UN IV E RS I TA S G A DJ A H M ADA FAKULTAS ILMU BUDAYA JURUSAN BAHASA KOREA Jl. Sosiohumaniora 1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281
Buku 2: RKPM (Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan) Modul Pembelajaran Pertemuan ke 1-3
KESUSASTRAAN KOREA Genap/2 SKS/BDK3611 oleh Dr. Novi Siti Kussuji Indrastuti, M.Hum.
Didanai dengan dana BOPTN P3-UGM Tahun Anggaran 2012 Desember 2012
RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM)
1
2
Mahasiswa mengetahui dan memahami sejarah sastra korea
Sejarah sastra korea klasik
Mahasiswa mengetahui dan memahami sejarah sastra korea
Sejarah sastra korea modern
Soal-Tugas
Audio/Video
Gambar
Topik (pokok, subpokok bahasan, alokasi waktu)
Presentasi
Tujuan Ajar/ Keluaran/ Indikator
Teks
Pertemuan ke
Media Ajar
Metode Ajar
Aktivitas Mahasiswa
Aktivitas Dosen/ Nama Pengajar
Sumb er Ajar
√
√
Tanya jawab: mahasiswa yang aktif akan mendapatka n tambahan poin
Mahasiswa mendengar kan penjelasan dosen
Tanya jawab
Dosen mem- Pusta berikan ka 1, penjelasan 3, 4 dengan alat bantu alat bantu papan tulis, laptop, dan LCD
√
√
Tanya jawab: mahasiswa yang aktif akan mendapatka n tambahan
Mahasiswa mendengar kan penjelasan dosen
Tanya jawab
Dosen mem- Pusta berikan ka 1, penjelasan 3, 4 dengan alat bantu alat bantu papan tulis, laptop, dan LCD
Waktu: 1x pertemuan @100 menit
Waktu: 1x pertemuan @100 menit
Metode Evaluasi dan Penilaian
poin 3
Mahasiswa mengetahui dan memahami sejarah sastra korea
Sejarah sastra korea modern Waktu: 1x pertemuan @100 menit
√
√
Tanya jawab: mahasiswa yang aktif akan mendapatka n tambahan poin
Mahasiswa mendengar kan penjelasan dosen
Tanya jawab
Dosen mem- Pusta berikan ka 1, penjelasan 3, 4 dengan alat bantu alat bantu papan tulis, laptop, dan LCD
BAB I SEJARAH SASTRA KOREA
PENDAHULUAN Deskripsi Singkat Bab ini memiliki penjelasan lengkap tentang sejarah Sastra Korea mulai dari Sastra Klasik hingga Sastra Modern. Penjelasan tersebut mencakup sejarah terbentuknya hingga perngaruh yang didapatkan oleh masing-masing jenis Sastra Korea. Bab ini juga menjelaskan tentang periode sastra pada zaman penjajahan Jepang di Korea. Manfaat Bab ini dapat memberikan informasi yang dibutuhkan oleh mahasiswa tentang sejarah Sastra Korea, sehingga mahasiswa dapat memperluas wawasan dan pengetahuan masingmasing tentang sejarah Sastra Korea. Relevansi Bab ini mempunyai relevansi dengan bab selanjutnya, dari bab II hingga bab VI. Karena pada bab selanjutnya menjelaskan tentang jenis-jenis Sastra Korea baik lisan maupun tulisan. Learning Outcomes Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat menambah wawasan tentang sejarah Sastra Korea. Selain itu mahasiswa juga diharapkan dapat mengasah kemampuan untuk menganalisis karya sastra Korea.
PENYAJIAN Kesusastraan Korea adalah sastra yang ditulis dalam Bahasa Korea, oleh orang Korea dan di dalam wilayah Korea (Lee, 2008:205). Wilayah Korea pada saat ini terbatas hanya pada semenanjung Korea, sehingga karya sastra yang ditulis di dalam wilayah semenanjung Korea disebut sastra Korea. Akan tetapi pada masa Kerajaan Goguryeo, wilayah Korea mencapai Manchuria sehingga sastra Korea pada masa itu termasuk sastra yang ditulis di wilayah Manchuria. Sastra Korea dapat dibagi ke dalam sastra lisan dan tulis. Sastra lisan terdiri dari lagu daerah, dongeng, mitologi, dan lagu shaman. Sastra tulis dibagi ke dalam dua jenis metode yaitu sastra hyangchal dan sastra hangeul (Lee, 2008:207). Secara kronologis Sastra Korea dibagi menjadi dua periode, yaitu sastra klasik dan
sastra modern. Sastra klasik berkembang pada masa kerajaan-kerajaan Korea, dimulai pada masa Kerajaan Silla yaitu pada abad ke-6 Masehi, dan berkembang hingga masa Kerajaan Joseon. Sastra korea klasik dikembangkan berdasarkan kepercayaan kuno Korea, juga Taoisme, Konfusianisme, dan Buddhisme. Sastra modern Korea berkembang karena adanya budaya Barat pada akhir Kerajaan Joseon berlanjut hingga kini (The Korean Overseas Information Service, 2003:501).
1.1
Sastra Klasik Sastra klasik Korea berkembang sejak zaman Tiga Kerajaan (5 SM-668 M). Sastra
klasik Korea dikembangkan berdasarkan kepercayaan tradisional rakyat Korea. Sastra pada periode ini berkembang dengan mendapatkan pengaruh ajaran Taoisme, Konfusianisme, dan Buddhisme yang menjadi pengaruh terbesar. Tidak hanya ketiga pengaruh tersebut, ajaran Konghuchu juga memberikan pengaruh yang cukup signifikan pada masa Dinasti Joseon. Sastra klasik Korea ditulis dengan huruf Cina dan ditemukan pada awal masa Tiga Kerajaan. Pada saat Goryeo dan Joseon, karakter Cina sangat menyatu dengan kehidupan masyarakat Korea. Ini juga disebabkan oleh banyaknya karya sastra yang ditemukan di Cina (The Korean Overseas Information Service, 2003:501). Penggunaan huruf Korea dimulai pada masa dinasti Joseon dengan ditemukannya Hunmingjeong-eum pada abad 15. Karya sastra yang ditulis dengan karakter Cina banyak diminati oleh kalangan atas, sedangkan karya sastra yang ditulis menggunakan hangeul dinikmati oleh wanita dan rakyat biasa. Lee (2008:207) menyebutkan bahwa sastra klasik Korea dapat dibagi menjadi dua, yaitu: sastra lisan yang terdiri dari lagu daerah, dongeng, mitologi, dan lagu shaman; dan sastra tulis yang terbagi menjadi dua jenis, yaitu Hyangch‟al Literature dan Hangeul Literature. Jenis-jenis sastra klasik beserta contoh menurut gaya penulisannya menurut Lee (2008:207) adalah sebagai berikut : lirik yang terdiri dari hyangga, goryeo gayo, dan sijo; narasi yang terdiri dari novel; dramatis yang terdiri dari drama boneka, drama shaman, dan drama tari topeng; dan deskripsi yang terdiri dari buku harian, gasa, dan surat-surat.
1.2
Sastra Modern Sastra modern Korea muncul dengan latar belakang runtuhnya Dinasti Joseon pada
permulaan abad ke-20 (Yang dan Elias, 1988:123). Kemunculan ini dilatarbelakangi oleh perkembangan realitas politik saat kekuasaan Jepang di Asia Timur. Sastra modern Korea dikembangkan berdasarkan pengaruh Barat yang tersebar melalui Jepang dan Cina. Selain
pemikiran Kristiani, terdapat kecenderungan aspek artistik dan estetik yang terpengaruh Budaya Barat. Hal yang membedakan antara sastra klasik dan modern adalah penggunaan bahasanya. Bahasa yang digunakan dalam sastra klasik adalah Bahasa Cina karena belum terciptanya hangeul, sedangkan sastra modern sudah menggunakan Bahasa Korea yang menjadi fondasi sastra nasional. Untuk mengembangkan karya sastra nasional yang diciptakan menggunakan Bahasa Korea dan huruf Hangeul, terbentuk gerakan bahasa dan sastra nasional. Periode sastra modern dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu: 1) Periode Sastra Pencerahan; 2) Periode Sastra pada Zaman Penjajahan Jepang; 3) Periode Sastra Divisi Nasional.
1.2.1 Periode Sastra Pencerahan Perubahan klasik-modern pada periode ini lebih disebabkan karena adanya sistem pendidikan baru dan Gerakan Bahasa dan Sastra Nasional. Setelah adanya reformasi KABO (1894) sistem pendidikan baru diberlakukan dan munculnya sekolah-sekolah baru dengan pengaruh gaya barat sehingga dengan sendirinya muncul juga buku-buku pelajaran baru untuk mengajarkan pelajaran-pelajaran tentang pengetahuan yang dibawa dari Barat. Pada saat itu muncul surat kabar untuk mengapresiasikan karya sastra yang memuat sijo dan gasa di dalamnya. Selain itu muncul pula semacam organisasi atau perkumpulan pengarang-pengarang profesional. Tidak hanya organisasi, muncul juga penerbitan yang banyak mencetak karya-karya sastra. Pada masa itu terdapat banyak ch‟angga, shinceshi, dan chayushi. Ch‟angga dan shinceshi dianggap sebagai bentuk puisi baru. Kedua karya ini dianggap memberi kontribusi yang besar terhadap pembentukan chayushi modern. Chayushi adalah puisi yang sifatnya bebas. Meskipun sifatnya bebas, tetapi masih ada unsur-unsur puisi lama yang dipakai sebagai sarana individual untuk mengekspresikan sesuatu. Selain munculnya puisi-puisi baru juga muncul karya-karya biografis dan fabel. Karya-karya ini bertujuan untuk membangkitkan semangat nasionalisme dan patriotisme pada saat penjajahan Jepang. Pada masa itu sastra dan politik adalah dua hal yang saling berhubungan. Alasan lain dibuatnya biografis adalah karena biografi lebih konkret dan realistis. Biografis bercerita tentang gambaran-gambaran kepahlawanan seseorang dan realita sosial sedangkan fabel banyak berisi kritik sosial dan dianggap sebagai cara yang paling aman untuk mengekspresikan kritik sosial yang ingin disampaikan. Cara mengkritik yang
digunakan seperti di dalam fabel juga diadaptasi dalam pertunjukan drama tari topeng Korea yang berisi tentang kritik sosial yang dilakukan melalui humor. Bentuk karya sastra yang paling populer di masa itu adalah novel. Hal yang dikemukakan dalam novel adalah cita-cita pencerahan dengan latar belakang realitas kehidupan (horizontal). Pada saat penjajahan Jepang, karya novel lebih menonjolkan nasib tokoh secara individual dan cerita percintaan. Teknik bercerita dalam struktur novel yang muncul pada waktu itu adalah teknik flashback.
1.2.2 Periode Sastra Pada Zaman Penjajahan Jepang Sastra Korea pada masa ini diawali pada Maret 1919.
Masyarakat Korea mulai
menunjukkan sikap positif dalam menghadapi situasi nasional mereka. Perasaan kebangkitan nasional pada masa itu sangat kuat yang berpengaruh pada karya sastranya. Karya-karya sastra pada saat itu umumnya bertema tentang ekspresi individu yang ingin bangkit dan juga realitas sosial. Upaya kreatif pada masa itu juga sangat berkembang. Salah satu karya sastra yang muncul adalah novel. Novel pada awal 1920an sebagian besar mengemukakan penderitaan-penderitaan dan terutama penderitaan yang menimpa kaum buruh dan petani. Selain itu muncul juga jenis karya sastra yang lain yaitu cerpen. Di dalam cerpen ini dikemukakan tema tentang pergeseran nasib manusia, bagaimana cara seseorang dalam mengatasi masalah dalam realitas kehidupan, ekspresi penderitaan Korea di bawah kolonial Jepang. Kebebasan bentuk dan ekspresi dalam sastra modern Korea pada masa itu mendapat pengaruh dari Prancis. Pada pertengahan 1920an sastra Korea dibagi menjadi dua yaitu sastra nasional dan sastra kelas. Sastra kelas mulai menguat pada tahun 1925 dengan berdirinya organisasi KAPF (Korean Artist Proletarian Federation). Organisasi ini dibentuk oleh sebagian besar anggota dari Anti-Conventional School, penyair dan novelis Korea yang menganut paham sosialis (Lee, 2008:237). Gerakan sastra Protelar ini memperluas organisasi dan kesadaran kelas melalui sastra. Mereka berusaha memperkuat ideologi kelas dalam masyarakat, oleh karena itu muncul Sastra Buruh dan Sastra Petani. Pada saat itu muncul novel-novel yang sebagian besar berlandaskan kesadaran kelas dan menekankan perjuangan memerangi kolonialisme. Dalam hal ini tokoh protagonis seperti buruh dan petani mempunyai posisi sentral dalam perjuangan ini. Tidak hanya novel saja tetapi ada tema-tema yang mengandung tentang kontradiksi kelas (kolonialisme dan proletar) dalam puisi.
Pada tahun 1930an sastra Korea mengalami perubahan yang cukup berarti karena militerisme Jepang semakin kuat dan pemaksaan ideologi mulai diterapkan dalam karya sastra. Orientasi karya sastra pada masa itu lebih menekankan pada gaya dan teknik penulisan.
1.2.3 Periode Sastra Divisi Nasional Setelah terlepas dari penjajahan Jepang, Korea mulai merintis politik di kancah dunia. Adanya pemikiran politik yang berkembang mempengaruhi karya sastra sehingga membawa dampak yang signifikan dalam perkembangan karya sastra. Setelah masyarakat Korea terlepas dari penjajahan, karya sastra menunjukkan perkembangan yang pesat. Pada saat Perang Korea, muncul sastra zaman perang yang memicu terbentuknya sastra politik. Setelah penjajahan Jepang dan selepas perang berakhir, terbitlah novel-novel pasca perang dengan tema-tema menuju masyarakat yang bebas dari penderitaan. Ada juga tema utama yang diambil yaitu runtuhnya sistem-sistem nilai tradisional dan krisis moral atau masalah yang timbul dalam masyarakat. Sejak saat itu terbentuklah pengertian bahwa sastra merefleksikan zamannya dan merupakan cerminan sosial, budaya, dan politik saat sastra itu diciptakan. Bentuk puisi sesudah Perang Korea yaitu: 1) Mempunyai semangat baru; 2) Teknik kepuitisan mengalami pembaharuan; 3) Tren puisi pasca perang masih mempertahankan gaya yang berakar pada drama tradisional. Puisi pada masa pasca perang digunakan sebagai ekspresi politik atau kendaraan politik yang sangat efektif. Puisi pada masa ini cenderung singkat, efektif, dan persuasif. Pada tahun 1970an karakteristik yang paling penting dalam novel Korea adalah permasalahan sosial yang baru muncul saat proses industrialisasi. Pada masa itu dimulainya perkembangan industrialisasi yang menyebabkan kesenjangan sosial antara yang kaya dan miskin. Terdapat satu karya yang menarik di Korea tentang petani yang terabaikan karena dibangunnya industrialisasi. Muncul juga karya tentang kaum buruh, tetapi semua itu dikaitkan dengan industrialisasi. Pada saat itu muncul novel-novel yang bergaya satir karena aman dan lebih mengena. Kemudian muncul novel divisi yang diterbitkan setelah melampaui pemeriksaan secara kritis oleh divisi nasional. Adapun karya lain yang berbentuk Roman (cinta). Temanya tidak selalu tentang percintaan antara perempuan dan laki-laki, bisa juga tentang cinta terhadap yang lain. Ada juga puisi yang berbicara tentang massa yang tertindas.
1.2.4 Terjemahan Sastra Korea dalam Bahasa Asing Terjemahan sastra Korea makin banyak dilakukan hingga sekitar tahun 1980an karena masyarakat tidak mengerti Bahasa Korea dari Hangeul yang membuat sastra Korea belum mendunia. Oleh sebab itu dilakukan terjemahan ke dalam bahasa asing supaya orang dapat mengerti. Proses penerjemahan sastra Korea dipelopori oleh orang Korea yang bermukim di Amerika. Sejak saat itu penerjemah menjadi profesi yang cukup menjanjikan dan kualitasnya meningkat secara stabil. Karya sastra yang banyak diterjemahkan adalah puisi, prosa, dan novel. Drama sangat jarang diterjemahkan. Karya-karya sastra terjemahan sebagian besar diterbitkan oleh penerbit luar negeri sehingga membuat cakupan pembaca terhadap sastra Korea menjadi semakin luas. Berdasarkan penjelasan di atas, sastra Korea memiliki sejarah yang panjang. Sastra Korea juga mengalami perkembangan yang signifikan dimulai dari sastra Korea klasik sampai dengan sastra Korea modern terutama dalam segi contoh karya yang diciptakan. Sasra klasik memiliki hyangga, sijo, goryeo gayo, dan gasa, pada masa ini belum banyak berkembang novel ataupun cerpen. Akan tetapi setelah runtuhnya Kerajaan Joseon, banyak karya sastra berupa novel dan cerpen yang berkembang dengan pesat. Aktivitas a. Mahasiswa berdiskusi dan memberikan komentar, b. Dosen memberikan pengayaan dengan alat bantu alat bantu papan tulis, laptop, dan LCD, c. Tanya jawab. Tugas dan/atau latihan Mahasiswa diminta untuk merangkum isi bab dengan menambahkan beberapa poin penting yang didapat dari buku referensi lain. Latihan 1.
Pengaruh apa sajakah yang memperngaruhi Sastra Korea klasik?
2.
Sebutkan tiga periode dalam Sastra Modern Korea!
3.
Sebutkan perbedaan antara Sastra Klasik dan Modern Korea!
Rangkuman Secara kronologis sastra korea dibagi menjadi dua yaitu sastra klasik dan modern. Sastra klasik berkembang pada masa kerajaan-kerajaan hingga kerajaan Joseon, sedangkan sastra
modern berkembang pada masa penjajahan Jepang hingga saat ini. sastra klasik dipengaruhi ajaran Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme, sementara sastra modern banyak dipengaruhi oleh pengaruh dari Barat. Pada masa perkembangan sastra korea modern, terdapat tiga periode yaitu periode sastra pencerahan, periode sastra pada zaman penjajahan Jepang, dan periode sastra divisi nasional.
PENUTUP a. Penilaian 1.
Perkuliahan dikatakan berhasil jika mahasiswa dapat memahami keseluruhan isi bab ini, terutama dalam membedakan sastra klasik dan modern Korea beserta jenisjenisnya.
2.
Rentang nilai adalah 45- < 80.
b. Tindak lanjut Mahasiswa yang belum dapat memahami isi terutama dalam membedakan sastra klasik dan modern Korea diharapkan dapat mempelajari lebih lanjut tentang bab ini.
Evaluasi yang direncanakan Pembelajaran perkuliahan ini dikatakan berhasil apabila mahasiswa dapat Indikator keberhasilan Butir kemampuan Mahasiswa akan mampu membedakan sastra klasik dan modern Korea beserta jenisjenisnya
Butir penilaian
Poin maks.
Penyajian hasil jawaban Ujian Tengah Semester yang benar
10
Matrix Penilaian Materi/isi
Sejarah Sastra Korea
Ranah Kognitif C1
C2
1
1
C3
C4
C5
C6 X
Ranah
Ranah
Metode
Tujuan Khusus
Afektif
Psikomotorik
Penilaian
Pembelajaran
A
Mid Semester
D1, D4
Keterangan: I : Imitation berarti meniru. M : Manipulation, yakni melakukan suatu modifikasi. P : Precision, yakni melakukan tindakan dengan penuh ketepatan. A : Articulation, yakni mampu mengekspresikan/memberikan penjelasan secara tepat. N : Naturalisation, yakni keterampilan yang diperoleh menjadi kebiasaan yang terinternalisasi dalam diri. C1 C2 C3 C4 C5 C6
: Pengetahuan : mengenali, mendiskripsikan, menamakan, mendifinisikan, memasangkan, memilih. : Pemahaman : mengklasifikasikan, menjelaskan, mengintisarikan, meramalkan, membedakan. : Aplikasi : mendemonstrasikan, menghitung, menyelesaikan, menyesuaikan, mengoperasikan, menghubungkan, menyusun. : Analisis : menemukan perbedaan, memisahkan, membuat diagram, membuat estimasi, menyusun urutan, mengambil kesimpulan. : Sintesis : menggabungkan, menciptakan, merumuskan, merancang, membuat komposisi, menyusun kembali, merevisi. : Evaluasi : menimbang, mengkritik, membandingkan, memberi alasan, menyimpulkan, memberi dukungan.
UN IV E RS I TA S G A DJ A H M ADA FAKULTAS ILMU BUDAYA JURUSAN BAHASA KOREA Jl. Sosiohumaniora 1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281
Buku 2: RKPM (Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan) Modul Pembelajaran Pertemuan ke 4
KESUSASTRAAN KOREA Genap/2 SKS/BDK3611 oleh Dr. Novi Siti Kussuji Indrastuti, M.Hum.
Didanai dengan dana BOPTN P3-UGM Tahun Anggaran 2012 Desember 2012
Sastrawan Korea dan karya-karyanya Waktu: 1x pertemuan @100 menit
√
Soal-Tugas
√
Audio/Video
Gambar
Mahasiswa mengetahui dan memahami sastrawan korea dan karyakaryanya
Topik (pokok, subpokok bahasan, alokasi waktu)
Presentasi
4
Tujuan Ajar/ Keluaran/ Indikator
Teks
Pertemuan ke
Media Ajar
√
Metode Evaluasi dan Penilaian
Tanya jawab: mahasiswa yang aktif akan mendapatka n tambahan poin
Metode Ajar
Aktivitas Mahasiswa
Mahasiswa mendengar kan penjelasan dosen
Tanya jawab
Aktivitas Dosen/ Nama Pengajar
Sumber Ajar
Dosen mem- Pustaka berikan 3 penjelasan dengan alat bantu alat bantu papan tulis, laptop, dan LCD
BAB II SASTRAWAN KOREA DAN KARYANYA
PENDAHULUAN Deskripsi Singkat Bab ini memiliki penjelasan lengkap tentang sastrawan Korea beserta karya-karyanya. Penjelasan tersebut mencakup biografi penyair Korea dan contoh karyanya masing-masing satu. Bab ini menjelaskan sepuluh penyair Korea yang paling terkenal pada masanya. Manfaat Bab ini dapat memberikan informasi yang dibutuhkan oleh mahasiswa tentang sastrawan Korea dan karya-karyanya, sehingga mahasiswa dapat memperluas wawasan dan pengetahuan masing-masing tentang penyair Korea. Relevansi Bab ini mempunyai relevansi dengan bab I, bab VI dan bab V. Karena pada bab selanjutnya menjelaskan tentang contoh-contoh puisi dan karya prosa Korea. Learning Outcomes Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat menambah wawasan tentang sastrawan-sastrawan Korea. Selain itu mahasiswa juga diharapkan dapat mengasah kemampuan untuk menganalisis karya sastra Korea.
PENYAJIAN Perkembangan puisi modern Korea yang dimulai pada saat runtuhnya Kerajaan Joseon sangat menarik untuk dipelajari. Puisi-puisi Korea memiliki kecenderungan untuk mengungkapkan kecintaan dan kedekatan terhadap alam. Itulah sebabnya mengapa unsurunsur estetika alam sangat banyak ditemui dalam karya sastra Korea sejak dulu hingga sekarang. Puisi gaya baru Korea yang berkembang di tahun 1908-1918 mempunyai kecenderungan untuk keluar dari tata cara tradisional. Selanjutnya puisi Korea banyak didominasi oleh simbol-simbol dari Barat terutama Prancis pada akhir tahun 1918 (Lee, 2003:342). Pada tahun 1920an, puisi modern Korea mengalami perubahan dan semakin berkembang dengan bebas. Pada masa itu Korea juga mencetak sastrawan-sastrawan yang memiliki keunikan dan ciri masing-masing dalam menciptakan puisi. Di bawah ini terdapat beberapa sastrawan korea yang terkenal antara tahun 1920-1950
dengan karya-karyanya.
2.1
Kim Ok (1886-195 )
(http://terms.naver.com/entry.nhn?cid=1616&docId=552758&mobile&categoryId=1616 )
Kim Ok lahir di Kwaksan, Provinsi Pyong‟an Utara pada 30 November 1886. Kim menjadi sosok penting dalam perkembangan puisi Korea modern. Pada awalnya Kim banyak menerjemahkan karya-karya sastra dari Barat. Karya-karya ini berpengaruh besar dalam kesusastraan Korea. Kumpulan puisi terjemahannya yang diterbitkan adalah Dance of Agony (1918), dalam kumpulan puisi ini, Kim mengenalkan simbolis Prancis yang turut membentuk karakter puisi Korea pada tahun 1920an (Rim, 2007:178). Kim dianggap memberi penekanan pada musikalitas dan sentimentalitas karya-karya simbolis Barat yang membuatnya dituding menghambat tumbuhnya puisi simbolis sebagai sebuah karya (Rim, 2007:179). Kim juga menerjemahkan puisi-puisi Cina kuno ke dalam puisi Korea modern. Selain menerjemahkan puisi-puisi barat, Kim juga menciptakan karya orisinil yang menjadi evolusi besar dalam perkembangan sastra Korea modern. Kim mulai menulis pada tahun 1918 dan menjadi anggota penting dari majalah kesusastraan The Creation pada tahun 1919 (Kim, 1995:7). Puisi Kim yang berjudul „Ketika Fajar Menjelang‟ (When Dawn Breaks) mengekspresikan emosi dan irama dalam puisi Korea (Rim, 2007:179). Pada masa hidupnya Kim menjadi editor di sebuah perusahaan penerbit yaitu Suseonsa setelah Korea merdeka dari penjajahan Jepang. Akan tetapi pada saat Perang Korea (1950) Kim diculik dan dibawa paksa ke Korea Utara. Kemudian Kim bekerja di sebuah penerbitan bernama Gyeongseong Jungan Broadcasting Company untuk Korea Utara pada tahun 1952 (Rim, 2007:179). Beberapa contoh karya dari Kim adalah „Nyanyian Ubur-Ubur‟ („A Song of Jellyfish‟1923), „Nyanyian Musim Semi‟ („A Song of Spring‟-1925), „Pasir Emas‟ („The Golden Sands‟-1925), „Kumpulan Puisi Kim Ok‟ („Collected Poems of Kim Ok‟-1929), Ketika Fajar
Menjelang („When Dawn Breaks‟-1947) (Kim, 1995:7). Berikut adalah satu contoh puisi karya Kim Ok yang berjudul 볼바람 („Nyanyian Musim Semi‟). 볼바람 하늘 하늘 잎사귀와 춤을 춥니다 하늘 하늘 꽃송이와 입맞춥니다 하늘하늘 어디론지 떠나갑니다 하늘하늘 떠서 도는 하늘바람은 그대 잃은 이 내 몸의 넋들이외다 (Rim, 2007:183) Nyanyian Musim Semi Berayun-ayun Menari bersama dedaunan Berayun-ayun Mengirup aroma bunga Berayun-ayun Melayang terbang kemana pun Berayun-ayun Angin langit yang berputar dan terbang Jiwaku yang kehilanganmu
2.2
Byon Yongno (1897-1961)
(http://tv03.search.naver.net/nhnsvc?size=120x150&quality=9&q=http://sstatic.naver.net/people/61/201005191844204151.jp g)
Byon lahir di Seoul, 9 Mei 1898. Dikenal dengan nama pena Suju (Rim, 2007:130). Byon menempuh pendidikan di Choongang Academy. Byon menjadi editor pelaksana di New Public Opinion dan mengajar di beberapa universitas di Korea seperti Ehwa Women University, Sungkyunkwan University dan Naval Academy of Korea (Kim, 1995:15). Byon juga bekerja sebagai reporter The Dong-a Ilbo dan editor kepala New Family. Byon juga menjadi chairman dari The Korean Division of International PEN Club dan presiden The Korean Opinion Publishing House (Rim, 2007:31). Byon dikenal sebagai salah satu penyair hebat dengan gaya bahasanya yang retoris dan jenius. Byon aktif dalam dunia sastra semasa hidupnya. Kumpulan puisinya yang berjudul The Heart of Korea dikenal luas oleh masyarakat Korea walaupun banyak kontroversi dalam penerbitannya. Ini disebabkan oleh banyaknya nada nasionalisme dalam puisi-puisi tersebut. Puisi itu dibuat untuk membangkutkan semangat rakyat Korea yang dijajah oleh Jepang pada masa itu (Rim, 2007:130). Salah satu puisinya dalam antologi puisi itu berjudul 논개 (Nongae) yang menjadi karya sastranya yang penting dan dianggap sebagai ancaman bagi pihak kolonial. Pada tahun 1918, karya pertamanya dimuat dalam jurnal Life‟s Prime dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Byon juga membuat puisi „To Me Having Hope dan My Dreams‟ yang dimuat dalam jurnal New World bersama esainya „Secrets of Religion‟ (Rim, 2007:131). Karya-karyanya yang terkenal yaitu „Pikiran Korea‟ („The Heart of Korea'1924), „Azalea‟, dan „Hujan Musim Semi‟ („Spring Rain‟) (Kim, 1995:15). Pada tahun 1948 Byon dianugerahi penghargaan 1st Cultural Prize. Berikut adalah contoh karya Byon Yongno yang berjudul „봄 비’ („Hujan Musim Semi‟).
봄비 나직하고 그윽하게 부르는 소리 있어 나아가 보니 아, 나아가 보니 – 졸음 잔뜩 실은 듯한 젖빛 구름만이 무척이나 가쁜 듯이 한없이 게으르게 푸른 하늘 위를 거닌다 아, 잃은 것 없이 서운한 나의 마음! 나직하고 그윽하게 부르는 소리 있어 나아가 보니 아, 나아가 보니 – 어려풋이 나는 지난 날의 회상같이 떨리는 뵈지 않는 꽃이 입김만이 그의 향기로운 자랑 안에 자지러지노나! 아, 찔림 없이 아픈 나의 가슴! 나직하고 그윽하게 부르는 소리있어 나아가 보니 아, 나아가 보니 – 이제는 젖빛 구름도 꽃의 입김도 자취 없고 다만 비둘기 발목만 붉히는 은실 같은 봄비만이 소리도 없이 근심같이 내리누나! 아, 안 올 사람 기다리는 나의 마음! (Rim, 2007:135)
Hujan Musim Semi Terdengar suara memanggil pelan nan mesra Aku keluar ah aku keluar Awan seputih susu membuat mengantuk Perlahan-lahan dengan malas Melintasi lagit biru Ah, hatiku sedih tanpa ada satu pun yang hilang! Terdengar suara memanggil pelan nan mesra Aku keluar ah aku keluar Bagai kenangan masa lampau yang samar Hembusan bunga tak terlihat Menghembuskan aromanya Ah, hatiku sakit tanpa ada satu pun yang menusuk! Terdengar suara memanggil pelan nanmesra Aku keluar ah aku keluar Tak tersisa awan putih Hembusan bunga pun tak ada lagi Hanya tersisa hujan musim semi seindah benang perak Membasahi burung merpati
Tanpa suara dan tanpa ragu! Ah, hatiku menunggu seorang yang tak kunjung tiba!
2.3
Kim Sowol (1902-1934)
(http://tv03.search.naver.net/nhnsvc?size=120x150&quality=9&q=http://sstatic.naver.net/people/48/201108051405422091.jp g)
Kim Chongsik, atau yang lebih dikenal dengan nama pena Kim Sowol lahir di Kwaksan, Provinsi Pyong‟an Utara pada tahun 1902. Menempuh pendidikan di Tokyo University of Commerce pada tahun 1923 tetapi berhenti ketika gempa bumi besar melanda Kanto. Kim Sowol dikenal secara luas sebagai tokoh yang paling penting dan terkenal dalam awal pembentukan puisi Korea modern. Pada awal pertumbuhan kesusastraan modern, Kim telah menghasilkan sajak-sajak yang terinspirasi oleh lagu-lagu daerah (folksong).
Kim
memiliki gaya yang sama dengan pendahulunya yaitu Kim Ok dan Joo Yohan (Rim, 2007:22). Karya-karyanya memuat elemen cerita rakyat dan lagu daerah dengan teknik bersyair yang inovatif menggunakan „free three-uembo rhythms‟ yaitu simbol suara, bunyi, kalavinka, dan format tanya jawab yang menghasilkan kelenturan gaya bahasa. Rasa sakit dan penderitaan yang dirasakannya tercermin dalam sajak-sajak „진달래꽃‟ („Azalea‟), „몇 後日’ („Suatu Saat Nanti‟), „예전엔 미처 몰랐어요‟ („Sebelumnya Aku Tak Tahu‟), „못잊어‟ („Selalu Terkenang‟), dan „산유화’ („Bunga-Bunga di Perbukitan‟). Kim juga menciptakan puisi-puisi yang mengungkapkan kepeduliannya akan kemiskinan dan kerasnya penderitaan hidup di masa penjajahan Jepang dalam puisi „If Only There Were Land on Which We Could Walk Freely‟, „Song of The Namuri Plain‟, dan „Clothing, Food, and Freedom‟ (Rim, 2007:23). Karirnya sebagai penyair dimulai tahun 1920 ketika ia mempublikasikan setidaknya 5 puisi, di antaranya „A Spring Wanderer‟ dalam jurnal Creation. Kim menciptakan total sebanyak 270 puisi 17 di antaranya puisi terjemahan dalam 5 tahun dan dikenal sebagai penyair terbesar yang pernah ada dalam sejarah Kesusastraan Korea (Kim, 1995:39). Kim
Sowol meninggal pada tanggal 24 Desember 1934 di Gwaksan, kampung halamanannya (Rim, 2007:23). Berikut ini adalah salah satu puisi Kim Sowol yang paling terkenal yaitu „진달래꽃‟ („Azalea‟). 진달래꽃 나 보기가 역겨워 가실 때에는 말없이 고히 보내드리우리다 영변에 약산 진달래꽃 아름따다 가실 길에 뿌리우리다 가시는 걸음 걸음 놓인 그 꽃을 사뿐히 즈려밟고 가시옵소서 나 보기가 역겨워 가실 때에는 죽어도 아니 눈물 흘리우리다 (Rim, 2007:33)
Azalea Saat kau pergi muak melihat diriku tanpa kata-kata kulepas kepergianmu Kupetik bunga Azalea nan cantik di Bukit Yaksan Yangbyeon dan kutaburi kepergianmu Selangkah demi selangkah kau jejak bunga yang kutabur lemah gemulai, dengan mesra Saat kau pergi muak melihat diriku sampai mati ku takkan menangis 2.4
Han Yong’un (1879-1944)
(http://tv03.search.naver.net/nhnsvc?size=120x150&quality=9&q=http://sstatic.naver.net/people/31/200901152027334161.jp g)
Han lahir di Hongsong, Chungchong Selatan pada tanggal 12 Juli 1879 dengan nama Yucheon kemudian Han mendapat nama Buddha, yaitu Manhae (Rim, 2007:98). Han belajar sastra klasik Cina selama masih kanak-kanak dan masuk ke sekolah dasar yang terkenal pada saat dinasti Joseon. Han hidup di Ose-am di Kuil Baekdam (Baekdamsa) untuk pengasingan diri sejak 1896. Selama pengasingannya, Han memperlajari teks-teks kitab suci Buddha dan buku filsafat modern sampai pada tahun 1905 saat ia menerima jubah biara biksu di Kuil Baekdam. Pada tahun 1908, Han pegi ke Jepang untuk mempelajari agama Buddha dan filsafat Timur selama enam bulan di Jodongjongdaehaglim. Han menerbitkan Whole Mind pada tahun 1918 yang bertujuan untuk mencerahkan kaum muda. Pada tahun-tahun berikutnya Han sangat aktif dalam pergerakan kemerdekaan Korea dan sempat dijebloskan ke penjara selama 3 tahun (Rim, 2007:99). Han dibebaskan pada tahun 1922 dan mulai mengadakan kampanye keliling untuk menginspirasi kaum muda. Han merupakan salah satu dari 33 orang yang menandatangani Kemerdekaan Korea pada masa penjajahan Jepang (Kim, 1995:3). Pada tahun 1929 Han mengorganisir sebuah pertemuan The Democratic Party dan juga mendorong demokratisasi di Gwangju. Han juga berperan sebagai pemimpin Aliansi Agama Buddha Korea. Han memimpin majalah Buddhism dan mendirikan Buddhism Movement dan Buddhism Youth Movement. Han meninggal pada tanggal 9 Mei 1944. Han dianugerahi The Establishing Republic of Korea Medal atas jasa-jasanya pada masyarakat Korea pada tahun 1962. Akademi Manhae juga didirikan pada tahun 1991 sebagai kenangan akan dirinya (Rim, 2007:99). Salah satu karyanya yang terkenal adalah „Keheningan Cinta‟ (1926). Karya-karyanya yang lain dibukukan dan diterbitkan dengan judul Kumpulan Karya Han Yong‟un (1973) (Kim, 1995:3). Berikut ini adalah salah satu contoh karya Han Yongun yang berjudul „복종‟ („Penyerahan‟).
복종 남들은 자유를 사랑하지마는 나는 복종을 좋아하여요. 자유를 모르는 것은 아니지만 당신에게는 복종만 하고 싶어요. 복종하고 싶은 데 복종하는 것은 아름다운 자유 보다도 달콤합니다. 그것이 나의 행복입니다. 그러나, 당신이 나더러 다른 사람을 복종하라면 그것만은 복종할 수 없습니다. 다른 사람을 복종하려면 당신에게 복종할 수 없는 까닭입니다. (Rim, 2007:109)
Penyerahan Mungkin orang memilih kebebasan tapi aku lebih suka menyerahkan diriku Bukan berarti aku tak mengerti kebebasan hanya saja aku hanya ingin menyerahkan diriku Menyerahkan diriku lebih manis daripada kebebasan yang indah Itulah kebahagiaanku Namun jika kau membuatku menyerahkan diriku pada orang lain aku tak mampu Karena bila aku menyerahkan diriku ini pastilah aku tak bisa menyerah padamu
2.5
Park Dujin (1916-1998)
(http://tv03.search.naver.net/nhnsvc?size=120x150&quality=9&q=http://sstatic.naver.net/people/181/2007053011001719723 7202.jpg )
Park Dujin lahir pada bulan Maret 1916 di Anseong, Gyeonggi-do. Park membuat debutnya pada tahun 1939 ketika mempublikasikan puisinya yang berjudul „Hyanghyeon
Ridge‟ dan „In Praise of A Graveyard‟ dalam jurnal Composition (Rim, 2007:112). Karyakaryanya yang diterbitkan selama hampir setengah abad membuat Park menjadi salah satu penyair yang paling produktif dan termahsyur dalam kesusastraan modern Korea. Puisi-puisinya hampir seluruhnya bertemakan alam, melalui setiap baitnya, Park meggambarkan indahnya padang rumput yang hijau, burung-burung yang berkicau riang, kijang-kijang yang berlompat girang, matahari yang terbenam dengan indah dan lain sebagainya. Penyair ini juga dikenal sering menghadirkan isu-isu sosial dan politik dengan gaya kreatifnya yang unik. Salah satu karyanya yang berjudul „A Fragnant Hill‟, memakai tema-tema semacam itu untuk meramalkan pembebasan Korea dari penjajahan Jepang. Kekhasan peran simbol-simbol alamnya, kualitas lirik syair-syairnya tidak berkesan romantis seperti penyair Korea yang lain. Peran alam ini menjadi sebuah sarana untuk memahami dunia manusia dan bukan dirinya sendiri (Rim,2007:113). Selama hidupnya Park mengabdi sebagai profesor di Universitas Ehwa, Yonsei, Goryeo, Woosuk, dan juga Chugye untuk bidang seni budaya. Park juga bergabung dalam pembentukan Asosiasi Penulis Muda Korea bersama Kim Dongri, Cho Yeonhyeon, dan Seo Jeongju. Penghargaan-penghargaan yang pernah diraihnya antara lain adalah The Asian Liberty Literature Prize (1956), The Seoul City Cultural Award (1962), The Samil Culture Award (1970), dan The Korea Council Award (1976). Park meninggal dunia pada tanggal 16 September 1998 (Rim, 2007:113). Berikut ini adalah salah satu contoh puisi karya Park Dujin yang berjudul „하늘’ („Langit‟). 하늘 하늘이 내게로 온다. 여릿여릿 머얼리서 온다. 하늘은, 머얼리서 오는 하늘은 호수처럼 푸르다. 호수처럼 푸른 하늘에 내가 안간다. 온 몸이 안긴다. 가슴으로, 가슴으로 스미어드는 하늘 향기로운 하늘의 호흦 따가운 볕,
초가을 햇볕으로 목을 씻고. 나는 하늘을 마신다. 자꾸 목말라 마신다. 마시는 하늘에 내가 익는다 능금처럼 마음이 익는다. (Rim, 2007:117)
Langit Langit datang kepadaku. Samar-samar datang dari jauh Langit, langit yag datang dari jauh biru bagaikan danau. Langit yang sebiru danau memelukku. Memeluk seluruh tubuhku. Aroma langit yang harum merasuk ke dalam hati hati ini. Sinar matahari yang panas, membasuh leherku di awal musim gugur. Aku meneguk langit. Terus meneguk karena haus. Langit yang kuteguk memelukku hatiku matang bagaikan apel.
2.6
Lee Sanghwa (1901-1943)
(http://tv03.search.naver.net/nhnsvc?size=120x150&quality=9&q=http://sstatic.naver.net/people/162/2007032113311919723 6962.jpg )
Lee Sanghwa lahir di Daegu pada tanggal 5 April 1901. Lee banyak menggunakan nama-nama pena seperti Muryang, Sanghwa, dan Baega. Menuntut ilmu selama 3 tahun di Gyeongseong Chungang School kemudian pergi ke pegunungan Geumgang (Rim, 2007:143). Pada tahun 1920an Lee bergabung dalam The White Tide, yaitu sebuah komunitas sastra bersama Hong Sayong, Park Jonghwa, Park Yeonghui, dan Kim Gijin. Lee memulai karirnya sebagai penyair dengan mempublikasikan karya pertamanya yaitu „Joy of the Corrupt Age‟, „Double Death‟, dan‟나의 침실로‟ („Toward My Bedchamber‟) dalam jurnal Torch. Gaya berpuisinya dapat dijadikan contoh yang jauh menyimpang dari semua gaya dalam kesusastraan Korea. Lee sangat menekankan unsur-unsur prosa dan melukiskan suatu dunia yang mengalami dekadensi kepekaan dan narsisme (Rim, 2007:142). Karya debutnya yaitu „나의 침실로‟ („To My Bedchamber‟) mengekspresikan tentang tindakan bunuh diri sebagai jalan menuju cinta sejati. Kemudian salah satu karyanya yang lain yaitu „A Life of Reverie‟ sama sekali tidak memiliki hubungan dengan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat. Ketika penjajahan Jepang dimulai, Lee membuat perubahan dalam gaya berpuisinya dan banyak memasukkan tema-tema perlawanan terhadap kolonialisme. Tema ini banyak diungkapkan melalui simbol-simbol alam. Beberapa karyanya yang terkenal adalah „상화와 고월‟ („Sanghwa dan Gowol‟), diedit oleh Baek Giman dan berisi 16 puisi karyanya. Kemudian „새벽의 빛‟ („The Light of Dawn‟) dan Kumpulan-Kumpulan Puisi Lee Sanghwa yang diterbitkan pada tahun 1981. Lee meninggal pada tanggal 25 April 1943 dan sebuah monumen di Taman Dalseong, Daegu ditulisi dengan salah satu kutipan puisinya (Rim, 2007:143). Berikut adalah salah satu puisi dari Lee Sanghwa yang berjudul „통곡‟ („Tangisan‟).
통곡
하늘을 우러러 울디는 하여도 하늘이 그리워 울음이 아니다. 두 발을 못 뻗는 이 땅이 애닯아 하늘을 흘기니 웃음이 터진다 해야 웃지 마라 달도 뜨지 마라 (Rim, 2007:145) Tangisan Aku menengadah ke langit dan menangis ini bukanlah tangisan kerinduanku pada langit. Tangis karena tak ada lagi tempat untuk kujejak Ku melihat langit dan tertawa lepas matahari janganlah tertawa bulan janganlah muncul 2.7
Kim Gwangseop (1905-1977)
(http://tv03.search.naver.net/nhnsvc?size=120x150&quality=9&q=http://sstatic.naver.net/people/140/2007052213502619711 9342.jpg )
Kim Gwangseop lahir di Hamgyeongbuk-do, Gyeongseong pada tanggal 22 September 1905. Kim menuntut ilmu di Jepang pada tahun 1926 dan meraih gelar Sastra Inggris pada tahun 1932 di Universitas Waseda. Kim bekerja di Sekolah Jungdong sebagai guru Bahasa Inggris setelah kembali ke Korea pada tahun 1933. Kim dituduh melakukan tindakan antiJepang pada tahun 1941 karena mengajarkan pemikiran nasionalis kepada para muridnya dan dijebloskan ke dalam penjara selama 3 tahun 8 bulan. Kim mendirikan The Central Association of Culture pada tahun 1945 (Rim, 2007:168). Kim menduduki posisi-posisi penting di beberapa institusi seperti profesor di Universitas Kyunghee (1952), presiden Korean Branch of The PEN Club (1954), presiden
Association of Free Literature (1955), dan wakil Korea dalam Konggres Penulis Dunia ke-27. Kim juga mendirikan perusahaan penerbitan yaitu Free Literature pada tahun 1956. Kim menjadi wakil dari Organisasi Federasi Budaya Nasional pada tahun 1959 kemudian asisten direktur untuk Asosiasi Penulis Korea pada tahun 1961. Penghargaan yang pernah diterimanya antara lain City of Seoul Cultural Prize 91957), Citizen‟s Peony Award (1970) dan Korean Academy of Arts Prize (1974). Kim merupakan salah satu penyair yang luar biasa produktif. Karyanya yaitu „성북동의 비들기‟ („The Dove of Songbukdong‟-1969) menempatkan Kim di antara jajaran sastrawan-sastrawan yang terkenal di Korea. Puisi pertama Kim yang dipublikasikan adalah „동경„ („Longing‟) dan „해바라기‟ („Sunflower‟). Puisi-puisi ini bersifat abstrak dan intelek. Sebagian besar karyanya bertema tentang dunia yang sangat melelahkan dan hidup dalam kesunyian di tempat-tempat sepi dan sempit. Kim meninggal pada tahun 1977 (Rim, 1977:169). Berikut merupakan salah satu karya Kim yang berjudul „비 갠 여름 아침‟ („Pagi yang Cerah Selepas Hujan di Musim Panas‟). 비 갠 여름 아침 비가 갠 날 맑은 하늘이 못 속에 내려와서 여름 아침을 이루었으니, 녹음 (綠陰)이 종이가 되어 금봉어가 시를 슨다.
Pagi yang Cerah Selepas Hujan di Musim Panas Selepas hujan berhenti langit cerah muncul di atas kolam menyuburkan pagi hari di musim panas, daun daun hijau menjelma menjadi kertas ikan emas pun menulis surat di atasnya. (Rim, 2007:171)
2.8
Lee Sang (1910-1937)
(http://tv03.search.naver.net/nhnsvc?size=120x150&quality=9&q=http://sstatic.naver.net/people/182/2006122901195619705 1762.jpg )
Lee Sang lahir di Seoul, 14 September 1910. Lee lulus dari Sekolah Sinmyeong dan melanjutkan ke Sekolah Donggwang. Pada tahun 1929 Lee lulus dari Sekolah Mesin Gyeongseong di bidang arsitektur kemudian bekerja sebagai insinyur teknik sipil di Biro Interior Japanese Government General (Rim, 2007:175). Lee menerbitkan novel pertamanya yaitu „십이월 십이일‟ (‟12 Desember‟) di jurnal Joseon Monthly pada tahun 1930 dalam bentuk serial. Setahun kemudian jurnal yang sama menerbitkan kisahnya yang berjudul „휴직과 사정‟ („The Circumsatances of My Resignation‟). Puisi-puisinya juga dimuat dalam jurnal Korea and Architecture tahun yang sama, yaitu „이상한 가역 반응‟ („A Peculiar Reversible Reaction‟), „오감도‟ („Crow‟s Eye View‟). Lee dikenal sebagai salah satu pengarang terkemuka pada era kolonial yang memberikan kontribusi bagi kemajuan memoir pribadi, fiksi, dan puisi Korea (Rim, 2007:174). Puisi-puisinya menyingkap kesunyian dalam kehidupan manusia. Dalam salah satu karyanya, Lee menggunakan teknik anti realis untuk mengungkapkan tema-tema kecemasan dan ketakutan. Puisinya yang berjudul „날개‟ („Sayap‟) menggunakan teknik yang mengungkapkan keterasingan manusia di zaman modern. Lee ditangkap oleh Jepang pada tahun 1937 dan meninggal dunia pada tanggal 17 April 1937 (Rim, 2007:175). Berikut adalah salah satu karya Lee yang berjudul „거울‟ („Cermin‟). 거울 거울속에는소리가없소. 저렇게까지조용한세상은참없을것이오. 거울속에도내게귀가있소. 내말을못알듣는딱한귀가두개있소.
거울속의나는왼손잡이요. 내악수를받을줄모르는악수를모르는왼손잡이요. 거울때문에나는거울속의나를마져보지못하는구료마는 거울아니었더들내가어찌거울속의나를만져보기만이라도했겠소. 나는지금거울을안가졌소마는거울속에는늘거울속의내가있소. 잘은모르지만외로된사업에골몰할께요. 거울속의나는참나와는반대요마는또꽤닮았소. 나는거울속의나를근심하고진찰할수없으니퍽섭섭하오.
Cermin Di dalam cermin tak ada bunyi takkan ada dunia yang begitu sunyi. Di dalam cermin aku punya telinga dua telinga yang tak dapat mendengar ucapanku. Di dalam cermin aku orang yang kidal tak dapat menerima dan tak tahu cara berjabat tangan. Karena cerminlah aku dapat menyentuh diriku dalam cermin, Namun tanpa cermin aku tak mencoba „tuk menyentuh diriku dalam cermin. Aku tak punya cermin sekarang. Tapi aku selalu ada di dalam cermin. Biarpun tak pasti, „kan kucoba lagi. Wajahku terbalik dalam cermin, tapi tetap seperti diriku aku sedih karena aku tak boleh marah dan tidak bisa amati diriku sendiri di dalam cermin. (Rim, 2007:177)
2.9
Lee Byeonggi (1891-1968)
(http://dbscthumb.phinf.naver.net/0653_000_42/20120403235726324_22HXD5EUC.jpg/8d0fb81a-1f88-4618-b1d22c16046d144a.jpg?type=m521 )
Lee Byeonggi lahir pada tanggal 5 Maret 1891 di Iksan, Jeollabuk-do. Lee menjadi guru di SMA Donggwang setelah lulus dari Sekolah Keguruan Hanseong pada tahun 1913. Sejak saat itulah Lee mulai mengumpulkan kesusastraan antik, mulai belajar Sijo, dan mulai menulis. Lee juga mengajar di Seoul National University dan Dankook University, Sinmunhagwon, dan the Arts College (Rim, 2007:185). Lee Byeonggi merupakan seorang penyair yang dikenal unik dalam sejarah kesusastraan Korea modern. Ia merupakan seorang seniman yang mengabdikan hidupnya untuk melestarikan sijo, yaitu puisi tradisional Korea (Rim, 2007:184). Minat Lee terhadap sijo dimulai ketika Lee mulai belajar tentang kesusastraan Cina sejak usia muda yang kemudian membuatnya menerbitkan puisi pertamanya yaitu „한강을 지나며‟ („Melewati Sungai Han‟) pada tahun 1925 yang dimuat dalam jurnal Korean Literary World. Lee mulai mengubah sijo menjadi puisi lirik yang baru dan sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini membuat Lee dikenal gemar bereksperimen dengan genre yang tradisional. Lee dianugerahi National Academy of Sciences Distinguished Service Award pada tahun 1960 dan Korean Culture Medal dari Pemerintah Korea pada tahun 1962. Lee juga terpilih sebagai anggota The National Academy of Sciences. Lee meninggal pada tanggal 29 November 1968. Pada tahun 1971 diterbitkan kumpulan puisi keduanya yaitu „남도 아리랑이‟ („Shimmering Haze in Southern Province‟) (Rim, 2007:185). Berikut adalah salah satu contoh karya dari Lee yang berjudul „비‟ („Hujan‟). 비 짐을 매어 놓고 떠나서 하시는 이 날, 어둔 새벽부터 시름없이 내리는 비, 내일도 내리오소서, 연일 두고 오소서.
부디 머나먼 길 떠나지 마오시라. 날이 저물도록 시름없이 내리는 바, 저으기 말리는 정은 나보다는 더하오. 잠았던 그 소매를 뿌리치고 떠나신다. 갑자기 꿈을 깨니 반가운 빗소리라. 매어 둔 짐을 보고는 눈을 도로 감으오.
Hujan Di hari saat kau pergi membawa barangmu sejak pagi yang gelap hujan turun tak berhenti turunlah esok, turunlah selamanya Aku berharap supaya dirimu tak pergi jauh Hujan turun tak berhenti hingga hari mulai gelap, menahan perjalananmu, melebihiku. Kau pergi, melepas tanganku dan memegang lengan bajumu. Tiba-tiba ku terbangun dan kuharap bunyi hujan turun. Aku kembali menutup mata setelah melihat barang-barangmu. (Rim, 2007:189)
2.10 Lee Eunsang (1903-1982)
(http://tv03.search.naver.net/nhnsvc?size=120x150&quality=9&q=http://sstatic.naver.net/people/100/2007053014544319723 8702.jpg )
Lee Eunsang lahir di Masan, Gyeongsangnam-do pada tanggal 22 Oktober 1903. Lee mengambil jurusan sejarah Universitas Waseda, Jepang, pada tahun 1923. Lee bekerja
sebagai reporter untuk Dong-a Ilbo dan direktur pengelola penerbitan Chosun Ilbo. Lee juga menjadi profesor di Ehwa Woman College. Setelah kemerdekaan Korea, Lee melanjutkan mengajar di Cheonggu University, Seoul National University dan Yeungnam University (Rim, 2007:191). Lee menjadi anggota seumur hidup Korean Academy of the Arts menjelang tahun 1978 dan menjadi ketua Komite Memorial Admiral Lee Sunsin. Lee juga menjadi anggota Korea Alpinist‟s Asssociation, Korea Culture Protection Association, dan People‟s Culture Association. Lee menjabat sebagai pemimpin redaksi dari History of Korea Independence Movements. Lee dianugerahi Hybiscus Medal of Honor pada tahun 1970 (Rim, 2007:191). Lee memulai debutnya pada tahun 1923 dengan gaya syairnya yang bebas. Lee juga mengembangkan ketertarikan terhadap sijo dan menerbitkan kritik esai puisi Barat seperti Whitman dan Tennyson (Rim, 2007:190). Pada pertengahan abad ke-20, Lee memulai usaha pelestariannya untuk menghidupkan kembali bentuk seni sijo bersama dengan Lee Byeonggi yang juga memiliki minat terhadap sijo. Bersama dengan Lee Byeonggi, Lee Eunsang memberikan kontribusi yang besar bagi restorasi genre dalam kesusastraan Korea. Lee meninggal pada tahun 1982 (Rim, 2007:191). Berikut adalah salah satu puisi karya Lee Byeonggi yang berjudul „성불사의 밤‟ („Malam di Kuil Seongbul‟). 성불사의 밤 성불사 깊은 밤에 그윽한 풍경소리 주승은 잠이 들고 객이 홀로 듣는구나 저 손아 마저 잠들어 혼자 울게 하여라 뎅그렁 울릴 제면 더 울리까 맘 졸이고 끊일 젠 또 들릴까 소리나기 기다려져 새도록 풍경 소리 데리고 잠 못이뤄 하노라.
Malam di Kuil Seongbul Bunyi lonceng senyap di langit malam kuil Seongbul rahib tetap tertidur hanya tamu yang mendengarnya tidurlah wahai tamu, biarkan lonceng berbunyi Jika lonceng berbunyi, tamu gelisah lonceng tetap berbunyi namun jika berhenti, tamu menunggunya berbunyi
Sepanjang malam tak dapat tidur hanya menemani lonceng yang berbunyi. (Rim, 2007:193) Dilihat dari penjelasan di atas, sastrawan-sastrawan Korea pada masa ini sangat berjasa bagi perkembangan sastra Korea modern. Hampir sebagian besar dari sastrawan Korea di atas mendapatkan penghargaan atas kontribusi yang telah mereka berikan dalam memajukan kesusastraan Korea, terutama dalam bidang puisi. Tidak sedikit pula dari mereka yang menderita akibat kolonialisme Jepang di Korea akibat adanya ide-ide nasionalis yang muncul dalam puisi-puisinya. Namun demikian, karya-karya mereka masih dikenal secara luas oleh masyarakat Korea hingga saat ini. Aktivitas 1. Mahasiswa berdiskusi dan memberikan komentar, 2. Dosen memberikan pengayaan dengan alat bantu alat bantu papan tulis, laptop, dan LCD, 3. Tanya jawab. Tugas dan/atau latihan Mahasiswa diminta untuk mencari sastrawan-sastrawan lain yang memberikan kontribusi terhadap perkembangan Sastra Korea modern yang didapat dari buku referensi lain. Latihan 1.
Sebutkan 5 sastrawan Korea dengan masing-masing 2 contoh karyanya?
2.
Jelaskan biografi singkat dari Kim Sowol dan tuliskan satu puisinya yang paling terkenal!
Rangkuman Perkembangan puisi modern Korea yang dimulai pada saat runtuhnya Kerajaan Joseon sangat menarik untuk dipelajari. Puisi gaya baru Korea yang berkembang di tahun 19081918 mempunyai kecenderungan untuk keluar dari tata cara tradisional. Selanjutnya puisi Korea banyak didominasi oleh simbol-simbol dari Barat terutama Prancis pada akhir tahun 1918 (Lee, 2003:342). Terdapat beberapa sastrawan korea yang terkenal antara tahun 1920-1950 seperti Kim Ok, Byon Yongno, Kim Sowol, Han Yongun, Park Dujin, Lee Sanghwa, Kim Gwangseob, Lee Sang, Lee Byeonggi, dan Lee Eunsang. Masing-masing dari kesepuluh sastrawan Korea ini memiliki karya-karya yang terkenal di mata orang Korea. Tidak jarang ada yang mendapatkan penghargaan atas jasanya dalam bidang
kesusastraan. Tidak sedikit pula dari mereka yang menderita akibat kolonialisme Jepang di Korea akibat adanya ide-ide nasionalis yang muncul dalam puisi-puisinya. Namun demikian, karya-karya mereka masih dikenal secara luas oleh masyarakat Korea hingga saat ini.
PENUTUP a. Penilaian 1.
Perkuliahan dikatakan berhasil jika mahasiswa dapat memahami keseluruhan isi bab ini, terutama dalam memahami sastrawan Korea dan karya-karyanya.
2.
Rentang nilai adalah 45- <80.
b. Tindak lanjut Mahasiswa yang belum dapat memahami isi bab ini diharapkan dapat mempelajari lebih lanjut.
Evaluasi yang direncanakan Pembelajaran perkuliahan ini dikatakan berhasil apabila mahasiswa dapat Indikator keberhasilan Butir kemampuan Mahasiswa
akan
mampu
memahami sastrawan Korea dan karya-karyanya
Butir penilaian
Poin maks.
Penyajian hasil jawaban Ujian Tengah Semester yang benar
10
Matrix Penilaian Materi/isi
Sastrawan Korea dan karyanya
Ranah Kognitif C1
C2
1
1
C3
C4
C5
C6
Ranah
Ranah
Metode
Tujuan Khusus
Afektif
Psikomotorik
Penilaian
Pembelajaran
x
A
Mid
D1, D4
Semester
Keterangan: I : Imitation berarti meniru. M : Manipulation, yakni melakukan suatu modifikasi. P : Precision, yakni melakukan tindakan dengan penuh ketepatan. A : Articulation, yakni mampu mengekspresikan/memberikan penjelasan secara tepat. N : Naturalisation, yakni keterampilan yang diperoleh menjadi kebiasaan yang terinternalisasi dalam diri. C1 : Pengetahuan : mengenali, mendiskripsikan, menamakan, mendifinisikan, memasangkan, memilih. C2 : Pemahaman : mengklasifikasikan, menjelaskan, mengintisarikan, meramalkan, membedakan. C3 : Aplikasi : mendemonstrasikan, menghitung, menyelesaikan, menyesuaikan, mengoperasikan, menghubungkan, menyusun. C4 : Analisis : menemukan perbedaan, memisahkan, membuat diagram, membuat estimasi, menyusun urutan, mengambil kesimpulan. C5 : Sintesis : menggabungkan, menciptakan, merumuskan, merancang, membuat komposisi, menyusun kembali, merevisi. C6 : Evaluasi : menimbang, mengkritik, membandingkan, memberi alasan, menyimpulkan, memberi dukungan.
UN IV E RS I TA S G A DJ A H M ADA FAKULTAS ILMU BUDAYA JURUSAN BAHASA KOREA Jl. Sosiohumaniora 1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281
Buku 2: RKPM (Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan) Modul Pembelajaran Pertemuan ke 5
KESUSASTRAAN KOREA Genap/2 SKS/BDK3611 oleh Dr. Novi Siti Kussuji Indrastuti, M.Hum.
Didanai dengan dana BOPTN P3-UGM Tahun Anggaran 2012 Desember 2012
Waktu: 1x pertemuan @100 menit
Audio/Video
Soal-Tugas
Sastra lisan Korea : Pansori, arirang, dan gut
Gambar
Mahasiswa mengetahui dan memahami sastra lisan Korea
Topik (pokok, subpokok bahasan, alokasi waktu)
Presentasi
5
Tujuan Ajar/ Keluaran/ Indikator
Teks
Pertemuan ke
Media Ajar
√
√
√
√
Metode Evaluasi dan Penilaian
Tanya jawab: mahasiswa yang aktif akan mendapatka n tambahan poin
Metode Ajar
Aktivitas Mahasiswa
Mahasiswa mendengar kan penjelasan dosen
Tanya jawab
Aktivitas Dosen/ Nama Pengajar
Sumber Ajar
Dosen mem- Pustaka berikan 2, 3, 4, 5 penjelasan dengan alat bantu alat bantu papan tulis, laptop, dan LCD
BAB III SASTRA LISAN KOREA
PENDAHULUAN Deskripsi Singkat Bab ini memiliki penjelasan lengkap tentang sastra lisan Korea dengan beberapa jenisnya. Penjelasan tersebut mencakup penjelasan mengenai pansori, lagu daerah Korea arirang, dan upacara gut. Manfaat Bab ini dapat memberikan informasi yang dibutuhkan oleh mahasiswa tentang sastra lisan Korea, sehingga mahasiswa dapat memperluas wawasan dan pengetahuan tentang sastra lisan Korea. Relevansi Bab ini mempunyai relevansi dengan bab I dan bab V. Karena pada bab selanjutnya menjelaskan tentang sejarah Sastra Korea dan karya prosa Korea. Learning Outcomes Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat menambah wawasan tentang sastra lisan Korea. Selain itu mahasiswa juga diharapkan dapat menumbuhkan apresiasi tentang karya sastra lisan Korea.
PENYAJIAN Sastra lisan Korea merupakan suatu bentuk dari kebudayaan yang muncul hampir bersamaan dengan terbentuknya negara Korea itu sendiri (Seo, 2005:1). Pada Masa Tiga Kerajaan, sastra lisan Korea yang berpusat pada masyarakat agrikultur terbagi menjadi tiga yaitu dongeng, lagu daerah, dan nyanyian shaman. Ketiga jenis itu diceritakan dari mulut ke mulut hingga pada saat hangeul diciptakan, beberapa jenis sastra lisan ditulis dan disebarkan (Seo, 2005:2). Di antara cerita rakyat Korea, legenda dan dongeng lebih banyak daripada mitologi. Kemudian untuk lagu daerah, terdapat lagu narasi yang menceritakan tentang perjalanan hidup, sedangkan nyanyian shaman menggabungkan beberapa jenis sastra lisan sekaligus yaitu doa, mitologi, dan peran. Di bawah ini terdapat penjelasan mengenai salah satu bentuk sastra lisan Korea yang terkenal yaitu pansori, kemudian arirang, dan penjelasan mengenai gut.
3.1
Pansori Pansori adalah genre musik dengan cerita di dalamnya yang dipertunjukan oleh
seorang penyanyi dan penabuh buk. Lagu solo yang sangat populer ini mempunyai keunikan pada gaya nyanyian yang ekspresif, pengucapan yang khas dalam skenarionya, dan gerak tubuh yang unik, mewakili kebudayaan daerah dan aristokrat. Pansori berasal dari kata „pan‟ yang berarti tempat umum atau tempat berkumpulnya orang banyak; dan „sori‟ yang berarti lagu atau suara (Korean Culture and Information Service, 2011).
3.1.1 Sejarah Pansori Pansori adalah lagu panjang yang dinyanyikan oleh penyanyi profesional (Seo 2005:4). Pansori merupakan sastra lisan Korea yang mengekspresikan keunikan dari Sastra Korea sendiri, bermula di akhir masa Kerajaan Joseon dan banyak menceritakan tentang dongeng
(Lee,
2008:225).
Seo
(2005:43)
juga
menyebutkan
bahwa
pansori
merepresentasikan bentuk kesenian yang beragam dan rumit, yaitu lagu narasi yang digabungkan dengan sastra, musik, dan drama. Pansori banyak dipertunjukkan di Provinsi Jeolla dan Chungcheong. Pada pertengahan abad ke-18, pansori dipertunjukan di tempat-tempat seperti pasar. Setelah itu pansori mulai berkembang dan dikenal di seluruh negeri pada masa Chongjo (1776-1800). Pada masa itu, pansori lebih banyak digemari oleh masyarakat kelas menengah (Seo, 2005:46). Pertunjukkan pansori meningkat pesat pada masa Sungjo (1800-1834) dan mencapai masa kejayaannya pada masa Gojong (1864-1907). Pansori mulai meredup pada masa kolonial Jepang dan tidak banyak pertunjukan yang diadakan. Seo (2005:47) menyebutkan bahwa pansori mulai tergeser oleh masuknya pertunjukan modern seperti drama, film, dan teater. Cerita pansori yang tertua adalah Chunyangga yang ditemukan pada tahun 1754 (Seo, 2005:45). Awalnya terdapat dua belas jumlah pansori, tetapi kemudian keduabelas pansori tersebut direvisi menjadi enam oleh penyair Sin Jae Hyo pada masa Gojong. Sekarang hanya ada lima jenis cerita yang dibawakan oleh para penyanyi pansori yaitu, Chunhyangga, Simcheongga, Heungboga, Sugungga, dan Jeokbyeokga. Chunhyangga (Lagu Chunhyang) bercerita tentang kisah cinta Chunhyang, seorang anak perempuan dari wanita penghibur yang sudah pensiun, dengan Yi Mong-nyeong, seorang anak laki-laki dari seorang hakim di Namwon, Provinsi Jeolla. Alur yang dramatis dibagi ke dalam empat bagian yaitu cinta Chunhyang, perpisahan, siksaan, dan pertemuan kembali. Jeoksongga menggambarkan suasana di musim semi. Okjungga adalah lagu ratapan perpisahan Chunhyang dengan cintanya, Yi Mong-nyeong, saat Chunhyang dipenjara.
Yibyeolga menunjukkan adegan pada saat mereka berpisah, dan yang terakhir adalah Sipjangga, yaitu lagu yang dinyanyikan Chunhyang pada saat dicambuk. Lagu-lagu ini sering dinyanyikan oleh penyanyi pansori (Nam, 2009:53). Cerita ini sangat digemari oleh masyarakat Korea hingga saat ini yang selalu dimulai dengan liriknya yang khas yaitu sarang, sarang nae saranga eoho dungdung nae saranga (cinta, cinta, cintaku, oh cintaku) (The National Academy of the Korean Language, 2002:368) . Simcheongga bercerita tentang kisah seorang perempuan yang bernama Simcheong dan kesetiaannya terhadap ayahnya yang buta. Pada suatu hari Simcheong jatuh ke dalam parit yang kemudian ditolong oleh seorang rahib Buddha. Rahib tersebut mengatakan bahwa Buddha akan mengembalikan penglihatan ayahnya apabila ia memberikan 300 kantong beras pada kuil di daerahnya. Ia pun kemudian menjual dirinya kepada para pelaut untuk mendapatkan 300 kantong beras. Namun ia dibuang ke laut dan ditolong oleh Raja Naga hingga akhirnya dapat kemabali dan membuat ayahnya mendapatkan penglihatannya kembali. Heungboga bercerita tentang kakak beradik Heungbo dan Nolbo. Pada suatu hari seekor burung walet jatuh dari sarangnya dan terluka. Heungbo merawat dan membalut kakinya dengan kain. Sebagai balasannya, burung walet yang telah sembuh kemudian memberi biji labu kepada Heungbo. Heungbo pun menanamnya hingga tiba pada saat musim gugur, tiga buah labu tumbuh di atas atap. Dia memotongnya dan menemukan uang, kain sutra, beras, dan perhiasan dari dalamnya. Nolbo yang iri mencari-cari burung walet dan dengan sengaja mematahkan kakinya. Ia pun merawatnya seperti apa yang dilakukan Heungbo. Setelah sembuh, burung walet itu memberinya biji labu yang kemudian ditanamnya. Namun yang keluar dari labu itu adalah monster dan makhluk-makhluk mengerikan yang menghukumnya. Heungbo pun menjadi kaya sedangkan Nolbo menjadi terpuruk. Kemudian Sugungga (Lagu Istana di Bawah Air) bercerita tentang Raja Naga yang sakit dan hanya bisa disembuhkan apabila ia mendapatkan hati seekor kelinci. Raja memerintahkan pengawalnya membawa kelinci ke hadapannya, akan tetapi kelinci dapat melarikan diri dan menyelamatkan nyawanya. Jeokbyeokga (Peperangan di Tebing Merah) menceritakan tentang kisah peperangan yang diambil dari novel sejarah Cina San-guo-zhi-yan yi (Nam, 2009:54). Kisah ini bercerita tentang kejadian sebelum dan setelah perang yang terjadi di tebing merah (red cliff).
3.1.2 Pertunjukan Pansori Pansori dipentaskan oleh dua orang yaitu, seorang penyanyi profesional yang disebut gwangdae yang membawa jwibuchae (kipas lipat) dan penabuh buk (alat musik tradisional Korea) yang disebut gosu (The National Academy of the Korean Language, 2002:366). Pertunjukan pansori berlangsung selama 2-3 jam bahkan hingga 7-8 jam (Nam, 2009: 52) dan biasa dipentaskan di sorip‟an yaitu di tempat orang-orang bisa berkumpul seperti pasar, tempat-tempat umum atau bahkan istana (Seo, 2005:43). Suara yang dihasilkan oleh gwangdae atau penyanyi dalam pansori berbeda dengan nyanyian dari Barat, suaranya dalam dan gelap. Dalam pansori, skenario yang diucapkan oleh gwangdae disebut aniri dan nyanyian yang dinyanyikan oleh gwangdae disebut chang. Aniri adalah kata-kata tanpa lagu yang dibawakan di tengah-tengah chang. Chang adalah lagu yang dinyanyikan oleh gwangdae mengiringi tabuhan buk atau disebut sori. Seseorang yang handal baik dalam menyampaikan skenario dengan kata-kata yang indah sekaligus gerak tubuh yang baik disebut gwangdae aniri. Sebaliknya, sorigwangdae adalah gwangdae yang sangat handal dalam menyanyi (The National Academy of the Korean Language, 2002:369). Unsur utama dalam pansori adalah seongeum, gil, dan jangdan. Seongeum digunakan untuk mengekspresikan perasaan yang bermacam-macam dengan vokalisasi yang bervariasi sesuai dengan konteks teks masing-masing. Ada empat macam seongeum yaitu ujo seongeum (perasaan kaku), pyeongjo seongeum (pikiran yang tenang dan luang), gyemyeon seongeum (perasaan yang menyentuh dan kelam), dan gyeongdeureum seongeum (suasana gembira dan menyenangkan). Untuk menguasai keempat seongeum, penyanyi pansori membutuhkan latihan keras di bawah air terjun atau di dalam pegunungan. Jika sudah berlatih dan pantas disebut myeongchang (ahli), mereka akan diberi penghargaan dari pemerintah dan mencapai posisi tinggi dalam masyarakat. Gil digunakan untuk menunjukkan panjang pendek, dan jangdan adalah pola ritme. (Nam, 2009:52). Sebelum memulai pertunjukan, gwangdae melakukan sedikit pemanasan dengan menyanyikan sedikit bagian dari lagu. Hal ini dilakukan untuk melihat kondisi suara, menyelaraskan suara dengan musik, dan menarik perhatian penonton (Seo, 2005:44). Seo (2005:44) menyebutkan, dalam pertunjukan pansori, gwangdae mengombinasikan antara nyanyian dengan gerakan dan juga bahasa tubuh untuk membuat penonton mengerti. Selama pertunjukan berlangsung, penabuh „buk memberikan respon seperti jochi (bagus!), geureochi (sempurna!), eolssigu (hore!), dan lain sebagainya (Nam, 2009:52). Respon seperti itu dilontarkan untuk membuat penyanyi lebih bersemangat sehingga dapat menampilkan
pertunjukan yang lebih baik. Tidak hanya penabuh „buk, para penonton pun dapat menanggapi dengan berseru eolssigu dan johta. Pansori telah menjadi bagian dari masyarakat Korea dalam jangka waktu yang sangat lama, pansori juga sangat digemari oleh masyarakat karena pertunjukannya yang sederhana dengan hanya penyanyi dan penabuh drum dan juga respon yang antusias dari para penonton. (The National Academy of the Korean Language, 2002:368). Bak Dongjin adalah salah satu penyanyi pansori yang diakui pemerintah sebagai seseorang yang berjasa dalam melestarikan pansori (The National Academy of the Korean Language, 2002:369).
3.2
Arirang Arirang adalah lagu daerah yang sangat terkenal di Korea. Menurut Seo (2005:29),
Arirang termasuk dalam jenis lagu daerah yang dinyanyikan tanpa mempunyai fungsi yang spesifik, tetapi dinyanyikan untuk tujuan tertentu. Lagu ini sangat dikenal sebagai lagu yang sangat mewakili Korea di seluruh dunia. Seluruh lapisan masyarakat Korea suka menyanyikan dan juga mendengarkan lagu ini (The National Academy of the Korean Language, 2002:362). 아리랑 아리랑 아리랑 아라리요 아리랑 고개로 넘어간다 나를 버리고 가시는 님은 심리도 못 가서 발병난다 아리랑 아리랑 아라리요 아리랑 고개로 넘어간다 (Ministry of Culture,Sports and Tourism & Korean Traditional Performing Arts Foundation, 2009) Arirang Arirang, arirang, arariyo Melewati jalan arirang Dia yang pergi meninggalkanku Tak akan bisa pergi jauh dari sini Arirang, arirang, arariyo Melewati jalan arirang (Indrastuti, 2010:15) Tidak diketahui secara pasti sejarah mengenai Arirang seperti lagu daerah yang lain (The National Academy of the Korean Language, 2002:362). Namun demikian Arirang
disebarkan secara luas pada saat masa pemerintahan Raja Gojong, raja ke-26 Kerajaan Joseon. Pada tahun 1592 saat Istana Gyeongbok hancur akibat invasi Jepang ke Korea, lagu Arirang banyak dinyanyikan pada masa pembangunan kembali Istana tersebut yaitu pada tahun 1865-1872 (Ministry of Culture,Sports and Tourism & Korean Traditional Performing Arts Foundation, 2009:20). Ada banyak teori mengenai arti dari nama Arirang, salah satunya adalah „Meninggalkan seseorang yang kucinta‟ (arirang), kemudian ada juga yang berarti „Biarkan aku menjadi tuli karena hanya penderitaan dan kesedihan yang terdengar di seluruh negeri‟ yang disimbolkan oleh „airong‟. Teori ketiga adalah nama Arirang diambil dari Arang, tokoh di dalam legenda yang meninggal secara misterius. Secara umum, Arirang berarti kesedihan yang dirasakan setiap orang. Arirang memiliki banyak versi, terdapat lebih dari 50 variasi Arirang dengan lebih dari 800 lirik yang tersebar di seluruh pelosok semenanjung Korea dan seluruh dunia pada saat ini. Di antaranya ada tiga versi yang paling terkenal yaitu „Jeongseon Arari‟ yang berasal dari Gangwondo, „Jindo Arirang‟ dari Jeolanamdo, dan „Miryang Arirang‟ yang berasal dari Gyeongsangnamdo (Ministry of Culture,Sports and Tourism & Korean Traditional Performing Arts Foundation, 2009:17). Ada pula Gyeonggi Arirang yang umum dikenal oleh masyarakat. Arirang tidak berarti satu lagu dan lirik saja, tetapi semua lagu daerah yang memiliki reffrain dengan lirik arirang atau arari sesuai dengan karakteristik daerah masingmasing juga disebut Arirang. Arirang bukanlah lagu daerah yang tidak memiliki arti apapun. Lagu ini menjadi saksi sejarah Korea yang disalurkan melalui lirik di dalamnya. Arirang memberikan tiupan semangat bagi orang-orang yang mendengarkannya ketika mereka berada dalam penderitaan (The National Academy of the Korean Language, 2002:363). Arirang merupakan lagu yang mengungkapkan ketidakadilan pemerintah pada rakyat, lagu saat perang kemerdekaan, lagu yang menentang kekuatan asing masuk ke dalam bangsa Korea, lagu yang selalu mengingatkan bangsa Korea akan identitas mereka dimanapun mereka berada dan lagu yang mengharapkan rueunifikasi antara dua Korea (Ministry of Culture,Sports and Tourism & Korean Traditional Performing Arts Foundation, 2009:17). Terkadang Arirang juga menjadi lagu yang memudahkan pekerjaan di ladang, atau menjadi lagu untuk kekasih tercinta, dapat juga menjadi lagu yang berisi pengharapan akan sesuatu, atau hanyalah lagu yang dinyanyikan untuk hiburan dan dinikmati oleh orang banyak. Lagu ini adalah lagu yang dianggap sangat penting dalam kehidupan bangsa Korea sendiri. Arirang menjadi lagu yang memberikan kebahagiaan bagi setiap orang Korea (the
healing song), lagu yang melipatgandakan kebahagiaan untuk semua orang. Lirik Arirang yang bervariasi dan berisi tentang sejarah negara Korea menjadikannya jendela untuk berkomunikasi. Bahkan masyarakat yang tidak mendapatkan pendidikan pun dapat membuka hatinya dan mengungkapkan perasaannya dengan menyanyikan lagu ini. Meskipun Arirang memiliki nada yang sedih, tetapi lagu ini tidak hanya mengungkapkan kesedihan saja, melainkan kebahagiaan; kemarahan; penderitaan; dan kesenangan. Disebutkan bahwa Arirang selalu dinyanyikan untuk menjalani kehidupan yang sulit dengan pengharapan akan datangnya hari esok yang lebih baik, dan Arirang selalu meniupkan semangat dan harapan dimanapun lagu ini dinyanyikan. Dengan menyanyikan Arirang, penderitaan dan kesedihan dalam hidup ini dapat dihadapi dengan keceriaan yang akan menjadikan setiap orang akan lebih sehat dan bahagia dari sebelumnya (Ministry of Culture,Sports and Tourism & Korean Traditional Performing Arts Foundation, 2009:15). Alasan yang menjadikan Arirang bertahan sejak dulu hingga sekarang adalah fakta bahwa setiap orang dapat menyanyikan lagu ini dengan lirik yang mereka improvisasi sendiri. Arirang memiliki struktur yang singkat dan stabil dengan dua baris lirik yang dilanjutkan dengan reffrain membuatnya mudah untuk diingat dan dimodifikasi. Tidak hanya itu, Arirang dapat dinyanyikan oleh siapapun, tidak memandang usia, jenis kelamin, waktu dan tempat. Arirang juga dapat dinyanyikan sendiri ataupun bersama-sama. Inilah alasan Arirang menjadi lagu yang begitu melekat di setiap orang Korea (Ministry of Culture,Sports and Tourism & Korean Traditional Performing Arts Foundation, 2009:13). Hingga saat ini, Arirang masih menjadi lagu kebanggaan orang Korea, lagu yang menjadi simbol kesatuan bangsa ini. Lagu ini telah tersebar luas ke seluruh penjuru Korea dan juga tertanam dalam setiap orang Korea yang berada di seluruh pelosok dunia. Lagu ini menjadi bagian keseharian orang Korea. Seperti nasi, mereka menyanyikannya setiap hari, dimanapun dan kapanpun, saling berbagi kebahagiaan dan tawa. Arirang adalah lagu yang dinyanyikan pada saat Olimpiade di Seoul pada tahun 1988. Tidak hanya itu Arirang juga menjadi lagu perdamaian yang menghilangkan batas ideologi antar kedua Korea, karena kedua belah pihak yang menjadi satu tim dalam Olimpiade Beijing pada tahun 1990 setuju untuk menyanyikan lagu ini sebagai lagu kebangsaan. Kedua belah pihak kemudian menyadari bahwa Arirang merupakan lagu yang dapat dinyanyikan bersama tanpa melihat perbedaan ideologi yang mereka anut. Tidak diragukan lagi, ketika Korea bersatu kembali di masa yang akan datang, Arirang adalah lagu yang akan dinyanyikan di dalam lubuk hati masing-masing orang Korea (Ministry of Culture,Sports and Tourism & Korean Traditional Performing Arts Foundation, 2009:33).
3.3
Gut Gut adalah upacara ritual yang dilakukan oleh shaman (cenayang) di Korea (Korean
Culture and Information Service, 2011:261). Upacara ini menggabungkan antara musik, tari, dan nyanyian. Di bawah ini akan dijelaskan mengenai nyanyian yang dilakukan pada saat upacara gut dan peran shaman dalam upacara ini.
3.3.1 Nyanyian dalam Upacara Gut Nyanyian yang dinyanyikan para shaman pada saat melakukan upacara gut disebut muga (Seo, 2005:32). Meskipun dinyanyikan oleh shaman tetapi lagu ini juga mengandung suara-suara yang berasal dari dewa yang dapat didengar melalui suara shaman itu sendiri. Oleh karena itu, nyanyian ini dibagi menjadi dua yaitu nyanyian dewa dan nyanyian manusia. Bahasa dewa yang diucapkan melalui shaman yang kerasukan disebut kongsu, sedangkan bahasa manusia yang mendominasi keseluruhan nyanyian shaman disebut ch‟ugwon. Nyanyian shaman memiliki fungsi untuk mengucapkan mantra. Mantra yang diucapkan memiliki beberapa tujuan, yaitu 1) meminta dewa untuk turun ke bumi (ch‟ongbae), 2) meminta roh atau spirit untuk kembali ke dunia lain, 3) memohon berkat dan keberuntungan dari dewa, dan 4) memohon untuk dihindarkan dari hal-hal buruk (Seo, 2005:33). Setiap nyanyian memiliki fungsi yang berbeda sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Seperti contoh, ketika seorang shaman menyanyikan ch‟ongbae, maka dewa akan turun ke bumi dan keberadaannya dibuktikan melalui kongsu. Mantra yang terkandung dalam nyanyian shaman membedakannya dengan jenis karya sastra lainnya. Terlepas dari fungsinya sebagai mantra, nyanyian shaman mempunyai kesan untuk menghibur. Ritual shaman didasarkan pada kepercayaan bahwa sebelum meminta pertolongan, dewa-dewa harus dihibur terlebih dahulu. Karena digunakan untuk menyenangkan hati para dewa, maka nyanyian ini menggunakan kata-kata sanjungan yang memuja mereka dan kata-kata meminta pengampunan dosa atas apa yang telah diperbuat oleh manusia (Seo, 2005:34). Sesajian makanan yang berlimpah, kostum dan ornamen yang ramai, pertunjukan musik dan nyanyian yang keras, dan tarian yang riuh merupakan unsur-unsur yang tidak dapat dipisahkan dari ritual shaman. Nyanyian shaman berkembang sebagai bentuk seni yang multidisipliner dengan menggabungkan unsur musik, tarian, dan drama.
3.3.2 Peran Shaman dalam Upacara Gut Shaman adalah seorang mediator spiritual yang dapat menghubungkan dua dunia dan mengadakan upacara-upacara ritual tertentu (Korean Culture Information Service, 2011:257).
Menurut Seo (2005:32), shaman adalah seseorang yang dapat menyelesaikan masalahmasalah duniawi dengan menggunakan kekuatan dewa-dewa dari dunia lain. Di Korea, shaman wanita disebut mudang sedangkan shaman laki-laki disebut baksu. Biasanya sebagian besar shaman di Korea adalah wanita. Ketika seorang shaman menari dalam sebuah upacara ritual, tubuhnya akan dimasuki oleh roh atau keadaan yang disebut sebagai trance. Jiwanya akan terlepas dari raga dan masuk ke dalam dunia roh (spirit). Dalam keadaan ini, shaman akan berinteraksi secara langsung dengan roh dan menunjukkan kekuatan supernatural yang didapat dari roh tersebut. Seorang shaman berperan sebagai penghubung antara manusia dengan makhluk gaib, dan menyampaikan keinginan dari manusia yang akan dikabulkan oleh roh itu. Bakat dan kemampuannya yang tidak biasa ini secara alami dapat membedakan seorang shaman dengan manusia biasa. Hal ini dapat membuat shaman memiliki posisi yang tinggi dalam masyarakat. Bahkan pada zaman dahulu, shaman dipercaya untuk menjadi pemimpin suku-suku tertentu. Berdasarkan proses perubahannya, shaman dibagi menjadi dua, yaitu shaman yang dipilih oleh roh dan shaman yang mendapat kemampuannya secara turun-temurun (Seo, 2005:258). Shaman yang dipilih oleh roh secara langsung, diberkati dengan kemampuan dalam hal-hal supernatural untuk menyembuhkan dan meramal. Mereka berkomunikasi dengan roh dan berbicara pada mereka pada saat ritual. Sebelum menjadi shaman, mereka akan mengalami suatu fase sinbyeong yaitu fase saat mereka terkena suatu penyakit. Pada saat fase tersebut mereka terkadang pingsan dan mempunyai penglihatan, kemudian mereka bertemu dengan roh yang memilih mereka dalam mimpi. Penyakit ini dapat berlangsung hingga berbulan-bulan, dari satu hingga delapan tahun dan tidak dapat disembuhkan dengan obat-obatan apapun. Para shaman akan sembuh apabila mereka sudah dapat mengontrol kekuatannya dan menjadi seorang shaman. Sementara shaman-shaman yang menjadi shaman secara turun temurun tidak berkomunikasi dengan roh pada saat ritual. Shaman ini memiliki peran yang lain dan tidak menggunakan baju yang rumit atau menari secepat shaman yang kerasukan (Korean Culture and Information Service, 2011:262). Kemudian dalam upacara gut, terdapat unsur yang tidak dapat diabaikan yaitu sesaji yang harus disiapkan. Menurut Lee (1981:28) berbagai sesaji yang disiapkan di altar disebut chisong dang. Sesaji ini harus ditata secara urut. Setiap makanan harus diletakkan di atas meja yang berbeda-beda sesuai dengan dewa masing-masing. Di antaranya adalah pulsa sang atau meja untuk Sang Buddha, sansang sang atau meja untuk dewa gunung, chosang sang atau meja untuk arwah para leluhur, Sonsu sang atau meja untuk dewa makanan, taegam sang atau meja untuk pengawas agung, dan lain sebagainya. Setiap meja memiliki tempat dan
ukuran yang berbeda-beda. Tidak hanya itu, setiap meja juga memiliki sesaji yang berbedabeda. Seperti contoh, di meja Buddha diletakkan kue beras putih yang berjumlah tiga setiap piring, buah-buahan, dan kue-kue kering. Kemudian diletakkan bunga teratai putih di atas kue beras putih di setiap piring. Hal ini melambangkan kesucian dan kemurnian. Di setiap meja lainnya diletakkan sesaji yang hampir sama kecuali di meja pengawas agung atau taegam sang. Di meja ini diletakkan kue beras yang utuh dan besar, anggur dengan kadar alkohol dalam botol yang besar, dan kepala atau kaki babi. Selain itu disiapkan pula beberapa sesaji pelengkap selain sesaji utama yang telah dijelaskan seperti buah-buahan dan makanan yang lainnya (Lee, 1981:29). Gut merupakan sebuah ritual yang tidak dapat dipisahkan dari Shamanisme. Kepercayaan ini berpusat pada keyakinan akan roh-roh baik dan jahat hanya bisa dipengaruhi oleh shaman. Dalam sudut pandang Shamanisme, manusia memiliki jiwa dan raga, bahkan beberapa jiwa. Pada saat seorang manusia meninggal, jiwanya berada di kehidupan setelah mati dan akan terlahir kembali ke dalam tubuh yang baru. Kepercayaan ini membagi jiwa ke dalam jiwa yang mati dan yang masih hidup. Jiwa orang mati dipercaya tidak mempunyai bentuk tetapi berkuasa, melayang bebas dalam ruang dan waktu yang tak terbatas (Korean Culture and Information Service, 2011:263). Ketiga jenis sastra lisan ini masih banyak ditemukan di Korea dan menjadi bagian yang sangat penting dalam perkembangan kebudayaannya. Masih terdapat banyak pertunjukan pansori di Korea dengan tujuan untuk melestarikan pansori itu sendiri. Arirang menjadi bagian yang penting dalam kehidupan masyarakat Korea. Begitu pula dengan gut, yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kepercayaan Shamanisme di Korea. Aktivitas 1. Mahasiswa berdiskusi dan memberikan komentar, 2. Dosen memberikan pengayaan dengan alat bantu alat bantu papan tulis, laptop, dan LCD, 3. Tanya jawab. Tugas dan/atau latihan Mahasiswa diminta untuk referensi lain yang berkaitan dengan bab III yaitu sastra lisan Korea. Latihan 1.
Apakah yang disebut dengan pansori, arirang, dan gut?
2.
Sebutkan 5 cerita pansori yang masih dipentaskan hingga saat ini!
3.
Jelaskan peran shaman dalam upacara gut secara singkat!
Rangkuman Pansori adalah genre musik dengan cerita di dalamnya yang dipertunjukan oleh seorang penyanyi dan penabuh buk. Pansori berasal dari kata „pan‟ yang berarti tempat umum atau tempat berkumpulnya orang banyak; dan „sori‟ yang berarti lagu atau suara. Pansori banyak dipertunjukkan di Provinsi Jeolla dan Chungcheong. Pada pertengahan abad ke-18, pansori dipertunjukan di tempat-tempat seperti pasar. Ada lima jenis cerita yang dibawakan oleh para penyanyi pansori yaitu, Chunhyangga, Simcheongga, Heungboga, Sugungga, dan Jeokbyeokga. Pansori dipentaskan oleh dua orang yaitu, seorang penyanyi profesional yang disebut gwangdae yang membawa jwibuchae (kipas lipat) dan penabuh buk (alat musik tradisional Korea) yang disebut gosu. Pertunjukan pansori berlangsung selama 2-3 jam bahkan hingga 7-8 jam (Nam, 2009: 52) dan biasa dipentaskan di sorip‟an yaitu di tempat orangorang bisa berkumpul seperti pasar, tempat-tempat umum atau bahkan istana (Seo, 2005:43). Arirang adalah lagu daerah yang sangat terkenal di Korea. Seluruh lapisan masyarakat Korea suka menyanyikan dan juga mendengarkan lagu ini Tidak diketahui secara pasti sejarah mengenai Arirang seperti lagu daerah yang lain. Arirang memiliki banyak versi, terdapat lebih dari 50 variasi Arirang dengan lebih dari 800 lirik yang tersebar di seluruh pelosok semenanjung Korea dan seluruh dunia pada saat ini. Di antaranya ada tiga versi yang paling terkenal yaitu „Jeongseon Arari‟ yang berasal dari Gangwondo, „Jindo Arirang‟ dari Jeolanamdo, dan „Miryang Arirang‟ yang berasal dari Gyeongsangnamdo. Arirang memberikan tiupan semangat bagi orang-orang yang mendengarkannya ketika mereka berada dalam penderitaan Gut adalah upacara ritual yang dilakukan oleh shaman (cenayang) di Korea (Korean Culture and Information Service, 2011:261). Upacara ini menggabungkan antara musik, tari, dan nyanyian. Di bawah ini akan dijelaskan mengenai nyanyian yang dilakukan pada saat upacara gut dan peran shaman dalam upacara ini. Nyanyian shaman memiliki fungsi untuk mengucapkan mantra. Mantra yang diucapkan memiliki beberapa tujuan, yaitu 1) meminta dewa untuk turun ke bumi (ch‟ongbae), 2) meminta roh atau spirit untuk kembali ke dunia lain, 3) memohon berkat dan keberuntungan dari dewa, dan 4) memohon untuk dihindarkan dari hal-hal buruk (Seo, 2005:33). Shaman adalah seorang mediator spiritual
yang dapat menghubungkan dua dunia dan mengadakan upacara-upacara ritual tertentu.
PENUTUP a. Penilaian 1. Perkuliahan dikatakan berhasil jika mahasiswa dapat memahami keseluruhan isi bab ini, terutama dalam memahami sastra lisan Korea. 2. Rentang nilai adalah 45- <80. c. Tindak lanjut Mahasiswa yang belum dapat memahami isi bab ini diharapkan dapat mempelajari lebih lanjut.
Evaluasi yang direncanakan Pembelajaran perkuliahan ini dikatakan berhasil apabila mahasiswa dapat Indikator keberhasilan Butir kemampuan Mahasiswa
akan
mampu
memahami sastra lisan Korea
Butir penilaian
Poin maks.
Penyajian hasil jawaban Ujian Tengah Semester yang benar
10
Matrix Penilaian Materi/isi
Sastra lisan Korea
Ranah Kognitif C1
C2
1
1
C3
C4
C5
C6
Ranah
Ranah
Metode
Tujuan Khusus
Afektif
Psikomotorik
Penilaian
Pembelajaran
X
A
Mid
D1, D4
Semester
Keterangan: I : Imitation berarti meniru. M : Manipulation, yakni melakukan suatu modifikasi. P : Precision, yakni melakukan tindakan dengan penuh ketepatan. A : Articulation, yakni mampu mengekspresikan/memberikan penjelasan secara tepat. N : Naturalisation, yakni keterampilan yang diperoleh menjadi kebiasaan yang terinternalisasi dalam diri. C1 : Pengetahuan : mengenali, mendiskripsikan, menamakan, mendifinisikan, memasangkan, memilih. C2 : Pemahaman : mengklasifikasikan, menjelaskan, mengintisarikan, meramalkan, membedakan. C3 : Aplikasi : mendemonstrasikan, menghitung, menyelesaikan, menyesuaikan, mengoperasikan, menghubungkan, menyusun. C4 : Analisis : menemukan perbedaan, memisahkan, membuat diagram, membuat estimasi, menyusun urutan, mengambil kesimpulan. C5 : Sintesis : menggabungkan, menciptakan, merumuskan, merancang, membuat komposisi, menyusun kembali, merevisi. C6 : Evaluasi : menimbang, mengkritik, membandingkan, memberi alasan, menyimpulkan, memberi dukungan.
UN IV E RS I TA S G A DJ A H M ADA FAKULTAS ILMU BUDAYA JURUSAN BAHASA KOREA Jl. Sosiohumaniora 1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281
Buku 2: RKPM (Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan) Modul Pembelajaran Pertemuan ke 6-7
KESUSASTRAAN KOREA Genap/2 SKS/BDK3611 oleh Dr. Novi Siti Kussuji Indrastuti, M.Hum.
Didanai dengan dana BOPTN P3-UGM Tahun Anggaran 2012 Desember 2012
6
Mahasiswa mengetahui dan memahami puisi-puisi Korea
Puisi klasik korea: 1.hyangga 2.sijo 3.gasa 4.goryeo gayo
Soal-Tugas
Audio/Video
Gambar
Topik (pokok, subpokok bahasan, alokasi waktu)
Presentasi
Tujuan Ajar/ Keluaran/ Indikator
Teks
Pertemuan ke
Media Ajar
Mahasiswa mengetahui dan memahami puisi-puisi Korea
Puisi Korea
modern
Waktu: 1x pertemuan @100 menit
Metode Ajar
Aktivitas Mahasiswa
Aktivitas Dosen/ Nama Pengajar
Sumber Ajar
√
√
Tanya jawab: mahasiswa yang aktif akan mendapatka n tambahan poin
Mahasiswa mendengar kan penjelasan dosen
Tanya jawab
Dosen mem- Pustaka berikan 2, 3, 4, 5 penjelasan dengan alat bantu alat bantu papan tulis, laptop, dan LCD
√
√
Tanya jawab: mahasiswa yang aktif akan mendapatka n tambahan poin
Mahasiswa mendengar kan penjelasan dosen
Tanya jawab
Dosen mem- Pustaka berikan 2, 3, 4, 5 penjelasan dengan alat bantu alat bantu papan tulis, laptop, dan LCD
Waktu: 1x pertemuan @100 menit 7
Metode Evaluasi dan Penilaian
BAB IV PUISI-PUISI KOREA
PENDAHULUAN Deskripsi Singkat Bab ini memiliki penjelasan lengkap tentang puisi Korea dengan beberapa jenisnya dan contohnya. Penjelasan tersebut mencakup penjelasan mengenai hyangga, sijo, gasa, goryeo gayo, dan puisi Korea modern. Manfaat Bab ini dapat memberikan informasi yang dibutuhkan oleh mahasiswa tentang contohcontoh puisi klasik dan modern Korea, sehingga mahasiswa dapat memperluas wawasan dan pengetahuan tentang puisi-puisi Korea. Relevansi Bab ini mempunyai relevansi dengan bab I, dan bab II. Karena pada bab selanjutnya menjelaskan tentang sejarah Sastra Korea dan sastrawan-sastrawan Korea. Learning Outcomes Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat menambah wawasan tentang puisi-puisi Korea. Selain itu mahasiswa juga diharapkan dapat menumbuhkan apresiasi tentang karya sastra lisan Korea. Kemudian mahasiswa juga dapat berlatih untuk menganalisis puisi Korea.
PENYAJIAN Karya sastra Korea yang diciptakan sampai sebelum periode sastra pencerahan (dimulai pada tahun 1876) disebut sastra klasik, dan karya sastra yang dibuat berdasarkan pengaruh dari barat disebut sastra modern (Lee, 2008:227). Sastra klasik Korea dimulai pada masa Tiga Kerajaan dan berlanjut hingga masa Kerajaan Joseon. Sastra modern Korea diperkirakan mulai berkembang pada tahun 1910 saat runtuhnya Kerajaan Joseon.
4.1
Puisi Korea Klasik Puisi Korea klasik terdiri dari hyangga, gasa, sijo, dan goryeo gayo (song of gayo).
Puisi Korea klasik ditulis menggunakan huruf Cina karena huruf Korea, hangeul, belum diciptakan. Mayoritas penyair puisi klasik Korea merupakan rahib Buddha, prajurit ataupun gisaeng. Di bawah ini adalah penjelasan mengenai puisi-puisi Korea klasik yaitu hyangga,
gasa, sijo, dan goryeo gayo dengan beberapa contoh karyanya.
4.1.1 Hyangga Hyangga muncul pada masa Tiga Kerajaan (5 SM-668 M) sampai masa Kerajaan Silla Bersatu (668-936 M) yang menandai munculnya puisi yang terbilang unik pada masa Kerajaan Silla. Hyangga ditulis ke dalam Bahasa Korea dengan menggunakan huruf Cina yang telah dimodifikasi (Idu , 이두, 吏讀). Hyangga direkam dalam bentuk skrip yang disebut hyangch‟al dimana dalam bahasa korea berarti „suara‟ dan „arti‟. Empat belas puisi hyangga tercantum dalam Memorabilia Tiga Kerajaan (삼국유사, 三國遺事) yang ditulis oleh Iryon (1206-1289). Kemudian diturunkan pada masa Kerajaan Goryeo, diantara puisi-puisi hyangga tersebut yang berjumlah sebelas dirangkum dan dijadikan sebuah karya yaitu Kyungyojon (Dongeng Kyungyeo). Hyangga merupakan puisi formal, dengan struktur: a) Puisi 4 bait yaitu puisi berbentuk balada yaitu yang terbentuk pada latar belakang yang cukup luas; b) Puisi 8 bait; c) Puisi 10 bait yang merupakan bentuk yang sudah berkembang, dibagi menjadi bentuk 4-4-2 dan merefleksikan aristrokasi dan juga kesadaran beragama. Puisi 10 bait ini mayoritas ditulis oleh pemuka agama seperti Chu‟ung Tamsa, Wol Myongsa, Yung Ch‟onsa, Yongjae dan Kyungyo, puisi ini juga ditulis oleh prajurit (Hwarang) termasuk Duk Ogok dan Shin Chung. Prajurit-prajurit tersebut merupakan tulang belakang aristrokasi pada masa Kerajaan Silla. Sebagai contoh puisi yang paling mewakili hyangga adalah „Sodong-yo‟ (Balada Sodong) dan „Jemangmaega‟ („Lagu Persembahan untuk Saudara Perempuan‟) yang keduanya ditulis oleh Wolmyeong (Lee, 2008:215). Selain itu ada pula „Ch‟angip‟arangga‟ („Lagu Pujian untuk Kip‟arang‟) yang ditulis oleh Chungdam. Ketiga contoh tersebut mempunyai teknik penulisan luar biasa dan memberikan kesan yang cocok terhadap bentuk puisi. Pada masa Kerajaan Silla terutama saat sebelum bersatu (668), banyak terjadi perang dan disinilah hyangga mengekspresikan kesedihan akan kehilangan. Para pemuka agama Buddha pada masa itu mengungkapkan kehidupan setelah kematian dalam hyangga. Di bawah ini adalah contoh hyangga yaitu „Jemangmaega‟. 재망매가 월명사 죽고 사는 길은
예 있므매 머뭇거리고 나는 간다는 말도 못 다 이르고 어찌 갑니까 어느 가을 이른 바람에 이에 저에 떨어질 잎처럼 한 가지에 나고 가는 곳 모리온저 아아, 미타찰에서 만날 나 도 닦아 기다리겠다 Jaemangmaega Wolmyeongsa Engkau pergi di antara jalan hidup dan mati tanpa kata-lata perpisahan kita akan berpisah, hancur oleh angin awal musim gugur dari sebatang pohon, terpecah belah siapa yang tahu dimana. Biarkan aku berdoa, sampai kita bertemu lagi di surga. (Lee, 2008:217) 4.1.2 Gasa Gasa adalah jenis puisi yang muncul pada akhir masa Kerajaan Goryeo (936-1392 M) sampai akhir masa Kerajaan Joseon (1392-1910 M). Gasa dan shijo merupakan bentuk puisi terbesar pada masa Kerajaan Joseon. Gasa tidak terbatas pada ekspresi individual layaknya moral dan nasihat. Bentuknya sederhana dengan baris ganda yang terdiri dari 3-4 kata pada masing-masing baris. Kemudian ada pengulangan sebanyak 4 kali. Penulis Gasa yang terkenal adalah Jeong Cheol (nama pena: Song Gang) yang banyak menulis pada masa Raja Seongjeong dari Kerajaan Joseon. Beberapa karyanya yang terkenal adalah „Samiingok, Soksamiingok‟ („Lagu Penantian untuk Raja‟), dan „Gwandongbyeolgok‟ (Lee, 2008:223). Selain karya dari Jeong Cheol ada beberapa contoh lain dari gasa yaitu „Sangch‟ungok‟ („Nyanyian Persembahan Musim Semi‟) yang ditulis oleh Chong Kuk In, „Myconangjongga‟ („Nyanyian Persembahan Myonangjong‟) yang ditulis oleh Song Sun, „Kwandong pyolgok‟ („Nyanyian Kwandong‟) yang ditulis oleh Ch‟ol, dan „Songsan pyolgok‟ („Nyanyian Gunung Songsan‟).
Temanya banyak tentang kontemplasi alam sebagai pencerahan spiritual, hubungan antar manusia dan percintaan. Seiring dengan berjalannya waktu ada juga yang bertema tentang perjalanan luar negeri (Kim In Gyom : „Iltong Chang yuga‟-„Nyanyain Perjalanan Menuju Timur Matahari‟). Kemudian ada pula naebang gasa yang ditulis oleh wanita untuk mengekspresikan perasaan, emosi, dan tata cara etika yang harus dipatuhi oleh wanita. Karya ini banyak mendapat respon yang positif di kalangan masyarakat pada masa itu.
4.1.3 Sijo Sijo merupakan puisi yang muncul pada akhir masa Kerajaan Goryeo dan menjadi sangat populer pada masa Kerajaan Joseon (Lee, 2008:207). Sijo ditulis berdasarkan paham konfusianisme dan bertema kesetiaan. Terdapat dua jenis Sijo yaitu pyeongsijo (bentuk pendek) dan sasol sijo (bentuk panjang) (Lee, 2008:219). Pyeongsijo biasanya mempunyai struktur yang sederhana yaitu: a) Dibagi menjadi 3 bait yang berisi pembuka, isi dan penutup; b) Setiap bait berisi 4 baris; dan c) Setiap baris berisi 3-4 kata. Unsur estetika dan kepuitisan sijo sangat mendominasi. Karena itulah sijo digemari baik kalangan bangsawan (양반) dan rakyat biasa. Pengarang sijo diantaranya adalah Jeong Mongju, Seong Sanmun, Lee Jonyeon, Maeng Sa-song, Yi Hyon Bo, Yi Hwang, dan Yi I. Sijo diekspresikan dengan alam (kangho kayo) sesuai dengan paham konfusianisme. Kemudian pada akhir Kerajaan Joseon sijo disisipi sindiran (satir) dalam humor. Koleksikoleksi sijo kemudian dikompilasi, seperti contoh: Ch‟onggu Yong on (Kim Chon Taek), dan Haedong Kayo yang berarti Lagu-lagu Korea (Kim Su Jang). Sasol sijo muncul pada akhir Kerajaan Joseon. Sasol shijo mengungkapkan sisi tidak terjamah para rakyat biasa. Sijo jenis ini masih berstruktur tiga bait dengan isi dan penutup digabung menjadi empat baris. Bentuknya bebas dan mengekspresikan suka duka para rakyat jelata yang sesuai dengan kenyataan (realita). Sijo yang paling digemari adalah puisi yang ditulis Chong Mong Ju seorang penganut paham konfusianisme. Chong memiliki loyalti yang besar terhadap raja terakhir Kerajaan Goryeo dan menolak berdirinya dinasti baru yang diciptakan oleh Jendral Yi Song Gye. Sijo yang diciptakannya mempunyai makna mengenai ketetapan hati. ‘단심가’
정몽주
이 몸이 죽고 죽어 일백 번 고쳐 죽어 백골이 진토되어 넋이러도 있고없고 님 향한 일편단심이야 가실 줄이 있으라
Lagu Kesetiaan
Jeong Mongju 1337-1392
Biarpun aku harus mati, seribu kali tulangku yang ternoda akan menjadi debu, hidup atau mati jiwa ini Apa yang dapat mengubah hati teguh ini, penuh dengan kesetiaan kepada Rajaku? (Rutt via Lee, 2008:219) Selain pengarang di atas ada pula Hwang Jin I (1522-1265) yang dikenal sebagai penulis Sijo berprofesi sebagai gisaeng. Salah satu karya Hwang Ji I yang terkenal adalah A Love Song. 기부가
황진이
청산리 벽계수야 수이감을 자랑마라 일도창해하면 도라오기 어려우리 명월이 만공산하니 쉬어간들 엇더리
Lagu Cinta
Hwang Jin I
Bukit-bukit biru adalah hasratku, hijaunya mengaliri cinta kekasihku. Bisakah hijaunya aliran itu membuat bukit dapat menghilang? Dan teriakan, tangisan perpisahan, bisakah mereka melupakan bukit-bukit biru itu? (Lee, 2008:221)
4.1.4 Goryeo Gayo (Song of Gayo) Sastra Korea pada masa Kerajaan Goryeo ditandai dengan menurunnya penggunaan huruf Cina, mulai menghilangnya eksistensi hyangga, dan mulai munculnya goryeo gayo. Goryeo gayo dianggap sebagai lagu korea yang tertua. Goryeo gayo kemudian menjadi karya sastra lisan yang terus diturunkan hingga Kerajaan Joseon. Perkembangan hyangga mulai Kerajaan Silla memang terus berlanjut hingga awal Kerajaan Goryeo, tetapi kesebelas puisi dalalm Kyungyeo Pohyeon Shipcheung Wonwangga terlalu banyak mengandung unsur-unsur religius yang tidak berkaitan dengan unsur-unsur dunia atau artistik. Bentuk puisi baru yang dikenalkan penulis adalah goryeo gayo yang disebut pyeolgok. Identitas kebanyakan penulis goryeo gayo tidak diketahui. Pada masa Kerajaan Goryeo hanya dilisankan, tetapi pada awal Kerajaan Joseon karya ini direkam dengan cara ditulis dengan huruf Korea atau hangeul (한글).
Puisi ini terbagi menjadi dua bentuk, yaitu: 1) Bentuk pendek (tallyonch‟e), yang terjalin dalam bait yang singkat atau biasa disebut single stanza (bait tunggal),contohnya adalah 'Chong Kwayonggok‟ dan „Samogok‟; 2) Bentuk panjang (yongjangch‟e), yang terjalin dalam beberapa bait atau biasa disebut extended stanza (bait bertingkat), contohnya adalah „Ch‟ongsan pyolgok‟ („Lagu Pegunungan Hijau‟) , „Sogyong pyolgok‟ („Lagu Ibukota di Barat – Pyongyang‟), „Tongdong‟ dan „Ssanghwajom‟ („Toko Bunga Kembar‟). Empat contoh tersebut disebut sebagai bentuk yang paling mewakili Goryeo Gayo. Karakterisasi goryeo gayo ditandai dengan panjang bait yang meningkat dan unsur-unsur kebebasan. Puisi ini dibagi menjadi 4-13 bait. Tema yang biasa diangkat dalam goryeo gayo adalah unsur kehidupan atau realitas sosial dalam kehidupan sehari-hari. Tema mengenai cinta yang sederhana seperti cinta seorang ibu dan juga tentang perpisahan juga banyak ditemukan.
4.2
Puisi Korea Modern Puisi modern Korea mulai berkembang pada akhir masa Kerajaan Joseon (1910). Puisi
gaya baru Korea yang berkembang di tahun 1908-1918 mempunyai kecenderungan untuk tidak mengikuti tata cara tradisional dan banyak didominasi oleh simbol-simbol dari Barat terutama Prancis pada akhir tahun 1918 (Lee, 2003:342). Pada tahun 1920an, puisi modern Korea mengalami perubahan dan semakin berkembang dengan bebas. Di bawah ini adalah beberapa contoh dari puisi Korea modern karya Kim Soweol, Han Yong Un, Byeon Yongno, Noh Cheonmyong, dan Jo Byeonghwa. 산유화 김소월 산에는 꽃 피네. 꽃이 피네. 갈 봄 여름 없이 꽃이 피네. 산에 산에 피는 꽃은 저만치 혼자서 피어 있네. 산에서 우는 작은 새여, 꽃이 좋아
산에서 사노라네. 산에는 꽃이 지네. 꽃이 지네. 갈 봄 여름 없이 꽃이 지네. (Lee, 2008:232)
Bunga-Bunga di Perbukitan Kim Sowol Di perbukitan bunga-bunga bermekaran di musim gugur, musim semi, musim panas bunga-bunga bermekaran Di perbukitan Di bukit-bukit bunga-bunga itu bermekaran dalam sepi nun jauh di sana burung kecil berkicau di perbukitan mengagumi bunga-bunga yang tumbuh di bukit Bunga-bunga berguguran di perbukitan Berguguran di musim gugur, musim semi, musim panas bunga-bunga berguguran 님의 친목 한용운 님은 갔습니다. 아아, 사랑하는 나의 님은 갔습니다. 푸른 산빛을 깨치고 단풍나무숲을 향하야 난 적은 길을 걸어서, 참어 떨치고 갔습니다. 황금의 꽃같이 굳고 빛나는 옛 맹서는 차디찬 티끌이 되야서, 한숨의 미풍에 날어 갔습니다. 날카로운 첫 키스의 추억은 나의 운명의 지침을 돌려놓고, 뒷걸을 쳐서 사러갔습니다. 나는 향기로운 님의 말소리에 귀먹고, 꽃다운 님의 얼굴에 눈 멀었습니다. 사랑도 사람의 일이라, 만날 때에 미리 떠날 것을 염려하고 경계하지 아니 한 것은 아니지만 리별은 뜻 밖의 일이 되고 놀란 가슴은 새로운 슬픔에 터집니다.
그러나 이별을 쓸데 없는 눈물의 원천을 만들고 마는 것은 스스로 사랑을 깨치는 것인 줄 아는 까닭에, 걷잡을 수 없는 슬픔의 힘을 옮겨서 새희망의 정수박이에 들어부었습니다. 우리는 만날 때에 떠날 것을 염려하는 것과 같이, 떠날 때에 다시 만날 것을 믿습니다. 아아 님은 갔지마는 나는 님을 보내지 아니하였습니다. 제 곡조를 못 이기는 사랑의 노래는 님의 침목을 휩싸고 돕니다. (Lee, 2008:234)
Keheningan Kekasihku Han Yongun Kekasihku telah pergi Oh, kekasihku tercinta telah pergi Dia melangkah di jalan yang sempit membelah hijaunya cahaya gunung menuju hutan maple hilang tak berbekas Janji yang teguh gemerlap bagai sinar bunga keemasan menjadi debu dan terbang tertiup angin Kenangan ciuman pertama yang manis memutar takdirku memudar dan menghilang wajahnya yang molek membutakanku manusia hidup untuk mencinta saat kita pertama bertemu aku khawatir perpisahan kan tiba tapi perpisahan benar-benar tiba, tak diharapkan menghancurkan hatiku membuatku menderita aku tak mengerti perpisahan dapat menghapus cinta meneteskan air mata. „Kan kujadikan penderitaan ini jadi harapan. saat kita berpisah untuk bertemu kembali kita berjanji „tuk bersatu lagi. Biarpun cinta telah pergi, aku tak ingin berhenti mencinta Merasakan keheningan cinta ini.
생시에 못 뵈올 임을 변영로 생시에 못 뵈올 임을 꿈에나 뵐까 하여 꿈 가는 푸른 고개 넘기는 넘었으나 꿈처럼 흔들리우고 흔들리어 그립던 그대 가까올 듯 멀어라.
아, 미끄럽지 않은 곳에 미끄러져 그대와 나 사이엔 만 리가 격했어라. 다시 못 뵈올 그대의 고운 얼굴 사라지는 옛 꿈볻다는 희미하여라 (Rim, 2007:137)
Kekasih yang Tak Dapat Kujumpai Byeon Yongno Kekasih yang tak dapat kujumpai ku ingin menemuinya dalam mimpi aku telah melintasi Bukit Biru dalam mimpiku namun mimpi pun samar-samar kekasih yang dekat tampak begitu jauh. Ah, tergelincir di tempat yang tak licin jarak antara aku dan kekasihku begitu jauh. Tak dapat lagi melihat kecantikannya lebih samar daripada mimpi yang telah lama hilang
사슴 노천명 몸 둔 곳 알려주는 드을 좋아아런 모양 보여서는 안 되는 까닭에 숨어서 기나긴 밤 울어 새웁니다 밤이면 나와 함께 우는 이도 있어 달이 밝으면 더 깊이 숨겨둡니다. 오늘도 저 섬돌 뒤 내 슬픈 밤을 지켜야 합니다 (Rim, 2007:165)
Rusa Noh Cheonmyeong Binatang yang tempak sedih karena panjang lehernya kau selalu lemah lembut tanpa suara mahkotamu yang harum menunjukkan kau adalah turunan bangsawan. Memandang bayangan dirinya dalam danau mengingat kembali memori yang telah memudar
nostalgia yang tidak dapat terlupa dengan lehernya ia tampak sedih memandangi gunung dari kejauhan. 고요한 귀향 조병화 이곳까지 오는 길 험했으나 고향에 접어드니 마냥 고요하여라 비가 내린다 개이고 개이다 눈이 내리고 눈이 내리다 폭설이 되고 폭설이 되다 봄이 되고 여름이 되고 홍수가 되다 가뭄이 되고 가을 겨울이 되면서 만남과 이별이 세월이 되고 마른 눈물이 이곳이 되면서 지나온 주막들 아련히 고향을 마냥 고요하라 아, 어머님 안녕하십니까 (1999. 8. 28)
Perjalanan Pulang Nan Sepi Jo Byeong Hwa Jalan menuju tempat ini begitu terjal Kembali menuju kampung halaman begitu sepi Hujan turun lalu berhenti Kemudian salju pun turun Salju turun menjadi badai salju Badai salju menjadi musim semi dan musim panas Banjir pun datang lalu terjadilah kekeringan Pertemuan dan perpisahan menjadi musim Air mata yang kering pun menjadi tempat ini Bar-bar kecil yang terlewati samar-samar Kampung halamanku begitu sepi Ah, Ibu bagaimana kabarnya (1999.8.28)
Berdasarkan penjelasan di atas, Korea memiliki berbagai macam bentuk puisi yang dimulai pada masa Kerajaan hingga kini. Puisi klasik yang terdiri dari hyangga, sijo, gasa, dan goryeo gayo masih memiliki batasan-batasan tertentu dalam penciptaannya. Puisi modern telah meninggalkan batasan-batasa tersebut dan mulai membuat cara baru dalam menciptakan puisi. Setiap puisi Korea memiliki keunikan dan cirinya masing-masing, dengan tema dan makna yang terdapat dalam setiap karya. Aktivitas 1. Mahasiswa berdiskusi dan memberikan komentar, 2. Dosen memberikan pengayaan dengan alat bantu alat bantu papan tulis, laptop, dan LCD, 3. Tanya jawab. Tugas dan/atau latihan Mahasiswa diminta untuk referensi lain yang berkaitan puisi-puisi Korea. Kemudian mahasiswa diminta untuk mencari puisi lain dan mencoba menganalisis. Latihan 1.
Apakah yang disebut dengan hyangga?
2.
Apakah yang disebut dengan sijo?
3.
Tuliskan beberapa judul puisi modern yang Anda ketahui!
Rangkuman Puisi Korea klasik terdiri dari hyangga, gasa, sijo, dan goryeo gayo (song of gayo). Puisi Korea klasik ditulis menggunakan huruf Cina karena huruf Korea, hangeul, belum diciptakan. Mayoritas penyair puisi klasik Korea merupakan rahib Buddha, prajurit ataupun gisaeng. Hyangga muncul pada masa Tiga Kerajaan (5 SM-668 M) sampai masa Kerajaan Silla Bersatu (668-936 M) yang menandai munculnya puisi yang terbilang unik pada masa Kerajaan Silla. Hyangga ditulis ke dalam Bahasa Korea dengan menggunakan huruf Cina yang telah dimodifikasi (Idu , 이두, 吏讀). Hyangga direkam dalam bentuk skrip yang disebut hyangch‟al dimana dalam bahasa korea berarti „suara‟ dan „arti‟. Empat belas puisi hyangga tercantum dalam Memorabilia Tiga Kerajaan (삼국유사, 三國遺事) yang ditulis oleh Iryon (1206-1289). Hyangga merupakan puisi formal, dengan struktur: a) Puisi 4 bait yaitu puisi berbentuk balada yaitu yang terbentuk pada latar belakang yang cukup luas; b) Puisi 8 bait; c) Puisi 10 bait yang merupakan bentuk yang sudah berkembang, dibagi menjadi bentuk 4-4-2 dan merefleksikan aristrokasi dan juga
kesadaran beragama Gasa adalah jenis puisi yang muncul pada akhir masa Kerajaan Goryeo (936-1392 M) sampai akhir masa Kerajaan Joseon (1392-1910 M). Gasa tidak terbatas pada ekspresi individual layaknya moral dan nasihat. Bentuknya sederhana dengan baris ganda yang terdiri dari 3-4 kata pada masing-masing baris. Kemudian ada pengulangan sebanyak 4 kali. Penulis Gasa yang terkenal adalah Jeong Cheol (nama pena: Song Gang) yang banyak menulis pada masa Raja Seongjeong dari Kerajaan Joseon. Beberapa karyanya yang terkenal adalah „Samiingok, Soksamiingok‟ („Lagu Penantian untuk Raja‟), dan „Gwandongbyeolgok‟. Sijo merupakan puisi yang muncul pada akhir masa Kerajaan Goryeo dan menjadi sangat populer pada masa Kerajaan Joseon (Lee, 2008:207). Sijo ditulis berdasarkan paham konfusianisme dan bertema kesetiaan. Terdapat dua jenis Sijo yaitu pyeongsijo (bentuk pendek) dan sasol sijo (bentuk panjang). Pyeongsijo biasanya mempunyai struktur yang sederhana yaitu: a) Dibagi menjadi 3 bait yang berisi pembuka, isi dan penutup; b) Setiap bait berisi 4 baris; dan c) Setiap baris berisi 3-4 kata. Goryeo gayo dianggap sebagai lagu korea yang tertua. Goryeo gayo kemudian menjadi karya sastra lisan yang terus diturunkan hingga Kerajaan Joseon. Perkembangan hyangga mulai Kerajaan Silla memang terus berlanjut hingga awal Kerajaan Goryeo, tetapi kesebelas puisi dalalm Kyungyeo Pohyeon Shipcheung Wonwangga terlalu banyak mengandung unsur-unsur religius yang tidak berkaitan dengan unsur-unsur dunia atau artistik. Bentuk puisi baru yang dikenalkan penulis adalah goryeo gayo yang disebut pyeolgok. Identitas kebanyakan penulis goryeo gayo tidak diketahui. Puisi ini terbagi menjadi dua bentuk, yaitu: 1) Bentuk pendek (tallyonch‟e), yang terjalin dalam bait yang singkat atau biasa disebut single stanza (bait tunggal); 2) Bentuk panjang (yongjangch‟e), yang terjalin dalam beberapa bait atau biasa disebut extended stanza (bait bertingkat). Karakterisasi goryeo gayo ditandai dengan panjang bait yang meningkat dan unsur-unsur kebebasan. Puisi ini dibagi menjadi 4-13 bait. Puisi modern Korea mulai berkembang pada akhir masa Kerajaan Joseon (1910). Puisi gaya baru Korea yang berkembang di tahun 1908-1918 mempunyai kecenderungan untuk tidak mengikuti tata cara tradisional dan banyak didominasi oleh simbol-simbol dari Barat terutama Prancis pada akhir tahun 1918. Pada tahun 1920an, puisi modern Korea mengalami perubahan dan semakin berkembang dengan bebas.
PENUTUP
a. Penilaian 1. Perkuliahan dikatakan berhasil jika mahasiswa dapat memahami keseluruhan isi bab ini, terutama dalam memahami puisi-puisi Korea. 2. Mahasiswa dapat menganalisis puisi Korea dengan baik dan benar. 3. Rentang nilai adalah 45- <80. b. Tindak lanjut Mahasiswa yang belum dapat memahami isi bab ini diharapkan dapat mempelajari lebih lanjut.
Evaluasi yang direncanakan
Butir kemampuan Mahasiswa
akan
mampu
membedakan puisi Korea klasik dan modern
Pembelajaran perkuliahan ini dikatakan berhasil apabila mahasiswa dapat Indikator keberhasilan Butir penilaian Poin maks. Penyajian hasil jawaban Ujian Tengah Semester yang benar 10
Matrix Penilaian Materi/isi
Puisi-puisi Korea
Ranah Kognitif C1
C2
1
1
C3
C4 1
C5
C6
Ranah
Ranah
Metode
Tujuan Khusus
Afektif
Psikomotorik
Penilaian
Pembelajaran
x
M/P/A
Mid
dan D1, D2, D3,
Ujian
D4
Akhir Semester
Keterangan: I : Imitation berarti meniru. M : Manipulation, yakni melakukan suatu modifikasi. P : Precision, yakni melakukan tindakan dengan penuh ketepatan. A : Articulation, yakni mampu mengekspresikan/memberikan penjelasan secara tepat. N : Naturalisation, yakni keterampilan yang diperoleh menjadi kebiasaan yang terinternalisasi dalam diri. C1 : Pengetahuan : mengenali, mendiskripsikan, menamakan, mendifinisikan, memasangkan, memilih. C2 : Pemahaman : mengklasifikasikan, menjelaskan, mengintisarikan, meramalkan, membedakan. C3 : Aplikasi : mendemonstrasikan, menghitung, menyelesaikan, menyesuaikan, mengoperasikan, menghubungkan, menyusun. C4 : Analisis : menemukan perbedaan, memisahkan, membuat diagram, membuat estimasi, menyusun urutan, mengambil kesimpulan. C5 : Sintesis : menggabungkan, menciptakan, merumuskan, merancang, membuat komposisi, menyusun kembali, merevisi. C6 : Evaluasi : menimbang, mengkritik, membandingkan, memberi alasan, menyimpulkan, memberi dukungan.
UN IV E RS I TA S G A DJ A H M ADA FAKULTAS ILMU BUDAYA JURUSAN BAHASA KOREA Jl. Sosiohumaniora 1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281
Buku 2: RKPM (Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan) Modul Pembelajaran Pertemuan ke 9-10
KESUSASTRAAN KOREA Genap/2 SKS/BDK3611 oleh Dr. Novi Siti Kussuji Indrastuti, M.Hum.
Didanai dengan dana BOPTN P3-UGM Tahun Anggaran 2012 Desember 2012
Pertem uan ke 9
Tujuan Ajar/ Keluaran/ Indikator Mahasiswa mengetahui dan mampu memahami cerita rakyat Korea
Topik (pokok, subpokok bahasan, alokasi waktu) 1. Mite 2. Legenda
Waktu: pertemuan
Media Ajar
Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami cerita rakyat Korea
Waktu: 1x pertemuan @100 menit
Aktivitas Mahasiswa
Aktivitas Dosen/ Nama Pengajar
Sumber Ajar
√
Tanya jawab: mahasiswa yang aktif akan mendapatka n tambahan poin
Mahasiswa mendengar kan penjelasan dosen dan berdiskusi dengan kelompokn ya
Tatap muka di Dosen Pustaka kelas: memberikan 1, 2, 3, 4 1. Mahasiswa pengayaan berdiskusi dengan alat dengan bantu papan kelompoknya, tulis, laptop, dan 2. Tanya jawab LCD, dan latihan.
√
√
Tanya jawab: mahasiswa yang aktif akan mendapatka n tambahan poin
Mahasiswa mendengar kan penjelasan dosen dan berdiskusi dengan kelompokn ya
Tatap muka di Dosen Pustaka kelas: memberikan 1, 2, 3, 4 1. Mahasiswa pengayaan berdiskusi dengan alat dengan bantu papan kelompoknya, tulis, laptop, dan 2. Tanya jawab LCD, dan latihan.
1x
1.Dongeng 2.Fabel
Metode Ajar
√
@100 menit
10
Metode Evaluasi dan Penilaian
BAB V KARYA PROSA KOREA
PENDAHULUAN Deskripsi Singkat Bab ini memiliki penjelasan lengkap tentang karya prosa Korea dengan beberapa jenisnya. Penjelasan tersebut mencakup penjelasan mengenai mitologi, legenda, dongeng, fabel, dan cerpen. Manfaat Bab ini dapat memberikan informasi yang dibutuhkan oleh mahasiswa tentang karya prosa Korea, sehingga mahasiswa dapat memperluas wawasan dan pengetahuan tentang sastra lisan Korea. Relevansi Bab ini mempunyai relevansi dengan bab I, bab III, dan bab VI. Karena pada bab selanjutnya menjelaskan tentang sejarah Sastra Korea, sastra lisan Korea, dan drama tari topeng Korea. Learning Outcomes Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat menambah wawasan tentang karya prosa Korea. Selain itu mahasiswa juga diharapkan dapat menumbuhkan apresiasi tentang karya karya prosa Korea. Mahasiswa juga dapat berlatih menganalisis beberapa cerpen Korea.
PENYAJIAN Seperti halnya negara yang lain, Korea juga memiliki keberagaman dalam karya prosanya. Karya prosa Korea terdiri atas cerita rakyat, cerpen, dan novel. Cerita rakyat terbagi menjadi mitologi, legenda, dongeng, dan fabel. Cerita rakyat telah berkembang sejak dulu dan disalurkan melalui mulut ke mulut, sedangkan cerpen baru berkembang pada masa modern yaitu setelah Jepang masuk ke Korea. Di bawah ini merupakan penjelasan tentang cerita rakyat termasuk mitologi, legenda, dongeng, dan fabel beserta contoh-contohnya, serta beberapa cerita pendek Korea yang dikenal oleh masyarakat.
5.1
Cerita Rakyat Korea Terdapat fakta sejarah yang menyatakan bahwa sejarah tertulis dari suatu daerah dapat
menunjukkan politik dan kebudayaan yang berkembang di daerah itu, sedangakan cerita rakyat dapat menunjukkan kehidupan sehari-hari masyarakatnya (Zong, 1982:xviii). Beberapa cerita rakyat Korea sangat berhubungan dekat dengan dongeng-dongeng yang diceritakan di negara-negara tetangga, seperti Cina, Jepang, dan Mongolia. Cerita rakyat Korea dapat diklasifikasikan melalui berbagai macam cara. Salah satunya adalah dibagi menjadi lima yaitu mitologi, legenda, dongeng, fabel, dan novel kuno. Mitologi berarti cerita rakyat yang mendeskripsikan tentang penciptaan dunia dan alam. Legenda adalah cerita yang berisi tentang fakta-fakta sejarah. Dongeng berisi tentang cerita yang dikhususkan untuk anak-anak sedangkan fabel berisi pesan moral (Zong, 1982: xxi). Zong (1982:xxii) menyebutkan bahwa dalam mitologi dan legenda yang menceritakan tentang fondasi terbentuknya sebuah kerajaan atau dinasti, telur sangatlah berperan penting. Semua pahlawan-pahlawan Korea pada masa itu terlahir dari telur. Go Zu Mong, raja pertama Goguryo, lalu pencipta Dinasti Silla, dan pahlawan dari Gara juga terlahir dari telur. Mayoritas legenda, fabel, dan novel kuno Korea menceritakan tentang kebijakan hakim pada masa itu, seluk beluk pemerintahan, inspektur istana yang memecahkan masalah, dan lain sebagainya. Sebaliknya ada pula yang bercerita tentang kejahatan dan kekejaman yang membuat rakyat menderita. Tidak hanya itu dalam cerita rakyat Korea, ujian seleksi masuk untuk menjadi pegawai pemerintahan juga banyak diceritakan karena ini merupakan langkah awal bagi seseorang yang ingin meraih posisi yang tinggi dalam pemerintahan. Banyak pula cerita cinta yang memperlihatkan bagaimana posisi sosial menghalangi cinta antara laki-laki dan perempuan, kemudian banyak pula cerita yang bertemakan penderitaan wanita yang dikekang dan tidak dapat menikmati dunia luar. Berbeda dengan karakter cerita rakyat yang lain, fabel penuh dengan humor dan keironisan, memperlihatkan kehidupan lokal Korea yang kadang mengharukan dan membuat pembaca meneteskan air mata. Karakter monster Korea yang bernama „doggabi‟ atau „tokkaebi‟ juga sering muncul dalam cerita rakyat Korea. Karakter ini terkadang membawa kebahagiaan bagi orang-orang, terkadang juga sering membuat masalah dengan manusia. Banyak orang yang berpikir bahwa monster adalah roh orang yang telah mati yang tidak dapat masuk ke kehidupan setelah mati sehingga bergentayangan di dunia. Orang Korea juga percaya bahwa hantu adalah roh dari manusia yang tidak bahagia dan tidak mau masuk ke dunia setelah mati dan hanya mau bergentayangan di dunia. (Zong, 1982:xxiii) Binatang yang paling umum ditemukan dalam cerita rakyat Korea adalah harimau, harimau terkadang dianggap dan diagungkan sebagai „Dewa Gunung‟ dan „Roh Agung dari Gunung‟ karena karakternya yang garang sekaligus penuh misteri (Zong, 1982:xxiii). Zong
(1982:xxiv) juga menyebutkan bahwa kisah tentang harimau bisa dibagi ke dalam lima kategori yaitu 1) cerita tentang keganasannya; 2) cerita yang bercerita tentang rasa terima kasihnya, 3) cerita yang menceritakan pernikahannya dengan manusia, 4) cerita tentang pembalasan dendamnya, dan 5) cerita yang menceritakan harimau sebagai sosok binatang yang tanpa dosa dan humoris. Cerita rakyat di Korea terbagi sesuai dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Korea yaitu Shamanisme, Buddhisme, Konfusianisme, Taoisme, agama Kristen, dan agama dewa-dewa. Shamanisme di Korea atau yang biasa disebut „Balg‟ merupakan kepercayaan yang mendasari elemen dalam cerita rakyat. Masyarakat Korea mengagungkan benda-benda langit dan alam seperti matahari, bulan bintang, angin, awan, dan hujan. Mereka juga menyembah gunung, sungai, gua, batu, binatang, pohon, dan benda-benda lainnya. Mereka juga percaya bahwa di atas segalanya ada penguasa yang sesungguhnya yaitu „Haneunim‟ yang berarti Tuhan atau surga, atau disebut Dewa Langit. Mereka mengenalnya sebagai raja dari Kerajaan Langit yang dapat memberikan hukuman bagi yang jahat dan memberikan penghargaan bagi yang baik. Selain Kerajaan Langit, ada pula Kerajaan Kegelapan dan Kerajaan Bawah Laut. (Zong, 1982:xxiv) Zong (1982:xxv) menyebutkan bahwa Buddhisme diperkenalkan di Korea pada abad ke 372 dan langsung meningkat kepopulerannya. Buddhisme mempunyai elemen yang dapat berbaur dengan kepercayaan Shamanisme. Ide-ide agama Buddha menjelaskan tentang kehidupan sekarang yang ditentukan oleh kehidupan masa lalu dan akan menentukan kehidupan yang akan datang. Pada masa itu pemerintah banyak membangun kuil Buddha dan menjadikan Buddha sebagai dasar hukum dalam pemerintahan. Akan tetapi pada masa Dinasti Lee agama Buddha ditekan oleh pemerintah karena alasan politik untuk membangun kembali jiwa nasionalis. Itu sebabnya pada masa itu, rahib dan pendeta di Korea mendapat perlakuan yang tidak adil dari pemerintah. Sebaliknya pemerintah memberikan dukungan yang positif terhadap berkembangnya Konfusianisme di Korea dan 500 tahun setelah popularitas Buddha menurun, kepercayaan ini menjadi paham utama yang berkembang di Korea. Konfusianisme bukanlah sebuah agama melainkan hanya sebuah paham yang memberikan pengaruh besar dalam kehidupan berpolitik dan kehidupan setiap orang. Prinsip Konfusianisme menjadi unsur yang sangat penting dalam cerita rakyat Korea. Lima unsur dalam Konfusianisme adalah 1) kesetiaan terhadap Raja, 2) hormat kepada orang tua, 3) keharmonisan suami dan istri, 4) hormat kepada orang yang lebih tua, dan 5) persahabatan sejati. Taoisme tidak berkembang sebagaimana kepercayaan lain di Korea, tetapi elemen dalam kepercayaan ini seperti geomancy, ramalan, dan diagram banyak muncul di cerita
rakyat. Kemudian terdapat pula agama Kristen yang diperkenalkan pada tahun 1653. Ide tentang keseimbangan dalam cinta dan hubungan antarmanusianya merupakan pengalaman yang baru bagi masyarakat Korea. Berikut adalah penjelasan mengenai masing-masing jenis dari cerita rakyat beserta contohnya.
5.1.1.Mitologi Mitologi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu Mitologi Nasional dan Mitologi Shaman. Mitologi Nasional adalah mitologi yang menceritakan tentang raja-raja pendiri Korea. Beberapa contoh dari Mitologi Nasional adalah Mitologi Tangun dari Joseon Kuno (Gojoseon), Mitologi Jumong dari Goguryeo, Mitologi Bak Hyeokgeose dari Silla, Mitologi Raja Kim Suro dari Garak, dan Mitologi Kim Alji dari Keluarga Kim (Lee, 2008:209). Mitologi Nasional diklasifikasikan ke dalam dua tipe yaitu Mitologi Utara dan Selatan. Mitologi Utara berkembang pada masa Gojoseon dan Goguryeo. Mitologi ini menceritakan tentang kelahiran pendiri yang meninggalkan negaranya untuk membentuk pemerintahan di tempat lain. Mitologi Selatan berkembang di masa Silla dan Garak. Mitologi ini lebih menekankan pada pernikahan pendiri negara dan penemuan suatu bangsa baru yang dilakukan dengan menyatukan beberapa wilayah kecil. Mitologi yang paling terkenal di Korea adalah Mitologi Dangun dari Gojoseon. Mitologi ini berhubungan dengan cerita di dalam Samguk Yusa (Memorabilia Tiga Kerajaan) yang ditulis pada masa Kerajaan Goryeo. Mitologi ini berkembang dalam masyarakat agrikultur dan dapat digunakan untuk mengungkap keberadaan totem beruang yang diagungkan pada masa Asia kuno (Lee, 2008:209). Mitologi Shaman adalah mitologi yang bercerita tentang kisah dewa-dewa yang diceritakan oleh para Shaman. Kisah-kisahnya banyak menceritakan tentang dewa-dewa yang melindungi tanah kelahirannya. Mitologi ini diceritakan secara lisan, sehingga jarang ditemukan dalam tulisan. Contohnya adalah Mitologi Putri Bari yang bercerita tentang seorang putri yang telah meninggal tetapi kembali lagi ke dunia demi ayahnya. Kemudian Mitologi Anak Danggeum yaitu mitologi tentang dewa kesuburan yang mengabulkan permintaan untuk kesuksesan panen (Lee, 2008:210). Di bawah ini adalah contoh mitologi Korea yang berjudul „Tangun‟ dan „Go Zu Mong, Raja Goguryeo‟.
Tangun The Wei shu tells us that two thousand years ago, at the time of Emperor Yao, Tangun Wanggom chose Asadal as his capital and founded the state of Choson. The Old Record notes that in olden times Hwanin‟s son, Hwanung, wished to descend from heaven and live in the world of human beings. Knowing his son‟s desire, Hwanin surveyed the three highest mountains and found Mount T‟ aebaek the most suitable place for his son to settle as human beings. Therefore he gave Hwanung three heavenly seals and dispatched him to rule over the people. Hwanung descended with 3,000 followers to a spot under a tree by the Holy Altar atop Mount T‟ aebaek, and he called this place the City of God. He was the Heavenly King Hwanung. Leading the Earl of Wind, the Master of Rain, and the Master of Clouds, he took charge life pains, illness, punishment, and good and evil, and brought culture to his people. At that time a bear and a tiger living in the same cave prayed to Holy Hwanung to transform them into human beings. The king gave them a bundle of sacred mugwort and twenty cloves of garlic and said, “If you eat these and shun sunlight for one hundred days, you will assume human form.” Both animals ate the spices and avoided the sun. after twentyone days the bear became a woman, but the tiger, unable to observe the taboo, remained a tiger. Unable to find a husband, the bear-woman prayed under the altar tree for a child. Hwanung metamorphosed himself, lay with her, and begot a son called Tangun Wanggom. In the fiftieth year of the reign of Emperor Yao, Tangun made tha wallet city of P‟ yongyang the capital and called his country Choson. He then moved his capital to Asadal on Mount Paegak, also named Mount Kunghol, or Kummidal, whence he ruled for 1,500 years. When, in the year kimyo [1122 B.C], Tangun moved to Changdanggyong, but later he returned and hid in Asadal as a mountain god at the age of 1,908. PL (Lee, 2005: 59)
Tangun Wei shu menceritakan bahwa 2000 tahun yang lalu di zaman Dinasti Yao, Tangun Wanggom memilih Asadal sebagai ibukotanya dan menemukan negara Choson. Catatancatatan Old Record anak laki-laki Hwanin, Hwanung berharap untuk turun dari langit dan tinggal di bumi. Kemudian Hwanin menemukan Gunung T‟aebaek sebagai tempat yang paling cocok bagi putranya untuk tinggal di bumi. Oleh karena itu dia memberikan Hwanung tiga kunci langit dan melepaskannya untuk berkuasa di bumi. Hwanung turun ke bumi dengan 3000 pengikutnya di bawah pohon di dekat Altar Suci di puncak Gunung T‟aebaek dan dia menyebutnya sebagai Kota Dewa. Dialah Raja Langit Hwanung. Penguasa angin, hujan dan awan yang berkuasa atas semua yang terjadi pada rakyatnya. Pada saat itu hiduplah seekor beruang dan harimau di sebuah gua. Mereka berdoa kepada Hwanung Agung untuk mengubah mereka menjadi manusia. Raja memberi mereka seikat mugwort yang suci dan dua puluh suing bawang putih sambil berkata, “Jika kamu memakannya dan menghindari matahari selama seratus hari maka kau akan menjadi manusia”. Kedua binatang itu pun memakannya dan menghindari matahari. Setelah dua puluh satu hari sang beruang berubah menjadi seorang perempuan, tetapi sang harimau yang tidak dapat mematuhi perintah itu tidak berubah menjadi apapun. Karena wanita beruang tidak dapat menemukan suami, maka ia pun berdoa meminta seorang anak di bawah pohon suci. Hwanung muncul dan berbaring di sebelahnya dan mereka pun mendapatkan anak
bernama Tangun Wanggom. Pada tahun ke-50 masa pemerintahan Dinasti Yao, Tangun menjadikan P‟yongyang sebagai ibukota negaranya yaitu Choson. Kemudian ia memindahkan ibukotanya ke Asadal di gunung Paegak, yang juga disebut Gunung Kunghol atau Kummidal. Ia berkuasa selama 1500 tahun. Pada tahun 1122 sebelum Masehi, Tangun memindahkan ibukotanya ke Changdanggyong, tetapi kemudian ia kembali lagi ke Asadal dan menjadi Dewa Gunung pada umur 1908. PL
Go Zu-Mong, King of Goguryo In ancient times there was a kingdom called Biyo whose territory included the Korean peninsula and the whole of Manchuria. The King of this land, Heburu, by name, though he had reached an advanced age, was yet without an heir. He therefore prayed constantly to the gods of the mountains and rivers that he might be granted a son. He was out riding one day, and when he came to a pool called Gonyon, his horse stopped, and neighed mournfully at a big stone. He ordered his attendant to turn the stone over, when, lo and behold, there appeared beneath it a little boy in the form of golden frog. The King was overjoyed to find the boy, and, thinking that he must be a gift from a god, he adopted him as Prince. And he called him Gum-Wa (Golden Frog). One day one of the King‟s ministers, Aranbul by name, came to the King and told him that a god had appeared to him in a dream and advised him that they should move to a more fertile land, called Gayobwon, near the Eastern Sea. So the King moved his kingdom thither, and renamed it Dong-Buyo (East Buyo). And after his death the Prince, Gum-Wa, succeeded him, but in his former territory a pretender called Hemosu took the throne, claiming that he was of divine ancestry. One day the new King was travelling in the land of Ubalsu, south of Mount Tebeg, went he happened to meet a woman, by name Yuhwa, daughter of Habeg (Lord of the River). The King asked her about herself, and she answered, „I once met a man called Hemosu, he said he was the son of a god. We stayed one night together in a house by the Yalu River, near Mount Ungsim, but after that he never came back. And for this illicit liaison my parents cast me out.‟ On hearing her story the King was deeply moved, and he took her and confined her in a room. Sunbeams came streaming in towards her. Though she tried to avoid them she could not, they still fell directly upon her. She soon became pregnant, and in the end she gave birth to an enormous egg, as big as five dwoe (a unit of dry measure). The King was most displeased by the birth of an egg, and threw it to the dogs and the pigs, but they would not eat it. He cast it out on the streets, but the cows and horses avoided it. He had it taken out into the fields, but the birds tended it under the wings. So he took it back and tried to break it, but it was not to be broken, and so finally he returned it to the mother. She wrapped it in soft cloth and placed it in a warm part of the room. Before long it hatched, and a boy was born from it. He appeared from birth to be very strong and healthy. His mother was very happy, and tended him with great care. When the boy was six years old he could already shot with the bow, and soon became so skilful that he outstripped all rivals. He was thereupon given the name of Zu-Mong, because from the earliest times the champion archer had been called so. The King had seven sons. The eldest, Deso, was jealous of Zu-Mong, and said to his father, „Zu-Mong was born from an egg. I think he is a dangerous character. I advise youto get rid of him at once, for if you do not he may sow seeds of trouble.‟ But the King ignored
his suggestion, and appointed Zu-Mong to the care of his horses. Zu-Mong fed the better horse sparingly, in order that it might become thin and weak, and on the other hand he fed the other lavishly that it might become fat and appear to be strong. This he did because he already suspected the malice of others toward himself, and wished to be prepared for what might happen in the future. One day the King decided to go hunting, and, riding the fat horse himself, bade ZuMong ride the thin one. In the field the King was hindered in his hunting by the slowness of his horse, whereas Zu-Mong was not successful even with the poor bow and arrows that he had, since the horse he rode was really the better one. Now the King was anxious about possible dangers, and, influenced by the malicious designs of the Princes and his ministers, was inclines to have Zu-Mong killed. His mother Yuhwa guessed this evil intention, and earnestly advised her son to escape. He fled with three followers, Zoi, Mari, and Hyobbu, and came to the river Omczesu. But there was no bridge, and they were hotly pursued by the King‟s men. So Zu-Mong prayed to the river God,‟I am the son of a god, and of the daughter of Habeg. I am beset by the gravest of dangers. Save me, oh, please save me! Then marvellous to relate, there came swimming in the river a great crowd of fish and tortoises, and they formed a bridge with their backs. So they crossed the river with ease, but their pursuers could not follow, for the fish and tortoises immediately swam away. Zu-Mong and his followers went on their way and came to the valley of Modun, where they met three wise men, Zesa, Mugol, and Muggo. He asked them to assist him in founding a new kingdom. The three wise men agreed and followed him, and he bestowed on them the family names of Gugsi, Zungsil, an Sosil respectively. So Zu-Mong went to Zolbonczon with his three followers and three wise men, and founded a new capital there, for it was a fertile spot, surrounded by steep mountains and traversed by a beautiful river. Until such time as he might be able to build himself a palace he built temporary dwellings of thatched houses on the banks of the Bullyu River. His kingdom he called Goguryeo, and took as his family name the first syllable Go. Thus Go Zu Mong became the first king of Goguryo, two thousand three hundred and two years ago. From Samgug Sagi, Vol. 13(Zong, 1982:4)
GO ZU-MONG, RAJA GOGURYO Pada zaman dahulu ada sebuah kerajaan yang bernama Buyo yang wilayahnya meliputi semenanjung Korea dan seluruh Manchuria. Raja negeri ini, Heburu, telah mencapai usia lanjut, tetapi tidak mempunyai ahli waris. Karena itu Raja berdoa terus-menerus kepada para dewa gunung dan dewa sungai agar dapat dikaruniai seorang anak. Suatu hari ketika Raja menunggangi kuda, Raja datang ke sebuah kolam yang disebut Gonyon, kudanya tiba-tiba berhenti, dan meringkik sedih di sebuah batu besar. Raja memerintahkan penjaga untuk memindahkan batu itu, saat hendak memindahkannya, di bawah batu itu muncullah seorang anak kecil dalam bentuk katak emas. Sang Raja sangat gembira menemukan anak itu, dan berpikir bahwa anak itu adalah pemberian dari dewa. Maka Raja pun mengadopsinya sebagai Pangeran dan memanggilnya Gum-Wa (Golden Frog). Suatu hari salah satu dari menteri Raja, yang bernama Aranbul, datang menghadap Raja dan mengatakan kepadanya bahwa Tuhan telah menampakkan diri kepadanya dalam mimpi, menyarankan kepadanya bahwa mereka harus pindah ke dataran yang lebih subur, yang
disebut Gayobwon, di dekat Laut Timur. Oleh karena itu Raja memindahkan kerajaannya ke Gayobwon, dan mengganti namanya menjadi Dong-Buyo (Timur Buyo). Setelah kematian Raja Heburu, Pangeran Gum-Wa menggantikannya memimpin kerajaan. Namun di wilayah Buyo, seorang yang bernama Hemosu berpura-pura mengklaim dirinya sebagai keturunan Tuhan dan mengambil singgasana. Suatu hari Raja sedang bepergian di sebuah dataran Ubalsu, di selatan Gunung Tebeg. Raja secara tidak sengaja bertemu dengan seorang wanita, yang bernama Yuhwa, putri Habeg (Lord of the River). Sang Raja pun bertanya kepada Yuhwa, dan dia menjawab, 'Saya pernah bertemu dengan seorang pria bernama Hemosu, dia mengatakan bahwa dia adalah anak Tuhan. Kami bermalam bersama disebuah rumah di tepi Sungai Yalu, dekat Gunung Ungsim, tapi setelah itu dia tidak pernah kembali. Karena saya telah melanggar hukum, orang tua saya pun mengusir saya.‟ Mendengar ceritanya, Raja sangat terharu dan membawanya ke sebuah ruangan. Sinar matahari jatuh menyinari badannya. Ia mencoba untuk menghindari sinar matahari tersebut tetapi usahanya sia-sia, sinar matahari tersebut masih mengenai dirinya. Dia pun menjadi hamil dan melahirkan telur yang berukuran besar, sebesar lima dwoe (satuan hitungan pada masa itu). Raja sangat kesal dengan kelahiran telur itu dan melemparkannya ke anjing dan babi, tetapi mereka tidak mau memakannya. Lalu Raja pun melemparkannya ke jalanan, tetapi sapi dan kuda menghindarinya. Kemudian Raja membuangnya ke ladang, tetapi burung-burung tidak menghiraukannya. Maka dari itu, Raja pun mengambil kembali telur tersebut dan mencoba untuk memecahkannya, tetapi telur tersebut tidak pecah, sehingga akhirnya Raja mengembalikan telur tersebut kepada ibunya. Ia membungkusnya dengan kain lembut dan meletakkannya di bagian hangat dari ruangan. Telur itu pun menetas dan seorang anak lakilaki lahir dari dalamnya. Ia lahir dan tumbuh menjadi sangat kuat dan sehat. Ibunya sangat senang, dan melindunginya dengan sangat hati-hati. Ketika ia berusia enam tahun, ia sudah bisa menembak dengan busur. Ia begitu terampil dan dapat mengalahkan kecepatan semua saingannya. Ia diberi nama Zu-Mong, karena sejak awal selalu dipanggil dengan nama itu. Sang Raja memiliki tujuh putra. Putra tertua, Deso, cemburu kepada Zu-Mong dan berkata kepada ayahnya, 'Zu-Mong lahir dari telur. Saya pikir dia mempunyai karakter yang berbahaya. Saya menyarankan Ayah untuk menyingkirkannya sekaligus, karena jika Ayah tidak menyingkirkannya mungkin ia akan membuat masalah.' Akan tetapi Raja mengabaikan sarannya dan memberi kepercayaan kepada Zu-Mong untuk mengurus kuda-kudanya. ZuMong memberi makan sedikit pada kuda yang lebih sehat karena bisa membuat kuda tersebut kurus dan lemah. Sebaliknya ia memberi makan kuda yang lain dengan berlebihan yang akan membuatnya menjadi gemuk dan tampak kuat. Hal ini ia lakukan karena ia sudah mencurigai kebencian orang lain terhadap dirinya, dan bersiap-siap untuk kejadian buruk yang mungkin terjadi di masa depan. Suatu hari Raja memutuskan untuk pergi berburu dan menunggangi kuda gemuk sedangkan Zu-Mong menunggangi kuda yang kurus. Pada saat berburu, Raja mendapatkan kesulitan karena kudanya yang lambat sementara Zu-Mong justru berhasil walaupun hanya menggunakan busur panah yang terbatas karena ia menunggangi kuda yang paling baik. Sekarang Raja menjadi cemas tentang akan adanya bahaya, dan terpengaruh oleh rencana jahat dari para Pangeran dan para menterinya yang menginginkan Zu-Mong tewas. Ibunya, Yuhwa, juga menduga niat jahat tersebut dan menyarankan anaknya untuk melarikan diri. Zu-Mong melarikan diri dengan tiga pengikutnya, Zoi, Mari, dan Hyobbu dan pergi menuju sungai Omczesu. Ketika mereka berada dalam pengejaran, tidak ada jembatan untuk menyebrang maka Zu-Mong pun berdoa kepada dewa sungai, 'Aku adalah anak seorang dewa, dan anak dari putri Habeg. Aku berada dalam bahaya. Selamatkan aku, oh, tolong
selamatkan aku! Kemudian secara luar biasa, datanglah kerumunan besar ikan dan kura-kura menghampirinya. Mereka membentuk sebuah jembatan dengan punggung mereka. Mereka pun dapat menyeberangi sungai dengan mudah dan lolos dari pengejaran. Zu-Mong dan para pengikutnya melanjutkan perjalanan mereka dan tiba ke lembah Modun, di mana mereka bertemu tiga orang bijak, Zesa, Mugol, dan Muggo. Zu-Mong meminta mereka untuk membantunya dalam mendirikan sebuah kerajaan baru. Tiga orang bijak tersebut setuju untuk mengikutinya dan memberikan mereka masing-masing nama keluarga yaitu Gugsi, Zungsil, dan Sosil. Oleh karena itu, Zu-Mong pergi ke Zolbonczon dengan tiga pengikutnya dan tiga orang bijak. Mereka mendirikan sebuah ibu kota baru di sana, karena daerah tersebut adalah tempat yang subur, dikelilingi oleh pegunungan terjal dan dilalui oleh sungai yang indah. dia bisa membangun sebuah istana dan tempat tinggal di tepi Sungai Bullyu. Kerajaannya disebut Kerajaan Goguryo yang diambil dari nama keluarganya yaitu Go. Dengan demikian Go Zu Mong menjadi raja pertama Kerajaan Goguryo, dua ribu tiga ratus dua tahun yang lalu. Dari Samgug Sagi, Vol. 135.1.2 Legenda Legenda adalah salah satu jenis karya sastra lisan yang ceritanya dipercaya benar-benar terjadi oleh penuturnya. Legenda biasanya menceritakan tentang sejarah terjadinya suatu tempat atau peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi di masa lampau. Sebagian besar akhir cerita legenda biasanya berupa tragedi, seperti kematian yang diceritakan di akhir kisah. Hal ini menjadi salah satu fitur yang selalu dipaparkan dalam legenda (Seo, 2005:9). Seo (2005:10) menyebutkan bahwa banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengklasifikasikan legenda. Salah satunya adalah dengan menentukan seberapa luas suatu legenda dikenal. Dengan cara ini legenda dibagi menjadi dua yaitu Legenda Nasional dan Legenda Daerah. Legenda Nasional bercerita tentang tokoh-tokoh penting dan peristiwa-peristiwa bersejarah. Masyarakat Korea umumnya meyakini kebenaran legenda ini karena buktibuktinya ditemukan dalam sejarah Korea itu sendiri. Contoh Legenda Nasional adalah “Terbentuknya Dinasti Joseon” dan “Kisah Hidup Admiral Yi Sun Sin” yang terkenal pada saat invasi Hideyoshi (Seo, 2005:10). Legenda Daerah bercerita tentang kisah dari daerah-daerah tertentu yang terbatas dalam wilayah tertentu. Legenda Daerah terkadang mempunyai versi yang berbeda sesuai dengan orang yang menceritakannya. Contohnya adalah “Kakak Beradik Stupa” dari wilayah Chungcheong Utara dan “Pertapaan Darah Naga” dari T‟ongdo. Cara lain untuk mengklasifikasi legenda adalah dengan memisahkan tema ceritanya, yaitu tema tentang manusia atau benda mati. Legenda yang bertema tentang manusia
bercerita tentang tokoh-tokoh terkenal seperti cendekiawan dan penulis. Kemudian legenda yang menceritakan tentang benda mati atau objek tertentu bisa dibagi dua yaitu objek alam dan objek buatan manusia. Legenda bertema alam bercerita tentang matahari, bulan, bintang, gunung, sungai, pepohonan, sungai, dan sebagainya. Legenda bertema objek buatan manusia menceritakan tentang situs peninggalan Buddha, stupa, benteng, jembatan, kaligrafi, lukisan, dan pakaian (Seo, 2005:12). Berikut adalah contoh legenda Korea yang berjudul „Kisah Admiral Yi‟ dan „Roh Arang yang Menyedihkan‟.
THE STORY of ADMIRAL YI Admiral Yi Sun-Sin invented the turtle boat, the world‟s first submarine, and won many victories in the war against Japan in 1592-1598. He was noted for his cleverness from his earliest years. One day, when he was very young, his father said to him, „You see me sitting here in the room. Can you think of any way of forcing me to come out?‟ Young Yi Sun-Sin pondered a moment and then replied, „No, Father, that is quite impossible. But if you were outside. I‟m sure I could make you go in.‟ So his father got up and went out of the room. Then Yi Sun-Sin shouted gleefully, „That‟s right, Father! You have come out of the room, haven‟t you? See, I‟ve won.‟ His father smiled and praised his son for his cleverness. (Zong, 1982:77)
KISAH ADMIRAL YI Admiral Yi Sun-Sin adalah seorang tokoh legendaris yang menciptakan sebuah perahu penyu, kapal selam pertama di dunia, dan memenangkan banyak kemenangan dalam perang melawan Jepang pada tahun 1592-1598. Sejak awal dia terkenal karena kepandaiannya. Suatu hari, ketika ia masih sangat muda, ayahnya berkata kepadanya, „Kau melihat Ayah duduk di sini di dalam ruangan. Dapatkah kau memikirkan cara untuk memaksa Ayah untuk keluar?‟ Kemudian Yi Sun-Sin muda berpikir sejenak lalu menjawab, „Tidak, Ayah, itu sangat mustahil. Tetapi jika Ayah berada di luar. Saya yakin saya bisa membuat Ayah masuk ke dalam rumah.‟ Oleh karena itu ayahnya pun bangkit dan keluar dari ruangan. Lalu Yi Sun-Sin berteriak gembira, „Itu benar, Ayah! Ayah telah keluar dari ruangan, bukan? Lihat, aku sudah menang.‟ Ayahnya tersenyum dan memuji anaknya karena kepandaiannya.
Arang‟s Grievous Spirit This legend of Arang at Yongman Tower in Miryang is probably the best known legend of its type. Arang, who as raped and murdered, appears as a resentful spirit and appeals to the courageous magistrate to avenge her death. The story reveals a folk belief that if a person
meets an undeserved death, the ghost will become a roaming spirit who must be appear by avenging the person‟s death. A long time ago, in the town of Miryang, the magistrate‟s daughter, named Arang, was known for her beauty and virtue. A public servant working for the magistrate‟s office fell in love with her, but that lowborn servant was suffering from unrequited love. He knew he could not persuade her to love him, so taking advantage of an opportune moment, he ambushed, raped, and killed her and flung he body into the South River. Arang then became a resentful spirit. A new magistrate arrived, but on the night of his arrival he was found dead. Another and still another came, but all met the same fate. For whenever Arang‟s spirit wished to assume the post, the town became deserted and the magistrate‟s office was closed. Then a man volunteered to be the magistrate of Miryang. Upon arriving, he donned his cap and gown, sat alone in magistrate‟s officer and had the building lighted by many lanterns and candles. At the third watch, he heard someone crying-and then Arang‟s spirit, her hair dishevelled and her neck still bleeding from a dagger stuck in her throat, appeared. Collecting his wits, the new magistrate shouted, “Are you human being or a ghost that appears before me in this deep night when humans and ghosts cannot be distinguished?” Arang then bowed four times, sat down, and said, “I‟m not a human being but a ghost.” “If you‟re a ghost, why have you come here at the third watch od the night?” “I am Arang, daughter of the former magistrate. A certain servant violated me, even robbed me of my life with this dagger, and threw my body into the South River. I then became a resentful spirit wishing to average my death. But when I visited the former magistrates, they fainted and died. Now that I have met a wise and courageous magistrate, I have told my story andpray that you will comply with my request.” “What is your wish?” asked the magistrate “That servant is still alive and working here, so please arrest him.” “There‟ll be no problem arresting him, but how am I to know who he is?” “Tomorrow, at the morning meeting, assemble all your officials, servants, and slaves in the courtyard. I will then transform myself into a yellow butterfly and alight on the top of that servant‟s cap. You can then arrest and punish him so that I can average my death.” “I‟ll do as you wish,” replied the magistrate. “I‟ve met a wise magistrate and my wish will be fulfilled. I am eternally grateful.” The following morning, thinking that the magistrate must be dead, officials and servants came with a coffin and hemp cloth for his funeral. Instead the found the magistrate in full dress with his eyes glittering. After he ordered everyone to be present, a yellow butterfly came from the direction of the South River and perched on the cap of the guilty servant. The magistrate summoned and interrogated him: “you rascal! Don‟t you know your crime?” Realizing that the magistrate had found him out, the murdered could only say, “Please, do as you wish, sir!” “Well, what did you do with Arang‟s body?” “I stabbed her throat and threw her body into the South River.” So they went to the river and found her body, which had remained unchanged after several years. The magistrate have her a decent burial. Then Arang appeared, saying, “I have met a wise magistrate and my wish is fulfilled. So I‟d have no regret if I were to die again.” Thereafter, Arang Shrine in Yongman Tower was built for her spirit in Miryang. That‟s why the song “Miryang Arirang” begins with the lines, “South River flows at curves around Yongman Tower, The moon in the sky shines on Arang Shrine.” (Seo,2005:114)
Roh Arang yang Menyedihkan Legenda Arang di Menara Yongman dari Miryang mungkin merupakan legenda yang paling terkenal. Arang, yang diperkosa dan dibunuh, muncul sebagai roh yang murka dan meminta seorang hakim yang pemberani untuk membalas kematiannya. Cerita ini mengungkap kepercayaan zaman dulu jika sesorang meninggal secara tidak wajar, maka hantunya akan menjadi roh gentayangan yang akan membalas kematiannya. Pada zaman dahulu kala, di sebuah kota bernama Miryang, anak perempuan seorang hakim yang bernama Arang dikenal akan kecantikan dan kebaikannya. Seorang pelayan yang bekerja di kantor sang hakim jatuh cinta kepadanya, tetapi statusnya sebagai pekerja rendahan membuatnya menderita. Pelayan itu tahu jika ia tidak dapat membuatnya mencintainya, maka pada suatu ketika ia menyergapnya lalu memerkosa dan membunuhnya. Jasadnya dilempar ke Sungai Selatan. Kemudian Arang pun menjadi roh gentayangan yang sangat murka. Hakim yang baru tiba, tetapi pada malam pertama kedatangannya, ia ditemukan tewas. Hakim-hakim yang lain terus datang dan menemui takdir yang sama dengan hakim sebelumnya. Karena setiap kali Arang datang, kota akan menjadi senyap dan kantor hakim tutup. Pada suatu hari seorang laki-laki bersedia untuk menjadi hakim di Miryang secara sukarela. Setelah tiba di kantor, ia pun melepas topi dan mantelnya lalu duduk setelah menyalakan banyak lentera dan lilin. Pada pukul tiga, ia mendengar tangisan dan muncullah Arang, dengan rambut berantakan dan leher yang berdarah-darah karena pisau yang tertancap di lehernya. Setelah mengumpulkan keberanian, hakim yang baru itu pun berteriak, „Siapakah kau yang muncul di depanku tengah malam, seorang manusia ataukah hantu?‟ Arang membungkuk empat kali lalu duduk dan berkata, „Aku bukanlah manusia melainkan hantu.‟ „Jika kau adalah hantu, mengapa kau muncul di depanku saat ini?‟ „Aku adalah Arang, anak perempuan hakim sebelumnya. Seorang pelayan menyiksa dan membunuhku dengan pisau ini lalu membuang jasadku di Sungai Selatan. Aku pun menjadi roh gentayangan yang ingin membalas kematianku. Namun ketika aku mendatangi hakim-hakim sebelumnya, mereka pingsan dan mati. Sekarang karena aku telah bertemu seorang hakim yang bijaksana dan berani, aku berharap Anda dapat membantuku. „Apa yang kau inginkan?‟ tanya hakim itu. „Pelayan itu masih hidup dan tinggal di sini, jadi tolong tangkaplah dia.‟ „Menangkapnya tidak akan menjadi masalah, tetapi bagaimana aku tahu yang mana orangnya?‟ „Kumpulkanlah pegawai, pelayan, dan budakmu di lapangan besok saat pertemuan pagi. Aku akan mengubah diriku menjadi kupu-kupu berwarna kuning dan hinggap di atas topi pelayan itu. Lalu kau dapat menangkap dan menghukumnya sehingga aku dapat membalas kematianku.‟ „Aku akan melakukan apa yang kau pinta,‟ jawab hakim itu. „Aku telah bertemu seorang hakim yang bijak dan itu membuatku sangat berterima kasih.‟ Keesokan paginya, para pegawai dan pelayan datang dengan peti mati dan kain kafan untuk pemakaman hakim yang mereka kira sudah mati. Akan tetapi mereka justru menemukan hakim dengan pakaian lengkap dan wajah berseri-seri. Setelah dia mengumpulkan seluru pegawai dan pelayannya, lalu seekor kupu-kupu berwarna kuning terbang dari arah Sungai Selatan dan hinggap di atas topi pelayan yang bersalah. Hakim itu pun memanggil dan menginterogasinya: „Kau brengsek! Kejahatan apa yang telah kau lakukan?‟ Menyadari bahwa hakim telah mengetahui rahasianya, pembunuh itu hanya bisa
berkata, „Lakukanlah apa yang Anda inginkan, Tuan!‟ „Baiklah. Apa yang telah kau lakukan pada jasad Arang?‟ „Saya menusuk lehernya dan membuang jasadnya di Sungai Selatan.‟ Lalu mereka pun pergi ke sungai dan menemukan jasad Arang yang tidak berubah sama sekali setelah bertahun-tahun. Sang hakim lalu menguburnya dengan baik. Kemudian Arang muncul kembali dan berkata, „Aku telah bertemu dengan hakim yang bijak dan permintaanku telah terkabul. Sehingga aku tidak akan menyesal jika aku mati kembali.‟ Tidak lama kemudian, nisan Arang di Menara Yongman dibangun sebagai penghormatan untuknya di Miryang. Itulah mengapa lagu „Miryang Arirang‟ dimulai dengan kalimat, „Sungai Selatan mengalir mengelilingi Menara Yongman, bulan di langit menyinari tempat Arang beristirahat.‟
5.1.3 Dongeng Seo (2005:14) mengatakan bahwa dongeng diceritakan tanpa harus meyakini kebenaran cerita itu, karena dongeng bertujuan untuk memberikan hiburan bagi pendengarnya. Dongeng bisa diterima oleh siapapun karena bersifat global dan tidak terbatas pada lingkup geografis. Kalimat pembuka yang biasa ditemukan dalam dongeng adalah “Pada zaman dahulu kala, ada seseorang yang tinggal di suatu daerah” yang menunjukkan bawa peristiwa itu terjadi di masa lampau tanpa harus mencari tahu kapan tepatnya peristiwa itu terjadi (Seo, 2005:15). Menurut Thompson via Seo (2005:15) dalam bukunya „Jenis-Jenis Cerita Rakyat‟ („The Types of Folktales‟), cerita rakyat di seluruh dunia dibagi ke dalam lima kategori utama yaitu dongeng binatang (fabel), dongeng umum, lelucon atau cerita lucu, dongeng formula, dan dongeng tidak teridentifikasi. Menurut klasifikasi tersebut, dongeng Korea dibagi menjadi dongeng binatang dan tumbuhan, dongeng lelucon, dongeng tentang manusia biasa, dan dongeng tentang manusia super (superhuman). Dongeng binatang Korea bercerita tentang kehidupan binatang dan tumbuhan. Beberapa yang dikenal antara lain, “Kucing dan Anjing Mencari Permata”, “Harimau Memancing dengan Ekornya”, dan “Kecebong Membual tentang Umurnya” (Seo, 2005:17). Dongeng lelucon memunculkan tokoh protagonis dengan tingkat kepintaran rendah yang memiliki sifat humoris. Contohnya adalah “Menantu yang Bodoh” dan “Biksu Di Sini, Tetapi Di Mana Aku?”. Dongeng umum lebih realistis karena banyak bercerita tentang kehidupan setelah menikah, suka duka dalam kehidupan, mencari keberuntungan, dan balas budi. Beberapa contoh yang terkenal adalah “Mempelai Wanita Siput”, “Pencarian Keberuntungan” dan “Pembual Membalas Budi”. Kemudian dongeng tentang manusia super menceritakan tentang seorang tokoh protagonis yang memiliki kekuatan melebihi kekuatan manusia biasa.
Dongeng Korea banyak berkembang di masyarakat bermatapencaharian nelayan atau petani yang tidak mengerti karya sastra dari Cina. Mereka selalu berpikir bahwa tokoh yang baik selalu menolong sesama, sedangkan tokoh yang jahat selalu berbuat kerusakan (Seo, 2005:25). Berikut adalah contoh dongeng Korea yang berjudul „Menantu Laki-Laki yang Bodoh‟ dan „Penyihir Gunung dan Raja Naga‟.
The Stupid Son-in-Law This tale is told throughout Korea. A wife, ashamed that her husband is a fool, teaches him how to behave respectfully to her father by having him recite phrases according to the way she rings a bell in the kitchen. When the father-in-law arrives, the husband greets him as rehearsed, and the wife, relieved that her plan has worked, goes outside. Just then a dog begins to play with the bell in the kitchen and the stupid husband repeats the same greeting as before. The central feature of the story is that he continues to repeat the same greeting, again and again, each time the dog tings the bell. This version of the tale was collected in Yesan country, South Ch‟ungch‟ong province, in 1965. A long, long time ago, there lived a husband and his wife. One day, a message came saying that the wife‟s father would come for a visit on New Year‟s Day. The wife realized she had a big problem: her husband was a fool. Because she was so ashamed of his stupidity, she taught him the proper way to greet her father. The way she taught him the greeting was simple. She would stay in the kitchen, and if she rang a bell once, her husband was to say, “Welcome, honored father-in-law.” If she rang the bell again, he was to ask, “Dear father-in-law, how are you?” And if she rang again, he was to kowtow and say, “Honored father-in-law, please receive my bow.” The wife was still anxious after instructing him, so she repeated the directions many, many times. Eventually even her stupid husband was able to memorize the greetings. Finally, it was New Year‟s Day. The wife‟s father arrived around lunchtime and her stupid husband did exactly what she had taught him. He didn‟t make a single mistake. Watching from the kitchen, the wife was much relieved. Her father was happy, too, for his part, because he had heard rumors that his son-in-law was a fool. But this man was no fool, in his judgement. The wife was working in the kitchen. Now that everything was fine, she went out to draw water from the well. But there was a little puppy sitting on the kitchen floor, and when the wife as gone, it took the bell she had been ringing and started shaking it in its teeth. The stupid husband was sitting in the next room. Quickly he said, “Welcome, honored father-in-law.” “Dear father-in-law, how are you?” “Honored father-in-law, please receive my bow.” But the puppy didn‟t stop there-it went right on ringing the bell. And so the stupid husband went on kowtowing. The father-in-law could not watch any longer. Finally he asked, “Why are you kowtowing so many times? You already bowed, didn‟t you?” “Oh, father-in law, you‟re too much,” said the stupid husband. “Can‟t you see she‟s ringing the bell out there to tell me I should keep kowtowing?” And the stupid husband kept right on bowing.
HF and YC (Seo, 2005:166)
Menantu laki-laki yang bodoh Dongeng ini diceritakan di seluruh pelosok Korea. Seorang istri malu karena suaminya begitu bodoh mengajarinya untuk berlaku hormat kepada ayahnya dengan membuatnya mengulangi kata-kata mengikuti lonceng yang ia bunyikan di dapur. Ketika ayah mertua datang, sang suami menyapanya sesuai dengan rencana, dan sang istri yang lega karena rencananya telah berhasil, pergi ke luar rumah. Namun kemudian seekor anjing mulai bermain dengan lonceng di dapur, suami yang bodoh itu mengulangi sapaan yang sama lagi dan lagi setiap kali anjing itu membunyikan lonceng. Dongeng ini dikumpulkan di Yesan, Provinsi Ch‟ungch‟ong utara pada tahun 1965.
Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang suami dan istrinya. Suatu hari sebuah pesan datang mengatakan bahwa ayah sang istri akan datang mengunjungi pada saat tahun baru. Sang istri menyadari bahwa ia mempunyai masalah besar: suaminya bodoh. Karena ia merasa sangat malu akan kebodohan suaminya itu, maka ia pun mengajarinya bagaimana cara menyambut ayahnya dengan baik. Caranya sangatlah sederhana. Ia akan berada di dapur, dan jika ia membunyikan lonceng, maka suaminya harus berkata, „Selamat datang, ayah mertua yang terhormat.‟ Jika ia membunyikan lonceng lagi, dia akan bertanya, “Ayah mertua tersayang, bagaimana kabar Anda?” Jika ia membunyikannya lagi maka suaminya akan membungkuk dan berkata, „Ayah mertua yang terhormat, terimalah hormatku ini.‟ Sang istri merasa sangat gugup dan mengulangi petunjuknya berkali-kali. Pada akhirnya sang suami dapat mengingat apa yang diajarkannya. Akhirnya Tahun Baru pun tiba. Ayah sang istri tiba pada saat makan siang dan sang suami yang bodoh melakukan apa yang diperintahkan sang istri tanpa melakukan kesalahan. Sang istri yang melihatnya dari dapur merasa sangat lega. Ayahnya senang, karena pada awalnya ia mendengar kabar bahwa menantunya sangat bodoh. Akan tetapi ia tidak bodoh, pikirnya. Sang istri sedang melakukan sesuatu di dapur, karena semua baik-baik saja, ia pun keluar rumah untuk mengambil air dari mata air. Akan tetapi ada seekor anjing kecil yang sedang duduk di lantai dapur dan ketika sang istri pergi, anjing itu mengambil lonceng itu dan mulai menggoyang lonceng itu dengan giginya. Sang suami yang bodoh sedang duduk di ruang sebelah ketika ia mendengar lonceng kembali berbunyi. Ia pun segera berkata, „Selamat datang, ayah mertua.‟ „Ayah mertua tersayang, bagaimana kabar Anda?‟ „Ayah mertua yang terhormat, terimalah hormatku.‟ Namun anjing kecil itu tidak berhenti menggoyangkan loncengnya yang membuat sang suami terus membungkuk. Ayah mertua pun tidak tahan lagi dan bertanya, „Mengapa kau membungkuk berkalikali? Kau sudah memberi hormat bukan?‟ „Oh ayah mertua, jangan berlebihan,‟ ujar sang suami yang bodoh. „Tidak bisakah Anda mendengar istriku sedang membunyikan lonceng agar aku tetap memberi hormat?‟ Sang suami pun terus saja memberi hormat. HF dan YC
The Mountain Witch and the Dragon-King Long ago there lived a warrior. One day as he was walking on the seashore he saw seven boys standing round a big three-tailed turtle and arguing violently with one another. They were going to cut the turtle up with a big knife, saying, „We seven caught it, so we should cut it into seven pieces.‟ The poor turtle looked very sad, so the warrior asked the boys to sell it to him. They agreed and he paid one yang to each of the boys. Then he took the turtle and released it in the sea. Before it dived under the waves it turned and said, „I am deeply grateful to you. I am the Dragon-King from under the sea. I came up today to take a look at the world of men, and those hateful boys caught me. If you are ever in danger, come to this shore and call me. I will do anything I can to help you.‟ Sometime afterwards the warrior set out on a journey. One evening, when he was deep in the mountains, he lost his way. He came upon a solitary cottage, and knocked on the door. An old woman answered his knock and he asked her whether he might pass the night there. She agreed to let him stay, and served him supper. He asked her the way across the mountain, and she replied vehemently, „Do not cross this mountain. There is an evil witch who lives on the summit, and she is a fox one thousand years old. I used to be goddess of this mountain, until she came with her magic and usurped my position. She will surely do you harm if you go near her.‟ But the warrior waved aside her protestations and replied, „No warrior would fear a creature like that.‟ Next morning he set out again and went on up the mountain. When he came near the top a beautiful woman came towards him clad in a gorgeous robe. She seemed to glide swiftly over the ground, and when she came near him she said in a winning smile, „I am the goddess of this mountain. My house is quite near at hand; come with me and rest a while.‟ The warrior went with her, wondering who she could be, and rather suspecting that she might be the witch that the old woman had warned him of. She served him rich food and wine, and then tried to embrace him. „I am very lonely living here on my own,‟ she said. „Stay here and let us live together.‟ The warrior repulsed her and replied firmly, „It is not right that a woman should make advances to a man. Your behavior is most discourteous and unbecoming.‟ The woman was furious at this unexpected answer. „I see you do not like me,‟ she snapped. „You will repent of your unfriendly attitude, for I shall kill you, and you will not escape. I will demonstrate my magic, and then you will consider again.‟ She wrote some signs on a piece of paper and threw it in the air. The sky suddenly darkened and countless swords flame came out of the air and threatened the warrior. He begged her to give him a week to consider, and she granted his request. He hastened forthwith to the seashore where he had set the turtle free. He stood at the water‟s edge and called on the Dragon-King in a loud voice. Immediately a mysterious boy came up out of the sea and welcomed him. He turned and recited a magic formula and the waters parted and a wide road appeared between them. The boy led the warrior to the Dragon Kingdom and into the presence of the Dragon-King. The warrior told them King of the peril which beset him and the King agreed to help him. He immediately dispatched his three brothers to kill the mountain witch. The warrior took hold of the tails of the three dragon brothers and was whisked back to the mountain in an instant. They seemed to glide over the ground without touching it with their feet. The three dragon brothers raised a terrible black storm to destroy the witch‟s house. But the witch came out and laughed aloud. „You went to the Dragon-King for help,‟ she chortled. „His magic is nothing to me. Just you watch.‟ She threw a piece of paper inscribed with magic signs into the air, and immediately three pillars of flame flashed through the air and felled the three dragon brothers to the ground each severed in two parts. Then the sky
lightened and the wind dropped. The witch took the warrior by hand and said, „Now you must do as I wish. Come and stay with me and keep me company.‟ But the warrior wrenched his hand away and asked her to allow him a month to make up his mind. She agreed reluctantly and said, „If you try to overcome me again, and are defeated, I will not give you third chance. Do you understand?‟ So the warrior returned once more to the palace of the Dragon-King and told him what had happened. The King sighed sadly and replied. „The witch is too strong for me to overcome. The only thing we can do is to go and ask the Heavenly King to punish her.‟ So the Dragon-King went to the Heavenly Kingdom attended by his warriors and humbly begged the King to punish the witch. The King granted his request and immediately dispatched three warriors from Heaven. When they reached the mountain the Heavenly warriors filled the air with raging gales and pelting rain. The witch came out and threw her magic paper into the air, but to no avail. A thunderbolt fell on the house with a deafening crash and immediately a dead fox appeared where the witch had been. The warrior thanked the Heavenly warriors profusely, and the kind old woman whom he had met in the first place reigned once more as the goddess of the mountain. Told by Gim Han-Yong; Gimhe (1919). (Zong, 1982: 169)
Penyihir Gunung dan Raja Naga Pada zaman dahulu kala hiduplah seorang ksatria. Suatu hari pada saat ia sedang berjalan di tepi pantai, ia melihat tujuh orang anak laki-laki sedang berdiri mengelilingi seekor kura-kura besar berekor tiga saling berargumen satu sama lain. Mereka bermaksud memotong kura-kura tersebut dengan sebuah pisau yang besar. „Karena kita bertujuh yang menangkapnya, jadi kita harus membaginya menjadi tujuh bagian.‟ Kura-kura yang malang tersebut terlihat sangat sedih maka ksatria pun meminta kepada para anak laki-laki itu untuk menjual kura-kura kepadanya. Mereka setuju dan ksatria itu memberikan satu yang kepada masing-masing anak laki-laki tersebut. Kemudian ia membawa kura-kura tersebut dan melepaskannya ke laut. Sebelum kura-kura tersebut menyelam ke dalam laut ia menoleh ke arah ksatria itu dan berkata, „Aku berterima kasih yang sedalam-dalamnya. Aku adalah Raja Naga dari dasar laut. Aku datang hari ini untuk berjalan-jalan di dunia manusia tetapi anakanak jahat itu menangkapku. Jika kau dalam bahaya, datanglah ke pantai ini dan panggilah aku. Aku akan melakukan apapun untuk membantumu.‟ Beberapa waktu kemudian setelah kejadian tersebut, ksatria pun melanjutkan perjalanannya. Suatu sore, ketika berada di dalam hutan, ia tersesat. Lalu ia mendatangi sebuah pondok dan mengetuk pintu pondok tersebut. Seorang wanita tua merespon ketukan pintunya dan ksatria itu bertanya kepada wanita tua itu jika ia boleh bermalam di pondok itu. Wanita tua itu mengizinkan ia menginap di pondoknya dan menyuguhkan makan malam. Ksatria juga menanyakan jalan untuk melintasi gunung kepada wanita tua itu dan wanita tua itu berkata dengan suara keras, „Jangan pernah kau lewati gunung itu. Di sana ada seorang penyihir jahat yang tinggal di puncaknya. Ia adalah seorang siluman serigala yang berumur seribu tahun. Dulu aku adalah seorang dewi di gunung ini, sampai ketika ia datang ke sini dan merebut posisiku dengan kekuatan sihirnya. Dia benar-benar akan menyakitimu jika kau berani mendatangi dia.‟ Tetapi sang ksatria membantah omongan wanitu tua itu dan berkata, „Tidak ada ksatria yang takut terhadap mahluk seperti itu.‟ Keesokan paginya ksatria itu berkemas lagi dan pergi menuju gunung yang dimaksud.
Ketika ia sampai mendekati puncak, seorang wanita cantik muncul dan datang mendekatinya denga mengenakan gaun yang sangat indah. Wanitu cantik itu nampaknya meluncur dengan cepat di atas tanah. Ketika mendekati sang ksatria wanita itu lalu berkata dengan senyumnya yang menawan, „Aku adalah dewi gunung ini. Rumahku sangat dekat dari sini, datanglah dan beristirahalah sejenak.‟ Ksatria pun pergi bersama wanita cantik itu, ia berpikir bahwa wanita ini mungkin saja penyihir gunung yang telah diperingatkan oleh wanita tua yang ia temui kemarin. Wanita cantik itu menyuguhkan makanan mahal dan anggur, kemudian wanita cantik itu mencoba untuk memeluknya. „Aku sangat kesepian tinggal di rumah ini,‟ ucapnya. „Tinggallah di sini dan mari hidup bersama.‟ Ksatria tersebut menolaknya dan berkata dengan tegas, „Sangat tidak wajar apabila seorang wanita merayu seorang pria. Tindakanmu ini sangat tidak sopan dan tidak pantas.‟ Wanita cantik itu sangat marah atas jawaban yang tidak diharapkannya. „Aku tahu kau tidak menyukaiku,‟ bentaknya. „Kamu akan menyesali karena sikapmu yang tak ramah, aku akan membunuhmu dan kau tidak akan selamat. Akan kutunjukkan kekuatan sihirku, kemudian pertimbangkan kata-kataku sekali lagi.‟ Wanita cantik itu kemudian menggambarkan simbol-simbol pada sebuah kertas dan melemparnya ke udara. Tiba-tiba langit menjadi gelap dan muncul panah api yang tak terhingga jumlahnya di udara dan mengarah ke ksatria tersebut. Lalu ksatria tersebut memohon kepada wanita cantik itu untuk memberikan waktu satu minggu untuk mempertimbangkannya, dan wanita itu pun menyetujuinya. Ksatria itu bergegas ke tepi pantai, tempat ia melepaskan kura-kura. Dia berdiri di dekat air dan memanggil Raja Naga dengan suara yang keras. Tiba-tiba seorang bocah lakilaki misterius muncul dari dalam laut dan menyambutnya. Bocah laki-laki itu kemudian berbalik dan mengucapkan mantra dan air laut itu membelah hingga muncul sebuah jalan yang luas di antara mereka berdua. Bocah itu memandu si ksatria menuju ke Kerajaan Naga dan membawanya ke tempat keberadaan Raja Naga. Ksatria itu menceritakan tentang bahaya yang menimpa dirinya dan Raja Naga setuju untuk menolongnya. Dengan segera Raja Naga memerintahkan ketiga saudaranya untuk membunuh penyihir gunung tersebut. Lalu ksatria itu berpegangan pada ekor ketiga saudara Raja Naga dan secepat kilat dia tiba di gunung. Mereka bagaikan melayang di atas tanah tanpa menginjaknya. Ketiga saudara Raja Naga itu membuat badai yang sangat menakutkan untuk menghancurkan rumah penyihir gunung itu. Tetapi penyihir itu malah keluar dan tertawa keras. „Kau pergi kepada Raja Naga untuk meminta bantuan,‟ ucap penyihir itu sambil tertawa terkekeh. „Kekuatan sihirnya tidak berarti apa-apa bagiku. Lihat saja nanti.‟ Lalu penyihir itu melemparkan dua lembar kertas yang bertuliskan simbol sihir ke udara dan dengan segera tiga buah pilar api muncul di udara. Ketiga pilar itu jatuh di atas ketiga saudara Raja Naga membelah tubuh mereka menjadi dua bagian. Tiba-tiba langit menjadi cerah dan angin kencang pun reda. Penyihir itu memegang tangan si ksatria dan berkata, „Sekarang kamu harus melakukan seperti yang aku inginkan. Datang kemari, tinggallah di sini dan temani aku.‟ Tetapi si ksatria melepaskan tangannya dari genggaman penyihir itu dan memohon supaya diberikan waktu satu bulan untuk memikirkannya lagi. Penyihir itu menyetujuinya dengan enggan dan berkata, „Jika kau mencoba melawan aku lagi dan kalah, aku tidak akan memberimu kesempatan yang ketiga. Mengerti?‟ Kemudian sang ksatria kembali ke istana Raja Naga dan memberitahunya apa yang telah terjadi. Raja Naga menatap sedih dan berkata, „Penyihir itu terlalu kuat bagiku. Hanya satu hal saja yang dapat kita lakukan yaitu meminta Raja Langit untuk menghukumnya.” Lalu Raja Naga mendatangi Raja Langit bersama para prajuritnya dan meminta dengan penuh hormat supaya Raja Surga menghukum penyihir itu. Raja Langit mengabulkan
permintaannya dan dengan segera memerintahkan tiga prajuritnya dari langit. Ketika mereka tiba di gunung, prajurit Kerajaan Langit itu membuat angin ribut dan hujan badai. Penyihir itu pun keluar dan melemparkan kertas mantranya ke udara, tetapi tidak berfungsi sama sekali. Lalu petir menyambar rumah penyihir itu dan meluluhlantakkan dan tiba-tiba seekor mayat serigala muncul di tempat penyihir itu tadi berada. Sang ksatria sangat berterima kasih kepada prajurit Kerajaan Langit, dan wanita tua baik hati yang ia temui di tempat pertama telah kembali lagi menjadi dewi di gunung itu. Diceritakan oleh Gim Han-Yong; Gimhĕ (1919).
5.1.4 Fabel Fabel bercerita tentang kehidupan binatang seperti asal mula kehidupan suatu binatang, strategi untuk mengalahkan binatang yang lebih kuat, dan binatang yang memamerkan kekuatannya. Fabel banyak memaparkan tentang pelajaran moral yang membandingkan dunia manusia dengan binatang (Seo, 2005:17). Binatang yang banyak muncul di fabel Korea adalah harimau, rubah, anjing dan kecebong. Terdapat lebih dari 100 jenis fabel di Korea yang disampaikan secara lisan. Beberapa contohnya adalah Kucing dan Anjing Mencari Permata”, “Harimau Memancing dengan Ekornya”, dan “Kecebong Membual tentang Umurnya”. Berikut ini adalah contoh fabel Korea yang berjudul „Harimau dan Kesemek‟, dan „Menantu Laki-Laki Si Tikus‟.
The Tiger and the Persimmon One night a tiger came down to a village. It crept stealthily into the garden of a house and listened at the window. It heard a child crying. Then came the voice of its mother scolding it. „Stop crying this very minute! The tiger is here!‟ But the child took no notice and went on crying. So the tiger said to himself, „The child is not the least bit afraid of me. He must be a real hero.‟ Then the mother said, „Here is a dried persimmon.‟ And the child stopped crying immediately. Now the tiger was really frightened and said to himself, „This persimmon must be a terrible creature.‟ And he gave up its plan of carrying off the child. So it went to the outhouse to get an ox instead. There was a thief in there, and he mistook it for an ox got on its back. The tiger was terrified, and ran off as fast as it could go. „This must be the terrible persimmon attacking me!‟ it thought. The thief still rode on its back and whipped it up so he might get away before the villagers saw him stealing an ox. When it grew light the thief saw he was riding on a tiger and leapt off. But the tiger just raced on to the mountains without looking back. Told by Ma He Song; Gesong (1925) (Zong, 1982:184)
Harimau dan Kesemek Pada suatu malam, seekor harimau pergi ke sebuah desa. Harimau itu menyelinap masuk ke dalam kebun sebuah rumah dan mengintip ke dalamnya. Terdengar seorang anak menangis dan sang ibu memarahinya sambil berkata, „Berhenti menangis sekarang juga! Harimau ada di sini!‟Akan tetapi anak itu tidak menghiraukannya dan terus menangis. Harimau itu bergumam, „Anak itu tampaknya tidak takut padaku, pastilah dia sangat pemberani.‟ Kemudian ibu anak itu kembali berkata, „Ini, makan manisan kesemek ini.‟Seketika anak itu pun berhenti menangis. Harimau sangat ketakutan, „Makhluk kesemek ini tampaknya sangat kejam.‟ Maka ia pun mengurungkan niatnya untuk menculik anak itu. Kemudian harimau itu pun keluar untuk menculik kerbau. Pada saat yang bersamaan, ada seorang pencuri yang mengiranya sebagai kerbau dan menaikinya. Harimau pun sangat ketakutan dan mulai berlari secepat yang ia mampu. „Makhluk yang menyerangku ini pastilah makhluk kesemek tadi!‟ Pencuri itu tetap menaikinya lalu segera melarikan diri sebelum tertangkap orang-orang desa karena telah mencuri kerbau. Ketika mereka tiba di tempat yang terang, pencuri pun sadar bahwa yang dinaikinya bukanlah kerbau melainkan seekor harimau. Ia pun langsung melompat turun. Akan tetapi harimau terus berlari sekencang-kencangnya tanpa melihat ke belakang. Diceritakan oleh Ma He Song; Gesong (1925)
The Rat‟s Bridegroom Once upon a time there lived a family of rats. When the eldest daughter grew up her parents decided that they must find the most powerful bridegroom in the world for her. So one day they went and called on the Sun. „Good day, Mr. Sun,‟ they said. „Our daughter has grown up and it is time she was married. So we are looking for the most powerful person in the world to ask him to be her husband. By your high position and great power you seem to be the most powerful of all, and so we have come to invite you to be her bridegroom.‟ But the Sun shook his head and said with a smile, „It may seem to you that I am the most powerful, but it is not so. Mr. Cloud is more powerful than I am, for he can cover my face and keep me from shining. So I recommend Mr. Cloud to you.‟ Mr. and Mrs. Rat thought over what the Sun had told them, and decided that Mr. Cloud must indeed be the most powerful of all. So they called on him and said, „Good day, Mr. Cloud. Our daughter has grown up, and it is time she was married. We wish to invite the most powerful person in the world to be her husband, and so we have come to welcome you as her bridegroom, for you can cover the face of the Sun and keep him from shining.‟ Mr. Cloud smiled and shook his head. „Yes, I can cover the face of the Sun and keep him from shining,‟ he said. „Yet I am not the most powerful, for Mr. Wind blows me away, whether I wish to go or not. He is far more powerful than I, and so I recommend him to you. Mr. and Mrs. Rat thought it over, and decided that Mr. Wind must indeed be more powerful than Mr. Cloud. So they went to him and said, „Good day Mr. Wind. Our daughter has grown up and it is time she was married. We wish to invite the most powerful person in the world to be her husband, and so we have come to welcome you to be her husband, for you can blow Mr. Cloud away, whether he wishes to go or not.‟ But Mr. Wind shook his head and laughed. „I appreciate your kind offer,‟ he said. „I am indeed very powerful, but there is one more powerful than I. It is the Stone Buddha, in Unzin,
in the Province of Zolla. His feet are planted so firmly on the ground that, blow how I will, I cannot budge him in the slightest. He has a hat on his head, but I cannot even blow that off. He is surely the most powerful of all, so I recommend him to you.‟ So Mr. and Mrs. Rat went off and called on the Stone Buddha of Unzin. Mrs. Rat said to him, „My daughter is old enough to marry now, and we invite you to be her bridegroom, as you are the most powerful of all.‟ The Stone Buddha smiled and answered in a gentle voice, „Thank you for your kind offer. But there is one yet more powerful that I. He is the young rat who lives beneath my feet. One day he will undermine me completely and I will fall. Mrs. Rat, I am the mercy of the rats.‟ Mr. and Mrs. Rat were happy and realized at last that the only fitting bridegroom for their daughter was a young rat. So they returned home and married their daughter to a young rat. Told by Zong Mi-Og; Seoul (1945) (Zong, 1982:184)
Menantu Laki-Laki sang Tikus Pada zaman dahulu kala hiduplah satu keluarga tikus. Ketika anak perempuan tertua telah beranjak dewasa, orang tuanya memutuskan untuk mencarikannya seorang calon menantu yang terkuat di dunia. Oleh karena itu pada suatu hari mereka memanggil Matahari dan berkata. „Selamat pagi, Tuan Matahari. Anak perempuan kami telah beranjak dewasa dan sekarang sudah tiba waktunya untuk menikah. Maka dari itu kami mencari seseorang yang terkuat di dunia untuk memintanya menikahi anak kami. Kami berpikir bahwa Andalah orang itu, maka kami ingin meminta Anda untuk menjadi calon suaminya.‟ Matahari menggelengkan kepalanya lalu berkata, „Mungkin aku tampak seperti seseorang yang terkuat bagi Anda, tetapi bukan, Tuan Awanlah yang lebih kuat daripada saya. Ia dapat menutupi saya dan membuat saya tidak bisa bersinar. Lebih baik jika Anda pergi dan memintanya.‟ Tuan dan Nyonya Tikus memikirkan apa yang dikatakan oleh Matahari dan menerima pendapatnya. Kemudian mereka pun mendatangi Tuan Awan lalu berkata, „Selamat pagi, Tuan Awan. Anak perempuan kami telah beranjak dewasa dan sekarang sudah tiba waktunya untuk menikah. Kami mencari seseorang yang paling kuat di dunia untuk memintanya menjadi suami anak kami. Anda dapat menutupi wajah Tuan Matahari dan membuatnya tidak dapat bersinar, itulah sebabnya kami ingin meminta Anda untuk menikahi anak kami.‟ Awan menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. „Ya, aku dapat menutupi Matahari dan membuatnya tidak bisa bersinar,‟ katanya. „Tetapi aku bukanlah yang terkuat di muka bumi karena Tuan Angin dapat meniupku sesuka hatinya. Ia jauh lebih kuat daripadaku, pergi dan mintalah kepadanya untuk menikahi anak perempuanmu.‟ Tuan dan Nyonya Tikus memikirkannya dan memutuskan bahwa memang benar Tuan Anginlah yang terkuat di dunia. Mereka pun mendatanginya lalu berkata, „Selamat pagi, Tuan Angin. Anak perempuan kami telah beranjak dewasa dan kini tiba waktunya untuk menikah. Kami ingin meminta orang yang terkuat di muka bumi untuk menjadi suaminya. Anda dapat meniup Tuan Awan sesuka hati, maka kami datang kemari untuk meminta Anda menjadi suami puteri kami.‟ Akan tetapi Tuan Angin menggeleng sembari tertawa. „Terima kasih untuk tawaran Anda,‟ katanya. „Aku memang benar-benar kuat, tetapi ada seseorang yang lebih kuat daripadaku. Dia adalah Patung Buddha, di Unzin, di Provinsi Zolla. Kakinya tertanam di
tanah dengan sangat kuatnya hingga sekuat apapun aku meniupnya, dia tidak bergerak sedikitpun. Dia memakai topi tetapi bahkan aku tidak bisa meniup topi itu. Tentunya dia adalah yang terkuat dari yang lain, datanglah padanya.‟ Maka Tuan dan Nyonya Tikus mendatangi Patung Buddha di Unzin. Nyonya Tikus pun berkata kepadanya, „Anak perempuan kami telah cukup dewasa untuk menikah, dan kami ingin meminta Anda untuk menjadi suaminya karena Anda yang terkuat di muka bumi ini.‟ Patung Buddha tersenyum lalu menjawab dengan lembut, „Terima kasih atas tawaran Anda. Akan tetapi ada seseorang yang lebih kuat daripadaku. Dia adalah tikus muda yang tinggal di bawah kakiku. Kelak dia akan menggerogotiku sampai aku jatuh. Nyonya Tikus, aku sangatlah lemah terhadap tikus.‟ Tuan dan Nyonya Tikus sangat gembira dan menyadari bahwa pada akhirnya satusatunya calon suaminya yang cocok untuk anak perempuan mereka adalah seekor tikus muda. Maka mereka pun kembali dan menikahkan anak perempuan mereka dengan tikus muda itu. Diceritakan oleh Zong Mi-Og; Seoul (1945)
5.2 Beberapa Cerpen Korea Fiksi modern Korea terbentuk pada saat meningkatknya pengaruh dari luar yang diikuti dengan runtuhnya masyarakat tradisional Joseon (Lee, 2003:390). Pergerakan pendidikan dan pencerahan cukup aktif pada awal berkembangnya sastra modern Korea. Seiring dengan menurunnya pengaruh dari kesusastraan Cina, berbagai macam karya sastra yang menggunakan Bahasa Korea meningkat dan bermunculan di surat kabar. Kemudian pada era 1900an, fiksi modern baru mulai bermunculan
akibat perubahan struktur sosial
Konfusianisme. Karya fiksi baru ini mencerminkan kehidupan dan kesadaran diri akan masamasa baru yang telah datang. Karya fiksi pada masa itu juga berkembang dengan mengutarakan ide-ide tentang pencarian jati diri dan kehidupan individu (Lee, 2003:395). Karya fiksi Korea berkembang mengikuti perkembangan zaman dan mendapat pengaruh dari kebudayaan Barat yang masuk ke Korea. Berikut ini adalah dua contoh cerpen Korea yaitu „삼포에 가는 길‟ karya Hwang Seok Yeong dan ‘감자’ karya Kim Dong In.
삼포 가는 길 -황석영영달은 어디로 갈 것인가 궁리해 보면서 잠깐 서 있었다. 새벽의 겨울 바람이 매섭게 불어왔다. 밝아 오는 아침 햇볕 아래 헐벗은 들판이 드러났고, 곳곳에 얼어붙은 시냇물이나 웅덩이가 반사되어 빛을 냈다. 바람 소리가 먼데서부터 몰아쳐서 그가 섰는 창공을 베면서 지나갔다. 가지만 남은 나무들이 수십여 그루씩 들판가에서 바람에 흔들렸다. 그가 넉달 전에 이곳을 찾았을 때에는 한참 추수기에 이르러 있었고 이미 공사는 막판이었다. 곧 겨울이 오게 되면 공사가 새 봄으로 연기될 테고 오래 머물
수 없으리라는 것을 그는 진작부터 예상했던 터였다. 아니나다를까. 현장 사무소가 사흘 전에 문을 닫았고, 영달이는 밥집에서 달아날 기회만 노리고 있었던 것이다. 누군가 밭고랑을 지나 걸어오고 있었다. 해가 떠서 음지와 양지의 구분이 생기자 언덕의 그림자나 숲의 그늘로 가려진 곳에서는 언 흙이 부서지는 버석이는 소리가 들렸으나 해가 내려쪼인 곳은 녹기 시작하여 붉은 흙이 질척해 보였다. 다가오는 사람이 숲 그늘을 벗어났는데 신발 끝에 벌겋게 붙어 올라온 진흙 뭉치가 걸을 때마다 뒤로 몇 점씩 흩어지고 있었다. 그는 길가에 우두커니 서서 담배를 태우고 있는 영달이 쪽을 보면서 왔다. 그는 키가 훌쩍 크고 영달이는 작달막했다. 그는 팽팽하게 불러 오른 맹꽁이 배낭을 한 쪽 어깨에 느슨히 걸쳐 메고 머리에는 개털 모자를 귀까지 가려 쓰고 있었다. 검게 물들인 야전 잠바의 깃 속에 턱이 반 남아 파묻혀서 누군지 쌍통을 알아볼 도리가 없었다. 그는 몇 걸음 남겨 놓고 서더니 털모자의 챙을 이마빡에 붙도록 척 올리면서 말했다. "천씨네 집에 기시던 양반이군." 영달이도 낯이 익은 서른 댓 되어 보이는 사내였다. 공사장이나 마을 어귀의 주막에서 가끔 지나친 적이 있는 얼굴이었다. "아까 존 구경 했시다." 그는 털모자를 잠근 단추를 여느라고 턱을 치켜들었다. 그러고 나서 비행사처럼 양쪽 뺨으로 귀가리개를 늘어뜨리면서 빙긋 웃었다. "천가란 사람, 거품을 물구 마누라를 개패듯 때려잡던데." 영달이는 그를 쏘아보며 우물거렸다. "내...... 그런 촌놈은 참." "거 병신 안 됐는지 몰라, 머리채를 질질 끌구 마당에 나와선 차구 짓밟구...... 야 그 사람 환장한 모양이더군." 이건 누굴 엿먹이느라구 수작질인가, 하는 생각이 들어서 불끈했지만 영달이는 애써 참으며 담뱃불이 손가락 끝에 닿도록 쭈욱 빨아 넘겼다. 사내가 손을 내밀었다. "불 좀 빌립시다." "버리슈." 담배 꽁초를 건네주며 영달이가 퉁명스럽게 말했다. 하긴 창피한 노릇이었다. 밥값을 떼고 달아나서가 아니라, 역에 나갔던 천가 놈이 예상 외로 이른 시각인 다섯 시쯤 돌아왔고 현장에서 덜미를 잡혔던 것이었다. 그는 옷만 간신히 추스르고 나와서 천가가 분풀이로 청주댁을 후려 패는 동안 방아실에 숨어 있었다. 영달이는 변명 삼아 혼잣말 비슷이 중얼거렸다. "계집 탓할 거 있수, 사내 잘못이지." "시골 아낙네치곤 드물게 날씬합디다. 모두들 발랑 까졌다구 하지만서두." "여자야 그만이었죠. 처녀 적에 군용차두 탔답니다. 고생 많이 한 여자요." "바가지한테 세금두 내구, 거기두 줬겠구만." "뭐요? 아니 이 양반이......" 사내가 입김을 길게 내뿜으며 껄껄 웃어제꼈다. "거 왜 그러시나. 아, 재미 본 게 댁뿐인 줄 아쇼? 오다가다 만난 계집에 너무 일심 품지 마셔." 녀석의 말버릇이 시종 그렇게 나오니 드러내 놓고 화를 내기도 뭣해서 영달이는 픽 웃고 말았다. 개피떡이나 인절미를 전방으로 호송되는 군인들께 팔았다는 것인데 딴은 열차를 타며 사내들 틈을 누비던 계집이 살림을 한답시고
들어앉아 절름발이 천가 여편네 노릇을 하려니 따분했을 것이었다. 공사장 인부들이나 떠돌이 장사치를 끌어들여 하숙도 치고 밥도 파는 사람인데, 사내 재미까지 보려는 눈치였다. 영달이 눈에 청주댁이 예사로 보였을 리 만무했다. 까무잡잡한 얼굴에 곱게 치떠서 흘기는 눈길하며, 밤이면 문밖에 나가 앉아 하염없이 불러대는 <흑산도 아가씨>라든가, 어쨌든 나중엔 거의 환장할 지경이었다. "얼마나 있었소?" 사내가 물었다. 가까이 얼굴을 맞대고 보니 그리 흉악한 몰골도 아니었고, 우선 그 시원시원한 태도가 은근히 밉질 않다고 영달이는 생각했다. 그가 자기보다는 댓살쯤 더 나이 들어 보였다. 그리고 이 바람 부는 겨울 들판에 척 걸터앉아서도 만사 태평인 꼴이었다. 영달이는 처음보다는 경계하지 않고 대답했다. "넉 달 있었소. 그런데 노형은 어디루 가쇼?" "삼포에 갈까 하오." 사내는 눈을 가늘게 뜨고 조용히 말했다. 영달이가 고개를 흔들었다. "방향 잘못 잡았수. 거긴 벽지나 다름없잖소. 이런 겨울철에." "내 고향이오." 사내가 목장갑 낀 손으로 코 밑을 쓱 훔쳐냈다. 그는 벌써 들판 저 끝을 바라보고 있었다. 영달이와는 전혀 사정이 달라진 것이다. 그는 집으로 가는 중이었고 영달이는 또 다른 곳으로 달아나는 길 위에 서 있었기 때문이었다. "참...... 집에 가는군요." 사내가 일어나 맹꽁이 배낭을 한쪽 어깨에다 걸쳐 매면서 영달이에게 물었다. "어디 무슨 일자리 찾아가쇼?" "댁은 오라는 데가 있어서 여기 왔었소? 언제나 마찬가지죠." "자, 난 이제 가 봐야겠는걸." 그는 뒤도 돌아보지 않고 질척이는 둑길을 향해 올라갔다. 그가 둑 위로 올라서더니 배낭을 다른 편 어깨 위로 바꾸어 매고는 다시 하반신부터 차례로 개털 모자 끝까지 둑 너머로 사라졌다. 영달이는 어디로 향하겠다는 별 뾰죽한 생각도 나지 않았고, 동행도 없이 길을 갈 일이 아득했다. 가다가 도중에 헤어지게 되더라도 우선은 말동무라도 있었으면 싶었다. 그는 멍청히 섰다가 잰걸음으로 사내의 뒤를 따랐다. 영달이는 둑 위로 뛰어올라 갔다. 사내의 걸음이 무척 빨라서 벌써 차도로 나가는 샛길에 접어들어 있었다. 차도 양쪽에 대빗자루를 거꾸로 박아 놓은 듯한 앙상한 포플라들이 줄을 지어 섰는 게 보였다. 그는 둑 아래로 달려 내려가며 사내를 불렀다. "여보쇼, 노형!" 그가 멈춰 서더니 뒤를 돌아보고 나서 다시 천천히 걸어갔다. 영달이는 달려가서 그 뒤편에 따라붙어 헐떡이면서 "같이 갑시다, 나두 월출리까진 같은 방향인데......." 했는데도 그는 대답이 없었다. 영달이는 그의 뒤통수에다 대고 말했다. "젠장, 이런 겨울은 처음이오. 작년 이맘 때는 좋았지요. 월 삼천 원짜리 방에서 작부랑 살림을 했으니까. 엄동설한에 정말 갈데 없이 빳빳하게 됐는데요." "우린 습관이 되어 놔서." 사내가 말했다. "삼포가 여기서 몇 린 줄 아쇼? 좌우간 바닷가까지만도 몇 백리 길이요. 거기서 또 배를 타야 해요."
"몇 년 만입니까?" "십 년이 넘었지. 가 봤자...... 아는 이두 없을 거요." "그럼 뭣하러 가쇼?" "그냥...... 나이 드니까, 가보구 싶어서." 그들은 차도로 들어섰다. 자갈과 진흙으로 다져진 길이 그런 대로 걷기에 편했다. 영달이는 시린 손을 잠바 호주머니에 처박고 연방 꼼지락거렸다. "어이 육실허게는 춥네. 바람만 안 불면 좀 낫겠는데." 사내는 별로 추위를 타지 않았는데, 털모자와 야전 잠바로 단단히 무장한 탓도 있겠지만 원체가 혈색이 건강해 보였다. 사내가 처음으로 다정하게 영달이에게 물었다. "어떻게 아침은 자셨소?" "웬걸요." 영달이가 열적게 웃었다. "새벽에 몸만 간신히 빠져나온 셈인데......." "나두 못 먹었소. 찬샘까진 가야 밥술이라두 먹게 될 거요. 진작에 떴을 걸. 이젠 겨울에 움직일 생각이 안 납디다." "인사 늦었네요. 나 노영달이라구 합니다." "나는 정가요." "우리두 기술이 좀 있어 놔서 일자리만 잡으면 별 걱정 없지요." 영달이가 정씨에게 빌붙지 않을 뜻을 비췄다. "알고 있소, 착암기 잡지 않았소? 우리넨, 목공에 용접에 구두까지 수선할 줄 압니다." "야 되게 많네. 정말 든든하시겠구만." "십 년이 넘었다니까." "그래도 어디서 그런 걸 배웁니까?" "다 좋은 데서 가르치고 내보내는 집이 있지." "나두 그런데나 들어갔으면 좋겠네." 정씨가 쓴웃음을 지으며 고개를 저었다. "지금이라두 쉽지. 하지만 집이 워낙에 커서 말요." "큰집......." 하다 말고 영달이는 정씨의 얼굴을 쳐다봤다. 정씨는 고개를 밑으로 숙인 채 묵묵히 걷고 있었다. 언덕을 넘어섰다. 길이 내리막이 되면서 강변을 따라서 먼 산을 돌아 나간 모양이 아득하게 보였다. 인가가 좀처럼 보이지 않는 황량한 들판이었다. 마른 갈대밭이 헝클어진 채 휘청대고 있었고 강 건너 곳곳에 모래 바람이 일어나는 게 보였다. 정씨가 말했다. "저 산을 넘어야 찬샘골인데. 강을 질러가는 게 빠르겠군." "단단히 얼었을까." 강물은 꽁꽁 얼어붙어 있었다. 얼음이 녹았다가 다시 얼곤 해서 우툴두툴한 표면이 그리 미끄럽지는 않았다. 바람이 불어, 깨어진 살얼음 조각들을 날려 그들의 얼굴을 따갑게 때렸다. "차라리, 저쪽 다릿목에서 버스나 기다릴 걸 잘못했나 봐요." 숨을 헉헉 들이키던 영달이가 투덜대자 정씨가 말했다. "자주 끊겨서 언제 올지도 모르오. 그보다두 현금을 아껴야지. 굶어두 돈 있으면 든든하니까."
"하긴 그래요." "월출 가면 남행열차를 탈 수는 있소. 거기서 기차 탈려오?" "뭐..... 돼가는대루. 그런데 삼포는 어느 쪽입니까?" 정씨가 막연하게 남쪽 방향을 턱짓으로 가리켰다. "남쪽 끝이오." "사람이 많이 사나요, 삼포라는 데는?" "한 열 집 살까? 정말 아름다운 섬이오. 비옥한 땅은 남아 돌아 가구, 고기두 얼마든지 잡을 수 있구 말이지." 영달이가 얼음 위로 미끄럼을 지치면서 말했다. "야아 그럼, 거기 가서 아주 말뚝을 박구 살아 버렸으면 좋겠네." "조오치, 하지만 댁은 안될 걸." "어째서요." "타관 사람이니까." 그들은 얼어붙은 강을 건넜다. 구름이 몰려들고 있었다. "눈이 올 거 같군. 길 가기 힘들어지겠소." 정씨가 회색으로 흐려 가는 하늘을 걱정스럽게 올려다보았다. 산등성이로 올라서자 아래쪽에 작은 마을의 집들이 점점이 흩어져 있는 게 한 눈에 들어왔다. 가물거리는 지붕 위로 간신히 알아볼 만큼 가느다란 연기가 엷게 퍼져 흐르고 있었다. 교회의 종탑도 보였고 학교 운동장도 보였다. 기다란 철책과 철조망이 연이어져 마을 뒤의 온 들판을 둘러싸고 있는 것도 보였다. 군대의 주둔지인 듯했는데, 마을은 마치 그 철책의 끝에 간신히 매어 달려 있는 것 같았다. 그들은 읍내로 들어갔다. 다과점도 있었고, 극장, 다방, 당구장, 만물 상점 그리고 주점이 장터 주변에 여러 채 붙어 있었다. 거리는 아침이라서 아직 조용했다. 그들은 어느 읍내에나 있는 서울 식당이란 주점으로 들어갔다. 한 뚱뚱한 여자가 큰 솥에다 우거지국을 끓이고 있었고 주인인 듯한 사내와 동네 청년 둘이 떠들어대고 있었다. "나는 전연 눈치를 못 챘다구, 옷을 한 가지씩 빼어다 따루 보따리를 싸 놨던 모양이라." "새벽에 동네를 빠져나간 게 틀림없습니다." "어젯밤에 윤하사하구 긴밤을 잔다구 그래서, 뒷방에서 늦잠자는 줄 알았지 뭔가." "새벽에 윤하사가 부대루 들어가자마자 튄 겁니다." "옷값에 약값에 식비에...... 돈이 보통 들어간 줄 아나, 빚만 해두 자그마치 오만 원이거든." 영달이와 정씨가 자리에 앉자 그들은 잠깐 얘기를 멈추고 두 낯선 사람들의 행색을 살펴보았다. 영달이는 연탄 난로 위에 두 손을 내려뜨리고 비벼대면서 불을 쪼였다. 정씨가 털모자를 벗으면서 말했다. "국밥 둘만 말아 주쇼." "네, 좀 늦어져두 별일 없겠죠?" 뚱뚱한 여자가 국솥에서 얼굴을 들고 미리 웃음으로 얼버무리며 양해를 구했다. "좌우간 맛있게만 말아 주쇼." 여자가 국자를 요란하게 놓고는 한숨을 내리쉬었다. "개쌍년 같으니!"
정씨도 영달이처럼 난로를 통째로 껴안을 듯이 바싹 다가앉아서 여자를 물끄러미 올려다보았다. "색시가 도망을 쳤지 뭐예요. 그래서 불도 꺼졌고, 국거리도 없어서 인제 막 시작을 했답니다." 하고 나서 여자가 남자들에게 외쳤다. "아니 근데 당신들은 뭘 앉아서 콩이네 팥이네 하구 있는 거에요? 냉큼 가서 잡아오지 못하구선, 얼마 달아나지 못했을 테니 따라가서 머리채를 끌구 와요." 주인 남자가 주눅이 든 목소리로 대답했다. "필요 없네. 아무래도 월출서 기차를 탈 테니까 정거장 목만 지키면 된다구." "그럼 자전거 타구 빨리 가서 기다려요." "이거 원 날씨가 이렇게 추워서야." "무슨 얘기예요, 그 백화라는 년이 돈 오만 원이란 말요." 마을 청년이 끼어들었다. "서울식당이 원래 백화 땜에 호가 났던 거 아닙니까. 그 애가 장사는 그만이었죠." "군인들이 백화라면, 군화까지 팔아서라두 술을 마실 정도였으니까." 뚱뚱이 여자가 빈정거렸다. "웃기네 그래 봤자 지가 똥갈보라. 내 장사 수완 덕이지 뭐. 그년 요새 좀 아프다는 핑계루...... 이건 물을 긷나, 밥을 제대루 하나, 손님을 받나, 소용없어. 그년두 육 개월이면 찬샘 바닥서 진이 모조리 빠진 거예요. 빚이나 뽑아 내면 참한 신마이루 기리까이할려던 참이었어. 아, 뭘해요? 빨리 가서 역을 지키라니까." 마누라의 호통에 주인 사내가 깜짝 놀란 듯이 어깨를 움츠렸다. "알았대니까......" "얼른 갔다 와요. 내 대포 한턱 쓸게." 남자들 셋이 우르르 밀려 나갔다. 정씨가 중얼거렸다. "젠장, 그 백화 아가씨라두 있었으면 술이나 옆에서 쳐 달랠걸." "큰일예요, 글쎄 저녁마다 장정들이 몰려오는데......." "아가씨 서넛은 있어야지." "색시 많이 두면 공연히 번거러워요. 이런 데서야 반반한 애 하나면 실속이 있죠, 모자라면 꿔다 앉히구...... 왜 좀 놀다 갈려우? 내 불러다 주께." "왜 이러슈, 먼 길 가는 사람이 아침부터 주색 잡다간 저녁에 이 마을서 장사지내게." "자 국밥이오." 배추가 아직 푹 삭질 않아서 뻣뻣했으나 그런 대로 먹을 만하였다. 정씨가 국물을 허겁지겁 퍼넣고 있는 영달에게 말했다. "작년 겨울에 어디 있었소?" 들고 있던 국그릇을 내려놓고 영달이는 "언제요?" 하고 나서 작년 겨울이라고 재차 말하자 껄껄 웃기 시작했다. "좋았지 정말, 대전 있었읍니다. 옥자라는 애를 만났었죠. 그땐 공사장에서 별볼일두 없었구 노임두 실했어요." "살림을 했군." "의리있는 여자였어요. 애두 하나 가질 뻔했었는데, 지난 봄에 내가 실직을 하게 되자, 돈 모으면 모여서 살자구 서울루 식모 자릴 구해서 떠나갔죠. 하지만 우리 같은 떠돌이가 언약 따위를 지킬 수 있나요. 밤에 혼자 자다가 일어나면 그 애
때문에 남은 밤을 꼬박 새우는 적두 있읍니다." 정씨는 흐려진 영달이의 표정을 무심하게 쳐다보다가, 창 밖으로 고개를 돌리고는 조용하게 말했다. "사람이란 곁에서 오랫동안 두고 보지 않으면 저절로 잊게 되는 법이오." 뒤란으로 나갔던 뚱뚱이 여자가 호들갑을 떨면서 돌아왔다. "아유 어쩌나...... 눈이 올 것 같애. 하늘에 먹구름이 잔뜩 끼고, 바람이 부는군. 이놈의 두상이 꼴에 도중에서 가다 말고 돌아올 게 분명하지." 정씨가 뚱뚱보 여자의 계속될 수다를 막았다. "월출까지는 몇 리요?" "한 육십 리 돼요." "뻐스는 있나요?" "오후에 두 대쯤 있지요. 이년을 따악 잡아갖구 막차루 돌아올 텐데...... 참, 어디까지들 가슈?" 영달이가 말했다. "바다가 보이는 데까지." "바다? 멀리 가시는군. 요 큰길루 가실 거유?" 정씨가 고개를 끄덕이자 여자는 의자에 궁둥이를 붙인 채로 앞으로 다가 앉았다. "부탁 하나 합시다. 가다가 스물 두엇쯤 되고 머리는 긴데다 외눈 쌍까풀인 계집년을 만나면 캐어 봐서 좀 잡아오수, 내 현금으루 딱, 만 원 내리다." 정씨가 빙그레 웃었다. 영달이가 자신 있다는 듯이 기세 좋게 대답했다. "그럭허슈, 대신에 데려오면 꼭 만 원 내야 합니다." "암 내다뿐이요. 예서 하룻밤 푹 묵었다 가시구려." "좋았어." 그들은 일어났다. 문을 열고 나오는 그들의 뒷덜미에다 대고 여자가 소리쳤다. "머리가 길구 외눈 쌍꺼풀이예요. 잊지 마슈." 해가 낮은 구름 속에 들어가 있어서 주위는 누런 색안경을 통해서 내다본 것처럼 뿌옇게 보였다. 바람이 읍내의 신작로 한복판에서 회오리 기둥을 곤두세우고 있었다. 그들은 고개를 처박고 신작로를 따라서 올라갔다. 영달이가 담배 한 갑을 샀다. 들판을 스치고 지나가는 바람소리가 날카롭게 들려 왔다. 그들이 마을 외곽의 작은 다리를 건널 적에 성긴 눈발이 날리기 시작하더니 허공에 차츰 흰 색이 빡빡해졌다. 한 스무 채 남짓한 작은 마을을 지날 때쯤 해서는 큰 눈송이를 이룬 함박눈이 펑펑 쏟아져 내려왔다. 눈이 찰지어서 걷기에는 그리 불편하지 않았고 눈보라도 포근한 듯이 느껴졌다. 그들의 모자나 머리카락과 눈썹에 내려앉은 눈 때문에 두 사람은 갑자기 노인으로 변해 버렸다. 도중에 그들은 옛 원님의 송덕비를 세운 비각 앞에서 잠깐 쉬어 가기로 했다. 그 앞에서 신작로가 두 갈래로 갈라져 있었던 것이다. 함석판에 뼁끼로 쓴 이정표가 있긴 했으나, 녹이 슬고 벗겨져 잘 알아볼 수도 없었다. 그들은 비각 처마 밑에 웅크리고 앉아서 담배를 피웠다. 정씨가 하늘을 올려다보며 감탄했다. "야 그놈의 눈송이 탐스럽기도 하다. 풍년 들겠어." "눈 오는 모양을 보니, 근심 걱정이 싹 없어지는데......." "첨엔 기분두 괜찮았지만, 이렇게 오다가는 길 가기가 그리 쉽지 않겠는걸." "까짓 가는 데까지 가구 내일 또 갑시다. 저기 누가 오는군." 흰 두루마기를 입고 중절모를 깊숙이 내려쓴 노인이 조심스럽게 걸어오고
있었다. 노인의 모자챙과 접힌 부분 위에 눈이 빙수처럼 쌓여 있었다. 정씨가 일어나 꾸벅하면서 "영감님 길 좀 묻겠읍니다요." "물으슈." "월출 가는 길이 아랩니까, 저 윗길입니까?" "윗길이긴 하지만....... 재가 있어 놔서 아무래두 수월친 않을 거야, 아마 교통도 두절된 모양인데." "아랫길은요?" "거긴 월출 쪽은 아니지만 고을 셋을 지나면 감천이라구 나오지." 영달이가 물었다. "감천에 철도가 닿습니까?" "닿다마다." "그럼 감찬으루 가야겠구만." 정씨가 인사를 하자 노인은 눈이 가득 쌓인 모자를 위로 들어 보였다. 노인은 윗길 쪽으로 가다가 마을을 향해 꺾어졌다. 영달이는 비각 처마 끝에 회색으로 퇴색한 채 매어져 있는 새끼줄을 끊어 냈다. 그가 반으로 끊은 새끼줄을 정씨에게도 권했다. "감발 치구 갑시다." "견뎌 날까." 새끼줄로 감발을 친 두 사람은 걸음에 한결 자신이 갔다. 그들은 아랫길로 접어들었다. 길은 차츰 좁아졌으나, 소 달구지 한 대쯤 지날 만한 길은 그런 대로 계속되었다. 길 옆은 개천과 자갈밭이었꼬 눈이 한 꺼풀 덮여 있었다. 뒤를 돌아보면, 길 위에 두 사람의 발자국이 줄기차게 따라왔다. 마을 하나를 지났다. 그들은 눈 위로 이리저리 뛰어 다니는 아이들과 개들 사이로 지나갔다. 마을의 가게 유리창마다 성에가 두껍게 덮여 있었고 창 너머로 사람들의 목소리가 들려 왔다. 두 번째 마을을 지날 때엔 눈발이 차츰 걷혀 갔다. 그들은 구멍가게에서 소주 한 병을 깠다. 속이 화끈거렸다. 털썩, 눈 떨어지는 소리만이 가끔씩 들리는 송림 사이를 지나는데, 뒤에 처져서 걷던 영달이가 주첨 서면서 말했다. "저것 좀 보슈." "뭘 말요?" "저쪽 소나무 아래." 쭈그려 앉은 여자의 등이 보였다. 붉은 코우트 자락을 위로 쳐들고 쭈그린 꼴이 아마도 소변이 급해서 외진 곳을 찾은 모양이다. 여자가 허연 궁둥이를 쳐둘고 속곳을 올리다가 뒤를 힐끗 돌아보았다. "오머머!" 여자가 재빨리 코우트 자락을 내리고 보퉁이를 집어 들면서 투덜거렸다. "개새끼들 뭘 보구 지랄야." 영달이가 낄낄 웃었고, 정씨가 낮게 소곤거렸다. "외눈 쌍꺼풀인데 그래." "어쩐지 예감이 이상하더라니....." 여자는 어딘가 불안했는지 그들에게로 다가오기를 꺼려하며 주춤주춤했다. 영달이가 말했다. "잘 만났는데 백화 아가씨, 참샘에서 뺑소니치는 길이구만."
"무슨 상관야, 내 발루 내가 가는데." "주인 아줌마가 댁을 만나면 잡아다 달라던데." 여자가 태연하게 그들에게로 걸어 나왔다. "잡아가 보시지." 백화의 얼굴은 화장을 하지 않았는데도 먼길을 걷느라고 발갛게 달아 있었다. 정씨가 말했다. "그런 게 아니라...... 행선지가 어디요? 이 친구 말은 농담이구." 여자는 소변 보다가 남자들 눈에 띄인 일보다는 영달이의 거친 말솜씨에 몹시 토라져 있었다. 백화가 걸음을 빨리하며 내쏘았다. "제따위들이 뭐라구 잡아가구 말구야. 뜨내기 주제에." "그래 우리두 너 같은 뜨내기 신세다. 찬샘에 잡아다 주고 여비라두 뜯어 써야겠어." 영달이가 여자의 뒤를 바싹 쫓아가며 농담이 아님을 재차 강조했다. 여자가 휙 돌아서더니, 믿을 수 없을 만큼 재빠르게 영달이의 앞가슴을 밀어냈다. 영달이는 미처 피할 겨를도 없이 눈 위에 궁둥방아를 찧고 나가 떨어졌다. 백화가 한 팔은 보퉁이를 끼고, 다른 쪽은 허리에 척 얹고 서서 영달이를 내려다보았다. "이거 왜 이래? 나 백화는 이래봬도 인천 노랑집에다, 대구 자갈마당, 포항 중앙대학, 진해 칠구, 모두 겪은 년이라구. 조용히 시골 읍에서 수양하던 참인데...... 야아, 내 배 위로 남자들 사단 병력이 지나갔어. 국으로 가만있다가 조용한 데 가서 한 코 달라면 몰라두 치사하게 뚱보 돈 먹자구 나한테 공갈 때리면 너 죽구 나 죽는 거야." 영달이는 입을 벌린 채 일어설 줄을 모르고 백화의 일장 연설을 듣고 있었다. 정씨는 웃음을 참느라고 자꾸만 송림 쪽으로 고개를 돌렸다. 영달이가 멋적게 궁둥이를 털면서 일어났다. "우리두 의리가 있는 사람들이다. 치사하다면, 그런 짓 안해." 세 사람은 나란히 눈 쌓인 길을 걸었다. 백화가 말했다. "그럼 반말 놓지 말라구요." 영달이는 입맛을 쩍쩍 다셨고, 정씨가 물었다. "어디까지 가오?" "집에요." "집이 어딘데......" "저 남쪽이예요. 떠난 지 한 삼 년 됐어요." 영달이가 말했다. "얘네들은 긴밤 자다가두 툭하면 내일 당장에라두 집에 갈 것처럼 말해요." 백화는 아까와 같은 적의는 나타내지 않았다. 백화는 귀 옆으로 흘러내리는 머리카락을 자꾸 쓰다듬어 올리면서 피곤한 표정으로 영달이를 찬찬히 바라보았다. "그래요. 밤마다 내일 아침엔 고향으로 출발하리라 작정하죠. 그런데 마음뿐이지, 몇 년이 흘러요. 막상 작정하고 나서 집을 향해 가보는 적두 있어요. 나두 꼭 두 번 고향 근처까지 가 봤던 적이 있어요. 한 번은 동네 어른을 먼발치서 봤어요, 나 이름이 백화지만 가명이예요. 본명은...... 아무에게도 가르쳐 주지 않아." 정씨가 말했다. "서울 식당 사람들이 월출역으루 지키러 가던데......" "이런 일이 한두 번인가요 머. 벌써 그럴 줄 알구 감천 가는 길루 왔지요. 촌놈들이니까 그렇지, 빠른 사람들은 서너 군데 길목을 딱 막아 놓아요. 나 그
사람들께 손해 끼친 거 하나두 없어요. 빚이래야 그치들이 빨아먹은 나머지구요. 아유, 인젠 술하구 밤이라면 지긋지긋해요. 밑이 쭉 빠져 버렸어. 어디 가서 여승이나 됐으면...... 냉수에 목욕재계 백 일이면 나두 백화가 아니라구요, 씨팔." 걸을수록 백화는 말이 많아졌고, 걸음은 자꾸 쳐졌다. 백화는 여러 도시에서 한창 날리던 시절이 얘기를 늘어놓았다. 여자가 결론지은 얘기는 결국 화류계의 사랑이란 돈 놓고 돈 먹기 외에는 모두 사기라는 것이었다. 그 여자는 자기 보퉁이를 꾹꾹 찌르면서 말했다. "아저씨네는 뭘 갖구 다녀요? 망치나 톱이겠지 머. 요 속에는 헌 속치마 몇 벌, 빤스, 화장품, 그런 게 들었지요. 속치마 꼴을 보면 내 신세하구 똑같아요. 하두 빨아서 빛이 바래구 재봉실이 나들나들하게 닳아 끊어졌어요." 백화는 이제 겨우 스물 두 살이었지만 열 여덟에 가출해서, 쓰리게 당한 일이 많기 때문에 삼십이 훨씬 넘은 여자처럼 조로해 있었다. 한 마디로 관록이 붙은 갈보였다. 백화는 소매가 헤진 헌 코우트에다 무릎이 튀어나온 바지를 입었고, 물에 불은 오징어처럼 되어 버린 낡은 하이힐을 신고 있었다. 비탈길을 걸을 때, 영달이와 정씨가 미끄러지지 않도록 양쪽에서 잡아 주어야 했다. 영달이가 투덜거렸다. "고무신이라두 하나 사 신어야겠어. 댁에 때문에 우리가 형편없이 지체 되잖나." "정 그러시면 두 분이서 먼저 가면 될 거 아녜요. 내가 고무신 살 돈이 어딨어?" "우리두 의리가 있다구 그랬잖어. 산 속에다 여자를 떼놓구 갈 수야 없지. 그런데...... 한 푼두 없단 말야?" 백화가 깔깔대며 웃었다. "여자 밑천이라면 거기만 있으면 됐지, 무슨 돈이 필요해요?" "저러니 언제 한 번 온전한 살림 살겠나 말야!" "이거 봐요. 댁에 같은 훤칠한 내 신랑감들은 제 입에 풀칠두 못해서 떠돌아다니는데, 내가 어떻게 살림을 살겠냐구." 영달이는 백화의 입담을 감당할 수가 없었다. 세 사람은 감천 가는 도중에 있는 마지막 마을로 들어섰다. 마을 어귀의 얼어붙은 개천 위로 물오리들이 종종걸음을 치거나 주위를 선회하고 있었다. 마을의 골목길은 조용했고, 굴뚝에서 매캐한 청솔 연기 냄새가 돌담을 휩싸고 있었는데 나직한 창호지의 들창 안에서는 사람들의 따뜻한 말소리들이 불투명하게 들려 왔다. 영달이가 정씨에게 제의했다. "허기가 져서 떨려요. 감천엔 어차피 밤에 떨어질 텐데, 여기서 뭣 좀 얻어먹구 갑시다." "여긴 바닥이 작아 주막이나 가게두 없는 거 같군." "어디 아무 집이나 찾아가서 사정을 해보죠." 백화도 두 손을 코우트 주머니에 찌르고 간신히 발을 떼면서 말했다. "온몸이 얼었어요. 밥은 고사하고, 뜨뜻한 아랫목에서 발이나 녹이구 갔으면." 정씨가 두 사람을 재촉했다. "얼른 지나가지. 여기서 지체하면 하룻밤 자게 될 테니, 감천엘 가면 하숙두 있구, 우리를 태울 기차두 있단 말요." 그들은 이 적막한 산골 마을을 지나갔다. 눈 덮인 들판 위로 물오리 떼가 내려앉았다가는 날아오르곤 했다. 길가에 퇴락한 초가 한 간이 보였다. 지붕의 한 쪽은 허물어져 입을 벌렸고 토담도 반쯤 무너졌다. 누군가가 살다가 먼 곳으로 떠나간 폐가임이 분명했다. 영달이가 폐가 안을 기웃해 보며 말했다.
"저기서 신발이라두 말리구 갑시다." 백화가 먼저 그 집의 눈 쌓인 마당으로 절뚝이며 들어섰다. 안방과 건넌방의 구들장은 모두 주저앉았으나 봉당은 매끈하고 딴딴한 흙바닥이 그런 대로 쉬어 가기에 알맞았다. 정씨도 그들을 따라 처마 밑에 가서 엉거주춤 서 있었다. 영달이는 흙벽 틈에 삐죽이 솟은 나무 막대나 문짝, 선반 등속의 땔 만한 것들을 끌어모아다가 봉당 가운데 쌓았다. 불을 지피자 오랫동안 말라 있던 나무라 노란 불꽃으로 타올랐다. 불길과 연기가 차츰 커졌다. 정씨마저도 불가로 다가앉아 젖은 신과 바지 가랑이를 불길 위에 갖다 대고 지그시 눈을 감았다. 불이 생기니까 세 사람 모두가 먼 곳에서 지금 막 집에 도착한 느낌이 들었고, 잠이 왔다. 영달이가 긴 나무를 무릎으로 꺾어 불 위에 얹고, 눈물을 흘려 가며 입김을 불어 대는 모양을 백화는 이윽히 바라보고 있었다. "댁에...... 괜찮은 사내야. 나는 아주 치사한 건달인 줄 알았어." "이거 왜 이래. 괜히 나이롱 비행기 태우지 말어." "아녜요. 불때는 꼴이 제법 그럴 듯해서 그래요." 정씨가 싱글벙글 웃으면서 영달에게 말했다. "저런 무딘 사람 같으니, 이 아가씨가 자네한테 반했다...... 그 말이야." "괜히 그러지 마슈. 나두 과거에 연애해 봤소. 계집년이란 사내가 쐬빠지게 해줘두 쪼끔 벌릴까 말까 한단 말입니다. 이튿날 해만 뜨면 말짱 헛것이지." "오머머. 어디 가서 하루살이 연애만 해본 모양이네. 여보세요, 화류계 연애가 아무리 돈에 운다지만 한 번 붙으면 순정이 무서운 거예요. 내가 처음 이 길 들어서서 독하게 사랑해본 적두 있었어요." 지붕 위의 눈이 녹아서 투덕투덕 마당 위에 떨어지기 시작했다. 여자는 나무 막대기를 불 속에 넣고 휘저으면서 갑자기 새촘한 얼굴이 되었다. 불길에 비친 백화의 얼굴은 제법 고왔다. "그런데...... 몇 명이었는지 알아요? 여덟 명이었어요." "진짜 화류계 연애로구만." "들어봐요. 사실은 그 여덟 사람이 모두 한 사람이나 마찬가지였거든요." 백화는 주점 <갈매기집>에서의 나날을 생각했다. 그 여자는 날마다 툇마루에 걸터앉아서 철조망의 네 귀퉁이에 높다란 망루가 서 있는 군대 감옥을 올려다보았던 것이다. 언덕 위에 흰 뼁끼로 칠한 반달형 퀀셋 막사와 바라크가 늘어서 있었고 주위에 코스모스가 만발해 있어, 그 안에 철장이 있고 죄지은 사람들이 하루 종일 무릎을 꿇고 있으리라고는 믿어지질 않았다. 하루에 한 번씩, 긴 구령 소리에 맞춰서 붉은 줄을 친 군복에 박박 깎인 머리의 군 죄수들이 바깥으로 몰려나왔다. 죄수들이 일렬로 서서 세면과 용변을 보는 모습이 보였었다. 그들은 간혹 대여섯 명씩 무장 헌병의 감시를 받으며 작업을 하러 내려오는 때도 있었다. 등에 커다란 광주리를 메고 고개를 숙인 채로 그들은 줄을 지어 걸어왔다. "처음에 부산에서 잘못 소개를 받아 술집으로 팔렸었지요. 거기에 갔을 땐 벌써 될대루 되라는 식이어서 겁나는 것두 없었구요. 나이는 어렸지만 인생살이가 고달프다는 것두 깨달았단 말예요." 어느 날 그들은 마을의 제방공사를 돕기 위해서 삼십여 명이 내려왔다. 출감이 멀지 않은 사람들이라 성깔도 부리지 않았고 마을 사람들도 그리 경원하지 않았다. 그들이 밖으로 작업을 나오면 기를 쓰고 찾는 것은 물론 담배였다. 백화는 담배 두 갑을 사서 그들 중의 얼굴이 해사한 죄수에게 쥐어 주었다. 작업하는 열흘간 백화는 그들의 담배를 댔다. 날마다 그 어려뵈는 죄수의 손에 몰래 쥐어
주고는 했다. 다음부터 백화는 음식을 장만해서 감옥 면회실로 그를 만나러 갔다. 옥바라지 두 달 만에 그는 이등병 계급장을 달고 백화를 만나러 왔다. 하룻밤을 같이 보내고 병사는 전속지로 떠나갔다. "그런 식으로 여덟 사람을 옥바라지했어요. 한 달, 두 달 하다 보면 그이는 앞사람들처럼 하룻밤을 지내구 떠나가군 했어요." 백화는 그런 일 때문에 갈매기집에 있던 시절, 옷 한가지도 못해 입었다. 백화는 지나간 삭막한 삼 년 중에서 그때만큼 즐겁고 마음이 평화로왔던 시절은 없었다. 그 여자는 새로운 병사를 먼 전속지로 떠나 보내는 아침마다 차부로 나가서 먼지 속에 버스가 가리울 때까지 서 있곤 했었다. 백화는 그 뒤부터 부대 근처를 전전하며 여러 고장을 흘러 다녔다. 아직 초저녁이 분명한데 날씨가 나빠서인지 곧 어두워질 것 같았다. 눈은 더욱 새하얗게 돋보였고, 사위는 고요한데 나무 타는 소리만이 들려 왔다. "감옥뿐 아니라, 세상이란 게 따지면 고해 아닌가......" 정씨는 벗어서 불가에다 쬐고 있던 잠바를 입으면서 중얼거렸다. "어둡기 전에 어서 가야지." 그들은 일어났다. 아직도 불길 좋게 타고 있는 모닥불 위에 눈을 한 움큼씩 덮었다. 산천이 차츰 희미하게 어두워졌다. 새들이 이리 저리로 깃을 찾아 숲에 모여들고 있었다. 영달이가 백화에게 물었다. "그래 이젠 어떡할 셈요, 집에 가면......" 백화가 대답을 않고 웃기만 했다. 정씨가 말했다. "시집 가야지 뭐." "시집은 안 가요. 이제 와서 무슨 시집이예요. 조용히 틀어박혀 집의 농사나 거들지요. 동생들이 많아요." 사방이 어두워지자 그들도 얘기를 그쳤다. 어디에나 눈이 덮여 있어서 길을 잘 분간할 수가 없었다. 뒤에 처졌던 백화가 눈덮인 길의 고랑에 빠져 버렸다. 발이라도 삐었는지 백화는 꼼짝 못하고 주저앉아 신음을 했다. 영달이가 달려들어 싫다고 뿌리치는 백화를 업었다. 백화는 영달이의 등에 업히면서 말했다. "무겁죠?" 영달이는 대꾸하지 않았다. 백화가 어린애처럼 가벼웠다. 등이 불편하지도 않았고 어쩐지 가뿐한 느낌이었다. 아마 쇠약해진 탓이리라 생각하니 영달이는 어쩐지 대전에서의 옥자가 생각나서 눈시울이 화끈했다. 백화가 말했다. "어깨가 참 넓으네요. 한 세 사람쯤 업겠어." "댁이 근수가 모자라니 그렇다구." 그들은 일곱 시쯤에 감천 읍내에 도착했다. 마침 장이 섰었는지 파장된 뒤인데도 읍내 중앙은 흥청대고 있었다. 전 부치는 냄새, 고기 굽는 냄새, 곰국 냄새가 풍겨왔다. 영달이는 이제 백화를 옆에서 부축하고 있었다. 발을 디딜 때마다 여자가 얼굴을 찡그렸다. 정씨가 백화에게 물었다. "어느 방향이오?" "전라선이예요." "나는 호남선 쪽인데. 여비는 있소?" "군용차를 사정해서 타구 가면 돼요." 그들은 장터 모퉁이에서 아직도 따뜻한 온기가 남아 있는 팥시루떡을 사 먹었다. 백화가 자기 몫에서 절반을 떼어 영달에게 내밀었다. "더 드세요. 날 업구 왔으니 기운이 배나 들었을 텐데."
역으로 가면서 백화가 말했다. "어차피 갈 곳이 정해지지 않았다면 우리 고향에 함께 가요. 내 일자리를 주선해 드릴께." "내야 삼포루 가는 길이지만, 그렇게 하지?" 정씨도 영달이에게 권유했다. 영달이는 흙이 덕지덕지 달라붙은 신발 끝을 내려다보며 아무 말이 없었다. 대합실에서 정씨가 영달이를 한쪽으로 끌고 가서 속삭였다. "여비 있소?" "빠듯이 됩니다. 비상금이 한 천 원쯤 있으니까." "어디루 가려우?" "일자리 있는 데면 어디든지......" 스피커에서 안내하는 소리가 웅얼대고 있었다. 정씨는 대합실 나무 의자에 피곤하게 기대어 앉은 백화 쪽을 힐끗 보고 나서 말했다. "같이 가시지. 내 보기엔 좋은 여자 같군." "그런 거 같아요." "또 알우? 인연이 닿아서 말뚝 박구 살게 될지. 이런 때 아주 뜨내기 신셀 청산해야지." 영달이는 시무룩해져서 역사 밖을 멍하니 내다보았다. 백화는 뭔가 쑤군대고 있는 두 사내를 불안한 듯이 지켜보고 있었다. 영달이가 말했다. "어디 능력이 있어야죠." "삼포엘 같이 가실라우?" "어쨌든......." 영달이가 뒷주머니에서 꼬깃꼬깃한 오백 원짜리 두 장을 꺼냈다. "저 여잘 보냅시다." 영달이는 표를 사고 삼립빵 두 개와 찐 달걀을 샀다. 백화에게 그는 말했다. "우린 뒷 차를 탈 텐데...... 잘 가슈." 영달이가 내민 것들을 받아 쥔 백화의 눈이 붉게 충혈되었다. 그 여자는 더듬거리며 물었다. "아무도...... 안 가나요." "우린 삼포루 갑니다. 거긴 내 고향이오." 영달이 대신 정씨가 말했다. 사람들이 개찰구로 나가고 있었다. 백화가 보퉁이를 들고 일어섰다. "정말, 잊어버리지...... 않을께요." 백화는 개찰구로 가다가 다시 돌아왔다. 돌아온 백화는 눈이 젖은 채 웃고 있었다. "내 이름 백화가 아니예요. 본명은요......이점례예요." 여자는 개찰구로 뛰어나갔다. 잠시 후에 기차가 떠났다. 그들은 나무 의자에 기대어 한 시간쯤 잤다. 깨어 보니 대합실 바깥에 다시 눈발이 흩날리고 있었다. 기차는 연착이었다. 밤차를 타려는 시골 사람들이 의자마다 가득 차 있었다. 두 사람은 말없이 담배를 나눠 피웠다. 먼 길을 걷고 나서 잠깐 눈을 붙였더니 더욱 피로해졌던 것이다. 영달이가 혼잣말로 "쳇, 며칠이나 견디나......." "뭐라구?" "아뇨, 백화란 여자 말요. 저런 애들...... 한 사날두 시골 생활 못 배겨나요."
"사람 나름이지만 하긴 그럴 거요. 요즘 세상에 일이 년 안으루 인정이 휙 변해 가는 판인데......" 정씨 옆에 앉았던 노인이 두 사람의 행색과 무릎 위의 배낭을 눈 여겨 살피더니 말을 걸어 왔다. "어디 일들 가슈?" "아뇨, 고향에 갑니다." "고향이 어딘데......." "삼포라구 아십니까?" "어 알지, 우리 아들놈이 거기서 도자를 끄는데......" "삼포에서요? 거 어디 공사 벌릴 데나 됩니까. 고작해야 고기잡이나 하구 감자나 매는데요." "어허! 몇 년 만에 가는 거요?" "십 년." 노인은 그렇겠다며 고개를 끄덕였다. "말두 말우 거긴 지금 육지야. 바다에 방둑을 쌓아 놓구, 추럭이 수십 대씩 돌을 실어 나른다구." "뭣땜에요?" "낸들 아나, 뭐 관광 호텔을 여러 채 짓는담서 복잡하기가 말할 수 없데." "동네는 그대루 있을까요?" "그대루가 뭐요. 맨 천지에 공사판 사람들에다 장까지 들어섰는 걸." "그럼 나룻배두 없어졌겠네요." "바다 위로 신작로가 났는데, 나룻배는 뭐에 쓰오. 허허 사람이 많아지니 변고지, 사람이 많아지면 하늘을 잊는 법이거든." 작정하고 벼르다가 찾아가는 고향이었으나, 정씨에게는 풍문마저 낯설었다. 옆에서 잠자코 듣고 있던 영달이가 말했다. "잘 됐군. 우리 거기서 공사판 일이나 잡읍시다." 그때에 기차가 도착했다. 정씨는 발걸음이 내키질 않았다. 그는 마음의 정처를 잃어버렸던 때문이었다. 어느 결에 정씨는 영달이와 똑같은 입장이 되어 버렸다. 기차는 눈발이 날리는 어두운 들판을 향해서 달려갔다.
Jalan Ke Sampho -Hwang Sok Yong-
Young Dal berhenti sebentar sambil berpikir keras ke arah mana dia harus pergi. Subuh itu, angin musim dingin berhembus kencang. Ladang yang telanjang menyembul seiring dengan cahaya matahari yang menyemburat. Air kali dan genangan sisa salju yang beku di sana-sini mengkilap kena pantulan cahaya. Bunyi angin yang menyerbu dari jauh menyayat udara di sekitarnya. Gerombolan pohon yang terdiri atas puluhan pohon yang merana bergoyang ditiup angin itu di pinggir ladang. Empat bulan lalu, waktu dia mengunjungi tempat ini, saat itu tengah musim panen dan pekerjaan bangunan hampir selesai. Dia telah berpikir sebelumnya, jika musim dingin tiba pekerjaan itu pastilah harus ditunda sampai musim semi berikutnya, artinya dia tidak dapat tinggal lama di sana. Tidak melenceng dari yang dibayangkannya, pintu kantor di lokasi itu telah ditutup tiga hari yang lain dan Young Dal tengah mencari kesempatan untuk
hengkang dari tempat itu. Seseorang berjalan mendekat menyusuri celah-celah ladang. Bagian terang dan gelap semakin nyata manakala fajar tiba. Kemudian, terdengar retakan tanah beku di tempat-tempat yang gelap karena bayangan bukit dan naungan pepohonan, ada bagian tanah merah becek meleleh mulai terlihat menyembul ter-siram matahari. Orang-yang melewati naungan pepohonan itu dari sepatunya membercakkan tanah merah yang melekat setiap melangkah. Dia menghampiri Young Dal yang berdiri lusuh di pinggir jalan sambil mengisap rokok. Dia sangat tinggi sementara Young Dal pendek. Dia membawa tas gendong yang menggelembung seperti perut katak dan di kepalanya topi anjing menutupi hingga telinganya. Separuh dagunya tenggelam di dalam kerah jaket lapangan yang dicelup hitam sehingga agak sulit untuk mengenalinya. Dia berhenti beberapa depa sambil menaikkan ujung topinya yang bertengger di kening dan berkata, "Rupanya itu Anda yang pernah pergi ke rumah si Chun.” Young Dal sepertinya mcngenali Ielaki yang berumur kira-kira 35 tahun itu. Wajahnya seperti pernah dilihatnya secara tak sengaja di proyek bangunan atau warung yang ada di ujung desa. "Tadi saya melihat peristiwa menarik." Dia menaikkan dagunya uncuk membuka kancing topi bulunya. Setelah itu, menurunkan penutup telinga ke pipinya seperti pilot dan tersenyum. "Si Chun memukuli istrinya seperti anjing dengan mulut yang berbuih." Young Dal menatapnya tajam dan menggerutu. "Saya ... orang kampung seperti itu... bisa saja." "Mungkin istrinya sudah cacat. Rambutnya dijambak dan ditariknya ke pekarangan lalu ditendang dan diinjak... Astaga, sepertinya dia sudah gila." Young Dal sedikit marah karena dia sempat berpikir orang itu membuatnya susah tetapi dia tidak menunjukkan perasaannya dan mengisap rokok dalam-dalam sampai sebagian percikan api menyentuh ujung jarinya. Lelaki itu mengulurkan tangannya. "Boleh minta api?" "Buanglah itu." Sambil menyodorkan puntung rokok, Young Dal mengatakan dengan ketus. Situasi yang memalukan. Bukan karena melarikan diri tanpa membayar makanan di warung melainkan karena si Chun yang pergi ke stasiun kembali sekitar jam 5, agak awal, dan ditangkap di tempat kejadian. Dengan hanya pakaian yang dimilikinya, Young Dal bersembunyi di penggilingan padi sementara si Chun tengah menyiksa istrinya dengan melampiaskan kemarahannya. Untuk mempertahankan dirinya, Young Dal sengaja bergumam. "Tidak bisa menyalahkan istrinya, justru itu kesalahannya." "Dia wanita cantik yang langka untuk kalangan petani. Kendati orang menngatainya genit dan menjajakan diri." "Sebagai wanita, dia yang paling cantik. Waktu masih gadis dia sering menumpang kendaraan tentara. Dia banyak menderita." "Dia menyetor uang pada tentara dan sepertinya dia juga memberi‟ itunya‟." "Apa? Anda ini bilang apa..." Lelaki itu sejenak menarik nafas panjang diiringi tawa. "Mengapa seperti itu? Anda pikir, Anda satu-satunya yang pernah menidurinya? Jangan terlalu memikirkan wanita yang kau kenal di jalan." Mendengar ucapan temannya itu, Young Dal hanya bisa menyeringai karena tidak mungkin memarahinya. Ceritanya begini, dia berjualan nasi ketan dan lontong kepada para prajurit yang dikirim ke garis depan. Tetapi, dia biasanya menumpang kereta api dan duduk layaknya
seseorang yang tengah mencari hidup dari lelaki-lelaki itu. Sekarang, mungkin saja dia bosan menjadi istri si Chun yang cacat. Di samping berjualan makanan dan menyediakan kamar kos untuk pekerja proyek bangunan dan para penjaja, dia sepertinya tertarik pada para pekerja itu. Perilaku Cheoungju Daeg yang berasal dari Cheoungju itu tentu menarik perhatian Young Dal. Dia mengerlingkan mata dari wajah yang hitam manis, lagu 'Gadis Hukansdo' yang didendangkannya di luar pada malam hari bagaimanapun membuat Young Dal terpesona setengah mati. "Berapa lama Anda di sini?" Orang itu bertanya. Menatap wajahnya dari dekat, Young Dal berpikir bahwa dia bukanlah orang yang jelek dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari sikapnya yang terus terang. Dia tampak berumur lima tahun lebih tua dari Young Dal. Sepertinya dia tidak mengkhawatirkan apa-apa di tengah ladang pada musim salju yang dingin sekali. Tidak seperti saat pertama kali bertemu, Young Dal berbicara lebih leluasa. "Baru empat bulan. Anda mau ke mana?" "Hendak pergi ke Sampho." Lelaki itu berkata lirih sambil memicingkan mata. Young Dal menggeleng. "Anda pergi ke arah yang salah. Tempat itu terpencil. Apalagi, di musim dingin begini." "Itu kampung halaman saya." Lelaki itu menggosok bagian bawah hidungnya dengan kaus tangan katunnya. Dia mulai melihat ke arah ujung ladang itu. Keadaannya sama sekali berbeda dengan Young Dal. Dia menuju ke kampung halamannya, tetapi Young Dal berdiri di atas jalan yang membawanya untuk melarikan diri ke tempat lain. "Jadi Anda pulang kampung?" Lelaki itu berdiri dan bertanya kepada Young Dal sainbil memindah tas ranselnya ke bahu yang lain. "Anda pergi mencari pekerjaan?" "Anda pun datang kemari karena ada panggilan? Sama saja bukan?" "Baiklah, saya harus pergi." Tanpa menoleh dia beranjak ke arah jalan becek yang menanjak. Saat dia berjalan di bantaran sungai tas gendongnya ia geser dari kiri ke kanan, perlahan-lahan kakinya menghilang, kemudian perutnya dan terakhir hanya topi anjingnya yang tampak. Young Dal tidak tahu mau ke mana, ini suatu perjalanan jauh seorang diri, yang ia butuhkan adalah teman untuk berbicara kendati dia pergi ke arah yang berbeda. Dia berdiri sambil melamun sejenak dan langsung mengikutinya dengan langkah yang cepat. Young Dal pun menaiki bantaran itu. Karena laki-laki itu berjalan cepat, dia telah sampai ke jalan setapak menuju arah jalan besar. Di pinggir jalan besar itu, terlihat jajaran pohon pelindung yang tidak rimbun seperti sapu ijuk yang ditancapkan terbalik di kedua sisi jalan begitu saja. Sambil menuruni bantaran, dia memanggil lelaki itu. "Hei...Mas!" Lelaki itu berhenti dan menoleh ke belakang lalu berjalan lagi pelan. Young Dal bergegas ke arahnya dan berkata sambil terengah-engah. "Mari pergi bersama. Saya juga satu arah sampai Wholchul-ri..." Namun tak digubrisnya. Young Dal mengatakan persis di belakang kepalanya. "Huh, musim dingin seperti ini baru pertama kalinya. Tahun lalu tidak sedingin ini. Saya mulai tinggal dengan pelayan warung di sebuah kamar yang sewanya 3000 won. Pada musim dingin yang dingin ini tidak ada tempat untuk bepergian, dan semuanya membeku." "Ini sudah biasa buat kami," jawab si lelaki. "Anda tahu berapa jauh jalan ke Shampo dari sini? Ke laut saja setidaknya kita harus
menempuh sekian ratus ri dan harus naik perahu lagi." "Sudah berapa tahun Anda tidak ke sana?" "Lebih dari sepuluh tahun. Pergi ke sana pun.... tidak ada yang saya kenal." "Kalau begitu, buat apa ke sana." "Tidak apa-apa... karena bertambah tua, Saya ingin ke sana." Mereka tiba di jalan besar. Jalan yang diperkeras dengan kerikil dan tanah liat membuat mereka berjalan cukup nyaman. Young Dal memasukkan tangannya yang beku ke dalam saku jaketnya sambil meremas-remas. "Sial, dingin sekali. Kalau tidak ada angin pasti lebih baik." Lelaki itu nampaknya tidak kedinginan. Walaupun dia menggunakan baju hangat dan topi anjing, dia memang kelihatan sehat. Lelaki itu, untuk pertama kali, bertanya kepada Young Dal dengan ramah. "Sudah sarapan?" "Mana bisa sarapan." Young Dal hanya tertawa sendiri. "Karena saya pergi dengan hanya membawa badan pagi-pagi buta..." "Saya juga belum sarapan. Kita baru bisa makan kalau sudah sampai Chansaem. Seharusnya, kita berangkat lebih awal. Pada musim dingin seperti ini orang malas bergerak." "Saya belum memperkenalkan diri. Saya Nob Young Dal." "Saya sendiri Chung." "Karena kami punya keterampilan, tidak ada masalah dengan kerjaan." Young Dal menunjukkan maksud bahwa dia tidak akan merepotkannya. "Saya tahu. Anda dulu kerja sebagai pengebor batu, kan? Kalau kami bisa bekerja menjadi tukang kayu, las, dan memperbaiki sepatu." "Wah banyak sekali. Anda akan aman." "Lebih dari sepuluh tahun." "Di mana Anda belajar hal-hal itu." "Banyak tempat yang bagus yang bisa mengajari kita sebelum kita dikirim keluar." "Saya juga ingin masuk tempat seperti itu." .. Si Chung menggeleng sambil tersenyum pahit. "Sekarang pun bisa, masalahnya adalah, rumahnya terlalu besar." "Rumah besar..." Dia berhenti bercakap dan menatap wajah Chung. Chung menunduk dan berjalan dengan diam. Mereka melewati puncak bukit dan jalan mulai menurun menyusuri pinggir sungai yang menghilang di belakang gunung yang samar-samar. Tidak nampak kampung hanya ladang membentang. Ilalang kering bergoyang acak-acakan ditiup angin dan ditiup angin berpasir. Chung buka mulut. "Setelah melintasi gunung itu, baru kita sampai lembah Chansaem. Lebih baik kita menyeberangi sungai." "Barangkali sungainya mengeras beku" Sungainya betul-betul beku. Es mencair dan membeku lagi maka permukaan yang bergelombang tidak begitu lincin. Gara-gara angin bertiup, serpihan es yang retak beterbangan dan menghantam wajah mereka. "Sepertinya, lebih baik kita menunggu bus di ujung jembatan sana" Melihat Young Dal yang menggerutu sambil terengah-engah, Chung mengatakan seperti itu. "Busnya sering tidak lewat dan tak tahu persis kapan datangnya. Lebih baik kita menghemat uang saja. Biarpun tidak makan kalau ada uang bisa aman." "Betul juga."
"Kalau kita ke Wol Chul kita bisa menumpang kereta api ke Selatan. Mau naik kereta api di sana?" "Nah, tergantung keadaan. Ngomong-ngomong Shampo ke arah mana?‟‟ Chung menunjuk samar ke arah selatan dengan dagunya. "Ujung selatan." "Banyak orang tinggal di sana... di Sampho?" "Lebih kurang sepuluh rumah? Itu pulau yang betul-betul indah. Melimpah tanah yang subur, dan bisa menangkap ikan sebanyak- banyaknya.” Young Dal mengatakan sambil berjalan mendorong kakinya muluncur di permukaan es. "Wah, kalau begitu, bagusnya kita menetap di sana saja." "Baik, tetapi Anda mungkin tidak bisa." "Mengapa?" "Karena Anda orang luar." Mereka menyeberangi sungai yang beku. Mendung pun menggelayut. "Sepertinya salju mau turun, Mungkin akan menyulitkan perjalanan kita." Chung menatap langit yang abu-abu dangan khawatir. Begitu menaiki punggung bukit, tampak rumah-rumah tersebar seperti titik-titik kecil di perkampungan. Asap tipis mengepul di atas atap rumah yang samar. Terlihat juga menara lonceng gereja dan lapangan sekolah. Mereka juga dapat melihat pagar kawat berduri yang panjang mengepung ladang di belakang kampung. Sepertinya pangkalan tentara, kampung itu layaknya tergantung rapuh pada pagar kawat berduri itu. Mereka pun memasuki kampung. Ada toko kue, bioskop, warung kopi, rumah bola, warung sembako, dan deretan warung minuman di sekitar pasar kaget. Jalanannya sepi karena masih pagi. Mereka masuk "Rumah Makan Seoul", nama rumah makan yang sering ditemukan di mana-mana. Seorang wanita bertubuh besar sedang merebus sop sayur wogoji dan seorang laki-laki yang kelihatannya seperti tuan rumah berbicara dengan suara keras bersama dua pemuda kampung. "Aku tidak mengira sama sekali. Dia mengambil pakaian satu demi satu dan membungkusnya." "Dia pasti melarikan diri pada dini hari." "Tadi malam, sepertinya dia ingin tidur sepanjang malam dengan sersan tiga Yoon, aku kira dia bangun terlambat." 'Ternyata, begitu Yoon kembali ke pasukannya pada dini hari, dia melarikan diri." "Uang pakaian, uang obat, uang makan. .... Tidak sedikit uang yang sudah dikeluarkan untuk dia. Utang saja sudah 50 ribu won." Ketika Young Dal dan Chung duduk di kursi mereka menghentikan pembicaraan sejenak dan menyelidik kehadiran dua orang asing itu. Young Dal menurunkan dua tangan ke kompor batu bara sambil mengosok-gosok, mencoba memanaskan tangannya. Chung berkata sambil melepaskan topi anjingnya. "Tolong dua porsi Guk Bab saja." "Baik, mungkin sedikit lam. Tidak apa-apa?" Perempuan gembrot itu mengangkat muka dari mangkuk dan menjawab sekenanya, acuh tak acuh. "Tidak apa-apa, tolong buatkan yang enak ya." Wanita menaruh senduk dengan kasar dan dengan napas panjang berkata, "Dasar tidak tahu diri," katanya. Chung, sebagaimana Young Dal, menarik kursi ke dekat perapian seperti ingin memeluknya dan tertegun ketika melihat ke arah wanita itu. "Perempuan itu pergi. Api itu pun padam dan bahan sup pun tak ada, padahal baru
mulai membuat." Setelah itu ia berteriak ke tiga orang laki-laki itu. "Buat apa kalian duduk-duduk saja dan ngobrol tak berguna? Tangkaplah dia. Mungkin dia belum jauh dari sini. Bawalah dia kemari dan jambaklah rambutnya." Suami wanita itu menjawab dengan suara agak ketakutan. "Tidak perlu. Pastilah dia naik kereta api di Wol Chul, kira harus mengawasi pintu masuk stasiun itu." "Kalau begitu, naiklah sepeda dan cepat pergi dan tunggu diadi sana." "Udara dingin seperti ini?" "Kau bilang apa. Si Baek Hwa punya hutang 50 ribu won." Pemuda sekampung pun turut campur. "Rumah Makan Seoul sebenarnya laris karena Baek Hwa. Kalau jualan dia sangat termapil." 'Tentara pun sampai melego sepatunya untuk sekadar minum dengan Baek Hwa." Si wanita bertubuh besar itu berkata mencibir. "Menggelikan. Bagaimanapun, dia itu pelacur jalanan. Itu berkat kepintaranku saja. Akhir-akhir ini, dia kerap berdalih sakit... untuk tidak menimba air, tidak menanak nasi, tidak melayani tamu. Tidak berguna. Sudah enam bulan dia di sini, dia tidak segar lagi. Sudah lama kurencanakan, kalau utangnya udah lunas, aku akan ganti dengan yang lebih segar. Apa yang kau kerjakan? Pergilah cepat dan tunggu dia di stasiun." Bahu suaminya bergoncang kaget gara-gara hardikan sang istri. "Aku sudah tahu, kok" "Bawa dia dan pulanglah cepat, aku akan traktir kalian minum." Tiga orang laki-laki itu menghambur ke luar. Saat itu, Chung bergumam. "Sial! Seandainya dia di sini, akan kuminta dia menemaniku untuk minum." "Itu masalah serius. Setiap malam banyak laki-laki yang datang..." "Mungkin, perlu tiga empat orang pelayan lagi." "Kalau perempuannya banyak, susah juga. Di tempat seperti ini, seorang perempuan cantik sudah cukup. Kalau kurang bisa pinjam. Maukah Anda bersenang-senang di sini? Kalau mau saya panggilkan." "Kenapa begitu? Seorang yang bepergian jauh, bila pagi bersenang-senang dengan perempuan, nanti malam pasti akan dikubur di kampung ini!” "Ini dia Guk Bab." Sawi putihnya belum lunak, belum matang tetapi lumayan enak. Chung mengatakan kepada Young Dal yang menyeruput kuah terburu-buru. "Musim dingin yang lalu Anda berada di mana?" Dia menaruh mangkuk supnya dan menjawab, "Anda bertanya kapan?" Dia mulai terbahak setelah mendengar kata „musim dingin‟ yang lalu. "Saat itu betul-betul menyenangkan. Saya sedang di Daejon waktu itu. Saya bertemu dengan seorang perempuan yang bernama Ok Ja. Saat itu upahnya lumayan dan pekerjaannya tidak banyak." "Anda tinggal dengan perempuan itu?" "Dia perempuan yang setia. Kami nyaris punya satu anak. Musim semi yang lalu, ketika saya menganggur, dia pergi ke Seoul menjadi pembantu untuk bekal bersama kelak. Namun, gembel seperti kami tidak bisa menepati janji itu. Saya pernah terjaga malam-malam gara-gara mengingat dia, setelah itu saya tidak bisa tidur lagi." Chung melihat air muka Young Dal yang keruh, dan mengatakan pelan-pelan sambil menoleh ke luar jendela. "Manusia cenderung melupakan seseorang kalau lama tidak bertemu." Wanita gemuk yang telah pergi ke halaman belakang, kembali lagi dengan berisik.
"Astaga, salju kelihatannya mau turun. Langit sangat mendung, angin bertiup. Dia tidak bisa pergi jauh pasti kembali lagi dengan sia-sia." Chung memotong kata-kata wanita gemuk itu. "Berapa ri sampai Wol Chul?” "Sekitar 60 ri." "Ada bus?" "Ada dua pada sore hari. Mudah-mudahan mereka bisa menangkap perempuan itu dan kembali dengan bus yang terakhir... Kalian mau ke mana?" Young Dal berkata "Sampai menemui laut?" "Laut? Jauh juga. Hendak ambil jalan besar ini?" Begitu Chung menganggukkan kepalanya, wanita itu mendekatinya tanpa melepaskan pantatnya dari kursi. "Boleh saya meminta sesuatu. Di tengah jalan, kalau menemukan perempuan sekitar 22 tahun dengan rambut panjang dan satu matanya berkelopak tebal, bawalah dia ke sini. Saya bayar tunai 10 ribu." Chung tersenyum. Young Dal menjawab dengan meyakinkan. "Baiklah. Kalau kami berhasil membawanya Anda harus bayar 10 ribu won." "Lebih dari itu. Kalian boleh menginap semalam di sini." "Baiklah." Mereka berdiri. Perernpuan itu dengan suara keras menyeru di belakang punggung mereka yang baru akan keluar. "Rambutnya panjang, dan satu matanya berkelopak tebal. Jangan lupa ya." Matahari bersembunyi di belakang awan yang rendah membuat sekitarnya kabur seperti pemandangan di balik kaca yang buram. Angin membentuk pusaran seperti pilar di jalan tengah kota. Mereka menyusuri jalanan itu dengan kepala menunduk. Kemudian Young Dal membeli sebungkus rokok. Bunyi angin yang menyapu ladang terdengar keras. Ketika mereka menyeberangi jembatan kecil di luar kampung, butiran salju halus mulai turun dan rnenebal. Ketika mereka melewati kampung kecil terdiri atas 20 rumah, salju turun lebat sekali. Karena salju semakin menumpuk, tidak sukar untuk berjalan dan bahkan merasa nyaman di tengah badai salju. Salju menumpuk di atas topi, rambut, dan alis, membuat kedua orang itu tiba-tiba seperti orang tua. Mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak di depan monumen peringatan mantan pemimpin daerah yang berjasa. Di depan monumen itu jalan utama bercabang. Walaupun ada rambu, sukar untuk mengetahui arahnya karena usang dan lapuk. Mereka duduk dan merokok dihawah talang bangunan yang menaungi monumen. Chung menengadah ke langit dan mengatakan dengan kagum. "Wah salju itu menggiurkan. Tahun depan, pasti hasil panennya bagus." "Gara-gara salju ini, semua kekhawatitan hilang." "Pada awalnya menyenangkan, tapi kalau salju turun begini terus akan mengganggu perjalanan kita." "Marilah kita berjalan semampu kita hari ini dan besok bisa teruskan. Ada orang datang di sana." Seorang tua yang memakai durumagi dan jungjeolmo, pakaian dan topi tradisional Korea, menuju ke arah mereka pelan-pelan. Salju menumpuk. di atas topinya seperti es serut. Chung berdiri sambil menyalami orang tua itu, bertanya, “Pak numpang tanya." "Ya silakan." "Kalau hendak ke Wol Chul, ke arah atas atau ke bawah?" "Ke atas, tapi ... karena ada bukit sukar menempuhnya. Sepertinya jalurnya sudah rerputus." "Kalau begitu, bagamana kalau ke bawah?"
"Itu bukan ke Wol Chul, setelah melewati tiga desa akan menemukan Kota Gam Chon." Young Dal bertanya. "Di Gam Chon ada kereta api?" "Tentu saja ada." "Kalau begitu, kita harus ke Gam Chon." Chung memberi salam, orang tua itu mengangkat sedikit topinya. Orang tua itu berjalan ke atas, kemudian belok ke arah desa. Young Dal mengambil tali terbuat dari jerami usang yang tergantung di talang bangunan itu. Separuhnya dikasih ke Chung. "Kita balutkan di sepatu." "Itu membantu?" Dengan balutan jerami itu, mereka melangkah lebih yakin. Mereka ambil jalan ke bawah. Walaupun jalannya semakin menyempit, jalan itu cukup untuk sebuah gerobak sapi. Di tepi jalan itu ada kali dan kerikil yang tertutup lapisan salju tipis. Mereka menoleh ke belakang, jejak langkah kedua orang itu terus membuntuti mereka. Mereka melewati satu desa. Melewati anak-anak dan anjing yang berlari-lari di atas salju. Embun tebal yang membeku menutup kaca jendela warung, dan terdengar suara orang yang menyeruak dari jendela itu. Ketika melalui desa kedua salju semakin menipis. Mereka membuka satu botol soju di warung pinggir jalan. Perutnya bergejolak. Bunyi jatuhan salju satu-satunya yang mereka dengar ketika melewati pohonan pinus, Young Dal yang tertinggal di belakang berhenti dan mengatakan. "Lihatlah sana." "Lihat apa?" "Di sana di bawah pohon pinus." Terlihat punggung perempuan yang duduk berjongkok. Melihatnya berjongkok dengan memegangi ujung mantel panjangnya, sepertinya dia mencari tempat atnan untuk kencing, Pantat wanita yang putih itu terlihat jelas ketika dia merapikan celana dalamnya sambil menoleh ke belakang. "Astaga!" Dia cepat-cepat menurunkan mantel panjangnya dan menggerutu saat melangkah ke jalan. "Sialan. Apa yang kau lihat?" Young Dal terkekeh-kekeh dan Chung berbisik dengan suara rendah. "Si satu kelopak mata tebal." "Sebelumnya memang ada firasat aneh." Mungkin karena khawatir, perempuan itu enggan dan ragu mendekati mereka. Young Dal berkata, "Senang bertemu kamu, Baek Hwa, sepertinya kamu lari dari Chan Saem." "Apa urusanmu. Aku pergi dengan kakiku sendiri." "Majikanmu minta kami untuk membawamu kembali.” " Perempuan itu mendekati mereka dengan tenang. "Kerjakanlah dan tangkaplah aku." Kendati Baek Hwa tidak bersolek, wajahnya kemerahan gara-gara menempuh jalan yang jauh. Chung mengatakan lagi. "Bukan itu maksudnya.... kau mau ke mana? Teman sayahanya bercanda." Marahnya perempuan itu hanya karena gaya bicara Young Dal yang kasar daripada diintip laki-laki ketika buang air. Baek Hwa berjalan cepat-cepat sambil menghardik. "Memang siapa kau mau menangkap aku... Sepertinya kalian hanya gembel." "Kami juga gembel seperti kamu. Menyeret kau kembali ke majikanmu yang akan memberi tebusan." Sambil membuntuti perempuan itu dari dekat Young Dal meyakinkan dia bahwa dia
tidak main-main. Dengan tiba-tiba, perempuan itu memutar badannya dan mendorong Young Dal dengan cepat. Young Dal tidak menangkisnya, dia terpelanting ke tanah. Baek Hwa dengan satu lengannya memegang bungkusan, dan satu lengannya lagi memegang pinggang, dan menatap Young Dal. "Mengapa kau lakukan ini? Walaupun kelihatan seperti ini, aku pemah bekerja di Yellow House Incheon, Jagal Madang Daegu, Jungang Daehak Pohang, dan Chilgu Jinhae. Aku sedang menyepi di desa. Kau tahu, satu divisi tentara pernah menyentuh pusarku, Seandainya kau diminta diberi satu kali di tempat sepi, tidak apa-apa, tapi kalau mengancamku dengan maksud mendapat uang dari wanita itu kau mati dan aku mati." Mulutnya menganga, tak mampu berdiri, Young Dal mendengar seluruh kata-kata Baek Hwa. Chung menoleh ke arah hutan pinus sambil menahan tawa. Young Dal berdiri sambil membersihkan pantatnya dengan tersipu. "Kami juga punya rasa setia kawan. Kalau kau menganggap itu memalukan. Kami tidak akan melakukannya." Ketiga orang itu berjalan bersebelahan di atas tumpukan salju. Baek Hwa mengatakan, "Kalau begitu, jangan berbicara kasar kepadaku." Young Dal berdecak dan Chung bertanya. "Mau ke mana?" "Pulang." "Di mana rumahmu..." "Daerah Selatan. Sudah tiga tahun meninggalkan kampung." Young Dal mengatakan, "Perempuan seperti ini selalu bilang akan pulang besok." Baek Hwa tidak menunjukkan perlawanan seperti tadi. Sambil mengelus rambutnya yang tergerai, perempuan itu menatap Young Dal pelan-pelan dengan air muka lelah. "Betul. Setiap malam kami memutuskan untuk pulang kampung besok paginya. Namun, dengan pikiran itu tahun pun berlalu. Aku pemah berangkat. Sudah dua kali aku ke sekitar kampung halaman. Suatu ketika aku melihat orang tua di kampung dari jauh. Namaku Baek Hwa tapi nama palsu. Nama asliku... Tidak akan kuberitahukan kepada siapa pun." Chung berkata, "Orang-orang di Rumah Makan Seoul tadi pergi ke stasiun Wo Chul untuk menangkap kamu..." "Kejadian ini bukan satu dua kali. Aku sudah mengira, makanya aku ambil jalan ke Gam Chun. Mereka sepertinya orang kampung, kalau saja mereka pintar, mereka akan memblokir tiga empat perempatan. Sebenarnya aku tidak merugikan mereka sama sekali. Utangnya sebenarnya sisa pemerasan. Huh, minuman keras dan kehidupan malam mengerikan. Di bawahnya aku haus. Aku mau menjadi biarawati ... Menyucikan diri di air dingin dan berdoa seratus hari, bukan Baek Hwa lagi, sial." Semakin melangkah, Baek Hwa semakin cerewet, tetapi jalannya melambar. Baek Hwa menceritakan masa larisnya di suatu kota. Kesimpulan perempuan itu, percintaan di wilayah lampu merah, di luar mencari uang, sisanya adalah palsu. Sambil meninju bungkusan yang dibawanya dia berkata, "Apa yang kalian bawa, Palu dan gergajikah? Dalam bungkusanku, beberapa rok dalam bekas, celana dalam, dan kosmetik. Kalau kalian lihat keadaan rok dalam itu persis seperti diriku. Sering dicuci dan warnanya kabur dan jahitannya sudah lapuk." Walaupun Baek Hwa baru dua puluh dua tahun, dia terlihat berusia di atas 30 tahun karena banyak penderitaan sejak keluar rumah pada umur 18 tahun. " Pendek kata, dia pelacur yang berpengalaman. Baek Hwa memakai mantel bekas sobek yang di bagian sikutnya dan celana di bagian lututnya sudah menggelembung, juga
memakai sepatu berhak tinggi bagaikan cumi-cumi yang mengembang. Ketika berjalan di jalan setapak di lereng gunung, Young Dal dan Chung memapahnya supaya tidak terpeleset. Young Dal menggerutu. "Kau harus membeli sepasang sepatu karet. Gara-gara kau kita terlambat sekali." "Kalau begitu, kalian berdua pergi dulu saja. Mana ada uang untuk beli sepatu karet." "Bukankah kami bilang tadi bahwa kami setia? Tidak bisa meninggalkan perempuan di gunung sendirian. Ngomong-ngomong... Tidak punya uang satu sen pun?" Baek Hwa terbahak-bahak. "Kalau perempuan, „anu‟nya saja sudah cukup untuk modal dasar, kenapa perlu uang?" "Kalau seperti itu caranya, kapan bisa hidup secara normal!" "Lihatlah. Kalau seperti kalian, calon-calon suamiku yang yang tak dapat mencari nafkah, mana bisa aku berumah?” Young Dal tidak bisa menandingi cerewetnya Baek Hwa. Ketiga orang itu masuk kampung terakhir ke arah Gam Chun. Di kali sekitar muara kampung, bebek berjalan mengitari permukaan sungai yang beku. Jalan kecil di kampung itu sepi, terhirup kepulan asap kayu pinus dari cerobong yang menyerebak di pagar batu, terdengar juga suara orang menyusup di bawah kisi-kisi jendela yang tertutup kertas. Young Dal mengusulkan kepada Chung. "Saya menggigil karena lapar. Bagaimanapun, kita tiba di Gam Chun pada malam hari, sebaiknya kita cari makanan di sekitar sini saja. "Ini kampung kecil, sepertinya tidak ada warung atau toko. "Kita coba saja datangi rumah penduduk dan minta makanan." Baek Hwa berkata juga sambil melangkah berat dengan tangan di saku mantel. "Seluruh badannya beku. Jangankan makanan. Menaruh kaki di atas lancai yang hangat pun sudah bagus." Chung mendesak kedua orang itu. "Mari pergi dari tempat ini. Kalau kita lama di sini terpaksa kita harus menginap semalam. Kalau kita bisa tiba di Gam Chun maka ada losmen dan ada kereta api yang bisa membawa kita." Mereka melewati pelosok kampung yang sepi. Bebek-bebek beterbangan di atas ladang yang membeku tertutup salju. Sebuah gubuk beratap jerami kelihatan di pinggir jalan. Sebagian atapnya rubuh dan pagar tanah pun sebagiannya melepuh. Tampak seseorang pernah tinggal di situ. Young Dal mengintip gubuk itu dan berkata, "Mari kita keringkan sepatu di sana dan pergi." Baek Hwa beringsut duluan ke pekarangan yang tertutup salju dengan tertatih-tatih. Walaupun lantai kamar utama dan kamar lainnya sudah amblas, ada ruangan kecil yang lantainya tak berplester cukup untuk beristirahat sebentar. Chung mengikuti mereka juga berdiri agak merunduk di bawah talang air. Young Dal memungut kayu bakar yang diambilnya dari rangka kayu, bekas daun pintu, dan rak kayu lalu menumpuknya di ruangan itu. Begitu dia menyalakan api, kayu yang sudah lama mengering itu segera menyala dengan api kuning. Bunga api dan asap semakin besar. Chung mendekati api itu dan merapatkan sepatu basah dan celananya sambil menutup mata karena lelah. Hangatnya api membuat mereka merasa pulang ke rumah dan membuat mereka mengantuk. Baek Hwa melihat Young Dal yang mematahkan ranting kayu dengan lututnya dan menaruhnya di atas api, meniup api sambil meneteskan air mata karena pedih. "Kau... laki-laki yang lumayan baik. Tadi kukira kau adalah seorang preman hina." "Jangan begitu, dong? Jangan memujiku tanpa alasan." "Tidak. Saat kau menyalakan api kelihatannya tingkah lakumu bagus." Chung mengatakan kepada Young Dal sambil tersenyum.
"Dasar kamu lugu. Maksudnya, gadis ini ada hati dengan kau... Tidak tahukah kau.." "Jangan biara sembarangan. Aku juga dulu pernah jatuh cinta. Walaupun seorang lakilaki menyerahkan diri sepenuhnya kepada wanita, dia akan memberi sedikit saja. Ketika matahari terbit keesokan harinya, semuanya sia-sia saja." "Astaga, sepertinya dia pernah punya kisah cinta kilat.” "Hei, walaupun bercinta di lampu merah tergantung kepada uang, sekali waktu mampu berkobar, percintaan murninya dahsyat," Salju yang di atas atap mulai berjatuhan di atas pekarangan satu demi satu. Sambil mengorek-ngorek api dengan sebatang kayu, wajah Baek Hwa kelihatan tidak senang. Wajah Baek Hwa yang bercahaya karena api cukup cantik. "Ngomong-ngomong, kalian tahu ada berapa orang? Delapan." "Itu betul-betul percintaan di kalangan lampu merah." "Coba dengarkan sebenamya kedelapan orang itu sama saja dengan satu orang." Baek Hwa mengingat hari-hari yang dilewatinya di warung "Burung Camar". Dia teringat setiap hari duduk di beranda dan menatap penjara yang punya pos penjagaan yang tinggi di empat penjuru berkawat duri. Di atas bukit, ada tenda prajurit berbentuk Wan separo dan di sekitamya bunga kosmos berkembang penuh, oleh karena itu dia merasa bukan berada di tempat para penjahat yang duduk berlutut. Satu hari sekali, tawanan yang memakai seragam militer bergaris merah dan berkepala plontos berbaris keluar dengan mengikuti perintah-perintah dengan nada yang panjang, kelihatan tawanan itu berbaris dalam satu baris lalu mencuci muka dan buang air, kadang-kadang ada lima enam orang yang turun ke kampung untuk bekerja di bawah pengawasan polisi militer bersenjata. Mereka berjalan dengan menunduk dan memikul keranjang besar. "Pada awalnya, aku salah diperkenalkan oleh biro tenaga kerja, dikirim ke restoran remang-remang. Ketika dikirim ke sana, aku tidak bisa berbuat apa-apa, oleh karenanya tidak takut apa pun terjadi. Walaupun masih muda, aku sadar kehidupan memang penuh derita." Pada suatu hari, kurang lebih 30 orang diturunkan untuk mengerjakan tanggul pengairan di desa. Karena mereka akan dibebaskan tidak lama lagi, mereka tidak kelihatan kasar, dan orang-orang desa itu pun tidak mengucilkan mereka. Ketika mereka mengerjakan sesuatu di luar penjara, tentu saja rokok yang menjadi rebutan. Baek Hwa memberikan dua bungkus rokok kepada salah seorang tahanan yang putih wajahnya. Selama sepuluh hari, Baek Hwa menyediakan rokok kepada mereka. Sembunyi-sembunyi Baek Hwa memberi rokok kepada salah satu tahanan yang kelihatan masih muda. Setelah itu, Baek Hwa berjumpa dengannya di ruang pertemuan penjara dengan membawa makanan. Setelah dua bulan Baek Hwa meladeni tahanan itu, dengan mengandalkan pangkat prajurit duanya dia datang kepada Baek Hwa. Mereka tidur semalam. Keesokan harinya, prada itu kembali ke baraknya. "Saya sudah melayani delapan orang seperti itu. Satu dua bulan saya melayani orang seperti itu yang datang dan pergi begitu saja." Waktu bekerja di Rumah Makan "Camar", dia tidak mampu membeli satu baju baru pun gara-gara melayani mereka itu. Tidak ada rnasa yang paling menyenangkan kecuali saat melayani kedelapan orang itu. Setiap pagi waktu berpamitan dengan prajurit yang kembali ke baraknya, Baek Hwa selalu berdiri dengan memberi salam sampai bus mereka hilang ditelan debu di kejauhan. Setelah itu, dia berkeliling di sekitar barak dan desa-desa di sekitarnya. Malam masih awal, tapi gelap menyergap lebih cepat karena cuaca buruk. Salju kelihatan semakin memutih, dan terdengar gemeretak bunyi kayu terbakar di tengah suasana yang sepi. "Selain penjara, kehidupan dunia luar pun memang penuh penderitaan..." Chung bergumam sambil memakai baju hangat yang baru saja dikeringkan di perapian.
"Kita bergegas pergi sebelum turun gelap." Mereka berdiri lalu mematikan api yang masih menyala dengan timbunan salju. Gunung dan sungai menjadi samar-samar dan redup. Burung bergerombol di lembah yang ada jeraminya. Young Dal bertanya kepada Baek Hwa, "Nah, sekarang rencanamu apa, kalau pulang ke rumah...?" Baek Hwa tidak memberi jawaban dan hanya tersenyum. Chung berkata, "Menikah saja ya." "Tidak mau. Untuk apa menikah sekarang. Aku mau membantu ayah bertani di kampung. Aku punya banyak adik." Di sekeliling sudah gulita dan cerita mereka pun berhenti. Semua terselubung salju jadi mereka tak bisa membedakan mana jalan mana ladang. Baek Hwa yang agak ketinggalan di belakang terperosok ke galur di ladang. Mungkin karena kakinya keseleo, Baek Hwa tidak bergerak dan duduk mengerang. Young Dal dengan cepat menghampirinya dan menggendog Baek Hwa yang enggan ditolong. Baek Hwa berkata sambil digendong, "Berat, ya?" Young Dal tidak menggubris. Baek Hwa itu ringan seperti bayi. Punggung Young Dal tidak merasa ada beban, malah ringan. Young Dal merasakan Baek Hwa yang ringan itu karena tubuhnya betul-betul letnah. Mengingat Ok Ja yang pernah tinggal di Daejon, dia merasakan matanya sembab. Baek Hwa berkata, "Bahumu lebar juga. Bisa menggendong tiga orang." "Kamu saja yang ringan." Mereka tiba di Kota Gam Cbun sekitar pukul tujuh. Mungkin karena hari ini hari pasar walaupun sudah selesai, pusat kotanya masih ramai juga. Ada bau gurih gorengan jeon, ada bau daging panggang dan bau sop sapi. Sekarang Young Dal memapah. Setiap saat melangkah ke depan, perempuan itu mengernyit. Chung bertanya kepada Baek Hwa. "Arah yang mana?" "Jalur Jola." "Saya ke Honam. Ada ongkos?" "Saya akan minta tentara untuk menaikkan saya ke kereta." Mereka membeli lemper kacang merah dan makanan yang masih hangat di pojok pasar. Baek Hwa memberikan separoh jatah lempernya kepada Young Dal. "Makan lagi. Capek ya menggendong saya." Sambil menuju ke arah stasiun Baek Hwa berkata, "Seandainya belum ditentukan tempat tujuannya mari pergi ke kampung halamanku. Aku akan carikan kerja." "Aku pun sedang jalan ke Sampho. Kita ikut dia saja." Chung juga mengajak Young Dal. Young Dal tidak berkata apa-apa hanya melihat sepatu yang penuh dengan lumpur. Di ruang tunggu Chung memanggil Young Dal ke sudut dan berkata lirih, "Ada ongkos?" "Nyaris untuk satu karcis. Aku punya sekitar 1000 won, uang jaga-jaga." "Mau ke mana?" "Ke mana saja yang ada kerjaan..." Terdengar pengumuman agak berdengung dari pengeras suara. Chung melirik Baek Hwa yang bersandar di kursi kayu di ruang tunggu dan berkata, "Mari pergi bersama. Aku kira dia wanita yang baik." "Saya pun berpikir begitu." "Siapa yang tahu karena nasib, bisa menetap. Kali ini lebih baik menyelesaikan petualangan ini." Young Dal merajuk dan melihat ke luar stasiun. Baek Hwa melihat mereka yang bercakap berbisik-bisik. Young Dal berkata.
"Mana mampu." "Mau pergi bersama ke Sampho?" "Bagaimanapun..." Dari saku belakang, Young Dal mengeluarkan uang kertas kumel 500 won dua lembar. "Kita biarkan saja dia pegi." Young Dal membeli tiket dan membeli juga dua potong roti dan telur rebus. Dia mengatakan kepada Baek Hwa, "Kami mau naik kereta api yang berikut... Selamat jalan." Mata Baek Hwa berkaca-kaca saat menerima tawaran Young Dal. Perempuan itu dengan gagap bertanya. "Jadi tidak seorang pun... pergi ke kampungku." "Kami mau ke Sampho. Itu kampungku." Ternyata Young Dal dan Chung menjawabnya. Orang-orang sedang menghambur ke pintu peron. Baek Hwa berdiri menjinjing bungkusannya. "Aku benar-benar tidak akan... melupakannya." Baek Hwa pergi beberapa langkah dan berbalik dengan mata basah sambil tersenyum. "Narnaku sebenarnya bukan Baek Hwa. Namaku ,.. Lee Jeom Rye." Perempuan itu berlari ke pintu peron. Kereta pun tak lama kemudian berangkat. Lelaki itu tidur bersandar ke kursi kayu sekitar satu jam. Ketika membuka mata, salju turun lagi di luar ruang tunggu. Keretanya terlambat. Di setiap kursi penuh sesak dengan penumpang yang ingin naik kereta api malam. Kedua lelaki itu tanpa berkata apa-apa mengisap satu batang rokok bergantian. Karena menyusuri jalan jauh dan hanya tidur sedikit, mereka merasa lelah sekali. Young Dal bergumam, "Huh, dia bisa tahan berapa hari..." "Kenapa?" "Bukan. Maksudku Baek Hwa. Perempuan seperti itu... tidak bisa bertahan di kehidupan kampung tiga empat hari." “Tergantung siapa orangnya. Tetapi aku pikir pun begitu. Di zaman ini keadaan manusia cepat berubah..." Orang tua di sebelah Chung, yang mengamati sosok mereka dengan tas punggung yang digeletakkan di atas lutut menyapa, "Pergi kerjakah?" "Tidak. Pulang kampung." "Kampungnya di mana?" "Bapak tahu Sampho?" "Tentu. Anak saya pengemudi buldoser di sana..." "Di Sampho? Di sana tidak ada proyek. Paling-paling memancing ikan dan menanam kentang." "Hhh, sudah betapa tahun tidak ke sana?" "Sepuluh tahun." Orang tua itu mengangguk mafhum. "Jangan gegabah, sekarang Sampho sudah menyatu dengan daratan. Di sana dibangun tanggul dan puluhan truk menimbun batu di sana." "Untuk apa?" "Saya pun kurang tahu. Katanya akan dibangun hotel pariwisata, pokoknya di sana sibuk dan rumit." "Desanya masih ada?" "Pastilah sudah digusur, Di sana-sini penuh dengan proyek dan pasar pun didirikan." "Perahu pun sudah tak ada lagi?" "Sudah ada jalan baru membentang untuk apa ada perahu segala. Para pendatanglah yang bikin masalah. Sernakin banyak orang mereka melupakan yang di atas."
Bagi Chung yang sudah lama tak pulang kampung, cerita itu kedengarannya aneh sekali. Young Dal yang dari tadi diam kini buka mulut. "Itu bagus. Kita bisa dapat kerjaan di sana." Pada saat yang sama kereta masuk stasiun. Chung agak berat melangkah karena baru saja dia kehilangan tempat kembali. Keadaan Chung tanpa disadari menjadi sama dengan Young Dal. Kereta api berlari ke sela-sela ladang gulita yang bersalju tebal. (Koh dan Tommy, 2007:43)
감자 -김 동 인싸움, 간통, 살인, 도둑, 구걸, 징역, 이 세상의 모든 비극과 활극의 근원지인, 칠성문 밖 빈민굴로 오기 전까지는, 복녀의 부처는,(사농공상의 제 이 위에 드는) 농민이었었다. 복녀는, 원래 가난은 하나마 정직한 농가에서 규칙 있게 자라난 처녀였었다. 이전 선비의 엄한 규율은 농민으로 떨어지자부터 없어졌다 하나, 그러나 어딘지는 모르지만 딴 농민보다는 좀 똑똑하고 엄한 가율이 그의 집에 그냥 남아 있었다. 그 가운데서 자라난 복녀는 물론 다른 집 처녀들같이 여름에는 벌거벗고 개울에서 멱감고, 바짓바람으로 동네를 돌아다니는 것을 예사로 알기는 알았지만, 그러나 그의 마음속에는 막연하나마 도덕이라는 것에 대한 저품을 가지고 있었다. 그는 열 다섯 살 나는 해에 동네 홀아비에게 팔십 원에 팔려서 시집이라는 것을 갔다. 그의 새서방(영감이라는 편이 적당할까)이라는 사람은 그보다 이십 년이나 위로서, 원래 아버지의 시대에는 상당한 농민으로서 밭도 몇 마지기가 있었으나, 그의 대로 내려오면서는 하나 둘 줄기 시작하여서, 마지막에 복녀를 산 팔십 원이 그의 마지막 재산이었었다. 그는 극도로 게으른 사람이었었다. 동네 노인의 주선으로 소작 밭깨나 얻어주면, 종자나 뿌려둔 뒤에는 후치질도 안하고 김도 안 매고 그냥 버려두었다가는, 가을에 가서는 되는 대로 거두어서 ‘금년은 흉년이네’하고 전주집에는 가져도 안가고 자기 혼자 먹어버리고 하였다. 그러니까 그는 한밭을 이태를 연하여 붙여본 일이 없었다. 이리하여 몇 해를 지내는 동안 그는 그 동네에서는 밭을 못 얻으리만큼 인심과 신용을 잃고 말았다. 복녀가 시집을 온 뒤, 한 삼사 년은 장인의 덕으로 이렁저렁 지내갔으나, 이전 선비의 꼬리인 장인도 차차 사위를 밉게 보기 시작하였다. 그들은 처가에까지 신용을 잃게 되었다. 그들 부처는 여러 가지로 의논하다가 하릴없이 평양 성 안으로 막벌이로 들어왔다. 그러나 게으른 그에게는 막벌이나마 역시 되지 않았다. 하루 종일 지게를 지고 연광정에 가서 대동강만 내려다보고 있으니, 어찌 막벌이인들 될까. 한 서너 달 막벌이를 하다가, 그들은 요행 어떤 집 막간(행랑)살이로 들어가게 되었다. 그러나 그 집에서도 얼마 안 하여 쫓겨나왔다. 복녀는 부지런히 주인 집 일을 보았지만, 남편의 게으름은 어찌할 수가 없었다. 매일 복녀는 눈에 칼을 세워가지고 남편을 채근하였지만, 그의 게으른 버릇은 개를 줄 수는 없었다. “벳섬 좀 치워달라우요.”
“남 졸음 오는데, 님자 치우시관.” “내가 치우나요?” “이십 년이나 밥 처먹구 그걸 못 치워.” “에이구, 칵 죽구나 말디.” “이년, 뭘!” 이러한 싸움이 그치지 않다가, 마침내 그 집에서도 쫓겨나왔다. 이젠 어디로 가나? 그들은 하릴없이 칠성문 밖 빈민굴로 밀리어오게 되었다. 칠성문 밖을 한 부락으로 삼고 그곳에 모여 있는 모든 사람들의 정업은 거러지요, 부업으로는 도둑질과 '자기네끼리의' 매음, 그밖에 이 세상의 모든 무섭고 더러운 죄악이었었다. 복녀도 그 정업으로 나섰다. 그러나 열 아홉 살의 한창 좋은 나이의 여편네에게 누가 밥인들 잘 줄까. “젊은 거이 거랑은 왜?” 그런 소리를 들을 때마다 그는 여러 가지 말로, 남편이 병으로 죽어가거니 어쩌거니 핑계는 대었지만, 그런 핑계에는 단련된 평양 시민의 동정은 역시 살 수가 없었다. 그들은 이 칠성문 밖에서도 가장 가난한 사람 가운데 드는 편이었었다. 그 가운데서 잘 수입되는 사람은 하루에 오리짜리 돈 뿐으로 일원 칠팔십 전의 현금을 쥐고 돌아오는 사람까지 있었다. 극단으로 나가서는 밤에 돈벌이 나갔던 사람은 그날 밤 사 백 여 원을 벌어 가지고 와서 그 근처에서 담배장사를 시작한 사람까지 있었다. 복녀는 열 아홉 살이었었다. 얼굴도 그만하면 빤빤하였다. 그 동네 여인들의 보통 하는 일을 본받아서, 그도 돈벌이 좀 잘하는 사람의 집에라도 간간 찾아가면, 매일 오륙십 전은 벌 수가 있었지만, 선비의 집안에서 자라난 그는 그런 일은 할 수가 없었다. 그들 부처는 역시 가난하게 지냈다. 굶는 일도 흔히 있었다. 기자묘 솔밭에 송충이가 끓었다 .그때, 평양 '부'에서는 그 송충이를 잡는데(은혜를 베푸는 뜻으로) 칠성문 밖 빈민굴의 여인들을 인부로 쓰게 되었다. 빈민굴 여인들은 모두 다 지원을 하였다. 그러나 뽑힌 것은 겨우 오십 명쯤이었었다. 복녀도 그 뽑힌 사람 가운데 한 사람이었었다. 복녀는 열심으로 송충이를 잡았다. 소나무에 사다리를 놓고 올라가서는, 송충이를 집게로 집어서 약물에 잡아넣고, 또 그렇게 하고, 그의 통은 잠깐 사이에 차고 하였다. 하루에 삼십이 전 씩의 품삯이 그의 손에 들어왔다. 그러나 대엿새 하는 동안에 그는 이상한 현상을 하나 발견하였다. 그것은 다른 것이 아니라, 젊은 여인부 한 여나믄 사람은 언제나 송충이는 안 잡고, 아래서 지절거리며 웃고 날뛰기만 하고 있는 것이었다. 뿐만 아니라, 그 놀고 있는 인부의 품삯은, 일하는 사람의 삯전보다 팔 전이나 더 많이 내어주는 것이다. 감독은 한 사람뿐이었는데 감독도 그들의 놀고 있는 것을 묵인할 뿐 아니라, 때때로는 자기까지 섞여서 놀고 있었다. 어떤 날 송충이를 잡다가 점심때가 되어서, 나무에서 내려와서 점심을 먹고 다시 올라가려 할 때에 감독이 그를 찾았다 – “복네! 얘 복네!” “왜 그릅네까?” 그는 약통과 집게를 놓고 뒤로 돌아섰다.
“좀 오나라.” 그는 말없이 감독 앞에 갔다. “얘, 너, 음… 데 뒤 좀 가보자.” “뭘 하례요?” “글쎄, 가야…” “가디요. - 형님.” 그는 돌아서면서 인부들 모여 있는 데로 고함쳤다. “형님두 갑세다가례.” “싫다 얘. 둘이서 재미나게 가는데, 내가 무슨 맛에 가갔니?” 복녀는 얼굴이 새빨갛게 되면서 감독에게로 돌아섰다. “가보자.” 감독은 저편으로 갔다. 복녀는 머리를 수그리고 따라갔다. “복네 갔구나.” 뒤에서 이러한 조롱 소리가 들렸다. 복녀의 숙인 얼굴은 더욱 발갛게 되었다. 그날부터 복녀도 '일 안하고 품삯 많이 받는 인부'의 한 사람으로 되었다. 복녀의 도덕관 내지 인생관은, 그때부터 변하였다. 그는 아직껏 딴 사내와 관계를 한다는 것을 생각하여본 일도 없었다. 그것은 사람의 일이 아니요, 짐승의 하는 짓쯤으로만 알고 있었다. 혹은 그런 일을 하면 탁 죽어지는지도 모를 일로 알았다. 그러나 이런 이상한 일이 어디 다시 있을까. 사람인 자기도 그런 일을 한 것을 보면, 그것은 결코 사람으로 못할 일이 아니었었다. 게다가 일 안하고도 돈 더 받고, 긴장된 유쾌가 있고, 빌어먹는 것보다 점잖고… 일본말로 하자면 '삼 박자(拍子)' 같은 좋은 일은 이것뿐이었었다. 이것이야말로 삶의 비결이 아닐까. 뿐만 아니라, 이 일이 있은 뒤부터, 그는 처음으로 한 개 사람이 된 것 같은 자신까지 얻었다. 그 뒤부터는, 그의 얼굴에는 조금씩 분도 바르게 되었다. 일년이 지났다. 그의 처세의 비결은 더욱 더 순탄히 진척되었다. 그의 부처는 이제는 그리 궁하게 지내지는 않게 되었다. 그의 남편은 이것이 결국 좋은 일이라는 듯이 아랫목에 누워서 벌신벌신 웃고 있었다. 복녀의 얼굴은 더욱 이뻐졌다. “여보, 아즈바니. 오늘은 얼마나 벌었소?” 복녀는 돈 좀 많이 벌은 듯한 거지를 보면 이렇게 찾는다. “오늘은 많이 못 벌었쉐다.” “얼마?” “도무지 열 서너 냥.” “많이 벌었쉐다가레. 한 댓 냥 꿰주소고레.” “오늘은 내가…” 어쩌고 어쩌고 하면, 복녀는 곧 뛰어가서 그의 팔에 늘어진다. “나한테 들킨 댐에는 뀌구야 말아요.” “난 원 이 아즈마니 만나믄 야단이더라. 자 꿰주디 그대신 응? 알아있디?” “난 몰라요. 해해해해.” “모르믄, 안 줄 테야.”
“글쎄, 알았대두 그른다.” 그의 성격은 이만큼까지 진보되었다. 가을이 되었다. 칠성문 밖 빈민굴의 여인들은 가을이 되면 칠성문 밖에 있는 중국인의 채마 밭에 감자(고구마)며 배추를 도둑질하러, 밤에 바구니를 가지고 간다. 복녀도 감잣개나 잘 도둑질하여 왔다. 어떤 날 밤, 그는 고구마를 한 바구니 잘 도둑질하여가지고, 이젠 돌아오려고 일어설 때에, 그의 뒤에 시꺼먼 그림자가 서서 그를 꽉 붙들었다. 보니, 그것은 그 밭의 주인인 중국인 왕 서방이었었다. 복녀는 말도 못하고 멀찐멀찐 발 아래만 내려다보고 있었다. “우리집에 가.” 왕 서방은 이렇게 말하였다. “가재믄 가디. 훤, 것두 못 갈까.” 복녀는 엉덩이를 한번 홱 두른 뒤에, 머리를 젖기고 바구니를 저으면서 왕 서방을 따라갔다. 한 시간쯤 뒤에 그는 왕 서방의 집에서 나왔다. 그가 밭고랑에서 길로 들어서려 할 때에, 문득 뒤에서 누가 그를 찾았다. “복네 아니야?” 복녀는 홱 돌아서보았다. 거기는 자기 곁집 여편네가 바구니를 끼고, 어두운 밭고랑을 더듬더듬 나오고 있었다. “형님이댔쉐까? 형님두 들어갔댔쉐까?” “님자두 들어갔댔나?” “형님은 뉘 집에?” “나? 눅(陸) 서방네 집에. 님자는?” “난 왕 서방네…. 형님 얼마 받았소?” “눅 서방네 그 깍쟁이 놈, 배추 세 페기….” “난 삼원 받았디.” 복녀는 자랑스러운 듯이 대답하였다. 십 분쯤 뒤에 그는 자기 남편과, 그 앞에 돈 삼원을 내어놓은 뒤에, 아까 그 왕 서방의 이야기를 하면서 웃고 있었다. 그 뒤부터 왕 서방은 무시로 복녀를 찾아왔다. 한참 왕 서방이 눈만 멀찐멀찐 앉아 있으면, 복녀의 남편은 눈치를 채고 밖으로 나간다. 왕 서방이 돌아간 뒤에는 그들 부처는, 일원 혹은 이원을 가운데 놓고 기뻐하고 하였다. 복녀는 차차 동네 거지들한테 애교를 파는 것을 중지하였다. 왕 서방이 분주하여 못 올 때가 있으면 복녀는 스스로 왕 서방의 집까지 찾아갈 때도 있었다. 복녀의 부처는 이제 이 빈민굴의 한 부자였었다. 그 겨울도 가고 봄이 이르렀다. 그때 왕 서방은 돈 백원으로 어떤 처녀를 하나 마누라로 사오게 되었다. “흥!” 복녀는 다만 코웃음만 쳤다.
"복녀, 강짜하갔구만.” 동네 여편네들이 이런 말을 하면, 복녀는 흥 하고 코웃음을 웃고 하였다. 내가 강짜를 해? 그는 늘 힘있게 부인하고 하였다. 그러나 그의 마음에 생기는 검은 그림자는 어찌할 수가 없었다. “이놈 왕 서방. 네 두고 보자.” 왕 서방이 색시를 데려오는 날이 가까왔다. 왕 서방은 아직껏 자랑하던 길다란 머리를 깎았다. 동시에 그것은 새색시의 의견이라는 소문이 퍼졌다. “흥!” 복녀는 역시 코웃음만 쳤다. 마침내 색시가 오는 날이 이르렀다. 칠보단장에 사인교를 탄 색시가, 칠성문 밖 채마 밭 가운데 있는 왕 서방의 집에 이르렀다. 밤이 깊도록, 왕 서방의 집에는 중국인들이 모여서 별한 악기를 뜯으며 별한 곡조로 노래하며 야단하였다. 복녀는 집 모퉁이에 숨어 서서 눈에 살기를 띠고 방안의 동정을 듣고 있었다. 다른 중국인들은 새벽 두시쯤 하여 돌아가는 것을 보면서 복녀는 왕 서방의 집 안에 들어갔다. 복녀의 얼굴에는 분이 하얗게 발리워 있었다. 신랑 신부는 놀라서 그를 쳐다보았다. 그것을 무서운 눈으로 흘겨보면서, 그는 왕 서방에게 가서 팔을 잡고 늘어졌다. 그의 입에서는 이상한 웃음이 흘렀다. “자, 우리집으로 가요.” 왕 서방은 아무 말도 못하였다. 눈만 정처 없이 두룩두룩 하였다. 복녀는 다시 한번 왕 서방을 흔들었다 . “자, 어서.” “우리, 오늘 밤 일이 있어 못 가.” “일은 밤중에 무슨 일.” “그래두, 우리 일이…” 복녀의 입에 아직껏 떠돌던 이상한 웃음은 문득 없어졌다. “이까짓 것.” 그는 발을 들어서 치장한 신부의 머리를 찼다. “자, 가자우, 가자우.” 왕 서방은 와들와들 떨었다. 왕 서방은 복녀의 손을 뿌리쳤다. 복녀는 쓰러졌다. 그러나 곧 다시 일어섰다. 그가 다시 일어설 때는, 그의 손에는 얼른얼른 하는 낫이 한 자루 들리어 있었다. “이 되놈, 죽에라. 이놈, 나 때렸디! 이놈아, 아이구 사람 죽이누나.” 그는 목을 놓고 처울면서 낫을 휘둘렀다. 칠성문 밖 외따른 밭 가운데 홀로 서 있는 왕 서방의 집에서는 일장의 활극이 일어났다. 그러나 그 활극도 곧 잠잠하게 되었다. 복녀의 손에 들리어 있던 낫은 어느덧 왕 서방의 손으로 넘어가고, 복녀는 목으로
피를 쏟으면서 그 자리에 고꾸라져 있었다. 복녀의 송장은 사흘이 지나도록 무덤으로 못 갔다. 왕 서방은 몇 번을 복녀의 남편을 찾아갔다. 복녀의 남편도 때때로 왕 서방을 찾아갔다. 둘의 사이에는 무슨 교섭하는 일이 있었다. 사흘이 지났다. 밤중 복녀의 시체는 왕 서방의 집에서 남편의 집으로 옮겼다. 그리고 시체에는 세 사람이 둘러앉았다. 한 사람은 복녀의 남편, 한 사람은 왕 서방, 또 한 사람은 어떤 한방 의사 - 왕 서방은 말없이 돈주머니를 꺼내어, 십 원짜리 지폐 석 장을 복녀의 남편에게 주었다. 한방 의사의 손에도 십 원짜리 두 장이 갔다. 이튿날, 복녀는 뇌일혈로 죽었다는 한방의의 진단으로 공동묘지로 가져갔다.
KENTANG Kim Dong In Perselisihan, perselingkuhan, pembunuhan, pencurian, pengemisan, penjara – kawasan kumuh di luar gerbang Chilseong, tempat persemaian semua drama tragedi dan drama kekerasan di dunia ini. Sebelum pindah ke tempat itu, Bongnyeo dan suaminya adalah petani, urutan kedua dari empat kelas dalam masyarakat (ilmuwan, petani, seniman, dan pedagang). Bongnyeo adalah perempuan yang dibesarkan dengan ketat dalam keluarga petani miskin namun bermoral. Meskipun perilaku sopan santun dari kelas ilmuwan dikatakan menipis ketika keluarga Bongnyeo turun menjadi berstatus petani, namun kepekaan keluarga tersebut masih sedikit lebih tinggi daripada keluarga lain. Tentu saja meskipun dibesarkan dengan cara tersebut, Bongnyo masih menganggap sebagai hal lumrah untuk bertelanjang di musim panas dan berenang di sungai sebagaimana gadis – gadis kecil sebayanya, atau bermain – main di kampung tidak berpakaian penuh. Meski begitu, dalam benaknya dia masih merasakan adab moral, meskipun samar. Di usia 15 tahun dia dijual kepada seorang duda dusun seharga 80 won untuk dinikahi. Calon suaminya itu 20 tahun lebih tua daripada dia. Pada awalnya, di masa ayah si duda, keluarganya merupakan petani terpandang, memiliki banyak lahan tanah. Namun pada saat dia menikahi Bongnyeo, keluarganya telah tenggelam dan kehilangan miliknya satu demi satu; 80 won yang dibayarkan untuk mendapat Bongnyeo tersebut merupakan harta terakhirnya. Dia adalah orang yang sangat malas. Para tetua dusun dahulu pernah baik hati dengan meminjamkan sebagian lahan untuknya, namun dia sekedar menebar bibit dan mengabaikan lahan pinjaman tersebut, tidak merawatnya. Saat musim semi tiba, dia memanen dengan sembarangan, tidak memberi bagian kepada pemberi pinjaman lahan dan memakan semua panen untuk dirinya sendiri. “Panen tahun ini buruk,” dia bilang. Karena perilaku ini, dia tidak pernah menggarap lahan lebih dari dua tahun. Dia terus berkelakuan seperti itu, dan dalam beberapa tahun reputasinya hancur sehingga tidak lagi mendapatkan lahan di dusun itu. Setelah tiga atau empat tahun menikah Bongnyeo dan suaminya bisa bertahan hidup, berkat bantuan ayah Bongnyeo. Namun ayah Bongnyeo pelan – pelan juga mulai merasakan kebencian terhadap menantunya. Sehingga suami istri ini kehilangan harkat bahkan di hadapan keluarga Bongnyeo sendiri. Setelah bicara tentang keadaan buruknya ini, Bongnyeo dan suaminya memutuskan untuk pergi ke Pyongyang menjadi buruh. Namun karena sifat malasnya, suami Bongnyeo bahkan
tidak berhasil sebagai buruh. Dengan tas di punggung dia berangkat menuju menara Yongwang dan mondar mandir di sungai Taedong seharian – bagaimana bisa dia dapat pekerjaan buruh dengan cara seperti itu? Pasangan itu bekerja sebagai buruh selama tiga atau empat bulan. Karena nasib baik, mereka bisa menjadi pembantu rumah tangga. Namun, mereka segera diusir dari rumah itu. Bongnyeo merawat rumah dengan baik, namun dia tidak mampu mengubah kemalasan suaminya. Dia marah dan mengomelinya namun itu tidak mengubah kemalasan suaminya. “Kenapa tidak kau bawa keluar kantong – kantong padi itu?” “Aku ngantuk, kamu saja yang menata”. “Kau ingin aku yang melakukannya?” “Kamu baru menjalani hidupmu yang tak berguna selama sekitar 20 tahun. Begitu saja tidak bisa?” “Dasar, mati saja kamu!” “Ngmong apa kamu tadi!” Pertengkaran seperti itu terus saja terjadi, dan akhirnya mereka diusir. Kemana mereka pergi sekarang? Akhirnya mereka terpaksa harus ke kawasan kumuh di luar gerbang Chilsong. Pekerjaan utama para penghuni kawasan kumuh itu adalah mengemis, dan usaha mereka selain itu adalah mencuri dan melacur antar mereka sendiri. Semua tindakan keji juga mereka lakukan. Bongnyeo mulai mengemis sebagaimana penghuni lain. Namun siapa yang mau memberi uang kepada gadis muda yang masih tegap? “Kenapa orang muda sehat seperti kamu mengemis?” Ketika dia mendengar jawaban seperti ini dia banyak membuat alasan, mengatakan bahwa suaminya sedang menderita penyakit parah, namun hal itu juga tidak mampu menimbulkan rasa belas kasihan orang Pyongyang. Sehingga, bahkan di kawasan kumuh sekalipun, mereka menjadi yang termiskin. Di lingkungan mereka, yang memiliki pendapatan bagus adalah orang yang mengawali hari dengan 5 Ri dan bisa pulang membawa satu Won tujuh atau delapan pulun Jeon. Suatu ketika, ada juga orang yang pergi keluar suatu malam dan pulang membawa lebih daripada 400 won. Orang ini segera mampu berjualan rokok di kawasan kumuh itu. Saat itu Bongnyeo berumur 19 tahun, dan cantik. Jika dia berlaku sebagaimana gadis – gadis lain di daerah itu dan mengunjungi rumah – rumah orang kaya, dia bisa mendapatkan 50 atau 60 sen sehari. Namun karena cara dia diasuh semasa kecil, dia tidak mau melakukan hal seperti itu. Pasangan itu tetap miskin. Merupakan hal biasa bagi mereka menjadi kelaparan. Pada saat itu pohon – pohon pinus yang mengitari makam Kija dipenuhi ulat bulu. Pemerintah kota Pyongyang untuk menangkap ulat – ulat itu menggunakan tangan orang, sehingga dibutuhkan para perempuan dari kawasan kumuh tersebut untuk bekerja menangkap ulat. Semua gadis mendaftar, namun hanya 15 yang diterima, Bongnyeo salah satunya. Dia menangkap ulat dengan baik. Dia memasang tangga pada pohon, memanjat, dan menangkap ulat menggunakan jepitan, dan memasukkannya ke dalam kantong insektisida. Dia bekerja terus, tidak lama kemudian kantongnya telah penuh. Selama satu hari dia menerima upah 32 Jeon. Namun, setelah bekerja seperti itu selama 5 atau 6 hari, dia memperhatikan fenomena aneh: sekelompok gadis tertentu tiap pernah menangkap ulat, hanya bergurau dan ngobrol saja di bawah tangganya, hanya bermain – main. Tidak hanya itu; ketika upah dibagi, gadis – gadis yang tidak bekerja itu menerima 8 sen lebih banyak daripada mereka yang benar – benar bekerja. Hanya ada satu pengawas. Dia tidak saja membiarkan gadis – gadis itu bermain, kadang malah ikut bermain.
Suatu hari ketika tiba waktu makan siang, Bongnyeo turun dari tangga dan makan. Ketika dia akan naik lagi, pengawas memanggilnya. “Bongnyeo, hei, Bongnyeo!” “Ada apa?” Dia meletakkan kantong dan penjepitnya, dan menengok. “Ke sini sebentar”. Dia mendekat kepada si pengawas. “ehm… ayo kita ke sana sebentar”. “Untuk apa?” “Nanti kamu tahu…” “Iya, hei teman - teman!” Menengok, dia berteriak kearah dimana gadis – gadis lain berkumpul. “Temen – temen, ayo” “Tidak mau, kalian bersenang – senang kenapa aku harus ikutan?” Wajah Bongnyeo memerah, kemudian dia berpaling kearah pengawas. “Ayo,” pengawas memulai. Bongnyeo menundukkan kepalanya dan ikut. “Bongnyeo, kamu beruntung”, dia mendengar gurauan itu dari belakang. Wajahnya masih memerah. Mulai hari itu, Bongnyeo menjadi salah satu dari perempuan yang tidak bekerja namun menerima upah yang lebih banyak. Perasaan Bongnyeo tentang moralitas dan pandangannya terhadap hidup telah berubah sejak hari itu. Sebelumnya, dia bahkan tidak pernah membayangkan melakukan hubungan seksual dengan pria selain suaminya sendiri. Sebelumnya, dia menganggap tindakan seperti itu bukanlah perilaku manusia, namun binatang. Sebelumnya dia yakin, bila melakukan hal itu, dia akan mati terhukum. Namun bagaimana seseorang menjelaskan hal yang telah terlanjur terjadi? Karena Bongnyeo sendiri jelas manusia, telah melakukan hal itu, dan ternyata hal itu tidaklah mustahil dilakukan manusia. Selain itu, meskipun tidak bekerja, dia menerima lebih banyak uang. Terdapat sengatan rasa bersalah, dan lebih „terhormat‟ daripada mengemis. Dengan kata lain, hal itu merupakan hal luar biasa dalam hidupnya. Tidak ada yang bisa menandingi hal yang menyenangkan ini. Bukankah ini adalah rahasia keberadaan manusia? Selain itu, sejak dari terjadinya hal ini, Bongnyeo untuk pertama kalinya mendapatkan rasa percaya diri dalam diri individu manusia. Sejak saat itu, dia mulai menggunakan pupur di wajahnya. Setahun berlalu. „Petualangan‟ Bongnyeo membuat hidupnya lancar. Sedangkan soal pernikahan, pasangan itu tidak terlalu miskin nestapa. Biasanya suaminya tiduran di tempat terhangat di lantai dan menganggur, seolah itu merupakan hal yang bagus. Pongnyeo sedang cantik – cantiknya. “Hei, bung, berapa banyak dapet duit hari ini?” Ketika melihat pengemis yang sepertinya dapat uang banyak, dia mendekatinya. “Hari ini tidak bagus” “Seberapa buruk?” “Hanya 13 atau 14 sen”. “Itu lumayan. Pinjami aku lima yang?” “Gimana ya, hari ini…” Ketika sudah begitu, Bongnyeo akan mengikutinya dan mendekap pada lengannya. “Sekarang aku sudah mendekatimu, kamu harus meminjami aku uang?” “Setiap ketemu, kamu selalu begitu, baiklah, akan ku pinjami, tapi harus ada imbalanya ya, tahu kan?” “Tidak hi hi hi…” “Jika tidak tahu, aku tak kan pinjami”
“Kau tahu aku tahu yang kau inginkan”. Sifatnya sudah jauh berubah menjadi seperti itu. Musim gugur tiba, bersama itu perempuan – perempuan dari kawasan kumuh keluar malam hari membawa kantong, untuk sedikit mencuri kentang dan kubis dari ladang orang Cina yang tinggal di daerah itu. Bongnyeo juga mahir mendapatkan curian. Suatu malam dia membawa kantong berisi kentang curian. Ketika dia hampir melewati pagar, bayangan muncul dari belakang dan menangkapnya erat, orang itu adalah si tua Wang, orang Cina pemilik ladang. Bongnyeo tidak bisa berkata – kata. Dia hanya diam, menggoda, dan melihat ke bawah. “Ayo masuk rumah,” dia berkata. “Jika kau ingin begitu, aku mau. Kenapa tidak? Kau sangka aku tidak mau?” Bongnyeo, dengan goyang pantatnya dan lenggokan kepala, mengikuti Wang dari belakang, mengayunkan kantongnya. Bongnyeo keluar dari rumah rumah itu sejam kemudian. Ketika dia keluar dari ladang menuju jalan, dia mendengar seseorang memanggil namanya. “Bongnyeo, kaukah itu?” Bongnyeo menengok. Dia lihat tetangganya juga memegang kantong di bawah tangannya dan keluar dari ladang yang gelap. “Kaukah itu?, Kau juga masuk ke sana?” “Kau juga di sana?” “Di rumah siapa?” “Aku, rumah Nuk. Kau di rumah siapa?” “Aku, rumah Wang… berapa banyak kau dapat?” “Hanya tiga gempol kubis. Nuk itu pelit sekali” “Aku dapat tiga won” Dia menjawab seperti pamer. Sekitar sepuluh menit kemudian, setelah dia menunjukkan tiga won di depan suaminya, keduanya menertawakan si tua Wang. Mulai saat itu, Wang menemui Bungnyeo kapanpun dia ingin. Kapanpun Wang datang, dia duduk dan bersikap kikuk sebentar. Suami Bongnyeo kemudian paham maksudnya dan pergi keluar. Setelah Wang pergi, keduanya menikmati satu atau dua won yang didapatkan. Pelan – pelan Bongnyeo membatasi pesonanya dari para pengemis kampung. Ketika Wang sibuk dan tidak bisa datang kepada Bongnyeo, dia sendiri yang datang ke rumah Wang. Pada masa itu, dia dan suaminya termasuk yang berkecukupan di kawasan kumuh itu. Musim dingin berlalu, dan musim semi datang. Kemudian terjadilah, Wang membeli perawan sebagai istrinya seharga seratus won. “Kekeke!” Bongnyeo tertawa meringis. “Bongnyeo terlihat cemburu”. Bongnyeo tertawa ketika mendengar para perempuan kumuh bicara begitu. “Aku, cemburu?” dia selalu mengingkarinya. Namun dia tidak mampu membuang bayangan hitam dari hatinya. “Kamu brengsek Wang. Aku akan membalasmu”. Hari ketika Wang akan membawa pulang istri barunya semakin dekat. Wang memotong rambut panjangnya, yang biasanya dia banggakan. Konon katanya dia melakukan itu atas permintaan calon istrinya. “Bah!” Bongnyeo semakin kesal. Akhirnya tibalah hari ketika pengantin perempuan, berbaju selayaknya pengantin dan duduk di kursi, tiba di rumah Wang. Malam itu, orang – orang Cina yang berdatangan memainkan alat musik, bernyanyi lagu leluhur mereka, dan merayakan pernikahan itu. Saat itu, Bongnyeo sembunyi di sudut rumah
itu, niat buruk terpancar di matanya seiring terdengarnya suara perayaan dari dalam. Orang – orang Cina merayakannya sampai sekitar jam 2 pagi. Bongnyeo masuk rumah ketika dia tahu orang terakhir pergi. Wajahnya dipenuhi pupur putih. Kedua pengantin terkejut melihat Bongnyeo. Dengan tatapan menakutkan, Bungnyeo mendekati Wang, memegang tangannya dan memeluk. Tawa yang aneh keluar dari bibirnya. “Ayolah, ayo ke rumahku”. Wang tidak bisa berkata; matanya melotot tidak berdaya. Bongnyeo mengguncangnya sekali lagi. “Hei, ayo!” “Kami sibuk malam ini. Kami tidak bisa pergi” “Urusan tengah malam? Urusan macam apa?” “Urusan pribadi” Tawa aneh yang keluar dari mulut Bongnyeo tiba – tiba menjadi sunyi. “Kau pelacur rendahan.” Bongnyeo menendang kepala pengantin perempuan yang masih berpakaian perayaan. “Pergi! Pergi!” Wang gemetaran. Dia melepaskan dirinya dari genggaman tangan Bongnyeo. Bongnyeo jatuh, namun dia bangkit lagi. Ketika bangkit, dia menggenggam sabit yang berkilau di tangannya. “Kan kubunuh kau, bangsat! Bajingan! Bajingan! Kamu menyakitiku!” Dengan menggertak, dia mengacungkan sabit. Kemudian terjadilah perkelahian, terjadi di rumah Wang, yang jauh sendirian di ladang di luar gerbang Chilsong. Namun, perkelahian itu berakhir cepat. Sabit yang tadinya di tangan Bongnyeo beralih ke tangan Wang, dan Bongnyeo terkapar mati di tempat, darah mengucur dari lehernya. Tiga hari berlalu sebelum mayat Bongnyeo bisa diambil untuk dikubur. Wang pergi kerumah suami Bongnyeo beberapa kali. Suami Bongnyeo beberapa kali juga mengunjungi rumah Wang beberapa kali. Rupanya ada semacam negosiasi antara mereka. Di tengah malam mereka memindahkan mayat Bongnyeo dari rumah Wang ke rumah suami Bongnyeo. Tiga orang berkumpul di sekitar mayat itu. Satu suami Bongnyeo, satu Wang, dan satu lagi seorang juru obat. Tanpa sepatah kata, Wang mengambil kantong uangnya dan menyerahkan tiga pulun won kepada suami Bongnyeo. Si juru obat menerima dua puluh won. Hari berikutnya, setelah dinyatakan mati karena penyakit oleh si juru obat, dia dibawa ke tanah pekuburan.
Cerpen di atas merupakan salah satu dari sekian banyak novel karya penulis-penulis Korea. Salah satu dari cerpen di atas yaitu „삼포에 가는 길‟ telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan diterbitkan bersama dengan beberapa cerpen lain dalam buku „Laut dan Kupu-Kupu‟. Penjelasan di atas mengenai berbagai macam karya prosa Korea yang berkembang sejak zaman dahulu hingga zaman modern dapat memberikan gambaran mengenai kehidupan masyarakat Korea pada masa karya-karya tersebut berkembang. Mitologi, legenda, dongeng, dan fabel menjadi cerita-cerita yang tidak akan terlupakan karena selalu diturunkan dari generasi ke generasi, sedangkan karya modern Korea berupa cerpen dan lainnya menjadi sebuah gambaran hidup penulis yang dapat dinikmati oleh setiap orang yang membacanya.
Aktivitas 1. Mahasiswa berdiskusi dengan kelompoknya dan memberikan komentar, 2. Dosen memberikan pengayaan dengan alat bantu alat bantu papan tulis, laptop, dan LCD, 3. Tanya jawab. Tugas dan/atau latihan Mahasiswa diminta untuk referensi lain yang berkaitan dengan bab V yaitu karya prosa Korea. Mahasiswa kemudian diminta untuk mencari contoh lain yang berkaitan dengan karya prosa Korea dan mempresentasikannya dengan kelompok masing-masing. Latihan 1.
Apakah yang disebut dengan mitologi dan legenda?
2.
Sebutkan beberapa contoh dari dongeng!
3.
Jelaskan apa yang dimaksud dengan fabel beserta contoh-contohnya!
Rangkuman Seperti halnya negara yang lain, Korea juga memiliki keberagaman dalam karya prosanya. Karya prosa Korea terdiri atas cerita rakyat, cerpen, dan novel. Cerita rakyat terbagi menjadi mitologi, legenda, dongeng, dan fabel. Cerita rakyat telah berkembang sejak dulu dan disalurkan melalui mulut ke mulut, sedangkan cerpen baru berkembang pada masa modern yaitu setelah Jepang masuk ke Korea. Cerita rakyat di Korea terbagi sesuai dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Korea yaitu Shamanisme, Buddhisme, Konfusianisme, Taoisme, agama Kristen, dan agama dewa-dewa. Cerita rakyat Korea dapat diklasifikasikan melalui berbagai macam cara. Salah satunya adalah dibagi menjadi lima yaitu mitologi, legenda, dongeng, fabel, dan novel kuno. Mitologi berarti cerita rakyat yang mendeskripsikan tentang penciptaan dunia dan alam. Legenda adalah cerita yang berisi tentang fakta-fakta sejarah. Dongeng berisi tentang cerita yang dikhususkan untuk anak-anak sedangkan fabel berisi pesan moral.
PENUTUP a. Penilaian 1.
Perkuliahan dikatakan berhasil jika mahasiswa dapat memahami keseluruhan isi bab ini, terutama dalam memahami karya prosa Korea.
2.
Mahasiswa dapat menganalisis cerpen Korea.
3.
Rentang nilai adalah 45- <80.
b. Tindak lanjut Mahasiswa yang belum dapat memahami isi bab ini diharapkan dapat mempelajari lebih lanjut.
Evaluasi yang direncanakan
No 1
Pembelajaran perkuliahan ini dikatakan berhasil apabila mahasiswa dapat Indikator keberhasilan Butir kemampuan Butir penilaian Mampu menyampaikan materi penyajian menarik hasil diskusi kelompok tentang cerita rakyat Korea (mite, legenda)
2
Mampu
menyampaikan
penyajian sistematis
Poin maks.
10
penyajian jelas dan meyakinkan
materi penyajian menarik
hasil diskusi kelompok tentang penyajian sistematis cerita fabel)
rakyat
Korea
(dongeng, penyajian jelas dan meyakinkan
10
Matrix Penilaian Materi/isi
Cerita rakyat Korea
Ranah Kognitif C1
C2
1
1
C3
C4 1
C5
C6
Ranah
Ranah
Metode
Tujuan Khusus
Afektif
Psikomotorik
Penilaian
Pembelajaran
x
M/P/A
Mid
dan D1, D2, D3,
Ujian Akhir D4 Semester
Keterangan: I : Imitation berarti meniru. M : Manipulation, yakni melakukan suatu modifikasi. P : Precision, yakni melakukan tindakan dengan penuh ketepatan. A : Articulation, yakni mampu mengekspresikan/memberikan penjelasan secara tepat. N : Naturalisation, yakni keterampilan yang diperoleh menjadi kebiasaan yang terinternalisasi dalam diri. C1 : Pengetahuan : mengenali, mendiskripsikan, menamakan, mendifinisikan, memasangkan, memilih. C2 : Pemahaman : mengklasifikasikan, menjelaskan, mengintisarikan, meramalkan, membedakan. C3 : Aplikasi : mendemonstrasikan, menghitung, menyelesaikan, menyesuaikan, mengoperasikan, menghubungkan, menyusun. C4 : Analisis : menemukan perbedaan, memisahkan, membuat diagram, membuat estimasi, menyusun urutan, mengambil kesimpulan. C5 : Sintesis : menggabungkan, menciptakan, merumuskan, merancang, membuat komposisi, menyusun kembali, merevisi. C6 : Evaluasi : menimbang, mengkritik, membandingkan, memberi alasan, menyimpulkan, memberi dukungan.
UN IV E RS I TA S G A DJ A H M AD A FAKULTAS ILMU BUDAYA JURUSAN BAHASA KOREA Jl. Sosiohumaniora 1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281
Buku 2: RKPM (Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan) Modul Pembelajaran Pertemuan ke 11-14
KESUSASTRAAN KOREA Genap/2 SKS/BDK3611 oleh Dr. Novi Siti Kussuji Indrastuti, M.Hum.
Didanai dengan dana BOPTN P3-UGM Tahun Anggaran 2012 Desember 2012
RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM)
Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami drama tari
Beberapa jenis drama tari 1. Drama tari topeng pyolsandae 2. Drama tari
Aktivitas Mahasiswa
Aktivitas Dosen/ Nama Pengajar
Sumb er Ajar
Soal-Tugas
Gambaran umum drama tari topeng Korea
Metode Ajar
Audio/Video
Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami drama tari topeng Korea
Metode Evaluasi dan Penilaian
Gambar
12
Topik (pokok, subpokok bahasan, alokasi waktu)
Presentasi
11
Tujuan Ajar/ Keluaran/ Indikator
Teks
Pertemuan ke
Media Ajar
√
√
√
√
Tanya jawab: mahasiswa yang aktif akan mendapatka n tambahan poin
Mahasiswa mendengar kan penjelasan dosen dan berdiskusi dengan kelompokn ya
Tatap muka di kelas: 1. Mahasiswa berdiskusi dengan kelompoknya, 2. Tanya jawab dan latihan.
Dosen Pusta memberikan ka 5, pengayaan 6, 7 dengan alat bantu papan tulis, laptop, dan LCD,
√
√
√
√
Tanya jawab: mahasiswa yang aktif akan mendapatka
Mahasiswa mendengar kan penjelasan dosen dan berdiskusi dengan
Tatap muka di kelas: 1. Mahasiswa berdiskusi dengan kelompoknya,
Dosen Pusta memberikan ka 5, pengayaan 6, 7 dengan alat bantu papan tulis, laptop, dan
Waktu: 1x pertemuan @100 menit
topeng Korea topeng pongsan
n tambahan kelompokn ya poin
di
2. Tanya jawab dan latihan.
LCD,
Waktu: 1x pertemuan @100 menit 13
14
Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami drama tari topeng Korea
Drama tari topeng Korea dalam dimensi sastra
Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami drama tari topeng Korea
Drama tari topeng Korea dalam dimensi pertunjukan
√
√
√
√
Tanya jawab: mahasiswa yang aktif akan mendapatka n tambahan poin
Mahasiswa mendengar kan penjelasan dosen dan berdiskusi dengan kelompokn ya
Tatap muka di kelas: 1. Mahasiswa berdiskusi dengan kelompoknya, 2. Tanya jawab dan latihan.
Dosen Pusta memberikan ka 5, pengayaan 6, 7 dengan alat bantu papan tulis, laptop, dan LCD,
√
√
√
√
Tanya jawab: mahasiswa yang aktif akan mendapatka n tambahan poin
Mahasiswa mendengar kan penjelasan dosen dan berdiskusi dengan kelompokn ya
Tatap muka di kelas: 1. Mahasiswa berdiskusi dengan kelompoknya, 2. Tanya jawab dan latihan.
Dosen Pusta memberikan ka 5, pengayaan 6, 7 dengan alat bantu papan tulis, laptop, dan LCD,
Waktu: 1x pertemuan @100 menit
Waktu: 1x pertemuan @100 menit
BAB VI GAMYEON.GEUK: DRAMA TARI TOPENG KOREA
PENDAHULUAN Deskripsi Singkat Bab ini memiliki penjelasan lengkap tentang gamyeongeuk atau drama tari topeng Korea dengan beberapa jenisnya. Penjelasan tersebut mencakup penjelasan mengenai gambaran umum, setiap jenis dari drama tari topeng Korea, kemudian drama tari topeng Korea dalam dimensi sastra maupun pertunjukan. Manfaat Bab ini dapat memberikan informasi yang dibutuhkan oleh mahasiswa tentang drama tari topeng Korea, sehingga mahasiswa dapat memperluas wawasan dan pengetahuan tentang drama tari topeng Korea. Relevansi Bab ini mempunyai relevansi dengan bab I, bab III, dan bab V. Karena pada bab selanjutnya menjelaskan tentang sejarah Sastra Korea, sastra lisan Korea, dan karya prosa Korea. Learning Outcomes Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat menambah wawasan tentang drama tari topeng Korea. Selain itu mahasiswa juga diharapkan dapat menumbuhkan apresiasi tentang karya drama tari topeng Korea.
PENYAJIAN Topeng dikenal dengan nama tal, gamyeon, gwangdae, chorani, talbak dan talbagaji dalam Bahasa Korea. Di Korea, topeng tidak hanya digunakan dalam pertunjukan tari topeng (talchum) saja tetapi juga dalam drama tari topeng atau gamyeon geuk (Korean Culture and Information Service, 2011:137). Drama tari topeng atau yang lebih dikenal gamyeon geuk merupakan kesenian rakyat yang berkembang di kalangan rakyat biasa pada masa Dinasti Joseon (1392-1910). Drama ini dipertunjukkan berdasarkan perasaan memberontak terhadap kehidupan yang terkadang tidak selalu bahagia. Pada umumnya pertunjukan ini berisi bentukbentuk ritual keagamaan; tarian ritual; parodi yang menyindir kelemahan manusia, kejahatan
dalam masyarakat dan kalangan atas. (Korean Culture and Information Service, 2011:142). Pada umunya drama tari topeng Korea dipentaskan pada saat bulan purnama pertama, hari ulang tahun Buddha yaitu pada hari kedelapan bulan keempat kalender bulan, Festival Danoje, dan Chuseok. Drama tari topeng Korea biasanya dipentaskan di luar ruangan dengan diiringi oleh instrumen musik (Korean Culture and Information Service, 2011:143).
6.1
Gambaran Umum tentang Drama Tari Topeng Korea Terdapat berbagai macam jenis drama tari topeng Korea. Secara umum, drama tari
topeng Korea dapat dibagi menjadi dua kategori (the Korean National Commission for Unesco, 1986:34). Kategori yang pertama adalah tari yang ditampilkan dalam upacara kuil di desa yang disebut Sonang-je. Beberapa tari yang termasuk dalam Sonang-je adalah drama ritual Pyolsin dari Hahoe, drama tari topeng Kwano (pembantu laki-laki pegawai pemerintah) yang diselenggarakan pada hari kelima bulan kelima kalender bulan, drama tari topeng Pyolsandae di Yangju dan Songp‟a yang ditampilkan di Provinsi Kyonggi dan merupakan bagian dari sistem klasifikasi drama Sandae-dogam, drama tari topeng Pongsang dan Kangnyong yang ditampilkan di Provinsi Hwanghae, drama “lima aktor” T‟ongyong dan Kosong yang ditampilkan di Provinsi Kyongsang Selatan (Indrastuti, 2007:28). Kategori kedua hanya terdiri dari drama tari singa Pukch‟ong yang merupakan drama legenda yang ditampilkan sebagai bagian dari festival tahun baru lunar. Drama tari ini berasal dari Benua Asia. Drama tari topeng Sonang-je merupakan tari topeng yang berasal dari daerah pedesaan dan mempunyai banyak karakteristik dari “drama ritual musiman”. Drama tari ini menunjukkan ciri khas dari tari topeng yang asli. Tari topeng ini dan tari topeng yang ditampilkan dalam ritual Shaman dapat dianggap berbeda dengan tari topeng Sandae-dogam yang merupakan jenis tari provinsi.
6.2
Beberapa Jenis Drama Tari Topeng Korea Terdapat beberapa jenis drama tari topeng di Korea seperti yang telah dijelaskan dalam
penjelasan di atas. Berdasarkan etnografinya, Lee Duhyon (1973:449) membagi drama tari topeng Korea ke dalam beberapa jenis yaitu drama tari topeng di Yangju, drama tari topeng di Pongsan, drama tari topeng Ogwangdae di T‟ongyong dan Kosong, dan drama tari topeng singa di Puk‟chong. Selain keempat drama tari topeng di atas terdapat pula drama tari topeng Ogwangdae di Masan dari Provinsi Kyongsang yang kemungkinan merupakan bentuk asli (Kim Yeong-il, 2000:6). Drama tari topeng Ogwangdae di Masan dianggap memberikan
pengaruh pada drama tari topeng Ogwangdae yang lain sehingga akan dijelaskan secara rinci dalam penjelasan berikut.
6.2.1 Drama Tari Topeng Pyol-Sandae di Yangju (Provinsi Kyonggi) Drama tari topeng Pyol-Sandae di Yangju adalah bagian dari drama Sandae-dogam yang ditampilkan di Provinisi Kyonggi, terutama di ibukota Seoul. Drama ini ditampilkan pada hari kelahiran Buddha yaitu hari kedelapan bulan keempat, pada saat Festival Tano (hari kelima bulan kelima), dan Chu‟sok (festival panen musim gugur, diadakan pada hari ke-15 bulan kedelapan) dilihat dari kalender bulan. Drama ini juga ditampilkan di acara-acara tertentu dalam skala kecil maupun besar. Pertunjukan drama ini biasa dimulai pada malam hari dan berlangsung semalam suntuk. Lama pertunjukan juga bisa dipersingkat menjadi 3-4 jam tergantung acara masing-masing. Konteks dari drama Sandae juga tidak teratur dengan alur yang disesuaikan (Indrastuti, 2007:30). Jika dibandingkan dengan tari Mokchung dalam drama di Pongsan atau “totpaegi” dari Ogwangdae, tari Sandae lebih menonjolkan keindahan dalam bentuk (the Korean National Commission for Unesco, 1986:42). Kemudian jika dibandingkan dengan topeng yang digunakan dalam drama di Pongsan, topeng drama di Yangju berbentuk lebih realistis (Lee Duhyon, 1973:450). Drama tari topeng Pyol-sandae di Yangju dinobatkan sebagai Warisan Budaya Takbenda No.2 oleh Pemerintah Korea. Yu Kyong-song dan delapan orang lainnya dikenal sebagai penari profesional yang dipercaya untuk melestarikan serta mengabadikan drama tari topeng ini.
6.2.2 Drama Tari Topeng di Pongsan (Provinsi Hwanghae) Drama tari topeng di Pongsan adalah drama tari dengan bentuk yang dramatis dan dipertunjukkan di sekitar distrik bagian barat Provinsi Hwanghae, Korea Utara, terutama di Pongsan. Drama tari ini diklasifikasikan ke dalam kategori yang sama dengan Sandae Togam Kuk (Lee Duhyon, 1973:451). Pertunjukan ini dipentaskan di malam festival Dano yang diadakan setiap bulan kelima kalender bulan. Drama tari ini mewakili drama tari topeng Provinsi Hwanghae dan telah dipilih sebagai Warisan Budaya Takbenda. Pertunjukan biasanya dimulai dengan Tarian Sangjwa dan diakhiri dengan pembakaran topeng sebagai bentuk pengusiran roh halus. Drama tari topeng di Pongsan merupakan drama narasi Sandae yang banyak menggunakan kata-kata dari puisi Cina dan lelucon dalam dialognya. Lelucon ini merupakan
lelucon yang sering dilontarkan oleh pegawai rendahan. Drama tari topeng di Pongsan telah dinobatkan sebagai Properti Warisan Budaya Takbenda No. 17 oleh Pemerintah Korea. Yi Kun-song dan tujuh orang lainnya dianggap sebagai penari profesional yang berjasa dalam melestarikan dan mengabadikan drama tari topeng ini (Indrastuti, 2007:32).
6.2.3 Drama Tari Topeng Ogwangdae di Tongyong, Kosong, dan Masan (Provinsi Kyonsang Selatan) Drama tari topeng Ogwangdae adalah drama tari topeng yang dipentaskan di sekitar Provinsi Kyongsang Selatan. Nama Ogwangdae berasal dari huruf “O” (lima) dari “Ohaengsol” (sebuah teori asal usul alam semesta kuno dari Cina yang berhubungan dengan “lima elemen”, yaitu logam, kayu, air, api, dan tanah; dan “lima arah”, yaitu utara, selatan, timur, barat, dan tengah; dan “lima warna”, yaitu merah, biru, hitam, kuning, dan putih). Di daerah Masan, drama tari topeng Ogwangdae ini dianggap membawa proses pengusiran roh jahat dalam tari yang disebut “Obang Sinjang-mu” (the Korean National Commission for Unesco, 1986:62; Kim Yeong-il, 2001:6). Waktu yang paling umum untuk mementaskan pertunjukan ini adalah hari kelima belas setelah tahun baru, tetapi juga dipentaskan pada awal Juni, dan di bulan September. Pada masa sekarang kepopuleran drama tari topeng ini meningkat sehingga pertunjukan juga dipentaskan pada musim semi dan gugur (Indrastuti, 2007:33). Ogwangdae di T‟ongyong telah dinobatkan sebagai Properti Warisan Budaya Takbenda No. 6 oleh Pemerintah Korea. O Cong-du dan enam penari lain telah dikenal sebagai penari profesional yang berjasa melestarikan drama tari topeng ini. Ogwangdae di Kosong juga telah dinobatkan sebagai Properti Warisan Budaya Takbenda No.7. Cho Yong-bae dan delapan penari lainnya dikenal sebagai penari handal dalam melestarikan drama tari topeng ini.
6.2.4 Sajachum: Drama Tari Topeng Singa di Pukchong (Hamgyong Selatan) Drama tari topeng singa di Pukchong dipentaskan di distrik Pukchong, Provinsi Hamgyong Selatan. Drama tari topeng yang paling terkenal adalah Sajakye dari Pukchongup, Hak-kye dari Kahoe-myon, dan Yobgak-kye dari Kuyangchon-myon. Pertunjukan ini dipentaskan pada hari keempat belas bulan pertama, dimulai setelah bulan telah meninggi. Sebelum drama benar-benar dimulai, para pemuda kekar dari desa terbagi ke dalam dua tim dan beradu obor. Kemudian pertunjukan berlangsung hingga fajar menjelang keesokan paginya, ketika pesta telah dipersiapkan di sekolah umum atau di balai desa (Indrastuti,
2007:33). Tujuan utama dari drama tari topeng ini adalah untuk mengusir roh jahat dan membawa keberuntungan. Singa dianggap sebagai raja binatang sehingga keberadaannya dipercaya dapat menakuti roh jahat dan membawa kedamaian di desa. Penari drama tari topeng ini berkeliling ke rumah-rumah untuk mengusir roh jahat dan diberi imbalan berupa nasi atau uang. Drama tari topeng singa di Pukchong telah dinobatkan sebagai Properti Warisan Budaya Takbenda No. 15 oleh Pemerintah Korea. Yun Yong-ch‟un dan sembilan penari lainnya dikenal sebagai penari profesional yang melestarikan dan mengabadikan drama tari topeng ini.
6.3
Drama Tari Topeng Korea dalam Dimensi Sastra Drama tari topeng Korea dalam dimensi sastra akan dibagi menjadi tiga yaitu
mengenai tema, tokoh, dan alur cerita. Tema dalam masing-masing drama tari topeng Korea memiliki beberapa kesamaan, begitu pula tokoh dan alur cerita. Penjelasan di bawah ini akan memaparkan secara rinci mengenai tema, tokoh, alur cerita dengan persamaan dan perbedaannya.
6.3.1 Tema Cerita Secara umum, tema didefinisikan sebagai pusat dari ide sebuah cerita, termasuk di dalamnya masalah dalam cerita yang akan diungkapkan dengan tujuan untuk memberi arah pada cerita. Tema dalam drama merepresentasikan suatu pemikiran, yaitu argumen dalam menarik kesimpulan dari karakter tertentu yang merupakan keseluruhan tema atau sebagian tema dari drama (Indrastuti, 2007:34). Tema drama tari topeng Korea pada umumnya hampir semua sama, yaitu kritik sosial. Kritik sosial ini akan dipaparkan dalam masalah yang timbul dalam drama itu sendiri, sebagai contoh: (a) Tarian ritual untuk mengusir roh jahat dan ritual shaman; (b) Sindiran kebohongan ideologis dari seorang rahib yang ingkar; (c) Keangkuhan kelas aristokrat; (d) Misteri kehidupan rakyat biasa; dan (e) Hubungan cinta segitiga antara suami, istri, wanita simpanan, dan kritik terhadap tirani laki-laki. Isi cerita dari drama Pyol-sandae di Yangju termasuk ke dalam jenis Sandae-dogam.
Adegan di dalamnya menekankan pada kesalahan waktu, sindiran, nafsu, komedi, dan ratapan melalui beberapa karakter seperti rahib yang ingkar, kehormatan yang ternoda, shaman, tarian, wanita, pelayan, dan rakyat biasa baik muda maupun tua. Pada intinya, drama ini memiliki karakter-karakter yang hidup pada masa dinasti Yi. Dengan demikian, cerita drama Pyol-sandae di Yangju bisa dikelompokkan ke dalam tiga kategori utama yaitu, cerita tentang rahib yang ingkar, cerita tentang kaum aristokrat, dan cerita tentang kehidupan sehari-hari rakyat biasa. Isi cerita utama dalam drama Pongsan juga serupa dengan drama Pyol-sandae di Yangju karena keduanya berada dalam kategori sistem drama Sandae-dogam. Akan tetapi drama tari topeng Pongsan lebih banyak mengandung ungkapan-ungkapan yang diambil dari puisi Cina dibandingkan dengan drama yang lain. Isi cerita utama dari drama di Pukchong adalah untuk mengusir roh jahat dan membawa keberutungan. Drama tari topeng ini mempunyai karakter yang spesifik dibandingkan dengan yang lain. Ini disebabkan karena drama tari topeng singa dipentaskan dengan tujuan utama untuk mengusir roh jahat dan membawa keberuntungan. Akan tetapi tari singa juga dipertunjukan sebagai bagian dari adegan dalam drama Pyol-sandae di Yangju, drama tari topeng di Suyong, dan Ogwangdae (Indrastuti, 2007:36).
6.3.2 Tokoh-Tokoh Terdapat persamaan dan perbedaan karakter, peran karakter dan jumlah karakter dalam pertunjukan drama tari topeng Korea. Tabel di bawah ini berisi penjelasan tentang nama, peran, dan jumlah karakter dalam drama tari topeng Pyol-sandae di Yangju, drama tari topeng Pongsan, drama tari topeng Ogwangdae, dan drama tari topeng singa di Puk‟chong (Indrastuti, 2007:36). Tabel 6.1 Karakter dalam Drama Tari Topeng Pyol-sandae di Yangju No.
Nama Karakter
Peran Karakter dalam
Jumlah
Pertunjukan 1.
Sangjwa
Rahib Buddha muda dan adik terkecil
2
dari seorang bangsawan 2.
Omjung
Rahib bisulan, seorang rahib dengan
1
bisul di wajahnya 3.
Mokchung
Rahib-rahib
4
4.
Wanbo
Rahib Wanbo
1
5.
Yonip
Daun teratai atau roh (spirit) dari
1
Surga 6.
Nukkumjogi
Winker atau roh (spirit) bumi
1
7.
Sinjubu
Dokter baru atau akupuntur
1
8.
Waejangnyo
Ibu dari Sadang muda dan bidan dan
1
anak perempuan pria tua 9.
Nojang
Pendeta
1
10.
Somu
Penyihir Shaman muda dan wanita
1
simpanan bangsawan 11.
Sinjangsu
Penjual sepatu
1
12.
Wonsungi
Monyet
1
13.
Ch‟wibari
Pemboros
dan
pelayan
kedua
1
bangsawan 14.
Saennim
Man of the letters, bangsawan
1
15.
P‟odobujang
Inspektur polisi
1
16.
Maltuggi
Pelayan bangsawan
1
17.
Soetuggi
Pelayang bangsawan
1
18.
Sinharabi
Pria tua berjanggut putih
1
19.
Tokki
Anak laki-laki pria tua
1
20.
Tokki-nui
Anak perempuan pria tua
1
Karakter dalam drama tari topeng Pyol-sandae di Yangju berjumlah 20 karakter. Karakter-karakter dalam drama ini yaitu antara lain karakter rahib; roh (spirit) dari Surga yang berwujud daun teratai; roh (spirit) bumi; dokter; bidan; pendeta; shaman; bangsawan pelayan; penjual sepatu; monyet; polisi; wanita simpanan; dan lain sebagainya. Sebagian besar karakter masing-masing berjumlah satu, tetapi ada beberapa yang berjumlah lebih dari satu, seperti rahib yang berjumlah empat dan rahib Buddha termuda yang berjumlah dua. Tabel 6.2 Karakter dalam Drama Tari Topeng Pongsan No.
Nama Karakter
Peran Karakter dalam Pertunjukan
Jumlah
1.
Sangjwa
Rahib Buddha muda
4
2.
Mokchung
Rahib-rahib
8
3.
Kosa, atau Janda Kosa
Penyihir Shaman muda
6
4.
Somu
Penyihir Shaman muda
1
5.
Nojang
Pendeta
1
6.
Sinjangsu
Penjual sepatu
1
7.
Wonsungi
Monyet
1
8.
Ch‟wibari
Pemboros
1
9.
Mat Yangban
Bangsawan senior
1
10.
Sobangnim
Bangsawan kedua
1
11.
Toryongnim
Bangsawan junior
1
12.
Maltuggi
Pelayan
1
13.
Yonggam
Pria tua
1
14.
Miyalhalmi
Wanita tua, istri pria tua
1
15.
Tolmorijio
Wanita simpanan pria tua
1
16.
Namgang Noin
Pria tua dari Namgang
1
17.
Mudang
Shaman
1
18.
Saja
Singa
1
Karakter dalam drama tari topeng Pongsan lebih sedikit daripada karakter dalam drama tari topeng Pyol-sandae di Yangju, yaitu hanya 18 karakter. Keseluruhan karakter dalam drama tari ini hampir sama dengan drama tari topeng Pyol-sandae, seperti rahib; shaman; pendeta; bangsawan; dan lain sebagainya. Akan tetapi dalam drama tari ini terdapat peran binatang selain monyet yaitu singa yang dimainkan oleh karakter Saja. Jumlah keseluruhan karakter hampir sebagian besar berjumlah satu karakter kecuali rahib Buddha muda yaitu empat, rahib yang berjumlah delapan, dan penyihir shaman muda yang berjumlah enam. Tabel 6.3 Karakter dalam Drama Tari Topeng Ogwangdae No.
Nama Karakter
Peran Karakter dalam
Jumlah
Pertunjukan 1.
Mundungi Yangban
Bangsawan berpenyakit kusta
1
2.
Hangbaek Yangban
Bangsawan berwajah merah dan
1
putih 3.
Pit‟ul Yangban
Bangsawan terhuyung-huyung
1
4.
Kombo Yangban
Bangsawan dengan burik
1
5.
Komjang Yangban
Rahib berwajah hitam
1
6.
Chorijung
Rahib berwajah putih
1
7.
Won Yangban
Bangsawan tua
1
8.
Ch‟a Yangban
Bangsawan muda
1
9.
Maltuggi
Pelayan bangsawan
1
10.
P‟alsonnya
Delapan bidadari
8
11.
Yongno/Pibisae
Roh naga
1
12.
Pibi Yangban
Bangsawan yang berkutat dengan
1
Pibisae 13.
Halmi
Suami dari istri tua
1
Yangban/Yonggam 14.
Halmi
Istri tua
1
15.
Cheja Kaksi
Wanita simpanan
1
16.
Sangjwa
Rahib Buddha muda
2
17.
Pongsa
Tukang sihir buta
1
18.
Aegi
Bayi
1
19.
Chakun Sangje
Pengiring jenazah tua
1
20.
K‟un Sangje
Pengiring jenazah muda
1
21.
Mongdori
Pelayan
1
22.
P‟osu
Pemburu
1
23.
Tambo
Harimau tua
1
24.
Saja
Singa
1
Karakter dalam drama tari topeng Ogwangdae berjumlah paling banyak di antara drama tari topeng Korea yang lain yaitu 24 karakter. Karakter-karakter yang muncul hampir serupa dengan dua drama tari sebelumnya. Karakter yang berbeda adalah roh (spirit) Naga, bidadari, penyihir buta, pengantar jenazah, dan pemburu. Muncul pula karakter harimau tua yang diperankan oleh Tambo. Karakter dengan jumlah terbanyak adalah bidadari yaitu delapan dan rahib yaitu dua. Tabel 6.4 Karakter dalam Drama Tari Topeng Singa di Puk’Chong No.
Nama Karakter
Peran Karakter dalam
Jumlah
Pertunjukan 1.
Saja
Singa
2
2.
Yangban
Bangsawan
1
3.
Kkoksae
Pelayan
1
4.
Kkopch‟u
Si Punggung Bungkuk
1
5.
Mudong
Anak-anak yang menari
2
6.
Sadang
Penari perempuan
7.
Chung
Rahib
1
8.
Doctor
Dokterr Cina
1
9.
Kosa
Penyihir Shaman muda
2
4-5
Karakter dalam drama tari topeng Singa Puk‟chong berjumlah paling sedikit di antara drama lainnya yaitu sembilan karakter. Karakter yang paling utama yaitu karakter Saja (singa) yang menjadi maskot utama drama tari topeng ini. Ada pula karakter Si Punggung Bungkuk, anak-anak yang menari, penari perempuan, dan dokter Cina. Tabel di atas menunjukkan perbedaan jumlah karakter yang tampak jelas antara drama tari topeng satu dengan yang lain. Jumlah karakter dalam drama tari topeng Pongsan dan Ogwangdae adalah 30. Jumlah karakter yang paling sedikit terdapat dalam drama tari topeng singa Puk‟chong yang dipentaskan secara individu (Indrastuti, 2007:39). Telah dijelaskan sebelumnya bahwa drama tari topeng Korea mempunyai tema yang hampir sama. Hal ini menyebabkan adanya kesamaan peran yang dimainkan oleh karakterkarakter dalam drama, seperti bangsawan, pelayan, rahib, pria tua, istri tua, wanita simpanan, singa, penyihir shaman, dan lain-lain. Karakter-karakter itu berperan penting dalam menyampaikan tema drama itu sendiri. Oleh karena itu, karakter-karakter tersebut akan selalu muncul di setiap pertunjukan drama. Kesamaan peran seperti itu dapat menyebabkan nama-nama karakter dalam pertunjukan sama antara satu dengan yang lain, tetapi ada pula nama-nama yang berbeda. Kesamaan nama yang bisa dilihat dalam tabel di atas adalah karakter Maltuggi yang berperan sebagai pelayan dalam drama tari topeng Pyol-sandae di Yangju, drama tari topeng di Pongsan, dan drama tari topeng Ogwangdae. Maltuggi berperan sangat penting dalam setiap drama tari topeng Korea kecuali drama tari topeng singa di Puk‟chong yang dimainkan oleh karakter bernama Kkoksoe. Sebagai tambahan, peran rahib dalam drama Pyol-sandae di Yangju dan Pongsan dimainkan oleh karakter bernama Sangjwa dan Mokchung, sedangkan dalam drama tari topeng Ogwangdae hanya dimainkan oleh karakter bernama Sangjwa dan dalam drama tari singa Puk‟chong dimainkan oleh Chung. Peran pendeta dan pemboros dalam drama tari topeng Pyol-sandae dan drama tari topeng Pongsan dimainkan oleh karakter dengan nama yang sama yaitu Nojang dan Ch‟wibari. Kemudian peran penjual sepatu dalam drama tari topeng Pyol-sandae di Yangju dan Pongsan juga dimainkan oleh karakter dengan
nama yang sama yaitu Sinjangsu. Peran penyihir shaman dimainkan oleh karakter bernama Somu dan Kosa. Somu digunakan dalam drama tari topeng Pyol-sandae dan Pongsan, sedangkan nama Kosa digunakan dalam drama tari topeng Pongsan dan drama tari singa Puk‟chong (Indrastuti, 2007:40). Nama karakter yang sama juga digunakan untuk peran pria dan wanita tua. Dalam drama tari topeng Pongsan bernama Yonggam, sedangkan dalam drama tari topeng Ogwangdae bernama Halmi Yonggam dan Halmi Yangban. Peran wanita tua dalam drama tari topeng Pongsan dimainkan oleh karakter bernama Miyal Halmi dan di drama tari topeng Ogwangdae bernama Halmi. Karakter Saja merupakan karakter sentral dari drama tari singa Puk‟chong, yang muncul dalam drama tari topeng Korea yang lain seperti Pongsan dan Ogwangdae. Akan tetapi dalam kedua drama tari topeng ini peran Saja hanyalah sebatas peran tambahan. Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya banyak peran serupa dengan nama yang berbeda. Seperti contoh, peran wanita simpanan dimainkan oleh karakter bernama Somu di drama tari topeng Pyol-sandae, Tolmarijip di drama tari topeng Pongsan, Cheja Kaksi di drama tari topeng Ogwangdae, dan Kisaeng dalam drama tari singa Puk‟chong. Meskipun karakter itu tidak berperan penting seperti Maltuggi, peran pelayan dimainkan karakter dengan nama yang berbeda seperti Soetuggi dan Ch‟wibari dalam drama tari topeng Pyol-sandae dan Mongdori dalam drama tari topeng Ogwangdae. Tidak hanya itu, tabel di atas juga menunjukkan keberagaman nama yang diperankan oleh karakter dalam drama tari topeng Korea. Peran bangsawan dimainkan oleh karakter dengan beragam nama di drama tari topeng Ogwangdae yaitu Mungdungi Yangban, Hangbaek Yangban, Pit‟ul Yangban, Komjong Yangban, Won Yangban, Ch‟a Yangban, Pibi Yangban, dan Halmi Yangban. Hanya ada tiga nama peran bangsawan yang ditemukan dalam drama tari topeng Pongsan yaitu Mat Yangban, Sobangnim, dan Toryongnim, sementara dalam drama tari topeng Pyol-sandae, peran bangsawan dimainkan oleh karakter Saennim. Sementara itu, peran biksu juga dimainkan oleh karakter dengan nama yang beragam dalam drama tari topeng Pyol-sandae yaitu Sangjwa dan Mojung ditambah Omjung dan Wanbo. Data yag telah disimpulkan dalam tabel di atas menunjukkan adanya karakter dalam drama tari topeng Korea yang memainkan peran-peran yang berbeda. Misalnya, karakter Waejangnyo dalam drama tari topeng Pyol-sandae di Yangju juga berperan sebagai Ibu dari Sadang, bidan, dan anak dari pria tua; karakter Sonu berperan sebagai penyihir Shaman muda
dan wanita simpanan bangsawan; Ch‟wibari berperan sebagai pemboros dan pelayan kedua dari bangsawan. Berdasarkan penjelasan di atas, secara jelas terlihat banyak persamaan dari peran yang dimainkan oleh karakter-karakter dan nama-nama karakternya. Hal ini berdasar pada fakta bahwa karakter-karakter itu muncul dalam pertunjukan yang mempunyai konflik yang sama. Konflik yang muncul dalam drama tari topeng biasanya akan mengembangkan tema dari drama itu sendiri. Namun demikian, sebanyak apapun persamaan peran karakter dalam drama tari topeng, setiap drama mempunyai keunikannya tersendiri. Keunikan ini disebabkan oleh munculnya karakter tambahan yang berbeda satu dengan yang lain. Ini mengacu pada keragaman alur yang berkembang dalam cerita. Karakter tambahan yang menentukan karakter setiap drama tari topeng ini bisa ditemukan dalam drama tari topeng Pyol-sandae di Yangju dan Ogwangdae. Ada beberapa karakter tambahan yang tidak ditemukan di drama tari topeng Pongsan, Ogwangdae dan drama tari singa Puk‟chong, seperti Yonip (daun teratai atau spirit dari surga), Nunkkumjogi (spirit dari bumi), Sinjubu (dokter baru atau akupuntur), P‟odobujang (inspektur polisi), dan lain sebagainya. Ada pula karakter yang tidak ditemukan dalam drama tari topeng Pyolsandae, Pongsan dan Puk‟chong yaitu P‟alsonnyo (delapan bidadari), Yongno atau Pibisae (spirit naga), Pongsa (penyihir buta), Aegi (bayi), P‟oru (pemburu) dan lain-lain. Tema kritik sosial yang terkandung dalam mayoritas drama tari topeng Korea juga ditunjukkan dari karakter yang dikritik. Oleh karena itu karakter bangsawan dan rahib dideskripsikan sebagai orang-orang berperilaku dan bertabiat buruk. Dengan demikian, karakter dari drama tari topeng mewakili unsur-unsur yang digunakan untuk mendukung tema yang diusung (Indrastuti, 2007:43).
6.4
Alur Drama Tari Topeng Korea Alur drama tari topeng Korea mempunyai beberapa perbedaan dan persamaan. Tabel di
bawah ini memaparkan urutan alur dari drama tari topeng Pyol-sandae di Yangju, drama tari topeng Pongsan, drama tari topeng Ogwangdae, dan drama tari topeng Puk‟chong. Tabel 6.5 Urutan Alur Cerita Drama Tari Topeng Pyol-sandae di Yangju Bagian Pembuka
Rangkuman Isi Cerita Ritual keagamaan penjaga di taman
I
Tarian Rahib Buddha muda
II
Rahib bisulan dan Rahib muda
III
Rahib Buddha dan Rahib bisulan
IV
Daun Teratai atau roh (spirit) dari Surga dan Winker atau roh (spirit) dari bumi
V
Delapan rahib Buddha Adegan 1: Adegan pembacaan doa Buddha Adegan 2: Adegan akupuntur Adegan 3: Tarian drum dari pelacur muda Sadang
VI
Pendeta tua Adegan 1: Adegan rahib yang ingkar Adegan 2: Adegan penjual sepatu Adegan 3: Adegan pemboros
VII
The Man of the Letters Adegan 1: Para pelayan yang mencari penginapan malam Adegan 2:Adegan inspektur polisi, bangsawan, dan wanita simpanan
VIII Penutup
Pria tua berjanggut putih dan istrinya Ritual pemakaman istri yang meninggal dunia
Alur cerita drama tari topeng Pyol-sandae di Yangju berjumlah delapan bagian ditambah dengan adegan pembuka dan penutup. Drama tari topeng ini dibuka dengan adegan ritual keagamaan penjaga di taman dan dilanjutkan dengan tarian Rahib muda. Pada adeganadegan berikutnya satu persatu karakter muncul. Pada bagian ke-5 terdapat tiga bagian sedangkan bagian ke-7 terdapat dua bagian. Drama tari topeng ini ditutup oleh adegan ritual pemakaman istri dari pria tua. Tabel 6.6 Urutan Alur Cerita Drama Tari Topeng Pongsan Bagian
Rangkuman Isi Cerita
I
Tarian empat Rahib Buddha muda
II
Tarian delapan Rahib Buddha Adegan 1: Tarian Rahib Buddha Adegan 2: Adegan drum
III
Tarian dan Nyanyian dari Sadang dan Kosa
IV
Tarian pendeta tua
Adegan 1: Tarian Rahib yang ingkar Adegan 2: Tarian penjual sepatu Adegan 3: Tarian pemboros V
Tarian singa
VI
Tarian bangsawan
VII
Adegan pasangan tua
Alur drama tari topeng Pongsan berjumlah tujuh bagian dan tidak terdapat pembuka dan penutup. Adegan pertama yaitu tarian empat rahib Buddha muda dan dilanjutkan oleh adegan-adegan yang sama dengan adegan dalam drama tari topeng Pyol-sandae ditambah tarian dan nyanyian Sadang dan Kosa, dan juga tarian singa. Drama tari topeng ini ditutup oleh adegan pasangan tua. Tabel di atas menyimpulkan bahwa urutan drama tari topeng Pyol-sandae dan Pongsan memiliki kemiripan. Hal ini disebabkan karena drama tari topeng tersebut mengikuti sistem drama Sandae-dogam. Namun demikian jumlah bagian dalam drama tari topeng Pyol-sandae adalah delapan bagian sedangkan drama tari topeng Pongsan hanya berjumlah tujuh bagian. Dengan demikian pertunjukan adegan dalam drama tari topeng Pyol-sandae di Yangju lebih lengkap daripada drama tari topeng Pongsan. Drama tari topeng Pyol-sandae di Yangju juga mempunyai alur yang lebih lengkap karena adanya pembuka, isi, dan penutup. Melihat jumlah adegan drama tari topeng Pyol-sandae di Yangju yang lebih banyak daripada drama tari topeng Pongsan, kemungkinan drama tari topeng ini telah muncul sebelum drama tari topeng Pongsan. Adegan dari drama tari topeng Pongsan sangat dipengaruhi oleh adegan dalam drama tari topeng Pyol-sandae di Yangju. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa kedua drama tari topeng ini mempunyai hubungan intertekstual yang membuat keduanya dikategorikan dalam sistem Sandae-dogam. Persamaan antara kedua drama tari topeng ini dapat ditemukan dalam adegan tarian rahib Buddha muda (adegan pertama dalam drama tari topeng Pyol-sandae di Yangju dan Pongsan); adegan tarian Sadang (adegan kelima dalam drama tari topeng Pyol-sandae di Yangju dan adegan ketiga dalam drama tari topeng Pongsan); adegan tarian delapan rahib Buddha (adegan kelima dalam drama tari topeng Pyolsandae di Yangju dan adegan kedua dalam drama tari topeng Pongsan); adegan tarian pendeta tua (adegan keempat dalam drama tari topeng Pyol-sandae di Yangju dan adegan keempat dalam drama tari topeng Pongsan); adegan pasangan tua (adegan kedelapan dalam drama tari topeng Pyol-sandae di Yangju dan adegan ketujuh dalam drama tari topeng Pongsan).
Meskipun terdapat banyak kesamaan adegan dalam kedua drama tari topeng ini, adegan yang sama selalu berada dalam urutan yang sama, kecuali adegan kedua dan adegan penutup. Meskipun ditemukan banyak persamaan dalam drama tari topeng Pyol-sandae di Yangju dan drama tari topeng Pongsan, kedua drama tari topeng ini juga mempunyai perbedaan yang masing-masing memberikan warna dan karakter yang unik dalam drama tari tersebut. Perbedaannya bisa ditemukan dalam adegan daun teratai atau roh (spirit) dari Surga dan Winker atau roh (spirit) bumi (adegan keempat), adegan Rahib bisulan dan Rahib muda (adegan kedua), Rahib Budddha dan Rahib bisulan (adegan ketiga), dan adegan the man of letters (adegan ketujuh) dari drama tari topeng Pyol-sandae di Yangju. Perbedaan antara drama tari topeng Pongsan dan Pyol-sandae jelas terlihat pada adegan kelima yaitu adegan tarian singa (Indrastuti, 2007:46). Tabel 6.7 Urutan Alur Cerita Drama Tari Topeng Ogwangdae di T’ongyong Bagian
Rangkuman Isi Cerita
I
Tarian bangsawan berpenyakit kusta
II
Adegan satir (sindiran) oleh Yangban (bangsawan)
III
Adegan Yongno (roh naga)
IV
Adegan Nongch‟an Dalam adegan ini, Yangban dan Kisaeng minum-minum dan bersenang-senang
V
Tarian singa
Alur drama tari topeng Ogwangdae di T‟ongnyong berjumlah lima bagian. Drama tari topeng ini dibuka dengan tarian bangsawan berpenyakit kusta dan dilanjutkan dengan bagianbagian selanjutnya termasuk adegan dari Yongno yaitu roh naga, kemudian ada pula adegan Nogch‟an yaitu Yangban dan Kisaeng bersenang-senang. Drama tari topeng ini ditutup dengan tarian singa. Tabel 6.8 Urutan Alur Cerita Drama Tari Topeng Ogwangdae di Kosong Bagian
Rangkuman Isi Cerita
I
Tarian bangsawan berpenyakit kusta
II
Adegan Ogwangdae (lima aktor)
III
Sungmu (Tarian rahib Buddha)
IV
Adegan Yongno (roh naga)
V
Adegan wanita simpanan
Alur cerita dalam drama tari topeng Ogwangdae di Kosong mempunyai jumlah bagian yang sama dengan drama tari topeng Ogwangdae di T‟ongyong yaitu lima bagian. Drama tari topeng di Kosong dibuka dengan tarian bangsawan berpenyakit kusta dan dilanjutkan oleh adegan Ogwangdae yaitu adegan lima aktor, kemudian dilanjutkan dengan bagian Sungmu atau tarian rahib Buddha. Adegan Yongno (roh naga) menjadi adegan selanjutnya yang kemudian ditutup oleh adegan wanita simpanan. Tabel 6.9 Urutan Alur Cerita Drama Tari Topeng Ogwangdae di Masan Bagian
Rangkuman Isi Cerita
I
Tarian Obangsinjangmu
II
Sangjwa dan Jangnojung
III
Tarian bangsawan berpenyakit kusta
IV
Adegan satir (sindiran) oleh Yangban (bangsawan)
V
Adegan Yongno (roh naga)
VI
Halmi dan Halmi Yonggam
VII
Tarian Singa
Alur cerita drama tari topeng Ogwangdae di Masan berjumlah lebih banyak daripada drama tari topeng Ogwangdae yang lain yaitu tujuh bagian. Drama tari topeng ini dimulai dengan tarian Obangsinjangmu dan dilanjutkan oleh adegan Sangjwa dan Jangnojung, kemudian tarian bangsawan berpenyakit kusta yang dilanjutkan dengan adegan satir oleh Yangban. Adegan selanjutnya adalah adegan Yongno (roh naga) dan dilanjutkan oleh adegan Halmi dan Halmi Yonggam. Drama tari topeng ini ditutup oleh tarian singa. Drama tari topeng Ogwangdae berada dalam kategori yang berbeda jika dibandingkan dengan drama tari topeng Pyol-sandae di Yangju dan drama tari topeng Pongsan yang berada dalam seri Sandae-dogam Kuk. Perbedaan ini menciptakan adegan yang berbeda dalam alur cerita. Tabel di atas menjelaskan bahwa drama tari topeng Ogwangdae di T‟ongyong, Kosong, dan Masan mempunyai persamaan dalam adegan-adegannya. Namun demikian, ada pula perbedaan antara ketiga drama tari topeng Ogwangdae dalam jumlah bagiannya. Drama tari topeng Ogwangdae di Masan mempunyai jumlah bagian terbanyak yaitu tujuh bagian dan alurnya merupakan alur terpanjang jika dibandingkan dengan drama tari topeng Ogwangdae di T‟ongyong dan Kosong yang hanya mempunyai lima bagian. Jelas terlihat bahwa lima bagian dalam drama tari topeng Ogwangdae di T‟ongyong dan Kosong juga muncul dalam bagian di drama tari topeng Ogwangdae di Masan. Dengan kata lain, drama tari topeng
Ogwangdae di T‟ongyong dan Kosong terlihat seperti hasil fragmentasi dari Ogwangdae di Masan. Bagian I dan II dalam Ogwangdae di Masan tidak muncul baik dalam adegan Ogwangdae di T‟ongyong dan Kosong, sedangkan bagian II dari Ogwangdae di Masan yang berupa tarian bangsawan berpenyakit kusta menjadi bagian I dari Ogwangdae di T‟ongyong dan Kosong. Perbedaan yang lain yaitu bagian pembuka dari masing-masing drama tari topeng Ogwangdae. Adegan I dalam Ogwangdae di T‟ongyong dan Kosong adalah tarian berpenyakit kusta sedangkan adegan I dalam Ogwangdae di Masan adalah tarian Obangsinjangmu. Ogwangdae di Masan dan T‟ongyong diakhiri dengan tarian singa sedangkan di Kosong diakhiri dengan adegan wanita simpanan. Dengan demikian, urutan bagian dalam Ogwangdae di Kosong berbeda dengan Ogwangdae di Masan (Indrastuti, 2007:48). Telah dijelaskan di atas bahwa Ogwangdae di Masan mempunyai bagian terbanyak dan alur terpanjang dibandingkan dengan Ogwangdae di T‟ongyong dan Kosong. Sehingga terdapat kemungkinan bahwa Ogwangdae di Masan merupakan bentuk asli dari drama tari Ogwangdae yang kemudian mempengaruhi drama tari topeng Ogwangdae yang lain seperti di T‟ongyong dan Kosong. Tabel 6.10 Urutan Alur Cerita Drama Tari Topeng Singa di Puk’chong Bagian
Rangkuman Isi Cerita
I
Madangnori (pembuka dengan tarian dan nyanyian)
II
Tarian singa
Drama tari topeng singa di Puk‟chong hanya terdiri dari dua bagian yaitu Madangnori dan Tarian singa. Drama tari singa di Puk‟chong mempunyai karakteristik yang berbeda jika dibandingkan dengan drama tari topeng Korea lainnya. Hal ini disebabkan karena drama tari topeng ini hanya terdiri dari tarian singa yang menjadi unsur utamanya. Dengan demikian drama tari topeng ini mempunyai adegan yang paling sedikit di antara yang lain (Indrastuti, 2007:49).
6.5
Drama Tari Topeng Korea dalam Dimensi Seni Pertunjukan Drama tari topeng Korea dalam dimensi seni pertunjukan dibagi menjadi tiga yaitu
dalam hal simbol binatang, kostum yang digunakan, dan instrumen musik yang mengiringi drama tari topeng Korea. Dalam drama tari topeng Korea simbol binatang dapat ditemukan dalam karakter-karakternya, sedangkan kostum yang digunakan dalam drama tari topeng
Korea juga memiliki arti tersendiri. Di bawah ini merupakan penjelasan mengenai ketiga hal yang tidak dapat dipisahkan dalam drama tari topeng Korea.
6.5.1 Simbol Binatang Terdapat beberapa simbol binatang ditemukan dalam drama tari topeng Korea yang dibuktikan dalam karakter-karakternya (Indrastuti, 2009:49). Ada karakter binatang yang mendukung pemeran utama dalam drama tari topeng sebagai karakter tambahan dalam pertunjukan. Nama-nama karakter binatang dan jenis binatangnya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 6.5 Simbol Binatang dalam Drama Tari Topeng Korea Nama Karakter Binatang
Jenis Binatang
Tambo
Harimau tua
Saja
Singa
Wonsungi
Monyet
Yongno
Ular besar
Karakter singa berperan penting dalam drama tari topeng. Sebagian besar drama memasukkan tokoh singa dalam adegan terpisah. Adegan yang terpisah dari tarian singa melambangkan salah satu unsur adegan dalam drama tari topeng. Akan tetapi karakter Saja memainkan peran dominan dalam pertunjukan drama tari topeng Puk‟chong. Bahkan drama tari topeng Puk‟chong bisa dikatakan sebagai tari singa tunggal yang dilakukan tanpa adegan lain. Tidak hanya karakter Saja, ada pula karakter binatang lain dalam drama tari Ogwangdae seperti Tambo yang melambangkan harimau tua dan Yongno yang melambangkan ular besar. Jika tarian Saja dimasukkan dalam adegan tunggal, karakter Yongno juga bermain di adegan tunggal dalam drama tari topeng Ogwangdae termasuk Ogwangdae di T‟ongyong, Kosong, dan Masan (Indrastuti, 2007:50). Wonsungi memerankan karakter monyet dalam drama tari topeng Pyol-sandae di Yangju dan drama tari topeng Pongsan. Namun karakter ini tidak memainkan peran yang cukup penting. Karakter ini hanya menjadi karakter tambahan dalam pertunjukan drama tari topeng.
6.5.2 Kostum Penari drama tari topeng Korea memakai pakaian tradisional yang disebut Hanbok. Posisi dan peran masing-masing penari dapat ditentukan dari atribut yang mereka kenakan. Contohnya adalah bangsawan yang biasanya membawa kipas, tongkat, dan memakai topi bangsawan yang disebut jenongjagwa. Sebaliknya, Maltuggi selalu memakai topi petani dengan tali yang terlalu panjang melambangkan rakyat biasa (Indrastuti, 2007:51). Salah satu properti yang tidak dapat dipisahkan dari drama tari topeng Korea tentu saja adalah topeng. Pada masa sekarang, sebagian besar topeng terbuat dari kertas atau labu. Pada awalnya selain kertas, topeng juga dibuat dari bahan-bahan seperti kayu, kain, wol, kulit, tanah dan bamboo. Topeng yang dipakai bukan hanya sebatas aksesoris tetapi juga mempunyai fungsi tersendiri. Warna topeng juga memiliki arti simbolis yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 6.6 Arti Simbolis dari Warna dalam Drama Tari Topeng Korea Warna
Arah
Biru
Timur
Merah
Selatan
Putih
Barat
Hitam
Utara
Kuning
Tengah
Tabel di atas memaparkan dengan jelas bahwa warna topeng dalam drama tari topeng mempunyai fungsi khusus. Warna-warna tersebut adalah simbol dari lima arah kompas. Hal ini bisa dilihat dari adegan-adegan dalam drama tari topeng yaitu ketika rahib tua (Nojang) yang memakai topeng berwarna hitam, dikalahkan oleh pemboros Ch‟wibari, yang memakai topeng merah; atau ketika wanita tua (Miyalhalmi), yang memakai topeng berwarna hitam dan merupakan istri tua, dikalahkan oleh wanita simpanan muda. Mengamati ukuran topeng yang dipakai dalam drama tari topeng dianggap sangat menarik karena beberapa faktor, seperti ukuran topeng yang lebih besar dari ukuran wajah sesungguhnya. Tidak hanya ukurannya tetapi juga motif dan pola dari topeng tersebut. Terkadang ada juga banyak topeng yang terlihat aneh dan lucu. Seperti contoh, topeng bangsawan selalu mempunyai bentuk asimetris dan terlihat tampan. Hal ini menunjukkan tabiat dan tingkah laku dari bangsawan Yangban, terutama ketika berbicara, mereka selalu mengejek rakyat biasa dan mengatakan hal-hal yang tidak dapat dipercaya. Terlebih lagi
topeng Mundungi Yangban (bangsawan berpenyakit kusta) yang penuh dengan bengkak dan memar akibat penyakitnya, menyimbolkan tingkah laku buruk bangsawan tersebut. Ini menunjukkan bahwa parodi dalam drama topeng merepresentasikan kehidupan nyata yang sebenarnya terjadi. Parodi topeng yang dipakai dalam drama tari topeng menunjuk pada keangkuhan bangsawan dan bertujuan untuk mengingatkan mereka. Topeng yang dipakai di Yangju tampak lebih realistis daripada yang digunakan di Pongsan. Topeng yang paling penting di Pongsan adalah delapan Mokchungtal, Mojangtal dan Ch‟wibarital. Topeng-topeng ini berwujud iblis. Topeng dalam drama Pyol-sandae di Yangju lebih realistis daripada topeng iblis yang tidak realistis. Topeng itu disebut „Mok‟ karena keidentikan dengan versi aslinya, dan sedikit serupa dengan topeng yang digunakan untuk pengusiran setan yang berasal dari daerah Tibet.
6.5.3 Instrumen Musik Adanya unsur tarian dalam drama tari topeng Korea tentunya memerlukan musik untuk mengirinya. Tarian dan musik tidak dapat dipisahkan. Ada beberapa instrumen musik yang digunakan dalam drama tari topeng.
Nama dan bentuk-bentuk instrumen musik yang
digunakan akan dipaparkan dalam tabel di bawah ini. Tabel 6.7 Instrumen Musik dalam Drama Tari Topeng Korea Nama Instrumen Musik
Bentuk
P‟iri
Alat musik bamboo
Chottae
Flute terbuat dari bambu melintang
Haegum
Alat musik seperti biola yang lebih besar
Changgo
Drum berbentuk jam pasir dengan dua permukaan
Puk
Drum barrel
Kkaenggwari
Gong kecil
Dalam drama tari topeng Pyol-sandae di Yangju, instrumen musik dimainkan untuk mengiringi tarian. Keseluruhan ensembel dinamakan “Samhyon yukkak”, terdiri dari dua p‟irim satu haegum, satu changoo, dan satu puk. Dalam beberapa kesempatan juga ditambahkan satu kkaenggwari. Namun terkadang hanya p‟iri dan changgo yang dimainkan untuk mengiringi tarian (Indrastuti, 2007:54).
Metode pertunjukan dalam drama tari topeng di Pongsan hampir sama dengan Pyolsandae, dengan menggunakan ensembel “Samhyon yukkak” yang terdiri dari p‟iri, chotate, puk, changgo, dan haegum. Penjelasan di atas banyak memberikan gambaran mengenai drama tari topeng Korea secara etnografis. Secara keseluruhan, tujuan diciptakannya drama tari topeng Korea adalah untuk membuktikan adanya kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam masyarakat. Jika dilihat dari dimensi sastra, tema pokok dari drama tari topeng Korea adalah kritik sosial yang mengkritik hal-hal buruk yang dilakukan oleh masyarakat dari kalangan atas (Indrastuti, 2007:130). Tema dalam drama tari topeng ini diangkat melalui beberapa isu mengenai keingkaran rahib, kalangan atas dengan hak-hak istimewa, dan misteri kehidupan sehari-hari rakyat biasa yaitu hubungan segitiga antara suami, istri, dan wanita simpanan, dan juga kekuasaan kaum laki-laki. Isu-isu ini menjadi sangat dominan karena kondisi sosiobudaya yang terjadi pada masa itu. Dengan demikian drama tari topeng dapat disebut sebagai cerminan dari kenyataan yang sesungguhnya pada masa itu. Karena tema yang diangkat adalah kritik sosial, maka tokoh-tokoh yang merupakan tokoh utama adalah orang-orang yang menjadi target dari kritik tersebut, seperti kalangan bangsawan dan rahib yang ingkar. Namun demikian, meskipun tema, isu, dan karakter utama mempunyai kesamaan, bukan berarti setiap drama tari topeng Korea mempunyai kesamaan dalam teknik menyusun bagianbagian drama. Seperti contoh, drama tari topeng Korea yang termasuk dalam kategori Sandae-dogam Kuk (drama tari topeng Pyol-sandae di Yangju dan drama tari topeng Pongsan) menggunakan teknik penyusunan bagian yang tidak sama dengan drama tari topeng Ogwangdae (Ogwangdae di Kosong, T‟ongyong, dan Masan). Dalam dimensi seni pertunjukan, simbol binatang, kostum, dan instrumen musik digunakan untuk mendukung tema yang diangkat dalam drama tari topeng Korea. Karakter binatang “liar” digunakan dalam pertunjukan drama untuk menyimbolkan para pelindung dan pembela masyarakat kelas bawah. Unsur kostum dan topeng dalam drama tari topeng Korea digunakan untuk mengekspresikan kritik yang ironis. Tidak hanya itu, instrumen musik yang dimainkan mengiringi pertunjukan drama juga terkesan sederhana, tidak terlalu kompleks, dan praktis , yang biasanya digunakan dalam pertunjukan tradisional rakyat (Indrastuti, 2007:131). Aktivitas 1. Mahasiswa berdiskusi dengan kelompoknya dan memberikan komentar,
2. Dosen memberikan pengayaan dengan alat bantu alat bantu papan tulis, laptop, dan LCD, 3. Tanya jawab. Tugas dan/atau latihan Mahasiswa diminta untuk referensi lain yang berkaitan dengan bab VI yaitu drama tari topeng Korea dan mempresentasikannya dengan kelompok masing-masing. Latihan 1.
Jelaskan secara singkat gambaran umum tentang drama tari topeng Korea?
2.
Sebutkan beberapa jenis dari drama tari topeng Korea!
3.
Sebutkan karakter-karakter yang muncul di drama tari topeng Singa di Puk‟chong!
4.
Apakah arti dari simbol warna dalam topeng yang digunakan dalam drama tari topeng Korea?
Rangkuman Penjelasan di atas banyak memberikan gambaran mengenai drama tari topeng Korea secara etnografis. Secara keseluruhan, tujuan diciptakannya drama tari topeng Korea adalah untuk membuktikan adanya kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam masyarakat. Jika dilihat dari dimensi sastra, tema pokok dari drama tari topeng Korea adalah kritik sosial yang mengkritik hal-hal buruk yang dilakukan oleh masyarakat dari kalangan atas. Tema dalam drama tari topeng ini diangkat melalui beberapa isu mengenai keingkaran rahib, kalangan atas dengan hak-hak istimewa, dan misteri kehidupan sehari-hari rakyat biasa yaitu hubungan segitiga antara suami, istri, dan wanita simpanan, dan juga kekuasaan kaum laki-laki. Dengan demikian drama tari topeng dapat disebut sebagai cerminan dari kenyataan yang sesungguhnya pada masa itu. Namun demikian, meskipun tema, isu, dan karakter utama mempunyai kesamaan, bukan berarti setiap drama tari topeng Korea mempunyai kesamaan dalam teknik menyusun bagian-bagian drama. Seperti contoh, drama tari topeng Korea yang termasuk dalam kategori Sandae-dogam Kuk (drama tari topeng Pyol-sandae di Yangju dan drama tari topeng Pongsan) menggunakan teknik penyusunan bagian yang tidak sama dengan drama tari topeng Ogwangdae (Ogwangdae di Kosong, T‟ongyong, dan Masan). Dalam dimensi seni pertunjukan, simbol binatang, kostum, dan instrumen musik digunakan untuk mendukung tema yang diangkat dalam drama tari topeng Korea. Karakter binatang “liar” digunakan dalam pertunjukan drama untuk menyimbolkan para pelindung dan pembela masyarakat kelas bawah. Unsur kostum dan topeng dalam drama tari topeng
Korea digunakan untuk mengekspresikan kritik yang ironis. Tidak hanya itu, instrumen musik yang dimainkan mengiringi pertunjukan drama juga terkesan sederhana, tidak terlalu kompleks, dan praktis , yang biasanya digunakan dalam pertunjukan tradisional rakyat (Indrastuti, 2007:131).
PENUTUP a. Penilaian 1.
Perkuliahan dikatakan berhasil jika mahasiswa dapat memahami keseluruhan isi bab ini, terutama dalam memahami drama tari topeng Korea.
2.
Rentang nilai adalah 45- <80.
b. Tindak lanjut Mahasiswa yang belum dapat memahami isi bab ini diharapkan dapat mempelajari lebih lanjut.
Evaluasi yang direncanakan
Pembelajaran perkuliahan ini dikatakan berhasil apabila mahasiswa dapat No
Butir kemampuan
Indikator keberhasilan Butir penilaian
1
Mampu menyampaikan materi hasil diskusi penyajian menarik kelompok tentang drama tari topeng Korea
Poin maks. 10
penyajian sistematis penyajian jelas dan meyakinkan
2
Mampu menyampaikan materi hasil diskusi penyajian menarik
10
kelompok tentang drama tari topeng Korea dalam penyajian sistematis dimensi sastra 3
penyajian jelas dan meyakinkan
Mampu menyampaikan materi hasil diskusi penyajian menarik kelompok tentang drama tari topeng Korea dalam penyajian sistematis dimensi pertunjukan
penyajian jelas dan meyakinkan
10
Matrix Penilaian Materi/isi
Drama
tari
Ranah Kognitif
topeng
C1
C2
1
1
C3
C4
C5
C6
1
Ranah
Ranah
Metode
Tujuan Khusus
Afektif
Psikomotorik
Penilaian
Pembelajaran
x
M/P/A
Presentasi
D1, D4
Korea
Keterangan: I
: Imitation berarti meniru.
M : Manipulation, yakni melakukan suatu modifikasi. P : Precision, yakni melakukan tindakan dengan penuh ketepatan. A : Articulation, yakni mampu mengekspresikan/memberikan penjelasan secara tepat. N : Naturalisation, yakni keterampilan yang diperoleh menjadi kebiasaan yang terinternalisasi dalam diri.
C1 : Pengetahuan : mengenali, mendiskripsikan, menamakan, mendifinisikan, memasangkan, memilih. C2 : Pemahaman : mengklasifikasikan, menjelaskan, mengintisarikan, meramalkan, membedakan. C3 : Aplikasi : mendemonstrasikan, menghitung, menyelesaikan, menyesuaikan, mengoperasikan, menghubungkan, menyusun. C4 : Analisis : menemukan perbedaan, memisahkan, membuat diagram, membuat estimasi, menyusun urutan, mengambil kesimpulan. C5 : Sintesis : menggabungkan, menciptakan, merumuskan, merancang, membuat komposisi, menyusun kembali, merevisi. C6 : Evaluasi : menimbang, mengkritik, membandingkan, memberi alasan, menyimpulkan, memberi dukungan.
TES FORMATIF
1.
Pengaruh apa sajakah yang memperngaruhi Sastra Korea klasik?
2.
Sebutkan perbedaan antara Sastra Klasik dan Modern Korea!
3.
Sebutkan tiga periode dalam Sastra Modern Korea!
4.
Sebutkan 5 sastrawan Korea dengan masing-masing 2 contoh karyanya?
5.
Jelaskan biografi singkat dari Kim Sowol dan tuliskan satu puisinya yang paling terkenal!
6.
Apakah yang disebut dengan pansori, arirang, dan gut?
7.
Sebutkan 5 cerita pansori yang masih dipentaskan hingga saat ini!
8.
Jelaskan peran shaman dalam upacara gut secara singkat!
9.
Apakah yang disebut dengan hyangga?
10. Apakah yang disebut dengan sijo? 11. Tuliskan beberapa judul puisi modern yang Anda ketahui! 12. Apakah yang disebut dengan mitologi dan legenda? 13. Sebutkan beberapa contoh dari dongeng! 14. Jelaskan apa yang dimaksud dengan fabel beserta contoh-contohnya! 15. Jelaskan secara singkat gambaran umum tentang drama tari topeng Korea? 16. Sebutkan beberapa jenis dari drama tari topeng Korea! 17. Sebutkan karakter-karakter yang muncul di drama tari topeng Singa di Puk‟chong! 18. Apakah arti dari simbol warna dalam topeng yang digunakan dalam drama tari topeng Korea? 19. Jelaskan alur cerita drama tari topeng Pyol-sandae di Yangju! 20. Apakah peran singa dalam drama tari topeng singa di Pukch‟ong?
KUNCI JAWABAN TES FORMATIF
1.
Ajaran Taoisme, Konfusianisme, Buddhisme, dan Konghuchu.
2.
Sastra Klasik mendapatkan pengaruh dari ajaran taoisme, konfusianisme, buddhisme, dan konghuchu, sedangkan Sastra Modern mendapatkan pengaruh Barat. Kemudian Sastra Klasik ditulis menggunakan huruf Cina, sedangkan Sastra Modern menggunakan huruf hangeul.
3.
Periode sastra pencerahan, periode sastra pada zaman penjajahan Jepang, dan periode sastra divisi nasional.
4.
Kim Ok (Nyanyian Musim Semi dan Pasir Emas), Byon Yongno (Pikiran Korea dan Hujan Musim Semi), Kim Sowol (Azalea dan Matahari Tenggelam di Puncak Gunung), Han Yongun (Keheningan Cinta dan Penyerahan), dan Lee Sanghwa (Sanghwa dan Gowol dan The Light of Dawn).
5.
Kim Sowol adalah penyair Korea yang lahir dengan nama Kim Chongsik di Kwaksan, Provinsi Pyong‟an Utara pada tahun 1902. Ketika masih berumur 17 tahun, Kim sudah menciptakan puisi-puisi yang sangat terkenal. Puisinya yang paling terkenal adalah Azalea (1922).
6.
Pansori adalah lagu panjang yang dinyanyikan oleh penyanyi profesional. Arirang adalah lagu daerah yang sangat terkenal di Korea. Arirang termasuk dalam jenis lagu daerah yang dinyanyikan tanpa mempunyai fungsi yang spesifik, tetapi dinyanyikan untuk tujuan tertentu. Gut adalah upacara ritual yang dilakukan oleh shaman (cenayang) di Korea.
7.
Chunhyangga, Simcheongga, Heungboga, Sugungga, dan Jeokbyeokga.
8.
Shaman adalah seorang mediator spiritual yang dapat menghubungkan dua dunia dan mengadakan upacara-upacara ritual tertentu kemudian shaman juga merupakan seseorang yang dapat menyelesaikan masalah-masalah duniawi dengan menggunakan kekuatan dewa-dewa dari dunia lain. Dalam upacara gut shaman akan berinteraksi secara langsung dengan roh dan menunjukkan kekuatan supernatural yang didapat dari roh tersebut. Seorang shaman berperan sebagai penghubung antara manusia dengan makhluk gaib, dan menyampaikan keinginan dari manusia yang akan dikabulkan oleh roh itu.
9.
Hyangga adalah bentuk puisi formal yang muncul pada masa Tiga Kerajaan (5SM668M).
10. Sijo adalah puisi yang muncul pada akhir masa Kerajaan Goryeo dan menjadi sangat populer pada masa Kerajaan Joseon.
11. 님의 친목, 진달래꽃, 산유화, dan 고요한 귀향. 12. Mitologi berarti cerita rakyat yang mendeskripsikan tentang penciptaan dunia dan alam. Legenda adalah cerita yang berisi tentang fakta-fakta sejarah. 13. “Menantu yang Bodoh”, “Pembual Membalas Budi”, dan “Penyihir Gunung dan Raja Naga”. 14. Fabel adalah cerita yang mengisahkan tentang kehidupan binatang yang berisi pesan moral. Contohnya adalah “Harimau dan Kesemek” dan “Menantu Laki-Laki Si Tikus”. 15. Terdapat berbagai macam jenis drama tari topeng Korea. Secara umum, drama tari topeng Korea dapat dibagi menjadi dua kategori (the Korean National Commission for Unesco, 1986:34). Kategori yang pertama adalah tari yang ditampilkan dalam upacara kuil di desa yang disebut Sonang-je. Beberapa tari yang termasuk dalam Sonang-je adalah drama ritual Pyolsin dari Hahoe, drama tari topeng Kwano (pembantu laki-laki pegawai pemerintah) yang diselenggarakan pada hari kelima bulan kelima kalender bulan, drama tari topeng Pyol-sandae di Yangju dan Songp‟a yang ditampilkan di Provinsi Kyonggi dan merupakan bagian dari sistem klasifikasi drama Sandae-dogam, drama tari topeng Pongsang dan Kangnyong yang ditampilkan di Provinsi Hwanghae, drama “lima aktor” T‟ongyong dan Kosong yang ditampilkan di Provinsi Kyongsang Selatan. Kategori kedua hanya terdiri dari drama tari singa Pukch‟ong yang merupakan drama legenda yang ditampilkan sebagai bagian dari festival tahun baru lunar. Drama tari ini berasal dari Benua Asia. Drama tari topeng Sonang-je merupakan tari topeng yang berasal dari daerah pedesaan dan mempunyai banyak karakteristik dari “drama ritual musiman”. Drama tari ini menunjukkan ciri khas dari tari topeng yang asli. Tari topeng ini dan tari topeng yang ditampilkan dalam ritual Shaman dapat dianggap berbeda dengan tari topeng Sandae-dogam yang merupakan jenis tari provinsi. 16. Drama tari topeng Pyol-sandae di Yangju, drama tari topeng di Pongsan, drama tari topeng Ogwangdae di Tongyong, Kosong, dan Masan, drama tari topeng singa di Puk‟chong. 17. Saja, Yangban, Kkoksae, Kkopch‟u, Mudong, Sadang, Chung, Doctor, dan Kosa. 18. Biru berarti timur, merah berarti selatan, putih berarti barat, hitam berarti utara, dan kuning berarti tengah. 19. Alur cerita drama tari topeng Pyol-sandae di Yangju berjumlah delapan bagian ditambah dengan adegan pembuka dan penutup. Drama tari topeng ini dibuka dengan adegan ritual keagamaan penjaga di taman dan dilanjutkan dengan tarian Rahib muda. Kemudian terdapat adegan rahib bisulan dan rahib muda, dilanjutkan dengan adegan rahib Buddha
dan rahib bisulan. Adegan berikutnya merupakan adegan Daun Teratai atau roh (spirit) dari Surga dan Winker atau roh (spirit) dari bumi. Kemudian pada bagian ke-5 yang merupakan adgena delapan rahib Buddha terdapat tiga bagian yaitu adegan pembacaan doa Buddha, adegan akupuntur, dan tarian drum dari pelacur muda Sadang. Sementara bagian ke-6 yang merupakan adegan pendeta tua terdapat tiga bagian yaitu adegan rahib yang ingkar, adegan penjual sepatu, dan adegan pemboros. Bagian ke-7 adalah adegan the man of the letters yang terdiri dari dua bagian yaitu adegan para pelayan yang mencari penginapan malam dan adegan inspektur polisi, bangsawan, dan wanita simpanan. Bagian berikutnya adalah adegan pria tua berjanggut putih dan istrinya, yang kemudian ditutup oleh adegan ritual pemakaman istri dari pria tua. 20. Singa dianggap sebagai raja binatang sehingga keberadaannya dipercaya dapat menakuti roh jahat dan membawa kedamaian di desa.
DAFTAR PUSTAKA
조병화. (tanpa tahun). 고요한 귀향. 사화시학사. Indrastuti, Novi Siti Kussuji. 2007. “The Korean and Indonesian Mask Dance Dramas in the Dimension of Literature and Performance Art: Cross-Cultural Semiotic Study”. Disertasi Kyungnam University Masan. Tidak diterbitkan. Indrastuti, Novi Siti Kussuji, dkk. 2010. Sejarah Korea Menuju Masyarakat Modern: Beberapa Peristiwa Penting. Yogyakarta: INAKOS dan Pusat Studi Korea Universitas Gadjah Mada. Kim Jaihiun J. 1995. Korean Poetry Today. Seoul: Hanshin Publishers. Kim Kyoung Lim (Ed.). 2009. 아리랑 – The Soul of Korean, ARIRANG. Seoul: Ministry of Culture, Sports and Tourism & Korea Traditional Performing Arts Foundation. Korean Culture and Information Service. 2011. Guide to Traditional Korean Culture. Seoul: Korean Culture and Information Service Ministry of Culture, Sports and Tourism. Lee Duhyeon. 1973. Korean Mask Dance Drama. Seoul: Research Institute of Korean Mask Dance Drama. Lee Jung Young. 1981. Korean Shamanistic Rituals. New York: Mouton Publisher. Lee, Peter H. 2003. A History of Korean Literature. Cambridge, New York, Melbourne, Madrid, Cape Town, Sao Paulo, Singapore: Cambridge University Press. Lee Sang Oak. 2008. Korean Language and Culture. Sotong. Nam Sang Suk dan Gim Hae Suk. 2009. An Introduction to Korean Traditional Performing Arts. Seoul: Min Sok Won Publishing Company. Rangkuti Hamsad (Ed.). 2007. Laut dan Kupu-Kupu: Kumpulan Cerpen Korea. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Rim Chung Young. 2007. Puisi buat Rakyat Indonesia: Kumpulan Puisi 25 Penyair Korea. Koh Young Hun dan Tommy Christomy (Penerj.). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Seo Dae Sok. 2005. Oral Literature of Korea. Gyeonggi-do: Jimoondang. The Korean National Commission for Unesco (Ed.). 1986. Traditional Performing Arts of Korea. Seoul: Seoul Computer Press. The Korean Overseas Information Service. 2003. A Handbook of Korea. Seoul: Jungmoosa Printing.
The National Academy of The Korean Language. 2002. An Illustrated Guide to Korean Culture. Seoul: Hakgojae. Zong In Sob. 1982. Folk Tales from Korea. London, Seoul, New Jersey: Hollym.
DAFTAR LAMAN
http://terms.naver.com/entry.nhn?cid=1616&docId=552758&mobile&categoryId=1616 Dinduh pada tanggal 21 November 2012 pukul 12.45 http://tv03.search.naver.net/nhnsvc?size=120x150&quality=9&q=http://sstatic.naver.net/peop le/61/201005191844204151.jpg Dinduh pada tanggal 21 November 2012 pukul 12.46 http://tv03.search.naver.net/nhnsvc?size=120x150&quality=9&q=http://sstatic.naver.net/peop le/48/201108051405422091.jpg Dinduh pada tanggal 21 November 2012 pukul 12.47 http://tv03.search.naver.net/nhnsvc?size=120x150&quality=9&q=http://sstatic.naver.net/peop le/31/200901152027334161.jpg Dinduh pada tanggal 21 November 2012 pukul 12.50 http://tv03.search.naver.net/nhnsvc?size=120x150&quality=9&q=http://sstatic.naver.net/peop le/181/20070530110017197237202.jpg Dinduh pada tanggal 21 November 2012 pukul 12.50 http://tv03.search.naver.net/nhnsvc?size=120x150&quality=9&q=http://sstatic.naver.net/peop le/162/20070321133119197236962.jpg Dinduh pada tanggal 21 November 2012 pukul 12.52 http://tv03.search.naver.net/nhnsvc?size=120x150&quality=9&q=http://sstatic.naver.net/peop le/140/20070522135026197119342.jpg Dinduh pada tanggal 21 November 2012 pukul 12.53 http://dbscthumb.phinf.naver.net/0653_000_42/20120403235726324_22HXD5EUC.jpg/8d0f b81a-1f88-4618-b1d2-2c16046d144a.jpg?type=m521 Dinduh pada tanggal 21 November 2012 pukul 12.54 http://tv03.search.naver.net/nhnsvc?size=120x150&quality=9&q=http://sstatic.naver.net/peop le/100/20070530145443197238702.jpg Dinduh pada tanggal 21 November 2012 pukul 12.55 http://tv03.search.naver.net/nhnsvc?size=120x150&quality=9&q=http://sstatic.naver.net/peop le/182/20061229011956197051762.jpg Diunduh pada tanggal 21 November 2012 pukul 1.00
SENARAI (GLOSSARY)
Hyangchal
: Sastra Korea yang ditulis menggunakan huruf Cina.
Hangeul
: Huruf Korea
Hunmingjeong-um
: Karakter Korea sebelum menjadi hangeul
Hyanga
: Puisi formal yang muncul pada masa Tiga Kerajaan (5SM668M)
Goryeo gayo
: Lagu Korea tertua yang muncul pada masa Kerajaan Goryeo.
Sijo
: Puisi yang muncul pada akhir Kerajaan Goryeo dan menjadi sangat populer pada masa Kerajaan Joseon.
Gasa
: Jenis puisi yang muncul pada akhir masa Kerajaan Goryeo sampai akhir masa Kerajaan Joseon.
Ch‟angga dan shinceshi
: Dianggap sebagai bentuk puisi baru.
Chayushi
: Puisi yang sifatnya bebas.
Pansori
: Lagu panjang yang dinyanyikan oleh penyanyi profesional
Buk
: Alat musik tradisional Korea
Gwangdae
: Seorang penyanyi profesional
Jwibuchae
: Kipas lipat
Gosu
: Penabuh buk
Sorip‟an
: Tempat umum
Aniri
: Skenario yang diucapkan oleh gwangdae
Chang
: Nyanyian yang dinyanyikan oleh gwangdae
Sori
:
Lagu
yang
dinyanyikan
oleh
gwangdae
mengiringi
tabuhan buk Gwangdae aniri
: Seseorang yang handal baik dalam menyampaikan skenario dengan kata-kata yang indah sekaligus gerak tubuh yang baik disebut
Sorigwangdae
: Gwangdae yang sangat handal dalam menyanyi
Seongeum
: Digunakan untuk mengekspresikan perasaan yang bermacammacam dengan vokalisasi yang bervariasi
konteks teks masing-
masing.
Ujo seongeum
: Perasaan kaku
Pyeongjo seongeum
: Pikiran yang tenang dan luang
sesuai
dengan
Gyemyeon seongeum
: Perasaan yang menyentuh dan kelam
Gyeongdeureum seongeum
: Suasana gembira dan menyenangkan
Myeongchang
: Ahli
Gil
: Digunakan untuk menunjukkan panjang pendek dalam pertunjukan pansori
Jangdan
: Pola ritme.
Jochi, johta
: Bagus!
Geureochi
: Sempurna!
Eolssigu
: Hore!
Arirang
: Lagu daerah yang sangat terkenal di Korea
Gut
: Upacara ritual yang dilakukan oleh shaman (cenayang)
di
Korea Shaman
: Cenayang di Korea
Muga
: Nyanyian yang dinyanyikan para shaman pada saat melakukan upacara gut
Ch‟ugwon
: Bahasa manusia yang mendominasi keseluruhan
nyanyian
shaman Kongsu
: Bahasa dewa yang diucapkan melalui shaman yang kerasukan
Chisong dang
: Berbagai sesaji yang disiapkan di altar disebut.
Pulsa sang
: Meja untuk Sang Buddha
Sansang sang
: Meja untuk dewa gunung
Chosang sang
: Meja untuk arwah para leluhur
Sonsu sang
: Meja untuk dewa makanan
Taegam sang
: Meja untuk pengawas agung
Tal, gamyeon
: Topeng
Gwangdae, chorani
: Topeng
Talbak, talbagaji
: Topeng
Talchum
: Pertunjukan tari topeng
Gamyeon geuk
: Drama tari topeng
Sonang-je
: Drama tari topeng merupakan tari topeng yang berasal dari daerah pedesaan dan mempunyai banyak karakteristik dari “drama ritual musiman”
Chu‟sok
: Festival panen musim gugur, diadakan pada hari ke-15 bulan
kedelapan
Evaluasi yang direncanakan secara keseluruhan Pembelajaran perkuliahan ini dikatakan berhasil apabila mahasiswa dapat No
Butir kemampuan
Indikator keberhasilan Butir penilaian
1
Mahasiswa akan mampu membedakan sastra Penyajian klasik dan modern Korea beserta jenis-jenisnya
2
3
4
5
Tengah
10
hasil
jawaban
Ujian
Tengah
10
hasil
jawaban
Ujian
Tengah
10
Ujian
Tengah
10
Semester yang benar
Mahasiswa akan mampu membedakan puisi Penyajian Korea klasik dan modern
Ujian
Semester yang benar
Mahasiswa akan mampu memahami sastra lisan Penyajian Korea
jawaban
Semester yang benar
Mahasiswa akan mampu memahami sastrawan Penyajian Korea dan karya-karyanya
hasil
Poin maks.
hasil
jawaban
Semester yang benar
Mampu menyampaikan materi hasil diskusi penyajian menarik
10
kelompok tentang cerita rakyat Korea (mite, penyajian sistematis legenda) 6
penyajian jelas dan meyakinkan
Mampu menyampaikan materi hasil diskusi penyajian menarik
10
kelompok tentang cerita rakyat Korea (dongeng, penyajian sistematis fabel) 7
penyajian jelas dan meyakinkan
Mampu menyampaikan materi hasil diskusi penyajian menarik
10
kelompok tentang drama tari topeng Korea
penyajian sistematis penyajian jelas dan meyakinkan
8
Mampu menyampaikan materi hasil diskusi penyajian menarik
10
kelompok tentang drama tari topeng Korea dalam penyajian sistematis dimensi sastra 9
penyajian jelas dan meyakinkan
Mampu menyampaikan materi hasil diskusi penyajian menarik
10
kelompok tentang drama tari topeng Korea dalam penyajian sistematis dimensi pertunjukan 10
penyajian jelas dan meyakinkan
Mahasiswa mampu menganalisis puisi dan karya Kemampuan untuk menganalisis puisi dan
10
prosa Korea dengan menerapkan teori sastra cerpen Korea dengan baik
Kemampuan menerapkan teori (ujian akhir)
Jumlah
100
valuasi dilakukan dengan memperhatikan jumlah dari keseluruhan nilai komponen di atas dengan ketentuan sebagai berikut: Nilai A untuk skor >80 Nilai B untuk skor 70-80 Nilai C untuk skor 55-69 Nilai D untuk skor 45-54 Jumlah skor kurang dari 45 dianggap tidak lulus Apabila minimal 75% dari jumlah keseluruhan mahasiswa di kelas memperoleh nilai A atau B, dengan rincian jumlah nilai A lebih daripada B, dapat dikatakan bahwa proses pembelajaran mata kuliah berhasil.
besar
Matrix Penilaian No
Materi/isi
Ranah Kognitif C1
C2
C3
C4
C5
C6
Ranah
Ranah
Metode
Tujuan
Afektif
Psikomotorik
Penilaian
Khusus Pembelajaran
1
Sejarah Sastra Korea
1
1
x
A
Mid
D1, D4
Semester 2
Sastrawan Korea dan
1
1
x
A
karyanya 3
Mid
D1, D4
Semester
Sastra lisan Korea
1
1
x
A
Mid
D1, D4
Semester 4
Puisi-puisi Korea
1
1
1
x
M/P/A
Mid
dan D1, D2, D3,
Ujian
D4
Akhir Semester 5
Cerita rakyat Korea
1
1
1
x
M/P/A
Mid
dan D1, D2, D3,
Ujian
D4
Akhir Semester 6
Drama Korea
tari
topeng
1
1
1
x
M/P/A
Presentasi
D1, D4
Keterangan: I
: Imitation berarti meniru.
M : Manipulation, yakni melakukan suatu modifikasi. P : Precision, yakni melakukan tindakan dengan penuh ketepatan. A : Articulation, yakni mampu mengekspresikan/memberikan penjelasan secara tepat. N : Naturalisation, yakni keterampilan yang diperoleh menjadi kebiasaan yang terinternalisasi dalam diri.
C1 : Pengetahuan : mengenali, mendiskripsikan, menamakan, mendifinisikan, memasangkan, memilih. C2 : Pemahaman : mengklasifikasikan, menjelaskan, mengintisarikan, meramalkan, membedakan. C3 : Aplikasi : mendemonstrasikan, menghitung, menyelesaikan, menyesuaikan, mengoperasikan, menghubungkan, menyusun. C4 : Analisis : menemukan perbedaan, memisahkan, membuat diagram, membuat estimasi, menyusun urutan, mengambil kesimpulan. C5 : Sintesis : menggabungkan, menciptakan, merumuskan, merancang, membuat komposisi, menyusun kembali, merevisi. C6 : Evaluasi : menimbang, mengkritik, membandingkan, memberi alasan, menyimpulkan, memberi dukungan.