EDITORIAL SUSUNAN REDAKSI JURNAL KEPERAWATAN JIWA Pembina: H. Edy Wuryanto S.Kp., M.Kep Penasehat: H. Edy Soesanto, S.Kp., M.Kes. Arwani, S.KM, MN. Pimpinan Umum: M. Fatkhul Mubin, M.Kep., Sp. Kep. Jiwa Pimpinan Redaksi: Abdul Wakhid, M.Kep., Ns, Sp. Kep. J Sekretaris: Desy Aryana, M.Kep. Bendahara: Budiasih, S.Kp Mitra Bestari: Wahyu Eko Wati, M.Kep., Sp. Kep. Jiwa Heni Windarwati, M.Kep., Sp. Kep. Jiwa Tantri W. U., M.Kep., Sp. Kep. Jiwa Alamat Redaksi: PPNI Jawa Tengah Jl Yos Sudarso 47 - 49 Ungaran Telp. 024 76913574 Email:
[email protected]
PENGANTAR REDAKSI Jurnal Keperawatan PPNI Provinsi Jawa Tengah (JKPPNI-Jateng) merupakan salah satu publikasi ilmiah yang memiliki reputasi secara nasional bagi kalangan perawat di Indonesia. JKPPNI-Jateng saat ini telah terbit yang ke 2 yang pada edisi ini memuat artikelartikel terbaru dari peneliti-peneliti keperawatan di Indonesia. Hasil penelitian pada edisi ini merupakan perkembangan ilmu yang up-to-date sehingga sangat mendukung terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang kita ketahui berkembang secara militan dan pesat. Hasil penelitian pada artikel ini memiliki beberapa terobosan yang perlu di cermati oleh berbagai pihak sehingga akan mendukung program pembangunan kesehatan di Indonesia dalam rangka pencapaian target Millenium Development Goals pada tahun 2015. Semoga hasil-hasil penelitian yang disajikan pada edisi JKPPNI-Jateng kali ini akan dapat senantiasa menambah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan di Indonesia. Kami mengharapkan masukan, saran dari berbagai pihak untuk kesempurnaan penerbitan pada JKPPNI-Jateng yang akan datang. Salam Redaksi
DAFTAR ISI
HAL
1. MANAJEMEN KASUS SPESIALIS JIWA DEFISIT PERAWATAN DIRI PADA KLIEN GANGGUAN JIWA DI RW 02 DAN RW 12 KELURAHAN BARANANGSIANG KECAMATAN BOGOR TIMUR Dwi Heppy Rochmawati, Budi Anna Keliat, Ice Yulia .......................................................... 107-120 2. PENINGKATAN KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL (KOGNITIF, AFEKTIF DAN PERILAKU) MELALUI PENERAPAN TERAPI PERILAKU KOGNITIF DI RSJ DR AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG Sri Nyumirah ......................................................................................................................... 121-128 3. PENGARUH PEMBERIAN AROMATERAPI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN SEBELUM OPERASI DENGAN ANESTESI SPINAL DI RS TUGU SEMARANG Arwani, Iis Sriningsih, Rodhi Hartono.................................................................................. 129-134 4. GAMBARAN RESPON BERDUKA PADA ANAK REMAJA DENGAN ORANGTUA BERCERAI DI SMP NEGERI 1 JATINANGOR KABUPATEN SUMEDANG Desi Purwanti, Helwiyah Ropi, Efri Widianti ....................................................................... 135-147 5. HUBUNGAN ANTARA BEBAN KELUARGA DENGAN KEMAMPUAN KELUARGA MERAWAT PASIEN PERILAKU KEKERASAN DI POLIKLINIK RUMAH SAKIT MARZOEKI MAHDI BOGOR Sri Suryaningrum, Ice Yulia Wardani ................................................................................... 148-155 6. KONSEP DIRI ANAK JALANAN USIA REMAJA DI WILAYAH SEMARANG TENGAH Pangestika Putri Wahyu Kumalasari, Diyan Yuli Wijayanti ................................................ 156-160 7. PENERAPAN TERAPI KOGNITIF DAN PSIKOEDUKASI KELUARGA PADA KLIEN HARGA DIRI RENDAH DI RUANG YUDISTIRA RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR TAHUN 2013 Titik Suerni, Budi Anna Keliat, dan Novy Helena C.D ......................................................... 161-169 8. PEMBERDAYAAN KELUARGA DAN KADER KESEHATAN JIWA DALAM PENANGANAN PASIEN HARGA DIRI RENDAH KRONIK DENGAN PENDEKATAN MODEL PRECEDE L. GREEN DI RW 06, 07 DAN 10 TANAH BARU BOGOR UTARA Desi Pramujiwati, Budi Anna Keliat, dan Ice Yulia Wardani ............................................... 170-177 9. STUDI FENOMENOLOGI: PENGALAMAN KELUARGA MENCEGAH KEKAMBUHAN PERILAKU KEKERASAN PASIEN PASCA HOSPITALISASI RSJ Emi Wuri Wuryaningsih, Achir Yani S. Hamid, Novy Helena C. D ...................................... 178-185 10. PENGARUH TEHNIK RELAKSASI BENSON TERHADAP PENURUNAN TINGKAT STRES LANSIA DI UNIT REHABILITAS SOSIAL WENING WARDOYO UNGARAN Kadek Oka Aryana, Dwi Novitasari ...................................................................................... 186-195
MANAJEMEN KASUS SPESIALIS JIWA DEFISIT PERAWATAN DIRI PADA KLIEN GANGGUAN JIWA DI RW 02 DAN RW 12 KELURAHAN BARANANGSIANG KECAMATAN BOGOR TIMUR Dwi Heppy Rochmawati1, Budi Anna Keliat2, Ice Yulia Wardani3 1. Program Spesialis Ilmu Keperawatan Kekhususan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Jakarta 10430, Indonesia 2. Guru Besar, Dosen Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Jakarta 3. Dosen Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Jakarta Email :
[email protected] ABSTRAK Jumlah klien gangguan jiwa yang ditemukan adalah 18 orang (2,44%) dari total penduduk dewasa 737 orang. Angka ini menunjukkan peningkatan dari estimasi gangguan jiwa di Jawa Barat (0,22%). Defisit perawatan diri adalah salah satu bentuk gangguan jiwa dan dialami oleh seluruh klien gangguan jiwa yang ditemukan. Tujuan penulisan karya ilmiah akhir ini adalah menggambarkan management of care kasus spesialis terhadap klien defisit perawatan diri dengan pendekatan Self Care Orem. Metode yang digunakan adalah studi serial kasus defisit perawatan diri pada klien gangguan jiwa dengan pemberian terapi spesialis keperawatan jiwa. Paket terapi yang diberikan : 1 Behaviour theraphy, 2 Behaviour theraphy dan Supportif Theraphy, 3 Behaviour theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group. Terapi diberikan kepada 17 klien (9 skizofrenia, 4 retardasi mental dan 4 demensia). Hasil pelaksanaan terapi adalah paket terapi ketiga sangat efektif untuk meningkatkan kemampuan dan menurunkan tanda gejala klien defisit perawatan diri dengan diagnosa medis skizofrenia dan retardasi mental. Terapi-terapi tersebut kurang efektif bagi klien demensia. Berdasarkan hasil di atas perlu direkomendasikan bahwa behaviour theraphy, supportif theraphy dan self help group dapat dijadikan standar terapi spesialis keperawatan jiwa bagi klien defisit perawatan diri khususnya dengan skizofrenia dan perlu dilakukan penelitian lanjut tentang terapi spesialis keperawatan jiwa yang tepat untuk klien defisit perawatan diri dengan demensia. Kata kunci : Behaviour theraphy, Self Care Orem, defisit perawatan diri. ABSTRACT The amount of clients of mental disorders found were 18 people (2.44%) of the total adult population of 737 people. This amount shows an increase from an estimate of mental disorder in West Java (0.22%). Self-care deficit is one form of mental disorder and is experienced by all clients of mental disorders was found. The purpose of this paper is to describe management of care the scientific end case specialists to client self-care deficit with Orem’s Self Care approach. The method used is the serial case study of selfcare deficits in psychotic clients with life-giving therapy nursing specialists. Therapy are : first package of Behavior Therapy, second package of Behavior Therapy and Supportive Therapy, third package of Behavior Therapy, Supportive Therapy and Self Help Group. Therapy was given to the 17 client (9 schizophrenia, 4 mental retardation, and 4 dementia). The results of the implementation of these therapies is that the package of three highly effective therapy to improve coping mechanism and reduce the symptoms signs on the client's self-care deficit with a medical diagnosis of schizophrenia and mental retardation in performing self-care. These therapies are less effective for clients with dementia. Based on the above results need to be recommended that the behavior therapy, supportive therapy and self help group can be made standard of therapy of nursing specialist self-care deficit of clients and schizophrenia in particular, and have done research about nursing specialist mental therapy is right for the client selfcare deficits with dementia.
Manajemen Kasus Spesialis Jiwa Defisit Perawatan Diri Pada Klien Gangguan Jiwa 107 Manajemen Kasus Spesialis Jiwa DiriBaranangsiang pada Klien Gangguan Jiwa Timur di RW 02 Di Rw Defisit 02 Dan Perawatan Rw 12 Kelurahan Kecamatan Bogor dan RW Kelurahan BaranangSiang Kecamatan Timur Dwi12 Heppy Rochmawati, Budi Anna Keliat, Ice YuliaBogor Wardani Dwi Heppy Rochmawati1, Budi Anna Keliat2, Ice Yulia Wardani3
107
PENDAHULUAN Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain (UU No 36, 2009). Kesehatan jiwa menurut World Health Organization (WHO) tahun 2001 yaitu kondisi sejahtera dimana individu menyadari kemampuan yang dimilikinya, dapat mengatasi stress dalam kehidupannya, dapat bekerja secara produktif dan mempunyai kontribusi dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dari Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan Kemenkes Republik Indonesia (Kemenkes RI, 2008), prevalensi gangguan mental emosional seperti gangguan kecemasan dan depresi sebesar 11,6% dari populasi orang dewasa dengan prevalensi tertinggi di Jawa Barat yaitu 20,0%. Prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 0,46 %, dengan kata lain dari 1000 penduduk Indonesia empat sampai lima diantaranya menderita gangguan jiwa berat. Prevalensi gangguan jiwa berat di Jawa Barat sebesar 0,22 % dan angka tersebut meningkat menjadi 0,40% di kota Bogor. Penelitian yang dilakukan oleh Parendrawati (2008) terhadap 110 klien gangguan jiwa yang mengalami defisit perawatan diri di RSMM Bogor menunjukkan hasil bahwa dengan pemberian terapi spesialis keperawatan jiwa token ekonomi menunjukkan peningkatan kemampuan. Kemampuan klien merawat diri diukur dan diobservasi secara statistik dan menunjukkan hasil bahwa pada klien defisit perawatan diri yang diberikan terapi token ekonomi mengalami peningkatan kemampuan dibandingkan dengan klien defisit perawatan diri yang tidak diberikan terapi token ekonomi. Dari sejumlah 1.168 penduduk, ditemukan jumlah penduduk dewasa adalah 817 jiwa. Angka gangguan mental emosional sebanyak 148 jiwa dari 200 jiwa yang 108
108
diperkirakan, angka gangguan jiwa yang ditemukan 18 jiwa dari 4 jiwa berdasarkan estimasi jumlah penduduk dewasa. Angka tersebut meningkat hampir 450% dari angka gangguan jiwa tingkat nasional yaitu 0,46%. Masalah keperawatan pada klien gangguan jiwa yaitu halusinasi, harga diri rendah, isolasi sosial, waham, resiko bunuh diri, perilaku kekerasan/risiko perilaku kekerasan dan defisit perawatan diri. Dari tujuh masalah keperawatan tersebut yang paling sering ditemukan adalah masalah defisit perawatan diri, sebanyak 18 orang (100%) klien mengalami defisit perawatan diri. Penulis melakukan manajemen asuhan keperawatan pada klien dengan defisit perawatan diri dengan pendekatan CMHN. Tindakan keperawatan yang tepat, di tatanan masyarakat sangat diperlukan dalam mengatasi masalah defisit perawatan diri ini. Tindakan yang sudah dikembangkan dalam mengatasi defisit perawatan diri ini terdiri dari tindakan keperawatan generalis dan spesialis. Tindakan keperawatan generalis yang dilakukan yaitu klien diajarkan dan dilatih untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri yang meliputi mandi, berhias, makan dan minum dengan benar serta toileting (BAK dan BAB secara benar). Tindakan keperawatan spesialis yang tepat dan dapat dilakukan untuk klien dengan defisit perawatan diri antara lain adalah terapi perilaku, terapi suportif, terapi kelompok swa bantu dan terapi psiko edukasi keluarga. Hasil manajemen asuhan keperawatan spesialis jiwa ini menunjukan hasil yang signifikan dalam mengubah perilaku maladaptif menjadi adaptif dalam pemenuhan kebutuhan perawatan diri dan meningkatkan kemampuan klien dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri serta menurunkan tanda dan gejala klien. Berdasarkan hal tersebut penulis akan mencoba menganalisis manajemen asuhan keperawatan spesialis jiwa dan melaporkannya dalam bentuk Karya Ilmiah Akhir. METODE PENULISAN Responden berjumlah 18 orang klien gangguan jiwa (9 skizofrenia, 5 retardasi
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 107-120 Volume 2 November 2013 107-120
mental dan 4 demensia) dengan defisit perawatan diri yang ada di komunitas. Penulisan karya ilmiah akhir ini menggunakan metode studi serial kasus dengan pemberian tiga paket terapi spesialis keperawatan jiwa. Terapi diberikan kepada 17 orang klien (8 skizofrenia, 5 retardasi mental dan 4 demensia) dengan defisit perawatan diri. Paket terapi yang pertama adalah tindakan keperawatan generalis (klien dan keluarga) dan behaviour theraphy. Paket terapi yang kedua adalah tindakan keperawatan generalis (klien dan keluarga) dan behaviour theraphy dikombinasi dengan supportif theraphy. Paket terapi yang ketiga adalah tindakan keperawatan generalis (klien dan keluarga) dan behaviour theraphy dikombinasi dengan supportif theraphy dan self help group theraphy. HASIL Persentase terbesar jenis kelamin klien adalah laki-laki, yaitu 11 orang klien (61,1%) yang terdiri dari 8 orang klien (44,4%) skizofrenia dan 3 orang klien (16,7%) retardasi mental. Usia klien yang mengalami defisit perawatan diri terbanyak adalah 21-40 tahun, yaitu 10 orang klien (55,6%), yang terdiri dari 8 orang klien (44,4%) skizofrenia dan 2 orang klien (11,1%) retardasi mental. Sebagian besar klien tidak menikah, yaitu 11 orang klien (61,1%), yaitu 6 orang klien (33,3%) skizofrenia dan 5 orang klien (27,8%) retardasi mental. Sebagian besar klien berpendidikan dasar (SD), yaitu sebanyak 6 orang klien (33,3%), yang terdiri dari 2 orang klien (11,1%) skizofrenia, 1 orang klien (5,6%) retardasi mental dan 3 orang klien (16,7%) demensia. Klien tidak bekerja sebanyak 11 orang klien (61,1%), yaitu 3 orang klien (16,7%) skizofrenia, 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia. Lama menderita sakit < 10 tahun, sebanyak 11 orang klien (61,1%), yang terdiri dari 7 orang klien (38,9%) skizofrenia, 1 orang klien retardasi mental dan 3 orang klien (16,7%) demensia, dan sebanyak 15 orang klien (83,3%) dirawat selama 3 bulan, yaitu 8 orang klien (44,4%) skizofrenia, 3 orang klien (16,7%)
retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia. Stressor predisposisi, aspek biologi didapatkan hasil bahwa masalah defisit perawatan diri terbanyak disebabkan oleh faktor genetik yang dialami oleh 8 orang klien (44,4%), yang terdiri dari 3 orang klien (16,7%), 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 1 orang klien (5,6%) demensia. Stressor predisposisi psikologis, seluruh klien yang mengalami masalah defisit perawatan diri memiliki masalah dengan komunikasi secara verbal, yaitu ketidakmampuan mengungkapkan keinginan dengan baik 18 orang (100%), terdiri dari 9 orang klien (50%) skizofrenia, 5 orang klien (27,8%) retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia. Stressor predisposisi sosio kultural, sebagian besar faktor sosio kultural klien mengalami defisit perawatan diri adalah terkait dengan masalah perekonomian atau ekonomi rendah sebanyak 15 orang (83,3%), terdiri dari 9 orang klien (50%) skizofrenia, 3 orang klien (16,7%) retardasi mental dan 3 orang klien (16,7%) demensia. Stressor presipitasi biologis sebagian besar berupa riwayat putus obat sebanyak 10 orang klien (55,6%), terdiri dari 6 orang klien (33,3%) skizofrenia, 2 orang klien (11,1%) dan 2 orang klien (11,1%) demensia. Stressor presipitasi psikologis sebagian besar disebabkan karena pengalaman yang tidak menyenangkan yaitu sebanyak 14 orang klien (77,8%), 7 orang klien (38,9%) skizofrenia, 3 orang klien (16,7%) retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia. Stressor presipitasi sosio kultural sebagian besar karena adanya masalah ekonomi yaitu sebanyak 16 orang klien (88,9%), 9 orang klien (50%) skizofrenia, 3 orang klien (16,7%) retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia. Asal stresor sebagian besar berasal dari individu itu sendiri yaitu sebanyak 16 orang klien (88,9%), 9 orang klien (50%) skizofrenia, 4 orang klien (22,2%) dan 3 orang klien (16,7%) demensia. Waktu dan lamanya klien terpapar stresor sebagian besar < 10 tahun yaitu sebanyak 10 orang
Manajemen Kasus Spesialis Jiwa Defisit Perawatan Diri Pada Klien Gangguan Jiwa 109 Manajemen Kasus Spesialis Jiwa DiriBaranangsiang pada Klien Gangguan Jiwa Timur di RW 02 Di Rw Defisit 02 Dan Perawatan Rw 12 Kelurahan Kecamatan Bogor dan RW Kelurahan BaranangSiang Kecamatan Timur Dwi12 Heppy Rochmawati, Budi Anna Keliat, Ice YuliaBogor Wardani Dwi Heppy Rochmawati1, Budi Anna Keliat2, Ice Yulia Wardani3
109
klien (55,6%), terdiri dari 7 orang klien (38,9%) skizofrenia, 1 orang klien (5,6%) retardasi mental dan 3 orang klien (16,7%) demensia. Jumlah stresor lebih dari 3 stressor yaitu sebanyak 18 orang klien (100%), yaitu 9 orang klien (50%) skizofrenia, 5 orang klien (27,8%) retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia. Respon kognitif klien adalah tidak mampu mengambil keputusan yaitu sebanyak 16 orang klien (88,9%), terdiri dari 8 orang klien (44,4%) skizofrenia, 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia. Respon afektif klien yaitu merasa tidak mampu merawat diri sebanyak 12 orang (66,7%), terdiri dari 6 orang klien (33,3%) skizofrenia, 2 orang klien (11,1%) retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia. Respon fisiologis klien adanya kelelahan, kelemahan dan keletihan sebanyak 13 orang klien (72,2%), terdiri dari 5 orang klien (27,8%) skizofrenia, 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia. Respon perilaku klien yaitu tidak toileting dengan benar sebanyak 13 orang klien (72,2%), yaitu 5 orang klien (27,8%) sizofrenia, 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia. Respon sosial klien adalah dengan mengurung diri yaitu 15 orang (83,3%), terdiri dari 7 orang klien (38,9%) skizofrenia, 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia. Kemampuan klien, berupa ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri mandi, berhias, makan minum dan toileting yang tersebar secara merata yaitu 12 orang klien (66,7%), yaitu 5 orang klien (27,8%) skizofrenia, 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 3 orang klien (16,7%) demensia; 13 orang klien (72,2%), yaitu 6 orang klien (33,3%) skizofrenia, 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 3 orang
110
110
klien (16,7%) demensia; 12 orang klien (66,7%), yaitu 5 orang klien (27,8%) skizofrenia, 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 3 orang klien (16,7%) demensia ; dan 13 orang klien (72,2%), yaitu 5 orang klien (27,8%) skizofrenia, 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia. Keyakinan positif, sebanyak 16 orang klien (88,9%) merasa tidak yakin terhadap tenaga kesehatan, terdiri dari 7 orang klien (38,9%) skizofrenia, 5 orang klien (27,8%) retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia. Dukungan berasal dari keluarga dan kelompok. Sebanyak 17 orang klien (94,4%) tidak mendapat dukungan keluarga, terdiri dari 8 orang klien (44,4%) skizofrenia, 5 orang klien (27,8%) retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia; dan sebanyak 11 orang klien (61,1%), yaitu 4 orang klien (22,2%) skizofrenia, 3 orang klien (16,7%) retardasi mental dan 4 orang klien demensia, tidak mendapat dukungan dari kelompok. Pemberian tiga paket terapi spesialis keperawatan jiwa dilakukan kepada klien defisit perawatan diri. Terapi diberikan kepada 17 orang klien (8 skizofrenia, 5 retardasi mental dan 4 demensia) dengan defisit perawatan diri. Paket terapi yang pertama adalah tindakan keperawatan generalis (klien dan keluarga) dan behaviour theraphy. Paket terapi yang kedua adalah tindakan keperawatan generalis (klien dan keluarga) dan behaviour theraphy dikombinasi dengan supportif theraphy. Paket terapi yang ketiga adalah tindakan keperawatan generalis (klien dan keluarga) dan behaviour theraphy dikombinasi dengan supportif theraphy dan self help group theraphy. Tabel 4.1 sampai 4.6 menunjukkan distribusi pemberian ketiga paket terapi pada klien defisit perawatan diri.
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 107-120 Volume 2 November 2013 107-120
Tabel 1 Distribusi Hasil Evaluasi Respon terhadap Stressor Pre dan Post Terapi Keperawatan Klien Skizofrenia dengan Defisit Perawatan Diri No
1
Respon terhadap Stressor
3
4
Supportif Theraphy (n=6)
Supportif Theraphy Self Help Group (n=3) Pre Post Selisih %
Post
Selisih
%
Pre
Post
Selisih
%
8
3
5
62,5
6
1
5
83,3
3
0
3
100
5
0
5
100
3
0
3
100
2
0
2
100
a. Perasaan negatif terhadap diri
5
3
2
40
3
1
2
66,7
1
0
1
100
b. Sedih
5
1
4
80
3
0
3
100
2
0
2
100
6
2
4
66,7
4
1
3
75
2
0
2
100
5
2
3
60
3
1
2
66,7
2
0
2
100
a. Lelah/letih/lemah
5
2
3
60
3
0
3
100
2
0
2
100
b. Penurunan muskuloskeletal
6
1
5
83,3
3
0
3
100
2
0
2
100
5
2
3
60
3
1
2
66,7
2
0
2
100
Respon Kognitif
Respon Afektif
c. Merasa tidak mampu merawat diri d. Tidak ada motivasi merawat diri Respon Fisiologis
Respon Perilaku a. Tidak mandi b. Tidak berhias setelah mandi c. Tidak makan dan minum teratur d. Toileting tidak tepat
5
Behaviour Theraphy
Pre a. Tidak mampu mengambil keputusan b. Tidak tahu cara merawat diri 2
Behaviour Theraphy
Behaviour Theraphy (n=9)
6
2
4
66,7
4
0
4
100
2
0
2
100
5
1
4
80
3
0
3
100
2
0
2
100
5
0
5
100
3
0
3
100
1
0
1
100 100
Respon Sosial a. Mengurung diri
7
1
6
85,7
4
0
4
100
2
0
2
b. Menghindari dari orang lain
5
0
5
100
2
0
2
100
0
0
0
0
c. Menolak interaksi
5
0
5
100
2
0
2
100
0
0
0
0
5,5
1,3
4,2
76,3
3,3
0,3
2,9
90,6
1,7
0,0
1,7
86,7
MEAN
Tabel 4.2 Distribusi Hasil Evaluasi Kemampuan Klien Pre dan Post Terapi Keperawatan Klien Skizofrenia dengan Defisit Perawatan Diri Behaviour Theraphy No
Kemampuan Klien
Behaviour Theraphy (n=9)
Pre 1
2
Post Selisih
Behaviour Theraphy Supportif Theraphy
Supportif Theraphy (n=6)
Self Help Group (n=3)
%
Pre
Post
Selisih
%
Pre
Post
Selisih
%
Kemampuan klien a. Tidak mampu untuk mandi
5
1
4
80
3
0
3
100
2
0
2
100
b. Tidak mampu untuk berhias
6
1
5
83,3
4
0
4
100
2
0
2
100
5
1
4
80
3
0
3
100
2
0
2
100
5
0
5
100
3
0
3
100
2
0
2
100
4
4
0
0
1
0
1
100
0
0
0
0
5
2
3
60
3
1
2
66,7
1
0
1
100
5
5
0
0
3
1
2
66,7
1
0
1
100
5,0
2,0
3,0
57,6
2,9
0,3
2,6
90,5
1,4
0,0
1,4
85,7
c. Tidak mampu makan minum teratur d. Tidak mampu toileting dengan benar Keyakinan positif a. Tidak yakin akan sembuh b. Tidak yakin terhadap tenaga kesehatan c. Tidak yakin terhadap pelayanan kesehatan MEAN
Manajemen Kasus Spesialis Jiwa Defisit Perawatan Diri Pada Klien Gangguan Jiwa 111 Manajemen Kasus Spesialis Jiwa DiriBaranangsiang pada Klien Gangguan Jiwa Timur di RW 02 Di Rw Defisit 02 Dan Perawatan Rw 12 Kelurahan Kecamatan Bogor dan RW Kelurahan BaranangSiang Kecamatan Timur Dwi12 Heppy Rochmawati, Budi Anna Keliat, Ice YuliaBogor Wardani Dwi Heppy Rochmawati1, Budi Anna Keliat2, Ice Yulia Wardani3
111
setelah diberikan perpaduan antara Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%). Respon sosial, meningkat setelah pemberian Behaviour Theraphy (100%) dan lebih efektif lagi setelah diberikan perpaduan antara terapi Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%). Kemampuan klien skizofrenia juga mengalami peningkatan dengan pemberian Behaviour Theraphy (63%-88%) dan lebih meningkat lagi prosentasenya setelah diberikan perpaduan terapi Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy yaitu sebesar 100%.
Berdasarkan tabel 1 dan 2 klien defisit perawatan diri dengan diagnosa medis skizofrenia, respon kognitif efektif meningkat dengan pemberian Behaviour Theraphy (100%) dan akan lebih efektif untuk semua kemampuan dengan perpaduan Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy sebesar (100 %). Respon afektif, efektif meningkat setelah diberikan perpaduan antara terapi Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%). Respon fisiologis, juga efektif meningkat setelah diberikan perpaduan antara terapi Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%). Respon perilaku, efektif meningkat
Tabel 3 Distribusi Hasil Evaluasi Respon terhadap Stressor Pre dan Post Terapi Keperawatan Klien Retardasi Mental dengan Defisit Perawatan Diri Behaviour Theraphy (n=4) No
Behaviour Theraphy
Behaviour Theraphy
Supportif Theraphy(n=2)
Self Help Group(n=1)
Respon terhadap Stressor Pre Post Selisih
%
Pre Post Selisih
Supportif Theraphy %
Pre
Post Selisih
%
1 Respon Kognitif a. Tidak mampu mengambil keputusan b. Tidak tahu cara merawat diri
4
2
2
50
2
2
0
0
1
0
1
100
4
1
3
75
2
0
2
100
1
0
1
100 100
2 Respon Afektif a. Perasaan negatif terhadap diri
3
1
2
66,7
2
0
2
100
1
0
1
b. Sedih
1
0
1
100
0
0
0
0
0
0
0
0
c. Merasa tidak mampu merawat diri
2
0
2
100
2
0
2
100
1
0
1
100
d. Tidak ada motivasi merawat diri
2
0
2
100
2
0
2
100
1
0
1
100
3 Respon Fisiologis a. Lelah/letih/lemah
4
1
3
75
2
0
2
100
1
0
1
100
b. Penurunan musculoskeletal
4
1
3
75
2
0
2
100
1
0
1
100
4 Respon Perilaku a. Tidak mandi
4
1
3
75
2
0
2
100
1
0
1
100
b. Tidak berhias setelah mandi
4
1
3
75
2
0
2
100
1
0
1
100
c. Tidak makan dan minum teratur
4
2
2
50
2
0
2
100
1
0
1
100
d. Toileting tidak tepat
4
1
3
75
2
0
2
100
1
0
1
100 100
5 Respon Sosial a. Mengurung diri
4
1
3
75
2
0
2
100
1
0
1
b. Menghindari dari orang lain
1
0
1
100
0
0
0
0
0
0
0
0
c. Menolak interaksi
1
0
1
100
0
0
0
0
0
0
0
0
3,1
0,8
2,3
79,4
1,6
0,1
1,5
0,0
0,8
80,0
MEAN
112
112
73,3 0,8
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 107-120 Volume 2 November 2013 107-120
Tabel 4 Distribusi Hasil Evaluasi Kemampuan Klien Pre dan Post Terapi Keperawatan Klien Retardasi Mental dengan Defisit Perawatan Diri Behaviour Theraphy No
1
2
Behaviour Theraphy (n=4)
Kemampuan Klien
Supportif Theraphy (n=2)
Pre
Post
Selisih
%
Pre
Post Selisih
a. Tidak mampu untuk mandi
4
1
3
75
2
1
b. Tidak mampu untuk berhias
4
1
3
75
2
0
Behaviour Theraphy Supportif Theraphy Self Help Group (n=1)
%
Pre
Post Selisih
%
1
50
1
0
1
100
2
100
1
0
1
100
Kemampuan klien
c. Tidak mampu makan minum teratur
4
1
3
75
2
1
1
50
1
0
1
100
d. Tidak mampu toileting dengan benar
4
1
3
75
2
0
2
100
1
0
1
100
a. Tidak yakin akan sembuh
3
0
3
100
0
0
0
0
0
0
0
0
b. Tidak yakin terhadap tenaga kesehatan
3
0
3
100
0
0
0
0
0
0
0
0
c. Tidak yakin terhadap pelayanan kesehatan 3
1
2
66,7
0
0
0
0
0
0
0
0
0,7
2,9
81,0
1,1
0,3
0,9
42,9
0,6
0,0
0,6
57,1
Keyakinan positif
MEAN
3,6
Berdasarkan tabel 3 dan 4 di atas klien defisit perawatan diri dengan diagnosa medis retardasi mental, respon kognitif efektif meningkat dengan pemberian Behaviour Theraphy (100%) dan akan lebih efektif untuk semua kemampuan dengan perpaduan Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy sebesar (100 %). Respon afektif, efektif meningkat setelah diberikan perpaduan antara terapi Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%). Respon fisiologis, juga efektif meningkat setelah diberikan perpaduan antara terapi Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%). Respon perilaku, efektif meningkat
setelah diberikan perpaduan antara Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%). Respon sosial, meningkat setelah pemberian Behaviour Theraphy (100%) dan lebih efektif lagi setelah diberikan perpaduan antara terapi Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%). Kemampuan klien retardasi mental juga mengalami peningkatan dengan pemberian Behaviour Theraphy (63%-88%) dan lebih meningkat lagi prosentasenya setelah diberikan perpaduan terapi Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy yaitu sebesar 100%.
Manajemen Kasus Spesialis Jiwa Defisit Perawatan Diri Pada Klien Gangguan Jiwa 113 Manajemen Kasus Spesialis Jiwa DiriBaranangsiang pada Klien Gangguan Jiwa Timur di RW 02 Di Rw Defisit 02 Dan Perawatan Rw 12 Kelurahan Kecamatan Bogor dan RW Kelurahan BaranangSiang Kecamatan Timur Dwi12 Heppy Rochmawati, Budi Anna Keliat, Ice YuliaBogor Wardani Dwi Heppy Rochmawati1, Budi Anna Keliat2, Ice Yulia Wardani3
113
Tabel 5 Distribusi Hasil Evaluasi Respon terhadap Stressor Pre dan Post Terapi Keperawatan Klien Demensia dengan Defisit Perawatan Diri Behaviour Theraphy No
Respon terhadap Stressor
Behaviour Theraphy(n=4)
Behaviour Theraphy Supportif Theraphy
Supportif Theraphy(n=0)
Self Help Group(n=0) Pre Post Selisih %
Pre
Post
Selisih
%
Pre
Post
Selisih
%
4
4
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
4
0
4
100
0
0
0
0
0
0
0
0
1 Respon Kognitif a. Tidak mampu mengambil keputusan b. Tidak tahu cara merawat diri 2 Respon Afektif a. Perasaan negatif terhadap diri
3
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
b. Sedih
3
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
c. Merasa tidak mampu merawat diri d. Tidak ada motivasi merawat diri
4
4
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
4
0
4
100
0
0
0
0
0
0
0
0
3 Respon Fisiologis a. Lelah/letih/lemah
4
4
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
b. Penurunan muskuloskeletal
2
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
a. Tidak mandi
3
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
4 Respon Perilaku b. Tidak berhias setelah mandi
3
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
c. Tidak makan dan minum teratur
3
0
3
75
0
0
0
0
0
0
0
0
d. Toileting tidak tepat
4
0
4
100
0
0
0
0
0
0
0
0
5 Respon Sosial a. Mengurung diri
4
0
4
100
0
0
0
0
0
0
0
0
b. Menghindari dari orang lain
3
0
3
75
0
0
0
0
0
0
0
0
c. Menolak interaksi
2
1
1
25
0
0
0
0
0
0
0
0
3,3
1,8
1,5
38,3
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
MEAN
Tabel 6 Distribusi Hasil Evaluasi Kemampuan Klien Pre dan Post Terapi Keperawatan Klien Demensia dengan Defisit Perawatan Diri
No
Behaviour Theraphy (n=4)
Kemampuan Klien
Pre 1
2
Post Selisih
Behaviour Theraphy
Behaviour Theraphy
Supportif Theraphy (n=0)
Supportif Theraphy Self Help Group (n=0)
%
Pre
Post
Selisih
%
Pre
Post
Selisih
%
Kemampuan klien a. Tidak mampu untuk mandi
3
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
b. Tidak mampu untuk berhias
3
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
c. Tidak mampu makan minum teratur
3
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
d. Tidak mampu toileting dengan benar
4
0
4
100
0
0
0
0
0
0
0
0
a. Tidak yakin akan sembuh
4
0
4
100
0
0
0
0
0
0
0
0
b. Tidak yakin terhadap tenaga kesehatan c. Tidak yakin terhadap pelayanan kesehatan
1
0
1
100
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
100
0
0
0
0
0
0
0
0
2,7
1,3
1,4
57,1
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
Keyakinan positif
MEAN
114
114
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 107-120 Volume 2 November 2013 107-120
Berdasarkan tabel 5 dan 6 di bawah klien defisit perawatan diri dengan diagnosa medis demensia, respon kognitif, afektif, perilaku dan sosial efektif meningkat dengan pemberian terapi Behaviour Theraphy (100%). Sedangkan respon fisiologis, dengan pemberian Behaviour Theraphy tidak terbukti bisa menurunkan respon fisiologis kelelahan/kelelatihan dan penurunan muskuloskeletal. Peningkatan kemampuan klien demensia dengan pemberian Behaviour Theraphy efektif meningkat pada kemampuan toileting dan keyakinan positif, tidak bisa diukur efektifitas bila diberikan perpaduan beberapa terapi karena tidak mampu untuk diberikan terapi-terapi lain. PEMBAHASAN Klien yang dirawat dengan masalah defisit perawatan diri sebagian besar berada pada rentang usia 21 sampai dengan 40 tahun. Menurut Erikson (2000, dalam Stuart & Sundeen, 1995), pada usia ini individu mulai mempertahankan hubungan saling ketergantungan, memilih pekerjaan, memilih karir, melangsungkan perkawinan. Usia tersebut merupakan usia perkembangan dewasa pertengahan, yaitu usia dimana individu mendapatkan tuntutan dari lingkungan sekitar (keluarga dan masyarakat) untuk mengaktualisasikan dirinya. Kegagalan untuk memenuhi tuntutan dari lingkungan sekitar dan melaksanakan tugas perkembangannya sering diartikan sebagai ketidakmampuan yang akan mengakibatkan perhatian hanya tertuju pada diri sendiri, perhatian pada orang lain berkurang, menyalahkan diri dan orang lain yang akhirnya ditunjukkan dengan penurunan motivasi untuk merawat diri atau defisit perawatan diri Pendidikan klien sebagian besar SD sebanyak 6 orang klien (33,33%). Menurut Stuart (2009) bahwa aspek intelektual merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa karena berhubungan dengan kemampuan seseorang dalam menyampaikan ide atau pendapatnya, selanjutnya akan berpengaruh pada kemampuan seseorang untuk
memenuhi harapan dan keinginan yang ingin dicapai dalam hidupnya sehingga akan lebih minimal untuk terjadinya defisit perawatan diri. Potter & Perry (2005) mengatakan bahwa defisit perawatan diri biasanya banyak terjadi pada klien yang mempunyai latar belakang pendidikan rendah. Sebagian besar klien tidak mempunyai pekerjaan (menganggur) yaitu sebanyak 11 orang klien (61,1%). Menurut Townsend (2005) banyak hal yang telah dicoba untuk dikaitkan dengan masalah defisit perawatan diri, salah satunya akan terkait dengan masalah status sosial. Faktor status sosial ekonomi yang rendah lebih banyak mengalami gangguan jiwa yang menyebabkan kurangnya motivasi untuk melakukan perawatan diri dibandingkan pada tingkat sosial ekonomi tinggi. Klien sebagian besar belum menikah yaitu 11 orang klien (61,1%). Salah satu faktor predisposisi defisit perawatan diri, menurut Stuart (2009) adalah ketidakmampuan mengungkapkan keinginan, termasuk keinginan hidup berumah tangga. Berdasarkan pendapat ini dapat dikatakan klien merasa frustasi dengan kondisinya yang sendiri dan merasa iri jika melihat orang pacaran dan menikah, Klien merasa malu dan marah pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Jika dikaitkan dengan usia, klien berada dalam rentang dewasa muda dimana klien mempunyai tugas perkembangan yang harus dilalui yaitu mengembangkan hubungan intim dengan lawan jenis dalam ikatan pernikahan. Tidak terpenuhinya atau kegagalan dalam memenuhi tugas perkembangan ini merupakan stresor bagi individu yang berujung pada defisit perawatan diri. Stressor predisposisi biologis pada klien defisit perawatan diri sebagian besar karena faktor genetik (44,4%). Faktor biologis ini terkait dengan adanya neuropatologi dan ketidakseimbangan dari neurotransmiternya. Dampak yang dapat dinilai sebagai manifestasi adanya gangguan adalah pada perilaku maladaptif klien (Townsend, 2005). Secara biologi
Manajemen Kasus Spesialis Jiwa Defisit Perawatan Diri Pada Klien Gangguan Jiwa 115 Manajemen Kasus Spesialis Jiwa DiriBaranangsiang pada Klien Gangguan Jiwa Timur di RW 02 Di Rw Defisit 02 Dan Perawatan Rw 12 Kelurahan Kecamatan Bogor dan RW Kelurahan BaranangSiang Kecamatan Timur Dwi12 Heppy Rochmawati, Budi Anna Keliat, Ice YuliaBogor Wardani Dwi Heppy Rochmawati1, Budi Anna Keliat2, Ice Yulia Wardani3
115
riset neurobiologikal memfokuskan pada tiga area otak yang dipercaya dapat melibatkan defisit perawatan diri yaitu sistem limbik, lobus frontalis dan hipotalamus. Kondisi lain yaitu adanya kondisi patologis dan ketidakseimbangan dari beberapa neurotransmitter. Neurotransmitter tersebut adalah dopamin, serotonin, norepineprin dan asetilkolin. Stressor presipitasi psikologis pada klien didapatkan memiliki riwayat psikologis berupa mengalami kejadian yang kurang menyenangkan yaitu (77,8%) berupa pengalaman-pengalaman kegagalan dan kehilangan, seperti kegagalan dalam membina hubungan dengan lawan jenis, kehilangan orang yang dicintai atau berarti, kegagalan dalam pekerjaan, pola asuh yang tidak tepat dan kehilangan orang yang berarti. Hal ini sesuai dengan pendapat Stuart (2009) bahwa faktor psikologis, yang meliputi konsep diri, intelektualitas, kepribadian, moralitas, pengalaman masa lalu, koping dan ketrampilan komunikasi secara verbal mempengaruhi perilaku seseorang dalam hubungannya dengan orang lain. Terapi perilaku terbukti efektif untuk mengubah perilaku maladaptif menjadi perilaku adaptif yaitu dengan meningkatnya respon terhadap stressor dan kemampuan klien defisit perawatan diri dalam melakukan perawatan diri khususnya dengan diagnosa medis skizofrenia yang menderita sakit kurang dari 10 tahun. Pada klien defisit perawatan diri dengan diagnosa medis skizofrenia yang menderita sakit lebih dari 10 tahun terapi perilaku bisa diberikan tetapi dikombinasi dengan terapi suportif dan terapi kelompok swa bantu. Pada klien defisit perawatan diri khususnya dengan diagnosa medis retardasi mental, pemberian terapi perilaku juga efektif untuk mengubah perilaku maladaptif menjadi perilaku adaptif, yaitu dengan meningkatnya respon terhadap stressor dan kemampuan klien defisit perawatan diri dalam melakukan perawatan diri, tetapi hasil akan terlihat lebih efektif bila 116
116
pemberian terapi dipadukan dengan terapi suportif dan swa bantu. Ketidakikutsertaan seluruh klien retardasi mental dalam terapi kelompok suportif dan swa bantu membuat efektifitas pemberian terapi tidak bisa diukur dengan maksimal. Sedangkan pada klien defisit perawatan diri khususnya dengan diagnosa medis demensia, pemberian terapi perilaku belum cukup efektif untuk mengubah perilaku maladaptif menjadi perilaku adaptif. Peningkatan kemampuan klien juga tidak bisa ditunjukkan dengan hasil yang memuaskan. Hal ini menurut penulis, karena adanya keterbatasan kemampuan kognitif pada klien demensia. Klien demensia mengalami kemunduran dalam hal kognitif sehingga untuk menyerap informasi dan mempraktikkannya merupakan suatu upaya yang berat dilakukan dalam jangka waktu yang singkat. SIMPULAN DAN SARAN Seluruh klien dan keluarga dengan anggota keluarga mengalami defisit perawatan diri telah mendapatkan paket terapi secara tuntas. Hasil evaluasi pelaksanaan terapi menunjukkan bahwa paket terapi yang memberikan efek khususnya untuk lebih mengurangi respon terhadap stressor pada klien dengan defisit perawatan diri dan meningkatkan kemampuan klien untuk merawat diri adalah Behaviour Theraphy (100%), Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy (100%) serta Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group (100%). Dari ketiga paket terapi tersebut, paket terapi ketiga terbukti paling efektif untuk mengatasi masalah klien defisit perawatan diri, yaitu Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group. Sedangkan terapi untuk keluarga, terapi yang efektif untuk meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat klien defisit perawatan diri adalah pemberian terapi Family Psycoeducation, Family Psycoeducation dan Supportif Theraphy serta Family Psycoeducation, Supportif Theraphy dan Self Help Group. Dari ketiga paket terapi yang diberikan
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 107-120 Volume 2 November 2013 107-120
pada keluarga tersebut, terapi yang terbukti paling efektif untuk meningkatkan kemampuan keluarga adalah pemberian paket terapi yang ketiga, yaitu Family Psycoeducation, Supportif Theraphy dan Self Help Group. Saran dari penelitian ini adalah bagi Departemen Kesehatan agar menyusun kebijakan terkait dengan program pelayanan keperawatan jiwa spesialistik bagi klien di tatanan komunitas. Bagi Dinas Kesehatan Kota Bogor untuk bekerja sama, memfasilitasi jalannya program Community Mental Health Nursing dan mengembangkan program CMHN di wilayah lain seperti Bogor Utara, Bogor Selatan dan Tanah Sereal. Bagi Puskesmas Bogor Timur, khususnya perawat CMHN hendaknya menindaklanjuti dan mengevaluasi perkembangan kemampuan klien, keluarga dan kader yang sudah dilatih dalam memenuhi kebutuahn perawatan diri. Bagi program spesialis keperawatan jiwa, hasil temuan pada Karya Ilmiah Akhir ini bisa digunakan sebagai evidence based dalam mengembangkan terapi spesialis keperawatan jiwa. Bagi perkembangan riset keperawatan, perlunya dikembangkan penelitian tentang efektifitas beberapa paket terapi spesialis pada klien dengan defisit perawatan diri. DAFTAR ACUAN American Nurses Association. (2000). Scope and Standard of Psychiatric Mental Health Nursing Practice. Whasington, D.C: American Nurses Association. American Psychological Association. (2001). Publication Manual of the American Psychological Association. (5th ed.). Washington, DC: American Psychological Association. Anonim. (2008). Self Help Group. http://www.minddisorder.com.diperole h tanggal 27 Mei 2012
Badudu, J.S. & Zain, S. (1995). Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan Bastaman, T. K. (2010). Kasus Gangguan Jiwa Ringan Semakin Meningkat. http : //www.duniapustaka.org/. diperoleh pada tanggal 27 Mei 2012. Boyd, M.A. & Nihart, M.A. (1998). Psychiatric Nursing Contemporary Practice. USA: Lippincott Raven Publisher ______________________. (2002). Psychiatric Nursing Contemporary Practice. USA: Lippincott Raven Publisher Carson, V.B. (2000). Mental Health Nursing: The Nurse Patient Journey. (2th ed.). Philadelphia: W.B. Sauders Company. Chien, W.T. ; Chan, S.W.C. & Thompson, D.R. (2006). Effects of a Mutual Support Group for Families of Chinesse People with Schizopheria : 18-Months Follow Up. http : //bjp.repsych.org. Diperoleh tanggal 27 Mei 2012. Citron, et.all. (1999). Self Help Groups for Families of Persons with Mental Illness: Perceived Benefits of Helpfulness. http://www.proquest.com. diperoleh tanggal 30 Januari 2008 Corey, G. (2003). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Riset Kesehatan Dasar 2007. http://www.litbang.depkes.go.id/LaporanR KD/IndonesiaNasional.pdf, diperoleh tanggal 27 Mei 2012. Dinkes Kota Bogor. (2010). Profil Puskesmas Bogor Timur. Bogor
Manajemen Kasus Spesialis Jiwa Defisit Perawatan Diri Pada Klien Gangguan Jiwa 117 Manajemen Kasus Spesialis Jiwa DiriBaranangsiang pada Klien Gangguan Jiwa Timur di RW 02 Di Rw Defisit 02 Dan Perawatan Rw 12 Kelurahan Kecamatan Bogor dan RW Kelurahan BaranangSiang Kecamatan Timur Dwi12 Heppy Rochmawati, Budi Anna Keliat, Ice YuliaBogor Wardani Dwi Heppy Rochmawati1, Budi Anna Keliat2, Ice Yulia Wardani3
117
Friedman, M. M., 2003. Family Nursing: Research, Theori & Practice. (5 nd ed). Connecticut: Appleton & Lange. Frisch, N.C. & Frisch, L.E. (2006) Psychiatric Mental Health Nursing. (3th Ed.). Canada: Thompson corporation Gillies, D.A. (1994). Nursing Management : A System Approach. (3rd ed.). Philadelphia: W.B. Saunders Company Hawari, D. (2001). Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia, Jakarta : FKUI Herdman, T. (2012). Nursing Diagnosis : Definition & Classification 2012– 2014. Indianapolis: Willey – Balckwell. Hunt. (2004). A Resource Kit for Self Help/Support Group for People Affected by An Eating Disorder. Isaacs, A. (2005). Lippincott’s Review Series : Mental Health and Psychiatric Nursing (3 rd ed). Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. Kaplan , H.I. ; Saddock, B.J. & . Grebb,J.A. (1997). Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid I. (7th ed.). Jakarta : Bina Rupa Aksara. Jakarta
Keliat, B.A., Akemat, Susanti, H. (2011). Manajemen Kasus Gangguan Jiwa CMHN (Intermediate Course). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran : EGC _____________________________. (2011). Manajemen Keperawatan Jiwa Komunitas Desa Siaga CMHN (Intermediate Course). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran : EGC _____________________________. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas CMHN (Basic Course). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran : EGC _____________________________. (2011). Manajemen Keperawatan Psikososial & Kader Kesehatan Jiwa CMHN (Intermediate Course). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran : EGC Maramis, W.F. (2006). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga Universitas Press. Maslim, R. (2003). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas Dari PPDGJ-III. Direktorat Kesehatan Jiwa. Jakarta Mohr, W. K. (2006). Psychiatric Mental Health Nursing. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
________________. (2007). Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Psikiatri Klinis. (Jilid 1). Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Potter, P.A. & Perry, A. G. (2005). Fundamental of Nursing : Concepts, Process and Practice. Philadelphia : Mosby Year Book Inc.
Keliat, B.A. (2003). Pemberdayaan Klien dan Keluarga dalam Perawatan Klien Skizofrenia dengan Perilaku Kekerasan di RSMM Bogor. Disertasi. Jakarta. FKM UI. tidak dipublikasikan
Parendrawati, D.,P. (2008). Pengaruh Terapi Token Ekonomi pada Klien Defisit Perawatan Diri di RSMM Bogor, Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan
Keliat, B.A. & Akemat. (2007). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Rawlin, William & Beck. (1998) Mental Health Psychiatric Nursing a Holistic Life Cycle Approach. 2nd edition. St Louis: Mosby Year Book.Inc
118
118
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 107-120 Volume 2 November 2013 107-120
Shives, L.R. (1998). Basic Concepts of Psychiatric Mental Health Nursing. (4 th ed), Philadelphia : Lippincott. __________. (2005). Basic Concepts of Psychiatric Mental Health Nursing. (6th ed).Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins Smith & Segal. (2011). Coping with Grief and Loss. Support fot Grieving and Breavement. http://www.helpguide.org/mental/grief _loss.htm. Diperoleh tanggal 27 Mei 2012. Stuart, G.W & Sundeen. (1995). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. (5th edition). St. Louis : Mosby Stuart, G.W & Laraia, M.T (2005). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. (7th edition). St Louis : Mosby Stuart, G.W (2009). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. (9th edition). St Louis : Mosby Suliswati, dkk. (2005). Konsep Dasar keperawatan Kesehatan Jiwa. Cetakan I. EGC. Jakarta. Tomey, M.A (2001). Nursing Theories and Their Work. The C.V. Mosby Company St.Louis : Mosby Years Book Inc. Tomey, A.M & Alligood, M.R. (2006). Nursing Theories and Their Work. (6th ed). St. Louis : Mosby Years Book Inc. Townsend, C.M. (2005). Essentials of Psychiatric Mental Health Nursing. (3th Ed.). Philadelphia: F.A. Davis Company Undang-Undang Nomor 36 Kesehatan.
Republik Indonesia Tahun 2009 Tentang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Universitas Indonesia. 2008. Pedoman Teknis Penulisan Tugas Akhir Mahasiswa Universitas Indonesia. Jakarta: UI Utami, T.W. (2008). Pengaruh Self Help Group terhadap Kemampuan Keluarga dalam Merawat Klien Gangguan Jiwa di Kelurahan Sindang Barang Bogor, Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan. Varcarolis, E.M. (2003), Psychiatric Nursing Clinical Guide; Assesment Tools and Diagnosis . Philadelphia: W.B Saunders Co Varcarolis, E.M, Carson, V. B, Shoemaker, N. C. (2006). Foundations of Psychiatric Mental Health Nursing: a Clinical Approach. (5th ed). St. Louis: Saunders Elseviers. Videbeck, S.,L. (2006). Psychiatric Mental Health Nursing. (3rd edition). Philadhelpia: Lippincott Williams & Wilkins. ______________. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC. Wilkinson, J.M. (2005). Prentice Hall Nursing Diagnosis Handbook with Nic Intervention and Noc Outcomes. (8th ed). New Jersey: Pearson Prentice Hall. _____________. (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Edisi 7. Alih bahasa: Widyawati, dkk. Jakarta: EGC WHO. (2001). The World Health Report 2001. World Health Organization _____. (2006). The Lancet. London : Elseiver Properties SA. Publication Data.
Manajemen Kasus Spesialis Jiwa Defisit Perawatan Diri Pada Klien Gangguan Jiwa 119 Manajemen Kasus Spesialis Jiwa DiriBaranangsiang pada Klien Gangguan Jiwa Timur di RW 02 Di Rw Defisit 02 Dan Perawatan Rw 12 Kelurahan Kecamatan Bogor dan RW Kelurahan BaranangSiang Kecamatan Timur Dwi12 Heppy Rochmawati, Budi Anna Keliat, Ice YuliaBogor Wardani Dwi Heppy Rochmawati1, Budi Anna Keliat2, Ice Yulia Wardani3
119
_____. (2009). Improving Health System and Service for Mental Health : WHO Library Catalouging-in-
_____. (2011). Skizofrenia. http://www.who.int/mental_health/enti ty/. diperoleh tanggal 27 Mei 2012
==================================================================== 1 Ns. Hj. Dwi Heppy Rochmawati, M.Kep. : Mahasiswa Spesialis Ilmu Keperawatan, Kekhususan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 2 Prof. Dr. Budi Anna Keliat, M.App. Sc. : Guru Besar, Dosen Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Jakarta 3 Ns. Ice Yulia Wardani, M.Kep., Sp. Kep J. : Dosen Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Jakarta ====================================================================
120
120
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 107-120 Volume 2 November 2013 107-120
PENINGKATAN KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL (KOGNITIF, AFEKTIF DAN PERILAKU) MELALUI PENERAPAN TERAPI PERILAKU KOGNITIF DI RSJ DR AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG Sri Nyumirah
Program Magister Ilmu Keperawatan Kekhususan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424, Indonesia
Email :
[email protected] ABSTRAK
Isolasi sosial merupakan suatu keadaan perubahan yang dialami klien skizofrenia. Suatu pengalaman menyendiri dari seseorang dan perasaan segan terhadap orang lain sebagai sesuatu yang negatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian terapi perilaku kognitif terhadap kemampuan klien isolasi sosial dalam melakukan interaksi di ruang rawat inap di RSJ Dr Amino Gondohutomo Semarang. Desain penelitian quasi experimental pre-post test with without control. Sampel berjumlah 33 orang dengan tehnik pengambilan sampel total sampling. Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh terapi perilaku kognitif terhadap kemampuan interaksi (kognitif, afektif dan perilaku) pada klien isolasi sosial (p value < 0.05). Ada peningkatan kemampuan interaksi sosial (kognitif, afektif dan perilaku) setelah dilakukan terapi perilaku kognitif. Terapi perilaku kognitif direkomendasikan diterapkan sebagai terapi keperawatan dalam merawat klien dengan isolasi sosial dengan penurunan kemampuan interaksi sosial. Kata kunci :Terapi perilaku kognitif, kemampuan interaksi sosial (kognitif, afektif dan psikomotor), klien isolasi sosial Daftar pustaka : 88 (1999 -2012) ABSTRACT Social isolation is a state of change experienced by clients with schizophrenia. A person's solitude experience and shyness towards others as something negative. This study aims to determine the effect of cognitive behavioral therapy for social isolation in the client's ability to interaction the hospitalized in the RSJ Dr Amino Gondohutomo Semarang. Quasi-experimental research design pre-post test without control. Sample 33 peoples with total sampling technique. Results showed no effect of cognitive behavioral the rapyon the ability of interaction (cognitive, affective and behavioral) on the client's social isolation (p value <0.05). There is increasing social interaction skills (cognitive, affective and behavioral) after cognitive behavioral therapy. Cognitive behavioral therapy is recommended as a treatment applied to nursing in the care of clients with social isolation with a reduction in social interaction skills. Keyword : Cognitive Behavioral Therapy, ability of social interaction (cognitive, affective and behavioral), social isolation client. Bibliography : 88 ( 1999 - 2012)
Peningkatan Kemampuan Interaksi Sosial (Kognitif, Afektif Dan Perilaku) Melalui Penerapan Terapi 121 Peningkatan Kemampuan Interaksi Sosial (Kognitif, Dan Perilaku) Melalui Penerapan Perilaku Kognitif Afektif Di RSJ Dr Amino Gondohutomo Semarang Terapi Perilaku Kognitif Di RSJ DR Amino Gondohutomo Semarang Sri Nyumirah Sri Nyumirah
121
PENDAHULUAN Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis, dan sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan perilaku dan koping individu efektif, konsep diri yang positif dan kestabilan emosional (Johnsons, 1997 dalam Videback, 2008). Kesehatan jiwa juga mempunyai sifat yang harmonis dan memperhatikan semua segi dalam kehidupan manusia dalam berhubungan dengan manusia lainnya yang akan mempengaruhi perkembangan fisik, mental, dan sosial individu secara optimal yang selaras dengan perkembangan masingmasing individu. Menurut WHO (2009), prevalensi masalah kesehatan jiwa mencapai 13% dari penyakit secara keseluruhan dan kemungkinan akan berkembang menjadi 25% di tahun 2030, gangguan jiwa juga berhubungan dengan bunuh diri, lebih dari 90% dari satu juta kasus bunuh diri setiap tahunnya akibat gangguan jiwa. Gangguan jiwa ditemukan di semua negara, terjadi pada semua tahap kehidupan, termasuk orang dewasa dan cenderung terjadi peningkatan gangguan jiwa. Prevalensi terjadinya gangguan jiwa berat di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (2007) adalah sebesar 4,6 permil, dengan kata lain dari 1000 penduduk Indonesia empat sampai lima diantaranya menderita gangguan jiwa berat (Balitbang Depkes RI, 2008). Penduduk Indonesia pada tahun 2007 (Pusat Data dan Informasi Depkes RI, 2009) sebanyak 225.642.124 sehingga klien gangguan jiwa di Indonesia pada Tahun 2007 diperkirakan 1.037.454 orang. Kondisi diatas mengambarkan jumlah klien gangguan jiwa yang mengalami ketidakmampuan untuk terlibat dalam aktivitas oleh karena keterbatasan mental akibat gangguan jiwa berat yang akan mempengaruhi kualitas kehidupan penderitanya. Tahun 2009 angka kejadian penderita gangguan jiwa di Jawa Tengah berkisar antara 3300 orang sampai 9300 122
122
orang (Widyayati, 2009). Angka kejadian ini merupakan penderita yang sudah terdiagnosa. Persentase gangguan kesehatan jiwa itu akan terus bertambah seiring dengan meningkatnya beban hidup masyarakat Indonesia. Salah satu bentuk gangguan kejiwaan yang memiliki tingkat keparahan yang tinggi adalah skizofrenia. Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang akan membebani masyarakat sepanjang hidup penderita yang dikarakteristikan dengan disorganisasi pikiran, perasaan dan perilaku (Lenzenweger & Gottesman, 1994 dalam Sinaga 2008). Seseorang yang mengalami skizofrenia akan mempengaruhi semua aspek dari kehidupannya yang ditandai dengan gejala-gejala psikotik yang khas dan terjadi kemunduran fungsi sosial yaitu gangguan dalam berhubungan dengan orang lain, fungsi kerja menurun, kesulitan dalam berfikir abstrak, kurang spontanitas, serta gangguan pikiran/ inkoheren. Gejala yang lebih banyak muncul pada klien dengan skizofrenia yaitu disfungsi sosial dan pekerjaan yang mempengaruhi perilaku pada klien skizofrenia menyebabkan depresi pada klien yang mengganggu konsep diri klien sehingga menjadikan kurangnya penerimaan klien di lingkungan keluarga dan masyarakat terhadap kondisi yang dialami klien yang mengakibatkan klien mengalami isolasi sosial (Sinaga, 2008). Isolasi sosial adalah merupakan suatu keadaan perubahan yang dialami klien skizofrenia. Isolasi sosial adalah suatu pengalaman menyendiri dari seseorang dan perasaan segan terhadap orang lain sebagai sesuatu yang negatif atau keadaan yang mengancam (NANDA, 2005). Klien yang mengalami isolasi sosial akan cenderung muncul perilaku menghindar saat berinteraksi dengan orang lain dan lebih suka menyendiri terhadap lingkungan agar pengalaman yang tidak menyenangkan dalam berhubungan dengan orang lain tidak terulang kembali (Keliat, 1999). Dengan demikian kegagalan individu dalam melakukan interaksi dengan
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 121-128 Volume 2 November 2013 121-128
orang lain sebagai akibat dari pikiran negatif dan pengalaman yang tidak menyenangkan sebagai ancaman terhadap individu. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di RSJ Dr Amino Gondohutomo oleh peneliti bahwa sudah dilakukan tindakan keperawatan namun dampak terhadap kemampuan klien dalam melakukan interaksi sosial masih belum maksimal dengan masih tampaknya gejala isolasi sosial yang muncul dan pikiran menganggap tidak penting dan tidak ada gunanya berinteraksi dengan orang lain sehingga menurunkan motivasi klien saat akan berinteraksi dengan orang lain. Tindakan keperawatan pada klien isolasi sosial akan lebih efektif dan meningkatkan kemampuan klien dalam melakukan interaksi sosial secara adekuat bila dipadukan dengan tindakan keperawatan lanjut/spesialis. Menurut Putdangmith (2011 dalam Suryani, 2006) apabila tidak ada komunikasi saat melakukan interaksi sosial akan terjadi berkurangnya individu yang kita kenali, adanya ketidakharmonisan terhadap individu yang satu sama lain, dapat berakibat konflik, bahkan terpecahnya suatu kelompok itu sendiri. Berdasarkan data dari RSJ Dr Amino Gondohutomo Semarang untuk gangguan jiwa dengan isolasi sosial tahun 2011 sebanyak 553, sedangkan bulan Januari sampai Februari 2012 sebanyak 40 orang dari delapan ruang rawat inap. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa banyaknya gangguan jiwa yang terjadi dengan masalah isolasi sosial maka perlu menjadi perhatian dan penanganan khusus bagi individu, keluarga, petugas di rumah sakit maupun lingkungan tempat tinggal klien. Salah satu bentuk psikoterapi yang dapat diterapkan pada klien isolasi sosial dengan penurunan kemampuan dalam melakukan interaksi sosial karena pengalaman yang tidak menyenangkan dan pikiran negatif yang muncul pada individu sebagai ancamanindividu yaitu dengan terapi
perilaku kognitif yang didasarkan pada teori bahwa tanda dan gejala fisiologis berhubungan dengan interaksi antara pikiran, perilaku dan emosi (Pedneault, 2008). Sedang menurut (Epigee, 2009) terapi ini merupakan terapi yang didasari dari gabungan beberapa terapi yang dirancang untuk merubah cara berfikir dan memahami situasi dan perilaku sehingga mengurangi frekuensi negatif, emosi yang menganggu dan mengurangi penurunan motivasi terutama dalam melakukan interaksi sosial. Sesuai penelitian Renidayati (2008) tentang pengaruh Social Skills Training (SST) pada klien isolasi sosial bahwa terdapat peningkatan kemampuan kognitif dan kemampuan perilaku pada kelompok yang mengikuti SST dan yang tidak mengikuti SST, dimana pada kelompok yang mengikuti SST mengalami peningkatan kemampuan kognitif dan perilaku yang lebih tinggi dibandingkan kelompok yang tidak mengikuti SST. Menurut (Martin, 2010) bahwa penerapan terapi psikososial dengan perilaku kognitif dapat merubah pola pikir yang negatif menjadi positif sehingga perilaku yang maladaptif yang timbul akibat pola pikir yang salah juga akan berubah menjadi perilaku yang adaptif, sehingga pada akhirnya diharapkan individu dengan masalah isolasi sosial memiliki peningkatan kemampuan untuk melakukan interaksi sosial dan bereaksi secara adaptif dalam menghadapi masalah atau situasi yang sulit dalam setiap fase hidupnya. Menurut Singer dan Addington (2009 dalam Lelono, 2010) penerapan terapi perilaku kognitif dapat menurunkan gejala negatif skizofrenia yang akan menjadi positif serta fungsi sosial yang baik dan menunjukan efek yang menetap setelah pengobatan berakhir, dibandingkan dengan perawatan rutin saja, karena dengan terapi perilaku kognitif klien dapat membantu klien melakukan perilaku dan pikiran yang positif. Jika diterapkan pada klien dengan isolasi sosial terbentuk pikiran yang positif sehingga mendapatkan perilaku yang
Peningkatan Kemampuan Interaksi Sosial (Kognitif, Afektif Dan Perilaku) Melalui Penerapan Terapi 123 Peningkatan Kemampuan Interaksi Sosial (Kognitif, Dan Perilaku) Melalui Penerapan Perilaku Kognitif Afektif Di RSJ Dr Amino Gondohutomo Semarang Terapi Perilaku Kognitif Di RSJ DR Amino Gondohutomo Semarang Sri Nyumirah Sri Nyumirah
123
positif. Klien dengan isolasi sosial yang mengalami penurunan motivasi dalam melakukan interaksi sosial dengan diberikan terapi perilaku kognitif akan mempunyai persepsi yang positif dan klien mengetahui pentingnya interaksi sosial.
Tujuan Umum: Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang pengaruh terapi perilaku kognitif terhadap tingkat kemampuan klien isolasi sosial dalam melakukan interaksi sosial di ruang rawat inap RSJ Dr Amino Gondohutomo Semarang. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian dengan metode kuantitatif menggunakan desain ”Quasi experimental pre-post test without control” dengan intervensi terapi perilaku kognitif yang terdiri dari 5 sesi pada tanggal 25 April-5 Juni 2012. Teknik pengambilan sampel secara total sampling. Penelitian dilakukan untuk menganalisa peningkatan kemampuan kognitif, afektif dan perilaku klien isolasi social dalam melakukan interaksi sosial. Sampel berjumlah 33 orang. Instrumen yang digunakan instrumen ini modifikasi peneliti dari (Townsend, 2009; Videback, 2008; Suryani, 2006; Nasir dkk 2009; Nurjannah, 2001) dan penilaian dari buku catatan harian klien dan raport hasil evaluasi pelaksanaan terapi perilaku kognitif dengan menggunakan modul, buku kerja, buku raport yang dibuat oleh Sasmita (2007); Fauziah (2009) dan Wahyuni, (2010); Erwina (2010); Hidayat (2010); Lelono (2010); Sudiatmika (2010). Pengolahan data dengan editing, coding, processing dan cleaning. Analisis statistik yang dipergunakan yaitu univariat dan bivariat dengan analisis dependen dan independent sample t-test sertauji anova dankorelasi regresi. Etika penelitian 124
124
yang digunakan peneliti Maleficience, Justice, Anomymous, Beneficence danInformed concent. HASIL PENELITIAN
Menjelaskan bahwa dari 33 orang responden dalam penelitian ini, usia produktif pada responden adalah 31 tahun dengan umur termuda 20tahun dan tertua 45 tahun yang paling banyak berjenis kelamin laki-laki 25 (75,8%) yang berpendidikan SMP 20 (60,6%), bekerja 20 (60,6%), tidak kawin 24 (72,7%). Berdasarkan hasil uji statistik tidak ada hubungan umur dengan kognitif, afektif dan perilaku dan ada hubungan antara jenis kelamin dengan kognitif (p<0,05). Ada hubungan antara pekerjaan dengan semua kemampuan responden dalam melakukan interaksi sosial (kognitif, afektif, perilaku) responden (p<0,05). Ada hubungan pendidikan SD-SMA dengan kemampuan kognitif responden dalam melakukan interaksi sosial. Ada hubungan antara status perkawinan dengan kognitif dan afektif responden. Berdasarkan tabel 1 menjelaskan bahwa dari 33 responden rata-rata kemampuan dalam melakukan interaksi sosial (kognitif, afektif dan perilaku) setelah dilakukan terapi perilaku kognitif lebih tinggi dibandingkan sebelum dilakukan terapi perilaku kognitif. Variabel Kognitif
Mean
P Value
Sebelum Sesudah Afektif Sebelum Sesudah Perilaku Sebelum Sesudah
13,79 19,88
0,000
14,58 17,33
0,000
9,64 11,06
0,000
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 121-128 Volume 2 November 2013 121-128
Berdasarkan hasil uji statistik pada tabel 2 bahwa hasil uji statistik dengan nilai p <0,05. Rata-rata kemampuan kognitif, afektif dan perilaku responden setelah dilakukan terapi perilaku kognitif lebih besar dibandingkan sebelum dilakukan terapi perilaku kognitif. PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil uji statistik ada peningkatan kemampuan kognitif responden setelah dilakukan terapi perilaku kognitif. Responden dalam penelitian ini memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan saat berhubungan dengan orang lain, karena ada penolakan, merasa bodoh, tidak percaya dan merasa tidak ada manfaatnya jika berhubungan dengan orang lain karena merasa takut untuk mendapatkan penolakan untuk berhubungan dengan orang lain sehingga responden merasa tidak nyaman yang mengakibatkan responden suka menyendiri, lebih banyak diam, dan malas melakukan interaksi dengan orang lain. Kenyataan yang ditemukan dalam penelitian ini juga sesuai dengan yang diuraikan Townsend (2009), NANDA (2007) dan Keliat (2005). Hal ini sesuai dengan pendapat Oemarjoedi (2003) bahwa terapi perilaku kognitif meyakini pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses rangkaian stimulus-kognisirespon yang saling terkait dan membentuk jaringan dalam otak manusia, dimana faktor kognitif akan menjadi penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir, merasa, dan bertindak. Klien isolasi sosial memiliki pikiran negatif (distorsi kognitif) yang menyebabkan terjadinya perilaku isolasi sosial sehingga pikiran negatif perlu mendapatkan penanganan terlebih dahulu. Hasil penelitian ini juga didukung oleh hasil penelitian sebelumnya Hidayat (2011) dalam penelitiannya tentang pengaruh terapi perilaku kognitif pada klien perilaku kekerasan yang mengalami peningkatan kemampuan kognitif untuk mengurangi munculnya perilaku kekerasan. Hasil penelitian Lelono (2010) tentang pengaruh
terapi perilaku kognitif pada klien halusinasi dan perilaku kekerasan mendapatkan hasil terjadi peningkatan kemampuan kognitif secara bermakna. Menurut Davis (2005) mengatakan terapi perilaku kognitif dapat diberikan klien skizofrenia untuk intervensi meningkatkan kepercayaan yang positif bagi klien sehingga muncul perilaku yang positif juga pada klien. Hasil uji statistik ada peningkatan kemampuan interaksi sosial dengan kemampuan afektif responden setelah dilakukan terapi perilaku kognitif. Meningkatnya respon afektif pada responden setelah dilakukan terapi perilaku kognitif karena klien merasa tidak cemas selalu optimis dan dapat menghargai individu, orang lain dan lingkungan sehingga responden dapat mengubah perasaan yang negatif menjadi positif yang akhirnya akan memunculkan perilaku yang positif juga setelah diajarkan mengubah perasaan negatif untuk menjadi positif pada sesi 3 dalam penerapan terapi perilaku kognitif. Respon emosi merefleksikan respon perilaku dan fisiologis sebagai hasil analisis kognitif dalam mengahadapi suatu situasi yang penuh stres (Stuart & Laraia, 2005). Kemampuan Kognitif Sebelum Sesudah Afektif Sebelum Sesudah Perilaku Sebelum Sesudah
Mean
SD
MinMaks
95% CI
13,79 19,88
3,09 3,01
9-22 12-24
12,69-14,88 18,81-20,95
14,58 17,33
1,6 2,16
11-18 14-22
14,00- 15,15 16,57 - 18,10
9,64 11,06
4,39 4,95
8-11 8-12
9,27 - 10,00 10,66 - 11,46
Sesuai penelitian yang dilakukan oleh Lelono (2010) bahwa ada peningkatan kemampuan afektif pada klien halusinasi dan perilaku kekerasan setelah dilakukan terapi perilaku kognitif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil uji statistik ada peningkatan perilaku dalam melakukan interaksi sosial responden
Peningkatan Kemampuan Interaksi Sosial (Kognitif, Afektif Dan Perilaku) Melalui Penerapan Terapi 125 Peningkatan Kemampuan Interaksi Sosial (Kognitif, Dan Perilaku) Melalui Penerapan Perilaku Kognitif Afektif Di RSJ Dr Amino Gondohutomo Semarang Terapi Perilaku Kognitif Di RSJ DR Amino Gondohutomo Semarang Sri Nyumirah Sri Nyumirah
125
setelah dilakukan terapi perilaku kognitif. Penerapan terapi perilaku kognitif di sesi 4 responden dilatih dalam melakukan perilaku yang negatif menjadi positif yang ditulis dalam buku kerja klien. Pada setiap akhir sesi pertemuan peneliti memberikan tugas pada klien untuk melakukan latihan mandiri dengan klien lain di ruangan dan mendokumentasikan latihan yang dilakukan pada buku kerja klien. Peneliti melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan latihan mandiri pada masing-masing responden dan memberikan umpan balik positif terhadap apa yang telah dilakukan responden. Peningkatan kemampuan psikomotor atau peningkatan perilaku yang positif dalam melakukan interaksi sosial pada responden ini terjadi karena pada terapi terapi perilaku kognitif diberikan latihan melawan pikiran negatif dan kemudian dilanjutkan dengan membentuk perilaku yang positif dalam melakukan interaksi sosial. Latihan meningkatkan kemampuan interaksi sosial. Hal ini sesuai dengan Frisch dan Frisch (2006) bahwa tindakan keperawatan pada klien isolasi sosial bertujuan untuk melatih klien ketrampilan sosial sehingga merasa nyaman dalam situasi sosial dan melakukan interaksi sosial. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Ramdhani dalam Prawitasari (2002) bahwa pada penerapan ketrampilan berkomunikasi diajarkan cara bertanya untuk konfirmasi, cara memberi dan menerima pujian, cara mengeluh dan menghadapi keluhan, cara menolak, cara meminta pertolongan, cara menuntut hak, cara berempati, dan cara berinteraksi dengan orang lain. Menurut Halgin dan Whitbourne (2007) bahwa penerapan latihan komunikasi dalam melakukan interaksi dengan orang lain adalah intervensi perilaku yang meliputi pemberian penguatan terhadap perilaku yang sesuai khususnya dalam hal membina hubungan interpersonal. Menurut Davis (2005) mengatakan terapi perilaku kognitif dapat diberikan klien skizofrenia untuk intervensi meningkatkan kepercayaan yang positif 126
126
bagi klien sehingga muncul perilaku yang positif juga pada klien. KESIMPULAN DAN SARAN
Tidak ada hubungan antara umur responden dengan kemampuan interaksi sosial. Ada hubungan antara jenis kelamin responden dengan kemampuan kognitif dalam melakukan interaksi sosial. Ada hubungan pendidikan SDSMA responden dengan kemampuan kognitif dalam melakukan interaksi sosial. Ada hubungan antara pekerjaan dengan semua kemampuan responden dalam melakukan interaksi sosial (kognitif, afektif, perilaku). Ada hubungan antara status perkawinan dengan kognitif dan afektif responden. Ada peningkatan kemampuan interaksi sosial (kognitif, afektif dan perilaku) responden setelah dilakukan terapi perilaku kognitif. Rumah sakit dengan pelayanan psikiatri hendaknya selalu menerapkan terapi generalis dengan pelaksanaan strategi pelaksanaan dan terapi aktivitas kelompok pada klien isolasi sosial sehingga dapat mengevaluasi perubahan kemampuan (kognitif, afektif dan perilaku) pada klien isolasi sosial dalam melakukan interaksi sosial. Rumah sakit merencanakan ruangan untuk pelaksanaan intervensi keperawatan pada klien dengan tempat khusus yang lebih nyaman dan leluasa dalam melakukan terapi sehingga mudah berkonsentrasi dalam proses intervensi. Perawat Puskesmas keperawatan jiwa diberikan pelatihan tentang kesehatan jiwa di masyarakat yang dapat diterapkan saat klien sudah pulang dari Rumah Sakit dengan penerapan terapi keperawatan jiwa. Pihak pendidikan tinggi keperawatan hendaknya mengembangkan terapi perilaku kognitif beserta modul atau pedoman pelaksanaan terapi perilaku kognitif pada kelompok klien dengan masalah yang lain, baik kelompok klien gangguan maupun
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 121-128 Volume 2 November 2013 121-128
kelompok klien risiko (remaja atau anak sekolah dengan kesulitan bergaul atau berinteraksi dengan orang lain) dalam upaya meningkatkan terapi modalitas dalam keperawatan jiwa yang efektif. Hasil penelitian ini bisa dijadikan acuan untuk pelaksanaan terapi individu perilaku kognitif pada klien isolasi sosial untuk meningkatkan kemampuan interaksi sosial. Perlunya dilakukan penelitian tentang pengaruh terapi perilaku kognitif pada klien dengan masalah keperawatan yang lain baik pada klien kelompok gangguan maupun kelompok risiko yang mengalami penurunan kemampuan interaksi sosial sehingga muncul perilaku negatif dengan menggunakan instrumen yang berbeda yang dapat mengukur kemampuan kognitif klien dalam melakukan interaksi sosial sehingga meningkatkan kemampuan klien dalam melakukan interaksi sosial. Perlunya dilakukan penelitian dengan mengkombinasikan terapi kelompok dengan terapi individu perilaku kognitif yang dibandingkan hasilnya dalam penerapan terapi tersebut dengan melihat faktor-faktor yang mempengaruhi tanda dan gejala yang muncul pada penurunan dan peningkatan kemampuan interaksi sosial (kognitif, afektif dan perilaku) dalam rentang waktu yang lebih lama sehingga evaluasi yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA Davis, dkk. (2005). The indianapolis vocational intervention program A cognitive behavioral apporoach to addresy rehabilitation. Departement of veterans affairs. Frisch, N.C., & Frisch, L.E. (2006). Psychiatric Mental Health Nursing. 3th ed. Canada : Thomson Delmar Learning Kazantzis, N., Reinecke, M.A., & Freeman, A. (2010). Cognitive and Behavioral Theories in Clinival
Practice. New York : A Division of Guildford Publications, Inc. Kelana(2010). EEfektivitas Cognitive Behavioral Therapy (CBT) Dan Rational Emotive Behavioral Therapy (REBT) Terhadap Klien Perilaku Kekerasan, Halusinasi dan Harga Diri Rendah di RS. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor.Tesis FIKUI. Tidak dipublikasikan. Keliat, B.A., dkk. (2005). Modul Basic Course Community Mental Health Nursing. Kerjasama FIK UI dan WHO. Morrison. (2009). Cognitive behavior therapy for people with schizofrenia.Department of Psychiatry.Wright State University Boonshoft School of Medicine, Dayton, Ohio. NACBT. (2009). Cognitive Behavior Therapy. http://www.nacbt.og.uk/nacbt/cogni tice_behavioral_therapy.htm. Pebruari 13, 2012 NANDA. (2005). Nursing Diagnoses : Definitions & Classification 20072008. Philadelphia: NANDA International Oemarjoedi, A,K,. (2003). Pendekatan Cognitive Behavioral Dalam Psikoterapi. Jakarta : Kreativ Media. Prawitasari, dkk. (2002). Psikoterapi Pendekatan Konvensional dan Kontemporer. Yogyakarta : Pustaka Pelajar dan Unit Publikasi Fakultas Psikologi UGM. Saksa, J.R., dkk. (2009). Cognitive Bahavioral Therapy for Early Psychosis
Peningkatan Kemampuan Interaksi Sosial (Kognitif, Afektif Dan Perilaku) Melalui Penerapan Terapi 127 Peningkatan Kemampuan Interaksi Sosial (Kognitif, Dan Perilaku) Melalui Penerapan Perilaku Kognitif Afektif Di RSJ Dr Amino Gondohutomo Semarang Terapi Perilaku Kognitif Di RSJ DR Amino Gondohutomo Semarang Sri Nyumirah Sri Nyumirah
127
: A Comprehensive Review of Individual vs. Group treatment Studies. International Journal of Group Psychotherapy, 59(3), 357-377 Sasmita, H. (2007). Efektifitas Cognitive Behavioral Therapy (CBT) pada Klien Harga Diri Rendah di RS Dr. Marzoeki Mahdi Bogor tahun 2007. Tesis FIKUI. Tidak dipublikasikan
Stuart, G.W. (2009). Principles and Practice of Psychiatric Nursing, 9th ed. Missouri : Mosby, Inc.
128
128
Townsend, M.C. (2008). Psychiatric Mental Health Nursing Concepts of Care in Evidence-Based Practice. 6th ed. Philadelphia: F.A. Davis Company Wahyuni, SE. (2010). Pengaruh Cognitive Behaviour Therapy Terhadap Halusinasi Pasien di Rumah Sakit Jiwa Pempropsu Medan. Tesis FIK-UI. Tidak dipublikasikan.
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 121-128 Volume 2 November 2013 121-128
PENGARUH PEMBERIAN AROMATERAPI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN SEBELUM OPERASI DENGAN ANESTESI SPINAL DI RS TUGU SEMARANG Arwani1), Iis Sriningsih2), Rodhi Hartono3) 1,2,3 Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang Email:
[email protected]. ABSTRAK Terkait adanya stressor pada saat dilakukan pembedahan dengan anestesi spinal sangat penting untuk membuat tubuh selalu dalam keadaan rileks dengan memberikan stimulus emosi positif ke otak. Salah satu tindakan keperawatan yang dapat dilakukan oleh perawat adalah melalui teknik relaksasi. Teknik relaksasi dapat dilakukan dengan metode meditasi, yoga, maupun aromaterapi. Aromaterapi merupakan terapi komplementer yang layak untuk dicoba karena cara tersebut diketahui dapat memberi stimulus positif ke otak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian aromaterapi terhadap tingkat kecemasan pasien sebelum operasi dengan anestesi spinal di RS Tugu Semarang. Jenis penelitian quasy-experiement dengan rancangan one group without control group design dilakukan pada 40 responden yang akan dilakukan operasi dengan spinal anestesi menggunakan Hamilton Rating Scale (HRS-A) untuk menggali kecemasan. Data penelitian dianalisis dengan uji statistic Wilcoxon dengan tingkat kemaknaan 0.05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terbanyak responden sebelum pemberian aromaterapi lavender mengalami cemas berat (40.0%), dan setelah pemberian aromaterapi terbanyak mengalami cemas sedang (42.5%). Hasil uji statistic dengan Wilcoxon diperoleh nilai p sebesar 0.00 (<0.05). Disimpulkan terdapat pengaruh pemberian aromaterapi terhadap tingkat kecemasan pasien sebelum operasi dengan anestesi spinal di RS Tugu Semarang. Disarankan agar pemberian aromaterapi dapat dijadikan sebagai alternative menurunkan tingkat kecemasan pada pasien sebelum dilakukan operasi (preoperative anxiety disorder). Kata Kunci: Aromaterapi, lavender, preoperasi, spinal anestesi.
Pengaruh Pemberian Aromaterapi Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Sebelum Operasi Dengan 129 Pengaruh Pemberian Aromaterapi Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Sebelum Operasi Anestesi Spinal Di RS Tugu Semarang Dengan Anestesi Spinal DI RSRodhi TuguHartono Semarang Arwani, Iis Sriningsih, Arwani, Iis Sriningsih, Rodhi Hartono
129
PENDAHULUAN Terjadinya kecemasan pada klien yang akan dilakukan operasi dimungkinkan karena tindakan yang akan dilakukan. Pada saat dilakukan tindakan pembedahan dengan anestesi spinal merupakan suatu ancaman potensial maupun aktual pada integritas seseorang, sehingga dapat membangkitkan reaksi stress fisiologis maupun psikologis, dan merupakan pengalaman yang sulit bagi hampir semua klien, sehingga tidak mengherankanapabila pasien dan keluarga menunjukkan perilaku yang mengarah pada terjadinya kecemasan (Carpernito, 1999). Salah satu cara untuk menurunkan kecemasan adalah dengan pemberian aromaterapi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan menghirup aromaterapi mampu menurunkan tingkat kecemasan seseorang (Davis, dkk, 2005; Indrati, 2009). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian aromaterapi terhadap tingkat kecemasan pasien sebelum operasi dengan anestesi spinal di RS Tugu Semarang. METODA PENELITIAN Jenis penelitian iniadalah penelitian eksperimental semu (quasy experiment) dengan rancangan Rancangan penelitian yang peneliti gunakan adalah pretestposttest without control group design. Pengambilan data awal tingkat kecemasan dilakukan 2 jam sebelum operasi. Kemudian responden diberikan aroma terapi dengan cara meneteskan 5 tetes aromaterapi (lavender oil) pada masker untuk dipakaikan selama 15 menit. Peneliti kemudian melakukan pengukuran kedua (post test) tingkat kecemasan yakni 1 jam sebelum operasi untuk dilakukan pengolahan dan analisis data.
kriteria: berusia 25-55 tahun; merupakan tindakan operasi elektif; merupakan pengalaman operasi yang pertama; belum pernah melakukan terapi dengan aromaterapi; dan menyenangi aromaterapi lavender. Pada penelitian ini besar sampel seluruhnya adalah 40 orang. Pengumpulan data menggunakan lembar kuesioner yang digunakan untuk mengumpulkan data karakteristik responden yang meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan. Data kecemasan diukur dengan menggunakan Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRSA). Masing-masing nilai angka (score) dari ke 14 kelompok gejala tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang yaitu <14 (tidak ada kecemasan), 14–20 (kecemasan ringan), 21–27 (kecemasan sedang), 28–41 (kecemasan berat), dan 42–56 (kecemasan berat sekali atau panic). Nilai validitas dan reliabilitas instrument penelitian memiliki nilai p < 0.05. Analisis data penelitian dilakukan dengan analisis univariat dan bivariat. Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan tingkat kecemasan responden sebelum dan setelah diberikan aromaterapi dengan nilai pemusatan datan (mean, SD) dan nilai penyebaran data (median, minimummaksimum). Analisis data bivariat dengan uji Saphiro-Wilk (karena data tidak berdistribusi normal).
Populasi penelitian ini adalah semua pasien yang dilakukan tindakan operasi dengan anestesi spinal di Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Tugu Semarang. Sampel penelitian adalah anggota polulasi dengan 130
130
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 129-134 Volume 2 November 2013 129-134
1. Karakteristik Sampel Penelitian
Tabel 1. Karakteristik sampel penelitian (n=40) Karakteristik Frekuensi Persentase a. Jenis kelamin 1) Laki-laki 23 57.5 2) Perempuan 17 42.5 b. Pekerjaan 1) PNS 2) Wiraswasta 3) Ibu rumah tangga 4) Petani 5) Buruh 6) Pelajar c. Pendidikan 1) SD 2) SMP 3) SMA 4) Diploma III
2 8 9 10 9 2
5.0 20.0 22.5 25.0 22.5 5.0
16 7 15 2
40.0 17.5 37.5 5.0
2. Tingkat Kecemasan Terdapat perubahan tingkat kecemasan antara sebelum dan setelah pemberian aromaterapi. Terbanyak responden mengalami cemas berat (sebelum aromaterapi), setelahnya lebih banyak pada tidak cemas dan cemas sedang (Tabel 2). Tabel 2. Tingkat kecemasan sebelum & setelah pemberian aromaterapi Setelah Sebelum Tingkat pemberian pemberian kecemasan aromaterapi aromaterapi f % f % Tidak cemas 6 15.0 16 40.0 Cemas ringan 7 17.5 7 17.5 Cemas sedang 11 27.5 17 42.5 Cemas berat 16 40.0 0 0.0 Total 40 100 40 100
Beradasarkan uji statistik dengan Wilcoxon diperoleh nilai p sebesar 0.00 lebih kecil dari alpha (0.05). Dengan demikian disimpulkan ada pengaruh pemberian aromaterapi terhadap tingkat kecemasan pasien sebelum operasi dengan anestesi spinal di RS Tugu Semarang (Tabel 3).
Tabel 3. Hasil uji statistik (Wilcoxon) Kondisi Perubahan N Mean Sum Nilai Rank of tingkat p kecemasan Ranks (pre-post) POST– Negative 36a 21.64 779.00 0.000 PRE Ranks Positive 4b 10.25 41.00 Ranks Ties 0c Total 40
Keterangan: a. Nilai kecemasan yang mengalami penurunan setelah intervensi b. Nilai kecemasan yang mengalami peningkatan setelah intervensi c. Nilai kecemasan sama antara sebelum dan setelah intervensi. PEMBAHASAN 1. Kecemasan sebelum pemberian aromaterapi Sebelum pemberian aromaterapi paling banyak tingkat kecemasan responden adalah tingkat cemas berat. Munculnya kecemasan berat tersebut dapat disebabkan karena tindakan operasi merupakan pengalaman yang pertama. Responden dalam penelitian ini adalah mereka yang sebelumnya belum pernah mengalami tindakan operasi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Palese, Cecconi, Moreale, dan Skrap (2012) bahwa mereka yang mengalami pengalaman pertama operasi terlebih operasi pada bagian tubuh yang vital, akan mengalami kecemasan yang lebih tinggi bahkan dapat mengalami depresi. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Jawaid, Mushtaq, Mukhtar, dan Khan (2007) dan penelitian oleh Roomruangwong, Tangwongchai, dan Chokchainon (2012) bahwa klien yang akan dioperasi untuk pertama kalinya memiliki tingkat kecemasan sebelum operasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang telah memiliki pengalaman operasi sebelumnya.
Pengaruh Pemberian Aromaterapi Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Sebelum Operasi Dengan 131 Pengaruh Pemberian Aromaterapi Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Sebelum Operasi Anestesi Spinal Di RS Tugu Semarang Dengan Anestesi Spinal DI RSRodhi TuguHartono Semarang Arwani, Iis Sriningsih, Arwani, Iis Sriningsih, Rodhi Hartono
131
2. Kecemasan setelah pemberian aromaterapi Setelah dilakukan pemberian aromaterapi tidak lagi ditemukan responden dengan kecemasan berat, namun terjadi peningkatan jumlah pada kategori kecemasan sedang dari 11 orang menjadi 17. Di lain sisi, terdapat peningkatan jumlah klien / responden yang tidak cemas dari 6 orang menjadi 16 orang setelah aromaterapi. Perubahan jumlah responden ke arah tingkat kecemasan yang lebih rendah ini dimungkinkan karena adanya intervensi yang diberikan yaitu aromaterapi. Aromaterapi diberikan untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan tubuh, pikiran, dan jiwa. Aromaterapi mempunyai efeknya positif karena aroma yang segar dan harum akan merangsang sensori dan resptor yang pada akhirnya mempengaruhi organ lain sehingga dapat menimbulkan efek kuat terhadap emosi dan mampu bereaksi terhadap stress. Aromaterapi mempunyai beberapa keuntungan sebagai tindakan supportive seperti efek relaksasi maupun perangsang, menenangkan kecemasan dan menurunkan depresi (Primadiati, 2003). 3. Pengaruh aromaterapi terhadap tingkat kecemasan Berdasarkan hasil uji statistik diketahui ada pengaruh pemberian aromaterapi terhadap tingkat kecemasan pasien sebelum operasi dengan anestesi spinal di RS Tugu Semarang (p < 0.05). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Kritsidima, Newton, dan Asimakopoulou (2010) melaporkan dalam penelitiannya bahwa pemberian aromateraphy lavender pada klien dengan masalah gigi secara signifikan menurunkan tingkat kecemasan jika dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberi lavender (p = 0.001). Penelitian yang dilakukan oleh Woelk dan Schlafke (2010) juga menunjukkan bahwa pemberian lavender sangat efektif untuk menurunkan tingkat kecemasan umum (generalized anxiety 132
132
disorder) dibandingkan dengan pemberian Lorazepam. Hasil penelitian oleh Conrad dan Adams (2012) menunjukkan bahwa pemberian aromaterapi dapat menurunkan secara signifikan tingkat kecemasan dan depresi pada wanita melahirkan dengan resiko tinggi. Dampak positif aromaterapi terhadap penurunan tingkat kecemasan ini disebabkan karena aromaterapi lavender diberikan secara langsung (inhalasi). Mekanisme melalui penciuman jauh lebih cepat dibanding rute yang lain dalam penanggulangan problem emosionl seperti stess dan kecemasan, termasuk sakit kepala, karena hidung/ penciuman mempunyai kontak langsung dengan bagian-bagian otak yang bertugas merangsang terbentuknya efek yang ditimbulkan oleh aromaterapi. Hidung sendiri bukanlah organ untuk membau, tetapi hanya memodifikasi suhu dan kelembaban udara yang masuk. Saraf otak (cranial) pertama bertanggung jawab terhadap indera pembau dan menyampaikan pada sel-sel reseptor. Ketika aromaterapi dihirup, molekul yang mudah mengguap dari minyak tersebut dibawa oleh udara ke “atap” hidung dimana silia-silia yang lembut muncul dari sel-sel reseptor. Ketika molekul-molekul itu menempel pada rambut-rambut tersebut, suatu pesan elektro kimia akan ditra nsmisikan melalui bola dan olfactory ke dalam sistem limbik. Hal ini akan merangsang memori dan respons emosional. Hipotalamus berperan sebagai relay dan regulator, memunculkan pesan-pesan ke bagian otak serta bagian tubuh yang lain. Pesan ya ng diterima kemudian diubah menjadi tindakan yang berupa pelepasan senyawa elektrokimia yang menyebabkan euporia, relaks atau sedative. Sistem limbic ini terutama digunakan untuk sistem ekspresi emosi (Koensoemardiyah, 2009). Namun demikian tidak selamanya pemberian lavender berdampak pada
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 129-134 Volume 2 November 2013 129-134
perubahan penurunan tingkat kecemasan. Muzzarelli, Force, dan Sebold (2006) melaporkan dalam penelitiannya bahwa tidak ada perbedaan tingkat kecemasan antara kelompok yang diberikan aromateraphy (lavender) dengan kelompok kontrol (tanpa aromaterapi) (p = 0.47). Walaupun tidak bermakna secara statistic, namun hasil penelitian Muzzarelli, et.al. (2006) melaporkan bahwa kelompok yang diberikan lavender merasa lebih nyaman. SIMPULAN Terdapat pengaruh pengaruh pemberian aromaterapi terhadap tingkat kecemasan pasien sebelum operasi dengan anestesi spinal di RS Tugu Semarang (p < 0.05). Disarankan perlunya pemberian aromaterapi yang sesuai keinginan klien sebelum dilakukan operasi guna menurunkan tingkat kecemasan sebelum operasi (preoperative anxiety), dan penelitian mendatang perlu adanya kelompok kontrol (pembanding) agar dapat dikontrol pengaruh pemberian aromaterapi terhadap penurunan tingkat kecemasan pada pasien sebelum operasi. DAFTAR PUSTAKA Aromatherapy. Diambil dari http//www. minyakherbal.com. Diakses tanggal 15 Februari 2012. Buckle, J. (2003). Clinical aromatherapy: Essential oil in practice. Second Edisition. New York : Churchill Livingtone. Bastard.J. &Tiran. D. (2006). Aromatheraphy and massage for antenatal anxiety: Its effect on the fetus. Diambil dari: www.aromatherapy.ir/article/aromath erapy2027pdf. diakses 5 Februari 2012. Conrad, P., & Adams, C. (2012). The effects of clinical aromateraphy for
anxiety and depression in the high risk postpartum woman – a pilot study. Complement Ther Clin Pract, 18(3), 164-8. Devita, M. L. (2008). Aromaterapi. Diambil dari: http://asic.lib.unair.ac.id/journal/abstra k/. diakses 10 Februari 2012. Davis. C., Cooke. M., Holzhauser. K., Jones. M, &Finucane. J. (2005). The effect of aromatherapy massage with music on the street and anxiety levels of emergency nurses, Australian Emergency Nursing Journal, 1-9. Hutasoid, A . (2002). Aromaterapi untuk pemula. Jakarta: GramediaPustaka. Hawari, D. (2008). Manajemen stess dan depresi. Jakarta: Balai PenerbitF KUI. Hale, G. (2008). Lavender-nature’ said to strees relief.Diakses10Februari2012: dari: www.aromatherapy-stresrelief.com. Indrati, D. (2009). Efektifitas terapi aroma lavender terhadap tingkat nyeri dan kecemasan persalinan kala I di Rumah Sakit dan Klinik Berslin Purwokerto. Diambil dari:www.digilib.ui.ac.id/file=pdf/abtra k-124684.pdf diakses tanggal 20 Februari 2012. Imura. M., Misau, H & Ushijima, H. (2005). The Psycolocal Effectsof Aromatherapy Massage in Healty Pospartum Mother. Journal of Midwifery Women Health, 1-7. Koensoemardiyah. (2009). A-Z aromaterapi untuk kesehatan, kebugaran, dan kecantikan. Ed 1. Yogyakarta: Andi. Keliat, B. A. (2001). Keperawatan jiwa: Konsep dan klinis. Jakarta: EGC. Kritsidima, M., Newton, T., & Asimakopoulou, K. 2010. The effect of
Pengaruh Pemberian Aromaterapi Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Sebelum Operasi Dengan 133 Pengaruh Pemberian Aromaterapi Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Sebelum Operasi Anestesi Spinal Di RS Tugu Semarang Dengan Anestesi Spinal DI RSRodhi TuguHartono Semarang Arwani, Iis Sriningsih, Arwani, Iis Sriningsih, Rodhi Hartono
133
lavender scent on Dental patient anxiety levels: A cluster randomizedcontrolled trial. Community Dent Oral Epidemiol, 38 (1), 83-87. Kuriyama, H., Watanabe, S., & Nakaya, T. (2005). Imunological and psychological benefits of aromatherapy massage. Diakses 15 Februari 2012 dari: http//ccam.oxfortdjournal.org. Mansjoer, A. dkk. (2005). Kapita selekta kedokteran. Edisi Ketiga, Jakarta: Media Aesculap. Maifrisco. (2005). Pengaruh aromaterapi terhadap stress mahasiswa. Diambil dari: http://www.scribd.com/doc/22355491 /Pengaruh-Aromaterapi. Diakses 5 Februari 2012. Maddocks-Jennings, W., &Wilkinson, J. M. (2005). Aromatherapy practicein nursing: Literaturereview. Journal of Advanced Nursing. Jawaid, M., Mushtaq, A., Mukhtar, S., &Khan, Z. (2007). Preoperative anxiety before elective surgey. Neurosciences, 12 (2), 145-148. Muzzarelli, L., Force, M., & Sebold, M. (2006). Aromateraphy and reducing preprocedural anxiety: A controlled prospective study. Gastroenterol Nurs, 29 (6), 466-71. Pailese, A., Cecconi, M., Moreale, R., & Skrap, M. (2012). Pre-operative stress, anxiety, depression and coping strategies adopted by patients experiencing their first or recurrent brain neoplasm: An explorative study. Stress Health, 28 (5), 416-25. Perez, C. (2003). Clinical aromatherapy
134
134
Part I: An introduction Into nursing practice. Clinical Journal of Oncology Nursing, 7(5). Potter, P. A. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep, proses dan praktik. Ed. 4. Terjemahan. Jakarta: EGC. Primadiati, R. (2002). Aromaterapi: Perawatan alami untuk sehat dan cantik. Jakarta: Gramedia. Roomruangwong, C., Tangwongchai, S., & Chokchainon, A. (2012). Preoperative anxiety among patients who were about to receive uterine dilatation and curettage. J Med Assoc Thai, 95 (10), 1344-51. Smeltzer, SC. &Bare, G. B. (2001). Buku ajar keperawatan medikal bedah Brunner & Suddart. Diterjemahkan oleh Monica Ester. Ed.8. Jakarta: EGC. Stuart, G. W. &Michele, T.L. (2001). Principles and practice of psychiatric nursing. Ed. 7. USA: Mosby Inc. Stuart, G W. &Sandra J. S. (1998). Buku saku keperawatan jiwa. Alih bahasaoleh Achir Yani S. Hamid. Editor edisi bahasa Indonesia oleh Yasmin Asih. Ed. 3. Jakarta: EGC. Turana, Y. (2008). Pijat aromaterapi.Diambil dari:http//www.Medicaholistik.com. Diakses 12 Februari 2012. Woelk, H., & Schlafke, S. (2010). A multicenter, double-blind, randomized study of the lavender oil preparation Silexan in comparison to Lorazepam for generalized anxiety disorder. Phytomedicine, 17 (2), 94-9.
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 129-134 Volume 2 November 2013 129-134
GAMBARAN RESPON BERDUKA PADA ANAK REMAJA DENGAN ORANGTUA BERCERAI DI SMP NEGERI 1 JATINANGOR KABUPATEN SUMEDANG Desi Purwanti1, Helwiyah Ropi2, Efri Widianti3 Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran, Kampus UNPAD Jatinangor, Sumedang, Indonesia email:
[email protected] ABSTRAK Anak remaja yang mengalami perceraian orangtua merasakan kehilangan dan perasaan berduka yang sangat mendalam, sama berdukanya ketika kehilangan orangtua karena meninggal. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui respon berduka pada anak remaja yang mengalami perceraian orangtua di SMP Negeri 1 Jatinangor. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan induktif. Teknik pengambilan data dengan wawancara mendalam dan tidak terstruktur. Informan yang berpartisipasi dalam penelitian ini berjumlah enam orang. Teknik analisa yang digunakan adalah dengan menggunakan konten analisa data. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak yang orangtuanya mengalami perceraian merasa marah, takut, dan sedih, berfikir kasih sayang yang diberikan oleh orangtuanya tidak sama lagi seperti ketika masih bersama, menaruh harapan agar kedua orangtuanya bisa kembali bersama dan ketikateringat pada saat proses perceraian berlangsung anak sering menangis, sering melamun, mudah tersinggung, malu berinteraksi dengan teman sebaya, dan dengan orangtua yang bercerai anak menyatakan jarang berkomunikasi lagi. Kesimpulan dari penelitian ini adalah respon berduka pada anak dengan orangtua yang bercerai mengalami respon kognitif, afektif, sosial dan perilaku. Rekomendasi penelitain ini adalah perawat komunitas hendaknya bekerjasama dengan bimbingan konseling dari sekolah dalam upaya memberikan konseling pada anak yang berduka karena perceraian orangtuanya sehingga anak dapat tetap menyelesaikan tugas perkembangannya dan berprestasi disekolah serta mencegah terjadinya masalah psikososial pada remaja Kata kunci : remaja, respon berduka, perceraian orangtua ABSTRACT Adolescents who experience parental divorce feel lost and very deep grief, grieve when they lose a parent the same as death. The purpose of this study to determine the grieving response in adolescents who experience parental divorce in SMP Negeri 1 Jatinangor. This research uses descriptive qualitative method with an inductive approach. Techniques of data collection with in-depth interviews and unstructured. Informants who participated in this study of six people. Analysis technique used is to use a content analysis of the data. Results of this study showed that children whose parents are going through divorce feel angry, scared, and sad, thinking of love given by her parents no longer the same as when they were together, wishing that her parents get back together and ketikateringat during divorce proceedings took place children often crying, frequent daydreaming, irritability, shame interact with peers, and with parents who divorced the child states rarely communicate anymore. The conclusion of this study is grieving response in children with divorced parents experiencing cognitive responses, affective, social and behavior. This recommendation is penelitain community nurses should work with the school guidance counselor in an effort to provide counseling to children who are grieving because of his parents' divorce so children can still complete the task progress and achievement in school and prevent the occurrence of psychosocial problems in adolescents Keywords: adolescents, grief responses, parental divorce
Gambaran Respon Berduka Pada Anak Remaja Dengan Orangtua Bercerai 135 Gambaran Respon Berduka Pada Anak Remaja Orangtua Bercerai Di SMP Negeri 1 Di Dengan SMP Negeri 1 Jatinangor Kabupaten Sumedang Jatinangor Kabupaten Sumedang Desi Purwanti, Helwiyah Ropi, Efri Widianti Desi Purwanti, Helwiyah Ropi, Efri Widianti
135
PENDAHULUAN Proses perceraian dimulai dengan suatu periode konflik perkawinan dengan lama dan intensitas beragam, diikuti oleh perpisahan, perceraian sebenarnya secara hukum, dan pembentukan kembali pengaturan kehidupan yang berbeda (Wong, 2009). Perceraian merupakan jatuhnya sebuah keluarga, yang seringkali memberikan pengalaman sakit yang mungkin berakibat jangka panjang seperti, kehilangan pendapatan dan berkurangnya ikatan orang tua (Brownlee, 2007). Perceraian membentuk sebuah jurang pada setiap anggota keluarga (Duvall, 1977). Hetherington (1972) dan Young dan Parish (1977) menemukan bahwa perceraian orang tua berhubungan dengan harga diri rendah dan kesulitan besar dalam interaksi perilaku dengan contoh klinis remaja. Banyak studi menunjukan bahwa konflik pada orang tua dan selama perpisahan dan setelah perpisahan bisa membuat dampak negatif pada anak-anak dengan psikologi yang baik (Buchanan, Maccoby, dan Dornbush, 1996). Anak remaja yang mengalami perceraian orang tua merasakan kehilangan dan perasaan berduka yang sangat mendalam sama berdukanya ketika kehilangan orang tua karena meninggal. Beasley and Beasley (2002) mempercayai bahwa anak remaja tidak suka melalui tahap berduka hal ini disebabkan karena konsekuensi negatif dari berduka yang disebabkan karena psikologi mereka tidak dilindungi oleh kemampuan kognitif yang kurang matang dan pemikiran konkrit yang bisa menstabilkan akibat keseluruhan berduka. Remaja bisa melalui masa berkabung yang baik jika ada dukungan orang terdekat dengan mereka sendiri dan tidak kehilangan bagian dari mereka seperti: tubuh, personaliti, dan hubungan yang berubah. Hasil dari wawancara dengan An. G usia 13 tahun mengatakan bahwa ketika mengetahui kedua orangtuanya bercerai anak G merasa sangat marah pada kedua 136
136
orangtua dan juga dirinya sendiri. Walaupun perceraian pada kedua orang tua saya An.G sudah berlangsung lama akan tetapi An.G belum bisa menerima kenyataan bahwa orang tuanya telah bercerai dan masih berharap bahwa orang tuanya bisa bersatu lagi bagaimanapun caranya. An. G merasa tidak yakin dengan prestasinya di sekolah dan saya tidak bisa berkonsentrasi pada saat disekolah. An. G merasa marah dengan Tuhan dan malas melakukan kegiatan ibadah. An. S usia 13 tahun menjelaskan bahwa orang tuanya sudah bercerai selama 3 bulan. An. B mengatakan ketika mengetahui orang tua bercerai, an.B menangis. An.B merasa tidak mempunyai arahan dan tidak percaya bahwa orang tuanya harus berpisah. An. A usia 13 tahun mengatakan bahwa perceraian yang dialami oleh orangtuanya sudah berlangsung cukup lama yaitu selama 10 tahun. Saat ini an A merasa sedih karena merasa berbeda dengan teman teman sebayanya yang masih mempunyai orangtua lengkap. Sekarang ibu saya sudah menikah lagi dan saya sudah mempunyai 2 adik dari ayah baru saya. Tetapi saya tidak pernah mau mengasuh adik saya, saya selalu membiarkan mereka main sendiri saja. Saya benci kalau adik-adik saya lebih diperhatikan oleh ibu saya. Saya dirumah sering bertengkar dengan ayah tiri saya dan masalahnya karena ibu dan ayah tiri saya tidak mendahulukan keinginan saya. Saya benci kalau saya harus di nomor duakan. METODE Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dekriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 1 Jatinangor Sumedang. Populasi pada penelitian ini adalah siswa siswi kelas 1 dan 2 SMP Negeri I Jatinangor yang orang tuanya bercerai yang berjumlah 30 orang. Teknik pengambilan informan dilakukan dengan cara purposive sampling. Kriteria yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah: 1. Siswa-siswi SMP Negeri I Jatinangor yang orang tuanya bercerai
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 135-147 Volume 2 November 2013 135-147
2. Anak remaja awal yang usianya 12-14 tahun 3. Anak remaja bersedia menjadi informan 4. Dapat mengungkapkan perasaannya dan bersikap terbuka 5. Berdasarkan lama orang tuanya bercerai dari: 9 bulan, 2 tahun, 3 tahun, 5 tahun dan 11 tahun. Setelah melakukan wawancara pada enam orang informan, data yang ada kemudian di analisa dengan tahapan antara lain: a. Mendengar hasil wawancara yang telah direkam, kemudian membuat suatu transkrip wawancara untuk masingmasing informan guna memperoleh pemahaman secara keseluruhan, dari data yang terkumpul. b. Membaca trnskrip secara berulang untuk memperoleh pemahaman secara menyeluruh isi transkrip yang telah dibuat. c. Mengidentifikasi content (isi) yang muncul dari setiap transkrip tersebut. d. Mengelompokkan, menjelaskan pertanyaan-pertanyan yang relevan dan mendukung content yang muncul. e. Merenungkan tema yang muncul dan isi dari keseluruhan hasil wawancara. f. Menuliskan content yang muncul dan mengilustrasikan sesuai pernyataan informan. g. Melakukan validasi dengan cara menyampaikan content yang muncul kepada informan yang bersangkutan dan meminta klarifikasinya. Klarifikasi content yang muncul tersebut telah dianalisa dan disetujui oleh pembimbing. h. Melakukan analisis terhadap pertanyaanpertanyaan yang ada agar tidak data yang bertolak belakang dengan isi transkrip yang ada. HASIL Respon Afektif Berdasarkan hasil penelitian bahwa semua informan menunjukan respon yang berbeda karena ketika orang tuanya bercerai usia anak berbeda-beda. Informan 3 dan 6 ketika orang tuanya bercerai usia mereka baru
berumur 3 dan 4 tahun jadi mereka belum mengerti tentang perceraian orang tua. Ketika anak mulai mengerti dengan keadaannya, anak akan merasakan sakit, sedih, kehilangan, marah, tidak rela, dan bingung. Hal ini dinyatakan oleh informan informan 3 dan 6 mengatakan bahwa “…saat mulai mengerti rasanya sakit sekali punya orang tua yang berpisah, ….sangat sedih dan kesal, “..saya aga sedih tidak punya orang tua..” dan “…saya marah punya orang tua yang bercerai…”. Informan 3 dan 6 mulai mengerti orang tuanya bercerai dan mulai mengerti tentang keadaannya ketika informan sudah duduk di bangku sekolah. Informan 2 dan 5 juga orang tuanya bercerai saat informan berusia 6 dan 9 tahun informan masih duduk di bangku SD informan mengatakan bahwa “Saya belum begitu mengerti…Tetapi saya rasakan waktu itu takut, sedih, dan marah”, “…saya bingung apalagi kan saya waktu itu masih kecil”, “saya tidak rela, saya merasa sedih orang tua saya bercerai” dan “saya merasa kehilangan orang tua saya…”. Informan 1 dan 4 orang tuanya bercerai ketika informan berusia 13 dan 12 tahun dan mereka sudah duduk di bangku SMP. Anak remaja lebih bisa mengungkapkan perasaannya ketika orang tuanya bercerai anak remaja lebih bisa mengungkapkan kekecewaannya pada orang tua. Informan 1 dan 4 mengatakan “…saya merasa sedih dan …paling saya rasakan adalah bingung”, “saya marah kepada orang tua, saya takut orang tua saya....” dan “...saya sangat sedih, malu, dan marah”. Respon kognitif Setiap anak berbeda dalam bereaksi dengan berbagai macam cara yang tidak spesifik pada umurnya. Hal ini ditujukan oleh informan 3 dan 6 ketika orang tuanya bercerai mereka masih balita, informan yang menyatakan bahwa “ dulu saya tidak merasakan apa-apa karena saya masih kecil”. Respon kognitif yang dirasakan informan 3 dan 6 ketika orang tuanya pertama kali bercerai yaitu informan 3
Gambaran Respon Berduka Pada Anak Remaja Dengan Orangtua Bercerai 137 Gambaran Respon Berduka Pada Anak Remaja Orangtua Bercerai Di SMP Negeri 1 Di Dengan SMP Negeri 1 Jatinangor Kabupaten Sumedang Jatinangor Kabupaten Sumedang Desi Purwanti, Helwiyah Ropi, Efri Widianti Desi Purwanti, Helwiyah Ropi, Efri Widianti
137
mengatakan “Saya tidak bisa tinggal bersama papah…” dan informan 6 mengatakan “saya tidak bisa melihat dan bersama mamah saya karena mamah saya langsung meninggalkan saya”. Ketika anak mulai mengerti keadaan orang tuanya anak baru merasakan perubahan dan perbedaan yang anak rasakan. Dari mulai perbedaan kasih sayang, anak merasa jadi malu dalam bersosialisasi, prestasi di sekolah menjadi menurun. Resiko perceraian orang tua dirasakan oleh semua informan ketika pertama kali orang tunya bercerai ataupun ketika anak baru mengerti, mereka menyatakan bahwa “…perhatian dan kasih sayang dari mereka sangat berkurang”, “…ketika belajar di sekolah saya jadi tidak bisa berpikir”. Banyak remaja tidak mampu menerima situasi ini begitu saja yang pada akhirnya anak masih merasakan resiko respon kognitif. Hal ini ditujukan oleh informan 1 yang menyatakan bahwa “Sering kepikiran, kenapa saya mengalami semua ini, kenapa orang tua saya harus bercerai, kenapa Allah memberikan cobaan kepada saya”, “…perhatian dan kasih sayang orang tua tidak bisa digantikan yang saya rasakan tetap berbeda kasih sayang dan perhatian dari nenek dan kakek”, “…sekarang rada susah mikir tapi saya tidak mau kepikiran itu terus bisa-bisa nilai saya di sekolah jelek semua”. Informan 1 orang tuanya sudah 9 bulan bercerai sehingga respon kognitif informan masih dalam penyesuaian diri. Informan 1 masih dalam tahap penolakan informan masih mengatakan kenapa semuanya terjadi kepadanya, walalupun kasih sayang dan perhatian sudah ada yang menggantikan tapi masih diraskan berbeda dan informan masih menolak dengan keadaannya yang sekarang. Hal ini juga ditujukan oleh informan 3 yang menyatakan bahwa” …perhatian dan kasih sayang dari mereka sangat berkurang”, “…ketika belajar di sekolah saya jadi tidak bisa berpikir”, “..saya ingin bisa 138
138
menerima… tapi untuk bisa menerima susah sekali, pasti ujung-ujungnya jadi kesel sendiri.”, “konsentrasi pada pelajaran disekolah masih tidak bisa berkonsentrasi”. Informan 3 orang tuanya sudah bercerai selama 10 tahun seharusnya informan sudah tidak merasakan perbedaan kasih sayang lagi dan sudah terbiasa dengan perceraian orang tuanya tetapi informan 3 belum bisa menerima keadaan orang tuanya. Respon kognitif yang dirasakan informan 3 masih dirasakan sampai sekarang sehingga informan 3 belum bisa menyesuaikan dengan perceraian orang tuanya. Orang tua bisa membantu mengatasi resiko perceraian dengan membantunya memproses emosinya dan membiarkannya membicarakannya. Dengan berjalannya waktu anak juga akan terbiasa dengan keadaan orang tuanya dan dampak dari perceraian itu sendiri akan berkurang. Hal ini ditujukan dengan pernyataan informan 2, 4, 5 dan 6 yang mengatakan bahwa “Sekarang sudah tidak begitu berdampak lagi”, “Masalah kasih sayang dan perhatian juga sudah tidak jadi masalah lagi karena nenek dan kakek sudah menggantikan itu semua”, “Sekarang saya tidak merasa malu lagi pada teman-teman saya…”. Informan 2, 4, 5 dan 6 lama orang tuanya bercerai sudah lebih dari 2 tahun dengan waktu yang lama itu anak sudah mulai bisa mengontrol perasaan dan resiko yang muncul. Bisa juga anak bisa menerima karena anak sudah mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari pengganti orang tua mereka yaitu, dari nenek dan kakek atau dari bibi atau paman. Walaupun hanya dari nenek dan kakek atau dari bibi dan pamannya tapi anak merasa kasih sayang dan perhatian itu cukup dan malah bisa menggantikan kasih sayang dari orang tuanya. Hal itu ditujukan pada pernyataan informan 6 yang menyatakan bahwa “sekarang sudah menerima semuanya”, “…saya tidak merasakan sedih dan kehilangan orang tua lagi”, “Saya tidak ingin kepikiran”, “…saya sudah menerima orang tua sudah bercerai…”, “…sekarang saya sudah biasa saja…”.
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 135-147 Volume 2 November 2013 135-147
Anak pada akhirnya akan belajar menerima perpisahan orang tuanya (Cole, 2004). Walaupun perceraian sangat menyakitkan buat anak tapi anak harus bisa belajar untuk menerima perceraian orang tuanya. Anak harus belajar hidup tanpa orang tuanya lagi dan harus bisa belajar menerima situasi ini. Hal ini ditujukan oleh pernyataan informan 2 dan 3 yang menyatakan bahwa “…saya ingin mulai menerima”, “..saya ingin bisa menerima… tapi untuk bisa menerima susah sekali, pasti ujung-ujungnya jadi kesel sendiri”. Keinginan anak akan menjadi pembelajaran buat anak supaya bisa menerima perceraian orang tuanya. Walaupun informan 4 dan 5 menyatakan bahwa “Saya bisa menerima semua ini….” tetapi informan 4 dan 5 sepenuhnya belum bisa menerima keadaan orang tuanya. Di lihat dari respon afektif mereka informan 2, 3, 4 dan 5 belum bisa menerima perceraian orang tua mereka. Respon perilaku Informan 3 dan 6 orang tuanya bercerai usia saat mereka berusia 3 dan 4 tahun mereka mengatakan bahwa “…saya tidak tahu perasaan saya bagaimana tapi katanya saya menjadi sering menangis, saya tidak mengerti apa-apa”, “…saya jadi rewel anaknya, cengeng bentar-bentar gampang nangis”, dan “…ngga tahu apa yang dirasain. Anak yang masih balita ketika orang tuanya bercerai anaknya menjadi gampang menangis, rewel, menjadi sangat ketergantungan orang tua. Cara anak bisa mengeluarkan emosinya yang terpendam. Hal ini dirasakan oleh informan 2 yang menyatakan ketika orang tuanya pertama kali bercerai saat anak baru berumur 6 tahun, informan menyatakan “…saya menjadi anak yang bandel malah sering bikin gara-gara di sekolah” padahal informan mengatakan dia kalau di rumahnya tidak pernah bandel, informan hanya bisa mengungkapakan kekesalannya di sekolah. Reaksi yang sama ditujukan oleh informan 1, 2, 3, 4 ,5 dan 6 ketika sedih dan marah
hal ini dapat dilihat dari pernyataan semua informan yang menyatakan bahwa “..saya biasa mengurung diri dikamar dan menangis sendiri”, “…suma bisa menangis kencang…”, “…saya diam tidak bilang apa-apa dan tidak melakukan apa-apa”. Anak secara normal akan merasa marah dan sedih dan harus diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan perasaan ini tanpa hukuman (Wong, 2009). Hal ini dapat dilihat dari pernyataan informan 5 yang menyatakan “…kadang saya bercerita kepada guru SD saya”. Anak merasakan lebih lega jika anak bisa menceritakan kekesalan dan kesediahan yang anak rasakan. Kemarahan dan kesedihan anak bisa anak luapkan dengan perilaku yang meledakledak. Hal ini ditujukan dari pernyataan informan 4 yang menyatakan bahwa “ sesudah orang tua bercerai saya menunjukan kemarahan saya waktu itu dengan cara kabur dari rumah ke rumah teman saya, saya tidak pulang-pulang selama 3 hari…”. Tindakan yang dilakukan anak merupakan bentuk protes anak karena anak tidak bisa mengungkapkan perasaan marahnya pada orang tuanya. Anak remaja meluapkan marah dan sedih mereka tidak bisa di hadapan orang tuanya ataupun di hadapan orang lain. Anak hanya bisa meluapkannya dengan diam, tidak melakukan apa-apa atau hanya dengan menangis sendiri. Hal ini ditujukan oleh pernyataan semua informan 1, 2, 3, 4 dan 5 yang menyatakan bahwa “..saya sedih dan marah saya tidak bisa apa-apa paling saya masuk kamar diam, nangis sendiri”. Informan 6 sudah tidak pernah lagi menangis dan marah-marah kepada orang tuanya hal ini dapat disebabkan informan tidak pernah lagi merasa kesedihan dan kemarahan. Hal ini ditujukan oleh pernyataan informan yang menyatakan bahwa “saya tidak pernah lagi menangis dan marah-marah gara-gara perceraian orang tua”. Hal ini disebabkan dari lamanya waktu perceraian orang tua yang
Gambaran Respon Berduka Pada Anak Remaja Dengan Orangtua Bercerai 139 Gambaran Respon Berduka Pada Anak Remaja Orangtua Bercerai Di SMP Negeri 1 Di Dengan SMP Negeri 1 Jatinangor Kabupaten Sumedang Jatinangor Kabupaten Sumedang Desi Purwanti, Helwiyah Ropi, Efri Widianti Desi Purwanti, Helwiyah Ropi, Efri Widianti
139
sudah lama terjadi informan 6 sudah melewati tahap berduka. Respon sosial Masalah yang akan sangat dirasakan perbedaannya oleh anak ketika ada acaraacara sekolah biasanya orang tua yang datang ke sekolah mungkin bagi anak yang orang tuanya bercerai yang datang nenek atau kakek atau mungkin hanya ibu atau ayahnya saja. Masalah lanjut yang yang terdapat pada anak termasuk pertanyaan tentang apa yang akan terjadi pada hari-hari istimewa seperti ulang tahun dan hari libur, apakah kedua orang tua akan datang pada acara sekolah, dan apakah anak akan tetap memiliki teman yang sama (Wong, 2009). Hal ini ditujukan oleh pernyataan informan 3 dan 6 bahwa “…pertama sekolah saya ,merasa malu karena orang tua saya…”. Perasaan malu yang dirasakan anak muncul karena anak merasa berbeda dengan orang lain, anak merasa mempunyai orang tua yang bercerai sangat memalukan. Hal ini ditujukan oleh pernyataan informan 2 yang menyatakan “Hubungan saya dengan orang tua saya sudah berbeda sekali. …jadi jarang ngobrol jadi saya merasa canggung…”. Walaupun anak bisa berkomunikasi dengan orang tuanya, anak tidak pernah bisa langsung dengan keduanya hal ini dapat disebabkan anak hanya dekat dengan salah satu orang tuanya saja. Hal ini ditujukan oleh pernyataan informan 1, 3, 5 dan 6 yang menyatakan bahwa “…hubungan saya dengan bapa saya, saya tidak tahu keadaanya dia sekarang saya tidak pernah ditelepon ataupun disms ngga pernah”, “Hubungan saya dengan orang tua baik-baik saja tapi cuma mamah saja kalau dengan papah saya tidak tahu”, “Hubungan saya dengan orang tua saya bisa dibilang baik tapi cuma sama bapa saya saja. Kalau mamah saya tidak tahu dia tidak pernah menghubungi saya dari saya dititipkan sama nenek sampai sekarang saya tidak pernah dihubungi oleh mamah saya”. Anak sudah bisa menerima perceraian orang tuanya jika anak sudah bisa 140
140
berhubungan normal lagi dengan orang lain dan orang tua. Anak bisa menerima keadaan perceraian orang tuanya jika orang tua bisa memberikan kasih sayang dan perhatiannya sebagai pendukung untuk anaknya. Sehingga anak bisa merasa nyaman ketika berhubungan dengan orang tuanya anak tidak akan merasa canggung. Hal ini ditujukan oleh pernyataan informan 4 yang menyatakan bahwa“Hubungan saya dengan orang tua baik. Walaupun saya jarang bertemu dengan mereka atau salah satu dari mereka, saya ingin bisa lebih menghargai dan bisa bersikap hangat. Anak juga bisa berhubungan dengan orang lain tanpa merasa malu atau hal-hal yang membuat anak merasa tidak nyaman ketika mereka sedang bersosialisasi dengan orangorang disekitarnya. Hal ini ditujukan oleh seluruh informan yang menyatakan “Hubungan saya dengan orang-orang disekitar saya baik, saya bisa berteman dengan siapa saja”. Walaupun anak belum sepenuhnya bisa menerima perceraian orang tuanya karena mereka belum bisa berhubungan baik dengan kedua orang tuanya, mereka hanya bisa berhubungan dengan salah satu orang tuanya. PEMBAHASAN Respon Afektif Respon yang pertama kali ditujukan oleh anak ketika orang tuanya bercerai adalah sedih, marah, kehilangan, sakit, takut, dan bingung. Respon yang umum anak rasakan terhadap perceraian orang tua yaitu: penyangkalan, kesedihan, luka, kehilangan, dan kemarahan (Cole, 2004). Selama perceraian, kemampuan koping orang tua mungkin menurun. Orang tua mungkin terlalu memikirkan perasaan, kebutuhan, dan perubahan kehidupannya sendiri sehingga mereka tidak mempunyai waktu dan tidak dapat mendukung anak-anaknya (Wong, 2009). Anak yang lebih merasakan sakit, kehilangan, dan cemas kasih sayang tidak akan didapatkannya lagi. Orang tua lebih mengurusi urusannya sendiri, ketika sudah bercerai orang tua tidak memikirkan perasaan anak. Anak biasanya langsung bisa menunjukan perbedaan perilaku dan
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 135-147 Volume 2 November 2013 135-147
emosi tapi orang tua tidak memperhatikannya. Anak ketika orang tuanya bercerai secara normal akan merasa sedih dan marah. Dalam penilaian terhadap alat penekan, respon afektif yang paling utama adalah reaksi kegelisahan yang takspesifik dan umum, yang kemudian diekspresikan sebagai emosi. Responrespon tersebut mungkin meliputi kesenangan, kesedihan, ketakutan, kemarahan, sambutan, ketidak-percayaan, pengharapan, dan keheranan (Stuart & Laraia, 2005). Anak usia sekolah sudah mulai mengerti keadaan yang dialami oleh orang tuanya, tentang perceraian orang tuanya dimana anak sudah mengerti bahwa orang tuanya tidak bisa tinggal bersama lagi. Anak sudah mulai mengerti dan memiliki pemahaman yang lebih tinggi tentang perasaannya sendiri anak sudah bisa mengungkapakan bahwa anak sedih dan marah orang tuanya berpisah. Anak mulai mengekspresikan perasaan sedih, marah, kesal dan bingung. Menurut Wong, 2009 menyatakan bahwa anak usia sekolah mungkin mampu mengungkapkan perasaan dan perubahan yang berhubungan dengan perceraian. Sebaiknya orang tua harus mengerti keadaan anak pada saat ini, karena anak sangat membutuhkan orang tuanya. Rasa kehilangan merupakan perasaan yang sangat dirasakan oleh anak. Anak yang tadinya merasakan orang tua tinggal bersama tiba-tiba harus dititipkan kepada nenek dan kakeknya atau anak jadi hanya tinggal dengan ibu atau hanya dengan ayahnya saja. Anak menjadi tidak merasakan kasih sayang dan perhatian orang tuanya secara lengkap malah anak merasakan kekurangan kasih sayang. Anak merasa ditolak dan tidak dicintai lagi oleh orang tuanya dan anak merasa ditelantarkan tidak diperhatikan lagi oleh orang tua yang meninggalkannya. Menurut Cole, 2004 menyatakan bahwa perhatian anak akan tersita oleh perasaan ditolak, kehilangan, dan konflik kesetiaan. Remaja merupakan masa dimana anak sedang mencari identitas dirinya masa ini
orang tua sangat dibutuhkan remaja untuk bisa membimbing remaja supaya bisa mendapatkan identitas dirinya. Remaja langsung merasakan perasaan kehilangan dan perasaan diabaikan orang tuanya. Remaja sudah mengerti dengan keadaan perceraian orang tuanya, remaja mengungkapkan perasaannya dengan berbagai cara. Tapi biasanya remaja merasakan sakit, ketakutan, kesedihan dan perasaan marah. Remaja akan mengungkapkan perasaan marahnya dengan marah-marah pada orang tuanya. Anak merasa tidak dibutuhkan dan merasa ditolak oleh orang tuanya. Perceraian orang tua menyebabkan remaja sering menjadi labil dan meluapkan kekesalannya dengan perilaku yang meledak-ledak atau malah menarik diri. Pengalaman remaja ketika orang tuanya bercerai sakit dan marah, tapi bagaimanapun itu lebih baik buat remaja untuk mengungkapkan perasannya karena itu akan menjadi stressor bagi remaja (O’halon, 2007). Remaja tidak lagi bisa menikmati kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya, apalagi dia harus tinggal dengan nenek dan kakeknya karena orang tuanya menitipkannya. Anak-remaja yang merasa diabaikan dan tak dicintai dapat merasakan rasa marah yang kuat. Menurut Cole, 2004 menyatakan, pengalaman negatif orang tua bercerai membuat remaja merasa diabaikan dan ditolak. Kemarahan yang terjadi disebabkan juga karena anak remaja merasa tidak dihargai karena ketika orang tua bercerai remaja tidak diberi kesempatan oleh orang tuanya untuk memberikan pendapatnya mengenai perceraian orang tuanya atau orang tua tidak memberi tahu terlebih dahulu kepada anak bahwa mereka akan bercerai. Perasaan-perasaan anak ketika orang tuanya pertama kali bercerai akan mereka rasakan kembali atau mungkin masih anak rasakan sampai sekarang. Perasaan anak ini tidak bisa hilang dikarenakan kemampuan orang tua yang mengasuh berkurang atau mungkin karena anak merasa masih merasa ditolak, diabaikan atau tidak dicintai lagi walaupun
Gambaran Respon Berduka Pada Anak Remaja Dengan Orangtua Bercerai 141 Gambaran Respon Berduka Pada Anak Remaja Orangtua Bercerai Di SMP Negeri 1 Di Dengan SMP Negeri 1 Jatinangor Kabupaten Sumedang Jatinangor Kabupaten Sumedang Desi Purwanti, Helwiyah Ropi, Efri Widianti Desi Purwanti, Helwiyah Ropi, Efri Widianti
141
sudah ada pengganti orang tua. Anak merasakan masih kekurangan kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya apalagi ayah atau ibunya sudah menikah lagi. Hal itu menjadikan anak tidak merasa nyaman lagi tinggal dengan keluarganya. Menurut Cole, 2004 menyatakan bahwa kemarahan mereka bisa bangkit karena alasan yang beragam, dan kadang-kadang mereka tidak memahami apa yang sebenarnya mereka rasakan bahkan hingga berthaun-tahun sesudahnya, mungkin saja anak masih merasa marah tentang kejadian itu Walaupun anak merasakan perasaan sedih dan marahnya tidak sesedih dan semarah dulu tapi anak mereka masih merasakan sedih ketika berada di situasi tertentu. Jadi perasaan marah dan sedih ketika orang tuanya bercerai dulu sekarang masih dia rasakan atau mungkin perasaan itu sudah berkurang tapi ketika anak punya masalah perasaan itu muncul lagi. Seperti ketika anak mempunyai masalah anak akan menjadi kesal sendiri di saat seperti itu anak membutuhkan dukungan dari orang tuanya tetapi ketika orang tuanya sudah berpisah anak merasakan orang tuanya menyianyiakannya, merasa tidak dicintai lagi. Kemarahan yang terjadi disebabkan juga karena anak remaja merasa tidak dihargai ketika orang tuanya bercerai remaja tidak diberi kesempatan oleh orang tuanya untuk memberikan pendapatnya mengenai perceraian orang tuanya atau orang tua tidak memberi tahu terlebih dahulu kepada anak bahwa mereka akan bercerai. Pengahrapan-pengharapan yang dulu dia pikirkan kini ada lagi keinginan keluarganya untuk bersatu lagi, tinggal bersama lagi dalam satu rumah dan itu menjadi harapan anak. Anak juga masih merasakan benci pada halhal yang membuat orang tuanya menjadi bercerai, ada semacam trauma yang dia rasakan. Anak menjadi marah kepada banyak hal yang menyebabkan orang tuanya bercerai. Pengalaman negatif saat orang tua bercerai menyebabkan anak menjadi trauma akan suatu hal. 142
142
Dengan perceraian orang tua, anak menjadi tidak bisa percaya pada orang apalagi jika perceraian orang tua disebabkan oleh orang lain. Itu akan memebuat anak menjadi susah untuk bisa mempercayai orang lain, anak menjadi tertutup kepada siapa pun. Menurut Cole, 2004 menyatakan anak-anak akan kehilangan kepercayaan kepada orang tuanya atau orang-orang disekitarnya Waktu yang lama bisa membuat kesedihan dan kemarahan anak berkurang malah tidak dirasakan lagi oleh anak. Waktu yang dibutuhkan untuk menerima perceraian mengatasi luka yang mereka rasakan bervariasi antara anak satu dengan anak yang lain, anak-anak memerlukan waktu untuk dapat bisa mengatasai amarah dan sedih mereka (Cole, 2004). Respon kognitif Perceraian orang tua memberikan resiko yang beragam pada anak. Resiko perceraian itu sendiri memberikan efek negatif dan positif pada anak, tapi sebagian besar anak merasakan resiko yang negatif seperti anak menjadi depresi sehingga kesehatan mental anak menjadi terganggu. Sebagian besar anak yang keluarganya mengalami perceraian anak mejadi kehilangan minat belajar dan konsentrasinya ketika belajar menurun. Perceraian orang tua rata-rata memberikan masalah-masalah emosi dan perilaku pada anak dan remaja (Brownlee, 2007). Anak melakukan hal seperti ini karena untuk menjauhkan dari perasaan penolakan dan rasa tidak dicintai lagi oleh orang tua. Resiko yang paling anak rasakan setelah orang tuanya bercerai ketika anak tidak merasakan kasih sayang dan perhatian orang tuanya lagi, kasih sayang dan perhatian dari orang tua dirasakan berbeda tidak seperti dulu. Respon kognitif memainkan suatu peran penting dalam proses adaptasi. Penilaian kognitif menengahi secara psikologis antara orang dan lingkungannya pada setiap pertemuan yang menekan jiwa; yaitu, kerusakan atau kerusakan yang potensial dievaluasi bergantung pada pengertian seseorang terhadap kekuatan situasi untuk memproduksi kesalahan dan sumber daya
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 135-147 Volume 2 November 2013 135-147
yang dimiliki seseorang untuk menetralisir atau menghadapi kesalahan tersebut (Stuart & Laraia, 2005). Resiko perceraian yang dirasakan balita ketika orang tuanya berpisah berbeda dengan yang dirasakan orang dewasa. Anak usia 3-5 tahun akan merasa ditelantarkan, bingung, dan terikat dalam fantasi untuk mencari pemahaman tentang perceraian (Wong, 2009). Resiko dari perceraian akan anak rasakan jika anak masih belum bisa menyesuaikan diri dengan keadaan orang tuanya yang sudah bercerai. Resiko perceraian akan terus dirasakan anak apabila orang tua tidak bisa membantu anak dalam mengatasi perasaannya anak dan orang tua hanya sibuk sendiri untuk menghindari perasaan kehilangannya. Semakin orang tua mengelak dari perceraian, semakin besar perasaan ditolak yang dirasakan anak dan ini menyebabkan efek dari perceraian orang tua akan terus dirasakan oleh anak. Banyak remaja tidak mampu menerima situasi ini begitu saja yang pada akhirnya anak masih merasakan resiko respon kognitif. Remaja akan bereaksi pada perasaan negatif dengan berpaling pada teman sebayanya untuk mencari dukungan (Cole, 2004). Remaja biasanya merasa nyaman jika dia berada di luar rumah ketika punya masalah dan bercerita pada teman-temannya. Ketika remaja berada diluar rumah merupakan bentuk pengungkapan perasaan remaja terhadap perceraian orang tuanya. Anak-remaja yang merasa diabaikan dan tak dicintai dapat merasakan rasa marah yang kuat. Menurut Cole, 2004 menyatakan, pengalaman negatif orang tua bercerai membuat remaja merasa diabaikan dan ditolak. Menurut Cole, 2004 menyatakan bahwa anak membutuhkan waktu untuk menerima situasi, sejalan dengan terbiasanya anak dengan kenyataan bahwa mereka tinggal hanya dengan satu orang tua dan jika ada dukungan serta pengertian dari kedua orang tuanya, reaksi-
reaksi semacam itu akan menghilang secara bertahap. Sebagian anak ada bisa menerima keadaan orang tuanya yang bercerai. Membuat anak bisa menerima keadaan perceraian orang tua membutuhkan waktu yang lama dan membutuhkan proses yang panjang. Anakanak butuh waktu untuk bisa menyesuaikan diri. Waktu yang lama bisa membuat kesedihan dan kemarahan anak berkurang malah tidak dirasakan lagi oleh anak. Waktu yang dibutuhkan untuk menerima perceraian mengatasi luka yang mereka rasakan bervariasi antara anak satu dengan anak yang lain, anak-anak memerlukan waktu untuk dapat bisa mengatasai amarah dan sedih mereka (Cole, 2004). Anak bisa menerima keadaan orang tuanya juga karena anak sudah mendapatkan kasih sayang, perhatian dan cinta yang sama seperti dulu dari orang tuanya jadi anak tidak merasa dibedakan oleh orang tuanya. Bisa juga anak bisa menerima karena anak sudah mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari pengganti orang tua mereka yaitu, dari nenek dan kakek atau dari bibi atau paman. Walaupun hanya dari nenek dan kakek atau dari bibi dan pamannya tapi anak merasa kasih sayang dan perhatian itu cukup dan malah bisa menggantikan kasih sayang dari orang tuanya. Respon perilaku Anak yang masih balita ketika orang tuanya bercerai anaknya menjadi gampang menangis, rewel, menjadi sangat ketergantungan orang tua. Balita cenderung mengekspresikan kekesalan, kekecewaan, dan emosi lainnya dengan menangis. Menurut Cole (2004) menyatakan pemahaman anak balita tentang perceraian balita menjadi kesulitan berpisah dengan orang tua, sulit jauh dari orang tua, menunjukan sikap mudah tersinggung seperti menangis dan rewel. Respon tingkah laku muncul sebagai hasil dari respon emosi dan fisiologis, sama baiknya dengan analisis kognitif seseorang terhadap situasi yang menekan jiwa (Suart & Laraia, 2005).
Gambaran Respon Berduka Pada Anak Remaja Dengan Orangtua Bercerai 143 Gambaran Respon Berduka Pada Anak Remaja Orangtua Bercerai Di SMP Negeri 1 Di Dengan SMP Negeri 1 Jatinangor Kabupaten Sumedang Jatinangor Kabupaten Sumedang Desi Purwanti, Helwiyah Ropi, Efri Widianti Desi Purwanti, Helwiyah Ropi, Efri Widianti
143
Reaksi perilaku anak ketika mengetahui orang tuanya bercerai anak hanya bisa menangis sendiri tetapi anak tidak bisa apaapa, mereka hanya bisa diam tidak bisa bilang apa-apa. Kesedihan merupakan reaksi yang mendalam bagi anak-anak ketika orang tuanya berpisah, kesedihan anak-anak dapat diekspresikan dalam bentuk tangisan dan sikap murung, menangis merupakan salah satu jalan yang digunakan anak untuk dapat mengatasi emosinya (Cole, 2004). Dari penelitian pada umumnya, anak ketika sedih dan marah anak hanya bisa menangis sendiri dan memendam perasaan kesal dan marahnya. Anak tidak pernah menunjukan perasaannya, anak tidak bisa mengungkapkan kekesalannya karena anak merasa takut pada orang tua. Anak mengungkapkan kemarahannya hanya dengan diam tidak bilang atau tidak melakukan apa-apa. Ketakutan anak-anak untuk tidak mengungkapkan perasaannya takut orang tuanya tersinggung dan tidak mencintainya lagi. Biasanya anak jika sedang marah dan sedih anak akan masuk kamar mengurung diri di dalam kamar sambil menangis. Ketika anak marah dan sedih sebenarnya anak merasakan kebingungan dengan keadaannya sekarang. Anak-anak perlu mengeluarkan perasaan mereka ketika anak sedih atau marah karena itu merupakan hal normal. Anak berhak ketika sedang sedih dan marah mengkomunikasikannya dengan orang yang dianggap bisa dipercaya dan dekat dengan anak karena anak jarang bisa mengkomunikasikan dengan orang tua. Anak tidak mengkomunikasikannya dengan orang tua karena banyak ketakutan yang dirasakan oleh anak jadi anak lebih memilih orang lain yang dia percaya untuk mendengarkan ceritanya. Seperti anak ketika sedih atau marah dia cerita kepada nenek atau mungkin bibinya yang dipercaya oleh anak. Anak secara normal akan merasa marah dan sedih dan harus diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan perasaan ini tanpa hukuman (Wong, 2009). 144
144
Reaksi anak walaupun perceraian orang tua sudah lama terjadi tetapi karena kesedihan dan kemarahan anak masih kadang masih muncul sehingga anak ketika sedang bersedih dan marah sebagian besar informan memiliki reaksi yang sama. Anak remaja ketika mereka sedang sedih dan marah karena perceraian orang tua menunjukan reaksi yang bermacam-macam. Anak remaja meluapkan marah dan sedih mereka tidak bisa di hadapan orang tuanya ataupun di hadapan orang lain. Anak hanya bisa meluapkannya dengan diam, tidak melakukan apa-apa atau hanya dengan menangis sendiri. Mungkin anak mempunyai emosi terpendam yang takut diungkapkannya di rumah lantaran takut membuat orang tua marah (Cole, 2004). Sebagian informan merasakan sedih dan marah tidak seperti dahulu, sedih dan marah mereka hanya ketika anak dalam masalah dan teringat kepada orang tuanya. Kebanyakan remaja tidak bisa membicarakan perasaan pribadinya dengan orang tuanya. Menurut Cole (2004) menyatakan bahwa kemarahan mereka bisa bangkit karena alasan beragam dan kadang-kadang mereka tidak memahami apa yang mereka rasakan. Respon sosial Setelah perceraian orang tua hubungan anak dengan orang tuanya menjadi tidak dekat malah sebagian besar anak menjadi susah berkomunikasi dengan orang tuanya, anak tidak bisa lagi bersikap terbuka dengan orang tuanya. Anak menjadi tidak nyaman ketika mereka berdekatan dengan orang tuanya. Menurut Potter & Perry (2006) menyatakan bahwa reaksi terhadap kehilangan orang tua bergantung pada kualitas hubungan. Respon sosial yang mungkin menjadi stress karena sifat dasar respon seseorang yaitu: pencarian makna ketika orang mencari informasi mengenai masalahnya, perlengkapan sosial, dan perbandingan sosial (Stuart & Laraia, 2005). Ketika anak masuk sekolah pertama kali anak merasakan berbeda dengan temantemannya yang mempunyai orang tua yang
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 135-147 Volume 2 November 2013 135-147
lengkap. Anak merasakan perbedaan kehidupan antara kehidupannya dengan kehidupan temannya. Biasanya anak akan merasakan malu ketika bertemu dengan komunitas baru. Anak akan menjadi canggung ketika dia akan berteman, dia merasa susah untuk berteman. Anak kesulitan ketika berteman dengan teman sebayanya (O’hanlon, 2007). Masalah yang akan sangat dirasakan perbedaannya oleh anak ketika ada acaraacara sekolah biasanya orang tua yang datang ke sekolah mungkin bagi anak yang orang tuanya berceraia yang datang nenek atau kakek atau mungkin hanya ibu atau ayahnya saja. Masalah lanjut yang yang terdapat pada anak termasuk pertanyaan tentang apa yang akan terjadi pada hari-hari istimewa seperti ulang tahun dan hari libur, apakah kedua orang tua akan datang pada acara sekolah, dan apakah anak akan tetap memiliki teman yang sama (Wong, 2009). Anak juga bisa berhubungan dengan orang lain tanpa merasa malu atau hal-hal yang membuat anak merasa tidak nyaman ketika mereka sedang bersosialisasi dengan orangorang disekitarnya. Menurut Suseno (2005) menyatakan bahwa orang yang sudah bisa menerima interaksi sosial dimulai lagi. Hal ini ditujukan oleh seluruh informan yang menyatakan “Hubungan saya dengan orang-orang disekitar saya baik, saya bisa berteman dengan siapa saja”. Walaupun anak belum sepenuhnya bisa menerima perceraian orang tuanya karena mereka belum bisa berhubungan baik dengan kedua orang tuanya, mereka hanya bisa berhubungan dengan salah satu orang tuanya. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan, bahwa respon afektif anak yang orang tuanya bercerai yaitu marah, takut, sedih, kehilangan, sering kepikiran, dan berharap orang tua untuk kembali lagi. Respon afektif pada informan 1, 2, 4, dan 5 sudah jarang anak rasakan hal ini dapat disebabkan dari lamanya perceraian orang tua. Respon afektif kadang muncul ketika
anak sedang ada masalah dan teringat akan orang tuanya. Sedangkan informan 3 respon afektifnya masih informan rasakan sampai sekarang. Dilihat dari lamanya waktu orang tuanya bercerai seharusnya respon afektif informan sudah tidak lagi dirasakan. Respon afektif informan 6 sudah tidak dirasakan lagi hal ini bisa disebabkan dari lamanya waktu perceraian orang tua informan sehingga anak sudah terbiasa dengan keadaannya sekarang. Respon kognitif yang dirasakan oleh informan 1 dan 3 masih informan rasakan. Informan 1 masih sering mengatakan katakata penolakan dan informan 3 merasakan bahwa kasih sayang orang tuanya tidak sama lagi seperti dulu walaupun informan 3 orang tuanya sudah lama bercerai. Respon kognitif ini masih dirasakan bisa disebabkan masih kekurangan perhatian dan kasih sayang orang. Respon kognitif pada informan 2, 4, 5 dan 6 sudah tidak lagi informan rasakan hal ini dapat disebabkan karena lamanya perceraian orang tua yang sudah lebih dari 2 tahun dan kasih sayang orang tua yang sudah bisa tergantikan. Respon perilaku pada informan 2 sampai 5 kadang muncul ketika anak merasa sedih dan marah hal ini disebabkan informan kadang masih teringat kepaada orang tuanya. Dilihat dari lama waktunya orang tua berceraia respon perlaku anak sudah jarang terjadi lagi. Informan 1 masih sering menangis dan marah karena perceraian orang tuanya hal ini dapat disebabkan perceraian orang tua yang belum lama terjadi, informan masih dalam tahap berduka sehingga anak masih sering teriangat kepada orang tuanya. Sedangkan informan 6 sudah tidak merasakan respon perilaku lagi hal ini dapat disebabkan karena anak sudah menerima perceraian orang tuanya. Respon sosial pada keseluruhan informan sudah bisa menjalin hubungan baik dengan orang lain. Walaupun anak baru bisa menjalin hubungan yang baik dengan salah satu orang tuanya saja tapi anak sudah bisa menjalin hubungan lagi dengan orang
Gambaran Respon Berduka Pada Anak Remaja Dengan Orangtua Bercerai 145 Gambaran Respon Berduka Pada Anak Remaja Orangtua Bercerai Di SMP Negeri 1 Di Dengan SMP Negeri 1 Jatinangor Kabupaten Sumedang Jatinangor Kabupaten Sumedang Desi Purwanti, Helwiyah Ropi, Efri Widianti Desi Purwanti, Helwiyah Ropi, Efri Widianti
145
tuanya. Informan tidak merasa malu lagi ketika berhubungan dengan orang lain. Respon berduka pada anak remaja dapat dilihat dari semua faktor-faktor respon yang terkait. Respon berduka tidak bisa dilihat dari salah satu factor respon saja tetapi dari keseluruhan factor yang terkait. Waktu lamanya orang tuanya bercerai tidak mempengaruhi anak bisa melewati respon berduka walaupun orang tuanya sudah lama bercerai tapi ada anak yang tahap respon berdukanya belum lengkap amalah menjadi kronis. Informan 3 walaupun orang tuanya sudah berceraia selama 10 tahun tapi responn afektif, respon kognitif dan respon perilakunya masih anak rasakan. Kondisi kronik merupakan perasaan kehilangan yang menetap dan berkelanjutan. Gejalagejala dari berduka dan gejala-gejala ini berpontensi menjadi kronis (Tomey & Aligood, 2006). Dilihat dari respon afektif, kognitif, perilaku dan sosial informan 1 belum lengkap tahap berdukanya informan masih pada tahap penolakan. Sedangkan informan 2, 4, dan 5 tahap berdukanya masih belum lengkap, informan pada tahap tawar menawar. Tahap berduka informan 3 pada tahap kemarahan, informan masih terlihat sedih, masih sering marah-marah ketika ingat perceraian orang tuanya dan informan masih meraskan kekurangan kasih sayang orang tua. Informan 6 tahap berdukanya sudah lengkap, informan sudah bisa menerima perceraian orang tuanya, informan sudah tidak lagi meraskan sedih, marah, tidak pernah lagi merasakan kekurangan kasih sayang orang tua dan informan sudah bisa berhubungan baik dengan orang lain dan orang tuanya. SARAN Perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan diharapkan dapat melaksanakan peran dan fungsinya perawat secara opimal, yaitu dengan melakukan konseling atau bekerja sama dengan pihak sekolah (BK) dalam memberikan informasi pada sekolah tentang konseling tahap-tahap respon berduka yang harus dilewati anak. 146
146
Memberikan penjelasan apa yang terjadi jika anak tahap berdukanya belum lengkap dan melebihi waktu normal berduka. Meningkatkan konseling pada anak yang mengalami perceraian dalam upaya agar remaja bisa melewati tahap berduka dengan baik dan membantu remaja supaya tahap berdukanya lengkap. Bagi ilmu keperawatan diharapkan, ada yang melanjutkan penelitian ini dengan meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi respon berduka pada anak remaja dengan orang tua bercerai. DAFTAR PUSTAKA Agustiani, H. 2006. Psikologi Perkembangan, Pendekatan Ekologi Kaitannya Konsep Diri dan Penyesuaian Diri pada Remaja. Bandung: PT Refika Aditama. Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta. Brocckop, D.Y dan Tolsma, H. T. M. 1999. Dasar-dasar Riset Keperawatan: edisi 2. Jakarta: EGC. Brownlee, A.C. 2007. The Effects of Divorce and Associated Stressors on Children and Adolescent. Available on line: http://grad.mnsu.edu/research/urc/jou rnal/URC2007journal/Brownlee.pdf. Cole, K. 2004. Mendampingi Anak Menghadapi Perceraian Orang tua. Jakarta: Pt. Prestasi Pustakaraya. Faisal, S. 2005. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: Grafindo Persada. Hidayat, A. 2008. Metode penelitian dan Teknik Analisa Data. Jakarta: Penerbit Salemba Merdeka Hurlock, E.B. 1997. Psiokologi Perkembangan. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama Kartono, K. 2007. Psikologi Anak, Psikologi Perkembangan. Bandung: CV. Mandar Maju. Lewis, D.K. 1988. Adolesencents’ Adaptation to Parental Separation or
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 135-147 Volume 2 November 2013 135-147
Divorce. Available on line: http://etd.lib.ttu.edu/theses/available/ etd-0226200931295005279178/unrestricted/31295 005279178.pdf Mar’at, S. 2008. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. Minangsari, D. 2009. Komunikasi Lancar Hindari Perceraian. Available on line: http://news.id.msn.com/lifestyle/okez one/article.aspx?cpdocumentid=3280. O’Hanlon, A, Patterson & J. Parham. 2007. Managing The Impact of Separation
and Divorce of Children. Available on line: http://auseinet.flinders.edu.au/files/rs esources/auseinet/divorce.pdf Potter&Perry.2005. Fundamental Keperawatan Edisi 4. Jakarta. EGC. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kulaitatif . Bandung: Alfabeta. Suseno, A. 2005. Pememnuhan KebutuhanDasar Manusia Kehilangan, Kematiandan Berduka dan Proses Keperawatan. Jakarta. CV Agung Seto Wong, D.L dan kawan-kawan. 2009. Buku Ajar Keperawatan Anak Edisi 6. Jakarta: EGC.
Gambaran Respon Berduka Pada Anak Remaja Dengan Orangtua Bercerai 147 Gambaran Respon Berduka Pada Anak Remaja Orangtua Bercerai Di SMP Negeri 1 Di Dengan SMP Negeri 1 Jatinangor Kabupaten Sumedang Jatinangor Kabupaten Sumedang Desi Purwanti, Helwiyah Ropi, Efri Widianti Desi Purwanti, Helwiyah Ropi, Efri Widianti
147
HUBUNGAN ANTARA BEBAN KELUARGA DENGAN KEMAMPUAN KELUARGA MERAWAT PASIEN PERILAKU KEKERASAN DI POLIKLINIK RUMAH SAKIT MARZOEKI MAHDI BOGOR Sri Suryaningrum1, Ice Yulia Wardani2 1.
Mahasiswa Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus FIK UI, Jl. Prof. Dr. Bahder Djohan, Depok, Jawa Barat-16424 2. Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus FIK UI, Jl. Prof. Dr. Bahder Djohan, Depok, Jawa Barat-16424 Email:
[email protected] ABSTRAK
Skizofrenia menduduki peringkat keempat sebagai penyakit yang membebankan di seluruh dunia. Salah satu manifestasi klinik dari skizofrenia adalah perilaku kekerasan. Beban berat yang dirasakan keluarga dapat menurunkan kemampuan keluarga merawat pasien dengan perilaku kekerasan. Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi hubungan beban dengan kemampuan keluarga merawat pasien perilaku kekerasan di Poliklinik Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor. Desain penelitian adalah analitikdengan tehnik purposive sampling terhadap 103 responden. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan signifikan antara beban dengan kemampuan keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan (P value<0,05). Peningkatan kemampuan keluarga merawat pasien perilaku kekerasan perlu dilakukan agar beban yang dirasakan keluarga menjadi berkurang. Kata kunci:Beban,Kemampuan, Keluarga,Perilaku kekerasan, Skizofrenia. ABSTRACT Schizophrenia is the fourth most burdening health problem in the world. One of the clinical manifestation of schizophrenia is violent behavior. Strenous burden perceived by the family could lower the ability of family to care for patient. The purpose of this study is to indentify the relationship of family’s burden and the family ability to care for patient with violent behavior at the Psychiatric Clinic of Marzoeki Mahdi Hospital of Bogor. This study used analitical design and collected 103 samples using the purposive sampling technique. This study result indicated a significant relationship between family’s burden and family ability to care for patient with violent behavior (p value < 0,05). Study showed it is necessary to increase family capability in caring for patient with abusive behavior in order to lower the burden perceived by the family. Key words: Burden, Ability, Family, Violent Behavior, Schizophrenia.
148
148
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 148-155 Volume 2 November 2013 148-155
PENDAHULUAN
Skizofrenia menduduki peringkat 4 dari 10 penyakit terbesaryang membebankan di seluruh dunia. Biaya yang dikeluarkan untuk perawatan yang diberikan keluarga dan terkait kejahatan serta terkait kesejahteraan akibat skizofrenia sebesar 33 miliar dolar setiap tahunnya di Amerika Serikat (Stuart, 2007). Hasil Riskesdas (2007) menjelaskan bahwa prevalensi gangguan jiwa di Indonesia adalah 4,6 0/00. Prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta (20,3 0/00) yang kemudian secara berturut-turut diikuti oleh Provinsi Nangro Aceh Darussalam (18,5 0/00), Sumatera Barat (16,7 0/00), Nusa Tenggara Barat (9,9 0/00), Sumatera Selatan (9,2 0/00). Prevalensi terendah terdapat di Maluku (0,9 0/00). Di RS Marzoeki Mahdi Bogor data yang di dapat dari bagian rekam medis pada tahun 2010 pasien skizofrenia yang dirawat inap berjumlah 9952 orang dan pasien rawat jalan berjumlah 1217 orang, sedangkan tahun 2011 pasien yang dirawat inap berjumlah 1549 orang dan yang rawat jalan berjumlah 15770 orang. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah pasien skizofrenia yang menjalani pengobatan rawat inap dan rawat jalan di RS Marzoeki Mahdi Bogor dalam satu tahun terakhir.
Pasien skizofrenia terutama yang mengalami perilaku kekerasan membutuhkan dukungan keluarga yang mampu memberikan perawatan secara optimal. Tetapi keluarga sebagai sistem pendukung utama sering mengalami beban yang tidak ringan dalam memberikan perawatan selama pasien dirawat di rumah sakit maupun setelah kembali ke rumah. Beban tersebut yaitu beban finansial dalam biaya perawatan, beban mental
dalam menghadapi perilaku pasien, dan beban sosial terutama menghadapi stigma dari masyarakat tentang anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa. Dampak dari beban yang dirasakan keluarga akan mempengaruhi kemampuan keluarga dalam merawat pasien. Jika keluarga terbebani kemungkinan keluarga tidak mampu merawat pasien dengan baik. Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu “Apakah ada hubungan antara beban keluarga dengan kemampuan keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan di Poliklinik RS Marzoeki Mahdi Bogor?” METODE Desain penelitian ini adalah desain analitik kategorik berpasangan, yaitu metode untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara beban keluarga dengan kemampuan keluarga merawat pasien perilaku kekerasan. Sampel yang diambil dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan teknik pengambilan sampel purposive sampling, yaitu dengan terlebih dahulu menentukan kriteria. Kriteria yang dipakai adalah inklusi. Kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu keluarga pasien yang anggota keluarganya mengalami skizofrenia dengan perilaku kekerasan dan pernah dirawat lebih dari 1 kali, keluarga bersedia dan mampu berpartisipasi dalam penelitian, serta tinggal serumah dengan pasien Alat pengumpulan data ini adalah kuesioner The Zarith Burden Interview versi bahasa indonesia, merupakan instrumen untuk variabel independen yaitu beban yang dirasakan keluarga. Kuesioner pengetahuan dan sikap keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan merupakan instrument untuk variable dependen. Pengolahan data sesuai dengan langkah-langkah edit data (editing), memberikan kode (coding),
Hubungan Antara Beban Keluarga Dengan Kemampuan Keluarga Merawat Pasien Perilaku Kekerasan 149 Hubungan Antara Beban Keluarga Dengan Kemampuan Merawat Perilaku Di PoliklinikKeluarga Rumah Sakit MarzoekiPasien Mahdi Bogor Kekerasan Di Poliklinik Sri Rumah Sakit Marzoeki Bogor Suryaningrum, Ice YuliaMahdi Wardani Sri Suryaningrum, Ice Yulia Wardani
149
memasukkan data dalam tabel (entry), dan membersihkan data (cleaning). Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis univariat dan bivariat. Analisis univariat dalam melakukan uji statistik menggunakan uji distribusi dan proporsi. Analisis bivariat pada penelitian ini menggunakan uji Chi Square karena variabel yang diteliti berjenis kategorik dan kategorik. Etika pengambilan data pada penelitian ini menggunakan prinsip manfaat, prinsip menghargai martabat manusia, prinsip keadilan dan prisip anonymity & Confidentiality. HASIL
Tabel 1 Distribusi Responden Berdasarkan Beban, Pengetahuan, Sikap dan Kemampuan Keluarga Dalam Merawat Pasien Perilaku Kekerasan di Poliklinik RS Marzoeki Mahdi Bogor, Tahun 2013 (n=103) Variabel Independen Jumlah Beban Keluarga Beban Berat Beban Sedang Beban Ringan Tanpa Beban Jumlah Variabel Dependen Pengetahuan Keluarga Sedang Tinggi Jumlah Sikap Keluarga Tidak Baik Baik Jumlah Kemampuan Keluarga Merawat Tidak Baik Baik Jumlah
Peresentase (%)
18 35 36 14 103
17,5 34,0 35,0 13,6 100
69 34 103
67,0 33,0 100
75 28 103
27,2 72,8 100
51 52 103
49,5 50,5 100
Tabel 1. Menjelaskan bahwa pada variabel beban keluarga terdapat 18 responden dengan beban berat, jumlah tersebut cukup 150
150
signifikan. Pada variabel pengetahuan keluarga menunjukkan mayoritas responden memiliki pengetahuan sedang 69 responden dan tinggi 34 responden. Variabel sikap keluarga menunjukkan 75 responden memiliki sikap tidak baik. Sedangkan variabel kemampuan keluarga terdapat 51 responden memiliki kemampuan tidak baik. Tabel 2 Hubungan antara Beban dengan Pengetahuan Keluarga dalam Merawat Pasien Perilaku Kekerasan di Poliklinik RS Marzoeki Mahdi Bogor Tahun 2013 (n=103) Beban Keluarga Beban Berat Beban Sedang Beban Ringan Tanpa Beban Jumlah
Pengetahuan Keluarga Sedang n % 13 72,2 26 74,3 23 63,9 7 50 69 67
Tinggi n % 5 27,8 9 25,7 13 36,1 7 50 34 33
P value
OR (95% CI) 0,385
0,38
0,346 0,565
Tabel 2. Menjelaskan bahwa terdapat 13 responden yang sudah memiliki pengetahuan tinggi tetapi masih mengalami beban yang berat dalam merawat pasien perilaku kekerasan. Hasil uji analisis menunjukkan tidak ada hubungan antara beban dengan pengetahuan keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan P value>0,05. Tabel3 Distribusi Hubungan Antara Beban Dengan Sikap KeluargaDalam MerawatPasien Perilaku Kekerasan di Poliklinik RS Marzoeki Mahdi Bogor Tahun 2013 (n=103) Beban Keluarga
Sikap Keluarga
Beban Berat Beban Sedang Beban Ringan
Tidak Baik N % 16 88,9 29 82,9 30 60
N 2 6 20
% 11,1 17,1 40
Jumlah
75
28
27,2
72,8
Baik
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 148-155 Volume 2 November 2013 148-155
P value
0,016
OR (95% CI) 0,188 0,310
Tabel 3. Menunjukkan bahwa terdapat 16 responden mengalami beban berat dan memiliki sikap tidak baik dalam merawat pasien perilaku kekerasan. Uji analisis menunjukkan adanya hubungan antara beban dengan sikap keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan P Value<0,05. Tabel 4 Distribusi Hubungan Antara Beban Dengan Kemampuan Keluarga Dalam Merawat Pasien Perilaku Kekerasan di Poliklinik RS Marzoeki Mahdi Bogor Tahun 2013 (n=103) Beban Keluarga Beban Berat Beban Sedang Beban Ringan Tanpa Beban Jumlah
Kemampuan Keluarga Sedang n % 13 72,2 21 60,0 14 38,9 3 21,4 69 67
Tinggi N % 5 27,8 14 40,0 22 61,1 11 78,6 34 33
P value
0,010
OR (95% CI) 0,105 0,182 0,429
Tabel 4. Menunjukkan bahwa terdapat 13 responden yang mengalami beban berat dan memiliki kemampuan tidak baik dalam merawat pasien perilaku kekerasan. Hasil uji analisis menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara beban dengan kemampuan keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan P value <0,05. PEMBAHASAN Beban Keluarga dalam Merawat Pasien Perilaku Kekerasan Pada analisis beban keluarga terdapat 17,5% atau 18 responden yang memiliki beban berat. Nuraenah, Mustikasari, & Putri (2012) mendukung penelitian ini bahwa beban keluarga dalam merawat anggota dengan riwayat perilaku kekerasan yaitu 95%. Beban berat yang dialami keluarga bisa dipengaruhi oleh berbagai hal diantaranya adalah faktor sosial ekonomi. Dalam hasil penelitian ini masih banyak keluarga yang merawat anggota keluarganya yang mengalami perilaku kekerasan memiliki penghasilan rendah, yaitu penghasilan terendah adalah Rp 150
000,- dan rata-rata penghasilan responden adalah Rp 1.178.640,-. Jumlah tersebut merupakan nominal yang sangat jauh dibawah standar UMR Bogor tahun 2013 yaitu Rp 2.002.000,-. Hal ini sesuai dengan penelitian Gururaj, Bada, Reddy dan Chandrashkar (2008) menemukan bahwa dari enam dimensi beban keluarga dengan skizofrenia, skor finansial memiliki ratarata yang paling tinggi. Oleh karena itu apabila keluarga tidak memiliki sumber dana yang cukup atau jaminan kesehatan, maka akan menjadi beban yang sangat berat bagi keluarga. Pengetahuan Keluarga dalam merawat pasien Perilaku Kekerasan. Pada hasil penelitian ini didapatkan bahwa mayoritas responden memiliki pengetahuan sedang yaitu 67,0% atau 69 orang dan tinggi 33,0% atau 34 orang. Riyandini (2011) mendukung penelitian ini yang menyebutkan bahwa tingkat pengetahuan pada keluarga pasien skizofrenia sebagian besar adalah tinggi (55,6%). Hal ini dimungkinkan dari kriteria keluarga yang ambil dalam penelitian ini adalah keluarga pasien yang pernah dirawat minimal satu kali, yang sering mendapatkan informasi maupun pendidikan kesehatan tentang cara merawat pasien perilaku kekerasan dari petugas kesehatan. Menurut Notoatmojo (2010) informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Pendidikan non formal tersebut dapat mempengaruhi pengetahuan keluarga tentang cara merawat pasien perilaku kekerasan menjadi tinggi. Dapat disimpulkan bahwa jika pengetahuan keluarga tinggi maka akan meningkatkan kemampuan keluarga dalam memberikan perawatan pada pasien perilaku kekerasan yang hasilnya pun akan menjadi optimal. Sikap Keluarga dalam Merawat Pasien Perilaku Kekerasan. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa mayoritas responden memiliki sikap tidak baik terhadap pasien sebanyak 75
Hubungan Antara Beban Keluarga Dengan Kemampuan Keluarga Merawat Pasien Perilaku Kekerasan 151 Hubungan Antara Beban Keluarga Dengan Kemampuan Merawat Perilaku Di PoliklinikKeluarga Rumah Sakit MarzoekiPasien Mahdi Bogor Kekerasan Di Poliklinik Sri Rumah Sakit Marzoeki Bogor Suryaningrum, Ice YuliaMahdi Wardani Sri Suryaningrum, Ice Yulia Wardani
151
orang. Penelitian ini didukung oleh Sonatha & Gayatri (2012) didapatkan hasil responden dengan sikap negative lebih banyak yaitu sebesar 53,6%. Bagi pasien jiwa yang mengalami perilaku kekerasan dan kronis membutuhkan waktu perawatan bertahun-tahu, yang dapat menjadikan keluarga mengalami kejenuhan dalam memberikan perawatan pada pasien sehingga bersikap tidak baik. Faktor lain adalah perilaku kekerasan yang dilakukan pasien terhadap keluarga.Menurut Keliat (2003) Perilaku kekerasan adalah tindakan menciderai orang lain, diri sendiri, merusak harta benda (lingkungan), dan ancaman secara verbal.Muesser & Gingerich (2006) juga menjelaskanbahwa anggota keluarga sering menjadi korban tindakan kekerasan yang dilakukan oleh penderita skizofrenia. Hal ini dapat diartikan bahwa Perilaku kekerasan yang dilakukan pasien terhadap keluarga sangat merugikan keluarga dan mempengaruhi sikap keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan. Perilaku tersebut yaitu pasien sering kasar bahkan sampai memukul terhadap keluarga, berkata-kata yang menyakitkan, merusak barang-barang keluarga, merusak dan mengganggu lingkungan. Dampak dari perilaku tersebut memungkinkan keluarga menjadi bersikap tidak baik terhadap anggota keluarganya yang mengalami perilaku kekerasan. Kemampuan Keluarga Dalam Merawat Pasien Perilaku Kekerasan. Kemampuan keluarga merupakan gabungan dari pengetahuan dan sikap keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa responden yang memiliki kemampuan tidak baik sebanyak 51 orang. Penelitian ini didukung oleh Hernawaty (2009) bahwa rerata kemampuan kognitif keluarga dalam merawat klien gangguan jiwa sebesar 32,15, dan kemampuan psikomotor 32,55. Fontaine (2003) menyatakan bahwa kemampuan keluarga ditentukan oleh kemampuan untuk manajemen stres yang produktif. Kelelahan fisik dan emosi selama merawat anggota keluarga dengan 152
152
gangguan jiwa sering melanda keluarga karena berkurangnya stress tolerance. Peneliti berpendapat bahwa ketidakmampuan keluarga bisa disebabkan karena keluarga mengalami kelelahan secara fisik maupun mental selama merawat anggota keluarganya yang mengalami perilaku kekerasan. Dampak yang di rasakan keluarga akibat perilaku kekerasan yang dilakukan pasien sangat mempengaruhi sikap keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan, sehingga kemampuan keluarga menjadi tidak baik. Hubungan Antara Beban dengan Pengetahuan Keluarga Dalam Merawat Pasien Perilaku Kekerasan Hasil penelitian didapatkan bahwa keluarga dengan beban berat memiliki pengetahuan sedang sebanyak 26 orang dan pengetahuan tinggi sebanyak 5 orang. Simatupang (2010) mendukung penelitian ini yang menyebutkan bahwa mayoritas responden (90%) memiliki pengetahuan yang baik tentang perilaku kekerasan termasuk definisi, tanda, dan gejala pasien dengan perilaku kekerasan. Peneliti berpendapat bahwa pengetahuan dalam merawat pasien perilaku kekerasan sudah dipahami oleh keluarga. Hal ini dikarenakan bahwa keluarga pasien yang pernah di rawat di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor telah mendapatkan pendidikan kesehatan dari petugas kesehatan. Yang menarik dari hasil penelitian ini adalah keluarga mengalami beban berat meskipun memiliki pengetahuan yang tinggi. Hal ini bisa dikarenakan beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain faktor sosial ekonomi yaitu pendapatan yang tidak memadai, keluarga yang tidak bekerja, dan keluarga dengan pendidikan yang rendah. Hal ini Sesuai dengan penelitian Gururaj, Bada, Reddy dan Chandrashkar (2008) menemukan bahwa dari enam dimensi beban keluarga dengan skizofrenia, skor finansial memiliki rata-rata yang paling tinggi. Oleh karena itu meskipun
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 148-155 Volume 2 November 2013 148-155
pengetahuan keluarga tinggi tetapi jika kondisi finansial rendah maka beban keluarga akan menjadi berat. Hubungan Antara Beban Dengan Sikap Keluarga Dalam merawat Pasien Perilaku Kekerasan Hasil penelitian ini terdapat responden yang mengalami beban ringan memiliki sikap tidak baik sebanyak 30 orang. Keluarga yang mengalami beban ringan dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu sosial ekonomi yang memadai, adanya sistem pendukung yang cukup dan keluarga memiliki konsep spiritual yang tinggi sehingga mampu beradaptasi untuk menerima penyakit yang diderita anggota keluarganya. Sesuai dengan konsep Potter & Perry (2005) yang menjelaskan bahwa spiritualitas secara signifikan membantu klien dan pemberi layanan untuk beradaptasi terhadap perubahan yang diakibatkan oleh penyakit kronis. Jika keluarga mengalami beban ringan maka sikap keluarga terhadap pasien perilaku kekerasan seyogyanya akan menjadi baik. Yang menarik dari penelitian ini adalah terdapat 30 responden mengalami beban ringan namun memiliki sikap yang tidak baik terhadap anggota keluarganya. Hal ini dimungkinkan karena dampak yang diterima oleh keluarga dari sikap pasien perilaku kekerasan. Sesuai dengan konsep Muesser & Gingerich (2006) bahwa anggota keluarga sering menjadi korban tindakan kekerasan yang dilakukan oleh penderita skizofrenia. Pasien yang mengalami perilaku kekerasan memberi dampak yang merugikan bagi keluarga sehingga keluarga bersikap tidak baik terhadap dirinya. Hubungan Antara Beban dengan Kemampuan Keluarga Dalam Merawat Pasien Perilaku Kekerasan. Pada hasil penelitian didapatkan bahwa keluarga dengan beban berat memiliki kemampuan tidak baik yaitu 13 orang. Hal ini bisa disebabkan oleh faktor sosial ekonomi antara lain kesulitan finansial,
keluarga tidak bekerja, dan pendidikan yang rendah. Beban tersebut termasuk dalam kategori beban obyektif. Nadya (2009) menjelaskan beban obyektif adalah berbagai beban dan hambatan yang dijumpai dalam kehidupan keluarga yang berkaitan dengan perawatan penderita gangguan jiwa, diataranya adalah beban biaya finansial yang dikeluarkan untuk merawat penderita. Sesuai dengan penelitian Gururaj, Bada, Reddy dan Chandrashkar (2008) menemukan bahwa dari enam dimensi beban keluarga dengan skizofrenia, skor finansial memiliki ratarata yang paling tinggi. Peneliti berpendapat jika kondisi sosial ekonomi tidak memadai maka beban yang dirasakan keluarga menjadi berat. Fontaine (2003) menjelaskan bahwa kemampuan keluarga ditentukan oleh kemampuan untuk manajemen stres yang produktif. Kelelahan fisik dan emosi selama merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa sering melanda keluarga karena berkurangnya stress tolerance. Teschinsky (2000) juga menjelaskan bahwa keluarga yang merawat anggota keluarga dengan perilaku kekerasan akan mengalami reaksi emosi terhadap gangguan dan stigma sosial yang ditimbulkan karena perilaku kekerasan dengan dampak lainnya. Dapat dimungkinkan hal inilah yang menyebabkan keluarga memiliki kemampuan tidak baik dalam merawat pasien perilaku kekerasan Keliat (2003) menjelaskan bahwa perilaku kekerasan adalah tindakan menciderai orang lain, diri sendiri, merusak harta benda (lingkungan), dan ancaman secara verbal. Muesser & Gingerich (2006) juga menjelaskan bahwa anggota keluarga sering menjadi korban tindakan kekerasan yang dilakukan oleh penderita skizofrenia. Hal ini dapat diartikan bahwa Perilaku kekerasan yang dilakukan pasien terhadap keluarga sangat merugikan keluarga dan mempengaruhi sikap keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan menjadi tidak baik.
Hubungan Antara Beban Keluarga Dengan Kemampuan Keluarga Merawat Pasien Perilaku Kekerasan 153 Hubungan Antara Beban Keluarga Dengan Kemampuan Merawat Perilaku Di PoliklinikKeluarga Rumah Sakit MarzoekiPasien Mahdi Bogor Kekerasan Di Poliklinik Sri Rumah Sakit Marzoeki Bogor Suryaningrum, Ice YuliaMahdi Wardani Sri Suryaningrum, Ice Yulia Wardani
153
Hasil uji analisis penelitian menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara beban dengan kemampuan keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan (P Value<0,05). Hal ini dimungkinkan bahwa beban keluarga sangat mempengaruhi kemampuan keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan. Jika keluarga terbebani maka keluarga tidak mampu merawat pasien perilaku kekerasan secara baik. KESIMPULAN Berdasarkan data demografi di Poliklinik RS Marzoeki Mahdi Bogor yaitu responden penelitian sebanyak 103 orang dengan kelompok usia rata-rata responden adalah 50,46 tahun. Jenis kelamin responden mayoritas Perempuan. Tingkat pendidikan responden mayoritas Sekolah. Pekerjaan responden mayoritas tidak bekerja. Penghasilan responden rata-rata Rp 1.178.640,-. Hubungan dengan pasien mayoritas adalah ibu. Karakteristik pasien berdasarkan usia didapatkan hasil bahwa rata-rata usia pasien adalah 34 tahun. Jenis kelamin pasien mayoritas laki-laki. Pendidikan pasien mayoritas SD dan SMU. Jenis pekerjaan pasien mayoritas tidak bekerja atau IRT. Berdasarkan hasil penelitian bahwa responden mayoritas dengan beban keluarga ringan dan sedang. Responden mayoritas memiliki pengetahuan sedang dan sikap tidak baik.Kemampuan responden dalam merawat pasien perilaku kekerasan di Poliklinik RS Marzoeki Mahdi Bogormemiliki kemampuan baik lebih tinggi dari pada kemampuan tidak baik, tetapi jumlah kemampuan tidak baik cukup signifikan. Berdasarkan uji analisis didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara beban dengan tingkat pengetahuan keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan, nilai P value > 0.05. Ada hubungan yang signifikan antara beban dengan sikap keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan P value < 0,05, dan ada hubungan yang signifikan antara beban keluarga dengan kemampuan keluarga 154
154
dalam merawat pasien perilaku kekerasan P value > 0,05. DAFTAR PUSTAKA Depkes.(2007).Riset kesehatan dasar.Jakarta: Balitbangkes Depkes.RI. Fontaine,K.L.(2003) Mental health nursing.New jersey.Pearson Education.Inc. Gururaj,G.P.,Bada,M.S.,Reddy,J.Y.C.,&Ch andrashekar.,C.R.(2008) Family burden, quality of life and disabilityin obsesive compulsive disorder;in Indian perspective.J Postgradmed, 91-97. Hernawati.T.(2009) pengaruh terapi suportif keluarga terhadap kemampuan keluarga merawat klien gangguan jiwa di kelurahan Bubulak Bogor Barat. Depok. Tesis. FIK UI Keliat, B.A.(2003) Pemberdayaan klien dan keluarga dalam perawatan klien skizofrenia dengan perilaku kekerasan di RSJP Bogor. Disertasi. Jakarta. Mueser, K.T& Gingerich,S.(2006) The complete family guide to schizophrenia. New York: Guilford press. Nadya.R.(2009) Gambaran kebahagiaan dan karakteristik positif wanita dewasa madya yang menjadi caregiver informal penderita skizofrenia. Depok: Fakultas psikologi UI. Notoatmodjo.(2010)Ilmu perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nuraenah, Mustikasari, Putri.Y.S.E (2012) Hubungan dukungan keluarga dan beban keluarga dalam merawat anggota dengan riwayat perilaku kekerasan di RS Jiwa Islam klender jakarta Timur. Depok.FIK.UI .Tesis. Potter & Perry (2005) Fundamental of nursing; Concept process and practice four edition. Philadelphia: Mosby Year Book. Inc. Riyandini.R..F.,Saraswati.H.R.,&Meikawat i.W.(2011).Faktor-faktoryang berhubungan dengan kekambuhan pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Amino Gondoutomo Semarang. Simatupang.(2010). Hubungan tingkat pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dengan kesiapan keluarga
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 148-155 Volume 2 November 2013 148-155
merawat pasien di rumah.Respiratory usu ac.id/handle/123456789/20141. Diperoleh 7 Mei 2013. Sonatha.B.,Gayatri.D (2012) Hubungan tingkat pengetahuan dengan sikap keluarga dalam pemberian perawatan pasien pasca stroke. Depok: FIK UI Skripsi
Stuart.G.W. (2007) Buku saku keperawatan jiwa edisi 5. Alih bahasa Kapoh.R.P &Komarayuda.E.Jakarta: EGC. Teschinky, U. (2000). Living with schizophrenia: the family illness experience.Online J Issues Nurs. Diakses 8 mei 2013.
Hubungan Antara Beban Keluarga Dengan Kemampuan Keluarga Merawat Pasien Perilaku Kekerasan 155 Hubungan Antara Beban Keluarga Dengan Kemampuan Merawat Perilaku Di PoliklinikKeluarga Rumah Sakit MarzoekiPasien Mahdi Bogor Kekerasan Di Poliklinik Sri Rumah Sakit Marzoeki Bogor Suryaningrum, Ice YuliaMahdi Wardani Sri Suryaningrum, Ice Yulia Wardani
155
KONSEP DIRI ANAK JALANAN USIA REMAJA DI WILAYAH SEMARANG TENGAH Pangestika Putri Wahyu Kumalasari1), Diyan Yuli Wijayanti2) 1) Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro (email:
[email protected]) 2) Staf Pengajar Departemen Jiwa dan Komunitas Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, universitas Diponegoro (email:
[email protected]) ABSTRAK Konsep diri anak jalanan merupakan cara pandang atau persepsi mengenai dirinya dan berpengaruh ketika berhubungan dengan orang lain. Perkembangan konsep diri anak jalanan perlu untuk diketahui karena mereka memiliki kehidupan yang berbeda. Perubahan yang terjadi selama masa remaja akan mempengaruhi terbentuknya konsep diri. Penelitian yang dilakukan oleh Yudit Oktaria. K. P tahun 2007 menunjukkan bahwa konsep diri yang dimiliki anak jalanan usia remaja adalah konsep diri yang negatif. Hal ini terlihat dari sebagian besar anak jalanan memandang dirinya secara negatif. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui karakteristik dan gambaran konsep diri beserta komponen konsep diri anak jalanan usia remaja di Wilayah Semarang Tengah. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Pengambilan sampel dengan cara konsekutif sampling dengan jumlah sampel 100 responden. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 75% anak jalanan berjenis kelamin laki-laki dengan tingkat pendidikan 72% anak jalanan lulusan sekolah dasar dan 56% nya bekerja sebagai pengamen. Komponen konsep diri 66% anak jalanan memiliki citra diri yang cukup, 77% anak jalanan dengan ideal diri cukup, 80% anak jalanan memiliki harga diri yang cukup, 67% anak jalanan memiliki peran yang cukup baik, dan 61% anak jalanan memiliki identitas diri yang cukup. Secara umum, sebagian besar anak jalanan yaitu 69% anak jalanan memiliki konsep diri yang cenderung cukup baik. Hal ini sudah menunjukkan hasil yang baik bagi anak jalanan sesuai dengan kondisi yang mereka alami. Pelayanan bagi anak jalanan perlu ditingkatkan terutama yang berkaitan dengan bimbingan atau pengasuhan yang bersifat psikologis. Selain itu anak jalanan agar dapat meningkatkan kemampuan dalam menilai diri. Kata kunci:Konsep Diri, Anak Jalanan, Remaja ABSTRACT The self concept of street children is the point of view or perception of himselves and influential when dealing with others. The development of self concept of street children need to know because they have different life with others. Changes during adolescence will influence the formation of self concept in adolescence. In a study conducted be Yudit Oktaria K. P in 2007 showed that the self concept of teenager street children is negative self concept. This can be seen from the most of street children see themselves negatively. The research aimed to determine the characteristics and the self concept description of street age adolescent in Central Semarang. The type of this study is descriptive research. The research used consecutive sampling with 100 respondents. The data was collected by questioners. The results showed that75% of street children were boys and 72% of them had elementary school as their education level and 56% of street children were working as musicians. This research also showed that 66% of street children had enough self-image, while 77% with the ideal self-sufficient, 80% had enough self-esteem, 67% had good enough role, and 61% had enough self-identity. In general, most of street children were 69% who have self-concepts tend to be pretty good. It is already good result for street children in accordance with their experienced. Service for street children need to be improved especially that related to guidance or psychological care. Beside that street children in order to improving the ability to assess themselves. Key words: Self-concept, Street Children, Teenager
156
156
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 156-160 Volume 2 November 2013 156-160
PENDAHULUAN Remaja atau adolescent adalah periode perkembangan dimana individu mengalami perubahan dari masa kanakkanak menuju dewasa, masa ini terjadi ketika individu berusia antara 13-20 tahun (Potter & Perry, 2005). Pada masa remaja akan terjadi berbagai macam perubahan yang meliputi perubahan fisik, emosional, intelektual, sosial, dan spiritual, termasuk perubahan konsep diri yang akan mempengaruhi awal dan akhir masa remaja (Rudolph, 2006). Perubahan yang terjadi selama masa remaja menyebabkan mereka berisiko mengalami gangguan tingkah laku, kenakalan dan terjadinya kekerasan, baik sebagai korban atau pelaku dari tindak kekerasan (Wong, 2008). Kelompok remaja yang berisiko mengalami masalah tersebut adalah anak jalanan. Anak jalanan adalah mereka yang berumur sekitar atau kurang dari 21 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalan dengan bekerja untuk dapat memenuhi kebutuhan ekonomi atau hanya untuk hidup dijalan (Permadie, 1999). Fenomena anak jalanan adalah salah satu masalah yang kompleks dan berkaitan dengan masalah sosial lain, terutama kemiskinan. Menurut data dari RPSA “Anak Bangsa” pada tahun 2011 jumlah anak jalanan usia remaja di wilayah semarang tengah mencapai 133 (RPSA Anak Bangsa, 2011). Konsep diri anak jalanan berbeda dengan konsep diri anak pada umumnya. Hal ini disebabkan karena anak jalanan memiliki latar belakang sosial ekonomi yang berbeda dengan anak-anak yang lain. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Yunda Pramuchtia dan Nurmala KP, sebanyak 90% anak jalanan memiliki konsep diri yang cenderung positif yang ditandai dengan adanya anggapan bahwadirinya adalah seorang yang pekerja keras, mandiri, kreatif dan tegar. Sisi kehidupan anak jalanan yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya berpengaruh terhadap konsep diri yang dimilikinya (Pramuchtia, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Atwar Bajari, anak jalanan memaknai peran
dirinya dalam keluarga dan masyarakat sebagai individu yang mandiri, bertanggungjawab pada diri dan keluarga, otonom atau berusaha melepaskan diri dari ketergantungan dengan orang lain, dan individu yang berusaha memiliki hubungan sosial dalam konteks di jalanan (Bajari, 2009). Hasil wawancara yang telah dilakukan terhadap anak jalanan menunjukkan bahwa mereka terpaksa hidup dijalan dengan alasan orang tua mereka tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Meskipun mereka terlihat berani ketika mencari uang dijalan, namun sebenarnya tetap terdapat perasaan takut dan malu di dalam dirinya ketika harus mencari uang dijalan. Penelitian yang dilakukan oleh Yudit Oktaria K. P pada tahun 2007 menunjukkan bahwa secara umum konsep diri yang terbentuk pada anak jalanan adalah konsep diri yang negatif. Hal ini terlihat dari sebagian besar anak jalanan memandang dirinya secara negatif. Anak jalanan merasa tidak diurus oleh keluarganya sehingga memilih untuk tinggal dijalan. Selama mereka beraktivitas dijalan, mereka pernah dikejar-kejar oleh tantib sehingga mereka merasa bahwa mereka adalah seseorang yang tidak dekehendaki (Yudit Oktaria. K. P, 2007). Oleh karena itu konsep diri anak jalanan perlu dipahami karena konsep diri akan berdampak padakarakter pribadi yang dimiliki anak jalanan (Pramuchtia, 2010). Dengan memahami perbedaan konsep diri anak jalanan berdasarkan karakteristik mereka maka pembinaan anak jalanan akan tepat sasaran sesuai dengan konsep diri yang mereka miliki (Muslim, 2004). Dari latar belakang diatas peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana gambaran konsep diri yang dimiliki anak jalanan pada usia remaja di wilayah semarang tengah. METODE Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Pengambilan sampel dengan cara consecutive sampling. Jumlah populasi anak jalanan usia remaja di
Konsep Konsep Diri Anak Jalanan Usia Remaja Semarang Tengah157 Diri Anak Jalanan Usia RemajaDi Di Wilayah Wilayah Semarang Tengah Pangestika Putri Wahyu Diyan Yuli Wijayanti Pangestika Putri WahyuKumalasari, Kumalasari, Diyan Yuli Wijayanti
157
wilayah semarang tengah sebanyak 133 responden dan jumlah sampel 100 respoden. Penelitian ini dilakukan di RPSA “Anak Bangsa” Semarang. Alat penelitian yang digunakan berupa kuesioner yang terbagi menjadi 2 bagian. Bagian A menjabarkan mengenai karakteristik responden, bagian B mengenai konsep diri yang terdiri dari 5 komponen. Uji content kuesioner dilakukan pada 3 orang expert yang berkompeten di bidang keperawatan jiwa. Hasil yang didapatkan adalah 40 pertanyaan relevan. Uji validitas dengan Pearson Product Moment dengan nilai rhitung ≥ 0,361 didapatkan hasil 32 pertanyaan valid. Uji reliabilitas denganAlpha Cronbach dengan nilai alpha cronbach > 0,60. Analisis data dilakukan dengan analisa univariat HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik anak jalanan Tabel 1 Karakteristik anak jalanan usia remaja di wilayah semarang tengah Mei 2012 (n=100) Karakteristik responden F n=100 (%) 1. Usia 11 10 10 12 4 4 13 3 3 14 4 4 15 13 13 16 17 17 17 14 14 18 21 21 19 7 7 20 7 7 2. Jenis Laki-laki 75 75 Kelamin Perempuan 25 25 3.
Tingkat pendidikan
4.
Pekerjaan
SD SMP SMA Pengamen Pengemis Tukang parkir Tukang koran
72 19 9 56 41 2
72 19 9 56 41 2
1
1
Tabel 1 menunjukkan karakteristik anak jalanan. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa usia responden tersebar 158
158
dalam batas usia yang ditentukan dan paling banyak yaitu 21% berada pada usia 18 tahun dan 17% berusia 16 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa anak jalanan berada pada usia produktif yang seharusnya mampu menggunakan kemampuannya untuk melakukan hal yang bermanfaat. 75% responden berjenis kelamin laki-laki dan hanya 25% berjenis kelamin perempuan. Sebagian besar yaitu sebanyak 72% tingkat pendidikan anak jalanan pada Sekolah Dasar. Pada umumnya anak jalanan yang tidak menyelesaikan sekolahnya karena orang tua mereka tidak mampu untuk membiayai sekolah (Pramuchtia, 2010). Jenis pekerjaan yang dominan dilakukan anak jalanan adalah pengamen yaitu 56%. Mereka memilih menjadi pengamen karena mereka dapat mendapatkan uang dengan cepat dan tidak terikat aturan meskipun jumlahnya tidak tetap setiap harinya. Ratarata anak jalanan bekerja dijalan selama 6 jam setiap harinya (Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, 2008) Konsep diri anak jalanan Tabel 2 Konsep diri anak jalanan usia remaja di wilayah semarang tengah Mei 2012 (n=100) Kategori Variabel Baik Cukup Kurang 1. Citra diri 16% 66% 18% 2. Ideal diri 13% 77% 10% 3. Harga diri 16% 80% 4% 4. Peran 11% 67% 22% 5. Identitas diri 28% 61% 11% 6. Konsep diri 14% 69% 17%
Tabel 2 menunjukkan kategori konsep diri dan komponennya. Pada komponen citra diri, 66% anak jalanan memiliki citra diri yang cukup baik. Citra diri yang cukup baik ini ditandai dengan adanya perasaan bahwa dirinya memiliki penampilan yang menarik dan sesuai yang diharapkan. Walaupun badan atau fisik mereka kotor atau dekil namun mereka masih memakai pakaian yang masih layak. Bahkan ada anak jalanan yang memakai aksesoris dan tidak jarang anak jalanan yang mengamen memakai sepatu (Pramuchtia, 2010). Namun masih ada anak
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 156-160 Volume 2 November 2013 156-160
jalanan yang memiliki citra diri kurang baik yaitu sebesar 18%. Hal ini terlihat dari persepsi mereka yang menganggap tubuhnya tidak ideal dan tidak menarik. Ideal diri anak jalanan 77% berada pada kategori cukup baik yang ditandai dengan adanya harapan dalam hidupnya yaitu suatu saat nanti mereka ingin melanjutkan sekolah, memiliki pekerjaan dikantor dan tidak menjadi anak jalanan lagi. Harapan atau keinginan yang dimilikinya dapat menjadi motivasi baginya untuk menjadi lebih maju (Yudit Oktaria. K. P, 2007). Anak jalanan tetap memiliki perilaku belajar yang baik. Hal ini menunjukkan adanya interaksi yang baik antara anak jalanan dengan sumber belajar baik dari guru, teman sebara atau yang lebih tua, dan lain-lain (Mardiana, 2008). Pada anak jalanan masih ada yang memiliki ideal diri yang kurang baik yaitu 10%, ditandai dengan kurangnya keinginan untuk melanjutkan sekolah. Pengaruh lingkungan sekitar memungkinkan akan menyebabkan mereka memiliki keinginan yang berlebihan sehingga membuat ideal diri mereka tidak realistis (Suliswati, 2005). Harga diri anak jalanan 80% berada pada kategori cukup baik. Hasil ini didukung dengan rasa percaya diri yang tinggi ketika berinteraksi dengan orang lain dan mampu menerima dirinya sebagai anak jalanan. Namun masih ada 4% anak jalanan memiliki harga diri yang kurang baik ditandai dengan adanya perasaan malu ketika harus mencari uang dijalan dan bertemu dengan teman yang berbeda lawan jenisnya. Anak jalanan merasa tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang lebih baik selain mengamen (Nasution, 2007). Peran anak jalanan 67% berada pada kategori cukup baik. Hasil ini ditandai dengan adanya kemampuan untuk berperilaku sesuai kodratnya laki-laki atau perempuan dan mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya. Hasil ini menunjukkan hasil yang sudah baik bagi anak jalanan. Namun dari hasil penelitian ini masih didapatkan 22% anak jalanan yang memiliki peran yang kurang baik. Hal ini menunjukkan bahwa mereka belum mampu menyesuaikan diri dan
menerima peran yang harus dijalaninya saat ini. Mereka masih merasa tergantung kepada orang lain dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Identitas diri anak jalanan 61% berada pada kategori cukup baik. Hasil ini ditandai dengan adanya pemahaman bahwa dirinya diciptakan berbeda dengan orang lain, dan mampu memahami watak yang sebenarnya mereka miliki. Namun masih ada 11% anak jalanan yang memiliki identitas diri kurang baik. Mereka belum mengerti watak yang sebenarnya mereka miliki. Identitas diri yang kurang baik dapat terjadi karena mereka sering meniru penampilan bahkan perilaku orang lain yang dianggap baik baginya. Remaja yang belum mampu memenuhi harapan dorongan diri pribadi dan sosial maka akan mengakibatkan remaja mengalami kebingungan identitas (Potter & Perry, 2005). Secara umum konsep diri anak jalanan usia remaja di wilayah semarang tengah 69% berada dalam kategori cukup baik. Hal ini terlihat dari setiap komponen konsep diri pada anak jalanan. Mereka menganggap bahwa dirinya adalah seorang yang pekerja keras, mandiri. Namun masih ada 17% anak jalanan yang memiliki konsep diri kurang baik. Mereka memandang dirinya negatif, tidak menarik dan merasa bahwa dirinya adalah seseorang yang tidak dikehendaki (Yudit Oktaria. K. P, 2007). KESIMPULAN 1. Karakteristik anak jalanan usia remaja berbeda dengan remaja pada umumnya, sebagian besar yaitu sebesar 21% anak jalanan berusia 18 tahun, 17% berusia 16 tahun, 14% berusia 17 tahun dan 13% berusia 15 tahun. Jenis kelamin anak jalanan usia remaja sebagian besar yaitu sebesar 75% berjenis kelamin laki-laki yang mayoritas 72% memiliki tingkat pendidikan SD. Pekerjaan yang dipilih anak jalanan yaitu sebagian besar 56% bekerja sebagai pengamen 2. Gambaran citra diri sebagian besar anak jalanan usia remaja yaitu sebesar 66%
Konsep Konsep Diri Anak Jalanan Usia Remaja Semarang Tengah159 Diri Anak Jalanan Usia RemajaDi Di Wilayah Wilayah Semarang Tengah Pangestika Putri Wahyu Diyan Yuli Wijayanti Pangestika Putri WahyuKumalasari, Kumalasari, Diyan Yuli Wijayanti
159
3.
4.
5.
6.
7.
berada dalam kategori citra diri cukup baik Gambaran ideal diri sebagian besar anak jalanan usia remaja yaitu sebesar 77% berada dalam kategori ideal diri cukup baik Gambaran harga diri sebagian anak jalanan usia remaja yaitu sebesar 80% berada dalam kategori harga diri cukup baik Gambaran peran diri sebagian besar anak jalanan usia remaja yaitu sebesar 67% berada dalam kategori peran diri cukup baik Gambaran identitas diri sebagian besar anak jalanan usia remaja yaitu sebesar 61% berada dalam kategori identitas diri cukup baik Secara umum gambaran konsep diri anak jalanan usia remaja yaitu 69% berada dalam kategori konsep diri cukup baik
SARAN Anak jalanan sebaiknya dapat meningkatkan kemampuannya dalam menilai diri sendiri dan bersosialisasi dengan orang lain atau dengan teman sebayanya. Selain itu anak jalanan sebaiknya harus tetap memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi agar memperoleh pengetahuan yang berguna untuk mempermudah dalam mencari pekerjaan dan mampu mewujudkan harapan di masa depannya. Ucapan Terimakasih 1. Anak jalanan di wilayah semarang tengah yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini 2. Ibu Resti Lusila sebagai pelaksana harian RPSA “Anak Bangsa” yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini 3. Orang tua yang telah memberikan dukungan materi maupun moral sehingga penelitian ini dapat terselesaikan. 160
160
Daftar Pustaka Bajari, Atwar. Studi Fenomenologi: Peran Diri dan Perilaku Komunikasi Anak Jalanan. Bandung: FIK Unpad. 2009 Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat. Studi Karakteristik Anak Jalanan dalam Upaya Penyusunan Program Penanggulangannya: Kajian Empirik di Kota Semarang. Riptek. 2010: (1): 2: 41-45 Mardiana. Perilaku Belajar Anak Jalanan. Jurnal Teknologi Pendidikan.2008: (10): 3: 161-172 Muslim, Mudaris dan Siti mardiyati. Identifikasi Problem pribadi dan Konsep Diri Anak Jalanan yang Belajar di SD dan SMP. Fakultas keguruan dan Ilmu Pendidikan: Universitas Sebelas Maret. 2004 Nasution, Marina D.N & H. Fuad Nashori.Harga Diri Anak Jalanan. Indigenous, Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi. 2007: (9): 1:62-82 Pardede, Yudit O. K. Konsep Diri Anak Jalanan Usia Remaja. Jurnal Penelitian Psikologi. 2007: (12): 2: 138-146Permadie G dan Ardhiane N. Selinting Ganja di Tangan. Yogyakarta: Yayasan Duta Awan dan Terre De Hommes Netherlands. 1999 Potter & Perry. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan Praktik. Volume 1.Edisi 4. Jakarta: EGC. 2005 Pramuchtia, Yunda dan Nurmala K. Pandjaitan. Konsep Diri Anak Jalanan. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi. 2010: (4): 02: 255-272 Rudolph, AM, et all. Buku Ajar Pediatri. Vol 1. Edisi 20. Jakarta:EGC.2006 Rumah Perlindungan Sosial Anak “Anak Bangsa”, Yayasan Sosial Soegijapranata. 2011 Suliswati. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC. 2005 Wong, D. L., et all. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Vol 1. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2008
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 156-160 Volume 2 November 2013 156-160
PENERAPAN TERAPI KOGNITIF DAN PSIKOEDUKASI KELUARGA PADA KLIEN HARGA DIRI RENDAH DI RUANG YUDISTIRA RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR TAHUN 2013 Titik Suerni¹, Budi Anna Keliat2 dan Novy Helena C.D3 ¹Departemen Keperawatan Jiwa, Rumah Sakit Jiwa Dr. Amino Gondohutomo Semarang, 50191. E-mail:
[email protected] ²Departemen Keilmuan Kekhususan Keperawatan Jiwa, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Kampus FIK UI Depok, 16424. E-mail:
[email protected] ³Departemen Keilmuan Kekhususan Keperawatan jiwa, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Kampus FIK UI Depok, 16424. E-mail:
[email protected] ABSTRAK Klien dengan harga diri rendah kronis di Ruang Yudistira Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor sebanyak 58,33% dari 60 klien yang dirawat. Tujuan Karya Ilmiah Akhir ini untuk menggambarkan penerapan terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga pada klien harga diri rendah. Metode yang dipakai adalah studi kasus. Pada 15 klien diberikan tindakan keperawatan generalis dan terapi kognitif serta pada 20 klien diberikan tindakan keperawatan generalis, terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga. Hasil penerapan pada kelompok klien dengan tindakan keperawatan generalis dan terapi kognitif menunjukkan penurunan tanda dan gejala rata-rata 54,94%; peningkatan kemampuan rata-rata 89,57%; lama rawat ratarata 37 hari. Hasil penerapan pada kelompok klien dengan tindakan keperawatan generalis, terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga menunjukkan penurunan tanda dan gejala rata-rata 71,2%; peningkatan kemampuan klien rata-rata 100%; peningkatan kemampuan keluarga rata-rata 98%; lama rawat rata-rata 26 hari. Berdasarkan penurunan tanda dan gejala, peningkatan kemampuan klien dan keluarga serta lama hari rawat maka terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga direkomendasikan pada klien dengan harga diri rendah. Kata kunci: Terapi kognitif, psikoedukasi keluarga, harga diri rendah Daftar Pustaka: 71 (1989-2013) ABSTRACT There are 58.33% from 60 clients with low self esteem cronic that treatment in Yudistira ward Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor Hospital. The goal of this study is to describe the implementation of cognitive therapy and family psychoeducation with low self esteem. The method that used is case study. The nursing generalize and cognitive therapy is given to 15 clients. And cognitive therapy, nursing generalize and family psychoeducation to 20 clients. The result to group of clients that received nursing generalize , cognitive therapy show decreased of symptoms average 54.94% and increased of abilities everage 89.57% ; average of time of treatment is 37 days. The result to group of clients with nursing generalize, cognitive therapy and family psychoeducation show decreased of symptoms average 71.2% and increased of abalities everage 100%, with family abilities average 98% , average of time of treatment is 26 days. By virtue of decreased of symptoms and increased of abilities clients and families, cognitive therapy and psychoeducation to recommended to clients with low self esteem. Key words: cognitive therapy, family psychoeducation, low self esteem References: 71 (1989-2013)
Penerapan Terapi Kognitif Dan Psikoedukasi Keluarga Pada Klien Harga Diri Rendah Di Ruang Yudistira 161 Penerapan Terapi Kognitif Dan Psikoedukasi Keluarga Pada Klien Rendah Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki MahdiHarga Bogor Diri Tahun 2013 Di Ruang Yudistira Rumah Dr.Budi H. Marzoeki Mahdi Bogor Tahun TitikSakit Suerni, Anna Keliat, dan Novy Helena C.D2013 Titik Suerni, Budi Anna Keliat dan Novy Helena C.D
161
PENDAHULUAN Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sejahtera ketika seseorang mampu merealisasikan potensi yang dimiliki, memiliki koping yang baik terhadap stresor, produktif dan mampu memberikan kontribusi terhadap masyarakat (WHO, 2007 dalam Varcarolis & Halter, 2010). Apabila seseorang dapat berespon positif terhadap suatu stresor maka akan tercapai sehat jiwa yang ditandai dengan kondisi sejahtera baik secara emosional, psikologis, maupun perilaku sosial, mampu menyadari tentang diri dan apabila berespon negatif maka akan terjadi kondisi gangguan jiwa. Gangguan jiwa berat yang sering ditemui di masyarakat adalah skizofrenia (Ibrahim, 2011). Skizofrenia adalah sekumpulan sindroma klinik yang ditandai dengan perubahan kognitif, emosi, persepsi dan aspek lain dari perilaku (Kaplan & Saddock, 2007). Gejala negatif dari skizofrenia meliputi sulit memulai pembicaraan, afek tumpul atau datar, berkurangnya motivasi, berkurangnya atensi, pasif, apatis dan penarikan diri secara sosial dan rasa tidak nyaman (Videbeck, 2008). Berdasarkan gejala negatif pada klien skizofrenia maka perawat menegakkan diagnosis keperawatan harga diri rendah. Harga diri rendah juga adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan diri, dan sering disertai dengan kurangnya perawatan diri, berpakaian tidak rapi, selera makan menurun, tidak berani menatap lawan bicara lebih banyak menunduk, berbicara lambat dan nada suara lemah (Keliat, 2010). Data klien di RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor menunjukkan bahwa dari 60 klien skizofrenia mengalami masalah harga diri rendah, halusinasi dan perilaku kekerasan (Lelono, Keliat, Besral, 2011). Upaya yang dilakukan untuk menangani klien harga diri rendah adalah dengan 162
162
memberikan tindakan keperawatan generalis yang dilakukan oleh perawat pada semua jenjang pendidikan (Keliat & Akemat, 2010). Namun untuk mengoptimalkan tindakan keperawatan dilakukan tindakan keperawatan spesialis jiwa yang diberikan oleh perawat spesialis keperawatan jiwa (Stuart, 2009). Tindakan keperawatan spesialis yang dibutuhkan pada klien dengan harga diri rendah adalah terapi kognitif, terapi interpersonal, terapi tingkah laku, dan terapi keluarga (Kaplan & Saddock, 2010). Tindakan keperawatan pada klien harga diri rendah bisa secara individu, terapi keluarga dan penanganan di komunitas baik generalis ataupun spesialis. Terapi kognitif yaitu psikoterapi individu yang pelaksanaannya dengan melatih klien untuk mengubah cara klien menafsirkan dan memandang segala sesuatu pada saat klien mengalami kekecewaan, sehingga klien merasa lebih baik dan dapat bertindak lebih produktif (Townsend, 2005). Melalui terapi kognitif individu diajarkan/ dilatih untuk mengontrol distorsi pikiran/gagasan/ide dengan benar-benar mempertimbangkan faktor dalam berkembangnya dan menetapnya gangguan mood. Penelitian tentang terapi kognitif sudah dilakukan oleh Rahayuningsih, Hamid, Mulyono (2007); Kristyaningsih, Keliat dan Helena (2009) serta penerapan terapi kognitif sudah dilakukan oleh Jumaini, Hamid dan Wardani (2011); Syarniah, Hamid dan Susanti (2011); Sartika, Hamid dan Wardani (2011), dengan menunjukkan hasil bahwa terapi kognitif berpengaruh terhadap perubahan harga diri dan kemandirian kognitif. Tindakan keperawatan spesialis untuk keluarga dengan klien yang mengalami harga diri rendah adalah dengan melakukan psikoedukasi keluarga. Penelitian yang terkait dengan psikoedukasi keluarga dilakukan oleh Wardhaningsih, Keliat dan Helena (2007); Sari, Keliat, Helena, Susanti (2009); Nurbani, Keliat, Yusron, Susanti (2009); Wiyati, Hamid, Gayatri (2009) dengan hasil bahwa adanya pengaruh
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 161-169 Volume 2 November 2013 161-169
Family Psychoeducation Therapy secara bermakna dalam menurunkan beban keluarga dan meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat klien. Keluarga perlu diberdayakan untuk membantu mengatasi masalah anggota keluarganya dengan dibekali pengetahuan cara merawat melalui tindakan keperawatan pada keluarga. Proses keperawatan dimulai dari pengkajian, penetapan diagnosa penyusunan rencana intervensi, pelaksanaan dan implementasi (Stuart, 2009). Keperawatan menurut Peplau adalah terapeutik yaitu satu seni menyembuhkan, menolong individu yang sakit atau membutuhkan pelayanan kesehatan melalui satu proses interpersonal karena melibatkan interaksi antara dua atau lebih individu dengan tujuan yang sama (Alligood & Tomey, 2010). Teori ini sangat tepat diaplikasikan pada klien yang mengalami harga diri rendah karena menjelaskan proses hubungan antara perawat dan klien dimulai dari tahap orientasi, identifikasi, eksploitasi dan resolusi. Peningkatan hubungan perawat dan klien dapat dilakukan melalui kerjasama sebagai sebuah tim untuk meningkatkan kesadaran diri, tingkat kematangan, dan pengetahuan selama proses perawatan melalui pendekatan stres adaptasi Stuart dan pendekatan interpersonal Peplau. Di Ruang Yudistira dari 60 klien yang dirawat terdapat 35 klien (58,33%) dengan harga diri rendah. Tindakan keperawatan pada klien harga diri rendah dilakukan di Ruang Yudistira dengan pendekatan Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP). Tindakan keperawatan yang dilakukan adalah pemberian terapi generalis pada 35 orang klien ( 100%), terapi generalis dan terapi kognitif pada klien 15 orang klien (42,48%), dan kombinasi terapi generalis, terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga pada 20 klien (57,14%). Hasil pelaksanaan tindakan keperawatan terhadap penerapan terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga pada klien harga diri rendah dengan
pendekatan teori stres adaptasi Stuart serta teori interpersonal Hildegard Peplau menunjukkan perubahan tanda dan gejala gejala serta meningkatkan kemampuan klien dan keluarga dalam merawat. METODE Karya Ilmiah ini dengan menggunakan desain studi kasus. Teknik pengambilan sampel adalah semua klien dengan diagnosis keperawatan utama harga diri rendah. Pada Karya Ilmiah ini responden berjumlah 35 klien harga diri rendah di Ruang Yudistira Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Evaluasi hasil dengan membandingkan tanda dan gejala serta kemampuan klien dan keluarga prepost diberikan tindakan keperawatan. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik 35 orang klien harga diri rendah adalah mayoritas klien pada masa dewasa yaitu 32 klien (91,5%). Usia merupakan aspek sosial budaya terjadinya gangguan jiwa dengan risiko frekuensi tertinggi mengalami gangguan jiwa yaitu pada usia dewasa (Stuart, 2009). Semua klien berjenis kelamin laki-laki (100%) karena ruang praktik adalah ruang laki-laki. Jenis kelamin klien harga diri rendah yang dikelola secara keseluruhan adalah laki-laki. Laki-laki lebih memungkinkan muncul gejala negatif dibandingkan wanita dan wanita tampaknya memiliki fungsi sosial yang lebih baik daripada laki-laki (Grebb, 1999; Davison & Neale, 2001, dalam Fausiah dan Widury, 2005). Mayoritas klien memiliki latar belakang pendidikan sekolah menengah (SMP-SMA) yaitu 29 klien (82,86%). Klien Pendidikan merupakan salah satu faktor sosial budaya yang dapat dikaitkan dengan terjadinya harga diri rendah kronis (Townsend, 2009). Kemampuan seseorang untuk menerima informasi dalam rangka mengatasi masalah yang dihadapi sangat berhubungan dengan tingkat pendidikan. Status pekerjaan klien yang dirawat dengan masalah harga diri rendah sebagian besar
Penerapan Terapi Kognitif Dan Psikoedukasi Keluarga Pada Klien Harga Diri Rendah Di Ruang Yudistira 163 Penerapan Terapi Kognitif Dan Psikoedukasi Keluarga Pada Klien Rendah Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki MahdiHarga Bogor Diri Tahun 2013 Di Ruang Yudistira Rumah Dr.Budi H. Marzoeki Mahdi Bogor Tahun TitikSakit Suerni, Anna Keliat, dan Novy Helena C.D2013 Titik Suerni, Budi Anna Keliat dan Novy Helena C.D
163
tidak memiliki pekerjaan yaitu (62,86%). Pekerjaan merupakan sumber stres pada diri seseorang yang bila tidak dapat diatasi yang bersangkutan dapat jatuh sakit (Hawari, 2001). Kondisi tidak memiliki pekerjaan pada kasus kelolaan ini semakin membuat klien mengkritik diri, merasa tidak berguna atau tidak berharga. Status klien sebanyak 18 orang belum menikah (51,43%). Status perkawinan klien harga diri rendah yang dirawat sebagian besar belum menikah yaitu sebanyak 18 klien (51,43%) dan dengan status duda 7 klien (20%). Sebagian besar klien skizofrenia secara subyektif menyatakan bahwa merasa kehilangan harapan, kesepian dan mempunyai hubungan sosial yang tidak menyenangkan (Cohen, dkk, 1990 dalam Fortinash & Worret, 2004). Rasa kesepian dan hidup dalam kesendirian merupakan stresor tersendiri bagi seseorang yang tidak menikah. Lama sakit klien mayoritas kurang dari 10 tahun yaitu 27 klien (77,14%), lama rawat yang sekarang terbanyak 1 bulan yaitu 16 klien (45,7%), frekuensi masuk rumah sakit terbanyak selama 3 kali yaitu sebanyak 13 klien (37,14%), dan status rawat klien sebanyak 27 klien dengan status pulang (77,14%), Status Ekonomi klien harga diri rendah yang di rawat di Ruang Yudistira sebanyak 85,7% dengan latar belakang status ekonomi rendah. Perawatan gangguan jiwa memerlukan biaya yang mahal karena bersifat jangka panjang (Videbeck, 2008). Penghasilan yang rendah akan sangat berdampak kepada pemberian perawatan pada klien gangguan jiwa. Faktor predisposisi adalah faktor resiko terjadinya stres yaitu meliputi faktor biologis, psikologis, dan sosial budaya. Pada faktor predisposisi yang terbanyak pada faktor psikologis yaitu introvert dan riwayat kegagalan sebanyak 35 klien (100%) serta faktor sosial ekonomi rendah sebanyak 30 klien (85,7%) dan masalah pekerjaan 22 klien (62,9%). Faktor predisposisi yang terbanyak adalah dari 164
164
aspek psikologis yaitu secara keseluruhan mempunyai riwayat kegagalan/kehilangan dan mempunyai kepribadian introvert. Kegagalan dalam melaksanakan tugas perkembangan dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya pada orang lain, ragu, takut salah, pesimis, tidak mampu merumuskan dan mengungkapkan keinginan dan merasa tertekan. Faktor presipitasi dapat bersifat biologis, psikologis maupun sosial kultural yang menyebabkan klien dirawat. Pada faktor presipitasi biologis yang terbanyak adalah putus obat sebanyak 30 klien (85,7%). Pada faktor psikologis bahwa sebagian besar klien memiliki keinginan yang tidak terpenuhi sebanyak 25 orang (71,4%) yaitu keinginan untuk menikah, keinginan memiliki pekerjaan dan penghasilan yang layak, serta keinginan untuk mendapatkan perhatian dari orang lain. Pada faktor presipitasi terbanyak adalah pada aspek biologis yaitu putus obat. Perilaku tidak patuh dalam minum obat dikarenakan klien dan keluarga tidak merasakan manfaat minum obat dan merasa tidak nyaman khususnya secara fisik dengan mengkonsumsi obat-obat antipsikotik (Wardani, Hamid, Wiarsih, 2009). Kurangnya informasi kepada klien dan keluarga yang adekuat dari fasilitas pelayanan kesehatan tentang manfaat dan efek obat berdampak pada kekambuhan sehingga memperburuk kondisi klien. Tanda dan gejala klien harga diri rendah setelah diberikan tindakan keperawatan generalis dan terapi kognitif, pada respon kognitif dari 100% klien yang berfikir tidak berguna turun menjadi 20%, pada respon afektif dari 100% klien yang merasa sedih dan malu turun menjadi 20%, pada respon perilaku dari 100% klien yang mengkritik diri turun menjadi 20%. Tanda dan gejala klien harga diri rendah setelah diberikan tindakan keperawatan generalis, terapi kognitif dan terapi psikoedukasi keluarga pada respon kognitif dari 100% klien yang berfikir tidak berguna
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 161-169 Volume 2 November 2013 161-169
turun menjadi 0%, pada respon afektif dari 100% klien yang merasa sedih dan malu turun menjadi 0%, pada respon perilaku dari 100% klien yang mengkritik diri turun menjadi 0%. Kemampuan klien harga diri rendah setelah diberikan tindakan keperawatan generalis dan terapi kognitif dari 100% klien yang tidak mampu mengidentifikasi pikiran otomatis negatif naik menjadi 80% yang mampu, dari 100% klien yang tidak mampu menggunakan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif naik menjadi 80% klien yang mampu, dari 100% klien yang tidak mampu mengidentifikasi manfaat penggunaan tanggapan rasional naik menjadi 86,67% klien yang mampu, dari 100% klien yang tidak mampu menggunakan support system naik menjadi 80% klien yang mampu. Kemampuan klien setelah diberikan tindakan keperawatan generalis, terapi kognitif dan terapi psikoedukasi keluarga dari 100% klien yang tidak mampu mengidentifikasi pikiran otomatis negatif naik menjadi 100% klien yang mampu, dari 100% klien yang tidak mampu menggunakan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif naik menjadi 100% klien yang mampu, dari 100% klien yang tidak mampu mengidentifikasi manfaat penggunaan tanggapan rasional naik menjadi 100% klien yang mampu, dari 100% klien yang tidak mampu menggunakan support system naik menjadi 90% klien yang mampu. Kemampuan keluarga setelah diberikan tindakan generalis dan terapi psikoedikasi keluarga dari 85% keluarga yang tidak mengenal masalah naik menjadi 100% yang mengenal, dari 85% keluarga yang tidak mampu memutuskan untuk mengatasi masalah naik menjadi 100% yang mampu, dari 100% keluarga yang tidak mampu merawat naik menjadi 100% yang mampu, dari 100% keluarga yang tidak mampu memodifikasi lingkungan positif naik menjadi 90% yang mampu, dari 55% keluarga yang tidak mampu memanfaatkan
pelayanan kesehatan naik menjadi 100% yang mampu, dari 100% keluarga yang tidak mampu manajemen stres naik menjadi 100% yang mampu, dari 75% keluarga yang tidak mampu manajemen beban naik menjadi 90% yang mampu. Terapi kognitif berfokus pada pemrosesan pikiran dengan segera, yaitu bagaimana individu mempersepsikan atau menginterpretasi pengalamannya dan menentukan bagaimana cara dia merasakan dan berperilaku (Viedebeck, 2008). Pemberian terapi kognitif dapat membantu klien untuk mengubah pernyataan dirinya yang mempengaruhi perasaannya ke arah pikiran yang lebih positif. Peran perawat dalam pemberian terapi kognitif adalah untuk membuat pikiran klien yang terselubung menjadi lebih terbuka dan ini sangat penting untuk mengatasi kognitif yang bersifat otomatis (Gladding, 2009). Kognitif atau pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan yang merujuk pada pikiran rasional, mempelajari fakta, mengambil keputusan dan mengembangkan pemikiran, sedangkan psikomotor atau kemampuan praktek merujuk pada pergerakan muskuler yang merupakan hasil dari kordinasi pengetahuan dan menunjukkan penguasaan terhadap suatu tugas atau keterampilan (Craven, 2006). Peningkatan kemampuan klien serta penurunan tanda dan gejala pada klien harga diri rendah sesuai dengan pendapat pakar yang menyampaikan bahwa terapi kognitif difokuskan untuk mengenal pikiran-pikiran otomatis negatif, mengubah pemikiran otomatis negatif, mengubah kepercayaan (anggapan) yang tidak logis, penalaran salah, mengembangkan pola pikir yang rasional, dan mengatasi kelainan bentuk pikiran (distorsi kognitif) dengan cara menggantikannya dengan pikiranpikiran yang lebih realistis (Stuart, 2009); Townsend (2009); Copel (2007); Beck et al (1987) dalam Townsend, 2009).
Penerapan Terapi Kognitif Dan Psikoedukasi Keluarga Pada Klien Harga Diri Rendah Di Ruang Yudistira 165 Penerapan Terapi Kognitif Dan Psikoedukasi Keluarga Pada Klien Rendah Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki MahdiHarga Bogor Diri Tahun 2013 Di Ruang Yudistira Rumah Dr.Budi H. Marzoeki Mahdi Bogor Tahun TitikSakit Suerni, Anna Keliat, dan Novy Helena C.D2013 Titik Suerni, Budi Anna Keliat dan Novy Helena C.D
165
Penurunan tanda dan gejala serta peningkatan kemampuan klien dan keluarga pada kelompok yang mendapat kombinasi tindakan keperawatan generalis, terapi kognitif dan terapi psikoedukasi keluarga lebih efektif untuk klien harga diri rendah. Ini menunjukkan bahwa terapi psikoedukasi keluarga perlu dilakukan secara bersamaan dengan terapi individu karena menunjukkan hasil yang lebih optimal. Kemampuan keluarga setelah diberikan tindakan keperawatan generalis dan psikoedukasi keluarga menunjukkan peningkatan yaitu sebanyak 100% keluarga mampu mengenal masalah, mampu memutuskan, mampu merawat klien, mampu memanfaatkan pelayanan kesehatan, mampu manajemen stres, mampu manajemen beban, dan sebanyak 90% keluarga mampu modifikasi suasana lingkungan yang positif. Psikoedukasi keluarga sangat diperlukan dalam perawatan klien gangguan jiwa karena dapat mengurangi kekambuhan klien gangguan jiwa, meningkatkan fungsi klien dan keluarga sehingga mempermudah klien kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat dengan memberikan penghargaan terhadap fungsi sosial dan okupasi klien gangguan jiwa (Levine, 2002 dalam Stuart, 2009). Psikoedukasi keluarga digunakan untuk memberikan informasi terhadap keluarga yang mengalami distress, memberikan pendidikan kepada mereka untuk meningkatkan keterampilan agar dapat memahami dan mempunyai koping akibat gangguan jiwa yang mengakibatkan masalah pada hubungan keluarganya (Goldenberg & Goldenberg, 2004). Pemberdayaan komunitas melalui kader kesehatan jiwa merupakan sumber daya masyarakat yang potensial dan diharapkan mampu berpartisipasi dalam perawatan klien gangguan jiwa di masyarakat (Keliat, 2010). Psikoedukasi keluarga merupakan wujud perawatan yang komprehensif dan dilakukan supaya keluarga tetap bisa menjalankan fungsinya dengan baik karena secara tidak langsung semua anggota 166
166
keluarga turut merasakan pengaruh dari keadaan tersebut. terhadap klien harga diri rendah, sehingga klien bisa kembali produktif. KESIMPULAN Kemampuan klien setelah diberikan tindakan keperawatan generalis dan terapi kognitif 80% klien mampu mengidentifikasi pikiran otomatis negatif, 80% mampu menggunakan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif, 86,67% klien mampu mengidentifikasi manfaat penggunaan tanggapan rasional dan 80% klien mampu menggunakan support sistem. Kemampuan klien setelah diberikan tindakan keperawatan generalis, terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga 100% klien mampu mengidentifikasi pikiran otomatis negatif, 100% mampu menggunakan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif, 100% klien mampu mengidentifikasi manfaat penggunaan tanggapan rasional dan 90% klien mampu menggunakan support sistem. Hasil pelaksanaan tindakan keperawatan memberikan dampak terhadap pelayanan keperawatan, sehingga penulis menyarankan untuk perawat memberikan terapi kognitif secara individu karena masing-masing klien mempunyai kemampuan yang berbeda; melibatkan keluarga dalam setiap tindakan keperawatan untuk mengoptimalkan penurunan tanda dan gejala serta peningkatan kemampuan klien serta kemampuan keluarga. Bagi kepala bidang keperawatan memfasilitasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan dengan menyediakan fasilitas ruangan konsultasi untuk menjaga privasi klien dan keluarga pada saat diberikan tindakan keperawatan dan merencanakan program pengembangan tenaga perawat spesialis jiwa dan membuat usulan penetapan standar asuhan keperawatan penerapan terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga pada klien harga diri rendah. Bagi direktur Rumah Sakit untuk menetapkan kebijakan agar setiap klien
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 161-169 Volume 2 November 2013 161-169
yang dirawat minimal 3 kali dikunjungi keluarga dalam rangka memberikan pelayanan keperawatan yang komprehensi; menetapkan kebijakan untuk mengembangkan pelayanan kesehatan jiwa di unit umum; melakukan koordinasi lintas sektoral dalam upaya promotif preventif dan rehabilitatif; memfasilitasi saranaprasarana serta sumber daya di rumah sakit sebagai upaya kuratif pada klien gangguan jiwa; menetapkan dan mengatur kebijakan untuk memberdayakan fasilitas kesehatan Puskesmas sebagai sarana kesehatan yang terdekat dengan tempat tinggal klien, sehingga proses perawatan dan pengobatan klien tidak berhenti sebagai upaya mengurangi angka kekambuhan; menyusun program promosi kesehatan jiwa melalui pendidikan kesehatan dalam upaya preventif. Bagi Program Spesialis Keperawatan Jiwa FIK-UI dan Kolegium untuk melanjutkan kerjasama dengan pihak rumah sakit dalam pengembangan berbagai tindakan keperawatan baik generalis maupun spesialis yang bersifat individu maupun kelompok untuk meningkatkan kemampuan perawat dalam menangani klien dengan harga diri rendah. Bagi riset keperawatan agar dikembangkan penelitian tentang ketepatan pemberian terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga pada diagnosis keperawatan harga diri rendah dan pengembangan instrumen penelitian yang tepat untuk menguji ketepatan pemberian terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga terhadap penurunan tanda dan gejala serta peningkatan kemampuan klien harga diri rendah. DAFTAR PUSTAKA Copel, L.C. (2007). Kesehatan Jiwa & Psikiatri, Pedoman Klinis Perawat (Psychiatric and Mental Health Care: Nurse’s Clinical Guide). Edisi Bahasa Indonesia (Cetakan kedua). Alihbahasa : Akemat. Jakarta : EGC. Fauziah, Hamid, A.Y., Nuraini, T. (2009). Pengaruh terapi perilaku kognitif pada klien skizoprenia dengan perilaku
kekerasan, Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan Fortinash, K.M., & Worret, P.A.H. (2005). Psychiayric Mental Health Nursing. 3 rd. ed. USA: Mosby, Inc. Gladding, S.T. (2002). Family Therapy, History, Theory, and Practice. 3th.Ed. Ohio: Merrill Prentice Hall. Goldenberg I & Goldenberg H. (2004). Family therapi an overview. Sixth edition. United states: Thomson Hawari, D. (2001). Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia, Jakarta : FKUI Jumaini, Hamid, A.Y., Wardani, I.Y., (2011). Penerapan Terapi Kognitif Pada Klien Harga Diri Rendah Kronis Menggunakan Pendekatan Teori King Di Kelurahan Katulampa Bogor. KIA FIK UI. Tidak dipublikasikan Kaplan, H.I., Saddock, B.J., & Grebb, J.A. (2010). Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid I. (7th ed.). Jakarta : Bina Rupa Aksara. Jakarta Keliat, B.A. (2003). Peran Serta Keluarga Dalam Perawatan Klien Gangguan Jiwa.Jakarta: EGC Keliat, B.A., & Akemat. (2005). Keperawatan Jiwa Terapi Aktivitas Kelompok. Jakarta: EGC Keliat, B.A. & Akemat. (2007). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Nurbani, Keliat., B.A., Yusron, N., Susanti, H. (2009). Pengaruh Psikoedukasi Keluarga Terhadap Masalah Psikososial ansietas dan beban keluarga (care giver) Dalam Merawat Pasien Stroke Di RSUPN Dr. Cipto
Penerapan Terapi Kognitif Dan Psikoedukasi Keluarga Pada Klien Harga Diri Rendah Di Ruang Yudistira 167 Penerapan Terapi Kognitif Dan Psikoedukasi Keluarga Pada Klien Rendah Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki MahdiHarga Bogor Diri Tahun 2013 Di Ruang Yudistira Rumah Dr.Budi H. Marzoeki Mahdi Bogor Tahun TitikSakit Suerni, Anna Keliat, dan Novy Helena C.D2013 Titik Suerni, Budi Anna Keliat dan Novy Helena C.D
167
Mangunkusumo Jakarta. Tesis FIK UI. Tidak dipublikasikan Rahayuningsih, A., Hamid, A.Y., Mulyono, S. (2007). Pengaruh Terapi Kognitif terhadap tingkat harga diri dan kemandirian pasien dengan Kanker Payudaradi RS Kanker Dharmais Jakarta. Tidak dipublikasikan Sadock, B.J., & Sadock, V.A. (2007). Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta. EGC Sari, H., Keliat, B.A., Helena, N.C.D., Susanti, H. (2007), Pengaruh Family Psychoeducation Therapy terhadap Beban dan Kemampuan Keluarga dalam Merawat Klien Pasung di Kabupaten Bireuen Nanggroe Aceh Darussalam, Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan Sartika, D., Hamid, A.Y., Wardani, I.Y. (2011). Penerapan Terapi Kognitif Pada Klien Harga Diri Rendah Kronis Menggunakan Pendekatan Teori Jhonson Di Ruang Antareja RS. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. KIA FIK UI. Tidak dipublikasikan Stuart, G.W & Sundeen. (1995). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. (5th edition). St. Louis : Mosby Stuart, G.W & Laraia, M.T. (2005). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. (7th edition). St Louis : Mosby Stuart, G.W. (2009). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. (9th edition). St Louis : Mosby Suliswati, dkk. (2005). Konsep Dasar keperawatan Kesehatan Jiwa. Cetakan I. EGC. Jakarta. Syarniah, Hamid, A.Y., Susanti, H. (2011). Penerapan Terapi Kognitif dan Logoterapi Pada Klien Harga Diri Rendah Kronis Menggunakan 168
168
Pendekatan Teori King Di RS. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. KIA FIK UI. Tidak dipublikasikan Tomey, M.A. (2001). Nursing Theories and Their Work. The C.V. Mosby Company St.Louis : Mosby Years Book Inc. Tomey, A.M & Alligood, M.R. (2006). Nursing Theories and Their Work. (6th ed). St. Louis : Mosby Years Book Inc. Townsend, C.M. (2005). Essentials of Psychiatric Mental Health Nursing. (3th Ed.). Philadelphia: F.A. Davis Company Townsend, M.C. (2009). Psychiatric Mental Health Nursing Concepts of Care in Evidence-Based Practice. 6th ed. Philadelphia: F.A. Davis Company Varcarolis, E.M. (2003), Psychiatric Nursing Clinical Guide; Assesment Tools and Diagnosis . Philadelphia: W.B Saunders Co Varcarolis, E.M, Carson, V.B, Shoemaker, N.C. (2006). Foundations of Psychiatric Mental Health Nursing: a Clinical Approach. (5th ed). St. Louis: Saunders Elseviers. Videbeck, S. L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC. Wardani, I.Y., Hamid, A.Y., Wiarsih, W. (2010). Manajemen kasus spesialis kperawatan jiwa pada pasien dengan diagnosa keperawatan risiko perilaku kekerasan di ruang Dewi Amba dan Antareja RSMM Bogor. KTI. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan Wardhaningsih, S., Keliat, B.A., Helena, N.C.D. (2007). Pengaruh Family Psychoeducation terhadap Beban dan Kemampuan Keluarga dalam Merawat Klien dengan Halusinasi di Kabupaten Bantul Yogyakarta. Tesis FIK-UI. Tidak dipublikasikan.
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 161-169 Volume 2 November 2013 161-169
Wiyati, R., Hamid, A. Y., Gayatri, D. (2010). Pengaruh Psikoedukasi Keluarga Terhadap Kemampuan Keluarga dalam Merawat Klien Isolasi Sosial. Tesis FIK-UI. Tidak dipublikasikan.
WHO. (2006). The Lancet. London : Elseiver Properties SA. Publication Data. _____. (2009). Improving Health System and Service for Mental Health : WHO Library Catalouging-in_____. (2011). Skizofrenia. http://www.who.int/mental_health/enti ty/. diperoleh tanggal 27 Mei 2012
Penerapan Terapi Kognitif Dan Psikoedukasi Keluarga Pada Klien Harga Diri Rendah Di Ruang Yudistira 169 Penerapan Terapi Kognitif Dan Psikoedukasi Keluarga Pada Klien Rendah Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki MahdiHarga Bogor Diri Tahun 2013 Di Ruang Yudistira Rumah Dr.Budi H. Marzoeki Mahdi Bogor Tahun TitikSakit Suerni, Anna Keliat, dan Novy Helena C.D2013 Titik Suerni, Budi Anna Keliat dan Novy Helena C.D
169
PEMBERDAYAAN KELUARGA DAN KADER KESEHATAN JIWA DALAM PENANGANAN PASIEN HARGA DIRI RENDAH KRONIK DENGAN PENDEKATAN MODEL PRECEDE L. GREEN DI RW 06, 07 DAN 10 TANAH BARU BOGOR UTARA Desi Pramujiwati, Budi Anna Keliat, dan Ice Yulia Wardani Keperawatan Jiwa, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Kota Depok, Indonesia
E-mail:
[email protected] ABSTRAK
Harga diri rendah kronik adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi diri negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan diri. Harga diri rendah kronik yang dibiarkan menyebabkan isolasi sosial, halusinasi dan bunuh diri. Latihan melawan pikiran negatif cognitive behaviour therapy (CBT), dukungan sosial melalui family psychoeducation (FPE) dan terapi suportif diharapkan memperbaiki harga diri rendah kronik. Karya ilmiah akhir ini bertujuan menjelaskan hasil asuhan keperawatan spesialis jiwa pada pasien harga diri rendah kronik yang diberikan CBT, FPE dan terapi suportif. Metode yang digunakan adalah serial studi kasus pada 16 pasien yang terdiri dari 11 pasien skizofrenia, 4 pasien retardasi mental dan 1 pasien epilepsy. Hasil asuhan keperawatan menunjukkan penurunan tanda dan gejala harga diri rendah kronik disertai peningkatan kemampuan pasien lebih tinggi pada kelompok pasien yang mendapatkan CBT, FPE dan terapi suportif daripada kelompok yang mendapatkan CBT dan FPE maupun yang mendapatkan CBT. Dukungan sosial di komunitas terutama memberdayakan keluarga dan kader dalam merawat pasien harga diri rendah kronik disarankan. Kata kunci : harga diri rendah kronik, dukungan sosial, Cognitif Behaviour Therapy, Psychoedukasi Keluarga, Terapi Suportif
Abstract Chronic low self-esteem is a feeling of worthlessness, not mean and low self esteem due to negative self evaluation to self and self efficacy.. Prolonged chronic low self-esteem can caused social isolation, hallucination and suicide. Trained against negative thoughts with cognitive behavior therapy (CBT), giving social support with family psychoeducation (FPE) and supportive therapy is addresses to improve chronic self-esteem. This paper is aimed to explain the result of psychiatric nursing care specialist management for chronic low self-esteem patient whose given the CBT, FPE and supportive therapy. The method used is case serial with 16 patient, contains of 16 schizophrenic patient, 4 mental retardation patient and 1 patient with epilepsy. The result shows a higher decrease of chronic low self-esteem sign and symptoms with an increase of patient ability more on the group that given CBT, FPE and supportive therapy than the CBT and FPE group or the CBT group only. Community social support, especially to empower family and cadre to caring chronic low self-esteem patient is recommended. Keyword: low self esteem, social support, cognitif behaviour therapy, family psychoeducation, supportif theraphy
170
170
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 170-177 Volume 2 November 2013 170-177
PENDAHULUAN Skizofrenia adalah gangguan otak yang mempengaruhi seseorang dalam berfikir, bahasa, emosi, perilaku sosial, dan kemampuan untuk menerima realita dengan benar (Varcarolis, dkk, 2006). Skizofrenia merupakan suatu sindrom klinis atau proses penyakit yang mempengaruhi kognisi, persepsi, emosi, perilaku, dan fungsi sosial, tetapi skizofrenia mempengaruhi setiap individu dengan cara yang berbeda (Videbeck, 2008). Dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa selain berbahaya, penyakit ini juga berdampak buruk pada keluarga dan menjadi beban bagi masyarakat. Orang dengan schizophrenia akan mengalami gangguan dalam kemandiriannya menjalankan fungsi dan peran dalam kehidupan sehari hari, seperti merawat diri sendiri, sekolah atau bekerja dan fungsi lainnya. Oleh karena itu, pasien dengan schizophrenia memerlukan bantuan dari pihak lain untuk tetap bertahan hidup, atau dengan kata lain bergantung pada bantuan orang lain (NIMH, 2012).
melibatkan multidisiplin, termasuk terapi farmaka dan berbagai bentuk perawatan psikososial, seperti kemampuan untuk menjalani hidup sehari-hari dan keterampilan sosial, rehabilitasi dan terapi keluarga (Townsend, 2009). Karena itu, penanganan schizophrenia memerlukan kombinasi antara terapi farmaka dan terapi lain seperti psikoterapi, rehabilitasi dan sebagainya. Perilaku yang sering muncul pada skizofrenia adalah motivasi kurang, isolasi social, perilaku makan dan tidur yang buruk, sukar menyelesaikan tugas, sukar mengatur keuangan, penampilan tidak rapi, lupa melakukan sesuatu, kurang perhatian, sering bertengkar, bicara pada diri sendiri dan tidak teratur minum obat. Berdsarakan tanda dan gejala ini skizofrenia banyak ditemkan masalah resiko perilaku kekerasan, halusinasi, harga diri rendah dan waham.
Penatalaksanaan terapi pasien dengan skizofrenia perlu dikelola secara integrasi, baik dari aspek psikofarmakologis (terapi somatik) dan aspek psikologis. Penatalaksanaan yang diberikan secara komprehensif pada pasien skizofrenia menghasilkan perbaikan yang lebih optimal dibandingkan tunggal. Menurut Sulinger (1998) dikutip dari Keliat (2003) pasien skizofrenia akan mengalami kekambuhan 50% pada tahun pertama dan 70% pada tahun kedua. Dr Tun Kurniasih Bastaman, SpKJ (Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran UI) 75-80% pasien gangguan jiwa bisa sembuh, sedangkan sisanya kemungkinan kambuh. Penyebab kekambuhan adalah putus obat. Dari pernyataan di atas dapat dilihat bahwa keteraturan pengobatan dan perawatan sangat penting proses penyembuhan.
Harga diri rendah kronik merupakan salah satu respon maladaptif dalam rentang respon neurobiologi. Proses terjadinya harga diri rendah kronik pada pasien skizofrenia dapat dijelaskan dengan menganalisa stressor predisposisi dan presipitasi yang bersifat biologis, psikologis, dan sosial budaya sehingga menghasilkan respon bersifat maladaptif yaitu perilaku harga diri rendah kronik.Respon terhadap stressor pada pasien harga diri rendah memunculkan respon secara kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial. Respon-respon tersebut akan dianalisis lebih lanjut, sehingga memunculkan rentang respon (Stuart, 2009). Kemampuan pasien dalam mengatasi harga diri rendah merupakan koping yang dimiliki pasien dalam berespon terhadap setiap stressor. Sumber koping terdiri dari empat hal yaitu kemampuan individu (personal abilities), dukungan sosial (social support), ketersediaan materi (material assets) dan kepercayaan (positif belief) (Stuart, 2009).
Oleh karena itu, penanganan yang efektif memerlukan usaha yang komprehensif,
Tindakan keperawatan diberikan kepada pasien dengan tujuan supaya pasien
Pemberdayaan Keluarga Dan Kader Kesehatan Jiwa Dalam Penanganan Pasien Harga Diri Rendah
171
Pemberdayaan Keluarga Dan Kader Kesehatan Jiwa Di Dalam Penanganan Pasien Harga Diri Rendah Kronik Dengan Pendekatan Model Precede L. Green Rw 06, 07 Dan 10 Tanah Baru Bogor Utara Kronik Dengan Pendekatan Model Precede L. Green DI Budi RW 06, 07Keliat, Dan 10 Tanah BaruWardani Bogor Utara Desi Pramujiwati, Anna dan Ice Yulia Desi Pramujiwati, Budi Anna Keliat, dan Ice Yulia Wardani
171
memiliki kemampuan-kemampuan yang dapat digunakan untuk hidup mandiri dan produktif (Keliat, Akemat, Susanti, 2011). Tindakan keperawatan yang dilakukan tersebut terdiri dari tindakan generalis dan spesialis. Tindakan keperawatan diberikan baik kepada pasien sebagai individu, keluarga sebagai care giver dan kelompok atau masyarakat yang dapat meningkatkan kesehatan. Tindakan keperawatan spesialis untuk pasien yaitu Cognitif Behaviour Therapy (CBT), untuk keluarga Family Psichoeducation (FPE) dan kelompok diberikan terapi suportif.
Departemen Kesehatan untuk penyakit tuberculosis. PMO bertugas untuk menjamin keteraturan pengobatan pasien. Kader juga mampu memberikan motivasi perawatan dan pengobatan untuk menurunkan tanda dan gejala harga diri rendah serta meningkatkan kemampuan positif pasien. METODE
Pemberdayaan masyarakat dalam keperawatan kesehatan jiwa diwujudkan dengan dikembangkannya model Community Mental Health Nursing (CMHN). CMHN / Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas (KKJK) yang merupakan salah satu upaya yang digunakan untuk membantu masyarakat menyelesaikan masalah-masalah kesehatan jiwa akibat dampak konflik, tsunami, gempa maupun bencana lainnya (Keliat dkk, 2011).
Metode yang digunakan adalah serial studi kasus yang mengambil total pasien harga diri rendah kronik sebanyak 16. Responden dalam penulisan karya ilmiah ini adalah pasien dengan schizophrenia, retardasi mental dan epilepsy yang mengalami harga diri rendah kronik dan tinggal dengan keluarganya sebagai caregiver. Karya ilmiah ini melibatkan keluarga dan kader dalam satu paket tindakan keperawatan, berdasarkan jumlah pasien. Keluarga yang mengikuti selama tindakan keperawatan berjumlah 8 dan jumlah kader yang berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan tindakan keperawatan berjumlah 22 kader.
Penelitian terkait penerapan model CMHN yang dilakukan Keliat, Helena dan Riasmini (2011) yang mengujicobakan model CMHN pada 237 keluarga di DKI Jakarta. Pada penelitian ini perawat CMHN melakukan kunjungan rumah dilakukan sebanyak 12 kali kunjungan. Penelitian dilakukan dengan memberikan asuhan keperawatan kepada pasien dan memberikan health education kepada keluarga pasien. Hasil analisis menunjukkan peningkatan kemandirian dan rata-rata waktu produktif pasien. Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa penerapan model CMHN berdampak positif terhadap pasien dan keluarga.
Asuhan keperawatan yang diberikan secara paket tindakan keperawatan spesialis yang terdiri dari 3 paket yang berbeda. Paket pertama pasien diberikan tiga tindakan keperawatan spesialis yaitu cognitif behavior therapy (CBT), family psychoeducation (FPE) dan terapi suportif dimana kader melakukan kunjungan rumah kepada pasien. Paket kedua pasien diberikan tindakan keperawatan spesialis CBT dan FPE, dimana keluarga dan kader diberdayakan dalam perawatan pasien. Paket ketiga pasien diberikan tindakan keperawatan spesialis CBT dimana kader dan keluarga tidak berpartisipasi dalam perawatan pasien.
Peran kader dalam model CMHN salah satunya adalah melakukan kunjungan rumah ke keluarga pasien gangguan jiwa yang telah mandiri (Keliat, 2010). Kegiatan yang dapat dilakukan saat kader melakukan kunjungan rumah adalah menjalankan peran PMO (Pengawas Minum Obat) seperti yang telah dikembangkan oleh
HASIL PENELITIAN
172
172
Hasil penelitian ini dilihat dari penurunan tanda dan gejala serta peningkatan kemampuan pasien setelah diberikan paket tindakan keperawatan spesialis. Paket pertama diberikan kepada 8 pasien dimana keluarga dan kader berpartisipasi dalam
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 170-177 Volume 2 November 2013 170-177
perawatan pasien. Penurunan tanda dan gejala secara kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial menunjukkan perubahan yang bermakna, yaitu pasien menjadi mampu berpikir secara rasional, lebih percaya diri, mampu melakukan kegiatan sehari-hari tanpa bantuan baik di dalam maupun diluar rumah dan berkomunikasi dengan masyarakat.
Jenis kelamin yang ditemukan terbanyak adalah perempuan. Jenis kelamin mempengaruhi respon terhadap stressor diantaranya perselisihan keluarga, perceraian dan masalah pengasuhan anak. Anak perempuan lebih berat mengalami gangguan jiwa dan berkepanjangan dibandingkan dengan laki-laki (Luthar & Zigler, 1991 dalam WHO, 2002).
Paket kedua diberikan pada 6 pasien dimana keluarga dan kader melakukan perawatan. Hasil penurunan tanda dan gejala serta peningkatan kemampuan berupa pasien mampu berpikir rasional, mampu melakukan kegiatan sehari-hari di dalam rumah dan mampu berkomunikasi dengan orang lain dengan motivasi. Paket ketiga diberikan kepada 2 pasien dimana keluarga dan kader tidak berpartisipasi dalam perawatan pasien. Hasil menunjukkan perubahan hanya secara kognitif an afektif sedangkan respon fisiologis, perilaku dan sosial kurang bermakna. Pasien masih menunjukkan perilaku curiga kepada orang lain, kurang mampu berkomunikasi dengan orang lain, tidak mau berinteraksi dengan lingkungan dan kurang motivasi.
Pendidikan terbanyak adalah pendidikan rendah. Menurut Stuart (2009) bahwa aspek intelektual merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa karena berhubungan dengan kemampuan seseorang dalam menyampaikan idea tau pendapatnya, berpengaruh pada kemampuan seseorang untuk memenuhi harapan dan keinginan yang ingin dicapai dalam hidupnya. Tidak bekerja banyak ditemukan pada pasien harga diri rendah kronik. Faktor status sosial ekonomi lebih banyak mengalami gangguan jiwa yang menyebabkan kurangnya motivasi untuk melakukan kegiatan sehari-hari dibandingkan pada tingkat social ekonomi tinggi (Towsend, 2005).
PEMBAHASAN Hasil pelaksanaan asuhan keperawatan meliputi karakteristik pasien, stressor predisposisi, presipitasi, renpon terhadap stressor dam kemampuan pasien. Karakteristik terdiri dari usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan dan status pekerjaan. Rentang usia terbanyak antara 21-40 tahun mengalami harga diri rendah kronik. Rentang ini merupakan usia dewasa dimana kematuran individu harus dicapai, semakin dewasa seseorang maka semakin lebih baik cara berpikirnya. Usia dewasa adalah usia dimana individu dapat mengaktualisasikan dirinya di masyarakat, apabila terjadi kegagalan maka menunjukkan penurunan motivasi untuk melakukan aktivitas dan merasa kurang mampu atau tidak percaya diri.
Belum menikah banyak ditemukan pada pasien harga diri rendah. Menurut Stuart (2009) bahwa ketidakmampuan mengungkapkan keinginan, termasuk keinginan berumah tangga merupakan salah satu faktor predisposisi harga diri rendah. Predisposisi pasien harga diri rendah kronik adalah faktor genetik, ketidakmampuan mengungkapkan keinginan dengan baik, kepribadian tertutup dan maslah ekonomi. Resiko 15% jika salah satu orang tua menderita skizofrenia, agka ini dapat meningkat 40-50% jika kedua orang tua biologis menderita skizofrenia (Cancro & Lehman; Videbeck, 2008; Stuart, 2009; Towsend, 2008; Fontaine, 2009). Kepribadian introvert, gangguan kemampuan komunikasi verbal, menutup diri sangat berhubungan sehingga individu tidak memiliki orang terdekat atau orang yang berarti dalam hidupnya. Pengalaman masa lalu yang negative menjadi bottom
Pemberdayaan Keluarga Dan Kader Kesehatan Jiwa Dalam Penanganan Pasien Harga Diri Rendah
173
Pemberdayaan Keluarga Dan Kader Kesehatan Jiwa Di Dalam Penanganan Pasien Harga Diri Rendah Kronik Dengan Pendekatan Model Precede L. Green Rw 06, 07 Dan 10 Tanah Baru Bogor Utara Kronik Dengan Pendekatan Model Precede L. Green DI Budi RW 06, 07Keliat, Dan 10 Tanah BaruWardani Bogor Utara Desi Pramujiwati, Anna dan Ice Yulia Desi Pramujiwati, Budi Anna Keliat, dan Ice Yulia Wardani
173
line bagi individu berespon dengan lingkungan sehingga individu menjadi rendah diri (Tillman & Kelly, 2008). Presipitasi yang banyak ditemukan pada pasien harga diri rendah kronik dianataranya putus obat, keinginan yang tidak terpenuhi dan stigma negatif dari masyarakat. Putus obat menyebabkan masa pengobtan menjadi lebih panjang sehingga pasien merasa bosan dan tidak ada motivasi untuk melakukan perubahan. Dungan baik internal maupun eksternal sangat mempengaruhi peningkatan harga diri sehingga perkembangan mental menjadi lebih baik dan sehat. Sebaliknya apabila tidak ada dukungan maka individu menjadi merasa diasingkan, tidak diterima dan harga diri rendah. Hasil analisa data menunjukkan bahwa ratarata kemandirian keseluruhan pasien harga diri rendah kronik sebelum dilakukan terapi berada dalam rentang kemandirian menengah. Kebanyakan orang dengan harga diri rendah kronik memiliki kesulitan dalam menjalankan pekerjaannya atau bahkan untuk menungkapkan keinginan sehingga pasien tidak bersosialisasi dengan lingkungannya. Ini menunjukkan bahwa kemandirian pasien terganggu karena kondisi harga diri rendah kronik. Masalah kemandirian pasien harga diri rendah kronik perlu mendapat perhatian karena akan banyak masalah lain yang ditimbulkan seperti masalah stress pada caregiver dan menambah beban keluarga. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Safier (1997, dalam Townsend, 2009) bahwa keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan harga diri rendah kronik akan mengalami pergolakan yang besar dalam dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi harga diri rendah kronik dapat berdampak pada kondisi keluarga, karena itu keluarga pun memerlukan tindakan keperawatan agar tidak menimbulkan masalah baru. Penelitian penurunan 174
174
ini menunjukkan adanya tanda dan gejala serta
peningkatan kemampuan setelah diberikan terapi, yaitu berupa asuhan keperawatan pada pasien dengan CBT, FPE pada keluarga, terapi suportif bagi kelompok dengan harga diri rendah kronik serta peran yang dilakukan oleh kader pada pasien harga diri rendah kronik. Terdapat perbedaan pada perubahan tanda gejala serta peningkatan kemampuan pada pasien harga diri rendah yang diberikan kombinasi tindakan keperawatan dibandingkan yang mendapatkan salah satu tindakan keperawatan. Perbedaan tersebut menunjukkan bahwa pemberian kombinasi tindakan keperawatan spesialis dan kunjungan secara rutin dan terstruktur dapat meningkatkan kemandirian pasien. Salah satu penelitian dalam The British Journal of Psychology menunjukkan efek pemberian FPE pada keluarga yang merawat pasien dengan depresi mayor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok pada kelompok yang diberikan FPE, waktu kekambuhan pasien secara statistik lebih panjang dibandingkan dengan kelompok keluarga yang tidak diberikan FPE (Kaplan-Meier survival analysis, P=0,002) (Shimazu, et.al, 2008). Dalam penelitian ini FPE diasumsikan dapat berpengaruh terhadap perawatan keluarga sebagai caregiver kepada pasien dengan schizophrenia. Peningkatan tersebut dapat terjadi karena tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien dan keluarga serta peran PMO oleh kader. Seperti dinyatakan dalam penelitian Wardhani (2009) bahwa kepatuhan berobat dapat disebabkan oleh berbagai faktor yaitu diantaranya adalah aspek yang berkaitan dengan pasien, aspek yang berkaitan dengan keluarga dan aspek yang berkaitan dengan tenaga kesehatan. Peningkatan kemampuan yang dicapai pada pasien harga diri rendah kronik dalam karya ilmiah ini setelah dilakukan kombinasi tindakan keperawatan dalah sebesar 81%. Penurunan tanda dan gejala pada respon kognitif sesudah kombinasi tindakan keperawatan adalah 3%1. Respon afektif
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 170-177 Volume 2 November 2013 170-177
menurun sampai 25%, berupa respon malu, sedih, takut, perasaan tidak mampu dan ketidakmampuan mencari kesenangan / kebanggaan. Respon fisiologis menurun menjado 18% berupa respon lelah/letih/lesu, nafsu makan menurun dan penurunan berat badan. Respon perilaku menurun menjadi 19% berupa respon kurang spontasnitas, diam dan tidak adanya motivasi. Respon sosial menurun menjadi 19% berupa ketidakmampuan berkomunikasi, sulit berinteraksi dan menarik diri. Hal ini berarti adanya penurunan tanda dan gejala serta adanya peningkatan kemampuan pada pasien harga diri rendah setelah dilakukan kombinasi tindakan keperawatan spesialis serta adanya pemberdayaan keluarga dan kader dalam merawat pasien. Tindakan keperawatan yang dilakukan dalam karya ilmiah ini adalah asuhan keperawatan kepada pasien harga diri rendah kronik sesuai SAK Jiwa, CBT pada pasien, FPE kepada keluarga sebagai caregiver, terapi suprotif pada kelompok serta peran PMO oleh kader untuk menjamin keteraturan berobat pasien. Intervensi yang diberikan kepada pasien berupa asuhan keperawatan sesuai SAK dapat membantu meningkatkan kepatuhan berobat pasien karena dalam salah satu strategi pelaksanaan asuhan keperawatan tersebut, terdapat satu strategi pelaksanaan mengenai pengobatan pasien. Intervensi tersebut pasien diberikan penjelasan mengenai obat-obatan yang diminum pasien, fungsi obat-obatan tersebut, berapa lama pasien harus berobat dan apa alasannya, pasien juga diajarkan mengenai pengobatan yang benar, jadwal kontrol dan akibat yang ditimbulkan jika pasien tidak teratur berobat. Penjelasanpenjelasan ini dapat meningkatkan kepatuhan berobat pasien karena pengetahuan yang baik menjadi dasar untuk perilaku yang sesuai. Sesuai dengan teori perilaku yang dikemukakan oleh Bloom (dalam Notoatmodjo, 2002), bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh pengetahuannya. Berbagai penelitian
membuktikan hubungan searah antara pengetahuan dan perilaku seseorang, dengan arti bahwa semakin baik pengetahuan seseorang maka dapat diasumsikan semakin baik pula perilakunya. Peran kader yang dijalankan dalam karya ilmiah ini adalah kader memotivasi pasien untuk teratur berobat, memberikan penjelasan kepada keluarga untuk mengawasi pengobatan pasien, memotivasi pasien dan keluarga untuk mengikuti kegiatna kelompok maupun penyuluhan kesehatan serta menganjurkan pasien untuk teratur melakukan pemeriksaan ke puskesmas. Dengan dikunjungi oleh kader, pasien dan keluarga mendapatkan informasi bahwa pengobatan mudah dan murah didapat. Selain itu dengan mendapatkan penjelasan dari kader, pasien dan keluarga dapat lebih memahami manfaat dari pengobatan dan perawatan, sehingga termotivasi untuk teratur menjalani pengobatan dan perawatan. Dalam karya ilmiah ini kader juga memotivasi pasien untuk berobat dengan cara menceritakan keberhasilan pengobatan dan perawatan pada pasien lain. KESIMPULAN 1. Karakteristik usia pasien adalah rata-rata 20-40 tahun, lebih dari setengah pasien berjenis kelamin perempuan, sebagian besar belum menikah dan tidak mempunyai pekerjaan, sebagian besar memiliki keyakinan positif terhadap pelayanan kesehatan. 2. Pemberian asuhan keperawatan berupa kombinasi tindakan keperawatan spesialis jiwa yaitu CBT pada pasien, FPE pada keluarga, terapi suportif untuk kelompok dan pelaksanaan perawatan oleh kader meningkatkan kemandirian pasien harga diri rendah kronik memberikan perubahan secara bermakna. 3. Perubahan tanda dan gejala serta peningkatan kemampuan pasien harga diri rendah kronik yang tidak mendapatkan kombinasi tindakan
Pemberdayaan Keluarga Dan Kader Kesehatan Jiwa Dalam Penanganan Pasien Harga Diri Rendah
175
Pemberdayaan Keluarga Dan Kader Kesehatan Jiwa Di Dalam Penanganan Pasien Harga Diri Rendah Kronik Dengan Pendekatan Model Precede L. Green Rw 06, 07 Dan 10 Tanah Baru Bogor Utara Kronik Dengan Pendekatan Model Precede L. Green DI Budi RW 06, 07Keliat, Dan 10 Tanah BaruWardani Bogor Utara Desi Pramujiwati, Anna dan Ice Yulia Desi Pramujiwati, Budi Anna Keliat, dan Ice Yulia Wardani
175
keperawatan spesialis jiwa mengalami perubahan yang tidak bermakna. Perubahan tanda dan gejala serta peningkatan kemampuan dengan pemberian kombinasi tindakan keperawatan dan pemberdayaan kader memiliki hubungan yang erat. Peningkatan kemampuan akan menyebabkan peningkatan kemandirian pasien harga diri rendah kronik. SARAN Perawat dapat memodifikasi dalam pelaksanaan pemberian tindakan keperawatan baik bagi pasien, keluarga dan kelompok . Perawat jiwa lebih aktif menerapkan asuhan keperawatan dengan memodifikasi tindakan keperawatan baik generalis maupun spesialis serta meningkatkan kemampuan manajemen pelayanan keperawatan jiwa. Meningkatkan peran perawat CMHN dengan cara monitoring dan evaluasi kemampuan melalui kader kesehatan jiwa, perawat CMHN memberikan tindakan keperawatan kelompok agar kemampuan pasien dapat ditingkatkan, perawat CMHN dapat berkolaborasi dalam pemberian terapi psikofarmaka dengan tenaga medis dan rujukan terkait kondisi pasien. Hasil pelaksanaan asuhan keperawatan jiwa ini dapat dijadikan evidence based dalam penyelesaian masalah gangguan jiwa dengan pendekatan dual atau triple diagnosis keperawatan. Pasien diharapkan menerapkan latihan yang sudah diberikan oleh perawat CMHN agar pasien menjadi mandiri dan produktif Keluarga senantiasa memberikan dukungan selama perawatan agar kemampuan dan kemandirian pasien meningkat Kader kesehatan selalu berkoordinasi dengan perawat CMHN dalam pemantauan kondisi kesehatn pasien gangguan jiwa 176
176
Masyarakat diharapkan menambah wawasan dan kepedulian terhadap kesehatan jiwa untuk masalah harga diri rendah. Tindakan keperawatan untuk kelompok gangguan jiwa dilakukan secara rutin bersama dengan kader kesehatan jiwa dan perawat CMHN Memfasilitasi sarana dan prasarana untuk pelaksanaan pelayanan kesehatan jiwa termasuk tersedianya sumber daya manusia (SDM) dan ketersediaan obat-obatan yang dibutuhkan oleh pasien gangguan jiwa Perlu disediakan piliklinik kesehatan jiwa di semua puskesmas yang berada di wilayah dinas kesehatan Dapat memfasilitasi pelaksanaan program Community Mental Health Nursing (CMHN) dengan instansi lain seperti Dinas Sosial, Dinas Pertanian maupun Dinas Tenaga Kerja Memfasilitasi dalam pelayanan kesehatan jiwa termasuk SDM terkait perawat spesialis jiwa komunitas dan pengadaan obat-obatan Pengembangan pos pelayanan kesehatan jiwa di tiap wilayah agar pelaksanaan deteksi dini terhadap gangguan jiwa dapat dilakukan Perlu penempatan perawat spesialis jiwa yang akan memberikan asuhan keperawatan jiwa spesialis maupun menjadi konsultan di setiap puskesmas Referensi 1. Fontaine, K.L. (2009). Mental health nursing(6thed). New Jersey: Pearson Prentice Hall. 2. Keliat, B.A. (2007). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : CMHN (Basic Course). Jakarta : EGC. 3. __________. (2010). Manajemen Keperawatan Jiwa Komunitas Desa
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 170-177 Volume 2 November 2013 170-177
4.
5.
6. 7.
8.
9.
10.
Siaga : CMHN (Intermediate Course). Jakarta : EGC. Keliat, B.A., Helena, N. & Riasmini, N.M. (2011).Efektifitas penerapan model community mental health nursingterhadap kemampuan hidup pasien gangguan jiwa dan keluarganyadi wilayah DKI Jakarta.Hibah riset unggulan UI. Chien, W.T., Chan, S.W.C & Thompson, D.R. (2006). Effects of a manual support group for families of Chinese people with schizophrenia: 18Months follow up. Januari 2, 2011. Fortinash & Worret. (2007). Psychatric Nursing Care Plans (5th ed). St. Louis: Mosby Elsevier. Hidayat. E. (2011). Pengaruh Cognitif Behaviour Therapy (CBT) dan Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT) terhadap Klien Perilaku Kekerasan dan Harga Diri Rendah di RSMM Bogor. Tesis. Depok_FIK UI. Tidak dipublikasikan Keliat, B.A. & Akemat, Susanti, H. (2011). Manajemen Kasus Gangguan Jiwa CMHN (Intermediate Course). Jakarta: EGC. __________. (2011). Manajemen Keperawatan Jiwa Komunitas Desa Siaga: CMHN (Intermediate Course). Jakarta: EGC. __________. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas CMHN (Basic Course). Jakarta: EGC.
11. Lelono. S. K. (2011). Efektfitas Cognitif Behaviour Therapy dan Rational Emotive Behaviour Therapy terhadap Klien Perilaku Kekerasan, Halusinasi dan Harga Diri Rendah di RSMM Bogor. Tesis. Depok_FIK UI. Tidak dipublikasikan 12. Mohr, W.K. (2006). Psychiatric Mental Health Nursing. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 13. NANDA International. (2010). Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2009-2011. Jakarta: EGC. 14. Notoatmodjo, S., (2007). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta 15. Stuart, G.W. & Laraia, M.T. (2005). Principles and Practice of Psychiatric Nursing (7thed). St.Louis, Missouri: Mosby Elsevier. 16. Stuart, G.W. (2009). Principles and Practice of Psychiatric Nursing (9thed). St.Louis, Missouri: Mosby Elsevier. 17. Townsend, M.C. (2009). Psychiatric Mental Health Nursing (6thed). Philadelphia: F.A. Davis Company. 18. Undang-Undang Republik Indonesia No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan 19. Videbeck, S.L. (2006). Psychiatric Mental Health Nursing (3thed). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Pemberdayaan Keluarga Dan Kader Kesehatan Jiwa Dalam Penanganan Pasien Harga Diri Rendah
177
Pemberdayaan Keluarga Dan Kader Kesehatan Jiwa Di Dalam Penanganan Pasien Harga Diri Rendah Kronik Dengan Pendekatan Model Precede L. Green Rw 06, 07 Dan 10 Tanah Baru Bogor Utara Kronik Dengan Pendekatan Model Precede L. Green DI Budi RW 06, 07Keliat, Dan 10 Tanah BaruWardani Bogor Utara Desi Pramujiwati, Anna dan Ice Yulia Desi Pramujiwati, Budi Anna Keliat, dan Ice Yulia Wardani
177
STUDI FENOMENOLOGI: PENGALAMAN KELUARGA MENCEGAH KEKAMBUHAN PERILAKU KEKERASAN PASIEN PASCA HOSPITALISASI RSJ Emi Wuri Wuryaningsih, Achir Yani S. Hamid, Novy Helena C. D ABSTRAK Perilaku kekerasan merupakan masalah yang sering muncul pada pasien gangguan jiwa berat termasuk skizofrenia. Alasan keluarga membawa pasien ke RSJ adalah ketidakmampuan mengatasi perilaku kekerasan pasien di rumah. Keluarga berusaha mencegah kekambuhan perilaku kekerasan pasien pasca rawat inap karena perilaku kekerasan menimbulkan beban bagi keluarga. Penelitian ini bertujuan menggambarkan pengalaman keluarga mencegah kekambuhan pasien dengan riwayat risiko perilaku kekerasan pasca rawat inap di RSJ. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologi deskriptif. Sampel penelitian berjumlah 8 partisipan dengan purposive sampling. Analisis data menggunakan metode Collaizi. Hasil penelitian yaitu terdapat 5 tema yang menggambarkan pengalaman keluarga tersebut yaitu: 1) pengetahuan keluarga terhadap adanya riwayat perilaku kekerasan; 2) kepekaan keluarga terhadap pencetus kekambuhan, 3) cara pengendalian pasien untuk mencegah kekambuhan; 4) kepedulian keluarga sebagai upaya pencegah kekambuhan, 5) kepasrahan dalam menerima kondisi pasien. Perawat jiwa dapat memberikan pendidikan kesehatan pencegahan dan manajemen perilaku kekerasan kepada pasien dan keluarga. Pelatihan perawat tentang terapi supportif sehingga dapat memfasilitasi terapi supportif pada pasien dan keluarga. Kata Kunci: Pengalaman keluarga; mencegah kekambuhan; perilaku kekerasan; skizofrenia ABSTRACT Violence behavior has been the common problem for patients with severe mental illness, including schizophrenia. The reason why their family brought them to the psychiatric hospital is their inability to control the patients’ violence behavior at home. Their family tried to prevent patients’ posthospitalization recurrence because it has been a burden for them. This research was aimed describing the family experiences in preventing patients’ recurrence with risk for violence after being treated in psychiatric hospital. This research used descriptive phenomenology qualitative approach. The research sample was 8 participants taken by purposive sampling method. The data had been analyzed by Collaizi method. Nine themes of analysis result describing the family experiences are: 1) family knowledge of patients’ violence behavior history; 2) family sensitivity to the trigger of violence behavior; 3) the ways of family controlled patient to prevent recurrence; 4) family care as an effort to prevent recurrence; 5) resignation to accept the patients’ condition. Nurses can provide mental health preventing education and management of violent behavior to patients and families. Nurse training of supportive therapy to facilitate supportive therapy for patients and families. Keywords: family experience, preventing recurrence, violent behavior, schizophrenia
178
178
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 178-185 Volume 2 November 2013 178-185
PENDAHULUAN Skizofrenia merupakan bentuk gangguan jiwa berat yang berdampak bagi penderita, keluarga, masyarakat. Prevalensi skizofrenia di dunia yaitu tujuh dari 10.000 populasi dewasa, dengan angka kejadian terbesar berada pada kelompok umur 25-35 tahun (WHO, 2001). Prevalensi skizofrenia di Indonesia berdasarkan data riset kesehatan dasar Republik Indonesia (Riskesdas RI, 2007) menunjukkan terjadinya gangguan jiwa berat sebesar 4,6 per mil. Prevalensi gangguan jiwa berat Propinsi Jawa Tengah sebesar 3,3 per mil (Balitbang Depkes RI, 2008). Prevalensi ini akan cenderung meningkat karena sifat penyakit skizofrenia yang menahun.
Thompson, 2007). Perawatan klien secara intensif di rumah akan mengurangi bahaya perilaku kekerasan pada keluarga dan masyarakat (Dvoskin dan Steadman, 1994, dalam Keliat, 2003). Pencegahan kekambuhan pasien dapat dicapai jika intervensi yang dilakukan dengan melibatkan keluarga dan berfokus pada fungsi keluarga (Droogan & Bannigan, 1997 dalam Soekarta, 2004; Peters, Pontin, Lobban, & Morris, 2011). Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah menggali secara mendalam pengalaman keluarga mencegah kekambuhan pasien dengan riwayat risiko perilaku kekerasan pasca rawat inap RSJ di Kota Magelang.
Masalah yang sering muncul pada pasien gangguan jiwa berat adalah perilaku kekerasan (Choe, Teplin, & Abram, 2008). Sebesar 68% pasien gangguan jiwa berat rehospitalisasi dikarenakan perilaku kekerasan (Wiyati, Wahyuningsih, & Widayanti, 2010). Risiko perilaku kekerasan di RSJ Dr. Soeroyo Magelang pada tahun 2011 menempati urutan kedua masalah keperawatan yang harus ditangani. Hal ini menunjukkan pentingnya masalah perilaku kekerasan pada pasien skizofrenia.
METODE PENELITIAN
Dampak perilaku kekerasan bagi keluarga yaitu merasa takut terhadap perilaku kekerasan pasien seperti menyerang atau mengancam orang lain dengan senjata (Taylor, 2008; Hutton, et al., 2012). Keluarga sering merasa kewalahan dan 95% keluarga merasa terbebani merawat pasien dengan gangguan jiwa berat yang memiliki risiko perilaku kekerasan. Sekitar 36 % keluarga merasa terstigma karena memiliki pasien gangguan jiwa di rumahnya dan 8% di antaranya keluarga enggan mencari bantuan pelayanan kesehatan akibat stigma (Drapalsky, et al., 2008).
Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Kriteria inklusi partisipan lihat tabel 1, sedangkan kriteria inklusi pasien lihat tabel 2. Saturasi data dicapai pada partisipan ke delapan. Uji etik proposal penelitian dilakukan oleh Komite Etik Penelitian Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia dan tim Ethical Clearance RSJ Prof dr Soerojo Magelang untuk mendapatkan keterangan lolos uji etik penelitian.
Keluarga menjadi sumber pendukung utama bagi perawatan pasien gangguan jiwa berat ketika berada di tengah masyarakat (Maldonado, Urizar, & Kavanagh, 2005;
Desain penelitian kualitatif fenomenologi deskriptif. Metode penelitian ini sistematis, fleksibel, dan mengutamakan subyektifitas individu dalam menggambarkan pengalamannya tentang fenomena tertentu sehingga diperoleh makna yang dapat menggambarkannya (Burns & Grove, 2009). Penelitian dilakukan di Kota Magelang mulai dari minggu pertama MeiJuni 2013.
Kriteria inklusi partisipan 1. Keluarga yang memiliki anggota keluarga (pasien) pasca rawat inap RSJ dengan riwayat risiko perilaku kekerasan 2. Tinggal serumah dan merawat pasien setiap harinya
Studi Fenomenologi: Pengalaman Keluarga Mencegah Kekambuhan 179 Studi Fenomenologi: Pengalaman Keluarga Mencegah Kekambuhan Kekerasan Perilaku Kekerasan Pasien PascaPerilaku Hospitalisasi RSJ Pasien Pasca Hospitalisasi Emi Wuri Wuryaningsih, Achir Yani S. Hamid, Novy Helena C. D RSJ Emi Wuri Wuryaningsih, Achir Yani S. Hamid, Novy Helena C. D
179
3. Sehat jasmani dan tidak mengalami gangguan jiwa 4. Usia dewasa antara 18 s.d 65 tahun 5. Tinggal di wilayah Kota Magelang 6. Mampu berbahasa Indonesia dan atau Jawa Kriteria inklusi pasien 1. Pasien gangguan jiwa berat dengan diagnosis skizofrenia 2. Memiliki diagnosis keperawatan risiko perilaku kekerasaan ketika menjalani rawat inap di RS Jiwa Proses pengumpulan data penelitian dilakukan dengan wawancara mendalam yang bersifat semi terstruktur dan dilengkapi dengan catatan lapangan. Alat pengumpulan data yang digunakan meliputi pedoman wawancara, catatan lapangan, dan alat perekam suara. Setelah mendapatkan data calon partisipan dari RSJ Prof dr Soerojo Magelang, peneliti home visite. Peneliti memberikan penjelasan penelitian dan meminta persetujuan calon partisipan untuk berpartisipasi dalam penelitian (informed consent). Rumah partisipan dipilih peneliti bertujuan untuk mendapatkan kealamiahan data dan partisipan leluasa menyampaikan pengalamannnya. Bracketing, intuiting, dan probing dilakukan peneliti selama proses wawancara. Tahap akhir wawancara peneliti memvalidasi data dengan menyampaikan kembali hal-hal penting hasil wawancara kepada partisipan. Analisis data penelitian dilakukan dengan metode Collaizi (1978, dalam Burns & Groove, 2009) lihat tabel 3. Risiko bias personal yang tinggi dalam penggambaran fenomena penelitian dihindari dengan pemenuhan kriteria keabsahan data penelitian sesuai dengan pendapat Guba dan Lincoln (1994, dalam Streubert & Carpenter, 2003) yaitu credibility, transferability, dependability, dan confirmability. HASIL Saturasi data dicapai setelah wawancara pada partisipan 8 (lihat tabel 4). Peneliti bersama penelaah eksternal memeriksa 180
180
transkrip, ketika tidak ditemukan ide-ide baru maka peneliti menilai data telah saturasi. Penelitian ini menemukan delapan tema yaitu: 1) pengetahuan keluarga tentang riwayat perilaku kekerasan, 2) kepekaan keluarga dalam mengenali pencetus perilaku kekerasan, 3) upaya pengendalian emosi pasien, 4) kepedulian keluarga sebagai upaya pencegah kekambuhan, 5) kepasrahan menerima kondisi pasien. Tema 1. Pengetahuan keluarga tentang riwayat perilaku kekerasan Pengetahuan keluarga dalam penelitian ini yaitu pengetahuan tentang bentuk perilaku kekerasan pasien dan perilaku mengancam pasien. Pengetahuan terhadap adanya bentuk perilaku kekerasan pasien: “...kambuhnya ya begitu...ngamuk begitu...berani...ya kalau bicara itu berani...lalu juga mau memukul segala begitu...kepada kakaknya....”(P1) Pengetahuan partisipan terhadap adanya perilaku mengancam karena membawa senjata tajam, “...bawa besi untuk ngamuk...lalu...saya..trus istri bingung...takut kan..”(P8) Keluarga juga mengenali tanda-tanda pasien akan melakukan perilaku kekerasan dari perubahan fisik dan perilakunya. “....biasanya itu tiba-tiba…”plok” nampar gitu…kan saya kaget…jadi kalau anak wajahnya memerah itu…tegang..tangannya udah ngepal…” (P3) Tema 2. Kepekaan keluarga dalam mengenali pencetus perilaku kekerasan Provokasi dan keinginan yang tidak terpenuhi merupakan faktor pencetus yang dapat menyebabkan kekambuhan perilaku kekerasan pasien. ...kadang membentak bentak...memarahi......bapaknya kan emosian mbak...jadi kadang membentak kan berani nggak ”(P1) Partisipan mengungkapkan keinginan yang tidak terpenuhi dapat mencetuskan kekambuhan perilaku kekerasan pasien.
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 178-185 Volume 2 November 2013 178-185
“jadi kalau keinginannya nggak terpenuhi marah-marah....ngomongnya kasar...nggak enakin hati lah...”(P2) Ketidakpatuhan terhadap pengobatan dinilai keluarga dapat berisiko mencetuskan kekambuhan bagi pasien. “....dulu obatnya nggak diminum teratur...kadang itu tiba-tiba marah sendiri...”(P2)
Partisipan terkadang menggunakan kekuasaannya sebagai pengambil keputusan dalam keluarga untuk menekan perilaku kekerasan pasien berupa ancaman kepada pasien. Hal tersebut diungkapkan partisipan sebagai berikut: “ nanti kalau kamu mukul seperti itu saya ikat saya naikkan ke mobil saya mondokkan ke RSJ...(P3)
Tema 3. Upaya pengendalian emosi pasien Partisipan mengungkapkan pendapatnya terkait dengan sikap dan perilakunya untuk mengendalikan emosi pasien untuk mencegah kekambuhan perilaku kekerasan pasien. Upaya pengendalian emosi pasien ini ditunjukkan partisipan melalui sikap permisif, menghindari sumber pencetus kekambuhan perilaku kekerasan, menggunakan pendekatan yang tenang, dan berperilaku mengancam pasien. Upaya pengendalian emosi pasien dilakukan partisipan melalui sikap permisif kepada pasien seperti menuruti keinginan dan membiarkan melakukan apa saja yang diinginkan oleh pasien. Ungkapan partisipan yang mendukung sebagai berikut. ...sudah lama tidak kambuh...ya...pokoknya itu apa..makannya itu harus kenyang....harus kenyang...lalu apa...yang diinginkan itu dituruti...”(P1) Upaya pengendalian emosi pasien yang lain yaitu partisipan menghindari hal-hal yang dapat menyinggung perasaan dan mencoba untuk tidak bersikap kasar kepada pasien. Salah satu ungkapan partisipan yang menggambarkannya sebagai berikut. “...takut kalau kambuh lagi...yang penting jangan menyinggung perasaan anaklah....”(P2) Pendekatan dengan tenang yang dilakukan partisipan antara lain bersabar, mengingatkan dengan pelan-pelan, memberikan waktu dengan meninggalkan pergi sementara waktu, menasehati ketika tenang, dan berhati-hati dalam tindakan. “...saya berhati-hati sekali...pokoknya jangan sampai ada yang keliru dalam tindakan saya..”(P6)
Tema 4. Kepedulian keluarga sebagai upaya pencegah kekambuhan Kepedulian ini diwujudkan cara meningkatkan fungsi afektif ini dilakukan dengan memotivasi, menjadi pendengar yang baik, membuat senang, memberi kesempatan rekreasi, memberikan tanggung jawab, dan kewajiban peran dari keluarga sebagai pemberi asuhan. “...membesarkan hatinya...beginibegini...jangan pernah putus asa...putus semangat...harus bisa..”(P5) “...kamu kalau ada apa-apa itu bilang sama bapak...bilang...jadi bapak itu tahu kalau kamu ada masalah apa...dia juga nurut..”(P8) “…mesti dibuat hatinya senang lah…jadi diberikan juga uang dari saudara…dibelikan pakaian…jadi terlihat senang sekali...” (P1) “...kasihan, itu kan anak kita sendiri ya...yang penting itu ada pendekatan kasih sayang..”(P8) Kepedulian ini juga melalui meningkatkan fungsi perawatan kesehatan berupa memberikan komitmen dukungan dan kepatuhan pengobatan. “...yang penting itu telaten...saya rawat sebisa saya...”(P6) “...walaupun sudah sembuh ya...kalau pak dokter belum berkata obatnya berhenti...”(P3) Tema 5. Kepasrahan menerima kondisi pasien Makna bagi keluarga dalam mencegah kekambuhan pasien diwujudkan partisipan sebagai keyakinan sebagai ketetapan dari Tuhan dan menerima positif pasien dengan segala kondisinya. Takdir dan nasib harus menjalani perannya serta mengembalikan urusan kepada Tuhan karena yakin sesuatu
Studi Fenomenologi: Pengalaman Keluarga Mencegah Kekambuhan 181 Studi Fenomenologi: Pengalaman Keluarga Mencegah Kekambuhan Kekerasan Perilaku Kekerasan Pasien PascaPerilaku Hospitalisasi RSJ Pasien Pasca Hospitalisasi Emi Wuri Wuryaningsih, Achir Yani S. Hamid, Novy Helena C. D RSJ Emi Wuri Wuryaningsih, Achir Yani S. Hamid, Novy Helena C. D
181
yang Tuhan berikan adalah hal yang terbaik bagi partisipan. Partisipan menyebutkan bahwa pengalaman ini sebagai takdir dan ujian hidup untuk “...ya terserah Gusti Allah...kalau takdirnya nasibnya harus begini...ya harus dijalani...”(P4) “...terserah saja itu nggak...ini yang diberikan Allah...pasti terbaik untuk aku...di balik kekurangannya dia...pastinya nanti terdapat kebanggaan dalam kehidupan..”(P5) Makna kepasrahan ini juga ditunjukkan partisipan melalui penerimaaan kondisi pasien dengan mengungkapkan rasa syukur dan ikhlas. “...ya bersyukur...nggak kumat ngamukngamuknya...ya bersyukur...”(P1) “...saya sudah menerima ikhlas...”(P3) PEMBAHASAN Hasil penelitian ini keluarga menyadari adanya riwayat perilaku perilaku kekerasan serta tanda dan gejala pasien yang berisiko melakukan perilaku kekerasan. Riwayat perilaku kekerasan tersebut meliputi perilaku kekerasan pada orang lain, perilaku lingkungan fisik, dan verbal. Partisipan pada penelitian ini mengingat dengan rinci perilaku kekerasan yang dilakukan pasien sebelumnya. Hutton (2012), riwayat melakukan perilaku kekerasan sebelumnya adalah faktor risiko kekambuhan perilaku kekerasan. Oleh karena itu, cara paling baik untuk memprediksi terjadinya perilaku kekerasan pasien adalah mengenali adanya riwayat perilaku kekerasan pasien (Fontaine, 2009). Partisipan mengungkapkan perilaku kekerasan fisik yang ditujukan pada orang lain seperti menampar, memukul orang lain, menyiram air ke muka orang lain dan mencakar, mengancam memukul orang lain, berkelahi. Menurut Fontaine (2009), perilaku kekerasan ini bisa dalam rentang menampar sampai mendorong yang bertujuan untuk menyerang orang lain. Pasien juga mengancam bahwa dirinya akan memukul orang lain dan mencoba untuk berkelahi, membakar, merusak 182
182
properti (perabotan dan peralatan rumah tangga) (Thompson, 2007). Partisipan mengenali tanda-tanda pasien akan melakukan perilaku kekerasan seperti wajah memerah, tegang, tangan mengepal, tatapan mata tajam, dan sudah tidak bisa diarahkan lagi. Oleh karena itu, partisipan dapat mengantisipasi pencegahan perilaku pasien untuk merusak maupun menyerang orang lain. Hal ini sesuai dengan Keliat & Akemat (2006) bahwa tanda gejala pasien akan melakukan perilaku kekerasan antara lain pasien mengepalkan tangan, mengatupkan rahang dengan kuat, muka merah, dan ekspresi wajah tegang, berbicara keras, berteriak, menjerit. Menurut Haddad (2010), meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga tentang tanda-tanda awal kekambuhan dapat mengurangi kekambuhan pada pasien gangguan jiwa yang berpotensi melakukan perilaku kekerasan. Berdasarkan uraian fenomena partisipan dalam mencegah kekambuhan perilaku kekerasan pada pasien dengan gangguan jiwa, penting bagi perawat untuk meningkatkan pengetahuan keluarga mengenali riwayat perilaku kekerasan, tanda dan gejala perilaku kekerasan, dan manajemen perilaku kekerasan oleh keluarga. Hasil penelitian ini keluarga peka terhadap hal-hal yang dapat mencetuskan kekambuhan perilaku kekerasan pasien. Hal-hal yang dapat mencetuskan kekambuhan tersebut dikarenakan pasien diprovokasi, keinginan pasien tidak terpenuhi, dan ketidakpatuhan terhadap pengobatan. Hal ini didukung oleh Fortinash dan Worret (2004) bahwa keluarga harus memahami risiko terjadinya perilaku kekerasan sehingga dampak dari perilaku kekerasan ini dapat dicegah. Salah satu kunci mencegah kekambuhan adalah mengidentifikasi faktor pencetus gejala dan strategi untuk mengatasinya (Stuart, 2009). Sikap yang dapat memprovokasi pasien pada penelitian ini yaitu konsekuensi dari sikap keluarga seperti bersikap keras, kasar, memukul, memarahi dan membentak pasien. Sikap ini didukung oleh hasil
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 178-185 Volume 2 November 2013 178-185
penelitian Parker et al, (1990, dalam Heru, 2000) bahwa sikap keluarga kepada pasien yang sering mengkritik, bermusuhan atau emosional, dan banyak mengatur akan memicu kekambuhan. Partisipan mengungkapkan ketidakpatuhan minum obat seperti menghentikan pengobatan, minum obat tidak teratur, dan menurunkan dosis obat dapat memicu kekambuhan perilaku kekerasan pasien. Didukung oleh hasil penelitian Haddad (2010), ketidakpatuhan terhadap pengobatan antipsikotik merupakan faktor risiko terjadinya perilaku kekerasan pada pasien gangguan jiwa. Oleh karena itu, penting bagi perawat untuk meningkatkan pengetahuan keluarga mengenali faktor pencetus perilaku kekerasan sebagai upaya mencegah kekambuhan perilaku kekerasan pasien. Upaya pengendalian emosi pasien yang dilakukan keluarga melalui sikap permisif, menghindari sumber pencetus kekambuhan, pendekatan yang tenang, dan terkadang keluarga juga mengancam pasien. Sikap permisif yang dilakukan keluarga seperti membiarkan pasien melakukan keinginannya, dan mencoba menuruti keinginan pasien. Keluarga menghindari sumber pencetus kekambuhan dengan berusaha tidak menyinggung permasalahan masa lalu pasien, berusaha agar pasien tidak mendengar hal yang kurang menyenangkan sehingga pasien tidak tersinggung, dan keluarga banyak bersikap mengalah. Keluarga juga berusaha memperlakukan pasien tidak kasar. Hal ini didukung oleh Fontaine (2009) bahwa pencegahan yang dilakukan keluarga adalah memberikan waktu untuk menenangkan diri yang dapat membantu perasaan bermusuhan. Pasien yang diperlakukan dengan dihargai cenderung dapat menurunkan tanda gejala perilaku kekerasan. Sikap permisif yang ditunjukkan keluarga pada hasil penelitian ini sesuai dengan ciri konsep ngemong pada penelitian Subandi (2008), yaitu pemenuhan kebutuhan partisipan.
Kepedulian keluarga sebagai upaya pencegah kekambuhan pasien ditunjukkan melalui fungsi afektif dan perawatan kesehatan keluarga. Menurut Friedman et al. (2003) fungsi afektif berbasis pada kepedulian keluarga terhadap kebutuhan sosioemosional semua anggota keluarganya. Hasil penelitian kepedulian keluarga dilakukan dengan memotivasi, menjadi pendengar yang baik, membuat senang, memberi kesempatan rekreasi, memberikan tanggung jawab, dan kewajiban peran dari keluarga sebagai pemberi asuhan. Hal ini didukung penelitian Soekarta (2004), menyediakan waktu untuk berkomunikasi, sering berbincang-bincang, bercanda, mengadakan rekreasi bersama dapat meringankan beban psikologis. Keluarga berkomitmen dalam memberikan dukungan dan mendampingi pasien untuk patuh dalam pengobatan. Hal ini sesuai dengan anjuran WHO (2002), perawatan kesehatan yang dapat diberikan keluarga pada pasien yaitu mendampingi pasien melakukan pengobatan, memberikan dorongan yang positif, dan konsisten dalam merawat pasien. Strategi untuk mengurangi kekambuhan pada pasien gangguan jiwa berat yang berpotensi menimbulkan perilaku kekerasan adalah meningkatkan kepatuhan minum obat antipsikotik (Haddad, 2010). Makna keluarga menjalani pengalamannya dalam mencegah kekambuhan pasien yaitu ketetapan dari Tuhan. Hal ini diungkapkan partisipan dalam penelitian ini sebagai takdir yang harus dijalani, ujian dari Tuhan, dan hal yang terbaik yang Tuhan berikan untuknya. Sesuai dengan Fitchett (2002, dalam Carson & Koenig, 2008), salah satu dimensi spiritualitas adalah keyakinan dan pemaknaan, tidak hanya pada keyakinan individu dalam memberikan makna dan menentukan tujuan hidupnya, tetapi juga riwayat pengalamannnya mempertahankan keyakinannya. Kekuatan spiritual diperoleh keluarga sejalan dengan pencarian makna dari pengalamannya (Fontaine, 2009). Adanya sikap penerimaan positif tersebut mencerminkan kesejahteraan spiritual yang
Studi Fenomenologi: Pengalaman Keluarga Mencegah Kekambuhan 183 Studi Fenomenologi: Pengalaman Keluarga Mencegah Kekambuhan Kekerasan Perilaku Kekerasan Pasien PascaPerilaku Hospitalisasi RSJ Pasien Pasca Hospitalisasi Emi Wuri Wuryaningsih, Achir Yani S. Hamid, Novy Helena C. D RSJ Emi Wuri Wuryaningsih, Achir Yani S. Hamid, Novy Helena C. D
183
memberikan dukungan kepada partisipan tetap mengusahakan hal yang terbaik meskipun harus menghadapi kesulitan dan beban dalam upayanya mencegah kekambuhan pasien. Hasil penelitian menunjukkan penerimaan positif terhadap pengalamannya yaitu memakluminya, menerima dengan ikhlas, bersyukur, tidak merasa malu maupun jengkel, merasa tidak ada kesulitan untuk mencegah kekambuhan pasien. Sesuai dengan hasil penelitian Subandi (2008), menunjukkan sikap keluarga yang pasrah dan menerima terhadap kenyataan yakni memiliki anggota keluarga yang gangguan jiwa tetapi bukan berarti menerima pasif. Sebaliknya mereka menerima kenyataan sambil terus tetap berusaha. Kepasrahan dan penerimaan positif ini hampir ditunjukkan oleh seluruh partisipan. Hal ini dipengaruhi oleh agama yang dipeluk partisipan yaitu agama Islam. Pada Al-Quran (kitab umat Islam) mengajarkan umatNya untuk bertawakal kepada Allah. Tawakal kepada Allah atau berserah diri kepada segala kehendakNya tetapi tetap disertai usaha yang nyata untuk menghadapi permasalahan. Penerimaan positif ini juga dipengaruhi oleh budaya Jawa yang memiliki prinsip ngemong pada anggota keluarga yang sakit. Prinsip dasar dari ngemong adalah menghadapi perilaku dan sikap seseorang dan memposisikan seseorang tersebut sebagai seorang anak (Subandi, 2008). KESIMPULAN Hasil penelitian ini menunjukkan keluarga berupaya mencegah kekambuhan perilaku kekerasan pada pasien gangguan jiwa berat. Upaya keluarga mencegah kekambuhan pasien dengan risiko perilaku kekerasan yaitu kepedulian terhadap keluarga, mengendalikan emosi pasien, dan peka terhadap faktor pencetus kekambuhan. Kepasrahan menerima kondisi pasien menjadi hikmah keluarga dalam merawat dan mencegah perilaku kekerasan pasien. Diagnosis keperawatan pasien lebih dari satu ketika rawat inap di RSJ. 184
184
SARAN Pengembangan psikoedukasi terhadap keluarga dan pasien di tatanan pelayanan komunitas serta penelitian kualitatif tentang pencegahan kekambuhan perilaku kekerasan berdasarkan perspektif pasien guna mengembangkan terapi suportif pada pasien dan keluarga di tatanan komunitas. Referensi Burns, N., & Grove, S.K. (2009). The practice of nursing research: appraisal, synthesis, and generation of evidence (6th edition). USA: Saunders Elsivier Carson, V.B & Koenig, H.G. (2008). Spiritual dimensions of nursing practice. USA: Templeton Foundation Press Choe, J.Y., Teplin, L.A., & Abram, K.M. (2008). Perpetration of violence, violent victimization, and severe mental illness: balancing public health concerns. Psychiatric services, 59(2),153-164. Depkes RI. (2008). Riset kesehatan dasar 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia Drapalsky, et al. (2008). Unmet needs of families of adults with mental illness and preferences regarding family services. Psychiatric services, 59(6), 655-664. Fontaine, K.L. (2009). Mental health nursing (6th edition). New Jersey: Pearson Prentice Hall Fortinash, C.M & Holloday. (2004). Psychiatric nursing care plan (4th edition). St.Louis: Mosby Year Book Friedman, Bowden, & Jones (2003). Family nursing: research, theory, and practice (5th edition) (Alih Bahasa: Achir Yani S. Hamid dkk). Jakarta: EGC Penerbit buku kedokteran Haddad, P.M. (2010). The Cost of relapse in schizophrenia. Mind & Brain, The Journal Of Psychiatry,2, 33-38. Diakses melalui http://search.proquest.com/docview/75 1246902
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 178-185 Volume 2 November 2013 178-185
Heru, A.M. (2000). Family functioning, burden, and reward in the caregiving for chronic mental illness. Families, system, & health, 18(1), 91-103. Huang, Hung, Sun, Lin, & Chen (2009). The experiences of cares in Taiwanese culture who have long term schizophrenia in their families: a phenomenological study. Journal of Psychiatric and Mental Health Nursing, 16, 874-883. Hutton, P., Parker, S., Bowe, S., & Ford, S. (2012). Prevalence of violence risk factors in people at ultra-high risk of developing psychosis: a service audit. Early Intervention in Psychiatry, (6), 91–96. Keliat, B.A. (2003). Pemberdayaan klien dan keluarga dalam perawatan klien skizofrenia dengan perilaku kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Pusat Bogor (Disertasi tidak dipublikasikan). Universitas Indonesia, Depok, Indonesia. Keliat, B.A. & Akemat. (2006). Model praktik keperawatan profesional jiwa. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran Kokanovic, R., Peterson, A., & Klimidis, S. (2006). “No body can help me – i am living through it alone”: Experiences of caring for people diagnosed with mental illness in ethno-cultural and linguistic minority communities. Journal of immigrant and minority health, 8(2),125-135. Diakses melalui http://search.proquest.com/docview/19 9536822 Maldonado, J.G., Urizar, A.C., & Kavanagh, A.C. (2005). Burden of care and general health in families of patients with schizophrenia. Soc Psychiatry Psychiatr Epidemiol,40, 899–904. Parrot, M. (2010). News frames and attitudes toward mental illness (Master’s thesis, University of Alabama, Alabama, USA). Peters, S., Pontin, E., Lobban, F., & Morris, R. (2011). Involving relatives in relapse prevention for bipolar disorder: a multi-perspective qualitative study of
value and barriers. BMC Psychiatry, 11,172-182. RS Soeroyo Magelang. (2011). Laporan rekam medis RS Prof Dr Soeroyo Magelang Jawa Tengah. Tidak dipublikasikan Soekarto, A. (2004). Manipulasi keluarga dalam pencegahan kekambuhan skizofrenia [Pidato pengukuhan guru besar]. Yogyakarta, Indonesia: Universitas Gajah mada. Streubert, H.J. & Carpenter, D.R. (2003). Qualitative research in nursing; Advancing the humanistic imperative 3th edition. Lippincott William & Wilkins: Philadelphia Stuart, G.W., (2009). Principles and practice of psychiatric nursing 9th edition. Missouri: Mosby IncSubandi, M.A. (2008). Ngemong: Dimensi keluarga pasien psikotik di Jawa. Jurnal Psikologi, 35(1), 62-79. Taylor, P.J. (2008). Psychosis and Violence: Stories, Fears, and Reality. Canadian Journal Psychiatry, 10, 647659. Thompson, M.S. (2007). Violence and the costs of caring for a family member with severe mental health illness. Journal of Health and Social Behavior, 48, 318-333. WHO. (2001). Shizophrenia. Diakses melalui http://www.who.int /mental_health /topics .html WHO. (2002). Family intervention and support in schizhophrenia. Diakses melalui http://www.who.int diperoleh tanggal 13 Februari 2013 Wiyati, R., Wahyuningsih, D., & Widayanti, E.D (2010). Pengaruh psikoedukasi keluarga terhadap kemampuan keluarga dalam merawat klien isolasi sosial. Jurnal Keperawatan Soedirman, 5(2), 85-94 Wood, L.P.K., & Wilson, M.N. (2005). The context of caretaking in rural areas: family factors influencing the level of functioning of seriously mentally ill patients living at home. American journal of community psychology, 36(1/2),1-13. DOI: 10.1007/s10464005-6229-2.
Studi Fenomenologi: Pengalaman Keluarga Mencegah Kekambuhan 185 Studi Fenomenologi: Pengalaman Keluarga Mencegah Kekambuhan Kekerasan Perilaku Kekerasan Pasien PascaPerilaku Hospitalisasi RSJ Pasien Pasca Hospitalisasi Emi Wuri Wuryaningsih, Achir Yani S. Hamid, Novy Helena C. D RSJ Emi Wuri Wuryaningsih, Achir Yani S. Hamid, Novy Helena C. D
185
PENGARUH TEHNIK RELAKSASI BENSON TERHADAP PENURUNAN TINGKAT STRES LANSIA DI UNIT REHABILITAS SOSIAL WENING WARDOYO UNGARAN Kadek Oka Aryana, Dwi Novitasari, S.Kep.,Ns. M.Sc*) *) Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo Ungaran ABSTRACT Elderly stress is caused by physically, biologically, psychologically, and socially change. Beside of them, it is also affected by the condition of elders circumstance who lived in parlor. One of the ways to overcome the stress by non-pharmcologically is with Benson relaxation technique which is able to balance O2 in the brain. This research aims to know the influence of Benson relaxation technique to reduce stress level on elderly in Social rehabilitation Unit Wening Wardoyo Ungaran. The research design is quasi experimental design. The number of population in this research is 90 elders. While, the quantity of research sample is 30 respondents which are divided into 2 groups. Datas of elder’s stress level were collected by the usage of Depression Anxiety Stress Scale questionnaire. The univariate analysis was executed by monitoring the distribution of stress level frequencyat before and after the treatment and bivariate analysis was executed by the usage of paired t-test and unpaired t-test. The result shows that before Benson relaxation technique is applied towards intervened group, it is obtained that the average of respondents stress level is 22,93 (mid-level) SD (3,353). After Benson relaxation technique was applied, it is obtained that the average of respondents stress level was reducing at 18,33 (low-stress) SD (2,820). Benson relaxation technique shows significantly influence to reduce stress level at p-value of 0,002 (p < 0,05). Based on the result, the technique can be applied as the stress treatment on elders in Social Rehabilitation Unit Wening Wardoyo Ungaran Keywords Bibliographies
186
186
: Benson relaxation technique, stress level, Elderly people. : 36 (2003-2012)
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 186-195 Volume 2 November 2013 186-195
PENDAHULUAN Lanjut usia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Manusia tidak secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak, dewasa dan akhirnya menjadi tua. Hal ini normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan tertentu. Lansia merupakan suatu proses alami yang ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa, semua orang akan mengalami proses menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup. Dimasa ini seseorang mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial secara bertahap (Azizah, 2011). Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa peningkatan jumlah lansia di Indonesia pada tahun 2000-2011 baik secara absolute maupun persentase mengalami peningkatan. Persentase lansia terhadap jumlah penduduk meningkat dari 9,27% pada tahun 2000 menjadi 10,57% pada tahun 2011. Hal ini antara lain disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup sebagai hasil dari pembangunan di bidang kesehatan. Jumlah penduduk di Jawa Tengah pada tahun 2011 berdasarkan proyeksi penduduk hasil SP 2010 menjadi 3,49 juta (BPS, 2011). Provinsi Jawa Tengah (Jateng), termasuk salah satu dari tujuh provinsi di Indonesia yang berpenduduk dengan struktur tua (lansia). Data Departemen Sosial (Depsos) menyebutkan, jumlah penduduk dengan struktur tua (lansia) mencapai 9,36%. Jumlah lansia di Indonesia setiap tahun cenderung mengalami peningkatan. Jika pada tahun 1970 sebanyak 5,3 juta jiwa (4,48%), tahun 1990 menjadi 12,7 juta jiwa (6.29%), tahun 2000 sebanyak 14,4 juta jiwa (7,18%) dan tahun 2005 meningkat menjadi 16,8 juta jiwa (7,78%). Tahun 2020 jumlah lansia di Indonesia diperkirakan akan mencapai 28,8 juta orang, atau sekitar 11,34%. Indonesia termasuk negara berstruktur penduduk tua (lansia), karena jumlah penduduk usia lanjutnya lebih dari 7% di atas ketentuan badan dunia (Depsos, 2009).
Peningkatan jumlah penduduk lansia apabila tidak segera ditangani akan menambah masalah yang sangat kompleks, terutama dibidang kesehatan mengingat lansia merupakan periode di mana organisme telah mencapai kemasakan dalam ukuran dan fungsi yang telah menunjukkan kemunduran sejalan dengan waktu. Masa tua banyak menghadapi berbagai masalah kesehatan yang perlu penanganan dengan baik, seperti diketahui bahwa memasuki lansia identik dengan menurunnya daya tahan tubuh dan mengalami berbagai penyakit degeneratif yang menyerang. Keadaan tersebut, berpengaruh pada permasalahan kondisi ketahanan tubuh lansia yang diterimanya dari lingkungan sekitar, maka tekanan atau stressor pada diri lansia berpengaruh pada rasa kecemasan dan stres. Lansia mudah mengalami stres karena fungsi dari kemampuan menyelesaikan masalah (mekanisme koping) juga menurun (Anderson, 2008 dalam Rosita, 2012). Stres pada lansia dapat didefinisikan sebagai tekanan yang diakibatkan oleh stresor berupa perubahan-perubahan yang menuntut adanya penyesuaian dari lansia. Tingkat stres pada lansia berarti pula tinggi rendahnya tekanan yang dirasakan atau dialami oleh lansia sebagai akibat dari stresor berupa perubahan-perubahan baik fisik, mental, maupun sosial dalam kehidupan yang dialami lansia (Indriana, 2010). Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi stres pada lansia meliputi, kondisi kesehatan fisik, kondisi psikologi, keluarga, lingkungan, pekerjaan (Fitria, 2007). Lanjut usia potensial biasanya hidup di rumah sendiri atau tidak tinggal di Panti Wredha. Mereka masih mampu bekerja dan mencari nafkah baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya. Lanjut usia tidak potensial membutuhkan bantuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Bagi yang masih memiliki keluarga, maka mereka bergantung pada keluarganya. Bagi yang tidak lagi memiliki keluarga, bahkan hidupnya terlantar, biasanya menjadi penghuni Panti Wredha yang berada di bawah naungan Departemen
Pengaruh Tehnik Relaksasi Benson Terhadap Penurunan Tingkat Stres Lansia Di Unit Rehabilitas 187 Pengaruh Tehnik Relaksasi Benson Terhadap Penurunan Lansia Di Unit SosialTingkat Wening Stres Wardoyo Ungaran RehabilitasKadek Sosial Wening Ungaran Oka Aryana,Wardoyo Dwi Novitasari Kadek Oka Aryana, Dwi Novitasari, S.Kep.,Ns. M.Sc
187
Sosial. Segala kebutuhan hidupnya menjadi tanggung jawab Panti Wredha dan biasanya mereka tinggal di sana sampai akhir hidupnya. Saat seseorang memasuki masa usia lanjut, akan mengalami berbagai perubahan baik yang bersifat fisik, mental, maupun sosial. Memasuki usia lanjut tidak lain adalah upaya penyesuaian terhadap perubahan-perubahan tersebut. Sebagai proses alamiah, perkembangan manusia sejak periode awal hingga masa usia lanjut merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari. Perubahan-perubahan menyertai proses perkembangan termasuk ketika memasuki masa usia lanjut. Ketidaksiapan dan upaya melawan perubahan-perubahan yang dialami pada masa usia lanjut justru akan menempatkan individu usia ini pada posisi serba salah yang akhirnya hanya menjadi sumber akumulasi stress (Indriana 2012). Berat atau tidaknya suatu stress tergantung dari penilaian seseorang terhadap stress yang dialami. Seseorang yang mengalami stress apa bila tidak teratasi dapat menampilkan gejala-gejala fisik, emosi, intelektual dan interpersonal (Prabowo, 2007). Adanya penurunan pada kondisi lansia, maka akan mengalami perubahan aspek psikologis yang berkaitan dengan keadaan kepribadian Lansia. Karakteristik Lansia yang di panti werdha dengan Lansia yang bersama keluarga memiliki perbedaan karakteristik, karakteristik ini berpengaruh pada perilaku yang dilakukan sehari-hari. Karakteristik stres lansia di panti werdha dipengaruhi lingkungan internal. Lingkungan internal dipersepsi individu berupa gejala dan kekecewaan atau kemarahan pada anak atau keluarga. Seperti diketahui lansia seharusnya berkumpul dengan keluarga tetapi malah ditempatkan pada panti jompo dan terdapat pula yang menginginkan untuk tinggal karena tidak mempunyai tempat tinggal dan keluarga, perasaan jauh dari keluarga dan rasa terbuang dari orang-orang yang disayangi itulah yang membuat lansia merasa dirinya tersisih. Sehingga lansia yang ditempatkan di panti akan mengalami perubahan prilaku seperti mudah merasa kesal, tidak sabaran, 188
188
pemarah, gelisah, pendiam dan perubahan strategi koping dengan kondisi tersebut maka lansia akan mudah mengalami stres (Rosita, 2012). Salah satu upaya untuk mengatasi stres adalah dengan metode relaksasi. Hal itu karna dalam relaksasi terkandung unsur penenangan diri. Teknik ini disebutnya relaksasi Benson yaitu suatu prosedur untuk membantu individu berhadapan pada situasi yang penuh stres dan usaha untuk menghilangkan stress (Dalimartha 2008). Relaksasi ada beberapa macam (Miltenbarger 2004) mengemukakan ada 4 macan relaksasi yaitu relaksasi otot (progressive muscle relaxation), pernafasan (diaphragmatic breathing), meditasi (attention-foccusing exercises), dan relaksasi prilaku (behavioral relaxation training). Relaksasi Benson merupakan pengembangan metode respon relaksasi pernafasan dengan melibatkan faktor keyakinan pasien, yang dapat menciptakan suatu lingkungan internal sehingga dapat membantu pasien mencapai kondisi kesehatan dan kesejahtraan yang lebih tinggi (Benson & Proctor 2000, dalam Purwanto, 2006). Kelebihan latihan tehnik relaksasi dari pada latihan yang lain adalah latihan relaksasi lebih mudah dilakukan bahkan dalam kondisi apapun serta tidak memiliki efek samping apapun (Deleon, 1999). Disamping itu kelebihan dari tehnik relaksasi lebih mudah dilaksanakan oleh pasien, dapat menekan biaya pengobatan, dan dapat digunakan untuk mencegah terjadinya stres. Sedangkan kita tahu pemberian obat-obatan kimia dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan efek samping yang dapat membahayakan pemakainya seperti gangguan pada ginjal (Yosep, 2007). Proses pernafasan yang tepat merupakan penawar stres. Proses pernafasan merupakan proses masuknya O2 melalui saluran nafas kemudian masuk keparu dan diproses kedalam tubuh, kemudian selanjutnya diproses dalam paruparu tepatnya di bronkus dan diedarkan keseluruh tubuh melalui pembuluh vena dan nadi untuk memenuhi kebutuhan akan
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 186-195 Volume 2 November 2013 186-195
O2. Apabila O2 dalam otak tercukupi maka manusia berada dalam kondisi seimbang. Kondisi ini akan menimbulkan keadaan rileks secara umum pada manusia. Perasaan rileks akan diteruskan ke hipotalamus untuk menghasilkan Corticotropin Releasing Factor (CRF). Selanjutnya CRF merangsang kelenjar di bawah otak untuk meningkatkan produksi Proopioidmelanocortin (POMC) sehingga produksi enkephalin oleh medulla adrenal meningkat. Kelenjar dibawah otak juga menghasilkan endorphin sebagai neurotransmitter yang mempengaruhi suasana hati menjadi rileks. Meningkatnya enkephalin dan β endorphin kebutuhan tidur akan terpenuhi dan lansia akan merasa lebih rileks dan nyaman (Taylor, 2001 dalam Risnas 2005). Penelusuran penulis, penelitian mengenai pengaruh teknik relaksasi Benson terhadap penurunan tingkat stres pada lansia belum pernah diteliti sebelumnya, tetapi terdapat variabel penelitian yang hampir mirip dengan penelitian sebelumnya, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Trisnayanti (2010) pada lansia di Panti Werdha Wening Wardoyo Ungaran. Kesimpulan yang dapat ditarik yaitu ada pengaruh teknik relaksasi Benson terhadap pemenuhan kebutuhan tidur pada lansia. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 8 Maret 2013 di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran diperoleh informasi dari pegawai dinas sosial yang bertugas mengatakan bahwa kapasitas Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo adalah 120 dan sekarang dihuni sebanyak 90 lansia dengan rentang usia 60-90 tahun yang ditempatkan pada 15 bangunan asrama atau wisma. Hasil observasi dan wawancara pada 10 lansia, didapatkan hasil: 6 lansia diantaranya mengalami stres yaitu: 2 orang mengeluh penyakitnya tidak kunjung sembuh, susah tidur, sulit fokus terhadap apa yang dikerjakan dan terlihat tidak bersemangat, 3 orang mengeluh kangen dengan suasana di rumah, jarang ditengok sama keluarga, terkadang memilih sendiri dan menangis saat teringat dengan keluarga,
dan 1 orang mengalami stroke, merasa kebingungan saat ditanya (pelupa), tidak brsemangat dan 4 lansia diantaranya tidak mengalami stres. Upaya yang dilakukan pengasuh dalam menangani masalah ini adalah dengan memberikan obat-obatan seperti obat penenang. Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut “Adakah Pengaruh tehnik relaksasi benson Terhadap Tingkat Stres Pada Lansia di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran?”.
METODE PENELITIAN Variabel independent dalam penelitian ini adalah latihan tehnik relaksasi Benson sedangkan variabel dependent adalah tingkat stres pada lansia. Subyek dalam penelitian ini adalah semua lansia yang ada di panti sosial wening wardoyo ungaran sampel dikumpulkan secara purposive sampling. Metode penelitian menggunakan eksperimen semu (Quasi Experimental) dnegan pendekatan Quasi Experimental with pretest & postest control group design merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya akibat”sesuatu” yang dikenakan pada subyek selidik. Jumblah subyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah 30 lansia yang terdiri dari 7 lansia wisma Pandu, 8 lansia wisma Noroyono, 5 lansia wisma Werkudoro, 5 lansia wisma Larasati dan 5 lansia wisma Kunti. Kuisioner dalam penelitian ini menggunakan menggunakan kuisioner Depression Anxiety Stres Scale (DASS) yang sudah di modivikasi oleh peneliti yang terdiri dari 14 pertanyaan yang bersifat tertutup. Pada setiap peryataan subyek diminta untuk menjawab stiap pertanyaan yamg sudah di tentukan yaitu sangat sering diberi sekor 3, sering diberi sekor 2, kadang diberi sekor 1 dan tidak pernah diberi sekor 0. Pada tahab pengambilan data, peneliti datang ke panti subyek pada hari yang telah di tentukan sebelumnya dengan pihak pengurus panti dan responden diminta untuk mengisi kuisioner yang telah disediakan. Pada saat pengambilan data,
Pengaruh Tehnik Relaksasi Benson Terhadap Penurunan Tingkat Stres Lansia Di Unit Rehabilitas 189 Pengaruh Tehnik Relaksasi Benson Terhadap Penurunan Lansia Di Unit SosialTingkat Wening Stres Wardoyo Ungaran RehabilitasKadek Sosial Wening Ungaran Oka Aryana,Wardoyo Dwi Novitasari Kadek Oka Aryana, Dwi Novitasari, S.Kep.,Ns. M.Sc
189
peneliti didampingi oleh pengawas masingmasing pegawai wisma. Pada akhir pengambilan data, kuisioner yang terisi berjumblah 30. Tidak terdapat data yang tidak valid karena semua pernyataan dijawab oleh responden. Variabel tingkat stres dikategorikan menjadi stres normal 014, stres ringan 15-18, stres sedang 19-25, Sress berat 26-33, sangat berat : > 34. Analisa data yang digunakan adalah anilisa univariat untuk mengetahui distribusi frekuensi dari masing-masing variabel sedangkan analisa bivariat menggunakan uji t test HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Univariat 1. Gambaran Tingkat Stres Lansia Sebelum Diberikan Tehnik Relaksasi Benson pada Kelompok Intervensi dan Kontrol. Stres Pretest Intervensi Stres Ringan Stres Sedang Stres Berat
13.3 20
66.7
Stres Pretest Kontrol Stres Ringan Stres Sedang Stres Berat
13.3
13.3
73.3
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa sebelum diberikan tehnik relaksasi Benson pada lansia di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran pada kelompok intervensi lansia mengalami stres sedang sejumlah 10 orang (66,7%), stres ringan 2 orang (13,3%), stres berat 3 orang (20%), sedangkan pada kelompok kontrol mengalami stres sedang sejumlah 11 orang (73,4%), stres ringan 2 orang (13,3%), stres berat 2 orang (13,3%). 190
190
Semakin bertambahnya usia seseorang akan mengalami penurunan dari semua sistem dalam tubuhnya. Mengingat lansia merupakan periode dimana organisme telah mencapai kemasakan dalam ukuran dan fungsi yang telah menunjukkan kemunduran sejalan dengan waktu.Masa tua banyak menghadapi berbagai masalah kesehatan yang perlu penanganan dengan baik, seperti diketahui bahwa memasuki lansia identik dengan menurunnya daya tahan tubuh dan mengalami berbagai penyakit degeneratif yang menyerang.Keadaan tersebut berpengaruh pada permasalahan kondisi ketahanan tubuh lansia yang diterimanya dari lingkungan sekitar, maka tekanan atau stressor pada diri lansia berpengaruh pada rasa kecemasan dan stres.Lansia mudah mengalami stres karena fungsi dari kemampuan menyelesaikan masalah (mekanisme koping) juga menurun (Anderson, 2008 dalam Rosita 2012). Berdasarkan hasil penelitian lansia mengalami tingkat stres yang bermacam macam. Sebagian besar lansia yang berada dipanti werdha mengalami stres sedang yang disebabkan karena kekecewaan atau kemarahan pada anak, keluarga atau lingkungan sekitar.Stres sedang biasanya disertai keluhan seperti gangguan tidur, detak jantung lebih keras, ketegangan emosional meningkat. Selain mengalami stres sedang lansia juga ada yang mengalami stres ringan ini disebabkan karena terlalu banyak tidur. Situasi seperti ini biasanya berlangsung beberapa menit atau jam.Bagi mereka sendiri, stresor ini bukan resiko yang signifikan untuk timbulnya gejala. Namun demikian, stresor ringan yang banyak dalam waktu singkat dapat meningkatkan resiko penyakit. Tahap stres ringan yaitu:semangat bekerja besar, pengelihatan tajam. Lansia juga ada beberapa yang mengalami stres berat ini disebabkan oleh situasi kronis yang dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan hingga menahun, seperti penyakit kronis yang tidak kunjung sembuh akan membuat situasi stres yang berkepanjangan, sehingga makin tinggi resiko kesehatan yang ditimbulkan. Stres
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 186-195 Volume 2 November 2013 186-195
berat biasanya disertai keluhan seperti gangguan pencernaan, konsentrasi menurun, insomnia, kelelahan fisik. Berdasarkan peneletian yang yang dilakukan oleh Trisnayati (2010) yang berjudul pengaruh tehnik relaksasi benson terhadap pemenuhan kebutuhan tidur pada lansia dengan hasil penelitian menunjukkan kebutuhan tidur sebelum dan sesudah diberikan tehnik “Relaksasi Benson” pada kelompok perlakuan signifikansi. Kesimpulan, ada pengaruh yang signifikan antara “Relaksasi Benson” terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dimana menunjukkan p-value = 0,000 <(0,05). B. Analisis Bivariat 1. Table 5.5 Perbedaan Tingkat Stres Lansia Sebelum Dan Sesudah Diberikan Tehnik Relaksasi Benson Pada Klompok Kontrol Variabel Perlakuan Tingkat Sebelum Stres Sesudah
RataSD t p-value rata 15 0,733 3,399 1,1 0,274 3,719 40 15 n
Berdasarkan table 5.5 dapat diketahui bahwa pada klompok kontrol rata rata skor tingkat stres sebelum dan sesudah perlakuan sebesar 0,733. Berdasarkan uji t dependen, didapatkan nilai t hitung sebesar 1,140 dengan p-value sebesar 0,274. Terlihat bahwa p-value 0,274> (0,05), ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan tingkat stres lansia sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok kontrol pada lansia di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran.Dapat disimpulkan bahwa pada kelompok yang dikontrol tidak memberikan efek apa-apa.Lansia mengalami stres yang tidak mendapatkan perlakuan tidak mengalami penurunan tingkat stres yang singnifikan sehingga tidak terjadi perbedaan antara pre-test dengan post-test pada tingkat stres. Berdasarkan fakta diatas peneliti menyimpulkan bahwa pada lansia yang tinggal di Unit Rehabilitas Sosial Wening Wardoyo Ungaran yang tidak aktif
mengikuti latihan relaksasi Benson sebagian besar mengalami stres yang mengakibatkan mengalami perubahan prilaku seperti mudah merasa kesal, tidak sabaran, pemarah, gelisah, pendiam dan perubahan strategi koping dengan kondisi tersebut maka lansia akan mudah mengalami stres (Rosita, 2012). Seseorang yang mengalami Stres akan membuat segala masalah atau tuntutan penyesuaian diri, dan karena itu, sesuatu yang mengganggu keseimbangan kita. Terkadang stres ini juga dapat turun dengan sendirinya karena seseorang yang mengalami stres dapat menenangkan dirinya sendiri dalam artian seseorang ini menanggapi stres atau respon seseorang terhadap stres tersebut tidak berlebihan, jika tanggapan atau strain itu berlebihan ini akan menjadi sebuah ketegangan atau tekanan yang akan membuat pola pikir, emosi dan perilaku akan menjadi kacau, ini yang akan menyebabkan stres. Maka dari itu stres dapat turun dengan dengan sendirinya tergantung bagaimana seseorang menyikapi stres tersebut (Yosep, 2007). Dapat disimpulkan bahwa pada kelompok yang hanya dikontrol tidak memberikan efek apa-apa. Lansia mengalami stres yang tidak mendapatkan perlakuan tidak mengalami penurunan tingkat stres sehingga tidak terjadi perbedaan antara sebelum dengan sesudah pada tingkat stres. 2. Table 5.7 pengaruh tehnik relaksasi benson terhadap penurunan tingkat stress Ratarata
Variabel
N
Tingkat Stres kelompok Intervens
15 -4,067
SD
T
p-value
3,719
3,375
0,002
Berdasarkan tabel 5.7 rata-rata perbedaan tingkat stres lansia kelompok intervensi sesudah diberikan tehnik relaksasi Benson sebesar -4,067. Kelompok intervensi yang diberikan tehnik relaksasi Benson lebih rendah dibandingkan lansia
Pengaruh Tehnik Relaksasi Benson Terhadap Penurunan Tingkat Stres Lansia Di Unit Rehabilitas 191 Pengaruh Tehnik Relaksasi Benson Terhadap Penurunan Lansia Di Unit SosialTingkat Wening Stres Wardoyo Ungaran RehabilitasKadek Sosial Wening Ungaran Oka Aryana,Wardoyo Dwi Novitasari Kadek Oka Aryana, Dwi Novitasari, S.Kep.,Ns. M.Sc
191
kelompok kontrol yang tidak diberikan tehnik relaksasi Benson. Berdasarkan uji t independen, didapatkan nilai t hitung = 3,375 dengan p-value sebesar 0,002. Oleh karena p-value 0,002< (0,05), maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan tingkat stres lansia sesudah diberikan tehnik relaksasi Benson antara kelompok intervensi dan kontrol pada lansia di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran. Ini juga berarti bahwa ada pengaruh yang signifikan tehnik relaksasi Benson terhadap tingkat stres lansia di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran. Perbedaan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol pada hasil sesudah diberikan tehnik relaksasi Benson yaitu adanya penurunan tingkat stres pada kelompok intervensi yang diberikan tehnik relaksasi Benson dan pada kelompok kontrol tidak ada perubahan karena lansia tidak diberikan tehnik relaksasi Benson. Keadaan ini sesuai dengan pendapat(Benson & Proctor 2000, dalam (Purwanto, 2006) relaksasi Benson merupakan pengembangan metode respon relaksasi pernafasan dengan melibatkan faktor keyakinan pasien, yang dapat menciptakan suatu lingkungan internal sehingga dapat membantu pasien mencapai kondisi kesehatan dan kesjahtraan yang lebih tinggi. Saat dilakukannya latihan relaksasi Benson ini lansia dapat melatih tubuh dengan mengatur irama pernafasan secara baik dan benar sehingga pemusatan pikiran dan penghayatan akan lebih mempercepat penyembuhan dan menghilangkan stres (depresi) atau memelihara dan meningkatkan kesehatan. Relaksasi Benson pada dasarnya merupakan latihan pernapasan, latihan pernafasan yang tepat merupakan penawar stress. Walaupun kita semua bernapas, beberapa dari kita tetap mempertahankan kebiasaan alamiah, pernapasan lengkap dialami oleh bayi atau orang primiti. Ketika menarik napas, udara dihirup ke dalam melalui hidung dan dihangatkan selaput lendir rongga hidung. Bulu hidung menyaring kotoran yang dikeluarkan pada saat menghembuskan 192
192
napas. Diafragma adalah seperti selembar otot yang membentang pada dada, memisahkan dada dan perut umumnya hal ini berjalan dengan otomatis, pada saat difragma relaks, paru-paru kontraksi dan udara didorong keluar. Kedua paru dihubungkan bronkus yang membawa oksigen ke dalam pembuluh vena dan nadi. Pada saat darah meninggalkan paru-paru melalui pembuluh nadi, warna merah cerah karena mengandung oksigen yang tinggi (kurang dari 25%). Darah dipompa keluar oleh jantung melalui pembuluh darah nadi kapiler, mencapai semua bagian tubuh. Sebagaimana kehidupan disokong oleh oksigen yang ditukar oleh hasil pembakaran di dalam sel, darah berwarna pudar. Darah kembali ke bagian kanan jantung dan dipompa ke paru-paru dimana tersebar berjuta pembuluh darah kecil, Pada saat oksigen kontak dengan darah yang bermuatan buangan, gelembung terjadi dimana sel mengambil oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida. Setelah dibersihkan dan di oksigenasi, darah dikembalikan ke jantung kiri dan dialirkan kembali ke seluruh tubuh (Kustanti, 2008). Jika jumlah udara segar yang masuk paru-paru tidak mencukupi, darah anda tidak dibersihkan atau dioksigenasi sebagaimana mestinya. Hasil pembakaran (buangan) yang seharusnya dibuang tetap ada dalam sirkulasi darah, dan perlahanlahan meracuni sistem tubuh. Jika darah kekurangan oksigen, darah akan berwarna kebiruan dan hitam, serta dapat dilihat melalui warna kulit yang buruk dan pencernaan terhambat. Organ dan jaringan anda menjadi kurang makanan dan memburuk. Kurangnya oksigen dalam darah memperbesar kemungkinan terjadinya ansietas, depresi dan lelah, yang sering membuat setiap situasi stress menjadi lebih sukar diatasi. Kebiasaan bernapas yang tepat penting untuk kesehatan mental dan fisik (Davis et all,1995 dalam, Kustanti, 2008). Seseorang yang melakukan relaksasi, aktifitas sistem limbik menurun, sebuah studi yang dilakukan pada tahun 1997 oleh peneliti di jepang dan Harvard Medical
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 186-195 Volume 2 November 2013 186-195
School dalam Satyanegara (2012) menunjukan bahwa prilaku ritual spiritual seperti berdoa juga mempengaruhi hipotalamus, terutama pada daerah yang bertanggung jawab atas pengaturan sistem saraf otonom. Karena sistem limbik mengandung hipotalamus, yang mengontrol sistem saraf otonom, penerunan daerah limbik dapat menjelaskan bagaimana relaksasi mengurangi stres dan meningkatkan stabilitas otonomnya dengan meningkatnya kerja inti hipotalamus yang mengatur sistem saraf parasimpatis. Sirkulasi peredaran darah terutama di otot dan otak, berkaitan erat dengan kebutuhan metabolism jaringan, sangat sensitif dan dan konsisten dalam responya terhadap prilaku manusia, sebuah studi oleh Jevning et all (1996) dalam Satyanegara (2012) menggambarkan suatu redistribusi menarik dalam aliran darah mediator. Aliran darah ke ginjal dan hati menurun disetai dengan peningkatan output jantung yang cukup signifikan. Hal ini mendukung hipotesis bahwa sebagian besar darah di distribusikan ke otak sehingga aliran darah serebral meningkat selama melakukan latihan nafas. Ketika melakukan tehnik relaksasi Benson tekanan darah akan menurun. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Tingkat stress lansia sebelum diberikan tehnik relaksasi Benson pada kelompok intervensi yang mengalami stress ringan 2 orang (13,3%), stress sedang 10 orang (66,7%), dan stress berat 3 orang (20,0%). 2. Tingkat stress lansia sesudah diberikan tehnik relaksasi Benson kelompok intervensi yang mengalami stress ringan 9 orang (60,0%)dan stress sedang 6 orang (40,0%). 3. Tingkat stress lansia sebelum diberikan tehnik relaksasi Benson pada kelompok kontrol yang mengalami stress ringan 2 orang (13,3%), stress sedang 11 orang
4.
5.
6.
7.
(73,4%), dan stress berat 2 orang (13,3%). Tingkat stress lansia sesudah diberikan tehnik relaksasi Benson pada kelompok kontrol yang mengalami stress ringan 3 orang (20,0%), stress sedang 10 orang (66,7%), dan stress berat 2 orang (13,3%). Ada perbedaan yang signifikan tingkat stres lansia sebelum dan sesudah diberikan tehnik relaksasi Benson pada kelompok intervensi di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran, didapatkan nilai t hitung sebesar 4,519 dengan p-value 0,000 < (0,05). Tidak ada perbedaan yang signifikan tingkat stres lansia sebelum dan sesudah diberikan tehnik relaksasi Benson pada kelompok kontrol di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran, didapatkan nilai t hitung sebesar 1,140 dengan p-value 0,274 > (0,05). Ada pengaruh yang signifikan tehnik relaksasi Benson terhadap penurunan tingkat stres pada lansia di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran, didapatkan nilai t hitung sebesar -3,375 dengan p-value 0,002 (<0,05).
SARAN
1. Bagi Lansia
Dapat membantu lansia yang mengalami stres agar secara mandiri dapat melakukan tehnik relaksasi Benson.
2. Bagi Panti Wredha
Tehnik relaksasi Benson dapat dijadikan pengobatan alternatif dalam panti khususnya tentang stres serta mampu menanggulangi masalah psikologis lansia terutama masalah stres yang muncul.
3. Bagi Perawat
Hendaknya melakukan latihan tehnik relaksasi Benson terhadap lansia yang mengalami stres.
4. Bagi Penelitian yang Akan Datang
Hendaknya mampu mengontrol faktor faktor yang mempengaruhi
Pengaruh Tehnik Relaksasi Benson Terhadap Penurunan Tingkat Stres Lansia Di Unit Rehabilitas 193 Pengaruh Tehnik Relaksasi Benson Terhadap Penurunan Lansia Di Unit SosialTingkat Wening Stres Wardoyo Ungaran RehabilitasKadek Sosial Wening Ungaran Oka Aryana,Wardoyo Dwi Novitasari Kadek Oka Aryana, Dwi Novitasari, S.Kep.,Ns. M.Sc
193
tingkat stres responden seperti tipe prilaku responden saat beradaptasi dengan lingkungan yang ada disekitarnya serta perbedaan suku, agama dan kebiasaan. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Azizah, L,M. 2011. Keperawatan lanjut usia. Edisi Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu. BPS, 2011. Profi llansia Jawa Tengah. Badan Pusat Statistik Jawa Tengah. Benson H. 2006. Trancesolutions the relaxation response. www.trancesolutions.cominfo@trance solutions.com Colbert Don, Md. 2011. Stress cara mencegah dan mendangulanginya. Denpasar: Udayana Unuversity Press. Dalimartha, S., Purnama, Basuki, T., dkk. 2008.Care your self hipertensi. Cetakan 1. Jakarta: PenebarPlus. Darmojo & Martono, 2004. Buku ajar geriatri (Ilmukesehatanusialanjut). Jakarta: FKUI. Dempsey, P. A.& Arthur D. D. 2002. Riset keperawatan buku ajar & latihan. Edisi 4. Jakarta: EGC. Donsos, 2009, http://www.bkkbn.go.id/popups, diunduh pada tanggal 7 November 2011. Fitria. 2007.Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan strategi pelaksanaan tindakan keperawatan.Jakarta: SalembaMedika. Gahbiche S. 2009. Ecolesuperieure des sciences et Tehniques de La relaxation.http://www.google.co.id=in dication%20relaxation%20benson. Handoyo. 2004. Meditasi dan Muara Hati. Jakarta: P.T Jakarta. Henry and John. 2005.The short-form version of the Depression Anxiety Stress Scales (DASS-21): Construct validity and normative data in a large nonclinical sample (British Journal of Clinical Psychology, 44, 227–239). 194
194
Hidayat. 2004. Model konsep dan teori keperawaan. Jakarta: EGC. Indriani Y. 2010. Tingkat stress lansia dipanti werdha pucanggading semarang, Jurnal Psikologi Undip. Vol. 8, no. 2 Lumbotobing, 2006.Kecerdasan pada usia lanjut dan dementia.Jakarta: FKUI. Maryam, S, dkk. 2011. Mengenal usia lanjut & perawatannya. Jakarta: Salemba Medika. National Safety of Council.2004. Manjemen stres. Jakarta: EGC. Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi penelitian kesehatan. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi penelitian klinis. Jakarta: EGC. Nugroho. 2000. Keperawatangerontik. Jakarta: EGC Nursalam, P.S. 2008. Pendekatan praktis metodologi riset keperawatan. Jakarta: CV Sagung Seto. Nursalam. 2003. Konsep & penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Patrick, Jeff and Dyck, Murray and Bramston, Paul.2010.Depression Anxiety Stress. Potter & Perry. 2005. Fundamental keperawatan. Edisi ke-4. Jakarta: EGC. Prabowo, Hendro. 2007. Tritmenmeta music untuk menurunkan stress. Proceeding pesat (psikologi, ekonomi, sastra, arsitek, &sipil) auditorium kampus gunatama, 21-22. Purwanto, S.2006. Relaksasi dzikir. Jurnal psikologi universitas Muhammadiayah semarang. 18(1).6-48. Risnas, N. 2005.Pengaruh relaksasi benson terhadap pemenuhan kebutuhan tidur pad alansia, jurnal kesehatan hlm: 1-26, http://www.scribd.com/doc/126027 156 Scale: is it valid for children and adolescents? Journal of Clinical Psychology, 66 (9). pp. 996-1007. ISSN 1097-4679.
Jurnal Keperawatan Jiwa Jurnal1 No. Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 186-195 Volume 2 November 2013 186-195
Rosita, 2012. Stressor Sosial Biologi Lansia Panti Werdha Usia dan Lansia Tinggal Bersama Keluarga, jurnal BioKultur, Vol.I/No.1/, hal. 51. Wahjuni, Endang Sri. 2012.Olahraga untuk menanggulangi stress, edisivol, 10 no 1 http://ordik.jurnal.unesa.ac.id/128_ 870/olahraga--untuk--menanggulangi-stress. Stanley dan Beare. 2007. Buku ajar keperawatan gerontik. Edisi 2. AlihbahasaJuniartidanKurnianingsih .Jakarta: EGC.
Surini, S dan Utomo, B. 2003.Fisikoterapi padalansia. Jakarta: EGC. Trisnayanti M. 2010. Pengaruh relaksasi Benson terhadap gangguan pola tidur lansia di unit rehabilitas sosial wening wardoyo ungaran. Semarang. Watson, Roger. 2003. Perawatan pada lansia. Jakarta: EGC. Widodo, Ari. 2008. Pengaruh tehnik relaksasi terhadap perubahan status mental klien skrizopenia, jurnal kesehatan vol. 1 no. 3 hlm: 131-136. Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan jiwa. Bandung : PT Refika Aditama.
Pengaruh Tehnik Relaksasi Benson Terhadap Penurunan Tingkat Stres Lansia Di Unit Rehabilitas 195 Pengaruh Tehnik Relaksasi Benson Terhadap Penurunan Lansia Di Unit SosialTingkat Wening Stres Wardoyo Ungaran RehabilitasKadek Sosial Wening Ungaran Oka Aryana,Wardoyo Dwi Novitasari Kadek Oka Aryana, Dwi Novitasari, S.Kep.,Ns. M.Sc
195
196
Jurnal Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 186-195
Petunjuk Penulisan Artikel JUDUL PENELITIAN (huruf besar, font 14’, bold, center): spasi singel (Ringkas, Komunikatif, Memuat Variabel penelitian). Nama Peneliti : Peneliti Utama (*), Peneliti ke 2 (**) dst. (Font 12’) Department, faculty, university, address, city, zip code, country (font 10’) E-mail Peneliti:
[email protected] (font.10’)
Abstrak (font 12’, bold) Abstrak ditulis dalam satu paragraph dengan kata kunci terpisah. mencakup Komponen IMRAD (introduction, Methods, Results and conclusions) ditulis tidak lebih dari 200 – 250 kata dengan font Size 10’. Kata Kunci: sering disebut MeSH ( medical Subject Headings) sebuah index yang berguna dalam pencarian makalah (4 – 8 kata). (font. 10’, italik) Pendahuluan : ditulis secara ringkas dan dibuat dalam 1 – 2 paragraf. Pendahuluan mencakup alasan pembenaran mengapa penelitian perlu dilakukan dan tujuan. Alasan tidak perlu rinci dgn tinjauan pustaka akan tetapi yang diperlukan adalah rujukan atau data yang kuat. Methods : Menjelaskan bagaimana peneliti melaksanakan penelitiannya ( desain penelitian, tempat dan waktu, sumber data, populasi dan sampel, cara pengambilan sampel, inklusi dan eksklusi (bila perlu) dan analisis yang dipakai). Hasil : bagian sentral dalam penelitian. Disajikan dalam narasi yang disertai table atau gambar. Dalam hasil tidak perlu disertai ulasan atau komentar.bisa juga disertai pengantar sebelum menyampaikan hasil. Perlu ditekankan untuk tidak mengulang hal hal yang telah disajikan dalam table atau gambar kecuali untuk meberi garis bawah atau penekanan. Diskusi :dalam bagian ini peneliti mengemukakan atau menganalisis penemuan penelitian yang telah dinyatakan dalam hasil dan menghubungkannya dengan pertanyaan penelitian. Membandingkan hasil dengan pengetahuan saat ini atau penelitian sebelumnya, memperkuat, membantah atau sama sekali baru. Tiap pernyataan harus dijelaskan dan didukung dengan pustaka yang memadai. Perlu juga di sertai dengan keterbatasan penelitian baik desain atau eksekusinya yang mempengaruhi hasil. Conclusion: Di tulis dalam bentuk narasi yang memuat kesimpulan dan saran yang dianggap terpenting. Daftara pustaka : dicantumkan sesuai pustaka yang diikutkan dalam artikel Ucapan Terimakasih : perlu diberikan kepada orang atau institusi yang berkontribusi dalam memberikan bantuan/ saran subtantif penelitian. Lampiran: biodata Peneliti
catatan : Catatan Makalah (font: 12’12’ kecuali Judul 14’14’ dandan content abstrak 10’), spasi 1.5 Makalahditulis ditulisdengan denganhuruf hurufTimes Timesnew newroman roman (font: kecuali Judul content abstrak 10’), spasi kecuali abstrak 1 spasi). Huruf atau angka dalam table font: 10’. Jumlah keseluruhan halaman dalam artikel tidak 1. Huruf atau angka dalam table font: 10’. Jumlah keseluruhan halaman dalam artikel tidak lebih dari 11 lebih dari 11 halaman ( tidak termasuk lampiran). penulisan menggunakan APA.
halaman ( tidak termasuk lampiran). penulisan menggunakan APA.
INFORMASI Jurnal Keperawatan Anak yang dikembangkan oleh PPNI Provinsi Jawa Tengah VISI: Jurnal Keperawatan PPNI Provinsi Jawa Tengah menjadi pusat rujukan global di setiap level area pelayanan keperawatan: rumah sakit, keluarga dan komunitas. Informasi Pengiriman Naskah, Penggantian Biaya Cetak Dan Pengiriman: Penjelasan rinci tentang pengirian naskah dapat dilihat pada petunjuk penulisan. Naskah yang telah diterima redaksi tidak akan dikembalikan. Harga jurnal keperawatan tiap eksemplar adalah: Mahasiswa
: Rp. 50.000/eks
Umum
: Rp. 50.000/eks
Institusi
: Rp. 50.000/eks
Biaya pengiriman diperhitungkan Rp 5.000/eks dalam kota dan Rp. 10.000/eks luar kota. Biaya pengiriman untuk tiap 1 paket (6 jurnal) sebesar Rp. 20.000 dalam kota dan Rp 30.000 luar kota (Pulau Jawa) serta sebesar Rp 40.000 di luar Pulau Jawa. Biaya dapat dikirimkan melalui rekening Jurnal Keperawatan PPNI Jawa Tengah : a/n PPNI JATENG No. Rek. 0211329649 BNI Cabang UNDIP Bukti transfer dapat dikirim melalui email jurnal ppni, melalui pos atau faksimili ke alamat Gedung Pengembangan Keperawatan Provinsi Jawa Tengah, Jl Yos Sudarso No 47-49 Genuk Ungaran Barat. Telp/Faks 024-7691 3574.
FORMULIR BERLANGGANAN JURNAL KEPERAWATAN JIWA Nama
: …………………………………………………… Mahasiswa
Instansi
Alamat
: ……………………………………………………
Telp/HP
: ……………………………………………………
Email
: ……………………………………………………
Individu
Akan Berlangganan JKJ Volume
: No…………………………..
Sejumlah
: ……………………..eks/edisi
Untuk itu kami mengirimkan biaya pengganti ongkos cetak dan ongkos kirim: Sebesar
: Rp………………..
Melalui
: No Rek ……………………………… a/n ……………… (fotokopi bukti pembayaran terlampir) FORMULIR BERLANGGANAN JURNAL KEPERAWATAN JIWA
Nama
: …………………………………………………… Mahasiswa
Instansi
Alamat
: ……………………………………………………
Telp/HP
: ……………………………………………………
Email
: ……………………………………………………
Individu
Akan Berlangganan JKJ Volume
: No…………………………..
Sejumlah
: ……………………..eks/edisi
Untuk itu kami mengirimkan biaya pengganti ongkos cetak dan ongkos kirim: Sebesar
: Rp………………..
Melalui
: No Rek ……………………………… a/n ……………… (fotokopi bukti pembayaran terlampir)