PERUBAHAN KARAKTERISTIK FISIK DAN KIMIA SURIMI HASIL PENGKOMPOSISIAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DAN IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) SELAMA PENYIMPANAN SUHU DINGIN
BINANGA PAJAR DINI HARAHAP C34052504
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
RINGKASAN BINANGA PAJAR DINI HARAHAP. C34052504. Perubahan Karakteristik Fisik dan Kimia Surimi Hasil Pengkomposisian Ikan Mas (Cyprinus carpio) dan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Selama Penyimpanan Suhu Dingin. Dibimbing oleh ANNA C. ERUNGAN dan JOKO SANTOSO. Pemanfaatan ikan budidaya air tawar yang banyak terdapat di daerah Bogor khususnya ikan mas dan ikan lele belum dilakukan secara optimal padahal ikan air tawar tersebut memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Ikan-ikan budidaya air tawar tersebut cukup potensial untuk diolah menjadi surimi yang merupakan produk intermediate. Surimi tersebut nantinya dapat diolah menjadi berbagai macam produk sehingga dapat meningkatkan nilai guna dari ikan mas dan lele. Tujuan umum penelitian ini adalah memanfaatkan ikan budidaya air tawar dalam pembuatan produk surimi. Tujuan khusus adalah mencari frekuensi pencucian dan komposisi surimi terbaik untuk pembuatan surimi komposisi dan mengetahui pengaruh penyimpanan suhu dingin (chilling) terhadap karakteristik fisik, kimia dan mikrobiologi surimi. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus hingga September 2009, bertempat di Balai Pengembangan dan Pengendalian Mutu Hasil Perikanan (BPPMHP), Departemen Kelautan dan Perikanan, Muara Baru, Jakarta Utara, Laboratorium Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dan Laboratorium Biokimia Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Bahan baku yang digunakan adalah ikan mas (Cyprinus carpio) dan ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan utama. Penelitian pendahuluan meliputi : (1) karakterisasi fisika kimia bahan baku, (2) penentuan frekuensi pencucian terbaik, (3) penentuan komposisi surimi terbaik. Pada penelitian utama dilakukan penyimpanan dingin (4-5 oC) surimi pengkomposisian terbaik selama 10 hari dan dievaluasi perubahan karakteristik organoleptik, fisik, kimia dan mikrobiologi. Pada penelitian pendahuluan, frekuensi pencucian 1 kali merupakan frekuensi pencucian terbaik untuk surimi ikan mas dan lele. Pengkomposisian surimi terbaik dari ikan mas dan lele adalah 1:1 dengan nilai kekuatan gel tertinggi sebesar 792 g cm. Selama penyimpanan dingin, surimi komposisi mas-lele (1:1) menghasilkan nilai kekuatan gel berkisar antara 228-1140 g cm; derajat putih 28,09-34,76 %; water holding capacity (WHC) 36,67-71,30 %; uji lipat 1,7-4,7; uji gigit 1,9-8,9; pH 7,33-4,74; Total volatile base nitrogen (TVBN) 5,71-36,46 mg N/100 g; Protein Larut Garam (PLG) 4,33-0,73 %; total mikroba 4,81-7,37 koloni/g. Proses penyimpanan dingin akan menurunkan mutu surimi yang diindikasikan dengan semakin menurunnya nilai pH, protein larut garam (PLG), kekuatan gel, derajat putih, water holding capacity (WHC), uji lipat dan uji gigit serta semakin meningkatnya jumlah mikroorganisme dan nilai total volatile base nitrogen (TVBN). Berdasarkan hasil dapat dilihat bahwa penyimpanan hingga hari ke-6 masih memberikan karakteristik fisik yang baik.
PERUBAHAN KARAKTERISTIK FISIK DAN KIMIA SURIMI HASIL PENGKOMPOSISIAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DAN IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) SELAMA PENYIMPANAN SUHU DINGIN
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
BINANGA PAJAR DINI HARAHAP C34052504
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul
Nama Mahasiswa
: PERUBAHAN KARAKTERISTIK FISIK DAN KIMIA SURIMI HASIL PENGKOMPOSISIAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DAN IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) SELAMA PENYIMPANAN SUHU DINGIN : Binanga Pajar Dini Harahap
NRP
: C34052504
Menyetujui,
Pembimbing I
(Ir. Anna C Erungan, MS) NIP 1962 0708 1986 03 2 001
Pembimbing II
(Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si) NIP 1967 0922 1992 03 1 003
Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
(Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., M. Phil) NIP 1958 0511 1985 03 1 002
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Perubahan Karakteristik Fisik dan Kimia Surimi Hasil Pengkomposisian Ikan Mas (Cyprinus carpio) dan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Selama Penyimpanan Suhu Dingin” adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2010
Binanga Pajar Dini.H C34052504
RIWAYAT HIDUP Penulis memiliki nama lengkap Binanga Pajar Dini Harahap, dilahirkan di Tanjung Karang, 22 Juni 1987. Merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Zulkifli Harahap dan Ibu Nurniati Siregar. Penulis mengawali pendidikan formal tahun 1993 di SD Negeri 6 Bandar Lampung, kemudian pada tahun 1999 melanjutkan pendidikan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 19 Bandar Lampung dan Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 3 Bandar Lampung pada tahun 2002. Pada tahun 2005 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada tahun 2006 diterima pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi dan kepanitian. Organisasi yang pernah diikuti antara lain : Anggota Keluarga Mahasiswa Lampung, Himpunan Mahasiswa Hasil Perairan (HIMASILKAN) periode 2006-2007 bidang Sosial Kemasyarakatan, Anggota Himpunan Mahasiswa Hasil Perairan periode 2007-2008 bidang Sosial Kemasyarakatan. Kegiatan kepanitian yang pernah diikuti antara lain, panitia Gemar Makan Ikan (GMI) tahun 2007, panitia SANITASI, Bendahara Umum Seminar dan Pelatihan ISO 22000, panitia Bina Desa FPIK dan kegiatan lainnya. Pada tahun 2008 penulis melakukan Praktek Kerja Lapang di PT Central Windu Sejati, Medan. Penulis juga pernah tercatat sebagai asisten mata kuliah Dasar-Dasar Teknologi Hasil Perairan tahun 2009 dan asisten Mata Kuliah Surimi S2 Teknologi Hasil Perairan. Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana penulis melakukan penelitian yang berjudul “Perubahan Karakteristik Fisik dan Kimia Surimi Hasil Pengkomposisian Ikan Mas (Cyprinus carpio) dan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Selama Penyimpanan Suhu Dingin”. Di bawah bimbingan Ir. Anna C. Erungan, MS dan Dr. Ir. Joko Santoso, M. Si.
v
KATA PENGANTAR Alhamdulilah, segala puji syukur penulis berikan kepada Allah SWT atas segala karunia, petunjuk, kelancaran serta kemudahan yang telah diberikan kepada penulis selama penelitian berlangsung sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perubahan Karakteristik Fisik dan Kimia Surimi Hasil Pengkomposisian Ikan Mas (Cyprinus carpio) dan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Selama Penyimpanan Suhu Dingin”. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa selama penyelesaian skripsi ini mendapatkan banyak dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang telah bersedia membantu, diantaranya adalah : 1.
Ibu Ir. Anna C. Erungan, MS dan Bapak Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si sebagai dosen pembimbing yang telah dengan sabar membimbing dan memberikan masukan pada penulis dalam menyelesaikan penulisan akhir ini.
2.
Ibu Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc sebagai dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3.
DP2M melalui proyek hibah penelitian yang telah banyak membantu terlaksananya penelitian ini.
4.
Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl Biol sebagai komisi pendidikan Departemen Teknologi Hasil Perairan.
5.
Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Mutu Hasil Perikanan (BBP2MHP), Muara Baru- Jakarta.
6.
Ayahanda Zulkifli Harahap dan Ibunda Nurniati Siregar terima kasih atas segala doa yang tidak terputus dan dukungan sehingga penulis mampu menyelesaikan pendidikan di Institut Pertanian Bogor dan menghasilkan karya ini.
7.
Opung, Bou Duma, Amang Boru, Uda Mulyadi, dan seluruh keluarga besar yang berada di Medan. Terima kasih atas segala dukungan, baik moril maupun materi. Semangat dan doa yang tidak pernah terputus yang diberikan kepada penulis.
8.
Ibu Ema, Rita, Ibu Rubiyah, Mas Zaki dan semua laboran yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
9.
Adik-adikku tersayang Sawalludin Harahap dan Akbar Harahap, atas doa dan kasih sayang dan dukungannya selama ini.
10. Teman-Teman satu bimbingan Indri Widiastuti, Niken Yorita, Inka Santika A, Irma Soraya A, Choridatul Jannah, Ernawati, dan mbakku Ulina Jufebriyanti yang tergabung dalam “Bidadari Surimi” atas segala canda tawa dan segala suka dan duka selama pengerjaan skripsi ini. 11. Lina Karlina, Fitriani Idham, Ian Pranita, Komalasari, Wina Sundari, Juning Tyas Anwar, Sri Maria, Sofya Eka Masti, Lili Handayani, dkk. Terima kasih atas persahabatan ini semoga kita bisa bersama selamanya. 12. Rizka Andina Yosya, Nadya Meriza, Erdita Hasian Sianipar, Istifarini, Dan Pratisari, Purwati, Rance Raska Febriyano Tarigan atas doa, dan kesediannya menemani dan mendengarkan penulis dalam suka dan duka. 13. Fuad Wahdan, Sabda Aji Pambayu, M.Irfan, Prilisa S, Diani S, Evi P, Junide MH, Dewi MM, Stevanus S, Uut, Binyok, dan seluruh teman THP 42 “ANTI MANJA”terima kasih atas kebersamaan selama ini. Teman-teman THP 40&41 (Ka Tommy (’40), Ka Tommy (’41), Ka Ubit, Ka Dika, Ka Laler, ka Bobby), dan THP 43, 44 dan 45 terima kasih atas semangat dan kebersamaannya. 14. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas segala bantuan dan doa yang telah diberikan kepada penulis. Bogor, Januari 2010
Binanga Pajar Dini H
vi
vii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...........................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xiv
1. PENDAHULUAN.........................................................................................
1
1.1 Latar Belakang .........................................................................................
1
1.2 Tujuan.......................................................................................................
4
2. TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................
5
2.1 Ikan Mas (Cyprinus carpio) .....................................................................
5
2.2 Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) ....................................................
7
2.3 Protein Daging Ikan..................................................................................
9
2.3.1 Protein miofibril............................................................................... 2.3.2 Protein sarkoplasma......................................................................... 2.3.3 Protein stroma..................................................................................
9 10 11
2.4 Surimi .......................................................................................................
12
2.4.1 Deskripsi dan karakteristik surimi ................................................... 2.4.2 Pengaruh pencucian terhadap mutu surimi...................................... 2.4.2 Bahan tambahan dalam pembuatan surimi ...................................... a) Alkali (natrium bikarbonat) (NaHCO3) ....................................... b) Garam (NaCl)............................................................................... c) Antidenaturan (cryoprotectant).................................................... 2.4.3 Syarat mutu surimi beku.................................................................. 2.4.4 Mekanisme pembentukan gel ..........................................................
12 13 14 15 15 16 17 18
2.5 Pendinginan ..............................................................................................
20
3. METODOLOGI PENELITIAN .................................................................
23
3.1 Waktu dan Tempat ...................................................................................
23
3.2 Bahan dan Alat .........................................................................................
23
3.3 Tahapan Penelitian ...................................................................................
24
3.4 Prosedur Analisis......................................................................................
29
3.4.1 Analisis fisik .................................................................................... a) Uji kekuatan gel .......................................................................... b) Uji lipat (folding test)................................................................... c) Uji gigit (teeth cutting test) .......................................................... d) Uji derajat putih............................................................................ e) Water holding capacity (WHC) ...................................................
29 30 30 31 31 32
3.4.3 Analisis kimia .................................................................................. a) Kadar air ...................................................................................... b) Kadar abu ..................................................................................... c) Kadar protein................................................................................ d) Kadar lemak ................................................................................. e) Protein larut garam....................................................................... f) Nilai pH........................................................................................ g) Total volatile base nitrogen ......................................................... 3.4.4 Total plate count (TPC)...................................................................
33 33 33 34 34 35 35 36 37
3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ................................................
38
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................
42
4.1 Penelitian Pendahuluan.............................................................................
42
4.1.1 Komposisi kimia ikan mas (Cyprinus carpio) dan ikan lele (Clarias gariepinus)................................................... 4.1.2 Karekteristik surimi ikan mas dan ikan lele pada berbagai frekuensi pencucian .......................................................... 4.1.3 Karakteristik surimi hasil pengkomposisian ...................................
44 48
4.2 Penelitian Utama ......................................................................................
50
4.2.1 Karakteristik kimia surimi hasil pengkomposisian selama penyimpanan dingin ........................................................................ a) Derajat keasaman pH ................................................................... b) Total volatile base nitrogen (TVBN)........................................... c) Protein larut garam (PLG)............................................................ 4.2.2 Karakteristik fisik surimi hasil pengkoposisian selama penyimpanan dingin ........................................................................ a) Kekuatan gel................................................................................. b) Derajat putih................................................................................. c) Water holding capacity (WHC) ................................................... d) Uji lipat (folding test)................................................................... e) Uji gigit (teeth cutting test) .......................................................... f) Total mikroba ...............................................................................
42
50 50 52 54 56 56 59 62 64 65 67
5. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................
70
5.1 Kesimpulan...............................................................................................
70
5.2 Saran .........................................................................................................
70
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
72
LAMPIRAN......................................................................................................
78
ix
x
DAFTAR TABEL Halaman 1. Komposisi kimia daging ikan mas setiap 100 gram bahan yang dimakan.....................................................................................
7
2. Komposisi kimia ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)..............................
8
3. Komposisi protein ikan secara umum ..........................................................
9
4. Syarat mutu surimi beku (SNI 01-2693-1992).............................................
18
5. Komposisi kimia daging ikan mas dan ikan lele dumbo..............................
42
6. Karakteristik surimi pada berbagai frekuensi pencucian .............................
45
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Ikan mas (Cyprinus carpio) ........................................................................
6
2. Ikan lele (Clarias gariepinus) .....................................................................
8
3.
Proses pembentukan gel kamaboko ............................................................ 20
4.
Diagram alir pembuatan surimi................................................................... 26
5.
Diagram alir proses pengkomposisian surimi ............................................. 27
6. Diagram alir proses pembuatan kamaboko ................................................. 28 7.
Diagram alir proses penyimpanan surimi selama 10 hari ........................... 29
8. Nilai kekuatan gel surimi ikan mas dan ikan lele dumbo pada berbagai komposisi............................................................................. 49 9. Nilai pH surimi hasil pengkomposisian pada ............................................. 51 10. Kadar TVBN surimi komposisi ikan mas dan ikan lele pada penyimpanan dingin.................................................................................... 53 11. Kadar PLG surimi komposisi ikan mas dan ikan lele pada penyimpanan dingin ........................................................................... 55 12. Nilai kekuatan gel surimi komposisi mas dan lele pada penyimpanan dingin ........................................................................... 57 13. Kadar derajat putih surimi komposisi mas dan lele pada............................ 60 14. Kadar WHC surimi komposisi mas dan lele pada ...................................... 63 15. Nilai uji lipat surimi komposisi mas dan lele pada penyimpanan dingin .................................................................................... 65 16. Nilai uji gigit surimi komposisi mas dan lele pada penyimpanan dingin.................................................................................... 66 17. Total mikroba surimi komposisi ikan mas dan lele pada penyimpanan dingin.................................................................................... 67
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Lembar penilaian (score sheet) organoleptik kamaboko ..........................
79
2.
Data proksimat ikan mas dan ikan lele dumbo .........................................
80
3. Nilai TVBN minced fish ikan mas dan ikan lele dumbo...........................
80
4. Nilai pH minced fish ikan mas dan ikan lele dumbo.................................
80
5. Data hasil uji fisik pencucian surimi.........................................................
80
6.
Nilai pH surimi ikan mas dan ikan lele dumbo.........................................
81
7.
Data kekuatan gel surimi ikan mas dan ikan lele dumbo pada berbagai frekuensi pencucian...................................................................................
81
Data derajat putih surimi mas dan lele dumbo berdasarkan frekuensi pencucian...................................................................................
82
Hasil analisis ragam dan uji lanjut Tukey pengaruh frekuensi pencucian ikan lele....................................................................................
82
10. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Tukey pengaruh frekuensi pencucian ikan mas ...................................................................................
84
11. Data kekuatan gel surimi ikan mas dan lele berbagai komposisi..............
86
12. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Tukey surimi komposisi mas dan lele.............................................................................................
86
13. Hasil analisis ragam dan uji Tukey surimi komposisi (M1L1) pada suhu dingin ........................................................................................................
87
14. Hasil analisis ragam dan uji Tukey TVBN surimi komposisi pada penyimpanan suhu dingin .........................................................................
87
15. Hasil analisis ragam dan uji Tukey kadar PLG surimi komposisi pada penyimpanan suhu dingin .........................................................................
88
16. Hasil analisis ragam dan uji Tukey kekuatan gel surimi komposisi pada penyimpanan suhu dingin .........................................................................
88
8. 9.
17. Hasil analisis ragam dan uji Tukey derajat putih surimi komposisi selama penyimpanan suhu dingin ......................................................................... 89 18. Hasil analisis ragam dan uji Tukey WHC surimi komposisi selama penyimpanan suhu dingin .........................................................................
89
19. Hasil uji Kruskal-Wallis uji lipat surimi komposisi selama penyimpanan dingin ........................................................................................................
90
20. Hasil uji Kruskal-Wallis uji gigit surimi komposisi selama penyimpanan dingin ........................................................................................................
91
21. Hasil analisis ragam dan uji Tukey total mikroba surimi komposisi selama penyimpanan suhu dingin ............................................................
92
22. Gambar kamaboko surimi komposisi mas dan lele...................................
93
23. Gambar rheoner (alat pengukur kekuatan gel surimi) ..............................
93
24. Gambar whitenessmeter (alat pengukur derajat putih surimi) ..................
94
xv
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Krisis pangan merupakan permasalahan nasional yang dihadapi bangsa Indonesia sejak lama. Permasalahan ini akan berdampak pada menurunnya tingkat kesehatan masyarakat yang pada akhirnya juga akan menurunkan kecenderungan angka harapan hidup. Kurangnya perhatian dari pemerintah dan masyarakat tentang pentingnya mengkonsumsi makanan yang bergizi menjadi salah satu faktor terjadinya krisis pangan yang berkepanjangan di Indonesia. Salah satu alternatif untuk menyelesaikan permasalahan tersebut adalah meningkatkan ketahanan pangan bangsa. Peningkatan ketahanan pangan ini dilakukan agar bangsa Indonesia dapat bertumpu pada sumberdaya lokal yang melimpah dan beragam. Selain itu, peningkatan ketahanan pangan juga dilakukan untuk menghindari ketergantungan pada produk impor. Ketahanan pangan hendaknya dilakukan secara menyeluruh tidak hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan pangan pokok seperti karbohidrat, tetapi pemenuhan terhadap komponen pangan yang lain seperti protein. Pemenuhan kebutuhan protein masyarakat Indonesia dapat dipenuhi dengan meningkatkan konsumsi protein baik protein hewani maupun protein nabati. Protein hewani dapat dipenuhi salah satunya dengan mengkonsumsi ikan. Sebagai negara yang sebagian besar wilayahnya berupa perairan yang terdiri dari perairan laut dan perairan tawar maka sumberdaya alam perairannya pun akan memberikan hasil yang melimpah. Hasil perairan yang sebagian besar merupakan komodias perikanan ini dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan protein masyarakat Indonesia. Ikan merupakan salah satu sumber protein dan asam lemak esensial (omega-3) yang sangat penting bagi tubuh manusia. Protein yang terdapat pada ikan, baik ikan air laut maupun ikan air tawar memiliki kelebihan dibandingkan dengan protein hewani yang terdapat pada daging hewan terestrial. Hal ini dapat disebabkan karena protein yang terdapat pada daging ikan mengandung jaringan ikat yang lebih sedikit sehingga mudah dicerna. Selain mudah dicerna, kandungan
2 asam amino yang terdapat pada daging ikan juga cukup lengkap sehingga daging ikan dipercaya baik untuk pertumbuhan otak anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Kandungan lemak pada ikan tergolong rendah dan asam lemaknya sebagian besar merupakan asam lemak tidak jenuh ganda, seperti omega-3 yang dapat menurunkan kadar kolesterol tubuh, meningkatkan kecerdasan otak, dan mencegah berbagai penyakit degeneratif (DKP 2008). Melimpahnya produksi ikan air tawar khususnya ikan mas dan ikan lele merupakan potensi yang sangat besar bagi pengembangan industri perikanan. Data produksi ikan mas dan ikan lele di daerah Bogor pada kurun waktu 2006 – 2008 mencapai kisaran 10. 840 ton tiap tahunnya (DKP 2008). Produksi tersebut diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya konsumsi masyarakat terhadap pangan ikani. Selain nilai gizi yang baik, ikan mas dan ikan lele bisa dimanfaatkan menjadi produk yang bernilai ekonomois tinggi dengan teknologi tepat guna yang efisien, efektif, dan terjangkau. Pemanfaatan ikan budidaya air tawar seperti ikan mas dan ikan lele belum dilakukan secara optimal. Hal ini disebabkan pemanfaatannya masih terbatas dalam konsumsi segar. Seiring dengan kemajuan teknologi yang berimbas pada perubahan gaya hidup (life style) pola konsumsi masyarakat terhadap kebutuhan pangan juga ikut berubah. Masyarakat dunia saat ini lebih memilih makanan yang cepat dalam hal penyajian namun tetap memiliki kandungan gizi yang prima. Masyarakat dunia saat ini sudah mengetahui pentingnya mengkonsumsi ikan bagi kesehatan tubuh sehingga permintaan terhadap produk perikanan maupun turunannya menjadi meningkat. Permintaan terhadap produk surimi yang merupakan produk olah ikan semakin meningkat seiring dengan semakin berkembangnya upaya diversifikasi produk perikanan. Pasar surimi terbesar di dunia adalah Jepang dan Korea Selatan. Oleh karena itu, kedua negara tersebut menjadi negara tujuan ekspor surimi. Selain Jepang dan Korea Selatan, negara-negara di benua Eropa seperti Prancis dan Spanyol juga mengalami peningkatan permintaan surimi yang cepat yaitu dengan tingkat konsumsi masing-masing sebesar 52.200 dan 40.000 ton (Anonim 2007 a).
3 Hingga saat ini pembuatan surimi masih difokuskan pada ikan-ikan teleostei dan ikan berdaging putih seperti Alaska pollock, Pacific whiting, coral fish, wolf herring (Park 2000), tilapia (Mahawanich 2008) dan lainnya. Pembuatan surimi dengan menggunakan ikan tersebut pada umumnya dilakukan secara tunggal. Pada penelitian kali ini proses pembuatan surimi dilakukan dengan menggunakan ikan air tawar. Ikan yang akan digunakan untuk pembuatan surimi ini adalah ikan mas dan ikan lele. Penggunaan kedua jenis ikan ini disebabkan melimpahnya produksi ikan mas dan ikan lele, dan terjangkaunya harga kedua jenis ikan tersebut dikalangan masyarakat (DKP 2008). Pada dasarnya, surimi merupakan protein miofibril yang stabil dari daging ikan yang telah digiling dan dipisahkan dari tulang dan berbagai jenis kotoran yang setelah itu mengalami proses pencucian dan pencampuran dengan cryoprotectant. Menurut (Okada 1992 dalam Jin et al. 2007) surimi juga merupakan produk antara yang bisa digunakan untuk variasi berbagai jenis produk. Produk-produk yang biasanya dibuat dengan bahan baku surimi adalah kamaboko, otak-otak, chikuwa, dan berbagai produk tradisional Jepang lainnya. Sebelum tahun 1960, surimi biasanya disimpan dan digunakan dalam beberapa hari saja. Surimi tersebut biasanya disimpan pada suhu dingin. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya denaturasi protein bila surimi disimpan pada suhu beku (Park 2000). Bertitik tolak dari tingginya permintaan terhadap produk surimi, dan melimpahnya bahan baku (ikan mas dan ikan lele dumbo) maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif solusi terhadap potensi ikan budidaya air tawar yang melimpah namun belum dimanfaatkan dengan optimal. Metode pengkomposisian merupakan metoda yang digunakan pada penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya tentang pengkomposisian daging lumat ikan cucut (Carcharinus falciformis) dan ikan pari (Tryon sephen) pada penyimpanan dingin (Santoso et al. 2008), studi pembuatan surimi multi-species dari ikan demersal (Nugroho 2006), karakteristik surimi hasil pengkomposisian tetelan ikan kakap merah (Lutjanus. sp) dan ikan layang (Decapterus. sp) pada penyimpanan beku (Santoso et al. 2009) dapat diketahui bahwa metode
4 pengkomposisian dapat meningkatkan kekuatan gel surimi. Selain itu, dengan pendinginan diharapkan surimi dapat bertahan lebih lama. Pendinginan merupakan suatu unit operasi yang bertujuan untuk menurunkan suhu suatu bahan (Clucas dan Ward 1996). Selama penyimpanan dingin terjadi perubahan sifat fisika-kimia dan mikrobiologi yang pada akirnya akan memberikan pengaruh terhadap sifat fungsionalnya, sehingga pengaruh penyimpanan dingin dalam hubungannya dengan perubahan karakteristik surimi penting untuk diteliti lebih lanjut. 1.2 Tujuan Tujuan umum dari penelitian ini adalah pemanfaatan ikan mas dan ikan lele sebagai ikan budidaya air tawar untuk pembuatan surimi komposisi. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah : (1) Membuat surimi dengan metode pengkomposisian dari ikan air tawar (ikan mas dan lele)
dengan perlakuan faktor pengulangan pencucian dan
pengkomposisian. (2) Mengevaluasi perubahan karakteristik fisik, kimia, dan mikrobiologi surimi hasil pengkomposisian terbaik pada penyimpanan dingin (4-5 °C) selama 10 hari.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Mas (Cyprinus carpio) Ikan mas merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, memiliki badan dengan bentuk panjang dan pipih kesamping serta memiliki daging yang lunak. Ikan mas sendiri sudah dipelihara sejak tahun 475 sebelum masehi di Cina sedangkan di Indonesia, ikan mas dipelihara sekitar tahun 1920. Ikan mas yang terdapat di Indonesia merupakan merupakan jenis ikan mas yang dibawa dari Cina, Eropa, Taiwan dan Jepang (Anonim 2007b). Hingga saat ini sudah terdapat 10 jenis ikan mas yang telah diidentifikasi berdasarkan karakteristik morfologisnya. Pada ilmu taksonomi hewan, klasifikasi ikan mas adalah sebagai berikut (Bachtiar 2002) : Filum
: Chordata
Subfilum : Vertebrata Kelas
: Osteichthyes
Subkelas
: Actinopterygii
Ordo
: Cypriniformes
Subordo
: Cyprinoidea
Famili
: Cyprinidae
Subfamili : Cyprininae Genus
: Cyprinus
Spesies
: Cyprinus carpio
Saat ini ikan mas mempunyai banyak ras atau strain. Perbedaan sifat dan ciri dari ras disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan kolam, musim dan cara pemeliharaan. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari penampilan bentuk fisik, bentuk tubuh dan warnanya (Susanto 2007). Gambar ikan mas dapat dilihat pada Gambar 1.
6
Gambar 1 Ikan mas (Cyprinus carpio) (Anonim 2007b) Ikan mas memiliki bentuk tubuh yang agak memanjang dan sedikit memipih ke samping (compressed). Sebagian besar tubuh ikan mas ditutupi oleh sisik. Moncongnya terletak di ujung tengah (terminal) dan dapat disembulkan (protaktil). Pada bibirnya yang lunak terdapat dua pasang sungut (berbel) dan tidak bergerigi. Pada bagian dalam mulut terdapat gigi kerongkongan (pharynreal teeth) sebanyak tiga baris berbentuk geraham. Sirip punggung ikan mas memanjang dan bagian permukaannya terletak berseberangan dengan permukaan sirip perut (ventral). Sirip punggungnya (dorsal) berjari-jari keras, sedangkan di bagian akhir bergerigi. Seperti halnya sirip punggung, bagian belakang sirip dubur (anal) ikan mas ini pun berjari-jari keras dan bergerigi pada ujungnya. Sirip ekornya menyerupai cagak memanjang simetris hingga ke belakang tutup insang, sisik ikan mas relatif besar dengan tipe sisik lingkaran (cycloid) yang terletak beraturan. Garis rusuk atau gurat sisi (linea lateralis) yang lengkap terletak di tengah tubuh dengan posisi melintang dari tutup insang sampai ke ujung belakang pangkal ekor (Bachtiar 2002). Ikan mas merupakan ikan salah satu ikan air tawar yang banyak digemari oleh masyarakat karena memiliki nilai gizi yang tinggi. Komposisi gizi daging ikan dapat berbeda-beda tergantung pada spesies ikan, tingkat kematangan gonad, habitat dan kebiasaan makan ikan tersebut. Komposisi tersebut didominasi oleh air dimana kadar air dapat mempengaruhi kandungan lemak yang terdapat pada daging ikan tersebut (Anonim 2007c). Komposisi daging ikan mas dapat dilihat pada Tabel 1.
7
Tabel 1 Komposisi kimia daging ikan mas setiap 100 gram bahan yang dimakan Komposisi Kalori Protein Lemak Karbohidrat Kalsium Fosfor Besi Vitamin A Vitamin B Vitamin C Air
Satuan Kal g g g mg mg mg Satuan Internasional mg mg g
Jumlah 86,0 16,0 2,0 0,0 20,0 150,0 2,0 150,5 0,05 0,0 80
Sumber : Bahtiar (2002)
2.2 Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan salah satu komoditas perairan yang dibudidayakan di air tawar. Ikan ini sangat digemari oleh masyarakat Indonesia karena memiliki cita rasa yang dapat diterima oleh hampir semua lapisan masyarakat dan harganya yang relatif murah. Selain untuk dikonsumsi, ikan lele juga bermanfaat untuk menjaga kualitas air yang tercemar. Klasifikasi ikan lele menurut (Saanin 1984) adalah : Filum
: Chordata
Kelas
: Pisces
Subkelas
: Teleostei
Ordo
: Ostariophysi
Subordo
: Siluroidea
Famili
: Clariidae
Genus
: Clarias
Spesies
: Clarias gariepinus
Ciri-ciri morfologi ikan lele adalah bagian kepala berbentuk pipih ke bawah (depressed), bagian tengah membulat, bagian belakang pipih ke samping (compressed), dan tubuhnya memanjang. Walaupun ikan lele tidak memiliki sisik, tubuhnya tetap licin karena dilapisi lendir (mucus). Ikan lele memiliki patil atau taji pada bagian sirip dada yang berfungsi untuk melindungi dirinya dari ancaman
8 yang membahayakan dirinya. Pada bagian tubuh lele yang lain, yaitu sirip punggung dan sirip dubur bentuknya memanjang sampai ke daerah pangkal ekor tetapi tidak menyatu dengan sirip ekornya. Bagian punggungnya berwarna hijau kegelapan dan bagian perutnya berwarna putih keperakan. Memiliki empat pasang kumis di sekitar mulutnya dan dua buah lubang penciuman di belakang bibir atas. Pada saat mencari makan lele biasanya menggunakan kumisnya sebagai alat peraba (tentakel) yang disebut kumis mandibular (Khairuman dan Khairul 2002). Gambar ikan lele dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Ikan lele (Clarias gariepinus) (Anonim 2008a) Ikan ini juga memiliki alat pernafasan tambahan disebut arborescen organ yang terletak pada lembar insang ke-2 dan ke-4 untuk mengambil oksigen langsung dari udara dengan bergerak vertikal. Alat pernafasan tambahan tersebut merupakan pengadaptasian ikan lele terhadap tempat hidup yang minim oksigen. Sebagai contoh, ikan lele dapat hidup dengan baik di kolam penampungan air maupun di sawah dengan air dangkal pada kedalaman 5-10 cm saja dengan syarat ada tempat untuk berlindung seperti kolong dari tumpukan batu-batu atau potongan pipa paralon (Anonim 2008a) . Ikan lele memiliki nilai gizi yang tinggi. Selain itu, ikan ini banyak digemari oleh masyarakat karena rasa dagingnya yang gurih. Hal ini juga didukung dengan harga ikan lele yang terjangkau oleh masyarakat. Kandungan gizi ikan lele dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Komposisi kimia ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Komposisi Air Protein Lemak Mineral
Jumlah (%) 75,1 17 4,8 1,2
9 Vitamin
Sumber : Anonim (2008a).
1,2
2.3 Protein Daging Ikan Protein merupakan senyawa yang mengandung berbagai macam asam amino berbeda yang disambungkan dengan ikatan peptida (Winarno 2002). Protein yang berbeda dapat mempunyai sifat kimia yang berbeda serta struktur sekunder dan tersier yang berbeda pula (deMan 1997). Menurut Junianto (2003), protein ikan menyediakan lebih kurang 2/3 dari kebutuhan proten hewani yang diperlukan manusia. Kandungan protein ikan relatif besar, yaitu antara 15-25 g dari 100 g daging ikan. Selain itu, protein ikan terdiri dari asam-asam amino yang hampir semuanya diperlukan oleh tubuh manusia. Protein ikan digolongkan dalam 3 fraksi yaitu protein miofibril, protein sarkoplasma, dan protein stroma. Komposisi protein ikan tersebut bervariasi menurut jenis atau spesiesnya, namun secara umum komposisi protein ikan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi protein ikan secara umum Fraksi Protein
Jumlah (%)
Miofibril
65-75
Sarkoplasma
20-30
Stroma
1-3
Sumber : Nakai dan Modler (2000)
2.3.1 Protein miofibril Protein miofibril disebut juga protein kontraktil (struktur) dan bersifat larut dalam larutan garam. Protein ini merupakan fraksi terbesar (65-70 %) dari keseluruhan protein yang terdapat pada daging ikan tergantung pada spesies ikan (Alasalvar dan Taylor 2002). Protein ini terdiri dari miosin, aktin serta protein regulasi, yaitu protein gabungan dari aktin dan miosin yang membentuk aktomiosin. Penyusun terbesar dari protein miofibril ikan adalah miosin, yaitu 50-60 % dan penyusun kedua terbesar adalah aktin. Aktin tersusun hampir 20 % dari total miofibril dan merupakan filamen tipis. Protein ini mempunyai dua bentuk, yaitu globular (G-aktin) dan fibrous (F-aktin). Gabungan aktin dan miosin
10 membentuk aktomiosin. Protein miofibril sangat berperan dalam pembentukan gel dan proses koagulasi terutama dari fraksi aktomiosin (Suzuki 1981). Miosin adalah protein yang paling penting dari semua protein otot, bukan hanya karena jumlahnya yang besar (50-60 %) dari total miofibril, tetapi juga karena mempunyai sifat biologi khusus. Adanya aktivitas enzim ATP-ase dan kemampuannya pada beberapa kondisi, miosin dapat bergabung dengan aktin membentuk kompleks aktomiosin (Shahidi 1994). Sifat kontraksi pada proses pembentukan aktomiosin inilah yang menyebabkan terjadinya gerakan otot sewaktu ikan hidup dan selama terjadinya kekejangan setelah ikan mati. Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat gel aktomiosin pada ikan adalah konsentrasi protein, pH, kekuatan ion, waktu dan suhu pemanasan. Penurunan pH dan peningkatan konsentrasi protein meningkatkan kekuatan gel aktomiosin (Zayas 1997). Protein otot sebagian besar tersimpan dalam bentuk koloid, baik berupa sol maupun gel. Kemampuan untuk mengekstrak protein miosin lebih besar pada pH agak tinggi, tetapi kekuatan gel daging ikan pada produk akhir lebih rendah meskipun jumlah miosin yang diekstrak lebih banyak (Junianto 2003). Pembentukan gel oleh protein miofibril pada surimi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti konsentrasi protein miofibril (PLG), jumlah air yang terkandung, tipe ion dan kekuatannya, pH dan interaksi yang terjadi antara miofibril dengan bahan lain yang ditambahkan, seperti cryoprotectant (Lee et al. 1992). Pada umumnya protein yang larut dalam garam lebih efisien sebagai pengemulsi dibandingkan dengan protein yang larut dalam air. Pada proses pengolahan daging, protein miofibril mempunyai peran sebagai struktur dan fungsi utama yaitu berinteraksi dengan komponen lain dan dengan unsur nonprotein secara kimia dan secara fisik untuk menghasilkan karakteristik produk yang diinginkan (Nakai dan Modler 2000). 2.3.2 Protein sarkoplasma Protein sarkoplasma merupakan protein yang larut air dan terutama terdiri dari enzim-enzim yang berhubungan dengan metabolisme sel. Protein ini terdiri dari mioglobin, enzim dan albumin lainnya. Protein sarkoplasma disebut juga miogen. Kandungan miogen dalam daging ikan bervariasi, selain tergantung dari
11 jenis ikannya, juga tergantung dari habitat hewan tersebut. Pada umumnya, ikan pelagis mempunyai kandungan protein sarkoplasma yang cukup tinggi dibandingkan ikan demersal (Suzuki 1981). Protein sarkoplasma berjumlah sekitar 20-30 % dari total protein daging. Protein sarkoplasma mempunyai sifat kimia yaitu memiliki berat molekul yang kecil, pH isoelektrik yang tinggi, dan berstruktur globular. Karakteristik fisik dari protein sarkoplasma sebagian besar bertanggung jawab untuk kelarutan yang tinggi terhadap air. Salah satu bagian dari protein sarkoplasma yang penting dalam menentukan kualitas daging adalah mioglobin. Mioglobin bertanggung jawab untuk warna merah pada daging segar dan warna merah muda pada daging yang dicuring (Nakai dan Modler 2000). 2.3.3 Protein stroma Protein stroma atau protein jaringan ikat tersusun dari kolagen dan elastin. Protein jaringan pengikat kebanyakan terdapat pada miosepta dan endomiosin, tetapi ada pula yang terdapat pada sarkolema atau bagian tubuh yang lain tetapi jumlahnya tidak banyak. Seperti halnya protein miofibril, protein jaringan ikat juga merupakan protein struktural dan terdiri dari sel-sel otot jaringan pengikat, berkas serat dan otot. Protein jaringan ikat ini memelihara struktur bentuk pada tulang, ligamen, dan tendon. Jaringan ikat pada tempat interstitial sel otot terdiri dari 3 protein ekstraselular (kolagen, retikulin, dan elastin) dan substansi dasar penyangga (Nakai dan Modler 2000). Protein stroma ini tidak dapat diekstrak oleh larutan asam, alkali atau garam berkekuatan ion tinggi. Menurut Hall dan Ahmad (1992), pada proses pengolahan surimi protein stroma tidak dapat dipengaruhi oleh panas dan merupakan komponen netral pada produk akhir. Pada daging mamalia, kolagen berikatan silang dengan jumlah yang bervariasi, kadang-kadang mengharuskan pemasakan yang ekstensif untuk melunakkan daging. Pada kenyataannya, daging ikan memiliki melting point atau suhu untuk melunakkan daging yang lebih rendah dan dapat dengan mudah diubah menjadi gelatin melalui pemasakan (Alasalvar dan Taylor 2002).
12 2.4 Surimi Surimi merupakan istilah dalam bahasa Jepang untuk daging lumat dan jaringan ikan yang dicuci. Surimi juga dapat disebut sebagai olahan daging cincang ikan yang telah mengalami beberapa kali proses pencucian yang dimaksudkan untuk menghilangkan komponen yang larut dalam air seperti protein sarkoplasma, darah dan enzim (Mahawanich 2008). Sejak tahun 1900-an, produksi surimi mengalami peningkatan yang cukup tajam. Peningkatan tersebut dapat dilihat dari persentase permintaan yang cukup tajam (2-3 %) pada tahun 2000-2003 (Park 2000). Produksi surimi secara komersial dibuat dengan menggunakan alat pemisah mekanik untuk memisahkan daging lumat ikan dari tulang dan kulit, diikuti dengan pencucian (sampai dengan 3 kali pencucian) dengan air atau larutan garam. Proses pencucian bertujuan untuk menghilangkan sebagian besar komponen larut dalam air, darah (pigmen), penyebab bau dan lemak. Setelah pencucian terakhir, daging lumat dipress untuk menghilangkan air yang tersisa lalu dicampur dengan cryoprotectant yang tepat untuk mencegah denaturasi protein selama penyimpanan beku (Nakai dan Modler 2000). 2.4.1 Deskripsi dan karakteristik surimi Pada dasarnya, hampir semua daging ikan bisa dijadikan surimi. Hal pertama yang dilakukan sebelum membuat surimi adalah membuat daging lumat ikan atau minced fish. Daging giling yang digunakan untuk pembuatan surimi sebaiknya memiliki diameter 3 mm hingga 5 mm. Sebelum daging dipress daging harus dibersihkan dari tulang, kulit, darah. Ukuran dan tekstur dari daging giling ikan juga akan memberikan pengaruh pada kualitas minced fish (Park 2000). Surimi yang baik adalah surimi yang memiliki warna yang putih, rasa yang baik (khas ikan), dan kemampuan gel yang kuat. Surimi yang baik biasanya terbuat dari bahan baku yang segar. Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan surimi biasanya merupakan bahan baku yang kurang memiliki nilai ekonomis, tetapi tersedia dalam jumlah yang banyak (Lanier 1992). Surimi adalah protein miofibril yang stabil yang terdapat dari daging ikan yang telah dipisahkan dari tulang dan kulitnya kemudian digiling, dan setelah itu mengalami proses pencucian serta pencampuran dengan cryoprotectant. Surimi juga merupakan produk intermediate yang dapat digunakan untuk variasi produk
13 lainnya seperti kamaboko, chikuwa, dan beberapa produk tradisional Jepang lainnya. Sebelum tahun 1960, surimi disimpan dan digunakan dalam beberapa hari saja, hal ini dikarenakan surimi hanya dapat disimpan pada suhu dingin pada refrigerator. Pada waktu itu proses pendinginan beku akan menyebabkan protein dalam daging ikan akan keluar dan akan mengalami denaturasi pada akhirnya (Park 2000). Terdapat dua tipe surimi beku, yaitu Mu-en surimi, yang dibuat dengan menggiling campuran daging ikan yang telah dicuci dan dicampur dengan gula fosfat tanpa penambahan garam (NaCl) dan telah mengalami proses pembekuan, sedangkan Ka-en surimi dibuat dengan menggiling campuran daging ikan yang telah dicuci dan dicampur dengan gula dan garam (NaCl) serta yang telah mengalami proses pembekuan. Selain surimi beku, terdapat tipe lain yang disebut Nama surimi (raw surimi) yaitu surimi yang tidak mengalami proses pembekuan (Okada 1992). 2.4.2 Pengaruh pencucian terhadap mutu surimi Pencucian merupakan tahap paling penting dalam pembuatan surimi agar dapat dihasilkan surimi dengan kualitas yang baik. Proses pencucian bertujuan untuk menghilangkan protein sarkoplasma, darah, lemak dan kandungan nitrogen lainnya dari daging ikan sehingga dihasilkan surimi tanpa bau, rasa dan warna serta memiliki kekuatan gel yang baik (Mahawanich 2008). Proses pencucian surimi dilakukan dengan cara mencampur air dan daging lumat kemudian digerakkan secara mekanis. Jumlah air yang digunakan dan banyaknya siklus pencucian ditentukan oleh jenis ikan dan mutu surimi yang diinginkan. Pada umumnya pencucian surimi dilakukan sebanyak 3-4 kali selama 10 menit dengan perbandingan air dan ikan yaitu 3 : 1 atau 4 : 1. Pada beberapa ikan pada pencucian terakhir biasanya ditambahkan garam (0,2 %) dalam air pencucian (Hall dan Ahmad 1992). Proses pencucian yang dilakukan pada pembuatan surimi pada dasarnya dilakukan untuk meningkatkan sifat elastik daging ikan, tetapi perlu juga diperhatikan pengaruhnya terhadap nilai gizi ikan secara keseluruhan. Protein yang akan hilang selama proses pencucian dapat mencapai 25 % dari keseluruhan protein yang ada pada daging. Pada proses pencucian surimi perlu diperhatikan
14 beberapa faktor diantaranya adalah kondisi air yang digunakan dalam proses pencucian. Air yang digunakan pada proses pencucian sebaiknya memiliki nilai pH yang netral dan suhu yang rendah (±5 °C). Air pencucian yang memiliki tingkat kesadahan tinggi justru dapat merusak tekstur dan mempercepat terjadinya degradasi lemak, sedangkan bila pencucian menggunakan air laut atau air garam protein yang hilang akan semakin tinggi. Kandungan garam-garam inorgaik yang tinggi pada air pencuci, terutama Ca2+ dan Mg2+ akan memberikan pengaruh terhadap kemampuan membentuk gel surimi dengan menyebabkan denaturasi aktomiosin selama penyimpanan beku. Selain itu, kadar pH juga akan mempengaruhi proses pengikatan air dan kemampuan pembentukan gel, pH yang disarankan dalam proses pencucian surimi yaitu sekitar 6,5-7,0 (Park 2000). Pada proses pencucian sebaiknya diperhatikan suhu air yang akan digunakan untuk proses pencucian. Suhu yang digunakan untuk pencucian biasanya ± 5 °C. Penggunaan suhu rendah pada air yang digunakan untuk pencucian surimi ini dimaksudkan untuk menjaga tekstur daging dan kandungan enzim proteolisisnya. Selain suhu, perbandingan volume air yang digunakan pada proses pencucian juga harus diperhatikan. Efisiensi pencucian dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya penambahan air, daging ikan, umur panen ikan, kecepatan agitasi, bentuk agitator, dan temperatur air. Bentuk wadah yang sebaiknya digunakan adalah square-shaped. Kecepatan agitator yang baik digunakan pada saat pencucian surimi adalah 20-40 rpm (Park 2000). Proses pencucian pada pembuatan surimi juga bertujuan untuk menghilangkan protein larut air yaitu protein sarkoplasma. Protein sarkoplasma merupakan protein yang dapat menghambat pembentukan gel dan dapat menurunkan mutu produk. Protein sarkoplasma terdapat di dalam cairan dalam serat daging dan berhubungan dengan banyak metabolit enzim. Protein ini dapat menurunkan kualitas enzim selama proses penyimpanan (Lanier 1992). 2.4.2 Bahan tambahan dalam pembuatan surimi Bahan tambahan adalah bahan yang sengaja ditambahkan atau diberikan dengan maksud dan tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan mutu, konsistensi, nilai gizi, cita rasa, untuk mengendalikan keasaman dan kebasaan serta bentuk, tekstur dan rupa, termasuk ke dalamnya pewarna, penyedap rasa dan
15 aroma, pemantap, antioksidan, pengawet, pengemulsi, pemucat dan pengental (Winarno 2002). Bahan tambahan yang ditambahkan dalam proses pembuatan surimi antara lain adalah garam, cryoprotectant (sorbitol, sukrosa/gula) dan bahan lain untuk meningkatkan daya ikat air (sodium tripolifosfat). Bahan anti denaturasi akan menurunkan tegangan permukaan dan menurunkan titik beku air terperangkap dari miofibril, sehingga air yang keluar selama proses dan penyimpanan beku akan sangat berkurang dan struktur alami protein tetap stabil (Mackie 1992). a) Alkali (natrium bikarbonat) (NaHCO3) Natrium bikarbonat atau sodium bikarbonat (NaHCO3) adalah garam yang terdiri atas ion Na+ dan anion bikarbonat HCO3-. Garam ini telah digunakan secara luas dan mempunyai beberapa nama lain, yaitu sodium hidrogen karbonat, sodium bikarbonat, baking soda, soda roti, soda masak, soda bikarbonat, dan saleratus. Padatan putih ini berbentuk kristal tetapi sering ditemukan dalam bentuk serbuk. Komponen kimia ini mempunyai rasa sedikit basa (Anonim 2008b). Natrium bikarbonat (NaHCO3) dalam pencucian surimi berfungsi untuk meningkatkan nilai pH agar dapat mencegah terjadinya denaturasi protein. Jumlah natrium bikarbonat (NaHCO3) yang digunakan dalam pencucian surimi adalah 0,5 % (BPPMHP 2001). b) Garam (NaCl) Garam terdiri dari 34,39 % Na dan 60,69 % Cl, garam biasa digunakan dalam pengolahan ikan sebagai pemberi rasa dan bahan pengawet. Pada pembuatan surimi penambahan garam sebanyak 0,2-0,3 % selama proses pencucian akan memudahkan penghilangan air dari daging ikan yang telah dilumatkan (Ditjen Perikanan 1990). Garam dalam pembuatan produk fish jelly lebih berfungsi sebagai agen pelarut bagi protein miofibril dibandingkan sebagai penambah cita rasa (KIFTC 1992). Penambahan garam pada konsentrasi
dibawah 2% akan
menyebabkan protein miofibril tidak dapat larut, namun penambahan garam pada konsentrasi diatas 12 % akan menyebabkan daging terhidrasi dan menyebabkan efek salting-out dari NaCl. Penambahan NaCl terbaik dalam pembentukan ashi
16 adalah dengan menggunakan kadar garam tinggi (5-10 %), akan tetapi selang kadar garam 2-3 % biasa digunakan pada beberapa spesies dan produk. Hal ini dilakukan untuk mengindari rasa asin yang berlebihan pada produk hasil akhir (Niwa 1992). c) Antidenaturan (cryoprotectant) Cryoprotectant adalah bahan yang biasa ditambahkan dalam pembuatan surimi yang tidak langsung diolah menjadi produk lanjutan, melainkan akan disimpan terlebih dahulu pada suhu beku dalam waktu yang lama. Penambahan cryoprotectant dalam pembuatan surimi dilakukan untuk mencegah terjadinya denaturasi protein selama penyimpanan pada suhu rendah. Pada surimi mentah, penambahan cryprotectant dibutuhkan untuk menstabilkan salah satu komponen yang penting yaitu protein miofibril. Penambahan cryoprotectant ini mampu meningkatkan N-aktomiosin dari 350 mg %
menjadi 520 mg % dan
meningkatkan kekuatan gel dari 400 g cm menjadi 480 g cm yang artinya sama dengan meningkatkan nilai pelipatan (folding score) dari A menjadi AA (Peranginangin et al. 1999). Bahan yang umum digunakan sebagai cryoprotectant adalah jenis gula, misalnya sukrosa dan sorbitol. Namun pada saat ini, komponen yang digunakan sebagai cryoprotectant untuk melindungi protein yang labil selama proses pembekuan banyak macamnya yaitu : gula, asam amino, poliol, metal amina, polimer karbohidrat, polimer sintetik (seperti polietilen glikon, PEG), protein lain (seperti bovine serum albumin, BSA), dan garam anorganik (seperti potassium fosfat dan ammonium sulfat) (Park 2000). Pipatsattayanuwong et al. (1995) menyatakan bahwa cryoprotectant dibutuhkan
untuk
meminimalisasikan
denaturasi
protein
selama
masa
penyimpanan beku. Sukrosa (4 %) dan sorbitol (4-5 %) sering digunakan bersamaan dengan 0,3 % sodium fosfat. Penambahan polifosfat dapat menyebabkan surimi tahan disimpan selama lebih dari satu tahun (Lee et al. 1992). Bahan tambahan lain yang digunakan sebagai cryoprotectant dalam pembuatan surimi adalah fosfat. Fosfat biasa ditambahkan pada surimi sebesar 0,2 – 0,3 % dalam bentuk sodium tripolifosfat atau pirofosfat yang berfungsi untuk memperbaiki sifat ketahanan air (terjadi pada protein miofibril untuk
17 memperbaiki sifat ketahanan air). Fosfat dapat meningkatkan nilai
pH dan
kelarutan garam dari protein miofibril. Fosfat juga dapat meningkatkan kekenyalan dari surimi (Lee et al. 1992). Polifosfat akan memisahkan aktomiosin dan berikatan dengan miosin. Miosin dan polifosfat akan berikatan dengan air dan menahan mineral dan vitamin. Pada proses pemasakan, miosin akan membentuk gel dan polifosfat membantu menahan air dengan menutup pori-pori mikroskopis dan kapiler. Polifosfat dapat menambah nilai kelembutan dan memperbaiki sifat surimi, terutama sifat elastisitas dan kelembutan. Polifosfat dapat memperbaiki daya ikat air (water holding capacity) dan memberikan sifat pasta yang lebih lembut pada produk-produk olahan surimi (Peranginangin et al. 1999) Pada sebagian besar protein, cryoprotectant yang digunakan harus berada pada konsentrasi yang tinggi untuk memberikan perlindungan maksimum, pengecualian pada polimer seperti PEG (polietilen glikon), BSA (bovine serum albumin) dan polivinilpirolidon (PVP), harus digunakan pada konsentrasi kurang dari 1 % (b/v) yang sepenuhnya melindungi enzim yang sensitif. Konsentrasi cryoprotectant yang ditambahkan pada surimi tergantung pada lamanya waktu penyimpanan. Pada umumnya cryoprotectant yang digunakan adalah 4 % sukrosa atau 4-5 % sorbitol. Surimi yang telah ditambahkan sebagai cryoprotectant kemudian dilakukan proses pengemasan dan pembekuan pada suhu -25 °C (Park 2000). 2.4.3 Syarat mutu surimi beku Mutu surimi beku umumnya dinilai dari kekuatan gelnya dan warna yang sangat tergantung dari faktor-faktor bahan baku seperti spesies ikan, kesegaran ikan, metode dan pengawasan pengolahan, kadar air, pengawasan suhu pembekuan dan penyimpanan serta kondisi penanganan dan distribusi. Penentuan mutunya dilakukan dengan mengukur kekuatan gel dan penilaian organoleptik (uji lipat / folding test dan uji gigit / teeth cutting test) (Tan et al. 1987). Salah satu cara yang digunakan untuk mempertahankan mutu surimi adalah penggunaan bahan baku yang segar. Apabila terpaksa harus menunggu, maka bahan baku harus disimpan dengan es atau air dingin (0 – 5 oC), kondisi saniter dan higienis (SNI 01-2694-1992).
18
Karakteristik kesegaran bahan baku yang digunakan untuk membuat surimi secara organoleptik sekurang-kurangnya sebagai berikut :
Rupa dan warna : bersih, warna daging spesifik jenis ikan
Aroma : segar spesifik jenis
Daging : elastik, padat dan kompak
Rasa : netral agak manis Syarat mutu surimi beku menurut SNI 01-2693-1992
disajikan pada
Tabel 4 : Tabel 4 Syarat mutu surimi beku (SNI 01-2693-1992) Jenis Uji 1) Organoleptik Nilai min 2) Cemaran mikroba ALT, maks Escherichia coli Coliform Salmonella *) Vibrio cholerae *) 3) Cemaran kimia Abu total, maks Lemak, maks Protein, min 4) Fisika Suhu pusat, maks Uji lipat, min Elastisitas, min
Satuan
Persyaratan Mutu 7
koloni/g AMP/g per 25 g per 25 g
5 x 105 3 3 negatif negatif
% b/b % b/b % b/b
1 0,5 15
°C
-18 °C grade A 300
g/cm2
*) jika diminta importir
Keterangan : ALT = Angka Lempeng Total, AMP = Angka Paling Memungkinkan
2.4.4 Mekanisme pembentukan gel Mutu surimi yang baik ditentukan oleh kemampuan surimi tersebut untuk membentuk gel. Kemampuan membentuk gel ini berpengaruh terhadap elastisitas dari produk lanjutan olahan surimi. Pembentukan gel dari protein miofibril adalah
19 sifat dasar dari pengembangan produk yang menuntut kekuatan gel atau elastisitas sebagai atribut utamanya. Pembentukan gel pada surimi terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah denaturasi protein dan tahap kedua terjadi agregasi protein membentuk struktur tiga dimensi. Terdapat empat tipe ikatan utama yang berkontribusi terhadap pembentukan struktur jaringan selama proses gelasi dari pasta surimi, yaitu ikatan garam, ikatan higrogen, ikatan disulfida dan ikatan hidrofobik. Interaksi hidrofobik terjadi ketika suhu naik dan ikatan hidrogen menjadi tidak stabil. Pembentukan interaksi hidrofobik diketahui sebagai akibat keberadaan beberapa poliol dan asam amino seperti gliserin, sukrosa, sorbitol, asam glutamat dan lisin. Interaksi hidrofobik berfungsi untuk melepaskan energi bebas yang dapat menstabilkan sistem protein (Park 2000). Proses gelasi juga dapat dibagi menjadi tiga bagian yang diawali dengan proses denaturasi utuh dari bentuk terlipat menjadi tidak terlipat. Tahap pertama adalah pembentukan turbiditas yang terjadi pada 3-10 menit pemanasan pertama. Pada tahap ini terjadi interaksi hidrofobik (Hudson 1992). Ketika suhu naik, maka ikatan hidrogen menjadi tidak stabil dan interaksi hidrofobik akan berlangsung lebih kuat (Niwa 1992). Tahap kedua adalah oksidasi sulfihidril. Pada tahap ini menurut pasta surimi akan mengeras, dimana ikatan intermolekul disulfida (SS) terbentuk melalui oksidasi dari dua residu sistein. Ikatan disulfida lebih intensif terjadi pada suhu pemanasan yang lebih tinggi (diatas 80 oC) (Niwa 1992). Tahap ketiga adalah tahap peningkatan elastisitas gel yang terjadi ketika pendinginan. Peningkatan elastisitas ini terjadi karena pembentukan ikatan hidrogen kembali yang menyebabkan peningkatan terhadap kekerasan gel (Hudson 1992). Pembentukan gel ikan terjadi pada saat penggilingan daging mentah dengan penambahan garam. Aktomiosin (miosin dan aktin) sebagai komponen yang paling penting dalam pembentukan gel akan larut dalam larutan garam, membentuk sol (disperse partikel padat dalam medium cair) yang sangat adhesive. Bila sol dipanaskan akan terbentuk gel dengan kontruksi seperti jala dan memberikan sifat elastis pada daging ikan. Sifat elastis ini disebut ashi atau suwari. Kekuatan ashi merupakan nilai mutu dari produk gel ikan misalnya
20 kamaboko yang kekuatannya berbeda-beda menurut jenis dan kesegaran ikan (Tanikawa 1985). Pasta surimi yang dibuat dengan mencampurkan daging dengan garam yang dipanaskan, maka pasta daging tersebut berubah menjadi gel suwari. Gel suwari tidak hanya terbentuk oleh hidrasi molekul protein, tetapi juga oleh pembentukan jaringan oleh ikatan hidrogen pada molekul miofibril. Gel suwari terbentuk dengan cara menahan air di dalam ikatan molekul yang terbentuk oleh ikatan hidrofobik dan ikatan hidrogen. Pembentukan gel suwari terjadi pada pemanasan dengan suhu mencapai 50 °C. Jika pemanasan ditingkatkan hingga diatas suhu 50 °C, maka struktur gel tersebut akan hancur. Fenomena ini disebut dengan modori. Modori akan terjadi apabila pasta surimi dipanaskan pada suhu 50-60 °C selama 20 menit, pada rentang suhu tersebut enzim alkali proteinase akan aktif. Enzim tersebut dapat menguraikan kembali struktur jaringan tiga dimensi gel yang telah terbentuk sehingga gel surimi akan menjadi rapuh dan hilang elastisitasnya (Suzuki 1981). Proses pembentukan gel kamaboko dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Proses pembentukan gel kamaboko (Suzuki 1981) Metode analisis mutu surimi dingin dapat dilakukan dengan mengukur kadar air, pH, deteksi kotoran dan kemampuan pembentukan gel dengan metode uji lipat (folding test). Evaluasi organoleptik dapat juga dilakukan untuk mengukur daya ikat air (water holding capacity) (Suzuki 1981). 2.5 Pendinginan Pada saat proses pengolahan pangan, sangat dihindari penggunaan suhu disekitar suhu kamar. Penggunaan suhu sekitar suhu kamar akan menyebabkan penurunan kualitas bahan pangan. Tujuan dari penggunaan suhu dingin pada
21 penelitian adalah untuk melihat sejauh mana surimi hasil komposisi tahan dan masih layak dikonsumsi bila disimpan pada suhu dingin. Kualitas daging ikan yang disimpan pada suhu dingin secara umum dipengaruhi oleh degradasi senyawa kimia dan biokimia yang dipengaruhi oleh aktivitas mikrobiologi dan enzimatis yang secara alami terjadi sesaat setelah ikan mati. Selain karakteristik biologi, kondisi ikan saat ditangkap dan penanganan ikan setelah ditangkap juga dapat mempengaruhi laju kemunduran mutu ikan selama penyimpanan dingin (Sikorski dan Pan 1994). Penerapan suhu rendah bertujuan untuk mempertahankan sifat segar ikan. Penerapan suhu rendah antara lain yaitu dengan pendinginan dan pembekuan. Penerapan suhu rendah dilakukan guna menghindarkan bahan pangan dari kerusakan yang disebabkan oleh autolisa dan pertumbuhan mikroba. Peningkatan aktifitas enzim maupun pertumbuhan mikroba sangat dipengaruhi oleh suhu. Pada kondisi tertentu aktifitasnya menjadi optimum dan pada kondisi lain aktifitasnya dapat menurun, terhambat bahkan terhenti (Clucas dan Ward 1996). Kerusakan bahan pangan khususnya hasil perikanan kebanyakan disebabkan karena proses autolisis dan pertumbuhan mikroba pada saat penyimpanan. Pada umumnya bahan pangan mempunyai suhu yang optimum untuk berlangsungnya proses metabolisme secara normal. Suhu penyimpanan yang lebih tinggi dari suhu optimum akan mempercepat terjadinya proses pembusukan. Suhu optimum merupakan suhu yang terletak diantara atau sedikit di bawah suhu kamar. Penyimpanan bahan pangan pada suhu sekitar -20 °C sampai -100 °C diharapkan dapat memperpanjang masa simpan bahan pangan. Suhu rendah efektif dalam mengurangi laju metabolisme. Suhu seperti ini diketahui sangat berguna untuk pengawetan jangka pendek. Hal ini disebabkan suhu rendah dapat memperlambat aktivitas metabolisme dan menghambat pertumbuhan mikroba. Selain itu, suhu rendah dapat mencegah terjadinya reaksireaksi kimia dan hilangnya kadar air dari bahan pangan. Selama pendinginan dan pembekuan akan terjadi perubahan-perubahan sifat pada daging ikan. Perubahan tersebut meliputi perubahan sifat kimiawi, fisikiawi dan organoleptik. Pada pendinginan tidak terlalu banyak perubahan yang terjadi dibandingkan pada
22 proses pembekuan, karena terbentuknya kristal es yang terjadi di dalam jaringan daging ikan (Hadiwiyoto 1993). Penurunan suhu, terutama jika sampai dibawah titik beku air dapat berakibat pada membekunya sebagian air sehingga konsentrasi garam dalam cairan sel lebih pekat dari keadaan semula. Jika proses tersebut terus berlangsung, maka pada saat tertentu besarnya konsentrasi garam dapat menyebabkan denaturasi protein. Protein yang terdenaturasi bukan hanya protein yang terdapat pada daging ikan saja melainkan enzim yang terdapat pada mikroba juga ikut terdenaturasi.
Terhambatnya
enzim-enzim
yang
terdapat
pada
mikroba
menyebabkan terganggunya sistem metabolisme dalam sel mikroba terganggu dan pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan mikroba (Amlacher 1961). Kualitas daging ikan yang disimpan selama suhu dingin secara umum dipengaruhi oleh degradasi senyawa kimia dan biokimia serta aktivitas mikrobiologi dan enzimatis yang secara alami terjadi sesaat setelah ikan mati. Selain itu, kondisi ikan saat penangkapan dan umur ikan pada waktu panen juga mempengaruhi laju kemunduran mutu ikan selama penyimpanan dingin (Hadiwiyoto 1993). Kemunduran mutu ikan setelah ikan mati disebabkan karena adanya aktivitas mikrobiologis dan enzimatis yang sudah ada pada tubuh ikan secara alami pada tubuh ikan ketika masih hidup. Pada suhu dibawah 4 oC proses kemunduran mutu ikan dapat dihambat. Pada suhu tersebut penguraian tubuh ikan oleh mikroorganisme dan enzim berlangsung dengan lambat. Kemunduran mutu ikan akan menyebabkan perubahan mutu terhadap flavor, aroma, warna dan penampakan daging ikan yang dapat mempengaruhi daya terima konsumen menjadi rendah (Clucas dan Ward 1996).
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan September 2009. Bertempat di Balai Pengembangan dan Pengendalian Mutu Hasil Perikanan (BPPMHP), Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta Utara, Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Laboratorium
Mikrobiologi
Hasil
Perairan,
Laboratorium
Organoleptik,
Departemen Teknologi Hasil Perairan, IPB dan Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan Pusat Antar Universitas (PAU) Pangan dan Gizi IPB Bogor. 3.2 Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu bahan yang digunakan untuk pembuatan surimi dan bahan yang digunakan untuk analisis mutu surimi. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan surimi adalah ikan lele dumbo, ikan mas, garam, sukrosa, sorbitol, NaHCO3, air dan es curai, sedangkan bahan kimia yang digunakan untuk analisis karakteristik surimi meliputi bahan-bahan kimia yang diperlukan untuk analisis proksimat, total volatile base nitrogen (TVBN), total mikroba, pH dan protein larut garam (PLG). Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah: K2SO4, CuSO4, H2SO4, H2O2, kloroform, H3BO3, indikator (bromethymol blue 0,1 %, methyl red 0,1 % ; 2:1), NaOH, HCl, NaCl, buffer pH 4 dan 7, K2CO3, garam fisiologis, TCA 7 % , garam fisiologis, PCA. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu
peralatan yang digunakan untuk membuat surimi dan peralatan
untuk analisis. Peralatan yang digunakan untuk membuat surimi meliputi : cool box, wadah air, pisau, talenan, mesin pemisah daging-tulang (meat-bone separator), pelumat daging (grinder) elektrik, food processor, press hidraulik, saringan kain kasa, plastik poliethylene (PE), termokopel digital, timbangan digital, dan water bath. Peralatan yang digunakan untuk analisis mutu surimi meliputi : kjeltec system, oven, tanur, desikator, pH-meter digital, cawan conway,
24 sentrifuse dingin, rheoner, pengepres hidraulik, whitenessmeter, timbangan analitik dan peralatan gelas lainnya. 3.3 Tahapan Penelitian Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu 1) Penelitian pendahuluan, terdiri dari analisis karakteristik fisika-kimia bahan baku (proksimat, pH, TVBN). Penentuan frekuensi pencucian terbaik dalam pembuatan surimi ditentukan berdasarkan nilai kekuatan gel, kadar protein larut garam, derajat putih dan pH. Penentuan komposisi surimi terbaik antara ikan mas dan lele dumbo ditentukan dari nilai kekuatan gel. 2) Penelitian utama, yaitu mempelajari pengaruh penyimpanan dingin selama 10 hari terhadap perubahan karakteristik fisika, kimia dan mikrobiologi surimi (kekuatan gel, protein larut garam, pH, TVBN, derajat putih, daya ikat air, total mikroba, uji lipat dan uji gigit). 3.3.1 Penelitian pendahuluan Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk menganalisis komposisi kimia bahan baku (ikan mas dan ikan lele dumbo) yang digunakan untuk pembuatan surimi, menentukan frekuensi pencucian terbaik dari surimi ikan mas dan ikan lele dumbo, serta menentukan komposisi terbaik dari surimi hasil pengkomposisian ikan mas dan ikan lele dumbo. Ikan yang digunakan dalam pembuatan surimi adalah ikan mas dan ikan lele dumbo yang diperoleh dari pembudidaya di Kabupaten Bogor. Ikan-ikan yang masih hidup tersebut kemudian ditimbang untuk mengetahui bobot tubuhnya. Ikan-ikan tersebut
kemudian
difillet
(skinless)
kemudian
dicuci
untuk
menghilangkan darah, sisa darah, dan kotoran yang melekat pada daging ikan. Daging ikan yang telah dicuci tersebut dimasukkan dilumat dengan menggunakan grinder sehingga dihasilkan daging lumat. Setelah didapatkan daging lumat (minced fish) dilakukan analisis terhadap nilai pH, TVBN, dan proksimat (kadar air, abu, protein kasar, dan lemak) bahan baku, Setelah didapat daging lumat dari kedua ikan tersebut, proses dilanjutkan dengan pencucian daging lumat dengan menggunakan air. Proses pencucian dilakukan sebanyak tiga kali (1, 2, dan 3). Perbandingan air dan daging ikan yang
25 digunakan adalah 4:1, proses pencucian dilakukan selama 10 menit pada suhu dingin (suhu ± 4-5 ºC) dan dengan agitasi. Pencucian pertama untuk ikan lele dilakukan penambahan natrium bikarbonat (NaHCO3) sebanyak 0,5 % dan diaduk selama ± 10 menit (BPPMHP 2001), sedangkan untuk ikan mas pencucian pertama dilakukan dengan menggunakan air dingin dengan suhu ± 4-5 °C dan dengan agitasi. Setelah itu, surimi disaring dengan kain kasa dan dipress menggunakan press hidraulik untuk mengeluarkan airnya, kemudian ditimbang. Pada setiap tahap frekuensi pencucian, dimulai dari tahap pencucian pertama hingga pencucian tiga kali dilakukan pengamatan terhadap nilai pH, derajat putih, kekuatan gel, dan protein larut garam (PLG). Frekuensi pencucian yang terbaik dapat dilihat dari tingginya kekuatan gel, dan peningkatan kadar protein larut garam. Setelah itu, dilakukan karakterisasi fisik dan kimia terhadap surimi masing-masing ikan. Karakterisasi tersebut dibagi menjadi dua bagian yaitu karakteristik fisik dan karakteristik kimia. Karakteristik fisik meliputi kekuatan gel dan nilai derajat putih, sedangkan karakteristik kimia meliputi protein larut garam (PLG). Setelah proses tersebut, akan didapat surimi terbaik dari masing-masing ikan dan selanjutnya akan dilakukan proses pengkomposisian. Diagram alir proses pembuatan surimi ikan mas dan ikan lele dapat dilihat pada Gambar 4. Setelah didapatkan surimi dengan frekuensi pencucian terbaik maka proses selanjutnya adalah proses pengkomposisian surimi ikan mas dan ikan lele. Proses pengkomposisian surimi dari dua jenis ikan yang berbeda ini menggunakan food processor yang bertujuan untuk menghomogenkan pasta dari surimi sehingga dapat
tercampur
dengan
sempurna.
Surimi
yang
didapat
dari
hasil
pengkomposisian selanjutnya dianalisis kekuatan gel. Diagram alir proses pengkomposisian surimi dari ikan mas dan ikan lele dapat dilihat pada Gambar 4.
Mas
26
Lele dumbo
Penimbangan
Penyiangan
Pencucian
Pelumatan Analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak), pH, TVBN
Minced fish (daging lumat)
Penimbangan
Pencucian dengan air dingin dengan frekuensi pencucian 1,2,3 kali (ikan lele pada pencucian pertama menggunakan natrium bikarbonat (NaHCO3)) Pengulangan (1, 2, 3, kali) Penyaringan dan pengepressan
Surimi ikan mas
Surimi ikan lele
Karakteristik: Fisik: kekuatan gel, derajat putih Kimia: derajat keasaman (pH), protein larut garam
Surimi mas terbaik
Surimi lele terbaik
Gambar 4 Diagram alir pembuatan surimi
27
Surimi ikan Surimi ikan mas mas
Surimi ikan Surimi ikan lelelele dumbo
Perbandingan komposisi surimi ikan mas dan lele : 1. Surimi ikan mas : surimi ikan lele dumbo ( 1:1 ) 2. Surimi ikan mas : surimi ikan lele dumbo ( 1:2 ) 3. Surimi ikan mas : surimi ikan lele dumbo ( 2:1 )
Surimi komposisi
Analisis kekuatan gel
Gambar 5 Diagram alir proses pengkomposisian surimi Pada setiap pembuatan surimi dilakukan pembuatan kamaboko yang bertujuan untuk analisis kekuatan gel surimi. Pembuatan kamaboko dilakukan berdasarkan metode Suzuki (1981) yang dimodifikasi. Sebanyak 90 g surimi ditambahkan NaCl sebesar 2,5 % (b/b) dari berat surimi dan diberi sedikit es agar menjaga suhu tetap dingin. Adonan tersebut diaduk menggunakan food processor hingga dihasilkan pasta surimi. Pasta surimi yang dihasilkan kemudian dimasukkan ke dalam stuffle selongsong dengan diameter 25-35 mm. Selongsong yang berisi pasta surimi tersebut dipanaskan dengan dua tahap pemanasan yaitu tahap pertama dipanaskan pada suhu 40 oC selama 20 menit dan tahap kedua dipanaskan pada suhu 90 oC selama 20 menit. Diagram alir proses pembuatan kamaboko dapat dilihat pada Gambar 6.
28
Surimi
Pengadukan dalam food processor, panambahan garam 2,5 % (b/b)
Pasta surimi
Pencetakan selongsong ukuran 25-35 mm
Pemanasan tahap 1, suhu 40 oC, 20 menit
Pemanasan tahap 2, suhu 90 oC, 20 menit
Kamaboko
Gambar 6 Diagram alir proses pembuatan kamaboko 3.3.2 Penelitian utama Pada tahap ini dilakukan pembuatan surimi hasil pengkomposisian terbaik yang disimpan pada suhu chiling 4-5 °C selama 10 hari. Surimi ditimbang sebanyak 200 g dan ditambahkan cryoprotectant (campuran 4 % sukrosa, 4 % sorbitol, dan 0,2-0,3 % polifosfat) (Pipattsattayanuwong et al. 1995), kemudian dimasukkan ke dalam plastik poliethylene (PE) dan ditutup rapat. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui perubahan perubahan karakteristik surimi tersebut pada penyimpanan hari ke 0, 2, 4, 6, 8 dan 10 hari. Pada saat proses penyimpanan akan dilakukan analisis surimi yang meliputi analisis organoleptik, fisik, kimia dan mikrobiologi. Analisis organoleptik meliputi uji lipat (folding test) dan uji gigit (teeth cutting test). Analisis fisik meliputi kekuatan
29 gel, derajat putih, water holding capacity (WHC). Analisis kimia meliputi protein larut garam (PLG), total volatile base nitrogen (TVBN), dan nilai pH. Uji mikrobiologi dilakukan adalah total plate count (TPC). Diagram alir penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 7. Surimi komposisi mas-lele terbaik (200 g)
Penambahan cryoprotectant (campuran 4 % sukrosa, 4 % sorbitol, dan 0,2-0,3 % polifosfat) Pengemasan dengan polyethilen (PE)
Penyimpanan pada suhu dingin (4-5 °C) (0, 2, 4, 6, 8, 10) Karakteristik: Fisik: kekuatan gel, derajat putih, water holding capacity (WHC), uji lipat, uji gigit. Kimia: protein larut garam (PLG), total volatile base nitrogen (TVBN), nilai pH. Mikrobiologi: total mikroba/ total plate count (TPC).
Gambar 7 Diagram alir proses penyimpanan surimi selama 10 hari 3.4 Prosedur Analisis Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis fisik, kimia dan sensori/organoleptik. Analisis dari karakteristik fisik meliputi analisis kekuatan gel (gel strength), analisis derajat putih, WHC (water holding capacity) uji lipat dan uji gigit. Analisis karakteristik kimia yang dilakukan terhadap surimi komposisi ini meliputi nilai pH, nilai TVBN, dan PLG (Protein larut garam), 3.4.1 Analisis fisik Analisis fisik yang dilakukan terhadap surimi komposisi ikan mas dan ikan lele ini adalah uji kekuatan gel, analisis derajat putih, dan water holding capacity (WHC).
30 a) Uji kekuatan gel (Suzuki 1981 yang telah dimodifikasi) Pengujian kekuatan gel surimi dilakukan dengan menggunakan alat Rheoner jenis RE-3305, Scarsdale NY / Stable Microsyatem. Alat diatur dengan jarak 400 x 0,01 mm, sensitivitas 0,5 V. Sebanyak 90 gram surimi ditambah NaCl sebanyak 2,5% dari berat surimi. Adonan diaduk dengan menggunakan food processor
sampai didapat pasta surimi. Pasta surimi dimasukkan ke dalam
selongsong untuk direbus pada suhu 40 oC selama 20 menit dan pada suhu 90 oC selama 20 menit. Kemudian sampel didinginkan pada suhu 1-5 oC selama 5 menit dan sebelum dilakukan pengujian, sampel didiamkan selama 24 jam pada suhu kamar karena pengujian dilakukan pada suhu kamar. Sampel dipotong dengan panjang 2,5 cm. Nilai kekuatan gel diukur dengan menggunakan probe dengan diameter 5 mm yang terbuat dari bahan plastik dan kecepatan pengukuran sebesar 0,5 mm/s. Nilai kekuatan gel dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Kekuatan gel (g cm) ={jumlah kotak (grafik) x 25}g x jarak (cm) b) Uji lipat (folding test) (Suzuki 1981) Uji pelipatan merupakan salah satu pengujian mutu surimi yang dilakukan dengan cara memotong sampel dengan ketebalan 4-5 mm potongan sampel tersebut diletakkan diantara ibu jari dan telunjuk, kemudian dilipat untuk diamati ada tidaknya retakan pada surimi. Tingkat kualitas uji lipat sebagai berikut : 1.
Tidak retak jika dilipat seperempat lingkaran, kualitas “AA” dengan nilai 5
2.
Tidak retak jika dilipat seperempat lingkaran, kualitas “A” dengan nilai 4
3.
Retak jika dilipat menjadi setengah lingkaran, kualitas “B” dengan nilai 3
4.
Putus menjadi dua bagian jika dilipat setengah lingkaran, kualitas “C” dengan nilai 2
5.
Pecah menjadi bagian-bagian kecil jika ditekan dengan jari-jari tangan, kualitas “D” dengan nilai 1
31 c)
Uji gigit (teeth cutting test) (Suzuki 1981) Uji gigit dilakukan untuk mengukur kekuatan produk. Pengujian ini
dilakukan dengan cara memotong atau menggigit sampel antara gigi seri atas dan gigi seri bawah. Sampel yang diuji memiliki ketebalan 5 mm dan diameter 12 mm. Tingkat kualitas uji lipat adalah sebagai berikut : 10 : Amat sangat kuat 9 : Sangat kuat 8 : Kuat 7 : Cukup kuat 6 : Dapat diterima 5 : Dapat diterima, sedikit kuat 4 : Lemah 3 : Cukup lemah 2 : Sangat lemah 1 : Tekstur seperti bubur, tidak ada kekuatan d) Uji derajat putih (Kett Electric Laboratory 1981) Pengujian derajat putih surimi dilakukan dengan menggunakan alat KETT Digital
Whiteness
meter.
Prinsip
pengujian
menggunakan
alat
adalah
membandingkan derajat putih sampel dengan derajat putih standar yang telah ditentukan berdasarkan jenis sampel yang diuji. Pertama kali dilakukan kalibrasi alat. Kalibrasi dilakukan dengan cara meletakkan lempengan kalibrasi yang berwarna putih ke dalam wadah berbentuk piring kecil, lempeng kalibrasi yang berwarna putih menghadap keatas. Selanjutnya dimasukkan kedalam kotak sampel dan ditutup dengan penutup. Kotak sampel yang berisi lempeng kalibrasi dimasukkan ke dalam alat whiteness meter. Tombol “on” ditekan dan ditunggu hingga enam menit sampat tanda peringatan “wait” berhenti. Setelah itu akan terbaca pada layer (LED) nilai kalibrasi dari lempeng kalibrasi tersebut. Nilai akan terbaca 100 %. Perhitungan sampel dilakukan setelah proses kalibrasi, namun yang diletakkan pada wadah berbentuk piring kecil adalah sampel berupa surimi. Kemudian sampel yang telah diisikan pada wadah berbentuk piring kecil tersebut dimasukkan ke dalam kotak sampel dan ditutup dengan kover penutup. Tombol
32 “on” ditekan dan akan muncul pada LED waktu pengujian dan nilai derajat putih dari surimi. Pengujian dilakukan sebanyak dua kali ulangan. Nilai derajat putih (%) = e)
x 100 %
Water holding capacity (WHC) (Grau dan Hamm 1972 dalam Faridah et al. 2006) Prinsip pengujian daya ikat air (water holding capacity) adalah
pengepresan pada tekanan tertentu, air bebas yang terdapat pada daging atau bahan dilepaskan ke kertas saring yang digunakan untuk pengepresan. Cairan yang terpisah membentuk lingkaran pada kertas saring antara air yang terikat dengan air bebas yang dilepaskan akibat perlakuan pengepresan, berbanding terbalik dengan kemampuan bahan untuk mengikat air bebas sebagai akibat dari perlakuan pengepresan atau berbanding terbalik dengan WHC atau daya ikat airnya. Sampel sebanyak 0,3 g diambil dan ditempatkan di atas kertas saring dan ditutup dengan penutupnya setelah itu diletakkan pada alat pengepres hidrolik dan diletakkan pada alat pengepres hidrolik dan ditekan sampai 200 bar atau 200 kg/cm2 selama 5 menit. Luasan lingkaran dari daging diukur, begitu pula luasan lingkaran luar yang terbentuk oleh air. Luasan lingkaran yang terbentuk oleh air bebas merupakan pengurangan dari luasan lingkaran luar dengan luasan lingkaran dalam. Kriteria umum yang digunakan adalah jika luasan lebih kecil dari 6 cm2, maka hanya sekitar 25 % air bebas yang dilepaskan pada waktu pengepresan yang berarti daya ikat airnya tinggi, jika luasannya 6-8 cm2 maka daya ikat airnya sedang dan jika luasan air bebasnya lebih dari 8 cm2 maka daya ikat airnya rendah. Adapun perhitungan luas air bebas adalah sebagai berikut : Luasan air bebas (cm) = Luasan lingkaran luar – Luasan lingkaran dalam
Luasan lingkaran air bebas (cm 2 ) 8 Jumlah air bebas (mg) = 0,0948 Jumlah air sampel = kadar air (%) x berat sampel (mg)
33 WHC dihitung dengan menggunakan rumus : WHC =
jumlah air sampel - jumlah air bebas x 100 % jumlah air sampel
3.4.3 Analisis kimia Analisis kimia yang dilakukan meliputi analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat), protein larut garam, kadar pH, dan Total volatile base nitrogen (TVBN). a)
Kadar air (AOAC 1995) Penentuan kadar air ini berdasarkan pada perbedaan berat contoh sebelum
dan sesudah dikeringkan. Mula-mula cawan kosong yang akan digunakan dikeringkan dalam oven selama 30 menit pada suhu 105 °C atau sampai didapat berat yang tetap, kemudian cawan didinginkan selama 30 menit dalam desikator, setelah dingin kemudian cawan tersebut ditimbang. Sampel sebanyak 5 gram ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan lalu dikeringkan dalam oven selama 12 jam pada suhu 100 °C sampai 102 °C. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan setelah dingin ditimbang kembali. Persentase kadar air (berat basah) dapat dihitung dengan menggunakan rumus : Kadar air (%) =
x 100 %
Keterangan : B = Berat sampel (g) B1 = berat (sampel + cawan) sebelum dikeringkan (g) B2 = berat (sampel + cawan) setelah dikeringkan (g)
b) Kadar abu (AOAC 1995) Prinsip penetapan kadar abu adalah dengan menimbang sisa mineral hasil pembakaran bahan organik pada suhu 650 °C. Cawan dipanaskan dalam oven lalu didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang beratnya. Sampel ditimbang sebanyak 5 gram dan diletakkan dalam cawan, kemudian dibakar dalam kompor listrik hingga tidak mengeluarkan asap. Cawan kemudian dimasukkan kedalam tanur. Secara bertahap suhu tanur dinaikkan hingga mencapai suhu 650 °C hingga diperoleh abu yang berwarna putih keabu-abuan. Cawan kemudian
34 didinginkan dalam desikator, setelah cawan dingin kemudian cawan ditimbang. Presentase dari kadar abu dapat dihitung dengan menggunakan rumus : Kadar abu (%) =
Berat abu (g) 100 % Berat sampel (g)
c) Kadar protein (AOAC 1995) Penentuan kadar protein kasar ini menggunakan metode semi mikro Kjeldahl. Sampel sebanyak 0,75 gram dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl. Kedalam labu tersebut ditambahkan 6,25 gram K2SO4 dan 0,6225 gram CuSO4 sebagai katalisator. Sebanyak 15 ml H2SO4 pekat dan 3 ml H2O2 secara perlahanlahan ditambahkan kedalam labu dan didiamkan selama 10 menit dalam ruang asam. Tahap selanjutnya adalah proses destruksi pada suhu 410 oC selama ± 2 jam atau hingga didapatkan larutan jernih. Hasil destruksi didiamkan hingga mencapai suhu kamar dan ditambahkan 50-75 ml akuades. Disiapkan erlemenyer berisi 25 ml larutan H3BO3 4 % yang mengandung indikator (bromcheresol green 0,1% dan methyl red 0,1% (2:1)) sebagai penampung destilat. Labu Kjeldahl dipasang pada rangkaian alat destilasi uap. Ditambahkan 50 ml NaOH 40% (alkali). Dilakukan destilasi dan destilat ditampung dalam erlemenyer tersebut hingga volume destilat mencapai 150 ml (hasil destilat berwarna hijau). Destilat dititrasi dengan HCl 0,2 N, dilakukan hingga warna berubah menjadi abu-abu natural. Blanko dilakukan seperti tahapan contoh. Pengujian contoh dilakukan duplo. Kadar protein dilakukan dengan rumus :
Kadar N (%) =
(ml HCl - ml blanko) x N HCl x 14,007 x 100 mg sampel
Kadar protein (%) = % N x faktor konversi (6,25) d) Kadar lemak (AOAC 1995) Kadar lemak ditentukan dengan metode ekstraksi Soxhlet.
Prinsipnya
lemak diekstrak dengan pelarut dietil eter. Setelah pelarutnya diuapkan, lemaknya dapat ditimbang dan dihitung persentasenya. Labu lemak yang ukurannya sesuai dengan alat ekstraksi Soxlet yang akan digunakan, dikeringkan dalam oven, didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
35 Sampel yang sudah dihomogenkan ditimbang sebanyak 5 gram.
Dibungkus
dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak. Selongsong sampel ditutup dengan kapas bebas lemak. Pelarut dietil eter dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya, sesuai dengan ukuran soxhlet yang digunakan. Refluks dilakukan selama minimal 5 jam sampai pelarut yang turun kembali ke labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi dan ditampung pelarutnya. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105 °C. Setelah didapatkan berat yang tetap, lemak dalam labu tersebut didinginkan dalam desikator. Selanjutnya lemak beserta labunya ditimbang dan dihitung kadar lemaknya. Kadar lemak dapat dihitung dengan menggunakan rumus : Kadar lemak (%)
berat lemak (g) 100 % berat sampel (g)
e) Protein larut garam (PLG) (Shuffle dan Galberaeth 1964 dalam Eryanto 2006) Sampel sebanyak 5 g ditambahkan 50 ml larutan NaCl 5 % kemudian di homogenkan dengan menggunakan homogenizer selama 2-3 menit, suhu blender tetap dijaga rendah. Setelah itu, sampel kemudian di sentrifuse pada 10.000 rpm selama 30 menit pada suhu 10 °C. Setelah itu, sampel disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman no.1. Filtrat yang didapat ditampung dalam Erlenmeyer, lalu disimpan pada suhu 4 °C. sampel. Sampel sebanyak 25 ml dianalis kandungan proteinnya dengan menggunakan metode semi-mikro Kjeldahl. Perhitungan kadar protein larut garam adalah : Kadar PLG (%) = Keterangan :
f)
(a - b) x N HCl x 14,007 x fp x 6,25 x 100 berat sampel (g) x 1000
A = ml titrasi HCl sampel B = ml titrasi HCl blanko
Nilai pH (Suzuki 1981) Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan alat pH meter yang
dinyalakan terlebih dahulu selam 15-30 menit. Elektroda dibilas dengan aquades dan dikeringkan dengan tissue. Selanjutnya pH meter dikalibrasi dengan mencelupkan batang probe pada buffer pH 4 lalu dicelupkan kembali pada buffer
36 pH 7 lalu dibiarkan hingga stabil. Sampel sebanyak 5 g ditambahkan akuades 45 ml, kemudian dihomogenkan dengan menggunakan homogenizer
selama
2-3 menit. Setelah sampel tercampur dengan baik, elektroda yang telah siap dicelupkan ke dalam sampel selama beberapa menit, nilai pH dibaca setelah menunjukkan angka yang stabil. Pengujian dilakukan dengan dua kali ulangan. g) Total volatile base nitrogen (TVBN) (BSN 1998) Prinsip dari pengujian terhadap kadar TVBN (Total Volatile Base Nitrogen) sampel adalah senyawa-senyawa basa volatil (ammonia, mono-, di-, trimetilamin, dll) yang terdapat dalam sampel yang bersifat basa diuapkan. Senyawa-senyawa tersebut diikat oleh asam borat dan dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N. Penentuan TVBN dilakukan dengan metode Conway, dimana pertamapertama 25 g sampel dihomogenkan dengan menggunakan homogenizer selama 25 menit dengan 75 ml larutan TCA 7 %, lalu disaring untuk mendapatkan filtrat yang bening. Sebanyak 1 ml H3BO3 2 % dimasukkan ke dalam inner chamber cawan Conway dan 1 ml filtrat ke outer chamber. Sebelum cawan ditutup, pinggir cawan diolesi vaselin agar penutupan sempurna, pada posisi hampir menutup ditambahkan K2CO3 1 :1 (b/v) ke dalam outer chamber sebanyak 1 ml kemudian cawan Conway segera ditutup. Blanko dikerjakan dengan mengganti sampel dengan filtrat TCA 7 % dengan produr yang sama seperti diatas. Setelah itu sampel diinkubasi pada suhu 35 °C selama 24 jam. Selanjutnya larutan asam borat yang mengandung sampel atau tidak (blanko) ditetesi 2 tetes inkubator (methyl red 0,1 dan bromethyl blue 0,1 %, dengan perbandingan 2:1), kemudian dititrasi dengan larutan HCl sambil diaduk sehingga warnanya berubah menjadi merah muda. Kadar TVBN dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Kadar TVBN (mgN/100g) =
Keterangan :
i j fp
(i - j) x N HCl x 14,007 x fp x 100 berat sampel (g)
= volume titrasi sampel (ml) = volume titrasi blanko (ml) = faktor pengenceran
37 N HCl = normalitas HCl 14,007 = bobot atom nitrogen
3.4.4 Total plate count (TPC) (Fardiaz 1992) Prinsip kerja dari analisis total plate count (TPC) adalah penghitungan jumlah koloni bakteri yang ada di dalam sampel (daging ikan) dengan pengenceran sesuai dengan keperluan dan dilakukan secara duplo. Pembuatan larutan contoh dengan cara mencampurkan 1 gram sampel dan diblender bersama larutan pengencer sebanyak 10 ml larutan pengencer sampai homogen. Sampel surimi ditimbang 10 ml lalu dimasukkan ke dalam 90 ml larutan garam fisiologis (pengenceran 10-1) secara aseptis. Selanjutnya, untuk pengenceran 10-2, suspensi sampel dari pengenceran sebelumnya dipipet 1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml garam fisiologis. Pengenceran dilakukan dengan cara yang sama hingga pengenceran 10-5. Apabila pada beberapa hari kedepan bakteri bertambah banyak maka pengenceran pun akan ditingkatkan hingga 10-6 . Proses selanjutnya adalah pengambilan sampel dari masing-masing pengenceran sebanyak 1 ml dengan menggunakan pipet dan dimasukkan ke dalam cawan petri, kemudian ke dalam cawan petri dituangkan agar steril (PCA) yang telah didinginkan sebanyak kira-kira 15 ml. Setelah agar memadat, cawan petri diinkubasi di dalam inkubator selama 1 x 24 jam hari pada suhu 27-30 ºC dengan posisi terbalik. Setelah masa inkubasi selesai, koloni yang terbentuk dihitung dengan menggunakan standard plate count. Cara perhitungan total mikroba antara lain cawan yang dipilih dan dihitung jumlah mikroba adalah cawan yang mengandung koloni antara 30-300. Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari 2 angka, yaitu angka pertama (satuan) dan angka kedua (desimal), apabila angka ketiga sama dengan atau lebih besar dari 5, harus dibulatkan satu angka lebih tinggi pada angka kedua. Apabila semua pengenceran menghasilkan koloni kurang dari 30, berarti pengenceran yang dilakukan terlalu tinggi. Oleh karena itu, jumlah koloni yang dihitung hanya pada pengenceran terendah. Hasilnya dilaporkan sebagai kurang dari 30 dikalikan dengan besarnya pengenceran, tetapi jumlah yang sebenarnya harus dicantumkan di dalam tanda kurung. Jika semua pengenceran dihasilkan lebih dari 300 koloni pada cawan petri, berarti pengenceran yang dilakukan terlalu rendah. Oleh karena itu, jumlah koloni
38 pada pengenceran tertinggi yang dihitung. Hasilnya dilaporkan sebagai lebih dari 300 dikali dengan besarnya pengenceran, tetapi jumlah yang sebenarnya harus dicantumkan di dalam tanda kurung. Akan tetapi, jika cawan dari dua tingkat pengenceran menghasilkan koloni antara 30-300 koloni dan perbandingan hasil tertinggi dan terendah dari kedua pengenceran tersebut lebih kecil dari atau sama dengan dua, maka kedua nilai tersebut
dirata-ratakan
dengan
memperhitungkan
pengencerannya.
Jika
perbandingan antara hasil tertinggi dan terendah dari kedua pengenceran lebih besar atau sama dengan dua maka yang dilaporkan hanya hasil dari pengenceran yang terkecil. Apabila digunakan dua cawan petri (duplo) per pengenceran maka data yang diambil adalah dari kedua cawan petri tersebut, tidak boleh diambil salah satu. Untuk menghitung jumlah koloni digunakan rumus sebagai berikut: Jumlah koloni per ml = Jumlah koloni per cawan x
1 Faktor pengenceran
3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data Penelitian ini
bertujuan untuk
mempelajari
pengaruh pencucian,
pengkomposisian, dan penyimpanan dingin surimi komposisi mas-lele terhadap karakteristik fisik-kimia serta mikrobiologi yang dihasilkan. Pada penelitian pendahuluan dilakukan penentuan frekuensi pencucian terbaik, dan penentuan komposisi terbaik. Adapun hipotesis yang digunakan pada tahap pencucian meliputi H0 yang berarti proses pencucian tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap karakteristik surimi (ikan mas dan ikan lele dumbo), sedangkan H1 dapat diartikan bahwa proses pencucian akan memberikan pengaruh yang nyata terhadap karakteristik surimi (ikan mas dan ikan lele dumbo). Setelah didapatkan frekuensi pencucian yang terbaik maka dilakukan proses pengkomposisian. Pada tahap pengkomposisian hipotesis yang digunakan meliputi H0 yang berarti pengkomposisian (ikan mas dan ikan lele dumbo) tidak memberikan pengaruh terhadap kekuatan gel surimi hasil pengkomposisian, sedangkan H1 dapat diartikan bahwa pengkomposisian akan memberikan pengaruh terhadap kekuatan gel surimi hasil pengkomposisian.
39 Pada penelitian utama dilakukan penyimpanan dingin (4-5 °C) selama 10 hari terhadap surimi hasil pengkomposisian terbaik. Adapun hipotesis yang digunakan meliputi H0 yang berarti penyimpanan dingin tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap karakteristik fisik, kimia, dan mikrobiologi surimi hasil pengkomposisian, sedangkan H1 dapat diartikan bahwa penyimpanan dingin memberikan pengaruh yang nyata terhadap karakteristik fisik, kimia, dan mikrobiologi surimi hasil pengkomposisian. Rancangan yang digunakan untuk menghitung data pada pembuatan surimi adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Pada tahap pencucian faktor frekuensi pencucian yang terdiri dari 3 taraf (1, 2, 3 kali), masing-masing dilakukan 2 (dua) kali pengulangan. Pada tahap pengkomposisian surimi faktor komposisi surimi yang digunakan terdiri dari 3 taraf (komposisi M1L1, M1L2, M2L1), masing-masing dilakukan dengan 2 (dua) kali pengulangan. Pengamatan terhadap
karakteristik
fisika,
kimia,
dan
mikrobiologi
dilakukan
pada
penyimpanan suhu dingin. Faktor yang digunakan terdiri dari 6 taraf dan 2 kali ulangan. Taraf pada penyimpanan dingin adalah 0, 2, 4, 6, 8, dan 10 hari. Rumus yang digunakan menurut Steel dan Torrie (1983) adalah sebagai berikut: Yij = μ + Ai + εij Keterangan: Yij = nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-j pada perlakuan faktor A taraf ke-i μ
= nilai tengah populasi (nilai rata-rata sesungguhnya)
Ai = pengaruh frekuensi pencucian pada taraf ke-i (i = 1, 2, 3), pengaruh pengkomposisian surimi pada taraf ke-i (i = 1, 2, 3), pengaruh penyimpanan surimi dingin pada taraf ke-i (i = 0, 2, 4, 6, 8, 10) εij
= faktor galat Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis ragam. Jika hasil
analisis ragam berbeda nyata, dilanjutkan dengan uji lanjut beda nyata jujur (BNJ). Rumus yang digunakan sebagai berikut :
40 Keterangan : BNJα = q (p, dbs)
S2 r
BNJα = nilai beda nyata jujur pada selang kepercayaan α α
= selang kepercayaan 95%
q
= nilai tabel q
p
= banyaknya perlakuan
dbs
= derajat bebas sisa
S2
= nilai kuadrat tengah sisa
R
= banyak ulangan Analisis data non-parametrik yang dilakukan untuk pengujian organoleptik
dengan skala mutu menggunakan uji Kruskal-Wallis yang dilanjutkan dengan uji lanjut Multiple Comparison untuk melihat perbedaan dan hubungan antar perlakuan. Model matematika uji Kruskal-Wallis sebagai berikut : 2 12 Ri H= - 3 (n+1) n(n 1) n i
H’ =
H Pembagi
Pembagi = 1 -
T
(n - 1) (n 1)n
dengan T = (t - 1) (t + 1)
Keterangan : n
= jumlah data
ni = banyaknya pengamatan dalam perlakuan ke-i Ri2 = jumlah ranking dalam perlakuan ke-0 T
= banyaknya pengamatan seri dalam kelompok
H’ = H terkoreksi H = simpangan baku t
= banyaknya pengamatan yang seri
41 Jika hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan hasil yang berbeda nyata, selanjutnya dilakukan uji Multiple Comparison dengan rumus sebagai berikut (Steel dan Torrie 1991) : >< Zα/2p
k (n 1) 6
Keterangan : Ri = rata-rata ranking perlakuan ke-i Rj = rata-rata ranking perlakuan ke-j k = banyaknya ulangan n = jumlah total data
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia ikan
ikan mas dan ikan lele, menentukan frekuensi pencucian surimi yang terbaik, serta mencari kombinasi pengkomposisian surimi terbaik dari ikan mas – lele yang akan dipergunakan dalam penelitian utama. 4.1.1 Komposisi kimia ikan mas (Cyprinus carpio) dan ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Analisis kimia yang dilakukan terhadap daging lumat (minced fish) ikan mas dan ikan lele dumbo meliputi analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak), TVBN, dan nilai pH. Tujuan dari dilakukannya analisis ini adalah untuk mengetahui tingkat kesegaran dan kandungan kimia awal dari daging ikan yang akan digunakan sebagai bahan baku untuk proses pembuatan surimi. Analisis ini juga dilakukan mengingat bahwa tingkat kesegaran ikan dan komposisi kimia ikan akan sangat berpengaruh terhadap karakteristik surimi yang akan diolah. Komposisi kimia daging ikan mas dan ikan lele berturut-turut disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Komposisi kimia daging ikan mas dan ikan lele dumbo Parameter
Komposisi kimia Ikan mas
Ikan lele dumbo
Kadar air (%)
76,70±6,92a
79,50±0,14a
Kadar abu (%)
0,80±0,28a
1,09±0,14a
Kadar protein kasar (%)
14,61±0a
12,97±0,25a
Kadar lemak (%)
0,20±0a
0,70±0,14a
6,32±0,12a
6,65±0,02a
11,76±0a
12,54±0a
pH TVB (mg N/100g) Keterangan :
Angka-angka dalam baris yang sama diikuti huruf superscript yang sama (a) menunjukkan tidak beda nyata (p>0,05)
Berdasarkan data pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa ikan mas (Cyprinus carpio) dan ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) memiliki kadar protein yang sedang masing-masing bernilai 14,61 % dan 12,97 % dan kadar
43 lemak yang rendah hingga sedang masing-masing 0,2 % dan 0,7 %. Ikan berprotein sedang adalah ikan yang memiliki kandungan protein 12-15 %, sedangkan ikan yang memiliki kandungan lemak rendah adalah ikan yang memiliki kandungan lemak kurang dari 0,5 % dan ikan berlemak sedang memiliki kandungan lemak 0,5-2 % (Junianto 2003). Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang memiliki nilai protein yang tinggi sehingga baik untuk dikonsumsi. Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh yang digunakan sebagai bahan bakar, zat pembangun dan pengatur. Protein juga memegang peranan penting pada pembentukan jaringan (Hadiwiyoto 1993). Keunggulan utama protein ikan adalah kelengkapan komposisi asam amino dan kemudahannya untuk dicerna. Protein yang terdapat dalam daging ikan relatif mudah dicerna atau dihidrolisis, hal ini disebabkan karena pada daging ikan memiliki kandungan arginin yang lebih banyak, sedangkan hewan darat memiliki kandungan lisin dan histidin yang lebih banyak (Hadiwiyoto 1993). Selain itu, tingginya kadar air dan rendahnya kadar lemak yang terdapat pada daging ikan mas dan ikan lele menjadikan ikan tersebut dapat digunakan sebagai bahan baku untuk membuat surimi. Selain dilakukan analisis proksimat dilakukan juga analisis terhadap kadar pH dan TVBN kedua ikan tersebut. Analisis pH dan TVBN merupakan analisis yang dilakukan untuk mengetahui tingkat kesegaran ikan. Berdasarkan data pada Tabel 5 tersebut didapat bahwa nilai pH 6,41 dan 6,65. Hal ini menunjukkan bahwa ikan yang digunakan untuk bahan baku pembuatan surimi komposisi berada dalam kondisi yang segar. Nilai pH dari kedua jenis ikan berkisar < 6,60 yang berarti pH tersebut mendekati pH netral. Nilai pH ikan hidup bernilai sekitar 7,0 yang menandakan bahwa ikan tersebut berada pada fase pre-rigor mortis. Pada fase rigor mortis, pH tubuh ikan menurun menjadi 6,2-6,6 dari mula-mula pH 6,9-7,2. Setelah fase rigor mortis berakhir dan proses pembusukkan berlangsung maka pH daging ikan naik mendekati netral hingga 7,5-8,0 atau lebih tinggi jika pembusukan telah sangat parah (Ilyas 1983). Tingkat keparahan pembusukan disebabkan oleh kadar senyawa-senyawa yang bersifat basa. Pada kondisi ini pH ikan naik dengan perlahan-lahan dan dengan semakin banyak
44 senyawa yang terbentuk akan semakin mempercepat kenaikan pH ikan (Junianto 2003). Kadar TVBN pada ikan mas dan ikan lele dumbo juga menunjukkan bahwa ikan yang digunakan sebagai bahan baku dalam kondisi segar. Kadar TVBN ikan mas dan ikan lele masing-masing adalah 11,76 mg N/100 g dan 12,54 mg N/100 g. Produk perikanan dibagi menjadi empat bagian berdasarkan tingkat kesegarannya yaitu, ikan sangat segar memiliki kadar TVBN maksimum 10 mg N/100 g, ikan segar memiliki kadar TVBN 1-20 mg N/100 g, sedangkan ikan yang berada dalam garis batas kesegaran ikan yang masih layak untuk dikonsumsi memiliki kadar TVBN 20-30 mg N/100 g, dan ikan yang sudah tidak dapat dikonsumsi lagi atau busuk memiliki kadar TVBN >30 mg N/100 g (Farber 1965). 4.1.2 Karekteristik surimi ikan mas dan ikan lele pada berbagai frekuensi pencucian Jin et al. (2007) menyatakan bahwa proses pencucian merupakan tahap paling penting dalam pembuatan surimi agar dapat dihasilkan surimi dengan kualitas yang baik. Proses pencucian bertujuan untuk menghilangkan protein sarkoplasma, darah, lemak dan kandungan nitrogen lainnya dari daging ikan sehingga dihasilkan surimi tanpa bau, rasa dan warna serta memiliki kekuatan gel yang baik. Karakteristik surimi ikan mas dan ikan lele pada berbagai frekuensi pencucian dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan data pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa proses pencucian memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kekuatan gel surimi ikan mas dan ikan lele. Surimi yang baik adalah surimi yang memiliki kekuatan gel yang tinggi (Park 2000). Pada penelitian ini, didapatkan bahwa surimi dengan pencucian 1 kali memberikan hasil gel yang baik dibandingkan dengan surimi pada pencucian ke-2 dan ke-3. Kekuatan gel surimi dari ikan mas adalah 912 g cm dan ikan lele 540 g cm. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa proses pencucian memberikan pengaruh yang nyata terhadap kekuatan gel ikan mas dan ikan lele (Lampiran 9f dan 10f). Kekuatan gel pada daging ikan mas (Tabel 6) terlihat lebih tinggi dibandingkan kekuatan gel surimi ikan lele dumbo. Hal ini dapat disebabkan
45 karena kandungan protein ikan mas yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikan lele dumbo. Perbedaan kandungan protein ini juga akan berakibat pada kandungan komponen protein miofibril yang terdapat didalamnya. Selain protein, proses pencucian akan
meningkatkan kekuatan gel surimi
tetapi juga dapat
menghilangkan protein sebesar 25 % (Suzuki 1981). Hasil uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa pencucian surimi ikan mas dan ikan lele dumbo sebanyak satu kali memberikan perbedaan yang nyata terhadap kekuatan gel surimi kedua ikan tersebut (Lampiran 9f dan 10f). Berdasarkan data pada Tabel 6 juga dapat diketahui bahwa kekuatan gel ikan mas dan ikan lele dumbo akan mengalami penurunan seiring dengan banyaknya frekuensi pencucian. Penurunan kemampuan gel ini disebabkan hilangnya komponen-komponen pembentuk gel yang terdapat pada daging ikan selama proses pencucian (Park 2000). Tabel 6 Karakteristik surimi pada berbagai frekuensi pencucian Jenis ikan
Parameter pengujian
Frekuensi pencucian (kali)
Nilai pH
1 6,39±0,01 a
2 6,48±0,02 b
3 6,51±0,02 b
PLG (%)
6,19±0,14a
3,29±0,4b
3,24±0,11b
912,00±118,79a
264,00±0 b
264,00±33,94b
32,55±0,77c
40,55±0,07b
43,65±0,07 a
Nilai pH
7,56±0,13 a
7,02±0,01 ab
6,48±0,37 b
PLG (%)
4,72±0,15a
1,54±0,07b
1,06±0,05c
Lele Kekuatan gel Dumbo (g cm) Derajat putih (%)
540,00 33,94a
96,00±0,00b
42,00±8,48c
27,25±0,07 c
32,05±0,07a
35,65±0,07b
Mas
Kekuatan gel (g cm) Derajat putih (%)
Keterangan : Angka-angka dalam baris yang sama diikuti huruf superscript yang berbeda (a,b,c) menunjukkan beda nyata (p<0,05)
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa frekuensi pencucian memberikan perbedaan yang nyata terhadap nilai pH surimi tunggal (ikan mas dan ikan lele dumbo) (Lampiran 9a dan 10a). Nilai pH ikan mas berkisar 6,3-6,5, sedangkan pH ikan lele dumbo berkisar antara 6,4-7,5. Nilai pH pada ikan mas mengalami peningkatan seiring dengan banyaknya frekuensi pencucian, sedangkan nilai pH
46 ikan lele dumbo mengalami penurunan seiring dengan banyaknya frekuensi pencucian. Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa perlakuan pencucian satu kali memberikan pengaruh yang nyata pada nilai pH surimi, sedangkan pencucian ke-2 dan ke-3 tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap nilai pH surimi ikan mas dan ikan lele (Lampiran 9b dan 10b). Peningkatan kadar pH surimi ikan lele tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yasin (2005) yang mengatakan bahwa penambahan bahan pemutih (NaHCO3) pada surimi yang bertujuan untuk memperbaiki warna dan akan menyebabkan nilai pH ikan. Peningkatan nilai pH ini akan memberikan pengaruh terhadap penyerapan air. Kadar pH > 7 akan menyebabkan tingginya penyerapan air, sehingga akan menimbulkan kesulitan dalam pembuangan protein sarkoplasma yang akan berpengaruh terhadap kekuatan gel surimi (Suzuki 1981). Kadar pH dalam surimi akan memberikan pengaruh terhadap kelarutan PLG. Kisaran pH 6-7 merupakan pH optimum bagi kelarutan PLG. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa pH ikan lele dumbo cenderung basa (>7) sehingga kelarutan PLG ikan lele lebih rendah dari ikan mas. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa frekuensi pencucian memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan PLG surimi ikan mas dan ikan lele dumbo (Lampiran 9c dan 10c). Kadar PLG ikan mas dan ikan lele dumbo masing-masing 6,19 % dan 4,72 %. Nilai ini semakin menurun seiring dengan banyaknya proses pencucian. Penurunan kadar PLG surimi seiring dengan banyaknya frekuensi pencucian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Benjakul et al. (2009) yang menyatakan bahwa pada pencucian pertama semua komponen utama yang larut dalam air (darah, protein sarkoplasma, enzim pencernaan, garam anorganik) akan larut dan ikut terbuang. Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa pencucian memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar PLG surimi ikan lele. Uji lanjut Tukey menunjukkan pencucian satu kali memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar PLG ikan mas, sedangkan pencucian ke-2 dan ke-3 untuk surimi ikan mas tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
47 Morrisey et al. (2000) dalam Santoso et al. (2009) juga mengatakan bahwa penurunan kadar PLG frekuensi pencucian ketiga dan keempat diduga karena protein miofibril tersebut ikut terlarut dan hanyut dalam air pencucian. Proses pencucian pada surimi ikan mas dan ikan lele dumbo juga diharapkan dapat menghilangkan bau (odor) dan meningkatkan derajat putih surimi khususnya untuk ikan lele dumbo. Nilai PLG ikan air tawar relatif lebih rendah hal ini diduga kadar PLG dalam ikan air tawar lebih sedikit sehingga proses pencucian akan semakin menurunkan kadar PLG dalam surimi ikan mas dan ikan lele dumbo Kelarutan PLG pada surimi ini juga akan memberikan pengaruh terhadap kekuatan gel dari surimi ikan mas dan ikan lele dumbo. Proses pencucian bisa mengakibatkan menurunnya kadar protein larut garam (PLG) yang nantinya akan menurunkan kekuatan gel surimi. Berdasarkan data pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa kekuatan gel surimi tertinggi ikan mas dan ikan lele dumbo masing-masing adalah 912 g cm dan 540 g cm. Nilai kekuatan gel tertinggi pada surimi ikan mas dan ikan lele dumbo ini berada pada frekuensi pencucian 1 kali. Hal ini disebabkan pada pencucian 1 kali komponen (protein sarkoplasma, darah, dan lemak) yang dapat menghambat kekuatan gel ikut terlarut dengan air pencucian, sehingga menghasilkan kekuatan gel surimi yang tinggi. Pengujian warna produk (derajat putih) dilakukan dengan menggunakan alat whitnessmeter. Nilai rata-rata derajat putih tertinggi untuk surimi ikan mas terdapat pada pencucian ke-3 sebesar 43,65 % dan pada surimi ikan lele dumbo persentase derajat putih tertinggi juga terdapat pada surimi pencucian ke-3 yaitu sebesar 35,65 %. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa frekuensi pencucian memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap nilai derajat putih dari surimi ikan mas dan ikan lele dumbo (Lampiran 9g dan 10g). Pada dasarnya, surimi yang baik adalah surimi yang memiliki warna putih bersih dan merata (Irianto 1990). Hasil uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa pencucian ke-1, 2, dan 3 memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai derajat putih surimi ikan mas dan ikan lele (9g dan 10g). Warna merah yang terdapat pada daging ikan disebabkan oleh kandungan hemoprotein yang tinggi (Hadiwiyoto 1993). Berdasarkan data pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa semakin tinggi frekuensi pencucian surimi maka nilai derajat putih
48 surimi tersebut akan meningkat. Hal ini bisa disebabkan karena kotoran yang terdapat dalam daging ikan ikut terbuang selama proses pencucian. Berdasarkan data pada Tabel 6 dapat disimpulkan bahwa frekuensi pencucian 1 kali memiliki nilai kekuatan gel dan pH yang lebih baik dari frekuensi pencucian 2 kali dan 3 kali sehingga frekuensi pencucian 1 kali merupakan frekuensi pencucian terbaik dan selanjutnya digunakan untuk penelitian utama. 4.1.3 Karakteristik surimi hasil pengkomposisian Parameter yang dianalisis terhadap surimi yang dibuat dengan metode pengkomposisian
adalah
kekuatan
gel.
Kekuatan
gel
surimi
hasil
pengkomposisian disajikan pada Gambar 8. Mengacu pada penelitian sebelumnya (Nugroho 2006, Santoso et al. 2008, Santoso et al. 2009), yang menyatakan bahwa perlakuan pengkomposisian dengan melakukan pencampuran dua jenis ikan terbukti mampu meningkatkan nilai kekuatan gel, dibandingkan nilai kekuatan gel masing-masing ikan. Pada penelitian tahap ini, terdapat tiga komposisi yang digunakan untuk pembuatan surimi. Komposisi tersebut didasarkan pada perbandingan berat yang digunakan. Komposisi tersebut meliputi 1) Mas 1 : Lele 1, 2) Mas 1 : Lele 2, 3) Mas 2 : Lele 1. Berdasarkan data pada Gambar 8 dapat dilihat bahwa kekuatan gel dari komposisi ikan mas dan lele dumbo memiliki kisaran 730-790 g cm. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa kemampuan gel surimi komposisi ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan surimi tunggal ikan lele dumbo. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa proses pengkomposisian surimi ikan mas dan ikan lele dumbo tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05) terhadap kekuatan gel surimi hasil pengkomposisian (Lampiran 12a). Kekuatan gel surimi berbagai komposisi dapat dilihat pada Gambar 8.
49
Keterangan : M1L1= Mas : Lele = 1:1, M1L2 = Mas : Lele = 1 : 2; M2L1 = Mas : Lele = 2 : 1 Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05)
Gambar 8
Nilai kekuatan gel surimi ikan mas dan ikan lele dumbo pada berbagai komposisi
Kekuatan gel dari surimi pada dasarnya dipengaruhi oleh kadar pH. Ikan mas memiliki kisaran pH 6-7 yang merupakan pH optimum untuk pembentukan gel, sedangkan ikan lele memiliki pH yang cenderung basa (pH>7) yang nantinya juga akan memberikan pengaruh terhadap kekuatan gel surimi ikan lele. Ingadottir et al. (2010) menyatakan bahwa pH ikan yang rendah akan menyebabkan protein miofibril menjadi tidak stabil dan akan mengganggu kekuatan gel surimi ikan namun apabila pH ikan terlalu tinggi juga akan mengakibatkan hidrasi protein sehingga kekuatan gel surimi juga akan rusak. Metode pengkomposisian ini diharapkan dapat meningkatkan nilai kekuatan gel. Pengkomposisian M1L1 menghasilkan nilai kekuatan gel tertinggi dibanding komposisi lainnya yaitu sebesar 792 g cm. Tingginya nilai kekuatan gel pada surimi komposisi baik komposisi M1L1, M2L1, M1L2 diduga karena terjadi kesinergisan rantai aktin miosin dalam pembentukan gel sehingga menghasilkan kontruksi jala yang amat rapat. Surimi komposisi M1L1 dengan kekuatan gel tertinggi akan digunakan pada penelitian utama.
50 4.2 Penelitian Utama Penelitian utama dilakukan untuk mempelajari perubahan karakteristik surimi komposisi terbaik pada penyimpanan dingin (4 – 5 oC) selama 10 hari dengan selang waktu pengamatan tiap 2 hari penyimpanan yaitu hari ke-0, 2, 4, 6, 8 dan 10. Pada masing-masing pengamatan dilakukan karakteristik fisik surimi yang meliputi kekuatan gel, derajat putih, water holding capacity (WHC), uji lipat dan uji gigit, dan karakteristik kimia surimi yang meliputi nilai derajat keasaman (pH), nilai total volatile base nitrogen (TVBN), kadar protein larut garam (PLG) serta karakteristik mikrobiologi, yaitu total mikroba dengan metode total plate count (TPC). 4.2.1 Karakteristik kimia surimi hasil pengkomposisian selama penyimpanan dingin Dilakukan evaluasi karakteristik kimia terhadap surimi komposisi M1L1. Evaluasi yang dilakukan meliputi analisis pH, TVBN, dan protein larut garam (PLG). a) Derajat keasaman pH Secara umum nilai pH surimi hasil pengkomposisian ikan mas dan ikan lele dumbo dengan perbandingan berat 1:1 mengalami penurunan seiring dengan lamanya waktu penyimpanan pada suhu dingin (4-5 °C). Penurunan nilai pH surimi selama penyimpanan pada suhu dingin dapat dilihat pada Gambar 9. Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penyimpanan dingin memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap nilai pH dari surimi hasil pengkomposisian (Lampiran 13a). Morrisey et al. (2000) dalam Santoso et al. (2008) melaporkan bahwa pada dasarnya derajat keasaman pH akan memberikan pengaruh nyata terhadap kelarutan PLG.
51
Keterangan :
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 9 Nilai pH surimi hasil pengkomposisian pada penyimpanan dingin Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa penyimpanan dingin meberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai pH surimi hasil pengkomposisian. Berdasarkan data pada Gambar 9 dapat diketahui bahwa penyimpanan hari ke-0 berbeda nyata dengan penyimpanan pada hari ke-2, hari ke-4, 6, 8 dan hari ke-10. Akan tetapi, nilai pH pada hari ke-4, 6, 8 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Lampiran 13b). Penurunan nilai pH dari surimi ini memberikan pengaruh terhadap kekuatan gel dari surimi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Chinabhark et al. (2007) yang melaporkan bahwa protein larut garam akan larut pada
pH yang optium, yaitu pH yang berada pada kisaran pH sedikit
dibawah netral hingga pH netral. Apabila pH bahan diluar kisaran pH optimum untuk dapat melarutkan protein larut garam (PLG) maka hal ini akan menggambarkan rendahnya kekuatan ion bagi terekstraknya PLG daging. Pada keadaan tunggal nilai pH dari kedua jenis ikan tidak menunjukkan perbedaan yang begitu jauh berbeda dengan pH surimi hasil pengkomposisian dari kedua ikan tersebut. Nilai pH ini akan memberikan pengaruh yang nyata pada kekuatan gel surimi komposisi. Pada dasarnya, kadar pH yang terlalu asam atau basa akan menurunkan kekuatan gel surimi. Hal ini dikarenakan protein miosin biasanya larut dalam kisaran pH daging 6-7 (Suzuki 1981).
52 Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa hingga hari ke-2 surimi hasil pengkomposisian masih menunjukkan nilai pH pada rentang 6-7. Kadar pH tersebut merupakan kadar pH optimum untuk melarutkan protein miofibril sehingga produk yang dihasilkan memiliki kekuatan gel yang baik. b) Total volatile base nitrogen (TVBN) Pengujian nilai TVBN dilakukan untuk menentukan derajat kesegaran dengan mengukur jumlah basa menguap yang mencerminkan senyawa protein non-nitrogen menguap. Semakin tinggi nilai TVBN dari suatu bahan maka bisa disimpulkan kondisi bahan tersebut sudah tidak segar (membusuk). Riebroy et al. (2006) malaporkan bahwa nilai TVBN berkaitan dengan bau dan aroma yang tercium oleh indera. Bau tersebut merupakan gabungan dari asam, basa volatil, komponen sulfur dan aldehid. Bau tersebut juga ditimbulkan oleh meningkatnya jumlah bakteri yang dapat memecah protein dan lemak serta terjadinya proses oksidasi yang menghasilkan bau yang tidak enak. Secara umum dapat dilihat bahwa kadar TVBN pada surimi komposisi selama penyimpanan 10 hari pada suhu dingin relatif meningkat. Berdasarkan data pada Gambar 10 berikut dapat dilihat pengaruh penyimpanan terhadap kadar TVBN surimi komposisi yang disimpan selama 10 hari pada suhu dingin. Hasil analisis ragam menunjukan bahwa penyimpanan dingin memberikan pengaruh
yang
nyata
(p<0,05)
terhadap
kadar
TVBN
surimi
hasil
pengkomposisian mas dan lele (Lampiran 14a). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilaporkan (Riebroy et al. 2006) yang mengatakan bahwa penyimpanan dingin pada umumnya memberikan pengaruh terhadap kadar TVBN surimi. Kadar TVBN surimi komposisi ini relatif leih rendah dibandingkan dengan TVBN daging giling dari masing-masing ikan. Hal ini disebabkan karena proses pencucian. Proses pencucian menyebabkan protein sarkoplasma larut dalam air pencuci. Hilangnya protein ini menyebabkan berkurangnya volatile base pada produk yang pada akhirnya akan menurunkan kadar TVBN awal surimi.
53
Keterangan : Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 10
Kadar TVBN surimi komposisi ikan mas dan ikan lele pada penyimpanan dingin
Uji lanjut Tukey menunjukkan penyimpanan dingin memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap kadar TVBN surimi hasil pengkomposisian pada hari ke-0, 6, dan 10. Akan tetapi, penyimpanan dingin tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>005) terhadap kadar TVBN surimi hasil pengkomposisian yang disimpan pada hari ke-0 dan ke-2, ke-4, dan ke-6. Begitu juga dengan kadar TVBN pada hari ke-8 dan hari ke-10 (Lampiran 14d). Pada dasarnya penyimpanan pada suhu rendah memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar TVBN surimi komposisi ikan mas-lele. Surimi dengan nilai TVBN tertinggi adalah surimi yang disimpan pada suhu chilling pada hari ke-10 hari. Nilai TVBN surimi komposisi mengalami peningkatan yang sangat tajam selama penyimpanan dingin. Pada hari ke-0 nilai TVBN surimi berkisar antara 5-6 mg N/100 g. Berdasarkan data dapat diketahui bahwa pada hari penyimpanan ke-0 kadar TVBN surimi hasil pengkomposisian berkisar 5-6 mg N/100g. Hal ini menandakan bahwa bahan baku yang digunakan pada pembuatan surimi ini sangat segar. Semakin lama penyimpanan maka kadar TVBN surimi pun semakin meningkat pada hari ke-8 kadar TVBN surimi komposisi ikan mas dan ikan lele dumbo berada pada kisaran >20 mg N/100 g. Hal ini dapat dijadikan indikator bahwa surimi pada hari ke-8 dan ke-10 memiliki kualitas yang buruk. Peningkatan
54 kadar TVBN pada surimi yang disimpan pada suhu dingin ini sesuai dengan hasil penelitian Riebroy et al. (2006) yang mengatakan bahwa lamanya waktu penyimpanan akan meningkatkan kadar TVBN dalam surimi. Peningkatan kadar TVBN ini diduga juga disebabkan oleh bakteri. Kadar TVBN berbanding lurus dengan total mikroba dari suatu produk. Peningkatan aktifitas bakteri akan berpengaruh terhadap jumlah protein. Bakteri yang ada dalam bahan akan memecah protein menjadi senyawa nitrogen yang sederhana. Peningkatan kadar TVBN ini pada dasarnya disebabkan oleh bakteri proteolitik. Aktivitas mikroba ini tidak dapat dihentikan walaupun disimpan pada suhu yang sangat rendah. Kisaran TVBN pada produk perikanan yang berada pada kisaran antara 20-30 mg N/100 mg merupakan produk yang masih layak untuk dikonsumsi, sedangkan kisaran TVBN >30 mg N/100 mg merupakan produk yang sudah tidak dapat dikonsumsi lagi (Farber 1965). Efek yang juga ditimbulkan karena penyimpanan yang lama selain jumlah bakteri yang meningkat akan menyebabkan timbulnya bau yang tidak sedap pada surimi. Hal ini diduga disebakan oleh aktifitas bakteri yang akan berpengaruh terhadap enzim dan menghasilkan bau yang tidak sedap seperti idol,skatol, hidrogen, dan lainnya (Ketaren 1986). Berdasarkan data dapat dilihat bahwa surimi hasil pengkomposisian yang disimpan hingga hari ke-8 masih layak unuk dikonsusmsi karena nilai TVBN berada pada kisaran 20-30 mg N/100 g. c)
Protein larut garam (PLG) Protein larut garam terdiri dari aktin, miosin, dan protein regulasi
(tropomiosin, troponin, aktinin). Protein miofibril merupakan protein yang larut dalam garam dengan konsentrasi 2-3 % (0,4-0,6 M) dari berat daging. Protein larut garam ini bertanggung jawab terhadap kualitas surimi dalam membentuk struktur tiga dimensi gel. Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa kadar PLG surimi komposisi ikan mas-lele selama penyimpanan 10 hari menunjukkan penurunan. Lebih lanjut dapat dilihat pada Gambar 11.
55
Keterangan : Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 11
Kadar PLG surimi komposisi ikan mas dan ikan lele pada penyimpanan dingin
Menurut hasil analisis ragam dapat dilihat bahwa secara umum lama penyimpanan pada suhu dingin memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap nilai PLG surimi hasil pengkomposisian ikan mas dan ikan lele (Lampiran 15a). Berdasarkan data pada Gambar 11, nilai PLG surimi tertinggi selama penyimpanan dingin terdapat pada hari ke-0, dan akan terus menurun hingga hari ke-10. Hal ini disebabkan pada proses penyimpanan dingin protein miofibril yang terdapat pada surimi tetap mengalami degradasi sehingga akan mempengaruhi nilai PLG selama penyimpanan. Penurunan jumlah protein miofibril dalam surimi yang berperan dalam pembentukan gel diakibatkan karena terjadinya agregasi antara aktin dan miosin saat diekstrak (Suzuki 1981). Hasil uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa penyimpanan dingin pada hari ke-0, dank ke-2 serta hari ke-8 dan ke-10 tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar PLG surimi hasil pengkomposisian, akan tetapi pada penyimpanan hari ke- 0, 4, 6, dan 8 penyimpanan dingin akan memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap kadar PLG surimi hasil pengkomposisian (Lampiran 15b). Penurunan kadar PLG selama penyimpanan dingin dapat disebabkan oleh banyak hal diantaranya faktor enzimatis. Enzim proteinase adalah faktor utama yang menyebabkan protein terdegradasi. Enzim ini terdapat pada protein sarkoplasma daging ikan, enzim ini juga terdapat dalam jaringan otot ikan
56 meliputi katepsin, kalpain, dan alkali proteinase (Hadiwiyoto 1993). Pada proses pembuatan surimi komposisi ini pencucian yang dilakukan terhadap masingmasing daging ikan (mas dan lele) dilakukukan satu kali pencucian dengan tujuan untuk menghilangkan segala jenis kotoran yang ada, sehingga diduga dalam daging tersebut masih terdapat enzim proteinase yang aktif dan akan mendegradasi protein. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Reynolds et al. (2002) yang mengatakan bahwa proses pencucian pada surimi pada dasarnya tidak dapat menghilangkan enzim proteinase melainkan menurunkan jumlahnya saja. Penguraian yang terjadi pada senyawa PLG menyebabkan tingkat kelarutannya menurun hingga akhir penyimpanan dingin Berdasarkan data pada Gambar 9 juga dapat dilihat bahwa pH memiliki korelasi negatif dengan kadar PLG surimi hasil pengkomposisian mas-lele. Hal ini disebabkan pada rentang pH tinggi enzim alkali proteinase akan aktif dan menyebabkan degradasi. Hal ini sesuai dengan penelitian dari Mahawanich (2008) yang mengatakan bahwa kadar pH yang tinggi akan menyebabkan aktifnya enzim proteinase yang akan menyebabkan menurunnya kadar PLG. Faktor lain yang menyebabkan menurunnya kadar PLG pada surimi adalah faktor suhu lingkungan. Suhu merupakan faktor utama terhadap perubahan dari molekul protein. Protein ini memiliki tingkat toleransi yang sangat tinggi terhadap suhu yaitu : kestabilan pada suhu di atas titik beku, yang tergantung kepada kualitas kesegaran ikan dan stabilitas pada suhu dibawah titik beku (Suzuki 1981). 4.2.2 Karakteristik fisik surimi hasil pengkomposisian selama penyimpanan dingin Surimi komposisi yang disimpan pada suhu dingin selama sepuluh hari diolah menjadi produk gel untuk dipelajari pengaruh penyimpanan terhadap karakteristik mutu surimi yang dihasilkan. a) Kekuatan gel Kualitas surimi secara umum ditentukan oleh kemampuan daging untuk membentuk gel dengan cara mencampurkan surimi tersebut dengan garam dan mencetak adonan dalam casing yang sesuai dan merebusnya (Suzuki 1981). Hasil uji kekuatan gel surimi komposisi ikan mas dan ikan lele dengan perbandingan
57 1:1 secara umum mengalami penurunan seiring dengan semakin lamanya waktu penyimpanan. Lebih lanjut hubungan antara penyimpanan dengan kekuatan gel dapat dilihat pada Gambar 12.
Keterangan : Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf yang berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gambar
12
Hasil
Nilai kekuatan gel surimi pada penyimpanan dingin analisis
ragam
menunjukkan
komposisi bahwa
mas
dan
penyimpanan
lele dingin
memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap kekuatan gel yang dihasilkan surimi hasil pengkomposisian mas dan lele (Lampiran 16a). Hal ini sesuai dengan penelitian Riebroy et al. (2006) yang mengatakan bahwa penyimpanan dingin menybabkan terjadinya proses denaturasi protein miofibril yang menyebabkan turunnya kemampuan kelarutan protein tersebut didalam larutan NaCl 5 %. Hasil uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa penyimpanan dingin memberikan pengaruh yang nyata terhadap surimi hasil pengkomposisian mas dan lele yang disimpan pada hari ke-0 dan hari ke-10 (Lampiran 16b). Akan tetapi, penyimpanan dingin tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kekuatan gel surimi hasil pengkomposisian mas dan lele yang disimpan pada hari ke-2, 4,6, 8, dan hari ke-10. Pada awal penyimpanan surimi komposisi pada suhu dingin nilai kekuatan gel surimi sebesar 1140 g cm. Pengkomposisian terbukti dapat meningkatkan kemampuan gel surimi dibandingkan dengan surimi tunggal. Namun dengan seiring lamanya waktu penyimpanan maka kemampuan gel surimi
58 tersebut akan mengalami penurunan. Hingga hari ke-10 kekuatan gel surimi komposisi mas dan lele sebesar 228 g cm. Surimi hasil pengkomposisian mengalami penurunan gel yang cepat selama penyimpanan pada suhu dingin. Hal ini menandakan bahwa surimi komposisi tidak stabil ketika disimpan pada suhu dingin. Proses kemunduran mutu surimi juga akan memberikan pengaruh terhadap kekuatan gel pada produk gel. Menurunnya kekuatan gel ini disebabkan oleh degradasi senyawa protein miofibril selama penyimpanan suhu dingin (Lanier 1992). Menurut Yoon et al. (2004) protein miofibril ikan memiliki kemampuan untuk membentuk jaringan tiga dimensi gel yang stabil. Protein miofibril ikan ini terdiri dari aktin dan miosin. Miosin yang terdapat pada protein miofibril ini lebih berperan dalam mekanisme pembentukan gel surimi dibandingkan dengan aktin. Kekuatan gel pada surimi juga berhubungan dengan kadar PLG surimi tersebut. Berdasarkan data pada Gambar 11 kadar PLG surimi hasil pengkomposisian mas-lele mengalami penurunan seiring dengan lamanya waktu penyimpanan. Penurunan kekuatan gel surimi hasil pengkomposisian ini disebabkan proses perombakan aktomiosin menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana berlangsung cepat. Kecepatan kerusakan ini lebih cepat dari penyimpanan yang dilakukan pada suhu beku. Kerusakan atau proses degradasi ini pada dasarnya tidak dapat dihentikan. Proses ini hanya bisa diperlambat dengan cara penyimpanan pada suhu beku (Lanier 1992). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Rawdkuen et al. (2009) yang mengatakan bahwa penurunan kadar PLG berbanding lurus dengan kekuatan gel, kadar PLG yang rendah akan berakibat pada rendahnya kekuatan gel yang dimiliki oleh surimi. Menurunnya konsentrasi protein larut garam akan menyebabkan ketegangan menurun dan kemampuan untuk membentuk gel juga akan ikut menurun. Menurut Jin et al. (2007) degradasi senyawa PLG pada penyimpanan dingin juga berhubungan dengan kadar WHC (water holding capacity). Turunnya kadar PLG dalam surimi juga ikut menurunkan kemampuan PLG terhadap daya ikat air. Menurunnya kemampuan daya ikat air akan menyebabkan hilangnya viskositas protein. Hal ini dapat menyebabkan protein kehilangan kemampuan untuk mengembang.
59 Faktor lain yang menyebabkan turunnya kekuatan gel surimi adalah faktor pencucian. Menurut Phatcharat et al. (2005) proses pencucian adalah proses menghilangkan atau meminimalkan protein sarkoplasma yang menghambat pembentukan gel. Proses pencucian ini diharapkan akan meningkatkan konsentrasi miofibril sehingga diharapkan berdampak pada kekuatan gel dari ikan tersebut. Pada dasarnya pencucian surimi dilakukan sebanyak tiga kali. Semakin banyak pencucian yang dilakukan maka kekuatan gel diharapkan akan semakin baik dan aktivitas ATP-ase akan semakin rendah. Hal ini diyakini dapat memperpanjang masa simpan surimi. Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan pada proses pencucian yaitu penggunaan air yang bersih (sesuai dengan standar air minum) dan bebas dari bahan pengotor seperti CaCl2 dan MgCl2 yang diduga kedua jenis garam ini akan mempercepat proses denaturasi protein bahan (Lanier 1992). Kekuatan gel surimi juga dipengaruhi oleh kadar pH. Kadar pH surimi seperti yang dilihat pada Gambar 9 juga mengalami proses penurunan seiring dengan lamanya penyimpanan pada suhu dingin. Kadar pH akan mempengaruhi kekuatan gel. Nilai pH akan memberikan pengaruh terhadap kadar PLG surimi komposisi mas-lele. Menurut Benjakul et al. (2002) kadar pH optimum untuk melarutkan PLG berkisar antara 6-7 apabila pH dibawah kisaran tersebut maka kekuatan gel akan menurun. Penurunan kadar PLG disebakan karena terjadinya denaturasi protein pada rantai miosin selama penyimpanan dingin sehingga menghasilkan jaringan gel dengan mutu yang rendah, menurunkan elastisitas dan kepastian penahan air pada matriks gel. Kekuatan gel dari surimi dapat menjadi variabel yang tetap dan besarnya sangat bergantung dari komposisi ikan yang digunakan untuk pembuatan surimi, kondisi penangkapan, habitat hidup, penanganan, pengolahan serta kondisi penyimpanan (Hamman dan MacDonald 1992 dalam Santoso et al. 2009). b) Derajat putih Mutu surimi yang baik juga ditentukan oleh derajat putihnya. Surimi yang baik diharapkan memiliki warna yang putih merata dan bebas dari pengotornya. Derajat putih pada penelitian ini dukur dengan alat whitnessmeter, yaitu analisis warna secara obyektif yang mengukur warna yang dipantulkan oleh permukaan
60 sampel yang diukur. Pada dasarnya semakin besar nilai derajat putih, maka warna yang dihasilkan semakin mendekati standar. Nilai derajat putih surimi komposisi ikan mas dan ikan lele dengan perbandingan berat 1:1 dapat dilihat pada Gambar 13.
Keterangan : Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 13 Nilai derajat putih surimi komposisi mas dan lele pada penyimpanan dingin Berdasarkan data pada Gambar 13 dapat dilihat bahwa secara umum nilai derajat putih surimi hasil pengkomposisian ikan mas dan ikan lele mengalami penurunan selama penyimpanan dingin. Nilai rata-rata derajat putih pada penyimpanan suhu dingin berkisar antara 28-35 %. Nilai derajat putih tertinggi berdasarkan Gambar 13 terdapat pada hari ke-0 yaitu sebesar 34,76 %. Berdasarkan analisis ragam yang dilakukan terhadap parameter derajat putih didapatkan bahwa penyimpanan pada suhu dingin memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap nilai derajat putih surimi hasil pengkomposisian ikan mas dan ikan lele (Lampiran 17a). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Eymard et al. (2009) yang mengatakan bahwa penurunan nilai derajat putih surimi diduga karena proses oksidasi lemak selama penyimpanan dingin. Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau tengik yang disebut proses ketengikan. Ketengikan disebabkan oleh autooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak. Autooksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas
61 yang disebabkan oleh faktor-faktor yang mempercepat reaksi seperti cahaya, panas, peroksida lemak atau hidroperoksida, logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co, dan Mn, logam porfirin, seperti hematin, hemoglobin, mioglobin, klorofil, dan enzim-enzim lipoksidase (Winarno 1997). Hasil uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa penyimpanan pada suhu dingin memberikan pengaruh yang nyata terhadap surimi yang disimpan pada hari ke-0 dan hari ke-6, 8, dan 10, sedangkan penyimpanan dingin pada hari ke-0, 2 dan ke 4 derajat putih surimi komposisi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Lampiran 17b). Pada penurunan nilai derajat putih surimi komposisi ini juga berhubungan dengan reaksi Mailard yang didefinisikan sebagai urutan peristiwa yang dimulai dengan reaksi gugus amino pada asam amino, peptida, atau protein dengan gugus hidroksil glikosidik pada gula yang diakhiri dengan pembentukan polimer nitrogen berwarna coklat atau melanoidin (deMan 1997). Reaksi Mailard dimulai dengan terjadinya proses kondensasi yang melibatkan senyawa aldosa dan karbonil heksosa, yang dipecahkan dari reduksi gula dan grup asam amino bebas dari asam amino protein. Air yang hilang dari proses kondensasi ini membentuk schiff base, dan memulai proses siklikasi menjadi aldosilamin, hal ini dimulai dengan proses pengaturan kembali senyawa amadori dan ketosamin. Tahap akhir dari reaksi ini adalah terbentuknya senyawa melanoidin yang berwarna coklat gelap (Hutchings 1994). Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa penurunan nilai derajat puih surimi komposisi selama penyimpanan pada suhu dingin tidak begitu signifikan. Hal ini disebabkan karena pH surimi komposisi cenderung menurun. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sultanbawa et al. (1998) yang mengatakan bahwa faktor yang dapat mempercepat laju reaksi pencoklatan adalah sifat asam amino dan sifat karbohidrat. Pencoklatan pada bahan pangan juga disebabkan oleh sifat asam amino dan sifat karbohidrat yang dimiliki bahan pangan tersebut. Pencoklatan makanan bergantung pada pH, suhu, dan aktivitas air (aw). Reaksi Mailard cenderung terjadi pada bahan pangan yang memiliki pH >6 (Shaviklo 2006).
62 Menurut Riebroy et al. (2006) perlakuan pencucian memiliki hubungan dengan kadar lemak. Surimi adalah produk yang telah mengalami proses pencucian, sehingga memiliki kadar lemak yang lebih rendah dari minced fish. Hal ini dapat juga diartikan bahwa kadar lemak yang terdapat dalam daging ikan (mas dan lele) tereduksi, sehingga dapat pula mereduksi proses oksidasi lemak. c)
Water holding capacity (WHC) Daya ikat air atau biasa juga disebut dengan water holding capacity
(WHC) dapat diartikan sebagai kemampuan daging untuk mengikat air baik yang berasal dari daging itu sendiri maupun air yang berasal dari luar. Lebih lanjut hubungan antara kadar WHC dengan penyimpanan surimi pada suhu dingin dapat dilihat pada Gambar 14. Selama penyimpanan, lemak akan mengalami kerusakan berupa hidrolisis yang menghasilkan asam-asam lemak sehingga mengakibatkan pH daging akan mengalami penurunan sehingga daging mengalami penurunan daya ikat air (Wahyuni 1992). Berdasarkan data pada Gambar 14 tersebut dapat dilihat bahwa kadar WHC surimi mengalami penurunan hingga hari ke-10. Kadar WHC tertinggi yaitu 72,24 % terjadi pada hari ke-2, dan kadar WHC terendah yaitu 36,67 % terjadi pada hari ke-10. Hasil
analisis
ragam
menunjukkan
bahwa
penyimpanan
dingin
memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap kadar WHC (water holding capacity) surimi hasil pengkomposisian (Lampiran 18a). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Munizaga et al. (2005) yang mengatakan bahwa pada dasarnya kemampuan mengikat bahan air ini memiliki hubungan yang berbanding lurus dengan kemampuan pembentukan gel. Pada umumnya, semakin tinggi kekuatan gel dari surimi maka semakin tinggi pula kemampuan mengikat air surimi tersebut.
63
Keterangan : Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 14 Kadar WHC surimi komposisi mas dan lele pada penyimpanan dingin Riebroy et al. (2006) menyatakan bahwa penurunan nilai daya ikat air pada surimi selama penyimpanan suhu dingin kemungkinan disebabkan karena sifat hidrofilitas surimi menurun sehingga kemampuan mengikat air juga akan menurun.
Pada
proses
penyimpanan
baik
penyimpanan
beku
maupun
penyimpanan dingin akan menyebabkan terjadinya proses denaturasi protein yang menyebabkan
berkurangnya
gugus
hidrofilik.
Denaturasi
protein
akan
menyebabkan terbukanya rantai protein sehingga asam amino yang bersifat hidrofobik yang terdapat di bagian dalam protein seperti fenilalanin, isoleusin, metionin, valin dan triptofan dapat berinteraksi dengan lemak (Lehninger 1988). Hasil uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa nilai WHC surimi hasil pengkomposisian yang disimpan pada suhu dingin hari ke-0, 2 berbeda nyata dengan nilai WHC surimi hasil pengkomposisian yang disimpan pada hari ke 4. Hal yang sama juga terjadi pada penyimpanan hari ke-6, 8, 10 berbeda nyata dengan nilai WHC surimi hasil pengkomposisian yang disimpan pada hari ke-4 dan hari ke-0, 2 (Lampiran 18b). Proses penyimpanan baik dingin maupun pembekuan akan menyebabkan terlepasnya air dari produk. Hal ini diakibatkan karena suhu yang digunakan pada penyimpanan baik suhu dingin maupun suhu beku, sedangkan nilai daya ikat air berbanding terbalik dengan jumlah air yang dilepaskan surimi oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa semakin lama surimi tersebut disimpan baik disimpan
64 pada suhu beku maupun suhu dingin maka kadar air surimi tersebut akan menurun (Stansby 1963). Gel suwari terbentuk dengan cara protein mengikat air di dalam ikatan molekul yang membentuk ikatan hidrofobik dan interaksi hidrogen. Rendahnya kandungan air yang terikat pada protein akan mempengaruhi reaksi antara proteinprotein air dalam proses pembuatan gel kamaboko (Suzuki 1981). Pembentukan gel disebabkan karena reaksi antara protein-protein dan protein-air. Apabila reaksi antara protein-protein yang terjadi lebih banyak dibandingkan dengan protein-air, maka akan mengakibatkan gel yang rapuh. Reaksi antara protein-air akan berkurang seiring dengan lamanya penyimpanan sehingga kekuatan gel akan memburuk (Zayas 1997). d) Uji lipat (folding test) Uji lipat (folding test) berhubungan dengan nilai kekuatan gel. Uji lipat adalah penilaian sensori terhadap kekuatan gel. Metode uji lipat yang digunakan untuk memisahkan gel yang bermutu tinggi dan bermutu rendah (Matsumoto dan Noguchi 1992) . Secara umum berdasarkan data yang didapat selama penyimpanan dingin surimi komposisi mengalami penurunan kualitas bila dilihat dari parameter uji lipat (folding test). Grafik hubungan antara uji lipat dengan penyimpan surimi akan ditunjukkan pada Gambar 15. Menurut hasil analisis ragam uji Kruskal-Wallis dapat diketahui bahwa penyimpanan dingin memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap nilai uji lipat yang diberikan panelis untuk surimi hasil pengkomposisian mas dan lele (Lampiran 19a). Penurunan nilai yang diberikan panelis terhadap kemampuan lipat dari surimi disebabkan hilangnya kemampuan surimi untuk membentuk gel akibat kemunduran mutu surimi selama penyimpanan dingin. Kemunduran mutu ini adalah kemunduran mutu protein miofibril selama penyimpanan dingin. Menurunnya kemampuan ini dapat menurunkan kemampuan gel surimi (Suzuki 1981). Uji pelipatan dengan nilai tiga (B) menunjukkan tingkat elastisitas cukup baik dan nilai empat (A) menunjukkan elastisitas yang sangat baik (Lee (1984) dalam Berlyanto (2004)).
65
Keterangan : Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gambar
15
Nilai uji lipat surimi penyimpanan dingin
komposisi
mas
dan
lele
pada
Uji lanjut Multiple-Comparisson juga menunjukkan bahwa penyimpanan memberikan perbedaan yang nyata terhadap nilai yang diberikan panelis pada hari ke-0, 6, dan hari ke-10, sedangkan pada penyimpanan dingin hari ke-0, 2, 4 tidak memiliki perbedaan yang nyata terhadap uji lipat ini. Begitu pula pada penyimpanan penyimpanan hari ke-2,4, dan 6. Pada hari ke-6 tidak memiliki perbedaan yang nyata dengan hari ke-8 dan penyimpanan hari ke-10 tidak memiliki perbedaan yang nyata dengan penyimpanan hari ke-10 (Lampiran 19b). Berdasarkan data pada Gambar 15 dapat dilihat bahwa pada hari ke-0 nilai uji lipat pada surimi ini memiliki kisaran nilai 4-5, nilai ini akan semakin menurun seiring dengan lamanya waktu penyimpanan. Hingga hari ke-10 niai uji lipat dari surimi komposisi memiliki kisaran nilai 1-2. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa pada hari ke-10 kekuatan lipat dari surimi sudah sangat buruk. Syarat mutu surimi berdasarkan SNI surimi komposisi ikan mas dan ikan lele ini diperbolehkan hingga hari ke-6 penyimpanan pada suhu dingin. e)
Uji gigit (teeth cutting test) Uji gigit adalah salah satu uji sensori terhadap kekenyalan dari produk
surimi. Secara umum, data yang didapat untuk uji gigit ini tidak berbeda dengan
66 data uji lipat. Kemampuan surimi dalam uji gigit ini cenderung menurun selama proses penyimpanan. Lebih lanjut hubungan antara uji gigit dengan penyimpanan suhu dingin dapat dlihat pada Gambar 16. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penyimpanan pada suhu dingin memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap nilai uji lipat yang diberikan panelis terhadap surimi hasil pengkomposisian ikan mas dan ikan lele (Lampiran 20a).
Keterangan :
Gambar
16
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf yang berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Nilai uji gigit surimi penyimpanan dingin
komposisi
mas
dan
lele
pada
Uji lanjut Multiple-Comparisson juga menunjukkan bahwa penyimpanan akan memberikan perbedaan yang nyata terhadap nilai yang diberikan panelis untuk kemampuan gigit surimi hasil pengkomposisian mas dan lele, sedangkan pada penyimpanan dingin hari ke-0, 2 penyimpanan dingin tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap nilai yang diberikan panelis untuk kemampuan gigit surimi hasil pengkomposisian. Hal yang sama juga terjadi pada penyimpanan hari ke-4, tidak memiliki perbedaan yang nyata pada hari ke-2 dan ke-6. Pada hari ke-6 tidak memiliki perbedaan yang nyata dengan hari ke-8 dan penyimpanan hari ke-8 tidak memiliki perbedaan (Lampiran 20b).
yang nyata dengan penyimpanan hari ke-10
67 Berdasarkan data (Gambar 16), pada hari ke-0 penyimpanan pada suhu dingin panelis memberikan nilai yang cukup tinggi berkisar antara 8-9. Nilai yang diberikan
panelis
pun
mengalami
penurunan
seiring
dengan
lamanya
penyimpanan. Pada hari ke-10 panelis rata-rata memberikan skor 2-3 untuk surimi hasil pengkomposisian ikan mas dan ikan lele dumbo. Penurunan nilai uji gigit ini sesuai dengan penelitian Sultanbawa et al. (1998) yang menyatakan bahwa penurunan nilai uji gigit ini diakibatkan karena menurunnya tingkat elastisitas surimi yang disimpan pada suhu dingin. f)
Total Mikroba Kandungan mikroba dalam daging ikan merupakan salah satu parameter
mikrobiologis untuk menentukan tingkat kemunduran mutu ikan. Total mikroba surimi hasil pengkomposisian ikan mas dan ikan lele dapat dilihat pada Gambar 17 berikut.
Keterangan :
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf yang berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 17 Total mikroba surimi komposisi ikan mas dan lele pada penyimpanan dingin Hasil analisis ragam menunjukkan penyimpanan dingin memberikan pengaruh
yang
nyata
(p<0,05)
terhadap
total
mikroba
surimi
hasil
pengkomposisian ikan mas dan ikan lele (Lampiran 21a). Peningkatan total mikroba pada surimi hasil pengkomposisian ikan mas dan ikan lele ini sesuai dengan hasil penelitian dari Murphy et al. (2004) yang mengatakan bahwa selama
68 penyimpanan dingin akan terjadi peningkatan kandungan mikroba yang disebabkan adanya aktivitas enzim. Aktivitas enzim tersebut menyebabkan terjadinya penguraian protein menjadi senyawa yang lebih sederhana yang bersifat basa volatil. Senyawa tersebut merupakan media yang baik untuk tempat tumbuhnya bakteri. Total mikroba yang semakin meningkat memiliki korelasi positif dengan nilai TVBN yang mengindikasikan telah terjadinya kemunduran mutu surimi selama penyimpanan dingin . Uji lanjut Tukey menunjukkan penyimpanan dingin memberikan perbedaan yang nyata (p<0,05) terhadap jumlah mikroba surimi yang disimpan pada hari ke-0, 4, dan hari ke-10, sedangkan surimi pada hari ke-0 tidak memiliki perbedaan yang nyata dengan surimi hasil pengkomposisian yang disimpan pada hari ke-2. Surimi hasil pengkomposisian mas-lele juga tidak memiliki perbedaan yang nyata pada penyimpanan hari ke-4, 6, dan 8 (Lampiran 21b). Berdasarkan data pada Gambar 25 dapat dilihat bahwa kandungan mikroba pada surimi berkisar antara 4,81-7,37 koloni/g. Total mikroba terendah untuk surimi hasil pengkomposisian ikan mas-lele terjadi pada penyimpanan hari ke 0 yaitu sebesar 4,81 koloni/g, sedangkan total mikroba tertinggi terjadi pada penyimpanan hari ke 10 yaitu sebesar 7,37 koloni/g. Total rata-rata mikroba pada penyimpanan hari ke 0 hingga hari ke-4 masih memenuhi batas maksimum bakteri untuk surimi yaitu 4,81- 5,81 koloni/g. Menurut SNI 01-2693-1992 jumlah bakteri yang masih diperbolehkan untuk surimi sebesar 5 koloni/g, sedangkan pada penyimpanan hari ke 6, 8, dan 10 total mikroba surimi hasil pengkomposisian berada diatas batas maksimum yaitu sebesar 6,16 – 7,37 koloni/g. Pada Gambar 17 dapat dilihat bahwa kurva pertumbuhan mikroorganisme berada pada fase logaritmik. Pada fase logaritmik jasad renik membelah dengan cepat dan konstan, pertambahan jumlahnya mengikuti fase logaritmik dan sangat dipengaruhi medium tempat tumbuhnya seperti pH, kandungan nutrien, kondisi lingkungan, dan kelembaban udara (Fardiaz 1992). Penurunan suhu tidak dapat menghentikan proses pertumbuhan bakteri pembusuk. Penurunan suhu hanya bertugas untuk menghilangkan panas dari tubuh ikan, memperlambat laju denaturasi protein, menghambat laju oksidasi lemak dan menghambat penguraian enzimatis oleh tubuh ikan dan enzim bakteri
69 (Ilyas 1993). Aktivitas bakteri yang meningkat akan meyebabkan kerusakan asam-asam amino seperti glutamat, asam aspartam, lisin, histidin, dan arginin. Senyawa-senyawa seperti asam amino, glukosa, lipida, trimetilamin oksida, dan urea dapat diubah oleh bakteri menjadi produk yang digunakan sebagai indikator kebusukan seperti hidrogen sulfida, karbonil, histamin dan ammonia (Fardiaz 1992). Berdasarkan standar yang telah ditetapkan SNI terhadap mutu surimi beku (SNI 01-2693-1992) surimi hasil pengkomposisian masih layak untuk dikonsumsi hingga hari ke-4 dengan total mikroba 5,81 koloni/g. Standar total mikroba yang ditetapkan SNI adalah 5 koloni/g.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Frekuensi pencucian sebanyak satu kali adalah frekuensi pencucian terbaik yang untuk surimi ikan mas dan ikan lele. Komposisi surimi ikan mas dan ikan lele yang terbaik adalah komposisi dengan perbandingan ikan mas : ikan lele (1:1). Proses penyimpanan dingin akan memberikan pengaruh yang nyata terhadap mutu surimi komposisi mas-lele. Penyimpanan pada suhu dingin akan mengakibatkan penurunanan mutu surimi komposisi mas-lele. Hal ini ditandai dengan beberapa hal yaitu, penurunan nilai pH, kadar PLG, kekuatan gel, derajat putih, nilai untuk uji lipat dan uji gigit dan peningkatan kadar TVBN dan TPC surimi komposisi mas-lele. Berdasarkan hasil dapat disimpulkan bahwa penyimpanan hingga hari ke-6 surimi komposisi mas-lele masih memberikan karakteristik baik. Pendugaan ini dilihat dari parameter kekuatan gel surimi komposisi mas-lele dumbo dimana sampai hari ke-6 penyimpanan dingin masih memenuhi standar yang ditentukan. Akan tetapi, berdasarkan total mikroba surimi hasil pengkomposisian ikan mas dan ikan lele hanya layak dikonsumsi hingga hari ke-4. 5.2 Saran Perlu dilakukan diversifikasi produk-produk perikanan yang sesuai dengan jenis surimi komposisi ini, sehingga dapat meningkatkan nilai tambah dan meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia.
71
DAFTAR PUSTAKA Alasalvar C, Taylor T. 2002. Seafood-Quality, Technology and Nurtaceutical Application. Berlin : Springer Amlacher E. 1961. Rigormortis in Fish. Di dalam. Borgstrom G, (editor). Fish as Food. Volume 1. New York : Academic Press. Anonim. 2007a. Surimi market report. http://globefish.com [18 September 2009]. Anonim. 2007b. Gambar ikan mas. http://www.dkp.go.id [22 Januari 2010]. Anonim. 2007c. Budidaya ikan mas (Cyprinus carpio). http://www.fishstock.com. [18 September 2009]. Anonim. 2008a. Catfish patin dan lele unggulan baru. http://www.dkp.go.id [18 September 2009]. Anonim. 2008b. Fungsi natrium bikarbonat. http://www.wacanamitra.com [23 Januari 2010]. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official methods of analysis of the Association of Analytical Chemist. Virginia USA : Association of Official Analytical Chemist, Inc. Bachtiar Y. 2002. Pembesaran Ikan Mas di Kolam Air Deras. Jakarta : AgroMedia Pustaka. Benjakul S, Chantarasuwan C, Visessanguan W. 2002. Effect of medium temperature setting on gelling characteristics of surimi from tropical fish. Food Chem. 82 : 567-574. Benjakul S, Amjad B. 2009. Enhancement of gel strength of bigeye snapper (Priacanthus tayenus) surimi using oxidised phenolic compounds. Food Chem. 113: 61-70. Berlyanto BS. 2004. Pengaruh lama waktu penyimpanan beku daging lumat ikan kurisi (Nemiptherus nematophorus) terhadap mutu fisiko-kimia surimi [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Botta JR. 1994. Freshness Quality of seafood : a review. Di dalam : Shahidi and R.Bota, (editor). Seafood : Chemistry, Processing Technology and Quality. London : Blackie Academic & Professional. [BPPMHP] Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan. 2001. Instruksi Kerja Pengujian Contoh Hasil Perikanan. Laboratorium kriteria BPPMHP. Jakarta. Depertamen Kelautan dan Perikanan : Tidak Diterbitkan. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1998. Total Volatile Base (TVB). SNI 01-4495-1998. Jakarta : Badan Standardisasi Nasional.
73 Chaijan M, Benjakul S, Visessanguan, Fautsman C. 2004. Characteristic and gel properties of muscle from sardine (Sardinella gibosa) and mackerel (Restrelliger kanagurta) cought ini Thailand. J. Food Sci 37 : 1021-1030. Chinabhark K, Benjakul S, Prodpran . 2007. Effect of pH on the properties of protein-based film from bigeye snapper (Priacanthus tayenus) surimi. J. Bio Tech. 98 : 221-225. Choi YJ, Lin TM, Tomlinson K, Park JW. 2007. Effect of salt concentrstion and temperature of storage water on the physicochemical properties of fish protein. J. Food Sci : 650-160. Clucas IJ, Ward AR. 1996. Post-Harvest Fisheries Development : A guide to Handling, Preservation, Processing and Quality. Natural Research Institute. deMan JM. 1997. Kimia Makanan. Edisi ke-2. Padmawinata Penerjemah. Terjemah dari : Food Chemistry. Bandung : Penerbit ITB.
K,
Direktorat Jendral Perikanan. 1990. Buku Pengenalan Sumber Perikanan Laut. Jakarta : Departemen Pertanian. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Masalah dan Kebijakan Peningkatan Produk Perikanan untuk Pemenuhan Gizi Masyarakat. http://www.litbang.deptan.go.id [18 September 2008]. _________ 2008. Dorong pembangunan perikanan dan budidaya. www.dkp.go.id. [21 Maret 2009]. _________.2008. Keunggulan nutrisi ikan dan fungsinya. http://www.dkp.go.id [18 September 2009]. Eryanto I. 2006. Karakteristik surimi fillet ikan nila (Oreochromis niloticus) yang disimpan pada suhu dingin [skripsi]. Bogor : Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor Eymard S, Baron CP, Jacobsen C. 2009. Oxidation of lipid and protein in horse mackerel (Trachurus trachurus) mince and wash mince during processing and storage. Food Chem. 114 : 57-65. Farber L. 1965. Freshness Test. Di dalam : Borgstrom G, (editor). Fish As Food Vol IV. New York : Academic Press. Faridah DN, Kusumaningrum HD, Wulandari N, Indrasti D. 2006. Penuntun Praktikum Analisis pangan. Bogor : Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Fardiaz S. 1992. Polusi Air dan Polusi Udara. Bogor : PAU-Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid I. Yogyakarta : Liberty.
74 Hall GM, Ahmad NH. 1992. Surimi and mince product. Di dalam : Hall GM, (editor). Fish Processing Technology. New York : VCH Publisher, Inc. Haetami RR. 2008. Karakteristik surimi hasil pengkomposisian tetelan ikan kakap merah (Lutjanus sp.) dan ikan laying (Decapterus sp.) pada penyimpanan beku [skrpsi]. Bogor : Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Hudson BJF. 1992. Biochemistry of Foods Proteins. London : Elsevier Applied Sci. Hutchings JB. 1994. Food Colour and Appearance. London : Blackie Academic and Professional. Ilyas S. 1993. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan. Jilid I. Jakarta: CV Paripurna. Ingadottir B, Kristinsson HG. 2010. Gelation of protein isolates extracted from tilapia light muscle by pH shift processing. Food Chem.118 : 789-798. Irianto B. 1990. Teknologi surimi salah satu cara mempelajari nilai tambah ikanikan yang kurang dimanfaatkan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 9(2). 35-39. Jaczynski J, Park JW. 2004. Physicochemical change in Alaska pollack surimi and surimi gel as affected by electron beam. J. Food Sci 69 (1) : C53-C57. Jin SK, Kim IS, Jeong KJ, Choi YJ, Hur SJ. 2007. Effect of muscle type and washing times on phsico chemical characteristics and qualities of surimi. J. Food Eng. 81 : 618-623. Junianto 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta : Penebar Swadaya. Ketaren S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta : UI Press. Kett Electric Laboratory. 1981. Operating Instruction Kett Digital Whiteness Meter. Unpublished. Khairuman, Khairul A. 2002. Budi Daya Lele Dumbo Secara Intensif. Depok : Agro Media Pustaka. [KIFTC] Kanagawa Internasional Fisheries Trainee Centre. 1992. Science of Processing Marine Food Products. Volume II. Japan. Lanier TC. 1992. Measurement of surimi composition and fuctional properties. Di dalam : Lanier TC, Lee CM, (editor). Surimi Technology. New York : Marcel Dekker. Lee CM. 1984. Surimi Process Technologi. Food Tech. 38 (11) :69-80.
75 Lee CM, Wu MC, Okada M. 1992. Ingredient and formulation technology for surimi-based product. Di dalam : Lanier TC, Lee CM (editor). Surimi Technology. New York : Marcell Dekker. Lehninger AL. 1982. Dasar-dasar Biokimia. Thenawidjaja M, penerjemah. Terjemahan dari : Principles of Biochemistry. Jakarta : Erlangga. Mahawanich T. 2008. Preparation and properties of surimi gels from tilapia and red tilapia. Naresuan University Journal. 16(2) : 105-111 Mackie IM. 1992. Surimi from fish. Di dalam : Johnston DE, Knight MK, Ledward DA, (editor). The Chemistry of Muscle-based Food. United Kingdom : Royal Society of Chemistry. Matsumoto JJ, Noguchi SF. 1992. Cryostabilization of protein in surimi. Di dalam : Lanier TC, Lee CM, (editor). Surimi Technology. New York : Marcel Dekker, Inc. Muniziga GT, V Gustavo, Canovas B. 2005. Pressurized and heat-treated surimi gel as affected by potato starch and egg white microstructure and water holding capacity. J. Technol. 38 : 47-57. Murphy SC. Gilroy D. Kerry JF, Buckle DJ, Kerry JP. 2004. Evaluation of surimi, fat and water content in a low/no added pork sausage formulation using response surface methodology. J. Meat Sci. 66 : 689-701. Nakai S, Modler HW. 2000. Food Protein Processing Applications. New York : Wiley-VCH. Niwa E. 1992. Chemistry of surimi gelation. Di dalam : Lanier TC, Lee CM, (editor). Surimi Technology. New York : Marcel Dekker, Inc. Nugroho AE. 2006. Studi pembuatan surimi multi-species dari ikan demersal non ekonomis [skripsi]. Bogor : Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Okada M. 1992. History of surimi technology in Japan. Di dalam Lanier TC, Lee CM, (editor). Surimi Technology. New York: Marcell Dekker Inc. Park JW, Morrissey MT. 2000. Manufacturing of surimi from light muscle fish. Di dalam : Park JW. (editor). Surimi and Surimi Seafood. New York : Marcel Dekker Inc. Peranginangin R, Wibowo S, Fawzya YN. 1999. Teknologi Pengolahan Surimi. Jakarta : Balai Penelitian Perikanan Laut. Pipatsattayanuwong S, Park JW, Morrissey MT. 1995. Functional properties and shelf life of fresh surimi from Pacific whitting. J. Food Sci. 60 : 1241-1244. Rahayu WP. 1998. Penuntun Praktikum Pengenalan Organoleptik. Bogor : Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
76 Rawdkuen S, Sai-Lit S, Saisuneek, Chaijan M, Benjakul S. 2009. Bichemical and gellin properties of tilapia surimi and protein recovered using an acidalkaline process. Food Chem. 112 : 112-19. Reynolds J, Park JW, Choi YJ. 2002. Physicochemical properties of Pacific Whiting surimi as affected by various freezing and storage condition. J. Food Sci. 67 (6) : 2072-2078. Riebroy S, Benjakul S, Visessanguan W, Tanaka M. 2006. Effect of iced of bigeye snapper (Priancanthus tayenus) on the chemical composition, properties and acceptability of Som-fug, a fermented Thai fish mince. Food Chem. 102 : 270-280. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jakarta : Bina Cipta. Santoso J, Yasin AWR, Santoso. 2008. Perubahan karakteristik surimi ikan cucut dan ikan pari akbat pengaruh pengkomposisian dan penyimpanan dingin daging lumat. Jurnal Teknol dan Industri Pangan. 16(1) : 57-66. Santoso J, Haetami RR, Uju, Sumaryanto H, Chairita. 2009. Perubahan karakteristik surimi dari ikan daging merah, daging putih dan campuran keduanya selama penyimpanan beku. Seminar Nasional tahunan VI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan. 4(1) : 1-15. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. SNI-01-4495-1998. Jakarta : Bandan Standardisasi Nasional. Shahidi F. 1994. The chemistry, processing technology and quality of seafood an interview. Di dalam : Shahidi F, Botta JR, (editor). Seafood : Chemistry, Processing Technology and Quality. London : Blackie Academic & Professional. Shaviklo GR. 2006. Quality assasment of fish protein isolates using surimi standard methods. Fiseries training Programme Iran : United Nation university. Shimizu Y, Toyohara H, Lanier TC. 1992. Surimi production from fatty and darkfleshed fish species. Di dalam : Lanier TC, Lee CM, (editor). Surimi Technology. New York : Marcel Dekker. Sikorski ZE, Kolakowska A. 1994. Changes in protein. Di dalam : Sikorski ZE, Pan BS, Shahidi F, (editor). Seafood Protein. New York : Chapman & Hall. Sikorski ZE, Pan BS. 1994. Preservation of seafood quality. Di dalam : Shahidi F, Botta JR, (editor). Seafoods: Chemistry, Processing Technology and Quality. London : Blackie Academic & Professional.
77 Stansby ME, Olcott HS.1963. Compotition of fish. Di dalam : Industry Fishery Tecnology. Stansby ME, (editor). New York : Reinhold Publishing Corp. Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik: Suatu Pendekatan Biometrik. Sumantri B, penerjemah. Terjemahan dari : Principles and Procedures of Statistics. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Sultanbawa Y, Li-Chan ECY. 1998. Cryoprotective effects of sugar and polyol blends in ling cod surimi during frozen storage. J. Food Research. 31(2) : 87-98. Susanto H. 2007. Budidaya Ikan Mas di Pekarangan. Cetakan ke-16. Jakarta : Penebar Swadaya. Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein : Processing Technology. London : Applied Science Publisher, Ltd. Tan SM, Chung NM, Fujiwara T, Kuang HK, Hasegawa H. 1987. Handbook on the Processing of Frozen Surimi and Fish Jelly Product in Southeast Asia. Singapore : MFRD-SEAFDEC. Tanikawa E. 1985. Marine Product in Japan. Tokyo : Koseisha Koseikaku Co. Ltd. Venugopal V. 1992. Mince from low-cost fish species. J. Food Sci 3 :2-5 Winarno FG. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Yasin AWN. 2005. Pengaruh pengkomposisian dan penyimpanan dingin daging lumat ikan cucut pisang (Charharinus falciformis) dan ikan pari kelapa (Tryghon sephen) terhadap arakteristik surimi yang dihasilkan [skripsi]. Bogor : Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Yoon WB, Gunasekaran S, Park JW. 2004. Evaluating viscosity of surimi paste at different moisture content. Applied Rheology 14 2004: 133-139. Zayas JF. 1997. Functionality of Protein in Food. Berlin: Springer Verlag.
LAMPIRAN
79 Lampiran1. Lembar penilaian (score sheet) organoleptik kamaboko Lembar penilaian uji lipat kamaboko Nama Panelis
:
Tanggal Pengujian
:
Jenis contoh
:
Instruksi
: Nyatakan penilaian dengan member tanda (√) pada kolom yang disediakan
Skor 5 = Tidak retak jika dilipat seperempat lingkaran 4 = tidak retak jika dilipat setengah lingkaran 3 = retak jika dilipat setengah lingkaran 2 = putus menjadi dua bagian jika dilipat setengah lingkaran 1 = pecah menjadi bagian-bagian kecil jika ditekan dengan jari tangan
kode
Lembar penilaian uji gigit kamaboko Nama Panelis
:
Tanggal Pengujian
:
Jenis contoh
:
Instruksi
: Nyatakan penilaian dengan member tanda (√) pada kolom yang disediakan
Skor 10 = daya lenting amat sangat kuat 9 = daya lenting amat kuat 8 = daya lenting kuat 7 = daya lenting agak kuat 6 = daya lenting diterima 5 = daya lenting agak diterima 4 = daya lenting agak lemah 3 = daya lenting lemah 2 = daya lenting amat lemah 1 = tidak ada daya lenting, seperti bubur
kode
80
Lampiran 2 Data proksimat ikan mas dan ikan lele dumbo
Mince Fish
Ulangan
Kadar air (%)
Lele
1
79,4
2 Mas
Kadar abu (%)
Kadar lemak (%)
Kadar protein (%)
0,998
0,6
13,15
79,6
1,2
0,8
12,79
1
81,6
1
0,2
14,61
2
71,8
0,6
0,2
14,61
Lampiran 3 Nilai TVBN minced fish ikan mas dan ikan lele dumbo Ikan
Ulangan
Nilai TVB
Mas
1
11,76
2
11,76
1
11,76
2
12,54
Lele
Lampiran 4 Nilai pH minced fish ikan mas dan ikan lele dumbo Ikan Mas Lele
Ulangan 1 2 1 2
Kadar pH 6,41 6,24 6,25 6,28
Lampiran 5 Data hasil uji fisik pencucian surimi Parameter Kadar air Kadar Abu Kadar Protein pH Kekuatan gel (gr cm) Derajat Putih (%)
Mas1x 83,73% 0,33% 12,24%
Frekuensi Pencucian Surimi Mas 2x Mas 3x Lele 1x Lele 2x 89,28% 88,27% 82,4% 91,47% 0,43% 0,46% 0,4% 0,2% 9,68% 8,95% 10,62% 7,13%
Lele 3x 90,10% 0,19% 5,11%
6,385 912
6,485 264
6,505 264
7,56 540
7,02 96
6,48 42
32,55
40,55
43,65
27,25
32,05
35,65
81
Lampiran 6 Nilai pH surimi ikan mas dan ikan lele dumbo Lampiran 6a Nilai pH surimi ikan mas pada berbagai pencucian Pencucian
1x
2x
3x
pH surimi
6,38
6,47
6,52
6,39
6,5
6,49
6,385
6,485
6,505
Rata-rata
Lampiran 6b Nilai pH surimi ikan lele dumbo pada berbagai pencucian Pencucian
1x
2x
3x
pH surimi
7,66
7,01
6,75
7,47
7,03
6,22
7,56
7,02
6,48
Rata-rata
Lampiran 7 Data kekuatan gel surimi ikan mas dan ikan lele dumbo pada berbagai frekuensi pencucian Kode Sampel Surimi mas pencucian 1x Surimi mas pencucian 2x Surimi mas pencucian 3x Surimi lele pencucian 1x Surimi lele pencucian 2x Surimi lele pencucian 3x
Kekuatan gel (g cm) 828 996 264 264 240 288 516 564 96 96 36 48
82
Lampiran 8 Data derajat putih surimi mas dan lele dumbo berdasarkan frekuensi pencucian Kode Surimi Mas pencucian 1x Surimi Mas pencucian 2x Surimi Mas pencucian 3x Surimi lele pencucian 1 x Surimi lele pencucian 2x Surimi Lele pencucian 3x
Skala (0-110) 33,1 32,0 32,0 40,5 40,6 40,8 43,7 43,6 43,7 27,3 27,2 27,4 32,1 32,0 32,2 35,7 35,6 35,5
% 30,09 29,09 29,09 36,82 36,91 37,09 39,73 39,64 39,73 24,82 24,73 24,91 29,18 29,09 29,27 32,45 32,36 32,27
Lampiran 9 Hasil analisis ragam dan uji lanjut Tukey pengaruh frekuensi pencucian ikan lele Lampiran 9a Hasil analis ragam nilai pH frekuensi pencucian ikan lele Sumber keragaman Antara kelompok Dalam kelompok Total
JK 1,166 ,159 1,325
db
Kt 2 3 5
,583 ,053
F Hit 11,025
F tab. ,041
Fhit>Ftab = berbeda nyata Lampiran 9b Uji lanjut Tukey terhadap nlai pH frekuensi pencucian ikan lele Selang kepercayaan = .05 pencucian pencucian 3 kali pencucian 2 kali pencucian 1 kali Sig.
ulangan 2 2 2
1 6,4850 7,0200 ,195
2 7,0200 7,5650 ,188
83 Lampiran 9c Hasil analisis ragam kadar PLG surimi ikan lele pada berbagai frekuensi pencucian Sumber keragaman Antara kelompok Dalam kelompok Total
JK 15,826 ,032 15,858
db
KT 2 3 5
7,913 ,011
Fhit 732,667
F tab ,000
Fhit>Ftab = berbeda nyata Lampiran 9d
Uji Lanjut Tukey terhadap kadar PLG surimi ikan lele pada berbagai frekuensi pencucian Selang kepercayaan = .05
pencucian pencucian 3x pencucian 2x pencucian 1x Sig.
Lampiran 9e Sumber keragaman Antar kelompok Dalam kelompok Total
ulangan
1 1,0600
2 2 2
2
3
1,5400 1,000
1,000
4,7200 1,000
Hasil analisis ragam kekuatan gel frekuensi pencucian surimi lele JK 298704,00 0 1224,000 299928,00 0
Db
Kt 2
149352,000
3
408,000
F hit 366,059
F tab ,000
5
Fhit>Ftab = berbeda nyata Lampiran 9f
pencucian pencucian 3 pencucian 2 pencucian 1 Sig.
Hasil uji Tukey kekuatan gel surimi ikan lele pada berbagai frekuensi pencucian ulanga n 2 2 2
Selang kepercayaan = .05 1 2 42,0000 96,0000 540,0000 ,146 1,000
Lampiran 9g Analisis ragam derajat putih surimi ikan lele pada berbagai frekuensi pencucian Sumber keragaman Antar kelompok Dalam kelompok
Jk 71,040 ,015
Db 2 3
Kt 35,520 ,005
F hit 7104,000
F tab ,000
84 Total
71,055
5
Lampiran 9h Uji lanjut Tukey derajat putih surimi ikan lele pada berbagai frekuensi pencucian Selang kepercayaan = .05 pencucian pencucian 1 kali pencucian 2 kali pencucian 3 kali Sig.
N 2 2 2
1 27,2500
2
3
32,0500 1,000
35,6500 1,000
1,000
Lampiran 10 Hasil analisis ragam dan uji lanjut Tukey pengaruh frekuensi pencucian ikan mas Lampiran 10a Hasil analisis ragam pH surimi ikan mas pada berbagai frekuensi pencucian Sumber keragaman Antara kelompok Dalam kelompok Total
JK ,017 ,001 ,017
Db
Kt 2 3 5
,008 ,000
F hit 26,105
F tab ,013
Fhit>Ftab = berbeda nyata Lampiran 10b Hasil uji Tukey pH surimi ikan mas pada berbagai frekuensi pencucian Selang kepercayaan = .05 pencucian pencucian 1 kali pencucian 2 kali pencucian 3 kali Sig.
ulangan 2 2 2
1 6,3850
1,000
2 6,4850 6,5050 ,565
Lampiran 10c Hasil analisis ragam kelarutan PLG surimi ikan mas pada berbagai frekuensi pencucian Sumber keragaman Antara kelompok Dalam kelompok Total
JK 11,410 ,181 11,591
Fhit>Ftab = berbeda nyata
db
KT 2 3 5
5,705 ,060
F hit 94,454
F tab ,002
85 Lampiran 10d Uji lanjut Tukey PLG surimi ikan lele pada berbagai frekuensi pencucian Selang kepercayaan = .05 pencucian pencucian 3x pencucian 2x pencucian 1x Sig.
ulangan
1 3,2400 3,2900
2 2 2
2
6,1900 1,000
,978
Lampiran 10e Hasil analisis ragam kekuatan gel surimi ikan mas pada berbagai frekuensi pencucian Sumber keragaman Antara kelompok Dalam kelompok Total
JK 559872,00 0 15264,000 575136,00 0
Db
KT 2
279936,000
3
5088,000
Fhit 55,019
F tab ,004
5
Fhit>Ftab = berbeda nyata Lampiran 10f Hasil uji Tukey kekuatan gel surimi ikan mas pada berbagai frekuensi pencucian Selang kepercayaan= .05 pencucian pencucian 2 kali pencucian 3 kali pencucian 1 kali Sig.
Ulangan 2 2 2
1 264,0000 264,0000 1,000
2
912,0000 1,000
Lampiran 10g Hasil analisis ragam derajat putih surimi ikan mas pada berbagai frekuensi pencucian Sumber keragaman Between Groups Within Groups Total
JK 131,213 ,615 131,828
Fhit>Ftab = berbeda nyata
Db 2 3 5
KT 65,607 ,205
Fhit 320,033
F tab ,000
86 Lampiran 10h Hasil uji lanjut Tukey derajat putih surimi ikan mas pada berbagai frekuensi pencucian Selang kepercayaan = .05 pencucian pencucian 1 kali pencucian 2 kali pencucian 3 kali Sig.
Ulangan 2 2 2
1 32,5500
2
3
40,5500 1,000
43,6500 1,000
1,000
Lampiran 11 Data kekuatan gel surimi ikan mas dan lele berbagai komposisi Kode Sampel Surimi Mas 1 Lele 1
Kekuatan gel 792 792 744 792 804 672
Surimi Mas 1 Lele 2 Surimi Mas 2 Lele 1
Lampiran 12 Hasil analisis ragam dan uji lanjut Tukey surimi komposisi mas dan lele Lampiran 12a Hasil analisis ragam kekuatan gel surimi komposisi mas dan lele (M1L1) Sumber keragaman Between Groups Within Groups Total
JK 2928,000 9864,000 12792,000
Db
KT 1464,000 3288,000
2 3 5
F hit ,445
F tab ,677
Fhit>Ftab = berbeda nyata Lampiran 12b Hasil uji lanjut Tukey kekuatan gel surimi komposisi mas dan lele kode
Ulangan
Selang kepercayaan = .05 1
M2L1 M1L2 M1L1 Sig.
2 2 2
738,0000 768,0000 792,0000 ,655
87 Lampiran 13 Hasil analisis ragam dan uji Tukey surimi komposisi (M1L1) pada suhu dingin Lampiran 13a Hasil analisis ragam pH surimi komposisi pada penyimpanan suhu dingin Sumber keragaman Antara kelompok Dalam kelompok Total
JK 11,365 ,037 11,401
Db
KT 5 6 11
2,273 ,006
F hit 373,630
F tab ,000
Fhit>Ftab = berbeda nyata Lampiran 6b Hasil uji lanjut Tukey pH surimi komposisi (M1L1) Selang kepercayaan = .05 hari hari ke 10 hari ke 6 hari ke 8 hari ke 4 hari ke 2 hari ke 0 Sig.
Ulangan 2 2 2 2 2 2
1 4,7450
2
3
4
5,2200 5,2200 5,2600 6,9250 1,000
,994
1,000
7,3300 1,000
Lampiran 14 Hasil analisis ragam dan uji Tukey TVBN surimi komposisi pada penyimpanan suhu dingin Lampiran 14a Hasil analisis ragam TVB surimi komposisi pada penyimpanan suhu dingin Sumber keragaman Antara kelompok Dalam kelompok Total
JK 1536,170 2,872 1539,042
Db
KT 307,234 ,479
5 6 11
F hit 641,820
F tab ,000
Fhit>Ftab = berbeda nyata Lampiran 14b Hasil uji lanjut TVB surimi komposisi pada penyimpanan suhu dingin Selang kepercayaan = .05 hari hari ke 0 hari ke 2 hari ke 4 hari ke 6 hari ke 8 hari ke 10 Sig.
Ulangan 2 2 2 2 2 2
1 5,7050 6,4550 8,4000
2
3
4
8,4000 10,0100 23,9350
,055
,309
1,000
36,4600 1,000
88 Lampiran 15 Hasil analisis ragam dan uji Tukey kadar PLG surimi komposisi pada penyimpanan suhu dingin Lampiran 15a Hasil analisis ragam kadar PLG surimi komposisi pada penyimpanan suhu dingin Sumber keragaman Antara kelompok Dalam kelompok Total
JK 21,905 ,100 22,005
Db
KT 5 6 11
4,381 ,017
F hit 264,052
F tab ,000
Fhit>Ftab = berbeda nyata Lampiran 15b Hasil uji lanjut Tukey PLG surimi komposisi pada penyimpanan suhu dingin Selang kepercayaan = .05 hari hari ke 10 hari ke 8 hari ke 6 hari ke 4 hari ke 2 hari ke 0 Sig.
Ulangan 2 2 2 2 2 2
1 ,7300 1,1850
2
3
4
2,4600 3,2850
,081
1,000
1,000
4,0200 4,3250 ,296
Lampiran 16 Hasil analisis ragam dan uji Tukey kekuatan gel surimi komposisi pada penyimpanan suhu dingin Lampiran 16a Sumber keragaman Between Groups Within Groups Total
Hasil analisis ragam kekuatan gel surimi komposisi pada penyimpanan suhu dingin JK 1026522,6 67 16848,000 1043370,6 67
Fhit>Ftab = berbeda nyata
Db
KT 5
205304,533
6
2808,000
11
F hit 73,114
F tab ,000
89 Lampiran 16b Hasil uji lanjut Tukey kekuatan gel surimi komposisi pada penyimpanan suhu dingin Selang kepercayaan= .05 hari hari ke 10 hari ke 8 hari ke 6 hari ke 4 hari ke 2 hari ke 0 Sig.
Ulangan 2 2 2 2 2 2
1 228,0000 370,0000
2
3
370,0000 492,0000
,210
4
492,0000 666,0000
,317
5
666,0000 720,0000
,107
,896
1140,0000 1,000
Lampiran 17 Hasil analisis ragam dan uji Tukey derajat putih surimi komposisi selama penyimpanan suhu dingin Lampiran 17a Hasil analisis ragam derajat putih surimi komposisi selama penyimpanan suhu dingin Sumber keragaman Between Groups Within Groups Total
JK 68,605 ,740 69,345
Db
KT 13,721 ,123
5 6 11
F Hit 111,199
F Tab ,000
Fhit>Ftab = berbeda nyata Lampiran 17b Hasil uji lanjut Tukey derajat putih surimi komposisi selama penyimpanan suhu dingin Selang kepercayaan = .05 hari hari ke 10 hari ke 8 hari ke 6 hari ke 4 hari ke 2 hari ke 0 Sig.
Ulangan 2 2 2 2 2 2
1 28,0900
2
3
4
29,8500 31,3050
1,000
1,000
1,000
33,5450 33,9850 34,7600 ,088
Lampiran 18 Hasil analisis ragam dan uji Tukey WHC surimi komposisi selama penyimpanan suhu dingin Lampian 18a Hasil analisis ragam WHC surimi komposisi masa selama penyimpanan suhu dingin Sumber keragaman Between Groups Within Groups Total
JK 2785,055 50,994 2836,049
Db 5 6 11
KT 557,011 8,499
Fhit 65,538
F tab ,000
90 Lampiran 18b Hasil uji lanjut Tukey WHC surimi komposisi selama penyimpanan Selang kepercayaan = .05 hari hari ke 10 hari ke 8 hari ke 6 hari ke 4 hari ke 0 hari ke 2 Sig.
Ulangan
1 36,6750 38,9000 39,3850
2 2 2 2 2 2
2
3
57,2000
,925
1,000
71,3050 72,7400 ,995
Lampiran 19 Hasil uji Kruskal-Wallis uji lipat surimi komposisi selama penyimpanan dingin hari ujilipat
hari ke 0 hari ke 2 hari ke 4 hari ke 6 hari ke 8 hari ke 10 Total
panelis 10 10 10 10 10 10 60
Mean Rank 44,25 43,10 40,75 28,95 15,90 10,05
Test Statistics(a,b) ujilipat 38,219 5 ,000 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: hari Chi-Square df Asymp. Sig.
Lampiran 19a Sumber keragaman Antara kelompok Dalam kelompok Total
Hasil analisis ragam uji lipat surimi komposisi selama penyimpanan dingin JK 80,733 40,000 120,733
Fhit>Ftab = berbeda nyata
Db 5 54 59
KT 16,147 ,741
F hit 21,798
F tab ,000
91
Lampiran 19b Hasil uji lanjut Multiple-Comparison terhadap uji lipat surimi komposisi selama penyimpanan dingin Selang kepercayaan = .05 hari hari ke 10 hari ke 8 hari ke 6 hari ke 4 hari ke 2 hari ke 0 Sig.
Panelis 10 10 10 10 10 10
1 1,7000 2,4000
2
3
2,4000 3,5000
,463
,063
4
3,5000 4,5000 4,6000 ,063
4,5000 4,6000 4,7000 ,995
Lampiran 20 Hasil uji Kruskal-Wallis uji gigit surimi komposisi selama penyimpanan dingin hari ujigigit
panelis hari ke 0 hari ke 2 hari ke 4 hari ke 6 hari ke 8 hari ke 10 Total
10 10 10 10 10 10 60
Mean Rank 51,15 41,00 37,60 27,65 15,50 10,10
Test Statistics(a,b) ujigigit Chi-Square 41,220 df 5 Asymp. Sig. ,000 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: hari
Lampiran 20a Hasil analisis ragam uji lanjut terhadap uji gigit surimi komposisi selama penyimpanan dingin. Sumber keragaman Between Groups Within Groups Total
JK 370,733 157,200 527,933
Fhit>Ftab = berbeda nyata
Db 5 54 59
KT 74,147 2,911
F hit 25,470
F tab ,000
92
Lampiran 20b Hasil uji lanjut Multile-Comparison terhadap uji gigit surimi komposisi selama penyimpanan dingin Selang kepercayaan = .05 hari hari ke 10 hari ke 8 hari ke 6 hari ke 4 hari ke 2 hari ke 0 Sig.
panelis 10 10 10 10 10 10
1 1,9000 2,7000
2
3
2,7000 4,8000
,899
4
4,8000 6,7000
,081
,145
6,7000 7,2000 8,9000 ,060
Lampiran 21 Hasil analisis ragam dan uji Tukey total mikroba surimi komposisi selama penyimpanan suhu dingin Lampiran 21a Hasil analisis ragam total mikroba surimi komposisi selama penyimpanan suhu dingin Sumber keragaman Antara kelompok Dalam kelompok Total
JK 8,792 ,168 8,960
Db
KT 5 6 11
1,758 ,028
F Hit 62,704
F tab ,000
Fhit>Ftab = berbeda nyata Lampiran 21b. Hasil uji lanjut Tukey total mikroba surimi komposisi selama penyimpanan suhu dingin Selang kepercayaan = .05 hari hari ke 0 hari ke 2 hari ke 4 hari ke 6 hari ke 8 hari ke 10 Sig.
panelis 2 2 2 2 2 2
1 4,7900 4,9600
2
3
5,7950 6,1400 6,1400 ,897
,409
7,3700 1,000
93
Lampiran 22 Gambar kamaboko surimi komposisi mas dan lele
Lampiran 23. Gambar rheoner (alat pengukur kekuatan gel surimi)
94
Lampiran 24 Gambar whitenessmeter (alat pengukur derajat putih surimi)