Buku Ajar
Konsep, Metode, dan Contoh Penelitian Pola Komunikasi
Oleh: Akhmad Haryono
ETNOGRAFI KOMUNIKASI: Konsep, Metode, dan Contoh Penelitian Pola Komunikasi Diterbitkan oleh UPT Penerbitan UNEJ Jl. Kalimantan 37 Jember 68121 Telp. 0331-330224, Psw. 0319, Fax. 0331-339029 E-mail:
[email protected] Hak Cipta @ 2015 Cover/layout: Noerkoentjoro W.D. Akbar Suyunus
Perpustakaan Nasional RI – Katalog Dalam Terbitan 380.072 AK e
Akhmad Haryono Etnografi Komunikasi: Konsep, Metode, dan Contoh Penelitian Pola Komunikasi/oleh Akhmad Haryono.--Jember: Jember University Press, 2015. x, 136 hlm. ; 23 cm. ISBN: 1. METODE KOMUNIKASI I. Judul
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak tanpa ijin tertulis dari penerbit, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, photoprint, maupun microfilm.
PRAKATA Etnografi Komunikasi sebagai salah satu cabang ilmu linguistik yang masih relatif baru, merupakan ilmu interdisipliner yang menggabungkan antara disiplin linguistik dan antropologi. Etnografi komunikasi melengkapi kehadiran cabang-cabang linguistik yang lain seperti, Pragmatik, semantik, sintaksis, morfologi, dan fonologi. Kini di berbagai perguruan tinggi, khususnya pada jurursan-jurusan ilmu humaiora, disiplin iilmu etnografi komunikasi mulai diminati bahkan sudah menjadi mata kuliah yang ditawarkan kepada mahasiswa yang mendalami ilmu linguistik dan juga ilmu komunikasi. Hal ini seiring dengan situasi dan kondisi wilayah Indonesia yang multietnik. Oleh karena itu, penelitian-penelitian yang berkaitan dengan etnik, bahasa, dan budayanya tentu semakin menarik perhatian para ilmuwan. Kontribusi penelitian etnografi komunikasi semakin nyata dalam menyelesaikan persoalan-persoalan / konflik-konflik intra- dan antaretnik di masyarakat yang disebabkan kegagalan komunikasi. Selain itu, kajian Etnografi Komunikasi dapat sebagai alternatif upaya pemertahanan bahasa-bahasa etnik yang semakin hari terancam kepunahannya. Secara teoritis penelitian etnografi komunikasi telah membantu memperkaya teori-teori etnografi komunikasi, ilmu linguistik, dan ilmu komunikasi. Buku ini disusun karena keprihatinan penulis terhadap keterbatasan bahan ajar dan bacaan yang berkaitan dengan pernik-pernik bahasa dan budaya yang merupakan bagian etnografi komunikasi. Buku ajar etnografi komunikasi ini diharapkan memperkaya bahan ajar dan bacaan di kalangan mahasiswa dan generasi muda dalam mengarungi cita-citanya. Buku yang terdiri atas tujuh bab ini memuat konsep-konsep, metode penelitian, dan contoh penelitian pola komunikasi. Semoga dapat dipahami agar dapat menjadi pegangan baik dalam menunjang keilmuan, maupun menyelesaikan persoalan-persoalan kebahasaan yang sering terjadi di masyarakat. Buku ini memiliki paling tidak dua tujuan pokok, yaitu: (1) memberikan pengetahuan tentang dasar-dasar ilmu etnografi komunikasi yang didasarkan pada hasil penelitian-penelitian dalam negeri dan teoriteori yang dikemukakan oleh para ilmuwan dalam dan luar negeri; dan (2) memberikan bekal pengetahun teoritis dan praktis bagi pembelajar/mahasiswa untuk melakukan penelitian etnografi komunikasi, khususnya para mahasiswa yang menekuni disiplin ilmu etnografi komunikasi dan disiplin keilmuan lain yang berdekatan dan saling menunjang seperti sosiolinguistik, prakmatik, dan ilmu komunikasi. iii
Oleh karena itu, konsep-konsep etnografi komunikasi, prosedur dan langkah-langkah penelitian disusun dan diskusikan secara berimbang. Untuk mempermudah daya cerna pembelajar/mahasiswa terhadap teoriteori dan aplikasinya, dalam buku ini juga disajikan contoh-contoh yang relevan. Pertimbangan lain penambahan penekanan pada` kegiatan praktek penelitian, juga sebagai jawaban adanya kenyataan bahwa beberapa perguruan tinggi sudah mencanangkan dirinya sebagai universitas riset, sementara kini mahasiswa masih dijejali materi kuliah yang hanya berfokus pada teori dan masih kurang dibekali pengetahuan praktis tentang langkah-langkah dan prosedur kegiatan penelitian. Buku ini disusun dengan sistematika sebagai berikut: Bab 1 memaparkan tentang pentingnya bahasa sebagai alat komunikasi, Karakteristik lokasi penelitian beserta kontribusi buku ini; Bab 2 menjelaskan tentang konsepkonsep dan teori serta sejarah singkat etnografi komunikasi; Bab 3 memaparkan prinsip kerjasama dan kesantunan, serta kode dan alih kode bagian dari pola dan strategi komunikasi; Bab 4 memaparkan tentang konteks tuturan mencakup masyarakat tutur, peristiwa tutur, dan tindak tutur; Bab 5 menjelaskan tentang desain dan metode penelitian etnografi komunikasi; Bab 6 menyajikan contoh penyajian dan analisis data dalam penelitian etnografi komunikasi; Bab 7 menjelaskan tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pola komunikasi. Buku ini diharapkan disajikan selama satu semester dengan jumlah minimal 14 tatap muka aktif dengan beban 2-3 SKS. Dua tatap muka dialokasikan untuk pelaksanaan ujian tengah dan akhir semester. Dengan demikian, total tatap muka sebanyak 16 kali pertemuan. Perkuliahan diharapkan menggunakan metode pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa (student centered learning). Pada setiap pembelajaran diharapkan baik dosen maupun mahasiswa telah membaca materi yang akan dibahas dan dianjurakan membaca referensi lain yang sesuai dengan topik. Peserta kuliah juga dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil dengan anggota 4 sampai 5 orang setiap kelompok. Sebaiknya, dosen menyiapkan tayangan berbentuk pawer point untuk memberi gambaran tentang topik yang akan dipelajarai kurang lebih 15-30 menit. Selanjutnya waktu digunakan untuk diskusi dan mengerjakan tugas yang sudah disiapkan oleh dosen dan akan lebih baik kalau sudah dikirim via elearning yang tentunya mengacu pada bab dan pokok bahasan terkait secara berkelompok. Tugas-tugas dapat berupa soal berdasarkan kompetensi dan pendalaman materi yang disediakan pada masing-masing bab, informasi pada bacaan, komentar, topik untuk diskusi, perbandingan bahasa dan buadaya antaretnik, ataupun dengan menggali dari sumbersumber lain seperti internet. Dalam pembelajaran ini, dosen diharapkan benar-benar bisa menjadi fasilitator iv
dan pendamping yang cakap dan konstruktif serta memiliki kemampuan dalam bidang yang dipelajari. Evaluasi harian terhadap kerja kelompok dengan mendasarkan pada salah dan benar secara kaku bisa dikurangi dan dicari alternatifnya. Misalnya, hasil satu kelompok kurang sempurna dan kelompok lain lebih sempurna agar setiap warga belajar dalam kelompok masing-masing dapat bertambah pengetahuan dan keterampilannya serta mengenal dan belajar tentang kelebihan dan kekurangannya tanpa merasa dihakimi dihadapan peserta didik yang lain. Puji syukur penulis panjatkan ke hadiat Allah Swt. Sebab, hanya atas berkat dan rahmat-Nyalah penulisan buku ajar Etnografi Komunikasi ini dapat diselesaikan. Penulisan buku ini tidak akan dapat terlaksana tanpa bantuan dan fasilitas dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih yang mendalam kepada Prof. Dr. Soepomo Poedjosoedarmo, Prof. Dr. I. Dewa Putu Wijana, Prof. Dr. F.X. Nadar, Dr. Suhandono, Dr. Yos Inyo Fernandes yang telah memberikan bimbingan dan ilham kepada penulis selama menjadi mahasiswa S3 di FIB UGM. Rektor Universitas Jember dan Ketua UPT Penerbitan Universitas Jember yang telah memberikan bantuan berupa fasilitas dalam penulisan dan penerbitan buku ajar ini; Dekan Fakultas Sastra dan Ketua Lemlit Universitas Jember yang telah memberikan ijin untuk melaksanakan penelitian dan penulisan buku ini; Teman Sejawat dan para Guru prof. Dr. Akhmad Sofyan, Prof. Dr. Samuji; Prof. Dr. Ayu Sutarto, Prof. Dr. Bambang Wibisono, M.Pd., dan Dr. Agus Sariono, M.Hum. yang telah memberikan inspirasi, dorongan, dan semangat penulis untuk menyiapkan dan menyelesaikan naskah ini. Sahabat-sahabat seperjuangan di Fakultas Sastra yang karena keterbatasan tidak bisa disebutkan satu persatu yang juga telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan buku ajar ini. Para Kiai, budayawan, dan pemerhati bahasa dan budaya Madura serta ke-NU-an yang senantiasa memberikan bantuan dalam pelaksanaan penelitian dan memberikan dorongan moril kepada penulis untuk segera menyelesaikan penulisan buku ini. Berbagai pihak yang telah banyak membantu penulisan buku ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Teristimewa kepada istriku tercinta yang dalam keadaan suka dan duka telah menemani dan memberi semangat kepada penulis, terima kasih atas pengertiannya dan telah membangkitkan semangatku untuk menyelesaikan tulisan ini. Untuk anak-anakku tercinta Shabrina Izzata Afiayati Akhmad, savinah Ilmi Frohlicha Akhmad, dan Nugraha Fahmi Akhmad, yang terkurangi limapahan kasih sayangnya demi menyelesaikan penulisan ini, tetapi percayalah bahwa semua ini dilakukan demi menyongsong masa depan ananda semua. v
Akhirnya, penulis menyadari bahwa naskah buku ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, dengan senang hati penulis akan menerima kritik dan saran dari berbagai pihak untuk penyempurnaan naskah buku ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Jember, Nopember 2015 Penulis
vi
DAFTAR ISI Halaman Prakata .............................................................................................. Daftar Isi ........................................................................................... Daftar Tabel ......................................................................................
iii vii ix
BAB 1. PENDAHULUAN ........................................................... Kompetensi dan Pengantar ............................................................... Bahasa Sebagai Alat Komunikasi .................................................... Bagaimana memperlakukan Bahasa pada Status dan Kelas Sosial Berbeda .................................................................................. Kontribusi pada Bidang Ilmu ........................................................... Pendalaman Materi ...........................................................................
1 1 1 4 11 12
BAB 2. MENGENAL KONSEP DAN TEORI ETNOGRAFI KOMUNIKASI ...................................................... Kompetensi dan Kajian Sebelumnya ................................................ Konsep Etnografi Komunikasi ......................................................... Pola Komunikasi .............................................................................. Penggunaan Bahasa dalam Komunikasi............................................ Fungsi-fungsi Komunkatif Bahasa ................................................... Kompetensi Komunikatif ................................................................. Bahasa dan Kebudayaan ................................................................... Pendalaman Materi ...........................................................................
13 15 16 18 20 22 23 26 28
BAB 3. PRINSIP KERJASAMA DAN KESANTUNAN, KODE DAN LAIH KODE SEBAGAI POLA DAN STRATEGI KOMUNIKASI .........................................................
29
Kompetensi dan Pengantar ............................................................... Prinsip Kerjasama (PK) dan Prinsip Sopan Santun (PS) dalam Berkomunikasi ....................................................................... Penggunaan Tingkat Tutur (Speech Level)....................................... Tingkat Tutur (speech level) dalam Bahasa Madura ......................... Tingkat Tutur dalam Bahasa Jawa ................................................... Pemahaman Lintas Budaya (Cross-cultural Understanding) .......... Kode, Alih Kode, dan Campur Kode ............................................... Pendalaman Materi ........................................................................... vii
29 30 32 33 35 36 38 42
BAB 4. KONTEKS .......................................................................
43
Kompetensi dan Pengantar ............................................................... Masyarakat tutur (Speech Community) ............................................. Peristiwa Tutur (Speech Event) ........................................................ Tindak Tutur (Speech act) ................................................................ Pendalaman Materi ...........................................................................
43 44 46 49 53
BAB 5. DESAIN DAN METODE PENELITIAN ETNOGRAFI KOMUNIKASI ...............................................................................
55
Kompetensi dan Pengantar ............................................................... Mendesain Latar Belakang Masalah ................................................. Identifikasi, Pemilihan, dan Perumusan Masalah Penelitian ............ Merumuskan Tujuan Penelitian ........................................................ Manfaat Penelitian ............................................................................ Tinjauan Pustaka .............................................................................. Metode Penelitian Etnografi Komunikasi ........................................ Pendalaman Materi ...........................................................................
55 55 57 60 61 61 62 71
BAB 6. CONTOH PENYAJIAN ANALISIS POLA KOMUNIKASI ...............................................................................
73
Kompetensi dan Pengantar ............................................................... Pola Komunikasi KP-UNUEM ........................................................ Ringkasan ......................................................................................... Pendalaman Materi ...........................................................................
73 74 97 99
BAB 7. MENGAPA TERJADI POLA KOMUNIKASI ...........
101
Kompetensi dan Pengantar ............................................................... Faktor Komponen Tutur ................................................................... Faktor Kompetensi Komunikatif ...................................................... Pendalaman Materi ...........................................................................
101 103 112 114
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... GLOSARIUM ................................................................................. INDEKS ...........................................................................................
115 123 133
viii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 3.1 Tingkat Tutur BM ........................................................... Tabel 3.2 Tingkat Tutur Bahasa Jawa ............................................ Tabel 5.1 Quantitative and Qualitative Research : Alternative Labels ............................................................................. Tabel 6.1 Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Berpredikat Guru-Santri ..................................................................... Tabel 6.2 Pola Komunikasi KP-UNUEM yang berstatus Sosial Tinggi .................................................................. Tabel 6.3 Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Dipengaruhi Tingkat Keeratan hubungan ........................................... Tabel 6.4 Pola Komunikasi KP-UNUEM yang dipengaruhi Umur ...............................................................................
ix
34 36 63 79 85 90 96
x
Bab 1 Pendahuluan Kompetensi dan Pengantar Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan memiliki kompetensi sebagai berikut: Memahami peran bahasa dalam komunikasi Memahami dan bisa menempatkan bahasa pada status dan kelas sosial yang berbeda Mampu memahami kontribusi penelitian ini terhadap bidang Ilmu Etnografi Komunikasi Bahasa adalah suatu alat pada manusia untuk menyatakan tanggapannya terhadap alam sekitar atau peristiwa-peristiwa yang dialami secara individual atau secara bersama-sama. Dalam kehidupan manusia bahasa bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, melainkan juga menyertai proses berpikir manusia dalam usaha memahami dunia luar, baik secara objektif maupun imajinatif. Oleh Sebab itu, bahasa selain memiliki fungsi komunakatif, juga memiliki fungsi kognitif dan fungsi emotif. Dengan kata lain, bahasa selain memiliki fungsi instrumental, regulatori, interaksional, personal, dan informatif, juga mempunyai fungsi hauristik dan imajinatif (Aminuddin, 2001: 136). Bahasa tidak hanya dipakai sebagai alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan seseorang kepada orang lain atau mentransfer ide-ide seseorang kepada orang lain, akan tetapi bahasa juga dapat digunakan sebagai sarana untuk berpikir secara logis dan benar. Kebenenaran dan kelogisan suatu bahasa tidak hanya dilihat dari struktur dan ketatabahasaannya, tetapi keterkaitan dan hubungan makna antara kata, frase, dan kalimat yang satu dengan yang lainnya serta hubungannya dengan realitas yang ada di dunia ini serta konteks penggunaannya. Bahasa Sebagai Alat Komunikasi Hampir semua manusia membutuhkan hubungan sosial dengan orang-orang di sekitarnya, dan kebutuhan ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia, agar mereka tidak terisolasi antara satu dengan yang lainnya. Pesan-pesan itu tercermin dalam perilaku manusia. Ketika seseorang sedang berbicara, maka dia sebenarnya sedang berperilaku. Begitu juga ketika seseorang
melambaikan tangan, tersenyum, bermuka masam, manganggukkan kepala, atau memberikan suatu isyarat, maka dia juga sedang berperilaku. Perilaku-perilaku ini merupakan pesan-pesan yang digunakan untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada orang lain, dan perilaku-perilaku tersebut dapat didefinisikan sebagai bentuk komunikasi apabila bermakna. Bahasa merupakan suatu produk sosial dan budaya, bahkan merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai produk sosial dan budaya tentu bahasa merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Sudah barang tentu, bahasa sebagai hasil budaya megandung nilai-nilai masyarakat penuturnya (Sumarsono & Partana, 2002: 20-21). Oleh karena itu, bahasa sering dipakai sebagai ciri etnik. Bahasa dikatakan sebagai alat identitas etnik: Bahasa daerah sebagai alat identitas suku. Ada pula pandangan akan adanya hubungan yang tetap dan pasti antara ciri-ciri fisik suatu etnik dengan suatu bahasa atau variasi bahasa tertentu. Bahasa sering dipakai untuk melaksanakan banyak fungsi komunikasi, namun fungsi bahasa yang paling penting adalah penyampaian informasi. Lyons (1972) dalam Brown dan Yule (1996) mengemukakan bahwa suatu bangsa dapat berkomunikasi dengan menggunakan perasaan, suasana hati, dan sikap, tetapi dia lebih menyarankan bahwa komunikasi lebih pada penyampaian informasi faktual atau proporsional yang disengaja. Jadi komunikasi terutama merupakan usaha pembicara/penulis untuk memberitahukan sesuatu kepada pendengar/pembaca atau menyuruhnya melakukan sesuatu. Peran bahasa tidak sama dalam lingkungan masyarakat tertentu. Bahasa bisa berperan sebagai identifikasi kategori sosial, pemeliharaan, dan pengaturan hubungan dan jaringan sosial individu dengan yang lainnya serta bisa juga digunakan untuk melakukan kontrol sosial. Kategori sosial merupakan bagian dari sistem sosial yang juga menjadi tambahan dalam sisitem bahasa yang dapat digunakan untuk menandai kategori-kategori itu. Dalam melaksanakan pembangunan bangsa, kita tidak dapat mengabaikan keberadaan bahasa dan budaya sekelompok masyarakat tertentu sebagai alat komunikasi. Sebab, keduanya mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat pendukung bahasa dan kebudayaan tersebut. Namun demikian, kita juga harus menyadari bahwa bahasa dan budaya tidak selalu berdampak positif terhadap keberlangsungan pembangunan bangsa. Bahasa dan budaya dapat berdampak positif, jika masyarakat yang terlibat dalam pemakaian bahasa tersebut tidak salah dalam memahami dan menggunakan bahasa dan 2
budaya suatu masyarakat dan kelompok tertentu. Akan tetapi, sebaliknya jika pemakai bahasa dan pelaku budaya salah dalam memahami makna bahasa dan budaya yang merupakan alat dan bagian komunikasi, maka bahasa dan budaya akan menjadi sumber persoalan dan konflik di masyarakat. Bahasa dan budaya merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan, karena melalui pemahaman terhadap budaya masyarakat tertentu dapat tercermin unsur-unsur komunikasi dalam pemakaian bahasa yaitu, siapa berbicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, apa makna yang terkandung dalam pesan, dalam konteks apa seseorang berpesan, dan bagaimana menafsirkan pesan. Kesalahan dalam menempatkan unsur-unsur komunikasi dalam budaya masyarakat tertentu dapat mengakibatkan hambatan/kegagalan komunikasi, bahkan akan menyulut timbulnya konflik dan kekerasan antarkelompok penganut budaya tersebut. Tidak jarang masalah-masalah kecil (sepele) telah menjadi masalah besar seperti pembunuhan, karena disebabkan kegagalan komunikasi. Bahasa merupakan alat utama yang digunakan budaya untuk menyalurkan kepercayaan, nilai, dan norma. Bahasa merupakan alat bagi manusia untuk berinteraksi dengan manusia lainnya dan juga sebagai alat untuk berpikir. Maka, bahasa berfungsi sebagai suatu mekanisme untuk berkomunikasi dan sekaligus sebagai pedoman untuk melihat realitas sosial. Bahasa mempengaruhi persepsi, menyalurkan, dan membentuk pikiran. Masalah utama yang sering terjadi dalam pemakaian bahasa suatu etnik adalah kesalahan dalam persepsi sosial yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan budaya yang mempengaruhi proses pemahaman terhadap bentuk-bentuk pemakaian bahasa yang dilakukan orang lain. Pemberian makna suatu pesan sangat dipengaruhi oleh budaya pengirim maupun penerima pesan. Kesalahan-kesalahan fatal dalam memahami makna dapat menyebabkan persepsi yang salah terhadap maksud dan tujuan pemakaian bahasa. Kesalahan-kesalahan ini diakibatkan oleh orangorang yang berlatar belakang berbeda budaya sehingga tidak dapat memahami bentuk-bentuk komunikasi satu dengan lainnya dengan akurat. Pemahaman atas perbedaan-perbedaan budaya ini akan membantu mengetahui sumber-sember masalah yang potensial dalam pemakaian bahasa, sedangkan pemahaman seseorang atas persamaan-persamaannya akan membantunya lebih mendekatkan kepada pihak lain yang berbeda budaya dan pihak lainpun akan merasa lebih dekat kepadanya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa budaya mempengaruhi pola-pola komunikasi. Budayalah yang menentukan waktu dan jadwal 3
peristiwa tutur antarperson, tempat untuk membicarakan topik-topik tertentu, jarak fisik yang memisahkan antara seorang penutur dengan petutur (partisipan tutur), nada suara yang sesuai untuk pembicaraan topik dan partisipan tertentu. Budaya juga melukiskan kadar dan tipe kontak fisik yang dituntut oleh tradisi masyarakat tertentu, dan intensitas emosi yang menyertainya. Budaya meliputi hubungan antar apa yang dikatakan dan apa yang dimaksudkan sesuai konteksnya, seperti kata “silakan” yang maksudnya bisa ‛perintah’ atau ‛larangan’. Bagaimana memperlakukan Bahasa pada Status dan Kelas Sosial Berbeda Perbedaan status dan kelas sosial bisa menyebabkan orang-orang yang berstatus berbeda sulit menyatakan opini secara bebas dan terus terang dalam even diskusi dan perdebatan. Seseorang yang berstatus lebih rendah (bawahan) harus menyatakan rasa hormat kepada orang yang berstatus lebih tinggi (atasannya). Status dan kelas sosial juga menentukan apakah suatu bisnis akan terjadi antara individu dan antara kelompok (Whyte & Hall, Schrope,1974; Mulyana & Rakhmat, 2003). Oleh karena itu, pola komunikasi masyarakat tertentu cenderung dipengaruhi keseluruhan pola budaya termasuk pemberlakuan status dan kelas sosial sebagai unsur yang mempengaruhi pola-pola komunikasi. Perubahan utama dalam kategori-kategori struktur sosial biasanya juga membawa perubahan pola-pola komunikasi. Kaitannya dengan bagaimana memperlakukan bahasa pada status dan kelas sosial yang berbeda kita bisa menimba pola komunikasi warga Nahdlatul Ulama (NU) yang memiliki variasi sesuai status dan kelas sosial yang ditentukan oleh peran dan jabatannya dalam masyarakat. Sebagai organisasi sosial kemasyarakatan NU mampu mempertahankan jati dirinya sebagai bangsa barbudaya melalui etika yang tercermin dalam perilaku berbahasanya. Warga NU yang jumlahnya cukup besar memiliki tradisi dan budaya yang sangat unik, khususnya yang berada di Jember yang sebagian besar berlatar belakang etnik Madura. Menurut pendapat Sutarto (2005) NU dikenal sebagai kekuatan Islam yang sangat menghormati tradisi dan budaya lokal, bahkan ada yang menyebut NU sebagai kelompok Islam tradisional, Islam kultural, kelompok sarungan, dan entah apa lagi. Mereka (warga NU) hidup di tengah perpaduan antara tradisi dan syari’at Islam. Warga NU sebagian besar dilahirkan dari embrio kehidupan pesantren salaf dengan kultur paternalistik yang sudah mengakar. Yang dimaksud pesantren salaf disini adalah pesantren yang memfokuskan pengkajiannya hanya pada ilmu–ilmu keagamaan (diniah) yang dikelola 4
secara tradisional. Adapun kultur paternalistik adalah kepatuhan santri kepada kiai yang sudah mengkristal dan sudah menjadi tarekat dalam kebiasaan hidup sehari-hari yang diamalkan secara konsisten dan terus menerus baik selama di pesantren maupun setelah kembali ke masyarakat. Oleh karena itu, kehidupan taradisi dan budaya masyarakat NU cenderung mengikuti pola-pola tradisi dan budaya pesantren. Fenomena-fenomena di atas jika dikaitkan dengan hasil temuan di lapangan mengindikasikan bahwa pola komunikasi yang terjadi dalam masyarakat NU merupakan cerminan penggunaan variasi bahasa yang didasarkan pada status dan kelas sosial yang berbeda. Hal tersebut merupakan implikasi dari kultur paternalistik yang sudah mengakar di kalangan NU, yang dapat dijelaskan sebagai berikut; 1. Stratifikasi sosial kiai di kalangan warga NU ditempatkan pada posisi yang paling terhormat sehingga tercermin dalam pola-pola pemakaian bahasanya. Dalam pandangan warga NU kiai diposisikan sebagai kelompok yang sangat di-ta’dzim-kan (amat dihormati). Dalam struktur sosial maupun politik kiai juga menempati posisi yang amat penting dan paling terhormat, karena pengaruhnya di masyarakat berbasis NU peran kiai sangat menentukan pola dan warna kehidupan di masyarakat. Hal tersebut ditemukan dalam fakta kebahasaan sebagai berikut: Konteks tuturan 1: Di rumah seorang kiyai pengasuh pesantren NU pada jam 15.30. seorang wali santri (ummat NU) memasrahkan anaknya kepada kiai selaku pengasuh pesantren. Wali santri: “Cabis pamator, ka’dinto.” ‘Maaf, apa bisa saya mengatakan sesuatu ?’ Kiai
: “èngghi” (ya) ‘ya, silakan!’
Wali santri: “Abdina terro mangabdiya budu’ è ka’dinto.” ‘Hamba ingin mengabdikan anak di pesantren ini’ Kiai
: “mandhâr perna’a” (semoga krasan) ‘Semoga anak ini kerasan di pesantren ini’ (Haryono, 2011)
5
Frase “cabis pamator” yang memiliki pengertian mohon ijin untuk menyampaikan sesuatu dihadapan kiai sebagai cerminan rasa hormat yang amat tinggi ummat NU etnik Madura (UNUEM) kepada kiai. Bahkan dibarengi dengan frase “terro mangabdiyâ budhu’’ yang berarti ingin anaknya dijadikan abdi (pesuruh) kiai. Kata abdi (pesuruh) dalam konteks warga NU di Jember juga berarti bahwa mereka merendahkan diri dihadapan kiai yang sekaligus harus patuh selama berada di pesantren. Begitu pula, kata ‘budhu’ yang bisanya dalam bahasa Madura (BM) digunakan untuk panggilan anak binatang sengaja digunakan UNUEM untuk merendahkan diri sebagai abdi dihadapan seorang kiai. Hal tersebut dilakukan karena UNUEM menganggap bahwa kedudukan atau strata sosial kiai jauh lebih tinggi. Bagi UNUEM pengabdian kepada seorang kiai lebih dari hanya sekadar menimba ilmu karena menjadi abdi sekaligus memiliki pengertian mempelajari ilmu agama maupun ilmu tèngka (segala tindakan dan perilaku yang dapat diterapkan kelak kalau santri sudah pulang ke masyarakat). Lebih lanjut (Haryono, 2011) mengemukakan bahwa tingginya strata sosial kiai juga dapat dilihat dari perilaku berbahasa UNUEM ketika berkomunikasi dengan kiai yang selalu menundukkan kepala seraya merendahkan suaranya. Suara kiai biasanya cenderung lebih tinggi dari UNUEM. Begitu pula dalam penggunaan tingkat tutur (ondaghân bhâsa/Speech level) – UNUEM menggunakan tingkat tutur yang paling tinggi yaitu èngghi bhunten, sedangkan kiai menggunakan speech level madya (èngghi-enten) atau ngoko (enja’-iyâ) seperti pada konteks tuturan 1 di atas. 2. Ketaatan UNUEM kepada kiai yang sekaligus dianggap guru dan pembimbing spiritual merupakan kewajiban nomor wahid dalam kultur pesantren. Hal tersebut tercermin dalam komunikasi antara alumni yang sudah lama pulang di masyarakat dengan Kiai (gurunya). Konteks tuturan 2: komunikasi via telpon pada malam hari antara kiai dengan seorang mantan santrinya. Kiai : “Ji, tada ’ acara ?” (Jih, dak ada acara ?) ‘Jih, apakah tidak ada acara ?’ Santri : “abdina è pakon ngirèng ummi pokol sanga’, gella’ pokol pètto’ sè makon, tergantung ka padhâna ka’dinto.”
6
‘Hamba disuruh mengantarkan ummi pada jam sembilan, tadi pada jam tujuh telah menyuruh saya, tapi hal ini semua saya pasrahkan kepada kiai.’ Kiai: “mon dâento ngèrèng umminah kada’, mon marè nèlpon ka bulâ, pola ami’ gi’ ta’ jhalan.” ‘Kalau begitu antarkan umminya saja dulu, kalau sudah di rumah telpon saya, siapa tahu saya belum berangkat.’ (Haryono, 2011) Pada tuturan di atas alumni (santri) sebagai UNUEM yang pernah mengabdi di pesantren merasa berat untuk menolak ajakan guru, tetapi juga merasa berat untuk mengabaikan kewajiban kepada orang tua. Santri berpandangan bahwa “kedudukan orèng seppo sami sareng guru, orèng seppo sè ngalaèraghi tor maraja, sedangkan guru sematao sapa orèng seppo” ‘Kedudukan guru itu sama dengan orang tua – orang tua yang melahirkan dan membesarkan, sedangkan guru orang yang berjasa mengenalkan siapa orang tua.’ Orang tua yang telah merawat dan mengasihi kita semenjak kecil, sedangkan guru telah berjasa mentransfer ilmu, sehingga seseorang tahu bagaimana berbakti kepada Allah, Rasul, dan kedua orang tuanya, bahkan bisa berguna bagi lingkungannya. Pandangan ini menyebabkan UNUEM begitu patuh kepada kiai yang dianggap sebagai guru yang jasanya disamakan dengan orang tua. Kepatuhan tersebut tercermin dalam tuturannya pada data (2) yang menyatakan bahwa “abdina è pakon ngirèng ummi” ‘Saya disuruh menemani ummi’. Tuturan tersebut sebenarnya sebagai bentuk penolakan yang sangat halus dan tidak langsung kepada kiai, karena dengan mengatakan disuruh orang tua, kiai akan menyuruh untuk mendahulukan apa yang diinginkan orang tua seperti pada tuturan kiai data (2) “mon dâ’ento ngèrèng ummina kada’” ‘Kalau begitu antarkan ummi saja dulu.’ Dengan demikian, pola komunikasi yang merupakan bagian dari strategi komunikasi yang disampaikan santri sebagai partisipan tutur telah berhasil menyatakan penolakannya tanpa menyinggung perasaan kiai sebagai guru. Figur kiai yang tentunya menginginkan santrinya bisa “birrul walidain” ‘berbuat baik kepada orang tua’ juga tampak dalam tuturan tersebut. Untuk tidak mengurangi rasa patuhnya kepada kiai, santri menyerahkan sepenuhnya apa yang seharusnya dilakukannya berkaitan dengan dua fenomena yang kedua-duanya amat penting dengan meneruskan tuturan 7
“tergantung ka padhâna ka’dinto” ‘tapi semua saya pasrahkan pada paduka.’ Tuturan ini mengindikasikan bahwa kepatuhan UNUEM kepada kiai yang dianggap sebagai guru amat tinggi. 3. Tidak adanya kiai sebagai seorang yang disegani, karena dianggap memiliki status dan kelas sosial yang lebih tinggi dan dita’dzimkan, telah menyebabkan ditinggalkannya prinsip-prinsip kesantunan dalam komunikasi. Fenomena ini dapat memicu terjadinya konflik dalam komunikasi, seperti terlihat pada percakapan berikut: Data 6: Percakapan di rumah salah satu pengurus ta’mir masjid. HT:“Cara jhuâl belli ghânika tak saya sè bân H. Anak menurut syara’, karna ghi’ bermasalah. Ta’mir jhâ’ bân sarobân mellè. Kèng ghulâ yakin Ta’mir masjid nèka tak bhâkal sambhârângan.” ‘Cara jual beli tanah dengan H. Anak itu tidak sah menurut syara’, karena masih bermasalah. Ta’mir jangan tergesa-gesa membeli. Tapi saya yakin bahwa ta’mir Masjid tidak akan sembarangan membeli tanah itu’ HM:“Saporanah, mungghu aghâmah bân pamarènta ampon syah. Kaangguy lebbi jelas saè adabu dibi’ sareng jhi Hèrus.” ‘Maaf, menurut hukum agama dan pemerintah sudah sah, untuk lebih jelasnya, sebaiknya bapak berbicara sendiri dengan pak Haji Herus.’ HT : “Kabâlâ ka ta’mir, soro jhâ’ terros aghi.” ‘Sampaikan kepada ta’mir, jangan diteruskan’ HH: “Ghulâh sè lebbi onèng persoalan nèka.” ‘saya yang lebih mengetahui permasalahan ini’ (Haryono, 2011) Pernyataan HT “Cara jhuâl belli ghânika tak sya” ‘Cara jual beli itu tidak sah’ telah membuat ta’mir masjid tersinggung, karena pernyataan ‘tidak sah’ pada tuturan tersebut diterima partisipan tutur (pengurus ta’mir masjid) sebagai ejekan bahwa ta’mir masjid tidak 8
memahami secara mendalam hukum syar’i. Oleh karena itu, HM kemudian menjawab dengan kelimat penegasan “mungghu aghâma bân pamarènta ampon saya” ‘menurut hukum agama dan pemerintah sudah sah.’ Pernyataan tersebut tidak lain sebagai kalimat bantahan bahwa ta’mir juga paham ilmu agama secara mendalam dan transaksi jual beli itu tidak salah. Kondisi yang sudah memanas semakin diperparah dengan pernyataan HT “Kabâlâ ka ta’mir soro jhâ’ terros aghi” ‘katakan kepada ta’mir jangan diteruskan’. Tuturan ini telah memperpanas suasana karena kalimat larangan ‘jangan diteruskan’ mempertegas pernyataan ‘tidak sah’ pada tuturan sebelumnya. Yang lebih membuat emosi pengurus ta’mir yang lain adalah keberadaan HT yang masih baru telah berani melarang orang yang sudah lama di keta’miran masjid tersebut. Oleh karena itu, pernyataan HH “Ghulâh sè lebbi onèng persoalan nèka” ‘saya yang lebih paham terhadap permasalahan ini’ tak lain sebagai kalimat sanggahan bahwa orang yang lama akan lebih tahu dan memahami persoalan yang terjadi dan juga sekaligus sebagai penegasan bahwa orang baru tidak boleh merasa lebih tahu dan otoriter. 4. Dalam sistuasi tidak formal komunikasi antara UNUEM biasanya menggunakan referens para ulama’ yang dikagumi sebagai bagian strategi komunikasi. Partisipan tutur akan lebih antusias mendengarkan apa yang disampaikan petutur, jika di sela-sela percakapannya menceritakan ulama’ yang dikagumi sebagai bumbu dari apa yang menjadi tujuan tutur. Hal ini sebagaimana tercermin dalam tuturan berikut: Konteks tuturan: Percakapan anggota Forsa sebelum acara formal dimulai pada sore hari Syt :“Kè Basyir merehap jembatan, itu masih dalam keadaan è totop, tapi sudah bisa dilalui, Cuma dalam beberapa bulan ditutup. Ketika sopirnya mau berangkat jemput Kè Waris, Kè Basyir telepon sopirnya “dagghi’ lebât Latè (nama dusun), Engghi. Ketika Kè Waris ongghâ ka kendaraan “badâ dabu dari Kè Basyir è pakon lèbât Latè. Kan jembatannya masih diperbaiki? Abdina namung tarèma dabu, saka’dinto”. Ketika Kè Waris dalam perjalanan sampè’ di Berpènang ternyata sudah dipersiapkan jembatan itu untuk Kè Waris. Katika Kè Waris sampè dekat dalem, Kè Waris acabis dimèn ka Kè Basyir. Dua hari kemudian Kè Basyir acabis ka Kè waris. Lho ènga’ nèkah terharu, 9
sobung ponapah mon ènga’ nèkah, dâ’ napah, dâ’ tokaran.” ‘Kiai Basyir merehab jembatan. Jembatan itu masih dalam keadaan ditutup – walaupun sebenarnya sudah bisa dilalui, namun dalam beberapa bulan jembatan itu ditutup. Ketika sopir Kiai Waris akan berangkat jemput Kiai Waris, Kiai Basyir telpon sopirnya ‘nanti Kiai Waris dibawa lewat Latè (nama dusun)!’ Saya pak Kiai. Ketika Kiai Waris menaiki kendaraan sopirnya mengatakan kalau ada pesan dari Kiai Basyir disuruh lewat Latè” Kan jembatannya masih diperbaiki? Saya hanya menyampaikan pesan seperti itu. Ketika Kiai Waris sampai di Sumberpinang ternyata jembatan itu sudah dipersiapkan untuk Kiai Waris. Ketika Kiai waris sampai di dekat kediaman Kiai Basyir, Kiai Waris bersalaman dulu ke Kiai Basyir. Dua hari kemudian Kiai Basyir datang ke Kiai Waris. Melihat seperti itu saya terharu. Keharmonisan hubungan akan terjaga kalau seperti itu, tidak akan ada konflik.’ Tuturan Syt pada data di atas tentang kerendahan hati seorang kiai yang ingin ikram (memuliakan) sesama pengasuh pesantren sebagai upaya memberikan pemahaman kepada partisipan tutur tentang akhlak seorang kiai pengasuh pesantren yang saling memuliakan satu sama lain. Kiai Basyir yang diceritakan sengaja tidak membuka jembatan yang direhabnya, tidak lain hanya agar Kiai Waris melewati jembatan tersebut pertama kali. Hal itu dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada Kiai Waris. Kiai Waris juga begitu, setelah sampai di depan Kiai Basyir beliau “nyabis” ‘berjabatan tangan’ duluan kepada Kiai Basyir. Besok harinya Ki Basyir “nyabis” ‘datang’ kekediaman Kiai Waris. Perilaku ini menunjukkan bahwa antara kiai pengasuh pesantren saling memuliakan dan saling bersilaturrahim ‘menyambung tali kasih sayang’. Pada tuturan tersebut syt menyatakan “Lho ènga’ nèka terharu, sobung ponapa mon ènga’ nèka, dâ’ napa, dâ’ tokaran.” ‘Melihat seperti itu saya terharu, keharmonisan akan terjaga kalau seperti itu – tidak akan ada konflik.’ Perilaku kedua kiai tersebut mengharukan, karena akan menimbulkan keharmonisan hubungan dan akan terjaga dari konflik. Strategi komunikasi tersebut bertujuan agar apa yang dilakukan oleh kedua kiai pengasuh pesantren tersebut dicontoh oleh para santrinya khususnya dan ummat NU pada umumnya. 10
Contoh-contoh data tersebut menggambarkan adanya keunikan dan kekhasan kultur dalam kelompok warga NU di Jember yang tercermin dalam fakta-fakta kebahasaannya. Pola-pola komunikasi yang digunakan warga NU di Jember tidak terlepas dari kategori dan fungsi bahasa yang tercermin dalam tuturan, bahasa dan pilihan bahasa yang digunakan, tingkat tutur (ondhâghân bhâsa/speech level), alih giliran tutur, serta simbol-simbol yang ditampakkan melalui gerakan-gerakan tubuh (body language), dan intonasi (tone) sebagai aspek pendukung pemahaman terhadap tindak tutur. Pola-pola komunikasi tersebut tercermin ketika seorang yang status sosialnya lebih rendah kepada orang yang status sosialnya lebih tinggi dan sebaliknya; orang yang tidak mempunyai peran kepada orang yang memiliki peran dalam masyarakat dan sebaliknya; orang yang tidak mempunyai jabatan kepada orang yang mempunyai jabatan baik dalam instansi ataupun dalam masyarakat dan sebaliknya; bawahan kepada atasannya dan sebaliknya; dan Guru/Kiai kepada murid/santri dan sebaliknya, orang muda berbahasa kepada yang lebih tua dan sebaliknya;, serta bagaimana warga NU berkomunikasi dengan kelompok sosial yang lain. Kesalahan dalam penggunaan pola-pola komunikasi tersebut dalam konteks warga NU merupakan masalah yang dapat menyebabkan interpretasi yang negatif terhadap pemakainya. Mereka telah dianggap melanggar konvensi dalam pemakaian bahasa yang berlaku di lingkungan masyarakat tersebut sehingga dapat menyebabkan seseorang terisolasi dari pergaulan dan bahkan akan menuai cercaan dan cacian di masyarakat. Oleh karena itu, topik ini menarik dan amat penting untuk diskusikan sebagai upaya menggali lebih mendalam fenomena-fenomena kebahasaan yang terjadi dalam kelompok warga NU di Jember yang sekaligus dapat memahami pola-pola pemakaian bahasanya. Melalui penjelasan ini juga diharapkan dapat memberikan tambahan khasanah baru bagi kajian linguistik yang berhubungan dengan konteks sosial dan budaya komunitas tertentu (etnografi komunikasi), khususnya komunitas warga NU. Rekomendasi penelitian ini juga diharapkan menjadi referensi bagi warga NU dan kelompok lainnya dalam berkomunikasi sehingga dapat mencegah terjadinya kegagalan komunikasi yang dapat mengakibatkan kesenjangan hubungan dan konflik.
Kontribusi pada Bidang Ilmu Buku ini diharapkan dapat memberikan dua kontribusi positif, yakni kontribusi teoritis dan kontribusi praktis. 11
Dari segi teoritis buku ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan teori dalam bidang sosiolinguistik khususnya dalam kajian etnografi komunikasi yang berkaitan dengan pola komunikasi yang digunakan oleh komunitas tertentu. Keunikan dan kekhasan penggunaan kode-kode bahasa yang merupakan refleksi dari kultur pada kelompok masyarakat tertentu telah membentuk keunikan dan kekhasan bahasa yang digunakan. Hal ini perlu dideskripsikan agar dapat memperkaya teori-teori dalam kajian etnografi komunikasi. Dari segi praktis buku hasil penelitian ini diharapkan dapat memperakaya bahan ajar etnografi komunikasi yang kini masih langka. Selain itu rekomendasi hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar bagi pihak terkait dengan organisasi Nahdlatul Ulama’ untuk mengidentifikasi akar masalah yang berkaitan dengan kegagalan komunikasi yang mungkin bisa terjadi baik antarwarga NU sendiri, maupun antarwarga NU dengan mitra tutur yang lain (di luar warga NU) yang berbeda kultur.
Pendalaman Materi 1. Dengan menggunakan media ICT, carilah informasi lebih detail tentang fungsi dan peran bahasa sebagai alat komunikasi. 2. Berilah contoh-contoh data lain berikut penjelasannya tentang bahasa yang digunakan oleh orang-orang berstatus sosial berbeda. 3. Mengapa orang-orang yang memiliki status dan kelas sosial berbeda cenderung menggunakan variasi bahasa berbda ? Apakah itu bagian dari strategi komunikasi ? 4. Jika anda seorang pimpinan suatu perusahaan, secara kebetulan di perusahaan tersebut paman mertua anda menjadi bawahan. Bagaimana anda seharusnya berbahasa dengan orang yang dihormati, sementara anda menjadi atasan. Berilah contoh percakapan dengan menggunakan bahasa etnik yang anda ketahui.
12
Bab 2 Mengenal Konsep dan Teori Etnografi Komunikasi Kompetensi dan Kajian Sebelumnya Setelah belajar bab ini denagan baik, mahasiswa diharapkan memiliki kompetensi sebagai berikut: Memahami konsep etnografi komunikasi Memahami pengertian pola komunikasi Memahami penggunaan bahasa dalam komunikasi Memahami fungsi-fungsi komunikatif bahasa Memahami unsur-unsur yang mendukung kompetensi komunikatif Memahami keterkaitan bahasa dan kebudayaan Keunikan kultur komunitas masyarakat EM di Jember menjadi salah satu alasan banyaknya para ahli tertarik untuk meneliti dan menulis tantang warga masyarakat tersebut dengan kajian masalah dan sudut pandang yang berbeda-beda. Namun demikian, penelitian yang objeknya melibatkan warga NU dan menekankan pada kajian etnografi komunikasi atau kajian yang menelaah penggunaan bahasa yang dihubungkan dengan konteks sosial dan budaya, sepengetahuan penulis belum banyak dilakukan. Adapun penelitian-penelitian dengan topik yang memiliki kemiripan dalam hal objek atau kajiannya dengan topik penelitian dalam buku ini adalah sebagai berikut: Wahyuningsih dkk. (2004) meneliti dengan judul “Sistem Komunikasi di Pesantren Salaf Tempurejo”. Penelitian ini menekankan pada sistem komunikasi yang digunakan di dalam pesantren yang berlatar belakang etnik Madura (EM), berbasis warga NU, dan tata cara pengamalan keagamaannya menganut paradigma yang diberlakukan oleh organisasi NU. Komunitas pesantren tersebut berasal dari EM, sehingga bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi baik dalam situasi formal maupun informal adalah bahasa Madura (BM). Penelitian tersebut menghasilkan temuan bahwa sistem komunikasi yang digunakan di lingkungan pesantren merupakan refleksi dari sistem komunikasi yang berlaku di kalangan NU. Wibisono (2005) penelitian desertasi berjudul “Perilaku Berbahasa Warga Kelompok Etnis Madura di Jember dalam Obrolan dengan Mitra Tutur Sesama dan Lain Etnis”. Penelitian tersebut menghasilkan temuan
penggunaan tingkat tutur (speech level) ketika EM berbahasa dengan sesama etnis, dan lain etnis. Penelitian tersebut juga mencari faktor-faktor yang menyebabkan penggunaan kode dan ragam bahasanya, baik dalam berbahasa dengan sesama etnis maupun lain etnis. Namun, penelitian tersebut tidak dihubungkan dengan kultur dalam organisasi keagamaan khususnya NU, sehingga belum menyentuh karakteristik NU dan warga NU secara khusus. Setyowati (2005), kajiannya tentang pola komunikasi berjudul “Perkembangan Emosi Anak (Studi Kasus Penerapan Pola Komunikasi Keluarga dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Emosi Anak pada Keluarga Jawa)”. Kajian tersebut menghasilkan temuan penerapan pola komunikasi keluarga sebagai bentuk interaksi antara orang tua dengan anak maupun antaranggota keluarga memiliki implikasi terhadap proses perkembangan emosi anak. Pola komunikasi yang demokratis dan interaktif secara kultural pada akhirnya akan menentukan keberhasilan proses sosialisasi pada anak. Proses sosialisasi menjadi penting karena dalam proses tersebut akan terjadi transmisi sistem nilai yang positif kepada anak. Sistem nilai dalam budaya Jawa yang disosialiasikan kepada anak, banyak memberikan pengaruh positif terhadap pembentukan dan perkembangan emosi anak. Haryono (2006) penelitian tesisnya berjudul “Pola Komunikasi di Pesantren Salaf ‘A’ di Jember”. Penelitian ini menghasilkan temuan model komunikasi yang diperagakan oleh komunitas salah satu pesantren salaf di Jember. Namun, model-model komunikasi di pesantren salaf tersebut hanya merupakan bagian kecil dari tradisi dan budaya NU yang ada di masyarakat. Sariono (2006) penelitiannya berjudul “Pemilihan Bahasa dalam Masyarakat Using: Studi Kasus pada Masyarakat Using di Kelurahan Singotrunan, Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi”. Penelitian dengan kajian etnografi tersebut menghasilkan temuan pilihan bahasa yang berupa alih kode dan campur kode, serta faktor-faktor penentu pilihan kode dan alih kode yang digunakan oleh masyarakat tutur Using Kelurahan Singotrunan. Wibisono dan Haryono (2009) meneliti dengan judul “Pola-Pola Komunikasi Etnis Madura Pelaku Perkawinan Usia Dini (Kajian Etnografi Komunikasi)”. Penelitian kajian etnografi komunikasi tersebut menghasilkan temuan penjelasan ilmiah/akademis tentang pola-pola komunikasi, faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan komunikasi, dan penggunaan tingkat tutur EM pelaku perkawinan usia dini di Jember. Budhiono (2010) kajiaannya (dalam artikel ilmiah Saweri Gading) berjudul “Orang Kaso: Sekelebat Tinjauan Etnografi Komunikasi 14
Terhadap Sebuah Komunitas Tutur”. Kajian Etnografi tersebut menyimpulkan bahwa orang Kaso merupakan sebuah komunitas unik yang mempunyai paradigma tersendiri mengenahi bahasa, ujaran, dan makna yang terkandung di dalamnya. Mereka berpendapat bahwa ujaran adalah apa yang terdengar saja tanpa memperhitungkan anasir lain di belakangnya. Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian dan kajian lain sebelumnya ada tiga hal yakni: Pertama, penelitian dengan kajian etnografi komunikasi yang dilakukan Sariono (2006) lebih menekankan pada pilihan bahasa, kode dan alih kode pada masyarakat Using di Keluarahan Singotrunan Banyuwangi; Budhiono (2010) menekankan pada bahasa ujaran dan maknanya yang berlaku di masyarakat tutur orang Kaso. Kedua penelitian tersebut objeknya bahasa etnik lain dan belum menyentuh pola komunikasi secara komprehensif yang meliputi penggunaan tingkat tutur, kode dan alih kode sebagai bentuk pilihan bahasa, tone (nada suara), body language, dan alih giliran tutur yang merupakan perpaduan perilaku budaya warga etnik Madura dan kultur pesantren berhaluan NU; Kedua, kajian etnografi komunikasi Wibisono (2005) hanya berobjek EM secara umum, artinya EM dari berbagai latar belakang, baik dari segi tingkatan strata sosial, umur, maupun pendidikan, namun belum menyentuh warga EM yang berlatar belakang warga NU. Begitu pula kajian etnografi Wibisono dan Haryono (2009) hanya berobjek bahasa komunitas EM pelaku perkawinan usia dini. Adapun penelitian ini lebih menekankan pada bahasa kelompok WNUEM di Jember; Ketiga, Pola Komunikasi yang diteliti Haryono (2006) dan sistem komunikasi yang diteliti Wahyuningsih dkk. (2004) hanya menekankan pada komunitas pesantren sementara kajian pola komunikasi yang ditulis setyowati (2005) menekankan pada kajian ilmu komunikasi dengan objek penelitian etnik Jawa. Adapun pada penelitian ini lebih menekankan pada pola-pola yang tercermin dalam bahasa dan budaya WNUEM yang merupakan akulturasi kultur pesantren yang berhaluan NU dan EM yang hidup di masyarakat. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikemukakan bahwa sampai saat ini belum ada penelitian dengan kajian etnografi komunikasi yang secara khusus menelaah tentang pola komunikasi yang digunakan WNUEM di Jember. Inilah yang menjadi alasan, penelitian ini menarik dan perlu dilakukan.
15
Konsep Etnografi Komunikasi Konsep dapat dijadikan sebagai dasar acuan awal dalam proses suatu penelitian. Menurut KBBI konsep adalah rancangan dasar, ide, pengertian, dan gambaran awal dari objek yang diabstrakkan dari peristiwa konkret dan digunakan untuk memahami hal-hal lain dalam suatu penelitian. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Kridalaksana (2008: 117) bahwa konsep adalah gambaran awal dari objek penelitian yang digunakan untuk memahami hal-hal lain dalam suatu penelitian. Paparan konsep-konsep bisa bersumber dari pendapat para ahli, pengalaman peneliti, dokumentasi, dan nalar yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Untuk memahami konsep etnografi komunikasi, baik sebagai dasar teori (ilmu) maupun sebagai studi riset, sebaiknya diawali dengan pemahaman tentang aspek-aspek dasar yang mempengaruhi lahirnya cabang ilmu linguistik tersebut. Aspek-aspek tersebut adalah bahasa, komunikasi, dan kebudayaan, karena ketiga aspek tersebut yang tergambar dalam kajian etnografi komunikasi. Studi etnografi komunikasi tidak lain merupakan salah satu bentuk penelitian kualitatif (paradigma interpretatif dan alamiah), yang mengkhususkan pada penemuan berbagai pola komunikasi yang digunakan manusia dalam suatu masyarakat tutur (Saville-Troike, 2003: 2-3). Tentu saja penemuan berbagai pola komunkasi tersebut didasarkan pada analisis komponen tutur yang dipengaruhi tiga aspek penting yang mendasari pemolaan komunikasi yaitu: linguistik, interaksi sosial, dan kebudayaan. Memahami pola komunikasi yang hidup dalam suatu masyarakat tutur, atau masyarakat yang memiliki kaidah yang sama untuk berkomunikasi, akan memberikan gambaran umum regularitas dari perilaku komunikasi masyarakat tersebut. Dari pola tersebut juga dapat diketahui bagaimana unit-unit komunikatif dari suatu masyarakat tutur diorganisasikan, dipandang secara luas sebagai ‘cara-cara berbicara’, dan bersama dengan makna, menurunkan makna dari aspek-aspek kebudayaan yang lain. Ketika seseorang sedang berkomunikasi dengan rekan kerjanya akan spontan mengubah gaya komunikasinya lantaran seorang atasannya menghampirinya. Kita sering tidak menyadari, suara (tone), lafal maupun gerak-gerik telah berubah-ubah, ketika menghadapi bayi, anak kecil, orang sebaya, orang tua, dan bahkan kekasih kita. Seseorang tentu tidak menggunakan kalimat perintah, ketika yang dihadapi orang lebih tua dan dihormati. Misalnya, Ibu sudah punya buku ini? Seraya menunjukkan buku yang diharapkan dibelinya. Kalimat tersebut bentuknya kalimat tanya, namun fungsinya kalimat perintah atau permintaan agar ibu tersebut 16
membeli buku itu. Hubungan bentuk dan fungsi komunikasi inilah yang dalam kajian etnografi komunikasi disebut sebagai contoh pemolaan komunikasi (communication patterning). Studi etnografi komunikasi adalah pengembangan dari antropologi linguistik yang dipahami dalam konteks komunikasi. Studi ini diperkenalkan pertama kali oleh Hymes pada tahun 1964, sebagai kritik terhadap ilmu linguistik yang terlalu menfokuskan diri pada fisik bahasa saja (Kuswarno, 2008: 11). Etnografi komunikasi juga dikenal sebagai salah satu cabang ilmu antropologi, khususnya turunan dari etnografi berbahasa (ethnography of speaking). Disebut etnografi komunikasi karena Hymes (1964a: 1-2) beranggapan bahwa yang menjadi kerangka acuan untuk memberikan tempat bahasa dalam suatu kebudayaan haruslah difokuskan pada penggunaan bahasa dalam komunikasi, bukan hanya pada internal bahasa itu sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan, bahasa bisa hidup dalam komunikasi, bahasa tidak akan bermakna jika tidak digunakan dalam komunikasi. Hymes (1964a: 4) mendefinisikan ethnography of speaking sebagai gabungan dari etnologi dan linguistik, suatu kajian yang menyangkut situasi, penggunaan, pola, dan fungsi berbicara sebagai suatu aktivitas tersendiri. Pada perkembangannya, Hymes mengubah istilah pendekatannya itu dari ethnography of speaking menjadi ethnography of communication. Semenjak itu pendekatan Hymes ini semakin dikenal luas dan diakui sebagai suatu kajian yang penting dalam memandang perilaku komunikasi manusia yang berhubungan erat dengan kebudayaan (Kuswarno, 2008: 13). Secara singkat dapat dikatakan, etnografi komunikasi merupakan pendekatan terhadap sosiolinguistik bahasa, yaitu melihat penggunaan bahasa secara umum dihubungkan dengan nilai-nilai sosial dan kultural. Dengan demikian, tujuan deskripsi etnografi adalah untuk memberikan pemahaman global mengenai pandangan dan nilai-nilai suatu masyarakat sebagai cara untuk menjelaskan sikap dan perilaku anggota-anggotanya. Dengan kata lain etnografi komunikasi menggabungkan sosiologi (analisis interaksional dan identitas peran) dengan antropologi (kebiasaan pengguna bahasa dan filosofi yang melatarbelakanginya) dalam konteks komunikasi, atau ketika bahasa itu dipertukarkan. Hymes (1964a); Saville-Troike (2003: 1-3) mengemukakan bahwa ruang lingkup kajian etnografi komunikasi adalah sebagai berikut: (1) Pola dan fungsi komunikasi (Patterns and function of communication); (2) Hakikat dan definisi masyarakat tutur (nature and definition of speech community); (3) Cara-cara berkomunikasi (means of communication); (4) 17
Komponen-komponen kompetensi komunikatif (components of communicative competence); (5) Hubungan bahasa dengan pandangan dunia dan organisasi sosial (relationship of language to world view and social organization); dan (6) Semesta dan ketidaksamaan linguistik dan sosial (linguistic and social universals and inqualities) (periksa juga Kuswarno, 2008: 14).
Pola Komunikasi Telah diakui bahwa perilaku linguistik ditentukan oleh ‘kaidah’ (rules) yaitu, mengikuti pola-pola dan kaidah-kaidah yang diformulasikan secara deskriptif sebagai aturan (Sapir, 1994; Savielle-Troike, 2003: 10). Dengan demikian, bunyi-bunyi (sounds) harus dihasilkan dalam bahasa yang spesifik (language specific), tetapi urutan kaidah jika diinterpretasikan sebagai kehendak penutur; pesan dan bentuk kata yang mungkin dalam suatu kalimat ditentukan oleh kaidah grammatika; dan bahkan definisi wacana yang tersusun dengan baik (well-constructed discourse) ditentukan oleh kaidah retorika budaya yang spesifik (culturesopesific rules of rhetoric) (Hymes, 2000: 314; Saville-Troike, 2003: 10). Didasarkan pada pendapat di atas, konsep pola komunikasi dapat didefinisikan sebagai model-model interaksi penggunaan kode bahasa yang didasarkan pada hubungan-hubungan yang khas dan berulang antarkomponen tutur yang dipengaruhi oleh aspek-aspek linguistik, interaksi sosial, dan kultural. Pola komunikasi tersebut dapat berupa kategori dan fungsi bahasa yang tercermin dalam tuturan, penggunaan tingkat tutur (ondhâghân bhâsa/speech level), pilihan bahasa dan ragam bahasa sebagai wujud alih kode dan campur kode, intonasi (tone), dan simbol-simbol yang ditampakkan melalui gerakan-gerakan tubuh (body language) sebagai aspek pendukung pemahaman terhadap tindak tutur yang terjadi dalam bahasa verbal, serta alih giliran tutur. Hubungan bentuk dan fungsi merupakan contoh pemolaan komunikatif (communicative patterning) dalam dimensi yang berbedabeda. Misalnya, bertanya kepada seseorang ‘apakah seseorang mempunyai rokok’ segera disadari sebagai permintaan daripada sekedar pertanyaan yang memerlukan informasi. Begitu pula, ketika seseorang bertanya: ”Punya uang?” yang disampaikan dengan nada landai dan santun, maka segera direspon oleh partisipan tutur dengan jawaban ”butuh berapa?” atau untuk beli apa?” ini berarti bahwa seseorang akan pinjam atau meminta uang. Dalam kelompok masyarakat NU di Jember pemakaian dan fungsi bahasa, penggunaan tingkat tutur, alih giliran berbicara, intonasi (tone), bentuk-bentuk pilihan bahasa serta penggunaan gaya bahasa dalam konteks tuturan tertentu merupakan bentuk pola komunikasi. 18
Pemolaan (Patterning) terjadi pada semua tingkat komunikasi: masyarakat, kelompok, dan individu (periksa, Hymes, 1961: 59). Pada tingkat masyarakat, komunikasi biasanya berpola dalam bentuk-bentuk fungsi, kategori ujaran (categories of talk), sikap, serta konsepsi tentang bahasa dan penutur. Komunikasi juga berpola menurut peran dan kelompok tertentu dalam suatu masyarakat seperti, jenis kelamin, usia, status sosial, dan jabatan: misalnya, seorang guru memiliki cara-cara berbicara yang berbeda dengan ahli hukum, dokter, atau salesmen asuransi. Cara berbicara juga berpola menurut tingkat pendidikan, tempat tinggal perkotaan atau pedesaan, wilayah geografis, dan ciri-ciri kelompok, serta organisasi sosial yang lain (Saville-Troike, 2003: 11). Berikutnya yang terakhir, komunikasi berpola pada tingkat individu, pada tingkat ekspresi dan interpretasi kepribadian. Pada tataran faktorfaktor emosional seperti kegemetaran memiliki dampak fisiologis pada mekanisme vokal, faktor-faktor emosional ini tidak dipandang sebagai bagian dari komunikasi, tetapi banyak simbol konvensional yang merupakan bagian dari komunikasi terpola. Persepsi individu sebagai ’lancar bicara atau grogi’ (voluble or taciturn) juga berada dalam terminologi norma kebudayaan, dan bahkan ekspresi rasa sakit dan tertekan biasanya juga terpola secara kultural (Saville-Troike, 2003: 12). Seperti, ketika seorang santri menghadap kiai yang terjadi adalah kegrogian yang disebabkan status sosial berbeda, rasa hormat, dan patuh yang amat mendalam kepada seorang guru, tetapi hubungan sesama santri menjadi lancar berbicara lantaran mereka memiliki status sosial yang sama dan penuh keakraban dalam hubungan personal. Kalau kita cermati secara seksama pada tingkat masyarakat, kelompok, dan individu memiliki pola sendiri-sendiri dalam berkomunikasi. Namun demikian, terdapat benang merah keterkaitan hubungan yang tidak dapat dipisah antara tingkat-tingkat itu, dan juga antarsemua pola kebudayaan. Sebaiknya ada topik umum yang menghubungkan pandangan dunia (world view) yang hadir dalam berbagai aspek kebudayaan, seperti hal ini, akan dimanifestasikan pada cara berbicara sebagaimana terdapat dalam kepercayaan dan sistem nilai. Konsep hirarki kontrol tampaknya bersifat menyebar dalam beberapa kebudayaan dan haruslah paling awal dipahami untuk menjelaskan batasan-batasan dalam bahasa tertentu seperti kepercayaan agama dan organisasi sosial (Saville-Troike, 2003: 12). Perhatian terhadap pola merupakan dasar antropologi dengan interpretasi makna dasar yang tergantung pada temuan dan diskripsi struktur serta desain normatif. Penekanan yang lebih pada proses interaksi 19
dalam menghasilkan pola-pola perilaku memperluas perhatian kajian etnografi komunikasi sampai pada penjelasan dan diskripsi linguistik, aspek-aspek sosial, dan norma-norma kebudayaan.
Penggunaan Bahasa dalam Komunikasi Para ahli tata bahasa formal, ahli sejarah linguistik, dan bahkan para ahli sosiolinguistik seringkali menginterpretasikan "penggunaan bahasa" dalam pemahaman yang sempit, seperti tindakan yang sebenarnya merupakan refleksi dari pengujaran-pengujaran tertentu―kata-kata ataupun suara yang dilakukan oleh penutur tertentu pada waktu dan tempat tertentu (Lyons, 1972). Oleh karena itu, tujuan para ahli sosiolinguistik untuk barasumsi bahwa pola-pola variasi berdasarkan contoh yang sistematis dari "penggunaan" yang lebih atau kurang terkontrol (atau actes de parole), merupakan pengaruh dari pemahaman yang sempit (periksa Duranti, 1998: 212). Maksud penggunaan bahasa ini secara tegas dikaitkan dengan sudut pandang sosiolinguistik yang hanya sebagai suatu metodologi yang berbeda―suatu cara yang berbeda dalam memperoleh data daripada yang biasa dilakukan oleh para ahli tata bahasa formal (Labov, 1972: 259). Dalam pandangan ini, ahli sosiolinguistik digambarkan sebagai seseorang yang menolak untuk menerima atau menguji intuisi-intuisi linguistik dan mereka lebih menyukai tape-recorder sebagai alat untuk mengumpulkan data daripada tuturan yang sebenarnya. Walaupun para ahli tata bahasa formal telah menerima signifikansi sosial dari penelitian sosiolinguistik, namun banyak di antara mereka yang belum mampu melihat signifikansinya dari sudut pandang teori gramatikal (Chomsky, 1977: 55). Apa yang tidak tampak di sini adalah realisasi oleh para ahli tata bahasa, dan kemampuan para ahli tata-sosiolinguistik untuk meyakinkan bahwa deskripsi struktural dari bentuk-bentuk linguistik hanya berguna dan menarik tetapi secara konsisten kurang ada beberapa segi yang sangat penting, yaitu tentang apa yang membuat bahasa itu begitu berharga bagi manusia, yaitu kemampuan bahasa untuk memfungsikan "dalam konteks" sebagai alat refleksi dan aksi atas dunia. Apa yang disebut "model-model kognitif" terletak pada asumsi bahwa mungkin—dan kenyataannya dianjurkan agar memiliki sebuah teori untuk menjelaskan tingkah laku manusia melalui aturan-aturan konteks-independen. Akan tetapi, sekarang kita akan tahu bahwa segi-segi yang dikontekstualisasikan menemukan objek-objek dan memberikan analisis-analisis yang secara kualitatif berbeda dengan yang dilakukan oleh pelaku-pelaku sosial. Penggunaan intuisi-intuisi dalam linguistik serta dalam tingkah laku metalinguistik 20
dapat dipandang sebagai kemampuan individu untuk merekonstruksi informasi kontekstual (Duranti, 1998: 213). Jadi, bagi ahli Ethnografi Komunikasi (EK), serta para peneliti lain dalam bidang ilmu pengetahuan sosial pada umumnya, penggunaan bahasa harus diinterpretasikan sebagai penggunaan kode-kode (symbol) linguistik dalam tingkah laku kehidupan sosial. EK adalah penyatuan "suatu bahasa", yang merupakan sebuah ilusi―dan seseorang harus lebih melihat pada konteks khusus dari penggunaan bahasa, agar dapat menerangkan bagaimana simbol-simbol linguistik dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Melihat begitu pentingnya interaksi antara kemampuan bertutur dan tindakan sosial, sehingga metodologi dan cara menulis yang dikembangkan untuk mempelajari penggunaan referensial (atau denotasi) dari kemampuan berbicara belum mencakup aspek fungsi sosialnya (Silverstein, 1977). Istilah pertuturan diperkenalkan oleh Hymes (1961) untuk menekankan aspek yang berorientasi pada praktis (kebiasaan yang dapat diterima) dari kode linguistik. Oleh karena itu, pertuturan harus dianggap sebagai suatu bentuk tugas manusia yang secara filogenitis dan ontogenitis merupakan bentuk yang paling kuat dari tingkah laku kooperatif (Duranti, 1998: 213). Oleh karena itu, kepedulian terhadap penggunaan bahasa tidak hanya berupa komitmen metodologi dalam mendapatkan apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur dalam berbagai macam konteks, akan tetapi juga konsekuensi ketertarikan terhadap sesuatu yang dilakukan oleh penutur dengan bahasa tersebut, baik dengan suka maupun tidak suka, sadar maupun tidak sadar, langsung maupun tidak langsung. Pada khususnya, para ahli EK peduli dengan karya yang dilakukan oleh dan melalui bahasa dalam (1) membentuk, menentang, dan menciptakan kembali identitas sosial dan hubungan sosial; (2) menjelaskan pada yang lainnya termasuk kita sendiri mengapa dunia seperti ini dan apa yang dapat dan seharusnya dilakukan untuk mengubahnya; (3) memberikan kerangka bagi peristiwa-peristiwa pada tingkat sosial maupun individual; dan (4) membuka penghalang-penghalang fisik, politik, dan budaya. Di antara beberapa bidang penelitian ini juga diteliti dalam pragmatik (Levinson, 1983: 1-4). Yang biasanya membedakan pendekatan etnografi komunikasi dengan analisis pragmatik sebagai dua pendekatan yang berusaha menelaah bahasa yang digunakan dalam konteks tertentu adalah Etnografi komunikasi memiliki kepedulian yang lebih kuat terhadap konteks sosialbudaya penggunaan bahasa, dengan hubungan khusus antara bahasa dan sistem-sistem lokal ilmu pengetahuan dan tatanan sosial (antropologi), dan kurangnya komitmen terhadap relevansi cara penulisannya terhadap 21
penggunaan kemampuan bertutur yang strategis dalam interaksi sosial dan digunakannya analisis komponen tutur yang diformulasikan dalam SPEAKING-gird. Adapun Pragmatik lebih menekankan pada studi tentang makna yang dikehendaki oleh penutur dan yang diterima (diinterpretasi) oleh petutur (partisipan tutur, lawan tutur, mitra tutur) dengan memperhatikan hubungan dengan situasi ujar (speech situations) dan menggunakan perangkat analisis PK ( Grice, 1975: 45-46) yang dirinci ke dalam 4 maksim (Quality, Quantity, Relation/Relevance, Manner) dan PS (Prinsip kesantunan dalam berbahasa) sehingga dalam kajian pragmatik fokus pengkajian sering mengaitkan implikatur, presupposisi, dan inferensi. Namun demikian, kita tidak perlu terlalu jauh mempersoalkan perbedaan kedua pendekatan tersebut, karena keduanya saling mendukung dan mimilki keterkaitan satu sama lain sebagai pendekatan yang mengkaji pemakaian bahasa dalam konteks sosial budaya masyarakat tutur tertentu.
Fungsi-fungsi Komunkatif Bahasa Pada tingkat masyarakat, bahasa banyak memerankan banyak fungsi. Fungsi bahasa yang paling utama di antaranya adalah mencipatakan batasan, menyatukan para penuturnya sebagai anggota sebuah masyarakat tutur, dan mengesampingkan outsider dari komunikasi intrakelompok. Banyak bahasa juga berfungsi sebagai identifikasi sosial di dalam suatu masyarakat dengan memberikan indikator-indikator linguistik yang bisa digunakan untuk mendorong adanya stratifikasi sosial (Ibrahim 1994: 15). Pada tingkat individu dan kelompok yang berinteraksi dengan pihak lain, fungsi-fungsi komunikasi secara langsung berkaitan dengan tujuan dan kebutuhan partisipan (Hymes; 1972). Hal ini menyangkut kategori fungsi ekspresif (menyampaikan perasaan atau emosi), fungsi direktif (memohon atau memerintah), referensi (isi proposisi benar atau salah), poetik (estetika), fatik (empati dan solidaritas), dan metalinguistik (referensi pada bahasa itu sendiri) (periksa Ibrahim, 1994: 15). Kategori fungsi tersebut sama dengan kelas illocutionary act Searly (1985: 54) (representatif, direktif, komisif, ekspresif, deklarasi), tetapi terdapat perbedaan dalam perspektif dan skop yang memisahkan bidang etnografi komunikasi (ethnography of communication) dengan teori tindak tutur (speech act theory) dalam pragmatik―diantaranya adalah berfokus pada bentuk, dengan tindak tutur hampir selalu bersifat koterminus dengan kalimat-kalimat dalam analisis. Bagi etnografer, perspektif fungsional memiliki prioritas dalam deskripsi, sementara fungsi bisa bertepatan (coincide) dengan urutan gramatikal tunggal, atau sebuah kalimat dapat 22
memerankan beberapa fungsi secara simultan. Lebih lanjut, kalau para teoris tindak tutur dan para pragmatisi secara umum menyisihkan penggunaan bahasa metaforis dan fatik sebagai pertimbangan dasar, hal ini menjadi fokus utama deskripsi etnografi. Komunikasi fatik menyampaikan pesan, tetapi tidak menyampaikan makna (Saville-Troike, 2003: 13) Perbedaan antara maksud fungsional penutur dan pengaruh aktual yang dimiliki para pendengar merupakan bagian konsep relativitas fungsional (fungtional relativity) (Hymes 1972b: 271). Keduanya relevan untuk deskripsi dan analisis peristiwa komunikasi. Sementara banyak fungsi bahasa bersifat universal, cara bagamana komunikasi beroperasi dalam satu masyarakat untuk memerankan fungsi-fungsi yang bersifat spesifik bahasa. Status relatif penutur bisa dipandang melalui pilihan bentuk pronominal dalam satu bahasa; dalam bahasa yang lain dengan jarak mereka berdiri atau posisi tubuh mereka pada saat berbicara; dan antara bilingual, bahkan dengan pilihan bahasa mana yang akan digunakan dalam menyapa satu sama lain (Ibrahim 1994: 17). Fungsi-fungsi bahasa memberikan dimensi primer untuk mengkarakterisasi dan mengorganisasikan proses komunikatif dan produk dalam masyarakat―tanpa memahami penggunaan bahasa dalam masyarakat sebagaimana mestinya, dan konsekuensi-konsekuensi dari penggunaan bahasa itu, sulit kiranya untuk dapat memahami maknanya dalam konteks interaksi sosial.
Kompetensi Komunikatif Kompetensi Komunikatif (KK) merupakan istilah Hymes (1972b: 276) bahwa penutur yang bisa menghasilkan kalimat gramatikal suatu bahasa yang didasarkan pada definisi kompetensi linguistik Chomsky (1965) akan terinstitusionalisasi apabila mereka mencoba melakukannya (periksa Duranti, 2000: 215). Kompetensi komunikatif melibatkan pengetahuan tidak saja mengenahi kode bahasa, tetapi juga apa yang akan dikatakan kepada siapa, dan bagaimana mengatakannya secara benar dalam situasi tertentu. Kompetensi komunikatif berkenaan dengan pengetahuan sosial dan kebudayaan yang dimiliki penutur untuk membantu mereka menggunakan dan menginterpretasikan bentuk-bentuk linguistik. Kenyataan bahwa seorang anak yang normal belajar tentang susunan kalimat, tidak hanya tata bahasanya, tetapi juga belajar tentang kesesuaian pemakaiannya dalam konteks tertentu. Dia belajar kompetensi tentang kapan dia berbicara dan kapan tidak berbicara, dan apa yang dibicarakan, dengan siapa, kapan, dimana, dan bagaimana caranya. Pendek kata, seorang anak dengan kemampuan bertuturnya menjadi mampu 23
mengkomunikasikan sesuatu kepada orang lain, menirukan lagu-lagu, bermain peran (roleplay) dengan menirukan seseorang yang berperan sebagai dokter dan pasien, pembeli dan penjual, dan sebagainya. Di samping itu, KK merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan sikap, nilai, dan motivasi yang berkenaan dengan bahasa, sisi-sisi, dan penggunaannya, serta tidak dapat dipisahkan dengan kompetensi untuk menentukan sikap terhadap interrelasi bahasa dengan kode-kode dan simbol-simbol lain dari tindakan komunikatif (Hymes, 1972b: 277-278). Pembahasan tentang kompetensi komunikatif dan kompetensi linguistik (gramatikal) biasanya berkisar di antara dua pokok persoalan, yaitu: (1) perlunya menyertakan deskripsi gramatikal dengan kondisikondisi yang sesuai, (2) perimbangan antara kode gramatikal (atau linguistik) dengan aspek-aspek lain seperti gerakan tubuh, tatapan mata, dan sebagainya (Duranti, 2000: 215). Kompetensi komunikatif meliputi baik pengetahuan dan harapan tentang siapa yang bisa atau tidak bisa berbicara dalam setting tertentu, kapan mengatakannya dan bilamana harus tetap diam, siapa yang diajak bicara, bagaimana seseorang berbicara kepada orang yang status perannya berbeda, perilaku non verbal apakah yang sesuai untuk berbagai konteks, rutin apakah yang terjadi untuk alih giliran dalam percakapan, bagaimana menawarkan bantuan dan kerjasama, bagaimana meminta dan memberi informasi, bagaimana menegakkan disiplin dan sebagainya (SavilleTroike, 2003: 18) Ternyata, perbedaan utama antara pemikiran Chomsky dan Hymes tentang kompetensi adalah: Chomsky mengandalkan asumsi yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dapat dipelajari secara terpisah dengan tindakan, yang diartikan sebagai implementasi dari ilmu pengetahuan tersebut dalam penggunaan bahasa, sedangkan bagi Hymes, partisipasi, penampilan, dan ilmu pengetahuan intersubjektif secara keseluruhan merupakan segi-segi yang sangat penting sebagai kemampuan untuk "mengetahui sebuah bahasa" (Saville-Troike, 2003: 18). Kita semua tahu bahwa sebagian besar dari hasil karya yang dilakukan oleh Chomsky dan murid-muridnya didasarkan pada kemampuannya untuk menemukan (yaitu membayangkan) konteks yang sesuai dalam mengujarkan jenis-jenis ujaran tertentu. Walaupun ada asumsi teoritis tentang aspek-aspek tertentu dalam tata bahasa yang dianggap sebagai kognitif murni, akan tetapi definisi yang sebenarnya dari aspek-aspek semacam itu terletak pada kemungkinan dalam memadukan kalimat-kalimat dengan dunia yang sebenarnya, yang pada gilirannya disusun berdasarkan pengalaman yang dimiliki oleh para ahli bahasa tentang dunia di mana mereka tinggal (Duranti, 1998: 216). 24
KK mengacu pada pengetahuan dan ketrampilan untuk penggunaan dan interpretasi bahasa yang tepat secara kontekstual dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu, KK mengacu pada pengetahuan dan ketrampilan komunikatif yang sama-sama dimiliki oleh kelompok tertentu (seperti aspek-aspek lain dalam suatu kebudayaan), meskipun hal ini sangat bervariasi dalam anggota-anggota kelompok yang melibatkan individu-individu yang berbeda. Hakekat kompetensi individu itu merefleksikan hakekat bahasa itu sendiri. (Saville-Troike, 2003: 14) Perbedaan lintas budaya bisa dan memang menghasilkan konflikkonflik atau menyebabkan kegagalan komunikasi. Misalnya, masalahmasalah seperti tingkat bunyi bisa berbeda secara lintas budaya, dan maksud penutur bisa dipahami secara salah karena perbedaan pola harapan dan interpretasi. Oleh karena itu, KK seharusnya dimasukkan dalam konsep kompetensi kebudayaan (cultural competence), atau keseluruhan pengetahuan dan keterampilan yang dibawa dalam suatu situasi. Pandangan ini konsisten dengan pendekatan semiotik yang mendefinisikan kebudayaan sebagai makna, dan memandang semua etnografer berhubungan dengan simbol (periksa Geertz, 1973;). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem kebudayaan merupakan pola simbol, dan bahasa merupakan salah satu sistem simbol dalam kerangka ini. Interpretasi makna linguistik menghendaki pengetahuan makna di mana perilaku linguistik itu ditempatkan (periksa juga Ibrahim, 1994: 28). Outline berikut ini meringkas rentang pengetahuan yang harus dimiliki penutur untuk bisa berkomunikasi secara tepat. Dari perspektif etnografer, ini juga menunjukkan rentang fenomena linguistik, interaksional, dan kultural yang harus diberi perhatian dalam suatu deskripsi dan penjelasan komunikasi yang memadai. Berikut ini merupakan komponen-komponen kompetensi komunikasi:
1. Pengetahuan Linguistik (linguistik knowledge) a. b. c. d.
Elemen-elemen verbal; Elemen-elemen nonverbal; Pola elemen-elemen dalam peristiwa tutur tertentu; Rentang varian yang mungkin (dalam semua elemen dan pengorganisasian elemen-elemen itu) e. Makna varian-varian dalam situasi tertentu.
2. Keterampilan interaksi (interaction skills) a. Persepsi ciri-ciri penting dalam situasi komunikatif; b. Seleksi dan interpretasi bentuk-bentuk yang tepat untuk situasi, peran dan hubungan tertentu (kaidah untuk penguna ujaran); c. Norma-norma interaksi dan interpretasi; 25
d. Strategi untuk mencapai tujuan.
3. Pengetahuan kebudayaan (cultural knowledge) a. b. c. d.
Struktur sosial Nilai dan sikap; Peta/skema kognitif Proses enkulturasi (transmisi pengetahuan dan keterampilan) (Saville-Troike, 2003: 20)
Dari Outline di atas, dapat disarikan bahwa kompetensi komunikatif mengacu pada pengetahuan dan keterampilan untuk penggunaan dan interpretasi bahasa yang tepat secara kontekstual dalam suatu masyarakat, maka kompetensi komunikatif mengacu pada pengetahuan dan keterampilan komunikatif yang sama-sama dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu, meskipun hal ini bervariasi dalam anggotaanggotanya secara individual.
Bahasa dan Kebudayaan Keunikan tradisi dan budaya masyarakat suatu etnik berakibat terbentuknya keunikan bahasa yang dipakai dalam berkomunikasi. Ini menunjukkan bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Menurut Kramsch (2009: 3) ada tiga hal mengapa bahasa dan budaya tidak dapat dipisahkan satu sama lain: pertama, language expreses cultural reality (bahasa mengekspresikan realitas budaya); kedua, language embodies cultural reality (bahasa sebagai penjelmaan realitas budaya); dan Ketiga, language Symbolizes cultural reality (bahasa sebagai simbol realitas budaya). Sebagai ekspresi realitas budaya para penuturnya, bahasa seseorang diucapkan mengacu pada pengalaman yang pernah mereka lalui. Mereka menyatakan fakta, gagasan, atau peristiwa yang dapat disampaikan, sebab mereka mengacu pada pengetahuan tentang dunia (world view) yang orang lain juga memahami. Kata-kata juga mencerminkan kepercayaan dan sikap mereka, sisi pandangan mereka. Pandangan ini dipertegas pernyataan Wijana (2004) yang menyatakan bahwa setiap bahasa merupakan medium ekspresi kolektif yang unik dan khas. Sejumlah elemennya yang terlihat khas merefleksikan budaya masyarakat penuturnya. Berkaitan dengan budaya sebagai penjelmaan realitas budaya para penuturnya menunjukkan bahwa jarang sekali anggota masyarakat atau kelompok sosial tidak menyatakan pengalamannya―mereka juga menuliskan dan mengungkapkan pengalamannya melalui media bahasa. Mereka menyatakan maksud dan tujuannya melalui medium itu, yang 26
mereka pilih untuk berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Hal ini dipertegas dengan pernyataan Hofstede (1994) bahwa setiap orang dalam dirinya membawa pola pikir, perasaan, dan perilaku yang dipelajari sepanjang hidup mereka. Bahasa itu menyimbolkan kenyataan budaya. Ini menunjukkan bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda, yang didalamnya terdapat nilainilai budaya. Para pembicara mengidentifikasi diri mereka dan orang lain dengan menggunakan bahasa mereka―mereka memandang bahasa mereka sebagai sebuah simbol identitas sosial mereka. Hubungan intrinsik bahasa dan kebudayaan (language & culture) sudah diketahui secara mendalam. Hal tersebut dilihat dari pemolaan perilaku komunikatif dan sistem kebudayaan yang merupakan hubungan yang amat penting dalam pengembangan teori umum komunikasi, dan deskripsi serta analisis komunikasi di dalam masyarakat tutur yang spesifik. Konsep evolusi kebudayaan tergantung pada kemampuan manusia dalam menggunakan bahasa untuk tujuan pengorganisasian kerjasama sosial (Saville-Troike, 2003: 27-28). Terdapat korelasi antara bentuk dan isi bahasa dengan kepercayaan, nilai, dan kebutuhan saat ini dalam kebudayaan para penuturnya. Kosa kata bahasa memberi kita suatu katalog mengenahi halhal yang penting bagi masyarakat, yang merupakan suatu indeks bagi para penutur untuk mengkategorikan pengalaman-pengalaman yang pernah mereka lalui―dan seringkali merupakan catatan yang berhubungan dengan masa lalu dan kebudayaan yang dimiliki. Gramatika bisa menunjukkan bagaimana waktu disegmentasikan dan diorganisasikan menurut kepercayaan tentang kekuatan makhluk hidup dan kategorikategori sosial yang penting dalam kebudayaan (culture) (Saville-Troike, 2003: 28) Hymes (1966b: 116) mengemukakan bahwa tipe kedua relativitas linguistik yang memandang bukti garammatika tidak saja merupakan kategori sosial yang statis, tetapi juga asumsi sosial para penutur mengenahi dinamika hubungan peran, dan mengenahi hak-hak dan tanggung jawab yang dipersepsi dalam masyarakat. Sementara tipe-tipe relativitas linguistik pertama mengklaim bahwa realitas kebudayaan sebagian merupakan hasil dari faktor-faktor linguistik. Lebih lanjut Hymes mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki pengalaman kebudayaan yang berbeda cenderung akan melakukakan sistem dan pola komunikasi yang berbeda, karena nilai-nilai kebudayaan dan kepercayaan merupakan bagian dari relativitas linguistik. Keterkaitan pola dalam berbagai aspek kebudayaan terlalu luas untuk bisa disebut tema (themes), atau prinsip-prinsip organisasi sentral 27
yang mengontrol perilaku. mencontohkan konsep ini dengan tema ‘Apache’ mengenahi superioritas pria, yang juga direalisasikan dalam pola komunikasi maupun domain religius dan politik. Dalam pertemuanpertemuan suku, misalnya hanya beberapa wanita tua saja yang diperkenankan berbicara sebelum kesemua pria terdengar suaranya, dan merupakan hal yang tidak biasa bagi wanita untuk berdo’a keras di muka umum (Saville-Troike, 2003: 28). Jika directness dan indirectness (langsung atau tidak langsung) merupakan tema kebudayaan―tema-tema itu selalu berhubungan dengan bahasa. Sebagaimana didefiniskan dalam teori tindak tutur, tindak langsung merupakan tindak yang mencerminkan bentuk lahir cocok dengan fungsi interaksi, seperti ‘diam’ yang digunakan sebagai perintah atau larangan, versus yang tidak langsung ‘kok makin gaduh ya disini’ atau ‘sampai saya tidak bisa mendengarkan pikiran saya’. Padahal dalam konteks tersebut seseorang meminta orang lain diam atau tidak ramai. Penggunaan metafor dan peribahasa merupakan strategi komunikatif yang umum untuk mendepersonalisasi apa yang dikatakan dan memberikan ketidaklangsungan. Meskipun bahasa tidak dipertanyakan lagi merupakan bagian integral dari kebudayaan, mengasumsikan pengalaman kebudayaan yang spesifik dan kaidah-kaidah perilaku sebagai koordinat keterampilan linguistik spesifik, merupakan penyederhanaan yang naif terhadap hubungan bahasa dan kebudayaan.
Pendalaman Materi 1. Dengan memanfaatkan media ICT, carilah perbandingan tentang pengertian, definisi, dan sejarah kajian etnografi komunikasi! 2. Jelaskan pengertian pola komunikasi, dan pada tingkatan apa pola komunikasi terjadi? 3. Berilah penjelasan tentang fungsi-fungsi komunikatif bahasa 4. Sebutkan unsur-unsur yang mendukung kompetensi komunikatif beserta penjelasannya! 5. Mengapa bahasa dan kebudayaan tidak bisa dipisahkan satu sama lain, jelaskan!
28
Bab 3 Prinsip Kerjasama dan Kesantunan, Kode dan Alih Kode Sebagai Pola dan Strategi Komunikasi Kompetensi dan Pengantar Setelah mempelajari bab ini dengan seksama, pembelajar diharapkan memiliki kompetensi sebagai berikut: Memahami strategi komunikasi sebagai pola komunikasi Memahami prinsip kerjasama dan prinsip sopan santun dalam berkomunikasi Memahami penggunaan tingkat tutur dalam berkomunikasi Memahami pragmatik lintas budaya dalam berkomunikasi Memahami kode dan alih kode dalam berkomunikasis Strategi komunikasi dalam buku ini adalah cara atau metode yang digunakan oleh penutur agar tujuan tutur dapat diterima dengan baik oleh mitra tutur tanpa adanya kesalahpahaman yang dapat menimbulkan kegagalan komunikasi (Haryono 2014). Strategi komunikasi meliputi prinsip kerja sama (PK) berserta maksim-maksimnya dan prinsip kesantunan (PS). Adapun pola komunikasi menurut Haryono (2013:22) dapat didefinisikan sebagai model-model interaksi penggunaan kode bahasa yang didasarkan pada hubungan-hubungan yang khas dan berulang antarkomponen tutur yang dipengaruhi oleh aspek-aspek linguistik, interaksi sosial, dan kultural. Pola komunikasi tersebut dapat berupa kategori dan fungsi bahasa yang tercermin dalam tuturan, penggunaan tingkat tutur (ondhâghân bhâsa/speech level), pilihan bahasa dan ragam bahasa sebagai wujud alih kode dan campur kode, intonasi (tone), dan simbol-simbol yang ditampakkan melalui gerakan-gerakan tubuh (body language) sebagai aspek pendukung pemahaman terhadap tindak tutur yang terjadi dalam bahasa verbal, serta alih giliran tutur. (Haryono, 2011). Oleh karena itu, dalam kajian etnografi komunikasi juga diperlukan teori-teori kebahasaan yang relevan seperti teori-teori pragmatik dan sosiolinguistik yang dibutuhkan untuk memperkuat analisis komponen tutur dan analisis percakapan sebagaimana disajikan berikut ini.
Prinsip Kerjasama (PK) dan Prinsip Sopan Santun (PS) dalam Berkomunikasi Prinsip Kerjasama (PK) (Cooperative Principle) dalam suatu percakapan adalah suatu pedoman yang perlu diperhatikan dan ditaati oleh partisipan tutur dalam peristiwa tutur agar komunikasi berjalan dengan lancar dan efektif, serta tidak terjadi kesalahpahaman. Grice (1975: 47); Yule (1996: 36-37); Nadar (2008: 24-25) menjelaskan bahwa PK itu mempunyai pengertian sebagai berikut: Buatlah sumbangan percakapan anda sedemikian rupa sesuai yang dikehendaki, sesuai dengan perkembangan konteks atau situasi terjadinya percakapan, dan sesuai dengan maksud atau arah yang disepakati dalam percakapan yang anda ikuti. Kita membutuhkan PK untuk lebih mudah menjelaskan hubungan antara makna dan daya―penjelasan yang demikian sangat memadai, khususnya untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam semantik yang memakai pendekatan kebenaran (truth-based approch). Grice lebih lanjut merinci prinsip kerjasama ke dalam 4 maksim (maxims / guidelines)sbb: a. Kualitas (Quality):Buatlah sumbangan percakapan dan merupakan sumbangan percakapan yang benar, khususnya: Jangan mengatakan apa yang dianggap anda salah; Jangan mengatakan sesuatu yang tidak didukung bukti yang cukup. b. Kuantitas (Quantity): Buatlah sumbangan percakapan anda seinformatif mungkin sesuai yang diperlukan oleh percakapan itu―jangan memberikan sumbangan lebih informatif dari pada yang diperlukan . c. Hubungan/relevansi (Relation / Relevance): Buatlah percakapan anda relevan. d. Cara (Manner): Bicaralah dengan jelas, dan khususnya: 1) Hindari kekaburan; 2) Hindari ketaksaan; 4) Bicaralah singkat; 4) Bicaralah secara teratur. Keempat maksim tersebut menjelaskan apa yang harus dilakukan peserta percakapan agar dia dapat berbicara secara efisien, rasional, dan dilandasi kerjasama, artinya pembicara harus bekerja dengan jujur, relevan, dan jelas dengan memberikan informasi secukupnya. Untuk lebih jelasnya kita perhatikan percakapan berikut. Ada seorang wanita yang sedang duduk pada suatu kursi panjang dipertamanan, dan seekor anjing terbaring di tanah di depan kursi panjang itu. Seorang lelaki datang mendekati dan duduk pada kursi tersebut. Man Women 30
: Does your dog bite ? : No
(Orang lelaki itu membungkuk untuk mengelus-elus anjing tersebut. Anjing itu menggigit tangan lelaki tersebut) Man : Ouch! Hey! You said your dog doesn’t bite. Women : He doesn’t. But that’s not my dog. (Yule, 1996: 36) Permasalahan dalam percakapan ini bukanlah permasalahan praanggapan (presupposition) karena asumsi ‘your dog (the women has a dog)’ adalah benar. Wanita tersebut memang mempunyai anjing. Yang menjadi masalah adalah anggapan bahwa pertanyaannya ‘Does your dog bite ?’ dan jawaban wanita itu ‘No’ dimaksudkan tidak berlaku untuk anjing yang terbaring di depannya. Dipandang dari perspektif lelaki tersebut, jawaban wanita itu tidak memberi informasi yang lengkap sebagaimana yang diharapkan. Dengan kata lain, dia (wanita itu) diharapkan memberi jawaban atau informasi seperti dinyatakan dalam kalimat terakhir. Dia tidak memberikan informasi yang lengkap. Hal ini melanggar maksim kuantitas. Dia semestinya tidak hanya berkata ‘No’ terhadap pertanyaan lelaki itu. Akan tetapi, yang terjadi bahwa wanita itu sesungguhnya ingin menunjukkan bahwa dia tidak ingin bercakap-cakap dengan orang asing (orang yang belum dia kenal) sehingga dia tidak menunjukkan cooperative interaction. Oleh karena tidak ditaatinya PK dalam konteks di atas, kurang lengkap informasi/kurang infonmatif (melanggar maksim kuantitas) maka terjadilah salah inferensi dan digigitlah tangan laki-laki tersebut oleh anjing itu. PK memang selalu mendasari setiap percakapan, jika percakapan diharapkan berjalan lancar. Namun demikian, tidak semua maksim berlaku untuk semua situasi―ada kalanya maksim-maksim dalam PK dilanggar untuk memenuhi kebutuhan sosial yang lebih penting. Berkaitan dengan PK, (Leech, 1993: 120-121; Nadar, 2008: 28-29) mengemukakan bahwa ada masyarakat yang dalam situasi tertentu lebih mementingkan atau mendahulukan prinsip sopan santun (PS) (Politeness Priciple) dari pada PK. Lebih-lebih dalam masyarakat yang beradab, PS tidak dapat dikesampingkan, tidak dapat dianggap sebagai tambahan terhadap PK. Selanjutnya Leech (1993: 121-122) memberikan contoh sebagai berikut: A: We’ll all miss Bill and Agatha, won’t we? (Kita semua akan merindukan Bill dan Agatha bukan ?) B: Well, we’ll all miss Bill (Ya, kita semua akan merindukan Bill) Dalam percakapan tersebut di atas, B dengan jelas melanggar maksim kuantitas: Ketika A menginginkan B mengiakan pendapat A, B hanya mengiakan sebagaian saja, dan tidak menghiraukan bagian terakhir 31
pendapat A. Dari sini kita memperoleh: ‘Penutur berpendapat bahwa tidak semua orang merindukan agatha’. Bahwa B sengaja tidak menyatakan pendapat ini, melanggar maksim kuantitas atau maksim kejelasan/kelengkapan informasi, dan maksim hubungan atau relevansi. B lebih mentaati PS dari pada PK karena dia tidak ingin bertindak tidak sopan terhadap pihak ketiga (Agatha). Penggunaan Tingkat Tutur (Speech Level) Pada umumnya di dalam suatu bahasa terdapat cara-cara tertentu untuk menentukan perbedaan sikap hubungan antara penutur dengan mitra tutur dalam bertutur. Sikap itu biasanya sangat bervariasi dan sangat ditentukan oleh anggapan tentang tingkatan sosial para peserta tutur itu. Misalnya, ketika seorang penutur bertutur dengan seorang yang perlu dihormati, maka pastilah penutur itu akan menggunakan kode tutur yang memiliki makna hormat. Demikian pula manakala si penutur berbicara dengan seorang yang tidak perlu dihormati, maka penutur sudah barang tentu akan menggunakan kode tutur yang tidak dihormati pula (Rahardi, 2001: 53). Fenomena tersebut terjadi karena di dalam masyarakat tutur terdapat anggota-anggota golongan tertentu yang sangat perlu untuk dihormati dalam bertutur, tetapi ada juga dalam golongan masyarakat tertentu yang tidak perlu mendapatkan penghormatan yang khusus. Oleh karena itu, sebenarnya bentuk tingkat tutur itu secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yakni bentuk hormat dan bentuk biasa. Faktor-faktor yang menyebabkan adanya dua macam bentuk tingkat tutur itu ternyata bermacam-macam dan berbeda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Masyarakat akan dihormati atau barangkali tidak dihormati karena bentuk dan kondisi tubuhnya, kekuatan ekonomi, status sosial, kekuatan, dan pengaruh politiknya, alur kekerabatan, usia, jenis kelamin, kondisi psikis, dan lain sebagainya. Di dalam kebanyakan tingkat tutur pemakaian bentuk-bentuk pronomina atau kata ganti banyak yang digunakan untuk menunjukkan perbedaan rasa hormat penutur kepada sang mitra tutur. Simbol-simbol tersebut seringkali dipakai dalam bertutur untuk menunjukkan rasa hormat. Dalam bahasa Indonesia terdapat pula kata-kata tertentu seperti istana, putera, bersabda, menganugerahi, dan sebagainya untuk menunjukkan rasa hormat. Dalam bahasa Madura cara-cara seperti yang ada dalam bahasa Indonesia juga ada dengan pronomina orang pertama terdapat kata sengko’, kaulâ, abdhina; dengan pronomina orang kedua yaitu, bâ’na, sampèyan, dhika, panjenengan, ajunan, padhâna. Bentuk-bentuk dengan kata benda dalam bahasa Madura yang menunjukkan perbedaan rasa 32
hormat itu misalnya bengko, compo’, dhâlem, yang kesemuanya bermakna ‘rumah’. Pada kata kerja misalnya terdapat tèdung, sarèn, kèlem, yang maknanya adalah ‘tidur’. Pada kata sifat misalnya terdapat sakè’, bârâng, songkan’, yang maknanya ‘sakit’. Dalam bahasa Jerman juga terdapat variasi pronomina orang pertama ich, wir ‘saya, kami/kita’ walaupun tidak menunjukkan untuk menyatakan rasa hormat, sedangkan pronomina orang kedua Sie ‘tuan/bapak’ dan du ‘kamu’ dapat membedakan rasa hormat dan tidak hormat atau akrab dan tidak akrab. Sie yang disebut Sie groß digunakan untuk berbahasa dengan orang yang dihormati atau belum akrab, sedangkan du digunakan untuk berbahasa dengan orang sebaya atau orang yang sudah dianggap akrab. Dalam bahasa Jawa cara-cara yang ada pada bahasa Indonesia, bahasa Madura, Bahasa Jerman itu juga ada, misalnya dengan pronomina orang pertama terdapat kata aku, kula, dalem, kawula, dengan pronomina orang kedua terdapat kosa kata kuwe, sampèyan, panjenengan, paduka dan dengan pronomina orang ketiga digunakan kata dèwèkè, kiyambakè, piyambakipun, dan panjenenganipun. Bentuk-bentuk kata benda dalam bahasa Jawa yang menunjukkan perbedaan rasa hormat itu misalnya omah, griya, dalêm, yang kesemuanya bermakna ‘rumah’. Dengan kata kerja misalnya terdapat turu, tilem, sarè yang maknanya adalah ‘tidur’. Dengan kata sifat misalnya terdapat lara, sakit, gerah yang maknanya ‘sakit’. Berdasarkan penjelasan dan contohs-contoh tersebut dapat dikatakan bahwa dalam bahasa apapun terdapat kosa kata dan kalimat yang dapat digunakan untuk menyatakan rasa hormat dan biasa (akrab), khususnya dalam bahasa-bahasa daerah yang secara terinci diatur dalam penggunaan tingkat tutur (speech level).
Tingkat Tutur (speech level) dalam Bahasa Madura Dilihat dari sudut pemakaiannya, bahasa Madura (BM) memiliki variasi dialektis dan variasi tingkat tutur (ondhâghân bhâsa). Variasi dialektis BM ada empat macam, yaitu: (1) dialek Sumenep, (2) dialek pamekasan, (3) dialek Bangkalan, dan (4) dialek Kangean. Dialek sumenep digunakan di wilayah Kabupaten Sumenep, kecuali beberapa Kecamatan yang berbatasan dengan Kabupaten Pamekasan; dialek Pamekasan digunakan di wilayah Kabupaten Sumenep bagian barat dan Kabupaten Pamekasan; dialek Bangkalan digunakan di wilayah Kabupaten Sampang dan kabupaten Bangkalan; sedangkan dialek Kangean digunakan di Pulau Kangean dan wilayah Kabupaten Sumenep (Sofyan, 2009: 43-44). Menurut pendapat Sofyan (2009: 45), di samping ketiga tingkat tutur tersebut, dalam BM juga terdapat satu variasi tingkat tutur yang jarang sekali digunakan, yakni yang disebut bhâsa alos (BA) atau bhâsa 33
karaton ‘bahasa keraton’ dan dua buah variasi tingkat tutur yang sangat sering digunakan, yakni (1) ragam kota atau sering disebut bhâsa Malaju (BMlj) ‘bahasa Melayu’ dan (2) tingkat tutur engghè-enten (Eg-E). BM ragam kota disebut sebagai bhâsa Malaju karena bahasa yang digunakan lebih mirip dengan bahasa Melayu, dengan penggunaan kata-kata: saya ‘saya’, situ ‘kamu’, enda’ ‘tidak’,(i)ya ‘ya’, kamana’a ‘akan kemana’, dâri mana ‘dari mana’, tidak pernah menggunakan ella ‘jangan’ tetapi menggunakan jhâ’…ya. Ragam bahasa ini biasa digunakan dalam pergaulan di perkotaan, baik oleh para remaja maupun orang dewasa. Etnik Arab dan Cina—yang merupakan etnik yang jumlahnya cukup banyak di Madura—biasanya menggunakan BM ragam ini. Tingkat tutur Eg-E adalah tingkat tutur yang biasa dituturkan oleh penutur yang memiliki status sosial lebih tinggi daripada lawan tutur; dengan hubungan antarpenutur agak akrab atau sudah lama saling kenal. Ciri dari BM ragam ini adalah penggunaan kata-kata: bulâ ‘saya’, dhika ‘kamu, anda’, maddhâ ‘mari’, empon ‘jangan’, marè ‘sudah’, enten ‘tidak’, engghè ‘ya’, dan sebagainya. Berdasarkan uraian di atas, tingkat tutur BM dan penggunaannya dalam interaksi sosial masyarakat Madura dapat digambarkan seperti tabel berikut:
Tabel 3.1: Tingkat Tutur BM No 1.
2.
34
Tingkat Tutur/ Ragam enjâ’iyâ (E-I)
Hubungan Partisipan
sebaya atau penutur berumur lebih tinggi; sangat akrab engghi- penutur enten berumur (E-E) lebih rendah dg jarak status sosial tidak terlalu jauh
Contoh Pemakaian Kata Penggunaan
saya
Engkau
ya
dengan teman akrab; orang tua kepada anak
sèngko’
bâ’na
iyâ
kaulâ
sampèyan
engghi
sesama dewasa yg baru kenal, kpd orang tua
3.
èngghi- penutur kpd atasan, bhunten berumur kpd mertua (È-B) lebih rendah dg jarak status sosial cukup jauh; sering berinteraksi +4. bhâsa penutur dg kpd kiai; kpd alos jarak status pejabat (BAl) sosial tinggi sangat jauh; jarang berinteraksi +5. engghè- penutur mertua kpd enten berumur menantu, (Eg-E) lebih tua; tetangga yg sering lebih muda berinteraksi +6. bhâsa agak akrab, teman Malaju tidak ada sekolah atau (ragam hubungan kantor, etnik kota) keluarga lain (BMlj) Dikutip dari Sofyan, (2009: 47) sebagian penulis sesuai topik penelitian
bhâdhân panjhәnkaulâ nengngan
èngghi
dâlәm/ abdhina
Ajunan, padhâna
dhâlәm
bulâ
Dhika
engghe
saya
Situ
iya
dikembangkan sendiri oleh
Tingkat Tutur dalam Bahasa Jawa Di dalam bahasa Jawa juga terdapat bentuk-bentuk khusus dalam sistem tingkat tuturnya. Ada tingkat tutur halus yang berfungsi menyatakan kesopanan yang tinggi (krama), ada tingkat tutur menengah yang menyatakan rasa kesopanan yang sedang-sedang saja (madya), dan ada pula tingkat tutur biasa yang berfungsi menyatakan rasa kesopanan rendah (ngoko). Dengan demikian, dalam bahasa Jawa terdapat tiga tingkat tutur yaitu ngoko, madya, dan krama (Rahardi, 2001). Tingkat tutur ngoko, madya, dan krama tidak sama dengan kata ngoko, madya, dan krama. Tingkat tutur menunjukkan kepada suatu sistem kode penyampaian rasa kesopanan yang di dalamnya terdapat unsur kosa kata tertentu, aturan morfologi dan fonologi yang juga tertentu. Adapun kosa kata ngoko, madya, dan krama hanya semata-mata inventarisasi kata35
kata dimana masing-masing kata itu di dalamnya terdapat persamaan arti kesopanan yang sama (periksa Poedjosudarmo, 1979).
Tabel 3.2: Tingkat Tutur Bahasa Jawa Tingkat tutur Krama Madya Ngoko
Bahasa Jawa
Bahasa Indonesia
Panjênêngan Badē tindak pundi ? Sampēan arêp lungo nang êndi ? Kue kate mêttu nang êndi ?
Tuan mau pergi ke mana ? Anda mau pergi ke mana ? Kamu mau pergi ke mana ?
Bandingkan dengan contoh berikut: Manapa nandalem mundhut Manapa panjenengan mendhet Napa sampeyan mendhet Napa sampeyan nyupuk Apa sliramu mundhut Apa kuwe njupuk Quistion You take
sekul sekul sekul sega rice
semanten? 3a High semanten? 3 semonten? 2 sega semonten? 1a semono? 1b sega semono?1 Low that much (Holmes, 1995: 273)
Kaliamat dalam bahasa Jawa di atas diurut dari gaya level yang paling formal ‘High’(level 3a disebut krama inggil), kepada gaya yang paling tidak formal ‘Low’(level 1 disebut ngoko). Pemahaman Lintas Budaya (Cross-cultural Understanding) Penguasaan terhadap suatu bahasa tidak menjamin mulusnya hubungan komunikasi antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Kenyataan menunjukkan bahwa walaupun bahasanya sudah dikuasai masih sering terjadi kegagalan komunikasi (communication break-down) (Suparmin, 2000: 57). Perbedaan lintas budaya bisa dan memang sering memicu terjadinya konflik sebagai akibat kegagalan komunikasi. Misalnya, masalah-masalah seperti tingkat bunyi bisa berbeda secara lintas budaya, dan maksud penutur bisa dipahami secara salah karena perbedaan pola harapan interpretasi. 36
Konflik etnik juga bisa terjadi karena kegagalan komunikasi yang disebabkan etnik yang satu tidak mengenal budaya etnik yang lain sehingga terjadi kesalah pahaman dalam komunikasi. Begitu juga seringnya kekerasan yang menimpa para TKI asal Indonesia di luar negeri, mungkin juga karena minimnya pengetahuan lintas budaya negara tujuan, sehingga terjadi kesalah pahaman dalam berkomunikasi. Bahkan menurut Suparmin (2000: 57-58) pernah terjadi seorang mahasiswa Indonesia (MI) yang mendapat tugas belajar di Amerika pernah harus menanggung malu besar bukan karena masalah penguasaan bahasa, tetapi karena ketidak tahuannya akan kebiasaan pragmatik lintas budaya setempat. Suatu hari waktu istirahat makan siang di kampus, dia diajak seorang teman mahasiswa asal Amerika (MA) makan siang di kafe. MA : Do you like to come with me to cafee ? MI : Yes, okay Tentu saja tanpa berbasa-basi dan menanyakan apakah dia akan ditraktir. Dia malah merasa senang sekali karena saat itu kebetulan dia tidak membawa uang sama sekali karena lupa―kebetulan sekali ada yang mau mentraktir―begitulah inferens yang dia tangkap. Merasa akan ditraktir dia managmbil makanan agak lebih dari bisanya. Pada saat membayar temannya tadi ternyata membayar hanya untuk makanan yang dia ambil saja, sedangkan makanan yang diambil si MI tidak dibayarnya―tentu saja dia terkejut sekali―sudah terlanjur mengambil makanan, tetapi tidak membawa uang. Pada hal sudah berada di depan kasir yang siap menerima pembayaran dan dibelakangnya banyak yang antri akan membayar. Akhirnya, dengan menahan rasa malu dia terpaksa pinjam dulu kepada teman yang masih belum lama dikenalnya tersebut. Rupanya kebiasaan di sana tidak seperti di Indonesia, mengajak makan bersama bukan berarti mentraktir, kecuali kalau secara jelas (eksplisit) yang mengajak menyatakan bahwa nanti dia akan membayar. Mereka yang pernah tinggal di luar negeri atau di luar daerah di mana ia dibesarkan, pasti pernah menanggung malu, mendapat marah atau sikap yang kurang bersahabat dan sebagainya, bukan karena penguasaan bahasa, tetapi karena ketidakpahaman terhadap budaya setempat sehingga menimbulkan inferensi yang salah. Kesalah pahaman seperti di atas, sering terjadi tidak saja dalam komunikasi verbal (dengan menggunakan kata-kata), tetapi juga dalam komunikasi non verbal, yaitu komunikasi dengan menggunakan gerakangerakan tubuh atau bahasa tubuh (body language). Bahasa tubuh ini bisa berupa ekspresi wajah, gerak mata, kepala, bahu, tangan, kaki, dan sebagainya yang sering digunakan bersamaan dengan bahasa lisan (oral language). Banyak contoh kejadian kesalah pahaman dalam komunikasi 37
non-verbal, seperti halnya dalam komunikasi verbal mengakibatkan rasa malu, dimarahi, dan sebaginya―bahkan pernah terjadi di Kairo (Mesir) seorang profesor Inggris didemo mahasiswanya dan dituntut supaya diusir kembali ke negaranya gara-gara ‘body language’ ini. Asal mulanya adalah pada waktu berada dalam kelas sehari sebelumnya si profesor, mungkin karena santainya, duduk di kursi dengan kakinya di julurkan ke depan (selonjor) sehingga alas sepatunya terlihat atau menghadap ke arah mahasiswanya. Rupanya dia tidak memahami bahwa di Mesir hal itu merupakan suatu bentuk penghinaan yang luar biasa. Salah paham ini terjadi karena adanya perbedaan penafsiran terhadap gerak tubuh dalam budaya yang berbeda. Misalnya, membuat lingkaran kecil dengan ibu jari dan telunjuk, kalau di Amerika artinya sama dengan ‘okay’, di Jepang artinya ‘uang’ di Perancis artinya ‘sesuatu yang tidak ada nilainya’ bahkan di Yunani gerak itu ditafsirkan sebagai gerakan tidak senonoh (porno) (Suparmin, 2000: 58). Dari apa yang telah diuraikan di atas, dapat dipahami bahwa budaya bersifat ‘group-specific’―artinya, tiap kelompok masyarakat mempunyai ciri budaya sendiri-sendiri, atau dengan perkataan lain kelompok yang berbeda mempunyai budaya yang berbeda pula, sehingga di dunia ini dapat dijumpai berbagai budaya yang berbeda satu sama lain. Murdock (1961) mengemukakan bahwa pola tingkah laku budaya memiliki tujuh ciri yang bersifat universal, yaitu dapat dijumapai dalam budaya manapun juga. Ciri-ciri tersebut ialah bahwa pola tingkah laku budaya tadi: (1) Berasal dari alam pikiran manusia; (2) Mempermudah interaksi manusia dengan lingkungannya; (3) Memenuhi kebutuhan dasar manusia; (4) Bersifat komulatif dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dalam kondisi eksternal dan internal; (5) Cenderung membentuk struktur yang konsisten; (6) Dipelajari dan dimiliki bersama oleh seluruh anggota masyarakat; dan (7) Diteruskan kepada generasi baru. Begitu pula kesopanan merupakan konsep yang universal (That Pliteness is conceptually universal) yaitu, kesopanan dapat dijumpai dimanapun dalam bahasa dan budaya manapun juga. Kode, Alih Kode, dan Campur Kode Kode ialah suatu sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya memiliki ciri-ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan bicara, hadirnya orang ketiga, dan situasi tuturan. Jadi, dalam kode ini terdapatlah unsur-unsur bahasa seperti kalimat-kalimat, kata-kata, morfem, dan fonem. Lebih lanjut Poedjosoedarmo (1978:5) menyatakan kode biasanya berbentuk varian-varian bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi anggota-anggota suatu masyarakat tutur. 38
Suwito 1983 yang dikutip (Rahardi, 2001: 22) juga menyatakan kode adalah salah satu varian di dalam hirarki kebahasaan yang dipakai dalam berkomunikasi. Dengan demikian, dalam suatu bahasa dapat terkandung beberapa kode yang merupakan varian dari bahasa itu. Pendapat-pendapat para ahli tersebut memberikan batasan bahwa kode merupakan varian bahasa. Kenyataan bahwa bangsa Indonesia memiliki bahasa Indonesia dan beragam bahasa daerah bahkan kini bahasa-bahasa asing (Bahasa Inggris, Madarin, Jerman, Jepang, Perancis, Belanda, dsb.) sudah diajarkan di sekolah-sekolah. Di sekolah-sekolah berbasis agama Islam dan pesantren bahasa Arab menjadi kurikulum inti. Oleh karena itu, di negara Indonesia tidak jarang ditemui orang-orang yang dapat berbahasa lebih dari satu bahasa. Kesanggupan mereka dapat menggunakan lebih dari satu bahasa tersebut disebabkan oleh keinginannya untuk saling berkomunikasi antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, baik intraetnik maupun antaretnik. Penggunaan alih kode dan campur kode dapat terjadi pada setiap penutur bahasa. Kegiatan alih kode yang terjadi pada penutur ekabahasawan, misalnya beralihnya seseorang dari ragam bahasa yang satu ke ragam bahasa yang lain dalam bahasa yang sama. Kegiatan alih kode yang terjadi pada penutur dwibahasawan, misalnya beralihnya seseorang dari bahasa yang satu kepada bahasa yang lain dalam suatu peristiwa tutur. Alih kode adalah pemakaian secara bergantian dua atau lebih bahasa, versi-versi dari bahasa yang sama atau bahkan gaya-gaya bahasanya dalam satu situasi tuturan oleh seseorang penutur atau partisipan tutur (Saville-Troike, 2003: 48). Kontak antara dua bahasa atau lebih yang terjadi terus-menerus di dalam situasi masyarakat tutur yang bilingual cenderung mengakibatkan gejala kebahasaan yang disebut alih kode. Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa di dalam masyarakat dwibahaswan―artinya, di dalam masyarakat dwibahasawan hampir tidak mungkin seorang penutur menggunakan satu bahasa secara mutlak tanpa sedikit pun beralih kode ke bahasa yang lain. Alih kode dapat didefinisikan juga sebagai peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain, jadi apabila seorang penutur mula-mula menggunakan tingkat tutur level È-B (krama inggil) dan kemudian beralih menggunakan tingkat tutur E-E (krama madya), maka peralihan penggunaan bahasa seperti inilah yang bisa disebut sebagai alih kode Konsep alih kode meliputi tidak saja peristiwa peralihan bahasa, tetapi juga peristiwa peralihan ragam bahasa atau dialek. Contoh: Ketika A dan B berjumpa dalam acara arisan, pada umumnya mereka mengawali 39
pembicaraannya dengan topik santai, berkisar masalah anak, kenaikan harga sembako, dan lain sebagainya. Dalam topik seperti ini, pada umumnya dipergunakan bahasa ragam santai. Namun, ketika komunikasi beralih ke topik yang lain, seperti masalah pendidikan, bahasa yang dipergunakan biasanya bukan ragam santai, melainkan ragam formal. Peristiwa pergantian ragam informal ke ragam formal atau sebaliknya dikatakan sebagai alih kode. Chaer dan Agustina, (1995: 141) mendefinisikan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Misalnya: Ali dan Ibrahim, keduanya berasal dari Pesantren, dua puluh menit sebelum kuliah dimulai sudah hadir di ruang kuliah. Keduanya terlibat dalam percakapan yang topiknya tidak menentu dengan menggunakan bahasa Arab. Ketika mereka sedang asyik bercakap-cakap masuklah Anto, teman kuliahnya yang bukan dari pesantren, yang tentu saja tidak dapat berbahasa Arab. Anto menyapa mereka dalam bahasa Indonesia. Lalu mereka segera terlibat percakapan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Peristiwa peralihan penggunaan bahasa Arab ke bahasa Indonesia yang dilakukan Ali dan Ibrahim kerena berubahnya situasi yang dipengaruhi datangnya orang ketiga, yakni situasi “kearaban” berubah menjadi situasi “keindonesiaan” yang dipengaruhi oleh datangnya Anto sebagai partisipan tutur baru yang memulai dengan tuturan bahasa Indonesia. Hymes (1972a: 103); Rahardi (2001: 20) menyatakan bahwa alih kode adalah istilah umum untuk menyebut pergantian atau peralihan pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa variasi dari satu bahasa, atau bahkan beberapa gaya dari suatu ragam bahasa. Seseorang yang melakukan pembicaraan sebenarnya mengirimkan kode-kode kepada lawan bicaranya. Pengkodean itu melalui suatu proses yang terjadi pada pembicara, hampa suara, dan pada lawan bicara. Kodekode itu harus dimengerti oleh kedua belah pihak―kalau pihak yang satu memahami apa yang dimaksud oleh lawan bicaranya, maka ia akan mengambil kesimpulan dan bertindak sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan. Tindakan itu, misalnya diam, memutuskan pembicaraan, atau mengulangi lagi pertanyaan sebagai bentuk kode yang digunakan untuk mengajak lawan tutur mencurahkan perhatiannya. Seseorang berkode bahasa dengan berbagai variasi sesuai suasana emosional penutur yang dapat diimplementasikan dengan nada suara lembut, keras, cepat, lambat, dan sebagainya, misalnya kalau marah tentu dengan nada cepat dan keras, sebaliknya kalau merayu tentu dengan nada pelan dan lembut. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kode meliputi bahasa dengan segala unsur-unsurnya (seperti kalimat, kata, morem, maupun fonem), variasi-variasi bahasa, dan gaya-gaya bahasa. 40
Alih kode adalah pertukaran dari satu bahasa ke bahasa lain, atau pertukaran dari satu varian bahasa ke bahasa varian bahasa lain dalam bahasa yang sama, ataupun pertukaran dari satu gaya bahasa yang satu ke gaya bahasa yang lain dalam bahasa yang sama. Alih kode terjadi untuk menyesuaikan diri dengan peran, atau adannya tujuan tertentu seorang penutur―kadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena suatu tujuan. Misalnya, untuk mengubah situasi dari formal menjadi tidak formal atau sebaliknya untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode―apalagi jika latar belakang kebahasaan mereka berbeda. Kegiatan alih kode antarbahasa, antarvariasi bahasa, dan antargaya bahasa dapat dilihat pada situasi berikut : Alih kode antarbahasa, misalnya: Ketika dua orang sedang bercakap-cakap dengan bahasa Inggris, karena kebetulan keduanya mahasiswa Jurusan Sastra Inggris. Di tengan-tengah perbincangan tersebut, tiba-tiba datang orang ketiga temannya yang kini sebagai mahasiswa pada Jurusan Sastra Indonesia yang kurang memahami bahasa Inggris. Selanjutnya, percakapan beralih dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia agar orang ketiga tersebut dapat ikut dalam peristiwa tutur. Alih kode antarvarian bahasa, misalnya: Seseorang beralih dari varian bahasa Madura kasar enjâ’-iyâh kepada varian bahasa Madura level èngghi-bhunten atau bhâsa alos, karena diantara partisipan tutur yang datang kemudian ternyata ada orang yang amat dihormati. Alih kode antargaya bahasa, misalnya ketika sedang meminta sesuatu dari orang lain, tentu dengan nada suara yang lembut. Berbeda ketika seseorang sedang marah tentu beralih kode dengan nada suara yang kasar dan keras. Campur kode adalah penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa. Yang termasuk di dalamnya adalah pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dsb. Campur kode adalah proses yang sama―yang digunakan untuk membuat bahasa pidgin, tetapi perbedaannya adalah bahasa pidgin diciptakan di dalam kelompok-kelompok yang tidak menggunakan satu bahasa yang sama, sedangkan campur kode terjadi ketika para penutur multilingual menggunakan satu bahasa yang sama atau lebih (Kridalaksana, 2008) Campur kode terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Campur kode dapat terjadi tanpa adanya sesuatu dalam situasi berbahasa yang menuntut adanya pencampuran bahasa, tetapi dapat juga disebabkan faktor kesantaian, kebiasaan, atau tidak adanya padanan yang tepat untuk mengungkap suatu fenomena. Misalnya, untuk 41
membangkitkan rasa humor, seorang kiai yang sedang berceramah dengan BI di depan mayoritas UNUEM, bercampur kode ke kosa kode BM yang dapat membangkitkan tawa―untuk mengungkapkan kosa kata BA yang kurang pas di terjemahkan ke BI, segera bercampur kode ke BA―dan untuk menunjukkan keakraban, WNUEM sering bercampur kode ke BMlj dan BA. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi, karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain―walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence). Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu: (1) Campur kode ke dalam (innercode-mixing): Campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya; dan (2) Campur kode ke luar (outer codemixing): campur kode yang berasal dari bahasa asing. Latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: (1) sikap (attitudinal type) latar belakang sikap penutur; dan (2) kebahasaan (linguistik type) latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan. Dengan demikian, campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa. Beberapa wujud campur kode: (a) penyisipan kata, (b) menyisipan frasa (c) penyisipan klausa, (d) penyisipan ungkapan atau idiom, dan (e). penyisipan bentuk blaster (gabungan pembentukan asli dan asing). Pendalaman Materi 1. Mengapa dalam berbahasa seseorang menggunakan strategi komunikasi? 2. Jelaskan prinsip kerjasama dan prinsip sopan santun dalam berbahasa yang dikemukakan Griece! 3. Mengapa tingkat tutur digunakan dalam berbahasa? jelaskan, dan berilah contoh penggunaan tingkat tutur yang digunakan dalam percakapan dari orang yang memiliki kelas dan status sosial berbeda. 4. Berilah contoh kesalahpahaman dalam komunikasi akibat ketidakpahaman budaya penutur suatu bahasa (pragmatik lintas budaya). 5. Jelaskan apa yang dimaksud kode, alih kode, dan Campur kode dalam peristiwa komunikasi? 6. Kapan dan mengapa sesorang menggunakan kode, alih kode, dan campur kode? 42
Bab 4 Konteks Kompetensi dan Pengantar Setelah mempelajari bab ini dengan baik, pembelajar diharapkan memiliki kompetensi sebagai berikut: Memahami peran konteks dalam penggunaan bahasa Memahami masyarakat tutur sebagai konteks tempat terjadi tuturan Memahami peristiwa tutur sebagai bagian dari konteks Memahami berbagai macam tindak tutur sebagai bagian dari konteks Dalam analisis linguistik formal, konteks biasanya terjadi ketika kesulitan atau keraguan muncul berkenaan dengan interpretasi atau akseptabilitas pengungkapan linguistik tertentu, walaupun kenyataannya konteks merupakan hal yang sangat penting dalam membayangkan interpretasi alternatif yang mungkin terjadi dari kalimat yang bermakna ganda, akan tetapi penggunaan dan perannya secara resmi tidak dikenal dalam model-model kompetensi linguistik formal. Di sisi lain, pekerjaan ahli etnografi sangat bergantung pada kemampuan yang baik dan eksplisit untuk menghubungkan bentuk-bentuk tingkah laku, termasuk kemampuan berbicara, dengan konteks sosio-budaya mereka yang lebih luas. Malinowski, bapak ernografi moderen, yang pertama kali menekankan perlunya menginterpretasikan kemampuan berbicara dalam konteks situasi (context of situation) suatu ungkapan, yang pada sisi lain mengindikasikan bahwa konsepsi konteks harus diperluas dan pada sisi yang lain situasi, di mana kata-kata diujarkan tidak pernah dapat melampaui sesuatu yang tidak relevan dengan ungkapan linguistik (Duranti, 1988). Walaupun sebenarnya Malinowski mengira bahwa perlunya terus menjaga kemampuan berbicara dan konteks untuk terus dikaitkan antara yang satu dengan yang lainnya dibatasi pada penelitian "masyarakat primitif", di mana bagi mereka bahasa merupakan cara bertindak dan bukannya alat refleksi, namun dia kemudian memformulasikan pandangannya untuk memasukkan perlunya konteks dalam interpretasi semua bahasa, semua jenis penggunaan, termasuk masalah keberaksaraan (Duranti, 1988). Definisi tentang makna, memaksa kita pada jenis observasi yang baru dan lebih luas, agar dapat menunjukkan makna kata-kata. Kita tidak
hanya harus memberikan suara ujaran dan persamaan signifikansi. Yang terpenting, kita harus memberikan konteks pragmatik di mana kata-kata tersebut diucapkan, korelasi suara dengan konteks, dengan tindakan dan dengan peralatan; dan sambil lalu, dalam deskripsi linguistik yang lengkap akan menjadi penting juga untuk menunjukkan jenis-jenis latihan atau pengkondisian atau pembelajaran dimana kata-kata memerlukan interpretasi makna. Pernyataan di atas menunjukkan bahwa betapa pentingnya konteks di mana suatu kata, ujaran, kalimat dan bahkan wacana itu berlangsung. Dengan kata lain konteks dapat menentukan makna kata, makna ujaran, makna kalimat dilihat dari konteks pragmatiknya dan topik suatu wacana. Dalam dua puluh tahun terakhir atau lebih, istilah konteks didefinisikan kembali ke dalam bermacam-macam versi untuk memasukkan cakupan penggunaan bahasa yang potensial dan sebenarnya, yaitu dimensi ruang dan waktu dari interaksi tersebut serta tujuan partisipan. Tiga gagasan yang telah diadopsi dan dibahas dalam etnografi komunikasi, yaitu: masyarakat tutur (speech community), peristiwa tutur (speech event), dan tindak tutur (speech act). Masyarakat Tutur (Speech Community) Masyarakat tutur (Speech Community) didefinisikan sebagai sekelompok masyarakat yang menggunakan aturan yang sama dalam menginterpretasi dan menggunakan paling tidak satu bahasa (Gumperz, 1972: 16) atau variasi linguistik (Hymes 1972a: 54). Salah satu alasan untuk menggunakan speech community sebagai titik awal dalam penelitian linguistik adalah untuk menghindari asumsi bahwa pemakaian secara bersama-sama terhadap "bahasa" yang sama menunjukkan adanya pemahaman yang sama atas penggunaan dan maknanya dalam konteks yang berbeda-beda (Hymes, 1972 a,b). Para linguis secara umum menyetujui bahwa masyarakat tutur tidak bisa disamakan secara persis dengan sekelompok orang yang berbicara bahasa yang sama, karena para penutur bahasa Spanyol di Texas dan Argentina merupakan anggota masyarakat tutur yang berbeda meskipun mereka memiliki kode bahasa yang sama. Apakah fokus kita dalam mendefinisikan masyarakat sebagai kajian harus berada dalam bentuk dan penggunaan bahasa yang sama, atau pada batas-batas geografis dan politis umum, ciri-ciri kebudayaan, dan bahkan mungkin karakteristik fisik. Oleh karena itu, penggunaan dan interpretasi bahasa, kaidah berbicara, dan sikap mengenahi bahasa merupakan bagian dari produk penelitian etnografi. Dengan demikian semakin jelaslah untuk mendefinisikan kelompok yang akan diteliti (speech community). 44
Dalam mendifinisikan masyarakat tutur seharusnya diarahkan pada perbedaan ruang lingkup yang dimiliki ‘masyarakat’ menurut kriteria yang berbeda: 1. Merupakan kelompok manapun dalam masyarakat yang memiliki sesuatu yang signifikan secara umum (termasuk agama, etnik, ras, usia, tuli tidaknya, orientasi jenis kelamin, atau jabatan, tetapi bukan warna mata atau tinggi badan). 2. Merupakan unit batasan fisik manusia yang memiliki kesempatan peran sepenuhnya (suku atau bangsa yang terorganisir secara politis, tetapi bukan satu jenis kelamin, satu usia, atau satu kelas saja seperti rumah jompo atau kelompok sejenisnya). 3. Merupakan kumpulan etnisitas yang berada pada tempat yang sama yang memiliki sesuatu yang bersifat umum (seperti dunia barat, negaranegara berkembang, pasar umum Eropa, atau PBB) (Ibrahim, 1994: 21) Pengertian speech community seharusnya tidak sekedar disamakan dengan homogenitas linguistik dari sekelompok masyarakat tutur tertentu (Hudson, 1980: 20). Dalam masyarakat Norwegia yang diteliti oleh Bloom dan Gumperz (1972), misalnya, pemakai bahasa yang secara individu dilahirkan dan dibesarkan dalam suatu masyarakat tutur menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan dalam bentuk penggunaan pengalihan kode, interpretasi, dan nilainya. Salah satu cara untuk menerangkan perbedaan semacam itu adalah dengan menegaskan bahwa hal tersebut merupakan karakteristik penggunaan linguistik dalam kehidupan sosial: “Ketika menyelidiki segala seluk-beluknya secara rinci dengan metode lapangan yang dirancang untuk memperoleh kemampuan berbicara dalam konteks yang sesuai, maka semua masyarakat pengguna bahasa secara linguistik berbeda dan hal ini dapat ditunjukkan bahwa perbedaan ini memberikan fungsi komunikatif yang penting dalam menandai sikap-sikap antarpengguna bahasa dan dalam memberikan informasi tentang identitas sosial pengguna bahasa tersebut” (Gumperz 1972: 13). Cara lain dalam menghadapi berbagai perbedaan yang kebenarannya dibuktikan oleh Gumperz (1968) adalah dengan cara berasumsi bahwa pada hakikatnya masyarakat pengguna bahasa tidak ada kecuali sebagai "prototipe" yang ada dalam pikiran manusia (Hudson, 1980: 30). Untuk menguji asumsi tersebut, menjadi penting untuk dikemukakan bahwa ada realitas psikologis dari segi penggunaan bahasa yang "ídeal" atau prototipikal dalam kelompok masyarakat tertentu. Beberapa temuan Labov's (1972) terhadap keseragaman jenis tingkah laku evaluatif yang sangat jelas dapat digunakan dalam argumen seperti itu. Pada saat yang sama, hasil kerjanya yang rinci terhadap polapola variasi dalam ranah fonologis dan leksikal menunjukkan adanya 45
hipotesis yang berbeda, atau sebaliknya, yaitu gagasan bahwa "jenis" atau keteraturan yang ditemukan tidak ada dalam pikiran seseorang melainkan berada nun jauh di luar sana, yaitu di dalam dunia nyata (periksa Duranti, 1998: 219) Oleh karena itu, segala gagasan tentang masyarakat bahasa (dan hal ini juga akan menjadi benar dalam mendefinisikan "dialek" atau "logat asli") akan bergantung pada dua fenomena: (1) pola-pola variasi dalam kelompok pengguna bahasa juga dapat ditetapkan di tempat tertentu, di luar homogenitas linguistik dan (2) aspek-aspek yang dicapai secara kooperatif dalam tingkah laku manusia sebagai strategi untuk membentuk keanggotaan dalam tingkah laku kehidupan sosial. Kemampuan menerangkan (1) pada akhirnya bergantung pada keberhasilan kita dalam memahami (2). Bahasa sering berfungsi mempertahankan pemisahan identitas masyarakat tutur di dalam masyarakat yang lebih besar, yang anggota masyarakat tutur itu juga merupakan anggota dari masyarakat yang lebih besar tersebut. Dalam kasus-kasus di mana individu dan kelompok menjadi milik lebih dari satu masyarakat tutur, berguna sekali untuk membedakan keanggotaan primer dan sekunder. Dengan demikian, individu, khususnya dalam masyarakat yang kompleks, bisa berpartisipasi dalam sejumlah masyarakat tutur yang diskrit (terpisah) maupun yang overlap, seperti halnya mereka berpartisipasi dalam setting sosial yang bervariasi yang dipilih oleh seseorang sebagai orientasi dirinya sendiri pada saat tertentu dengan mengatur kaidah yang digunakan―merupakan bagian dari strategi komunikasi.
Peristiwa Tutur (Speech Event) Asumsi dasar tentang analisis speech event penggunaan bahasa adalah bahwa suatu pemahaman tentang bentuk dan isi percakapan seharihari dalam manifestasinya yang beraneka ragam menunjukkan adanya suatu pemahaman tentang kegiatan sosial, di mana percakapan tersebut terjadi (Duranti, 1988: 220). Namun demikian, aktivitas seperti itu tidak hanya dibarengi oleh interaksi verbal, akan tetapi juga harus dibentuk berbagai cara untuk untuk mendorong kemampuan berbicara yang memiliki peran dalam konstitusi kegiatan sosial. Barangkali kasus yang paling jelas adalah percakapan melalui telepon, yang tidak akan terjadi jika tidak ada tukar-menukar percakapan. Bahkan kegiatan yang sangat mengandalkan fisik seperti kegiatan olah raga atau ekspedisi perburuan, sangat bergantung pada komunikasi verbal. Bagaimanakah seseorang harus menghadapi tugas berat dalam mengisolasi dan menggambarkan unit-unit peristiwa? Hymes (1972b: 56) 46
mengemukakan beberapa komponen peristiwa komunikatif dengan akronim SPEAKING yang dirinci menjadi: (1) S: Situation/Setting (situasi) 'tempat dan suasana tuturan'); (2) P: Partisipan (peserta tutur) 'pembicara, yang dituju, pendengar / penerima'; (3) E: Ends (akhir) 'hasil, tujuan tutur'; (4) A: act sequence (urutan bertindak) 'bentuk pesan dan isi pesan'; (5) K: key (kunci): 'Nada tutur'; (6) I: instrumentalities 'sarana tutur'; (7) N: norms (norma-norma) 'norma interaksi dan interpretasi'; (8)G: genres ' jenis tuturan'. (periksa juga Saville- Troike, 2003: 110). Seiring dengan pendapat Hymes di atas, Poedjosoedarmo (1978) mengembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat tutur di Indonesia, khususnya masyarakat tutur Jawa. Komponen tutur dalam versinya menjadi lebih rinci dan luas dari versi Hymes yang dijadikan dasar. Menurut versi Poedjosoedarmo terdapat sedikitnya tiga belas komponen tutur yang dapat mempengaruhi peristiwa tutur. Ketiga belas komponen tutur tersebut adalah sebagai berikut: (1) Pribadi si penutur atau orang pertama, (2) anggapan penutur terhadap kedudukan sosial dan relasinya dengan orang yang diajak bicara, (3) kehadiran orang ketiga, (4) maksud dan kehendak si penutur, (5) warna emosi si penutur, (6) nada suasana bicara, (7) pokok pembicaraan, (8) urutan bicara, (9) bentuk wacana, (10) sarana tutur, (11) adegan tutur, (12) lingkungan tutur, (13) norma kebahasaan lainnya (periksa Rahardi, 2001: 35-50). Didasarkan pada kaidah-kaidah kebahasaan dan penggunaanya, bahasa Jawa memiliki kesamaan dengan bahasa Madura, sehingga komponen turtur menurut versinya juga dapat dijadikan pembanding dan referansi dalam analisis komponen tutur Hymes tersebut Dalam sepuluh tahun terakhir atau lebih, unit speech-event dengan analisis komponen tutur telah menjadi alat yang berguna untuk menganalisis penggunaan bahasa di dalam dan antarmasyarakat. Banyaknya sumbangan terhadap pemahaman peran pertuturan (speaking) dalam arena politik, cara membesarkan anak, kegiatan membaca, dan penyuluhan, baik eksplisit maupun tidak, telah membuat peran speech event sangat berguna (Duranti 1988: 221; Scollon & Scollon 1981; Heath 1983; Brennies & Myers 1984;). Speech event masih merepresentasikan tingkat analisis yang dapat memiliki keunggulan dalam mempertahankan informasi tentang sistem sosial secara keseluruhan. Sementara itu, pada saat yang sama memungkinkan peneliti melihat secara mendalam seluk-beluk tindakan orang per orang. Model pertuturan juga merepresentasikan perbedaan yang mendasar antara EK dan cabang linguistik lain dalam bermacam-macam versi. Cabang tersebut telah selalu mempertahankan status etic (phonetic) 47
tertentu dan tanpa dibarengi dengan teori (umum) yang berkaitan dengan komponen yang beraneka ragam. Dalam program Hymes (1972a), pembahasan teori seperti itu tampaknya hanya memungkinkan pada level lokal (yaitu berkenaan dengan masyarakat tertentu) dan bukan dalam kerangka yang lebih global dan komparatif. Dalam EK hal ini diperlukan, di mana tidak pernah ada usaha dalam memformulasikan fonemik umum dari peristiwa komunikasi. Hubungan antara komponen-komponen model tersebut terbukti sangat berarti dalam masyarakat tertentu, akan tetapi tidak perlu menunjukkan prinsip yang universal dari hubungan antara kemampuan bertutur dan konteks dalam masyarakat pada umumnya. Sedikit usaha, seperti yang dilakukan Irvine (1979), terbukti merupakan pembahasan tentang bagaimana seseorang seharusnya tidak berkesimpulan tentang segi universal dari kelompok masyarakat tertentu; yaitu apa yang dianggap "formal" dalam satu konteks tidak harus formal dalam konteks yang lain. (Beberapa perkecualian di sini berlaku pada beberapa usaha dalam menjelaskan bentuk areal secara umum, di mana ada studi lokal yang dapat mencakup kemungkinan tersebut, misalnya yang dilakukan oleh Roberts & Forman, 1972; Abrahams, 1983). Jika beberapa jenis tuntutan universal diterima oleh EK, maka hal ini akan menjadi sama dengan apa yang disebut Merlau-Ponty sebagai lateral universal, yaitu universalitas usaha intersubjektif ketimbang struktur. Untuk memahaminya, kita harus merefleksikan kembali tujuantujuan yang ingin dicapai EK. Berbeda dengan pendekatan-pendekatan lain dalam linguistik, EK sangat peduli dengan penggunaan bahasa sebagai perekat dan alat dalam kehidupan sosial. Ini berarti bahwa ahli etnografi objektif dan intersubjektif (yaitu, intuisi, audio-recording, transkripsi, wawancara, partisipasi dalam kehidupan "subjek") terlibat dalam mempelajari "objek" yang lebih kompleks dan lebih multi bentuk daripada yang diteliti dalam cabang linguistik lain. Salah satu tujuan EK adalah untuk mempertahankan kompleksitas languange as praxis daripada menguranginya menjadi pokok-pokok yang abstrak dan independen (Duranti, 1988: 223). Kritik yang memungkinkan terhadap kelemahan analisis speech event adalah bahwa ia cenderung menyeleksi bidang-bidang interaksi yang dilabeli oleh suatu budaya, akan tetapi ia dapat mengabaikan interaksiinteraksi yang tidak dikenal oleh anggota-anggotanya sebagai bagianbagian. Hal yang perlu dijelaskan di sini bahwa walaupun keberadaan istilah leksikal bagi "bidang interaksi" hanya merupakan pendukung dari pengorganisasian pengalaman lapangan, akan tetapi istilah tersebut merupakan kata kunci yang menarik bagi pekerja lapangan. 48
Tindak Tutur (Speech act) Bahasa memiliki banyak fungsi untuk memenuhi kebutuhan para penggunanya. Fungsi utama bahasa adalah alat untuk menyampaikan pesan atau maksud dari penutur kepada petutur (mitra tutur). Maksud yang terkandung dalam komunikasi tersebut diungkapkan dengan kalimat. Kailmat-kalimat yang komunikatif terbagi menjadi dua kategori berdasarkan maknanya, yakni (1) kalimat perlakuan (performative) dan (2) kalimat pernyataan (constative). Tujuan speech act menurut Austin, (1962: 98-99) adalah menekankan pada fungsi pragmatik dari kemampuan berbicara, yang tidak hanya menggambarkan pandangan dunia, akan tetapi juga mengubahnya sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di masyarakat pada umumnya. Penerimaan tujuan speech act tidak perlu disampaikan secara tidak langsung akan diterimanya landasan epistimologi atau ideologi yang mendasari teori tindakan komunikasi (Pratt, 1981). Secara khusus, teori seperti itu dikatakan telah banyak memberi keunggulan bagi perhatian pengguna bahasa sebagai definisi makna pengucapan. Akhir-akhir ini sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa peran yang diberikan atas perhatian pengguna bahasa dalam menginterpretasi cara berbicara sebenarnya berbeda antarbudaya dan konteksnya (Streeck, 1980; Duranti, 1988: 225). Kalimat-kalimat perlakuan relatif tidak begitu banyak jumlahnya dalam suatu bahasa; yang jauh lebih banyak adalah kalimat pernyataan. Austin (1962) mengatakan bahwa makna atau juga disebut nilai kalimat adalah tindakan membuat janji itu. Jadi mengucapkan kalimat adalah ‘perlakuan berjanji’ dan kalimat itu disebut kalimat perlakuan. Di sini tidak dipermasalahkan ‘benar’ atau ‘tidak benar’, baik apa yang dikatakan dalam kalimat “saya datang besok”, maupun kalimat induknya “saya berjanji”. Dengan kata lain berjanji itu adalah pengucapan kalimat: “saya berjanji datang besok pagi”. Selanjutnya, teori sebagai hasil pengkajian kalimat-kalimat sebagai ungkapan disebut teori tindak tutur (speech act theory). Menurut Searle (1985: 16), dalam komunikasi bahasa terdapat tindak tutur. Ia berpendapat bahwa komunikasi bahasa bukan sekadar lambang, kata, atau kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil dari lambang, kata, atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur. Lebih tegasnya, tindak tutur adalah produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari komunikasi bahasa. Sebagaimana komunikasi bahasa yang dapat berwujud pernyataan, petanyaan, dan perintah (Yule, 1996). 49
Wijana (2010: 92-94) mengemukakan, tindak tutur (speech act) adalah berbagai bentuk tindakan yang dapat dilakukan oleh penutur (termasuk juga penulis) dalam menggunakan bahasanya. Menurutnya, sekurang-kurangnya ada 7 jenis tindak tutur yang mungkin dilakukan oleh penutur. Ketujuh jenis tindak tutur itu adalah tindak tutur asertif, performatif, verdikatif, ekspresif, direktif, komisif, dan fatis. Pembagian tersebut didasarkan pada fungsi-fungsi yang dimainkan dalam setiap tuturan pada peristiwa komunikasi. Sudut pandang fungsional dalam hal ini harus dibedakan dengan sudut pandang formal yang selama ini digunakan oleh ilmu tata bahasa di dalam menggolong-golongkan kalimat. Penggolongan kalimat menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (introgatif), dan kalimat perintah (imperatif) didasrakan atas kriteria yang bersifat formal, yakni lagu akhir (terminal counter) masing-masing kalimat itu. Selanjutnya Wijana memmberi contoh sebagai barikut: (1) Udaranya dingin sekali. (2) Apakah pohon-pohon yang sudah susah payah kita tanam ini harus ditebang? (3) Pergi lagi sana! Ketiga kalimat tersebut dari sudut pandang struktural masingmasing adalah: (1) kalimat berita, (2) kalimat tanya, dan (3) kalimat perintah. Namun dari sudut pandang fungsional, ketiga kalimat di atas dapat memerankan fungsi-fungsi yang mungkin saja sama atau berbeda bergantung pada konteks tuturannya yang berkaitkan dengan siapa yang berbicara, kepada siapa, dimana, dan untuk apa pembicaraan itu. Misalnya, dalam konteks tuturan (1) bukan kalimat berita, tetapi perintah tidak langsung kepada seseorang untuk menutup pintu atau mematikan AC. Demikian juga tuturan (2) bukanlah pertanyaan yang sebenarnya, boleh jadi merupakan strategi tidak langsung untuk mempengaruhi lawan tutur agar mendukung usulan penutur untuk tidak menebang pohon. Adapun tuturan (3) mungkin juga merupakan larangan yang diutarakan secara tidak literal agar lawan bicara tidak pergi. Dengan demikian, kalimat yang secara formal sudah memiliki bentuk yang relatif tetap, ternyata memungkinkan memiliki fungsi yang berbeda-beda, sehingga dimungkinkan lawan tutur dapat menangkap sesuatu yang diungkapkan secara langsung atau tidak langsung, secara literal atau tidak literal, dan berbagai maksud yang lain adalah karena penutur dan lawan tutur memiliki asumsi dan penfsiran yang sama terhadap kaidah-kaidah pertuturan beserta berbagai prinsip yang mengatur berlangsungnya pertuturan yang wajar, termasuk berbagai macam penyimpangannya. Dalam pertuturan yang wajar, penutur lazimnya ingin mengemukakan 50
sesuatu dan berharap lawan tutur dapat menagkap atau memahami apa yang diungkapkannya secara rasional. Tindak tutur dalam ujaran suatu kalimat merupakan penentu makna kalimat itu. Namun makna kalimat tidak ditentukan hanya oleh tindak tutur seperti dalam kalimat yang sedang diujarkan itu, tetapi selalu dalam prinsip adanya kemungkinan untuk menyatakan secara tepat apa yang dimaksud oleh penuturnya. Oleh sebab itu, mungkin juga dalam setiap tindak tutur, penutur menuturkan kalimat yang unik karena dia berusaha menyesuaikan ujaran dengan konteksnya. Dalam pegertian seperti itu, studi tentang makna kalimat dan studi tentang tindak tutur bukanlah dua studi yang terpisah, melainkan satu studi dengan dua paradigma yang berbeda. Dengan demikian, teori tindak tutur adalah teori yang lebih cenderung meneliti tentang makna kalimat dan bukannya teori yang lebih cenderung berusaha menganalisis struktur kalimat (Rani, 2004: 159) Oleh karenanya, tuturan yang sama dapat digunakan pada tujuan yang berbeda, berdasarkan pada pemahaman yang berbeda tentang peristiwa sosial dimana konteks percakapan tersebut berlangsung. Tugas penganalisis adalah menerangkan hubungan antara realitas subjektif pengguna bahasa, bentuk linguistik yang dipilih dan respon dari audien: "Level tindakan komunikasi segera menjembatani antara tingkat tata bahasa biasa dan situasi, sehingga ia mengimplikasikan bentuk linguistik dan norma-norma sosial" (Hymes, 1972 a: 7). Apabila seseorang ingin mengemukakan sesuatu kepada orang lain, maka apa yang ingin dikemukakannya itu adalah makna atau maksud suatu kalimat. Untuk menyampaikan makna atau maksud tersebut, penutur harus menuangkan dalam wujud tindak tutur. Tindak tutur yang akan disampaikannya tergantung kepada beberapa faktor, antara lain: dengan media bahasa apa dia harus bertutur, kepada siapa dia akan menyampaikan ujarannya, dalam situasi bagaimana ujaran itu disampaikan, dan kemungkinan-kemungkinan struktur manakah yang ada dalam bahasa yang dipergunakannya. Dengan demikian, untuk satu maksud, perlu dipertimbangkan berbagai kemungkinan tindak tutur sesuai dengan posisi penutur, situasi tutur, dan kemungkinan struktur yang ada dalam bahasa itu. Posisi penutur dan situasi ujaran yang berbeda akan menyebabkan perbedaan tindak tuturnya. Tindak tutur untuk menyampaikan maksud seperti itu dalam suatu bahasa tertentu akan berbeda lagi apabila yang dipergunakan bahasa yang lain. Bahasa Madura misalnya, akan segera nampak perbedaan tindak tuturnya jika dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Kemungkinan memilih tidak tutur sangat ditentukan oleh bahasa itu untuk menyampaikan ujarannya (Hymes, 1972a: 8) 51
Yule (1996: 48-49) menyatakan bahwa secara analitis dapat dipisahkan tiga macam tindak tutur yang terjadi secara serentak yaitu: (1) tindak lokusi (locutinary act) (2) tindak ilokusi (illocutionary act) (3) tindak perlokusi (perlocutionary act). Tindak lokusi menurut Searle disebut tindak proposisi (propotional act) mengacu pada aktivitas bertutur kalimat tanpa disertai tanggung jawab penuturnya untuk melakukan suatu tindakan tertentu. Dalam tindak lokusi seorang penutur mengatakan sesuatu secara pasti. Gaya bahasa si penutur langsung dihubungkan dengan sesuatu yang diutamakan dalam isi ujarannya. Dengan demikian, sesuatu yang diutamakan dalam tindak lokusi adalah isi ujaran yang diungkapkan oleh penutur. Lyons (1977) menjelaskan bahwa tindak lokusi itu adalah suatu tindak berkata, yaitu menghasilkan ujaran dengan makna dan referensi tertentu. Selanjutnya Austin menyatakan: “Tindak tutur itu merupakan dasar bagi dilakukannya tindak tutur lain, lebih-lebih terhadap tindak ilokusi” (periksa Rani, 2004: 160). Tindak ilokusi adalah suatu tindak yang dilakukan dalam mengatakan sesuatu seperti membuat janji, membuat pernyataan, mengeluarkan perintah atau permintaan, menasbihkan nama sebuah kapal, dan lain-lain (Lyons, 1977: 730). Kaitannya dengan tindak ilokusi, Austin mengatakan bahwa tindak mengatakan sesuatu (of saying) berbeda dengan tindak dalam mengatakan sesuatu (in saying). Tindak mengatakan sesuatu hanyalah bersifat mengungkapkan sesuatu, sedangkan tindak dalam mengatakan sesuatu mengandung tanggung jawab si penutur untuk melaksanakan sesuatu sehubungan dengan isi ujarannya. Tindak dalam mengatakan sesuatu inilah yang oleh Austin disebut tindak ilokusi, sedangkan tindak mengatakan sesuatu lebih dekat hubungannya dengan tindak lokusi. Dalam tindak ilokusi didapatkan suatu daya atau kekuatan (force) yang mewajibkan si penutur untuk melaksanakan sesuatu tindak tertentu (Rani, 2004: 161). Secara khusus, searle mendeskripsikan tindak ilokusi ke dalam lima jenis tindak tutur, yaitu: (1) Asertif atau representatif ialah tindak tutur yang menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu adanya, misalnya pemberian pernyataan, pemberian saran, pelaporan, pengeluhan, dan sebagainya; (2) Komisif adalah tindak tutur yang mendorong penutur melakukan sesuatu, misalnya bersumpah, berjanji, mengusulkan; (3) Direkstif adalah tindak tutur yang berfungsi mendorong pendengar melakukan sesuatu, misalnya menyuruh, meminta, menasehati; (4) Ekspresif, yaitu tindak tutur yang menyangkut perasaan dan sikap, misalnya berupa tindakan meminta maaf, berterima kasih, menyampaikan ucapan selamat, memuji, menyatakan bela sungkawa, mengkritik. Tindakan ini berfungsi untuk mengekspresikan dan mengungkapkan sikap 52
psikologis penutur terhadap mitra tutur; dan (5) Deklarasi, yakni tindak tutur yang menghubungkan isi proposisi dengan realitas yang sebenarnya, misalnya membaptis, menghukum, menetapkan, memecat, memberi nama, dan sebagainya (Rani, 2004: 162). Kategori yang terakhir (5) itu menurut Searle, merupakan kategori tindak ilokusi yang sangat spesifik. Tindak deklarasi dilaksanakan oleh seseorang yang mempunyai tugas khusus untuk melakukannya dalam kerangka kerja institusional. Misalnya, seorang hakim, yang bertugas menjatuhkan hukuman, seorang wali yang menikahkan anaknya, dan seorang pejabat yang meresmikan dimulainya sebuah acara seminar. Sebagai tindak institusional, kata-kata tersebut jarang diucapkan secara spontan. Sebagai contoh, pernyataan seorang hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada terdakwa pada umumnya berbentuk klise, tidak berubah dari satu terdakwa ke terdakwa lainnya dan dinyatakan dengan tegas (periksa Leech, 1993: 316-317). Jika kita cermati, dalam tindak ilokusi terlihat bahwa isi ujaran lebih ditujukan pada diri si penuturnya. Dalam tindak perlokusi, isi ujaran itu lebih ditujukan pada diri si pendengar. Austin mengemukakan bahwa mengatakan sesuatu sering menimbulkan pengaruh pasti. Implikasi tindak lokusi terhadap pendengar inilah yang disebut tindak perlokusi, yaitu tindak tutur yang dilakukan untuk mempengaruhi orang lain, misalnya: menjadikan orang marah, dan membuat seseorang tertawa. Dengan kata lain untuk membuat orang lain bereaksi. Tujuan tertentu yang dirancang oleh si penutur dalam isi ujarannya merupakan ciri khas tindak tutur perlokusi (Leech, 1993: 316-317). Dalam ilmu bahasa dapat disamakan tindak lokusi dengan ‘predikasi’ tindak ilokusi dengan ‘maksud kalimat’ dan tindak perlokusi dengan ‘akibat suatu ungkapan’ (Rani, 2004: 163). Dengan demikian dapat dikatakan pula bahwa lokusi adalah makna dasar atau referensi kalimat, ilokusi sebagai daya yang ditimbulkan oleh pemakainya sebagai perintah, permintaan, ejekan, keluhan, pujian, dan lain sebagainya; dan perlokusi adalah hasil dari ucapan tersebut terhadap pendengarnya.
Pendalaman Materi 1. Jelaskan peran konteks dalam penggunaan bahasa! 2. Jelaskan pengertian masyarakat tutur sebagai konteks tempat terjadi tuturan! 3. Mengapa peristiwa tutur dikatakan sebagai bagian dari konteks? 4. Sebutkan macam-macam tindak tutur dan berilah contoh-contoh dari masing-tindak tutur! 53
5. Dengan menggunakan media ICT carilah pengetahuan lebih luas tentang konteks, dan buatlah rangkuman!
54
Bab 5 Desain dan Metode Penelitian Etnografi Komunikasi Kompetensi dan Pengantar Setelah mempelajari bab ini dengan baik, pembelajar diharapkan memiliki kompetensi sebagai berikut: Memahami prosedur penelitian etnografi komunikasi terutama yang terkait dengan pola komunikasi; Dapat merumuskan permasalahan penelitian paradigma penelitin etnografi komunikasi; Memahami dan mampu menyusun landasan teori yang relevan dengan kajian etnografi komunikasi; Memahami konsep metode penelitian etnografi komunikasi dan mampu mendesain metode penelitan terkait pola komunikasi; Memahami prosedur penelitian dan langkah-langkah penelitian etnografi komunikasi; Memahami tahapan-tahapan dalam penelitian etnografi komunikasi; Memahami teknik pengumpulan data dalam penelitian etnografi komunikasi; Memahami analisis data komponen tutur; Memahami dan Mampu menyajikan hasil analisis data dalam bentuk laporan penelitian; Memahami cara penyajian hasil penelitian etnografi komunikasi. Bab ini akan memaparkan bagaimana mendesain paradigma metode penelitian kualitatif khsusnya fokus kajian etnografi komunikasi yang disertai dengan contoh topik penelitian pola komunikasi warga NU etnik Madura yang merupakan bagian hasil penelitian disertasi penulis. Namun demikian, desain dan metode penelitian ini juga bisa diadopsi untuk penelitian-penelitian paradigama kualitatif lainnya pada ilmu yang sejenis dan berdekatan dalam skim keilmuan sosial humaniora. Mendesain Latar Belakang Masalah Bagian Latar belakang memuat alur pemikiran tentang pemilihan topik dan area penelitian yang mencakup latar belakang masalah, ruang lingkup, dan batas-batas penelitian. Dalam bagian ini dikemukakan data dan fakta yang mendorong timbulnya masalah dan pentingnya masalah
yang akan digali dan dibahas melalui penelitian. Di samping itu, dikemukakan pula bahwa masalah itu merupakan gagasan asli, yang berbeda dengan penelitian atau tulisan sebelumnya. Temuan penelitian terdahulu dari berbagai sumber informasi dan beberapa asumsi dapat dimuat dalam latar belakang atau bisa pada tinjauan pustaka. Dalam paparan tersebut hendaknya ditunjukkan bahwa penelitian yang sudah dilakukan belum sempurna atau topik dan aspeknya berbeda dengan penelitian yang akan dilaksanakan. Penelitian yang sudah dilakukan berbeda dengan penelitian yang akan dilaksanakan (jika perlu uraikan perbedaan tersebut). Contoh Latar Belakang Masalah Berkaitan Pola Komunikasi Bahasa merupakan suatu produk sosial dan budaya, bahkan merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai produk sosial dan budaya tentu bahasa merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Sudah barang tentu, bahasa sebagai hasil budaya megandung nilai-nilai masyarakat penuturnya (Sumarsono, 2002: 20-21). Masalah utama dalam pemakaian bahasa suatu etnik adalah kesalahan dalam persepsi sosial yang disebabkan oleh perbedaanperbedaan budaya yang mempengaruhi proses pemahaman terhadap bentuk-bentuk pemakaian bahasa yang dilakukan orang lain. Pemberian makna suatu pesan sangat dipengaruhi oleh budaya pengirim maupun penerima pesan. Kesalahan-kesalahan fatal dalam memahami makna dapat menyebabkan persepsi yang salah terhadap maksud dan tujuan pemakaian bahasa. Warga NU yang jumlahnya cukup besar memilki tradisi dan budaya yang sangat unik, khususnya yang berlatar belakang etnik Madura. Menurut pendapat Sutarto (2005) NU dikenal sebagai kekuatan Islam yang sangat menghormati tradisi dan budaya lokal, bahkan ada yang menyebut NU sebagai kelompok Islam tradisional, Islam kultural, kelompok sarungan, kolot dan entah apa lagi. Mereka (warga NU) hidup di tengah perpaduan antara tradisi dan syari’at Islam. Pola-pola komunikasi yang digunakan warga NU etnik Madura tidak terlepas dari kategori dan fungsi bahasa yang tercermin dalam komponen tutur, bahasa dan pilihan bahasa yang digunakan, alih giliran tutur, tingkat tutur (ondhâghân bhâsa / speech level), serta simbol-simbol yang ditampakkan melalui gerakan-gerakan tubuh (body language), dan intonasi (tone) sebagai aspek pendukung pemahaman terhadap tindak tutur dalam bahasa verbal. 56
Pola-pola tersebut tercermin ketika orang muda berbahasa kepada yang lebih tua dan sebaliknya; orang yang status sosialnya lebih rendah kepada orang yang status sosialnya lebih tinggi dan sebaliknya; orang yang tidak mempunyai peran kepada orang yang mempunyai peran dalam masyarakat dan sebaliknya; orang yang tidak mempunyai jabatan kepada orang yang mempunyai jabatan baik dalam instansi ataupun dalam masyarakat dan sebaliknya; bawahan kepada atasannya dan sebaliknya; dan Guru/Kiai kepada murid/santri dan sebaliknya, serta bagaimana warga NU etnik Madura berkomunikasi dengan kelomopok sosial yang lain. Kesalahan dalam penggunaan pola-pola komunikasi tersebut dalam konteks warga NU etnik Madura merupakan masalah yang dapat menyebabkan interpretasi yang negatif terhadap pemakainnya. Mereka telah dianggap melanggar konvensi dalam pemakaian bahasa yang berlaku di lingkungan masyarakat tersebut sehingga dapat menyebabkan seseorang terisolir dari pergaulan dan bahkan akan menuai cercaan dan cacian di masyarakat. Makna ilmiah penelitian ini adalah memberikan perspektif baru terhadap kajian linguistik yang berhubungan dengan konteks sosial dan budaya komunitas tertentu (etnografi komunikasi), khususnya komunitas warga NU etnik Madura. Rekomendasi penelitian ini diharapkan menjadi acuan dalam mencari solusi pemecahan terjadinya masalah konflik dan kesenjangan hubungan yang terjadi akibat kegagalan komunikasi baik antarakomunitas warga NU etnik Madura, maupun dengan komunitas lain di luar NU. Identifikasi, Pemilihan, dan Perumusan Masalah Penelitian Munculnya masalah atau permasalahan itu, karena adanya kesenjangan (gap) das Sollen dan das Sein – ada perbedaan antara apa yang seharusnya ada dan apa yang ada dalam kenyataan, antara apa yang diperlukan dan apa yang tersedia, antara harapan dan kenyataan, dan lain sebagainya yang sejenis dengan itu. Penelitian diharapkan dapat memecahkan masalah-masalah itu. Identifikasi Masalah Penelitian Identifikasi masalah dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya: (1) Melalui bacaan – terutama bacaan yang berisi hasil laporan hasil penelitian tentang kajian etnografi komunikasi; (2) Melalui even-even yang mendiskusikan tentang poblematika yang terjadi di masyarakat tutur, seperti: seminar, diskusi, dan lain-lain pertemuan ilmiah; 57
(3) Pernyataan pemegang otoritas atau pengambil kebijakan tentang permasalahan-permaslahan yang terjadi di masyarakat tutur; (4) Pengamatan sepintas (observasi awal), observasi awal dilakukan setelah kita membaca, melihat, atau merasakan fenomena-fenomana yang tidak selazimnya terjadi di masyarakat tutur suatu etnik; (5) Pengalaman pribadi, identifikasi masalah dapat bersumber pada pengalaman pribadi yang kurang menyenagkan dalam peristiwa komunikasi; (6) Perasaan intuitif terkait pola komunikasi masyarakat tutur suatu etnik. Pemilihan Masalah Penelitian Agar dalam pelaksanaan penelitian etnografi komunikasi yang pada umumnya penelitian lapang berjalan sesuai yang dinginkan, dalam memilih masalah penelitian, peneliti perlu mempertimbangkan aspek terkait dengan kegunaan capaian hasil penelitian dan aspek penunjang pelaksanaan penelitian. Aspek-aspek tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
(1) Pertimbangan dari Sisi Arah Masalahnya (a) Dalam rangka pengembangan teori dalam bidang ilmu etnografi komunikasi dengan dasar teoritis penelitiannya, dan (b) Pemecahan masalah-masalah praktis berkaitan kajian etnografi komunikasi.
(2) Pertimbangan Dari Arah Calon Peneliti Mengingat penelitian etnografi komunikasi memiliki ciri observasi partisipasi di lapangan yang memerlukan cukup waktu, maka perlu dipertimbangkan hal-hal berikut. (a) Biaya yang tersedia untuk pelaksanaan penelitian, (b) waktu yang tersedia, (c) alat-alat dan perlengkapan yang tersedia, (d) bekal kemampuan teoretis, dan (e) Penguasaan metode yang diperlukan. Merumuskan Masalah Penelitian Kecermatan dalam merumuskan masalah penelitian amat penting dalam mendisain penelitian etnografi komunikasi karena rumusan masalah akan mengarahkan peneliti untuk memilih data yang tepat sebagai jawaban terhadap fenomena-fenomana yang terjadi di masyarakat tutur. Oleh karena itu, dalam merumuskan masalah perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: 58
(1) Rumusan masalah berisi uraian tentang masalah-masalah yang akan dipecahkan dalam penelitian pendekatan etnografi komunikasi; (2) Perumusan masalah merupakan pernyataan akumulatif dari berbagai hal yang ada dalam latar belakang masalah yang terjadi di masyarakat tutur; (3) Agar pemecahan masalah yang diajukan dapat dituntaskan dan tidak salah arah, ruang lingkup masalah bisa dibatasi dan dinyatakan atau dirumuskan dengan jelas; (4) Perumusan masalah yang dinyatakan dalam kalimat tanya akan lebih jelas daripada jika dinyatakan dalam kalimat berita; (5) Perumusan masalah dapat dirangkum dalam satu permasalahan pokok dan dapat pula dirinci menjadi lebih dari satu permasalahan. Contoh Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang tersebut, dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini sebagai berikut: “Bagaimana pola komunikasi Warga Nahdlatul Ulama Etnik Madura (WNUEM) di Jember?” Rumusan masalah tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Bagaimana pola komunikasi antarkiai? 2. Bagaimana pola komunikasi kiai-UNUEM? 3. Bagaimana pola komunikasi UNUEM? 4. Bagaimana bentuk pola dan strategi penyampaian pesan WNUEM yang efektif untuk mencapai tujuan tutur? 5. Mengapa terjadi pola komunikasi WNUEM di Jember? Contoh Pembatasan Masalah Penelitian tentang pola komunikasi dengan objek penelitian bahasa warga NU memiliki cakupan yang sangat luas. Oleh karena itu, agar penelitian ini lebih spesifik sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian, peneliti perlu melakukan pembatasan-pembatasan berkaitan dengan subaktivitas penelitian, objek penelitian, dan peristiwa tutur, sebagai berikut: 1. Berkaitan dengan pola komunikasi, penelitian ini berkonsentrasi pada subaktivitas penggunaan kode tutur yang meliputi: penggunaan tingkat tutur (speech level), pilihan bahasa sebagai bentuk alih kode dan campur kode, nada suara (tone), bahasa tubuh (body language), dan alih giliran tutur. 2. Berkaitan dengan objek penelitan yakni bahasa warga NU yang terdiri dari barbagai etnik di Jember, penelitian ini hanya berfokus bahasa yang digunakan warga NU etnik Madura (WNUEM) karena WNUEM 59
merupakan etnik terbesar di Jember yang memiliki kekhasan dan keunikan kultur yang tecermin dalam pola komunikasinya. Adapun bahasa yang paling dominan digunakan oleh WNUEM adalah BM. BI dan BA juga digunakan sebagai alih kode dan campur kode. 3. Berkaitan dengan peristiwa tutur, penelitian ini mencakup situasi formal dan informal. Dalam situasi formal, hanya berfokus pada setting pertemuan-pertemuan yang bersifat rutin, pengajian, acara perkawinan, dan hari-hari besar Islam. Adapun situasi informal hanya berfokus pada obrolan sehari-hari dan pertemuan yang sifatnya santai seperti di masjid, mushalla/langgar NU, rumah WNUEM, dan termasuk dalam ranah keluarga. Peristiwa tutur dalam pertemuan-pertemuan formal dan informal yang bekaitan dengan politik, jual beli seperti di toko dan di pasar, tidak tercakup dalam penelitian ini karena merupakan permasalahan yang pembahasannya sangat luas dan juga membutuhkan energi yang besar sehingga perlu diteliti secara khusus pada even-even penelitian yang lain. Merumuskan Tujuan Penelitian Dalam merumuskan tujuan penelitian, peneliti seharusnya memparhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) Tujuan Penelitian berisi tentang tujuan penelitian secara spesifik yang ingin dicapai dari penelitian yang hendak dilakukan. Namun demikian, tujuan penelitian bisa didesain menjadi tujuan umum dan tujuan khusus; 2) Tujuan penelitian bekaitan erat dengan permasalahan dan merupakan arahan jawaban terhadap hipotesis/asumsi penelitian; 3) Tujuan penelitian memuat hasil-hasil yang hendak dicapai dan tidak boleh menyimpang dari permasalahan yang telah dikemukakan. Contoh Rumusan Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menggali dan mendeskripsikan pola komunikasi WNUEM di Jember.
b. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan pola komunikasi antarkiai. 2. Mendeskripsikan pola komunikasi kiai-UNUEM. 3. Mendeskripsikan pola komunikasi UNUEM. 4. Mendekripsikan bentuk pola dan strategi penyampaian pesan WNUEM yang efektif untuk mencapai tujuan tutur. 60
5. Menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pola komunikasi WNUEM di Jember . Manfaat Penelitian Manfaat atau kontribusi penelitian memaparkan kegunaan hasil penelitian yang akan dicapai, baik untuk kepentingan ilmu (pengembangan teori), kebijakan pemerintah, maupun menyelesaikan permasalahan yang terjadi di masyarakat luas. Manfaat penelitian dapat juga dirumuskan dalam bentuk kontribusi teoritis dan kontribusi praktis. Contoh Rumusan Kontribusi Penelitian Penelitian ini akan memberikan dua kontribusi positif, yakni kontribusi teoritis dan kontribusi praktis. Dari segi teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan teori dalam bidang sosiolinguistik khususnya dalam kajian etnografi komunikasi yang berkaitan dengan pola komunikasi yang digunakan oleh komunitas tertentu. Karena keunikan dan kekhasan penggunaan kode-kode bahasa yang merupakan refleksi dari kultur pada WNUEM telah membentuk keunikan dan kekhasan bahasa yang digunakan sehingga deskripsi ini diharapkan dapat memperkaya teori-teori dalam kajian etnografi komunikasi. Dari segi praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi warga NU dalam berkomunikasi. Selain itu, rekomendasi hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar bagi pihak terkait dan organisasi Nahdlatul Ulama untuk mengidentifikasi akar masalah yang berkaitan dengan kegagalan komunikasi yang sering terjadi baik antar-WNUEM sendiri, maupun antara WNUEM dengan mitra tutur yang lain (di luar warga NU) yang berbeda kultur. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka memuat uraian sistematis tentang hasil-hasil penelitian terdahulu yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan. Jelaskan persamaan dan perbedaan dengan permasalahan yang sedang diteliti, sehingga mengarah mengapa penelitian itu dilakukan (lihat Bab 2). Adapun landasan teori dijabarkan dari berbagai literatur yang gayut dengan permasalahan yang akan diteliti sebagai landasan dalam memecahkan masalah dan juga untuk merumuskan hipotesis atau asumsiasumsi dasar. 61
Landasan Teori bisa dirujuk dari konsep-konsep dan teori-teori pada bab sebelumnya dan buku-buku lain atau berkala ilmiah yang relevan dengan topik penelitian (lihat Bab 2). Landasan teori dapat dilakukan dengan tahapan berikut: 1. Mengumpulkan pendapat atau teori berkaitan etnografi komunikasi yang telah ada yang berkaitan dengan masalah yang akan dipecahkan; 2. Membandingkan dan memilih teori etnografi komunikasi yang paling relevan dengan masalah yang dibahas; 3. Mengadakan penilaian kelemahan dan keunggulan teori-teori yang telah dikumpulkan; 4. Menentukan teori-teori yang akan digunakan sesuai permasalahan penelitian. Contoh: Landasan teori terkait dengan penelitian pola komunikasi dapat diambil dari Bab 2 dan Bab selanjutnya yang relevan atau dari literatur-litaur yang lain. Metode Penelitian Etnografi Komunikasi Metode yang dimaksud dalam penelitian adalah cara atau prosedur dan langkah-langkah serta tahapan-tahapan yang dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian. Cara, tahapan dan langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian etnografi komunikasi bisa meliputi: (1) Pendekatan Penelitian; (2) Teknik Memasuki Lokasi Penelitian; (3) Peran peneliti; (4) Lokasi Penelitian, Sumber Data, dan Setting Penelitian; (5) Teknik Pengumpulan Data; (6) Transkripsi Data; (7) Teknik Analisis Data; (8) Penyajian Hasil Analisis Data. Pendekatan Penelitian Dalam setiap kegiatan penelitian sejak awal sudah harus ditentukan dengan jelas pendekatan/desain penelitian apa yang akan diterapkan. Hal ini dimaksudkan agar penelitian tersebut dapat benar-benar mempunyai landasan yang kokoh dilihat dari sudut metodologi penelitian, disamping pemahaman hasil penelitian yang akan lebih proporsional apabila pembaca mengetahui pendekatan yang diterapkan. Obyek dan masalah penelitian memang mempengaruhi pertimbangan-pertimbangan mengenai pendekatan, desain ataupun metode penelitian yang akan diterapkan. Tidak semua obyek dan masalah penelitian bisa didekati dengan pendekatan tunggal, sehingga diperlukan pemahaman pendekatan lain yang berbeda agar begitu obyek dan masalah yang akan diteliti tidak pas atau kurang sempurna dengan satu pendekatan 62
maka pendekatan lain dapat digunakan sebagai pendukung misalnya, ketika obyek dan masalah yang akan kita teliti lebih relevan untuk menggunakan pendekatan kualitatif, maka diperbolehkan sebagai data pendukung adalah data-data kuantitatif dan sebaliknya pendakatan kuantitatif juga dapat didukung dengan data-data kualitatif. Secara umum pendekatan penelitian atau sering juga disebut paradigma penelitian yang cukup dominan adalah paradigma penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Dari segi peristilahan para ahli nampak menggunakan istilah atau penamaan yang berbeda-beda meskipun mengacu pada hal yang sama, untuk itu guna menghindari kekaburan dalam memahami kedua pendekatan ini, berikut akan dikemukakan penamaan yang dipakai para ahli dalam penyebutan kedua istilah tersebut seperti terlihat dalam tabel 1 berikut ini Tabel 5.1: Quantitative and Qualitative Research : Alternative Labels Quantitative Rasionallistic Inquiry from the Outside Functionalist Positivist Positivist
Qualitative Naturalistic Inquiry from the inside Interpretative
Constructivist Naturalisticethnographic Sumber : Brannen (Ed): (1992: 58)
Authors Guba &Lincoln (1982) Evered & Louis (1981) Burrel & Morgan (1979) Guba (1990) Hoshmand (1989)
Pendekatan yang akan digunakan dalam suatu penelitian, peneliti dapat mengemukakannya sebagai berikut: Pendekatan yang digunakan dalam peneletian ini adalah pendekatan kualitatif dengan fokus kajian etnografi komunikasi. Studi etnografi komunikasi menurut Kuswarno (2008: 86) suatu kajian yang dapat menggambarkan, menjelaskan, dan membangun hubungan dari kategorikategori data yang ditemukan. Hal ini sesuai dengan tujuan dari etnografi komunikasi untuk menganalisis, menggambarkan, dan menjelaskan perilaku berbahasa dari suatu kelompok sosial. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, penelitian pola komunikasi warga NU dalam perspektif etnografi komunikasi dapat memberikan gambaran dan pemahaman secara komprehensif mengenahi perilaku berbahasa warga NU dalam konteks sosial dan budaya yang unik dan sekaligus memberikan gambaran bagaimana aspek sosiokultural tersebut berpengaruh terhadap perilaku berbahasa warga NU. 63
Metode Memasuki Lokasi Penelitian Metode yang digunakan oleh peneliti dalam memasuki lokasi penelitian dapat bersifat formal dan nonformal. Metode formal digunakan untuk menggali data yang berkaitan dengan konteks pemakaian bahasa pada situasi formal, sedangkan metode informal digunakan untuk menggali data pada konteks obrolan sehari-hari (situasi tidak formal). Digunakannya metode informal untuk menjaga kekhawatirkan warga NU akan merubah pola komunikasi dari yang sebenarnya dan mereka akan berbahasa/memberikan informasi yang tidak sesuai dengan kebiasaan sehari-hari. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga keaslian data yang didapat dari para informan maupun dari pengamatan secara langsung dalam observasi partisipasi dan nonpartisipasi di lapangan. Peran peneliti Peran peneliti dalam penelitian bisa tertutup dan bisa terbuka. Di dalam situasi komunikasi yang tidak formal bisa peran peneliti tertutup, tetapi dalam setting penelitian formal peneliti bisa terbuka. Dikatakan tertutup karena peneliti merahasiakan identitas sebagai peneliti - dalam hal ini peneliti berperan sebagai inteligent. Hal ini dilakukan juga untuk menjaga validitas keaslian data. Lokasi Penelitian, Sumber Data, dan Setting Penelitian Lokasi penelitian, sumber data, dan setting penelitian merupakan aspek yang amat penting dalam penelitian etnografi komunikasi kerena ketiganya berkaitan langsung dengan konteks penelitian yang menentukan kapan dan bagaimana bahasa itu digunakan dalam masyarakat tutur. Lokasi Penelitian Lokasi yang dijadikan tempat untuk menggali dan memperoleh data dalam pelaksanaan penelitian mutlak harus disebut dengan alasan-alasan rasional berkaitan dengan karakteristik penelitian. Alasan pemilihan lokasi penelitian tidak tepat jika yang digunakan sebagai argumentasi adalah bersifat pribadi, misalnya karena peneliti berdomisili di lokasi penelitian atau berdekatan, terbatasnnya waktu peneliti, kemudahan transportasi, dsb. Alasan pemilihan lokasi penelitian bisa seperti contoh berikut ini: “Lokasi yang dijadikan tempat untuk menggali dan memperoleh data dalam pelaksanaan penelitian ini berada dalam ruang lingkup Kabupaten Jember. Dipilihnya Kabupaten Jember sebagai lokasi penelitian karena di daerah tersebut merupakan basis WNUEM yang 64
masih memiliki keunikan dan kekhasan kultural. Hasil penelitian ini nanti akan menjadi cerminan pola komunikasi WNUEM di daerah tapal kuda lainnya (Pasuruan, Lumajang, situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi) yang memiliki karakter kultur daerah yang hampir sama.” Sumber Data Data dapat diperoleh dari berbagai sumber yakni sumber data primer dan sekunder misalnya, Data akan diperoleh dari tiga sumber: sumber pertama (primer) digali dari pengamatan secara langsung proses komunikasi komunitas WNUEM melalui observasi partisipasi; sumber primer kedua akan digali dari para informan dari kalangan warga NU yakni kiai, pengurus NU, umat NU dari kalangan santri dan terpelajar; sedangkan sumber sekunder, akan digali dari para ilmuwan dan akademisi yang terdiri dari kalangan guru dan dosen yang menekuni kajian tentang NU dan kajian Madura. Setting Penelitian Setting penelitian bisa formal dan non formal seperti: Adapun yang dijadikan setting untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah situsi formal dan informal, ketika proses komunikasi tersebut berlangsung. Situasi formal seperti dalam rapat-rapat, pengajian, rapat-rapat pengurus NU dan sebagainya. Adapun situasi informal, yaitu komunikasi yang terjadi dalam pembicaraan obrolan (santai) antarwarga NU di luar situasi formal. Teknik Pengumpulan Data Penelitian etnografi komunikasi secara umum merupakan penelitian yang menyeluruh atau holistik, karena apa yang diteliti di dalamnya mencakup semua aspek, paling tidak sesuai yang disarankan Hymes ada delapan komponen tutur yang kemudian dirinci lebih detail oleh Poedjosoedarmo menjadi empat belas komponen tutur yang harus dianalis dan tentunya komponen tutur itu diperoleh melalui hasil pengumpulan data. Oleh karena itu, pengumpulan data merupakan kegiatan mutlak harus dilakukan penelitian etnografi komunikasi yang kegiatan pengumpulan datanya cenderung di lapangan (feld research). SavilleTroike (2003) mengemukakan tujuh teknik yaitu, Observasi partisipasi & non partisipasi, wawancara, telaah dokumen, hermeneutik, etnometodologi, etnosemantik, dan introspeksi. Namun, karena yang 65
diperlukan adalah pemahan terhadap keseluruhan konteks petuturan (masyarakat tutur, peristiwa komunikasi, dan tindak tutur), maka yang paling penting dalam kajian etnografi komunikasi adalah observasi partisipasi, introspeksi, dan wawancara. Sebenarnya ketika peneliti melakukan observasi partisipasi, sudah mencakup teknik pengumpulan data yang lain, seperti wawancara, introspeksi, telaah dokumen dan sebagainya. Akan tetapi, karena sebagai penciri penelitian kualitatif, maka akan dijelaskan beberapa metode yang lazim digunakan pada penelitian kualitatif. Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh data yang berupa bahasa verbal (oral) dan nonverbal (body language) dari hasil percakapan/komunikasi dari dua orang atau lebih serta informasi dari para informan di lapangan untuk menjawab permasalahan penelitian. Untuk memperoleh data dan informasi yang sesuai dengan permasalahan penelitian, akan digunakan metode sebagai berikut: Observasi Partisipasi Dalam penelitian etnografi komunikasi, metode pengumpulan data yang paling umum dan relevan di dalam domain kebudayaan adalah observasi partisipasi dan non partisipasi. Kegiatan ini dilaksanakan untuk memperoleh data peristiwa komunikasi dengan cara mengamati, mencatat, dan merekam secara langsung data penelitian. Dalam observasi partisipasi, peneliti bisa berpartisipasi dengan mitra tutur berada di tengah-tengah komunitas warga NU dan sesekali juga terlibat langsung dalam proses komunikasi, yang hal itu hanya bisa dilakukan dalam setting situasi informal. Adapun obeservasi non partisipasi, peneliti hanya menyimak langsung pemakaian bahasa dalam komunikasi tanpa terlibat dalam komunikasi. Hal itu dilakukan pada setting situasi formal. Metode observasi partisipasi menggunakan teknik dasar berupa teknik sadap dan teknik lanjutan berupa teknik simak libat cakap, rekam, dan catat, sedangkan metode observasi nonpartisipasi hanya menggunakan teknik sadap, dengan teknik lanjutan berupa simak, rekam, dan catat―peneliti tidak terlibat dan melibatkan diri dalam komunikasi. Introspeksi Metode introspeksi biasa digunakan jika peneliti meneliti bahasa dan budayanya sendiri dan masih hidup di tengah-tengah masyarakat tutur yang sedang diteliti atau paling tidak masih eksis menggunakan bahasa dan budaya yang sedang menjadi objek penelitian. Itulah sebabnya teknik atau metode ini dsebut metode introsepksi atau 66
mengoreksi/menginterpretsi bahasa dan budayanya diri sendiri. Dengan menggunakan introspeksi, peneliti mencoba mengeksplisitkan kaidahkaidah dan nilai-nilai yang diserap secara sadar maupun tidak sadar ketika tumbuh dan berkembang dalam masyarakat tutur atau bahkan sejak nenek moyang telah menggunakan bahasa dan budaya nmasyarakat tutur tersebut. Introspeksi juga berarti cara menganalisis nilai-nilai dan perilakunya sendiri dan orang-orang yang berada di masyarakatnya. Hal ini memang tidak mudah dilakukan karena orang bergerak dalam kebudayaannya sendiri secara otomatis berada di bawah level kesadaran. Selain itu, akan sangat tidak nyaman sebagai seorang peneliti mengeksplisitkan dan menginterpretasi kaidah-kaidah yang secara implisit sudah diketahui. Sebagai peneliti yang handal dan menghindari validitas data dari banyaknya pengaruh yang datang dari diri peneliti, seharusnya akan lebih baik kalau sebagai peneliti meneliti bahasa dan budaya kelompok etnik lain atau masyarakat tutur di luar masyarakat tutur peneliti. Oleh karena itu, ketika para peneliti yang mereka mengetahui dan sudah terlibat langsung dalam pola-pola penggunaan bahasa dalam masyarakat tutur mereka sendiri, penting kiranya untuk mengkonfirmasi ulang asumsiasumsi yang diperoleh melalui hasil introspeksi dengan perspektif pihak lain. Namun demikian, metode ini tetap berguna untuk menemukan kaidah-kaidah yang selama ini tersembunyi dalam diri peneliti, yang pada akhirnya akan menjadi pisau analisis sekaligus pembanding dalam kajian etnografi komunikasi. Selama peneliti secara objektif tetap mengakumulasi pandangan dan masukan dari pihak-pihak lain yang ada dalam masyarakat tutur. Wawancara Wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang perilaku komunikasi/tindak tutur yang dipergunakan oleh komunitas warga NU dalam setting komunikasi yang sesungguhnya sehingga diperoleh data untuk mengetahui sebab-sebab yang dapat mempengaruhi pola komunikasi. Kegiatan wawancara tersebut dilakukan dengan dua cara yaitu: (1) Wawancara terarah (terstruktur), yakni wawancara yang dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan, sedangkan wawancara tidak terarah (tidak terstruktur) adalah wawancara yang bersifat bebas dan santai. Digunakannya wawancara tidak terarah bertujuan agar informan memberikan keterangan seluas-luasnya, yang tidak dapat terungkap dengan metode wawancara terarah. 67
Perekaman Kegiatan ini menggunakan alat rekam dan atau audio visual untuk merekam proses komunikasi dan wawancara baik dalam situasi formal maupun informal untuk mengatasi keterbatasan peneliti dalam mencatat secara langsung proses komunikasi dalam observasi partisipasi mapun wawancara. Pencatatan Selain perekaman juga dilakuklan pencatatan sekemampuan peneliti. Kegiatan ini dilakukan untuk mencatat data-data yang diperoleh dari lapangan secara langsung, dalam artian semua data dan informasi yang didapat di lapangan dicatat secara cermat pada hari yang sama. Kegiatan ini dilakukan dengan maksud untuk menghindari kemungkinan terlupakan atau tumpang tindih data dan informasi yang diperoleh, baik melalui observasi partisipasi maupun dari informan penelitian. Transkripsi Data Data yang berhasil dikumpulkan melalui observasi partisipasi dengan alat rekam, ditarnsikripsikan ke dalam data tertulis secara fonologi. Secara fonologi artinya kata-kata dalam data tersebut ditranskripsi apa adanya sesuai ucapan yang dikemukakan oleh subjek penelitian dan aturan ejaan yang diberlakukan dalam bahasa tersebut, agar ciri-ciri fonologis bahasa yang ada dalam data fonetis dapat ditampakkan dalam data tulis yang telah tertranskripsi. Metode Analisis Data Data yang diperoleh melalui observasi partisipasi dan non partisipasi dalam penelitian ini dipilah-pilah dengan menaruh pada bab dan subbab yang sesuai dengan pertanyaan penelitian. Selanjutnya, setelah data dikelompokkan akan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan metode etnografi komunikasi, analisis percakapan, dan konsep pragmatik. Metode etnografi komunikasi digunakan dengan cara mengadakan analisis komponen tutur yang digunakan warga NU dalam berkomunikasi dengan mitra tutur. Adapun komponen tutur tersebut dalam teori etnografi komunikasi yang dikemukakan Hymes (1964a: 13); Schiffrin (1994: 14142); periksa juga Duranti (1998: 221) yang dikenal dengan ‘SPEAKING grid’ meliputi: (1) S: Situation/Setting (situasi) ‘tempat dan suasana’; (2) P: Partisipan (peserta tutur) ‘pembicara, yang dituju, pendengar/penerima)’; (3) E: Ends (akhir) ‘hasil, tujuan tutur’; (4) A: act 68
sequence (urutan bertindak) ‘termasuk alih giliran tutur’; (5) K: key (kunci) ‘nada tutur’; (6) I: instrumentalities ‘sarana tutur’; (7) N: norms (norma-norma) ‘norma interaksi dan interpretasi’; (8) G: genres 'jenis tuturan'. Dalam analisis komponen tutur tersebut juga digunakan metode analisis interaksi. Metode analisis interaksi digunakan untuk menganalisis model-model dan norma-norma interaksi yang digunakan warga NU di Jember dalam berkomunikasi. Metode analisis conversation digunakan untuk menganalisis percakapan yang digunakan warga NU misalnya, ketika seseorang bertanya: “Mengapa Anda tidak datang ke pengajian?” Kemudian dijawab, “Tetangga kedatangan besan”. Antara kalimat pertanyaan dan jawaban secara struktural tidak berhubungan. Tetapi kalimat jawaban “Tetangga kedatangan besan” dilihat dari konteks percakapan dapat saja diinferensi berbeda-beda oleh pertisipan tutur yang mengarah terhadap jawaban dari pertanyaan “Mengapa Anda tidak datang ke pengajian?” Metode analisis wacana dengan bantuan konsep pragmatik (lihat Brown & Yule, 1996: 1-2) dipergunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya hambatan atau kegagalan komunikasi, dengan cara menganalisis secara mendalam prinsip kerjasama (PK) dan prinsip sopan santun (PS) Grice (1975: 45-6); Leech (1993: 11). Prisnsip PK meliputi empat maksim, yaitu: Kualitas (Quality): tingkat kualitas (kebenaran) percakapan yang sedang berlangsung, Kuantitas (Quantity): Buatlah sumbangan percakapan anda seinformatif mungkin sesuai yang diperlukan oleh percakapan itu. Jangan memberikan sumbangan lebih informatif dari pada yang diperlukan. Hubungan/relevansi (Relation / Relevance): Buatlah percakapan anda relevan dengan topik. Cara (Manner): Bicaralah dengan jelas, dan khususnya: 1) hindari kekaburan; 2) hindari ketaksaan (makna ganda); 4) bicaralah singkat; 5) bicaralah secara teratur. Data yang diperoleh melalui wawancara akan dianalisis dengan metode eksplanasi untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pola komunikasi yang digunakan warga NU pada situasi formal dan informal, dengan cara menganalisis secara mendalam perilaku dalam berkomunikasi dan tradisi-tradisi serta budaya yang mempengaruhi pola komunikasi. Penyajian Hasil Analisis Data Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini, yakni berupa deskripsi dan penjelasan tentang jawaban terhadap rumusan masalah yang diajukan. Sebagaimana telah disinggung pada penggunaan pendekatan dalam penelitian ini, bahwa pendekatan kualitatif selain memiliki karakter 69
alamiah, juga menghasilkan data deskriptif. Deskripsi dan penjelasan tersebut didasarkan pada analisis komponen tutur dibantu dengan analisis percakapan dan analisis wacana dengan konsep pragmatik. Dalam penyajian data tersebut, juga digunakan simbol-simbol, lambang-lambang kebahasaan, singkatan-singkatan, dan transliterasi Arab-Indonesia yang secara rinci cara penulisan dan pemaknaannya dijelaskan pada daftar fonetis dan ortografis, pedoman transliterasi Arab-Indonesia, daftar lambang dan singkatan, dan glosarium. Sistematika Penulisan Sistematika punulisan laporan penelitian ini (disertasi, Thesis, atau skripsi) disajikan dalam sembilan bab, tidak termasuk bagian awal dan bagian akhir. Bagian awal mencakup halaman judul, lembar identitas dan pengesahan, halaman pernyataan, kata pengantar, intisari, abstract, daftar isi, daftar tabel, daftar lambang fonetis dan ortografis, pedoman transliterasi Arab-Indonesia, daftar lambang, singkatan, dan glosarium, serta daftar lampiran. Bab pertama, merupakan pendahuluan, yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, ruang lingkup penelitian, dan tujuan yang dijawab pada bab-bab berikutnya. Adapaun tinjauan pustaka sebegai referensi untuk melihat perbedaan dengan penelitian sejenis sebelumnya―landasan teori yang gayut dengan topik penelitian dan langkah-langkah metodologis digunakan sebagai pisau bedah untuk menjawab permasalahan penelitian. Bab kedua, membahas tentang NU, pesantren, dan kultur paternalistik sebagai langkah awal untuk memahami konteks dan objek penelitian. Bab ketiga, membahas tentang situasi kependudukan dan kebahasaan di Jember yang meliputi situasi kependudukan dan situasi kebahasaan di Jember serta, penggunaan BM oleh warga NU di Jember. Bab keempat, menjelaskan pola komunikasi antarkiai yang diklasifikasi menjadi pola komunikasi kiai yang memiliki hubungan guru-santri, pola komunikasi kiai yang sederajat, dan pola komunikasi dalam kelurga kiai. Bab kelima, membahas pola komunikasi kiai dengan UNUEM yang meliputi pola komunikasi kiai pesantrenUNUEM dan pola komunikasi kiai langghârân-UNUEM. Bab keenam, membahas pola komunikasi UNUEM, yang meliputi pola komuniksi yang melibatkan tokoh NU, pola komunikasi yang melibatkan UNUEM terpelajar, pola komunikasi UNUEM yang dipengaruhi perbedaan umur, pola komunikasi yang dipengaruhi keeratan hubungan, dan pola komunikasi dalam keluarga umat. Bab ketujuh, menjelaskan kisah ulama sebagai pola dan strategi komunikasi. Pada bab ini dipaparkan beberapa kisah ulama/kiai yang mencerminkan perilaku luhur sebagai contoh 70
penggunaan pola dan strategi komunikasi yang efektif untuk mencapai tujuan tutur. Bab kedelapan, menjelaskan tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pola komunikasi WNUEM dan impilkasi temuan terhadap pemertahanan BM. Faktor-faktor tersebut meliputi: faktor kultur paternalistik, faktor komponen tutur, dan faktor kompetensi komunikatif. Bab kesembilan, yang merupakan bab penutup berisi simpulan bab-bab sebelumnya dan rekomendasi kepada berbagai pihak berkaitan dengan temuan penelitian. Pada bab-bab analisis (bab IV-VIII) yang dianggap sangat rumit dan terlalu panjang untuk disarikan dalam bab simpulan, penulis mengakhiri dengan ringkasan sebagai upaya penyederhanaan untuk memudahkan para pembaca memahaminya. Bagian akhir dari laporan penelitian berisi daftar pustaka dan lampiran-lampiran (daftar informan, daftar pertanyaan untuk menjaring data berupa informasi, riwayat hidup penulis, peta Kabupaten Jember, dan surat keterangan penelitian). Pendalaman Materi Jelaskan secara singkat prosedur pelaksanaan penelitian etnografi komunikasi terutama yang terkait dengan pola komunikasi! Rumuskan permasalahan, tujuan, dan manfaat penelitian terkait penelitian etnografi komunikasi! Tuliskan tinjauan pustaka terkait penelitian yang akan dilakukan dari berbagai sumber yang relevan! Susunlah landasan teori yang relevean dengan permasalahan yang akan diteliti terkait kajian Etnografi komunikasi! Susunlan Metode penelitan terkait dengan permasalahan yang anda rumuskan! Sebutkan dan jelaskan teknik-teknik pengumpulan data dalam penelitian etnografi komunikasi! Carilah contoh data sesuai dengan permasalahan yang anda rumuskan dan cobalah dianalisis dengan menggunakan teori komponen tutur; Berilah contoh analisis data komponen tutur; Berilah gambaran tentang penyajian hasil analaisis data dan penulisan laporan penelitian etnografi yang anda rencanakan! Dengan menggunakan media ICT, anda dapat mengenal lebih mendalam apa dan bagaimana penelitian etnogfari komunikasi.
71
72
Bab 6 Contoh Penyajian Analisis Pola Komunikasi Kompetensi dan Pengantar Setelah mempelajari bab ini dengan baik, pembelajar diharapkan memiliki kompetensi sebagai berikut: Memahami dan mampu menyajikan data dengan analisis komponen tutur; Mempu mendeskripsikan hasil penelitian berdasarkan analisis komponen tutur; Memahami dan Mampu menyajikan hasil analisis data dalam bentuk laporan penelitian; Memahami cara penyajian hasil penelitian etnografi komunikasi. Pola komunkikasi kiai-umat juga dipengaruhi oleh berbagai komponen tutur. Dari delapan komponen tutur yang dikemukakan oleh Hymes dan tiga belas komponen tutur yang dikemukakan Poedjosoedarmo (1978), yang paling menonjol mempengaruhi pola komunikasi kiai-umat adalah komponen partisipan tutur yang meliputi siapa penutur dan siapa lawan tutur, siapa pendengar, hadirnya orang ketiga.....dsb. Berkaitan dengan partisipan tutur, status sosial (peran, jabatan, nasabiyah, pendidikan), umur, keeratan hubungan, dan jenis kelamin juga menentukan terjadinya variasi tutur. Fakator-faktor penentu dan raut pembeda antara variasi-variasi yang dikemukakan Poedjosoedarmo (1979), pada prinsipnya memperkuat teori yang dikemukakan (Hymes, 1972) yang disebut komponen tutur. Dengan cara menghubungkan masing-masing variasi tutur dengan komponen tuturannya, klasifikasi variasi tutur itu dapat kelihatan jelas dan lebih sederhana. Setiap kali ditemui istilah variasi tutur yang baru, seketika itu pula dapat dilihat komponen tutur mana yang kiranya mempengaruhi terbentuknya variasi itu. Dengan demikian, komponen tutur itu dapat dijadikan acuan untuk menentukan faktor penentu adanya variasi yang berbeda-beda tersebut. Dengan kata lain, keberadaan dan wujud suatu variasi tutur berbeda dengan wujud variasi yang lain karena variasi itu terpengaruh salah satu komponen tutur tertentu. Komponen tutur ini menjadi konteks dan sekaligus penentu terbentuknya berbagai variasi tuturan, yang dalam penelitian ini disebut pola komunikasi.
Pola komunikasi kiai-umat dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1) pola komunikasi kiai pesantren (KP)- Ummat Nahdlatul Ulama Etnik Madura (UNUEM) dan (2) pola komunikasi kiai langghârân (KL)UNUEM. Dalam bab ini yang akan dijadikan contoh adalah pola komunikasi KP-UNUEM. Pola Komunikasi KP-UNUEM Yang dimaksud kiai pesantren (KP) dalam sub bab ini adalah kiai yang memiliki peran dan jabatan sebagai pengasuh pesantren. Kiai pesantren sebagaimana telah disinggung pada paparan sebelumnya, merupakan sosok yang dianggap sangat berpengaruh dan berstatus sosial paling tinggi dan di-ta‘dzim-kan (sangat dihormati) karena disamping kedudukannya sebagai pengasuh pesantren, dia juga berperan sebagai tokoh, guru, dan pemuka agama di masyarakat. Oleh karena itu, kiai kategori ini di kalangan UNUEM amat di-ta‘dzim-kan dan ditaati. Pola komunikasi memang selalu dipengaruhi oleh berbagai komponen tutur yang paling tidak, ada delapan yang oleh Hymes (1964a; 1972) pada bagian terdahulu disingkat dengan SPEAKING-gird, kemudian Poedjosoedarmo (1978) mengembangkannya yang disesuaikan dengan kultur yang melekat pada bahasa Jawa menjadi tiga belas komponen tutur. Namun demikian, ada komponen tutur yang paling dominan yang mempengaruhi pola komunikasi KP-UNUEM, yakni partisipan tutur. Sebagaimana dinyatakan Kunjana (2011), aspek konteks yang berupa partisipan tutur (penutur dan mitra tutur)– speaker dan hearer atau ada yang menyebutnya speaker dan interlocutor―sangat berdekatan dengan dimensi peran, jabatan, usia, jenis kelamin, latar belakang pendidikan, latar belakang kultur, latar belakang sosial, latar belakang ekonomi, dan juga latar belakang fisik, psikis, atau mentalnya. Berdasarkan penjelasan di atas, pola komunikasi KP-UNUEM, dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1) pola komunikasi KP-UNUEM yang berpredikat guru-santri (2) pola komunikasi KP-UNUEM yang berstatus sosial tinggi, (3) ) pola komunikasi KP-UNUEM yang dipengaruhi keeratan hubungan, (4) pola komunikasi KP-UNUEM yang berbeda umur, dan (5) pola komunikasi KP-UNUEM dalam situasi formal. Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Berpredikat Guru-Santri Menurut pendapat Poedjosoedarmo (1979: 16) bahwa, ada dua hal yang mempengaruhi penggunaan tingkat tutur: pertama, tingkat formalitas hubungan seseorang, dan yang kedua ialah status sosial yang dimiliki orang kedua (O2). Ikatan guru-santri adalah termasuk kategori hubungan 74
formal. Yang dimaksud ikatan guru-santri adalah kiai dan umat yang pernah terlibat langsung maupun tidak langsung dalam ikatan sebagai pengasuh dan santri dalam suatu pesantren. Pola komunikasi KP-UNUEM yang berlatar belakang guru-santri juga dipengaruhi oleh perbedaan umur. Kepada umat mantan santrinya yang berumur lebih tua, kiai juga berbhâsa dengan tingkat tutur Eg-E, seperti terlihat pada data berikut: Data 22: Percakapan KP-UNUEM (A) P1: Dika↑ din?↑ ‘Kamu din?’ (B) P2: Èngghi↓, ka’dinto.↓ ‘Ya, saya’ (C)P2: Dâri compo’?↑ ‘Dari rumah saja’ (D) P2: Èngghi↓, cabis pamator→, ka’dinto↓ ‘Ya, mohon ijin bicara’ (E) P1: Engghi↑, napè↑ din?→ ‘Ya, ada apa din?’ (F) P2: Nyo’ona↓ èdhi sareng barokah du’a→! Bâdi→ matowa’a↓ Azizah↓, ka’dinto.↓ ‘Mohon ijin dan do’a restunya! Rencana akan menikahkan Azizah’ (G) P1: Bilâ→, din?↑ ‘Kapan rencananya, din? (H) P2: Insya Allah↓ bulân Rebbâ tanggal salèkor→, èso’ona↓ rabuna↓ sadhâjâ.↓ ‘Insya Allah bulan Sya’ban tanggal dua puluh satu, kami mohon kehadiran kiai beserta keluarga besar’ (I) P1: Insya Allah→ din↑, bulâ→ mandâr tadâ’a alangan→ bân dhika↑ èpalancarra.→ ‘Insya Allah din, semoga kami tidak ada halangan dan urusanmu diberi kelancaran. (J) P2: Amien....... → ‘Amien.....’ Tuturan Dika din? ‘Kamu din’ pada data 21(A) sebagai bentuk sapaan kepada lawan tutur yang sudah dikenal akrab. Jawaban Nadin Èngghi, ka’dinto ‘Ya, saya’ sebagai penegasan bahwa yang berada dihadapan kiai adalah benar din yang dimaksud kiai. Adapun ka’dinto dalam kalimat 21(B) hanya sebagai penanda fatis untuk menghaluskan tuturan. Adapun tuturan Dâri compo’? ‘Dari rumah saja’ 21(C) merupakan bentuk pertanyaan yang secara implisit menanyakan maksud dan tujuan 75
kedatangannya ke dhâlem. Oleh karena itu, P2 langsung menjawabnya dengan Èngghi, cabis pamator, ka’dinto. ‘Ya, mohon ijin bicara’ yang berfungsi sebagai pembuka tujuan tutur yang pada umumnya diucapkan UNUEM―ketika akan menyampaikan tujuan tutur tertentu kepada kiai. Pertanyaan kiai pada data 21(E) Engghi, napè din? ‘Ya, apa din?’ yang merupakan kalimat tanya, berfungsi mempersilakan Nadin untuk mengemukakan tujuan tutur yang akan disampaikan. Tuturan 21(F) sebagai bentuk kalimat yang menegaskan bahwa semua urusan masyarakat selalu memohon ijin dan doa restu dari kiai sebagai orang yang ditokohkan. Kata matowa’a ‘membuat seseorang menjadi tua’ pada data 21(F) bermakna ‘menikahkan seseorang’, yang merupakan suatu proses pendewasaan seseorang atau hilangnya masa remaja menuju kepada generasi yang lebih dewasa. Pernyataan hari dan tanggal pada tuturan 21(H) yang diikuti dengan èso’ona rabuna sadhâjâ. ‘dimohon kehadirannya semua’ merupakan undangan kepada kiai beserta keluarganya. Kata insya Allah ‘jika Allah mengijinkan’ pada data 21 (H) dan (I) digunakan untuk menyatakan bahwa suatu hal akan terjadi atas izin Allah. Kata tersebut biasa digunakan, ketika seseorang akan berjanji untuk menentukan suatu acara, dan even-even lain. Namun seringkali, justru kata insya Allah sebagai simbol tidak akan ditepatinya janji. Kalimat mandhâr moghâ sobung alangan bân dhika èpalancarra. ‘semoga engkau diberi kelancaran’ sebagai bentuk do’a dari kiai, agar dapat hadir dan pelaksanaan acara pernikahan berjalan dengan lancar. Analisis komponen tutur: Situasi ‘tempat dan suasana tutur’: Konteks tuturan berlangsung di ruang belakang dhâlem kiai. Keangkeran situasi ‘tempat dan suasana tutur’ berdampak pada terbentuknya tuturan yang seirus. Peserta tutur: P1: KP P2: UNUEM P3: Nyai (istri kiai) P4: Santri perempuan Tujuan tutur: Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut adalah memohon do’a restu dan mengundang kiai untuk acara pernikahan santri. Bentuk pesan: Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan santai, tetapi serius karena membicarakan topik yang penting.
76
Urutan tindak: P3 mempersilahkan para tamu masuk ke ruang tamu yang disedikan P2 masuk ruangan belakang P4 menyuguhkan mamiri P1 datang di ruang belakang P2 memberi salam P1 dan semua partisipan tutur menjawab salam P1 memulai percakapan Jenis tuturan: Termasuk kategori bahasa lisan serius. Dalam tuturan ini, nadin sebagai umat berusaha menggunakan nada tutur (tone) lebih rendah dari nada tutur kiai. Norma interaksi dan interpretasi: Setiap perjumpaan antarwarga NU dengan kiai biasa diawali dengan ucapan salam. Dalam tuturan tersebut P1 menggunakan BM level Eg-E. Hal tersebut terlihat dari kosakode yang digunakan P1 dhika 21 (A), compo’ 21(C), napè 21 (E) dan seterusnya yang merupakan kosakode BM level Eg-E. Pemilihan tingkat tutur tersebut disebabkan P2 sudah dikenal secara baik oleh P1, bahkan dia mantan santrinya yang umurnya juga lebih muda. Sementara itu, P2 menggunakan BAl dan BM level È-B. Posisi tempat duduk P1 bersebelahan dengan P3 menghadap kepada P2 sebagai lawan tutur. Sementara P2 seringkali menundukkan kepala, sesekali saja mangangkat pandangannya. UNUEM pada umumnya berusaha merendahkan suaranya di bawah suara kiai dan nyai. Alih giliran tutur, pada umumnya dimulai dari kiai, kecuali jika umat minta izin dengan frasa cabis pamator ‘mohon izin bicara’. Untuk melaksanakan acara-acara yang berkaitan dengan agama dan akan melibatkan warga NU, seperti pernikahan―UNUEM biasa memohon izin dan do’a restu kepada kiai yang dianggap sebagai guru dan tokoh agama di masyarakat. Kehadiran kiai pada acara-acara yang diselenggarakan umat NU merupakan berkah dan menjadi kebahagiaan yang luar biasa bagi umat NU. Kepada umat mantan santrinya yang lebih muda, kiai tidak berbhâsa, yakni mengunakan BM level E-I, seperti data berikut: Data 23: Percakapan KAN (Kiai pesantren) dengan Msd dan Ismail (umat) (A) P1: Aroa Mail→, olok cong↑ soro dâ’ na’!→ ‘Itu Mail, Panggilkan nak suruh ke sini!’ 77
(B) P2: langsung memanggil mail, tanpa komentar apapun. (C)P1: Il-mail↑, ngala’aghi↑ rekomendasi talangan→ tello’an cong↑, bi’ amploppa!→ ‘Il-mail, ambilkan format rekomendasi dana talangan tiga nak, sekalian dengan amplopnya!’ (D)P3: Langsung mengambil formulir dan amplop, tanpa berkomentar apapun. Aroa Mail ‘itu Mail’ pada data 23(A) sebagai bentuk kalimat penunjuk orang yang sudah kelihatan mata. Kata aroa untuk menunjuk sesuatu yang jauh. Adapun Mail merupakan nama penunjuk panggilan orang, yang dalam BM bisa menggunakan suku kata paling belakang, seperti Ibrahim – him, Dafir – Fir, Mashuri – Ri, dsb. Untuk memanggil langsung orang kedua biasanya digunakan reduplikasi seperti data 20(C) Il-mail, dan contoh yang lain Dun-Madun, Ki-Rifki, Man-Firman dsb. Panggilan cong ‘nak’ dalam BM sebagai bentuk sapaan rasa dekat dan sayang orang tua kepada anak atau siapa saja yang sudah dianggap sebagai anak. Begitu pula kiai kepada santri yang berperan sebagai pengasuh di pesantren, sudah menganggap santri sebagai anak sendiri. Dalam percakapan tersebut P2 dan P3 tidak berkata-kata sepatahpun, namun langsung dengan tindakan (bilhal) melaksanakan apa yang menjadi perintah kiai. Analisis Komponen Tutur: Situasi ‘tempat dan suasana tutur’: Konteks tuturan berlangsung di dua tempat yang berbeda. Kiai berada di Ruang terima tamu (èmperan dhalem kiai), sementara itu, santri berada di halaman depan dhâlem. Peserta tutur: P1: Kiai pengasuh pesantren. P2 dan P3 : UNUEM yang berlatar belakang santri dengan umur lebih muda P4: UNUEM yang terdiri dari wali santri dan para tamu umum Tujuan tutur: Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut adalah meminta santri untuk megambilkan rekomendasi. Bentuk pesan: Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan serius yang berbentuk perintah. 78
Urutan tindak: P1 menyuruh P2 untuk memanggil P3 P2 menyampaikan ke P3 bahwa di panggil P1 P3 menghadap P1 P1 memerintah P3 mengambil rekomendasi P3 mengambilkan rekomendasi dan menyerahkan kepada P1 Jenis tuturan: Termasuk kategori bahasa lisan tidak formal, tapi serius. Dalam tuturan ini, Msd dan Ismail tidak berkata apa-apa, kecuali melaksanakan apa yang diperintahkan kiai. Norma interaksi dan interpretasi: Dalam tuturan tersebut P1 tidak ber-bhâsa yakni menggunakan BM level E-I. Hal tersebut terlihat dari kosakode yang digunakan P1 Aroah ‘itu’, olok ‘panggil’ soro ‘suruh’ dâ’ na’ ‘ke sini’ pada data 21(A), dan ngala’aghi ‘ambilkan’ bi’ ‘dengan’ 21(C), yang merupakan kosakata BM level E-I. Pemilihan tingkat tutur E-I (ngoko) tersebut disebabkan P2 dan P3 merupakan umat yang umurnya setara dengan putra-putri kiai. Sementara P2 dan P3 langsung melaksanakan perintah dengan bilhal (dengan perbuatan) yakni langsung melaksanakan perintah P1. Melaksanakan perintah dengan perbuatan sebagai jawaban terhadap perintah lawan tutur, sebagai bentuk kepatuhan dan rasa ta‘dzim santri kepada guru yang lebih afdal dalam pandangan NUEM daripada hanya sekedar menjawab tapi tidak langsung dilaksanakan. Hal tersebut juga sebagai cerminan kultur paternalistik. Pada tuturan tersebut P2 dan P3 dalam posisi berdiri di halaman dhâlem kiai dengan menundukkan kepala dan menyilangkan tangannya di depan bawa pusar. Body language ini, juga sebagai bentuk rasa ta‘dzim santri kepada gurunya. Berdasarkan paparan analisis data (22) dan (23) tersebut, dapat disarikan bahwa pola komunikasi KP-UNUEM yang berlatar belakang guru-santri dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 6.1: Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Berpredikat GuruSantri Peserta Tutur Kiai Pengasuh
Kode Tutur yang Digunakan Tingkat Pilihan Tone Body Tutur Bahasa (Nada Language Suara) Eg-E Nada Pandangan BM E-I suara kiai kepada
Alih Giliran Tutur Dimulai dari kiai, 79
Pesantren
UNUEM mantan santri
lebih tinggi
È-B dan BAl
BM
Nada tutur UNUEM lebih rendah
Partisipan tutur Menundukkan kepala dan pandangan ke bawah. dalam posisi berdiri menyilangkan tangannya di bawah perut.
baru kemudian UNUEM, kecuali mohon ijin dengan cabis pamator
Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Bertatus Sosial Tinggi Status sosial umat sebagai lawan tutur dapat mempengaruhi pola komunikasi KP-UNUEM. Sebagaimana dikkemukakan Poedjosoedarmo sebelumnya, bahwa status sosial O2 amat penting harus diingat ketika akan menentukan tingkat tutur yang akan dipakai. Hal ini juga berlaku dalam masyarakat tutur NUEM bahwa pola komunikasi juga ditentukan oleh status sosial penutur dan lawan tutur, seperti terlihat pada data percakapan berikut: Data 24: Percakapan KP-UNUEM terpelajar (A) P1: Anyo’ona↓ rekomendasi→, ka’dinto↓ ‘Mohon rekomendasi’ (B) P2: Rekomendasi ponapa?↑ ‘Rekomendasi untuk apa?’ (C) P1: Kaanguy pesen korsè→, ka’dinto.↓ ‘Untuk pesan porsi haji’ (D) P2: Pesan kedudukan.→ ‘Pesan kedudukan.’ (E) P1: Berarti è kadinto↓ benya’ rekomnedasi.→ ‘Berarti banyak rekomendasi yang bisa diminta disini’ (F) P2: Kemarin Pak Bupati merekomendasi dua puluh tujuh calon jamaah Haji→, minta diberangkatkan cepat→, semua ditolak.→ ‘Kemarin Bapak Bupati meminta rekomendasi untuk dua puluh tujuh calon jamaah Haji, agar diberangkatkan cepat, semua saya tolak.’ (G)P1: Bagaimana kalau yang memberi rekomendasi K. Abd. Ghani?→ ‘Bagaimana kalau yang memberi rekomendasi KH Abd. Gahni?’ (G) P2: Langsung..→ ‘Langsung diterima’ 80
Anyo’ona ‘mohon’ pada tuturan 24(A) digunakan untuk meminta sesuatu kepada orang yang dihormati. Adapun ka’dinto ‘ini, di sini’ sebagai penanda fatis yang dipakai untuk menunjukkan rasa hormat kepada lawan tutur. Rekomendasi ponapa? ‘Rekomendasi apa?’24(B) sebagai pertanyaan kepada lawan tutur tentang rekemendasi yang dimaksud karena ternayata terdapat berbagai rekomendasi yang bisa dikeluarkan oleh KP. Kaanguy pesen korsè, ka’dinto ‘Untuk pesan porsi haji’ yang berarti untuk memesan porsi tahun keberangkatan haji. Pesan korsè yang diidentikkan dengan ‘Pesan kedudukan’ 24(D), juga sebagai bentuk kelakar KP yang dalam BM pesen ketoju’ân ‘pesan kursi/porsi’. Adapun kedudukan identik dengan pangkat dan jabatan. Sebagai bentuk kelakar umat bertanya pada tuturan 24(E) Berarti è kadinto benya’ rekomnedasi. ‘Berarti di sini banyak rekomendasi.’ Jawaban kiai pada tuturan 24(F) ‘Kemarin bapak Bupati meminta rekomendasi untuk dua puluh tujuh calon jamaah haji, agar diberangkatkan cepat, semua saya tolak.’ Sebagai bentuk informasi bahwa rekomendasi yang bisa didapatkan dari P2 sebagai ketua KBIH Al-Ghazali adalah rekomendasi yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah haji maupun umroh, termasuk mempercepat pemberangkatan. Begitu pula umat bisa bergurau dengan pertanyaan ‘Bagaimana kalau yang memberi rekomendasi KH Abd. Gahni?’. Pada hal K. Abd. Ghani hanya sebagai kiai langghârân yang tidak memiliki power apa-apa dibandingkan dengan bupati. Jawaban kiai ‘langsung diterima’ sambil tertawa kecil pada tuturan 24(G), sebagai bentuk kelakar juga, yang sebanarnya mengandung arti siapapun yang memberi rekomendasi tentang keberangkatan, kiai lebih memperhatikan faktor kebutuhan dan keadilan. Analisis Komponen Tutur: Situasi ‘tempat dan suasana tutur’: Konteks tuturan berlangsung di ruang terima tamu (èmperan dhalem kiai) dengan tempat duduk bersila di karpet (lesehan). Peserta tutur: P1: KP. P2 : UNUEM terpelajar (berpendidikan tinggi) P3: UNUEM yang terdiri dari wali santri dan para tamu umum P4: Mantan santri (kabulâ) berada di luar pintu Tujuan tutur: Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut adalah memohon rekomendasi untuk memesan porsi haji.
81
Bentuk pesan: Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan santai penuh kelakar antarpartisipan tutur. Urutan tindak: P1 mempersilahkan para tamu meminum air kemasan yang disediakan P2 memohon rekomendasi kepada P1 P1 bertanya kepada P2, dan memberikan rekomendasi kepada P2 P3 dan P4 mendengarkan percakapan P1 dan P2 Jenis tuturan: Termasuk kategori bahasa lisan tidak formal sehingga terjadi kelakar antara P1 dan P2. Norma interaksi dan interpretasi: Dalam percakapan pada data 24, P1 mengunakan BM level È-B sering beralih kode ke BI. Hal tersebut dilihat dari kosakode yang digunakan pada tuturan 24(B) yakni ponapa ‘apa’ yang merupakan kosakata BM dalam tingkat tutur È-B. Adapaun penggunaan BI dapat dilihat pada 24 (G), dan (I). Pada tuturan tersebut P1 juga sering berkelakar dengan menggunakan BM yang diinterferensikan ke dalam bahasa Indonesia seperti terlihat pada tuturan 24 (D). Alih kode ke BI dan kelakar tersebut sebagai upaya P1 untuk menghindari percakapan yang terlalu formal. Ini berarti pula bahwa dengan umat yang terpelajar, dan berstatus sosial tinggi, P2 berusaha menghilangkan sekad yang terlalu jauh dalam berkomunkasi. P2 dalam percakapan tersebut juga menggunakan BM level È-B dan berbahasa Indonesia. Hal tersebut terlihat dari kosakata yang digunakan anyo’ona ‘mohon’ ka’dinto ‘ini’ 24(A) dan èka’dinto 24(E) yang merupakan BM level È-B. Adapun penggunaan BI bisa dilihat pada tuturan 24(A) dan (F). Hal ini menunjukkan adanya kesetaraan antara UNUEM yang berlatar belakang pendidikan tinggi dan terpelajar dengan kiai dalam berkomunikasi. Kesetaraan hubungan tersebut juga terindikasi dari tidak adanya penggunaan cabis pamator ‘mohon ijin berbicara’ yang biasanya digunakan UNUEM untuk memulai pembicaraan. Bahasa tubuh yang ditunjukkan dalam berkomunikasi juga menunjukkan kesetaraan, yakni kedua belah pihak saling menatap dalam situasi komunikasi. Dengan pejabat kiai menggunakan pola komunikasi seperti pada data berikut ini. Data 25: Percakapan KP-Umat yang berlatar belakang pejabat (A) P1: Saè pak Hasan? → 82
‘Bagaimana kabar pak Hasan?’ (B) P2: Alhamdulillah pak kiai.→ ‘Alhamdulillah kabar baik, pak kiai’ (C)P1: Saya tidak bisa membantu apa-apa→, hanya bisa mendo’akan→, semoga diberi kekuatan dalam mengemban amanah.→ ‘Saya tidak bisa membantu apa-apa, hanya bisa mendo’akan, semoga diberi kekuatan dalam mengemban amanah’ (D) P2: Alhamdulillah terima ksih→, itu sudah cukup kiai.→ ‘Alhadulillah terima kasih, itu sudah cukup kiai.’ Kata saè ‘baik’ yang diungkapkan dengan nada tutur tanya dalam tuturan 25(A) di atas, berfungsi untuk menanyakan baik atau tidaknya kabar seseorang. Dalam tuturan tersebut disamping menanyakan kabar, juga sebagai pembuka percakapan. Sementara kata alhamdulillah ‘segala puji bagi Allah’ yang merupakan jawaban P2 dalam tuturan 25(B) sebagai bentuk pernyataan rasa syukur kepada Allah yang sekaligus sebagai jawaban kepada lawan tutur, bahwa keadaannya baik-baik atas karunia Allah semata. Tuturan 25(C) sebagai refleksi dukungan kiai atas kepemimpinan P2 yang sekaligus memberi spirit dengan do’a, agar selalu diberi kekuatan dalam mengemban tugas-tugas sebagai pejabat. Oleh karena itu, P2 menyatakan ungkapan terima kasihnya, atas spirit dan dukungan dari kiai yang diekpresikan pada tuturan 25(C). Analisis Komponen Tutur: Situasi ‘tempat dan suasana tutur’: Konteks tuturan berlangsung di Masjid dalam acara ramah tamah, setelah pelaksanaan acara akad nikah. Peserta tutur: P1: KP P2:Pejabat dari kalangan umat. P3: Para kiai, ulama, dan para pejabat Tujuan tutur: Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut adalah menyampaikan dukungan dan spirit atas terpilihnya pak Hsn sebagai rektor yang merupakan putra NU. Bentuk pesan: Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan santai penuh keakraban antarpartisipan tutur karena masing-masing partisipan tutur dengan kedudukan dan perannya memiliki status sosial yang hampir sama. Namun demikian, situasi saling 83
memuliakan antarpartisipan tutur tampak dalam acara ramah tamah tersebut. Urutan tindak: P1 mendekati tempat duduk P2 yang sudah lebih dulu duduk bersama partisipan yang lain. P2 menebarkan senyum kepada P1 yang baru duduk di hadapan P2 P1 memulai percakapan P3 mendegarkan pembicaraan Jenis tuturan: Termasuk kategori bahasa lisan tidak formal dan terjadi dalam suasana santai penuh keakraban. Norma interaksi dan interpretasi: Dalam percakapan pada data 25, P1 mengunakan BM level È-B dan beralih kode ke BI. Hal tersebut dilihat dari kosakode yang digunakan pada tuturan 25(A) yakni saè ‘baik’ yang merupakan kosakata BM dalam tingkat tutur È-B. Penggunaan BI sebagai alih kode karena lawan tutur menyebut kiai dengan sebutan yai pada 25(B). Kata yai biasa digunakan oleh etnik Jawa. Di samping itu, partisipan tutur yang lain juga kelihatan terpelajar dan melibatkan etnik lain―bahkan keluarga manten laki-laki berasal dari luar Jawa. P2 sebagai pejabat menggunakan BI dalam percakapan tersebut. Hal ini juga menunjukkan adanya kesetaraan status sosial antara kiai dengan umat yang berlatar belakang pendidikan tinggi yang sekaligus pejabat dalam berkomunikasi. Kesetaraan hubungan tersebut juga terindikasi dari tidak adanya penggunaan cabis pamator ‘mohon ijin berbicara’ yang biasanya digunakan umat untuk memulai pembicaraan. Bahasa tubuh yang ditunjukkan dalam berkomunikasi juga menunjukkan kesetaraan, yakni kedua belah pihak saling menatap dalam situasi komunikasi. Namun demikian, iktikad saling ikram (hormat) tampak atarpartisipan tutur. Berdasarkan penjelasan dan analisis data tersebut, dapat disarikan bahwa pola komunikasi kiai pesantren dengan umat yang bersatus sosial tinggi adalah pada tabel berikut:
84
Tabel 6.2: Pola Komunikasi KP-UNUEM yang berstatus Tinggi Peserta Tutur
KP UNUEM terpelajar (A) Umat NU terpelajar & pejabat (B)
Tingkat Tutur Kepada (A) dan (B) È-B
Kode Tutur yang Digunakan Pilihan Tone Body Bahasa (Nada Language Suara)
Sosial Alih Giliran Tutur
BM BI
È- B
BM, BI, dan BMlj
È-B
BM dan BI
Tergantung keperluan dan tujuan tutur
Pandangan kepada mitra tutur
Bebas
Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Dipengaruhi Keeratan Hubungan Pola komunikasi KP-UNUEM yang tidak memiliki ikatan gurusantri, bisa ditentukan oleh tingkat keeratan hubungan. Yang dimaksud tingkat keratan hubungan dalam pembahasan ini adalah kenal atau tidaknya kiai dan umat, seperti tercermin dalam data berikut: Data 26: Percakapan KP-UNUEM yang belum kenal (A) P2 : Assalaamu‛alaikum→ (B) P1 :Wa‛alaikum salaam →warahmatullaahi wabarakaatuh,→ dâri ka’dimma?→ ‘Wa‛alaikum salaam warahmatullaahi wabarakaatuh, dari mana?’ (C) P2: Dâri Mayang↓, ka’dinto.↓ ‘Dari Mayang.’ (D) P1: Kadhinapa↓, saè?→ ‘Bagaimana, keadaan baik-baik?’ (E) P2: Alhamdulillah↓, Cabis pamator, ka’dinto.→ ‘Alhamdulillah, mohon ijin berbicara’ (F) P1: Ponapa?↑ ‘Apa’ (G)P2 : Bhâdi mabâdâ’â↓ pengajiân isra’ mi‛raj↓, ka’dinto.→ ‘Rencana akan mengadakan pengajian isra’ mi‛raj’ 85
(H) P1 : Bilâèpon?↑ ‘Kapan?’ (I) P2 : Manabi pangaterro→ tangghâl pètolèkor rejeb.↓ ‘Keinginan masyarakat tanggal dua puluh tujuh rajab.’ (J) P1: Tagghâl ka’dinto→, ampon bâdâ. → ‘Pada tanggal ini, sudah ada yang mengundang’ (K) P2: Ngèrèng ajunan saos↓, ka’dinto.↓ ‘Pasrah ke kiai saja’ (L) P1: Tangghâl sangalèkorra→, ghè?↑ ‘Bagaimana, kalau tanggal dua puluh sembilan saja ya? (M) 2 : Èngghi↓, saè→ ‘Baik, kiai’ Assalaamu‛alaikum pada tuturan tersebut, digunakan sebagai salam pembuka pertemuan antarpartisipan tutur, yang kemudian dijawab dengan lengkap oleh semua partisipan tutur dengan ucapan Wa‛alaikum salaam warahmatullaahi wabarakaatuh,. Frasa dâri ka’dimma? ‘Dari mana?’ sebagai pembuka percakapan untuk mengidentifikasi―apakah lawan tutur sudah dikenal dengan baik. Sebab, biasanya kiai sulit mengenal satu persatu umat NU yang begitu banyak. Jawaban Dâri Mayang ‘Dari Mayang’ merupakan penegasan bahwa memang umat tersebut belum dikenal erat dengan kiai. Sebagai bentuk perhatian kepada tamu, kiai menanyakan dengan kalimat Kadhinapa, saè? ‘Bagaimana keadaan, baik-baik’. Pertanyaan tersebut tidak hanya menyangkut lawan tutur, tetapi juga menanyakan perihal situasi dan kondisi umat yang berada di daerah Mayang. Untuk menyampaikan tujuan tutur UNUEM menggunakan frasa Cabis pamator, ka’dinto ‘Mohon ijin berbicara’ yang kamudian kiai menjawab dengan ponapa ‘apa’. Kata ponapa? yang merupakan kalimat tanya berfungsi sebagai persetujuan/mempersilahkan lawan tutur untuk menyampaikan maksud dan tujuannya. Bhâdi mabâdâ’â pengajiân isra’ mi‛raj, ka’dinto. ‘Rencana akan mengadakan pengajian isra’ mi‛raj’. Tuturan ini berbentuk kalimat informatif yang berfungsi sebagai bentuk undangan kepada kiai untuk memberi ceramah pada acara pengajian tersebut. Kiai kemudian bertanya Bilâèpon? ‘Kapan?’ Kalimat yang menanyakan hari dan tanggal pelakasaan tersebut sebagai bentuk respon kiai terhadap tujuan tutur yang disampaikan UNUEM. Manabi pangaterro tangghâl pètolèkor rejeb. ‘Keinginan masyarakat tanggal dua puluh tujuh rajab.’ sebagai bentuk harapan umat dan opsi yang diberikan kepada kiai, yang intinya menyerahkan sepenuhnya pelaksanaan agar kiai 86
bisa hadir. Tuturan tersebut dipertegas dengan Ngèrèng ajunan saos, ka’dinto. ‘Pasrah ke kiai saja hari dan tanggal pelaksanaannya’. Akhirnya kiai menentukan tanggal 29 Rajab yang dianggap kosong dan UNUEM menyatakan persetujuannya dengan tuturan Èngghi, saè ‘Baik, kiai’. Analisis Komponen Tutur: Situasi ‘tempat dan suasana tutur’: Konteks tuturan berlangsung di ruang tamu di dhâlem kiai. Peserta tutur: P1: KP P2: UNUEM P3: Wali santri (dari kalangan UNUEM) P4: Santri Tujuan tutur: Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut adalah mengundang kiai untuk berceramah pada acara isra’ mi‛raj. Bentuk pesan: Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan santai, tetapi serius karena membicarakan topik yang penting. Urutan tindak: P4 mempersilakan para tamu masuk ruang tamu yang disedikan P2 dan P3 masuk ruangan P4 menyuguhkan mamiri P1 datang di ruang tamu P2 sebagai perwakilan para tamu memberi salam P1 dan semua partisipan tutur menjawab salam P1 memulai percakapan Jenis tuturan: Termasuk kategori bahasa lisan formal dan serius. UNUEM berusaha menggunakan nada tutur tone lebih rendah dari nada tutur kiai. Norma interaksi dan interpretasi: Setiap pertemuan warga NU selalu diawali dengan ucapan salam dengan BA, seperti data 26 (A) dan (B) sebagai penciri khas salam yang biasa disampaikan umat Islam pada umumnya. Dalam tuturan tersebut P1 menggunakan BM level È-B dan sering beralih kode ke BM level Eg-E. Hal tersebut terlihat dari kosakode yang digunakan P1 kadhiponapa, ka’dinto, bilâèpon pada data 26(D), (F), dan (H), yang merupakan kosakode BM level È-B. Adapun kosakode ghè pada data 26(L) adalah kosakata BM level Eg-E. Penggunaan alih kode tersebut disebabkan P2 belum dikenal secara baik oleh P1. Sementara P2 menggunakan BAl dan BM 87
level È-B. Posisi tempat duduk P1 menghadap kepada semua partisipan tutur dengan pandangan tertuju kepada lawan tutur, sementara P2 dan P3 menundukkan kepala. UNUEM pada umumnya berusaha merendahkan suaranya di bawah suara kiai. Alih giliran tutur, pada umumnya juga dimulai dari kiai, kecuali uacapan salam yang bisa didahului oleh siapa saja. Memberi salam lebih dahulu menurut pandangan syariat Islam mendapat pahala lebih besar dibanding yang menjawab salam―dalam tradisi NU, umat boleh memberi salam lebih dahulu kepada kiai, dan bahkan hal tersebut sebagai bentuk penghormatan kepada orang lain. Pola komunikasi dengan umat yang sudah dikenal, dapat dicermati pada data berikut: Data 27: Percakapan Kiai Pesantren-UNUEM yang sudah dikenal (A) P1: Sabelâs taon samangkèn→, manabi orèng seppo↓, ponapa badâ prioritas?→ ‘Sekarang daftar tunggu sudah sebelas tahun, kalau orang tua apakah ada prioritas?’ (B)P2: Prioritas bâdâ↓, Jawa Timur tiga puluh tiga ribu→, pada saat tiga pulu tiga ribu ada yang mengundurkan diri→, baru èmondutaghi sè seppo→, tapè sanaossa sè seppo↑, sè urut jhughân nomerra→, palèng seluruh Indonesia saèbu,→ mon, ka’dinto. → ‘Prioritas memang ada, seperti Jawa Timur yang koutanya tiga puluh tiga ribu, pada saat tiga pulu tiga ribu itu ada yang mengundurkan diri, maka baru diambilkan umur yang tua, tapi walaupun umurnya tua, tentu dipilih juga yang nomornya urut, paling seluruh Indonesia seribu, kalau ada’ (C) P1: Kadhiponapa↓ sè saè→, ponapa èpaumroh?→ ‘Bagamina jalan keluarnya, apa diumrohkan saja?’ (D)P2:
Kan adaftar ka’dinto, ampon aniyat→, memang katento’na saka’dinto.→ ‘Bukankah mendaftar itu sudah termasuk berniat karena ketentuannya memang sudah seperti itu’ Sabelâs taon samangkèn ‘Sekarang daftar tunggu sudah sebelas tahun’ 27(A) dalam konteks tuturan tersebut adalah porsi haji daftar tunggunya sejak mendaftar sudah mencapai sebelas tahun. Sebaliknya 88
orèng seppo ‘orang tua’ orang yang telah berumur enam puluh tahun labih, ketika mendaftar. Kata prioritas ‘diutamakan’ merujuk kepada orang yang usianya lebih dari 60 tahun. Kadhiponapa sè saè, ponapa èpaumroh? ‘Bagamina jalan keluarnya, apa diumrohkan saja?’ pada tuturan 27(C) sebagai bentuk permohonan pertimbangan kepada kiai tentang kondisi ibu dari umat yang sudah berumur lebih 60 tahun. Jawaban P2 Kan adaftar ka’dinto, kan ampon aniyat, memang katento’na saka’dinto ‘Bukankah mendaftar itu sudah termasuk berniat karena ketentuannya memang sudah seperti itu’ 27(D) sebagai bentuk jawaban persuasif bahwa orang yang sudah mendaftar haji tidak perlu bingung yang penting sudah berupaya mendaftar, maka kewajiban dengan sendirinya telah gugur karena memang ketentuannya tidak mungkin berangkat dalam waktu dekat. Jadi semua dipasrahkan saja kepada Allah Swt. Analisis Komponen Tutur: Situasi ‘tempat dan suasana tutur’: Konteks tuturan berlangsung di ruang tamu di dhâlem kiai. Peserta tutur: P1: KP P2: UNUEM yang sudah kenal akrab P3: Wali santri (UNUEM) P4: Santri Tujuan tutur: Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut adalah memperjelas tentang daftar tunggu pemberangkatan haji. Bentuk pesan: Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan santai, tapi serius karena topik yang menjadi pembicaraan menyangkut hal yang penting yakni berkaitan dengan masalah haji. Urutan tindak: P2 menanyakan kepada P4 ada tidaknya kiai P4 mempersilahkan P2 masuk ruang tamu yang disedikan P2 memulai percakapan P1 menjawab setiap pertanyaan P2 P3 menyimak percakapan Jenis tuturan: Termasuk kategori bahasa lisan santai, tapi serius. Nada tutur sesuai dengan tujuan tutur. Norma interaksi dan interpretasi: Dalam percakapan tersebut, P1 menggunakan BM level È-B dan sering beralih kode dan bercampur kode ke BI dan bahkan bahasa 89
ragam populer. Penggunaan tingkat tutur itu terlihat dari kosakode yang digunakan P1 èmondutaghi, seppo, sanaossa, jhughân pada data 27 (B) dan ka’dinto, ampon, saka’dinto 27(D), yang merupakan kosakata BM level È-B. Sementara prioritas, Jawa Timur tiga puluh tiga ribu, pada saat tiga pulu tiga ribu ada yang mengundurkan diri, baru pada data 27(B) adalah kalimat yang terdiri dari kosakata BI. Penggunaan alih kode ke BI tersebut disebabkan P2 sudah dikenal secara baik oleh P1 sebagai orang yang berpendidikan tinggi dan di kalangan para intelektual kosakata pada kalimat 27(B) lebih mudah diucapkan dan diterima oleh mitra tutur. P2 menggunakan BM level È-B dan BI. Hal tersebut dapat dilihat dalam penggunaan kosakata pada data 27(A) dan (C) samangkèn, manabi, seppo, ponapa, kadhiponapa, saè, yang merupakan kosakode dalam BM level È-B dan prioritas adalah kosakode BI ragam ilmiah populer. Penggunaan kosakode BI ragam ilmiah popular oleh P2 karena diketahu bahwa lawan tutur adalah kiai yang berpendidikan tinggi. Semua peserta tutur duduk lesehan di karpet yang dalam hal ini juga menjadi tradisi di sebagaian besar dhâlem kiai NU. Posisi tempat duduk P1 menghadap kepada semua partisipan tutur dengan pandangan tertuju kepada lawan tutur, sebaliknya P3 dan P4 menundukkan kepala―P2 bertutur dengan arah pandangan tertuju kepada P1, tetapi sesekali menundukkan kepala. Umat pada umumnya berusaha merendahkan suaranya di bawah suara kiai. Alih giliran tutur pada percakapan ini dimulai dari umat karena adanya keeratan hubungan antara penutur dan lawan tutur. Berdasarkan penjelasan dan analisis data tersebut dapat disarikan pada tabel berikut bahwa pola komunikasi KP-UNUEM yang dipengaruhi oleh tingkat keertan hubungan adalah sebagai berikut: Tabel 6.3: Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Dipengaruhi Tingkat Keeratan hubungan Peserta Tutur
KP
90
Kode Tutur yang Digunakan Tingkat Pilihan Tone Body Tutur Bahasa (Nada Language Suara) Lebih Pandangan È- B BM tinggi dari kepada E-E BI nada tutur partisipan umat tutur
Alih Giliran Tutur Dominan pada giliran pertama
UNUEM yang BAl & belum È- B kenal
BM
UNUEM yang È- B & sudah E-E kenal akrab
BM BI
Menundukkan kepala dan, Lebih pandangan ke rendah dari bawah nada tutur sesekali kiai memandang lawan tutur Menundukkan Tergantung kepala, arah tujuan tutur pandangan dan situasi kepada lawan tuturan tutur.
Setelah kiai atau mohon ijin bicara
Tergantung tujuan tutur.
Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Dipengaruhi Umur Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa banyak sedikitnya umur partisipan tutur (penutur dan mitra tutur) dapat mempengaruhi pilihan kode tutur yang digunakan dalam peristiwa komunikasi. Orang pertama (O1) yang lebih muda tentu akan menaruh rasa hormat kepada orang kedua (O2) yang lebih tua. Rasa hormat tersebut paling mudah dilihat dari perilaku berbahasa seseorang atau pola komunikasinya―tidak terkecuali pola komunikasi KP-UNUEM. Dengan umat yang umurnya lebih tua, KP menggunakan pola komunikasi seperti data berikut: Data 28: Percakapan KP-UNUEM yang umurnya lebih tua (A) P1: Panjenengan→, pak Maryadi?↑ ‘Pak Maryadi ya?’ (B) P2: Èngghi↓, ka’dinto.↓ ‘Ya, saya’ (C) P1: Kadhiponapa→, saè sadhâjâ?↑ ‘Bagaimana kabar, baik-baik semua?’ (D) P2: Alhamdulillah↓, Cabis pamator→, ka’dinto.↓ ‘Alhamdulillah, mohon ijin bicara’ (E) P1: Ponapa pak Maryadi?↑ ‘Ada apa Pak Maryadi?’
91
(F) P2: Anyo’ona↓ barokah dhu’a↓, bhâdi amulaè Mushalla.→ ‘Mohon bantuan do’anya, rencana akan memulai pembangunan mushalla’ (G) P1: Rajâ↑ rencanana?→ ‘Rencananya besar bangunannya?’ (H) P2: Sia, bhunten↓, namung okoran lèma kalè enem↓ ‘yach, tidak, hanya berukuran lima kali enam.’ (I) P1: Engghi→ mandhâr èpalancara→, torè aminè!→ ‘Ya, semoga diberi kelancaran, Mari berdo’a bersama-sama’ Kalimat Panjenengan, pak Maryadi? ‘Pak maryadi ya?’ pada data 28(A) digunakan untuk menyapa orang yang sudah dikenal dan umur lebih tua. Sebenarnya dengan menggunakan panjenengan? Sebagai kata sapaan sudah bermakna, akan tetapi belum menunjukkan bahwa lawan tutur itu sudah dikenal baik. Begitu pula frasa pak Maryadi, bisa berdiri sendiri sebagai kata sapaan, tapi dalam BM belum sempurna tanpa kata panjenengan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang yang lebih tua. Semrntara Èngghi, ka’dinto ‘ya, saya’ tidak hanya sebagai jawaban terhadap pertanyaan kiai pada tuturan 28(A), tapi juga berfungsi sebagai sinyal bahwa pak Maryadi sudah siap menjadi mitra tutur. Oleh karena itu, kiai langsung menanyakan Kadhiponapa, saè sadhâjâ? ‘Bagaimana kabar, baik-baik semua?’―sebagai bentuk perhatian terhadap orang yang sudah dikenal akrab, namun pertanyaan tersebut sangat jarang dipertanyakan UNUEM kepada kiai sebagai bentuk perhatian. Tuturan Cabis pamator, ka’dinto? ‘mohon ijin bicara’28(D), selain digunakan untuk mengalihkan pembicaraan ke pokok tujuan tutur, juga digunakan sebagai bentuk rasa hormat kepada kiai untuk menyatakan sesuatu. Pada tuturan 22(E) pertanyaan kiai Ponapa pak Maryadi? ‘Apa pak Maryadi’ berfungsi sebagai pemberian ijin pak Maryadi berbicara untuk menyatakan pokok tuturan yang akan disampaikan. Oleh karena itu, Pak Maryadi langsung mengemukakan pokok tuturannya Anyo’ona barokah dhu’a, bhâdi amulaè Mushalla. ‘Mohon bantua do’anya, rencana akan memulai membangun mushalla’. Tuturan 28(F) tersebut sebagai bentuk pemberitahuan dan sekaligus mohon do’a restu kepada kiai untuk memulai pembangunan mushalla. Sebagai jawaban dan implementasi terhadap tujuan tutur tersebut, kiai langsung menyatakan dukungannya dan mendo’akan dengan pernyataan Engghi mandhâr èpalancarra, torè aminè! 92
‘Ya, Semoga diberi kelancaran, mari berdo’a bersama-sama’. torè aminè pada tuturan 28(I) tersebut sebagai bentuk ajakan kiai untuk mengamini do’anya. Analisis Komponen Tutur: Situasi ‘tempat dan suasana tutur’: Konteks tuturan berlangsung di ruang tamu dhâlem kiai. Peserta tutur: P1: KP P2: UNUEM umur lebih sepuh dan kenal akrab P3: Santri laki-laki Tujuan tutur: Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut adalah memohon ijin dan do’a restu untuk memulai pembangunan mushalla. Bentuk pesan: Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan santai, tetapi serius karena membicarakan topik yang penting. Urutan tindak: P3 mempersilahkan para tamu masuk ke ruang tamu P2 masuk ruang tamu P3 menyuguhkan mamiri P1 datang di ruang tamu P2 memberi salam P1 dan semua partisipan tutur menjawab salam P1 memulai percakapan Jenis tuturan: Termasuk kategori bahasa lisan formal dan serius. Dalam tuturan ini, Pak Maryadi sebagai umat berusaha menggunakan nada tutur (tone) lebih rendah dari nada tutur kiai. Norma interaksi dan interpretasi: Setiap pertemuan antarwarga nachdiyyin selalu diawali dengan ucapan salam. Dalam tuturan tersebut P1 menggunakan BM level È-B dengan beralih kode ke level E-E. Penggunaan ondhâghan bhâsa tersebut terlihat dari kosakode yang digunakan P1 Panjenengan 28 (A), kadhiponapa, saè, sadhâjâ, 28(C), ponapa 28(E) yang merupakan kosakata BM level È-B. Adapun engghi, torè 28(I) kosakode BM level E-E. Pemilihan tingkat tutur tersebut disebabkan P2 berumur lebih tua, walaupun sudah dikenal baik oleh P1 karena mantan santri orang tua P1. Sementara P2 menggunakan BAl dan BM level È-B. Penggunaan BAl dapat dilihat dari frasa Cabis pamator yang biasa digunakan sebagai kosakode BAl. Adapun kosakata ka’dinto, anyo’ona merupakan 93
kosakode BM level È-B. Posisi tempat duduk P1 berhadapan dengan P2 sebagai lawan tutur. P2 seringkali menundukkan kepala, sesekali saja mangangkat pandangannya, selalu berusaha merendahkan suaranya di bawah suara KP. Alih giliran tutur pada umumnya dimulai dari kiai, kecuali jika umat minta ijin dengan frasa cabis pamator ‘mohon ijin bicara’. Pemakaian kode, alih kode, dan alih giliran tutur tersebut sebagai bentuk politness mantan santri kepada gurunya. Untuk memulai dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan agama dan akan melibatkan warga nachdiyyin, seperti pembangunan masjid, mushalla― UNUEM biasa mohon ijin dan do’a restu kepada kiai yang dianggap sebagai guru dan tokoh agama di masyarakat, agar diberi kelancaran dan mendapat dukungan dari masyarkat. Restu dan do’a kiai merupakan modal spirit bagi umat NU. Pola Komunikasi KP-UNUEM yang umurnya sederajat dapat dilihat pada data berikut ini. Data 29: Percakapan KP-UNUEM yang berumur sederajat (A) P1: Cabis pamator→, ka’dinto.↓ ‘Mohon ijin berbicara’ (B) P2: Napa?↑ ‘silahkan’ (C) P1: Sya’i KKN ka’dinto↓, tako’ èkaposang→ ‘Sya’i sedang melaksanakan KKN, Khwatir dicari’ (D) P2: Engghi↑, èka’emma?→ ‘Ya, KKN dimana? (E) P1: Ka kalisat.↓ ‘Ke Kalisat.’ Kalimat Cabis pamator, ka’dinto ‘mohon ijin berbicara’ pada tuturan 29(A), sebagai pembuka pembicaraan untuk mengalihkan perbincangan dari topik dan partisipan tutur yang lain. Hal tersebut juga sebagai bentuk ungkapan rasa cangkolang kepada kiai. Jawaban P2 Napa? ‘apa?’ 29(B) merupakan kata tanya, yang fungsinya mempersilahkan lawan tutur untuk berbicara. Sya’i KKN ka’dinto ‘Sya’i sedang melaksanakan KKN’ 29(C) adalah kalimat informsi yang fungsinya memohon ijin untuk sementara tidak mengajar di sekolah yang diasuh kiai 94
karena sedang melaksanakan KKN. Frasa tersebut dipertegas dengan tako’ èkaposang ‘khawatir dicari’ yang bermakna ketidakhadiran Sya’i untuk sementara waktu agar diketahui oleh kiai. Sebagai bentuk perhatian, kiai menanyakan èkaemma ‘di mana’ yang bermaksud menanyakan tempat KKN itu dilaksanakan. Analisis Komponen Tutur: Situasi ‘tempat dan suasana tutur’: Konteks tuturan berlangsung di ruang tamu dhâlem kiai duduk lesehan di lantai. Peserta tutur: P1: KP P2: UNUEM berumur sederajat KP P3: Tamu UNUEM yang lain P4: santri laki-laki Tujuan tutur: Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut adalah memohonkan ijin anaknya yang sementara melaksanakan KKN agar mendapat ijin untuk tidak mengajar sementara. Bentuk pesan: Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan santai,tetapi serius. P2 (UNUEM) berusaha merendahkan suaranya. Urutan tindak: P4 mempersilahkan para tamu masuk ruang tamu P2 masuk ruangan tamu P2 mohon ijin berbicara untuk mengalihkan pembicaraan dari topik dan partisipan tutur yang lain P1 mempersilahkan P2 berbicara dan menanyakan hal-hal yang tidak diketahui P3 dan P4 mendengarkan, tanpa berkomentar apapun Jenis tuturan: Termasuk kategori bahasa tidak formal, tetapi serius. Dalam tuturan ini, Pak Sya’i sebagai umat berusaha menggunakan nada tutur (tone) lebih rendah dari nada tutur kiai. Norma interaksi dan interpretasi: Dalam tuturan 29(A) ini, frasa cabis pamator ‘mohon ijin berbicara’ digunakan umat untuk memohon ijin kepada kiai memulai tuturan, mengalihkan dari partsipan yang lain, dan mengalihkan dari topik yang sedang menjadi perbincangan ke topik yang baru. Permohonan ijin berbicara tersebut juga sebagai 95
upaya menghilangkan rasa cangkolang umat kepada kiai. Dalam tuturan tersebut, P1 menggunakan BM level E-E. Penggunaan ondhâghan bhâsa tersebut terlihat dari kosakode yang digunakan P1 napa? ‘apa?’ 29 (B), ekaemma ‘di mana’ 29 (C), yang merupakan kosakode BM level E-E. Pemilihan tingkat tutur tersebut disebabkan P2 berumur setara dengan P1. P2 menggunakan BM level È-B dan BAl. Penggunaan BAl dapat dilihat dari frasa Cabis pamator yang biasa digunakan sebagai kosakode BAl―penggunaan kosakata ka’dinto merupakan kosakode BM level È-B. Posisi tempat duduk P1 berhadapan dengan P2 dan P3 sebagai partisipan tutur. P2 dan P3 seringkali menundukkan kepala, sesekali saja mangangkat pandangannya sebagai bentuk perhatian ketika P1 berbicara. Nada suara P2 dan P3 selalu lebih rendah dari nada suara P1. Alih giliran tutur, pada umumnya dimulai dari kiai, kecuali jika umat minta ijin dengan frasa cabis pamator ‘mohon ijin bicara’. Pemakaian kode, alih kode, dan alih giliran tutur tersebut sebagai bentuk politness umat kepada kiai. Dalam permohonan ijin tersebut, tersirat maksud agar kiai memberi barokah do’a kepada anaknya yang sedang melaksanakan KKN. Dalam pandangan WNUEM do’a kiai yang dianggap lebih dekat dengan sang pencipta dapat menjadi wasilah untuk meraih kesuksesan. Oleh karena itu, semua hal yang berkaitan dengan kehidupan selalu memohon do’a restu dan barokah dari kiai. Berdasarkan uraian dan analisis data 28 dan 29 tersebut dapat disarikan bahwa pola komunikasi kiai dengan uma, yang dipengaruhi perbedaan umur pada tabel berikut. Tabel 6.4: Pola Komunikasi KP-UNUEM yang dipengaruhi Umur Peserta Tutur
KP
96
Tingkat Tutur Kepada (A) ÈB, E- E Kepada (B) E-E
Kode Tutur yang Digunakan Pilihan Tone Body Bahasa (Nada Language Suara) Lebih tinggi dari Pandangan BM nada kepada tutur partisipan UNUEM tutur (A) dan (B)
Alih Giliran Tutur
Dominan pada giliran pertama
UNUEM umur lebih tua (A)
UNUEM yang umurnya sederajat/lebih muda (B)
BAl & È- B
BAl & È- B
BM
Lebih rendah dari nada tutur KP
BM
Lebih rendah dari nada tutur KP
Menundukkan kepala dan, pandangan ke bawah sesekali memandang lawan tutur Menundukkan kepala dan, pandangan ke bawah sesekali memandang lawan tutur
Diawali dari kiai atau umat mohon ijin bicara Diawali dari kiai atau umat mohon ijin bicara
Ringkasan Pola Komunikasi KP-UNUEM dapat dikelompokkan menjadi: a) Pola komunikasi KP-UNUEM yang dingaruhi ikatan guru-santri; b) Pola komunikasi KP-UNUEM yang berstatus sosial tinggi; c) Pola komunikasi KP-UNUEM yang dipengaruhi keeratan hubungan; dan d) Pola komunikasi KP-UNUEM yang dipengaruhi perbedan umur. a) Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Memiliki Ikatan Guru-Santri Tingkat tutur yang digunakan KP kepada UNUEM mantan santrinya adalah BM level Eg-E atau E-I, sebaliknya UNUEM menggunakan BM level È-B dan BAl. BM konsisten digunakan untuk mempertahankan rasa hormat kepada guru. KP bersuara lebih tinggi dari tekanan suara UNUEM. Arah pandangan KP tertuju kepada UNUEM sebagai lawan tutur, sementara UNUEM menundukkan kepala dan pandangan ke bawah―dalam posisi berdiri UNUEM menyilangkan tangannya di depan bawah pusar. Body language tersebut juga sebagai refleksi rasa hormat santri kepada gurunya. Alih giliran tutur dimulai dari KP baru kemudian UNUEM. Kecuali UNUEM memohon ijin bicara dengan uacapan cabis pamator. b) Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Berstatus Sosial Tinggi Tingkat tutur yang digunakan KP-UNUEM terpelajar dan pejabat speech level BM level È-B. KP mengunakan BM dan BI sebagai pilihan bahasa untuk beralih kode dan bercampur kode, UNUEM terpeajar menggunakan BM, BI, dan BMlj―UNUEM pejabat menggunakan BM dan BI sebagai pilihan bahasa. Alih kode dan campur kode ke BI dan BMlj tersebut, untuk mengurangi tingkat formalitas hubungan dalam situasi komunikasi informal karena masing97
masing partisipan tutur menganggap lawan tuturnya memiliki status sosial yang tinggi. Kesamaan status sosial itu, juga terimplementasi pada penggunaan nada suara (tone) yang menunjukkan kesetaraan tekanan. Begitu pula body language yang ditunjukkan dengan pandangan sama-sama mengarah kepada lawan tutur. Alih giliran tutur juga bebas sesuai keperluan dan tujuan tutur. c) Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Dipengaruhi Keeratan Hubungan Kepada UNUEM yang sudah kenal maupun belum, KP menggunakan tingkat tutur BM È-B dan E-E, UNUEM yang belum kenal menggunakan tingkat tutur BM level È-B dan BAl. Sementara UNUEM yang sudah kenal akrab dengan KP menggunakan BM level È-B dan E-E. Pilihan bahasa yang digunakan KP dan UNUEM yang belum dikenal adalah BM. Sebaliknya KP dan UNUEM yang sudah kenal akrab menggunakan pilihan bahasa BM dan BI. Alih kode dan campur kode dari BM ke BI sebagai bentuk keakraban, yang sekaligus mengurangi tingkat formalitas antarpartisipan tutur. Nada tutur yang digunakan KP pada umumnya lebih tinggi dari tone UNUEM yang belum dikenal, sedangkan nada tutur KP dan UNUEM yang sudah dikenal akrab adalah sama. UNUEM yang belum kenal menundukkan kepala dan pandangan di hadapan kiai. Sementara yang sudah kenal akrab menundukkan kepala, tetapi pandangan kepada kiai―adapun kiai pandangan selalu ke arah lawan tutur. Alih giliran tutur KP biasanya dominan pada giliran pertama, UNUEM yang belum kenal pada giliran kedua―adapun UNUEM yang sudah kenal tergantung keperluan dan tujuan tutur. d) Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Berbeda Umur Tingkat tutur yang digunakan KP kepada UNUEM yang lebih tua adalah BM level È-B dan E-E, kepada UNUEM yang sederajat atau lebih muda, KP menggunakan speech level BM level E-E. KP dan UNUEM yang lebih tua maupun yang lebih muda selalu konsisten menggunakan BM sebagai tanda adanya formalitas hubungan dan upaya mempertahankan politeness antarpartisipan tutur. Tone KP selalu lebih tinggi dari nada tutur UNUEM karena UNUEM selalu merendahkan suaranya di bawah nada suara kiai. Begitu pula arah pandangan KP yang merupakan bagian body language―selalu tertuju ke arah lawan tutur. Sementara UNUEM selaku lawan tutur selalu menundukkan kepala dan pandangannya. Alih giliran tutur KP pada giliran pertama.
98
e) Bentuk dan Fungsi Tuturan sebagai Pola Komunikasi KiaiUNUEM Pola komunikasi Kiai-UNUEM juga termasuk dalam kategori bentuk yang berbeda dengan fungsinya, seperti kalimat informasi dapat berfungsi sebagai permohonan, kalimat pertanyaan berfungsi sebagai persetujuan, kalimat harapan berfungsi sebagai kalimat perintah―bahkan dalam konteks yang lain kalimat pertanyaan dapat berfungsi sebagai permintaan, ejekan, dsb. Untuk mendukung bentuk dan fungsi tersebut, tidak terlepas dari penggunaan kode tutur yang sesuai, agar tuturan dapat berfungsi dengan baik dan diterima sesuai tujuan tutur. Tingkat tutur yang digunakan UNUEM kepada kiai adalah BM level È-B dan BAl. Sementara kiai menggunakan tingkat tutur BM level È-B dan E-E. Tone yang digunakan UNUEM lebih rendah dari tone kiai. Begtu pula body language UNUEM yang merupakan cerminan politeness kepada kiai, selalu menundukkan kepala dan arah pandangan tidak kepada lawan tutur (kiai). Sebaliknya kiai mengarahkan pandangannya kepada UNUEM. Kiai lumrahnya mendapat giliran tutur dominan pertama, namun untuk tujuan tutur tertentu UNUEM boleh memohon ijin, untuk bertutur mendahului kiai dengan frasa cabis pamator―untuk mengatakan hal yang tidak pantas, UNUEM terlebih dahulu mengatakan cangkolang pamator. Pendalaman Materi 1. Carilah data dengan alat rekam melalui observasi partisipasi peristiwa komunikasi, kemudian transkrip ke dalam data tertulis! 2. Sebagai pendukung analisis data carilah informan untuk memperdalam konteks budaya dalam peristiwa komunikasi tersebut! 3. Sajikan data dan analisis dengan komponen tutur! 4. Buatlah rangkuman dari hasil analisis data tersebut tentang pola komuniasi masyarakat tutur yang anda dsekripsikan!
99
100
Bab 7 Mengapa Terjadi Pola Komunikasi Kompetensi dan Pengantar Setelah mempelajari bab ini dengan baik, pembelajar diharapkan memiliki kompetensi sebagai berikut: Memahami faktor-faktor penyebab terjadinya pola komunikasi; Memahami peran budaya dalam membentuk pola komunikasi; Memahami adanya hubungan antarkomponen tutur sebagai penyebab terjadinya pola komunikasi; Memahami peran dan pentingnya kompetensi komunikatif dalam membentuk pola komunikasi. Pola komunikasi WNUEM di Jember terjadi karena dipengaruhi oleh kultur paternalistik, elemen-elemen komponen tutur, dan kompetensi komunikatif, yang saling berkaitan dan mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Ketiga hal tersebut sudah tentu tidak bisa terlepas dari aspek sosiokultural yang terjadi dalam masyarakat tutur sehingga mempengaruhi pola komunikasinya. Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih detail tentang hubungan ketiganya pada bab ini akan dibahas hal-hal sebagai berikut: (1) faktor kultur paternalistik, (2) faktor komponen tutur, dan (3) faktor kompetensi komunikatif. Faktor Kultur Paternalistik Keunikan tradisi dan kultur WNUEM di Jember berpengaruh signifikan pada terbentuknya keunikan bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Fenomena ini menunjukkan bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Temuan ini berarti memperkuat pernyataan Kramsch (2009: 3), bahwa ada tiga hal yang menyebabkan bahasa dan budaya tidak dapat dipisahkan satu sama lain: pertama, language expreses cultural reality (bahasa mengekspresikan realitas budaya); kedua, language embodies cultural reality (bahasa sebagai penjelmaan realitas budaya); dan ketiga, language Symbolizes cultural reality (bahasa sebagai symbol realitas budaya). Sebagai ekspresi realitas budaya para penuturnya, bahasa WNUEM merupakan refleksi dari kultur paternalistik yang didasarkan pada pengalamannya selama berada di pesantren maupun lingkungan masyarakat yang sudah lama menganut kultur pesantren. Kultur tersebut merupakan perpaduan antara nilai-nilai syariat Islam dan tradisi EM
sehingga bahasanya juga mencerminkan kepercayaan dan sikap mereka baik ditinjau dari sisi agama maupun kultur EM. Pandangan ini dipertegas pernyataan Wijana (2004) yang menyatakan bahwa setiap bahasa merupakan medium ekspresi kolektif yang unik dan khas. Sejumlah elemennya yang terlihat khas merefleksikan budaya masyarakat penuturnya. Budaya sebagai penjelmaan realitas budaya para penuturnya menunjukkan bahwa jarang sekali anggota masyarakat atau kelompok sosial seperti WNUEM tidak menyatakan pengalamannya. Mereka juga menuliskan dan mengungkapkan pengalamannya melalui media bahasa. Mereka menyatakan maksud dan tujuannya melalui medium tersebut yang dipilih untuk berkomunikasi satu dengan yang lainnya, seperti, ketika mereka mengekspresikan kisah perilaku para masyayikh yang mereka kagumi sebagai pola dan strategi komunikasi. Selama di pesantren maupun di masyarakat mereka mengamati perilaku-perilaku yang dicontohkan oleh para ulama yang menjadi pola anutan WNUEM. Hal ini dipertegas dengan pernyataan Hofstede (1994) bahwa setiap orang dalam dirinya membawa pola pikir, perasaan, dan perilaku yang dipelajari sepanjang hidup mereka. Bahasa itu menyimbolkan kenyataan budaya. Ini menunjukkan bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda, yang didalamnya terdapat nilainilai budaya. Para pembicara mengidentifikasi diri mereka dan orang lain dengan menggunakan bahasa mereka. Mereka memandang bahasa mereka sebagai sebuah simbol identitas sosialnya. Simbol-simbol bahasa yang diperlihatkan oleh WNUEM merupakan cerminan kultur paternalistik, yakni suatu bentuk kultural yang mencerminkan kepatuhan dan ta‛dzim seorang santri kepada gurunya. Di dalam peristiwa komunikasi terdapat simbol-simbol yang dapat dicerna sebagai sesuatu yang dapat sebagai pengganti unsur komunikasi yang lain. Sebagaimana dikemukakan Larsen (1994) bahwa, “Tanda adalah suatu objek yang lainnya. Makna adalah representasi dari suatu objek di dalam atau objek lainnya. Tanda atau objek yang mewakili itu, dapat mewakili manifestasinya yang material sepanjang tanda yang bersangkutan dapat berisi fungsi representasional, seperti siapa berbicara dengan siapa dengan pola komunikasi tertentu, tentang apa yang akan disampaikan kepada mitra tutur dengan kode-kode tertentu, dan bagaimana orang menyandi pesan melalui gerakan, isyarat (body language) yang sudah menjadi konvensi pada kelompok tertentu. Hal ini menyebabkan makna yang terkandung dalam pesan dapat diinferensi dengan baik oleh mitra tutur. Konteks tuturan juga menentukan simbol-simbol dan kodekode linguistik mana yang lazim digunakan sehingga simbol-simbol dan 102
kode-kode linguistik tersebut dapat ditafsirkan secara benar oleh mitra tutur. Kesalahan dalam menempatkan simbol-simbol dan kode-kode sebagai unsur-unsur komunikasi dalam budaya masyarakat NUEM, dapat mengakibatkan hambatan/kegagalan komunikasi―bahkan akan menyulut timbulnya konflik dan kekerasan antarkelompok penganut budaya tersebut.WNU di Jember yang mayoritas pendukungnya EM, ditemukan memiliki keunikan tradisi dan budaya yang tercermin dalam pola-pola komunikasinya sebagai berikut. Pertama, kedudukan dan status sosial kiai di kalangan warga NU ditempatkan pada posisi yang paling terhormat sehingga berimplikasi terhadap pola pemakaian bahasanya. Dalam pandangan WNUEM, kiai diposisikan sebagai kelompok yang sangat di-ta‛dzim-kan. Dalam struktur sosial maupun politik, kiai juga menempati posisi yang amat penting dan paling terhormat. Pada masyarakat berbasis NU, peran kiai sangat menentukan pola dan warna kehidupan di masyarakat. Kedua, ketaatan WNUEM kepada kiai yang dianggap guru dalam segala hal sebagai cerminan kultur paternalistik, yang sudah mengakar`di kalangan WNU―sejak mereka di tempa di pesantren. Di dalam dunia pesantren yang berhaluan NU otoritas kiai bersifat mutlak. Tunduk dan patuh kepada kiai sebagai guru dan pembimbing spiritual merupakan kewajiban nomor wahid dalam kultur pesantren. Ketiga, kehadiran ulama/kiai dalam peristiwa tutur dapat mengantisipasi terjadinya tuturan yang dapat menimbulkan konflik di kalangan umat karena dengan hadirnya sosok kiai yang di-ta‛dzim-kan dan ditaati, peristiwa tutur yang memperhatikan politeness principle akan terjaga seperti telihat pada data (70). Akan tetapi sebaliknya, jika dalam suatu peristiwa komunikasi antar-UNUEM tidak melibatkan kiai/ulama, sering terjadi adu argumentasi yang dapat memicu terjadi konflik antarpartisipan tutur. Keempat, sebagai strategi komunikasi di kalangan WNUEM, penceritaan kiai yang dikagumi dalam peritiwa tutur sebagai bentuk pola komunikasi. Sebagai gaya retorik tidak langsung cerita kiai yang dikagumi dalam peristiwa komunikasi dapat membangkitkan perhatian partisipan tutur untuk menyimak secara seksama topik dan tujuan tutur yang disampaikan penutur. Faktor Komponen Tutur Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa pola komunikasi yang terbentuk di kalangan WNUEM di Jember dipengaruhi oleh sejumlah komponen tutur baik yang dikemukakan Hymes (1964a, 1972); Saville & Troika (2003) dan Poedjosoedarmo (1978). Komponen103
komponen tutur tersebut saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Untuk mengetahui lebih mendalam bagaimana komponen tutur tersebut mempengaruhi pola komunikasi dan memiliki keterkaitan antara yang satu dengan yang lainnya dapat dideskripsikan sebagai berikut. Setting (Situasi ) ‘tempat dan suasana tutur’ Situasi tuturan, tempat, suasana, dan waktu tuturan terjadi berkaitan erat dengan konteks tuturan. Konteks sangat berpengaruh terhadap terjadinya peristiwa tutur. Tuturan yang terjadi di tempat-tempat formal seperti di dhâlem kiai, langgar, dan masjid berbeda dengan konteks tuturan yang terjadi di pasar, di jalan, dsb. Tuturan yang terjadi di tempattempat formal akan memungkinkan terjadinya tuturan serius, sebaliknya tuturan yang terjadi di tempat-tempat santai akan memungkinkan terjadinya obrolan santai. Menurut Rahardi (2001: 29-30) suasana tutur berkaitan erat dengan faktor psikologis sebuah tuturan. Suasana tutur dapat juga digunakan untuk menunjuk batasan kultural dari tempat terjadinya tuturan tersebut. Dengan demikian, jelaslah bahwa tempat tutur (setting) berbeda dengan suasana tutur (scenes) karena yang pertama (setting) merujuk kepada kondisi fisik tuturan, sedangkan yang kedua (scenes) merujuk pada kondisi psikologis dan batasan kultural sebuah tuturan. Dimungkinkan pula, bagi seorang penutur untuk beralih dari kode yang satu ke kode yang lain dalam suasana tertentu di tempat (setting) yang sama. Dalam petuturan yang terjadi di masjid, misalnya, seseorag akan beralih kode dan bercampur kode dari BM ke kosa kata BI dan BA, ketika segera diketahui bahwa ternyata partsipan tutur yang ada di tempat itu adalah sesama umat NU lulusan pesantren dan kalangan terpelajar. Dengan demikian dapat dikatakan tempat, suasana, dan waktu terjadinya tuturan masih tergantung pada komponen tutur yang lain seperti partisipan tutur, topik tuturan, jenis tuturan, dan tujuan tutur. Participant ‘Peserta Tutur’ Peserta tutur dalam komunikasi yang melibatkan WNUEM, kedudukan dan peran partisipan tutur amat penting diketahui. Kaitannya dengan komponen partisipan tutur, ada beberapa variabel yang dapat mempengaruhi pola komunikasi yang digunakan oleh WNUEM, antara lain: (1) variabel sosial; (2) psikologis; dan (3) kultur pesantren yang merupakan embrio WNUEM. Variabel sosial yang mempengaruhi pola komunikasi di kalangan komunitas WNUEM di Jember dalam berkomunikasi adalah: perbedaan status sosial yang dipengaruhi kedudukan dan peran sebagai guru-santri, tingkat formalitas hubungan, 104
perbedaan umur, tingkat keeratan hubungan, dan jenis kelamin; variabel psikologis yang menentukan pola komunikasi antara lain: perasaan enak dan kurang enak, yang juga disertai perasaan takut. Adapun variabel kultur yang mempengaruhi pola komunikasi adalah perasaan ingin bertawaduk dan ber-ta‛dzim kepada guru yang merupakan faktor tradisi dan budaya yang sudah lama menjadi konvensi di kalangan WNUEM. Dilihat dari perbedaan status sosial antara penutur dan mitra tutur, penelitian ini menemukan bahwa pola komunikasi WNUEM dalam berkomunikasi secara konsisten dipengaruhi oleh siapa penutur dan siapa pihak kedua yang menjadi mitra tutur serta kehadiran orang ketiga baik sebagai partisipan tutur aktif maupun pasif (hearer). Status sosial penutur dan mitra yang disebabkan adanya ikatan guru-santri merupakan faktor dominan yang mempengaruhi terbentuknya pola komunikasi. Pola komunikasi yang digunakan antarkiai, kiai-umat, yang berlatar belakang guru-santri, berbeda dengan pola komunikasi yang tanpa adanya hubungan guru-santri. WNUEM yang berasal dari kalangan santri (umat) kepada kiai selalu menggunakan pola komunikasi yang cenderung mempertahankan rasa tawaduk dan ta‛dzim kepada guru, yakni dengan menggunakan BAl dan BM tingkat tutur level yang paling tinggi yakni È-B―nada suara (tone) yang lebih rendah dari nada tutur kiai, alih giliran tutur yang tidak mendahului kiai, menundukkan pandangannya, dan jarak tertentu yang sudah menjadi norma dalam masyarakat WNUEM. Dari variabel psikologi ditemukan bahwa umat sebagai santri kadang-kadang merasa enak dan kurang enak, perasaan takut yang berlebihan dalam berkomunikasi―sehingga menimbulkan pola komunikasi yang cenderung lebih berhati-hati, agar tujuan tutur yang akan disampaikan tidak menimbulkan rasa cangkolang kepada kiai sebagai orang yang dipatuhi dan di-ta‛dzim-kan. Dengan pola komunikasi yang mencermati kedudukan dan status sosial para partispan tutur―penolakan, permintaan, dan bahkan suatu perintah bisa menjadi lumrah dilakukan, tanpa membuat perasaan tidak enak bagi partisipan tutur. Dilihat dari sisi kiai sebagai orang yang dimuliakan, juga lebih berhati-hati agar santri yang sudah lama mendapat pembelajaran ilmu tèngka di pesantren tidak dikotori dengan kesalahpahaman dalam berkomunikasi. Penelitian ini juga menemukan bahwa variabel kultur yang dapat mempengaruhi pola komunikasi adalah faktor tradisi yang sudah lama dipertahankan di dalam organisasi NU yang kental dengan kehidupan pesantren. Di kalangan NU masih mempertahankan kultur paternalistik yang dapat mengikat WNUEM selalu menjunjung tinggi kepatahun umat kepada kiai selaku guru yang dicerminkan dengan rasa tawaduk dan ta‛dzim. Sebagai implimentasi rasa tawaduk dan ta‛dzim tersebut, 105
UNUEM selalu bersuara dengan tone lebih rendah, dan menundukkan pandangannya, ketika berkomunikasi dengan kiai― sedangkan kiai lebih santai dalam situasi petuturan dengan menggunakan nada suara yang lebih tinggi ketimbang suara umat dan pandangan kepada lawan tutur. End/function/purpose ‘Tujuan Tutur’ Tujuan tutur selalu berbeda-beda dalam peristiwa tutur. Dalam peristiwa tutur yang melibatkan WNUEM, tujuan tutur juga berbeda-beda yaitu, bertanya, menyampaikan informasi, meminta penjelasan tentang suatu hal, meminta sesuatu, mengajak, merayu, marah, dsb. Dalam menyampaikan tujuan tutur ini, di samping melihat pada tujuan di atas, tentu penutur harus melihat komponen yang lain―siapa partisipan tuturnya, nada tutur yang pantas untuk tujuan tertentu, jenis tuturannya apa, bagaimana alih giliran tuturnya (act sequence), sarana yang digunkan apa, dan bagaimana norma-norma yang dipakai. Sebagai contoh ketika sesorang umat akan memasrahkan anaknya kepada kiai untuk menjadi abdi di pesantren, maka untuk memulai percakapan, akan mengatakan sesuatu, mengalihkan topik pembicaraan, atau mendahului giliran tutur kepada kiai didahului dengan frasa cabis pamator atau cangkolang pamator dengan nada tutur yang lebih rendah dari nada kiai, dan menundukkan kepala sebagai sebagai bentuk rasa ta‛dzim yang ditunjukkan dengan bahasa nonverbal. Perilaku berbahasa tersebut sebagai bentuk implementasi norma interaksi dan interpretasi yang telah menjadi konvensi dalam masyarakat NUEM. Ini menunjukkan bahwa komponen tujuan tutur “end” tidak bisa terlepas dari komponen tutur yang lain. Act sequence ‘Urutan Tindak’ Urutan tindak dalam masyarakat NUEM menjadi norma yang amat penting, khususnya yang terkait dengan alih giliran tutur. Alih giliran tutur dalam masyarakat NUEM didasarkan pada urutan partisipan tutur menyangkut status sosial (kedudukan, peran, jabatan, dan tingkat kealiman), tingkat formalitas hubungan, umur, dan jenis kelamin. Urutanurutan tersebut dapat dilanggar, jika diantara partisipan tutur memiliki tujuan tutur yang amat penting untuk disampaikan dengan menggunakan kode tutur cangkolang pamator. Dengan nada tutur yang rendah yang disertai dengan gaya nonverbal menundukkan kepala, frasa cangkolang pamator juga dapat mengubah setting dan suasana tuturan menjadi harmonis―tidak terkesan melangkahi partisipan tutur lain, ditinjau dari faktor status sosial, tingkat formalitas hubungan, perbedaan umur, dan 106
jenis kelamin. Ini juga berarti bahwa komponen tutur act sequnce memiliki keterkaitan dengan komponen tutur yang lain. Key (kunci) ‘nada tutur’ Nada tutur juga ditentukan oleh komponen tutur yang lain, yaitu tujuan tutur, jenis tuturan, sarana tutur, tempat dan suasana, norma, serta partisipan tutur. Komponen-komponen tersebut dapat mempengaruhi tuturan yang dapat menunjuk kepada nada serius (formal), santai, tegang, marah, lembut, dan sebagainya. Sebagai contoh, UNUEM yang sedang bertutur dengan kiai akan selalu dengan nada tutur yang rendah, seirus, dan bisa tegang; begitu pula, ketika seseorang menginkan sesuatu dari orang lain pasti dengan jenis dan tujuan tuturan rayuan, yang demikian ini tentu dengan nada yang lambut. Seorang kiai dalam berceramah yang mengisahkan kepemimpinan Khalifah Umar, dapat dipastikan dengan nada suara keras dan berapi-api. Namun, ketika menceritakan Khalifah Abu Bakar tentunya lebih tepat dengan suaru yang lemah lembut. Manurut pendapat Rahardi (2001), nada tutur dapat dibedakan menjadi nada tutur yang sifatnya verbal dan nonverbal. Nada tutur verbal dapat berupa nada, cara, dan motivasi yang menunjuk pada situasi dan kondisi serius, santai, formal, lembut, kasar, marah, seperti yang telah dipaparkan di atas. Adapun nada tutur nonverbal dapat berupa tindakan yang bersifat paralinguistik yang diperlihatkan dengan berbagai macam bahasa tubuh (body language), kial (gesture), dan juga jarak antarpenutur dan lawan tutur. Bahasa nonverbal ini sangat penting perannya dalam mendukung nada tutur yang bersifat verbal. Bahkan dalam masyarakat tutur Madura, bahasa nonverbal ini dipakai sebagai salah satu parameter tatakrama dari seseorang. Orang yang sedang bertutur menunjuk dengan tangan kiri kepada mitra tutur diindikasikan sebagai orang yang tidak memiliki sopan santun. Demikian pula seseorang yang bertutur dengan mitra tutur yang bersatus sosial lebih tinggi seperti umat kepada kiai, santri kepada guru, menantu kepada mertua dengan memandang kepada selara (wajah), dapat juga dikatakan sebagai orang yang tidak memiliki rasa ta‛dzim. Instrumentalis ‘sarana tutur’ Sarana tutur merupakan alat utama yang digunakan penutur dalam mengekspresikan tuturannya. Sarana tersebut dapat berupa saluran verbal dan nonverbal. Dalam masyarakat tutur NUEM saluran verbal dan nonverbal hampir merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam komunikasi yang melibatkan WNUEM kedua saluran tersebut sering diperagakan secara bersama-sama. Penggunaan saluran tutur 107
tersebut berkaitan erat dengan komponen partisipan tutur, tujuan tutur, suasana dan tempat tuturan, nada tutur, jenis tuturan, dan norma-norma tutur. WNUEM akan menggunakan tuturan dengan bahasa verbal Ngèrèng èyatorè! ‘mari dipersilakan!’ seraya menunjuk dengan ibu jari kepada sesuatu yang dipersilakan untuk para tamu yang menjadi partisipan tutur. Seorang ustad akan menggunakan suara yang lebih keras dalam ceramah yang melibatkan orang banyak seraya mengacung-acungkan tangannya. Bahkan dengan massa yang tergolong besar seperti pengajian akbar pengeras suara dibutuhkan untuk membantu menyampaikan informasi pada saluran verbal dan LCD digunakan untuk membantu dalam mengekspresikan bahasa nonverbal. Tujuan tutur juga berpengaruh terhadap pemakaian sarana tutur, misalnya ketika orang akan melakukan janji, maka sarana tutur lisan dan sms melalui HP sering menjadi pilihan yang lebih praktis. Norm of Interactionand and Interpretasi’
Interpretation ‘Norma Interaksi dan
Dalam masyarakat tutur WNUEM, norma interaksi dan norma interpretasi sangat menjadi perhatian―dan bahkan menjadi suatu keharusan untuk dilakukankan dalam suatu tuturan. Pelanggaran terhadap norma-norma tutur akan menjadi cercaan sebagai orang yang tidak tahu bertatakrama/bersopan santun. Perhatian terhadap norma-norama ini, didasarkan kepada komponen tutur yang lain yaitu, partisipan tutur, tujuan tutur, tempat dan suasana tuturan, jenis tuturan, sarana tutur, dan sebagainya. Sebagai contoh, UNUEM tidak boleh mendahului kiai dalam bertutur; dalam situasi formal menggunakan tingkat tutur BM level È-B; tuturan yang bersifat permohonan bisanya dilakukan dengan nada tutur yang rendah dan lemah lembut; dalam menyampaikan khutbah seorang kiai selalu menggunakan sarana lisan yang dibantu dengan pengeras suara dan bahasa tubuh (body language). Menurut Rahardi (2001: 23-24), norma interaksi merujuk kepada hal-hal yang dapat atau tidak dapat dilakukan oleh seseorang dalam bertutur dengan mitra tutur. Sebagai contoh dalam masyarakat NUEM, alih giliran tutur ditentukan oleh kedudukan dan status sosial, umur, dan jenis kelamin. Umat tidak wajar jika berbicara mendahului kiai tanpa diminta. Seorang umat berbicara mendahului kiai dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma. Di dalam masyarakat tutur WNUEM juga tidak lumrah nada suara umat lebih tinggi dari nada suara kiai atau nada suara anak lebih tinggi dari nada suara orang tua―jika dilakukan, hal itu juga dianggap melanggar norma. Lebih lanjut menurut Rahardi (2001: 33-34), norma interpretasi masih memungkinkan adanya pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi untuk memberikan 108
interpretasi yang berbeda terhadap mitra tutur, khususnya manakala ada yang terlibat dalam tuturan tersebut adalah komunitas tutur yang berbeda (outsider). Selanjutnya Rahardi (2001: 34) mengemukakan contoh dari Graves yang dikemukakan Gumperz (1968) bahwa para mahasiswa Amerika berbeda dengan para mahasiswa Arab dalam hal norma interpretasi. Para mahasiswa Arab lebih sering melakukan pertentangan dan pertengkaran yang dilakukan dengan berhadapan muka. Namun demikian, mereka juga lebih sering duduk berdampingan antara yang satu dengan yang lainnya. Para mahasiswa Arab juga cenderung berbicara dengan suara yang lebih keras dari pada mahasiswa Amerika. Dalam tradisi NU mencium tangan kiai merupakan hal yang biasa dan bahkan sudah menjadi tradisi sebagai bentuk ta‛dzim (politeness) santri kepada guru. Bagi organisasi sosial keagamaan yang lain, seperti Muhammadiyah tidak biasa dilakukan, bahkan bisa dianggap sebagai pengkultusan. Akhirnya, dapat pula dikatakan bahwa norma interaksi dan interpretasi memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan sistem kepercayaan dan nilai masyarakat tutur. UNUEM percaya bahwa kiai merupakan sumber ilmu yang dapat disamakan kedudukannya dengan guru―bankan karena fungsi sebagai penerus risalah para nabi, maka para ulama disebut Al-‛ulamaa waratsatul anbiyaa (Ulama itu penerus para nabi). Oleh karena itu, para kiai cenderung dihargai dan di-ta‛dzim-kan dalam berkomunikasi. Bertutur kepada lawan tutur sesama umat dengan pola komunikasi yang sama seperti kepada kiai, dapat diinterpretasikan yang berbeda―dapat dianggap sebagai guyonan atau bahkan ejekan. Hal demikian, dapatlah digunakan sebagai indikator bahwa norma interaksi dan interpretasi dalam suatu masyarakat tutur, pastilah tidak dapat dipisahkan dari sistem kepercayaan, nilai, dan adat istiadat yang terdapat dan berlaku dalam masyarakat tutur tersebut. Genres/message form ‘Jenis Tuturan’ Jenis tutur menurut Hymes (1964a); Saville-Troike (2003) merupakan jenis kategori kebahasaan yang sedang dituturkan, yakni menyangkut kategori wacana seperti percakapan, cerita, pidato, dan sebagainya. Jenis tutur yang berbeda akan berbeda pula kode yang dipakai dalam bertutur itu. Orang becerita tentu akan menggunakan kode yang berbeda dengan kode orang yang sedang berpidato. Kode yang digunakan dalam percakapan akan berbeda dengan kode tutur yang digunakan dalam pidato dan bercerita. Dalam masyarakat NUEM cerita tentang orang yang dikagumi seperti kiai, para wali, sering digunakan sebagai strategi komunikasi dalam percakapan maupun cermah (pidato). Jenis tutur yang terjadi dalam peristiwa tutur juga tidak dapat terlepas dari komponen tutur 109
yang lain, yaitu setting dan suasana tutur, partisipan tutur, tujuan tutur, nada tutur, alih giliran tutur, dan norma-norma yang telah menjadi konvensi di dalam masyarakat tutur, misalnya seseorang yang bertutur dalam setting dan suasana yang tidak formal tidak bisa menggunakan jenis tuturan pidato. Bagitu pula, dalam memberi wasiat kepada partisipan yang sangat banyak jumlahnya dan situasinya formal tidak bisa menggunakan model tuturan percakapan. Hal tersebut juga dapat berpengaruh terhadap nada tutur yang digunakan, urutan tindak, topik, sarana tutur yang digunakan, dan norma-norma dalam masyarakat tutur tersebut. Hal demikian, dapat digunakan sebagai bukti bahwa komponen tutur genre ‘jenis tutur’ juga saling terkait dengan komponen tutur yang lain. Story ‘Cerita/Kisah’ yang dikagumi Penelitian Haryono (2013) menemukan temuan baru, bahwa dalam peristiwa tutur dengan partisipan tutur WNUEM, sering menceritakan kisah ulama yang dikagumi seperti kiai, imam arba‛, (Maliki, Hambali, Hanafi, Syafi’i), dan para wali sebagai pola dan strategi komunikasi untuk mencapai tujuan tutur. Dengan demikian, hadirnya orang ketiga sebagai bahan cerita dalam peristiwa tutur dapat dimasukkan dalam salah satu komponen tutur karena sangat berkaitan erat dengan komponen tutur yang lain, seperti: partisipan tutur, tujuan tutur, jenis tuturan, nada tutur, dst. Seseorang tidak akan menggunakan cerita orang ketiga yang dikagumi, jika partisipan tuturnya bukan termasuk orang yang berada dalam masyarakat tutur tersebut; Setiap tujuan tutur dapat menggunakan cerita orang ketiga yang dikagumi sesuai topik tuturan; bercerita termasuk jenis tuturan yang termasuk genre dongeng sehingga pilihan nada tutur disesuaikan tone dongeng. Penjelasan terebut sebagai bukti bahwa penceritaan kisah orang yang dikagumi sebagai komponen tutur yang bisa ditambahkan pada komponen tutur yang lain. Dengan demikian komopnen tutur Hymes yang dikenal dengan SPEAKING-grid ditambah S ‘story’ menjadi SPEAKINGS-grid. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa pola-pola komunikasi yang digunakan oleh komunitas WNUEM di Jember, secara umum dipengaruhi komponen tutur yang terkait dengan (1) variabel sosial; (2) psikologis; dan (3) kultur paternalistik. Jika temuan ini dikaitkan dengan Teori Komponen Tutur yang dkemukakan oleh Hymes (1975) dan pengikut-pengikutnya, relevansi temuan penelitian dengan teori komponen tutur dapat dijelaskan sebagai berikut. Hymes (1975); Wibisono (2005: 295) mengemukakan bahwa penggunaan varian bahasa ditentukan oleh komponen tutur. Komponen tutur yang yang mengikat penggunaan bahasa antara lain komponen 110
partisipan tutur (siapa penutur dan siapa mitra tutur) yang berperan dalam menentukan pilihan kode bahasa yang digunakan karena kebanyakan lingkungan masyarakat tutur (speech community) menurut Hymes membedakan tipe-tipe dan jenis-jenis kode yang tepat digunakan dalam hubungan peran tertentu. Adapun status sosial, umur, tingkat formalitas hubungan, dan jenis kelamin penutur dengan mitra tutur mempengaruhi serta berperan dalam menentukan pola komunikasi yang berdasarkan hasil penelitian Haryono (2011 & 2013) meliputi kode dan alih kode, pilihan bahasa yang digunakan, penggunaan ondâghan bhâsa (speech level), alih giliran tutur, penggunaan nada tutur, dan bahasa nonverbal (body language). Teori tersebut relevan dengan fenomena yang ditemukan dalam penelitian tersebut. Dikaitkan dengan pernyataan Holmes (1997), Wibisono (2005: 296) yang menyebutkan bahwa pola komunikasi antara lain terikat dengan partisipan tutur. Pernyataan tersebut benar adanya. Demkian pula pernyataan Ervin-Tripp (1972) sebagaimana dikutip Wibisono (2005: 296) yang menyebutkan bahwa penyebab pilihan bahasa seseorang adalah partisipan tutur. Pendapat tersebut relevan dengan fakta yang ditemukan dalam penelitian ini. Demikian pula penyataan Groesjen (1982) yang mengemukakan bahwa pilihan bahasa terikat oleh partisipan tutur, terdukung oleh temuan penelitian ini (periksa juga Wibisono, 2005: 296). Temuan penelitian ini juga mempertegas pernyataan bahwa pola komunikasi seseorang terkait dan ditentukan oleh komponen tutur, terutama komponen partisipan tutur yaitu penutur dan mitra tutur. Dimensi sosial manusia yang terlibat dalam komunikasi, baik dimensi horisontal (solidarity), yaitu menyangkut hubungan penutur dan mitra tutur, maupun dimensi vertikal (power), yakni berkaitan dengan masalah umur, status sosial, tingkat formalitas hubungan, tingkat keeratan dan semacamnya menentukan pola komunikasi. Di samping ditentukan oleh partisipan tutur, dalam penelitian tersebut juga ditemukan bahwa komponen topik dan situasi tutur juga mempengaruhi kode bahasa yang digunakan karena topik dan situasi yang mengacu kepada pengertian berkomunikasi tentang apa dan dalam situasi bagaimana, berperan dalam menentukan pilihan kode bahasa. Oleh karena itu, terjadilah pola komunikasi. Berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dalam penelitian disimpulkan bahwa di samping komponen partisipan tutur, situasi tutur, tujuan tutur, topik tutur, dan lainnya yang tertera dalam ‘SPEAKINGS grid’ juga berperan dalam menentukan terbentuknya pola komunkasi. Temuan tersebut relevan dengan teori komponen tutur. Dengan demikian, temuan penelitian ini meperkuat pendapat bahwa teori komponen tutur 111
yang dikemukakan oleh Hymes (1975); dengan penambahan story ‘penceritaan kisah orang yang dikagumi oleh masyarakat tutur’ masih relevan untuk mengkaji peristiwa tutur yang terjadi atas dasar komponenkomponen tutur yang membangun sebuah tuturan. Kaitannya dengan komponen tutur hadirnya orang ketiga yang dikemukakan Poedjosoedarmo (1978); Rahardi (2001) ditemukan bahwa kehadiran seorang kiai dalam tuturan menentukan pilihan bahasa yang digunakan, penggunaan kode dan alih kode, penentuan alih giliran tutur, pengaturan nada tutur, dan penggunaan bahasa tubuh termasuk jarak antara kiai dengan partsipan tutur yang lain. Bahkan, keterlibatan kiai dalam peristiwa tutur sangat penting sebagai persuasi dan antisipasi terjadinya konflik antarpartisipan tutur. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hadirnya orang ketiga (kiai) dapat berpengaruh besar terbentuknya pola komunikasi. Faktor Kompetensi Komunikatif Penelitian ini menemukan bahwa pada situasi formal WNUEM berkomunikasi dengan ragam BM level È-B (Jawa: Krama Inggil) dan BAl (bahasa keraton). Sementara itu pada situasi tidak formal terdapat beberapa ragam bahasa yang digunakan oleh WNUEM yaitu: (1) Dalam berkomunikasi yang melibatkan partisipan tutur sesama kiai yang tidak memiliki kaitan guru-santri menggunakan ragam bahasa È-B. Sesama kiai yang berlatar belakang gura- santri―guru menggunakan ragam bahasa ÈB dan santri menggunakan BAl dan È-B. Di dalam keluarga kiai, pola komunikasi juga ditentukan oleh ikatan guru- santri, tingkat kealiman, dan perbedaan umur; (2) Ketika berkomunikasi dengan sesama kiai yang berlatar belakang keluarga pesantren, partisipan tutur menggunakan BM level È-B; (3) Ragam bahasa yang digunakan kiai dengan UNUEM yang berlatar belakang sama-sama menjadi pengasuh pesantren dan berperan sebagai tokoh masyarakat adalah BM level È-B bercampur kode dengan ragam BM level E-E; dan (4) dengan UNUEM kiai menggunakan ragam BM level E-E dan È-B. Para pengurus NU, asaatidz, dan UNUEM kepada kiai pada situasi apapun selalu menggunakan ragam BAl dan BM level ÈB. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa penggunaan komponenkomponen kompetensi komunikatif yang dikemukakan oleh Saville-Troike (2003: 203) yang meliputi pengetahuan linguistik (linguistic knowledge), keterampilan interaksi (interaction skills), dan pengetahuan kebudayaan (cultural knowledge) sudah diterapkan oleh WNUEM―walaupun kemampuan mengimplementasikan kompetensi komunikatif tersebut bisa 112
saja diperoleh melalui proses alami karena tuntutan kultur. Namun, hal tersebut cukup memberikan kepuasan bagi partisipan tutur. Pengetahuan linguistik yang tercermin dalam elemen-elemen verbal dan nonverbal dapat membantu memberikan interpretasi yang benar bagi partisipan tutur. Tekanan suara kiai yang lebih tinggi dari nada tutur UNUEM, dapat menimbulkan beban psikologi bagi partisipan tutur sehingga presupposisi yang muncul dalam peristiwa tutur sering tidak bisa diinferensi secara baik oleh UNUEM―kiai sering tidak dapat memahami tujuan tutur WNUEM karena suaranya seringkali sulit didengar secara sempurna. Berkaitaan dengan elemen-elemen nonverbal seperti gerakan tubuh sering diabaikan oleh para santri karena kultur NU lebih menekankan rasa tawaduk kepada guru dengan implimentasi salah satunya yang tercermin dalam proses komunikasi adalah menundukkan kepala dan bersuara lebih rendah di depan guru. Kaitannya dengan makna varianvarian yang terbentuk dalam pola komunikasi, sering juga menimbulkan inferensi yang salah bagi partisipan tutur. Hal tersebut lebih disebabkan sulitnya partisipan tutur dalam mencerna implikatur-implikatur (implied meaning) yang terdapat dalam tuturan. Temuan tersebut memperkuat pendapat Hymes (1982b); periksa juga Duranti (1998: 215), yang menyatakan bahwa pembahasan tentang kompetensi komunikatif dan kompetensi linguistik (gramatikal) biasanya berkisar di antara dua pokok persoalan, yaitu: (1) perlunya menyertakan deskripsi grammatikal dengan kondisi-kondisi yang sesuai, (2) perimbangan antara kode gramatikal (atau linguistik) dengan aspek-aspek lain seperti gerakan tubuh, tatapan mata, dan sebagainya. Mengenai keterampilan dalam berinteraksi kaitannya dengan situasi komunikasi, peran, serta norma-norma interaksi dan interpretasi ditemukan bahwa situasi komunikasi dan partisipan tutur menentukan varian-varian bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Hal tersebut dapat dilihat dari kode bahasa yang digunakan oleh WNUEM dalam berkomunikasi yang ditempatkan sesuai dengan peran masing-masing partisipan tutur sebagaimana telah disinggung di atas. Penempatan kode sesuai dengan perannya telah menempatkan norma-norma interaksi dan interpretasi sebagai strategi untuk mencapai tujuan tutur. Fenomena temuan tersebut sesuai dengan pernyataan Ibrahim (1994: 26) yang mengemukakan bahwa kompetensi komunikatif meliputi baik pengetahuan dan harapan tentang siapa yang bisa atau tidak bisa berbicara dalam setting tertentu, kapan mengatakannya, dan bilamana harus tetap diam, siapa yang diajak bicara, bagaimana seseorang berbicara kepada orang yang status perannya berbeda, perilaku nonverbal apakah yang sesuai untuk berbagai konteks, rutin apakah yang terjadi untuk alih giliran dalam percakapan, bagaimana menawarkan bantuan dan kerjasama, bagaimana meminta dan memberi informasi, bagaimana menegakkan disiplin dan sebagainya. 113
Selanjutnya Saville-Troike (2003: 18) menyatakan bahwa kompetensi komunikatif mengacu pada pengetahuan dan ketrampilan untuk penggunaan dan interpretasi bahasa yang tepat secara kontekstual dalam suatu masyarakat, maka kompetensi komunikatif mengacu pada pengetahuan dan ketrampilan komunikatif yang sama-sama dimiliki oleh kelompok, meskipun hal ini (seperti aspek-aspek lain suatu kebudayaan) bervariasi dalam anggota-anggota secara individual. Hakikat kompetensi individu itu merefleksikan hakekat bahasa itu sendiri. Dari aspek pengetahuan budaya kaitannya dengan struktur sosial, nilai, dan sikap ditemukan bahwa struktur sosial di dalam kelompok WNUEM memperhatikan status sosial yang didasarkan pada kedudukan sebagai guru- santri, tingkat formalitas hubungan, perbedaan umur, tingkat keeratan, dan gender partisipan tutur. Hal tersebut dibatasi dengan nilainilai religius pesantren dan kultur paternalistik yang sudah menjadi kebiasaan di lingkungan WNUEM. Fenomena tersebut menentukan sikap partisipan tutur dalam berkomunikasi sebagaimana telah disinggung juga di atas yang tercermin dalam pemakaian simbol dengan ragam bahasa tertentu yang digunakan oleh komunitas pesantren dalam berkomunikasi. Perbedaan lintas budaya bisa dan memang menghasilkan konflikkonflik yang ditimbulkan kegagalan komunikasi. Sebagai contoh, masalahmasalah seperti tingkat bunyi bisa berbeda secara lintas budaya, dan maksud penutur bisa dipahami secara salah karena perbedaan pola harapan interpretasi. Oleh karena itu, Geertz, (1973); Doglas (1970) menyatakan bahwa kompetensi komunikatif haruslah ditambahkan dalam konsep kompetensi kebudayaan (cultural competence), atau keseluruhan pengetahuan dan keterampilan yang dibawa dalam suatu situasi. Pandangan ini konsisten dengan pendekatan semiotik yang mendefinisikan kebudayaan sebagai makna dan memandang semua etnografer berhubungan dengan simbol. Sistem kebudayaan merupakan pola simbol dan bahasa merupakan salah satu sistem simbol dalam kerangka ini. Interpretasi makna linguistik menghendaki pengetahuan makna ketika perilaku linguistik itu ditempatkan. Pendalaman Materi 1. Sebutkan dan jelaskan faktor-faktor penyebab terjadinya pola komunikasi! 2. Sejauhmana peran budaya dalam membentuk pola komunikasi? Sebutkan alasan-alasannya! 3. Bagaimana hubungan antarkomponen tutur sebagai penyebab terjadinya pola komunikasi? 4. Sejauhmana peran dan pentingnya kompetensi komunikatif dalam membentuk pola komunikasi? 114
Daftar Pustaka Abrahams, R.D. 1983. The Man-of-Words in the West Indies: Peformance and the Emergence of Creole Culture. Baltimore: John Hopkins University Press. Anam, Ch. 1985. Pertumbuhan dan Perkembangan NU. Solo: Penerbit Jatayu. Austin, J.L. 1962. How To Do Things With Words. Oxford: Oxford University Press. Blom, J-P. and Gumperz, J. 1972. Social Meaning in Linguistics Structure: Code-Switching in Norway. In Gumperz and Hymes. 1972: 407-434. Bogdan R. & Taylor I. S. 1975. Introduction to Qualitative Research to the Social Sciences. New York: John & Sons, Inc. Brannen, J. 1992. Mixing methods: Qualitative and quantitative research, London: Avebury (Reprinted) __________. 2005. “Mixing Methods: The Entry Of Qualitative And Quantitative Approaches Into The Research Process”. in International Journal Of Social Research Methodology. Vol. 8, Issue 3, 2005, p. 173184 Brennies & Myers, 1984. F. (eds.).1984. Dangerous Words: language and politics in the pacific. New York: New York University Press. Brown, G. & Yule, G. (1996). Analisis Wacana. Diindonesiakan oleh I. Soetikno, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Budhiono, H., R. 2010. “Orang Kaso: Sekelebat Tinjauan Etnografi Komunikasi terhadap Sebuah Komunitas Tutur.” Dalam Jurnal Sawerigading, Jurnal Bahasa dan Sastra terakreditasi, Volume 16, Nomor 3, Desember 2010. ISSN 0854-4220, hal. 334-342. Chaer, A. dan Agustina L. 1995. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta. Chomsky, N. 1977.Language and Responsibity. Based on conversation with Mitsou Ronat. Trans. By J. Viertel. New York: Panthcon.
Dharwis, K.H., E. 2010. Gus Dur–NU –dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta: LkiS. Duranti, A. 1988. “Ethnography of Speaking”. dalam Newmeyer, Frederick J. Language: The Socio-cultural Context Volume IV. Linguistics: The Cambridge Survey. Cambridge: Cambridge University Press, PP. 210228. _________. 2000. Linguistic University Press.
Anthropologi.
Cambridge:
Cambridge
Eco, U. 2009. TEORI SEMIOTIKA ‘Signifikansi Komunikasi, Teori Kode, serta Teori produksi–Tanda’ diterjemahkan Inyiak Ridwan Munzir. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Ervin-Tripp, Susan, M. 1972. “An Analysis of the Interaction of Language, Topic, and listener” dalam Fishman Readings in the Sociology of Language, Paris: Maouton. Fetterman, D.M. 1989. Ethnography: Step by Step. Newbury Park CA: Sage. Geertz, C. 1973. The Interpretation of Cultures. Hammersmith, London: Fontana Press. Grice, H.P. 1975. “Logic and Conversation”, dalam Cole dan Morgen. Radical Pragmatics. New York: Akademic Press, hal. 41-58. Grosjean, I. 1982. Life with Two Languages. Cambridge: Harvard University Press. Gumperz, J. 1968. “The Speech Community” dalam Giglioli (ed.). 1990. Gumperz, J. dan Hymes D. 1972. Direction in Sociolinguistics. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Halim, A. (Ed.).1976. Politik Bahasa Nasional I. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pangembangan Bahasa. Haryono, A. 2006. “Pola Komunikasi di Pesantren Salaf “A” di Jember”, Tesis S2: Universitas Negeri Surabaya. ____________2011. “Pola Komunikasi Warga NU Etnis Madura Sebagai Refleksi Budaya Paternalistik” Humaniora: Jurnal Budaya, sastra, dan 116
Bahasa,, Volume 23, No.2, Juni 2011. hal. 175-184. Yogyakarta: FIB UGM. __________ 2013. “Pola Komunikasi Warga Nahdlatul Ulama Etnik Madura di Jember”, Disertasi: Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. __________ 2014. “ Penceritaan Kisah Ulama/Kiai Dalam Tuturan Sebagai Pola dan Strategi Penyampaian Pesan Warga Nahdlatul Ulama Etnik adura”, Humaniora: Jurnal Budaya, sastra, dan Bahasa, Volume 26 No. 3 Oktober 2014, Halaman 123-136, Yogyakarta: FIB UGM. Heath, S. 1983. Ways with Words: Language,Life, and Work in Communities and Classrooms. Cambridge: Cambridge University Press. Hofstede, G. 1994. Cultures and Organisation: Software of the Mind. London: Mc-Graw Hill Book Company. Holmes, J. 1995. An Introduction to Sociolinguistic. London and New York: Longman. Hudson, R.A. 1980. Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University Press. Hymes. D. 1961. “Function of Speech: an Evolutionary Approach”, dalam Fridrich C. Gruber, ed. Anthropology and Education, PP. 55-83. Philadephia: University of Pennsylvania Press. ________. 1964a. “Introduction: Toward Ethnographies of Communication”. In American Anthropoligiest 66. Special Publication: J.J. Gumperz & D. Hymes. (eds.) The Ethnography of Communication, PP. 1-34 (Part 2) ________. 1964b. Language in Culture and Society: a Reader in linguistics and Anthropology. New York: Harper and Row. ________. 1966a. “On Communicative Competence”. Paper presented at the Research Planning Conference on Language Development among Disadventeged Children, Yeshiva University. ________. 1966b. Two Types of Linguistic Relativity. In William Bright, ad., Sociolinguistics. The Hague: Mouton. ________. 1972a. “Models of the Interaction of Language and Social Life” in Gumperz and. Paris: Mouton. Hymes (eds.). 1972. 117
________. 1972b. “On Cmmuninicative Competence”. In J.B. Pride & J. Holmes (eds.) Socolinguistics. Harmondswort: Penguin, PP. 269-293 (Part 2). ________. 1982. Postface. in Hymes. 1982a. Vers la Competence de Communicatin. Trans. by F. Mugler. Paris: Hatir Credif. ________. 2000. “The Emergency of Sociolinguistic: a Response to Samarin”. Journal of Sociolinguistics 4 (2): 312-315. Ibrahim, A. S. 1994. Panduan Penelitian Etnografi Komunikasi. Surabaya: Usaha Nasional. Irvine, J.T. 1979. Formality and Nonformality in Communicative Events. American Anthropologist 81: 773-90. Jung, J.-Y.. 2008. “Discourse Markers in Cross-Cultural Conversation”. In the Forum Teachers College, Columbia University, Working Papers in TESOL & Applied Linguistics, 2008, Vol. 8, No. 2 Kramsch, C. 2009. Language and Culture. New York: Oxford University Press. Kridalaksana, H. (2008). Kamus Linguistik (edisi ke-Edisi Keempat). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kuswarno, E. 2008. Etnografi Komunikasi: Suatu Pengantar dan Contoh Penelitiannya. Bandung: Widya Padjadjaran. Labov. W. 1972. Sosiolinguistic Pattern. Philadelpia: University of Pennsylvania Press. Larsen, S.E. 1994. Semiotik. Diterjemahkan oleh Sudaryanto. Klaten: Universitas Widya Dharma. Leech, G. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Terjem. dari The Princiiple of Pragmatics. Penterj.: Oka. Jakarta:UI Press Levinson, S. C. 1991. Pragmatics. Great Britain: Cambridge University Press. Lyon, J. 1972. “Human Language”. In R.A. Hinde (ed.) Non Verbal Communication. Cambridge: Cambridge University Press, PP. 49-85
118
Malinowsky, B. 1935. Coral Garden and Their Magic, 2 Vols. New York: American Book Company. (Republished 1961 by Dover Publications. New York. Moleong, J. L. 1993. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mulyana, D. dan Rakhmat, J. (Ed.). 2003. Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya. Murdock, G. P. 1961. “The Cross-cultural Survey”. Dalam Frank.W. Moore (ed). Reading in Cross Cultures. New Haven: HRAF Press, PP. 361370 Muzadi, A. M. 2003. Apa dan Bagaimana Nahdlatul Ulama. Jember: Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Jember. Nadar, F.X. 2009. Pragmatik & Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu Nurmulia, P. R., 2012. “719 Bahasa Daerah Terancam Punah” dalam Batam. Tribunnews.com newscom 13-12-2012. Diunduh tanggal 29 Desember 2012. Nwagbara, U. 2010. “When Language Means Power: A Sociolinguistic study of Bill Clinton’s between Hope and History”. In the Lumina e-Journal, vol. 21, No. 2, October 2010, ISSN 2094-1188 Holy Name University, PP. 1-19. Poedjosoedarmo, S. 1978. “Kode dan Alih Kode” di dalam Widyaparwa 15, Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa. _______________. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: DEPDIKBUD. Pratt, M.L. 1981. “The Ideology of Speech-Act Theory”. Centrum New Series 1: 5-18. Premsrirat, S. 2002. “Appropriateness in Khmu Culture”. Mon-Khmer Studies Ethnolinguistic Journal 32: Institute of Language and Culture for Rural Development. Mahidol University Thailand, Selaya, Nakhon Pathom 73170, PP. 117 – 129. Rachmad, J. 1992. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya. 119
Rahardi, K. 2001. Sosiolinguistik, Kode dan Alih Kode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset Rani, A. 2004. Analisis Wacana: Sebuah Kajian Bahasa dalam pemakaian. Malang: Bayumedia Publishing. Saville-Troike, M. 2003. Ethnography of Communication: an Introduction. New York: Blackwell Publishing Ltd. Schiffrin, D. 1994. Aproaches to Discourse. Cambridge, Massachusetts 02142 USA: 108 Cowley Road Oxford OX4 1Jf UK Scollon, R. & Scollon, S.K. 1981. Narative, Literacy, and Face in Interethnic Communication. Norwood: Ablex Searly, J. 1985. Speech Act. Cambridge: Cambridge University Press. Setyowati, Y. 2005. “Perkembangan Emosi Anak (Studi Kasus Penerapan Pola Komunikasi Keluarga dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Emosi Anak pada Keluarga Jawa)” dalam Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 2, Nomor 1,Juni 2005: 67-78. Yogyakarta: STPMD “APMD” Silverstein. M.1977. “Cultural Prerequisites to Grammatical Analysis”. In M. Saville-Troike (ed) Linguistic and Anthropology. Washington: Georgetown University Press, PP.139-152 Sofyan, A. 2009. "Morfologi Bahasa Madura Dialek Sumenep”. Disertasi: Universitas Gadjah Mada. Streeck, J. 1980. “Speech Acts in Interaction: a Critique of Searle”. Discourse Prosesses 3: 133-54 Suparmin. (2000). “Pemahaman Budaya sebagai Penunjang Keberhasilan Komunikasi dan Implikasinya dalam Pengajaran Bahasa Asing” dalam Jurnal Ilmu-ilmu Humaniora Vol I/No.2/juli 2000, hal. 57-71. Jember: Jember: Fakultas Sastra Universitas Jember. Suwito.1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik, Teori dan Problema. Surakarta: Henary Offset. Suadi. 2012. ”Bahasa-Etnis”, dalam www.suarapembaruan.com/home/169. diunduh tanggal 29 Pebruari 2012..
120
Sumarsono, P., P. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA bekerja sama dengan Pustaka Pelajar. Sutarto, A., 2002. “Pesantren, Budaya Lokal, dan Prahara Informasi” dalam Menjinakkan Globalisasi: Tentang Peran Strategis Produk-Produk Budaya Lokal. Jember: Kompyawisda & Universitas Jember. _________, 2004. Pesantren dan Politik Tinjauan Kultural-Historis dalam Menguak Pergumulan antara Seni, Politik, Islam, dan Indonesia. Jember: Kompyawisda & Universitas Jember. __________, 2005. Menjadi NU menjadi Indonesia. Jember: Kompyawisda Jatim. Wahyuningsih, I. 2004. “Sistem Komunikasi di Pesantren Salaf Tempurejo: Studi Kasus Kebekuan Hubungan Sosiolinguistik antara Kyai dan Santri”. Laporan Penelitian. Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember. Wibisono, B. (2005). “Perilaku Berbahasa Warga Kelompok Etnis Madura di Jember dalam Obrolan Dengan Mitra Tutur Sesama dan Lain Etnis ". Disertasi: Universitas Negeri Malang. Wibisono, B. & Haryono A. (2009). “Pola-Pola Komuniaksi Etnis Madura Pelaku Perkawinan Usia Dini (Kajian Etnografi Komunikasi) ”. Laporan Penelitian. Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember. Wijana, I. D. P. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi. ___________. 2004. “Relasi Bahasa dan Budaya serta Berbagai Permasalahannya”, dalam Jurnal Semiotika. Volume 5. No. 2, Juli 2004. Jember: Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Satra Universitas Jember. hal.106-131. ____________. 2010. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Program Studi S2 UGM bekerja sama dengan Pustaka Pelajar. Wiyata, A., L. 1990. “Perubahan-Perubahan Sosial yang Mungkin Terjadi pada Masyarakat Madura dalam Era Industrialisasi”, Makalah Simposisum Madura Menuju Industrialisasi, Pamekasan, 23-24 Juni. ______________.2000. Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarkarta: LkiS. 121
Yule, G. 1996. Pragmatics. Hongkong: Oxford University Press. Zamroni, M. 2009. Filsafat Komunikasi (Pengantar Ontologi, Epistimologi, Aksiologi). Yogyakarta 55511: Graha Ilmu. "http://id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_Ulama"(diunduh 28 Februari 2007) “http://m.kompas.com/news/read/2011/07/26/03535664/10 4http://haluan kepri. com/news/tanjungpinang/20607-700-bahasa-daerah-terancampunah. html " (diunduh 29 September 2011)
122
GLOSARIUM Abstrak
:
Alamiah
:
Andhâp Asor
:
Antropologi
:
Antropolgi Linguistik
:
Arbiterer Asumsi Bahasa
: : :
Bahasa Daerah
:
Bahasa Isyarat
:
Bahasa Lisan
:
Bahasa verbal Bibliografi
: :
Deskripsi
:
Garis besar, suatu ringkasan yang secara lengkap, komprehensif, dan jelas memaparkan keseluruhan isi tulisan, umumnya disajikan dalam satu paragraf dan satu spasi.. Tanpa dideasain atau adanya perlakuan sebelumnya. (tatakrama atau sopan santun) adalah perilaku menghargai orang lain yang didasarkan pada perbedaan umur, kedudukan, peran, dan jabatan seseorang. Salah satu ilmu sosial yang mencoba mencari ciri khas yang dimiliki oleh suatu bangsa tertentu. Cabang antropologi yang mempelajari tentang bahasa-bahasa manusia Manasuka, kadang kala tidak ada kaitan logis Pendapat yang belum diuji secara ilmiah adalah suatu sistem tanda, yang didalamnya terdapat nilai-nilai budaya Bahasa suku, atau suatu daerah dan tidak digunakan secara nasional (bersifat lokal). Hanya digunakan oleh mesyarakat penuturnya saja. Bahasa yang dinyatakan dengan gerak-gerik atau iyarat-isyarat tertentu yang sudah menjadi konvensi di masyarakat. Bahasa ini menekankan kepekaan penggunanya pada indra penglihatan. Bahasa yang diungkapkan melalui penggunaan kata-kata atau ujaran, dengan menekankan pada indera pendengaran lihat juga bahasa lisan. Cara pendokumentasian sumber bacaan dalam bentuk daftar yang memuat semua karya yang menurut pendapat penulis secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan isi naskah, baik yang diacu maupun tidak diacu dalam teks Penjelasan, elaborasi, merupakan ciri penelitian kualitatif
Ekpresi tubuh
:
Elemen bahasa isyarat
:
Elemen non verbal
:
Etika berbahasa
:
Etnik
:
Etnografer
:
Etnografi komunikasi
:
Etnografi of speaking
:
Fenomena
:
Fenomenologi
:
124
Pengungkapan gagasan, pikiran dan perasaan melalui gerakan anggota tubuh. Seringkali tidak disadari atau direncanakan Komponen-komponen gerakan yang menunjukkan simbol-simbol atau isyarat tertentu. Komponen-komponen gerakan, isyarat, termasuk di dalamnya kinesik, karakteristik tubuh, gerakan tubuh, suasana komunikasi, paralinguistik, jarak, artifak, kepekaan kulit dsb. Aturan-aturan dalam berbahasa, dalam kaitannya dengan kebudayaan, termasuk norma interaksi dalam masyarakat. Sekelompok orang yang tinggal di daerah/pulau yang memiliki ciri-ciri khas tertentu, termasuk bahasa dan budaya tersendiri. Oraang yang melakukan penelitian etnografi, atau orang yang ahli etnografi. Merupakan salah satu cabang ilmu yang menggabungkan disiplin ilmu antropologi dan linguistik atau pengembangan dari etnografi berbahasa yang mula-mula dikaji oleh Dell Hymes pada tahun 1962. Merupakan studi yang mengkaji perilaku berbahasa komunitas/etnik tertentu yaitu cara-cara bagaimana bahasa dipergunakan dalam masyarakat yang berbeda kebudayaan. Merupakan gabungan antara etnologi dan linguistik yang menyangkut situasi, penggunaan, pola, dan fungsi dari berbicara sebagai suatu aktivitas tersendiri dalam suatu masyarakat tertentu. Fakta yang benar atau yang umumnya dinilai benar, gejala yang terjadi di masyarakat. Merupakan pendekatan yang yang beranggapan bahwa fenomena bukanlah realitas yang berdiri sendiri. Jadi fenomena yang tampak merupakan objek yang penuh dengan makna yang transedenteal. Untuk mendapatkan nilai kebenaran yang sesungguhnya, maka harus menerobos melalui fenomena yang tampak itu.
Fieldwork Fonetik Fonologi Fungsi komunikasi
: : : :
Gaya Bahasa
:
Gaya Komunikasi
:
Gerakan tubuh
:
Gramatika Hepotesis
: :
Penelitian lapangan. Proses menghasilkan sebuah ujaran. Sistem bunyi dalam ujaran. Kegunaan yang secara langsung berkaitan dengan tujuan dan kebutuhan partisipasi seperti menyampaikan perasaan, memerintah, empati dsb. Susunan kata dan kalimat dari bahasa tertentu yang menunjukkan ciri khas dari masyarakat atau orang yang menggunakan bahasa tersebut. Cara khas yang dipergunakan oleh seseorang ketika berkomunikasi dalam situasi tertenttu. Gerakan yang memperlihatkan simbol-simbol tertentu dalam berbahasa. Tata bahasa. Jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian atau pernyataan yang belum teruji yang menjelaskan suatu fakta, yang didasarkan pada telaah konsep-konsep teoritis yang perlu diuji secara empiris.
Hubungan antarkomponen Tutur : Adanya saling keterkaitaan antara komponen tutur yang satu dengan yang lainnya, sehingga merupakan satu kesatuan yang dapat mempengaruhi pola komunikasi. Hubungan etnik : Hubungan yang bersifat kebudayaan, atau menggunakan dasar-dasar dan asumsi-asumsi kebudayaan daerah tertentu. Idiom : satuan-satuan bahasa (dapat berupa kata, frase, maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna leksikal maupun makna gramatikal satuan-satuan yang membentuknya. Ilmu komunikasi : Ilmu yang mempelajari dan meneliti tentang pengoperan lambang-lambang bermakna yang dilakukan seseorang kepada orang lain. Ilmu lnguistik : Ilmu yang mempelajari bahasa. Informan : Seseorang yang memberikan informasi kepada orang lain yang belum mengetahuinya. Informan penelitian : Informan yang merupakan sumber data penelitian yang utama yang meberikan informasi 125
Informasi
:
Interaksi sosial
:
Interpretasi Intonasi Introspeksi
: : :
Isi pesan
:
Isi tuturan Judul
: :
Kaidah interaksi
:
Kategori ujaran
:
Kebudayaan
:
Keterampilan berbahasa : Keterampilan budaya
:
Keterampilan interaksi
:
Kiai
:
126
dan gambaran mengenahi pola perilaku dari kelompok masyarakat yang diteliti. Suatu pesan yang disampaikan kepada seseorang atau sejumlah orang yang baginya merupakan hal yang baru diketahuinya atau sekumpulan fakta dalam format yang bermanfaat dan sesuai dengan keperluan untuk mengambil keputusan. Kegiatan pengaruh mempengaruhi antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, dan antara kelompok dengan kelompok dalam suatu masyarakat. Pemaknaan terhadap data. Tinggi rendahnya nada suara /.vokal. Kegiatan peneliti menganalisis nilai-nilai, dan perilakunya sendiri dan orang-orang yang berada dalam masyarakat. Maksud/pokok pikiran yang akan disampaikan kepada lawan tutur Isi pembicaraan. Kepala karangan, yang dapat menggambarkan isi karya tulis. Kaidah-kaidah penggunaan bahasa yang biasa diterapkan dalam peristiwa komunikasi. Pengelompokan peristiwa dan tindak tutur ke dalam setting tertentu. Cara berpikir dan berperilaku yang telah menjadi ciri khas suatu bangsa/etnik/masyarakat tertentu. Pengetahuan dalam penggunaan dan interpretasi bahasa dalam suatu masyarakat. Pengetahuan dalam menggunakan dan menginterperetasikan kebudayaan dalam suatu masyarakat. Pengetahuan mengenahi cara-cara berinteraksi dalam suatu masyarakat. Guru Muslim, diposisikan sebagai kelompok/orang yang sangat di-ta’dzim-kan (amat dihormati). Dalam struktur sosial maupun politik kiai juga menempati posisi yang amat penting dan paling terhormat, karena pengaruhnya di masyarakat berbasis NU peran
Kode linguistik Komunikasi
: :
Kaidah komunikasi
:
Kompetensi komunikatif :
Komponen tutur
:
Komunikator Komunikan
: :
Komunikasi lisan
:
Konteks tuturan
:
Konsep
:
Kultur Kultur patternalistik
: :
kiai sangat menentukan pola dan warna kehidupan di masyarakat. Simbol-simbol yang mempunyai arti khusus. Proses menyampaikan suatu pesan dalam bentuk lambang bermakna sebagai paduan pikiran dan perasaan yang dilakukan seseorang kepada orang lain. Aturan-aturan yang disepakati bersama dalam suatu masyarakat untuk melakukan kegiatan komunikasi. Pengetahuan ssosial dan kebudayaan yang dimiliki penutur/peserta komunikasi untuk membentu mereka menggunakan dan menginterpretasikan bentuk-bentuk linguistik. Unit-unit tuturan yang menunjang terjadinya suatu peristiwa tutur. Orang yang menyampaikan pesan komunikasi. Orang yang berpartisipasi dalam peristiwa komunikasi (terdiri dari komunikator dan komunikasi). Komunikasi dalam bentuk percakapan/ujaran/vokal. Lingkungan fisik psikis, dan sosial dimana suatu proses tuturan berlangsung. gagasan mengenahi sesuatu yang disusun secara sistematis dan logis dengan memadukan segala fakta dan ciri yang terkait; suatu abstraksi dengan menggeneralisasikan hal-hal yang khusus atau konkrit; abstaraksi yang yang terbentuk melalui generalisasi dari pengamatan fenomenafenomena yang meimiliki kesamaan karakteristik. Lihat juga kebudayaan. kepatuhan santri kepada kiai yang sudah mengkristal dan sudah menjadi tarekat dalam kebiasaan hidup sehari-hari yang diamalkan secara konsisten dan terus menerus baik selama di pesantren maupun setelah kembali ke masyarakat.
127
Makna varian
:
Masyarakat tutur
:
Metodologi penelitian
:
Norma interaksi Norma interpretasi
: :
NU (Nahdlatul Ulama)
:
Oral Outsider
: :
Overlap
:
Partisipan tutur
:
Observasi Partisipasi
:
Penafsiran Penanda fatis
: :
Penelitian kualitatif
:
Pengetahuan linguistic
:
128
Makna yang terdapat pada varian kata atau bahasa, dimana antara satu varian dengan varian yang lain memiliki makna yang berbeda. Masyarakat yang memiliki kaidah yang sama untuk berkomunikasi. Pengetahuan yang mengkaji ketentuan atau suatu aturan mengenahi metode penelitian. Lihat juga kaidah interaksi. Semua informasi mengenahi masyarakat tutur dan kebudayaan yang diperlukan untuk memahami peristiwa tutur. Sebuah oraganisasi sosial kemasyarakatan terbesar anggotanya di Indonesia, merupakan embrio pesantren, dan memiliki kultur yang sama dengan kehidupan pesantren (kultur patternalistik). Lisan/vokal/ujaran. Peran peneliti sebagai orang yang berada di luar lingkungan yang diteliti. Tindakan komunikasi yang tidak berurutan/saling tumpang tindih/terjadi dalam waktu yang bersamaan. Individu-individu yang terlibat dalam suatu proses dan peristiwa tutur. Teknik observasi yang dilakukan oleh peneliti dengan cara melibatkan diri atau menjadi bagian dari lingkungan sosial yang diamati. Proses pemberian makna. Satuan kebahasaan yang digunakan untuk memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan komunikasi antara penutur dengan mitra tutur. Penanda fatis dapat digunakan pada setiap jenis kalimat; baik pada kalimat imperatif, interogatif, maupun deklaratif. Jenis penelitian yang menghasilkan penemuanpenemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Pengetahuan dan keterampilan dalam menggunakan bahasa dalam suatu masyarakat.
Penutur
:
Perilaku komunikasi
:
Perilaku non verbal
:
Peristiwa tutur
:
Persepsi
:
Perspektif
:
Pesantren
:
Pola kalimat
:
Pola komunikasi
:
Proses komunikasi
:
Santri
:
Orang yang berkomunikasi atau menggunakan bahasa. Perilaku yang lahir dari integrasi tiga keterampilan yang dimiliki setiap individu sebagai makhluk sosial. Ketiga keterampilan ini terdiri dari keterampilan linguistik, keterampilan interaksi, dan keterampilan budaya. Perilaku yang mengandalkan bahasa non verbal sebagai saluran keluaran yang utama. Keseluruhan perangkat komponen yang utuh, yang dimulai dengan tujuan utama tuturan, topik umum yang sama, dan melibatkan partisipan yang sama, yang secara umum menggunakan varietas bahasa yang sama, mempertahankan tone yang sama dan kaidah-kaidah ynag sama untuk berinteraksi, dan dalam setting yang sama. Sebuah peristiwa berakhir bila ada perubahan dalam batas-batasnya, misalnya ketika terdapat keheningan, atau perubahan posisi tubuh partisipan tutur. Penerapan atau pengamatan yang dilakukan seseorang secara iderawi terhadap sesuatu yang ada di luar dirinya. Pandangan seseorang secara mental mengenahi suatu fakta, gagasan, dan lain-lain beserta kepautannya. Tempat pemondokan santri yang sedang menuntut ilmu agama Islam, dan diasuh oleh seorang kiai. Hubungan kata-kata yang membentuk suatu kalimat yang bermakna. Hubungan bentuk dan fungsi. Komunikasi yang selalu mengikuti aturan atau kaidah tertantu. Berlangsungnya penyampaian ide, informasi, opini, kepercayaan, perasaan, dan sebagainya oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang, misalnya bahasa, kial, gambar, warna, dan lain-lain yang merupakan isyarat. Seseorang yang secara konsisten dan teratur melaksanakan pokok-pokok peribadatan yang 129
Sein Semantik Setting komunikasi
: : :
Simbol
:
Sistem komunikasi
:
Sistematik Situasi tuturan Sosialisasi
: : :
Sosiokultural Sosiolinguistik
: :
Speech Speech community Struktur Bahasa
: : :
Suara
:
Tindak tutur Tingkat tutur (speech level)
:
130
:
telah diatur dalam agama Islam, mereka pada umumnya mondok di pesantren. Istilah lain ’ada’ dalam Logika Scientifika Makna kata/kalimat. Aspek fisik dari sebuah situsi komunikasi, seperti lokasi, waktu, musim, besar ruangan, tata letak perabot dsb. Sesuatu yang digunakan atau dianggap mewakili sesuatu yang lain. Tata cara komunikasi dalam panduan seluruh unsur dan faktor yang terlibat guna mencapai suatu tujuan tertentu. Teratur menurut sistem. Konteks terjadinya tuturan. Proses pemasyarakatan disebabkan terjadinya komunikasi diantara para penghuni suatu wilayah atau dalam kebudayaan tertentu. Bersifat sosial dan budaya. Ilmu yang mempelajari penggunaan bahasa dalam interaksi sosial karena mereka percaya bahwa bahasa merupakan inti dari interaksi sosial. Bagi sosiolinguistik, interaksi sosial adalah proses tiada akhir yang melibatkan komunikasi di dalamnya, dan sebagian besar komunikasi antar manusia terjadi dengan menggunakan bahasa. Ujaran/vokal/berbicara. Lihat juga masyarakat tutur. Aturan dalam suatu susunan komponenkomponen bahasa. Bunyi atau sistem bunyi yang dapat ditangkap oleh indera pendengaran. Tindakan atau kegiatan berbicara. atau tingkatan bahasa, yang dalam BM disebut ondhâghân bhâsa adalah tingkatan bahasa berhubungan dengan tinggi-rendahnya bahasa yang digunakan dalam berbicara; yang harus memperhatikan status orang yang diajak berbicara, apakah sama, lebih rendah, atau lebih tinggi.
Tipe peristiwa Komunikasi
:
Tone tuturan Topik tuturan
: :
Tujuan tutur
:
Ujaran Unit-unit tuturan
: :
Urutan tindakan
:
varietas Bahasa
:
Wawancara mendalam
:
World view
:
Jenis peristiwa komunikasi, misalnya lelucon, ceramah, salam, percakapan, dsb. Nada atau tinggi rendah sebuah aktivitas tutur. Yang menjadi pokok makna dari simbol-simbol yang dipertukarkan. Tujuan interaksi partisipan tutur secara individual. Vokal/lisan. Komponen-komponen yang membentuk suatu peristiwa komunikasi. Urutan tindak dalam suatu peristiwa tutur, termasuk alih giliran atau fenomina overlap percakapan. Semua jenis bahasa atau kata yang mempunyai makna yang sama, tetapi digunakan dalam situasi tuturan yang berbeda. Wawancara yang dilakukan seorang peneliti untuk memperoleh informasi dari seseorang mengenahi suatu hal secara rinci dan menyeluruh. Pandangan dunia.
131
132
INDEKS A abstrak, 49 alamiah, 17, 71 antropologi, 17, 18, 21, 23 artikel ilmiah, 15 asumsi, 22, 26, 29, 31, 44, 46, 51, 56, 61, 62, 69 B bahasa daerah, 33, 39 bahasa lisan, 38, 77, 79, 83, 85, 88, 91, 95 bahasa verbal, 19, 29, 57, 67, 108 bahasa, 1, 2, 3, 4, 5, 7, 12, 13, 14, 15, 16, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 52, 54, 56, 57, 60, 62, 65, 67, 68, 70, 74, 77, 79, 83, 85, 88, 91, 95, 97, 99, 100, 101, 102, 107, 108, 109, 111, 112, 113, 114, 115, 116 E etnik, 2, 3, 5, 6, 13, 14, 15, 16, 28, 34, 36, 37, 45, 55, 56, 57, 58, 60, 68, 85 etnografer, 24, 27, 116 etnografi komunikasi, 12, 13, 15, 16, 17, 18, 21, 23, 24, 30, 44, 55, 57, 58, 59, 62, 63, 64, 65, 67, 69, 70, 73 F fenomena, 5, 9, 12, 27, 42, 46, 58, 59, 112 fonologi, 36, 70 fungsi komunikasi, 2, 17, 18, 24 G gaya bahasa, 20, 40, 41, 42 gaya komunikasi, 17 gramatika, 21, 24, 25, 114 H hubungan antarkomponen tutur, 101, 116
I idiom, 42, 43 ilmu komunikasi, 16 informan penelitian, 70 informasi, 2, 13, 19, 22, 26, 31, 32, 46, 48, 56, 65, 67, 69, 73, 82, 101, 106, 108, 115 interaksi sosial, 17, 19, 23, 25, 29, 34 interpretasi, 12, 20, 21, 26, 27, 28, 37, 43, 44, 45, 47, 57, 70, 77, 79, 83, 85, 88, 91, 95, 97, 107, 109, 114, 115 intonasi, 12, 19, 20, 29, 57 introspeksi, 67, 68, 69 isi pesan, 47 K kata kunci, 49 kategori ujaran, 20 kebudayaan, 2, 3, 13, 16, 17, 18, 20, 21, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 45, 56, 68, 101, 114, 115, 116 kiai, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 20, 35, 42, 60, 61, 66, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 103, 104, 105, 106, 107, 109, 110, 111, 113, 114 kode linguistik, 22, 103 kompetensi komunikatif, 13, 19, 25, 28, 31, 73, 101, 114, 115, 116 komponen tutur, 17, 23, 30, 47, 48, 55, 57, 67, 70, 71, 73, 74, 76, 101, 101, 104, 105, 107, 109, 110, 111, 112, 113 komunikasi, 1, 2, 3, 4, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 23, 24, 27, 29, 30, 31, 37, 38, 40, 43, 46, 47, 48, 49, 50, 52, 57, 58, 62, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 77, 79, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 88, 89, 90, 93, 95, 97, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 108, 109, 110, 111, 112, 114, 115 konsep, 13, 16, 19, 24, 27, 30, 39, 55, 63, 70, 71, 116 konteks tuturan, 7, 20, 51, 77, 79, 82, 84, 88, 90, 94, 97, 104 kultur, 5, 7, 12, 13, 14, 15, 16, 60, 62, 66, 72, 74, 80, 101, 102, 103, 105, 106, 111, 114, 115 M makna varian, 114 masyarakat tutur, 15, 17, 18, 23, 29, 32, 39, 40, 43, 44, 45, 46, 47, 54, 58, 59, 65, 67, 68, 69, 81, 101, 108, 109, 110, 111, 112, 113 masyarakat tutur metodologi penelitian, 63 134
N norma interaksi, 27, 47, 70, 107, 109, 114 norma interpretasi, 109 outsider, 24, 109 P partisipan tutur, 4, 8, 10, 11, 19, 23, 30, 40, 41, 42, 73, 74, 77, 84, 85, 87, 88, 89, 91, 92, 95, 96, 97, 98, 100, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115 penafsiran, 38 penanda fatis, 76, 81 penelitian kualitatif, 17, 55, 64, 67 perilaku komunikasi, 17, 18, 69 perilaku non verbal, 26 peristiwa tutur, 4, 27, 30, 40, 42, 43, 44, 47, 54, 60, 103, 104, 106, 110, 111, 113, 114 persepsi, 3, 56 perspektif, 24, 27, 31, 57, 65, 69 pesantren, 5, 6, 7, 8, 11, 13, 14, 15, 16, 39, 41, 72, 74, 75, 78, 79, 85, 102, 103, 105, 106, 107, 113, 115 pola komunikasi, 4, 5, 8, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 20, 29, 30, 31, 55, 57, 58, 60, 61, 62, 63, 66, 68, 69, 71, 72, 73, 74, 80, 81, 83, 85, 92, 93, 98, 101, 103, 104, 105, 106, 110, 111, 112, 113, 114, 116 proses komunikasi, 66, 68, 69 S santri, 5, 6, 7, 8, 12, 20, 57, 66, 72, 74, 75, 77, 78, 79, 80, 82, 86, 88, 90, 95, 97, 99, 102, 105, 106, 108, 110, 113, 114, 115 semantik, 30 setting komunikasi, 69 simbol, 12, 19, 20, 22, 25, 27, 28, 29, 33, 57, 71, 76, 102, 115, 116 situasi tuturan, 39, 40, 92 sosialisasi, 14 sosiokultural, 65, 101 sosiolinguistik, 13, 18, 21, 30, 62 speech, 7, 12, 18, 19, 23, 24, 29, 34, 44, 45, 47, 48, 49, 50, 57, 99, 100, 112 T tindak tutur, 12, 19, 24, , 29, 30, 43, 44, 50, 51, 52, 53, 54, 57, 67, 69 tingkat tutur (speech level), 14, 33, 60 tujuan tutur, 10, 61, 72, 91, 92, 100, 101, 105, 111, 115 135
U ujaran, 15, 26, 27, 44, 51, 52, 54 W wahid, 7, 103 world view, 19, 21, 28
136
Tentang Penulis
Dr. Akhmad Haryono, M.Pd. Lahir di Jember 03 Oktober 1967. Setelah Lulus dari MAN Jember 1, dia melanjutakan kuliah S1 bahasa Jerman di Universitas Pattimura lulus tahun 1993, kemudian memperdalam Ilmu Sosiolinguistik (kajian Etnografi Komunikasi) pada program Pasca sarjana Universitas Negeri Surabaya lulus tahun 2006. Pada tahun 2013 dia meraih gelar Dr. IlmuIlmu Humaniora di FIB UGM dengan Fokus kajian etnografi Komunikasi. Dia adalah Staf pengajar Fakultas Sastra Universitas Jember Sejak tahun 1998-sampai sekarang pngampu mata kuliah Bahasa Jerman, Compataive Linguistic, & Public Relation pada Jurusan Sastra Inggris dan pengampu mata kuliah Etnografi Komunikasi dan Komunikasi Lintas Budaya pada Program Magister Linguistik Fakultas Sastra Universitas Jember. Dia juga peneliti bidang sosial humaniora khususnya kajian bahasa dan budaya etnik (Madura dan Using). Dia juga aktif sebagai pemerhati budaya pesantren. Hasilhasil penelitiannya dikontribusikan dalam bentuk artikel di berbagai jurnal ilmiah terkemuka dan terakreditasi. Dia juga aktif dalam seminar-seminar nasional dan internasional berkaitan dengan topiktopik bahasa dan budaya etnik serta pembelajaran bahasa.