KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PENGAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI MTS AL-MANSURIYAH, KEC PINANG, KOTA TANGERANG Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
oleh Nikmat Saputra 1811013000008
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015
ABSTRAK Nikmat Saputra NIM: 1811013000008 Konflik Batin Tokoh Utama Dalam Novel RDP Karya Ahmad Tohari Serta Implikasinya Terhadap Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di MTs Al-Mansuriyah Kec. Pinang, Kota Tangerang. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negri Syarif Hidaytullah Jakarta. Pembimbing Rosida Erowati, M.Hum. Novel RDP mewakili sebagian kehidupan manusia yang mengalamiI konflik batin, ini dialami oleh Rasus, baik terjadi pada diri dan lingkungannya. Mengisahkan selama bertahun-tahun ia hanya berandai-andai tentang kepergian Emak yang menjadi salah satu korban tempe bongkrek sehinggga mengakibatkan pergolakan batin, dan kecemasan yang menggangu kejiwaan Rasus. Pergolakan batin Rasus semakin menjadi setelah Srintil menjadi seorang ronggeng yang harus melewati syarat ritual terakhir. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, dengan menggunakan pendekatan interdisipliner, yaitu psikologi sastra yang memfokuskan penelitiannya pada masalah konflik batin, pada masalah pribadi dan lingkungannya, karena manusia sering mengalami hal seperti itu dalam suatu masyarakat. Temuan penelitian ini diantaranya, pertama, seorang pemuda yang kuat perlu memiliki prinsip hidup dan pendirian serta ketegasan dalam mengambil keputusan. Kedua seorang pemuda harus mau keluar bermasyarakat untuk mencari pengalaman hidup dari tempat yang membuatnya terkungkung. Pembahasan novel RDP dapat disampaikan dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di MTs, untuk materi, agar peserta didik dapat membangun karakterkritis, kreatif, mengajarkan bagaimana menghargai sesama manusia di lingkungan sekitarnya dan dapat mengambil nilai-nilai moral kemanusian yang jelas tersampaikan dalam novel RDP. Kata kunci. Konflik batin tokoh utama, psikologi sastra, dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari
i
ABSTRACT
Nikmat Saputra NIM : 1811013000008 Inner Conflict Main Figures In Novel RDP work Ahmad Tohari And Its Implication to Indonesian Language and Literature Teaching in MTs Al-Mansuriyah district. Pinang,Tangerang. Education Department of Indonesian Language and Literature Faculty of MT and Teaching. State Islamic University Syarif Hidaytullah Jakarta. Supervisor Rosida Erowati, M.Hum. RDP novel human life that represent the inner conflict that had been experienced by Rasus,both happen to themselves and their surroundings, telling over the years he could only suppose about the departure of Mother who became one of the victims so as tempeh Bongkrek resulting inner turmoil,and anxiety that interfere with psychiatric Rasus. Rasus inner turmoil after Srintil become increasingly becoming a requirement ronggeng must pass the last rites. While the methods used in this study is qualitative deskriptive, using an interdisciplinary approach, namely the psychology literature that focused his research on the problem of inner conflict, the personal and environmental issues,because humans often experienced anything like that in a society. The findings of this study in between, first, a strong young man needs to have the principle of life and the establishment as well as firmness in making decisions. Both young man must come out of society for the experience of a life that made him confined. Discussion novel RDP can be delivered in learning Indonesian language and literature at MTs, for the material, so that learners can build a critical character, creative, teaches how to respect fellow human beings in the surrounding environment and can take the moral values of humanity that is clearly conveyed in the novel RDP. Keywords. Inner conflict the main character, the psychology literature, the novel Ronggeng Dukuh Paruk Hamlet by Ahmad Tohari.
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Robbi l‘Alamin, segala puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha kuasa akan segala sesuatu yang berada di seluruh alam raya, yang telah menciptakan kenikmatan dan memberikan rahmat serta karunianya, sehingga penelitian ini dapat terselesaikan. Salawat dan salam semoga senantiasa Allah SWT memberikan kepada Nabi Muhamad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya. Dalam penyelesaian penelitian ini, penulis banyak menerima saran, petunjuk, bimbingan dan masukan dari berbagai pihak .Penulis berutang jasa kepada mereka yang telah mendampingi dalam proses penyelesaian skripsi sebagai tugas akhir untuk menempuh S1. Oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Nurlena Rifa’i, MA, Ph.D., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dra. Hindun, M.Pd.,dan Dona Aji Karunia Putra, MA., Ketua dan Sekertaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Tarbiyah. 3. Rosida Erowati, M.Hum., Dosen pembimgbing skripsi, yang selalu sabar dalam mengoreksi dan meluangkan waktunya, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan arahan di sela-sela kesibukannya, dan meminjam buku koleksi perpustakaan pribadi sebagai penunjang penelitian, sehingga peneliti yakin penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik. 4. Dosen-dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, khususnya Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 5. Keluargabesar (alm) H. Lisan dan Hj. Halimah selaku orang tua penulis Kakak-kakak dan adik serta keponakan yang selalu senantiasa mendoakan setiap saat, memberikan dorongan serta memotivasi penulis, sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik.
iii
6. Istri dan anak-anak yang tercinta yang senantiasa mendoakan dan memberikan memotivasi penulis, sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik. 7. Abdul Hadi
yang telah membantu dan memotivasi penulis dalam
menyelesaikan penelitian ini. 8. Teman-teman PBSI seperjuangan, yang dengan sabar selalu membantu dalam memberi informasi kepada penulis. Terimakasih pula kepada semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian penelitian ini. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian semua. Penulis mengarapkan saran dan kritik yang membangun dalam pembuatan penelitian ini semoga penelitian ini dapat bermanfaat khususnya untuk penulis dan umumnya untuk yang membutuhkan.
Jakarta, 12 Januari 2015
Penulis
iv
DAFTAR ISI ABSTRAK ......................................................................................................
i
ABSTRACT …………………………………………………………………
ii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………...
iii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………
1
A. Latar Belakang Masalah ………………………………………. B. Identifikasi Masalah …………………………………………... C. Pembatasan Masalah ………………………………………….. D. Perumusan Masalah …………………………………………… E. Tujuan Penelitian ……………………………………………… F. Manfaat Penelitian …………………………………………….. G. Metodologi Penelitian …………………………………………. 1. Objek ……………………………………………………….. 2. Data dan Sumber Data Penelitian …………………………... 3. Teknik Pengumpulan Data …………………………………. 4. Teknik Analisis Data ……………………………………….. BAB II KAJIAN TEORI……………………………………………………. A. Hakikat Psikologi ……………………………………………… 1. Pengertian Psikologi…………………………………………. 2. Oedipus Kompleks…………………………………………… 3. Delir………………………………………………………….. 4. Kecemasan………………………………………………….... B. Hakikat Novel ……..…………………………………………… 1. Pengertian Novel ……………………………………………. 2. Jenis Novel…………………………………………………… 3. Unsur Novel …………………………………………………. C. Penelitian Yang Relevan …………………………….…………. D. Pembelajaran Sastra …………………………………………….. BAB III PROFIL AHMAD TOHARI ............................................................ A. Biografi Ahmad Tohari …………………………………………. 1. Karir Ahmad Tohari…………………………………………. 2. Penghargaan yang Pernah diraih…………………………….. B. Karya Ahmad Tohari……………………………………………. C. Karakteristik Dunia Kepengarangan Ahmad Tohari ……………. BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN KONFLIK BATIN TOKOH DALAM NOVEL RDP…………………………………………….. A. Unsur Intrinsik Novel RDP ……………………………………... 1. Tema …………………………………………………………. 2. Tokoh dan Penokohan ………………………………………..
1 3 3 4 4 4 5 5 6 6 7 8 8 8 10 11 11 12 12 13 14 31 32 34 33 35 35 36 36
v
39 39 39 42
3. Alur …………………………………………………………... 4. Latar (Setting) ………………………………………………... 5. Sudut Pandang………………………………………………… 6. Gaya Bahasa …………………………………………………. 7. Amanat ……………………………………………………... B. Implikasi ………………………………………………………. BAB V PENUTUP ………………………………………………………….. A. Simpulan ……………………………………………………….. B. Saran …………………………………………………………… DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………….............. LAMPIRAN
vi
58 62 68 69 70 71 72 72 73 75
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan suatu cerita tentang kehidupan yang terjadi di masyarakat yang mempunyai hubungan dengan lingkungan dan manusia itu sendiri. Novel merupakan hasil dialog, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Walau berupa khayalan, tidak benar jika novel dianggap sebagai hasil kerja lamunan belaka, melainkan dengan penghayatan dan perenungan secara mendalam, perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan, serta perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas seni. Di dalam novel tidak terlepas dari adanya peristiwa yang dibangun oleh pengarang. Peristiwa tersebut jadi adalah sebuah kebenaran, yang ingin disampaikan kepada khalayak umum. Meskipun novel dianggap sebagai karya imajinatif. Bagi sebagian orang, peristiwa yang dibangun oleh pengarang dalam karyanya merupakan sebuah pesan tentang kebenaran yang ingin disampaikan kepada khalayak umum. Dengan demikian, pendapat tentang novel merupakan karya imajinatif belaka tidak sepenuhnya benar. Peristiwa yang diangkat dalam novel mencakup segala kehidupan seluruh lapisan masyarakat. Kita tidak memungkiri dan harus mengakui bahwa sebuah karya sastra begitu menyentuh hati dan perasaan pembaca, karena karya sastra sebagai cerminan, dan pengalaman yang pembaca alami. Karya sastra juga dapat dijadikan sebagai sumber pengetahuan tentang kebudayaan suatu masyarakat, dan berbagai peristiwa, baik psikologi, sosial, hubungan kekeluargaan serta sistem budaya yang ada di dalamnya. Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (selanjutnya disingkat RDP) memperlihatkan aspek latar dan orientasi sosial-budaya yang sangat luar biasa. Latar dalam RDP sangat kuat melukiskan suasana alam pedesaan dengan lingkungan flora dan faunanya. Kekuatan pelukisan latar
1
2
tempat itu juga ditunjukan oleh citra-citra yang menyarankan keserasian lingkungan hidup. Selain pelukisan latar yang bagus dan menarik, RDP memberikan gambaran kondisi sosial masyarakat pedesaan di Jawa, khususnya masyarakat Dukuh Paruk. Pada masa itu disibukkan oleh perubahan-perubahan sosial yang susul menyusul seiring dengan bergairahnya orang berpolitik untuk menghimpun kekuatan dan kekuasaan. RDP bercerita tentang suatu pedesaan terpencil yang dihuni oleh masyarakat terbelakang dengan paham mistis. Pada waktu itu Dukuh Paruk mengalami malapetaka yang menyebabkan seorang anak Dukuh Paruk mengalami konflik batin. Hal ini seakan melukiskan dan menggambarkan sisi kehidupan insan manusia yang mengalami pergolakan batin yang selalu menghantui. Konflik batin ini merupakan suatu gejolak yang terjadi di dalam diri seorang tokoh yang dialami, baik terjadi di dalam suatu keluarga maupun yang terjadi di lingkungan sekitarnya yang dirasakan dalam kehidupan seharihari. Peristiwa yang dialami oleh tokoh dalam novel RDP tersusun dalam urutan peristiwa yang mempunyai hubungan sebab akibat, sehingga membentuk suatu alur yang runtut. Alur itu sendiri dibangun oleh konflik dengan dunia sekitarnya. Adapun konflik dalam novel ini didominasi oleh konflik tokoh Rasus dengan dirinya sendiri dan konflik dengan dunia sekitarnya. Konflik dengan diri sendiri terjadi karena Rasus sangat merindukan sosok Emaknya yang ia temukan pada diri Srintil. Namun, hal itu kemudian harus ia akhiri setelah Srintil memutuskan untuk menjadi ronggeng. Konflik dengan dunia sekitar terjadi ketika Dukuh Paruk sangat mendambakan dan membanggakan sosok ronggeng, sementara Rasus justru mengutuk tokoh seni tersebut di dalam hatinya. RDP mengisahkan bagaimana perjuangan tokoh utama, yaitu Rasus menemukan jati diri dan impiannya sebagai seorang pria yang hidup di lingkungan yang kental dengan seni tradisi. Novel ini tidak saja menuturkan kehidupan ronggeng. Lebih dari itu, ia memaparkan struktur kompleks
3
kehidupan para tokohnya dalam menjalani kehidupan. Tokoh Srintil serta sistem nilai yang mengelilinginya hadir mewakili dunia perempuan yang mempunyai peran atau bahkan kewajiban alami sebagai penyeimbang bagi dunia lelaki. Novel RDP karya Ahmad Tohari tidak hanya menceritakan konflik batin tokoh utamanya saja, akan tetapi menceritakan bagaimana seorang ronggeng menjalankan ritual terakhirnya. Dari cerita novel di atas akan dicari peristiwa-peristiwa yang berhubungan langsung dengan konflik batin yang dialami oleh tokoh utama dalam novel tersebut. Novel ini banyak memiliki cerita di masa lalu tentang masyarakat Indonesia, yang nantinya bisa dijadikan materi pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah yaitu, tentang nilai-nilai kebudayaan dalam masyarakat, maupun unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik di dalam novel tersebut.
B. Identifikasi Masalah Identifikasi masalah yang memungkinkan menjadi pembahasan suatu penelitian mencakup seluruh variabel karya sastra yang meliputi: 1. Perlunya pembahasan tentang struktur novel RDP. 2. Perlunya pembahasan tentang konflik batin tokoh utama RDP. 3. Perlunya pembahasan tentang Peran tokoh dalam novel sebagai inspirasi siswa di Mts Al-Mansuriyah 4. Perlunya pembahasan tentang implikasi RDP dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Mts Al-Mansuriyah.
C. Batasan Masalah Dalam penelitian sastra, melalui kegiatan analisis sebuah karya sastra, tidak harus meliputi keseluruhan aspek yang terkandung dalam karya tersebut, melainkan dapat dibatasi, oleh karena itu, peneliti membatasi masalah pada Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari Serta Implikasinya Terhadap Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Mts Al-Mansuriyah, Kec. Pinang, Kota Tangerang.
4
D. Rumusan Masalah Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah konflik batin yang dialami tokoh utama RDP?. 2. Bagaimanakah implikasi novel dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Mts Al-Mansuriyah?.
E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan karakter tokoh dalam novel RDP. 2. Mendeskripsikan konflik batin yang dialami oleh tokoh utama dalam novel RDP. 3. Mendeskripsikan implikasi novel dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam aspek cakupan, aspek teoretis maupun praktis. Manfaat teoretis penelitian ini dapat diharapkan memperluas pengetahuan tentang sastra Indonesia, khususnya dalam pembelajaran sastra di sekolah. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberi sumbangan dalam kajian psikologi sastra dalam mengungkapkan novel RDP karya Ahmad Tohari. Sedangkan secara praktis penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk lebih memahami isi cerita dalam novel RDP karya Ahmad Tohari, terutama menguraikan yang dipentasikan dalam karyanya, dengan menggunakan lintas disiplin ilmu, yaitu psikologi dan sastra.
G. Metodologi Penelitian Metode penelitian merupakan cara kerja yang bersistem untuk mengungkapkan atau menganalisis suatu permasalahan yang menjadi objek penelitian.untuk mencapai tujuan yang diinginkan, peneliti harus menetapkan
5
metode apa yang akan digunakan dalam penelitian yang akan dilaksanakan. Metode merupakan rancangan menyeluruh untuk menyajikan pembahasan secara teratur, tak ada bagian yang bertentangan, dan semuanya berdasarkan pada asumsi pendekatan. Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu metode yang secara keseluruhan memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikannya dalam bentuk deskriptif, dengan model kajian ini berdasarkan penelitian multi disiplin psikologi sastra, jadi penelitian ini berupaya memaparkan suatu peristiwa secara rinci, cermat, sistem matis, dan faktual mengenai Konflik Batin Tokoh Utama Dalam Novel RDP Karya Ahmad Tohari Serta Implikasi Terhadap Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Mts Al-Mansuriyah, Kec. Pinang, Kota Tangerang. Dengan demikian, laporan penelitian berisi kutipan-kutipan data dan interpretasi untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut.Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan berupa kutipan kata, kalimat, dan wacana dari novel RDP karya Ahmad Tohari. Hal-hal yang perlu dipaparkan dalam penelitian ini meliputi objek penelitian, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data. 1. Objek Penelitian Sesuai dengan tujuan penelitian, yang menjadi objek penelitian ini adalah Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel RDPKarya Ahmad Tohari Serta Impliksinya Terhadap Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Mts Al-Mansuriyah Kec. Pinang, Kota Tangerang. 2. Data dan Sumber Data Penelitian a. Data Data adalah keterangan yang benar dan nyataatau bahan nyata yang dapat dijadikan dasar kajian (analisis atau kesimpulan)1. Data meliputi semua keterangan yang dicari dan dikumpulkan oleh peneliti untuk memberikan jawaban terhadap masalah yang akan dikaji. Data 1
Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Gitamedia Perss, Edisi Terbaru), hlm. 211
6
penelitian ini berupa kutipan-kutipan kata, kalimat, dan wacana yang terdapat dalam novelRonggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang di dalamnya terkandung konflik batin tokoh utama. b. Sumber Data Sumber data penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. 1) Sumber Data Primer Sumber data primer dalam penelitian ini adalah novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2011. 2) Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder dalam penelitian ini yaitu buku maupun artikel yang berkaitan dengan penelitian ini dan karyakarya Ahmad Tohari 3. Teknik Pengumpulan Data Adapun langkah-langkah pengumpulan data dalam novel RDP karya Ahmad Tohari dan yaitu: a. Membaca novel secara cermat dan teliti tentang konflik batin tokoh utama dalam novel RDP. b. Mencatat kalimat yang berkaitan dengan struktur novel kalimat yang menggambarkan konflik batin tokoh utama. c. Hasil dari poin b digunakan sebagai data untuk menganalisis konflik batin dalam novel. d. Hasil poin c digunakan untuk mengimplikasikan Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel RDP Karya Ahmad Tohari pada Terhadap PembelajaranSastra. 4. Teknik Analisis Data Adapun langkah-langkah yang digunakan untuk menganalisis data adalah: a. Menganalisis
novel
RDP
karya
Ahmad
Tohari
dengan
cara
menggunakan analisis struktural. Analisis struktural dilakukan dengan
7
membaca dan memahami kembali data yang sudah diperoleh. Berikutnya mengelompokkan teks-teks yang terdapat dalam novel RDP yang mengandung unsur tema, tokoh dan penokohan, alur, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat. b. Analisis dengan tinjauan psikologi sastra dilakukan dengan membaca dan
memahami
kembali
data
yang
diperoleh.
Selanjutnya
mengelompokkan tek-teks yang mengandung bahasan mengenai konflik batin dalam novel. c. Mengimplikasikan novel RDP karya Ahmad Tohari pada pembelajaran
sastra di Mts Al-Mansuriyah yang dilakukan cara menghubungkannya dengan materi pelajaran sastra di sekolah.
BAB II KAJIAN TEORI Pada prinsipnya, penelitian tentang, Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel RDP Karya Ahmad Tohari Serta Implikasinya Terhadap Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Mts Al-Mansuriyah, Kec. Pinang, Kota Tangerang. Ini memanfaatkan kajian yaitu, penelitian bidang pendekatan psikologi meliputi Oedipus komplek, Delir, dan Kecemasan. Oleh sebab itu, perlu diketahui lebih jauh lagi atau lebih seksama tentang tinjauan teori yang relevan dengan penelitian yang akan dilaksanakan. A. Hakikat psikologi 1. Pengertian Psikologi Perlu peneliti sampaikan, bahwa telaah karya-karya sastra yang mencerminkan
konsep
psikologi,
agar
dapat
diselusuri
secara
komprehensif. Apa yang menjadi latar belakang timbulnya masalahmasalah psikologis dari tokoh di dalam sebuah karya sastra, sehingga dapat dipahami proses dan akibat dari kondisi yang mendorong pencerminan konsep psikologis. Berbicara mengenai istilah “Psikologi” berasal dari kata Yunani psyche, yang berarti jiwa, dan logos yang berarti ilmu. Jadi psikologi berarti ilmu jiwa atau ilmu yang menyelidiki dan mempelajari tingkah laku manusia.1 Tingkah laku dan perbuatan manusia mempunyai arti yang lebih konkret daripada “jiwa.” Yang termasuk dalam tingkah laku di sini adalah perbuatan-perbuatan yang terbuka maupun tertutup. Tingkah laku terbuka misalnya berpikir, berkhayal, sedih, bermimpi dan sebagainya. Objek materi psikologi yaitu manusia, karena manusia berkepentingan dengan ilmu ini. Lingkungan yaitu tempat di mana manusia itu hidup,
1
Atkinson, dalam Albertine Minderop, Psikologi Sastra, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013), hlm. 3
8
9
menyesuaikan dirinya (beradaptasi) dan mengembangkan dirinya.2 Kadang-kadang tingkah laku itu sifatnya tersembunyi, seperti ditunjukan dengan ketegangan otot, atau pengerutan isi perut. Tingkah laku manusia dapat dilihat dari gejala-gejala kejiwaan yang pastinya berbeda satu dengan yang lainnya. Pada diri manusia dapat dikaji dengan ilmu pengetahuan yakni psikologi yang membahas tentang kejiwaan. Karya sastra dianggap sebagai hasil aktivitas penulis, yang sering
dikaitkan
dengan
gejala-gejala
kejiwaan,
seperti:
obsesi,
kontemplasi, kompensasi, sublimasi, bahkan sebagi neurosis. Oleh karena itulah, karya sastra disebut sebagai salah satu gejala (penyakit) kejiwaan.3 Sastra dan psikologi sama-sama mempelajari hidup manusia. Bedanya, kalau sastra mempelajari manusia sebagai ciptaan imajinasi pengarang, sedangkan psikologi mempelajari manusia sebagai ciptaan ilahi secara riil.4 Dengan demikian, psikologi diartikan sebagai ilmu jiwa atau sebuah kajian yang membicarakan masalah kejiwaan. Namun, dengan suatu perubahan dan perkembangan keduanya menjadi bidang yang mempunyai sedikit
berbeda
kecenderungan
dan
penggunaannya
dikalangan
masyarakat. Karya sastra yang merupakan hasil kreativitas penulis sering dikaitkan dengan gejala-gejala kejiwaan karena karya sastra merupakan hasil dari penciptaan seorang pengarang yang secara sadar atau tidak sadar menggunakan teori psikologi. Sedangkan asumsi dasar penelitian psikologi antara lain dipengharui oleh beberapa hal. Pertama adanya anggapan bahwa karya sastra merupakan produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar, setelah jelas baru dituangkan ke dalam bentuk secara sadar. Antara sadar dan tidak sadar selalui mewarnai dalam proses imajinasi pengarang. Kekuatan karya 2
Nuraida Zahara, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Lembaga Penelitian Uin Syarif Hidayatullah, 2011), hlm. 6. 3 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm.62. 4 Ahmad Bahtiar, Metode Penelitian Sastra, (Jakarta: Pujangga Rabani Perss, 2013), hlm. 24
10
sastra dapat dilihat dari seberapa jauh pengarang mampu mengungkapkan ekpresi kejiwaan yang tak sadar itu ke dalam karya sastra yang diciptakannya. Kedua kajian psikologi di sampinh mengkaji perwatakan tokoh secara psikologi, juga aspek-aspek pemikiran dan perasaan jiwa ketika menciptakan karya tersebut.5 Dua hal dasar yang menjadi acuan penelitian sastra tersebut merupakan aspek psikologi pengarang, sehingga kejiwaan dan pemikiran serta perasaan jiwa seorang pengarang sangat mempengharui hasil dari karya sastra tersebut. Pengarang dalam menuangkan ide-idenya ke dalam karya sastra terkadang terjebak dalam situasi tak sadar atau halusinasi yang dapat membelokan rencana pengarang semula. Sastra sebagai gejala kejiwaan yang di dalamnya terkandung kejadiaan atau fenomena-fenomena yang terkait dengan fisikis atau kejiwaan. Dengan demikian, karya sastra dapat didekati dengan menggunakan pendekatan psikologi. 2. Oedipus Kompleks Istilah “kompleks” (complex) sangat penting dan sering digunakan dalam psikoanalisis. Jadi perlu kiranya dijelaskan lebih dahulu. Suatu kompleks adalah keseluruhan reaksi efektif (tampilan dan kenangan) yang sebagian atau seluruhnya taksadar. Pembentukan suatu “kompleks” terlaksana dari hubungan antarpribadi yang dijalin subjek pada masa kanak-kanaknya, dan hal itu normal saja. Yang bersifat patologis bukanlah “kompleks” itu sendiri, tetapi keadaanya yang terus-menerus berlangsung, melampaui batas stadium yang ditentukan.6 Oedipus kompleks adalah suatu keseluruhan hasrat cinta dan benci yang dirasakan anak terhadap orang tuanya. Oedipus kompleks berkaitan dengan stadium phalus, jadi sekitar tiga sampai lima tahun. Pada anak lakilaki, terpancang libido pada ibu betul-betul terdapat dalam logika kehidupan afektif dan material sebelumnya, tetapi hal itu tidak berlangsung tanpa frustrasi, agresivitas karena tidak mungkin memiliki ibu 5
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Capes, 2011), hlm.96 Okke K. S. Zaimar, Psikoanalisis dan Sastra,(Depok: Pusat Penelitian Kemasyrakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2003), hlm. 34 6
11
secara total (adanya bapak, saudara laki-laki, dan saudara perempuan). Agresivitas
itu
membangkitkan
perasahan
bersalah
yang
dapat
menimbulkan kecemasan yang dapat dikemukakan melalui proses taksadar (mimpi, fantasme) maupun melalui tindakan yang tidak biasa.7 Sedangkan menurut Freud Oedipus compleks adalah masa ketika seorang anak lakilaki secara normal menunjukan rasa erotikanya kepada ibunya.8 Dengan demikian menurut peneliti Oedipus complex merupakan rasa kasih dan sayang serta perhatian dari seorang ibu yang harus diberikan kepada seorang anak yang masih anak-anak. 3. Delir Delir adalah gangguan kejiwaan yang menyebabkan penderitanya memberi kepercayaan yang sama besar pada ciptaan imajinasi, khayalan maupun persepsi nyata sehingga si penderita membiarkan kelakuannya dibelokan atau diarahkan oleh apa saja yang timbul dalam khayalannya.9 Gejala delir biasanya berupa khayalan yang dipercaya oleh penderita sebagai
kenyataan atau biasanya berupa tindakan-tindakan
yang
diakibatkan oleh kepercayaan pada khayalan. 4. Kecemasan Situasi apa pun yang mengancam kenyamana suatu organisme diasumsikan melahirkan suatu kondisi yang disebut anxitas. Salah satu sumber anxitas adalah berbagai konflik dan bentuk prustasi yang menghambat kemajuan individu untuk mencapai tujuan. Freud membagi kecemasan dalam tiga jenis: kecemasan tentang kenyataan /kecemasan objektif merupakan respon realistis ketika seorang merasakan bahaya dalam suatu lingkungan. Kecemasan neurotik berhasal dari konflik alam bawah sadar dalam diri individu, karena konflik tersebut tidak disadari, orang tersebut tidak menyadari alasan dari kecemasan tersebut. Kecemasan moral yang sumber ancamanya adalah hati nurani
7
Ibid, hlm. 34-35 Minderop, Op. Cit, hlm. 101 9 Milner, dalam Bahtiar, Op. cit, hlm. 58 8
12
dan sistem superego.10 Kebanyakan dari pulsi tersebut mengancam individu yang disebabkan oleh pertentangan nilai-nilai personal atau berseberangan dengan nilai-nilai dalam suatu masyarakat. Misalnya perasaan tidak senang seorang anak kepada orang tuanya yang bertentangan dengan keharusan anak mencintai orang tuanya, mengakui perasan sesungguhnya akan mengakibatkan kecemasan bagi si anak karena akan menghancurkan konsep diri sebagai anak baik dan mengancam posisinya karena akan kehilangan kasih sayang dan dukungan orang tua.
B. Hakikat Novel 1. Pengertian Novel Novel adalah jenis prosa yang mengandung unsur tokoh, alur, latar rekaan yang menggelarkan kehidupan manusia atas dasar sudut pandang pengarang dan mengandung nilai hidup, diolah dengan teknik kisahan dan ragaan yang menjadi dasar konvensi penulisan.11 Dengan demikian, novel dapat diartikan oleh pengarang sebagai karya rekaan dan dinikmati oleh pembaca dengan memperhatikan konvensi sastra, bahasa, dan budaya yang ada. Di dalam suatu novel, seorang sastrawan mengutarakan pengalaman lewat perasaan dan pikiran kepada para pembaca lewat penceritaan. Dari penjabaran di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa novel adalah suatu bentuk karya sastra seoarang sastrawan yang disampaikan melalui tulisan berupa pikiran dan perasaan kepada para pembaca dengan bahasa sebagai mediumnya. Para pembaca sebagai penikmat karya sastra karya sastra maka harus memahami karya sastra yang ditulis oleh pengarang, cara ini agar menghindari salah penafsiran dan pemahaman suatu karya sastra. Novel RDP merupakan salah satu jenis karya sastra yang menyimpan unsur kenyataan dari pengalaman hidup seorang pengarang atau orang lain yang disampaikan melalui sebuah karyanya. Dengan 10
Minderop, Op. Cit, hlm. 28 Abdul Rojak Zaidan dkk, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 136
11
13
menukil sebuah tema konflik batin yang dialami oleh tokoh yang ada dalam novel tersebut, ini sebagai bahan informasi dan daya tarik untuk pembaca. 2. Jenis Novel Dalam dunia kesusastraan, ada usaha mengelompokan sebuah karya sastra yang berbentuk prosa, yaitu novel, tidaklah mudah seperti kita membalikan telapak tangan. Ini semua harus ada unsur subjektivitas dari kritikus, dan campur tangan pengarang dan penerbit. Akan tetapi, terlepas dari pendapat di atas, mengelompokan sebuah karya sastra, yaitu novel dibedakan menjadi dua, yaitu novel popular dan novel serius, meskipun mengelompokkan
tersebut
masih
kabur
dikarenakan
batas-batas
pemisahannya kurang jelas. a. Novel populer Kehadiran novel-novel populer di Indonesia sudah ada sejak perkembangan kesusastraan Indonesia. Kehadiran novel-novel terbitan swasta baik yang diproduksi komunitas Tionghoa peranakan dan kaum pergerakan yang kemudian pemerintah kolonial mendirikan Balai Pustaka merupakan awal kehadiran novel-novel populer di Indonesia.12 Novel populer mulai merebak dikalangan masyarakat dan sangat digemari khususnya bagi remaja, sesudah suksesnya novel Karmila dan Cintaku di Kamupus Biru. Pada tahun 70-an dan mulai bermunculan industri-industri baik media massa dan penerbitan. Pada masa itu pula menjamurnya majalah-majalah wanita. Dalam hal ini, faktor sosial, politik, dan ekonomi yang merupakan sebagai pendukung yang penting. Tema yang ditulis umumnya masih berkisar tentang cinta yang serba manis. Namun, beberapa pengarang laki-laki seperti Ashadi Siregar, Teguh Esha, Remy Silado, Yudhistira Ardinugraha, dan Eddy D. Iskandar mencoba memasukkan protes sosial, dalam novelnya. Novel
12
Rosida Erowati, dan Bahtiar, Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian Uin Syarif Hidayatullah, 2011), hlm. 125.
14
ini memberikan informasi dan masalah-masalah yang aktual dan menzaman, namun hanya sampai pada tingkat awalan saja. Novel populer merupakan jenis sastra populer yang menyuguhkan problema kehidupan yang berkisar pada cinta asmara yang bertujuan menghibur. sebagai sastra literer. b. Novel Serius Novel serius lebih dominan menampilkan yang baru, dengan cara pengucapan yang baru juga. Di dalam novel ini unsur kebaruan yang diutamakan, baik dari bahan bacaan dan gagasan yang diungkap kembali dengan cara dan gaya bahasa yang khas, ini yang harus diperhatiakan dalam kesusatraan. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa tujuan kehadiran atau penciptaan karya serius adalah untuk memberi peluang bagi pembaca mengimajinasi dan memahami pengalaman manusia.13 Novel serius mengambil sebuah kenyataan hidup sebagai model, kemudian menciptakan sebuah “dunia baru” dengan menapilkan cerita dan tokoh-tokoh dalam situasi yang khusus. Novel serius menuntut aktivitas pembaca secara lebih serius, menuntut pembaca untuk “mengoprasikan” daya intelektualnya. Pembaca diuntut untuk ikut merekontruksikannya
duduk
persoalan
masalah
dan
hubungan
antartokoh. Walau hal yang demikian juga ditemui dalam novel popular, teks kesusastraan menuntut aktivitas yang lebih besar. Teks kesusastraan sering mengemukakan sesuatu secara inplisit, sehingga hal itu boleh jadi “menyibukan” pembaca, dan pembaca haruslah mengisi sendiri bagian-bagian yang kosong tersebut, (ingat: peran pembaca implisit „Implicit reader‟) untuk merekontruksi cerita.14 Dengan demikian RDP bisa dikatakan termasuk novel serius. Novel ini termasuk jenis teks sastra yang menuntut pembacanya agar 13
M. Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya Padang, 1990), hlm.71 Nurgiantoro,Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Perss, 2005), hlm. 21.
14
15
lebih memperhatikan untuk ikut serta merekontruksikan permasalahan yang ada di dalam novel, sehingga membutuhkan peran serta aktivitas yang lebih besar saat membaca dan mengkajinya. 3. Unsur Novel Sebuah karya sastra yang jadi, diibaratkan seperti sebuah bangunan, cerita yang mempunyai struktur atau unsur-unsur yang membangun sebuah karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran karya sastra tersebut.15 Struktur luar dan struktur dalam merupakan unsur atau bagian yang secara fungsional berhubungan satu sama lainnya. Apabila kedua unsur tersebut tidak mempunyai hubungan maka ia tidak dapat dinamakan struktur. Struktur karya sastra secara garis besarnya dibagi atas dua bagian, yaitu struktur luar (ektrinsik} dan struktur (intrinsik). Pembagian tersebut dimaksudkan untuk mengkaji novel, serta karya sastra pada umumnya. a. Unsur Ekstrinsik Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bagunan sistem organisme karya sastra. Atau, secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bagunan cerita sebuah karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Walaupun demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh (untuk tidak dikatakan: cukup menentukan) terhadap totalitas bangunan cerita yang dihasilkan. Oleh karena itu, unsur ini tetap dipandang sebagai suatu yang penting juga. Ada beberapa unsur ekstrinsik di luar dari karya itu sendiri. Unsur yang dimaksud antara lain biografi pengarang, buah pikiran pengarang, serta latar sosial-budaya yang dapat mendukung kehadiran karya sastra. ini berarti menunjukan bahwa karya sastra lahir tanpa adanya kekosongan budaya. 15
Ibid, hlm. 22
16
b. Unsur Intrinsik Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun suatu sebuah karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra imajinasi seorang pengarang. Unsur-unsur secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita kepaduan antar-berbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud.16 Adapun unsur yang termasuk dalam karya ini adalah tema, tokoh dan penokohan, alur (plot), sudut pandang, latar (setting), gaya bahasa, serta amanat. Unsur ini akan dijumpai dalam novel saat kita membacanya. 1) Tema Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra.17 Ketika seorang membaca sebuah novel tidak hanya bertujuan semata-mata mencari dan menikmati kehebatan dari cerita tersebut, maka akan tersirat suatu pernyataan
yang sederhana.
Apa
sebenarnya
yang ingin
diungkapkan pengarang lewat cerita ini?. Menanyakan makna sebuah karya, sebenarnya, juga mempertanyakan tema. Setiap karya fiksi tentulah mengandung dan menawarkan tema. Namun isi tema itu sendiri tidak mudah ditunjukan. Ia harus dipahami dan ditafsirkan melalui cerita dan data-data (unsur-unsur pembangun cerita) yang lain, dan itu merupakan kegiatan yang sering tidak mudah dilakukan. Unsur tokoh (dan penokohan), plot, latar, ini merupakan menjadi padu dan bermakna jika diikat oleh sebuah tema. Tema merupakan bersifat memberi koherensi dan makna terhadap keempat unsur tersebut dan juga berbagai unsur fiksi yang lain. Dengan
16
Ibid, hlm. 23. Zainuddin Fananie, Telaah Sastra, (Surakarta: Muhammadiyah Unipersity Perss 2002), hlm. 84. 17
17
demikian, tokoh-tokoh cerita dalam sebuah novel yang bertugas untuk menyampaikan tema yang dimaksudkan oleh pengarang. Kata tema sering kali disamakan dengan pengertian topik; padahal kedua istilah itu mengandung pengertian yang berbeda. Topik berarti pokok pembicaraan sedangkan tema merupakan suatu gagasan sentral, sesuatu yang hendak diperjuangkan dalam fiksi. Tema sering juga disebut ide atau gagasan yang menduduki tempat utama dalam pikiran pengarang dan sekaligus menduduki tempat utama cerita. Serangkaian pernyataan di atas bahwa tema merupakan sesuatu ide atau gagasan yang telah diuraikan pada tempatnya oleh seorang pengarang. Tema adalah gagasan utama atau pikiran pokok.18 Jadi dengan demikian tema merupakan suatu pikiran yang akan diungkapkan oleh seorang pengarang yang akan ditemui oleh setiap pembaca. Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Ada banyak cerita yang menggambarkan dan menelaah kejadian atau emosi yang dialami seperti cinta, derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan penghianatan manusia terhadap diri sendiri, atau bahkan usia tua.19 Dengan demikian, menentukan sebuah tema haruslah membaca secara cermat dan detail dan menelusuri seluruh cerita, sehingga bisa mengetahui yang menjadi terbangunnya sebuah cerita.Terlepas dari masalah di atas, penafsiran tema sebuah novel memang bukan pekerjaan yang mudah. Walaupun penulisan sebuah novel berdasarkan tema atau ide tertentu. Namun, tema itu sendiri pada umumnya tidak di kemukakan dengan secara eksplisit. Maka dalam usaha menemukan dan menafsirkan tema sebuah novel kita harus memulai dengan cara memahami cerita, mencari kejelasan ide-ide perwatakan, peristiwa18
Guntur Tarigan, Menulis Sebagai Keterampilan Berbahasa, (Bandung: Aangkasa, 2008), hlm. 167. 19 Stanton, Op. Cit, hlm.36.
18
peristiwa konflik, dan latar. Di samping menemukan tema, dengan cara tersebut, sebaiknya juga disertai dengan usaha menemukan konflik sentral yang ada dalam cerita, dengan mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di dalamnya. Tema dalam sebuah novel dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu: a) Tema Utama atau Tema Mayor Tema pada hakikatnya merupakan makna yang terkandung dalam sebuah cerita atau secara singkat di sebut makna cerita. Makna cerita pada sebuah fiksi-novel, mungkin saja lebih dari satu, hal inilah yang menyebabkan tidak mudahnya kita menentukan tema pokok cerita, atau tema mayor. Artinya makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu).20 Dalam menentukan tema pokok sebuah cerita pada hakikatnya ,antara sejumlah makna yang kita tafsirkan ada dan tersimpan di dalam karya yang bersangkutan. b) Tema Tambahan atau Tema Minor Tema minor atau tema tambahan merupakan makna yang terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita. Dengan demikian, banyak sedikitnya tema minor tergantung pada banyak sedikitnya makna tambahan yang dapat ditafsirkan dari sebuah cerita novel. Penafsiran makana itu haruslah dibatasi pada makna-makna yang terlihat menonjol, di samping mempunyai bukti-bukti konkret yang terdapat pada karya itu yang dapat dijadikan dasar untuk penunjukan dan penafsiran sebuah makna tertentu pada sebuah karya itu bukannya dilakukan secara ngawur. Makna-makna tambahan bukan merupakan sesuatu yang berdiri sendiri, terpisah dari makna pokok yang bersangkutan berhubungan sebuah novel yang jadi merupakan satu kesatuan. Makna pokok cerita bersifat merangkum berbagai makna khusus, 20
Nurgiantoro, Op. Cit, hlm. 82
19
makna-makna tambahan yang terdapat pada karya itu. Sebaliknya, makna-makna
tambahan
itu
bersifat
mendukung
dan
mencerminkan makna utama keseluruhan cerita.21 Dengan demikian, makna utama keseluruhan cerita mempunyai hubungan yang sangat erat dengan makna tambahan inilah yang akan memperjelas makna pokok cerita. jadi makna tambahan atau tema minor bersifat mempertegas eksistensi makna utama atau tema mayor. Adanya penafsiran tema pokok dan tema-tema tambahan dalam sebuah karya pembacalah sebenarnya yang lebih banyak menentukan berdasarkan persepsi, dan pemahaman. 2) Tokoh dan Penokohan Berbicara tentang masalah tokoh dan penokohan ini merupakan salah satu hal yang penting kehadirannya dalam sebuah karya sastra dan bahkan sangat menentukan, karena tidak akan mungkin ada suatu karya sastra tanpa adanya tokoh yang diceritakan dan tanpa adanya tokoh yang bergerakyang akhirnya membentuk alur cerita. tokoh dan penokohan bisa juga dikatakan sebagai tulang punggung dari suatu cerita sebuah karya sastra. prilaku para tokoh dapat
diukur
melalui
tindak-tanduk
ucapan
kebiasaan
dan
sebagainya. Penokohan adalah proses penampilan tokoh dengan pemberian watak, sifat, atau kebiasan tokoh pemeran suatu cerita.22 Sedangkan
tokoh
cerita
biasanya
mengemban
suatu
perwatakan tertentu yang diberi bentuk dan isi oleh pengarang. Perwatakan
(karakterisasi)dapat
diperoleh
dengan
memberi
gambaran mengenai tindak-tanduk, ucapan atau sejalan tidaknya antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan.23 Serangkaian pernyataan di atas jelas menyiratkan bahwa, tokoh dan penokohan merupakan dua hal yang paling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan, 21
Ibid, hlm. 83 Zaidan, dkk.,Op. Cit, hlm. 206. 23 Semi, Op. Cit, hlm. 36 22
20
keduanya menjadi pembahasan dalam unsur intrinsik pada sebuah karya sastra yang berbentuk prosa. Tokoh dan penokohan merupakan bagian unsur intrtinsik yang bersama dengan unsur-unsur yang lain membentuk totalitas. Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi-novel dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan perbedaan sudut pandang dan tinjauan. a) Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan Ketika kita membaca sebuah novel, pasti kita akan dihadapkan sejumlah tokoh yang hadir di dalamnya. Namun, dalam kaitan keseluruhan cerita, peranan masing-masing tokoh berbeda. Dilihat dari peranan atau tingkat
pentingnya tokoh
dalam sebuah cerita, ada tokoh yang berperan penting dan ditampilkan terus menerus sehingga mendominasi sebagian besar cerita, dan sebaliknya ada tokoh yang dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita. Tokoh
utama
adalah
tokoh
yang
diutamakan
penceritaannya dalam novel yang bersangkutan.24 Dengan demikian tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh lain, maka ia sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Munculnya tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tak langsung. b) Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis Jika dilihat dari peran tokoh dalam pengembangan alur cerita atau plot dapat dibedakan tokoh utama dan tokoh tambahan,
24
Nurgiantoro, Op. Cit, hlm. 176.
21
dan jika dilihat dari pungsi penampilan tokoh dapat dibedakan yaitu: tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi yang salah satu jenisnya secara popular disebut hero tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma dan nilai yang ideal bagi kita.25 Serangkaian pernyataan di atas tokoh protagonis merupakan menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan dan harapan kita, sebagai pembaca.Maka, kita harus mengenalinya sebagai memiliki kesamaan dengan kita, permasalahan yang dihadapinya seolah-olah juga sebagai permasalahan kita. Sebuah
fiksi-novel
harus
mengandung
konflik,
ketegangan, khususnya konflik dan ketegangan yang dialami oleh tokoh protagonis. Tokoh antagonis yang menjadi penyebab terjadinya konflik. c) Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh sederhana dan tokoh bulat. Pengkatagorian seorang tokoh ke dalam sederhana atau bulat haruslah didahului dengan analisis perwatakan.Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli, adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat-watak yang tertentu saja.26 Dengan demikian, sebagai seorang tokoh manusia, ia tak diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupan Sifat dan tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton hanya mencerminkan satu watak tertentu. Tokoh sederhana dapat saja melakukan berbagai tindakan, namun semua tindakannya itu dapat dikembalikan pada perwatakan yang dimiliki dan yang telah diformulakan itu.
25
Altenbernd dan Lewis, dalam Nurgiantoro, Teori Pengkajain Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Perss, 1995), hlm. 178. 26 Nurgiantoro, Op. Cit, hlm. 181-182
22
Dengan demikian, seorang pembaca dengan mudah memahami watak dan tingkah laku tokoh sederhana. Tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadiannya dan jati dirinya. Ia dapat saja memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan, namun ia pun dapat pula menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam, bahkan mungkin bertentangan dan suit diduga.27 Ada juga yang mengatakan bahwa tokoh bulat adalah tokoh cerita yang sifatnya mempunyai lebih dari satu dimensi.28 Dengan demikian, tokoh bulat tokoh yang sulit dipahami dan kurang akrap serta kurang dikenal kadang-kadang tingkah lakunya sering tak terduga memberikan efek kejutan kepada pembaca. 3) Alur (Plot) Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interrelasi fungsional yang sekaligus menandai
urutan
bagian-bagian
dalam
keseluruhan
fiksi.29
Serangkaian pernyataan di atas jelas menyiratkan bahwa, alur merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita sehingga menjadi kerangka utama. Dalam pengertian ini, alur merupakan rangkaian-rangkaian cerita yang menjadi tempat lewatnya rentetan suatu peristiwa. Alur merupakan kerangka dasar yang penting dan alur juga bisa dikatakan sebagai tulang punggung cerita. Kejadian peristiwa dalam cerita dipengaruhi dan dibentuk beberapa hal karakter tokoh, pikiran atau suasana hati sang tokoh, latar, waktu dan suasana lingkungan. Unsur alur yang penting yaitu, konflik dan klimaks. Di dalam novel terdiri dari konflik internal, yaitu pertentangan dua keinginan dalam diri seorang tokoh. Dan konflik eksternal yaitu konflik antara satu tokoh dengan tokoh yang 27
Ibid, hlm. 183. Zaidan, dkk., Op. Cit, 206. 29 Semi,Op. Cit, hlm.43 28
23
lain. Ada yang mendeskripsikan bahwa plot atau alur, kadangkadang disebut juga jalan cerita, ialah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun secara logis. Plot atau alur dibangun oleh beberapa peristiwa yang biasa disebut alur. Unsur-unsur alur meliputi perkenalan, pertikaian, perumitan, klimaks, peleraian, akhir.Unsur-unsur alur tidak selalu berurutan, tetapi ada yang dari tengah dulu, lalu ke peristiwa awal, kemudian berakhir. Ada pula yang dari akhir terus menuju ke tengah kemudian sampai ke awal.30 Dengan demikian, dari kedudukan unsur-unsur inilah, maka ada yang disebut alur maju, alur mundur, dan alur maju mundur atau alur campuran. 4) Latar (Setting) Sebuah karya fiksi-novel, pada hakikatnya kita berhadapan dengan
dunia,
yang
sudah
dilengkapi
dengan
tokoh
dan
permasalahan. Namun, tentu saja hal itu kurang lengkap sebab tokoh dengan berbagai pengalaman kehidupannya itu memerlukan ruang lingkup, tempat dan waktu. Setiap suatu peristiwa terjadi pasti ada tempat, waktu, hari, tahun, bahkan musim kejadian. Begitu juga dengan halnya latar atau setting sebagai unsur intrinsik dalam sebuah karya sastra memerlukan ruang, tempat, waktu, dan sosial sebagaimana kehidupan manusia di dunia nyata. Kadang-kadang pembaca tidak terlalu memperhatikan latar, karena lebih terserap asik dan dengan asiknya jalan cerita. Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini sangat penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, seakan menciptakan suasana sungguh-sungguh ada dan terjadi.31 Pelukisan latar dapat dilakukan dengan cara sejalan dan dapat pula digambarkan secara kontras. Maksud penggambaran ini untuk 30
Widjojoko dan Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: Upi Press, 2006), hlm.46-47. 31 Nurgiantoro, Op. Cit, hlm.217
24
menunjang suasana cerita.latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah dan sungguh-sungguh ada dan terjadi, dengan demikian merasa dipermudah untuk mengoperasikan daya imajinasinya di samping dimungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar. Akan tetapi, tidak semua karya sastra menunjukan ketiga latar tempat, waktu, maupun sosial. Mungkin bisa saja dalam sebuah cerita yang paling menonjol adalah latar waktu maupun tempat dan ada juga yang paling dominan adalah latar sosial dan budaya. a) Latar Tempat Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, dan inisial tertentu. Penggunaan latar tempat dengan nama tertentu haruslah mencerminkan, atau paling tidak tak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Untuk dapat mendeskripsikan suatu tempat secara meyakinkan pengarang harus menguasai situasi geografis lokasi yang bersangkutan. Namun, tidak semua latar tempat digarap secara teliti dalam berbagai fiksi, novel, cerpen.Latar hanya sekedar terjadinya peristuiwa, dan kurang mempengaruhi perkembangan alur dan tokoh. Latar tempat dalam sebuah novel biasanya meliputi berbagai lokasi, ia akan berpindah-pindah tempat sejalan dengan perkembangan plot dan tokoh. b) Latar Waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan
25
waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.32 Latar waktu dalam sebuah novel dapat menjadi dominan dan fungsional jika digarap secara teliti, terutama jika dihubungkan dengan waktu sejarah. Namun, hal itu membawa juga sebuah konsekuensi, suatu yang diceritakan itu harus sesuai dengan perkembangan sejarah, dan pengangkatan unsur sejarah ke dalam karya fiksi akan menyebabkan waktu yang diceritakan menjadi bersifat khas, tipikal, dan dapat menjadi sangat fungsional, sehinnga tak dapat diganti dengan waktu yang lain tanpa mempengaruhi perkembangan cerita. Akhirnya, latar waktu juga dikaitkan dengan latar tempat karena pada kenyataannya memang saling berkaitan. c) Latar Sosial Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan prilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.33 Dengan demikian latar sosial merupakan tata cara kehidupan masyarakat yang mencakup berbagai pandangan hidup, cara berpikir, dan bersikap di lingkungan masyarakat itu sendiri. Latar sosial merupakan bagian latar secara keseluruhan. Jadi latar sosial berada dalam kepadauan dengan unsur latar yang lain, yaitu unsur tempat dan waktu. Ketiga unsur tersebut dalam satu kepaduan jelas akan menyaran pada makna yang lebih khas dan meyakinkan dari pada secara sendiri-sendiri. 5) Sudut Pandang Sudut pandang (point of view) adalah posisi fisik, tempat pesona/pembicara melihat dan menyajikan gagasan-gagasan atau peristiwa; merupakan persepektif/ pemandangan fisik dalam ruang 32
Ibid, hlm. 230 Ibid, hlm. 233
33
26
dan waktu yang dipilih oleh penulis bagi personanya, serta mencakup kualitas-kualitas emosional dan mental persona yang mengawasi sikap dan nada. Sudut pandang merupakan salah satu unsur karya sastra yang dikatagorikan sebagai sarana cerita, kehadiran sudut pandang harus diperhitungkan, sebab sudut pandang akan mempengaruhi terhadap penyajian cerita. Sudut pandang pada dasarnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih oleh pengarang untuk
mengemukakan gagasan dan
ceriteranya untuk menampilkan pandangan hidup dan tapsirannya terhadap kehidupan yang semua ini disalurkan melalui sudut pandang tokoh.34 Maka dari sinilah pengarang akan memainkan peranan seorang tokoh untuk memaparkan dalam suatu cerita. Dengan demikian, segala sesuatu yang dikemukakan oleh pengarang disalurkan melalui sudut pandng tokoh. Ada beberapa sudut pandang, tetapi semuanya tergantung dari mana sudut pandang tersebut dilakukan. Di bawah ini jenis-jenis sudut pandang yang dipaparkan oleh Nurgiantoro. a) Sudut Pandang Persona Ketiga: “Dia” Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya “dia”, narator adalah seorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya yang utama, kerap atau terus menerus disebut, dan sebagai variasi dipergunakan kata ganti.35 Hal ini untuk mempermudah pembaca untuk mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak. Misalnya, Srintil, Kartareja, Sakarya, dan sakum dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Dalam adegan percakapan antartokoh banyak terdapat penyebutan “aku”, seperti juga “engkau”, sebab tokoh-tokoh 34
Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm.88 35 Nurgiantoro, Op.Cit, hlm.256.
27
“dia”
tersebut
oleh
narator
sedang
dibiarkan
untuk
mengungkapkan diri sendiri. Cerita yang dikisahkan secara berselang-seling antara showing dan telling, narasi dan dialog, menyebabkan cerita menjadi lancar, hidup, dan natural. Hal inilah antara lain yang merupakan kelebihan teknik sudut pandang “dia”.36 Sudut pandang “dia” dapat dibedakan ke dalam dua golongan
berdasarkan
tingkat
kebebasan
dan
keterkaitan
pengarang terhadap bahan ceritanya. Di satu pengarang, narator, dapat bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh “dia”, jadi bersifat mahatahu, di lain pihak ia terkait, mempunyai keterbatasan “pengertian” terhadap tokoh “dia” yang di ceritakan itu, jadi bersifat terbatas, hanya selaku pengamat saja. Serangkaian pernyataan di atas jelas menyiratkan bahwa sudut pandang “dia” terletak pada seorang narator yang ada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata ganti. Hal ini semuanya untuk mempermudah bagi pembaca. 1) “Dia Mahatahu” Dalam sudut pandang ini, cerita dikisahkan dari sudut “dia”, namun pengarang, narator dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh “dia” tersebut. Narator mengetahui segalanya, ia bersipat mahatahu.37 Dalam teknik mahatahu tersebut bahwa narator mampu menceritakan sesutau baik yang bersifat fisik, dapat diindra, maupun sesuatu yang hanya terjadi dalam hati dan pikiran tokoh, bahkan lebih dari seorang tokoh.
36
Ibid, hlm. 257 Ibid, hlm. 257-258
37
28
Serangkaian pernyataan di atas jelas menyiratkan bahwa sudut pandang mahatahu menunjukan betapa kuatnya teknik “dia” mahatahu untuk mengisahkan sebuah cerita. Ia merupakan teknik yang paling natural dari semua teknik yang ada, dan sekaligus dikenal sebagai teknik yang memiliki fleksibilitas yang tinggi. 2) “ Dia” Terbatas Dalam sudut pandang “dia” terbatas, seperi halnya dalam “dia”mahatahu, pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja. Dalam teknik “dia” terbatas sering juga dipergunakan teknik narasi aliran kesadaran yang menyajikan kepada pembaca pengamatan-pengamatan luar yang berpengaruh terhadap pikiran, ingatan, dan perasaan yang membentuk kesadaran total pengamatan.38 Dengan demikian sudut pandang “dia” terbatas sebagai pengamatan yang benar-benar objektif, narator bahkan yang hanya dapat melaporkan segala sesuatu yang dapat dilihat dan didengar, atau yang dapat dijangkau oleh indra. Namun, walaupun Cuma melaporkan harus diperhitungkn, khususnya dalam ketelitian mencatat dan mendeskripsikan suatu peristiwa. b) Sudut Pandang Persona Pertama; “Aku” Dalam pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang ini terletak pada seorang narator yang ikut terlibat dalam cerita. Jika dalam sudut pandang “dia” mahatahu narator bebas melukiskan apa saja dari tokoh yang satu ke tokoh yang lain, dalam sudut pandang “aku” sifat kemahatahuannya terbatas. Sudut pandang persona pertama dapat di bedakan ke dalam dua 38
Ibid, hlm. 260
29
golongan berdasarkan peran dan kedudukan “aku” dalam cerita. “aku” mungkin menduduki peran utama, jadi tokoh utama protagonist, mungkin hanya menduduki peran tambahan, jadi tokoh tambahan protagonis, atau berlaku sebagai saksi. 1) “Aku” Tokoh Utama Dalam sudut pandang teknik ini, si “aku” mengisahkan berbagai peristwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, hubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya.39 Sudut pandang “aku” ini menjadi tokoh utama cerita praktis menjadi tokoh protagonis. Tokoh “aku” dapat dipergunakan untuk melukiskan serta membeberkan bebagai pengalaman kehidupan manusia yang paling dalam dan rahasia sekalipun. Dengan demikian, sudut pandang aku tentu saja punya nama, namun karena ia mengisahkan pengalaman sendiri, nama itu jarang disebut 2) “Aku” Tokoh Tambahan Dalam sudut pandang ini tokoh “aku” muncul bukan sebagai
tokoh
utama,
melainkan
sebagai
tokoh
tambahan.Tokoh “aku” hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedang tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian dibiarkan untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya. Tokoh cerita yang dibiarkan berkisah sendiri itulah yang kemudian menjadi tokoh utama, sebab dialah yang lebih banyak tampil, membawakan berbagi peristiwa, tindakan, dan berhubungan dengan tokoh-tokoh lain. Setelah cerita tokoh utama habis, “aku” tambahan tampil kembali, dan dialah kini yang berkisah.40 Dengan demikian “aku “ hanya tampil sebagai
39
Ibid, hlm. 263 Ibid, hlm. 264-265
40
30
saksi saja. Saksi terhadap berlangsungnya cerita yang ditokohi oleh orang lain. c) Sudut Pandang Campuran Penggunaan sudut pandang dalam sebuah novel mungkin saja lebih dari satu teknik seorang pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain. Semuanya itu tergantung kepada kemauan pengarang untuk menciptakan sebuah kreativitas dalam karyanya. Penggunaan sudut pandang yang bersipat campuran itu di dalam sebuah novel, mungkin berupa penggunaan sudut pandang persona ketiga dengan teknik „dia” mahatahu dan “dia” sebagai pengamat persona pertama dengan teknik “aku” sebagai tokoh utama dan “aku” tambahan atau sebagai pertama dan saksi, bahkan dapat berupa campuran antara persona pertamadan ketiga, antara “aku” dan “dia” sekaligus. 6) Gaya Bahasa Gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata latin stilus yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style lalau berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah.41 Pada umumnya orang beranggapan bahwa bahasa sastra berbeda dengan bahasa nonsastra, bahasa yang dipergunakan bukan dalam (tujuan) pengucapan sastra. Namun, perbedaannya itu sendiri tidaklah bersifat mutlak, atau bahkan sulit diidentifikasikan. Bahasa sastra, bagaimanapun perlu diakui eksistensinya, keberadaannya. Sebab, tidak dapat disangkal lagi, ia menawarkan sebuah fenomena
41
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1984), hlm.112
31
yang lain.42Artinya bahasa yang digunakan dalam sastra adalah bahasa yang sebenarnya lalu dibumbuhi dengan bahasa kiasan dan dipadukan dengan emosi jiwa seorang pengarang sehingga pembaca terhanyut dan bisa menikmati hasil karya tersebut.Yang paling penting kesadaran dan pengakuan kita, usaha kita untuk memahami dan menerimanya secara wajar. Pemahaman pembaca akan mengacu dan berangkat dari makna denotatif atau paling tidak makna itu akan dijadikan dasar pijakan. Sebaliknya, makna konotatif banyak dijumpai dan dipergunakan dalam penggunaan bahasa yang lain yang tidak tergolong karya kreatif. 7) Amanat Amanat
adalah
merupakan
suatu
pesan
yang
akan
disampaikan oleh pengarang lewat karyanya kepada para pembaca.43 Makna yang terkandung dalam sebuah karya dan tertuang secara tersirat dalam cerita, biasanya seorangpengarang akan menuangkan pengalaman hidupnya yang pernah dialami.
C. Penelitian yang Relevan Sebuah penelitian agar mempunyai orisinalitas perlu adanya tinjauan dan penelitian terdahulu, tinjauan ini bertujuan untuk mengetahui keaslian sebuah karya ilmiah. Ini untuk memberikan pemaparan tentang penelitian dan analisis sebelumnya yang telah dilakukan oleh peneliti lainnya terkait dengan masalah yang diteliti. Tinjauan terhadap hasil penelitian dan analisis sebelumnya akan dipaparkan berkaitan dengan penelitian yang akan diteliti Dengan demikian diperlukan beberapa penelitian yang relevan agar penelitian yang dilakukan berbeda atau mengandung kebaruan dibanding penelitian sebelumnya. Peneliti menggunakan novel untuk diteliti yaitu Ronggeng Dukuh Paruk, karya Ahmad Tohari.Di bawah ini beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini. 42
Nurgiantoro, Op. Cit, hlm. 273 Zaidan dkk, Op. Cit, hlm. 27
43
32
Penelitian mengenai eksistensi Ahmad Tohari pernah dilakukan oleh Ali Imron dari pendidikan linguistik program pascasarjana. Universitas Sebelas Maret pada tahun 2006, dengan skripsi berjudul “Ahmad Tohari dan Ronggeng Dukuh Paruk” Kesimpulan skripsi ini yaitu: (1). Mencermati kekuatan dan keunikan dan keiklasan karya-karyanya maka eksistensinya sebagai sastrawan dapat disejajarkan dengan sastrawan-sastrawan terkemuka negri ini. Tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa Ahmad Tohari dengan RDP yang memiliki konstribusi penting dalam jagat sastra Indonesia. (2). Figur tokoh Rasus dalam RDP sebagai cerminan dari Ahmad Tohari, (3). Ahmad Tohari mampu mengungkapkan masalah-masalah kemanusiaan yang kompleks yang ditunjang dengan keberaniannya melakukan bid‟ah budaya, tanpa terjebak dalam khutbah yang sloganistis. Penelitian terhadap novel RDP karya Ahmad Tohari pernah dilakukan jugaoleh Monica Martaose dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma pada tahun 2010, berjudul “Pandangan Positif Pada Novel RDP”. Kesimpulan penelitian ini yaitu: (1). Unsur intrinsik dalam novel RDP mengangkat tema mengenai karakteristik tokoh Ahmad Tohari dalam karyanya. Latar dalam novel tersebut sangat memperlihatkan karakteristik Ahmad Tohari. (2). Latar belakang penciptaan novel RDP yaitu pengarang ingin menunjukan situasi politik dan ekonomi sekitar tahun 19601965, (3). Tanggapan pembaca tentang isi novel RDP yaitu mereka pada umumnya tertarik dengan cerita yang bagus mengenai kritik kondisi zaman orde baru. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu, mengenai konflik batin tokoh utama yang terjadi pada diri dan lingkungannya dalam novel RDP karya Ahmad Tohari.
D. Pembelajaran Sastra Pembelajaran sastra di sekolah-sekolah merupakan suatu yang wajib diajarkan oleh seorang guru terhadap siswa. Namun, ini semua harus disesuaikan dengan tingkatannya, baik dari tingkat SD, hingga kepeguruan
33
tinggi. Masalah yang kita hadapi sekarang adalah menentukan bagaimana pengajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang maksimal untuk pendidikan secara utuh. Jika pembelajaran sastra diajarkan dengan baik dan tepat sasaran, maka pembelajaran sastra dapat membantu dibidang pendidikan. Ketepatan dalam pengajaran sastra tersebut dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, serta menunjang pembentukan watak.44 Kemanfaatan tersebut juga berguna untuk menafsirkan dan memahami masalah-masalah dunia nyata, walaupun sastra sendiri merupakan karya fiktif, sehingga pengajaran sastra dapat dijadikan sebuah pembelajaran yang penting dan patut menempati tempat selayaknya. Dalam pembelajaran sastra di sekolah novel tersebut mudah-mudahan dapat diterapkan di sekolah menegah tingkat pertama. Sepintas, penelitian pengajaran sastra tidak langsung berhubungan dengan karya sastra, melainkan terkait dengan pengajaran. Namun, kalau pengajaran sastra dilakukan sebagai sebuah proses “bersastra,” sesungguhnya penelitian ini erat dengan teks sastra. Penelitian pengajaran sastra akan mengaitkan tiga hal yaitu penelitian, pengajaran, dan sastra. Karenanya, di samping menguasai masalah metode penelitian, pengajaran sastra dan likulikunya, juga harus paham betul tentang sastra.Jika tiga hal itu ada yang timpang salah satu, tentu penelitian pengajaran sastra jelas kurang efektif.45 Dengan demikian, memang telah waktunya pembelajaran sastra harus menata diri. Pembelajaran sastra yang asal-asalan tanpa kompetensi yang jelas, hanya menyetak sampah pendidikan. Akibatnya, pembelajaran sastra tidak ada artinya apa-apa bagi kehidupan peserta didik.
44 45
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 16 Endraswara, Op. Cit, hlm. 189
BAB III PROFIL AHMAD TOHARI A. Biografi Pengarang Ahmad
Tohari
dilahirkan
di
desa
Tinggarjaya,
kecamatan
Jatilawang, Banyumas, 13 Juni 1948. Ia menempuh pendidikan Formalnya hanya mencapai SMA di SMAN II Purwokerto. Akan tetapi, ia pernah menjelajahi pengalaman pendidikan di beberapa Fakultas, seperti Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Kaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas Sudirman, Purwokerto (1974-1975), Fakultas Sosial Politik Universitas Sudirman, Purwokerto (1975-1976), dan International Wiriting Program Lowa, Amerika Serikat (1990) di salah satu universitas yang berada di Jakarta dan Purwokerto walaupun semuanya tidak berhasil diselesaikannya. Ahmad Tohari tidak pernah melepaskan diri dari pengalaman hidup kedesaannya. Maka warna hampir semua karyanya adalah lapisan bawah dengan latar alam. Dia memiliki kesadaran dan wawasan alam yang begitu jelas terlihat pada tulisan-tulisannya. Boleh jadi karena rasa ketertarikannya dengan keaslian alam Ahmad Tohari tidak betah hidup di kota. Jabatannya dalam staf redaksi kelompok Merdeka, Jakarta, yang dipegangnya selama dua tahun ditinggalkannya. Kini dia kembali berada di tengah sawah di antara lumpur dan katak, di antara lumut dan batu cadas di desanya.1 Dalam situasi yang kalut, ia sering membuat tulisan-tulisan untuk membunuh rasa jenuhnya. Setelah beberapa tulisannya berhasil diterbitkan oleh beberapa surat kabar, ia memutuskan untuk memasuki dunia tulismenulis dengan sungguh-sungguh.
1
Ahmad Tohari, Ronggeng DukuhParuk, (Jakarta: Gramedia PustakaUtama, 2011), hlm. 405
34
35
Ahmad Tohari merupakan salah seorang sastrwan Indonesia yang telah lama malang-melintang di dunia kepenulisan. Sudah banyak karyakarya Ahmad Tohari, begitu ia akrab disapa, yang berhasil memenangkan berbagai penghargaan dalam ruang lingkup nasional maupun internasional. Dalam dunia kepengarangan, kemampuan Kang Tohari dalam meramu kata telah diakui secara luas baik di dalam maupun di luar negeri. Novel trilogy Ronggeng Dukuh Paruk yang meliputi Ronggeng Dukuh paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), dan Jantera Bianglala (1986) telah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Jepang, Jerman, Belanda, dan Inggris. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk juga telah diadaptasi kelayar lebar oleh sutradara Ifa Irfansyah dengan judul Sang Penari. Novel RDP yang diterbitkan di tahun 2011 ini bercerita tentang konflik batin Rasus, seorang anak Dukuh Paruk yang kehilangan orang tuanya akibat malapetaka tempe bongkrek.2 1. Karir Ahmad Tohari a. Penulis/Pengarang b. Tenaga honorer di Bank BNI 1946 (1966-1967) c. Redaktur harian Merdeka (1979-1981) d. Staf redaksi majalah Keluarga (1981-1986) e. Dewan redaksi majalah Amanah (1986-1993) 2. Penghargaan yang Pernah diraih a. Memenangkan hadiah hiburan sayembara kincir emas (1975) yang diselenggarakan Radio Nederlands Wereldomroep b. Memenangkan hadiahYayasanBukuUtama (1980) c. Meraih hadiah Yayasan Buka Utama (1986) d. Memenangkan hadiah sayembara mengarang roman Dewan Kesenian Jakarta (1986) 2
Riset dan Analisis oleh: Oleh Meidita Kusuma Wardhana, diunggah pada tanggal 13 april, pukul 12.30Wib.
36
e. Memenangkan hadiah The Fellow of The University of lowa (1990) f. Memenangkan hadiah Pengharggaan Bhakti Upapradana pemerintah Propinsi Jawa Tengah untuk pengembangan seni budaya (1995) g. Memenangkan hadiah Southeast Asian Writers Award (1995) h. Memenangkan hadiah Rancage Award 2007.3
B. Karya Ahmad Tohari 1.
Cerpen Jasa-Jasa Buat Sanwirya
2.
Novel Kubah
3.
Novel di Bawah Kaki Bukit Cibalak
4.
Novel Lintang Kemukus Dinih Hari
5.
Novel Jantera Bianglala
6.
Kumpulan cerpen Senyum Karyamin
7.
Novel Berkisar Merah
8.
Novel Lingkar Tanah Air
9.
Kumpulan cerpen Nyanyian Malam
10. Novel Belantik 11. Novel Orang-Orang Proyek 12. Kumpulan cerpen Rusmi Ingin Pulang 13. Novel Ronggeng Dukuh Paruk
C. Karakteristik Dunia Kepengarangan Ahmad Tohari Di tengah keprihatinan dan kondisi batinnya yang gundah melihat situasi dan kondisimasyarakat di sekitarnya dan setelah sekian tahun ia meninggalkan pekerjaan sebagai karyawan honorer di Bank BNI 1946 (1966-1967). Ia kemudian mulai menulis karya sastra, dan lahirlah beberapa cerita pendek dan ternyata dengan mudah dimuat di beberapa surat kabar dan majalah yang terbit di Jakarta. Upacara Kecil adalah cerpen pertamanya yang dimuat di media massa. Demikian pula beberapa cerpennya ternyata 3
Profil.Media. Com, diunggah pada tanggal 13 April 2014, pukul, 12.30 W.ib
37
tidak sulit untuk diterima diberbagai media massa di Jakarta. Kenyataan itu mendorong semangatnya dan berkembanglah rasa percaya dirinya sebagai pengarang. Ia kemudian menulis novel pertamanya Di Kaki Bukit Cibalak yang dimuat secara bersambung di surat kabar harian kompas pada tahun 1979 (diterbitkan ole PT Gramedia, 1986). Pada novel pertamanya ini, Ahmad Tohari sudah menunjukan komitmennya terhadap wong cilik yang terpinggirkan. Dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak, ini tampak sekali karakteristik kepengarangan Ahmad Tohari yang berkutat pada perjuangan membela orang kecil yang terpinggirkan dan tersia-sia, menegakkan kebenaran, pentingnya kejujuran dan cinta kasih sayang. Setting desa yang dilukiskan dengan sangat menarik menjadi ciri khas pada Di Kaki Bukit Cibalak dan kelak menonjol pada karya-karyanya yang lain. Perhatiannya kepada masyarakat kecil dan terpinggirkan dengan latar desa terlihat semakin kental dalam RDP. Novel yang menjadi tonggak popularitasnya itu juga menampilkan sosok perempuan desa, Sritil dan Rasus, pemuda desa Dukuh Paruk. Akhir cerita RDP tidak terlalu penting. Yang pasti, RDP telah membuktikan kemampuan Ahmad Tohari dalam berkisah dengan tokoh orang desa dan latar desa dengan menarik bahkan tidak jarang sangat menarik. Dengan tokoh orang desa dan latar desa itu, Ahmad Tohari berhasil
mengungkapkan
berbagai
persoalan
kemanusiaan,
seperti
kejujuran, kemunafikan, keikhlasan, kesewenang-wenangan, ketertindasan, keterpaksaan, dan cinta kasih serta komitmennya kepada wong cilik dan terpinggirkan yang menjadi karakteristik dalam hampir semua karyanya. Karakteristik itu masih tampak dalam karya-karyanya yang lahir kemudian, seperti: Lingkar Tanah Lingkar Air (1995), Berkisar Merah (1993) Nyanyian Malam (kumpulan cerpen, 2000), Blantik (Berkisar Merah
38
II, 2001), dan Orang-orang Proyek (2002). Hanya saja pada Berkisar Merah, Nyanyian Malam, alam pedesaan dan penduduknya tidak lagi menjadi sentral dalam beberapa cerpennya. Ahmad Tohari tetap bertumpu pada persoalan kehidupan wong cilik yang ditarik dari akar konflik pedesaan kedalam rantai konflik masyarakat kota. Demikian pula pada Berkisar Merah, novel ini dikisahkan tokoh lasi yang mengalami perubahan hidup dari alam pedesaan kealam perkotaan, yang membuatnya terkejut dan akhirnya memilih kembali kedesa. Adapun novel Blantik mengemukakan potret kehidupan masyarakat kota yang hedonis, borjuis, dan semu, semasa orde baru. Kisah ini penting bagi pembaca sebagai dokumen sosial yang tak terhapuskan dalam sejarah bangsa kita. Dengan demikian, jelaslah bahwa karakteristik yang dominan dalam hampir seluruh karyanya adalah kepeduliannya yang besar terhadap persoalan kehidupan wong cilik yang tepinggirkan baik di pedesaan maupun perkotaan. Perjuangan membela kebenaran dan keadilan juga tampak menonjol dalam karya-karyanya. Selainitu, peristiwa, tokoh, danlatar, alam pedesaan yang asli yang dilukiskan dengan sangat menarik tampak jelas, walaupun pada beberapa karya terakhirnya persoalan masyarakat perkotaan mulai diungkapkan seperti dalam Nyanyian Malam, BekisarMerah, dan Blantik. Dalam
karakteristik
karya-karya
yang
lain
adalah
daya
komunikatifnya, mampu memaparkan nilai dan dunia alternative dan berbobot dengan bahasa yang sederhana, renyah, mengalir lancar, dan mudah dicerna.4
4
http:// Aliimronalmakrup. Blogspot. Com/ 2011/04/Ahmad-Tohari-dan-Ronggeng-DukuhParuk 25.html, diakses Pada Minggu 24 Mei 2014 pukul, 08:00:00
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN KONFLIK BATIN TOKOH DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK A. Unsur intrinsik Novel RDP 1. Tema Dalam sebuah karya sastra tentu tidak terlepas dengan adanya tema sehingga tema menjadi kiblat untuk menentukan konflik dalam rangkaian peristiwa. Sehubungan dengan hal ini maka penulis mengambil tema yang diangkat dalam novel RDP karya Ahmad Tohari yaitu tentang konflik batin seorang anak yang kehilangan Ibunya. Seseorang yang dimaksud oleh penulis dalam novel ini adalah Rasus, ia kehilangan Ibunya di saat masih berusia tiga tahun dalam malapetaka tempe bongkrek yang dialami Dukuh Paruk sebelas tahun silam. Hal itu terlihat pada kutipan di bawah ini. Cerita nenek yang paling membuatku penasaran adalah yang menyangkut Emak. Bersama Ayah, Emak juga termakan racun. Bila Ayah langsung meninggal pada hari pertama, tidak demikian dengan Emak. Dia masih hidup sampai seorang mantri datang pada hari ketiga. Oleh Pak Mantri, Emak bersama lima orang lainnya dibawa ke poliklinik di sebuah kota kawedanan. Beberapa hari kemudian seorang kembali ke Dukuh Paruk dalam keadan hidup, dan tiga lainnya sudah menjadi mayat. Emak tidak ada di antara mereka.1 Kutipan di atas menunjukkan bahwa apa yang dialami oleh Rasus sejak kanak-kanak disimpan dalam ingatan dalam hatinya. Setelah Rasus menginjak dewasa ia mampu menyusunnya menjadi sebuah catatan. Memang menyedihkan catatan ini tidak lebih dari pada sebuah evaluasi perjalanan hidup seorang anak Dukuh Paruk. Kerinduan Rasus akan sosok Ibunya hilang ternyata ditemukan pada diri Srintil yang merupakan sebuah cermin untuk mencari bayang-bayang ibunya. Namun, pergolakan batin 1
Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm. 34
39
40
Rasus semakin menjadi setelah Srintil menjadi seorang ronggeng, terlebih lagi syarat puncak ritual yang harus dijalani Srintil untuk menjadi seorang ronggeng yang sebenarnya. Hal itu terlihat pada kutipan di bawah ini. “Saatnya telah saya tentukan pada sabtu malam yang akan datang,” kata Kartareja pada sabtu pagi di hadapan banyak laki-laki di pasar. “Dan sampean meminta sekeping ringgit emas?” “Ah,” lenguh laki-laki yang bertanya tadi. “E… Kenapa? Terlalu mahal? Ingat baik-baik. Pernakah ada ronggeng secantik Srintil?.2 Kutipan di atas menunjukkan bahwa dukun ronggeng Dukuh Paruk telah menentukan malam ritual. Setiap laki-laki boleh mengikuti upacara ritual ini. Tetapi, ada syarat yang harus dipenuhi oleh laki-laki yang mengikutinya, yaitu harus menyerahkan
dua keping emas dan perak.
Rasus takkan pernah berhasil melukiskan pengalaman batinnya secara memadai. Hal ini mungkin karena ia tak mempunyai cukup kefasihan. Mungkin bisa saja takkan ada orang yang percaya akan penderitaan yang dialami, yang dalam hidupnya mempunyai ibu hanya dalam angan-angan Srintil. Rasus memandang Srintil setelah dijual dengan harga emas dan ringgit, dia bukan Srintil lagi, melainkan seorang ronggeng Dukuh Paruk milik semua laki-laki. Rasus merasa kehilangan ibunya yang kedua kali. Ia tidak memiliki kawan untuk berbagi Memang, Srintil tetap tak bisa dilupakan. Kenangan bersamanya karena Rasus mengenalnya sejak masa kanak-kanak, tidak mungkin hilang dengan mudah. Tetapi kedudukan Srintil dalam hati Rasus, sedikit demi sedikit bergeser ketempat yang lebih wajar. Sedangkan tema minor atau tema tambahan yang merupakan sebagai pendukung tema utama dalam novel RDP adalah kemiskinan dan kemelaratan sehingga terjadinya tragedi racun tempe bongkrek. Hal itu terlihat pada kutipan di bawah ini.
2
Ibid, hlm. 52
41
“Kang, orang-orang itu geger. Banyak tetangga yang sakit dan pingsan. Ini bagaimana, Kang?” Santayib membisu. Ketegangannya semakin menjadi-jadi. Melihat laki-laki itu diam, istrinya berseru lagi. “Kang, apa kaudengar orang-orang mengatakan mereka keracunan tempe bongkrek? Bongkrek yang kita buat? Ini bagaimana, Kang?”3 Kutipan di atas menunjukkan bahwa apa yang dialami oleh Santayib, pasti menjadi perang antara suara hati dan suara nurani. Secara fitrah sebagai manusia, Santayib ingin menolak keburukan yang datang menimpanya. Tetapi, secara kenyataan Santayib harus bertanggung jawab sebagai pembuat tempe bongkrek yang mendatangkan perkara. Di tengah-tengah kebimgbangan muncullah Sakarya, ayah Santayib sendiri. Dan di belakangnya muncul tiga laki-laki lain, Ketiganya dengan wajah berang, Hal itu terlihat pada kutipan di bawah ini. “Oalah! Oalah! Santayib, anakku. Orang-orang itu mabuk keracunan bongkrek. Bongkrekmu mengandung racun.” “tidak! bongkrekku tidak mungkin beracun. Bahannya bungkil yang kering. Tidak bercampur apa pun. Ayah, jangan mengajak orang menuduh anakmu sendiri dengan keji!” “He, Santayib. Bukti yang berbicara. Lihat, anakku, istriku emakku, semua tergeletak. Mereka makan bongkrekmu pagi ini,” bentak seorang laki-laki di belakang Sakarya.4 Bahwa kutipan di atas menunjukkan bagaimana rasa getir, kelu dan bimbang yang mencekam hati Santayib, kekacauan hatinya tergambar pada roman muka yang tidak menentu. Orang-orang
melampiaskan
kemarahannya atas terjadinya racun tempe bongkrek buatan Santayib yang melanda Dukuh Paruk. Siapapun takkan berhasil mengubah keyakinan oranng-orang Dukuh Paruk bahwa asam tembaga satu-satunya penyebab bencana. 3 4
Ibid, hlm. 25 Ibid, hlm. 26
42
Namun, sepanjang menyangkut malapetaka tempe bongkrek, asam tembaga tak terbukti berperan. Kesalahan ini sebenarnya pada adanya bakteri jenis pseudomonas coccovenenas yang ikut tumbuh pada tempe bongkrek, bakteri itu menghasilkan racun kuat yang menjadi cikal bakal kematian orang yang makan tempe bongkrek. Banyak anak-anak Dukuh Paruk yang kehilangan orang tuanya termasuk Rasus. Keadaan Dukuh Paruk benar-benar hilang dari kedamaian. Banyak warga Dukuh Paruk yang merasakan sakit serta tangis orang-orang yang meregang nyawa, musibah ini terjadi ketika Rasus berusia tiga tahun. 2. Tokoh dan Penokohan Dalam unsur intrinsik tokoh dan penokohan merupakan dua hal yang sangat penting yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan pada sebuah cerita rekaan. Tokoh adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya rekaan, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan
dalam
tindakan.
Sedangkan
penokohan
orang
yang
menampilkan cerita di dalam sebuah cerita. a) Rasus Tokoh utama dalam novel RDP adalah Rasus, dan Rasus juga merupakan tokoh bulat. Kutipan di bawah ini memperlihatkan adanya gejala kompleks melalui ucapan Rasus dalam novel RDP, mengisahkan tentang pergolakan batin Rasus. Rasus adalah seorang anak Dukuh Paruk yang berusia empat belas tahun yang ditinggal pergi orang tuanya. Pada saat usianya tiga tahun Rasus sudah menjadi yatim-piatu karena kedua orang tuanya menjadi salah satu korban racun tempe bongkrek. Ayahnya meninggal sedangkan Ibunya tidak diketahui keberadaannya, apakah sudah meninggal atau belum. Ada yang mengatakan Ibunya meninggal di poliklinik dan mayatnya dijadikan bahan penyelidikan, dan ada juga yang mengatakan Ibu dapat diselamatkan entah kemana, hilang atau pergi bersama mantri. Rasus
43
cenderung lebih mempercayai versi yang pertama karena lebih baik daripada versi yang kedua, meskipun keduanya tinggal menjadi ketidakjelasan yang membuatnya lebih merana daripada seorang anak yatim-piatu. Akibat kepergian ibunya yang tidak jelas itulah yang menyebabkan pergolakan batin, dan kecemasan, yang mengganggu kejiwaan Rasus. Hal ini menyebabkan luka batin yang dalam pada diri Rasus. Jadi ada dua versi kisah tentang Emak. Mana yang layak kupercaya aku sendiri selalu ragu. Namun setidaknya aku berharap versi pertamalah yang benar. Artinya memang Emak meninggal. Mayatnya lalu dicingcang untuk kepentingan penyelidikan. Pikiran durhaka semacam ini sengaja kudatangkan ke kepalaku. Kuharap orang akan mengerti andaikata versi itu benar, hakikatnya lebih baik dari pada seorang yatim-piatu.5 Peran tokoh Rasus dalam novel ini lebih besar dibandingkan Srintil yang identik dengan judul buku RDP. Ketidakseimbangan itu ditunjukkan oleh frekuensi keterlibatan kedua tokoh tersebut dalam cerita yang sama sekali tidak seimbang. Pengarang lebih banyak memaparkan hal-hal yang memungkinkan perkembangan kejiwaan Rasus daripada Srintil. Sekurang-kurangnya terdapat empat tokoh penting sepanjang kejiwaan Rasus. Srintil, Emak, Mantri, dan Sersan Slamet. Sersan Slamet sungguh hidup dalam pengertian, ketiganya dapat bertemu secara fisik satu sama lain. Sersan Selamat adalah tentara yang ditugasi memerangi perampok yang merajalela di Dawuan. Rasus bertemu
dengannya
ketika
dia
dalam
pelarian.
Dan
Rasus
diperbantukan Sersan Slamet ke dalam pasukannya. Rasus lari dari dukuhnya
dan bergabung dengan Sersan Slamat karena ia merasa
kehilangan Srintil yang menjadi ronggeng dan milik Dukuh Paruk karena di dalam dri Sintil ditemukan Emaknya yang menjadi angananganya.
5
Ibid, hlm. 34-35
44
Ketidakjelasan
tentang
hilangnya
Ibu
Rasus
yang
mengakibatkan terjadinya pergolakan batin yang dialami oleh Rasus hingga bertahun-tahun sampai usia Rasus menginjak empat belas tahun ia hanya bisa berandai-andai tentang Ibunya. Ia biarkan Ibu hidup abadi dalam angan-angannya. Bahkan Rasus gambarkan sosok Ibunya ke dalam diri Srintil. Gambaran tersebut Rasus reka sendiri dan dijadikan kepastian dalam hidupnya. Hal tersebut seperti kutipan di bawah ini. Ah, sebaiknya kukhayalkan Emak sudah mati. Ketika hidup dia secantik Srintil. Bila sedang tidur, tampillah Emak sebagai citra perempuan sejati. Ayu, teduh, dan menjadi sumber segala kesalehan, seperti Srintil yang saat itu masih lelap memeluk keris kecil yang kuletakan di sampingnya.6 Kutipan di atas menunjukkan bahwa Ibu Rasus dan mantri merupakan tokoh ciptaan Rasus belaka, mereka tak pernah ada secara nyata. Semua skandal Ibunya dan mantri tak lebih dari hasil anganangan Rasus belaka. Tetapi meskipun tak pernah ada secara nyata, Ibunya dan mantri tak dapat dipisahkan dari perkembangan kejiwaan Rasus. Boleh dikatakan kedudukan Ibunya sejajar dengan Srintil, dan kedudukan mantri kehadirannya tak nyata dalam kehidupan Rasus hanya menambah delir kecemasannya saja. Konflik yang dialami dan dirasakan Rasus, tak lain merupakan konfrontasi Rasus dengan keempat tokoh. Yaitu, bila Srintil dan Sersan Slamet merupakan tokoh nyata, sedangkan Ibunya dan Mantri adalah tokoh rekaan Rasus. Ibu Rasus dan Srintil merupakan masa lalu Rasus sedangkan Mantri dan Sersan Slamet mengambarkan masa depan Rasus. Dua persoalan psikolog yang harus dihadapi oleh Rasus, pertentangan antara dunia nyata dengan dua angan-angan dan pertentangan antara masa lalu dan masa kini. Persentuhan Rasus dengan nilai-nilai dari luar sangat membantu untuk memahami dirinya sendiri, untuk memahami atau menyadari keberadaanya di tengah persimpangan oreintasi dua niali budaya tersebut. Akhirnya Rasus menyingkirkan 6
Ibid, hlm. 42
45
dunia angan-angan dari benaknya. Sedangkan dunia kini (modern) identik dengan dunia nyata yang sudah saat disadari sebagai bagian dari tahap-tahap pertumbuhan kepribadiannya. Persoalan
psikologis
yang
harus
dihadapi
oleh
Rasus,
pertentangan antara dunia angan-angan dan dunia nyata. Rasus memandang diri Ibunya sudah tidak ada. Ini semua Rasus reka sendiri dan
dijadikan
kepastian
dalam
hidupnya.
Namun
Rasus
membandingkan diri Ibunya waktu hidupnya kecantikannya seperti Srintil. Tidak bisa kupastikan yang kurindukan adalah seorang perempuan sebagai kecintaan atau seorang perempuan sebagai citra seorang anak. Emakku atau kedua-duanya. Tapi jelas, penampilan Srintil membantuku mewujudkan angan-anganku tentang pribadi perempuan yang telah melahirkanku. Bahkan juga bentuk lahirnya… Sudah kukatakan aku belum pernah atau takkan pernah melihat Emak. Persaman itu kubangun sendiri. Lama-lama hal yang kureka sendiri itu kujadikan kepastian dalam hidupku.7 Kutipan di atas menunjukkan bahwa bagaimana rasa rindunya Rasus terhadap Ibunya yang telah mengandung, melahirkan, dan menyusuinya hanya sebatas angan-angan saja sedangkan Rasus tidak pernah melihat Ibunya. Namun, dengan adanya penampilan Srintil menambah semangat untuk mengingat tentang Ibunya. Pergolakan batin Rasus semakin menjadi setelah Srintil menjadi seorang ronggeng, terlebih lagi syarat ritual terakhir yang harus dijalankan oleh Srintil untuk menjadi seorang yang sebenarnya. Pengikat yang membuatku mencintai Dukuh Paruk telah direnggut kembali. Aku tidak lagi mempunyai cermin tempat aku mencari bayang-bayang Emak. Sakitku terasa lebih perih daripada saat aku belum mengenal Srintil.8 Kutipan di atas memperlihatkan adanya gejala Oedipus complex melalui ucapan tooh Rasus yang sangat mencintai Emakya menunjukkan 7 8
Ibid, hlm. 45 Ibid, hlm. 80
46
bahwa pergolakan batin Rasus alami semakin menjadi setelah Srintil menjadi seorang ronggeng terlebih lagi syarat ritual yang terakhir yang harus dijalani Srintil untuk menjadi seorang ronggeng yang sebenarnya. Dalam ritual itu Srintil menyerahkan kesuciannya kepada laki-laki lain yang memenuhi syarat ritual. Konflik batin pada diri Rasus terus terjadi terlebih setelah Srintil melewati malam ritual, semua angan-angan yang dibangun oleh Rasus tentang Ibunya dengan berat hati dihapuskan dalam ingatannya. Sosok Ibunya dan mantri, sebagai unsur dunia angan-angan, akhirnya disingkirkan oleh Rasus. Sosok Emak yang kulukiskan dalam angan-angan selama bertahun-tahun, dengan berat hati harus kumusnahkan. Dulu aku begitu yakin Emak mempunyai cambang halus di pipi seperti Srintil. Atau lesung pipi di pipi kiri. Suaranya lembut dan sejuk dengan senyum yang menawarkan duka seorang anak yang selalu merindukannya.9 Kutipan di atas menunjukkan bahwa Ibunya yang selama ini ada diangan-angan Rasus menjadi sirna setelah mendapatkan pengalaman yang dapat memberikan cakrawala luas terhadap diri Rasus tentang banyak hal. Gambaran mengenai Ibunya yang semula identik dengan Srintil telah tergantikan dengan citra perempuan lain yang mirip dengan perempuan Dukuh Paruk pada umumnya. Rasus akhirnya bisa melupakan Srintil di dalam jiwanya dan bergeser ke tempat yang lebih wajar. Pergolakan batin di dalam diri Rasus pun menghilang. Hingga akhirnya Rasus mampu menerima kepergian Ibunya. Ia telah meyakini Ibunya meninggal karena racun tempe bongkrek. Dan Rasus merelakan Ibunya dimakamkan di suatu tempat entah di mana adanya. Akhirnya Rasus mampu hidup tanpa bayang-bayang Ibunya dan tersadar mencari gambaran Ibunya yang selama ini ia lakukan hanya akan membuatnya menjadi tekanan batin.
9
Ibid, hlm. 87
47
Gambaran tentang mantri baru bisa dilenyapkan dari ingatan Rasus setelah melewati suatu proses yang cukup panjang dan rumit. Hal itu terlihat pada kutipan di bawah ini. Ketika kupandangi tiga pucuk bedil yang dibiarkan tersadar oleh majikannya, tiba-tiba muncul ilham gemilang. Sampai kapan pun aku tak bis mengerti mengapa ilham itu datang pada saatnya yang amat sangat tepat. Kedatanganya akan terbukti nanti mampu mengakhiri derita panjang yang menista hidupku selama bertahun-tahun.10 Kutipan di atas memperlihatkan akibat Oedipus Compleks bahwa setelah sekian lama Rasus berhasil menghancurkan bayangbayang Ibunya dengan tergantikan citra perempuan Dukuh Paruk pada umunnya, barulah Rasus berpikiran untuk juga menghancurkan citra mantri yang selama ini menjadi musuh dalam batinnya. Dengan cara seperti ini Rasus telah merasa membebaskan Ibunya dari genggaman mantri. Berdasarkan hasil analisis terhadap tokoh utama dalam novel RDP, termasuk penjelasan tentang sebab dan akibat timbulnya Oedipus complex, dapat disimpilkan bahwa, pertama, penyebab dari timbulnya kompleks ini adalah karena sejak usia tiga tahun Rasus sudah ditinggal kedua orang tuanya yang menjadi korban tempe bongkrek. Ayahnya meninggal sedangkan Emaknya tidak diketahui keberadaannya. Ketidakjelasan tentang kepergian Emak yang menjadi salah satu korban racun tempe bongkrek sehingga mengakibatkan pergolakan batin, dan kecemasan yang mengganggu kejiwaan Rasus. Kerinduan Rasus akan sosok Emaknya digambarkan pada diri Srintil yang merupakan cermin pada bayang-bayang Emaknya, namun bayang-bayang itu sirna ketika Srintil untuk memutuskan menjadi seorang ronggeng. Pergolakan batin Rasus semakin terus menjadi ketika Srintil menjalankan syarat puncak ritualnya yang terakhir.
10
Ibid, hlm. 96
48
b) Srintil 1. Srintil Menjadi Penari Tradisi Dalam novel RDP Srintil merupakan tokoh bulat. Srintil adalah seorang yatim-piatu. Semenjak kecil ia diasuh oleh kakek dan neneknya. Srintil anak yang kenes, semenjak kecil pandai menari, senang dipuji dan juga anak yang manis. Hal ini terlihat pada kutipan di bawah ini. “Tak kusangka Srintil bisa menari sebagus itu,” katanya. “kalau boleh aku ingin menggendongnya sampai dia lelep di pangkuanku.” “Yah, aku pun ingin mencuci pakiannya. Aku akan memandikannya besok pagi,” kata perempuan lainnya.11 Kutipan di atas menunjukkan bagaimana orang-orang Dukuh Paruk kagum dan simpati dengan penampilan Srintil, sehingga setiap orang ingin memanjakan dan melayaninya. Penari tradisi memang kebanggaan bagi Dukuh Paruk. Dengan keluguan, atau mungkin kenaifannya, Srintil merasa dilahirkan untuk menjadi penari tradisi. Srintil beserta sistem nilai yang mengelilinginya hadir mewakili dunia perempuan yang mempunyai peran atau bahkan kewajiban alami sebagai penyeimbang bagi dunia lelaki dan kelelakian. Itulah sebabnya, dalam menjalani perannya sebagai penari tradisi, Srintil selalu merasa terpanggil untuk melayani. Masyarakat Dukuh Paruk sendiri mendukung kondisi tersebut. Seorang penari tradisi tidak akan menjadi bahan kecemburuan bagi perempuan Dukuh Paruk. Hal ini terdapat pada kutipan di bawah ini. Ketika menonton Srintil menari aku pernah mendengar percakapan perempuan-perempuan yang berdiri di tepi arena. Percakapan mereka akan membuat para suami merasa tidak menyesal telah hidup dalam kungkungan rumah tangga.12 Kutipan di atas menunjukkan bahwa senada dengan apa yang dirasakan para istri tersebut, dalam hal ini, Srintil memandang penari 11 12
Ibid, hlm. 20 Ibid, hlm. 38
49
tradisi merupakan suatu hal yang sangat ia dambakan sehingga ia sangat menginginkan menjadi penari tradisi. Hal itu terlihat ketika Srintil sangat menikmati masa kecilnya dengan dibaluti tarian tradisi dan Srintil sangat senang apabila ada teman yang melihatnya menari tradisi karena sejak awal Srintil memang sudah sangat pintar menari tradisi hal itu tidak didapati dengan latihan. Hal itu terlihat seperti kutipan di bawah ini. Mulut Rasus dan kedua temanya pegal sudah. Namun Srintil terus melenggang dan melenggok. Alunan tembangnya terus mengalir seperti pancuran di musim hujan.13 Kutipan di atas menunjukkan bahwa tekad Srintil untuk menjadi seorang penari tradisi sudah bulat, apa yang dianjurkan dan disyaratkan dijalaninya dengan seksama. Agar sah menjadi seorang penari tradisi, Srintil harus mengalami tiga tahapan ritual penari tradisi yang sangat dipatuhi dalam pedukuhan melalui dukun penari tradisi yang menjadi kepercayaan kakeknya. 2. Srintil Mengikuti Pakem Pertama, Srintil diperkenalkan kepada warga Dukuh Paruk melalui pementasan penari tradisi. Suatu malam, Srintil didandani seperti layaknya penari tradisi dewasa. Hal itu terlihat pada kutipan di bawah ini. Di halaman rumah Kartareja ronggeng bermain satu babak. Tidak seperti biasa, pentas kali ini tanpa nyanyi atau tarian erotik. Mulut sakum bungkam. Si buta itu tidak mengeluarkan seruan-seruan cabul. Semua orang tahu permainan kali ini bukan pentas ronggeng biasa. Tetapi merupakan bagian dari upacara sakral yang dipersembahkan kepada leluhur Dukuh Paruk.14 Kutipan di atas menunjukkan bahwa semua ini agar masyarakat pedukuhan Dukuh Paruk tahu bahwa ada penari tradisi 13 14
Ibid, hlm. 13 Ibid, hlm. 45
50
yang cantik dan kenes dan masyarakat Dukuh Paruk menyambut dengan senang hati dengan adanya upacara ritual pementasan tarian tradisi. Pada saat itulah Srintil menari dengan mempesona karena Srintil sangat mematuhi ritual dengan hati yang sangat mempercayai tarian tradisi. Kedua, Srintil harus melewati upacara pemandian. Srintil dimandikan di makam leluhur masyarakat Dukuh Paruk, Ki Secamenggala yang makamnya dikeramatkan oleh warga Dukuh Paruk Kemudian rongengg itu dituntun ke depan pintu cungkup. Di sana Srintil menyembah dengan takzim, lalu bangkit dan berjalan ke hadapan lingkaran para penabuh.15 Kutipan di atas menunjukkan bahwa orang-orang Dukuh Paruk masih mempercayai roh-roh yang ada di pekuburan. Ini merupakan upacara ritul yang kedua yang harus dilewati oleh seorang penari tradisi, Srintil diarak dan dimandikan dimakam Ki Secamanggala, leluhur masyarakat Dukuh Paruk. Ketiga, Srintil harus mengikuti ritual yang terakhir agar ia sempurna menjadi seorang penari tradisi karena setelah melewati ritual terakhir ini, Srintil diperbolehkan mendapatkan uang disaat menari. Hal itu seperti kutipan di bawah ini. Orang-orang Dukuh Paruk mengatakan bahwa Srintil masih harus menyelesaikan satu syarat lagi. Sebelum hal itu terlaksana, Srintil tak mungkin naik pentas dengan memungut bayaran.16 Kutipan di atas menunjukkan bahwa ini merupakan suatu hal yang besar yang menjadi dilema di dalam hati Srintil. Ini bukan hal yang mudah bagi Srintil dan bagi perempuan-perempuan lain di luar Dukuh Paruk. Srintil harus melewati ritual terakhir ini untuk benar15 16
Ibid, hlm. 46 Ibid, hlm. 51
51
benar menjadi seorang penari tradisi. Sedangkan dukun penari tradisi telah mempersiapkan upacara tersebut dengan persiapan yang matang. Di sisi lain, pandangan Rasus terhadap penari tradisi bertolak belakang dengan apa yang diyakini oleh Srintil. Rasus mengingkari. Akan tetapi, Rasus tidak memiliki otoritas untuk menolak hukum yang menjadi keharusan Dukuh Paruk itu. Dengan tidak disangka oleh Rasus, ternyata Srintil tidak mematuhi ritual yang terakhir. Tanpa sepengetahuan Kartareja dan Istrinya, Srintil memberikan kesucian kepada Rasus tanpa diiringi ritual sakral di kamar yang sudah ditentukan. Sebab. ia lebih suka memberikan cintanya kepada Rasus daripada kedua orang yang tidak disukainya. Dalam hal ini Srintil telah melanggar kesakralan tradisi ronggeng. Setelah kejadian itu, Rasus merasa tidak dapat lagi berkompromi dengan nilai-nilai lama warisan para leluhurnya. Rasus akhirnya meninggalkan pedukuhannya yang terpencil itu untuk mencari pengalaman yang lain. Langkahku tegap dan pasti. Aku, Rasus sudah menemukan diriku sendiri. Dukuh Paruk dengan segala sebutan dan penghuninya akan kutinggalkan.17 Kutipan di atas menunjukkan bahwa pandangan Srintil terhadap tari tradisi mulai bergeser ketika Srintil mencintai Rasus dan ingin menjalin kehidupan berumah tangga dengannya. Meskipun dalam penari tradisi tidak dibenarkan mengikatkan diri dengan seorang lelaki. Srintil tak dapat melupakan Rasus. Namun, Rasus sebagai laki-laki yang banyak dengan pengalaman mempunyai seribu alasan untuk mempertimbangkan bahkan menolak permintaan Srintil.
17
Ibid, hlm. 106
52
3. Srintil Pasrah Pada Keadaan Sudah lama antara Srintil dengan Rasus tidak bertemu semenjak Srintil menjadi penari tradisi. Suatu saat Srintil dan Rasus bertemu
di
dalam
pertemuannya
Srintil
berbicara
tentang
perkawinan, dan tentang seorang bayi. Hal itu seperti kutipan di bawah ini. “Bila kau ingin bertani, aku mampu membeli satu hektar sawah buat kaukerjakan. Bila kau ingin berdagang, akan kusediakan uang secukupnya,” pinta Srintil di tengah malam yang amat sepi.18 Kutipan di atas menunjukkan bahwa pandangan Srintil terhadap ronggeng mulai bergeser ketika Srintil mencintai Rasus dan ingin menjalini kehidupan berumah tangga dengannya. Meskipun dalam dunia ronggeng tidak dibenarkan mengikatkan diri dengan seorang lelaki. Srintil tidak bisa melupakan Rasus. Ketika Rasus menghilang dari Dukuh Paruk, jiwa Srintil terkoyak. Menyadari bahwa kemandulan itu sesuatu yang mengerikan menjelang pada hari tua. Betapapun seorang perempuan Dukuh Paruk hidup dalam dunia peronggengan, tetapi Srintil ingin seperti perempuanperempuan lain yang ingin mempunyai keturunan. Apa yang selama ini istri Kartareja lakukan kepadanya, yaitu memijit hingga mati indung telurnya, dan peranakannya. Semua ini dilakukan karena karier seorang ronggeng terhenti apabila seorang ronggeng itu mengalami kehamilan. Apa yang selama ini Srintil risaukan di dalam hatinya merupakan suatu perasaan tentang ketakutannya menghadapi hari tua. Srintil juga seperti perempuan-perempuan lain yang ingin mempunyai anak yang lahir dari rahimnya.
18
Ibid, hlm. 105
53
Hasil analisis terhadap tokoh Srintil adalah seorang gadis kecil yang cantik, dan kenes dan pandai menari. Dan untuk menjadi seorang penari yang sebenarnya Srintil harus melewati tiga syarat yang sudah ditentukan olaeh dukun ronggeng Dukuh Paruk. Pertama Srintil diperkenalkan kepada warga Dukuh Paruk dalam upacara pementasan tari tradisi. Kedua Srintil harus melewati upacara pemandian yang dilakukan di makam Ki Secamenggala yang merupakan kiblat warga Dukuh Paruk. Ketiga Srintil harus melewati upacara ritual terakhir agar ia sempurna menjadi seorang penari tradisi dan Srintil diperbolehkan mendapatkan uang disaat menari. c) Sakarya Dalam novel RDP Sakarya merupakan tokoh sederhana atau tokoh datar. Sakarya adalah Kakek Srintil, yang sangat patuh dan menghormati tradisi leluhur dengan aturan adatnya. Hal itu terlihat pada kutipan di bawah ini. Pada hari baik, Srintil diserahkan oleh kakeknya kepada Kartareja. Itu hukum Dukuh Paruk yang mengatur perihal seorang calon ronggeng.19 Kutipan di atas menunjukkan bahwa Sakarya percaya penuh kepada dukun penari tradisi Dukuh Paruk untuk membina Srintil untuk menjadi seorang penari tradisi. Namun, sebelum Srintil menjadi seorang penari tradisi yang sebenarnya dan yang terkenal. Dalam asuhan Kartareja Srintil harus menjalani beberapa upacara, salah satunya adalah upacara ritual yang terakhir sehingga Srintil disebut penari tradisi yang sebenarnya dan dapat memungut bayaran dari lakilaki yang menari kepadanya. Sakarya sangat percaya dengan Ki Secamenggala. Sakarya bahkan membuat Srintil menjadi seorang 19
Ibid, hlm. 18
54
ronggeng di usia muda. Sakarya orang yang mengasuh Srintil sejak kecil setelah ditinggal oleh ayah dan ibunya yang menjadi korban tempe bongkrek. Sejak kecil Srintil pandai menari dan bertembang. Apa yang telah dilakukan oleh Srintil telah diketahui oleh Kakeknya. Keesokan harinya Sakarya menemui Kartareja laki-laki yang menjadi dukun ronggeng Dukuh Paruk. Hal tersebut terdapat pada kutipan di bawah ini. “Kalau benar tuturmu, Kang, kita akan tetap betah tinggal dipedukuhan ini,” kata Kartareja menanggapai laporan Sakarya. “Eh, sampean lihat sediri nanti,” jawab Sakarya. “Srintil akan langsung menari dengan kenesnya bila mendengar suara calungmu.” Kartareja mengangguk-angguk. Bibirnya yang merah kehitaman oleh kapur sirih bergoyang ke kiri kanan. Lalu di semprotkannya sisa tembakau yang tinggal di mulutnya. “Ya. Dan tentu sampean perlu memperalus tarian Srintil. Cucuku tampaknya belum pintar melempar sampur. Nah, ada lagi yang penting; masalah „rangkap‟ tentu saja. Itu urusanmu, bukan?”20 Kutipan di atas menunjukkan bahwa Dukuh Paruk akan mempunyai penari tradisi yang mengembalikan citra sebenarnya pedukuhan itu. Sebab, Dukuh Paruk tanpa penari tradisi bukanlah Dukuh Paruk. Orang-orang pedukuhan Dukuh Paruk sangat senang dan gembira dengan adanya penari tradisi, dan orang yang tua-tua di pedukuhan ini tak ingin mati sebelum melihat Dukuh Paruk kembali seperti aslinya dulu. Sakarya selalu memperhatikan Srintil menari di bawah pohon nangka yang diiringi calung mulut Rasus dan kedua kawannya. Di pedukuhan itu ada suatu kepercayaan yang kuat, seorang penari tradisi sejati bukan hasil pengajaran. Bagaimanapun diajari, seorang perawan tak bisa menjadi penari tradisi kecuali ada wangsit 20
Ibid, hlm. 16
55
yang telah merasuk tubuhnya yang dimuliakan di dunia peronggengan. Ada satu hal yang dipercaya di pedukuhan Dukuh Paruk yang akan membuat siapa saja tampak lebih cantik dari sebenarnya. Oleh sebab itu Sakarya menyerahkan Srintil kepada Kartareja untuk diberikan sesuatu pekasih, susuk dan yang lainnya agar yang membuat seorang ronggeng laris. Hasil analisis terhadap tokoh Sakarya adalah orang yang sangat patuh dan menghormati tradisi leluhur dengan aturan adatnya. Sakarya percaya penuh kepada dukun penari tradisi Dukuh Paruk dan menyerahkan Srintil untuk dibina menjadi seorang penari yang sebenarnya. d) Kartareja Dalam novel RDP Kartareja merupakan tokoh sederhana atau tokoh datar. Kartareja adalah laki-laki yang secara turun-temurun menjadi dukun penari tradisi Dukuh Paruk. Kartareja ini sudah bertahun-tahun menunggu kedatangan seorang calon penari tradisi untuk diasuhnya. Kartareja percaya penuh, kalau Srintil dilahirkan di Dukuh Paruk atas restu arwah Ki Secamenggala dengan tugas seorang penari tradisi. Namun ada beberapa hal yang harus dihadapi oleh dukun penari tradisi Dukuh Paruk itu. Hal itu seperti kutipan di bawah ini. Kesulitan yang pertama dihadapi Kartareja bukan masalah bagaimana memperbaiki alat musiknya, melainkan bagaimana dia dapat para penabuh gendang yang disayanginya meniggal.21 Kutipan di atas menunjukkan bahwa hidupnya tradisi di Dukuh Paruk bukan hanya tergantung pada penari, tetapi juga pada pemain dan alat musiknya. Untuk menjadi seorang penari tradisi yang sebenarnya, Srintil harus melewati dua upacara ritual yang di rencanakan oleh Kartareja sebagai dukun penari tradisi Dukuh Paruk. Kartareja memimpin upacara permandian yang dilaksanakan di makam Ki 21
Ibid, hlm. 17
56
Secamenggala, ini semata-mata untuk menghormati leluhur moyang Dukuh Paruk yang makamnya dijadikan kiblat batin oleh masyrakat Dukuh Paruk. Kartareja merasa senang apa yang selama ini ia lakukan. Hal ini terlihat pada kutipan di bawah ini. Siapa yang akan menyalahkan Kartareja bila dukun ronggeng itu merasa telah menang secara gemilang.22 Kutipan di atas menunjukka bahwa bagaimana senang dan bahagianya Kartareja apa yang selama ini ia lakukan yaitu acara ritual yang terakhir terhadap penari tradisi Dukuh Paruk mendapat sambutan yang hangat dari kedua pemuda yang kaya raya. Syarat ritual itu telah dipenuhi oleh kedua pemuda yang ingin mengikuti acara ritual yang terakhir yaitu menyerahkan kepingan emas dan perak. Namun, disaat dua laki-laki menyerahkan apa yang telah ditentukan oleh dukun penari tradisi Dukuh Paruk itu maka muncullah akal yang licik dari Kartareja. Hal ini seperti kutipan di bawah ini. “Jangan keliru! Yang asli buat Sulam. Lainnya buat dower,” kata Kartareja.23 Kutipan di atas menunjukkan bahwa Kartareja sebagai dukun penari tradisi Dukuh Paruk ingin mendapatkan harta dari kedua pemuda yang mengikuti jalannya upacara ritual. Dengan kelicikan Kartareja maka kedua pemuda itu dihidangkan dengan minuman yang berisi ciu. Karena minuman merupakan sahabat di mana-mana dari kedua pemuda itu maka minuman ciu itu secepatnya direguk isi botol yang disodorkan. Kartareja juga berpikir apa yang selama ini ia lakukan merupakan tradisi penari tradisi yang sudah terkontaminasi oleh ekonomi yang mengharuskan seorang mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya dengan dali tradisi.
22 23
Ibid, hlm, 75 Ibid, hlm. 74
57
Hasil analisis terhadap tokoh Kartareja adalah laki-laki yang secara turun-temurun menjadi dukun penari tradisi Dukuh Paruk. Kartareja orang yang mengatur dan menentukan upacara ritual terakhir untuk mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya. e) Sersan Slamet Dalam novel RDP Sersan Slamet merupakan tokoh sederhana atau tokoh datar. Sersan Slamet adalah komandan tentara yang ditugaskan untuk memgamankan pedukuhan Dukuih Paruk sekitar pada tahun 1960 wilayah kecamatan Dawuan. Karena di kecamatan itu tidak aman dan sering terjadi perampokan. Rasus bertemu dengan Sersan Slamet ketika Rasus pergi dari Dukuh Paruk untuk mencari pengalaman. Dengan kejujurannya maka Rasus diangkat dan dipekerjakan oleh Sersan Slamet untuk menjadi tobang. Hal itu seperti kutipan di bawah ini. “Rasus dengan pakaian itu engkau telah pantas menjadi seorang tobang.kami memerlukan seorang untuk melayani kami dalam tugs.tentu saja bila kau bersedia memikul tugas itu, kelak kau akan menerima gaji. Bagaimana”?24 Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa Rasus mendapat tawaran dari Sersan Slamat untuk menjadi tobang. Rasus merasa gembira, dan Rasus beranggapan bahwa satu-satunya anak Dukuh Paruk yang berseragam hijau. Hubungan Rasus dengan Sersan Slamet lebih dapat dikatakan sebagai hubungan pribadi daripada sebagai seorang tobang dan seorang Sersan. Sersan Slamet banyak bertanya tentang diri Rasus, baik asalusul, dan bahkan sekolah. Rasus diajarkan membaca dan menulis setelah Sersan Slamet mengetahui bahwa Rasus tidak bersekolah sehingga Rasus mengetahui buku-buku yang berisi tentang pengetahuan umum, dan Sersan Slamet juga mengajarkan seluk-beluk senjata baik 24
Ibid, hlm. 92
58
bongkar, memasang, dan menggunakannya. Berbagai pengalaman tidak mungkin Rasus dapatkan kalau tidak ada kesempatan mengenal Sersan Slamet. Kehadiran tentara di Dawuan tidak selamanya dapat mencegah perampokan di wilayah kecamatan tersebut. Usaha dalam mengatasi masalah ini bukan hal yang mudah bagi Sersan Slamet dan anak buahnya. Sersan Slamet harus memikirkan cara untuk menganti taktik. Anggotanya dipecah menjadi kelompok-kelompok kecil dengan angota dua sampai tiga. Karena jumlah anggota yang terbatas, akhirnya Rasus ikut menjadi anggota kesatuan, meski Rasus belum mendapat kepercayaan untuk memegang senjata. “Rasus sangat pantas menjadi tentara. Saya akan berusaha agar dia diangkat secara resmi menjadi anggota kesatuan saya,” kata Sersan Slamet yang disambut dengan gumam orang-orang Dukuh Paruk.25 Kutipan di atas menunjukkan bahwa Sersan Slamet melihat Rasus begitu gagah berani dalam menjalankan tugas sehingga Rasus banyak mendapat pujian darinya. Hasil analisis terhadap tokoh Sersan Slamet adalah seorang komandan yang ditugaskan untuk mengamankan Pedukuhan Dukuh Paruk dan sekitarnya. Sersan Slamet yang mengajarkan Rasus membaca dan menulis sehingga Rasus mengetahui tentang pengetahuan umum 3. Alur a. Tahap Perkenalan atau Tahap Penyituasian Alur yang digunakan dalam novel RDP adalah alur campuran dan merupakan alur kronologi yang diawali menceritakan suatu peristiwa sebelas tahun yang lalu, yaitu peristiwa tempe bongkrek. Di awal penceritaan sebagai tahap pengenalan, pencerita memperkenalkan desa yang menjadi latar dari novel ini, sebuah desa yang bernama
25
Ibid, hlm. 103
59
Dukuh Paruk dengan memberikan ciri fisik desa ini, sejarah desa ini, kepercayaan desa ini, dan juga kebudayaannya. Dengan daerah pemukiman terdekat, Dukuh Paruk hanya dihubungkan oleh jaringan pematang sawah, hampir dua kilometer panjangnya. Dukuh Paruk kecil dan menyendiri. Duapuluh tiga rumah berada di pedukuhan itu, dihuni oleh orang-orang seketurunannya.. Di Dukuh Paruk inilah akhirnya Ki Secamenggala menitipkan darah dagingnya Semua orang Dukuh Paruk tahu Ki Secamenggala, moyang mereka, mereka memujanya. Kuburan Ki Secamenggala … menjadi kiblat kehidupan batin mereka.26 Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa gambaran bagaimana suasana pedukuhan Dukuh Paruk tempat yang terpencil yang dikelilingi hamparan pematang sawah, dan jarak dengan pedukuhan yang lain jaraknya cukup jauh. Warga Dukuh Paruk merupakan keturunan dari Ki Secamenggala. Ki Secamenggala orang yang masih hidupnya sering mengerjakan
kejahatan
sehingga
menjadi
musuh
masyarakat.
Pedukuhan Dukuh Paruk hanya dihuni duapuluh tiga rumah. Mereka adalah keturunan Ki Secamenggala. Yang makamnya dikramatkan bagi warga Dukuh Paruk. b. Tahap Pemunculan Konflik Penceritaan tentang malapetaka ini berlanjut hingga bab dua, Rasus
menceritakan
bagaimana
malapetaka
tersebut
telah
menghilangkan nyawa ayahnya dan ketidakjelasan akan keberadaan Ibunya. Di sinilah tahap pemunculan konflik. Ketidakjelasan akan keberadaan Ibu Rasus menyebabkan ia selalu berimajinasi, bahkan sosok Ibunya ia hidupkan dalam angan-angannya dan Rasus gambarkan ke dalam diri Srintil. Akhirnya kubiarkan Emak hidup abadi dalam alam angananganku. Terkadang Emak datang sebagai angan-angan getir. Terkadang pula dia hadir memberi kesejukan padaku: Rasus, anak Dukuh Paruk sejati.27
26 27
Ibid, hlm. 10 Ibid, hlm. 36
60
Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa selama ini Rasus tidak tahu keberadaan Ibunya yang sebenarnya. Namun, kalau Rasus teringat Ibunya dibawa oleh mantri kesehatan maka yang Rasus rasakan kebencian yang timbul dalam hatinya. Sedangkan Srintil adalah idola yang menjadi jelmaan seorang Ibu Rasus sehingga Ibunya hidup dalam angan-angan Rasus. c. Tahap Peningkatan konflik Kemudian alur cerita terus maju, walau di tengah-tengah sering kali kembali setiap tokoh Rasus teringat Ibunya. Tahap kadar intensitas muncul ketika Srintil sudah menjadi seorang ronggeng. Setelah dua bulan Srintil menjadi ronggeng, ternyata ia belum berhak menyebut dirinya sebagai ronggeng yang sebenarnya. Hal itu terlihat pada kutipan di bawah ini. Sudah dua bulan Srintil menjadi ronggeng. Namun adat Dukuh Paruk mengatakan masih ada dua tahap yang harus dilaluinya sebelum Srintil berhak menyebut dirinya seorang ronggeng yang sebenarnya.28 Kutipan di atas menunjukkan bahwa seorang ronggeng belum bisa dikatakan ronggeng yang sebenarnya dan untuk mendapat bayaran atau saweran dari laki-laki. Karena untuk dapat disebut ronggeng yang sebenarnya, Srintil harus menjalani dua tahap persyaratan lagi, yaitu upacara pemandian yang secara turun-temurun dilakukan didepan cungkup makam Ki Secamenggala dan syarat ritual yang terakhir. d. Tahap klimaks Syarat ritual yang terakhir menjadi suatu tamparan bagi Rasus, karena merupakan suatu sayembara terbuka bagi laki-laki mana pun. Bagaimana bisa seseorang yang dari dirinya Rasus temukan bayangan Emak disayembarakan. Konflik batin pada diri Rasus terus terjadi
28
Ibid, hlm. 43
61
hingga tahap klimaksnya Srintil menjalani malam ritual. Hal itu terlihat pada kutipan di bawah ini. Hari sabtu tiba. Hari yang sangat mengesankan karena batinku ternista luar biasa. Kukira aku takkan pernah berhasil melukiskan pengalaman batinku secara memadai.29 Kutipan di atas menunjukkan bahwa bagaimana konflik batin Rasus rasakan mendengar Srintil akan menjalani upacara ritul yang terakhir pada Sabtu malam. Rasus yang selama ini dalam hidupnya mempunyai Ibunya dalam angan-angan. Dan Srintil yang dianggap sebagi jelmaan Ibunya akan dirusak oleh laki-laki lain. Seandainya ada orang yang mau Rasus ajak untuk bicara tentang masalah ini mungkin saja kesedihan ini bisa terbagi. Tetapi hanya Rasus yang tahu dan merasakan segalanya. Walaupun Rasus yang telah mendapatkan segalanya dari Srintil, tetapi Rasus kecewa karena Srintil tidak hanya untuk Rasus. Srintil tidak suci lagi. Rasus benar-benar tidak rela derajat moral Ibunya sampai serendah itu. Srintil sebagai cerminan tempatnya mencari bayangan Ibunya menjadi sirna. Rasus tidak punya lagi cermin tempat Rasus mencari bayangan Emak, Dukuh Paruk telah merenggutnya. Dan akhirnya Rasus memutuskan untuk pergi dari pedukuhan itu. e. Tahap Penyelesaian Akhirnya Rasus memutuskan untuk pergi untuk bekerja di pasar Dawuan. Di desa ini ia dapat menilai secara kritis tentang tanah airnya, Dukuh Paruk. Selain itu, setelah banyak pengalaman atas dunia perempuan di luar Srintil, Rasus tidak lagi melukiskan sosok Ibunya sebagaimana
perempuan
Dukuh
Paruk.
Dan
sebagai
tahap
penyelesaiannya, Rasus mampu menerima kepergian Ibunya. Rasus telah meyakini Ibunya mati karena keracunan tempe bongkrek. 29
Ibid, hlm. 61
62
Ah. Biarlah bagaimana juga aku yang harus mengalah, dengan mulai belajar menerima kenyataan, bahwa diluar tanah airku yang kecil berlaku nilai-nliai yang lain.30 Kutipan di atas menunjukkan bahwa semakin lama Rasus tinggal di luar Dukuh Paruk dan pengalaman atas mengenal prempuan lain semua ini membawa perubahan atas kedudukan Srintil sebagai idola dan cermin di mana Rasus mencari bayang-bayang Ibunya. Sosok seorang Ibu yang selama ini Rasus lukiskan dalam angan-angan selama bertahun-tahun dengan berat hati harus Rasus musnahkan. Rasus harus belajar menerima kenyataan apa yang selama ini ia hadapi dalam kehidupan Kemudian mayat Ibunya dipakai dalam penyelidikan medis untuk mengetahui segala tetek-bengek tentang racun tempe bongkrek. Rasus sudah merelakan Ibunya dikuburkan disuatu tempat entah di mana. Akhirnya Rasus mampu hidup tanpa bayang-bayang Ibunya dan tersadar bahwa mencari gambaran seorang Ibu yang selama ini Rasus lakukan hanya akan membuatnya resah dan kekeliruan semacam ini takkan pernah ia ulangi. 4. Latar (Setting) a. Latar Tempat Sesuai dengan judul novel RDP, novel ini tempat disebuah pedukuhan bernama Dukuh Paruk. Sebuah desa terpencil yang dihuni orang-orang yang berkeyakinan mistis dengan memuja makam Ki Secamenggala,
moyang
mereka.
Desa
ini
terkenal
dengan
kemelaratannya, keterbelakangannya, keramat Ki Secamenggala, sumpah serapah, dan ronggeng serta perangkat calungnya. Latar tempat pada novel RDP yaitu hamir seluruh kejadian terjadi di pedukuhan, dan latar tempat yang pertama yaitu. Dukuh Paruk. Seperti kutipan di bawah ini. 30
Ibid, hlm. 86
63
Dua puluh tiga rumah berada di pedukuhan itu, dihuni oleh orang-orang keturunannya.31 Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa Dukuh Paruk merupakan Pedukuhan yang dikelilingi oleh ribuan hektar hamparan sawah. Pedukuhan ini sudah tujuh bulan dilanda musim kemarau. Masyarakat Dukuh Paruk ini adalah keturunan dari Ki Secamenggala yang masa hidupnya dahulu merupakan membuat resah masyarakat. Ki Secamenggala ini menghindar dan mencari tempat yang terpencil untuk menghabiskan kehidupannya dan mengembangbiakan keturunannya. Makam dari Ki Secamenggala dijadikan kiblat oleh orang-orang Dukuh Paruk walaupun di masa hidupnya, banyak kejahatan yang ia kerjakan. Ladang/ kebun. Di tepi kampung tempat Rasus, Darsun, Warta mencabut singkong. Hal itu seperti kutipan di bawah ini. Tiga anak laki-laki sedang bersusah payah menyabut sebatang singkong. Namun ketiganya masih terlampau lemah untuk mengalihkan cengkraman akar ketela yang terpendam dalam tanag kapur. Kering dan membatu.32 Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa betapa sulitnya Rasus dan teman-temannya berusaha untuk menyabut singkong. Karena kemarau yang menimpah Dukuh Paruk belum juga usai. Namun kerja sama di antara mereka tidak berhenti begitu saja sampai di sini. Mereka bertiga bersama-sama harus mengeluarkan tenaga untuk mengeluarkan singkong dari dalam tanah kapur yang kering dan membatu. Di bawah pohon nangka tempat Rasus menyaksikan Srintil sedang menari. Hal itu seperti kutipan di bawah ini. Srintil menari dan bertembang. Gendang, gong, dan calung mulut mengiringinya. Rasus bersila, menepak-nepak lutut menirukan gaya seorang penggendang. Warta mengayunkan tangan ke kiri-kana, seakan ada perangkat calung di hadapannya. Darsun membusungkan kedua pipinya. Suaranya berat menirukan bunyi gong.33 31
Ibid, hlm.10 Ibid, hlm. 10 33 Ibid, hlm. 13 32
64
Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa Rasus sedang menyaksikan Srintil pandai menari, tak ada seorang pun yang mengajarkan Srintil menari dan bernyanyi. Namun semua itu Srintil lakukan dengan baik seperti penari dewasa, siapapun pasti terpukau melihat gaya Srintil menari. Di pancuran tempat Rasus memberi pepaya kepada Srintil. Hal itu seperti kutipan di bawah. Pada saat yang baik, ketika Srintil seorang diri di pancuran, buah curian itu kuberikan kepadanya.34 Kutipan di atas menunjukkan bahwa ini cara Rasus untuk mendapatkan Perhatian dari Srintil, karena apa yang selama ini Rasus rasakan tentang perhatian Srintil yang berkurang terhadap dirinya. Sehingga dengan jalan apapun Rasus lakukan. Ini menunjukan bahwa Rasus benar-benar mencintai Srintil. Di rumah Sakarya tempat Rasus memberi keris kepada Srintil. Hal itu seperti kutipan di bawah ini. Yang kupilih adalah saat demikian. Aku masuk dari pintu belakang, mengendap-endap sampai kebilik sampai kebilik Srintil. Rumah Sakarya amat lengang.35 Kutipan di atas menunjukkan bahwa apa yang Rasus lakukan ini semua karena Srintil semakin menjauh terhadap dirinya, dan apa yang Rasus rasakan semakin tersiksa adanya sifat Srintil yang kurang perhatian kepada Rasus. Karena merasa begitu tersiksa maka ditemukan jalan untuk memperoleh kembali perhatian Srintil dengan memberikan keris itu kepada Srintil, dengan demikian ini berarti ada seorang perempuan dalam hidupnya, suatu hal yang telah bertahun-tahun kudambakan.
34 35
Ibid, hlm. 37 Ibid, hlm. 40
65
Di rumah Kartareja, ketika Rasus sedang mendengarkan perundingan antara Kartareja, Istri Kartareja, Dower, dan Sulam. Hal itu seperti di bawah ini. “Kalian datang membawa persoalan, beri kami kesempatan memecahkan persoalan itu. Hendaknya kalian mau diam sebentar di tempat masing-masing. Jangan bertengkar kembali. Aku hendak bermusyawarah sebentar di dalam.”36 Kutipan di atas menunjukkan bahwa ini merupakan ketegangan akibat adanya upacara ritual yang terakhir. Perselisihan antara Sulam dan Dower ini karena persaingan memberikan uang kepada Kartareja untuk acara ritual, namun semua itu bisa di atasi oleh Kartareja Di makam Ki Secamenggala ketika Rasus menyaksikan Srintil menjalankan upacara permandian. Hal itu seperti kutipan di bawah ini. Sampai ditujuan, Kartareja meletakan pedupaan di ambang pintu cungkup leluhur Dukuh Paruk. Dua orang membawa tempayan berisi air kembang. Dengan air itu Srintil akan dimandikan.37 Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa Rasus sedang menyaksikan upacara permandian. Srintil menjalankan upacara yang kedua yaitu acara permandian yang dilangsungkan di makam Ki Secamenggala ini semua untuk menghormati leluhur Dukuh Paruk. Masyarakat
pedukuhan
ini
mempercayai
bahwa
makam
Ki
Secamenggala menjadi kiblat orang-orang Dukuh Paruk. Pasar Dawuan tempat Rasus menghindar dari Dukuh Paruk. Hal itu seperti kutipan di bawah ini. Akan terbukti nanti, pasar Dawuan merupakan tempat melarikan diri yang tepat. Di sana aku dapat melihat kehadiran orangorang dari perkampungan dalam wilayah kecamatan itu.38 Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa setelah Rasus mengalami kekecewaan terhadap Srintil yang selama ini ia jadikan 36
Ibid, hlm. 73 Ibid, hlm. 46 38 Ibid, hlm. 81 37
66
jelmaan Emak. Akhirnya Rasus memutuskan jalan utuk meninggalkan pedukuhan Dukuh Paruk. Dari pasar
Dawuan, Rasus banyak
mendapatkan pengalaman sehingga Rasus sedikit demi sedikit bisa melupakan Srintil. Di rumah Nenek Tempat Rasus bertemu neneknya dan berdiskusi dengan Srintil dan tempat inilah Rasus meninggalkan Srintil dan neneknya. Hal itu seperti kutipan di bawah ini. Selesai mengenakan pakaian seragam, kusamber bedil yang tergantung di atas balai-balai di bilikku. Srintil masih lelap di sana, tetapi aku melihat sejenak. Langit di timur mulai benderang ketika aku melangkah keluar. Belum seorang pun di Dukuh Paruk yang sudah kelihatan. Langkahku tegap dan pasti.39 Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa Srintil ingin menjadi wanita yang utuh yang melahirkan anak dari rahimnya. Srintil ingin hidupnya bersama Rasus untuk berumah tangga. Namun Rasus menolaknya
dengan
berbagai
alasan.
Sebagai
laki-laki
yang
berpengalaman. Untuk mempertimbangkan, bahkan untuk menolak permintaan Srintil. Permintaan Srintil ini hanya didorong sesaat yang kebetulan sejalan dengan naluri sebagai perempuan. Akhirnya dengan secara diam-diam Rasus meninggalkan Srintil dan Neneknya ketika matahari terbit. b. Latar Waktu Latar waktu merupakan tempo terjadinya peristiwa dalam novel. Kejadian yang diceritakan pada novel RDP terjadi pada sebelas tahun setelah malapetaka tempe bongkrek. Hal itu seperti kutipan di bawah ini. Sebelas tahun yang lalu ketika Srintil masih bayi. Dukuh Paruk yang kecil basah kuyup tersiram hujan lebat. Dalam kegelapan yang pekat, pemukiman terpencil itu lengang, amat lengang.40 39 40
Ibid, hlm. 106 Ibid, hlm. 21
67
Dari kutipan di atas menggambarkan bahwa bagaimana masa lalu yang penuh dengan kesedihan yang pernah dialami oleh masyarakat Dukuh Paruk yaitu terjadinya malapetaka yang menimpa Pedukuhan Dukuh Paruk banyak anak-anak Dukuh Paruk yang menjadi yatim-piatu. Dan di novel dipaparkan malapetaka tempe bongkrek terjadi pada tahun 1946. Hal itu seperti kutipan di bawah ini. Seandainya ada seorang di Dukuh Paruk yang pernah bersekolah, dia dapat mengira-ngira saat itu hampir pukul dua belas tengah malam, tahun 1946.41 Dari kutipan di atas menggambarkan bagaimana Kemiskinan, kemelaratan dan kebodohan merupakan menyelimuti warga Dukuh Paruk karena kebodohannya masyarakat Dukuh Paruk tidak pernah mengelak dari nasib yang diberikan oleh tuhan. Warga Dukuh Paruk begitu terbelakang dan tidak berpendidikan sehingga tak bisa menentukan jam dan tahun berapa. Selanjutnya cerita dilanjutkan setelah dua bulan Srintil menjadi ronggeng. Diceritakan pada Jumat malam, Dower datang ke rumah Kartareja memberi dua buah uang rupiah perak sebagai panjar. Kemudian Sabtu malam diceritakan sebagai malam upacara ritual terakhir. Cerita pun berlanjut hingga tahun 1960, pada tahun ini wilayah kecamatan Dawuan tidak aman karena sering terjadi perampokan. Kemudian cerita berjalan hingga dua tahun berikutnya. Selain itu, kejadian-kejadian yang terjadi dalam novel ini sering kali diceritakan pada waktu sore dan malam hari. Ada juga sebagian latar waktu digambarkan dengan suasana, seperti kutipan di bawah ini. Ada juga sebagian latar waktu digambarkan dengan suasana seperti “Matahari menyentuh cakrawala, pada malam yang bening itu,
41
Ibid, hlm. 21
68
pada hari baik, dalam haru-biru kepanikan, sore hari paling getir yang pernah kualami, sebelum matahari terbenam.” 5. Sudut Pandang Ahmad Tohari menggunakan sudut pandang dalam novel RDP adalah sudut pandang “akuan” sebagai aktor dan narator. Pemain yang bertindak sebagai pelaku utama cerita merangkap juga sebagai narator yang menceritakan tentang orang lain. Kadang kala ia terlibat dalam cerita, tetapi ketika yang lain, ia bertindak sebagai pengamat yang berada di luar cerita. Aku adalah tokoh utama Rasus. Dalam novel RDP, “aku” sebagai pelaku dapat dilihat kutipan di bawah ini. Aku sama sekali tidak merasa meyerahkan sebilah keris kepada seorang ronggeng kecil. Tidak. Yang kuserahi keris itu adalah perempuan sejati, perempuan yang hanya hidup dalam anganangan, yang terwujud dalam diri Srintil yang sedang tidur.42 (RDP: hlm 41) Sedangkan, aku sebagai narator atau pencerita dapat dilihat seperti kutipan di bawah ini. Aku sendiri, kata Nenek, selamat secara kebetulan. Selagi Ayah dan Emak baru merasa pusing di kepala, aku sudah jatuh pingsan. Tanpa ada yang memberi petunjuk, Nenek menggali tanah berpasir di samping rumah. Aku ditanamnya dalam posisi berdiri, hanya dengan kepala di atas permukaan tanah. Sebenarnya, inilah cara orang Dukuh Paruk mengobati orang keracunan jengkol. Aneh, dengan cara ini pula aku selamat dari racun tempe bongkrek.43 Kutipan di atas menunjukkan bahwa bagaimana seorang tokoh sedang menceritakan tentang kejadian tempe bongkrek yang menimpa Dukuh Paruk Apa yang selama ini ia alami dalam suatu kehidupannya. Namun, tokoh tersebut tidak tahu kejadian yang dialami, ia hanya mendengar dan diceritakan oleh orang lain, dan ia menceritakannya kepada pembaca
42 43
Ibid, hlm. 41 Ibid, hlm. 33
69
6. Gaya Bahasa Gaya bahasa yang digunakan dalam novel RDP adalah lancar, sederhana, dan lugas sejalan dengan gambaran watak para tokoh. Gaya berceritanya polos, tanpa pretensi, seperti orang-orang Dukuh Paruk yang menjalankan kehidupan apa adanya. Karakteristik yang dominan dalam hampir seluruh karya Ahmad Tohari terletak pada gaya penulisannya yang dominan mengangkat suasana alam. Selain menunjukan mengenai keakraban pengarang dengan alamnya, ia pun serasa dekat dengan lingkungannya sampai-sampai ia sering menyebutkan nama-nama hewan sebagai penghuni alam yang sangat polos. Namun, Ahmad tohari tidak memasukan hewan-hewan tersebut akan tetapi disesuaikan dengan keserasian terhadap lingkungan hidup. Hal itu terlihat pada kutipan di bawah ini. Dari tempatnya yang tinggi kedua burung bangau itu melihat Dukuh Paruk sebagai sebuah gerumul kecil di tengah padang yang amat luas.44 Kutipan di atas menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan Ahmad Tohari sangat komunikatif dan mampu memaparkan nilai moral dengan bahasa yang sederhana, mengalir lancar, dan mudah dipahami, meskipun persoalan yang disodorkan dalam karya-karyanya. Kompleks akan tetapi, di tangannya, persoalan serius itu dapat diungkapkan dengan ringan sehingga mudah dipahami oleh pembaca. Dengan begitu, gaya bahasa yang digunakan Ahmad Tohari dekat dengan alam, dan masyarakat pedesaan. Majas yang digunakan dalam novel RDP a. Majas Metafora Majas metafora yang digunakan dalam novel RDP yaitu di saat Rasus
merelakan
mayat
Emak
digunakan
kemanusiaan. Hal itu seperti kutipan di bawah ini.
44
Ibid, hlm.10
untuk
kepentingan
70
Toh aku sudah tahu, duniaku sudah jauh lebih luas daripada sekedar pemukiman sempit yang terpencil Dukuh Paruk.45 Kutipan di atas menunjukkan bahwa Rasus sudah banyak mempunyai pengalaman yang selama ini ia dapatkan sehingga sudah bisa menerima dan merelakan kepergian seorang Ibunya. b. Majas Personifikasi Novel RDP menyisipkan beberapa majas personifiksi, antara lain ada pada kutipan berikut ini. Angin tenggara bertiup. Kering. Pucuk-pucuk pohon di pedukuhan sempit itu bergoyang.46 Kutipan di atas menunjukkan bahwa di pedukuhan Dukuh Paruk yang terpencil terjadi suatu kekeringan dengan udara yang panas berbulan-bulan
menjadikan
hamparan
yang
tandus,
dengan
masyarakatnya yang sangat sederhana. Di dalam kesederhanaannya tersebut, mereka mempunyai nilai-nilai moral, kebudayaan dan kebahagiaan yang berbeda dibandingkan dengan masyarakat lain di luar Dukuh Paruk. 7. Amanat Dari suatu peristiwa tentulah mengandung amanat atau pesan, begitu pula dengan novel. Dalam novel RDP terdapat amanat atau pesan moral yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Pesan tersebut biasanya membawa misi pengarang agar keinginan pengarang dapat ditangkap dengan baik. Melalui novel RDP ini, amanat atau pesan yang bisa diambil dari dalam berbagai peristiwa novel tentulah tidak sedikit. Namun, amanat atau pesan yang paling terlihat dari novel RDP adalah seperti kutipan di bawah ini. “He, jangan samakan Siti dengan gadis-gadis Dukuh Paruk. Dia marah karena menganggap kau memperlakukannya secara tidak senonoh,”47 45
Ibid, hlm. 104 Ibid, hlm. 9 47 Ibid, hlm. 9 46
71
Amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui kutipan di atas, jelas melalui penggambaran tokoh Rasus dan konplik batin yang ia alami melakukan kritikan terhadap a. Seorang pemuda yang kuat perlu memiliki prinsip hidup dan pendirian serta ketegasan dalam mengambil sebuah keputusan. b. Seorang pemuda harus mau keluar bermasyarakat untuk mencari pengalaman hidup dari tempat yang membuatnya terkungkung. B. Implikasi Berdasarkan kajian terhadap novel RDP karya Ahmad Tohari, kompetensi dasar yang dapat diimflikasikan dalam pembelajaran sastra adalah menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik da;am novel, kompetensi tersebut dapat dikembangkan melalui novel RDP sebagai bahan ajar novel Indonesia.
Pembelajaran
unsur
intrinsik
dalam
novel
RDP
dapat
meningkatkan kemampuan siswa dalam mengapresiasi karya sastra untuk mempertajam perasaan peningkatan penalaran, daya imajinasi, serta kepekaan terhadap anak didik, dan masyarakat lingkungan sekitar. Pengajaran sastra mencakup tiga ranah, yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik. Ranah kognitif terkait respons yang diberikan peserta didik dalam bentuk penafsiran setelah membaca novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Selanjutnya guru dapat menilai pemahaman siswa dengan cara mengetahui pengetahuan yang diperoleh setelah membaca. Sebab, terkait dengan pemahaman dari hasil membaca, ranah ini menjadi ranah yang paling awal dalam proses kegiatan belajarmengajar. Ranah afektif terkait respons yang diberikan peserta didik terhadap karya sastra yang telah dibacanya, apakah peserta didik tersebut antusias dan merasa terlibat di dalamnya atau tidak sama sekali, sehingga guru mengetahui perubahan yang dialami peserta didik setelah membaca karya sastra. Sedangkan ranah psikomotorik terkait respons yang diberikan peserta didik terhadap penerapan nilai-nilai yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dalam kehidupan sehari-hari.
72
Dengan demikian, pendidik dituntut agar dapat memposisikan dirinya sebagai guru bahasa Indonesia dalam pengajaran sastra. Pendidik harus
memiliki
kompetensi
sastra
yang
memadai.
Pendidik
dapat
menggunakan kiat khusus dalam menyampaikan materi pelajaran kepada peserta didik. Dari kiat tersebut, pendidik dapat membangkitkan minat belajar para peserta didik agar dapat mengikuti pelajaran dengan baik sehingga peserta didik dapat menikmati pelajaran sastra dan nilai-nilai yang terkandung dalam novel, khususnya nilai keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan kebudayaan, dan kebangsaan, yang dapat tercerna dan menimbulkan rasa cinta terhadap tanah air. Jika dikaitkan dengan novel RDP, peserta didik dapat mengambil nilai-nilai moral kemanusiaan dalam cerita melalui pemahaman tokoh dan penokohan serta latar sosialnya dalam novel. Pendidik dapat mengajarkan kepada peserta didik bagaimana menghargai lingkungan sekitar, serta menunjang sikap saling tolong-menolong antar-sesama manusia. Dengan begitu, kepekaan yang dimiliki oleh peserta didik terhadap lingkungan sekitar dapat menimbulkan sikap terhadap perbedaan yang terjadi. Guru bahasa Indonesia harus mengarahkan implikasi novel RDP pada konflik batin tokoh utama dalam menghadapi lingkungannya yang mengungkung pendiriannya sebagai laki, yang harus peserta didik contoh. Hal itu dapat dilakukan dengan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengemukakan nilai-nilai kemanusiaan yang mereka peroleh membaca novel. Dengan demikian, seorang guru bahasa Indonesia di saat memberikan pembelajaran sastra di kelas harus menyenangkan, sehingga dapat merangsang minat baca peserta didik selain itu, pengetahuan pesera didik akan semakin luas dan juga lebih kreatif lagi saat mengemukakan pendapatnya tentang nilai moral kemanusiaan yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terkait novel RDP karya Ahmad Tohari, adalah peran tokoh utama Rasus dalam novel ini lebih besar dibandingkan Srintil yang identik dengan judul buku RDP. Ketidakseimbangan itu ditunjukan oleh frekuensi keterlibatan kedua tokoh tersebut dalam cerita yang sama sekali tidak seimbang. Pengarang lebih banyak memaparkan hal-hal yang memungkinkan perkembangan kejiwaan Rasus dari pada Srintil. Berangkat dari teks RDP maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa dalam novel ini delir dan kecemasan bergantian menggangu Rasus dalam mencari Emak yang tak jelas kepergiannya. Dalam pencarian sosok Emak dalam dunia angan-angan Rasus melibatkan tokoh nyata dan tokoh tak nyata yaitu, Srintil, Emak, Mantri, dan Sersan Slamet. Konfrontasi antara tokoh nyata dan tidak nyata semakin menimbulkan konflik batin dan kecemasan Rasus. Sehingga ia tak bisa membedakan antara peristiwa yang terjadi di alam nyata dengan imajinasi yang ada dalam benaknya. Konflik batin yang Rasus alami baik pada diri sendiri dan lingkungannya. Bertahun-tahun Rasus berandai-andai tentang Emaknya. Ia biarkan Emak hidup abadi dalam angan-angannya. Bahkan ia gambarkan sosok Emak ke dalam diri Srintil. Konflik batin Rasus semakin menjadi setelah Srintil menjadi seorang ronggeng, terlebih lagi syarat ritual yang terakhir yang harus dijalankan Srintil untuk menjadi seorang ronggeng yang sebenarnya. Akhirnya Rasus memutuskan untuk pergi dari Dukuh Paruk
pergolakan batin Rasus meregang hilang, hingga akhirnya ia
mampu menerima kepergian Emaknya. Akhirnya Rasus hidup tanpa bayang-bayang Emaknya, dan Rasus sadar bahwa mencari gambaran Emak yang selama ini ia lakukan akan membuatnya resah, dan kekeliruan ini takkan pernah ia ulangi lagi.
73
74
Konflik kejiwaan terselesaikan melalui proses yang panjang dan rumit.
Dengan
kesadarannya
sendiri
akhirnya
Rasus
berhasil
menghancurkan tokoh-tokoh tak nyata yang hanya hidup dalam benaknya. Akhirnya, penulis beranggapan novel ini berhasil menampilkan latar dan orientasi sosial budaya dan lingkungan dengan bahasa yang bagus dan menarik, tetapi juga menampilkan persoalan psikologi tokoh utama yang cukup problematis. Hal itu tentunya semakin menambah kenikmatan ketika kita membacanya. Keberhasilan novel ini tentunya menjadikan pengarangnya, Ahmad Tohari, semakin diperhitungkan dalam jajaran sastrawan Indonesia modern. Berdasarkan analisis konflik batin Rasus dalam novel RDP. Amanat yang dapat diambil adalah seorang pemuda yang kuat perlu memiliki prinsip hidup dan pendirian serta ketegasan dalam mengambil keputusan. Dan seorang pemuda harus mau keluar bermasyarakat untuk mencari pengalaman hidup dari tempat yang membuatnya terkungkung.
B. Saran Berdasarkan hasil dan implikasi penelitian dan analisis, maka penulis menyarankan beberapa hal berikut ini. 1. Para pendidik sebaiknya mengajarkan kepada peserta didik agar mengaplikasiskan nilai-nilai kebudayaan yang terkandung di dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. 2. Para pendidik harus meningkatkan kretivitasnya dalam kegiatan proses belajar mengajar agar peserta didik dapat antusias dan memahami konflik batin yang dialami Rasus dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. 3. Para pendidik dan orang tua harus memberi contoh yang baik bagaimana hidup bermasyarakat, agar memberikan kesan yang baik digenderasi yang akan datang. 4. Para orang tua harus memberi dukungan kepada anak untuk mengembangkan minatnya pada sastra, dengan cara memfasilitasi anak
74
75
dengan menyediakan buku-buku yang terkait dengan sastra di rumah agar minat baca anak benar-benar diperhatikan, dan memberi semangat anak agar mau belajar dan menulis sejak dini. 5. Diharapkan, melalui karya sastra anak didik dapat belajar mengambil faedah dari pesan yang disampaikan oleh pengarang. Dengan mempelajari novel secara mendalam, kita dapat belajar untuk memahami sebuah konflik batin dalam kehidupan bermasyarakat.
76
DAFTAR PUSTAKA
Bahtiar, Ahmad, Metode Penelitian Sastra, Jakarta: Pujangga Rabani Perss, 2013 Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra, Yogyakarta: Capps, 2011 Erowati, Rosida, dan Ahmad Bahtiar, Sejarah Sastra Indonesia, Jakarta: Lembaga Penelitian Uin Syarif Hidayatullah, 2011 Fananie, Zainuddin, Telaah Fiksi, Surakarta: Muhammadiyah University Perss, 2002 Hidayat, Endang dan Widjojoko. Teori dan Sejarah Sasra Indonesia, Bandung: Upi Press, 2006 Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1984 Minderop, Albertin. Metode Karakteristik Telaah Fiksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005 Minderop, Albertin, Psikologi Sastra, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013 Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gajah Mada University Perss, 2005 Semi, M. Atar Anatomi Sastra, Padang: Angkasa Raya Padang, 1990 Stanton, Robert. Teori Fiksi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007 Tarigan, Guntur. Menulis Sebagai Keterampilan Berbahasa, Bandung: Angkasa, 2008 Rahmanto, B, Metode Pengajaran Sastra, Yogyakarta: Kanisius, 1988 Ratna, Nyoman, Kutha. Teori Metode dan Penelituian Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004 Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gitamedia Tohari, Ahmad, Ronggeng Dukuh Paruk, Jakara: Gramedia Pustaka Utama,2011 Zahara, Nuraida, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Lembaga Penelitian Uin Syarif Hidayatullah, 2011 Zaidan, Abdul Rojak, dan Dkk. Kamus Istilah Sastra, Jakarta: Balai Pustaka, 2007 Zaimar, Okke K.S, Psikoanalisis dan Sastra, Depok, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 203 Profil. Media. Com, diunggah Pada Tanggal 13 April, Pukul, 12.30 Wib. http:// Aliimronalmakrup. Blogspot. Com/ 2011/ Ahmad Tohari dan Ronggeng Dukuh Paruk 25 html, diakses Pada Minggu 24 Mei 2014 Pukul, 08.00.00 Riset dan Analisis Oleh: Oleh Meidita Kusuma Wardana, diunggah Pada Tanggal 13 April, Pukul 12.30 Wib.
76
Sinopsis Ronggeng Dukuh Paruk RDP adalah sebuah novel yang bercerita tentang sebuah desa terpencil bernama Dukuh Paruk. Desa tersebut dihuni orang-orang yang sangat percaya dengan mistis, mereka memuja makam Ki Secamenggala, moyang mereka. desa ini
terkenal
dengan
kemelaratannya,
keterbelakangannya,
keramat
Ki
Secamenggala, sumpah serapah, dan ronggeng beserta perangkat calungnya. Sebelas tahun yang lalu tepatnya pada tahun 1946 terjadi sebuah malapetaka di desa ini. Sebagaian penghuni desa ini mati akibat keracunan tempe bongkrek. Santayib sebagai pembuat tempe bongkrek dituduh bahwa tempe buatannya mengandung racun mengandung racun dan bahkan sebagaian warga menuduh Santayib telah memberi racun pada tempe bongkrek buatannya. Tetapi Santayib berdalih bahwa tempe buatannya tidak beracun, menurutnya kejadian ini adalah pageblug, sebuah kutukan roh Ki Secamenggala yang telah lama tidak diberi sesaji. Untuk membuktikan bahwa tempenya tidak beracun, Santayib memakan tempe bongkrek buatanya di depan warga pedukuhan. Perbuatannya diikuti oleh istrinya Santayib. Santayib lari ke luar rumahnya dan berteriak-teriak, Santayib pulang ke rumah. Sesampainya di rumah ia melihat keadaan istrinya yang lemas dengan wajah pucat kebiruan. Ia pun merasa lemas, kepalanya seakan melayang-layang, lambungnya ditusuk-tusuk. Selang beberapa lama, akhirnya pasangan suami istri ini meninggal. Malapetaka ini membuat banyak anak Dukuh Paruk menjadi yatim piatu, seperti Rasus. Ayah Rasus meninggal di hari pertama setelah makan tempe bongkrek, sedangkan Emak atau ibunya mampu bertahan sampai seorang mantri datang kehari ketiga. Namun, keadaan Emak tidak jelas samapai Rasus berusia empat belas tahun. Dan di usia tersebut, ia mendapat sdikit keterangan tentang diri Emak. Ada yang mengatakan Emak meninggal di poliklinik kota kawedaan, namun mayatnya dibawa ke kabupaten. Mayat Emak dibedah sebagai bahan penyelidikan racun tempe bongkrek. Sehingga mayat Emak tidak kembali ke Dukuh Paruk dan warga pedukuhan pun tidak tahu di mana mayat Emak
dimakamkan. Ada pula orang mengatakan Emak bisa diselamatkan, tetapi sampai beberapa hari Emak tidak boleh meninggalkan poliklinik. Dan setelah sehat benar, Emak tidak pulang ke pedukuhan melainkan pergi entah kemana bersama mantri yang merawatnya. Entah cerita mana yang harus dipercayai Rasus, yang jelas ia sangat merindukan sosok Emak dan ia sangat membenci dan menaruh dendam kepada mantri. Kerinduan rasus akan sosok Emaknya ternyata kemudian ditemukan dan digambarkan sosok Emaknya ke dalam diri Srintil, anak perawan Dukuh Paruk berusia sebelas tahun, yang merupakan teman sepermainan Rasus. Ia pun seorang yatim piatu. Orang tuanya adalah pasangan suami istri pembuat tempe bongkrek yang menyebabkan malapetaka itu terjadi. Di usianya yang masih sebelas tahun, Srintil sudah pandai menari. Ini terbukti ketika dia sedang bermain dengan Rasus, Warta, dan Darsun, dengan luwes ia melenggaklenggokan tubuhnya berdendang layaknya seorang ronggeng. Bakat Srintil ini diketahui kakeknya, Sakarya. Menurut Sakarya, cucunya telah kerasukan indang ronggeng. Indang adalah semacam wangsit yang di mulikan di dunia peronggengan. Sudah sebelas tahun lamanya Dukuh Paruk tanpa ronggeng dan alunan calung. Dukuh Paruk tanpa ronggeng bukanlah Dukuh Paruk Srintil akan mengembalikan citra dari pedukuhan itu Sakarya menceritakan semua tentang cucunya kepada Kartareja, dukun ronggeng Dukuh Paruk. Dan akhirnya Srintil di asuh oleh Kartareja agar menjadi seorang ronggeng Dukuh Paruk. Kemudian Srintil membawa Kegairahan hidup bagi Dukuh Paruk. Srintil dianggap telah dinaungi roh hindang, roh yang dimuliakan di dunia ronggeng. Ronggeng memang menjadi kebanggaan Dukuh Paruk, dan telah sebelas tahun Dukuh Paruk tidak memiliki ronggeng. Tanpa ronggeng, Dukuh Paruk telah kehilangan jati dirinya. Dengan keluguhan, atau mungkin kenaifannya Srintil merasa dilahirkan untuk menjadi ronggeng. Ronggeng, seperti yang diyakini dengan sepenuh hati oleh Srintil sendiri, adalah perempuan penari yang menjadi milik umum, terutama kaum lelaki.
Untuk menjadi seorang ronggeng yang sebenarnya, Srintil harus memenuhi beberapa tahap. Salah satu di antaranya adalah upacara permandian yang secara turun-temurun dilakukan di depan cungkup makam Ki Secamenggala. Setelah melaksanakan upacara tersebut, Srintil harus memenuhi syarat terakhir yaitu upacara ritual adalah semacam sayembara terbuka untuk laki-laki mana pun. Di mana laki-laki yang dapat menyerahkan sejumlah uang yang ditentukan oleh dukun ronggeng Dukuh Paruk. Kartareja sebagai dukun ronggeng telah menentukan syarat sekeping uang ringgit emas bagi laki-laki yang ingin menjadi pemenang. Ia pun yang menentuka acara ritual yang akan dilaksanakan pada malam sabtu. Hanya Rasuslah satu-satunya warga Dukuh Paruk yang dalam hatinya tak rela kalau Srintil menjadi seorang ronggeng. Ini lantaran Rasus sudah telanjur membangun (menciptakan) bayangan Emaknya pada diri Srintil. Rasus tak rela bila “emaknya” disamakan dengan ronggeng Kehidupan Dukuh Paruk dengan segala isinya terbaca semuanya dalam corak hubungan antara Rasus dengan Srintil. Rasus pun dalam hatinya mengutuk Dukuh Paruk yang miskin, dengan masyarakat yang bodoh dan terbelakang. Namun apa daya, Rasus tak mampu berbuat apa-apa. Konflik batin dalam diri Rasus akhirnya menjadikan ia mengambil keputusan untuk mengapus bayangbayang Emak pada diri Srintil. Rasus akhirnya memilih meniggalkan Dukuh Paruk guna mencari kehidupan lain. Meski kecewa, ia merasa telah dapat memberikan sesuatu yang membanggakan pada Dukuh Paruk, yaitu seorang ronggeng. Dalam novel ini Ahmad Tohari mampu bercerita dengan lancar. Terutama ketika menampilkan deskripsi latar alam pedusunan. Ia mampu memberikan kesan kepada pembaca bahwa karya ini tampak realistis, tampak sunguh-sungguh diangkat dari fenomena faktual. Hal ini terlihat pada bagian awal cerita yang mampu memberikan informasi yang berkaitan dengan latar kejadian. Di bagian ini digambarkan suasana Dukuh Paruk yang terpencil dan tengah di landa musim kemarau panjang. Masyarakat masih menganut ilmu kebatinan yang berkiblat
pada cungkup leluhurnya, Ki Secamenggala. Deskripsi latar diberikan relatif panjang, sehingga mampu menyeret pembaca ke dalam cerita dan menjadi ikut terlibat secara emosional. Latar geografis Dukuh Paruk yang terpencil sekaligus mengacu pada keterpencilan dan kesederhanaan hidup, yang nyaris mendekati keprimitifan masyarakatnya. Dari lokasi yang terpencil, terisolasi, masyarakat Dukuh Paruk seakan sulit dibangunkan atau disadarkan dari keterbelakangan, kenaifan, dan kebodohannya. Sementara deskripsi latar, khususnya yang berhubungan dengan alam, tak hanya mencerminkan suasana internal tokoh, namun juga menunjukan suasana kehidupan masyarakat dan kondisi spiritual mayarakat yang bersangkutan dalam hal ini terhadap hubungan timbal balik, yang saling mencerminkan latar fisik, alam, spiritual, dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat. Kejelian dan ketelitian pengarang dalam mendskripsikan latar menjadi kekuatan utama novel ini. RDP tidak saja menuturkan cerita kehidupan ronggeng. Lebih dari itu, dengan kekayaan imajinasi dan keluasan pengetahuan., Ahmad Tohari berhasil menggambarkan dan memaparkan struktur kompleks kehidupan para tokohnya dalam menjalani kehidupan. Ahmad Tohari pun sanggup mempergunakan daya angan yang sekaya dan selembut mungkin untuk menyusup kedalam jiwa tokoh yang diciptakannya. Ia menokohkan seorang penari ronggeng yang luguh dan naïf, yang merupakan simbol tradisi yang membesarkannya. Meskipun Ahmad Tohari dikenal pula sebagai seorang santri, seorang alim ulama, namun kesantrian tersebut agaknya tak mengalanginya untuk bercerita dan berimajinasi terhadap dunia kekumuhan, kecabulan, dan kebobrokan. Keyakinan Srintil menjadi ronggeng beserta sistem yang mengelinginya hadir mewakili dunia perempuan yang mempunyai peran atau bahkan kewajiban alami sebagai penyeimbang bagi dunia lelaki dan kelakian. Itulah sebabnya,dalam menjalani perannya sebagai ronggeng ia selalu terpangil untuk melayani lelaki mana saja. Masyarakat Dukuh Paruk sendiri mendukung kondisi tersebut. Seorang ronggeng tidak akan menjadi bahan pencemburuan bagi perempuan Dukuh Paruk. Bahkan dalam novel ini disebutkan bahwa para istri justru merasa bangga bila
suaminya dapat tidur bersama dengan seorang ronggeng. Mereka juga rela menjual hartanya agar sang suami dapat membayar seorang ronggeng, seperti pada kutipan berikut: Dunia Srintil memang gemerlap dengan harta yang berlebihan bila diukur dengan taraf hidup masyarakat di sekitarnya. Srintil menjadi simbol kebobrokan moral Dukuh Paruk, sementara Rasus, yang menjadi simbol moral justru menghindar dari Dukuh Paruk.di sini terlihat bahwa di satu sisi tohari menyinggung mengenai sistem sosial budaya masyarakatnya, sedangkan sisi lainya ia berusaha menjaga keselarasan, keseimbangan, dan tanggung jawab sebagai seorang santri yang menganggungkan moralitas. Sebagai sebuah novel, RDP berhasil menggugah keingintahuan pembaca untuk terus mengikuti kelanjutan cerita namun, yang paling menarik sebenarnya adalah penggambaran tuntas tentang konflik batin yang dialami oleh Rasus.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Nama Sekolah
: Mts Al-Mansuriyah
Mata Pelajaran
: Bahasa dan Sastra Indonesia
Kelas/ Semester
: IX/II
Alokasi Waktu
: 2 x 45 menit
Standar Kompetensi
: Menerangkan sifat-sifat tokoh dari kutipan novel
Kompetensi Dasar
: Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel
I.
Tujuan Pembelajaran -
Siswa mampu menjelaskan unsur-unsur intrinsik dari novel yang dibaca.
-
Siswa mampu menjelaskan sifat dan karakter tokoh.
II. Indikator -
Mampu mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik.
-
Mampu mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik (tema, penokoh, alur, latar, sudut pandang, dan amanat)
-
Mampu mengidentifikasi sifat dan karakter tokoh.
III. Materi Pembelajaran -
Novel Indonesia
-
Unsur-unsur intrinsik novel
IV. Metode Pembelajaran -
Presentasi
-
Diskusi kelompok
-
Tanya jawab
-
Penugasan
V. Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran A. Kegiatan Awal Pembelajaran - Guru memberikan salam kepada siswa kemudian berdoa bersamasama untuk memulai kegiatan pembelajaran. - Guru melakukan presensi kepada siswa. - Guru menyampaikan kompetensi dasar yang akan dicapai melalui kegiatan pembelajaran. - Guru melakukan apresiasi dengan cara memberi pertanyaan kepada peserta didik tentang materi yang akan dibahas.
B. Kegiatan Inti 1. Eksplorasi - Guru meminta peserta didik mencari novel di perpustakaan. - Guru meminta peserta didik dengan demokratis menentukan bersama salah satu novel yang ingin dicari unsur intrinsik - Guru meminta kepada peserta didik untuk membaca dan memahami novel yang dipilih. 2. Elaborasi - Guru meminta kepada peserta didik untuk membentuk kelompok diskusi yang terdiri atas 3-4 orang peserta didik. - Guru menjelaskan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terdapat dalam novel. - Peserta didik berdiskusi untuk mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik. - Peserta didik berdiskusi untuk menganalisis unsur-unsur intrinsik (tema, penokohan, alur, sudut pandang, latar, dan amanat) - Peserta didik berdiskusi untuk membandingkan unsur intrinsik - Salah satu peserta didik mempreseatasikan hasil diskusi kelompoknya. - Peserta didik yang lain menanggapi preseatasi hasil diskusi kelompok yang lain
3. Konfirmasi - Guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menanyakan tentang hal-hal yang belum diketahui. - Guru menjelaskan tentang hal-hal yang belum diketahui.
C. Kegiatan Akhir - Guru dan peserta didik bersama-sama untuk membuat kesimpulan terhadap materi pembelajaran yang telah dilakukan. - Guru memberikan tugas di rumah kepada peserta didik agar mencari novel lain untuk menganalisis unsur intrinsik. - Guru menutup kegiatan dan menutup salam.
VI. Sumber pembelajaran -
Kutipan novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari
-
Biografi Ahmad Tohari
-
Buku Bahasa Indonesia untuk SMP/ MTs kelas IX/ oleh Atikah Anindyarini. Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
VII. Penilaian Hasil belajar 1. Teknik - Tes (PG, isian, dan uraian) - Penugasan menjelaskan unsur intrinsik
2. Instrumen soal a. Apa pengertian dari unsur intrinsik.? b. Sebutkan dan jelaskan unsur-unsur intrinsik? c. Sebutkan dan jelaskan unsur ekstrinsik dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk.?
Rubrik Penilaian Analisis Unsur Intrinsik dan Ekstriunsik Novel
Kompetensi Dasar
: Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel.
Nama Siswa
:
Kelas/ No Absen
:
Tanggal Penilaian
: Skor
Unsur yang dinilai
1
Analisis Unsur
1 Ketajaman Analisis
Intrinsik
2 Kelengkapan unsur yang dianalisis
2
3
4
5
3 Keruntunan penyajian hasil analisis 4
Manfaat yang bisa diambil dari unsur instrisik dalam novel
Analisis Unsur
1 Ketajaman Analisis
Ekstinsik
2 Kelengkapan unsur yang dianalisis 3 Keruntunan penyajian hasil analisis 4
Manfaat yang bisa diambil dari unsur ekstrisik dalam novel
5 Kesimpulan hasil analisis 6 Perolehan nilai = total skor x 2
Mengetahui,
Tangerang,……………… Guru Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Kepala Sekolah
Nikmat Saputra