BEST PRACTICE ADVOKASI KEBIJAKAN DAERAH PERPERSPEKTIF DIFABEL: PENGALAMAN PPRBM SOLO
(Gambar: “Walaupun Cara Berbeda, Kita Bisa Mencapai Tujuan yang Sama” karya Moerdiani Dyah. Peserta lomba poster difabel Change Magazine di bawah Yayasan Jurnal Perempuan)
BEST PRACTICE ADVOKASI KEBIJAKAN DAERAH PERPERSPEKTIF DIFABEL: PENGALAMAN PPRBM SOLO A. Latar Belakang Undang - Undang Dasar 1945 menjamin kesetaraan hak dan kesempatan setiap warga negara, termasuk warga negara difabel (khususnya lihat pasal 28 H ayat 2, dan Pasal 28 I ayat 2). Aturan perundang-undangan di Indonesia terkait dengan difabel juga sudah banyak di terbitkan seperti UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, UU No. 69 tahun 1999 tentang HAM (khususnya lihat pasal 3, 5, dan 41), UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (lkhususnya ihat pasal 28), UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (khususnya lihat pasal 8, 9, 11, 12, 13), UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (khususnya lihat pasal 5 dan 23), UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 2010 (khususnya pasal 45 dan 80), dan UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan ratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Asasi Difabel di Indonesia. Tetapi kehidupan difabel ditingkat akar rumput masih belum bisa merasakan manfaat dari adanya UU tersebut. Diskriminasi dan eksklusi sosial, bahkan pelecehan, masih terus terjadi pada kehidupan difabel, baik difabel anak maupun dewasa, difabel perempuan maupun lakilaki. UU yang berlaku nasional tersebut belum dianggap penting dan prioritas bagi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk melaksanakannya. Hal ini bisa dilihat pada kebijakan, program dan penganggaran pemerintah provinsi, kabupaten/kota yang belum mengakomodasi hak-hak dan kepentingan difabel sesuai amanat UU nasional. Melihat kondisi tersebut, PPRBM Solo, berusaha membuat inovasi strategi yang diharapkan efektif dalam rangka advokasi mainstreaming hak-hak difabel ke dalam kebijakan dan agenda pembangunan, yaitu melalui advokasi dalam kerangka pendekatan Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM) dan Pembangunan Inklusi. B. Potret Permasalahan Difabel di 7 Kabupaten/Kota
Berdasarkan olah data assesment lewat kuesioner, interview, dan pengamatan, permasalahan difabel di 7 kabupaten/kota di wilayah Solo Raya dan Grobogan bisa dibagi ke dalam 3 persoalan mendasar yaitu persoalan difabel di tingkat grassroots; persoalan strategis difabel; dan persoalan di tingkat kebijakan / pemerintah. Persoalan Difabel di tingkat Grassroots Persoalan yang menjadi kendala bagi difabel di kehidupan sehari-hari adalah : - Fasilitas umum dan sarana/prasarana transportasi umum yang masih sulit diakses oleh difabel - Tidak tersedianya atau terjaminnya alat bantu mobilitas yang sesuai dan terjangkau bagi difabel (misalnya untuk mendapatkan kursi roda sangat sulit, itupun jika dapat baik ukuran maupun fungsinya tidak sesuai kebutuhan). - Kehidupan ekonomi difabel yang tidak menentu - Perlakuan diskriminatif dari aparat pemerintah dan masyarakat - Sikap dan perilaku masyarakat dan aparat yang cenderung menyepelekan atau melecehkan difabel - Difabel tidak dipercaya atau dianggap tidak mampu
- Difabel menjadi korban tindak kekerasan fisik maupun seksual tanpa ada pembelaan dan perlindungan yang dibutuhkan - Difabel tidak punya akses ke permodalan atau tidak dipercaya untuk akses modal - Anak-anak difabel tidak bisa sekolah karena sekolah khusus jauh, tidak punya biaya, kendala transportasi, tidak ada pendamping, atau ditolak oleh pihak sekolah - Banyak difabel yang tidak memiliki Jamkesmas atau Jamkesda - Banyak difabel tidak tahu dan tidak punya SIM khusus difabel Dan masih banyak permasalahan lain yang dihadapi oleh difabel dalam kehidupan sehari-hari, yang tidak mungkin disebutkan semuanya dalam kesempatan kali ini. Persoalan Strategis Difabel Persoalan strategis difabel antara lain, namun tidak terbatas pada hal-hal berikut: -
Sebagian besar difabel tidak memiliki pengetahuan dan kesadaran tentang hak-hak mereka yang diatur dalam berbagai UU Mayoritas difabel tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan tentang advokasi mandiri untuk memperjuangkan hak-haknya Mayoritas difabel tidak memiliki keberanian dan pengalaman untuk melakukan advokasi mandiri untuk memperjuangkan hak-haknya Keluarga difabel dan masyarakat belum memiliki peran strategis untuk advokasi hak-hak difabel Mayoritas difabel tidak memiliki pengetahuan tentang manajemen organisasi dan kepemimpinan Mayoritas difabel berpendidikan rendah (kebanyakan lulus SD dan SMP, dan sedikit lulus SMA) Lingkungan, fasilitas umum, kantor-kantor pemerintah dan swasta yang belum aksesibel bagi difabel, menjadi kendala paling nyata dan menyulitkan bagi difabel Kebanyakan difabel terjebak pemikiran praktis untuk mendapatkan bantuan materi daripada memikirkan advokasi hak-hak mereka
Persoalan di Tingkat Kebijakan / Pemerintah Persoalan di tingkat kebijakan / pemeritah antara lain, namun tidak terbatas pada hla-hal sebagai berikut: -
-
Tidak ada difabel yang duduk di posisi pengambil kebijakan dalam struktur pemerintahan Difabel selama ini hanya menjadi kelompok sasaran atau penerima manfaat atau objek dari program pemerintah Pemerintah tidak memiliki data dasar yang valid, apalagi data yang kompehensif tentang difabel Pendekatan pemerintah masih bersifat parsial dan lewat satu pintu yaitu kementrian sosial (ditingkat pemerintah pusat) dan dinas sosial (ditingkat pemerintah provinsi dan kabupaten/kota), belum bersifat lintas sektor – lintas kementrian / lintas dinas. Pemahaman dan pengetahuan aparat pemerintah tentang CRPD, UU dan hak-hak difabel sangat rendah Anggaran pemerintah pusat dan daerah (provinsi/kabupaten/kota) untuk pemenuhan hak-hak difabel sangat kecil, sangat jauh dari amanat UU.
-
CRPD atau Konvensi Hak-Hak Difabel kurang populer dikalangan pemerintah (lebih populer MDGs – Millenium Devellopment Goals).
Persoalan – persoalan yang dihadapi difabel, baik persoalan grassroots, maupun persoalan strategis, maupun persoalan di tingkat kebijakan / pemerintah, merupakan persoalan yang saling mempengaruhi dan terkait, dan memiliki hubungan sebab-akibat, dengan kata lain bersifat sistemik, yang membutuhkan solusi yang komprehensif dan terintegrasi, harus solusi sistemik juga, baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang.
C. Advokasi Mainstreaming Hak-Hak Difabel
Advokasi dalam pendekatan RBM (Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat) adalah agar difabel dan kelompok difabel mampu melakukan advokasi mandiri, dengan didukung oleh keluarga dan masyarakat sipil agar pemerintah membuat kebijakan dan penganggaran untuk memastikan difabel mendapatkan pelayanan rehabilitasi, kesetaraan kesempatan dalam segala aspek pembangunan, termasuk akses program-program pengentasan kemiskinan, serta terlibat dalam kegiatan-kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (ekonomi, sosial, budaya, dan politik). Konsep dan pelaksanaan pembangunan tanpa RBM, akan membuat pembangunan yang terjadi, bukannya memberikan peluang bagi difabel untuk terlibat dan turut menikmati hasil-hasilnya, tetapi justru meminggirkan difabel secara sistematis. Contoh kasus : (Berdasarkan penelitian sederhana) Pembangunan beberapa pasar tradisional di Solo tahun 2009, yang sebelum dibangun difabel bisa mendapatkan manfaat dari pasar yaitu : ada difabel datang ke pasar-pasar tersebut untuk berjualan, kulakan, sekedar belanja harian, ada juga yang mengamen atau mengemis. Setelah dibangun dan menjadi lebih baik secara fisik, tetapi karena adanya anak-anak tangga di pintu-pintu masuk, maka difabel tidak bisa lagi masuk ke pasar, tidak bisa lagi berjualan, kulakan, sekedar belanja harian, ataupun mengamen / mengemis. Difabel tidak lagi punya akses pada pasar tersebut, yang artinya difabel kehilangan penghasilan; lebih jauh mereka akan kesulitan untuk kebutuhan hidup, makan, kesehatan, pakaian, pendidikan, dll. Artinya pembangunan justru meminggirkan dan memiskinkan difabel secara sistematis. Konsep dan pelaksanaan pembangunan yang diharapkan adalah pembangunan inklusi, yaitu konsep dan pelaksanaan pembangunan yang mengakomodasi hak-hak difabel (RBM), pembangunan yang memberikan ruang partisipasi bagi difabel, pada akhirnya akan memberikan manfaat bagi semua, termasuk difabel. Pembangunan inklusi yang didukung oleh sistem, dan bergerak secara berkelanjutan, pada gilirannya akan membangun masyarakat menjadi inklusi atau ramah difabel. Pembangunan + RBM (Partisipasi Difabel) = Pembangunan Inklusi Masyarakat Inklusi
RBM adalah strategi untuk rehabilitasi, penyetaraan kesempatan, pengurangan kemiskinan, dan inklusi sosial difabel. (Join position paper WHO, ILO, UNESCO, 2004). STRATEGI Implementasi RBM oleh PPRBM Solo
Pemberdayaan Difabel (Membangun Kapasitas dan Karakter Difabel) Penyadaran dan Pemberdayaan Masyarakat
Advokasi Mainstreaming Hak-Hak Difabel Membangun Jaringan dan Kemitraan
Menyadari persoalan difabel yang kompleks dan lintas sektor, serta bersifat sistemik, maka PPRBM Solo mengambil strategi besar (grand strategy) dalam konteks advokasi mainstreaming hak-hak difabel adalah dengan membangun sistem dan gerakan, baik ditingkat akar rumput maupun kebijakan. Strategi advokasi untuk membangun sistem dan gerakan di tingkat akar rumput adalah dengan: 1. Mengenalkan dan memahami (study) kebijakan (baik ekslusif maupun inklusif) yang terkait / berpengaruh pada difabel. 2. Mengenalkan dan membuka akses pada proses pendekatan / lobi / negosiasi kepada pihakpihak atau otoritas terkait. 3. Penguatan dan pemberdayaan kelompok basis difabel. 4. Mengenalkan dan membangun dukungan dan opini publik (non difabel). Sedangkan strategi advokasi untuk membangun sistem dan gerakan ditingkat kebijakan / pemerintah adalah dengan: 1. Edukasi 2. Persuasi 3. Kolaborasi 4. Konfrontasi (sejauh ini belum pernah digunakan)
D. Langkah-Langkah Advokasi
1. Audiensi dengan Bupati/Walikota Audiensi dengan bupati/walikota dilakukan untuk sosialisasi PPRBM dan program-program yang akan dilaksanakan, sekaligus minta dukungan moral, politik dan anggaran. Lewat presentasi, konsep RBM dan pembangunan inklusi diperkenalkan untuk menjawab permasalah difabel yang ada. Beberapa fakta dan data dari dilapangan juga diungkap untuk memperkuat posisi tawar program. Dalam audiensi tersebut juga dihadirkan dinas-dinas
atau SKPD (satuan kerja perangkat daerah) setempat. Presentasi dari PPRBM juga mengungkap kesenjangan (gab) antara UU dan pelaksanaan, antara kompleksitas permasalahan difabel dan minimnya peran negara dan masyarakat. Disisi lain, Indonesia juga terikat untuk melaksanakan konvensi PBB tentang hak-hak difabel serta kesepakatan antar negara lainnya ditingkat regional. Audiensi ditutup dengan tanggapan dan saran dari bupati/walikota, baik kepada PPRBM maupun kepada dinas terkait. Semua bupati / walikota mendukung program-program PPRBM dan meminta dinas-dinas yang ada untuk bekerjasama dengan baik. 2. Membentuk Tim Advokasi Difabel (TAD) di 7 Kabupaten/Kota Setalah audiensi dengan bupati/walikota, dilanjutkan dengan workshop sosialisasi program kepada dinas-dinas (SKPD), tokoh masyarakat, tokoh agama, LSM, difabel (organisasi difabel), orang tua/keluarga difabel, dan Bapeda. Out put dari workshop sosialisasi adalah terbentuknya Tim Advokasi Difabel (TAD) lintas dinas-lintas sektor. Pada awalnya, PPRBM menargetkan TAD hanya diusulkan berisi 5 dinas (SKPD) ditambah dari unsur difabel dan tokoh masyarakat. Tetapi setelah konsep RBM dan pembangunan inklusi dijelaskan dalam workshop, maka peserta mengusulkan agar lebih banyak dinas dimasukkan ke dalam TAD agar lebih mudah dalam koordinasi. Sampai saat ini, yaitu 3 tahun setelah TAD dibentuk, anggota TAD terdiri dari: a. Dari Unsur Dinas atau SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) : 1. Dinas Sosial 2. Dinas Kesehatan 3.Dinas Pendidikan 4. Kantor Kesejahteraan Sosial 5.Bapermas (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa0 6. Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana 7. Kantor Urusan Agama 8. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi 9. Dinas Pedagangan dan Perindustrian 10. Dinas Koperasi dan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) 11.BAPEDA (Badan Perencanaan Daerah) 12. Dinas Pekerjaan UMUM 13. Dinas Perhubungan b. Perwakilan Difabel dan/atau Keluarga Difabel c. Tokoh Masyarakat / Tokoh Agama d. Pengacara e. Unit Pelayanan dan Perlindungan Perempuan dan Anak (Polisi) f. TKSK (Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan) g. Anggota DPRD h. LSM Setelah TAD terbentuk, PPRBM memberikan pelatihan-pelatihan tentang HAM dan Hak-hak Difabel, RBM, Pembanguna Inklusi, Advokasi, dan Pemetaan Persoalan Difabel. Pelatihan diakhiri dengan membuat rencana tindak lanjut untuk merespon isu-isu difabel/difabilitas, sesuai dengan peran, tugas, dan fungsi masing-masing anggota. Salah satu tindak lanjut adalah validasi data dasar difabel di masing-masing kabupaten/kota. Dalam rangka melaksanakaan tindak lanjut, petugas lapangan PPRBM, melakukan pendampingan teknis kepada TAD untuk membuat proposal dan anggaran, dengan
kesepakatan pada tahap awal, 60 % anggaran didukung oleh PPFRBM, dan 40% dana dari dinas atau APBD, dan 60% program bersifat strategis, dan 40% bersifat praktis. Untuk tahun berikutnya, TAD akan menganggarkan dari APBD lewat masing-masing dinas. Dalam hal ini, anggota TAD dari dinas, melakukan advokasi anggaran kepada bupati/walikota dan DPRD setempat dalam rangka meloloskan anggaran untuk difabel. Peran anggota TAD yang dari non dinas adalah untuk memberikan masukan dan/atau menjadi mitra dalam pelaksanaan program. Untuk memperkuat kelembagaan TAD, anggota TAD dari unsur dinas mengusulkan kepada bupati/walikota untuk mengeluarkan SK (Surat Keputusan) Bupati/Walikota tentang pembentukan TAD. SK TAD yang pertama adalah SK Bupati Karanganyar tentang Pembentukan TAD Kabupaten Karanganyar, disusul kemudian kabupaten/kota yang lainnya. Selain SK, beberapa TAD juga mengusulkan adanya MOU antara bupati dengan PPRBM tentang alokasi anggaran dari APBD untuk keperluan pemberdayaan difabel. Dengan adanya SK tersebut, maka TAD diakui dan difungsikan sebagai sebuah sistem koordinasi lintas dinas-lintas sektor dalam merespon isu-isu difabel di masing-masing kabupaten/kota. Dalam wacana terbaru, payung hukum TAD akan ditingkatkan dari SK menjadi Peraturan Bupati (Perbub) atau Peraturan Daerah (Perda). Sampai saat ini, TAD ada di kabupaten Sragen, Karanganyar, Grobogan, Wonogiri, Klaten, Boyolali, dan kota surakarta. Dalam konteks TAD, strategi advokasi yang sudah berjalan adalah edukasi (training), persuasi (audiensi), dan kolaborasi (program, anggaran, pendampingan). TAD adalah wujud strategi inovasi PPRBM membangun gerakan dan sistem yang pro-difabel di tingkat kebijakan / pemerintah kabupaten/kota. Ke depan, dengan adanya Tim Advokasi Difabel di 7 Kabupaten / Kota, diharapkan kebijakan, program dan anggaran di segala bidang pembangunan, responsif pada hak-hak difabel sesuai ketentuan UU yang berlaku, baik internasional, nasional maupun lokal.
STRUKTUR PEMERINTAHAN INDONESIA NASIONAL
PROVINSI TIM ADVOKASI DIFABEL (TAD)
KAB./KOTA (Autonomy)
KECAMATAN
DESA RW RT 11
Keberadaan TAD difungsikan dan diarahkan untuk advokasi dua arah, yaitu buttom up: yaitu mampu melibatkan difabel dan menyerap aspirasi difabel karena lebih dekat kepada difabel yang hidup di tingkat grassroots; dan top down: yaitu bagaimana TAD memiliki fungsi untuk advokasi ke propinsi dan pemerintah pusat (kementrian) agar program dan anggaran dari propinsi dan pusat, lebih akomodatif kepada hak-hak difabel, baik yang praktis maupun strategis. Dalam konteks model-model advokasi, model advokasi TAD masih jauh dari selesai, masih perlu ujian dan perjuangan agar TAD bisa berfungsi untuk mempercepat realisasi hak-hak difabel seperti amanat CRPD dan UU lainnya, yang bisa dirasakan sampai kehidupan difabel ditingkat akar rumput.
3. Membentuk Kelompok Difabel atau Self-Help Group of PWDs (SHG) Dalam prinsip RBM, difabel dan kelompok difabel memiliki peran sentral sebagai pelaku sekaligus user dari RBM itu sendiri, misalnya untuk mencapai kesetaraan kesempatan (advokasi hak-hak difabel), dan inklusi sosial (partisipasi difabel). Jadi, tujuan membentuk SHG dalam RBM adalah agar mereka mampu melakukan advokasi mandiri (self-advocacy) secara berkelanjutan. Berangkat dari realita yang terjadi di komunitas, PPRBM melihat mengapa masih banyak difabel yang belum menyadari dan memahami secara baik tentang hak-haknya, belum memahami tentang advokasi, bahkan yang sudah menjadi anggota kelompok difabel pun, banyak yang belum memiliki keberanian dan pengalaman advokasi; hal ini karena mayoritas difabel lebih banyak tertarik dan berbicara tentang masalah dan kebutuhan ekonomi, karena belum memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Selain itu persoalan transportasi menjadi hambatan utama bagi difabel. PPRBM membentuk SHG di 7 kabupaten/kota, dengan tujuan untuk meningkatkan kapasitas dan karakter difabel anggota SHG, agar mereka mampu berperan dalam lobi-lobi, audiensi,
dan membangun kemitraan dalam upaya advokasi hak-hak mereka sendiri. Pintu masuk adalah masalah ekonomi. PPRBM memberikan pelatihan tentang kewirausahaan, manajemen kelompok, manajemen simpan-pinjam / sistem tanggung rentang, dan advokasi. Selain pelatihan, PPRBM memberikan dana bergulir bagi tiap-tiap SHG sebagai tambahan modal usaha bagi anggota SHG. PPRBM lewat petugas lapangan juga memberikan pendampingan dan konsultasi dalam setiap pertemuan kelompok maupun melalui home visit. Sejauh ini, PPRBM terus memperkuat SHG, dalam rangka membangun gerakan dan sistem ditingkat akar rumput. Termasuk memberikan training workshop tentang bedah kebijakan dan anggaran yang pro-poor / pro difabel di tingkat kabupaten/kota, yang menundang pembicara dari DPRD dan Bapeda. Hal ini untuk membuka wacana anggaran yang responsif difabel sekaligus memberikan legitimasi pada advokasi anggaran oleh TAD ke DPRD. Ke depan, dengan adanya kelompok difabel mandiri (SHG), ada upaya berkelanjutan dalam rangka meningkatkan pengetahuan, kesadaran, pengalaman, dan ketrampilan difabel agar mampu melakukan advokasi, lobby, dan kolaborasi sinergis dengan pemerintah dan masyarakat sipil, sesuai dengan UU yang berlaku, baik internasional, nasional maupun lokal. 4. Membentuk Forum Komunikasi TAD Atas usulan para ketua TAD, maka PPRBM membentuk Forum Komunikasi (Forkom) TAD. Tujuan Forkom adalah untuk advokasi ke tingkat propinsi dan pemerintah pusat (kementrian). Selain itu, Forkom juga menjadi ajang sharing informasi dan pengalaman masing-masing TAD. 5. Membangun Sekretariatan TAD dan SHG Tujuan membentuk sekretariatan TAD dan SHG adalah sebagai Pusat DATA dan Informasi difabel dan difabilitas masing-masing Kabupaten / Kota. Sehingga bisa mendukung lahirnya kebijakan strategis dan program pemberdayaan yang berdasarakan data. Kriteria dan Fungsi Minimum: Jalan yang aksesible Lingkungan dan bangunan yang aksesibel Tempat Meeting / Pertemuan antara TAD & SHG Dokumen (data, agenda, foto, dll) Ramah difabel (semua jenis difabilitas) E. Koordinasi dan Konsolidasi
Baik TAD maupun SHG mempunyai pertemuan rutin untuk koordinasi dan konsolidasi. TAD memiliki agenda untuk membawa isu-isu difabel ke dalam kebijakan dan program dinas terkait dan mengajukan ke Bapeda, selanjutnya Bapeda mengajukan ke DPRD. Jika diperlukan, Dinas dan Bapeda saling mem-back up pada sidang-sidang komisi di DPRD untuk memperjuangkan program dan anggaran untuk difabel. Karena ada anggota SHG yang
menjadi anggota TAD, maka proses partisipasi dan penyampaian aspirasi bisa berjalan dua arah. TAD juga mengajukan proposal kegiatan kepada PPRBM, dengan proporsi kegiatan 60% strategis dan 40% praktis; 60% dana dari PPRBM dan 40% dari dinas/APBD (pada tahun pertama), dengan asumsi, belum ada advokasi program dan anggaran untuk difabel. Masingmasing TAD memiliki prioritas yang cukup beragam, namun semua TAD memiliki kesamaan untuk validasi data difabel by name-by address. Agenda SHG lebih banyak membahas penguatan kelompok, dengan entry point kegiatan ekonomi, yaitu membuat dan/atau mengembangkan rencana usaha anggota atau rencana usaha bersama (kelompok SHG). Jika diperlukan, anggota TAD dari dinas akan hadir dalam pertemuan SHG. TAD dan SHG akan saling kerjasama untuk membahas rencana program dan anggaran pelatihan untuk difabel, termasuk disesuaikan dengan hasil assesment : kebutuhan dan potensi yang ada di internal maupun external SHG. Pada perayaan Hipenca (Hari Penyandang Cacat Internasional) setiap tahun, TAD dan SHG juga bekerjasama merencanakan dan mengisi acara, yang bukan hanya seremonial tetapi ada nuansa advokasi, promosi dan penyadaran publik. TAD (anggota TAD dari dinas tenaga kerja bagian penempatan dan pengawasan) dan SHG juga saling bekerjasama dalam advokasi kuota 1% kesempatan bekerja bagi difabel di perusahaan-perusahaan. Mereka memetakan ada berapa perusahaan di kabupaten tersebut, dan ada berapa perusahaan yang memenuhi aturan kuota 1%. Kemudian mereka datang ke perusahaan tersebut dengan membawa aturan-aturan yang berlaku dan meminta informasi apakah sudah melaksanakan atau belum, jika belum apa kendalanya dan bagaimana solusinya. Jika sudah, agar dipertahankan dan ditingkatkan. TAD dan SHG juga bekerjasama dalam advokasi SIM D untuk difabel ke Polres setempat. Pada awalnya difabel sendiri (SHG) yang advokasi ke Polres, tetapi ada berbagai alasan dan kesulitan yang menyebabkan SIM D belum bisa dilayani. Tetapi dengan pendampingan TAD, pihak Polres akhirnya bersedia melayani SIM D. Namun, masih ada perbedaan di masingmasing kabuapten/kota dalam hal biaya dan perlakukan ujian praktek SIM D. Oleh sebab itu, pada kesempatan pelatihan, TAD dan SHG dengan difailitasi oleh PPRBM, mengundang Polda Jawa Tengah untuk menjelaskan dan memastikan pelayanan SIM D di Jawa Tengah. Dalam pelatihan tersebut Polda Jawa Tengah dihadiri langsung oleh kepala Polantas Jawa Tengah dengan menghadirkan perwakilan dari semua Polres di Solo Raya dan Grobogan. Pada kesempatan tersebut, Polda Jawa Tengah meminta klarifikasi masalah apa saja yang ada di Polres masing-masing terkait pelayanan SIM D, dan menegur yang terkesan enggan melayani SIM D dengan alasan yang tidak bisa diterima. SIM D juga dikaitkan dengan UU No.: 34 tahun 1964 Junto PP No. 18 tahun 1965 Tentang Asuransi Kecelakaan di Jalan Raya. Dengan jelas UU ini mendiskriminasikan difabel: ”Kecelakaan-kecelakaan yang terjadi pada waktu korban sedang dalam keadaan mabuk atau tak sadar, melakukan perbuatan kejahatan ataupun diakibatkan oleh atau terjadi karena korban memiliki cacat badan atau keadaan badaniah atau rohaniah biasa lain”. Dengan adanya SIM D, difabel mempunyai hak sepenuhnya untuk klaim asuransi karena biaya SIM D sama seperti biaya SIM lainnya, yaitu sudah termasuk biaya asuransi kecelakan jasa raharja. Tentang adanya pasal yang diskriminatif, menurut Polda Jawa Tengah, hal ini masih menjadi PR bersama, tetapi menurut Pihak Kepolisian, SIM D adalah wujud pengakuan dan perlindungan negara kepada
semua difabel pengguna jalan raya, pihak kepolisian siap membantu difabel dalam klaim asuransi sesuai UU yang berlaku.
F. Capaian
Sejak TAD dan SHG diinisiasi oleh PPRBM Solo, beberapa capaian utama antara lain adalah: •
• • • • •
Tujuh (7) TAD befungsi dengan cukup baik dalam mainstreaming hak-hak difabel dalam program dan anggaran sesuai tupoksi dinas masing-masing. Isu pembangunan inklusi sudah bisa diterima oleh dinas-dinas (SKPD) dan anggota TAD lainnya. Representatif 7 TAD Kab./Kota membentuk Forum TAD untuk advokasi dan mainstream ke tingkat provinsi dan nasional. Koordinasi lintas instansi pemerintah mulai terbangun. Ada peningkatan program dan anggaran yang bertujuan untuk inklusi hak-hak difabel dalam berbagai bidang. Ada peningkatan partisipasi difabel dalam pembangunan melalui TAD maupun SHG. Ada peningkatan partisipasi stakeholders lainnya dalam usaha mewujudkan hak-hak difabel dalam kehidupan sosial, bermasyarakat dan bernegara.
Secara konkret misalnya: Bidang aksesibilitas: adanya aksesibilitas fisik pada bangunan kantor pemerintah (kabupaten/kota, kecamatan, dan kelurahan/desa, sarana prasarana transportasi, sarana prasarana kesehatan, taman kota, taman bermain, jalur pedestrian, dan rambu-rambu lalu lintas. Meskipun masih jauh dari ideal dari kuantitas dan kualitas, tetapi sudah ada perkembangan yang cukup significant dari tahun 2010 sampai tahun 2012.
Bidang livelihood / penghidupan: usaha dan pendapatan anggota SHG dilaporkan mengalami peningkatan seiring dengan adanya akses modal, training kewirausahaan dan pameran produk anggota-anggota SHG. Training ketrampilan kerja bagi difabel bukan hanya dari Dinsos, tetapi difabel juga diberikan hak mendapatkan pendidikan ketrampilan dari Techno Park yang lebih maju dan sesuai kebutuhan dan peluang pasar tenaga kerja profesional. SHG Boyolali, sudah mencoba 3 kali membangun usaha kelompok dan hasilnya kurang berhasil, tetapi terus mencoba mengembangkan ide usaha bersama, dan ide usaha bersama yang terakhir (usaha emping garut), ternyata laris manis. Dari pengalaman dan perjuangan SHG Boyolali tersebut, sekarang difabel anggota SHG Boyolali, memiliki mental dan pengalaman lebih baik tentang bagaimana membangun usaha. Jumlah perusahaan yang memperkerjakan difabel juga meningkat cukup pesat (dari data / informasi tahun 2010 sampai dengan tahun 2012), terutama di Kabupaten Karanganyar dan Boyolali. Misalnya ada satu perusahaan yang pada saat di survey oleh TAD dan SHG hanya ada 3 (tiga) difabel, pada tahun berikutnya pada saat monitoring, sudah mempekerjakan 23 (dua puluh tiga) difabel. Difabel yang bekerja pada perusahaan tersebut bukan anggota SHG, jadi yang menerima manfaat dari usaha advokasi oleh TAD dan SHG adalah difabel secara umum. Dalam hal kewirausahaan, PPRBM juga mengangkat seorang pengusaha untuk menjadi konsultan bagi difabel anggota SHG di Solo Raya dan Grobogan untuk mengembangkan usahanya, baik aspek perencanaan, promosi, pemasaran, inovasi maupun permodalan.
Bidang anggaran: Sebagai contoh adalah Dinsosnakertran Kabupaten Karanganyar, anggaran khusus untuk difabel dari sebesar Rp. 21,5 juta / satu tahun di tahun 2010, menjadi Rp. 365 juta / satu tahun di tahun 2012. Untuk Dinsos Kabupaten Wonogiri, anggaran khusus untuk difabel dari sebesar Rp. 24 juta / satu tahun di tahun 2010, menjadi Rp. 360 juta / satu tahun di tahun 2012. Penggunaan anggaran bukan hanya berupa program bantuan praktis (karitatif/charity), tetapi sudah mengarah kepada program pemberdayaan dan advokasi (strategis). Kemitraan dan Jejaring: Beberapa SHG mampu mengembangkan kemitraan dengan berbagai pihak untuk akses program yang dibutuhkan difabel, sekaligus untuk mainstream isu difabel ke isu pembangunan lainnya (cross-cutting issue). Misalnya SHG KUDIFA Grobogan, mampu membeli sebidang tanah dan membangun base camp kegiatan difabel Grobogan karena jerih payah usahanya untuk membangun kemitraan dan jejaring dengan berbagai pihak. Mereka juga bisa akses program jambanisasi untuk keluarga miskin, terutama bagi keluarga miskin yang memiliki anggota keluarga yang difabel, bahkan mereka mendapatkan pelatihan membuat closet, dan sekarang mampu membuat closet kualitas toko, dengan harga lebih murah, bagi difabel dan masyarakat lain yang membutuhkan. Contoh lain SHG Padi Bersinar Klaten, diundang oleh kelompok difabel yang pernah mengalami kusta di Jawa Timur untuk menjadi fasilitator pelatihan usaha mandiri, dan mendapatkan pemasukan dari kegiatan tersebut. Anggota SHG D’SOLOMOR Kota Solo, menjadi fasilitator pelatihan kewirausahaan bagi difabel dan non-difabel. SHG Bhakti Makmur Boyolali, menjadi inspirasi dan pendukung berdirinya Forum Komunikasi Difabel Boyolali (FKDB), yang bertujuan untuk menggalang suara difabel Boyolali yang lebih luas. Bidang Pendidikan: Kabupaten Boyolali dan Karanganyar sudah mendeklarasikan dirinya sebagai Kabuapten Inklusi karena jumlah sekolah inklusi sudah lebih dari 50 buah, yang terdiri dari tingkat SD, SMP, dan SMA. Walaupun pengamalaman dan pengamatan konsep dan pelaksanaan pendidikan inklusi di lapangan masih jauh dari ideal, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas,
namun, deklarasi tersebut turut didukung oleh kalangan DPRD setempat, sehingga kelemahan-kelemahan yang ada, ke depan diharapkan bisa diatasi lebih progresif. Bidang advokasi: Difabel anggota SHG sudah mulai memiliki pengalaman bagaimana melakukan audiensi dan lobi kepada pihak-pihak tertentu untuk memperjuangkan hak-hak difabel. Misalnya memperjuangkan aksesibilitas, kesempatan pelatihan, kesempatan kerja kuota 1% diperusahaan, dan SIM D. Khusus untuk SIM D, saat ini sudah dikeluarkan lebih dari 60 SIM D untuk difabel yang mengajukan SIM D untuk wilayah Solo Raya dan Grobogan. Dari sisi partisipasi difabel dalam pembangunan, anggota TAD yang pernah berpengalaman di Bapeda mengusulkan agar difabel bisa secara resmi dimasukkan ke dalam nomenklatur wajib dalam Musrenbang, agar perwakilan dan isu difabel wajib masuk dalam usulan Musrenbang. Usulan tersebut bisa ke Bapenas dengan CC ke kementrian terkait, propinsi, dan kabupaten/kota. Masih banyak capaian-capaian yang terjadi namun tidak mungkin ditulis semuanya dalam kesempatan kali ini.
G. Tantangan untuk Diantisipasi Tantangan di tingkat pemerintahan yang harus diantisipasi ke depan adalah: •
•
•
•
•
Sering terjadi mutasi jabatan dan staf dinas. Mutasi menjadi keniscayaan di lingkungan pemerintahan, baik antar dinas maupun internal dinas. Mutasi besar-besaran juga sering terjadi setelah adanya Pilkada. Mutasi bisa menjadi hambatan dalam percepatan kinerja TAD jika orang-orang dinas yang selama ini “sudah mainstream” difabel, tiba-tiba harus diganti orang baru, yang belum paham benar tentang maistream hak-hak difabel. Komunikasi dan kolaborasi antar instansi pemerintah masih sangat sulit. Seringkali terjadi tabrakan jadwal antara agenda “murni” dinas dan agenda TAD. Seringkali itu pula agenda TAD yang dikalahkan. Hal ini tentu menghambat komunikasi dan koordinasi di TAD. Pendekatan TOP DOWN masih dominan. Meskipun pendekatan partisipatif dan assesment berbasis data sudah diperkenalkan, tetapi kebiasaan kerja birokrasi yang “tergantung juklak-juknis” masih dominan. Ada ketakutan tersendiri bagi beberapa kalangan pemerintahan untuk mengakomodasi isu-isu hak difabel, jika belum ada kebijakan yang jelas berikut juklak-juknisnya. Anggaran Pembangunan Sangat Kecil (hanya sekitar 30%-40% dari total anggaran APBD Kab./Kota), anggaran untuk difabel sangat-sangat kecil, bahkan kadang hampir tidak ada. Struktur dan postur APBD yang belum berbasis kinerja (60%-70% untuk anggaran rutin/belanja/gaji pegawai), berdampak kepada program dan anggaran untuk difabel sangat kecil. Hal ini tentu tidak bisa hanya diatasi oleh TAD atau SHG, jadi isu mainstreaming hak-hak difabel harus pula menjadi bagian dari isu-isu tata kelola anggaran yang berbasis kinerja (cross-cutting isu dengan masalah tata kelola keuangan negara). Hak-hak difabel belum menjadi prioritas pembangunan. Meskipun isu difabel sudah sangat lama ada, tetapi karena pemahaman selama ini isu difabel adalah isu eksklusif dan karitatif, dan belum masuk ke isu kesetaraan hak, maka keberpihakan kepada hakhak difabel masih sangat kurang. Disisi lain, suara-suara difabel dan masyarakat sipil lainnya yang memperjuangkan hak-hak difabel, masih sangat lemah. Seorang anggota TAD bahkan dengan polosnya pernah mengatakan : “wah, ternyata jumlah difabel sangat besar ya, lalu mau diapakan ya?”.
•
Masih ada kesan dari beberapa kalangan pemerintah yang menganggap keterlibatan di TAD adalah kerja tambahan yang hanya menambah beban kerja, bahkan merepotkan. Bahwa difabel adalah warga yang juga memiliki hak yang sama, yang tak terpisahkan dari semua program pembangunan (tugas semua dinas/SKPD), belum dipahami dan dihayati secara seutuhnya.
Tantangan di tingkat difabel: Banyak difabel justru terjebak kepada entry point saja, yaitu merasa nyaman dan puas dengan kondisi sosial-ekonomi yang dirasa cukup, dan tidak punya gairah untuk advokasi kesetaraan hak bagi difabel. Tingkat pendidikan formal dan pengalaman hidup yang relatif rendah, membuat difabel seringkali masih kurang percaya diri untuk maju berhadapan dengan para pejabat terkait. Banyak difabel dan keluarga difabel merasa sangat curiga untuk memberikan informasi dan data terkait difabel / difabilitas. Kebanyakan bertanya untuk apa dan mau membantu apa. Hal ini terkait dengan kebiasaan bahwa pendataan difabel hanya bertujuan untuk program atau kegiatan atau bantuan tertentu. Bahwa data valid itu penting untuk tujuan advokasi belum banyak dipahami. Mind-set atau cara berpikir instant juga masih sangat dominan dikalangan difabel. Mereka seringkali bertanya, advokasi hasil nyatanya apa? Saya butuhnya bantuan, bukan advokasi. Paradigma dan budaya bantuan masih sangat kental pada kebanyakan difabel. Kepemimpinan dan kaderisasi masih sangat sulit dikalangan aktifis difabel. Meskipun sudah mendapatkan training tentang advokasi, namun konsep advokasi masih menjadi ruang hampa bagi banyak difabel di tingkat grassroots. Sebaliknya, banyak difabel yang sudah berhasil membuat perubahan dan perbedaan di kehidupan nyata sehari-hari, tetapi tidak mampu membahasakan pengalaman tersebut ke dalam sebuah bahasa advokasi yang bisa menjadi sharing dan inspirasi bagi difabel lainnya. H. Lesson Learnt Isu difabel sebagai isu kesetaran hak dalam pembangunan masih belum akrab dikalangan pemerintahan maupun masyarakat sipil lainnya, bahkan dikalangan difabel sendiri. Advokasi hak-hak difabel juga masih sangat lemah dan timbul tenggelam karena belum terbentuk satu gerakan yang didukung oleh sebuah sistem. Dengan TAD dan SHG, PPRBM berusaha mencari formula inovatif agar terbangun sebuah gerakan dan sistem secara simultan. Namun begitu, tantangannya sangat berat dan membutuhkan ketahanan dan kesabaran yang luar biasa. Keberpihakan PPRBM kepada difabel, memberikan satu motivasi yang lebih kuat untuk terus yakin, bahwa difabel harus terus didorong dan diberdayakan untuk mampu melakukan advokasi mainstreaming hak-hak difabel itu sendiri. Tantangan internal maupun eksternal memang sangat berat, namun upaya tidak boleh berhenti, harus tetap dilakukan, bahkan terus ditingkatkan, apapun tantangan yang menghadang. Pendekatan RBM dan pembangunan inklusi menuntut adanya advokasi dua aras, yaitu ditingkat grassroots dan kebijakan. TAD dan SHG menjadi wujud nyata advokasi dua arus tersebut. Lewat TAD dan SHG, advokasi ditransformasi dari wacana elitis, atau yang selama ini terkesan “gerakan yang galak habis” dicoba untuk menjadi energi penggerak bagi kaum akar rumput, dalam konteks ini adalah difabel yang rata-rata memiliki pendidikan rendah, pengalaman hidup yang terbatas, daya dukung sosial ekonomi yang terbatas, serta perlakuan lingkungan, hukum dan budaya yang justru meminggirkan.
I.
Ringkasan dan Kesimpulan
PPRBM berusaha menjembatani kesenjangan ditingkat pemerintahan / kebijakan dengan cara: • Training workshop – yang terkait dengan isu-isu difabel dan difabilitas • Sekretariat TAD / SHG yang aksesibel – Pusat Data dan Informasi Difabilitas di MasingMasing TAD/SHG, bukan hanya aksesibel lingkunagn, tetapi program atau informasinya juga aksesibel. • Technical support – Membuat Proposal dan Laporan, Naratif dan Keuangan. • Pertemuan Lintas Dinas di TAD - Koordinasi, Informasi, Sinergi, Simplifikasi (KISS). • Sharing Program Budget – Program dan Anggaran untuk Pemenuhan Hak-Hak Difabel semakin Meningkat (APBD Kab./kota, APBD Provinsi, APBN). PPRBM berusaha menjembatani kesenjangan ditingkat difabel / akar rumput dengan cara: • Training workshop – Pemberdayaan (membangun kapasitas dan karakter) dan Advokasi. • Self-advocacy – Advokasi Mandiri (Hipenca, SIM D, Kuota 1% pekerjaan formal, dll) • Technical support – Membuat Proposal dan Laporan, Naratif dan Keuangan, Pendampingan, Konsultasi, dll. • Kesempatan Kerja – Advokasi Kesempatan Kerja bagi Difabel, bersinergi dengan TAD. • Membangun dan Memperkuat Kemitraan dan Jejaring – Membangun dan Memperkuat Jaringan Kerjasama yang Inklusif (Lintas Sektor – Multi Stakeholders).
Melalui TAD dan SHG, advokasi mainstreaming membawa isu difabel dari isu tunggal menjadi isu lintas sektor dan lintas dinas, dari isu praktis (bantuan/karitatif/charity) menjadi isu pemberdayaan dan pembangunan yang berpihak kepada difabel (strategis). Pembiayaan untuk memenuhi hak-hak difabel bukan lagi lewat satu pintu dinas saja, tetapi lewat semua pintu dinas (SKPD). Isu difabel tidak mungkin begerak sendirian, isu difabel harus sinergi dengan isu-isu masyarakat sipil lainnya. Sehingga dengan demikian, dalam waktu 25-100 tahun ke depan, kebijakan pembangunan menjadi betul-betul pro difabel yang bisa dirasakan manfaatnya secara nyata oleh difabel sampai ke level grassroots.
Dirumuskan oleh: Sunarman Sukamto PPRBM Solo
PROFIL SUNARMAN
Nama
: Sunarman
Email
:
[email protected] [email protected]
Peran di Nasional dan Internasional :
Aliansi RBM Indonesia : Ketua II (2010 – sekarang). BEAT (Barriers-free and Accessible Transportation) Malaysia-Indonesia-Thailand: Resource Person dan Country Coordinator Indonesia (2009 – sekarang).
CBR Asia – Pacific Network : Country Representative Indonesia, Executive Committee Member (2010 – 2015).
Inclusive Caritas Asia Network (I-CAN) : Core committee (2009 – sekarang). WHO South East Asia Representative Office : Advisor / Konsultant Bidang CBR (2011 – sekarang).