BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga dan Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) mulai April sampai Oktober 2011.
Bahan Tumbuhan Sumber Insektisida Nabati Bahan tumbuhan yang digunakan sebagai sumber ekstrak insektisida nabati antara lain daun Tephrosia vogelii (kacang babi/Fabaceae) yang diperoleh dari kebun organik Bina Sarana Bakti, Cisarua, Bogor; rimpang Alpinia purpurata (lengkuas merah/Zingiberaceae) yang diperoleh dari pasar Bogor; biji Swietenia mahagoni (mahoni/Meliaceae) yang diperoleh dari Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga; dan biji Annona muricata (sirsak/Annonaceae) yang diperoleh dari pasar Bogor.
Penyiapan Tanaman Media Uji Daun cabai (Capsicum annuum L.) varietas SPH 77 digunakan sebagai media pengujian keefektifan insektisida nabati.
Benih cabai disemai dalam
nampan semai yang telah diisi campuran sekam bakar dan pupuk kompos dengan perbandingan 3:1. Setelah berumur kurang lebih 4 minggu setelah tanam (MST), bibit cabai dipindah ke polybag berkapasitas 5 kg (25 cm x 25 cm) yang telah diisi campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 3:1. Pemeliharaan yang dilakukan meliputi pemupukan, penyiraman, dan pengendalian hama. Pupuk NPK diberikan setelah tanaman cabai berumur kurang lebih 8 MST. Pemberian pupuk NPK berikutnya dilakukan setelah panen pertama. Penyiraman dilakuan setiap pagi atau sore hari.
Pengendalian hama seperti kutu-kutuan
dilakukan dengan menyemprot permukaan bawah daun menggunakan air yang dialirkan lewat selang, sedangkan untuk gangguan penyakit tidak dilakukan
11 pengendalian karena intensitas serangannya rendah. Setelah tanaman berumur kurang lebih 10 MST, daun cabai dapat digunakan sebagai media pengujian.
Perbanyakan Serangga Uji Serangga yang digunakan dalam pengujian keefektifan insektisida nabati adalah Spodoptera litura (F.) (Lepidoptera: Noctuidae) instar pertama. Perbanyakan serangga uji diawali dengan pemeliharaan larva S. litura di laboratorium.
Larva S. litura diperoleh dari pertanaman talas di Situ Gede,
Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Larva yang diperoleh dimasukkan ke dalam wadah plastik pemeliharaan (34.5 cm x 26.5 cm x 7 cm) dengan tutup berkain kasa. Bagian dasar wadah pemeliharaan dialasi kertas buram agar cairan yang keluar bersama kotoran S. litura bisa segera diserap.
Setiap wadah
pemeliharaan diisi maksimal 40 ekor larva. Selama pemeliharaan, pakan yang digunakan adalah daun talas. Daun talas diperoleh dari pertanaman talas liar yang ada di sekitar kampus IPB Dramaga. Daun talas yang akan dijadikan pakan dicuci terlebih dahulu dengan air yang mengalir. Setelah dicuci, daun ditiriskan sebelum diberikan ke larva. Daun talas berukuran sedang diberikan setiap pagi dan sore hari masing-masing sebanyak 1 lembar. Setiap mengganti pakan, wadah pemeliharaan dibersihkan dari kotorankotoran larva dan dilakukan penggantian kertas buram. Setelah mencapai instar ke-6 akhir (prapupa), pada bagian dasar wadah pemeliharaan diberikan serbuk gergaji yang telah disterilisasi di dalam oven selama kurang lebih 15 menit pada suhu 105 °C. Serbuk gergaji ditempatkan di dasar wadah pemeliharaan bagian pinggir dan bagian tengahnya dikosongkan (membentuk bingkai kotak). Di atas serbuk gergaji diberikan 2 lembar kertas buram. Larva S. litura dan pakannya diletakkan di atasnya. Setelah S. litura menjadi pupa, dipindahkan ke wadah yang dibuat khusus untuk imago S. litura berkopulasi dan bertelur, yaitu berupa wadah plastik berbentuk silinder (diameter 16 cm dan tinggi 16 cm). Dinding bagian dalam wadah secara keseluruhan dilapisi kertas buram.
Bagian atas wadah ditutup
menggunakan tutup kasa. Setiap wadah pemeliharaan diisi maksimal 30 buah pupa. Setelah imago S. litura keluar dari pupa, diletakkan pakan berupa larutan
12 madu (perbandingan air dan madu 9:1) yang diserapkan pada kapas dan diletakkan di atas tutup kasa. Imago yang telah berkopulasi akan meletakkan telurnya pada permukaan kertas buram. Jika kelompok telur yang dihasilkan sudah cukup banyak dan warnanya sudah agak gelap (abu-abu kehitaman), telur dipanen. Telur dipanen dengan menggunting kertas buram yang menjadi tempat bertelur S. litura sesuai ukuran kelompok telur yang dihasilkan. Kelompok telur yang didapat dimasukkan ke dalam wadah plastik berbentuk silinder yang lebih kecil (diameter 6 cm dan tinggi 6.5 cm). Setelah telur menetas, larva S. litura segera digunakan untuk pengujian.
Penyiapan Bahan Tumbuhan Sumber Insektisida Nabati Daun T. vogelii dikeringanginkan selama seminggu, kemudian dipotong menjadi bagian-bagian kecil. Sebaliknya, rimpang A. purpurata dipotong menjadi bagian-bagian kecil terlebih dahulu sebelum dikeringanginkan selama seminggu. Biji S. mahagoni dan A. muricata dikupas kulitnya sehingga didapat bagian endospermanya, kemudian dikeringanginkan selama seminggu juga. Semua bahan tumbuhan dikeringanginkan di tempat yang teduh (tidak terkena sinar matahari secara langsung) dan kering. Setelah kering, setiap bahan tumbuhan digiling menggunakan blender hingga menjadi serbuk. Setiap bahan tumbuhan yang sudah digiling diayak menggunakan pengayak kawat kasa berjalinan 0,5 mm.
Ekstraksi Bahan Tumbuhan Sumber Insektisida Nabati Metode Maserasi Setiap bahan tumbuhan sebanyak 200 g dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer, kemudian ditambahkan metanol teknis yang terlebih dahulu diuapkan menggunakan rotary evaporator (agar diperoleh metanol murni) sampai semua bahan tumbuhan terendam, lalu disimpan selama 2 malam (48 jam). Rendaman masing-masing bahan tumbuhan disaring menggunakan corong kasa yang dialasi kertas saring. Hasil saringan diuapkan menggunakan rotary evaporator pada suhu 50 °C dan tekanan 337 mbar hingga diperoleh ekstrak kasar. Metanol hasil
13 penguapan yang diperoleh digunakan kembali untuk merendam bahan tumbuhan hasil penyaringan selama 2 malam juga, kemudian diuapkan kembali menggunakan rotary evaporator. Setiap ekstrak yang diperoleh disimpan dalam lemari pendingin pada suhu ± 4 °C hingga saat digunakan.
Penyiapan Sediaan Ekstrak yang Diperoleh dari Metode Maserasi. Ekstrak T. vogelii sebanyak 0.5 g dicampur dengan pelarut metanol, Solvesso R-100, dan pengemulsi Tween-80 (9:1:5) sebanyak 0.48 ml; kemudian ditambahkan akuades sampai volumenya menjadi 50 ml. Konsentrasi akhir metanol, Solvesso R-100, dan Tween-80 adalah 0.96%. Akuades yang mengandung pelarut metanol, Solvesso R-100, dan Tween-80 digunakan sebagai larutan kontrol.
Untuk ekstrak A. muricata, A. purpurata, dan S. mahagoni
dicampur dengan pelarut aseton dan pengemulsi Tween-80 (5:1) sebanyak 0.6 ml; kemudian ditambahkan akuades sampai volumenya menjadi 50 ml. Konsentrasi akhir metanol dan Tween-80 adalah 1.2%.
Semua larutan ekstrak dikocok
menggunakan pengocok ultrasonik agar diperoleh ekstrak yang tersuspensikan secara merata dalam akuades.
Selanjutnya, dilakukan pengenceran pada tiap
suspensi ekstrak sehingga diperoleh konsentrai 1%, 0.5%, 0.25%, dan 0.125%.
Metode Fermentasi Perbanyakan bakteri selulolitik. Isolat bakteri yang digunakan selama proses ekstraksi diperoleh dari Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan dan sudah diuji positif menghasilkan enzim yang mampu mendegradasi selulosa. Isolat bakteri tersebut berasal dari saluran pencernaan kambing dan diisolasi dari kotorannya. Sebelum proses ekstraksi, bakteri dibiakkan terlebih dahulu pada media Natrium Agar (NA) dengan komposisi: akuades 100 ml, beef extract 0.3 g, peptone 0.5 g, dan bacto agar 1.5 g. Semua bahan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer lalu diaduk sampai semua bahan padat larut dalam akuades, kemudian media disterilkan menggunakan autoklaf selama 15 menit pada suhu 121 °C dan tekanan 1 atm. Setelah dibiakkan pada media NA, isolat bakteri diperbanyak pada media Potato Dextrose Broth (PDB) dengan komposisi: akuades 100 ml, kentang 20 g,
14 dan dextrose 2 g. Sebelum media dibuat, kulit kentang dikupas, kemudian dicuci dan dipotong-potong menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Selanjutnya, kentang direbus dalam akuades sampai tekstur kentang menjadi lunak. Hasil rebusan disaring untuk diambil sarinya. Setelah itu, ditambahkan dextrose dan akuades sampai volumenya menjadi 100 ml lagi, lalu diaduk sampai dextrose larut. Media PDB yang sudah selesai dibuat dimasukkan ke dalam 25 buah tabung reaksi (masing-masing 5 ml). Media disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu dan tekanan yang sama dengan proses sterilisasi media NA. Untuk perbanyakan bakteri, sebanyak 1 ose isolat bakteri dimasukkan ke dalam media PDB dan dihomogenkan menggunakan Vortex. Media PDB yang berisi isolat bakteri diinkubasikan selama ± 36 jam sambil dikocok menggunakan shaker. Selama pengocokan, ujung tabung ditutup menggunakan alumunium foil tanpa diberi seal. Setelah masa inkubasi, isolat bakteri segera digunakan untuk proses ekstraksi.
Ekstraksi insektisida nabati dengan metode fermentasi. Setiap bahan tumbuhan ditimbang sebanyak 10, 5, 2.5, dan 0.5 g; kemudian dimasukkan ke dalam wadah ekstraksi dan ditambahkan akuades sampai volumenya menjadi 45 ml. Setelah itu, ditambahkan isolat bakteri yang telah diperbanyak dalam media PDB sehingga didapat larutan sebanyak 50 ml dengan konsentrasi bahan tumbuhan 20%, 10%, 5%, dan 1%. Untuk kontrol, larutan hanya berisi akuades dan isolat bakteri. Selanjutnya, wadah ditutup dengan alumunium foil dan diinkubasikan sampai 48 jam. Pada 24, 36, dan 48 jam setelah isolat bakteri dimasukkan; dilakukan pengadukan terhadap larutan bahan tumbuhan. Pengadukan dilakukan agar terjadi perputaran udara dalam larutan sehingga diharapkan pertumbuhan bakteri dapat terjadi secara merata. Setelah 48 jam, dilakukan penyaringan terhadap ekstrak hasil fermentasi.
Penyaringan dilakukan menggunakan saringan berjalinan
± 0.1 mm. Sediaan ekstrak hasil penyaringan disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu ± 4 °C hingga saat digunakan.
15 Pengujian Keefektifan Ekstrak Insektisida Nabati Pengujian dilakukan dengan metode residu pada daun menggunakan metode celup daun.
Pengujian dilaksanakan menggunakan rancangan acak lengkap
(RAL) faktorial dengan 2 faktor. Faktor pertama adalah jenis metode ekstraksi yang digunakan, meliputi ekstraksi dengan pelarut organik (maserasi) dan bakteri selulolitik (fermentasi).
Faktor kedua adalah jenis bahan tumbuhan sumber
ekstrak yang digunakan meliputi daun T. vogelii, rimpang A. purpurata, biji S. mahagoni dan A. muricata. Setiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali. Daun yang digunakan dalam pengujian diusahakan berukuran seragam dan tidak terserang penyakit. Daun cabai dicelup satu per satu ke dalam suspensi ekstrak dengan konsentrasi tertentu sampai basah merata lalu ditiriskan. Daun kontrol dicelupkan ke dalam larutan kontrol yang sesuai. Setelah tiris, tangkai daun dibalut dengan kapas dan seal dari batas helai daun dan tangkai sampai ujung kapas kecuali bagian paling ujung. Bagian kapas yang tidak tertutup seal dicelupkan ke dalam akuades sampai akuades mencapai setengah bagian kapas. Selanjutnya, bagian tersebut dibalut juga menggunakan seal. Pemberian akuades yang diserapkan pada kapas bertujuan daun perlakuan tetap segar sampai pengamatan selesai dilakukan. Pembalutan tangkai dan kapas secara keseluruhan menggunakan seal dilakukan untuk mencegah serangga uji meminum akuades yang diserapkan pada kapas, sehingga didapat data yang lebih akurat karena larva hanya memakan daun yang sudah diberi perlakuan menggunakan sediaan ekstrak tumbuhan. Setiap daun perlakuan dan daun kontrol diletakkan secara terpisah di dalam cawan petri (diameter 9 cm) yang dialasi kertas tisu yang ukurannya melebihi diameter cawan (satu daun per cawan). Cawan diletakkan pada posisi terbalik. Alas tisu diletakkan pada bagian tutup cawan, sedangkan bagian dasar cawan ditutupkan di atas tisu. Dengan demikian, bagian tutup dan dasar cawan tersekat tisu sehingga serangga uji tidak dapat keluar dari cawan. Sebanyak 10 ekor larva instar pertama S. litura yang baru menetas dimasukkan ke dalam cawan petri, kemudian diberikan daun kontrol atau daun perlakuan sesuai konsentrasinya. Setelah 24 jam, dilakukan pengamatan efek mortalitas terhadap serangga uji dan dilakukan penggantian daun perlakuan
16 dengan daun perlakuan yang baru, begitu juga dengan daun kontrol. Setelah itu, dilakukan pengamatan aktivitas penghambatan makan dengan menghitung luas permukaan daun yang dimakan serangga uji pada daun perlakuan dan kontrol. Dua puluh empat jam berikutnya, daun perlakuan dan daun kontrol diganti dengan daun tanpa perlakuan. Pengamatan efek mortalitas dan aktivitas penghambatan
makan dilakukan setiap hari selama 3 hari pada 24, 48, dan 72 jam sejak awal perlakuan (JSAP).
Pengamatan Efek Mortalitas terhadap Larva Instar Pertama S. litura Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah larva instar pertama
S. litura yang mati. Serangga uji yang terlihat tidak bergerak, tubuhnya mengerut dan berwarna coklat kehitaman dianggap sebagai serangga uji mati. Persentase mortalitas serangga uji dihitung menggunakan rumus:
PM
100%
keterangan: PM = persentase mortalitas serangga uji (%) M = jumlah total serangga uji yang mati selama pengamatan N = jumlah total serangga uji yang digunakan untuk pengujian
Pengamatan Aktivitas Penghambatan Makan terhadap Larva Instar
Pertama S. litura Alat bantu yang digunakan selama pengamatan antara lain kaca pembesar, spidol, dan lampu. Daun yang diamati direntangkan di atas kaca pembesar dan diletakkan di depan lampu sehingga terlihat jelas bekas gigitan serangga uji.
A
Gambar 1
B
Penghitungan total lingkaran bekas gigitan larva instar pertama S. litura (A) dan ilustrasinya (B).
17 Bekas gigitan tampak membentuk wilayah dengan warna lebih muda daripada bagian daun yang tidak digigit. Bekas gigitan larva instar pertama S. litura yang teramati selama pengamatan pada umumnya berbentuk lingkaran (diameter ± 0.5 mm). Jumlah lingkaran bekas gigitan tersebut dihitung untuk mendapatkan jumlah total bagian permukaan daun yang dimakan serangga uji. Selain lingkaran, bekas gigitan serangga uji juga memiliki bentuk tidak beraturan. Untuk menghitungnya, dilakukan estimasi terhadap jumlah lingkaran berdiameter ± 0.5 mm yang dibutuhkan untuk menutupi seluruh wilayah bekas gigitan
yang
bentuknya
tidak
beraturan.
Untuk
mempermudah
proses
penghitungannya, digunakan spidol (diameter ujung ± 0.5 mm) untuk memberi tanda titik pada wilayah bekas gigitan sampai penuh (lihat Gambar 6B). Jumlah tanda titik tersebut diasumsikan sebagai jumlah bekas gigitan serangga uji yang berbentuk lingkaran dengan diameter ± 0.5 mm. Setelah diperoleh jumlah total lingkaran bekas gigitan serangga uji, nilai tersebut dikalikan dengan 0.196 mm2 (luas lingkaran bekas gigitan serangga uji yang dijadikan patokan) sehingga diperoleh luas permukaan daun cabai yang dimakan serangga uji. Persentase penghambatan makan dihitung menggunakan rumus:
B 1 − x 100% keterangan: B = persentase penghambatan makan (%) Ap = luas permukaan daun yang dimakan dari perlakuam (mm2) Ak = luas permukaan daun yang dimakan dari kontrol (mm2)
Pengolahan Data Data mortalitas dan penghambatan makan yang diperoleh diolah dengan sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5% menggunakan paket program Statistical Analysis System (SAS) 9.1.3 (SAS Institute 1990). Data mortalitas yang diperoleh juga diolah dengan metode probit (Finney 1971) untuk menghitung nilai LC (lethal concentration) tiap ekstrak menggunakan program POLO-PC (LeOra Software 1987). Penghitungan nilai LC hanya dilakukan pada data hasil perlakuan ekstrak dengan persentase mortalitas > 50%. Nilai LC yang dihitung adalah LC50 dan LC95.