Betapa Nikmat; ketika DUPAK Widyaiswara Terbuahi
........“allama bil-qalam”... !? Dimuat dalam Buletin SILVIKA, Edisi 53/IX/2007.
Summary This article entitled “Betapa nikmat; ketika DUPAK Widyaiswara terbuahi ...“allama bil-qalam”... !? is aimed to motivate Ministry of Forestry’s Widyaiswara in producing academic writings. To start with, this article is initiated with proverbs of scientists then follows the discussion of the development of science. Principally, the recent science is the heritage of scientists in the past in the forms of writing products. This happens due to the scientists’ high motivation in producing their products in the forms of academic written expression. In parallel with this idea, it seems appropriate if MENPAN (the Ministry of Government Human Resources Empowerment) obligates Widyaiswara Madya and Utama to develop themselves and their professionalism through the production of academic writings which are proven in their DUPAK (Credit Point Achievement Proposal). Start Reading and Writing whatever we like and then publish them are not impossible. At this well-developed era, many media are well provided to support these activities, even in the Centre for Forestry Education and Training and its Forestry Education and Training Units. To finish, this article provides discussions of the success of both national and international writers. Their long journeys are sometimes started from very simple starting points such as participating in some writing contests. However, these small starts make them great writers. From the writer’s point of view, it seems not exaggerating if the Centre for Forestry Education and Training continuously facilitate forum of academic writing contests in the topic of forestry education and training development. This is aimed to motivate widyaiswaras to produce academic writing papers and articles. Through performing these such activities, in one hand widyaiswaras are supported to write and on the other hand valuable heritage for the next generation is also provided.
Sebelum mengupas topik di atas, kiranya tepat kita mendalami makna puisi yang ditulis Az-Zamakhsyari seorang penafsir alQur’an (dikutip dari terjemahan buku “DON’T BE SAD” oleh DR. Aidh bin Abdullah al-Qarni, 2004), sebagai berikut :
- 69 -
Malam-malam yang aku lalui untuk mengkaji suatu pengetahuan, lebih aku cintai daripada bersama atau bercumbu rayu dengan gadis yang menawan. Keasyikmasyukanku ketika memahami sebuah pelajaran yang sulit, serasa lebih lezat kurasakan dibandingkan minuman tersegar sekalipun. Sungguh terasa nyaman di telingaku suara gemerisik tanganku, menepuk-nepuk debu di atas kertas-kertas berserakan, dibandingkan bunyi gendang yang ditabuh oleh seorang wanita. Wahai yang mencoba meraih tingkatanku, dengan pemikiran yang bergairah, betapa jurang perbedaan menganga, antara orang yang merasakan kepedihan mendaki terus-menerus, dan antara dia yang mendaki dan sampai kepuncak tanpa kelelahan. Apakah aku bekerja keras sepanjang malam, di saat Anda tertidur lelap, padahal Anda berharap mengungguliku ? Luar biasa !!! Mantap, betapa mulia kekayaan maknanya, dan betapa bahagia gambaran jiwa yang terkandung di dalam untaian kata-katanya. Terkait dengan itu, pada alinea-alinea di bawah ada kutipan berbagai tokoh (dari berbagai sumber) yang maknanya lebih hebat lagi, lebih menyegarkan, menyemangati, bahkan membahagiakan penulis, sudah tentu para Widyaiswara untuk bisa terus-menerus berkarya. Marilah kita simak :
“Aku dapat tidur di suatu hari dengan nyenyak bila telah menyelesaikan jadwal menulis yang kubuat untukku di hari itu” (Stephen King).
- 70 -
"Not because writing is much pleasure; but not to write is pain" (Frank Laurance Lukas). "Yes, there is a Nirvanah; it is leading your sheep to a green pasture, and in putting your child to sleep, and in writing the last line of your poem" (Kahlil Gibran). "Ilmu itu tiang untuk kesempurnaan akal. Bertambah luas akal, bertambah luaslah hidup, bertambah datanglah bahagia. Bertambah sempit akal, bertambah sempit pula hidup, bertambah datanglah celaka" (Prof. Dr. Hamka). "Barangsiapa sedang mencari ilmu, maka sebenarnya ia sedang mencari surga, dan barangsiapa mencari kemaksiatan, maka sebenarnya dia sedang mencari neraka" (Ali bin Abi Thalib). "Ilmu lebih utama daripada harta, Ilmu adalah pusaka para Nabi, sedang harta adalah pusaka Karun, Fir'aun, dan lainlain" (Ali bin Abi Thalib). Kita cermati perkataan Ali bin Abi Thalib yang dapat mengobarkan semangat tulis-menulis, ± artinya; “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya”. Sudah tentu yang dimaksud “ilmu” di sini sangat luas dan dalam maknanya. Sehingga penulisannyapun sangat tidak terbatas. Pada sekitar abad 11, di jasirah Arab ramai bentuk “mushaf” (bahasa Arabnya; tulisan di kulit-kulit binatang, tulang, pelepah korma, dsb.), dan kini ada bentuk buku, naskah, makalah, ada juga novel, cerpen, puisi, liputan, opini, serta berbagai jenis dan bentuk artikel yang ditulis di media koran, majalah, tabloid, buletin, jurnal, dan ada juga di media elektronik serta di web site-web site internet. Yang jelas, sejak detik awal bersinarnya jagad raya dengan amanat baca-tulis yang diterima Rasulullah SAW. pada usia ± 40 tahun di Gua Hira, tepatnya pada tanggal 6 Agustus 611,
- 71 -
pancarannya hebat dan amat luar biasa. Amanat wahyu tersebut antara lain menjelaskan tentang membaca (“iqra”) dan menulis (“allama bil-qalam”). Khusus tentang menulis, yang pada dasarnya adalah tugas utama dan pertama manusia, sebagaimana dalam Surat Al-Alaq ayat 4, ± artinya : “Yang mengajarkan (menulis) dengan pena”, dan dilanjutkan ayat 5, ± artinya : “Yang mengajarkan kepada manusia apa-apa yang tiada diketahuinya”. Demikianlah lambang kemuliaan ilmu yang di dalamnya terangkum makna membaca, mengkaji, menyelidik, berpikir, dan menuliskannya. Kita faham membaca dan menulis adalah sumber pertumbuhan ilmu pengetahuan dan pemicu utama berkembangnya peradaban manusia. Membaca, berarti “mengisi perbendaharaan data dan informasi” ke dalam otak. Jika seseorang “malas” membaca, berarti membiarkan otaknya kosong tidak diisi nilai tambah guna produktivitas serta kecerdasannya. Menulis pada dasarnya identik dengan proses berpikir, semakin teratur, rapi dan jernih pikiran seseorang, maka semakin teratur, semakin rapi dan makin jernih pulalah tulisan-tulisan yang dihasilkannya. Melalui tulisan, cara dan proses berpikir seseorang dapat terlihat dan sekaligus terdokumentasikan. Bahkan mutu tulisan dapat menggambarkan kecerdasannya. Melalui tulisan pulalah seseorang dapat mengubah pandangan yang lainnya, dapat mempengaruhi pendapat masyarakat, mengkomunikasikan ide dan gagasannya, mewariskan ilmu dan pengalamannya. Selanjutnya, Rasulullah SAW menegaskan pentingnya mengamalkan ilmu yang telah dimiliki, sabdanya: "Barangsiapa mengamalkan apa-apa yang ia ketahui, maka Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya, dan Allah akan menolong dia dalam amalan nya sehingga ia mendapatkan surga. Dan barangsiapa yang tidak mengamalkan ilmunya maka ia tersesat oleh ilmunya itu. Dan Allah tidak menolong dia dalam amalannya sehingga ia akan mendapatkan neraka".
- 72 -
Betapa bahagia jika kelak jauh dari api neraka !!! Tentu tekad menulisnya harus ibadah. Marilah kita simak sabda Rasulullah SAW ± artinya : ”Bila seseorang telah meninggal, terputuslah untuknya pahala segala amal kecuali dari tiga hal yang tetap kekal; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang senantiasa mendo’akannya” (riwayat Bukhari dan Muslim). Sehubungan dengan itu, ikrarkan dalam hati dan jalankan dengan iklas kegiatan tulis-menulis, karena di sana ada kenikmatan yang sangat membahagiakan. Tepatlah kalau Wijaya (2005) menguatkan hal ini; “Jika Anda mencintai pekerjaan menulis, kalau Anda beruntung Anda akan menjadi kaya dari menulis. Atau jika belum, setidaknya Anda telah memperoleh kebahagiaan dari menulis”.
Baca-tulis itu NGELMU (angel – olehe ketemu). Hampir semua cerdik pandai mengatakan; memperoleh ilmu harus dengan kemauan keras, senang dan mesti rajin mencarinya. Coba kita kaji perkataan Imam Syafi'i berikut; ”Kamu tidak akan memperoleh ilmu, kecuali dengan enam hal: kecerdasan, gemar belajar, sungguh-sungguh, memiliki biaya, bergaul dengan guru, dan perlu waktu lama”. Boleh jugalah kita mengingat kembali dongeng-dongen orang tua dahulu. Alkisah !!!, tentang jagoannya raja-raja Jawa: ......sebelum menjadi satria jagoan mereka harus bertapa, ”ngelmu”, nyepi dan menyendiri, baik di hutan-hutan, di gua-gua, di bawah pohon besar lebat dan rindang, ataupun di tempat-tempat nun jauh di pucuk-pucuk gunung (duduk simpuh-bersila selama 40 hari tiada henti) agar menjadi satria jagoan yang digdaya. Apabila selama proses pertapaannya terganggu/tergoda, maka gagallah kesatriaan yang didambakan. Gangguan dan godaan yang membatalkan kesuksesan jadi satria di era ICT (Information and Communication Technology) kini tentu berbeda, bukan lagi oleh jelmaan setan yang gundul atau
- 73 -
setan yang nggombal seperti wewe-gombel. Usaha keras, rajin, tekun, bersemangat, pantang menyerah, pantang putus asa dan menjauhi nafsu-nafsu duniawilah yang akan menjadikan satria digdaya. Itulah gambarannya, bahwa ”Ngelmu iku kelakone kanthi laku”, bahasa Indonesianya; menguasai ilmu itu perlu usaha keras. Pada era ICT saat ini, perkembangan IPTEK sangat pesat, mulai semaraknya play-group sampai dengan S-1, S-2, dan S-3 menjamur di mana-mana. Apabila kita cermati perkembangan itu mustahil jika ilmuwan-ilmuwan pendahulu tidak mendokumentasikan tulisan-tulisannya. Untuk itu wajiblah kita bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, terimakasihlah kepada pendahulu yang telah mewariskan ilmu pengetahuannya. Betapa tidak terbayangkan, apa jadinya bila para pendahulu tidak rajin menuliskan pengetahuannya? Bersama perkembangan itulah, kita sudah mulai meninggalkan corat-coret kertas putih, cukup dengan menatap putihnya layar komputer sambil jarinya meng-klik mouse dan mengetuk-ngetuk key-board. Menguasai ilmu pengetahuan dan mampu mengamalkan sampai dengan akhir hayat adalah tujuan mulia yang ingin kita semua mencapainya. Untuk itu, para Widyaiswarapun mestilah bersyukur dengan cara rajin menulis, karena menulis pada hakekatnya bentuk rasa syukur, bentuk pengabdian (ibadah) dan bentuk amaliah di dunia. Ingat !!! pengembangan profesi dengan cara menulis telah menjadi amanat baru, sebagai panggilan jaman dan wajib-ain. Coba perhatikan Pasal 12 Ayat (6) Permenpan Nomor : PER/66/M.PAN/6/2005 tentang Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya, bahwa: “Widyaiswara Madya yang akan naik pangkat menjadi Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b sampai dengan Widyaiswara Utama pangkat Pembina Utama golongan ruang IV/e, dari angka kredit kumulatif disyaratkan paling rendah 12 angka kredit harus berasal dari kegiatan pengembangan profesi”.
- 74 -
Dengan menulis (ilmiah dan ilmiah populer) secara tidak sadar Widyaiswara yang berilmu dan ahli di bidangnya dapat beramal, berbagi ilmunya, ikhlas dan tangguh berkontribusi bagi peradaban manusia, menyingkirkan jauh-jauh kebodohan, dan bermaksud memperkaya bekal masyarakat banyak, terlebih lagi bagi anak cucu kelak. Harapannya, anak cucu akan lebih maju daripada kemajuan IPTEK saat ini. Dengan begitulah, mereka akan bangga terhadap yang namanya Widyaiswara, bangga terhadap keprofesionalannya, bangga terhadap kelompok pemikir, kelompok yang senang beramal, dan merupakan kelompok yang tidak pelit akan ilmu dan pengetahuan. Jika begini yang ada, atau mesti begitulah siklus profesionalisme, maka betapa maksimalnya kebahagiaan itu, dan nikmatnya kebahagiaan dari buah amal peribadatan itu. Semoga begitu !!! Coba kita merenung lagi, renungkan kembali makna sebuah hadis riwayat Imam Bukhari ini. Dari Anas r.a., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya sebagian dari tanda-tanda kiamat adalah dihilangkannya ilmu, ditetapkannya kebodohan, diminumnya khamer dan nampaknya perzinaan".
Menulis populer,..memang cara cerdas beramal. “Ilmu tanpa amal, bak pohon tanpa buah”, ...... “Ilmu tanpa iman bagaikan pelita di tangan pencuri”.... “Iman tanpa ilmu sama dengan pelita di tangan bayi”.... “Teman yang paling mulia sepanjang zaman adalah buku”,..... Demikian beberapa ungkapan dari Arab yang menggambarkan tentang ilmu.
- 75 -
Ilmu berhubungan erat dengan buku, buku tidak berisi tanpa tulisan, buku itu akan tetap sebagai buku jika tidak ada manusia pembaca yang akan memproses pengamalannya. Untuk mengisi awalnya keterkaitan siklus itu, coba kita camkan sekali lagi; apalah jadinya bila para ilmuwan terdahulu tidak rajin menuliskan pengetahuannya? Nah !!! kembali ke “allama bil-qalam”, Prof Dr. Hamka sebagai ulama, sastrawan, pemikir dan sekaligus penulis pernah berkata; “jika seseorang sudah mencapai tahap membaca yang tinggi, secara semula jadi akan terpanggil untuk memindahkan ilmu pengetahuan yang didapatinya dalam bentuk penulisan”. Menulis merupakan salah satu bentuk pengabdian (ibadah), merupakan cermin tanggungjawab moral ilmuwan. Sampaikanlah ilmu kepada yang membutuhkan. Tentu ilmu yang dibutuhkan masyarakat adalah ilmu penerang hidup, yaitu ilmu yang bermanfaat, bukan ilmu yang membuat kekacauan, menghembuskan fitnah, dan bukan pula ilmu yang membuat masyarakat merana. Sebagian orang mengatakan; “menulis itu mudah”. Sebagian lagi menyatakan; “menulis itu sulit”. Kuncinya: banyak-banyaklah membaca. Membaca dan implementasikan dengan menulis. Banyak membaca dan banyak menulis. Berbagai pengalaman membuktikan, hanya pembaca yang baiklah yang mampu menulis dengan baik. Melalui kegiatan membacalah bisa mendapatkan ilmu. Seperti kata pepatah “buku adalah gudang ilmu dan membaca adalah kuncinya”. Nah !!! jika kita hendak meningkatkan kemampuan menulis, mestilah “MAU MEMBACA”, teruskan dengan “MAU MENULIS” dengan isi tulisan “APA SAJA YANG DISUKAI”. Membacalah (”iqra”) sebanyak-banyaknya sehingga mempunyai banyak perbendaharaan untuk ditulis, giliran berikutnya yaitu “menulislah dengan isi apa saja yang disukai”, akhirnya kita
- 76 -
akan benar-benar mampu mengekspresikan diri dengan cara menulis (“allama bil-qalam”). . Karya tulis ilmiah Widyaiswara sudah tentu tidak hanya sekedar demi angka kredit. Apalagi hanya ingin diaku sebagai penulis hebat. Tetapi Widyaiswara haruslah terus meningkatkan mutu profesionalismenya secara berkesinambungan. Harus cinta menulis. Love it !!! Percayalah, bahwa karya-karya tulis itu akan menjadi bukti andil dalam pengamalan ilmu, penyebarluasan informasi yang dipandang amat baik. Sadar atau tidak, karya tulis Widyaiswara pasti akan menjadi sangat bermakna bagi masyarakat luas, dan kepuasan batin penulispun akan dirasakan. Memperkenalkan ilmu atau pemikiran-pemikiran baru dan sekaligus mengaitkan dengan kebutuhan masyarakat luas/awam (sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui) dapat dilakukan melalui penulisan ilmiah populer. Gaya penulisannya tidak “academic-heavy”, tidak terlalu “scientific-oriented”, tidak “njelimet”, bahasanyapun cukup yang populer dan mudah dimengerti umum, bila perlu tambahkan unsur-unsur entertainment. Konon khabarnya, di negeri tercinta ini banyak kelompok profesional, banyak cendekiawan, dan banyak orang pandai, tetapi berapa banyak yang ikhlas mau berbagi ilmu !!?? Betul sekali kabar di atas !!! Coba kita lihat produktivitas para Pegawai Negeri Sipil. Coba kita lihat Widyaiswara. Coba kita ingat-ingat teks nomor 5 dari “Panca Prasetya” (“Sapta Prasetya KORPRI-pun boleh”) Korps kita, korpnya Widyaiswara, ...“KAMI ANGGOTA KORPRI ADALAH INSAN YANG BERIMAN DAN BERTAQWA KEPADA TUHAN YANG MAHA ESA: .....nomor 5. BERJUANG DENGAN JUJUR MENEGAKAN KEADILAN, MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN DAN PROFESIONALISME. Pada tulisan saya di Silvika edisi 41/2004 dan di Cahaya Wana volume 8/2006, nampak bahwa hasil-hasil penilaian DUPAK
- 77 -
Widyaiswara lingkup Pusat Diklat Kehutanan sampai September 2004, belum seorangpun berhasil menyusun tulisan ilmiah bernilai 12.5 (duabelas setengah). Secara umum kita juga faham bahwa guru-guru di setiap Sekolah Menengah di negeri kita ini menumpuk pada golongan/ruang IV/a. Konon kegiatan menulisnya lemah, kurang ada motivasi, dan dikatakan memprihatinkan oleh SULISTYOWATI (guru SMAN 20 Bandung). Hallo...hallo..bagaimana Widyaiswara? Kita sudah berubah, paradigma kita sekarang kan “Point-coin-dan jannatun’naim” (presentasi Koordinator Wi pada Rakontek di Makassar tahun 2007). Alhamdulillah !!! Kita semua tahu kok bahwa kualifikasi profesional adalah wajib melekat (wajib-ain) pada setiap pelaksanaan tugas Widyaiswara. Hal ini tersirat di dalam Pasal 5 Kepres Nomor 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, pelaksanaan tugas dan fungsi Jabatan fungsional Keahlian harus didasarkan pada ilmu pengetahuan yang didapatkan dari pendidikan yang berkelanjutan secara sistematis yang pelaksanaan tugasnya meliputi penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, pengembangan dan penerapan konsep, teori, ilmu dan seni untuk pemecahan masalah serta memberikan pengajarannya dan terikat etika profesi. Kira-kira; “Menulis ilmiah itu adalah mengembangkan profesi, setelah itu profesionallah kita”. Setuju tho,...sangat setuju !!! Profesional dari sudut agama Islam yaitu : "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dengan barisan yang kokoh, bagaikan sebuah bangunan yang terkonstruksi dengan rapi" (Al Qur’an, Surat As-Shaf, Ayat 4). Dalam penerapan pekerjaan yang dilakukan secara profesional, maka sebuah Hadis, ± artinya : "pekerjaan itu dilakukan sesuai dengan keahliannya dan dikerjakan secara sungguh-sungguh (itqan) dan rapi (ihsan)". Satu lagi Hadis Riwayat Bukhari yang sering kita dengar dan erat kaitannya dengan bahasan kita, ±
- 78 -
artinya : "Apabila perkara (urusan) diserahkan kepada selain ahlinya, maka nantikanlah kiamat".
Betapa nikmat,... ketika tulisan memasyarakat. Hadis Abdullah bin Mas'ud r.a. katanya: Rasulullah s.a.w pernah bersabda: “Tidak boleh iri hati kecuali terhadap dua perkara yaitu terhadap seseorang yang dikurniakan oleh Allah harta kekayaan tapi dia memanfaatkannya untuk urusan kebenaran (kebaikan). Juga seseorang yang diberikan ilmu pengetahuan oleh Allah lalu dia memanfaatkannya (dengan kebenaran) serta mengajarkannya kepada orang lain”. Ketika tulisan kita dapat dimuat di media massa, tidak terhitung keuntungan yang bisa diperoleh. Selain masyarakat mendapatkan manfaat setelah membacanya, kita juga akan makin dikenal luas, bisa pula menambah credit point, memantapkan kredibilitas, membangun “personal-image” dan bisa-bisa layak mendapatkan sejumlah honor/royalty. Karenanya, tidak hanya seorang penulis menuntut agar maju terus berkarya, lebih banyak lagi, lebih mantap, tajam, akurat, lebih mudah difahami dan dimengerti masyarakat luas. Kenyataannya menulis bisa jadi profesi yang sungguh sangat menguntungkan. Kita boleh ”iri” dengan kenikmatan yang datang bertubi-tubi. Sebagai contohnya; dikutip dari J. K. Rowling-Wikipedia, the free encyclopedia : … bahwa ”HARRY POTTER” karya tulis yang telah mengguncang dunia, terjual lebih dari 325 juta copi, terbit di sekitar 200 negara, diterjemahkan dalam 61 bahasa. Dialah Joanne Kathleen Rowling orang Inggris yang benar-benar terpuruk dalam kemiskinan, ke mana-mana berjalan kaki karena tidak kuasa membeli karcis bis kota. Ketika duduk termenung menunggu kereta yang mogok tahun 1990, ide tentang kisah Harry Potter muncul di benaknya. Ia sering menyelesaikan tulisannya di sebuah kafe sambil menina-bobokan bayinya, karena tempat tinggalnya sempit dan tidak memiliki pemanas ruangan. Si
- 79 -
pemilik kafe membiarkannya meski ia cuma memesan secangkir kopi dan segelas air putih. Tahun 1997 nasibnya berubah total ketika Bloomsbury Pres menerbitkan tulisan pertamanya “Harry Potter and the Philosopher`s Stone”. Buku itu sukses di seluruh dunia, begitu pula yang berikutnya. Pada tahun 2006 Majalah Forbes mengumumkan bahwa J. K. Rowling adalah perempuan entertainer terkaya kedua setelah Oprah Winfrey. Perlu difahami oleh para Widyaiswara, bahwa media massa pada umumnya menyediakan tempat cukup luas untuk pemuatan artikel-artikel IPTEK populer. Permasalahannya, bagaimana agar artikel kita dapat dimuat? Secara singkat beberapa kriteria utama artikel yang dapat dipertimbangkan; (1) Aktual dan faktual, (2) Mengandung unsur-unsur baru, kandungan ini bisa dari sudut perumusan topik dan dari data serta informasi yang disajikan, (3) Sistematika tulisan, yang secara substansial harus mengandung bagian pendahuluan, bagian isi dan bagian akhir (kesimpulan dan saran), dan (4) Gaya penulisan, hal ini terkait dengan gaya bahasa yang sederhana, populer, menarik dan tidak sulit dibaca masyarakat awam, tapi makna ilmiah yang sebenarnya tidak boleh hilang (sikap ilmiah; a. ingin tahu, b. kritis, c. obyektif, d. terbuka, e. menghargai karya orang lain, f. berani mempertahankan kebenaran, dan g. menjangkau ke depan), (5) Bahan pendukung, lengkapi data dan informasi dengan referensi, foto, gambar, grafik, ilustrasi dan tabel, dan jangan lupa (6) baca kembali sebelum dikirim, revisi bila ada kesalahan ketik, gramatika dan tata bahasa. Ayolah kita coba, kita rintis, kita mulai mengirim artikel pada media kita sendiri, baiknya menulis dengan spesialiasi kita sendiri (sesuai kompetensi/bukan sembarang tema). Sekalisekali jangan berpikir untuk apa menulis kalau tidak ada yang membaca. Karena dengan mengirim artikel yang ditolak redaksipun berarti telah menambah jumlah pembaca, paling tidak telah menjadi 2 orang yang membaca (kita dan redaktur/editor media yang menolak).
- 80 -
Media publikasi telah berkembang di lingkungan kita (Pusat Diklat dan Balai Diklat Kehutanan), dan terakreditasi. Di Pusat Diklat Kehutanan ada SILVIKA dengan ISSN 0215-2733, dan di Balai-Balai Diklat ada; CAHAYA WANA milik Balai Diklat Kehutanan Rumpin-Bogor dengan ISSN 1829-6459, ada SAWALA di Balai Diklat Kehutanan Kadipaten dengan ISSN 1693-8909, ada HIMBA ETAM di Balai Diklat Kehutanan Samarinda, dan ada INDIKA di Balai Diklat Kehutanan Makassar dengan ISSN 1907-722X.
Kemungkinan amalan menulis Widyaiswara ke depan. Memperhatikan tumbuhnya media di atas dan melihat data-data Tabel : 1 di bawah, jelas ada perkembangan menggembirakan profesi menulis Widyaiswara kita. Bila kita reka-reka; pengembangan profesi Pasal 12 Ayat (6) Permenpan Nomor : PER/66/M.PAN/6/2005 wajib 12 kredit (”tiap tahun !!??”) dari Madya s/d Utama. Ayat (7)-nya, Widyaiswara IV/e tiap tahun wajib 25 kredit berkegiatan pengembangan dan pelaksanaan diklat. Apabila setiap tahun diperkirakan bisa ikut diklat sebanyak 2 kredit (> 80 jpl) serta ikut seminar 10 kali atau 10 kredit, nada-nadanya layak jika total kredit itu ± 25-an semester). Maka angka ≈ 12 % pada Tabel : 1 di kotak pojok-bawah bisa mengindikasikan bahwa secara umum Widyaiswara menulis ilmiah populer di media massa minimal 2 artikel/semester. Lumayanlah potensi ini. Namun dengan tekad kuat, energi pendukung yang baik dari berbagai pihak tidak mustahil akan tercapai peningkatan s/d 2 kali lipat (wong hanya 2 artikel pertriwulan pada terbitan lingkungan sendiri saja kok, ....memangnya sulit !!!).
- 81 -
Tabel : 1. Rekapitulasi Rata-Rata Perolehan Angka Kredit Widyaiswara Pertama s/d Madya pada Balai-Balai Diklat Kehutanan (Nilai DUPAK Juli 2006). Widyaiswara Balai Diklat
1. P. Siantar 2. Pekanbaru 3. BogorRumpin 4. Kadipaten 5. Samarinda 6. Makassar 7. Kupang Rata-Rata
Jumlah DUPAK (orang)*
Besarnya Angka Kredit (Rata-Rata) Usulan Penetapan
Rata-Rata Kandungan Pencapaian KTI Populer** AK (%)
10 18 12 19 21 24 11
24 28 26 68 21 47 38
20 21 20 46 15 38 35
87 77 93 70 68 93 91
± 10 % ± 24 % ± 26 % ± 21 % -
-
36
27
83
≈ 12 %
Catatan : Sumber: DUPAK2 Widyaiswara BDK periode Januari 2006 s/d Juni 2006. AK = Angka Kredit DUPAK = Daftar Usulan Penetapan Angka Kredit KTI = Karya Tulis Ilmiah * Jumlah DUPAK Widyaiswara Pertama, Muda dan Madya yang mengajukan DUPAK dan dinilai oleh Tim Penilai Instansi. ** Sampel hanya pada 4 BDK dan diacak, selanjutnya dibandingkan antara Usulan Angka Kredit dari penulisan ilmiah populer terhadap jumlah total Usalan Angka Kreditnya.
Mari kembali memperhatikan kepuasan/kebahagiaan menulis dengan menyimak pendapatnya Harefa (2007); ....”belajar menulis, belajar mengarang adalah belajar mengekspresikan gagasan-gagasan yang cemerlang agar membuka peluang untuk karier yang lebih baik, membuka kesempatan untuk tampil secara berbeda, mempersiapkan warisan yang melampaui usia, membuka pintu-pintu kemungkinan dalam berbagai konteks kehidupan yang mengagumkan ini”. Nama dan kehebatan seseorang akan terus dikenang, akan terus hidup abadi sepanjang jaman, karena tulisannya. Tepatlah pedoman dari Abdullah bin Mas'ud r.a. katanya: Rasulullah s.a.w bersabda: ”tidak boleh iri hati kecuali terhadap dua perkara yaitu
- 82 -
terhadap seseorang yang dikurniakan oleh Allah harta kekayaan tapi dia memanfaatkannya untuk urusan kebenaran (kebaikan). Juga seseorang yang diberikan ilmu pengetahuan oleh Allah lalu dia memanfaatkannya (dengan kebenaran) serta mengajarkannya kepada orang lain”. Kita percaya, suatu saat nanti kondisi minat baca di Indonesia tidak rendah lagi. Percaya juga, nanti kita akan memiliki buku bestseller yang laris terjual. Yang penting, bagaimana produktivitas kita menulis? Okeylah; ayo cepat kirim tulisan terbaik kita. Ingat nilai profesional Widyaiswara akan tergambar dari hasil-hasil karya tulisan pengembangan profesinya. ”Ya Tuhanku ! Tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan” (Surat Thaha, Ayat114). Tabel : 2. Beberapa penulis buku (fiksi dan non fiksi) bestseller dunia antara tahun 1950-an s/d tahun 1990-an. N a ma P e n u l i s Buku Bestseller (fiksi) 1950-an Ernest Hemingway Boris Pasternak 1970-an Mary Stewart Erich Segal Agatha Christie 1990-an Jackie Collins Stephen King Danielle Steel Terry McMillan John Grisham Sidney Sheldon Mary Higgins Clark
Buku Bestseller (non fiksi) 1950-an Harry S. Truman Catherine Marshall 1970-an Christina Crawford Henry Kissinger Richard Nixon 1990-an Ronald Reagan John Naisbitt and Patricia Aburdene Bill Cosby Madonna Colin Powell Bill Gates Oprah Winfrey and Bob Greene
Keterangan : Fiksi adalah cerita berdasar daya rekaan. Sumber: Bestseller Index. By Cader Books. People Entertainment Almanac (http://www.Caderbooks.com/bestintro.html).
Mungkinkah tidak lama lagi situasi dan kondisi negeri kita segera berkemampuan memacu nyali para profesionalnya. Jika mendengar ceritanya penulis dunia yang berkarya BESTSELLER
- 83 -
akan menambah semangat berkarya tulis. Dan juga situasi dan kondisi penulisan level nasional yang pernah adapun juga mampu mengobarkan semangat menulis. Coba bila kita ingat; tahun 1920-an Marah Rusli dengan Siti Nurbaya-nya sangat dikenali siswa-siswa di Sekolah Dasar kala itu. Di sekitar tahun 2003/2004 ada Djenar Maesa Ayu, seorang Ibu yang cerpencerpennya tersebar di berbagai media massa, berkali-kali masuk nominasi 10 besar buku terbaik Khatulistiwa Literary Award. Paling baru, kita kenal ARY GINANJAR, mulai tahun 2001 s/d tahun 2006 sudah 25 kali cetak ulang sebanyak 390.000 buku, bukunya berjudul “Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual”. Bukan main, luar biasa contoh-contoh itu. Ada satu saran untuk dapat dipertimbangkan Pusat Diklat Kehutanan, coba mulai membuat gebrakan-gebrakan pendongkrak kemauan menulis Widyaiswara, misalnya; setiap hari bakti rimbawan, diluncurkan kampanye/lomba “menulis” berpenghargaan utama “SATRIA RIMBAWAN AWARD” atau “SILVIKA AWARD”. Saya percaya hal seperti itu bisa dilaksanakan. Saya percaya, jika tema-tema begini digaungkan di lingkungan ke-diklata-an, pada gilirannya akan benar-benar terbit buku-buku bestseller hasil karya Widyaiswara. Tidak lupa saya kutip satu kalimat pidato Kapus Diklat Kehutanan pada orasi pengukuhan Widyaiswara Utama Bapak Ir. Rasmidi tanggal 19 Juni 2007, yaitu; “seorang Widyaiswara akan merasa terhormat tatkala bisa menyampaikan karya-karyanya kepada masyarakat luas. Demikian artikel ini dibuat, teriring harapan kiranya bermanfaat, khususnya bisa menjadi andil merangsang pengembangan profesi Widyaiswara yang pada dasarnya akan bermuara pada “poincoin-dan janattun naim”. Amien !!
- 84 -
Kepustakaan Al-Qarni, A.A., 2004. Don’t be Sad. Cetakan kelima. Penerbit Maghfirah, Jakarta. Harefa A., 2007. Sekolah Penulis. Info tentang : SEKOLAH PENULIS PEMBELAJAR. 3 Mei 2007 pada www.pembelajar.com. Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 1999 tanggal 30 Juli 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Menteri Negara Pedayagunaan Aparatur Negara Nomor : PER/66/M.PAN/6/ 2005 tanggal 9 Juni 2005 tentang Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya. Santoso P., 2006. Widyaiswara harus angkat pena : “...memangnya sulit... !?”. Cahaya Wana Volume 8 Tahun 2006. ISSN : 1829-6459 Sulistyowati. Budaya Menulis di Kalangan Guru. Ditulis oleh Dra. Sulistyowati, guru SMA Negeri 20 Bandung (download internet). Wijaya D., 2005. Memulai Karier Sebagai Penulis. Penerbit Escaeva. Diambil dari http://www.escaeva.com.
- 85 -
- 86 -