Update Briefing Asia Briefing N°122 Dili/Brussels, 18 April 2011
Timor-Leste: Rekonsiliasi dan Kepulangan dari Indonesia I. RANGKUMAN Status menggantung dari ribuan eks pengungsi yang keluar Timor-Leste dan menetap di Indonesia setelah referendum tahun 1999 masih menjadi tantangan bagi stabilitas jangka panjang negara asal mereka. Banyak dari pengungsi ini tidak dapat berbaur dengan masyarakat setempat dan sejumlah kecil yang angkanya terus meningkat tertarik untuk pulang ke Timor-Leste yang situasi ekonomi dan keamanannya mulai relatif stabil. Kepulangan mereka ini seharusnya didukung oleh pemerintah Timor-Leste maupun Indonesia sebagai kesempatan bagus untuk memajukan rekonsiliasi diantara kedua masyarakat yang dipisahkan oleh perbatasan itu. Apabila ini terjadi, harga impunitas yang harus ditanggung atas kekerasan yang melingkupi jajak pendapat tahun 1999 akan terungkap dan kegagalan dalam mengimplementasikan rekomendasirekomendasi praktis dari kedua komisi kebenarannya, yaitu Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi atau CAVR serta Komisi Kebenaran dan Persahabatan atau KKP, akan tersorot. Para pemimpin Timor-Leste mungkin belum memutuskan untuk memberi semacam amnesti sebagai jalan keluar yang terbaik, tapi negara ini tidak bisa terus menunda pembahasan mengenai solusi atas persoalan ini. Dari seperempat juta orang meninggalkan propinsi Timor Timur setelah jajak pendapat tahun 1999, banyak dari mereka dipaksa keluar oleh aparat keamanan dan milisi Indonesia. Beberapa ribu orang yang masih menetap di bagian barat pulau Timor yang merupakan wilayah Indonesia, tinggal disana karena alasan ekonomi. Banyak lainnya karena tekanan dari anggota keluarga dan pemimpin masyarakat. Kelompok yang belakangan ini masih belum berintegrasi ke dalam komunitas tuan rumah, menolak meninggalkan kamp pengungsi lama mereka, dan frustrasi dengan berakhirnya bantuan dari pemerintah. Stabilitas politik di Timor-Leste dan janji akan diberi lahan membuat prospek pulang ke Timor-Leste menjadi tambah menarik. Tapi informasi yang salah, basis hukum yang tidak jelas untuk meninggalkan Indonesia, dan kekhawatiran bahwa akses mereka ke properti dan hak politik dasar tidak diberikan sekembalinya mereka sesuai janji telah menahan mereka untuk pulang.
Beberapa ratus orang bekas anggota milisi dan pemimpin pro-integrasi yang hanya segolongan kecil telah mempolitisir persoalan kepulangan ini. Mereka mencari jaminan agar mereka tidak akan dituntut secara hukum atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan ingin dianggap sebagai “korban politik” akibat berakhirnya pendudukan Indonesia di Timor Timur. Para bekas anggota milisi sudah tidak lagi menjadi bahaya keamanan bagi Timor-Leste karena mereka tidak bersenjata dan secara pribadi mengakui bahwa kemerdekaan Timor-Leste merupakan kenyataan yang tidak bisa diubah lagi. Tapi prospek kepulangan mereka bisa menyulut situasi politik bagi Timor-Leste, terutama kalau tidak ada penuntutan hukum terhadap mereka. Meskipun para pemimpin politik Timor-Leste terus menerus menekankan bahwa “pintu selalu terbuka”, dan polisi serta para pemimpin masyarakat mengakui perlunya memastikan keamanan bagi mereka yang pulang kembali ke Timor-Leste, ada tanda-tanda bahwa akan sulit untuk menegakkan hak dasar dari para mantan pendukung integrasi. Bekerja sama dengan Indonesia untuk membentuk sebuah proses formal akan menjadi cara yang paling baik untuk menetralkan kepulangan para bekas milisi sehingga tidak dipolitisir, dan mengurangi pengaruh politik yang mungkin masih dimiliki para bekas anggota milisi dan pemimpin pro-otonomi. Selain itu, kerja sama ini akan dapat membantu upaya rekonsiliasi jangka panjang bahkan meskipun implementasi rekomendasi praktis dari dua komisi kebenaran TimorLeste sudah mandek. Tapi kerjasama ini perlu dibarengi oleh upaya rekonsiliasi yang diperbaharui di tingkat masyarakat dan dengan pemantauan ketat terhadap kepulangan para pengungsi untuk memastikan bahwa mereka yang terlibat dalam kekerasan di tingkat bawah atau mereka yang ketidakhadirannya mungkin telah menimbulkan kecurigaan, bisa berintegrasi. Ini juga membutuhkan sebuah kebijakan yang jelas tentang bagaimana menangani penuntutan hukum maupun investigasi yang belum lengkap. Pemerintah Timor-Leste bukan satu-satunya pihak yang bertanggungjawab atas jalan buntu yang sedang terjadi saat ini dalam upaya pencarian keadilan dan rekonsiliasi. Pemerintah Indonesia secara terus menerus telah menghalangi upaya untuk membawa tokoh
Timor-Leste: Rekonsiliasi dan Kepulangan dari Indonesia Crisis Group Asia Briefing N°122, 18 April 2011
militer-nya maupun bekas anggota milisi Timor Timur yang tinggal di Indonesia ke pengadilan dengan menolak bekerjasama dengan pengadilan Timor-Leste. PBB juga gagal untuk membantu menjamin keadilan ketika mereka masih punya pengaruh. Timor-Leste-lah yang harus menanggung kerugiannya. Bersama parlemen, pemerintah harus bekerja untuk menyusun kebijakan mengenai bagaimana melangkah maju dengan dakwaan yang masih belum terselesaikan. Sementara itu, selama pengadilan internasional masih belum dilirik, pengadilan domestik yang lemah kelihatannya akan menjadi satu-satunya tempat untuk melakukan penuntutan di masa depan. Upaya-upaya yang diperbarui untuk menggolkan sebuah amnesti bisa bergerak cukup cepat. Salah satu opsi yang sedang dibahas oleh partai-partai politik utama yaitu “amnesti selektif”. Namun apabila tidak dilandasi dengan kriteria hukum yang jelas, amnesti ini bisa menjadi pilihan yang paling buruk karena tidak saja ia akan menutup kemungkinan peradilan terhadap banyak kejahatan, tapi juga semakin mempolitisir proses. Dalam pilihan ini ada resiko bahwa sebuah keputusan untuk tidak menuntut secara hukum terhadap seseorang bisa berujung pada tindak balas dendam terhadap tersangka. Yang lebih pasti hal ini akan semakin memperumit upaya membangun kepastian hukum dan menjamin hak bagi semua. Konsensus politik atas peradilan dan rekonsiliasi sejauh ini masih diawang-awang, walau sangat diperlukan. Parlemen dan pemerintah Timor-Leste sebaiknya mengambil langkah-langkah berikut:
Bersama-sama dengan pemerintah Indonesia lewat sebuah nota kesepahaman mengklarifikasi prosedur formal bagi kepulangan secara sukarela oleh mereka yang lahir di Timor Timur;
Menyusun sebuah kebijakan resmi yang mendukung kepulangan secara sukarela, termasuk bantuan terbatas bagi mereka yang pulang, lewat bantuan makanan dan bantuan mediasi untuk sementara waktu, dan juga memperkuat pemantauan mengenai kesejahteraan mereka dan menjelaskan secara detil tentang hak-hak mereka ketika mereka pulang;
Melakukan debat di parlemen atas laporan CAVR serta RUU tentang ganti rugi bagi para korban dan pembentukan sebuah institusi yang rencananya akan menggantikan CAVR, yang mana institusi ini mandatnya harus mencakup dukungan atau bantuan terhadap proses rekonsiliasi masyarakat;
Memperbaharui upaya-upaya untuk mengimplementasikan rekomendasi dari Komisi Kebenaran dan Persahabatan bersama pemerintah Indonesia; dan
Page 2
Secara publik berkomitmen untuk menuntut secara hukum dakwaan-dakwaan yang sudah ada di pengadilan-pengadilan domestik.
II. LATAR BELAKANG Sebagian besar kekerasan yang terjadi pada tahun 1999 dilakukan oleh anggota milisi kelahiran Timor Timur, dan banyak dari mereka yang melarikan diri melintasi perbatasan ke Timor Barat setelah jajak pendapat dan 1 kedatangan pasukan asing. Dengan tinggal disana, mereka telah menghindari penuntutan, dan juga memberi alasan bagi Timor Timur untuk menunda penyelesaian konflik politik antara faksi pendukung pro-kemerdekaan dengan pro-integrasi di dalam Timor Leste. Upaya rekonsiliasi formal oleh pemerintah Indonesia dan Timor Leste sejak kemerdekaannya selama ini lebih difokuskan pada hubungan antara kedua ibukota daripada hubungan antara kedua masyarakat. Disamping itu, mereka telah membiarkan hubungan bilateral berkembang dengan mengorbankan sanksi hukuman atas kejahatan yang dilakukan tahun 1999. Banyak dari mereka yang melarikan diri hampir dua belas tahun yang lalu merasa kehadiran mereka di Timor Barat sulit untuk dipertahankan untuk jangka panjang, karena berbagai alasan yang ditelusuri dibawah ini, dan kepulangan mereka pun tidak bisa 2 dihindari.
1
Untuk laporan Crisis Group yang lebih awal mengenai kekerasan menyusul referendum Timor Timur tahun 1999 dan upaya-upaya awal membawa para pelaku ke pengadilan, lihat laporan Crisis Group: East Timor Briefing, 6 October 1999, Crisis Group Asia Report N°12, Indonesia: Impunity Versus Accountability for Gross Human Rights Violations, 2 February 2001, and Crisis Group Asia Briefing N°16, Indonesia: Implications of the Timor Trials, 8 May 2002. For reporting on the country since independence, see Crisis Group Asia Report N°120, Resolving Timor-Leste’s Crisis, 10 October 2006; Asia Report N°143, Timor-Leste: Security Sector Reform, 17 January 2008; Asia Report N°148, TimorLeste’s Displacement Crisis, 31 March 2008; Asia Briefing N°87, No Time for Complacency, 9 February 2009; Asia Report N°180, Handing Back Responsibility to Timor-Leste’s Police, 3 December 2009; Asia Briefing N°104, TimorLeste: Oecusse and the Indonesian Border, 20 May 2010; Asia Briefing N°110, Managing Land Conflict in TimorLeste, 9 September 2010; and Asia Briefing N°116, TimorLeste: Time for the UN to Step Back, 15 December 2010. 2 Timor Barat adalah nama bagian barat dari kepulauan Timor, tidak termasuk daerah kantong Timor Leste, Oecusse. Nama ini tidak mempunyai arti politik ataupun administratif/ pemerintahan. Wilayah Timor Barat bersama kepulauan Alor, Rote, Sabu, Sumbawa dan Flores termasuk dalam propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Timor Timur dipakai
Timor-Leste: Rekonsiliasi dan Kepulangan dari Indonesia Crisis Group Asia Briefing N°122, 18 April 2011
A. KETERBATASAN PEMULANGAN KE NEGARA ASAL (REPATRIASI) Tindak kekerasan paska jajak pendapat telah menyebabkan eksodus terhadap sekitar 250,000 orang dari Timor Timur ke Timor Barat beberapa hari setelah hasil jajak pendapat diumumkan pada tanggal 4 September 1999. Beberapa diantaranya pergi atas kemauan sendiri karena merasa takut atau karena itu pilihannya, tapi banyak yang digiring paksa ke atas truk-truk dan kapal laut oleh TNI dan Polri dengan 3 dibantu para milisi. Mereka berangkat melalui jalan darat atau laut – kapal TNI AL meninggalkan pelabuhan-pelabuhan seperti Beacu, Com dan Suai Loro menuju Kupang. Mereka yang mengungsi tidak hanya para milisi dan pemimpin politik pro-otonomi, tapi juga para pendukung kemerdekaan, yang dibawa melewati perbatasan sebagai bagian dari manuver untuk mencoba membalik hasil jajak pendapat. Awalnya, penekanannya adalah memulangkan pengungsi sebanyak mungkin. Tujuan ini, yang saat itu dimiliki bersama oleh pemerintah PBB dan para pemimpin Timor Timur, bersifat politik dan kemanusiaan: apabila mereka tetap tinggal diseberang perbatasan, para pengungsi menimbulkan tantangan 4 bagi stabilitas negara yang saat itu baru dibangun. Bantuan internasional terhadap upaya pemulangan segera dimobilisasi, dan pesawat pertama yang membawa para pengungsi pulang ke Dili berangkat pada awal bulan Oktober, yang lain kembali hanya dengan berjalan pulang. Hingga akhir 1999 sekitar setengah jumlah total pengungsi sudah pulang ke Timor Leste, tapi laju kepulangan kemudian melambat pada 5 akhir tahun 2001. Komisi Tinggi PBB untuk Urusan
dalam laporan ini untuk mengacu ke wilayah yang sebelumnya dibawah pemerintahan Portugis, dianeksasi berdasarkan UU Indonesia tahun 1976, kemudian ditempatkan di bawah pemerintahan PBB hingga kedaulatannya diakui pada tanggal 20 Mei 2002, disebut Timor Leste. 3 Lihat Chega!, “Report of the Commission on Reception, Truth and Reconciliation” (dikenal dengan singkatan Portugisnya, CAVR), terutama Bab 7.3, “Forced Displacement and Famine”. 4 Setelah berakhirnya pemerintahan Indonesia secara resmi di Timor Timur tanggal 25 Oktober 1999, wilayah ini diatur oleh Pemerintahan Transisi PBB di Timor Timur (the UN Transitional Administration in East Timor atau UNTAET) sampai penyerahan kedaulatan pada tanggal 20 Mei 2002 ke pemerintah Timor Timur terpilih. 5 Pada puncak kepulangan, di bulan November 1999, sebanyak 6,000 orang pulang setiap harinya. Lihat Chris Dolan, Judith Large dan Naoko Obi, “Evaluation of UNHCR’s repatriation and reintegration programme in East
Page 3
Pengungsi (UNHCR) mengalami kesulitan dalam menjamin bantuan pemulangan yang berkelanjutan, terutama karena adanya intimidasi di kamp-kamp pengungsian. Seorang juru bicara menjelaskan mengenai hal ini pada akhir tahun 1999: “Sesaat setelah warga Timor Timur mengutarakan keinginan mereka untuk meninggalkan kamp dan pulang, hidup mereka 6 langsung dalam bahaya”. Tantangan bagi persoalan ini meningkat menyusul pengevakuasian seluruh staff PBB dari Timor Barat pada bulan September 2000 setelah tiga orang staff UNHCR dibunuh oleh milisi Timor Timur dalam sebuah aksi penyerangan ke kantor mereka di Atambua. Mereka yang masih tinggal di kamp pengungsian hanya memiliki sedikit akses ke informasi, dan upaya-upaya untuk menentukan jumlah dan kebutuhan para pengungsi terus menerus dihalangi oleh para anggota milisi yang bersama dengan para pejabat lokal, memandang para staff internasional dengan sikap yang bermusuhan. Sebagai bagian dari keharusan politik untuk memulangkan para pengungsi, PBB dengan keterlibatan langsung Xanana Gusmao, yang saat itu sebagai presiden CNRT, mengatur kunjungan-kunjungan “lihatlihat keadaan” dan juga negosiasi di perbatasan dengan beberapa tokoh milisi yang lebih dikenal, seperti 7 Joanico Belo dan Cancio de Carvalho. Maksudnya bahwa kalau diantara mereka ada yang hendak pulang, maka hal ini bisa mempengaruhi sejumlah besar pengungsi untuk pulang juga. Kepulangan ini tidak membuat mereka terbebas dari penuntutan di kemudian hari, dan mereka didorong untuk berpikir untuk menyerahkan diri. Saat itu hanya sedikit pemimpin milisi yang lebih berpengaruh yang memutuskan untuk pulang, tapi Nemesio de Carvalho, mantan wakil komandan milisi Mahidi yang berbasis di Ainaro, pada tahun 2001 menyebrangi perbatasan bersama dengan 800 warga dari desa Cassa. Ia sekarang mengatakan ia pulang “siap untuk menghadapi proses peradilan”, tapi sampai sekarang belum diadili dan sejak tahun 2006 8 tidak lagi melapor ke pengadilan. Tanggapan terhadap upaya-upaya lain oleh Pemerintah Transisi dan CNRT untuk menarik pendukung pro-integrasi yang lain tidak banyak jumlahnya, walaupun berhasil mendorong
Timor, 1999-2003”, United Nations High Commissioner for Refugees, February 2004 6 Dikutip dalam “East Timor: Forced Expulsions to West Timor and the Refugee Crisis”, Human Rights Watch, 1 Desember 1999, Section III. 7 Mark Dodd, “Talks with militia leaders focus on refugees’ return”, Sydney Morning Herald, 18 November 2000. 8 Crisis Group interview, Nemesio de Carvalho, Cassa, 16 Februari 2011.
Timor-Leste: Rekonsiliasi dan Kepulangan dari Indonesia Crisis Group Asia Briefing N°122, 18 April 2011
sedikit gelombang kepulangan tak lama sebelum hari 9 kemerdekaan. Di akhir tahun 2002, UNHCR mengeluarkan sebuah pernyataan “penghentian status”, yang mengakhiri hak warga Timor Leste yang berada di Indonesia untuk 10 diperlakukan sebagai pengungsi. Hal ini memicu pertanyaan-pertanyaan apakah langkah ini prematur, terlalu banyak didorong oleh keinginan untuk membantu pembangunan negara baru padahal ada kekhawatiran bahwa mereka yang sudah pulang tidak 11 mendapat perlindungan yang memadai. Tapi kekhawatiran ini lebih didasarkan pada ketidakpastian dan kurangnya pemantauan yang layak; hanya sedikit kasus “kekerasan balas dendam” yang dilaporkan, dan rumah-rumah perlindungan yang didirikan buat mereka 12 yang sudah pulang jarang digunakan. Perkiraan jumlah populasi “bekas pengungsi” yang masih tersisa sangat beragam. Angka pembanding yang akurat tidak pernah ditetapkan karena ada intimidasi dari milisi dan tekanan dari pejabat setempat untuk mempertahankan angka yang tinggi, supaya bantuan dari pemerintah pusat yang diterima besar pula – ada penghitungan ganda yang cukup signifikan, termasuk pemakaian kembali KTP mereka yang sudah 13 dipulangkan). Pada saat penutupan kantornya di tahun 2002, UNHCR memperkirakan ada 28,000 bekas pengungsi yang masih di Indonesia, ini angka yang 14 diberikan oleh Bakornas. Bekas warga Timor Timur
Page 4
mengklaim bahwa jumlah pengungsi mendekati sekitar 15 110,000 dan 200,000, sementara pejabat pemerintah Nusa Tenggara Timur (NTT) memperkirakan lebih dari 16 100,000 di tahun 2010.
B. UPAYA KEADILAN YANG MACET Pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi pada tahun 1999 sudah didokumentasikan 17 secara luas. Namun penuntutan terhadap pelanggaranpelanggaran tersebut sejauh ini masih terbatas. Halangan yang paling besar yaitu bahwa dakwaandakwaan yang dikeluarkan oleh pengadilan-pengadilan di Timor Leste tidak mempunyai pengaruh di seberang perbatasan, dimana mayoritas terdakwa tinggal. Indonesia telah menolak untuk mengakui MoU yang telah mereka tandatangani dengan Pemerintah Transisi PBB pada tahun 2000 mengenai hubungan kerjasama upaya investigasi terhadap kejahatan-kejahatan ini, karena hal ini belum pernah diratifikasi oleh DPR 18 sebelumnya. Pernyataan tegas dari Indonesia yang menyatakan bahwa mereka bisa menuntut kejahatan-kejahatan ini dalam sistem hukum mereka sendiri telah merintangi upaya awal untuk membentuk sebuah pengadilan internasional yang akan dapat menghindari masalah-
15
9
Laporan Sekretaris Jendral bulan April 2002 mencatat bahwa kepulangan pada bulan Maret jumlahnya paling tinggi diantara bulan-bulan lain sejak tahun 2000. Ini mungkin karena beberapa faktor: “berhentinya bantuan makanan (di kamp) oleh Pemerintah Indonesia, meningkatnya kunjungankunjungan lintas perbatasan, daya tarik dari premilu presiden dan rencana untuk hari kemerdekaan”. “Report of the Secretary-General on the United Nations Transitional Administration in East Timor”, 17 April 2002, S/2002/432, para 31. 10 “Declaration of Cessation – Timor-Leste” (Pernyataan Penghentian – Timor Leste), UN High Commissioner for Refugees (UNHCR), 22 December 2002, ada di www.unhcr. org/refworld/docid/41657a7e4.html. 11 Penghentian status dikeluarkan meskipun tiga dari lima patokan perlindungan belum dipenuhi, dan meskipun ada jurang besar dalam pemantauan mereka yang pulang. Lihat Dolan, Large and Obi, op. cit., pp. 53-56. “In the question of the timing of the cessation clause the political project of preparing for independence actually overrode protection consideration”, ibid., p. 6. 12 Dolan, Large and Obi, op. cit. 13 Crisis Group interview, Januario Moreira, Atapupu, 21 September 2010, perwira senior militer purnawirawan, 6 Maret 2011. 14 Crisis Group interview, staf UNHCR, Jakarta, 24 Maret 2005.
Crisis Group interviews, Sico Naruk, Atambua, 21 September 2010, Eurico Guterres, Kupang, 26 September 2010. 16 Data dari “Penanganan Pengungsi Timor Timur di Provinsi Nusa Tenggara Timur sejak tahun 1999 s/d 2009”, laporan pengarahan yang disusun oleh pemerintah propinsi NTT, September 2010. Satu faktor yang terus mengaburkan jumlah eks-pengungsi yaitu bahwa jumlah dari Indonesia termasuk orang Indonesia dari propinsi lain yang berada di Timor Timur tahun 1999, pada umumnya bekerja sebagai PNS. Banyak PNS berasal dari luar propinsi dimana mereka bekerja. 17 Lihat “Laporan Akhir Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM di Timor Timur”, Indonesian Human Rights Commission, Januari 2000; Chega!, op. cit.; “Per Memoriam ad Spem: Final Report of the Commission on Truth and Friendship”, Maret 2008; Geoffrey Robinson, “East Timor 1999 Crimes Against Humanity”, laporan yang ditugaskan oleh UN Office of the High Commissioner for Human Rights, Juli 2003; Richard Tanter, Desmond Ball and Gerry van Klinken (eds.), Masters of Terror: Indonesia’s Military and Violence in East Timor (Lanham, Maryland, 2006). 18 Lihat “Summary of the report to the Secretary-General of the Commission of Experts to Review the Prosecution of Serious Violations of Human Rights in Timor-Leste (then East Timor) in 1999”, United Nations, 26 Mei 2005, provided in annex to S/2005/458, paragraph 80.
Timor-Leste: Rekonsiliasi dan Kepulangan dari Indonesia Crisis Group Asia Briefing N°122, 18 April 2011 19
masalah yurisdiksi seperti ini. Indonesia menolak temuan-temuan oleh Komisi Penyelidikan awal PBB terhadap pelanggaran HAM tahun 1999 yang merekomendasikan dibentuknya sebuah pengadilan 20 internasional. Penolakan ini mengikuti prinsip yang sudah lama berlaku yang lebih memilih penuntutan di pengadilan domestik, dan juga sejalan dengan penolakan di antara para anggota Dewan Keamanan PBB untuk kembali membentuk pengadilan internasional yang mahal. Sebuah investigasi oleh Komnas HAM menyebutkan bahwa terdapat 32 warga sipil, perwira militer, dan pemimpin milisi, yang bertanggungjawab atas kejahatan terhadap 21 kemanusiaan. Akan tetapi, mandat dari sebuah pengadilan adhoc yang dibentuk untuk mengadili pelanggaran-pelanggaran ini sangatlah terbatas baik dalam hal waktu maupun lingkup – pengadilan adhoc ini hanya boleh mengadili pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada bulan April, Agustus dan September 1999 di tiga dari tiga belas mantan kabupaten (Dili, Liquica, dan Suai) di Timor 22 Timur. Keterbatasan ini membuat sulit untuk memberikan semua bukti-bukti tentang kebijakan Negara yang diperlukan untuk membentuk sebuah 23 kasus atas kejahatan terhadap kemanusiaan. Tantangan yang lebih besar yaitu lemahnya penuntutan; sebuah Komisi Ahli PBB menyimpulkan pada tahun 2005 bahwa proses pengadilan adhoc ini “gagal sebagian besar karena ketidakmampuan dalam penuntutan untuk secara serius dan memadai 24 membuktikan kasusnya”. Enam terdakwa tadinya sudah dijatuhi hukuman namun kemudian semuanya dibebaskan oleh pengadilan adhoc, kecuali Eurico Guterres, yang kemudian menjalani hukuman dua tahun penjara dari vonis sepuluh tahun, sebelum kemudian
Page 5 25
dibebaskan oleh Mahkamah Agung. Walaupun sebuah komisi kebenaran dan rekonsiliasi sedang dibahas untuk Indonesia, akan tetapi penuntutan terhadap warganya atas kejahatan-kejahatan ini tidak 26 dibahas. Di Timor Timur, sebuah Unit Kejahatan Berat dibentuk pada tahun 2000 untuk menginvestigasi pelanggaranpelanggaran dan mengeluarkan dakwaan, dan juga dibentuk sebuah pengadilan hibrid/campuran (gabungan antara peradilan nasional dan internasional) 27 untuk mengadili kasus-kasus yang relevan, yang dikenal sebagai Panel Khusus untuk Kejahatan Berat. Awalnya, prosesnya tersebut mengalami kesulitan karena tidak mendapat dukungan politik dan 28 kekurangan sumber daya. Terdapat banyak masalah baik dengan kualitas penuntutan, maupun perlindungan 29 mendasar yang diberikan kepada terdakwa. Sebuah studi menyimpulkan bahwa Panel Khusus ini akhirnya baru mulai bisa berfungsi pada sebuah tingkat yang 30 dapat diterima, sesaat sebelum panel ini ditutup. Sekitar 400 orang telah didakwa sebelum prosesnya selesai pada bulan Mei 2005. Pengadilan Khusus ini mengeluarkan putusan hukum dalam kasus-kasus yang terkait dengan 87 terdakwa, dan banyak terdakwa yang lain menghindari penangkapan atau pengadilan dengan tetap tinggal di Indonesia. Hanya sedikit dari kasuskasus ini yang melibatkan kejahatan yang dilakukan oleh para pendukung pro-kemerdekaan terhadap para pendukung pro-integrasi, sebuah topik permasalahan yang seringkali diabaikan sejak kemerdekaan.
25
19
Lihat juga Laporan Crisis Group, Indonesia: Implications of the Timor Trials, op. cit. 20 Lihat “Report of the International Commission of Inquiry on East Timor to the Secretary-General”, UN Office of the High Commissioner for Human Rights, 31 Januari 2000. 21 “Laporan Akhir Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM di Timor Timur”, op. cit. 22 Lihat Keppres No. 96/2001: Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 23 Lihat Laporan Crisis Group, Indonesia: Implications of the Timor Trials, op. cit., Section I.A. 24 Lihat “Summary of the report to the Secretary-General of the Commission of Experts…”, United Nations, 26 Mei 2005, op. cit., paragraph 335.
Untuk analisa mengenai pembebasan terakhir Eurico Guterres dari tuduhan, lihat “Indonesia: A case of impunity”, International Center for Transitional Justice, 30 Juni 2008. 26 “Disiapkan, RUU Komisi Kebenaran”, Kompas, 26 Juli 2010. 27 Panel Khusus untuk Kejahatan Berat (The Special Panels for Serious Crimes) didirikan oleh Regulasi UNTAET No. 2000/15, 6 Juni 2000. Bagian 1.2 dari peraturan ini memberi mereka yurisdiksi atas “pelanggaran pidana berat” Genocide, Kejahatan Perang, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Pembunuhan, Pelanggaran Seksual dan Penyiksaan. 28 Prosesnya juga sangat terbatas baik di segi waktu yang bisa mereka uji dan dasar-dasar yang lain, contohnya, kegagalannya untuk menginvestigasi dan menuntut kejahatan seksual masal dan sistematik yang mengkarakterisasi konflik di banyak wilayah. 29 Hal ini termasuk Pengadilan Banding yang tidak berfungsi selama sembilanbelas bulan. Lihat David Cohen, “Indifference and Accountability: the United Nations and the politics of international justice in East Timor”, East-West Center Special Report No. 9, Juni 2006. 30 Ibid.
Timor-Leste: Rekonsiliasi dan Kepulangan dari Indonesia Crisis Group Asia Briefing N°122, 18 April 2011
Kurangnya komitmen dari pemerintah maupun PBB, 31 telah merusak hasil dari proses Kejahatan Berat. Sifat hibrid dari lembaga peradilan ini berarti bahwa kedua belah pihak tidak mengambil tanggungjawab penuh atas proses pengadilan. Dan kasus yang lebih menonjolkan persoalan ini yaitu kasus dakwaan terhadap Jendral Wiranto, mantan panglima TNI dan salah satu kandidat dalam pemilihan Presiden tahun 2004 dan 2009. Setelah surat dakwaannya dikeluarkan pada tahun 2003, PBB menjauhkan diri dari dakwaan ini dengan mengatakan bahwa mereka merupakan 32 produk lembaga peradilan Timor Leste. Perdana Menteri Timor Leste saat itu, Mari Alkatiri, mengkritik PBB karen gagal mendorong kasus-kasus Kejahatan Berat sebab, mengingat ketimpangan hubungan Timor Leste dengan Indonesia, hal ini merupakan sesuatu 33 yang tidak bisa dilakukan sendirian oleh pemerintah. Belakangan, jaksa agung Timor Leste saat itu, Longuinhos Monteiro, meminta untuk meninjau dan merubah surat dakwaan, mungkin dibawah tekanan 34 politik, tapi hal ini dibantah. Sebuah surat penangkapan terhadap Jendral Wiranto tidak pernah dilayangkan ke Interpol.
31
“Sepanjang proses kejahatan berat, baik PBB maupun pemerintah Timor Timur tidak pernah memperlihatkan sebuah rasa kepemilikan yang jelas/kentara atas proses dimana keduanya merupakan mitra. Meskipun kedua institusi bersepakat akan perlunya mengakhiri budaya kebal hukum, tak satupun terlihat siap untuk memastikan hal ini dicapai oleh sebuah pengadilan yang independen dan memiliki sumberdaya cukup, atau oleh penuntut umum”. (“Throughout the serious crimes experience, neither the U.N. nor the government of East Timor ever demonstrated a clear sense of ownership of the very process in which they were partners. Although both agreed with the need for an end to impunity, neither appeared ready to see that accomplished by an independent, fully resourced tribunal or prosecutor’s office”). Philip J. Rapoza, “Hybrid Criminal Tribunals and the Concept of Ownership: Who Owns the Process?”, American University International Law Review 21, no. 4 (2006), pp. 525-540. 32 Misi PBB di Timor Timur (UN Mission in East Timor/ UNMISET), “Serious Crimes process in Timor-Leste”, 25 Februari 2003. 33 Lihat Jill Jolliffe, “Timor PM slams UN on war criminals”, Asia Times Online, 15 Mei 2003. 34 BBC News, “Wiranto warrant in doubt”, 25 Mei 2004. Keputusan oleh hakim ketua dalam menanggapi mosi ini menyebutkan: “Tidak memadai bagi pihak yang mengajukan mosi untuk menyatakan, seperti yang ia lakukan disini, bahwa ia merasa ada kekurangan dalam dakwaan dan kekurangan itu belum ditemukan“. “Keputusan terhadap Mosi Jaksa Agung untuk mereview dan mengamandemen dakwaan”, Pengadilan Distrik Dili Panel Khusus terhadap Kejahatan Berat, 17 Mei 2004.
Page 6
Sejak ditutupnya Panel Khusus tersebut, baru tiga kasus Kejahatan Berat yang diadili. Pada tahun 2006, Dewan Keamanan PBB memberi mandat ke sebuah misi perdamaian PBB yang baru di Timor Leste untuk melanjutkan investigasi terhadap kasus-kasus Kejahatan Berat yang masih belum diadili. Menyusul penandatanganan sebuah perjanjian bantuan di tahun 2008, tim ini mulai menangani sekitar 400 investigasi lanjutan. Tidak seperti pendahulunya, mereka tidak mempunyai kekuasaan untuk menuntut secara 35 langsung. Sejumlah terhukum diberi keringanan hukuman oleh Presiden Gusmao, dan kemudian juga oleh Presiden Jose Ramos Horta, hal ini memperlihatkan komitmen yang lemah dalam upaya 36 menjamin akuntabilitas. Diantara para terhukum ini termasuk figur semacam Joni Marques, seorang anggota milisi Tim Alfa yang tadinya dijatuhi hukuman 33 tahun penjara atas kejahatan terhadap kemanusiaan, tapi kemudian dibebaskan pada tahun 2008. Akibatnya, hanya satu orang yang masih dipenjara saat ini, yaitu: Domingos “Mau Buti” Noronha, seorang bekas anggota milisi Mahidi yang dijatuhi hukuman oleh pengadilan Timor Leste pada bulan Maret 2010 atas kasus pembunuhan dan pemerkosaan yang dilakukan di 37 Zumalai. Pengumuman baru-baru ini menyatakan bahwa pengadilan yang keempat dijadwalkan akan 38 dilaksanakan pada bulan April 2011 mungkin akan membuat beberapa merasa berbesar hati namun pengadilan hampir tidak punya kapasitas untuk mengadili kasus-kasus ini, dan para pemimpin politik juga tidak mempunyai niat untuk memastikan hal ini 39 diimplementasikan.
35
Tim Investigasi Kejahatan Berat (The Serious Crimes Investigation Team/SCIT) adalah sebuah unit dari UN Integrated Mission in Timor-Leste (UNMIT) dan bukan bagian dari Kejaksaaan Agung. Tinjauan mengenai tantangan yang dihadpi SCIT ada di “Impunity in Timor-Leste: Can the Serious Crimes Investigation Team Make a Difference?”, International Center for Transitional Justice, June 2010. 36 Lihat Mark Harris, “Security Sector Reform Monitor: Timor-Leste”, CIGI, Januari 2011, No. 4. 37 “Former Mahidi militia sentenced to 16 years in prison”, UNMIT/Serious Crimes Investigation Team newsletter issue 6, Mei 2010. Mau Buti menyebrangi perbatasan secara ilegal bukan dengan visa, seperti Maternus Bere, satu alasan kenapa pengadilannya tidak menimbulkan kontroversi seperti persidangan Bere. Mengenai Bere, lihat bagian III.B dibawah ini. 38 Komunikasi pribadi Crisis Group, pejabat UNMIT, 15 April 2011. 39 Satu-satunya referensi mengenai penyelesaian kasus-kasus tahun 1999 dalam sebuah rencana strategis jangka panjang (30 tahun) bagi sektor peradilan yang dikeluarkan tahun 2010 oleh departemen kehakiman adalah perlunya kelanjutan konsultasi publik tentang laporan CAVR. “Justice Sector
Timor-Leste: Rekonsiliasi dan Kepulangan dari Indonesia Crisis Group Asia Briefing N°122, 18 April 2011
C. KEBENARAN DAN REKONSILIASI Dua forum pencarian kebenaran telah menghasilkan banyak rekomendasi-rekomendasi praktis untuk meneruskan rekonsiliasi di dalam negeri maupun dengan masyarakat tetangga di Indonesia, tapi baru sedikit yang diimplementasikan. Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR) dibentuk tahun 2001 dengan tujuan mencari kebenaran atau fakta-fakta mengenai sejarah pelanggaran HAM di Timor Timur 40 antara tahun 1974 dan 1999. Kerangka waktu yang lebih luas dari mandat CAVR memberikan konteks sejarah atas pelanggaran-pelanggaran yang dilihat oleh banyak kritikus sebagai sesuatu yang hilang dari upaya peradilan yang fokus pada kasus-kasus pelanggaran di tahun 1999. CAVR juga mengadakan forum sukarela bagi para pelaku kejahatan “yang lebih ringan” untuk berintegrasi kembali lewat sebuah proses rekonsiliasi komunitas (PRK), dimana para pelaku mengakui kesalahannya dimuka umum, dan setelah dilakukan sebuah permufakatan, meminta pelaku untuk memberikan semacam ganti rugi agar dapat diterima 41 kembali dalam komunitasnya. Sekitar 1,300 sesi atau audensi semacam ini dilakukan. CAVR mengeluarkan sebuah laporan yang terdiri dari 2,800 halaman mengenai sejarah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh seluruh pihak, dan seperangkat rekomendasi yang rinci. Laporan ini disampaikan kepada Presiden Gusmao pada bulan Oktober 2005 dan sejak saat itu tidak pernah dibahas lagi di parlemen. Rekomendasi-rekomendasinya termasuk membentuk sebuah institusi penerus yang akan meneruskan tugas CAVR, seperti melanjutkan program-program rekonsiliasi komunitas. Tidak ada yang mengantisipasi bahwa seluruh kegiatan yang dilakukan oleh CAVR akan serta merta berhenti setelah laporan CAVR diterbitkan. Dan secara tak disengaja, kegagalan untuk membahas rekomendasi-rekomendasi dari laporan tersebut di parlemen telah menghentikan upaya lebih lanjut terhadap permasalahan ini.
Page 7
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (The Commission on Truth and Friendship ) atau KKP dibentuk oleh pemerintah Indonesia dan Timor Leste untuk mencapai pemahaman bersama mengenai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kedua belah pihak pada tahun 1999, dan kemudian bergerak maju melalui upaya bersama. Kerangka acuan Komisi ini menyerukan “penuntasan terhadap permasalahan masa lalu yang 42 kemudian akan lebih memajukan hubungan bilateral”. Tugas komisi ini difokuskan hanya pada pertanggungjawaban secara institusi daripada perorangan, dan menekankan pentingnya memahami kejadian-kejadian dalam konteks sektor keamanan 43 Indonesia pra-reformasi. PBB menolak untuk bekerjasama karena keberatan dengan dimasukkannya pertimbangan pemberian amnesti sebagai bagian dari mandat lembaga ini. Sebagai upaya bersama, kedua pemerintah melihat KKP memiliki legitimasi di Indonesia, yang tidak dimiliki oleh CAVR. Laporan akhir yang dipublikasikan pada bulan Juli 2008 secara eksplisit tidak merekomendasikan pemberian amnesti, karena menurutnya persyaratan mengenai menyatakan hal yang sebenarnya secara penuh dan kerjasama dari tersangka pelaku belum dipenuhi, dan bahwa amnesti tidak sesuai dengan tujuannya dalam “memulihkan martabat manusia, menciptakan landasan bagi rekonsiliasi antar kedua negara, dan menjamin tidak terulangnya kekerasan di dalam kerangka yang dijamin 44 supremasi hukum”. Laporan ini secara luas dipahami sebagai deklarasi tidak resmi, hasil dari pembahasan tertutup antara kedua pemerintah, bahwa tidak akan ada penuntutan 45 lebih jauh. Laporan tersebut menekankan pentingnya sosialiasi untuk membantu mencegah terjadinya kembali kejahatan semacam ini di masa depan, tapi kelihatannya banyak masyarakat yang tidak terlalu mengetahui mengenai isi laporan, terutama di Timor Barat. Diantara para pengkritik terkuat yang merasa laporan KKP tidak disosialisasikan secara memadai adalah beberapa pemimpin milisi yang saat ini sedang
42
Strategic Plan for Timor-Leste 2011-2030”, Departemen Kehakiman Republik Demokratik Timor-Leste, disetujui oleh Dewan Menteri pada bulan Februari 2010. 40 Singkatan ini berasal dari bahasa Portugis : Comissão de Acolhimento, Verdade e Reconciliação. 41 Lihat Ben Larke, “… And the truth shall set you free: Confessional Trade-Offs and Community Reconciliation in East Timor”, Asian Journal of Social Science 37, no. 4 (2009), pp. 646-676; dan Patrick Burgess, “Justice and Reconciliation in East Timor: The Relationship between the Commission for Reception, Truth and Reconciliation and the Courts”, Criminal Law Forum, 15: 135-158, 2004.
“Terms of Reference and Joint Declaration of the CTF”, Commission of Truth and Friendship Indonesia–TimorLeste, Desember 2004. 43 Reformasi adalah nama yang dipakai untuk mengacu pada masa setelah berhentinya Presiden Soeharto di bulan Mei 1998. 44 “Per Memoriam ad Spem”, op. cit., Section 9.1.1.a, p.317. 45 Crisis Group interview, pejabat senior Departemen Luar Negeri (DEPLU) Indonesia, Jakarta, Januari 2011; pejabat DEPLU Timor-Leste, Oktober 2010. Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu, Hassan Wirajuda, menjelaskan tidak akan ada lagi penuntutan, “kasusnya sudah ditutup”. “TNI responsible for East Timor mayhem: chief”, The Jakarta Post, 18 Juli 2008.
Timor-Leste: Rekonsiliasi dan Kepulangan dari Indonesia Crisis Group Asia Briefing N°122, 18 April 2011 46
menghadapi dakwaan. Kelihatannya mereka berpikir bahwa distribusi luas dari laporan ini akan menyebarkan pesan bahwa tidak akan ada lagi penuntutan. Laporan KKP tersebut telah membantu memberikan landasan bagi hubungan kerja yang kuat yang dialami 47 Jakarta dan Dili saat ini. Ada resiko bahwa hubungan tingkat tinggi yang positif akan mengaburkan kurangnya upaya rekonsiliasi di lapangan. Implementasi dari rekomendasi-rekomendasi laporan yang lebih praktis sejauh ini berjalan lambat atau bahkan tidak ada sama sekali. Hal ini termasuk pembentukan “zona-zona damai” bebas visa di perbatasan bagi pertemuanpertemuan keluarga dan acara-acara budaya, perlintasan aman bagi mereka yang berharap untuk melakukan kunjungan lintas batas untuk sementara atau permanen, dan “penyelesaian … masalah-masalah hukum” yang berkaitan dengan implikasi dari kebijakan semacam ini bagi mereka yang didakwa atau sedang dalam 48 investigasi kriminal. Lebih luasnya, para Komisaris menyimpulkan bahwa “keadilan restoratif berfokus pada semua pihak yang terlibat dalam konflik dan bermaksud untuk mengintegrasikan mereka kembali ke dalam masyarakat yang inklusif”. Untuk dapat mewujudkan cita-cita ini akan membutuhkan dukungan konkrit bagi mereka yang berharap untuk pulang.
III. STATUS QUO YANG TIDAK BERKELANJUTAN A. STATUS DAN KESEJAHTERAAN Mereka yang memilih untuk tidak ikut program repatriasi formal hingga akhir tahun 2002 terdaftar sebagai warga Indonesia dan selama beberapa tahun terus dikenal
46
Crisis Group interviews, bekas anggota milisi, Atambua dan Kupang, Maret dan September 2010. 47 Testimoni baru-baru ini atas hubungan yang kuat ini adalah kunjungan oleh Perdana Menteri Gusmão ke Jakarta pada bulan Maret 2011 untuk menyaksikan penandatanganan lima MoU mengenai desentralisasi dan pemerintah lokal, training dan pendidikan diplomatik, infrastruktur pekerjaan umum, pendidikan dan training di bidang transportasi, dan perdagangan. Camelia Pasandaran, “Indonesia, East Timor go for ‘soft approach’ at border”, The Jakarta Globe, 23 Maret 2011. 48 Lihat “Per Memoriam ad Spem”, op. cit., Chapter IX, “Conclusions and Recommendations”. Penyebrangan bebas visa sudah tentu terjadi setiap hari dengan tingkat sanksi informal yang berbeda-beda oleh pasukan keamanan perbatasan di kedua belah pihak. Untuk info lebih lanjut mengenai keuntungan memformalisir aturan penyebrangan perbatasan, lihat Laporan Crisis Group, Timor-Leste: Oecusse and the Indonesian Border, op. cit.
Page 8 49
sebagai pengungsi. Pada tahun 2005, pemerintah pusat mengakhiri status ini dan secara resmi menutup kamp pengungsian, walaupun banyak dari pengungsi menolak untuk pergi atau kemudian kembali lagi ke 50 kamp. Ini berarti bahwa para bekas pengungsi tidak lagi memenuhi syarat untuk mendapat bantuan keuangan khusus. Sebuah pembayaran terakhir sejumlah Rp 5 juta, yang dirancang untuk memberikan ganti rugi bagi pengungsi, tidak pernah sampai ke para 51 pengungsi di NTT dan terus menjadi sumber frustrasi. Pemerintah mengatakan bahwa pembayaran tersebut dimaksudkan bagi pengungsi yang belum pernah menerima manfaat dari bantuan-bantuan sebelumnya, termasuk saat berada di kamp, yang menjadikan mereka tidak berhak menerima bantuan keuangan. Sejak saat itu tanggungjawab atas kesejahteraan mereka 52 pindah ke pemerintah propinsi. Hal ini berdampak sangat besar di NTT, yang menampung populasi terbesar dari bekas pengungsi dan merupakan salah satu propinsi termiskin di Indonesia. Tingkat pengangguran disini mencapai 31 persen, dan hanya 45 persen penduduknya yang menyelesaikan pendidikan sekolah 53 dasar. Pejabat pemerintahannya tidak mengerti kenapa sebuah masalah kebijakan luar negeri dipindah
49
Indonesia belum menandatangani Konvensi Pengungsi tahun 1951. Pemakaian sebutan ‘pengungi’ dipakai untuk mengacu pada pengungsi dan IDPs. 50 “Penanganan Pengungsi Timor Timur di Provinsi Nusa Tenggara Timur sejak tahun 1999 s/d 2009”, pemerintah propinsi Nusa Tenggara Timur, September 2010. Sejak kebijakan ini berubah, bekas pengungsi lebih umum disebut sebagai warga baru. 51 Perkiraan jumlah dalam dollar menggunakan nilai tukar tahun 2005. Bantuan keuangan ini dikenal sebagai dana terminasi. Eks-pengungsi yang tinggal di propinsi lain kelihatannya lebih beruntung. “Eks Pengungsi Timtim di Papua Terima Batuan”, Antara, 18 Mei 2009. Dana bantuan lain sebesar Rp 2.5 juta per keluarga, yang dikenal sebagai jaminan hidup, juga seharusnya dibagikan ke eks pengungsi tapi kelihatannya banyak yang tidak terima. Crisis Group interview, CIS-Timor staff, Kupang, 26 Februari 2011. Tidak jelas apa peran kelompok-kelompok payung atau wadah dalam pembagian dana-dana ini. Beberapa curiga pimpinan mereka menyalahgunakan dana setelah mendaftarkan para keluarga dan memungut “biaya administrasi” yang katanya sebagai biaya untuk mengumpulkan dan membagikan danadana ini. 52 “Penanganan Pengungsi Timor Timur di Provinsi Nusa Tenggara Timur sejak tahun 1999 s/d 2009”, pemerintah propinsi Nusa Tenggara Timur, September 2010. Sejak kebijakan ini berubah, para eks pengungsi lebih umum disebut sebagai warga baru. 53 “Nusa Tenggara Timur dalam Angka tahun 2009”, Badan Pusat Statistik Propinsi Nusa Tenggara Timur (BPS-NTT), Juli 2009, pp. 43-44.
Timor-Leste: Rekonsiliasi dan Kepulangan dari Indonesia Crisis Group Asia Briefing N°122, 18 April 2011 54
mejadi tanggungjawab propinsi. Kebingungan soal hak atas berbagai anggaran pemerintah dan sistem verifikasi dan distribusi yang lemah dari bantuanbantuan keuangan ini telah membuat marah banyak 55 bekas pengungsi. Pejabat pemerintah sering menanggapi pertanyaan-pertanyaan mengenai bantuan untuk para bekas pengungsi dengan mengatakan bahwa mereka “sudah tidak ada lagi”; dan mereka sekarang 56 sering digolongkan sebagai orang miskin. Para pengungsi masih belum bisa berintegrasi dengan 57 baik ke dalam komunitas setempat. Banyak yang menolak untuk pergi ketika kamp pengungsian ditutup secara resmi karena mereka melihat kondisi disitu masih lebih baik dibanding kalau mereka hidup di tempat lain. Sementara bagi mereka yang sudah pindah, seringkali status tanah tempat mereka tinggal masih belum menjadi milik sendiri. Perumahan di wilayah pemukiman baru dibangun oleh TNI, bersama dengan 58 Depsos, tapi seringkali kualitasnya dibawah standar. Tanahnya masih belum dibayar, dan banyak yang 59 masih berutang kepada tuan tanah setempat. Letak pemukiman baru jauh sekali dari kota-kota dan tidak dilalui oleh kendaraan umum – sebuah daerah pemukiman besar dekat Kefamemanu bahkan tidak bisa 60 dicapai oleh ojek. Banyak yang kekurangan air dan
54
Crisis Group interview, pejabat Depsos propinsi, Kupang, 24 September 2010. 55 Crisis Group interview, Januario Moreira, anggota KOKPIT (Komite Nasional Korban Politik Eks Timtim), Atapupu, 21 September 2010. 56 Crisis Group interview, pejabat-pejabat tingkat propinsi dan kabupaten, Kupang, 24, 27 September 2010; wakil gubernur propinsi, 25 Februari 2011. 57 Crisis Group interview, Monsignor Dominikus Saku, Uskup Diosis Atamuba, 20 April 2010. 58 Hingga tahun 2009 TNI membangun sebanyak 11,000 rumah sangat sederhana ini. 60 persen untuk warga baru dan 40 persen untuk warga lokal untuk menghindari kecemburuan. “2000 Rumah Bantuan Depsos Diserahkan”, Timor Express, 9 January 2009. Buruh bangunan menggunakan empat atau lima karung semen bukan enam atau tujuh karung sesuai standar untuk membangun sebuah rumah 6m x 7m, dan batang pohon pisang atau pepaya bukannya kayu. Crisis Group interview, Winston Rondo, Director CIS-Timor, Kupang, 27 September 2010. 59 Banyak warga Timor Timur yang kelihatannya tidak mengetahui tentang ketentuan dari kesepakatan ini dan menjadi bingung ketika warga lokal datang minta uang kompensasi . Lihat Sutta Dharmasaputra and Frans Sarong, “Pro-NKRI seakan tak berarti”, Kompas, 21 June 2010; and Kornelis Kewa Ama, “Menunggu saudara yang masih tercecer”, Kompas, 24 June 2010. 60 Crisis Group interviews, Oepkin resettlement, Kefamemanu, 22 September 2010.
Page 9
listrik. Banyak bekas pengungsi yang kecewa dan merasa mereka dijanjikan banyak kalau tetap tinggal di Indonesia, tapi ternyata “kesejahteraan kami hanya jadi 61 proyek lain buat TNI”. Selama ini integrasi menjadi tantangan yang paling berat di daerah-daerah sekitar Kupang, dimana bekas pengungsi paling banyak berasal dari bagian timur Timor Leste. Mereka tidak memiliki hubungan budaya dan bahasa yang dekat seperti yang dimiliki komunitas pengungsi di kabupaten Belu atau kabupaten Timor 62 Tengah Utara. Kekerasan dalam skala kecil antara warga lokal dan warga baru kadang terjadi. Di bulan Desember 2009, bentrokan di Oebelo, diluar Kupang, sampai menghentikan lalu lintas antara Kupang dan Atambua. Bentrokan tersebut kelihatannya menjadi puncak dari pertikaian antara dua komunitas yang memperebutkan hak untuk menambang bijih mangan, yang belakangan ini telah menjadi sumber uang cepat 63 di Timor Barat. Insiden-insiden yang intensitasnya lebih kecil bisa memanas dalam waktu cepat. Setelah seorang anggota komunitas Timor Timur hilang di Camplong pada bulan Maret 2010, sekitar 300 warga kamp pengungsian menyerang rumah-rumah warga lokal dan membakar empat rumah, sebuah mobil dan dua motor, 64 dan mencuri sejumlah besar uang warga. Dalam sebuah contoh kasus lain, seorang warga kamp pengungsian yang katanya dipukul seorang warga lokal yang lewat naik motor, memobilisasi teman-teman dan keluarganya untuk memblokir lalulintas setempat dan 65 merusak beberapa rumah. Hukum negara kelihatannya tidak ditegakkan secara penuh di kamp-kamp pengungsian. PLN selama ini tidak bisa menagih pembayaran dari mereka yang tinggal di kamp pengungsian, tapi meskipun mereka 61
Crisis Group interview, warga Timor Timur, Atambua, September 2010. 62 Sebelumnya juga pernah ada pengungsian dari kabupatenkabupaten di bagian barat Timor Timur ke Belu, terutama sekitar masa konflik sipil Timor Timur dan setelah invasi Indonesia di tahun 1975. 63 Tambang biji mangan sangat menarik bagi para ekspengungsi yang tidak punya pekerjaan formal, tapi kegiatan pertambangan informal berbahaya dan ada resiko kesehatan jangka panjang melalui pernapasan. Pelabuhan Wini dan Atapupu yang sepi di kabupaten Belu telah menjadi pusat ekspor untuk hasil tambang ini. Lihat Yemris Fointuna, “Mines bring low yield with high damage, says official”, Jakarta Post, 11 Februari 2011. 64 “Lokasi kerusuhan masih mencekam”, Kompas, 9 Maret 2010. 65 Crisis Group interview, pejabat desa, Noelbaki, 29 September 2010.
Timor-Leste: Rekonsiliasi dan Kepulangan dari Indonesia Crisis Group Asia Briefing N°122, 18 April 2011
sudah lama menunggak, PLN tidak mencabut aliran listrik ke kamp pengungsian karena takut mereka akan 66 membuat kerusuhan. Para bekas pemimpin milisi memegang peran pemimpin di komunitas-komunitas pengungsi ini. Para pejabat lokal dan polisi mengatakan mereka enggan untuk masuk ke bekas-bekas kamp pengungsian dan wilayah-wilayah pemukiman baru kalau belum mengirim staf mereka yang kelahiran 67 Timor Timur terlebih dahulu. Polisi di kabupaten Kupang mengatakan kalau ada persengketaan atau kejahatan di dalam kamp-kamp yang dilaporkan ke mereka, penyelesaiannya langsung diserahkan ke salah satu mantan pemimpin milisi, yaitu: Eurico Guterres, 68 Joanico Belo atau Cancio de Carvalho. Warga dan pejabat lokal mengatakan bahwa kesejahteraan warga baru terjepit diantara pemerintah propinsi yang lemah yang tidak punya otoritas untuk menyelesaikan persoalan mereka, dan ibukota Negara yang jauh jaraknya yang tidak lagi berniat untuk menangani masalah ini.
B. PERADILAN: KASUS MATERNUS BERE Kembalinya salah seorang terdakwa kelahiran Timor Timur ke Indonesia pada bulan Agustus 2009 memperlihatkan bahwa status quo mengenai masalahmasalah peradilan tidak dapat dipertahankan. Maternus Bere didakwa di tahun 2003 atas dugaan perannya dalam pembunuhan masal di gereja Suai pada bulan 69 September 1999. Sekarang ia bekerja di kantor kecamatan Kobalima Timur di pesisir selatan Belu, berbatasan langsung dengan Suai. Ia kembali ke Suai 66
“Kita datang ke tempat mereka dan kita coba bicara soal ekonomi dan mereka malah bicara soal politik. Tapi politik bukan masalah kita … mereka harus bayar listrik seperti yang lain”. Crisis Group interview, Perusahaan Listrik Negara (State Electricity Company) official, Kupang, 27 September 2010. 67 Crisis Group interviews, pejabat kecamatan dan polres, Babau, Kupang, 25 Februari 2011. 68 Crisis Group interview, polres Kupang, Babau, 25 Februari 2011. 69 Bere bersama dengan anggota milisi Laksaur yang lain di Suai didakwa melakukan penyiksaan, penghilangan paksa, persekusi dan deportasi, termasuk yang berhubungan dengan pembantaian di gereja Suai tanggal 6 September. Perkiraan jumlah korban yang dibunuh dalam serangan ke gereja Suai, dimana ada sekitar 2,000 orang yang berlindung disitu, bervariasi dari 27 sampai 200. Bere adalah komandan kelompok milisi Laksaur di kota Suai dan didakwa dengan tanggungjawab pidana superior. Dakwaannya ada di www.laohamutuk.org/Justice/99/09-2003MaternusBere Indictment.pdf. Laporan mengenai pembantaian di Gereja Suai ada di Geoffrey Robinson, “East Timor 1999 Crimes Against Humanity”, op. cit., Bab10.10.
Page 10
pada bulan Agustus 2009 untuk menghadiri sebuah acara pernikahan dan diberi visa oleh pegawai imigrasi 70 di pos perbatasan Salele. Beberapa hari kemudian ia ditangkap setelah seorang warga lokal melaporkan kehadirannya ke Tim Investigasi Kejahatan Berat di Dili dan polisi PBB; ini setelah ia menghadiri sebuah 71 misa tanpa insiden. Kemudian, Bere dibebaskan dari penjara, diserahkan ke diplomat Indonesia, dan dipulangkan dengan alasan kesehatan yang dibuat-buat. Langkah-langkah ini semuanya ilegal karena seharusnya diperlukan sebuah perintah pengadilan, dan sungguh-sungguh melanggar 72 independensi proses peradilan. Sebuah investigasi kemudian diprakarsai oleh kepala pengadilan banding, Hakim Claudio Ximenes, dan menteri kehakiman diberitahu bahwa pada bulan Juli 2010 ia sedang dalam 73 pengusutan. Dalam komentarnya di tv nasional, presiden membela tindakannya dengan berusaha menjelaskan bahwa “tidak semua langkah hukum mendukung kepentingan nasional, kepentingan 74 negara”. Perdana Menteri menerima tanggung jawab penuh atas pembebasan Bere. Setelah oposisi Fretilin menyampaikan sebuah mosi tidak percaya dalam parlemen, Gusmao memberikan sebuah pembelaan yang berapi-api sebelum dilakukan voting, berargumen bahwa merupakan “kepentingan nasional” untuk meletakkan hubungan baik dengan Indonesia diatas proses pengadilan, dan ia mempertanyakan jejak rekam Fretilin atau partai lain mengenai masalah peradilan. Beberapa mantan milisi berpendapat kepulangan Bere ke Suai di bulan Agustus 2009 adalah sebuah “uji kasus
70
Tidak jelas seberapa teliti petugas imigrasi di Timor Leste mengecek daftar terdakwa. Copy visa yang dikirim oleh mesin faksimili ada di temposemanaltimor.blogspot.com/ 2009/09/tempo-semanal-edisaun-158-special-kazu.html. 71 Crisis Group interview, Suai, 18 Februari 2011. Tim Investigasi Kejahatan Berat (The Serious Crimes Investigation Team/SCIT) adalah sebuah unit dari misi perdamaian PBB di Timor Leste dan diberi mandat tahun 2006 untuk menyelesaikan investigasi-investigasi kasus-kasus Kejahatan Berat yang belum selesai. Tidak seperti pendahulunya, Unit Kejahatan Berat (the Serious Crimes Unit), SCIT tidak melapor kepada jaksa agung dan hanya bisa mengeluarkan rekomendasi-rekomendasi. 72 “Estadu TL fo dalan ba milisia abuza justisa, deputadu garganta, UN fase liman, vitima motok” [“TL membiarkan milisi menyalahgunakan keadilan, Anggota Parlemen cuma bicara saja, PBB cuci tangan, korban tersedak”], Tempo Semanal, 28 September 2009. 73 “Lucia Lobato sai ‘tersangka’ ba kaju Maternus” [“Lucia Lobato disebut sebagai tersangka dalam kasus Maternus”], CJITL, 9 Juli 2010. 74 Salinan interview yang diberikan oleh Presiden RamosHorta ke TVTL, 23 September 2009.
Timor-Leste: Rekonsiliasi dan Kepulangan dari Indonesia Crisis Group Asia Briefing N°122, 18 April 2011
atau coba-coba”, untuk melihat bagaimana pemerintah akan memperlakukan kepulangan salah satu terdakwa di tengah-tengah kepercayaan meluas bahwa laporan KKP telah menyimpulkan tidak akan ada lagi 75 penuntutan. Hal ini memperlihatkan bahwa mustahil untuk mematuhi aturan hukum, dan pada saat yang sama menjalankan sebuah kebijakan untuk tidak mengadili 391 orang yang sudah didakwa oleh Unit 76 Kejahatan Berat. Keadaan ini telah menciptakan kebingungan diantara para tertuduh mengenai apakah mereka bisa pulang, dan apakah para terdakwa yang masih belum diadili akan ditangkap ketika mereka 77 pulang. Walaupun polisi Timor Leste terlibat dalam penangkapan Bere, tapi staff dan polisi PBB lah yang menjalankan proses penangkapan. Setelah serah terima resmi tanggungjawab kepolisian dari polisi PBB ke Policia Nacional de Timor Leste (PNTL), pada tanggal 27 Maret 2011, setiap penangkapan di kemudian hari akan menjadi kebijaksanaan pejabat berwenang Timor 78 Leste.
IV. KEPULANGAN: MENDUKUNG REKONSILIASI Setelah repatriasi besar-besaran di tahun 1999-2001, kepulangan pengungsi kemudian menurun drastis, namun sejak tahun 2009 kepulangan mereka yang tinggal di Timor Barat kelihatannya mulai meningkat lagi dan menarik lebih banyak perhatian media dan 79 pembahasan publik. Walau beberapa pulang dengan inisiatif sendiri, yang lain dibantu oleh sebuah koalisi informal LSM-LSM di Indonesia dan Timor Leste yang telah memberikan sedikit bantuan keuangan dan logistik, dan mungkin yang lebih penting, telah menghubungi anggota keluarga dan pemimpin komunitas untuk menjamin bahwa kepulangan mereka
Page 11 80
akan diterima dengan baik. Pemerintah Timor Leste saat ini tidak memainkan peran semacam ini.
A. FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG DAN MENGHALANGI KEPULANGAN Kebanyakan dari faktor-faktor yang mendorong komunitas ini tetap tinggal di Timor Barat lama setelah kemerdekaan Timor Leste di tahun 2002 masih tetap ada. Faktor yang paling penting bagi segolongan kecil pengungsi (yang datang tahun 1999) dan keluarga tanggungan mereka yaitu status pegawai negeri. Meskipun tingkat gaji bagi PNS lebih tinggi di Timor Leste, harapan dari pekerjaan tetap telah membuat sejumlah besar pengungsi yang bekerja ini terus tinggal 81 di Indonesia, setidaknya sampai mereka pensiun. Golongan ini termasuk sejumlah besar anggota polisi dan TNI berpangkat rendah. Seorang polisi lalu lintas di Atambua menjelaskan bahwa meskipun gaji dengan PNTL lebih besar, “kita tidak bisa pulang karena tidak ada cukup lowongan buat kita. Kita cuma akan jadi 82 preman. Lebih baik kita tunggu sampai pensiun”. Sulit untuk memperkirakan seberapa besar intimidasi yang berperan dalam mempengaruhi para pengungsi untuk tetap berada di Indonesia. Tapi kelihatannya intimidasi bukan faktor yang sangat mempengaruhi seperti di awal-awal tahun setelah referendum; bahkan pemimpin-pemimpin pro-integrasi seperti Eurico Guterres sekarang mengatakan siapapun bebas untuk 83 pulang. Tapi LSM-LSM lokal melaporkan kasus pemaksaan masih terjadi, terutama di kamp-kamp pengungsian. Seorang suco (kepala desa) di Timor Leste yang sudah beberapa kali mencoba mengorganisir kepulangan beberapa ratus warga desa, namun gagal, mengatakan bahwa pemimpin-pemimpin komunitas di Timor Barat menyebarkan informasi yang tidak benar mengenai situasi di kampung halaman, memicu
80
75
Crisis Group interviews, Atambua, Kupang, September 2010. 76 Crisis Group interviews, pejabat pemerintah, Kupang, 27 September 2010, Dili, 12 Oktober 2010. 77 Crisis Group interviews, anggota-anggota milisi yang didakwa, Wini, Kupang, Atambua, 2010. 78 “National police resume responsibility in Timor-Leste”, press release UNMIT, 27 Maret 2011. Untuk laporan mengenai penyerahan tanggungjawab kepolisian dari polisi PBB ke PNTL, lihat laporan Crisis Group, Timor-Leste: Time for the UN to Step Back, op. cit. 79 “Mereka Pilih Timor Leste daripada Indonesia”, VIVAnews, 31 Januari 2011.
Sejumlah kecil penggiat LSM di Timor-Leste telah bersatu untuk mendukung kepulangan para eks pengungsi dan memantau sebagai bagian dari sebuah jaringan bernama Grupu Servisu Fila Hikas Knua (Kelompok Kerja untuk Pulang Kampung). Sebelumnya dinamai Kelompok Kerja untuk Repatriasi, jaringan ini merubah namanya untuk menghindari kecurigaan bahwa kegiatan mereka bermotif politik. Crisis Group interview, Maleve Guerra, Lospalos, 2 Februari 2011. 81 Saat ini tidak ada cara untuk mengambil uang pensiun dari luar Indonesia, suatu hal yang bisa dipertimbangkan oleh pemerintah Indonesia untuk memberi keringanan bagi para bekas warga Timor Timur yang ingin pulang. 82 Crisis Group interview, petugas polisi, Atambua, 2 Oktober 2010. 83 Crisis Group interview, Eurico Guterres, Kupang, 25 Februari 2011.
Timor-Leste: Rekonsiliasi dan Kepulangan dari Indonesia Crisis Group Asia Briefing N°122, 18 April 2011
Page 12
ketakutan akan terjadi lagi instabilitas politik, dan meyakinkan teman sekampungnya yang mudah 84 dipengaruhi bahwa lebih baik menunggu.
mengecek dengan pemerintah kabupaten Oecusse bahwa mereka akan diterima dengan baik oleh warga 88 kampung halaman mereka.
Seorang pemimpin komunitas lain masih tinggal bersama warga desanya yang berjumlah sekitar 3,000an yang meninggalkan desa Cassa, kabupaten Ainaro, mengatakan warga bebas untuk pulang ke kampung halaman mereka, tapi lebih baik menunggu sampai mereka semua bisa pulang sekaligus, bersama-sama dengan ternak mereka yang telah mereka beli dan 85 pelihara di Indonesia. Apakah intimidasi secara terang-terangan masih terjadi atau tidak, pengaruh anggota keluarga dan pemimpin tradisional yang masih ingin mempertahankan pengaruh mereka menjadi faktor yang menentukan bagi banyak pengungsi yang ingin pulang.
Konsulat Timor Leste di Kupang baru-baru ini berhenti mengeluarkan surat jalan sementara bagi mereka yang lahir di Timor Timur yang ingin pulang ke Timor Leste dengan tujuan memohon kewarganegaraan Timor Leste, kecuali mereka bisa memberikan sebuah surat rekomendasi dari Departemen Kehakiman (Depkeh) Indonesia. Setelah menanyakan ke Depkeh, sebuah LSM di Kupang diberitahu bahwa biaya untuk mendapatkan surat ini Rp 200 ribu, dan prosesnya 89 sekitar 6 bulan. Ini jauh diluar kemampuan sebagian besar pengungsi yang ingin pulang, dan LSM tersebut sudah tidak lagi meminta surat rekomendasi dari konsulat.
TNI masih menjadi institusi yang bertanggungjawab dalam mengawasi dan memberi ijin kepulangan ke Timor Leste, bahkan setelah upaya repatriasi resmi di tahun 2005 berakhir. Tidak ada landasan hukum bagi kelanjutan dari peranan ini oleh TNI, yang sebagian disebabkan oleh kelemahan administrasi, tapi hal ini berarti staf Kodim masih berkuasa untuk menentukan siapa yang boleh pulang. Setiap Kodim menampung sejumlah besar staf yang meninggalkan Timor Timur setelah referendum 1999, hal ini berarti bahwa mereka yang menangani permohonan repatriasi seringkali 86 terkait dengan bekas milisi. Sebuah proses administrasi yang panjang difokuskan untuk memastikan bahwa para pengungsi secara terbuka melepaskan hak mereka sebagai WNI dan berjanji untuk tidak minta bantuan 87 lain.
Beberapa faktor yang sekarang mungkin mempercepat kepulangan:
Tidak adanya landasan hukum yang jelas untuk memproses kepulangan menimbulkan kebingungan. Di Timor Tengah Utara, sejumlah keluarga yang berusaha untuk kembali ke kabupaten Oecusse di Timor Leste di tahun 2009 mendatangi Kodim tapi diberitahu bahwa sudah tidak ada lagi program repatriasi. Petugas imigrasi juga tidak tahu bagaimana menangani permohonan mereka. Akhirnya seorang pendeta setempat memfasilitasi untuk menyebrangi perbatasan secara ilegal di malam hari setelah sebelumnya
Akses atas lahan pertanian. Banyak dari mereka yang tinggal di Timor Barat tidak punya pekerjaan dan hanya punya akses terbatas atas lahan pertanian. Mereka meminjam lahan dari komunitas lokal yang sekarang 90 meminta kembali tanah mereka . Sebagian besar dari para pengungsi ini mempunyai lahan di kampung halaman mereka untuk bercocok tanam atau beternak. Di beberapa tempat di Timor Leste dimana warganya banyak yang masih mengungsi di Indonesia, mereka dibutuhkan untuk pulang agar dapat membantu menggarap lahan. Seorang mantan staf CAVR di Dilor, kabupaten Viqueque, menjelaskan bahwa populasi penduduk di sekitar kabupaten ini menurun drastis selama masa pendudukan Indonesia. Daerah ini menjadi daerah basis pendukung para pejuang prokemerdekaan di akhir tahun 1970an, setelah invasi oleh Indonesia dan menanggung tindak balas dendam oleh TNI. “Sekarang kita butuh sebanyak mungkin orang 91 untuk pulang dan menggarap lahan”. Menggunakan hak atas properti. Bagi sedikit dari mereka yang tinggal di Timor Barat yang memiliki tanah di Timor Leste, khususnya di Dili, sebuah kepulangan permanen ke Timor Leste membawa harapan untuk sekali lagi menggunakan hak atas properti, dimana saat ini tanah semakin meningkat
84
Crisis Group interview, kepala suco dari Timor-Leste, Atambua, 4 Oktober 2010. 85 Crisis Group interview, Herminio Lopes de Carvalho, desa “Cassa”, Betun, NTT, 2 Oktober 2010. 86 Dikabupaten Belu contohnya, anggota staf TNI yang bertanggungjawab memberi ijin atas permohonanpermohonan ini adalah bekas anggota batalion infantri 745 yang berbasis di Lospalos745, sekarang sudah dibubarkan. 87 Crisis Group interview, Januario Moreira, KOKPITT, Atapupu, 21 September 2010.
88
Crisis Group interview, pastor, Kefamemanu, 1 Oktober 2010. Crisis Group interview, staf CIS-Timor, Kupang, 26 Februari 2011. 90 Crisis Group interviews, staf CIS-Timor, Kupang, 26 Februari 2011; dan kepala desa Noelbaki, Noelbaki, 25 Februari 2011. 91 Crisis Group interview, bekas staf CAVR, Dilor, Viqueque, Februari 2011. 89
Timor-Leste: Rekonsiliasi dan Kepulangan dari Indonesia Crisis Group Asia Briefing N°122, 18 April 2011 92
nilainya. “Pemilik tanah bisa mendapat 3,000 dolar sebulan dengan menyewakan tanahnya ke pom bensin di Dili sekarang ini. Itu sebabnya banyak orang yang 93 pada pulang”. Upaya untuk mengesahkan undangundang mengenai kepemilikan aset mungkin akan tetap terhenti sampai setelah pemilu parlemen selanjutnya pada tahun 2012, tapi sebuah proses registrasi klaim aset tanah baru-baru ini di Timor Leste mungkin telah memberi sedikit urgensi atas masalah ini. Upaya-upaya untuk mendapatkan kompensasi dari pemerintah 94 Indonesia sudah mentok. Hanya sedikit insentif ekonomi untuk tetap tinggal di Timor Barat. Antara tahun 2010-2011, banyak tanaman panen yang gagal di seluruh kepulauan Timor karena curah hujan yang luar biasa lebat sepanjang tahun. Hal ini mungkin membuat prospek ekonomi untuk pulang kelihatan lebih menarik, karena sudah jelas bahwa bantuan dari pemerintah di Indonesia bagi warga baru tidak akan datang lagi. Prospek ekonomi yang lebih menarik di Timor Leste ini khususnya benar bagi mereka yang berusia di atas 60 tahun, yang berhak untuk menerima bantuan uang pensiun dari pemerintah 95 Timor Leste. Usia. Mereka yang pulang dalam tahun belakangan ini kebanyakan adalah laki-laki dan perempuan usia lanjut. Seorang perempuan tua yang pulang ke Dilor pada bulan Juli 2010 membawa jenasah kedua orangtuanya yang sudah meninggal. Setelah kedua orangtuanya meninggal, ia berpikir bahwa sudah waktunya untuk
92
Salah satu kasus warisan yang kontroversial yang sedang dipertimbangkan oleh pengadilan Distrik Dili yaitu tanah milik Abiílio Osório Soares, gubernur Timor Timur terakhir yang meninggal tahun 2007. Kasus ini sudah lebih dari setahun berada dalam pertimbangan pengadilan. Crisis Group interview, panitera pengadilan, Dili, 8 Maret 2011. Untuk informasi lebih lanjut mengenai kasus ini lihat “Eis anti independensia fila, Manuel lakon rai” [“Bekas pendukung anti-kemerdekaan pulang, Manuel kehilangan tanahnya”], Tempo Semanal, 31 Maret 2010. 93 Crisis Group interview, pejabat pemerintah, Dili, 10 Februari 2011. 94 Lihat laporan Crisis Group, Managing Land Conflict in Timor-Leste, op. cit. Upaya-upaya lobby oleh warga Indonesia agar mendapat kompensasi atas aset mereka di Timor-Leste sejauh ini belum terselesaikan. “Ganti rugi asset WNI di Timor Leste, WNI tagih janji Xanana Gusmao”, Timor Express, 11 Oktober 2010; dan “Tim advokasi beri dead line, serahkan data kepemilikan aset di Timtim”, Timor Express, 2 November 2008. 95 Menurut Peraturan Pemerintah no. 19/2008, yang menetapkan mengenai masalah pensiun, pemohon harus tinggal di Timor-Leste selama dua tahun sebelum bisa menerima dana pensiun. Lihat Pasal 5b.
Page 13 96
pulang. Selain itu banyak yang ingin dikubur di kampung halamannya ketika mereka meninggal nanti. Ikatan Budaya. Banyak yang juga merasa terpanggil untuk pulang oleh struktur komunitas tradisional. Mereka yang masih tinggal di Timor Barat termasuk para kepala uma lulik (rumah adat) dan para pemuka adat lain. Kepulangan mereka dianggap penting bagi tatanan sosial banyak komunitas. Kurangnya kemajuan dalam mengimplementasikan rekomendasi-rekomendasi KKP. Banyak dari rekomendasi-rekomendasi yang lebih mendasar dari laporan KKP, antara lain mempermudah pergerakan lintas perbatasan demi interaksi damai, dan menjamin perlintasan aman bagi warga kedua negara untuk mengunjungi keluarga dan makam keluarga belum diimplementasikan. Sebuah sistem penyeberangan perbatasan, yang akan memfasilitasi penyeberangan perbatasan secara legal tanpa paspor atau visa, masih dalam tahap percobaan (pilot phase) dan terbatas pada satu tempat penyeberangan perbatasan resmi di 97 Batugade. Kemajuan yang signifikan dalam masalah ini dan skema yang lain mungkin akan mengurangi tuntutan untuk pulang. Suara. Ada beberapa indikasi bahwa ada dorongan ekstra untuk pulang sebelum pemilu legislatif 2012 di Timor Leste. Partainya Perdana Menteri, CNRT, dilihat sebagai partai yang kemungkinan paling diuntungkan oleh kepulangan mereka, terutama karena dukungannya yang blak-blakan terhadap kepulangan para bekas pengungsi ini. Para pengusaha di Timor Barat yang 96
Crisis Group interview, mereka yang pulang, Dilor, Viqueque, Februari 2011. Tampaknya tidak ada restriksi mengenai pemindahan jenasah lintas perbatasan, mereka yang membantu kepulangan ibu-ibu ini mengatakan akan bijaksana kalau menunggu beberapa waktu terlebih dahulu untuk meminimalisasi resiko kesehatan yang ditimbulkan oleh jenasah. Crisis Group interview, staf CIS-Timor, Kupang, 26 Februari 2011. 97 Dibawah skema yang diusulkan ini, hanya mereka yang tinggal di kecamatan yang berdekatan dengan perbatasan diantara kedua negara yang berhak untuk melewati perbatasan dengan menggunakan border pass. Ini berarti tidak ada kemajuan bagi kebanyakan dari mereka yang berada di kedua sisi perbatasan termasuk, contohnya, para eks pengungsi dari kabupaten Ermera dan Ainaro yang menyeberang dari kabupaten Belu ke kampung halaman mereka selama bulan-bulan panen kopi. Dibawah pengaturan yang saat ini berlaku, mereka seringkali menyeberang secara ilegal tapi dengan pengakuan semi-formal oleh polisi perbatasan dan pejabat desa, dengan memberi sedikit uang. Crisis Group interview, kepala suco Manutasi, Ainaro, 19 Maret 2011. Untuk informasi lebih lanjut mengenai peraturan perbatasan Indonesia–Timor-Leste, lihat laporan Crisis Group, Timor-Leste: Oecusse and the Indonesian Border, op. cit.
Timor-Leste: Rekonsiliasi dan Kepulangan dari Indonesia Crisis Group Asia Briefing N°122, 18 April 2011
mempunyai hubungan dengan CNRT juga telah memainkan peran dalam mencoba memfasilitasi 98 kepulangan. Gusmao membantah bahwa ada strategi untuk membawa para pengungsi pulang sebelum pemilu, dengan menjelaskan “kita sudah punya cukup 99 suara”.
B. IMPLIKASI KEPULANGAN Mereka yang sudah kembali dalam tahun belakangan telah pulang sendiri tanpa program bantuan resmi dari pemerintah Timor Leste. Banyak dari mereka laki-laki dan perempuan usia lanjut yang kemungkinan kecil tidak punya peran aktif dalam kekerasan pada tahun 1999. Sedikit kesulitan yang mereka alami kemungkinan akan bertambah besar kalau jumlah yang pulang terus bertambah. Kebutuhan mata pencaharian sesegera mungkin. Sebagian besar pengungsi yang pulang tidak punya pendapatan lain kecuali hasil dari apa yang mereka tanam. Mereka bergantung pada pemberian dari orang lain (keluarga, tetangga, dll) pada bulan-bulan pertama setelah kembali bertani lagi, setidaknya sampai panen pertama mereka. Tidak ada bantuan sembako resmi dari pemerintah; walaupun di beberapa daerah telah diperoleh dana dari anggaran Kementerian Solidaritas Sosial untuk membantu orang-orang yang kurang mampu. Meskipun alokasi semacam itu belum dibuat, ada harapan bahwa dana semacam ini mungkin akan disiapkan dari anggaran 2011. Seorang kepala suco mencari bantuan dan memperoleh sumbangan pribadi untuk membeli mi instan dari seorang anggota 100 parlemen. Yang lain bergantung pada kemurahan hati dari keluarga. Banyak yang berpendapat bahwa bantuan selama tiga bulan seharusnya cukup untuk mengatasi kesulitan, sampai mereka dapat memanen 101 hasil pertanian mereka. Tanah. Sejumlah besar pengungsi yang bakal pulang kemungkinan besar akan memperburuk sengketa tanah. Di banyak wilayah, rumah-rumah dan lahan-lahan pertanian yang diketahui merupakan milik mereka yang saat ini mengungsi di Indonesia, dibiarkan kosong untuk mengantisipasi mereka pulang, atau dirawat oleh 98
Crisis Group interview, Kupang, 24 Februari 2011. “PM Xanana: Ema ne’bee fahe dokumentus falsu konaba UNTAS laran ladun mos” [“PM Xanana: yang mempublikasikan dokumen palsu mengenai UNTAS tidak punya hati nurani”], Forum Haksesuk, 16 Maret 2011. 100 Crisis Group interview, kepala suco Lalawa, Tilomar, Suai, 18 Februari 2011. 101 Crisis Group interviews, kepala suco, Lalawa dan Maudemo, Suai dan CIS-Timor staff, Atambua, Kupang, Februari 2011. 99
Page 14
anggota keluarga mereka. Hal ini akan memudahkan mereka untuk mengambil kembali tanah mereka, meskipun kemungkinan akan membuka pintu bagi munculnya sengketa antar keluarga mengenai warisan. Berdasarkan sebuah UU tahun 2003, aset-aset yang diklaim oleh mereka yang tinggal di luar Timor Leste akan diambil alih oleh pemerintah hingga penyelesaian lebih lanjut. Hal ini jarang dipatuhi. Seperti yang dijelaskan oleh kepala departemen pertanahan dan properti di kabupaten Suai: “Undang-undang nya sudah 102 ada, implementasinya saja yang belum”. Dengan tidak adanya peraturan atau implementasi, pemimpin-pemimpin komunitas setempat sudah mulai membuat peraturan sendiri. Di sebuah suco yang dikenal sebagai tempat kelahiran banyak anggota milisi Mahidi di Ainaro, tanah kepemilikan dari mereka yang masih tinggal di Timor Barat hingga sampai saat ini dibiarkan kosong – tanpa perkecualian. Kepala suco mulai mengeluarkan ultimatum dan perintah. Bagi mereka yang belum bisa pulang karena mereka punya liman foer (tangan kotor), ia akan mengijinkan mereka untuk terus memegang tanah kosong. Sejumlah besar pengungsi yang tinggal di Belu diseberang perbatasan dan setiap tahun pulang untuk memetik biji kopi di tanah mereka dulu, tidak akan bisa lagi mengklaim aset lama mereka. Sebaliknya, ia akan mengirim mereka untuk hidup dan bekerja di tanah kosong yang dipegang 103 oleh komunitas. Dalam kesempatan lain, anggota komunitas setempat telah mengambil alih rumah-rumah kosong yang ditinggalkan oleh penghuninya yang sedang mengungsi. Ini khususnya menjadi masalah di daerah perumahan yang terpencar di kota Dili dan meliputi sebagian besar kota di kabupaten-kabupaten besar. Seorang kepala suco di Suai menjelaskan bahwa keluarga-keluarga yang menempati rumah milik keluarga yang mengungsi ke Timor Barat akan dengan senang hati meninggalkan rumah tersebut ketika pemiliknya kembali. Pada umumnya mereka memiliki tanah sendiri di tempat lain tapi belum mempunyai rumah. Tapi sekarang mereka minta uang kompensasi 104 hingga $1,000. Kepala suco tersebut mengatakan bahwa sebagian besar dari kasus-kasus tersebut sudah diselesaikan lewat mediasi dan kasus lain kemungkinan juga akan diselesaikan dengan cara ini. Banyak yang berharap mendapatkan bantuan dari pemerintah karena
102
Crisis Group interview, Direktur DNTP Suai, Suai, 16 Februari 2011. 103 Crisis Group interview, kepala suco Manutasi, Ainaro, 19 Februari 2011. 104 Crisis Group interview, kepala suco Maudemo, Salele, Suai, 17 Februari 2011.
Timor-Leste: Rekonsiliasi dan Kepulangan dari Indonesia Crisis Group Asia Briefing N°122, 18 April 2011
uang kompensasi sebesar ini tidak terjangkau oleh 105 mereka. Eurico Guterres mengatakan sebuah rumah yang ia tinggalkan dan sekarang dirawat oleh tetangganya di perumahan Delta di Dili telah ditempati 106 oleh keluarga lain. Keamanan. Polisi dan pemimpin masyarakat di Timor Leste tidak lagi menganggap milisi sebagai ancaman langsung terhadap keamanan internal. Tapi sekarang kebutuhan yang paling penting adalah memberi keamanan kepada para pengungsi yang pulang dan melindungi mereka dari kemungkinan diganggu. Seorang kepala polisi di kabupaten Viqueqeue menjelaskan, pesan yang pertama-tama ia berikan ke sekelompok pengungsi yang baru kembali – bahwa mereka harus melaporkan siapapun yang mengganggu mereka dengan alasan politik, dan pengganggu ini akan 107 ditangkap. Di Suai, kepala-kepala suco setempat dan pemimpin-pemimpin yang lain mengatakan mereka telah melakukan peran yang sama, melarang komunitas lokal untuk tidak menggunakan bahasa yang seperti itu. Seorang mantan komisaris CAVR mengatakan bahwa setiap minggu ia sengaja melakukan kunjungan ke para pengungsi yang baru-baru ini kembali untuk mengecek kalau ada masalah, dan juga untuk membantu mengatasi kalau ada pertentangan yang mungkin saja timbul dengan tetangga mereka. Sejauh ini, katanya, 108 tidak ada masalah. Namun begitu, para pengungsi yang pulang akan diuntungkan dengan adanya pemantauan yang ketat dari polisi setempat dan masyarakat madani. Banyak dari pengungsi yang pulang baru-baru ini berusia lebih tua dan hanya sedikit yang diketahui terkait dengan kekerasan 1999. Dengan terus berlanjutnya kepulangan para pengungsi, kemungkinan diantara mereka, terdapat mereka yang terlibat secara langsung dalam kekerasan 1999 juga akan meningkat. Banyak yang masih tetap tinggal di NTT karena takut orang-orang akan berpikir mereka terkait dengan kekerasan 1999 setelah pergi lebih dari satu dekade. Pemerintah dan masyarakat perlu mempertimbangkan untuk mengorganisir upaya-upaya rekonsiliasi lokal di masa depan yang akan memperlancar proses reintegrasi. Hal ini harus menjadi tugas Public Memory Institute yang akan didirikan dibawah Rancangan UndangUndang (RUU) untuk mengawasi implementasi
105
Ibid. Crisis Group interview, Kupang, 25 Februari 2011. 107 Crisis Group interview, kapolres, Viqueque, 4 Februari 2011. 108 Crisis Group interview, mantan komisaris daerah CAVR, Suai, 18 Februari 2011 106
Page 15 109
rekomendasi-rekomendasi dari CAVR dan KKP. Mengkoordinir upaya-upaya rekonsiliasi di tingkat lokal dengan jaringan pencegahan konflik yang sudah ada, dan memantau para pengungsi yang sudah pulang, akan menjadi satu cara untuk membantu menjamin 110 mereka tanggap akan kebutuhan setempat.
V. KEPULANGAN DAN TANTANGAN DALAM MENEGAKKAN KEADILAN Hanya sebagian kecil dari warga baru di Timor Barat yang enggan untuk pulang karena takut dituntut secara hukum atau karena terlibat langsung dengan milisi atau barisan politik pro-integrasi. Kepulangan mereka akan menimbulkan tantangan yang lebih kompleks. Lebih dari 200 warga baru belum pernah pulang guna melindungi diri mereka dari salah satu penuntutan diantara banyaknya dakwaan tetap terhadap kejahatan berat yang dilakukan di tahun 1999. Bersama-sama dengan para bekas anggota milisi yang tidak didakwa dan mereka yang merupakan anggota barisan politik pro-otonomi karena, kepulangan mereka juga bergantung pada pertimbangan ideologi. Bukannya mereka tidak secara terbuka menyatakan keinginan mereka untuk pulang – seorang mantan perwira polisi Timor Leste di Atambua menjelaskan “siapapun yang bilang kepada anda dia tidak ingin pulang adalah pembohong” – tapi kepulangan mereka ada
109
Dua RUU, mengenai pendirian sebuah public memory institute (Instituto da Memória) dan sebuah skema pembayaran ganti rugi, diserahkan ke parlemen pada bulan Juli 2010. Pada umumnya mereka disetujui pada bulan September 2010 tapi pembahasan mengenai pokok-pokok UU sejauh ini mengalami penundaan. Institut ini akan berfungsi sebagai pengganti CAVR. 110 Ada sejumlah skeptisisme mengenai pentingnya proses rekonsiliasi yang diorganisir dalam skala besar dan apakah proses ini merupakan sebuah pemakaian dana yang efisien. Bupati Belu menyebut pernikahan baru-baru ini antara anak bekas bupati Viqueque, yang merupakan salah satu yang didakwa atas kejahatan tahun 1999, dengan anak seorang pengusaha Atambua sebagai sebuah contoh jenis rekonsiliasi yang lebih efektif daripada upaya yang terkoordinasi karena rekonsiliasi ini membantu memperkuat hubungan keluarga dan budaya yang sudah ada. Ia bertanya apabila pernikahan penyanyi pop Indonesia terkenal Krisdayanti dengan pengusaha Timor Timur Raul Lemos dirayakan di kedua negara untuk semakin memperkuat hubungan. Resikonya yaitu bahwa rekonsiliasi semacam ini hanya mencakup kalangan elit. “Lopes: Rekonsiliasaun entre Belu ho TL la presija rekayasa” [“Lopes: Reconciliation between Belu and TL does not need to be engineered”], Suara Timor Lorosae, 24 Januari 2011.
Timor-Leste: Rekonsiliasi dan Kepulangan dari Indonesia Crisis Group Asia Briefing N°122, 18 April 2011 111
syaratnya. Syarat-syarat itu termasuk mengenai bagaimana dakwaan akan diperlakukan, keamanan mereka, penghargaan terhadap hak properti mereka, dan semacam pengakuan atas penderitaan mereka sebagai “korban politik”.
A. MUNCULNYA KEMBALI UNTAS Uni Timor Aswain (Persatuan Para Pejuang Timor) yang dikenal lewat kependekannya UNTAS, adalah wadah perhimpunan politik warga Indonesia kelahiran 112 Timor Timur. UNTAS didirikan pada bulan Januari 2000 sebagai sayap politik para tokoh politik prointegrasi dan milisi yang telah meninggalkan Timor Timur. Awalnya mereka berupaya untuk menolak hasil referendum dan menghalangi kemerdekaan bekas salah satu propinsi Indonesia ini. Tapi mereka kehilangan momentum setelah kemerdekaan negara Timor Leste pada bulan Mei 2002 sehingga tujuan ini menjadi siasia. Kemudian UNTAS diserahkan ke seorang “pengurus” organisasi, Armindo Mariano Soares, yang saat itu adalah ketua DPRD propinsi NTT, jabatan pemerintah paling tinggi yang dipegang oleh warga Indonesia kelahiran Timor Timur. UNTAS dihidupkan kembali pada bulan November 2010 setelah Eurico Guterres dan Filomeno Hornay merebut kendali dari Soares, dengan mengklaim bahwa Soares tidak berbuat apa-apa untuk mendukung warga baru dan sudah waktunya untuk memperbarui peran organisasi sebagai suara bersama bagi warga Indonesia 113 kelahiran Timor Leste. Pergantian ini sebagian merupakan pergantian generasi, Soares berumur 60 tahunan, sementara Guterres baru 37 tahun. Ini juga merupakan upaya untuk membangun sebuah forum untuk meminta dukungan dan bantuan dari Jakarta. Beberapa kelompok dengan kepentingan yang berbeda bergantian mengklaim bahwa mereka telah melakukan hal ini tapi pada umumnya tidak berhasil, seringkali 114 malah dirongrong oleh perebutan kepemimpinan. Bahkan UNTAS pun tidak terhindar dari perpecahan seperti itu, dengan Soares mengatakan akan terus memimpin kelompok sempalan UNTAS versinya 111
Crisis Group interview, perwira senior polisi, Atambua, 2 Oktober 2010. 112 Nama ini berasal dari bahasa campuran Indonesia danTetum yang berarti “Persatuan Para Pejuang Timor”. Serangkaian press release dan platform politik ada di situs organisasi, www.untas.org. Kelihatannya situs ini belum diupdate tahun belakangan ini. 113 Crisis Group interview, Filomeno Hornay, Kupang, 26 Februari 2011. 114 Contoh-contoh termasuk Komite Nasional Korban Politik Eks Timtim (KOKPITT), Forum Kemanusiaan Warga Negara Indonesia (FKWNI), dan Front Eks Pejuang Timor Timur.
Page 16 115
sendiri, dengan nama yang sama. Mainstream UNTAS mengklaim bahwa mereka mempunyai anggota yang lebih banyak yaitu sekitar 100,000 an anggota – kemungkinan jumlah ini diperbesar dari yang sebenarnya, tapi tanpa adanya angka yang akurat, hal ini memberikan penampilan sebagai sebuah kelompok 116 pemilih yang besar. Sebagai sebuah organisasi, UNTAS mengambil sikap yang ganjil mengenai kemerdekaan Timor Leste. Pemimpinnya berbicara mengenai kepulangan mereka ke Timor Leste di masa depan dan menjelaskan “tidak pernah ada seorangpun yang tidak ingin kemerdekaan”. Dalam sebuah pelaksanaan didalam revisionisme, mereka mengatakan satu-satunya perbedaan adalah mengenai bagaimana dan seberapa cepat kemerdekaan Timor Leste seharusnya diwujudkan. Belakangan ini, mereka menjauhkan diri dari posisi “yang lebih 117 radikal” tak lama setelah referendum. Namun, meskipun dalam kongres bulan November 2010 mereka mengindikasikan bahwa UNTAS akan mengakui kemerdekaan Timor Leste, tapi UNTAS tidak secara resmi melakukannya – kemungkinan sebuah cerminan sikap bungkam beberapa anggota yang lebih garis keras – dan platform politik mereka tahun 2000 masih 118 berlaku. Ada dua penghalang utama bagi kebanyakan anggota UNTAS untuk pulang. Yang pertama adalah ke 211 dakwaan yang dikeluarkan oleh proses Kejahatan Berat yang berlaku bagi para tersangka kelahiran Timor Timur. Banyak dari tersangka ini mempunyai hubungan dengan UNTAS dan mereka yang tidak didakwa melihat perjuangan untuk “menghapus” daftar tersangka ini sebagai bagian dari perjuangan mereka 119 juga. Halangan kedua untuk pulang bersifat lebih ideologis. Mereka menginginkan pengakuan resmi terhadap gerakan pro-integrasi, termasuk penyerahan 115
Crisis Group interview, Armindo Mariano Soares, Kupang, 25 Februari 2011. 116 Guterres menjadi ketua DPW PAN (Partai Amanat Nasional) NTT. Upayanya untuk menjadi anggota DPR RI dalam pemilu DPR tahun 2009 tidak berhasil. Soares sebelumnya adalah bekas anggota Golkar tapi pada tahun 2009 mencalonkan diri lewat partai Gerindra, yang diketuai Prabowo Subianto, seorang mantan komandan Kopassus dan Kostrad yang instrumental dalam membina perkembangan milisi-milisi Timor Timur dan beberapa kali terlibat langsung dalam operasi-operasi TNI di Timor Timur, termasuk dalam pembantaian di Kraras tahun 1983. 117 Crisis Group interview, Eurico Guterres, Kupang, 25 Februari 2011. 118 Crisis Group interviews, Eurico Guterres, Filomeno Hornay, Kupang, 25-26 Februari 2011. 119 “Daftar 401 nama SCU PBB – berjuang hapus pelanggar HAM”, Timor Express, 2 Juni 2010.
Timor-Leste: Rekonsiliasi dan Kepulangan dari Indonesia Crisis Group Asia Briefing N°122, 18 April 2011
hasil resmi referendum tahun 1999 kepada mereka untuk ditandatangani dan pengakuan resmi terhadap hak mereka untuk pulang, meskipun hal ini sudah ada 120 dalam UU. Seorang pemimpin berpendapat hal ini 121 paling baik dicapai lewat UU. Lebih dari sepuluh tahun setelah referendum, pemerintah pusat di Indonesia tidak lagi terlalu tertarik dengan kesejahteraan dari bagian yang sangat kecil dari 240 juta warganya. Seruan untuk memberi perhatian khusus kepada isu ini sebagian besar tidak diindahkan sejak keputusan yang dikeluarkan pada tahun 2005 untuk mengakhiri status mereka sebagai pengungsi. UNTAS yang dihidupkan kembali mungkin akan lebih menarik bagi partai-partai politik untuk mendekati konstituensi lokal ini. Upaya-upaya untuk memobilisasi blok suara ini sejauh ini tidak efektif. Setelah dikeluarkannya keputusan untuk mengakhiri pemberian bantuan kepada mereka, tidak jelas apakah sekarang ada cara lain untuk memungut persenan dari bantuan yang ditargetkan bagi warga baru ini, yang diperlakukan sama dengan warga lain. Negara Timor Leste yang kecil tapi semakin kaya ini, sekarang memiliki daya tarik yang sebelumnya tidak ada sejak situasi kacau balau paska referendum bagi mereka yang memiliki koneksi dan pengaruh. Jumlah anggaran negara tahunan naik dua kali lipat di tahun 2011 menjadi $1.3 milyar dan komitmen pemerintah untuk membagi-bagikan bantuan uang dan memberikan kontrak-kontrak proyek konstruksi ke usaha-usaha kecil di luar ibukota menciptakan kesempatan menarik bagi mereka yang memiliki pengaruh. Kelihatannya orangorang yang dulunya mengganggu pemerintah, menerima kontrak-kontrak pemerintah, dan para bekas milisi dan bekas tokoh-tokoh politik pro-integrasi 122 mungkin akan berusaha untuk mengikuti jejak mereka. Sementara pengesahan atas undang-undang pertanahan sebelum pemilu 2012 sekarang ini menjadi tidak 120
Hasilnya diumumkan oleh Sekjen PBB di New York malam tanggal 3 September 1999 (4 September di Dili). Eurico Guterres menjelaskan bahwa para pemimpin prointegrasi percaya seharusnya hasilnya diserahkan kepada mereka, dan mereka diberi kesempatan untuk mengakui hasil tersebut. Crisis Group interview, Eurico Guterres, Kupang, 25 Februari 2011. 121 Crisis Group interview, Filomeno Hornay, Kupang, 26 Februari 2011. 122 Sebuah artikel dalam sebuah media menelusuri bagaimana kontrak-kontrak pembagian besar diberikan di tahun 2011, dan yang tadinya dimaksudkan oleh perdana menteri hanya diberikan ke veteran-veteran pejuang kemerdekaan malah diduga jatuh ke tangan mereka yang terkait dengan pemerintah Indonesia, termasuk keluarga dari gubernur Timor Timur terakhir, Abílio Osório Soares. Lihat “Into whose hands is the money going?”, Tempo Semanal online, 18 Februari 2011.
Page 17
mungkin, prospek bagi sebuah tenggat waktu untuk mengklaim kepimilikan pribadi sebelum negara baru ini mengeluarkan sertifikat hak atas tanah juga merupakan sesuatu yang menarik (demikian adanya). Berita mengenai dihidupkannya kembali UNTAS dapat dipahami telah menimbulkan kekhawatiran di beberapa kalangan di Timor Leste, dan telah memicu isu bahwa ada “mata-mata” yang bekerja untuk UNTAS di Timor 123 Leste. Yang membantu mendorong isu seperti ini adalah sebuah dokumen yang asal muasalnya diragukan yang katanya dibuat dalam kongres pertama UNTAS pada bulan Januari 2000 yang berisi daftar sejumlah strategi-strategi “halus” untuk memutarbalikkan hasil referendum, termasuk memajukan bahasa Indonesia dan bisnis di Timor Leste dan wakil-wakil politik di 124 pemerintah. Adanya sejumlah tokoh-tokoh mantan pro-integrasi dalam pemerintahan di Dili dipuji oleh beberapa orang sebagai sebuah langkah positif menuju rekonsiliasi, tapi yang lain mungkin melihat ini sebagai tanda-tanda bahwa rencana yang diisukan itu sedang dijalankan. Meskipun para anggota UNTAS mengklaim bahwa mereka mempunyai dukungan yang cukup banyak dari dalam Timor Leste dari teman dan keluarga, tapi mereka tidak bisa memberikan jawaban lebih rinci atas klaim mereka tersebut. Isu mengenai “operasi” lintas perbatasan kemungkinan besar cuma untuk menakutnakuti dan seorang anggota mengatakan tidak mungkin ada rekanan UNTAS di Timor Leste karena kehadiran mereka bisa diartikan sebagai pengakuan mereka 125 terhadap kemerdekaan Timor Leste. Sebuah publikasi baru-baru ini oleh sebuah kelompok mahasiswa di Dili mengenai dokumen palsu yang mengklaim bahwa sejumlah tokoh AMP yang sekarang ini masih menjadi anggota organisasi tersebut memicu kekhawatiran di media lokal. Pemimpin-pemimpin Timor Leste langsung bergerak untuk membungkam klaim tersebut, sementara LSM-LSM lokal berpendapat bahwa diskusi lebih lanjut mengenai isu itu seharusnya disambut 126 baik. Tanda bahwa pemimpin Timor Leste mungkin tidak sejalan dengan opini yang berlaku mengenai isu ini, dua minggu kemudian presiden menyampaikan
123
Lihat contohnya “Fretilin alleges CNRT’s professional union is full of UNTAS”, Diario Nacional, 14 Oktober 2010. 124 Crisis Group interview, Anggota parlemen Fretilin, Dili, 22 Juli 2010. 125 Crisis Group interview, Basílio de Araújo, Jakarta, 28 Maret 2011. 126 “UNTAS rekonese independensia, Fretilin eziji fiskaliza intelejenisa” [“UNTAS mengakui kemerdekaan, Fretilin minta perhatian lebih badan intelijen”], Timor Post, 16 Maret 2011.
Timor-Leste: Rekonsiliasi dan Kepulangan dari Indonesia Crisis Group Asia Briefing N°122, 18 April 2011
Page 18
pidato ke kepolisian Timor Leste dengan menyambut 127 hangat TNI dan Polri dalam bahasa Indonesia.
melakukan investigasi terhadap mereka yang 133 bertanggungjawab.
Kemungkinan kepulangan pemimpin UNTAS dari generasi yang lebih muda ke Timor Leste mungkin masih bisa memicu konflik, dan tidak jelas bagaimana menanganinya. Jurubicara partai CNRT menjelaskan bahwa “Timor Leste 100 persen demokrasi, dan siapa 128 saja punya hak untuk pulang”. Sudah ada isu-isu bahwa Eurico Guterres mulai melibatkan diri dalam politik Timor Timur – Armindo Soares mengatakan bahwa dalam kunjungannya ke Atambua pada bulan Agustus 2010, Gusmao menanyakan kepadanya apa benar Eurico sedang mendirikan sebuah partai di Timor 129 Leste. Eurico mengatakan walaupun ia belum melakukan upaya-upaya semacam itu, ia tidak bisa membayangkan masa depannya di sebuah negara tanpa 130 masuk ke arena politik.
Bahwa kebanyakan dari kemarahan para bekas anggota milisi terfokus pada konflik saudara yang pecah setelah upaya Portugis untuk melepaskan jajahannya dengan tergesa-gesa menyusul Revolusi Bunga di Portugal pada tahun 1974, dan konflik saudara sebelum invasi oleh Indonesia pada bulan Desember 1975, sebagian merupakan upaya oportunistik untuk mengalihkan perhatian dari kejahatan berat yang mereka lakukan di tahun 1999. Hal ini juga memperlihatkan bahwa akibat negatif dari kekerasan ini masih merongrong setelah lebih dari 35 tahun kemudian. Para mantan elit pro-integrasi dan para pemimpin Timor Timur saat ini, keduanya terus menerus menyebut kurangnya akuntabilitas bagi kejahatan-kejahatan yang dilakukan sebelum tahun 1999 sebagai sebuah indikasi ketidakmampuan untuk menjamin akuntabilitas di saat ini.
Elit politik ini juga tertarik pada semacam penghargaan. Mereka menganggap diri mereka sebagai korban politik yang terpaksa melarikan diri dari Timor Timur bukan karena takut dituntut secara hukum atau diserang oleh pasukan internasional, tapi karena ditindas karena 131 keyakinan mereka. Mereka sekarang ingin pulang tapi dengan kondisi yang imbang dengan para pemimpin pro-kemerdekaan yang mereka perangi. “Tidak ada seorangpun di Timor Timur yang tidak bersalah atas beberapa kematian”, menjadi jawaban yang umum, dan mereka menginginkan sebuah pertanggunganjawaban yang lebih luas bagi seluruh kekerasan politik di Timor Leste sejak penjajahan oleh 132 Portugis dimulai (atau sebelumnya). Walaupun selama bertahun-tahun sudah ada pengakuan dari para pemimpin pro-kemerdekaan bahwa beberapa dari kelompok mereka kemungkinan telah melakukan kejahatan, namun sejak kemerdekaan Timor Leste, belum pernah ada langkah yang komprehensif untuk
127
Pidato oleh Presiden José Ramos-Horta dalam perayaan ulangtahun PNTL yang kesebelas, 27 Maret 2011. 128 Crisis Group interview, Aderito Hugo da Costa, juru bicara CNRT, Dili, 14 Oktober 2010. 129 Crisis Group interview, Armindo Soares, Kupang, 25 September 2010. 130 Crisis Group interview, Eurico Guterres, Kupang, 26 September 2010. 131 Pasukan internasional mulai tiba di Timor Timur tanggal 20 September 1999 dibawah mandat PBB dan diganti oleh pasukan perdamaian PBB pada bulan Februari 2000. 132 Crisis Group interviews, Martinho Fernandes, Joanico Belo, Eurico Guterres, Kupang, Maret 2010; Simão Lopes, Wini, 18 Maret 2010; dan Sico Naruk, Atambua, 21 September 2010.
B. OPSI UNTUK MENYELESAIKAN DAKWAAN Upaya-upaya untuk menghasilkan sebuah konsesus diantara partai-partai politik atau di dalam pemerintah mengenai bagaimana bergerak maju dengan keadilan dan rekonsiliasi, hingga saat ini tidak berhasil. Sejauh ini, parlemen terbukti bukan forum yang memadai untuk membahas masalah ini. Sebuah “dialog konsensus nasional” yang dimediasi oleh seorang mantan uskup dari Norwegia, Gunnar Stalsett, dari tahun 2008-2010 tidak menghasilkan kesepakatan. Tidak jelas bagaimana kebijakan mengenai isu ini akan dibuat dan setelah kasus Maternus Bere, bahkan tidak jelas apakah konstitusi akan diikuti. Bahayanya adalah bahwa ketidakpastian keadilan terhadap kejahatankejahatan yang dilakukan tahun 1999 bersandar pada serangkaian premis yang saling kontradiktif. Pada akhirnya kontradiksi-kontradiksi ini harus diselesaikan dan ada resiko, seperti yang terlihat dalam kasus Bere bahwa keputusan-keputusan mungkin akan dilakukan dengan cepat-cepat, tanpa konsultasi, dan melanggar UU yang berlaku. Sejumlah skenario yang mungkin terjadi diuraikan secara singkat dibawah ini bersama dengan implikasi-implikasinya. Pengadilan internasional. Direkomendasikan dua kali oleh laporan tinjauan ulang PBB di tahun 2000 dan 133
Lihat Bab 6, Chega!, op. cit. Untuk analisa pelanggaranpelanggaran HAM yang dilaporkan ke komisi. Beberapa kejahatan yang dilakukan pendukung kemerdekaan diusut dibawah proses Kejahatan Berat. Untuk laporan beberapa tantangan ekstra yang dihadapi oleh pengadilan-pengadilan kasus-kasus semacam ini, lihat sidang Victor Manuel Alves dalam laporan oleh David Cohen, “Indifference and Accountability”, op. cit., pp. 63-64.
Timor-Leste: Rekonsiliasi dan Kepulangan dari Indonesia Crisis Group Asia Briefing N°122, 18 April 2011
2005 sebagai satu-satunya cara untuk mencapai keadilan penuh atas kejahatan pada tahun 1999, pada saat ini secara politis sebuah pengadilan internasional tidak mungkin didirikan. Presiden dan Perdana Menteri terus menolak ide ini karena menurut mereka hal ini akan merusak hubungan dengan Indonesia, pengadilanpengadilan sebelumnya sangat mahal biayanya dan tidak efektif, dan tidak sesuai dengan gagasan orang Timor mengenai “keadilan”. Juga tidak jelas apabila badan semacam ini akan didukung oleh Dewan Keamanan PBB. Tekanan dari dalam negeri untuk membentuk pengadilan internasional masih ada dari dalam masyarakat madani lewat forum-forum semacam Aliansi Nasional untuk Pengadilan Internasional, yang mengklaim bahwa hal ini merupakan satu-satunya cara untuk mengakui kewajiban internasional untuk menegakkan keadilan dan menghentikan praktek kebal 134 hukum. Dukungan dari pihak lain tidak banyak, karena partai-partai politik yang lebih besar sudah mencari cara-cara untuk membentuk ketentuan mengenai pemberian amnesti atau membatasi penuntutan hukum hanya bagi kejahatan yang paling berat. Penuntutan hukum secara penuh di dalam pengadilan nasional. Dari banyak perspektif, opsi ini akan memiliki hasil yang terbaik – mengakui hak warga Timor Timur yang pergi di tahun 1999 untuk pulang kembali dan menghadapi tuntutan atas kejahatan yang mereka lakukan, di dalam lingkup sistem hukum Timor Leste. Hal ini juga akan menjadi ancaman bagi praktek kebal hukum. Dakwaan-dakwaan yang dikeluarkan oleh Unit Kejahatan Berat semuanya tetap berlaku di dalam sistem hukum Timor Leste. Kalau ada seorang jaksa agung yang komit, memiliki sumber daya yang cukup, maka ia akan memiliki kesempatan untuk menuntut kasus-kasus para tersangka yang pulang ke Timor Leste. Ada keraguan-keraguan mengenai kapasitas sistem hukum untuk menangani kasus-kasus tersebut apabila terdakwa yang pulang banyak jumlahnya karena pengadilannya saat ini hanya menangani kurang dari satu kasus Kejahatan Berat per tahun. Pejabat pemerintah menyebut pentingnya menghargai kedaulatan Indonesia sebagai alasan untuk tidak mengadili warganya, tapi kalau para terdakwa kelahiran Timor Timur yang lebih dari 200 orang ini ingin pulang secara permanen, mereka harus melakukan itu sebagai warga negara Timor Leste dan harus tunduk pada hukum setempat. Merupakan sebuah ketidakadilan
134
Lihat contohnya, surat tertanggal February 2010 dari Aliansi Nasional untuk Pengadilan Internasional kepada Dewan Keamanan PBB, ada di www.laohamutuk.org/Justice/ANTI2Feb10.htm atau surat La’o Hamutuk, anggota ANTI, kepada Dewan Keamanan PBB tertanggal 22 Februari 2010 dan ada di www. laohamutuk.org/Justice/10LHtoUNSC22Feb.htm.
Page 19
dengan hanya mengadili warga Timor Leste, sementara itu terdakwa lain yang berada di Indonesia kemungkinan tidak akan pernah dituntut, juga membuat hal ini menjadi sulit. Penuntutan secara penuh – dengan memberi banyak pengampunan. Satu skenario untuk mendorong banyak terdakwa untuk pulang, dan pada saat yang sama tetap mengenakan tuntutan terhadap mereka yaitu dengan menawarkan mereka untuk pulang dengan jaminan pribadi bahwa mereka akan menerima pengampunan atau keringanan hukuman setelah mereka diadili. Hal ini akan mengikuti trend yang berlaku saat ini yaitu pemberian pengampunan bagi tindak kekerasan politik sebagaimana yang sudah diputuskan sebelumnya, seperti dalam pengadilan atas serangan terhadap presiden 135 dan perdana menteri di bulan Februari 2008. Dari mereka yang sudah diadili sejak tahun 2000, 23 dari 85 yang terbukti bersalah atas kekerasan tahun 1999 telah dibebaskan lewat grasi presiden atau keringanan hukuman. Yang paling menarik perhatian adalah pengampunan terhadap Joni Marques pada bulan Mei 2008, yang sebelumnya dikenai hukuman 33 tahun 136 penjara pada tahun 2003. Pembebasannya menimbulkan kemarahan diantara kelompok-kelompok masyarakat madani, tapi sekarang ia sudah pulang kampung ke sebuah desa di kabupaten Lautem dimana masyarakat dan polisi setempat mengatakan pembebasannya tidak menimbulkan masalah sejauh 137 ini. Beberapa anggota parlemen terbuka untuk menegosiasikan syarat-syarat untuk proses peradilan di
135
Jauh sebelum pengadilan dimulai presiden menjelaskan bahwa ia telah mengampuni orang yang telah menembaknya pada bulan Desember 2009, dan beberapa bulan sebelum pengadilan berakhir, ia berjanji bahwa semua terdakwa akan diampuni. “PR Horta promote fo indultu ba Salsinha Cs” [“Presiden Horta menjanjikan pengampunan bagi kelompok Salsinha”], Suara Timor Lorosae, 30 Desember 2009. 136 Marques divonis bersalah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan untuk tindakah-tindakan antara lain pembunuhan dengan cara eksekusi lima biarawati dan pendeta-pendeta dan empat lainnya di Lautem pada bulan September 1999. Sebuah laporan tentang pembunuhan ini ada di Geoffrey Robinson, “East Timor 1999 Crimes Against Humanity”, op. cit., Bab 10.15. Marques menerima keringanan hukumannya yang pertama di tahun 2004 dari Presiden Xanana Gusmao, dan sekali lagi pada bulan Mei 2008 dari Presiden Jose Ramos-Horta. Di kesempatan yang kedua, hukuman Marques dikurangi lebih lanjut bersama dengan mereka yang sudah menjalani hukuman selama lebih dari delapan tahun. Lihat Keputusan Presiden 21/2004, 19 Mei 2004, dan 53/2008, 19 Mei 2008. 137 Crisis Group interviews, kepala aldeia Luturula, Leur, 2 Februari 2011; Kapolres Lautem, Lospalos, 1 Februari 2011.
Timor-Leste: Rekonsiliasi dan Kepulangan dari Indonesia Crisis Group Asia Briefing N°122, 18 April 2011 138
Page 20
masa depan. Tantangannya adalah membangun konsensus mengenai syarat-syarat pengaturan kesepakatan semacam ini, mengingat parlemen enggan untuk memperdebatkan isu ini secara resmi.
kemungkinan dilakukannya penuntutan secara hukum di dalam negeri atas kejahatan terhadap kemanusiaan juga akan melanggar tanggungjawab Timor Leste 140 dibawah hukum internasional.
Amnesti secara selektif. Kemungkinan yang lain yaitu kesepakatan mengenai apa yang disebut oleh seorang pengurus senior partai sebagai “amnesti selektif” yang akan membolehkan beberapa orang untuk kembali dan menerima pengampunan, sementara pintu akan tertutup secara tidak resmi bagi yang lain. Kriteria untuk amnesti semacam ini masih belum ditentukan tapi kemungkinan akan menggolongkan kejahatan berdasarkan berat nya. Seorang pendukung opsi ini menjelaskan bahwa hal ini akan memberi jalan untuk memisahkan mereka yang terjebak dalam kekerasan tahun 1999 dari mereka yang “benar-benar koruptor politik”. Sekali lagi, mengingat sulitnya membangun konsensus sejauh ini, ada resiko bahwa apabila syaratsyarat amnesti semacam ini hanya ditentukan oleh beberapa pemimpin, hal ini sekali lagi akan mempolitisir proses peradilan di Timor Leste. Keputusan semacam ini mungkin juga tidak akan bertahan lama apabila pemerintahan baru mengambil alih dan mencari syaratsyarat yang berbeda. Hal ini kemungkinan akan menciptakan keretakan diantara partai-partai mengenai kekerasan tahun 1999 menjadi borok daripada menyembuhkannya.
Status quo. Apabila bertekad untuk menegakkan aturan hukum, maka sikap pemerintah yang saat ini tak menentu atas status dakwaan-dakwaan maupun kebijakan negara di masa depan mengenai isu ini sebaiknya tidak dipertahankan. Sikap ini juga terbukti tidak bisa dipakai terus-menerus. Melarang masuk mereka yang didakwa dengan tidak memberi mereka visa mungkin bisa memberi sedikit waktu. Satu-satunya jalan bagi mereka untuk mengunjungi Timor Leste adalah dengan kembali secara permanen dan menjadi kewarganegaraan Timor Leste atau dengan masuk secara ilegal. Untuk saat ini, para terdakwa kelihatannya menerima bahwa situasi ini akan membuat mereka rentan terhadap penuntutan. Ini akan menjadi situasi yang sulit untuk dipertahankan apabila ada orang yang memilih untuk bertindak sebagai s “uji kasus” di masa depan. Penuntutan terhadap kasus-kasus high profile kemungkinan akan membuat panas para bekas milisi di Timor Barat.
Amnesti. Sebuah amnesti penuh akan menghapus prospek penuntutan hukum pada saat inimaupun di masa yang akan datang atas kekerasan tahun 1999. Hal tersebut juga akan melanggar kewajiban negara untuk mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan. Presiden telah menjadi pendukung terbesarnya, dengan mendorong amnesti pada tahun 2009 baru-baru ini, untuk semua kejahatan yang terjadi antara tahun 1974 139 dan 2008. Sebuah amnesti mungkin punya prospek yang lebih berbahaya dibanding yang mau diakui oleh pendukungnya. “Serangan balas dendam”, yang dilakukan oleh korban atau keluarga korban terhadap para pelaku kekerasan tahun 1999 yang tidak mendapat hukuman, sejauh ini tidak banyak terjadi. Tapi bahkan apabila hasil peradilan formal selama ini terbukti sulit untuk dicapai, mereka masih mungkin terjadi. Penuntutan hukum yang berhasil juga masih mungkin terjadi. Namun, sebuah amnesti penuh akan menghapus kesempatan hukum ini. Amnesti yang menutup
138
Crisis Group interview, anggota dan ketua fraksi parlemen, Dili, 18 Maret 2011. 139 Dorongan yang terakhir dibuat langsung setelah penangkapan Maternus Bere dengan harapan untuk mengumumkan sebuah inisiatif dalam perayaan ulangtahun referendum yang kesepuluh tanggal 30 Agustus 2009. Konsensus tidak tercapai.
Pertanyaan yang lebih luas yaitu sifat dari “tuntutan” akan keadilan atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan pada tahun 1999, dan implikasi dari kegagalan untuk mencapainya. Permasalahan ini kompleks, karena kejahatan yang dilakukan sebelum tahun 1999 tidak pernah diusut dan banyak yang merasa tidak nyaman kalau para tersangka yang merupakan orang kelahiran Timor Timur dituntut atas tindakan yang diambil
140
Timor-Leste menjadi salah satu negara yang menandatangani Statuta Roma atau Mahkamah Pidana Internasional pada bulan September 2002. Hal ini tidak punya akibat langsung terhadap kejahatan tahun 1999 karena peristiwa ini terjadi sebelum Statuta Roma diimplementasikan, tapi dokumen tersebut meliputi sebuah pernyataan “bahwa kejahatan yang paling berat menurut masyarakat internasional secara keseluruhan harus tidak dapat dibiarkan tanpa ganjaran dan bahwa penuntutan yang efektif bagi hal tersebut harus dijamin dengan pengambilan tindakan di tingkat nasional, melalui kerjasama internasional” (Pembukaan/Mukadimah). Indonesia belum menandatangani Statuta Roma. Kegagalan untuk melakukan penuntutan juga kemungkinan melanggar syarat-syarat dalam the International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik), dimana Indonesia dan Timor-Leste telah menandatangani perjanjian ini, walaupun kovenan ini tidak menyebut kejahatan terhadap kemanusiaan secara eksplisit. Sebuah analisa mengenai bagaimana amnesti mungkin termasuk ilegal dibawah UU internasional dijelaskan dalam “Rule-of-Law Tools for Post-Conflict States: Amnesties”, Office of the UN High Commissioner for Human Rights, 2009.
Timor-Leste: Rekonsiliasi dan Kepulangan dari Indonesia Crisis Group Asia Briefing N°122, 18 April 2011
dibawah pengaruh tokoh-tokoh militer Indonesia yang kemungkinan tidak akan pernah dituntut secara hukum. Presiden berpendapat bahwa ada sedikit permintaan yang menuntut keadilan, dan oleh karena itu hanya sedikit pembenaran untuk mengeluarkan biaya yang akan diperlukan untuk melakukan upaya-upaya ini. Ia mengatakan bahwa dalam kunjungannya ke daerahdaerah tidak ada yang mengangkat isu mengenai keadilan, yang ada masyarakat meminta pemerintah menyediakan jalan, pekerjaan dan pangan yang lebih 141 baik. Tapi kalau ditanya, beberapa warga Timor Leste telah memberikan dukungan luas agar para 142 pelaku mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sulit untuk memperkirakan ada seberapa banyak dukungan tersebut mengingat sejauh ini tidak banyak dilakukan diskusi publik mengenai kekerasan sejak penutupan program CAVR di bidang rekonsiliasi masyarakat, dan pastinya konsep pengadilan internasional masih asing bagi banyak orang. Bagi banyak kalangan, memberi penghargaan bagi mereka yang meninggal dalam mendukung kemerdekaan mungkin lebih penting dari pada menerapkan peradilan hukuman terhadap individu yang bertanggungjawab atas gugurnya para pahlawan kemerdekaan ini. Meski demikian, perasaan ini akan sulit untuk diatasi dengan kepulangan para bekas milisi dari Indonesia, terutama kalau mereka tidak dihukum. Seorang warga Lospalos yang kehilangan dua saudara laki-lakinya ditangan seorang anggota milisi yang lolos dari kursi pengadilan melihat perbedaan antara membuat sebuah keputusan pribadi untuk menerima kepulangan seseorang yang merupakan keluarga jauh dan tetangga lama ke dalam komunitasnya, dengan menerima sebuah keputusan politik untuk memberi 143 amnesti. Kesediaan untuk memaafkan yang sangat kelihatan dan begitu sedikitnya “serangan balas dendam” 141
Dalam komentarnya setelah pembebasan Bere, ia menjelaskan: “kalau keprihatinan nomor satu rakyat adalah kekerasan tahun 1999, saya tidak pernah dengar tentang itu selama kunjungan-kunjungan saya ke distrik-distrik, bicara dengan ribuan orang saya tidak pernah mendengar satu katapun mengenai 1999 atau 1975. Jelas ada korban, korban yang kita hormati, tapi mereka ingin menerima pengakuan dari negara, bagi Negara untuk memberikan semacam penghargaan. Korban-korban ingin bantuan bagi mereka yang belum punya pekerjaan dan itu kewajiban negara, tapi saya tidak pernah mendengar para korban berbicara bahwa mereka menginginkan pengadilan internasional, saya tidak pernah dengar itu”. Salinan interview yang diberikan oleh Presiden Ramos-Horta ke TVTL, 23 September 2009. 142 “Crying Without Tears: In Pursuit of Justice and Reconciliation in Timor-Leste: Community Perspectives and Expectations”, International Center for Transitional Justice, Agustus 2003. 143 Crisis Group interview, Lospalos, 2 Februari 2010.
Page 21
terhadap mereka yang terlibat dalam kekerasan tahun 1999 hingga saat ini tidak harus menjadi indikator tentang apa yang akan terjadi setelah keputusan mengenai amnesti diambil.
VI. MOMENTUM BARU Sebuah komitmen publik untuk menuntut kejahatankejahatan tahun 1999 yang dakwaan-dakwaannya masih belum selesai atau investigasinya masih berjalan, akan menjadi sebuah langkah penting dalam menegakkan aturan hukum di Timor Leste, dan untuk menangani ancaman instabilitas yang ditibulkan oleh kepulangan para bekas pimpinan milisi. Untuk saat ini, komitmen semacam itu sayangnya tidak mungkin terjadi. Komitmen ini juga tidak akan sempurna mengingat sulitnya menerapkan peradilan yang berimbang karena keengganan Indonesia untuk menuntut jenderaljenderal TNI yang didakwa, keengganan (atau mungkin ketidakmampuan) Timor Leste untuk menuntut kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh para pendukung pro-kemerdekaan, dan juga grasi yang sudah diberikan oleh presiden atas pelanggaran yang paling berat. Pembahasan yang komprehensif di parlemen mengenai penuntutan dan rekonsiliasi diantara para pendukung kemerdekaan dan integrasi jelas dibutuhkan, tapi mungkin masih lama terjadi. Pembahasan tidak mungkin terjadi sebelum pemilu parlemen tahun 2012 karena partai-partai berusaha menghindari isu-isu kontroversial. Pemunculan kembali UNTAS mungkin bisa mendorong rekonsiliasi menjadi isu yang diperhatikan dalam masa kampanye, yang mana kalau ditangani secara bertanggungjawab oleh partai-partai politik akan menjadi sebuah langkah positif dalam memungkinkan para pemilih untuk menyuarakan pendapat mereka mengenai isu yang diterlantarkan ini. Tapi sejauh ini, tanggapan resmi pemerintah adalah mendiamkan perdebatan. Sejumlah langkah bisa diambil sekarang untuk menjamin bahwa kepulangan dari Timor Barat akan memperkuat upaya-upaya rekonsiliasi, dan bukannya membuat situasi menjadi lebih tidak stabil. Prioritasnya sebaiknya adalah bagi Indonesia dan Timor Leste untuk melembagakan sebuah proses yang jelas bagi mereka yang ingin pulang, mungkin lewat sebuah MoU diantara kedua negara. Hal ini akan meminimalisir birokrasi dan memungkinkan lebih banyak orang untuk membuat keputusan mengenai kepulangan mereka. Pengaruh pemimpin adat dan bekas milisi yang menahan beberapa komunitas untuk tidak meninggalkan Timor Barat bisa dihadapi dengan infomasi yang jelas mengenai proses untuk pulang dan bantuan yang lebih terstruktur. Meskipun menyediakan sedikit bantuan
Timor-Leste: Rekonsiliasi dan Kepulangan dari Indonesia Crisis Group Asia Briefing N°122, 18 April 2011
transportasi dan sembako kepada mereka yang pulang memakan biaya, tapi hal ini akan membantu memajukan upaya rekonsiliasi, membangun kepercayaan di kedua belah pihak, dan mengurangi ancaman instabilitas di masa datang. Yang paling penting bagi Timor Leste, langkah-langkah ini akan mengurangi pengaruh yang masih dipegang oleh sekelompok kecil individu yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan pada tahun 1999. Tantangan bagi perdana menteri adalah mengubah isu kepulangan dari yang saat ini dilihat bahwa berada dibawah kewenangan pribadinya menjadi sebuah kebijakan pemerintah yang lebih luas yang didukung oleh seluruh pihak. Gusmao masih memegang pengaruh pribadi yang sangat besar mengenai isu ini, bahkan Eurico Guterres mengakui hal itu, “semua 144 terserah Xanana”. Menurut laporan, Xanana telah mendorong kepulangan dalam kapasitasnya sebagai pribadi, tapi belum sebagai sebuah kebijakan resmi 145 pemerintah. Memikirkan tentang bagaimana memajukan rekonsiliasi di tingkat komunitas harus dimulai segera. Idealnya hal ini dilakukan setelah debat lebih lanjut dan pengesahan RUU yang mengusulkan pembentukan Public Memory Institute dan sebuah rencana pembayaran ganti rugi yang sedang dibahas di parlemen. Apabila pembahasan undang-undang ini ditangguhkan, forum-forum lain yang sudah ada, termasuk direktorat pencegahan konflik di Sekretariat Negara untuk Keamanan, dan unit pengembangan perdamaian di Departemen Solidaritas Sosial, harus merencanakan untuk mendukung hak semua yang lahir di Timor Timur untuk pulang tanpa rasa takut. Masih banyak yang harus dilakukan untuk membuka ruang politik di Timor Leste bagi mereka yang mendukung integrasi dengan Indonesia. Banyak kalangan yang menyadari perlunya melindungi keamanan fisik mereka yang akan pulang di kemudian hari, tapi tidak harus bagi hak konstitusional mereka terhadap properti dan ekspresi politik. Bekas anggota UNTAS dan para pendukung pro-integrasi yang lain kadang mengalami kesulitan mengklaim tanah mereka, dan hak konstitusi mereka untuk memperoleh kewarganegaraan Timor Leste kadang bahkan
144
Crisis Group interview, Eurico Guterres, Kupang, 25 Februari 2011. 145 Sebagai perdana menteri, ia menyetujui permohonan bantuan hibah dalam jumlah kecil pada tahun 2010 untuk Grupu Fila Hikas Knua, kelompok LSM-LSM yang bekerja untuk membantu mereka yang pulang.
Page 22 146
dipertentangkan. Ini merupakan konsekwensi dari kegagalan dalam menuntut kasus-kasus Kejahatan Berat. Sebaliknya, rasa frustrasi yang tidak terselesaikan akhirnya diarahkan ke bekas lawan politik yang tidak terlibat kekerasan. Beberapa orang telah mengusulkan untuk melarang penggunaan secara umum istilah-istilah seperti “oportunis” dan “prootonomi” seperti yang dibahas diatas, namun dasar hukumnya dipertanyakan; dan hal tersebut juga tidak akan menghilangkan ketegangan yang belum terselesaikan. Lebih penting untuk melaksanakan hukum secara jelas untuk menjamin hak para bekas pengungsi yang pulang, terutama dalam masalah kepemilikan properti. Isu terkait lainnya yaitu perlunya menyelesaikan kebijakan pemerintah mengenai bantuan dan penghargaan bagi para veteran pejuang kemerdekaan. Ada sebuah persepsi yang tersebar luas, diakui oleh pemerintah, bahwa hal tersebut masih belum terselesaikan dan juga bahwa veteran pejuang kemerdekaan membutuhkan penghargaan keuangan dan simbolis yang lebih besar. Para veteran telah menolak untuk memperkenankan parlemen melakukan pembahasan RUU tentang Public Memory Institute dan pembayaran ganti rugi, sebelum menyelesaikan 147 pembayaran mereka. Ketegangan diantara para korban juga mungkin akan meningkat kalau ada banyak bekas pengungsi yang pulang tanpa kemajuan lebih lanjut mengenai pembayaran ganti rugi. 146
Lihat diskusi klaim soal tanah baru-baru ini oleh Norberta Belo, bekas anggota UNTAS dan sekarang pegawai di departemen kesehatan, dalam Laporan Crisis Group, Managing Land Conflict in Timor-Leste, op. cit. 147 Masalah mengenai bagaimana memberi dampak terhadap Pasal 11 dari Konstitusi (Undang Undang Dasar/UUD) (“Valorisation of Resistance”) masih belum diselesaikan meskipun sebuah UU tahun 2006 yang mengatur pensiun bagi para veteran dan sesudah itu ada beberapa revisi terhadap UU. Tantangan utamanya adalah menentukan siapa yang berhak menerima pensiun, terutama dalam memverifikasi klaim-klaim dari mereka yang katanya merupakan bagian dari gerakan bawah tanah. Pada bulan Maret 2011, perdana menteri menangguhkan publikasi sebuah daftar yang komprehensif berisi nama-nama veteran, sambil menunggu dibentuknya dewan veteran. “Xanana suspende publikasaun lista veteranus” [“Xanana menunda publikasi daftar veteran”], Timor Post, 25 Maret 2011. Proses ini telah mengalami beberapa kali penundaan; sebuah press release dari pemerintah pada bulan Maret 2010 menjelaskan keputusan untuk memperpanjang masa pendaftaran sebagai berikut “proses mengalami kesulitan, yaitu sehubungan dengan tidak adanya dokumentasi yang sah dari para bekas-pejuang” dan menerima bentuk-bentuk identifikasi yang baru. Lihat “Meeting of Council of Ministers, July 7th 2010”, Secretariat of State of the Council of Ministers, ada di timor-leste.gov.tl/ ?p=3384&lang=en.
Timor-Leste: Rekonsiliasi dan Kepulangan dari Indonesia Crisis Group Asia Briefing N°122, 18 April 2011
VII. KESIMPULAN Bagi Timor Leste, menentukan apa artinya perjuangan untuk keadilan dan rekonsiliasi tidak akan mudah karena seringkali ada jurang perbedaan antara perspektif pemimpin dan warganya, dan juga antara pelaku dan korban. Pertanyaan sulit semacam ini perlu dijawab dengan memperhitungkan berbagai kepentingan yang saling bertentangan yang ditinggalkan oleh konflik yang berlangsung selama bertahun-tahun. Timor Leste menginginkan hubungan yang baik dengan tetangga terbesarnya, tapi juga politik dalam negeri yang stabil. Sementara sifat internasional dari kejahatan yang dilakukan pada tahun 1999 tidak dapat dilupakan, hanya bersifat domestik, namun kedua negara yang terlibat langsung telah memutuskan untuk tidak menuntut warga negara masing-masing. Tidak banyak yang bisa dilakukan Timor Leste untuk mempengaruhi posisi Indonesia. Sekarang Timor Leste harus mengkaji dampak yang tidak terselesaikan dari konflik yang mempunyai sifat sipil ini, yang telah membeku dalam beberapa tahun terakhir oleh perpindahan dari kebanyakan mereka yang mendukung integrasi di sepanjang daerah perbatasan. Kepulangan mereka nanti dapat mengganggu situasi politik yang sudah rapuh. Timor Leste sekarang harus mengambil langkah-langkah untuk menyiapkan kepulangan ini dengan menyelesaikan sikap kemenduaan yang ditinggalkan oleh sebuah sejarah kekerasan. Untuk jangka panjang, sebuah komitmen untuk menegakkan kewajiban hukum dan Undang-Undang Dasar yang sudah ada akan memberi jalan yang paling baik untuk maju. Hal ini termasuk menuntut dakwaandakwaan yang sudah ada, menghargai hak mereka yang mempertimbangkan untuk menjadi warga negara Timor Leste, dan menjamin hak-hak atas properti dan untuk mengungkapkan pendapat politik bagi mereka yang telah pulang. Para bekas pengungsi yang tinggal di Timor Barat harus menyadari bahwa hak mereka untuk menikmati secara penuh hak-hak yang akan diterima sebagai warga Timor Leste tergantung pada penerimaan mereka atas tanggungjawab yang menyertainya, termasuk mematuhi proses peradilan terhadap dugaan kejahatan di masa lalu lewat dakwaan-dakwaan yang masih dalam proses maupun dakwaan-dakwaan yang mungkin dikenakan oleh jaksa di masa datang. Kalau diputuskan untuk tidak menuntut dakwaan-dakwaan ini secara penuh, maka keputusan itu harus merupakan hasil debat parlemen, bukannya tawar menawar oleh mereka yang berniat pulang. Dan penentuan “kepentingan nasional” seharusnya dibuat setelah melalui pembahasan yang luas, bukannya dipimpin oleh keputusan politik oleh pemimpin-pemimpin terkemuka seperti presiden atau perdana menteri.
Dili/Brussels, 18 April 2011
Page 23
Timor-Leste: Rekonsiliasi dan Kepulangan dari Indonesia Crisis Group Asia Briefing N°122, 18 April 2011
APPENDIX A PETA TIMOR-LESTE
Page 24