesai pada tahun 2009, dan melanjutkan kuliah di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan mengambil jurusan ilmu hukum dengan keahlian hukum kelembagaan negara pada fakultas Syariah dan hukum. Dan sekarang aktif sebagai advokat pada kantor advokat Pello Indra Buana - Gusdianto - Prayitno. Kubang jaya Siak hulu Kampar, Riau. Untuk korespondensi dapat menghubungi penulis di email:
[email protected]
Dr. Oksidelfa Yanto, S.H., M.H. Penulis memperoleh gelar Doktor dalam bidang Ilmu Hukum pada Universitas Jayabaya Jakarta tahun 2015. Saat ini menjadi dosen tetap pada Fakultas Hukum dan Magister Ilmu Hukum Universitas PamulangTangerang, Banten. Menjadi Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Pamulang tahun 2013-2016. Asisten Wakil Rektor III Universitas Pamulang, tahun 2013. Saat ini Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Pamulang. Untuk korespondensi dapat menghubungi penulis di email:
[email protected] Dr. Fitri Wahyuni, S.H., M.H. Penulis lahir di Pangean, 16 Mei 1986. Penulis telah menamatkan S1, S2 dan S3 di Universitas Andalas dalam bidang Ilmu Hukum. Saat ini penulis merupakan dosen di Fakultas Hukum Universitas Islam Indragiri Riau. Penulis aktif dalam kegiatan penelitian, pengabdian masyarakat dan penulisan artikel ilmiah. Untuk korespondensi dapat menghubungi penulis di email:
[email protected]. Edi Hudiata, Lc. M.H. Penulis lahir di Serang Banten 26 Agustus 1983. Menyelesaikan S1 di Fakultas Syariah Islamiyah dan Perundang-Undangan Universitas Al-Azhar Cairo (2006). Kemudian S2 di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin (2014). Saat ini bertugas sebagai hakim PA Banjarbaru Wilayah Hukum PTA Banjarmasin. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected]
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 pISSN 2303-3274, eISSN 2528-1100
Nurhadi Abdul Gani, S.H., M.H. Penulis lahir di Serpong Kabupaten Tangerang, 27 Juni 1980, adalah lulusan Fakultas Syari’ah dan Hukum, Jurusan Jinayah Siyasah (Pidana Islam), UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta tahun 2005, dan pada tahun 2015 baru dapat melanjutkan pendidikan S2 Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe sampai dengan sekarang. Sejak April 2016sekarang, penulis ditugaskan di Mahkamah Syar’iyah Sabang, Kota Sabang. Beberapa karya tulisnya adalah: Sejarah Fikih Islam (Terjemahan) (Pustaka AlKautsar, 2003); Bunga Rampai: Independensi Peradilan dan Imunitas Yudisial Hakim yang Terancam (Varia Peradilan, 2013); Sebuah Bunga Rampai: Mengapa Bukti Surat di Muka Pengadilan Harus Bermeterai (Mimbar Hukum dan Peradilan, 2013). Untuk korespondensi dapat menghubungi penulis di email:
[email protected]
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 pISSN 2303-3274, eISSN 2528-1100
Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 pISSN 2303-3274, eISSN 2528-1100
PEDOMAN PENULISAN JURNAL
Jurnal Hukum dan Peradilan Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI Jurnal Hukum dan Peradilan merupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI. Jurnal ini diterbitkan 3 (tiga) nomor dalam setahun pada bulan Maret, Juli dan November. Jurnal Hukum dan Peradilan menerima naskah dalam lingkup bidang Hukum dan Peradilan yang belum pernah dipublikasikan di media lain dengan memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. Naskah dikirim dalam bentuk karya tulis ilmiah seperti hasil penelitian, analisis/tinjauan putusan peradilan, kajian teori, studi kepustakaan atau gagasan kritis konseptual yang bersifat obyektif, sistematis, analitis, dan deskriptif. 2.
Naskah yang dikirimkan harus orisinal dengan melampirkan pernyataan keorisinalan naskah oleh penulis.
3.
Naskah dapat ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris yang akan diproses secara e-journal melalui website jurnalhukumdanperadilan.org.
4.
Semua proses dalam rangka penerbitan jurnal ini tidak dikenakan biaya.
5.
Penulisan menggunakan standar bahasa yang baku, lugas, sederhana, mudah dipahami dan tidak mengandung makna ganda.
6.
Naskah akan melalui tahapan penilaian (review) yang dilakukan oleh tim penyunting dan mitra bestari (reviewer). Rapat Redaksi akan menentukan diterbitkan atau tidaknya naskah dalam Jurnal Hukum dan Peradilan. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Hukum dan Peradilan berhak mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut.
7.
Naskah dikirim dalam bentuk file dokumen dengan panjang naskah keseluruhan termasuk catatan kaki (footnote) berkisar antara 3.500-6.000 kata. Naskah harus disertai abstrak dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan panjang tulisan 200-250 kata.
8.
Sistematika penulisan hasil penelitian meliputi: Judul Naskah, Identitas Penulis (Nama Penulis, Nama Instansi Penulis, Alamat Instansi dan email), Abstrak (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris) dengan outline sebagai berikut:
Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 pISSN 2303-3274, eISSN 2528-1100
I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Metode Penelitian II. PEMBAHASAN III. KESIMPULAN IV. DAFTAR PUSTAKA
9.
Sistematika penulisan analisis putusan, kajian teori, studi kepustakaan atau gagasan kritis konseptual meliputi: Judul Naskah, Identitas Penulis (Nama Penulis, Nama Instansi Penulis, Alamat Instansi dan email), Abstrak (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris), dengan outline sebagai berikut: I. PENDAHULUAN II. PEMBAHASAN III. KESIMPULAN IV. DAFTAR PUSTAKA
10. Penulisan kutipan menggunakan model catatan kaki (footnote) mengikuti Turabian Style 8th edition. Penulisan catatan kaki (footnote) memanfaatkan aplikasi manajemen referensi (reference management) seperti Mendeley, Zotero, dan Endnote dengan contoh gaya penulisan sebagai berikut: Buku
Bagir Manan, Pertumbuhan Dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara (Bandung: Mandar Maju, 1995). Hlm. 30 Jurnal Moh Mahfud MD, “Titik Singgung Wewenang Antara MA Dan MK,” Jurnal Hukum dan Peradilan 4, no. 1 (2015): 1–16. Hlm. 15 Peraturan Perundang-undangan Republik Indoensia. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73. Majalah/Berita Bagir Manan, “Peranan Pedoman Tingkah Laku Hakim Sebagai Penjaga Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka,” Majalah Hukum Varia Peradilan vol. 24 no. 282 (Jakarta, May 2009). Internet Hukumonline, “PERADI, HKHPM dan AKHI Surati Ketua MA Soal Sumpah Advokat,” Berita, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5731d94e12b88/ peradi--hkhpm-dan-akhi-surati-ketua-ma-soal-sumpah-advokat. diakses pada tanggal 11 Mei 2016
Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 pISSN 2303-3274, eISSN 2528-1100
11. Daftar pustaka yang dirujuk hendaknya dari edisi paling mutakhir. Penulisan daftar pustaka disusun secara alfabetis mengikuti Turabian style 8th edition. Penyusunan daftar pustaka dilakukan dengan memanfaatkan aplikasi manajemen referensi (reference management) seperti Mendeley, Zotero, dan Endnote. Penyusunan daftar pustaka mengikuti ketentuan dengan contoh sebagai berikut: Buku
Manan, Bagir. “Peranan Pedoman Tingkah Laku Hakim Sebagai Penjaga Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka.” Majalah Hukum Varia Peradilan vol. 24 no. 282. Jakarta, May 2009.
Jurnal
MD, Moh Mahfud. “Titik Singgung Wewenang Antara MA Dan MK.” Jurnal Hukum dan Peradilan 4, no. 1 (2015): 1–16.
Peraturan Perundang-undangan Republik Indoensia. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73. Majalah/Berita
Manan, Bagir. Pertumbuhan Dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara. Bandung: Mandar Maju, 1995.
Internet Hukumonline, “PERADI, HKHPM dan AKHI Surati Ketua MA Soal Sumpah Advokat” http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5731d94e12b88/peradi-hkhpm-dan-akhi-surati-ketua-ma-soal-sumpah-advokat (diakses pada tanggal 11 Mei 2016) 12. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Redaksi Jurnal Hukum dan Peradilan pada kontak berikut: Redaksi Jurnal Hukum dan Peradilan Puslitbang MA RI Gedung Sekretariat Mahkamah Agung RI Jl. Jend. A. Yani Kav. 58 Lt. 10 Cempaka Putih Jakarta Pusat 10510 Tlp/fax: (021) 29079286 Website: www.jurnalhukumdanperadilan.org Email:
[email protected] atau
[email protected] 13. Naskah yang tidak memenuhi format ketentuan di atas tidak akan diproses dan
dikembalikan kepada penulis. Kepastian atas penolakan naskah akan diberitahukan kepada penulis. Prioritas pemuatan artikel didasarkan pada penilaian substansi dan urutan naskah yang masuk ke Redaksi Jurnal Hukum dan Peradilan.
Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 pISSN 2303-3274, eISSN 2528-1100
Jurnal Hukum dan Peradilan Menyampaikan terima kasih kepada para mitra bestari (reviewer) dan semua pihak yang telah membantu penerbitan jurnal ini. Volume 6 Nomor 2, Juli 2017